Pencarian

Saputangan Gambar Naga 5

Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata Bagian 5


tidak kami ceritakan bahwa Kerajaan Singasari telah runtuh, melainkan pindah tempat ke Kediri! Ke
sanalah kami harus menyerbu. Dan dalam perjalanan, Puteri Fang Fang harus naik kuda, dan ia
kembali mengenakan pakaian Tartar yang disediakan oleh Panglima Kau Using. Aku bertugas
mendampingi Kau Hsing sebagai penunjuk jalan. Aku tarik beberapa perwira yang baik dan tangkas
untuk ikut menjaga keselamatan kami."
"Itu yang dikisahkan apanya" Menjemput istri apa nubruk istri orang?" ujar Doktor Aisun.
Pamoraga tertawa ha-ha-ha, sedangkan Wariwari sengit melancarkan protes. Mengumpat halus!
"Mengapa kamu tidak marah, Fang Fang, melihat suamimu berbuat nakal kepada perempuan lain!"
tanya Dokter Mengki seakan mantan duta ke Singasari.
"Mbak Wariwari perempuan baik, bisa menjaga diri! Aku tidak! Mbak Wariwari tidak marah dan
membiarkan aku di rumahnya! Papa pikir apa yang kuperbuat sebelum Kangmas Swandanu pergi
mencari H Pamoraga" Mbak Wariwari tidak marah, terhadapku maupun terhadap Kangmas Swandanu?"
23 , "Selama itu memang ada dua orang perempuan di rumah kami. Dan seorang laki-laki asmara wan.
Bagaimana aku harus mengatur laki-lakiku" Biarlah dia yang mengatur! Bukankah pergaulan orang
istana begitu pula" Kawula rendahan mengikuti saja apa yang terjadi di atasan. Kalau di kalangan
atas dosa sudah ditawar, perbuatan jahat sudah berampun, kalangan awam mau berbuat apa"
Menjerit-jerit protes pun dikira tak tahu adat! Kalau mau memberantas kebiasaan jelek di negeri ini,
berantaslah dulu kaum atasan sampai tuntas. Atasan berbuat baik, bawahan akan meneladani
dengan patuh!" kata Wariwari.
Sambil berbicara gegap gempita begitu, akhirnya santap siang berakhir.
"Ceritanya kita teruskan sambil berjalan!?" Dokter Mengki menawarkan perubahan tempat dan
suasana. Yong Pin berdiri dan menarik dompetnya. Tapi Dokter Mengki berisyarat agar biaya makan
dibebankan kepadanya. Tidak menunggu kesepakatan terucap, Dokter Mengki sudah melangkah
ke tempat kasir. "Sebenarnya perjalanan ini dalam rangka penyembuhan Fang Fang. Kami datang ke Dokter Mengki
tadi malam untuk berobat Jadi biayanya kami tanggung," ujar Yong Pin. "Ah, tidak! Betul ini dalam
rangka pengobatan. Tetapi ng berobat bukan hanya Fang Fang. Aku sendiri merasa rus
disembuhkan setelah berhari-hari memeriksa orang dak waras. Aku mau istirahat ke luar kota,
bukankah di lepon kemarin aku berkata demikian?"
Ya. Yong Pin ingat itu. "Tapi bukankah rencana ke ar kota itu gagal gara-gara acara dadakan pergi
ke Rabut rat tadi?" "Gagal" Tidak! Apa Rabut Carat dan kini Kediri, bukan luar kota Surabaya" Apa aku menyebutka
"Bicara soal orang sakit. Apa benar Fang Fang yang dinyatakan sakit" Apa gejalanya?" tanya
Doktor Aisun. "Ia bertingkah laku aneh. Bicaranya meloncat-loncat, tidak nyambung satu dengan kata dalam
kalimat berikutnya. Kita memerlukan imajinasi yang peka dan luas untuk bisa menangkap maksud
yang diucapkan. Karena gejala itulah, maka dia kuajak ke kamar periksa Dokter Mengki," suara
Fusen. "Ah! Sebenarnya kita berdelapan ini semuanya sakit. Sekarang cerita Fang Fang bisa dicerna tanpa
menggelar imajinasi secara khusus! Konteksnya bisa ditangkap. Wajar dan bisa kita terima. Karena
apa" Kita sekarang ini memang sama-sama sakit seperti yang diderita Fang Fang. Getar
komunikasi kita pada kecepatan gelombang yang sama sehingga dunia yang kita pijak pada
dimensi waktu yang sama," kata Dokter Mengki setelah kembali dari kasir.
"Kata orang Jawa, kita ini sedang kerasukan atau ke-panjingan roh yang belum sempurna, masih
melayang-layang menunggu pemenuhan syarat yang lengkap untuk bisa kembali ke Asal,"
celemong bicara Wariwari.
"Ayo, orang-orang sakit ini semua lekas berangkat! Kita semua sekarang kan tahu kalau kita
sedang kerasukan roh gentayangan, masing-masing diperankan oleh pelaku yang pernah ada.
Perjalanan kita ini mencari kesempurnaan! Ke mana, entahlah!" kata Yong Pin sambil meninggalkan
tempat. 24 273 "Kita ingin menggelar cerita lama. Kita cari jejak, kita napak tilas, menguak lelakon lama. Dan ini
perjalanan penyembuhan kita masing-masing, agar selanjutnya jadi tenang. Yang tadi disebutkan
kurang sempurna, akan tenteram setelah perjalanan ini!" ucapnya dengan suara keras dan bahasa
Indonesia yang patah-patah.
Pada waktu mereka meninggalkan rumah makan, Doktor Aisun sempat menggandeng tangan
Fusen. Ia berbisik cepat, "Kamu berdua dengan Yong Pin, bukankah ikut serta dalam pasukan
Tartar" Kamu belum menceritakan pengalamanmu. Di mana kamu bertugas?"
"Kami berdua berada di bawah komando Panglima Kau Hsing. Seperti waktu bersama Tuanku
Mengki'i, para prajurit diturunkan di Pelabuhan Tuban. Mereka berkuda bersama Panglima Ike
Mese dan Tuanku Kau Hsing. Sementara kami berdua, diminta Tuanku Shih-pi untuk menunjukkan
muara Kali Pacekan, tempat berlabuhnya kapal-kapal Tartar yang kami anjurkan. Di Kali Pacekan,
tempat Puteri Fang Fang menemukan saputangan gambar naga yang dicecerkan Tuanku Mengki'i,
kami berdua kembali ditarik menjadi anak buah Panglima Kau Hsing, yang semula menjadi
penunjuk jalan ke Ibukota Singasari. Kami memang sudah berpengalaman!"
"Kamu juga sempat melihat atau bertemu dengan Fang Fang dalam perjalanan dengan Kau Hsing
itu" Atau sudah tidak ada lagi perhatianmu terhadap dia waktu bertugas menyerbu Kediri?"
, "Oh, kami tidak pernah lepas sedetik pun untuk memikirkan Puteri Fang Fang. Aku bahkan merasa
salah telah mau mengantarkan beliau menyusul Tuanku Mengki'i setelah lepas da
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ri kurungan ayahnya. Andaikata kami
274 berdua menolak disuruh mengantarkan, barangkali Puteri
Fang Fang tidak akan tertinggal di Bengawan Brantas! Di Bumi Kerajaan Singasari!"
"Itu sudah kehendak Tuhan! Dan lampau. Ketemu dengan Fang Fang?"
"Kami bisa selalu melihat Puteri Fang Fang. Tuan Puteri bergaul akrab dan baik dengan pihak
pasukan Tartar maupun pihak Raden Wijaya. Semula kami tidak tahu bahwa itu Puteri Fang Fang,
sebab ia mengenakan kain lurik dan rambut yang digelung seperti layaknya orang Singasari; Kami
kagum, karena pribumi yang begitu cantik jelita ini fasih berbahasa Tartar dialek Fukien. Meskipun
dalam hati kami berdoa semoga dalam perjalanan itu kami dapat menemukan Puteri Fang Fang,
apakah itu dalam keadaan hidup ataupun mati, tampilnya penerjemah pribumi ayu sama sekali tidak
kami perkirakan bahwa itu Puteri Fang Fang. Tak kami sangka itulah ayu yang kami cari. Kami
betul-betul pangling! Dandanan dan adat istiadat pembawaannya, sama benar dengan wanita
Singasari asli," kilah Fusen.
"Lalu bagaimana akhirnya kamu tahu bahwa perempuan itu Fang Fang yang kamu harapkan bisa
kamu jumpa?" "Sebenarnya kami sudah tidak punya harapan lagi untuk bertemu dengan Puteri Fang Fang. Sebab
penyerbuan Tartar tidak lagi menurut petunjuk kami, yaitu bahwa Singasari terletak di sebelah
selatan pelabuhan Kali Pacekan atau Ujunggaluh, pada arah gunung di kaki langit. Orang-orang
Raden Wijaya melalui penerjemahnya perempuan ayu yang lincah itu, menunjukkan jalan bahwa
Singasari bisa diserbu dengan menelusuri sungai besar ke arah udik. Arahnya melenceng jauh ke
kanan dari gunung di kaki
langit. Sia-sia kami memberikan keterangan kepada panglima pasukan. Kami juga putus harapan
bila melewati tempat penambangan perahu di mana Puteri Fang Fang terjun ke dalamnya!*
"Ya! Jadi bagaimana akhirnya kamu mengetahui bahwa perempuan pribumi itu Fang Fang!
Cepadah menjawab pertanyaanku yang ini! Itu mobil sudah pijat klakson agar aku cepat masuk ke
sana! Bagaimana?" "Anu, Nyonya! Sewaktu perempuan tadi harus naik kuda bersama pembesar pribumi dan perwira
Tartar. Beliau harus naik kuda juga. tidak bisa berjalan kaki atau ditandu. Karena harus ikut
kelompok komando, yang harus bisa bergerak lincah maka ia naik kuda juga. Kami carikan kuda
yang jinak." "Ya, ya, ya! Perempuan itu bagaimana?" "Dengan kain pembungkus kakinya, tidak mungkin.
Terpaksa ia pakai celana dan mau mengenakan pakaian prajurit Tartar. Ketika keluar dari bilik ganti,
beliau menjadi seorang pemuda Tartar yang amat elok parasnya. Herannya, beliau tak usah
dipandu untuk mengenakan pakaian itu! Semua terpekik keheranan. Aku dan Yong Pin menyebut
namanya! 'Puteri Fang Fang!' Berpakaian seperti itulah Puteri Fang Fang waktu keluar dari kapal
yang berlabuh di Tuban!"
1 "Sudah tahu! Aku sudah menyaksikan sendiri penampilan anakku di/-Tuban!" ujar Doktor Aisun
sambil berlari keca menuju mobil Super Carry putih dan tidak mengindahkan lagi bicara Fusen.
Fusen masih ingin menyambung ceritanya. Ia kecewa karena kehilangan pendengarnya. Ia pun
bergegas masuk mobil Civic yang mesinnya sudah mengerang.
"Kok lama betul" Cerita apa saja?" tanya Yong Pin. "Doktor Aisun ingin tahu lebih rinci seberapa
jauh kita mengamati tingkah laku puterinya ketika pasukan
Tartar menyerbu Kediri."
"Ya! Itu perjalanan yang sangat menarik. Tujuan kita ke Kediri sekarang ini juga ingin menyingkap
kejadian zaman itu menurut perjalanan masing-masing! Tapi kok panjang betul ceritamu tadi?"
"Maksudku memang akan kuceritakan semuanya. Bukan hanya karena aku mengenal kembali
Puteri Fang Fang." "Kurang tepat kalau kamu ceritakan sekarang kepadanya!" kata Yong Pin sambil menekan gas
mobilnya untuk memperoleh jarak yang lebih dekat dengan Suzuki Super Carry di depannya, i
Pada suatu pertiga jalan, Super Carry yang dibuntuti membelok ke kiri tanpa mengurangi
kecepatan. Hampir saja menyerempet bus 'Kudaku Lari' jurusan Tulungagung
"Tikungan ini selalu berbahaya. Kamu ingat waktu kita berusaha mendekati Puteri Fang Fang yang
naik kuda mengenakan pakaian prajurit Tartar" Sudah sejak Ujunggaluh beliau mengenakan
pakaian demikian. Tetapi baru di sekitar tikungan ini kita punya pikiran hendak berterus terang saja
memperlihatkan diri dan menegur Puteri kita taf ujar Yong Pin. Kini ia membelokkan mobilnya
dengan mulus. "Ya, tolol sekali kita! Mengapa tidak sejak semula kita berbuat demikian"! Terutama aku. Karena
selain Sang Puteri, aku juga ingin tahu bagaimana jadinya saputangan gambar naga milik keluarga
bangsawan Fukienitu. Apakah
bisa ditemukan seperti halnya Puteri Fang Fang yang masih hidup sehat di negeri ini?"
"Penjagaan yang mengelilingi dirinya terlalu ketat! Krocuk seperti kita tidak mungkin bisa mendekat!
Juga Perwira Pamoraga yang telah kita kenal, yang selalu berdampingan dengan Puteri Fang Fang,
sulit didekati. Tapi bagi orang pribumi, prajurit Tartar ini sulit dibedakan satu dengan yang lain.
Karena seragam kita sama! Jadi percuma kalau kita memperlihatkan diri kepadanya!" kata Yong
Pin. Segera disambung, "O, ya. Tikungan tadi. Kamu ingat, tidak jauh dari situ juga Kali Brantas
menikung7 Tempat itu dulu digunakan untuk latihan perang-perangan! Kamu ingat tukang perahu
yang kita temukan di tepi sungai" Tukang perahu yang menyeberangkan kita di Rabut Carat!"
"Ya! Ingat betuL Tolol betul perbuatannya. Kita yang berseragam pasukan Tartar saja sulit
mendekati Puteri Fang Fang, kok dia berteriak-teriak membabi buta, berlari mengejar barisan
berkuda, maunya mendekati atau menegur Puteri Fang Fang dan Panglima Pamoraga! Aku melihat
sendiri dari belakang. Tukang perahu itu menunjukkan keinginannya berbicara dengan Tuan Puteri,
tetapi belum lagi masuk barisan sepenuhnya, kepalanya dipukul oleh seorang prajurit Tartar. Tak
sadarkan diri!" 2 "Kemudian kita turun dari kuda. Kita periksa. Dan yakinlah kita bahwa orang itu tukang perahu di
Rabut Carat! Lalu kita singkirkan dia, biar tidak diinjak-injak oleh kuda teman kita!"
Fusen mengeluh. "Aku yang waktu itu tidak kuat! Seperti halnya tukang perahu dari Rabut Carat itu!
Aku ingin sekali bertemu muka dengan Puteri Fang Fang! Hubungan
kita akan lebih luwes kalau beliau tahu bahwa kita juga ikut pasukan Panglima Kau Hsing! Aku ingin
mengemukakan bahwa ibu dan bapaknya sampai di rumah dengan selamat! Aku ingin mengetahui
kabar tentang saputangan Kedua mobil kian dekat dengan Kota Kediri. Jalannya tetap menyusuri tepi sungai. Pada zaman
dulu, sungai itulah jalan utama. Pasukan Tartar terpaksa menggunakan jalan darat karena mereka
berkuda. Mereka harus masuk keluar hutan dengan susah payah, dan tidak berani meninggalkan
alir sungai terlalu jauh. Yang jelas, Kediri terletak di tepi Bengawan Brantas, maka cara itulah yang
paling tepat untuk mencapai Kediri secepat-cepatnya sambil berkuda. Dari Ujunggaluh sampai
Kediri ditempuh dalam empat hari. Mereka hanya berani berjalan pada siang hari.
Pasukan Kau Hsing dan Raden Wijaya sampai di Kediri pada sore hari. Mereka tidak segera
menyerbu, melainkan menunggu dua hari lagi agar pasukan lain yang dipimpin oleh Shih-Pi dan Ike
Mese dapat bergabung. Pasukan Kau Hsing mengisi waktu penantian dengan memindahkan induk
pasukan ke sebelah barat sungai sehingga Kediri yang dipertahankan oleh seratus ribu prajurit
Kediri bakal diserbu dari timur, utara, dan seberang sungai barat!
"Pada malam hari setelah penyeberangan itulah terjadi peristiwa itu!"' seru Yong Pin di belakang
kemudi "Terjadi apa"!"
"Seorang prajurit Tartar bertopeng datang kepadaku pada malam hari ketika kita sedang
beristirahat. Ia masuk ke tenda kita dan membangunkanku. Kukira kamu. Tapi mengapa
pakai bertopeng segala" 'wajahnya ditutup saputangan seperti waktu kita berjalan siang hari ketika
debu berhamburan di sekitar kafilah. Tapi ini malam hari, waktu kita sedang beristirahat' Mengapa
pakai menutup wajahnya segala"!" "Aku di mana waktu itu?" tanya Fusen. "Justru itu yang aku tidak
mengerti. Kamu tidak ada di tempat, waktu itu ada orang yang masuk ke kemah kita, membangun
dan mengancamku. Aku ragu, apakah bukan kamu yang sedang mam-main" Tapi bunyi ancaman
itu sungguh-sungguh!"
"Aku tidak pernah berlaku begitu terhadapmu. Aku sahabat yang jujur sejak semula, kamu mesti
merasakan hal itu. Lalu apa yang diinginkan orang itu dengan perbuatan tadi". Mungkinkah dia
orang Raden Wijaya yang menyamar" Sesuai perintah Panglima, kita tidak boleh percaya saja pada
orang-orang Raden Wijaya. Aku curiga saja dengan mitra kerja kita dalam menyerbu Singasari. Di
balik bermitra dengan pasukan kita, mungkin saja tersembunyi maksud lain di benak Raden Wijaya.
Mengapa kita dituntun ke tempat lain, bukan Singasari" Orang Raden Wijaya, termasuk... Puteri
Fang Fang, berhasil membujuk para panglima kita untuk menumpas Raja Kediri Jayakatwang! Raja
Jayakatwang, bukan Kertanegara!"
"Kertanegara sudah wafat. Ia digantikan oleh besannya, Jayakatwang. Dan ibukota kerajaan
dipindah ke Kediri, tempat Jayakatwang dulu membangun istana. Begitu kabar yang kudengar dari
keterangan pihak Raden Wijaya," jelas Yong Pin.
3 "Tetapi peranan Panglima Pamoraga bukankah mencurigakan" Dahulu beliau begitu setia kepada
Raja Singasari. Kamu ingat betapa beliau mengantar kita sampai ke tempat
280 penyeberangan. Mengapa kini beliau justru memusuhi Raja pengganti Kertanegara?"
"Sebenarnya bisa dilacak. Bukankah waktu mengantar kita, kita juga dicegat oleh gerombolan
bersenjata, konon mereka orang dari Kediri. Layak kalau Pamoraga tetap memusuhi orang Kediri.?"
"Ya. Tetapi ia menyelewengkan misi pasukan besar kita! Panglima Kau Hsing, Shih-Pi, dan Ike
Mese dikirim ke Pulau Jawa untuk membalas dendam sakit hati Kaisar Kubilai Khan terhadap Raja
Singasari Kertanegara karena telah mencoreng-moreng wajah Tuanku Mengki'i. Bukan
menghancurkan Raja Kediri Jayakatwang!"
"Ah, itu urusan orang atasan! Kita prajurit krocuk, menurut saja apa perintah panglima kita!"
"Kita memang tidak akan menolak perintah atasan. Tapi justru mencari sebab musababnya
mengapa atasan mewajibkan kita curiga terhadap mitra kerja kita, Raden Wijaya dan anak buahnya.
Terutama Panglima Pamoraga!"
Perjalanan mereka bertambah dekat dengan Kota Kediri, dan perasaan Yong Pin kian bergolak.
Kediri, di situlah terjadi peristiwa yang mengerikan itu!
"Kembali pada masalahku! Kamu boleh saja kian curiga terhadap perbuatan Raden Wijaya dan
anak buahnya. Tetapi siapa yang malam-malam datang di kemah kita dan mengancam aku,
tentulah bukan anak buah Raden Wijayaf suara Yong Pin beringas menjadi kasar.
"Bagaimana kamu yakin demikian?"
"Jelas bukan! Ia mengenakan pakaian prajurit Tartar!"
"Apa tidak bisa anak buah Raden Wijaya mencuri pakaian kita" Mungkin salah seorang prajurit
sudah dibunuh, lalu pakaiannya dikenakan!"
"Itu mungkin! Tetapi untuk apa" Apa gunanya dalam hubungannya dengan ancaman terhadapku?"
"Agar kamu curiga dengan teman-teman kita sendiri!"
"Baik. Kalau pakaian bisa untuk menyamar! Tetapi bagaimana dengan bahasa" Orang itu
mengancamku dengan bahasa Fukien yang lancar, fasih, pedas! Adakah orang Raden Wijaya yang
pandai berbahasa Fukien?"
"Penerjemah wanita itu bisa!"
"Itu mungkin satu-satunya. Kalau tidak, kalau ada yang laki-laki, mana mungkin seorang perempuan
cantik jelita begitu dihadapkan kepada panglima kita" Tentu lebih aman seorang laki-laki
dihadapkan kepada orang asing yang jelas bermaksud menggempur bangsa Jawa. Dan lagi kamu
sendiri sudah setuju, bahwa penerjemah wanita itu tidak lain Puteri Fang Fang. Tidak ada orang
Tartar lain yang tertinggal di Bumi Singasari selain Puteri Fang Fang. Jadi, ya hanya beliau seorang
4 penerjemah yang fasih berbahasa Fukien! Kamu jangan mencari kesalahan orang lain! Tidak
mungkin kamu mengelak!" amarah Yong Pin kian memuncak. Wajahnya memerah seperti peminum
kerasukan alkohol. "Apa maksudmu"!" Fusen terkejut mendengar perubahan suara temannya.
"Kamu bersandiwara! Kamu mencoba menghilangkan jatidirimu dengan menutup mukamu! Tapi
penyamaranmu sia-sia! Karena kamu picik! Apa artinya cuma menyembunyikan jatidiri dengan
menutup muka saja" Tapi pakaianmu, bahasamu, kelakuanmu, ancamanmu! Tidak bisa dikerjakan
orang lain!" marah Yong Pin menjadi-jadi.
"Tidak, Yong Pin! Bukan aku! Aku tidak pernah berbuat seperti itu! Aku sahabatmu yang jujur!"
"Mungkin di hari-hari matahari bersinar, kamu sahabatku. Tetapi dalam keadaan tertekan,
mendekati kubu musuh, malam hari, kamu bisa berbuat tidak sadar. Suara batinmu bisa meletus
menguasai jasmanimu dan perbuatanmu! Kehilangan imbangan jiwa, lalu seperti kesurupan!
Bangkit dari tidur, kamu kenakan topeng bukan untuk menyamar, tetapi karena siang harinya kamu
berkuda dalam keadaan berdebu sehingga bertopeng adalah kebiasaan sisa siang harinya, lalu
kamu ancam aku, akan kaubunuh!" y j "Masa aku sampai kehilangan imbangan jiwa begitu" Aku
sehat! Jasmani dan rohani! Aku tidak terlalu lelah, berkuda sehari-hari sudah jadi kebiasaan!"
"Bukan kamu yang menentukan sehat dan tidak sehat. Kamu bisa bermimpi buruk dalam hidupmu
yang normal. Dan kamu tidak bisa mengelak agar tidak bermimpi! Kamu bisa kesurupan, tak
sadarkan diri, dan bertindak di luar sadarmu!"
"Sungguh mati, Yong Pin, aku tidak ada pikiran jelek terhadapmu, apa lagi keinginan membunuhmu!
Aku tidak melakukan ancaman itu!"
"Memang! Memang mungkin bukan kamu yang membangunkan aku dari tidurku, dan mengancam


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kapak perang diacungkan di dahiku! Perbuatan yang sangat berbahaya! Tapi itu bisa
dilakukan oleh jiwamu yang tertekan, di bawah sadarmu!" ucap Yong Pin penuh greget.
"Tapi di bawah sadarku, jiwaku-, tentulah tidak lepas dari suara batinku, tetap dikendalikan oleh
jiwaku yang murni! Dan jiwaku yang murni tidak terdapat niat jahat seperti mau mengancam
membunuh kamu!" "Tapi siapa lagi kalau bukan kamu" Kamu memenuhi syarat semuanya! Tidak ada orang lain dalam
kemah kecuali 283 kamu dan aku. Lagi pula yang kamu ancamkan adalah soal saputangan gambar naga!"
"Saputangan gambar naga"!"
"Siapa pula yang bisa mempersoalkan saputangan gambar naga selain kamu" Kamulah yang
belakangan ini ingin mendekati penerjemah wanita yang kita kira Puteri Fang Fang dengan maksud
selain menanyakan berita keselamatannya, juga mempertanyakan soal saputangan gambar naga!
Saputangan itu sudah masuk dalam batin kita; batinmu dan batinku sejak kita disuruh Tuan Puteri
Fang Fang mengantar menyusul Tuanku Mengki'i. Tapi kamu lebih lekat sama Puteri Fang Fang
dan saputangannya karena kamu berada dalam satu perahu waktu saputangan itu terjatuh ke
dalam air dan sehingga Puteri Fang Fang menyusul terjun dan tenggelam di Bengawan Brantas!
5 Layak kalau kamu selalu memikirkan Puteri Fang Fang dan saputangan gambar naganya!
Setidaknya kamu lebih hebat dari aku! Dan mempengaruhi jiwamu, tindakan di bawah sadarmu!"
Fusen mau cepat menjawab. Tidak bisa. Ia kalah bukti. Ia tidak punya alasan untuk membantahnya.
Jadinya terdiam. Ia menyalahkan dirinya sendiri, mengapa tidak punya alasan untuk menolak
tuduhan Yong Pin! Jengkel rasanya!
"Kalau kulakukan di bawah sadarku, kamu tidak boleh marah, Yong Pin! Tapi sungguh mati aku
tidak melakukan itu! Aku mengancam bagaimana?"
"Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu tanyakan di mana saputangan gambar naga itu sekarang.
Kamu sendiri sudah tahu jawabnya!"
"Aku tidak tahu di mana, tapi menilik Puteri Fang Fang dalam keadaan sehat walafiat, saputangan
itu tentunya berada padanya!"
"Nah! Aku kamu paksa bicara begitu! Bahwa saputangan itu berada pada Puteri Fang Fang! Lalu
kamu menyuruh aku esok pagi agar menemui Puteri Fang Fang! Suruh minta saputangan itu, atau
setidaknya tahu betul di mana saputangan itu sekarang! Bukankah ini pikiranmu" Menemui Puteri
Fang Fang dan menanyakan perihal saputangan! Kamu mengancam akan membunuhku kalau aku
esok hari tidak menemui Puteri Fang Fang dan mengetahui tepat tempat saputangan itu berada!
Omongmu serius! Ancamanmu tidak main-main, kapak perang yang tajam itu ditempelkan pada
dahiku! Dahiku, kamu dengar" Mata kapak begitu tajamnya, andaikata ditekan sedikit saja
punggungnya, maka dahiku akan pecah! Nyaliku mengecil hampir lenyap! Kupikir kamu sudah gila!
Gila karena daya tarik saputangan gambar naga itu! Begitu nafsunya kamu ingin memilikinya, atau
hanya mendengar kabarnya saja sehingga kamu gila dibuatnya! Untung malam itu kamu hanya
berbuat begitu saja! Setelah aku menyanggupi akan menemui Puteri Fang Fang dan menanyakan
tempat saputangan itu, kamu mengendorkan pegangan tanganmu, dan meloncat keluar kemah!
Hilang ditelan hitam malam."
"Oh! Tetapi aku tidak berbuat segila itu, Yong Pin!"
"Percuma kamu membantah lagi! Pokoknya begitulah yang terjadi malam itu. Sepeninggalmu, aku
jadi berpikir bakal berantakan kalau tetap berkumpul denganmu. Kamu bisa kumat sewaktu-waktu
dan bisa bertindak sesuka hatimu kepadaku. Kalau aku dalam keadaan terlena ancamanmu
membunuhku bisa terlaksana!"
"Aduh, Yong Pin! Sungguh mati tidak ada niatku biar serambut pun berbuat begitu terhadapmu!
Sejak dulu hingga saat ini!"
"Maaf, tetapi begitulah pikiranku berkembang pada malam sunyi rapuh di dalam kemah prajurit
Tartar yang berada di sebelah barat sungai tepi utara Kota Kediri. Dalam kesendirian itu, rasa
takutku berkobar di dada. Aku bangkit dengan keringat dingin yang mengalir di seluruh tubuh,
mengumpulkan barang-barangku, lalu mengangkutnya keluar dari kemah. Aku harus menjauhkan
diri dari kamu! Tak tahu harus ke mana malam itu! Aku tidak begitu tahu situasi perkemahan prajurit
di sebelah barat sungai karena ketika menyeberang hari sudah remang-remang, lalu malam turun.
Yang aku tahu keadaan sebelah timur sungai. Kepala pasukan ada di seberang sana, menunggu
datangnya pasukan Tartar lainnya. Jadi ke sanalah aku hams mengungsi. Ada kutemukan sebuah
biduk tertambat di tepian barat, tetapi aku pikir lebih baik aku berenang saja sehingga tidak
membuat kesulitan orang lain. Biduk itu memang digunakan oleh mereka yang mengurusi
6 perbekalan. Dan lagi aku tahu kamu tidak bisa berenang. Aku tahu dari kisahmu waktu Puteri Fang
Fang terjun ke bengawan, kamu tidak berani menyusul untuk menolongnya maka kalau aku pergi
ke seberang, kamu tentu tidak bisa menyusulku!"
"Gila! Jadi kamu nekad berenang menyeberang?" seru Fusen.
"Itu pikiran yang terbaik yang hinggap di otakku waktu itu!" $ym tdftv
286 sementara kuterima. Akan aku buktikan kemudian bahwa aku tidak berbuat sekejam itu terhadap
sahabat, sadar maupun tidak." "Kamu selalu bilang begitu. Kalau bukan kamu yang berbuat, siapa lagi" Kalau bukan kamu, di
manakah kamu malam itu" Mengapa kamu tinggalkan aku seorang diri, mengapa kamu tidak
mengajakku?" "Bertamu ke kemah Tuan Puteri Fang Fang! Aku sudah mengajakmu waktu kita mendirikan kemah.
Tetapi kamu menolak karena lelah, ingin istirahat tidur saja. Jadi aku berangkat seorang diri. Aku
diterima dengan ramah taman. Juga suaminya. Beliau memang Puteri Fang Fang! Beliau
menceritakan segalanya. Dan suaminya tidak marah. Bahkan kelihatannya bangga. Mereka
merupakan pasangan yang meraih kerukunan dan saling mengerti tinggi."
"Itu bisa kita lihat tanpa mesti bertamu di kemahnya malam hari!"
"Kuharap kamu nanti bisa tanya hal itu kepada Fang Fang atau Tuanku Pamoraga. Mereka saksi
utama alibiku malam itu dan bahwa prajurit Tartar bertopeng itu bukan
aku!" Sopir Honda Civic menggelengkan kepala. Ia tidak bisa menerima alasan Fusen.
"Bukan kamu! Lalu apa ceritamu dengan ditemukannya kepala prajurit Tartar di tempat
pembangunan Gelora Basket Kediri" Prajurit Tartar yang bertopeng itu jaoirip dengan... siapa"
Kamu!" "Astaga, Yong Pinl Aku tidak melakukan perbuatan yang aneh-aneh terhadapmu!" seru Fusen. "Aku
sendiri heran, di mana kamu malam itu. Sepulangku dari kemah Puteri Fang Fang, aku tidak
mendapatkan kamu. Kutunggu
sampai pagi, kamu tidak juga pulang. Dan seterusnya aku tidak pernah ketemu lagi denganmu!"
"Aku sudah pergi meninggalkan kamu selagi kamu tidak berada di kemah!"
"Ke mana kamu setelah berenang menyeberang Bengawan Brantas?"
"Malam itu kurasa air sungai hangat. Aku berenang dengan pelahan karena dibebani oleh
barang-barangku. Tidak bisa kulakukan dengan tenang! Sebab pikiranku kacau oleh ancaman yang
7 baru kuterima. Pikiranku tentang kamu jelek terus. Dan, tiba-tiba aku dengar ada sesuatu yang
masuk ke dalam air. Bunyinya jelas di malam yang sunyi menghadapi serbuan perang esok hari!
Bunyi air terpercik itu di belakangku! Bunyi itu mengikuti aku! Bunyi orang mendayung. Kamukah
itu?" "Bukan! Aku tidak berani naik perahu sendirian. Aku tidak bisa berenang, takut kalau perahunya
terbalik!" "Bunyi perahu didayung itu terus mengikuti aku. Melaju lebih cepat! Pikiranku kiart kacau. Takut,
curiga, merasa bahwa kerjaku menjauh dari kamu itu sia-sia! Pikiranku, kamu telah membuntuti aku
dengan biduk yang tadi kutinggalkan di tepi barat tadi! Tolol benar! Tentu saja kamu bisa leluasa
mengejarku di atas biduk! Mestinya biduk itu kubawa, jadi kamu tidak punya kendaraan untuk
menyeberang! Tapi sudah kadung. Aku jadi gupub semua! Semua perbuatanku rasanya serba
salah! Ku percepat renangku! Cepat! Cepat! Bunyi gemericik air didayung tadi bahkan kian dekat
menuju ke arahku! Kamu bahkan memanggil-manggil namaku! Mau membunuhku kalau aku tidak
mau kembali! Kalau aku tetap melarikan diri! Yong H Yong Pin! Suara itu kian dekat juga! Tangan
kakiku 28 jadi lemah, lelah, tak kuat lagi bergerak! Tergopoh, tapi tak berdaya! Ke mana" Ke mana aku harus
lari" Bagaimana" Oh! Lalu croUP
'Yong Pin! Awas! Menepi ke kiri! Pinjak rem! Aduh! Suzuki itu menepi tiba-tiba!" seru Fusen
mengejut! Hampir saja Honda Civic itu menyerempet!
Yong Pin berhasil membanting kemudi ke kiri, menepi, dan berhenti menempel di belakang Suzuki
Carry. "Aku gugup!" seru Yong Pin, lalu menelungkupkan mukanya pada kemudi!
Di tepi jalan sebelah kanan, di atas tanggul Kali Brantas, terdapat kerumunan orang! Kerumunan
orang itulah yang menyebabkan Suzuki Carry menepi dan berhenti mendadak. Tanpa banyak
komentar, para penumpang Suzuki Carry berhamburan keluar! Ada kecelakaan! Ada sesuatu yang
patut dilihat di tanggul sana! Aneh, mengapa penumpang Suzuki itu pada ingin menonton,
meskipun mungkin itu kecelakaan biasa.
"Kita keluar juga!" ajak Fusen.
"Pergilan menyaksikan sendiri! Kekuatanku habis terkuras!" jawab Yong Pin tetap menelungkup
tanpa daya. "Ada apa"!" tanya Pamoraga yang sampai paling dulu di atas tanggul. Pertanyaan tertuju kepada
orang yang sudah berada di situ.
"Pembunuhan sadis! Baru terjadi! Tukang perahu itu sedang mengangkat mayat korban," jawab
salah seorang penonton terdahulu.
Pamoraga dan beberapa penumpang Suzuki, kemudian juga Fusen, dapat melihat dengan jelas
korban pembunuhan itu. Korban diangkat ke atas perahu dari air kali. Ia hanya mengenakan celana
dalam dan kaos singlet. Tubuhnya utuh berkulit putih, namun kepalanya pecah terbelah dua. Darah dan otak berhamburan
8 di dekat leher. "Wariwari! jangan melihati" seru Pamoraga sambil menghadang gadis yang ikut ingin tahu.
"Korban tentu berenang dari seberang sana. Mobil dan pakaiannya ada di barat sungai. Baru
sampai di tepi sini kepalanya dibacok dengan kapak penebang kayu! Sigar jadi dua!" analisis
seorang penonton. Fusen sempat memandang wajah korban yang terbelah. Ia terkejut karena pundaknya digamit
tangan halus. Fang Fang ada di belakangnya, ikut mengintip korban. Fang Fang tampak pucat.
Fusen segera menghalangi pandang Fang Fang ke arah korban, dengan menangkap pundak gadis
itu. - "Jangan lihat, Fang Fang! Jangan lihat'"
"Kita seperti kenal dengan korban itu!" keluh Fang Fang. "Sahabat kita!"
Tadi Fusen juga punya pikiran begitu, karena itu & memandangi lama. Kini Fang Fang
mengingatkan. Sekali lagi dia menengok kepala yang pecah. Kepala itu sedang disatukan oleh
penolongnya. "Di mana Yong Pin" Di mana dia, Fusen" Apakah orang itu bukan Yong Pin?"
Betul! Yong Pin! Kepala yang disatukan kembali itu seperti Yong Pin!
"Jadi dia Yong Pin!" jerit Fang Fang! Begitu keras sehingga semua orang menengok kepadanya!
"SsstrJ Jangan menjerit' Betul ia Yong Pin! Mirip Yong Pin!" ujar Fusen mencoba menenangkan
Fang Fang. "Yong Pin di mana?"
"Tertelungkup dalam imobilnya! Ia tak berdaya! Nasibnya memang malang! Sama dengan korban
!itu! Berenang dari sebelah barat sungai, dan kepalanya dikapak
oleh seorang prajurit Tartar! Pembunuhan sadis itu suatu peristiwa ulangan di zaman generasi kita
jadi orang Tar-tar!" ucap Fusen menghibur dan memberi penjelasan kepada Fang Fang!
"Apakah ini termasuk pembunuhan berangkai seperti yang dikatakan Doktor Aisun?" nyelemong
suara Wariwari. "Yong Pin ternyata tewas bukan karena bertempur dalam peperangan!" ucap Fang Fang. Ia bicara
sedih sambil menolehkan wajahnya kepada Swandanu yang berada di sampingnya. "Dia tewas
terbunuh!" "Jadi ini berarti..., apa yang kita kuaurkan itu terjadi?" sambut Swandanu dengan nada sedih juga.
"Kita berlima bakal terbukti tewas dalam serangkaian pembunuhan!"
"Mudah-mudahan tidak begitu! Yong Pin ini hanya seorang diri dibunuh! Yang lain tewas atau gugur
dalam peperangan! Pada waktu kita memang dalam peperangan besar, karena menyangkut
beberapa pihak, maka semua bisa menjadi kawan dan lawan! Kesempatan tewas dalam
pertempuran sangat besar! Mudah-mudahan sisa kita yang empat ini begitu sehingga tidak usah
9 kita curiga siapa yang melakukan pembunuhan berangkai dan semacamnya! Kita tidak akan saling
menuduh!" ucap Fusen dengan harus beberapa kali menelan ludah. Karena sulitnya berbicara.
"Lebih baik lagi kalau kita tidak tewas!" ucap Fang Fang.
"Apa itu mungkin" Tidak seorang pun di antara kita menyaksikan pasukan Tartar pulang dari Kediri!"
ujar Swandanu dengan tenang.
"Mungkin saja. Kita lari menyelamatkan diri dari ajang pertempuran di Kediri, seperti yang kita
kerjakan dulu!" sambung Fang Fang. Ia kembali menggandeng tangan Swandanu.
"Ya, mudah-mudahan begitu! Dan kalau memang tewas dalam pembunuhan berangkai, siapa yang
melakukan pembunuhan" Apa penyebabnya" Rasanya kok tidak mungkin seseorang membunuh
prajurit Tartar dan juga membunuh Panglima Singasari. Apa hubungan orang itu dengan para
korban?" Pamoraga dengan lantang dan sedikit pongah mengemukakan pendapatnya.
"Sesuatu yang menarik sekali untuk dipelajari!" ujar Doktor Aisun yang bertingkah seperti Agatha
Christie. Ia berjalan menyeberang jalan sambil mengangguk-angguk, menurut saja digandeng oleh
Dokter Mengki. Meski dahinya mengerut seperti layaknya orang berpikir keras, wajahnya tampak
ceria, pertanda apa yang meruwetkan pikirannya telah menemukan titik terang.
Yang lain juga kembali dari tanggul menyeberangi jalan menuju ke tempat kendaraan diparkir.
Semuanya kelihatan masih tercekam oleh kejadian ngeri di Kali Brantas itu. Mereka menyeberang
dengan tidak banyak bicara.
Fusen mendapati Yong Pin masih tertelungkup pada kemudi mobilnya.
"Yong Pin! Bagaimana keadaanmu" Masih sanggup kamu mengemudikan mobil?"
"Lemas sekali! Aduh, rasanya baru saja terjadi' Berenang, berenang, habis dayaku. Lelah, letih, lalu
sesuatu yang tajam dan berat menyentuh kepalaku! Crok\ Pandangan gelap gulita! Ingatan lenyap!
Itu terjadi ketika aku menjadi prajurit Tartar, beberapa generasi manusia yang lalu. Tapi rasanya
baru saja terjadi} Pandanganku tiba-tiba gelap, sekujur tubuhku lumpuh dan lenyap! Tak ada daya
sedikit pun tersisa! Apa aku masih hidup?"
292 "Ada pembunuhan barusan saja terjadi di sungai sana. Wajah korban serupa benar dengan kamu!
Lokasinya, ya mungkin sama dengan kisahmu! Peristiwa ulang!"
"Pembunuhnya" Apakah mereka bisa menangkap
pembunuhnya" Pembunuhan dilakukan pada siang hari bolong begini, tentu pembunuhnya sudah
diketemukan!" "Sayang, tidak!"
10 "Ya! Sayang sekali! Kalau tertangkap, wajahnya tentu seperti kamu!"
"Ah, Yong Pin! Mestikah aku sekali lagi bersumpah bahwa bukan aku yang menganiaya kamu
hingga tewas itu! Sumpah!" ucap Fusen dengan permintaan maaf.
"Baiklah! Karena pembunuhnya belum tertangkap, untuk sementara aku bisa menerima dalihmu!
Kamu menemui Puteri Fang Fang tatkala aku diancam mau dibunuh, ya, bahkan dibunuh
sungguhan, di kemah, oleh seseorang yang belum jelas siapa! Marilah kita teruskan perjalanan kita!
Mudah-mudahan kita sudah bisa mengungkap misteri ini dalam perjalanan hari ini! Waktu lain, kita
sudah sulit untuk bertemu! Ayo, kita kejar Suzuki Carry itu."
Mereka tidak berlama-lama melihat korban pembunuhan di sungai. Segera mereka kembali ke
mobil dengan berpasangan seperti tadi juga. Pamoraga tampak rukun dengan Wariwari. "Zaman
dulu, semua ini hanya kudengar sebagai dongeng saja! Pasukan Tartar bersama Raden Wijaya
menyerbu Kediri! Aku tetap tertinggal di Rabut Carat! Tidak sempat ikut mengalami, karena
kodratku sebagai istri, tetap bergulat di dapur. Baru sekarang, sempat napak tilas. Dan
menyaksikan kejadian ulang! Sungguh mengerikan! Mengerikan!" ucap Wariwari bagaikan mengadu
kepada Pamoraga. 293 Swandanu berkasih-kasihan dengan Fang Fang, seolah-olah tidak bakal ada waktu lagi selain
dalam perjalanan ini. Dan di akhir perjalanan, selesailah riwayat mereka! Karena itu, semakin
mendekati tempat terakhir berhentinya kehidupan mereka, kian getollah mereka melepaskan
rindunya! Mereka masuk ke dalam mobil tuntun-tuntunan, seperti ada salah seorang yang tuna
netra. Yang sesungguhnya, mereka buta lingkungan, cinta buta, lupa akan hadirnya manusia lain di
dekatnya. Doktor Aisun tidak segera masuk mobil. Ia punya cerita untuk Dokter Mengki Ia bercerita seperti
kepada suaminya saja. "Aku yakin! Penyebab terbunuhnya orang tadi karena saputangan gambar naga!" Tangannya
diacungkan seperti kalau memberikan kuliah, wajahnya berseri seperti seorang pecatur yang
menemukan langkah skak-mat untuk lawan main!
"Zo! Kok saputangan itu lagi" Apa hubungannya" Kita semua melihat, korban tadi hampir tidak
mengenakan pakaian pantas. Mana ada tanda-tanda dia membawa saputangan" Tidak mungkin
orang ambil kesimpulan pembunuhan tadi berkait belit dengan saputangan gambar naga, dari
melihat kenyataan ini tadi /o!" sahut Dokter Mengki memuskilkan.
"Ah, kamu sih tidak mau tahu riwayat saputangan itu! Kalau mau menghayati kekhasiatannya, jelas
tampak kok, benang merah itu sebab musabab mengapa orang tadi terbunuh dengan kepala
terbelah dua seperti itu! O, ini menarik sekali untuk dirunut, diselidiki!"
"Wah, ini sulit dipandang dari kacamata psikologi! Karena benang merahnya saputangan yang tidak
berjiwa!" sindir Dokter Mengki.
"Jelas kamu tidak akan bisa memecahkan simpul
11 pembunuhan itu! Entah lagi kalau kamu mau menganut sistem pengobatanmu sendiri, kalau mau
menyembuhkan orang sakit jiwa, si dokter ikut tidak waras! Kalau mau mengungkap misteri
pembunuhan zaman kuno, kita semua
harus balik ke zaman baheula!"
"Zo, pembunuhan itu tadi kan terjadi zaman sekarang. Belum satu jam yang lalu! Kok harus dirunut
dari zaman beredarnya saputangan gambar naga?" Dokter Mengki
ogotot. Doktor Aisun tertawa ngakak ketika menjawab, f Coba jelaskan, bagaimana kepala orang bisa
pecah terbelah dua seperti itu" Dengan alat apa pembunuhan dilakukan'"


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita belum tahu alat yang dipergunakan! Polisi yang dihubungi saja belum datang, belum sempat
menyelidik! Bagaimana kita bisa tahu?"
"Tapi kita tahu bukan, kepala itu sigar" Jadi baik pembunuhnya maupun alat yang dipakai, haruslah
kita tengok zaman dahulu! Hanya pada kebiadaban zaman perang Tartar orang memilih kepala
untuk menghabisi nyawa lawan dan menggunakan senjata kapak perang, yang waktu itu menjadi
perlengkapan tiap prajurit Tartar yang dikirim ke medan perang!"
Dokter Mengki tercengang mendengar keterangan rekannya.
"Ma! Pa! Ini kita menunggu selesainya berdebat Mama dan Papa, apa kami berangkat dulu saja
dengan me*-tunggalkan orang tua telantar di sini" Ayolah, cepat naik!" ujar Fang Fang seperti
terhadap orangtua sendiri.
Dengan panji kemenangan yang berkibar di tangannya, Doktor Aisun masih menambahkan,
"Korban pembunuhan modern, masa kini, tidak separah itu!" Ia menyilakan Dokter Mengki masuk ke mobil.
"Ld Kamu dulu, Miss Marple!" ujar Dokter Mengki ingat film seri Inggris yang didasari cerita Agatha
Christie. "O, aku masih ada keperluan untuk mewawancarai penumpang Honda Civic. Aku mau menumpang
di sana saja'" Tanpa menunggu jawaban apa-apa, Doktor Aisun melangkah ke mobil yang di belakang.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Fusen sambil keluar lagi dari mobil.
"Aku ingin ngobrol dengan kalian! Tadi bicara kita terputus!"
Seperti waktu dengan Fang Fang ke Pasar Atom kemarin, Nyonya Aisun kini duduk sendiri di jok
belakang. Waktu Honda Civic berangkat, Suzuki Super Carry sudah lebih dulu melept masuk Kota Kediri
12 "Wah, lupa akui Di mana bakal didirikan Gelora Basket yang kamu ceritakan kemarin" Jangan lupa,
aku harus melihat tempat itu. Dan melihat kepala prajurit Tartar yang tertusuk anak panah!" kata
Yong Pin yang sudah kelihatan segar kembali.
"Di tengah kota. Dekat alun-alun. Tapi aku tidak tahu ditaruh di mana kepala prajurit Tartar itu.
Konon akan ditaruh pada suatu etalase kaca dan diletakkan di ruang depan Gelora itu sementara
dibangun," jawab Fusen.
"Aku lupa memberitahu kepada taruna AKABRI itu bahwa kita perlu melihat Gelora Basket itu.
Sekarang masa kita harus uber-uberan di dalam kota?"
"Tidak usah! Lebih baik kamu membuntuti Suzuki itu saja. Melihat Gelora Basket bisa belakangan,"
suara Doktor Aisun. "Sebenarnya lebih gampang kita lewat sini! Itu! itu! Di
sebelah kiri jalan! O, masih dikerjakan! Baru pondasinya! Baru seminggu dikerjakan. Pada waktu
upacara penutupan, tempat tadi masih merupakan lapangan!" ujar Fusen ketika
lewat tengah kota. "Nanti saja kita tengok bersama! Sekarang yang lebih penting adalah mengikuti kehendak sopir
Suzuki itu. Ia pegang peran penting dalam peristiwa penyerbuan Istana Kediri. Ia selalu dekat
dengan istrinya dan Panglima Kau Hsing!" saran Doktor Aisun.
Suzuki Carry tidak terus menerobos kota ke selatan mengikuti jalan raya, melainkan berkelok-kelok
ke arah timur. Keluar dari Kediri menuju ke timur. Menuju arah Wates.
"Mengapa Nyonya tadi tiba-tiba berpindah ke mobil kami" Berarti Nyonya jauh dari Fang Fang!"
tanya Fusen sambil menengok ke belakang.
"Fang Fang aman di dalam pelukan mahasiswaku! Aku ingin bicara dengan kalian berdua. Ingin
keterangan sedikit. Kalian berdua ikut pasukan Tartar pimpinan Kau Hsing, bukan" Waktu
menyerbu Kota Kediri, kalian ikut menyerbu?" .
"Aku tidak!" jawab Yong Pin lugas!
"Zo, bagaimana?"
"Malam sebelum penyerangan, ketika aku pulang ke kemah, Yong Pin sudah tidak ada.
Perbekalannya juga tidak ada. Padahal ada kabar gembira yang akan saya sampaikan. Yaitu
bahwa aku telah bertamu di kemah Puteri Fang Fang, dan betul bahwa wanita penerjemah itu
Puteri Fang Fang. Beliau hidup berbahagia dengan suaminya, Panglima Pamoraga. Dan
saputangan gambar naga yang
297 ingin kutanyakan itu sekarang disimpan di kocek suaminya! Sampai pada persiapan penyerbuan
pagi, Yong Pin tetap belum datang. Saya masih mengharapkan dia datang ke kemah. Kami sejak
kecil bersahabat. Pengalaman melawat ke Jawa lebih mempererat persahabatan kami itu. Waktu
13 mandi dan mengambil ransum, karena waktunya cukup lama, aku tuliskan perkembangan baru hasil
pertemuanku dengan Puteri Fang Fang secara singkat. Pokok-pokoknya saja. Tiga hal yang
penting, yaitu bahwa saya semalam bertamu pada Puteri Fang Fang, betul beliau Puteri Fang Fang,
dan bahwa saputangan gambar naga itu berada di kocek suaminya. Catatan itu saya taruh pada
tempat yang gampang terlihat sehingga apabila Yong Pin datang, tentulah ia segera mengerti
perkembangan baru, perkembangan kami. Kembali dari makan pagi, Yong Pin tetap tidak muncul,
alat perang dan perbekalannya tetap tidak ada. Juga catatan yang kubuat untuk dia, diambil. Aku
tersenyum sendiri. Yong Pin maunya main sembunyi-sembunyian!". "Kamu ikut penyerbuan itu?"
desak Doktor Aisun. "Ya. Penyerbuan dimulai ketika matahari sudah sepenggalah di kaki langit
sebelah timur dan berakhir pada matahari sepenggalah di kaki langit sebelah barat. Saya tetap tidak
bertemu dengan Yong Pin!"
"Sekarang kita ini ke mana?" tanya Yong Pin yang memegang kemudi.
"Ini jalan kami, pasukan Kau Hsing, ketika menguber seorang pangeran Kediri yang meloloskan diri
dari pengepungan kami!"
"Kamu tidak ikut dalam perjalanan ini, Yong Pin?" tanya Doktor Aisun.
"Jalan ini asing sekali!" ijawab Yong Pin.
298 "Sedang Taruna AKABRI kita, kelihatannya lancar
meniti jejak!" "Ya. Puteri Fang Fang dan Panglima Pamoraga ikut
serta dalam pengejaran ini. Mereka mewakili Raden Wijaya karena Raden Wijaya diperlukan di
Kediri," jawab Fusen.
Mobil Suzuki yang dibuntuti tidak mau berhenti atau mengurangi kecepatannya. Ia terus melejit
melalui jalan-jalan sempit dan berdebu ke arah timur dan selatan ke arah Gunung Kelud.
"Suzuki itu terlalu cepat untuk melewati jalan sesempit ini. Seperti Rally Trans Sumatera saja!" ujar
Yong Pin. "Ketika mengejar pangeran dari Kediri itu, kuda kami juga dipacu lebih cepat. Debu berhamburan
sehingga sekalian prajurit mengenakan saputangan di wajahnya. Aku merasa senang, sebab
meskipun berpacu dalam kecepatan tinggi, Puteri Fang Fang mau menegurku, dan tetap
menganggap aku masih pengawalnya. Aku disuruh memacu dekat-dekat padanya! Hatiku bangga
menempuh perjalanan ini!"
"Sekalipun tanpa Yong Pin! Kamu sudah tidak peduli, meskipun kehilangan seorang sahabat!" sindir
Doktor Aisun. "Sedihku sudah habis ketika kami menyerang dan menduduki Kediri. Petang hari setelah diperangi
14 selama enam jam, akhirnya Kediri jebol. Kami bersorak-sorak gembira memetik kemenangan,
namun aku terdiam kelu karena kehilangan sahabat. Ia tidak gugur dalam perang, tapi menghilang
sebelum pertempuran dimulai. Hilang di negeri asing dalam saat yang tegang demikian, boleh
dipastikan bahwa Yong Pin tentu diculik atau dibunuh oleh prajurit musuh! Kemungkinan besar oleh
orang-orang 299 Kediri. Orang Raden Wijaya tidak mungkin karena mereka
mitra kita. Pembunuhan itu sifatnya perampokan, sebab Yong Pin membawa semua
perbekalannya!" kisah Fusen.
"Kamu catat itu! Istilahmu sendiri. Tidak gugur dalam perang! Yong Pin korban pembunuhan!
Mungkin perampokan! *Iungkin orang Kediri pembunuhnya! Kamu catat itu!" ujar Doktor Aisun. "Dan
bagaimana Kota Kediri setelah diduduki pasukan Tartar?"
"Saya tidak ikut bergembira! Saya tidak ingin melihat kota. Masygul karena kehilangan sahabat.
Selama tiga hari aku peras habis rasa dukaku! Pada hari yang ketiga bani ketahuan bahwa
Pangeran Ardaraja tidak terdapat di antara para tawanan. Dilacak-lacak, kami jadi tahu bahwa
bekas Panglima Singasari ini berhasil meloloskan diri ke arah tenggara kota. Panglima Kau Hsing
segera memanggil pasukannya, juga Puteri Fang Fang dan suaminya untuk bergerak memburu
Pangeran Ardaraja. Dalam perjalanan itulah aku kembali ditegur oleh Puteri Fang Fang, dan disuruh
mengawal di dekatnya! Aku baru bisa tertawa, terhibur, karena Puteri Fang Fang banyak bicara,
dan lucu-lucu!" "Apa alasan Kau Hsing mengajak Fang Fang dan Panglima Pamoraga?" tanya Doktor Aisun.
"Banyak. Terutama karena mereka sudah saling mengenal selama perjalanan dari Ujunggaluh
sampai Kediri. Raden Wijaya tidak bisa ikut karena lebih diperlukan di ibukota kerajaan yang baru
ditaklukkan. Panglima Kau Hsing juga perlu juru bahasa. Dan Panglima Pamoraga adalah perwira
yang sudah kenal Pangeran Ardaraja sehingga tidak bakal salah tangkap."
Kedua mobil yang bagaikan buru-memburu di jalan sempit dan sepi itu akhirnya masuk Kota Wates.
Pamoraga 300 tidak berniat berhenti di tempat itu. Kota itu dilewati tanpa mengurangi kecepatan, kendaraannya
dikemudikan dengan rasa tergesa, seolah-olah seperti zaman lampau, ketika harus memburu
Pangeran Ardaraja. Beberapa kilometer kemudian, di kaki sebuah bukit yang jalannya menikung,
bamlah Suzuki Super Carry itu masuk ke berai yang agak luas, dan berhenti di situ. Honda Civic
yang membuntuti tidak kalah lincah, menikung masuk ke berm di dekatnya dan berhenti,
seolah-olah sopirnya sudah hafal keadaan medan.
"Kamu seperti sudah berpengalaman menjelajahi daerah ini!" tegur Fusen dengan penuh arti. Besar
dugaannya bahwa Yong Pin memang pernah berada di situ, bukan naik mobil, tetapi mengendarai
kuda! "Aku pernah ikut rally Hari Jadi Kota Surabaya, yang sedikit banyak juga napak tilas bergeraknya
15 pasukan Tartar," jawab Yong Pin. Maksudnya ia mau menunjukkan bahwa keterampilannya
mengemudi itu bisa diandalkan karena sering ikut rally.
Fusen menanggapinya dengan senyum. "Aku yakin, memang kamu ke sini bukan sekali ini!"
"Di sini! Di sini, Pangeran Ardaraja kami tangkap! Dan di daratan atas bukit sana, kami membuat
kemah!" ujar Pamoraga dengan bangga.
'Ya! Di sana, di sana jatuh korban yang paling besar!" sahut Fang Fang yang begitu mobil berhenti
ia segera turun, sambil melihat ke dataran tinggi di atas bukit-fAku harus melihat ke sana,
senyampang di sini!"
Setelah berkata begitu, Fang Fang meloncati parit, lalu berusaha mencari jalan di antara sawah
ladang, mendaki menuju anak gunung yang cukup terjal itu. Ia begitu tergesa -
301 gesa, seolah-olah mendengar berita yang sangat mengejutkan dan harus ditengok apa yang terjadi
di atas dataran tinggi sana. Biar pun setengah lari, Fang Fang seperti sudah tahu jalan mana yang
harus dilaluinya sehingga dapat mencapai tujuan tanpa lebih dulu menengok ke sana dan kemari.
"Fang Fang! Tunggu!" seruan suara laki-laki di belakangnya.
Fang Fang tidak sendirian. Pamoraga yang melihat kegairahan Fang Fang meloncat dan berlari-lari
memanjati bukit, tergugah untuk mengikuti! Di sini, dan ke sinilah tujuan yang terpenting bagi
Pamoraga perlawatannya hari ini! Karena itu bagaimana pun juga ia harus memanjat bukit itu! Bukit
yang sejak dulu hampir tidak berubah bentuknya. Setelah Pangeran Ardaraja tertangkap, segera
saja Panglima Kau Hsing memerintahkan anak buahnya untuk membangun perkemahan. Di puncak
untuk markas dan pengamatan, karena dari sana pandangan dapat ditebarkan secara luas ke
wilayah sekitar bukit. Dan dataran tinggi di bawahnya di sebelah selatan puncak, digunakan untuk
kemah Sang Panglima pasukan Tartar dan Majapahit, yaitu Pamoraga bersama istri. Sementara,
para prajurit berkemah berserakan di kaki bawah bukit itu. Pamoraga seperti melihat semua dan
ingat kejadian serta suasananya waktu itu! Seperti waktu yang lalu, ia merasa bergaul dekat sekali
dengan Fang Fang! Oleh karena itu, ketika dilihatnya Fang Fang ayu bergairah memanjati bukit,
tersendai pula gairahnya untuk mengikuti!
"Pamor! Mas! Aku jangan kamu tinggal! Aku sudah tidak mau lagi ditinggal seorang diri! Semua
orang pergi ke Kediri, punya pengalaman berperang dan bergaul
dengan orang Tartar, tapi aku cuma mendengar beritanya saja di rumah! Empb\ Aku tidak mau jadi
pendengar saja lagi! Aku juga harus punya pengalaman!" gerutu wariwari sambil mengikuti langkah Pamoraga.
Pendatang bermobil yang lain kalem saja. Mereka seperti wisatawan saja. Turun dari mobil, mereka
merasakan keindahan alam sekitar. Mengagumi bukit yang menonjol di tepi jalan besar, bisa
didekati tanpa turun dari kendaraan. Riwayat yang terjadi zaman lampau di sekitar bukit itu memang
akan lebih menggairahkan untuk pengetahuan para wisatawan, tetapi mereka sabar menunggu
untuk mendengarnya, dan tidak perlu harus berlari-lari memanjat seperti para mantan pelaku.
16 "Saya tidak berkemah di atas sana, tapi di bawah-bawah sini saja, di balik kaki bukit sebelah selatan
itu!" ujar Fusen dengan sopan santun memberi keterangan kepada Doktor Aisun, pendengar tekun
dalam rombongan. "Jadi kalau mau pergi ke kemah Puteri Fang Fang, saya hams merayapi dinding
bukit sebelah timur itu! Dinding itu lebih terjal dari sebelah yang lain, tetapi paling dekat dari tempat
kami berkemah, jadi kutempuh juga."
"Jadi kamu pernah melakukan pendakian itu! Mendaki ke tempat Puteri Fang Fang?" tanya Doktor
Aisun. Sambil melirik mengandung selidik.
Fusen kelihatan pucat, tergagap. "Ya! Iya, per-pernah j
Ketika lari mengejar Fang Fang, Pamoraga setengah direpoti karena harus menuntun Wariwari.
Sebelum sampai pada dataran tempat kemah mereka, Wariwari terpeleset sehingga Pamoraga
mengeluarkan keterampilan ekstra untuk menyahut tubuh Wariwari agar tidak tergelundung.
Tempat itu memang licin, dasarnya cadas berlumut, dan basah karena tetesan air yang tetap keluar
dari bukit. Untung waktu itu Pamoraga cepat menangkap punggung Wariwari. Andaikata
terkebabang, tentulah punggung
perawan manis itu tergencet pada batu cadas yang lancip. Daerah itu selain terjal dan licin, juga
terdapat batu-batuan keras yang berbentuk ramping atau memanjang. Setelah menangkap tubuh
Wariwari, dan gadis itu aman dalam pelukannya, Pamoraga melihat barang lain yang lebih menarik
dari wajah rupawan yang memandanginya dengan penuh harap agar Pamoraga berbuat sesuatu
kepadanya! Barang itu segera disahut, digenggamnya erat-erat! Sebuah kocek yang telah begitu
biasa Pamoraga melihatnya.
"Mas Pamor!" bisik Wariwari dalam pelukan. Pandang matanya berkobar mengharapkan pernyataan
gairah asmara. "... milik Fang Fang!" yang keluar dari mulut Pamoraga. Diucapkan dengan penuh gereget!
Genggamannya lebih dipererat.
"Milik Fang Fang" Aku bukan Fang Fang! Aku Wariwari, Mas!"
"Milik Fang Fang! Sudah ditagih, harus aku kembalikan! Ayo, cepat, jangan cengeng! Tidak kutunda
lagi, mumpung dia berada di tempat kemah!"
Wariwari jadi cemburu! Pamoraga bukan jatuh cinta kepadanya! Milik Fang Fang! Apakah ia salah
rasa" Bukankah Pamoraga cinta setengah mati kepadanya" O, pada kesempatan itu ia mau
membalas cintanya itu! Zo, kok, milik Fang Fang! Rasa cemberut menggugah kesadarannya bahwa
mereka berada di alam terbuka dan Pamoraga memang laki-laki yang bukan atau belum jadi
miliknya! 304 Jangan cengeng! Ia bangkit dengan kesadarannya yang keropos, namun masih kuasa mengikuti
ajakan Pamoraga yang mengecewakan itu! Ia ikut berlari-lari lagi menanjak, dibiarkan tangannya digandeng dan
ditarik paksa oleh Pamoraga! Betapa kontroversialnya perbuatan dan kata-kata Taruna AKABRI ini!
17 "Fang Fang! Mengapa kamu buru-buru datang ke tempat ini! Tempat ini tidak akan lari kamu kejar!"
ujar Pamoraga ketika ia berhasil menyusul Fang Fang di dataran tinggi.
Fang Fang kedapatan lagi menunduk, tangannya menutupi wajahnya!
"Kamu menangis, Fang Fang?"
"Oh, Kakangmas Pamoraga! Kakangmas Pamoraga!"
Tahu bahwa Pamoraga berada di dekatnya, langsung saja lengannya yang panjang semampai dan
berkulit kuning itu memeluk leher Pamoraga, dipeluknya erat-erat, sementara wajahnya yang
sembap disembunyikan di dada pemuda angkatan perang itu!
Wariwari yang menyaksikan kejadian ini kian cemberut, bibirnya mengatup tebal!
"Fang Fang! Ini milikmu! Yang tadi ditanyakan oleh Swandanu! Dia minta agar diberikan kepadamu!
Terimalah!" Pamoraga tidak gugup atau gairah, juga tidak menghindar mengenyahkan diri
mendapat pelukan sebagai tempat pembuang tangis. Fang Fang memang istrinya, dan belakangan
ini mereka bekerja sama dengan baik sekali, saling mengerti, meskipun hampir-hampir tidak disertai
kegairahan nafsu birahi. Rasanya biasa bila si suami mendapat per
305 muncul kembali di hadapannya!
r Mendengar ucapan Pamoraga, Fang Fang memperhatikan barang yang diperlihatkan suaminya.
Kocek! Milik Pamoraga. Ia telah setia menyandang kocek tadi di ikat pinggangnya sebelah depan kiri.
"Kocek, Kakangmas! Tempat saputangan gambar naga!" |# "Ya! Milikmu! Di restoran sana tadi
ditanyakan sama Swandanu! Terimalah kembali! Biarlah kamu simpan! Ini sudah waktunya kembali
ke genggamanmu!" "Oh! Terima kasih! Terima kasihi" ucap Fang Fang berubah melonjak jadi suka ria! Dikuakkan tali
penutupnya, diintainya benda di dalamnya, masih ada, lalu cepat-cepat kembali ditutupnya,
digenggamnya erat-erat, ditekankan pada dadanya, dan berulang kali mengucap terima kasih!'.
"Simpanlah baik-baik di dadamu!" ujar Pamoraga menasihati.
Fang Fang jatuh berlutut, wajahnya menengadah memandangi Pamoraga, dan berucap, "Terima
kasih! Terima kasih! Kamu Pangeranku!"
Pamoraga memandangi Fang Fang dengan gembira. Tetapi tidak berusaha mendekatkan tubuhnya
kepada perempuan itu. Ia menengok ke arah Wariwari yang berdiri beberapa langkah di
belakangnya. "Kemarilah. Wariwari! Mendekatlah! Kamu jadi saksi!" isyarat Pamoraga mengundang Wariwari agar
mendekat kepadanya. Wariwari melangkah ragu menuruti ajakan Pamoraga. Setelah dekat, diraihnya pinggul Wariwari.
18 Dengan tangan yang kuat, tubuh Wariwari dihimpitkan kepadanya, rapat sekali, kuat sekak, dahinya
diusap dengan dagunya. Wariwari diajak oleh Pamoraga melihat Fang Fang yang berlutut di
hadapan mereka. "Wariwari! bersaksilah! Saputangan gambar naga dalam kocek itu kini telah kuserahkan kembali


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada pemiliknya! Kepada Puteri Fang Fang! Bersaksilah!"
'Terima kasih, terima kasih! Kamu Pangeranku!" terus begitu saja ucapan Fang Fang.
"Simpanlah, Fang Fang! Masukkanlah saputangan itu ke dalam dadamu!"
Seperti perempuan Jawa yang patuh perintah suaminya, Puteri Tartar itu pun menuruti apa saja
yang disuruh oleh suaminya. Kocek berisi saputangan itu dimasukkan di celah gunung kembarnya,
lalu diraba-rabanya untuk memperoleh bahwa benar-benar telah aman di situ. Aman dan hangat
"Sekarang aku minta kepadamu, Fang Fang. Relakanlah aku berpisah denganmu!" kata Pamoraga!
"Saputangan sudah di tanganmu, tugas bersama pasukan Tartar sudah selesai, kini marilah kita
berpisah, hidup pada pribadi masing-masing!"
Di luar dugaan, Fang Fang menjerit menyerukan nama Pamoraga!
"Aku akan menikahi Wariwari; Fang Fang! Jangan menghalangi!"
"Silakan, Kakangmas! Aku rela setulus -hatiku!" ucap Fang Fang, lalu menunduk sambil berbisik,
"Terima kasih, Pangeran! Terima kasih!"
Di bawah, Fusen berkisah panjang lebar sambil didengarkan oleh pendatang bermobil yang lainT
"Di tempat inilah terjadi pembunuhan!"
"Korbannya tentu Pangeran Ardarajafc'Orang Kediri tidak suka melihat pangerannya begitu lemah
dan mau pasrah kepada bekas calon prajurit Singasari!" sahut Doktor
Aisun berkomentar tanpa persetujuan.
"Bukan! Orang gagah Panglima Pamoraga! Di kemahnya di dataran tinggi sana!"
"Pamoraga"!"
"Ya, Yong Pin! Sebenarnya kamu bisa bercerita soal ini! Berceritalah!" ucap Fusen kesal. Tiap kali
ia menengok ke arah sahabatnya, memberi isyarat atau pancingan, tetapi Yong Pin tampaknya
tidak tanggap. "Aku" Bercerita bagaimana" Perihal pembunuhan besar ku" Apa yang harus kuceritakan" Siapa
pembunuhnya'"' "Sebetulnya kamu tidak perlu berlagak tolol begitu, Yong Pin! Tetapi tidak apalah.
Aku coba bercerita dari kacamataku! Pembunuhan dilakukan pada waktu matahari tenggelam di
ufuk barat. Aku bisa melihat pembunuh itu manjat kaki bukit sebelah selatan. Aku kebetulan keluar
ri kemahku, memandang ke barat, matahari tersembunyi di balik bukit ini, dan menjadi latar
belakang, dan melihat dia mendaki menuju perkemahan para panglima!"
19 "Bagaimana kamu tahu bahwa orang itu melakukan pembunuhan?"
Tidak lazim, orang kecil pergi ke tempat para panglima dengan memanjat dinding yang curam dan
tidak ada penjagaan. Tingkah laku ini mencurigakan."
"Tapi tidak bisa dipastikan bahwa itu pembunuh' ecurigaanmu tidak kuat!"
"Dari kecurigaanku itu, aku pun bergerak menyelidikinya. Sayang aku bukan pendaki gunung
sehingga harus jputar mencari lereng yang landai. Dan setelahkudapat-, seizin penjaga aku
mendapatkan Tuan Puteri Fang Fang di kemahnya, terlambat! Aku masuk ke kemah, ternyata
Tuanku Panglima Pamoraga sudah gugur. Tertelungkup pada
beri 1 1 kasurnya, tetapi kakinya tak beraturan. Kukira beliau melakukan senam, atau berbuat apa. Tapi
karena posisinya tidak nyaman, serta perabot yang ada berserakan, cepat saja aku menolongnya.
Kubalikkan tubuhnya, ternyata dadanya telah luka di beberapa tempat, sedang sebuah pedang
Tartar masih menancap di perutnya. Beliau masih hidup, masih sadar. Ia memandang kepadaku
dengan mata yang membelalak, bibirnya bergerak-gerak mengucapkan kata pelahan. Aku tidak
mengerti bahasanya! Akhirnya beliau kuasa menggerakkan tangan kanannya, menunjukkan
genggaman kepadaku. Serentak dibuka, ternyata sesobek catatan! Ah, sebenarnya Yong Pin bisa
lebih jelas menceritakan hal infi"
"Aku" Mengapa aku" Aku sudah tidak ingat apa-apa tentang tempat ini!"
"O, alibi itu dikemukakan tiap orang!" ujar Fusen tajam.
"Mengapa kamu menuduh Yong Pin bisa bercerita lebih jelas?" tanya Aisun.
"Pertama, orang yang kulihat memanjat lereng dengan matahari sebagai latar belakang adalah
prajurit Tartar. Prajurit Tartar rendahan begini tidak boleh menemui Puteri Fang Fang. Kedua, alat
pembunuhnya pedang Tartar!"
"O, itu gampang untuk mengelabuhi penyelidik," ucap Doktor Aisun. "Misalnya sebelum melakukan
pembunuhan, pembunuh tadi mencuri pakaian orang Tartar lengkap dengan senjatanya!"
"Tiga, karena sesobek catatan itu adalah tulisan tanganku sendiri. Catatan yang ku taruh di kemah
sebelum berangkat ambil rangsum. Catatan yang kusiapkan untuk Yong Pin, dan kemudian hilang
bersama Yong Pin, lenyap dari kemah karena dibawa oleh Yong Pin! Jadi pembunuh yang
menghunjamkan pedang ke dada Tuanku Pamoraga adalah
prajurit Tartar yang bernama Yong Pin!"
"Aku" Kok bisa" Tentu kulakukan di bawah sadar! Aku tidak ingat apa-apa tempat ini!" sanggah
Yong Pin. 20 Tapi kamu bisa memarkir mobil tepat di berm yang luang! Bukan sekali ini kamu ke sini! Meskipun
kamu menghilang sebelum penyerbuan Kota Kediri, kamu selalu mengikuti gerak-gerik pasukan
Tartar barisan kita! Aku merasa selalu diintai seorang prajurit Tartar setelah kamu menghilang!"
"Sungguh mati! Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah berenang menyeberang Kali Brantas! Dan
mengapa aku harus mengikuti gerakan pasukan Kau Hsing secara sembunyi" Aku anak buah yang
sah!" "Ada sesuatu yang kamu incar dan hendak kamu miliki!"
"Apa?" "Saputangan gambar naga!" "Untuk apa?"
"Buktinya, kocek Panglima Pamoraga tidak ada di pinggangnya. Padahal aku tulis dalam catatan,
saputangan itu dibawa oleh laki-laki suami Puteri Fang Fang!" ujar Fusen.
"Jadi kamu geledah tubuh yang kesakitan itu"!" tanya Doktor Aisun tajam.
"Ia tak berdaya kecuali sesambat, dan kamu tidak mengerti bahasanya, tapi masih saja kamu tega
menggagapi tubuhnya, mencari saputangan gambar naga!"
"Ia justru yang sering menyebutkan barang itu! Mungkin saja ia memang ingin memilikinya!" kata
Yong Pin sambil menunjuk pada Fusen.
Tidak! Aku menyebut-nyebut saputangan itu karena ingin tahu hubungannya dengan Puteri Fang
Fang! Ke - 310 selamatan dan kebahagiaan Puteri Fang Fang terbelenggu benar pada saputangan itu! Bukan aku
hendak memilikinya!" teriak Fusen!
"Sudahlah, Fusen! Kamu tidak perlu berteriak seperti itu! Kita memang tidak baik saling menuduh!
Kamu juga sudah menyakiti hati sahabatmu, Yong Pin, kamu tuduh membunuh Pamoraga. Dia
tidak marah. Jadi imbangilah, jangan marah karena dikira kamu ingin memiliki saputangan tadi'" ujar
Dokter Mengki. "Terus terang, Fusen. Aku bisa saja menganggap kamu suka mengelabuhi kami dalam berkisah.
Kamu berkisah begitu karena ingin membebaskan diri dari tuduhan bahwa kamulah pelaku
pembunuhan berangkai! Kamu telah membunuh Yong Pin, meskipun telah berusaha menutup
mukamu. Lalu membunuh Pamoraga di kemahnya! Sulit misalnya kami percaya bahwa kamu
membuat catatan yang kamu tinggalkan di kemahmu lalu hilang! Sebab, catatan itu yang membuat
kamu dan yang berkisah juga kamu sendiri! Apa betul ada catatan itu" Dan sungguh lemah apa
sebenarnya maksudmu membuat catatan itu" Apa tidak hanya kisah bohong untuk melemparkan
tuduhan kepada Yong Pin?" sambung Doktor Aisun dengan lancar. Bani beberapa bulan belajar
bahasa Indonesia, tapi kini lancar.
"Zo! Catatan itu sungguh kubuat dan ada!" jawab Fusen ngotot!
21 "Baiklah! Teruskan saja ceritamu! Meskipun dalam sakratul maut kamu masih menggeledah
pinggang dan sabuk Panglima Pamoraga! Kamu berbuat apa lagi di situ?"
"Aku berteriak-teriak keluar kemah, mencari Puteri Fang Fang! Beliau tidak berada di dalam kemah.
Dengan seizin penjaga, aku cari ke tempat Panglima Kau Hsing.
Panglima juga tidak ada. Ia sedang pergi meninjau tawanan di bawah. Segera saja aku menuruni
lereng sebelah barat. Sebelah sini. Begitu bertemu Puteri Fang Fang, segera saja kulaporkan.
Gegeri Semua berlari memanjat lereng. Puteri Fang Fang seperti tadi itu! Bergerak cepat tanpa
melihat ke sana dan kemari! Aku bersaksi, melihat Puteri Fang Fang memeluk Panglima Pamoraga
yang telah tidak bernyawa. Dan sesambat dalam bahasa Fukien! Jadi kami semua tahu artinya!
Puteri Fang Fang menyesalkan mau menerima kembali saputangan gambar naga itu! Baru sore hari
itu sebelum pergi dengan Panglima Kau Hsing, suaminya menyerahkan saputangan itu kepadanya.
Karena termakan cerita bahwa Swandanu pergi mencari Panglima Pamoraga untuk minta kembali
saputangan gambar naga agar diserahkan kepada Puteri Fang Fang. Puteri Fang Fang memang
pernah bicara bahwa saputangan itu pengayom keluarga! Siapa pun penyimpannya, maka
keluarganya akan selamat. Tetapi tidak mengira sama sekali, begitu saputangan dilepas, langsung
bahaya menyerang dirinya!" w
Mereka yang meninjau ke atas tampak sudah kembali. Fang Fang berada di depan, wajahnya
kelihatan berduka, turun sambil menunduk. Sedang Pamoraga dan Wariwari seperti pengantin baru,
turun gunung dengan bergandeng-gandengan serta tertawa ria.
"Jadi kesimpulannya, siapa pun yang membunuh Panglima Pamoraga, dia kecele! Ia membunuh
karena mau merebut koceknya yang berisi saputangan gambar naga, tetapi ternyata barang itu
sudah tidak ada pada Pamoraga!" ujar Doktor Aisun.
"Dan saputangan itu ternyata sudah selamat sampai di genggaman Puteri Fang Fang! Setelah
perpisahannya $12 waktu terlempar dari perahu dulu itu!" kata Fusen dengan
nada gembira. Wajahnya terpancar rasa bahagia!
"Jadi kamu tidak ingin lagi memiliki saputangan gambar naga itu?" tanya Yong Pin.
"Tidak! Selamanya aku tidak pernah punya keinginan memiliki saputangan itu! Aku hanya berbakti
kepada keluarga bangsawan Fukien, pemilik saputangan itu. Dalam hal ini Puteri Fang Fang!" ujar
Fusen ngotot. "Tapi pada akhir cerita, saputangan itu kamu miliki juga!" Yong Pin masih menyudutkan sahabatnya.
"Bagaimana kamu tahu! Kita kan masih akan melacak lagi perjalanan ini!"
"Kamu lupa bahwa awal perjalanan ini adalah karena kamu memberikan oleh-oleh saputangan
gambar cengkorongan naga kepada Fang Fang! Jadi estafet akhir perjalanan saputangan gambar
naga pada zaman jatuhnya Kerajaan Kediri adalah kamu. Yang pada zaman abad penyebaran
22 informasi ini kamulah yang pemula dan penyambung peristiwa akhir dulu itu!"
Fusen yang bertubuh gempal, terdiam kelu. Ia menyesal, mengapa memberikan saputangan dari
Kediri itu kepada Fang Fang! Menyesal karena pengalaman selanjutnya ternyata tidak enak bagi
dirinya! "Apakah yang telah kalian dapatkan disana?" tanya Doktor Aisun menyambut tiga orang yang turun
dari bukit. "Aku telah melakukan upacara serah terima! Fang Fang menerima saputangan miliknya, aku
menerima kebebasanku bercinta!" Pamoraga yang menjawab. Agaknya hanya dia yang mampu
berbicara mewakili lainnya.
"Aneh! Padahal kami di bawah tadi melakukan upacara pembunuhan terhadapnya!" rerasan Fusen
berbisik kepada Yong Pin.
313 "Itulah, kematian yang menggembirakan! Berbeda dengan aku tadi, kepalaku rasanya pecah
beneranY Fang Fang meloncati parit pembatas ladang dan berm, disambut oleh Swandanu.
"Mas Danu. Mengapa tadi tidak meninjau ke atas sana?" "Ada apa di sana?"
"Ada serah terima. Mas Pamor bermaksud menikahi Mbak Wariwari! Mbak Wariwari kelihatannya
mau! Mas Danu tidak marah?"
"Asal masih dekat kamu, aku tidak akan marah." "Dan saputangan itu telah diserahkan pula oleh
Mas Pamoraga' Tadi itu di atas merupakan upacara terpenting dari kehidupan kita!"
"Jadi saputangan itu sekarang sudah berada di dadamu" Jangan kamu lepaskan! Kita genggam
sampai perjalanan akhir!"
"Mestinya Mas Danu tadi bersaksi di atas sana!" "Aku tidak tahu terjadi peristiwa penting seperti itu.
Kamu tadi terlalu cepat lari menanjak ke sana. Kami yang di bawah justru rerasan bahwa di sana
dulu terjadi tragedi. Pembunuhan yang kejam!"
"Itulah sebabnya aku bersicepat lari ke atas. Rasanya menerima berita terjadinya musibah pada
Kakangmas Pamoraga di bawah sini. Sampai di atas, tak tertolong lagi, Kakangmas Pamoraga
sudah tidak mengucap apa-apa lagi. Bisu!"
"Siapa pembunuh Pamoraga?" Itulah yang hangat dibicarakan ketika para pelancong itu sudah
kembali naik mobil. Doktor Aisun kembali ikut Suzuki Carry.
"Menurut Bu Aisun bagaimana?" tanya Pamoraga sebelum masuk mobil.
"Sebenarnya yang bisa menjawab tepat adalah kamu!" sahut Doktor Aisun sambil memandang
tajam kepada 23 Pamoraga yang masih berdiri di dekatnya.
"Nalarnya?" "Sebab kamu berhadapan langsung dengan pembunuhmu! Kamu mengadakan perlawanan, ini
dilacak dari keadaan kemah yang porak poranda. Jadi tentunya kamu
tahu siapa pembunuhmu!" "Seorang prajurit Tartar."
"Atau seorang laki-laki yang mengenakan pakaian
Tartar! Bisa saja seorang Kediri berpakaian curian milik
prajurit Tartar!" "Tidak mungkin. Matanya sipit, tidak bisa bicara Jawa. Ia tidak membuang waktu, langsung
menyerang daku!" "Apakah bukan Fusen?"
"Mungkin. Sebab aku tidak bisa membedakan orang Tartar satu dengan yang lain, kalau tidak
punya wajah yang khusus! Berpakaian prajurit Tartar, semua pemuda Tartar sama saja wajahnya
dan mimiknya bagiku!"
"Prajurit Tartar yang menemukan kamu kena musibah adalah Fusen. Dia menyaksikan kamu masih
bernapas. Kamu masih sanggup menunjukkan catatan kepadanya!" penjelasan Doktor Aisun. "Jadi
mungkin saja dia pembunuhmu! Yong Pin percaya kalau Fusen pembunuhnya. Sebab dia punya
pengalaman, diancam oleh seorang berpakaian topeng di wajahnya. Fusenlah yang paling dulu
memberitahukan kepada Yong Pin, bahwa keinginannya untuk muncul di hadapan wanita
penerjemah tidak bisa dikendalikan lagi. Ia ingin tahu apakah perempuan itu benar Puteri Bang
Fang. Dan kalau Puteri Fang Fang, bagaimanakah dengan saputangan gambar naga miliknya.
Yong Pin pikir minat Fusen untuk memiliki saputangan itu benar-benar tidak dapat dikendalikan sehingga
ia bertindak mengancam Yong Pin dan setelah tahu bahwa saputangan
itu kamu simpan, kamulah yang jadi sasaran! Prajurit Tartar itu Fusen, yang masuk ke bilikmu dan
membunuh kamu untuk mendapatkan saputangan gambar naga. Tentang prajurit Tartar bertopeng
yang mengancam Yong Pin, Yong Pin pun mengira dia tidak lain Fusen. Sebab pada suatu waktu di
Kediri, orang menemukah kepala prajurit Tartar bertutup saputangan di wajahnya, dan begitu
serentak dibuka, orang berkata bahwa wajahnya mirip Fusen! Memang Fusen!"
Fusen dan Yong Pin sudah masuk ke mobilnya. Tetapi para penumpang Suzuki Carry masih ada di
luar, kecuali Swandanu dan Fang Fang. Mereka masih berdiskusi. Yang terutama bicara adalah
Doktor Aisun. Ia masih sanggup menahan mereka berdiri di sekeliling pintu.
"Begitulah pandangan Yong Pin. Tapi ada kejanggalannya. Coba jawab sejujurnya, apakah ada
catatan yang kamu perebutkan dengan pembunuhmu?" Doktor Aisun masih menyambung
bicaranya. 24 f Catatan?" "Aku sendiri tidak tahu wujud dan bentuknya. Mungkin pada sehelai kertas bertuliskan huruf Cina."
"O, sesobek kertas"! O, ada! Itu bahkan dibacakan di hadapanku sebelum ia menyerangku! Secarik
kertas itu berhasil kurebut, dan kuberikan kepadanya kembali. Maksudku hendak kutunjukkan Fang
Fang, apakah surasa tulisan itu;"
"Nah, itulah janggalnya! Kalau pembunuhmu itu membawa catatan, tentulah Fusen tidak bohong.
Catatan itulah 316 yang membuat Fosen yakin, bahwa pembunuhmu adalah Yong Pin! Sebab hanya Yong Pinlah yang
bisa memperoleh catatan itu ketika ditinggalkan Fusen di kemahnya!"
Terdengar klakson dibunyikan dari mobil Honda Civic.
"Ayolah, kita berangkat! Kita bicara sambil berkendaraan!" ajak Dokter Mengki.
Mereka segera masuk mobil dan duduk di tempat masing-masing. Begitu distarter, mobil pun
segera berangkat. Menuju kembali ke Kediri.
"Jadi jelas bahwa Panglima Pamoraga tidak tewas karena bertempur. Bukan gugur karena
kebiadaban perang. Beliau tewas karena pembunuhan. Pembunuhan berangkai!" kata Doktor Aisun
setengah kepada diri sendiri. Hanya Dokter Mengki yang duduk di sampingnya yang
mendengarkan. "Apa perkiraanku tadi betul?"
"Mengapa mesti berangkai" Apa tidak mungkin pembunuhan di sungai tadi peristiwa terpisah
dengan pembunuhan di bukit itu" Senjata yang dipergunakan toh berbeda?"
"Catatan Fusen yang hilang di kemahnya, kemudian muncul di kemah Panglima Pamoraga,
menguatkan dugaanku! Berangkai!" jawab Doktor Aisun.
"Dan penyebabnya saputangan gambar naga?" Dokter Mengki bicara sambil mencebil.
"Betul! Itu aku yakin!"
"Lalu ke mana sekarang kita pergi" Menyaksikan korban pembunuhan yang lain" Siapa
berikutnya?" Seperti berangkatnya, kembalinya ke Kediri pun mereka berkendaraan dengan kecepatan tinggi.
Bunyi mesin dan kecepatan kendaraan itu membuat para penumpang enggan berbicara. Suara
mereka hilang ditiup angin. Mereka jadi sibuk dengan pikiran masing-masing.
i "Fang Fang!" bisik Swandanu sambil merapatkan mulutnya ke arah telinga gadis Tuban yang
duduk di dekatnya. "Bukankah saputangan gambar naga itu sekarang berada di genggamanmu?"
25 Fang Fang menoleh ke wajah pembisiknya, mulurnya bertatapan dengan mulut Swandanu.
Matanya memandangi arjunanya sambil tersenyum. "Di sini!" ganti bisiknya sambil memperlihatkan
lekuk dadanya. "Mau lihat?"
Tanpa menunggu jawaban Swandanu, Fang Fang merogoh kocek di dadanya. Dikeluarkan, lalu
dibongkar. Bau harum asap setanggi menghambur mendahului munculnya saputangan gambar
naga. Warna dasarnya hijau sutera, gambarnya kuning.
"Genggamlah erat-erat! Simpanlah baik-baik! Ini harus tetap berada di dekat kita sampai akhir
perjalanan! Jangan kamu berikan kepada orang lain lagi seperti masa lalu!"
"Baik, Kakangmas! Kita akan bahagia abadi dan tidak gentayangan lagi mencari saputangan


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gambar naga ini! Kebangkitan kita sekarang ini pencarian yang terakhir, karena apa yang kita
inginkan sudah kita dapatkan!" ujar Fang Fang.
Dibuangnya kocek itu, dan kembali saputangan keramat itu diselipkan di celah gunung kembarnya.
Swandanu menyaksikan! "Rabalah!" suruh Fang Fang.
"Untuk apa"! Mengapa"!" geragapan Swandanu tanya. "Kesaksian. Pembuktian. Bahwa
saputangan ini tidak aja terlihat, tapi juga teraba! Nyata!" jawab Fang Fang dengan mggukan dan
senyuman. Matanya mengundang, mem->ersilakan.
"Juga tercium!" Swandanu setuju dan melaksanakan keinginan Fang Fang. Tangannya meraba
saputangan keramat itu disertai hidungnya mendekat ke arah tujuan tangan yang sama. Disedotnya
udara harum yang berkobar di situ, tercium bau asap setanggi yang sudah berhamburan
sebelumnya, dan kini bercampur bau tubuh perempuan muda yang istimewa sedapnya.
Fang Fang segera mendekap tangan Swandanu untuk ditekankan lebih berani ke busung dadanya
yang lunak serta memagut kepala taruna yang mendekat ke dadanya dengan pipinya! Sungguh
penuh kemesraan. "Kita ajal sekarang, di sini!" > di
"Heh, Swandanu, Nak! Kamu belum menyambung ceritamu! Ceritakanlah apa yang kamu perbuat
setelah melihat Pamoraga sebagai panglima perang berkuda bersama dengan panglima pasukan
Tartar yang didampingi seseorang yang kamu sebut kembaran Puteri Fang Fang!"
Kemesraan perjalanan ajal terganggu. Pundak Swandanu digamit oleh Doktor Aisun yang wajahnya
sudah melongok ke jok depannya.
"Tidak di sini, Fang Fang! Belum!" tolak Swandanu lembut.
"Oh, aku senang sekali bahwa ternyata Puteri Fang Fang masih hidup dan ikut membantu
perjalanan pasukan Tartar!" sambung Doktor Aisun tidak mengabaikan apa yang sedang dilakukan
Swandanu dan Fang Fang. Tidak disadarinya bahwa gamitan tangannya itu membuyarkan
persetujuan perjalanan maut abadi
"Hal mi ingkar dari yang kupelajari, yaitu bahwa Fang Fang, puteriku, tewas bersemayam di dasar
Bengawan Brantas! Betapa kurang hormatnya, tubuhnya terbaring
tenggelam di dasar sungai! Bagaimana ceritamu, Swandanu" Berceritalah!"
26 Swandanu memisahkan diri dari kelengketannya dengan Fang Fang, duduk tegak dan menarik
napas panjang. Dunia fana kembali menggerayangi kesadaran hidup.
"Bagaimana ceritaku yang terakhir?" Swandanu menengok ke belakang.
"Kamu dipukul oleh seorang prajurit Tartar karena berteriak-teriak bagaikan orang gila karena
menyerbu mendekati Panglima Pamoraga. Begitu kerasnya pukulan itu, hingga kamu tidak
sadarkan diri!" "Ya. Ketika aku sadar, siuman, debu masih mengepul di sekitarku. Perjalanan pasukan Tartar belum
jauh berlalu. Cuma heranku, aku tidak lagi tergeletak di jalanan yang berdebu di antara pohon
hutan, tetapi tersingkir di tepi sungai. Sungai Brantas."
"Ya. Kamu disingkirkan oleh Fusen dan Yong Pin yang juga ikut dalam pasukan Tartar itu, agar
tubuhmu tidak terinjak-injak oleh kaki kuda. Mereka mengenalimu sebagai tukang perahu di
penyeberangan Rabut Carat!"
"Begitu siuman, kembali keinginanku terakhir menguasai kehendakku. Aku minta bicara dengan
Pamoraga! Minta kepadanya agar saputangan gambar naga milik Puteri Fang Fang dikembalikan!
Sudah sejak semula aku ingin bicara dengan sahabatku itu! Keberangkatanku dari Rabut Catat, dan
pengembaraanku di Hutan Terik yang dibangun menjadi penghunian bernama Majapahit, lalu
kemudian aku siasati dengan masuk pasukan sukarela, tekad dan tujuanku hanya satu, bicara
dengan Pamoraga! Aku mau minta saputangan gambar naga yang disimpan di koceknya itu
diberikan kepada Fang Fang. Lewat aku maupun
320 langsung. Dengan cara damai maupun dengan paksa
kekerasan. Tekadku harus tercapai!"
"Begitu ya tekadmu! Demi apa itu" Bukankah di Rabut Carat kamu sudah kumpul sama Fang Fang
dan wariwari" Fang Fang dan kamu telah berbuat cinta demikian rupa, mau sama mau,
seakan-akan Fang Fang sudah milikmu, dan kamu milik Fang Fang, Wariwari begitu pasrah dan
rela apa kata laki-laki pangerannya, karena begitulah menurut dia kodrat perempuan Jawa. Tapi
kamu tinggalkan singgasana bercintamu dengan Fang Fang, untuk memintakan saputangan
gambar naga itu. Mengapa begitu?"
"Sebab Puteri Fang Fang jiwanya mendua, pribadinya dan pemilikan saputangan itu! Sekalipun
pribadinya telah menemukan kepuasaan bercinta, namun jiwanya tidak akan tenteram bahagia
tanpa saputangan gambar naga berada di genggamannya! Dimilikinya! Aku menyaksikan sendiri, ia
mati tenggelam, dikurung perampok,
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
dan ditinggalkan ayahnya pulang ke negerinya, ia mau dan rela asal bisa tetap memiliki saputangan
gambar naga itu! Mengetahui hal ini maka aku tidak mau membiarkan dia mendendam siksa derita
begitu berlama-lama. Maka saputangan itu harus segera kudapatkan! Pamoraga harus segera
kutemui dan bicara kepadanya mengenai Fang Fang dan saputangannya! Aku yakin, Pamoraga
akan mengerti dan mau memberikan saputangan itu kepadaku karena kami bersahabat!"
"Sayangnya menemui Pamoraga tidak semudah yang kamu reka-reka!"
"Betul! Itulaht masalahnya! Aku sangat menderita dan terlunta-lunta dalam menempuh jalan
pencaharian Pamoraga. Jangankan kesempatan berbicara, melihat saja aku tidak
pernah! Kesal benar hati ini dibuatnya! Karena itu ketika pada Suatu waktu aku bisa melihat dia,
biar pun dia dikelilingi benteng bergerak berupa pasukan Tartar, aku tidak peduli lagi! Aku harus
bicara dengan dia, minta saputangan gambar naga yang disimpannya ke mana dia pergi! Harus!"
"Hebat perjuanganmu! Jadi setelah kamu siuman dan debu berhamburan menutupi kamu, apa yang
kamu perbuatf" "Mengejar Pamoraga! Begitu lama aku berjuang untuk bicara dengan dia tapi belum juga sempat,
tidak pernah bisa menemuinya, kok sekarang aku-melihat dia begitu dekat tidak menggunakan
untuk bicara! Ya bodoh! Debu yang berhamburan itu ternyata dari gerakan pasukan Tartar yang
baru saja meninggalkan tempat itu. Ketika aku sadar benar dan melongok ke arah tujuan pasukan
Tartar, aku pun segera bangkit, dan berlari-lari mengejar orang-Iorang berkuda yang menuju ke
selatan!" "Kuat kamu berlari mengejar kuda?" "Tidak selamanya lari! Pokoknya menyusul. Karena
aku tahu Pamoraga berada di antara mereka. Bahkan kembaran Puteri Fang Fang juga ada di situ!
Lelah lari, aku pun berjalan. Pada suatu waktu, tentulah pasukan itu sampai di tempat tujuan, atau
beristirahat, maka meskipun dengan berjalan kaki aku punya keyakinan akhirnya tersusul juga
olehku. Dan aku pun bisa bertemu dan bicara dengan Pamoraga! Jadi aku pun terus berjalan
mengikuti alir Bengawan Brantas arah mudik. Belum sampai sehari perjalanan, aku sudah sampai di
tempat pasukan Tartar all berhenti, di luar Kota Kerajaan Kediri."
"Kamu bisa langsung bertemu dan bicara sama Pamoraga"!" \:& "w
"Aku tidak berbuat bodoh dua kali! Pengalaman dipukul prajurit Tartar hingga tak sadarkan diri itu
pelajaran yang berharga. Jadi aku tidak gegabah memperlihatkan diri ingin bertemu dengan orang
besar Pamoraga. Pasang siasat. Aku bersembunyi di tebing sungai. Sungai adalah pelindung yang
aman bagiku, karena hidupku terlibat langsung dengan sungai. Dari situ aku melihat sebagian besar
pasukan Tartar diseberangkan sungai ke tepi sebelah barat dan membuat kemah di sana. Ketika
malam turun, aku leluasa menjelajahi daerah pendudukan pasukan Ta^ tar itu untuk mencari tempat
kemah Pamoraga. Aku tidak peduli mengapa pasukan itu berhenti dan berkemah di luar ibukota
kerajaan, tetapi dari sikap waspadanya dapatlah dibaca bahwa mereka akan memerangi Kerajaan
Kediri. Tentunya orang Kediri juga tidak tolol membiarkan tempatnya didekati musuh. Untuk
mempertahankan, mereka juga mengatur siasat, membuat barikade, dan mengumpulkan laki-laki
kuat yang dipersenjatai. Yang merasa punya pengalaman perang juga menyebarkan penyelidik
untuk mengetahui posisi dan kekuatan lawan. Karenanya malam itu aku bukan seorang diri yang
berjalan mengendap-endap, bersembunyi, mengintip, menyelidik, dan merasuki hutan yang
dijadikan perkemahan oleh tentara Tartar. Artinya aku juga harus sangat berhati-hati dalam
menjalankan penyelidikanku mencari kemah Pamoraga. Sebab tertangkap oleh penjaga kemah
1 orang Tartar nyawa taruhanku, tertangkap oleh orang Kediri jiwa tantangannya."
"Apakah kamu bisa menemukan kemah Pamoraga?"
"Dapat! Tetapi, kurang ajar, waktu itu ada tamu prajurit Tartar yang lama betul berbincang-bincang
di dalam kemah! Menghalangi maksudku untuk menemui Pamoraga!"
Tentulah itu Fusen!" sergah Doktor Aisun. . "Kalau begitu malam itu mungkin saja bukan prajurit
Tartar yang masuk ke kemah Yong Pin! Orang Kediri juga bisa! Apa tidak mungkin yang masuk dan
mengancam Yong Pin itu bukan prajurit Tartar" Karena wajahnya toh pakai topeng?" serobot
Dokter Mengki. "Bagaimana pakaiannya?" bantah Doktor Aisun. "Pakaian orang Tartar juga bisa dicuri! Kalau orang
sudah nekad menginginkan suatu benda dan berani masuk ke kemah prajurit Tartar, tentu ia sudah
bisa dan berani mempersiapkan diri benar-benar. Mencuri pakaian prajurit Tartar bukan soal sulit.
Jadi ada kemungkinan yang masuk ke kemah Yong Pin dan mengancamnya itu bukan prajurit
Tartar?" Tapi mengancamnya menggunakan bahasa Fukien! Apa selain orang Tartar ada yang bisa
berbicara Fukien' Sedangkan Raden Wijaya saja terpaksa menggunakan Fang Fang sebagai juru
bahasa!" ucap Doktor Aisun setengah jengkel mendengarkan bicara Dokter Mengki yang picik tapi
ngotot! I"O, tidak sedikit orang Jawa yang pandai bahasa Fukien! Antara lain aku ingat saudagar Tuban!
Orang seperti dia suka cari untungnya sendiri saja. Ia mau tinggal di istana Singasari ketika dilihat
ada jabatan baik baginya, tapi mendadak ia berubah pikiran mau ikut aku setelah dilihatnya Fang
Fang punya saputangan yang bisa dijadikan jimat! Tidak menutup kemungkinan orang semacam
saudagar Tuban ikut arus pasukan Tartar untuk memperebutkan saputangan itu!"
"Ah! Kalau begitu ini perkembangan bani penyelidikan kita!" ujar Doktor Aisun. Lenyaplah
kejengkelannya terhadap Dokter Mengki, berganti gairah. "Mestinya kamu mengemukakan itu sejak
tadi! Baiklah kita catat saudagar Tuban sebagai orang yang kita curigai. Dalam perkembangan
selanjutnya, tokoh ini kita perhitungkan. Nanti
kita usut. Sekarang kembali dulu pada Swandanu. Bagaimana" Malam itu kamu tidak berhasil
menghubungi Pamoraga?" "Tidak! Sudah terlalu larut prajurit Tartar itu meninggalkan kemah Pamoraga. Dan keesokan harinya
merupakan hari yang sibuk bagi pasukan Tartar dan pasukan Raden Wijaya. Perang! Menyerbu
Kota Kediri. Aku tidak berani berkutik. Posisiku sangat rawan. Terhadap orang Tartar jelas aku
dianggap musuh, terhadap orang Kediri juga bukan kawan! Kedua belah pihak berbahaya bagiku!
Jadi aku bersembunyi saja di tebing sungai yang ditumbuhi perdu."
"Keadaan itu tentunya bertahan sampai sehabis perang, ketika pasukan Tartar dan Raden Wijaya
menduduki Ibukota Kerajaan Kediri?"/90|
"Tapi masih tetap rawan bagiku. Tidak berani begitu saja aku memperlihatkan diri di muka pasukan
pendudukan, maupun penduduk yang terkalahkan. Aku sangat hati-hati memilih teman bergaul.
2 Perlu cari makan. Kalau menimbulkan curiga, cepat-cepat aku menghindarkan diri dan bersembunyi
lagi di tebing sungai. Aku curi biduk salah seorang penduduk di hilir, kugunakan sarana angkutan
pada waktu yang kukira cukup aman. Karena diri dalam keadaan rapuh maka aku bersabar dalam
menghubungi Pamoraga. Sudah sekian bulan dalam pencarian aku kuasa bersabar, masa tinggal
beberapa saat setelah huru-hara perang ini aku tidak bisa mengendalikan diri" Apalagi kini jelas,
Pamoraga bisa dilihat, didekati, dan tentunya ditemui
Harapan untuk segera bicara sama dia bisa dihitung jamnya. Namun aku tidak berhenti
"Tidak ada pikiranmu untuk mengejar ke luar kota?" "Ada. Aku coba! Aku berjalan terus ke arah
tenggara. Ada kulihat bekas orang berkelompok memacu kuda di jalan sehingga aku yakin merunut
pada tujuan jalan yang benari" j "Kalau begitu kemungkinan besar pembunuh Pamoraga adalah
kamu. Ia tidak mau menuruti permintaanmu, tidak mau memberikan saputangan gambar naga itu,
lalu terjadilah perkelahian dan kamu berhasil menghabisi nyawanya! Saputangan itu kamu ambili"
tuduh Dokter Mengki. g "Kamu berbuat begitu, Swandanu"! Tega kamu menghunjamkan pedang ke dada sahabatmu"!"
seru Doktor Aisun terhanyut tuduhan Dokter Mengki.
: Tidak! Aku balik di tengah jalan! Aku pikir sia-sia mengejar mereka. Apalagi mereka berkuda,
sedangkan aku jalan kaki. Jadi aku putuskan kembali ke Kediri. Raden Wijaya berada di kota, dan
tentulah pada .suatu waktu nanti Pamoraga datang menggabung Raden Wijaya. Pada suatu waktu
masa dekat ini, setelah memburu-buru seorang Pangeran Kediri. Tetap begitu masuk kota
sembunyi-sembunyi, aku kecewa! Meski tidak mendasar. Karena Raden Wijaya sudah
meninggalkan Kota Kediri! Apa dengan demikian Pamoraga tidak bakal mampir ke Kediri?" tutur
Swandanu. "Pikiranmu benar, tetapi dari kacamata seorang psikiater, kamu kurang ulet dalam berjuang meraih
cita-cita!" komentar Dokter Mengki. "Mestinya kamu terus
mengejarnya! Yang kamu usahakan adalah bagaimana mendapatkan kuda sebagai kendaraan
sarana pengejaran!" Tapi apa yang telah dilakukan oleh Swandanu untuk menemui Pamoraga juga termasuk perjuangan
yang hebat," Doktor Aisun membela mahasiswanya.
Swandanu sendiri tunduk dan mengakui kebenaran kritik Dokter Mengki. "Dokter betul. Sebab,
karena kurang uletku itu, akhirnya aku tidak bisa bertemu dengan Panglima Pamoraga! Aku sangat
menyesal! Andaikata aku terus menyusul, dan tidak patah di tengah jalan, mungkin aku sempat
menyampaikan permintaanku kepada Pamoraga. Minta saputangan gambar naga milik Fang Fang
dikembalikan kepada yang punya!"
"Jadi, sampai akhir perjalananmu, kamu tidak berhasil menemui dan bicara dengan Pamoraga?"
tanya Doktor Aisun terkejut. "Pamoraga tidak kembali ke Kediri?"
"Ya. Sebab Pamoraga kembali ke Kediri tidak dalam keadaan hidup. Dia pahlawan yang gugur!"
"Oh, iya! Ia tewas terbunuh ketika selesai penangkapan Pangeran Ardaraja!" :
"Aku sangat masygul mendengar berita itu! Pamoraga yang kuuber-uber, Pamoraga yang kuharap
bakal memberikan kepuasan terhadap kehidupan Fang Fang yang juga berarti bagiku, ternyata
3 sudah tidak dapat berbuat apa-apa! Tidak dapat berbuat apa-apa terhadapku! Mendengar berita
gugurnya itu, seketika aku meraung menyesali perbuatanku terakhir! Kurang ulet, menurut istilah
Dokter tadi! Berdenyar syarafku mengingat bahwa saputangan gambar naga yang amat penting
bagi ketenteraman hidup dan ajal Fang Fang, belum tercapai. Dan kini penyimpannya gugur, tidak
bisa ditanyai! Oh, di mana
saputangan itu disimpan oleh Pamoraga" Masihkah di tempatnya dan belum dijamah orang lain"
Tempat itu menurut cerita Fang Fang adalah kocek yang dikaitkan pada perutnya, tergantung pada
pinggangnya! Apa masih di sana" Pikiran ini menggerayang seluruh kesadaranku! Aku hams coba
menggeledahnya! Biar bagaimana pun, aku hams berusaha mendekati mayat Pamoraga, di mana
pun disemayamkan." l|t "Itu yang kamu lakukan?" tanya Doktor Aisun. Ada rasa bangga pada nadanya.
"Sebab tidak ada lagi yang bisa ditanyai perihal saputangan gambar naga itu! Hanya Pamoraga
orang satu-satunya, dan kini dia tidak mampu memberi jawab apa-apa! Jadi kuusahakan masuk ke
tempat jenazah disemayamkan, dan menggeledah pinggangnya!"
"Pekerjaan yang terlalu sulit itu! Tentunya Pamoraga disemayamkan tidak campur dengan prajurit
Tartar yang gugur. Tapi karena sudah banyak jasanya kepada Panglima Kau Hsing, tentulah ia
ditempatkan pada persemayaman terhormat yang dijaga ketat oleh prajurit Tartar bergantian. Tidak
berlebihan kalau Panglima Kau Hsing menganggap Panglima Pamoraga juga sebagai pahlawan
Tartar! Ia diperlakukan seperti pembesar Tartar yang gugur! Apakah kamu berhasil menyusup ke
tempat persemayaman jenazah Pamoraga" Dan berhasil menggeledah, menggagapi, men-dudah
jenazah orang besar itu tanpa ketahuan penjaga jenazah". Apa jenazah itu dibiarkan berbaring
kesepian tanpa ditunggui oleh siapa pun, tanpa pelayat" Bagaimana kamu bisa masuk dan
menggeledah persemayaman itu tanpa ketahuan orang lain" Sungguh pekerjaan yang amat sulit!"
ucap Doktor Aisun kagum. "Itu pekerjaan bunuh diri!" komentar Dokter Mengki. "Hanya orang yang tidak waras nekad
melaksanakan penggeledahan jenazah Panglima Pamoraga itu!" 1
"Nyatanya dia berhasil! Waras tidak waras, tergantung
yang menyebut!" sahut Dokter Aisun seru.
"Siapa bilang berhasil! Swandanu belum menceritakan berhasil tidaknya pekerjaan itu!"
"Oh, ya" Bagaimana, Nak, pelaksanaan keinginanmu
'Tidak salah apa yang digambarkan Nyonya Doktor Aisun. Jenazah itu disemayamkan pada sebuah
rumah bagus, milik kerabat istana, dan dijaga ketat oleh pasukan Tartar lengkap bersenjata.
Mula-mula aku dengan bersembunyi-sembunyi mengamati tempat tadi, serta mewaspadai keadaan
seputarnya. Aku hitung berapa penjaga yang diturunkan giat, dan berapa pula yang dicadangkan, di
mana tempatnya. Prajurit Tartar memang pandai mengatur siasat penjagaan. Setelah kuutak-utik
mencari terobosan untuk sampai di tempat jenazah, rasanya tidak mungkin aku menemukan jalan
dengan selamat. Tentu ketahuan sejak aku menapakkan kakiku di halaman rumah jenazah. Kalau
aku nekad berarti bunuh diri, dan tetap tidak bisa memperoleh saputangan keramat itu! Sia-sia! Dan
andaikata pun aku bisa masuk ke tempat jenazah, bagaimana caraku menggeledah pinggang
jenazah itu" Bentuk koceknya aku belum tahu! Meskipun benda itu ditaruh di depan mataku, belum
4 tentu aku mengerti apa benda itu yang harus kucari. Wah, bagaimana?" : 1,3yd
"Pendeknya kamu gagal menerobos ke tempat jenazah!" putus Doktor Aisun dengan nada mau
menangis. "Kamu gagal, dan dirimu runyam menjadi bulan-bulanan
prajurit Tartar penjaga jenazah! Di situlah kamu tewas! Tewas sia-sia!"
Swandanu tidak segera menjawab. Ia menghela napas panjang. Mobil yang ditumpangi mencapai
tepi kota Kediri. Kecepatan pun dikurangi.
"Terjadi keajaiban! Mujizat!" ucap Swandanu lirih. Suaranya hampir tak terdengar. Bersama dengan
berkurangan erang mesin mobil.
"Keajaiban bagaimana" Penjaga jenazah itu semuanya mengantuk?"
"Aku lihat Fang Fang datang melayat ke rumah jenazah! Fang Fang berpakaian Jawa! ia datang
dengan diiringi beberapa laki-laki Jawa dan Tartar! Kedatangan Puteri Fang Fang ini
membangkitkan semangatku! Lupa aku sedang bersembuarfi, dan berseru memanggil namanya!"
"Aku dengar panggilan itu! Aku kenal warna suara itu! Suara Kangmas Danu! Seketika itu juga aku
menoleh ke arah asal suara! Dan aku hampir-hampir tak percaya! Kangmas Swandanu
bersembunyi di balik batang pohon pisang, tidak jauh dari tempat lalu-lalang menuju rumah
jenazah. Suka citaku tak dapat dibendung! Aku menjerit memanggil namanya'" Fang Fang
menyahut bersemangat. "Tetapi bagaimana reaksi para pengawalmu! Bukankah kamu dikawal oleh prajurit dari dua belah
pihak, Jawa dan Tartar! Dan bagaimana pula para prajurit Tartar yang mendapat tugas menjaga
jenazah" Bukankah mereka mesti siap mengamankan tempat bila sewaktu-waktu ada orang
berbuat tidak senonoh terhadap jenazah atau pengunjungnya" Apakah mereka diam mematung
seperti tak bernyawa" Ataukah tempat Swandanu bersembunyi itu kalis oleh marabahaya"
Mustahil!" protes Doktor Aisun! Ia membayangkan bahwa tempat bersemayamnya jenazah
pahlawan Pamoraga dijaga ketat oleh prajurit Tartar yang
siap menyergap pengganggu.


Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang! Aku sebutkan tadi bahwa aku lupa! Tempatku bersembunyi cukup aman, kalau saja aku
berdiam diri. Tempatnya dekat dengan jalan pintu masuk rumah duka. Aku dapat mengawasi segala
sesuatunya yang terjadi di sekitar rumah itu, sedangkan batang pisang tempatku bersembunyi
merupakan rumpun yang rimbun. Tetapi karena gejolak jiwaku yang lepas tadi, panggilanku
terhadap Fang Fang, kehadiranku di situ tetap merupakan daerah yang rawan, rapuh, dan tidak
tertahan kalau diserang! Berbahaya! Aku terlena, lupa diri!" ujar Swandanu.
"Semua prajurit Tartar yang terdekat sudah memutar pedang untuk memangkas leher Kangmas
Swandanu! Juga para oengiringku, siap siaga melindungiku! Prajurit Majapahit mengangkat
lembingnya ke arah Kakanda! Dalam sekejap, Kangmas Swandanu akan menjadi sasaran senjata
perang yang dilancarkan oleh tangan-tangan terampil! Tidak bakal tubuh Kangmas Swandanu yang
semampai itu kuat bertahan menerima sabetan pedang Tartar yang bukan main tajamnya!"
"Jadi, tewaskah dia di tempat itu" Tanpa melawan" Mati konyol"!" tanya Doktor Aisun.
5 "Aku tadi kan sudah bilang, usaha menggeledah jenazah di rumah duka itu suatu pekerjaan bunuh
diri! Pekerjaan orang tidak waras!" ejek Dokter Mengki!
"Diam! Bukan kamu yang harus berkisah!"
"Pada saat yang bersamaan, aku sadar bahwa reaksiku memanggil nama Kangmas Swandanu
mengundang bahaya besar terhadapnya! Aku harus berpikir cepat dan
331 bertindak sigap! Panggilan nama Kangmas Swandanu segera kuikuti jeritan perintah dalam bahasa
Fukien dan Jawa, agar Kangmas Swandanu jangan dibunuh! Jangan diserang! Dia bukan musuh!
Dia sahabatku!" ujar Fang Fang.
"Betapa cepatnya kamu berbicara dalam dua bahasa, hingga dapat menandingi gerak cepat
serangan yang dilancarkan prajurit yang siap siaga, baik dari pihak Tartar maupun Majapahit!
Gerakan mereka lebih cepat dari ucapan melarang! Kalau kamu ucapkan bahasa Fukien dahulu,
tentu serangan tombak orang Majapahit sudah bisa dilancarkan, dan sebaliknya!" ujar Doktor Aisun.
Terpikir begitu juga olehku saat itu! Teriakanku memanggil nama Kangmas Swandanu itu saja
sudah sama dengan perintah menyerang! Bagaimana menyetopnya! Tidak mungkin dua bahasa
serentak aku ucapkan! Dan entahlah bahasa apa yang dahulu kuucapkan. Dan apakah bahasa itu
cukup jelas dan dimengerti sehingga menghentikan gerakan serangan tersebut. Tetapi aku ingat
benar melakukan gerakan meloncat ke arah Kangmas Swandanu, 'eskipun aku mengenakan kain
panjang, sambil meng-arkan saputangan gambar naga yang kuambil dari ssembunyiannya di celah
buah dadaku! Gerakan itulah mungkin yang membuat para prajurit yang siap menyerang jadi
terhenti'" "Saputangan pengayom!" seru Doktor Aisun kagum! Dan bangga!
"Dan aku terhindar dari bahaya maut!" ujar Swandanu dengan napas lapang.
"Kamu telah terselamatkan oleh kibaran saputangan gambar naga! Kamu dan Fang Fang
merupakan pasangan yang serasi. Kalian saling mencintai. Seharusnya saputangan gambar naga itu kalian miliki! Harus
ada pada kalian saat bahagia seperti ini sehingga ketenteraman dan kebahagiaan kalian bisa
abadi!" doa dan nasihat Doktor Aisun. Ia berkata seolah-olah seorang ibu yang berhak merestui
pasangan Swandanu-Fang Fang. Saat itu ia memang ibu dosen Swandanu, yang sedikit banyak
ada hak juga untuk menuntun arah hidup Swandanu.
"Saputangan gambar naga itu kisah zaman bahari! Apa perlu barang ajaib itu harus hadir pada
zaman ini?" tanya Dokter Mengki setengah mengejek. |
"Kamu ini selalu tidak sepakat bicara mengenai saputangan gambar naga! Tidak zaman sekarang
saja, tetapi juga zaman bahari!" serang Doktor Aisun ketus.
"Pa! Saputangan gambar naga yang hilang di bilik periksa kemarin, kini sudah kutemukan kembali!"
sahut Fang Fang yang memerlukan bangkit dari duduknya dari memutar badan ke belakang
berhadapan dengan Dokter Mengki. :
6 "Sekarang ada padamu?" tanya DoktorAisun bergairah. Pertanyaan itu bersamaan juga dengan
pertanyaan Dokter Mengki yang tercengang.
"Ya. Ini, kuslempitkan pada kutangku!"
"Peganglah erat-erat, Fang Fang. Itu milikmu sejati. Bawalah serta bersama Swandanu. Kalian
berdua pasangan yang abadi, tak bisa dipisahkan lagi. Bersama saputanganmu. Aku jauh dari
Negeri Cina, berupaya sekuat tenagaku untuk melacak perjalanan Puteri Fang Fang pada zaman
Singasari. Aku datang ke sini seperti mewakili ibumu sendiri yang dulu pulang ke Fukien dengan
hati kecewa karena Fang Fang tertinggal di negeri seberang. Sekarang aku
telah menyaksikan sendiri, telah mendengar cerita selengkapnya, bahwa keadaanmu di negeri
seberang, di negeri ini, selamat sejahtera. Di negeri ini kamu tidak asing lagi! Di sini tanah airmu
kedua, dan di sinilah kamu justru berjasa! Selain kamu tidak mati tenggelam seperti yang kubaca
dari laporan Duta Mengki'i, kamu mendapatkan semuanya: kekasih, kehidupan yang
membanggakan, peran penting dalam sejarah sebagai penerjemah, dan saputangan gambar naga.
Di tanah airmu yang kedua ini kamu masih dapat menunai kehidupan yang semarak, asal
kewajibanmu sebagai warga yang cinta tanah air juga kamu dukung dengan ikhlas dan rela! Jangan
kamu lepaskan lagi saputangan itu bersama kekasihmu Swandanu, tanah airmu Indonesia!
Lepaskanlah hak ahli warismu pada tanah air Fukien, sebab tanpa menggenggam saputangan
gambar naga ini, rumah warisanmu sudah tersobek tidak karuan lagi pemiliknya. Terutama hakmu,
tidak berlaku lagi! Aku, ibumu, merestuimu!" Selesai berpidato pendek demikian, Doktor Aisun
bangkit dari joknya, memegang pundak Fang Fang, dan mencium dahi gadis Tuban itu.
"Begitu juga aku, Fang Fang! Sebagai ayahmu, aku pun merestui cara hidupmu, berpikirmu,
perbuatanmu, gerak naluri nafsumu, cintamu, yang selama pergaulan dalam perjalanan ini telah
kamu sajikan tanpa sembunyi-sembunyi kepadaku!" Seperti halnya Doktor Aisun* selesai bicara
Dokter Mengki juga bangkit dan mencium dahi putri keturunan bangsawan Fukien itu.
"Oh! Papa! Mama!" seru Fang Fang sambil merangkul kedua orang tua di jok belakangnya. 'Terima
kasihi Terima kasih! Fang Fang akan melanjutkan darma bakti seperti yang disebutkan Papa dan
Mama!" 334 ^1 "Zo! Di belakang ada upacara peresmian pasangan!"
ujar Wariwari. "Hentikan dulu mobilnya, kita pun memberikan ucapan selamat!"
"O, teruskan sedikit lagi! Kita berhenti di tepi Kali Brantas situ. Kita sudah sampai, kok" ujar
Swandanu. "Maju ke selatan sedikit lagi. Memang belum jauh kami berdua lari menggunakan
perahu ke arah udik dari Kota Kediri. Kami kira kami akan lepas selamat, sebab ketika itu Panglima
Kau Hsing sedang mengumpati rekan-rekannya yang memperbolehkan Raden Wijaya pergi
meninggalkan Kediri. Meski alasannya apa pun, Kau Hsing tidak memperkenankan Raden Wijaya
lepas dari pengawasannya. Kau Hsing agaknya tetap curiga akan mitra penyerangan Kerajaan
Kediri, apa di balik minat kerja samanya dengan pasukan asing. Ia mencium ketidaksetiaan Raden
Wijaya! Kau Hsing telah memerintahkan kepada dua rekan Panglima Tartar lainnya, Ike Mese dan
Shih-pi, untuk segera meninggalkan Kediri kembali ke Ujunggaluh dan serta merta mengejar dan
menangkap Raden Wijaya. Mereka sudah selesai bertugas di Kediri, dan tidak perlu diduduki untuk
7 seterusnya! Kau Hsing merencanakan berangkat paling akhir untuk membereskan tuntas urusannya
di Kediri. Dalam keadaan Kediri berturut-turut dikosongkan oleh pasukan Tartar itulah, aku berhasil
mengajak Puteri Fang Fang naik biduk memisahkan diri dari keruwetan kota mudik! Kami kira kami
akan lepas selamat karena bisa berbaur dengan penduduk setempat!"
"Apakah althirnya kamu tidak selamat?" tanya Doktor Aisun mengandung rasa khawatir.
"Ada prajurit Tartar yang membuntuti launi Mungkin Panglima Kau Hsing dalam berbenah diri
hendak me - Ikan kota, sempat memerintahkan anak buahnya untuk memata-matai tingkah laku Puteri Fang
Fang." "Untuk apa dimata-matai" Kan urusannya sudah selesai!" sentak Doktor Aisun.
Swandanu angkat bahu. "Betapa pun juga Puteri Fang Fang bekerja di pihak Raden Wijaya.
Lumrah dipandang oleh Kau Hsing sebagai kaki tangan pengkhianat."
"Dan prajurit Tartar yang membuntuti kamu itu mencelakakan kamu?" tanya Dokter Mengki.
Swandanu mengangguk. "Padahal saat itu bukankah Fang Fang membawa saputangan pengayom?" ucapan ini dilontarkan
sembari mengejek. "Di mana harus berhenti?" tanya sopir yang sejak tadi menjalankan mobilnya perlahan-lahan dan
siap menerima komando berhenti.
"Ke selatan sedikit lagi! Itu, ada pohon asam besar di tanggul Kali Brantas!" kata Swandanu. "Di
tempat itu perjalanan kami berakhir!"
"Aku tidak suka sama ucapamu itu!" tukas Doktor Aisun kepada Dokter Mengki. "Selalu melecehkan
saputangan gambar naga!"
"Tidak selalu sebagai pengayom! Sekali ini tampaknya justru penyebab jatuhnya malapetaka!" ujar
Dokter Mengki sambil tertawa kemenangan.
"Itu harus dibuktikan dulu!" sergah Doktor Aisun.
"Ketika musibah itu terjadi, saputangan itu tidak ada padaku!" kata Fang Fang. "Aku ingat
melemparkannya ke arah pengawalku yang setia, Fusen!"
"Fusen" Fusenkah yang membuntuti kamu" Tentu bukan karena perintah Kau Hsing dia berbuat
begitu!" ucap Doktor Aisun geram. "Betul Yong Pin! Sebenarnya orang
ini yang sejak semula kita amati!"
Mobil menepi ke kiri. Berhenti. Semua penumpang keluar. Swandanu dan Fang Fang ditunggu
untuk memimpin rombongan.
8 "Pohon asam itu dulu tidak sendirian. Daerah sekitarnya merupakan hutan tanaman umur pandak.
Pohon asam itu sudah kelihatan menonjol keperkasaannya. Ayo, kita ke sana. Kejadian yang kami
alami tidak jauh dari pohon tetenger itu," ajak Swandanu menyeberangi jalan raya, mendekat ke
pohon asam. Pengendara Honda Givic juga sudah pada keluar dan bergabung. Sebelum menyeberangi jalan,
Doktor Aisun sempat menegur dengan keras terhadap Fusen.
"Mengapa kamu buntuti Fang Fang keluar dari Kediri?"
Fusen geragapan. "Anu! Sejak semula aku memang mau setia kepada Puteri Fang Fang! Aku yang
mengawal beliau dari Tuban menyusul Tuanku Mengki'i. Aku yang paling mempersoalkan mengapa
Tuanku Mengki'i tega meninggalkan Puteri Fang Fang tenggelam di Bengawan Brantas."
"Tetapi perjalanan Fang Fang dengan Swandanu keluar dari Kediri itu menuju ke tempat bahagia!
Tidak perlu pengawal setia! Mengapa harus kamu buntuti! Mengapa kamu tidak ikut pasukanmu
saja kembali ke Ujunggaluh?" bentak Doktor Aisun!
"Mungkin dia memang menginginkan memiliki saputangan gambar naga itu! Sebab dialah yang
paling tahu tentang khasiat saputangan itu, kalau memang saputangan itu berkhasiat! Fusen tahu
sejak ditemukannya saputangan itu pada pasak sebuah dangau dekat Kali Pacekan! Bahkan
337 sebelum itu!" komentar Dokter Mengki. "Jadi tidak salah kalau aku tadi bilang, justru saputangan
itulah penyebab jatuhnya malapetaka bagi Fang Fang!"
"Ah, diamlah kalau memang tidak suka bicara soal saputangan gambar naga!" semprot Doktor
Aisun. Kepada Fusen juga menyemprot, "Betul, kamu mengincar ingin memiliki saputangan itu"
Kurang ajari Ternyata kamu culas! Tapi bakti kesetiaan kamu jadikan kedok! Kamu kejar-kejar
saputangan itu sampai kamu celakakan anakku! Keparat!"
"Let Tidak, Nyonya' Sungguh, aku tidak punya ambisi untuk memperoleh saputangan gambar naga
itu, sekalipun aku tahu. memiliki saputangan itu berarti juga memiliki harta kekayaan warisan
bangsawan Fukien!" "Nah, sekarang kamu mengaku! Jadi kamu memang tahu apa manfaatnya saputangan itu! Lalu
kamu uber-uber dan kamu celakakan dia karena nafsumu hendak memiliki saputangan itu! Kamu
sama sekali tidak peduli terhadap kebahagiaan Fang Fang dan Swandanu. Tetap kamu kejar dan
celakakan pasangan serasi itu, untuk merebut saputangan gambar naga!"
"Ampun, Nyonya! Betul-betul saya tidak ada maksud begitu ketika membuntuti Puteri Fang Fang
yang tampak fajar bahagia karena bersama Swandanu si Tukang Perahu!"
"Fajar bahagia! Pengawal setia! Apa artinya itu, wong nyatanya kamu buntuti dan celakakan juga
majikanmu!" "Sebab ketika mereka menuju ke biduknya setelah pamitan kepadaku ...!"
9 "Pamitan kepadamu"!" terbelalak Aisun Dosen Tua. "Ya. Pamitan dan kita mau berpisah dengan
baik-baik. Sebab aku memang pengawal setia Puteri Fang Fang. Ketika Swandanu memunculkan
diri di dekat rumah duka dan hampir punah ditumpas para prajurit Tartar dan
Majapahit, aku pun di situ. Akulah yang selanjutnya melindungi Swandanu dari ancaman senjata
prajurit Tartar. Aku yang memberikan penerangan kepada mereka sehingga mereka tidak ganas
lagi. Aku juga yang diajak berunding tentang pemisahan diri Puteri Fang Fang dan Swandanu dari
keruwetan kota!" "Kamu lancung! Sudah berpisah secara baik-baik begitu, masih juga membuntuti dan mencelakai!"
"Sebab ketika mereka menuju ke biduk dan mulai berdayung mudik, aku melihat kelebat seorang
prajurit Tartar yang sebelumnya mengintai dan mendengarkan pembicaraan kami' Aku mencium
bahaya yang mengancam pada Puteri Fang Fang! Aku teriaki agar Swandanu mengurungkan
maksudnya, tapi kedua insan dalam biduk itu hanya melambaikan tangannya dengan gembira!
Dikiranya aku mengucapkan selamat jalan! Maka segera kuambil perbekalan perangku serta
kudanya, kukendarai, tidak mengikuti alir para prajurit Tartar lain yang mulai meninggalkan kota
Kediri, melainkan membelok bertolak belakang! Aku pengawal setia, tidak tega membiarkan Tuanku
Puteri Fang Fang terancam bahaya. Setidaknya hams ku peringatkan, kalau bisa kucegah untuk
melakukan perjalanan seperti yang telah diutarakan kepadaku, yang tentunya sudah didengar pula
Siluman Hitam 1 Pendekar Kelana Sakti 8 Darah Perempuan Iblis Dendam Sejagad 19
^