Rukas Angel 1
Rukas Angel Karya Angelia Putri Bagian 1
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel - Angelia Putri
Bidadari Pendekar Naga Sakti SINOPSIS :
Rukas Angel - Angelia Putri
Megumi Ruka "Aku tidak punya ingatan sebelum aku berusia 5 tahun... tapi, aku ingat
satu orang yang selalu berada di sisiku ketika aku kesepian, namun aku tidak ingat
seperti apa wajahnya. Aku ingin tahu siapa orang itu. Aku ingin mengingatnya,
mengingat setiap saat yang pernah kulalui beramanya. Namun, aku takut. Apakah aku
punya keberanian untuk mengetahui hal itu?" Nakayama Inoue "Ruka... gadis itu begitu
memikat hatiku. Sejak pertama kali aku melihatnya dari foto, hatiku langsung tergerak,
seolah ada sesuatu di dalam diriku yang mengenal gadis itu, terutama mata bulat biru
keabu-abuannya yang khas. Walau sikapnya sedikit tertutup, tapi dia memiliki cahaya
yang mampu menyinari orang-orang yang disayanginya..." Hoshihiko Kazuto "Setiap
kenangan, pasti memiliki sisi baik dan buruk. Aku selalu menganggap semua kenangan
yang kualami adalah mimpi buruk. Tapi, Ruka menyelamatkanku. Ruka membuatku
berharga, dan merasa dicintai. Hanya dialah cahayaku... hanya dia harapan dalam
hidupku. Satu-satunya yang menjadi alasan mengapa aku hidup." Mereka bertiga
dipertemukan oleh takdir. Mereka bertiga memiliki pertalian yang saling
berkesinambungan, namun, mereka tidak sadar bahwa ada sesuatu yang lain dalam
pertemuan mereka. Sesuatu yang sudah direncanakan sejak lama. Sesuatu yang
mungkin bisa menghancurkan salah satu dari mereka, atau bahkan mereka bertiga
sendiri... PROLOGUE Ada yang bilang, kalau takdir dan cinta itu bedanya hanya
seutas benang tipis. Ada juga yang bilang, takdir dan cinta itu berdampingan. Seperti
gelap dan terang, juga baik dan buruk. Kalau begitu, apa nasibku juga termasuk dari
takdir dan cinta yang berdampingan" Entahlah... aku tidak tahu Yang kutahu hanyalah,
aku harus menjalaninya, suka ataupun tidak. Karena aku tahu, semua sudah digariskan
dalam takdirku. Aku takkan bisa menolak walau aku ingin... kan" CHAPTER 1 Aku
menuliskan kata terakhir dari jawaban soal yang tertulis di papan tulis. Lalu menoleh
kearah Pak Henry yang berdiri di belakangku. "Apa jawaban saya benar?" tanyaku
sambil meletakkan spidol magnetis ke sisi papan tulis. Aku yakin aku melihat
kekaguman dan ketakjuban dalam pandangan Pak Henry, juga teman-teman baruku di
sekolah ini, ketika melihat jawabanku di papan tulis. "A - err... ya. Jawabanmu
sempurna. Silakan kembali ke tempat dudukmu." Aku mengangguk dan berjalan kearah
tempat dudukku, diiringi tatapan kagum sekaligus benci dari semua teman sekelasku.
Tapi, aku hanya bisa diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku duduk di kursi dan
kembali membuka bukuku ketika Pak Henry mulai menjelaskan jawaban dari soal yang
kukerjakan. Kubaca setiap kata-kata yang tertera di sana, aku tidak memperhatikan guru
yang mengajar di depan kelasku. Bahkan walaupun aku ingin belajar, sebenarnya aku
tidak perlu melakukan hal itu. Bel istirahat akhirnya berbunyi juga. Dengan cepat aku
memasukkkan buku-bukuku ke dalam laci dan mengambil dompet sertap ponselku.
"Anu," Aku menoleh dan melihat seorang gadis berambut panjang diikat ke samping kiri
mendekat kearahku. Hmm... kalau tidak salah namanya Julia. Tapi, kepanjangan
namanya aku lupa. Yang jelas, namanya Julia. "Ya?" aku bertanya, "Ada apa?" "Kamu
mau ke kantin" Bagaimana kalau kita bareng?" Aku mengerjap dan menatapnya curiga.
Aku tidak tahu apa maksudnya ingin ke kantin bersamaku... bisa dibilang, aku terlalu
curiga. Tapi, sikap itu ada benarnya, mengingat aku baru seminggu di sini, aku tidak
mau "ketenangan "Bagaimana" Boleh, ya?" tanya Julia lagi. "Kalau kamu mau ikut,
silakan." Kataku sambil berjalan keluar kelas. Kudengar langkah kakinya di belakang
mengikutiku. "Hei, boleh kupanggil kamu Ruka" Soalnya namamu cantik, sih..."
katanya. "Terserah." Balasku sambil memeriksa ponsel, "Lalu, apa maumu ikut
bersamaku ke kantin?" "Apa aku tidak boleh ke kantin bersamamu?" tanyanya dengan
Rukas Angel - Angelia Putri
nada polos. "Tidak. Hanya... aneh." Kataku. Kami berdua memasuki kantin. Aku
langsung membeli satu set bento ukuran medium dan sebotol teh aroma melati, lalu
duduk di pojok kantin, tempat favoritku karena bisa melihat langsung ke taman yang
dihiasi bunga-bunga indah berwarna ungu. Julia duduk di sebelahku, dan aku cukup
terkejut dia membeli makanan yang sama sepertiku. Aku jadi merasa risih karena pilihan
makanannya sama denganku. "Oh ya, aku dengar kamu dulu sekolah di luar negeri."
katanya sambil membuka kotak bento yang dibelinya, "Kamu belajar apa saja di sana"
Aku lihat, di kelas kamu sangat pintar, jenius malah..." "Biasa saja." kataku, "Aku hanya
mempelajari apa yang kupelajari, lalu kupraktekkan, atau mengerjakan soal-soal yang
berhubungan dengan yang kupelajari." "Hee... itu, sih jenius. Aku saja tidak bisa seperti
itu." katanya, "Kamu tahu, aku sering mendapat peringkat kedua di kelas hanya karena
aku terlalu rajin belajar. Aku selalu berusaha keras lebih dari yang lain. Jadi, aku jarang
berteman." "Oh..." aku membuka kotak bento-ku dan menyendok daging ayam goreng.
Rasanya lembut dan garing. Enak. "Eh, Ruka, kenapa kamu seperti menjaga jarak dari
yang lain?" "Eh?" "Yah..." Julia mengetuk-ngetukkan sendok di tangannya ke tutup
botol minumannya, "... kamu kelihatan menjaga jarak. Sering bersikap jutek dan dingin,
juga lebih sering menyendiri. Kamu tidak suka bergaul, ya?" Bukan karena aku tidak
suka bergaul, tapi, lebih karena aku harus menutupi jati diriku sendiri. kataku dalam hati.
Tapi, tentu saja aku tidak mungkin mengatakannya. "Aku ke sekolah untuk belajar, dan
bukan untuk berteman." Kataku, melahap satu ayam goreng lagi, "Aku merasa tidak ada
gunanya berteman jika hanya untuk membuang waktu." "Hee... cukup berprinsip, ya?"
dia tertawa. "Aku suka kata-katamu. Memang benar sih, apa yang kamu katakan, Ruka."
Aku hanya mengedikkan bahu dan memakan habis bento-ku secepat mungkin. Lalu
meminum teh melati-ku dengan cepat dan tandas. "Makanmu cepat sekali. Apa tidak
keselak?" "Tidak." kataku, lalu berdiri, "Aku mau pergi ke perpustakaan. Jadi, jangan
ikuti aku." Aku lalu pergi meninggalkannya. Aku tidak menoleh ketika dia memanggilku
lagi. *** Menjadi siswa pindahan. Mendapat kelas baru. Teman baru. Semua yang
baru. Aku sudah sering melakukan itu berpuluh-puluh kali, bahkan sebelum semua
orang mengenalku. Namaku, semua identitas yang kupunya, juga selalu berganti-ganti.
Juga nama yang kusandang sekarang, Megumi Ruka. Itu juga nama palsu. Aku tidak
pernah punya nama asli. Rukas Angel - Angelia Putri
Kehidupan normal yang asli pun... juga tidak ada. Aku tidak pernah punya kehidupan
yang normal. Tidak satu pun. Aku juga bukan orang biasa. Kepintaranku, kemampuan
yang kupunya, semuanya juga bukan sesuatu yang biasa. Dan aku sering frustasi
karenanya. Oke. Kalau kalian ingin mendengar perkenalan secara resmi. Namaku
Megumi Ruka. Aku siswi pindahan di Hope Academy. Usiaku" Tidak bisa disebutkan,
sebenarnya. Tapi... mungkin sekitar 17 tahun, atau lebih. Aku tidak tahu. Yang aku tahu,
aku sudah hidup seperti ini, bergontaganti identitas, menjalani rutinitas hidup yang jauh
lebih membosankan ketimbang orang normal. Bukan berarti aku sendiri tidak normal.
Hanya kehidupanku yang tidak normal. Selebihnya, mungkin aku normal, tapi tidak
normal-normal amat. Kehidupanku sejak masih kecil selalu berubah-ubah. Aku selalu
berganti identitas, seperti yang kukatakan sebelumnya. Bukan karena aku menyukainya,
tapi karena suatu keharusan. Katakanlah, sejenis penyembunyian diri. Tapi, aku tidak
bisa mengatakannya sekarang, aku benar-benar tidak bisa. Selain kehidupanku yang
membosankan, aku cukup menikmati kesendirian yang kubuat karena aku sering
menyendiri dan teman-teman menjauhiku karena mengira aku sombong dan angkuh.
Kadang, aku suka cara mereka menjauhiku, seperti ketakukan karena mungkin akan
tertular wabah penyakit. Namun, tetap saja, aku juga manusia biasa, gadis biasa.
Rukas Angel - Angelia Putri
Kadangkala, aku selalu merasa kesepian. Tapi, kesepian itu tertepis oleh rasa aneh
yang selalu muncul di dadaku. Rasa aneh yang sering kuartikan sebagai terapi paling
efektif untuk jiwaku. Aku berjalan ke perpustakaan dan langsung ke rak yang memuat
buku-buku novel fiksi. Aku mengambil beberapa dan segera membawanya ke meja di
dekat situ. Membaca adalah salah satu kegiatan favoritku. Dan aku juga punya banyak
koleksi di rumah... "Hei," Aku mendongak dan melihat Julia sudah berdiri di sebelahku.
Aku menaikkan sebelah alis. Apa anak ini tidak bisa membiarkanku sendirian" Walau
hanya untuk sedetik" "Aku tadi memanggil-manggilmu agar tidak meninggalkanku di
kantin, tapi, kamu malah pergi duluan." Katanya, "Kamu ternyata bisa kejam juga, ya?"
Aku ingin menanyakan kenapa dia harus mengikutiku sampai ke sini. Tapi, aku hanya
diam dan kembali meneruskan bacaanku. Kursi di depanku berderak, dan aku melihat
sekilas kalau Julia duduk di depanku sambil menatap buku-buku di sampingku, yang
akan kubaca atau kupinjam dan kubawa pulang jika waktu istrahat keburu habis dan aku
belum sempat membacanya. "Kamu suka novel-novel seperti ini, ya?" katanya, "Kukira
kamu suka cerita yang lebih romantic..." "Itu hanya akan membuatku mengantuk dan
cepat tertidur." Kataku pelan, "Kenapa kamu mengikutiku?" "Lho" Apa aku belum
mengatakan padamu kalau aku ingin menjadi temanmu?" katanya balik. "Aku tidak perlu
teman, dan aku rasa aku sudah mengatakan hal itu sebelumnya." Balasku. "Aww...
kamu itu dingin sekali, ya" Ayolah, manusia harus bisa bersosialisasi dengan yang lain,
apa kamu tidak ingin punya teman?" Aku mau. Tapi sayangnya, aku tidak diperbolehkan
untuk melakukan hal seperti itu. "Tidak." jawabku. "Dan tolong jangan ganggu aku lagi.
Aku tidak suka diikuti." Aku menutup buku yang kubaca dan membawa semua yang
kuletakkan di meja tadi ke petugas perpustakaan. Aku akan meminjamnya saja, jadi aku
bisa membacanya di rumah. CHAPTER 2 Sepertinya Julia benar-benar ingin
mengganggu kehidupanku yang sudah sangat membosankan ini. Saat pulang sekolah,
dia ternyata nekat menunggu di sebelah mobilku yang ada di tempat parkir. Dia
melambai kearahku ketika aku melihatnya. "Kali ini apa maumu?" tanyaku, lebih curiga
dari yang tadi. "Aku boleh menumpang mobilmu, ya" Arah ke rumahmu searah dengan
rumahku, kan?" "Aku tidak tahu apakah rumah kita searah." Kataku, "Aku tidak biasa
menerima orang asing masuk ke dalam mobilku." "Ayolah... hanya kali ini saja." pinta
Julia sambil memelas, "Aku janji bakal diam dan tidak akan macam-macam. Ya" Ya?"
Aku memalingkan wajah dan menghela nafas. "Tidak. Maaf. Aku ada janji dengan
seseorang dan aku harus cepat-cepat pergi." Aku tidak mengindahkan tatapan
kecewanya. Akan tetapi, dia menepi dan membiarkanku masuk ke dalam mobil. Aku
masuk ke dalam mobil dan menghela nafas. Untungnya kaca film jendela mobilku
sangat hitam dan orang di luar tidak bisa melihat ke bagian dalam mobil. Aku menatap
Julia yang masih berdiri di samping mobilku. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang
tidak dibuat-buat. Dan sialnya, aku benci melihat pemandangan seperti itu. Sekali lagi
aku menghela nafas. Aku membuat keputusan yang mungkin akan sangat kusesali
nanti. Tapi, aku sudah kepalang tanggung. Aku membuka pintu di sebelahku dan
menatap Julia. "Masuklah." *** Aku mengemudi dalam diam. Dan hanya ada suara
biola dan piano yang bersahutan dari CD Player di mobilku. Salah satu kebiasaanku
ketika mengemudi adalah mendengarkan lagu-lagu instrumental klasik. "Anu..." "Apa?"
tanyaku. "Musik ini... indah. Apa nama music ini?" tanyanya. "Devil"Oh... suara biolanya
sangat menyayat hati, ya?" Aku tidak membalas ucapannya dan terus berkonsentrasi ke
jalan. Hanya dalam waktu 8 menit, kami sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Dia
membuka sabuk pengamannya dan membuka pintu. "Terima kasih sudah memberiku
tumpangan." Ujarnya, "Maaf kalau aku agak cerewet. Tapi, serius, mengenai ucapanku
yang ingin menjadi temanmu itu sungguhan." Aku tidak menjawab. "Sampai jumpa
besok." Dia menutup pintu di belakang punggungnya dan berlari ke gerbang. Masuk ke
Rukas Angel - Angelia Putri
rumah seperti anak kecil yang baru pulang dari taman kanak-kanak. Aku mendengus
pelan melihatnya. Kemudian aku segera melajukan mobilku, aku harus segera pulang,
kalau tidak mau kena masalah. *** Aku memarkir mobilku di garasi flat yang kubeli
beberapa bulan lalu. Flat yang sangat nyaman, terutama karena menghadap langsung
kearah hutan rindang dan lebat di belakangnya. Ini salah satu tempat kesukaanku. Dari
sekian banyak tempat yang pernah kudatangi sebelum ini. Kuambil tasku dan kumatikan
mesin mobil. Aku membuka bagasi, karena tadi aku sempat mampir ke minimarket
untuk membeli "beberapadengan kantong-kantong kertas penuh berisi itu semua. Aku
membuka pintu yang langsung menuju bagian dalam rumah. Ke dapur, aku meletakkan
semua kantong kertas yang ada di tanganku ke atas meja dan menghampiri keran air di
bak cuci piring, membukanya, dan mencipratkan air yang dingin itu ke wajahku.
Rasanya cukup segar, dan aku merasa lebih hidup sekarang. Sambil menata makanan
yang kubeli dari minimarket di dalam kulkas, aku menyalakan TV. Hanya untuk
mengalihkan perhatianku dari kesunyian di dalam flat yang memang kutinggali sendirian
ini. Aku tidak memiliki keluarga. Satu-satunya keluargaku menghilang entah ke mana
Rukas Angel - Angelia Putri
dan aku sedang mencarinya. Ya. Alasan kenapa aku selalu bergonta-ganti identitas
adalah untuk menemukannya. Satusatunya keluargaku. Aku menghela nafas dan
menutup pintu kulkas. Kuambil sebutir apel dari piring di atas meja makan dan berjalan
ke kamar, berganti pakaian, dan kembali lagi ke dapur untuk membuat mie instan. Aku
tidak bisa memasak makanan berat untuk saat ini karena aku sedang tidak berselera
makan. Jadi, mie instan yang dicampur dengan kornet dan sawi adalah pilihan yang
tepat. Aku menggigit apelku lagi dan membuangnya ke tempat sampah di dekat kulkas.
Sebenarnya, jarak tempatku berdiri dengan tempat sampah itu sekitar 3 meter, tapi, aku
bisa melemparnya dan sampah itu masuk dengan mulus ke sana. Salah satu
kemampuanku : Telekinesis. Aku memang mempunyai kemampuan telekinesis,
disamping beberapa kemampuan lainnya. Bukan hal aneh karena aku memiliki
kemampuan telekinesis. Bukankah sudah kubilang kalau aku bukanlah orang biasa"
Sambil bersenandung, aku mengambil panci dari lemari. Juga tiga bungkus mie instan,
sekaleng kornet, dan seikat daun sawi. Lalu mulai membuat makan malamku. "...
dikabarkan bahwa keluarga ini memiliki hubungan erat dengan gadis yang dulu
dikabarkan hilang, Emilia Anderson. Gadis itu menghilang 5 tahun lalu, tidak lama
setelah sang kepala keluarga mengalami kecelakaan lalu lintas..." Aku berhenti
memotong sawi dan menoleh kearah TV. Mengerutkan kening melihat sebuah foto
seorang gadis kecil berusia 12 tahun berambut pirang stroberi dengan mata biru. Aku
tertegun sejenak. Sang pembaca berita masih bercuap-cuap tentang kasus yang dia
beritakan, sementara aku masih terpaku pada foto gadis kecil itu. Tidak salah lagi. Itu
fotoku. Foto lama, sebenarnya. Karena mereka salah mengira gadis itu sebagai anak
angkat keluarga yang diberitakan menghilang itu. Aku sering menyamar, bahkan sejak
kecil. Nama Emilia Anderson adalah salah satu penyamaranku. Aku berpindah-pindah
dari satu panti asuhan ke panti yang lain, untuk menghindari kecurigaan pemerintah
kenapa anak sepertiku nekat dan berani menyamar di usia belia. Aku mengeraskan
suara TV dan mendengarkan berita itu dengan seksama. Dan barulah aku tahu kalau
keluarga Anderson, keluarga yang mengangkatku sebagai anak, menghilang seperti
ditelan bumi. Tapi, walau begitu, ditemukan beberapa bukti bahwa keluarga itu tidak
menghilang begitu saja. Bahkan bukti itu menunjukkan kalau sebenarnya keluarga
tersebut tidak menghilang karena kematian sang kepala keluarga, tapi karena alasan
lain. Hmm... cukup aneh juga. Aku tidak akan menyalahkan jika mereka menghilang
hanya untuk mencariku. Meninggalnya Albert Anderson, sang kepala keluarga, juga
Rukas Angel - Angelia Putri
termasuk dalam kesalahanku yang paling besar. Mungkin mereka menyalahkanku...
atau justru mencariku karena ingin memperingatkan adanya bahaya. Yah... itu semua
tidak penting sekarang. Aku tidak terdeteksi oleh siapapun. Semua yang kulakukan
sempurna dan nyaris tanpa cela. Tidak akan ada orang yang tahu aku di mana.
Lagipula, kalaupun ada orang dari masa laluku yang mengenalku, mereka tidak akan
bisa mengingatku lagi karena bisa saja, aku menghipnotis mereka untuk tidak ingat
padaku. Aku kembali ke pekerjaanku membuat mie instan. Setelah makan malamku
siap, aku mematikan TV dan berjalan ke kamar. menghampiri laptop di meja dan
menyalakannya. Sambil memakan mie kornet buatanku, aku mulai menjalankan kamera
pengawas dan CCTV yang kupasang di seluruh penjuru flat-ku. Di luar dan di dalam.
Hanya untuk keamanan privasiku. Sambil menyeruput mie lagi, aku memeriksa rekaman
kamera CCTV sebelum aku pulang sekolah. CHAPTER 3 Kalau ada yang bilang hidup
itu menyenangkan, sepertinya mereka harus intropeksi diri, apa yang dimaksud dengan
"menyenangkanmereka. Aku tidak pernah punya kehidupan yang bahagia. Sejauh ini,
aku tidak pernah bahagia. Aku harus bertualang, mencari orang yang berarti bagi
hidupku. Aku sudah lama terpisah dari orang itu, dan aku akan mencarinya sampai
ketemu. Oh, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Nakayama Inoue. Dan...
tolong jangan menganggap namaku terlalu "cantikNama yang sudah kudapatkan sejak
aku tahu aku bukanlah manusia biasa. Itu memang benar, kok. Aku memang bukan
manusia biasa. Tapi, saat ini, aku tidak bisa menceritakan siapa aku sebenarnya. "Hei,
Inoue," Aku menoleh ketika aku sedang asyik membaca majalah mingguan di salah satu
reading corner perpustakaan. Seorang gadis berambut pendek yang disemir pirang
menyapaku sambil tersenyum lebar. Alice Hawkstone. Teman sekelasku di kampus.
"Kamu rajin sekali membaca majalah seperti itu." katanya sambil duduk di sebelahku,
"Seperti sedang membaca buku diktat saja." "Biasa saja..." kataku sambil tersenyum.
"Oh ya, di mana Tristan" Dia tidak bersamamu?" "Pacarku itu lebih suka berkutat
dengan kegiatan basketnya daripada menemaniku yang harus mengerjakan tesis
terakhir." Gerutu Alice sambil menghela nafas. "Majalah apa yang kamu baca?" Aku
menunjukkan sampul depan majalah yang kubaca padanya. "Lho" Ini kan majalah
yang biasa terkenal di kalangan cewek." katanya mengerutkan kening, "Kenapa kamu
baca majalah beginian?" "Aku hanya... iseng." Kataku. "Aku sedang melihat-lihat model
pakaian yang ada di sini." "Heee... memang benar-benar deh. Kamu serius ingin
menjadi desainer pakaian?" Aku mengangguk. Aku memang bercita-cita menjadi
seorang desainer pakaian. Aku tidak tahu kapan aku memutuskan demikian. Padahal
hidupku saat ini penuh dengan kebosanan dan ketegangan karena aku harus selalu
bergonta-ganti identitas. Tapi, nama Nakayama Inoue memang nama asliku. Jadi, aku
tidak pernah merasa berat menggunakan nama itu. "Kalau begitu, kamu harus bisa
membuat desain yang akan memukau semua orang nanti di festival kelulusan." Katanya
lagi, "Aku akan dengan senang hati menjadi modelmu." Lagi-lagi aku hanya tersenyum
mendengar ucapannya. Sampai sejauh ini, aku tidak bisa menemukan siapa model yang
cocok untuk semua pakaian yang kudesain di rumah rahasiaku. Tidak ada yang cocok,
mungkin yang cocok... hanya orang itu. "Oh ya, hari ini kita ke kedai fast-food di dekat
sini, yuk" Ada menu baru yang ingin kucoba." "Dengan Tristan?" "Tentu saja dengan
dia." Alice tertawa, "Sebentar lagi dia pasti sudah selesai bermain... dan mendapatkan
uang taruhan, seperti biasa." Aku tertawa. Kebiasaan buruk Tristan yang tidak bisa
dihentikan oleh Alice sebagai pacarnya. Tristan sering menggunakan kemampuannya
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai atlit basket untuk mengadakan taruhan sejumlah uang dengan
teman-temannya. Memang tidak banyak, tapi kalau dia taruhan dengan sekitar 6 orang,
apa uang itu menjadi tidak sedikit" "Nah, ayo kita jemput Tristan di lapangan indoor."
Alice berdiri, "Aku yakin, dia sudah puas dengan kemenangan telaknya." *** Aku
Rukas Angel - Angelia Putri
memeriksa ponsel, kalau-kalau ada pesan atau telepon masuk, yang sebenarnya nyaris
tidak pernah muncul di layar ponselku. Aku membeli ponsel hanya untuk... penyamaran.
Aku tidak pernah menggunakan ponsel kecuali dalam keadaan tertentu. Tapi, sampai
sekarang, tidak ada orang yang menghubungiku kecuali Alice dan Tristan. Hanya
mereka berdua temanku di kampus. "Hei, Inoue, kau ingin apa" Hari ini aku yang
traktir." Ujar Tristan sambil nyengir.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Terima kasih, tapi aku tidak mau ditraktir olehmu." Kataku sambil tertawa, "Memangnya
kamu dapat berapa?" "Lebih dari yang bisa kamu bayangkan." Katanya terbahak,
"Mereka memasang taruhan yang besar, dan aku memenangkan semuanya. Ada anak
baru yang ingin menjajal kemampuanku, dan dia hanya satu tingkat di bawahku."
"Pantas mereka menaikkan taruhan mereka." aku tersenyum, "Jadi... berapa?" "Cukup
untuk mentraktir kita semua selama seminggu." Katanya lagi, "Sudahlah... pesan saja!
Aku memaksa, Inoue." Aku tertawa lagi. Alice mengedikkan bahu sambil menatapku.
Kami lalu pergi ke salah satu restoran yang cukup terkenal di dekat kampus dan
memesan makanan. Alice tidak jadi pergi ke kedai fast-food yang ingin dia datangi
karena Tristan menyarankan kami makan di sana. Alice dan Tristan memilih menu yang
sama. Cappuccino flood-ice dan yakiniku panggang. Sedangkan aku memilih nasi kari
dan teh hijau. Makanan yang cocok untuk lidahku yang ingin merasakan yang hangat.
"Aku heran, kamu ini suka sekali makanan cepat sederhana seperti itu." kata Tristan
sambil meminum cola dinginnya. "Aku yakin, pasti karena kamu belum punya pacar.
Mau kucarikan pacar?" "Apaan, sih?" aku tertawa melihatnya mengedip jahil seperti itu,
"Aku tidak butuh pacar sekarang. Aku masih betah sendiri." "Heee... tipe cowok setia
nih." kata Alice, "Nggak seperti pacarku ini. Yang matanya masih suka jelalatan mencari
mangsa baru." "Hei, Alice, aku, kan hanya... mengobservasi." Tristan terkekeh dan
memeluk pinggang Alice. "Di hatiku Cuma ada kamu, kok. Tenang saja..." "Iya, kalau
lagi dibutuhkan. Kalau nggak?" "Aduh, jangan marah dong... nanti cantiknya hilang."
Aku dan Alice sama-sama tertawa melihat wajah Tristan yang agak memelas itu. Tristan
memang tidak bisa hidup tanpa Alice. Mungkin itu terdengar sediit berlebihan, tapi itu
memang benar. Sekarang saja, Tristan tidak terlalu sering taruhan dengan kemampuan
basketnya. Dan itu semua berkat Alice. Cewek itu sudah sedikit mengubah sikap dan
pendirian Tristan yang dulu sangat urakan. "Oh ya, ngomong-ngomong soal cewek..."
Alice menyeruput minumannya, "Kemarin aku baru mendapat kabar kalau flat yang tidak
jauh dari kampus kita itu sudah ada yang menempati. Yang menempati tempat itu
sepertinya seorang nona kaya raya, karena mobilnya begitu mencolok dan dia jarang
keluar dari flat kecuali untuk pergi ke sekolah, tempat les, atau minimarket untuk
membeli bahan makanan." "Benarkah?" "Ya. Aku dapat kabar ini dari teman-temanku di
kelas. Mereka bilang, anak itu seorang model, tapi... tingkahnya lebih mirip seperti
seorang nona muda. Tidak kelihatan kalau dia itu seorang model." "Yang benar" Kalau
dia model, seharusnya aku dan Nakayama mengenalnya. Apalagi kami sama-sama
mengambil jurusan fashion design dan sering berurusan dengan artis." Kata Tristan, "Iya
kan, Inoue?" "Ya... aku juga tidak tahu siapa model yang kamu maksud, Alice." Kataku.
"Sebentar, aku punya fotonya. Kebetulan salah seorang temanku mengambil fotonya
ketika dia akan berangkat ke sekolah." Alice mengambil ponselnya dan mengutak-atik
sebentar, kemudian memperlihatkan layar ponselnya pada kami berdua. "Ini. Dia gadis
yang cantik, kan?" Kami berdua sama-sama melihat foto itu Foto seorang gadis belia
berusia 17 tahun berambut hitam pendek sebahu dan berwajah bagai boneka. Matanya
besar berwarna biru keabuabuan, dan kulitnya putih seperti patung marmer. Satu kata
yang bisa didefinisikan untuknya : sempurna. Tapi, tunggu. Kenapa sepertinya aku
Rukas Angel - Angelia Putri
pernah melihat wajah gadis itu" Tristan bersiul, "Dia cewek yang manis. Masih SMA?"
"Dia bersekolah di Hope Academy. Itu lho... sekolah khusus artis itu." kata Alice.
"Almamaterku." "Oh... pantas saja kalau begitu. Hope Academy adalah salah satu
"langgananuntuk berburu model." Ujar Tristan, "Banyak anak-anak bertalenta model di
sana." "Namanya siapa, cewek ini?" tanyaku. "Hmm... aku tidak tahu. Lagipula dia baru
pindah ke flat itu 3 bulan lalu, dan para tetangga tidak ada yang tahu seperti apa latar
belakang maupun keluarganya. Di dalam berkas yang diserahkan pada pemilik flat
sebelum dia hanya tertulis kalau dia hidup sendirian dan sedang mencari tempat tinggal
yang nyaman untuk menenangkan diri." "Astaga. Jangan bilang padaku cewek semanis
ini menderita penyakit jiwa." Kata Tristan. "Kamu jangan asal bicara, dong! Mana
mungkin dia gila?" balas Alice sambil menyodok siku Tristan dengan sikunya. "Ya...
mungkin saja dia psikopat gila yang disuruh oleh psikiaternya untuk menenangkan diri."
Tristan mengedikkan bahu. "Kan, siapa tahu..." "Jangan asal menuduh kalau tidak ada
buktinya." Tegur Alice, "Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan gadis ini karena dia
seperti menutup diri dari orang-orang di sekitarnya. Adikku, Julia, hari ini mencoba
berteman dengan anak itu, tapi tidak berhasil." "Wah, wah... dia nekat sekali." Komentar
Tristan, "Apa Julia tahu siapa namanya?" "Dia tahu, tapi tidak mau memberitahuku."
Alice menghela nafas. Mungkin aku akan mencoba mencari tahu sendiri saja. Lagipula
tesis terakhir dari jurusan psikologi yang kuambil adalah menemukan seseorang yang
tepat untuk diwawancarai. Mungkin anak ini bisa kumintai tolong untuk kuwawancarai."
"Itu ide yang bagus. Aku akan mendukung." Kata Tristan sambil tertawa. Kami lalu mulai
memakan makanan kami. Tapi, pikiranku tidak tertuju pada makanan yang kusantap.
Entah kenapa, selera makanku langsung menghilang, terutama setelah melihat foto
gadis misterius itu. Aku yakin aku pernah melihat wajahnya, tapi aku lupa di mana.
Mungkin sebaiknya aku juga ikut mencari tahu seperti yang akan dilakukan oleh Alice.
Aku terlanjur penasaran dengan cewek itu. Dan mengingat festival kelulusan mahasiswa
jurusan desain yang tinggal sebulan lagi, aku harus bisa menemukan seorang model
untuk kumintai tolong menjadi modelku. Dan Alice bilang tadi cewek itu adalah model,
kan" *** Rumahku tidak jauh dari kampus tempatku belajar. Sebenarnya, hanya
beberapa blok, dan sedikit masuk ke jalan kecil, dan sampai di ujung jalan, kalian akan
menemukan rumah mungil berwarna biru muda yang dihiasi beraneka ragam tanaman
hias. Ya. Itulah rumahku. Aku mengambil kunci rumah di dalam tasku dan membuka
pintu. Kunyalakan lampu ruangan dan langsung melepas sepatu. Kulempar tasku ke
atas sofa dan berjalan kearah dapur, mengambil sebotol air dingin dari kulkas. Kegiatan
yang biasa kulakukan di jam 7 malam seperti ini adalah menulis cerita atau mendesain
pakaian terbaru. Tapi, entah kenapa, aku sedang tidak berminat melakukan kedua hal
tersebut. Dengan sedikit frustasi, aku melempar botol kosong di tanganku ke tempat
sampah. Botol itu masuk dengan mulus dan aku tersenyum kecil. Kemampuanku
semakin meningkat saja, walau sebenarnya melempar botol ke tempat sampah adalah
hal yang biasa bagi orang-orang. Tapi, akan menjadi hal yang tidak biasa kalau tempat
sampau itu memiliki tutup, kan" Yup. Itu tidaklah biasa. Oh, aku memang punya
beberapa kemampuan khusus. Salah satunya adalah yang kulakukan ketika membuang
botol tadi. Telekinesis. Aku bisa mengangkat benda tanpa menyentuhnya, mengangkat
benda berat dengan enteng seperti itu adalah mainan dari kardus, pokoknya semua
yang bisa dilakukan dengan telekinesis. Itu salah satu kemampuan khususku. Yang
lain... mungkin tidak bisa kuceritakan sekarang. Aku tidak bisa, dan aku belum
Rukas Angel - Angelia Putri
boleh mengungkapkan identitasku yang sebenarnya kepada orang lain, termasuk kalian
kenapa aku tidak mau mengatakan apa saja kemampuan khususku. Oke. Tidak perlu
Rukas Angel - Angelia Putri
membahas itu. Sekarang aku mau mandi air hangat, mungkin sedikit lama, karena aku
benar-benar lelah mencari model yang cocok untuk festival kelulusan sebelum pergi ke
perpustakaan tadi. *** Sehabis mandi, pikiran dan tubuhku terasa segar, dan aku siap
untuk tidur, kalau saja tidak teringat gadis misterius yang diceritakan Alice tadi di
restoran. Oh, sial. Aku paling benci dibuat penasaran. Serius. Benar-benar tidak
tertahankan kalau ada misteri di depan mata yang tidak bisa dipecahkan. Yah...
memang kehidupanku lebih misterius dari yang teman-temanku ketahui, tapi, itu adalah
suatu keharusan aku harus menjaga kerahasiaan identitasku. Tapi, yang ini,
masalahnya beda. "Aku tidak mungkin menyelinap ke rumahnya diam-diam hanya untuk
mengetahui lebih jauh tentang gadis itu." gumamku, "Walau rumahnya hanya beberapa
blok dari sini. Tetap saja..." Aku kembali ke dapur, kali ini mengambil sebotol teh
gandum. Meminumnya langsung dari botolnya. Aduh, sekali lagi sial. Aku masih tidak
bisa menghilangkan bayangan wajah gadis itu dari pikiranku. Dan aku bisa gila kalau
tidak mengetahui seluk-beluk gadis itu sampai sedetil mungkin. Kalian bisa mengataiku
penguntit jika aku benar-benar melakukan hal itu. Tapi, sungguh, aku tidak bisa
mengatasi rasa penasaranku kecuali aku bisa mengetahui siapa nama, dan latar
belakang gadis itu. Aku menengok kearah jam di dinding. Sudah jam setengah 9 malam.
Agak larut untuk bertamu. Dan itu berarti, aku harus menunda keinginanku untuk
mengenal gadis itu lebih jauh. Tapi, bukan berarti rasa penasaran ini akan lenyap
seperti air yang menghanyutkan pasir. Rasa penasaranku akan berubah menjadi batu
karang dan berdiam tidak bisa digerakkan kecuali dihancurkan. *** Pagi harinya, aku
terbangun dengan wajah kuyu. Tentu saja karena aku selalu kepikiran gadis misterius
itu. Benar-benar sial. Aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari matanya yang bulat
besar, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis berwarna pink itu. Rasanya
aneh. Aku baru melihatnya lewat foto, tapi aku sudah sangat penasaran dengan gadis
itu. Yah... semoga hari ini aku bisa bertemu dengannya. Dengan basa-basi
"aku-ingin-kamumenjadi-modelku-di-festival-kelulusan-di-kampuskugadis itu. Oke. Aku
harus berpikir positif, dan tidak boleh menyerah. Setelah mandi pagi dengan air dingin
yang segar, dan menyantap roti bakar keju dan coklat, aku langsung berangkat ke
kampus. Tapi, karena aku baru ingat hari ini dosen yang mengajar sedang berhalangan
hadir sehingga jam pagi ini kosong, aku memutuskan memutar haluan, pergi ke taman
di dekat flat yang ditinggali si gadis misterius dan mencoba menenangkan pikiran sambil
mencari ide untuk membuat desain pakaian berikutnya. Aku mengambil buku sketsa dan
pensil, lalu mulai mendesain sambil jalan. Kebiasaan buruk yang seharusnya
kuhilangkan, tapi, tetap saja kukerjakan. Sedang asyiknya menggambar, tiba-tiba suara
klakson mobil dari depan mengagetkanku dan membuatku terlonjak kaget. Aku terjatuh
dengan siku duluan karena saking kagetnya melihat sebuah mobil berwarna merah
terang nyaris menabrakku. Rupanya aku terlalu asyik menggambar sampai tidak sadar
kalau aku sudah berdiri di tengah jalan. Pintu pengemudi mobil itu terbuka dan seorang
gadis berambut pendek bergelombang keluar dari sana. Matanya berwarna biru
keabu-abuan dan sinarnya kelihatan cemas. Aku sempat terpana. Wow. Baru saja
kupikirkan, gadis misterius kini berdiri di hadapanku. "M, maaf, kau tidak apa-apa?" Aku
menggeleng, "Tidak... maaf, aku jalan sambil meleng." "Aku yang salah. Tadi aku
melamun ketika mengemudi." Ujar gadis itu. Dia kemudian menatap sikuku. "Astaga,
kau berdarah..." "Ng" Oh... ini hanya luka kecil." Kataku memperhatikan luka di siku
kananku, "Tidak apa-apa. Nanti juga sembuh sendiri." Dia menggeleng, dan rambutnya
yang bergelombang itu terayun-ayun mengikuti gelengan kepalanya. "Tidak. Luka itu
akan bertambah parah jika tidak kau bersihkan. Sebentar, akan kuambil kotak P3K yang
ada di mobilku..." dia kemudian terdiam sebentar, "Mungkin sebaiknya kamu ikut aku
masuk ke mobil agar aku bisa mengobati lukamu. Ayo." "Apa" Tidak usah... sudah
Rukas Angel - Angelia Putri
kubilang kalau ini hanya - " "Tolong jangan membuatku merasa bersalah." Ujar gadis itu
memaksa, "Biarkan aku mengobati lukamu, jadi aku tidak akan merasa dibayangi rasa
bersalah. Please..." Aku menatap gadis itu. Mata biru keabu-abuannya memohon
dengan sangat, dan dia terlihat seperti gadis salju berambut hitam yang sangat... cantik.
Tidak. Dia sempurna. Dan matanya yang besar itu... astaga, semua orang pasti tidak
akan menolaknya apalagi karena dia begitu cantik. Aku menghela nafas, mengalah.
"Baiklah." CHAPTER 4 Kami masuk ke dalam mobilnya, dan aku sedikit terpesona
dengan interior mobilnya yang didominasi warna putih dan krem. Cukup netral. Dan di
dasbor ada beberapa bingkai kecil foto. Juga ada tas berukuran kecil, yang kupastikan
berisi peralatan make-up. "Sebentar, aku ambil kotak itu di kursi belakang." Dia duduk di
kursi pengemudi dan langsung membalikkan badannya untuk mengambil kotak putih
yang diletakkan di bawah kursi penumpang di belakang. "Err... sebenarnya aku tidak
mau merepotkan." Kataku, melihatnya membawa kotak itu ke pangkuannya dan
mengeluarkan obat merah, serta kapas dan perban, juga antiseptic lain yang aku tidak
tahu namanya. "Kemarikan lenganmu." Katanya. Aku patuh dan mengulurkan lenganku.
Dia membaliknya pelan dan memperlihatkan luka lecet yang ada di sikuku. Dengan
telaten, dia mengambil obat merah dan kapas, lalu mulai mengobati lukaku. "Oww..."
"Maaf, sakit ya?" tanyanya. "Tidak. Cuma sedikit perih." Kataku, "Sini, biar aku saja." Dia
menggeleng dan menggenggam lenganku lebih erat, "Aku yang menyebabkanmu
terluka, dan aku juga yang harus bertanggung jawab." Katanya, "Biarkan aku
mengobatimu. Oke?" "Euh... baiklah..." Dia kemudian kembali mengoleskan obat merah
pada kapas itu ke sikuku yang luka dengan lebih pelan. Kemudian mengambil perban
dan kapas lain yang juga dibubuhi obat merah dan antiseptic, kemudian membalut
lukaku. Selama dia melakukan itu, inilah kesempatanku melihat wajahnya lebih dekat.
Matanya ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Wajahnya juga mulus tanpa noda.
Dan bibirnya... astaga, ya ampun. Tidak tipis seperti yang ada di foto. Bibirnya penuh,
dan kelihatannya... Uh-oh, tidak. Pikiranku mulai kacau. Aku tidak boleh memikirkan hal
terlarang di dekat cewek. Apalagi cewek di hadapanku ini pasti cewek baik-baik.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Sudah selesai." Ujarnya dengan nada puas, "Begini-begini aku pandai mengobati orang
lain." "Oh ya?" aku tidak akan menyangkal, karena perban yang membalut lenganku
sekarang cukup kuat dan aku yakin, tidak akan mudah terlepas begitu saja. Dia
tersenyum manis dan mengembalikan kotak P3K itu kembali ke tempatnya.
"Ngomong-ngomong... kita belum berkenalan, ya?" kataku. "Rasanya tidak enak kalau
aku hanya memanggilmu "heiDia menatap tanganku yang terulur padanya dan wajahku
bergantian. Sinar matanya berubah dari ramah menjadi curiga. "Err... maaf. Sudah
kebiasaan karena banyak orang yang minta berkenalan padaku sebelumnya." Kataku,
menurunkan kembali tanganku, kemudian mengedikkan bahu. "Di kampus, banyak yang
mengejarku hanya untuk minta didesainkan pakaian..." "Kamu mahasiswa desainer?"
tanyanya. "Ya. Kampusku tidak jauh dari sini." kataku. "Aku belum tahu siapa namamu.
Tidak mungkin aku berterima kasih kalau aku belum tahu namamu, kan?" "Err..." "Maaf.
Lagi-lagi aku terdengar memaksa." "Ruka. Megumi... Ruka." Katanya pelan. "Namaku
Megumi Ruka." "Ruka, ya" Nama yang cantik." Aku melihat wajahnya memerah. Dan
dia menunduk menatap tangannya. "L, lalu... kenapa kamu bisa berada di sekitar sini.
Kalau tidak salah universitas terdekat di sini arahnya berlawanan dari jalan ini." katanya.
"Ah... itu. Hari ini aku bangun terlalu pagi, padahal jam pagi hari ini dosenku sedang ada
tugas lain. Karena itu aku mau ke taman di dekat situ dan memikirkan desain pakaian
berikutnya." Kataku, "Tapi, ternyata aku malah dipertemukan dengan model cantik
sepertimu." "Kamu tahu aku model?" tanyanya agak terkejut. "Lho" Kamu model, kan"
Rukas Angel - Angelia Putri
Siapa yang tidak kenal model cantik sepertimu?" "Aku baru beberapa bulan bekerja
sebagai model. Belum banyak orang yang mengenalku." Katanya pelan. "Yah... berarti
mereka semua melewatkan kesempatan emas untuk melihat wajah cantikmu secara
jelas." Lagi-lagi wajahnya memerah. Dan aku suka melihat semburat merah itu di
wajahnya. Dia jadi kelihatan lebih... innocent. Wajah yang benar-benar cocok sebagai
seorang model. Natural dan sangat alami. "Kau terlalu memuji, Kak." Katanya. "Err...
boleh kupanggil dengan sebutan "Kakkan" Soalnya kamu pasti lebih tua dariku." "Boleh
saja. Lagipula, aku tidak keberatan harus dipanggil dengan sebutan "Kakorang secantik
kamu, Ruka." "Jangan memujiku terus..." katanya. Aku terkekeh. "Ah, kamu mau
berangkat ke sekolah?" aku melihat seragamnya, dan badge Hope Academy
terpampang jelas di dada jas sebelah kiri yang dipakainya. "Ya... tapi, sekarang pasti
masih belum bel masuk. Kalaupun sudah, tidak apa-apa aku terlambat. Toh, aku masih
punya banyak waktu untuk sekadar menerobos masuk." Katanya. "Rupanya kamu tipe
cewek yang sedikit membangkang, ya?" "Tidak juga... hanya terpaksa menggunakan
kemampuanku kalau dalam keadaan terdesak." Dia tersenyum, "Apa Kakak mau
kuantar ke kampus Kakak" Kalau tidak salah, aku juga akan melewati jalan menuju
kampus Kakak untuk pergi ke sekolah." "Hmm... ide yang bagus. Aku yakin, Alice dan
Tristan sudah menungguku." Kataku. "Kalau begitu, pasang sabuk pengaman di kursi
Kakak." Ujarnya sambil tersenyum. *** Aku tidak tahu harus mengatakan apa ketika
cowok bernama Nakayama Inoue ini berada di dalam mobilku. Auranya sangat aneh.
Bahkan cenderung membuatku agak berdebar-debar. Aneh, kan" Padahal sebelum ini,
aku tidak pernah merasakan hal seperti itu pada orang lain. Aku mengemudikan mobilku
dan melirik sesekali kearah Kak Inoue yang duduk sambil menggambar sesuatu di buku
sketsa di pangkuannya. Iseng, aku bertanya apa yang sedang digambarnya. "Desain
gaun." Jawabnya sambil memperlihatkan desain sebuah gaun berwarna putih dan krem
yang memiliki kerutan yang banyak dan berlapis-lapis. "Kelihatannya gaun itu berat."
Kataku mengerutkan kening. "Bahannya mungkin ringan, tapi kalau ditumpuk seperti itu,
pasti akan terasa berat." "Memang." Dia tersenyum. "Tapi, gaun ini adalah salah satu
masterpiece yang sedang kurevisi. Karena sebentar lagi festival kelulusan, aku harus
mempersembahkan desain yang terbaik yang kupunya." "Oh..." Ketika lampu merah,
aku menatap desain gaun itu dengan lebih teliti. Hmmm... detailnya sangat rumit,
bahkan kalau titik-titik biru, yang kemungkinan nantinya adalah payet itu, digabungkan,
pasti sulit untuk mengira kalau bunga di bagian bawah gaun tersebut adalah payet.
Orang-orang mungkin akan mengira itu batu Kristal atau batu lain yang berkilau.
"Kenapa" Kurang bagus, ya?" tanyanya ketika menyadari aku menatap desain itu
lekatlekat. "Tidak... hanya saja... itu bagus." Kataku menggeleng, "Bunga-bunga yang
ada di bagian bawah gaun itu akan dibuat dari apa?" "Payet dan mungkin sedikit
manic-manik." Ujar Kak Inoue sambil tersenyum lebar, "Sudah kubilang, ini masterpiece.
Aku juga sedang mencari model untuk gaun desainku ini... oh ya! Benar juga!" Dia
menatap kearahku dengan mata berbinar-binar seperti anak kecil. Dan aku merasa akan
terjadi sesuatu yang buruk. Atau tidak, sebenarnya. "Kamu model, kan" Mau
membantuku untuk menjadi model yang akan mengenakan gaun ini?" tanyanya. Tuh,
benar, kan" *** "Menjadi... model?" aku yakin aku mengulangi kata-kata itu. Seperti
membeo kata-kata Kak Inoue. "Ya. Aku memerlukan seorang model, dan aku rasa,
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamu cocok untuk menjadi model gaun ini." dia tersenyum, "Lagipula, aku yakin
ukuranmu pas dengan bayanganku." "Ukuran... maksudnya ukuran tubuhku?" tanyaku.
"Biar kutebak, ukuran lingkar dadamu 81, pinggang 62, dan pinggul 80." Senyumnya
semakin lebar, "Aku benar, kan?" Aku yakin, wajahku memerah karena dia telah
menyebut ukurang 3 bagian tubuhku yang terlalu... aduh. Aku tidak sanggup
menyebutnya. Terlalu memalukan. Tapi, dia memang menyebutnya dengan sangat
Rukas Angel - Angelia Putri
tepat. Dari mana dia tahu semua ukuran itu" "Kakak memata-mataiku, ya?" tanyaku,
agak curiga. "Tidak, kok. Aku, kan hanya menebak." Katanya, "Tapi... benar ukuran
yang kusebutkan tadi" Soalnya, memang terlihat dari ukuran tubuhmu, sih..." Aku tidak
menjawab, masih merasa malu dan tidak tahu harus menjawab apa. Lampu lalu lintas
berganti menjadi hijau, dan aku segera melajukan mobilku ke universitasa tempat Kak
Inoue belajar. Tidak jauh dari lampu lalu lintas tadi. Dan aku bisa melihat nama
universitas itu, yang ditulis dengan warna emas : ArTalent University "Jadi...
bagaimana" Mau menjadi model untukku?" tanya Kak Inoue lagi. "Aku... tidak tahu.
Akan kupikirkan lagi." jawabku.
Rukas Angel - Angelia Putri
Kak Inoue menghela nafas, nyaris kelihatan kecewa mendengar jawabanku. "Baiklah.
Tapi, boleh aku minta nomor ponselmu" Agar aku bisa menghubungimu dan
menanyakan lagi apakah kamu bersedia menjadi model untukku." Belum sempat aku
menjawab, Kak Inoue mengambil ponsel yang sedari tadi kutaruh di atas dasbor,
mengutak-atik ponselku sebentar, dan kemudian menyerahkannya kembali padaku.
"Aku sudah mengirimkan nomormu ke ponselku, dan juga nomor ponselku sudah
kusimpan di dalam phonebook ponselmu. Jadi, kita berhubungan tanpa harus curiga
nomor siapa yang tertera di layar ponsel kita." Bagaimana dia tahu aku sering paranoid
soal siapa yang meneleponku" Aku tidak akan bertanya. Itu akan membuatku terlihat...
ketakutan. Dan jujur saja, sikap manis yang kutunjukkan pada Kak Inoue tadi jarang
kuperlihatkan pada orang lain. Aku serius. "Baiklah, sampai nanti, Ruka." Katanya
sambil mengedipkan sebelah matanya. Dia melepas sabuk pengaman dan keluar dari
mobilku. Aku sempat melihat dua orang mahasiswa sepantaran dirinya menghampiri
dan mengobrol dengan Kak Inoue. Mereka kelihatan akrab. Yang cewek sangat cantik
dengan rambut pirang, sementara yang cowok kelihatan tampan dengan rambut coklat
terang dan tubuhnya yang berisi. Aku memperhatikan sampai ketiga orang itu
menghilang dari pandanganku. Setelahnya, aku langsung memacu mobilku ke sekolah.
*** "Hai, Ruka." Aku mendongak dari buku yang kubaca, dan melihat Julia berdiri di
samping mejaku sambil tersenyum lebar. Oh, tidak. Kenapa lagi-lagi dia
menggangguku" Mengganggu hari tenangku saja. "Ada apa?" tanyaku. "Kita satu
kelompok dalam acara pentas seni dua minggu lagi." katanya sambil memperlihatkan
selebaran yang kurasa dibagikan saat Pak Henry masuk. Selebaran tentang pentas seni
sekolah yang akan diadakan dua minggu lagi. "Memangnya kita satu kelompok dalam...
apa?" tanyaku lagi. "Kita akan menjadi model untuk kelas desain. Mereka mendesain
pakaian seperti yang dilakukan oleh mahasiswa dari ArTalent University." Katanya
dengan antusias, "Juga, nanti akan hadir juri dari mahasiswa universitas tersebut secara
langsung! Hebat, kan?" "Uh, ya... kurasa." Aku mengedikkan bahu. "Tapi, aku tidak
berminat. Jadi, maaf." "Kamu tidak boleh menolak! Pak Henry yang menginginkan kamu
menjadi model. Bukankah pekerjaanmu juga model" Kamu pasti bisa melakukannya..."
"Itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku sebagai seorang model." Kataku,
"Kenapa sepertinya Pak Henry ngotot ingin aku menjadi model dalam pentas seni?"
"Karena kamu cocok. Dan cantik, tentu saja." balas Julia sambil tersenyum, "Ikuti
sajalah... aku yakin, kamu pasti suka. Ini selebarannya. Dan ada formulir juga di situ.
Kalau sudah mengisi formulirnya, serahkan saja padaku, biar aku yang
mengantarkannya ke ruang OSIS." Dia lalu pergi dan meninggalkan selebaran 3
rangkap itu di mejaku. Aku membaca sekilas huruf warna-warni yang tertera di sana dan
menghembuskan nafas. Lagi-lagi aku teringat permintaan Kak Inoue, dan... Tunggu
dulu. Aku mengambil selebaran itu dan membaca salah satu "iklanmenarik perhatianku.
Sebuah nama, dan aku langsung merasa kalau aku akan mengalami hari-hari yang
Rukas Angel - Angelia Putri
cukup melelahkan mulai dari sekarang. *** Seseorang dengan teknik penyamaran
tinggi bisa berubah menjadi siapa, dan apa saja. Termasuk aku. Sejak kecil aku sudah
berlatih menyamar secara otodidak. Aku juga sering melatih kemampuan khususku
secara berkala dan rutin, hingga aku mulai terbiasa menggunakan semua yang kupunya
seperti mudahnya aku bernafas. Sekarang aku sedang berada di taman belakang
sekolah. Tempat lain yang biasa kugunakan untuk melatih kemampuanku selain di
rumah. Karena di sekolah, hanya tempat ini satu-satunya tempat yang cukup aman
untuk berlatih. Aku duduk di kursi taman yang berada di bawah sebatang pohon besar,
dan menghembuskan nafas. Rasanya kepalaku penuh dengan berbagai hal yang tidak
terduga selama aku tinggal di kota ini. Semuanya terasa aneh, dan... membuat frustasi.
Terutama masalah model itu. Oh, aku memang bekerja sebagai model. Tapi, aku tidak
sepenuhnya bekerja sebagai model. Aku hanya menjadi model paruh-waktu. Tidak
bekerja secara full-time. Lagipula, usiaku adalah usia sekolah, dan pihak manajemen
tempatku bergabung menyetujui keputusanku untuk tidak bekerja secara full-time. Oke.
Sekarang, tidak perlu membahas itu. Sekarang saatnya berlatih. Masih ada waktu
sekitar 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku menoleh-noleh, mencari benda yang
bisa kujadikan sebagai objek latihanku. Dan mataku langsung tertuju pada seekor
kucing berbulu putih lebat yang tidak jauh dari tempatku duduk. Mungkin ini agak kejam,
dan aku tidak bermaksud menyakiti kucing itu. Tapi, aku perlu sesuatu yang... hidup.
"Hei, manis..." aku mengulurkan tanganku, memanggil kucing itu. Kucing putih itu
menoleh dan menatap tanganku, kemudian ke wajahku. Aku menatap mata kucing itu
lekat-lekat dan bisa melihat warna keemasan dari matanya. Warnanya cantik.
"Kemarilah, manis..." aku membujuknya lagi. "Ayo, ke sini." Kali ini kucing itu seolah
terhipnotis oleh tatapan mataku. Kaki-kakinya mulai bergerak, dan dia menempelkan
sebelah kaki depannya ke tanganku. Aku mulai melatih kemampuan telekinesisku,
mengangkat kucing ini cukup mudah, apalagi tanpa menyentuhnya. Tapi, karena aku
jarang melihat kucing berbulu lebat seperti ini, aku tidak ingin melewatkan kesemaptan
untuk menyentuh bulu-bulunya. Dengan sedikit menggunakan kemampuanku, aku
"mengangkatdan menaruhnya di pangkuanku. Dia langsung meringkuk nyaman di
pangkuanku dan mulai mendengkur. Aku tertawa geli melihat kucing ini bisa dengan
nyaman meringkuk di pangkuanku seperti bayi. Sambil terus mengelus bulunya, aku
mulai melakukan telekinesis pada benda-benda di sekitarku. Batu, air, ranting pohon
yang jatuh, dan juga dedaunan yang gugur. Aku bisa mengangkat semua benda itu
dengan mudah karena memang bentuknya kecil. Kalau bentuk bendanya lebih besar,
mungkin aku harus berkonsentrasi lebih kuat lagi. Aku melemparkan semua benda itu
ke salah satu pohon dan kemudian meletakkan kucing di pangkuanku ke sebelahku.
Saatnya melatih kemampuanku yang lain : membaca pikiran. Aku bisa membaca pikiran
hanya dengan menyentuh sedikit kulit saja. Dan kemampuan ini hanya berlaku untuk
manusia, bukan pada hewan. Dulu, aku sering diam-diam menyentuh tangan
teman-temanku dan mendengarkan pikiran mereka. Namun, karena akan terasa ganjil
jika aku ketahuan memegang tangan setiap orang, akhirnya aku mencoba
mengembangkan kemampuanku. Dari yang awalnya hanya bisa membaca pikiran lewat
menyentuh, kini aku bisa membaca pikiran orang dengan hanya menatapnya saja. Aku
bahkan bisa mengendalikan pikiran orang dan membuat mereka menuruti semua
keinginanku. Oke. Aku tidak mau membahasnya. Saatnya mencari mangsa. Aha. Ada
salah satu anak kelas 3 yang sedang bersantai di dekat sini, dan aku tidak akan
mengendalikan pikirannya. Aku hanya akan membaca pikirannya saja. Lagipula, aku
tidak suka kalau ada orang yang mengetahui kemampuanku. Dengan menatap
wajahnya, aku bisa tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dan aku nyaris tertawa
terbahak-bahak ketika mengetahui pikirannya. Ini cukup menghiburku, mengingat aku
Rukas Angel - Angelia Putri
tidak pernah tahu caranya menghibur diri selain melatih kemampuanku.
Rukas Angel - Angelia Putri
Sekarang, sudah cukup, aku tidak mau tawaku terdengar oleh orang lain. Aku kembali
ke kursi taman dan melihat kucing putih itu menengok-nengok mencariku. Wow. Aku
baru sadar, kelihatannya dia bukan kucing biasa, karena bulunya yang lebat dan
matanya yang bersinar kuning terang seperti emas itu sangat jarang. Apa dia kucing
keturunan ras yang cukup populer" Entahlah. Tapi, sepertinya kucing ini tidak memiliki
majikan, aku tidak melihat ada kalung tanda kepemilikan atau semacamnya. "Kenapa,
manis?" aku mengangkatnya dengan mudah dan mengelus lehernya, yang membuatnya
mengeong senang. "Sepertinya kamu sendirian, ya" Kenapa bisa sampai ke sekolah
ini?" kataku sambil menggaruk-garuk belakang telinganya dengan manja. "Aku akan
membawamu pulang nanti. Jadi, kamu harus tunggu di sini sampai aku kembali." Aku
tidak yakin apakah binatang bisa kumanipulasi pikirannya. Namun, kata-kataku barusan
sebenarnya adalah "sedikitingin mencoba melakukannya pada binatang. Tapi, bukan
berarti aku ingin membuat kucing ini menjadi kelinci percobaan. Tidak... aku tidak akan
melakukan hal seperti itu. Bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Aku lalu meletakkan
kucing itu kembali di kursi taman dan mengelus kepalanya. "Tunggu di sini sampai aku
pulang. Oke?" kataku, kemudian segera berlari menuju kelas. *** "Ruka, kamu belum
mengisi formulirmu?" tanya Julia ketika aku baru saja masuk ke dalam kelas. Oh, sial.
Aku lupa soal formulir pentas seni itu. Tapi, aku tidak berniat mengikutinya. Jadi, aku
menggeleng dan mengembalikan formulir itu pada Julia. "Maaf. Aku tidak bisa." Kataku,
"Cari saja orang lain." "Eh" Kenapa" Padahal Pak Henry sangat berharap kamu juga
ikut mewakili kelas untuk pentas seni ini." katanya dengan nada agak kecewa. Ya...
kedengarannya aku seperti orang yang tidak peka dan sangat cuek dengan semua
orang di sekitarku. Yang sebenanrya memang sangat benar. "Maaf. Aku benar-benar
tidak bisa." Kataku lagi, "Aku tidak bisa, dan tidak mau." "Ayo, dong... demi kelas kita
juga, kok." Katanya lagi sambil memohon. Aku menatapnya. Matanya dibuat agak
memelas, mungkin agar aku kasihan dan mau menerima formulir itu lagi untuk diisi.
Tapi, sayangnya aku tidak bisa dibujuk dengan cara itu. Aku tidak akan bisa dibujuk
dengan cara baby face seperti itu. "Akan kupikirkan lagi nanti." Kataku akhirnya, "Tapi,
sebaiknya jangan dekati aku jika kamu masih memegang kertas formulir itu. Aku akan
memikirkan, tapi tidak mau ikut serta dalam pentas seni itu." "Yah... kok begitu, sih?" dia
benar-benar kecewa. Dan aku nyaris tertawa karena mendengar kekecewaannya. Aku
hanya mengedikkan bahu dan duduk di kursiku. Pelajaran akan segera dimulai, dan aku
tidak perlu repot untuk mengulang kembali pelajaran yang kupelajari. Karena, lagi-lagi,
kemampuan khususku : ingatan fotografis. *** Ketika aku kembali lagi ke taman, kucin
itu masih ada. Bahkan mengeong gembira saat aku mendekatinya. "Hai, manis... maaf
membuatmu lama menunggu." kataku sambil mencium kepala kucing itu. Aku
meletakkannya di dalam gendonganku dan berjalan menuju mobil. Kuletakkan kucing itu
di dalam sebuah box terbuka yang ada di kursi belakang dan menaruhnya di kursi
penumpang di sampingku. Sambil menyetir, aku memasang CD lagu, kali ini aku ingin
mendengar lagu yang agak berbeda dari music klasik. Mungkin lagu pop bisa menjadi
pilihan. Aku mengambil satu CD dan memutarnya di CD Player. "Sebelum pulang, aku
harus membeli makanan untuk kucing ini, dan juga kalung, untuk menandainya." Kataku
sambil tersenyum memandang kucing di sampingku, yang sedang
menggoyang-goyangkan ekornya. "Setelah itu, aku langsung istirahat. Aku harus
bangun pagi besok untuk latihan sebentar." Aku berhenti di dekat minimarket yang biasa
kudatangi sebelum pulang ke rumah. Kalau tidak salah, di sini juga menjual makanan
khusus untuk hewan peliharaan. Aku tidak akan sanggup mengemudikan mobilku ke
Rukas Angel - Angelia Putri
tempat lain selain tempat yang bisa terjangkau dari rumahku. Aku mematikan mesin
mobil dan mengambil dompet yang kusimpan di dalam tas. "Sekarang, kamu tunggu di
sini, manis. Aku akan membelikan makanan untukmu. Jangan nakal, oke?" Aku lalu
keluar dari mobil dan berjalan ke dalam minimarket. Setelah membeli makanan untuk
kucingku, aku langsung menuju ke mobil lagi, ketika aku merasakan ada orang lain di
dekatku. Langkahku terhenti, dan aku mencoba menajamkan pendengaranku. Suara
langkahnya berat... tidak. Agak ringan. Laki-laki. Kataku dalam hati. Aku bisa
mengetahui dari jenis langkah kakinya yang terkesan agak melayang ketika berjalan.
Ciri khas seorang laki-laki yang tidak ingin gerak-geriknya ketahuan. Tapi... siapa" Jika
aku bisa melirik ke belakang punggungku sedikit saja, aku bisa memastikan siapa orang
itu hanya dari siluetnya. Kalaupun itu anak-anak SMA lain atau mahasiswa yang suka
berbuat onar, aku bisa mengetahuinya hanya dari bau nafas mereka yang biasa berbau
alcohol atau rokok. Namun, orang ini... dia tidak berbau rokok atau minuman keras.
"Hei," Aku menoleh kaget dan melihat seseorang sudah berdiri di dekatku. Aku
mendongak menatap wajahnya dan mengerutkan kening. Sinar dari lampu di dalam
minimarket tidak cukup untuk menerangi wajahnya yang berdiri membelakangi
datangnya cahaya. "Ini aku, kamu lupa, ya?" tanyanya lagi. Ada nada riang dalam
suaranya. "Err... siapa?" tanyaku. "Ini aku, Inoue. Kamu lupa, ya" Padahal baru tadi
pagi kita bertemu." Katanya lagi. CHAPTER 5 "Kak Inoue?" Aku terperangah, kaget
ketika menyadari aku kalah tinggi dibanding dia. Padahal aku selalu mengira aku yang
paling tinggi di antara teman-teman di sekolah. Satu-satunya yang menyaingi tinggi
badanku di sekolah hanya... entahlah. Aku tidak tahu. kelihatannya mereka semua lebih
pendek dariku yang memiliki tinggi 168 senti. Tapi, Kak Inoue... dia lebih tinggi dariku.
Mungkin perbedaan tinggi kami hanya sekitar 4 senti. "Kamu ini orangnya cepat pelupa,
ya?" katanya. "Masa, baru kenal tadi pagi sudah lupa." "Maaf, aku tidak menyadari
Kakak di sini." jawabku sambil tersenyum malu. "Kakak sedang apa di sini?" "Beli
beberapa bahan makanan. Yah... sebenarnya tidak bisa disebut bahan makanan
karena aku hanya membeli makanan yang bisa dimasak dengan cepat dan sederhana."
Aku menatap kantong plastic putih besar yang dia bawa dan manggut-manggut. "Kamu
sendiri sedang apa" Beli bahan makanan juga?" "Membeli makanan untuk hewan
peliharaanku." Jawabku. "Kamu punya binatang peliharaan?" Aku mengangguk, "Kucing
kecil. Warnanya putih. Tuh... ada di dalam mobil." ujarku. "Hah" Di dalam mobil?" Kak
Inoue menatap jendela mobilku yang hitam pekat. "Baru kamu beli?" "Aku
menemukannya di sekolah. Kucingnya lucu, dan kelihatannya tidak punya pemilik,
Rukas Angel - Angelia Putri
jadi aku... memungutnya." "Kucing imut ada di sekolah" Tidak biasa, tuh..." "Memang
tidak biasa..." aku setuju dengan ucapan Kak Inoue, "Oh ya, aku harus segera pulang.
Sampai nanti, Kak." "Eh, tunggu dulu." Aku menoleh lagi kearahnya. Dan menatap
selebaran yang sekarang ada di tangannya. Entah dari mana dia mengambil selebaran
itu. "Kamu bersekolah di Hope Academy, kan" Pasti kamu tahu soal pentas seni yang
akan diadakan dua minggu lagi, kan?" Mau tak mau aku mengangguk. Aku menatap
selebaran di tangannya dengan tatapan sedikit curiga. Jangan-jangan Kak Inoue tahu
kalau nanti ada peragaan busana di pentas seni itu... "Apa kamu tahu tempat di mana
para juri dalam acara pentas seni itu berkumpul besok?" tanyanya lagi, "Biar begini, aku
termasuk juri dalam lomba peragaan busana di sana." "Kakak jadi juri?" tanyaku
mengerutkan kening. Memang sih, tadi aku sempat melihat nama Nakayama Inoue di
dalam selebaran yang diberikan Julia padaku. Tapi, aku tidak tahu bahwa yang bernama
Nakayama Inoue itu ternyata Kak Inoue yang sekarang berdiri di hadapanku. "Tentu
saja. Biar begini, aku termasuk mahasiswa senior jurusan fashion design yang cukup
Rukas Angel - Angelia Putri
terkenal. Dan sekolahmu memintaku untuk menjadi juri dalam lomba peragaan busana
mereka." katanya tersenyum lebar. "Kamu bersekolah di sana, kan" Bagaimana kalau
kamu membantuku menemukan di mana tempat technical meeting pentas seni besok?"
Aku menatap selebaran itu agak ragu. Aku tidak bermaksud menolak. Tapi, apa kata
teman-teman di sekolah nanti jika aku berjalan bersama Kak Inoue yang benar-benar
akan menjadi juri dalam peragaan busana di pentas seni" Bisa-bisa berkembang gossip
yang tidak enak. "Bagaimana" Mau membantuku" Ah, ya, bagaimana soal tawaranku
untuk menjadi model busanaku?" tanyanya lagi. Aduh... kenapa dia harus membahas
masalah itu lagi" Kalau begini, aku sendiri yang jadi pusing. "Aku tidak tahu. Masih
kupikirkan." Jawabku. "Bisa beri aku waktu sedikit lagi" Kalau aku sudah memutuskan,
aku akan menghubungi Kakak." "Baiklah. Aku setuju." Dia tersenyum, "Tapi, kamu mau,
kan mengantarku besok ke tempat technical meeting di sekolahmu?" "Itu..." "Ayolah...
aku tidak kenal orang lain di sana kecuali Ruka. Dan aku tidak mau tersesat dan merasa
seperti orang bodoh karena celingak-celinguk tidak tahu arah." Pintanya dengan wajah
memelas, sama seperti yang dilakukan oleh Julia tadi siang. Tapi, kenapa aku malah
menganggukkan kepala menanggapi permintaannya!" Tanpa sadar, aku benar-benar
menganggukkan kepalaku. Dan itu membuat seulas senyum yang lebih lebar dari yang
tadi muncul di wajah Kak Inoue. "Asyik! Terima kasih, Ruka! Kamu memang baik,
deh..." Dengan gerakan cepat, Kak Inoue memelukku. Aku tidak sempat bereaksi ketika
ia melakukannya dan hanya bisa diam mematung. Ya... mungkin itu lebih baik, karena
rasanya kedua kakiku terasa seperti agar-agar akibat sentuhan Kak Inoue. Nah, lho.
Apa lagi itu" Kacau, nih... Kak Inoue melepas pelukannya, dan mencium pipiku. "Ini
untuk ucapan terima kasih karena sudah mengobati lecet di siku kananku." Katanya
sambil tertawa, "Sampai besok di sekolahmu, ya" Aku akan menghubungimu nanti."
Kemudian, dia pergi. Meninggalkan aku yang masih bengong gara-gara pelukan dan
ciuman singkatnya yang spontan itu. *** Oke. Tindakanku tadi cukup berani untuk
orang yang belum pernah mendekati cewek secara spontan seperti tadi. Tapi... harus
kuakui, tindakanku barusan benar-benar membuat Ruka kelihatan kaget, dan bengong.
Wajahnya jadi kelihatan lebih lucu kalau begitu. Saat aku berbalik dan berjalan ke
tempat yang agak gelap, aku menoleh ke belakang. Ruka sedang masuk ke dalam
mobil, dan aku melihatnya sedang menahan sesuatu yang hendak keluar dari mobilnya.
Mungkin itu kucing yang diceritakannya tadi" Mungkin saja... Ponsel di saku celanaku
berbunyi. Aku cepat-cepat mengambilnya dan melihat nomor yang tertera di sana. Sial.
Lagi-lagi nomor ini. "Halo?" aku mengangkat telepon itu. "Kuharap kamu tidak lupa
dengan perjanjian yang sudah pernah kita setujui." Ujar suara di seberang telepon.
Suaranya terdengar serak dan rusak, tipe suara yang disamarkan dengan alat
pengubah suara. "Aku sudah tidak terikat dengan kalian. Dan aku tidak mau kalian
menggangguku lagi." balasku, "Apa untungnya bagiku jika kalian masih
menggangguku?" "Kesepakatan kita yang pertama adalah : Di manapun kamu berada,
kami pasti bisa menemukanmu. Aku yakin kamu ingat itu." "Lalu" Apa masalahnya
denganku?" "Kuharap kamu tidak lupa, Nakayama Inoue," suara itu terdengar seperti
menahan senyum. "Bahwa kamilah yang membuatmu menjadi seperti sekarang." Oke.
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sudah muak dengan kata-kata itu. Kututup telepon itu dengan kasar dan
memasukkannya ke dalam tasku. *** Mandi air hangat tidak membuatku lebih baik. Di
kepalaku masih terngiang-ngiang ucapan si penelepon, yang sebenarnya sangat
kukenal. Aku menghembuskan nafas. Mengeringkan rambutku dengan handuk dan
berjalan ke sisi tempat tidur, mengambil ponselku dan menatap benda itu sambil
menimang-nimangnya. Si penelepon itu ternyata masih berani menghubungiku padahal
aku sudah nyaris menghancurkan organisasi yang dipunyainya. Organisasi yang
kumaksud bukanlah organisasi kebaikan, tapi kejahatan, karena menculikku dan orang
Rukas Angel - Angelia Putri
yang kusayangi untuk dijadikan kelinci percobaan pertama eksperimen mereka,
sekaligus terakhir, karena kami berhasil kabur namun terpisah di tengah jalan. Sekali
lagi aku menghembuskan nafas dan membuka ponselku. Tidak ada yang istimewa.
Alice dan Tristan hanya mengirimiku pesan kalau mereka akan menemaniku ke Hope
Academy seandainya aku butuh teman untuk pergi ke sana. Alice mungkin akan pergi
ke Hope Academy karena pastinya ingin melihat sekolah almamaternya tersebut,
sementara Tristan... yah... mungkin dia akan berusaha menggoda para siswi di sana.
Membayangkannya saja membuatku tertawa geli. Aku baru akan menutup ponselku lagi
ketika sebuah nomor meneleponku. Nomor Ruka. Dan hatiku rasanya berbunga-bunga
melihat namanya di layar ponselku. Ini dia. Ini yang sudah sangat kunantikan.
Akhirnya... setelah telepon menyebalkan dari orang itu, ada juga satu telepon dari orang
yang paling kutunggu. Aku mengangkat telepon darinya dengan nada suara yang
kubuat setenang dan seceria mungkin. "Halo?" "Kak Inoue" Halo juga." "Apa kamu
sudah memutuskan tawaranku?" tanyaku langsung. "Asal kamu tahu, aku tidak suka
ditolak." "Kenapa Kakak seperti memaksaku, sih?" katanya sambil mendesah. "Karena
aku ingin kamu menjadi modelku. Dan tidak ada yang cocok selain kamu." balasku
sambil tertawa pelan, "Bagaimana jawabanmu?" Lama dia diam, tidak menjawab. Dan
aku merasa mendengar bunyi detik jam lebih keras dari biasanya saking tegangnya
menunggu apa jawaban Ruka. Kalau dia menerima, itu bagus.
Rukas Angel - Angelia Putri
Karena dengan begitu, aku bisa menyelidiki dirinya, dan menemukan jawaban kenapa
aku bisa sangat terpikat padanya. Tapi, kalau tidak... "Kakak besok akan pergi ke Hope
Academy, kan" Aku akan menemani Kakak ke ruangan yang digunakan sebagai tempat
technical meeting, dan aku juga akan memberikan jawaban pada Kakak. Bagaimana?"
Apa" Jadi, aku harus menunggu sehari" Oh, benar-benar cara yang bagus untuk
membuat orang sepertiku mati penasaran dengan dramatisnya! "Oke... baiklah." kataku,
"Kamu ini benar-benar membuatku penasaran dan gregetan saja. Baru kali ini aku
dibuat penasaran setengah mati seperti ini." "Maaf..." suaranya terdengar bersalah,
"Aku bukannya ingin membuat Kakak jengkel, tapi, aku perlu waktu untuk berpikir."
"Kenapa harus minta maaf" Kamu tidak salah, kan?" kataku, "Ya sudah. Besok akan
datang ke Hope Academy pada jam 9. Pastikan kamu menunggu di lobi. Oke?" "Mmm...
baiklah." jawabnya, "Aku akan menutup telepon. Sampai nanti, Kak Inoue." "Eh, tunggu
dulu!" aku buru-buru berbicara sebelum dia menutup telepon. "Ada yang ingin
kutanyakan padamu." "Ingin bertanya tentang apa?" Aku menatap jendela kamarku yang
dipasangi tirai putih tebal dengan tatapan agak menerawang sebelum melontarkan
pertanyaan padanya. "Apa aku boleh mengetahui semua hal tentang dirimu" Aku ingin
tahu..." Kataku. "Kenapa?" nada suaranya berubah menjadi curiga. Sama seperti tadi
pagi. "Karena... aku tertarik padamu." *** Aku menutup telepon dan menghembuskan
nafas. Aku masih bengong karena perkataan terakhir Kak Inoue di telepon, dan jujur
saja, itu membuaktu sedikit limbung. Aku tidak pernah merasa disukai oleh seseorang,
bahkan oleh teman-teman di sekolah. Aku penyendiri, dan cap sombong sudah melekat
padaku ketika aku menginjakkan kaki di Hope Academy. Namun, bukan berarti semua
orang membenciku. Hanya satu orang yang tertarik dan menarik perhatianku. Tapi aku
tidak bisa menceritakannya. Aku bukannya tidak mau menceritakannya. Tapi, aku lupa
bagaimana harus menceritakannya karena aku bahkan tidak bisa mengingat siapa
orang itu. Satu-satunya penghubungku dengan orang itu hanyalah kalung berbandul
bulan sabit perak yang dihiasi berlian rubi berwarna biru gelap. Kalung itu sekarang
tersimpan rapi di dalam kotak kayu yang kuberi gembok khusus dengan password.
Kalung itu sengaja kusimpan karena aku takut, kalau-kalau kalung itu hilang atau dicuri
Rukas Angel - Angelia Putri
orang lain, menilai dari batu rubinya yang menurutku cukup memikat orang lain untuk
memilikinya. Seakan batu rubi itu memiliki kemampuan aneh untuk memikat
orang-orang untuk mendekatinya. Apa aku boleh mengetahui semua hal tentang
dirimu" Karena... aku tertarik padamu... Kata-kata itu terus terngiang dalam kepalaku.
Kak Inoue sepertinya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tapi, aku tidak tahu
apakah dia benar-benar bisa dipercaya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan
menoleh kearah kucing yang kutemukan sekolah, yang sekarang kupanggil dengan
nama Kitty, sedang tidur di keranjang yang kutata sedemikian rupa untuk menjadi
tempat tidurnya. Aku senang memandangi kucing itu lama-lama. Bulunya yang putih
dan tingkahnya yang lucu sangat menggemaskan. Aku juga sudah membelikannya
kalung penanda, yang berbandul liontin bulat berwarna hijau. "Sebaiknya aku mandi.
Sekarang masih belum terlambat untuk berendam dengan garam aromatherapy
lavender yang kubeli kemarin." Gumamku sambil melihat kearah jam di meja di sebelah
tempat tidurku yang menunjukkan pukul setengah 9 malam. Setelah selesai berendam
air hangat beraroma lavender dan mencuci rambut, aku mengenakan gaun tidur sutra
lembut berwarna putih agak pink dan memakai lotion aroma lavender. Belakangan ini,
aku sangat suka wangi lavender, selain karena wanginya bisa mengusir nyamuk,
aromanya juga menenangkan. Cocok untuk aromatherapy ketika aku sedang stress.
"Mungkin nanti aku harus mencoba wangi yang lain juga." Gumamku sambil tersenyum
kecil pada kebiasaanku yang suka mandi air hangat dengan wangi-wangian. "Mungkin
aku harus..." Samar-samar, aku mendengar suara Kitty yang tadi tertidur, terusik oleh
sesuatu. Dan itu membuatku menahan diri untuk tidak langsung membuka pintu kamar
mandi. Aku bersandar ke dinding di sebelah pintu dan mencoba mendengar suara lain
selain suara Kitty yang kini terbangun. Ada suara langkah kaki. Dari suaranya, aku
hanya bisa menerka orang itu hanya sendirian. Aku menunggu sampai suara langkah
kakinya tidak terdengar lagi. Tapi, aku berspekulasi bahwa orang itu masih berada di
kamarku. Dan aku mendengarnya, suara deritan tempat tidurku. Sepertinya orang itu
memutuskan untuk menungguku keluar dari kamar mandi. Sial. Kalau begini, aku tidak
bisa keluar. Kalau keluar dari sini, itu sama saja dengan bunuh diri, apalagi aku belum
tahu siapa orang yang berada di kamarku sekarang. Aku berharap itu bukan maniak
atau salah satu fans yang tahu bahwa aku adalah model. Kalau benar, itu akan sangat
mengacaukan pikiranku yang sebenarnya sudah lebih segar sehabis berendam tadi.
Menit demi menit berlalu, dan ketegangan yang melandaku membuatku sangat gugup.
Apa orang itu benar-benar maniak" Atau jangan-jangan... orang iseng yang ingin
mencuri di rumahku" Kleptomania, kah" Kemudian, aku mendengar suara lagi. Kali ini
suaranya seperti melangkah menjauh dari kamarku. Aku mendengar suara pintu
kamarku terbuka, lalu menutup. Hening selama beberapa saat, dan aku tidak mau
keluar dulu kalau-kalau orang itu masih ada di kamar. Tapi, suasana hening ini
berlangsung selama beberapa menit. Dan aku mengasumsikan bahwa orang itu sudah
pergi. Aku mendengar ponsel yang kuletakkan di atas tempat tidurku berbunyi. Aku
membuka pintu kamar mandi dengan pelan, kemudian berjalan kearah tempat tidur dan
meraih ponsel. Ada nomor asing tertera di layarnya. Nomor ini tidak kukenal. Apa ini
Julia" Mengingat dia bisa saja mendapat nomor ponselku dari data administrasi
sekolah. Tanpa perasaan curiga, aku menggeser ikon telepon berwanra hijau dan
menempelkan ponselku ke sebelah telinga. "Halo?" "Aku sudah menunggumu dari tadi."
Suara itu langsung membuat darah di seluruh tubuhku seakan dikuras habis. Suara itu
serak, gelap, dan sangat dekat, bahkan dari telepon sekalipun. Aku menoleh ke
belakang dan melihat seseorang bersandar di dinding di sebelah pintu kamar mandi.
Sebelah tangannya memegang ponsel, dan matanya yang tajam mengarah padaku.
Ponsel yang kupegang terjatuh ke lantai, dan aku mundur selangkah ketika orang itu
Rukas Angel - Angelia Putri
berjalan mendekatiku. "Kau tahu berapa lama aku menunggumu keluar dari kamar
mandi" 20 menit. Dan menurutku, itu waktu yang cukup lama." ujarnya, "Kenapa kamu
mundur dan wajahmu kelihatan ketakutan seperti itu?" "Siapa kamu?" tanyaku,
"Kenapa - bagaimana kamu bisa masuk ke rumahku?" "Ini... flat ini adalah salah satu
asset milikku." Ujar orang itu sambil mengedarkan tangannya ke seluruh ruangan,
"Orang yang menyewakan tempat ini padamu sebenarnya hanyalah orang suruhanku.
Sejujurnya, tempat ini adalah milikku." Aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya.
Tapi, dari suaranya yang serak dan gelap itu, aku tahu dia laki-laki. Tinggi badannya
menjulang. Mungkin sama dengan Kak Inoue, tapi lebih tinggi sedikit. Usianya sekitar 20
tahunan. Dan, walau kamarku hanya diterangi lampu tidur yang masih menyala di
dinding di atas kepala tempat tidur, aku bisa melihat wajahnya yang putih dan keras,
serta tampan, seolah dibuat dari batu marmer. Dia memakai setelan berwarna gelap,
dan Rukas Angel - Angelia Putri
kalau saja wajahnya tidak tampak begitu dingin dan mengimintidasi, aku pasti sudah
mengira dia adalah seorang artis yang tersesat ke tempatku. "Tapi... kenapa kamu bisa
masuk kemari" Bukankah kunci rumah ini berbeda dengan yang dulu karena aku
menggantinya sesaat setelah aku pindah kemari..." "Kamu memang pintar, tapi, kamu
mengatakan hal itu pada orang suruhanku, dan dia menyampaikannya padaku." dia
tersenyum kecil. "Aku tidak akan menyangkal, kalau ternyata orang yang kucari ternyata
sudah berada tepat dalam genggamanku." "Apa... maksudmu?" aku mengerutkan
kening, "Kamu siapa?" Laki-laki itu kini memojokkanku ke dinding. Punggungku
menempel pada dinding, dan aku harus mendongakkan kepalaku untuk melihat
wajahnya. Mataku bahkan hanya mencapai bahunya. "Namaku Hoshihiko Kazuto."
Katanya, "Dan aku sudah menunggumu sejak lama, Megumi Ruka." CHAPTER 6 "Me,
menungguku?" aku bertanya dengan kening berkerut. Aura di sekitarnya membuatku
terintimidasi, dan aku bahkan sampai lupa kalau aku bisa menggunakan telekinesisku
untuk mendorongnya menjauh, atau membaca pikirannya dan mengendalikannya. Tapi,
aku tidak memikirkan itu karena yang terpikirkan olehku sekarang adalah : Apakah
orang ini mengenalku. "Kurasa kamu lupa padaku," katanya pelan, sebelah tangannya
terulur kearahku, dan mengelus pipiku dengan gerakan halus. "Kamu memang lupa.
Dan aku maklum dengan itu..." "Apa kamu tahu... siapa aku?" "Tentu aku tahu."
jari-jarinya mengelus rambutku yang basah. "Bagaimana bisa aku tidak tahu gadis
secantik dirimu ternyata tinggal sendirian di flat pribadi milikku ini?" Aku merasa seperti
tersedak soda beserta kalengnya mendengar bahwa flat yang kutempati ini adalah milik
pribadi. Oh. Sial. Sebenarnya ada apa dengan semua ini" "Kalau begitu, aku akan pergi
dari flat ini dan kamu bisa menggunakannya sesukamu." Kataku. "Aku akan meminta
orang suruhanmu itu untuk mengembalikan uangku dan aku akan mencari tempat
tinggal - " "Tidak perlu, sayang. Tempat ini memang kubuat khusus untukmu." Dia
menyelaku. Jari telunjuknya menyentuh bibirku. "Aku membuat tempat ini khusus
untukmu, Ruka." "Kenapa" Dan... kenapa kamu... tahu namaku?" "Bukankah sudah
kubilang kalau aku tahu kamu adalah gadis cantik yang tinggal sendirian di sini?" dia
tersenyum dengan sebelah bibir, dan aku merasa itu adalah senyuman jahat. Bulu
kudukku langsung merinding ketika jarinya mulai berpindah ke telingaku. "Aku tahu
kamu selama ini sering bergonta-ganti identitas demi mencari seseorang yang berarti
dalam hidupmu. Aku juga tahu kalau kamu sedang mencari tahu jati dirimu sendiri." ujar
Kazuto pelan, "Aku tahu semua tentang dirimu. Bahkan soal kemampuan telekinesis
dan mengendalikan pikiran yang kamu punya." "Apa!" Dari mana..." "Aku tahu
semuanya, Ruka." Dia menatapku dengan senyum. "Karena aku mungkin, bisa
Rukas Angel - Angelia Putri
membantumu." Aku tidak memercayainya. Terutama dari penampilan dan sikapnya
yang membuatku terimintidasi. Ini semua kedengaran tidak masuk akal. Dan aku
merasa aku harus keluar dari semua ini. Ini pasti mimpi buruk. Aku ingin terbangun dari
mimpi buruk ini sekarang juga! "Kenapa kamu mengira ini mimpi buruk?" tanyanya
mengerutkan kening, "Apa aku terlihat menakutkan bagimu?" Bagaimana dia tahu
pikiranku" Apa dia juga punya kemampuan sepertiku" "Tidak... aku tidak punya
kemampuan sepertimu, Ruka." Dia berbicara lagi, seakan membaca pikiranku, "Tapi,
aku bisa tahu itu dari raut wajahmu. Dan bagaimana kulitmu bereaksi dengan
sentuhanku." Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui pikiranku, tapi, dari
ucapannya barusan, sepertinya dia juga punya kemampuan khusus, sama denganku.
"Apa... maumu?" tanyaku, menatapnya. "Sederhana," dia tersenyum dan mencium
hidungku, "Biarkan aku membantumu menggali ingatanmu yang hilang, Ruka." ***
Pagi hari ini aku benar-benar bangun agak siang karena asyik menonton kaset video
konser artis favorit yang kupinjam dari Tristan. Video berdurasi 4 jam itu benar-benar
menyita perhatianku sampai aku tertidur pulas di ruang tamu tanpa kusadari. Ketika
bangun, jam di dinding sudah menunjukkan jam 8 pagi. Satu jam sebelum aku harus
pergi ke Hope Academy untuk menghadiri technical meeting di sana. Aku menguap dan
meregangkan badanku. Rasanya lelah sekali. Jelas saja, karena aku menonton video
konser itu dan mengabaikan rasa kantuk yang sebenarnya sudah menggelayut di
mataku. Oke. Saatnya mandi. Aku harus bersiap-siap untuk berangkat. Aku tidak mau
dibilang jam karet, dan itu bisa merusak reputasiku sebagai orang yang tepat waktu.
Juga, aku tidak mau membuat Ruka menunggu lama. Setelah mandi, badan dan
pikiranku menjadi segar. Berpakaian dan sarapan hanya membutuhkan waktu setengah
jam. Aku memeriksa isi tas ransel yang biasa kupakai ketika ke kampus. Oke. Semua
lengkap, dan tidak ada yang tertinggal. Ponselku di atas meja bergetar. Ada ikon amplop
di sana. Dari Alice. Dari : Alice_Fairy@aaa.com Kami sudah menunggumu di kampus.
Sebaiknya cepat datang kalau tidak mau Tristan menyerbu ke rumahmu. ;-) Ya ampun...
bahkan masih saja mereka memperingatkanku untuk datang" Keterlaluan sekali.
Padahal aku baru mau akan berangkat. Aku tidak membalas pesan itu dan segera
mengenakan sepatu, sebelum langsung berangkat menuju Hope Academy. ***
Kepalaku masih sakit, tapi, bukan karena pusing atau mual. Melainkan karena sensasi
aneh yang masih kurasakan di sekujur tubuhku. Sejak Kazuto menyentuhku kemarin,
rasanya ada sensasi seperti semut yang merayap di tubuhku, dan itu membuatku
merinding. Aku akan membantumu menggali ingatanmu yang hilang... Aku tidak yakin
aku harus memercayainya. Apalagi setelah aku mengalami pusing kepala yang hebat,
dan ketika sadar, aku sudah terbaring di tempat tidur, dengan rambut yang masih
basah. Tapi, sensasi seperti ada yang merayap itu seketika juga kurasakan ketika
sadar. Dan aku berasumsi bahwa Hoshihiko Kazuto bukanlah ilusi mimpi. Apa yang
diinginkannya dariku" Kenapa sikapnya seperti seorang kekasih yang sedang
mengancam pasangannya secara posesif" Kenapa... Aku menggelengkan kepalaku.
Terlalu banyak pertanyaan berseliweran di dalam benakku. Pikiranku mulai merespon
dengan sangat menyakitkan. Ponselku sudah beberapa kali berdering. Kebanyakan dari
pihak manajemenku yang menginginkanku untuk pergi ke taman dekat pantai di kota ini
untuk pemotretan pada jam 10 nanti. Aku tidak membalasnya, tapi, aku berjanji akan
cepat-cepat ke sana setelah mengantarkan Kak Inoue ke ruang aula yang digunakan
untuk technical meeting. Aku duduk di sofa yang tersedia di lobi. Sambil duduk, aku
memeriksa ponsel, kalau-kalau ada pesan atau panggilan tidak terjawab dari
manajemenku atau Kak Inoue. Tiba-tiba sebuah nomor tertera di layar ponselku.
Nomornya tidak dikenal, dan jelas
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel - Angelia Putri
nomor ini tidak terdaftar dalam phonebook ponselku. Aku mengerutkan kening.
Seingatku, tidak ada yang tahu nomor ponselku selain Kak Inoue, pihak manajemen dan
manajerku... Nafasku langsung tertahan. Aku memandang nomor itu dengan tatapan
takut. Apa janganjangan... ini cowok kemarin malam" Hoshihiko Kazuto" Apa dia
meneleponku lagi" Nomor itu berhenti memanggil, dan aku menarik nafas
selega-leganya. Jujur saja. Aku masih merasa takut dengan Hoshihiko Kazuto itu.
Penampilannya yang terlalu elegan, wajahnya yang tampan sekaligus dingin itu sangat
mengimintidasi dan memnbuat nyaliku ciut. Padahal biasanya aku bisa menyerang
balik orang yang menatapku. Tapi, kemarin malam, ketika menatap mata dinginnya, aku
merasa seperti diserap ke dalam lubang hitam. Tanpa sadar, tubuhku menggigil pelan.
Entah ini karena dorongan rasa takut, atau memang karena AC yang dinyalakan...
"Hei," Aku spontan memekik kaget dan menatap nanar orang yang berdiri di sebelahku.
Awalnya, aku tidak bisa melihat jelas siapa yang berdiri, namun suara yang tidak asing
langsung tertangkap oleh telingaku, dan aku merasa samar-samar aku bisa melihat
dengan jelas, siapa pemilik suara itu. "Kamu tidak apa-apa?" Kak Inoue berdiri di
sebelahku dengan sebelah tangan terulur padaku. "Wajahmu pucat. Kamu sakit?"
"Aku... aku tidak apa-apa." aku menggeleng cepat-cepat dan berdiri agar tidak terkesan
ketakutan, "Ayo, aku akan mengantar Kakak ke ruang aula." *** Saat sampai di
kampus, Alice dan Tristan sudah menunggu di dalam mobil Jeep Tristan yang beratap
terbuka. Aku langsung meloncat ke kursi belakang sambil nyengir pada mereka. "Maaf,
aku terlambat berapa menit?" sapaku. "Baru 5 menit." Kata Alice sambil tertawa, "Baru
kali ini kamu telat, Inoue. Kesiangan, ya?" Aku hanya mengedikkan bahu. "Yang penting
aku tidak telat lebih dari 5 menit." Balasku. "Oke. Kita berangkat sekarang." Tristan
menyalakan mobilnya dan langsung menuju Hope Academy. Jarak kampus kami
dengan Hope Academy hanya sekitar 15 menit dengan menggunakan mobil atau
sepeda motor, dan aku mencoba menelepon Ruka untuk mengatakan mungkin aku
akan terlambat. Tapi, teleponku selalu dijawab oleh mailbox. Apa dia sedang sibuk, ya"
Masih di kelas, mungkin" Batinku sambil menatap ponsel. "Sedang menelepon siapa?"
tanya Alice. "Tidak biasanya kamu "menelepon"Eh... bukan siapa-siapa." Kataku,
"Hanya, kenalanku saja..." "Kenalan atau kenalan?" Tristan tertawa sambil
mengemudikan mobilnya, "Janganjangan itu cewek, ya" Pacarmu?" "Yah... bukan
begitu juga, sih?" jawabku, "Kami baru berkenalan kemarin, kok." "Kamu menelepon
cewek!?" Alice benar-benar kelihatan terkejut. "Kamu menelepon... cewek!!?" "Hei...
reaksimu jangan berlebihan begitu, dong." kataku, "Memangnya salah, ya kalau aku
menghubungi cewek?" "Inoue, kamu itu jarang berhubungan dengan orang lain,
terutama cewek." kata Alice lagi, "Oke. Kesampingkan aku dan Tristan, kami memang
dekat denganmu, tapi kamu tidak pernah dekat dengan orang lain selain kami berdua.
Ini jelas-jelas peningkatan besar!" "Memangnya aku akan mendapat kenaikan gaji, ya"
Wajahmu itu antusias sekali." Kataku sambil tergelak. "Inoue, serius, nih... kamu sedang
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat dengan cewek yang mana" Salah satu dari mahasiswi di kelasmu" Atau
fans-mu?" tanyanya dengan bersemangat. "Katakan pada kami, Inoue!!" "Apakah aku
tidak bisa menyimpan hal itu untuk pribadi?" kataku dengan sebelah alis terangkat.
"Oh, baiklah... dia tidak mau mengaku." Ujar Alice dengan wajah cemberut, "Tapi, lihat
saja, aku akan membuatmu buka mulut, Nakayama Inoue. Aku benar-benar penasaran
siapa cewek yang bisa membuatmu menatap ponsel selama lebih dari 5 menit." Aku
terkekeh mendengar keluhan Alice dan menatap gedung Hope Academy yang mulai
terlihat. Hope Academy memang sekolah khusus untuk anak pejabat dan artis, serta
pekerja seni lainnya seperti dancer, penyanyi, model, dan juga actor terkenal yang
sering menghiasi layar kaca. Sekolah yang didirikan oleh seorang artis legendaries
Rukas Angel - Angelia Putri
bernama Jennifer Anderson, seorang artis blasteran yang multi-talenta dan berhasil
meraih lebih dari 10 penghargaan di usia belia, dan menjadi seorang "dewidari
universitas. Sang artis kemudian mendirikan Hope Academy untuk mendidik para calon
bintang agar mampu dan bisa menjadi artis yang sukses baik dalam pekerjaan maupun
pelajaran, sesuai yang pernah dicapainya. Memang, selain terkenal, murid-muridnya
juga pandai dalam hal pelajaran. Beberapa waktu lalu saja, aku mendengar ada satu
kelompok murid dari Hope Academy yang berhasil meraih medali emas dalam olimpiade
fisika dan kompetisi membuat robot yang diselenggarakan di luar negeri. Karena itu,
pastilah semua murid yang berada di Hope Academy tidak akan pernah mengecewakan
keluarga maupun orang-orang yang mengenal mereka sebagai orang terkenal. Tapi,
baru-baru ini juga kudengar kalau seluruh keluarga Anderson menghilang, bahkan
termasuk kepala sekolah Hope Academy, Jennifer Anderson sendiri, seolah menghilang
bagai ditelan bumi. Keadaan cukup kacau, dan aku melihat segerombolan wartawan
masih bergerombol di depan pintu gerbang Hope Academy. Tristan memarkir mobilnya
di tempat parkir khusus untuk tamu dan mengajak kami ke lobi. Sebelum sampai di lobi,
lagi-lagi aku mencoba menghubungi Ruka. Tapi, tetap saja dijawab oleh mailbox. Ke
mana sebenarnya gadis itu" "Inoue, aku dan Alice akan pergi membeli minuman
sebentar. Kamu tunggu saja di ruang tunggu di lobi." Ujar Tristan. "Baiklah. Belikan aku
soda jeruk, ya?" kataku. "Oke." Kami lalu berpisah dan aku segera pergi ke ruang
tunggu lobi. Tidak sulit menemukan ruangan itu karena ada papan penunjuk di dekatku
yang menunjukkan setiap detil ruangan di lantai pertama gedung sekolah yang memiliki
tiga tingkat ini. Sambil bersenandung pelan, aku memasuki ruangan di balik pintu kaca
yang berada sekitar 2 meter dari papan penunjuk tadi. Dan di sana, aku melihat seorang
gadis tengah menunduk menatap ponselnya. Rambutnya pendek sebahu dan
bergelombang. Dan aku langsung mengenali gadis itu sebagai Ruka. Senyumku
langsung melebar ketika melihatnya. Aku mendekatinya, hendak menyapa. Tapi,
kemudian aku mengurungkan niatku itu ketika melihat wajahnya yang tertunduk itu
kelihatan pucat dan... ketakutan. Kemudian dia memeluk diri sendiri seolah kedinginan.
Aku berdiri di sebelahnya. Dia bahkan tidak sadar bahwa aku berada di dekatnya.
Dengan pelan, aku menepuk pundaknya. "Hei," hanya itu kata yang kuucapkan, dan
reaksinya sangat di luar dugaan. Ruka memekik kaget dan beringsut menjauh, menatap
awas padaku dengan sinar mata ketakutan. "Kamu tidak apa-apa?" tanyaku khawatir.
Matanya mengerjap sekali, kemudian dua kali. Dan aku melihat sinar ketakutan itu
perlahan lenyap dari matanya. Kelihatannya Ruka sudah mengenalku. "Wajahmu pucat.
Kamu sakit?" tanyaku lagi. Dia menggeleng cepat-cepat dan berdiri. "Aku... aku tidak
apa-apa. Ayo, aku antar Kakak ke ruang aula." Ujarnya dengan nada tenang dan sedikit
ceria yang dibuat-buat. "Tidak. Aku ingin menunggu di sini sebentar. Kedua temanku
sedang membeli minuman. Dan aku sudah berjanji untuk menunggu mereka dulu."
Kataku. Rukas Angel - Angelia Putri
"O, oke..." dia duduk lagi dan menyimpan ponselnya ke saku seragamnya. "Kakak baru
datang?" Aku mengangguk sambil duduk di sebelahnya. "Sebenarnya aku terlambat 45
menit kemari... dan aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak dijawab. Kamu
sibuk?" "Ah" Oh... tidak, kok. Aku tadi sedang berada di perpustakaan, dan aku harus
mematikan ponselku agar tidak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain."
Jawaban yang menyiratkan kebohongan. Aku tahu itu karena aku bisa membaca raut
wajahnya yang masih kelihatan ketakutan. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu.
Entah apa... "Oh ya, apa kamu sudah memikirkan jawabanmu?" tanyaku, mengubah
topic pembicaraan. "Eh?" "Tentang menjadi model busanaku." Kataku, "Jangan bilang
Rukas Angel - Angelia Putri
kalau kamu lupa. Kalau iya, aku benar-benar kecewa." "Err... aku tidak lupa." Katanya
sambil menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Aku... err... mungkin akan
menerimanya. Asal tidak bertabrakan dengan jadwal kerja dan sekolahku." "Aku akan
memastikan hal itu." ujarku tersenyum, "Jadi, kamu sepakat?" Ruka mengangguk pelan,
sambil tersenyum tipis. Oke. Itu sudah cukup menjadi persetujuan. "Baiklah, berarti,
besok, kita bisa langsung fitting dan mempersiapkan diri sebaik mungkin." Kataku, "Aku
perlu data-data mengenai ukuran tubuhmu, dan juga kebiasaan berpakaianmu, kalau
tidak keberatan. Karena itu akan memengaruhi bahan apa untuk gaun yang kubuatkan
untukmu." "Ukuran tubuh?" dia mengerutkan kening, "Bukankah Kak Inoue sudah tahu
ukuran tubuhku?" "Sayangnya, aku lupa. Dan aku ingin mengukur sekali lagi." aku
tersenyum lebar, "Aku akan meminta seorang temanku untuk mengukur tubuhmu.
Jangan khawatir, dia juga perempuan, jadi kamu tidak perlu merasa malu." Dia
manggut-manggut mengerti. Keheningan menyelimuti kami berdua. Tidak ada bahan
pembicaraan yang cocok untuk mengusir keheningan yang agak mencekam ini... "Anu,"
"Ya?" aku menoleh kearah Ruka dan melihat gadis itu menatapku dengan mata bulatnya
yang seperti boneka itu. "Apa... apa Kakak serius dengan ucapan Kakak yang waktu
itu?" tanyanya hati-hati, "Ucapan kalau Kak Inoue yang... itu. Kalau Kakak tertarik
padaku?" Oh. Tentang itu. Tentu saja aku tertarik padanya. Ruka sangat misterius, dan
aku ingin mengungkapkan misteri dalam dirinya untuk mengurangi keingin-tahuan serta
perasaan terpikat yang kurasakan padanya. "Ya. Tentu saja." jawabku sambil
tersenyum, "Apa pandangan mataku terlihat berbohong di matamu?" Dia menatapku
sebentar, kemudian menggeleng. "Tidak. Aku tahu Kak Inoue berkata jujur. Aku hanya
ingin memastikan saja." ujarnya. "Kalau begitu, sebagai langkah pertama, seperti kataku
tadi, besok kamu ke rumahku untuk fitting gaun dan mengukur tubuhmu. Selain itu..."
Aku menatapnya dari rambut sampai ujung kaki. Kemudian kembali ke wajahnya. "A,
apa?" tanyanya. "Kurasa kamu harus lebih sering berada di dekatku kalau tidak mau
tergoda oleh temanku yang disebut sebagai perayu ulung." *** Tristan dan Alice
akhirnya kembali juga, beserta soda jeruk yang kupesan. "Wow. Kami baru pergi
sebentar dan kamu sudah menggaet salah satu siswi di sini?" ucap Tristan sambil
mendecak, "Dasar perayu pemula!" Aku hanya tertawa dan membuka kaleng soda-ku
dan menenggak isinya. "Tunggu dulu." Alice mengerutkan kening menatap Ruka, "Apa
kamu gadis yang menyewa flat yang menghadap ke hutan 3 bulan lalu itu?" "Ya..." Ruka
mengangguk dan mengerutkan kening, "Apa Kakak mengenalku?" "Adikku
mengenalmu." Kata Alice, "Namaku Alice Hawkstone. Aku kakak Julia, yang juga
bersekolah di sini. Dan kurasa... dia sekelas denganmu. Kau tahu adikku, kan"
Berambut panjang dan sering diikat buntut kuda." "Oh..." Ruka manggut-manggut.
"Aku tidak tahu. Maaf kalau aku tidak memperkenalkan diri. Namaku Megumi Ruka."
"Ruka" Nama yang cantik, secantik orangnya." Ucap Tristan, yang langsung disambut
dengan lirikan penuh teguran dari Alice. "Namanya Tristan Fernandez." Kataku
memperkenalkan Tristan. "Dan, seperti kataku tadi, dia perayu ulung." "Hei!!" Aku hanya
nyengir dan mengucapkan "peace..." tanpa suara padanya. "Apa Kakak juga akan ikut
technical meeting pentas seni sekolah?" tanya Ruka pada Tristan. "Ya. Aku bisa
dibilang adalah asisten utama Inoue." Tristan terkekeh, "Dia sering kesulitan menangani
serbuan para fans-nya yang semuanya adalah perempuan. Katakanlah, aku
bodyguard-nya." Ruka memiringkan kepalanya dan tertawa kecil. "Wajah dan tubuh Kak
Tristan memang cocok untuk menjadi bodyguard, ya?" katanya. "Senang bertemu Kak
Tristan dan Kak Alice." Aku berdeham sebelum Tristan mengucapkan kata-kata rayuan
lagi pada Ruka. "Oke. Sekarang, kita langsung pergi ke ruang aula saja. Ruka yang
akan menunjukkan jalan." kataku. CHAPTER 7 Saat sampai di depan pintu ruang
aula, ponselku bergetar. Aku segera pamit pada Kak Inoue dan kedua temannya untuk
Rukas Angel - Angelia Putri
menerima telepon. Ketika berada di ujung koridor, aku segera menerima telepon itu
tanpa melihat nomor siapa yang tertera di sana. "Halo?" "Kukira kamu tidak akan
menjawab teleponku."
Rukas Angel - Angelia Putri
Deg! Itu suara Kazuto. Aku langsung merutuki kecerobohanku untuk tidak memeriksa
siapa yang meneleponku terlebih dahulu. Sial. "Ada apa kamu meneleponku?" tanyaku.
"Aku akan menjemputmu untuk pergi ke tempat pemotretanmu. Tunggu saja di lobi."
Setelah itu, telepon diputus. Dan meninggalkan aku yang masih bingung bagaimana dia
tahu aku punya jadwal pemotretan. *** Tapi, akhirnya aku menunggu juga di lobi. Aku
sudah menyandang tas sekolahku. Dan aku sudah berada di ruang tunggu di lobi.
Menimang-nimang kunci mobilku di tanganku. Kemudian aku mendengar pintu kaca
ruang tunggu terbuka. Aku mendongak dan kini bisa melihat wajah Hoshihiko Kazuto
dengan jelas. Deskripsi wajahnya kemarin malam ternyata lebih dari itu. Dia terlalu
tampan, bahkan mendekati cantik. Tapi, semua itu sedikit terhalang oleh tatapannya
yang dingin dan seakan menusuk ke dasar hati orang lain itu. Matanya menatap tepat
kearahku dan ia tersenyum tipis. "Sudah menunggu lama?" tanyanya dengan nada
santai, seolah menjemputku adalah hal biasa baginya. Aku menggeleng. "Ayo, kita
harus cepat kalau tidak mau terlambat." Katanya. Lalu mengambil tas sekolahku, "Biar
kubawakan." Aku sedikit terkejut oleh sikapnya yang sopan. Berbeda dengan sikap
kemarin malam yang membuatnya terlihat seperti seorang penjahat terlatih berpakaian
setelan hitam. "Ayo, Ruka." Dia tersenyum dan menggenggam tanganku. "Bagaimana
kamu tahu aku punya jadwal pemotretan hari ini?" tanyaku, tidak bisa menahan
keingin-tahuan akan hal tersebut. Dia tersenyum lagi, dan mencium puncak kepalaku.
Dan itu membuat semua orang yang sedang melintasi koridor di luar ruang tamu
menoleh kaget kearahku. "Sudah kukatakan, kalau aku mengetahui semua tentang
dirimu." Katanya, dalam dan penuh arti. "Itu artinya, semuanya." *** Sekarang aku
berada di dalam mobil milik Kazuto. Mobilku terpaksa kutitipkan pada petugas keamana
Hope Academy, dan aku berjanji akan mengambilnya lagi saat pulang dari pemotretan.
Aku melirik diam-diam Kazuto yang duduk di sebelahku. Dia mengemudikan mobil
sambil terus menggenggam tanganku. Genggamannya kuat, dan posesif, seolah
menyatakan kalau aku adalah miliknya. "Kuharap aku tidak mengganggu kegiatanmu."
Dia tersenyum padaku, "Sudah lama aku tidak jalan berdua dengan seseorang. Selama
ini, aku selalu sendirian." "Apa kamu tidak punya teman" Atau orangtua?" tanyaku.
"Tidak." dia menggeleng pelan, kemudian terdiam beberapa saat, "Kedua orangtuaku
sudah meninggal dalam kecelakaan ketika aku masih kecil. Satu-satunya keluargaku
malah pergi meninggalkanku dan tidak mau kembali." "Oh," aku tidak menyangka akan
mendapatkan cerita seperti ini darinya, "Maaf, aku tidak bermaksud membangkitkan
kenangan pahit..." "Tidak apa," dia tersenyum dan mencium punggung tanganku, "Asal
kamu di dekatku, itu sudah cukup." Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi
sikapnya. Jadi aku hanya diam dan menatap lurus ke depan. "Mengenai ucapanku
semalam... aku serius." Kata Kazuto, memecah keheningan yang muncul tanpa
kusadari. "Aku akan membantumu menggali ingatanmu yang terpendam. Aku akan
berusaha." "Kenapa kau tahu kalau aku hilang ingatan?" tanyaku, "Kau bilang kau tahu
segalanya tentang aku, tapi, aku sendiri tidak tahu siapa kau... apa kau bisa
kupercaya?" Ketika lampu lalu lintas berubah merah dan mobilnya berhenti sejenak,
Kazuto menoleh menatapku. Matanya yang berwarna hitam kelam itu menatapku
dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kau bisa mempercayai, atau tidak," ujarnya,
"Karena kita punya hubungan erat di masa lalu dan terikat sampai sekarang." "Akhirnya,
kamu datang juga Ruru!" Aku mendongak ketika melihat Kak Sonia, manajerku, berlari
Rukas Angel - Angelia Putri
menghampiriku. Dia memanggilku dengan nama Ruru karena nama itu mirip dengan
suara seekor burung, dan menurutnya, aku cantik dan luwes seperti burung merpati
putih yang terbang di langit. Itu penggambaran yang terlalu berlebihan. Serius, deh.
"Halo, Kak." Kataku sambil tersenyum. "My Goddess! Kukira kamu tidak akan datang,
sweetheart." Ujarnya mencerocos. "Padahal aku sudah optimis kalau kamu tidak akan
datang..." "Kak, walau aku ini dianggap sombong, tapi Kakak tahu kalau aku tidak
seperti itu, kan?" Dia tersenyum lebar. Kemudian matanya tertuju pada Kazuto yang
berdiri di belakangku. Dan aku yakin mulut Kak Sonia membuka-menutup seperti ikan
yang megap-megap di tanah. "Ruru sweetheart, siapa dia?" tanya Kak Sonia,
"Pacarmu?" "Ah, bukan. Dia..." aku melirik sekilas kearah Kazuto, "Terima kasih sudah
mengantarku. Nanti aku bisa pulang naik taksi." "Tidak. Aku akan menunggumu di sini."
Kazuto menggeleng, kemudian mencium pipiku, "Silakan bekerja." *** "Astaga! Dia
benar-benar tampan, Ruru." Ujar Kak Sonia sambil mengambilkan kostum yang akan
kugunakan untuk pemotretan. "Oke. Sudah cukup, Kak. Kakak sudah mengatakannya
sebanyak 8 kali dalam waktu 10 menit ini." kataku mulai jengkel. Tidak adakah topic lain
selain Kazuto yang duduk di atas kap mobilnya. Dia sudah melepas jas biru tua yang
dikenakannya dan sekarang sedang menggulung lengan kemeja. Hanya begitu saja,
aku yakin, salah seorang fotografer di sini akan memotretnya untuk kenang-kenangan.
"Ruru sayang, kurasa kamu beruntung bertemu dengan cowok setampan dia." Kak
Sonia kembali padaku sambil menyerahkan sepotong gaun santai musim panas
berwarna pink pucat yang terbuat dari bahan yang lembut dan ringan. "Dia itu seorang
pewaris orang paling berpengaruh dalam perekonomian Negara ini." kak Sonia
menjelaskan, seolah dia tahu semuanya, "Dan dia mengenalmu. Mengantarmu ke
tempat kerja! Sayang, kurasa kamu benar-benar beruntung memiliki pacar seperti dia."
"Dia bukan pacarku." Sergahku. "Dia..." Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Karena aku baru bertemu dengannya, bahkan secara tidak... uh. Aku tidak mau
membicarakannya. Kak Sonia sepertinya mengira aku malu untuk mengungkapkan
bahwa aku punya pacar yang hebat, dan cepat-cepat menyuruhku berganti baju. ***
Ketika technical meeting itu berakhir, aku mencoba menghubungi Ruka dan ingin
memberikan alamatku secara langsung padanya. Tapi, baru saja aku akan menelepon
nomor Ruka, sebuah nomor tertera di layar ponselku.
Rukas Angel - Angelia Putri
Nomor itu lagi. Dengan mengkertakkan gigi, aku mengangkat telepon dari nomor itu
sembari menjauh dari Alice dan Tristan. "Kali ini apa maumu?" tanyaku langsung, tanpa
basa-basi. "Kuharap kamu tidak menyesal karena sudah bersembunyi begitu lama
dariku. Dari kami." Ujar si penelepon. "Aku akan menemuimu tidak lama lagi. Kuharap
kamu mempersiapkan diri." "Aku tidak akan mau menerimamu dengan tangan terbuka."
geramku, "Bukankah sudah kubilang, aku sudah memutuskan hubunganku dengan
kalian. Dan aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kalian semua. Apalagi
denganmu." Suara di seberang tertawa pelan, seolah mengejekku. "Inoue, aku
memberimu peringatan terakhir. Aku tidak senang kamu merusak perjanjian yang sudah
tertulis lama sebelum kita bertemu, dan aku mau kamu memperbaikinya." "Maaf sekali,
aku bukan tukang kurir, bung. Jadi hentikan saja semua tindakanmu untuk mengganggu
kehidupan tenangku, dan menjauhlah." Kataku. "Inoue, aku benar-benar
memperingatkanmu." Kali ini suaranya terdengar mengancam, "Jika kamu melakukan
satu kesalahan lagi, nyawamu... bukan, tapi nyawa kita berdua akan berada dalam
bahaya. Kamu seharusnya tahu itu." "Oh, tentu saja aku tahu." kataku mengibaskan
tanganku meremehkan walau aku tahu dia tidak akan bisa melihatku. Tapi, aku juga
tahu, dia bisa mengetahui setiap tindakan yang kulakukan, setiap kata yang kuucapkan.
Rukas Angel - Angelia Putri
Dia tahu semuanya. "Dan aku berniat mengubahnya." Ujarku lagi, "Kali ini, kamu yang
kuperingatkan. Pergi dari hidupku dan biarkan aku menikmati ketenangan hidup yang
sudah kujalani. Aku muak jika kamu terus menghubungi dan membicarakan
pembicaraan kolot soal kesalahan-ku." "Inoue..." "Maaf. Aku harus pergi. Sampai nanti."
Aku menutup telepon dengan perasaan amarah yang memuncak. Hampir saja aku
menghempaskan ponselku ke lantai kalau saja Alice dan Tristan tidak segera
menghampiriku. "Hei, sobat. Kita pulang sekarang?" tanya Tristan. "Kenapa wajahmu"
Kelihatan seperti habis marah saja..." "Aku tidak apa-apa." kataku menggeleng pelan,
"Ayo, kita pulang." *** Ketika sampai di rumah, hal pertama yang kulakukan adalah
pergi ke ruangan yang tidak jauh dari kamarku dan mengurung diri di sana. Aku
menyalakan lampu dan menatap sekeliling ruangan dengan dingin. Ruangan ini luas.
Mungkin luasnya sekitar setengah rumah ini. Ketika membeli rumah ini, aku
merenovasinya sedemikian rupa hingga hanya satu ruangan ini saja yang lebih luas
daripada yang lain. Aku menekan sebuah tombol di dekat pintu dan dinding di dekatku
terbuka, menampilkan sebuah rak yang penuh berisi berbagai macam senjata.
Semuanya asli, dan semua senjata ini adalah koleksiku. Ada alasan kenapa aku
mempunyai senjata seperti ini. Katakanlah, ini seperti mempertahankan diri dari
orang-orang yang mengincarku. Well, bukan berarti aku punya banyak musuh. Hanya
saja aku perlu... pertahanan diri, agar tidak kembali menjadi diriku yang dulu. Aku
memilah senjata di dalam rak dan mengambil sebuah pistol semi-otomatis yang cukup
nyaman dalam genggamanku, kemudian menekan tombol lain dan sebuah papan target
muncul dari bawah lantai di tengah-tengah ruangan. Sambil mengisi peluru pistol itu,
aku mulai mengenakan perlengkapan olahraga menembak. *** Pemotretan itu
berlangsung lebih lama dari perkiraanku. Aku nyaris bisa merasakan tulangtulangku
copot karena harus berpose cukup lama di depan kamera. Mulai dari pose berjalan di
pantai, mengambil kerang, sampai bermain air bersama model yang lain. Semuanya
menguras tenagaku. "Oke, Ruru sweetheart, aku akan mentransfer honor ke
rekeningmu." Kata Kak Sonia sambil memberikan segelas ice cappuccino padaku. "Dan
baju yang kamu kenakan sekarang boleh kamu bawa pulang. Dan kata Jason, gaun itu
gratis untukmu." "Oh ya?" "Kamu menjadi anak emas perusahaan dalam waktu 3 bulan,
Ruru." Katanya tersenyum lebar, "Aku tidak pernah melihat model seunik dirimu.
Fotogenic, mampu menyesuaikan jam kerja dengan sekolah, dan juga, pintar di kelas.
Kudengar kamu meraih peringkat tinggi dalam ujian tengah semester yang diadakan
sebulan lalu, kan?" "Biasa saja..." aku mengedikkan bahu dan menyeruput minumanku
dengan perasaan bersyukur. Saking sibuknya dipotret, aku tidak sadar bahwa aku amat
sangat kehausan. Kak Sonia tersenyum dan mengedikkan bahu. "Sekarang sudah jam
makan siang. Apa kamu mau makan siang bersama kami?" tanyanya. "Kurasa tidak.
Aku mau langsung pulang saja." kataku, "Terima kasih atas kerja kerasnya, Kak Sonia."
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sama-sama. Aku juga senang bisa menjadi manajermu, Ruru sweetheart." Ucap Kak
Sonia sambil mencium kedua pipiku. "Sampai jumpa lagi. Besok kamu ada pemotretan
lagi untuk 3 majalah remaja berbeda, dan juga, besok lusa kamu akan menghadiri talk
show jam 7 malam." "Oke. Aku sudah mencatatnya di ponselku." Kataku. Kak Sonia
membereskan barang-barangnya, kemudian bergabung dengan para fotografer dan
beberepa model yang tadi ikut difoto bersamaku. Aku menghembuskan nafas pelan.
Aku sulit bergaul dengan orang lain, dan menyendiri adalah perbuatan yang tepat.
Namun, aku cepat akrab dengan Kak Sonia karena dia memiliki aura yang
menyenangkan, dan membawa senyum yang menular pada semua orang. Aku
menyukainya. Dia seperti kakak perempuan bagiku. "Sudah selesai?" Aku nyaris
tersedak minumanku ketika secara tiba-tiba Kazuto sudah berdiri di sebelahku. Matanya
menatapku, menatap gaun yang kukenakan. "Gaun itu cantik. Cocok untukmu."
Rukas Angel - Angelia Putri
Katanya. Entah itu pujian atau malah ejekan, karena walau Kak Sonia mengatakan aku
fotogenic dan bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, aku tahu gaun seperti apa pun
tidak akan bisa membuatku jadi cantik seutuhnya. Aku tidak tahu dari mana datangnya
pikiran seperti itu. Tapi, aku sering merasa begitu jika ada orang lain yang memujiku.
Dan mereka selalu mengatakan bahwa aku terlalu merendahkan diri. Hhh... mereka
tidak tahu seperti apa kehidupanku yang sesungguhnya. Kalau tahu, mungkin mereka
semua akan menjauhiku dan mencapku sebagai orang aneh. "Terima kasih," aku
berhasil bergumam, "Tapi, toh, sebentar lagi orang-orang tidak akan menganggapku
seperti itu." Kazuto mengerutkan keningnya dengan ekspresi datar. Aku tidak tahu apa
yang dipikirkannya. Dan aku tidak berniat membaca pikirannya karena tatapan mata
hitam kelamnya itu begitu menakutkan dalam pandanganku. "Setelah ini kamu mau ke
mana?" tanyanya. "Mungkin ke sekolah. Mengambil mobilku..." jawabku. "Aku akan
pulang dengan taksi. Sudah kubilang tadi, kalau kamu boleh saja pulang lebih dulu."
Kazuto menggeleng pelan, "Aku sudah bilang kalau aku akan menunggu sampai
pekerjaanmu selesai," katanya, "Dan ngomong-ngomong, mobilmu sudah berada di
flat-mu. Aku menyuruh orangku untuk mengambilnya." Aku hampir mengutarakan
keterkejutan sekaligus protesku padanya. Tapi, lagi-lagi mata sekelam malam itu
menatapku dengan dingin dan menakutkan, dan semua kata-kata yang sudah di ujung
lidah lenyap begitu saja.
Rukas Angel - Angelia Putri
Oke. Walau aku ahli menyamar, aku tidak pandai dalam hal seperti ini. Aku memang
bisa beladiri sedikit, tapi aku tidak pernah melatih kemampuan itu dan aku yakin
sekarang ini, jika aku berusaha menumbangkannya, bukan dia yang bakal jatuh di
tanah. Tapi aku. "Kalau begitu, terima kasih lagi." kataku akhirnya. "Kalau begitu, aku
ingin langsung pulang saja." Aku berdiri, dan tiba-tiba rasa pusing yang sama seperti
kemarin malam menyerangku. Aku limbung dan kehilangan keseimbangan, dan hampir
jatuh kalau saja Kazuto tidak menahan tubuhku. Gelas kertas ice cappuccino yang
kuminum terjatuh ke pasir pantai di bawahku dan isinya tumpah berceceran. "Kamu
baik-baik saja?" "Sakit..." kataku lirih. "Kepalaku sakit..." "Biar kubantu. Ayo," Aku
merasakan kedua tangannya mengangkatku dan menggendongku seolah aku adalah
benda ringan. Kepalaku bersandar di dadanya, sementara keningku berkerut. Rasa
sakitnya tidak tertahankan, bahkan seakan menjalar ke seluruh tubuhku. Hal yang
terakhir kuingat adalah Kazuto memasukkanku ke dalam mobil, dan dia mengemudikan
mobilnya pergi dari pantai. *** Kenangan. Memori. Ataupun ingatan. Semua itu
mengandung arti yang sama. Sesuatu yang terjadi dan akan selalu diingat oleh otak
kita. Semua ingatan memiliki kenangan, dan kenangan memiliki memori yang terpenting
dalam hidup kita. Semua yang terjadi akan masuk ke dalam ingatan kita sebagai
kenangan maupun memori. Dan bila kenangan didefinisikan sebagai sesuatu yang
indah, apakah memori dianggap sebagai sesuatu yang buruk" Jawabannya, tidak.
Mereka semua sama, hanya perbedaan pengucapan saja. Ada kenangan baik yang
kuingat, juga kenangan buruk. Memori, adalah kata lain untuk mendefinisikan kenangan.
Aku tidak tahu apakah aku memiliki kenangan buruk atau tidak. Karena sejak dulu, aku
selalu merasa aku hidup seperti detik jam yang selalu bergerak maju dan tidak pernah
mundur. Aku selalu melangkah maju, dan tidak pernah melangkah mundur. Motto
hidupku adalah terus melangkah maju walau rintangan di depan mata menyesatkan kita
untuk kembali mundur. Selama bertahun-tahun, aku sudah menerapkan moto hidup itu.
Namun semua berubah sejak orang itu kembali menghubungiku. Orang yang paling
kuhindari dari semua orang yang pernah mengincarku. Orang itu memang punya
hubungan denganku, namun bukan hubungan seperti yang disangka Alice sebagai
Rukas Angel - Angelia Putri
pacar gelap atau semacamnya. Tapi, lebih seperti... saudara. Lebih tepatnya, kakak.
Ya. Aku masih punya keluarga. Seorang kakak, dan kakek yang tidak pernah kulihat
wajahnya. Mereka berdua adalah satu-satunya keluargaku di dunia ini, tapi aku menolak
mereka. Kenapa" Karena merekalah aku menjadi seperti sekarang. Menentang apa
yang seharusnya sudah ditakdirkan untukku. Aku menyamar, mengganti identitasku
berkali-kali, semata-mata untuk menghindari kejaran mereka, dan juga menemukan
orang terpenting dalam hidupku. Orang yang seharusnya mengisi hatiku dengan
perasaan hangat, yang sampai saat ini belum juga kutemukan. Kakakku selalu
menghubungiku jika ada kesempatan. Ingat telepon yang beberapa kali kuterima dan si
penelepon seakan menyuarakan ancaman dalam setiap kata-katanya" Ya. Itu kakakku.
Selama ini, hanya dia yang berhasil menghubungiku sementara kakek kami sendiri
sepertinya tidak pernah memperhatikan kami berdua. Mungkin karena itu juga alasanku
untuk kabur dari mereka. Sambil menghembuskan nafas dan meminum teh dingin
yang kubuat, aku menatap ke luar jendela. Menatap pohon-pohon yang terkena sinar
matahari siang yang menyengat. Kemudian aku menatap ponsel yang kuletakkan di
meja makan. Sedari tadi aku mencoba menghubungi Ruka, tapi gadis itu tidak
mengangkat teleponnya. Aku tidak tahu dia sedang apa dan di mana. Kuharap dia
berada di sekolah, karena sebenanrya, aku perlu membicarakan soal panggung festival
kelulusan nanti. Aku harus tahu bagaimana caranya berjalan di catwalk dan cara
matanya berinteraksi dengan penonton. Jujur saja, aku cukup jeli untuk urusan ini. Dan
selama aku mendesain pakaian di universitas dan memamerkannya pada orang banyak,
model yang kupilih tidak asal tunjuk. Mereka harus memiliki criteria yang kubutuhkan.
Sama seperti fitting yang biasa kulakukan pada modelku untuk melihat apakah mereka
nyaman dengan bahan yang kugunakan dalam membuat gaun rancanganku atau tidak.
Dan, walau Ruka memenuhi semua criteria, aku masih harus tetap memastikan. Karena
aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kuminum sekali lagi teh dingin dalam
gelas di tanganku dan mengambil ponsel. Aku akan mencoba menghubunginya sekali
lagi. CHAPTER 8 Ketika aku terbangun, aku sudah berada di kamarku. Secepat kilat,
aku duduk tegak dan merasakan nyeri tidak tertahankan di kepalaku. Kitty berada di
sebelahku dan mengeong ketika aku sadar. Dia mengelus lenganku dengan kepalanya.
Di mana Kazuto" Tanyaku dalam hati. Aku yakin Kazuto yang mengantarku pulang.
Lalu... lalu... Sial. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, dan
orang yang baru saja kupikirkan berdiri di sana sambil membawa nampan dengan
mangkuk yang agak besar dan juga gelas berwarna biru yang sering kupakai untuk
membuat susu coklat. "Kazuto?" "Rupanya kamu sudah sadar." dia tersenyum dan
berjalan mendekatiku. Diletakkannya nampan yang dibawanya ke atas meja dan duduk
di sisi tempat tidur, menghadapku. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan suara
dingin yang sepertinya sudah menjadi kebiasaannya. "Aku baik-baik saja." jawabku,
"Tapi, kepalaku masih terasa sakit." "Begitu..." dia mengangguk muram. "Aku sudah
membuatkan makanan untukmu. Kuharap kamu memakannya agar kamu bertenaga."
Aku melirik nampan yang ia letakkan di meja dan melihat isi mangkuk yang ternyata
adalah seporsi sup daging ayam dan telur. Aku mengangguk mengiyakan perintahnya.
"Kalau begitu aku pergi dulu." Ujarnya sambil berdiri. "Pastikan kamu makan teratur
setelah ini, dan yang bergizi. Aku melihat di dalam lemari dapurmu hanya ada mie instan
dan makanan kalengan." "Aku sudah terbiasa, kok." Kataku sambil mengedikkan bahu.
Mata Kazuto menyipit tajam dan aku langsung ciut di bawah tatapan matanya. Kenapa
cowok ini harus seseram ini, sih" "Aku akan memerintahkan orangku untuk datang
kemari setiap hari untuk memasak makanan." Katanya. Dengan nada yang tidak bisa
dibantah, "Dan membersihkan tempat ini. Aku yakin kamu tidak akan punya cukup
waktu untuk bersih-bersih, kan?" Aku bisa membersihkan tempat ini sendiri, dan aku
Rukas Angel - Angelia Putri
tidak memerlukan seorang pengurus rumah untuk mengatur jadwal makanku. Aku ingin
mengucapkan itu, tapi lidahku kelu dan mulutku seakan tidak bisa digerakkan. Akhirnya
aku hanya mengangguk pasrah. Dan aku jadi berpikir, kenapa aku bisa begitu
mudahnya menuruti semua keinginan cowok ini. Padahal aku belum terlalu
mengenalnya, tapi, aku sudah menuruti hampir semua keinginannya yang tidak bisa,
atau lebih tepatnya, tidak boleh dibantah. "Baiklah. Terserah kamu saja."
Rukas Angel - Angelia Putri
Dia tersenyum sekilas padaku. Kemudian, tanpa bisa kucegah, dia mencium bibirku. Itu
hanya ciuman singkat, tapi cukup membuatku kaget dan berjengit mundur. "Apa - "
"Sampai jumpa." Dia lalu berbalik dan mengambil jas biru tua miliknya dan langsung
meninggalkan kamarku. Tanpa menoleh kembali. *** Saat malam tiba, aku
memutuskan untuk memasak makanan yang sederhana saja. Seperti sosis goreng dan
memanaskan sup jagung yang entah bagaimana ada di dalam kulkasku. Sambil
memasak, aku memikirkan sikap Kazuto yang kelewat... baik terhadapku. Bukannya
aku ingin mengatakan itu tidak bagus. Hanya saja, bagiku itu sangat aneh. Aku tidak
mengenalnya, tapi kenapa dia bersikap seolah sudah mengenalku bahkan sampai ke
kebiasaankebiasaanku yang terkecil sekalipun. TV yang kunyalakan menayangkan
acara music yang populer sekarang ini. Tapi, aku tidak sedang memperhatikan TV, atau
masakanku yang sekarang sedang kutata di meja makan. Namun, sesuatu yang lain...
Apa yang kulupakan sebelum aku berumur 5 tahun" Aku pernah bilang bahwa aku
hilang ingatan, bukan" Dan ingatanku yang hilang adalah ingatan sebelum aku berumur
5 tahun. Ketika aku sadar dari sebuah koma yang membuatku tertahan di rumah sakit,
hal pertama yang kuingat adalah, seseorang memerintahkanku untuk pergi dari rumah,
bersama kedua orangtuaku, yang tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Aku ingat itu
karena sebelum aku kabur dari rumah sakit, aku sempat membaca artikel di surat kabar
kalau sepasang suami istri tewas akibat kecelakaan lalu lintas, sementara anak mereka
koma di rumah sakit. Aku yakin anak yang dimaksud adalah aku. Setelah itu, aku pergi
dari rumah sakit. Hanya berbekal tas ransel berwarna biru yang kutemukan di ruangan
tempatku dirawat. Isinya beberapa paspor, uang tunai dalam berbagai jenis mata uang
dan jumlahnya cukup besar, dan sebuah cincin permata biru terang yang sampai
sekarang masih kusimpan di kotak yang sama dengan kalung bulan sabit perakku. Dan,
saat itu, penyamaran pertamaku adalah menjadi salah satu dari sekian banyak anak
yatim-piatu di sebuah panti asuhan di pinggir kota. Selama beberapa bulan, aku tinggal
di sana, bekerja untuk mengumpulkan uang walau usiaku masih kecil, lalu kembali pergi
dan selalu berganti identitas dalam kurun waktu 5-12 bulan. Sampai sekarang, identitas
lamaku masih kusimpan di dalam brankas besi di bawah tempat tidurku. Dan selama
memakai nama Megumi Ruka sejak 3 bulan lalu, segalanya berubah. Menjadi lebih...
kompleks. Apalagi ditambah dengan kehadiran Kazuto dan... Kak Inoue. Entah kenapa,
dua cowok itu kelihatan sama auranya, walau dalam artian berbeda. Kalau Kazuto
menebarkan aura yang menakutkan, Kak Inoue justru kebalikannya. Mereka berdua
seperti gelap dan terang. Saling berkebalikan. Acara music di TV sudah berganti
dengan drama seri yang menurutku ceritanya terlalu dibesar-besarkan. Kumatikan TV
dengan remote di dekatku, kemudian mulai makan. Dan mungkin, aku akan berendam
lagi. Berendam air hangat dengan wangi-wangian membuat pikiranku lebih tenang
sekaligus membuatku bisa melarikan diri sejenak dari kenyataan bahwa aku, mungkin,
memiliki rahasia hidup yang kulupakan. *** Aku tidak pernah mendapat mimpi. Tapi,
entah kenapa, malam ini, aku mendapatkannya. Akan tetapi bukan mimpi yang indah,
melainkan mimpi buruk. Aku berdiri tidak jauh dari trotoar di jalan raya besar. Mataku
menatap sekeliling, sepertinya aku berada di pusat kota... jalanan begitu ramai.
Rukas Angel - Angelia Putri
Dipenuhi oleh mobil yang lalu-lalang. Trotoar tempatku berdiri sekarang langsung
menuju zebra cross. Orang-orang yang berdiri di belakangku mulai berjalan ketika
Tragedi Berdarah Diponorogo 2 Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Pendeta Murtad 1
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel - Angelia Putri
Bidadari Pendekar Naga Sakti SINOPSIS :
Rukas Angel - Angelia Putri
Megumi Ruka "Aku tidak punya ingatan sebelum aku berusia 5 tahun... tapi, aku ingat
satu orang yang selalu berada di sisiku ketika aku kesepian, namun aku tidak ingat
seperti apa wajahnya. Aku ingin tahu siapa orang itu. Aku ingin mengingatnya,
mengingat setiap saat yang pernah kulalui beramanya. Namun, aku takut. Apakah aku
punya keberanian untuk mengetahui hal itu?" Nakayama Inoue "Ruka... gadis itu begitu
memikat hatiku. Sejak pertama kali aku melihatnya dari foto, hatiku langsung tergerak,
seolah ada sesuatu di dalam diriku yang mengenal gadis itu, terutama mata bulat biru
keabu-abuannya yang khas. Walau sikapnya sedikit tertutup, tapi dia memiliki cahaya
yang mampu menyinari orang-orang yang disayanginya..." Hoshihiko Kazuto "Setiap
kenangan, pasti memiliki sisi baik dan buruk. Aku selalu menganggap semua kenangan
yang kualami adalah mimpi buruk. Tapi, Ruka menyelamatkanku. Ruka membuatku
berharga, dan merasa dicintai. Hanya dialah cahayaku... hanya dia harapan dalam
hidupku. Satu-satunya yang menjadi alasan mengapa aku hidup." Mereka bertiga
dipertemukan oleh takdir. Mereka bertiga memiliki pertalian yang saling
berkesinambungan, namun, mereka tidak sadar bahwa ada sesuatu yang lain dalam
pertemuan mereka. Sesuatu yang sudah direncanakan sejak lama. Sesuatu yang
mungkin bisa menghancurkan salah satu dari mereka, atau bahkan mereka bertiga
sendiri... PROLOGUE Ada yang bilang, kalau takdir dan cinta itu bedanya hanya
seutas benang tipis. Ada juga yang bilang, takdir dan cinta itu berdampingan. Seperti
gelap dan terang, juga baik dan buruk. Kalau begitu, apa nasibku juga termasuk dari
takdir dan cinta yang berdampingan" Entahlah... aku tidak tahu Yang kutahu hanyalah,
aku harus menjalaninya, suka ataupun tidak. Karena aku tahu, semua sudah digariskan
dalam takdirku. Aku takkan bisa menolak walau aku ingin... kan" CHAPTER 1 Aku
menuliskan kata terakhir dari jawaban soal yang tertulis di papan tulis. Lalu menoleh
kearah Pak Henry yang berdiri di belakangku. "Apa jawaban saya benar?" tanyaku
sambil meletakkan spidol magnetis ke sisi papan tulis. Aku yakin aku melihat
kekaguman dan ketakjuban dalam pandangan Pak Henry, juga teman-teman baruku di
sekolah ini, ketika melihat jawabanku di papan tulis. "A - err... ya. Jawabanmu
sempurna. Silakan kembali ke tempat dudukmu." Aku mengangguk dan berjalan kearah
tempat dudukku, diiringi tatapan kagum sekaligus benci dari semua teman sekelasku.
Tapi, aku hanya bisa diam. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku duduk di kursi dan
kembali membuka bukuku ketika Pak Henry mulai menjelaskan jawaban dari soal yang
kukerjakan. Kubaca setiap kata-kata yang tertera di sana, aku tidak memperhatikan guru
yang mengajar di depan kelasku. Bahkan walaupun aku ingin belajar, sebenarnya aku
tidak perlu melakukan hal itu. Bel istirahat akhirnya berbunyi juga. Dengan cepat aku
memasukkkan buku-bukuku ke dalam laci dan mengambil dompet sertap ponselku.
"Anu," Aku menoleh dan melihat seorang gadis berambut panjang diikat ke samping kiri
mendekat kearahku. Hmm... kalau tidak salah namanya Julia. Tapi, kepanjangan
namanya aku lupa. Yang jelas, namanya Julia. "Ya?" aku bertanya, "Ada apa?" "Kamu
mau ke kantin" Bagaimana kalau kita bareng?" Aku mengerjap dan menatapnya curiga.
Aku tidak tahu apa maksudnya ingin ke kantin bersamaku... bisa dibilang, aku terlalu
curiga. Tapi, sikap itu ada benarnya, mengingat aku baru seminggu di sini, aku tidak
mau "ketenangan "Bagaimana" Boleh, ya?" tanya Julia lagi. "Kalau kamu mau ikut,
silakan." Kataku sambil berjalan keluar kelas. Kudengar langkah kakinya di belakang
mengikutiku. "Hei, boleh kupanggil kamu Ruka" Soalnya namamu cantik, sih..."
katanya. "Terserah." Balasku sambil memeriksa ponsel, "Lalu, apa maumu ikut
bersamaku ke kantin?" "Apa aku tidak boleh ke kantin bersamamu?" tanyanya dengan
Rukas Angel - Angelia Putri
nada polos. "Tidak. Hanya... aneh." Kataku. Kami berdua memasuki kantin. Aku
langsung membeli satu set bento ukuran medium dan sebotol teh aroma melati, lalu
duduk di pojok kantin, tempat favoritku karena bisa melihat langsung ke taman yang
dihiasi bunga-bunga indah berwarna ungu. Julia duduk di sebelahku, dan aku cukup
terkejut dia membeli makanan yang sama sepertiku. Aku jadi merasa risih karena pilihan
makanannya sama denganku. "Oh ya, aku dengar kamu dulu sekolah di luar negeri."
katanya sambil membuka kotak bento yang dibelinya, "Kamu belajar apa saja di sana"
Aku lihat, di kelas kamu sangat pintar, jenius malah..." "Biasa saja." kataku, "Aku hanya
mempelajari apa yang kupelajari, lalu kupraktekkan, atau mengerjakan soal-soal yang
berhubungan dengan yang kupelajari." "Hee... itu, sih jenius. Aku saja tidak bisa seperti
itu." katanya, "Kamu tahu, aku sering mendapat peringkat kedua di kelas hanya karena
aku terlalu rajin belajar. Aku selalu berusaha keras lebih dari yang lain. Jadi, aku jarang
berteman." "Oh..." aku membuka kotak bento-ku dan menyendok daging ayam goreng.
Rasanya lembut dan garing. Enak. "Eh, Ruka, kenapa kamu seperti menjaga jarak dari
yang lain?" "Eh?" "Yah..." Julia mengetuk-ngetukkan sendok di tangannya ke tutup
botol minumannya, "... kamu kelihatan menjaga jarak. Sering bersikap jutek dan dingin,
juga lebih sering menyendiri. Kamu tidak suka bergaul, ya?" Bukan karena aku tidak
suka bergaul, tapi, lebih karena aku harus menutupi jati diriku sendiri. kataku dalam hati.
Tapi, tentu saja aku tidak mungkin mengatakannya. "Aku ke sekolah untuk belajar, dan
bukan untuk berteman." Kataku, melahap satu ayam goreng lagi, "Aku merasa tidak ada
gunanya berteman jika hanya untuk membuang waktu." "Hee... cukup berprinsip, ya?"
dia tertawa. "Aku suka kata-katamu. Memang benar sih, apa yang kamu katakan, Ruka."
Aku hanya mengedikkan bahu dan memakan habis bento-ku secepat mungkin. Lalu
meminum teh melati-ku dengan cepat dan tandas. "Makanmu cepat sekali. Apa tidak
keselak?" "Tidak." kataku, lalu berdiri, "Aku mau pergi ke perpustakaan. Jadi, jangan
ikuti aku." Aku lalu pergi meninggalkannya. Aku tidak menoleh ketika dia memanggilku
lagi. *** Menjadi siswa pindahan. Mendapat kelas baru. Teman baru. Semua yang
baru. Aku sudah sering melakukan itu berpuluh-puluh kali, bahkan sebelum semua
orang mengenalku. Namaku, semua identitas yang kupunya, juga selalu berganti-ganti.
Juga nama yang kusandang sekarang, Megumi Ruka. Itu juga nama palsu. Aku tidak
pernah punya nama asli. Rukas Angel - Angelia Putri
Kehidupan normal yang asli pun... juga tidak ada. Aku tidak pernah punya kehidupan
yang normal. Tidak satu pun. Aku juga bukan orang biasa. Kepintaranku, kemampuan
yang kupunya, semuanya juga bukan sesuatu yang biasa. Dan aku sering frustasi
karenanya. Oke. Kalau kalian ingin mendengar perkenalan secara resmi. Namaku
Megumi Ruka. Aku siswi pindahan di Hope Academy. Usiaku" Tidak bisa disebutkan,
sebenarnya. Tapi... mungkin sekitar 17 tahun, atau lebih. Aku tidak tahu. Yang aku tahu,
aku sudah hidup seperti ini, bergontaganti identitas, menjalani rutinitas hidup yang jauh
lebih membosankan ketimbang orang normal. Bukan berarti aku sendiri tidak normal.
Hanya kehidupanku yang tidak normal. Selebihnya, mungkin aku normal, tapi tidak
normal-normal amat. Kehidupanku sejak masih kecil selalu berubah-ubah. Aku selalu
berganti identitas, seperti yang kukatakan sebelumnya. Bukan karena aku menyukainya,
tapi karena suatu keharusan. Katakanlah, sejenis penyembunyian diri. Tapi, aku tidak
bisa mengatakannya sekarang, aku benar-benar tidak bisa. Selain kehidupanku yang
membosankan, aku cukup menikmati kesendirian yang kubuat karena aku sering
menyendiri dan teman-teman menjauhiku karena mengira aku sombong dan angkuh.
Kadang, aku suka cara mereka menjauhiku, seperti ketakukan karena mungkin akan
tertular wabah penyakit. Namun, tetap saja, aku juga manusia biasa, gadis biasa.
Rukas Angel - Angelia Putri
Kadangkala, aku selalu merasa kesepian. Tapi, kesepian itu tertepis oleh rasa aneh
yang selalu muncul di dadaku. Rasa aneh yang sering kuartikan sebagai terapi paling
efektif untuk jiwaku. Aku berjalan ke perpustakaan dan langsung ke rak yang memuat
buku-buku novel fiksi. Aku mengambil beberapa dan segera membawanya ke meja di
dekat situ. Membaca adalah salah satu kegiatan favoritku. Dan aku juga punya banyak
koleksi di rumah... "Hei," Aku mendongak dan melihat Julia sudah berdiri di sebelahku.
Aku menaikkan sebelah alis. Apa anak ini tidak bisa membiarkanku sendirian" Walau
hanya untuk sedetik" "Aku tadi memanggil-manggilmu agar tidak meninggalkanku di
kantin, tapi, kamu malah pergi duluan." Katanya, "Kamu ternyata bisa kejam juga, ya?"
Aku ingin menanyakan kenapa dia harus mengikutiku sampai ke sini. Tapi, aku hanya
diam dan kembali meneruskan bacaanku. Kursi di depanku berderak, dan aku melihat
sekilas kalau Julia duduk di depanku sambil menatap buku-buku di sampingku, yang
akan kubaca atau kupinjam dan kubawa pulang jika waktu istrahat keburu habis dan aku
belum sempat membacanya. "Kamu suka novel-novel seperti ini, ya?" katanya, "Kukira
kamu suka cerita yang lebih romantic..." "Itu hanya akan membuatku mengantuk dan
cepat tertidur." Kataku pelan, "Kenapa kamu mengikutiku?" "Lho" Apa aku belum
mengatakan padamu kalau aku ingin menjadi temanmu?" katanya balik. "Aku tidak perlu
teman, dan aku rasa aku sudah mengatakan hal itu sebelumnya." Balasku. "Aww...
kamu itu dingin sekali, ya" Ayolah, manusia harus bisa bersosialisasi dengan yang lain,
apa kamu tidak ingin punya teman?" Aku mau. Tapi sayangnya, aku tidak diperbolehkan
untuk melakukan hal seperti itu. "Tidak." jawabku. "Dan tolong jangan ganggu aku lagi.
Aku tidak suka diikuti." Aku menutup buku yang kubaca dan membawa semua yang
kuletakkan di meja tadi ke petugas perpustakaan. Aku akan meminjamnya saja, jadi aku
bisa membacanya di rumah. CHAPTER 2 Sepertinya Julia benar-benar ingin
mengganggu kehidupanku yang sudah sangat membosankan ini. Saat pulang sekolah,
dia ternyata nekat menunggu di sebelah mobilku yang ada di tempat parkir. Dia
melambai kearahku ketika aku melihatnya. "Kali ini apa maumu?" tanyaku, lebih curiga
dari yang tadi. "Aku boleh menumpang mobilmu, ya" Arah ke rumahmu searah dengan
rumahku, kan?" "Aku tidak tahu apakah rumah kita searah." Kataku, "Aku tidak biasa
menerima orang asing masuk ke dalam mobilku." "Ayolah... hanya kali ini saja." pinta
Julia sambil memelas, "Aku janji bakal diam dan tidak akan macam-macam. Ya" Ya?"
Aku memalingkan wajah dan menghela nafas. "Tidak. Maaf. Aku ada janji dengan
seseorang dan aku harus cepat-cepat pergi." Aku tidak mengindahkan tatapan
kecewanya. Akan tetapi, dia menepi dan membiarkanku masuk ke dalam mobil. Aku
masuk ke dalam mobil dan menghela nafas. Untungnya kaca film jendela mobilku
sangat hitam dan orang di luar tidak bisa melihat ke bagian dalam mobil. Aku menatap
Julia yang masih berdiri di samping mobilku. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang
tidak dibuat-buat. Dan sialnya, aku benci melihat pemandangan seperti itu. Sekali lagi
aku menghela nafas. Aku membuat keputusan yang mungkin akan sangat kusesali
nanti. Tapi, aku sudah kepalang tanggung. Aku membuka pintu di sebelahku dan
menatap Julia. "Masuklah." *** Aku mengemudi dalam diam. Dan hanya ada suara
biola dan piano yang bersahutan dari CD Player di mobilku. Salah satu kebiasaanku
ketika mengemudi adalah mendengarkan lagu-lagu instrumental klasik. "Anu..." "Apa?"
tanyaku. "Musik ini... indah. Apa nama music ini?" tanyanya. "Devil"Oh... suara biolanya
sangat menyayat hati, ya?" Aku tidak membalas ucapannya dan terus berkonsentrasi ke
jalan. Hanya dalam waktu 8 menit, kami sudah sampai di depan gerbang rumahnya. Dia
membuka sabuk pengamannya dan membuka pintu. "Terima kasih sudah memberiku
tumpangan." Ujarnya, "Maaf kalau aku agak cerewet. Tapi, serius, mengenai ucapanku
yang ingin menjadi temanmu itu sungguhan." Aku tidak menjawab. "Sampai jumpa
besok." Dia menutup pintu di belakang punggungnya dan berlari ke gerbang. Masuk ke
Rukas Angel - Angelia Putri
rumah seperti anak kecil yang baru pulang dari taman kanak-kanak. Aku mendengus
pelan melihatnya. Kemudian aku segera melajukan mobilku, aku harus segera pulang,
kalau tidak mau kena masalah. *** Aku memarkir mobilku di garasi flat yang kubeli
beberapa bulan lalu. Flat yang sangat nyaman, terutama karena menghadap langsung
kearah hutan rindang dan lebat di belakangnya. Ini salah satu tempat kesukaanku. Dari
sekian banyak tempat yang pernah kudatangi sebelum ini. Kuambil tasku dan kumatikan
mesin mobil. Aku membuka bagasi, karena tadi aku sempat mampir ke minimarket
untuk membeli "beberapadengan kantong-kantong kertas penuh berisi itu semua. Aku
membuka pintu yang langsung menuju bagian dalam rumah. Ke dapur, aku meletakkan
semua kantong kertas yang ada di tanganku ke atas meja dan menghampiri keran air di
bak cuci piring, membukanya, dan mencipratkan air yang dingin itu ke wajahku.
Rasanya cukup segar, dan aku merasa lebih hidup sekarang. Sambil menata makanan
yang kubeli dari minimarket di dalam kulkas, aku menyalakan TV. Hanya untuk
mengalihkan perhatianku dari kesunyian di dalam flat yang memang kutinggali sendirian
ini. Aku tidak memiliki keluarga. Satu-satunya keluargaku menghilang entah ke mana
Rukas Angel - Angelia Putri
dan aku sedang mencarinya. Ya. Alasan kenapa aku selalu bergonta-ganti identitas
adalah untuk menemukannya. Satusatunya keluargaku. Aku menghela nafas dan
menutup pintu kulkas. Kuambil sebutir apel dari piring di atas meja makan dan berjalan
ke kamar, berganti pakaian, dan kembali lagi ke dapur untuk membuat mie instan. Aku
tidak bisa memasak makanan berat untuk saat ini karena aku sedang tidak berselera
makan. Jadi, mie instan yang dicampur dengan kornet dan sawi adalah pilihan yang
tepat. Aku menggigit apelku lagi dan membuangnya ke tempat sampah di dekat kulkas.
Sebenarnya, jarak tempatku berdiri dengan tempat sampah itu sekitar 3 meter, tapi, aku
bisa melemparnya dan sampah itu masuk dengan mulus ke sana. Salah satu
kemampuanku : Telekinesis. Aku memang mempunyai kemampuan telekinesis,
disamping beberapa kemampuan lainnya. Bukan hal aneh karena aku memiliki
kemampuan telekinesis. Bukankah sudah kubilang kalau aku bukanlah orang biasa"
Sambil bersenandung, aku mengambil panci dari lemari. Juga tiga bungkus mie instan,
sekaleng kornet, dan seikat daun sawi. Lalu mulai membuat makan malamku. "...
dikabarkan bahwa keluarga ini memiliki hubungan erat dengan gadis yang dulu
dikabarkan hilang, Emilia Anderson. Gadis itu menghilang 5 tahun lalu, tidak lama
setelah sang kepala keluarga mengalami kecelakaan lalu lintas..." Aku berhenti
memotong sawi dan menoleh kearah TV. Mengerutkan kening melihat sebuah foto
seorang gadis kecil berusia 12 tahun berambut pirang stroberi dengan mata biru. Aku
tertegun sejenak. Sang pembaca berita masih bercuap-cuap tentang kasus yang dia
beritakan, sementara aku masih terpaku pada foto gadis kecil itu. Tidak salah lagi. Itu
fotoku. Foto lama, sebenarnya. Karena mereka salah mengira gadis itu sebagai anak
angkat keluarga yang diberitakan menghilang itu. Aku sering menyamar, bahkan sejak
kecil. Nama Emilia Anderson adalah salah satu penyamaranku. Aku berpindah-pindah
dari satu panti asuhan ke panti yang lain, untuk menghindari kecurigaan pemerintah
kenapa anak sepertiku nekat dan berani menyamar di usia belia. Aku mengeraskan
suara TV dan mendengarkan berita itu dengan seksama. Dan barulah aku tahu kalau
keluarga Anderson, keluarga yang mengangkatku sebagai anak, menghilang seperti
ditelan bumi. Tapi, walau begitu, ditemukan beberapa bukti bahwa keluarga itu tidak
menghilang begitu saja. Bahkan bukti itu menunjukkan kalau sebenarnya keluarga
tersebut tidak menghilang karena kematian sang kepala keluarga, tapi karena alasan
lain. Hmm... cukup aneh juga. Aku tidak akan menyalahkan jika mereka menghilang
hanya untuk mencariku. Meninggalnya Albert Anderson, sang kepala keluarga, juga
Rukas Angel - Angelia Putri
termasuk dalam kesalahanku yang paling besar. Mungkin mereka menyalahkanku...
atau justru mencariku karena ingin memperingatkan adanya bahaya. Yah... itu semua
tidak penting sekarang. Aku tidak terdeteksi oleh siapapun. Semua yang kulakukan
sempurna dan nyaris tanpa cela. Tidak akan ada orang yang tahu aku di mana.
Lagipula, kalaupun ada orang dari masa laluku yang mengenalku, mereka tidak akan
bisa mengingatku lagi karena bisa saja, aku menghipnotis mereka untuk tidak ingat
padaku. Aku kembali ke pekerjaanku membuat mie instan. Setelah makan malamku
siap, aku mematikan TV dan berjalan ke kamar. menghampiri laptop di meja dan
menyalakannya. Sambil memakan mie kornet buatanku, aku mulai menjalankan kamera
pengawas dan CCTV yang kupasang di seluruh penjuru flat-ku. Di luar dan di dalam.
Hanya untuk keamanan privasiku. Sambil menyeruput mie lagi, aku memeriksa rekaman
kamera CCTV sebelum aku pulang sekolah. CHAPTER 3 Kalau ada yang bilang hidup
itu menyenangkan, sepertinya mereka harus intropeksi diri, apa yang dimaksud dengan
"menyenangkanmereka. Aku tidak pernah punya kehidupan yang bahagia. Sejauh ini,
aku tidak pernah bahagia. Aku harus bertualang, mencari orang yang berarti bagi
hidupku. Aku sudah lama terpisah dari orang itu, dan aku akan mencarinya sampai
ketemu. Oh, maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Nakayama Inoue. Dan...
tolong jangan menganggap namaku terlalu "cantikNama yang sudah kudapatkan sejak
aku tahu aku bukanlah manusia biasa. Itu memang benar, kok. Aku memang bukan
manusia biasa. Tapi, saat ini, aku tidak bisa menceritakan siapa aku sebenarnya. "Hei,
Inoue," Aku menoleh ketika aku sedang asyik membaca majalah mingguan di salah satu
reading corner perpustakaan. Seorang gadis berambut pendek yang disemir pirang
menyapaku sambil tersenyum lebar. Alice Hawkstone. Teman sekelasku di kampus.
"Kamu rajin sekali membaca majalah seperti itu." katanya sambil duduk di sebelahku,
"Seperti sedang membaca buku diktat saja." "Biasa saja..." kataku sambil tersenyum.
"Oh ya, di mana Tristan" Dia tidak bersamamu?" "Pacarku itu lebih suka berkutat
dengan kegiatan basketnya daripada menemaniku yang harus mengerjakan tesis
terakhir." Gerutu Alice sambil menghela nafas. "Majalah apa yang kamu baca?" Aku
menunjukkan sampul depan majalah yang kubaca padanya. "Lho" Ini kan majalah
yang biasa terkenal di kalangan cewek." katanya mengerutkan kening, "Kenapa kamu
baca majalah beginian?" "Aku hanya... iseng." Kataku. "Aku sedang melihat-lihat model
pakaian yang ada di sini." "Heee... memang benar-benar deh. Kamu serius ingin
menjadi desainer pakaian?" Aku mengangguk. Aku memang bercita-cita menjadi
seorang desainer pakaian. Aku tidak tahu kapan aku memutuskan demikian. Padahal
hidupku saat ini penuh dengan kebosanan dan ketegangan karena aku harus selalu
bergonta-ganti identitas. Tapi, nama Nakayama Inoue memang nama asliku. Jadi, aku
tidak pernah merasa berat menggunakan nama itu. "Kalau begitu, kamu harus bisa
membuat desain yang akan memukau semua orang nanti di festival kelulusan." Katanya
lagi, "Aku akan dengan senang hati menjadi modelmu." Lagi-lagi aku hanya tersenyum
mendengar ucapannya. Sampai sejauh ini, aku tidak bisa menemukan siapa model yang
cocok untuk semua pakaian yang kudesain di rumah rahasiaku. Tidak ada yang cocok,
mungkin yang cocok... hanya orang itu. "Oh ya, hari ini kita ke kedai fast-food di dekat
sini, yuk" Ada menu baru yang ingin kucoba." "Dengan Tristan?" "Tentu saja dengan
dia." Alice tertawa, "Sebentar lagi dia pasti sudah selesai bermain... dan mendapatkan
uang taruhan, seperti biasa." Aku tertawa. Kebiasaan buruk Tristan yang tidak bisa
dihentikan oleh Alice sebagai pacarnya. Tristan sering menggunakan kemampuannya
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebagai atlit basket untuk mengadakan taruhan sejumlah uang dengan
teman-temannya. Memang tidak banyak, tapi kalau dia taruhan dengan sekitar 6 orang,
apa uang itu menjadi tidak sedikit" "Nah, ayo kita jemput Tristan di lapangan indoor."
Alice berdiri, "Aku yakin, dia sudah puas dengan kemenangan telaknya." *** Aku
Rukas Angel - Angelia Putri
memeriksa ponsel, kalau-kalau ada pesan atau telepon masuk, yang sebenarnya nyaris
tidak pernah muncul di layar ponselku. Aku membeli ponsel hanya untuk... penyamaran.
Aku tidak pernah menggunakan ponsel kecuali dalam keadaan tertentu. Tapi, sampai
sekarang, tidak ada orang yang menghubungiku kecuali Alice dan Tristan. Hanya
mereka berdua temanku di kampus. "Hei, Inoue, kau ingin apa" Hari ini aku yang
traktir." Ujar Tristan sambil nyengir.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Terima kasih, tapi aku tidak mau ditraktir olehmu." Kataku sambil tertawa, "Memangnya
kamu dapat berapa?" "Lebih dari yang bisa kamu bayangkan." Katanya terbahak,
"Mereka memasang taruhan yang besar, dan aku memenangkan semuanya. Ada anak
baru yang ingin menjajal kemampuanku, dan dia hanya satu tingkat di bawahku."
"Pantas mereka menaikkan taruhan mereka." aku tersenyum, "Jadi... berapa?" "Cukup
untuk mentraktir kita semua selama seminggu." Katanya lagi, "Sudahlah... pesan saja!
Aku memaksa, Inoue." Aku tertawa lagi. Alice mengedikkan bahu sambil menatapku.
Kami lalu pergi ke salah satu restoran yang cukup terkenal di dekat kampus dan
memesan makanan. Alice tidak jadi pergi ke kedai fast-food yang ingin dia datangi
karena Tristan menyarankan kami makan di sana. Alice dan Tristan memilih menu yang
sama. Cappuccino flood-ice dan yakiniku panggang. Sedangkan aku memilih nasi kari
dan teh hijau. Makanan yang cocok untuk lidahku yang ingin merasakan yang hangat.
"Aku heran, kamu ini suka sekali makanan cepat sederhana seperti itu." kata Tristan
sambil meminum cola dinginnya. "Aku yakin, pasti karena kamu belum punya pacar.
Mau kucarikan pacar?" "Apaan, sih?" aku tertawa melihatnya mengedip jahil seperti itu,
"Aku tidak butuh pacar sekarang. Aku masih betah sendiri." "Heee... tipe cowok setia
nih." kata Alice, "Nggak seperti pacarku ini. Yang matanya masih suka jelalatan mencari
mangsa baru." "Hei, Alice, aku, kan hanya... mengobservasi." Tristan terkekeh dan
memeluk pinggang Alice. "Di hatiku Cuma ada kamu, kok. Tenang saja..." "Iya, kalau
lagi dibutuhkan. Kalau nggak?" "Aduh, jangan marah dong... nanti cantiknya hilang."
Aku dan Alice sama-sama tertawa melihat wajah Tristan yang agak memelas itu. Tristan
memang tidak bisa hidup tanpa Alice. Mungkin itu terdengar sediit berlebihan, tapi itu
memang benar. Sekarang saja, Tristan tidak terlalu sering taruhan dengan kemampuan
basketnya. Dan itu semua berkat Alice. Cewek itu sudah sedikit mengubah sikap dan
pendirian Tristan yang dulu sangat urakan. "Oh ya, ngomong-ngomong soal cewek..."
Alice menyeruput minumannya, "Kemarin aku baru mendapat kabar kalau flat yang tidak
jauh dari kampus kita itu sudah ada yang menempati. Yang menempati tempat itu
sepertinya seorang nona kaya raya, karena mobilnya begitu mencolok dan dia jarang
keluar dari flat kecuali untuk pergi ke sekolah, tempat les, atau minimarket untuk
membeli bahan makanan." "Benarkah?" "Ya. Aku dapat kabar ini dari teman-temanku di
kelas. Mereka bilang, anak itu seorang model, tapi... tingkahnya lebih mirip seperti
seorang nona muda. Tidak kelihatan kalau dia itu seorang model." "Yang benar" Kalau
dia model, seharusnya aku dan Nakayama mengenalnya. Apalagi kami sama-sama
mengambil jurusan fashion design dan sering berurusan dengan artis." Kata Tristan, "Iya
kan, Inoue?" "Ya... aku juga tidak tahu siapa model yang kamu maksud, Alice." Kataku.
"Sebentar, aku punya fotonya. Kebetulan salah seorang temanku mengambil fotonya
ketika dia akan berangkat ke sekolah." Alice mengambil ponselnya dan mengutak-atik
sebentar, kemudian memperlihatkan layar ponselnya pada kami berdua. "Ini. Dia gadis
yang cantik, kan?" Kami berdua sama-sama melihat foto itu Foto seorang gadis belia
berusia 17 tahun berambut hitam pendek sebahu dan berwajah bagai boneka. Matanya
besar berwarna biru keabuabuan, dan kulitnya putih seperti patung marmer. Satu kata
yang bisa didefinisikan untuknya : sempurna. Tapi, tunggu. Kenapa sepertinya aku
Rukas Angel - Angelia Putri
pernah melihat wajah gadis itu" Tristan bersiul, "Dia cewek yang manis. Masih SMA?"
"Dia bersekolah di Hope Academy. Itu lho... sekolah khusus artis itu." kata Alice.
"Almamaterku." "Oh... pantas saja kalau begitu. Hope Academy adalah salah satu
"langgananuntuk berburu model." Ujar Tristan, "Banyak anak-anak bertalenta model di
sana." "Namanya siapa, cewek ini?" tanyaku. "Hmm... aku tidak tahu. Lagipula dia baru
pindah ke flat itu 3 bulan lalu, dan para tetangga tidak ada yang tahu seperti apa latar
belakang maupun keluarganya. Di dalam berkas yang diserahkan pada pemilik flat
sebelum dia hanya tertulis kalau dia hidup sendirian dan sedang mencari tempat tinggal
yang nyaman untuk menenangkan diri." "Astaga. Jangan bilang padaku cewek semanis
ini menderita penyakit jiwa." Kata Tristan. "Kamu jangan asal bicara, dong! Mana
mungkin dia gila?" balas Alice sambil menyodok siku Tristan dengan sikunya. "Ya...
mungkin saja dia psikopat gila yang disuruh oleh psikiaternya untuk menenangkan diri."
Tristan mengedikkan bahu. "Kan, siapa tahu..." "Jangan asal menuduh kalau tidak ada
buktinya." Tegur Alice, "Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan gadis ini karena dia
seperti menutup diri dari orang-orang di sekitarnya. Adikku, Julia, hari ini mencoba
berteman dengan anak itu, tapi tidak berhasil." "Wah, wah... dia nekat sekali." Komentar
Tristan, "Apa Julia tahu siapa namanya?" "Dia tahu, tapi tidak mau memberitahuku."
Alice menghela nafas. Mungkin aku akan mencoba mencari tahu sendiri saja. Lagipula
tesis terakhir dari jurusan psikologi yang kuambil adalah menemukan seseorang yang
tepat untuk diwawancarai. Mungkin anak ini bisa kumintai tolong untuk kuwawancarai."
"Itu ide yang bagus. Aku akan mendukung." Kata Tristan sambil tertawa. Kami lalu mulai
memakan makanan kami. Tapi, pikiranku tidak tertuju pada makanan yang kusantap.
Entah kenapa, selera makanku langsung menghilang, terutama setelah melihat foto
gadis misterius itu. Aku yakin aku pernah melihat wajahnya, tapi aku lupa di mana.
Mungkin sebaiknya aku juga ikut mencari tahu seperti yang akan dilakukan oleh Alice.
Aku terlanjur penasaran dengan cewek itu. Dan mengingat festival kelulusan mahasiswa
jurusan desain yang tinggal sebulan lagi, aku harus bisa menemukan seorang model
untuk kumintai tolong menjadi modelku. Dan Alice bilang tadi cewek itu adalah model,
kan" *** Rumahku tidak jauh dari kampus tempatku belajar. Sebenarnya, hanya
beberapa blok, dan sedikit masuk ke jalan kecil, dan sampai di ujung jalan, kalian akan
menemukan rumah mungil berwarna biru muda yang dihiasi beraneka ragam tanaman
hias. Ya. Itulah rumahku. Aku mengambil kunci rumah di dalam tasku dan membuka
pintu. Kunyalakan lampu ruangan dan langsung melepas sepatu. Kulempar tasku ke
atas sofa dan berjalan kearah dapur, mengambil sebotol air dingin dari kulkas. Kegiatan
yang biasa kulakukan di jam 7 malam seperti ini adalah menulis cerita atau mendesain
pakaian terbaru. Tapi, entah kenapa, aku sedang tidak berminat melakukan kedua hal
tersebut. Dengan sedikit frustasi, aku melempar botol kosong di tanganku ke tempat
sampah. Botol itu masuk dengan mulus dan aku tersenyum kecil. Kemampuanku
semakin meningkat saja, walau sebenarnya melempar botol ke tempat sampah adalah
hal yang biasa bagi orang-orang. Tapi, akan menjadi hal yang tidak biasa kalau tempat
sampau itu memiliki tutup, kan" Yup. Itu tidaklah biasa. Oh, aku memang punya
beberapa kemampuan khusus. Salah satunya adalah yang kulakukan ketika membuang
botol tadi. Telekinesis. Aku bisa mengangkat benda tanpa menyentuhnya, mengangkat
benda berat dengan enteng seperti itu adalah mainan dari kardus, pokoknya semua
yang bisa dilakukan dengan telekinesis. Itu salah satu kemampuan khususku. Yang
lain... mungkin tidak bisa kuceritakan sekarang. Aku tidak bisa, dan aku belum
Rukas Angel - Angelia Putri
boleh mengungkapkan identitasku yang sebenarnya kepada orang lain, termasuk kalian
kenapa aku tidak mau mengatakan apa saja kemampuan khususku. Oke. Tidak perlu
Rukas Angel - Angelia Putri
membahas itu. Sekarang aku mau mandi air hangat, mungkin sedikit lama, karena aku
benar-benar lelah mencari model yang cocok untuk festival kelulusan sebelum pergi ke
perpustakaan tadi. *** Sehabis mandi, pikiran dan tubuhku terasa segar, dan aku siap
untuk tidur, kalau saja tidak teringat gadis misterius yang diceritakan Alice tadi di
restoran. Oh, sial. Aku paling benci dibuat penasaran. Serius. Benar-benar tidak
tertahankan kalau ada misteri di depan mata yang tidak bisa dipecahkan. Yah...
memang kehidupanku lebih misterius dari yang teman-temanku ketahui, tapi, itu adalah
suatu keharusan aku harus menjaga kerahasiaan identitasku. Tapi, yang ini,
masalahnya beda. "Aku tidak mungkin menyelinap ke rumahnya diam-diam hanya untuk
mengetahui lebih jauh tentang gadis itu." gumamku, "Walau rumahnya hanya beberapa
blok dari sini. Tetap saja..." Aku kembali ke dapur, kali ini mengambil sebotol teh
gandum. Meminumnya langsung dari botolnya. Aduh, sekali lagi sial. Aku masih tidak
bisa menghilangkan bayangan wajah gadis itu dari pikiranku. Dan aku bisa gila kalau
tidak mengetahui seluk-beluk gadis itu sampai sedetil mungkin. Kalian bisa mengataiku
penguntit jika aku benar-benar melakukan hal itu. Tapi, sungguh, aku tidak bisa
mengatasi rasa penasaranku kecuali aku bisa mengetahui siapa nama, dan latar
belakang gadis itu. Aku menengok kearah jam di dinding. Sudah jam setengah 9 malam.
Agak larut untuk bertamu. Dan itu berarti, aku harus menunda keinginanku untuk
mengenal gadis itu lebih jauh. Tapi, bukan berarti rasa penasaran ini akan lenyap
seperti air yang menghanyutkan pasir. Rasa penasaranku akan berubah menjadi batu
karang dan berdiam tidak bisa digerakkan kecuali dihancurkan. *** Pagi harinya, aku
terbangun dengan wajah kuyu. Tentu saja karena aku selalu kepikiran gadis misterius
itu. Benar-benar sial. Aku tidak bisa mengalihkan pikiranku dari matanya yang bulat
besar, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang tipis berwarna pink itu. Rasanya
aneh. Aku baru melihatnya lewat foto, tapi aku sudah sangat penasaran dengan gadis
itu. Yah... semoga hari ini aku bisa bertemu dengannya. Dengan basa-basi
"aku-ingin-kamumenjadi-modelku-di-festival-kelulusan-di-kampuskugadis itu. Oke. Aku
harus berpikir positif, dan tidak boleh menyerah. Setelah mandi pagi dengan air dingin
yang segar, dan menyantap roti bakar keju dan coklat, aku langsung berangkat ke
kampus. Tapi, karena aku baru ingat hari ini dosen yang mengajar sedang berhalangan
hadir sehingga jam pagi ini kosong, aku memutuskan memutar haluan, pergi ke taman
di dekat flat yang ditinggali si gadis misterius dan mencoba menenangkan pikiran sambil
mencari ide untuk membuat desain pakaian berikutnya. Aku mengambil buku sketsa dan
pensil, lalu mulai mendesain sambil jalan. Kebiasaan buruk yang seharusnya
kuhilangkan, tapi, tetap saja kukerjakan. Sedang asyiknya menggambar, tiba-tiba suara
klakson mobil dari depan mengagetkanku dan membuatku terlonjak kaget. Aku terjatuh
dengan siku duluan karena saking kagetnya melihat sebuah mobil berwarna merah
terang nyaris menabrakku. Rupanya aku terlalu asyik menggambar sampai tidak sadar
kalau aku sudah berdiri di tengah jalan. Pintu pengemudi mobil itu terbuka dan seorang
gadis berambut pendek bergelombang keluar dari sana. Matanya berwarna biru
keabu-abuan dan sinarnya kelihatan cemas. Aku sempat terpana. Wow. Baru saja
kupikirkan, gadis misterius kini berdiri di hadapanku. "M, maaf, kau tidak apa-apa?" Aku
menggeleng, "Tidak... maaf, aku jalan sambil meleng." "Aku yang salah. Tadi aku
melamun ketika mengemudi." Ujar gadis itu. Dia kemudian menatap sikuku. "Astaga,
kau berdarah..." "Ng" Oh... ini hanya luka kecil." Kataku memperhatikan luka di siku
kananku, "Tidak apa-apa. Nanti juga sembuh sendiri." Dia menggeleng, dan rambutnya
yang bergelombang itu terayun-ayun mengikuti gelengan kepalanya. "Tidak. Luka itu
akan bertambah parah jika tidak kau bersihkan. Sebentar, akan kuambil kotak P3K yang
ada di mobilku..." dia kemudian terdiam sebentar, "Mungkin sebaiknya kamu ikut aku
masuk ke mobil agar aku bisa mengobati lukamu. Ayo." "Apa" Tidak usah... sudah
Rukas Angel - Angelia Putri
kubilang kalau ini hanya - " "Tolong jangan membuatku merasa bersalah." Ujar gadis itu
memaksa, "Biarkan aku mengobati lukamu, jadi aku tidak akan merasa dibayangi rasa
bersalah. Please..." Aku menatap gadis itu. Mata biru keabu-abuannya memohon
dengan sangat, dan dia terlihat seperti gadis salju berambut hitam yang sangat... cantik.
Tidak. Dia sempurna. Dan matanya yang besar itu... astaga, semua orang pasti tidak
akan menolaknya apalagi karena dia begitu cantik. Aku menghela nafas, mengalah.
"Baiklah." CHAPTER 4 Kami masuk ke dalam mobilnya, dan aku sedikit terpesona
dengan interior mobilnya yang didominasi warna putih dan krem. Cukup netral. Dan di
dasbor ada beberapa bingkai kecil foto. Juga ada tas berukuran kecil, yang kupastikan
berisi peralatan make-up. "Sebentar, aku ambil kotak itu di kursi belakang." Dia duduk di
kursi pengemudi dan langsung membalikkan badannya untuk mengambil kotak putih
yang diletakkan di bawah kursi penumpang di belakang. "Err... sebenarnya aku tidak
mau merepotkan." Kataku, melihatnya membawa kotak itu ke pangkuannya dan
mengeluarkan obat merah, serta kapas dan perban, juga antiseptic lain yang aku tidak
tahu namanya. "Kemarikan lenganmu." Katanya. Aku patuh dan mengulurkan lenganku.
Dia membaliknya pelan dan memperlihatkan luka lecet yang ada di sikuku. Dengan
telaten, dia mengambil obat merah dan kapas, lalu mulai mengobati lukaku. "Oww..."
"Maaf, sakit ya?" tanyanya. "Tidak. Cuma sedikit perih." Kataku, "Sini, biar aku saja." Dia
menggeleng dan menggenggam lenganku lebih erat, "Aku yang menyebabkanmu
terluka, dan aku juga yang harus bertanggung jawab." Katanya, "Biarkan aku
mengobatimu. Oke?" "Euh... baiklah..." Dia kemudian kembali mengoleskan obat merah
pada kapas itu ke sikuku yang luka dengan lebih pelan. Kemudian mengambil perban
dan kapas lain yang juga dibubuhi obat merah dan antiseptic, kemudian membalut
lukaku. Selama dia melakukan itu, inilah kesempatanku melihat wajahnya lebih dekat.
Matanya ternyata jauh lebih besar dari yang kuduga. Wajahnya juga mulus tanpa noda.
Dan bibirnya... astaga, ya ampun. Tidak tipis seperti yang ada di foto. Bibirnya penuh,
dan kelihatannya... Uh-oh, tidak. Pikiranku mulai kacau. Aku tidak boleh memikirkan hal
terlarang di dekat cewek. Apalagi cewek di hadapanku ini pasti cewek baik-baik.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Sudah selesai." Ujarnya dengan nada puas, "Begini-begini aku pandai mengobati orang
lain." "Oh ya?" aku tidak akan menyangkal, karena perban yang membalut lenganku
sekarang cukup kuat dan aku yakin, tidak akan mudah terlepas begitu saja. Dia
tersenyum manis dan mengembalikan kotak P3K itu kembali ke tempatnya.
"Ngomong-ngomong... kita belum berkenalan, ya?" kataku. "Rasanya tidak enak kalau
aku hanya memanggilmu "heiDia menatap tanganku yang terulur padanya dan wajahku
bergantian. Sinar matanya berubah dari ramah menjadi curiga. "Err... maaf. Sudah
kebiasaan karena banyak orang yang minta berkenalan padaku sebelumnya." Kataku,
menurunkan kembali tanganku, kemudian mengedikkan bahu. "Di kampus, banyak yang
mengejarku hanya untuk minta didesainkan pakaian..." "Kamu mahasiswa desainer?"
tanyanya. "Ya. Kampusku tidak jauh dari sini." kataku. "Aku belum tahu siapa namamu.
Tidak mungkin aku berterima kasih kalau aku belum tahu namamu, kan?" "Err..." "Maaf.
Lagi-lagi aku terdengar memaksa." "Ruka. Megumi... Ruka." Katanya pelan. "Namaku
Megumi Ruka." "Ruka, ya" Nama yang cantik." Aku melihat wajahnya memerah. Dan
dia menunduk menatap tangannya. "L, lalu... kenapa kamu bisa berada di sekitar sini.
Kalau tidak salah universitas terdekat di sini arahnya berlawanan dari jalan ini." katanya.
"Ah... itu. Hari ini aku bangun terlalu pagi, padahal jam pagi hari ini dosenku sedang ada
tugas lain. Karena itu aku mau ke taman di dekat situ dan memikirkan desain pakaian
berikutnya." Kataku, "Tapi, ternyata aku malah dipertemukan dengan model cantik
sepertimu." "Kamu tahu aku model?" tanyanya agak terkejut. "Lho" Kamu model, kan"
Rukas Angel - Angelia Putri
Siapa yang tidak kenal model cantik sepertimu?" "Aku baru beberapa bulan bekerja
sebagai model. Belum banyak orang yang mengenalku." Katanya pelan. "Yah... berarti
mereka semua melewatkan kesempatan emas untuk melihat wajah cantikmu secara
jelas." Lagi-lagi wajahnya memerah. Dan aku suka melihat semburat merah itu di
wajahnya. Dia jadi kelihatan lebih... innocent. Wajah yang benar-benar cocok sebagai
seorang model. Natural dan sangat alami. "Kau terlalu memuji, Kak." Katanya. "Err...
boleh kupanggil dengan sebutan "Kakkan" Soalnya kamu pasti lebih tua dariku." "Boleh
saja. Lagipula, aku tidak keberatan harus dipanggil dengan sebutan "Kakorang secantik
kamu, Ruka." "Jangan memujiku terus..." katanya. Aku terkekeh. "Ah, kamu mau
berangkat ke sekolah?" aku melihat seragamnya, dan badge Hope Academy
terpampang jelas di dada jas sebelah kiri yang dipakainya. "Ya... tapi, sekarang pasti
masih belum bel masuk. Kalaupun sudah, tidak apa-apa aku terlambat. Toh, aku masih
punya banyak waktu untuk sekadar menerobos masuk." Katanya. "Rupanya kamu tipe
cewek yang sedikit membangkang, ya?" "Tidak juga... hanya terpaksa menggunakan
kemampuanku kalau dalam keadaan terdesak." Dia tersenyum, "Apa Kakak mau
kuantar ke kampus Kakak" Kalau tidak salah, aku juga akan melewati jalan menuju
kampus Kakak untuk pergi ke sekolah." "Hmm... ide yang bagus. Aku yakin, Alice dan
Tristan sudah menungguku." Kataku. "Kalau begitu, pasang sabuk pengaman di kursi
Kakak." Ujarnya sambil tersenyum. *** Aku tidak tahu harus mengatakan apa ketika
cowok bernama Nakayama Inoue ini berada di dalam mobilku. Auranya sangat aneh.
Bahkan cenderung membuatku agak berdebar-debar. Aneh, kan" Padahal sebelum ini,
aku tidak pernah merasakan hal seperti itu pada orang lain. Aku mengemudikan mobilku
dan melirik sesekali kearah Kak Inoue yang duduk sambil menggambar sesuatu di buku
sketsa di pangkuannya. Iseng, aku bertanya apa yang sedang digambarnya. "Desain
gaun." Jawabnya sambil memperlihatkan desain sebuah gaun berwarna putih dan krem
yang memiliki kerutan yang banyak dan berlapis-lapis. "Kelihatannya gaun itu berat."
Kataku mengerutkan kening. "Bahannya mungkin ringan, tapi kalau ditumpuk seperti itu,
pasti akan terasa berat." "Memang." Dia tersenyum. "Tapi, gaun ini adalah salah satu
masterpiece yang sedang kurevisi. Karena sebentar lagi festival kelulusan, aku harus
mempersembahkan desain yang terbaik yang kupunya." "Oh..." Ketika lampu merah,
aku menatap desain gaun itu dengan lebih teliti. Hmmm... detailnya sangat rumit,
bahkan kalau titik-titik biru, yang kemungkinan nantinya adalah payet itu, digabungkan,
pasti sulit untuk mengira kalau bunga di bagian bawah gaun tersebut adalah payet.
Orang-orang mungkin akan mengira itu batu Kristal atau batu lain yang berkilau.
"Kenapa" Kurang bagus, ya?" tanyanya ketika menyadari aku menatap desain itu
lekatlekat. "Tidak... hanya saja... itu bagus." Kataku menggeleng, "Bunga-bunga yang
ada di bagian bawah gaun itu akan dibuat dari apa?" "Payet dan mungkin sedikit
manic-manik." Ujar Kak Inoue sambil tersenyum lebar, "Sudah kubilang, ini masterpiece.
Aku juga sedang mencari model untuk gaun desainku ini... oh ya! Benar juga!" Dia
menatap kearahku dengan mata berbinar-binar seperti anak kecil. Dan aku merasa akan
terjadi sesuatu yang buruk. Atau tidak, sebenarnya. "Kamu model, kan" Mau
membantuku untuk menjadi model yang akan mengenakan gaun ini?" tanyanya. Tuh,
benar, kan" *** "Menjadi... model?" aku yakin aku mengulangi kata-kata itu. Seperti
membeo kata-kata Kak Inoue. "Ya. Aku memerlukan seorang model, dan aku rasa,
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kamu cocok untuk menjadi model gaun ini." dia tersenyum, "Lagipula, aku yakin
ukuranmu pas dengan bayanganku." "Ukuran... maksudnya ukuran tubuhku?" tanyaku.
"Biar kutebak, ukuran lingkar dadamu 81, pinggang 62, dan pinggul 80." Senyumnya
semakin lebar, "Aku benar, kan?" Aku yakin, wajahku memerah karena dia telah
menyebut ukurang 3 bagian tubuhku yang terlalu... aduh. Aku tidak sanggup
menyebutnya. Terlalu memalukan. Tapi, dia memang menyebutnya dengan sangat
Rukas Angel - Angelia Putri
tepat. Dari mana dia tahu semua ukuran itu" "Kakak memata-mataiku, ya?" tanyaku,
agak curiga. "Tidak, kok. Aku, kan hanya menebak." Katanya, "Tapi... benar ukuran
yang kusebutkan tadi" Soalnya, memang terlihat dari ukuran tubuhmu, sih..." Aku tidak
menjawab, masih merasa malu dan tidak tahu harus menjawab apa. Lampu lalu lintas
berganti menjadi hijau, dan aku segera melajukan mobilku ke universitasa tempat Kak
Inoue belajar. Tidak jauh dari lampu lalu lintas tadi. Dan aku bisa melihat nama
universitas itu, yang ditulis dengan warna emas : ArTalent University "Jadi...
bagaimana" Mau menjadi model untukku?" tanya Kak Inoue lagi. "Aku... tidak tahu.
Akan kupikirkan lagi." jawabku.
Rukas Angel - Angelia Putri
Kak Inoue menghela nafas, nyaris kelihatan kecewa mendengar jawabanku. "Baiklah.
Tapi, boleh aku minta nomor ponselmu" Agar aku bisa menghubungimu dan
menanyakan lagi apakah kamu bersedia menjadi model untukku." Belum sempat aku
menjawab, Kak Inoue mengambil ponsel yang sedari tadi kutaruh di atas dasbor,
mengutak-atik ponselku sebentar, dan kemudian menyerahkannya kembali padaku.
"Aku sudah mengirimkan nomormu ke ponselku, dan juga nomor ponselku sudah
kusimpan di dalam phonebook ponselmu. Jadi, kita berhubungan tanpa harus curiga
nomor siapa yang tertera di layar ponsel kita." Bagaimana dia tahu aku sering paranoid
soal siapa yang meneleponku" Aku tidak akan bertanya. Itu akan membuatku terlihat...
ketakutan. Dan jujur saja, sikap manis yang kutunjukkan pada Kak Inoue tadi jarang
kuperlihatkan pada orang lain. Aku serius. "Baiklah, sampai nanti, Ruka." Katanya
sambil mengedipkan sebelah matanya. Dia melepas sabuk pengaman dan keluar dari
mobilku. Aku sempat melihat dua orang mahasiswa sepantaran dirinya menghampiri
dan mengobrol dengan Kak Inoue. Mereka kelihatan akrab. Yang cewek sangat cantik
dengan rambut pirang, sementara yang cowok kelihatan tampan dengan rambut coklat
terang dan tubuhnya yang berisi. Aku memperhatikan sampai ketiga orang itu
menghilang dari pandanganku. Setelahnya, aku langsung memacu mobilku ke sekolah.
*** "Hai, Ruka." Aku mendongak dari buku yang kubaca, dan melihat Julia berdiri di
samping mejaku sambil tersenyum lebar. Oh, tidak. Kenapa lagi-lagi dia
menggangguku" Mengganggu hari tenangku saja. "Ada apa?" tanyaku. "Kita satu
kelompok dalam acara pentas seni dua minggu lagi." katanya sambil memperlihatkan
selebaran yang kurasa dibagikan saat Pak Henry masuk. Selebaran tentang pentas seni
sekolah yang akan diadakan dua minggu lagi. "Memangnya kita satu kelompok dalam...
apa?" tanyaku lagi. "Kita akan menjadi model untuk kelas desain. Mereka mendesain
pakaian seperti yang dilakukan oleh mahasiswa dari ArTalent University." Katanya
dengan antusias, "Juga, nanti akan hadir juri dari mahasiswa universitas tersebut secara
langsung! Hebat, kan?" "Uh, ya... kurasa." Aku mengedikkan bahu. "Tapi, aku tidak
berminat. Jadi, maaf." "Kamu tidak boleh menolak! Pak Henry yang menginginkan kamu
menjadi model. Bukankah pekerjaanmu juga model" Kamu pasti bisa melakukannya..."
"Itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku sebagai seorang model." Kataku,
"Kenapa sepertinya Pak Henry ngotot ingin aku menjadi model dalam pentas seni?"
"Karena kamu cocok. Dan cantik, tentu saja." balas Julia sambil tersenyum, "Ikuti
sajalah... aku yakin, kamu pasti suka. Ini selebarannya. Dan ada formulir juga di situ.
Kalau sudah mengisi formulirnya, serahkan saja padaku, biar aku yang
mengantarkannya ke ruang OSIS." Dia lalu pergi dan meninggalkan selebaran 3
rangkap itu di mejaku. Aku membaca sekilas huruf warna-warni yang tertera di sana dan
menghembuskan nafas. Lagi-lagi aku teringat permintaan Kak Inoue, dan... Tunggu
dulu. Aku mengambil selebaran itu dan membaca salah satu "iklanmenarik perhatianku.
Sebuah nama, dan aku langsung merasa kalau aku akan mengalami hari-hari yang
Rukas Angel - Angelia Putri
cukup melelahkan mulai dari sekarang. *** Seseorang dengan teknik penyamaran
tinggi bisa berubah menjadi siapa, dan apa saja. Termasuk aku. Sejak kecil aku sudah
berlatih menyamar secara otodidak. Aku juga sering melatih kemampuan khususku
secara berkala dan rutin, hingga aku mulai terbiasa menggunakan semua yang kupunya
seperti mudahnya aku bernafas. Sekarang aku sedang berada di taman belakang
sekolah. Tempat lain yang biasa kugunakan untuk melatih kemampuanku selain di
rumah. Karena di sekolah, hanya tempat ini satu-satunya tempat yang cukup aman
untuk berlatih. Aku duduk di kursi taman yang berada di bawah sebatang pohon besar,
dan menghembuskan nafas. Rasanya kepalaku penuh dengan berbagai hal yang tidak
terduga selama aku tinggal di kota ini. Semuanya terasa aneh, dan... membuat frustasi.
Terutama masalah model itu. Oh, aku memang bekerja sebagai model. Tapi, aku tidak
sepenuhnya bekerja sebagai model. Aku hanya menjadi model paruh-waktu. Tidak
bekerja secara full-time. Lagipula, usiaku adalah usia sekolah, dan pihak manajemen
tempatku bergabung menyetujui keputusanku untuk tidak bekerja secara full-time. Oke.
Sekarang, tidak perlu membahas itu. Sekarang saatnya berlatih. Masih ada waktu
sekitar 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku menoleh-noleh, mencari benda yang
bisa kujadikan sebagai objek latihanku. Dan mataku langsung tertuju pada seekor
kucing berbulu putih lebat yang tidak jauh dari tempatku duduk. Mungkin ini agak kejam,
dan aku tidak bermaksud menyakiti kucing itu. Tapi, aku perlu sesuatu yang... hidup.
"Hei, manis..." aku mengulurkan tanganku, memanggil kucing itu. Kucing putih itu
menoleh dan menatap tanganku, kemudian ke wajahku. Aku menatap mata kucing itu
lekat-lekat dan bisa melihat warna keemasan dari matanya. Warnanya cantik.
"Kemarilah, manis..." aku membujuknya lagi. "Ayo, ke sini." Kali ini kucing itu seolah
terhipnotis oleh tatapan mataku. Kaki-kakinya mulai bergerak, dan dia menempelkan
sebelah kaki depannya ke tanganku. Aku mulai melatih kemampuan telekinesisku,
mengangkat kucing ini cukup mudah, apalagi tanpa menyentuhnya. Tapi, karena aku
jarang melihat kucing berbulu lebat seperti ini, aku tidak ingin melewatkan kesemaptan
untuk menyentuh bulu-bulunya. Dengan sedikit menggunakan kemampuanku, aku
"mengangkatdan menaruhnya di pangkuanku. Dia langsung meringkuk nyaman di
pangkuanku dan mulai mendengkur. Aku tertawa geli melihat kucing ini bisa dengan
nyaman meringkuk di pangkuanku seperti bayi. Sambil terus mengelus bulunya, aku
mulai melakukan telekinesis pada benda-benda di sekitarku. Batu, air, ranting pohon
yang jatuh, dan juga dedaunan yang gugur. Aku bisa mengangkat semua benda itu
dengan mudah karena memang bentuknya kecil. Kalau bentuk bendanya lebih besar,
mungkin aku harus berkonsentrasi lebih kuat lagi. Aku melemparkan semua benda itu
ke salah satu pohon dan kemudian meletakkan kucing di pangkuanku ke sebelahku.
Saatnya melatih kemampuanku yang lain : membaca pikiran. Aku bisa membaca pikiran
hanya dengan menyentuh sedikit kulit saja. Dan kemampuan ini hanya berlaku untuk
manusia, bukan pada hewan. Dulu, aku sering diam-diam menyentuh tangan
teman-temanku dan mendengarkan pikiran mereka. Namun, karena akan terasa ganjil
jika aku ketahuan memegang tangan setiap orang, akhirnya aku mencoba
mengembangkan kemampuanku. Dari yang awalnya hanya bisa membaca pikiran lewat
menyentuh, kini aku bisa membaca pikiran orang dengan hanya menatapnya saja. Aku
bahkan bisa mengendalikan pikiran orang dan membuat mereka menuruti semua
keinginanku. Oke. Aku tidak mau membahasnya. Saatnya mencari mangsa. Aha. Ada
salah satu anak kelas 3 yang sedang bersantai di dekat sini, dan aku tidak akan
mengendalikan pikirannya. Aku hanya akan membaca pikirannya saja. Lagipula, aku
tidak suka kalau ada orang yang mengetahui kemampuanku. Dengan menatap
wajahnya, aku bisa tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dan aku nyaris tertawa
terbahak-bahak ketika mengetahui pikirannya. Ini cukup menghiburku, mengingat aku
Rukas Angel - Angelia Putri
tidak pernah tahu caranya menghibur diri selain melatih kemampuanku.
Rukas Angel - Angelia Putri
Sekarang, sudah cukup, aku tidak mau tawaku terdengar oleh orang lain. Aku kembali
ke kursi taman dan melihat kucing putih itu menengok-nengok mencariku. Wow. Aku
baru sadar, kelihatannya dia bukan kucing biasa, karena bulunya yang lebat dan
matanya yang bersinar kuning terang seperti emas itu sangat jarang. Apa dia kucing
keturunan ras yang cukup populer" Entahlah. Tapi, sepertinya kucing ini tidak memiliki
majikan, aku tidak melihat ada kalung tanda kepemilikan atau semacamnya. "Kenapa,
manis?" aku mengangkatnya dengan mudah dan mengelus lehernya, yang membuatnya
mengeong senang. "Sepertinya kamu sendirian, ya" Kenapa bisa sampai ke sekolah
ini?" kataku sambil menggaruk-garuk belakang telinganya dengan manja. "Aku akan
membawamu pulang nanti. Jadi, kamu harus tunggu di sini sampai aku kembali." Aku
tidak yakin apakah binatang bisa kumanipulasi pikirannya. Namun, kata-kataku barusan
sebenarnya adalah "sedikitingin mencoba melakukannya pada binatang. Tapi, bukan
berarti aku ingin membuat kucing ini menjadi kelinci percobaan. Tidak... aku tidak akan
melakukan hal seperti itu. Bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Aku lalu meletakkan
kucing itu kembali di kursi taman dan mengelus kepalanya. "Tunggu di sini sampai aku
pulang. Oke?" kataku, kemudian segera berlari menuju kelas. *** "Ruka, kamu belum
mengisi formulirmu?" tanya Julia ketika aku baru saja masuk ke dalam kelas. Oh, sial.
Aku lupa soal formulir pentas seni itu. Tapi, aku tidak berniat mengikutinya. Jadi, aku
menggeleng dan mengembalikan formulir itu pada Julia. "Maaf. Aku tidak bisa." Kataku,
"Cari saja orang lain." "Eh" Kenapa" Padahal Pak Henry sangat berharap kamu juga
ikut mewakili kelas untuk pentas seni ini." katanya dengan nada agak kecewa. Ya...
kedengarannya aku seperti orang yang tidak peka dan sangat cuek dengan semua
orang di sekitarku. Yang sebenanrya memang sangat benar. "Maaf. Aku benar-benar
tidak bisa." Kataku lagi, "Aku tidak bisa, dan tidak mau." "Ayo, dong... demi kelas kita
juga, kok." Katanya lagi sambil memohon. Aku menatapnya. Matanya dibuat agak
memelas, mungkin agar aku kasihan dan mau menerima formulir itu lagi untuk diisi.
Tapi, sayangnya aku tidak bisa dibujuk dengan cara itu. Aku tidak akan bisa dibujuk
dengan cara baby face seperti itu. "Akan kupikirkan lagi nanti." Kataku akhirnya, "Tapi,
sebaiknya jangan dekati aku jika kamu masih memegang kertas formulir itu. Aku akan
memikirkan, tapi tidak mau ikut serta dalam pentas seni itu." "Yah... kok begitu, sih?" dia
benar-benar kecewa. Dan aku nyaris tertawa karena mendengar kekecewaannya. Aku
hanya mengedikkan bahu dan duduk di kursiku. Pelajaran akan segera dimulai, dan aku
tidak perlu repot untuk mengulang kembali pelajaran yang kupelajari. Karena, lagi-lagi,
kemampuan khususku : ingatan fotografis. *** Ketika aku kembali lagi ke taman, kucin
itu masih ada. Bahkan mengeong gembira saat aku mendekatinya. "Hai, manis... maaf
membuatmu lama menunggu." kataku sambil mencium kepala kucing itu. Aku
meletakkannya di dalam gendonganku dan berjalan menuju mobil. Kuletakkan kucing itu
di dalam sebuah box terbuka yang ada di kursi belakang dan menaruhnya di kursi
penumpang di sampingku. Sambil menyetir, aku memasang CD lagu, kali ini aku ingin
mendengar lagu yang agak berbeda dari music klasik. Mungkin lagu pop bisa menjadi
pilihan. Aku mengambil satu CD dan memutarnya di CD Player. "Sebelum pulang, aku
harus membeli makanan untuk kucing ini, dan juga kalung, untuk menandainya." Kataku
sambil tersenyum memandang kucing di sampingku, yang sedang
menggoyang-goyangkan ekornya. "Setelah itu, aku langsung istirahat. Aku harus
bangun pagi besok untuk latihan sebentar." Aku berhenti di dekat minimarket yang biasa
kudatangi sebelum pulang ke rumah. Kalau tidak salah, di sini juga menjual makanan
khusus untuk hewan peliharaan. Aku tidak akan sanggup mengemudikan mobilku ke
Rukas Angel - Angelia Putri
tempat lain selain tempat yang bisa terjangkau dari rumahku. Aku mematikan mesin
mobil dan mengambil dompet yang kusimpan di dalam tas. "Sekarang, kamu tunggu di
sini, manis. Aku akan membelikan makanan untukmu. Jangan nakal, oke?" Aku lalu
keluar dari mobil dan berjalan ke dalam minimarket. Setelah membeli makanan untuk
kucingku, aku langsung menuju ke mobil lagi, ketika aku merasakan ada orang lain di
dekatku. Langkahku terhenti, dan aku mencoba menajamkan pendengaranku. Suara
langkahnya berat... tidak. Agak ringan. Laki-laki. Kataku dalam hati. Aku bisa
mengetahui dari jenis langkah kakinya yang terkesan agak melayang ketika berjalan.
Ciri khas seorang laki-laki yang tidak ingin gerak-geriknya ketahuan. Tapi... siapa" Jika
aku bisa melirik ke belakang punggungku sedikit saja, aku bisa memastikan siapa orang
itu hanya dari siluetnya. Kalaupun itu anak-anak SMA lain atau mahasiswa yang suka
berbuat onar, aku bisa mengetahuinya hanya dari bau nafas mereka yang biasa berbau
alcohol atau rokok. Namun, orang ini... dia tidak berbau rokok atau minuman keras.
"Hei," Aku menoleh kaget dan melihat seseorang sudah berdiri di dekatku. Aku
mendongak menatap wajahnya dan mengerutkan kening. Sinar dari lampu di dalam
minimarket tidak cukup untuk menerangi wajahnya yang berdiri membelakangi
datangnya cahaya. "Ini aku, kamu lupa, ya?" tanyanya lagi. Ada nada riang dalam
suaranya. "Err... siapa?" tanyaku. "Ini aku, Inoue. Kamu lupa, ya" Padahal baru tadi
pagi kita bertemu." Katanya lagi. CHAPTER 5 "Kak Inoue?" Aku terperangah, kaget
ketika menyadari aku kalah tinggi dibanding dia. Padahal aku selalu mengira aku yang
paling tinggi di antara teman-teman di sekolah. Satu-satunya yang menyaingi tinggi
badanku di sekolah hanya... entahlah. Aku tidak tahu. kelihatannya mereka semua lebih
pendek dariku yang memiliki tinggi 168 senti. Tapi, Kak Inoue... dia lebih tinggi dariku.
Mungkin perbedaan tinggi kami hanya sekitar 4 senti. "Kamu ini orangnya cepat pelupa,
ya?" katanya. "Masa, baru kenal tadi pagi sudah lupa." "Maaf, aku tidak menyadari
Kakak di sini." jawabku sambil tersenyum malu. "Kakak sedang apa di sini?" "Beli
beberapa bahan makanan. Yah... sebenarnya tidak bisa disebut bahan makanan
karena aku hanya membeli makanan yang bisa dimasak dengan cepat dan sederhana."
Aku menatap kantong plastic putih besar yang dia bawa dan manggut-manggut. "Kamu
sendiri sedang apa" Beli bahan makanan juga?" "Membeli makanan untuk hewan
peliharaanku." Jawabku. "Kamu punya binatang peliharaan?" Aku mengangguk, "Kucing
kecil. Warnanya putih. Tuh... ada di dalam mobil." ujarku. "Hah" Di dalam mobil?" Kak
Inoue menatap jendela mobilku yang hitam pekat. "Baru kamu beli?" "Aku
menemukannya di sekolah. Kucingnya lucu, dan kelihatannya tidak punya pemilik,
Rukas Angel - Angelia Putri
jadi aku... memungutnya." "Kucing imut ada di sekolah" Tidak biasa, tuh..." "Memang
tidak biasa..." aku setuju dengan ucapan Kak Inoue, "Oh ya, aku harus segera pulang.
Sampai nanti, Kak." "Eh, tunggu dulu." Aku menoleh lagi kearahnya. Dan menatap
selebaran yang sekarang ada di tangannya. Entah dari mana dia mengambil selebaran
itu. "Kamu bersekolah di Hope Academy, kan" Pasti kamu tahu soal pentas seni yang
akan diadakan dua minggu lagi, kan?" Mau tak mau aku mengangguk. Aku menatap
selebaran di tangannya dengan tatapan sedikit curiga. Jangan-jangan Kak Inoue tahu
kalau nanti ada peragaan busana di pentas seni itu... "Apa kamu tahu tempat di mana
para juri dalam acara pentas seni itu berkumpul besok?" tanyanya lagi, "Biar begini, aku
termasuk juri dalam lomba peragaan busana di sana." "Kakak jadi juri?" tanyaku
mengerutkan kening. Memang sih, tadi aku sempat melihat nama Nakayama Inoue di
dalam selebaran yang diberikan Julia padaku. Tapi, aku tidak tahu bahwa yang bernama
Nakayama Inoue itu ternyata Kak Inoue yang sekarang berdiri di hadapanku. "Tentu
saja. Biar begini, aku termasuk mahasiswa senior jurusan fashion design yang cukup
Rukas Angel - Angelia Putri
terkenal. Dan sekolahmu memintaku untuk menjadi juri dalam lomba peragaan busana
mereka." katanya tersenyum lebar. "Kamu bersekolah di sana, kan" Bagaimana kalau
kamu membantuku menemukan di mana tempat technical meeting pentas seni besok?"
Aku menatap selebaran itu agak ragu. Aku tidak bermaksud menolak. Tapi, apa kata
teman-teman di sekolah nanti jika aku berjalan bersama Kak Inoue yang benar-benar
akan menjadi juri dalam peragaan busana di pentas seni" Bisa-bisa berkembang gossip
yang tidak enak. "Bagaimana" Mau membantuku" Ah, ya, bagaimana soal tawaranku
untuk menjadi model busanaku?" tanyanya lagi. Aduh... kenapa dia harus membahas
masalah itu lagi" Kalau begini, aku sendiri yang jadi pusing. "Aku tidak tahu. Masih
kupikirkan." Jawabku. "Bisa beri aku waktu sedikit lagi" Kalau aku sudah memutuskan,
aku akan menghubungi Kakak." "Baiklah. Aku setuju." Dia tersenyum, "Tapi, kamu mau,
kan mengantarku besok ke tempat technical meeting di sekolahmu?" "Itu..." "Ayolah...
aku tidak kenal orang lain di sana kecuali Ruka. Dan aku tidak mau tersesat dan merasa
seperti orang bodoh karena celingak-celinguk tidak tahu arah." Pintanya dengan wajah
memelas, sama seperti yang dilakukan oleh Julia tadi siang. Tapi, kenapa aku malah
menganggukkan kepala menanggapi permintaannya!" Tanpa sadar, aku benar-benar
menganggukkan kepalaku. Dan itu membuat seulas senyum yang lebih lebar dari yang
tadi muncul di wajah Kak Inoue. "Asyik! Terima kasih, Ruka! Kamu memang baik,
deh..." Dengan gerakan cepat, Kak Inoue memelukku. Aku tidak sempat bereaksi ketika
ia melakukannya dan hanya bisa diam mematung. Ya... mungkin itu lebih baik, karena
rasanya kedua kakiku terasa seperti agar-agar akibat sentuhan Kak Inoue. Nah, lho.
Apa lagi itu" Kacau, nih... Kak Inoue melepas pelukannya, dan mencium pipiku. "Ini
untuk ucapan terima kasih karena sudah mengobati lecet di siku kananku." Katanya
sambil tertawa, "Sampai besok di sekolahmu, ya" Aku akan menghubungimu nanti."
Kemudian, dia pergi. Meninggalkan aku yang masih bengong gara-gara pelukan dan
ciuman singkatnya yang spontan itu. *** Oke. Tindakanku tadi cukup berani untuk
orang yang belum pernah mendekati cewek secara spontan seperti tadi. Tapi... harus
kuakui, tindakanku barusan benar-benar membuat Ruka kelihatan kaget, dan bengong.
Wajahnya jadi kelihatan lebih lucu kalau begitu. Saat aku berbalik dan berjalan ke
tempat yang agak gelap, aku menoleh ke belakang. Ruka sedang masuk ke dalam
mobil, dan aku melihatnya sedang menahan sesuatu yang hendak keluar dari mobilnya.
Mungkin itu kucing yang diceritakannya tadi" Mungkin saja... Ponsel di saku celanaku
berbunyi. Aku cepat-cepat mengambilnya dan melihat nomor yang tertera di sana. Sial.
Lagi-lagi nomor ini. "Halo?" aku mengangkat telepon itu. "Kuharap kamu tidak lupa
dengan perjanjian yang sudah pernah kita setujui." Ujar suara di seberang telepon.
Suaranya terdengar serak dan rusak, tipe suara yang disamarkan dengan alat
pengubah suara. "Aku sudah tidak terikat dengan kalian. Dan aku tidak mau kalian
menggangguku lagi." balasku, "Apa untungnya bagiku jika kalian masih
menggangguku?" "Kesepakatan kita yang pertama adalah : Di manapun kamu berada,
kami pasti bisa menemukanmu. Aku yakin kamu ingat itu." "Lalu" Apa masalahnya
denganku?" "Kuharap kamu tidak lupa, Nakayama Inoue," suara itu terdengar seperti
menahan senyum. "Bahwa kamilah yang membuatmu menjadi seperti sekarang." Oke.
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sudah muak dengan kata-kata itu. Kututup telepon itu dengan kasar dan
memasukkannya ke dalam tasku. *** Mandi air hangat tidak membuatku lebih baik. Di
kepalaku masih terngiang-ngiang ucapan si penelepon, yang sebenarnya sangat
kukenal. Aku menghembuskan nafas. Mengeringkan rambutku dengan handuk dan
berjalan ke sisi tempat tidur, mengambil ponselku dan menatap benda itu sambil
menimang-nimangnya. Si penelepon itu ternyata masih berani menghubungiku padahal
aku sudah nyaris menghancurkan organisasi yang dipunyainya. Organisasi yang
kumaksud bukanlah organisasi kebaikan, tapi kejahatan, karena menculikku dan orang
Rukas Angel - Angelia Putri
yang kusayangi untuk dijadikan kelinci percobaan pertama eksperimen mereka,
sekaligus terakhir, karena kami berhasil kabur namun terpisah di tengah jalan. Sekali
lagi aku menghembuskan nafas dan membuka ponselku. Tidak ada yang istimewa.
Alice dan Tristan hanya mengirimiku pesan kalau mereka akan menemaniku ke Hope
Academy seandainya aku butuh teman untuk pergi ke sana. Alice mungkin akan pergi
ke Hope Academy karena pastinya ingin melihat sekolah almamaternya tersebut,
sementara Tristan... yah... mungkin dia akan berusaha menggoda para siswi di sana.
Membayangkannya saja membuatku tertawa geli. Aku baru akan menutup ponselku lagi
ketika sebuah nomor meneleponku. Nomor Ruka. Dan hatiku rasanya berbunga-bunga
melihat namanya di layar ponselku. Ini dia. Ini yang sudah sangat kunantikan.
Akhirnya... setelah telepon menyebalkan dari orang itu, ada juga satu telepon dari orang
yang paling kutunggu. Aku mengangkat telepon darinya dengan nada suara yang
kubuat setenang dan seceria mungkin. "Halo?" "Kak Inoue" Halo juga." "Apa kamu
sudah memutuskan tawaranku?" tanyaku langsung. "Asal kamu tahu, aku tidak suka
ditolak." "Kenapa Kakak seperti memaksaku, sih?" katanya sambil mendesah. "Karena
aku ingin kamu menjadi modelku. Dan tidak ada yang cocok selain kamu." balasku
sambil tertawa pelan, "Bagaimana jawabanmu?" Lama dia diam, tidak menjawab. Dan
aku merasa mendengar bunyi detik jam lebih keras dari biasanya saking tegangnya
menunggu apa jawaban Ruka. Kalau dia menerima, itu bagus.
Rukas Angel - Angelia Putri
Karena dengan begitu, aku bisa menyelidiki dirinya, dan menemukan jawaban kenapa
aku bisa sangat terpikat padanya. Tapi, kalau tidak... "Kakak besok akan pergi ke Hope
Academy, kan" Aku akan menemani Kakak ke ruangan yang digunakan sebagai tempat
technical meeting, dan aku juga akan memberikan jawaban pada Kakak. Bagaimana?"
Apa" Jadi, aku harus menunggu sehari" Oh, benar-benar cara yang bagus untuk
membuat orang sepertiku mati penasaran dengan dramatisnya! "Oke... baiklah." kataku,
"Kamu ini benar-benar membuatku penasaran dan gregetan saja. Baru kali ini aku
dibuat penasaran setengah mati seperti ini." "Maaf..." suaranya terdengar bersalah,
"Aku bukannya ingin membuat Kakak jengkel, tapi, aku perlu waktu untuk berpikir."
"Kenapa harus minta maaf" Kamu tidak salah, kan?" kataku, "Ya sudah. Besok akan
datang ke Hope Academy pada jam 9. Pastikan kamu menunggu di lobi. Oke?" "Mmm...
baiklah." jawabnya, "Aku akan menutup telepon. Sampai nanti, Kak Inoue." "Eh, tunggu
dulu!" aku buru-buru berbicara sebelum dia menutup telepon. "Ada yang ingin
kutanyakan padamu." "Ingin bertanya tentang apa?" Aku menatap jendela kamarku yang
dipasangi tirai putih tebal dengan tatapan agak menerawang sebelum melontarkan
pertanyaan padanya. "Apa aku boleh mengetahui semua hal tentang dirimu" Aku ingin
tahu..." Kataku. "Kenapa?" nada suaranya berubah menjadi curiga. Sama seperti tadi
pagi. "Karena... aku tertarik padamu." *** Aku menutup telepon dan menghembuskan
nafas. Aku masih bengong karena perkataan terakhir Kak Inoue di telepon, dan jujur
saja, itu membuaktu sedikit limbung. Aku tidak pernah merasa disukai oleh seseorang,
bahkan oleh teman-teman di sekolah. Aku penyendiri, dan cap sombong sudah melekat
padaku ketika aku menginjakkan kaki di Hope Academy. Namun, bukan berarti semua
orang membenciku. Hanya satu orang yang tertarik dan menarik perhatianku. Tapi aku
tidak bisa menceritakannya. Aku bukannya tidak mau menceritakannya. Tapi, aku lupa
bagaimana harus menceritakannya karena aku bahkan tidak bisa mengingat siapa
orang itu. Satu-satunya penghubungku dengan orang itu hanyalah kalung berbandul
bulan sabit perak yang dihiasi berlian rubi berwarna biru gelap. Kalung itu sekarang
tersimpan rapi di dalam kotak kayu yang kuberi gembok khusus dengan password.
Kalung itu sengaja kusimpan karena aku takut, kalau-kalau kalung itu hilang atau dicuri
Rukas Angel - Angelia Putri
orang lain, menilai dari batu rubinya yang menurutku cukup memikat orang lain untuk
memilikinya. Seakan batu rubi itu memiliki kemampuan aneh untuk memikat
orang-orang untuk mendekatinya. Apa aku boleh mengetahui semua hal tentang
dirimu" Karena... aku tertarik padamu... Kata-kata itu terus terngiang dalam kepalaku.
Kak Inoue sepertinya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tapi, aku tidak tahu
apakah dia benar-benar bisa dipercaya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan
menoleh kearah kucing yang kutemukan sekolah, yang sekarang kupanggil dengan
nama Kitty, sedang tidur di keranjang yang kutata sedemikian rupa untuk menjadi
tempat tidurnya. Aku senang memandangi kucing itu lama-lama. Bulunya yang putih
dan tingkahnya yang lucu sangat menggemaskan. Aku juga sudah membelikannya
kalung penanda, yang berbandul liontin bulat berwarna hijau. "Sebaiknya aku mandi.
Sekarang masih belum terlambat untuk berendam dengan garam aromatherapy
lavender yang kubeli kemarin." Gumamku sambil melihat kearah jam di meja di sebelah
tempat tidurku yang menunjukkan pukul setengah 9 malam. Setelah selesai berendam
air hangat beraroma lavender dan mencuci rambut, aku mengenakan gaun tidur sutra
lembut berwarna putih agak pink dan memakai lotion aroma lavender. Belakangan ini,
aku sangat suka wangi lavender, selain karena wanginya bisa mengusir nyamuk,
aromanya juga menenangkan. Cocok untuk aromatherapy ketika aku sedang stress.
"Mungkin nanti aku harus mencoba wangi yang lain juga." Gumamku sambil tersenyum
kecil pada kebiasaanku yang suka mandi air hangat dengan wangi-wangian. "Mungkin
aku harus..." Samar-samar, aku mendengar suara Kitty yang tadi tertidur, terusik oleh
sesuatu. Dan itu membuatku menahan diri untuk tidak langsung membuka pintu kamar
mandi. Aku bersandar ke dinding di sebelah pintu dan mencoba mendengar suara lain
selain suara Kitty yang kini terbangun. Ada suara langkah kaki. Dari suaranya, aku
hanya bisa menerka orang itu hanya sendirian. Aku menunggu sampai suara langkah
kakinya tidak terdengar lagi. Tapi, aku berspekulasi bahwa orang itu masih berada di
kamarku. Dan aku mendengarnya, suara deritan tempat tidurku. Sepertinya orang itu
memutuskan untuk menungguku keluar dari kamar mandi. Sial. Kalau begini, aku tidak
bisa keluar. Kalau keluar dari sini, itu sama saja dengan bunuh diri, apalagi aku belum
tahu siapa orang yang berada di kamarku sekarang. Aku berharap itu bukan maniak
atau salah satu fans yang tahu bahwa aku adalah model. Kalau benar, itu akan sangat
mengacaukan pikiranku yang sebenarnya sudah lebih segar sehabis berendam tadi.
Menit demi menit berlalu, dan ketegangan yang melandaku membuatku sangat gugup.
Apa orang itu benar-benar maniak" Atau jangan-jangan... orang iseng yang ingin
mencuri di rumahku" Kleptomania, kah" Kemudian, aku mendengar suara lagi. Kali ini
suaranya seperti melangkah menjauh dari kamarku. Aku mendengar suara pintu
kamarku terbuka, lalu menutup. Hening selama beberapa saat, dan aku tidak mau
keluar dulu kalau-kalau orang itu masih ada di kamar. Tapi, suasana hening ini
berlangsung selama beberapa menit. Dan aku mengasumsikan bahwa orang itu sudah
pergi. Aku mendengar ponsel yang kuletakkan di atas tempat tidurku berbunyi. Aku
membuka pintu kamar mandi dengan pelan, kemudian berjalan kearah tempat tidur dan
meraih ponsel. Ada nomor asing tertera di layarnya. Nomor ini tidak kukenal. Apa ini
Julia" Mengingat dia bisa saja mendapat nomor ponselku dari data administrasi
sekolah. Tanpa perasaan curiga, aku menggeser ikon telepon berwanra hijau dan
menempelkan ponselku ke sebelah telinga. "Halo?" "Aku sudah menunggumu dari tadi."
Suara itu langsung membuat darah di seluruh tubuhku seakan dikuras habis. Suara itu
serak, gelap, dan sangat dekat, bahkan dari telepon sekalipun. Aku menoleh ke
belakang dan melihat seseorang bersandar di dinding di sebelah pintu kamar mandi.
Sebelah tangannya memegang ponsel, dan matanya yang tajam mengarah padaku.
Ponsel yang kupegang terjatuh ke lantai, dan aku mundur selangkah ketika orang itu
Rukas Angel - Angelia Putri
berjalan mendekatiku. "Kau tahu berapa lama aku menunggumu keluar dari kamar
mandi" 20 menit. Dan menurutku, itu waktu yang cukup lama." ujarnya, "Kenapa kamu
mundur dan wajahmu kelihatan ketakutan seperti itu?" "Siapa kamu?" tanyaku,
"Kenapa - bagaimana kamu bisa masuk ke rumahku?" "Ini... flat ini adalah salah satu
asset milikku." Ujar orang itu sambil mengedarkan tangannya ke seluruh ruangan,
"Orang yang menyewakan tempat ini padamu sebenarnya hanyalah orang suruhanku.
Sejujurnya, tempat ini adalah milikku." Aku tidak mengerti apa yang dibicarakannya.
Tapi, dari suaranya yang serak dan gelap itu, aku tahu dia laki-laki. Tinggi badannya
menjulang. Mungkin sama dengan Kak Inoue, tapi lebih tinggi sedikit. Usianya sekitar 20
tahunan. Dan, walau kamarku hanya diterangi lampu tidur yang masih menyala di
dinding di atas kepala tempat tidur, aku bisa melihat wajahnya yang putih dan keras,
serta tampan, seolah dibuat dari batu marmer. Dia memakai setelan berwarna gelap,
dan Rukas Angel - Angelia Putri
kalau saja wajahnya tidak tampak begitu dingin dan mengimintidasi, aku pasti sudah
mengira dia adalah seorang artis yang tersesat ke tempatku. "Tapi... kenapa kamu bisa
masuk kemari" Bukankah kunci rumah ini berbeda dengan yang dulu karena aku
menggantinya sesaat setelah aku pindah kemari..." "Kamu memang pintar, tapi, kamu
mengatakan hal itu pada orang suruhanku, dan dia menyampaikannya padaku." dia
tersenyum kecil. "Aku tidak akan menyangkal, kalau ternyata orang yang kucari ternyata
sudah berada tepat dalam genggamanku." "Apa... maksudmu?" aku mengerutkan
kening, "Kamu siapa?" Laki-laki itu kini memojokkanku ke dinding. Punggungku
menempel pada dinding, dan aku harus mendongakkan kepalaku untuk melihat
wajahnya. Mataku bahkan hanya mencapai bahunya. "Namaku Hoshihiko Kazuto."
Katanya, "Dan aku sudah menunggumu sejak lama, Megumi Ruka." CHAPTER 6 "Me,
menungguku?" aku bertanya dengan kening berkerut. Aura di sekitarnya membuatku
terintimidasi, dan aku bahkan sampai lupa kalau aku bisa menggunakan telekinesisku
untuk mendorongnya menjauh, atau membaca pikirannya dan mengendalikannya. Tapi,
aku tidak memikirkan itu karena yang terpikirkan olehku sekarang adalah : Apakah
orang ini mengenalku. "Kurasa kamu lupa padaku," katanya pelan, sebelah tangannya
terulur kearahku, dan mengelus pipiku dengan gerakan halus. "Kamu memang lupa.
Dan aku maklum dengan itu..." "Apa kamu tahu... siapa aku?" "Tentu aku tahu."
jari-jarinya mengelus rambutku yang basah. "Bagaimana bisa aku tidak tahu gadis
secantik dirimu ternyata tinggal sendirian di flat pribadi milikku ini?" Aku merasa seperti
tersedak soda beserta kalengnya mendengar bahwa flat yang kutempati ini adalah milik
pribadi. Oh. Sial. Sebenarnya ada apa dengan semua ini" "Kalau begitu, aku akan pergi
dari flat ini dan kamu bisa menggunakannya sesukamu." Kataku. "Aku akan meminta
orang suruhanmu itu untuk mengembalikan uangku dan aku akan mencari tempat
tinggal - " "Tidak perlu, sayang. Tempat ini memang kubuat khusus untukmu." Dia
menyelaku. Jari telunjuknya menyentuh bibirku. "Aku membuat tempat ini khusus
untukmu, Ruka." "Kenapa" Dan... kenapa kamu... tahu namaku?" "Bukankah sudah
kubilang kalau aku tahu kamu adalah gadis cantik yang tinggal sendirian di sini?" dia
tersenyum dengan sebelah bibir, dan aku merasa itu adalah senyuman jahat. Bulu
kudukku langsung merinding ketika jarinya mulai berpindah ke telingaku. "Aku tahu
kamu selama ini sering bergonta-ganti identitas demi mencari seseorang yang berarti
dalam hidupmu. Aku juga tahu kalau kamu sedang mencari tahu jati dirimu sendiri." ujar
Kazuto pelan, "Aku tahu semua tentang dirimu. Bahkan soal kemampuan telekinesis
dan mengendalikan pikiran yang kamu punya." "Apa!" Dari mana..." "Aku tahu
semuanya, Ruka." Dia menatapku dengan senyum. "Karena aku mungkin, bisa
Rukas Angel - Angelia Putri
membantumu." Aku tidak memercayainya. Terutama dari penampilan dan sikapnya
yang membuatku terimintidasi. Ini semua kedengaran tidak masuk akal. Dan aku
merasa aku harus keluar dari semua ini. Ini pasti mimpi buruk. Aku ingin terbangun dari
mimpi buruk ini sekarang juga! "Kenapa kamu mengira ini mimpi buruk?" tanyanya
mengerutkan kening, "Apa aku terlihat menakutkan bagimu?" Bagaimana dia tahu
pikiranku" Apa dia juga punya kemampuan sepertiku" "Tidak... aku tidak punya
kemampuan sepertimu, Ruka." Dia berbicara lagi, seakan membaca pikiranku, "Tapi,
aku bisa tahu itu dari raut wajahmu. Dan bagaimana kulitmu bereaksi dengan
sentuhanku." Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui pikiranku, tapi, dari
ucapannya barusan, sepertinya dia juga punya kemampuan khusus, sama denganku.
"Apa... maumu?" tanyaku, menatapnya. "Sederhana," dia tersenyum dan mencium
hidungku, "Biarkan aku membantumu menggali ingatanmu yang hilang, Ruka." ***
Pagi hari ini aku benar-benar bangun agak siang karena asyik menonton kaset video
konser artis favorit yang kupinjam dari Tristan. Video berdurasi 4 jam itu benar-benar
menyita perhatianku sampai aku tertidur pulas di ruang tamu tanpa kusadari. Ketika
bangun, jam di dinding sudah menunjukkan jam 8 pagi. Satu jam sebelum aku harus
pergi ke Hope Academy untuk menghadiri technical meeting di sana. Aku menguap dan
meregangkan badanku. Rasanya lelah sekali. Jelas saja, karena aku menonton video
konser itu dan mengabaikan rasa kantuk yang sebenarnya sudah menggelayut di
mataku. Oke. Saatnya mandi. Aku harus bersiap-siap untuk berangkat. Aku tidak mau
dibilang jam karet, dan itu bisa merusak reputasiku sebagai orang yang tepat waktu.
Juga, aku tidak mau membuat Ruka menunggu lama. Setelah mandi, badan dan
pikiranku menjadi segar. Berpakaian dan sarapan hanya membutuhkan waktu setengah
jam. Aku memeriksa isi tas ransel yang biasa kupakai ketika ke kampus. Oke. Semua
lengkap, dan tidak ada yang tertinggal. Ponselku di atas meja bergetar. Ada ikon amplop
di sana. Dari Alice. Dari : Alice_Fairy@aaa.com Kami sudah menunggumu di kampus.
Sebaiknya cepat datang kalau tidak mau Tristan menyerbu ke rumahmu. ;-) Ya ampun...
bahkan masih saja mereka memperingatkanku untuk datang" Keterlaluan sekali.
Padahal aku baru mau akan berangkat. Aku tidak membalas pesan itu dan segera
mengenakan sepatu, sebelum langsung berangkat menuju Hope Academy. ***
Kepalaku masih sakit, tapi, bukan karena pusing atau mual. Melainkan karena sensasi
aneh yang masih kurasakan di sekujur tubuhku. Sejak Kazuto menyentuhku kemarin,
rasanya ada sensasi seperti semut yang merayap di tubuhku, dan itu membuatku
merinding. Aku akan membantumu menggali ingatanmu yang hilang... Aku tidak yakin
aku harus memercayainya. Apalagi setelah aku mengalami pusing kepala yang hebat,
dan ketika sadar, aku sudah terbaring di tempat tidur, dengan rambut yang masih
basah. Tapi, sensasi seperti ada yang merayap itu seketika juga kurasakan ketika
sadar. Dan aku berasumsi bahwa Hoshihiko Kazuto bukanlah ilusi mimpi. Apa yang
diinginkannya dariku" Kenapa sikapnya seperti seorang kekasih yang sedang
mengancam pasangannya secara posesif" Kenapa... Aku menggelengkan kepalaku.
Terlalu banyak pertanyaan berseliweran di dalam benakku. Pikiranku mulai merespon
dengan sangat menyakitkan. Ponselku sudah beberapa kali berdering. Kebanyakan dari
pihak manajemenku yang menginginkanku untuk pergi ke taman dekat pantai di kota ini
untuk pemotretan pada jam 10 nanti. Aku tidak membalasnya, tapi, aku berjanji akan
cepat-cepat ke sana setelah mengantarkan Kak Inoue ke ruang aula yang digunakan
untuk technical meeting. Aku duduk di sofa yang tersedia di lobi. Sambil duduk, aku
memeriksa ponsel, kalau-kalau ada pesan atau panggilan tidak terjawab dari
manajemenku atau Kak Inoue. Tiba-tiba sebuah nomor tertera di layar ponselku.
Nomornya tidak dikenal, dan jelas
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel - Angelia Putri
nomor ini tidak terdaftar dalam phonebook ponselku. Aku mengerutkan kening.
Seingatku, tidak ada yang tahu nomor ponselku selain Kak Inoue, pihak manajemen dan
manajerku... Nafasku langsung tertahan. Aku memandang nomor itu dengan tatapan
takut. Apa janganjangan... ini cowok kemarin malam" Hoshihiko Kazuto" Apa dia
meneleponku lagi" Nomor itu berhenti memanggil, dan aku menarik nafas
selega-leganya. Jujur saja. Aku masih merasa takut dengan Hoshihiko Kazuto itu.
Penampilannya yang terlalu elegan, wajahnya yang tampan sekaligus dingin itu sangat
mengimintidasi dan memnbuat nyaliku ciut. Padahal biasanya aku bisa menyerang
balik orang yang menatapku. Tapi, kemarin malam, ketika menatap mata dinginnya, aku
merasa seperti diserap ke dalam lubang hitam. Tanpa sadar, tubuhku menggigil pelan.
Entah ini karena dorongan rasa takut, atau memang karena AC yang dinyalakan...
"Hei," Aku spontan memekik kaget dan menatap nanar orang yang berdiri di sebelahku.
Awalnya, aku tidak bisa melihat jelas siapa yang berdiri, namun suara yang tidak asing
langsung tertangkap oleh telingaku, dan aku merasa samar-samar aku bisa melihat
dengan jelas, siapa pemilik suara itu. "Kamu tidak apa-apa?" Kak Inoue berdiri di
sebelahku dengan sebelah tangan terulur padaku. "Wajahmu pucat. Kamu sakit?"
"Aku... aku tidak apa-apa." aku menggeleng cepat-cepat dan berdiri agar tidak terkesan
ketakutan, "Ayo, aku akan mengantar Kakak ke ruang aula." *** Saat sampai di
kampus, Alice dan Tristan sudah menunggu di dalam mobil Jeep Tristan yang beratap
terbuka. Aku langsung meloncat ke kursi belakang sambil nyengir pada mereka. "Maaf,
aku terlambat berapa menit?" sapaku. "Baru 5 menit." Kata Alice sambil tertawa, "Baru
kali ini kamu telat, Inoue. Kesiangan, ya?" Aku hanya mengedikkan bahu. "Yang penting
aku tidak telat lebih dari 5 menit." Balasku. "Oke. Kita berangkat sekarang." Tristan
menyalakan mobilnya dan langsung menuju Hope Academy. Jarak kampus kami
dengan Hope Academy hanya sekitar 15 menit dengan menggunakan mobil atau
sepeda motor, dan aku mencoba menelepon Ruka untuk mengatakan mungkin aku
akan terlambat. Tapi, teleponku selalu dijawab oleh mailbox. Apa dia sedang sibuk, ya"
Masih di kelas, mungkin" Batinku sambil menatap ponsel. "Sedang menelepon siapa?"
tanya Alice. "Tidak biasanya kamu "menelepon"Eh... bukan siapa-siapa." Kataku,
"Hanya, kenalanku saja..." "Kenalan atau kenalan?" Tristan tertawa sambil
mengemudikan mobilnya, "Janganjangan itu cewek, ya" Pacarmu?" "Yah... bukan
begitu juga, sih?" jawabku, "Kami baru berkenalan kemarin, kok." "Kamu menelepon
cewek!?" Alice benar-benar kelihatan terkejut. "Kamu menelepon... cewek!!?" "Hei...
reaksimu jangan berlebihan begitu, dong." kataku, "Memangnya salah, ya kalau aku
menghubungi cewek?" "Inoue, kamu itu jarang berhubungan dengan orang lain,
terutama cewek." kata Alice lagi, "Oke. Kesampingkan aku dan Tristan, kami memang
dekat denganmu, tapi kamu tidak pernah dekat dengan orang lain selain kami berdua.
Ini jelas-jelas peningkatan besar!" "Memangnya aku akan mendapat kenaikan gaji, ya"
Wajahmu itu antusias sekali." Kataku sambil tergelak. "Inoue, serius, nih... kamu sedang
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dekat dengan cewek yang mana" Salah satu dari mahasiswi di kelasmu" Atau
fans-mu?" tanyanya dengan bersemangat. "Katakan pada kami, Inoue!!" "Apakah aku
tidak bisa menyimpan hal itu untuk pribadi?" kataku dengan sebelah alis terangkat.
"Oh, baiklah... dia tidak mau mengaku." Ujar Alice dengan wajah cemberut, "Tapi, lihat
saja, aku akan membuatmu buka mulut, Nakayama Inoue. Aku benar-benar penasaran
siapa cewek yang bisa membuatmu menatap ponsel selama lebih dari 5 menit." Aku
terkekeh mendengar keluhan Alice dan menatap gedung Hope Academy yang mulai
terlihat. Hope Academy memang sekolah khusus untuk anak pejabat dan artis, serta
pekerja seni lainnya seperti dancer, penyanyi, model, dan juga actor terkenal yang
sering menghiasi layar kaca. Sekolah yang didirikan oleh seorang artis legendaries
Rukas Angel - Angelia Putri
bernama Jennifer Anderson, seorang artis blasteran yang multi-talenta dan berhasil
meraih lebih dari 10 penghargaan di usia belia, dan menjadi seorang "dewidari
universitas. Sang artis kemudian mendirikan Hope Academy untuk mendidik para calon
bintang agar mampu dan bisa menjadi artis yang sukses baik dalam pekerjaan maupun
pelajaran, sesuai yang pernah dicapainya. Memang, selain terkenal, murid-muridnya
juga pandai dalam hal pelajaran. Beberapa waktu lalu saja, aku mendengar ada satu
kelompok murid dari Hope Academy yang berhasil meraih medali emas dalam olimpiade
fisika dan kompetisi membuat robot yang diselenggarakan di luar negeri. Karena itu,
pastilah semua murid yang berada di Hope Academy tidak akan pernah mengecewakan
keluarga maupun orang-orang yang mengenal mereka sebagai orang terkenal. Tapi,
baru-baru ini juga kudengar kalau seluruh keluarga Anderson menghilang, bahkan
termasuk kepala sekolah Hope Academy, Jennifer Anderson sendiri, seolah menghilang
bagai ditelan bumi. Keadaan cukup kacau, dan aku melihat segerombolan wartawan
masih bergerombol di depan pintu gerbang Hope Academy. Tristan memarkir mobilnya
di tempat parkir khusus untuk tamu dan mengajak kami ke lobi. Sebelum sampai di lobi,
lagi-lagi aku mencoba menghubungi Ruka. Tapi, tetap saja dijawab oleh mailbox. Ke
mana sebenarnya gadis itu" "Inoue, aku dan Alice akan pergi membeli minuman
sebentar. Kamu tunggu saja di ruang tunggu di lobi." Ujar Tristan. "Baiklah. Belikan aku
soda jeruk, ya?" kataku. "Oke." Kami lalu berpisah dan aku segera pergi ke ruang
tunggu lobi. Tidak sulit menemukan ruangan itu karena ada papan penunjuk di dekatku
yang menunjukkan setiap detil ruangan di lantai pertama gedung sekolah yang memiliki
tiga tingkat ini. Sambil bersenandung pelan, aku memasuki ruangan di balik pintu kaca
yang berada sekitar 2 meter dari papan penunjuk tadi. Dan di sana, aku melihat seorang
gadis tengah menunduk menatap ponselnya. Rambutnya pendek sebahu dan
bergelombang. Dan aku langsung mengenali gadis itu sebagai Ruka. Senyumku
langsung melebar ketika melihatnya. Aku mendekatinya, hendak menyapa. Tapi,
kemudian aku mengurungkan niatku itu ketika melihat wajahnya yang tertunduk itu
kelihatan pucat dan... ketakutan. Kemudian dia memeluk diri sendiri seolah kedinginan.
Aku berdiri di sebelahnya. Dia bahkan tidak sadar bahwa aku berada di dekatnya.
Dengan pelan, aku menepuk pundaknya. "Hei," hanya itu kata yang kuucapkan, dan
reaksinya sangat di luar dugaan. Ruka memekik kaget dan beringsut menjauh, menatap
awas padaku dengan sinar mata ketakutan. "Kamu tidak apa-apa?" tanyaku khawatir.
Matanya mengerjap sekali, kemudian dua kali. Dan aku melihat sinar ketakutan itu
perlahan lenyap dari matanya. Kelihatannya Ruka sudah mengenalku. "Wajahmu pucat.
Kamu sakit?" tanyaku lagi. Dia menggeleng cepat-cepat dan berdiri. "Aku... aku tidak
apa-apa. Ayo, aku antar Kakak ke ruang aula." Ujarnya dengan nada tenang dan sedikit
ceria yang dibuat-buat. "Tidak. Aku ingin menunggu di sini sebentar. Kedua temanku
sedang membeli minuman. Dan aku sudah berjanji untuk menunggu mereka dulu."
Kataku. Rukas Angel - Angelia Putri
"O, oke..." dia duduk lagi dan menyimpan ponselnya ke saku seragamnya. "Kakak baru
datang?" Aku mengangguk sambil duduk di sebelahnya. "Sebenarnya aku terlambat 45
menit kemari... dan aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak dijawab. Kamu
sibuk?" "Ah" Oh... tidak, kok. Aku tadi sedang berada di perpustakaan, dan aku harus
mematikan ponselku agar tidak mengganggu pengunjung perpustakaan yang lain."
Jawaban yang menyiratkan kebohongan. Aku tahu itu karena aku bisa membaca raut
wajahnya yang masih kelihatan ketakutan. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu.
Entah apa... "Oh ya, apa kamu sudah memikirkan jawabanmu?" tanyaku, mengubah
topic pembicaraan. "Eh?" "Tentang menjadi model busanaku." Kataku, "Jangan bilang
Rukas Angel - Angelia Putri
kalau kamu lupa. Kalau iya, aku benar-benar kecewa." "Err... aku tidak lupa." Katanya
sambil menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. "Aku... err... mungkin akan
menerimanya. Asal tidak bertabrakan dengan jadwal kerja dan sekolahku." "Aku akan
memastikan hal itu." ujarku tersenyum, "Jadi, kamu sepakat?" Ruka mengangguk pelan,
sambil tersenyum tipis. Oke. Itu sudah cukup menjadi persetujuan. "Baiklah, berarti,
besok, kita bisa langsung fitting dan mempersiapkan diri sebaik mungkin." Kataku, "Aku
perlu data-data mengenai ukuran tubuhmu, dan juga kebiasaan berpakaianmu, kalau
tidak keberatan. Karena itu akan memengaruhi bahan apa untuk gaun yang kubuatkan
untukmu." "Ukuran tubuh?" dia mengerutkan kening, "Bukankah Kak Inoue sudah tahu
ukuran tubuhku?" "Sayangnya, aku lupa. Dan aku ingin mengukur sekali lagi." aku
tersenyum lebar, "Aku akan meminta seorang temanku untuk mengukur tubuhmu.
Jangan khawatir, dia juga perempuan, jadi kamu tidak perlu merasa malu." Dia
manggut-manggut mengerti. Keheningan menyelimuti kami berdua. Tidak ada bahan
pembicaraan yang cocok untuk mengusir keheningan yang agak mencekam ini... "Anu,"
"Ya?" aku menoleh kearah Ruka dan melihat gadis itu menatapku dengan mata bulatnya
yang seperti boneka itu. "Apa... apa Kakak serius dengan ucapan Kakak yang waktu
itu?" tanyanya hati-hati, "Ucapan kalau Kak Inoue yang... itu. Kalau Kakak tertarik
padaku?" Oh. Tentang itu. Tentu saja aku tertarik padanya. Ruka sangat misterius, dan
aku ingin mengungkapkan misteri dalam dirinya untuk mengurangi keingin-tahuan serta
perasaan terpikat yang kurasakan padanya. "Ya. Tentu saja." jawabku sambil
tersenyum, "Apa pandangan mataku terlihat berbohong di matamu?" Dia menatapku
sebentar, kemudian menggeleng. "Tidak. Aku tahu Kak Inoue berkata jujur. Aku hanya
ingin memastikan saja." ujarnya. "Kalau begitu, sebagai langkah pertama, seperti kataku
tadi, besok kamu ke rumahku untuk fitting gaun dan mengukur tubuhmu. Selain itu..."
Aku menatapnya dari rambut sampai ujung kaki. Kemudian kembali ke wajahnya. "A,
apa?" tanyanya. "Kurasa kamu harus lebih sering berada di dekatku kalau tidak mau
tergoda oleh temanku yang disebut sebagai perayu ulung." *** Tristan dan Alice
akhirnya kembali juga, beserta soda jeruk yang kupesan. "Wow. Kami baru pergi
sebentar dan kamu sudah menggaet salah satu siswi di sini?" ucap Tristan sambil
mendecak, "Dasar perayu pemula!" Aku hanya tertawa dan membuka kaleng soda-ku
dan menenggak isinya. "Tunggu dulu." Alice mengerutkan kening menatap Ruka, "Apa
kamu gadis yang menyewa flat yang menghadap ke hutan 3 bulan lalu itu?" "Ya..." Ruka
mengangguk dan mengerutkan kening, "Apa Kakak mengenalku?" "Adikku
mengenalmu." Kata Alice, "Namaku Alice Hawkstone. Aku kakak Julia, yang juga
bersekolah di sini. Dan kurasa... dia sekelas denganmu. Kau tahu adikku, kan"
Berambut panjang dan sering diikat buntut kuda." "Oh..." Ruka manggut-manggut.
"Aku tidak tahu. Maaf kalau aku tidak memperkenalkan diri. Namaku Megumi Ruka."
"Ruka" Nama yang cantik, secantik orangnya." Ucap Tristan, yang langsung disambut
dengan lirikan penuh teguran dari Alice. "Namanya Tristan Fernandez." Kataku
memperkenalkan Tristan. "Dan, seperti kataku tadi, dia perayu ulung." "Hei!!" Aku hanya
nyengir dan mengucapkan "peace..." tanpa suara padanya. "Apa Kakak juga akan ikut
technical meeting pentas seni sekolah?" tanya Ruka pada Tristan. "Ya. Aku bisa
dibilang adalah asisten utama Inoue." Tristan terkekeh, "Dia sering kesulitan menangani
serbuan para fans-nya yang semuanya adalah perempuan. Katakanlah, aku
bodyguard-nya." Ruka memiringkan kepalanya dan tertawa kecil. "Wajah dan tubuh Kak
Tristan memang cocok untuk menjadi bodyguard, ya?" katanya. "Senang bertemu Kak
Tristan dan Kak Alice." Aku berdeham sebelum Tristan mengucapkan kata-kata rayuan
lagi pada Ruka. "Oke. Sekarang, kita langsung pergi ke ruang aula saja. Ruka yang
akan menunjukkan jalan." kataku. CHAPTER 7 Saat sampai di depan pintu ruang
aula, ponselku bergetar. Aku segera pamit pada Kak Inoue dan kedua temannya untuk
Rukas Angel - Angelia Putri
menerima telepon. Ketika berada di ujung koridor, aku segera menerima telepon itu
tanpa melihat nomor siapa yang tertera di sana. "Halo?" "Kukira kamu tidak akan
menjawab teleponku."
Rukas Angel - Angelia Putri
Deg! Itu suara Kazuto. Aku langsung merutuki kecerobohanku untuk tidak memeriksa
siapa yang meneleponku terlebih dahulu. Sial. "Ada apa kamu meneleponku?" tanyaku.
"Aku akan menjemputmu untuk pergi ke tempat pemotretanmu. Tunggu saja di lobi."
Setelah itu, telepon diputus. Dan meninggalkan aku yang masih bingung bagaimana dia
tahu aku punya jadwal pemotretan. *** Tapi, akhirnya aku menunggu juga di lobi. Aku
sudah menyandang tas sekolahku. Dan aku sudah berada di ruang tunggu di lobi.
Menimang-nimang kunci mobilku di tanganku. Kemudian aku mendengar pintu kaca
ruang tunggu terbuka. Aku mendongak dan kini bisa melihat wajah Hoshihiko Kazuto
dengan jelas. Deskripsi wajahnya kemarin malam ternyata lebih dari itu. Dia terlalu
tampan, bahkan mendekati cantik. Tapi, semua itu sedikit terhalang oleh tatapannya
yang dingin dan seakan menusuk ke dasar hati orang lain itu. Matanya menatap tepat
kearahku dan ia tersenyum tipis. "Sudah menunggu lama?" tanyanya dengan nada
santai, seolah menjemputku adalah hal biasa baginya. Aku menggeleng. "Ayo, kita
harus cepat kalau tidak mau terlambat." Katanya. Lalu mengambil tas sekolahku, "Biar
kubawakan." Aku sedikit terkejut oleh sikapnya yang sopan. Berbeda dengan sikap
kemarin malam yang membuatnya terlihat seperti seorang penjahat terlatih berpakaian
setelan hitam. "Ayo, Ruka." Dia tersenyum dan menggenggam tanganku. "Bagaimana
kamu tahu aku punya jadwal pemotretan hari ini?" tanyaku, tidak bisa menahan
keingin-tahuan akan hal tersebut. Dia tersenyum lagi, dan mencium puncak kepalaku.
Dan itu membuat semua orang yang sedang melintasi koridor di luar ruang tamu
menoleh kaget kearahku. "Sudah kukatakan, kalau aku mengetahui semua tentang
dirimu." Katanya, dalam dan penuh arti. "Itu artinya, semuanya." *** Sekarang aku
berada di dalam mobil milik Kazuto. Mobilku terpaksa kutitipkan pada petugas keamana
Hope Academy, dan aku berjanji akan mengambilnya lagi saat pulang dari pemotretan.
Aku melirik diam-diam Kazuto yang duduk di sebelahku. Dia mengemudikan mobil
sambil terus menggenggam tanganku. Genggamannya kuat, dan posesif, seolah
menyatakan kalau aku adalah miliknya. "Kuharap aku tidak mengganggu kegiatanmu."
Dia tersenyum padaku, "Sudah lama aku tidak jalan berdua dengan seseorang. Selama
ini, aku selalu sendirian." "Apa kamu tidak punya teman" Atau orangtua?" tanyaku.
"Tidak." dia menggeleng pelan, kemudian terdiam beberapa saat, "Kedua orangtuaku
sudah meninggal dalam kecelakaan ketika aku masih kecil. Satu-satunya keluargaku
malah pergi meninggalkanku dan tidak mau kembali." "Oh," aku tidak menyangka akan
mendapatkan cerita seperti ini darinya, "Maaf, aku tidak bermaksud membangkitkan
kenangan pahit..." "Tidak apa," dia tersenyum dan mencium punggung tanganku, "Asal
kamu di dekatku, itu sudah cukup." Aku tidak tahu harus bagaimana menanggapi
sikapnya. Jadi aku hanya diam dan menatap lurus ke depan. "Mengenai ucapanku
semalam... aku serius." Kata Kazuto, memecah keheningan yang muncul tanpa
kusadari. "Aku akan membantumu menggali ingatanmu yang terpendam. Aku akan
berusaha." "Kenapa kau tahu kalau aku hilang ingatan?" tanyaku, "Kau bilang kau tahu
segalanya tentang aku, tapi, aku sendiri tidak tahu siapa kau... apa kau bisa
kupercaya?" Ketika lampu lalu lintas berubah merah dan mobilnya berhenti sejenak,
Kazuto menoleh menatapku. Matanya yang berwarna hitam kelam itu menatapku
dengan tatapan yang sulit kuartikan. "Kau bisa mempercayai, atau tidak," ujarnya,
"Karena kita punya hubungan erat di masa lalu dan terikat sampai sekarang." "Akhirnya,
kamu datang juga Ruru!" Aku mendongak ketika melihat Kak Sonia, manajerku, berlari
Rukas Angel - Angelia Putri
menghampiriku. Dia memanggilku dengan nama Ruru karena nama itu mirip dengan
suara seekor burung, dan menurutnya, aku cantik dan luwes seperti burung merpati
putih yang terbang di langit. Itu penggambaran yang terlalu berlebihan. Serius, deh.
"Halo, Kak." Kataku sambil tersenyum. "My Goddess! Kukira kamu tidak akan datang,
sweetheart." Ujarnya mencerocos. "Padahal aku sudah optimis kalau kamu tidak akan
datang..." "Kak, walau aku ini dianggap sombong, tapi Kakak tahu kalau aku tidak
seperti itu, kan?" Dia tersenyum lebar. Kemudian matanya tertuju pada Kazuto yang
berdiri di belakangku. Dan aku yakin mulut Kak Sonia membuka-menutup seperti ikan
yang megap-megap di tanah. "Ruru sweetheart, siapa dia?" tanya Kak Sonia,
"Pacarmu?" "Ah, bukan. Dia..." aku melirik sekilas kearah Kazuto, "Terima kasih sudah
mengantarku. Nanti aku bisa pulang naik taksi." "Tidak. Aku akan menunggumu di sini."
Kazuto menggeleng, kemudian mencium pipiku, "Silakan bekerja." *** "Astaga! Dia
benar-benar tampan, Ruru." Ujar Kak Sonia sambil mengambilkan kostum yang akan
kugunakan untuk pemotretan. "Oke. Sudah cukup, Kak. Kakak sudah mengatakannya
sebanyak 8 kali dalam waktu 10 menit ini." kataku mulai jengkel. Tidak adakah topic lain
selain Kazuto yang duduk di atas kap mobilnya. Dia sudah melepas jas biru tua yang
dikenakannya dan sekarang sedang menggulung lengan kemeja. Hanya begitu saja,
aku yakin, salah seorang fotografer di sini akan memotretnya untuk kenang-kenangan.
"Ruru sayang, kurasa kamu beruntung bertemu dengan cowok setampan dia." Kak
Sonia kembali padaku sambil menyerahkan sepotong gaun santai musim panas
berwarna pink pucat yang terbuat dari bahan yang lembut dan ringan. "Dia itu seorang
pewaris orang paling berpengaruh dalam perekonomian Negara ini." kak Sonia
menjelaskan, seolah dia tahu semuanya, "Dan dia mengenalmu. Mengantarmu ke
tempat kerja! Sayang, kurasa kamu benar-benar beruntung memiliki pacar seperti dia."
"Dia bukan pacarku." Sergahku. "Dia..." Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Karena aku baru bertemu dengannya, bahkan secara tidak... uh. Aku tidak mau
membicarakannya. Kak Sonia sepertinya mengira aku malu untuk mengungkapkan
bahwa aku punya pacar yang hebat, dan cepat-cepat menyuruhku berganti baju. ***
Ketika technical meeting itu berakhir, aku mencoba menghubungi Ruka dan ingin
memberikan alamatku secara langsung padanya. Tapi, baru saja aku akan menelepon
nomor Ruka, sebuah nomor tertera di layar ponselku.
Rukas Angel - Angelia Putri
Nomor itu lagi. Dengan mengkertakkan gigi, aku mengangkat telepon dari nomor itu
sembari menjauh dari Alice dan Tristan. "Kali ini apa maumu?" tanyaku langsung, tanpa
basa-basi. "Kuharap kamu tidak menyesal karena sudah bersembunyi begitu lama
dariku. Dari kami." Ujar si penelepon. "Aku akan menemuimu tidak lama lagi. Kuharap
kamu mempersiapkan diri." "Aku tidak akan mau menerimamu dengan tangan terbuka."
geramku, "Bukankah sudah kubilang, aku sudah memutuskan hubunganku dengan
kalian. Dan aku sudah tidak ada hubungannya lagi dengan kalian semua. Apalagi
denganmu." Suara di seberang tertawa pelan, seolah mengejekku. "Inoue, aku
memberimu peringatan terakhir. Aku tidak senang kamu merusak perjanjian yang sudah
tertulis lama sebelum kita bertemu, dan aku mau kamu memperbaikinya." "Maaf sekali,
aku bukan tukang kurir, bung. Jadi hentikan saja semua tindakanmu untuk mengganggu
kehidupan tenangku, dan menjauhlah." Kataku. "Inoue, aku benar-benar
memperingatkanmu." Kali ini suaranya terdengar mengancam, "Jika kamu melakukan
satu kesalahan lagi, nyawamu... bukan, tapi nyawa kita berdua akan berada dalam
bahaya. Kamu seharusnya tahu itu." "Oh, tentu saja aku tahu." kataku mengibaskan
tanganku meremehkan walau aku tahu dia tidak akan bisa melihatku. Tapi, aku juga
tahu, dia bisa mengetahui setiap tindakan yang kulakukan, setiap kata yang kuucapkan.
Rukas Angel - Angelia Putri
Dia tahu semuanya. "Dan aku berniat mengubahnya." Ujarku lagi, "Kali ini, kamu yang
kuperingatkan. Pergi dari hidupku dan biarkan aku menikmati ketenangan hidup yang
sudah kujalani. Aku muak jika kamu terus menghubungi dan membicarakan
pembicaraan kolot soal kesalahan-ku." "Inoue..." "Maaf. Aku harus pergi. Sampai nanti."
Aku menutup telepon dengan perasaan amarah yang memuncak. Hampir saja aku
menghempaskan ponselku ke lantai kalau saja Alice dan Tristan tidak segera
menghampiriku. "Hei, sobat. Kita pulang sekarang?" tanya Tristan. "Kenapa wajahmu"
Kelihatan seperti habis marah saja..." "Aku tidak apa-apa." kataku menggeleng pelan,
"Ayo, kita pulang." *** Ketika sampai di rumah, hal pertama yang kulakukan adalah
pergi ke ruangan yang tidak jauh dari kamarku dan mengurung diri di sana. Aku
menyalakan lampu dan menatap sekeliling ruangan dengan dingin. Ruangan ini luas.
Mungkin luasnya sekitar setengah rumah ini. Ketika membeli rumah ini, aku
merenovasinya sedemikian rupa hingga hanya satu ruangan ini saja yang lebih luas
daripada yang lain. Aku menekan sebuah tombol di dekat pintu dan dinding di dekatku
terbuka, menampilkan sebuah rak yang penuh berisi berbagai macam senjata.
Semuanya asli, dan semua senjata ini adalah koleksiku. Ada alasan kenapa aku
mempunyai senjata seperti ini. Katakanlah, ini seperti mempertahankan diri dari
orang-orang yang mengincarku. Well, bukan berarti aku punya banyak musuh. Hanya
saja aku perlu... pertahanan diri, agar tidak kembali menjadi diriku yang dulu. Aku
memilah senjata di dalam rak dan mengambil sebuah pistol semi-otomatis yang cukup
nyaman dalam genggamanku, kemudian menekan tombol lain dan sebuah papan target
muncul dari bawah lantai di tengah-tengah ruangan. Sambil mengisi peluru pistol itu,
aku mulai mengenakan perlengkapan olahraga menembak. *** Pemotretan itu
berlangsung lebih lama dari perkiraanku. Aku nyaris bisa merasakan tulangtulangku
copot karena harus berpose cukup lama di depan kamera. Mulai dari pose berjalan di
pantai, mengambil kerang, sampai bermain air bersama model yang lain. Semuanya
menguras tenagaku. "Oke, Ruru sweetheart, aku akan mentransfer honor ke
rekeningmu." Kata Kak Sonia sambil memberikan segelas ice cappuccino padaku. "Dan
baju yang kamu kenakan sekarang boleh kamu bawa pulang. Dan kata Jason, gaun itu
gratis untukmu." "Oh ya?" "Kamu menjadi anak emas perusahaan dalam waktu 3 bulan,
Ruru." Katanya tersenyum lebar, "Aku tidak pernah melihat model seunik dirimu.
Fotogenic, mampu menyesuaikan jam kerja dengan sekolah, dan juga, pintar di kelas.
Kudengar kamu meraih peringkat tinggi dalam ujian tengah semester yang diadakan
sebulan lalu, kan?" "Biasa saja..." aku mengedikkan bahu dan menyeruput minumanku
dengan perasaan bersyukur. Saking sibuknya dipotret, aku tidak sadar bahwa aku amat
sangat kehausan. Kak Sonia tersenyum dan mengedikkan bahu. "Sekarang sudah jam
makan siang. Apa kamu mau makan siang bersama kami?" tanyanya. "Kurasa tidak.
Aku mau langsung pulang saja." kataku, "Terima kasih atas kerja kerasnya, Kak Sonia."
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sama-sama. Aku juga senang bisa menjadi manajermu, Ruru sweetheart." Ucap Kak
Sonia sambil mencium kedua pipiku. "Sampai jumpa lagi. Besok kamu ada pemotretan
lagi untuk 3 majalah remaja berbeda, dan juga, besok lusa kamu akan menghadiri talk
show jam 7 malam." "Oke. Aku sudah mencatatnya di ponselku." Kataku. Kak Sonia
membereskan barang-barangnya, kemudian bergabung dengan para fotografer dan
beberepa model yang tadi ikut difoto bersamaku. Aku menghembuskan nafas pelan.
Aku sulit bergaul dengan orang lain, dan menyendiri adalah perbuatan yang tepat.
Namun, aku cepat akrab dengan Kak Sonia karena dia memiliki aura yang
menyenangkan, dan membawa senyum yang menular pada semua orang. Aku
menyukainya. Dia seperti kakak perempuan bagiku. "Sudah selesai?" Aku nyaris
tersedak minumanku ketika secara tiba-tiba Kazuto sudah berdiri di sebelahku. Matanya
menatapku, menatap gaun yang kukenakan. "Gaun itu cantik. Cocok untukmu."
Rukas Angel - Angelia Putri
Katanya. Entah itu pujian atau malah ejekan, karena walau Kak Sonia mengatakan aku
fotogenic dan bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, aku tahu gaun seperti apa pun
tidak akan bisa membuatku jadi cantik seutuhnya. Aku tidak tahu dari mana datangnya
pikiran seperti itu. Tapi, aku sering merasa begitu jika ada orang lain yang memujiku.
Dan mereka selalu mengatakan bahwa aku terlalu merendahkan diri. Hhh... mereka
tidak tahu seperti apa kehidupanku yang sesungguhnya. Kalau tahu, mungkin mereka
semua akan menjauhiku dan mencapku sebagai orang aneh. "Terima kasih," aku
berhasil bergumam, "Tapi, toh, sebentar lagi orang-orang tidak akan menganggapku
seperti itu." Kazuto mengerutkan keningnya dengan ekspresi datar. Aku tidak tahu apa
yang dipikirkannya. Dan aku tidak berniat membaca pikirannya karena tatapan mata
hitam kelamnya itu begitu menakutkan dalam pandanganku. "Setelah ini kamu mau ke
mana?" tanyanya. "Mungkin ke sekolah. Mengambil mobilku..." jawabku. "Aku akan
pulang dengan taksi. Sudah kubilang tadi, kalau kamu boleh saja pulang lebih dulu."
Kazuto menggeleng pelan, "Aku sudah bilang kalau aku akan menunggu sampai
pekerjaanmu selesai," katanya, "Dan ngomong-ngomong, mobilmu sudah berada di
flat-mu. Aku menyuruh orangku untuk mengambilnya." Aku hampir mengutarakan
keterkejutan sekaligus protesku padanya. Tapi, lagi-lagi mata sekelam malam itu
menatapku dengan dingin dan menakutkan, dan semua kata-kata yang sudah di ujung
lidah lenyap begitu saja.
Rukas Angel - Angelia Putri
Oke. Walau aku ahli menyamar, aku tidak pandai dalam hal seperti ini. Aku memang
bisa beladiri sedikit, tapi aku tidak pernah melatih kemampuan itu dan aku yakin
sekarang ini, jika aku berusaha menumbangkannya, bukan dia yang bakal jatuh di
tanah. Tapi aku. "Kalau begitu, terima kasih lagi." kataku akhirnya. "Kalau begitu, aku
ingin langsung pulang saja." Aku berdiri, dan tiba-tiba rasa pusing yang sama seperti
kemarin malam menyerangku. Aku limbung dan kehilangan keseimbangan, dan hampir
jatuh kalau saja Kazuto tidak menahan tubuhku. Gelas kertas ice cappuccino yang
kuminum terjatuh ke pasir pantai di bawahku dan isinya tumpah berceceran. "Kamu
baik-baik saja?" "Sakit..." kataku lirih. "Kepalaku sakit..." "Biar kubantu. Ayo," Aku
merasakan kedua tangannya mengangkatku dan menggendongku seolah aku adalah
benda ringan. Kepalaku bersandar di dadanya, sementara keningku berkerut. Rasa
sakitnya tidak tertahankan, bahkan seakan menjalar ke seluruh tubuhku. Hal yang
terakhir kuingat adalah Kazuto memasukkanku ke dalam mobil, dan dia mengemudikan
mobilnya pergi dari pantai. *** Kenangan. Memori. Ataupun ingatan. Semua itu
mengandung arti yang sama. Sesuatu yang terjadi dan akan selalu diingat oleh otak
kita. Semua ingatan memiliki kenangan, dan kenangan memiliki memori yang terpenting
dalam hidup kita. Semua yang terjadi akan masuk ke dalam ingatan kita sebagai
kenangan maupun memori. Dan bila kenangan didefinisikan sebagai sesuatu yang
indah, apakah memori dianggap sebagai sesuatu yang buruk" Jawabannya, tidak.
Mereka semua sama, hanya perbedaan pengucapan saja. Ada kenangan baik yang
kuingat, juga kenangan buruk. Memori, adalah kata lain untuk mendefinisikan kenangan.
Aku tidak tahu apakah aku memiliki kenangan buruk atau tidak. Karena sejak dulu, aku
selalu merasa aku hidup seperti detik jam yang selalu bergerak maju dan tidak pernah
mundur. Aku selalu melangkah maju, dan tidak pernah melangkah mundur. Motto
hidupku adalah terus melangkah maju walau rintangan di depan mata menyesatkan kita
untuk kembali mundur. Selama bertahun-tahun, aku sudah menerapkan moto hidup itu.
Namun semua berubah sejak orang itu kembali menghubungiku. Orang yang paling
kuhindari dari semua orang yang pernah mengincarku. Orang itu memang punya
hubungan denganku, namun bukan hubungan seperti yang disangka Alice sebagai
Rukas Angel - Angelia Putri
pacar gelap atau semacamnya. Tapi, lebih seperti... saudara. Lebih tepatnya, kakak.
Ya. Aku masih punya keluarga. Seorang kakak, dan kakek yang tidak pernah kulihat
wajahnya. Mereka berdua adalah satu-satunya keluargaku di dunia ini, tapi aku menolak
mereka. Kenapa" Karena merekalah aku menjadi seperti sekarang. Menentang apa
yang seharusnya sudah ditakdirkan untukku. Aku menyamar, mengganti identitasku
berkali-kali, semata-mata untuk menghindari kejaran mereka, dan juga menemukan
orang terpenting dalam hidupku. Orang yang seharusnya mengisi hatiku dengan
perasaan hangat, yang sampai saat ini belum juga kutemukan. Kakakku selalu
menghubungiku jika ada kesempatan. Ingat telepon yang beberapa kali kuterima dan si
penelepon seakan menyuarakan ancaman dalam setiap kata-katanya" Ya. Itu kakakku.
Selama ini, hanya dia yang berhasil menghubungiku sementara kakek kami sendiri
sepertinya tidak pernah memperhatikan kami berdua. Mungkin karena itu juga alasanku
untuk kabur dari mereka. Sambil menghembuskan nafas dan meminum teh dingin
yang kubuat, aku menatap ke luar jendela. Menatap pohon-pohon yang terkena sinar
matahari siang yang menyengat. Kemudian aku menatap ponsel yang kuletakkan di
meja makan. Sedari tadi aku mencoba menghubungi Ruka, tapi gadis itu tidak
mengangkat teleponnya. Aku tidak tahu dia sedang apa dan di mana. Kuharap dia
berada di sekolah, karena sebenanrya, aku perlu membicarakan soal panggung festival
kelulusan nanti. Aku harus tahu bagaimana caranya berjalan di catwalk dan cara
matanya berinteraksi dengan penonton. Jujur saja, aku cukup jeli untuk urusan ini. Dan
selama aku mendesain pakaian di universitas dan memamerkannya pada orang banyak,
model yang kupilih tidak asal tunjuk. Mereka harus memiliki criteria yang kubutuhkan.
Sama seperti fitting yang biasa kulakukan pada modelku untuk melihat apakah mereka
nyaman dengan bahan yang kugunakan dalam membuat gaun rancanganku atau tidak.
Dan, walau Ruka memenuhi semua criteria, aku masih harus tetap memastikan. Karena
aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kuminum sekali lagi teh dingin dalam
gelas di tanganku dan mengambil ponsel. Aku akan mencoba menghubunginya sekali
lagi. CHAPTER 8 Ketika aku terbangun, aku sudah berada di kamarku. Secepat kilat,
aku duduk tegak dan merasakan nyeri tidak tertahankan di kepalaku. Kitty berada di
sebelahku dan mengeong ketika aku sadar. Dia mengelus lenganku dengan kepalanya.
Di mana Kazuto" Tanyaku dalam hati. Aku yakin Kazuto yang mengantarku pulang.
Lalu... lalu... Sial. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, dan
orang yang baru saja kupikirkan berdiri di sana sambil membawa nampan dengan
mangkuk yang agak besar dan juga gelas berwarna biru yang sering kupakai untuk
membuat susu coklat. "Kazuto?" "Rupanya kamu sudah sadar." dia tersenyum dan
berjalan mendekatiku. Diletakkannya nampan yang dibawanya ke atas meja dan duduk
di sisi tempat tidur, menghadapku. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya dengan suara
dingin yang sepertinya sudah menjadi kebiasaannya. "Aku baik-baik saja." jawabku,
"Tapi, kepalaku masih terasa sakit." "Begitu..." dia mengangguk muram. "Aku sudah
membuatkan makanan untukmu. Kuharap kamu memakannya agar kamu bertenaga."
Aku melirik nampan yang ia letakkan di meja dan melihat isi mangkuk yang ternyata
adalah seporsi sup daging ayam dan telur. Aku mengangguk mengiyakan perintahnya.
"Kalau begitu aku pergi dulu." Ujarnya sambil berdiri. "Pastikan kamu makan teratur
setelah ini, dan yang bergizi. Aku melihat di dalam lemari dapurmu hanya ada mie instan
dan makanan kalengan." "Aku sudah terbiasa, kok." Kataku sambil mengedikkan bahu.
Mata Kazuto menyipit tajam dan aku langsung ciut di bawah tatapan matanya. Kenapa
cowok ini harus seseram ini, sih" "Aku akan memerintahkan orangku untuk datang
kemari setiap hari untuk memasak makanan." Katanya. Dengan nada yang tidak bisa
dibantah, "Dan membersihkan tempat ini. Aku yakin kamu tidak akan punya cukup
waktu untuk bersih-bersih, kan?" Aku bisa membersihkan tempat ini sendiri, dan aku
Rukas Angel - Angelia Putri
tidak memerlukan seorang pengurus rumah untuk mengatur jadwal makanku. Aku ingin
mengucapkan itu, tapi lidahku kelu dan mulutku seakan tidak bisa digerakkan. Akhirnya
aku hanya mengangguk pasrah. Dan aku jadi berpikir, kenapa aku bisa begitu
mudahnya menuruti semua keinginan cowok ini. Padahal aku belum terlalu
mengenalnya, tapi, aku sudah menuruti hampir semua keinginannya yang tidak bisa,
atau lebih tepatnya, tidak boleh dibantah. "Baiklah. Terserah kamu saja."
Rukas Angel - Angelia Putri
Dia tersenyum sekilas padaku. Kemudian, tanpa bisa kucegah, dia mencium bibirku. Itu
hanya ciuman singkat, tapi cukup membuatku kaget dan berjengit mundur. "Apa - "
"Sampai jumpa." Dia lalu berbalik dan mengambil jas biru tua miliknya dan langsung
meninggalkan kamarku. Tanpa menoleh kembali. *** Saat malam tiba, aku
memutuskan untuk memasak makanan yang sederhana saja. Seperti sosis goreng dan
memanaskan sup jagung yang entah bagaimana ada di dalam kulkasku. Sambil
memasak, aku memikirkan sikap Kazuto yang kelewat... baik terhadapku. Bukannya
aku ingin mengatakan itu tidak bagus. Hanya saja, bagiku itu sangat aneh. Aku tidak
mengenalnya, tapi kenapa dia bersikap seolah sudah mengenalku bahkan sampai ke
kebiasaankebiasaanku yang terkecil sekalipun. TV yang kunyalakan menayangkan
acara music yang populer sekarang ini. Tapi, aku tidak sedang memperhatikan TV, atau
masakanku yang sekarang sedang kutata di meja makan. Namun, sesuatu yang lain...
Apa yang kulupakan sebelum aku berumur 5 tahun" Aku pernah bilang bahwa aku
hilang ingatan, bukan" Dan ingatanku yang hilang adalah ingatan sebelum aku berumur
5 tahun. Ketika aku sadar dari sebuah koma yang membuatku tertahan di rumah sakit,
hal pertama yang kuingat adalah, seseorang memerintahkanku untuk pergi dari rumah,
bersama kedua orangtuaku, yang tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Aku ingat itu
karena sebelum aku kabur dari rumah sakit, aku sempat membaca artikel di surat kabar
kalau sepasang suami istri tewas akibat kecelakaan lalu lintas, sementara anak mereka
koma di rumah sakit. Aku yakin anak yang dimaksud adalah aku. Setelah itu, aku pergi
dari rumah sakit. Hanya berbekal tas ransel berwarna biru yang kutemukan di ruangan
tempatku dirawat. Isinya beberapa paspor, uang tunai dalam berbagai jenis mata uang
dan jumlahnya cukup besar, dan sebuah cincin permata biru terang yang sampai
sekarang masih kusimpan di kotak yang sama dengan kalung bulan sabit perakku. Dan,
saat itu, penyamaran pertamaku adalah menjadi salah satu dari sekian banyak anak
yatim-piatu di sebuah panti asuhan di pinggir kota. Selama beberapa bulan, aku tinggal
di sana, bekerja untuk mengumpulkan uang walau usiaku masih kecil, lalu kembali pergi
dan selalu berganti identitas dalam kurun waktu 5-12 bulan. Sampai sekarang, identitas
lamaku masih kusimpan di dalam brankas besi di bawah tempat tidurku. Dan selama
memakai nama Megumi Ruka sejak 3 bulan lalu, segalanya berubah. Menjadi lebih...
kompleks. Apalagi ditambah dengan kehadiran Kazuto dan... Kak Inoue. Entah kenapa,
dua cowok itu kelihatan sama auranya, walau dalam artian berbeda. Kalau Kazuto
menebarkan aura yang menakutkan, Kak Inoue justru kebalikannya. Mereka berdua
seperti gelap dan terang. Saling berkebalikan. Acara music di TV sudah berganti
dengan drama seri yang menurutku ceritanya terlalu dibesar-besarkan. Kumatikan TV
dengan remote di dekatku, kemudian mulai makan. Dan mungkin, aku akan berendam
lagi. Berendam air hangat dengan wangi-wangian membuat pikiranku lebih tenang
sekaligus membuatku bisa melarikan diri sejenak dari kenyataan bahwa aku, mungkin,
memiliki rahasia hidup yang kulupakan. *** Aku tidak pernah mendapat mimpi. Tapi,
entah kenapa, malam ini, aku mendapatkannya. Akan tetapi bukan mimpi yang indah,
melainkan mimpi buruk. Aku berdiri tidak jauh dari trotoar di jalan raya besar. Mataku
menatap sekeliling, sepertinya aku berada di pusat kota... jalanan begitu ramai.
Rukas Angel - Angelia Putri
Dipenuhi oleh mobil yang lalu-lalang. Trotoar tempatku berdiri sekarang langsung
menuju zebra cross. Orang-orang yang berdiri di belakangku mulai berjalan ketika
Tragedi Berdarah Diponorogo 2 Dewa Arak 38 Neraka Untuk Sang Pendekar Pendeta Murtad 1