Pencarian

Siti Nurbaya 5

Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli Bagian 5


dan sedih hatinya, lalu menangku p ke jendela, menangis tersedu-sedu, karena terkenang akan nasibnya yang malang; sudah yatim
piatu, mendapat pula beberapa k esengsaraan yang amat sangat.
Sedang ia menangis sedemikian itu, tiba-tiba dirasainya
bahunya dipegang orang dari be lakang dan didengamya suara
yang lemah-lembut, demikian bunyinya, "Nur, belum juga
kautidur" Hari telah jauh malam; lonceng telah berbunyi dua
kali." Tetapi pertanyaan ini tiada dapat disahuti oleh Sitti Nurbaya,
yang sedang menangis, menyadari untungnya, di runiah saudara
sepupunya Sitti Alimah, di kampung Belantung.
"Pada sangkaku engkau telah ti dur, karena engkau lekas
masuk ke bilikmu tadi. Kala u aku tahu engkau masih bangun,
tetulah aku datang menema ni engkau di sini."
Perkataan ini pun belum dapat disahuti oleh Nurbaya karena
belum dapat ia mengeluarkan suar anya, sebab hatinya terlarnpau
arrlat sedih. "Tutuplah jendela ini, Nur, supaya engkau kelak jangan
mendapat penyakit! Rasailah angin yang masuk ini!" Lalu
Alimah memegang tangan Nurbaya perlahan-lahan, seraya
mengangkatnya dan memimpinnya ke tempat tidurnya.
Setelah didudukkannya Nurbaya, yang sebagai tiada sadar
akan dirinya, di tempat tidurnya, pergilah ia menutup jendela
tempat Nurbaya duduk menangis tadi. Tatkala itu terperanjatlah
ia amat sangat, karena tampak olehnya di bawah jendela itu,
seakan-akan ada orang yang memakai serba hitam, bersembunyi.
Hendak ia menjerit, takut kala u-kalau orang itu memaksa dia
membukakan jendela itu kembali. Jika demikian, apalah
dayanya, karena waktu itu laki-laki tak ada dalam rumah. Oleh
sebab itu dengan gopoh-gopoh dikuncinya jendela uni, lalu
pergilah ia mendapatkan Nurbaya,.yang sedang duduk ter-menung, melihat gambar Samsulbahri, yang ada dalam
medaliunnya. Kemudian duduklah ia di sisi Nurbaya, memegang
tangan kirinya, sedang tangannya yang lain mengusap-usap
rambut adiknya ini, sambil berkata perlahan-lahan, "Nur,
janganlah engkau turutkan benar hatimu yang sedih itu!
Sabarkanlah sedikit! Tiadakah engkau kasihan akan dirimu"
Lihatlah, badanmu telah kurus, mukamu telah pucat dan matamu
telah bengkak, karena menangis bersedih hati sehari-hari.
Apakah jadinya engkau kelak, jika selalu berawan hati, sebagai
ini"" Sungguhpun Alimah berkata-kata itu, tetapi pikirannya masih
juga kepada orang yang telah dilihatnya di bawah jendela tadi.
Siapakah orang ini dan apakah maksudnya di sana, tiada dapat
dipikirkannya. Maka diberani kannya hatinya, supaya jangan
nyata takutnya oleh Nurbaya.
"Lim, perkataanmu itu benar sekali," sahut Nurbaya yang
baru dapat berkata-kata, dengan sedih dan putus-putus suaranya.
"Aku banyak meminta terima kasih kepadamu, atas kesudian
hatimu, menolong aku yang tengah berdukacita ini. Di dalam
halku ini, hanya engkau seorangl ah yang masih setia kepadaku;
suka bersusah payah memimpin aku, supaya aku jangan sesat
kepada jalan yang salah. Engkaulah yang selaiu masih meng-hiburkan hatiku dan engkaulah ya ng masih sudi memberi nasihat
yang baik kepadaku. Oleh sebab itu, bagiku pada waktu ini,
engkaulah jua yang menjadi ganti Ibu bapaku."
Tatkala menyebut kedua perkataan yang akhir ini, berlinang-linanglah pula air matanya lalu meratap, "Aduhai Ibu-bapaku
yang kucintai! Sampai hati Ayah-bunda meninggalkan ananda
seorang diri, dengan nasib yang malang ini'. Apakah sebabnya
tiada dibawa bersama-sama supaya terlepas ananda daripada
azab yang tiada terderita ini."
"Nur, adikku yang manis!" kata Sitti Alimah, yang sangat
cinta dan sayang kepada Nurbaya. "Itu bukan tanda engkau
sayang kepada orang tuamu. Engkau tahu, mereka sedang
berjalan, menempuh jalan yang sulit, akan mendapatkan
Tuhannya. Bila engkau panggil dan engkau tangisi juga, tentulah
akan tertahan-tahan mereka di dalam perjalanannya.
Sudahlah, jangan dipanggil-panggil jupyang telah berpulang
itu! Senangkanlah hatimu dan doaka nlah kepada Tuhan, mudah-mudahaq selamat mereka di dalam kubur!"
Setelah sejurus, berkata pula Nurbaya, "Lim, kebaikanmu ini
tiada dapat kubalas, melainkan kupohonkanlah siang dan malam
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, moga-moga dilimpahkannya
rahmat dan rahim, berlipat ga nda kepadamu, supaya bolehlah
engkau mendapat selamat dan kesenangan dunia akhirat."
"Nur, jangan berkata begitu!" jawab Alimah, "atas pekerjaan-ku ini, tak perlu kau ininta terima kasih, sebab aku berbuat
demikian, bukan karena berharap barang sesuatu daripadamu
sebagai pembalasan, tetapi semata-mata sebab aku sangat kasih
dan sayang kepadam u. Maklumlah, aku ini sebagai engkau pula,
tiada bersaudara, melainkan hidup menunggal diri. Oleh sebab
itu pada perasaanku, engkaulah ad ikku dunia akhirat, tempat aku
bergantung, tempat aku melindungkan diri dan menyerahkan
nasibku, yang jauh daripada baik ini. Tambahan pula, seharus-nyalah aku membantu engkau dalam segala halmu. Jika tiada
aku, siapa lagi"" kata Sitti Alimah pula, sambil mengurut-urut
rambut dan tangan Nurbaya.
"Itulah sebabnya maka segala nasihatmu hendak kuturut,
kutaruhkan dalam hati, dan itulah pula sebabnya maka aku selalu
mencari daya upaya, supaya jangan sampai mengecilkan hatimu.
Akan tetapi, apa dayaku, Lim"
Walaupun kulipur hatiku, walaupun kucoba menghilangkan
kenang-kenangan yang menggoda pi kiranku tiadalah dapat juga:
makin dilupakan makin teringat, makin dijauhkan makin dekat,
makin dienyahkan makin datang. Putus pengharapanku, akan
dapat menyenangkan hatiku," sahut Nurbaya dengan berlinang-linang air matanya, sambil memeluk Alimah.
Oleh Alimah dipeluknya pula adiknya ini dan diciumnya
pipinya, seraya berkata dengan manis suaranya, "Walaupun
demikian, janganlah putus asa, melainkan perbanyaklah juga
sabar dan tawakkal kepada Seru Sekalian Alam, karena Tuhan
itu pengasih penyayang. Bukankah segala sesu,atu terjadi atas
kehendaknya" Masakan tiada dipertemukannya engkau dengan
kekasihmu dan tiada disampaikanny a hasrat yang kaucita-citakan
slang dan malam itu" Masakan selalu hujan dengan tiada
berganti-ganti panas'" Barangkali pada waktu ini, belurn
masanya engkau beroleh keinginan hatimu itu; oleh sebab itu
sabarlah dahulu!" "Memang, Lim; pada mulanya demikianlah pikiranku.
Dengan pengharapan itulah kulipurkan hatiku yang rawan ini.
Tetapi entah apa sebabnya, tiada kuketahui; pengharapan itu
makin lama makin kurang, sehingga akhirnya putuslah ia. Tiap-tiap aku berpikir, seperti kaukatakan tadi, sebagai ada pula suatu
suara yang timbul dalam hatiku, mengatakan, pengharapanku itu
akan sia-sia belaka, karena dalam dunia ini tiadalah akan
disampaikan Tuhan cita-citaku itu dan tiadalah pula akan
dikabulkan-Nya permintaanku itu , meskipun hasrat berurat
berakar dalun hatiku. Aduh, Lim! Jika kauketahui, betapa beratnya bagiku akan
meninggalkan dunia ini dengan pe nghaharapan yang sedemikian,
tentulah tiada heran engkau, melih at haiku sebagai ini. Bukannya
aku takut mati, bukannya aku sayang akan nyawaku, istimewa
pula sebab di sana ada ibu-bapaku menanti aku. Tetapi...
bagaimanakah halnya kekasiliku itu, sepeninggal aku kelak""
"Nur, pikiranmu itu salah. Mustahil...! Ah, tak dapat
kubenarkan! Masakan engkau..." pe rkataan ini tak dapat diterus-kan oleh Alimah, karena khawatir , kalau-kalau benar persangka-an Nurbaya ini. Teristimewa ka rena nyata kelihatan olehnya
putus asa yang terbayang di muka adiknya ini. Oleh sebab itu
dicobanyalah mengenyahkan was-was hatinya ini dengan
membujuk Nurbaya pula, "Jika engkau bersangka demikian,
tentulah karena engkau sakit, sehingga pikiranmu tiada tetap.
Sebaik-baiknyalah kau usahakan dirimu dengan sebesar-besar
usaha, supaya pikiranmu itu menjadi baik kembali. Jika tiada,
tentulah penyakitmu akan bertambah-tambah keras. Dan
ingatlah, bahwa badan dan nyawamu pada waktu ini bukan
milikmu sendiri saja lagi. karena dua orang yang lain, yaitu
Samsu dan aku, telah menjatuhkan cinta kasih sayangnya
kepadamu. Bila terjadi apa-apa atas dirimu, niscaya kami berdua
pun akan berdukacita dan bersedih hati pula. Oleh sebab itu, jika
benar engkau cinta kepada Samsu dan suyang kepadaku, jagalah
dirimu baik-baik, supaya jangan sampai mendapat sesuatu hal.
Bila kausia-siakan di rimu, tandanya eqgkau tiada cinta kepada
Samsu dan tiada sayang kepadaku."
"Aku tiada sayang kepadamu dan tiada cinta kepada Samsu""
tanya Nurbaya, sambil mengangkat kepalanya. "Hanya Allah
yang mengetahui hatiku kepadamu berdua. Tetapi sesungguhnya,
Lim, tiada dapat kuketahui, apakah sebabnya perasaan yang
memutuskan pengharapan ini, kian lama kian bersarang dalam
hatiku, mengalahkan harapan yang kauberikan.
Pada pikiranku, sebaik-baiknya kautunjukkanlah suatu jalan
kepadaku, supaya ak u dapat bertemu kembali dengan dia.
Apabila aku telah bertemu dengan di a, biarlah terjadi atas diriku,
apa maunya. Aku hendak melihat mukanya sekali lagi, hendak
mendengar suaranya sekali lagi. Aku hendak melihat sendiri
pada air mukanya, bagaimana hatinya kepadaku sekarang ini.
Aku hendak mendengar se ndiri dan mulutnya, betapa perasaan-nya kepadaku, sejak ia diusir ayahnya. Barangkali juga ia tiada
cinta lagi kepadaku atau ia marah kepadaku dan menyesal akan
perbuatannya." kata Nurbaya pula. sambil menutup mukanya,
hendak menahan air matanya yang keluar, lalu menangkup
kepada Alimah. Alimah dengan segera mengangkat kepala Nurbaya perlahan-lahan, lalu menyapu air matany a dengan sehelai setangan sutera,
sambil berkata, "Bagaimana pe rkataanmu, Nur" Dahulu engkau
sendiri mengatakan, ia sangat cinta kepadamu dan engkau
hampir setiap Jumat mendapat surat dari padanya, yang
menyatakan cinta hatinya dan kasih sayangnya kepadamu.
Betapa pula engkau boleh berpikir seperti ini""
"Ah Lim, surat itu dapat dika rang-karang. Yang tak bernar
pun, dapat dituliskan. Bunyi surat tiada selamanya bunyi
perkataan, yang timbul dari hati. Kalau benar ia masih cinta
kepadaku, masakan ditinggalkannya aku, dibiarkannya aku
dengan nasibku sedemikian ini" Ia berjalan tiada memberi tahu
kepadaku. Memang laki-laki mulu tnya manis, tetapi hatinya
jarang yang lurus," jawab Nurbaya.
"Nur, ingat akan dirimu! Jangan diturutkan godaan setan!
Engkau sakit, sakit keras. Itulah sebabnya pikiranmu tiada tetap.
Akan Samsu, walaupun engkau lebi h tahu hatinya daripada aku
tetapi aku bukan percaya saja, bahkan berani menanggung,
bahwa ia bukanlah seorang laki-laki yang mengubah janji atau
berhati lancung, melainkan seora ng yang lurus hati, setia, boleh
dipercayai, pengasih, penyayang dan sabar. Cintanya kepadamu
bukan bohong, karena sejak kecil ia kasih dan sayang kepadamu.
Mengapakah sampai berubah hatimu kepadanya"
Bukannya aku hendak memenangkan dia, sebab ia bukan
kaum keluargaku, sedang e ngkau saudaraku yang sangat ku-cintai. Sungguhpun demikian, persangkaanmu itu tak dapat
kubenarkan. Apakah salahnya, maka sampai bertukar pikiranmu
kepadanya, Nur" Alangkah sedih hatinya, bila diketahuinya
pikiranmu itu!" "Ya, Lim," sahut Nurbaya, sambil memegang dan mencium
tangan saudaranya, sedang air matanya mengalir kembali.
"Benar pikiranmu itu; memang a ku ini sakit dan pikiranku tiada
keruan. Memang tiada patut aku berpikir sedemikian, karena
belum ada kesalahan Samsu, yang nyata kepadaku. Ya, memang
pikiraiiku tiada betul. Maui dan ampun, Lim, akan kesalahan
adikmu yang celaka ini! Kepadamu pun aku banyak minta maaf dan ampun, Sam, atas
perkataan dan syak wasangkaku tadi," kata Nurbaya pula, sambil
memandang potret Samsulbahri, yang ada dalam medaliunnya
itu. Kemudian dicium dan ditaruhnya gambar itu ke atas
dadanya. "Aku dakwa engkau, atas perbuatan, yang tentu tiada
kaulakukan; aku hukum engkau, dengan tiada berdosa. Tetapi
janganlah engkau berkecil hati, karena sesungguhnya aku sakit;
tak tahu, apa yang kuperbuat. Bila penyakitku ini tiada diobat
dengan penawarnya, tentulah tiada akan sembuh. Oleh sebab itu
lekaslah beri obat yang mustajab, supaya aku dapat baik
kembali. Jika tiada lekas kautawari, tentulah aku tiada dapat
hidup lama lagi di atas dunia ini dan sia-sialah maksudmu,
hendak membela aku. Dan engkau, Lim, ibu-bapa ku yang kedua. Tunjukkanlah
olehmu suatu jalan, supaya bangat aku terlepas dari neraka dunia
ini!" "Nur," jawab Alimah, "jalan akan mengobati luka hatimu itu,
mudah benar. Bukankah masih banyak kapal di laut yang dapat
mempertemukan engkau dengan dia""
Setelah berpikir sejurus, berkata Nurbaya, "Sungguh benar
katamu itu; sebab ia tentu tiada akan datang lagi ke Padang ini
karena negeri ini mungkin telah dihitamkannya."
"Jika demikian, tentulah engkau yang harus pergi kepada-nya," jawab Alimah. "Takutkah engkau berlayar sendiri ke
Jakarta" Orang yang akan mengant arkan engkau ke sana, dapat
dicari. Pak Ali yang sangat cinta kepada Samsu, kabarnya telah
berhenti menjadi kusir bapanya, sebab ia bersedih hati, Engku
mudany a itu diusir oleh bapanya. Tentulah ia mau membawa
engkau ke Jakarta." "Bukan aku takut," kata Nurbaya, "walau ke laut api sekali-pun aku berani, asal dapat bertem u dengan dia. Memang hal ini
sudah juga kupikirkan, karena hanya dengan jalan inilah aku
dapat memperoleh maksudku. Tetapi kupikir pula, bila aku telah
sampai ke sana, apa yang hendak kuperbuat" Karena engkau
maklum, ia masih murid, belum bergaji. Walaupun ia suka
menerima aku, dengan apakah kami akan hidup, sebab kami
baik, di negeri besar!"
"Tetapi pada pikiranku, kala u benar ia cinta kepadamu,
tentulah ada juga suatu akal padanya, untuk dapat hidup berdua
dengan engkau. Masakan seorang laki-laki, yang cukup ke-pandaiannya sebagai Samsu, tiada dapat mencari muslihat yang
baik, di negeri besar!"
"Memang ia dahulu sudah be rkirim surat kepadaku,
menyuruh aku pergi ke Jakarta, sebab ia kasihan akan daku dan
khawatir, aku membunuh diri.
Maksudnya hendak meninggalkan sekolahnya dan akan
mencari pekerjaan, supaya kami dapat hidup berdua. Tetapi
adakah baik, bila kuturutkan pikirannya ini" Kuasakah aku
menarik ia dari pelajaran yang boleh mendatangkan pangkat dan
gaji yang besar kepadanya kelak"
Ah, jika aku kaya, tiadalah kupikirkan lagi; tentu segera
kubenarkan pikirannya ini dan tiada lah kuberi ia bekerja, supaya
mendapat kesenangan, terlebih da ripada raja. Tetapi apa hendak
dikata..."" lalu Nurbaya mengha puskan air matanya yang ber-linang-linang.
"Biarpun engkau tiada kaya, asal aku mampu, tentulah segala
maksudmu kusampaikan. Akan tetapi, sebab kita bukannya
hartawan yang mempunyai gedung di darat, kapal di laut, pada
pikiranku tiada ada jalan lain, daripada membenarkan pikiran itu.
Jika untungmu berdua kelak baik, tentulah akan kauperoleh juga
kesenangan dan kekayaan itu."
Setelah berpikir sejurus, berkatalah Nurbaya, sambil
mengeluh, "Ya, memang, tak ada jalan lain. Baiklah kuturut
pikiranmu dan pikirannya itu. Teta pi dari mana dicari belanja""


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kaugadaikan barang-barangmu yang tiada perlu kaupakai
dan kaujual barang-barangku setengahnya," sahut Alimah.
"Memang engkau lebih daripada saudara kandungku," kata
Nurbaya pula, sambil mencium Alimah pada pipinya.
"Jadi, benar telah tetap ma ksudmu hendak berangkat"" tanya
Alimah. "Dan bila engkau hendak berangkat""
"Hari Saptu yang akan datang. Tetapi rahasia ini janganlah
kaubuka dahulu, Lim, sebelum aku selamat sampai ke tanah
Jawa, supaya jangan mendapat alangan apa-apa. Bila orang
tuamu tahu maksudku itu, niscaya tiadalah akan diizinkannya
aku pergi sendiri." "Teritu tidak, kecuali kalau Pak Ali, yang membawamu,"
jawab Alimah. "Sekarang s udah senangkah pikiranmu""
"Sudah." jawab Nurbaya.
"Maukah engkau berjanji, tid ak akan termenung-menung,
berawan hati lagi atau menangis tersedu-sedu"" tanya Alullah
pula. Pertanyaan itu tiada dijawab oleh Nurbaya melainkan dipeluk
dan diciumnya pula Alimah, sambil berkata, "Memang engkau
seorang bidadari, yang selalu menolong aku dalam segala
kesusahanku." "Nah, sekarang tidurlah dengan senang, sebab hari telah
pukul setengah empat pagi! Biarlah aku tidur di sini menemani
engkau. Jika tidak, kelak engkau menangis pula, sebab waktu
yang beberapa hari itu, terlal u lama bagimu," kata Alimah
dengan bergurau kepada adiknya ini, lalu merebahkan dirinya ke
kasur, serta membawa Nurbaya tidur. "Sekarang peluklah aku
dan misalkan aku Samsu serta mimpikanlah ia!"
Nurbaya tiada menyahut cumbuan saudaranya ini melainkan
dengan tersenyum dan mata yang masih basah, diciumnya pula
Alimah, lalu berbaring. Tiada berapa lama sesudah itu, tertidurlah Nurbaya dalam
pelukan Alimah. Maka dipandanglah muka Nurbaya oleh
Alimah beberapa saat lamanya dan nyata kepadanya, bahwa di
muka adiknya itu, masih terbayang kedukaan, tetapi yang
disertai pengharapan. Tatkala ia hendak menutupkan matanya, terdengarlah
olehnya bunyi langkah orang, keluar dari bawah rumahnya.
Maka berdebarlah hatinya, karena teringat pula akan bayang-bayang yang dilihatnya, ketika akan menutup jendela bilik itu
tadi. Tetapi seketika lagi sunyi senyaplah di sana. Sungguhpun
demikian, diniharilah baru Alim ah terti
dur, karena takut dan heran memikirkan orang yang dilihatnya tadi.
XI. NURBAYA LARI KE JAKARTA
Walaupun hari hampir pukul tuj uh pagi, tetapi di pelabuhan
Teluk Bayur, belum terang benar. Di tempat-tempat yang ter-sembunyi, di bawah-bawah pohon kayu, masih gelap. Beberapa
pekerja yang berjalan kaki menuju ke pelabuhan untuk mencari
nafkahnya, kelihatan masih berselubung kain sarung, supaya
jangan ditimpa angin pagi yang sejuk. Dari jauh, dari sebelah
timur, kedengaran bunyi lotong dan ungka, sebagai orang yang
bertempik sorak, bersuka raya , menyambut kedatangan cahaya
matahari, yang mulai menerangi hutan, tempat kediamannya.
Sesungguhnya, di sebelah timur kelihatan beberapa sinar
yang merah, memancar dari balik gunung, yang memagar
pelabuhan Teluk Bayur, sebagai hendak menembus awan yang
tebal. Di laut, kelihatan embun, seperti asap, tergantung di atas
air, berarak perlahan-lahan arah ke barat. Dari dalam kabut ini,
timbullah beberapa perahu kail, ya ng datang dari laut, berlayar
perlahan-lahan menuju ke darat, membawa ikan yang dapat
dikailnya pada malam hari. Angin teduh, laut pun tenang. Di
sebelah barat masih kelihatan bulan sebelah, tinggi di atas langit,
sedang cahayanya, kian lama kian pudar, sebagai perak belum
disepuh. Sungguhpun hari masih pagi, teta pi di Teluk Bayur ramailah
sudah oleh orang yang hendak berlayar, meninggalkan kota
Padang atau mengantarkan mere ka, yang hendak merantau ke
negeri lain; karena pada hari itulah ada sebuah kapal yang
hendak bertolak ke tanah Jawa, pukul delapan pagi. Pekerja-pekerja, ribut memuat dan membongkar barang-barang; anak
kapal ribut bersiap dan bekerja, sedang penumpang, berlari-lari
turun-naik, sebagai takut ketinggalan.
Pada sebuah kedai, yang ada di Teluk Bayur, kelihatan
seorang laki-laki tua, sebentar-sebentar menjenguk ke luar lalu
mengintip ke sana-sini, sebagai takut memperlihatkan dirinya.
Setelah masuklah ia kembali ke dalam kedai itu, lalu berkata
kepada seorang perempuan muda, yang berdiri di balik lemari,
"Rupa-rupanya tak ada orang yang tahu akan perjalanan kita ini,
karena sekarang, belum ada ke lihatan seorang pun yang hamba
kenal." "Untunglah," jawab perempuan muda itu, "tetapi baik juga
dilihat di luar. Siapa tahu, bara ngkali perjalanan kita ini diintip
orang juga." Laki-laki tua tadi, pergilah ke luar kedai, lalu berjalan ke
sana kemari, pura-pura melihat ini dan itu, tetapi matanya
mengintip ke segenap tempat dan memperhatikan sekalian orang
yang dilihatnya. Setelah berbunyilah seruling kapal yang pertama, keluarlah
kedua mereka dari kedai itu, berj alan lekas-lekas menuju kapal,
lalu naik ke atas geladak, mencari tempat yang tersembunyi dan
berdiam diri di sana. Dengan tiada diketahui mereka, adalah dua
orang laki-laki, yang mengintip segala kelakuan mereka dari
balik sebuah gudang. Setelah nyatalah oleh kedua laki-laki ini, bahwa yang lari
naik ke kapal itu, ialah kurbannya, berkatalah seorang daripada
mereka kepada temannya, "Sekarang baiklah engkau pulang,
Pendekar Tiga! Kabarkanlah penglihatanmu ini kepada Engku
Datuk Meringgih, dan katakanlah kepada beliau, aku akan
mengikut mereka dengan kapal ini ke Jakarta, untuk menjalan-kan perintahnya dan akan menuntut beberapa ilmu, yang berguna
untuk sasaran kita di sini. Lagi pula, aku di sana, akao mencari
beberapa kenalan dan murid-murid, yang suka masuk per-kumpulan kita."
"Baiklah, Kak Pendekar Lima," jawab Pendekar Tiga, "tetapi
adakah Kakak berbelanja""
"Ada, untuk sementara," kata Pendekar Lima pula. "Jika
kurang, nanti akan kuminta dari Jakarta."
Kernudian daripada itu, bercerailah kedua mereka ini.
Pendekar Tiga pulang kembali ke kota Padang dan Pendekar
Lima berjalan perlahan-lahan ke pangkalan.
Setelah berbunyilah seruling yang kedua dan jambatan
hampir akan diangkat, barulah ia melompat naik kapal, lalu ber-sembunyi di bawah geladak. Tiad a beberapa lamanya kemudian
daripada itu, diangkatlah sauh dan berlayarlah kapal ini,
meninggalkan Teluk Bayur.
Setelah keluarlah kapal ini dari pelabuhan Teluk Bayur,
barulah perempuan yang melarikan di ri tadi, berani keluar dari
tempat ia bersembunyi; lalu melihat ke sana kemari, mencari
tempat yang baik. Akhirnya dapatlah olehnya suatu tempat,
dekat kamar kapitan. Laki-laki yang bersama dengan dia, lalu
membentangkan tikarnya dan membuka sebuah kursi malas kain,
yang dibawanya untuk perempuan itu.
"Sekarang barulah senang hatiku sedikit, Pak Ali," kata
perempuan ini, setelah duduk di atas tikar itu. "Tetapi sungguh-pun demikian, was-wasku belum hilang; sebagai aku ini masih
diikuti oleh bala. Oleh sebab itu, baiklah Pak Ali coba juga nanti
berjalan ke mana-mana pura-pura mencari apa-apa dan dilihatlah
benar-benar, tiadakah diketahui or ang perjalanan kita ini dan
tiadakah diikuti orang kita."
"Baiklah, orang kaya Nurbaya. Nanti hamba pergi periksa,
walaupun pada sangka hamba, tak ada orang yang tahu per-jalanan kita ini dan tak ada orang pula orang yang mengikuti
kita," jawab Ali. Setelah duduk sejurus, berkatalah Nurbaya, "Pak Ali, sudah-kah dikirim surat kawat untuk Sa msu, supaya disambutnya kita
di Tanjung Periuk""
"Sudah, Orang Kaya, kemarin. Tetapi walaupun tak ada ia di
Tanjung Periuk, tak mengapa, karena hamba telah biasa ke
Jakarta dahulu, tatkala menjadi opas, membawa pesakitan," sahut
Ali. "Betul, tetapi baik juga diketahuinya kedatangan kita ini,
supaya disediakannya tempat untuk kita," kata Nurbaya pula.
"Benar," jawab Ali. "Tetapi tiadakah Orang Kaya berasa
lapar" Barang kali belum makan apa-apa tadi!"
"Sesungguhnya perutku mulai berbunyi-bunyi, minta nasi,"
kata Nurbaya dengan tersenyum. Hatinya makin lama makin
riang, karena dapat meningga lkan kota Padang dengan tiada
diketahui orang dan karena mengingat pertemuan dengan
kekasihnya Samsulbahri. "Tunggulah sebentar, hamba minta telur dan kopi," kata kusir
Ali, lalu pergi. Tiada berapa lama kemudian, kembali pula ia
dengan membawa beberapa butir telur dan dua mangkuk kopi.
Sementara itu, Nurbaya telah mengeluarkan beberapa ketupat
dan makan-makanan yang lain dari dalam rantangnya, lalu
makanlah kedua mereka itu.
Kira-kira sejam setelah itu, datanglah seorang mualim kapal,
meminta surat pelayaran. Tatkala sampai ia ke dekat Nurbaya
dan terlihat olehnya kecantikan perempuan ini, berbisik-bisiklah
ia dengan keraninya, dalam bahasa Belanda, "Bagaimana
pikiranmu tentang perempuan ini, Ludi""
"Ini sesungguhnya bunga ros dari Padang," jawab Ludi.
"Sanggup engkau membujuknya" Selusin bir upahnya," kata
mualim itu pula. "Coba-coba; tetapi rupanya ia orang baik-baik; tentu susah
didekati. Tambahan pula, ada yang menjaganya," jawab Ludi.
"Jika tak cukup selusin, nanti aku tambah setengah lusin
lagi," kata mualim itupula, seraya mengerling kepada Nurbaya,
"Pipinya yang cekung bila ia berkata-kata dan tahi lalat yang ada
pada pipinya, menambahkan asyik hati."
"Nantilah kucoba," jawab Ludi.
Segala percakapan ini didengar dan dimaklumi oleh Nurbaya
dan sangatlah benci hatinya melihat kedua mereka. Tetapi
ditahannya marahnya, supaya ia jangan dianiaya pula oleh
mereka. Setelah sampai Ludi dan Mualim itu kepada Nurbaya, lalu
bertanya kerani ini, "Hendak ke mana ini""
"Ke Jakarta," jawab Nurbaya dengan pendek.
"Ada teket"" tanya Ludi pula.
"Ini," jawab Nurbaya, seraya memberikan surat kapalnya.
Setelah dikoyak Ludi surat ini, lalu ia berkata, sambil
memulangkan cabikan teket itu, "Mengapa tinggal di sini" Di
bawah, ada tempat yang lebih baik. Kalau suka, nanti kupilih-kan."
"Terima kasih! Biarlah kami di sini, karena di sini dekat
kapitan kalau ada apa-apa, boleh lekas menghadap dia."
Mendengar jawaban ini terpikirlah Ludi sejurus; tetapi lekas
ia berkata pula, "Bila kelak ada hujan atau gelombang, tentulah
basah di sini." "Tak mengapa, kami bukan garam, hancur kena air. Jika
benar ada gelombang besar kelak, kami carilah tempat yang baik
pada pikiran kami," jawab Nurb aya, sambil melihat ke tempat
lain. Setelah melihat Nurbaya menoleh itu, pergilah kedua
pegawai kapal ini, memeriksa surat-surat penumpang yang lain.
"Apa kataku" kata Ludi. "Me mang dari jauh telah nyata
padaku, perempuan yang sedem ikian sebagai burung merpati:
rupanya jinak, tetapi susah ditangkap."
"Tak peduli, Ludi; jika
tak dapat dengan baik, dengan keras.
Carilah akal! Hilang semangatku melihat matanya dan
pandangannya yang tenang itu. Ji ka dapat olehmu nanti kucari
akal supaya gajimu ditambah." sahut mualim itu.
"Baiklah, nanti kucoba juga; tetapi kalau tak dapat, jangan
marah," jawab Ludi. Sepeninggal kedua pegawai ini pergi, dikatakanlah oleh
Nurbaya kepada kusir Ali segala percakapan mereka.
"Jangan takut " kata kusir A li, "nanti hamba berjaga benar-benar. Jika berani juga ia mengganggu kita adukan saja kepada
kapitan kapal." Tatkala itu angin teduh, laut pun tenang. Muka air, adalah
sebagai kaca besar yang berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari.
Dari ujung langit selatan sampai ke ujung langit utara, tiadalah
lain yang kelihatan, melainkan da taran yang amat luas, yang biru
warnanya. Hanyalah pada buritan kapal, air sebagai mendidih
dikacau roda kapal yang berpusing. Kapal pun berlayar seolah-olah meluncur di atas dataran yang rata, sebagai ditarik tali ajaib,
meninggalkan jejaknya yang berbaris-baris putih dan makin
lama makin besar memecah. Di sebelah utara dan di sebelah
barat, kelihatan beberapa pulau kecil yang berjejer jejer letaknya.
Cuaca terang, langit pun jernih pada segenap tempat. Tiada
berapa jauhnya dari kapal, kelih atan ikan berlompat-lompatan,
sebagai bermain-main berkejar-kejaran. Ada yang melompat
sebagai bermain-main jauhnya ka rena terkejut dilanggar kapal.
Dari jauh kelihatan ikan lumba-lumba, berenang beriring-iringan, sebentar timbul, sebenta r hilang. Burung camar yang
putih warna bulunya, beterbangan kian kemari. Ada yang
mengintai ikan-ikan yang lengah, mengapungkan dirinya ke
muka air laut; ada yang tiada bergerak dari tempatnya sebagai
tergantung di udara, tetapi tiba-tib a menunjam ke bawah, sampai
ke atas air dengan deras terbangnya, seolah-olah anak panah
yang dilepaskan dari busumya . Tatkala terbang pula ia mem-bumbung, digonggongnyalah seekor ikan dalam paruhnya. Ada
pula yang melayang menyambar makanannya dengan jarinya.
Tiada berapa lamanya berlayar itu, luputlah daratan di
sebelah timur dari mata, hilang di balik ujung langit yang hampir
tiada berwatas dengan lautan.
Ke mana mata memandang, tiada lain yang kelihatan lagi
melainkan air semata-mata, disungkup oleh langit yang
melengkung. Ketika itu terasa benar oleh Nurbaya kecil dirinya,
karena sedangkan kapal yang besar itu, seolah-olah sebutir pasir
di padang sahara rupanya. Kebesaran dan kekuasaan Allah yang
menjadikan semesta alam ini, makin bertambah-tambah terasa
olehnya dan kecutlah rasa hatinya bila diingatnya halnya, tak
dapat lari ke mana-mana, lain daripada di atas kapal itu, jika
terjadi apa-apa di laut ini; karena lepas dari tempat yang kecil
ini, mautlah yang menunggunya. Nyata benar olehnya, bahwa
tempat nyawanya bergantung, tiada seberapa besamya. Di kapal
itulah saja kehidupan, tetapi di lu ar itu, kematian. "Adakah akan
sampai kembali aku ke darat"" pikimya dalam hatinya. "Di darat
itulah yang tiada berbahaya."
Rupanya ia lupa bahwa orang itu lebih banyak mati di
daratan daripada di lautan.
Setelah malamlah hari, terang benderanglah di kapal itu
disinari cahaya lampu listrik. Angin bertiup dari selatan,
menyegarkan segala kelasi kapal, yang telah bekerja berbelah
payah sehari itu. Setelah selesai ma kan, naiklah beberapa kerani
dan pegawai kapal, dari kelas dua, ke atas geladak; masing-masing membawa permainan musiknya. Ada yang menggesek
biola, ada yang memetik gitar. mendolin, keroncong dan ada
pula yang meniup seruling, sedang yang baik suaranya,
menyanyikan lagu keroncong dan setambul, serta berpantun
berbalas-balasan, sebagai di bawah ini:
"Dari mana hendak ke mana,


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Jepun ke bandar Cina.
Jangan marah saya bertanya,
bunga yang kembang siapa punya""
"Siapa yang punya," berteriak Ludi, menyahuti temannya
yang bernyanyi itu. Orang yang kedua menyela pantun itu,
"Buah cempedak buah nangka, ap a obatnya hati yang luka""
Kemudian berpantun pula seorang lagi:
"Bajang-bajang tertali sutera,
tulang dibakar baunya sangit.
Dilihat gampang dipegang susah,
sebagai bulan di atas langit."
"Itukah dia!" teriak Lud
i pul a. Rupanya ia hanya pandai
bersorak-sorak saja. "Tarik, Yakub! Jangan malu-malu!" Pantun
itu dibalas oleh seorang lagi:
"Dari mana datangnya lintah,
dari sawah turun ke kali Dari mana datangnya cinta,
dari mata jatuh ke hati."
Pantun ini disela demikian, "Oleleh Kota Raja; jika boleh
dibawa saja." "Ei... ei jangan!" kata Ludi pula, "Jangan merampas orang
punya!" Kemudian berpantun pula orang yang pertama:
"Laju-laju perahu laju,
kapal berlayar ke Surabaya.
Biar lupa kain dan baju, jangan lupa kepada saya. "Siapa itu"" kedengaran seorang bertanya.
"Adik saya," jawab Ludi.
Sesungguhnya lagu keroncong dan Setambul ini, bila
dimainkan dengan bunyi-bunyi yang sedemikian, dalam terang
bulan, di tempat yang sunyi, sebagai di atas kapal waktu itu,
sangatlah merdu bunyinya, memberi asyik segala yang men-dengarnya. Itulah lagu yang selalu menarik hati anak muda-muda yang suka bermain musik dan tiada jemu mereka
menyanyikannya. Akan tetapi, sebab yang memainkan lagu ini
acap kali orang yang kurang baik, di tempat yang sunyi-sunyi,
pada jauh malam, terkada ng-kadang dengan maksud yang
kurang baik, menjadilah permainan ini, kurang disukai orang
baik-baik. Oleh sebab itulah sangatlah benci Nurbaya mendengar
bunyi-bunyian dan pantun mere ka, lalu ia berbuat pura-pura
tidur, seraya menutup muka dan telinganya, supaya jangan ter-dengar olehnya sekalian nyanyian itu.
Tatkala jauhlah sudah malam dan sunyilah di atas kapal,
datanglah Ludi berjalan perlahan-lahan, pura-pura hendak
memeriksa apa-apa. Setelah sampai ia ke tempat Nurbaya, lalu
dibangunkannya perempuan ini, sambil berkata, "Marilah ikut
aku, nanti kuberi tempat yang baik dan jika suka engkau menurut
kemauanku, kelak kuberi uang berapa sukamu."
Nurbaya lalu berdiri dan menolakkan Ludi, sambil berkata
dalam bahasa Belanda, "Jik a berani engkau mengganggu aku
sekali lagi, kuadukanlah kela kuanmu yang tiada senonoh ini
kepada kapitan kapal. Akan menyusahkan penumpanglah kerja-mu di sini" Atau kausangka aku ini seorang perempuan jahat"
Buka matamu, lihat terang-terang; jangan samakan saja orang
baik-baik dengan orang jahat! Nyah engkau dari,sini!"
Kusir Ali sementara itu telah berdiri, melindungi Nurbaya;
tetapi Ludi rupanya tiada barani berbuat apa-apa lagi, lebih-lebih
karena mendengar Nurbaya berkata-kata dalam bahasa Belanda,
lalu pergi dari situ. Walaupun sejak waktu itu Ludi tak kembali lagi, tetapi
semalam-malaman itu tiadalah berani mereka memicingkan
matanya, barang sekejap pun, takut kalau-kalau diganggu pula
oleh kerani itu. Malam itu juga masuklah kapal ini ke pelabuhan Bengkulu,
akan tetapi tiadalah dapat memunggah atau memuat barang-barang, sebab gelombang amat besar jadi ditunggulah sampai
keesokan harinya. Walaupun kapal ini berlabuh, tetapi Nurbaya
berasa badannya kurang enak, karena kapal itu sangat oleng
dipermainkan gelombang Ketaun. Ol eh sebab tiada dapat berdiri,
tidurlah saja ia di atas bangkunya, sampai kapal itu berlayar pula,
meneruskan pelayarannya ke Jakarta. Tatkala itu, barulah
Nurbaya berasa senang sedikit, dapat berdiri dan berjalan jalan.
Hari baik pula dan pelayaran pun adalah selamat.
Akan tetapi pada malamnya, kira-kira pukul sepuluh, cuaca
yang terang itu, sekonyong-konyong bertukar menjadi gelap
gulita. Bintang-bintang yang gemerlapan cahayanya, tiada
kelihatan lagi, sebab ditutup awan yang tebal, yang mengandung
hujan. Angin teduh, lautan te nang, dan walaupun waktu itu
malam hari, tetapi udara rasanya panas.
Tiba-tiba kelihatan kilat di langit sebelah selatan, disertai
bunyi halilintar yang amat kerasnya. Tiada berapa lama
kemudian daripada itu, turunlah hujan yang amat lebat, sebagai
dicurahkan dari langit, disertai angin topan yang berembus dari
segenap pihak, berganti-ganti. Gelombang yang besar pun
datanglah, menggulung setinggi gunung; kadang-kadang ber-tumbuk sama sendirinya, memeca h di tengah lautan. Kapal yang
besar itu terbanting ke sana kemari dipermainkan gelombang
sebagai sekerat kayu yang tiada berharga.
Maka olenglah kapal itu ke kiri ke kanan, serta mengangguk
ke muka ke belakang. Air taut menyimbah dari
segala pihak masuk ke geladak, terkadang-kadang menghanyutkan peti-peti
atau barang-barang yang ringan, menyusahkan sangat kepada
segala penumpang; yang telah basah kuyup kena air dari atas dan
dari bawah: Oleh sebab itu, sangatlah ribut mereka, masing-masing mencari tempat akan melindungkan diri serta barang-
barangnya. Bertambah-tambah kesukaran mereka, karena kapal
sangat oleng, sehingga banyaklah penumpang yang mabuk taut.
Dalam hal yang sedemikian, tiba-tiba kelihatan seorang laki-laki, yang berpakaian serba hitam, datang dengan cepat men-dekati Nurbaya, yang sedang duduk di kursinya, tak dapat ber-diri, karena pusing. Dengan segera orang itu memegang badan
Nurbaya, lalu mengaggkat dan membawanya ke sisi kapal,
hendak melemparkannya ke dalam taut. Tatkala dilihat oleh
Nurbaya orang itu yaitu Pendekar Lima, yang dikenalnya,
hendak menikam Samsulbahri dahul u, berteriaklah ia minta
tolong serta berkuat, hendak mele paskan dirinya dari tangan pen-jahat ini.
Kusir Ali, terperanjat, lalu berdiri mengejar Pendekar Lima
hendak menolong Nurbaya, sehingga berkelahilah mereka itu
bergumul, hendak empas mengemp askan. Oleh karena itu
terlepaslah Nurbaya dari tangan penjahat ini. Tetapi malang,
tatkala Pak Ali hendak mendekati Pendekar Lima pula, kenalah
ia disepak penjahat itu, lalu ja tuh tergelimpang. Orang gempar,
dan karena takut, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya,
lalu hilang pada suatu tempat yang gelap, di buritan kapal.
Tatkala datang kapitan kapal ke tempat perkelahian itu,
diceritakanlah oleh kusir Ali segala hal yang telah terjadi.
Kapitan yang berhati santun dan iba kasihan, segera memberi
perintah kepada anak buahnya, menyuruh bawa Nurbaya ke
kamar sakit, karena pada ketik a itu ia, entah sebab sangat ter-kejut, entah sebab diempaskan oleh Pendekar Lima, jatuh
pingsan, terhantar di sisi kapal, tiada khabarkan dirinya lagi. Dan
pada ketika itu juga disuruhnya pula cari si penjahat itu di
segenap kapal. tetapi tiada ketemu.
Keesokan harinya, kelihatan seorang anak muda, berjalan
pulang balik di pelabuhan Tanjung Periuk; rupanya ada yang
dinantinya di sana. Setelah berlabuhlah kapal yang ditumpangi
Nurbaya. naiklah anak muda itu ke kapal itu, sdinbil melihat ke
sana kemari, tetapi rupanya tiada tampak yang dicarinya. Oleh
sebab itu bertanyalah ia kepa da beberapa penumpang, kalau-kalau ada seorang perempuan muda bernama Nurbaya,
menumpang bersama-sama. Setelah didengarnya dari mereka,
sekalian yang terjadi di atas diri Nurbaya, segeralah ia masuk ke
kamar sakit itu dan sesungguhnya di sana dilihatnya Nurbaya
terbaring di atas sebuah tempat tidur. Maka tiadalah tertahan
hatinya lagi, lalu ia berlari mendapatkan Nurbaya dan dipeluk
serta diciumnya perempuan ini, sambil menangis, "Aduh
Nurbaya, adikku yang tercinta! Rupanya hampir tiada dapat kita
bertemu lagi." Mendengar perkataan ini, terbangunlah Nurbaya. dan tatkala
dilihatnya yang memeluknya itu Samsulbahri, menangislah pula
ia tersedu-sedu, seraya memeluk kekasihnya ini.
"Sungguh celaka benar, untungku ini," katanya. "tiada putus-putusnya dirundung mara bahaya. Bilakah habisnya azab
sengsaraku" Jika tiada Pak Ali yang menolong aku, tentulah aku
sekarang telah berkubur di dalam laut."
"Sudahlah adikku, jangan menangis lagi! Barangkali
sekarang inilah datang wakt unya, kita akan mendapat
kesenangan, karena telah jauh da ripada segala setan dan iblis.
Sabarlah, nanti aku ikhtiarkan, supaya kita beroleh kesenangan
itu. Dapatkah engkau berjalan, supa ya boleh kita turun dari kapal
"Dapat," jawab Nurbaya, "hanya aku masih letih dan pening
sedikit." "Tak mengapa," jawab kusir Ali, yang mengikut Samsu,
masuk kamar sakit, tetapi belum tampak oleh anak muda ini,
"nanti hamba dukung!"
Mendengar perkataan ini, menolehlah Samsu ke belakang
lalu segera menjabat tangan kusir Ali, minta terima kasih atas
pertolongan dan setianya.
Tengah mereka berkata, mas uklah kapitan kapal dengan
seorang schout polisi, ke kamar sakit itu, lalu berkata. "lniluh
dia!" Melihat hal Nurbaya sedemikian, terdiamlah schout ini
sejurus, kemudian diajaknya Samsu ke luar. Setelah s
ampai ke luar kamar itu, berkatalah schout ini, "Engkau ini siapa""
"Hamba seorang murid Sekolah Dokter Jawa, nama hamba
Samsulbahri," sahut Samsu.
"Perempuan ini apamu," tanya polisi ini pula.
"Walaupun bukan saudara hamba sejati, tetapi lebih baik
daripada adik kandung hamba, " jawab Samsu pula.
"Siapa namanya"''
"Sitti Nurbaya."
"Dan orang yang bersama-sama dia""
"Ali, kusir ayah hamba, yang berpangkat Penghulu di
Padang." "Datang dari Padangkah kedua mereka itu""
"Memang: yang perempuan itu, anak seorang saudagar di
sana." "Jika demikian, benarlah dia ini," kata schout itu pula.
"Apakah sebabnya maka Tuan bertanya demikian"" tanya
Samsu. "Bacalah telegram ini," jawab schout itu, sambil mengunjuk-kan sehelai surat kawat.
Setelah Samsu membaca kabar kawat ini, pucatlah mukanya
dan gemetarlah bibirnya. Tangann ya dikepalkannya dan giginya
digertakkannya; lalu berkata, "Bilakah puas hati jahanam itu
menggoda Nurbaya ini""
Kemudian berkata pula ia kepada schout itu. "Pengaduan ini
takkan tiada bohong belaka; ma ksudnya semata-mata hendak
menganiaya perempuan ini. Sebagai nyata pada akhirnya yang
hendak dilakukan orang atas dirinya malam tadi. Datuk
Meringgih ini ialah suaminya, seorang yang sangat kejam. Itulah
sebabnya Nurbaya sampai lari kemari. Ia hendak dibuangkan ke
laut, tentulah pekerjaan jahanam itu juga, karena penjahat yang
membuangkan Nurbaya, ialah orangnya." Kemudian dicetitakan-lah oleh Samsu hal-ihwal Nurb aya dengan pendek, dari awal
sampai kepada akhirnya. "Aku percaya akan perkataanmu," kata schout, "tetapi aku
tiada dapat berbuat apa-apa, lain daripada menurut perintah yang
kuterima ini." "Tentu," jawab Samsu.
Setelah termenung sejurus, berkata pula ia, "Sekarang apakah
maksud Tuan." "Hendak kuperiksa segala barangn ya," jawab pegawai polisi.
"Baiklah, nanti hamba ambil bawa-bawaannya," lalu masuk-lah Samsu ke kamar Nurbaya dan sebentar lagi keluar pula ia,
membawa barang-barang adiknya ini. Setelah diperiksa, oleh
Schout nyatalah tiada kedapatan apa-apa, lain daripada uang
kira-kira lima puluh rupiah dan pakaian perempuan. Kemudian
diperiksanya pula peti kusir Ali. Itu pun tiada juga kedapatan
apa-apa, lain daripada beberapa helai pakaian.
"Uang ini siapa punya"" tanya Schout,
"Uang Nurbaya," jawab Ali.
"Kamu tahu, dari mana diperolehnya uang ini""
"Tahu, yaitu uang gadaian ge langnya, yang harganya kira-kira dua ratus rupiah. Hamba sendiri Yang menggadaikannya,
delapan puluh rupiah tatkala kami akan berangkat kemari. Ini
suratnya. Yang tiga puluh rupiah kami pakai untuk biaya kapal,
tinggal lagi lima puluh rupiah itu.
"Tahu benarkah. engkau, bahwa gelang itu kepunyaannya
sendiri dan bukan harta suaminya""
"Tahu: gelang itu pusaka dari emaknya yang telah meninggal
dunia; diberikan kepadanya seb elum ia kawin dengan Datuk
Meringgih." "Memang," menyela Samsu, "hamba pun tahu hal itu."
"Baiklah," kata Schout pula, sambil menuliskan segala
perkataan mereka. "Tetapi aku harus juga memeriksa perempuan
ini." "Tiada ada alangannya; hanya hamba minta, supaya perkara
ini jangan dikabarkan dahulu ke padanya, sebab ia masih sakit;
kalau-kalau bertambah penyaki tnya, mendengar kabar yang tak
baik ini. Dan sesudah itu, tentul ah ia harus dibawa ke rumah
sakit, berobat di sana dahulu," kata Samsu pula.
"Memang," kata dokter kapal, yang ada juga di sana." la
masih sakit belum boleh dibawa pulang."
"Apabila tuan suka memberi suatu surat keterangan tentang
halnya, tentulah dapat ditunggu sembuhnya dahulu," jawab
Schout. "Nanti aku beri surat itu," kata dokter kapal, lalu pergi.
Samsu dan schout masuk ke dalam kamar Nurbaya, lalu
Samsu berkata kepadanya, "Ini tuan schout hendak memeriksa
badanmu, kalau-kalau ada bekas kecelakaan tadi malam; karena
penganiayaan itu akan diperkarakan."
Samsu pura-pura berkata demikian, supaya jangan diketahui
Nurbaya, maksud kedatangan pe gawai polisi ini. Setelah
diperiksa, berkata pula schout, "Marilah, berangkat sekarang!
Nanti kutunjukkan rumah sakit tempat berobat.'
"Baiklah," jawab Samsu.
Setelah siap, berangkatlah mereka sekalian. Nurbaya berjalan
perlahan-lahan, dip impin oleh Samsu, menuju setasiun. Di sana
naiklah mereka ke kereta api yang menuju ke kota Jakarta.
Dalam kereta api, berkata Samsu kepada Nurbaya, "Engkau di
Jakarta berobat dahulu ke rumah sak it supaya baik benar. Bila
telah sembuh nanti, boleh kita musyawaratkan, yang baik
diperbuat." "Bagaimana yang baik padamu sajalah," jawab Nurbaya,
"aku menurut." Setelah sampai ke kota Jakarta, dimasukkanlah Nurbaya ke
rumah sakit; setiap hari dilihati ol eh Samsu dan kusir Ali. Tiada
beberapa lamanya Nurbaya dalam rumah sakit ini sembuhlah ia
dari penyakitnya, lalu keluar dari rumah sakit tinggal me-numpang di rumah seorang kepala kampung, kenalan Samsu,
sementara menanti kapal yang akan membawanya pulang
kembali ke Padang.

Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nurbaya!" kata Samsu pada suatu ketika yang baik, kepada
adiknya ini. "Ada suatu kaba r penting yang hendak kuceritakan
kepadamu, yang sampai kepada waktu ini kurahasiakan; sebab
aku khawatir penyakitmu, karena mendengarnya, akan menjadi
bertambah. Tetapi sekarang badanmu telah sehat kembali, moga-moga dapat kausabarkan hatimu."
"Kabar apa itu"' tanya Nurbaya dengan terkejut, sambil
melihat kepada Samsu. "Jangan khawatir," jawab Samsu, tatkala dilihatnya muka
Nurbaya berubah. Dicobanya tersenyum, hendak menghilangkan
khawatir kekasihnya ini. "B arangkali engkau masih ingat
kedatangan schout, ke kapal yang kautumpangi dahulu tatkala
kapal itu baru berlabuh dan ingat pula bahwa schout itu
memeriksa peti petimu dan peti Pak Ali. Dan tentulah engkau
belum lupa pula, engkau dari kapal terus dimasukkan ke rumah
sakit. Barangkali hal yang keniudian ini menimbulkan syak
wasangka dalam hatimu, bahwa aku kurang mengindahkan
engkau. Walau ada sekalipun pikiranmu yang sedernikian, tak boleh
aku marah, sebab memang demikianlah rupanya kelakuanku
pada waktu itu. Seakan-akan kurang mengindahkan engkau.
Akan tetapi sebenarnyalah hanya Allah yang mengetahui betapa
besarnya hatiku, tatkala mendapat kabar dan melihat engkau
datang dan Tuhanlah yang mengeta lrui betapa sedihnya hatiku
melihat kedatanganmu dengan hal yang serupa itu: karena baru
saja kita bertemu sekarang sudah harus bercerai pula. Ah ..."
"Apa kataniu"' tanya Nurbaya dengan terkejut, "sekarang ini
kita harus bercerai pula" Apa sebabnya"'
Maka diceritakanlah oleh Samsu, bahwa ada suatu dakwaan
datang dari Datuk Meringgih, mengatakan Nurbaya dan kusir Ali
melarikan barang-barang dan uang Datuk itu dan meminta,
supaya mereka ditahan dan di kirimkan kembali ke Padang
selekas-lekasnya. "Sesungguhnyalah Datuk Meringgih itu manusia yang
sebengis-bengisnya. Sebelum mati aku belumlah puas hatinya,"
kata Nurbaya dengan sangat marahnya. "Percayakah engkau
akan sekalian dakwaannya itu""
"Masakan aku percaya Nur; masakan engkau dapat berbuat
sedemikian," jawab Samsu. Sekalian orang yang mendengar
cerita ini, tak seorang pun percaya akan dakwa itu. Tetapi apa
hendak dikata" Kita sekarang berlawan dengan polisi; tiada
dapat berbuat apa-apa, harus menurut. Jika kita berlawan dengan
Datuk celaka itu, sebelum melayang nyawaku, tiadalah engkau
akan kembali ke Padang."
Nurbaya tidak menjawab, agaknya sebab sesak dadanya,
sampai didengarnya Samsu bert anya "Bagaimana pikiranmu,
Nur" Mengapa engkau berdiam diri""
"Sebab perkara ini sangat sulit. Kehendak hatiku, seboleh-bolehnya janganlah aku sampai kembali pula ke Padang. Tak
dapat kukatakan bagaimana susahnya aku sampai kemari, tak
dapat kuceritakan bagaunana aku akan dihinakan orang Padang,
karena aku, sebagai seorang perempuan yang bersuami, telah
meninggalkan suaminya lari kepada laki-laki lain. Kalau aku
kembali ke Padang, niscaya akan kulihatlah sekalian mulut yang
niengejekkan aku dan akan kude ngarlah pula segala perkataan
yang menghinakan aku. Akan tetapi ... ya adakah jalan lain yang
dapat diturut"' Setelah berdiam sejurus berkata pula Samsu perlahan-lahan,
"Bagaimana pikiranmu, kalau kita lari dari sini supaya terlepas
dari tangan polisi""
"Pada sangkaku akan sia-sia juga pekerjaan kita itu," jawab
Nurbaya dengan menggeleng-gele ngkan kepalanya. "karena
akhirnya tentulah kita akan jatuh juga ke dalam tang
an polisi. Di mana hendak menyembunyikan diri" Seluruh tanah Jawa ada
polisi. Lagi pula kalau kita berbuat demikian, sebagai benarlah
aku bersalah. Bukankah aku takut ka rena salah dan berani karena
benar" Lari artinya takut, oleh karena itu, tentulah sekalian orang
akan bersangka, aku ini benar bersalah. Pada pikiranku, tak dapat
aku menyatakan kebenaranku, ka lau tiada melawan dakwa itu.
Oleh sebab itu biarlah aku kembali dahulu. Tak susah bagiku
akan menyatakan kebenaranku dan perkara ini niscaya lekas
putus. Bila telah putus, lekasl ah pula aku kembali kemari.
"Ah ya. Tetapi sesungguhnyakah tak ada jalan lain yang
dapat melepaskan engkau dari jahanam itu"" kata Samsu, sambil
mengepal tangannya, serta memukul meja, sebagai hendak
melepaskan panas hatinya. "Keinginan hatiku hendaknya
sekarang, setelah kita bercampur ini, janganlah bercerai pula;
karena kinilah kita dapat be rsama-sama. Bila telah pulang
engkau ke Padang, harus kita be rtemu pula dahulu, baru dapat
bercampur kembali. Padang Jakarta bukan semalalam, lautan
besar harus diseberangi, baru sampai. Sedangkan di dalam waktu
yang sesaat boleh banyak yang terjadi, apalagi dalam perceraian
yang tak tentu lamanya ini."
"Perkataanmu itu memang benar, Sam. Tetapi apa daya kita
dalam hal ini, lain daripada menurut kehendak polisi" Bukan
bagimu saja berat perceraian ini, tetapi terlebih-lebih bagiku,
yang sebagai burung telah lepas dari penjara dan sekarang harus
menyerahkan diri pula, masuk ke dalam sangkarnya kembali,
bertemu dengan algujunya.
"Ya Allah!' keluh Nurbaya. "Kepada siapakah hamba-Mu
akan meminta pertulungan lagi, lain daripada-Mu ... ""
Samsu tiada dapat mengeluarkan suaranya, karena sedih
melihat adiknya ini. "Sungguhpun hatiku rasakan hancur akan meninggalkan
engkau pula, tetapi tiadalah akan senang hatiku, bila perkara ini
belum selesai. Biar dikatakan perempuan yang tiada setia kepada
suaminya, sebab memang Datuk jahanam itu bukan suamiku,
melainkan algojoku, yang telah dilindungi surat kawin, tetapi
aku tiadalah sekali-kali suka dika takan pencuri, sebab memang
aku bukan pencuri. Oleh sebab itu kebenaranku dalam hal ini,
harus dinyatakan. Hanya suatu yang terpikir dalam hatiku,
tidakkah buleh perkara ini diperiksa di Jakarta ini saja" Jika
sekiranya boleh bcrapakah baiknya!"
"Ya, memang itu suatu akal," kata Samsu tiba-tiba, lalu
berdiri dan memakai topinya.
Hendak ke mana engkau"" tanya Nurbaya, yang belum
mengerti maksud Samsu ini.
"Hendak pergi ke kantor As isten Residen, menanyakan,
bolehkah perkara ini diperiksa di sini saja,"
"Ya, baik. Cobalah!" kata Nurbaya. "Mudah-mudahan
disampaikan Allah juga maksudmu itu."
Seketika itu juga berangkatlah Samsu dan kira-kira pukul
dua, barulah ia kembali. Tetapi dari jauh telah kelihatan oleh
Nurbaya pada mukanya, bahwa maksudnya tiada berhasil,
karena Samsu datang dengan berdukacita.
"Bagaimana"" tanya Nurbaya dari jauh. pulang."
"Ah, tak boleh. Engkau harus juga pulang."
"Memang telah kusangka," kata Nurbaya. "Apa boleh buat!"
"Ya, memang; malang itu tak dapat ditolak. Sungguhpun
demikian baik juga engkau berhati-hati. Siapa tahu algojomu itu
ada lagi akalnya, untuk membin asakan engkau; sebab ia rupanya
tak takut dan tak ngeri berbuat segala kejahatan. Sementara itu,
akan kucarilah pekerjaan di sini, supaya ada penghidupan kita,
bila engkau telah kembali dan hidup bersama-sama dengan aku
kelak. Jika aku teruskan pelajaranku, tentulah susah kita hidup di
sini. Bagiku, biar tak menjadi dokter, asal hidup bersama-sama
dengan engkau." "Benar sekali perkataanmu itu, Sam. Itulah jalan yang sebaik-baiknya diturut, supaya selamat kita. Dan walaupun kusayang-kan benar, engkau meninggalkan sekolahmu, tetapi harus juga
kubenarkan maksudmu ini. Oleh sebab itu berjanjilah aku
kepadamu, bila kita telah bersama-sama kelak, akan kubalas
jasamu itu dengan penjagaan dan bantuan yang sebaik-baiknya-dalam kehidupanmu."
"Ah, perkara sekolahku janganlah kaupikirkan. Ingatlah akan
janjiku kepada ayahmu! Tidak pun demikian, seharusnyalah juga
aku membela engkau," kata Sams u, "lagi pula, memang aku tak
dapat mener uskan pelajaranku, karena kurang belanja. Engkau
tahu sendiri, ayahku tak hendak membantu lagi."
"Oleh sebab itu, pada pikiranku, bila kita telah bersama-sama
kelak, akan kusuruh juallah ru mah dan tanahku serta sekalian
barang-barangku yang masih ada di Padang, supaya uang itu
dapat kita pakai pembeli rumah di sini, atau untuk apa-apa saja
yang perlu; karena aku tak hendak kembali lagi ke Padang,
biarlah mati di rantau orang. Di tanah airku sendiri tiada lain
daripada kesusahan dan kesengsaraaq yang kuperoleh.
Barangkali di negeri orang dapat aku beroleh kesenangan," kata
Nurbaya. "Ya, benar; sesungguhnyalah itu . Pikiranku pun deniikian
juga. Padaku, apa lagi yang ak an menarik hatiku ke Padang"
Engkau telah ada di sini dan ibuku akan kusuruh datang kemari,
tinggal bersama-sama denga n kita," jawab Samsu.
"Wahai, alangkah senang hatiku, bila ibumu pun telah
bersama-sama pula dengan kita! Tentulah hilang segala sengsara
yang telah kurasai itu; tentulah tinggal kesenangan dan kesukaan
lagi; tentulah... Ah, sesungguhnya cita-cita itu sangat elok
rasanya," kata Nurbaya setelah termenung sejurus, sedang
keriangan hatinya yang mulai timbul, hilang kembali, bertukar
dengan sedih, sehingga mendatangkan khawatir pula, dalani
hatinya, takut kalau-kalau tia da disampaikan Tuhan.
"Masih ingatkah engkau akan segala cita-cita pada malam,
tatkala engkau akan berangkat kemari, Sam" Apakah jadinya
sekarang"" "Jangan berpikir sedemikian!" jawab Samsu. "Jangan putus
asa! Engkau masih muda dan aku pun begitu pula. Siapa tahu,
tidak sekarang, barangkali kelak kita beroleh kesenangan.
Masakan hujan saja dari pagi sampai petang. Panas sesudah
hujan, menimbulkan kesegaran badan dan kesenangan hati."
"Kuharap demikian jugalah hendaknya! Akan tetapi, karena
segala kecelakaan dan kedukaan telah datalig bertubi-tubi
menimpa diriku, tak beranilah aku berharap lagi; istimewa pula
sebab aku sekarang harus pulang ke Padang.
Sesungguhnya sangat berat hatiku hendak meninggalkan
engkau dan Jakarta ini, karena aku di sini sungguh berasa
senang; pertama sebab ada dalam tanganmu. kedua sebab jauh
dari tempat aku beroleh mara bahaya. Dan lagi, sebagai ada yang
melarang aku kembali ke Padang, sebagai di sana telah
menunggu pula sesuatu kecelakaan yang mengancam diriku."
"Hilangkanlah pikiran yang seperti itu! Ingatlah akan nasihat
orang tuamu!" kata Samsu dengan perlahan-lahan, membujuk
kekasihnya, walaupun hatinya sendiri berasa khawatir pula.
"Apalagi karena dalatn perkara ini, kita tak boleh mengatakan
tidak; harus menurut. Sebab itu ni enyerahlah engkau dan berhati-hatilah menjaga diri! Selama-lamanya engkau sebulan di sana;
sudah itu tentulah kita bertemu pula.
Aku sesungguhnya ingun benar hendak mengantarkan
engkau; tetapi waktu ini tiada dapat aku berangkat, karena ada
sesuatu pekerjaan yang hendak kuminta. Kalau aku pergi dari
sini, tentulah lepas pekerjaan itu dari tanganku. Keinginan
hatiku, bila engkau telah ke mbali pula kemari, aku telah
mempunyai pekerjaan. Lagi pula, engkau kembali ke Padang diantarkan oleh
seorang opas yang kukenal. Nanti kupesankan kepadanya,
supaya engkau dijaganya baik-b aik. Jika engkau kelak hendak
kembali kemari dan tak ada teman, kirimlah kabar kepadaku!
Tentu aku datang menjemput. Denga n demikian, tak lama aku di
Padang. Bila aku menumpang dengan kapal Jakarta yang ber-temu di Padang dengan kapal dari Aceh, barangkali hari itu juga
dapat aku kembali, sehingga ta k perlu bermalam di Padang.
Seboleh-bolehnya jangan aku bertemu pula dengan ayahku.
Bagaimana pikiranmu Nur" Baikkah begitu""
"Baiklah, kalau engkau suka demikian," jawab Nurbaya,
sambil memandang muka Samsu dengan tersenyum.
"Memang engkau baik hati, segala menurut," kata Samsu
pula, seraya mencium adiknya ini.
"Sekarang kenakanlah pakaianm u, supaya dapat kita ber-jalan-jalan, melihat-lihat kota Jakarta ini, sebab besok kapal
berangkat ke Padang."
"Besokkah aku harus berangkat dan bercerai pula denga
engkau"" tanya Nurbaya.
"Untuk sementara," jawab Samsu.
Setelah selesai memakai, berjalanlah kedua mereka, ber-pegang-pegangan tangan, meli
hat tamasya kota Jakarta pada
malam hari. Oleh Samsu dibawalah Nurbaya berjalan ke sana
kemari, naik bendi dan kereta, sekeliling kota Jakarta. Tidaklah
dapat dikatakan senang hati Nurbaya melihat keindahan kota ini.
"Sesungguhnya kota Jakarta ini sangat besar dan sangat
ramai; penuh dengan toko dan rumah yang besar-besar dan
bagus-bagus. Harus jadi ibu negeri Indonesia," kata Nurbaya.
Setelah puas bersiar-siar, masuklah kedua mereka ke dalam
sebuah rumah makan, karena pe rutnya berasa lapar. Bila
kenyanglah sudah makan. lalu dibawa oleh Samsu Nurbaya
melihat komedi kuda, yang kebetulan sedang bermain di sana.
Kemudian barulah mereka pulang kembali, sambil berjalan
perlahan-lahan.Semalam itu lupalah Nurbaya akan hal ihwal
yang telah di-tanggungnya, dan dirasainyalah kesenangan
seorang perempuan yang bebas, yang berdekatan dengan
kekasihnya. Malam itulah malam yang ketiga kali. Nurbaya
merasa untungnya mujur. "Tak banyak permintaanku tak banyak keinginan hatiku,
biarlah tak kaya atau tak berpangkat tinggi, asal mendapat
kcsenangan sebagai waktu ini," katanya. "Inilah surga dunia,
yang baru kukenal, Sam. Adakah akan dapat selama-lamanya
kita seperti ini""
"Mengapa tidak" Kalau engkau tela h ada pula di sini nanti,
apakah yang akan menjadi alangan lagi atas diri kita untuk selalu
bersama-sama"" Dengan bercakap-cakap sedemikian, sampailah mereka ke
rumah tempat Nurbaya menumpang, lalu duduk di serambi muka
bertutur-turut, sebagai hendak memuas-muaskan hatinya.
"Sam!" kata Nurbaya tiba-tiba, "aku mendengar suatu pantun
yang demikian bunyinya: "Dari jauh kapalmu datang,
pasang bendera atas kemudi.
Dari jauh adikmu datang, melihat Kakanda yang baik budi."
"Jawabnya begini," kata Samsu, sambil tersenyum:
"Selasih di kampung Batak,
perawan luka tentang kaki.
Terima kasih banyak-banyak,
sudi datang melihati."
"Suatu lagi," kata Nurbaya:
"Sultan Iskandar raja Sikilang,
raja Barus pegang tongkatnya,
Tidak disesal badanku hilang,
sudah harus pada tempatnya."


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jawabnya," kata Samsu:
"Sukar membilang buah kelapa,
burung pipit terbang sekawan.
Biar hilang tidak mengapa,
asal bersama dengan Tuan."
Demikianlah kedua mereka itu bercakap-cakap dan
berpantun-pantun serta bersenda gurau.
*** Pada keesokan harinya, berlayarlah Nurbaya pulang ke
Padang, bersama-sama kusir Ali, diantarkan oleh seorang opas
polisi. Dengan tolong Allah, adalah selamat perjalanan itu tiada
kurang suatu apa. Setelah sampai ke Padang diperiksalah perkara itu, dan
nyatalah bahwa Nurbaya tiada bersalah apa-apa, dalam perkara
ini, hanyalah khianat Datuk Meringgih, yang pura-pura berbuat
sebagai barang dan uangnya dilarikan Nurbaya, supaya istrinya
ini dikirimkan kembali ke Padang.
Katanya mula-mula, tak tahu di mana barang-barang dan
uang itu disimpan Nurbaya, dan sebab ia lari; disangkanya uang
dan barang itu dibawanya. Tetapi setelah ditunjukkan Nurbaya
tempat barang-barang dan uang itu disimpan, nyatalah istrinya
tiada bersalah apa-apa. Walaupun dimaklumi orang, Datuk Meringgih dengan
sengaja berbuat demikian teta pi tiadalah ia beroleh hukuman
apa-apa sebab ia seorang saudagar yang amat kaya di Padang.
Tatkala kapal telah berangkat, termenunglah Samsu sejurus
di pelabuhan Tanjung Periuk, karena sebagai didengarnya suara
yang timbul dalam hatinya mengatakan: Nurbaya tiada akan
kembali lagi dan itulah pertemua n mereka yang penghabisan di
atas dunia ini. Walaupun sangat khawatir dan kabur pikirannya
tetapi disabarkannya juga hatinya, dan meminta pertolongan
Tuhan yang pengasih penyayang.
XII. PERCAKAPAN NURBAYA DENGAN ALIMAH
"Bum, bum!" bunyi tabuh. Seke tika lagi kedengaranlah orang
bang di langgar dan mesjid, karena magrib telah ada, waktu
orang akan sembahyang. Ahmad Maulana dan istrinya, kelihatan berjalan menuju ke
tikar sembahyang, lalu sujud ke hadirat Tuhan, dua laki-istri.
Tiada berapa lama kemudian, selesailah mereka daripada berbuat
bakti kepada Tuhannya, itu: te tapi Ahmad Maulana tiada lekas-lekas berdiri dari tikar sembahyangnya, melainkan terus
membaca doa, sampai kepada waktu isya, lalu sembahyang pula.
Tatkala itu kelihatan Ali
mah dan Nurbaya menyediakan
makanan di atas tikar rumput, yang telah dialas dengan kain
putih, terbentang di tengah ru mah. Tiada berapa lamanya
kemudian daripada itu, duduklah Ahmad Maulana makan,
dihadapi istrinya; sedang Alimah dan Nurbaya, duduk jauh
sedikit dari sana, sebagai menunggu, kalau-kalau Ahmad
Maulana minta apa-apa. "Sedih hatiku melihat untung Rapiah tadi. Baru berumur
delapan belas tahun, telah meninggal dunia. Lebih-lebih sebab ia
meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Yang tua,
perempuan, baru berumur tiga tahun dan yang bungsu, laki-laki
berumur tengah dua tahun," kata Ahmad Maulana, sambil
menyenduk sayur-sayuran ke piringnya.
"Ya, memang kasihan benar," jawab istrinya. "Siapakah yang
akan memelihara anak-anak ini"" .
"Itulah yang menambahkan sedih hatiku," kata Ahmad
Maulana pula, "sebab tak ada kaumnya yang mampu, yang akan
mengambil dan memelihara kanak-kanak ini. Yang mati,
sudahlah; tidak dipikirkan la gi; barangkali ia telah senang,
karena telah terlepas daripada segala azab dunia; melainkan
dengan doalah harus dibantu, supaya dilapangkan Allah juga ia
dalam kuburnya. Tetapi anak-a nak yang tinggal ini, bagai-manakah halnya kelak" Sekecil itu, sudah tak beribu lagi."
"Ayahnya bukankah masih ada" Masakan tiada diperdulikan-nya anak-anaknya"" jawab Fatimah, istririya.
"Ayahnya"" tanya Ahmad Maulana, sambil memandang
istrinya dengan merengut. "U h, masakan mau ia menanggung
beban itu! Bukankah telah menjad i adat di sini, anak pulang
kepada mamak. Orang bangsawan sebagai Sutan Hamzah pula,
'kan suka menyelenggarakan anaknya; sedangkan dirinya sendiri
tak terurus olehnya! Berapa banyak anaknya di kota Padang ini,
yang tiada diindahkannya. Lebih-lebih sekarang ini, karena ia
rupanya sedang asyik kepada istri mudanya.
Walaupun ia sudi memelihara anak-anaknya ini sekalipun
tentulah akan bertambah-tambah juga sengsara anak ini; sebab
mereka niscaya akan diserahkan kepada ibu tirinya itu. Engkau
tahu sendiri betapa kelakuan pe rempuan kepada anak tirinya.
Dalam seratus, jarang seorang yang baik. Hampir sekaliaiinya
memandang anak tirinya, sebagai musuhnya; sebab anak madu-nya. Anak-anak yang tiada bersalah dan tiada tahu apa-apa
dalam perkara orang tuanya, disiksanya dan dideranya akan
melepaskan sakit hatinya kepada madunya yang telah tak ada
lagi dan yang acap kali tiada ber dosa, bahkan teraniaya, karena
suaminya dirampas orang."
Rupanya kebenaran perkataan ini tiada dapat dibatalkan oleh
Fatimah; oleh sebab itu berdiamlah ia sejurus kemudian bertanya
pula ia dengan memutar haluan percakapannya, "Tetapi apakah
sakitnya Rapiah itu""
"Sakitnya yang sebenarnya tia da kuketahui. Kata setengah
orang demam-demam saja dan kata setengahnya batuk darah.
Ada pula yang mengatakan sakit dalam badan. Khabarnya,
semenjak ia berkelahi dengan su aminya, sebab ia marah, Sutan
Hamzah kawin dengan istrinya yang baru ini, tiadalah ia bangun
lagi, sampai kepada waktu mautnya, karena ia kena terjang
suaminya itu. Entah mana yang benar, tiada kuketahui. Tetapi kabar ini tak
guna diceritakan pula kepada siapa pun; kalau kedengaran oleh
polisi, jadi perkara, nanti. Bukannya kita boleh terbawa-bawa
saja, tetapi kalau sampai Su tan Hamzah terhukum, bermusuh-musuhanlah kita dengan Penghulu Sutan Mahmud. Dan lagi
apakah jadinya dengan anakny a yang masih kecil-kecil itu
kelak" Ibu mati, bapa terbuang."
"Masakan hamba gila, membukakan rahasia ini," jawab
Fatimah. Tatkala itu kelihatan Nurbaya be rdiri, lalu masuk ke dalam
biliknya, sebagai hendak mengambil apa-apa, tetapi sesungguh-nya hendak menyembunyikan air matanya, yang keluar, tak
dapat ditahannya, karena ingat akan nasibnya sendiri, hampir
sama dengan perempuan yang baru berpulang dan anaknya yang
ditinggalkannya itu. Setelah keringlah air matanya, barulah ia keluar pula dan
kelihatan olehnya mamandanya sudah selesai makan, lalu
membasuh tangannya. "Alimah, coba ambil rokokku dari dalam bajuku!" kata
Ahmad Maulana. Alimah segera berdiri mengambil rokok itu
dan memberikannya kepada ayahnya.
"Sekarang makanlah kamu sekalian!" kata Ahmad Maulana
pula, sambil membakar rokoknya.
Alimah dan Nurbaya mendekatlah ke sana, lalu makan
bersama-sama dengan Fatimah.
"Sebenarnya pikiranku, sekali-kali tiada setuju dengan adat
beristri banyak; karena terlebih banyak kejahatannya daripada
kebaikannya," kata Ahmad Maulana, sambil termenung
mengembuskan asap rokoknya. "B anyak kecelakaannya yang
sudah kudengar dan banyak sengsaranya, yang sudah kulihat
dengan mata kepalaku sendiri."
"Ya, tetapi sudah adat kita begitu; bagaimana hendak diubah"
Dalam agama kita pun tiada dilarang laki-laki beristri lebih dari
seorang. Bila kita beranak laki -laki, alangkah malunya kita,
walaupun kita bukan orang berbangsa tinggi sekalipun bila anak
kita itu hanya seorang saja istrinya; sebagai orang yang tak laku
kepada perempuan, " jawab Fatimah.
"Jadi aku ini tak laku kepada pe rempuan, sebab istriku hanya
engkau scorang" Engkau tiadakah malu pula Alimah, sebab
ayahmu tak laku kepada perempuan lain"" tanya Ahmad
Maulana kepada anaknya, seraya tersenyum.
Aliniah tiada menjawab pertanyaan ayahnya ini, melainkan
tunduk kemalu-maluan. "Rupanya Mak Mudamu ini, suka kepada laki-laki yang
beristri banyak, Nurbaya; sebab itu baiklah kaupinangkan aku
perempuan barang selusin lagi. Kala u tiada, ia nanti minta surat
cerai kepadaku, sebab malu, kepada orang, suaminya tak laku
kepada perempuan," kata Altmad Maulana pula.
Nurbaya pun tiada berani menjawab olok-olok itu hanya
tersenyum, karena dilihatnya Mak Mudanya merengut.
"Suatu lagi yang tak baik," kata Ahmad Maulana; sedang
senyumnya hilang dari birinya, "perkawinan itu dipandang
sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual
kepada laki-laki, artinya si laki-laki harus memberi uang kepada
si perempuan; akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh
perempuan, sebab perempuan; memberi uang kepada laki-laki.
Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan
hanya diperhubungkan oleh . tali uang saja atau karena keinginan
kepada keturunan yang baik; sekali- sekali tidak dipertalikan oleh
cinta kasih sayang. Itulah sebabnya tali silaturahim antara suarni dan istri mudah
putus, sehingga lekas bercerai kedua mereka. Bila telah bercerai,
tentulah si laki-laki beristri pula dan si perempuan bersuami
kernbali. Jadi laki-laki banyak istrinya dan perempuan banyak
suaminya. Pada bangsa Barat, biasanya suami dan istri tiada diper-hubungkan oleh tali uang atau harta, melainkan terutama oleh
tali percintaan dan kasih sayang. Karena itulah maka
perhubungan mereka lebih erat se bab cinta kasih sayang itu, acap
kali tiada mengindahkan harta, bangsa atau pangkat, Lagi pula,
mereka itu terikat oleh perj anjian setia yang seorang kepada
yang lain; tak boleh bercerai, bila tak ada sebab yang penting,
sehingga bertambah kuatlah perhubungan itu."
"Ah, mengapa pula kita kan menurut adat kafir itu," jawab
Fatimah, sambil membasuh tangannya, sebab telah selesai
makan: Alimah dan Nurbaya mulailah mengangkat sisa-sisa
makanan, lalu menyuruh cuci piring dan mangkuk, bekas tempat
makan, kepada bujang. Sungguhpun Nurbaya bekerja, tetapi telinganya selalu
dipasangnya, akan mendengar perkataan Bapa Mudanya, karena
buah pikirannya sesuai benar dengan pendapatnya.
"Mereka itu kafir, kata kita; tetapi mereka barangkali berkata,
kitalah yang kafir, sebab tak me nurut agama mereka. Mana yang
benar, wallahualam! Tak dapat kita putuskan; hanya Allah yang
mengetahui. Sekalian agama data ng dari pada-Nya, untuk
keselamatan manusia. Tentu saja tiap-tiap bangsa akan memuji
agamanya sendiri, sebagai tiap-tiap orang memuji dirinya sendiri
pula; tetapi pujian kepada diri sendiri itu, tak boleh menjadi
sebab, untuk mencela diri orang lain; apalagi kalau pengetahuan
kita hanya baru sekadar tentang diri kita sendiri saja. Bagaimana
dapat kita perbandingkan dua buah benda, kalau kita hanya tahu
satu saja, daripada keduanya"
Tentang agama itu, yang kita ketahui hanya agama kita
sendiri, itu pun belum sempurna pula. Agama lain sekali-kali
tiada kita ketahui. Bagaimana dapat kita katakan buruk baiknya"
Bagaimana dapat kita perbandingkan, mana yang benar, mana
yang salah, antara kedu a agama itu" Cobalah pikir benar-benar!
Bila aku mempunyai sebuah batu dan engkau mempunyai pula
sebuah, dapatkah kaukatakan, mana lebih berat di antara kedua
batu itu, jika tiada kauketahui berat keduanya" Dan bagaimana-kah dapat kaukatakan, batumu lebih berat da ripada batuku, kalau
kau belum tahu berapa besar dan berapa berat batuku" Sedang-kan batumu sendiri pun belum kauketahui benar-benar, berat dan
ringannya." "Tetapi bukankah dapat dilihat dengan mata, ditaksir dengan
pikiran, menurut besarnya"" jawab Fatirnah.
"Penglihatan dan taksiran tiada selamanya benar. Tirnah yang
kecil, terkadang-kadang lebih be rat daripada kayu yang besar.
Sungguhpun demikian, harus juga kaulihat dahulu besar kedua
benda itu, supaya dapat kautaksir beratnya.
Sekarang apakah pengetahuanmu tentang agama si kafir itu"
Lain tidak, hanya tentang keburukannya saja; itu pun karena
mendengar cerita orang dan e ngkau turutlah menyebutnya
sebagai seekor burung tiung meniru perkataan yang diajarkan
kepadanya, dengan tiada tahu sekali-kali apa artinya.
Tidak baik begitu, sesuatu yang belum kauketahui benar-
benar, janganlah kaucela lekas-lekas. Dalam agama kita pun
dilarang menuduh seseorang kafir atau Islam, karena sekalian
itu, hanya Tuhanlah yang tahu. Apalagi sebab hati manusia itu
tiada tetap, bertukar-tukar juga sebilang waktu. Sekarang baik,
besok barangkali jahat; tak dapat ditetapkan, karena manusia itu
bersifat lemah. Janganlah menilik yang lahir saja, sebab yang
batin itulah yang lebih berharga. Dan tahukah engkau akan batin
orang" Walaupun pada lahirnya ia kafir, siapa tahu, pada batinnya
barangkali ia Islam. Biarpun sekara ng ia kafir, boleh jadi nanti
berpaling hatinya, menjadi Isla m. Dan lagi pada pikiranku,
agama itu tak ada yang jahat, sekaliannya baik, karena
maksudnya baik belaka dan tuju annya kepada Tuhan Yang Esa."
Perkataan itu tiada juga dijawab oleh Fatimah, sebab itu
berkata pulalah Ahmad Maulana, setelah berdiam diri sejurus,
"Sungguhpun mereka itu bangsa kafir, kata kita, ada juga adat
dan aturannya yang baik. Aturan, lain, dan agama pun, lain;
jangan disamakan saja. Adat dan aturan kita benar banyak yang
baik, tetapi ada juga yang salah. Apakah salahnya, kalau ditiru
adat bangsa lain yang baik dan dibuang adat kita yang buruk"
Adat mereka yang jahat itu jangan kita ambil dan adat kita yang
baik disimpan benar-benar.
Banyak aturan dan adat bangsa asing yang sudah kita tiru
dengan tiada dipikirkan dalam-dalam buruk baiknya. Baju jas
dan sepatu, pakaian siapa itu" Bukankah pakaian orang Barat"
Mengapakah dipakai juga" Orang haji dan Arab pun banyak pula
yang meniru pakaian Barat itu. Berkursi, bermeja, berlampu
gantung, bukan adat nenek moyang kita turut juga. Piring dan
mangkuk, perbuatan siapa" Tetapi dipakai juga" Adat dan aturan
siapakah yang harus diturut orang Islam" Adat orang Arab"
Orang Arab makan kurma dan minum susu unta; mengapa tidak
ditiru pula" Manakah adat da n aturan kita yang asli"
Ah Fatimah, sekalian itu, hanya dunia saja; bukan akhirat;
lahir, bukan batin. Pada piki ranku, walaupun apa juga yang
engkau pakai atau perbuat, asal hakikatmu suci dan hatimu tiada
bcrubah, tiada jadi apa-apa. Tetapi walaupun kauturut bcnar tiap-tiap perkataan yang tersebut dalam kitab, kalau hatimu tiada suci
dan lurus, tak ada gunanya."
"Ya itu betul; tetapi adat kita, pusaka nenek moyang kita, tak
boleh disia-siakan atau ditukar-tukar saja. Dan lagi, tak baik kita
membuang-buangnya; buruk dan baik harus diturut. Itu tandanya
kita beradat. Kalau hendak menambahnya dengan aturan lain,
baik, tetapi adat kita, dipakai juga."


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang kurang baik membua ng yang lama, karena
nrendapat yang baru. Tetapi ada di antara adat dan aturan lama
itu, yang sesungguhnya baik pada zaman dahulu, tetapi kurang
baik atau tak berguna lagi waktu sekarang ini. Adalah halnya
seperti pakaian tatkala mula-mula di beli, boleh dan baik dipakai,
tetapi makin lama ia makin tua dan lapuk; akhirnya koyak-koyak, tak dapat dipergunakan lagi. Kalau sayang membuang
pakaian tua ini, karena menginga t jasanya, sudahlah, simpanlah
ia, untuk jadi per ingatan! Tetapi pakaian baru, harus juga dibeli,
bukan" Demikian juga adat itu; bertukar-tukar, menurut zaman.
Walaupun tiada disengaja menukarnya, ia akan berganti juga;
sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian beralih,
kata pepatah. Dan memanglah begitu."
"Baiklah, sekarang cobalah Ka nda terangkan apa kejahatan
adat kita di Padang ini, tentang beristri lebih daripada seorang""
tanya Fatimah pula. "Dengarlah," sahut Ahmad Maulana. " Pertama, makir.
banyak istri makin banyak belanj a; scbab tiap-tiap istri itu harus
dibelanjai dengan secukupnya. B ila kurang belanja, tentu saja
kurang hati istri-istri itu. Dengan demikian, mudah timbul
perselisihan; dan bila selalu berbantah saja, dengan tiap-tiap istri
yang banyak itu, tentulah kehidupan kurang senang."
"Rupanya Kakanda lupa akan perkataan Kakanda tadi dan
adat kita yang asli, yaitu laki-laki tak usah memberi belanja
istrinya atau anaknya, karena anak istrinya itu tanggungan
mamaknya. Laki-laki dipandang sebagai orang semenda, orang
menumpang saja; jadi walaupun istri dan anak banyak, tiada
menyusahkan." "Bukan aku lupa," jawab Ahmad Maulana. "Itulah yang lebih
terasa di hatiku. Laki-laki tak usah memberi belanja dan
memelihara anak istrinya, bahkan dapat makan dan pakaian pula
dari perempuan. Dan apabila laki-laki itu berbangsa, tatkala
kawin, dijemput pula oleh perempuan, dengan uang dan pakaian.
Jadi apa namanya laki-laki itu" Karena sesungguhnya laki-laki
itulah yang harus memberi nafkah dan memelihara anak istrinya,
sebab perempuan lebih lemah dari laki-laki.
Bila dibandingkan laki-laki dengan perempuan, tentang
bentuk badannya, kekuatannya, akalnya dan lain-lain, nyatalah
laki-laki bangsa yang melindungi anak-istri, sanak saudara, harta
benda, kampung halaman, ba ik tentang musuh ataupun
keperluan yang lain-lain, untuk kehidupan. Perempuan tempat
menyimpan dan mempertaruhkan anak dan harta benda. Tetapi
menurut adatmu tadi, perempuari menjadi laki-laki dan laki-laki
menjadi perempuan. Tiada sesuai dengan aturan alam."
"Boleh jadi." jawab Fatimah, "tetapi bukan perempuan itu
sendiri yang memberi makan suaminya, melainkan mak-bapa
dan ahli si perempuan itu."
"Baik, aku terima jawabmu itu, walaupun memang ada negeri
yang sesungguhnya perempuannya yang mencari penghidupan,
karena ialah yang bekerja, bern iaga dan lain-lain sebagainya,
sedang suami tidur-tidur, bers uka-suka hati, mengadu ayam,
mengadu burung atau berjudi. Tetapi apakah namanya laki-laki
yang sedemikian itu" Bukankah la ki-laki ini dapat disamakan
dengan bapa kuda atau bapa sapi, yang dipelihara baik-baik dan
diberi makan cukup, semata-mata hanya karena hendak meng-harap keturunannya saja"
Kalau laki-laki itu bangsawan atau iupawan, sudahlah; sebab
ada yang diharapkan dari padanya yaitu rupa yang balk atau
bangsanya yang tinggi itu, supaya turun kepada anaknya, meski-pun bangsa itu makin lama makin berkurang harganya dan
makin kurang dipandang orang. 'Fetapi, kalau laki"laki itu tiada
berbangsa tinggi, tiada berupa baik, kepala bersegi, telinga lebar,
mata juling, hidung penyek, mulut lebar, gigi keluar, punggung
bungkuk, kaki timpang pula sebelah, apakah yang diharapkan
dari orang yang sedemikian" Se gala cacatnya itukah, supaya
anak cucunya sama bagusnya dengan dia""
"Laki-laki yang serupa itu masakan laku! Yang dibeli,
tentulah yang bangsawan, rupawan, pintar, berpangkat atau lain-lainnya," jawab Fatimah.
"Kalau begitu, tak jadi apalah. Tiap-tiap yang berharga, tentu
tak dapat dipinta saja, walaupun barang yang berharga ini,
bagiku tak seberapa artinya. Tetapi adat yang kita perbincangkan
tadi, yaitu laki-laki dipanda ng sebagai orang yang inenumpang
saja, kedapatan juga pada ora ng kebanyakan, jadi bukan pada
orang yang istimewa saja.
Lagi pula, daripada sifat-sifat yang kausebut itu, hanyalah
kebangsawanan dan rupawan saja yang dapat diturunkan kepada
anak cucu. Tetapi pangkat yang tinggi atau ilmu yang dalam itu
apa gunanya, kalau tak dapat menolong anak""
Maka tiadalah pula dapat Fatimah memberi jawaban.
" Kedua," kata Ahmad Maulana, setelah berhenti sejurus,
" makin banyak istri; dan makin banyak anak, makin banyak pula
belanja..." "Tunggu dulu," kata Ahmad Maulana, sebab dilihatnya
istrinya hendak menjawab, "aku tahu, apa yang hendak kau
katakan, yaitu anak yang banyak itu tiada menjadi alangan,
bukan" Sebab sekalian anak itu ada bermamak, yang harus
memeliharanya. Tetapi karena hal itulah, tak ada pertalian cinta
kasih sayang antara anak dan bapa, sebagai antara laki dan istri
tadi itu pula. Dengan demikian, laki-laki itu tiadalah tahu yang
dinamakan: Cinta kasih sayang kepada anak dan istrinya. Yang
dikenalnya hanya sayang kepada kemanakannya. Tetapi
kesayangan kepada kemanakan, tiada dapat disamakan dengan
cinta kepada anak, darah daging sendiri. Dan anaknya itu takkan
tahu pula cinta kepada bapanya, hanya kepada ibunya saja,
sedang cinta kepada mamaknya tiada seberapa. Istrinya hanya
cinta kepada anaknya, sebab darah dagingnya, tetapi suaminya
orang lain pada perasaannya. Sebab itu jaranglah mereka
mendapat persatuan suami-istri dan kesenangan berumah tangga,
yang sangat berharga bagi bangsa Barat.
Dan lagi, pikirlah! Kesalahan siapa maka anak itu sampai ada
di dunia" Bukannya ia yang minta dilahirkan, melainkan mak-bapanya yang menjadikannya. Sekarang sesudah anak itu lahir,
ia diserahkan kepada orang lain, yang sekali-kali tiada bersalah
dalam hal ini. Walau mamaknya sekalipun, kesayangannya
tiadalah akan sama dengan kesayangan ayahnya sendiri...
Bagaimana rasanya itu" Cobalah kaupikir benar-benar!
Jangan buta tuli, memandang adat saja. Mana yang dekat kepada
si bapa, anaknya atau kemanakannya" Anaknya darah daging-nya, kemanakannya anak saudaranya, walaupun yang sedarah
dengan dia. Ada orang yang bersangka, anak itu sesungguhnya terlebih
dekat kepada mamaknya daripada bapanya, karena itu terang
kemanakan mamaknya, sebab kelihatan dilahirkan oleh saudara
si mamak itu, yang sedarah dengan dia. Tetapi ia belum tentu
anak si bapa; boleh, jadi juga anak laki-laki lain, yaitu kalau
ibunya tiada setia kepada suaminya. Jadi si bapa itu sebagai
kurang percaya kepada anak dan istrinya.
Hal yang ganjil ini pada sangkaku, asalnya dari adat zaman
dahulu kala, tatkala perempuan boleh bersuami banyak atau
tatkala perkawinan belum teratu r benar sebagai sekarang ini.
Tetapi adat itu tiada sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini.
Perkara perkawinan pun telah teratur dengan baik, artinya tiap-tiap laki-laki tentu istrinya dan perempuan tentu pula suaminya,
disaksikan oleh orang banyak, waktu mereka kawin.
Aku tiada hendak mengatakan, bahwa tiap-tiap anak itu, tak
dapat tiada anak bapaknyalalt; tentu boleh jadi juga anak laki-laki lain. Tetapi hal yang sed emikian, jarang terjadi sehingga
sekali-kali tak patut menjadi alasan, anak mengganjilkan diri dari
apa adat orang sedunia ini, yaitu pusaka turun kepada anak.
Kaulihat, itulah suatu contoh yang menyatakan, bahwa
sesuatu adat yang dahulu barangka li baik, tetapi sekarang ini,
mungkin tiada berharga lagi. Tak baiklah adat yang telah lama
seperti ini, disimpan saja dalam peti, kalau perlu, akan jadi tanda
mata daripada'nenek moyang kita dahulu kala""
Perkataan itu pun tiada dapat disalahkan oleh Fatimah, sebab
itu diputarnya tujuan perbinca ngan ini sedikit dengan berkata,
"Tetapi bukankah baik banyak anak, supaya bangsa kembang
biak." "O, kalau itu maksudmu, memang benar sekali. Seharusnya-
lah tiap-tiap bangsa itu mengembangkan bangsanya, sebagai
tersebut dalam agama. Tetapi memelihara bangsa itu, kewajiban
pula. Jangan menjadikan saja pandai, mernelihara tak mau.
Betapa bangsa itu dapat kembang dengan sempurna, jika tiada
dipelihara sendiri baik-baik" Bekerja jangan tanggung, Mah!
Ketiga , walaupun tersebut dalam kitab (agama), laki-laki
boleh beristri sampai empat orang, tetapi haruslah harta si laki-laki itu berlebih dahulu daripa da untuk memelihara seorang istri
dengan sempurna dan haruslah pula ia adil dengan seadil-adil-nya, dalam segala hal, kepada keempat istrinya itu; haruslah
boleh. Kalau tiada, menjadi dosa; sebab kelakuan yang tak adil
itu mendatangkan dengki khianat antara istri-istri itu. Tetapi
kebanyakan laki-laki itu tiada adil kepada sekalian istrinya.
Biasanya yang baru itulah yang le bih disayanginya, daripada
yang lama; yang muda lebih digemari daripada yang tua; yang
bagus, lebih disukai daripada yang buruk. Itu tak boleh; sekalian-nya harus sama, belanja, pakaian, rumah tangga, cinta kasih
sayang dan lain-lain sebagainya.
Adakah laki-laki kita yang dapat berbuat sedemikian" Dalam
seribu jarang seorang. Kebanyakan, dalam segala hal, dilebih-kannya yang terlebih dicintai. Mustahil akan dapat sama cinta
kepada segala istri, sebab telah ditakdirkan Tuhan, manusia itu
terlebih ingin dan terlebih say ang kepada yang molek daripada
yang buruk. Kelakuan yang serupa itulah yang acap kali
menimbulkan cemburu dan dengki, antara istri-istri itu, sehingga
terbitlah perbantahan, antara laki -laid dengan istrinya dan antara
istri dengan istri. Walaupun kepada istri yang mana laki-laki itu
pergi, yang diterimanya tiada lain daripada muka masam, per-kataan yang kurang sedap didengar, penjagaan yang kurang
sempurna, terkadang-kadang umpat dan maki, sehinb ga
akhirnya jadi berkelahi. Adakah senang kehidupan yang
sedemikian" Lagi pula, istri-istri yang dipermadukan itu, tiada lurus
hatinya kepada suaminya, baik dalam perkara apa juga. Ada pula
istri itu yang menjadi jahat, yang berbuat kelakuan yang tak
senonoh, karena hendak membalaskan sakit hatinya kepada
suaminya. Perhubungan yang mema ng kurang kuat tadi, menjadi
bertambah-tambah longgarlah, sehingga akhirnya, hanya tinggal
surat kawin saja lagi, yang memperaihatkan kedua mereka.
Meskipun aku laki-laki, tetapi pada pikiranku, tiada boleh
suami berkecil hati, bila istrinya yang dipermadukannya itu tiada
mengindahkan suaminya, karena suami itu pun tiada pula
mempedulikan perasaan hati istrinya. Perempuan manakah yang
dapat menahan hati, meliltat suaminya dengan perempuan lain"
Adakah laki-laki yang dapat senang hatinya, melihat istrinya
dengan laki-laki lain" Pada pikiranku tak ada.
Keempat, ada juga perempuan yang rupa-rupanya, tiada
mengindahkan kelakuan suaminya, yang suka beristri banyak itu,
sebab perempuan itu sangat sabar. Tetapi acap kali kesabaran
inilah, tanda kurang sayang kepa da suaminya. Karena cemburu
itu bukankah timbulnya daripada hati yang cinta"
Apabila istri-istri itu sama cinta kepada suaminya, tentulah
masing-masing mencari akal supaya ia lebilt disayangi suaminya
daripada madunya. Kebanyakan akal ini bukan dijalankan
dengan memperbaiki kelakuan atau rumah tangga atau apa saja
yang dapat menarik hati suami tadi, melainka n dengan jalan
berdukun dan pekasih. Tiap-tiap istri, mencari dukun yang pandai akan mengobati si
suami, supaya ia lebih dicintai daripada madunya; terkadang-kadang sampai berhabis hart a benda. Si dukun bukannya
mempergunakan ilmu saja, melainkan acap kali memakai
ramuan dan obat-obatan yang harus dimakan si laki-laki. Betul
maksudnya baik, tetapi sebab ramuan pekasih itu tiada selama-nya barang yang bersih, lama-kelamaan, karena terlalu banyak
makan obat itu, dari sana-sini, dari sekalian istrinya rusak juga
badannya. Bukan seorang dua ora ng laki-laki yang telah menjadi
kurban perbuatan dukun seperti itu. Sayang!
Perempuan yang tiada sabar, terkadang-kadang, karena
sangat sakit hatinya dipermadukan, bukan pekasih yang diberi-
kannya kepada suaminya yang sedemikian, tetapi racun;
sehingga bertambah-tambalt lekasl ah ia berpulang ke negeri
yang baka. Alimah, coba beri aku air teh segelas! Kering mulutku rasa-nya bercerita ini," kata Ahmad Maulana kepada anaknya.
Alimah segera keluar dari dalam biliknya, mengambil apa
yang diminta oleli ayahnya itu. Kemudian kembali pula ia ke
dalam biliknya, sedang Nurbaya di sana, pura-pura duduk men-jahit, tetapi sesungguhnya didengarkannya benar-benar segala
perkataan bapa mudanya ini.
" Kelima , apabila perempuan tadi hatinya kurang baik." kata
Ahmad Maulana pula, sesudah minum teh, "bukannya suarninya
saja yang diberinya ramuan itu, tetapi madunya pun diberinya
juga; bukan supaya sayang kepa danya, hanya supaya dibenci
oleh suaminya, ada pula yang membuat, agar madunya itu lekas
berkalang tanah. Siapa tahu, barangkali Rapiah ini kurban per-buatan yang sedemikian pula. Kasihan!
Keenam, banyak perempuan yang telah dipermadukan itu,
karena takut beroleh kesakitan dan kesedihan pula, tiada hendak
kawin lagi, bila ia telah dicerai kan oleh suaminya. Jika sekalian
perempuan berbuat demikian ba gaimanakah akhirnya" Bagai-manakah engkau dapat mengentbangkan bangsamu dengan
perempuan yang tak hendak kawin" Barangkali waktu ini hal ini
belum memberi khawatir, karena kebanyakan perempuan, belum
dapat mencari kehidupan sendiri ak an tetapi kalau mereka telah
pandai pula sebagai laki-laki, tentulah lebih suka mereka
mencari penghidupan sendiri daripada selalu makan hati, sebab
dipermadukan oleh suaminya. Perempuan pun kawin, karena
hendak mencari kesenangan juga, bukan karena hendak
mengabdi kepada laki-laki."
"Itulah sebabnya tak baik arak perempuan disekolahkan,"
kata Fatimah. "Supaya tinggal budoh dLn selama-lamanya menjadi budak
laki-laki, bukan" Boleh dipe rbuat sekeh ndak hati; sebagai
kerbau, diberi bertali hidungnya, supaya dapat ditarik. Dan
disuruh ke mana suka oleh yang mengembalakannya. Jika
engkau sendiri, sebagai seorang perempuan, suka bangsamu
diperbuat sedemikian, suka hatimulah! Tetapi kalau aku menjadi
perempuan, sekali-kali aku tak mau menerima peraturan ini."
Tatkala itu terdiamlah pula Fatimah, karena tak dapat men-jawab perkataan suaminya. ,
" Ketujuh, perempuan yang dipermadukan itu, hatinya tiada
lurus kepada suaminya dalam seg ala hal, seperti telah kukatakan
tadi. Janganlah dipandangnya suaminya sebagai kekasihnya,,
sebagai sahabatnya pun tak dapat dibenarkannya; karena pada
penglihatan dan perasaannya, laki-laki itu ialah tuannya yang
bengis. Bagaimanakah dapat hidup senang dan sehati dengan
musuh yang dibenci" Ah Fatimah, banyak lagi kejahatan adat beristri banyak itu;
kemudian boleh kuceritakan pula. Sekarang mataku sudah
mengantuk, suruhlah, si Hasan memadami lampu dan menutup
pintu!" Tiada berapa lamanya kemudian daripada itu, gelaplah rumah
Ahmad Maulana, sunyi senyap; karena lampu sudah dipadami
dan sekalian pintu jendela suda h ditutup. Hanya di belakang
rumah itulah masih kedengaran suara si Hasan, bujang Ahmad


Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai Karya Marah Rusli di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maulana, bersenandung perlahan-lahan, akan menggolekkan
dirinya sendiri. Di dalam biiik Alimah, kelihatan Nurbaya dengan saudara
sepupunya ini, masih menjahit. Sebentar-sebentar Nurbaya
berhenti, lalu termenung, sebagai ada yang dipikirkannya.
"Nur, datang pula penyakitmu"" tanya Alimah.
"Bukan. Lim; hanya aku masih ingat akan perkataan bapa
tadi sebab pikirannya itu sangat terbenar dalam hatiku dan
menimbulkan ingatan kepada untung kita bangsa perempuan
ini," jawab Nurbaya.
"Nur, jangan kau banyak me nyusahkan pikiranmu dengan
ingatan yang sedih-sedih! Penyakitmu rupanya masih ada.
Segala kenang-kenanga n yang pilu-pilu, belum hendak hilang
dari hatimu. Bukankah engkau s udah berjanji kepadaku, akan
menetapkan pikiranmu supaya jangan tergoda pula lagi""
"Bukan hatiku rawan, Lim; memang hal ini sudah lama
terpikir olehku. Cobalah kaupikir benar-benar, nasib kita
perempuan ini! Demi Tuhan yang bersifat rahman dan rahim,
kita telah dikurangkan daripada la ki-laki, teman kita itu. Sengaja
kukatakan teman kita laki-laki itu, karena sesungguhnyalah
demikian walaupun banyak di an tara mereka yang menyangka,
mereka itu bukan teman, melainkan tuan kita dan kita hambanya.
Pada persangkaan mereka, mereka lebih daripada kita, tentang
kekuatan dan akal mereka. Betul kita lemah daripada laki-laki
dan barangkali juga tiada sepandai laki-laki, akan tetapi
kelemahan tubuh kita dan kekurangan akal kita itu, bukanlah
sebab kelihatan kita yang kurang atau otak kita yang tiada
sempurna; hanya karena tubuh kita, sangat berlainan dengan
laki-laki. lngatlah. kita ini bangsa ibu, karena anak itu kita yang
mengandungnya melahirkannya, menyusukannya, memelihara-nya dan membesarkannya. Laki-laki tak tahu apa-apa, hanya
tahu senangnya saja. Ingatlah perasaan perempuan yang hamil itu, muntah-muntah
sakit-sakit, tak sedap perasaan badan. Bukanlah sekalian itu
penyakit" Oleh sebab kira-k
ira dua bulan sesudah kita beranak,
kita telah bunting pula, bolehka h dikatakan, kita hampir
selamanya dalam sakit-sakit. Lihatlah perempuan yang tiap-tiap
tahun beranak! Bagaimana halnya" Badan rusak, lekas tua, umur
pendek. Bagaimana kita dapat menyamai kekuatan laki-laki,
yang boleh dikatakan selalu dalam sehat"
Lagi pula, segala pekerjaan laki-laki menambah kekuatan
badannya dan tajam pikirannya, te tapi pekerjaan kita perempuan
dari rumah ke dapur dan Jari dapur ke rumah, menjaga anak,
rnemasak, mencuci dan membersihkan rumah tangga; sekali-kali
bukan pekerjaan yang rnenamba hkan kekuatan dan pikiran.
Laki-laki tahu perbedaan ini da n ia tahu pula penanggungan
kita tatkala kita hamil. Akan tetapi pengetahuannya itu jangan-kan menjadi pandangan padanya, yang menimbulkan iba kasihan
kepada kita, tidak, melainkan ditertawakan dan dipermainkan
pula kita. Ada pula yang kawin, di waktu istrinya bunting atau
beranak. Kitakah yang berkehenda k akan nasib yang malang ini"
Kitakah yang meminta, supaya dijadikan begitu" Oleh sebab
laki-laki itu tiada merasai penanggungan, kesengsaraan dan
kesakitan kita ini, itulah sebabny a tiada diindahkannya hal kita.
Jarang laki-laki yang ingat, ba hwa ibunya yang telah bersusah
payah mengandung, melahirkan dan memeliharanya, bangsa
perempuan juga, bukan bangsanya sendiri, yaitu laki-laki."
"Benar sekali katamu itu, Nur," jawab Alimah, sarnbil
termenung memikirkan perkataan adiknya ini.
"Marilah kuteruskan uraian ini! Terlebih dahulu
penanggungan perempuan, karena anaknya, yang sebetulnya
bukan anaknya sendiri, melainkan anak berdua dengan laki-laki.
Oleh sebab itu haruslah kesusahan dan kesenangan yang
diperoleh, karena anak itu, terbag i sama rata atas ibu dan bapa.
Tetapi bukan begitu halnya, sebag ai yang telah kupaparkan tadi.
Dan walaupun perempuan yang terlebih bersusah payah atas
anak itu, bahagia yang diperoleh lebih kepada bapanya daripada
kepada ibunya, karena anak itu kelak lebili dikenal sebagai anak
ayahnya daripada anak ibunya. Bila anak itu menjadi orang yang
berpangkat tinggi misalnya, siapakah yang terlebih beroleh nama
baik, bapanya atau ibunya" Bila orang bertanya. "Anak siapakah
yang baik, itu"" Yang disebut nama ayahnya, bukan nama
ibunya. Perempuan Barat, harus pula memakai nama suaminya.
Adakah adil perempuan ini"
Ah, keadilan! Adakah engkau dalam dunia ini atau tidak"
Kalau ada, di manakah engkau tersembunyi" keluh Nurbaya, lalu
termenung seketika. Kemudian berkata pula ia, "Apabila kita hamil dua tiga bulan
bedan kurang segar kepala peni ng-pening, penglihatan kurang
terang pendengaran kurang nyata, perut selalu tak enak, acap kali
muntah, nafsu makan tiada tentu, yang enak, tak lazat rasanya
tetapi yang tak enak, disukai. Terkadang-kadang barang yang tak
ada atau sukar dicari atau tak patut dimakan, itulah yang
diidamkan. Kalau tak dapat, hati susalt dan sedih. Pikiran pun
kurang sempurna, acap kali suka marah dan benci kepada
seorang, tetapi sayang kepada yang lain, dengan tak ada sebab
karenanya. Kelakuan pun senantiasa berubah pula.
Bila hamil telah enam bulan, perut bertambah-tambah besar
dan mulai berat, sehingga susah be rjalan, berdiri, bekerja, ber-henti, duduk, dan tidur. Panta ngan bertambah-tambah banyak.
Ada makanan yang tak boleh dimakan, banyak pekerjaan yang
tak boleh dikerjakan, pendenga ran yang tak boleh didengar dan
penglihatan yang tak boleh dilihat.
Tatkala anak hampir dilahirkan, tak dapatlah berbuat apa-apa
lagi, karena perut makin lama makin besar dan makin berat,
tetapi duduk selalu pun tak baik pula, karena susah kelak
melahirkan anak kata orang. Berjalan ke luar rumah, malu, takut
dikatakan tukang tambur. Bila laki-laki disuruh mendukung anaknya sejam saja, lelah-lah ia katanya; tetapi perempuan sembilan bulan lamanya; ter-kadang-kadang lebih lama pula, tiada berhenti-henti siang
malam, pada segala tempat, mengandung anak dan sesudah itu
beberapa tahun pula mendukungnya , perempuan itu tiada botch
mengatakan lelah. Bila waktu akan melahirkan an ak telah datang, tak dapatlah
dikatakan perasaan diri kesakitan yang d
itanggung. Alam dan dunia rasakan lenyap, pikiran benar menjadi hilang, bertukar
dengan ketakutan dan was-was. Sakit pun tiada terderita, seluruh
badan rasakan hancur, pemanda ngan menjadi gelap, perasaan
tiada tentu. Bila susah bersalin itu, karena sesuatu hal, acap kali
membawa kita ke pintu kubur, jika tiada lekas dapat pertolongan.
Walaupun mendapat pertolongan sekalipun, dari dukun atau
dokter yang pandai, acap kali terlalu sakit juga, karena
terkadang-kadang dengan keker asan. Ada yang dipotong, di-bedah dan dijahit, sekaliann ya boleh mendatangkan cacat dan
penyakit seumur hidup. Apabila anak itu telah lahir ke dunia, beberapa lamanya
perempuan itu harus tidur diam-diam, tak botch bergerak-gerak,
serta harus pula memakan bermacam-macam obat yang kurang
sedap rasanya, supaya lekas sembuh. Ada kalanya penyakit itu
lama maka baik, padahal dalam waktu itu kita telah harus men-jaga dan menyusukan anak, karena kurang baik jika anak itu di-beri susu lembu.
Bila kita telah sernbuh, tiadalah pula dapat melepaskan lelah
barang sedikit pun, sebab kewajiban yang lain telah menanti,
yaitu menjaga, memelihara dan membesarkan anak itu. Tak tentu
susah, tak tentu payah, tak tahu siang dan tak tahu malam;
karena makanannya harus diberi dan dijaga, pakaiannya harus
dibuat dan dibersihkan. lika menangis harus dibujuk dan di-dukung, jika mengantuk harus ditidurkan dan diayunkan. Kalau
ia sakit, berjam-jam lamanya didukung dan dinyanyikan; siang
malam tak dapat tidur atau mengerjakan apa-apa yang lain,
karena berjaga-jaga. Bila anak ini telah besar sedik it, permainan harus diadakan
belanja harus diberi dan ia harus dididik pula dengan sempurna,
supaya ia kelak menjadi orang yang baik.
Belum selesai pekerjaan ini tanggungan yang baru sudah
datang pula, karena anak yang kedua telah dikandung. Tatkala
anak ini telah besar, harus disekolahkan dan kemudian dikawin-kan. Anak perempuan, sesudah kawin pun masih ditolong oleh
ibunya." "Sesungguhnya demikian hal perempuan bangsa kita," jawab
Alimah. "Betul aku sendiri belum merasai beranak, tetapi aku
acap kali bercakap-cakap dengan perempuan yang telah beranak
dan menolong mereka. Oleh sebab itu kuketahui perasaan dan
penanggungan mereka."
"Dan adakah selamanya baik balasan anak itu kepada
ibunya"" kata Nurbaya pula. "L ebih-lebiht anak laki-laki acap
kali tak tahu membalas guna. Terkadang-kadang, air susu ibunya
dibalasnya dengan air racun. Bila ia telah beristri, tiadalah di-
indahkannya lagi ibunya. Ada pula yang tiada hendak mengaku
ibu lagi kepada makiiya, karena ia telah kaya atau berpangkat
tinggi malu beribukan perempuan yang biasa saja atau
perempuan yang bodoh. Dan ada pula yang memusuhi sampai
memukul dan menyiksa ibunya sendiri.
"Memang anak laki-laki yang acap kali berbuat begitu; anak
perempuan jarang," sahut Alimah. '
"Boleh jadi sebab angkuhnya juga. Walaupurt asalnya dari
ibunya, tetapi pada sangkanya, ibunya itu hina, sebab ia bangsa
perempuan," kata Nurbaya seraya mengangkat kepalanya.
Setelah sejurus terhenti, berkata pula ia, "Hal yang kedua,
yang menyebabkan kita lebih lemah dan lebih kurang tajam
pikiran kita daripada laki-laki, ialah pemeliharaan, pekerjaan dan
kewajiban kita. Tentang pemeliharaan kita, sejak kita mulai
pandai berjalan, sampai berumur enarn tujuh tahun sajalah kita
boleh dikatakan bebas sedikit; bo leh berjalan-jalan ke sana
kemari; boleh bermain-main ke luar rumah. Itulah waktu yang
sangat mulia bagi kita, waktu kita berbesar hati, waktu kita
merasa bebas. Sudah itu sampai kepada hari tua kita, tiadalah
Siasat Yang Biadab 2 Fear Street - Panggilan Masa Lalu The Mind Reader Racun Ular Karang 2
^