Rukas Angel 2
Rukas Angel Karya Angelia Putri Bagian 2
lampu untuk pejalan kaki menyala hijau. Aku mengikuti. Mereka semua berjalan cepat
seperti terburu-buru. Dan kemudian aku mendengar suara decitan mobil, kemudian
bunyi yang sangat keras. Aku menoleh dan melihat dua mobil dari arah yang saling
berlawanan bertabrakan di tengahtengah jalan. Salah satu badan dari kedua mobil itu
rusak parah. Kemudian, tanpa sadar, aku berjalan kearah kecelakaan itu terjadi.
menyeruak dari balik kerumunan yang ingin melihat kecelakaan tersebut. Dan di sana,
aku melihat para petugas medis dari ambulans yang datang sedang mengangkut dua
orang dengan masing-masing tandu. Laki-laki dan perempuan berusia sekitar 25
tahunan dan berdarah di beberapa bagian tubuh, terutama kepala. Apa ini" Kenapa aku
bermimpi seperti ini" "Angkut anak yang terjepit di sana itu!" Anak kecil" Dua orang
petugas medis kembali menghampiri mobil yang rusak parah itu dan mengeluarkan
seseorang. Seorang anak perempuan kecil yang mengerang kesakitan dan
menggenggam sesuatu di tangannya. Darah juga mengalir dari tubuh anak itu. Tidak
hanya dari kepala, tapi juga dari perut dan lengan kanannya yang menggenggam erat
sesuatu yang tidak kutahu. "Ambilkan tandu! Anak ini terluka lebih parah dari kedua
orangtuanya!" Aku mendekat kearah anak itu dan melihat wajahnya yang mungil dan
putih bersih itu ternodai darah. Matanya sesekali memejam dan kemudian terbuka lagi.
Ketika ia membuka matanya, aku syok melihat mata itu mirip dengan mataku. "Papa...
Mama..." anak itu bergumam lirih. Kedua petugas medis itu kemudian meletakkan anak
kecil itu ke tandu dan segera mengangkatnya. Mata anak itu kembali terpejam, dan
sesuatu meluncur jatuh dari tangan kanannya, bergemirincing ketika menyentuh tanah.
Sebuah kalung rantai emas dengan bandul liontin berukiran bunga mawar. Aku
berjongkok hendak mengambil benda itu ketika seseorang sudah mengambilnya lebih
dulu. Seorang pria berusia 50 tahun dan berambut nyaris putih semua menatap kalung
di tangannya dan ambulans yang beranjak pergi bergantian. Aku menatap pria itu dan
melihat senyum jahat muncul di wajahnya. Kemudian, seperti melihat film, aku berada di
tempat lain. Sebuah kamar rumah sakit. Anak kecil yang tadi kulihat di tempat
kecelakaan berbaring diam di atas ranjang rumah sakit. Berbagai kabel yang
tersambung pada alat penunjang hidup di dekatnya terpasang di beberapa bagian
tubuhnya. Pria tadi ada di sana. Berdiri di dekat ranjang anak itu bersama seorang anak
laki-laki yang kelihatannya baru berusia 8 tahun. Dengan rambut coklat yang dihiasi
semburat hitam dan mata hitam kelam... Tunggu. Aku mengerutkan kening melihat
anak laki-laki itu. Mata dan rambut itu sangat mirip dengan... "Kek, kapan dia akan
sadar?" tanya anak laki-laki itu pada pria tua di sebelahnya. "Kapan dia akan sadar dan
berbicara denganku?" "Itu semua butuh waktu, Kazuto." Ujar pria itu sambil tersenyum,
"Yang kamu perlukan sekarang adalah menjaganya dan jangan sampai seorangpun
menyentuhnya. Tidak boleh ada yang menyentuh Ruka sampai saatnya tiba." Jadi, anak
laki-laki itu benar-benar Kazuto yang itu" Dan anak perempuan kecil itu... aku" "Tapi,
Kek, kenapa Kakek tidak mengatakan pada Inoue kalau dia masih hidup?" "Inoue?"
tanpa sadar aku bergumam, "Apa maksudnya... Nakayama Inoue?" Pria itu lagi-lagi
tersenyum, kemudian, matanya menatap tepat kearahku dan membuatku terkesiap. ***
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku terbangun tepat ketika jam di atas mejaku berbunyi, menandakan hari sudah pagi
dan aku harus bersiap-siap pergi ke sekolah. Aku langsung terduduk tegak dan
mengusap wajahku. Ya Tuhan... mimpi tadi terasa nyata. Dan... kenapa sepertinya pria
tua itu mengenalku dengan sangat baik" Siapa sebenarnya dia" Dan yang lebih
Rukas Angel - Angelia Putri
penting, apa Kazuto benar-benar mengenalku" Rasanya kepalaku tambah sakit saja.
Kalau begini, mungkin sebaiknya aku tidak sekolah saja. Bolos. Ya... mungkin itu ide
yang bagus karena kepalaku benar-benar sakit sekarang, pasti karena mimpi yang aneh
tadi. "Kamu sudah bangun?" Aku yakin aku menjerit kaget ketika mendengar suara
yang tak asing di sampingku. Aku menoleh dan melihat Kazuto sudah duduk di sisi
tempat tidurku, dengan Kitty yang tidur di pangkuannya. "Kazuto!?" Aku benar-benar
kaget mendapati dia sudah duduk di dekatku, dan wajahnya begitu dekat dengan
wajahku sehingga aku bisa mencium nafasnya yang beraroma mint dan jeruk. "Apa aku
mengagetkanmu?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. "Sangat." Kataku, "Kenapa
kamu ada di sini?" "Aku mau mengantarmu ke sekolah." Jawabnya. "Hari ini aku tidak
sekolah." Kataku, kemudian berbaring lagi di kasur. "Kepalaku sakit, dan aku ingin
istirahat." "Sakit karena apa?" "Bukan urusanmu." Lagi-lagi aku merasakan aura
menakutkan itu. Kazuto menatapku dengan mata disipitkan dan wajahnya kelihatan
dingin... lebih dingin dari biasanya. "Apa yang menjadi masalah bagimu adalah
masalahku juga." Katanya pelan. "Kamu tidak perlu merasa begitu. Lagipula, kamu
bukan..." suaraku menghilang ketika aku teringat mimpi yang baru saja kudapat.
Teringat lagi sosok Kazuto kecil dan pria tua berpakaian rapi dengan senyum yang
mengerikan itu. "Aku bukan apa?" tanya Kazuto, "Aku tahu semua tentangmu, dan aku
wajib menjagamu agar kamu tidak kenapa-napa." "Tapi, aku tidak mau," kataku,
menatapnya dengan mata disipitkan, "Aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku hanya sakit
kepala ringan. Tidak perlu dikhawatirkan." "Benar?" "Ya, jika kamu bisa
meninggalkanku sendirian untuk beristirahat." Balasku sambil membalikkan tubuhku.
Berpura-pura tidur. Aku mendengar dia menghela nafas. Kemudian berdiri. Aku
mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali, lalu hening. Diam-diam aku menoleh
dan menatap pintu kamarku. Serius, nih" Dia langsung keluar begitu kubilang aku ingin
sendirian" Aku bergelung di atas kasur sambil menghembuskan nafas. Ya sudahlah.
Toh, bukan aku juga yang menginginkannya di sini. Dan aku masih takut dengan aura
yang dibawanya. Benar-benar membuatku takut... *** Hari ini ternyata aku harus puas
dengan sarapan mie instan dan susu coklat yang kutemukan di lemari makanku. Bukan
apa-apa, sebenarnya, aku malah sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Semalam,
aku berlatih terlalu keras sampai lupa kalau aku kehabisan bahan makanan. Dan
akhirnya tidak membeli dan langsung pergi ke kamar untuk tidur. Sambil menyeruput
mie instan yang kubuat, aku mulai mendesain rancangan pakaian yang baru. Aku harus
bisa membuat gaun yang akan mengeluarkan inner beauty Ruka. Aku melihat, dia
punya potensi lebih dari sekadar model di panggung catwalk. Ada sesuatu yang lain
yang membuat orang lain terpikat, tapi sekaligus menjauhi dirinya. Mungkin itu karena
sifatnya yang ketus dan dingin bila di dekat orang lain" Bisa jadi... Aku baru hendak
mengambil pensil ketika ponselku berbunyi. "Siapa yang meneleponku pagi-pagi
begini?" gerutuku mengambil ponsel dan menerima telepon yang masuk. Sebenarnya,
ini bukan "pagi-pagikebablasan berlatih dan tertidur terlalu pulas saking lelahnya" "Ya,
halo?" "Kak Inoue?" Suara Ruka di seberang telepon langsung menghilangkan
kekesalan dan membuat senyum lebar tersungging. Hmm... kenapa bisa berpengaruh
pada mood-ku hari ini, ya" "Oh, rupanya kamu, Ruka." Kataku sambil meminum susu
coklatku. "Ada apa?" "Kapan aku harus ke rumah Kakak" Kakak bilang kemarin aku
harus fitting dan mengukur tubuh untuk gaun terbaru rancangan Kakak..." katanya.
"Sepulang sekolah saja. Hari ini kamu tidak sibuk, kan?" "Nggak, kok..." jawab Ruka,
"Tapi, hari ini aku tidak sekolah. Dan kurasa aku bisa ke rumah Kakak lebih cepat."
"Kamu tidak sekolah" Kenapa" Sakit, ya?" "Nggak juga... aku Cuma kelelahan sehabis
pemotretan kemarin." Katanya cepat, "Err... kapan aku harus ke rumah Kakak?" "Kalau
begitu, jam 2 siang. Karena kamu tidak tahu di mana rumahku, biar aku saja yang
Rukas Angel - Angelia Putri
menjemputmu. Aku tahu di mana flat tempatmu tinggal, kok." "Tidak usah. Biar aku
sendiri yang ke rumah Kakak. Aku pasti bisa menemukan rumah Kakak." Katanya.
Suaranya seperti dihiasi oleh senyum. "Kalau begitu sampai nanti, Kak." "Yup. Sampai
nanti." Aku menutup telepon dan memandangi ponselku sambil tersenyum lebar. Lalu
memakan sarapanku dengan lebih cepat. *** Aku mematikan ponselku dan duduk.
Aku tertidur lagi sekitar beberapa jam, dan keadaan rumahku sangat sepi. Terlalu sepi,
dan tiba-tiba saja membuatku merinding. Ini bukan apa-apa... aku sudah biasa
sendirian seperti ini, kenapa sekarang harus takut" Kataku dalam hati, menenangkan
gemetaran yang tahu-tahu merayapi tubuhku. "Nnngghh..." Aku mengerjap kaget
mendengar suara erangan halus di dekatku. Aneh. Aku yakin aku tidak bersuara seperti
itu, lagipula, aku sudah duduk dan tidak berbaring. Lalu... suara erangan dari mana itu"
Kemudian sesuatu memegang tangan kiriku dan membuatku memekik. Aku menoleh
dan melihat hal yang tidak kuduga berada di tempat tidurku. Kazuto sedang tidur.
Kemeja hitam yang dikenakannya dikeluarkan dari celana dan dua kancing atasnya
terbuka. Sebelah tangannya memegang tangan kiriku dan menggenggamnya erat.
Terlalu erat, malah. Kenapa dia tidur di sini" Dan sejak kapan" Tanyaku dalam hati,
panic. Kazuto mengigau, dan tahu-tahu menarikku mendekat kearahnya. Wajahku
nyaris mengenai wajahnya. Hanya tinggal beberapa senti lagi bibirku bakal bertemu
dengan bibirnya. Gawat. Wangi mint dari mulutnya sama sekali tidak hilang dan
membuatku menelan ludah. Astaga... jangan sampai aku... "Ruka..." Dia mengigau
memanggil namaku. Aku sempat merasa heran, namun tersadar dengan cepat,
mengingat dia mengetahui semua tentang diriku... Dan aku masih tidak mengerti,
bagaimana dia tahu semuan tentangku. Apakah dia juga
Rukas Angel - Angelia Putri
tahu soal aku yang menyamar menjadi anak yatim-piatu di sebuah panti asuhan dan
kemudian diangkat anak oleh keluarga Anderson yang beberapa hari lalu dikabarkan
menghilang itu" "Ruka..." dia mengigau lagi, dan kali ini menarikku ke dalam
pelukannya. Nafasku sempat tertahan, dan kepalaku sudah berada di lekukan lehernya.
Ya Tuhan... wangi tubuhnya bahkan lebih wangi daripada wangi mint di mulutnya. Dan
aku yakin, aku bakal gila kalau terus-terusan mencium wangi tubuhnya. Aku berusaha
melepaskan diri dari pelukan Kazuto, tapi lengan-lengannya memelukku begitu kuat
sehingga aku tidak bisa melepaskan diri dengan mudah. Malahan, akibat usaha
melepaskan diri itu, wajahku semakin terbenam di lekukan lehernya. Dan ini
benar-benar tidak bagus. "Ka, Kazuto..." aku berusaha membangunkannya. "Kazuto,
bangun..." Sepertinya Kazuto adalah orang yang langsung terbangun ketika ada suara
di sekitarnya. Dia menatapku kaget saat pelukannya padaku mengendur. "Tolong...
lepaskan aku." kataku pelan. "Tidak." katanya. Kemudian menarikku lagi ke pelukannya.
"Aku ingin tidur ditemani olehmu." Apa"! "Aku mau mandi." Kataku lagi, "Tolong
lepaskan aku." "Tidak. Temani aku tidur. Aku kelelahan karena biasanya jam segini
adalah jam tidurku." Memangnya dia vampire, ya" Di siang hari dia tidur" Yang benar
saja! "Pokoknya, temani aku tidur. Aku benar-benar mengantuk." Dia bergeser sedikit
dan membuatku terbenam di dalam pelukannya. Kepalaku bersandar di dadanya dan
aku bisa mendengar detak jantungnya yang teratur. "A, aku harus mandi sekarang. Aku
ada janji penting." Kataku, berusaha untuk tidak tergoda oleh pikiranku sendiri. "Janji
penting dengan siapa?" tanyanya dengan suara setengah mengantuk. "Pokoknya aku
ada janji, dan aku harus segera pergi setelah mandi dan bersiap-siap." Ujarku, "Tolong
lepaskan aku sekarang." Dia mendesah pelan, tapi tidak melepaskanku. "Tidak. Aku
mau kamu tidak kemana-mana hari ini." katanya, "Aku masih sangat mengantuk untuk
mengantarmu." "Aku tidak perlu diantar... lagipula, aku tidak pernah memintamu untuk
Rukas Angel - Angelia Putri
mengantarku." Balasku. "Tolong, Kazuto, aku harus bersiap-siap sekarang. Aku tidak
mau ingkar janji dengan orang yang ingin kutemui." "Siapa orang yang ingin kamu
temui?" "Itu bukan urusanmu. Kamu sendiri bukan siapa-siapaku, kan?" kataku mulai
kesal. Pelukannya makin erat setelah aku mengucapkan kata-kata itu. Dan aku harus
menelan ludah ketika dia mengusap punggungku. Salah satu titik sensitifku adalah
punggungku. "Berhenti mengelus punggungku." Kataku sambil menepis tangannya,
"Aku mau bersiapsiap. Kalau kamu mau tidur, tidur saja sendiri." Keberanian yang
cukup... menantang. Kali ini aku bisa melepaskan diri darinya dan bangkit dari tempat
tidur. "Kalau kamu mau tidur di sini, tidak apa-apa. Tapi, jangan menggangguku saat
mandi." Kataku, lalu berjalan ke kamar mandi dan mengunci pintunya. *** Mandi air
dingin cukup membuat pikiran dan mataku kembali terfokus. Aku mengeringkan tubuh
dengan handuk dan mengambil baju handuk yang tergantung di belakang pintu kamar
mandi. Kemudian beralih ke wastafel, menyikat gigi dan mencuci wajah dengan facial
foam. Semua itu kulakukan dengan cukup lambat, karena aku masih menghindari
Kazuto. Ingat dia, aku kembali teringat mimpi tadi. Dan tubuhku kembali gemetar. Aku
teringat senyum mengerikan pria tua yang berdiri bersama Kazuto. Aku mengingat
senyum itu dengna jelas, senyum licik yang tersembunyi di balik senyum penuh
perhatian yang ditunjukkannya pada Kazuto kecil. "Rasanya mengerikan sekali."
Gumamku sambil menghela nafas. "Terlalu mengerikan... siapa pria itu?" Aku menatap
bayanganku di cermin. Wajahku agak pucat, mungkin karena pengaruh mimpi buruk itu,
yang kemudian membuatku sulit untuk tidur lagi. Kubersihkan air yang masih mengalir di
wajahku dengan handuk kecil. Oke. Sekarang aku harus cepat-cepat berpakaian dan
pergi ke rumah Kak Inoue. Kataku dalam hati. Walau di telepon tadi aku bilang kalau
aku bisa menemukan rumahnya, sebenarnya, aku sama sekali tidak tahu di mana
rumah Kak Inoue. Hmm... mungkin mencarinya lewat GPS" Aku bisa memasukkan
nomor ponselnya ke dalam alat pencarian rancanganku sendiri dan bisa
menemukannya dengan mudah. Yang menjadi masalah adalah, ponselku tertinggal di
atas tempat tidur, dan aku bahkan tidak membawa pakaian ganti ke kamar mandi saking
ingin cepat-cepat menjauh dari Kazuto. Apa yang harus kulakukan sekarang"
CHAPTER 9 Aku harus berani keluar dari kamar mandi dan mengambil pakaianku.
Toh, Kazuto juga sedang tidur, dan aku tidak akan membangunkannya karena lantai
kamarku yang terbuat dari kayu berkualitas ini tidak akan berderit kalau aku
menginjaknya. Oke. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan sebelum membuka pintu kamar mandi dengan sangat pelan. Aku mengintip
sebentar dari balik pintu kamar mandi yang kubuka sedikit. Kazuto masih berbaring di
tempat tidurku, membelakangi pintu kamar mandi. Aku melirik kearah lemari pakaianku
yang tidak jauh dari kamar mandi, lalu dengan perlahan-lahan, aku berjalan keluar
dengan langkah lebar dan tanpa suara. "Kenapa kamu berjalan seperti itu?" Suara itu
membuatku langsung membeku di tempat. Aku menoleh dan melihat Kazuto sudah
berbalik menghadapku dan menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Seperti pencuri
yang takut ketahuan saja..." katanya sambil tersenyum miring. "K, kamu tidak tidur?"
tanyaku gugup. "Bagaimana bisa tidur kalau kamu tidak ada di sampingku?" ujarnya,
"Sepertinya kamu mau berpakaian, ya" Aku akan keluar sebentar, dan setelah itu, kita
akan pergi ke tempat orang yang punya janji denganmu." "Aku tidak perlu diantar..."
"Ckck. Tidak." dia mengayunkan jari telunjuknya dan mendecak pelan, "Aku akan
mengantarmu. Tapi, setelah itu, kamu harus mau menemaniku tidur." "Kenapa aku
harus melakukan itu?" aku menatapnya curiga. "Kamu tidak akan melakukan sesuatu
padaku, kan?" "Percayalah, Ruka, kalau aku punya niat seperti itu, kamu akan susah
menghentikan segalanya." Dia tersenyum lebar, kemudian bangkit dari tempat tidur,
"Kuberi kamu waktu setengah jam untuk berpakaian dan berdandan sepuasmu. Aku
Rukas Angel - Angelia Putri
akan keluar dan membuat kopi." Aku menatapnya pergi, dan ketika pintu kamarku
tertutup, aku cepat-cepat berpakaian dan mengeringkan rambutku secepat mungkin.
Toh, aku tidak perlu berdandan terlalu banyak. Aku cukup menyisir rambut, memakai
bedak tipis dan sedikit lipgloss pink di bibirku, aku sudah siap. Aku segera mengisi tas
serut berwarna biru muda di dekatku dan mengisinya dengan dompet, ponsel, dan notes
yang biasa kubawa setiap hari. Aku baru akan membuka pintu ketika Kazuto
membukanya lebih dulu dan nyaris membuatku terjatuh ke belakang. "Kamu membuatku
kaget." Kataku. Rukas Angel - Angelia Putri
"Maaf," katanya, kemudian menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Apa?"
tanyaku merengut, "Kalau kamu mau bilang aku terlihat seperti anak kecil, silakan saja.
Aku tidak terlalu suka berdandan, kau tahu..." "Siapa bilang aku ingin mengatakan kau
seperti anak kecil?" tanyanya balik, lalu tahu-tahu dia menarikku dan mencium bibirku.
"Ap - " "Kalau aku menciummu, itu artinya kamu sangat cantik." dia tersenyum penuh
arti sebelum kembali melumat bibirku. *** Aku merengut dan menghindari menatap
Kazuto ketika dia mengantarku ke rumah Kak Inoue. Aku masih marah soal insiden
ciuman tadi. Seenaknya saja dia menciumku! Dia pikir aku ini apa" "Masih marah?"
tanyanya. Ada nada geli dalam suaranya. "Kalau iya, lantas kenapa?" balasku sengit.
"Kamu mencuri ciuman pertamaku, tahu!" "Aku merasa terhormat," dia tersenyum, "Dan
asal kamu tahu, bibirmu rasanya manis. Aku jadi ingin mencicipinya lagi." "Jangan
sebut-sebut hal vulgar seperti itu!" kataku. Aku yakin wajahku memerah, "Kamu ini tidak
tahu perasaan cewek, ya?" Dia tertawa, dan aku semakin cemberut dibuatnya. "Kalau
begitu, sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau kita makan siang di luar" Aku yang
traktir." Katanya. "Aku tidak mau. Aku tidak suka makan di luar." jawabku. "Aku tidak
mau menerima permintaan maafmu." "Lalu, aku harus apa agar kamu memaafkanku?"
tanyanya, dengan senyuman dalam suaranya. Aku meliriknya dengan mata disipitkan.
"Aku mau kamu tidak mencampuri urusanku, mulai dari sekarang." "Kalau itu, aku tidak
mau." "Kalau begitu, aku tidak akan menerima permintaan maafmu." "Jangan begitu,
dong..." Aku membuang muka kearah lain dan mengerucutkan bibirku dengan jengkel.
Kazuto terkekeh melihat reaksiku dan memusatkan perhatiannya kembali ke jalan. "Lalu,
di mana rumah teman yang katamu ingin kamu temui?" tanyanya. Aku mengambil
ponselku dan menghidupkan perangkat GPS yang ada, kemudian memasukkan nomor
ponsel Kak Inoue. Dalam beberapa menit, hasil pencarian sudah keluar. Aku lalu
memperlihatkan layar ponselku padanya. "Ini alamatnya." Ujarku. Dia melirik sekilas
kearah ponselku dan mengangguk. "Kalau alamat itu, aku tahu." katanya, "Aku sering
lewat jalan itu." "Benarkah" Siapa yang kamu temui?" Dia mengangguk pelan,
"Menemui seseorang." Jawabnya. "Siapa" Pacarmu?" "Aku tidak punya pacar."
balasnya, "Aku hanya punya kamu." Aku yakin aku mendelik padanya, tapi, ketika
matanya menatapku, lagi-lagi nyaliku ciut. Auranya kembali berubah menakutkan.
Padahal tadi masih sedikit... tenang. Ugh... kenapa harus jadi begini, sih" Mobil yang
dikemudikannya kemudian berhenti di dekat sebuah jalan yang hanya bisa dilalui satu
mobil, dan jika ada dua mobil saling bersinggungan, terpaksa salah satu dari dua mobil
itu harus menepi untuk mengalah pada mobil yang lain untuk lewat. Tapi, Kazuto
memberhentikan mobilnya di sambping taman bermain untuk anak-anak yang terletak di
sebelah jalan itu dan mematikan mesinnya. "Kuharap kamu mau berjalan kaki. Karena
rumah temanmu berada di ujung jalan itu." katanya sambil melepas sabuk pengaman.
Aku menatap layar ponselku dan menyadari kalau apa yang diucapkannya benar.
Rumah Kak Inoue memang berada di ujung jalan kecil ini. "Bagaimana kamu tahu?"
tanyaku penasaran. Dia tersenyum tipis sebelum menjawabku, "Percayalah, aku selalu
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu apa pun dalam hidupmu." Kami berdua lalu keluar dan aku sempat mengernyit
ketika sinar matahari mengenai mataku. Cepat-cepat aku memakai topi lebar yang
kubawa dan menghembuskan nafas. Aku paling benci matahari. Bukan karena sinar
ultravioletnya yang kalau di siang hari bisa membuat kulit hitam, tapi, karena aku benci
tempat yang terlalu terang. Aku jarang keluar rumah kecuali hanya untuk sekolah,
pemotretan, atau berbelanja kebutuhan di rumah. Selain itu, aku tidak pernah ke
mana-mana, apalagi di siang hari. Kazuto berdiri di sebelahku dan kemudian menggamit
tanganku. "Ayo," katanya. *** Alice dan Tristan baru saja datang dan langsung sibuk
dengan segala "perkakaskain, jarum jahit, benang, alat ukur, gunting, dan lain
sebagainya yang biasa kugunakan sendiri untuk membuat rancanganku. Memang
selama ini aku selalu bekerja sendirian, kalau tidak dibantu Tristan. Karena itu jugalah,
semua hasil rancanganku mendapat pujian karena selain aku yang mengerjakannya
seorang diri, menurut orang-orang, karyaku adalah hasil orisinal yang benar-benar luar
biasa (aku tidak tahu itu benar atau tidak). "Hei, kapan Ruka datang?" tanya Alice sambil
mencatat sesuatu di selembar kertas yang kuduga untuk catatan ukuran tubuh Ruka.
"Mungkin sebentar lagi," aku menatap kearah jam dinding. "Ya. Mungkin sebentar lagi."
"Hei, Inoue, ini ditaruh di mana?" Tristan menunjukkan gulungan benang wol di
tangannya. "Taruh saja di keranjang yang itu." jawabku sambil menunjuk sebuah
keranjang dari rotan yang penuh dengan gulungan benang wol beraneka warna. "Ah,
Alice, jangan duduki kursi itu, ada kertas-kertas hasil desainku di sana." "Jangan
sembarangan menaruh kertas desainmu di sofa, dong." gerutunya sambil pindah ke sofa
yang lain. Aku hanya mengangkat bahu dan kembali membuat teh dingin dalam teko
yang sudah kusiapkan. Aku juga sudah membeli sekaleng kue untuk menemani teh
dingin di siang hari ini. "Oi, Inoue, ada yang memencet bel, tuh!" seru Alice. "Bisa
tolong bukakan pintu" Aku sedang membuat teh, nih." seruku balik. "Dasar
menyusahkan." Kata Alice, kemudian kudengar langkah kakinya berjalan, lalu, pintu
terbuka, dan aku samar-samar mendengar suara Ruka yang kecil dan halus. Aku
tersenyum lebar. Dia sudah datang. Kutinggalkan sebentar pekerjaanku dan melongok
dari balik pintu dapur. Ruka berdiri di ruang tamu sambil melepas topi lebar berwarna
putih yang dikenakannya. Tersenyum pada Alice dan Tristan. Aku hendak menyapanya
ketika aku melihat seseorang yang berdiri di belakangnya. Tadi aku memang tidak
melihat orang itu karena terhalang oleh pintu dan juga Tristan. Dan ketika Ruka masuk
ke dalam, orang itu juga ikut masuk dan wajahnya bisa kulihat dengan jelas. Tubuhku
langsung membeku. Tanpa sadar, aku mengkertakkan gigiku dan menahan amarah
yang muncul secara tiba-tiba di dalam benakku. Kenapa orang itu ada di sini!" *** Kak
Alice dan Kak Tristan yang menyambutku ketika Kazuto menghampiri rumah mungil
bercat Rukas Angel - Angelia Putri
biru muda dan dihiasi dengan berbagai tanaman hias itu. Aku tidak tahu bagaimana dia
bisa tahu rumah ini dan langsung memencet bel tanpa permisi. Aku menelan segala
pertanyaan mengapa Kazuto, sepertinya mengenal betul rumah di hadapannya ini. "Hai,
Ruka! Kamu benar-benar datang." sapa Kak Alice sambil memelukku. "Aku sudah tidak
sabar untuk mengukur tubuhmu dan mengajarkanmu cara berjalan di catwalk festival
nanti." "Apa catwalk-nya berbeda dari yang biasa kulihat?" tanyaku bingung. Kak Alice
tertawa dan mengangguk, "Anak-anak fashion design suka sesuatu yang unik, jadi
panggung catwalk-nya pun juga unik." Ujarnya. "Ah, Inoue belum keluar dari dapur.
Sedang menyiapkan cemilan untuk kita." "Oh..." aku manggut-manggut, kemudian
menoleh kearah Kazuto yang tampak diam di depan pintu. "Apa kau juga akan masuk?"
tanyaku. "Aku mau saja masuk," katanya, "Tapi, bukankah kamu tidak menerima
Rukas Angel - Angelia Putri
permintaan maafku tadi?" "Apa kau akan langsung pulang ke rumahmu?" tanyaku lagi.
"Aku akan menunggu di mobil sampai kamu pulang." jawabnya. Hhh... dia ini
benar-benar keras kepala. Tanpa sadar, aku memutar bola mataku padanya. "Kalau
begitu, jangan menunggu di mobil dan masuk saja. Aku tidak mau dianggap sebagai
cewek yang sedang berselingkuh dengan orang lain, padahal kita sama sekali tidak ada
hubungan apa-apa." kataku. "Tapi, kita memang punya hubungan, kok." "Kamu - "
"Temanmu juga boleh masuk, kok." Kata Kak Alice menatapku dan Kazuto bergantian,
"Oh, namaku Alice Hawkstone. Dan ini pacarku, Tristan Fernandez." Kazuto menyalami
mereka berdua dengan senyum tipis. "Aku Hoshihiko Kazuto." Katanya. "Oke, ayo,
kalian berdua masuk. Inoue pasti sudah membuatkan cemilan untuk kita." Kak Alice
menggandengku dan melontarkan berbagai macam pertanyaan khas psikolog. Aku jadi
heran mendengar pertanyaannya. Jangan-jangan Kak Alice ini calon psikolog. Mataku
menatap ruang tamu yang didominasi warna putih dan silver. Karpet bulu berwarna
loreng macan putih terhampar di bawah sofa kulit berwarna putih dan meja kaca yang
penuh dengan kertas-kertas berserakan, kain perca, dan beberapa kotak manic-manik
dan payet. TV LED layar lebar tertanam di dinding di depan sofa lengkap dengan sound
system-nya. Baru ruang tamu yang kulihat begitu berkelas dan terlihat seperti ruang
santai pribadi, bagaimana dengan ruangan lainnya. "Hei, Inoue! Jangan bengong di
depan pintu dapur seperti itu, dong." Aku menoleh kearah pintu berwarna merah yang
menjadi penghubung antara dapur dan ruang tamu. Dan di depan pintu, Kak Inoue
seakan berdiri mematung menatap kami semua. Aku sempat merinding ketika
merasakan aura aneh yang dibawa olehnya. Benar-benar aura yang aneh. Penuh
dengan... permusuhan. Dan aku merasakan hal yang sama pada Kazuto yang berdiri di
belakangku. Aku melirik kearahnya dan melihat rahang bawahnya mengeras dan
matanya terkunci pada Kak Inoue. Sejenak, aku bergantian memandang mereka berdua
dengan kening berkerut. Apakah mereka saling kenal" Kalau iya, kenapa aura
permusuhan di antara mereka berdua begitu kental dan membuatku tidak nyaman" ***
Aku menatap Ruka dan orang yang berdiri di belakangnya bergantian. Entah kemarahan
apa yang menyulutku sekarang. Rasanya, aku tidak senang kalau orang itu berdiri di
belakang Ruka seakan dia adalah pengawal gadis itu. "Hei, Inoue, jangan bengong saja.
Ayo, kemari!" seru Alice, membuyarkan lamunanku yang penuh amarah. Aku berbalik
ke dapur dan menghembuskan nafas perlahan-lahan sebelum membawa nampan berisi
teh dingin beserta empat buah gelas dan juga sekaleng kue. Aku keluar dari dapur
dengan senyum terkembang. Aku tidak mau menatap orang yang berdiri di belakang
Ruka. Tapi, bukan berarti aku tidak menghiraukan kehadirannya. "Kamu ini, membuat
minuman saja lelet banget." Kata Alice, "Kamu memang tidak terampil dalam hal seperti
ini, ya?" Aku hanya mengedikkan bahu, kemudian menoleh kearah Ruka. "Ayo, silakan
duduk. Kita akan langsung mulai sekarang." kataku. Kemudian menatap orang itu, dan
pura-pura tidak mengenalinya, "Siapa ini" Temanmu?" "Dia Hoshihiko Kazuto." Kata
Ruka. "Ya... dia temanku. Kazuto, ini Kak Nakayama Inoue." "Hoshihiko Kazuto."
Katanya sambil mengulurkan tangan, menanggapi acting yang sedang kumainkan. Dari
sinar matanya, aku tahu, dia juga memikirkan hal yang sama sepertiku. Kami harus
bicara. Secara pribadi. "Kau bisa memanggilku Inoue." Kataku, sambil tersenyum palsu.
"Silakan duduk. Di manapun boleh. Maaf, kalau tempatku berantakan." "Tidak masalah,"
ujar Kazuto sambil tersenyum. Lalu duduk di sebelah Ruka. Sekali lagi aku
mengkertakkan gigiku, menahan semburan protes dan juga amarah yang sudah di ujung
lidah. "Nah," Alice menepuk tangannya, "Karena semua sudah berkumpul, kita langsung
saja mengukur tubuhmu, Ruka. Ayo, ikut aku." *** Ketika Alice sudah menggiring Ruka
ke kamarku untuk diukur tubuhnya, aku menyuruh Tristan untuk mengambil keperluan
lain di studio mini milik kami yang tidak jauh dari rumahku. Dan saat aku hanya tinggal
Rukas Angel - Angelia Putri
berdua dengan Kazuto, aku langsung menyemburkan pertanyaan yang sedari tadi
sudah berada di ujung lidah. "Kenapa kamu bisa bersamanya?" tanyaku, menyipitkan
mata pada Kazuto. Kazuto dengan tenang meminum tehnya dan menatapku tanpa
ekspresi. "Karena aku menemukannya lebih dulu." Ujarnya, "Aku menemukannya lebih
dulu darimu. Dan itu berarti, kamu harus menepati janjimu." "Aku tidak pernah
menjanjikan apa pun padamu. Lagipula, kamu tahu sendiri aku benci jika harus terus
kamu ikuti." "Aku tidak pernah mengikutimu." Dia membalasku, dan menatapku dengan
ekpresi membunuh, "Kau yang meninggalkan rumah dan mengatakan tidak ingin terikat
dengan keluargaku. Keluarga kita. Walau kau bukan berasal dari keluarga yang sah,
tapi setidaknya - " "Jangan sebut-sebut status, Kazuto." Geramku, menyela ucapannya.
"Aku bebas dengan apa yang kulakukan. Ini hidupku, dan aku tidak mau seorang pun
termasuk kamu, mengusiknya." "Tapi, kau harus tahu, Inoue, Kakek tidak akan pernah
memaafkan perbuatanmu." Ujarnya. "Kau tahu beliau tidak pernah mau perintahnya
dibantah, termasuk juga olehmu." "Kalau aku bukan bagian keluarga yang sah, kenapa
kalian repot-repot mencariku?" balasku, "Aku tidak mau merepotkan, karena itu aku
tidak pernah meminta dan tidak pernah menerima apa yang kalian berikan padaku. Toh,
aku ini hanya seonggok benda tidak berguna dalam keluarga kalian, iya, kan?" "Inoue,
tolong..." dia menghembuskan nafas, "Jangan membantah. Turuti saja perjanjian yang
pernah ibumu janjikan pada keluargaku, dan kamu kembali ke rumah. Kalau tidak,
mungkin Kakek akan marah. Kau tahu sendiri bagaimana beliau marah." Aku tidak
menyangkal hal itu. Walau aku tidak pernah bertemu sosok pria yang mengaku-aku
sebagai kakekku, dan hanya berhubungan dengan beliau via telepon, dan itu pun hanya
satu kali, aku tahu dari nada suaranya yang tidak bisa dibantah dan dingin serta
kekejaman yang tersirat di setiap kata-kata beliau.
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku juga tidak menyangkal, aku takut pada kemarahan beliau. Tapi, aku tidak mau
menerima kenyataan bahwa aku juga seorang anak dari Hoshihiko Murone, ayah
kandungku dan juga Kazuto. Sekaligus menjadi salah satu calon pewaris harta
kekayaan keluarga Hoshihiko yang dikatakan menjadi orang kaya kedua di Negara ini.
"Aku akan memikirkannya. Kalau aku punya waktu untuk itu." kataku sambil meminum
tehku. "Lalu, kenapa kamu bisa bersama Ruka" Ada hubungan apa kamu dengannya?"
Kali ini, Kazuto seperti tersenyum. Dia meminum lagi minumannya sebelum menjawab
pertanyaanku. "Sederhana," katanya kalem, dan penuh arti, "Dia adalah cahayaku."
"Cahaya?" aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu, Kazuto" Katakan yang jelas." Dia
menatapku dengan tatapan yang menyiratkan
"Apa-kamu-sungguh-sungguh-tidaktahu?"Dia adalah orang yang diputuskan akan
menjadi calon istriku kelak." CHAPTER 10 Apa" Apa katanya barusan" Calon istri"
Ruka" Calon istri Kazuto" Dia pasti bercanda. "Aku tidak tahu lelucon apa yang kau
ucapkan, Kak." Kataku. "Tapi, aku tidak akan percaya jika dia adalah calon istrimu."
"Kau boleh tidak percaya. Tapi, bukan aku yang memutuskan, melainkan Kakek." Ujar
Kazuto. "Aku dan Ruka sudah ditunangkan sejak kami masih kecil." "Kau pasti
bercanda." Kataku, nyaris tersedak minumanku sendiri. "Apa-apaan itu" Tunangan...
apa maksud pria tua itu menjadikan kalian berdua tunangan?" "Aku tidak tahu." dia
mengedikkan bahu, kemudian menatapku, "Jangan katakan padaku kau menyukainya,
Inoue. Aku tidak suka berbagi yang sudah jelas-jelas adalah milikku." Oh. Ini dia Kazuto
yang sesungguhnya. Arogan dan ingin menang sendiri. Dan, jangan salah, selain kedua
sifat itu, sebenarnya, sifatnya yang lain nyaris sama seperti pria tua yang dia sebut
"KakekKejam. Dan kadang bisa mengimintidasi orang lain di sekitarnya. "Aku bukannya
suka pada Ruka. Tapi, aku tertarik padanya." Kataku, "Dan aku tidak jamin kalau rasa
Rukas Angel - Angelia Putri
tertarik itu akan berubah menjadi suka, atau lebih dari itu." "Kau tidak akan berani,
Inoue..." dia menatapku dengan mata disipitkan tajam. "Aku tidak akan mau berbagi apa
yang sudah menjadi milikku." "Tapi, apa dia tahu kau tunangannya" Tidak, kan" Dilihat
dari tingkah lakunya, sepertinya dia malah takut padamu." Kataku, "Dan kurasa, dia
bahkan tidak mengingatmu sebagai tunangannya." Aku rasa terkaanku tepat. Karena
wajahnya berkedut samar. "Apa pembicaraan kita harus selalu dihiasi pertengkaran?"
tanyanya, mencoba menenangkan suaranya yang sarat amarah. "Apa kamu sendiri lupa
kalau kamu sendiri punya tunangan yang menunggumu kembali?" "Lucia bukan
tunanganku. Aku tidak pernah mengakuinya, dan dia sendiri sepertinya baik-baik saja
dengan itu." kataku. "Dia hanya mengincar harta keluarga Hoshihiko. Dan seharusnya
kau bersyukur, aku pergi dari keluarga untuk menghindari wanita mata duitan seperti
dirinya." "Tapi, seharusnya kau tidak perlu pergi dari rumah, kan?" balasnya, "Sekali lagi
kuminta padamu, kembalilah ke rumah, dan bantu aku untuk mengurus semua yang
ditinggalkan oleh Papa dan Mama." "Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup puas dengan
kehidupanku sekarang." ujarku, "Harta peninggalan ibuku masih cukup untuk
menghidupiku sampai lulus kuliah." "Inoue," Pintu kamarku tiba-tiba terbuka dan Alice
serta Ruka keluar. Mereka sepertunya sudah menjadi akrab, itu terlihat dari cara bicara
mereka yang seperti teman lama. Atau mereka punya topic pembicaraan yang sam"
Entahlah. "Hei, kenapa kalian berdua kelihatan tidak akur begitu?" ujar Alice yang
menatap kearah kami. "Tidak... kami hanya membicarakan hal yang biasa dibicarakan
oleh para cowok." kataku berbohong. "Bagaimana?" Alice tersenyum lebar pada Ruka
yang menunduk. Dia melambai-lambaikan kertas di tangannya. "Dia benar-benar
berbakat, Inoue. Seharusnya tadi kamu melihatnya berjalan seperti layaknya super
model kelas atas." Kata Alice. "Kakak jangan terlalu memuji." Suara Ruka kedengaran
lebih kecil dari biasanya. "Hei... jangan merendah begitu, dong?" Alice merengkuh
bahu Ruka, "Ayo, kita bergabung dengan mereka, dan membicarakan seperti apa gaun
yang akan cocok untukmu dan festival kelulusan Inoue nanti." *** Rupanya Kak Alice,
dan Kak Tristan, sama seperti Kak Inoue. Suka berbicara dan cepat akrab dengan orang
lain. Selama mengukurku, Kak Alice bicara banyak tentang Kak Tristan dan Kak Inoue,
juga tentang jurusan kuliah yang diambil mereka. "Apa Kak Inoue suka sekali
memaksakan kehendak, ya?" kataku. "Waktu pertama kali menawariku, dia sepertinya
tidak sabar ingin mendandaniku dengan semua pernak-pernik yang ia punya." "Inoue
memang begitu..." ujar Kak Alice sambil menulis sesuatu di kertas yang dibawanya.
"Dan karena kamu akan menjadi modelnya, kamu harus terbiasa bersamanya dan
mengikuti apa kata-katanya. Kalau dia menyuruhmu memakai perhiasan saat tampil di
festival, kamu harus memakainya, dan bla-bla-bla... begitulah." Aku hanya mengangguk
mengerti. "Nah. Sudah." Kak Alice tersenyum, "Sekarang, ayo kita keluar dan
membiarkan Inoue bermain dengan imajinasinya untuk membuat gaun yang
spektakuler!" Ketika kami keluar, aku merasakan aura permusuhan itu lagi. Kak Inoue
dan Kazuto memandangku bersamaan. Wajah Kak Inoue yang semula kelihatan
cemberut, berubah cerah ketika melihatku, sementara Kazuto... yah, ekspresinya datar.
Aku bahkan tidak yakin apa yang sedang dipikirkannya. "Kalian sudah selesai
mengukur?" tanya Kak Inoue sambil melompat kearah kami. "Bagaimana hasilnya,
Alice?" "Ini. Semuanya tertulis di atas kertas ini, Inoue sayang." Kata Kak Alice, "Dan
ngomongngomong, di mana si gilas basket kesayanganku?" "Sedang mengambil
beberapa peralatan dan bahan dari studio mini kami." Ujar Kak Inoue sambil membaca
data mengenai ukuran tubuhku yang diserahkan Kak Alice. Keningnya berkerut samar,
tapi, kemudian mengangguk-angguk seolah mengerti sesuatu. "Proporsi tubuhmu
benar-benar sempurna. Sangat ideal menjadi seorang model." Kata Kak Inoue
tersenyum lebar. "Oke. Silakan minum teh dan makan kuenya, sementara tanganku
Rukas Angel - Angelia Putri
bergerak di atas kertas-kertas kosong di sana. Alice, temani mereka mengobrol, oke?"
"Aku, kan, memang sering menjadi badut untuk kalian?" kata Kak Alice sambil tertawa.
"Nah, ayo, Ruka, kita mengobrol apa saja. Ayo!" Kak Alice menyeretku ke sofa dan kami
mulai mengobrol, sementara Kak Inoue pergi ke meja panjang dengan dua kursi yang
ada di pojokan ruang tamu. Tapi, aku tidak bisa focus pada obrolan Kak Alice karena
Kazuto menebarkan aura kemarahan aneh yang membuatku tidak nyaman. Aku melirik
kearahnya dan melihatnya sedang memandang kearah lain sambil minum teh. Ekspresi
wajahnya datar dan tidak terbaca. Dan aku takut-takut menyadari bahwa kemarahannya
mungkin karena aku" Tapi, kenapa pula aku harus takut dengan kemarahannya" Dia
bukan siapa-siapaku juga, kan" "Ngomong-ngomong, temanmu ini tampan sekali, ya?"
kata Kak Alice tiba-tiba, "Namanya tadi Hoshihiko Kazuto, ya" Apa dia adalah cucu dari
Hoshihiko Kouji, orang kaya kedua di negeri ini sekaligus pemilik saham terbesar dalam
bisnis perhotelan dan kuliner?"
Rukas Angel - Angelia Putri
Apa iya Kazuto adalah cucu orang kaya kedua di negeri ini" Entahlah. Aku juga tidak
tahu. Tapi... kurasa Kak Sonia pernah mengatakan hal semacam itu padaku. Dan
sayangnya, aku lupa. "Aku... tidak tahu..." kataku mengedikkan bahu. "Aku jarang
mengikuti perkembangan berita terkini. Jadi... yah, aku tidak tahu apakah Kazuto
memang cucu orang terkaya kedua di negeri ini." "Heee... kalau begitu, kamu harus
sering baca-baca majalah atau Koran." Ujar Kak Alice sambil tertawa pelan, "Oh ya, apa
kamu tidak tahu kalau Inoue ditawari magang di sebuah butik milik desainer ternama"
Kalau tidak salah... nama desainer itu Vani Himawan." "Benarkah" Vani Himawan yang
itu?" tanyaku. Aku cukup tahu desainer kenamaan di Negara ini, Vani Himawan. Aku
bahkan pernah menjadi peraga busananya walau hanya dua kali. Kak Alice
mengangguk dan mengedikkan dagunya kearah Kak Inoue yang asyik menggambar
bersama Kak Tristan yang entah kapan datangnya dan tahu-tahu sudah duduk di
sebelah Kak Inoue dan ikut menggambar. "Kalau kamu mau kepastiannya, tanya saja
pada orangnya sendiri." ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku hanya
tersenyum. Kemudian mataku kembali tertuju pada Kazuto, lalu Kak Inoue, yang sedang
asyik menggambar dan berdiskusi dengan Kak Tristan. Aura permusuhan itu masih
terasa kental di antara Kak Inoue dan Kazuto. *** "Sudah jadi!!" Aku yang asyik
meminum teh dari cangkirku nyaris tersedak ketika Kak Inoue berteriak girang dan
langsung berjalan cepat kearah kami. Senyum lebar menghiasi wajahnya. "Apa sudah
jadi?" tanya Kak Alice. "Sudah, tentu saja. Ada beberapa desain yang cukup unik dan
menantang untuk dibuat." Kata Kak Inoue, "Aku membuat sekitar 8 desain dan aku ingin
kalian semua memilihkan 3 desain dari semua itu untukku." Kak Inoue melemparkan
kertas-kertas di tangannya ke meja kaca. Aku mengambil salah satu kertas itu dan
menatap sebuah desain gaun berwarna biru langit dengan aksen pita besar di
pinggang sebelah kiri. Gaun itu juga dihiasi korset berwarna senada dan kelihatannya
sangat membungkus tubuh pemakainya. Gaun ini cocok untuk pesta, aku yakin.
"Heee... gambaranmu makin bagus saja." kata Kak Alice sambil memegang
masing-masing satu kertas di tangannya. "Apa saja tema gaun yang kamu usung nanti
di festival kelulusan" Bukankah paling banyak harus mempunyai dua tema, satu tema
utama yang ditentukan oleh para juri, lalu tema yang bisa kita pilih sendiri." "Hmm... aku
belum memikirkannya. Tapi, untuk tema utama, aku memilih wedding dress. Kau tahu,
kan kalau belakangan ini model-model gaun pengantin sedang ngetop" Karena itu, aku
ingin kalian semua memberikan pendapat desain mana saja yang bagus." Kata Kak
Inoue, "Termasuk pendapat Kazuto juga. Aku ingin mendengar pendapat kalian semua."
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sempat tertegun mendengar ucapan Kak Inoue. Ucapannya tadi seakan bernada
Rukas Angel - Angelia Putri
tantangan pada Kazuto. Kulirik kearah Kazuto dengan hati-hati dan wajahnya sedikit
terkejut mendengar ucapan Kak Inoue. Apa dia tidak menyangka dia juga dimintai
pendapat, atau... ada hal lain" "Boleh saja." katanya sambil berdeham. "Coba kulihat,"
Kazuto bergeser kearahku dan mengambil kertas yang ada di atas meja melalui bahuku.
Dan aku harus menahan keinginanku untuk menjauh darinya ketika merasakan bahunya
menyentuh punggungku. Duh... kenapa aku harus mengalami godaan sekaligus cobaan
seperti ini, sih" *** Aku harus menahan geramanku ketika Kazuto berpura-pura
mengambil kertas rancangan gaunku dari balik bahu Ruka. Aku juga harus menahan
tanganku agar tidak langsung memukulnya dengan kemampuan telekinesisku. Aku
yakin, dia juga memiliki kemampuan yang sama, mengingat kami memiliki ayah
kandung yang sama. "Hmm..." dia menatap hasil rancanganku dengan ekspresi datar.
Tapi, aku tahu, dia hanya sengaja melihat kertas itu agar terlihat lebih sopan. Hah.
Seorang Hoshihiko Kazuto ternyata juga bisa menjaga sopan santun dan wibawanya di
hadapan teman-temanku. "Kurasa aku lebih suka yang ini." Suara Ruka membuyarkan
lamunanku. Aku melihatnya menatap kertas dengan gambar rancangan gaun putih
seperti malaikat. "Menurutmu itu bagus?" aku mengerutkan kening dengan pilihannya.
Gambar yang itu belum sempat kuberi sentuhan apapun karena terlalu sibuk dengan
gambar-gambar yang lain. Sejujurnya, gambar yang sedang dipegang Ruka adalah
gambar yang baru akan kukerjakan pagi ini, tapi, lantaran aku ketiduran sampai
akhirnya kesiangan... "Ya." Ruka mengangguk dan senyum tipisnya itu bagaikan sinar
matahari bagiku, "Soalnya gaun ini masih bisa ditambahkan aksesoris lain, mungkin
manic-manik, bros, ikat pinggang, atau aksen seperti sayap malaikat di punggungnya."
"Benar juga... sayap malaikat." Kata Alice yang duduk di dekat Ruka, "Kalau kamu
mengenakan gaun ini, pasti akan terlihat seperti malaikat sungguhan... ah!! Benar juga!"
"Apa?" tanyaku berspekulasi. Kalau Alice memasang wajah berbinar-binar seperti itu,
artinya, dia memiliki ide yang cukup gila untuk membuatku dan Tristan kalang kabut
menyangkut soal model pilihan kami. Hanya untuk informasi, selama ini Alice-lah yang
menjadi fashion stylist model-model pilihanku dan Tristan. Karena selain dia bisa
mengambil jurusan psikologi (apa itu ada hubungannya") dan mahir dalam mengetahui
emosi orang lain, Alice juga seorang penata rias yang cukup ahli. Dia bahkan pernah
merias beberapa artis ternama, termasu Jennifer Anderson, kepala sekolah Hope
Academy yang dikabarkan menghilang itu. Tunggu. Ngomong-ngomong soal itu... apa
menghilangnya Jennifer Anderson dan keluarganya itu ada hubungannya dengan
Kazuto" "Aku punya ide untuk tema utama desainmu saat festival kelulusan nanti."
Katanya. "Oh ya" Apa itu?" tanya Tristan, yang tahu-tahu sudah duduk di sebelahku.
Alice mengambil kertas yang dipegang oleh Ruka dan sedikit mencoret-coret di atasnya,
lalu menyerahkan hasilnya padaku. "Bagaimana kalau seperti itu?" tanya Alice,
"Konsepnya alami, dan aku yakin, bakal banyak yang ingin memakai gaun rancanganmu
ini." Aku menatap kertas berisi rancangan gaun putih itu. Alice menambahkan aksen
seperti kancing double breasted pada bagian depan. Mungkin terlihat seperti jaket,
tapi... ada yang aneh. "Kenapa kamu harus menambahkan aksen kancing ini?" tanyaku.
"Elemen kejutan." Ujar Alice dengan senyum dan mata berbinar-binar. "Aku ingin kamu
membuatnya seperti ini." Aku menatapnya mengambil kertas itu lagi dari tanganku dan
mencoret-coret di bagian belakangnya. Oke, sekali lagi aku harus mengakui, walau
semua ide yang tertuang di kertas adalah ideku secara orisinal, tapi, Alice-lah yang
menambahkan aksesoris atau aksen-aksen yang tidak terpikirkan pada rancangan
setiap gaun desainku. "Nah, seperti ini." Alice menyerahkan kembali kertas itu. "Aku
ingin kamu membuatnya kelihatan elegan, anggap saja bagian atas ini adalah jas ketat
putih, dan di dalamnya adalah kamisol ketat putih. Untuk akses kamisolnya, kamu bisa
tambahkan beberapa kait dan sedikit renda, lalu..." Pembicaraan akhirnya hanya
Rukas Angel - Angelia Putri
berkisar antara aku, Alice, dan Tristan, yang sesekali melontarkan idenya. Ruka hanya
memberikan beberapa saran dan memilih 2 rancangan lagi yang menurutnya mendekati
tema bebas yang kuusung : prom night. Akhirnya, pembicaraan ini selesai juga. Setelah
menghabiskan bergelas-gelas teh, dan
Rukas Angel - Angelia Putri
setengah kaleng kue, pembicaraan ini selesai juga. Tentunya dengan rasa puas. Aku
menatap tiga lembar kertas rancangan gaun yang sudah kuperbaiki dan kumodifikasi
atas saran kedua sahabatku dan juga Ruka. Kazuto hanya diam dan tidak
mengomentari apa-apa. Baru kali ini aku melihatnya sangat diam, lebih diam dari
biasanya. "Huwaa... capeknya..." Tristan mengembuskan nafas sambil bersandar
pada punggung sofa. "Aku yakin, rancanganmu akan dikagumi dan mendapat nilai
tertinggi." "Terima kasih, aku juga berharap demikian." Kataku tersenyum lebar,
kemudian meminum tehku dengan nikmat. "Dan itu semua juga harus didukung oleh
Ruka sebagai modelku." "Aku akan berusaha..." kata Ruka tersenyum. "Aku tidak
pernah mengenakan kostum seperti itu sebelumnya. Jadi... mungkin aku perlu latihan
sedikit." "Tenanga saja, Ruka. Kamu punya bakat alami menarik perhatian orang-orang
di sekitarmu. Jadi, jangan khawatir kamu akan diacuhkan selama di panggung." Kata
Alice menyemangati. "Ya. Aura yang kamu bawa itu sangat menenangkan hati." Tristan
ikut menyahut, "Walau kamu kelihatannya dingin dan cuek, aku yakin, aura
menenangkan yang kamu bawa itu bisa mempengaruhi penampilanmu di catwalk."
"Terima kasih," Ruka lagi-lagi tersenyum. Dan senyumnya seakan menular kepada
kami. "Oh, aku harus segera pulang. Ini sudah malam," katanya sambil melirik jam
tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. "Kak Inoue, kapan aku harus kemari lagi?"
"Setiap hari." kataku, dan menerima tatapan kagetnya. "Tentu saja aku harus
menyesuaikan bahan-bahan untuk gaun rancanganku padamu dan juga aksesoris apa
saja yang cocok untuk dipadukan dengan gaun itu nantinya. Siapa tahu nanti aku
berubah pikiran dan malah menginginkan desain lain untuk kamu pakai." "Oh..." dia
manggut-manggut dengan wajah memerah. "K, kalau begitu... aku pulang dulu." "Kamu
pulang bersama Kazuto?" tanya Alice. Dan aku baru sara Kazuto masih berada di sini.
Karena dia tidak berbicara dan hanya diam saja, aku sampai melupakan
kehadirannya... tidak. Sebenarnya aku hanya pura-pura melupakan kehadirannya.
Karena aku masih bingung dan marah dengan pembicaraan kami barusan. "Aku yang
mengantarnya pergi, dan aku juga yang akan mengantarnya pulang." ujar Kazuto
dengan suara yang nyaris dingin seperti es. "Oh, begitu. Kalau begitu, jaga Ruka
baik-baik. Gadis secantik dia bisa menjadi incaran para lelaki liar di luar sana, lho..."
kata Alice sambil terkikik. Rasanya aku ingin menyumpal mulut pacar sahabatku ini
dengan kue sebanyakbanyaknya karena mengatakan hal yang cukup memalukan itu.
Kazuto tertawa mendengar gurauan Alice yang memalukan itu dan mengedikkan bahu.
"Aku selalu mengawasinya, kok. Tenang saja." Kata-kata itu... aku yakin, disindirkan
padaku. Tanpa sadar, mataku menyipit tajam padanya. "K, kalau begitu, kami pulang
dulu." Ujar Ruka cepat-cepat. "Sampai jumpa besok, Kak Inoue. Kalau aku harus datang
lagi besok, Kakak bisa mengirimiku pesan atau meneleponku saja." "Oke." Aku
memaksakan seulas senyum lebar, yang aku yakin akan terlihat aneh di matanya. Aku
mengantar mereka berdua ke pintu depan dan melihat Kazuto begitu posesif
menggandeng tangan Ruka. Sekali lagi, untuk ke sekian kalinya, aku menahan geraman
marah yang sudah berada di ujung lidah. "Mereka pasangan yang serasi, ya?" kata Alice
yang tahu-tahu berdiri di sebelahku, "Ruka cantik, dan Kazuto tampan... aku baru sadar.
Selama aku memperhatikannya, ada beberapa hal yang mirip antara kau dan Kazuto."
"Oh ya?" aku mengangkat alis dan berpura-pura apa yang dikatakan Alice terdengar
Rukas Angel - Angelia Putri
lucu di telingaku. Yang nyatanya tidak. Aku takut kalau sahabatku yang satu ini terlalu
jeli untuk melihat kemiripan yang tidak kentara di antara kami berdua. "Ya..." Alice
mengerutkan kening. "Mata kalian berdua mirip. Juga hidung dan garis wajah yang
tegas. Dan... ah, ya... sifat kalian ada yang mirip." "Sifat yang bagaimana?"
"Sama-sama menyukai Ruka." "Ap - " aku mengerjap kaget. Kali ini sungguhan. "Jangan
menyembunyikannya, Inoue. Aku tahu kamu suka dengan gadis itu." dia tersenyum
lebar, "Aku yakin, kamu akan berusaha merebut hatinya kelak. Kalau tidak sekarang,
mungkin nanti... bersaing dengan Kazuto itu." "Apa-apaan, sih" Ngaco saja kamu..."
kataku sambil berdeham, "Aku... menganggap Ruka seperti seorang adik, dan model
yang harus dijaga dari orang lain. Dia seperti... berlian terang di antara jerami."
"Benarkah" Kenapa aku melihatnya tidak seperti itu?" kata Alice terkekeh, karena
berhasil menggodaku. "Akui sajalah, Inoue sayang... kau punya perasaan padanya."
"Aku tidak - kenapa kamu suka sekali menggodaku, sih!?" *** Kazuto mengemudikan
mobilnya dalam diam ketika perjalanan pulang. Hari sudah gelap, dan aku merasa lelah.
Pembicaraan bersama Kak Inoue dan kedua temannya tadi cukup menguras tenaga
dan pikiranku tersita dari aura menakutkan yang dibawa oleh Kazuto. Tapi, ketika kami
hanya berdua seperti sekarang, entah kenapa, aku merasakan lagi aura menakutkan itu.
Dan hal itu membuatku sedikit merinding. "Kenapa?" tanyanya. "Tidak apa-apa. Aku
hanya kecapekan." Jawabku sambil menggeleng, "Sebaiknya kamu langsung
mengantarku pulang saja, dan kamu sendiri langsung pulang ke rumahmu." "Apa kamu
mengusirku?" "Tidak. Tapi, saat ini - " "Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke suatu
tempat." Selanya, "Dan aku mau kamu duduk manis sekarang, dan biarkan aku
mengajakmu ke sana." "Kita akan ke mana?" tanyaku. Dia menoleh menatapku dan
senyum tipis yang agak menakutkan itu membuatku merinding. "Kamu akan tahu nanti."
CHAPTER 11 Rasanya aku ingin kabur melihat senyum mengerikan di wajah Kazuto.
Sungguh. Aku benar-benar takut. Apalagi kalau dia sampai melakukan sesuatu padaku.
"Tidak perlu berpikiran yang macam-macam, Ruka." Katanya, "Jelas aku tidak punya
niat untuk mencelakaimu, atau membuatmu mati." "Lalu... apa yang ingin kamu
lakukan" Kita akan ke mana?" "Sudah kubilang, kamu akan tahu." Mobil kemudian
melaju lebih cepat. Dan aku makin khawatir dia akan membawaku ke mana. Perjalanan
ternyata cukup lama, dan perutku mulai sakit, menahan lapar. Karena sejak tadi siang
aku belum makan dan hanya makan kue-kue kecil di rumah Kak Inoue, sekarang aku
benarbenar lapar. Keadaan jalan terlalu lengang, kalau tidak mau dikatakan sepi.
Perasaanku mulai tidak enak. Apalagi aku tidak tahu Kazuto akan membawaku ke
mana. Mobil tiba-tiba berhenti. Dan aku sekilas mendengar suara air di dekatku. Di
mana ini" Keadaan di luar gelap, dan aku tidak bisa melihat apa pun.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ayo, kita keluar dan makan malam." Kata Kazuto sambil melepas sabuk pengamannya.
"Kita akan makan malam?" tanyaku. "Ya. Ayo, ikuti aku." Kami berdua keluar bersamaan
dan aku sempat merinding melihat kegelapan pekat di sekitarku. Aku paling benci gelap
karena aku sering bermimpi buruk tentang hal itu. Kemudian tangan Kazuto
menggenggamku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku bisa mencium aroma
parfumnya yang wangi dan maskulin. Aku mendongak menatapnya, agak sulit karena
gelapnya keadaan di sekitar sini. "Ayo," suaranya begitu lembut dan membuatku sedikit
lebih nyaman. Dengan arahannya, aku berjalan melewati kegelapan itu dengan
takut-takut. Selama berjalan, Kazuto tidak pernah melepasku, dan dia menggenggam
tanganku dengan erat, itu membuatku merasa nyaman dan... terlindungi. Tapi, aku
masih bisa merasakan aura menakutkan yang dibawanya. "Kita sudah sampai." Katanya
berhenti. "S, sampai di mana" Di sini masih gelap..." kataku. Suara gemerisik di dekatku
Rukas Angel - Angelia Putri
membuatku memekik kaget dan menyembunyikan wajahku di dada Kazuto. Ya
ampun... aku benar-benar malu sudah melakukan hal itu. Serius. "Kita sudah sampai,
kok." Ujarnya lagi, kemudian menjentikkan jari. Kemudian segalanya berubah terang,
dan aku harus melindungi mataku dari cahaya yang terlalu menyilaukan itu. Ketika
mataku sudah terbiasa dengan cahaya yang ada, aku yakin, mulutku ternganga melihat
apa yang ada di depan kami. "Taman bermain?" aku berhasil menggumamkan
keterkejutan di dalam benakku. "Kamu pikir aku akan membawamu ke mana?" tanyanya
dengan nada suara geli. Aku hanya menatapnya dengan ekspresi tidak menentu. Di
satu sisi, aku bingung kenapa dia mengajakku kemari. Di sisi yang lain, aku merasa
malu, kukira dia membawaku ke tempat yang tidak kutahu dan mungkin akan... Duh,
pikiranku jadi melantur, kan" Aku menatap taman bermain di hadapanku. Sinar-sinar
cerah dan berwarna-warni yang meneranginya sangat... indah. Ada bianglala, komedi
putar, cangkir teh raksasa, dan permainan lainnya. "Kenapa kamu membawaku ke
sini?" tanyaku. "Karena aku ingin mengembalikan ingatanmu." Jawabnya, "Bukankah
aku sudah bilang kalau aku akan membantumu mengembalikan ingatanmu?" Ah, ya...
aku lupa soal ucapannya yang itu. "Tapi, kenapa harus ke sini" Kenapa bukan... tempat
yang familiar untukku?" "Apa taman bermain ini tidak terasa familiar bagimu?" Aku
mengerutkan kening dan menatap taman bermain itu lagi. Dan kemudian, sekelebat
gambar muncul di benakku. Gambar-gambar yang rasanya tidak asing untukku. Aku
melihat anak kecil... dua anak kecil, sedang bermain di taman bermain ini, lalu... lalu...
"Ruka!" Aku mengerjap ketika aku baru sadar tubuhku limbung dan nyaris jatuh ke
tanah. Kazuto menahan pinggangku dan menggenggam tanganku. "A, aku kenapa?"
"Kamu nyaris pingsan..." katanya, "Apa kamu merasa pernah mengenal taman bermain
ini?" Kerutan di keningku semakin dalam, dan aku merasa aku akan jatuh pingsan lagi.
"Aku... ingin duduk." Kataku pelan. "Ke sini," Kazuto menuntunku ke salah satu bangku
panjang yang ada di dekat wahana permainan komedi putar dan mendudukkanku di
sana. Aku bersandar pada punggung bangku dan menghembuskan nafas. Kepalaku
seperti berdentam-dentam, dan tubuhku menggigil karena dinginnya hawa di sekitar
taman ini, apalagi karena pakaian yang kukenakan cukup terbuka. Hanya kaus lengan
pendek berwarna biru langit dan rok jins selutut. Lalu, aku merasakan ada sesuatu yang
menyelimuti bahuku. Aku mendongak dan meliaht Kazuto menyelimutkan jas yang
dipakainya padaku. "Kamu akan kedinginan." Kataku sambil menatap jasnya yang kini
tersampir di bahuku. "Aku laki-laki, jadi tidak masalah." Balasnya. "Lagipula kamu sendiri
kedinginan, kan" Pakai saja jas itu." Aku tidak berkata lagi ketika dia menyampirkan jas
itu semakin erat padaku. Aku hanay bisa menunduk dan mengangguk. "Terima... kasih."
Ujarku pelan. "Sama-sama." Katanya, kemudian mencium puncak kepalaku.
"Bagaimana kalau kita jalanjalan sebentar" Siapa tahu ingatanmu sedikit-sedikit akan
kembali." Ajakan itu sangat menggoda. Aku ingin tahu apa yang terjadi sebelum aku
berumur 5 tahun. Aku meraih tangannya yang terulur padaku. Dan kami berjalan-jalan di
taman bermain itu. *** Setelah Alice dan Tristan pulang, aku langsung mencoba
menelepon Kazuto. Aku ingin kami berdua bicara, secara pribadi. Pembicaraan
antarcowok. Tapi, ponselnya tidak bisa dihubungi dan selalu dijawab oleh mailbox. Sial.
Di mana kakakku yang gencar menyuruhku pulang itu" Apa dia bersama Ruka" Pikiran
itu membuatku ingin meninju apa saja yang ada di dekatku. Aku tidak bisa membiarkan
perasaan aneh ini terus menghantuiku. Aku mengambil jaketku dan mematikan lampu
ruang tamu. Lalu keluar untuk mencari Kazuto dan Ruka. Aku tidak memerlukan
transportasi. Karena dengan kemampuan telekinesis dan ketajaman kelima inderaku,
aku bisa dengan mudah melacak di mana mereka berdua. Ibaratnya, seperti aku punya
alat pelacak tersendiri. Aku berjalan - tidak, lebih tepatnya, berlari cepat, sambil
memeriksa ponselku. Tidak ada telepon masuk dari Kazuto. Dan aku makin yakin, dia
Rukas Angel - Angelia Putri
memang berada di tempat yang cukup jauh. Lagipula aku bisa merasakan
kehadirannya, karena kami lahir dari benih yang sama. Namun, ketika aku menyadari
bahwa jalan yang kulalui sekarang begitu lengang dan agak gelap, aku mulai melajukan
lariku, sembari mengerutkan kening. Tempat gelap ini... rasanya aku pernah melewati
tempat ini sebelumnya. Kemudian, aku melihatnya. Tidak jauh dari tempatku berdiri,
sebuah mobil berwarna hitam yang tidak kelihatan jika dilihat oleh mata orang awam,
tapi, mataku bisa melihatnya, terparkir di dekat sebuah jalan kecil yang mengarah ke
suatu tempat. Aku sempat melihat sesuatu yang lain di mulut jalan kecil itu. Dan aku
yakin, aku terkejut karena melihat sesuatu tersebut. Sebuah papan. Memang hanya
papan biasa, seperti papan penunjuk jalan atau papan iklan. Tapi, yang membuatnya
tidak biasa adalah tulisan yang hampir pudar dan tertulis di papan tersebut. Sadarlah
aku ke mana Kazuto dan Ruka pergi. *** Kazuto menunjukkan semua wahana
permainan yang ada. Komedi puter, bianglala, cangkir teh raksasa, dan yang lainnya.
Aku sempat mendapat gambar sepotong-sepotong di otakku, pertanda bahwa aku
mengenal taman bermain ini. Tapi, aku sama sekali tidak mengingat apa pun kecuali
dua anak kecil yang asyik bermain di taman bermain ini di dalam ingatanku. "Apa kamu
ingat?" suara Kazuto membuyarkan lamunanku. Kami berhenti di dekat salah satu
wahana permainan. "Kamu dulu sering naik bianglala dan juga komedi putar itu. Kalau
kamu tidak naik kedua permainan itu, pasti kamu akan menangis dan membujuk
orangtuamu agar mau Rukas Angel - Angelia Putri
memperbolehkanmu main." "Benarkah?" aku mengerutkan kening, berusaha
mengingat-ingat. "Ya." Kazuto tersenyum. "Waktu itu, aku disuruh orangtuamu untuk
menjagamu. Sangat sulit karena kamu selalu berteriak senang dan ingin mencoba
permainan yang lain." "Apa aku seaktif itu?" Kazuto tertawa dan tangannya memeluk
pinggangku makin erat. "Tentu saja." ujarnya, "Tapi, tidak apa, asal kamu senang. Itu
menjadi pemandangan yang bagus untukku." Wajahku pasti memerah akibat
kata-katanya. Kami lalu berjalan-jalan lagi. Kali ini Kazuto mengajakku menaiki
bianglala. Ketika kami naik, aku melihat sinar berkelap-kelip dari arah kota. "Apa taman
bermain ini ada di pinggir kota?" "Ini satu-satunya taman bermain yang dibangun oleh
keluarga Hoshihiko." Katanya sambil menatapku, "Taman bermain yang khusus dibuat
untukmu." "Kapan taman bermain ini dibuat?" "12 tahun yang lalu. Sesaat sebelum
kamu mengalami kecelakaan yang merenggut kedua orangtuamu dan kamu kehilangan
ingatan." Mendadak aku terdiam. Kecelakaan... apa itu berarti mimpi yang pernah
kulihat itu adalah kejadian nyata" Aku menatap Kazuto yang memandang kearah
gemerlapnya kota dari kejauhan. Kami sudah berada di puncak tertinggi bianglala ini,
dan aku melihat dengan jelas sinar lampu dari arah kota. Sangat gemerlap dan cantik.
"Kazuto," "Ya?" "Kamu bilang... 12 tahun yang lalu aku kecelakaan dan kehilangan
ingatan..." kataku, "Apa... apa kamu tahu saat kecelakaan itu aku menjatuhkan suatu
benda?" "Benda?" "Seperti... kalung" Kalung dengan rantai emas." Kataku, "Apa kamu
tahu itu?" Dia terdiam sebentar, kemudian menggeleng. "Tidak. Aku tidak tahu. Aku
hanya tahu kamu kecelakaan dan kedua orangtuamu tewas di tempat. Dan aku selalu
mengunjungimu ke rumah sakit sampai tiba-tiba kamu menghilang begitu saja." ujarnya.
"Ah, itu..." aku hanya mengedikkan bahu. "Aku tidak suka rumah sakit. Bau obat-obatan
di sana membuatku mual." Itu sebenarnya bohong. Tapi, aku tidak ingin menceritakan
hal yang sebenarnya pada Kazuto. Aku tidak mau dia tahu mengapa aku kabur dari
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah sakit waktu itu. "Hmmm..." dia manggut-manggut. Kami berdua sama-sama
menikmati pemandangan yang terhampar di hadapan kami. Aku menarik nafas dan
menghembuskannya perlahan. "Lagi-lagi seperti itu," Aku menoleh kearah Kazuto yang
Rukas Angel - Angelia Putri
menatapku tanpa berkedip. "Apa?" tanyaku bingung. "Setiap kali pasti begitu.
menghembuskan nafas seolah kamu lelah..." katanya agak merenung, "Kamu tidak
suka bersamaku?" "Bukannya aku tidak suka," kataku pelan, "Auramu... terlalu
menakutkan. Kamu selalu membawa aura yang menakutkan di sekitarmu. Dan itu
membuatku takut." "Takut?" dia mengerutkan kening, seolah terluka akibat ucapanku.
"Ya..." aku mengangguk, "Aku bisa merasakan aura orang lain di sekitarku. Entah itu
aura kemarahan, kesedihan, atau aura yang menakutkan seperti yang ada di
sekitarmu." "Menurutmu aku menakutkan?" "Sudah kubilang, auramulah yang
menakutkanku." Ujarku. "Kalau begitu, aku menakutimu?" "Kazuto..." "Aku tidak pernah
terbiasa dengan orang lain, bahkan dengan keluargaku sendiri." katanya. "Aku hanya
punya Kakek, dan seorang adik tiri yang tidak mau mengakuiku." "Adik tiri dan kakek?"
Wow. Itu hal yang baru kuketahui. "Ya. Kami adalah saudara seayah." dia mengangguk
dan kembali seperti sedang merenung, "Kami sering bertengkar lantaran berbeda
pendapat. Beberapa tahun yang lalu dia kabur dari rumah tepat setelah kematian ibu
kandungnya. Aku sering menghubunginya untuk kembali ke rumah, tapi tidak pernah
digubris." "Apa dia membencimu?"tanyaku lagi. "Apa dia tidak menyukaimu sebagai
kakaknya?" "Tidak... dia bukannya membenciku." Kazuto tertawa pelan, nyaris seperti
dengusan, "Tapi ayah kami. Dia membenci karena dia lahir dari seorang Hoshihiko. Dan
dia memutuskan untuk tidak berhubungan dengan keluarga Hoshihiko lagi setelah ibu
kandungnya meninggal. Harta yang ditinggalkan almarhumah ibunya memang cukup
untuk membiayai kehidupannya sampai dia bisa sukses dengan kemampuannya
sendiri." Dia mendengus lagi dan menunduk menatap kakinya. "Kalau dipikir-pikir,
sebenarnya aku iri dengan sifatnya yang bisa memberontak dan bisa bebas seperti itu.
Berbeda denganku yang selalu merasa terkurung di rumah. Sejak kecil, aku selalu
melihat adik tiriku bebas dengan keinginannya, sementara aku harus belajar cara
menangani perusahaan yang ditinggalkan ayah dan mengatur segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh beliau." Dia lalu mendongak dan menatapku. Tatapan matanya serius
dan membuatku sedikit salah tingkah. Jemarinya menyentuh tanganku,
menggenggamnya erat. "Tapi, kamu yang menyelamatkanku, Ruka." Katanya, "Kamu
yang menyelamatkanku dari jurang kesepian dan kamu juga yang membuatku
mensyukuri aku masih hidup sampai sekarang." "Aku... tidak melakukan apa-apa. Aku
bahkan tidak ingat siapa nama asliku." Kataku gelagapan, "Ingatanku hilang saat
berumur 5 tahun..." "Namamu memang Megumi Ruka." Sela Kazuto, "Itu adalah nama
aslimu." "Apa?" "Apa kamu tidak merasa kalau nama itu membuatmu merasa familiar"
Merasa pernah mendengar seseorang memanggilmu dengan nama itu sebelumnya?"
Tidak. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku ingin mengatakan itu, tapi tidak bisa. Lidah dan
mulutku seolah terkunci. Akhirnya aku hanya menggeleng pelan. "Aku tidak bisa
mengingatnya." Kataku. "Itu wajar. Kamu masih dalam tahap untuk mengembalikan
ingatanmu." Dia tersenyum, kemudian duduk lebih dekat di sampingku. Sebelah
tangannya mendongakkan daguku dan membuatku menatap mata hitam kelamnya yang
seolah memantulkan pantulan diriku. Aku nyaris yakin melihat pantulan diriku sendiri
dari kedua bola matanya. "Aku sudah lama mencarimu, Ruka." Katanya serak, "Sudah
lama... sejak kamu menghilang dari rumah sakit waktu itu. Aku selalu mencari dan
mencari..." Suaranya menghilang dan berganti dengan desahan serak yang sarat akan
emosi. Aku hanya bisa diam, lebih tepatnya, aku seperti terhipnotis oleh mata hitam
kelamnya. "Ruka, apa kamu percaya padaku?" "A, apa?" "Aku ingin kamu percaya
padaku, kalau aku bukan orang jahat." katanya, "Aku ingin kamu percaya, aku akan
membantu mengembalikan ingatanmu yang hilang, dan... percaya kalau aku
benar-benar akan menjagamu." Matanya menatap balik mataku, seolah hendak
menembus jiwaku. Jantungku berdetak kencang. Ya Tuhan... mata kelamnya itu...
Rukas Angel - Angelia Putri
"Kamu percaya padaku?" tanyanya lagi. Aku tidak yakin aku akan menjawab apa.
Tiba-tiba saja aura menakutkan di sekitarnya seakan lenyap, berganti dengan kesedihan
dan ketidak-berdayaan. "Ruka," Kazuto memanggil namaku dengan suara serak, "Kamu
percaya padaku, kan?" "A, aku... percaya." Kataku pelan. "Aku percaya..." Dia
tersenyum muram dan memelukku. Pelukannya erat. Dan membuatku nyaris
Rukas Angel - Angelia Putri
kehabisan nafas. Tapi, kemudian dia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan
sinar mata yang berbeda. Seperti sinar mata anak kecil yang sedih dan selalu sendirian.
"Kamu tidak akan pergi dariku lagi, kan?" "Kenapa aku harus pergi?" tanyaku. "Aku...
takut. Aku takut kamu akan pergi lagi dariku. Seperti waktu itu. Kamu menghilang begitu
saja dari rumah sakit, dan aku setengah mati mencarimu dan nyaris putus asa..." dia
menghela nafas, "Aku takut kehilangan dirimu lagi." Kata-kata yang diucapkannya
terdengar dalam dan membuatku menunduk. Entah karena malu atau terharu atas
ucapannya. "Aku tidak akan pergi. Kalau itu yang kamu takutkan." Kataku. "Aku tidak
akan pergi darimu." "Benarkah?" "Apa aku harus membuktikannya dengan sesuatu?"
tanyaku mengerutkan kening. Dia tersenyum dan mendekatkan wajahnya padaku.
"Kalau begitu, izinkan aku menciummu." Katanya, "Aku ingin... menciummu."
"Ap - tapi..." "Kumohon," dia meminta dengan suara yang serak dan membuatku harus
menelan ludah. Aku sadar posisiku tidak menguntungkan. Aku terjepit di antara dirinya
dan pintu bianglala yang kami naiki sekarang. Dan wajah kami sangat dekat. Lagi-lagi
aku menelan ludah. Astaga... aku tidak tahu situasi akan menjadi seperti ini. "Ruka,
kumohon..." suara Kazuto kembali menembus telingaku. Aku menatap matanya dan
mengangguk tanpa kusadari. Kazuto mengerjap melihat anggukan kepalaku, tapi
kemudian tersenyum lembut. Dia semakin mendekatkan wajahnya padaku, kemudian
bibirnya bersentuhan dengan bibirku, sebelum menciumku dengan lembut. ***
Firasatku ternyata benar. Tempat yang dikunjungi oleh Kazuto dan Ruka adalah taman
bermain yang dibuat khusus untuk anak perempuan yang pernah diceritakan Kazuto
sewaktu kecil. Aku ingat, dia sangat tergila-gila pada anak itu. Anak perempuan yang
menjadi sumber kebahagiaannya setelah Ayah meninggal. Aku menatap taman bermain
yang dipenuhi oleh cahaya. Wahana permainan yang menyala dan bergerak seolah
mengajak siapa pun yang berkunjung untuk ikut bermain dan menikmati mereka. Tapi,
aku sedang tidak ingin melakukannya, walau bermain di permainan cangkir teh raksasa
itu terasa sangat menggoda. Tapi, tidak. Aku harus menemukan Kazuto terlebih dulu,
untuk berbicara secara pribadi. Aku mengitari taman bermain itu. Menatap wahana
permainan yang sering disebut-sebut Kazuto sebagai kesukaan gadisnya. Gadisnya.
Bahkan sejak dia masih kecil, dia sudah menyebutkan anak perempuan sumber
kebahagiannya itu sebagai "gadisAku berhenti di dekat wahana bianglala, dan sadar
bahwa wahana permainan itu bergerak pelan. Mataku langsung mengarah keatas, ke
salah satu tempat tertinggi, dan aku melihatnya. Mereka berdua, Kazuto dan Ruka. Dan
dengan kemampuan indera-ku yang tajam, aku bisa melihat mereka berdua dengan
jelas. Dan aku juga melihat apa yang mereka lakukan di sana. Kazuto sedang mencium
Ruka. Dan gadis itu sepertinya tidak menolak. Keningku berkerut. Apakah Ruka yang
dimaksud Kazuto sebagai "gadismasih kecil" Pikiran itu terasa memberatkan otak dan
pikiranku. Aku hanya bisa menatap dari bawah sini. Menatap mereka berdua berciuman.
Dan meratapi apakah perasaan aneh yang mengusik hatiku ini berhubungan dengan
mereka berdua. Tiba-tiba ponsel yang kutaruh di saku celanaku bergetar. Aku segera
mengeluarkan ponselku dan melihat nomor tidak dikenal tertera di layarnya. Nomor
siapa ini" *** Kazuto melepaskan ciumannya dan tersenyum padaku. Dia kembali
memelukku dan wajahku tenggelam di lekukan lehernya. Aku mencium aroma itu lagi.
Rukas Angel - Angelia Putri
Aroma maskulin yang kusadari bercampur dengan aroma vanilla lembut. "Aku senang
kamu memercayaiku." Katanya. "Aku senang, akhirnya kamu kembali lagi padaku." Aku
hanya mengangguk pelan. "Aku berjanji, tidak akan ada yang akan menyakitimu."
Janjinya, "Aku akan pastikan hal itu." Dia melepaskan pelukannya dan mencium pipiku.
Aku berjengit ketika dia melakukannya. "Rupanya kamu masih tidak terbiasa dengan
sentuhanku, ya?" dia tertawa. "Kurasa aku harus membuatmu terbiasa kalau aku sering
mengambil kesempatan untuk mencium atau memelukmu nanti." Aku mendelik padanya
sementara dia hanya tertawa. Yah... aura menakutkannya kembali lagi memang, tapi
tidak sekuat sebelumnya. Bianglala ini kembali bergerak, dan kami dibawa turun ke
bawah. Kazuto membukakan pintu untukku dan mempersilakan aku keluar lebih dulu.
Udara malam yang dingin tidak terlalu menusuk tulang karena aku memakai jas milik
Kazuto di tubuhku. Sambil melingkarkan tangannya di pinggangku, Kazuto tersenyum.
"Bagaimana kalau kita makan malam sekarang" Aku yakin, kamu juga sudah lapar."
Katanya. Setelah pernyataannya di dalam bianglala tadi, dan juga semua kejadian hari
ini, tentu saja aku kelaparan. Aku mengangguk menanggapi ajakannya, dan
membiarkannya menuntunku ke tempat lain di taman bermain ini. CHAPTER 12 "Apa
yang kau inginkan?" ujarku pada penelepon yang dengan berani meneleponku di saat
seperti ini. "Aku tahu kamu tidak akan menerima telepon dari Kazuto, jadi aku memakai
nomor ini untuk menghubungimu." Suara seorang wanita yang dibuat semanis mungkin
itu membuatku muak. "Karena aku sudah berhasil mendapat perhatianmu, aku ingin
meminta satu hal darimu, Inoue." Ujarnya lagi. "Aku ingin kamu kembali padaku."
"Dalam mimpimu, Lucia. Apa kamu lupa kalau aku tidak pernah menyukai atau
mencintaimu?" kataku geram, "Dan jangan mencoba merayuku dengan suara manismu
itu. Tidak akan berpengaruh lagi untukku." Lucia tertawa kecil di seberang sana. Suara
tawa yang dibuat segenit mungkin. Huh. Dia pikir dia bisa menarik hatiku dengan suara
dan kata-katanya yang manis tapi tersirat banyak makna itu" Tidak akan. "Apa sekarang
kau mengakui pesonaku?" "Tidak. Dan aku merasa aku tidak akan bisa terpesona oleh
wanita yang mengaku-aku sebagai bagian dari keluarga terhormat jika yang diincarnya
hanyalah harta dan kekuasaan." Sepertinya kata-kataku begitu menohoknya sampai
Lucia terdiam begitu lama. Ketika bersuara lagi, nadanya tidak semanis sebelumnya.
"Inoue, kita sudah bertunangan. Ditunangkan sejak kecil." Katanya lambat-lambat, "Dan
aku tidak bisa menerima kalau kamu menolakku mentah-mentah. Setidaknya, beri aku
kesempatan untuk mengambil hatimu yang keras dan dingin itu dengan perhatianku."
Ugh. Maaf saja. Aku sedang sibuk kuliah dan mengejar cita-citaku. Kataku dalam hati.
Rukas Angel - Angelia Putri
Tentu saja aku tidak mengatakannya secara terang-terangan. "Maaf. Masa berlaku
bagimu untuk menaklukkan hatiku sudah habis sejak lama. Jadi, kurasa, sebaiknya
kamu menyerah, Lucia." Kataku, "Aku harus pergi. Jangan pernah hubungi aku lagi atau
kau akan menyesal nantinya." Aku menutup telepon dan tidak mengindahkan suara
Lucia yang hendak berbicara lagi. Kuhembuskan nafasku dengan berat. Kutatap
ponselku dan segera kumasukkan benda itu ke dalam saku celanaku. Tanpa sadar, aku
mengkertakkan gigi lantaran teringat Lucia. Hayashima Lucia. Gadis yang setahun lebih
tua dariku itu adalah tunangan yang ditunangkan denganku sejak aku kecil, atau bahkan
sebelum aku lahir ke dunia. Lucia memang gadis yang cantik, memikat. Dengan rambut
panjang coklat sepunggung dan kulit putih dan mulus, siapa yang tidak tertarik
padanya" Dia cantik dan baik pada orangtua, dan aku sempat tertarik untuk
meneruskan pertunangan hingga ke jenjang yang lebih serius ketika saat itu aku masih
anak-anak dan polos. Sayangnya, sejak awal pertemuan kami 12 tahun yang lalu, aku
mengubah persepsiku tentang dirinya. Dan walau saat itu aku masih kecil, masih
Rukas Angel - Angelia Putri
berusia 8 tahun, aku bisa membedakan mana wanita yang baik dan mana yang jahat.
Lucia masuk ke dalam kategori wanita yang jahat karena dia ternyata memiliki pikiran
yang licik dan juga haus akan harta. Kedua orangtuanya memang kaya, menurut ibuku
dulu, termasuk keturunan bangsawan. Tapi, sifatnya tidak seperti layaknya seorang
keturunan bangsawan. Dan aku sudah membencinya sejak awal. Dulu, aku pernah
menolak pertunangan itu ketika aku dan Lucia sudah selesai bertemu. Tapi, ibuku hanya
diam dan mengatakan semua itu tergantung keputusan ayahku. Ayah kandungku,
Hoshihiko Murone. Dan ayahku tidak mengizinkanku membatalkan pertunangan.
Mungkin salah satu dari sekian banyak alasan kenapa aku melarikan diri dari keluarga
Hoshihiko adalah karena kekeraskepalaan ayahku dan ketidak-berdayaan ibuku atas
kehendak dan kemauan ayah. Dua hal yang membuatku marah dan akhirnya
memutuskan meninggalkan semua kekayaan Hoshihiko dan hidup dari harta
peninggalan ibuku sampai aku kuliah seperti sekarang. Kuhembuskan nafas sekali lagi,
meratapi kehidupanku yang cukup sulit ini. Mungkin bagi Kazuto, aku terlihat bebas
melakukan apa saja. Bisa bebas bergaul dengan orang lain yang mungkin tidak
sederajat dengan keluarga Hoshihiko. Tapi, apa dia tidak sadar, bahwa akulah yang
paling menderita karena harus menanggung luka hati ibuku akibat perbuatan ayah di
masa lalu" *** Ketika aku kembali lagi ke wahana bianglala itu, Kazuto dan Ruka
sudah tidak ada. Aku sempat berpikir kalau mereka sudah pulang ketika aku mendengar
suara lirih di salah satu restoran kecil di dekat sini. Aku mengikuti asal suara itu dan
melihat mereka berdua di sana sedang menyantap steak dan sedang tertawa bersama.
Ah. Lagi-lagi perasaan aneh itu menyeruak. Apa yang sebenarnya terjadi denganku"
Kulihat Kazuto yang sekarang menampakkan raut wajah ceria. Sangat berbeda dari
Kazuto yang pernah kukenal selama ini, yang terkesan dingin dan mengimintidasi,
ternyata bisa tersenyum dan tertawa bersama seorang gadis bernama Ruka.
Pandangan mataku langsung teralih pada gadis itu, yang sedang menyantap steak di
hadapannya sambil tersenyum kecil. Senyum yang mungkin bagi orang lain adalah hal
yang biasa bagi gadis secantik dan sehalus Ruka. Tapi, bagi Kazuto, mungkin juga
bagiku, itu adalah senyuman paling manis yang pernah ditunjukkan olehnya. Ah...
kenapa harus Kazuto yang duduk di sana bersama Ruka" Tiba-tiba aku merasa seperti
penguntit yang sedang menunggu kesempatan untuk menghancurkan mereka berdua.
Sebaiknya aku pergi, kalau tidak, mungkin Ruka atau Kazuto akan menyadari kalau aku
mengawasi mereka dari kejauhan. Kutatap lagi Ruka yang sedang terpana dengan
perlakukan Kazuto mengelap sudut mulutnya dengan serbet. Hatiku lagi-lagi seakan
mencelos dari tempatnya. Sebaiknya aku pergi dari sini secepatnya kalau tidak mau
pemandangan di hadapanku membuatku frustasi. Dan aku menekankan pada diriku
sendiri, aku tertarik pada Ruka karena bakatnya sebagai model. Bukan seorang gadis
yang mungkin bisa mencuri hatiku dengan mudahnya. *** Kak Inoue" Aku menoleh lagi
keluar kaca jendela restoran yang bening dan dihiasi ukiran bunga-bunga di sebelahku.
Keningku berkerut. Aku yakin tadi melihat sosok Kak Inoue di kejauhan. Di dekat tiang
lampu di sebelah wahana komedi putar. Aku sangat yakin itu tadi Kak Inoue... "Ada apa,
Ruka?" tanya Kazuto. "Tidak ada apa-apa." aku menggeleng dan melanjutkan makanku.
"Aku hanya merasa... tadi ada seseorang yang mengawasi dari sana, di dekat wahana
komedi putar itu." "Oh ya?" dia menaikkan sebelah alis dan melihat kearah tempat yang
kuperhatikan barusan. "Mungkin itu salah satu fans-mu" Kamu model terkenal, kan?"
"Belum terlalu terkenal. Aku masih anak baru." Kataku. "Tapi, akan jadi terkenal, karena
sebentar lagi orang-orang akan tahu kamu kekasihku, tunanganku." Kazuto tersenyum,
kemudian meminum anggur di gelasnya. Aku hanya mengedikkan bahu dan meminum
anggur merah yang disediakan untukku. Memang usiaku belum mencukupi untuk minum
anggur. Tapi, Kazuto memastikan bahwa anggur merah yang disuguhkan untukku
Rukas Angel - Angelia Putri
bebas alcohol dan tidak akan membuatku mabuk. "Setelah ini aku akan mengantarmu
pulang." ujarnya. "Aku yakin besok kamu akan sibuk. Sekolah, pemotretan, dan lain
sebagainya. Iya, kan?" Aku mengangguk. Kulirik Kazuto yang menikmati hidangan di
hadapannya dengan nikmat. Sesaat yang lalu, dia masih kelihatan menakutkan di
mataku. Kemudian, dengan mudahnya, pendapat itu berbalik 180 derajat ketika dia
tertawa dan tersenyum penuh perhatian padaku. Apakah senyum sinis dan beberapa
perlakuan tidak sopannya itu karena sudah menjadi kebiasaannya" Atau itu hanyalah
caranya agar aku kembali mengingat masa kecilku" Sepertinya dia tahu aku
menatapnya diam-diam. Dia mendongak dan membuatku salah tingkah karena
kepergok menatapnya secara diam-diam seperti tadi. "Kalau kamu mau menatapku,
seharusnya tidak perlu diam-diam." Dia terkekeh. Aku memberengut padanya, kemudian
teringat sosok yang tadi kupikir adalah Kak Inoue. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa
berada di sini, atau mengetahui kami berdua ada di sini. Apa yang tadi itu benar-benar
Kak Inoue" Kalau iya, kenapa dia tidak kemari dan menyapa kami" "Kamu melamun
lagi," suara Kazuto membuyarkan lamunanku. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" "Aku
tidak memikirkan apa-apa." balasku. "Kurasa aku sudah kenyang. Kita pulang sekarang,
ya?" Kazuto meminum anggurnya sampai tandas, kemudian berdiri. "Tentu. Ayo, kita
pulang, Tuan Putri." Katanya sambil meraih tanganku dengan gerakan anggun. ***
Pulang ke rumah, aku langsung mengambil makanan untuk Kitty dan berjalan ke
kamarku. Kucing kecil itu langsung melompat kepadaku dan mengeong manja. "Hai
juga, kucing manis..." kataku sambil tertawa ketika dia menaiki pundakku. "Kamu
ternyata aktif juga. Ayo, aku akan menuangkan makanan untukmu." Aku mengambil
mangkuk makanannya dan mengisinya dengna makanan khusus kucing. Kitty langsung
melompat ke lantai dan memakan makanannya dengan lahap. Aku tersenyum dan
mengembalikan kantong makanan itu kembali ke bagian bawah lemari makanan.
Rukas Angel - Angelia Putri
Setelahnya, aku bersiap-siap untuk mandi berendam seperti biasa. Kulirik jam di dinding
sudah menunjukkan pukul 1 malam. Jadi... sudah berapa lama aku dan Kazuto berada
di taman bermain itu" Kugelengkan kepalaku dan bersiap-siap mandi. Mandi akan
membuat tubuh dan pikiranku lebih baik. *** Ketika di sekolah, aku menyadari semua
orang menatapku sambil berbisik-bisik. Ketika aku menoleh, mereka langsung terdiam
dan menunduk dengan canggung. Aneh. Ini tidak seperti biasanya, yang kalau aku
datang, pasti tidak akan disambut dengan bisikan-bisikan lirih seperti ini. Bukan berarti
mereka menyambutku seakan aku ini artis terkenal. Tapi, tetap saja, kondisi ini agak
aneh. "Nona Megumi Ruka," Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Seorang guru
mendatangiku dan kelihatannya wajah beliau agak pucat. Ada apa" "Kepala sekolah
memanggilmu." Ujar guru itu ketika sudah sampai di hadapanku. "Beliau ingin bertemu
secara pribadi denganmu." "Kepala sekolah?" aku mengerutkan kening dengan tatapan
bingung. "Kepala sekolah Jennifer Anderson." Deg. Nama itu, kan... "Ah, ya... baiklah."
aku mengangguk. "Di mana aku harus menemui beliau?" "Di ruangannya di lantai 3.
Cepatlah. Beliau sudah menunggu." ujar guru itu lagi, kelihatan takut alih-alih tidak balas
menatapku dan langsung pergi begitu saja. Aku memutuskan akan segera menemui
kepala sekolah. Jennifer Anderson. Sial. Aku lupa kalau nama ibu angkatku juga
Jennifer Anderson. Dan aku melupakan satu kenyataan bahwa ibu angkat yang
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangkatku sebagai anak dan memberi nama Emilia adalah Jennifer Anderson si
artis terkenal yang menjadi diva di dunia hiburan. Dan... memiliki sekolah ini. Kenapa
aku bisa melupakan hal sekecil itu" *** Aku menatap pintu lebar yang terbuat dari kayu
terbaik dan memiliki tombol pintu ala Eropa yang sangat elegan. Perasaan gugup
melandaku. Apakah Jennifer Anderson tahu bahwa aku adalah anak angkatnya yang
Rukas Angel - Angelia Putri
menghilang 5 tahun lalu" Tapi, tidak mungkin. Saat menyamar menjadi Emilia, aku
mengecat rambutku menjadi pirang dan mengenakan contact lens berwarna biru pekat
agar terkesan bahwa aku setengah Eropasetengah Asia. Sekali lagi, kuhembuskan
nafasku pelan-pelan, mencoba menenangkan perasaan gugupku. Dan dengan mantap,
kubuka pintu di hadapanku dan masuk. Ketika berada di dalam ruangan itu, aku sempat
terkagum-kagum dengan interior-nya yang minimalis, namun terkesan anggun dengan
dinding yang dicat warna merah muda nyaris putih, dan perabotan yang terbuat dari kulit
dan bulu yang halus berwarna putih. Dan kemudian, aku melihatnya. Sang Diva yang
dikabarkan menghilang bersama keluarganya sejak kepergianku. Sekarang beliau
duduk di balik meja kerjanya yang dipelitur dengan warna coklat lembut. Rambut
pirangnya digelung agak tinggi di belakang lehernya. Dan mata biru pekatnya
menatapku dengan senyuman kasih seorang ibu. "Emilia," katanya sambil berdiri, lalu
berjalan dan merengkuhku. "Aku merindukanmu, nak..." Jadi, dia sudah tahu bahwa aku
adalah Emilia. Dan aku tidak bisa mengelak lagi, kalau begitu. Kubalas pelukan beliau
dan menghembuskan nafas. Sudah berapa lama aku tidak merasakan dipeluk seorang
ibu" Beliau melepaskan pelukannya dan tersenyum padaku. "Kukira aku tidak akan
pernah bertemu dengnamu lagi." ujar beliau. "Ibu kangen sekali padamu." "Aku... juga."
Kataku, "Maaf, kalau aku kabur dari rumah." Beliau menggelengkan kepalanya sambil
tersenyum. "Ibu tahu kamu selalu bergonta-ganti identitas. Ibu sudah mengetahuinya
sejak lama. Bahkan nama aslimu, Ruka." Ucapan itu nyaris membuatku melongo. Dari
mana beliau tahu - "Bagaimana Ibu bisa tahu?" tanyaku, mengungkapkan
keterkejutanku. "Tentu saja Ibu tahu, sayang." Kata beliau, "Ibu tahu karena Ibu diberi
kepercayaan oleh seseorang untuk menjagamu." "Siapa?" "Ibu kandungmu, Megumi
Ayano." Beliau tersenyum penuh kasih, "Dan, sebenarnya, aku adalah bibimu." ***
"Bibiku?" Beliau mengangguk. "Aku bibimu. Ibumu, Ayano, adalah adik iparku." "Adik
ipar?" aku seakan membeo kata-kata beliau dan membuatnya tertawa. "Ayo, kita duduk
dulu, lalu bicara." Aku duduk di sofa lembut itu dan memperhatikan ibu angkatku itu
menuangkan secangkir teh untukku. Beliau juga menyiapkan dua paket gula dan susu.
Rupanya beliau masih ingat aku suka teh susu yang manis. "Terima kasih," kataku
sambil tersenyum. Beliau lalu duduk di hadapanku dengan gerakan yang anggun.
Kemudian berdeham. "Seperti yang kukatakan tadi, aku adalah bibimu." Beliau mulai
berbicara, "Ayano, ibu kandungmu, adalah adik iparku yang menikah dengan adik
laki-lakiku, Stevan. Sebelum menikah, Stevan dulunya adalah sutradara video music
terkenal, dan aku beberapa kali menjadi model video music yang digarapnya bersama
artis lain. Saat itulah dia bertemu dengan ibumu. "Ayano memang bukan artis atau
penyanyi, tapi Ayano adalah seorang wanita yang hidup sendiri dalam kemandirian yang
membuat Stevan jatuh cinta. Ayano dulu seorang fashion stylist yang bekerja pada
seorang model video music yang disutradai oleh Stevan. Dari situlah awal hubungan
mereka..." Aku mendengarkan apa yang dikatakan Ibu dengan perasaan tidak menentu.
Cangkir teh di tanganku seakan berhenti dari perjalanannya menuju bibirku untuk
menikmati teh susu manis yang menggiurkan. "Hubungan mereka berlanjut serius dua
tahun kemudian. Stevan melamar ibumu, lalu mereka menikah. Kehidupan mereka
menjadi lebih bahagia ketika kamu lahir." beliau tersenyum padaku, "Kamu bayi
perempuan mungil paling cantik yang pernah kulihat. Saat itu, aku baru saja pulang dari
bekerja ketika ayahmu meneleponku untuk menemani istrinya yang akan melahirkan.
Aku menyanggupi, dan tidak sia-sia semua yang kedua orangtuamu perjuangkan
untukmu. Kamu adalah bayi yang beruntung, lahir dari keluarga yang penuh kasih
sayang. "Tapi, semua itu ternyata ada harganya." Wajah beliau tiba-tiba berubah
mendung. "Tanpa sepengetahuanku dan keluarga besar Megumi, ayahmu menyanggupi
permintaan ayah ibumu, yang maksudnya adalah kakekmu, untuk memberikanmu di
Rukas Angel - Angelia Putri
usia yang ke-17 tahun untuk ditunangkan dengan cucunya yang lain. Ayahmu
menyanggupi permintaan tersebut sebagai syarat ia bisa menikahi ibumu. Saat kamu
lahir, ayahmu memintaku untuk menjagamu, jika sampai terjadi sesuatu pada mereka
apabila tidak menyanggupi permintaan itu nantinya." Pikiranku kembali melayang pada
mimpi itu. Mimpi di mana kedua orangtua kandungku kecelakaan. Mendadak perasaan
tidak enak melingkupiku dan membuatku semakin tegang ketika mendengarkan cerita
selanjutnya. Rukas Angel - Angelia Putri
"Sehari sebelum hari ulang tahunmu, kakekmu, dan juga seorang bocah laki-laki yang 3
tahun lebih tua darimu datang ke rumah dan memohon pada kedua orangtuamu untuk
membawamu jalan-jalan bersama bocah laki-laki yang ternyata adalah cucunya yang
lain. Bocah laki-laki itu sangat tampan, mewarisi darah kakekmu. Beliau mengajak kalian
berdua jalan-jalan. Waktu itu, orangtuamu sempat cemas karena takut kamu akan
dibawa pergi. Ibumu memintaku untuk mengawasi mereka karena kebetulan aku punya
kenalan detektif swasta yang bisa dimintai tolong untuk membuntuti kakekmu. Laporan
yang diberikan cukup melegakan karena beliau hanya membawamu dan bocah laki-laki
itu ke taman bermain." Beliau menghela nafas dan meminum teh yang ada di
hadapannya. "Tapi, peristiwa yang sebenarnya terjadi tepat di hari ulang tahunmu yang
ke-5. Kedua orangtuamu ingin mengajakmu pergi ke tempat wisata favorit mereka.
Namun di tengah perjalanan, mobil yang dikemudikan ayahmu mengalami kecelakaan.
Rem mobil itu disabotase, dan membuat ayahmu melewati batas kecepatan yang
diharuskan, dan menabrak mobil di depannya, dan mengalami kecelakaan beruntun.
Kedua orangtuamu tewas di tempat, sementara kamu mengalami luka parah dan harus
dirawat selama berbulan-bulan..." Mendadak kepalaku terasa pening. Apa yang
diceritakan Ibu tadi... sama persis dengan mimpiku. Bukan sama. Tapi, memang itu
yang terjadi. "Emilia" Kamu tidak apa-apa?" beliau menatapku khawatir ketika aku
mendesis kesakitan. "T, tidak apa-apa..." aku menggeleng, "Lanjutkan, Bu." "Aku
langsung pergi ke rumah sakit tempatmu dirawat, dan mendapat kabar kalau kedua
orangtuamu tewas, itu membuatku syok dan langsung menyalahkan keluarga pihak
ibumu, terutama kakekmu." Beliau menghela nafas dengan berat, seolah mengingat
masa-masa yang tidak menyenangkan, "Saat itu juga, aku pergi ke rumah kakekmu dan
langsung mengatakan pada beliau untuk tidak mendekatimu lagi. Aku mengancamnya,
dan itu... salah satu kesalahan terbesarku." "Kesalahan terbesar?" aku mengerutkan
kening, "Kenapa" Bagaimana bisa?" Beliau tertawa sedih sebelum melanjutkan,
"Kakekmu mengancamku balik akan menjauhkanmu dariku. Bila tidak bisa dilakukan
dengan cara baik-baik, beliau akan memakai cara kekerasan. Apa pun agar bisa
menjauhkanmu dariku. "Walau saat itu aku masih muda untuk mengerti bahwa ancaman
beliau sungguhan. Aku sebisa mungkin membuatmu tidak terdeteksi oleh orang-orang
suruhannya. Tapi, tetap saja... aku tidak bisa menyembunyikanmu dengan mudah.
Orang-orang suruhan kakekmu tahu di mana rumah sakit tempatmu dirawat, dan
mendatangimu diam-diam. Lalu, ketika kamu sadar, kamu langsung menghilang begitu
saja. Saat itu aku sadar, ancaman kakekmu menjadi kenyataan. "Selama 5 tahun aku
mencarimu ke mana-mana. Bahkan sampai aku sudah berkeluarga dan mendirikan
sekolah ini. Ketika aku menemukanmu di panti asuhan, dengan rambut pirang dnegan
bola mata biru waktu itu... aku tahu kamu adalah keponakanku. Walaupun kamu
berusaha menutupinya dengan menyamar, aku tahu. Karena itu, aku langsung meminta
pada ibu pengurus panti agar kamu menjadi anak angkatku, dengan nama Emilia.
Selama 2 tahun, aku berusaha menyembunyikanmu dari kakekmu. Tapi, kamu malah
kabur dan membuat apa yang sudah kulakukan tercium oleh kakekmu." Mendadak aku
Rukas Angel - Angelia Putri
jadi malu. Teringat saat aku kabur dari rumah beliau dan kembali menggunakan
identitas lain agar tidak dilacak. "Maaf, kalau soal itu..." rasanya aku kehilangan
kata-kata. Saking malunya. "Tidak apa-apa, sayang." Beliau tersenyum, "Tapi, asalkan
kamu selamat sekarang, itu tidak masalah." Aku mengangguk pelan. "Lalu... kenapa
waktu itu Ibu menghilang" Tidak apa-apa, kan, kalau aku memanggilmu Ibu?" "Tidak
apa-apa. Aku malah senang kamu tetap memanggilku dengan sebutan ibu." Jawab
beliau, "Aku menghilang waktu itu karena... kakekmu mulai mengancam keluargaku.
Aku harus bersembunyi untuk beberapa saat untuk menghindari bahaya." "Apakah
bahaya yang Ibu maksud... dari kakekku?" tanyaku. Beliau mengangguk. Mataku
langsung menunduk. Jadi... itu alasan kenapa Ibu dan keluarganya bersikap protektif
padaku dulu. Karena mereka takut aku akan diambil paksa oleh Kakek lalu ditunangkan
dengan cucunya yang lain. "Tapi, sepertinya kakekmu tidak menemukanmu sampai
sekarang. Dan kamu berada di sini." Ibu tersenyum. "Waktu mendengar ada murid yang
ciri-cirinya persis seperti keponakanku, aku langsung terbang kembali ke kota ini dan
menyuruh salah seorang guru untuk mengatur pertemuanku." "Jadi, itu alasan kenapa
guru tadi begitu ketakutan berhadapan denganku." aku manggutmanggut. "Lalu... apa
Ayah dan Kak Teresa baik-baik saja?" "Mereka berdua baik-baik saja. Bahkan mereka
tidak sabar untuk bertemu denganmu." ibu tersenyum, "Apalagi Teresa, dia sudah tidak
sabar ingin mendandanimu lagi seperti dulu." "Ah, ya... permainan salon-salonan itu."
aku tertawa, "Aku juga merindukan masa-masa itu." "Emilia... boleh Ibu masih
memanggilmu Emilia?" "Tentu boleh. Ibu sendiri juga memperbolehkanku memanggil
dengan sebutan ibu, kan?" kataku sambil tersenyum. Beliau juga ikut tersenyum dan
setitik airmata mengalir di wajahnya. "Ibu benar-benar takut kalau kamu sampai
kenapa-napa. Ibu benar-benar bersyukur sekarang kamu ada di sini dan tidak kurang
suatu apa pun." "Aku juga... senang bertemu Ibu lagi." aku membalas ucapan beliau,
"Aku minta maaf sekali lagi karena aku kabur dari rumah." "Tidak apa-apa, sayang...
tidak apa-apa. Asalkan kamu baik-baik saja, itu sudah cukup." Ujar beliau, "Ibu juga tahu
kamu bekerja sebagai model. Dan kamu menjalaninya dengan baik." "Ibu tahu?" "Tentu
saja. Kamu anak Ibu, kan?" beliau tertawa pelan. "Ibu rasa... kamu harus segera ke
kelas. Kalau tidak, kamu akan ketinggalan pelajaran." Aku mengerjap dan melihat jam
tanganku. Ternyata sudah 2 jam aku berada di ruangan ini dan mendengarkan cerita
Ibu, sampai aku lupa waktu. "Benar juga..." aku mengangguk, "Kalau begitu, aku akan
pergi ke kelas. Dan... Bu," "Ya, sayang?" "Apa... aku ingin tahu... siapa nama kakekku,
dan juga bocah laki-laki yang menurut Ibu adalah tunanganku itu." kataku. Entah
kenapa, aku sangat ingin mengetahuinya. Menurutku, kalau aku tahu seperti apa
identitas kakekku itu, aku bisa dengan mudah "menghilangbersembunyi dari beliau jika
suatu saat beliau datang dan memaksaku ikut dengannya. Wajah Ibu kelihatan terkejut,
tapi, beliau segera menguasai diri. "Tentu. Tunggu sebentar," Beliau berjalan kearah
mejanya dan mengambil sesuatu di sana. "Di dalam map ini berisi data-data mengenai
kakekmu, dan juga tunanganmu." Katanya. "Ibu berikan ini padamu, karena Ibu rasa,
kamu akan membutuhkannya." Aku menerima map itu dan mengangguk. "Aku akan
memastikan aku tidak akan mudah ditemukan oleh Kakek." Ujarku. "Aku janji." Ibu
mengangguk dan merengkuhku lagi dalam pelukannya. Aku membalas pelukan beliau
sambil mendesah lega. Aku rindu pelukan seorang ibu seperti ini. CHAPTER 13 Ketika
aku sampai di kelas, semua orang langsung memandangku, termasuk guru yang
sedang mengajar di depan kelas. Beliau kelihatannya kaget aku akan masuk kelas dan
memperbaiki letak kacamatanya dengan sedikit gemetar. "Maaf aku terlambat, Pak. Tadi
aku pergi ke ruang kepala sekolah." Ujarku. "Ah, ya, ya... si, silakan duduk di
bangkumu. Kita akan melanjutkan pelajaran." Aku lalu duduk di bangkuku dan langsung
mengeluarkan buku pelajaranku. Sempat
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel - Angelia Putri
kudengar masih ada yang berbisik-bisik tentang aku. Kuhembuskan nafasku
perlahan-lahan dan mulai berkonsentrasi pada pelajaran. Aku tidak akan mengindahkan
bisikan-bisikan lirih mereka untuk saat ini. *** "Ruka," Aku mendongak dari buku yang
kubaca dan melihat Julia berdiri di sampingku sambil tersenyum. "Kamu masih mau
menjadi model untuk perwakilan dari kelas kita, kan?" tanyanya, langsung pada intinya.
"Aku sudah bilang aku tidak ingin mengikuti kegiatan di pentas seni itu." jawabku sambil
mengerutkan kening. "Kan aku sudah bilang juga kalau - " "Kak Alice bilang padaku,
kalau kamu akan menjadi model Kak Inoue, temannya di kampus." Sela Julia, "Masa
kamu mau menjadi model Kak Inoue sementara untuk kelasmu sendiri saja tidak mau?"
Uh-oh... aku lupa kalau Julia adalah adik Kak Alice. Dan pasti, Kak Alice menceritakan
kesediaanku membantu Kak Inoue dalam peragaan busana di festival kelulusannya.
Seharusnya aku juga memikirkan kemungkinan kalau Julia akan mengetahui hal
tersebut. Kadang, aku lupa hal kecil seperti itu. "Ayolah, Ruka... ikut, ya" Kumohon..."
Aku menatapnya, dan dia lagi-lagi menggunakan tatapan memelas yang paling imut
yang bisa dia lakukan. Tapi, seperti yang pernah kukatakan, aku kebal dengan tatapan
seperti itu. Dan aku jelas akan menolak kalau saja semua anak di kelasku tidak
menatapku. Entah kenapa, kali ini mereka menatapku dan Julia, seolah ingin tahu dan
ingin mendengar apakah ada gossip yang bisa mereka jadikan bahan pembicaraan.
"Ruka, ayolah... hanya kali ini saja, kok." Pinta Julia lagi, "Ya" Ya" Please..." Aku
menghela nafas. Semoga saja aku tidak akan menyesali keputusan yang aku buat ini.
"Baiklah." kataku pelan. "Di mana formulirnya?" Aku yakin telingaku berdenging saking
kerasnya Julia menjerit kegirangan. Dia langsung memelukku dan mengatakan aku
adalah orang paling baik di dunia. Hah. Dia tidak tahu kalau aku adalah orang yang...
apa, ya" Entahlah. Aku juga bingung mendeskripsikan diriku sendiri seperti apa. "Aku
membawa formulir untukmu setiap hari, kalau-kalau kamu akan berubah pikiran."
Katanya, lalu menyerahkan formulir yang terlipat rapi di dalam saku seragamnya. "Aku
akan menungguimu menulis formulir ini, lalu kita akan sama-sama pergi ke ruang OSIS."
Aku mengangguk dan mengambil pulpen. Lalu menuliskan semua dataku di sana,
kemudian menyerahkannya pada Julia. "Nah, ayo, kita pergi ke ruang OSIS." Ajaknya
sambil tersenyum. *** Rasanya aku tidak bisa tidur nyenyak kemarin malam lantaran
aku terus-menerus kepikiran senyuman Ruka. Sudah berapa kali aku menghela nafas
dengan setengah hati hanya karena memikirkan senyumannya. Ah. Rasanya dadaku
kembali sakit. Ada apa sebenarnya denganku" Hari ini aku tidak ke kampus. Aku
sengaja memboloskan diri satu hari ini agar aku bisa menata pikiranku agar kembali
jernih dan tidak ruwet seperti tadi malam. Tapi, sepertinya, semua itu sia-sia karena
sampai sekarang, aku masih kepikiran Ruka. Apa aku jatuh cinta padanya" Hanya
dalam 2-3 hari ini" aku menerka-nerka dalam hati. Rasanya tidak mungkin aku jatuh
cinta pada Ruka dalam waktu yang singkat seperti itu. Tapi, mata besarnya yang
berwarna biru keabuan itu benar-benar memikat dan wajahnya... tidak ada yang bisa
melupakan wajah perpaduan ras Kaukasia dan Asia di dalam dirinya. Senyumnya juga
seperti embun pagi. Sejuk dan menenangkan. Nah, lho" Apakah dengan pemikiran itu
saja, aku sudah dikatakan jatuh cinta padanya" Kuhembuskan nafasku sekali lagi
dengan kesal. Sepertinya aku harus kembali menelaah hatiku yang kadang tidak bisa
menerima kehadiran seorang perempuan dalam kehidupanku. Well, Alice adalah kasus
yang berbeda karena dia adalah teman sekaligus pacar sahabatku. Selain itu, dia
orangnya juga supel, dan aku suka berteman dengannya. Dering ponsel yang
kuletakkan di meja membuatku tersentak dari lamunan. Dengan rasa malas, aku meraih
ponselku dan langsung mengangat telepon yang masuk tanpa melihat siapa yang
Rukas Angel - Angelia Putri
meneleponku. "Halo?" "Inoue?" itu suara Kazuto. Dan dari suaranya, kukira mood-nya
sedang bagus. "Bisakah kita bicara sebentar hari ini" Secara pribadi, tentu saja."
"Apakah ini ada hubungannya dengan statusku" Atau Kakek" Atau Lucia" Atau bahkan
ketiganya?" tanyaku curiga. "Selalu penuh curiga..." dia terkekeh pelan, "Kalau
kukatakan ini memang masalah ketiga hal tersebut, apakah kamu akan menyanggupi
permintaanku untuk bicara?" "Tidak." balasku cepat. "Maaf. Aku lelah, dan ingin tidur
seharian. Sebaiknya jangan ganggu aku lagi." "Oh, begitu..." dari suaranya, aku tahu dia
sedang manggut-manggut dengan seulas senyum dingin di wajahnya. Yah... kakakku
ini memang sangat menyeramkan. Kuakui hal itu sebagai adik tirinya. "Tapi, apa kamu
tidak mau membicarakan kenapa kamu mengikutiku dan Ruka ke taman bermain
kemarin malam?" Kalau saja aku sedang minum atau makan, aku yakin apa pun yang
ada di dalam mulutku akan menyembur keluar saking kagetnya mendengar ucapan
Kazuto. Oke... aku tahu dia juga bisa menyadari keberadaanku dengan kemampuan
yang sama sepertiku. Tapi, tetap saja... aku kaget. "Kau ternyata sudah tahu." kataku,
"Lalu, kau mau apa, Kak?" "Aku ingin berbicara denganmu. Aku akan menunggumu di
taman bermain itu lagi. Di restoran yang sama tempatku dan Ruka makan malam."
Ujarnya. "Jam 7 malam." "Euh... baiklah. Tapi, aku tidak janji kalau - " Terlambat.
Telepon langsung ditutup, dan aku harus menggerutu panjang-pendek lantaran dia tidak
memberiku kesempatan untuk beragumentasi. *** Sekitar jam 12 siang, aku
memutuskan bangkit dari tempat tidur dan makan. Aku kelaparan, dan walau aku ingin
tidur seharian, aku tetap harus mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Segelas kopi
dingin dan roti bakar keju sudah cukup sebagai pengisi perutku. Sambil makan, aku
menyalakan TV dan melihat berita yang cukup menghebohkan. Yah... memang masih
berkisar tentang keluarga Anderson yang dikabarkan masih menghilang itu. Aku
menghembuskan nafas dan mematikan TV. Tayangan di TV sama sekali tidak
menjernihkan pikiranku dari senyuman Ruka. Sial, sial, sial... kenapa sekarang aku jadi
terobsesi padanya" Lagi-lagi aku mendengar dering ponselku. Dengan gusar, aku
beranjak ke kamar dan mengambil ponsel sialan itu. Sepertinya aku harus
mempertimbangkan untuk membeli nomor baru. Aku tidak suka kalau orang lain selain
kedua sahabatku menghubungiku. Hmm... mungkin Ruka akan menjadi pengecualian.
Karena dia akan bekerja sebagai modelku nanti. Aku mengangkat telepon, lagi-lagi
tanpa melihat siapa yang berani meneleponku. "Halo?" "Kak Inoue" Kenapa suara
Kakak seperti sedang marah?" Ups. Itu suara Ruka. Aku menatap layar ponselku dan
baru sadar ternyata yang meneleponku adalah Ruka. Dan apa katanya tadi" Suaraku
seperti orang yang sedang marah"
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ah, maaf... mood-ku sedang jelek. Jadi aku terbawa emosi." Kataku sambil berdeham,
"Ada apa?" "Kakak bisa membuatkan sebuah gaun untukku?" "Membuatkan gaun?" aku
mengerutkan kening mendengar permintaannya, "Apakah ini ada hubungannya dengan
festival kelulusanku nanti?" "Tidak, tidak... ini bukan tentang festival kelulusan Kak
Inoue, kok. Ini tentang pentas seni di sekolah yang akan diadakan 10 hari lagi." ujarnya,
"Apa Kakak bisa membuatkan sebuah gaun untukku" Tidak perlu gaun yang terlalu
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewah, tapi cukup eye-catching dan bisa memukau penonton." "Bisa saja..." kataku,
"Tapi, kenapa tiba-tiba" Apa kamu menyetujui permintaan temanmu untuk mengikuti
peragaan busana di sekolahmu?" "Dia berhasil mengancamku karena dia adalah adik
Kak Alice." Kata Ruka sambil mendesah. "Aku sebenarnya tidak mau, tapi, apa boleh
buat. Dia tahu kalau aku akan membantu Kakak dalam festival kelulusan, dan dia mulai
menyangkut-pautkan semua itu dengan ketidakinginanku untuk ikut berpatisipasi dalam
pentas seni sekolah..." Aku membayangkan bagaimana Julia, adik Alice, yang terlalu
Rukas Angel - Angelia Putri
ceria dari kakaknya itu membujuk Ruka mati-matian sampai gadis itu jengah sendiri.
Membayangkannya saja membuatku tertawa pelan. "Kak Inoue" Kakak masih di sana,
kan?" "Ah, ya, ya..." aku menyahut. "Jadi... kapan kamu membutuhkan gaun itu?"
"Secepat yang Kakak bisa. Tapi, seperti kataku tadi, jangan yang terlalu mewah, tapi
harus eye-catching. Agar kelasku bisa sedikit... lega, karena aku ikut berpartisipasi dan
memenangkan peragaan itu." "Oke... baiklah..." aku manggut-manggut. "Kalau begitu,
sekalian saja hari ini kamu ke rumahku. Bukankah kita masih harus menyesuaikan
bahan dan aksesoris untukmu di festival kelulusanku nanti?" "Ah, ya... benar juga. Aku
nyaris lupa." Ruka terkekeh. "Aku akan ke sana setelah pemotretan. Manajemenku
sudah meneleponku agar aku segera ke lokasi pemotretan untuk cover majalah remaja
yang akan terbit minggu depan." "Oke, baiklah. Semoga sukses kalau begitu." "Ya.
Terima kasih, Kak Inoue. Sampai nanti." "Sampai nanti." Telepon lalu ditutup oleh
Ruka. Aku menatap ponselku sambil tersenyum lebar. Yah... sebodo dengan perasaan
aneh di hatiku. Yang penting, nanti aku bisa berbicara dan melihat senyuman Ruka
secara langsung saat kami membicarakan masalah rancangan gaun yang akan dia
kenakan di festival kelulusanku. *** Aku menutup telepon dan tersenyum. Kak Inoue
sepertinya sangat bersemangat membuat desain gaun. Yah... aku tidak heran,
sebenarnya. Dia, kan memang bercita-cita menjadi seorang fashion designer. "Ruka,
kamu sudah selesai menelepon?" Aku menoleh kearah Julia yang ternyata masih
menungguku di balik dinding koridor. Aku cepat-cepat memasukkan ponselku ke dalam
saku dan mengangguk. "Sudah." kataku, lalu mengerutkan kening, "Bukankah sudah
kubilang kamu duluan saja" Kenapa menungguku?" "Karena kita akan sama-sama
mengisi acara peragaan busana itu, tentu saja aku harus mendekatkan diri padamu."
Dia tersenyum lebar, "Aku pernah bilang kalau aku ingin menjadi temanmu, kan?" Ah,
ya... aku ingat kata-kata itu. Tapi, aku masih tidak bisa menerima orang lain menjadi
temanku. Kak Alice yang notabene adalah kakak Julia saja masih sulit kuterima sebagai
teman lantaran sifatnya yang ceria itu. Karena aku jarang dekat-dekat dengan orang
yang sifatnya ceria, aku kadang merasa risih. "Oh, ya... aku ingat." Kataku, "Lalu?" "Aku
masih ingin tetap menjadi temanmu." Dia tersenyum, "Kamu mau, kan, berteman
denganku" Masa, dengan kakakku bisa, tapi denganku tidak bisa?" "Err... aku
berteman dengan kakakmu juga karena Kak Inoue." Kataku. "Tapi, tolong jangan
memaksaku. Aku tidak suka dipaksa." "Aku tidak akan memaksamu, kok. Asal kamu
mau berteman denganku, itu tidak masalah." Ujarnya. "Kamu mau, kan, Ruka?" Aku
menatapnya. Kali ini tidak ada raut wajah memelas dengan mata yang memohon itu.
Tapi, wajah serius yang mirip sekali dengan wajah Kak Alice. Dan... inilah kelemahanku
yang sebenarnya. Jika seseorang menatapku dengan tatapan serius seolah hendak
menelanjangi hatiku inilah, kelemahanku yang sebenarnya. "Ah... baiklah." aku
mengedikkan bahu, "Asalkan kamu tahan kalau aku bersikap ketus dan jutek." "Ya, tentu
saja!" dia mengangguk bersemangat. "Aku akan menjadi teman yang bisa kamu
andalkan. Kamu bisa percaya padaku." Aku hanya mengangguk pelan. Ponselku
tiba-tiba berbunyi, dan aku langsung menjawabnya tanpa melihat siapa yang
meneleponku. "Ya, halo?" "Kamu akan pergi ke lokasi pemotretan, kan?" itu suara
Kazuto, "Aku akan segera menjemputmu." "Darimana kamu tahu aku ada jadwal
pemotertan hari ini?" tanyaku. "Itu rahasia. Sekarang, kamu tunggu saja di lobi, dan aku
akan menjemputmu kurang dari setengah jam." Lalu dia menutup teleponnya. Dan aku
hanya bisa mengerutkan kening penasaran bagaimana dia bisa tahu semua kegiatanku.
Tapi, entah kenapa, perasaanku menghangat. Walau tidak diperlihatkan secara
terangterangan, sepertinya Kazuto benar-benar menyukaiku. Dan kenyataan itu masih
sering membuatku salah tingkah. Apalagi setelah ciuman kemarin malam... "Telepon
yang tadi dari siapa, Ruka?" tanya Julia, dan membuatku nyaris memekik kaget karena
Rukas Angel - Angelia Putri
baru sadar dia masih berdiri di sebelahku. "Bukan siapa-siapa..." kataku menggeleng.
"Jangan-jangan cowok tampan yang waktu itu menjemputmu di lobi, ya?" "Kamu tahu?"
"Itu jadi perbincangan hangat sekarang." Julia tersenyum lebar. "Tahu kenapa semua
orang berbisik-bisik di belakangmu hari ini" Itu karena cowok tampan itu. Mereka
mengira kamu adalah pacar seorang pengusaha muda kaya raya." Aku mengernyit.
Penampilan Kazuto waktu itu memang seperti seorang pengusaha muda. Tapi... apa
mereka juga tahu kalau Kazuto adalah cucu pewaris harta kekayaan orang terkaya
kedua di negeri ini" Sepertinya tidak. Pikiranku sepertinya terlalu berlebihan. "Yah... dia
temanku, sebenarnya." Kataku mengedikkan bahu, "Kami tidak berpacaran. Aku baru
kenal dengannya baru 2 hari." "Dan dia menjemputmu secara khusus ke sekolah" Itu
namanya dia mencari perhatianmu!" Julia tertawa. "Aku tidak menyangka kamu ternyata
bisa menggaet seorang cowok tampan, kaya raya, lagi." Aku lagi-lagi mengedikkan
bahu. Tidak menanggapi ucapan Julia. "Aku harus segera pergi. Nanti kita bicarakan
soal pentas seni itu." kataku. "Ya. Dan boleh aku minta nomor ponselmu" Supaya aku
bisa menghubungimu dan berkunjung ke rumahmu untuk membahas hal itu."
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku menatapnya sebentar, kemudian mengangguk. Kami lalu bertukar nomor ponsel
dan aku sudah menyimpan nomornya di phone book ponselku. "Oke. Sampai nanti,"
kataku. "Sampai nanti, Ruka. Salam untuk cowok tampan itu, ya?" Aku hanya tersenyum
geli dan kemudian pergi ke kelas untuk mengambil tasku. *** Aku baru saja akan pergi
ke lobi ketika seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh dan melihat Kazuto sudah
berdiri dengan setelan kemeja putih dan celana katun hitam yang sangat pas di
tubuhnya. Apalagi ditambah dengan sweater lengan pendek berwarna abu-abu yang
dikenakannya... aku yakin, semua orang akan menyangkanya sebagai mahasiswa
jurusan hukum dengan penampilan seperti itu. "Kukira aku datang tepat waktu." katanya
sambil tersenyum. "Kurasa kamu memang selalu tepat waktu." balasku. Dia tersenyum
dan kemudian mencium pipiku. Aku masih belum terbiasa dengan sentuhan Kazuto.
Pipiku memerah ketika dia terkekeh melihat reaksiku. "Ayo, kita pergi sekarang." Aku
membiarkannya menggenggam tanganku dan menuntunku ke mobilnya. Aku yakin, dia
sudah menyuruh orangnya untuk membawa mobilku kembali ke rumah. Kazuto tidak
akan membiarkanku mengemudikan mobilku sendirian. *** "Baru semalam kita
bertemu, aku sudah rindu padamu." Kata Kazuto sambil menggenggam tanganku. Aku
hanya menunduk menghindari tatapan matanya yang sangat intens padaku. Kubiarkan
dia menggenggam tanganku selama perjalanan sementara aku menatap kearah lain.
"Oh ya, bagaimana setelah ini, kita makan siang?" tanya Kazuto, "Kebetulan aku belum
sarapan, dan aku ingin makan bersamamu." "Boleh saja..." aku mengangguk, "Tapi,
setelah pemotretan, apa kamu bisa mengantarku ke tempat Kak Inoue" Aku masih
harus membantunya agar gaun yang dibuatnya bisa sukses dan bisa menarik perhatian
orang-orang." Kazuto diam sebentar, menatap ke depan dengan tidak focus, sebelum
akhirnya mengangguk. "Ya. Tentu saja aku akan mengantarmu." Katanya sambil
tersenyum. "Dan... apa setelah itu kamu ada rencana untuk pergi ke tempat lain"
Berbelanja, mungkin?" "Tidak. Aku yakin setelah beraktivitas seharian, aku akan lelah
dan memilih tidur saat sampai di rumah." Kataku sambil tersenyum, "Terima kasih sudah
mengkhawatirkanku." Senyumannya kali ini lebih menenangkan dan membuat jantungku
mendadak berdetak lebih kencang. "Sama-sama, Ruka..." katanya, kemudian mencium
punggung tanganku. CHAPTER 14 Kak Sonia menungguku dengan senyum lebarnya
seperti biasa. Dan aku yakin aku melihat senyumnya semakin lebar ketika melihat
Kazuto keluar bersamaku dari dalam mobil. Lokasi pemotretannya ternyata taman kota
yang cukup terkenal dengan kawasan hijaunya. Aku menghirup nafas yang sejuk di
Rukas Angel - Angelia Putri
sekitarku dan menghembuskannya perlahan sambil tersenyum lebar. Sudah lama sekali
aku tidak berada di tempat yang cukup hijau seperti ini. "Hai, Ruru sweetheart," sapa
Kak Sonia sambil mencium kedua pipiku. "Ayo, semua sudah menantimu." Aku
mengangguk, dan menoleh kearah Kazuto. "Kamu mau menunggu di dalam mobil
atau..." "Dia bisa ikut kita ke tendamu, sayang." Sela Kak Sonia. "Kukira tidak masalah
jika pacarmu ini ikut kita ke tenda." "Eh?" "Kurasa boleh juga." Sahut Kazuto, lalu
menatapku, "Apa kamu keberatan?" "Errr... tidak, kok." Aku menggeleng, "Yah... kalau
kamu mau ikut, ayo." "Jason ingin kamu tampil dengan gaun santai ini." Kak Sonia
memperlihatkan sebuah gaun selutut berwarna peach lembut. Lalu baju musim panas
yang terdiri dari tank top kuning dan juga celana jins hitam yang sangat pendek. "Ayo,
cepat ganti baju dengan gaun santai ini, setelah beberapa shoot, kamu akan memakai
tank top manis ini." kata Kak Sonia lagi. Aku hanya mengangguk, lalu pergi ke balik tirai
putih di dekatku dan mengganti seragam sekolahku dengan gaun itu. Bahannya yang
lembut dan halus berdesir setiap kali aku bergerak. kukibaskan rambutku ke belakang
dan menatap cermin di dekatku. Oke. Kurasa aku sudah cukup cantik untuk difoto,
tanpa harus di make-up, kalau memungkinkan. Aku keluar dari tirai putih dan melihat
Kak Sonia sudah siap dengan penata rias yang sudah sering bekerja sama untuk
meriasku. "Wow." Aku menoleh kearah Kazuto dan melihatnya menatapku tanpa
berkedip. Apa tadi dia yang barusan bilang "wowmemang dia yang tadi mengatakannya.
"Kamu cantik sekali, Ruru sweetheart!" ujar Kak Sonia sambil bertepuk tangan,
"Rupanya gaun itu tidak salah kupilih. Aku mendapatkannya secara kebetulan di butik
hari ini, dan kurasa pasti cocok untuk pemotretan kali ini." "Gaunnya memang cantik..."
kata Kazuto, ikut menimpali. "Nah, pacarmu saja mengakuinya." Kak Sonia berkata
senang, "Ayo, kemari. Kita akan mendandanimu dengan riasan yang cocok dengan
gaun itu." *** Setelah pemotretan yang melelahkan itu, aku langsung duduk di salah
satu bangku taman di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Sambil memegang
gelas kertas berisi minuman dingin, aku memperhatikan teman-teman sesama model
yang sedang berpose di depan kamera. Hmmm... aku masih dibilang anak bawang
dalam hal ini. Tapi para fotografer, termasuk Jason, kekasih Kak Sonia yang juga
menjadi fotograferku, sangat menyukaiku. Menurutnya, aku photogenic. Dan wajahku
cocok menjadi model. Yah... benar atau tidaknya, aku tidak tahu. "Lelah?" Aku
menoleh ketika Kazuto duduk di sampingku dan menyampirkan jas sekolahku di
pundakku. "Tidak juga." Aku menggeleng dan meminum minumanku dengan sedotan.
"Aku hanya... yah, oke. Aku memang lelah, tapi tidak terlalu..." "Kamu cantik dengan
gaun tadi." ujarnya, "Seperti seorang putri saja." "Terima kasih," aku merasa pipiku
memerah, dan aku tidak sanggup menatap Kazuto. Jemari Kazuto menyentuh pipiku,
dan kemudian membuatku mendongak, tepat ketika dia menciumku. Ciumannya lembut,
dan tidak terburu-buru. Kupejamkan mataku dan menikmatinya. Sebelah tangan Kazuto
yang lain menahan pinggangku dan ia memiringkan kepalanya agar bisa menciumku
dengan baik. Kami baru berhenti ketika Kak Sonia yang entah kapan datangnya,
berdeham, dan membuat kami berdua sama-sama terkejut. "Maaf aku mengganggu
kemesraan kalian," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata, "Tapi, Ruru harus
kembali berpose di depan kamera bersama model-model yang lain. Tidak keberatan jika
aku meminjamnya sebentar lagi, kan?"
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ya. Tentu." Kazuto tersenyum sopan, kemudian mencium pipiku, "Aku akan menunggu
di sini." Aku mengangguk pelan dan kemudian mengikuti Kak Sonia pergi. Dia tidak
hentihentinya tersenyum lebar padaku. "Apa?" tanyaku. "Pacarmu benar-benar
menyayangimu, ya" Sampai memperlihatkan kemesraan di depan umum." Katanya,
Rukas Angel - Angelia Putri
menggodaku. "Kak Sonia, tolong jangan mulai lagi..." kataku. Dia tertawa dan
merengkuh pundakku, "Aku malah senang kalau kamu punya kekasih. Kamu tidak akan
merasakan hidup jika tidak punya pendamping." Katanya penuh rahasia. Aku hanya
tertawa dan memukul pundaknya pelan. "Kak Sonia bisa saja." Dia tersenyum lebar dan
mengedikkan bahu. "Ayo, sekarang kamu berpose di depan kamera, dan setelah itu,
silakan kembali ke pelukan pacarmu yang sudah menunggu di sana." *** Pemotretan
akhirnya benar-benar selesai. Setelah 3 jam berpose di depan kamera, aku merasa
tubuhku remuk. Tulang-tulangku serasa copot, dan aku benar-benar lelah. Kak Sonia
sedang berbicara dengan beberapa fotografer dan juga wakil dari majalah yang
Bangau Sakti 3 Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll Sepatu Roda 2
lampu untuk pejalan kaki menyala hijau. Aku mengikuti. Mereka semua berjalan cepat
seperti terburu-buru. Dan kemudian aku mendengar suara decitan mobil, kemudian
bunyi yang sangat keras. Aku menoleh dan melihat dua mobil dari arah yang saling
berlawanan bertabrakan di tengahtengah jalan. Salah satu badan dari kedua mobil itu
rusak parah. Kemudian, tanpa sadar, aku berjalan kearah kecelakaan itu terjadi.
menyeruak dari balik kerumunan yang ingin melihat kecelakaan tersebut. Dan di sana,
aku melihat para petugas medis dari ambulans yang datang sedang mengangkut dua
orang dengan masing-masing tandu. Laki-laki dan perempuan berusia sekitar 25
tahunan dan berdarah di beberapa bagian tubuh, terutama kepala. Apa ini" Kenapa aku
bermimpi seperti ini" "Angkut anak yang terjepit di sana itu!" Anak kecil" Dua orang
petugas medis kembali menghampiri mobil yang rusak parah itu dan mengeluarkan
seseorang. Seorang anak perempuan kecil yang mengerang kesakitan dan
menggenggam sesuatu di tangannya. Darah juga mengalir dari tubuh anak itu. Tidak
hanya dari kepala, tapi juga dari perut dan lengan kanannya yang menggenggam erat
sesuatu yang tidak kutahu. "Ambilkan tandu! Anak ini terluka lebih parah dari kedua
orangtuanya!" Aku mendekat kearah anak itu dan melihat wajahnya yang mungil dan
putih bersih itu ternodai darah. Matanya sesekali memejam dan kemudian terbuka lagi.
Ketika ia membuka matanya, aku syok melihat mata itu mirip dengan mataku. "Papa...
Mama..." anak itu bergumam lirih. Kedua petugas medis itu kemudian meletakkan anak
kecil itu ke tandu dan segera mengangkatnya. Mata anak itu kembali terpejam, dan
sesuatu meluncur jatuh dari tangan kanannya, bergemirincing ketika menyentuh tanah.
Sebuah kalung rantai emas dengan bandul liontin berukiran bunga mawar. Aku
berjongkok hendak mengambil benda itu ketika seseorang sudah mengambilnya lebih
dulu. Seorang pria berusia 50 tahun dan berambut nyaris putih semua menatap kalung
di tangannya dan ambulans yang beranjak pergi bergantian. Aku menatap pria itu dan
melihat senyum jahat muncul di wajahnya. Kemudian, seperti melihat film, aku berada di
tempat lain. Sebuah kamar rumah sakit. Anak kecil yang tadi kulihat di tempat
kecelakaan berbaring diam di atas ranjang rumah sakit. Berbagai kabel yang
tersambung pada alat penunjang hidup di dekatnya terpasang di beberapa bagian
tubuhnya. Pria tadi ada di sana. Berdiri di dekat ranjang anak itu bersama seorang anak
laki-laki yang kelihatannya baru berusia 8 tahun. Dengan rambut coklat yang dihiasi
semburat hitam dan mata hitam kelam... Tunggu. Aku mengerutkan kening melihat
anak laki-laki itu. Mata dan rambut itu sangat mirip dengan... "Kek, kapan dia akan
sadar?" tanya anak laki-laki itu pada pria tua di sebelahnya. "Kapan dia akan sadar dan
berbicara denganku?" "Itu semua butuh waktu, Kazuto." Ujar pria itu sambil tersenyum,
"Yang kamu perlukan sekarang adalah menjaganya dan jangan sampai seorangpun
menyentuhnya. Tidak boleh ada yang menyentuh Ruka sampai saatnya tiba." Jadi, anak
laki-laki itu benar-benar Kazuto yang itu" Dan anak perempuan kecil itu... aku" "Tapi,
Kek, kenapa Kakek tidak mengatakan pada Inoue kalau dia masih hidup?" "Inoue?"
tanpa sadar aku bergumam, "Apa maksudnya... Nakayama Inoue?" Pria itu lagi-lagi
tersenyum, kemudian, matanya menatap tepat kearahku dan membuatku terkesiap. ***
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku terbangun tepat ketika jam di atas mejaku berbunyi, menandakan hari sudah pagi
dan aku harus bersiap-siap pergi ke sekolah. Aku langsung terduduk tegak dan
mengusap wajahku. Ya Tuhan... mimpi tadi terasa nyata. Dan... kenapa sepertinya pria
tua itu mengenalku dengan sangat baik" Siapa sebenarnya dia" Dan yang lebih
Rukas Angel - Angelia Putri
penting, apa Kazuto benar-benar mengenalku" Rasanya kepalaku tambah sakit saja.
Kalau begini, mungkin sebaiknya aku tidak sekolah saja. Bolos. Ya... mungkin itu ide
yang bagus karena kepalaku benar-benar sakit sekarang, pasti karena mimpi yang aneh
tadi. "Kamu sudah bangun?" Aku yakin aku menjerit kaget ketika mendengar suara
yang tak asing di sampingku. Aku menoleh dan melihat Kazuto sudah duduk di sisi
tempat tidurku, dengan Kitty yang tidur di pangkuannya. "Kazuto!?" Aku benar-benar
kaget mendapati dia sudah duduk di dekatku, dan wajahnya begitu dekat dengan
wajahku sehingga aku bisa mencium nafasnya yang beraroma mint dan jeruk. "Apa aku
mengagetkanmu?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. "Sangat." Kataku, "Kenapa
kamu ada di sini?" "Aku mau mengantarmu ke sekolah." Jawabnya. "Hari ini aku tidak
sekolah." Kataku, kemudian berbaring lagi di kasur. "Kepalaku sakit, dan aku ingin
istirahat." "Sakit karena apa?" "Bukan urusanmu." Lagi-lagi aku merasakan aura
menakutkan itu. Kazuto menatapku dengan mata disipitkan dan wajahnya kelihatan
dingin... lebih dingin dari biasanya. "Apa yang menjadi masalah bagimu adalah
masalahku juga." Katanya pelan. "Kamu tidak perlu merasa begitu. Lagipula, kamu
bukan..." suaraku menghilang ketika aku teringat mimpi yang baru saja kudapat.
Teringat lagi sosok Kazuto kecil dan pria tua berpakaian rapi dengan senyum yang
mengerikan itu. "Aku bukan apa?" tanya Kazuto, "Aku tahu semua tentangmu, dan aku
wajib menjagamu agar kamu tidak kenapa-napa." "Tapi, aku tidak mau," kataku,
menatapnya dengan mata disipitkan, "Aku bisa mengurus diriku sendiri. Aku hanya sakit
kepala ringan. Tidak perlu dikhawatirkan." "Benar?" "Ya, jika kamu bisa
meninggalkanku sendirian untuk beristirahat." Balasku sambil membalikkan tubuhku.
Berpura-pura tidur. Aku mendengar dia menghela nafas. Kemudian berdiri. Aku
mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali, lalu hening. Diam-diam aku menoleh
dan menatap pintu kamarku. Serius, nih" Dia langsung keluar begitu kubilang aku ingin
sendirian" Aku bergelung di atas kasur sambil menghembuskan nafas. Ya sudahlah.
Toh, bukan aku juga yang menginginkannya di sini. Dan aku masih takut dengan aura
yang dibawanya. Benar-benar membuatku takut... *** Hari ini ternyata aku harus puas
dengan sarapan mie instan dan susu coklat yang kutemukan di lemari makanku. Bukan
apa-apa, sebenarnya, aku malah sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Semalam,
aku berlatih terlalu keras sampai lupa kalau aku kehabisan bahan makanan. Dan
akhirnya tidak membeli dan langsung pergi ke kamar untuk tidur. Sambil menyeruput
mie instan yang kubuat, aku mulai mendesain rancangan pakaian yang baru. Aku harus
bisa membuat gaun yang akan mengeluarkan inner beauty Ruka. Aku melihat, dia
punya potensi lebih dari sekadar model di panggung catwalk. Ada sesuatu yang lain
yang membuat orang lain terpikat, tapi sekaligus menjauhi dirinya. Mungkin itu karena
sifatnya yang ketus dan dingin bila di dekat orang lain" Bisa jadi... Aku baru hendak
mengambil pensil ketika ponselku berbunyi. "Siapa yang meneleponku pagi-pagi
begini?" gerutuku mengambil ponsel dan menerima telepon yang masuk. Sebenarnya,
ini bukan "pagi-pagikebablasan berlatih dan tertidur terlalu pulas saking lelahnya" "Ya,
halo?" "Kak Inoue?" Suara Ruka di seberang telepon langsung menghilangkan
kekesalan dan membuat senyum lebar tersungging. Hmm... kenapa bisa berpengaruh
pada mood-ku hari ini, ya" "Oh, rupanya kamu, Ruka." Kataku sambil meminum susu
coklatku. "Ada apa?" "Kapan aku harus ke rumah Kakak" Kakak bilang kemarin aku
harus fitting dan mengukur tubuh untuk gaun terbaru rancangan Kakak..." katanya.
"Sepulang sekolah saja. Hari ini kamu tidak sibuk, kan?" "Nggak, kok..." jawab Ruka,
"Tapi, hari ini aku tidak sekolah. Dan kurasa aku bisa ke rumah Kakak lebih cepat."
"Kamu tidak sekolah" Kenapa" Sakit, ya?" "Nggak juga... aku Cuma kelelahan sehabis
pemotretan kemarin." Katanya cepat, "Err... kapan aku harus ke rumah Kakak?" "Kalau
begitu, jam 2 siang. Karena kamu tidak tahu di mana rumahku, biar aku saja yang
Rukas Angel - Angelia Putri
menjemputmu. Aku tahu di mana flat tempatmu tinggal, kok." "Tidak usah. Biar aku
sendiri yang ke rumah Kakak. Aku pasti bisa menemukan rumah Kakak." Katanya.
Suaranya seperti dihiasi oleh senyum. "Kalau begitu sampai nanti, Kak." "Yup. Sampai
nanti." Aku menutup telepon dan memandangi ponselku sambil tersenyum lebar. Lalu
memakan sarapanku dengan lebih cepat. *** Aku mematikan ponselku dan duduk.
Aku tertidur lagi sekitar beberapa jam, dan keadaan rumahku sangat sepi. Terlalu sepi,
dan tiba-tiba saja membuatku merinding. Ini bukan apa-apa... aku sudah biasa
sendirian seperti ini, kenapa sekarang harus takut" Kataku dalam hati, menenangkan
gemetaran yang tahu-tahu merayapi tubuhku. "Nnngghh..." Aku mengerjap kaget
mendengar suara erangan halus di dekatku. Aneh. Aku yakin aku tidak bersuara seperti
itu, lagipula, aku sudah duduk dan tidak berbaring. Lalu... suara erangan dari mana itu"
Kemudian sesuatu memegang tangan kiriku dan membuatku memekik. Aku menoleh
dan melihat hal yang tidak kuduga berada di tempat tidurku. Kazuto sedang tidur.
Kemeja hitam yang dikenakannya dikeluarkan dari celana dan dua kancing atasnya
terbuka. Sebelah tangannya memegang tangan kiriku dan menggenggamnya erat.
Terlalu erat, malah. Kenapa dia tidur di sini" Dan sejak kapan" Tanyaku dalam hati,
panic. Kazuto mengigau, dan tahu-tahu menarikku mendekat kearahnya. Wajahku
nyaris mengenai wajahnya. Hanya tinggal beberapa senti lagi bibirku bakal bertemu
dengan bibirnya. Gawat. Wangi mint dari mulutnya sama sekali tidak hilang dan
membuatku menelan ludah. Astaga... jangan sampai aku... "Ruka..." Dia mengigau
memanggil namaku. Aku sempat merasa heran, namun tersadar dengan cepat,
mengingat dia mengetahui semua tentang diriku... Dan aku masih tidak mengerti,
bagaimana dia tahu semuan tentangku. Apakah dia juga
Rukas Angel - Angelia Putri
tahu soal aku yang menyamar menjadi anak yatim-piatu di sebuah panti asuhan dan
kemudian diangkat anak oleh keluarga Anderson yang beberapa hari lalu dikabarkan
menghilang itu" "Ruka..." dia mengigau lagi, dan kali ini menarikku ke dalam
pelukannya. Nafasku sempat tertahan, dan kepalaku sudah berada di lekukan lehernya.
Ya Tuhan... wangi tubuhnya bahkan lebih wangi daripada wangi mint di mulutnya. Dan
aku yakin, aku bakal gila kalau terus-terusan mencium wangi tubuhnya. Aku berusaha
melepaskan diri dari pelukan Kazuto, tapi lengan-lengannya memelukku begitu kuat
sehingga aku tidak bisa melepaskan diri dengan mudah. Malahan, akibat usaha
melepaskan diri itu, wajahku semakin terbenam di lekukan lehernya. Dan ini
benar-benar tidak bagus. "Ka, Kazuto..." aku berusaha membangunkannya. "Kazuto,
bangun..." Sepertinya Kazuto adalah orang yang langsung terbangun ketika ada suara
di sekitarnya. Dia menatapku kaget saat pelukannya padaku mengendur. "Tolong...
lepaskan aku." kataku pelan. "Tidak." katanya. Kemudian menarikku lagi ke pelukannya.
"Aku ingin tidur ditemani olehmu." Apa"! "Aku mau mandi." Kataku lagi, "Tolong
lepaskan aku." "Tidak. Temani aku tidur. Aku kelelahan karena biasanya jam segini
adalah jam tidurku." Memangnya dia vampire, ya" Di siang hari dia tidur" Yang benar
saja! "Pokoknya, temani aku tidur. Aku benar-benar mengantuk." Dia bergeser sedikit
dan membuatku terbenam di dalam pelukannya. Kepalaku bersandar di dadanya dan
aku bisa mendengar detak jantungnya yang teratur. "A, aku harus mandi sekarang. Aku
ada janji penting." Kataku, berusaha untuk tidak tergoda oleh pikiranku sendiri. "Janji
penting dengan siapa?" tanyanya dengan suara setengah mengantuk. "Pokoknya aku
ada janji, dan aku harus segera pergi setelah mandi dan bersiap-siap." Ujarku, "Tolong
lepaskan aku sekarang." Dia mendesah pelan, tapi tidak melepaskanku. "Tidak. Aku
mau kamu tidak kemana-mana hari ini." katanya, "Aku masih sangat mengantuk untuk
mengantarmu." "Aku tidak perlu diantar... lagipula, aku tidak pernah memintamu untuk
Rukas Angel - Angelia Putri
mengantarku." Balasku. "Tolong, Kazuto, aku harus bersiap-siap sekarang. Aku tidak
mau ingkar janji dengan orang yang ingin kutemui." "Siapa orang yang ingin kamu
temui?" "Itu bukan urusanmu. Kamu sendiri bukan siapa-siapaku, kan?" kataku mulai
kesal. Pelukannya makin erat setelah aku mengucapkan kata-kata itu. Dan aku harus
menelan ludah ketika dia mengusap punggungku. Salah satu titik sensitifku adalah
punggungku. "Berhenti mengelus punggungku." Kataku sambil menepis tangannya,
"Aku mau bersiapsiap. Kalau kamu mau tidur, tidur saja sendiri." Keberanian yang
cukup... menantang. Kali ini aku bisa melepaskan diri darinya dan bangkit dari tempat
tidur. "Kalau kamu mau tidur di sini, tidak apa-apa. Tapi, jangan menggangguku saat
mandi." Kataku, lalu berjalan ke kamar mandi dan mengunci pintunya. *** Mandi air
dingin cukup membuat pikiran dan mataku kembali terfokus. Aku mengeringkan tubuh
dengan handuk dan mengambil baju handuk yang tergantung di belakang pintu kamar
mandi. Kemudian beralih ke wastafel, menyikat gigi dan mencuci wajah dengan facial
foam. Semua itu kulakukan dengan cukup lambat, karena aku masih menghindari
Kazuto. Ingat dia, aku kembali teringat mimpi tadi. Dan tubuhku kembali gemetar. Aku
teringat senyum mengerikan pria tua yang berdiri bersama Kazuto. Aku mengingat
senyum itu dengna jelas, senyum licik yang tersembunyi di balik senyum penuh
perhatian yang ditunjukkannya pada Kazuto kecil. "Rasanya mengerikan sekali."
Gumamku sambil menghela nafas. "Terlalu mengerikan... siapa pria itu?" Aku menatap
bayanganku di cermin. Wajahku agak pucat, mungkin karena pengaruh mimpi buruk itu,
yang kemudian membuatku sulit untuk tidur lagi. Kubersihkan air yang masih mengalir di
wajahku dengan handuk kecil. Oke. Sekarang aku harus cepat-cepat berpakaian dan
pergi ke rumah Kak Inoue. Kataku dalam hati. Walau di telepon tadi aku bilang kalau
aku bisa menemukan rumahnya, sebenarnya, aku sama sekali tidak tahu di mana
rumah Kak Inoue. Hmm... mungkin mencarinya lewat GPS" Aku bisa memasukkan
nomor ponselnya ke dalam alat pencarian rancanganku sendiri dan bisa
menemukannya dengan mudah. Yang menjadi masalah adalah, ponselku tertinggal di
atas tempat tidur, dan aku bahkan tidak membawa pakaian ganti ke kamar mandi saking
ingin cepat-cepat menjauh dari Kazuto. Apa yang harus kulakukan sekarang"
CHAPTER 9 Aku harus berani keluar dari kamar mandi dan mengambil pakaianku.
Toh, Kazuto juga sedang tidur, dan aku tidak akan membangunkannya karena lantai
kamarku yang terbuat dari kayu berkualitas ini tidak akan berderit kalau aku
menginjaknya. Oke. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan menghembuskannya
perlahan sebelum membuka pintu kamar mandi dengan sangat pelan. Aku mengintip
sebentar dari balik pintu kamar mandi yang kubuka sedikit. Kazuto masih berbaring di
tempat tidurku, membelakangi pintu kamar mandi. Aku melirik kearah lemari pakaianku
yang tidak jauh dari kamar mandi, lalu dengan perlahan-lahan, aku berjalan keluar
dengan langkah lebar dan tanpa suara. "Kenapa kamu berjalan seperti itu?" Suara itu
membuatku langsung membeku di tempat. Aku menoleh dan melihat Kazuto sudah
berbalik menghadapku dan menatapku dengan sebelah alis terangkat. "Seperti pencuri
yang takut ketahuan saja..." katanya sambil tersenyum miring. "K, kamu tidak tidur?"
tanyaku gugup. "Bagaimana bisa tidur kalau kamu tidak ada di sampingku?" ujarnya,
"Sepertinya kamu mau berpakaian, ya" Aku akan keluar sebentar, dan setelah itu, kita
akan pergi ke tempat orang yang punya janji denganmu." "Aku tidak perlu diantar..."
"Ckck. Tidak." dia mengayunkan jari telunjuknya dan mendecak pelan, "Aku akan
mengantarmu. Tapi, setelah itu, kamu harus mau menemaniku tidur." "Kenapa aku
harus melakukan itu?" aku menatapnya curiga. "Kamu tidak akan melakukan sesuatu
padaku, kan?" "Percayalah, Ruka, kalau aku punya niat seperti itu, kamu akan susah
menghentikan segalanya." Dia tersenyum lebar, kemudian bangkit dari tempat tidur,
"Kuberi kamu waktu setengah jam untuk berpakaian dan berdandan sepuasmu. Aku
Rukas Angel - Angelia Putri
akan keluar dan membuat kopi." Aku menatapnya pergi, dan ketika pintu kamarku
tertutup, aku cepat-cepat berpakaian dan mengeringkan rambutku secepat mungkin.
Toh, aku tidak perlu berdandan terlalu banyak. Aku cukup menyisir rambut, memakai
bedak tipis dan sedikit lipgloss pink di bibirku, aku sudah siap. Aku segera mengisi tas
serut berwarna biru muda di dekatku dan mengisinya dengan dompet, ponsel, dan notes
yang biasa kubawa setiap hari. Aku baru akan membuka pintu ketika Kazuto
membukanya lebih dulu dan nyaris membuatku terjatuh ke belakang. "Kamu membuatku
kaget." Kataku. Rukas Angel - Angelia Putri
"Maaf," katanya, kemudian menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Apa?"
tanyaku merengut, "Kalau kamu mau bilang aku terlihat seperti anak kecil, silakan saja.
Aku tidak terlalu suka berdandan, kau tahu..." "Siapa bilang aku ingin mengatakan kau
seperti anak kecil?" tanyanya balik, lalu tahu-tahu dia menarikku dan mencium bibirku.
"Ap - " "Kalau aku menciummu, itu artinya kamu sangat cantik." dia tersenyum penuh
arti sebelum kembali melumat bibirku. *** Aku merengut dan menghindari menatap
Kazuto ketika dia mengantarku ke rumah Kak Inoue. Aku masih marah soal insiden
ciuman tadi. Seenaknya saja dia menciumku! Dia pikir aku ini apa" "Masih marah?"
tanyanya. Ada nada geli dalam suaranya. "Kalau iya, lantas kenapa?" balasku sengit.
"Kamu mencuri ciuman pertamaku, tahu!" "Aku merasa terhormat," dia tersenyum, "Dan
asal kamu tahu, bibirmu rasanya manis. Aku jadi ingin mencicipinya lagi." "Jangan
sebut-sebut hal vulgar seperti itu!" kataku. Aku yakin wajahku memerah, "Kamu ini tidak
tahu perasaan cewek, ya?" Dia tertawa, dan aku semakin cemberut dibuatnya. "Kalau
begitu, sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau kita makan siang di luar" Aku yang
traktir." Katanya. "Aku tidak mau. Aku tidak suka makan di luar." jawabku. "Aku tidak
mau menerima permintaan maafmu." "Lalu, aku harus apa agar kamu memaafkanku?"
tanyanya, dengan senyuman dalam suaranya. Aku meliriknya dengan mata disipitkan.
"Aku mau kamu tidak mencampuri urusanku, mulai dari sekarang." "Kalau itu, aku tidak
mau." "Kalau begitu, aku tidak akan menerima permintaan maafmu." "Jangan begitu,
dong..." Aku membuang muka kearah lain dan mengerucutkan bibirku dengan jengkel.
Kazuto terkekeh melihat reaksiku dan memusatkan perhatiannya kembali ke jalan. "Lalu,
di mana rumah teman yang katamu ingin kamu temui?" tanyanya. Aku mengambil
ponselku dan menghidupkan perangkat GPS yang ada, kemudian memasukkan nomor
ponsel Kak Inoue. Dalam beberapa menit, hasil pencarian sudah keluar. Aku lalu
memperlihatkan layar ponselku padanya. "Ini alamatnya." Ujarku. Dia melirik sekilas
kearah ponselku dan mengangguk. "Kalau alamat itu, aku tahu." katanya, "Aku sering
lewat jalan itu." "Benarkah" Siapa yang kamu temui?" Dia mengangguk pelan,
"Menemui seseorang." Jawabnya. "Siapa" Pacarmu?" "Aku tidak punya pacar."
balasnya, "Aku hanya punya kamu." Aku yakin aku mendelik padanya, tapi, ketika
matanya menatapku, lagi-lagi nyaliku ciut. Auranya kembali berubah menakutkan.
Padahal tadi masih sedikit... tenang. Ugh... kenapa harus jadi begini, sih" Mobil yang
dikemudikannya kemudian berhenti di dekat sebuah jalan yang hanya bisa dilalui satu
mobil, dan jika ada dua mobil saling bersinggungan, terpaksa salah satu dari dua mobil
itu harus menepi untuk mengalah pada mobil yang lain untuk lewat. Tapi, Kazuto
memberhentikan mobilnya di sambping taman bermain untuk anak-anak yang terletak di
sebelah jalan itu dan mematikan mesinnya. "Kuharap kamu mau berjalan kaki. Karena
rumah temanmu berada di ujung jalan itu." katanya sambil melepas sabuk pengaman.
Aku menatap layar ponselku dan menyadari kalau apa yang diucapkannya benar.
Rumah Kak Inoue memang berada di ujung jalan kecil ini. "Bagaimana kamu tahu?"
tanyaku penasaran. Dia tersenyum tipis sebelum menjawabku, "Percayalah, aku selalu
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu apa pun dalam hidupmu." Kami berdua lalu keluar dan aku sempat mengernyit
ketika sinar matahari mengenai mataku. Cepat-cepat aku memakai topi lebar yang
kubawa dan menghembuskan nafas. Aku paling benci matahari. Bukan karena sinar
ultravioletnya yang kalau di siang hari bisa membuat kulit hitam, tapi, karena aku benci
tempat yang terlalu terang. Aku jarang keluar rumah kecuali hanya untuk sekolah,
pemotretan, atau berbelanja kebutuhan di rumah. Selain itu, aku tidak pernah ke
mana-mana, apalagi di siang hari. Kazuto berdiri di sebelahku dan kemudian menggamit
tanganku. "Ayo," katanya. *** Alice dan Tristan baru saja datang dan langsung sibuk
dengan segala "perkakaskain, jarum jahit, benang, alat ukur, gunting, dan lain
sebagainya yang biasa kugunakan sendiri untuk membuat rancanganku. Memang
selama ini aku selalu bekerja sendirian, kalau tidak dibantu Tristan. Karena itu jugalah,
semua hasil rancanganku mendapat pujian karena selain aku yang mengerjakannya
seorang diri, menurut orang-orang, karyaku adalah hasil orisinal yang benar-benar luar
biasa (aku tidak tahu itu benar atau tidak). "Hei, kapan Ruka datang?" tanya Alice sambil
mencatat sesuatu di selembar kertas yang kuduga untuk catatan ukuran tubuh Ruka.
"Mungkin sebentar lagi," aku menatap kearah jam dinding. "Ya. Mungkin sebentar lagi."
"Hei, Inoue, ini ditaruh di mana?" Tristan menunjukkan gulungan benang wol di
tangannya. "Taruh saja di keranjang yang itu." jawabku sambil menunjuk sebuah
keranjang dari rotan yang penuh dengan gulungan benang wol beraneka warna. "Ah,
Alice, jangan duduki kursi itu, ada kertas-kertas hasil desainku di sana." "Jangan
sembarangan menaruh kertas desainmu di sofa, dong." gerutunya sambil pindah ke sofa
yang lain. Aku hanya mengangkat bahu dan kembali membuat teh dingin dalam teko
yang sudah kusiapkan. Aku juga sudah membeli sekaleng kue untuk menemani teh
dingin di siang hari ini. "Oi, Inoue, ada yang memencet bel, tuh!" seru Alice. "Bisa
tolong bukakan pintu" Aku sedang membuat teh, nih." seruku balik. "Dasar
menyusahkan." Kata Alice, kemudian kudengar langkah kakinya berjalan, lalu, pintu
terbuka, dan aku samar-samar mendengar suara Ruka yang kecil dan halus. Aku
tersenyum lebar. Dia sudah datang. Kutinggalkan sebentar pekerjaanku dan melongok
dari balik pintu dapur. Ruka berdiri di ruang tamu sambil melepas topi lebar berwarna
putih yang dikenakannya. Tersenyum pada Alice dan Tristan. Aku hendak menyapanya
ketika aku melihat seseorang yang berdiri di belakangnya. Tadi aku memang tidak
melihat orang itu karena terhalang oleh pintu dan juga Tristan. Dan ketika Ruka masuk
ke dalam, orang itu juga ikut masuk dan wajahnya bisa kulihat dengan jelas. Tubuhku
langsung membeku. Tanpa sadar, aku mengkertakkan gigiku dan menahan amarah
yang muncul secara tiba-tiba di dalam benakku. Kenapa orang itu ada di sini!" *** Kak
Alice dan Kak Tristan yang menyambutku ketika Kazuto menghampiri rumah mungil
bercat Rukas Angel - Angelia Putri
biru muda dan dihiasi dengan berbagai tanaman hias itu. Aku tidak tahu bagaimana dia
bisa tahu rumah ini dan langsung memencet bel tanpa permisi. Aku menelan segala
pertanyaan mengapa Kazuto, sepertinya mengenal betul rumah di hadapannya ini. "Hai,
Ruka! Kamu benar-benar datang." sapa Kak Alice sambil memelukku. "Aku sudah tidak
sabar untuk mengukur tubuhmu dan mengajarkanmu cara berjalan di catwalk festival
nanti." "Apa catwalk-nya berbeda dari yang biasa kulihat?" tanyaku bingung. Kak Alice
tertawa dan mengangguk, "Anak-anak fashion design suka sesuatu yang unik, jadi
panggung catwalk-nya pun juga unik." Ujarnya. "Ah, Inoue belum keluar dari dapur.
Sedang menyiapkan cemilan untuk kita." "Oh..." aku manggut-manggut, kemudian
menoleh kearah Kazuto yang tampak diam di depan pintu. "Apa kau juga akan masuk?"
tanyaku. "Aku mau saja masuk," katanya, "Tapi, bukankah kamu tidak menerima
Rukas Angel - Angelia Putri
permintaan maafku tadi?" "Apa kau akan langsung pulang ke rumahmu?" tanyaku lagi.
"Aku akan menunggu di mobil sampai kamu pulang." jawabnya. Hhh... dia ini
benar-benar keras kepala. Tanpa sadar, aku memutar bola mataku padanya. "Kalau
begitu, jangan menunggu di mobil dan masuk saja. Aku tidak mau dianggap sebagai
cewek yang sedang berselingkuh dengan orang lain, padahal kita sama sekali tidak ada
hubungan apa-apa." kataku. "Tapi, kita memang punya hubungan, kok." "Kamu - "
"Temanmu juga boleh masuk, kok." Kata Kak Alice menatapku dan Kazuto bergantian,
"Oh, namaku Alice Hawkstone. Dan ini pacarku, Tristan Fernandez." Kazuto menyalami
mereka berdua dengan senyum tipis. "Aku Hoshihiko Kazuto." Katanya. "Oke, ayo,
kalian berdua masuk. Inoue pasti sudah membuatkan cemilan untuk kita." Kak Alice
menggandengku dan melontarkan berbagai macam pertanyaan khas psikolog. Aku jadi
heran mendengar pertanyaannya. Jangan-jangan Kak Alice ini calon psikolog. Mataku
menatap ruang tamu yang didominasi warna putih dan silver. Karpet bulu berwarna
loreng macan putih terhampar di bawah sofa kulit berwarna putih dan meja kaca yang
penuh dengan kertas-kertas berserakan, kain perca, dan beberapa kotak manic-manik
dan payet. TV LED layar lebar tertanam di dinding di depan sofa lengkap dengan sound
system-nya. Baru ruang tamu yang kulihat begitu berkelas dan terlihat seperti ruang
santai pribadi, bagaimana dengan ruangan lainnya. "Hei, Inoue! Jangan bengong di
depan pintu dapur seperti itu, dong." Aku menoleh kearah pintu berwarna merah yang
menjadi penghubung antara dapur dan ruang tamu. Dan di depan pintu, Kak Inoue
seakan berdiri mematung menatap kami semua. Aku sempat merinding ketika
merasakan aura aneh yang dibawa olehnya. Benar-benar aura yang aneh. Penuh
dengan... permusuhan. Dan aku merasakan hal yang sama pada Kazuto yang berdiri di
belakangku. Aku melirik kearahnya dan melihat rahang bawahnya mengeras dan
matanya terkunci pada Kak Inoue. Sejenak, aku bergantian memandang mereka berdua
dengan kening berkerut. Apakah mereka saling kenal" Kalau iya, kenapa aura
permusuhan di antara mereka berdua begitu kental dan membuatku tidak nyaman" ***
Aku menatap Ruka dan orang yang berdiri di belakangnya bergantian. Entah kemarahan
apa yang menyulutku sekarang. Rasanya, aku tidak senang kalau orang itu berdiri di
belakang Ruka seakan dia adalah pengawal gadis itu. "Hei, Inoue, jangan bengong saja.
Ayo, kemari!" seru Alice, membuyarkan lamunanku yang penuh amarah. Aku berbalik
ke dapur dan menghembuskan nafas perlahan-lahan sebelum membawa nampan berisi
teh dingin beserta empat buah gelas dan juga sekaleng kue. Aku keluar dari dapur
dengan senyum terkembang. Aku tidak mau menatap orang yang berdiri di belakang
Ruka. Tapi, bukan berarti aku tidak menghiraukan kehadirannya. "Kamu ini, membuat
minuman saja lelet banget." Kata Alice, "Kamu memang tidak terampil dalam hal seperti
ini, ya?" Aku hanya mengedikkan bahu, kemudian menoleh kearah Ruka. "Ayo, silakan
duduk. Kita akan langsung mulai sekarang." kataku. Kemudian menatap orang itu, dan
pura-pura tidak mengenalinya, "Siapa ini" Temanmu?" "Dia Hoshihiko Kazuto." Kata
Ruka. "Ya... dia temanku. Kazuto, ini Kak Nakayama Inoue." "Hoshihiko Kazuto."
Katanya sambil mengulurkan tangan, menanggapi acting yang sedang kumainkan. Dari
sinar matanya, aku tahu, dia juga memikirkan hal yang sama sepertiku. Kami harus
bicara. Secara pribadi. "Kau bisa memanggilku Inoue." Kataku, sambil tersenyum palsu.
"Silakan duduk. Di manapun boleh. Maaf, kalau tempatku berantakan." "Tidak masalah,"
ujar Kazuto sambil tersenyum. Lalu duduk di sebelah Ruka. Sekali lagi aku
mengkertakkan gigiku, menahan semburan protes dan juga amarah yang sudah di ujung
lidah. "Nah," Alice menepuk tangannya, "Karena semua sudah berkumpul, kita langsung
saja mengukur tubuhmu, Ruka. Ayo, ikut aku." *** Ketika Alice sudah menggiring Ruka
ke kamarku untuk diukur tubuhnya, aku menyuruh Tristan untuk mengambil keperluan
lain di studio mini milik kami yang tidak jauh dari rumahku. Dan saat aku hanya tinggal
Rukas Angel - Angelia Putri
berdua dengan Kazuto, aku langsung menyemburkan pertanyaan yang sedari tadi
sudah berada di ujung lidah. "Kenapa kamu bisa bersamanya?" tanyaku, menyipitkan
mata pada Kazuto. Kazuto dengan tenang meminum tehnya dan menatapku tanpa
ekspresi. "Karena aku menemukannya lebih dulu." Ujarnya, "Aku menemukannya lebih
dulu darimu. Dan itu berarti, kamu harus menepati janjimu." "Aku tidak pernah
menjanjikan apa pun padamu. Lagipula, kamu tahu sendiri aku benci jika harus terus
kamu ikuti." "Aku tidak pernah mengikutimu." Dia membalasku, dan menatapku dengan
ekpresi membunuh, "Kau yang meninggalkan rumah dan mengatakan tidak ingin terikat
dengan keluargaku. Keluarga kita. Walau kau bukan berasal dari keluarga yang sah,
tapi setidaknya - " "Jangan sebut-sebut status, Kazuto." Geramku, menyela ucapannya.
"Aku bebas dengan apa yang kulakukan. Ini hidupku, dan aku tidak mau seorang pun
termasuk kamu, mengusiknya." "Tapi, kau harus tahu, Inoue, Kakek tidak akan pernah
memaafkan perbuatanmu." Ujarnya. "Kau tahu beliau tidak pernah mau perintahnya
dibantah, termasuk juga olehmu." "Kalau aku bukan bagian keluarga yang sah, kenapa
kalian repot-repot mencariku?" balasku, "Aku tidak mau merepotkan, karena itu aku
tidak pernah meminta dan tidak pernah menerima apa yang kalian berikan padaku. Toh,
aku ini hanya seonggok benda tidak berguna dalam keluarga kalian, iya, kan?" "Inoue,
tolong..." dia menghembuskan nafas, "Jangan membantah. Turuti saja perjanjian yang
pernah ibumu janjikan pada keluargaku, dan kamu kembali ke rumah. Kalau tidak,
mungkin Kakek akan marah. Kau tahu sendiri bagaimana beliau marah." Aku tidak
menyangkal hal itu. Walau aku tidak pernah bertemu sosok pria yang mengaku-aku
sebagai kakekku, dan hanya berhubungan dengan beliau via telepon, dan itu pun hanya
satu kali, aku tahu dari nada suaranya yang tidak bisa dibantah dan dingin serta
kekejaman yang tersirat di setiap kata-kata beliau.
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku juga tidak menyangkal, aku takut pada kemarahan beliau. Tapi, aku tidak mau
menerima kenyataan bahwa aku juga seorang anak dari Hoshihiko Murone, ayah
kandungku dan juga Kazuto. Sekaligus menjadi salah satu calon pewaris harta
kekayaan keluarga Hoshihiko yang dikatakan menjadi orang kaya kedua di Negara ini.
"Aku akan memikirkannya. Kalau aku punya waktu untuk itu." kataku sambil meminum
tehku. "Lalu, kenapa kamu bisa bersama Ruka" Ada hubungan apa kamu dengannya?"
Kali ini, Kazuto seperti tersenyum. Dia meminum lagi minumannya sebelum menjawab
pertanyaanku. "Sederhana," katanya kalem, dan penuh arti, "Dia adalah cahayaku."
"Cahaya?" aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu, Kazuto" Katakan yang jelas." Dia
menatapku dengan tatapan yang menyiratkan
"Apa-kamu-sungguh-sungguh-tidaktahu?"Dia adalah orang yang diputuskan akan
menjadi calon istriku kelak." CHAPTER 10 Apa" Apa katanya barusan" Calon istri"
Ruka" Calon istri Kazuto" Dia pasti bercanda. "Aku tidak tahu lelucon apa yang kau
ucapkan, Kak." Kataku. "Tapi, aku tidak akan percaya jika dia adalah calon istrimu."
"Kau boleh tidak percaya. Tapi, bukan aku yang memutuskan, melainkan Kakek." Ujar
Kazuto. "Aku dan Ruka sudah ditunangkan sejak kami masih kecil." "Kau pasti
bercanda." Kataku, nyaris tersedak minumanku sendiri. "Apa-apaan itu" Tunangan...
apa maksud pria tua itu menjadikan kalian berdua tunangan?" "Aku tidak tahu." dia
mengedikkan bahu, kemudian menatapku, "Jangan katakan padaku kau menyukainya,
Inoue. Aku tidak suka berbagi yang sudah jelas-jelas adalah milikku." Oh. Ini dia Kazuto
yang sesungguhnya. Arogan dan ingin menang sendiri. Dan, jangan salah, selain kedua
sifat itu, sebenarnya, sifatnya yang lain nyaris sama seperti pria tua yang dia sebut
"KakekKejam. Dan kadang bisa mengimintidasi orang lain di sekitarnya. "Aku bukannya
suka pada Ruka. Tapi, aku tertarik padanya." Kataku, "Dan aku tidak jamin kalau rasa
Rukas Angel - Angelia Putri
tertarik itu akan berubah menjadi suka, atau lebih dari itu." "Kau tidak akan berani,
Inoue..." dia menatapku dengan mata disipitkan tajam. "Aku tidak akan mau berbagi apa
yang sudah menjadi milikku." "Tapi, apa dia tahu kau tunangannya" Tidak, kan" Dilihat
dari tingkah lakunya, sepertinya dia malah takut padamu." Kataku, "Dan kurasa, dia
bahkan tidak mengingatmu sebagai tunangannya." Aku rasa terkaanku tepat. Karena
wajahnya berkedut samar. "Apa pembicaraan kita harus selalu dihiasi pertengkaran?"
tanyanya, mencoba menenangkan suaranya yang sarat amarah. "Apa kamu sendiri lupa
kalau kamu sendiri punya tunangan yang menunggumu kembali?" "Lucia bukan
tunanganku. Aku tidak pernah mengakuinya, dan dia sendiri sepertinya baik-baik saja
dengan itu." kataku. "Dia hanya mengincar harta keluarga Hoshihiko. Dan seharusnya
kau bersyukur, aku pergi dari keluarga untuk menghindari wanita mata duitan seperti
dirinya." "Tapi, seharusnya kau tidak perlu pergi dari rumah, kan?" balasnya, "Sekali lagi
kuminta padamu, kembalilah ke rumah, dan bantu aku untuk mengurus semua yang
ditinggalkan oleh Papa dan Mama." "Tidak, terima kasih. Aku sudah cukup puas dengan
kehidupanku sekarang." ujarku, "Harta peninggalan ibuku masih cukup untuk
menghidupiku sampai lulus kuliah." "Inoue," Pintu kamarku tiba-tiba terbuka dan Alice
serta Ruka keluar. Mereka sepertunya sudah menjadi akrab, itu terlihat dari cara bicara
mereka yang seperti teman lama. Atau mereka punya topic pembicaraan yang sam"
Entahlah. "Hei, kenapa kalian berdua kelihatan tidak akur begitu?" ujar Alice yang
menatap kearah kami. "Tidak... kami hanya membicarakan hal yang biasa dibicarakan
oleh para cowok." kataku berbohong. "Bagaimana?" Alice tersenyum lebar pada Ruka
yang menunduk. Dia melambai-lambaikan kertas di tangannya. "Dia benar-benar
berbakat, Inoue. Seharusnya tadi kamu melihatnya berjalan seperti layaknya super
model kelas atas." Kata Alice. "Kakak jangan terlalu memuji." Suara Ruka kedengaran
lebih kecil dari biasanya. "Hei... jangan merendah begitu, dong?" Alice merengkuh
bahu Ruka, "Ayo, kita bergabung dengan mereka, dan membicarakan seperti apa gaun
yang akan cocok untukmu dan festival kelulusan Inoue nanti." *** Rupanya Kak Alice,
dan Kak Tristan, sama seperti Kak Inoue. Suka berbicara dan cepat akrab dengan orang
lain. Selama mengukurku, Kak Alice bicara banyak tentang Kak Tristan dan Kak Inoue,
juga tentang jurusan kuliah yang diambil mereka. "Apa Kak Inoue suka sekali
memaksakan kehendak, ya?" kataku. "Waktu pertama kali menawariku, dia sepertinya
tidak sabar ingin mendandaniku dengan semua pernak-pernik yang ia punya." "Inoue
memang begitu..." ujar Kak Alice sambil menulis sesuatu di kertas yang dibawanya.
"Dan karena kamu akan menjadi modelnya, kamu harus terbiasa bersamanya dan
mengikuti apa kata-katanya. Kalau dia menyuruhmu memakai perhiasan saat tampil di
festival, kamu harus memakainya, dan bla-bla-bla... begitulah." Aku hanya mengangguk
mengerti. "Nah. Sudah." Kak Alice tersenyum, "Sekarang, ayo kita keluar dan
membiarkan Inoue bermain dengan imajinasinya untuk membuat gaun yang
spektakuler!" Ketika kami keluar, aku merasakan aura permusuhan itu lagi. Kak Inoue
dan Kazuto memandangku bersamaan. Wajah Kak Inoue yang semula kelihatan
cemberut, berubah cerah ketika melihatku, sementara Kazuto... yah, ekspresinya datar.
Aku bahkan tidak yakin apa yang sedang dipikirkannya. "Kalian sudah selesai
mengukur?" tanya Kak Inoue sambil melompat kearah kami. "Bagaimana hasilnya,
Alice?" "Ini. Semuanya tertulis di atas kertas ini, Inoue sayang." Kata Kak Alice, "Dan
ngomongngomong, di mana si gilas basket kesayanganku?" "Sedang mengambil
beberapa peralatan dan bahan dari studio mini kami." Ujar Kak Inoue sambil membaca
data mengenai ukuran tubuhku yang diserahkan Kak Alice. Keningnya berkerut samar,
tapi, kemudian mengangguk-angguk seolah mengerti sesuatu. "Proporsi tubuhmu
benar-benar sempurna. Sangat ideal menjadi seorang model." Kata Kak Inoue
tersenyum lebar. "Oke. Silakan minum teh dan makan kuenya, sementara tanganku
Rukas Angel - Angelia Putri
bergerak di atas kertas-kertas kosong di sana. Alice, temani mereka mengobrol, oke?"
"Aku, kan, memang sering menjadi badut untuk kalian?" kata Kak Alice sambil tertawa.
"Nah, ayo, Ruka, kita mengobrol apa saja. Ayo!" Kak Alice menyeretku ke sofa dan kami
mulai mengobrol, sementara Kak Inoue pergi ke meja panjang dengan dua kursi yang
ada di pojokan ruang tamu. Tapi, aku tidak bisa focus pada obrolan Kak Alice karena
Kazuto menebarkan aura kemarahan aneh yang membuatku tidak nyaman. Aku melirik
kearahnya dan melihatnya sedang memandang kearah lain sambil minum teh. Ekspresi
wajahnya datar dan tidak terbaca. Dan aku takut-takut menyadari bahwa kemarahannya
mungkin karena aku" Tapi, kenapa pula aku harus takut dengan kemarahannya" Dia
bukan siapa-siapaku juga, kan" "Ngomong-ngomong, temanmu ini tampan sekali, ya?"
kata Kak Alice tiba-tiba, "Namanya tadi Hoshihiko Kazuto, ya" Apa dia adalah cucu dari
Hoshihiko Kouji, orang kaya kedua di negeri ini sekaligus pemilik saham terbesar dalam
bisnis perhotelan dan kuliner?"
Rukas Angel - Angelia Putri
Apa iya Kazuto adalah cucu orang kaya kedua di negeri ini" Entahlah. Aku juga tidak
tahu. Tapi... kurasa Kak Sonia pernah mengatakan hal semacam itu padaku. Dan
sayangnya, aku lupa. "Aku... tidak tahu..." kataku mengedikkan bahu. "Aku jarang
mengikuti perkembangan berita terkini. Jadi... yah, aku tidak tahu apakah Kazuto
memang cucu orang terkaya kedua di negeri ini." "Heee... kalau begitu, kamu harus
sering baca-baca majalah atau Koran." Ujar Kak Alice sambil tertawa pelan, "Oh ya, apa
kamu tidak tahu kalau Inoue ditawari magang di sebuah butik milik desainer ternama"
Kalau tidak salah... nama desainer itu Vani Himawan." "Benarkah" Vani Himawan yang
itu?" tanyaku. Aku cukup tahu desainer kenamaan di Negara ini, Vani Himawan. Aku
bahkan pernah menjadi peraga busananya walau hanya dua kali. Kak Alice
mengangguk dan mengedikkan dagunya kearah Kak Inoue yang asyik menggambar
bersama Kak Tristan yang entah kapan datangnya dan tahu-tahu sudah duduk di
sebelah Kak Inoue dan ikut menggambar. "Kalau kamu mau kepastiannya, tanya saja
pada orangnya sendiri." ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata. Aku hanya
tersenyum. Kemudian mataku kembali tertuju pada Kazuto, lalu Kak Inoue, yang sedang
asyik menggambar dan berdiskusi dengan Kak Tristan. Aura permusuhan itu masih
terasa kental di antara Kak Inoue dan Kazuto. *** "Sudah jadi!!" Aku yang asyik
meminum teh dari cangkirku nyaris tersedak ketika Kak Inoue berteriak girang dan
langsung berjalan cepat kearah kami. Senyum lebar menghiasi wajahnya. "Apa sudah
jadi?" tanya Kak Alice. "Sudah, tentu saja. Ada beberapa desain yang cukup unik dan
menantang untuk dibuat." Kata Kak Inoue, "Aku membuat sekitar 8 desain dan aku ingin
kalian semua memilihkan 3 desain dari semua itu untukku." Kak Inoue melemparkan
kertas-kertas di tangannya ke meja kaca. Aku mengambil salah satu kertas itu dan
menatap sebuah desain gaun berwarna biru langit dengan aksen pita besar di
pinggang sebelah kiri. Gaun itu juga dihiasi korset berwarna senada dan kelihatannya
sangat membungkus tubuh pemakainya. Gaun ini cocok untuk pesta, aku yakin.
"Heee... gambaranmu makin bagus saja." kata Kak Alice sambil memegang
masing-masing satu kertas di tangannya. "Apa saja tema gaun yang kamu usung nanti
di festival kelulusan" Bukankah paling banyak harus mempunyai dua tema, satu tema
utama yang ditentukan oleh para juri, lalu tema yang bisa kita pilih sendiri." "Hmm... aku
belum memikirkannya. Tapi, untuk tema utama, aku memilih wedding dress. Kau tahu,
kan kalau belakangan ini model-model gaun pengantin sedang ngetop" Karena itu, aku
ingin kalian semua memberikan pendapat desain mana saja yang bagus." Kata Kak
Inoue, "Termasuk pendapat Kazuto juga. Aku ingin mendengar pendapat kalian semua."
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sempat tertegun mendengar ucapan Kak Inoue. Ucapannya tadi seakan bernada
Rukas Angel - Angelia Putri
tantangan pada Kazuto. Kulirik kearah Kazuto dengan hati-hati dan wajahnya sedikit
terkejut mendengar ucapan Kak Inoue. Apa dia tidak menyangka dia juga dimintai
pendapat, atau... ada hal lain" "Boleh saja." katanya sambil berdeham. "Coba kulihat,"
Kazuto bergeser kearahku dan mengambil kertas yang ada di atas meja melalui bahuku.
Dan aku harus menahan keinginanku untuk menjauh darinya ketika merasakan bahunya
menyentuh punggungku. Duh... kenapa aku harus mengalami godaan sekaligus cobaan
seperti ini, sih" *** Aku harus menahan geramanku ketika Kazuto berpura-pura
mengambil kertas rancangan gaunku dari balik bahu Ruka. Aku juga harus menahan
tanganku agar tidak langsung memukulnya dengan kemampuan telekinesisku. Aku
yakin, dia juga memiliki kemampuan yang sama, mengingat kami memiliki ayah
kandung yang sama. "Hmm..." dia menatap hasil rancanganku dengan ekspresi datar.
Tapi, aku tahu, dia hanya sengaja melihat kertas itu agar terlihat lebih sopan. Hah.
Seorang Hoshihiko Kazuto ternyata juga bisa menjaga sopan santun dan wibawanya di
hadapan teman-temanku. "Kurasa aku lebih suka yang ini." Suara Ruka membuyarkan
lamunanku. Aku melihatnya menatap kertas dengan gambar rancangan gaun putih
seperti malaikat. "Menurutmu itu bagus?" aku mengerutkan kening dengan pilihannya.
Gambar yang itu belum sempat kuberi sentuhan apapun karena terlalu sibuk dengan
gambar-gambar yang lain. Sejujurnya, gambar yang sedang dipegang Ruka adalah
gambar yang baru akan kukerjakan pagi ini, tapi, lantaran aku ketiduran sampai
akhirnya kesiangan... "Ya." Ruka mengangguk dan senyum tipisnya itu bagaikan sinar
matahari bagiku, "Soalnya gaun ini masih bisa ditambahkan aksesoris lain, mungkin
manic-manik, bros, ikat pinggang, atau aksen seperti sayap malaikat di punggungnya."
"Benar juga... sayap malaikat." Kata Alice yang duduk di dekat Ruka, "Kalau kamu
mengenakan gaun ini, pasti akan terlihat seperti malaikat sungguhan... ah!! Benar juga!"
"Apa?" tanyaku berspekulasi. Kalau Alice memasang wajah berbinar-binar seperti itu,
artinya, dia memiliki ide yang cukup gila untuk membuatku dan Tristan kalang kabut
menyangkut soal model pilihan kami. Hanya untuk informasi, selama ini Alice-lah yang
menjadi fashion stylist model-model pilihanku dan Tristan. Karena selain dia bisa
mengambil jurusan psikologi (apa itu ada hubungannya") dan mahir dalam mengetahui
emosi orang lain, Alice juga seorang penata rias yang cukup ahli. Dia bahkan pernah
merias beberapa artis ternama, termasu Jennifer Anderson, kepala sekolah Hope
Academy yang dikabarkan menghilang itu. Tunggu. Ngomong-ngomong soal itu... apa
menghilangnya Jennifer Anderson dan keluarganya itu ada hubungannya dengan
Kazuto" "Aku punya ide untuk tema utama desainmu saat festival kelulusan nanti."
Katanya. "Oh ya" Apa itu?" tanya Tristan, yang tahu-tahu sudah duduk di sebelahku.
Alice mengambil kertas yang dipegang oleh Ruka dan sedikit mencoret-coret di atasnya,
lalu menyerahkan hasilnya padaku. "Bagaimana kalau seperti itu?" tanya Alice,
"Konsepnya alami, dan aku yakin, bakal banyak yang ingin memakai gaun rancanganmu
ini." Aku menatap kertas berisi rancangan gaun putih itu. Alice menambahkan aksen
seperti kancing double breasted pada bagian depan. Mungkin terlihat seperti jaket,
tapi... ada yang aneh. "Kenapa kamu harus menambahkan aksen kancing ini?" tanyaku.
"Elemen kejutan." Ujar Alice dengan senyum dan mata berbinar-binar. "Aku ingin kamu
membuatnya seperti ini." Aku menatapnya mengambil kertas itu lagi dari tanganku dan
mencoret-coret di bagian belakangnya. Oke, sekali lagi aku harus mengakui, walau
semua ide yang tertuang di kertas adalah ideku secara orisinal, tapi, Alice-lah yang
menambahkan aksesoris atau aksen-aksen yang tidak terpikirkan pada rancangan
setiap gaun desainku. "Nah, seperti ini." Alice menyerahkan kembali kertas itu. "Aku
ingin kamu membuatnya kelihatan elegan, anggap saja bagian atas ini adalah jas ketat
putih, dan di dalamnya adalah kamisol ketat putih. Untuk akses kamisolnya, kamu bisa
tambahkan beberapa kait dan sedikit renda, lalu..." Pembicaraan akhirnya hanya
Rukas Angel - Angelia Putri
berkisar antara aku, Alice, dan Tristan, yang sesekali melontarkan idenya. Ruka hanya
memberikan beberapa saran dan memilih 2 rancangan lagi yang menurutnya mendekati
tema bebas yang kuusung : prom night. Akhirnya, pembicaraan ini selesai juga. Setelah
menghabiskan bergelas-gelas teh, dan
Rukas Angel - Angelia Putri
setengah kaleng kue, pembicaraan ini selesai juga. Tentunya dengan rasa puas. Aku
menatap tiga lembar kertas rancangan gaun yang sudah kuperbaiki dan kumodifikasi
atas saran kedua sahabatku dan juga Ruka. Kazuto hanya diam dan tidak
mengomentari apa-apa. Baru kali ini aku melihatnya sangat diam, lebih diam dari
biasanya. "Huwaa... capeknya..." Tristan mengembuskan nafas sambil bersandar
pada punggung sofa. "Aku yakin, rancanganmu akan dikagumi dan mendapat nilai
tertinggi." "Terima kasih, aku juga berharap demikian." Kataku tersenyum lebar,
kemudian meminum tehku dengan nikmat. "Dan itu semua juga harus didukung oleh
Ruka sebagai modelku." "Aku akan berusaha..." kata Ruka tersenyum. "Aku tidak
pernah mengenakan kostum seperti itu sebelumnya. Jadi... mungkin aku perlu latihan
sedikit." "Tenanga saja, Ruka. Kamu punya bakat alami menarik perhatian orang-orang
di sekitarmu. Jadi, jangan khawatir kamu akan diacuhkan selama di panggung." Kata
Alice menyemangati. "Ya. Aura yang kamu bawa itu sangat menenangkan hati." Tristan
ikut menyahut, "Walau kamu kelihatannya dingin dan cuek, aku yakin, aura
menenangkan yang kamu bawa itu bisa mempengaruhi penampilanmu di catwalk."
"Terima kasih," Ruka lagi-lagi tersenyum. Dan senyumnya seakan menular kepada
kami. "Oh, aku harus segera pulang. Ini sudah malam," katanya sambil melirik jam
tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. "Kak Inoue, kapan aku harus kemari lagi?"
"Setiap hari." kataku, dan menerima tatapan kagetnya. "Tentu saja aku harus
menyesuaikan bahan-bahan untuk gaun rancanganku padamu dan juga aksesoris apa
saja yang cocok untuk dipadukan dengan gaun itu nantinya. Siapa tahu nanti aku
berubah pikiran dan malah menginginkan desain lain untuk kamu pakai." "Oh..." dia
manggut-manggut dengan wajah memerah. "K, kalau begitu... aku pulang dulu." "Kamu
pulang bersama Kazuto?" tanya Alice. Dan aku baru sara Kazuto masih berada di sini.
Karena dia tidak berbicara dan hanya diam saja, aku sampai melupakan
kehadirannya... tidak. Sebenarnya aku hanya pura-pura melupakan kehadirannya.
Karena aku masih bingung dan marah dengan pembicaraan kami barusan. "Aku yang
mengantarnya pergi, dan aku juga yang akan mengantarnya pulang." ujar Kazuto
dengan suara yang nyaris dingin seperti es. "Oh, begitu. Kalau begitu, jaga Ruka
baik-baik. Gadis secantik dia bisa menjadi incaran para lelaki liar di luar sana, lho..."
kata Alice sambil terkikik. Rasanya aku ingin menyumpal mulut pacar sahabatku ini
dengan kue sebanyakbanyaknya karena mengatakan hal yang cukup memalukan itu.
Kazuto tertawa mendengar gurauan Alice yang memalukan itu dan mengedikkan bahu.
"Aku selalu mengawasinya, kok. Tenang saja." Kata-kata itu... aku yakin, disindirkan
padaku. Tanpa sadar, mataku menyipit tajam padanya. "K, kalau begitu, kami pulang
dulu." Ujar Ruka cepat-cepat. "Sampai jumpa besok, Kak Inoue. Kalau aku harus datang
lagi besok, Kakak bisa mengirimiku pesan atau meneleponku saja." "Oke." Aku
memaksakan seulas senyum lebar, yang aku yakin akan terlihat aneh di matanya. Aku
mengantar mereka berdua ke pintu depan dan melihat Kazuto begitu posesif
menggandeng tangan Ruka. Sekali lagi, untuk ke sekian kalinya, aku menahan geraman
marah yang sudah berada di ujung lidah. "Mereka pasangan yang serasi, ya?" kata Alice
yang tahu-tahu berdiri di sebelahku, "Ruka cantik, dan Kazuto tampan... aku baru sadar.
Selama aku memperhatikannya, ada beberapa hal yang mirip antara kau dan Kazuto."
"Oh ya?" aku mengangkat alis dan berpura-pura apa yang dikatakan Alice terdengar
Rukas Angel - Angelia Putri
lucu di telingaku. Yang nyatanya tidak. Aku takut kalau sahabatku yang satu ini terlalu
jeli untuk melihat kemiripan yang tidak kentara di antara kami berdua. "Ya..." Alice
mengerutkan kening. "Mata kalian berdua mirip. Juga hidung dan garis wajah yang
tegas. Dan... ah, ya... sifat kalian ada yang mirip." "Sifat yang bagaimana?"
"Sama-sama menyukai Ruka." "Ap - " aku mengerjap kaget. Kali ini sungguhan. "Jangan
menyembunyikannya, Inoue. Aku tahu kamu suka dengan gadis itu." dia tersenyum
lebar, "Aku yakin, kamu akan berusaha merebut hatinya kelak. Kalau tidak sekarang,
mungkin nanti... bersaing dengan Kazuto itu." "Apa-apaan, sih" Ngaco saja kamu..."
kataku sambil berdeham, "Aku... menganggap Ruka seperti seorang adik, dan model
yang harus dijaga dari orang lain. Dia seperti... berlian terang di antara jerami."
"Benarkah" Kenapa aku melihatnya tidak seperti itu?" kata Alice terkekeh, karena
berhasil menggodaku. "Akui sajalah, Inoue sayang... kau punya perasaan padanya."
"Aku tidak - kenapa kamu suka sekali menggodaku, sih!?" *** Kazuto mengemudikan
mobilnya dalam diam ketika perjalanan pulang. Hari sudah gelap, dan aku merasa lelah.
Pembicaraan bersama Kak Inoue dan kedua temannya tadi cukup menguras tenaga
dan pikiranku tersita dari aura menakutkan yang dibawa oleh Kazuto. Tapi, ketika kami
hanya berdua seperti sekarang, entah kenapa, aku merasakan lagi aura menakutkan itu.
Dan hal itu membuatku sedikit merinding. "Kenapa?" tanyanya. "Tidak apa-apa. Aku
hanya kecapekan." Jawabku sambil menggeleng, "Sebaiknya kamu langsung
mengantarku pulang saja, dan kamu sendiri langsung pulang ke rumahmu." "Apa kamu
mengusirku?" "Tidak. Tapi, saat ini - " "Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke suatu
tempat." Selanya, "Dan aku mau kamu duduk manis sekarang, dan biarkan aku
mengajakmu ke sana." "Kita akan ke mana?" tanyaku. Dia menoleh menatapku dan
senyum tipis yang agak menakutkan itu membuatku merinding. "Kamu akan tahu nanti."
CHAPTER 11 Rasanya aku ingin kabur melihat senyum mengerikan di wajah Kazuto.
Sungguh. Aku benar-benar takut. Apalagi kalau dia sampai melakukan sesuatu padaku.
"Tidak perlu berpikiran yang macam-macam, Ruka." Katanya, "Jelas aku tidak punya
niat untuk mencelakaimu, atau membuatmu mati." "Lalu... apa yang ingin kamu
lakukan" Kita akan ke mana?" "Sudah kubilang, kamu akan tahu." Mobil kemudian
melaju lebih cepat. Dan aku makin khawatir dia akan membawaku ke mana. Perjalanan
ternyata cukup lama, dan perutku mulai sakit, menahan lapar. Karena sejak tadi siang
aku belum makan dan hanya makan kue-kue kecil di rumah Kak Inoue, sekarang aku
benarbenar lapar. Keadaan jalan terlalu lengang, kalau tidak mau dikatakan sepi.
Perasaanku mulai tidak enak. Apalagi aku tidak tahu Kazuto akan membawaku ke
mana. Mobil tiba-tiba berhenti. Dan aku sekilas mendengar suara air di dekatku. Di
mana ini" Keadaan di luar gelap, dan aku tidak bisa melihat apa pun.
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ayo, kita keluar dan makan malam." Kata Kazuto sambil melepas sabuk pengamannya.
"Kita akan makan malam?" tanyaku. "Ya. Ayo, ikuti aku." Kami berdua keluar bersamaan
dan aku sempat merinding melihat kegelapan pekat di sekitarku. Aku paling benci gelap
karena aku sering bermimpi buruk tentang hal itu. Kemudian tangan Kazuto
menggenggamku dan merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku bisa mencium aroma
parfumnya yang wangi dan maskulin. Aku mendongak menatapnya, agak sulit karena
gelapnya keadaan di sekitar sini. "Ayo," suaranya begitu lembut dan membuatku sedikit
lebih nyaman. Dengan arahannya, aku berjalan melewati kegelapan itu dengan
takut-takut. Selama berjalan, Kazuto tidak pernah melepasku, dan dia menggenggam
tanganku dengan erat, itu membuatku merasa nyaman dan... terlindungi. Tapi, aku
masih bisa merasakan aura menakutkan yang dibawanya. "Kita sudah sampai." Katanya
berhenti. "S, sampai di mana" Di sini masih gelap..." kataku. Suara gemerisik di dekatku
Rukas Angel - Angelia Putri
membuatku memekik kaget dan menyembunyikan wajahku di dada Kazuto. Ya
ampun... aku benar-benar malu sudah melakukan hal itu. Serius. "Kita sudah sampai,
kok." Ujarnya lagi, kemudian menjentikkan jari. Kemudian segalanya berubah terang,
dan aku harus melindungi mataku dari cahaya yang terlalu menyilaukan itu. Ketika
mataku sudah terbiasa dengan cahaya yang ada, aku yakin, mulutku ternganga melihat
apa yang ada di depan kami. "Taman bermain?" aku berhasil menggumamkan
keterkejutan di dalam benakku. "Kamu pikir aku akan membawamu ke mana?" tanyanya
dengan nada suara geli. Aku hanya menatapnya dengan ekspresi tidak menentu. Di
satu sisi, aku bingung kenapa dia mengajakku kemari. Di sisi yang lain, aku merasa
malu, kukira dia membawaku ke tempat yang tidak kutahu dan mungkin akan... Duh,
pikiranku jadi melantur, kan" Aku menatap taman bermain di hadapanku. Sinar-sinar
cerah dan berwarna-warni yang meneranginya sangat... indah. Ada bianglala, komedi
putar, cangkir teh raksasa, dan permainan lainnya. "Kenapa kamu membawaku ke
sini?" tanyaku. "Karena aku ingin mengembalikan ingatanmu." Jawabnya, "Bukankah
aku sudah bilang kalau aku akan membantumu mengembalikan ingatanmu?" Ah, ya...
aku lupa soal ucapannya yang itu. "Tapi, kenapa harus ke sini" Kenapa bukan... tempat
yang familiar untukku?" "Apa taman bermain ini tidak terasa familiar bagimu?" Aku
mengerutkan kening dan menatap taman bermain itu lagi. Dan kemudian, sekelebat
gambar muncul di benakku. Gambar-gambar yang rasanya tidak asing untukku. Aku
melihat anak kecil... dua anak kecil, sedang bermain di taman bermain ini, lalu... lalu...
"Ruka!" Aku mengerjap ketika aku baru sadar tubuhku limbung dan nyaris jatuh ke
tanah. Kazuto menahan pinggangku dan menggenggam tanganku. "A, aku kenapa?"
"Kamu nyaris pingsan..." katanya, "Apa kamu merasa pernah mengenal taman bermain
ini?" Kerutan di keningku semakin dalam, dan aku merasa aku akan jatuh pingsan lagi.
"Aku... ingin duduk." Kataku pelan. "Ke sini," Kazuto menuntunku ke salah satu bangku
panjang yang ada di dekat wahana permainan komedi putar dan mendudukkanku di
sana. Aku bersandar pada punggung bangku dan menghembuskan nafas. Kepalaku
seperti berdentam-dentam, dan tubuhku menggigil karena dinginnya hawa di sekitar
taman ini, apalagi karena pakaian yang kukenakan cukup terbuka. Hanya kaus lengan
pendek berwarna biru langit dan rok jins selutut. Lalu, aku merasakan ada sesuatu yang
menyelimuti bahuku. Aku mendongak dan meliaht Kazuto menyelimutkan jas yang
dipakainya padaku. "Kamu akan kedinginan." Kataku sambil menatap jasnya yang kini
tersampir di bahuku. "Aku laki-laki, jadi tidak masalah." Balasnya. "Lagipula kamu sendiri
kedinginan, kan" Pakai saja jas itu." Aku tidak berkata lagi ketika dia menyampirkan jas
itu semakin erat padaku. Aku hanay bisa menunduk dan mengangguk. "Terima... kasih."
Ujarku pelan. "Sama-sama." Katanya, kemudian mencium puncak kepalaku.
"Bagaimana kalau kita jalanjalan sebentar" Siapa tahu ingatanmu sedikit-sedikit akan
kembali." Ajakan itu sangat menggoda. Aku ingin tahu apa yang terjadi sebelum aku
berumur 5 tahun. Aku meraih tangannya yang terulur padaku. Dan kami berjalan-jalan di
taman bermain itu. *** Setelah Alice dan Tristan pulang, aku langsung mencoba
menelepon Kazuto. Aku ingin kami berdua bicara, secara pribadi. Pembicaraan
antarcowok. Tapi, ponselnya tidak bisa dihubungi dan selalu dijawab oleh mailbox. Sial.
Di mana kakakku yang gencar menyuruhku pulang itu" Apa dia bersama Ruka" Pikiran
itu membuatku ingin meninju apa saja yang ada di dekatku. Aku tidak bisa membiarkan
perasaan aneh ini terus menghantuiku. Aku mengambil jaketku dan mematikan lampu
ruang tamu. Lalu keluar untuk mencari Kazuto dan Ruka. Aku tidak memerlukan
transportasi. Karena dengan kemampuan telekinesis dan ketajaman kelima inderaku,
aku bisa dengan mudah melacak di mana mereka berdua. Ibaratnya, seperti aku punya
alat pelacak tersendiri. Aku berjalan - tidak, lebih tepatnya, berlari cepat, sambil
memeriksa ponselku. Tidak ada telepon masuk dari Kazuto. Dan aku makin yakin, dia
Rukas Angel - Angelia Putri
memang berada di tempat yang cukup jauh. Lagipula aku bisa merasakan
kehadirannya, karena kami lahir dari benih yang sama. Namun, ketika aku menyadari
bahwa jalan yang kulalui sekarang begitu lengang dan agak gelap, aku mulai melajukan
lariku, sembari mengerutkan kening. Tempat gelap ini... rasanya aku pernah melewati
tempat ini sebelumnya. Kemudian, aku melihatnya. Tidak jauh dari tempatku berdiri,
sebuah mobil berwarna hitam yang tidak kelihatan jika dilihat oleh mata orang awam,
tapi, mataku bisa melihatnya, terparkir di dekat sebuah jalan kecil yang mengarah ke
suatu tempat. Aku sempat melihat sesuatu yang lain di mulut jalan kecil itu. Dan aku
yakin, aku terkejut karena melihat sesuatu tersebut. Sebuah papan. Memang hanya
papan biasa, seperti papan penunjuk jalan atau papan iklan. Tapi, yang membuatnya
tidak biasa adalah tulisan yang hampir pudar dan tertulis di papan tersebut. Sadarlah
aku ke mana Kazuto dan Ruka pergi. *** Kazuto menunjukkan semua wahana
permainan yang ada. Komedi puter, bianglala, cangkir teh raksasa, dan yang lainnya.
Aku sempat mendapat gambar sepotong-sepotong di otakku, pertanda bahwa aku
mengenal taman bermain ini. Tapi, aku sama sekali tidak mengingat apa pun kecuali
dua anak kecil yang asyik bermain di taman bermain ini di dalam ingatanku. "Apa kamu
ingat?" suara Kazuto membuyarkan lamunanku. Kami berhenti di dekat salah satu
wahana permainan. "Kamu dulu sering naik bianglala dan juga komedi putar itu. Kalau
kamu tidak naik kedua permainan itu, pasti kamu akan menangis dan membujuk
orangtuamu agar mau Rukas Angel - Angelia Putri
memperbolehkanmu main." "Benarkah?" aku mengerutkan kening, berusaha
mengingat-ingat. "Ya." Kazuto tersenyum. "Waktu itu, aku disuruh orangtuamu untuk
menjagamu. Sangat sulit karena kamu selalu berteriak senang dan ingin mencoba
permainan yang lain." "Apa aku seaktif itu?" Kazuto tertawa dan tangannya memeluk
pinggangku makin erat. "Tentu saja." ujarnya, "Tapi, tidak apa, asal kamu senang. Itu
menjadi pemandangan yang bagus untukku." Wajahku pasti memerah akibat
kata-katanya. Kami lalu berjalan-jalan lagi. Kali ini Kazuto mengajakku menaiki
bianglala. Ketika kami naik, aku melihat sinar berkelap-kelip dari arah kota. "Apa taman
bermain ini ada di pinggir kota?" "Ini satu-satunya taman bermain yang dibangun oleh
keluarga Hoshihiko." Katanya sambil menatapku, "Taman bermain yang khusus dibuat
untukmu." "Kapan taman bermain ini dibuat?" "12 tahun yang lalu. Sesaat sebelum
kamu mengalami kecelakaan yang merenggut kedua orangtuamu dan kamu kehilangan
ingatan." Mendadak aku terdiam. Kecelakaan... apa itu berarti mimpi yang pernah
kulihat itu adalah kejadian nyata" Aku menatap Kazuto yang memandang kearah
gemerlapnya kota dari kejauhan. Kami sudah berada di puncak tertinggi bianglala ini,
dan aku melihat dengan jelas sinar lampu dari arah kota. Sangat gemerlap dan cantik.
"Kazuto," "Ya?" "Kamu bilang... 12 tahun yang lalu aku kecelakaan dan kehilangan
ingatan..." kataku, "Apa... apa kamu tahu saat kecelakaan itu aku menjatuhkan suatu
benda?" "Benda?" "Seperti... kalung" Kalung dengan rantai emas." Kataku, "Apa kamu
tahu itu?" Dia terdiam sebentar, kemudian menggeleng. "Tidak. Aku tidak tahu. Aku
hanya tahu kamu kecelakaan dan kedua orangtuamu tewas di tempat. Dan aku selalu
mengunjungimu ke rumah sakit sampai tiba-tiba kamu menghilang begitu saja." ujarnya.
"Ah, itu..." aku hanya mengedikkan bahu. "Aku tidak suka rumah sakit. Bau obat-obatan
di sana membuatku mual." Itu sebenarnya bohong. Tapi, aku tidak ingin menceritakan
hal yang sebenarnya pada Kazuto. Aku tidak mau dia tahu mengapa aku kabur dari
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rumah sakit waktu itu. "Hmmm..." dia manggut-manggut. Kami berdua sama-sama
menikmati pemandangan yang terhampar di hadapan kami. Aku menarik nafas dan
menghembuskannya perlahan. "Lagi-lagi seperti itu," Aku menoleh kearah Kazuto yang
Rukas Angel - Angelia Putri
menatapku tanpa berkedip. "Apa?" tanyaku bingung. "Setiap kali pasti begitu.
menghembuskan nafas seolah kamu lelah..." katanya agak merenung, "Kamu tidak
suka bersamaku?" "Bukannya aku tidak suka," kataku pelan, "Auramu... terlalu
menakutkan. Kamu selalu membawa aura yang menakutkan di sekitarmu. Dan itu
membuatku takut." "Takut?" dia mengerutkan kening, seolah terluka akibat ucapanku.
"Ya..." aku mengangguk, "Aku bisa merasakan aura orang lain di sekitarku. Entah itu
aura kemarahan, kesedihan, atau aura yang menakutkan seperti yang ada di
sekitarmu." "Menurutmu aku menakutkan?" "Sudah kubilang, auramulah yang
menakutkanku." Ujarku. "Kalau begitu, aku menakutimu?" "Kazuto..." "Aku tidak pernah
terbiasa dengan orang lain, bahkan dengan keluargaku sendiri." katanya. "Aku hanya
punya Kakek, dan seorang adik tiri yang tidak mau mengakuiku." "Adik tiri dan kakek?"
Wow. Itu hal yang baru kuketahui. "Ya. Kami adalah saudara seayah." dia mengangguk
dan kembali seperti sedang merenung, "Kami sering bertengkar lantaran berbeda
pendapat. Beberapa tahun yang lalu dia kabur dari rumah tepat setelah kematian ibu
kandungnya. Aku sering menghubunginya untuk kembali ke rumah, tapi tidak pernah
digubris." "Apa dia membencimu?"tanyaku lagi. "Apa dia tidak menyukaimu sebagai
kakaknya?" "Tidak... dia bukannya membenciku." Kazuto tertawa pelan, nyaris seperti
dengusan, "Tapi ayah kami. Dia membenci karena dia lahir dari seorang Hoshihiko. Dan
dia memutuskan untuk tidak berhubungan dengan keluarga Hoshihiko lagi setelah ibu
kandungnya meninggal. Harta yang ditinggalkan almarhumah ibunya memang cukup
untuk membiayai kehidupannya sampai dia bisa sukses dengan kemampuannya
sendiri." Dia mendengus lagi dan menunduk menatap kakinya. "Kalau dipikir-pikir,
sebenarnya aku iri dengan sifatnya yang bisa memberontak dan bisa bebas seperti itu.
Berbeda denganku yang selalu merasa terkurung di rumah. Sejak kecil, aku selalu
melihat adik tiriku bebas dengan keinginannya, sementara aku harus belajar cara
menangani perusahaan yang ditinggalkan ayah dan mengatur segala sesuatu yang
ditinggalkan oleh beliau." Dia lalu mendongak dan menatapku. Tatapan matanya serius
dan membuatku sedikit salah tingkah. Jemarinya menyentuh tanganku,
menggenggamnya erat. "Tapi, kamu yang menyelamatkanku, Ruka." Katanya, "Kamu
yang menyelamatkanku dari jurang kesepian dan kamu juga yang membuatku
mensyukuri aku masih hidup sampai sekarang." "Aku... tidak melakukan apa-apa. Aku
bahkan tidak ingat siapa nama asliku." Kataku gelagapan, "Ingatanku hilang saat
berumur 5 tahun..." "Namamu memang Megumi Ruka." Sela Kazuto, "Itu adalah nama
aslimu." "Apa?" "Apa kamu tidak merasa kalau nama itu membuatmu merasa familiar"
Merasa pernah mendengar seseorang memanggilmu dengan nama itu sebelumnya?"
Tidak. Aku tidak bisa mengingatnya. Aku ingin mengatakan itu, tapi tidak bisa. Lidah dan
mulutku seolah terkunci. Akhirnya aku hanya menggeleng pelan. "Aku tidak bisa
mengingatnya." Kataku. "Itu wajar. Kamu masih dalam tahap untuk mengembalikan
ingatanmu." Dia tersenyum, kemudian duduk lebih dekat di sampingku. Sebelah
tangannya mendongakkan daguku dan membuatku menatap mata hitam kelamnya yang
seolah memantulkan pantulan diriku. Aku nyaris yakin melihat pantulan diriku sendiri
dari kedua bola matanya. "Aku sudah lama mencarimu, Ruka." Katanya serak, "Sudah
lama... sejak kamu menghilang dari rumah sakit waktu itu. Aku selalu mencari dan
mencari..." Suaranya menghilang dan berganti dengan desahan serak yang sarat akan
emosi. Aku hanya bisa diam, lebih tepatnya, aku seperti terhipnotis oleh mata hitam
kelamnya. "Ruka, apa kamu percaya padaku?" "A, apa?" "Aku ingin kamu percaya
padaku, kalau aku bukan orang jahat." katanya, "Aku ingin kamu percaya, aku akan
membantu mengembalikan ingatanmu yang hilang, dan... percaya kalau aku
benar-benar akan menjagamu." Matanya menatap balik mataku, seolah hendak
menembus jiwaku. Jantungku berdetak kencang. Ya Tuhan... mata kelamnya itu...
Rukas Angel - Angelia Putri
"Kamu percaya padaku?" tanyanya lagi. Aku tidak yakin aku akan menjawab apa.
Tiba-tiba saja aura menakutkan di sekitarnya seakan lenyap, berganti dengan kesedihan
dan ketidak-berdayaan. "Ruka," Kazuto memanggil namaku dengan suara serak, "Kamu
percaya padaku, kan?" "A, aku... percaya." Kataku pelan. "Aku percaya..." Dia
tersenyum muram dan memelukku. Pelukannya erat. Dan membuatku nyaris
Rukas Angel - Angelia Putri
kehabisan nafas. Tapi, kemudian dia melepaskan pelukannya dan menatapku dengan
sinar mata yang berbeda. Seperti sinar mata anak kecil yang sedih dan selalu sendirian.
"Kamu tidak akan pergi dariku lagi, kan?" "Kenapa aku harus pergi?" tanyaku. "Aku...
takut. Aku takut kamu akan pergi lagi dariku. Seperti waktu itu. Kamu menghilang begitu
saja dari rumah sakit, dan aku setengah mati mencarimu dan nyaris putus asa..." dia
menghela nafas, "Aku takut kehilangan dirimu lagi." Kata-kata yang diucapkannya
terdengar dalam dan membuatku menunduk. Entah karena malu atau terharu atas
ucapannya. "Aku tidak akan pergi. Kalau itu yang kamu takutkan." Kataku. "Aku tidak
akan pergi darimu." "Benarkah?" "Apa aku harus membuktikannya dengan sesuatu?"
tanyaku mengerutkan kening. Dia tersenyum dan mendekatkan wajahnya padaku.
"Kalau begitu, izinkan aku menciummu." Katanya, "Aku ingin... menciummu."
"Ap - tapi..." "Kumohon," dia meminta dengan suara yang serak dan membuatku harus
menelan ludah. Aku sadar posisiku tidak menguntungkan. Aku terjepit di antara dirinya
dan pintu bianglala yang kami naiki sekarang. Dan wajah kami sangat dekat. Lagi-lagi
aku menelan ludah. Astaga... aku tidak tahu situasi akan menjadi seperti ini. "Ruka,
kumohon..." suara Kazuto kembali menembus telingaku. Aku menatap matanya dan
mengangguk tanpa kusadari. Kazuto mengerjap melihat anggukan kepalaku, tapi
kemudian tersenyum lembut. Dia semakin mendekatkan wajahnya padaku, kemudian
bibirnya bersentuhan dengan bibirku, sebelum menciumku dengan lembut. ***
Firasatku ternyata benar. Tempat yang dikunjungi oleh Kazuto dan Ruka adalah taman
bermain yang dibuat khusus untuk anak perempuan yang pernah diceritakan Kazuto
sewaktu kecil. Aku ingat, dia sangat tergila-gila pada anak itu. Anak perempuan yang
menjadi sumber kebahagiaannya setelah Ayah meninggal. Aku menatap taman bermain
yang dipenuhi oleh cahaya. Wahana permainan yang menyala dan bergerak seolah
mengajak siapa pun yang berkunjung untuk ikut bermain dan menikmati mereka. Tapi,
aku sedang tidak ingin melakukannya, walau bermain di permainan cangkir teh raksasa
itu terasa sangat menggoda. Tapi, tidak. Aku harus menemukan Kazuto terlebih dulu,
untuk berbicara secara pribadi. Aku mengitari taman bermain itu. Menatap wahana
permainan yang sering disebut-sebut Kazuto sebagai kesukaan gadisnya. Gadisnya.
Bahkan sejak dia masih kecil, dia sudah menyebutkan anak perempuan sumber
kebahagiannya itu sebagai "gadisAku berhenti di dekat wahana bianglala, dan sadar
bahwa wahana permainan itu bergerak pelan. Mataku langsung mengarah keatas, ke
salah satu tempat tertinggi, dan aku melihatnya. Mereka berdua, Kazuto dan Ruka. Dan
dengan kemampuan indera-ku yang tajam, aku bisa melihat mereka berdua dengan
jelas. Dan aku juga melihat apa yang mereka lakukan di sana. Kazuto sedang mencium
Ruka. Dan gadis itu sepertinya tidak menolak. Keningku berkerut. Apakah Ruka yang
dimaksud Kazuto sebagai "gadismasih kecil" Pikiran itu terasa memberatkan otak dan
pikiranku. Aku hanya bisa menatap dari bawah sini. Menatap mereka berdua berciuman.
Dan meratapi apakah perasaan aneh yang mengusik hatiku ini berhubungan dengan
mereka berdua. Tiba-tiba ponsel yang kutaruh di saku celanaku bergetar. Aku segera
mengeluarkan ponselku dan melihat nomor tidak dikenal tertera di layarnya. Nomor
siapa ini" *** Kazuto melepaskan ciumannya dan tersenyum padaku. Dia kembali
memelukku dan wajahku tenggelam di lekukan lehernya. Aku mencium aroma itu lagi.
Rukas Angel - Angelia Putri
Aroma maskulin yang kusadari bercampur dengan aroma vanilla lembut. "Aku senang
kamu memercayaiku." Katanya. "Aku senang, akhirnya kamu kembali lagi padaku." Aku
hanya mengangguk pelan. "Aku berjanji, tidak akan ada yang akan menyakitimu."
Janjinya, "Aku akan pastikan hal itu." Dia melepaskan pelukannya dan mencium pipiku.
Aku berjengit ketika dia melakukannya. "Rupanya kamu masih tidak terbiasa dengan
sentuhanku, ya?" dia tertawa. "Kurasa aku harus membuatmu terbiasa kalau aku sering
mengambil kesempatan untuk mencium atau memelukmu nanti." Aku mendelik padanya
sementara dia hanya tertawa. Yah... aura menakutkannya kembali lagi memang, tapi
tidak sekuat sebelumnya. Bianglala ini kembali bergerak, dan kami dibawa turun ke
bawah. Kazuto membukakan pintu untukku dan mempersilakan aku keluar lebih dulu.
Udara malam yang dingin tidak terlalu menusuk tulang karena aku memakai jas milik
Kazuto di tubuhku. Sambil melingkarkan tangannya di pinggangku, Kazuto tersenyum.
"Bagaimana kalau kita makan malam sekarang" Aku yakin, kamu juga sudah lapar."
Katanya. Setelah pernyataannya di dalam bianglala tadi, dan juga semua kejadian hari
ini, tentu saja aku kelaparan. Aku mengangguk menanggapi ajakannya, dan
membiarkannya menuntunku ke tempat lain di taman bermain ini. CHAPTER 12 "Apa
yang kau inginkan?" ujarku pada penelepon yang dengan berani meneleponku di saat
seperti ini. "Aku tahu kamu tidak akan menerima telepon dari Kazuto, jadi aku memakai
nomor ini untuk menghubungimu." Suara seorang wanita yang dibuat semanis mungkin
itu membuatku muak. "Karena aku sudah berhasil mendapat perhatianmu, aku ingin
meminta satu hal darimu, Inoue." Ujarnya lagi. "Aku ingin kamu kembali padaku."
"Dalam mimpimu, Lucia. Apa kamu lupa kalau aku tidak pernah menyukai atau
mencintaimu?" kataku geram, "Dan jangan mencoba merayuku dengan suara manismu
itu. Tidak akan berpengaruh lagi untukku." Lucia tertawa kecil di seberang sana. Suara
tawa yang dibuat segenit mungkin. Huh. Dia pikir dia bisa menarik hatiku dengan suara
dan kata-katanya yang manis tapi tersirat banyak makna itu" Tidak akan. "Apa sekarang
kau mengakui pesonaku?" "Tidak. Dan aku merasa aku tidak akan bisa terpesona oleh
wanita yang mengaku-aku sebagai bagian dari keluarga terhormat jika yang diincarnya
hanyalah harta dan kekuasaan." Sepertinya kata-kataku begitu menohoknya sampai
Lucia terdiam begitu lama. Ketika bersuara lagi, nadanya tidak semanis sebelumnya.
"Inoue, kita sudah bertunangan. Ditunangkan sejak kecil." Katanya lambat-lambat, "Dan
aku tidak bisa menerima kalau kamu menolakku mentah-mentah. Setidaknya, beri aku
kesempatan untuk mengambil hatimu yang keras dan dingin itu dengan perhatianku."
Ugh. Maaf saja. Aku sedang sibuk kuliah dan mengejar cita-citaku. Kataku dalam hati.
Rukas Angel - Angelia Putri
Tentu saja aku tidak mengatakannya secara terang-terangan. "Maaf. Masa berlaku
bagimu untuk menaklukkan hatiku sudah habis sejak lama. Jadi, kurasa, sebaiknya
kamu menyerah, Lucia." Kataku, "Aku harus pergi. Jangan pernah hubungi aku lagi atau
kau akan menyesal nantinya." Aku menutup telepon dan tidak mengindahkan suara
Lucia yang hendak berbicara lagi. Kuhembuskan nafasku dengan berat. Kutatap
ponselku dan segera kumasukkan benda itu ke dalam saku celanaku. Tanpa sadar, aku
mengkertakkan gigi lantaran teringat Lucia. Hayashima Lucia. Gadis yang setahun lebih
tua dariku itu adalah tunangan yang ditunangkan denganku sejak aku kecil, atau bahkan
sebelum aku lahir ke dunia. Lucia memang gadis yang cantik, memikat. Dengan rambut
panjang coklat sepunggung dan kulit putih dan mulus, siapa yang tidak tertarik
padanya" Dia cantik dan baik pada orangtua, dan aku sempat tertarik untuk
meneruskan pertunangan hingga ke jenjang yang lebih serius ketika saat itu aku masih
anak-anak dan polos. Sayangnya, sejak awal pertemuan kami 12 tahun yang lalu, aku
mengubah persepsiku tentang dirinya. Dan walau saat itu aku masih kecil, masih
Rukas Angel - Angelia Putri
berusia 8 tahun, aku bisa membedakan mana wanita yang baik dan mana yang jahat.
Lucia masuk ke dalam kategori wanita yang jahat karena dia ternyata memiliki pikiran
yang licik dan juga haus akan harta. Kedua orangtuanya memang kaya, menurut ibuku
dulu, termasuk keturunan bangsawan. Tapi, sifatnya tidak seperti layaknya seorang
keturunan bangsawan. Dan aku sudah membencinya sejak awal. Dulu, aku pernah
menolak pertunangan itu ketika aku dan Lucia sudah selesai bertemu. Tapi, ibuku hanya
diam dan mengatakan semua itu tergantung keputusan ayahku. Ayah kandungku,
Hoshihiko Murone. Dan ayahku tidak mengizinkanku membatalkan pertunangan.
Mungkin salah satu dari sekian banyak alasan kenapa aku melarikan diri dari keluarga
Hoshihiko adalah karena kekeraskepalaan ayahku dan ketidak-berdayaan ibuku atas
kehendak dan kemauan ayah. Dua hal yang membuatku marah dan akhirnya
memutuskan meninggalkan semua kekayaan Hoshihiko dan hidup dari harta
peninggalan ibuku sampai aku kuliah seperti sekarang. Kuhembuskan nafas sekali lagi,
meratapi kehidupanku yang cukup sulit ini. Mungkin bagi Kazuto, aku terlihat bebas
melakukan apa saja. Bisa bebas bergaul dengan orang lain yang mungkin tidak
sederajat dengan keluarga Hoshihiko. Tapi, apa dia tidak sadar, bahwa akulah yang
paling menderita karena harus menanggung luka hati ibuku akibat perbuatan ayah di
masa lalu" *** Ketika aku kembali lagi ke wahana bianglala itu, Kazuto dan Ruka
sudah tidak ada. Aku sempat berpikir kalau mereka sudah pulang ketika aku mendengar
suara lirih di salah satu restoran kecil di dekat sini. Aku mengikuti asal suara itu dan
melihat mereka berdua di sana sedang menyantap steak dan sedang tertawa bersama.
Ah. Lagi-lagi perasaan aneh itu menyeruak. Apa yang sebenarnya terjadi denganku"
Kulihat Kazuto yang sekarang menampakkan raut wajah ceria. Sangat berbeda dari
Kazuto yang pernah kukenal selama ini, yang terkesan dingin dan mengimintidasi,
ternyata bisa tersenyum dan tertawa bersama seorang gadis bernama Ruka.
Pandangan mataku langsung teralih pada gadis itu, yang sedang menyantap steak di
hadapannya sambil tersenyum kecil. Senyum yang mungkin bagi orang lain adalah hal
yang biasa bagi gadis secantik dan sehalus Ruka. Tapi, bagi Kazuto, mungkin juga
bagiku, itu adalah senyuman paling manis yang pernah ditunjukkan olehnya. Ah...
kenapa harus Kazuto yang duduk di sana bersama Ruka" Tiba-tiba aku merasa seperti
penguntit yang sedang menunggu kesempatan untuk menghancurkan mereka berdua.
Sebaiknya aku pergi, kalau tidak, mungkin Ruka atau Kazuto akan menyadari kalau aku
mengawasi mereka dari kejauhan. Kutatap lagi Ruka yang sedang terpana dengan
perlakukan Kazuto mengelap sudut mulutnya dengan serbet. Hatiku lagi-lagi seakan
mencelos dari tempatnya. Sebaiknya aku pergi dari sini secepatnya kalau tidak mau
pemandangan di hadapanku membuatku frustasi. Dan aku menekankan pada diriku
sendiri, aku tertarik pada Ruka karena bakatnya sebagai model. Bukan seorang gadis
yang mungkin bisa mencuri hatiku dengan mudahnya. *** Kak Inoue" Aku menoleh lagi
keluar kaca jendela restoran yang bening dan dihiasi ukiran bunga-bunga di sebelahku.
Keningku berkerut. Aku yakin tadi melihat sosok Kak Inoue di kejauhan. Di dekat tiang
lampu di sebelah wahana komedi putar. Aku sangat yakin itu tadi Kak Inoue... "Ada apa,
Ruka?" tanya Kazuto. "Tidak ada apa-apa." aku menggeleng dan melanjutkan makanku.
"Aku hanya merasa... tadi ada seseorang yang mengawasi dari sana, di dekat wahana
komedi putar itu." "Oh ya?" dia menaikkan sebelah alis dan melihat kearah tempat yang
kuperhatikan barusan. "Mungkin itu salah satu fans-mu" Kamu model terkenal, kan?"
"Belum terlalu terkenal. Aku masih anak baru." Kataku. "Tapi, akan jadi terkenal, karena
sebentar lagi orang-orang akan tahu kamu kekasihku, tunanganku." Kazuto tersenyum,
kemudian meminum anggur di gelasnya. Aku hanya mengedikkan bahu dan meminum
anggur merah yang disediakan untukku. Memang usiaku belum mencukupi untuk minum
anggur. Tapi, Kazuto memastikan bahwa anggur merah yang disuguhkan untukku
Rukas Angel - Angelia Putri
bebas alcohol dan tidak akan membuatku mabuk. "Setelah ini aku akan mengantarmu
pulang." ujarnya. "Aku yakin besok kamu akan sibuk. Sekolah, pemotretan, dan lain
sebagainya. Iya, kan?" Aku mengangguk. Kulirik Kazuto yang menikmati hidangan di
hadapannya dengan nikmat. Sesaat yang lalu, dia masih kelihatan menakutkan di
mataku. Kemudian, dengan mudahnya, pendapat itu berbalik 180 derajat ketika dia
tertawa dan tersenyum penuh perhatian padaku. Apakah senyum sinis dan beberapa
perlakuan tidak sopannya itu karena sudah menjadi kebiasaannya" Atau itu hanyalah
caranya agar aku kembali mengingat masa kecilku" Sepertinya dia tahu aku
menatapnya diam-diam. Dia mendongak dan membuatku salah tingkah karena
kepergok menatapnya secara diam-diam seperti tadi. "Kalau kamu mau menatapku,
seharusnya tidak perlu diam-diam." Dia terkekeh. Aku memberengut padanya, kemudian
teringat sosok yang tadi kupikir adalah Kak Inoue. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa
berada di sini, atau mengetahui kami berdua ada di sini. Apa yang tadi itu benar-benar
Kak Inoue" Kalau iya, kenapa dia tidak kemari dan menyapa kami" "Kamu melamun
lagi," suara Kazuto membuyarkan lamunanku. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" "Aku
tidak memikirkan apa-apa." balasku. "Kurasa aku sudah kenyang. Kita pulang sekarang,
ya?" Kazuto meminum anggurnya sampai tandas, kemudian berdiri. "Tentu. Ayo, kita
pulang, Tuan Putri." Katanya sambil meraih tanganku dengan gerakan anggun. ***
Pulang ke rumah, aku langsung mengambil makanan untuk Kitty dan berjalan ke
kamarku. Kucing kecil itu langsung melompat kepadaku dan mengeong manja. "Hai
juga, kucing manis..." kataku sambil tertawa ketika dia menaiki pundakku. "Kamu
ternyata aktif juga. Ayo, aku akan menuangkan makanan untukmu." Aku mengambil
mangkuk makanannya dan mengisinya dengna makanan khusus kucing. Kitty langsung
melompat ke lantai dan memakan makanannya dengan lahap. Aku tersenyum dan
mengembalikan kantong makanan itu kembali ke bagian bawah lemari makanan.
Rukas Angel - Angelia Putri
Setelahnya, aku bersiap-siap untuk mandi berendam seperti biasa. Kulirik jam di dinding
sudah menunjukkan pukul 1 malam. Jadi... sudah berapa lama aku dan Kazuto berada
di taman bermain itu" Kugelengkan kepalaku dan bersiap-siap mandi. Mandi akan
membuat tubuh dan pikiranku lebih baik. *** Ketika di sekolah, aku menyadari semua
orang menatapku sambil berbisik-bisik. Ketika aku menoleh, mereka langsung terdiam
dan menunduk dengan canggung. Aneh. Ini tidak seperti biasanya, yang kalau aku
datang, pasti tidak akan disambut dengan bisikan-bisikan lirih seperti ini. Bukan berarti
mereka menyambutku seakan aku ini artis terkenal. Tapi, tetap saja, kondisi ini agak
aneh. "Nona Megumi Ruka," Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Seorang guru
mendatangiku dan kelihatannya wajah beliau agak pucat. Ada apa" "Kepala sekolah
memanggilmu." Ujar guru itu ketika sudah sampai di hadapanku. "Beliau ingin bertemu
secara pribadi denganmu." "Kepala sekolah?" aku mengerutkan kening dengan tatapan
bingung. "Kepala sekolah Jennifer Anderson." Deg. Nama itu, kan... "Ah, ya... baiklah."
aku mengangguk. "Di mana aku harus menemui beliau?" "Di ruangannya di lantai 3.
Cepatlah. Beliau sudah menunggu." ujar guru itu lagi, kelihatan takut alih-alih tidak balas
menatapku dan langsung pergi begitu saja. Aku memutuskan akan segera menemui
kepala sekolah. Jennifer Anderson. Sial. Aku lupa kalau nama ibu angkatku juga
Jennifer Anderson. Dan aku melupakan satu kenyataan bahwa ibu angkat yang
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangkatku sebagai anak dan memberi nama Emilia adalah Jennifer Anderson si
artis terkenal yang menjadi diva di dunia hiburan. Dan... memiliki sekolah ini. Kenapa
aku bisa melupakan hal sekecil itu" *** Aku menatap pintu lebar yang terbuat dari kayu
terbaik dan memiliki tombol pintu ala Eropa yang sangat elegan. Perasaan gugup
melandaku. Apakah Jennifer Anderson tahu bahwa aku adalah anak angkatnya yang
Rukas Angel - Angelia Putri
menghilang 5 tahun lalu" Tapi, tidak mungkin. Saat menyamar menjadi Emilia, aku
mengecat rambutku menjadi pirang dan mengenakan contact lens berwarna biru pekat
agar terkesan bahwa aku setengah Eropasetengah Asia. Sekali lagi, kuhembuskan
nafasku pelan-pelan, mencoba menenangkan perasaan gugupku. Dan dengan mantap,
kubuka pintu di hadapanku dan masuk. Ketika berada di dalam ruangan itu, aku sempat
terkagum-kagum dengan interior-nya yang minimalis, namun terkesan anggun dengan
dinding yang dicat warna merah muda nyaris putih, dan perabotan yang terbuat dari kulit
dan bulu yang halus berwarna putih. Dan kemudian, aku melihatnya. Sang Diva yang
dikabarkan menghilang bersama keluarganya sejak kepergianku. Sekarang beliau
duduk di balik meja kerjanya yang dipelitur dengan warna coklat lembut. Rambut
pirangnya digelung agak tinggi di belakang lehernya. Dan mata biru pekatnya
menatapku dengan senyuman kasih seorang ibu. "Emilia," katanya sambil berdiri, lalu
berjalan dan merengkuhku. "Aku merindukanmu, nak..." Jadi, dia sudah tahu bahwa aku
adalah Emilia. Dan aku tidak bisa mengelak lagi, kalau begitu. Kubalas pelukan beliau
dan menghembuskan nafas. Sudah berapa lama aku tidak merasakan dipeluk seorang
ibu" Beliau melepaskan pelukannya dan tersenyum padaku. "Kukira aku tidak akan
pernah bertemu dengnamu lagi." ujar beliau. "Ibu kangen sekali padamu." "Aku... juga."
Kataku, "Maaf, kalau aku kabur dari rumah." Beliau menggelengkan kepalanya sambil
tersenyum. "Ibu tahu kamu selalu bergonta-ganti identitas. Ibu sudah mengetahuinya
sejak lama. Bahkan nama aslimu, Ruka." Ucapan itu nyaris membuatku melongo. Dari
mana beliau tahu - "Bagaimana Ibu bisa tahu?" tanyaku, mengungkapkan
keterkejutanku. "Tentu saja Ibu tahu, sayang." Kata beliau, "Ibu tahu karena Ibu diberi
kepercayaan oleh seseorang untuk menjagamu." "Siapa?" "Ibu kandungmu, Megumi
Ayano." Beliau tersenyum penuh kasih, "Dan, sebenarnya, aku adalah bibimu." ***
"Bibiku?" Beliau mengangguk. "Aku bibimu. Ibumu, Ayano, adalah adik iparku." "Adik
ipar?" aku seakan membeo kata-kata beliau dan membuatnya tertawa. "Ayo, kita duduk
dulu, lalu bicara." Aku duduk di sofa lembut itu dan memperhatikan ibu angkatku itu
menuangkan secangkir teh untukku. Beliau juga menyiapkan dua paket gula dan susu.
Rupanya beliau masih ingat aku suka teh susu yang manis. "Terima kasih," kataku
sambil tersenyum. Beliau lalu duduk di hadapanku dengan gerakan yang anggun.
Kemudian berdeham. "Seperti yang kukatakan tadi, aku adalah bibimu." Beliau mulai
berbicara, "Ayano, ibu kandungmu, adalah adik iparku yang menikah dengan adik
laki-lakiku, Stevan. Sebelum menikah, Stevan dulunya adalah sutradara video music
terkenal, dan aku beberapa kali menjadi model video music yang digarapnya bersama
artis lain. Saat itulah dia bertemu dengan ibumu. "Ayano memang bukan artis atau
penyanyi, tapi Ayano adalah seorang wanita yang hidup sendiri dalam kemandirian yang
membuat Stevan jatuh cinta. Ayano dulu seorang fashion stylist yang bekerja pada
seorang model video music yang disutradai oleh Stevan. Dari situlah awal hubungan
mereka..." Aku mendengarkan apa yang dikatakan Ibu dengan perasaan tidak menentu.
Cangkir teh di tanganku seakan berhenti dari perjalanannya menuju bibirku untuk
menikmati teh susu manis yang menggiurkan. "Hubungan mereka berlanjut serius dua
tahun kemudian. Stevan melamar ibumu, lalu mereka menikah. Kehidupan mereka
menjadi lebih bahagia ketika kamu lahir." beliau tersenyum padaku, "Kamu bayi
perempuan mungil paling cantik yang pernah kulihat. Saat itu, aku baru saja pulang dari
bekerja ketika ayahmu meneleponku untuk menemani istrinya yang akan melahirkan.
Aku menyanggupi, dan tidak sia-sia semua yang kedua orangtuamu perjuangkan
untukmu. Kamu adalah bayi yang beruntung, lahir dari keluarga yang penuh kasih
sayang. "Tapi, semua itu ternyata ada harganya." Wajah beliau tiba-tiba berubah
mendung. "Tanpa sepengetahuanku dan keluarga besar Megumi, ayahmu menyanggupi
permintaan ayah ibumu, yang maksudnya adalah kakekmu, untuk memberikanmu di
Rukas Angel - Angelia Putri
usia yang ke-17 tahun untuk ditunangkan dengan cucunya yang lain. Ayahmu
menyanggupi permintaan tersebut sebagai syarat ia bisa menikahi ibumu. Saat kamu
lahir, ayahmu memintaku untuk menjagamu, jika sampai terjadi sesuatu pada mereka
apabila tidak menyanggupi permintaan itu nantinya." Pikiranku kembali melayang pada
mimpi itu. Mimpi di mana kedua orangtua kandungku kecelakaan. Mendadak perasaan
tidak enak melingkupiku dan membuatku semakin tegang ketika mendengarkan cerita
selanjutnya. Rukas Angel - Angelia Putri
"Sehari sebelum hari ulang tahunmu, kakekmu, dan juga seorang bocah laki-laki yang 3
tahun lebih tua darimu datang ke rumah dan memohon pada kedua orangtuamu untuk
membawamu jalan-jalan bersama bocah laki-laki yang ternyata adalah cucunya yang
lain. Bocah laki-laki itu sangat tampan, mewarisi darah kakekmu. Beliau mengajak kalian
berdua jalan-jalan. Waktu itu, orangtuamu sempat cemas karena takut kamu akan
dibawa pergi. Ibumu memintaku untuk mengawasi mereka karena kebetulan aku punya
kenalan detektif swasta yang bisa dimintai tolong untuk membuntuti kakekmu. Laporan
yang diberikan cukup melegakan karena beliau hanya membawamu dan bocah laki-laki
itu ke taman bermain." Beliau menghela nafas dan meminum teh yang ada di
hadapannya. "Tapi, peristiwa yang sebenarnya terjadi tepat di hari ulang tahunmu yang
ke-5. Kedua orangtuamu ingin mengajakmu pergi ke tempat wisata favorit mereka.
Namun di tengah perjalanan, mobil yang dikemudikan ayahmu mengalami kecelakaan.
Rem mobil itu disabotase, dan membuat ayahmu melewati batas kecepatan yang
diharuskan, dan menabrak mobil di depannya, dan mengalami kecelakaan beruntun.
Kedua orangtuamu tewas di tempat, sementara kamu mengalami luka parah dan harus
dirawat selama berbulan-bulan..." Mendadak kepalaku terasa pening. Apa yang
diceritakan Ibu tadi... sama persis dengan mimpiku. Bukan sama. Tapi, memang itu
yang terjadi. "Emilia" Kamu tidak apa-apa?" beliau menatapku khawatir ketika aku
mendesis kesakitan. "T, tidak apa-apa..." aku menggeleng, "Lanjutkan, Bu." "Aku
langsung pergi ke rumah sakit tempatmu dirawat, dan mendapat kabar kalau kedua
orangtuamu tewas, itu membuatku syok dan langsung menyalahkan keluarga pihak
ibumu, terutama kakekmu." Beliau menghela nafas dengan berat, seolah mengingat
masa-masa yang tidak menyenangkan, "Saat itu juga, aku pergi ke rumah kakekmu dan
langsung mengatakan pada beliau untuk tidak mendekatimu lagi. Aku mengancamnya,
dan itu... salah satu kesalahan terbesarku." "Kesalahan terbesar?" aku mengerutkan
kening, "Kenapa" Bagaimana bisa?" Beliau tertawa sedih sebelum melanjutkan,
"Kakekmu mengancamku balik akan menjauhkanmu dariku. Bila tidak bisa dilakukan
dengan cara baik-baik, beliau akan memakai cara kekerasan. Apa pun agar bisa
menjauhkanmu dariku. "Walau saat itu aku masih muda untuk mengerti bahwa ancaman
beliau sungguhan. Aku sebisa mungkin membuatmu tidak terdeteksi oleh orang-orang
suruhannya. Tapi, tetap saja... aku tidak bisa menyembunyikanmu dengan mudah.
Orang-orang suruhan kakekmu tahu di mana rumah sakit tempatmu dirawat, dan
mendatangimu diam-diam. Lalu, ketika kamu sadar, kamu langsung menghilang begitu
saja. Saat itu aku sadar, ancaman kakekmu menjadi kenyataan. "Selama 5 tahun aku
mencarimu ke mana-mana. Bahkan sampai aku sudah berkeluarga dan mendirikan
sekolah ini. Ketika aku menemukanmu di panti asuhan, dengan rambut pirang dnegan
bola mata biru waktu itu... aku tahu kamu adalah keponakanku. Walaupun kamu
berusaha menutupinya dengan menyamar, aku tahu. Karena itu, aku langsung meminta
pada ibu pengurus panti agar kamu menjadi anak angkatku, dengan nama Emilia.
Selama 2 tahun, aku berusaha menyembunyikanmu dari kakekmu. Tapi, kamu malah
kabur dan membuat apa yang sudah kulakukan tercium oleh kakekmu." Mendadak aku
Rukas Angel - Angelia Putri
jadi malu. Teringat saat aku kabur dari rumah beliau dan kembali menggunakan
identitas lain agar tidak dilacak. "Maaf, kalau soal itu..." rasanya aku kehilangan
kata-kata. Saking malunya. "Tidak apa-apa, sayang." Beliau tersenyum, "Tapi, asalkan
kamu selamat sekarang, itu tidak masalah." Aku mengangguk pelan. "Lalu... kenapa
waktu itu Ibu menghilang" Tidak apa-apa, kan, kalau aku memanggilmu Ibu?" "Tidak
apa-apa. Aku malah senang kamu tetap memanggilku dengan sebutan ibu." Jawab
beliau, "Aku menghilang waktu itu karena... kakekmu mulai mengancam keluargaku.
Aku harus bersembunyi untuk beberapa saat untuk menghindari bahaya." "Apakah
bahaya yang Ibu maksud... dari kakekku?" tanyaku. Beliau mengangguk. Mataku
langsung menunduk. Jadi... itu alasan kenapa Ibu dan keluarganya bersikap protektif
padaku dulu. Karena mereka takut aku akan diambil paksa oleh Kakek lalu ditunangkan
dengan cucunya yang lain. "Tapi, sepertinya kakekmu tidak menemukanmu sampai
sekarang. Dan kamu berada di sini." Ibu tersenyum. "Waktu mendengar ada murid yang
ciri-cirinya persis seperti keponakanku, aku langsung terbang kembali ke kota ini dan
menyuruh salah seorang guru untuk mengatur pertemuanku." "Jadi, itu alasan kenapa
guru tadi begitu ketakutan berhadapan denganku." aku manggutmanggut. "Lalu... apa
Ayah dan Kak Teresa baik-baik saja?" "Mereka berdua baik-baik saja. Bahkan mereka
tidak sabar untuk bertemu denganmu." ibu tersenyum, "Apalagi Teresa, dia sudah tidak
sabar ingin mendandanimu lagi seperti dulu." "Ah, ya... permainan salon-salonan itu."
aku tertawa, "Aku juga merindukan masa-masa itu." "Emilia... boleh Ibu masih
memanggilmu Emilia?" "Tentu boleh. Ibu sendiri juga memperbolehkanku memanggil
dengan sebutan ibu, kan?" kataku sambil tersenyum. Beliau juga ikut tersenyum dan
setitik airmata mengalir di wajahnya. "Ibu benar-benar takut kalau kamu sampai
kenapa-napa. Ibu benar-benar bersyukur sekarang kamu ada di sini dan tidak kurang
suatu apa pun." "Aku juga... senang bertemu Ibu lagi." aku membalas ucapan beliau,
"Aku minta maaf sekali lagi karena aku kabur dari rumah." "Tidak apa-apa, sayang...
tidak apa-apa. Asalkan kamu baik-baik saja, itu sudah cukup." Ujar beliau, "Ibu juga tahu
kamu bekerja sebagai model. Dan kamu menjalaninya dengan baik." "Ibu tahu?" "Tentu
saja. Kamu anak Ibu, kan?" beliau tertawa pelan. "Ibu rasa... kamu harus segera ke
kelas. Kalau tidak, kamu akan ketinggalan pelajaran." Aku mengerjap dan melihat jam
tanganku. Ternyata sudah 2 jam aku berada di ruangan ini dan mendengarkan cerita
Ibu, sampai aku lupa waktu. "Benar juga..." aku mengangguk, "Kalau begitu, aku akan
pergi ke kelas. Dan... Bu," "Ya, sayang?" "Apa... aku ingin tahu... siapa nama kakekku,
dan juga bocah laki-laki yang menurut Ibu adalah tunanganku itu." kataku. Entah
kenapa, aku sangat ingin mengetahuinya. Menurutku, kalau aku tahu seperti apa
identitas kakekku itu, aku bisa dengan mudah "menghilangbersembunyi dari beliau jika
suatu saat beliau datang dan memaksaku ikut dengannya. Wajah Ibu kelihatan terkejut,
tapi, beliau segera menguasai diri. "Tentu. Tunggu sebentar," Beliau berjalan kearah
mejanya dan mengambil sesuatu di sana. "Di dalam map ini berisi data-data mengenai
kakekmu, dan juga tunanganmu." Katanya. "Ibu berikan ini padamu, karena Ibu rasa,
kamu akan membutuhkannya." Aku menerima map itu dan mengangguk. "Aku akan
memastikan aku tidak akan mudah ditemukan oleh Kakek." Ujarku. "Aku janji." Ibu
mengangguk dan merengkuhku lagi dalam pelukannya. Aku membalas pelukan beliau
sambil mendesah lega. Aku rindu pelukan seorang ibu seperti ini. CHAPTER 13 Ketika
aku sampai di kelas, semua orang langsung memandangku, termasuk guru yang
sedang mengajar di depan kelas. Beliau kelihatannya kaget aku akan masuk kelas dan
memperbaiki letak kacamatanya dengan sedikit gemetar. "Maaf aku terlambat, Pak. Tadi
aku pergi ke ruang kepala sekolah." Ujarku. "Ah, ya, ya... si, silakan duduk di
bangkumu. Kita akan melanjutkan pelajaran." Aku lalu duduk di bangkuku dan langsung
mengeluarkan buku pelajaranku. Sempat
Rukas Angel - Angelia Putri
Rukas Angel - Angelia Putri
kudengar masih ada yang berbisik-bisik tentang aku. Kuhembuskan nafasku
perlahan-lahan dan mulai berkonsentrasi pada pelajaran. Aku tidak akan mengindahkan
bisikan-bisikan lirih mereka untuk saat ini. *** "Ruka," Aku mendongak dari buku yang
kubaca dan melihat Julia berdiri di sampingku sambil tersenyum. "Kamu masih mau
menjadi model untuk perwakilan dari kelas kita, kan?" tanyanya, langsung pada intinya.
"Aku sudah bilang aku tidak ingin mengikuti kegiatan di pentas seni itu." jawabku sambil
mengerutkan kening. "Kan aku sudah bilang juga kalau - " "Kak Alice bilang padaku,
kalau kamu akan menjadi model Kak Inoue, temannya di kampus." Sela Julia, "Masa
kamu mau menjadi model Kak Inoue sementara untuk kelasmu sendiri saja tidak mau?"
Uh-oh... aku lupa kalau Julia adalah adik Kak Alice. Dan pasti, Kak Alice menceritakan
kesediaanku membantu Kak Inoue dalam peragaan busana di festival kelulusannya.
Seharusnya aku juga memikirkan kemungkinan kalau Julia akan mengetahui hal
tersebut. Kadang, aku lupa hal kecil seperti itu. "Ayolah, Ruka... ikut, ya" Kumohon..."
Aku menatapnya, dan dia lagi-lagi menggunakan tatapan memelas yang paling imut
yang bisa dia lakukan. Tapi, seperti yang pernah kukatakan, aku kebal dengan tatapan
seperti itu. Dan aku jelas akan menolak kalau saja semua anak di kelasku tidak
menatapku. Entah kenapa, kali ini mereka menatapku dan Julia, seolah ingin tahu dan
ingin mendengar apakah ada gossip yang bisa mereka jadikan bahan pembicaraan.
"Ruka, ayolah... hanya kali ini saja, kok." Pinta Julia lagi, "Ya" Ya" Please..." Aku
menghela nafas. Semoga saja aku tidak akan menyesali keputusan yang aku buat ini.
"Baiklah." kataku pelan. "Di mana formulirnya?" Aku yakin telingaku berdenging saking
kerasnya Julia menjerit kegirangan. Dia langsung memelukku dan mengatakan aku
adalah orang paling baik di dunia. Hah. Dia tidak tahu kalau aku adalah orang yang...
apa, ya" Entahlah. Aku juga bingung mendeskripsikan diriku sendiri seperti apa. "Aku
membawa formulir untukmu setiap hari, kalau-kalau kamu akan berubah pikiran."
Katanya, lalu menyerahkan formulir yang terlipat rapi di dalam saku seragamnya. "Aku
akan menungguimu menulis formulir ini, lalu kita akan sama-sama pergi ke ruang OSIS."
Aku mengangguk dan mengambil pulpen. Lalu menuliskan semua dataku di sana,
kemudian menyerahkannya pada Julia. "Nah, ayo, kita pergi ke ruang OSIS." Ajaknya
sambil tersenyum. *** Rasanya aku tidak bisa tidur nyenyak kemarin malam lantaran
aku terus-menerus kepikiran senyuman Ruka. Sudah berapa kali aku menghela nafas
dengan setengah hati hanya karena memikirkan senyumannya. Ah. Rasanya dadaku
kembali sakit. Ada apa sebenarnya denganku" Hari ini aku tidak ke kampus. Aku
sengaja memboloskan diri satu hari ini agar aku bisa menata pikiranku agar kembali
jernih dan tidak ruwet seperti tadi malam. Tapi, sepertinya, semua itu sia-sia karena
sampai sekarang, aku masih kepikiran Ruka. Apa aku jatuh cinta padanya" Hanya
dalam 2-3 hari ini" aku menerka-nerka dalam hati. Rasanya tidak mungkin aku jatuh
cinta pada Ruka dalam waktu yang singkat seperti itu. Tapi, mata besarnya yang
berwarna biru keabuan itu benar-benar memikat dan wajahnya... tidak ada yang bisa
melupakan wajah perpaduan ras Kaukasia dan Asia di dalam dirinya. Senyumnya juga
seperti embun pagi. Sejuk dan menenangkan. Nah, lho" Apakah dengan pemikiran itu
saja, aku sudah dikatakan jatuh cinta padanya" Kuhembuskan nafasku sekali lagi
dengan kesal. Sepertinya aku harus kembali menelaah hatiku yang kadang tidak bisa
menerima kehadiran seorang perempuan dalam kehidupanku. Well, Alice adalah kasus
yang berbeda karena dia adalah teman sekaligus pacar sahabatku. Selain itu, dia
orangnya juga supel, dan aku suka berteman dengannya. Dering ponsel yang
kuletakkan di meja membuatku tersentak dari lamunan. Dengan rasa malas, aku meraih
ponselku dan langsung mengangat telepon yang masuk tanpa melihat siapa yang
Rukas Angel - Angelia Putri
meneleponku. "Halo?" "Inoue?" itu suara Kazuto. Dan dari suaranya, kukira mood-nya
sedang bagus. "Bisakah kita bicara sebentar hari ini" Secara pribadi, tentu saja."
"Apakah ini ada hubungannya dengan statusku" Atau Kakek" Atau Lucia" Atau bahkan
ketiganya?" tanyaku curiga. "Selalu penuh curiga..." dia terkekeh pelan, "Kalau
kukatakan ini memang masalah ketiga hal tersebut, apakah kamu akan menyanggupi
permintaanku untuk bicara?" "Tidak." balasku cepat. "Maaf. Aku lelah, dan ingin tidur
seharian. Sebaiknya jangan ganggu aku lagi." "Oh, begitu..." dari suaranya, aku tahu dia
sedang manggut-manggut dengan seulas senyum dingin di wajahnya. Yah... kakakku
ini memang sangat menyeramkan. Kuakui hal itu sebagai adik tirinya. "Tapi, apa kamu
tidak mau membicarakan kenapa kamu mengikutiku dan Ruka ke taman bermain
kemarin malam?" Kalau saja aku sedang minum atau makan, aku yakin apa pun yang
ada di dalam mulutku akan menyembur keluar saking kagetnya mendengar ucapan
Kazuto. Oke... aku tahu dia juga bisa menyadari keberadaanku dengan kemampuan
yang sama sepertiku. Tapi, tetap saja... aku kaget. "Kau ternyata sudah tahu." kataku,
"Lalu, kau mau apa, Kak?" "Aku ingin berbicara denganmu. Aku akan menunggumu di
taman bermain itu lagi. Di restoran yang sama tempatku dan Ruka makan malam."
Ujarnya. "Jam 7 malam." "Euh... baiklah. Tapi, aku tidak janji kalau - " Terlambat.
Telepon langsung ditutup, dan aku harus menggerutu panjang-pendek lantaran dia tidak
memberiku kesempatan untuk beragumentasi. *** Sekitar jam 12 siang, aku
memutuskan bangkit dari tempat tidur dan makan. Aku kelaparan, dan walau aku ingin
tidur seharian, aku tetap harus mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Segelas kopi
dingin dan roti bakar keju sudah cukup sebagai pengisi perutku. Sambil makan, aku
menyalakan TV dan melihat berita yang cukup menghebohkan. Yah... memang masih
berkisar tentang keluarga Anderson yang dikabarkan masih menghilang itu. Aku
menghembuskan nafas dan mematikan TV. Tayangan di TV sama sekali tidak
menjernihkan pikiranku dari senyuman Ruka. Sial, sial, sial... kenapa sekarang aku jadi
terobsesi padanya" Lagi-lagi aku mendengar dering ponselku. Dengan gusar, aku
beranjak ke kamar dan mengambil ponsel sialan itu. Sepertinya aku harus
mempertimbangkan untuk membeli nomor baru. Aku tidak suka kalau orang lain selain
kedua sahabatku menghubungiku. Hmm... mungkin Ruka akan menjadi pengecualian.
Karena dia akan bekerja sebagai modelku nanti. Aku mengangkat telepon, lagi-lagi
tanpa melihat siapa yang berani meneleponku. "Halo?" "Kak Inoue" Kenapa suara
Kakak seperti sedang marah?" Ups. Itu suara Ruka. Aku menatap layar ponselku dan
baru sadar ternyata yang meneleponku adalah Ruka. Dan apa katanya tadi" Suaraku
seperti orang yang sedang marah"
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ah, maaf... mood-ku sedang jelek. Jadi aku terbawa emosi." Kataku sambil berdeham,
"Ada apa?" "Kakak bisa membuatkan sebuah gaun untukku?" "Membuatkan gaun?" aku
mengerutkan kening mendengar permintaannya, "Apakah ini ada hubungannya dengan
festival kelulusanku nanti?" "Tidak, tidak... ini bukan tentang festival kelulusan Kak
Inoue, kok. Ini tentang pentas seni di sekolah yang akan diadakan 10 hari lagi." ujarnya,
"Apa Kakak bisa membuatkan sebuah gaun untukku" Tidak perlu gaun yang terlalu
Rukas Angel Karya Angelia Putri di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mewah, tapi cukup eye-catching dan bisa memukau penonton." "Bisa saja..." kataku,
"Tapi, kenapa tiba-tiba" Apa kamu menyetujui permintaan temanmu untuk mengikuti
peragaan busana di sekolahmu?" "Dia berhasil mengancamku karena dia adalah adik
Kak Alice." Kata Ruka sambil mendesah. "Aku sebenarnya tidak mau, tapi, apa boleh
buat. Dia tahu kalau aku akan membantu Kakak dalam festival kelulusan, dan dia mulai
menyangkut-pautkan semua itu dengan ketidakinginanku untuk ikut berpatisipasi dalam
pentas seni sekolah..." Aku membayangkan bagaimana Julia, adik Alice, yang terlalu
Rukas Angel - Angelia Putri
ceria dari kakaknya itu membujuk Ruka mati-matian sampai gadis itu jengah sendiri.
Membayangkannya saja membuatku tertawa pelan. "Kak Inoue" Kakak masih di sana,
kan?" "Ah, ya, ya..." aku menyahut. "Jadi... kapan kamu membutuhkan gaun itu?"
"Secepat yang Kakak bisa. Tapi, seperti kataku tadi, jangan yang terlalu mewah, tapi
harus eye-catching. Agar kelasku bisa sedikit... lega, karena aku ikut berpartisipasi dan
memenangkan peragaan itu." "Oke... baiklah..." aku manggut-manggut. "Kalau begitu,
sekalian saja hari ini kamu ke rumahku. Bukankah kita masih harus menyesuaikan
bahan dan aksesoris untukmu di festival kelulusanku nanti?" "Ah, ya... benar juga. Aku
nyaris lupa." Ruka terkekeh. "Aku akan ke sana setelah pemotretan. Manajemenku
sudah meneleponku agar aku segera ke lokasi pemotretan untuk cover majalah remaja
yang akan terbit minggu depan." "Oke, baiklah. Semoga sukses kalau begitu." "Ya.
Terima kasih, Kak Inoue. Sampai nanti." "Sampai nanti." Telepon lalu ditutup oleh
Ruka. Aku menatap ponselku sambil tersenyum lebar. Yah... sebodo dengan perasaan
aneh di hatiku. Yang penting, nanti aku bisa berbicara dan melihat senyuman Ruka
secara langsung saat kami membicarakan masalah rancangan gaun yang akan dia
kenakan di festival kelulusanku. *** Aku menutup telepon dan tersenyum. Kak Inoue
sepertinya sangat bersemangat membuat desain gaun. Yah... aku tidak heran,
sebenarnya. Dia, kan memang bercita-cita menjadi seorang fashion designer. "Ruka,
kamu sudah selesai menelepon?" Aku menoleh kearah Julia yang ternyata masih
menungguku di balik dinding koridor. Aku cepat-cepat memasukkan ponselku ke dalam
saku dan mengangguk. "Sudah." kataku, lalu mengerutkan kening, "Bukankah sudah
kubilang kamu duluan saja" Kenapa menungguku?" "Karena kita akan sama-sama
mengisi acara peragaan busana itu, tentu saja aku harus mendekatkan diri padamu."
Dia tersenyum lebar, "Aku pernah bilang kalau aku ingin menjadi temanmu, kan?" Ah,
ya... aku ingat kata-kata itu. Tapi, aku masih tidak bisa menerima orang lain menjadi
temanku. Kak Alice yang notabene adalah kakak Julia saja masih sulit kuterima sebagai
teman lantaran sifatnya yang ceria itu. Karena aku jarang dekat-dekat dengan orang
yang sifatnya ceria, aku kadang merasa risih. "Oh, ya... aku ingat." Kataku, "Lalu?" "Aku
masih ingin tetap menjadi temanmu." Dia tersenyum, "Kamu mau, kan, berteman
denganku" Masa, dengan kakakku bisa, tapi denganku tidak bisa?" "Err... aku
berteman dengan kakakmu juga karena Kak Inoue." Kataku. "Tapi, tolong jangan
memaksaku. Aku tidak suka dipaksa." "Aku tidak akan memaksamu, kok. Asal kamu
mau berteman denganku, itu tidak masalah." Ujarnya. "Kamu mau, kan, Ruka?" Aku
menatapnya. Kali ini tidak ada raut wajah memelas dengan mata yang memohon itu.
Tapi, wajah serius yang mirip sekali dengan wajah Kak Alice. Dan... inilah kelemahanku
yang sebenarnya. Jika seseorang menatapku dengan tatapan serius seolah hendak
menelanjangi hatiku inilah, kelemahanku yang sebenarnya. "Ah... baiklah." aku
mengedikkan bahu, "Asalkan kamu tahan kalau aku bersikap ketus dan jutek." "Ya, tentu
saja!" dia mengangguk bersemangat. "Aku akan menjadi teman yang bisa kamu
andalkan. Kamu bisa percaya padaku." Aku hanya mengangguk pelan. Ponselku
tiba-tiba berbunyi, dan aku langsung menjawabnya tanpa melihat siapa yang
meneleponku. "Ya, halo?" "Kamu akan pergi ke lokasi pemotretan, kan?" itu suara
Kazuto, "Aku akan segera menjemputmu." "Darimana kamu tahu aku ada jadwal
pemotertan hari ini?" tanyaku. "Itu rahasia. Sekarang, kamu tunggu saja di lobi, dan aku
akan menjemputmu kurang dari setengah jam." Lalu dia menutup teleponnya. Dan aku
hanya bisa mengerutkan kening penasaran bagaimana dia bisa tahu semua kegiatanku.
Tapi, entah kenapa, perasaanku menghangat. Walau tidak diperlihatkan secara
terangterangan, sepertinya Kazuto benar-benar menyukaiku. Dan kenyataan itu masih
sering membuatku salah tingkah. Apalagi setelah ciuman kemarin malam... "Telepon
yang tadi dari siapa, Ruka?" tanya Julia, dan membuatku nyaris memekik kaget karena
Rukas Angel - Angelia Putri
baru sadar dia masih berdiri di sebelahku. "Bukan siapa-siapa..." kataku menggeleng.
"Jangan-jangan cowok tampan yang waktu itu menjemputmu di lobi, ya?" "Kamu tahu?"
"Itu jadi perbincangan hangat sekarang." Julia tersenyum lebar. "Tahu kenapa semua
orang berbisik-bisik di belakangmu hari ini" Itu karena cowok tampan itu. Mereka
mengira kamu adalah pacar seorang pengusaha muda kaya raya." Aku mengernyit.
Penampilan Kazuto waktu itu memang seperti seorang pengusaha muda. Tapi... apa
mereka juga tahu kalau Kazuto adalah cucu pewaris harta kekayaan orang terkaya
kedua di negeri ini" Sepertinya tidak. Pikiranku sepertinya terlalu berlebihan. "Yah... dia
temanku, sebenarnya." Kataku mengedikkan bahu, "Kami tidak berpacaran. Aku baru
kenal dengannya baru 2 hari." "Dan dia menjemputmu secara khusus ke sekolah" Itu
namanya dia mencari perhatianmu!" Julia tertawa. "Aku tidak menyangka kamu ternyata
bisa menggaet seorang cowok tampan, kaya raya, lagi." Aku lagi-lagi mengedikkan
bahu. Tidak menanggapi ucapan Julia. "Aku harus segera pergi. Nanti kita bicarakan
soal pentas seni itu." kataku. "Ya. Dan boleh aku minta nomor ponselmu" Supaya aku
bisa menghubungimu dan berkunjung ke rumahmu untuk membahas hal itu."
Rukas Angel - Angelia Putri
Aku menatapnya sebentar, kemudian mengangguk. Kami lalu bertukar nomor ponsel
dan aku sudah menyimpan nomornya di phone book ponselku. "Oke. Sampai nanti,"
kataku. "Sampai nanti, Ruka. Salam untuk cowok tampan itu, ya?" Aku hanya tersenyum
geli dan kemudian pergi ke kelas untuk mengambil tasku. *** Aku baru saja akan pergi
ke lobi ketika seseorang menyentuh lenganku. Aku menoleh dan melihat Kazuto sudah
berdiri dengan setelan kemeja putih dan celana katun hitam yang sangat pas di
tubuhnya. Apalagi ditambah dengan sweater lengan pendek berwarna abu-abu yang
dikenakannya... aku yakin, semua orang akan menyangkanya sebagai mahasiswa
jurusan hukum dengan penampilan seperti itu. "Kukira aku datang tepat waktu." katanya
sambil tersenyum. "Kurasa kamu memang selalu tepat waktu." balasku. Dia tersenyum
dan kemudian mencium pipiku. Aku masih belum terbiasa dengan sentuhan Kazuto.
Pipiku memerah ketika dia terkekeh melihat reaksiku. "Ayo, kita pergi sekarang." Aku
membiarkannya menggenggam tanganku dan menuntunku ke mobilnya. Aku yakin, dia
sudah menyuruh orangnya untuk membawa mobilku kembali ke rumah. Kazuto tidak
akan membiarkanku mengemudikan mobilku sendirian. *** "Baru semalam kita
bertemu, aku sudah rindu padamu." Kata Kazuto sambil menggenggam tanganku. Aku
hanya menunduk menghindari tatapan matanya yang sangat intens padaku. Kubiarkan
dia menggenggam tanganku selama perjalanan sementara aku menatap kearah lain.
"Oh ya, bagaimana setelah ini, kita makan siang?" tanya Kazuto, "Kebetulan aku belum
sarapan, dan aku ingin makan bersamamu." "Boleh saja..." aku mengangguk, "Tapi,
setelah pemotretan, apa kamu bisa mengantarku ke tempat Kak Inoue" Aku masih
harus membantunya agar gaun yang dibuatnya bisa sukses dan bisa menarik perhatian
orang-orang." Kazuto diam sebentar, menatap ke depan dengan tidak focus, sebelum
akhirnya mengangguk. "Ya. Tentu saja aku akan mengantarmu." Katanya sambil
tersenyum. "Dan... apa setelah itu kamu ada rencana untuk pergi ke tempat lain"
Berbelanja, mungkin?" "Tidak. Aku yakin setelah beraktivitas seharian, aku akan lelah
dan memilih tidur saat sampai di rumah." Kataku sambil tersenyum, "Terima kasih sudah
mengkhawatirkanku." Senyumannya kali ini lebih menenangkan dan membuat jantungku
mendadak berdetak lebih kencang. "Sama-sama, Ruka..." katanya, kemudian mencium
punggung tanganku. CHAPTER 14 Kak Sonia menungguku dengan senyum lebarnya
seperti biasa. Dan aku yakin aku melihat senyumnya semakin lebar ketika melihat
Kazuto keluar bersamaku dari dalam mobil. Lokasi pemotretannya ternyata taman kota
yang cukup terkenal dengan kawasan hijaunya. Aku menghirup nafas yang sejuk di
Rukas Angel - Angelia Putri
sekitarku dan menghembuskannya perlahan sambil tersenyum lebar. Sudah lama sekali
aku tidak berada di tempat yang cukup hijau seperti ini. "Hai, Ruru sweetheart," sapa
Kak Sonia sambil mencium kedua pipiku. "Ayo, semua sudah menantimu." Aku
mengangguk, dan menoleh kearah Kazuto. "Kamu mau menunggu di dalam mobil
atau..." "Dia bisa ikut kita ke tendamu, sayang." Sela Kak Sonia. "Kukira tidak masalah
jika pacarmu ini ikut kita ke tenda." "Eh?" "Kurasa boleh juga." Sahut Kazuto, lalu
menatapku, "Apa kamu keberatan?" "Errr... tidak, kok." Aku menggeleng, "Yah... kalau
kamu mau ikut, ayo." "Jason ingin kamu tampil dengan gaun santai ini." Kak Sonia
memperlihatkan sebuah gaun selutut berwarna peach lembut. Lalu baju musim panas
yang terdiri dari tank top kuning dan juga celana jins hitam yang sangat pendek. "Ayo,
cepat ganti baju dengan gaun santai ini, setelah beberapa shoot, kamu akan memakai
tank top manis ini." kata Kak Sonia lagi. Aku hanya mengangguk, lalu pergi ke balik tirai
putih di dekatku dan mengganti seragam sekolahku dengan gaun itu. Bahannya yang
lembut dan halus berdesir setiap kali aku bergerak. kukibaskan rambutku ke belakang
dan menatap cermin di dekatku. Oke. Kurasa aku sudah cukup cantik untuk difoto,
tanpa harus di make-up, kalau memungkinkan. Aku keluar dari tirai putih dan melihat
Kak Sonia sudah siap dengan penata rias yang sudah sering bekerja sama untuk
meriasku. "Wow." Aku menoleh kearah Kazuto dan melihatnya menatapku tanpa
berkedip. Apa tadi dia yang barusan bilang "wowmemang dia yang tadi mengatakannya.
"Kamu cantik sekali, Ruru sweetheart!" ujar Kak Sonia sambil bertepuk tangan,
"Rupanya gaun itu tidak salah kupilih. Aku mendapatkannya secara kebetulan di butik
hari ini, dan kurasa pasti cocok untuk pemotretan kali ini." "Gaunnya memang cantik..."
kata Kazuto, ikut menimpali. "Nah, pacarmu saja mengakuinya." Kak Sonia berkata
senang, "Ayo, kemari. Kita akan mendandanimu dengan riasan yang cocok dengan
gaun itu." *** Setelah pemotretan yang melelahkan itu, aku langsung duduk di salah
satu bangku taman di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Sambil memegang
gelas kertas berisi minuman dingin, aku memperhatikan teman-teman sesama model
yang sedang berpose di depan kamera. Hmmm... aku masih dibilang anak bawang
dalam hal ini. Tapi para fotografer, termasuk Jason, kekasih Kak Sonia yang juga
menjadi fotograferku, sangat menyukaiku. Menurutnya, aku photogenic. Dan wajahku
cocok menjadi model. Yah... benar atau tidaknya, aku tidak tahu. "Lelah?" Aku
menoleh ketika Kazuto duduk di sampingku dan menyampirkan jas sekolahku di
pundakku. "Tidak juga." Aku menggeleng dan meminum minumanku dengan sedotan.
"Aku hanya... yah, oke. Aku memang lelah, tapi tidak terlalu..." "Kamu cantik dengan
gaun tadi." ujarnya, "Seperti seorang putri saja." "Terima kasih," aku merasa pipiku
memerah, dan aku tidak sanggup menatap Kazuto. Jemari Kazuto menyentuh pipiku,
dan kemudian membuatku mendongak, tepat ketika dia menciumku. Ciumannya lembut,
dan tidak terburu-buru. Kupejamkan mataku dan menikmatinya. Sebelah tangan Kazuto
yang lain menahan pinggangku dan ia memiringkan kepalanya agar bisa menciumku
dengan baik. Kami baru berhenti ketika Kak Sonia yang entah kapan datangnya,
berdeham, dan membuat kami berdua sama-sama terkejut. "Maaf aku mengganggu
kemesraan kalian," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata, "Tapi, Ruru harus
kembali berpose di depan kamera bersama model-model yang lain. Tidak keberatan jika
aku meminjamnya sebentar lagi, kan?"
Rukas Angel - Angelia Putri
"Ya. Tentu." Kazuto tersenyum sopan, kemudian mencium pipiku, "Aku akan menunggu
di sini." Aku mengangguk pelan dan kemudian mengikuti Kak Sonia pergi. Dia tidak
hentihentinya tersenyum lebar padaku. "Apa?" tanyaku. "Pacarmu benar-benar
menyayangimu, ya" Sampai memperlihatkan kemesraan di depan umum." Katanya,
Rukas Angel - Angelia Putri
menggodaku. "Kak Sonia, tolong jangan mulai lagi..." kataku. Dia tertawa dan
merengkuh pundakku, "Aku malah senang kalau kamu punya kekasih. Kamu tidak akan
merasakan hidup jika tidak punya pendamping." Katanya penuh rahasia. Aku hanya
tertawa dan memukul pundaknya pelan. "Kak Sonia bisa saja." Dia tersenyum lebar dan
mengedikkan bahu. "Ayo, sekarang kamu berpose di depan kamera, dan setelah itu,
silakan kembali ke pelukan pacarmu yang sudah menunggu di sana." *** Pemotretan
akhirnya benar-benar selesai. Setelah 3 jam berpose di depan kamera, aku merasa
tubuhku remuk. Tulang-tulangku serasa copot, dan aku benar-benar lelah. Kak Sonia
sedang berbicara dengan beberapa fotografer dan juga wakil dari majalah yang
Bangau Sakti 3 Alice In Wonderland Karya Lewis Carroll Sepatu Roda 2