Lingkar Tanah Lingkar Air 2
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari Bagian 2
"Maksud sampean bagaimana?"
"Bapak boleh pilih: tunjukkan di mana mereka berada atau Bapak sendiri
kami bawa sebagai ganti mereka. Pilih!"
Lengang. Aku belum berani bergerak dari posisi tahiyat sehingga aku tak
mungkin melihat mereka yang sedang be tegang di halaman.
"Ya, bawalah aku kepada komandan sampean. Aku akan mempertanggungjawabkan
perbuatan ketiga anak itu."
Kemudian kudengar langkah sepatu menjauh. Lalu tangis istri Kiai Ngumar
dan cucunya. Aku bangkit dan melihat keluar. Masih sempat kusaksikan Kiai Ngumar
berjalan diiringi empat orang bersenjata. Tiba-tiba aku merasa diriku sangat
kecil dan hina. Kiai yang sudah tua itu terlalu banyak berkorban untuk aku dan
teman-temanku. Dan kini beliau dibawa pergi, entah bisa kembali atau tidak. Oh,
andaikan Kiai Ngumar mendapat hukuman berat karena pembelaannya terhadap kami,
apa yang bisa kami lakukan untuk membalas budinya"
Malam hari aku berusaha mencari Kiram dan Jun ke rumah Kang Suyud, tetapi
keduanya tak ada di sana. Kang Suyud yang menemuiku dengan wajah dingin hanya
bilang bahwa Kiram dan Jun sedang mencari berita. Ketika kutanya apa yang
dimaksud, Kang Suyud mulai menyebut-nyebut nama Darul Islam, nama yang baru
pertama kali kudengar saat itu. Dari pertemuan itu aku tahu, Kang Suyud sudah
mempunyai suatu rencana yang mendalam, yang aku sendiri tak mudah memahaminya.
Yang jelas, terasa benar Kang Suyud sudah tak sepaham lagi dengan Kiai Ngumar,
suatu hal yang membuat aku benar-benar sedih. Kang Suyud mengatakan Kiai Ngumar
adalah seorang kiai republiken yang kena pengaruh van Mook, seorang politikus
dalam Islamolog Belanda yang ulet dan cerdas. Entahlah. Yang jelas aku sangat
dipusingkan oleh kenyataaan bahwa Kiai Ngumar kini ditahan oleh pasukan
Republik. Aku benar-benar pusing.
Mungkin kepusinganku akan sangat berkepanjangan apabila Kiai Ngumar tidak
muncul seminggu kemudian. Berita Pulangan Kiai Ngumar kudengar dari tempat
persembunyianku melalui kabar dari mulut ke mulut yang sampai kepadaku dengan
cara rahasia. Hasrat untuk bertemu dengan kiai tua itu sangat mendesak di
hatiku, tetapi aku harus benar-benar waspada karena sadar"aku, Kiram, dan Jun
adalah orang-orang yang diburu. Ah, aku sering berpikir betapa malangnya kami
ini. Dulu, kami harus selalu waspada terhadap mata-mata atau siapa saja yang
menjadi kaki-tangan Belanda. Sekarang, kami harus berjaga-jaga dari kejaran
tentara Republik, padahal se-tidaknya aku sendiri, sama sekali tak punya sedikit
pun rasa permusuhan terhadap mereka.
Pada hari ketiga sejak kepulangan Kiai Ngumar, aku merasa tidak tahan
lagi. Aku harus berbicara dengan orang tua itu. Kupilih saat muncul fajar untuk
menemui Kiai Ngumar di suraunya, untuk mengurangi risiko terlihat oleh orang
lain. Maka dini hari aku keluar dari rumah tempat aku menyembunyikan diri dan
menunduk-nunduk ke arah surau Kiai Ngumar. Di bawah pohon serut aku berhenti,
bahkan berjongkok, menunggu suara terompah Kiai Ngumar bila ia berjalan ke
perigi. Kokok ayam pertama sudah terdengar. Langit timur mulai merona terang. Aku
tahu betul pada saat seperti itu Kiai Ngumar keluar untuk salat subuh. Pada
zaman normal, banyak orang dan anak muda ikut berjamaah. Namun sejak ada perang,
Kiai Ngumar hampir selalu salat seorang diri. Dan benar, suara terompah sudah
terdengar seperti ingin mengusik kelengangan pagi. Aku tersenyum seorang diri
karena merasa pasti akan berhasil berbicara dengan Kiai Ngumar. Aku bangkit. Tetapi
tiba-tiba naluriku bilang ada bahaya. Aku mendengar sesuatu yang patah karena
terinjak. Dan di bawah remang sinar gemintang aku melihat sosok yang bergerak
mengendap-endap. Sejenak aku bertahan hingga kupastikan sosok itu memang
menginginkan diriku. Ya. Aku yakin orang yang mengendap-endap itu memang mau
menangkap aku. Kalau mau, aku bisa mendahuluinya menembak, namun aku memilih
lari. Sedetik kemudian terdengar letusan senjata di belakangku. Aku terus lari.
Kegelapan tak begitu menjadi rintangan karena aku berlari di tanah kelahiran
yang kukenal baik sampai ke liku-likunya yang paling kecil.
Semula aku bermaksud bersembunyi di rumah Kang Suyud. Ah, tidak. Aku
percaya, di sana pun aku tak aman. Maka selagi hari belum terang aku terus
berlari cepat menuju perbukitan di seberang sungai. Pada saat itu aku hanya
punya satu pikiran: aku harus menyusul Kiram dan Jun di mana pun mereka berada,
karena pasukan Republik bukan hanya menutup pintu bagiku, melainkan sudah
menghendaki kematianku. Ketika hendak menyeberangi sungai, kulihat kabut tipis
melayang di atas permukaan air. Sudah kubayangkan dinginnya air sungai Pada pagi
hari di musim kemarau, tetapi aku harus terjun dan menyeberang.
Ternyata tidak mudah menemukan Kiram dan Jun. Tetapi tanpa sengaja aku
malah ketemu Kang Suyud pada hari ketiga, di surau kecil di sebuah desa di
pinggir hutan, jauh dari kampung asal kami. Dan entahlah, pada pertemuan dengan
Kang Suyud itu aku merasa tak sanggup lagi melepaskan diri dari pengaruhnya.
"Mid, sekarang kamu mau apa" Kamu tak punya jalan kecuali ikut aku. Dulu
pun aku sudah bilang, selama ada anak-anak komunis dalam pasukan Republik, aku
tak mau bergabung dengan mereka. Sekarang kejahatan mereka terbukti bukan?"
Aku diam. Dalam hati aku siap membantah bila Kang Suyud menuduh semua
anggota pasukan Republik sudah terpengaruh komunis. Aku masih ingat ucapan Kiai
Ngumar bahwa beberapa kenalannya, bahkan ada pula seorang kiai, menjadi komandan
pasukan resmi itu. "Atau kamu mau menyerahkan diri" Percuma, Mid. Kamu sudah dianggap
pengkhianat dan bila menyerahkan diri kamu akan dikenai hukum perang. Artinya,
pasti kamu akan ditembak mati."
Aku masih diam. Dan kali ini aku sungguh-sungguh membenarkan kata-kata
Kang Suyud. "Kiram dan Jun di mana?"
Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kita sudah resmi
menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri, Negara
Islam Indonesia." Negara Islam Indonesia" Aku teringat Kiai Ngumar. Teringat ketika ia
bersaksi bahwa dalam mian yang teguh Kiai Ngumar dengan sadar memilih Republik
Indonesia yang sudah berdiri dengan sah. Aku juga teringat kata-kata orang tua
itu bahwa dalam suatu negara yang sah, di dalamnya tak boleh ada suatu bentuk
negara terpisah yang sah pula. Aku mempercayai kebenaran pikiran Kiai Ngumar:
mestinya hanya ada satu bentuk negara yang sah, yaitu Republik. Tetapi aku mau
apa jika pasukan Republik jelas-jelas menganggapku sebagai pemberontak"
Tak tahulah. Pergulatan pikiran itu tak bisa kuselesaikan. Apalagi aku,
Kiram, Jun, dan Jalal sudah harus menghadapi serbuan pasukan Republik. Dan dalam
sebuah pertempuran di daerah Brebes, aku terlibat perkelahian dengan senjata
kosong karena aku dan lawanku sama-sama kehabisan peluru. Untuk Pertama kalinya
aku menggunakan ilmu silat dalam pertempuran besar. Celakanya, lawanku pun jago
dalam ilmu bela diri sehingga aku terpaksa menempuh cara pengecut: melempar
wajah lawanku dengan debu tanah. Ketika ia jatuh, aku memukulnya dengan gagang
senapan. Aku bergidik melihat darah yang mengucur dari luka di kepala lawanku.
Atau, aku bergidik karena menyadari akan kepengecutanku sendiri. Entahlah.
Pokoknya aku menutup wajah dengan kedua tanganku...
Sekali lagi aku tersentak. Kudengar Kiram serta Jun tertawa bersama. Aku
menoleh kiri-kanan. Perlahan-lahan aku tersadar dari lamunan yang sangat
panjang. "Bukan main, Mid. Hari ini kamu begitu mudah terkejut. Kamu mulai
linglung" Daripada terus melamun, lebih baik habiskan nasimu. Mau tambah kopi?"
"Melamun boleh saja, Mid, asal jangan keterlaluan," sain bung Jun yang
sedang memperbaiki ikatan perbannya.
Aku nyengir, pahit. Aku mengusap-usap kening karena pusing ketika harus
menghadapi kenyataan bahwa aku sebenarnya sudah lama lepas dari masa lalu. Aku
reguk kopi yang baru dituangkan dari cerek usang oleh Kiram.
"Mid...!" kata Kiram setelah selesai menuang kopi untukku. "Kamu kelihatan
mengekang kegelisahan. Daripada terus melamun memendam rasa seperti itu, lebih
baik kamu bicara kepada kami."
"Sebelum Amid bicara, aku sudah mengerti apa yang dii' nginkannya sekarang
ini," sela Jun. "Kamu ingin turun gunung dan menyerahkan diri. Iya, kan?"
Soal itu aku sudah tahu. Amid ingin hidup normal di kampung bersama istri
dan anak yang kini dalam kandungan. Keinginan yang wajar. Jun, aku, dan kamu pun
menginginkan hal itu. Iya apa tidak?"
Jun tertawa dan mengangguk. Aku masih diam dan membiarkan diriku menjadi
bahan pembicaraan antara Kiram dan Jun.
"Tetapi sudah kubilang, persoalannya benar-benar tak mudah," sambung
Kiram. "Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung, kita sudah habis di tangan
OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak disusupi orang-orang Gerakan
Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita berniat turun gunung. Bagiku,
daripada mati justru karena menyerahkan diri, lebih baik mati bertempur."
Aku mengangguk-angguk dan menelan
Luhur, terbayang di mataku. Ah, matanya
Perutnya yang kini mungkin makin besar.
tak menemuinya. Bahkan aku pun tak tahu
ludah. Wajah Umi, istriku, di Dayeuh
yang selalu mengundang belas kasihan.
Entahlah, aku sudah hampir tiga bulan
apakah Umi sekarang dalam keadaan sehat.
Cerita Kiram tentang orang-orang GS, Gerakan Siluman, "memang sudah lama
menjadi kesadaran umum di kalangan kami. Banyak perangkat pamong di desa-desa
pinggiran hutan atau perkebunan karet, diam-diam atau terang-terangan menjadi
anggota gerakan rahasia ini. Mereka jelas-jelas komunis. Dan celakanya, mereka
sangat mudah memperoleh senjata karena mereka juga merekrut banyak oknum OPR,
organisasi yang resmi dipersenjatai dan dibangun sebagai barisan per-tahanan
sipil. Selain mempunyai kekuatan bersenjata, mereka mempunyai jalur usaha
perekonomian, yakni perdagangan kayu jati secara gelap. Mereka mengorganisasikan
banyak sekali pencuri kayu jati sehingga beberapa pemimpin mereka, yang kami
kenal menjadi pamong desa, adalah orang-orang yang sangat kaya.
Beberapa kali kami bertempur melawan orang-orang GS untuk memperebutkan
suatu wilayah hutan jati. Wilayah tersebut sudah lama menjadi basis pertahanan
kami, tetapi mereka ingin menguasainya demi pohon-pohon jati yang besar-besar
dan tua, yang ingin mereka tebang.
Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang GS ibarat tombak bermata dua. Ke
arah kami, mereka membuka garis permusuhan; sementara ke arah lain mereka
menggunakan nama kami untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap orang-orang
dusun. Semula aku kurang yakin akan kabar ini: bahwa nama kami mereka catut
untuk kepentmgan mereka sekaligus untuk lebih memojokkan kami, terutama di mata
masyarakat. Namun aku memperoleh keyakinan akan hal tersebut ketika aku seorang
diri suatu kali nekat dan berhasil menyusup masuk ke kampung kelahiranku. Aku
bertemu orang-tuaku yang sudah lama amat kurindukan, juga Kiai Ngumar yang tentu
semakin renta. Penyusupan itu kulakukan karena saat itu aku diamuk rasa kangen yang amat
sangat terhadap orangtuaku. Dengan menempuh risiko yang sangat besar, suatu
malam aku berjalan menyusuri hutan dan menuju kampung kelahiranku, 140 kilometer
dari tempat persembunyianku. Setelah sehari-semalam menempuh perjalanan, senja
hari aku mencapai tepi hutan dan beristirahat menunggu hari gelap. Lepas isya
aku menerus-kan perjalanan melewati padang perdu, menyeberangi sungai-sungai
gunung dan menembus kebun singkong. Tengah malam aku mencapai batas kampungku.
Dan aku lama tertegun karena perjalananku terhalang oleh pagar bambu yang tinggi
dan berlapis-lapis. Ya, pagar itu memang dibuat untuk mencegah laskar DI masuk.
Tetapi sungguh bodoh bila orang terlalu yakin kami tak bisa menembusnya. Hanya
dengan modal pisau dan sedikit keuletan aku berhasil menyayat sampai putus satu
mata Pagar lapis pertama dan seterusnya. Lubang kecil yang kabuat sudah cukup
untuk meloloskan badanku yang memang tidak besar.
Aku berjalan dengan amat sangat hati-hati untuk menghindari para peronda.
Ah, soal berjalan mengendap-endap digelap malam, kamilah yang paling
berpengalaman. Maka mengelabui para peronda itu sama mudahnya dengan main kucing-kucingan seperti ketika aku masih anak-anak. Akhirnya aku sampai di rumah
orangtuaku, rumah yang sudah hampir sepuluh tahun kutinggalkan. Aku sangat sadar
bahwa keda-tanganku tak boleh diketahui orang selain mereka yang bisa
kupercayai. Bahkan orangtuaku pasti akan mendapat kesulitan sangat besar bila
aparat keamanan mengetahui mereka telah menerima kedatanganku. Maka aku tak
berani mengetuk pin-tu. Aku hanya berusaha membuat aba-aba halus di emper samping. Beberapa kali aku membuat aba-aba itu demi mengetuk nurani seorang emak
yang mungkin sedang terbaring di balik dinding bambu di dalam sana. Ternyata
usahaku tak sia-sia. Emak tetap memiliki kepekaan seorang ibu sejati. Kudengar
suara pelupuh bambu berderit halus, lalu suara Emak yang terbatuk kecil. Terasa
olehku ada air sejuk tercurah langsung ke dasar hatiku.
Ah, Emak. Dia merasa, kemudian mengerti ada sesuatu di luar bilik
tidurnya. Dan apabila sesuatu itu adalah dia yang pernah dikandung, lalu
ditetekinya sekian lama, maka kesejatian seorang ibulah yang mengusiknya.
Kudengar suara pelupuh berderit lagi, kukira Emak bangun dan turun dari balaibalai. Kemudian kudengar langkah-langkah sangat hal mendekat ke dinding.
"Kamu, Mid?" Ya Tuhan, itu suara Emak. Itu suara yang sudah sangat lama tak kudengar.
Tiba-tiba dadaku berdebar dan tenggorokanku sesak. Mataku panas. Aku tak bisa
segera menjawab suara halus itu sampai Emak mengulanginya.
"Mid..." "Ya, Mak. Aku Amid."
Kudengar Emak mendesah, lalu berbisik memintaku masuk lewat dapur. Gelap.
Emak memeluk dan mengelus kepalaku dalam kegelapan. Emak menangis, tapi aku tak
bisa melihat raut wajahnya. Ayah juga bangun dan aku melihat sosoknya dalam
keremangan. Melalui tangisnya, aku mengerti, selama ini Emak tak tahu pasti
apakah aku masih hidup atau sudah mati. Dan lewat tangis yang lebih memilukan,
aku juga tahu bahwa Emak tidak ingin aku tinggal lama karena keselamatan-ku
sangat tak terjamin bila aku sampai terlihat oleh orang luar.
Aku membiarkan Emak terus tertahan-tahan dalam isaknya. Setelah agak
mereda, aku minta Ayah menyalakan pelita. Semula Ayah menolak karena khawatir
ada orang mengintip. Namun aku tetap minta pelita karena aku ingin melihat wajah
Emak, juga Ayah. Akhirnya dua wajah yang lama kurindukan ltu muncul dalam cahaya
temaram dian kecil. Ah, Emak tua. Rambutnya mulai putih dan wajahnya letih.
Lalu, matanya. Oh, aku melihat kegersangan jiwa Emak pada kedua matanya yang
dalam dan pudar. Kulihat perih hati Emak ada dalam pelupuk yang keriput dan kini
basah oleh air mata. Anehnya, Emak tidak banyak berkata, mungkin karena dadanya
menyesak atau karena takut bisiknya akan terdengar dari luar.
Aku juga melihat kebuntuan pada wajah Ayah. Seperti Emak, Ayah juga
terlibat bersukacita atas kedatanganku yang sangat mendadak dan pasti tak mereka
sangka sebelumnya. Namun kegembiraan Ayah, dan juga Emak, jelas tersaput
kebimbangan. Ya, aku sadar, Ayah akan ditangkap aparat keamanan bila diketahui
aku datang ke rumahnya. Jadi pertemuan kami terasa tegang dan penuh suasana
tergesa. Meski demikian, aku bertahan duduk menemani Ayah sementara Emak
menyalakan tungku. Emak ingin menanak nasi buat aku dan menangis ketika aku
mencoba mencegahnya. Ketika mendengar suara ayam berkokok, aku minta diri. Perutku sudah
kenyang oleh nasi yang ditanak Emak. Emak memberiku uang dan kuterima karena tak
ingin mengecewakannya. Tetapi hatiku terasa benar-benar pepat ketika Emak
bertanya apakah suatu saat kelak aku bisa benar-benar pulang ke rumah.
Di luar pengetahuan Emak dan Ayah, aku mengendap endap menuju rumah Kiai
Ngumar. Tak lama menunggu disudut suraunya aku mendengar bunyi itu, bunyi
terompah kayu. Masih seperti dulu, bunyi terompah itu berubah setelah Kiai
Ngumar keluar dari rumahnya, berubah lagi setelah langkahnya sampai ke perigi.
Aku mengucap salam ketika Kiai Ngumar hendak membuka pintu surau. Orang tua itu
tak segera membalas salamku. Kulihat dalam keremangan fajar, Kiai Ngumar agak
ragu. "Saya, Kiai. Saya, Amid," kataku pelan, hampir seperti bisik.
"Ngalaikum salam. Ya Gusti, kamukah, Mid?" jawab Kiai Ngumar, juga dalam
bisik. Orang tua itu mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan. Kurasakan
sebuah tangan tua yang makin lemah.
"Ya, Kiai." "Nanti dulu, Mid. Aku merasa bersyukur masih bisa bertemu kamu. Tapi
kubilang, kamu terlalu berani. Kamu mengambil langkah yang sangat membahayakan
dirimu sendiri. Bagaimana bila sampai ada orang tahu kamu datang kemari" Tetapi,
ke sinilah." Terasa lembut dan sejuk ketika telapak tangan Kiai Ngumar menyentuh
pundakku. Kiai urung masuk surau, malah membimbingku ke rumah dan langsung
menyuruhku menyembuyikan diri dalam sebuah bilik.
"Kamu di sini dulu. Aku akan memberitahu istriku, sekalian salat subuh."
Pintu bilik ditutup dari luar. Aku duduk di atas dipan kayu beralas tikar
pandan. Lalu entahlah, ada rasa aman mengembang perlahan dalam hatiku. Aku
merasa berada dalam tangan orang yang mau mengerti dan senang memberikan rasa
aman itu. Lega. Kemudian aku sadar bahwa sesungguhnya aku sangat letih dan
mengantuk karena perjalanan yang sangat jauh serta malam-malam terakhir tanpa
tidur yang berarti. Dan bau tikar pandan yang sudah mengilap serta sebuah bantal
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kapuk mengimbauku untuk merebahkan diri. Ah, betapa hatiku tiba-tiba terasa
lapang, jernih, dan tenang. Tarikan napasku terasa nyaman. Lalu sekelilingku
perlahan baur dalam kabut putih yang begitu indah.
Entah berapa lama aku terlena. Yang pasti, ketika aku terjaga hari sudah
siang. Aku bisa melihat pekarangan samping rumah Kiai Ngumar melalui dinding
anyaman bambu yang agak tembus pandang. Di dekatku ada pakaian: sehelai kaus
oblong dan celana hitam komprang. Ah, kukira Kiai Ngumar menyuruh aku menukar
celana dan baju yang kupakai karena sudah begitu kumuh. Seperti lumut hitam. Ya,
aku turuti kehendak Kiai Ngumar. Namun setelah berganti pakaian aku terkejut
bukankah aku tidak bermaksud berlama-lama tinggal di rumah itu karena selain
mengancam diriku sendiri, juga akan membahayakan Kiai Ngumar" Bukankah rencanaku
semula hanya ingin melihat Emak dan Ayah, lalu secepatnya kembali ke hutan"
Ketika aku sedang memikirkan kecerobohan tindakanku sendiri, kudengar
bunyi terompah Kiai Ngumar mendekat. Pintu diketuk dan orang tua itu muncul. Aku
melihat senyum Kiai Ngumar. Tetapi aku juga melihat di balik senyum itu ada
kebuntuan yang tersembunyi. Kiai duduk di sampingku, sama-sama di tepi dipan.
"Mid, aku senang karena kamu ternyata masih hidup. Syukurlah. Tetapi, Mid,
aku tak tahu apa yang bisa kuberikan kepadamu saat ini. Apakah kamu ingin
menyerah?" Aku diam.
"Mid, suasana sudah begitu sulit. Bila ingin mengakhiri perjuanganmu
dengan aman, kamu hanya punya satu cara. Bergeraklah seorang diri ke utara.
Capailah Cirebon. Di sana kamu Punya peluang untuk melarikan diri ke Lampung.
Kudengar Jalal menempuh cara itu dan kini bisa hidup tenang di sana."
Aku masih diam, benar-benar tak tahu apa yang bisa kukatakan kepada Kiai
Ngumar. Mungkin karena melihat aku "ubang. Kiai Ngumar bercerita bahwa gerakan
Darul Islam sama sekali sudah tak punya harapan hidup. Bukan hanya karena aparat
keamanan akan menghancurkannya, melainkan juga karena pendapat umum masyarakat
menganggap DI adalah musuh mereka. Kiai Ngumar juga bilang, sudah lama ada
kelompok pengacau yang mencatut nama DI untuk melakukan perampokan-perampokan.
"Mid, bulan lalu bahkan rumah ini mereka datangi. Mereka uluk salam dan
langsung memperkenalkan diri sebagai tentara Islam. Waktu itu aku agak berharap
bahwa yang muncul adalah kamu, atau Kiram, atau Suyud. Tidak, Mid. Mereka pasti
bukan dari gerakanmu. Uluk salam mereka sama sekali tak fasih."
"Nanti dulu, Kiai. Mereka tidak menganiaya Kiai?"
"Alhamdulillah, tidak. Mereka hanya minta uang, dan k-berikan semua yang
memang tak seberapa. Tetapi di tempat lain mereka membunuh penduduk yang
berteriak-teriak ketika mereka datang."
"Nanti dulu, Kiai. Mereka melakukan aksi sementara kampung-kampung sudah
dipagari berlapis-lapis?" .
"Ya, Mid, ya." "Maksud saya, mereka menjebol pagar itu?"
"Benar. Tetapi sesungguhnya perondaan sangat ketat. Jadi hanya bisa
ditarik kesimpulan, mereka bekerja sama dengan peronda, atau sebenarnya mereka
adalah orang-orang kampung ini juga. Soal pagar yang dijebol, itu bisa merupakan
akal-akalan saja." Tiba-tiba istri Kiai Ngumar masuk sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.
Ini sebuah aba-aba agar kami tidak berbicara terlalu keras, atau ada seseorang
yang datang. Syukur, Nyai Ngumar cuma memperingatkan agar kami lebih merendahkan
suara dalam berbicara. "Mid, semuanya menjadi jelas ketika polisi menangkap gerombolan perampok
itu. Betul, mereka adalah pemuda-pemuda, satu di antaranya seorang guru,
komunis. Ketika tertangkap mereka dalam seragam OPR, dan lampu baterai yang ada
di antara mereka milik seorang lurah yang dikenal komunis juga."
"GS?" "Aku percaya, ya. Lebih rumit lagi, Mid. Pernah terjadi pencegatan
terhadap kendaraan pengangkut rokok di jalan raya yang melewati Gunung Sengkala.
Cina dalam kendaraan itu ditembak dan dirampok. Semua orang percaya perampokan
itu dilakukan oleh DI. Tetapi Cina itu ditemukan oleh aparat keatnanan dalam
keadaan hidup dan bisa menunjukkan siapa perampok yang sebenarnya."
"Siapa" GS?" selaku tak sabra.
"Bukan. Beberapa oknum di kalangan aparat keamanan sendiri."
"Wah, kacau. Tetapi, Kiai, saya harus jujur bahwa kami, DI, juga sering
harus meminta perbekalan kepada penduduk bila pasokan habis."
"Maksud kamu, kalian juga merampok" Ah, tak usah mengaku, aku sudah tahu.
Dengan cerita-cerita itu aku hanya ingin bilang, suasana sudah demikian rumit.
Dan edan." "Edan?" "Ya. Oknum-oknum yang merampok truk rokok itu misalnya, beruntung karena
kemudian ditangani oleh CPM. Mereka kukira bisa lepas dari amukan massa. Tetapi
Madnuri" Kamu ingat Madnuri?"
"Nanti dulu, si bisu Madnuri?"
"Ya," "Kenapa dia?" "Suatu kali ia terlambat pulang dari hutan sambil mem'ikul kayu bakar.
Pintu-pintu pagar pelindung kampung sudal ditutup. Ia menggedor-gedor pintu itu.
OPR menangkap dan menuduhnya terlibat gerakan kamu, DI. Habislah dia, rada
banyak orang tahu siapa Madnuri yang bisu itu.
"Sekarang, bayangkan sendiri bila kamu tertangkap, bahkan bila kamu
menyerahkan diri. Kamu akan habis sebelum kamu sampai ke tangan aparat keamanan
yang seharusnya menangani kamu."
Kalimat terakhir yang kudengar dari Kiai Ngumar membuat harapanku gelap.
Apalagi Kiai Ngumar kemudian bilang bahwa dirinya bahkan tak punya keberanian
untuk menjadi perantara andaikan aku mau menyerahkan diri kepada tentara.
"Memang, Mid, aku bisa melakukan hal itu. Tetapi kamu akan tetap dihukum.
Lagi pula sekarang ini massa komunis sudah demikian kuat, aku tak akan tahan
bila mereka menuduhku terlibat DI. Aku sudah tua."
Aku bisa mengerti sepenuhnya perasaan Kiai Ngumar. Ia sudah terlalu
ringkih untuk bisa menolongku, ringkih secara jasmani dan ringkih dalam hal
pemikiran. Lebih-lebih suasana memang kacau. Orang seperti Kiai Ngumar bisa
diumpamakan Lebai Malang. Oleh sementara oknum aparat yang komunis, Kiai Ngumar
dicurigai bersimpati kepada DI, karena santri-santrinya, seperti aku dan Kiram,
memang menjadi anggota gerakan ini. Tetapi Kiai juga dirampok oleh orang-orang
GS yang mengaku-aku sebagai tentara Islam. Bahkan pada awal tahun lima puluhan,
Kang Suyud yang DI asli pernah bermaksud mengambil Kiai Ngumar untuk diadili di
tengah hutan. Kalau bukan karena pembelaan Kiram dan aku, pasti Kang Suyud sudah
melaksanakan keinginannya
Kupandangi keletihan pada wajah Kiai Ngumar yang makin tua.
"Mid, tak pernah kukira akan terjadi zaman seperti ini. Aku sering
menyesal mengapa dulu kalian tidak mau mendenga-kan kata-kataku untuk meredam
kemarahan kalian dan tidak membuka permusuhan terhadap pasukan Republik. Atau,
memang sudah jadi takdir. Buktinya, kamu yang dulu ingin jadi tentara kini malah
jadi musuh mereka, padahal kamu semula tak ingin melakukannya. Bahkan untuk
menghentikan musuhan itu pun kini tak mudah, sehingga sangat sulit bagi untuk
kembali ke masyarakat. Dengan demikian, Mid, aku tak bisa bilang apa-apa kecuali
andum slamet, mudah-mudahan Tuhan menjaga keselamatanku dan keselamatanmu."
Kiai Ngumar mengakhiri ucapannya dengan kesedihan yang begitu nyata. Ada
rasa bersalah mengepung hatiku karena aku yakin kesedihan Kiai Ngumar berawal
dari ketidak-patuhan kami terhadap orang tua itu. Celakanya, semuanya sudah
terjadi dan rasanya tak ada jalan kembali.
Hari itu aku tidur dalam persembunyian di rumah Kiai Ngumar. Tengah malam
aku pamit kepada Kiai Ngumar. Mungkin benar kata kiai tua itu, bahwa semuanya
sudah menjadi takad Nyatanya, saat itu aku tak bisa memutuskan apa-apa kecuali
kembali ke hutan untuk bergabung lagi dengan Kiram dan Jun. Sebelum aku
melangkah, Kiai Ngumar meletakan tangannya di pundakku. Dan kata-kata yang
kemudian diucapkannya terasa sebagai getaran hati yang sangat dalam.
"Mid, aku sudah tua. Aku tak yakin masih punya kesempatan untuk bertemu
kamu sekali lagi. Jadi sebelum kamu pergi, yakinkan bahwa kamu memaafkan semua
kesalahanku. Aku berdoa untuk keselamatanmu."
Untuk ketulusan hati Kiai Ngumar, aku hanya bisa mengangguk dan mencium
tangannya. Aku masih sempat melihat senyum orang tua itu mengembang sebelum aku
membalikkan badan dan keluar melalui pintu belakang.
Perihal berjalan dalam kegelapan malam, aku sudah berpengalaman bertahuntahun sehingga dengan mudah aku menghindar dari pengawasan para peronda. Aku
menerobos pagar berlapis di tempat kemarin aku masuk. Keluar dari batas kampung
aku harus menempuh kebun singkong yang luas. Langit gelap sempurna, malah
gerimis mulai jatuh. Ketika langit menjadi sehitam jelaga, kilat tampak sebagai
garis-garis patah yang berpijar sesaat dan amat menyilaukan mata. Di tengah
tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil yang merayap tanpa
daya dalam kegelapan yang sungguh pekat. Namun demikian aku terus berjalan.
Gerimis makin deras. Kilat kembali membelah langit dan sedetik mengusir
kegelapan. Aku dapat melihat sebuah dangau dan aku ingin dub di sana. Tetapi
tiba-tiba kilat yang begitu benderang kembali datang. Aku menutup telinga dengan
kedua ujung telunjuk karena yakin geledek akan segera membahana.
Satu-dua detik kutunggu, tetapi sialan, yang kudengar lagi lagi adalah
tawa Kiram dan Jun. Tawa kedua teman itu membawa aku kembali ke alam sadar. Ya,
betapapun jauh aku melamun, aku sebenarnya belum beranjak dari gua pos rahasia
DI tengah hutan jati itu.
"Mid, terus terang, aku mengkhawatirkan kamu," ujar Kiram yang masih
memegang cangkir kopi. "Kamu terus melamun. Kalau kamu terus seperti itu, kamu
bisa sinting." "Mid, kukira kamu perlu istirahat," kata Jun. "Tengoklah istrimu. Kamu
sudah lama tak bertemu dia, bukan?"
Aku tersenyum. Ternyata Kiram dan Jun bisa mengerti perasaanku. Ya. Selain
tentang masa depan gerakan DI sendiri, aku memang sangat ingin menjenguk
istriku. Diam-diam aku malah mengkhawatirkan kesehatannya.
"Berapa bulan kandungan istrimu?" tanya Kiram. "Lima atau enam," jawabku
tanpa semangat karena dalam kepalaku masih saja tersisa bayangan masa lalu.
"Jenguklah dia. Tetapi segera kembali bila kangenmu hilang."
Aku tersenyum lagi. Ah, manisnya bila kudengar kawanku berbicara tentang
sesuatu yang lebih manusiawi.
Keesokan harinya aku melaksanakan keinginan yang sudah lama kupendam,
menjenguk Umi di daerah Dayeuh Luhur. Ya, Umi yang terlalu muda ketika kuambil
sebagai istri. Umi yang ketika itu masih lima belas atau enam belas tahun. Aku
terpaksa oleh keadaan harus menikah dengan gadis belia itu karena ia sebatang
kara. Ayah Umi, Kiai Had, yang tiga tahun menjadi imam laskar DI, meninggal
dalam persembunyian di sebuah gua. Ketika melepas nyawa, Kiai Had hanya berteman
Umi. Gadis kecil ini tak mau berpisah sejak awal ayahnya masuk hutan untuk
bergabung dengan barisan Darul Islam.
Ah, tak mudah melupakan kenangan ketika aku dan teman-teman menemukan Umi
seorang diri dalam sebuah gua, sedang menunggui ayahnya yang sudah satu hari
satu malam meninggal. Perasaanku hancur. Pada saat-saat seperti itu aku sungguh
benci terhadap kenyataan bahwa aku berada dalam keadaan berperang melawan
pemerintah Republik. Aku sungguh benci terhadap keadaan yang menempatkan diriku,
juga teman-temanku, di luar kehidupan umum sehingga kami terus terus terlunta.
Dan contoh keterluntaan yang sangat nyata kurasakan ketika aku menyaksikan
jenazah seorang kiai tak terurus dan hanya ditunggui seorang gadis kecil yang
tak mampu berbuat apa-apa kecuali menangis dan menangis.
Selesai mengurus jenazah Kiai Had yang sudah mulai membusuk, kami
menghadapi persoalan dengan Umi: harus dikemanakan dia. Kami tahu Umi punya
banyak kerabat yang tidak mengikuti jejak ayahnya, Kiai Had. Mereka hidup biasa
di desa-desa tak jauh dari kawasan hutan jati yang menjadi pangkalan kami.
Tetapi Umi juga memahami, seorang gadis seperti Umi akan menemui banyak
kesulitan bila dia memutuskan untuk turun gunung. Masyarakat, bahkan mungkin
kerabatnya, belum tentu mau menerima Umi dengan tangan terbuka. Belum lagi sikap
aparat keamanan, terutama OPR, yang pasti akan menjadikan Umi sebagai bukti
kegagahan mereka bila anak Kiai Had itu tertangkap.
"Um," tanya Kiram dengan suara pelan dan lembut, "setelah ayahmu
meninggal, apa yang ingin kamu lakukan?"
Umi mengangkat wajah sejenak, lalu tunduk kembali. Bibirnya bergetar dan
air matanya kembali membasahi kedua pipi remajanya yang kurus. Lama kami
menunggu jawaban, tetapi Umi tak berkata apa-apa.
"Um," ujar Kiram lagi, tetap dengan nada lembut, "sebaiknya kamu pulang
dan bergabung dengan kerabat di kampong. Nanti kamu kami antar. Bagaimana?"
Umi tetap tertunduk. Tangannya sibuk mengusap air mata yang terus
berjatuhan. Saat itu perasaanku benar-benar remuk
Kutukanku makin sengit terhadap kekejaman pergolakan bersenjata. Lihatlah
ke dalam mata Umi dan dengarkan isaknya yang tertahan-tahan: betapa hancur jiwa
gadis tanggung itu dan betapa berat penderitaan yang harus dipikulnya akibat
peperangan ini. "Um, apa kamu ingin tinggal bersama kami?" tanya Jun yang sejak tadi diam.
Aku percaya pertanyaan Jun hanya main-main, sekadar untuk menguji kata hati Umi.
Sejenak tak ada jawaban. Tetapi kami semua menegakkan kepala ketika melihat Umi
akhirnya mengangguk. Aku, Jun, dan Kiram sama-sama terkesima.
"Pikirlah baik-baik, Um, kamu anak perempuan," kata Kiram. "Betulkah kamu
ingin tetap bersama kami tinggal di dalam hutan?"
Umi mengangguk. Kami kembali berpandangan dan kemudian sama-sama menarik
napas panjang. Aku sendiri makin iba melihat Umi. Maka aku bilang kepada Jun dan
Kiram bahwa kalau Umi mau, biarlah aku menjadi walinya. Aku ingin menjadi
pemberi rasa aman kepada gadis kecil yang malang ltu. Tetapi begitu mendengar
kata-kataku, Jun menyanggah.
"Mld, aku menghargai kemauan baikmu. Namun Umi tidak bias lagi dibilang
anak-anak dan kalian bukan muhrim.
"Maksudmu?" "Jangan pura-pura tak tahu maksudku," jawab Jun. "Kalau kamu bersungguhsungguh ingin melindungi Umi, sebaiknya kalian menikah. Aku bilang, Umi bukan
anak-anak, apalagi kamu."
"Ya, kukira itu lebih baik," dukung Kiram. Aku tak mampu cepat memberi
tanggapan. Tetapi jelas, aku tak menyesal telah menyatakan bersedia menjadi wali
bagi Umi. Masalahnya, haruskah perlindunganku buat Umi berupa perkawinan"
"Apa katamu, Mid?" desak Jun.
Entah mengapa, aku menoleh ke arah Umi. Sekilas kulihat kebimbangan dalam
mata gadis tanggung itu. Menikah" Jangankan Umi, aku pun tak mungkin bisa cepat
memutuskannya. "Mid!" ujar Kiram agak tegas. "Kamu jangan seperti anak kecil. Kamu jangan
menunggu Umi mengiyakan usulan Jun. Selamanya Umi tak akan bisa memheri jawaban.
]adi kamulah yang bisa memulai prakarsa."
Jun dan Kiram hangkit dan pergi meninggalkan aku hanya berdua Umi. Dan
hetul kata Kiram, Umi tetap diam, bahkan menangis ketika kutanya kesediaannya
untuk menjadi istriku. Ah, dia belum dewasa. Tetapi dua hari kemudian, dalam
sebuah gubuk di tepi hutan, aku dan Umi menikah. Kang Suyud yang waktu itu masih
hidup, menjadi wali hakim. Jun dan Kiram jadi saksi. Ya, pernikahan itu terjadi
tiga tahun berselang. Kini Umi sudah hamil dan kutinggal di Dayeuh Luhur. Aku
sungguh rindu kepadanya. Pagi-pagi sekali aku berangkat, berbekal kain sarung yang melilit
pinggang. Senjata kutitipkan pada Kiram dan Jun yang tetap tinggal dalam pos
rahasia. Aku hanya membawa parang. Barang ini sangat kuperlukan, terutama
sebagai sarana penyamaran bila aku harus keluar hutan sebagai seorang pencari
kayu bakar. Dari hutan Cigobang aku merayap di bawah kelebatan huran jati ke utara dan
nanti akan berputar ke barat. Angin belum bertiup sehingga belantara jati itu
menjadi sosok maharaksasa yang terbaring diam. Sepotong ranting lapuk yang jatuh
akan cukup mengusik keheningan. Apalagi kokok ayam utan, sedangkan suara
jangkrik yang berderik halus di lereng jurang pun jelas terdengar.
Makin dekat ke tepi, hutan makin menerawang karena banyak pohon jati yang
ditebang para pencuri. Pohon dan tetumbuhan beraneka ragam, tidak melulu jati.
Aku mulai melihat kupu-kupu dan capung. Dan kicau hurung pun mulai terdengar
perkutut dan derkuku bertengger pada cabang pohon wangkal. Ada sepasang bayan
hinggap dekat sarang mereka dalam lubang kayu kapuk. Mereka cerewet, tetapi
paruh merah dan bulu hijau mereka sangat enak dipandang. Dan aku melihat seekor
dadali tiba-tiba menukik dari langit. Tubuhnya yang gagah melesat ke bawah dan
sekejap hilang terhalang pepohonan. Ketika naik lagi, kulihat burung perkasa itu
sudah membawa seekor ular pada cakarnya. Aku teringat ular-ular bedudak sangat
berbisa, yang selalu membuatku bergidik. Tetapi dadali itu malah memakannya.
Lepas dari hutan jati, padang belukar yang sangat luas menghampar di depan
mata. Dan jauh di sana aku melihat sepetak huma dengan sebuah dangau yang
mengepulkan asap. Tiba-tiba aku merasa lapar karena terbayang singkong bakar
yang mungkin ada dalam perapian di tengah dangau itu. Langkahku mengarah ke
sana. Sesungguhnya dangau itu beratap ilalang, namun atap itu tertutup rapat
oleh daun labu yang batangnya merambat dari bawah. Ada dua atau tiga buahnya
tergeletak di atas atap yang rendah. Dinding dangau juga hatn-pir sepenuhnya
tertutup daun tanaman rambat itu.
Aku sudah lama mengenal petani huma itu, Madiksan. Kesehajaannya pasti
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengundang iba siapa saja. Namun, Madiksa sangat tekun. Humanya, yang
sesungguhnya merupakan bagian tanah kehutanan, digarapnya dengan sangat baik.
Madiksan menanam stngkong, jagung, dan palawija. Pada masa panen, istri dan
anak-anaknya yang tinggal dikampung sering dibawanya ke huma. Dan sebagai ganti
uang sewa kepada pemangku tanah kehutanan, Madiksan memberikan sebagian hasil
panennya kepada mandor jati. Madiksan seakan tak peduli bahwa aku adalah laskar
DI, musuh besar aparat keamanan yang ditakuti orang kampung. Boleh jadi lakilaki yang sudah ubanan itu berpikir, selagi sama-sama menjadi wong alasan,
manusia hutan, aku adalah sahabatnya. Ya, kami memang tak tega mengusik petani
huma itu. Apalagi kami sudah telanjur percaya, Madiksan tahu diri, ia tak pernah
berkhianat. Brayan urip, atau sama-sama cari hidup, demikian Madiksan sering
berkata padaku. Brayan urip, sepanjang ingatanku, adalah kata-kata sakti yang
sangat mudah mengundang rasa kebersamaan. Aku sendiri merasa tak kebal terhadap
kesaktian kata-kata itu. Maka aku dan Madiksan tak merasa terpisahkan oleh
kenyataan bahwa aku adalah anggota laskar DI, yang menjadi musuh Pemerintah
Republik. Madiksan sedang berjongkok menghadap perapian ketika aku masuk ke
dangaunya. Betul, petani huma itu sedang memanggang sesuatu: bukan singkong,
melainkan jagung muda. Ia menoleh karena mendengar suara langkah kakiku. Sejenak
wajahnya melukiskan rasa kaget. Namun setelah tahu siapa yang datang, Madiksan
tersenyum. "Ah, sampeyan, Mas Amid. Jagung bakar, Mas."
"Kebetulan, Kang Madiksan. Aku memang sedang lapar."
"Minum?" "Ya." "Tetapi tehnya kelatas daun jagung. Mau?"
"Ah, pokoknya ait. Aku juga haus."
Jagung bakar dan air hangat segera menenangkan petutku. Madiksan keluar
untuk menghalau gelatik dan bayan yang nebah padinya yang mulai menguning. Aku
menyimak harta Madiksan yang tetsimpan dalam dangaunya. Beberapa pocong jagung
kering tergantung di bubungan. Ada dua keranjang gaplek, tiga buah labu. Semua
sudah tertata tapi. Bila sudah demikian, pastilah Madiksan sudah siap turun
gunung untuk mengantarkan hasil huma buat anak dan istrinya.
Ya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada lelaki yang sangat sederhana ini. Dia
punya dunia yang pasti, yakni keluarga yang mapan. Dia punya wadah jelas untuk
membuktikan hasil jerih payahnya. Jagung dan gaplek itu dikumpulkannya dengan
susah payah, pasti demi tawa anak-anaknya dan mungkin senyum istrinya. Madiksan
punya dunia yang nyata. Tapi aku Dalam usia hampir tiga puluh, aku tak punya
apa-apa yang nyata dan pasti. Ya, sampai sejauh ini aku tak punya kepastian
apalagi sesuatu yang lebih nyata seperti rumah yang berisi anak dan istri.
Memang, aku punya Umi, istriku. Tetapi aku tak punya kemapanan. Ya, kalau mau
jujur, bahkan sesungguhnya aku tak punya harapan. Ah, Umi. Demi kepatutan,
sesungguhnya aku harus membuat sebuah rumah buat kamu. Rumah untuk membesarkan
anak-anakmu. Rumah di mana kamu aman lahir dan batin, jauh dari rasa takut
karena selalu diburu. Rumah yang sebenar-benarnya rumah.
Ketika sedang makan jagung bakar tadi, tebersit keinginanku untuk
beristirahat di dangau Madiksan. Tetapi begitu teringat Umi, aku ingin
secepatnya bertemu dia. Maka setelah mereguk air teh kelaras jagung dari cerek
Madiksan, aku segera pamit dan meneruskan perjalanan. Dayeuh Luhur, tepatnya,
tepian hutan jati di wilayah itu yang akan kutuju, masih amat jauh. Apalagi aku
harus menempuh jalan melingkar melalui rimba jati dan semak belukar. Mungkin
besok sore aku baru sampai ke sana.
Sebelum malam tiba, aku mencari tempat yang aman buat beristirahat dan
tidur. Aku menemukan sebuah gubuk reyot, mungkin tempat para pencuri kayu atau
mandor jati berteduh bila hari hujan. Dengan alas daun-daun pisang, aku bisa
merebahkan badan dengan baik sehingga aku bisa segera tertidur nyenyak.
Malam sudah benar-benar gelap ketika aku terjaga oleh suara jerit
binatang. Ah, itu si Tutul berhasil menangkap seekor kijang. Si Tutul adalah
macan tutul, yang entah bagaimana rasanya sudah akrab dengan kami. Mirip
dongeng. Aku pernah beberapa kali meminta daging buruan kepada macan yang tidak
begitu besar itu. Caranya gampang. Bila si Tutul terdengar telah menangkap
mangsanya, biasanya tak lama setelah lepas magrib, aku lempar dia dengan
potongan kayu yang membara. Si Tutul, yang takut api, biasanya segera
meninggalkan mangsanya buat kami. Tetapi malam ini aku tak ingin mengganggu
temanku yang tutul itu. Aku terlalu lelah.
Menjelang pagi aku dibangunkan oleh kokok ayam hutan. Dan suara bayan yang
cerewet. Juga suara bangkong dari sungai-sungai kecil di dasar jurang. Kepalaku
agak pusing. Namun terdorong rasa ingin segera bertemu Umi, aku bangkit lalu
meneruskan perjalanan. Ketika matahari sepenggalah aku sudah melampaui batas
hutan jati dan masuk ke perkebunan karet. Sengaja kupilih wilayah hutan dengan
tanaman karet yang masih muda dan belum disadap, karena aku tak ingin bertemu
siapa pun. Aku tahu, banyak sekali orang perkebunan yang bersimpati kepada GS.
Malah aku percaya, banyak di antara mereka adalah anggota perkumpulan komunis
yang rahasia itu. Tengah hari aku sampai ke suatu wilayah hutan bukaan. Sejauh mata
memandang, yang tampak adalah kebun singkong dengan selingan palawija. Aku
melompat ke atas sebuah batu besar untuk meneliti keadaan. Setelah yakin aman
aku membuat api dan membenamkan beberapa gelintir singkong ke dalamnya. Seperti
di pos kami di Cigobang, di situ pun aku menemukan air yang bening di dasar
jurang. Aku minum seperti hewan: mulut langsung kurendam ke dalam air.
Sambil menunggu singkong siap disantap, aku duduk bersandar batu besar.
Sinar matahari teredam sempurna oleh kerimbunan daun randu alas besar di
belakangku. Angin mengalir dari selatan. Seekor puyuh hutan tiba-tiba muncul di
depanku, termangu dan segera melesat terbang ketika aku menggerakkan tangan. Di
langit kulihat ada burung alap-alap, mengapung sambil terus mengepakkan sayap,
tetapi ia tak melaju sedikit pun. Kukira alap-alap itu sedang menanti mangsa
yang siap disambarnya. Entahlah, aku merasakan lambat laun pandangan mataku
baur. Telinga pun tak menangkap sesuatu kecuali kelengangan yang makin lama
makin mengendap. Dan tiba-tiba aku merasa tubuhku menjadi ringan, sangat ringan.
Aku lari dan melayang di atas hamparan perdu dan ila-lang. Melambung di
atas Sungai Citandui, dan tanpa kusadari sudah berhadapan dengan Umi. Dengan
senyumnya yang kekanak-kanakan, Umi tampak cantik dan tanpa dosa. Aku enarik
tangannya. Aku membopongnya dan membawa dia melayang ke utara, ke
Cirebon,seperti yang dianjurkan oleh gumar. Dari Cirebon aku dan Umi akan naik
perahu nelayan ke barat menyusuri pantai utara Jawa, lalu menyeberang ke Sumatra
menyusul Jalal dan teman-teman lain yang sudah
lama bermukim di sana. Di tempat yang baru, Umi akan melahirkan bayinya
dengan aman. Aku akan menjadi petani demi anak dan istriku. Aku tertawa.
Dan terkejut. Ketika membuka mata aku sadar diriku masih duduk menyandar
pada sebuah batu besar. Di depanku ada perapian. Matahari telah tergelincir ke
barat dan seberkas sinarnya jatuh ke wajahku. Kulihat perapian hampir padam.
Namun ketika kukorek, kudapati singkong di dalamnya siap kumakan.
Dengan perut terisi dua gelintir singkong bakar, aku meneruskan
perjalanan. Dalam perhitungan, aku akan sampai ke tujuan menjelang senja hari.
Lepas dari wilayah perkebunan karet aku kembali menempuh daerah bersemak dan
padang ilalang. Sesungguhnya aku tak suka berjalan menembus belukar semacam itu
karena sering ada ular bedudak. Tetapi kali ini aku nekat dan anehnya, malah
mujur, karena tak sengaja aku menemukan sarang ayam hutan yang penuh telur.
Ketika aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada Umi, telur-telur ayam hutan
bisa menjadi hadiah yang sangar berharga.
Perhitunganku tak jauh meleset. Sesaat sebelum matahari terbenam aku sudah
melihat tiga rumah kecil beratap ilalang, terpencil di tubir jurang, jauh dari
rumah-rumah lain. Para penghuninya adalah kerabat Umi. Aku berjalan memutar tuk
melihat gubuk istriku yang ada di belakang ketiga rumah
beratap ilalang itu. Ah, sebenarnya aku ingin segera lari untuk menemui
istriku. Namun aku tak pernah lupa bahwa bahaya selalu mengintai diriku setiap
saat. Maka kuredam gejolak hati dan aku memaksa diri bersabar sampai hari benarbenar gelap. Tetapi untunglah, aku dapat mengintip Umi ketika ia keluar dari
gubuknya dan berjalan menuju rumah yang paling dekat. Ya. Malam hari memang Umi
tidur di rumah kerabatnya itu. Aku yang dulu mengaturnya demikian.
Lepas magrib aku bergerak mendekati rumah beratap ilalang itu dari arah
belakang. Setelah yakin suasana aman, aku menyobek daun pisang dari pelepahnya.
Bunyinya menjadi aba-aba rahasia bagi para penghuni rumah. Bila keadaan benarbenar aman, pintu akan terbuka. Bila tidak, semua pintu akan tetap tertutup. Aku
menunggu dengan perasaan tak keruan. Tetapi tak lama kemudian kudengar pintu
berderit. Aku mendekat dan dalam keremangan malam aku melihat sosok istriku.
"Umi?" "Kang Amid?" Dlam pertemuan seperti itu aku selalu merasakan ketabahan hati Umi. la tak
pernah menangis. Ia hanya memegangi tanganku erat-erat. Tetapi justru sikap
seperti itulah yang membuatku makin merasa bersalah terhadap Umi. Apalagi
kulihat perutnya makin besar. Dan sejauh ini aku tak bisa memberikan apa-apa
kepadanya, bahkan sekadar kepastian dan rasa aman pun tak bisa.
Setelah berbasa-basi dengan para kerabat, aku membawa Umi ke gubuk di
belakang rumah itu. Malam ini aku berada di bawah atap ilalang bersama Umi.
Aneh, pikiranku malah jadi tak keruan karena aku sadar, sebentar lagi Umi harus
melahirkan anak kami yang pertama. Dari pengalaman yang kudapat, inilah masa
yang sulit. Kami tak punya dukun bayi, bahkan tak punya tempat yang cukup aman
untuk menyambut kelahiran seorang anak.
Dulu ada beberapa teman yang membawa istri mereka ke hutan. Mereka membuat
tempat tinggal sederhana. Tetapi para perempuan sering menjadi beban yang
terlampau berat bila suatu ketika datang serangan. Juga ketika mereka punya
bayi. Banyak bayi tidak tahan hidup dengan keadaan serba kekurangan di tengah
hutan. Menyadari pengalaman ini, kami para laskar DI, tidak lagi membawa istri
ke hutan. Istri-istri bisa dititipkan kepada kerabat yang tinggal di kampung
pinggir hutan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Hingga jauh malam aku tetap gelisah. Beberapa kali aku turun dari balaibalai dan menatap Umi yang lelap di bawah sinar pelita kecil yang menempel pada
tiang bambu. Suatu saat Umi terjaga. Tatapannya yang kekanak-kanakan selalu
mengundang rasa iba. "Belum tidur, Kang?"
"Belum. Mataku sulit terpejam."
"Ada yang kamu pikirkan, Kang?"
"Ya. Kandunganmu. Sebentar lagi bayimu lahir. Tetapi di Umi diam. Lalu
bangkit dan duduk di sebelahku. Dalam cahaya remang kulihat wajah Umi bimbang.
"Aku mau melahirkan di mana saja, asal kamu ada di dekatku."
Umi terisak. Hatiku makin pepat karena aku merasa tak mudah mengabulkan
permintaan Umi, betapapun permintaan itu sangat wajar. Dan aku makin bimbang
ketika Umi meneruskan kata-katanya.
"Kang?" "Ya?" Aku ingin ikut kamu. Di sini tak enak karena aku sendiri. Aku ikut kamu.
Boleh, kan?" Seperti ada jerat yang tiba-tiba melingkari leherku, aku tak bias bilang
apa-apa. "Kang." ulang Umi. "Aku ikut kamu. Boleh, kan?"
"Um, sebentar lagi kamu melahirkan, bukan?"
Umi mengangguk. "Bila kamu ikut ke hutan, kamu akan mendapat lebih banyak kesulitan. Di
sana tak ada orang perempuan, air pun tak mudah didapat seperti di sini. Jadi
kamu jangan melahirkan di tempat seperti itu."
"Tetapi di mana, Kang?"
"Sebaiknya di sini."
"Jadi kamu mau menunggu aku di sini?"
"Tidak. Aku harus kembali ke hutan secepatnya."
"Jangan, Kang. Aku takut melahirkan seorang diri. Atau aku ikut kamu,
Kang. Ikut!" Umi terisak lagi. Aku khawatir suara tangisnya terdengar dari luar.
Kubujuk dia agar mau diam. Tapi tangis Umi malah makin menjadi-jadi. Ya,
akhirnya aku merasa tangis Umi adalah tagihan yang tak bisa kuhindari lagi dan
harus kuturuti. Dengan hati berat karena aku sadar akan risikonya, permintaan
Umi kukabulkan. Pagi-pagi sekali sesudah berpamitan kepada para kerabat, aku dan
Umi berangkat. Umi menggendong bungkusan pakaiannya yang tak seberapa. Aku
menenteng cerek berisi air dan kantong berisi sedikit perbekalan.
Aku sudah menduga, Kiram dan Jun tidak akan senang menerima Umi ikut
tinggal dalam pos rahasia itu, tetapi keduanya ternyata tak juga sampai hati
mengusir Umi. Masalahnya, aku sendiri yang harus mencari jalan tengah. Maka aku
mencari tempat lain dekat pos itu. Ada sebuah ceruk pada dinding jurang dekat
sumber air yang bisa kujadikan tempat tinggal. Kubersihkan sampahnya.
Kubersihkan ramat laba-laba yang menutup mulut ceruk. Sedangkan akar-akar jati
yang menggantung kubiarkan pada tempatnya karena bisa kumanfaatkan sebagai tiang
penyangga. Dan, ya Tuhan, di ceruk tebing jurang itulah aku dan Umi tinggal. Lalu, di
situ pulakah anak kami akan lahir" Ah, betapa berat aku membayangkannya.
Untunglah Umi tak pernah mengeluh. Ia bisa tidur nyenyak di atas kasur rumput
kering yang kulapisi sehelai kain. Siang hari Umi boleh tinggal di pos untuk
menanak nasi dan menyiapkan minuman kami. Dan tak kuduga sebelumnya, Kiram dan
Jun berubah sikap. Mereka bisa ramah dan santun terhadap istriku. Malah boleh
kubilang, mereka pun menyayangi Umi. Mungkin karena kasihan melihat perutnya
yang makin besar, sementara suasana di tempat kami serba darurat dan
menyedihkan. Mungkin juga sikap mereka terhadap Umi benar-benar tulus. Buktinya,
suatu hari Kiram menyerahkan setandan pisang yang telah masak, entah dari teana,
kepadaku dengan pesan bahwa itu buat Umi. Lain kali Jun, yang sangat pintar
berburu dengan katapelnya, membawa tiga ekor burung balam, juga buat Umi.
Memang aneh, kedatangan Umi yang semula kuduga akan membawa kerepotan,
temyata lain akibatnya. Aku, dan kukira juga Kiram dan Jun, seakan mendapat
suasana baru karena adanya seorang perempuan di antara kami. Kami merasa tinggal
dalam sebuah rumah yang lengkap dengan keteduhan hati seorang ibu rumah tangga.
Tetapi entahlah, baru sebulan Umi bergabung, datang cobaan yang demikian
dahsyat. Ada operasi massal. Aparat keamanan, dengan mengerahkan ratusan
penduduk kampung, menyisir hutan jati Cigobang untuk menangkap kami. Beruntung
Jun, yang sedang berburu balam, melihat gelagat mereka dan lari memberitahu
kami. "Mereka membentuk lingkaran dan bersama-sama bergerak naik dari kaki
bukit. Kita terkepung," ujar Jun yang sudah siap dengan semua senjatanya.
"Bersiaplah. Kita akan melawan atau syahid di sini," jawab Kiram. "Mid,
sembunyikan Umi di tempatmu."
"Percuma melawan. Mereka banyak sekali!" kata Jun. "Kita tinggalkan tempat
ini dan cari tempat bersembunyi."
"Bersembunyi?" "Ya."
"Di mana?" "Di tempat Umi. Di sana kita punya kemungkinan selamat. Atau bila harus
syahid, syahidlah kita bersama di sana."
Oleh keteguhan Jun, Kiram menurut. Kami keluar dari pos rahasia, turun ke
dasar jurang, lalu merayap-rayap di bawah kerimbunan pakis-pakisan. Pastilah
langkah kami tak meninggalkan jejak apa pun karena dasar jurang adalah sebuah
sungai kecil. Ya Tuhan, aku terpaksa memapah Umi yang gemetar dan pucat pasi.
Sampai ke ceruk yang selama ini menjadi tempat tinggalku dan Umi, kami siap
menanti apa yang akan terjadi. Rasanya, kami sudah melihat kubur kami sendiri
dalam ceruk ini. Karena tempat yang sempit, Umi bersembunyi di balik punggungku. Ya,
rasanya ajal sudah dekat. Namun demikian, tiga pucuk senjata yang ada pada kami
pasti akan meminta korban lebih dulu sebelum kami benar-benar lumpuh.
Operasi massal makin mendekat. Dalam gerakan bersama menyisir menuju
puncak bukit, pasti mereka akan melewati kami. Kami sudah bisa mendengar
kentongan-kentongan yang mereka pukul. Kemudian teriakan-teriakan yang amat
sangat menghina kami. Dan letusan-letusan peluru.
Kurasakan Umi menggigil di punggungku. Mungkin juga terkencing. Lalu, aku
melihat sesuatu bergerak ke balik semak di tebing jurang. Aku, Jun, dan Kiram
serentak mengarahkan senjatanya masing-masing kesana. Begitu kami yakin bahwa
yang bergerak itu adalah manusia yang sudah mengetahui Petsembunyian kami,
pastilah dia akan mati lebih dahulu. Tetapi, ya Tuhan, yang kemudian muncul
adalah kepala si Tutul. Macan yang tak begitu besar itu rupanya terusik dari
tempatnya oleh kegiatan operasi massal itu lalu menyingkir untuk bersembunyi.
Apabila ada dongeng tentang persahabatan antara seekor binatang buas dan
manusia, kami benar-benar merasakannya dalam pengalaman nyata. Si Tutul mendekat
dan terus mendekat, dan baru berhenti hanya beberapa meter di depan kami. Si
Tutul merapatkan badannya di balik akar-akaran yang menggantung, seperti sedang
minta perlindungan kepada kami. Aku, Jun, dan Kiram sudah biasa melihat si
Tutul. Tetapi Umi amat sangat ketakutan. Tangannya yang merangkul perutku terasa
dingin. Dia menggigil hebat. Lalu lemas, lemas, dan terpuruk.
"Mid," bisik Jun dari samping. "Umi pingsan." Aku menoleh ke belakang. Jun
benar, Umi pingsan. Aku merebahkannya. Sementara hiruk-pikuk operasi massal
makin dekat, makin dekat.
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarkan dia pingsan. Itu lebih baik," bisik Kiram. "Tutupi dia dengan
dedaunan. Siapa tahu kita harus meninggalkan dia di sini."
Aku menurut. Dengan perasaan remuk kutimbuni tubuh Umi dengan rumput
kering yang biasa kami pakai sebagai kasur. Lalu aku kembali bersiaga, memasang
senjata ke arah dari mana para pencari mungkin datang. Teriakan makin hirukpikuk dan makin mendekat. Mereka seakan sedang mencari binatang buruan yang
terkurung. Dan sorak-sorai makin seru setelah seseorang berteriak karena
menemukan pos rahasia kami yang tak seberapa jauh dari persembunyian kami.
Kami mendengar seseorang, mungkin salah satu komandan operasi massal,
meminta semua orang waspada. Dari tempat persembunyian kami yang hanya berjarak
kira-kira tiga puluh meter dari pos rahasia itu, kami melihat dua OPR bertindak.
Mereka masuk setelah memberondongkan senjata mereka ke dalam pos yang telah kami
kosongkan itu. Mereka mengobrak-abrik peralatan masak kami yang tak seberapa
jumlahnya. Sepi sejenak. Mungkin mereka sedang berunding karena tidak berhasil
menemukan kami di pos itu dan mengira kami telah melarikan diri. Kudengar mereka
sepakat melanjutkan operasi, menyisir hutan sampai ke puncak bukit. Namun
sebelum bergerak, mereka memberondong jurang-jurang di sekitar pos kami. Orangorang kampung pengikut gerakan operasi teelemparkan kayu dan batu ke arah semak
dan jurang. Kami merasa yakin semua itu mereka lakukan untuk memperoleh
kepastian bahwa kami tak berada di tempat itu. Mereka tidak bahwa saat itu kami
berada hanya beberapa meter di bawah kaki mereka, dalam ceruk yang tertutup
belukar dan pakis-pakisan. Namun mungkin segalanya bisa berkembang lain kalau
bukan karena si Tutul. Ketika sebuah batu yang dilemparkan orang jatuh hampir
mengenai tubuhnya, macan itu terkejut. Ia melompat keluar dari tempat
persembunyiann sambil menggeram. Akibat ulah si Tutul sangat di luar duganku.
Puluhan orang, yang secara tak sadar telah mengurung kami, langsung bubar dan
lari tunggang-langgang. Kukira perburuan telah berubah, bukan lagi laskar DI
yang mereka kejar melainkan si Tutul. Ah, tetapi aku yakin, temanku yang tutul
itu sangat pandai melarikan diri. Apalagi para pengejar, ya bersenjata api
sekalipun, sesungguhnya takut kepada macan.
Operasi massal telah bergerak menjauh atau malah kocar-kacir gara-gara si
Tutul. Aku segera mengurus Umi, membuka lapisan rumput kering yang menimbuni
sekujur tubuhnya. Tuhan, dia masih pingsan. Untung, denyut jantung Umi masih
terasa. Namun aku sangat cemas, khawatir bisa terjadi sesuatu dengan kandungan
Umi. Aku meniup-niup lubang telinganya. Kiram memijit jempol kakinya keraskeras. Lalu tubuh Umi tersentak. Dan perlahan-lahan Umi membuka matanya.
"M-m-m-m-macan!" gumam Umi seperti mengigau. Wajahnya kembali menyiratkan
rasa takut yang amat sangat. "Ssss, macan sudah pergi, tenanglah," aku berbisik.
"Macan! Ada macan."
"Sss, jangan keras-keras. Dan tenanglah, macan tak ada lagi. Sudah pergi."
Umi masih menggigil ketakutan dan wajahnya tetap pasi. Namun suasana yang
mereda, bahkan Kiram yang sudah tersenyum, lambat laun bisa menenangkan Umi. Aku
ingin memberinya minum. Tetapi tak ada air. Maka aku turun ke dasar jurang dan
mengambil setangguk air dengan sehelai daun keladi.
Lepas dari bahaya operasi massal, kami masih harus menghadapi kesulitan
beruntun. Kami harus mencari tempat yang baru karena pos rahasia yang selama ini
menjadi pangkalan kami telah diketahui orang. Ah, tapi kami sudah sangat
terbiasa dengan hutan dan belukar sehingga tempat persembunyian baru tak menjadi
kesulitan benar. Yang benar-benar merepotkan adalah kandungan Umi. Ini bulan
kesembilan kehamilannya dan ia bersikeras ingin melahirkan dalam penjagaanku.
Bujukanku agar ia mau melahirkan di rumah kerabatnya di Dayeuh Luhur tak
dihiraukannya. Maka datanglah malam itu. Umi merasa mau melahirkan. Aku, Kiram, dan Jun
menjadi sibuk. Jun menjerang air di perapian. Kiram mondar-mandir, dan seperti
aku, dia kelihatan sangat cemas. Kemudian kulihat Kiram berbisik-bisik dengan
Jun. "Mid, kamu jaga istrimu," kata Kiram. "Aku dan Jun mau masuk kampung."
"Aku harus menjaga Umi seorang diri" Kalian mau ke mana?" aku bertanya
dengan gugup. "Cari dukun bayi. Mudah-mudahan berhasil dan tidak terlambat."
"Tetapi apa kalian tega membiarkan aku menjaga Umi seorang diri?"
"Jangan bodoh kamu! Karena kami tak tega, kami harus pergi untuk mencari
dukun bayi. Jun, ayo berangkat."
Ya Tuhan. Aku hanya berdua dengan Umi yang terbaring gelisah di atas
balai-balai darurat, pada sebuah gubuk yang tersembunyi dalam kerimbunan
belukar. Untung kami masih punya sebuah pelita kecil yang mampu memberi
penerangan ala kadarnya. Oh, malam yang terasa demikian memanggang perasaan. Aku
sudah mencoba bersikap tenang. Apa boleh buat, aku harus siap melayani kelahiran
bayi Umi seorang diri. Kalaulah ada sesuatu yang agak membesarkan hati, itulah
kap Umi. Ia kelihatan tabah. Ia menggigit bibir ketika perut nya terasa melilit.
Pukul dua belas malam suasana menjadi lebih tenang. Umi minta minum. Dan
lagi-lagi aku harus berterima kasih kepada.
Kiram yang kemarin membawa seruas bambu berisi madu lebah. Beberapa tetes
madu kucampurkan ke dalam minuman Umi. Selesai minum, ketegangan di wajah Umi
mereda. Ia malah menyuruhku tidur.
"Tidur?" "Ya. Kamu sudah terlalu lelah," kata Umi.
"Aku tidak ngantuk."
"Kalau begitu, aku yang mau tidur. Perutku berhenti melilit."
Aku lega. Rasanya aku mendapat hadiah yang sangat berharga berupa peluang
menanti sampai Kiram dan Jun datang membawa dukun bayi. Ah, tetapi tentang dukun
bayi ini aku harus mengenang pengalaman pahit masa lalu.
Dulu, ketika gerakan DI masih kuat, banyak sekali laskar Yang membawa
istri mereka ke hutan. Dengan demikian dulu pun sudah ada masalah kesulitan
dukun bayi ketika salah seorang istri laskar hendak melahirkan. Dan kami tahu
cara memperoleh paraji itu. Kami mengambil dengan cara paksa empuan itu dari
kampung terdekat dan membawanya ke hutan. Kepada sanak familinya kami katakan
bahwa dukun bayi itu kami pinjam sebentar dan akan kami kembalikan segera
setelah pekerjaannya selesai. Segalanya akan aman apabila sanak familinya tidak
melaporkan kedatangan kami kepada aparat keamanan. Biasanya, orang kampung
memang diam karena mereka khawatir akan keselamatan dukun bayi yang kami bawa ke
hutan. Untuk sampai ke hutan, juga untuk kembali, paraji tak perlu berjalan
sendiri. Kami memasukkan dia ke karung dalam posisi duduk, lalu dua orang
memikulnya. Dengan cara demikian perjalanan bisa cepat. Lagi pula, paraji yang
terkurung dalam karung tak dapat melihat jalur jalan yang kami tempuh. Dengan
demikian, sampai kembali ke rumahnya setelah mengurus istri laskar yang
melahirkan, paraji itu tidak tahu tempat persembunyian kami di dalam hutan.
Tentulah Kiram dan Jun akan mengambil dukun bayi dengan cara seperti yang
pernah kami lakukan. Demi Umi, aku bisa menerima cara yang kasar itu. Namun
masalahnya, keadaan sekarang sudah sangat berbeda. Kini kekuatan kami boleh
dibilang sudah pupus. Hanya berdua, apakah Kiram dan Jun bisa berhasil" Apakah
mereka bukan malah tertembak atau tertangkap"
Untuk menenangkan hati yang demikian galau, aku ber-sembahyang. Aku masih
percaya, Tuhan adalah ghafurur rahim. Aku percaya Tuhan masih mau mendengar
doaku, doa orang yang sudah banyak membunuh orang: ada kiai, ada haji, ada
militer. Yang kuminta kepada Tuhan, pertama, adalah keselamatan bagi Kiram dan
Jun. Semoga mereka berhasil dan tak usah ada kekerasan. Aku juga berdoa, agar
Umi kuat dan jangan dulu melahirkan sampai paraji datang.
Dan doaku makbul. Kiram dan Jun datang memikul beban yang menggantung
dalam karung. Umi masih berbaring tenang. Ya Tuhan, kulihat seorang perempuan
tua keluar dari karung yang dibuka oleh Kiram. Wajahnya murung dan uringuringan. Dari mulutnya keluar kutukan kepada kami. Jelas sekali perempuan tua
itu sangat tak suka mendapat perlaku-an tak wajar yang baru saja dialaminya.
Paraji itu pasti marah. Dan dalam keadaan hati terluka, apakah dia mau bekerja
dengan baik" Apakah ia tidak mencelakakan Umi atau mencekik bayiku yang akan
lahir" Banyak pertanyaan yang terus mengganjal hati. Namun demi Allah Yang
Mahalembut, semuanya lambat laun hilang setelah aku membawa Mbok Nikem, paraji
itu, ke dekat Umi. Ucapan pertama Mbok Nikem setelah melihat keadaan Umi segera
membuktikan bahwa dia adalah seorang paraji sejati. Kemarahannya kepada kami
yang telah menculiknya dengan kasar segera hilang setelah dia berhadapan dengan
seorang perempuan yang sangat mengharapkan pertolongannya.
"Oalah, jenganten, kamu akan melahirkan di tempat seperti ini" Oalah,
Gusti, kasihan betul kamu, jenganten...."
Mbok Nikem langsung sibuk membetulkan posisi Umi, sementara kata "kasihan"
terus meluncur dari mulutnya. Ketika Mbok Nikem bertanya tentang apa yang sudah
tersedia untuk menyambut kelahiran jabang bayi, aku hanya bisa menjawab, "Madu
dan air." Tetapi aku juga mengatakan bahwa kami punya cukup beras.
"Nah, kamu yang membuat Umi hamil, bukan?" tanya Mbok Nikem dengan berani.
Barangkali ia lupa bahwa kami adalah orang-orang bersenjata yang ditakuti oleh
semua orang kampung. Tetapi aneh, di depan dukun bayi itu aku merasa ciut. Aku
hanya bisa mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
"Kamu jangan hanya mau enaknya. Kamu harus cari kunyit, jahe, temulawak,
lempuyang! Cari sampai dapat atau aku tak mau mengurus istrimu."
Bukan main. Enak betul perempuan yang baru kukenal itu memberi perintah
kepadaku dengan cara selugas itu. Ah, tetapi aku memang tak bisa menyanggah. Dia
benar. Akulah sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Umi,
maka aku harus memperoleh rempah-rempah yang diminta Mbok Nikem demi kesehatan
istriku itu. Maka aku siap berangkat. Aku tahu benar tempat yang harus kutuju:
sebuah lembah sempit di mana Kiram punya huma kecil-kecilan. Hampir semua rempah
yang diminta Mbok Nikem ada ditanam di sana. Kami memang punya persediaan
tanaman ber-khasiat untuk berjaga-jaga jika obat-obatan sulit kami peroleh.
Umi melahirkan bayi perempuan. Alhamdulillah, baik Umi maupun anaknya
sehat. Mungkin alam dan kesulitan yang mengelilingi kami selama bertahun-tahun
telah membuat Umi memiliki daya tahan yang luar biasa. Dan Mbok Nikem merawat
Umi dengan baik, mungkin karena kesejatiannya sebagai seorang paraji, atau
karena kekuatan pancaran wajah Umi yang tanpa dosa, yang sangat mudah meluluhkan
hati siapa saja yang memandangnya. Aku merasakan keprihatinan dan kasih sayang
Mbok Nikem terhadap istri dan anakku. Aku jadi malu bila ingat status Mbok Nikem
adalah sandera yang kami culik dari kampung. Sungguh, inilah tuba yang dibalas
dengan air susu. Lalu, aku harus bilang apa ketika pada hari keempat Mbok Nikem
menyatakan ingin membawa Umi dan anakku ke rumahnya"
"Dengar, Nak. Aku tak sampai hati melihat Umi dan bayinya hidup dalam
belukar seperti ini. Kamu memang wong alasan, manusia hutan, dan itu urusan kamu
sendiri. Tetapi jangan ajak istri dan anakmu hidup seperti kucing liar. Mereka
demikian menderita demi kesetiaan kepada kamu. Ini tak add." Aku bungkam.
"Kulihat anakmu amat cantik. Kamu tega melihat dia tumbuh jadi anak rimba"
Biarlah dia kuangkat jadi anakku. Akan kuberi dia nama Sri Sengsara. Boleh?"
Aku masih bungkam. "Bagaimana" Kamu tak bisa omong?" "Mbok, aku bersyukur
bila kamu mau merawat anakku. Tetapi Umi" Bagaimana bila dia nanti malah
ditangkap tentara?" "Itu aku tidak tahu. Aku akan berusaha sebisa-bisanya merahasiakan
kedatangan istrimu. Tetapi bila keadaan memaksa, aku memang harus berterus
terang bahwa Umi adalah istri kamu, istri wong alasan. Lalu apa iya tentara akan
tega menangkap seorang perempuan yang baru melahirkan?"
"Lalu kamu mau memberi nama anakku Sri Sengsara?"
"Ya, tetapi bukan aku yang memberi nama demikian melainkan saat
kelahirannya sendiri yang penuh penderitaan. Pernah mendengar ada bayi lahir
dalam semak belukar kecuali anakmu?"
Untuk kesekian kali aku tak sanggup menjawab pertanyaan Mbok Nikem. Jun,
yang sejak tadi duduk di dekat kami, berbisik. Ia sependapat dengan Mbok Nikem,
sebaiknya Umi meneruskan menjalani perawatan di kampung. "Bersama kita di sini,"
Jun bilang, "bayimu akan menderita. Kamu ingat dulu banyak bayi tak mampu
bertahan hidup di hutan?"
Kiram juga setuju. "Bila toh Umi ditangkap," kata Kiram "masa tentara tega
berbuat kasar kepada perempuan lemah yang sedang menyusui bayi merah?"
"Tetapi tentara bisa menjadikan Umi dan bayinya sebagai sandera untuk
memaksaku datang dan menyerah," kataku.
"Hal itu bisa terjadi," kata Jun. "Tetapi kukira mereka bukan bandit."
Aku mengajukan pendapat teman-teman kepada Umi. Mula-mula Umi kelihatan
ragu, namun kemudian dia setuju ikut Mbok Nikem dengan syarat aku sering
menjenguknya. Ah, syarat itu kuiyakan saja. Padahal dalam hati aku bilang tak
mudah bagi seorang laskar DI untuk setiap saat masuk kampung, kecuali jika aku
tak takut diberondong tentara. Maka pada suatu pagi buta, aku, Mbok Nikem, dan
Umi keluar dari sarang kami. Umi memang luar biasa. Ia bisa berjalan seperti
biasa padahal bayinya baru berumur seminggu. Mbok Nikem mengemban Sri Sengsara;
ah, nama yang sesungguhnya kurang kusukai. Sampai di batas hutan aku berhenti.
Kulepas istri dan anakku pergi bersama dukun bayi itu. Aku hanya bisa berserah
diri kepada Tuhan tentang nasib dan keselamatan mereka.
Akhir Juni 1962, seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan
Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Kukira Toyib, rekan itu,
telah menempuh perjalanan yang berbahaya untuk memberi kabar tentang sesuatu
yang sangat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam,
panglima tertinggi Tentara Islam Indonesia, tertangkap pasukan Republik. Toyib
juga membawa sehelai selebaran yang ditandatangani oleh Khalifah, berisi seruan
agar semua anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri kepada aparat
keamanan dengan jaminan pengampunan nasio-nal yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Saat pertama mendengar berita ini, aku terkejut. Ah, tetapi aku juga lega.
Satu hal yang sudah bertahun-tahun menindih jiwaku, ketidakpastian yang amat
menggelisahkan, tiba-tiba lenyap. Ada rasa lapang yang lambat laun mengembang
dengan pasti dalam jiwaku. Ada benih harapan yang tiba-tiba muncul untuk
berkumpul dengan istri dan anakku. Segera terbayang, aku menjadi warga kampung,
bertani, dan hidup tenang. Ya, tenang. Aku bukan lagi wong alasan, manusia
rimba, yang diburu-buru. Aku bukan lagi wong alasan yang terpisah dan tersingkir
dan disingkiri oleh masyarakat. Aku akan kembali seperti dulu, menjadi bagian
tak terpisahkan kehidupan bersama.
Aku tersenyum sendiri. Ah, nanti dulu, kulihat Kiram, Jun, bahkan Toyib
sendiri tak menampakkan wajah gembira. Jun menunduk dan murung. Kiram termangu,
matanya nanar. Urat-urat pada kedua pipinya menegang. Toyib beberapa kali
mengusap kening. "Kamu tidak curiga bahwa kabar dan selebaran itu palsu?" tanya Kiram
kepada Toyib. Suaranya datar dan berat, menadakan adanya beban berat dalam
hatinya. "Dengan kepalsuan seperti itu, mereka bisa memancing kita keluar,
bukan?" "Kukira sampai saat ini belum ada di antara kita yang percaya seratus
persen," jawab Toyib. "Masalahnya, beberapa teman yang bisa mendengarkan radio
meyakinkan kita bahwa berita itu benar. Kata teman tadi, radio luar negeri juga
memberitakan hal yang sama."
Taruhlah kabar itu benar, lalu hanya akan berakhir seperti inikah
perjuangan kita?" kata Kiram, yang kemudian bangkit dan mengentakkan kaki ke
tanah. "Ya, aku malu," Jun menyela. "Aku merasa lebih baik mati dalam pertempuran
daripada turun gunung meskipun diampuni. Diampuni?"
"Aku sangat menyesal, mengapa ketika ada operasi massal aku tak melawan
mereka. Ya, mengapa aku tidak keluar dari persembunyian dan menghadang mereka
serta bertempur sampai mati," ujar Kiram lagi.
Aku diam sambil mendengarkan keluh kesah dan umpatan teman-temanku. Tetapi
aku ingin juga mengingatkan Kiram. Dia pernah bilang mau kembali ke masyarakat,
asalkan ada Jaminan tidak akan diapa-apakan. Aku hampir mengucapkan Peringatan
itu, namun batal pada saat terakhir karena aku telihat kemurkaan pada wajah
Kiram. Temanku itu kemudian bahkan mengusulkan operasi bunuh diri, menyerang
sebuah tangsi militer di Cilacap. Sampai titik ini aku merasa wajib berbicara.
"Jangan berputus asa seperti itu," aku bilang. "Kiram, tadi kamu
mengandaikan kabar dan selebaran itu benar. Dengan demikian ada kemungkinan
tanda tangan Khalifah pada selebaran yang menganjurkan kita untuk meletakkan
senjata adalah benar pula. Kamu tidak mau taat kepada Khalifah?"
Hening. Kulihat wajah Kiram keras. Jun masih menunduk dan dari sinar
matanya aku melihat kekecewaan yang sangat mendalam. Aku sendiri jadi melamun.
Ajakan Kiram untuk melakukan suatu operasi bunuh diri mengingatkan aku pada
pengalaman di tahun 1953. Ketika itu kami melancarkan serangan terhadap sebuah
pos polisi di Lebeng, Cilacap. Aku bisa mengingatnya sampai hal yang terperinci.
Waktu itu lepas isya. Kami, lima orang, sudah merayap mendekati pos itu. Aku
merangkak melalui belukar pulutan dan mencapai tembok pos. Kiram malah sudah
lebih dulu menempel pada tembok itu.
Yang paling berkesan pada saat itu adalah keterkejutan seorang anggota
polisi ketika Kiram mendadak melompat dan berdiri di hadapannya. Polisi itu,
mungkin karena panik, memberondongkan senjatanya bukan ke arah Kiram, melainkan
ke langit sambil berlari keluar. Dia terus lari sambil melolong-lolong minta
tolong. Kiram tidak menembaknya. Ia malah terpingkal-pingkal. Anehnya, Kiram
kemudian masuk ke pos menghabisi tiga anggota polisi lain yang meringkuk
ketakutan. Nah, kalau Kiram ingin mengulang operasi semacam itu lagi sekarang, dia
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang benar-benar akan bunuh diri, tetapi aku sendiri masih ingin hidup.
Kali lain kami berangkat hendak menyerang pos polisi Jatilawang, Banyumas.
Aku sampai di tempat menjelang dini hari. Kiram, Jun, Jalal, dan Kang Suyud
sudah sampai lebih dulu dan mereka bertiarap di sekeliling sasaran. Tetapi
sialan, keempat orang itu tertidur pulas di tempat mereka bertiarap. Ketika
kubangunkan satu per satu, mereka sudah kehilangan semangat. Maka penyerangan
dibatalkan. Kami pulang sambil tertawa-tawa untuk mengejek polisi. Itu dulu.
Sekarang aku merasa tak mungkin mengulanginya bila benar aku belum ingin mati.
"Jadi kita mau bagaimana" Dari jauh aku datang kemari untuk memperoleh
kesepakatan sikap terhadap seruan dalam selebaran ini," kata Toyib memecah
kebekuan. "Aku mendahului teman-teman. Aku percaya tanda tangan itu asli milik
Khalifah, meski tertera pada lembar seruan yang digandakan. Jadi aku ingin
menaatinya," kataku.
"Kamu bagaimana?" tanya Toyib kepada Jun dan Kiram.
Kulihat wajah Kiram masih tegang. Matanya malah berubah merah. Gumpalan
otot pada kedua pipinya makin jelas. Dan tiba-tiba ia bangkit lalu meraih
senjatanya. Aku tak sadar betul apa yang kemudian terjadi, yang jelas aku
melihat laras senjata Kiram sudah tertuju lurus ke arah perutku. Detik beri-kut
aku melihat Toyib dan Jun menepiskan senjata itu ke arah lain dan pada saat yang
sama meledaklah rentetan tembakan. Terjadi pergulatan singkat. Toyib dan Jun
berhasil melepaskan senjata dari tangan Kiram yang kemudian berteriak-teriak:
amuk. Ia begitu marah ketika menyadari perjuangan dan penderitaan kami selama
bertahun-tahun hanya dipertaruhkan untuk sesuatu yang kosong. Hampa. Berpuluhpuluh, atau mungkin ratusan nyawa laskar telah melayang hanya untuk selembar
selebaran yang menganjurkan kami meletakkan senjata dan menyerahkan diri. Dengan
susah payah Kiram berhasil ditenangkan. Jun memberi dia secangkir air dingin.
Kebisuan kembali mencekam kami. Tetapi dalam kebisuan itu aku merasa bahwa
kami telah bersatu sikap: tunduk kepada perintah pemimpin tertinggi. Aku sendiri
tak melihat jalan lain kecuali meletakkan senjata, menyerah, dan semoga benar
kami akan mendapat pengampunan. Anehnya, aku juga bisa merasakan ketidakpuasan
seperti yang sedang bergolak dalam hati Kiram. Aku sudah memperkirakan, tidaklah
mudah bagi laskar DI untuk kembali ke tengah masyarakat. Kebencian mereka,
terutama orang-orang komunis, terhadap kami tentulah tidak serta-merta hilang
hanya karena kami telah mendapat pengampunan pemerintah. Apalagi kami tahu,
semua peram-pokan dan pembunuhan terhadap warga masyarakat menjadi beban dosa
kami. Masyarakat akan sulit percaya bahwa bukan hanya kami yang merampok mereka,
melainkan juga orang-orang komunis, baik yang bergerak di atas maupun di bawah
tanah. Oknum-oknum OPR, bahkan mungkin juga para bajingan yang ingin
memanfaatkan situasi keruh, juga sering menggarong rakyat.
Ditambah dengan cerita Toyib bahwa partai komunis sudah berkembang pesat
di desa-desa kelahiran kami, aku menjadi lebih yakin bahwa meletakkan senjata
dan kembali ke masyarakat bukanlah perkara mudah buat para laskar DI. Aku
percaya, masyarakat akan melecehkan kami, sementara kami tak bisa membela diri
dengan cara apa pun. Tetapi sekali lagi aku bilang, memang tak ada jalan lain.
Maka pada malam berikutnya, dalam kebisuan yang sangat mencekam, aku, Kiram, dan
Jun membungkus senjata kami masing-masing dengan karung. Sementara aku melakukan
pekerjaan itu dengan tenang, kulihat Kiram dan Jun meneteskan air mata. Kami
bertiga patuh kepada Toyib. Dialah yang akan memimpin kami turun gunung bersama
beberapa belas teman yang berpangkalan di kaki Gunung Slamet. Malam itu kami
meninggalkan belantara hutan jati Cigobang, berjalan ke utara dan terus ke
utara. Nanti kami akan menyeberang jalan raya sampai tiga kali sebelum masuk
wilayah sebelah utara kota Purwokerto.
Sebuah perjalanan yang entah apa namanya. Kami membisu. Aku yakin, semua
teman sedang dicekam oleh kegalauan seperti yang sedang terjadi dalam hatiku.
Harus menerima kenyataan bahwa kami adalah barisan orang-orang kalah, yang
sedang merangkak menuju panggung tempat kami akan menjadi tontonan. Telingaku
sudah mendengar ejekan orang-orang kampung, "Oh, itulah rupanya munyuk-munyuk
DI, tukang rampok yang kejam. Itulah rupa mereka yang selama sekian tahun
merusak dan menyengsarakan orang-orang kampung. Mari ramai-ramai kita ludahi
mereka!" Ya, aku dan teman-teman sudah menduga perlakuan apa yang akan kami terima
meskipun secara resmi kami diampuni. Maka beberapa hari kemudian ketika kami
sungguh-sungguh menjadi tontonan orang di tempat kami diterima oleh aparat
keamanan dalam suatu upacara, kami sudah bisa menata perasaan. Benar, kami
mendengar suara ejekan dan cacian, bahkan kutukan dari para penonton yang
ratusan jumlahnya. Sebenarnya pada saat itu kami berharap ada sikap yang menampilkan sedikit
kasih sayang dari tokoh-tokoh organisasi agama yang ikut berpidato dalam upacara
itu. Kami merasa punya alasan seperti itu, setidaknya karena selama berjuang di
dalam hutan, panji kami bertuliskan kalimat syahadat. Ah, ha-rapan yang terlalu
muluk. Kami malah menjadi sakit hati ketika tokoh-tokoh organisasi agama dalam
pidato mereka juga tak mampu memberi keringanan hati kepada kami. Sama seperti
semua orang, mereka menganggap kami adalah orang-orang yang baru sadar dari
kesesatan, bahkan kejahatan. Tak seorang pun di antara mereka yang berpidato
mampu menampilkan sikap kesatria. Tak seorang pun bisa menerima kami sebagai
pasukan bersenjata yang kalah perang.
Atau malah lebih dari itu. Mereka, tokoh-tokoh politik berbendera agama,
juga menuduh kami mengatasnamakan Tuhan untuk penggarongan-penggarongan. Suara
mereka nyaris sama dengan pembicara dari kalangan komunis. Oh, andai-kan mereka
tahu sebenarnya kami hanya ingin disebut sebagai orang-orang yang kalah perang
dan kini menyerah secara kesatria. Atau, sebagai orang politik, apakah mereka
lupa bahwa keadaan yang sebenarnya pada sekitar tahun 1950 memang demikian
rentan" Yang namanya jati diri atau tali kesatuan bangsa mestinya masih dalam
taraf pembentukannya. Dia masih rentan, sehingga mudah saja orang meninggalkan
atau bahkan terpental dari barisan kesatuan.
Tak tahulah! Yang jelas aku sendiri merasakan kata-kata para tokoh agama,
yang kuharapkan bisa memberi kami kesejukan, malah demikian menyakitkan. Rasanya
Kiram benar bahwa lebih baik kami kalah dan hancur dalam sebuah pertempuran
daripada sakit menerima pidato mereka yang tak mampu memberi kami pengertian
apalagi kasih sayang. Selesai upacara, kami yang berjumlah kira-kira dua puluh orang, diangkut
dengan truk untuk dimasukkan ke barak penampungan. Selama sebulan, setiap hari
kami mendapat ceramah dan ceramah, yang mereka sebut indoktrinasi. Setiap hari
pula kami mengulang janji dan sumpah setia kepada negara. Dan olahraga. Wah,
sangat membosankan. Apalagi aku sebenarnya sudah sangat ingin tahu bagaimana
nasib istri dan anakku. Kuharap ia juga mendapat pengampunan di wilayah Cilacap.
Anehnya aku, Kiram, dan Jun tidak begitu gembira ketika kami bertiga sudah
diperbolehkan pulang ke kampung kami. Canggung. Apalagi Kiram. Ia kelihatan tak
bernafsu kembali melihat kampung halamannya. Ia bilang, malu. Aku pun punya
perasaan seperti itu. Namun aku sadar, aku harus pulang ke kampung demi kedua
orangtuaku, dan demi Umi dan diriku sendiri. Ah, ya, aku masih punya Kiai
Ngumar, mudah-mudah-an dia belum meninggal. Ketika aku berangkat ke terminal
bus, ternyata Kiram dan Jun mengikuti aku. Jadilah kami bertiga naik bus tua,
pulang. Dalam ketidakpastian tentang sikap para tetangga nanti, aku masih
merasakan kesejukan yang dipesankan oleh sepatah kata: "pulang". Ya, aku dalam
perjalanan pulang. Pulang ke rumah, pulang kepada orangtua, dan pulang untuk
diri yang harus kucari kembali. Aku sadar, perjalanan ini mungkin tak mudah,
namun aku akan meneruskannya sampai ke tujuan.
Kami singgah di kota kecamatan untuk melapor kepada aparat keamanan.
Sampai ke kampung, kami lebih dulu singgah di balai desa, juga untuk melapor
seperti yang diperintahkan kepada kami. Di balai desa itulah aku mulai bertemu
dengan orang-orang yang kukenal sejak zaman normal. Beberapa di antara mereka
memang kerabatku sendiri. Mereka, betapa jua, memberikan senyuman kepadaku,
berbasa-basi meskipun terasa agak janggal. Namun ada perangkat desa yang terus
bermuka masam. Besok akan kuketahui bahwa si muka masam adalah komunis muda yang
sangat giat berpropaganda di kampungku.
Sampai di rumah orangtuaku, berita pertama yang kudengar adalah tentang
ayahku yang sudah meninggal setengah tahun yang lalu. Entahlah, meski usiaku
saat itu 33, aku gagal menahan kesedihan. Aku menangis. Emak juga menangis. Para
tetangga, kebanyakan adalah kerabatku sendiri, berdatangan. Dari cara mereka
memandang, aku merasa mereka setidaknya bisa menerima kedatanganku. Apalagi tak
lama kemudian aku mendengar suara terompah kayu: Kiai Ngumar tertatih-tatih
melangkah di halaman. Aku menyambut dan mencium tangannya di depan pintu. Kiai
Ngumar mengusap kepalaku, seakan aku adalah anak kecil. Ia berkali-kali
bertasyakur. Dan kukira semua orang melihat keikhlasan yang mendalam pada wajah
tua itu. Lalu, apabila Kiai Ngumar sudah menerimaku dengan hati tulus, orang
lain hanya berani mengambil sikap ysng sama. Maka sejak hari pertama aku
kembali, aku sudah yakin bahwa jalan pulang sudah lapang, pulang dalam makna
yang paling dalam. Seminggu di rumah, aku mendengar Umi juga sudah turun gunung, atau
tepatnya, menggabungkan diri dengan mereka yang menyerah. Aku menjemput dia di
rumah orangtuanya di Sidareja, Cilacap, lalu membawanya ke rumah orangtuaku. Ah,
kasihan, di antara semua perempuan yang ada di sekelilingku, Umi terlihat paling
kumuh. Tetapi anakku segera menjadi mata hiburan karena ulahnya yang menarik
perhatian. Neneknya sangat suka pada cucu baru yang lahir di tengah hutan itu.
Kepada siapa saja aku bilang bahwa anakku berna-ma Sri. Hanya itu. Aku tak rela
ada kepanjangan "Sengsara". Aku juga sebenarnya tak rela bila ada bisik-bisik
mengatakan bahwa Sri anak DI. Biarlah Sri menjadi masa depanku. Aku tak ingin
orang memberinya sebutan apa pun yang menyang-kut masa laluku.
Pada bulan pertama aku kembali menjadi warga kampung, segera kurasakan
kegiatan orang-orang komunis. Mereka sering mengadakan rapat terbuka, dan pada
kesempatan seperti itu para bekas laskar DI selalu menjadi bahan cemooh. Bahkan
akhirnya para kiai dan haji pun mereka ejek dalam rapat-rapat umum, tak luput
Kiai Ngumar. Kiai yang sudah lanjut usia itu disindir habis-habisan karena
sesungguhnya dialah yang seca batiniah menampung aku, Jun, dan Kiram.
Suatu malam aku berkunjung ke rumah orang tua itu hanya untuk menyatakan
kesedihan hatiku. Karena kebaikannya kepadaku dan teman-teman bekas DI, beban
batin Kiai Ngumar jadi lebih berat justru di ujung usianya.
"Sudahlah, Mid. Tidak menampung kamu pun aku sudah pasti menjadi bahan
olokan mereka. Tak apa, toh usiaku tinggal tak seberapa."
"Kiai, aku heran mengapa orang tak curiga terhadap komunis-komunis itu.
Padahal di hutan kami sudah tahu bahwa mereka punya barisan bersenjata. Kami
sering bertempur dengan mereka dan kami tahu persenjataan mereka cukup lengkap.
Apabila sebuah organisasi politik sudah mempunyai pasukan gelap, tentulah ada
yang tak beres, bukan?"
"Ya. Terasa betul suasana yang tidak wajar. Bahkan aku sendiri jadi
bingung hendak ke mana arah kehidupan ini. Tetapi, Mid, sudahlah. Aku dan kamu
tak bisa apa-apa. Mungkin kita kini hanya bisa berdoa."
Ketika masih tinggal di tengah hutan, aku selalu merindukan kehidupan yang
tenang dan damai di kampung. Kini terbukti kerinduan itu tak mudah kucapai.
Memang, dalam kehidupan kekeluargaan boleh dibilang aku bisa tenteram. Aku
hertani menggarap sawah warisan dan Umi menjadi teman hidup yang menyenangkan.
Ditambah dengan kehadiran Sri, rasanya hidupku sudah lengkap. Namun bila
memandang ke luar pintu, aku merasa gerah dan sesak napas. Orang terlalu banyak
menyelenggarakan rapat umum dan sering sangat hiruk-pikuk. Apalagi orang-orang
komunis, mereka sering bikin onar bukan hanya dalam rapat, melainkan juga di
tengah sawah. Banyak petani berkelahi, hutan jati sering dibakar, dan suatu kali
orang-orang komunis berani membunuh mandor jati. Dan puncak kekisruhan terjadi
pada tahun 1965, ketika aku mendengar berita yang simpang siur bahwa ada makar
di Jakarta. Beberapa jenderal Angkatan Darat terbunuh. Berita itu terus
berkembang. Akhirnya radio memberitakan bahwa yang berada di belakang gerakan
itu adalah orang-orang komunis. Bahkan kemudian tersiar berita yang pasti bahwa
pelaku makar memang orang-orang komunis.
Setelah ada kabar yang pasti itu, kehidupan tiba-tiba terasa mencekam.
Terasa ada kegaguan karena semua orang me-nahan diri untuk berbicara atau malah
lebih suka memilih diam. Apalagi mereka yang dikenal komunis. Mereka seakan jadi
bisu. Namun wajah mereka tak bisa menyembunyikan kecemasan. Apalagi dari wilayah
timur mulai terdengar pe-nangkapan-penangkapan terhadap mereka. Maka terlihat
pemandangan yang tak lazim: surau Kiai Ngumar didatangi oleh mereka yang dikenal
komunis dan kini rajin berkain sarung. Namun tak lama. Mereka tak muncul lagi di
surau Ki Ngumar setelah mereka ditangkap dan dibawa pergi entah mana. Ada yang
bilang, mayat mereka kemudian bertebaran di kali, di pinggir hutan, dan di rawarawa.
Kemudian aku juga mendengar berita bahwa ada pertempuran besar di
perkebunan karet dekat hutan jati Cigobang. Kata berita itu, satu unit kecil
tentara yang akan melakukan pembersihan di daerah perkebunan itu mendapat
perlawanan sengit sehingga mereka mundur. Mendengar berita ini, aku sungguh
tidak kaget. Aku tahu betul, di sana ada pasukan komunis yang cukup tangguh.
Dulu, kalau mau, pasukan komunis itu bisa menghabisi kami dengan mudah. Tetapi
agaknya betul kata orang, pasukan komunis itu sengaja memperpanjang kehadiran
kami di Cigobang karena mereka bisa mencatut nama DI untuk penggarongan yang
mereka lakukan. Juga untuk menciptakan sekian banyak isu politik yang jelas
menguntungkan mereka. Dalam situasi yang mencekam dan sangat tidak menentu itu, suatu hari ada
mobil militer di depan rumah Kiai Ngumar. Entahlah, aku masih merasa tak enak
bila melihat mobil semacam itu. Dan lebih-lebih kali ini, karena Kiai Ngumar
kemudian memanggil aku, Jun, dan Kiram. Hanya menunggu teperempat jam kami sudah
duduk berhadapan dengan dua orang tentara di rumah Kiai Ngumar. Dengan cara yang
sangat tesmi tentara itu menyuruh kami ikut ke kota. "Komandan lngin berbicara
dengan kalian. Ini perintah yang bersifat sangat segera."
Terus terang aku merasa takut. Untung Kiai Ngumar sempat berbisik bahwa
aku tak perlu cemas. "Mereka bermaksud baik kepada kalian," kata Kiai Ngumar.
Ah, bagaimana tak cemas bila seorang bekas laskar DI tiba-tiba diangkut dengan
mobil militer. Tetapi ternyata Kiai Ngumar benar. Komandan menyam-but kami dengan wajah
yang ramah meski terasa tetap resmi. Kemudian aku tahu apa maunya: kami dimintai
keterangan tentang banyak hal mengenai pasukan komunis yang berbasis di sekitar
hutan jati Cigobang. Aku, Kiram, dan Jun bergantian memberikan kesaksian tentang apa yang kami
ketahui. Bahkan kami juga menyebut nama tokoh Gerakan Siluman, yang sebenarnya
merupakan pasukan bersenjata komunis.
"Kalian mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang mereka," kata
Komandan. "Maka aku perintahkan kalian menjadi penunjuk jalan bagi operasi yang
akan kami laksanakan besok. Ini perintah."
Aku, Jun, dan Kiram berpandangan. Ya, kalau perintah, kami tak bisa
berbuat lain kecuali patuh. Itu pun jauh lebih baik, sebab semula kami menduga
kami akan kembali ditahan berhubung situasi memang terasa gawat. Namun tak
kusangka Kiram menceletuk.
Kami hanya akan menjadi penunjuk jalan?"
"Ya. Kenapa?" "Saya punya usul, Pak. Bantuan kami akan menjadi lebih nyata bila kami
diberi kesempatan bertempur melawan pasukan komunis itu. Dulu kami selalu kalah
dalam pertempuran melawan mereka. Rasanya kini ada kesempatan bagi kami untuk
membuat perhitungan akhir."
Kulihat komandan itu tertegun. Agaknya mayor itu tak siap menerima usul
Kiram. Aku memandang Jun. Ia pun tersenyum. Aku menangkap gelagat Jun yang juga
ingin kembali bertempur seperti Kiram.
"Kalian ingin ikut bertempur?"
"Ya, kalau kami diberi kepercayaan... dan kesempatan," jawab Kiram.
"Lho, kalian sudah tak bersenjata!"
"Bekas senjata kami tentu ada di sini."
Komandan diam lagi. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.
"Begini saja, yang kuperlukan kalian menjadi penunjuk jalan. Tetapi usulmu
mungkin akan kupertimbangkan malam Aku harus berbicara dulu dengan Semarang."
Malam itu kami tidur di markas tentara. Tetapi tengah malam kami
dibangunkan. Komandan sudah menunggu di kamar operasi. Sebenarnya kepalaku
pusing, namun Komandan lang-sung memberondong kami dengan banyak pertanyaan.
"Kalian tahu betul wilayah yang akan kami bersihkan, bukan?"
"Ya," jawab Kiram. "Kami lebih mengenal wilayah itu dari-pada kampung kami
sendiri." "Kalau begitu, apa pendapat kalian bila operasi dilakukan pagi ini juga
sebelum fajar?" "Itu lebih baik."
"Kalian menjadi perintis. Kami sudah mendapat persetujuan Semarang. Juga
jaminan dari Kiai..."
"Kiai Ngumar?" tanya Jun.
"Ya. Kurir yang kukirim ke rumah Kiai Ngumar baru masuk."
"Kami sanggup."
Komandan melihat jam tangannya.
"Masih ada waktu setengah jam untuk persiapan dan dua jam untuk
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalanan." Komandan memanggil tiga perwira dan menggelar peta di atas meja. Kami
diminta mendekat dan menunjuk titik-titik wilayah yang menjadi pangkalan GS.
Kiram dan Jun hanya berdiri di belakangku. Ah, kedua temanku itu tak bisa
membaca peta. Mereka tetap buta huruf. Komandan memberi petun-juk singkat kepada
tiga perwira bawahannya, yang kemudian segera berbalik dan keluar. Seorang
sersan masuk membawa pakaian seragam, ternyata untuk kami bertiga: seragam tanpa
tanda pangkat. Dan yang membuat aku berdebar, sersan itu juga membawa bekas
senjata kami masing-masing dengan pe-luru lebih dari cukup. Terasa ada kerinduan
untuk menjamah kembali senjata itu setelah lebih dari tiga tahun aku
melepaskannya. Tetapi aku cemas, jangan-jangan senjata kami bakal macet karena
terlalu lama tak terawat. Maka kami minta sedikit waktu untuk membersihkannya.
Tepat jam satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas.
Aku, Jun, dan Kiram ada di antara mereka. Terasa aneh, tiga bekas laskar DI
berada dalam satu pasukan dengan tentara pemerintah, bekas seteru besarnya.
Entahlah Kiram dan Jun, tetapi aku sendiri merasakan keharuan yang terus
mengembang dan menyesakkan dada. Tenggorokanku terasa pepat. Dan aku merasa air
mataku jatuh. Untung, dalam kegelapan malam tak mungkin ada orang melihat roman
mukaku. Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang
lain, sangat lain. Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang
pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. Tetapi kini semuanya akan menjadi
kenyataan, dan aku bersama Kiram dan Jun, meski hanya sementara, menjadi bagian
tentara Republik. Ya, tak pernah kuduga, akhirnya aku mendapat peluang bertempur
atas nama negara. Keharuan kembali merebak dan air mataku jatuh lagi.
Aku percaya, pertempuran kali ini akan sengit karena orang-orang GS tentu
sadar bahwa mereka hanya punya dua pilihan: bertempur sampai menang atau sampai
mati. Mereka pasti sudah mendengar teman-teman mereka, orang-orang komunis,
kebanyakan "disukabumikan".
Jam tiga pagi, truk berhenti di jalan raya yang membelah hutan jati
Cigobang. Masih cukup waktu bagi pasukan kami untuk berjalan kaki sampai ke
tempat sasaran sebelum hari terang. Atas saran kami bertiga, sasaran pertama
adalah sebuah rumah, masih di tepi jalan besar. Itulah rumah Benggol, seorang
pamong desa yang diam-diam menjadi tokoh GS. Benggol, juga dua pembantunya, tak
berhasil kami temukan. Istri mereka bilang, Benggol dan teman-temannya sudah
lima hari tak muncul di rumah. Aku dan Kiram sependapat, orang-orang GS pasti
sudah menyatu untuk mempertahankan diri dan setiap kemungkinan yang mengancam
mereka. Bila perkiraan ini benar, aku sangat yakin mereka sudah berhimpun di
pusat penggergajian kayu gelap di tengah hutan jati.
Langit di timur mulai merona ketika kami mendekati saran dari tiga
jurusan. Aku, Jun, dan Kiram sudah memberi penjelasan yang terinci tentang
keadaan kompleks penggergajian kayu itu kepada tiga perwira yang akan memimpin
penyergapan. Sebenarnya aku menyadari kedudukanku hanya sebagai pembantu dan
penunjuk jalan. Namun entahlah, dalam udara pagi yang dingin itu darahku terasa
panas. Apalagi kulihat Kiram minta izin untuk menjadi pendobrak pertahanan
lawan. Aku dan Jun mengikuti Kiram.
Maka jadilah Kiram, aku, dan Jun bergerak di ujung pasukan. Ah, Kiram
masih seperti dulu: berani, sangat cekatan, dan lugas. Mungkin Kiram punya
perasaan sama, ingin segera menembak musuh bebuyutan kami. Atau justru pamer
keberanian. Dan bila hal itu yang akan dilakukan Kiram, ia berhasil. Ia
berguling ke samping pada detik pertama terdengar tembakan pasukan komunis dari
sebuah kilang penggergajian. Jun membalas tembakan itu, dan detik berikutnya
perang pun membahana. Aku sempat beberapa kali menarik picu senjata. Namun tak
lama kemudian aku merasa pundak dan belikatku Panas. Lalu aku tak kuasa lagi
menggerakkan tangan kananku. dan tiba-tiba kepalaku terasa sangat pening dan
mataku mulai berkunang-kunang.
Dalam kesadaran yang masih tersisa, samar-samar aku melihat Kiram dan Jun
bangkit dan lari menyerbu. Granat berledakan. Aku juga masih sempat melihat
tentara yang muda-muda itu bertempur dengan cara yang lebih baik. Lalu duniaku
bergoyang dan dalam rongga mataku hanya ada warna biru gelap dengan taburan
ribuan bintang. Semuanya jadi terasa enteng dan melayang. Telingaku mendengar
suara denging yang lembut dan datar. Kemudian entahlah, aku merasa diriku
sendiri larut dan lenyap.
Ketika lambat laun aku merasa terhadirkan kembali, hal pertama yang
kurasakan adalah suara berdengung dalam telinga. Suara orang-orang yang tak
kukenal sama sekali. Tetapi dalam kegalauan suara itu aku mendengar getar yang
tak asing. Makin lama getar itu dapat kutangkap sebagai suara yang sudah lama
kukenal. "Mid, nyebut. Laa ilaaha illallaah."
Aku membuka mata. Pundak dan punggungku rasa berdenyut, sakit bukan main.
Banyak sosok bergoyang dalam warna yang serbakuning. Aku mendengar suara Kiai
Ngumar. Wajahnya perlahan-lahan muncul dalam layar penglihatanku, samar dan
bergetar. "Laa ilaaha illallaah."
"La-ilah-illalah."
"Ya, Mid, teruslah nyebut."
Aku ingin menuruti perintah Kiai Ngumar, mengulang-ulang tahlil. Aku
merasa mulutku bergerak. Tetapi kukira aku ingin juga meninggalkan wasiat.
"Tolong jaga Umi dan Sri."
"Tetaplah tawakal, Mid."
Aku masih bisa menangkap suara Kiai Ngumar yang baru saja diucapkannya.
Aku juga masih ingat wejangan yang dulu pernah diberikannya kepadaku: yaitu
memerangi kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat hukumnya wajib.
"Tetaplah tawakal, Mid. Engkau menjelang syahid."
"Laa ilaaha illallaah..."
"La-ilah-illallah..."
"Laa ilaaha illalaah..."
"...illa...allah..."
"Laa ilaaha illallaah...."
TENTANG PENGARANG Ahmad Tohari dilahirkan di Banyumas, 13 Juni 1948. Dia tidak pernah
melepas-kan diri dari pengalaman hidup kedesa-annya yang mewarnai seluruh karya
sas-tranya"Ronggeng Duknh Paruk (1982) yang telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda, Jeman, dan Inggris serta telah difilmkan dengan judul Sang
Penari; Di Kaki Bukit Cibalak (1986); Senyum JCaryamin (1989); Bekisar Merah
(1993) yang telah diterbitkan dalam bahasa Inggris; Lingkar Tanah Lingkar Air
(1992); Orang-Orang Proyek (2002); Kubah (2005); Ronggeng Dukuk Paruk Banyumasan
(2006); Mata yang Enak Dipandang (2013).
Siluman Penghisap Darah 1 Joey Si Frustasi Yang Beruntung Karya Mark Bowden Naga Sasra Dan Sabuk Inten 11
"Maksud sampean bagaimana?"
"Bapak boleh pilih: tunjukkan di mana mereka berada atau Bapak sendiri
kami bawa sebagai ganti mereka. Pilih!"
Lengang. Aku belum berani bergerak dari posisi tahiyat sehingga aku tak
mungkin melihat mereka yang sedang be tegang di halaman.
"Ya, bawalah aku kepada komandan sampean. Aku akan mempertanggungjawabkan
perbuatan ketiga anak itu."
Kemudian kudengar langkah sepatu menjauh. Lalu tangis istri Kiai Ngumar
dan cucunya. Aku bangkit dan melihat keluar. Masih sempat kusaksikan Kiai Ngumar
berjalan diiringi empat orang bersenjata. Tiba-tiba aku merasa diriku sangat
kecil dan hina. Kiai yang sudah tua itu terlalu banyak berkorban untuk aku dan
teman-temanku. Dan kini beliau dibawa pergi, entah bisa kembali atau tidak. Oh,
andaikan Kiai Ngumar mendapat hukuman berat karena pembelaannya terhadap kami,
apa yang bisa kami lakukan untuk membalas budinya"
Malam hari aku berusaha mencari Kiram dan Jun ke rumah Kang Suyud, tetapi
keduanya tak ada di sana. Kang Suyud yang menemuiku dengan wajah dingin hanya
bilang bahwa Kiram dan Jun sedang mencari berita. Ketika kutanya apa yang
dimaksud, Kang Suyud mulai menyebut-nyebut nama Darul Islam, nama yang baru
pertama kali kudengar saat itu. Dari pertemuan itu aku tahu, Kang Suyud sudah
mempunyai suatu rencana yang mendalam, yang aku sendiri tak mudah memahaminya.
Yang jelas, terasa benar Kang Suyud sudah tak sepaham lagi dengan Kiai Ngumar,
suatu hal yang membuat aku benar-benar sedih. Kang Suyud mengatakan Kiai Ngumar
adalah seorang kiai republiken yang kena pengaruh van Mook, seorang politikus
dalam Islamolog Belanda yang ulet dan cerdas. Entahlah. Yang jelas aku sangat
dipusingkan oleh kenyataaan bahwa Kiai Ngumar kini ditahan oleh pasukan
Republik. Aku benar-benar pusing.
Mungkin kepusinganku akan sangat berkepanjangan apabila Kiai Ngumar tidak
muncul seminggu kemudian. Berita Pulangan Kiai Ngumar kudengar dari tempat
persembunyianku melalui kabar dari mulut ke mulut yang sampai kepadaku dengan
cara rahasia. Hasrat untuk bertemu dengan kiai tua itu sangat mendesak di
hatiku, tetapi aku harus benar-benar waspada karena sadar"aku, Kiram, dan Jun
adalah orang-orang yang diburu. Ah, aku sering berpikir betapa malangnya kami
ini. Dulu, kami harus selalu waspada terhadap mata-mata atau siapa saja yang
menjadi kaki-tangan Belanda. Sekarang, kami harus berjaga-jaga dari kejaran
tentara Republik, padahal se-tidaknya aku sendiri, sama sekali tak punya sedikit
pun rasa permusuhan terhadap mereka.
Pada hari ketiga sejak kepulangan Kiai Ngumar, aku merasa tidak tahan
lagi. Aku harus berbicara dengan orang tua itu. Kupilih saat muncul fajar untuk
menemui Kiai Ngumar di suraunya, untuk mengurangi risiko terlihat oleh orang
lain. Maka dini hari aku keluar dari rumah tempat aku menyembunyikan diri dan
menunduk-nunduk ke arah surau Kiai Ngumar. Di bawah pohon serut aku berhenti,
bahkan berjongkok, menunggu suara terompah Kiai Ngumar bila ia berjalan ke
perigi. Kokok ayam pertama sudah terdengar. Langit timur mulai merona terang. Aku
tahu betul pada saat seperti itu Kiai Ngumar keluar untuk salat subuh. Pada
zaman normal, banyak orang dan anak muda ikut berjamaah. Namun sejak ada perang,
Kiai Ngumar hampir selalu salat seorang diri. Dan benar, suara terompah sudah
terdengar seperti ingin mengusik kelengangan pagi. Aku tersenyum seorang diri
karena merasa pasti akan berhasil berbicara dengan Kiai Ngumar. Aku bangkit. Tetapi
tiba-tiba naluriku bilang ada bahaya. Aku mendengar sesuatu yang patah karena
terinjak. Dan di bawah remang sinar gemintang aku melihat sosok yang bergerak
mengendap-endap. Sejenak aku bertahan hingga kupastikan sosok itu memang
menginginkan diriku. Ya. Aku yakin orang yang mengendap-endap itu memang mau
menangkap aku. Kalau mau, aku bisa mendahuluinya menembak, namun aku memilih
lari. Sedetik kemudian terdengar letusan senjata di belakangku. Aku terus lari.
Kegelapan tak begitu menjadi rintangan karena aku berlari di tanah kelahiran
yang kukenal baik sampai ke liku-likunya yang paling kecil.
Semula aku bermaksud bersembunyi di rumah Kang Suyud. Ah, tidak. Aku
percaya, di sana pun aku tak aman. Maka selagi hari belum terang aku terus
berlari cepat menuju perbukitan di seberang sungai. Pada saat itu aku hanya
punya satu pikiran: aku harus menyusul Kiram dan Jun di mana pun mereka berada,
karena pasukan Republik bukan hanya menutup pintu bagiku, melainkan sudah
menghendaki kematianku. Ketika hendak menyeberangi sungai, kulihat kabut tipis
melayang di atas permukaan air. Sudah kubayangkan dinginnya air sungai Pada pagi
hari di musim kemarau, tetapi aku harus terjun dan menyeberang.
Ternyata tidak mudah menemukan Kiram dan Jun. Tetapi tanpa sengaja aku
malah ketemu Kang Suyud pada hari ketiga, di surau kecil di sebuah desa di
pinggir hutan, jauh dari kampung asal kami. Dan entahlah, pada pertemuan dengan
Kang Suyud itu aku merasa tak sanggup lagi melepaskan diri dari pengaruhnya.
"Mid, sekarang kamu mau apa" Kamu tak punya jalan kecuali ikut aku. Dulu
pun aku sudah bilang, selama ada anak-anak komunis dalam pasukan Republik, aku
tak mau bergabung dengan mereka. Sekarang kejahatan mereka terbukti bukan?"
Aku diam. Dalam hati aku siap membantah bila Kang Suyud menuduh semua
anggota pasukan Republik sudah terpengaruh komunis. Aku masih ingat ucapan Kiai
Ngumar bahwa beberapa kenalannya, bahkan ada pula seorang kiai, menjadi komandan
pasukan resmi itu. "Atau kamu mau menyerahkan diri" Percuma, Mid. Kamu sudah dianggap
pengkhianat dan bila menyerahkan diri kamu akan dikenai hukum perang. Artinya,
pasti kamu akan ditembak mati."
Aku masih diam. Dan kali ini aku sungguh-sungguh membenarkan kata-kata
Kang Suyud. "Kiram dan Jun di mana?"
Tunggu mereka di sini. Malah Jalal juga sudah bergabung. Kita sudah resmi
menjadi anggota laskar Darul Islam. Kita sudah punya negara sendiri, Negara
Islam Indonesia." Negara Islam Indonesia" Aku teringat Kiai Ngumar. Teringat ketika ia
bersaksi bahwa dalam mian yang teguh Kiai Ngumar dengan sadar memilih Republik
Indonesia yang sudah berdiri dengan sah. Aku juga teringat kata-kata orang tua
itu bahwa dalam suatu negara yang sah, di dalamnya tak boleh ada suatu bentuk
negara terpisah yang sah pula. Aku mempercayai kebenaran pikiran Kiai Ngumar:
mestinya hanya ada satu bentuk negara yang sah, yaitu Republik. Tetapi aku mau
apa jika pasukan Republik jelas-jelas menganggapku sebagai pemberontak"
Tak tahulah. Pergulatan pikiran itu tak bisa kuselesaikan. Apalagi aku,
Kiram, Jun, dan Jalal sudah harus menghadapi serbuan pasukan Republik. Dan dalam
sebuah pertempuran di daerah Brebes, aku terlibat perkelahian dengan senjata
kosong karena aku dan lawanku sama-sama kehabisan peluru. Untuk Pertama kalinya
aku menggunakan ilmu silat dalam pertempuran besar. Celakanya, lawanku pun jago
dalam ilmu bela diri sehingga aku terpaksa menempuh cara pengecut: melempar
wajah lawanku dengan debu tanah. Ketika ia jatuh, aku memukulnya dengan gagang
senapan. Aku bergidik melihat darah yang mengucur dari luka di kepala lawanku.
Atau, aku bergidik karena menyadari akan kepengecutanku sendiri. Entahlah.
Pokoknya aku menutup wajah dengan kedua tanganku...
Sekali lagi aku tersentak. Kudengar Kiram serta Jun tertawa bersama. Aku
menoleh kiri-kanan. Perlahan-lahan aku tersadar dari lamunan yang sangat
panjang. "Bukan main, Mid. Hari ini kamu begitu mudah terkejut. Kamu mulai
linglung" Daripada terus melamun, lebih baik habiskan nasimu. Mau tambah kopi?"
"Melamun boleh saja, Mid, asal jangan keterlaluan," sain bung Jun yang
sedang memperbaiki ikatan perbannya.
Aku nyengir, pahit. Aku mengusap-usap kening karena pusing ketika harus
menghadapi kenyataan bahwa aku sebenarnya sudah lama lepas dari masa lalu. Aku
reguk kopi yang baru dituangkan dari cerek usang oleh Kiram.
"Mid...!" kata Kiram setelah selesai menuang kopi untukku. "Kamu kelihatan
mengekang kegelisahan. Daripada terus melamun memendam rasa seperti itu, lebih
baik kamu bicara kepada kami."
"Sebelum Amid bicara, aku sudah mengerti apa yang dii' nginkannya sekarang
ini," sela Jun. "Kamu ingin turun gunung dan menyerahkan diri. Iya, kan?"
Soal itu aku sudah tahu. Amid ingin hidup normal di kampung bersama istri
dan anak yang kini dalam kandungan. Keinginan yang wajar. Jun, aku, dan kamu pun
menginginkan hal itu. Iya apa tidak?"
Jun tertawa dan mengangguk. Aku masih diam dan membiarkan diriku menjadi
bahan pembicaraan antara Kiram dan Jun.
"Tetapi sudah kubilang, persoalannya benar-benar tak mudah," sambung
Kiram. "Sebelum orang seperti kita sampai ke kampung, kita sudah habis di tangan
OPR. Organisasi Perlawanan Rakyat itu banyak disusupi orang-orang Gerakan
Siluman yang komunis. Jadi percuma bila kita berniat turun gunung. Bagiku,
daripada mati justru karena menyerahkan diri, lebih baik mati bertempur."
Aku mengangguk-angguk dan menelan
Luhur, terbayang di mataku. Ah, matanya
Perutnya yang kini mungkin makin besar.
tak menemuinya. Bahkan aku pun tak tahu
ludah. Wajah Umi, istriku, di Dayeuh
yang selalu mengundang belas kasihan.
Entahlah, aku sudah hampir tiga bulan
apakah Umi sekarang dalam keadaan sehat.
Cerita Kiram tentang orang-orang GS, Gerakan Siluman, "memang sudah lama
menjadi kesadaran umum di kalangan kami. Banyak perangkat pamong di desa-desa
pinggiran hutan atau perkebunan karet, diam-diam atau terang-terangan menjadi
anggota gerakan rahasia ini. Mereka jelas-jelas komunis. Dan celakanya, mereka
sangat mudah memperoleh senjata karena mereka juga merekrut banyak oknum OPR,
organisasi yang resmi dipersenjatai dan dibangun sebagai barisan per-tahanan
sipil. Selain mempunyai kekuatan bersenjata, mereka mempunyai jalur usaha
perekonomian, yakni perdagangan kayu jati secara gelap. Mereka mengorganisasikan
banyak sekali pencuri kayu jati sehingga beberapa pemimpin mereka, yang kami
kenal menjadi pamong desa, adalah orang-orang yang sangat kaya.
Beberapa kali kami bertempur melawan orang-orang GS untuk memperebutkan
suatu wilayah hutan jati. Wilayah tersebut sudah lama menjadi basis pertahanan
kami, tetapi mereka ingin menguasainya demi pohon-pohon jati yang besar-besar
dan tua, yang ingin mereka tebang.
Yang lebih menyulitkan kami, orang-orang GS ibarat tombak bermata dua. Ke
arah kami, mereka membuka garis permusuhan; sementara ke arah lain mereka
menggunakan nama kami untuk melakukan perampokan-perampokan terhadap orang-orang
dusun. Semula aku kurang yakin akan kabar ini: bahwa nama kami mereka catut
untuk kepentmgan mereka sekaligus untuk lebih memojokkan kami, terutama di mata
masyarakat. Namun aku memperoleh keyakinan akan hal tersebut ketika aku seorang
diri suatu kali nekat dan berhasil menyusup masuk ke kampung kelahiranku. Aku
bertemu orang-tuaku yang sudah lama amat kurindukan, juga Kiai Ngumar yang tentu
semakin renta. Penyusupan itu kulakukan karena saat itu aku diamuk rasa kangen yang amat
sangat terhadap orangtuaku. Dengan menempuh risiko yang sangat besar, suatu
malam aku berjalan menyusuri hutan dan menuju kampung kelahiranku, 140 kilometer
dari tempat persembunyianku. Setelah sehari-semalam menempuh perjalanan, senja
hari aku mencapai tepi hutan dan beristirahat menunggu hari gelap. Lepas isya
aku menerus-kan perjalanan melewati padang perdu, menyeberangi sungai-sungai
gunung dan menembus kebun singkong. Tengah malam aku mencapai batas kampungku.
Dan aku lama tertegun karena perjalananku terhalang oleh pagar bambu yang tinggi
dan berlapis-lapis. Ya, pagar itu memang dibuat untuk mencegah laskar DI masuk.
Tetapi sungguh bodoh bila orang terlalu yakin kami tak bisa menembusnya. Hanya
dengan modal pisau dan sedikit keuletan aku berhasil menyayat sampai putus satu
mata Pagar lapis pertama dan seterusnya. Lubang kecil yang kabuat sudah cukup
untuk meloloskan badanku yang memang tidak besar.
Aku berjalan dengan amat sangat hati-hati untuk menghindari para peronda.
Ah, soal berjalan mengendap-endap digelap malam, kamilah yang paling
berpengalaman. Maka mengelabui para peronda itu sama mudahnya dengan main kucing-kucingan seperti ketika aku masih anak-anak. Akhirnya aku sampai di rumah
orangtuaku, rumah yang sudah hampir sepuluh tahun kutinggalkan. Aku sangat sadar
bahwa keda-tanganku tak boleh diketahui orang selain mereka yang bisa
kupercayai. Bahkan orangtuaku pasti akan mendapat kesulitan sangat besar bila
aparat keamanan mengetahui mereka telah menerima kedatanganku. Maka aku tak
berani mengetuk pin-tu. Aku hanya berusaha membuat aba-aba halus di emper samping. Beberapa kali aku membuat aba-aba itu demi mengetuk nurani seorang emak
yang mungkin sedang terbaring di balik dinding bambu di dalam sana. Ternyata
usahaku tak sia-sia. Emak tetap memiliki kepekaan seorang ibu sejati. Kudengar
suara pelupuh bambu berderit halus, lalu suara Emak yang terbatuk kecil. Terasa
olehku ada air sejuk tercurah langsung ke dasar hatiku.
Ah, Emak. Dia merasa, kemudian mengerti ada sesuatu di luar bilik
tidurnya. Dan apabila sesuatu itu adalah dia yang pernah dikandung, lalu
ditetekinya sekian lama, maka kesejatian seorang ibulah yang mengusiknya.
Kudengar suara pelupuh berderit lagi, kukira Emak bangun dan turun dari balaibalai. Kemudian kudengar langkah-langkah sangat hal mendekat ke dinding.
"Kamu, Mid?" Ya Tuhan, itu suara Emak. Itu suara yang sudah sangat lama tak kudengar.
Tiba-tiba dadaku berdebar dan tenggorokanku sesak. Mataku panas. Aku tak bisa
segera menjawab suara halus itu sampai Emak mengulanginya.
"Mid..." "Ya, Mak. Aku Amid."
Kudengar Emak mendesah, lalu berbisik memintaku masuk lewat dapur. Gelap.
Emak memeluk dan mengelus kepalaku dalam kegelapan. Emak menangis, tapi aku tak
bisa melihat raut wajahnya. Ayah juga bangun dan aku melihat sosoknya dalam
keremangan. Melalui tangisnya, aku mengerti, selama ini Emak tak tahu pasti
apakah aku masih hidup atau sudah mati. Dan lewat tangis yang lebih memilukan,
aku juga tahu bahwa Emak tidak ingin aku tinggal lama karena keselamatan-ku
sangat tak terjamin bila aku sampai terlihat oleh orang luar.
Aku membiarkan Emak terus tertahan-tahan dalam isaknya. Setelah agak
mereda, aku minta Ayah menyalakan pelita. Semula Ayah menolak karena khawatir
ada orang mengintip. Namun aku tetap minta pelita karena aku ingin melihat wajah
Emak, juga Ayah. Akhirnya dua wajah yang lama kurindukan ltu muncul dalam cahaya
temaram dian kecil. Ah, Emak tua. Rambutnya mulai putih dan wajahnya letih.
Lalu, matanya. Oh, aku melihat kegersangan jiwa Emak pada kedua matanya yang
dalam dan pudar. Kulihat perih hati Emak ada dalam pelupuk yang keriput dan kini
basah oleh air mata. Anehnya, Emak tidak banyak berkata, mungkin karena dadanya
menyesak atau karena takut bisiknya akan terdengar dari luar.
Aku juga melihat kebuntuan pada wajah Ayah. Seperti Emak, Ayah juga
terlibat bersukacita atas kedatanganku yang sangat mendadak dan pasti tak mereka
sangka sebelumnya. Namun kegembiraan Ayah, dan juga Emak, jelas tersaput
kebimbangan. Ya, aku sadar, Ayah akan ditangkap aparat keamanan bila diketahui
aku datang ke rumahnya. Jadi pertemuan kami terasa tegang dan penuh suasana
tergesa. Meski demikian, aku bertahan duduk menemani Ayah sementara Emak
menyalakan tungku. Emak ingin menanak nasi buat aku dan menangis ketika aku
mencoba mencegahnya. Ketika mendengar suara ayam berkokok, aku minta diri. Perutku sudah
kenyang oleh nasi yang ditanak Emak. Emak memberiku uang dan kuterima karena tak
ingin mengecewakannya. Tetapi hatiku terasa benar-benar pepat ketika Emak
bertanya apakah suatu saat kelak aku bisa benar-benar pulang ke rumah.
Di luar pengetahuan Emak dan Ayah, aku mengendap endap menuju rumah Kiai
Ngumar. Tak lama menunggu disudut suraunya aku mendengar bunyi itu, bunyi
terompah kayu. Masih seperti dulu, bunyi terompah itu berubah setelah Kiai
Ngumar keluar dari rumahnya, berubah lagi setelah langkahnya sampai ke perigi.
Aku mengucap salam ketika Kiai Ngumar hendak membuka pintu surau. Orang tua itu
tak segera membalas salamku. Kulihat dalam keremangan fajar, Kiai Ngumar agak
ragu. "Saya, Kiai. Saya, Amid," kataku pelan, hampir seperti bisik.
"Ngalaikum salam. Ya Gusti, kamukah, Mid?" jawab Kiai Ngumar, juga dalam
bisik. Orang tua itu mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan. Kurasakan
sebuah tangan tua yang makin lemah.
"Ya, Kiai." "Nanti dulu, Mid. Aku merasa bersyukur masih bisa bertemu kamu. Tapi
kubilang, kamu terlalu berani. Kamu mengambil langkah yang sangat membahayakan
dirimu sendiri. Bagaimana bila sampai ada orang tahu kamu datang kemari" Tetapi,
ke sinilah." Terasa lembut dan sejuk ketika telapak tangan Kiai Ngumar menyentuh
pundakku. Kiai urung masuk surau, malah membimbingku ke rumah dan langsung
menyuruhku menyembuyikan diri dalam sebuah bilik.
"Kamu di sini dulu. Aku akan memberitahu istriku, sekalian salat subuh."
Pintu bilik ditutup dari luar. Aku duduk di atas dipan kayu beralas tikar
pandan. Lalu entahlah, ada rasa aman mengembang perlahan dalam hatiku. Aku
merasa berada dalam tangan orang yang mau mengerti dan senang memberikan rasa
aman itu. Lega. Kemudian aku sadar bahwa sesungguhnya aku sangat letih dan
mengantuk karena perjalanan yang sangat jauh serta malam-malam terakhir tanpa
tidur yang berarti. Dan bau tikar pandan yang sudah mengilap serta sebuah bantal
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kapuk mengimbauku untuk merebahkan diri. Ah, betapa hatiku tiba-tiba terasa
lapang, jernih, dan tenang. Tarikan napasku terasa nyaman. Lalu sekelilingku
perlahan baur dalam kabut putih yang begitu indah.
Entah berapa lama aku terlena. Yang pasti, ketika aku terjaga hari sudah
siang. Aku bisa melihat pekarangan samping rumah Kiai Ngumar melalui dinding
anyaman bambu yang agak tembus pandang. Di dekatku ada pakaian: sehelai kaus
oblong dan celana hitam komprang. Ah, kukira Kiai Ngumar menyuruh aku menukar
celana dan baju yang kupakai karena sudah begitu kumuh. Seperti lumut hitam. Ya,
aku turuti kehendak Kiai Ngumar. Namun setelah berganti pakaian aku terkejut
bukankah aku tidak bermaksud berlama-lama tinggal di rumah itu karena selain
mengancam diriku sendiri, juga akan membahayakan Kiai Ngumar" Bukankah rencanaku
semula hanya ingin melihat Emak dan Ayah, lalu secepatnya kembali ke hutan"
Ketika aku sedang memikirkan kecerobohan tindakanku sendiri, kudengar
bunyi terompah Kiai Ngumar mendekat. Pintu diketuk dan orang tua itu muncul. Aku
melihat senyum Kiai Ngumar. Tetapi aku juga melihat di balik senyum itu ada
kebuntuan yang tersembunyi. Kiai duduk di sampingku, sama-sama di tepi dipan.
"Mid, aku senang karena kamu ternyata masih hidup. Syukurlah. Tetapi, Mid,
aku tak tahu apa yang bisa kuberikan kepadamu saat ini. Apakah kamu ingin
menyerah?" Aku diam.
"Mid, suasana sudah begitu sulit. Bila ingin mengakhiri perjuanganmu
dengan aman, kamu hanya punya satu cara. Bergeraklah seorang diri ke utara.
Capailah Cirebon. Di sana kamu Punya peluang untuk melarikan diri ke Lampung.
Kudengar Jalal menempuh cara itu dan kini bisa hidup tenang di sana."
Aku masih diam, benar-benar tak tahu apa yang bisa kukatakan kepada Kiai
Ngumar. Mungkin karena melihat aku "ubang. Kiai Ngumar bercerita bahwa gerakan
Darul Islam sama sekali sudah tak punya harapan hidup. Bukan hanya karena aparat
keamanan akan menghancurkannya, melainkan juga karena pendapat umum masyarakat
menganggap DI adalah musuh mereka. Kiai Ngumar juga bilang, sudah lama ada
kelompok pengacau yang mencatut nama DI untuk melakukan perampokan-perampokan.
"Mid, bulan lalu bahkan rumah ini mereka datangi. Mereka uluk salam dan
langsung memperkenalkan diri sebagai tentara Islam. Waktu itu aku agak berharap
bahwa yang muncul adalah kamu, atau Kiram, atau Suyud. Tidak, Mid. Mereka pasti
bukan dari gerakanmu. Uluk salam mereka sama sekali tak fasih."
"Nanti dulu, Kiai. Mereka tidak menganiaya Kiai?"
"Alhamdulillah, tidak. Mereka hanya minta uang, dan k-berikan semua yang
memang tak seberapa. Tetapi di tempat lain mereka membunuh penduduk yang
berteriak-teriak ketika mereka datang."
"Nanti dulu, Kiai. Mereka melakukan aksi sementara kampung-kampung sudah
dipagari berlapis-lapis?" .
"Ya, Mid, ya." "Maksud saya, mereka menjebol pagar itu?"
"Benar. Tetapi sesungguhnya perondaan sangat ketat. Jadi hanya bisa
ditarik kesimpulan, mereka bekerja sama dengan peronda, atau sebenarnya mereka
adalah orang-orang kampung ini juga. Soal pagar yang dijebol, itu bisa merupakan
akal-akalan saja." Tiba-tiba istri Kiai Ngumar masuk sambil meletakkan telunjuk di bibirnya.
Ini sebuah aba-aba agar kami tidak berbicara terlalu keras, atau ada seseorang
yang datang. Syukur, Nyai Ngumar cuma memperingatkan agar kami lebih merendahkan
suara dalam berbicara. "Mid, semuanya menjadi jelas ketika polisi menangkap gerombolan perampok
itu. Betul, mereka adalah pemuda-pemuda, satu di antaranya seorang guru,
komunis. Ketika tertangkap mereka dalam seragam OPR, dan lampu baterai yang ada
di antara mereka milik seorang lurah yang dikenal komunis juga."
"GS?" "Aku percaya, ya. Lebih rumit lagi, Mid. Pernah terjadi pencegatan
terhadap kendaraan pengangkut rokok di jalan raya yang melewati Gunung Sengkala.
Cina dalam kendaraan itu ditembak dan dirampok. Semua orang percaya perampokan
itu dilakukan oleh DI. Tetapi Cina itu ditemukan oleh aparat keatnanan dalam
keadaan hidup dan bisa menunjukkan siapa perampok yang sebenarnya."
"Siapa" GS?" selaku tak sabra.
"Bukan. Beberapa oknum di kalangan aparat keamanan sendiri."
"Wah, kacau. Tetapi, Kiai, saya harus jujur bahwa kami, DI, juga sering
harus meminta perbekalan kepada penduduk bila pasokan habis."
"Maksud kamu, kalian juga merampok" Ah, tak usah mengaku, aku sudah tahu.
Dengan cerita-cerita itu aku hanya ingin bilang, suasana sudah demikian rumit.
Dan edan." "Edan?" "Ya. Oknum-oknum yang merampok truk rokok itu misalnya, beruntung karena
kemudian ditangani oleh CPM. Mereka kukira bisa lepas dari amukan massa. Tetapi
Madnuri" Kamu ingat Madnuri?"
"Nanti dulu, si bisu Madnuri?"
"Ya," "Kenapa dia?" "Suatu kali ia terlambat pulang dari hutan sambil mem'ikul kayu bakar.
Pintu-pintu pagar pelindung kampung sudal ditutup. Ia menggedor-gedor pintu itu.
OPR menangkap dan menuduhnya terlibat gerakan kamu, DI. Habislah dia, rada
banyak orang tahu siapa Madnuri yang bisu itu.
"Sekarang, bayangkan sendiri bila kamu tertangkap, bahkan bila kamu
menyerahkan diri. Kamu akan habis sebelum kamu sampai ke tangan aparat keamanan
yang seharusnya menangani kamu."
Kalimat terakhir yang kudengar dari Kiai Ngumar membuat harapanku gelap.
Apalagi Kiai Ngumar kemudian bilang bahwa dirinya bahkan tak punya keberanian
untuk menjadi perantara andaikan aku mau menyerahkan diri kepada tentara.
"Memang, Mid, aku bisa melakukan hal itu. Tetapi kamu akan tetap dihukum.
Lagi pula sekarang ini massa komunis sudah demikian kuat, aku tak akan tahan
bila mereka menuduhku terlibat DI. Aku sudah tua."
Aku bisa mengerti sepenuhnya perasaan Kiai Ngumar. Ia sudah terlalu
ringkih untuk bisa menolongku, ringkih secara jasmani dan ringkih dalam hal
pemikiran. Lebih-lebih suasana memang kacau. Orang seperti Kiai Ngumar bisa
diumpamakan Lebai Malang. Oleh sementara oknum aparat yang komunis, Kiai Ngumar
dicurigai bersimpati kepada DI, karena santri-santrinya, seperti aku dan Kiram,
memang menjadi anggota gerakan ini. Tetapi Kiai juga dirampok oleh orang-orang
GS yang mengaku-aku sebagai tentara Islam. Bahkan pada awal tahun lima puluhan,
Kang Suyud yang DI asli pernah bermaksud mengambil Kiai Ngumar untuk diadili di
tengah hutan. Kalau bukan karena pembelaan Kiram dan aku, pasti Kang Suyud sudah
melaksanakan keinginannya
Kupandangi keletihan pada wajah Kiai Ngumar yang makin tua.
"Mid, tak pernah kukira akan terjadi zaman seperti ini. Aku sering
menyesal mengapa dulu kalian tidak mau mendenga-kan kata-kataku untuk meredam
kemarahan kalian dan tidak membuka permusuhan terhadap pasukan Republik. Atau,
memang sudah jadi takdir. Buktinya, kamu yang dulu ingin jadi tentara kini malah
jadi musuh mereka, padahal kamu semula tak ingin melakukannya. Bahkan untuk
menghentikan musuhan itu pun kini tak mudah, sehingga sangat sulit bagi untuk
kembali ke masyarakat. Dengan demikian, Mid, aku tak bisa bilang apa-apa kecuali
andum slamet, mudah-mudahan Tuhan menjaga keselamatanku dan keselamatanmu."
Kiai Ngumar mengakhiri ucapannya dengan kesedihan yang begitu nyata. Ada
rasa bersalah mengepung hatiku karena aku yakin kesedihan Kiai Ngumar berawal
dari ketidak-patuhan kami terhadap orang tua itu. Celakanya, semuanya sudah
terjadi dan rasanya tak ada jalan kembali.
Hari itu aku tidur dalam persembunyian di rumah Kiai Ngumar. Tengah malam
aku pamit kepada Kiai Ngumar. Mungkin benar kata kiai tua itu, bahwa semuanya
sudah menjadi takad Nyatanya, saat itu aku tak bisa memutuskan apa-apa kecuali
kembali ke hutan untuk bergabung lagi dengan Kiram dan Jun. Sebelum aku
melangkah, Kiai Ngumar meletakan tangannya di pundakku. Dan kata-kata yang
kemudian diucapkannya terasa sebagai getaran hati yang sangat dalam.
"Mid, aku sudah tua. Aku tak yakin masih punya kesempatan untuk bertemu
kamu sekali lagi. Jadi sebelum kamu pergi, yakinkan bahwa kamu memaafkan semua
kesalahanku. Aku berdoa untuk keselamatanmu."
Untuk ketulusan hati Kiai Ngumar, aku hanya bisa mengangguk dan mencium
tangannya. Aku masih sempat melihat senyum orang tua itu mengembang sebelum aku
membalikkan badan dan keluar melalui pintu belakang.
Perihal berjalan dalam kegelapan malam, aku sudah berpengalaman bertahuntahun sehingga dengan mudah aku menghindar dari pengawasan para peronda. Aku
menerobos pagar berlapis di tempat kemarin aku masuk. Keluar dari batas kampung
aku harus menempuh kebun singkong yang luas. Langit gelap sempurna, malah
gerimis mulai jatuh. Ketika langit menjadi sehitam jelaga, kilat tampak sebagai
garis-garis patah yang berpijar sesaat dan amat menyilaukan mata. Di tengah
tanda-tanda keperkasaan alam, aku merasa menjadi semut kecil yang merayap tanpa
daya dalam kegelapan yang sungguh pekat. Namun demikian aku terus berjalan.
Gerimis makin deras. Kilat kembali membelah langit dan sedetik mengusir
kegelapan. Aku dapat melihat sebuah dangau dan aku ingin dub di sana. Tetapi
tiba-tiba kilat yang begitu benderang kembali datang. Aku menutup telinga dengan
kedua ujung telunjuk karena yakin geledek akan segera membahana.
Satu-dua detik kutunggu, tetapi sialan, yang kudengar lagi lagi adalah
tawa Kiram dan Jun. Tawa kedua teman itu membawa aku kembali ke alam sadar. Ya,
betapapun jauh aku melamun, aku sebenarnya belum beranjak dari gua pos rahasia
DI tengah hutan jati itu.
"Mid, terus terang, aku mengkhawatirkan kamu," ujar Kiram yang masih
memegang cangkir kopi. "Kamu terus melamun. Kalau kamu terus seperti itu, kamu
bisa sinting." "Mid, kukira kamu perlu istirahat," kata Jun. "Tengoklah istrimu. Kamu
sudah lama tak bertemu dia, bukan?"
Aku tersenyum. Ternyata Kiram dan Jun bisa mengerti perasaanku. Ya. Selain
tentang masa depan gerakan DI sendiri, aku memang sangat ingin menjenguk
istriku. Diam-diam aku malah mengkhawatirkan kesehatannya.
"Berapa bulan kandungan istrimu?" tanya Kiram. "Lima atau enam," jawabku
tanpa semangat karena dalam kepalaku masih saja tersisa bayangan masa lalu.
"Jenguklah dia. Tetapi segera kembali bila kangenmu hilang."
Aku tersenyum lagi. Ah, manisnya bila kudengar kawanku berbicara tentang
sesuatu yang lebih manusiawi.
Keesokan harinya aku melaksanakan keinginan yang sudah lama kupendam,
menjenguk Umi di daerah Dayeuh Luhur. Ya, Umi yang terlalu muda ketika kuambil
sebagai istri. Umi yang ketika itu masih lima belas atau enam belas tahun. Aku
terpaksa oleh keadaan harus menikah dengan gadis belia itu karena ia sebatang
kara. Ayah Umi, Kiai Had, yang tiga tahun menjadi imam laskar DI, meninggal
dalam persembunyian di sebuah gua. Ketika melepas nyawa, Kiai Had hanya berteman
Umi. Gadis kecil ini tak mau berpisah sejak awal ayahnya masuk hutan untuk
bergabung dengan barisan Darul Islam.
Ah, tak mudah melupakan kenangan ketika aku dan teman-teman menemukan Umi
seorang diri dalam sebuah gua, sedang menunggui ayahnya yang sudah satu hari
satu malam meninggal. Perasaanku hancur. Pada saat-saat seperti itu aku sungguh
benci terhadap kenyataan bahwa aku berada dalam keadaan berperang melawan
pemerintah Republik. Aku sungguh benci terhadap keadaan yang menempatkan diriku,
juga teman-temanku, di luar kehidupan umum sehingga kami terus terus terlunta.
Dan contoh keterluntaan yang sangat nyata kurasakan ketika aku menyaksikan
jenazah seorang kiai tak terurus dan hanya ditunggui seorang gadis kecil yang
tak mampu berbuat apa-apa kecuali menangis dan menangis.
Selesai mengurus jenazah Kiai Had yang sudah mulai membusuk, kami
menghadapi persoalan dengan Umi: harus dikemanakan dia. Kami tahu Umi punya
banyak kerabat yang tidak mengikuti jejak ayahnya, Kiai Had. Mereka hidup biasa
di desa-desa tak jauh dari kawasan hutan jati yang menjadi pangkalan kami.
Tetapi Umi juga memahami, seorang gadis seperti Umi akan menemui banyak
kesulitan bila dia memutuskan untuk turun gunung. Masyarakat, bahkan mungkin
kerabatnya, belum tentu mau menerima Umi dengan tangan terbuka. Belum lagi sikap
aparat keamanan, terutama OPR, yang pasti akan menjadikan Umi sebagai bukti
kegagahan mereka bila anak Kiai Had itu tertangkap.
"Um," tanya Kiram dengan suara pelan dan lembut, "setelah ayahmu
meninggal, apa yang ingin kamu lakukan?"
Umi mengangkat wajah sejenak, lalu tunduk kembali. Bibirnya bergetar dan
air matanya kembali membasahi kedua pipi remajanya yang kurus. Lama kami
menunggu jawaban, tetapi Umi tak berkata apa-apa.
"Um," ujar Kiram lagi, tetap dengan nada lembut, "sebaiknya kamu pulang
dan bergabung dengan kerabat di kampong. Nanti kamu kami antar. Bagaimana?"
Umi tetap tertunduk. Tangannya sibuk mengusap air mata yang terus
berjatuhan. Saat itu perasaanku benar-benar remuk
Kutukanku makin sengit terhadap kekejaman pergolakan bersenjata. Lihatlah
ke dalam mata Umi dan dengarkan isaknya yang tertahan-tahan: betapa hancur jiwa
gadis tanggung itu dan betapa berat penderitaan yang harus dipikulnya akibat
peperangan ini. "Um, apa kamu ingin tinggal bersama kami?" tanya Jun yang sejak tadi diam.
Aku percaya pertanyaan Jun hanya main-main, sekadar untuk menguji kata hati Umi.
Sejenak tak ada jawaban. Tetapi kami semua menegakkan kepala ketika melihat Umi
akhirnya mengangguk. Aku, Jun, dan Kiram sama-sama terkesima.
"Pikirlah baik-baik, Um, kamu anak perempuan," kata Kiram. "Betulkah kamu
ingin tetap bersama kami tinggal di dalam hutan?"
Umi mengangguk. Kami kembali berpandangan dan kemudian sama-sama menarik
napas panjang. Aku sendiri makin iba melihat Umi. Maka aku bilang kepada Jun dan
Kiram bahwa kalau Umi mau, biarlah aku menjadi walinya. Aku ingin menjadi
pemberi rasa aman kepada gadis kecil yang malang ltu. Tetapi begitu mendengar
kata-kataku, Jun menyanggah.
"Mld, aku menghargai kemauan baikmu. Namun Umi tidak bias lagi dibilang
anak-anak dan kalian bukan muhrim.
"Maksudmu?" "Jangan pura-pura tak tahu maksudku," jawab Jun. "Kalau kamu bersungguhsungguh ingin melindungi Umi, sebaiknya kalian menikah. Aku bilang, Umi bukan
anak-anak, apalagi kamu."
"Ya, kukira itu lebih baik," dukung Kiram. Aku tak mampu cepat memberi
tanggapan. Tetapi jelas, aku tak menyesal telah menyatakan bersedia menjadi wali
bagi Umi. Masalahnya, haruskah perlindunganku buat Umi berupa perkawinan"
"Apa katamu, Mid?" desak Jun.
Entah mengapa, aku menoleh ke arah Umi. Sekilas kulihat kebimbangan dalam
mata gadis tanggung itu. Menikah" Jangankan Umi, aku pun tak mungkin bisa cepat
memutuskannya. "Mid!" ujar Kiram agak tegas. "Kamu jangan seperti anak kecil. Kamu jangan
menunggu Umi mengiyakan usulan Jun. Selamanya Umi tak akan bisa memheri jawaban.
]adi kamulah yang bisa memulai prakarsa."
Jun dan Kiram hangkit dan pergi meninggalkan aku hanya berdua Umi. Dan
hetul kata Kiram, Umi tetap diam, bahkan menangis ketika kutanya kesediaannya
untuk menjadi istriku. Ah, dia belum dewasa. Tetapi dua hari kemudian, dalam
sebuah gubuk di tepi hutan, aku dan Umi menikah. Kang Suyud yang waktu itu masih
hidup, menjadi wali hakim. Jun dan Kiram jadi saksi. Ya, pernikahan itu terjadi
tiga tahun berselang. Kini Umi sudah hamil dan kutinggal di Dayeuh Luhur. Aku
sungguh rindu kepadanya. Pagi-pagi sekali aku berangkat, berbekal kain sarung yang melilit
pinggang. Senjata kutitipkan pada Kiram dan Jun yang tetap tinggal dalam pos
rahasia. Aku hanya membawa parang. Barang ini sangat kuperlukan, terutama
sebagai sarana penyamaran bila aku harus keluar hutan sebagai seorang pencari
kayu bakar. Dari hutan Cigobang aku merayap di bawah kelebatan huran jati ke utara dan
nanti akan berputar ke barat. Angin belum bertiup sehingga belantara jati itu
menjadi sosok maharaksasa yang terbaring diam. Sepotong ranting lapuk yang jatuh
akan cukup mengusik keheningan. Apalagi kokok ayam utan, sedangkan suara
jangkrik yang berderik halus di lereng jurang pun jelas terdengar.
Makin dekat ke tepi, hutan makin menerawang karena banyak pohon jati yang
ditebang para pencuri. Pohon dan tetumbuhan beraneka ragam, tidak melulu jati.
Aku mulai melihat kupu-kupu dan capung. Dan kicau hurung pun mulai terdengar
perkutut dan derkuku bertengger pada cabang pohon wangkal. Ada sepasang bayan
hinggap dekat sarang mereka dalam lubang kayu kapuk. Mereka cerewet, tetapi
paruh merah dan bulu hijau mereka sangat enak dipandang. Dan aku melihat seekor
dadali tiba-tiba menukik dari langit. Tubuhnya yang gagah melesat ke bawah dan
sekejap hilang terhalang pepohonan. Ketika naik lagi, kulihat burung perkasa itu
sudah membawa seekor ular pada cakarnya. Aku teringat ular-ular bedudak sangat
berbisa, yang selalu membuatku bergidik. Tetapi dadali itu malah memakannya.
Lepas dari hutan jati, padang belukar yang sangat luas menghampar di depan
mata. Dan jauh di sana aku melihat sepetak huma dengan sebuah dangau yang
mengepulkan asap. Tiba-tiba aku merasa lapar karena terbayang singkong bakar
yang mungkin ada dalam perapian di tengah dangau itu. Langkahku mengarah ke
sana. Sesungguhnya dangau itu beratap ilalang, namun atap itu tertutup rapat
oleh daun labu yang batangnya merambat dari bawah. Ada dua atau tiga buahnya
tergeletak di atas atap yang rendah. Dinding dangau juga hatn-pir sepenuhnya
tertutup daun tanaman rambat itu.
Aku sudah lama mengenal petani huma itu, Madiksan. Kesehajaannya pasti
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengundang iba siapa saja. Namun, Madiksa sangat tekun. Humanya, yang
sesungguhnya merupakan bagian tanah kehutanan, digarapnya dengan sangat baik.
Madiksan menanam stngkong, jagung, dan palawija. Pada masa panen, istri dan
anak-anaknya yang tinggal dikampung sering dibawanya ke huma. Dan sebagai ganti
uang sewa kepada pemangku tanah kehutanan, Madiksan memberikan sebagian hasil
panennya kepada mandor jati. Madiksan seakan tak peduli bahwa aku adalah laskar
DI, musuh besar aparat keamanan yang ditakuti orang kampung. Boleh jadi lakilaki yang sudah ubanan itu berpikir, selagi sama-sama menjadi wong alasan,
manusia hutan, aku adalah sahabatnya. Ya, kami memang tak tega mengusik petani
huma itu. Apalagi kami sudah telanjur percaya, Madiksan tahu diri, ia tak pernah
berkhianat. Brayan urip, atau sama-sama cari hidup, demikian Madiksan sering
berkata padaku. Brayan urip, sepanjang ingatanku, adalah kata-kata sakti yang
sangat mudah mengundang rasa kebersamaan. Aku sendiri merasa tak kebal terhadap
kesaktian kata-kata itu. Maka aku dan Madiksan tak merasa terpisahkan oleh
kenyataan bahwa aku adalah anggota laskar DI, yang menjadi musuh Pemerintah
Republik. Madiksan sedang berjongkok menghadap perapian ketika aku masuk ke
dangaunya. Betul, petani huma itu sedang memanggang sesuatu: bukan singkong,
melainkan jagung muda. Ia menoleh karena mendengar suara langkah kakiku. Sejenak
wajahnya melukiskan rasa kaget. Namun setelah tahu siapa yang datang, Madiksan
tersenyum. "Ah, sampeyan, Mas Amid. Jagung bakar, Mas."
"Kebetulan, Kang Madiksan. Aku memang sedang lapar."
"Minum?" "Ya." "Tetapi tehnya kelatas daun jagung. Mau?"
"Ah, pokoknya ait. Aku juga haus."
Jagung bakar dan air hangat segera menenangkan petutku. Madiksan keluar
untuk menghalau gelatik dan bayan yang nebah padinya yang mulai menguning. Aku
menyimak harta Madiksan yang tetsimpan dalam dangaunya. Beberapa pocong jagung
kering tergantung di bubungan. Ada dua keranjang gaplek, tiga buah labu. Semua
sudah tertata tapi. Bila sudah demikian, pastilah Madiksan sudah siap turun
gunung untuk mengantarkan hasil huma buat anak dan istrinya.
Ya. Tiba-tiba aku merasa iri kepada lelaki yang sangat sederhana ini. Dia
punya dunia yang pasti, yakni keluarga yang mapan. Dia punya wadah jelas untuk
membuktikan hasil jerih payahnya. Jagung dan gaplek itu dikumpulkannya dengan
susah payah, pasti demi tawa anak-anaknya dan mungkin senyum istrinya. Madiksan
punya dunia yang nyata. Tapi aku Dalam usia hampir tiga puluh, aku tak punya
apa-apa yang nyata dan pasti. Ya, sampai sejauh ini aku tak punya kepastian
apalagi sesuatu yang lebih nyata seperti rumah yang berisi anak dan istri.
Memang, aku punya Umi, istriku. Tetapi aku tak punya kemapanan. Ya, kalau mau
jujur, bahkan sesungguhnya aku tak punya harapan. Ah, Umi. Demi kepatutan,
sesungguhnya aku harus membuat sebuah rumah buat kamu. Rumah untuk membesarkan
anak-anakmu. Rumah di mana kamu aman lahir dan batin, jauh dari rasa takut
karena selalu diburu. Rumah yang sebenar-benarnya rumah.
Ketika sedang makan jagung bakar tadi, tebersit keinginanku untuk
beristirahat di dangau Madiksan. Tetapi begitu teringat Umi, aku ingin
secepatnya bertemu dia. Maka setelah mereguk air teh kelaras jagung dari cerek
Madiksan, aku segera pamit dan meneruskan perjalanan. Dayeuh Luhur, tepatnya,
tepian hutan jati di wilayah itu yang akan kutuju, masih amat jauh. Apalagi aku
harus menempuh jalan melingkar melalui rimba jati dan semak belukar. Mungkin
besok sore aku baru sampai ke sana.
Sebelum malam tiba, aku mencari tempat yang aman buat beristirahat dan
tidur. Aku menemukan sebuah gubuk reyot, mungkin tempat para pencuri kayu atau
mandor jati berteduh bila hari hujan. Dengan alas daun-daun pisang, aku bisa
merebahkan badan dengan baik sehingga aku bisa segera tertidur nyenyak.
Malam sudah benar-benar gelap ketika aku terjaga oleh suara jerit
binatang. Ah, itu si Tutul berhasil menangkap seekor kijang. Si Tutul adalah
macan tutul, yang entah bagaimana rasanya sudah akrab dengan kami. Mirip
dongeng. Aku pernah beberapa kali meminta daging buruan kepada macan yang tidak
begitu besar itu. Caranya gampang. Bila si Tutul terdengar telah menangkap
mangsanya, biasanya tak lama setelah lepas magrib, aku lempar dia dengan
potongan kayu yang membara. Si Tutul, yang takut api, biasanya segera
meninggalkan mangsanya buat kami. Tetapi malam ini aku tak ingin mengganggu
temanku yang tutul itu. Aku terlalu lelah.
Menjelang pagi aku dibangunkan oleh kokok ayam hutan. Dan suara bayan yang
cerewet. Juga suara bangkong dari sungai-sungai kecil di dasar jurang. Kepalaku
agak pusing. Namun terdorong rasa ingin segera bertemu Umi, aku bangkit lalu
meneruskan perjalanan. Ketika matahari sepenggalah aku sudah melampaui batas
hutan jati dan masuk ke perkebunan karet. Sengaja kupilih wilayah hutan dengan
tanaman karet yang masih muda dan belum disadap, karena aku tak ingin bertemu
siapa pun. Aku tahu, banyak sekali orang perkebunan yang bersimpati kepada GS.
Malah aku percaya, banyak di antara mereka adalah anggota perkumpulan komunis
yang rahasia itu. Tengah hari aku sampai ke suatu wilayah hutan bukaan. Sejauh mata
memandang, yang tampak adalah kebun singkong dengan selingan palawija. Aku
melompat ke atas sebuah batu besar untuk meneliti keadaan. Setelah yakin aman
aku membuat api dan membenamkan beberapa gelintir singkong ke dalamnya. Seperti
di pos kami di Cigobang, di situ pun aku menemukan air yang bening di dasar
jurang. Aku minum seperti hewan: mulut langsung kurendam ke dalam air.
Sambil menunggu singkong siap disantap, aku duduk bersandar batu besar.
Sinar matahari teredam sempurna oleh kerimbunan daun randu alas besar di
belakangku. Angin mengalir dari selatan. Seekor puyuh hutan tiba-tiba muncul di
depanku, termangu dan segera melesat terbang ketika aku menggerakkan tangan. Di
langit kulihat ada burung alap-alap, mengapung sambil terus mengepakkan sayap,
tetapi ia tak melaju sedikit pun. Kukira alap-alap itu sedang menanti mangsa
yang siap disambarnya. Entahlah, aku merasakan lambat laun pandangan mataku
baur. Telinga pun tak menangkap sesuatu kecuali kelengangan yang makin lama
makin mengendap. Dan tiba-tiba aku merasa tubuhku menjadi ringan, sangat ringan.
Aku lari dan melayang di atas hamparan perdu dan ila-lang. Melambung di
atas Sungai Citandui, dan tanpa kusadari sudah berhadapan dengan Umi. Dengan
senyumnya yang kekanak-kanakan, Umi tampak cantik dan tanpa dosa. Aku enarik
tangannya. Aku membopongnya dan membawa dia melayang ke utara, ke
Cirebon,seperti yang dianjurkan oleh gumar. Dari Cirebon aku dan Umi akan naik
perahu nelayan ke barat menyusuri pantai utara Jawa, lalu menyeberang ke Sumatra
menyusul Jalal dan teman-teman lain yang sudah
lama bermukim di sana. Di tempat yang baru, Umi akan melahirkan bayinya
dengan aman. Aku akan menjadi petani demi anak dan istriku. Aku tertawa.
Dan terkejut. Ketika membuka mata aku sadar diriku masih duduk menyandar
pada sebuah batu besar. Di depanku ada perapian. Matahari telah tergelincir ke
barat dan seberkas sinarnya jatuh ke wajahku. Kulihat perapian hampir padam.
Namun ketika kukorek, kudapati singkong di dalamnya siap kumakan.
Dengan perut terisi dua gelintir singkong bakar, aku meneruskan
perjalanan. Dalam perhitungan, aku akan sampai ke tujuan menjelang senja hari.
Lepas dari wilayah perkebunan karet aku kembali menempuh daerah bersemak dan
padang ilalang. Sesungguhnya aku tak suka berjalan menembus belukar semacam itu
karena sering ada ular bedudak. Tetapi kali ini aku nekat dan anehnya, malah
mujur, karena tak sengaja aku menemukan sarang ayam hutan yang penuh telur.
Ketika aku tak punya apa-apa untuk diberikan kepada Umi, telur-telur ayam hutan
bisa menjadi hadiah yang sangar berharga.
Perhitunganku tak jauh meleset. Sesaat sebelum matahari terbenam aku sudah
melihat tiga rumah kecil beratap ilalang, terpencil di tubir jurang, jauh dari
rumah-rumah lain. Para penghuninya adalah kerabat Umi. Aku berjalan memutar tuk
melihat gubuk istriku yang ada di belakang ketiga rumah
beratap ilalang itu. Ah, sebenarnya aku ingin segera lari untuk menemui
istriku. Namun aku tak pernah lupa bahwa bahaya selalu mengintai diriku setiap
saat. Maka kuredam gejolak hati dan aku memaksa diri bersabar sampai hari benarbenar gelap. Tetapi untunglah, aku dapat mengintip Umi ketika ia keluar dari
gubuknya dan berjalan menuju rumah yang paling dekat. Ya. Malam hari memang Umi
tidur di rumah kerabatnya itu. Aku yang dulu mengaturnya demikian.
Lepas magrib aku bergerak mendekati rumah beratap ilalang itu dari arah
belakang. Setelah yakin suasana aman, aku menyobek daun pisang dari pelepahnya.
Bunyinya menjadi aba-aba rahasia bagi para penghuni rumah. Bila keadaan benarbenar aman, pintu akan terbuka. Bila tidak, semua pintu akan tetap tertutup. Aku
menunggu dengan perasaan tak keruan. Tetapi tak lama kemudian kudengar pintu
berderit. Aku mendekat dan dalam keremangan malam aku melihat sosok istriku.
"Umi?" "Kang Amid?" Dlam pertemuan seperti itu aku selalu merasakan ketabahan hati Umi. la tak
pernah menangis. Ia hanya memegangi tanganku erat-erat. Tetapi justru sikap
seperti itulah yang membuatku makin merasa bersalah terhadap Umi. Apalagi
kulihat perutnya makin besar. Dan sejauh ini aku tak bisa memberikan apa-apa
kepadanya, bahkan sekadar kepastian dan rasa aman pun tak bisa.
Setelah berbasa-basi dengan para kerabat, aku membawa Umi ke gubuk di
belakang rumah itu. Malam ini aku berada di bawah atap ilalang bersama Umi.
Aneh, pikiranku malah jadi tak keruan karena aku sadar, sebentar lagi Umi harus
melahirkan anak kami yang pertama. Dari pengalaman yang kudapat, inilah masa
yang sulit. Kami tak punya dukun bayi, bahkan tak punya tempat yang cukup aman
untuk menyambut kelahiran seorang anak.
Dulu ada beberapa teman yang membawa istri mereka ke hutan. Mereka membuat
tempat tinggal sederhana. Tetapi para perempuan sering menjadi beban yang
terlampau berat bila suatu ketika datang serangan. Juga ketika mereka punya
bayi. Banyak bayi tidak tahan hidup dengan keadaan serba kekurangan di tengah
hutan. Menyadari pengalaman ini, kami para laskar DI, tidak lagi membawa istri
ke hutan. Istri-istri bisa dititipkan kepada kerabat yang tinggal di kampung
pinggir hutan dengan cara sembunyi-sembunyi.
Hingga jauh malam aku tetap gelisah. Beberapa kali aku turun dari balaibalai dan menatap Umi yang lelap di bawah sinar pelita kecil yang menempel pada
tiang bambu. Suatu saat Umi terjaga. Tatapannya yang kekanak-kanakan selalu
mengundang rasa iba. "Belum tidur, Kang?"
"Belum. Mataku sulit terpejam."
"Ada yang kamu pikirkan, Kang?"
"Ya. Kandunganmu. Sebentar lagi bayimu lahir. Tetapi di Umi diam. Lalu
bangkit dan duduk di sebelahku. Dalam cahaya remang kulihat wajah Umi bimbang.
"Aku mau melahirkan di mana saja, asal kamu ada di dekatku."
Umi terisak. Hatiku makin pepat karena aku merasa tak mudah mengabulkan
permintaan Umi, betapapun permintaan itu sangat wajar. Dan aku makin bimbang
ketika Umi meneruskan kata-katanya.
"Kang?" "Ya?" Aku ingin ikut kamu. Di sini tak enak karena aku sendiri. Aku ikut kamu.
Boleh, kan?" Seperti ada jerat yang tiba-tiba melingkari leherku, aku tak bias bilang
apa-apa. "Kang." ulang Umi. "Aku ikut kamu. Boleh, kan?"
"Um, sebentar lagi kamu melahirkan, bukan?"
Umi mengangguk. "Bila kamu ikut ke hutan, kamu akan mendapat lebih banyak kesulitan. Di
sana tak ada orang perempuan, air pun tak mudah didapat seperti di sini. Jadi
kamu jangan melahirkan di tempat seperti itu."
"Tetapi di mana, Kang?"
"Sebaiknya di sini."
"Jadi kamu mau menunggu aku di sini?"
"Tidak. Aku harus kembali ke hutan secepatnya."
"Jangan, Kang. Aku takut melahirkan seorang diri. Atau aku ikut kamu,
Kang. Ikut!" Umi terisak lagi. Aku khawatir suara tangisnya terdengar dari luar.
Kubujuk dia agar mau diam. Tapi tangis Umi malah makin menjadi-jadi. Ya,
akhirnya aku merasa tangis Umi adalah tagihan yang tak bisa kuhindari lagi dan
harus kuturuti. Dengan hati berat karena aku sadar akan risikonya, permintaan
Umi kukabulkan. Pagi-pagi sekali sesudah berpamitan kepada para kerabat, aku dan
Umi berangkat. Umi menggendong bungkusan pakaiannya yang tak seberapa. Aku
menenteng cerek berisi air dan kantong berisi sedikit perbekalan.
Aku sudah menduga, Kiram dan Jun tidak akan senang menerima Umi ikut
tinggal dalam pos rahasia itu, tetapi keduanya ternyata tak juga sampai hati
mengusir Umi. Masalahnya, aku sendiri yang harus mencari jalan tengah. Maka aku
mencari tempat lain dekat pos itu. Ada sebuah ceruk pada dinding jurang dekat
sumber air yang bisa kujadikan tempat tinggal. Kubersihkan sampahnya.
Kubersihkan ramat laba-laba yang menutup mulut ceruk. Sedangkan akar-akar jati
yang menggantung kubiarkan pada tempatnya karena bisa kumanfaatkan sebagai tiang
penyangga. Dan, ya Tuhan, di ceruk tebing jurang itulah aku dan Umi tinggal. Lalu, di
situ pulakah anak kami akan lahir" Ah, betapa berat aku membayangkannya.
Untunglah Umi tak pernah mengeluh. Ia bisa tidur nyenyak di atas kasur rumput
kering yang kulapisi sehelai kain. Siang hari Umi boleh tinggal di pos untuk
menanak nasi dan menyiapkan minuman kami. Dan tak kuduga sebelumnya, Kiram dan
Jun berubah sikap. Mereka bisa ramah dan santun terhadap istriku. Malah boleh
kubilang, mereka pun menyayangi Umi. Mungkin karena kasihan melihat perutnya
yang makin besar, sementara suasana di tempat kami serba darurat dan
menyedihkan. Mungkin juga sikap mereka terhadap Umi benar-benar tulus. Buktinya,
suatu hari Kiram menyerahkan setandan pisang yang telah masak, entah dari teana,
kepadaku dengan pesan bahwa itu buat Umi. Lain kali Jun, yang sangat pintar
berburu dengan katapelnya, membawa tiga ekor burung balam, juga buat Umi.
Memang aneh, kedatangan Umi yang semula kuduga akan membawa kerepotan,
temyata lain akibatnya. Aku, dan kukira juga Kiram dan Jun, seakan mendapat
suasana baru karena adanya seorang perempuan di antara kami. Kami merasa tinggal
dalam sebuah rumah yang lengkap dengan keteduhan hati seorang ibu rumah tangga.
Tetapi entahlah, baru sebulan Umi bergabung, datang cobaan yang demikian
dahsyat. Ada operasi massal. Aparat keamanan, dengan mengerahkan ratusan
penduduk kampung, menyisir hutan jati Cigobang untuk menangkap kami. Beruntung
Jun, yang sedang berburu balam, melihat gelagat mereka dan lari memberitahu
kami. "Mereka membentuk lingkaran dan bersama-sama bergerak naik dari kaki
bukit. Kita terkepung," ujar Jun yang sudah siap dengan semua senjatanya.
"Bersiaplah. Kita akan melawan atau syahid di sini," jawab Kiram. "Mid,
sembunyikan Umi di tempatmu."
"Percuma melawan. Mereka banyak sekali!" kata Jun. "Kita tinggalkan tempat
ini dan cari tempat bersembunyi."
"Bersembunyi?" "Ya."
"Di mana?" "Di tempat Umi. Di sana kita punya kemungkinan selamat. Atau bila harus
syahid, syahidlah kita bersama di sana."
Oleh keteguhan Jun, Kiram menurut. Kami keluar dari pos rahasia, turun ke
dasar jurang, lalu merayap-rayap di bawah kerimbunan pakis-pakisan. Pastilah
langkah kami tak meninggalkan jejak apa pun karena dasar jurang adalah sebuah
sungai kecil. Ya Tuhan, aku terpaksa memapah Umi yang gemetar dan pucat pasi.
Sampai ke ceruk yang selama ini menjadi tempat tinggalku dan Umi, kami siap
menanti apa yang akan terjadi. Rasanya, kami sudah melihat kubur kami sendiri
dalam ceruk ini. Karena tempat yang sempit, Umi bersembunyi di balik punggungku. Ya,
rasanya ajal sudah dekat. Namun demikian, tiga pucuk senjata yang ada pada kami
pasti akan meminta korban lebih dulu sebelum kami benar-benar lumpuh.
Operasi massal makin mendekat. Dalam gerakan bersama menyisir menuju
puncak bukit, pasti mereka akan melewati kami. Kami sudah bisa mendengar
kentongan-kentongan yang mereka pukul. Kemudian teriakan-teriakan yang amat
sangat menghina kami. Dan letusan-letusan peluru.
Kurasakan Umi menggigil di punggungku. Mungkin juga terkencing. Lalu, aku
melihat sesuatu bergerak ke balik semak di tebing jurang. Aku, Jun, dan Kiram
serentak mengarahkan senjatanya masing-masing kesana. Begitu kami yakin bahwa
yang bergerak itu adalah manusia yang sudah mengetahui Petsembunyian kami,
pastilah dia akan mati lebih dahulu. Tetapi, ya Tuhan, yang kemudian muncul
adalah kepala si Tutul. Macan yang tak begitu besar itu rupanya terusik dari
tempatnya oleh kegiatan operasi massal itu lalu menyingkir untuk bersembunyi.
Apabila ada dongeng tentang persahabatan antara seekor binatang buas dan
manusia, kami benar-benar merasakannya dalam pengalaman nyata. Si Tutul mendekat
dan terus mendekat, dan baru berhenti hanya beberapa meter di depan kami. Si
Tutul merapatkan badannya di balik akar-akaran yang menggantung, seperti sedang
minta perlindungan kepada kami. Aku, Jun, dan Kiram sudah biasa melihat si
Tutul. Tetapi Umi amat sangat ketakutan. Tangannya yang merangkul perutku terasa
dingin. Dia menggigil hebat. Lalu lemas, lemas, dan terpuruk.
"Mid," bisik Jun dari samping. "Umi pingsan." Aku menoleh ke belakang. Jun
benar, Umi pingsan. Aku merebahkannya. Sementara hiruk-pikuk operasi massal
makin dekat, makin dekat.
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarkan dia pingsan. Itu lebih baik," bisik Kiram. "Tutupi dia dengan
dedaunan. Siapa tahu kita harus meninggalkan dia di sini."
Aku menurut. Dengan perasaan remuk kutimbuni tubuh Umi dengan rumput
kering yang biasa kami pakai sebagai kasur. Lalu aku kembali bersiaga, memasang
senjata ke arah dari mana para pencari mungkin datang. Teriakan makin hirukpikuk dan makin mendekat. Mereka seakan sedang mencari binatang buruan yang
terkurung. Dan sorak-sorai makin seru setelah seseorang berteriak karena
menemukan pos rahasia kami yang tak seberapa jauh dari persembunyian kami.
Kami mendengar seseorang, mungkin salah satu komandan operasi massal,
meminta semua orang waspada. Dari tempat persembunyian kami yang hanya berjarak
kira-kira tiga puluh meter dari pos rahasia itu, kami melihat dua OPR bertindak.
Mereka masuk setelah memberondongkan senjata mereka ke dalam pos yang telah kami
kosongkan itu. Mereka mengobrak-abrik peralatan masak kami yang tak seberapa
jumlahnya. Sepi sejenak. Mungkin mereka sedang berunding karena tidak berhasil
menemukan kami di pos itu dan mengira kami telah melarikan diri. Kudengar mereka
sepakat melanjutkan operasi, menyisir hutan sampai ke puncak bukit. Namun
sebelum bergerak, mereka memberondong jurang-jurang di sekitar pos kami. Orangorang kampung pengikut gerakan operasi teelemparkan kayu dan batu ke arah semak
dan jurang. Kami merasa yakin semua itu mereka lakukan untuk memperoleh
kepastian bahwa kami tak berada di tempat itu. Mereka tidak bahwa saat itu kami
berada hanya beberapa meter di bawah kaki mereka, dalam ceruk yang tertutup
belukar dan pakis-pakisan. Namun mungkin segalanya bisa berkembang lain kalau
bukan karena si Tutul. Ketika sebuah batu yang dilemparkan orang jatuh hampir
mengenai tubuhnya, macan itu terkejut. Ia melompat keluar dari tempat
persembunyiann sambil menggeram. Akibat ulah si Tutul sangat di luar duganku.
Puluhan orang, yang secara tak sadar telah mengurung kami, langsung bubar dan
lari tunggang-langgang. Kukira perburuan telah berubah, bukan lagi laskar DI
yang mereka kejar melainkan si Tutul. Ah, tetapi aku yakin, temanku yang tutul
itu sangat pandai melarikan diri. Apalagi para pengejar, ya bersenjata api
sekalipun, sesungguhnya takut kepada macan.
Operasi massal telah bergerak menjauh atau malah kocar-kacir gara-gara si
Tutul. Aku segera mengurus Umi, membuka lapisan rumput kering yang menimbuni
sekujur tubuhnya. Tuhan, dia masih pingsan. Untung, denyut jantung Umi masih
terasa. Namun aku sangat cemas, khawatir bisa terjadi sesuatu dengan kandungan
Umi. Aku meniup-niup lubang telinganya. Kiram memijit jempol kakinya keraskeras. Lalu tubuh Umi tersentak. Dan perlahan-lahan Umi membuka matanya.
"M-m-m-m-macan!" gumam Umi seperti mengigau. Wajahnya kembali menyiratkan
rasa takut yang amat sangat. "Ssss, macan sudah pergi, tenanglah," aku berbisik.
"Macan! Ada macan."
"Sss, jangan keras-keras. Dan tenanglah, macan tak ada lagi. Sudah pergi."
Umi masih menggigil ketakutan dan wajahnya tetap pasi. Namun suasana yang
mereda, bahkan Kiram yang sudah tersenyum, lambat laun bisa menenangkan Umi. Aku
ingin memberinya minum. Tetapi tak ada air. Maka aku turun ke dasar jurang dan
mengambil setangguk air dengan sehelai daun keladi.
Lepas dari bahaya operasi massal, kami masih harus menghadapi kesulitan
beruntun. Kami harus mencari tempat yang baru karena pos rahasia yang selama ini
menjadi pangkalan kami telah diketahui orang. Ah, tapi kami sudah sangat
terbiasa dengan hutan dan belukar sehingga tempat persembunyian baru tak menjadi
kesulitan benar. Yang benar-benar merepotkan adalah kandungan Umi. Ini bulan
kesembilan kehamilannya dan ia bersikeras ingin melahirkan dalam penjagaanku.
Bujukanku agar ia mau melahirkan di rumah kerabatnya di Dayeuh Luhur tak
dihiraukannya. Maka datanglah malam itu. Umi merasa mau melahirkan. Aku, Kiram, dan Jun
menjadi sibuk. Jun menjerang air di perapian. Kiram mondar-mandir, dan seperti
aku, dia kelihatan sangat cemas. Kemudian kulihat Kiram berbisik-bisik dengan
Jun. "Mid, kamu jaga istrimu," kata Kiram. "Aku dan Jun mau masuk kampung."
"Aku harus menjaga Umi seorang diri" Kalian mau ke mana?" aku bertanya
dengan gugup. "Cari dukun bayi. Mudah-mudahan berhasil dan tidak terlambat."
"Tetapi apa kalian tega membiarkan aku menjaga Umi seorang diri?"
"Jangan bodoh kamu! Karena kami tak tega, kami harus pergi untuk mencari
dukun bayi. Jun, ayo berangkat."
Ya Tuhan. Aku hanya berdua dengan Umi yang terbaring gelisah di atas
balai-balai darurat, pada sebuah gubuk yang tersembunyi dalam kerimbunan
belukar. Untung kami masih punya sebuah pelita kecil yang mampu memberi
penerangan ala kadarnya. Oh, malam yang terasa demikian memanggang perasaan. Aku
sudah mencoba bersikap tenang. Apa boleh buat, aku harus siap melayani kelahiran
bayi Umi seorang diri. Kalaulah ada sesuatu yang agak membesarkan hati, itulah
kap Umi. Ia kelihatan tabah. Ia menggigit bibir ketika perut nya terasa melilit.
Pukul dua belas malam suasana menjadi lebih tenang. Umi minta minum. Dan
lagi-lagi aku harus berterima kasih kepada.
Kiram yang kemarin membawa seruas bambu berisi madu lebah. Beberapa tetes
madu kucampurkan ke dalam minuman Umi. Selesai minum, ketegangan di wajah Umi
mereda. Ia malah menyuruhku tidur.
"Tidur?" "Ya. Kamu sudah terlalu lelah," kata Umi.
"Aku tidak ngantuk."
"Kalau begitu, aku yang mau tidur. Perutku berhenti melilit."
Aku lega. Rasanya aku mendapat hadiah yang sangat berharga berupa peluang
menanti sampai Kiram dan Jun datang membawa dukun bayi. Ah, tetapi tentang dukun
bayi ini aku harus mengenang pengalaman pahit masa lalu.
Dulu, ketika gerakan DI masih kuat, banyak sekali laskar Yang membawa
istri mereka ke hutan. Dengan demikian dulu pun sudah ada masalah kesulitan
dukun bayi ketika salah seorang istri laskar hendak melahirkan. Dan kami tahu
cara memperoleh paraji itu. Kami mengambil dengan cara paksa empuan itu dari
kampung terdekat dan membawanya ke hutan. Kepada sanak familinya kami katakan
bahwa dukun bayi itu kami pinjam sebentar dan akan kami kembalikan segera
setelah pekerjaannya selesai. Segalanya akan aman apabila sanak familinya tidak
melaporkan kedatangan kami kepada aparat keamanan. Biasanya, orang kampung
memang diam karena mereka khawatir akan keselamatan dukun bayi yang kami bawa ke
hutan. Untuk sampai ke hutan, juga untuk kembali, paraji tak perlu berjalan
sendiri. Kami memasukkan dia ke karung dalam posisi duduk, lalu dua orang
memikulnya. Dengan cara demikian perjalanan bisa cepat. Lagi pula, paraji yang
terkurung dalam karung tak dapat melihat jalur jalan yang kami tempuh. Dengan
demikian, sampai kembali ke rumahnya setelah mengurus istri laskar yang
melahirkan, paraji itu tidak tahu tempat persembunyian kami di dalam hutan.
Tentulah Kiram dan Jun akan mengambil dukun bayi dengan cara seperti yang
pernah kami lakukan. Demi Umi, aku bisa menerima cara yang kasar itu. Namun
masalahnya, keadaan sekarang sudah sangat berbeda. Kini kekuatan kami boleh
dibilang sudah pupus. Hanya berdua, apakah Kiram dan Jun bisa berhasil" Apakah
mereka bukan malah tertembak atau tertangkap"
Untuk menenangkan hati yang demikian galau, aku ber-sembahyang. Aku masih
percaya, Tuhan adalah ghafurur rahim. Aku percaya Tuhan masih mau mendengar
doaku, doa orang yang sudah banyak membunuh orang: ada kiai, ada haji, ada
militer. Yang kuminta kepada Tuhan, pertama, adalah keselamatan bagi Kiram dan
Jun. Semoga mereka berhasil dan tak usah ada kekerasan. Aku juga berdoa, agar
Umi kuat dan jangan dulu melahirkan sampai paraji datang.
Dan doaku makbul. Kiram dan Jun datang memikul beban yang menggantung
dalam karung. Umi masih berbaring tenang. Ya Tuhan, kulihat seorang perempuan
tua keluar dari karung yang dibuka oleh Kiram. Wajahnya murung dan uringuringan. Dari mulutnya keluar kutukan kepada kami. Jelas sekali perempuan tua
itu sangat tak suka mendapat perlaku-an tak wajar yang baru saja dialaminya.
Paraji itu pasti marah. Dan dalam keadaan hati terluka, apakah dia mau bekerja
dengan baik" Apakah ia tidak mencelakakan Umi atau mencekik bayiku yang akan
lahir" Banyak pertanyaan yang terus mengganjal hati. Namun demi Allah Yang
Mahalembut, semuanya lambat laun hilang setelah aku membawa Mbok Nikem, paraji
itu, ke dekat Umi. Ucapan pertama Mbok Nikem setelah melihat keadaan Umi segera
membuktikan bahwa dia adalah seorang paraji sejati. Kemarahannya kepada kami
yang telah menculiknya dengan kasar segera hilang setelah dia berhadapan dengan
seorang perempuan yang sangat mengharapkan pertolongannya.
"Oalah, jenganten, kamu akan melahirkan di tempat seperti ini" Oalah,
Gusti, kasihan betul kamu, jenganten...."
Mbok Nikem langsung sibuk membetulkan posisi Umi, sementara kata "kasihan"
terus meluncur dari mulutnya. Ketika Mbok Nikem bertanya tentang apa yang sudah
tersedia untuk menyambut kelahiran jabang bayi, aku hanya bisa menjawab, "Madu
dan air." Tetapi aku juga mengatakan bahwa kami punya cukup beras.
"Nah, kamu yang membuat Umi hamil, bukan?" tanya Mbok Nikem dengan berani.
Barangkali ia lupa bahwa kami adalah orang-orang bersenjata yang ditakuti oleh
semua orang kampung. Tetapi aneh, di depan dukun bayi itu aku merasa ciut. Aku
hanya bisa mengangguk mengiyakan pertanyaannya.
"Kamu jangan hanya mau enaknya. Kamu harus cari kunyit, jahe, temulawak,
lempuyang! Cari sampai dapat atau aku tak mau mengurus istrimu."
Bukan main. Enak betul perempuan yang baru kukenal itu memberi perintah
kepadaku dengan cara selugas itu. Ah, tetapi aku memang tak bisa menyanggah. Dia
benar. Akulah sesungguhnya yang paling bertanggung jawab atas keselamatan Umi,
maka aku harus memperoleh rempah-rempah yang diminta Mbok Nikem demi kesehatan
istriku itu. Maka aku siap berangkat. Aku tahu benar tempat yang harus kutuju:
sebuah lembah sempit di mana Kiram punya huma kecil-kecilan. Hampir semua rempah
yang diminta Mbok Nikem ada ditanam di sana. Kami memang punya persediaan
tanaman ber-khasiat untuk berjaga-jaga jika obat-obatan sulit kami peroleh.
Umi melahirkan bayi perempuan. Alhamdulillah, baik Umi maupun anaknya
sehat. Mungkin alam dan kesulitan yang mengelilingi kami selama bertahun-tahun
telah membuat Umi memiliki daya tahan yang luar biasa. Dan Mbok Nikem merawat
Umi dengan baik, mungkin karena kesejatiannya sebagai seorang paraji, atau
karena kekuatan pancaran wajah Umi yang tanpa dosa, yang sangat mudah meluluhkan
hati siapa saja yang memandangnya. Aku merasakan keprihatinan dan kasih sayang
Mbok Nikem terhadap istri dan anakku. Aku jadi malu bila ingat status Mbok Nikem
adalah sandera yang kami culik dari kampung. Sungguh, inilah tuba yang dibalas
dengan air susu. Lalu, aku harus bilang apa ketika pada hari keempat Mbok Nikem
menyatakan ingin membawa Umi dan anakku ke rumahnya"
"Dengar, Nak. Aku tak sampai hati melihat Umi dan bayinya hidup dalam
belukar seperti ini. Kamu memang wong alasan, manusia hutan, dan itu urusan kamu
sendiri. Tetapi jangan ajak istri dan anakmu hidup seperti kucing liar. Mereka
demikian menderita demi kesetiaan kepada kamu. Ini tak add." Aku bungkam.
"Kulihat anakmu amat cantik. Kamu tega melihat dia tumbuh jadi anak rimba"
Biarlah dia kuangkat jadi anakku. Akan kuberi dia nama Sri Sengsara. Boleh?"
Aku masih bungkam. "Bagaimana" Kamu tak bisa omong?" "Mbok, aku bersyukur
bila kamu mau merawat anakku. Tetapi Umi" Bagaimana bila dia nanti malah
ditangkap tentara?" "Itu aku tidak tahu. Aku akan berusaha sebisa-bisanya merahasiakan
kedatangan istrimu. Tetapi bila keadaan memaksa, aku memang harus berterus
terang bahwa Umi adalah istri kamu, istri wong alasan. Lalu apa iya tentara akan
tega menangkap seorang perempuan yang baru melahirkan?"
"Lalu kamu mau memberi nama anakku Sri Sengsara?"
"Ya, tetapi bukan aku yang memberi nama demikian melainkan saat
kelahirannya sendiri yang penuh penderitaan. Pernah mendengar ada bayi lahir
dalam semak belukar kecuali anakmu?"
Untuk kesekian kali aku tak sanggup menjawab pertanyaan Mbok Nikem. Jun,
yang sejak tadi duduk di dekat kami, berbisik. Ia sependapat dengan Mbok Nikem,
sebaiknya Umi meneruskan menjalani perawatan di kampung. "Bersama kita di sini,"
Jun bilang, "bayimu akan menderita. Kamu ingat dulu banyak bayi tak mampu
bertahan hidup di hutan?"
Kiram juga setuju. "Bila toh Umi ditangkap," kata Kiram "masa tentara tega
berbuat kasar kepada perempuan lemah yang sedang menyusui bayi merah?"
"Tetapi tentara bisa menjadikan Umi dan bayinya sebagai sandera untuk
memaksaku datang dan menyerah," kataku.
"Hal itu bisa terjadi," kata Jun. "Tetapi kukira mereka bukan bandit."
Aku mengajukan pendapat teman-teman kepada Umi. Mula-mula Umi kelihatan
ragu, namun kemudian dia setuju ikut Mbok Nikem dengan syarat aku sering
menjenguknya. Ah, syarat itu kuiyakan saja. Padahal dalam hati aku bilang tak
mudah bagi seorang laskar DI untuk setiap saat masuk kampung, kecuali jika aku
tak takut diberondong tentara. Maka pada suatu pagi buta, aku, Mbok Nikem, dan
Umi keluar dari sarang kami. Umi memang luar biasa. Ia bisa berjalan seperti
biasa padahal bayinya baru berumur seminggu. Mbok Nikem mengemban Sri Sengsara;
ah, nama yang sesungguhnya kurang kusukai. Sampai di batas hutan aku berhenti.
Kulepas istri dan anakku pergi bersama dukun bayi itu. Aku hanya bisa berserah
diri kepada Tuhan tentang nasib dan keselamatan mereka.
Akhir Juni 1962, seorang rekan laskar yang berpangkalan di wilayah hutan
Gunung Slamet lereng barat, datang ke tempat kami. Kukira Toyib, rekan itu,
telah menempuh perjalanan yang berbahaya untuk memberi kabar tentang sesuatu
yang sangat penting: Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, khalifah Darul Islam,
panglima tertinggi Tentara Islam Indonesia, tertangkap pasukan Republik. Toyib
juga membawa sehelai selebaran yang ditandatangani oleh Khalifah, berisi seruan
agar semua anggota DI/TII meletakkan senjata dan menyerahkan diri kepada aparat
keamanan dengan jaminan pengampunan nasio-nal yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Saat pertama mendengar berita ini, aku terkejut. Ah, tetapi aku juga lega.
Satu hal yang sudah bertahun-tahun menindih jiwaku, ketidakpastian yang amat
menggelisahkan, tiba-tiba lenyap. Ada rasa lapang yang lambat laun mengembang
dengan pasti dalam jiwaku. Ada benih harapan yang tiba-tiba muncul untuk
berkumpul dengan istri dan anakku. Segera terbayang, aku menjadi warga kampung,
bertani, dan hidup tenang. Ya, tenang. Aku bukan lagi wong alasan, manusia
rimba, yang diburu-buru. Aku bukan lagi wong alasan yang terpisah dan tersingkir
dan disingkiri oleh masyarakat. Aku akan kembali seperti dulu, menjadi bagian
tak terpisahkan kehidupan bersama.
Aku tersenyum sendiri. Ah, nanti dulu, kulihat Kiram, Jun, bahkan Toyib
sendiri tak menampakkan wajah gembira. Jun menunduk dan murung. Kiram termangu,
matanya nanar. Urat-urat pada kedua pipinya menegang. Toyib beberapa kali
mengusap kening. "Kamu tidak curiga bahwa kabar dan selebaran itu palsu?" tanya Kiram
kepada Toyib. Suaranya datar dan berat, menadakan adanya beban berat dalam
hatinya. "Dengan kepalsuan seperti itu, mereka bisa memancing kita keluar,
bukan?" "Kukira sampai saat ini belum ada di antara kita yang percaya seratus
persen," jawab Toyib. "Masalahnya, beberapa teman yang bisa mendengarkan radio
meyakinkan kita bahwa berita itu benar. Kata teman tadi, radio luar negeri juga
memberitakan hal yang sama."
Taruhlah kabar itu benar, lalu hanya akan berakhir seperti inikah
perjuangan kita?" kata Kiram, yang kemudian bangkit dan mengentakkan kaki ke
tanah. "Ya, aku malu," Jun menyela. "Aku merasa lebih baik mati dalam pertempuran
daripada turun gunung meskipun diampuni. Diampuni?"
"Aku sangat menyesal, mengapa ketika ada operasi massal aku tak melawan
mereka. Ya, mengapa aku tidak keluar dari persembunyian dan menghadang mereka
serta bertempur sampai mati," ujar Kiram lagi.
Aku diam sambil mendengarkan keluh kesah dan umpatan teman-temanku. Tetapi
aku ingin juga mengingatkan Kiram. Dia pernah bilang mau kembali ke masyarakat,
asalkan ada Jaminan tidak akan diapa-apakan. Aku hampir mengucapkan Peringatan
itu, namun batal pada saat terakhir karena aku telihat kemurkaan pada wajah
Kiram. Temanku itu kemudian bahkan mengusulkan operasi bunuh diri, menyerang
sebuah tangsi militer di Cilacap. Sampai titik ini aku merasa wajib berbicara.
"Jangan berputus asa seperti itu," aku bilang. "Kiram, tadi kamu
mengandaikan kabar dan selebaran itu benar. Dengan demikian ada kemungkinan
tanda tangan Khalifah pada selebaran yang menganjurkan kita untuk meletakkan
senjata adalah benar pula. Kamu tidak mau taat kepada Khalifah?"
Hening. Kulihat wajah Kiram keras. Jun masih menunduk dan dari sinar
matanya aku melihat kekecewaan yang sangat mendalam. Aku sendiri jadi melamun.
Ajakan Kiram untuk melakukan suatu operasi bunuh diri mengingatkan aku pada
pengalaman di tahun 1953. Ketika itu kami melancarkan serangan terhadap sebuah
pos polisi di Lebeng, Cilacap. Aku bisa mengingatnya sampai hal yang terperinci.
Waktu itu lepas isya. Kami, lima orang, sudah merayap mendekati pos itu. Aku
merangkak melalui belukar pulutan dan mencapai tembok pos. Kiram malah sudah
lebih dulu menempel pada tembok itu.
Yang paling berkesan pada saat itu adalah keterkejutan seorang anggota
polisi ketika Kiram mendadak melompat dan berdiri di hadapannya. Polisi itu,
mungkin karena panik, memberondongkan senjatanya bukan ke arah Kiram, melainkan
ke langit sambil berlari keluar. Dia terus lari sambil melolong-lolong minta
tolong. Kiram tidak menembaknya. Ia malah terpingkal-pingkal. Anehnya, Kiram
kemudian masuk ke pos menghabisi tiga anggota polisi lain yang meringkuk
ketakutan. Nah, kalau Kiram ingin mengulang operasi semacam itu lagi sekarang, dia
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memang benar-benar akan bunuh diri, tetapi aku sendiri masih ingin hidup.
Kali lain kami berangkat hendak menyerang pos polisi Jatilawang, Banyumas.
Aku sampai di tempat menjelang dini hari. Kiram, Jun, Jalal, dan Kang Suyud
sudah sampai lebih dulu dan mereka bertiarap di sekeliling sasaran. Tetapi
sialan, keempat orang itu tertidur pulas di tempat mereka bertiarap. Ketika
kubangunkan satu per satu, mereka sudah kehilangan semangat. Maka penyerangan
dibatalkan. Kami pulang sambil tertawa-tawa untuk mengejek polisi. Itu dulu.
Sekarang aku merasa tak mungkin mengulanginya bila benar aku belum ingin mati.
"Jadi kita mau bagaimana" Dari jauh aku datang kemari untuk memperoleh
kesepakatan sikap terhadap seruan dalam selebaran ini," kata Toyib memecah
kebekuan. "Aku mendahului teman-teman. Aku percaya tanda tangan itu asli milik
Khalifah, meski tertera pada lembar seruan yang digandakan. Jadi aku ingin
menaatinya," kataku.
"Kamu bagaimana?" tanya Toyib kepada Jun dan Kiram.
Kulihat wajah Kiram masih tegang. Matanya malah berubah merah. Gumpalan
otot pada kedua pipinya makin jelas. Dan tiba-tiba ia bangkit lalu meraih
senjatanya. Aku tak sadar betul apa yang kemudian terjadi, yang jelas aku
melihat laras senjata Kiram sudah tertuju lurus ke arah perutku. Detik beri-kut
aku melihat Toyib dan Jun menepiskan senjata itu ke arah lain dan pada saat yang
sama meledaklah rentetan tembakan. Terjadi pergulatan singkat. Toyib dan Jun
berhasil melepaskan senjata dari tangan Kiram yang kemudian berteriak-teriak:
amuk. Ia begitu marah ketika menyadari perjuangan dan penderitaan kami selama
bertahun-tahun hanya dipertaruhkan untuk sesuatu yang kosong. Hampa. Berpuluhpuluh, atau mungkin ratusan nyawa laskar telah melayang hanya untuk selembar
selebaran yang menganjurkan kami meletakkan senjata dan menyerahkan diri. Dengan
susah payah Kiram berhasil ditenangkan. Jun memberi dia secangkir air dingin.
Kebisuan kembali mencekam kami. Tetapi dalam kebisuan itu aku merasa bahwa
kami telah bersatu sikap: tunduk kepada perintah pemimpin tertinggi. Aku sendiri
tak melihat jalan lain kecuali meletakkan senjata, menyerah, dan semoga benar
kami akan mendapat pengampunan. Anehnya, aku juga bisa merasakan ketidakpuasan
seperti yang sedang bergolak dalam hati Kiram. Aku sudah memperkirakan, tidaklah
mudah bagi laskar DI untuk kembali ke tengah masyarakat. Kebencian mereka,
terutama orang-orang komunis, terhadap kami tentulah tidak serta-merta hilang
hanya karena kami telah mendapat pengampunan pemerintah. Apalagi kami tahu,
semua peram-pokan dan pembunuhan terhadap warga masyarakat menjadi beban dosa
kami. Masyarakat akan sulit percaya bahwa bukan hanya kami yang merampok mereka,
melainkan juga orang-orang komunis, baik yang bergerak di atas maupun di bawah
tanah. Oknum-oknum OPR, bahkan mungkin juga para bajingan yang ingin
memanfaatkan situasi keruh, juga sering menggarong rakyat.
Ditambah dengan cerita Toyib bahwa partai komunis sudah berkembang pesat
di desa-desa kelahiran kami, aku menjadi lebih yakin bahwa meletakkan senjata
dan kembali ke masyarakat bukanlah perkara mudah buat para laskar DI. Aku
percaya, masyarakat akan melecehkan kami, sementara kami tak bisa membela diri
dengan cara apa pun. Tetapi sekali lagi aku bilang, memang tak ada jalan lain.
Maka pada malam berikutnya, dalam kebisuan yang sangat mencekam, aku, Kiram, dan
Jun membungkus senjata kami masing-masing dengan karung. Sementara aku melakukan
pekerjaan itu dengan tenang, kulihat Kiram dan Jun meneteskan air mata. Kami
bertiga patuh kepada Toyib. Dialah yang akan memimpin kami turun gunung bersama
beberapa belas teman yang berpangkalan di kaki Gunung Slamet. Malam itu kami
meninggalkan belantara hutan jati Cigobang, berjalan ke utara dan terus ke
utara. Nanti kami akan menyeberang jalan raya sampai tiga kali sebelum masuk
wilayah sebelah utara kota Purwokerto.
Sebuah perjalanan yang entah apa namanya. Kami membisu. Aku yakin, semua
teman sedang dicekam oleh kegalauan seperti yang sedang terjadi dalam hatiku.
Harus menerima kenyataan bahwa kami adalah barisan orang-orang kalah, yang
sedang merangkak menuju panggung tempat kami akan menjadi tontonan. Telingaku
sudah mendengar ejekan orang-orang kampung, "Oh, itulah rupanya munyuk-munyuk
DI, tukang rampok yang kejam. Itulah rupa mereka yang selama sekian tahun
merusak dan menyengsarakan orang-orang kampung. Mari ramai-ramai kita ludahi
mereka!" Ya, aku dan teman-teman sudah menduga perlakuan apa yang akan kami terima
meskipun secara resmi kami diampuni. Maka beberapa hari kemudian ketika kami
sungguh-sungguh menjadi tontonan orang di tempat kami diterima oleh aparat
keamanan dalam suatu upacara, kami sudah bisa menata perasaan. Benar, kami
mendengar suara ejekan dan cacian, bahkan kutukan dari para penonton yang
ratusan jumlahnya. Sebenarnya pada saat itu kami berharap ada sikap yang menampilkan sedikit
kasih sayang dari tokoh-tokoh organisasi agama yang ikut berpidato dalam upacara
itu. Kami merasa punya alasan seperti itu, setidaknya karena selama berjuang di
dalam hutan, panji kami bertuliskan kalimat syahadat. Ah, ha-rapan yang terlalu
muluk. Kami malah menjadi sakit hati ketika tokoh-tokoh organisasi agama dalam
pidato mereka juga tak mampu memberi keringanan hati kepada kami. Sama seperti
semua orang, mereka menganggap kami adalah orang-orang yang baru sadar dari
kesesatan, bahkan kejahatan. Tak seorang pun di antara mereka yang berpidato
mampu menampilkan sikap kesatria. Tak seorang pun bisa menerima kami sebagai
pasukan bersenjata yang kalah perang.
Atau malah lebih dari itu. Mereka, tokoh-tokoh politik berbendera agama,
juga menuduh kami mengatasnamakan Tuhan untuk penggarongan-penggarongan. Suara
mereka nyaris sama dengan pembicara dari kalangan komunis. Oh, andai-kan mereka
tahu sebenarnya kami hanya ingin disebut sebagai orang-orang yang kalah perang
dan kini menyerah secara kesatria. Atau, sebagai orang politik, apakah mereka
lupa bahwa keadaan yang sebenarnya pada sekitar tahun 1950 memang demikian
rentan" Yang namanya jati diri atau tali kesatuan bangsa mestinya masih dalam
taraf pembentukannya. Dia masih rentan, sehingga mudah saja orang meninggalkan
atau bahkan terpental dari barisan kesatuan.
Tak tahulah! Yang jelas aku sendiri merasakan kata-kata para tokoh agama,
yang kuharapkan bisa memberi kami kesejukan, malah demikian menyakitkan. Rasanya
Kiram benar bahwa lebih baik kami kalah dan hancur dalam sebuah pertempuran
daripada sakit menerima pidato mereka yang tak mampu memberi kami pengertian
apalagi kasih sayang. Selesai upacara, kami yang berjumlah kira-kira dua puluh orang, diangkut
dengan truk untuk dimasukkan ke barak penampungan. Selama sebulan, setiap hari
kami mendapat ceramah dan ceramah, yang mereka sebut indoktrinasi. Setiap hari
pula kami mengulang janji dan sumpah setia kepada negara. Dan olahraga. Wah,
sangat membosankan. Apalagi aku sebenarnya sudah sangat ingin tahu bagaimana
nasib istri dan anakku. Kuharap ia juga mendapat pengampunan di wilayah Cilacap.
Anehnya aku, Kiram, dan Jun tidak begitu gembira ketika kami bertiga sudah
diperbolehkan pulang ke kampung kami. Canggung. Apalagi Kiram. Ia kelihatan tak
bernafsu kembali melihat kampung halamannya. Ia bilang, malu. Aku pun punya
perasaan seperti itu. Namun aku sadar, aku harus pulang ke kampung demi kedua
orangtuaku, dan demi Umi dan diriku sendiri. Ah, ya, aku masih punya Kiai
Ngumar, mudah-mudah-an dia belum meninggal. Ketika aku berangkat ke terminal
bus, ternyata Kiram dan Jun mengikuti aku. Jadilah kami bertiga naik bus tua,
pulang. Dalam ketidakpastian tentang sikap para tetangga nanti, aku masih
merasakan kesejukan yang dipesankan oleh sepatah kata: "pulang". Ya, aku dalam
perjalanan pulang. Pulang ke rumah, pulang kepada orangtua, dan pulang untuk
diri yang harus kucari kembali. Aku sadar, perjalanan ini mungkin tak mudah,
namun aku akan meneruskannya sampai ke tujuan.
Kami singgah di kota kecamatan untuk melapor kepada aparat keamanan.
Sampai ke kampung, kami lebih dulu singgah di balai desa, juga untuk melapor
seperti yang diperintahkan kepada kami. Di balai desa itulah aku mulai bertemu
dengan orang-orang yang kukenal sejak zaman normal. Beberapa di antara mereka
memang kerabatku sendiri. Mereka, betapa jua, memberikan senyuman kepadaku,
berbasa-basi meskipun terasa agak janggal. Namun ada perangkat desa yang terus
bermuka masam. Besok akan kuketahui bahwa si muka masam adalah komunis muda yang
sangat giat berpropaganda di kampungku.
Sampai di rumah orangtuaku, berita pertama yang kudengar adalah tentang
ayahku yang sudah meninggal setengah tahun yang lalu. Entahlah, meski usiaku
saat itu 33, aku gagal menahan kesedihan. Aku menangis. Emak juga menangis. Para
tetangga, kebanyakan adalah kerabatku sendiri, berdatangan. Dari cara mereka
memandang, aku merasa mereka setidaknya bisa menerima kedatanganku. Apalagi tak
lama kemudian aku mendengar suara terompah kayu: Kiai Ngumar tertatih-tatih
melangkah di halaman. Aku menyambut dan mencium tangannya di depan pintu. Kiai
Ngumar mengusap kepalaku, seakan aku adalah anak kecil. Ia berkali-kali
bertasyakur. Dan kukira semua orang melihat keikhlasan yang mendalam pada wajah
tua itu. Lalu, apabila Kiai Ngumar sudah menerimaku dengan hati tulus, orang
lain hanya berani mengambil sikap ysng sama. Maka sejak hari pertama aku
kembali, aku sudah yakin bahwa jalan pulang sudah lapang, pulang dalam makna
yang paling dalam. Seminggu di rumah, aku mendengar Umi juga sudah turun gunung, atau
tepatnya, menggabungkan diri dengan mereka yang menyerah. Aku menjemput dia di
rumah orangtuanya di Sidareja, Cilacap, lalu membawanya ke rumah orangtuaku. Ah,
kasihan, di antara semua perempuan yang ada di sekelilingku, Umi terlihat paling
kumuh. Tetapi anakku segera menjadi mata hiburan karena ulahnya yang menarik
perhatian. Neneknya sangat suka pada cucu baru yang lahir di tengah hutan itu.
Kepada siapa saja aku bilang bahwa anakku berna-ma Sri. Hanya itu. Aku tak rela
ada kepanjangan "Sengsara". Aku juga sebenarnya tak rela bila ada bisik-bisik
mengatakan bahwa Sri anak DI. Biarlah Sri menjadi masa depanku. Aku tak ingin
orang memberinya sebutan apa pun yang menyang-kut masa laluku.
Pada bulan pertama aku kembali menjadi warga kampung, segera kurasakan
kegiatan orang-orang komunis. Mereka sering mengadakan rapat terbuka, dan pada
kesempatan seperti itu para bekas laskar DI selalu menjadi bahan cemooh. Bahkan
akhirnya para kiai dan haji pun mereka ejek dalam rapat-rapat umum, tak luput
Kiai Ngumar. Kiai yang sudah lanjut usia itu disindir habis-habisan karena
sesungguhnya dialah yang seca batiniah menampung aku, Jun, dan Kiram.
Suatu malam aku berkunjung ke rumah orang tua itu hanya untuk menyatakan
kesedihan hatiku. Karena kebaikannya kepadaku dan teman-teman bekas DI, beban
batin Kiai Ngumar jadi lebih berat justru di ujung usianya.
"Sudahlah, Mid. Tidak menampung kamu pun aku sudah pasti menjadi bahan
olokan mereka. Tak apa, toh usiaku tinggal tak seberapa."
"Kiai, aku heran mengapa orang tak curiga terhadap komunis-komunis itu.
Padahal di hutan kami sudah tahu bahwa mereka punya barisan bersenjata. Kami
sering bertempur dengan mereka dan kami tahu persenjataan mereka cukup lengkap.
Apabila sebuah organisasi politik sudah mempunyai pasukan gelap, tentulah ada
yang tak beres, bukan?"
"Ya. Terasa betul suasana yang tidak wajar. Bahkan aku sendiri jadi
bingung hendak ke mana arah kehidupan ini. Tetapi, Mid, sudahlah. Aku dan kamu
tak bisa apa-apa. Mungkin kita kini hanya bisa berdoa."
Ketika masih tinggal di tengah hutan, aku selalu merindukan kehidupan yang
tenang dan damai di kampung. Kini terbukti kerinduan itu tak mudah kucapai.
Memang, dalam kehidupan kekeluargaan boleh dibilang aku bisa tenteram. Aku
hertani menggarap sawah warisan dan Umi menjadi teman hidup yang menyenangkan.
Ditambah dengan kehadiran Sri, rasanya hidupku sudah lengkap. Namun bila
memandang ke luar pintu, aku merasa gerah dan sesak napas. Orang terlalu banyak
menyelenggarakan rapat umum dan sering sangat hiruk-pikuk. Apalagi orang-orang
komunis, mereka sering bikin onar bukan hanya dalam rapat, melainkan juga di
tengah sawah. Banyak petani berkelahi, hutan jati sering dibakar, dan suatu kali
orang-orang komunis berani membunuh mandor jati. Dan puncak kekisruhan terjadi
pada tahun 1965, ketika aku mendengar berita yang simpang siur bahwa ada makar
di Jakarta. Beberapa jenderal Angkatan Darat terbunuh. Berita itu terus
berkembang. Akhirnya radio memberitakan bahwa yang berada di belakang gerakan
itu adalah orang-orang komunis. Bahkan kemudian tersiar berita yang pasti bahwa
pelaku makar memang orang-orang komunis.
Setelah ada kabar yang pasti itu, kehidupan tiba-tiba terasa mencekam.
Terasa ada kegaguan karena semua orang me-nahan diri untuk berbicara atau malah
lebih suka memilih diam. Apalagi mereka yang dikenal komunis. Mereka seakan jadi
bisu. Namun wajah mereka tak bisa menyembunyikan kecemasan. Apalagi dari wilayah
timur mulai terdengar pe-nangkapan-penangkapan terhadap mereka. Maka terlihat
pemandangan yang tak lazim: surau Kiai Ngumar didatangi oleh mereka yang dikenal
komunis dan kini rajin berkain sarung. Namun tak lama. Mereka tak muncul lagi di
surau Ki Ngumar setelah mereka ditangkap dan dibawa pergi entah mana. Ada yang
bilang, mayat mereka kemudian bertebaran di kali, di pinggir hutan, dan di rawarawa.
Kemudian aku juga mendengar berita bahwa ada pertempuran besar di
perkebunan karet dekat hutan jati Cigobang. Kata berita itu, satu unit kecil
tentara yang akan melakukan pembersihan di daerah perkebunan itu mendapat
perlawanan sengit sehingga mereka mundur. Mendengar berita ini, aku sungguh
tidak kaget. Aku tahu betul, di sana ada pasukan komunis yang cukup tangguh.
Dulu, kalau mau, pasukan komunis itu bisa menghabisi kami dengan mudah. Tetapi
agaknya betul kata orang, pasukan komunis itu sengaja memperpanjang kehadiran
kami di Cigobang karena mereka bisa mencatut nama DI untuk penggarongan yang
mereka lakukan. Juga untuk menciptakan sekian banyak isu politik yang jelas
menguntungkan mereka. Dalam situasi yang mencekam dan sangat tidak menentu itu, suatu hari ada
mobil militer di depan rumah Kiai Ngumar. Entahlah, aku masih merasa tak enak
bila melihat mobil semacam itu. Dan lebih-lebih kali ini, karena Kiai Ngumar
kemudian memanggil aku, Jun, dan Kiram. Hanya menunggu teperempat jam kami sudah
duduk berhadapan dengan dua orang tentara di rumah Kiai Ngumar. Dengan cara yang
sangat tesmi tentara itu menyuruh kami ikut ke kota. "Komandan lngin berbicara
dengan kalian. Ini perintah yang bersifat sangat segera."
Terus terang aku merasa takut. Untung Kiai Ngumar sempat berbisik bahwa
aku tak perlu cemas. "Mereka bermaksud baik kepada kalian," kata Kiai Ngumar.
Ah, bagaimana tak cemas bila seorang bekas laskar DI tiba-tiba diangkut dengan
mobil militer. Tetapi ternyata Kiai Ngumar benar. Komandan menyam-but kami dengan wajah
yang ramah meski terasa tetap resmi. Kemudian aku tahu apa maunya: kami dimintai
keterangan tentang banyak hal mengenai pasukan komunis yang berbasis di sekitar
hutan jati Cigobang. Aku, Kiram, dan Jun bergantian memberikan kesaksian tentang apa yang kami
ketahui. Bahkan kami juga menyebut nama tokoh Gerakan Siluman, yang sebenarnya
merupakan pasukan bersenjata komunis.
"Kalian mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang mereka," kata
Komandan. "Maka aku perintahkan kalian menjadi penunjuk jalan bagi operasi yang
akan kami laksanakan besok. Ini perintah."
Aku, Jun, dan Kiram berpandangan. Ya, kalau perintah, kami tak bisa
berbuat lain kecuali patuh. Itu pun jauh lebih baik, sebab semula kami menduga
kami akan kembali ditahan berhubung situasi memang terasa gawat. Namun tak
kusangka Kiram menceletuk.
Kami hanya akan menjadi penunjuk jalan?"
"Ya. Kenapa?" "Saya punya usul, Pak. Bantuan kami akan menjadi lebih nyata bila kami
diberi kesempatan bertempur melawan pasukan komunis itu. Dulu kami selalu kalah
dalam pertempuran melawan mereka. Rasanya kini ada kesempatan bagi kami untuk
membuat perhitungan akhir."
Kulihat komandan itu tertegun. Agaknya mayor itu tak siap menerima usul
Kiram. Aku memandang Jun. Ia pun tersenyum. Aku menangkap gelagat Jun yang juga
ingin kembali bertempur seperti Kiram.
"Kalian ingin ikut bertempur?"
"Ya, kalau kami diberi kepercayaan... dan kesempatan," jawab Kiram.
"Lho, kalian sudah tak bersenjata!"
"Bekas senjata kami tentu ada di sini."
Komandan diam lagi. Ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja.
"Begini saja, yang kuperlukan kalian menjadi penunjuk jalan. Tetapi usulmu
mungkin akan kupertimbangkan malam Aku harus berbicara dulu dengan Semarang."
Malam itu kami tidur di markas tentara. Tetapi tengah malam kami
dibangunkan. Komandan sudah menunggu di kamar operasi. Sebenarnya kepalaku
pusing, namun Komandan lang-sung memberondong kami dengan banyak pertanyaan.
"Kalian tahu betul wilayah yang akan kami bersihkan, bukan?"
"Ya," jawab Kiram. "Kami lebih mengenal wilayah itu dari-pada kampung kami
sendiri." "Kalau begitu, apa pendapat kalian bila operasi dilakukan pagi ini juga
sebelum fajar?" "Itu lebih baik."
"Kalian menjadi perintis. Kami sudah mendapat persetujuan Semarang. Juga
jaminan dari Kiai..."
"Kiai Ngumar?" tanya Jun.
"Ya. Kurir yang kukirim ke rumah Kiai Ngumar baru masuk."
"Kami sanggup."
Komandan melihat jam tangannya.
"Masih ada waktu setengah jam untuk persiapan dan dua jam untuk
Lingkar Tanah Lingkar Air Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalanan." Komandan memanggil tiga perwira dan menggelar peta di atas meja. Kami
diminta mendekat dan menunjuk titik-titik wilayah yang menjadi pangkalan GS.
Kiram dan Jun hanya berdiri di belakangku. Ah, kedua temanku itu tak bisa
membaca peta. Mereka tetap buta huruf. Komandan memberi petun-juk singkat kepada
tiga perwira bawahannya, yang kemudian segera berbalik dan keluar. Seorang
sersan masuk membawa pakaian seragam, ternyata untuk kami bertiga: seragam tanpa
tanda pangkat. Dan yang membuat aku berdebar, sersan itu juga membawa bekas
senjata kami masing-masing dengan pe-luru lebih dari cukup. Terasa ada kerinduan
untuk menjamah kembali senjata itu setelah lebih dari tiga tahun aku
melepaskannya. Tetapi aku cemas, jangan-jangan senjata kami bakal macet karena
terlalu lama tak terawat. Maka kami minta sedikit waktu untuk membersihkannya.
Tepat jam satu tengah malam tiga truk penuh tentara meninggalkan markas.
Aku, Jun, dan Kiram ada di antara mereka. Terasa aneh, tiga bekas laskar DI
berada dalam satu pasukan dengan tentara pemerintah, bekas seteru besarnya.
Entahlah Kiram dan Jun, tetapi aku sendiri merasakan keharuan yang terus
mengembang dan menyesakkan dada. Tenggorokanku terasa pepat. Dan aku merasa air
mataku jatuh. Untung, dalam kegelapan malam tak mungkin ada orang melihat roman
mukaku. Ya, sekarang aku berada dalam sebuah perjalanan menuju pertempuran yang
lain, sangat lain. Kini aku akan berperang atas nama Republik, sesuatu yang
pernah sangat kurindukan dan gagal terlaksana. Tetapi kini semuanya akan menjadi
kenyataan, dan aku bersama Kiram dan Jun, meski hanya sementara, menjadi bagian
tentara Republik. Ya, tak pernah kuduga, akhirnya aku mendapat peluang bertempur
atas nama negara. Keharuan kembali merebak dan air mataku jatuh lagi.
Aku percaya, pertempuran kali ini akan sengit karena orang-orang GS tentu
sadar bahwa mereka hanya punya dua pilihan: bertempur sampai menang atau sampai
mati. Mereka pasti sudah mendengar teman-teman mereka, orang-orang komunis,
kebanyakan "disukabumikan".
Jam tiga pagi, truk berhenti di jalan raya yang membelah hutan jati
Cigobang. Masih cukup waktu bagi pasukan kami untuk berjalan kaki sampai ke
tempat sasaran sebelum hari terang. Atas saran kami bertiga, sasaran pertama
adalah sebuah rumah, masih di tepi jalan besar. Itulah rumah Benggol, seorang
pamong desa yang diam-diam menjadi tokoh GS. Benggol, juga dua pembantunya, tak
berhasil kami temukan. Istri mereka bilang, Benggol dan teman-temannya sudah
lima hari tak muncul di rumah. Aku dan Kiram sependapat, orang-orang GS pasti
sudah menyatu untuk mempertahankan diri dan setiap kemungkinan yang mengancam
mereka. Bila perkiraan ini benar, aku sangat yakin mereka sudah berhimpun di
pusat penggergajian kayu gelap di tengah hutan jati.
Langit di timur mulai merona ketika kami mendekati saran dari tiga
jurusan. Aku, Jun, dan Kiram sudah memberi penjelasan yang terinci tentang
keadaan kompleks penggergajian kayu itu kepada tiga perwira yang akan memimpin
penyergapan. Sebenarnya aku menyadari kedudukanku hanya sebagai pembantu dan
penunjuk jalan. Namun entahlah, dalam udara pagi yang dingin itu darahku terasa
panas. Apalagi kulihat Kiram minta izin untuk menjadi pendobrak pertahanan
lawan. Aku dan Jun mengikuti Kiram.
Maka jadilah Kiram, aku, dan Jun bergerak di ujung pasukan. Ah, Kiram
masih seperti dulu: berani, sangat cekatan, dan lugas. Mungkin Kiram punya
perasaan sama, ingin segera menembak musuh bebuyutan kami. Atau justru pamer
keberanian. Dan bila hal itu yang akan dilakukan Kiram, ia berhasil. Ia
berguling ke samping pada detik pertama terdengar tembakan pasukan komunis dari
sebuah kilang penggergajian. Jun membalas tembakan itu, dan detik berikutnya
perang pun membahana. Aku sempat beberapa kali menarik picu senjata. Namun tak
lama kemudian aku merasa pundak dan belikatku Panas. Lalu aku tak kuasa lagi
menggerakkan tangan kananku. dan tiba-tiba kepalaku terasa sangat pening dan
mataku mulai berkunang-kunang.
Dalam kesadaran yang masih tersisa, samar-samar aku melihat Kiram dan Jun
bangkit dan lari menyerbu. Granat berledakan. Aku juga masih sempat melihat
tentara yang muda-muda itu bertempur dengan cara yang lebih baik. Lalu duniaku
bergoyang dan dalam rongga mataku hanya ada warna biru gelap dengan taburan
ribuan bintang. Semuanya jadi terasa enteng dan melayang. Telingaku mendengar
suara denging yang lembut dan datar. Kemudian entahlah, aku merasa diriku
sendiri larut dan lenyap.
Ketika lambat laun aku merasa terhadirkan kembali, hal pertama yang
kurasakan adalah suara berdengung dalam telinga. Suara orang-orang yang tak
kukenal sama sekali. Tetapi dalam kegalauan suara itu aku mendengar getar yang
tak asing. Makin lama getar itu dapat kutangkap sebagai suara yang sudah lama
kukenal. "Mid, nyebut. Laa ilaaha illallaah."
Aku membuka mata. Pundak dan punggungku rasa berdenyut, sakit bukan main.
Banyak sosok bergoyang dalam warna yang serbakuning. Aku mendengar suara Kiai
Ngumar. Wajahnya perlahan-lahan muncul dalam layar penglihatanku, samar dan
bergetar. "Laa ilaaha illallaah."
"La-ilah-illalah."
"Ya, Mid, teruslah nyebut."
Aku ingin menuruti perintah Kiai Ngumar, mengulang-ulang tahlil. Aku
merasa mulutku bergerak. Tetapi kukira aku ingin juga meninggalkan wasiat.
"Tolong jaga Umi dan Sri."
"Tetaplah tawakal, Mid."
Aku masih bisa menangkap suara Kiai Ngumar yang baru saja diucapkannya.
Aku juga masih ingat wejangan yang dulu pernah diberikannya kepadaku: yaitu
memerangi kekuatan yang merusak ketenteraman masyarakat hukumnya wajib.
"Tetaplah tawakal, Mid. Engkau menjelang syahid."
"Laa ilaaha illallaah..."
"La-ilah-illallah..."
"Laa ilaaha illalaah..."
"...illa...allah..."
"Laa ilaaha illallaah...."
TENTANG PENGARANG Ahmad Tohari dilahirkan di Banyumas, 13 Juni 1948. Dia tidak pernah
melepas-kan diri dari pengalaman hidup kedesa-annya yang mewarnai seluruh karya
sas-tranya"Ronggeng Duknh Paruk (1982) yang telah diterbitkan dalam bahasa Jepang, Cina, Belanda, Jeman, dan Inggris serta telah difilmkan dengan judul Sang
Penari; Di Kaki Bukit Cibalak (1986); Senyum JCaryamin (1989); Bekisar Merah
(1993) yang telah diterbitkan dalam bahasa Inggris; Lingkar Tanah Lingkar Air
(1992); Orang-Orang Proyek (2002); Kubah (2005); Ronggeng Dukuk Paruk Banyumasan
(2006); Mata yang Enak Dipandang (2013).
Siluman Penghisap Darah 1 Joey Si Frustasi Yang Beruntung Karya Mark Bowden Naga Sasra Dan Sabuk Inten 11