Pencarian

Misteri Boneka Gayung 1

Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas Bagian 1


http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
Bung Smas PULUNG: MISTERI BONEKA GAYUNG E-book oleh: kiageng80 Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1984 PULUNG: MISTERI BONEKA GAYUNG
oleh Bung Smas GM 84.084 Hak cipta dilindungi oleh
undang-undang All rights reserved Sampul dan ilustrasi dalam dikerjakan
oleh Nono. S Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia, Jakarta 1984
Anggota IKAPI 1 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta DAFTAR ISI 1. Duel di Selehraga 2. Sang Jagoan Tidak Datang
3. Seuntai Kalung Berlian
4. Penyelidikan Pulung 5. Musuhan Lagi 6. Dua Misteri 7. Kejutan Si Pol 1 DUEL DI SELEHRAGA CEMARA meliuk-liuk bagai makhluk yang
gelisah. Desaunya menggebu. Angin kemarau
meluruhkan daun-daun berbentuk jarum itu.
Untunglah sembilan pokok cemara tegak di
halaman gedung SMP itu. Bila tak ada cemara, betapa panasnya udara pada menjelang jam
2 istirahat kedua ini. Gedung itu cukup tinggi, khas bangunan
peninggalan zaman Hindia Belanda. Pintu dan jendela-jendelanya lebar. Maka angin yang
masuk ke ruang kelas satu C, adalah sejuk
belaka. Si Rambut Kaku terkantuk-kantuk di bangkunya. Perutnya lapar bukan main. Pagi tadi dia
bangun kesiangan dan tak sempat
makan pagi. Si Rambut Kaku menggigit-gigit bibirnya sendiri, agar kantuknya pergi jauh-jauh. Tapi
kelopak matanya yang tipis itu
betapa sulitnya dibuka. Kelopak mata kiri
dihiasi bekas luka tersayat, sehingga mata kiri itu lebih sipit daripada yang kanan. Sebenarnya mata
si Rambut Kaku itu sangat indah, bagai mata anak perempuan yang cantik. Tapi bekas luka di
kelopak kirinya membuat kesan bahwa dia adalah seorang anak lelaki yang nakal.
"Pulung!" Si Rambut Kaku tersentak mendengar
panggilan yang diucapkan dengan nada
menyentak itu. Ia menoleh-noleh, bingung dan tak tahu siapa yang memanggilnya.
"Bego! Kamu dipanggil Pak Son!" bisik
Ristiani, teman sebangkunya.
"Ya, Pak!" sahut Pulung langsung kepada
guru kurus yang bungkuk tubuhnya, yang
dagunya menonjol, dan kaca mata putihnya
kecil sekali. Pak Son sungguh tidak tampan. Wajahnya
aneh, karena sulit dikatakan bagaimana
bentuknya. Tapi dia guru yang baik. Sangat baik, dan semua muridnya menaruh hormat
sangat tinggi karena dia adalah contoh guru terbaik di SMP itu.
Pak Son tidak menyinggung soal kantuk si
3 Rambut Kaku. Padahal dia memanggil Pulung
karena dia menyaksikan si Rambut Kaku
hampir mendengkur dengan kepala terkulai di atas bangkunya. Pak Son memerintah, "Buatlah
kalimat dengan kata 'dini'."
Pulung bukan murid kesayangan Pak Son.
Tapi dia memang sering mendapat pertanyaan guru Bahasa Indonesia itu, terutama kalau dia
terkantuk-kantuk di kelas. Biasanya ia
menjawab pertanyaan semacam itu lancar-
lancar saja. Tapi mungkin karena Ristiani
sudah nyumpahin 'bego', maka jadilah dia bego sungguhan. Dia bingung sesaat. Otak pun
rasanya beku, padahal mestinya pada udara
sepanas ini otak jadi meleleh!
Gruno yang duduk di sudut kanan kelas,
merasa tegang karena boss-nya jadi dungu
begitu. Tapi dia tak bisa menolong si Rambut Kaku. Mata Pak Son melirik ke arahnya. Gruno
membuang muka. Ia bertatapan dengan Gogor
yang duduk di bagian tengah ruangan. Gogor mendesah. Dia juga ingin menolong Pulung,
tapi dia sendiri tak tahu apa jawaban
pertanyaan Pak Son. "Sudah hampir satu menit, Lung," kata Pak
Son mendesak. "Masih memerlukan waktu
berapa menit lagi?" "Sssaya... saya kurang mendengar, Pak...,"
kata Pulung, berusaha mengulur waktu.
"Maksud saya... pertanyaan Bapak kurang saya dengar."
Pak Son mengulangi pertanyaannya, atau
4 lebih tepat disebut, perintahnya.
"Waktunya setengah menit lagi. Kalau tidak bisa, angkat tangan saja," ujar Pak Son setelah
menyebutkan perintahnya. "Dini... Dini anak kelas dua A," Pulung
menyebutkan kalimat yang dibuatnya.
Kontan saja seisi kelas terbahak-bahak!
Pak Son tidak melarang muridnya tertawa.
Tetapi dia sendiri tidak pernah tertawa karena kebodohan muridnya.
"Jadi tadi kau benar-benar tidur?" tanya
Pak Son, nadanya seperti benar-benar kecewa.
"Saya mengantuk, Pak."
"Boleh keluar dan meneruskan tidurmu di
kantin." "Ah, tidak, Pak. Saya tidak mengantuk
lagi." "Menyerah" Tidak bisa membuat kalimat
dengan kata 'dini'?"
"Dini... dini... Maaf, Pak, dini itu apa?"
Pertanyaan yang bodoh itu makin
meriuhkan isi kelas. Pak Son sempat melihat Gogor akan membisiki Pulung. Pak Son berseru,
"Coba kauterangkan 'dini' itu apa, Gor!"
Dasar Gogor, beraninya hanya di belakang.
Dia masih seperti dulu-dulu juga, mudah gugup dan penakut luar biasa. Mulutnya menjadi
macet karena perintah itu. Keringatnya
mengalir di ketiak, perut, dan sekitar pusarnya.
5 Dia merasa geli oleh tetesan keringat yang masuk ke lubang pusarnya. Karena itu,
perhatiannya beralih pada sekitar pusarnya.
Otaknya. jadi macet pula.
"Dini adalah kata lain dari 'awal'," Pak Son membantu para bego yang terlongoh-longoh
saja. "Coba kaubuat kalimatnya, Lung."
Hampir saja Pulung menyebutkan kalimat
'Awal anak kelas IIA'. Untunglah Ristiani
menginjak kaki Pulung. Sehingga kalimat itu tidak sempat keluar. "Saya... saya mengantuk karena
sampai dinihari saya baru tidur," kata Pulung.
Sebenarnya kalimat itu untuk Pak Son,
menerangkan bahwa dia mengantuk karena
tidur sangat terlambat. Tetapi Pak Son
menganggap itu adalah kalimat jawaban
Pulung. Kebetulan kalimat itu benar. Maka Pak Son mengacungkan ibu jarinya. Seratus untuk si
Rambut Kaku! Tapi rasa lapar itu tidak hilang hanya
karena mendapat pujian Pak Son. Bahkan
makin melilit. Tambah parah lagi setelah bel jam istirahat kedua berdentang. Kalau dia
punya uang, dia bisa makan bubur kacang
hijau di kantin. Tapi kapankah dia ke sekolah membawa uang" Bapak bukan orang berada.
Kerjanya pun hanya sebagai kebayan desa,
pegawai kantor kelurahan di desanya.
Pekerjaan itu tidak membuatnya kaya. Hanya membuatnya terhormat sedikit, karena semua
penduduk desa memanggilnya Pak Bayan.
Orang semacam Bapak itu, bukanlah seorang
ayah yang suka memberi uang jajan kepada
6 anaknya. Bapak tak pernah memanjakan
anaknya. Apalagi terhadap si sulung yang
rambutnya kaku dan matanya sipit sebelah!
Gogor menghampiri Pulung di teras
kelasnya. "Lapar, Lung?" bisiknya.
"Lumayan." "Ngompas Ristiani saja, Lung! Dia lagi banyak duit!"
"Maunya sih begitu. Tapi apa pantas sih
yang namanya Pulung jadi tukang 'kompas'" Didor penembak misterius, baru tahu!"
Gogor tertawa, tapi hatinya sedih bukan
main. Dia tak bisa menghitung lagi berapa kali Pulung menolongnya pada saat-saat yang
gawat. Yatim piatu yang kurus ini tak punya saudara seorang pun. Ia akan merasa sangat malang
bila ia tak punya kawan sebaik Pulung.
Tapi pada saat-saat Pulung kelaparan, betapa menyesal Gogor, karena dia tak bisa berbuat
apa-apa. Gogor melangkah sambil mengantungi tangannya. Ia menuju ke kantin. Otaknya
berfikir keras untuk mencari akal demi
semangkuk bubur kacang hijau.
Ia berdiri di pintu kantin. Tak ada yang
memperhatikan kehadirannya. Dan dia memang tak pernah diperhatikan orang. Ada dia atau tidak,
orang tak pernah ribut. Seolah seekor lalat lebih penting daripada Gogor. Coba saja.
Seekor lalat yang hinggap di tepi mangkuk
Miranda, cukup membuat seisi kantin ribut.
Miranda kalang-kabut. Buburnya tumpah.
Sebagian menyiram sepatu Gogor. Tapi Miranda tidak meminta maaf. Pikirnya lalatlah yang salah.
Atau dia pikir anak desa kurus yang berdiri di pintu kantin itu tak pantas menerima pernyataan
maafnya" 7 Gogor menyeka ujung sepatunya dengan
kertas yang dipungutnya dari tempat sampah.
Ia melihat Jalu, anak kelas satu A yang gagah, tinggi besar, dan konon dia jago silat di
kampungnya. Serta merta timbul gagasan
bagus di kepalanya. Demi semangkuk bubur
kacang hijau buat Pulung, Gogor melakukan
'politik adu domba'. Dia berkata dengan nada penuh ejekan, "Lu! Kamu dicari Pulung!"
Jalu mengangkat wajahnya. Mulutnya
penuh. Gayanya mengunyah makanan seperti
kerbau jantan memamah biak. Rahangnya tidak saja bergerak ke bawah ke atas, juga ke
samping kanan dan kiri. Gerakan itu sengaja dilakukan untuk meyakinkan aksinya yang
petantang-petenteng 1. "Mau apa dia cari aku?" serunya dengan
kalimat tak jelas, karena mulutnya penuh, dan gerakan rahangnya dibuat-buat. "Ngajak
sambuk, apa?" Gogor mengangguk. Sambuk adalah istilah untuk pertarungan para pendekar. Jalu tahu, 1 Nengil,
sok jago Pulung jago silat di desanya. Sudah lama Jalu ingin
sambuk dengan Pulung. Sudah
bermacam-macam cara ditempuhnya untuk
memancing pertikaian. Tapi Pulung tak pernah meladeninya. Mendapat tantangan yang
disampaikan oleh Gogor itu, serta-merta Jalu bangkit. Diseka mulutnya dengan punggung
telapak tangan. Gayanya meniru pendekar
mabuk dalam film silat Hongkong.
"Mana anaknya?" tanyanya seraya
8 melemparkan dua keping uang seratusan ke
meja kantin. "Tunggu dulu," Gogor mencegah. "Taruhan,
berani?" "Apa taruhannya?"
"Bubur kacang hijau."
"Enteng! Mana anaknya?"
"Tunggu dulu." Gogor mulai kebingungan.
"Maksudku... maksudku bukan sambuk
sungguhan. Cuma itu... adu kekuatan. Eh,
panco. Panco saja." "Kamu ngomong bagaimana, sih" Kutampar
mulutmu mencong!" Gogor makin ketakutan. Berani main-main
dengan Jalu Prakosa ini sama juga dengan
mengusik macan tidur. Jalu Prakosa memang
dididik menjadi jagoan oleh ayahnya. Namanya saja mengandung makna 'lelaki perkasa'.
Ayahnya seorang jagoan pada masa mudanya.
"Ta... taruhannya semangkuk bubur
kacang hijau, ya?" kata Gogor dengan suara gemetar.
"Sepuluh mangkuk pun jadi! Tapi sambuk sungguhan!"
"Tapi... tapi Pulung maunya panco saja."
"Kasih tahu dia! Setelah pulang sekolah,
kutunggu di Sarean Selehraga!"
9 Sarean Selehraga! Mendengar nama itu
disebutkan saja, bulu kuduk Gogor meremang.
Sarean adalah kuburan. Dan kuburan
Selehraga terletak di tengah tanah persawahan yang terpencil. Dari kejauhan tempat itu
tampak hijau penuh misteri. Tak seorang anak pun berani lewat di dekat sana meskipun pada siang
hari. Pada masa yang lalu, konon
kuburan itu tempat para raja, adipati, dan pejabat tinggi negara dimakamkan. Konon pula angker
sekali. Di sanalah kata orang, segala macam jenis hantu bermukim.
"Begini, Lu," Gogor tak bisa tenang lagi.
"Terus terang, ya. Sebenarnya... sebenarnya aku belum kasih tahu sama Pulung..."
Tiba-tiba, begitu sangat tiba-tiba, tangan Jalu melayang. Gerakannya sulit diikuti oleh pandangan,
terutama bagi anak lemah seperti Gogor. Ia tidak tahu bagian mana dari
tubuhnya yang terkena pukulan. Rasanya
seluruh tulang tubuhnya sakit. Pandangannya menjadi gelap. Dia jatuh terduduk. Saat itulah dia
tahu, bahwa yang kena pukul adalah
dadanya. Nyata napasnya sesak. Dada sebelah kiri terasa nyeri.
Anak-anak menyaksikan peristiwa itu dari
semua penjuru. Tapi tak seorang pun berani berkutik. Jalu Prakosa sungguh jagoan. Sering kali
terbukti, dia selalu menang bertarung dengan siapa pun juga.
Gruno yang paling marah menyaksikan
peristiwa itu. Dia tak pernah akur dengan
Gogor, terutama karena sifat keduanya yang selalu bertolak belakang. Tetapi menyaksikan teman
dekatnya dihantam macam begitu, dia


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

marah sejadi-jadinya. Dia lari dan berdiri dengan gagah di depan Jalu.
"Ini tantangan buatku, Lu!" geramnya.
"Jangan di sini! Kita ke lapangan stasiun
setelah pulang sekolah!"
10 Jalu mendengus dengan bibir digerak-
gerakkan penuh ejekan. "Aku mau Pulung saja!" katanya.
Pulung datang. Tetapi ia tidak
menghiraukan Jalu. Diangkatnya Gogor dengan hati pilu. Betapa sedihnya Pulung menyaksikan
wajah Gogor yang berkerut-kerut karena
menahan sakit. Pulung meraba dada kiri Gogor.
"Aduh!" jerit Gogor.
"Diam dulu. Tarik napas panjang," kata
Pulung. Nada suaranya datar, menandakan dia cukup tenang menghadapi peristiwa yang
memilukan hatinya ini. Pulung membuka kancing baju Gogor.
Diperiksanya dada anak itu. Lalu dirabanya.
Gogor mengaduh lagi. "Mana yang sakit" Ini?"
"Aduh!" "Ini sakit juga?"
"Aduh!" "Sampai sini masih sakit?"
"Iya... oh... tidak... tidak begitu sakit..."
Pulung mengancing baju Gogor dan
mendesah. Dengan rabaan jari-jarinya, dia bisa menentukan pukulan macam apa yang
dihantamkan oleh Jalu terhadap Gogor. Mudah-mudahan Gogor jujur, sehingga ia mengaduh
karena sakit ketika dipijit, bukan karena
11 kecengengannya saja. Ditilik dari bagian yang sakit, Pulung bisa menebak bahwa Jalu
menggunakan sisi telapak tangan kanannya
untuk menghajar Gogor. Dan Pulung pun naik pitam! Dia bangkit.
Ditataphya mata Jalu. "Kau memang jagoan," katanya. Suaranya
berdesis, menandakan dia sedang marah
sungguhan. "Tapi percuma ayam jantan
mematuk anak ayam yang baru keluar dari
telur!" "Kau marah, Lung?"
"Iya!" "Lalu kau mau apa?"
"Mestinya kau jangan menantangku. Akui
kesalahanmu, dan mintalah maaf padanya!"
"Kalau aku tidak mau?"
Gruno yang sudah gemas, berseru lantang,
"Hajar, Lung!" Anak-anak berkerumun. Guru pun datang.
Mereka digiring ke ruang guru untuk diadili.
Rasa pilu di batin Pulung makin menjadi-
jadi setelah tahu duduk persoalannya. Gogor menceritakan semua itu dengan mata selalu
basah. Ia menangis karena sakit dan karena hati yang lara. Betapa tak lara" Dia disakiti dan dia tak
mampu membela diri! Tetapi di sini, di hadapan para guru,
Pulung tak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan Jalu telah mengucapkan pernyataan maafnya.
12 Ia seperti bersungguh-sungguh menyalami
tangan Gogor dan meminta maaf.
"Kau bisa memaafkannya, Gor?" tanya
Pulung ragu. Gogor mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sungguh?" "Ya." "Dengan tulus kau mengatakannya?"
"Ya." Pulung mendesah. Kalau Gogor sudah
memaafkan Jalu, memang tak ada alasan
baginya untuk marah. "Ayo, bersalaman!" kata Kepala Sekolah.
"Ini peringatan terakhir untuk Jalu. Kalau sekali lagi kau berkelahi di lingkungan sekolah, kau bisa
dikeluarkan." "Iya, Pak. Saya... saya mengaku bersalah,"
kata Jalu dengan wajah penuh kesungguhan.
Dengan begitu, Pulung menganggap selesai
persoalan yang membuat darahnya mendidih.
*** Rasa laparnya masih melilit-lilit. Biasanya Pulung mendapat giliran membonceng setiap
kali pulang sekolah. Tapi dia mengalah menjadi tukang kayuh karena Gogor masih teler juga.
13 Rupanya hantaman Jalu benar-benar
menyakitkan Gogor sampai ke tulang dan
sungsumnya. Dia tidak dendam pada Jalu, tapi pasti hatinya sakit bukan main.
Setiap kali mengayuh pedal sepeda Kakek
Sakeh, Pulung selalu merasa dirinya begitu pendek. Kakinya tak bisa menyentuh pedal
sampai ke bawah. Pantat pun terasa sakit
karena sadel sepeda itu keras dan sudah rusak.
"Pakai sepedaku saja, Lung!" seru Gruno
yang mengayuh sepedanya di samping Pulung.
"Biar saja, No. Hitung-hitung biar kakiku
mulur!" gurau Pulung.
Mereka mengayuh sepeda ke arah selatan.
Gogor masih mendekap dada kirinya. Dia
tampak sedih sekali. Kalau Kakek Sakeh tahu akan peristiwa ini, pasti Gogor kena marah lagi.
Kakek Sakeh galak bukan main. Padahal Gogor adalah cucu satu-satunya. Satu-satunya teman
hidup, karena Kakek Sakeh yang tua itu tidak punya siapa-siapa lagi. Istrinya sudah lama
meninggal dunia. Anaknya yang hanya seorang saja pun telah lama berpulang, sejak
melahirkan Gogor pada tiga belas tahun yang lalu. Galaknya Kakek Sakeh bermula karena ia ingin
cucunya gagah seperti Pulung. Gagah
menurut Kakek Sakeh adalah 'jantan dan bisa berkelahi'. Karena itulah Kakek Sakeh
menamakan cucunya 'Gogor'. Nama itu
sungguh bermutu, sebab Gogor artinya 'anak harimau'. Tapi sayang, Gogor tumbuh menjadi anak
lelaki yang terlalu lembut dan cengeng sekali. Nama bertuahnya seolah tak punya arti lagi. Akan
lebih berarti bila Gogor beralih nama menjadi Cemeng, 'anak kucing'!
Menjelang batas kota, ada perempatan
jalan yang dihiasi sebuah patung tentara. Tiga orang anak laki-laki menunggu di sana. Lodi, Asep,
dan yang tinggi besar itu, Jalu Prakosa!
14 "Lung... dia... dia menunggu kita...," bisik Gogor.
"Tenang saja. Kita terus pulang," kata
Pulung sambil terus mengayuh sepeda.
Tetapi Jalu memang sengaja menunggunya.
Tangan Jalu melambai seperti polantas
menghenti-kan kendaraan. "Kutunggu kau di Selehraga!" seru Jalu
kepada Pulung. Selesai berseru, Jalu
menunggangi sepedanya dan memacunya ke
timur. "Kita sambut, Lung!" seru Gruno seraya
mendahului membelok ke kiri menyusul Jalu.
"Aduh, jangan, Lung...," rintih Gogor.
Pulung membelokkan sepedanya. Ia
mengejar Gruno dan berseru, "Berhenti dulu, No!" Gruno mengerem sepedanya dan turun.
Pulung berbuat seperti itu pula. Mereka berdiri bersisian di tepi jalan yang ramai dilalui kendaraan
luar kota. "Bagaimana, No?" tanya Pulung.
"Kita lawan saja!"
"Apa untungnya?"
"Demi nama baik kita, Lung. Kalau kita
tidak meladeni mereka, Jalu bisa menyebarkan ejekan yang bukan-bukan!"
"Apa perlunya mempertahankan nama
baik?" "Ah, kenapa hari ini kau jadi bodoh sekali, Lung" Aku juga lapar. Tapi otakku masih bisa bekerja!"
15 Pulung mendengus. Gruno itu jagonya
anak kampung di sebelah desa Pulung.
Semangat tempurnya boleh juga. Tapi untuk
apa semua itu" Mempertahankan nama baik"
Ah! Seperti petinju saja.
Ketika Pulung masih memikir-mikir, Gruno
sudah mengayuh sepedanya ke timur.
Selehraga cukup jauh. Lapar pun makin terasa karena harus kerja keras mengayuh sepeda
menyongsong angin kemarau.
Jalu dan dua orang temannya sudah
menunggu di jalan tanah di depan Selehraga.
Gaya Jalu bagai jagoan dalam kisah-kisah
legenda. Sikap jagoan itu membuat Gruno
merasa muak sekali. Tapi Pulung masih tenang.
Dia tukang berkelahi, tapi dia tak pernah
mengayunkan tinjunya tanpa alasan yang kuat.
Dia memahami jurus silat seperti dia
memahami ayat-ayat suci Al Quran yang
dipelajarinya. Memang bermula ia hanya ingin belajar jurus, maka ia mau belajar mengaji pada Wak
Solikun. Satu jurus akan diberikan bila Pulung menamatkan satu juz. Namun
kemudian dia menyadari bahwa mempelajari
silat bukanlah untuk menjadi tukang berantem seperti yang semula disangkanya. Semakin
tinggi jurusnya, dia semakin takut berkelahi.
Sebab dengan sekali ayun tangannya, mungkin saja dia bisa membunuh orang! Jurusnya
16 memang maut. Setiap serangan tak boleh
dielakkan. Harus dihadang dengan serangan
yang lebih mematikan! Karena dasarnya Pulung berhati lembut, maka kemudian ia menciptakan
gerakan-gerakan menghindari serangan tanpa membalas. Ia akan selalu teringat akan petuah guru
mengaji dan sekaligus guru silatnya,
"Seorang pendekar sejati bukan manusia yang pandai berkelahi saja, melainkan seorang
manusia yang pandai menghindarkan diri dari pertikaian. Memahami jurus adalah usaha
untuk memahami bahaya yang mengancam
keselamatan diri sendiri. Maka hindarkan
bahaya itu dengan akalmu, bukan dengan okol (otot)-mu."
Petuah itu baginya bukan merupakan
'larangan untuk berkelahi'. Melainkan 'perintah untuk menjadi manusia berhati lembut dan
berbudi tinggi'. Begitulah, bila di sekolah tadi Jalu menyerangnya, mungkin saja Pulung kalap
karena dia menyaksikan Gogor dihantam.
Tetapi sekarang, pada saat kepalanya menjadi dingin dan perutnya melilit-lilit, dia sama sekali tak
berminat berkelahi. "Kau ini, Lu," katanya seraya menyerahkan
sepedanya kepada Gogor. "Maumu bagaimana,
sih" Tadi kau sudah mengajak damai, kan" Kok sekarang menyuruhku ke sini?"
"Kau jagoan di kampungmu, kan?" ejek
Jalu. "Kata orang sih begitu. Tapi apa iya sih,
aku jagoan?" Gaya Pulung berbicara yang merendah
seperti itu ditafsirkan keliru oleh Jalu. Pulung sengaja merendahkan diri agar Jalu tidak
mencari perkara lagi dengannya. Namun Jalu menganggap Pulung justru meremehkannya!
"Kau menantang sambuk, kan" Aku
17 menyambut tantanganmu!" kata Jalu penuh
tantangan. "Lho! Tadi kan Gogor sudah menjelaskan
persoalannya" Dia hanya ingin aku mengadu
panco denganmu. Taruhannya semangkuk bubur kacang hijau. Terus terang, Lu, kalau panco aku
pasti menang lawan kamu!"
"Alasan! Di depan guru Gogor bilang begitu!
Tapi sebenarnya..." "Sungguh, Lu!" sela Gogor seraya
menyandarkan sepedanya ke pagar kuburan.
"Aku hanya memanasimu untuk adu kekuatan,
kok. Soalnya Pulung kelaparan! Demi Tuhan, deh!"
"Mulut busuk! Anak laki-laki kayak kamu
harusnya pakai rok saja!" bentak Jalu.
Gruno tak sabar lagi. Ia juga bertubuh
kekar seperti Jalu. Disandarkan sepedanya.
Lalu melangkah ke depan Pulung, berhadapan dengan Jalu.
"Sama aku saja, Lu!" tantangnya. "Kau
masih tanggung lawan Pulung!"
"No!" hardik Pulung. "Pakai otakmu!"
"Biar saja, Lung! Aku juga sudah lapar.
Kalau ngobrol saja di sini, sampai jam tiga nanti aku nggak makan juga!"
"Begini saja." Pulung melangkah ke depan
Gruno. Ia meraba pundak Jalu dengan sikap
bersahabat. "Kalau mau sambuk, bagaimana jika perguruanmu mengirim surat saja pada
perguruanku" Kita adakan di lapangan pada
18 saat bulan purnama. Bagaimana, Lu" Lebih
baik begitu, kan" Itu sambuk yang jujur. Guru kita akan menyaksikannya."
"Gila kau, Lung!" desis Gruno. "Wak
Solikun bisa nggamparin kamu kalau berani ngomong mau sambuk!"
"Kau diam, No! Nanti kau sendiri yang
kuhajar!" Gruno tahu, kalau Pulung sudah
mengancam begitu, tandanya darah sudah naik ke kepala. Gruno bukannya takut pada Pulung.
Melainkan 'hormat' dan segan. Ia tak pernah berani mengajak sambuk dengan Pulung,
karena ia belum tahu sampai di mana
sebenarnya jurus murid Wak Solikun itu. Ia hanya bisa meraba-raba. Sedangkan bila dia yakin
silatnya sejajar dengan Pulung, dia pun belum tentu menang. Sebab Pulung sangat
terlatih. Bergerak dalam jurus sama juga
bergerak dalam berjalan, makan, naik sepeda, berenang, dan kegiatan sehari-hari lainnya.
Jurus ibarat pisau yang terbuat dari baja
murni. Jurus bisa tajam bila dilatih setiap saat, ibarat pisau diasah setiap waktu. Jurus Gruno tumpul
karena dia tak pernah berlatih. Gruno menganggap jurus adalah meriam yang
sewaktu-waktu bisa digunakan dalam
pertempuran. Meriam sungguh senjata berat.
Maka tanpa diasah meriam bisa
menghancurkan lawan. Begitu pendapat Gruno.
Karena kekeliruan pandangan itu, makin lama jurusnya pun makin tidak ampuh lagi. Dia
hanya menang mental. Tapi sering kurang
perhitungan. Jalu mengerti, Pulung tak bisa dipancing
19 hanya dengan tantangan saja, harus diserang lebih dulu, baru Singa Kecil itu akan
mengamuk. Jalu pun menyerang dengan
tangan kanan. Pulung, dalam dua puluh empat jam sehari, adalah pendekar. Meskipun
serangan itu sangat mendadak, dia bisa
mengelakkannya hanya dengan menggeser
kedudukan kaki kanan ke belakang. Tinju Jalu meluncur di depan hidungnya. Anak yang tak bisa
jurus semacam Gogor, pasti akan
memejamkan matanya begitu tinju meluncur di dekat hidungnya. Seharusnya mengerjap pun
tak boleh pada saat harus bersiaga begini.
Pulung tak berkedip. Dia tahu persis berapa milimeter jarak ujung hidungnya dengan tinju Jalu.


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam ia merasa kagum juga pada
jagoan yang sok jago itu. Tapi kenapa tinju Jalu mengepal" Kenapa tidak berbentuk cakar
kucing, atau paruh garuda" Seorang pendekar mestinya pantang menggunakan tinju
mengepal. Sebab tinju mengepal tidak akan bisa menyakitkan musuh, bahkan bisa
mencelakakan diri sendiri. Jari mungkin
terkilir, bahkan bisa patah bila menghantam kepala musuh. Dengan singkat Pulung
menduga, mungkin Jalu sengaja
menyembunyikan jurusnya, maka dia
menggunakan tinju mengepal. Hebatlah Jalu
Prakosa itu! Dalam latihan, menerima pukulan begini
dilarang melangkah mundur. Seharusnya
Pulung melakukan gerakan sekaligus secara
bersamaan: melangkah dengan kaki kanan ke
depan, mengendap, menangkis serangan
dengan tangan kiri, dan mengirimkan pukulan berbentuk cakar kucing ke ulu hati lawan.
20 Gerakan ini disebut Pat Cing Hok (lompat kucing, menohok). Dengan gerakan ini dia bisa membuat
lawan pingsan selama setengah jam!
Tapi Pulung mewarisi kelembutan dari Ibu.
Jurusnya memang bisa membunuh orang di
tangan pendekar berhati bengis. Tapi di tangan
si Rambut Kaku yang berhati selembut hati Ibu, jurus itu merupakan benteng diri belaka, bukan alat
untuk membunuh dan mencelakakan
sesamanya. Sayang sekali Jalu Prakosa tidak
menyadari akan mautnya jurus Pulung. Ia
menyangka jurus itu memang enteng-enteng
saja. Tak punya pukulan jitu. Maka ia makin bernapsu. Ia menghajar Pulung dengan gaya
seperti dia menghantam Gogor. Pulung tak
bergerak di tempatnya. Ia hanya mengangkat tangan kanan menekuk di depan dada. Pukulan Jalu
mendarat di hasta tangan itu. Jalu
merasakan betapa kerasnya tulang hasta
Pulung. Menyadari perkelahian itu sudah menjadi
sungguh-sungguh, Gogor gemetar sekali. Ia
berseru dan menjerit-jerit agar Jalu
menghentikan serangannya. Tapi jago yang
tengah bertempur, mana mungkin mengakhiri
21 pertikaian itu hanya oleh jeritan saja" Pulung pun mulai panas. Ia tak mungkin hanya
mengelak. Ia harus menyerang agar Jalu tahu, bermain-main dengan anak singa bisa
membahayakan dirinya. Pulung mengirimkan pukulan dengan tinju
mengepal. Ia sengaja mengepalkan tinjunya, agar Jalu tidak bisa menebak macam apa
jurusnya, macam apa pula pukulannya. Jalu
mengelak dengan melangkahkan kaki kanan ke belakang dan menarik kepalanya. Inilah yang
diharapkan Pulung. Ketika tinjunya berada di depan hidung Jalu, tiba-tiba ia membuka jari-jarinya.
Pukulan ini bernama 'cakrok macan'
atau cakar harimau. Cakar itu berputar hingga menghadap ke wajah Jalu. Kalau Pulung mau, dia
bisa mencakar mata lawannya. Tapi itu
sadis. Dia tak pernah bisa berbuat kejam
begitu. Maka yang dicakarnya hanya hidung
dan bibir Jalu. Maunya sekedar memberi
peringatan. Tetapi cakar itu sudah sangat
terlatih. Batang pisang hidup bisa roboh dengan dua puluh lima kali pukulan 'cakrok macan'
semacam itu. Maka tak ampun lagi, bibir Jalu berdarah. Ia menjerit. Tetapi yang terasa sakit adalah
pinggiran lubang hidungnya. Bibir
berdarahnya tidak begitu sakit, tetapi
hidungnya, duh! Ia merasakan jari manis
Pulung telah memasuki lubang hidung dan
ditarik dengan gerakan cepat sekali.
"Sudah, Lu! Sudah!" seru Pulung.
Tapi Jalu sudah kesetanan. Ia malu
dipecundangi begitu saja dalam pukulan
pertama lawannya. Gerakannya makin nekat.
22 Dengan begitu, ia tidak bisa menguasai
jurusnya lagi. Makin panas hatinya, makin
kacaulah gerakannya. Bahkan ia melakukan
kesalahan besar dalam perkelahian semacam
itu. Kesalahan itu adalah mengulangi
pancingan dan serangan-serangan yang gagal.
Tentu saja Pulung bisa membaca gerakannya.
Bisa menebak arah serangan dan tipuan-
tipuannya. Lodi dan Asep merasa tegang menyaksikan
jagonya mulai teler. Asep mengepal-ngepalkan tinjunya. Gruno melihatnya. Ia melangkah dan
berdiri gagah di hadapan Asep.
"Mau ikut, Sep?" tantang Gruno.
"Ikut ke mana?" tanya Asep yang tidak
memahami maksud Gruno. "Kayak boss kamu! Aku lawanmu!"
"Oh, tidak... tidak. Sungguh! Aku tidak
ikut-ikutan!" "Kenapa kau mau mengantarnya ke sini?"
"Habis... eh, kau kayak tidak tahu watak
Jalu saja, No. Kalau aku tidak mau diajak ke sini, dia mengancamku..."
Gruno memandangi wajah Asep.
Kelihatannya Asep tidak bohong.
Gruno mengangkat kedua bahunya dengan
sikap meremehkan. Ia menyaksikan
perkelahian Pulung lagi. Timbul rasa bosannya.
23 Pulung terlalu bersikap lunak. Tidak ganas seperti dalam latihan di halaman belakang
langgar Wak Solikun. "Lung! Jangan buang-buang waktu! Lapar,
nih!" seru Gruno. Pulung pun merasakan perutnya makin
terasa perih. Ia ingin menyudahi perkelahian itu. Maksudnya akan mengunci gerakan Jalu.
Ia berhasil menangkap tangan Jalu. Akan
dipuntirnya ke belakang. Untuk itu ia meraba pundak kanan Jalu. Tapi agaknya Jalu punya tipuan
yang jitu. Ia mengendap dan
melangkahkan kaki kiri memutar, hingga
tangannya yang akan dipuntir bisa selamat, sekaligus dia bisa memuntir tangan Pulung.
Keadaan jadi berbalik. Senjata makan tuan.
Giliran Pulung yang akan dikunci dengan
gerakan yang mirip seperti yang dilakukannya tadi.
Menghadapi serangan begini, Pulung tak
punya pilihan. Ia terpaksa melakukan gerakan yang mengerikan. Ia membungkukkan
badannya. Dengan begitu, tangannya tidak
terkunci. Sambil membungkuk begitu, ia
meraih kaki kanan Jalu yang berada di antara kedua kakinya sendiri. Gerakan ini sebenarnya
bersifat untung-untungan. Ia bisa
mencelakakan lawan, tetapi dia sendiri
menanggung resiko tangan kanannya terkilir.
Untunglah Jalu melepaskan cekalannya karena menyadari kaki kanannya sudah diraih oleh
tangan kiri Pulung. Ini adalah kesalahan besar yang dilakukan oleh Jalu. Sebab tangan kanan
Pulung jadi bebas. Tangan itu ikut memegangi pergelangan kaki kanan Jalu. Kini kaki Jalu itu
berada di antara kedua paha Pulung, terjulur ke depan. Pulung menduduki kaki itu. Celaka
24 musuhnya! Kalau musuh tetap berdiri, kakinya bisa patah. Untuk menghindari kecelakaan itu,
terpaksa Jalu mengikuti gerakan Pulung. Maka dia pun masih juga celaka. Sebab dia harus jatuh
terduduk dengan kaki kanan terjulur ke depan. Lebih celaka lagi, karena Pulung
mendudukinya! Jalu tidak mengaduh. Ia diam. Benar-benar
diam. Sebab dia pingsan! Pulung terperanjat menyadari hal itu. Ia
meraba-raba dada Jalu. Ditepuk-tepuknya pipi Jalu. "Lu! Lu!" serunya gugup. "Masya Allah!"
Gogor bersorak gembira, "Waaa... brutune mangslep !"
Kalau tidak sedang panik, Pulung pasti
tertawa mendengar seruan Gogor itu. Brutune mangslep, adalah 'tunggirnya amblas'. Ucapan itu
lazim disebut terhadap seseorang yang jatuh terduduk. Tapi dalam keadaan begini, ucapan itu
betapa mengerikannya! Siapa tahu tunggir Jalu benar-benar amblas"
"Ya, Allah!" desis Pulung. "Kalau dia sampai celaka..."
Gruno juga mulai panik. Ia seorang pesilat.
Ia tahu benar apa bahayanya jatuh terduduk dan diduduki semacam itu.
"Kalau tulang ekornya patah... dia... bisa lumpuh...," gumam Gruno.
Pulung membuka celana pendek Jalu. Lalu
membalikkan tubuh anak itu hingga
menelungkup di atas jalan tanah berdebu.
Gruno membantunya. Pulung menarik celana
Jalu dan meraba-raba tulang ekor anak itu. Ia menghitung dari bawah. Satu, dua, tiga,
empat... 25 "Tidak ada yang amblas, No! Masih utuh!"
serunya agak lega. "Jangan salah hitung!" kata Gruno seraya
meraba-raba pula. Ia tidak menghitung,
melainkan meraba kalau-kalau ada ruas tulang ekor yang masuk ke ruas lainnya.
"Bagaimana, No?" tanya Pulung cemas.
"Mudah-mudahan tidak ada yang amblas."
"Ngomong yang benar!"
"Kelihatannya... ah, pokoknya mudah-
mudahan sajalah!" Pulung meraba-raba lagi. Ia melihat Lodi
dan Asep hanya diam. Pulung membentaknya,
"He! Jangan bengong saja!"
Bentakan itu membuat Lodi dan Asep
gemetar. Pikir mereka Pulung juga akan
'mengamblaskan tunggir' mereka. Padahal
Pulung makin marah karena mereka hanya bisa gemetar.
"Bego! Kalian jangan bengong saja!" hardik Pulung. "Lihat, nih! Jagoan kalian teler begini!"
"Habis harus diapakan?" tanya Asep.
Suaranya gemetar, seperti juga lututnya.
"Cari minyak angin, balsem, rheumason,
atau apa saja! Cepat!"
"Di sini mana ada..."
"Cari di toko!"
26 "Aku tidak punya uang..."
Pulung menarik napas masygul. Karena dia
juga tidak punya uang, dia tidak bisa marah terhadap orang yang tak beruang pula.
"Terserahlah bagaimana cara kalian
mencari minyak angin," katanya dengan nada pasrah. "Jalu membutuhkan bau-bauan yang
bisa menyadarkannya."
Asep dan Lodi hanya bingung. Pulung
tersadar, mendapatkan obat gosok atau
semacamnya memang tak mungkin tanpa uang.
Kecuali Lodi atau Asep mau mengemis, mencuri dan semacam itu.
Pulung menoleh ke kanan dan ke kiri.
Sarean Selehraga, betapa mengerikan
tampaknya. Suasananya teduh sekali. Daun-
daun pohon trembesi dan beringin saling
bertaut. Seperti payung-payung raksasa. Dan nisan-nisan lapuk yang berjajar sungguh penuh lumut
karena tak pernah tersorot sinar
matahari. Tapi di luar pagar petai cina itu ada ladang bawang. Bawang, ah! Pendekar ini,
mengapa melupakan pelajaran silat yang
ditekuninya" Dia harus tahu cara menyadarkan orang tanpa obat gosok dan semacamnya.
Harus tahu! Bukankah bawang itu juga bisa
digunakannya" "Ambil beberapa butir bawang!" teriak
Pulung. "Ba... bawang" Untuk apa?" tanya Lodi
27 gugup. "Jangan tanya melulu! Ambil dulu! Cepat!
Nanti kepalamu ta' kepruk!"
Duh, betapa kasarnya ucapan Pulung. Ta'
kepruk artinya 'kuhajar sampai lumat'. Tapi ucapan sekasar itu sebenarnya muncul dari
hatinya yang lembut. Kalau tak lembut hatinya, untuk apa dia berpayah-payah merawat
lawannya yang bisa juga mencelakakannya"
Bawang itu harus dilumatkan. Tapi di sana
tak ada batu. Tak ada apa pun juga yang keras, kecuali sederet gigi di mulut Pulung. Maka bawang
merah yang diberikan oleh Lodi, segera dikunyah lumat oleh Pulung. Pahitnya tak
terkira. Getir dan panas rasanya. Lumatan
bawang itu digosokkan ke tunggir Jalu. Sisanya dilambai-lambaikan di dekat hidung anak itu.
Bau bawang yang menyengat akan merangsang
kesadaran si pingsan. "Kau keliru, Lung," Gruno berkata. Dia
lebih tenang daripada Pulung, karena bukan dia yang mencelakakan Jalu. "Mestinya tubuh Jalu
ditelentangkan. Pantatnya diganjal agar
kepalanya terletak lebih rendah daripada
kakinya." "Oh... tapi... dia pingsan bukan karena
habis lari. Apa begitu cara menyadarkan orang pingsan karena brutune mangslep?"
"Jangan debat dulu! Nanti dia keburu
mati!" "No, kadang-kadang aku ingin ngemplang kepalamu..."
Gruno tak berani bicara lagi. Salah omong
28 bisa kena gampar benar-benar. Pada saat begini Pulung cukup berbahaya. Lebih baik berbuat saja,
tanpa berkata. Gruno menelentangkan
tubuh Jalu. Pantat anak itu diganjal tas milik Lodi dan Asep.
"Pegangi kakinya!" perintah Gruno pada
kedua orang anak yang menjadi dungu itu.
"Usahakan kakinya lebih tinggi daripada
kepalanya! He, jangan pikirkan bajumu yang kotor! Kalian ingin Jalu hidup, atau tidak?"
"Ya, ya, ya," sahut Lodi seraya
mengangguk-angguk. Ia menuruti perintah
Gruno. "Gor!" sentak Gruno. "Lepaskan sepedamu!
Ambil buku gambarmu! Bawa ke sini!"
"Buku gambar" Untuk apa?"
"Ambil dulu! Kalau banyak mulut..."
"Ya! Akan kuambil!"
Gogor memberikan buku gambarnya.
Ternyata buku berkulit tebal itu digunakan untuk mengipasi tubuh Jalu. Pulung masih
melambai-lambaikan kunyahan bawang di
depan hidung Jalu. Mulutnya komat-kamit. Dia membaca doa bagi keselamatan bekas
lawannya. Doa yang sungguh-sungguh, seperti doanya untuk kesehatan Wak Solikun, dan doa apa
saja yang selalu dibaca dengan sungguh-sungguh.
Jalu mulai siuman. Ia membuka matanya
dan bergerak dengan gesit. Pulung
menolongnya bangun. Jalu berteriak kesakitan seraya meraba pantatnya.
"Jangan banyak bergerak dulu!" Pulung
mencegah. "Tunggirmu sakit?"
29 "Uuuh...," Jalu mengeluh. "Huh..."
"Telungkup dulu! Biar kuurut tunggirmu!"


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jalu menelungkup di atas jalan berdebu.
Tak peduli pakaiannya kotor. Sedangkan
wajahnya yang berkeringat pun tak keruan lagi wujudnya. Pulung mulai mengurut-urut. Semua
gerakan urutan itu menuju ke arah jantung.
Jalu meringis dan sesekali mengaduh. Panas bawang telah mengembangkan otot-otot di
sekitar pantatnya. Terasa agak mengurangi rasa sakit. Ia menggeliat bangun. Pulung
menolongnya hingga ia berdiri.
Tiba-tiba, Jalu tertawa terbahak-bahak!
Gogor mundur beberapa langkah. Rasa
takut terbayang di wajahnya yang pucat.
"Apa kataku...," desisnya. "Sarean
Selehraga angker sekali. Jalu sudah
kesurupan..." Pulung juga mencurigai tertawa Jalu. Mirip orang kemasukan setan. Tapi pendekar kecil setingkat
dia tentu bisa menguasai perasaannya. Meskipun takut, wajahnya
tampak tidak berubah. "Kenapa, Lu?" tanyanya. Nada suaranya
pun tidak kentara kalau dia sedang takut dan cemas kalau benar Jalu kesurupan.
"Kau hebat, Lung!" kata Jalu dengan tulus.
Dijabatnya tangan Pulung. "Aku tidak
penasaran sekarang! Sialan! Kalau aku tahu jurusmu begini, aku tidak berani nantang
kamu!" 30 "Jurusmu juga hebat," Pulung memuji
sungguhan. "Kalau aku lengah, yang pingsan aku, Iho! Tapi kayaknya kau kurang latihan!"
"Modalku memang hanya segitu, kok. Tuh
penghasutnya!" Jalu menuding Lodi dan Asep.
"Kalau mereka tidak menghasut, aku mikir lima kali lagi untuk nantang kamu, Lung!"
"Tapi... tapi..." Asep ketakutan. "Aku tidak menghasut. Aku kan hanya bilang lebih baik mencoba
daripada penasaran..."
"Kau bilang Pulung hanya besar mulut!
Slompret, kau!" dengus Jalu.
Pulung tahu, jurusnya memang tak
terkalahkan. Tapi dipuji habis-habisan begitu, dia jadi malu. Ia melangkah.
"Ayolah!" katanya.
"Ke mana, Lung?" tanya Jalu.
"Pulang, ah! Perutku sudah payah, nih!"
"Di dekat perempatan ada warung bubur
kacang hijau, Lung. Aku bawa uang untuk
traktir kalian, kok!"
"Tidak usah, Lu! Wujud kamu sudah
menyeramkan begitu. Pulang saja lalu mandi!"
Jalu menyadari wujudnya sudah tak
keruan lagi. Ia tertawa, menertawakan dirinya sendiri.
"Aku duluan, Lu!" seru Pulung seraya
menghampiri sepeda Gogor dan katanya, "Kau yang nggenjot! Aku capek, nih!"
Jalu berseru dari dekat sepedanya, "Besok
kalian kutraktir di kantin sekolah, ya!"
31 "Oke, Lu!" sahut Gruno. "Kau juga boleh
nyoba jurusku! Tapi taruhannya soto ayam,
ya?" "Ah, lawan kamu aku geli! Habis badan kamu kayak kuda nil!"
"Gila! Sudah teler masih besar mulut juga kau!"
Jalu tertawa seraya meringis karena rasa
sakit masih hinggap di sekitar tunggirnya.
Gruno melambaikan tangan dan melompat ke
sadel sepedanya. Betapa besar rasa kagumnya pada Pulung. Kalau dia yang menjungkir-balikkan
Jalu, manalah sudi memaafkan begitu saja jagoan teler itu"
2 SANG JAGOAN TIDAK DATANG HEBAT Ristiani. Dia bisa marah-marah begitu pada Pulung. Padahal jika Gruno yang marah
setingkat itu, Pulung sudah menggamparinya.
Tapi mau apa dia kalau yang mengata-
ngatainya Ristiani" Paling hanya diam. Seperti pagi itu, dia diam saja. Seperti juga pada jam
istirahat pertama, Pulung masih diam
disemprot Ristiani. Gruno jadi keki melihat boss-nya
mengatupkan mulut. Bibirnya seperti sudah
lengket saja. Gruno berjalan melintas di depan Pulung dan Ristiani. Kedua makhluk yang
marah dan dimarahi itu duduk di bangku
panjang di teras kelas. "Lodi mau nraktir kita, Lung," kata Gruno
32 setengah tak acuh. "Enak juga Iho, punya boss kayak kamu!"
Pulung tidak mengacuhkan ucapan Gruno.
Ristiani masih berkicau. Makin lama, kata-
katanya makin seru. Kadang kala kata-kata itu bertubrukan, karena diucapkan dengan sangat
cepat. Satu suku kata terakhir sering kali tidak diucapkan, karena disambung dengan suku
kata pertama dari ucapan berikutnya. Sulit sekali cara menuliskan ucapan Ristiani. Pulung pun
merasa sulit menangkap arti ucapan gadis kecil yang marah itu.
"Kecil-kecil kau galak, ya?" kata Pulung
meledek. "Badanmu makin kurus. Karena kau
suka marah-marah, kau tidak bisa gemuk. Tapi hidungmu kok semakin tinggi, Ris" Rupanya
telur ceplok buatan mamamu penuh gizi, ya"
Kalau kau sering makan telur ceplok, hidungmu akan semakin tinggi. Tuh, gizinya hanya
numpuk di hidung kamu!"
Ristiani diam. Mulutnya sudah letih karena marah-marah sejak tadi. Padahal yang dimarahi tenang
saja. Malah meledek. Pulung selalu
kalah berdebat dengannya. Kata-katanya jadi tak bermutu.
"Aku ingin njitak kepalamu, Lung!" sengat Ristiani. Tapi nada suaranya tak segarang tadi.
"Kepalamu kayak kentos! Tahu kentos ?"
"Ini kentos !" kata Pulung seraya mengetuk kepalanya dengan telunjuk jari. "Mamamu suka bikin
sayur kentos, ya" Sebulan yang lalu aku mengambil kelapa di kebun belakang rumahku.
Sampai sekarang masih kutaruh saja. Ada yang sudah tumbuh tunasnya. Kalau dipecah, di
dalamnya pasti ada kentos -nya. Kau mau"
Nanti kubawakan. Memang persis kepala
Pulung, kok. Cakep, ya?"
Ristiani benar-benar menjitak kepala
Pulung. Tapi dia tidak marah lagi. Kini dia malah terharu. Pulung itu siapa baginya"
33 Bukan apa-apanya. Adik bukan, kakak pun
bukan. Hanya teman akrab saja. Akrab sekali, sampai kadang kala Ristiani lupa bahwa dia baru
mengenal Pulung sejak sama-sama duduk di kelas satu SMP beberapa bulan yang lalu.
Keakraban itu sering membuat Ristiani
memperlakukan Pulung sebagai adiknya. Tapi kadang kala Ristiani bermanja, seperti Pulung
kakaknya saja. Pulung sering mengantarkan
Ristiani pulang sekolah. Kalau Ristiani pulang bersama Pulung, dia akan merasa aman. Anak-anak
berandalan di sekitar stasiun kereta tak akan berani mengganggunya. Sebab jagoan
mereka yang bernama Al Kicer pernah
dikalahkan Pulung dalam duel satu lawan satu.
Sejak saat itu rasanya aman saja tinggal di rumah, di kompleks pegawai stasiun itu.
Mangga harum manis di halaman rumah pun
tak pernah lagi dicuri orang. Ristiani sering merasa bangga bila dia pulang diantar Pulung.
Rasanya dia bagaikan tuan putri dikawal
panglima perang yang perkasa. Ah, Ristiani jadi malu karena dia telah mengata-ngatai Pulung sejak
pagi tadi. "Kau lapar, ya?" tanyanya sambil
menyembunyikan perasaan malu itu.
"Tidak, kok. Tadi aku sarapan. Kemarin
memang lapar sekali."
"Kalau kutraktir bubur kacang hijau, mau
kan?" "Rasanya sih mau juga!"
"Tapi janji, ya?"
"Janji apa?" "Jangan berantem lagi hanya karena
semangkuk bubur kacang hijau."
34 "Aku juga nggak senang berantem, kok.
Pikirmu orang berantem nggak sakit" Kalah
atau menang, sama-sama sakit, tahu?"
"Tapi kemarin kau berantem!"
"Iya, deh! Tapi kau kan sudah marah-
marah sejak pagi. Masa mau marah lagi"
Dimarahi kamu lebih sakit daripada berantem dengan Jalu, Ris!"
Ristiani terhenyak. Ia menatap Pulung.
"Jadi kau sakit hati karena kumarahi sejak pagi, Lung?" tanyanya dengan penuh sesal.
"Kalau dikasih bubur kacang hijau sih
enggak!" Ristiani mendesah. Memang dia
keterlaluan. Sejak pagi marah-marah karena anak sekelas ribut bercerita tentang Jalu. Kata
anak-anak, Jalu tidak berangkat sekolah
karena menderita gegar otak! Ada juga yang bilang Jalu tidak bisa bangun dari tempat
tidurnya karena tulang ekornya patah. Macam-macamlah kata anak-anak. Ristiani meminta
kepada mereka agar soal itu jangan dilaporkan kepada guru. Sementara itu, dia langsung
menyerang Pulung dengan kata-katanya yang
galak dan pedas. Untunglah Ristiani anak
perempuan. Kalau dia anak lelaki, kepalanya sudah benjol sebesar telur bebek karena dijitak
Pulung. Kini keduanya berjalan ke kantin. Gruno
lagi asyik menyikat bubur kacang hijau. Dia yang pertama kali melihat Pulung dan Ristiani.
Ia menyodokkan sikunya ke lambung Gogor di sebelahnya.
"Jatah buburmu jangan dimakan, Gor!"
35 bisiknya pada Gogor. "Kalau aku belum telanjur memakannya, aku juga mau ngasih jagoan
kita!" Gogor paham akan maksud Gruno. Betapa
inginnya ia melahap bubur kacang hijau itu.
Tapi tak apalah. Demi Pulung, dia
merelakannya. Gruno memesan semangkuk
lagi, padahal Lodi bilang jatahnya hanya
semangkuk saja. Lodi yang nraktir.
Pulung duduk bersebelahan dengan
Ristiani di meja, agak jauh dari tempat Gruno dan yang lain-lainnya. Kantin itu cukup luas.
Ditata seperti restoran saja. Meja-meja kecil dikelilingi oleh empat buah kursi berukuran kecil pula.
Karena keadaan ruangan kantin itu, anak-anak pun sering bergaya bagai orang
dewasa di restoran. Gagasan menata kantin
begini juga muncul dari otak anak-anak, agar mereka betah di sana. Tidak jajan di luar
lingkungan sekolah yang belum tentu bersih dan sehat. Sedangkan kantin ini serba bersih dan
sewaktu-waktu diperiksa oleh guru PKK.
Ristiani mengacungkan telunjuknya pada
Pak Kantin. Tanda minta semangkuk saja. Pak Kantin seorang lelaki setengah baya yang selalu
berpakaian putih. Warna pakaian itu seolah untuk membuktikan bahwa dia juga pecinta
kebersihan. Memang, belum pernah ada setitik noktah pun yang mengotori pakaiannya.
Padahal dia bekerja di kantin itu sejak pagi hingga siang. Bu Kantin juga berpakaian putih.
Hanya potongan roknya yang selalu berubah-
ubah setiap hari. Tetapi warnanya tetap seputih kapas. Pak Kantin dan istrinya, kadang kala tampak
seperti jururawat pria dan jururawat wanita di rumah sakit saja.
Pesanan Ristiani segera disajikan. Ristiani mendorong mangkuk bubur itu ke bawah
hidung Pulung. 36 "Makanlah. Aku ingin lihat kau bisa
menghabiskan berapa mangkuk," katanya. Ia
menegakkan kedua lengannya di alas meja.
Dagunya disangga oleh telapak tangannya yang menghadap ke bawah. Matanya menatap mulut
Pulung, seperti hendak menghitung berapa kali rahang Pulung bergerak mengunyah makanan.
Pulung mengaduk-aduk isi mangkuknya
dengan sendok bebek. Sendok ini terbuat dari aluminium, bentuknya seperti paruh bebek.
Maka namanya sendok bebek.
Datang lagi semangkuk bubur. Itu jatah
Gogor. Pemiliknya sendiri yang menyajikannya.
"Makan, Boss!" kata Gogor meledek. Dia
berani saja meledek Pulung. Tak pernah takut, meskipun dia sama sekali tak bisa berkelahi.
Sebab Pulung sangat mengasihi Gogor, seperti mengasihi Polan, adik tunggalnya sendiri. Bisa
begitu karena Gogor anak yang lemah, yang
harus selalu dilindungi. Lebih lagi karena mereka telah bersahabat sejak sama-sama kecil dulu.
Tinggalnya pun bersebelahan. Kakek
Sakeh, kakek Gogor, sudah dianggap sebagai kakek Pulung sendiri. Pulung tak punya kakek lagi,
maka baginya Kakek Sakeh sama juga
dengan kakeknya. Pulung menengadahkan wajahnya.
"Dari mana kau punya uang?" tanyanya
pada Gogor. "Nyolong telur bebek kakekmu,
ya?" "Sembarangan! Nanti kugampar kamu!"
hardik Gogor, seperti benar-benar berani
menggampar Pulung. "Makan saja! Kalau nggak mau, nanti kamu kutempeleng sampai teler !"
37 Pulung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan main!" serunya. "Gayamu sudah
hebat! Kalau kau bisa jurus, kau pasti lebih hebat daripada Jalu!"
Pulung mendekatkan mangkuk bubur
kacang hijau pemberian Gogor. Tapi datang lagi semangkuk, berasal dari Gruno.
"Makan lagi, Lung! Biar kamu cepat gede!"
kata Gruno seraya menyodorkan mangkuk
bubur kacang hijaunya. "Kamu kurang gizi, jadi badan kamu kontet!"
Pulung memang kontet. Tapi dikata-katai
kontet, dia tidak marah. Apalagi yang mengata-ngatainya 'anak buah' sendiri. Dia jadi heran karena
para anak buahnya berani-beranian
meledeknya dengan bubur kacang hijau. Dari mana mereka punya uang"
Sebelum Pulung membuka mulutnya,
datang lagi semangkuk bubur kacang hijau.
"Tanda persahabatan, Lung," kata anak
yang menyodorkan bubur itu, si Lodi. "Kau
tidak musuhan sama aku, kan?"
"Brengsek kau, Lod!" Pulung mendengus.
"Kaupikir aku jadi galak kalau tidak kausogok dengan bubur ini?"
"Ah, ya enggak. Kemarin kukira kau akan
menghajar aku juga!"
"Kau memang penghasut, ya" Tahu kalau
menghasut itu tidak baik, jangan kaulakukan dong! Sini buburnya!"
Eh, datang lagi semangkuk! Kali ini dari
38 Asep. Anak itu tertawa dan tidak bisa bilang apa-apa ketika meletakkan mangkuk di meja
Pulung. "Kalau tertawa, tampang kamu jelek, Sep!"
kata Pulung. "Tuh, kamu nggak pernah gosok gigi, ya?"
Asep tertawa lagi. "Mau ngomong takut salah, Lung!" katanya.
"Coba deh, ngomong! Jangan-jangan kamu
mau bilang aku kontet juga?"
"Nggak, kok." "Ngomong dong!"
"Kau... kau... seperti... eh..."
"Ngomong saja!" desak Pulung.
"Di kampungku pernah ada orang
kesurupan. Dia minta bubur merah putih.
Sekalinya dikasih, lima piring dihabiskannya.
Kau seperti orang itu!"


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangkrik!" Pulung menyumpah. "Gimana, ya" Kalian ikhlas nggak, ngasih bubur ini?"
"Ikhlas nggak ikhlas, Lung!" kata Gogor.
"Aku sendiri belum makan!"
"Duduk, deh! Makan tuh semangkuk!"
Gogor duduk di depan Pulung. Segera saja
dia menyambar mangkuk bubur yang tadi
disodorkannya untuk Pulung.
"Ambil dua mangkuk, Gor! Tapi nanti kau
39 yang nggenjot sepeda, ya?"
"Oke!" Tinggal tiga mangkuk yang menganggur.
Pulung mendorong semangkuk ke dekat
Ristiani. "Makan, nih! Rejeki kamu!" katanya.
Pulung menatap Gruno dan katanya,
"Kamu pergi dong! Kalau dekat-dekat, kumakan kepalamu! Muka kamu kayak telur ceplok,
tahu?" "Iya, deh! Kalau ada Ristiani, lihat aku
sebel, ya Lung?" kata Gruno seraya melangkah ke mejanya.
Dua mangkuk bubur kacang hijau, cihuy!
Pulung melahapnya, Gogor pun melahapnya.
Ristiani hanya semangkuk saja. Rasanya enak sekali. Sebab Ristiani lega, ternyata Pulung tidak
musuhan dengan Lodi dan Asep. Bukan
apa-apa, rasanya sedih kalau Pulung ribut
melulu dengan teman-temannya. Pulung
memang selalu menang. Tapi Ristiani tidak tega membayangkan Pulung berantem. Kenapa, ya"
Ristiani sendiri tidak tahu kenapa.
*** Mereka berhenti di perempatan jalan yang
ada patung tentaranya. Pulung ragu, akan
pulang saja atau menjenguk Jalu Prakosa"
40 "Tadi kenapa kau tidak menjemputnya,
Lod?" tanyanya, menyesali Lodi.
"Aku buru-buru, Lung. Bangun saja
kesiangan!" kata Lodi.
"Aku tidak pernah menjemputnya," kata
Asep, kuatir disalahkan pula. "Habis rumahnya kan jauh dari rumahku. Harusnya dia yang
menjemputku, karena kalau ke sekolah dia
sering lewat di depan rumahku."
Pulung tahu, Asep dan Lodi memang
tinggal agak jauh dari rumah Jalu. Desa Jalu bernama Kalitepung. Dinamakan begitu karena desa
itu dikelilingi oleh sebuah sungai yang melingkar seperti gelang, hampir saling
bertemu. Sungai itu dinamakan Kalitepung.
Artinya sungai yang bertemu. Desa di tengah gelang raksasa itu disebut desa Kalitepung.
Istimewanya, hanya ada satu jembatan untuk masuk ke desa itu. Keadaan ini membuat desa itu
aman dari gangguan penjahat. Setiap
penjahat yang masuk ke sana, hampir tak bisa keluar bila jembatan dijaga rapat. Kecuali penjahat
berani terjun ke sungai. Tapi dia pun belum tentu selamat. Arus sungai itu sangat deras dan penuh
batu bersembulan. "Boleh usul, Lung?" tanya Lodi dengan
agak ragu. "Apa usulmu?" sambut Pulung. Ia senang
kalau Lodi sudah mau bersikap seperti dulu-dulu lagi, tidak memandangnya sebagai
makhluk yang menakutkan. "Sebaiknya kau menjenguknya," kata Lodi.
"Terus terang, aku kuatir Jalu benar-benar..."
"Apa?" "Eh... mudah-mudahan sih tidak."
41 "Kenapa?" "Aku kuatir kalau dia... lumpuh..."
"Oh!" "Maaf, Lung. Soalnya kemarin saja dia
tidak bisa naik sepeda. Asep menuntun sepeda Jalu sambil mengayuh sepedanya sendiri. Jalu
membonceng aku. Yah... aku menyesal juga
kenapa tadi tidak menjenguknya."
Pulung menoleh pada Gruno untuk minta
pendapat. "Baiknya pulang dulu," kata Gruno tanpa
ditanya. "Bapakmu makin galak saja, Lung.
Pergi ke mana-mana tanpa pulang dulu, kau
bisa ditendang!" "Iya, Lung," sahut Gogor. "Kalau nanti aku tidak boleh ikut kau, jangan marah, ya. Di rumah banyak
pekerjaan. Tadi saja seekor
bebek kakekku mati..."
Pulung menuruti saran itu. Ia bingung
bukan main. Kalau benar Jalu lumpuh...
Di rumah, ia melakukan segala sesuatunya
dengan cepat. Urut-urutannya tetap sama:
sholat dhuhur, makan siang, dan membantu
Ibu bekerjadi dapur, lalu santai sejenak. Tapi begitu akan berangkat ke Kalitepung, datanglah Tante
Yan. Wanita itu masih sangat muda.
Pantas menjadi adik Ibu. Lebih-lebih karena keduanya sama-sama cantik di mata Pulung.
Untuk menilai kecantikan wanita, Pulung sering dipengaruhi oleh kebaikan wanita itu. Ibu
sangat cantik, karena dia baik sekali. Tante Yan juga cantik sekali, karena ia tak kalah baik dengan
Ibu. Kebetulan kedua wanita itu
42 memang sungguh-sungguh cantik.
"Aduuuuuh, enaknya!" seru Tante Yan
begitu melihat Pulung duduk santai di serambi rumah papan kayu jati itu.
Semula kaki Pulung terangkat sebelah,
gaya penarik becak makan di warung kopi
pinggir jalan. Begitu melihat Tante Yan, serta-merta ia menurunkan kakinya. Tandanya dia
menghormati Tante Yan. Rasanya malu juga
duduk mengangkat sebelah kaki begitu.
"Siang, Tante!" seru Pulung dengan
gembira. "Tante tahu saja Pulung nggak punya duit!"
"Ooo...," mulut Tante Yan membulat,
bentuknya seperti lorong kecil. "Sejak kapan Pulung jadi mata duitan begitu?"
"Mata duitan sih tidak, Tante. Habis kalau lagi butuh, mau minta siapa" Percuma dong
punya tante cakep, tapi pelit!"
"Kau curang! Memuji kalau lagi ada
maunya!" Pulung tertawa. Tante Yan sahabat Ibu. Sedangkan Pulung sahabat mendiang
Nansy, anak Tante Yan. Setelah Nansy tiada, Tante Yan makin bertambah sayang pada
Pulung. Ia menjadikan Pulung sebagai
pengganti Nansy. Pulung mengerti akan
penderitaan Tante Yan. Maka ia pun sering
menghibur tante yang tak punya anak lagi itu.
"Tante ke sini mau apa, sih?" tanya Pulung meledek.
"Mau lihat apa rambutmu masih seperti
ijuk!" 43 "Kalau masih, Tante mau ngasih duit,
kan?" "Mau, tapi ngambil duitnya di rumah
Tante!" Pulung meloncat. Ia berjalan beriringan
dengan Tante Yan ke arah selatan. Menuju
Gedong Lawang Satus. Di sanalah Tante Yan tinggal. Gedung besar bangunan kuno itu
memang sangat dikenal dengan sebutan Gedong Lawang Satus. Orang menyebutnya begitu
karena pintunya banyak sekali. Gedong Lawang Satus artinya 'gedung berpintu seratus'.
Pulung mengeluh karena harus berada di
Gedong Lawang Satus pada saat dia akan pergi.
Tapi di sini menyenangkan juga. Di rumah kuno ini banyak pelayan. Ada juga petugas bagian
keuangan, Bu Renti namanya. Pulung juga
akrab dengan Bu Renti. Bila Pulung muncul di sana, Bu Renti pasti segera menyajikan es
sirop. "Pulung sedang sedih, ya?" tiba-tiba Tante Yan bertanya begitu seraya memandangi
Pulung. Gaya Pulung minum es sirop
sebenarnya biasa-biasa saja. Tapi entah ya, Tante Yan melihatnya dengan perasaan kagum.
Sepertinya semua tingkah Pulung
mencerminkan kegagahan jiwanya, kejantanan sikapnya. Itulah gambaran seorang anak lelaki yang
dirindukan oleh Tante Yan. Sayang dia tak punya, hanya boleh mengaku anak Pak Bayan
belaka. "Pulung mau tanya, Tante," kata Pulung.
"Soal apa" Kau berantem lagi?"
"Berantemnya sih sudah selesai. Tapi
kayaknya buntutnya panjang juga."
44 "Musuhmu berniat menyerbu ke sini" Kau
belum bosan juga berkelahi" Tante pikir apa sih untungnya berkelahi?"
Memang, Pulung harus menceritakan
semuanya pada Tante Yan. Dia pun bercerita, dari awal sampai kejadian siang tadi di kantin.
Tante Yan mendengarkannya dengan penuh
perhatian. Dia merasa, dia pun harus berterus terang pada Pulung tentang akibat tulang ekor yang
patah atau salah satu ruasnya masuk ke ruas lainnya.
"Memang bisa menimbulkan kelumpuhan,"
kata Tante Yan. "Tapi apa temanmu itu benar-benar menderita patah tulang" Mestinya kau
menengoknya." "Pulung memang akan ke sana," sahut
Pulung seraya berjalan ke serambi. Entah
kenapa, setiap kali akan meninggalkan rumah itu, ia memerlukan menjenguk serambi. Lalu menatap
gambar Nansy sesaat, bagaikan
mengucapkan selamat berpisah. Baginya Nansy memang tak pernah mati. Dia masih hidup,
terpateri di hati Pulung.
Tante Yan mendesah ketika Pulung
menatap gambar Nansy. Dia mengerti akan
perasaan Pulung. Tiba-tiba dia pun menjadi gelisah. Lalu perasaan sepi menyelinap di
hatinya. Rumah besar ini, betapa sunyi bila Pulung meninggalkannya!
"Tante ingin jalan-jalan ke kota," kata Tante Yan. Ia hanya mencari dalih agar Pulung tetap
bersamanya. "Mungkin hari ini Oom tidak
pulang. Tuh, dia tidak bawa mobil. Mau ikut jalan-jalan?"
"Pulung mau ke Kalitepung saja."
"Tante antar ke sana, ya" Pulangnya kita
putar-putar ke kota atau ke pantai. Mau?"
45 "Enaknya sih pergi sendirian saja."
"Yah... Tante tahu, deh... kau memang
tidak bisa dipaksa."
Jadinya Pulung tidak tega membiarkan
Tante Yan kecewa. Dia pun mau diantar naik mobil Landrover. Seperti anak orang kaya saja.
Dia duduk bergaya di depan, di sebelah kiri Tante Yan yang mengemudi. Tentu saja Pulung
mengenakan celana panjang. Dia menyimpan
juga sebagian pakaiannya di Gedong Lawang Satus. Di rumah besar itu dia punya kamar sendiri,
punya lemari, meja belajar, tempat tidur, dan semua itu semula milik Nansy.
Kalitepung tak jauh bila ditempuh dengan
Landrover warna merah hati ayam itu. Apalagi Tante Yan suka ngebut. Jalan berbatu
dilalapnya saja. Perut pun terasa enek diguncang-guncang kendaraan itu.
Matahari di langit Kalitepung sebenarnya
juga matahari di langit desa Pulung, matahari di langit mana pun, sebab hanya satu matahari yang
diciptakan Tuhan. Tapi kenapa ya,
matahari sore itu tampak begitu indahnya"
Kalitepung merupakan dataran yang hijau.
Pohon-pohon tinggi menaungi genting-genting rumah dan atap rumbia di beberapa buah
gubuk. Sela-sela daun pepohonan itu ditembus
oleh sinar kemerah-merahan yang condong ke barat. Pada jam setengah lima sore, berkas-berkas
sinar memanjang itu bagai lembing yang menghunjam di atas tanah berwarna merah.
Indahnya! Dan punggung riak-riak air di
permukaan sungai itu, betapa gemerlapan
memantulkan sinar matahari. Seolah yang
tampak itu bukan sungai belaka. Bila dilihat dari arah timur, permukaan sungai itu
46 bagaikan taburan mutiara layaknya.
Tapi bisakah Pulung menikmati keindahan
itu" Hatinya sedang gelisah dan cemas. Mobil yang melonjak-lonjak mengocok perutnya pun sudah
membuatnya marah. Apalagi pantulan
sinar matahari dari permukaan air. Betapa
menyakitkan mata. Padahal kata Tante Yan,
pantulan sinar matahari itu berwarna-warni indah sekali. Tante Yan mengenakan kaca mata hitam,
maka dia tak silau oleh pantulan sinar matahari. Lagi-lagi Pulung marah, sekali ini pada dirinya
sendiri. Kenapa dia tidak
mengenakan kaca mata hitam yang
disimpannya di lemari pakaian dalam kamar di Gedong Lawang Satus" Padahal dia akan merasa
gagah bila mengenakan kaca mata itu.
Meskipun sebenarnya itu kaca mata anak
perempuan, warisan mendiang Nansy
Evangeline pula. "Aha!" seru Tante Yan tiba-tiba seraya
mengerem mobilnya dengan mendadak. Pulung
hampir terjungkal dari kursinya. Melihat hal itu, Tante Yan tertawa. "Jangan marah! Tante tidak
sengaja bikin kau malu begitu!"
"Nggak malu, kok."
"Kok cemberut?"
"Maunya sih memaki. Tapi apa pantas
kalau Pulung memaki Tante?"
"Tidak, sama sekali tidak pantas. Tante
sedih kalau Pulung tidak bisa menjaga mulut."
"Terus terang, Tante!" Pulung bersungguh-
sungguh. "Pulung paling benci kalau Tante
ingat akan sesuatu pada saat sedang ngebut!
47 Pasti kaki Tante menginjak pedal rem dengan tidak sengaja. Padahal pedal gas juga sedang
diinjak. Tadi mobil ini hampir jungkir-balik!"
"Sori, deh! Tante memang suka begitu.
Habis tiba-tiba Tante ingat Pak Lurah
Kalitepung!" "Ingat sama lurah saja, begitu! Apalagi
kalau Tante ingat sama jin! Tante sering dengar cerita tentang Jin Kepala Botak yang katanya
tinggal di desa ini, kan?"
"Ih!" Tante Yan bergidik. "Jangan ngomong
yang begituan, ah! Tante jadi serem!"
Ini bertele-tele. Pulung tak suka sesuatu
yang bertele-tele. Dia diam saja, agar Tante Yan juga diam.
Ternyata Tante Yan tidak diam. Ia bilang,
"Pak Lurah kan sedang sakit keras! Sudah
seminggu ini, malahan! Aduh, Tante jadi lupa!
Kita mampir dulu ke rumah Pak Lurah, ya"
Habis Pak Lurah sudah baik sama Tante..."
Tiba-tiba Pulung meloncat turun dari
mobil. Padahal mobil masih melaju. Kalau
bukan Pulung, dia pasti sudah terjungkal lima kali. Meloncat dari mobil yang berjalan memang
membahayakan. Tapi kalau tahu caranya, itu sebuah olahraga yang menyenangkan. Hitung-hitung
latihan jadi tentara! "Lung! Aduh! Pulung!" jerit Tante Yan
seraya mengerem mobil sampai berhenti
kontan. Ia menjenguk ke luar lewat jendela.
Pulung melambaikan tangannya seraya


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

48 berjalan bergegas. "Bisnis kita masing-masing, Tante!"
serunya seenaknya. Tante Yan tahu, percuma mencegah
Pulung. Dia, membelokkan kendaraannya ke
rumah Pak Lurah. Pulung berlari-lari kecil menjauh. Entah ke mana, Tante Yan tak tahu.
Rumah Jalu cukup bagus. Tidak besar,
tetapi mungil dan rapi. Nyata penghuninya
pecinta keindahan. Bunga-bunga ditata di
halaman berpagar tanaman beluntas. Tak ada bunga-bunga mahal seperti di rumah Tante
Yan. Tetapi karena penataan yang tepat,
keindahan terpancar juga dari halaman luas di depan rumah tembok mungil itu.
Lagi-lagi Pulung tidak bisa menikmati
keindahan di Kalitepung. Pintu rumah Jalu
terkunci. Maka keindahan itu makin tak
bermakna karena hati Pulung makin gelisah
saja. Ada seorang anak perempuan berambut
dikucir mirip ekor kuda. Poninya berserabutan.
Padahal bila disisir rapi, pasti indah sekali. Poni yang kacau balau itu menandakan si gadis kecil
belum mandi, atau baru saja bekerja keras.
Entah kenapa, Pulung ingin menyapa gadis
kecil itu. Tapi ia kalah cepat. Gadis kecil itu menyapanya lebih dulu, "Mencari Mas Jalu,
49 ya?" "Iya! Tahu saja, kau!" sahut Pulung agak
gugup. Ia masih terpana melihat penampilan gadis kecil itu. Anak desa, tapi wajahnya
berkesan ngota. Lebih-lebih dandanannya. Ia mengenakan celana pendek. Agaknya itu celana
laki-laki. Dan agaknya milik kakaknya, karena nyata kedodorah. Bajunya blus pendek. Maka Pulung
mengharapkan gadis kecil itu
menggeliat agar dia bisa melihat pusarnya. Tapi gadis kecil itu malah terbungkuk-bungkuk.
Mungkin karena dandanan Pulung yang agak
hebat, maka gadis kecil itu menghormati Pulung dengan berlebihan.
"Mas Jalu tidak ada. Apa Mas... eh... situ yang namanya Mas Pulung, ya?" ujar gadis kecil itu
dengan tersipu. "Betul lagi! Kamu kok pinter, sih?" seru
Pulung gembira. Dia memang selalu gembira
bila seseorang mengenal namanya sebelum ia memperkenalkan diri. Tandanya dia orang top.
Kalau tidak, nyamuk pun tak akan sudi
menyapanya begitu ramah. "Saya adik Mas Jalu," kata gadis kecil itu.
"Wah! Kamu cakep sekali seperti Mas Jalu!
Namamu siapa?" "Malu, ah!" gadis kecil itu tersipu.
"Kalau tidak mau nyebutin namamu, kau
kupanggil saja Jali. Habis kakakmu bernama Jalu!"
Gadis kecil itu tertawa. Rupanya ia tidak
keberatan dipanggil Jali. Atau memang
namanya Jali" 50 "Mas Jalu di kuburan Ibu," katanya seraya
berlalu. Sikapnya seolah mengajak Pulung
untuk mengikutinya. "Kuburan ibu" Masya Allah! Jadi semalam
ibu kalian..." "Ibu sudah meninggal sejak setahun yang
lalu." "Oh... kukira baru semalam." Pulung
melangkah bergegas dengan perasaan agak
lega. Kalau ibu Jalu meninggal baru semalam, tentu Jalu sedang berkabung. Tapi kenapa dia
berada di kuburan ibunya" Letak kuburan itu tak jauh dari rumah Jalu. Hanya kuburan
keluarga, bukan kuburan umum. Luasnya
sekitar lima ratus meter persegi. Di
sekelilingnya, tegak pagar bambu gendani
hidup. Tanaman ini sejenis perdu, merupakan tanaman bambu mini yang besarnya hanya
sejari. Gerbangnya tak berpintu. Tepat di mulut gerbang itu, berjalur jalan setapak yang lurus
membelah tanah kuburan. Di kanan-kiri jalan setapak berkerikil itu terdapat nisan-nisan tua dari
kayu sengkulun, sejenis kayu yang kuat dan keras.
Jalu berdiri di dekat makam yang beratap
dan berlantai tegel. Agaknya itu makam
leluhurnya. Ia tampak gembira begitu melihat Pulung memasuki gerbang makam itu. Tapi
Pulung terperanjat melihat sebilah golok
tersandang di pinggang Jalu!
"Apa-apaan kau, Lu" Kayak jagoan saja!"
seru Pulung, menyatakan keheranannya.
"Kami sedang berjaga, Lung!" kata Jalu
51 seraya menunjuk ke sebuah makam berlantai
semen. "Duduk saja di situ. Itu makam ibuku."
Jalu mengatakan 'kami'. Berarti dia tidak
sendirian di sana. Ternyata dia bersama
ayahnya. Orang tua itu juga menyandang golok!
"Ada perang, ya?" bisik Pulung seraya
duduk di lantai makam ibu Jalu.
"Sejak kemarin kami di sini," kata Jalu
seraya memandangi sebuah lubang sampah. Di sana sisa-sisa makanan dan daun pembungkus
tampak bertumpuk. Tandanya Jalu dan
ayahnya menetap di sini sejak kemarin.
Makanan dan minuman dikirim dari rumah
oleh adik Jalu. "Kau sehat-sehat saja, Lu" Pinggangmu..."
"Tidak apa-apa."
"Tulang ekormu?"
"Urutanmu hebat, Lung! Hanya tinggal
nyeri sedikit. Tapi kata Bapak, uratnya tidak ada yang salah. Belajar mengurut di mana, sih"
Kau bisa buka praktek sebagai tukang pijit ahli, Iho!"
Pulung tertawa karena merasa geli, juga
karena senang melihat Jalu tidak cedera seperti sangkanya.
"Kenapa kau tidak masuk?" bisiknya.
"Kau budek, ya" Sudah kubilang dari kemarin aku berjaga di sini bersama Bapak!"
"Ada apa, sih" Kuburan ini akan digusur?"
"Tidak. Kami sedang melawan orang-orang
52 yang akan bikin sembarangan di sini. Kau
pernah dengar cerita tentang Mbah
Sawunglanang" Kuburannya yang beratap itu."
"Sedikit-sedikit aku pernah
mendengarnya." "Mbah Sawunglanang itu kakek buyutku.
Ayahku adalah satu-satunya keturunan
langsung Mbah Sawunglanang. Cucu Mbah
Sawunglanang lainnya sudah meninggal.
Sebagian karena wabah kolera, sebagian karena gugur pada masa revolusi dulu. Pernah dengar
kisah tentang bom-bom yang meledak di desa ini, kan" Pada saat itulah banyak keturunan Mbah
Sawunglanang tewas. Tinggal ayahku
seorang. Sedangkan ayahku hanya punya
seorang anak lelaki. Jadi aku satu-satunya cucu buyut keturunan langsung Mbah
Sawunglanang..." "Dari tadi kau tidak bilang kenapa kau
berjaga di sini," Pulung memotong karena tak sabar menunggu jawaban yang singkat dan
cepat. "Mbah Sawunglanang adalah orang sakti,"
Jalu masih berbicara tentang kisah hebat kakek buyutnya. Di wajahnya tampak perasaan
bangga yang menggunung. "Kuburan ini
dikeramatkan orang. Yah, aku tidak lahu apa ada kuburan keramat apa tidak. Kata guru
mengajiku, yang punya keramat adalah para
wali. Tapi nyatanya orang mengeramatkan
kuburan Mbah Sawunglanang."
53 "Karena dikeramatkan, maka kau
menjaganya" Begitu?" potong Pulung kesal.
"Kemarin tersiar kabar ada orang yang
akan membuat brendung di kuburan ini."
"Brendung" Hm... aku lupa-lupa ingat brendung itu apa..."
"Boneka dari gayung dan merang yang bisa
mencari pencuri." "Oh, ya! Aku pernah mendengarnya. Tapi
aku belum pernah melihatnya."
"Nah! Brendung itu akan kesurupan dan bisa bergerak dengan sendirinya setelah
dimanterai di kuburan yang keramat. Orang-
orang memilih kuburan Mbah Sawunglanang
untuk membuat brendung. Tentu saja kami tidak mengizinkannya. Pikir mereka apa"
Memangnya arwah Mbah Sawunglanang
gentayangan menjadi hantu, apa?"
Kuburan itu memang tampak bagaikan
taman. Banyak bunga ditanam dengan tatanan yang asri. Bunga puspanyidra kuning
melambai-lambai dalam kelompok yang saling merapat di dekat gerbang. Sedangkan rumpun melati
berhimpitan di sisi kelompok
puspanyidra. Dan kenanga yang wangi
berpohon tinggi, meliuk-liuk bagaikan cambuk raksasa yang tegak di tanah berumput. Ada
juga mawar merah muda di sekitar kuburan
beratap. Ah, kuburan ini lebih mirip sebuah taman daripada tanah pemakaman. Namun
membicarakan hantu di tempat ini, tak urung terasa mendirikan bulu roma juga.
Pulung berusaha menekan rasa takutnya.
54 Dia paling malu bila ketahuan bahwa dirinya masih takut juga pada hantu. Padahal dia tak pernah
melihatnya. Padahal dia pun yakin, tak akan ada hantu yang berani mengganggu
orang-orang beriman. Apalagi Pulung telah
menguasai doa-doa pengusir setan, jin, dan sebangsanya. Ia mempelajarinya dari Pak
Gowok, lelaki penjaga kuburan di desanya yang dulu dianggap gila oleh penduduk. Pak Gowok
pernah mengajarkan doa Nurbuat. Doa untuk
menjaga diri dari gangguan segala macam
makhluk jahat.2 Bila doa itu dibaca, dan Tuhan mengabulkan, apa lagikah yang ditakutkan"
"Jadi... jadi kau tidak rela kalau kuburan seindah ini diinjak-injak oleh orang yang bukan keturunan
Mbah Sawunglanang?" tanya
Pulung, berusaha mengalihkan percakapan dari soal hantu.
"Kalau mereka bermaksud berziarah, kami
2 Baca: Pulung - Hantu Nansy
tidak apa-apa. Tapi mereka bermaksud
membuat brendung di sini. Mereka yakin, arwah Mbah Sawunglanang bisa masuk ke tubuh
boneka gayung itu dan pergi mencari pencuri.
Kau murid terbaik Wak Solikun. Pasti kau tahu sebenarnya arwah itu tinggal di mana. Lung,
menurutmu apa benar arwah Mbah
Sawunglanang berkeliaran?"
"Aku tidak tahu. Tapi kata Wak Solikun,
arwah seseorang yang beriman berada di sisi Tuhan."
"Jadi arwah Mbah Sawunglanang mungkin
di sisi Tuhan, kan" Atau memang
gentayangan?" "Aku tidak tahu. Kalau menurut cerita yang pernah kudengar, Mbah Sawunglanang adalah
55 orang baik-baik. Ia bahkan pernah memimpin penduduk desa untuk menentang penjajahan.
Ia dihormati oleh semua orang. Namanya
menjadi buah bibir karena keperkasaannya
melawan penjajah. Ia meninggal dengan tenang karena usia tuanya. Iya, kan?"
"Ya. Kau tidak tahu kan, Mbah
Sawunglanang juga pernah memimpin sebuah
pesantren pada zaman kolonial dulu"
Pesantrennya ditutup oleh Kompeni karena
dikuatirkan menjadi sarang orang pergerakan.
Sebenarnya para santri Mbah Sawunglanang
memang tokoh-tokoh perjuangan. Mereka
menghimpun kekuatan untuk ikut merintis
kemerdekaan. Pada zaman Jepang, konon
pesantren itu diobrak-abrik dan dibakar. Lung, apa orang semacam Mbah Sawunglanang
arwahnya gentayangan?"
"Aku tidak tahu. Siapa sih yang bisa
memastikan apa arwah seseorang gentayangan atau tidak?"
"Tapi banyak orang merasa pernah bertemu
dengan arwah buyutku itu. Ceritanya macam-
macam. Ada yang bilang arwah itu suka minum kopi di warung pojok sana. Ada juga yang bilang
suka mengisap rokok cerutu. Tapi kata Bapak, mendiang Mbah Sawunglanang anti rokok."
"Cerita macam begitu bisa terjadi di mana-
mana. Kau tak usah percaya begitu saja. Tapi aku boleh tanya, kan?"
"Tanya apa?" "Apa keluargamu mengeramatkan kuburan
56 Mbah Sawunglanang" Maksudku, apa
keluargamu juga percaya bahwa arwah itu
masih berkelana ke mana-mana sehingga
kuburannya begitu diistimewakan" Jangan
marah, Lu. Aku ingin tanya saja, kok."
"Kami sih tidak mengeramatkan. Tanah
kuburan ini dulu milik Mbah Sawunglanang
sendiri. Ketika ia meninggal, para murid dan pengikutnya menguburkannya di sini. Tempat ini dibuat
seperti taman agar orang tidak takut.
Jadi bukan untuk mengeramatkannya. Bahkan
sebaliknya, agar orang suka berkunjung ke sini untuk berziarah dan sekedar mengenang
perjuangan orang-orang dulu terhadap
kemerdekaan. Kata Bapak sih begitu. Tapi
nyatanya sekarang orang mengeramatkan
makam ini. Banyak yang ke sini untuk minta rezeki, atau minta naik pangkat. Mereka tidak meminta
kepada Tuhan, melainkan kepada
kuburan. Susah ya, Lung?"
Adik Jalu menyajikan teh hangat dari
dalam termos. Manis juga. Meskipun tak ada makanan, lumayan untuk pembasah
tenggorokan yang kering. "Mari, Mas. Hanya teh saja, kok," kata anak perempuan itu. Ah, manisnya dial Matanya
jernih, serupa mata kakaknya. Wajahnya...
bagaimana ya bilang tentang wajah itu"
Kelihatan tidak lembut seperti wajah anak
perempuan. Tapi dia manis, sungguh! Bibirnya coklat muda dan bentuknya kukuh. Hidungnya
57 bangir, seperti juga hidung Jalu. Jadi anak perempuan ini akan tampak ganteng bila dia berpakaian
laki-laki. Namun dia manis dalam pakaian anak perempuan. Termasuk anak
perempuan yang gagah, mungkin begitu cara
mengatakan tentang dia. "Lung! Kau kok menatap adikku begitu
seru" Nanti dia takut!" tegur Jalu setelah dia menyadari sejak tadi Pulung menatap adik
perempuannya. "Eh... bukan apa-apa, Lu. Adikmu cakep,
ya" Namanya Jali, ya?"
"Semb (http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
arangan! Semua keturunan Mbah
Sawunglanang punya nama yang khas, tahu"
Namaku saja Jalu Prakosa. Nama itu bisa
berarti 'lelaki perkasa', juga bisa berarti 'taji kukuh'. Hebat, kan" Yang punya taji kan ayam jantan!


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kau tahu nama Bapak?"
"Nggak." "Bapak bernama Turanggawulung.
Panggilannya Pak Rangga. Arti nama Bapak
kautahu, Lung?" "Kuda hitam." "Ya. Seperti nama orang Indian, ya?"
"Kalau diterjemahkan dalam bahasa
Inggris, memang seperti nama orang Indian.
Kepala suku, lagi! Eh, kamu!" Pulung menunjuk adik Jalu. "Sudah belajar bahasa Inggris,
belum?" "Di Balai Desa ada kursus bahasa Inggris
untuk anak-anak SD, Iho!"
"Kamu ikut kursus?"
"Baru sebentar, kok."
"Turanggawulung dalam bahasa Inggrisnya
apa?" Adik perempuan Jalu tersipu. Anak Jawa
memang begitu. Malu-malu untuk mengatakan
sesuatu yang sebenarnya diketahuinya. Kuatir dibilang sombong atau keminter (sok pinter).
1 "Kalau kau tahu, bilang dong!" desak Jalu
pada adiknya. Dia bangga kalau adiknya bisa menjawab pertanyaan Pulung.
"Kalau salah, jangan diledek, ya?" kata
anak perempuan itu pada Pulung.
"Nggak, dong. Apa bahasa Inggrisnya
Turanggawulung?" "Black Horse. Salah, ya?"
"Betul, kok. Namamu siapa, dong" Masa
namamu Jali?" "Night Moon." "Hah?" Pulung terkejut benar. "Wauw! Itu nama gadis Indian anak kepala suku, ya?"
Jalu tertawa. "Tahu rasa, Lung! Memang cuma kau yang
jagoan" Adikku juga bisa nonjok kamu sampai kamu hampir kelenger, kan?" seru Jalu bangga.
"Hebat, ya" Bulan Malam... wah! Baru
kudengar Iho, nama yang hebat begitu! Bulan Malam... ah, masa sih nama kamu Bulan
Malam?" "Betul, kok," kata gadis kecil itu, sudah
tidak malu-malu lagi. "Nama keluarga kami
memang hebat. Nama kakek buyut kami saja
Ayam Jantan. Iya, kan Mas Pulung?"
"Iya, Adik Bulan Malam. Sawunglanang
artinya memang ayam jantan."
"Namaku bukan Bulan Malam!"
2 "Habis apa" Tadi kaubilang Night Moon.
Terjemahannya kan bulan malam?"
"Wulanratri!" "Oh." Pulung melongo, menyadari
kebodohannya. "Jadi harus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dulu, ya" Kalian hebat,
deh. Nggak sangka, di udik begini ada anak hebat kayak kalian!"
"Kamu memuji tetapi sekaligus mengejek,
ya?" kata Jalu. Pulung tertawa. Ooo... Wulanratri! Ooo...
Bulan Malam! Betapa kau tidak mengejek,
betapa kau hanya tersenyum kecil! Tapi
senyummu, betapa membuat hati Pulung malu!
Seorang anak lelaki melongok di gerbang
kuburan. Kelihatannya dia tak berani masuk, tetapi ingin memanggil seseorang. Jalu bangkit dan
berjalan menghampiri anak itu.
Pulung melirik Wulanratri.
"Teh ini manis, ya" Tapi cara manggil kamu bagaimana" Wulan saja atau Ratri saja?"
"Terserah." "Kalau terserah, mendingan kupanggil
Bulan Malam." "Terserah Mas Pulung."
"Nggak marah?" "Nggak." Jalu berbalik menghampiri Pulung.
3 "Apa kau punya tante, Lung?" tanyanya
keheranan. "Punya, dong! Memang aneh kalau aku
punya tante?" "Maksudku... anak itu bilang kau dicari
tantemu." "Aku memang bersama Tante, kok. Tadi dia
di rumah Pak Lurah."
Jalu tampak keheranan. Setahunya, anak
desa Pulung tidak ada yang memanggil adik
orang tuanya dengan sebutan Tante. Di sana seorang kemenakan memanggil tantenya
dengan panggilan Mak Cilik (Ibu Kecil). Jalu lebih heran lagi ketika Pulung bilang, "Tante bawa
Landrover. Mau kenalan sama Tante" Ke sana, yuk! Bulan Malam juga boleh ikut!"
Jalu tidak tahu, Landrover itu merek mobil.
Pikirnya, Landrover sebangsa kue.
Landrover itu sudah menderum. Tante Yan melongokkan kepalanya dan menoleh ke
belakang. Ia meloncat turun dari kendaraan itu begitu dilihatnya Pulung bersama Jalu dan
Ratri. Tante Yan memang orang ramah dan
menyukai anak-anak. Kedua tangannya
terentang ke samping seperti orang hendak
bersenam. "Halo!" sapanya dengan wajah ceria. "Kau
pasti Jalu dan kau pasti adiknya Jalu! Iya, toh?"
Jalu terkesan sekali pada penyambutan itu.
4 Ia mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
Sikapnya sopan sekali. "Saya Jalu, Tante. Kemarin saya berantem
dengan Pulung." "Ah, Pulung memang suka berantem. Itu
sebabnya Tante ikut ke sini. Tante kuatir dia berantem lagi!"
Tante Yan menatap Ratri. Sesaat terbayang
wajah Nansy di pelupuk matanya. Bila Nansy masih hidup, mungkin dia sebesar Ratri.
"Manis sekali," kata Tante Yan sambil
mencubit pipi Ratri setelah ia menyalami
tangan gadis kecil itu. "Tante senang deh, kenalan sama... siapa
tadi namanya?" "Ratri, Tante."
"Aduh, manisnya namamu! Yuk, main ke
rumah Tante, yuk!" "Terima kasih, Tante. Lain kali saja."
"Nanti malam Pulung ke sini lagi, Tante,"
Pulung menyela. "Mau nonton brendung !"
"E, jangan! Tante nggak mau ngantar, Iho!"
"Pulung berani sendirian."
Tante Yan tahu, percuma saja mencegah
Pulung. Anak itu memang biasa keluyuran pada malam hari. Tidur di mana pun tak pernah
dilarang oleh ayahnya. Asalkan dia tidak
5 melakukan hal-hal yang tercela. Dalam
seminggu, paling banyak dua kali Pulung tidur di rumahnya. Lebih sering di langgar Wak
Solikun atau, di Gedong Lawang Satus.
Pulung meloncat ke mobil. Ia berseru pada
Ratri, "Bikin teh manis yang hangat, ya" Nanti malam aku mau nonton brendung !"
"Teh saja" Nggak pakai kue?" seru Ratri.
"Kalau kau main ke rumahku, pasti kau
kuajak makan! Nggak tahu cara orang
Kalitepung menerima tamu pakai ngajak makan atau tidak!"
Ratri tertawa. Jalu merasa, adiknya lebih
menarik perhatian Pulung. Dia tertawa
menyadari sejak tadi dirinya sudah tersisih oleh Ratri.
3 SEUNTAI KALUNG BERLIAN PENJAGAAN makam itu sudah cukup kuat. Pak
Rangga menyandang golok dengan sikap gagah bagai jagoan di masa lalu. Anaknya tak kurang
gagah, juga dengan golok di pinggangnya.
Mereka berjaga di gerbang kuburan Mbah
Sawunglanang. Pulung di sana, duduk di bawah atap makam yang dikeramatkan itu. Tetapi dia tak
bersenjata. Kehadirannya di kuburan itu pun bukan untuk berjaga-jaga, meskipun Jalu menganggap
hadirnya Pulung merupakan
tambahan kekuatan. Apalagi Gruno juga ada di sana, bersama Gogor pula. Meskipun Gogor
6 hanya anak lelaki yang lemah, lumayanlah
kedatangannya untuk menambah jumlah
penjaga. Begitu pikiran Jalu.
Pulung mereguk teh manis sajian Ratri. Ia
teringat akan Wak Solikun, akan nasihat-
nasihatnya. Tak boleh orang makan dan minum di kuburan, kata Wak Solikun. Tapi tak mau
mencicipi sajian Ratri, tentunya akan
menyinggung perasaan. Pulung pun menikmati hidangan itu, teh manis dan getuk lindri.
Lalu dia menyadari, untuk apa sebenarnya
dia berada di kuburan ini" Tidak ada tanda-tanda orang datang untuk membuat brendung.
Ia bangkit dan menghampiri Jalu.
"Aku ingin jalan-jalan, Lu," katanya. "Di
sini sumpek rasanya."
"Jangan ke mana-mana, Lung!" cegah Jalu.
"Tenagamu kuperlukan di sini!"
"Untuk apa?" "Ah, kau masih tanya-tanya juga! Kubilang
orang akan datang untuk bikin brendung di sini!"
Pulung memanggil Gruno. Karena Gruno
menghampiri Pulung, Gogor pun ikut. Dia
merasa takut hanya berdua Ratri di dekat
makam Mbah Sawunglanang. Padahal Ratri
berani sendirian di sana. Toh tak jauh dari tempat itu, ada ayah dan kakaknya. Ada juga
teman-teman kakaknya. Lagi pula, apa yang
ditakutkan di makam leluhurnya"
7 "Di desa Gruno orang sering membuat
brendung," kata Pulung. "No, kasih tahu bagaimana cara orang membuat brendung itu!"
"Aku sudah tahu!" kata Jalu ngotot.
"Mereka membuat boneka gayung yang diberi
tangan dan kaki dari bilah bambu berbungkus merang3 dan diberi pakaian. Boneka itu dibawa ke
kuburan yang dianggap angker. Orang yang bertindak sebagai dukun biasanya wanita.
Dukun brendung membakar kemenyan dan menyediakan sesajian berupa makanan-makanan kecil.
Ia membaca mantera, sedangkan para pembantunya menyanyi diiringi bunyi tetabuhan. Syair nyanyian itu berisi panggilan
agar danyang brendung merasuk ke dalam tubuh boneka gayung. Danyang
brendung adalah roh halus yang menggerakkan brendung. Tetabuhannya berupa bunyi-bunyian 3
Tangkai padi dari kaleng, alat-alat dapur, batang bambu, dan sebagainya..."
"Betul, No?" tanya Pulung.
"Betul!" sahut Gruno.
"Siapa yang bodoh kalau begini?" sela
Pulung kesal. "Tadi kaubilang orang memulai upacara membuat brendung pada menjelang maghrib!
Bukan pada malam hari! Ini jam
berapa" Sudah jam tujuh, kan" Brendung tidak bisa dibuat pada jam-jam begini. Katamu tadi
begitu! Jangan konyol, No! Kasih tahu sama Jalu!"
Gruno merasa bersalah. Ia berkata pada
Jalu, "Pulung benar, Lu. Orang membuat
brendung lazimnya pada menjelang maghrib.
Tepat pada saat maghrib tiba, brendung sudah jadi. Artinya boneka gayung itu sudah bisa bergerak
dan mencari pencuri."
Jalu memikirkannya. Ia memang tidak tahu
bagaimana cara membuat brendung. Ayahnya pun pasti tidak tahu. Mereka hanya mendengar
kabar tentang rencana pembuatan brendung sejak di desa sering kali terjadi pencurian. Yang
terakhir adalah seuntai kalung berlian milik Pak Jumadi. Pencurian itu terjadi pada lima hari yang
8 lalu. Pencuri membongkar genting dan
masuk ke kamar Bu Jumadi, lalu membawa
pergi seuntai kalung berlian. Hanya seuntai kalung, barang-barang lainnya tidak diambil.
Pak Rangga menghampiri anak-anak itu. Ia
mendengar percakapan anaknya dan Pulung
tentang brendung. "Terus terang, Bapak juga belum pernah
melihat brendung," katanya tanpa ditanya.
"Bapak hanya mendengarnya dan cerita orang.
Tradisi membuat brendung itu sudah lama dilupakan orang. Pada masa Bapak kecil dulu, di desa ini
orang sering membuat brendung kalau ada pencurian. Tapi Bapak tidak pernah menyaksikannya.
Pada waktu itu Bapak tidak pernah keluar dari pesantren Mbah
Sawunglanang kecuali untuk keperluan
tertentu. Bapak tidak pernah melihat kesibukan orang di luar pesantren. Setelah pesantren itu
diobrak-abrik Jepang, barulah Bapak melihat dunia luar. Tapi brendung sudah dilupakan orang."
"Jadi Bapak juga tidak tahu tentang
brendung yang sebenarnya, kan?" tanya Pulung.
"Tidak." "Kalau begitu, sebenarnya Bapak bertindak
berlebihan. Maaf, Pak. Menurut teman saya
Gruno, pada jam-jam begini orang tidak bisa membuat brendung. Jadi percuma saja berjaga di sini
pada pagi, siang, dan malam hari."
Pak Rangga menatap Gruno. Kegelapan
makam tidak bisa ditembus oleh pandangan
matanya yang sudah mulai berkurang sejak
belakangan ini. Ia tidak bisa melihat mana Gruno dan mana Pulung. Hanya perbedaan
9 nada suara mereka yang bisa dibedakannya.
Gruno berada di arah depan agak ke kiri
darinya. Ia menggeser kedudukan kakinya
untuk menghadap ke arah Gruno.
Dalam kegelapan itu Pulung bisa melihat,
karena dia telah terlatih melihat dalam gelap.
Latihan-latihan berat sering dialaminya di kegelapan malam seperti itu. Ia sempat melihat gerakan
Pak Rangga. Pendekar ini memang
lumayan, pikirnya. Semua geraknya
mencerminkan kemampuannya menguasai
jurus. Ia bergerak dengan biasa, tetapi sepasang kakinya yang beralaskan sandal kulit berdiri kukuh
dalam sikap kuda-kuda penuh. Hanya
pendekar tangguh yang selalu bersiaga penuh semacam itu.
"Jadi penjagaan ini sebenarnya tidak
perlu?" tanya Pak Rangga. Pertanyaan itu
ditujukan kepada Gruno. "Menurut saya, memang tidak perlu, Pak,"
jawab Gruno. "Kalau begitu, kita pulang saja!"
"Pulang?" Jalu kecewa. "Jangan-jangan
begitu kita pulang, mereka ke sini?"


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rasanya tidak," kata Gruno. "Aku sering
melihat orang membuat brendung. Belum pernah kulihat pada jam-jam begini brendung dibuat."
"Ratri!" Pak Rangga memanggil. "Kemasi
barang-barang kita! Huh! Sudah dari kemarin aku berjaga di sini..."
Jalu tak berdaya. Ayahnya telah melangkah
10 menuju ke rumahnya. Anak yang paling lega adalah Gogor. Sejak
tadi dia tak mampu berkata-kata karena rasa takutnya. Sekarang dia bahkan bisa bersiul-siul sambil
berjalan santai. Malah dia berjalan di sisi Ratri. Gruno menjadi geram karenanya.
Sejak dulu dia memang tidak akur dengan
Gogor. Ada-ada saja tingkah Gogor yang
membuatnya keki. Kalau tidak memandang
Pulung, ingin rasanya Gruno ngemplang kepala anak cengeng itu.
Tiba-tiba ada kegemparan dari kejauhan.
Mereka berhenti serempak. Suara-suara orang riuh terdengar dari arah selatan. Obor-obor menyala
berpencaran. "Kebakaran?" desis Pulung.
"Bukan! Kita tunggu saja di sini!" seru Pak Rangga. Pulung ingin berlari ke arah suara riuh itu.
Tetapi ia harus menurut pada Pak Rangga.
Di kampung orang dia tak boleh ceroboh.
Ternyata rombongan orang yang riuh itu
sedang mengarak brendung! Boneka gayung yang didandani dengan kapur sirih dan jelaga berdiri
tegak di atas nyiru. Alisnya lurus, merupakan coretan hitam jelaga bercampur
minyak kelapa. Bedaknya kapur sirih. Gambar hidungnya tampak mungil, tetapi mulutnya
lebar dan menyeringai. Tangan boneka itu lurus ke samping. Kakinya hanya merupakan tonggak
berbentuk kerucut. Bagian lebarnya di bawah.
Kerucut itu terbuat dari anyaman bilah bambu yang dibungkus dengan merang. Pinggang
boneka itu diikat dengan empat utas setagen4.
Masing-masing ujung setagen yang panjang itu dipegangi oleh empat orang lelaki. Sedangkan nyiru
tempat brendung itu berdiri, dipegangi oleh seorang perempuan yang bertindak sebagai dukun.
Brendung itu bagai digerakkan oleh tenaga gaib. Ia melesat di atas nyiru landasannya.
Orang-orang yang memegangi nyiru dan setagen 4 Sabuk kain yang lazim dikenakan oleh wanita
yang mengenakan kain batik
11 pengikat berlari mengikuti brendung itu.
Sedangkan orang-orang lelaki, perempuan, dan anak-anak yang membawa obor, mengiringi dari
belakang. Mereka berseru-seru riuh.
Tanpa diduga, brendung itu menuju ke arah Pak Rangga! Sejenak Pak Rangga terpana.
Ia bersiaga dengan kuda-kudanya. Tapi
tangannya tidak meraba hulu goloknya.
Sedangkan Jalu sudah mencabut golok itu. Ia mengayun-ayunkannya dengan jurus silatnya!
"Jalu! Tahan!" seru Pulung. "Jangan
gegabah!" Tetapi Jalu tak peduli. Pulung menoleh
pada Gruno. Ternyata Gruno sudah bersiaga
pula. Gogor tak ada. Ia berlari-lari sambil menarik tangan Ratri menjauhi keramaian itu.
Brendung menyerbu ke arah Pak Rangga.
Pulung tidak memasang kuda-kuda, tetapi
sikapnya waspada. Ia mengawasi Jalu yang
mulai membacokkan goloknya ke arah
pembawa brendung. Pulung melompat.
Ditangkapnya tangan Jalu. Dipijitnya telapak tangan itu di antara ibu jari dan telunjuknya.
Jalu menjerit kesakitan. Goloknya terjatuh.
Pulung memungut senjata itu dan
memeganginya dengan kedudukan golok rata
12 dengan tangannya ke arah ketiak. Cara
memegangnya cukup meyakinkan. Golok itu
seperti disembunyikan, tetapi bisa digunakan sebagai senjata penangkis bila dia mendapat
serangan senjata pula. "Kembalikan golokku!" jerit Jalu seraya
berusaha merebut goloknya.
Pulung menggerakkan kaki kanannya
serong ke belakang. Ia juga menggerakkan
tangan kirinya dengan hasta datar di depan dadanya. Dengan demikian, dada Jalu tertahan oleh
tangannya. Pulung mendorong dada Jalu seraya menarik tangan yang membawa golok ke arah
punggungnya. "Tenang, Lu! Jangan ngawur!" seru Pulung.
Jalu tidak bisa tenang menyaksikan
ayahnya diserbu oleh brendung. Ia berusaha mendapatkan goloknya lagi. Pulung terpaksa
merunduk dan memutar tubuhnya ke kiri. Kaki kirinya bertumpu, sedangkan kaki kanannya
menekuk. Lututnya menghantam perut Jalu
dengan telak. Jalu mengaduh dan membungkuk. Pulung
meloncat mundur. Gruno menyadari, Pulung
akan repot menghadapi amukan Jalu karena
tangan kanan Pulung berusaha
menyembunyikan golok itu. Gruno tahu apa
yang harus dilakukannya. Ia meloncat dan
meraih golok itu. "Jangan serang! Aku Gruno!" serunya
seraya menarik golok itu dari tangan Pulung.
13 Pulung melepaskan golok itu setelah ia
yakin bahwa yang merebut golok adalah benar-benar Gruno. Bukan saja karena ia mengenali suara
Gruno. Juga karena ia mengenali gerakan Gruno ketika merebut goloknya. Gruno tidak menjamah
hulu golok seperti yang dilakukan oleh Pulung untuk pekerjaan seperti itu.
Melainkan meraih bilah golok dari arah
punggung senjata itu. Lalu memuntirnya
sedikit, dan mencabutnya.
Kini Pulung menyergap Jalu. Dilingkarkan
tangan kanannya ke leher Jalu. Sedangkan
tangan kirinya memegangi tangan kiri Jalu dan didorongnya tangan itu ke arah tengkuk Jalu.
Tentu saja Jalu menderita sakit pada sendi bahu kirinya. Ia tahu, sendinya bisa terlepas jika Pulung
mengerahkan seluruh tenaganya.
Namun Pulung hanya bermaksud membekuk
Jalu, tidak akan menyakitinya. Menyadari hal itu, Jalu pun tidak meronta. Jepitan ini
mematikan seluruh geraknya, karena Pulung
melakukannya dengan sangat tepat dan
sempurna. "Lung... ayahku..." desah Jalu.
"Tenang! Ayahmu bisa mengatasi keadaan!
Lihat!" seru Pulung.
Memang Pak Rangga bukan sembarang
pendekar yang ringan tangan untuk mencelakai orang. Goloknya tetap terselip di pinggang.
Sedangkan kedua tangannya menerkam
brendung. Ditariknya boneka gayung itu, lalu dibantingnya ke tanah. Tangan-tangan lelaki yang
memegangi setagen terjulur mengikuti
gerakan brendung yang terbanting. Kaki Pak Rangga menyapu tangan-tangan itu. Dua orang
menjerit dan jatuh terjengkang. Sedangkan dua orang lainnya memegangi tangan mereka yang
terasa nyeri sekali. Pak Rangga merebut boneka gayung itu. Lalu digenggamnya keempat ujung
setagen. Ia memutar-mutar setagen di atas
14 kepalanya hingga gayung itu menjadi benda
pemberat yang berputar-putar bagai senjata bindi. Beberapa orang terkena sambaran boneka
gayung. Mereka menjerit dan lari
terbirit-birit. "Pak Rangga ngamuk!" seru seorang lelaki.
"Malingnya ngamuk!" seru yang lain.
Teriakan-teriakan menjadi makin riuh.
"Malingnya ngamuk!" Teriakan itu mendidihkan darah Jalu. Ia meronta-ronta. Tetapi Pulung tak mau
melepaskannya. "Lung! Ayahku dalam bahaya!" jerit Jalu
seraya terus berusaha melepaskan diri.
"Tidak! Dia tidak apa-apa!" seru Pulung.
Jalu menjejak ujung sepatu Pulung dengan
tumit kakinya yang tak beralas. Pulung
merasakan sakit pada ujung kaki kanannya. Ia juga terkejut karena tak menyangka Jalu akan nekat
begitu. Pegangannya mengendor. Jalu
berkelit dan melepaskan diri.
Kini dia mengamuk. Gerakannya liar. Ia
memukul, menendang, mencakar! Siapa pun
yang berada di dekatnya, dihajarnya habis-
habisan. Tak peduli dia lelaki atau perempuan, dewasa atau anak-anak!
Pulung merasa sedih menyaksikan sepak
terjang Jalu yang membabi buta. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bersyukur ketika
orang-orang mulai bubar. Anak-anak
berserabutan lari ke arah tak menentu. Mereka menjerit, dan tak seorang pun lagi yang
15 meneriaki, "maling ngamuk!" pada Pak Rangga.
Akhirnya orang-orang itu bubar. Ada yang
sempat membawa setagen. Tapi gayung yang
hancur itu ditinggalkan begitu saja. Datang seorang lelaki setengah baya mengenakan
celana panjang dan baju berpotongan safari.
Lelaki itu berpeci hitam. Ada simbol beringin bersayap terbuat dari logam kuning di dada kanannya.
Dia pasti pegawai kantor Kelurahan Kalitepung. Pamong desa namanya.
Ayah Pulung pun selalu berseragam seperti
itu bila masuk ke kantor atau melakukan
tugas-tugas kemasyarakatan.
"Sabar, Pak Rangga! Sabaaaar!" teriak
orang itu seraya mengacungkan tangannya.
Di belakang orang itu, empat orang anggota hansip berseragam dengan sangkur tergantung di
pinggang mereka, bersiaga. Hansip-hansip mengusir sisa orang yang berkerumun.
"Pak Carik," panggil Pak Rangga. Ternyata
orang berseragam pamong desa itu seorang
carik, atau sekretaris lurah. "Saya terpaksa mempertahankan diri, Pak!"
"Saya mengerti," kata Pak Carik, lelaki
berseragam pamong desa itu. "Sabar, Pak. Mari kita ke Balai Desa!"
"Mari, Pak! Tapi anak saya..." Pak Rangga
menoleh-noleh mencari anaknya. Tempat itu
telah menjadi gelap kembali sejak orang-orang yang membawa obor berserabutan lari. Tinggal
sebatang obor yang tergeletak agak jauh dari tempat itu. Sumbunya masih menyala, dan
rumput-rumput kering terbakar karena minyak obor itu mengalir ke luar. Seorang anggota hansip
memungutnya. Ia memeganginya tinggi-tinggi. Tempat itu menjadi agak terang.
Dari kegelapan, datang Gogor bersama
Ratri. Gruno membentak, "Dari mana saja,
16 kamu?" "Aku... aku menjaga Ratri...," jawab Gogor gugup.
Ratri tak mau bilang bahwa sebenarnya
dialah yang menjaga Gogor. Kuatir Gogor akan merasa malu.
Jalu datang dengan langkah terpincang-
pincang. Pak Rangga melihatnya karena obor yang menyala di dekat Jalu.
"Kenapa kakimu?" tanyanya dengan cemas.
"Tidak apa-apa," jawab anaknya. Tapi dia
masih terpincang-pincang.
"Terluka?" tanya Pak Rangga seraya
meneliti kaki anaknya. "Tidak. Mungkin tadi aku menendang
obor." Memang ada benjolan berwarna biru
matang di tulang kering kaki kanan Jalu. Pasti karena menendang benda keras. Kalau bukan
obor, mungkin kayu. Tadi memang ada orang
yang membawa tongkat kayu. Entah siapa,
begitu sulitnya mengenali orang banyak dalam keriuhan itu.
Mereka berbondong ke Balai Desa.
Terdengar suara orang bercakap-cakap ribut.
Ternyata orang-orang yang tadi bubar kini
berkumpul di sekitar Balai Desa. Bagai pencuri tertangkap saja, Pak Rangga digiring beramai-ramai.
Ratri menangis di sisi Gogor. Betapa duka
hatinya, betapa luka jiwanya! Ia tak percaya kalau ayahnya menjadi pencuri. Tidak seuntai kalung
berlian, tidak segenggam rumput kering pun yang pernah dicuri oleh ayahnya. Padahal brendung
hanya menyerang orang yang benar-benar mencuri. Orang Kalitepung sangat
17 percaya, brendung tak akan mungkin menipu.
Brendung pasti benar. Pilihannya selalu tepat.
Pencuri-pencuri yang pernah diserang brendung tak bisa mengelak lagi. Mereka pasti mengakui
perbuatannya setelah diperiksa di Balai Desa.
Dan kini ayah Ratri yang akan diperiksa di sana...
Ratri berlari dan menjerit melengking-
lengking. Gogor mengejarnya.
"Bapak bukan pencuriiiiiii!" jerit Ratri
seraya berlari tak tentu arah. Seolah ia ingin mengumandangkan pemberitahuan itu ke
seluruh penjuru dunia. "Bapak tidak pernah mencuriiiiii!"
Tetapi teriakannya disambut oleh suara
gelak tawa anak-anak sebayanya. Jalu bergerak dengan cepat. Tinjunya melayang beruntun.
Dua orang anak lelaki sebaya adiknya jatuh terjengkang dengan mulut berdarah. Pulung
menyerbu Jalu. Disepaknya kedua kaki Jalu.
Sepakan melingkar itu telak sekali. Jalu jatuh terguling. Pulung menyergapnya. Seraya
menindih tubuh Jalu, Pulung berbisik, "Tenang!
Tenang, Lu! Kita selidiki dulu perkara ini!
Jangan keburu nafsu!"
Jalu tetap meronta seraya berteriak-teriak.
Pulung terpaksa menampar wajah Jalu sekuat-kuatnya.
Jalu menjerit kesakitan. Tetapi ia menjadi sadar. Dipandanginya Pulung. Sejak tadi wajah Pulung
tidak berubah. Tidak kelihatan panik, tidak pula kelihatan marah. Tatapan mata Jalu bertemu
dengan tatapan mata Pulung. Mata
yang hitam itu, yang sipit sebelah, betapa memancarkan kesan persahabatan yang
mendalam. Jalu merasa tenteram setelah
menyadari bahwa sebenarnya Pulung tidak
18 membencinya. Pulung menamparnya bukan
karena benci. Sebaliknya, tamparan itu hanya untuk menyadarkannya. Jalu memeluk Pulung.
Ia menangis terisak-isak.
"Tolong aku, Lung...," rintihnya dengan
suara tersendat-sendat di sela isak tangisnya.
"Bapak bukan pencuri kalung berlian itu.
Bapak bukan pencuri apa saja. Tolong aku..."
"Aku akan menolongmu tanpa kauminta,"
kata Pulung tandas. Suaranya jelas di telinga Jalu, karena mulut Pulung begitu dekatnya di sisi
leher Jalu. "Kauingat pamanku yang jadi polisi, kan" Ingat Oom Wi" Dia bisa
menolongmu. Dia akan melindungimu. Aku
akan menghubunginya demi kau dan ayahmu,
Lu. Tapi kau harus tenang..."
Jalu masih mengisak. Tapi dia tidak
meronta bagai kesetanan lagi. Ia melangkah dalam bimbingan Pulung. Di depan mereka, Pak
Rangga berjalan dengan dada tegap. Pundaknya yang datar bagaikan tak bergerak. Langkah
pendekar itu sangat meyakinkan. Mengesankan bahwa dia tak bergeming meskipun orang
sekampung menuduhnya sebagai pencuri.
Tatapan mata orang-orang yang berdiri berjajar di tepi jalan tidak membuatnya gentar, tidak pula
sakit hati. Ratri tak tahan lagi menyaksikan ayahnya
digiring bagai pencuri tertangkap. Ia terus berlari. Sia-sia Gbgor mengejarnya. Bila Gogor berhasil
menangkap tangan Ratri, gadis kecil itu meronta dengan mencakar atau menggigit.
Gogor tak berdaya. Ia hanya mengikuti Ratri dari belakang. Tak berani terlalu dekat.
Ratri telah letih sekali. Ia terjatuh karena kehabisan tenaga di depan sebuah rumah
berdinding anyaman bambu di dekat sungai.
Pintu rumah itu terbuka. Muncul seorang


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

19 wanita tua yang bertubuh kurus dan
berpakaian sangat rombeng. Langkahnya
tertatih-tatih. Betapa miskinnya dia.
Kemiskinan yang bisa dilihat dari wujud dirinya dan wujud rumahnya.
"Siapa itu?" tanya wanita tua itu seraya
menelengkan kepalanya. Matanya yang rabun
tak bisa mengenali Ratri.
Namun agaknya Ratri mengenali suara
orang tua itu. Ia bangkit dengan gerakan lambat Lalu duduk di atas tanah dan menatap wanita tua
itu. Mulutnya bergerak-gerak. Ia
memanggil, "Mbah Mandor...!"
"Oh... kau Ratri?" sapa wanita tua yang
dipanggil Mbah Mandor itu.
Ratri bangkit serentak dan berlari. Ia
memeluk pinggang wanita kurus itu. Tangisnya pecah lagi. Air matanya membasahi kebaya
Mbah Mandor. "Bapak... Bapak bukan pencuri...," rintih
Ratri dalam tangisnya. Gogor mendekati wanita itu.
"Kau siapa?" tegur Mbah Mandor. "Jalu?"
"Saya Gogor, Mbah. Temannya Jalu."
Mbah Mandor membimbing Ratri memasuki
rumahnya. Seraya melangkah, ia berkata pada Gogor, "Biarkan saja Ratri di sini..."
Dengan begitu, Gogor sadar bahwa ia harus
20 pergi. Tapi malam begini gelap. Dan ia adalah anak paling penakut. Ia bimbang. Tak tahu
harus pergi ke mana. Ada bayangan yang mendekatinya. Hitam
sekali, karena bayangan itu berada dalam
kegelapan. Gogor lari terbirit-birit.
Bayangan itu mengejarnya.
"Hei! Gor! Gogor!" terdengar panggilan itu.
Gogor terus lari ketakutan. Ia ragu,
benarkah yang memanggilnya Gruno"
"Anak bodoh! Aku Gruno, Gor!" jerit Gruno
seraya terus mengejar. Gruno bisa menangkap leher baju Gogor.
Dicengkeramnya kuat-kuat. Gogor menjerit-
jerit. Gruno mengguncangkan leher Gogor.
Dibalikkannya tubuh anak itu hingga keduanya berhadapan.
"Diam! Kutampar kau kalau tidak diam!"
bentak Gruno. Gogor diam. Tapi tangannya gemetar.
"Mana Ratri?" Gogor menunjuk ke rumah Mbah Mandor.
"Kenapa kautinggalkan dia, he?"
"Dia... dia tidak apa-apa..."
Gruno mempunyai kesigapan hampir
setingkat Pulung. Bahkan dalam hal-hal
21 tertentu dia bisa mengungguli Pulung. Gruno sering bertindak sangat tegas. Sedangkan
Pulung kadang kala lemah karena hatinya
terlalu lembut. Pulung sering kehilangan
kewaspadaan karena dia mudah iba kepada
orang lain. Jika yang mendengar perihal Ratri di
rumah Mbah Mandor adalah Pulung, mungkin
dia tidak curiga. Tetapi Gruno berbeda dengan Pulung dalam hal ini. Ia belum mengenal Mbah
Mandor. Sedangkan Ratri di sana. Dengan sigap Gruno mengendap dan berlari ke rumah itu.
Tak dipedulikannya lagi panggilan Gogor.
Gogor menyusul, karena dia takut berada
sendirian di tempat gelap yang masih asing baginya.
"No! Ratri tidak apa-apa..."
Gruno melompat dan menyergap Gogor.
Disekapnya mulut Gogor dengan tangannya
yang kukuh. "Kuperingatkan kau, Gor!" hardiknya
dengan bisikan. "Sejak saat ini kau jangan bersuara! Kalau kau tidak bisa diam, kusumpal mulutmu
dengan sepatuku!" "Uh... uh... uh..." Gogor berseru tak jelas karena mulutnya disekap. Kepalanya
mengangguk-angguk. Gruno melepaskan mulut Gogor. Ia berjalan
berjingkat-jingkat. Langkahnya tidak
menimbulkan suara. Ia meneliti sebentar. Lalu pergi melingkar lewat belakang, menuju ke
samping kanan rumah rombeng itu. Dari arah kamar di dalam rumah itu terdengar suara
orang bercakap-cakap. Gruno mengintip lewat celah dinding. Dilihatnya Mbah Mandor sedang
duduk di tempat tidur. Ratri duduk di sisinya.
22 Tangan Mbah Mandor memeluk bahu Ratri.
Sesekali mengelus bahu gadis kecil itu.
Gerakannya lembut, mengesankan kasih
sayang Mbah Mandor pada Ratri.
"Entahlah bagaimana jadinya desa ini
kelak," terdengar suara Mbah Mandor. "Sejak Pak Lurah sakit, pencurian sering terjadi.
Padahal sudah lama desa kita tidak diganggu pencuri..."
Ratri masih mengisak. Tangan Mbah
Mandor menepuk bahu Ratri. Debu mengepul
dari rok gadis kecil itu. Mbah Mandor
memungut selembar selendang. Disekanya
keringat bercampur tanah di wajah Ratri.
"Bajumu kotor sekali," kata Mbah Mandor
dengan suara lembut. "Ganti dengan kebaya, ya" Kedodoran sedikit tidak apa-apa."
Mbah Mandor membuka lemari tua yang
pintunya sudah miring. Bunyinya berderit-derit menyakitkan gendang telinga.
Gruno menggamit tangan Gogor. "Kita pergi
saja. Ratri akan ganti baju," bisiknya.
Gogor menurut saja. Keduanya pergi ke
Balai Desa. Tempat itu masih ramai. Orang-
orang yang berkumpul menggumam tidak jelas.
Pak Rangga digiring ke kantor polisi dengan membonceng sepeda motor. Beberapa orang
anggota hansip dan pamong desa menjaganya
dari belakang. Betapa teririsnya hati Jalu menyaksikan
23 semua itu. Gruno tak bisa membayangkan
betapa sakit hati seorang anak yang
menyaksikan ayahnya digiring sebagai pencuri.
4 PENYELIDIKAN PULUNG DINIHARI sepi sekali. Pulung tergolek di lantai semen yang dingin beralaskan tikar. Gruno
sudah terlelap sejak kepalanya menyentuh
bantal. Gogor bahkan sudah setengah tidur
sebelum badannya rebah ke lantai. Sedangkan Jalu tak bisa memicingkan matanya. Ia gelisah,
seperti juga Pulung. Rumah itu dijaga oleh dua orang lelaki.
Seorang bernama Taslim, seorang lagi bernama Pak Dawuh. Kata Jalu, Pak Dawuh seorang
jagoan pada masa Ialunya. Ia sangat disegani orang. Pulung sudah mengenalnya, karena dulu Pak
Dawuh sering berkunjung ke rumah
Pulung. Mestinya Pulung merasa aman berada di
rumah yang dijaga oleh jagoan seperti Pak
Dawuh. Tapi entah kenapa, hatinya gelisah
sekali. Lebih-lebih setelah terdengar suara kentongan bertalu-talu dari arah utara. Pulung bangkit
dan duduk di atas lantai.
"Kentongan apa itu?" tanyanya.
Jalu menarik tangan Pulung agar Pulung
24 kembali berbaring. "Arahnya dari rumah Pak Lurah. Mungkin
Pak Lurah meninggal," bisik Jalu.
"Masa" Kau bisa memastikan?"
"Sakitnya sudah parah. Tidak ada harapan
untuk sembuh lagi." Pulung kembali berbaring dan mencoba
tidur. Tapi dia tetap saja gelisah. Peristiwa yang baru saja terjadi begitu mencekamnya.
Brendung yang penuh misteri dan keyakinan orang bahwa Pak Rangga benar-benar pencuri,
sungguh mengguncangkan hatinya. Sebenarnya ia tak ingin melibatkan diri dalam hal-hal seperti
ini. Tapi dia tidak bisa mengelak lagi.
Jalu membutuhkan pertolongannya. Entah
Pulung bisa menyingkapkan misteri itu entah tidak, rasanya ia tak sampai hati membiarkan Jalu
menanggung derita itu. Paling tidak ia ingin ikut merasakan penderitaan Jalu. Betapa terasa
beratnya! Bunyi kentongan tidak terdengar lagi. Ada
suara langkah-langkah orang yang bergegas ke arah rumah Pak Lurah. Pulung mengintip lewat
lubang pintu. Ia melihat Taslim. Pemuda desa yang pendiam itu sedang terkantuk-kantuk di teras
rumah. Pak Dawuh tak ada. Mungkin ke rumah Pak Lurah seperti penduduk desa
lainnya. Rupanya Jalu sudah tertidur. Suara
napasnya teratur sekali. Pulung ingin ke kamar kecil. Letak kamar kecil itu di belakang rumah,
terpisah dengan rumah induk. Ia harus
membuka pintu belakang lebih dulu. Semua itu dilakukannya dengan sangat hati-hati dan tidak
menimbulkan suara. Keperluan di kamar kecil tidak lama. Tapi
Pulung tidak segera kembali ke dalam rumah.
Matanya yang tajam melihat sesuatu yang
25 bergerak-gerak di jalan tanah sana. Memang tidak cukup jelas makhluk apa yang bergerak-
gerak itu. Seperti babi hutan mengais-ngais tanah. Ataukah hantu bungkuk yang mondar-mandir"
Pulung memusatkan perhatian. Lalu
dibacanya doa Nurbuat ajaran Pak Gowok. Doa untuk mengusir makhluk halus, jin, hantu, dan
sebangsanya. Ia merasa takut, tapi ia bisa menguatkan hatinya. Sebab ia percaya benar bahwa
orang beriman tak akan diganggu oleh makhluk halus dan jin. Lebih-lebih ia telah membaca doa
Nurbuat. Bila doa dikabulkan
oleh Tuhan, raja jin pun tak akan berani
mencoleknya. Pelan-pelan Pulung mengendap. Ia ingin
tahu, makhluk apa sebenamya yang
membungkuk-bungkuk dalam kegelapan
dinihari itu. Ia mendekati jalan. Tapi Taslim mengetahui gerakannya. Taslim menyorotkan
lampu senter tiga baterai. Seluruh tubuh
Pulung tersinari nyala lampu senter.
"Siapa itu?" hardik Taslim penuh
kewaspadaan. "Aku! Pulung!" seru Pulung dengan
terpaksa. Tak mungkin lagi dia mengelakkan diri dari nyala lampu senter itu.
"He! Ada apa?" seru Pak Dawuh dari jalan
tanah itu. "Anu... eh..." Pulung mendekati Pak
Dawuh, makhluk yang membungkuk-bungkuk
26 di jalan tanah itu. "Saya kira... saya kira tadi siapa..."
Taslim mendekati Pulung. Lampu senternya
masih menyala. "Kenapa keluar dari rumah?" tanya Taslim.
"Tidak apa-apa. Kebetulan saya ingin
buang air. Saya melihat Pak Dawuh di jalan itu.
Tapi tadi saya tidak tahu itu Pak Dawuh. Saya kira... saya kira babi hutan."
"Kembali ke rumah, Lung! Biar aku berjaga
di sini!" seru Pak Dawuh. Nada suaranya
mengesankan bahwa dia gusar sekali pada
Pulung. Pulung merasa curiga dengan kegusaran
Pak Dawuh. Curiga juga dengan perangai orang itu di jalan tanah. Seperti mencari sesuatu yang
sangat berharga. "Tadi Pak Dawuh sedang apa?" tanyanya,
mencetuskan kecurigaan itu.
"Aku berjaga di sini."
"Tadi kulihat Pak Dawuh membungkuk-
bungkuk seperti mencari barang berharga."
"Eh... kau banyak omong!" bentak Pak
Dawuh. "Aku tidak suka pada anak kecil yang sok tahu urusan orang tua!"
Ucapan itu sangat menyinggung perasaan
Pulung. Kecurigaannya makin menggunung
saja. "Tadi ada orang kehilangan subangnya,"
27 kata Pulung bersiasat. "Mungkin terjatuh di situ ketika brendung -nya ngamuk."
"Jangan sembarangan bicara, kamu!" seru
Pak Dawuh. "Aku tidak mencari subang!"
"Habis mencari apa?"
"Uangku terjatuh!"
"Mari saya bantu mencarinya, Pak!"
Pulung beranjak ke jalan. Ia berlagak
mencari-cari sesuatu di jalan tanah itu. Padahal ia tidak melihat apa-apa. Lampu senter Taslim dan
Pak Dawuh tidak menyala. Bintang-bintang di langit pun tak kuasa menerangi tempat itu.
Hanya remang-remang saja, dan selembar uang kertas tak akan tampak dalam keremangan itu.
Tapi benda putih mengkilap yang panjangnya sejengkal itu tampak oleh Pulung. Pak Dawuh pasti
belum melihatnya. Pulung akan
mengambilnya. Tapi mata Pak Dawuh dan
Taslim sedang tertuju ke arahnya. Akhimya
Pulung menginjak benda itu. Kaki kanannya
mengais-ngais tanah. Debu menutupi benda
berkilat itu. Benda apa itu" Pulung tak bisa
menerkanya. Tapi ia yakin, benda itulah yang dicari Pak Dawuh. Mata tua Pak Dawuh tidak awas
lagi. Lebih-lebih ia mencarinya tanpa menyalakan lampu senter. Mungkin agar orang tidak
mencurigainya. Berarti benda bulat
panjang yang mengkilap itu sangat berharga bagi Pak Dawuh.
Pulung mencari akal untuk memungut
benda itu tanpa dicurigai. Ia berlagak melihat ke arah kuburan Mbah Sawunglanang di
sebelah timur sana. Ia membungkuk, lalu
berjongkok pula. "Ada apa, Lung?" tanya Taslim seraya
28 mendekat. Pulung menuding dengan jari gemetar.
Tangannya pun bergetar. "Kau lihat apa?" tanya Taslim.
"Oh... itu... itu..." kata Pulung dengan
suara gemetar. Taslim menyorotkan lampu senternya ke
arah kuburan itu. Lampu senter digerak-
gerakkan. "Apa" Yang kaulihat tadi, apa?" tanya
Taslim. Dengan gerakan cepat Pulung memungut
benda bulat panjang dan menyelipkannya ke
balik bajunya. Benda itu terasa dingin
menempel di kulit perut. Pasti terbuat dari logam.


Pulung Misteri Boneka Gayung Karya Bung Smas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agaknya Pak Dawuh percaya bahwa Pulung
melihat 'sesuatu' di kuburan itu. Ia
menghampiri Pulung. "Apa kau melihat Mbah Sawunglanang?"
tanyanya seraya mengangkat ketiak Pulung
hingga anak itu berdiri. "Ya... tapi... tapi entahlah saya melihat
apa..." "Kau bukan anak desa ini. Makanya jangan
gegabah," Pak Dawuh menyesali Pulung. "Ayo, masuk ke rumah!"
29 Taslim membimbing Pulung sampai di
depan pintu belakang. "Tidur saja, Lung," kata Taslim. "Jangan
lupa baca-baca doa sebisamu agar kau tidak diganggu apa-apa lagi."
"Ya." Pulung merasa kakinya kotor sekali. Tapi ia tak peduli. Ia merebahkan tubuhnya di atas tikar.
Diselimutinya seluruh bagian tubuhnya dengan kain sarung besar milik Pak Rangga.
Lampu minyak di ruangan itu menyala redup.
Pulung tak bisa melihat dengan jelas benda apa gerangan yang putih dan panjang bulat itu.
Kain sarung yang menutupi tubuhnya sangat
tebal dan hampir-hampir tidak tembus cahaya.
Tapi ia bisa meraba-raba. Bisa menarik ujung benda itu. Kini benda bulat panjang itu menjadi
semakin panjang. Ah, hanya antena radio saja.
Tapi ukurannya lebih besar dari antena radio biasa. Mungkin juga antena pesawat televisi.
Barangkali benda ini yang dicari-cari Pak
Dawuh. Tapi kenapa Pak Dawuh
merahasiakannya" Pulung merasa mengantuk. Besok ia harus
bangun pagi-pagi benar. Ia harus pulang dulu sebelum berangkat ke sekolah. Untuk
sementara ia akan mengadakan penyelidikan
dengan diam-diam saja. Gruno memang bisa
dipercaya, tapi ia sering bertindak kejam. Gruno sering bertindak tanpa perasaan, hanya dengan
pikiran saja. Tadi pun dia ngotot bahwa
brendung tak pernah salah memilih sasaran.
Brendung hanya menyerang orang yang benar-benar melakukan kejahatan. Tak bisa meleset.
30 Kalau begitu, Gruno mulai yakin bahwa Pak
Rangga memang mencuri kalung berlian milik Bu Jumadi.
*** Tidak biasanya Gogor jadi penggugup
begitu. Setiap kali mata Pulung menatapnya, Gogor gelisah. Ia membuang pandang ke arah lain.
Atau menunduk seperti mengawasi ujung kakinya. Pulung jadi curiga karena sikap Gogor yang
aneh itu. Gogor sedang memberi makan itik-itik
peliharaan kakeknya. Pulung berdiri di
seberang pagar petai cina yang dipangkas
semeter setengah tingginya. Pulung bisa melihat Gogor lewat sela-sela ranting tanaman itu.
"Kau sedang ingat Ratri, ya?" tanya Pulung dengan tiba-tiba. Ia sengaja mengucapkan kata-kata itu
dengan nada tandas. Agar Gogor makin gugup. Bila gugup, Gogor akan mudah
mengaku. "Oh...," Gogor gugup sekali, seperti harapan Pulung. "Semalam... semalam aku terpaksa
meninggalkannya. Habis dia akan ganti
pakaian..." "Kau ceroboh!" Pulung sengaja membentak.
"Kau kan belum mengenal Mbah Mandor" Kau
percaya begitu saja! Kalau Ratri diculik,
bagaimana?" "Eh... tapi... tapi tidak, kok. Mbah Mandor orang baik..."
"Kau tahu Mbah Mandor orang baik-baik
kan dari Jalu! Ketika kau meninggalkan Ratri, kau belum tahu tentang Mbah Mandor!"
31 "Iya... tapi... aku yakin dia orang baik-baik.
Ia lembut sekali pada Ratri. Masa aku salah, Lung?"
"Kau tidak bersalah. Tapi kenapa kau jadi
penggugup begitu" Kayaknya kau
merahasiakan sesuatu..."
Pulung menatap tajam-tajam mata Gogor.
Ditatap dengan cara begitu, Gogor makin
gugup. Kakinya menginjak sebutir telur itik.
Telur itu pecah. "Nah! Kalau tidak gugup, kau tidak akan
melakukan kesalahan begitu," sahut Pulung
segera. Ia terus mendesak dengan ancamannya,
"Sebutir telur sih, harganya murah. Tapi
kakekmu paling tidak senang kalau kau bekerja dengan ceroboh. Kalau kubilang padanya..."
Gogor membereskan kulit telur itu. Akan
disembunyikannya di tempat sampah.
Bekasnya diuruk dengan tanah.
"Percuma. Tadi Kakek Sakeh sudah
mengitung jumlah telur itu. Kau teledor juga, kenapa tidak kausimpan sejak tadi pagi..."
"Tadi aku terburu-buru. Kau kan tahu, tadi aku terburu-buru..."
"Tapi Kakek Sakeh tidak mau tahu."
Gogor tampak kebingungan. Pulung tidak
sampai hati menyiksa sahabatnya itu. Kasihan Gogor. Dia sering berlaku seperti anak sebaya Polan
saja. Mungkin karena ia hidup tertekan bersama kakeknya yang galak, maka ia
berperangai seperti anak kecil. Hanya
memecahkan sebutir telur pun dia bingung
32 bukan main. "Bilang saja aku yang menginjak telur itu,"
kata Pulung dengan tenangnya. "Paling-paling kakekmu akan menyuruhku membersihkan
kandang bebek sebagai hukumannya. Tapi
kalau dia tahu kau yang memecahkannya,
kepalamu kena kemplang! Sakitnya sih tak seberapa. Tapi apa tidak malu, sudah besar dikemplang
begitu hanya gara-gara sebutir telur" Kalau kuceritakan pada Ratri, kau juga akan malu!"
Tiba-tiba Gogor menatap Pulung dengan
tajamnya. Seolah keberaniannya bangkit
seketika. Tangannya merogoh saku celana
pendeknya. Lalu ketika tangan itu ditarik, telapaknya menggenggam sesuatu. Gogor
membanting sesuatu itu ke atas tanah, dekat pagar petai cina, di depan kaki Pulung.
"Benda itu yang kusembunyikan! Benda itu
yang bikin aku gugup! Tapi aku tidak
bermaksud memilikinya! Aku hanya berusaha
menyembunyikannya agar ayah Ratri tidak
dituduh sebagai pencuri! Aku menemukan itu di kamarnya! Demi Tuhan, aku tidak
bermaksud mencurinya!"
Pulung memungut benda itu, yang berkilat-
kilat memantulkan sinar matahari dalam
warna-warni gemerlapan. Kalung berlian itu!
Rantai emasnya besar dan kukuh, bandulnya
berbentuk kipas dengan tiga puluh butir berlian sebesar biji beras!
"Jadi karena benda ini kau jadi
Siti Nurbaya 5 Kisah 47 Ronin The 47 Ronin Story Karya John Allyn Pendekar Mata Keranjang 24
^