Ladang Pertarungan 2
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan Bagian 2
menghadap untuk keperluan seringan itu! Bisa-bisa
Nona dibunuhnya!"
"Tapi aku harus membatalkan pertarungan
Abiyasa, adikku itu! Dia masih terlalu muda untuk
arena seperti ini!"
"Usia muda tidak berpengaruh, Nona! Yang
berusia tua pun belum tentu punya keberanian
sebesar yang berusia muda!"
"Aduh, tolonglah! Jangan sampai aku
memaksamu dengan kekerasan!"
Tiba-tiba terdengar suara keras Luhito yang
membuat hadirin menjadi tenang dan menyimak
suara itu. Yayi dan pengawal tersebut juga segera membungkam mulut masing-
masing. "Pertarungan berikutnya, adalah si pemenang
yang tadi telah menumbangkan Kurdogeni, yaitu si
Dewa Botak, yang akan menghadapi peserta
selanjutnya, yaitu Abiyasa.. !"
Prok prok prok prok. .! Penonton dan para tamu
terhormat bertepuk tangan sambil bersorak dengan
riuhnya. Hati Yayi terkejut. Matanya terbelalak.
Pengawal itu berkata,
"Kurasa kau percuma menghadap Brahmana
Gada, adikmu sudah tampil di arena, Nona.
Lihatlah!"
Yayi mendesak ke tepi pagar pembatas lantai
penonton. Hatinya semakin berdebar-debar melihat
Abiyasa mengangkat tangannya dan menyentak-
nyentakkan dengan penuh semangat, sehingga
penonton lainnya berseru mengelu-elukan Abiyasa.
Pemuda yang tampak sangat hijau untuk arena
seperti itu, menggenggam sebuah pedang lengkung
yang amat tajam. Pedang itu sebuah pemberian
cindera mata dari seorang pendekar berasal dari
Selat Gangga. "Abi.. l Abiyasa. .! Tinggalkan arena!" seru Yayi dengan tegang. Tapi seruan itu
tertutup oleh suara riuh gaduhnya penonton. Dalam hati Yayi sendiri
menjadi terharu melihat banyaknya penonton yang
seolah-olah menjagokan Abiyasa.
Sadar sudah hati Yayi, bahwa ia telah terlambat
dan tak bisa mencegah niat Abiyasa yang berkobar-
kobar itu. Jika ia serukan perintah berhenti dari
arena, maka jelas akan semakin menurunkan nyali
dan semangat Abiyasa. Yayi pun takut kalau
seruannya mengganggu perhatian Abiyasa kepada
lawannya. Sementara lawannya yang berjuluk si Dewa Botak
itu masih tampak bersemangat, bahkan pandangan
matanya yang tajam menampakkan nafsu
membunuhnya. Badannya besar, jauh lebih besar
dari Abiyasa. Wajahnya tampak angker. Alisnya tebal bisa dipelintir ujungnya.
Kumisnya juga tebal dengan bentuk mata yang besar dan kepala botak bagian
tengahnya. Sisa rambutnya di tepian kepala sangat
tipis, mungkin bisa dihitung jumlahnya.
Si Dewa Botak memegang rantai berbola baja
berduri. Bola berduri itu besarnya seukuran kepala bayi. Ada dua bola berduri
yang tergantung di dua
ujung rantai sepanjang satu depa lebih. Jika
diputarkan di atas kepala, terdengar bunyi gaung
yang mendirikan bulu kuduk tiap manusia.
Tapi agaknya Abiyasa tidak merasa gentar sedikit
pun. Ketika gong ditabuh, Abiyasa melompat lebih
dulu sebelum bola berduri itu sempat dikibaskan.
Wuttt. .! Pedangnya berkelebat ke arah samping
dengan cepat dan menggores lengan kekar si Dewa
Botak. Cras! "Habisi dia, Abiyasa!" teriak seseorang di sela seruan hingar-bingar mereka yang
merasa girang melihat Abiyasa sudah berhasil menggoreskan
pedang ke lengan lawan.
Hati Yayi pun menjadi susut kecemasannya,
walau ia tahu keberhasilan Abiyasa menggoreskan
pedang di lengan lawan belum berarti apa-apa bagi
lawan. Justru lawan tampak semakin buas. Dengan
gerakan cepat lawan pun menghantamkan bola
berduri ke kepala Abiyasa.
Wungng...! Trangng...!
Abiyasa menangkisnya dengan pedang, sehingga
gerakan bola berduri itu terhambat sekejap, itulah kesempatan Abiyasa untuk
segera berguling ke
lantai dan tebaskan pedangnya. Crass.. !
Paha si Dewa Botak terluka lebar. Abiyasa yang
terbaring itu segera sentakkan punggungnya dan
tubuhnya melesat bangkit dengan cepat dan sigap.
Jlegg. .! la sudah berdiri dengan gagahnya, membuat Yayi menjadi lega bercampur
bangga. Dewa Botak kian panas. Nafsu membunuhnya
semakin tinggi. Maka dengan gerakan cepat ia
sabetkan berulang kali bandul baja berduri itu secara bergantian. la menyerang
Abiyasa hingga Abiyasa
terdesak mundur sampai ke dinding.
Wungng... wungng... wungng... wungng...!
Bandul bola berduri makin mendesak hingga tiba
saatnya bandul itu menghantam kepala Abiyasa,
Trangng.. ! Abiyasa tebaskan pedang lengkungnya
dari bawah ke atas, lalu dari atas ke bawah,
trangng. .! Kedua bandul berduri itu sudah melayang tak tentu arah, dan Abiyasa
segera sentakkan
tangannya dengan cepat ke arah depan. Suttt. .!
Jrubb. .! Tepat menancap di ulu hati si Dewa
Batok. Sorak penonton menggelegar ketika si Dewa
Botak tumbang ke belakang. Pedang lengkung itu
masih menancap di ulu hati si wajah angker itu.
Abiyasa mengacung-acungkan kedua tangannya
menyambut kemenangan di sela sorak-sorai para
penonton. Kemudian ia mencabut pedang dari tubuh
mayat lawannya. la semakin mengangkat kedua
tangannya yang memegang pedang itu berkeliling
melingkari arena. Mata Abiyasa berbinar-binar
memandangi sorak penonton yang tampak puas
melihat kemenangannya.
Sayang sekali Abiyasa tak sempat melihat seraut
wajah cantik milik seorang gadis yang sering
membentak-bentaknya. Hati gadis itu terharu
melihat kemenangan Abiyasa. Senyumnya senyum
kebanggaan yang dibungkus oleh debar-debar
kecemasan lembut. Betapapun bangganya, ia masih
menyimpan rasa waswas, karena Gumarang belum
tampil. la tahu, pertarungan yang utama buat
adiknya adalah pertarungan melawan Gumarang.
Di dalam ruang peserta pertarungan, Gumarang
sedang mengasah senjatanya dengan batu asahan
kecil. Senjatanya adalah sebuah pedang yang tajam
di dua sisinya dengan bagian ujungnya papak, tidak runcing, tapi punya ketajaman
menggores setajam
sisi tepi kanan-kirinya. Melihat kemunculan Abiyasa dari arena, Gumarang
tersenyum sinis dan berseru,
"Doaku masih dikabulkan, kau tetap akan
menang melawan siapa pun sebelum tiba gilirannya
melawanku! Karena jatah kematianmu ada di
tanganku, Abiyasa!"
"Tutup mulutmu, jika kau tak ingin peserta
lainnya merasa kau remehkan, Gumarang!"
Seorang berbadan gemuk dengan wajah
brewokan menepuk punggung Gumarang dari
belakang. "Sebentar lagi dia akan hancur oleh senjataku!"
sambil orang itu menuding Abiyasa. "Setelah dia hancur, baru kepalamu yang
kuhancurkan! Oleh
sebab itu, tak perlu kau berkoar di dalam ruangan ini! Jika mau berkoar, nanti
saja di arena!"
Tetapi sekali lagi Abiyasa ternyata mampu
menunjukkan keunggulan ilmunya di depan sekian
pasang mata penonton, termasuk di depan mata
kakak perempuannya. Sang kakak sendiri tidak
menyangka kalau adiknya punya keberanian setinggi
itu, masuk dalam arena Ladang Pertarungan, sama
saja mencari maut.
Karena tertarik melihat kemenangan demi
kemenangan yang disandang oleh Abiyasa, Yayi
menjadi lupa akan kudanya, lupa akan Mahendra
Soca. Perhatiannya masih terpusat pada Abiyasa.
Apalagi sekarang Abiyasa tampil kembali setelah
Luhito, si pembawa acara, berseru,
"Hadirin dan para undangan terhormat, kini
tinggal satu peserta yang akan melawan si pendekar
kuat Abiyasa. Seperti yang sudah kukatakan tadi,
saudara-saudara, bahwa sampai detik ini, sudah
terkumpul hadiah sebesar empat ratus sikal yang
berhak diterima oleh Abiyasa. Jika dalam
pertarungan mendatang nanti, Abiyasa menang lagi,
berarti dia berhak menerima empat ratus lima puluh sikal! Dan perlu saudara-
saudara ketahui, jika nanti Abiyasa menang, maka dia akan berhadapan
dengan orang terakhir di dalam arena pertarungan
ini, yaitu sang pembantai si Wajah Hitam. .!"
"Horeee. .! Horeee. .! Horeee. .!" seru mereka bersemangat. Hampir sebagian
besar mata penonton tertuju ke pintu jeruji sebelah selatan. Di sana sudah berdiri si Wajah
Hitam yang kepalanya
terselubung kain hitam, bertelanjang dada,
mengenakan celana hitam, dan kain ikat pinggang
merah. Badannya besar dengan dada lebar dan
kekar. Ketika itu si Wajah Hitam tampak berdiri
tegang memandangi pertarungan dengan pedang
telah tergenggam di tangannya dalam keadaan
belum dicabut dari sarungnya. Entah sejak kapan si Wajah Hitam berdiri di sana
memperhatikan tiap
pertarungan, yang jelas saat itu ia sedang jadi pusat perhatian banyak orang,
termasuk Yayi. Tetapi pikiran Yayi tak banyak bicara tentang si
Wajah Hitam. Karena pada saat itu, Luhito segera
melanjutkan ucapannya,
"Perlu saudara-saudara ketahui juga, kali ini, lawan yang akan berhadapan dengan
Abiyasa adalah saudara seperguruannya sendiri, yaitu Guuu...
maaa... raaang...!"
"Huuu. .!" seru mereka kegirangan, bertepuk tangan cukup panjang. Karena baru
sekaranglah saatnya terjadi sesuatu yang belum pernah dialami
oleh mereka, yaitu menyaksikan pertarungan hebat
dari dua orang yang berasal dari satu perguruan.
Gumarang dan Abiyasa muncul di arena.
Sambutan para penonton semakin riuh lagi.
Sedangkan Yayi hanya tersenyum sambil hati
berdebar-debar. Sekalipun ia sudah saksikan
kehebatan jurus-jurus pedang Abiyasa, tapi tentunya kali ini sang lawan bisa
membaca jurus-jurus
Abiyasa, sebab berasal dari satu guru. Apakah
Abiyasa bisa memainkan jurus yang tidak terbaca
oleh Gumarang" Itu yang tidak diketahui oleh Yayi
Bongngng.. ! Gong berbunyi, pertarungan dimulai.
Gumarang sempat menggeram, hanya Abiyasa yang
dengar. "Saatnya kita tentukan siapa yang unggul dan
layak menyandang gelar murid terbaik dari guru
kita!" "Bersiaplah dan hati-hatilah melawanku,
Gumarang!" hanya itu kata-kata Abiyasa, lalu ia segera bergerak memutar bersamaan dengan
gerakan lambat Gumarang. Pedang Gumarang sejak
tadi sudah dikibas-kibaskan ke sekelilingnya,
sepertinya ia sedang pamer kecepatan ilmu
pedangnya. Sedangkan Abiyasa hanya diam saja, tak
menggerakkan pedang sedikit pun. Pedang itu
hanya tergenggam dengan dua tangan dan terarah
ke samping, siap tebas dari atas ke bawah.
Badannya sedikit membungkuk, matanya tajam tak
berkedip memperhatikan setiap gerakan Gumarang.
"Hiaaat. .!" Gumarang memekik sambil maju menyerang.
Wut wut wut trangng.. ! Crasss. .!
Pedang Gumarang berkelebat cepat menyerang,
tapi Abiyasa menghindar beberapa kali dan
menangkis satu kali, kemudian meliukkan tubuh
sedikit dan menebaskan pedang dari samping kiri ke kanan. Tebasan itu tepat
mengenai leher Gumarang.
Maka, tak ayal lagi Gumarang berhenti bergerak
seketika. Lehernya robek besar, memercikkan darah
ke mana-mana. Lalu tubuh itu pun tumbang.
Brukk...! Gumarang mati dalam dua jurus pedang Abiyasa.
Sudah tentu sorak-sorai penonton semakin
menggelegar keras. Rasa kagum mereka timbulkan
berbagai macam suara teriakan yang memuji
Abiyasa. Suara pujian mereka itu hampir menitikkan air mata Yayi karena haru
melihat kemenangan
adiknya. Tetapi beberapa saat kemudian hati Yayi menjadi
gundah dan gelisah. Sebab ia tahu, setelah ini
Abiyasa bertarung melawan sang pembantai yang
sudah sekian puluh nyawa ditebas dengan
pedangnya. Luhito berseru, "Hadirin dan para tamu terhormat, kini tiba saatnya Abiyasa
menerima hadiah dua kali empat ratus lima puluh sikal, yaitu sembilan ratus
sikal, jika dalam pertarungannya yang terakhir ini ia bisa kalahkan si pembantai
kita selama ini, yaitu si Waaa... jaaah... Hitaaaam...!"
Drangng. .! Pintu jeruji selatan dibuka dalam satu sentakan. Orang berselubung
kain hitam algojo itu
tampil lebih dulu di tengah arena. la mengangkat
kedua tangannya yang sudah mencabut pedang itu
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil dongakkan kepala, pandangi tiap penonton
yang bersorak mengelu-elukan dirinya.
"Heaaah. .!" si Wajah Hitam berteriak memberi semangat sambil tampakkan
kebuasannya. Penonton pun semakin gemuruh menyambut seruan
Semangat itu. Pada saat si Wajah Hitam yang tanpa memakai
baju itu mengangkat kedua tangan dan memutari
arena, hati Yayi menjadi sangat cemas. la melihat lawan adiknya kali ini
bertubuh kekar dan tampak
ganas. Di punggungnya terdapat tato pedang berdiri berlilit ular. Tato itu cukup
jelas, karena membentang sepanjang tulang punggung, dari
perbatasan pundak tengah, bawah tengkuk, sampai
ke pinggang belakang. Tato itulah yang membuat si
Wajah Hitam semakin seram dan berkesan sebagai
manusia angker.
Yayi berdebar-debar.
Sambil membatin,
"Seharusnya Abiyasa menghentikan pertarungan ini,
toh dia sudah kalahkan Gumarang! Tapi agaknya
memang sulit, sebab ia harus maju menghadapi si
Wajah Hitam itu. Ini sudah merupakan peraturan.
Jika tidak, pasti penonton akan menyerang Abiyasa
karena merasa dikecewakan! Mereka pasti ingin
melihat si Wajah Hitam tumbang di tangan Abiyasa.
Tak bedanya dengan diriku! Ah. . mudah-mudahan
Abiyasa kali ini tetap unggul melawan sang
pembantai itu...!"
Para penonton yang ada di deretan tamu
terhormat juga memberi seruan-seruan untuk
Abiyasa. Salah seorang berseru,
"Penggal kepalanya, Abiyasa! Kutambah
hadiahmu menjadi tiga kali lipat dari yang
seharusnya kau terima!"
Sementara dari pihak penjudi berseru,
"Kupertaruhkan rumahku untuk menjagokan kamu, Abiyasa! Lawan dia dan keluarkan
jurus-jurus pamungkasmu!"
Abiyasa tetap pandangi mereka dengan senyum
ketegaran sambil kedua tangannya terangkat ke
atas disentak-sentakkan. Sementara itu, di telinga Abiyasa pun terdengar
seseorang memanggil di sela
riuhnya suara mereka. Kali ini telinga Abiyasa
mendengar suara wanita,
"Abi...! Pandanglah aku, Abi...!"
Cepat ia berpaling, dan tersentak kaget melihat
wajah kakaknya ada di antara para penonton.
Abiyasa tertegun bengong. Kejap berikut mulutnya
berucap kata lirih,
"Yayi. ."!" dalam desah yang tipis, namun tertangkap oleh telinga gadis cantik
itu. "Maju! Serang! Aku di sini, Abi!" kata Yayi dengan tak sadar air matanya mulai
membasahi kedua
mata indah itu. Yayi mengacungkan kedua
tangannya yang menggenggam disentak-sentakkan.
Katanya, "Hancurkan dia! Kau harus menang, Abi! Aku di sini! Jangan kecewakan aku!
Hancurkan!"
Bongng.. ! Gong bertalu, pertandingan adu nyawa
segera dimulai. Abiyasa berdiri berhadapan dengan
si Wajah Hitam di tengah arena. Tapi sebentar-
sebentar ia memandang ke arah Yayi, sebab ia sama
sekali tak menduga kalau kakaknya ada di situ.
Padahal dia paling takut kepada Yayi. Dia takut
kepada kakaknya yang sangat sayang kepadanya,
sehingga kadang ia diperlakukan seperti anak kecil meski suka juga, dibentak-
bentak dan ditampar. Tapi kali ini ia merasa heran, sebab sang kakak yang
sering memberinya saran agar jangan bertarung
dengan siapa pun kecuali dalam keadaan terpaksa,
kini justru sang kakak memberinya semangat yang
menggebu-gebu. Si Wajah Hitam berdiri tegak dengan pedang lurus
ke atas di depan wajahnya. Pedang itu mempunyai
ketajaman di dua sisinya dengan bagian ujungnya
runcing. Pedang itu digenggam dengan dua tangan
yang berotot kekar. Di pergelangan tangan si Wajah
Hitam kenakan gelang kulit berwarna hitam pula.
Tubuhnya yang kekar itu tampak berkeringat dan
menjadikan tubuh itu mengkilap.
Abiyasa bergerak pelan mengitari si Wajah Hitam
dengan pelan-pelan. Semua penonton diam tak ada
yang berkata sepatah kata pun. Napas kedua orang
yang bertarung itu saja yang terdengar oleh mereka.
Abiyasa mencari kelengahan, sementara si Wajah
Hitam diam mematung di tengah arena dengan
pedang lurus ke atas di depan dada.
Ketika Abiyasa sampai di belakang si Wajah
Hitam, tiba-tiba Abiyasa menyerang dengan cepat.
Wuttt. .! Pedang ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi si Wajah Hitam menangkis
pedang Abiyasa dengan
kepala melengkung sedikit ke belakang. Trangng. .!
Pedang Abiyasa tertangkis, dan si Wajah Hitam
cepat berputar. Wuttt...! Craas..,!
Gerakan si Wajah Hitam berhenti dalam keadaan
kedua kakinya merenggang rendah, tubuh
membungkuk miring ke kiri, pedang ada di sebelah
kiri, meneteskan darah segar ke lantai. Tess. .!
Abiyasa terbelalak matanya. Pedangnya jatuh dari
tangan, dan ia pun segera tumbang dalam keadaan
robek perutnya, hampir terbelah tubuh itu menjadi dua bagian. Isi perut pun
berhamburan keluar
mengotori lantai arena.
"Abii . .!" jerit Yayi yang segera melompat turun dari lantai penonton, lalu
cepat-cepat menghampiri adiknya yang sedang meregang nyawa itu. la
menjerit sambil menangis dan berkata,
"Abi...! Tahan...! Kuatkan dirimu, Abi...!"
"Ya... yi... maaa... maafkan... aku...." Kepala Abiyasa tergolek dan napas pun
terhembus lepas.
Abiyasa pun mati, para penonton hanya bergemuruh
kecil, seakan mereka ikut kecewa dengan kematian
Abiyasa, yang diharapkan bisa menjadi sang
pembantai yang baru.
Melihat kematian adiknya, Yayi segera bangkit
berdiri dan mencabut pedangnya pada waktu si
Wajah Hitam sudah hampir masuk ke pintu selatan.
"Jahanaaam...! Kubalas kematian adikku
sekarang juga!"
Srakkk. .! Semua petugas keamanan segera
mengurung Yayi dengan maksud meredakan
amarah Yayi. Mereka membujuknya agar jangan
menyerang dan membalas saat itu. Luhito berkata,
"Kalau Nona setuju, akan kucantumkan nama
Nona dalam pertarungan minggu depan! Kalau mau
balas dendam kepada si Wajah Hitam, lakukanlah
pada minggu depan di arena ini juga!"
"Baik! Aku akan tampil di minggu depan!" teriak Yayi, dan ternyata disambut oleh
sorak-sorai dan
tepukan para penonton.
* ** E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5 PIHAK kadipaten ingin menyerbu Rumah Busuk
dan menangkap Brahmana Gada. Tetapi Yayi tidak
setuju dengan keputusan sang Adipati.
"Kematian Abiyasa bukan kesalahan Brahmana
Gada! Itu kesalahan Abiyasa sendiri! Kalau Abiyasa tidak datang dan menjadi
peserta di dalam
pertarungan itu, maka ia tidak akan mati semuda
itu!" kata Yayi. "Penyerbuan ke Rumah Busuk hanya akan mencoreng nama baik dan
wibawa Ayahanda
saja, karena Ayahanda bisa dianggap oleh para
tokoh dunia persilatan sebagai orang yang dungu.
Bagaimanapun juga kematian Abiyasa adalah
kematian akibat suatu kebodohan! Ayahanda sering
nasihati kami agar bisa kuasai diri dan nafsu, jika tidak maka kami akan mati
oleh nafsu diri pribadi.
Dan Abiyasa telah membuktikan nasihat Ayahanda,
bahwa nafsu diri pribadi memang bisa membuatnya
mati sia-sia!"
Geram kemarahan sang Adipati makin lama
makin reda. Yayi terus-menerus membela pihak
Rumah Busuk itu. Hal tersebut dilakukan Yayi
dengan maksud agar Ladang Pertarungan jangan
sampai dibubarkan dulu sebelum ia tampil di arena
untuk membalas dendam kepada si Wajah Hitam.
Bahkan ia pun menyembunyikan dendamnya itu dari
depan ayah dan ibunya, sehingga mereka tak tahu
apa yang dilakukan dan direncanakan oleh Yayi.
Hanya saja, di satu kesempatan, Yayi pernah
bertanya kepada ayahandanya,
"Siapa pendekar jago pedang yang Ayahanda
kenal?" Sang Adipati menjawab, "Dulu ayah mempunyai
sahabat dekat yang bernama si Penggal Jagat!
Beliau adalah jago pedang berilmu tinggi!"
"Di mana dia tinggalnya, Ayahanda?"
"Di Lereng Lawu. Mengapa kau tanyakan hal itu, Anakku?"
"Saya ingin belajar ilmu pedang yang lebih hebat dari yang sudah saya miliki
dari kakek, Ayahanda!"
"Kalau begitu, akan kusuruh orang memanggilnya datang kemari. Ki Argapura atau
si Penggal Jagat
juga sahabat baik dari mendiang kakekmu, Yayi.
Pasti beliau tidak keberatan untuk memenuhi
undangan dari Ayah! Kami sudah seperti saudara
dengan beliau!"
Betul apa kata sang Adipati. Orang yang bergelar
si Penggal Jagat itu memang sudah seperti saudara
sendiri, sebab dulu si Penggal Jagat hidup dengan
menumpang pada keluarga kakeknya Yayi. Usianya
sekarang sekitar enam puluh tahun. Tapi ia masih
kelihatan gesit dan lincah dalam bergerak.
Kabarnya, Ki Argapura sekarang sudah
mempunyai perguruan sendiri, dan dia hidup di
Lereng Lawu bersama beberapa muridnya. Tapi
ketika datang undangan ke kadipaten, Ki Argapura
datang sendirian sebagai seorang saudara yang
berkunjung penuh perdamaian. Bahkan ketika Ki
Argapura mendengar permintaan Yayi, orang
berambut putih panjang dengan jenggot putih
pendek dan kumis putih tak terlalu lebat itu hanya terkekeh-kekeh menanggapinya.
"Bukankah kakekmu juga jago pedang, Yayi!"
"Benar. Tapi kata Ayah mendiang kakek masih
kalah ilmu pedangnya dengan Ki Argapura! Sebab itu Ayah memilih Ki Argapura
untuk menjadi guru
pedang ku! Hanya beberapa jurus maut sajalah yang
Ki Arga berikan pada saya. Tak perlu semuanya!"
"Agaknya kau punya maksud-maksud tertentu
untuk mempelajari jurus pedangku, Yayi. Apa benar
begitu dugaanku?"
"Ki Arga, terus terang saja, aku punya dendam kepada seseorang yang jago main
pedangnya. Kalau
aku tidak belajar ilmu pedang yang lebih hebat, aku tidak akan bisa menang
melawan dia!"
Karena mereka hanya berdua pada waktu itu,
maka Yayi pun menceriterakan segala apa yang
dilihatnya di Ladang Pertarungan itu. Semua
gerakan si Wajah Hitam ditirukan oleh Yayi saat
menuturkan kehebatan ilmu pedang si Wajah Hitam
itu. Dan Ki Argapura hanya manggut-manggut.
Sambil melangkah di tepi sebuah sungai yang
sepi itu, Ki Argapura berkata kepada Yayi,
"Seorang jago pedang lebih banyak menggunakan indera keenamnya ketimbang
keampuhan pedang
pusakanya. Jika indera keenammu cukup kuat untuk
melihat apa yang belum bergerak dan mendengar
apa yang belum bersuara, maka gerakan pedangmu
mempunyai kepastian dan ketepatan menebas."
Mereka berhenti di bawah pepohonan rindang di
hutan tepi sungai. Ki Argapura meminjam pedang
milik Yayi, sebab ia tidak membawa apa-apa ketika
berangkat menuju kadipaten. Sambil memegang
pedang dengan kedua tangannya, Ki Argapura
berkata, "Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di
mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau
tentang dengan mata hatimu! Karena pedang yang
sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam,
dia akan bergerak dengan sendirinya mendului apa
yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi
mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan
nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang
tersalur di dalamnya tidak perlu berlebihan.
Gerakannya pun tidak perlu mengeluarkan banyak
tenaga. Pelan, tapi cepat dan pasti!"
Wuttt.. ! Ki Argapura menggerakkan pedang itu ke
depan, seperti orang membacokkan sesuatu dengan
golok. Saat pedang bergerak menebas ke depan,
kaki kirinya maju menghentak. Jlegg. .!
"Ini namanya jurus 'Rembulan Menebas Bintang',"
katanya sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Jurus ini titik beratnya pada ujung pedang, yang bisa memotong benda dalam
jarak beberapa langkah di
depannya."
Yayi manggut-manggut menyimaknya. Tapi ia jadi
terkejut ketika kejap berikutnya sebatang dahan dari pohon yang masih rendah itu
jatuh dalam keadaan
patah terpotong. Dahan itu besarnya sebesar lengan.
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan bentuk potongannya sangat rapi.
Rupanya saat Ki Argapura memperagakan
gerakan jurus pedang yang bernama jurus
'Rembulan Menebas Bintang', ia telah melakukan
satu gerakan yang benar, yaitu memotong dahan
tersebut tanpa menyentuhkan pedang pada
sasarannya. Yayi menatap potongan dahan itu
dengan mata memancarkan kekaguman.
"Ingat, hanya sedikit tenaga dalam yang perlu kau salurkan melalui pedang ini,
dan biarkan dia
bergerak dengan naluri dan matanya sendiri! Bukan
kamu yang menggerakkan pedang, tapi pedang yang
membawamu bergerak mendului apa yang belum
bergerak dan belum terjadi! Dengan begitu, maka
setiap gerakan lawan dapat dipatahkan dengan
mudah karena sudah diketahui ke mana sasaran
geraknya!"
Wukkk...! Pedang ditusukkan ke depan dengan
cepat dan tahu-tahu sudah berbalik ke posisi
semula. Ki Argapura memandang Yayi, lalu ia pun
berkata, "Ini namanya jurus 'Mata Malaikat'. Titik
utamanya pada tenaga dalam yang ada di dalam
pedang ini, bergerak dan menjadi satu dengan
kecepatan naluri pedang. Lihat batang pohon itu...!"
"Oh. ."!" Yayi terperangah kaget. Batang pohon itu
ternyata berlubang. Tembus sampai ke belakang dan
berbentuk seperti permukaan mata pedang.
Ternyata pada saat pedang ditusukkan ke depan
oleh Ki Argapura tadi, pedang tersebut sudah
mencapai batang pohon dan menembusnya sebelum
pandangan mata Yayi mencapai ke arah batang
pohon. Ketika gerakan mata Yayi mencapai batang
pohon, pedang itu sudah selesai dicabut dan sedang ditarik mundur dengan cepat,
sehingga Yayi hanya
melihat seolah-olah pedang tidak sampai menyentuh
batang pohon. "Luar biasa!" gumam Yayi, penuh dengan
kekaguman yang mendebarkan.
Banyak jurus pedang yang diajarkan kepada Yayi.
Tetapi Yayi harus melalui latihan dasar untuk
mendapatkan naluri pedang dan mata jiwa pedang.
Sekalipun keringat Yayi sudah mengucur tanda
berlatih dengan sungguh-sungguh, tapi Ki Argapura
melarang Yayi berhenti berlatih.
Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda yang
berpakaian seragam keprajuritan. Orang itu
langsung menghadap Ki Argapura dan berkata
penuh hormat, "Ki Argapura, Kanjeng Adipati ingin bicara
sebentar dengan Ki Argapura. Harap Ki Arga sudi
kiranya segera menghadap Kanjeng Adipati
sekarang juga!"
"Apakah ada bahaya di kadipaten?"
"Tidak ada, Ki Arga! Kanjeng hanya ingin bicara!"
"O, baik!" lalu Ki Argapura bicara kepada Yayi,
"Hari ini kita selesaikan sampai di sini dulu latihan kita, Yayi. Mari kita
menghadap ayahandamu karena
beliau memanggil."
"Ki Arga sendirilah yang ke sana, aku masih ingin teruskan gerakan pedang yang
berjurus 'Selendang
Ekor Naga' ini. Nanti aku akan menyusul pulang jika sudah kurasakan cukup capek,
Ki!" Kakek tua itu terkekeh-kekeh. Lalu ia pun segera
meninggalkan Yayi sendirian. Ki Argapura tidak
merasa sedikit cemas walau meninggalkan Yayi di
tempat sesepi itu, sebab ia yakin Yayi mampu
mengatasi bahaya apa pun. Itu terlihat dari kerasnya kemauan Yayi dan lincahnya
gerakan tangan Yayi
dalam mempermainkan pedang.
Agaknya memang Yayi benar-benar ingin
mempunyai jurus-jurus pedang yang diajarkan oleh
Ki Argapura, sehingga meski ditinggalkan oleh sang Guru, Yayi tetap berlatih
dengan tekun. Bahkan
ketika matahari mulai bergeser ke barat, ia masih tetap berlatih penuh semangat.
Satu-satunya hal yang membuat latihan Yayi
terhenti adalah datangnya suara gaduh di kejauhan.
Werrr...! Brukkk...!
"Suara pohon tumbang?" pikir Yayi. Barulah ia sadar bahwa sejak tadi sebenarnya
ia mendengar suara dag-dug, dag-dug, tapi tak pernah dihiraukan.
Pusat pikirannya hanya ke gerakan pedang. Dan
sekarang Yayi tahu, suara pohon rubuh itu adalah
pohon yang habis ditebang orang. Siapakah
penebangnya"
Yayi segera sentakkan kakinya dan tubuhnya
melesat pergi tinggalkan tempat itu. la menuju ke
arah pohon rubuh tadi. Karena ia yakin ada
seseorang yang ingin ditemuinya di pohon rubuh itu.
Dan ternyata dugaan Yayi tidak salah. Orang
tersebut memang ada. Orang itu tak lain adalah
Mahendra Soca, yang berpakaian putih tanpa lengan
dengan kain pinggang kali ini berwarna hijau dan
celana hitam. Pemuda itu segera memandang Yayi
begitu Yayi menyapa,
"Sudah berapa pohon, Mahendra?"
"Oh, kau...! Sudah selesai latihan pedangmu?"
"Latihan yang mana?" Yayi berlagak tak mengerti maksud Mahendra Soca walau dia
akhirnya tertawa
dan berkata, "Rupanya kau tadi mengintip aku sedang berlatih pedang di sana"!
Curang sekali kau!
Kenapa tak mau menyapaku, Mahendra?"
"Aku tak mau mengganggu pikiranmu yang
sedang terpusat kepada pengarahan dari gurumu
tadi! Maka kutinggalkan kalian karena aku harus
mendapatkan beberapa batang pohon lagi!"
Mahendra Soca segara mendekati Yayi. Mata
Mahendra Soca memandang dengan senyum
mengembang tipis menawan. Yayi jadi salah
tingkah, lalu kejap berikutnya Yayi tak tahan dan
mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain.
Sejak pertemuannya di Ladang Pertarungan,
ketika Mahendra Soca menjaga kudanya, Yayi belum
pernah bertemu Mahendra Soca lagi. Baru kali ini ia jumpa dengan pria yang
menawan hatinya itu. Dan
Yayi pun merasa bersalah, karena pada waktu itu
meninggalkan Mahendra Soca sampai sekian lama,
sampai mungkin Mahendra Soca bosan dan pergi
begitu saja, membiarkan kuda putihnya ditambatkan
di sebuah batang pohon.
Setelah hening tercipta beberapa kejap,
terdengarlah suara Yayi yang bernada penuh sesal
dan duka mengenang kematian adiknya,
"Maafkan aku ketika itu, Mahendra. Aku
meninggalkan kamu sampai sekian lama, dan
ketika aku kembali ke kudaku, kau sudah tiada!"
"Ya, aku memang sedikit jengkel waktu itu, Yayi.
Tapi sekarang sudah kulupakan. Toh aku pun waktu
itu telah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mau mengurus kudamu lagi! Kalau
kuda itu hilang dicuri orang, itu karena kesalahanmu yang tak mau
menghiraukan aku lagi dan menelantarkan aku di
bawah pohon sana! Tapi, sudahlah. . kuanggap hal
itu tak pernah terjadi, Yayi!"
"Aku panik pada saat itu! Sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kematian
Abiyasa di tengah
arena!" "Oh, jadi...?"
"Benar, Mahendra. Abiyasa mati dibabat pedang Wajah Hitam!"
Mahendra Soca diam dengan wajah murung.
Bahkan ia tampak gelisah dan tak berani menatap
Yayi. Sikapnya yang menunduk membuat Yayi
mengerti bahwa Mahendra Soca ikut bersedih atas
kematian Abiyasa. Kemudian, Yayi segera
mendekati Mahendra Soca yang duduk di dahan
pohon yang telah ditebangnya itu, di sana Yayi
berkata, "Seharusnya waktu itu aku mengajakmu melihat kehebatan adikku, Abiyasa itu, dan
juga melihat gerakan ilmu pedang si Wajah Hitam yang memang
cukup tinggi itu! Salah sekali aku, karena tidak
mengajakmu ke sana!"
"Bukan itu yang kupikirkan saat ini, Yayi. Tapi..
sekarang aku tahu mengapa kau belajar ilmu
pedang tadi. Sepertinya. . kau punya dendam dan
ingin melawan si Wajah Hitam itu. Bukankah begitu
maksudmu, Yayi?"
"Ya. Aku memang ingin membalas kematian
Abiyasa! Aku bahkan sudah mengatakan kepada
pengurus Ladang Pertarungan Itu, bahwa minggu
depan aku akal hadir sebagai peserta di arena itu!"
Sambil berkata demikian, mata Yayi menyipit
pancarkan cahaya dendam dari dalam hatinya.
Mahendra Soca memandang sejenak, kemudian
menunduk lagi memainkan sebatang rumput dan
berkata pelan, "Kalau bisa jangan, Yayi."
"Jangan apa maksudmu?"
"Jangan datang ke sana. Jangan ikut dalam
pertarungan. Nanti kau mati di tangan mereka!"
"Mati demi membalas dendam atas kematian
adikku adalah lebih baik daripada mati konyol hanya memperebutkan sejumlah
hadiah!" "Kalau kau mati," kata Mahendra Soca, "Aku tak bisa melihatmu lagi, Yayi! Lalu
ke mana aku akan
bisa melihatmu jika kau mati di sana?"
Kata-kata itu meluncur dengan polos, seakan
terungkap secara apa adanya. Hati Yayi sempat
dibuat guncang karena ucapan lugu itu. Debar-debar yang terjadi di dalam hatinya
menjadi lebih sulit
diterjemahkan dengan bahasa mulut. Apalagi ketika
Mahendra Soca memandangnya dengan lembut, hati
Yayi semakin gundah dan tak mengerti lagi apa yang berkecamuk di dalam
pikirannya. Hanya saja, waktu itu suasana indah berkelambu
resah itu menjadi buyar seketika dengan
kedatangan Ragajampi. Kini di hati Yayi mulai timbul perasaan baru, yaitu
perasaan benci dan geram
terhadap kehadiran Ragajampi yang dianggap
mengganggu kebahagiaannya.
"Tak adakah pekerjaan lainnya yang bisa kau
kerjakan sebagai pengawal"!" hardik Yayi kepada Ragajampi yang datang bersama
satu prajurit, bukan Sulaya. Ragajampi memandang ke arah Mahendra
dan bagaikan tak mendengar ucapan Yayi tadi.
Mahendra Soca beradu pandang sebentar, lalu
tundukkan kepala tak berani menatap Ragajampi.
"Apa maumu datang kemari menggangguku,
hah"!" bentak Yayi.
"Diutus oleh Kanjeng untuk menjemputmu!
Kanjeng dan Ki Argapura ingin bicara denganmu!"
"Alasan saja!" geram Yayi.
"Kalau tak percaya, tanyakan saja kepada
Wikromo!" Ragajampi menunjuk orang berseragam keprajuritan itu.
"Pulanglah, Yayi. Jangan sampai ayahandamu
marah," kata Mahendra Soca dengan pelan sambil tangannya memegang pundak Yayi.
Dan tiba-tiba Ragajampi menarik napas dengan wajah menjadi
merah. Yayi tahu hal itu, ia semakin menambah
panas hati Ragajampi dengan merapatkan badan ke
tubuh Mahendra Soca, lalu wajahnya memandang
pemuda itu dan mulutnya mengucapkan kata,
"Jangan kecewa, Mahendra! Kita tetap akan bisa bertemu lagi!"
"Ya. Aku tidak kecewa. Aku memaklumi
kesibukan mu sebagai putri seorang adipati. Kapan-
kapan kita pasti jumpa lagi, Yayi."
Ragajampi meludah ke samping setelah menarik
napas menahan cemburu di dada. Matanya menyipit
memandang jauh ke arah lain, seakan tak mau
memperhatikan suasana mesra antara Yayi dan
Mahendra Soca. Yayi pun segera pergi setelah Mahendra Soca
membujuknya agar segera berangkat ke istana.
Kepergian Yayi dipandangi oleh Mahendra Soca
sampai ketepian sungai. Tetapi tiba-tiba seseorang
menyerang Mahendra Soca dari belakang.
Baaahg...! "Aahg. .!" Mahendra Soca tersentak ke depan dan jatuh. Sebuah pukulan tenaga
dalam tanpa suara,
tanpa sinar telah menghantam punggungnya. Tetapi
hal itu tidak membuat Mahendra Soca diam terkulai, melainkan berusaha untuk
bangkit walau dengan
susah payah dan menahan rasa sakit sebegitu
dalam. Ketika ia bangkit, tampaklah seorang berpakaian
hijau tua, bersenjata golok dengan wajah bulat dan rambut keriting. Orang itu
tak lain adalah Sulaya.
Begitu melihat Mahendra Soca bangkit, Sulaya
segera tebaskan goloknya ke pundak Mahendra
Soca. Wuttt...!
Brukk. .! Bukan Mahendra Soca yang roboh,
melainkan Sulaya sendiri. Orang itu belum sempat
mencapai pundak Mahendra Soca dengan goloknya,
tiba-tiba datang angin kencang bergelombang besar
yang seolah-olah telah mendorong
dan melemparkan tubuhnya hingga terpental jauh.
Bahkan tubuh Sulaya pun membentur batang pohon
tepat di bagian kepalanya, hingga ia mengaduh
tertahan karena bagian pelipisnya sempat bocor dan berdarah.
Mahendra Soca sendiri kaget melihat Sulaya jatuh
secara tiba-tiba. Padahal kalau Sulaya tidak jatuh terlempar, pasti Mahendra
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Soca mati atau setidaknya akan terpenggal pundaknya akibat
bacokan golok tajamnya Sulaya. Untung ada
seseorang yang menyerang Sulaya dari suatu tempat
yang tersembunyi, sehingga Mahendra Soca masih
tetap utuh dan terhuyung-huyung menahan rasa
sakitnya dengan mata masih terpejam kuat-kuat.
Sekujur dadanya merasa panas akibat pukulan
tenaga dalam Sutaya tadi.
Melihat pelipisnya berdarah, Sulaya menjadi
tambah bernafsu untuk membalas serangan. Tapi
karena yang ada hanya Mahendra Soca, maka
niatnya untuk mencelakai Mahendra Soca semakin
bertambah besar lagi. Dengan satu lompatan bagai
terbang, Sulaya menerjang Mahendra Soca dengan
golok tajamnya siap dibabatkan ke wajah pemuda
itu. Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melesat
menabraknya, dan tubuh Sulaya pun kembali
terpental tak tentu arah. Brusss.. ! Sulaya jatuh ke semak-semak, punggungnya
membentur batu runcing. Batu itu mengoyakkan punggung hingga
robek dan berdarah punggung tersebut. Sulaya pun
mengerang kesakitan.
Tetapi sekelebat bayangan tadi kini sudah berdiri
depannya. Bayangan yang menabraknya tadi adalah
bayangan tubuh seorang pemuda berpakaian coklat
dan celana putih, rambutnya panjang tanpa di kat,
dan menyandang bumbung tuak di punggungnya.
Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk yang
dikenal dengan nama Suto Sinting.
Sulaya maupun Mahendra Soca sama-sama
heran memandang kemunculan tokoh penyandang
bumbung tuak itu. Apalagi ketika itu, Suto langsung mengambil bumbung tuak dan
meneguk tuaknya
beberapa kali mereka semakin merasa heran
melihat sikap seenaknya saja itu.
"Siapa kau"! Mengapa kau campuri urusanku
dengan orang itu"!" Sulaya mencoba menggertak Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk
yang tampan itu
menyunggingkan senyum tipisnya dan berkata,
"Siapa aku, itu tak perlu kau ketahui! Yang perlu kau ketahui, aku bukan
bermaksud memusuhimu,
tapi hanya mencegah perbuatanmu yang hampir
menewaskan nyawa orang yang bukan tandinganmu
itu!" "Kalau begitu, kaukah tandinganku"! Hi h...!"
Sulaya segera kirimkan pukulan tenaga dalam dari
telapak tangannya. Tenaga dalam itu segera
dibalikkan oleh Suto dengan menggunakan sentilan
jarinya yang bernama jurus 'Jari Guntur'. Wuttt. .!
Blauggh. .! Dada Sulaya jadi sasaran balik tenaga
dalamnya dan ia terpental lagi lebih jauh dari kedua sentakan tadi. Telinganya
membentur pohon, dan
daun telinga itu pun menjadi robek berdarah.
Sulaya merasa orang berbumbung tuak itu
membahayakan jika dilawan. Melalui sentilan jari
yang bisa menghantam balik pukulan tenaga dalam
tersebut sudah bisa diduga oleh Sulaya, bahwa orang tersebut pasti berilmu
tinggi. Maka ia lebih baik
memilih pergi dari tempat itu.
Setelah Sulaya pergi terbirit-birit bagai tikus
dikejar kucing, Suto pun segera mendekati
Mahendra Soca dan memeriksa keadaan tubuh
Mahendra Soca dengan pandangan aneh. Tapi Suto
segera berkata,
"Bagaimana tubuhmu" Apa yang terasa di
badanmu?" "Panas! Bagian dalam terasa panas sekali!" jawab Mahendra Soca.
"Cobalah minum beberapa teguk tuakku ini!
Mudah-mudahan bisa lekas sembuh. .!" Pendekar Mabuk memberikan bumbung tuaknya
dengan membantu memegangi bumbung tersebut, dan
Mahendra Soca meneguk tuak beberapa teguk.
Anehnya, perasaan panas di dalam dada dan perut
itu mulai terasa dingin setelah meneguk tuak
tersebut. "Terima kasih atas pertolonganmu," kata
Mahendra Soca. "Kau kuanggap telah menyambung nyawaku. Jika kau tidak datang,
aku pasti sudah
mati dibacok-bacok oleh anak buahnya Ragajampi.
Aku yakin dia orang yang kau labrak tadi, pasti
disuruh Ragajampi untuk membunuh atau
mencelakaiku!"
"Mengapa sampai ada yang ingin membunuh
kamu?" "Ragajampi cemburu dan tak suka jika aku
berhubungan dekat dengan Yayi, putri seorang
adipati itu!"
"Ooo...," Suto mengangguk-angguk sambil
tersenyum geli. Kemudian ia segera bertanya,
"Jadi, kau jatuh cinta sama putri adipati?"
Mahendra Soca yang badannya kembali segar
dalam waktu yang cukup singkat itu, kini
sunggingkan senyumnya dan berkata,
"Aku tak tahu apakah aku jatuh cinta padanya
atau sekadar mengagumi kecantikannya. Yang jelas,
aku suka memandangi kecantikan yang ada pada
Yayi." Suto makin lepaskan tawa walau dalam suara
seperti orang menggumam. Bahkan ia geleng-
gelengkan kepala sambil memandangi Mahendra
Soca, sampai akhirnya Pendekar Mabuk pun
berkata, "Benarkah kau tidak mencintainya" Bagaimana
jika aku yang mencintai gadis itu?"
Mahendra Soca diam, bingung menjawabnya. Tapi
ia nyengir dan sembunyikan wajah dengan cara
memandangi ke pohon yang tadi habis
ditumbangkannya. Bahkan ia bergegas mengambil
kapak blandongnya, lalu membelah dan memotong-
motong batang pohon yang ditebangnya itu.
"Hei, apa artinya dengan sikapmu yang tak berani menjawab pertanyaanku?" goda
Suto Sinting sambil senyum-senyum.
Dan Mahendra Soca hanya berkata, "Carilah
sendiri artinya di dalam hatimu!"
* * * 6 PERTEMUAN itu membuat Pendekar Mabuk dan
Mahendra Soca menjadi akrab. Mahendra Soca
menceritakan tentang pertemuannya dengan Yayi.
Pada waktu itu, Suto diajak ke gubuk persinggahan
Mahendra Soca. Gubuk itu penuh dengan potongan-
potongan kayu. Tak ada barang lain kecuali
potongan kayu ukuran sehasta untuk digunakan
sebagai kayu bakar pemasak nasi. Ada sebuah balai-
balai juga terbuat dari potongan-potongan dahan. Di sana mereka duduk, di sana
pula biasanya Mahendra Soca tidur atau beristirahat.
"Sudah lama kau tinggal di tempat terpencil ini, Mahendra?"
"Yah, cukup lama!" jawab Mahendra Soca. "Di sini tempatnya tenang."
"Memang. Tapi apakah kau tak merasa sepi dan
bosan hidup dengan tumpukan kayu ini?"
"Aku menyukai tempat sepi," jawab Mahendra Soca sambil membenahi kayu yang tadi
tersenggol tubuhnya dan jadi berantakan dari tumpukannya.
Suto Sinting hanya pandangi keadaan sekeliling.
Gubuk itu ada di tengah hutan, namun bukan hutan
ganas dan buas. Hutan itu dekat persawahan, dan di seberang persawahan ada desa
yang luas dan kehidupannya cukup ramai.
Gubuk itu dikelilingi oleh tanaman pohon kelapa,
yang menurut pengakuan Mahendra Soca, jika
musim tuai kelapa telah tiba, ia pun berubah
menjadi pedagang kelapa di pasar. Jika musim
menuai kelapa belum tiba, ia menjadi pedagang
kayu bakar di pasar. Bahkan ia mengaku
mempunyai langganan tetap untuk kayu bakarnya,
yaitu sebuah perusahaan batu bata dan genteng
yang ada di seberang desa tersebut. Juga sebuah
kedai makan berukuran besar menjadi pelanggan
tetap kayu-kayu bakarnya.
Semalaman Pendekar Mabuk diajak ngobrol oleh
Mahendra Soca yang bercerita tentang Ladang
Pertarungan. Suto menjadi tertarik dan ingin melihat pertarungan di arena
tersebut. Oleh karenanya,
Mahendra Soca segera menyanggupi ingin mengajak
Suto nonton pertarungan di sana empat hari lagi.
Tetapi Suto segera berkata,
"Aku tak bisa bermalam sampai empat hari di
gubukmu ini! Bukan karena di sini tidak ada apa-
apa, tapi karena aku punya urusan dengan seorang
tabib untuk menanyakan mengenai resep obat yang
dibutuhkan oleh sahabatku yang sedang sakit aneh.
Jadi sebaiknya empat hari lagi aku akan kembali ke sini dan menemuimu!"
"O, ya! Itu hal yang baik. Cuma, ada satu hal yang membuatku ragu-ragu untuk
datang ke Ladang
Pertarungan tersebut."
"Soal apa itu, Mahendra" Kalau bisa aku akan
membantumu!"
"Minggu depan, kabarnya Yayi ingin tampil di
arena untuk membalas dendam atas kematian
adiknya di tangan si Wajah Hitam. Padahal, si Wajah Hitam tak pernah membiarkan
lawannya hidup walau sang lawan sudah menyerah! Aku takut Yayi
kalah dalam pertarungan itu! Kalau dia mati
terbunuh di sana, aku tak lagi bisa melihat
kecantikannya! Itu bisa membuatku sedih, Suto!"
Suto manggut-manggut sebentar, kemudian
berkata, "Temukan aku dengan dia, dan aku akan cegah dia agar tak datang ke
pertarungan itu.
Bagaimana, kau setuju?"
"Baik. Akan kuusahakan bertemu dengan Yayi!"
Karena janjinya itu kepada Mahendra Soca, maka
Pendekar Mabuk terpaksa datang kembali menemui
Mahendra Soca sehari sebelum menyaksikan
pertarungan di arena tersebut. Ketika Suto datang, ia langsung menuju gubuknya
Mahendra Soca. Orang
yang ingin ditemuinya belum kelihatan, tapi Suto
yakin pasti Mahendra Soca akan datang ke gubuk
itu. Dan ternyata benar juga dugaan Suto, kira-kira menjelang matahari
tenggelam, Mahendra Soca
kembali ke gubuknya itu dengan memanggul
bongkahan-bongkahan kayu. la memanggul beban
berat itu sambil berlari-lari pelan.
"Hai," sapa Mahendra Soca dengan tersenyum ceria melihat Suto sudah berada di
gubuknya. "Kupikir besok kau akan datang!"
"Kusempatkan satu hari sebelumnya, supaya aku bisa kau temukan dengan Yayi!"
"O, ya! Aku sudah bertemu Yayi dua hari yang lalu.
Dan dia bilang, besok dia tidak jadi turun ke arena.
Persiapan ilmu pedangnya belum cukup matang.
Tapi ia tetap ingin datang untuk saksikan
pertarungan di sana, sekaligus mau mempelajari
gerakan si Wajah Hitam!"
"Syukurlah kalau begitu!" kata Suto sambil bersiap menenggak tuaknya entah yang
keberapa kalinya. "Tetapi kemauannya tetap keras, ingin terjun ke arena dalam beberapa waktu lagi.
Aku tak bisa mencegah keinginannya itu!" Mahendra Soca
kelihatan prihatin membayangkan usahanya
membujuk Yayi yang gagal itu. Maka, Suto pun
berkata, "Aku akan mempelajari gerakan si Wajah Hitam
juga. Kalau kubilang orang itu berbahaya, maka aku akan berusaha sekuat tenaga
dan dengan berbagai
cara supaya Yayi tak jadi ikut turun ke Ladang
Pertarungan itu!"
Setidaknya Pendekar Mabuk berharap kata-
katanya dapat menenangkan hati Mahendra Soca.
Tapi ternyata hati pemuda itu masih gelisah.
Malahan dia bertanya,
"Bagaimana nanti kalau setelah kau melihat
permainan si Wajah Hitam, dan menurutmu dia
tidak berbahaya?"
"Kubiarkan Yayi masuk ke arena setelah terlebih dulu kucoba bagaimana ilmunya,
setinggi apa jurus
pedangnya. Kalau ternyata jurus pedangnya masih
tingkat rendah-rendah saja, aku akan membawa lari
dia ke kadipaten dan memaksa ayahandanya untuk
memenjarakan anak itu biar tidak terjun ke Ladang
Pertarungan."
Mahendra Soca sempat tertawa kecil mendengar
gagasan yang diucapkan Pendekar Mabuk terakhir
itu. Lalu, Mahendra Soca berkata, "Kalau begitu, besok kalau bisa kita datang
agak awal sehingga
punya waktu untuk temui dia agak lama."
Rencana itu ternyata sedikit meleset. Mahendra
Soca dan Suto datang tepat waktunya pertandingan
akan dimulai. Mahendra Soca segera membawa
masuk Suto ke Rumah Busuk itu. Suto sempat
kaget, karena dia ingat tentang Rumah Busuk itu
yang dulu pernah dipakainya menyembunyikan
Bunga Bernyawa. Tapi hal itu tidak diceritakannya kepada Mahendra Soca.
Para penonton telah bersiap di tempatnya
masing-masing. Masih ada beberapa orang yang
sibuk mendekati Rangkayon, bagian penerima uang-
uang taruhan. Luhito pun masih sibuk mondar-
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mandir ke sana-sini untuk mengatur jadwal
pertarungan. Sementara itu, Mahendra Soca sendiri
sibuk membawa Suto menerobos orang-orang itu
untuk mencari tempat yang terbaik untuk mereka
berdua. Dan tempat itu pun segera diperolehnya.
"Kau sering nonton pertarungan di sini?" tanya Pendekar Mabuk agak keras untuk
mengimbangi suara gaduh para penonton yang agaknya sudah
mulai tak sabar itu. Mahendra Soca pun menjawab,
"Boleh dibilang sering, tapi bisa dibilang tidak!
Karena biasanya aku kemari karena mengantar
seseorang yang ingin berjudi dan aku mendapat
upah. Sambil mengantar orang berjudi, biasanya
kusempatkan untuk menyaksikan pertarungan itu,
kadang sampai habis kadang tak sampai habis!"
Suto menggumam pendek, pandangannya
dilayangkan ke arah sekeliling. Tiap sisi yang
mengelilingi arena di bawah penonton itu
diperhatikan baik-baik.
"Peraturan pertarungan di sini ialah, dilarang menggunakan tenaga dalam yang
berbentuk sinar
atau pukulan beracun, kecuali memang senjatanya
sudah beracun, itu tak jadi soal."
"Mengapa mereka tak boleh memakai pukulan
tenaga bersinar?"
"Takut kalau meleset mengenai korban tak
bersalah."
"Ooo..., benar, benar!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. Dalam hatinya ia merasa
aneh melihat pertarungan seperti ini, karena biasanya yang dilihat adalah pertarungan di alam
bebas. "Para hadirin," seru Luhito mengawali acara tersebut. "Para tamu dan undangan
terhormat, serta para sahabat sekalian yang kami hormati. . Hari ini,
ada dua belas peserta yang ingin mengadu
keberuntungan di tengah arena ini! Jadi, kami jamin kalian semua akan merasa
puas melihat pertarungan di sini! Tak akan rugi seandainya
pertarungan saudara-saudara menemui kekalahan.
Dan baiklah. . kita mulai pertarungan hari ini dengan memanggil dua pasangan
yang akan bertarung
dengan hebatnya di tengah arena kita, yaitu Cakar Bintara melawan si Cambuk
Keramat. .!"
Kedua peserta yang dipanggil itu segera keluar
dari pintu utara. Para penonton bersorak-sorai
sekejap, lalu terdengar suara gong ditabuh agak
sember, Bongngrr...!
Cakar Bintara menggunakan tombak bergagang
hitam dengan bagian atasnya adalah sebilah golok
lebar sedikit melengkung. Sedangkan orang kurus
yang disebut si Cambuk Keramat itu hanya
menggunakan senjata cambuk panjang yang
ujungnya diberi pisau kecil. Keduanya sekarang
sedang saling bergerak memutar mencari
kesempatan lawannya lengah untuk segera
diserang. "Hiaaat...!"
Tarrr. .! Cambuk Keramat menyerang dengan
melecutkan cambuknya, tapi Cakar Bintara segera
melenting ke atas dan bersalto, untuk kemudian
tebaskan tombak pedangnya ke punggung Cambuk
Keramat. Wukkk...!
Crasss. .! Punggung itu menjadi sasaran empuk
bagi tombak pedang. Langsung punggung tersebut
terkoyak lebar. Tapi Cambuk Keramat masih
tangguh berdiri, dan dengan cepatnya melecutkan
cambuk ke tubuh lawannya yang baru saja
mendaratkan kaki di lantai.
Tarrr...! Tarrr...! Tar, trangngng...!
Cambuk Keramat bagai mengamuk. Pisau di
ujung cambuknya memercikkan api biru ketika
ditangkis oleh golok lebarnya Cakar Bintara. Namun kejap berikutnya, tombak
berujung golok lebar itu
berkelebat dari atas ke bawah, dan wess. .! Crasss. .!
Senjata itu mengenai tubuh lawannya dari pundak
kanan ke perut sebelah kiri. Badan itu terbelah
miring seolah-olah. Cambuk Keramat menjadi
tersentak dengan kepala terdongak dan mata
mendelik, kemudian rubuh ke lantai dengan
tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak
bergerak lagi karena telah kehilangan napasnya.
Penonton bersorak-sorai mengelu-elukan Cakar
Bintara. Pendekar Mabuk yang menyaksikan adegan
itu menarik napas dengan maksud menahan diri
untuk tidak berbuat apa pun di tempat itu. Karena
melihat pertarungan tadi, Suto merasa gatal dan
ingin ikut turun ke arena melawan si Cakar Bintara.
"Kapan mereka melawan si Wajah Hitam?"
tanyanya kepada Mahendra Soca.
"Nanti, kalau sudah terakhir dan tinggal satu peserta yang hidup dari
pertarungan-pertarungan
ini." Mahendra Soca semakin dekatkan wajah kepada
Suto dan berkata lagi,
"Biasanya si Wajah Hitam ada di kamar berpintu sebelah selatan sana!" ia
menuding arah dimaksud.
"Tapi mungkin sekarang dia sedang mengenakan
selubung kepala dari kain hitamnya itu. Biasanya
kalau dia sudah mempersiapkan diri, dia duduk atau berdiri di balik pintu
selatan itu guna mempelajari jurus-jurus orang yang bakal melawannya!"
"Oo...," Suto hanya manggut-manggut.
"Apakah kau berminat untuk ikut turun ke arena, Suto?"
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Aku tak berani!
Kecuali aku dan para peserta itu punya hutang
nyawa pribadi, tapi untuk itu pun pasti akan
kutempuh jalan damai lebih dulu!"
"Kurasa kalau kau ikut turun di arena. . "
"Belum tentu menang!" sahut Pendekar Mabuk sambil tertawa kecil. Mahendra Soca
pun tertawa pelan, tapi tawa itu segera bungkam sama sekali,
karena mata Mahendra Soca menemukan seraut
wajah cantik di seberang sana. la berkata kepada
Suto Sinting, "Suto, kau lihat perempuan muda yang di sebelah orang berpakaian loreng macan
tutul itu?" Mahendra Soca menuding ke arah perempuan muda tersebut.
Setelah mencari sejenak, Suto pun menjawab,
"Iya! Aku melihatnya. Siapa perempuan muda
itu?" "Itu yang namanya Yayi!"
"Itu..."! Wow... cantik nian dia itu, Mahendra! Rugi kalau gadis secantik dia
kau tinggalkan! Kejar terus dia sampai dapat!"
Mahendra Soca tertawa sebentar, lalu berkata,
"Temuilah dia di sana! Katakan kau kenal dia dari Mahendra Soca. Lalu, ajaklah
bicara tentang pertarungan ini gagalkan niatnya jika ingin bertarung melawan si Wajah Hitam.
Karena...."
"Iya, iya.! Aku mengerti maksudmu!" potong Suto
"Cuma aku merasa agak heran, mengapa kamu
menyuruhku" Mengapa kita tidak pergi temui dia
bersama! "Kalau dia melihat aku bersamamu, dia akan
sangka aku yang mendesakmu untuk pengaruhi
pikirannya. Jadi, supaya kelihatannya kau punya
gagasan sendiri tentang dirinya yang tak baik masuk ke arena ini, aku harus
tidak boleh kelihatan berada bersamamu."
"O, begitu"! Baiklah! Akan kutemui dia dan kau tetaplah di sini. Jangan pulang
dulu, supaya nanti kita bisa membicarakan tentang usahaku membujuk
Yayi!" "Baik, baik. .! Aku tahu maksudmu! Aku tak akan pulang duluan!"
Suto pun menerobos di antara penonton. Yayi
didekatinya dengan sikap ramah. Pendekar Mabuk
berhasil berada di samping kiri Yayi, kemudian Suto berlagak mau jatuh dan
menyenggol Yayi hingga
gadis itu sedikit tersentak badannya. Pendekar
Mabuk buru-buru berkata,
"Maaf, aku tidak sengaja!" Suto tersenyum menawan, mata Yayi menjadi tak
berkedip begitu
melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar
Mabuk yang belum dikenalnya itu.
"Hai, rupanya ada yang lebih ganteng dari
Mahendra"!" pikir Yayi dengan hati mulai berdebar-debar.
Tapi di mulutnya Yayi berkata, "Tak apa,
suasananya memang penuh," sambil ia memberikan tempat untuk Suto Sinting.
"Kau suka dengan pertarungan seperti tadi?"
"Terpaksa harus suka," jawabnya sambil tetap pandangi Suto.
Sambil lalu saja Suto memandang Yayi, karena
memang begitu caranya untuk membuat seorang
gadis penasaran padanya. Bahkan ia sempat
meneguk tuaknya walau sedikit susah dan hampir
saja bumbung tuak itu membentur kepala orang
lain. "Kau sendiri suka dengan pertarungan?" tanya Yayi.
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Hanya orang bodoh yang mau bertarung di tempat
seperti ini!"
"Tapi mengapa kau hadir di sini?"
"Seorang teman mengajakku nonton sekumpulan
orang bodoh di sini. Bahkan temanku itu
mengatakan, mungkin minggu depan akan ada
perempuan cantik yang bodoh ikut dalam
pertarungan di arena bawah sana! Aku jadi tertarik, ingin melihat perempuan yang
bodoh itu!"
Hati Yayi merasa tak enak. Walau belum jelas
ucapan itu ditujukan kepadanya, tapi Yayi merasa sudah dinilai bodoh oleh
seseorang yang belum
dikenalnya itu.
"Kalau seorang perempuan terjun ke arena
pertarungan di sini, pasti dia punya alasan pribadi yang tak bisa dimengerti
orang lain," kata Yayi membela diri. Sikapnya jadi sedikit kaku.
"Alasan apa" Dendam" Kalau memang dendam
kepada seseorang, lebih baik ditantang di luar arena!
Kalau dia dendam dengan seseorang dan akan
membalasnya melalui pertarungan di sini, itu
namanya bodoh. Karena ia harus kalahkan dulu
orang yang semestinya tidak punya masalah dengan
dirinya, baru mengalahkan orang yang memang
di ncarnya. Nah, itu jelas pemikiran yang bodoh!"
Yayi merasa tersindir. la diam saja dan mulai
kurang suka bicara dengan Suto. Pandangannya
dilemparkan ke arah Luhito yang sedang
mempersiapkan diri untuk tampil di tengah arena,
mengumumkan pertarungan berikutnya.
Suto berkata lagi dengan mata mengarah ke
arena yang masih kosong itu,
"Temanku bilang, gadis yang minggu depan akan tampil sebagai peserta bodoh itu
sedang tekun mempelajari ilmu pedang untuk kalahkan si Wajah
Hitam! Dalam hati aku tertawa geli mendengar
cerita temanku itu. Mengapa baru sekarang
mempelajari ilmu pedang" Mengapa tidak dari dulu
saja" Bukankah setiap pelajaran punya manfaat
sendiri bagi kehidupan kita mendatang" Hanya
karena punya dendam kepada si Wajah Hitam, gadis
itu mau belajar ilmu pedang. Lalu bagaimana jika ia tidak punya dendam kepada si
Wajah Hitam, apakah
selamanya dia jadi gadis bodoh yang tak bisa
memainkan pedang?"
Semakin jelas hati Yayi, bahwa ia sedang
dibicarakan oleh pemuda ganteng berperawakan
tinggi, tegap, dan menawan itu. Maka, segeralah
Yayi mengajukan pertanyaan pelan,
"Siapa kau sebenarnya?"
"Tak terlalu penting namaku dan siapa aku. Tapi, beberapa temanku sering
memanggilku Suto
Sinting!" "O, pantas omonganmu seperti orang sinting alias gila!"
Pendekar Mabuk cuma tertawa kecil. "Yang gila sebenarnya orang yang punya
rencana turun ke
pertarungan ini! Temanku bilang. .,"
"Siapa temanmu itu, Suto?" potong Yayi dengan peasaran sekali.
"Mahendra," jawab Suto, membuat Yayi tarik napas menahan kaget. "Dia ingin agar
aku membujukmu supaya kamu tidak ikut dalam
pertarungan di sini."
"Kenapa dia menyuruhmu?"
"Karena dia sayang sama kamu," jawab Suto pelan tapi jelas untuk telinga Yayi.
Dan wajah Yayi semburat merah tanda gundah.
* * * 7 DENDAM Yayi kepada si Wajah Hitam tak bisa
ditawar-tawar lagi rupanya. Bujukan Pendekar
Mabuk tak berhasil. Tetapi Yayi pun tidak tergesa-
gesa melampiaskan dendam itu. Sebelum ia
menguasai jurus-jurus yang diajarkan oleh Ki
Argapura, ia belum mau turun ke arena pertarungan.
Pendekar Mabuk merasa harus mengendurkan
bujukannya untuk beberapa saat. Tak baik
mendesakkan bujukan terus-menerus, bisa
membuat Yayi justru semakin berkobar dendamnya
dan semakin besar niatnya untuk turun ke arena
pertarungan. Menurut dugaan Suto, ilmu pedang Yayi tidak
begitu tinggi. Terbukti ia terlepas kata bernada
mengagumi dan heran terhadap gerakan pedang si
Wajah Hitam, ketika ia menonton bersama Suto
waktu itu. Sedangkan menurut Suto, gerakan jurus
pedang si Wajah Hitam kala itu dianggapnya hal
yang biasa dan tidak menimbulkan keheranan
baginya. Karena itu, Pendekar Mabuk jadi ingin mencoba
bikin perkara dengan Yayi, kemudian memancingnya
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertarung dengan pedang. Suto ingin kalahkan Yayi, supaya Yayi sadar bahwa dia
hanya akan mengantar
nyawa jika masih nekat mau turun ke pertarungan
tersebut. Tetapi agar tidak terjadi kesalah-pahaman, Suto harus membicarakan
dulu hal itu kepada
Mahendra Soca. Maka, segeralah ia mencari
Mahendra Soca di hutan, disekitar gubuknya yang
penuh dengan potongan kayu itu.
Duggh...! Duggh...! Dugggh...! Terdengar suara
pohon ditebang di kejauhan sana, Suto pun segera
pergi ke arah tersebut. Siapa lagi si penebang pohon itu kalau bukan Mahendra
Soca" Tetapi pada waktu itu Suto tidak menyangka akan
datangnya rombongan berkuda dari arah barat. Suto
kerutkan dahi ketika melihat rombongan kuda itu
berlari menuju suara tebangan pohon. Suto
mengenali wajah orang berbaju hijau yang bertubuh
agak pendek dan berwajah bulat itu. la adalah
Sulaya, yang tempo hari pernah dihajar Suto
sebelum Sulaya sempat mencelakai Mahendra Soca.
Sekarang Sulaya datang dengan tiga orang
berkuda lainnya. Satu di antara mereka adalah
Ragajampi. Sasaran mereka jelas ke arah di mana
Mahendra Soca berada. Suto jadi ingin tahu apa
yang akan dilakukan oleh Sulaya dan orang-orang itu terhadap Mahendra Soca.
Segera Suto Sinting
melesat melompat tinggi ke dahan pohon, dan ia
mengintai apa yang terjadi di sekitar tempat
penebangan pohon itu.
Mahendra Soca terkejut melihat Ragajampi
datang dengan dua orang berwajah bengis itu,
ditambah lagi dengan Sulaya yang wajahnya
memuakkan Mahendra Soca itu. Kedatangan
mereka sudah diawali dengan sikap bermusuhan
yang dalam. Ragajampi tahu-tahu melepaskan
pukulan jarak jauhnya ke dada Mahendra Soca.
Beggh. .! Mahendra Soca terpental mundur dan jatuh dengan wajah menyeringai.
Alap Alap Laut Kidul 1 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Nurseta Satria Karang Tirta 6
menghadap untuk keperluan seringan itu! Bisa-bisa
Nona dibunuhnya!"
"Tapi aku harus membatalkan pertarungan
Abiyasa, adikku itu! Dia masih terlalu muda untuk
arena seperti ini!"
"Usia muda tidak berpengaruh, Nona! Yang
berusia tua pun belum tentu punya keberanian
sebesar yang berusia muda!"
"Aduh, tolonglah! Jangan sampai aku
memaksamu dengan kekerasan!"
Tiba-tiba terdengar suara keras Luhito yang
membuat hadirin menjadi tenang dan menyimak
suara itu. Yayi dan pengawal tersebut juga segera membungkam mulut masing-
masing. "Pertarungan berikutnya, adalah si pemenang
yang tadi telah menumbangkan Kurdogeni, yaitu si
Dewa Botak, yang akan menghadapi peserta
selanjutnya, yaitu Abiyasa.. !"
Prok prok prok prok. .! Penonton dan para tamu
terhormat bertepuk tangan sambil bersorak dengan
riuhnya. Hati Yayi terkejut. Matanya terbelalak.
Pengawal itu berkata,
"Kurasa kau percuma menghadap Brahmana
Gada, adikmu sudah tampil di arena, Nona.
Lihatlah!"
Yayi mendesak ke tepi pagar pembatas lantai
penonton. Hatinya semakin berdebar-debar melihat
Abiyasa mengangkat tangannya dan menyentak-
nyentakkan dengan penuh semangat, sehingga
penonton lainnya berseru mengelu-elukan Abiyasa.
Pemuda yang tampak sangat hijau untuk arena
seperti itu, menggenggam sebuah pedang lengkung
yang amat tajam. Pedang itu sebuah pemberian
cindera mata dari seorang pendekar berasal dari
Selat Gangga. "Abi.. l Abiyasa. .! Tinggalkan arena!" seru Yayi dengan tegang. Tapi seruan itu
tertutup oleh suara riuh gaduhnya penonton. Dalam hati Yayi sendiri
menjadi terharu melihat banyaknya penonton yang
seolah-olah menjagokan Abiyasa.
Sadar sudah hati Yayi, bahwa ia telah terlambat
dan tak bisa mencegah niat Abiyasa yang berkobar-
kobar itu. Jika ia serukan perintah berhenti dari
arena, maka jelas akan semakin menurunkan nyali
dan semangat Abiyasa. Yayi pun takut kalau
seruannya mengganggu perhatian Abiyasa kepada
lawannya. Sementara lawannya yang berjuluk si Dewa Botak
itu masih tampak bersemangat, bahkan pandangan
matanya yang tajam menampakkan nafsu
membunuhnya. Badannya besar, jauh lebih besar
dari Abiyasa. Wajahnya tampak angker. Alisnya tebal bisa dipelintir ujungnya.
Kumisnya juga tebal dengan bentuk mata yang besar dan kepala botak bagian
tengahnya. Sisa rambutnya di tepian kepala sangat
tipis, mungkin bisa dihitung jumlahnya.
Si Dewa Botak memegang rantai berbola baja
berduri. Bola berduri itu besarnya seukuran kepala bayi. Ada dua bola berduri
yang tergantung di dua
ujung rantai sepanjang satu depa lebih. Jika
diputarkan di atas kepala, terdengar bunyi gaung
yang mendirikan bulu kuduk tiap manusia.
Tapi agaknya Abiyasa tidak merasa gentar sedikit
pun. Ketika gong ditabuh, Abiyasa melompat lebih
dulu sebelum bola berduri itu sempat dikibaskan.
Wuttt. .! Pedangnya berkelebat ke arah samping
dengan cepat dan menggores lengan kekar si Dewa
Botak. Cras! "Habisi dia, Abiyasa!" teriak seseorang di sela seruan hingar-bingar mereka yang
merasa girang melihat Abiyasa sudah berhasil menggoreskan
pedang ke lengan lawan.
Hati Yayi pun menjadi susut kecemasannya,
walau ia tahu keberhasilan Abiyasa menggoreskan
pedang di lengan lawan belum berarti apa-apa bagi
lawan. Justru lawan tampak semakin buas. Dengan
gerakan cepat lawan pun menghantamkan bola
berduri ke kepala Abiyasa.
Wungng...! Trangng...!
Abiyasa menangkisnya dengan pedang, sehingga
gerakan bola berduri itu terhambat sekejap, itulah kesempatan Abiyasa untuk
segera berguling ke
lantai dan tebaskan pedangnya. Crass.. !
Paha si Dewa Botak terluka lebar. Abiyasa yang
terbaring itu segera sentakkan punggungnya dan
tubuhnya melesat bangkit dengan cepat dan sigap.
Jlegg. .! la sudah berdiri dengan gagahnya, membuat Yayi menjadi lega bercampur
bangga. Dewa Botak kian panas. Nafsu membunuhnya
semakin tinggi. Maka dengan gerakan cepat ia
sabetkan berulang kali bandul baja berduri itu secara bergantian. la menyerang
Abiyasa hingga Abiyasa
terdesak mundur sampai ke dinding.
Wungng... wungng... wungng... wungng...!
Bandul bola berduri makin mendesak hingga tiba
saatnya bandul itu menghantam kepala Abiyasa,
Trangng.. ! Abiyasa tebaskan pedang lengkungnya
dari bawah ke atas, lalu dari atas ke bawah,
trangng. .! Kedua bandul berduri itu sudah melayang tak tentu arah, dan Abiyasa
segera sentakkan
tangannya dengan cepat ke arah depan. Suttt. .!
Jrubb. .! Tepat menancap di ulu hati si Dewa
Batok. Sorak penonton menggelegar ketika si Dewa
Botak tumbang ke belakang. Pedang lengkung itu
masih menancap di ulu hati si wajah angker itu.
Abiyasa mengacung-acungkan kedua tangannya
menyambut kemenangan di sela sorak-sorai para
penonton. Kemudian ia mencabut pedang dari tubuh
mayat lawannya. la semakin mengangkat kedua
tangannya yang memegang pedang itu berkeliling
melingkari arena. Mata Abiyasa berbinar-binar
memandangi sorak penonton yang tampak puas
melihat kemenangannya.
Sayang sekali Abiyasa tak sempat melihat seraut
wajah cantik milik seorang gadis yang sering
membentak-bentaknya. Hati gadis itu terharu
melihat kemenangan Abiyasa. Senyumnya senyum
kebanggaan yang dibungkus oleh debar-debar
kecemasan lembut. Betapapun bangganya, ia masih
menyimpan rasa waswas, karena Gumarang belum
tampil. la tahu, pertarungan yang utama buat
adiknya adalah pertarungan melawan Gumarang.
Di dalam ruang peserta pertarungan, Gumarang
sedang mengasah senjatanya dengan batu asahan
kecil. Senjatanya adalah sebuah pedang yang tajam
di dua sisinya dengan bagian ujungnya papak, tidak runcing, tapi punya ketajaman
menggores setajam
sisi tepi kanan-kirinya. Melihat kemunculan Abiyasa dari arena, Gumarang
tersenyum sinis dan berseru,
"Doaku masih dikabulkan, kau tetap akan
menang melawan siapa pun sebelum tiba gilirannya
melawanku! Karena jatah kematianmu ada di
tanganku, Abiyasa!"
"Tutup mulutmu, jika kau tak ingin peserta
lainnya merasa kau remehkan, Gumarang!"
Seorang berbadan gemuk dengan wajah
brewokan menepuk punggung Gumarang dari
belakang. "Sebentar lagi dia akan hancur oleh senjataku!"
sambil orang itu menuding Abiyasa. "Setelah dia hancur, baru kepalamu yang
kuhancurkan! Oleh
sebab itu, tak perlu kau berkoar di dalam ruangan ini! Jika mau berkoar, nanti
saja di arena!"
Tetapi sekali lagi Abiyasa ternyata mampu
menunjukkan keunggulan ilmunya di depan sekian
pasang mata penonton, termasuk di depan mata
kakak perempuannya. Sang kakak sendiri tidak
menyangka kalau adiknya punya keberanian setinggi
itu, masuk dalam arena Ladang Pertarungan, sama
saja mencari maut.
Karena tertarik melihat kemenangan demi
kemenangan yang disandang oleh Abiyasa, Yayi
menjadi lupa akan kudanya, lupa akan Mahendra
Soca. Perhatiannya masih terpusat pada Abiyasa.
Apalagi sekarang Abiyasa tampil kembali setelah
Luhito, si pembawa acara, berseru,
"Hadirin dan para undangan terhormat, kini
tinggal satu peserta yang akan melawan si pendekar
kuat Abiyasa. Seperti yang sudah kukatakan tadi,
saudara-saudara, bahwa sampai detik ini, sudah
terkumpul hadiah sebesar empat ratus sikal yang
berhak diterima oleh Abiyasa. Jika dalam
pertarungan mendatang nanti, Abiyasa menang lagi,
berarti dia berhak menerima empat ratus lima puluh sikal! Dan perlu saudara-
saudara ketahui, jika nanti Abiyasa menang, maka dia akan berhadapan
dengan orang terakhir di dalam arena pertarungan
ini, yaitu sang pembantai si Wajah Hitam. .!"
"Horeee. .! Horeee. .! Horeee. .!" seru mereka bersemangat. Hampir sebagian
besar mata penonton tertuju ke pintu jeruji sebelah selatan. Di sana sudah berdiri si Wajah
Hitam yang kepalanya
terselubung kain hitam, bertelanjang dada,
mengenakan celana hitam, dan kain ikat pinggang
merah. Badannya besar dengan dada lebar dan
kekar. Ketika itu si Wajah Hitam tampak berdiri
tegang memandangi pertarungan dengan pedang
telah tergenggam di tangannya dalam keadaan
belum dicabut dari sarungnya. Entah sejak kapan si Wajah Hitam berdiri di sana
memperhatikan tiap
pertarungan, yang jelas saat itu ia sedang jadi pusat perhatian banyak orang,
termasuk Yayi. Tetapi pikiran Yayi tak banyak bicara tentang si
Wajah Hitam. Karena pada saat itu, Luhito segera
melanjutkan ucapannya,
"Perlu saudara-saudara ketahui juga, kali ini, lawan yang akan berhadapan dengan
Abiyasa adalah saudara seperguruannya sendiri, yaitu Guuu...
maaa... raaang...!"
"Huuu. .!" seru mereka kegirangan, bertepuk tangan cukup panjang. Karena baru
sekaranglah saatnya terjadi sesuatu yang belum pernah dialami
oleh mereka, yaitu menyaksikan pertarungan hebat
dari dua orang yang berasal dari satu perguruan.
Gumarang dan Abiyasa muncul di arena.
Sambutan para penonton semakin riuh lagi.
Sedangkan Yayi hanya tersenyum sambil hati
berdebar-debar. Sekalipun ia sudah saksikan
kehebatan jurus-jurus pedang Abiyasa, tapi tentunya kali ini sang lawan bisa
membaca jurus-jurus
Abiyasa, sebab berasal dari satu guru. Apakah
Abiyasa bisa memainkan jurus yang tidak terbaca
oleh Gumarang" Itu yang tidak diketahui oleh Yayi
Bongngng.. ! Gong berbunyi, pertarungan dimulai.
Gumarang sempat menggeram, hanya Abiyasa yang
dengar. "Saatnya kita tentukan siapa yang unggul dan
layak menyandang gelar murid terbaik dari guru
kita!" "Bersiaplah dan hati-hatilah melawanku,
Gumarang!" hanya itu kata-kata Abiyasa, lalu ia segera bergerak memutar bersamaan dengan
gerakan lambat Gumarang. Pedang Gumarang sejak
tadi sudah dikibas-kibaskan ke sekelilingnya,
sepertinya ia sedang pamer kecepatan ilmu
pedangnya. Sedangkan Abiyasa hanya diam saja, tak
menggerakkan pedang sedikit pun. Pedang itu
hanya tergenggam dengan dua tangan dan terarah
ke samping, siap tebas dari atas ke bawah.
Badannya sedikit membungkuk, matanya tajam tak
berkedip memperhatikan setiap gerakan Gumarang.
"Hiaaat. .!" Gumarang memekik sambil maju menyerang.
Wut wut wut trangng.. ! Crasss. .!
Pedang Gumarang berkelebat cepat menyerang,
tapi Abiyasa menghindar beberapa kali dan
menangkis satu kali, kemudian meliukkan tubuh
sedikit dan menebaskan pedang dari samping kiri ke kanan. Tebasan itu tepat
mengenai leher Gumarang.
Maka, tak ayal lagi Gumarang berhenti bergerak
seketika. Lehernya robek besar, memercikkan darah
ke mana-mana. Lalu tubuh itu pun tumbang.
Brukk...! Gumarang mati dalam dua jurus pedang Abiyasa.
Sudah tentu sorak-sorai penonton semakin
menggelegar keras. Rasa kagum mereka timbulkan
berbagai macam suara teriakan yang memuji
Abiyasa. Suara pujian mereka itu hampir menitikkan air mata Yayi karena haru
melihat kemenangan
adiknya. Tetapi beberapa saat kemudian hati Yayi menjadi
gundah dan gelisah. Sebab ia tahu, setelah ini
Abiyasa bertarung melawan sang pembantai yang
sudah sekian puluh nyawa ditebas dengan
pedangnya. Luhito berseru, "Hadirin dan para tamu terhormat, kini tiba saatnya Abiyasa
menerima hadiah dua kali empat ratus lima puluh sikal, yaitu sembilan ratus
sikal, jika dalam pertarungannya yang terakhir ini ia bisa kalahkan si pembantai
kita selama ini, yaitu si Waaa... jaaah... Hitaaaam...!"
Drangng. .! Pintu jeruji selatan dibuka dalam satu sentakan. Orang berselubung
kain hitam algojo itu
tampil lebih dulu di tengah arena. la mengangkat
kedua tangannya yang sudah mencabut pedang itu
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sambil dongakkan kepala, pandangi tiap penonton
yang bersorak mengelu-elukan dirinya.
"Heaaah. .!" si Wajah Hitam berteriak memberi semangat sambil tampakkan
kebuasannya. Penonton pun semakin gemuruh menyambut seruan
Semangat itu. Pada saat si Wajah Hitam yang tanpa memakai
baju itu mengangkat kedua tangan dan memutari
arena, hati Yayi menjadi sangat cemas. la melihat lawan adiknya kali ini
bertubuh kekar dan tampak
ganas. Di punggungnya terdapat tato pedang berdiri berlilit ular. Tato itu cukup
jelas, karena membentang sepanjang tulang punggung, dari
perbatasan pundak tengah, bawah tengkuk, sampai
ke pinggang belakang. Tato itulah yang membuat si
Wajah Hitam semakin seram dan berkesan sebagai
manusia angker.
Yayi berdebar-debar.
Sambil membatin,
"Seharusnya Abiyasa menghentikan pertarungan ini,
toh dia sudah kalahkan Gumarang! Tapi agaknya
memang sulit, sebab ia harus maju menghadapi si
Wajah Hitam itu. Ini sudah merupakan peraturan.
Jika tidak, pasti penonton akan menyerang Abiyasa
karena merasa dikecewakan! Mereka pasti ingin
melihat si Wajah Hitam tumbang di tangan Abiyasa.
Tak bedanya dengan diriku! Ah. . mudah-mudahan
Abiyasa kali ini tetap unggul melawan sang
pembantai itu...!"
Para penonton yang ada di deretan tamu
terhormat juga memberi seruan-seruan untuk
Abiyasa. Salah seorang berseru,
"Penggal kepalanya, Abiyasa! Kutambah
hadiahmu menjadi tiga kali lipat dari yang
seharusnya kau terima!"
Sementara dari pihak penjudi berseru,
"Kupertaruhkan rumahku untuk menjagokan kamu, Abiyasa! Lawan dia dan keluarkan
jurus-jurus pamungkasmu!"
Abiyasa tetap pandangi mereka dengan senyum
ketegaran sambil kedua tangannya terangkat ke
atas disentak-sentakkan. Sementara itu, di telinga Abiyasa pun terdengar
seseorang memanggil di sela
riuhnya suara mereka. Kali ini telinga Abiyasa
mendengar suara wanita,
"Abi...! Pandanglah aku, Abi...!"
Cepat ia berpaling, dan tersentak kaget melihat
wajah kakaknya ada di antara para penonton.
Abiyasa tertegun bengong. Kejap berikut mulutnya
berucap kata lirih,
"Yayi. ."!" dalam desah yang tipis, namun tertangkap oleh telinga gadis cantik
itu. "Maju! Serang! Aku di sini, Abi!" kata Yayi dengan tak sadar air matanya mulai
membasahi kedua
mata indah itu. Yayi mengacungkan kedua
tangannya yang menggenggam disentak-sentakkan.
Katanya, "Hancurkan dia! Kau harus menang, Abi! Aku di sini! Jangan kecewakan aku!
Hancurkan!"
Bongng.. ! Gong bertalu, pertandingan adu nyawa
segera dimulai. Abiyasa berdiri berhadapan dengan
si Wajah Hitam di tengah arena. Tapi sebentar-
sebentar ia memandang ke arah Yayi, sebab ia sama
sekali tak menduga kalau kakaknya ada di situ.
Padahal dia paling takut kepada Yayi. Dia takut
kepada kakaknya yang sangat sayang kepadanya,
sehingga kadang ia diperlakukan seperti anak kecil meski suka juga, dibentak-
bentak dan ditampar. Tapi kali ini ia merasa heran, sebab sang kakak yang
sering memberinya saran agar jangan bertarung
dengan siapa pun kecuali dalam keadaan terpaksa,
kini justru sang kakak memberinya semangat yang
menggebu-gebu. Si Wajah Hitam berdiri tegak dengan pedang lurus
ke atas di depan wajahnya. Pedang itu mempunyai
ketajaman di dua sisinya dengan bagian ujungnya
runcing. Pedang itu digenggam dengan dua tangan
yang berotot kekar. Di pergelangan tangan si Wajah
Hitam kenakan gelang kulit berwarna hitam pula.
Tubuhnya yang kekar itu tampak berkeringat dan
menjadikan tubuh itu mengkilap.
Abiyasa bergerak pelan mengitari si Wajah Hitam
dengan pelan-pelan. Semua penonton diam tak ada
yang berkata sepatah kata pun. Napas kedua orang
yang bertarung itu saja yang terdengar oleh mereka.
Abiyasa mencari kelengahan, sementara si Wajah
Hitam diam mematung di tengah arena dengan
pedang lurus ke atas di depan dada.
Ketika Abiyasa sampai di belakang si Wajah
Hitam, tiba-tiba Abiyasa menyerang dengan cepat.
Wuttt. .! Pedang ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi si Wajah Hitam menangkis
pedang Abiyasa dengan
kepala melengkung sedikit ke belakang. Trangng. .!
Pedang Abiyasa tertangkis, dan si Wajah Hitam
cepat berputar. Wuttt...! Craas..,!
Gerakan si Wajah Hitam berhenti dalam keadaan
kedua kakinya merenggang rendah, tubuh
membungkuk miring ke kiri, pedang ada di sebelah
kiri, meneteskan darah segar ke lantai. Tess. .!
Abiyasa terbelalak matanya. Pedangnya jatuh dari
tangan, dan ia pun segera tumbang dalam keadaan
robek perutnya, hampir terbelah tubuh itu menjadi dua bagian. Isi perut pun
berhamburan keluar
mengotori lantai arena.
"Abii . .!" jerit Yayi yang segera melompat turun dari lantai penonton, lalu
cepat-cepat menghampiri adiknya yang sedang meregang nyawa itu. la
menjerit sambil menangis dan berkata,
"Abi...! Tahan...! Kuatkan dirimu, Abi...!"
"Ya... yi... maaa... maafkan... aku...." Kepala Abiyasa tergolek dan napas pun
terhembus lepas.
Abiyasa pun mati, para penonton hanya bergemuruh
kecil, seakan mereka ikut kecewa dengan kematian
Abiyasa, yang diharapkan bisa menjadi sang
pembantai yang baru.
Melihat kematian adiknya, Yayi segera bangkit
berdiri dan mencabut pedangnya pada waktu si
Wajah Hitam sudah hampir masuk ke pintu selatan.
"Jahanaaam...! Kubalas kematian adikku
sekarang juga!"
Srakkk. .! Semua petugas keamanan segera
mengurung Yayi dengan maksud meredakan
amarah Yayi. Mereka membujuknya agar jangan
menyerang dan membalas saat itu. Luhito berkata,
"Kalau Nona setuju, akan kucantumkan nama
Nona dalam pertarungan minggu depan! Kalau mau
balas dendam kepada si Wajah Hitam, lakukanlah
pada minggu depan di arena ini juga!"
"Baik! Aku akan tampil di minggu depan!" teriak Yayi, dan ternyata disambut oleh
sorak-sorai dan
tepukan para penonton.
* ** E-book by: paulustjing
Email: paulustjing@yahoo.com
5 PIHAK kadipaten ingin menyerbu Rumah Busuk
dan menangkap Brahmana Gada. Tetapi Yayi tidak
setuju dengan keputusan sang Adipati.
"Kematian Abiyasa bukan kesalahan Brahmana
Gada! Itu kesalahan Abiyasa sendiri! Kalau Abiyasa tidak datang dan menjadi
peserta di dalam
pertarungan itu, maka ia tidak akan mati semuda
itu!" kata Yayi. "Penyerbuan ke Rumah Busuk hanya akan mencoreng nama baik dan
wibawa Ayahanda
saja, karena Ayahanda bisa dianggap oleh para
tokoh dunia persilatan sebagai orang yang dungu.
Bagaimanapun juga kematian Abiyasa adalah
kematian akibat suatu kebodohan! Ayahanda sering
nasihati kami agar bisa kuasai diri dan nafsu, jika tidak maka kami akan mati
oleh nafsu diri pribadi.
Dan Abiyasa telah membuktikan nasihat Ayahanda,
bahwa nafsu diri pribadi memang bisa membuatnya
mati sia-sia!"
Geram kemarahan sang Adipati makin lama
makin reda. Yayi terus-menerus membela pihak
Rumah Busuk itu. Hal tersebut dilakukan Yayi
dengan maksud agar Ladang Pertarungan jangan
sampai dibubarkan dulu sebelum ia tampil di arena
untuk membalas dendam kepada si Wajah Hitam.
Bahkan ia pun menyembunyikan dendamnya itu dari
depan ayah dan ibunya, sehingga mereka tak tahu
apa yang dilakukan dan direncanakan oleh Yayi.
Hanya saja, di satu kesempatan, Yayi pernah
bertanya kepada ayahandanya,
"Siapa pendekar jago pedang yang Ayahanda
kenal?" Sang Adipati menjawab, "Dulu ayah mempunyai
sahabat dekat yang bernama si Penggal Jagat!
Beliau adalah jago pedang berilmu tinggi!"
"Di mana dia tinggalnya, Ayahanda?"
"Di Lereng Lawu. Mengapa kau tanyakan hal itu, Anakku?"
"Saya ingin belajar ilmu pedang yang lebih hebat dari yang sudah saya miliki
dari kakek, Ayahanda!"
"Kalau begitu, akan kusuruh orang memanggilnya datang kemari. Ki Argapura atau
si Penggal Jagat
juga sahabat baik dari mendiang kakekmu, Yayi.
Pasti beliau tidak keberatan untuk memenuhi
undangan dari Ayah! Kami sudah seperti saudara
dengan beliau!"
Betul apa kata sang Adipati. Orang yang bergelar
si Penggal Jagat itu memang sudah seperti saudara
sendiri, sebab dulu si Penggal Jagat hidup dengan
menumpang pada keluarga kakeknya Yayi. Usianya
sekarang sekitar enam puluh tahun. Tapi ia masih
kelihatan gesit dan lincah dalam bergerak.
Kabarnya, Ki Argapura sekarang sudah
mempunyai perguruan sendiri, dan dia hidup di
Lereng Lawu bersama beberapa muridnya. Tapi
ketika datang undangan ke kadipaten, Ki Argapura
datang sendirian sebagai seorang saudara yang
berkunjung penuh perdamaian. Bahkan ketika Ki
Argapura mendengar permintaan Yayi, orang
berambut putih panjang dengan jenggot putih
pendek dan kumis putih tak terlalu lebat itu hanya terkekeh-kekeh menanggapinya.
"Bukankah kakekmu juga jago pedang, Yayi!"
"Benar. Tapi kata Ayah mendiang kakek masih
kalah ilmu pedangnya dengan Ki Argapura! Sebab itu Ayah memilih Ki Argapura
untuk menjadi guru
pedang ku! Hanya beberapa jurus maut sajalah yang
Ki Arga berikan pada saya. Tak perlu semuanya!"
"Agaknya kau punya maksud-maksud tertentu
untuk mempelajari jurus pedangku, Yayi. Apa benar
begitu dugaanku?"
"Ki Arga, terus terang saja, aku punya dendam kepada seseorang yang jago main
pedangnya. Kalau
aku tidak belajar ilmu pedang yang lebih hebat, aku tidak akan bisa menang
melawan dia!"
Karena mereka hanya berdua pada waktu itu,
maka Yayi pun menceriterakan segala apa yang
dilihatnya di Ladang Pertarungan itu. Semua
gerakan si Wajah Hitam ditirukan oleh Yayi saat
menuturkan kehebatan ilmu pedang si Wajah Hitam
itu. Dan Ki Argapura hanya manggut-manggut.
Sambil melangkah di tepi sebuah sungai yang
sepi itu, Ki Argapura berkata kepada Yayi,
"Seorang jago pedang lebih banyak menggunakan indera keenamnya ketimbang
keampuhan pedang
pusakanya. Jika indera keenammu cukup kuat untuk
melihat apa yang belum bergerak dan mendengar
apa yang belum bersuara, maka gerakan pedangmu
mempunyai kepastian dan ketepatan menebas."
Mereka berhenti di bawah pepohonan rindang di
hutan tepi sungai. Ki Argapura meminjam pedang
milik Yayi, sebab ia tidak membawa apa-apa ketika
berangkat menuju kadipaten. Sambil memegang
pedang dengan kedua tangannya, Ki Argapura
berkata, "Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di
mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau
tentang dengan mata hatimu! Karena pedang yang
sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam,
dia akan bergerak dengan sendirinya mendului apa
yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi
mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan
nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang
tersalur di dalamnya tidak perlu berlebihan.
Gerakannya pun tidak perlu mengeluarkan banyak
tenaga. Pelan, tapi cepat dan pasti!"
Wuttt.. ! Ki Argapura menggerakkan pedang itu ke
depan, seperti orang membacokkan sesuatu dengan
golok. Saat pedang bergerak menebas ke depan,
kaki kirinya maju menghentak. Jlegg. .!
"Ini namanya jurus 'Rembulan Menebas Bintang',"
katanya sambil menyunggingkan senyum tipis.
"Jurus ini titik beratnya pada ujung pedang, yang bisa memotong benda dalam
jarak beberapa langkah di
depannya."
Yayi manggut-manggut menyimaknya. Tapi ia jadi
terkejut ketika kejap berikutnya sebatang dahan dari pohon yang masih rendah itu
jatuh dalam keadaan
patah terpotong. Dahan itu besarnya sebesar lengan.
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan bentuk potongannya sangat rapi.
Rupanya saat Ki Argapura memperagakan
gerakan jurus pedang yang bernama jurus
'Rembulan Menebas Bintang', ia telah melakukan
satu gerakan yang benar, yaitu memotong dahan
tersebut tanpa menyentuhkan pedang pada
sasarannya. Yayi menatap potongan dahan itu
dengan mata memancarkan kekaguman.
"Ingat, hanya sedikit tenaga dalam yang perlu kau salurkan melalui pedang ini,
dan biarkan dia
bergerak dengan naluri dan matanya sendiri! Bukan
kamu yang menggerakkan pedang, tapi pedang yang
membawamu bergerak mendului apa yang belum
bergerak dan belum terjadi! Dengan begitu, maka
setiap gerakan lawan dapat dipatahkan dengan
mudah karena sudah diketahui ke mana sasaran
geraknya!"
Wukkk...! Pedang ditusukkan ke depan dengan
cepat dan tahu-tahu sudah berbalik ke posisi
semula. Ki Argapura memandang Yayi, lalu ia pun
berkata, "Ini namanya jurus 'Mata Malaikat'. Titik
utamanya pada tenaga dalam yang ada di dalam
pedang ini, bergerak dan menjadi satu dengan
kecepatan naluri pedang. Lihat batang pohon itu...!"
"Oh. ."!" Yayi terperangah kaget. Batang pohon itu
ternyata berlubang. Tembus sampai ke belakang dan
berbentuk seperti permukaan mata pedang.
Ternyata pada saat pedang ditusukkan ke depan
oleh Ki Argapura tadi, pedang tersebut sudah
mencapai batang pohon dan menembusnya sebelum
pandangan mata Yayi mencapai ke arah batang
pohon. Ketika gerakan mata Yayi mencapai batang
pohon, pedang itu sudah selesai dicabut dan sedang ditarik mundur dengan cepat,
sehingga Yayi hanya
melihat seolah-olah pedang tidak sampai menyentuh
batang pohon. "Luar biasa!" gumam Yayi, penuh dengan
kekaguman yang mendebarkan.
Banyak jurus pedang yang diajarkan kepada Yayi.
Tetapi Yayi harus melalui latihan dasar untuk
mendapatkan naluri pedang dan mata jiwa pedang.
Sekalipun keringat Yayi sudah mengucur tanda
berlatih dengan sungguh-sungguh, tapi Ki Argapura
melarang Yayi berhenti berlatih.
Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda yang
berpakaian seragam keprajuritan. Orang itu
langsung menghadap Ki Argapura dan berkata
penuh hormat, "Ki Argapura, Kanjeng Adipati ingin bicara
sebentar dengan Ki Argapura. Harap Ki Arga sudi
kiranya segera menghadap Kanjeng Adipati
sekarang juga!"
"Apakah ada bahaya di kadipaten?"
"Tidak ada, Ki Arga! Kanjeng hanya ingin bicara!"
"O, baik!" lalu Ki Argapura bicara kepada Yayi,
"Hari ini kita selesaikan sampai di sini dulu latihan kita, Yayi. Mari kita
menghadap ayahandamu karena
beliau memanggil."
"Ki Arga sendirilah yang ke sana, aku masih ingin teruskan gerakan pedang yang
berjurus 'Selendang
Ekor Naga' ini. Nanti aku akan menyusul pulang jika sudah kurasakan cukup capek,
Ki!" Kakek tua itu terkekeh-kekeh. Lalu ia pun segera
meninggalkan Yayi sendirian. Ki Argapura tidak
merasa sedikit cemas walau meninggalkan Yayi di
tempat sesepi itu, sebab ia yakin Yayi mampu
mengatasi bahaya apa pun. Itu terlihat dari kerasnya kemauan Yayi dan lincahnya
gerakan tangan Yayi
dalam mempermainkan pedang.
Agaknya memang Yayi benar-benar ingin
mempunyai jurus-jurus pedang yang diajarkan oleh
Ki Argapura, sehingga meski ditinggalkan oleh sang Guru, Yayi tetap berlatih
dengan tekun. Bahkan
ketika matahari mulai bergeser ke barat, ia masih tetap berlatih penuh semangat.
Satu-satunya hal yang membuat latihan Yayi
terhenti adalah datangnya suara gaduh di kejauhan.
Werrr...! Brukkk...!
"Suara pohon tumbang?" pikir Yayi. Barulah ia sadar bahwa sejak tadi sebenarnya
ia mendengar suara dag-dug, dag-dug, tapi tak pernah dihiraukan.
Pusat pikirannya hanya ke gerakan pedang. Dan
sekarang Yayi tahu, suara pohon rubuh itu adalah
pohon yang habis ditebang orang. Siapakah
penebangnya"
Yayi segera sentakkan kakinya dan tubuhnya
melesat pergi tinggalkan tempat itu. la menuju ke
arah pohon rubuh tadi. Karena ia yakin ada
seseorang yang ingin ditemuinya di pohon rubuh itu.
Dan ternyata dugaan Yayi tidak salah. Orang
tersebut memang ada. Orang itu tak lain adalah
Mahendra Soca, yang berpakaian putih tanpa lengan
dengan kain pinggang kali ini berwarna hijau dan
celana hitam. Pemuda itu segera memandang Yayi
begitu Yayi menyapa,
"Sudah berapa pohon, Mahendra?"
"Oh, kau...! Sudah selesai latihan pedangmu?"
"Latihan yang mana?" Yayi berlagak tak mengerti maksud Mahendra Soca walau dia
akhirnya tertawa
dan berkata, "Rupanya kau tadi mengintip aku sedang berlatih pedang di sana"!
Curang sekali kau!
Kenapa tak mau menyapaku, Mahendra?"
"Aku tak mau mengganggu pikiranmu yang
sedang terpusat kepada pengarahan dari gurumu
tadi! Maka kutinggalkan kalian karena aku harus
mendapatkan beberapa batang pohon lagi!"
Mahendra Soca segara mendekati Yayi. Mata
Mahendra Soca memandang dengan senyum
mengembang tipis menawan. Yayi jadi salah
tingkah, lalu kejap berikutnya Yayi tak tahan dan
mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain.
Sejak pertemuannya di Ladang Pertarungan,
ketika Mahendra Soca menjaga kudanya, Yayi belum
pernah bertemu Mahendra Soca lagi. Baru kali ini ia jumpa dengan pria yang
menawan hatinya itu. Dan
Yayi pun merasa bersalah, karena pada waktu itu
meninggalkan Mahendra Soca sampai sekian lama,
sampai mungkin Mahendra Soca bosan dan pergi
begitu saja, membiarkan kuda putihnya ditambatkan
di sebuah batang pohon.
Setelah hening tercipta beberapa kejap,
terdengarlah suara Yayi yang bernada penuh sesal
dan duka mengenang kematian adiknya,
"Maafkan aku ketika itu, Mahendra. Aku
meninggalkan kamu sampai sekian lama, dan
ketika aku kembali ke kudaku, kau sudah tiada!"
"Ya, aku memang sedikit jengkel waktu itu, Yayi.
Tapi sekarang sudah kulupakan. Toh aku pun waktu
itu telah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mau mengurus kudamu lagi! Kalau
kuda itu hilang dicuri orang, itu karena kesalahanmu yang tak mau
menghiraukan aku lagi dan menelantarkan aku di
bawah pohon sana! Tapi, sudahlah. . kuanggap hal
itu tak pernah terjadi, Yayi!"
"Aku panik pada saat itu! Sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kematian
Abiyasa di tengah
arena!" "Oh, jadi...?"
"Benar, Mahendra. Abiyasa mati dibabat pedang Wajah Hitam!"
Mahendra Soca diam dengan wajah murung.
Bahkan ia tampak gelisah dan tak berani menatap
Yayi. Sikapnya yang menunduk membuat Yayi
mengerti bahwa Mahendra Soca ikut bersedih atas
kematian Abiyasa. Kemudian, Yayi segera
mendekati Mahendra Soca yang duduk di dahan
pohon yang telah ditebangnya itu, di sana Yayi
berkata, "Seharusnya waktu itu aku mengajakmu melihat kehebatan adikku, Abiyasa itu, dan
juga melihat gerakan ilmu pedang si Wajah Hitam yang memang
cukup tinggi itu! Salah sekali aku, karena tidak
mengajakmu ke sana!"
"Bukan itu yang kupikirkan saat ini, Yayi. Tapi..
sekarang aku tahu mengapa kau belajar ilmu
pedang tadi. Sepertinya. . kau punya dendam dan
ingin melawan si Wajah Hitam itu. Bukankah begitu
maksudmu, Yayi?"
"Ya. Aku memang ingin membalas kematian
Abiyasa! Aku bahkan sudah mengatakan kepada
pengurus Ladang Pertarungan Itu, bahwa minggu
depan aku akal hadir sebagai peserta di arena itu!"
Sambil berkata demikian, mata Yayi menyipit
pancarkan cahaya dendam dari dalam hatinya.
Mahendra Soca memandang sejenak, kemudian
menunduk lagi memainkan sebatang rumput dan
berkata pelan, "Kalau bisa jangan, Yayi."
"Jangan apa maksudmu?"
"Jangan datang ke sana. Jangan ikut dalam
pertarungan. Nanti kau mati di tangan mereka!"
"Mati demi membalas dendam atas kematian
adikku adalah lebih baik daripada mati konyol hanya memperebutkan sejumlah
hadiah!" "Kalau kau mati," kata Mahendra Soca, "Aku tak bisa melihatmu lagi, Yayi! Lalu
ke mana aku akan
bisa melihatmu jika kau mati di sana?"
Kata-kata itu meluncur dengan polos, seakan
terungkap secara apa adanya. Hati Yayi sempat
dibuat guncang karena ucapan lugu itu. Debar-debar yang terjadi di dalam hatinya
menjadi lebih sulit
diterjemahkan dengan bahasa mulut. Apalagi ketika
Mahendra Soca memandangnya dengan lembut, hati
Yayi semakin gundah dan tak mengerti lagi apa yang berkecamuk di dalam
pikirannya. Hanya saja, waktu itu suasana indah berkelambu
resah itu menjadi buyar seketika dengan
kedatangan Ragajampi. Kini di hati Yayi mulai timbul perasaan baru, yaitu
perasaan benci dan geram
terhadap kehadiran Ragajampi yang dianggap
mengganggu kebahagiaannya.
"Tak adakah pekerjaan lainnya yang bisa kau
kerjakan sebagai pengawal"!" hardik Yayi kepada Ragajampi yang datang bersama
satu prajurit, bukan Sulaya. Ragajampi memandang ke arah Mahendra
dan bagaikan tak mendengar ucapan Yayi tadi.
Mahendra Soca beradu pandang sebentar, lalu
tundukkan kepala tak berani menatap Ragajampi.
"Apa maumu datang kemari menggangguku,
hah"!" bentak Yayi.
"Diutus oleh Kanjeng untuk menjemputmu!
Kanjeng dan Ki Argapura ingin bicara denganmu!"
"Alasan saja!" geram Yayi.
"Kalau tak percaya, tanyakan saja kepada
Wikromo!" Ragajampi menunjuk orang berseragam keprajuritan itu.
"Pulanglah, Yayi. Jangan sampai ayahandamu
marah," kata Mahendra Soca dengan pelan sambil tangannya memegang pundak Yayi.
Dan tiba-tiba Ragajampi menarik napas dengan wajah menjadi
merah. Yayi tahu hal itu, ia semakin menambah
panas hati Ragajampi dengan merapatkan badan ke
tubuh Mahendra Soca, lalu wajahnya memandang
pemuda itu dan mulutnya mengucapkan kata,
"Jangan kecewa, Mahendra! Kita tetap akan bisa bertemu lagi!"
"Ya. Aku tidak kecewa. Aku memaklumi
kesibukan mu sebagai putri seorang adipati. Kapan-
kapan kita pasti jumpa lagi, Yayi."
Ragajampi meludah ke samping setelah menarik
napas menahan cemburu di dada. Matanya menyipit
memandang jauh ke arah lain, seakan tak mau
memperhatikan suasana mesra antara Yayi dan
Mahendra Soca. Yayi pun segera pergi setelah Mahendra Soca
membujuknya agar segera berangkat ke istana.
Kepergian Yayi dipandangi oleh Mahendra Soca
sampai ketepian sungai. Tetapi tiba-tiba seseorang
menyerang Mahendra Soca dari belakang.
Baaahg...! "Aahg. .!" Mahendra Soca tersentak ke depan dan jatuh. Sebuah pukulan tenaga
dalam tanpa suara,
tanpa sinar telah menghantam punggungnya. Tetapi
hal itu tidak membuat Mahendra Soca diam terkulai, melainkan berusaha untuk
bangkit walau dengan
susah payah dan menahan rasa sakit sebegitu
dalam. Ketika ia bangkit, tampaklah seorang berpakaian
hijau tua, bersenjata golok dengan wajah bulat dan rambut keriting. Orang itu
tak lain adalah Sulaya.
Begitu melihat Mahendra Soca bangkit, Sulaya
segera tebaskan goloknya ke pundak Mahendra
Soca. Wuttt...!
Brukk. .! Bukan Mahendra Soca yang roboh,
melainkan Sulaya sendiri. Orang itu belum sempat
mencapai pundak Mahendra Soca dengan goloknya,
tiba-tiba datang angin kencang bergelombang besar
yang seolah-olah telah mendorong
dan melemparkan tubuhnya hingga terpental jauh.
Bahkan tubuh Sulaya pun membentur batang pohon
tepat di bagian kepalanya, hingga ia mengaduh
tertahan karena bagian pelipisnya sempat bocor dan berdarah.
Mahendra Soca sendiri kaget melihat Sulaya jatuh
secara tiba-tiba. Padahal kalau Sulaya tidak jatuh terlempar, pasti Mahendra
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Soca mati atau setidaknya akan terpenggal pundaknya akibat
bacokan golok tajamnya Sulaya. Untung ada
seseorang yang menyerang Sulaya dari suatu tempat
yang tersembunyi, sehingga Mahendra Soca masih
tetap utuh dan terhuyung-huyung menahan rasa
sakitnya dengan mata masih terpejam kuat-kuat.
Sekujur dadanya merasa panas akibat pukulan
tenaga dalam Sutaya tadi.
Melihat pelipisnya berdarah, Sulaya menjadi
tambah bernafsu untuk membalas serangan. Tapi
karena yang ada hanya Mahendra Soca, maka
niatnya untuk mencelakai Mahendra Soca semakin
bertambah besar lagi. Dengan satu lompatan bagai
terbang, Sulaya menerjang Mahendra Soca dengan
golok tajamnya siap dibabatkan ke wajah pemuda
itu. Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melesat
menabraknya, dan tubuh Sulaya pun kembali
terpental tak tentu arah. Brusss.. ! Sulaya jatuh ke semak-semak, punggungnya
membentur batu runcing. Batu itu mengoyakkan punggung hingga
robek dan berdarah punggung tersebut. Sulaya pun
mengerang kesakitan.
Tetapi sekelebat bayangan tadi kini sudah berdiri
depannya. Bayangan yang menabraknya tadi adalah
bayangan tubuh seorang pemuda berpakaian coklat
dan celana putih, rambutnya panjang tanpa di kat,
dan menyandang bumbung tuak di punggungnya.
Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk yang
dikenal dengan nama Suto Sinting.
Sulaya maupun Mahendra Soca sama-sama
heran memandang kemunculan tokoh penyandang
bumbung tuak itu. Apalagi ketika itu, Suto langsung mengambil bumbung tuak dan
meneguk tuaknya
beberapa kali mereka semakin merasa heran
melihat sikap seenaknya saja itu.
"Siapa kau"! Mengapa kau campuri urusanku
dengan orang itu"!" Sulaya mencoba menggertak Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk
yang tampan itu
menyunggingkan senyum tipisnya dan berkata,
"Siapa aku, itu tak perlu kau ketahui! Yang perlu kau ketahui, aku bukan
bermaksud memusuhimu,
tapi hanya mencegah perbuatanmu yang hampir
menewaskan nyawa orang yang bukan tandinganmu
itu!" "Kalau begitu, kaukah tandinganku"! Hi h...!"
Sulaya segera kirimkan pukulan tenaga dalam dari
telapak tangannya. Tenaga dalam itu segera
dibalikkan oleh Suto dengan menggunakan sentilan
jarinya yang bernama jurus 'Jari Guntur'. Wuttt. .!
Blauggh. .! Dada Sulaya jadi sasaran balik tenaga
dalamnya dan ia terpental lagi lebih jauh dari kedua sentakan tadi. Telinganya
membentur pohon, dan
daun telinga itu pun menjadi robek berdarah.
Sulaya merasa orang berbumbung tuak itu
membahayakan jika dilawan. Melalui sentilan jari
yang bisa menghantam balik pukulan tenaga dalam
tersebut sudah bisa diduga oleh Sulaya, bahwa orang tersebut pasti berilmu
tinggi. Maka ia lebih baik
memilih pergi dari tempat itu.
Setelah Sulaya pergi terbirit-birit bagai tikus
dikejar kucing, Suto pun segera mendekati
Mahendra Soca dan memeriksa keadaan tubuh
Mahendra Soca dengan pandangan aneh. Tapi Suto
segera berkata,
"Bagaimana tubuhmu" Apa yang terasa di
badanmu?" "Panas! Bagian dalam terasa panas sekali!" jawab Mahendra Soca.
"Cobalah minum beberapa teguk tuakku ini!
Mudah-mudahan bisa lekas sembuh. .!" Pendekar Mabuk memberikan bumbung tuaknya
dengan membantu memegangi bumbung tersebut, dan
Mahendra Soca meneguk tuak beberapa teguk.
Anehnya, perasaan panas di dalam dada dan perut
itu mulai terasa dingin setelah meneguk tuak
tersebut. "Terima kasih atas pertolonganmu," kata
Mahendra Soca. "Kau kuanggap telah menyambung nyawaku. Jika kau tidak datang,
aku pasti sudah
mati dibacok-bacok oleh anak buahnya Ragajampi.
Aku yakin dia orang yang kau labrak tadi, pasti
disuruh Ragajampi untuk membunuh atau
mencelakaiku!"
"Mengapa sampai ada yang ingin membunuh
kamu?" "Ragajampi cemburu dan tak suka jika aku
berhubungan dekat dengan Yayi, putri seorang
adipati itu!"
"Ooo...," Suto mengangguk-angguk sambil
tersenyum geli. Kemudian ia segera bertanya,
"Jadi, kau jatuh cinta sama putri adipati?"
Mahendra Soca yang badannya kembali segar
dalam waktu yang cukup singkat itu, kini
sunggingkan senyumnya dan berkata,
"Aku tak tahu apakah aku jatuh cinta padanya
atau sekadar mengagumi kecantikannya. Yang jelas,
aku suka memandangi kecantikan yang ada pada
Yayi." Suto makin lepaskan tawa walau dalam suara
seperti orang menggumam. Bahkan ia geleng-
gelengkan kepala sambil memandangi Mahendra
Soca, sampai akhirnya Pendekar Mabuk pun
berkata, "Benarkah kau tidak mencintainya" Bagaimana
jika aku yang mencintai gadis itu?"
Mahendra Soca diam, bingung menjawabnya. Tapi
ia nyengir dan sembunyikan wajah dengan cara
memandangi ke pohon yang tadi habis
ditumbangkannya. Bahkan ia bergegas mengambil
kapak blandongnya, lalu membelah dan memotong-
motong batang pohon yang ditebangnya itu.
"Hei, apa artinya dengan sikapmu yang tak berani menjawab pertanyaanku?" goda
Suto Sinting sambil senyum-senyum.
Dan Mahendra Soca hanya berkata, "Carilah
sendiri artinya di dalam hatimu!"
* * * 6 PERTEMUAN itu membuat Pendekar Mabuk dan
Mahendra Soca menjadi akrab. Mahendra Soca
menceritakan tentang pertemuannya dengan Yayi.
Pada waktu itu, Suto diajak ke gubuk persinggahan
Mahendra Soca. Gubuk itu penuh dengan potongan-
potongan kayu. Tak ada barang lain kecuali
potongan kayu ukuran sehasta untuk digunakan
sebagai kayu bakar pemasak nasi. Ada sebuah balai-
balai juga terbuat dari potongan-potongan dahan. Di sana mereka duduk, di sana
pula biasanya Mahendra Soca tidur atau beristirahat.
"Sudah lama kau tinggal di tempat terpencil ini, Mahendra?"
"Yah, cukup lama!" jawab Mahendra Soca. "Di sini tempatnya tenang."
"Memang. Tapi apakah kau tak merasa sepi dan
bosan hidup dengan tumpukan kayu ini?"
"Aku menyukai tempat sepi," jawab Mahendra Soca sambil membenahi kayu yang tadi
tersenggol tubuhnya dan jadi berantakan dari tumpukannya.
Suto Sinting hanya pandangi keadaan sekeliling.
Gubuk itu ada di tengah hutan, namun bukan hutan
ganas dan buas. Hutan itu dekat persawahan, dan di seberang persawahan ada desa
yang luas dan kehidupannya cukup ramai.
Gubuk itu dikelilingi oleh tanaman pohon kelapa,
yang menurut pengakuan Mahendra Soca, jika
musim tuai kelapa telah tiba, ia pun berubah
menjadi pedagang kelapa di pasar. Jika musim
menuai kelapa belum tiba, ia menjadi pedagang
kayu bakar di pasar. Bahkan ia mengaku
mempunyai langganan tetap untuk kayu bakarnya,
yaitu sebuah perusahaan batu bata dan genteng
yang ada di seberang desa tersebut. Juga sebuah
kedai makan berukuran besar menjadi pelanggan
tetap kayu-kayu bakarnya.
Semalaman Pendekar Mabuk diajak ngobrol oleh
Mahendra Soca yang bercerita tentang Ladang
Pertarungan. Suto menjadi tertarik dan ingin melihat pertarungan di arena
tersebut. Oleh karenanya,
Mahendra Soca segera menyanggupi ingin mengajak
Suto nonton pertarungan di sana empat hari lagi.
Tetapi Suto segera berkata,
"Aku tak bisa bermalam sampai empat hari di
gubukmu ini! Bukan karena di sini tidak ada apa-
apa, tapi karena aku punya urusan dengan seorang
tabib untuk menanyakan mengenai resep obat yang
dibutuhkan oleh sahabatku yang sedang sakit aneh.
Jadi sebaiknya empat hari lagi aku akan kembali ke sini dan menemuimu!"
"O, ya! Itu hal yang baik. Cuma, ada satu hal yang membuatku ragu-ragu untuk
datang ke Ladang
Pertarungan tersebut."
"Soal apa itu, Mahendra" Kalau bisa aku akan
membantumu!"
"Minggu depan, kabarnya Yayi ingin tampil di
arena untuk membalas dendam atas kematian
adiknya di tangan si Wajah Hitam. Padahal, si Wajah Hitam tak pernah membiarkan
lawannya hidup walau sang lawan sudah menyerah! Aku takut Yayi
kalah dalam pertarungan itu! Kalau dia mati
terbunuh di sana, aku tak lagi bisa melihat
kecantikannya! Itu bisa membuatku sedih, Suto!"
Suto manggut-manggut sebentar, kemudian
berkata, "Temukan aku dengan dia, dan aku akan cegah dia agar tak datang ke
pertarungan itu.
Bagaimana, kau setuju?"
"Baik. Akan kuusahakan bertemu dengan Yayi!"
Karena janjinya itu kepada Mahendra Soca, maka
Pendekar Mabuk terpaksa datang kembali menemui
Mahendra Soca sehari sebelum menyaksikan
pertarungan di arena tersebut. Ketika Suto datang, ia langsung menuju gubuknya
Mahendra Soca. Orang
yang ingin ditemuinya belum kelihatan, tapi Suto
yakin pasti Mahendra Soca akan datang ke gubuk
itu. Dan ternyata benar juga dugaan Suto, kira-kira menjelang matahari
tenggelam, Mahendra Soca
kembali ke gubuknya itu dengan memanggul
bongkahan-bongkahan kayu. la memanggul beban
berat itu sambil berlari-lari pelan.
"Hai," sapa Mahendra Soca dengan tersenyum ceria melihat Suto sudah berada di
gubuknya. "Kupikir besok kau akan datang!"
"Kusempatkan satu hari sebelumnya, supaya aku bisa kau temukan dengan Yayi!"
"O, ya! Aku sudah bertemu Yayi dua hari yang lalu.
Dan dia bilang, besok dia tidak jadi turun ke arena.
Persiapan ilmu pedangnya belum cukup matang.
Tapi ia tetap ingin datang untuk saksikan
pertarungan di sana, sekaligus mau mempelajari
gerakan si Wajah Hitam!"
"Syukurlah kalau begitu!" kata Suto sambil bersiap menenggak tuaknya entah yang
keberapa kalinya. "Tetapi kemauannya tetap keras, ingin terjun ke arena dalam beberapa waktu lagi.
Aku tak bisa mencegah keinginannya itu!" Mahendra Soca
kelihatan prihatin membayangkan usahanya
membujuk Yayi yang gagal itu. Maka, Suto pun
berkata, "Aku akan mempelajari gerakan si Wajah Hitam
juga. Kalau kubilang orang itu berbahaya, maka aku akan berusaha sekuat tenaga
dan dengan berbagai
cara supaya Yayi tak jadi ikut turun ke Ladang
Pertarungan itu!"
Setidaknya Pendekar Mabuk berharap kata-
katanya dapat menenangkan hati Mahendra Soca.
Tapi ternyata hati pemuda itu masih gelisah.
Malahan dia bertanya,
"Bagaimana nanti kalau setelah kau melihat
permainan si Wajah Hitam, dan menurutmu dia
tidak berbahaya?"
"Kubiarkan Yayi masuk ke arena setelah terlebih dulu kucoba bagaimana ilmunya,
setinggi apa jurus
pedangnya. Kalau ternyata jurus pedangnya masih
tingkat rendah-rendah saja, aku akan membawa lari
dia ke kadipaten dan memaksa ayahandanya untuk
memenjarakan anak itu biar tidak terjun ke Ladang
Pertarungan."
Mahendra Soca sempat tertawa kecil mendengar
gagasan yang diucapkan Pendekar Mabuk terakhir
itu. Lalu, Mahendra Soca berkata, "Kalau begitu, besok kalau bisa kita datang
agak awal sehingga
punya waktu untuk temui dia agak lama."
Rencana itu ternyata sedikit meleset. Mahendra
Soca dan Suto datang tepat waktunya pertandingan
akan dimulai. Mahendra Soca segera membawa
masuk Suto ke Rumah Busuk itu. Suto sempat
kaget, karena dia ingat tentang Rumah Busuk itu
yang dulu pernah dipakainya menyembunyikan
Bunga Bernyawa. Tapi hal itu tidak diceritakannya kepada Mahendra Soca.
Para penonton telah bersiap di tempatnya
masing-masing. Masih ada beberapa orang yang
sibuk mendekati Rangkayon, bagian penerima uang-
uang taruhan. Luhito pun masih sibuk mondar-
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mandir ke sana-sini untuk mengatur jadwal
pertarungan. Sementara itu, Mahendra Soca sendiri
sibuk membawa Suto menerobos orang-orang itu
untuk mencari tempat yang terbaik untuk mereka
berdua. Dan tempat itu pun segera diperolehnya.
"Kau sering nonton pertarungan di sini?" tanya Pendekar Mabuk agak keras untuk
mengimbangi suara gaduh para penonton yang agaknya sudah
mulai tak sabar itu. Mahendra Soca pun menjawab,
"Boleh dibilang sering, tapi bisa dibilang tidak!
Karena biasanya aku kemari karena mengantar
seseorang yang ingin berjudi dan aku mendapat
upah. Sambil mengantar orang berjudi, biasanya
kusempatkan untuk menyaksikan pertarungan itu,
kadang sampai habis kadang tak sampai habis!"
Suto menggumam pendek, pandangannya
dilayangkan ke arah sekeliling. Tiap sisi yang
mengelilingi arena di bawah penonton itu
diperhatikan baik-baik.
"Peraturan pertarungan di sini ialah, dilarang menggunakan tenaga dalam yang
berbentuk sinar
atau pukulan beracun, kecuali memang senjatanya
sudah beracun, itu tak jadi soal."
"Mengapa mereka tak boleh memakai pukulan
tenaga bersinar?"
"Takut kalau meleset mengenai korban tak
bersalah."
"Ooo..., benar, benar!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. Dalam hatinya ia merasa
aneh melihat pertarungan seperti ini, karena biasanya yang dilihat adalah pertarungan di alam
bebas. "Para hadirin," seru Luhito mengawali acara tersebut. "Para tamu dan undangan
terhormat, serta para sahabat sekalian yang kami hormati. . Hari ini,
ada dua belas peserta yang ingin mengadu
keberuntungan di tengah arena ini! Jadi, kami jamin kalian semua akan merasa
puas melihat pertarungan di sini! Tak akan rugi seandainya
pertarungan saudara-saudara menemui kekalahan.
Dan baiklah. . kita mulai pertarungan hari ini dengan memanggil dua pasangan
yang akan bertarung
dengan hebatnya di tengah arena kita, yaitu Cakar Bintara melawan si Cambuk
Keramat. .!"
Kedua peserta yang dipanggil itu segera keluar
dari pintu utara. Para penonton bersorak-sorai
sekejap, lalu terdengar suara gong ditabuh agak
sember, Bongngrr...!
Cakar Bintara menggunakan tombak bergagang
hitam dengan bagian atasnya adalah sebilah golok
lebar sedikit melengkung. Sedangkan orang kurus
yang disebut si Cambuk Keramat itu hanya
menggunakan senjata cambuk panjang yang
ujungnya diberi pisau kecil. Keduanya sekarang
sedang saling bergerak memutar mencari
kesempatan lawannya lengah untuk segera
diserang. "Hiaaat...!"
Tarrr. .! Cambuk Keramat menyerang dengan
melecutkan cambuknya, tapi Cakar Bintara segera
melenting ke atas dan bersalto, untuk kemudian
tebaskan tombak pedangnya ke punggung Cambuk
Keramat. Wukkk...!
Crasss. .! Punggung itu menjadi sasaran empuk
bagi tombak pedang. Langsung punggung tersebut
terkoyak lebar. Tapi Cambuk Keramat masih
tangguh berdiri, dan dengan cepatnya melecutkan
cambuk ke tubuh lawannya yang baru saja
mendaratkan kaki di lantai.
Tarrr...! Tarrr...! Tar, trangngng...!
Cambuk Keramat bagai mengamuk. Pisau di
ujung cambuknya memercikkan api biru ketika
ditangkis oleh golok lebarnya Cakar Bintara. Namun kejap berikutnya, tombak
berujung golok lebar itu
berkelebat dari atas ke bawah, dan wess. .! Crasss. .!
Senjata itu mengenai tubuh lawannya dari pundak
kanan ke perut sebelah kiri. Badan itu terbelah
miring seolah-olah. Cambuk Keramat menjadi
tersentak dengan kepala terdongak dan mata
mendelik, kemudian rubuh ke lantai dengan
tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak
bergerak lagi karena telah kehilangan napasnya.
Penonton bersorak-sorai mengelu-elukan Cakar
Bintara. Pendekar Mabuk yang menyaksikan adegan
itu menarik napas dengan maksud menahan diri
untuk tidak berbuat apa pun di tempat itu. Karena
melihat pertarungan tadi, Suto merasa gatal dan
ingin ikut turun ke arena melawan si Cakar Bintara.
"Kapan mereka melawan si Wajah Hitam?"
tanyanya kepada Mahendra Soca.
"Nanti, kalau sudah terakhir dan tinggal satu peserta yang hidup dari
pertarungan-pertarungan
ini." Mahendra Soca semakin dekatkan wajah kepada
Suto dan berkata lagi,
"Biasanya si Wajah Hitam ada di kamar berpintu sebelah selatan sana!" ia
menuding arah dimaksud.
"Tapi mungkin sekarang dia sedang mengenakan
selubung kepala dari kain hitamnya itu. Biasanya
kalau dia sudah mempersiapkan diri, dia duduk atau berdiri di balik pintu
selatan itu guna mempelajari jurus-jurus orang yang bakal melawannya!"
"Oo...," Suto hanya manggut-manggut.
"Apakah kau berminat untuk ikut turun ke arena, Suto?"
Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Aku tak berani!
Kecuali aku dan para peserta itu punya hutang
nyawa pribadi, tapi untuk itu pun pasti akan
kutempuh jalan damai lebih dulu!"
"Kurasa kalau kau ikut turun di arena. . "
"Belum tentu menang!" sahut Pendekar Mabuk sambil tertawa kecil. Mahendra Soca
pun tertawa pelan, tapi tawa itu segera bungkam sama sekali,
karena mata Mahendra Soca menemukan seraut
wajah cantik di seberang sana. la berkata kepada
Suto Sinting, "Suto, kau lihat perempuan muda yang di sebelah orang berpakaian loreng macan
tutul itu?" Mahendra Soca menuding ke arah perempuan muda tersebut.
Setelah mencari sejenak, Suto pun menjawab,
"Iya! Aku melihatnya. Siapa perempuan muda
itu?" "Itu yang namanya Yayi!"
"Itu..."! Wow... cantik nian dia itu, Mahendra! Rugi kalau gadis secantik dia
kau tinggalkan! Kejar terus dia sampai dapat!"
Mahendra Soca tertawa sebentar, lalu berkata,
"Temuilah dia di sana! Katakan kau kenal dia dari Mahendra Soca. Lalu, ajaklah
bicara tentang pertarungan ini gagalkan niatnya jika ingin bertarung melawan si Wajah Hitam.
Karena...."
"Iya, iya.! Aku mengerti maksudmu!" potong Suto
"Cuma aku merasa agak heran, mengapa kamu
menyuruhku" Mengapa kita tidak pergi temui dia
bersama! "Kalau dia melihat aku bersamamu, dia akan
sangka aku yang mendesakmu untuk pengaruhi
pikirannya. Jadi, supaya kelihatannya kau punya
gagasan sendiri tentang dirinya yang tak baik masuk ke arena ini, aku harus
tidak boleh kelihatan berada bersamamu."
"O, begitu"! Baiklah! Akan kutemui dia dan kau tetaplah di sini. Jangan pulang
dulu, supaya nanti kita bisa membicarakan tentang usahaku membujuk
Yayi!" "Baik, baik. .! Aku tahu maksudmu! Aku tak akan pulang duluan!"
Suto pun menerobos di antara penonton. Yayi
didekatinya dengan sikap ramah. Pendekar Mabuk
berhasil berada di samping kiri Yayi, kemudian Suto berlagak mau jatuh dan
menyenggol Yayi hingga
gadis itu sedikit tersentak badannya. Pendekar
Mabuk buru-buru berkata,
"Maaf, aku tidak sengaja!" Suto tersenyum menawan, mata Yayi menjadi tak
berkedip begitu
melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar
Mabuk yang belum dikenalnya itu.
"Hai, rupanya ada yang lebih ganteng dari
Mahendra"!" pikir Yayi dengan hati mulai berdebar-debar.
Tapi di mulutnya Yayi berkata, "Tak apa,
suasananya memang penuh," sambil ia memberikan tempat untuk Suto Sinting.
"Kau suka dengan pertarungan seperti tadi?"
"Terpaksa harus suka," jawabnya sambil tetap pandangi Suto.
Sambil lalu saja Suto memandang Yayi, karena
memang begitu caranya untuk membuat seorang
gadis penasaran padanya. Bahkan ia sempat
meneguk tuaknya walau sedikit susah dan hampir
saja bumbung tuak itu membentur kepala orang
lain. "Kau sendiri suka dengan pertarungan?" tanya Yayi.
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Hanya orang bodoh yang mau bertarung di tempat
seperti ini!"
"Tapi mengapa kau hadir di sini?"
"Seorang teman mengajakku nonton sekumpulan
orang bodoh di sini. Bahkan temanku itu
mengatakan, mungkin minggu depan akan ada
perempuan cantik yang bodoh ikut dalam
pertarungan di arena bawah sana! Aku jadi tertarik, ingin melihat perempuan yang
bodoh itu!"
Hati Yayi merasa tak enak. Walau belum jelas
ucapan itu ditujukan kepadanya, tapi Yayi merasa sudah dinilai bodoh oleh
seseorang yang belum
dikenalnya itu.
"Kalau seorang perempuan terjun ke arena
pertarungan di sini, pasti dia punya alasan pribadi yang tak bisa dimengerti
orang lain," kata Yayi membela diri. Sikapnya jadi sedikit kaku.
"Alasan apa" Dendam" Kalau memang dendam
kepada seseorang, lebih baik ditantang di luar arena!
Kalau dia dendam dengan seseorang dan akan
membalasnya melalui pertarungan di sini, itu
namanya bodoh. Karena ia harus kalahkan dulu
orang yang semestinya tidak punya masalah dengan
dirinya, baru mengalahkan orang yang memang
di ncarnya. Nah, itu jelas pemikiran yang bodoh!"
Yayi merasa tersindir. la diam saja dan mulai
kurang suka bicara dengan Suto. Pandangannya
dilemparkan ke arah Luhito yang sedang
mempersiapkan diri untuk tampil di tengah arena,
mengumumkan pertarungan berikutnya.
Suto berkata lagi dengan mata mengarah ke
arena yang masih kosong itu,
"Temanku bilang, gadis yang minggu depan akan tampil sebagai peserta bodoh itu
sedang tekun mempelajari ilmu pedang untuk kalahkan si Wajah
Hitam! Dalam hati aku tertawa geli mendengar
cerita temanku itu. Mengapa baru sekarang
mempelajari ilmu pedang" Mengapa tidak dari dulu
saja" Bukankah setiap pelajaran punya manfaat
sendiri bagi kehidupan kita mendatang" Hanya
karena punya dendam kepada si Wajah Hitam, gadis
itu mau belajar ilmu pedang. Lalu bagaimana jika ia tidak punya dendam kepada si
Wajah Hitam, apakah
selamanya dia jadi gadis bodoh yang tak bisa
memainkan pedang?"
Semakin jelas hati Yayi, bahwa ia sedang
dibicarakan oleh pemuda ganteng berperawakan
tinggi, tegap, dan menawan itu. Maka, segeralah
Yayi mengajukan pertanyaan pelan,
"Siapa kau sebenarnya?"
"Tak terlalu penting namaku dan siapa aku. Tapi, beberapa temanku sering
memanggilku Suto
Sinting!" "O, pantas omonganmu seperti orang sinting alias gila!"
Pendekar Mabuk cuma tertawa kecil. "Yang gila sebenarnya orang yang punya
rencana turun ke
pertarungan ini! Temanku bilang. .,"
"Siapa temanmu itu, Suto?" potong Yayi dengan peasaran sekali.
"Mahendra," jawab Suto, membuat Yayi tarik napas menahan kaget. "Dia ingin agar
aku membujukmu supaya kamu tidak ikut dalam
pertarungan di sini."
"Kenapa dia menyuruhmu?"
"Karena dia sayang sama kamu," jawab Suto pelan tapi jelas untuk telinga Yayi.
Dan wajah Yayi semburat merah tanda gundah.
* * * 7 DENDAM Yayi kepada si Wajah Hitam tak bisa
ditawar-tawar lagi rupanya. Bujukan Pendekar
Mabuk tak berhasil. Tetapi Yayi pun tidak tergesa-
gesa melampiaskan dendam itu. Sebelum ia
menguasai jurus-jurus yang diajarkan oleh Ki
Argapura, ia belum mau turun ke arena pertarungan.
Pendekar Mabuk merasa harus mengendurkan
bujukannya untuk beberapa saat. Tak baik
mendesakkan bujukan terus-menerus, bisa
membuat Yayi justru semakin berkobar dendamnya
dan semakin besar niatnya untuk turun ke arena
pertarungan. Menurut dugaan Suto, ilmu pedang Yayi tidak
begitu tinggi. Terbukti ia terlepas kata bernada
mengagumi dan heran terhadap gerakan pedang si
Wajah Hitam, ketika ia menonton bersama Suto
waktu itu. Sedangkan menurut Suto, gerakan jurus
pedang si Wajah Hitam kala itu dianggapnya hal
yang biasa dan tidak menimbulkan keheranan
baginya. Karena itu, Pendekar Mabuk jadi ingin mencoba
bikin perkara dengan Yayi, kemudian memancingnya
Pendekar Mabuk 020 Ladang Pertarungan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertarung dengan pedang. Suto ingin kalahkan Yayi, supaya Yayi sadar bahwa dia
hanya akan mengantar
nyawa jika masih nekat mau turun ke pertarungan
tersebut. Tetapi agar tidak terjadi kesalah-pahaman, Suto harus membicarakan
dulu hal itu kepada
Mahendra Soca. Maka, segeralah ia mencari
Mahendra Soca di hutan, disekitar gubuknya yang
penuh dengan potongan kayu itu.
Duggh...! Duggh...! Dugggh...! Terdengar suara
pohon ditebang di kejauhan sana, Suto pun segera
pergi ke arah tersebut. Siapa lagi si penebang pohon itu kalau bukan Mahendra
Soca" Tetapi pada waktu itu Suto tidak menyangka akan
datangnya rombongan berkuda dari arah barat. Suto
kerutkan dahi ketika melihat rombongan kuda itu
berlari menuju suara tebangan pohon. Suto
mengenali wajah orang berbaju hijau yang bertubuh
agak pendek dan berwajah bulat itu. la adalah
Sulaya, yang tempo hari pernah dihajar Suto
sebelum Sulaya sempat mencelakai Mahendra Soca.
Sekarang Sulaya datang dengan tiga orang
berkuda lainnya. Satu di antara mereka adalah
Ragajampi. Sasaran mereka jelas ke arah di mana
Mahendra Soca berada. Suto jadi ingin tahu apa
yang akan dilakukan oleh Sulaya dan orang-orang itu terhadap Mahendra Soca.
Segera Suto Sinting
melesat melompat tinggi ke dahan pohon, dan ia
mengintai apa yang terjadi di sekitar tempat
penebangan pohon itu.
Mahendra Soca terkejut melihat Ragajampi
datang dengan dua orang berwajah bengis itu,
ditambah lagi dengan Sulaya yang wajahnya
memuakkan Mahendra Soca itu. Kedatangan
mereka sudah diawali dengan sikap bermusuhan
yang dalam. Ragajampi tahu-tahu melepaskan
pukulan jarak jauhnya ke dada Mahendra Soca.
Beggh. .! Mahendra Soca terpental mundur dan jatuh dengan wajah menyeringai.
Alap Alap Laut Kidul 1 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Nurseta Satria Karang Tirta 6