Saputangan Gambar Naga 4
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata Bagian 4
memenangkan sayembara menemukan saputangan. Ia tidak mau bercerita karena takut sama
kamu!" "lo, Memangnya aku badan sensor, hams ditakuti pengedar cerita" Apa yang kamu takutkan,
Wariwari?" "Dokter Mengki salah terima. Aku menunjuk kamu justru untuk menjawab pertanyaannya. Bukan
menunggu izin edar ceritaku!"
"Dokter tergesa saja! Sayembara itu belum sempat kami umumkan, meski sudah kami sepakati.
Jadi tukang perahu 203 202 yang lain belum ada yang mendengar tentang sayembara itu. Tidak ada masyarakat tukang perahu
yang berduyun-duyun nyemplung dan kungkum di Sungai Brantas! Tidak begitu, Dokter!"
"Lo, apa sebabnya?"
"Baru kami sepakati, belum kami umumkan karena sebenarnya Kangmas Swandanu dan Fang
Fang sepakat dengan berat hati, dan kebetulan Pamoraga datang menjenguk kami. Melihat Puteri
Fang Fang berada di rumah, Pamoraga tercengang! Dasar mata laki-laki, melihat wajah ayu seperti
itu! Huh, melotot matanya!" seru Wariwari mengomentari sikap Pamoraga bertatapan muka dengan
Fang Fang. "Ld. Aku betul-betul terkejut dan heran bertemu dengan Puteri Tartar di rumahmu! Bukan karena
kecantikannya ... terutama, melainkan karena aku sudah kenal siapa puteri ku! Meskipun dia kini
dibungkus dengan pakaian Jawa martabat isteri tukang perahu, aku tidak akan pangling karena
wajah itu beberapa bulan akhir ini kubawa pergi ke mana saja sebagai wajah kenang-kenangan!
Ada kenangan bernanah yang manis tentang puteri itu yang membikin demam hati sanubariku.
Yaitu persinggungan mukaku, hidungku, dengan perutnya, payudaranya dan haribaannya ketika
aku menghindari serangan prajurit bocah Tartar berkuda yang mendadak! Bocah itulah Puteri
Tartar, yang wajahnya selanjurnya kugembol, kubawa-bawa ke mana pergi, dan mencengangkan
daku di rumahmu! Apakah aku tidak mimpi" Bermimpi membayangkan wajah ayu berpakaian
prajurit Tartar itu menjadi berpakaian Jawa seperti kamu! Apakah mi-bukan bayangan keinginanku"
Untuk menyadarkan diri bermimpiy setidaknya aku
bertemu wajah Puteri Fang Fang yang berdandan cara Jawa
itu, dan segera saja tanganku menggapai wajah yang menatap dekat di depanku!" kisah Pamoraga
bagaikan seorang penyair berdeklamasi. "Ah, kamu! Dasar laki-laki mata keranjang! Alasan! Alasan! Kapan kamu pernah bertemu Puteri
12 Tartar"! Di ramahku itulah yang pertama kalinya! Dan begitu bertemu matamu melotot,
kalamenjingmu bergerak naik turun beberapa kali karena terpaksa menelan air liur nafsumu yang
muncrat ke mulutmu! Huh! Laki-laki di mana-mana saja sama!" ucap Wariwari lebih pedas! Pedas,
tapi diucapkan dengan nada tanpa dendam! Tidak membekaskan luka hati.
"Lo. Sungguh! Berani sumpah! Aku pernah bertatapan pandang dengan Puteri Tartar sebelumya! Di
mmahmu bukan yang pertama kalinya! Aku justru heran tercengang, mengapa Puteri itu masih
tertinggal di rumahmu! Sebab hampir tiga bulan setengah sebelumya, aku bertugas mengantarkan
rombongan utusan Tartar, tapi terpaksa berpisah sebelum sampai di penyeberangan Rabut Carat!
Kukira semuanya sudah berlangsung beres, sebab tidak ada laporan tentang tercecernya
rombongan Tartar itu. Memang dilaporkan telah terjadi pertempuran di sungai dengan banyaknya
jatuh korban di antara perampok Kediri, tetapi semua rombongan Tartar berhasil menyeberang!
Memang sebelum berpisah aku sempat menyebut nama suarnimu, Swandanu, sebagai pemilik
perahu yang bisa dipercaya untuk menyeberangkan mereka. Tapi aku tidak mengira sama sekali
bahwa Puteri Tartar yang cantik jelita yang bayang-bayangnya menghantui nikmat sanubariku,
masih tercecer di rumahmu! Karena kesibukan tugas
sempat menjenguk kamu dan suamimu, mempertanyakan
hal lewatnya rombongan Tartar itu. Dan baru tiga setengah bulan kemudian itu, ketika aku harus
bertugas menemui Adipati Wiraraja di Sumenep, sempat mampir ke rumahmu!"
"Betul! Betul! Perwira Singasari Pamoraga ini mengantarkan rombonganku sampai menjelang
tempat penyeberangan Rabut Carat! Betul juga bahwa Pamoraga bertemu dengan puteriku Fang
Fang dengan cara yang aneh, dan mungkin mengesankan mereka! Itu aku sudah tahu' Tidak perlu
kamu ragukan, Wariwari. Tapi yang paling ingin kuketahui saputangan gambar naga itu, apakah
akhirnya ketemu, dan siapa penemunya" Bagaimana itu, Wariwari" Segera ceritakan.'" ujar Mengki.
"Dia lebih mengetahui'" jawab Wariwari sambil mencebil ke arah Pamoraga.
"Sayembara itu urung kamu umumkan?" "Kami utarakan kepada Perwira Pamoraga!" "O, soal
saputangan hijau bersulam gambar naga berwarna kuning' Itu aku yang tanya dulu kepada Puteri
Fang Fang bukan" Setelah ternyata ia sudah pandai berbahasa Jawa, kisah pertemuan kami yang
pertama bisa kami ungkapkan dengan bahasa yang jelas. Puteri Fang Fang ternyata anggun dan
ayu bukan saja jasmaninya, tetapi juga hati dan nalarnya. Ia ramah tamah dan dewasa dalam
bergaul." Tentang saputangan itu"!" Dokter Mengki mendesak.
"Ah, ya! Aku tanyakan kepadanya tentang saputangan yang berbau harum, yang pernah kuminta
untuk tanda kenang-kenangan, dan dia lalu sewot! Di rumah Swandanu itulah Puteri Fang Fang
menjelaskan betapa berharganya saputangan gambar naga itu baginya! Karena itu waktu
hams berebut senjata, dia memilih menubruk saputangan daripada pedang! Dan ia sewot ketika
saputangan itu kuminta untuk kenangan! Dan mengapa ia tertinggal di rumah Swandanu juga
karena keinginannya memiliki terus saputangannya! Saputangan itu jatuh di sungai dan hilang!
Ketika kujumpai di rumah Swandanu, Puteri Fang Fang dan sahabatku itu mengemukakan
kedukaannya karena saputangan itu belum ketemu. Apakah tidak mungkin ketemu lagi!" Tiga
setengah bulan sudah lewat, apakah yang hilang itu bisa didapatkan kembali'"
"Tidak dikemukakan tentang sayembara usul Wariwari itu" Kukira itu pemecahan yang bagus! Yang
13 mencari saputangan bukan seorang dua orang, tapi secara massal! Kemungkinannya
mengobrak-abrik seluruh dasar sungai lebih besar sehingga tempat persembunyian saputangan itu
pun bakal terjelajahi! Bisa diketemukan!" tambahan pendapat dari Mengki dilontarkan.
"Ya. Perihal sayembara itu juga dikemukakan oleh Swandanu. Tapi bukan Swandanu dan Puteri
Fang Fang saja yang keberatan, aku juga!"
"Mengapa?" "Coba pikir. Andaikata yang menemukan itu seorang bocah anak tukang perahu, apa bunyi
sayembara itu akan diubah" Sebab anak-anak tukang perahu itu lebih pandai dan cekatan
berenang-renang mencari ikan di Bengawan Brantas, meskipun air sedang meluap sekali pun! Dan
tenis terang, aku tidak tega, tidak sampai hati melihat Puteri Fang Fang menjadi istri laki-laki tukang
perahu!" pendapat Pamoraga dikemukakan.
"Sontoloyo! Betul kamu! Itu merendahkan diri puteriku! Edan! Pikiran tentang saputangan itu
memang celaka sekali! "Waktu itu Wariwari sedang sibuk di dapur. Jadi ia tidak tahu usul keberatanku mengenai
sayembara itu. Aku yang ambil prakarsa. Biarlah sayembara itu ditunda dulu. Kami coba mencari
sendiri dulu. Aku mau mencarinya karena aku sendiri pemah menginginkan memiliki saputangan itu
sebagai kenang-kenangan. Keberangkatanku ke Sumenep biarlah ku tunda satu hari lagi. Maka
siang hari itu juga aku berangkat ke pangkalan diantar oleh Swandanu dan Puteri Fang Fang.
Matahari masih tinggi, namun sinarnya sudah menatap dahi kami ketika kami keluar dari rumah
Swandanu yang menghadap ke barat itu. Cahaya matahari yang terang! Menyilau! Waktu itu aku
seperti mendapat ucapan selamat dari Hyang Surya bahwa langkahku itu suatu tindakan yang tepat
dan benar! Langkahku jadi pasti, langkah yang mujur!" kisah Pamoraga dengan bahasa yang
diucapkan dengan gegap gempita.
"Jadi saputangan itu alchirnya ketemu"!" sergap Dokter Mengki penuh kegembiraan.
- Tentu! Aku yang mencari, aku yang mendapat mujizat!" taruna Akabri itu menjura dengan bangga.
"Waduh, sombongnya! Dasar mulut besar!" Tegur Wariwari menyerang.
"Sombong ini perlu untuk mengusir rasa kecil hati dan rendah diri!"-
"Jadi di mana saputangan itu ditemukan?" gairah tanya Dokter Mengki.
"Sabar, aku ceritakan secara kronologis," jawab Pamoraga.
208 "Tentu di dasar sungai tempat kejadian! Terjepit dua padas! Bagaimana menemukannya" Sungguh
menarik sekali! Apakah sebelumnya kamu ada ilham untuk mencari ke sana" Atau kebetulan saja7"
"Lo, kebetulan bagaimana!" Tidak! Aku mencari dengan berpikir, berharap, dan berdoa agar dapat
14 tuntunan dari Hyang Widhi! Aku mencari tidak dengan mata telanjang, tapi juga dengan mata hati
dan pikiran! Aku tidak segera masuk ke sungai pada waktu sampai di pangkalan. Dalam perjalanan
ke sana saja, beberapa tukang perahu dan kerabatnya hormat kepadaku ketika berpapasan dengan
kami, bahkan ada yang menyembah! Memang biasa pembesar di kalangan istana mendapat
penghormatan demikian di perjalanan. Tetapi pada waktu itu rasanya aku betul-betul mendapat
penghormatan bukan karena aku seorang perwira kenamaan dari Istana Singasari, tetapi karena
dewi keberuntungan sedang bersemayam di kepalaku. Perasaan jadi terang, pemikiran jadi jernih!
Aku minta kepada Swandanu agar menceritakan kembali apa yang diketahui dan dilakukan
beberapa waktu sebelum Puteri Fang Fang menceburkan diri ke sungai. Kalau dia bilang melirik,
aku minta di maha posisinya di perahu pada waktu melirik itu. Aku tanyakan juga berapa kecepatan
perahunya saat itu, dan Swandanu menjawab sangat lambat,- karena dia hampir-hampir tidak
mengayuh. Dia asyik berlirik-lirikan sama Puteri Fang Fang. Kemudian aku minta Puteri Fang Fang
menceritakan bagaimana cara dia menarik saputangan dan dadanya, cara melambaikannya, serta
di mana posisinya di perahu itu. Di haluan, katanya. Pikiranku bekerja keras! Aku ukur panjang
perahu yang bisa memuat tiga ekor kuda itu. Aku hitung berapa kecepatan saputangan
209 Iri berkibar di udara dan jatuhnya ke permukaan air. Lalu berapa lama saputangan berbau harum itu
terapung melayang-layang di permukaan air selagi masih kering, dan setelah basah.*
"waduh, seperti detektif saja!" omel Wariwari. Gairahnya melontarkan kritik kepada Pamoraga
karena cara berceritanya cenderung memamerkan kecakapannya dan tidak menghendaki segera
selesainya cerita dengan akibat yang memuaskan pendengar.
"Zo, memang jalannya pencarian begitu!". "Biarlah Wariwari, aku suka mendengarkan!" Dokter
Mengki terpesona. "Pada waktu itu, Swandanu dan Puteri Fang Fang ingin agar aku segera saja naik perahu bersama
mereka dan diantar sampai di tempat kejadian. Hal itu juga didorong oleh bertambah banyaknya
orang yang mengerumuni kami karena ingin mengelu-elukan hadirnya seorang perwira Singasari di
pangkalan!" 'Embel Masa orang berkerumun! Paling hanya dua tiga orang yang mendekati karena kebetulan
kenal perwira Singasari itu! Dan jangan lupa bahwa daya tarik Puteri Fang Fang untuk diamati dari
dekat juga besar!" ucap Wariwari.
Teruslah bercerita!" Dokter Mengki risau karena cerita Pamoraga terganggu.
"Kamu tidak ikut. Kamu menunggu rumah. Jadi kamu tidak melihat keadaan kami di pangkalan!"
Pamoraga membantah Wariwari.
"Jangan didengarkan, Dokter! Buainya tidak bakal rampung. Besar kepalanya!"
"Lalu, bagaimana?" Dokter Mengki tenis saja mendesak.
"Aku minta Swandanu turun dari perahunya. Puteri Fang Fang yang kadung di atas perahu, juga
aku bantu untuk turun. Mereka kecewa, apa aku urung ikut mencari saputangannya" Tidak! Aku
katakan kepada mereka aku tetap ingin menemukan saputangan itu. Kini kusuruh Swandanu
dibantu oleh beberapa laki-laki di situ untuk mendorong, mengangkat perahunya ke darat. Ldi Mau
15 diapakan" Mereka tanya. Mereka heran. Aku bersikeras untuk mendaratkan perahu Swandanu.
Mundur! Terutama buritannya harus naik ke darat! Dan dengan penuh tanya, mereka mengerjakan
apa yang kusuruhkan. Mereka mengerjakan tanpa pengertian, hanya karena perintahku saja.
Swandanu bahkan sudah kecewa karena tampaknya begitu buritan ku keluar dari permukaan air
dan mencuat ke darat, aku melihat apa yang kami cari ada di situ! Tersangkut pada lunas dasar
buritan perahu!" "Saputangan itu"! Tersangkut pada lunas buritan perahu"! Horee!" teriak Dokter Mengki. Ia
bersorak gembira seolah-olah penemuan itu terjadi pada saat itu. "Lahv bagaimana' Bagaimana
Fang Fang"! Bagaimana Fang Fang setelah kamu pungut saputangan itu" Dia tentu berteriak
gembira!" "Bukankah ini saputangan berbau harum yang kita cari bersama itu, Puteri" Tanyaku kepadanya.
Kulihat matanya berbinar-binar, napasnya sesak, mulurnya ternganga! Waduh, rasa hatiku
bergelora melihat wajah Puteri Fang Fang yang terpana tidak menyadari kecantikan dirinya! Aku
telah berhasil mengobrak-abrik haru-biru emosinya! Melenyapkan sadar dirinya! Aku bisa
menaklukkan dirinya, bebas berbuat apa saja terhadapnya andaikata aku rakus dan lepas kendali
nafsuku. Tapi aku heran! Pada waktu itu, justru rasa belas kasihan yang ikut tumbuh memancar
pada cita rasaku, pada sanubariku. Kasihani Perempuan yang begitu ayu, muda, terasing dari
keluarganya, kehilangan kesadaran, ketahanan, dan perlawanan. Betapa lemah keadaannya!
Tubuh yang begitu molek, terpampang tak berdaya di depan mataku! Aduh, rasa kasihku lebih
meluap menguasai rangsang nafsuku!"
"Tolol, Fang Fang itu! Ia begitu kagum dengan saputangan gambar naganya! Saputangan itu seperti
nyawanya! Tapi lupa juga keselamatannya! Ia memuja saputangan itu sebagai pelindungnya, tetapi
terlena bahwa saputangan itu; juga bisa menghancurkannya! Tolol! Tolol sekali! Coba kalau kamu
bukan perwira Singasari yang bermoral tinggi, apa Fang Fang tidak diganyang habis seketika itu
juga! Di tepi sungai, di alam terbuka, pada waktu matahari sore bersinar terang disaksikan banyak
orang! Saksi itu tidak bakal berbuat apa-apa, karena sudah tahu aturan bahwa siapa yang bisa
menemukan saputangan itu sah jadi suaminya. Sang suami bisa berbuat apa saja terhadap istrinya!
Huh, huh, huh! Wah, wah, wah! Cilaka betul! Tapi ya, masih beruntung juga bahwa yang
menemukan kamu! Perwira Singasarif" keluh kesah Dokter Mengki. Ya suka, ya susah!
Perasaannya terombang-ambing oleh cerita Pamoraga! Padahal biasanya, dalam bilik prakteknya,
dialah yang mengombang-ambingkan perasaan pasiennya.
"Lalu, apa yang terjadi dengan Tuan Puteri Fang Fang?" tanya Fusen yang ikut ternganga
mendengarkan cerita Pamoraga.
"Kuberikan saputangan itu kepadanya untuk diteliti. Setelah tidak salah lagi bahwa saputangan ku
benda suci yang dicari, ia pun menjatuhkan diri di hadapanku, mencium delamakan kakiku! Ia
pasrah kepadaku! Pasrah seperti
puteri tawanan setelah negaranya ditaklukkan seorang ksatria!"
"Waduh! Waduh! Disembah Puteri Fang Fang yang cantik jelita begitu, kian besar kepalamu, ya"
Dasar laki-laki pongah!" komentar Wariwari.
"Tidak, Wariwari! Ketika Puteri Fang Fang menjatuhkan diri di hadapanku, berlutut dan menyembah,
aku segera ikut berlutut, kutangkap pundaknya, kucegah untuk mencium kakiku! Tidak! Aku masih
16 sangat menghormati puteri itu! Aku tahu betul dia puteri bangsawan, puteri Duta Mengki'i, yang
tentu punya kedudukan tinggi di negerinya! Aku tidak boleh menganggap diriku lebih besar atau
lebih tinggi dari martabatnya, hanya karena aku bisa menemukan saputangan yang jadi gantungan
jiwa raganya! Aku cegah dia melakukan perendahan diri begitu! Kugoncang-goncang-kan
pundaknya agar kesadarannya pulih. Bagaikan dibangunkan dari tidur lelapnya, akhirnya matanya
diangkat dan memandangku dengan sayu, bertanya pasrah apa yang hams diperbuat untukku.
'Puteri Fang Fang!', kataku, 'Sadarlah akan dirimu! Sadarlah siapa Tuan Puteri! Jangan kalutkan diri
pada emosi yang cengeng! Tegakkan wajahmu, angkatlah dagumu, pandanglah aku seperti waktu
Tuan Puteri ingin membalas terpotongnya daun telinga ayahanda Tuanku Mengki'i! Ayo, bangkit!
Jangan berbuat malu ditonton orang banyak di alam terbuka begini!' Begitu kusampaikan
kepadanya!" "Bagus! Bagus! Tuanku memang pantas menjadi Perwira Singasari! Terhormat, pribadi yang kuat,
tak tergoyahkan oleh peristiwa yang menggiurkan nafsu selera rendah! Itulah prajurit Singasaril Aku
"Selanjutnya, Swandanu juga menolong membangkitkan Puteri Fang Fang. Dan kami segera
pulang. Dalam perjalanan itu, Puteri Fang Fang kami apit bersama antara aku dan Swandanu, agar
jiwanya yang terguncang oleh degup jantungnya tidak luluh. Kami saling menghibur. Puteri Fang
Fang mempererat genggaman tangannya padaku, menyatakan betapa gembiranya dan terima
kasihnya kepadaku. Pada awal perjalanan, ia tampak pucat tak berdaya. Setelah kami hibur, di
pertengahan perjalanan wajahnya telah bersinar-sinar kegembiraan. Pada awainya dia kami apit
untuk memberikan bantuan kekuatan, pada akhir perjalanan ia sudah berjalan tegak, dan
berpegang erat-erat pada lengan kedua laki-laki yang mengapitnya, aku dan Swandanu!"
"Tuan sungguh bijaksana! Saputangan yang ketemu Tuan berikan pada pemiliknya. Lalu Tuan
meninggalkannya tanpa minta imbalan apa-apa. Tapi, bagaimana Fang Fang setelah memiliki
kembali saputangannya" Tetap ikut Swandanu tentulah tidak beralasan yang mendasar. Ganjil!
Mau bekerja apa dia" Swandanu sudah punya Wariwari, masa pantas perempuan dewasa lainnya
seperti Fang Fang itu berdiam satu rumah dengan keluarga Swandanu" Kalau mau pulang ke
Fukien, siapa pengantarnya, bagaimana caranya'" tanya Dokter Mengki.
"Bagaimana yang terbaik pemecahannya menurut Dokter?" Pamoraga bertanya balik kepada
Dokter Mengki. Dokter Mengki tidak menjawab. Ia menggeleng, tidak menemukan jalan pemecahan terbaik.
Tuan ingat, aku pernah menginginkan menyimpan saputangan itu untuk kenang-kenangan?"
"Ya! Apakah ku yang Tuan lakukan" Lalu Fang Fang kembali tidak menggenggam saputangan
pusakanya lagi" 214 Apa dia mau" Apa arti perjuangannya masa lalu untuk memperoleh saputangan itu, perjuangan
keblinger yang membuat dia sengsara hidup tertinggal di tanah asing1?"
Tuan ingat, bagaimana bunyi sayembara mengenai pencarian saputangan itu, sayembara yang
belum diumumkan tetapi sudah diutarakan, ditawarkan kepadaku?" pancing Pamoraga.
Dokter Mengki terdiam sementara, perasaan dan nalarnya berkembang cepat melahap bahan
logika yang terpapar lewat cerita Pamoraga! "Hurah! Apakah Tuan tidak menyia-nyiakan hasil
17 sayembara itu"! Fang Fang menjadi istrimu"!" serunya sambil bersorak.
Pamoraga mengangguk. "Atas prakarsa sahabatku Swandanu ketika kami bertiga sedang
berapit-apitan pulang dari pangkalan! Itulah yang cepat membuat Puteri Fang Fang bersinar lagi
cahaya mukanya. Swandanu kembali menawarkan sayembara itu! Sayembara yang hasilnya jejas,
siapa yang memetik. Aku setuju, karena terus terang saja aku tak bisa menghapus kenangan manis
yang terlukis ketika Puteri Fang Fang menyerang aku dengan kudanya! Hidungku tertatap perut,
payudara, dan wajahnya! Sebagai laki-laki, aku mendambakan peristiwa itu bisa berulang kembali.
Kalau aku memetik hasil sayembara, dambaanku bisa menjadi kenyataan! Aku mau itu! Tapi masih
hams kutanyakan kepada Puteri Fang Fang. Apakah dia bisa menerimaku, sebab lahirnya
sayembara itu terasa seperti terpaksa. Kasihan kalau Puteri Fang Fang menerimaku atas dasar
terpaksa! Aku tidak menghendaki'"
"Tetapi aku tahu, Fang Fang punya perhatian penuh kepada Tuan! Terutama waktu kita hendak
berpisah! Tidak ada paksaan padanya untuk memperhatikan Tuan!" ujar
Dokter Mengki, yang kian kenal Pamoraga sebagai perwira Singasari, kian hormat pula. Dari mulai
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertamu, ia pun bertuan kepada Pamoraga! Mengki memang menghargai betul sikap dan perbuatan
perwira dan pemimpin Kerajaan Singasari itu.
"Setelah ada kesepakatan Tuanku Pamoraga mengambil istri Puteri Fang Fang, lalu apa yang
terjadi?" tanya pendengar setia lainnya, Yong Pin.
"Hari itu, tidak jadi tertunda, aku berangkat melaksanakan tugas pergi ke Sumenep. Saputangan
gambar naga dipercayakan Puteri Fang Fang untuk selamanya aku bawa. Ia percaya kalau aku
berhati-hati menyimpan saputangan itu, lain sama ayahnya. Ia percaya, selama aku menyimpan
saputangan tadi, aku akan selalu terlindungi jiwaku! Dan dengan menyimpan saputangan itu, kami
berdua bisa hidup rukun bahagia! Karena itu pulang dari Sumenep, aku mampir lagi ke rumah
Swandanu dan memboyong Puteri Fang Fang ke Istana Singasari. Menjadi istriku, istri perwira
Singasari. Puteri Fang Fang bergaul dengan para puteri kalangan Istana Singasari, dan diterima
dengan baik. Ia pandai bergaul dan mengambil hati teman kerabat istana. Ia cepat menyesuaikan
diri dan belajar banyak mengenai tata cara dan kebudayaan istana."
"Syukurlah, puteriku akhirnya memperoleh kebahagiaan! Dan hidup di kalangan Istana Singasari!
Aisun belum mengetahui hal ini! Ia masih belum mau percaya apa yang kuramalkan. Dulu ketika
aku putuskan untuk meninggalkan puteri Fang Fang di dasar Sungai Brantas, aku berkeyakinan
bahwa asal Fang Fang berpendirian teguh terhadap kekhasiatan saputangan gambar naga dan bisa
berdekatan dengan saputangan itu maka ia akan
memperoleh apa yang didambakannya! Sekarang kenyataan itu benar! Aisun belum kuberi tahu
akhir riwayat Fang Fang!" ujar Dokter Mengki, setengahnya kepada diri
sendiri. "Belum selesai riwayat Puteri Fang Fang! Setelah menjadi istriku dan bergaul di Istana Singasari,
masih ada lelakonnya yang lebih hebat," sambung Pamoraga. "Apa" Bagaimana?" tanya ketiga laki-laki
bermata sipit 18 itu serentak. "Tuan tahu, belum cukup dua tahun kemudian sejak kedatangan Tuan Mengki'i di Istana JStlgasari,
Istana Singasari diserang oleh orang-orang dari Kediri pimpinan Jayakatwang, besan Sri Baginda
Kertanegara sendiri! Nah, tentu saja istriku Puteri Fang Fang tidak dapat berdiam diri! Ada
lelakonnya yang patut Tuan ketahui Tetapi sebelum aku melanjutkan kisah itu, sebenarnya
perkawinanku dengan Puteri Fang Fang itu ada hambatannya. Hambatan yang berpangkal di hati
nuraniku!" kilah Pamoraga.
"Apa" Masih ada persoalan antara Tuan dengan Puteri Fang Fang?" tanya Yong Pin bersemangat.
"Bukan dengan dia, tetapi dengan Wariwari!" ucap Pamoraga sambil menunjuk gadis yang berada
di dekatnya. Gadis yang selalu memberi komentar tajam terhadap kisah Pamoraga.
"Apa" Aku tidak punya persoalan apa-apa dengan kamu!" jawab Wariwari terkejut bagaikan
disengat kalajengking. "Jauh sebelum aku ketemu Puteri Fang Fang, bahkan sebelum akil balik, aku sudah jatuh cinta
kepada tetanggaku teman sepermainan! Wariwari itulah manusianya!"
"Hiss! Jangan diceritakan! Perlakuanmu terhadapku mencemol pipi dengan mencuri-curi itu kisah
cinta kotor! Penyelewengan kasih! Tabu diceritakan!" timpal Wariwari kenes.
"Lagi pula kami tadi sudah mendengar cerita itu di mobil," tukas Fusen.
"Teruskan saja cerita tentang Puteri Fang Fang dan saputangan gambar naganya!" pinta Yong Pin.
"Rasanya aku ikut serta dalam peristiwa itu!"
"Ya. Aku juga! Memang rasanya kurang cocok kalau kisah Puteri Fang Fang dengan
saputangannya hanya terhenti di Istana Singasari! Sebab akhir cerita nanti adalah saputangan
gambar naga itu harus berada di Kediri!" kata Fusen.
"Bagaimana kamu bisa berkata begitu?" Dokter Mengki ganti membelalak kepada Fusen.
"Sebab, belum seminggu yang lalu aku menemukan saputangan hijau bercengkorongan gambar
naga itu di Kediri! Saputangan itu digunakan untuk menutupi wajah seorang prajurit Tartar yang
menyerupai diriku. Itulah akhir cerita saputangan gambar naga zaman Singasari. Dan awal kisah
saputangan gambar naga kembali ke zaman kita sekarang! Sebab saputangan yang kutemukan di
Kediri itu kubawa pulang ke Tuban, kujadikan oleh-oleh tanda mata kepada Fang Fang sehingga
membuat Fang Fang kurang waras, ucapan kalimatnya satu dengan yang lain tidak runtut, lalu
kubawa berobat kepada Tuan di Surabaya semalam."
"Permulaan kita semua jadi tidak waras!" jelas Dokter Mengki sambil tertawa, setelah maklum apa
yang dimaksud Fusen bahwa saputangan gambar naga itu harus berakhir di Kediri. "Kediri adalah
tempat bersambungnya kisah saputangan gambar naga zaman dulu dan zaman sekarang, yang
berarti dimulainya kisah gentayangan arwah tokoh pendukung lelakon saputangan gambar naga.
Dimulai dari 19 218 bangkitnya roh Fang Fang mencari saputangannya yang lepas dari tangannya ketika ia tewas, lalu
berjangkit ke arwah tokoh pendukung lainnya, menyusupi masing-masing tubuh kita, dan
gentayangan mengajak kita semua mencari kembali saputangan itu! Bukan Fang Fang seorang
yang kurang waras, kita semua jadi kesurupan!"
Sejenak sepi melanda mereka yang duduk di mang depan rumah Prawiradahana. Semua mencoba
meresapi arti ucapan Dokter Mengki, ahli penyakit jiwa. Tidak ada yang membantah. Mereka yang
merasa terlibat dalam lakon saputangan gambar naga, mengakui kebenaran ucapan itu.
"Kalau begitu, untuk menapak tilas akhir riwayat Puteri Fang Fang dan saputangan gambar naga,
sebaiknya kita melihat lokasi terjadinya peristiwa itu! Kediri!" ujar Dokter Mengki kembali memecah
sepi. "Aku tidak keberatan mengantarkan ke Kediri!" Yong Pin yang punya kendaraan spontan
menawarkan. "Sekali lagi kukatakan, aku merasa seperti ikut serta mendukung lakon itu!"
"Kalau Tuan-tuan napak tilas ke sana, aku pun sanggup menjadi penunjuk jalan. Kita punya waktu
untuk itu, bukan, Wariwari?"
"Aku terserah Mas Danu saja!"
"Kok Mas Danu! Kamu ini sejak zaman Singasari kan jatuh hati kepadaku. Dan aku jatuh cinta
kepadamu! Oleh karena itulah tadi kukemukakan kepada tuan-tuan ini, meskipun aku kawin dengan
Puteri Fang Fang, ada ganjalan berpangkal di hati nuraniku! Aku cinta padamu!"
"Hiss! Kok diulangi lagi kisah seronok itu! Aku kan jadi istri Kangmas Swandanu! Kamu mencuri-curi
saat mencemol pipiku!"
219 "Lo, itu zaman Singasari.' Generasi yang sekarang, kamu ini bakal jadi istriku.' Karena itu kuajak
kamu ke sini, menghadap ayah dan ibu, sebagai tunanganku.' Mau tidak sekarang kuajak ke Kediri"
Putuskanlah tanpa saran Swandanu."
"Ya. Di Kediri memang lebih banyak bekas peninggalan pasukan Tartar. Sebab ke sanalah mereka
menyerbu, tidak ke Singasari. Sebab Singasari telah diruntuhkan oleh Adipati Jayakatwang yang
kemudian jadi raja di Kediri. Tidak kurang dari dua puluh ribu tentara Tartar dengan lima ribu kuda
dikerahkan untuk menghancurkan Raja Jayakatwang di Kediri. Serbuan tentara Tartar tadi sebagai
balasan yang pernah dilakukan Sri Baginda Kertanegara terhadap utusan Tartar Mengki'i yang
diperung daun telinganya. Hal ini tentu menarik sekali kalau Tuan-tuan ingin melacak peristiwa
sejarah itu!" Prawiradahana ikut bicara. Ia kelihatannya memang tidak terlibat dalam lakon
saputangan gambar naga dan tidak bisa mengikuti kisah yang diceritakan beramai-ramai di
hadapannya. Ia tidak bisa menghayati. Tamu-tamunya, dan juga anaknya, kelihatannya orang
cerdik pandai dalam hal sejarah Singasari. Semua itii terlalu pelik dipahami oleh seorang pensiunan
Brigade Mobil Polisi. "Ya. Di Kediri nanti, Fusen bisa menunjukkan tempat di mana Panitia Tim Kompetisi Basket Lima
Kota menemukan kepala orang Tartar yang kena tusuk anak panah. Katanya masih berwujud wajah
20 prajurit Tartar, lengkap dengan kulit dan rambutnya. Bukan tengkorak. Itu Fusen yang cerita!" ujar
Yong Eto "Ah! Di mana itu" Kapan?" jerit Wariwari. "Di Kediri. Ditemukan baru-baru ini, ketika orang menggali
lubang untuk penanaman kepala kerbau sebagai
syarat peletakan batu pertama pembangunan gelora basket," jawab Fusen.
"Wah, itu cerita tersendiri yang tentu bagus sekali kalau kita bisa mengungkapkan," sambung
Pamoraga. "Kita mesti ke sana hari iru!"j
"Aku harus ikut! Aku harus ikut! Sejak dulu kala, zaman geger pasukan Tartar, aku tidak bisa pergi
ke Kediri. Tentang pertempuran di Kediri aku hanya mendengar kabar beritanya di sini, di rumahku
Rabut Carat. Meskipun siasat perang dan pelarian Raden Wijaya banyak dibicarakan di depanku,"
ujar Wariwari tersengat keinginan masa lalu, lena akan statusnya masa kini.
"Lo, aku senang kamu ikut rombongan kami ke Kediri. Tetapi bagaimana Swandanu dan nyonya
dosennya yang bawel itu?" goda Pamoraga.
"Huh! Masa aku harus menjadi pendengar terus saja" Di mana mereka sekarang" Esku segelas
sudah kuhabiskan, mereka belum juga tiba!" keluh Wariwari setengah jengkel.
"Ha-ha-ha!. Swandanu berjalan seiring bersama-sama Fang Fang! Seperti kerbau yang diumbar di
tempat tanaman kacang! Pergi ke mana saja perasaannya senang, meskipun tidak sampai juga!
Jangan harap cepat tiba. Bagi mereka, tambah lama mereka dibiarkan berdua, bertambah pekat
percintaan mereka!" ejek Pamoraga.
"Kamu jangan memanasi hatiku begitu!"
"Aku sudah pengalaman, Wariwari! Bahkan kamu juga sudah tahu sifat mereka berdua! Asal dekat,
ya lekati Kamu tob ingat betapa memalukannya tingkah laku mereka ketika ada kesempatan
kutinggalkan ke Sumenep, meski telah kita tetapkan Puteri Fang Fang jadi istriku dan akan
ku-boyong ke Istana Singasari?"
Tetapi itu kan Puteri Fang Fang! Bukan gadis Fang Fang dari Tuban!"
"Ala, sama saja. Mereka kesurupan arwah orang zaman Singasari dengan nama yang sama!" ujar
Pamoraga lugas. "Sekarang mereka bertiga. Ada ibu dosennya yang sangat dihormati oleh Mas Danu! Masa tidak
sungkan'" "Wa, ibu dosennya itu tampaknya malah mendorong mereka bersatu! Dia orang asing, tidak ada
laba-ruginya hubungan dengan perbuatan Swandanu dan Fang Fang! Dia telah mempelajari
sejarah Singasari, tentunya tahu juga bagaimana Puteri Fang Fang dan Swandanu Si Tukang
Perahu saling jatuh cinta. Oleh karena itu, ia membiarkan orang-orang titisannya bercinta-cintaan
pula!" ucap Pamoraga.
Pada waktu itu, ketiga orang yang mereka bicarakan datang. Dari jauh mereka sudah kelihatan.
Lalu mereka pun memasuki halaman yang luas. Fang Fang, gadis lincah yang berparas ayu,
tampak gembira menggandeng tangan Swandanu.
21 Dengan lincah Fang Fang langsung saja berucap kepada Fusen yang dianggap sebagai
pengawalnya dari Tuban, "Fusen! Aku nanti dari sini mau langsung ke Kediri! Mas Danu dan aku
akan menunjukkan tempat berakhirnya perjalanan kami kepada Doktor Aisun!"
Para hadirin tercengang! Kok bisa tembus bersatu rencana merekaidftl
Beberapa lama sebelum mereka sampai di rumah Pamoraga, terjadi peristiwa dan percakapan yang
mengasyikkan. Menempuh jalan besar Mojokerto
222 Fang Fang berjalan bersama Swandanu, sedang Doktor Aisun berada di belakangnya. Kedua
perempuan itu seperti ibu dan anak. Sang ibu membiarkan anak gadisnya berjalan akrab bahkan
mesra dengan laki-laki muda yang berhasil menarik hati kedua perempuan itu. Swandanu memang
mahasiswa yang cakap dan penuh minat belajar tentang benda-benda lama, dan ia juga bertubuh
semampai, sorot matanya lunak, dan merupakan tokoh yang banyak dipuja-puja para gadis. Jalan
yang mereka lewati beraspal halus, kendaraan tidak begitu padat lewat di sini sehingga para
pejalan kaki bisa santai tak terganggu. Di tepi jalan tumbuh teratur pepohonan rindang yang
berumur puluhan tahun, seolah-olah sebagai pohon sisa peninggalan dulu kala ketika daerah itu
masih merupakan hutan lebat Pohon-pohon tadi masih memberikan naungan kepada mereka yang
berjalan di bawahnya sehingga meskipun matahari bulan Mei bersinar cukup kuat, panasnya tidak
merisaukan benar. Di sebelah kiri-kanan jalan terhampar sawah dan ladang. Sekalipun sudah
memasuki pertengahan kemarau, tanah di situ cukup mendapatkan air sehingga tanaman yang di
sawah maupun di ladang dapat tumbuh baik. Tampak sekali pengelolaan tanaman oleh tangan
manusia yang rajin. Tanpa mengabaikan pengaruh alam yang menyenangkan itu, Doktor Aisun berjalan sambil
memandangi kedua makhluk di depannya sambil tersenyum-senyum. Lega hatinya. Fang Fang
yang dianggap sebagai anaknya, ta yakin itu anak ciptaannya, ternyata tidak tewas terkubur di
dasar Sungai Brantas seperti yang dibaca pada laporan perjalanan Duta Mengki'i. Fang Fang masih
mengalami hidup bahagia dan menggairahkan setelah tenggelamnya
di Sungai Brantas! Ia hidup berkat pertolongan Swandanu! Kini Doktor Aisun sedang merunut
kebahagiaan apakah yang direngguk oleh Puteri Fang Fang itu! Aisun berharap kehidupan Fang
Fang pasca tenggelam di Sungai Brantas berlangsung bahagia dengan penolongnya! Ia merasa
cocok dengan Swandanu yang kini jadi mahasiswanya! Tentunya begitu pula Swandanu, penolong
Puteri Fang Fang. Karena ku Doktor Aisun berjalan membuntuti dua orang muda-mudi yang tampak
rukun dan mesra itu dengan senang hati. Ia tersenyum-senyum. Kemesraan yang disaksikan itu
diharapkan tidak lain adalah peristiwa ulangan dari masa lama, lelakon yang kini sedang dirunutnya.
Sementara ku dengan asyik-masyuk Swandanu berkisah kepada Fang Fang.
"Kamu masih ingat perjalanan kita melarikan diri dari kericuhan Ibukota Kerajaan Kediri dengan
menggunakan sebuah biduk ke hilir?"
"Perjalanan yang terakhir! Kita tinggalkan semuanya, semua yang kak-mengait dengan kehidupan
bermasyarakat, untuk mengejar kehidupan menyendiri berdua! Mengejar cita-cita hidup bercinta!
Aku ingat itu!" 22 "Kita turutkan tuntutan naluri kasmaran kita! Mengabaikan tuntutan hidup yang lain!"
"Orang kasmaran memang tolol! Dengan pikiran waras, mana mungkin kita bisa melepaskan diri
dari kehidupan yang ruwet ftu" Kamu sebagai prajurit cadangan gabungan Raden Wijaya yang
sedianya dipersiapkan mencegat kembalinya pasukan Tartar dari Kediri, justru menyusup ke Kota
Kediri! Padahal waktu itu i justru pasukan Raden Wijaya yang baku telah meninggalkan kota.
Sehingga kehadiranmu di kota itu memancing bahaya, baik dari pihak orang Kediri
224 yang sedang menderita kekalahan, maupun pasukan Tari tar yang mulai curiga dengan perginya
Raden Wijaya! Waktu kamu menemui aku, kamu adalah prajurit cadangan Raden Wijaya yang
melalaikan tugas! Prajurit yang melarikan dWI Kamu bisa dihukum oleh kesatuanmu! Sekalipun
masih kesatuan liar yang acak-acakan!"
"Demi cinta kita, semua bahaya adalah bumbunya, rempah-rempahnya!"
"Kamu terlalu menyepelekan! Membuat kita terlena. Karena mengagungkan cinta asmara."
"Kita memang hidup dalam keadaan terjepit! Zaman huru-hara! Sehingga tidak mudah
mengembangkan percintaan kita! Bahkan bertemu secara badani pun kita susah. Tuntutan zaman
begitu! Maka tidak ayal kalau aku mesti berjuang mencari kesempatan! Begitu ada kesempatan,
aku tembak, aku raih, tanpa mempedulikan ancaman marabahaya! Sekalipun akhirnya kita lena,
aku tidak menyesal, tidak kecewa, karena dari pihakmu pun ternyata ada usaha yang sama! Begitu
ada kesempatan, kamu pergunakan dengan sebaik-baiknya! Kita lari bersama, berbuat bersama,
karena memang adanya satu tujuan. Kamu juga mengabaikan bahaya yang mengancam dirimu, diri
kita! Kita senasib sepenanggungan dengan bahagia asal dalam kesatuan hasrat, kebersamaan
tujuan!" "Ya! Tolol sekali! Aku mengabaikan bahaya itu! Terlalu gegabah ambil putusan mengikuti a
jakunmu! Musibah yang menyergap kita datangnya justru dari kelalaianku! Aku mohon maaf!" kata
Fang Fang sambil menunduk.
"Tapi itu masa lampau. Cinta kita tak sampai! Masa kini, kelihatannya jalan lurus terbentang bagi
kita. Kepaduan kita!"
225 pe 22 "Kamu lupa! Satu hal yang belum kita dapatkan! Saputangan gambar naga! Saputangan itu belum
ada padaku! Aku tidak bisa memperoleh kebahagiaan asmara dengan siapa pun tanpa
menggenggam saputangan gambar naga ku. Barang itu sebagian dari jiwaku! Mari kita cari dan
dapatkan sebelum kita sampai di rumah asmara yang kekal denganmu!"
"Saat kita melarikan diri berdua, bukankah kamu menggenggam saputangan jiwamu itu" Kita sudah
tiga dalam satu!" kata Swandanu.
"Kamu tidak tahu! Saputangan itu direbut orang! Aku tolol sekak! Melihat musibah yang datang
memisahkan kita, aku masih ingin lari menyelamatkan diri. Tapi akhirnya aku juga terjebak maut
23 karena pekertiku itu! Aku masih sempat memandang dunia yang akan menghitam. Dalam
keremangan, kulihat seseorang mau menolongku. Keburu dunia gelap, aku lemparkan saputangan
gambar naga itu kepadanya! Kuserahkan, agar dibawanya pulang kembali ke tanah airku! Itu
perbuatanku yang paling tolol! Seharusnya kugenggam erat-erat saat masuk ke dunia gelap,
terkubur bersamaku! Jadi aku tidak perlu bangkit gentayangan untuk memperolehnya seperti
sekarang ini! Tolol betul!"
"Aku ingin melihat ketololan kita kembali! Aku ingin melihat jalur perjalanan kita dulu! Kalau bersama
kamu, kita bisa saling mengungkap kisah lama kita. Dan mungkin saputangan itu bisa kita temukan
kembali, lalu akan kita bawa bahagia bersama yang kekal dan abadi!" ajak Swandanu.
"Ketololan, kelalaian, lupa diri, itu memang sifat manusia. Pemberian Tuhan! Nikmat Tuhan. Mari
berbekal dengan pengalaman ini, kita cari saputangan itu. Kalau sudah
ketemu, jangan kita berbuat tolol lagi! Kapan kita bisa napak tilas perjalanan tolol kita" Ke Kediri,
ajakanmu tadi?" "Bagaimana kalau sekarang juga, mumpung kita bisa bersatu begini?" Swandanu menawarkan
kembali niatnya. "Apakah dosenmu tidak bakal kapiran?"
"Mungkin ia juga senang pergi bersama kita. Ia ingin melahap semua pengalaman pasukan Tartar
waktu meyerbu Tanah Jawa! Bukankah pasukan itu dituntun oleh pasukan Raden Wijaya yang
menyerbu pusat Kerajaan Kediri" Kediri-lah tujuan akhk serbuan pasukan Tartar. Bu Aisun tentu
senang sekali diajak menjenguk bekas ibukota Kerajaan Kediri yang dihancurkan oleh pasukan
Tartar itu!" "Mama. Kami ingin meneruskan perjalanan ke Kediri siang ini juga. Apakah Mama harus kembali ke
Surabaya?" tanya Fang Fang sambil menoleh ke belakang.
"Adakah tempat yang lebih penting selain Kediri dalam perjalanan pasukan Tartar di Tanah Jawa"
Oh, bagus sekali! Aku akan ikut bersamamu! Hams ikut! Aku akan ikut ke mana kamu pergi, Fang
Fang!" suara keibuan keluar dari mulut perempuan sarjana itu.
Dari hasil percakapan itulah maka ketika mereka bertiga bergabung dengan para penumpang mobil
Crric di rumah Pamoraga, Fang Fang langsung bicara kepada Fusen, "Fusen! Aku nanti dari sini
mau langsung ke Kediri!"
" "Silakan diminum es degannya! Sudah kami siapkan!" ujar Pamoraga ramah tamah kepada tamu
yang baru datang. "Fang Fang, kamu tentu belum kenal
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahku! Beliau seorang pensiunan Brimob, lama sebelum pensiun sudah membeli rumah ini, yaitu
ketika bertugas di pendidikan."
Fang Fang meminum dulu es degannya. Dikiraikannya rambut yang terjurai di dahinya, dan
tampaklah wajah rupawan bermata sipit memandang dengan senyum memukau kepada laki-laki tua
yang duduk di kursi besar. Diletakkannya gelas esnya, lalu menangkupkan kedua telapak
tangannya, merunduk-runduk santun mendekati Prawiradahana, dan menghaturkan salam hormat.
24 *Ob, nuwun sewu! Boten wonten ingkang nyanjangi menawi wonten priyantun sepuh, dados kula
inggih tranyak-tranyak tanpa duga! Nuwun sewu, lo, Pak! Pun tepangaken, kula mitranipun ingkang
Putra, Mas Pamoraga! Fang Fang sesulih kula, Pak. Kula ngaturaken sugeng dhumateng Bapak1"
Prawiradahana dan para hadirin yang lain juga sekali lagi tercengang mendengar tanggapan Fang
Fang terhadap ucapan Pamoraga yang memperkenalkan ayahnya. Sama sekali tak terduga bahwa
gadis keturunan Cina itu dapat bertingkah laku seperti gadis Jawa dan menyampaikan salam
dengan bahasa Jawa krama, yang diucapkan fasih. Orang Jawa asli sebaya Fang Fang saja belum
tentu bisa berucap dan bertingkah seperti itu!
"Wah, wah, wah! Andaikata kita tidak melihat wajah dan namanya, aku sudah tidak mengira sama
sekali bahwa kamu bukan Jawa asli! Di mana dulu kamu belajar tindak-tan
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
duk Jawa begini halus" Apakah orang tuamu telah merasuk Jawa benar-benar" Tentunya kamu
Jawa bangsawan jika mendengar tutur katamu yang krama itu!" komentar Prawiradahana. c-
"O, lama hamba bergaul dengan Kangmas Pamoraga.
Sejak zaman Singasari masih jaya sampai runtuh: Sejak Kangmas Pamoraga sebagai seorang
perwira sampai menjadi panglima. Di Istana Singasari itulah hamba hidup dengan bahasa dan
bangsawan Jawa," jawab Fang Fang yang masih bertahan dengan bahasa Jawa krama.
"O, jadi lama ikut Ketoprak Siswa Budaya" Menjadi prameswari di Kerajaan Singasari" Wah,
makanya bahasa Jawamu eloki"
Serentak semua hadirin tertawa mendengar ucapan Prawiradahana. Semua paham dan
menghayati benar akan perkataan Fang Fang dan segala yang tersirat di dalamnya. Sebutan Istana
Singasari,. ya betul Singasari tempat ber-takhtanya Sri Baginda Kertanegara. Mereka maklum
mengapa Fang Fang mengemukakan Singasari sebagai tempat asal muasal dia belajar berbahasa
dan bertatakrama Jawa. Karena Fang Fang memang pernah hidup di situ. Dari para hadirin,
hanyalah Prawiradahana seorang yang tidak tanggap dengan cerita Fang Fang. Laki-laki ini tidak
bisa kontak dengan alam jauh waktu lampau! Maka komentarnya melenceng. Ia kira Fang Fang
hidup bersama warga ketoprak yang masih bisa mengajarkan dan melestarikan bahasa dan budaya
Jawa di masyarakat. Setelah berkenalan yang dirayakan dengan tertawa gegap gempita itu, Fang Fang mendekati
Pamoraga, tuan ramah yang dikenal baik, dan berbisik, lirih ke telinga Pamoraga.
"Ayo! Bisik-bisik apa itu?", tegur Wariwari berseloroh. Meski berseloroh murni, orang bisa mengira ia
cemburu. Fang Fang menoleh ke arah Wariwari dengan wajah pringisan, namun tetap mengajak tersenyum.
Saat berpandangan dengan Fang Fang, rasanya dunia ini terang dan tenteram!
Pamoraga paham apa yang dibisikkan kepadanya, dan mengajak Fang Fang mengikuti dia. waktu
melewati Wariwari, dengan gigih gadis ini menahan lengan Pamoraga.
"Dia bicara apa"!"
"Mau pipis. Minta diantar ke belakang!" bisik Pamoraga. Khusus untuk didengar Wariwari. Spontan
Wariwari mencubit seru lengan pemuda itu sambil tertawa lega.
"Sst! Kesempatan ini jangan digunakan untuk mengintip, IA" bisik Wariwari. khusus untuk didengar
Pamoraga. Keduanya cekikikan.
"Tapi kebetulan pintu kamar mandinya sedang menganga. Tidak bisa dikancing. Belum diperbaiki.
Kamu tahu sendiri semalam. Kesempatan baik sekali, ya!"
"Aku percaya, Taruna AKABRI tidak suka tawaran yang murahan seperti itu," ujar Wariwari, kini
1 dengan mata galak membelalak. Lenyap sudah gelak-gelaknya!
Fang Fang yang sudah berada di dekat mereka tentu mendengar pula kata terakhir itu. Ia tertawa
polos tanpa curiga apa-apa.
Kamar mandi ku terletak jauh di belakang rumah. Harus melewati mang tengah dan belakang yang
cukup luas. "Ibu di mana?" tanya Fang Fang ketika melewati mang tengah. Ia menggamk lengan Pamoraga,
minta dipandu karena mangan agak gelap. Apalagi bagi yang baru datang dari alam terbuka.
Pamoraga menggandeng tangan Fang Fang. Jari-jari mereka bertautan.
"Ibu ke Pamulungan. Sudah kadung janji dengan tetangga sebelah mau pergi ke dukun. Tadi pagi
kami sama 230 ketemu. Ibu menyesal tidak bisa menjamu kami lama-lama. Ia tak mengira aku datang kemarin
bersama teman-teman dan menginap. Namun hatinya lega, aku datang membawa wariwari, yang
kuakui sebagai gadisku, calon istriku. Tidak
gugup lagi ibu mencari menantu!"
"Kamu pandai sekali berbohong! Wariwari kan bukan
jodohmu!" ucap Fang Fang tertawa menyeringai.
"Kamu pikir begitu?"
"Aku tidak berpikir. Kenyataannya masa lampau kan dia bukan jodohmu!"
"Maaf. Pintunya tidak bisa ditutup rapat Rumah di desa, penghuninya sudah tua! Semua yang
rusak, asal masih bisa dipakai, ya dibiarkan rusak. Tak terawat!"
"Tidak apa! Rapat dan tidaknya tutup kamar mandi, kuncinya kan ada di jiwa taruna Akabri seperti
yang disebut-sebut oleh Wariwari tadi! Lagi pula, antara kita kan tidak ada rahasia lagi!" ujar Fang
Fang ceplas-ceplos. Gelak tawanya tidak terhapus dari wajahnya, ketika ia masuk ke kamar mandi.
Pamoraga gelisah benar. Bisik-bisiknya dengan Wariwari dan ceplas-ceplosnya dengan Fang Fang
mengusik hati laki-lakinya. Fang Fang masuk ke kamar mandi yang tidak bisa ditutup rapat
pintunya. Pamoraga tahu dan membayangkan apa yang dikerjakan Fang Fang. Patutkah kalau
Pamoraga menunggui di depan kamar mandi" Taruna Akabri tidak selayaknya melahap tiap
kesempatan yang ditawarkan! Pamoraga menggelincang nalarnya. Dengan hentakan istimewa, ia
berhasil menarik kakinya yang terpaku di ubin, lalu melangkah menjauh.
"Mas! Mas Pamor!"
"Ya?" 2 "Ciduknya nggak ada!"
"Ah, ya"! Tadi kugunakan untuk membasuh gelas! Kuletakkan di luar sana. Sebentar, kuambilkan!"
Keringat dingin keluar membasahi dahi dan pelipisnya.
Setelah mengambil ciduk, sampai di depan kamar mandi, jantung pemuda itu bergoda m kuat
sekali. Rasanya mau rontok di rongga dada itu. Pintunya masih menganga dan Fang Fang gadis
ayu ada di dalamnya! "Fang Fang! Ini ciduknya!" suaranya gagap.
"Bawa kemari! Mana, Mas?"
Setan di hatinya meraung! Ingat bahwa pucuk hidungnya dulu pernah menyinggung perut,
payudara, lalu pipi-riya yang lunak! Tapi itu zaman ia sebagai Perwira Singasari, dan Fang Fang
sebagai bocah prajurit Tartar! Dalam kehidupan abad ini, Pamoraga belum pernah ketemu gadis
Fang Fang! Baru sekali ini. Dan dia sudah laki-laki dewasa yang penuh birahi, sedang Fang Fang
aduhai moleknya bukan main dalam dandanannya yang tertutup! Kini, tubuh molek itu di dalam bilik
mandi, memanggil laki-laki "Mas"nya, yang 'antara-kita-&m-tidak-ada-rahasia-lagi'! Birahinya
menyala, dan tidak ingat lagi pribadi taruna Akabri! Dengan tekad nakal ia masuk ke kamar mandi!
La-dalah! Ketemu Fang Fang dengan wajah tersenyum tenang. Ia masih mengenakan baju kuning
lengan pendek, celana begi hijau yang tadi. Fang Fang masih berpakaian rapat seperti tadi, belum
buka-buka! Kecele! Senyumnya yang damai terpasang melindungi!
"Ah! Fang Fang! Kamu bikin jantungku terguncang-guncang' Mau copot ini ld"
"Mana ciduknya" Sekarang keluarlah! Tapi jangan pergi! Tunggu di luar situ sebagai gantinya
kancing pintu!" Senyumnya tidak hilang suaranya menggoda!
232 Klimaks dag-dig-dug sudah terlampaui. Pamoraga melaksanakan apa saja kemauan Fang Fang
yang tetap terlindung! Lumpuh semangat laki-lakinya. Keluar dari kamar mandi, tetapi tidak boleh
meninggalkan tempat. Ketika kemercik bunyi air dipermainkan di kamar mandi, Pamoraga melipat
kedua tangannya pada dada, wajahnya menunduk. Ia menjadi pekak, gemercik air di bilik mandi
yang pintunya tidak bisa ditutup rapat itu tidak terdengar lagi. Pikirannya melayang jauh. Jauh
sekali. Melayang ke masa lampau, masa yang telah lama sekali terlampaui.
Dahulu kala itu, rasanya Pamoraga kenal Fang Fang tidak sekadar kenal! Ia menjadi manusia
terdekat padanya untuk beberapa bulan lamanya. Karena itu ketika Fang Fang berbicara
ceplas-ceplos dan bersikap bebas, Pamoraga segera mengenal cara-cara itu dan bisa meladeni
apa mau perempuan itu. Ia tidak kaget dengan cara bergaul Fang Fang yang demikian. Begitulah
dulu kala yang berulang kembali pada masa-masa tertentu.
Fang Fang selesai di kamar mandi. Ketika keluar dilihatnya Pamoraga bersikap bagaikan patung
Buddha, diam dan merenung, tapi terus saja Fang Fang mendekati. Dengan hati-hati ia menggamit
lengan 'pertapa' itu. 3 "Mas! Kok seperti seorang puteri istana, pergi pipis ke kamar mandi saja dijaga oleh seorang
perwira! Aku ini apa?"
Pamoraga tetap mematung seperti Begawan Mintaraga yang didekati bidadari penggoda.
"Mas! Merenungi apa?"
Pamoraga menoleh. Sorot matanya yang lunak bertaut dan menggelut milik Fang Fang.
"Kamu seperti waktu pamitan mau berangkat menir* kerusuhan di Pandaan saja!" tegur Dewi Fang
Fang den cara seperti menegur suaminya.
"Dan kamu, istriku yang harus kutinggalkan! Berat rasanya, karena kita masih belum puas hidup
dan bergaul kemantenan. Aku sedang mempelajari pribadimu lebih dalam. Sementara kamu sedang
kemaruk mempelajari adat-istiadat dan pergaulan hidup di Istana Singasari. Aku mulai menyenangi
sifatmu, memuji-mujimu, karena ternyata kamu adalah istri yang patuh seperti yang dibutuhkan
laki-laki bermartabat perwira."
"Kamu harus jadi perwira, martabat, dan jiwamu! Hams menuruti perintah panglimamu, Raden
Wijaya. Kamu tidak usah kuatir meninggalkan daku di pemondokan istri para perwira di istana. Aku
sudah sesuai saja dengan cara pergaulan hidup mereka. Kami semua aman di istana. Pergilah,
Kangmas! Pergilah, perwiraku!"
Pamoraga mengangguk. Ia memang bukan perwira sembarang perwira, bukan seorang laki-laki
gagah yang dipersenjatai. Ia adalah seorang prajurit terlatih yang punya pikiran dan keterampilan
memainkan senjata di medan perang. Peraturan yang harus dipatuhi dihayatinya dengan giat, dan
tidak ada pikiran sekelumit pun untuk menolak atau menyelewengkan. Oleh karena itu ketika ada
kabar bahwa orang-orang Kediri membuat onar lagi di kawasan Pandaan, Raden Wijaya mendapat
perintah untuk memadamkan kerusuhan tadi, Pamoraga sudah diserahi memimpin pasukan
pelopornya. Ia senang dengan perintah itu, apalagi Fang Fang menginginkan ia jadi perwira! Ia
akan melaksanakannya dengan penuh bakti kepada Raja Singasari serta anak menantunya yang
menjadi panglima perangnya, Raden Wijaya! Pamoraga merasa mendapat dorongan keras untuk
maju dari Puteri Fang Fang, istrinya! Juga kebesaran Pamoraga, ia merasa benar, ditumpu benar
234 oleh kewibawaan istrinya. Tanpa Puteri Fang Fang, mungkin Pamoraga hanyalah prajurit
berpangkat tinggi saja. Mengapa ia termenung hanyalah karena ia rasanya masih saja pengantin baru. Berpisah dengan
Fang Fang memang mengharukan hatinya.
"Fang Fang! Sebenarnya aku termenung karena mempertimbangkan hendak memberikan
saputangan gambar naga yang masih kusimpan setelah kita kawin. Kamu tidak pernah
menanyakan barang itu setelah kita mengarungi hidup berumah tangga di Istana Singasari. Pada
kesempatan akan berpisah itu, aku ingin meninggalkan saputangan itu kepadamu. Kalau terjadi
sesuatu yang mengancam dirimu selama aku tinggal tugas, saputangan itu akan menjadi juru
selamat." 4 "Ya! Sebelum kamu mengeluarkan saputangan itu, aku sudah lebih dulu menanyakan apakah kamu
masih menyimpannya dan membawanya saat pergi bertugas. Saputangan itu kamu simpan
dikocekmu. Kamu berikan kepadaku. Aku menolak! Tetap simpanlah, karena benda itu akan
melindungi kamu dan keluarga kita. Selama kamu membawanya seizin aku, kamu akan tetap
dilindungi, keselamatan dan kebahagiaan akan terus berada di pihakmu! Pergilah menuruti perintah
komandanmu. Bawalah serta saputangan itu, agar kamu tetap selamat dalam pertempuran. Kamu
sudah menjadi keluargaku, suamiku! Kamu akan terkena pancaran perlindungan saputangan itu!" -'
"Kamu ingat, Fang Fang, akhirnya aku berangkat menunaikan tugas ketentaraanku. Saputangan
gambar naga itu kubawa serta. Bersama-sama Raden Wijaya dan pasukannya, aku berangkat
memadamkan kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Kediri di Pandaan."
Fang Fang mengangguk. "Aku menunggumu dengan keyakinan mantap bahwa kamu akan
selamat!" "Perusuh itu orang-orang dari Kediri, datang di Pandaan dan sekitarnya dengan berperahu-perahu
ke hilir lewat Bengawan Brantas. Dulu waktu aku mengantar rombongan kamu dan ayahmu, mereka
sudah ku tumpas habis! Kini mereka muncul lagi! Mereka datang dalam gerombolan bersenjata
yang lebih besar lagi! Selesai menggempur gerombolan yang pertama, Raden Wijaya gundah hati
memikirkan istrinya. Aku tersengat oleh pengaruhnya, jadi gelisah memikkkan kamu! Apalagi boleh
dikata aku masih pengantin baru! Apa yang terjadi di istana?"
"Gempar! Orang-orang Kediri menyerbu istana dari arah barat dan selatan. Formasi sapit urang!
Kami terkepung. Pada waktu ku memang para panglima perang sedang tidak ada, termasuk Raden
Wijaya dan Raden Ardaraja. Mereka sedang memadamkan kerusuhan di sebelah utara ibukota
Kerajaan Singasari. Yang menyerbu istana ini bukan gerombolan bersenjata dari Kediri, tetapi
prajurit Kediri yang dipimpin langsung oleh Adipati Jayakatwang! Sri Baginda Kertanegara tidak
percaya bahwa besannya menohok kawan seiring. Pasukan Kediri telah memasuki istana, tapi
Baginda masih juga tidak memerintahkan melawan!" kisah Puteri Fang Fang.
'Tidak seorang pun mengira, Kerajaan Singasari yang begitu kuat, menganut mashab Buddha
Mahayana aliran Kalacakra yang mengandalkan senjata gaib untuk menggalang persahabatan
dengan Raja Bali, Raja Champa, bisa runtuh langsung karena kecurian jantung negerinya! D
"Sri Baginda Kertanegara dibunuh di istana!"
236 "Kegelisahan Raden Wijaya ternyata beralasan. Beliau mengutus aku yang masih pengantin baru
untuk menjenguk ke istana, mengobati rindu pada istri baru. Raden Wijaya sendiri masih
meneruskan menumpas gerombolan feaasenjata di daerah Pulungan. Aku terperanjat bukan main
ketika sampai di Singasari, menemui istana dalam keadaan porak-poranda. Matahari sudah
terbenam, sehingga orang tidak jelas membedakan antara kawan dan lawan. Dalam kesunyian
yang mencurigakan itu, hanya pada sudut-sudut jalan terdapat prajurit asing yang berkelompok
merayakan kemenangannya dengan minum-minum, aku berhasil menyelundup ke istana. Aku
datang ke tempat keputrian, tempat putri-putri bersemayam. Aku hams menyelinap agar tidak
ketahuan oleh prajurit-prajurit Kediri!"
"Jangan lupa menggunakan saputangan gambar naga sebagai penolak bala!" tukas Fang Fang
yang mendengarkan kisah dengan penuh perhatian.
5 "Ya! Pada waktu itu aku ingat saputangan dan pesan-pesanmu mengenai benda keramat itu.
Segera aku keluarkan dari kocek, dan kuikatkan pada pergelangan tanganku. Elok bin ajaib,
rasanya di mana aku ingin lalui, tempat-tempat itu sepi prajurit. Aku berhasil mencapai keputrian,
tetapi penghuninya telah kabur semua entah ke mana!"
"Sebagian ditawan dan diperkosa oleh orang-orang Kediri!"
"Bajingan edan! Mereka itu masih punya tali hubungan keluarga! Puteri Kertanegara yang nomor
tiga menjadi istri Raden Ardaraja, putra Jayakatwang. Ardaraja sendiri masih berjuang
bahu-membahu dengan Raden Wijaya memburu
pengacau ke arah utara."
y "Orang Jawa selalu memperebutkan takhta, harta, dan wanita.1 Kalau sudah kena penyakit itu, satu
saja atau ketiganya, orang suka lupa daratan. Tidak peduli apakah masih ada ikatan keluarga, sikat
saja! Biasanya merembet, kalau menjadi penguasa, kelebihan kekuasaannya untuk mencari harta
dan wanita! Aku sudah mempelajari hal itu," ujar Fang Fang.
"Aku tidak menemukan puteri-puteri di tempatnya. Deg, rasa jantungku! Bagaimana dengan istriku"
Segera saja ku jenguk ke tempat pemondokan. Pintu kubuka dengan keras, terbuka biak! Tapi
kosong! Dalamnya tidak terdapat manusia, tidak ada kamu! Aduh! Di mana Fang Fang, Dewiku"!
Ambruk aku di bilik itu! Ambruk tubuhku, ambruk semangatku! Aku tidak ingin hidup lagi! Nelangsa
rasanya!" Fang Fang gadis Tuban, mendekatkan tubuhnya pada Pamoraga, merangkul pundak taruna Akabri
yang sedang runtuh semangatnya karena kesurupan kisah zaman lampau. Tangannya memeluk
pundak itu erat-erat, seolah-olah mau menghiburnya.
"Kamu tidak ingat dengan saputangan gambar naga yang kamu ikatkan pada pergelangan
tanganmu?" tanya Fang Fang penuh rasa kasih sayang.
Pamoraga mengeluh panjang. Menggeleng-geleng. Ingin ia dengan begitu mengenyahkan rasa
sedih hatinya. Tidak! Tidak saat itti!"
Tapi bukankah saputangan itu masih tetap ada padamu?"
"Ya. Ya, tapi itu kemudian sekali munculnya di ingatanku. Perlahan-lahan aku membuka mata dan
memandang dalam gelap. Hanya remang-remang. Tapi tiba-tiba hidungku mencium bau harum!
Harum yang khusus, bagaikan asap
setanggi. Aku runut asal bau itu, dan aku ingat akan saputangan gambar naga! Ingat
pesan-pesanmu! Saputangan itu akan melindungi keluarga! Siapa keluargaku" Kamu. Puteri Fang
Fang! Berangsur dan pasti, bau harum itu menggugah semangatku untuk bangkit. Segera kuraba
pergelangan tanganku! Betul, saputangan itu masih kupakai Keyakinanku pun pulih kembali! Aku
tentu akan menemukan istriku dalam keadaan selamat Bangkit, dan kucari lebih teliti ruang
pondokan ku. Tetap kosong. Hanya barang-barang tak berharga saja yang tertinggal dalam
keadaan porak poranda. Manusianya tidak ada Jelas hanya perampok saja yang berbuat itu! Lalu
yang paling berharga di mana' Istriku! Bilik ini tentulah sudah dimasuki perampok, tetapi istriku di
6 mana waktu itu" Aduh, ngeri memikirkan hal itu. Bau harum seperti asap setanggi itulah yang
menolongku tidak putus asa. Aku harus cari segera. Ke tempat lain. Aku beranjak ke luar ketika
terdengar namaku terpanggil. Suaramu!" seru Pamoraga sambil memandang bersinar-sinar kepada
Fang Fang. "Kangmas Pamoraga!" ucap Fang Fang memanggil.
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya! Begitu kamu memanggilku dalam gelap. Di bilik pondokan kita!"
"Aku juga tergugah oleh bau asap setanggi! Kami tahu ada orang yang masuk bilik dengan
menendang pintu. Tetapi tidak berani berkutik. Justru menahan napas, agar tidak ketahuan
persembunyian kami. Kami tahu, orang ku jatuh terkulai di lantai. Tapi siapa yang berani bergerak
kalau beberapa waktu sebelumnya para penjarah barang dari Kediri berbuat ganas di tempat yang
sama" Jadi kami berdua tetap mengecilkan diri sembunyi di tempat ku. Takut kalau-kalau yang
datang dengan mendobrak pintu
ini juga penjarah yang luka parah, masuk ke bilik lalu ambruk. Kami biarkan keadaan sunyi dan
gelap gulita. Napas kami kuatur keluar masuknya perlahan, kecil-kecil saja, agar napas kami tidak terdengar oleh pendobrak
yang ambruk ku. Bakal untuk berapa lamanya, kami tidak tahu. Kecuali badan ini sakit semua untuk
meringkus, juga semuten. Tapi lebih baik daripada ketahuan oleh para penjarah, dan kami
mendapat perlakuan seperti puteri-puteri yang laini Kami benahan diam saja!" ,.1)1 mana kamu
bersembunyi?" "Bau harum seperti asap setanggi dibakar itulah yang menggugatku, bahwa orang
yang ambruk di bilik itu tentu membawa saputangan gambar naga! Kakangmas Pamoraga!"
"Ya1 Mendengar panggilan itu aku berbalik. Tidak ada orang. Terlalu gelap untuk ditembus dengan
sorot mataku! 'Fang Fang. Dewiku! Di mana kamu" Aku mencarimu, merindukan kamu, Dinda!'
balas tegurku." Fang Fang tertawa renyah. Remasan tangannya pada lengan taruna Akabri itu dipererat. "Kamu ini
lucu sekali! Calon panglima perang kebingungan karena istrinya hilang!"
"Di mana kamu bersembunyi" Sebab tiba-tiba kamu muncul dalam gelap, langsung menjawilku
seperti ini tadi! Aduh, leganya hatiku! Istriku ketemu dalam keadaan utuh, selamat! Bau dupa
setanggi meliputi pertemuan kita! Bau dari saputangan gambar naga! Fang Fang, buah hatiku!
Kamu bersembunyi di mana"!"
"Di atas kuda-kuda! Ketika prajurit Kediri mulai menggapai istana, keputrian geger! Mereka
berjerit-jerit lari lintang pukang tidak karuan tujuannya! Aku ingat akan Puteri Dara Petak! Segera
kugaet tangannya, dan kutarik
keluar keputrian, ku seret pergi bersembunyi ke pondokan kita. Meski sudah bersembunyi di situ,
aku merasa masih tidak aman. Maka aku cari beberapa gulung stagen. dengan susah payah aku
bikin tali tangga dengan mengait-kan ujungnya pada kuda-kuda bubungan rumah kita. Stagen yang
panjang itu tiap sehasta kusimpulkan sehingga ketika ujung-ujungnya bisa mengait pada kayu
kuda-kuda, bisa dengan mudah aku memanjatnya. Simpul tali ku merupakan anak tangga. Puteri
Dara Petak kusuruh menirukan perbuatanku. Dan selamatlah kami bertengger di kuda-kuda.
Tangga stagen kutarik ke atas. Apa yang kurasa tidak aman benar juga. Sebab kemudian datang
prajurit Kediri yang ganas rakus menjarah rayah barang-barang kita yang berharga!" ucap Fang
7 Fang dengan nada kesal. "Kamu tidak usah kesal karena itu! Yang pokok dan yang paling berharga adalah dirimu! Selamat
lepas dari penjarahan! Dan lagi, aduh aku bangga sekali kepadamu! Kamu telah menyelamatkan
Puteri Dara Petak! Karena kamulah, maka laporanku kepada Raden Wijaya bisa agak lancar! Aku
bisa kembali ke Pulungan dengan membawa serta kamu dan Puteri Dara Petak! Huh! Aku gemes
terhadapmu! Aku bangga sekali terhadapmu!" ujar Pamoraga. Sambil berkata demikian, Pamoraga
menghadap kepada Fang Fang. Tangan Fang Fang yang memegang lengannya dilepaskan dan
taruna Akabri ku pun ganti mendekap Fang Fang dari depan! Dipeluk dengan gemes! Mereka masih
berada di depan kamar mandi yang pintunya tidak bisa rapat ditutup.
"E, e, e, e! Aku tidak sendirian!" ujar Fang Fang kemalu-maluan dalam dekapan Pamoraga. Tapi ia
tidak menolak atau menghindar.
"Aku tahu, kamu bersembunyi dengan Puteri Dara Petak! Tidak sendirian dalam bilik ini!" ucap
Pamoraga lebih bernafsu lagi dan mempererat dekapannya*ti
"Hiss! Bukan! Orang laki!" ! j "Lahl Lah! Lah! Kalau dibiarkan, ya! Masa kencing kok kunanya
setengah hari! Apa yang dikeluarkan air setempayan penuh" Apa-apaan ini! Sudah curiga saja
aku!" terdengar suara perempuan menegur! Nada cemburu.
Pamoraga melepaskan pelukannya mendadak dan ambil jarak. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia tidak
lagi di bilik pondokannya di Istana Singasari, melainkan di depan kamar mandi rumahnya di
Watukosek. Wajahnya merah padam, tampak menggetar ketakutan, merasa berbuat dosa ketahuan
orang lain! Fang Fang tidak seterkejut Pamoraga. Melepaskan diri pelahan, jari-jarinya masih sempat mencubit
lengan Pamoraga, tersenyum terus. Ujarnya, "Perbuatanmu sebagai suami kepadaku tak pernah
sempurna! Pikiranmu selalu terganggu oleh perempuan lain, sekalipun aku sudah merelakan diriku
sepasrah mungkin, Perwiraku yang gagah perkasa!"
"Ayo, Pamor! Fang Fang! Tunggu apa lagi! Kita sepakat mau berangkat ke Kediri sekarang juga!
Rombongan bergabung dan semua pergi. Mobil kita dapat dipakai sampai Kediri, bukan?"
"Asal kamu dampingi aku, tentu bisa, Wariwari!" ucap Pamoraga masih gemetar.
Fang Fang berjalan melenggang ke depan, melewati Wariwari. Ia tersenyum mencebll mendengar
rayuan Pamoraga terhadap Wariwari.
"Kok kamu tersenyum begitu, Fang"!"
"Jangan dituduh dia mencuri. Aku yang menawarkan.
Hampir saja aku jadi miliknya! Kalau saja kamu tidak keburu datang, mungkin aku bisa
mengumumkan pertunanganku dengan Mas Pamor. Peristiwa ulangan seperu hasil sayembara
menemukan saputangan gambar naga dulu! Aku juga menaruh cinta kepadanya. Cuma aku kuatir
berulang seperti dulu juga. Ada kamu di hatinya. Jadi perbuatannya kepadaku sebagai istrinya tidak
pernah sempurna!" Ia berkata sambil berjalan terus, tidak peduli didengar atau tidak oleh sasaran
bicaranya. Tapi sebenarnya Fang Fang berbicara itu lebih utama ditujukan kepada diri sendiri!
8 "Apa" Apa" Kemunculanku mengganggu kalian?" tanya Wariwari. Pertanyaan itu ditujukan kepada
Fang Fang dan Pamoraga, yang berdirinya sudah ditengahi oleh Wariwari.
Pamoraga segera merangkulnya, mengajaknya mengikuti langkah Fang Fang yang telah melintasi
mang tengah. "Mengganggu apa" Mengganggu laki-laki yang mengintip perempuan kencing" Ha, ha, hal Aku
taruna Akabri, Id Tidak melahap apa saja yang ditawarkan!"
Wariwari pun terseret ke suasana kendor. Ia sudah pandai melucu, "Tapi yang ditawarkan barusan
bukan sembarang tawaran, to! Selera tinggi! Hebat juga kamu tidak kebakaran nafsu!"
Keluar dari rumah dalam suasana riang dan bergandengan tangan demikian, Pamoraga dan
Wariwari melanjutkan keakrabannya sambil mempersiapkan keberangkatannya ke Kediri. Fang
Fang, gadis yang molek itu, sudah kembali duduk melekat pada Swandanu. Tanpa perjanjian
otot-ototan, mereka telah berjalan berpasangan tanpa banyak bicara. Semua mengerti, rela, ikhlas,
dan senang hati! 243 Ketika bersiap meninggalkan rumah Prawiradahana, mereka sudah berpasang-pasangan. Fusen
naik mobil Civic yang dikemudikan oleh pemiliknya, Yong Pin.
"Kita sejak dulu memang berpasangan! Aku dan kamu tak terpisahkan sejak zaman Singasari!"
gurau Fusen ketika masuk mobil, duduk di samping sopir.
"Lalu, kamu lepas tugasmu mengawal Fang Fang yang kamu kerjakan sejak dari Tuban" Kamulah
yang bertanggung jawab mengajak dia keluar dari rumahnya yang aman damai di tengah
keluarganya!" Yong Pin setengah memperingatkan.
"Ah! Tapi sekarang ia lebih hangat dikurung oleh keluarganya generasi abad ketiga belas Masehi!"
ucap Fusen masih saja dengan gaya berseloroh. "Lihat itu, ayahnya, ibunya, kekasihnya, sekarang
mengerumuni dia, ikut pada mobil Suzuki semua! Aku tidak kuatir ia terkena bahaya! Ketiga orang
itu tentu siap sedia membela sampai mati kalau ada bahaya yang menyerang Fang Fang. Namun
begitu, sebagai pengawal, sebaiknya kita berjalan di belakang mobil mereka. Dengan begitu kita
masih bisa mengamat-amatinya."
Yong Pin melaksanakan seperti apa anjuran sahabatnya.
"Aku heran. Mengapa kamu juga tertarik pergi ke Kediri" Sebenarnya kamu bisa pulang ke
Surabaya dengan mobilmu ini. Aku bisa ikut mobil Suzuki itu sekalian, duduk bertiga dengan Dokter
Mengki dan Doktor Aisun."
"Ah! Masa etis aku tinggalkan kamu terpenggal di tengah jalan. Kadung berangkat bersama, ya
pulang bersama. Sudah kuniati menemani kamu sampai di mana saja demi pengobatan Fang Fang.
Lagi pula aku tadi sudah bilang. Aku ingin melihat tempat kamu menemukan kepala
244 orang Tartar yang kena panah beracun itu! Nanti sampai di sana kamu harus menyempatkan diri
9 datang ke tempat itu." "Beres!" Mobil Suzuki Carry di depan dikemudikan oleh taruna Akabri Pamoraga. Di sampingnya duduk
Wariwari. Pamoraga tersenyum lebar ketika gadis berwajah hitam manis itu masuk menyusul lewat
pintu sebelah. Si Gadis ita tidak tersenyum, tidak ikut-ikutan tersenyum. Tapi mulutnya mengatup,
janggutnya membesar nggondok seperti katak jantan mau memanggil betinanya.
"Kok seperti CPM yang bertugas di Istana?" pengemudi menggoda.
"Biar! Biar cara mengemudimu tidak grusa-grusuV jawab Wariwari ketus, keras, menyentak.
"Ayahku bertambah yakin bahwa aku menuruti panggilannya tidak hanya sekadar datang dengan
gadis asal bawa saja. Ada alasanku yang maton untuk menolak gadis pilihannya. Beliau tidak bicara
soal apa kepentingannya memanggilku sekarang ini. Tadi ketika kuparniti mereka bertanya, kapan
ayah dan ibuku bisa melamar ke rumahmu," ujar Pamoraga sambil melepaskan mobilnya ke jalan
raya. "Tidak dapatkah kamu berangkat lebih cepat dan ada di depan mereka" Kamu orang yang
memimpin dan menjadi penunjuk jalan dalam penyerbuan ke Kerajaan Jayakatwang ini! Lihat mobil
merah itu pun memperlambat jalan dan memberi kesempatan! Mereka orang Tartar, tidak tahu di
mana Kediri! Lupakan saja bicara soal ayahmu itu. Sudah tidak zaman lagi membicarakan hal itu
pada perjalanan ini. Lakonnya sekarang pasukan Tartar menyerbu Kediri!"
"Baik, Nona Muda! Ibumu tidak akan suka melihat kamu duduk di sebelahku begini. Tidak apa. Aku
akan membuktikan diri sebagai calon menantu yang baikf.BJ "Kalau kamu bicara itu lagi, aku akan
turun segera dan tidak ikut perjalanan ke Kediri! Juga peristiwa masa lalu ketika aku tinggal di
rumah sini, tidak terlibat jadi saksi apa yang kalian perbuat di samping menggempur Istana
Jayakatwang. Aku tidak peduli amat. Kalau diulang lagi ditinggal di sini, ya aku mau saja! Memang
ada keinginanku sekali ini untuk ikut napak tilas dan membongkar borok terpendam dalam
rekonstruksi kejadian tujuh abad yang lalu! Tapi kalau kamu bicara tentang pertunanganmu yang
menyebalkan hati itu, biarlah aku tinggal di sini saja! Memang nasib istri Jawa, tinggal di dapur
saja!" "Wah, wah, wah! Kedengarannya hebat betul! Membongkar borok terpendam! Lalu kamu nanti akan
membuat putusan terakhir! Siapakah jodohmu untuk abad sekarang, setelah melihat borok di Kediri
nanti! Akur, deh\ Kamu mesti ikut ke Kediri, dan tidak tinggal menunggui rumah di Rabut Carat!"
Yang duduk di kursi tengah adalah Fang Fang dan Swandanu. Meskipun tempatnya masih longgar,
Fang Fang duduk mendesak mahasiswa UGM itu sehingga napasnya bisa saling terasakan, baik
lewat kembang kempisnya dada maupun hembusan lembut lewat lubang hidung. Mereka berbicara
perihal pertemuan mereka kembali setelah kelompok pasukan Raden Wijaya terlari-lari melewati
daerah Rabut Carat, dan Pamoraga datang membawa Fang Fang untuk dititipkan di rumah
Swandanu! "Hatiku bersorak waktu itu karena Kangmas Pamoraga memutuskan meninggalkan aku di
rumahmu. Untung aku 10 tidak disuruh melanjutkan mengikuti pelarian Raden
Wijaya. Tidak disuruh menemani Puteri Dara Petak," bisikf ^ bisik Fang Fang.
"Andai ikut pelarian Raden Wijaya, pasti akan sulit
sekali." "Ya, berat sekali. Aku bersama Kangmas Pamoraga dan Puteri Dara Petak bergabung dengan
pasukan Raden Wijaya di Telagapager. Belum sampai bernapas lega, pasukan Kediri sudah datang
dari selatan. Raden Wijaya menyuruh para prajurit melawan. Tapi karena kalah banyak, pasukan
Raden Wijaya terpaksa lari ke utara. Aku dan Puteri Dara Petak ikut tersandung-sandung lari
demikian. Musuh tidak mengejar. Tapi keesokan harinya terjadi pertempuran sengit. Perwira
Singasari, Gajah Pagon, terluka pada pahanya. Ia ditandu masuk ke hutan. Heran, kekuatan
pasukan Raden Wijaya begitu menurun hingga lebih banyak yang melarikan diri daripada meladeni
bertempur melawan pasukan Kediri."
"Berita tentang hancurnya jantung Kerajaan Singasari sungguh melemahkan semangat juang
pasukan Raden Wijaya," komentar Swandanu.
"Kami berjalan masuk hutan untuk menghindari pengejaran dan pertempuran terbuka. Puteri Dara
Petak dan Perwira Gajah Pagon didukung bergantian. Karena Puteri Dara Petak kelelahan maka ia
minta ditandu saja. Sedang Gajah Pagon didukung belakang secara bergantian. Aku tidak mau,
karena merasa bisa berjalan sendiri. Sampai di Pandaan, kami diberi makan, oleh Buyut Pandaan
bernama Macan Kuping. Perwira Gajah Pagon terpaksa ditinggalkan di sana, disembunyikan pada
sebuah gubuk di tengah ladang."
"Kamu dan Puteri Dara Petak tetap mengikuti induk pasukan?"
"Di Kedungpeluk terjadi pertempuran lagi. Pasukan Raden Wijaya berhasil menghindar dan lari
menuju ke barat, sampai di Kepulungan. Orang tua Kakanda Pamoraga yang tinggal di situ
mengisahkan bahwa di situ tidak aman untuk prajurit Singasari. Selam pasukan resmi pengejar dari
Kediri, desa itu sudah beberapa waktu dikuasai oleh kaum pemberontak, orang dari Kediri, Kini
mereka telah bergabung dengan pasukan dari Kediri. Karena keterangan ini, maka pasukan Raden
Wijaya melanjutkan perjalanan menuju Rabut Carat. Aku urung ditinggalkan di rumah mertua di
Kepulungan." "Ya. Aku ingat kedatangan Raden Wijaya dan rombongannya. Puteri Dara Petak ditandu pada
sebuah kursi." . .."Di Rabut Carat juga terjadi pertempuran. Pasukan Kediri datang dari barat. Dari jauh bendera
mereka sudah tampak berkibar. Melihat kibaran bendera Kediri itu, Perwira Ardaraja yang selalu
bahu-membahu berjuang bersama Raden Wijaya, tiba-tiba mohon pamit untuk meninggalkan induk
pasukan, dan lari kembali ke Kepulungan," ganti Swandanu berkisah. Karena dalam pertempuran
itu ia ikut bersaksi. "Ardaraja, bukankah dia putra Jayakatwang raja di Kediri yang membunuh Baginda Kertanegara?"
"Ya. Ia menggabung pasukan Kediri di Kepulungan." "Dan aku diserahkan kepadamu untuk
11 dilindungi dari marabahaya."
"Sayang, saputanganmu tidak kauminta untuk ditinggalkan. Andaikata ditinggalkan kamu sudah
tidak gelisah lagi! Kita bisa hidup aman dan tenterami"
248 "Kangmas Pamoraga bukan orang bodoh. Saputangan
itu akan tetap dibawanya sebagai belenggu untukku! Ia
juga sudah termakan oleh saranku, bahwa selama ia menyimpan saputangan itu, jiwanya akan
selamat, dan akan bisa bertemu dengan aku lagi!"
"Dalam pergaulan asyik-masyuk denganmu selama ditinggal oleh Pamoraga yang setia mengikuti
perjalanan Raden Wijaya, aku jadi paham bahwa untuk memperoleh cintamu yang sejati, kita harus
memiliki saputangan gambar naga itu. Mutlak! Maka sejak saat itu aku berjanji dalam hati untuk
berusaha mengembalikan saputangan itu ke tanganmu! Akan kuminta baik-baik kepada Pamoraga
agar saputangan itu diberikan kepadamu."
"Kalau tidak boleh?"
"Untuk dia tidak ada kepentingannya, tetapi untukmu bisa memberikan ketenteraman!"
"Mungkin kalau yang minta kamu, ada persyaratan yang harus kamu penuhi!"
"Persyaratan apa pun akan kupenuhi!"
"Bagaimana kalau Mbak Wariwari diminta" Kangmas Pamoraga jatuh cinta sama Mbak Wariwari!
Begitu rupa sehingga pergaulannya denganku bersuami istri tidak bisa menjadi laki-laki yang
sempurna!" "Ah! Kamu baru berkata sekarang!"
'Tidak! Kangmas sudah tahu! Itulah yang membuat aku gemes sama kamu. Waktu ditinggalkan oleh
Kangmas Pamoraga mengikuti Raden Wijaya, kamu masih suka mencubit pipiku, dan segera
kuketahui bahwa kamu laki
"Ah, kamu!" "Bagaimana" Boleh Mbak Wariwari diminta, dan ditukar dengan saputangan itu?"
"Boleh! Silakan! Demi cinta kita! Cintamu yang sejati. Kka bisa hidup aman dan tenteram hingga
akhir zaman!" "Tapi terlambat sudah!" "Mengapa?"
"Habis, kamu tidak serius memperebutkan saputangan gambar naga itu bagiku. Katamu mau
menghubungi Kangmas Pamoraga yang menjadi orang kepercayaan Raden Wijaya. Kamu sudah
berangkat ke Hutan Terik tempat Raden wijaya membangun desa penghunian, tapi sampai begitu
jauh tidak ada kabar beritanya! Tahu-tahu kamu sudah menjadi prajurit cadangan ketika geger
12 pasukan Tartar menyerbu Ibukota Kerajaan Kediri!" kilah Fang Fang.
"Aku sudah berusaha, Puteri! Tetapi tidak mudah menemui Panglima Pamoraga! Sulit orang awam
seperti aku ini menemui orang berpangkat seperti dia! Ia sedang sibuk mengatur barisan
perlawanan terpendam terhadap kekuatan pasukan Kediri. Ia diberi tanggung jawab sepenuhnya
oleh Raden Wijaya untuk membentuk pasukan gabungan dari sisa-sisa prajurit Singasari yang
berceceran di segala tempat dengan orang-orang dari Madura, balabantuan dari Adipati Wiraraja.
Tempatnya tidak tetap, sehari di Hutan Terik melapor kepada Raden Wijaya, keesokan harinya
sudah berada di Ujunggaluh untuk membentuk pasukan di sana. Tentu saja aku tidak bisa bergerak
cepat mengikuti gerak Pamoraga yang dirahasiakan itu! Tidak sempat aku bertemu dia dan
mengutarakan maksud kita, minta kepadanya supaya saputangan gambar naga itu diberikan
kepadamu! Kesempatan bertemu dengan dia adalah kalau aku masuk sukarelawan menjadi tentara
bentukan baru. Sebab, kupikir pada suatu waktu yang singkat, Panglima Pamoraga tentulah melihat persiapan
pasukan bantuan baru ini. Maksudku pada waktu itulah aku menemui dia! Untuk menjadi pasukan
tetap, tidak bisa, karena aku bukan mantan prajurit Singasari! Tetapi nasib kurang mujur sedang
melanda diriku. Pasukan cadangan yang kumasuki tidak dilatih di Hutan Terik yang sudah terbentuk
desa dengan nama Majapahit, tetapi dikirim ke suatu hutan tersembunyi di tikungan Kali Brantas
yang jauh lebih ke hikr, yaij
"Yah, nasib kita waktu itu memang begitu! Belum jodoh! Aku tidak bisa bersatu dengan kamu dan
saputangan itu! Terlambat" Keburu datangnya pasukan Tartar yang mendarat di Kali Pacekan,
Ujunggaluh, dan terjadi pertempuran di Kediri!" , <
"Fang Fang, Dewiku! Sebetulnya kka belum terlambat!"
"Belum" Bagaimana" Kita sudah terkubur bersama, tetapi tidak mendapat ketenteraman jiwa
karena saputangan gambar naga itu tidak berada pada kita! Kita mau apa lagi?"
"Terlambat untuk masa lalu, generasi zaman runtuhm Kerajaan Kediri! Tetapi tidak generasi
pembangunan I donesia memasuki pelita kelima ini! Buktinya sekara kita bisa ketemu lagi, duduk
bersanding dan bicara mes begini tanpa diganggu gugat. Kita bisa melangsungk keakraban dan
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketenteraman bercinta ini untuk seterusnya sampai akhir zaman."
25) "Tanpa saputangan gambar naga lagi" Tidak mungkin, Mas Danu! Kalau memang mau mencapai
kekekalan bercinta, kita harus berusaha menemukan saputangan gambar naga itu! Mutlak!"
"Masih ada kesempatan! Harus kita temukan, saputangan itu akan kamu genggam sebelum kita
sampai pada akhir perjalanan! Aku nanti mau bicara dengan Pamoraga! Akan kuminta saputangan
gambar naga itu padanya! Kamu yakin bahwa dia masih menyimpannya baik-baik?"
Fang Fang mengangguk. "Biar pun pergi bertempur dan menjelajah medan perang, Kangmas
Pamoraga selalu menyimpan saputangan gambar naga ku. Saputangan itu tersembunyi dalam
koceknya diikat pinggangnya sebelah kiri. Ia bukan Papa! Kalau Papa memang sembrono!
Saputangan jimat bisa tercecer di dangau tepi Kali Pacekan!"
Swandanu mengangkat muka. Ia sadar bahwa ia berada di dekat Pamoraga. Tidak berduaan saja
dengan Fang Fang. Sekilas ia maki, begitu asyik bicara enak saja dengan gadis keturunan Cina
13 yang baik tubuhnya, wajahnya, dan cara bergaulnya yang begitu menggiurkan seorang laki-laki!
xMalu karena tingkah perbuatan Swandanu terhanyut pada lagu gandrung pada perempuan di
sebelahnya sehingga mengabaikan lingkungan' Tenggelam dalam asyik-masyuk, kehilangan tata
krama, dan tidak menghargai manusia lain seputarnya! Tapi cuma sekilas. Sebab berikutnya ia pun
sadar bahwa manusia lain seputarnya juga merupakan kehadiran Swandanu dengan Fang Fang!
Dan segala perbuatannya terhadap Fang Fang tidak ketahuan oleh yang lain, segala bicara yang
saling diucapkan tidak terdengar oleh rang last. Swandanu pun mengulurkan tangan untuk
nenggamk bahu Pamoraga yang sedang mengemudikan
mobil, bermaksud menanyakan perihal saputangan gambar
naga. "Pamor! Apakah saputangan Fang Fang masih kamu simpan7 Masih kamu gembol di pinggangmu"
Kamu kan tidak perlu lagi! Berikanlah kepada Fang Fang sekarang!" ucap Swandanu.
Belum! Belum terucapkan! Tangan yang telah melayang ditangkap tangan halus berjari-jari lentik,
berkulit kuning langsat. Tangan Fang Fang.
"Jangan, Mas! Jangan mengganggu! Mereka sedang memadu cinta!"
Swandanu menoleh ke kanan, menatap wajah yang tersenyum lembut dengan sapuan pandang
mata yang mengajak damai. "Nanti saja, kalau kka bisa berhadapan!"
Tertunda. Swandanu setuju! Menoleh ke kanan, di belakang wajah ayu itu, di luar mobil, tampak
terminal bus Mojokerto. Mobil pun berbelok ke kiri Jalan menjadi lebih luas, kecepatan ditambah!
Ketika melewati Trowulan, Doktor Aisun berseru, "Bukankah di sini Raden Wijaya kemudian
mendirikan pusat kerajaan" Di sini sebagian pasukan Tartar yang pulang kelelahan dari Kediri
dijebak dan dibantai Tidak adakah di antara kalian yang bisa bercerita tentang itu?"
Tapi pertanyaan itu juga tertunda jawabnya. Tidak ada yang mendengar. Deru mesin menggerang
keras. Dan kendaraannya lari bagaikan diuber setan!
Jok Suzuki Super Carry bagian belakang ditempati pasangan Dokter Mengki dan Doktor Aisun.
Kedua pasangan tua itu juga tidak berdiam diri: Mereka asyik bicara tentang masa muda. Mereka
seperti sama-sama pulang berlayar, membawa hati yang kecewa. Sebenarnya mereka
sudah kecewa sejak dari keberangkatannya! Mengapa Mengki'i harus jadi utusan Kubilai Khan"
Mengapa Mengki'i harus pergi berlayar" Karena dengan begitu, harus pisah dengan keluarganya!
Itu tidak mungkin! Menurut firasat Aisun Sang Istri, kalau mereka berpisah tentulah akan berpisah
selamanya! Mengki'i tercinta tidak akan kembali! Pulang cuma nama saja! Maka setelah babak
belur adu argumentasi, Aisun menang atau Mengki'i yang mengalah. Aisun dan gadisnya Fang
Fang naik ke kapal, ikut serta melawat ke Singasari! Dan pulang berlayar dengan hati kecewa!
Muhibah dutanya tidak berhasil, daun telinga kiri diperung orang, dan yang paling melukai hati,
Fang Fang tidak terbawa pulang! Tenggelam di Bengawan Brantas!
"Tahu kamu, siapa yang paling kecewa ketika kami tiba di Fukien kembali tanpa membawa serta
Fang Fang dan saputangan, itu?" tanya Doktor Aisun.
14 Mobil mereka sudah melewati stasiun kereta api Jombang. "Kita semua kecewa! Aku, kamu, Kubilai
Khan! Misi kita memang gagal! Tapi yang paling salah memang Kaisar Kubilai Khan! Mengapa
begitu rakus! Mengapa ingin menaklukkan Singasari! Kalau keinginannya tak sampai, tentulah
kecewa!" "Memang begitu! Siapa yang terlalu banyak keinginan, merekalah yang paling sering kecewa
karena banyak keinginannya tidak terpenuhi. Tetapi mereka yang banyak keinginan tentulah paling
banyak memperoleh hasil! Yang mau kubicarakan bukan soal kegagalan misi. Anu, Adik Hwee! Ia
begitu menyesal, gedrag-gedrug menggebrakkan kakinya ke lantai ketika diketahui saputangan
gambar naga jitu] tidak terbawa kembali ke tengah-tengah keluarga di Fukien"
254 "Apa" Saputangan itu lagi?"
"Ia sudah terpengaruh omonganku! Seperti halnya Fang Fang. Saputangan gambar naga itu
pengayom keluarga! Jangan dihilangkan! Kalau bisa jangan dikeluarkan dari
rumah warisan nenek moyang kita! Kalau saputangan itu berada di rumah maka harta peninggalan
nenek moyang kita, rumah besar, halaman, ladang dan kebun kita, akan tetap menjadi milik
keluarga dengan selamat!" gj i r "Kepercayaan takhayul ditonjol-tonjolkan!"
"Buktinya nyata. Kamu lalai mencecerkan saputangan itu dan misimu tidak berhasil!"
"Itu sudah bisa kami perkirakan. Aku menilik kedua utusan yang berangkat terdahulu, sembilan dan
tujuh tahun sebelumku, juga mengalami kegagalan."
"Ya. Tapi mereka tidak disertai pemangkasan daun telinga! Untung Fang Fang segera mengibarkan
saputangan itu ketika daun telingamu sedang dipangkas! Kalau tidak, anggota badanmu yang lain
dipotong sekalian!" "Hei! Sampai di mana kita?" seru Dokter Mengki menengok ke luar.
"Lepas Kota Jombang!" jawab sopk.
"Sudah jam dua belas! Cari warung, kita perlu mengisi perut!"
"Warung pojok sebelah kanan .jalan itu! Hidangannya boleh juga," kata Swandanu. i
Si Sopir Pamoraga mengerti. Ke situlah mobil dibelokkan dan parkir. Honda Civic merah yang
membuntuti tidak kurang waspada. Ia mengikuti dengan patuh.
Mereka duduk di seputar dua meja yang disatukan, yang tiap sisinya diduduki sepasang laki-laki
perempuan, kecuali pada sisi Fusen dan Yong Pin. Sementara pesanan makanan belum
dihidangkan, Doktor Aisun bercerita tentang kembalinya pasukan Tartar dari Kediri ke Ujunggaluh
yang mendapat perlawanan tersembunyi dari laskar Raden wijaya. Tentu saja kisah itu berdasarkan
hasil studi yang dipelajarinya.
Tadi di Trowulan aku tanya, tidak adakah di antara kalian yang bisa bercerita tentang kembalinya
pasukan Tartar dari Kediri" Tapi tidak ada yang menjawab. Bagaimana Pak Taruna Akabri?" tanya
15 Doktor Aisun. "Bukankah Tuan yang mewakili Raden Wijaya memimpin pasukan Tartar menuju
Kediri?" Pamoraga tidak menjawab dengan ucapan, cuma geleng kepala.
"Dan Swandanu" Kamu juga berjuang di pihak Raden Wijaya."
"Saya hanya pasukan cadangan! Sebelum pasukan Tartar berangkat dari Ujunggaluh, pasukan sisa
prajurit Singasari dibawa ke barat lagi dari tempat ini, di tikungan Kali Brantas. Di situ kami dilatih
berkelahi!" "Jadi tidak tahu bagaimana pasukan Tartar yang letih lelah pulang dari Kediri digempur pasukan
tersembunyi Raden Wijaya" Mestinya kamu tkv0*'
"Saya melihat mereka ketika melintas di dekat kami berlatih. Waktu itu debu berhamburan karena
tanah begitu kering dan berdebu, dilalui beratus-ratus kuda orang Tartar. Sebagian besar terpaksa
menutup hidungnya dengan saputangan. Namun begitu, saya melihat kembaran Tuan Puteri Fang
Fang ikut berjalan bersama panglima bangsa
Tartar. Mereka naik kuda beriringan, bahkan juga bersama
Pamoraga!" "Kok kembarannya?" Pamoraga terheran-heran.
"Sebab ia mengenakan pakaian prajurit Tartar seperti yang kulihat pertama kali dulu! Sedangkan
Puteri Fang Fang yang terakhir kutinggalkan di rumah Rabut Carat sudah berpakaian Jawa. Jadi
sepintas lalu kusangka putri yang berkuda beriringan dengan panglima pasukan Tartar itu
kembaran Fang Fang yang di ramahku! Apa lagi mereka hanya lewat saja, kulihat dari jauh. Karena
ku menyapamu pun tidak bisa! Tapi aku ingat, waktu itu aku perlu berbicara denganmu! Aku coba
mendekati kamu. Tapi sebelum sampai di dekatmu, aku sudah dipukul oleh salah seorang prajurit
Tartar. Begitu kerasnya pukulan mereka hingga aku tidak ingat diri lagi."
"Kalau aku ikut dalam pasukan Tartar, berarti waktu itu kami sedang berangkat untuk menyergap
Raja Jayakatwang di Kediri!" penjelasan Pamoraga.
"Ya, itu kan waktu berangkat menyerbu. Yang kutanyakan waktu pulangnya, waktu pasukan Tartar
terpaksa berperang sepanjang jalan dari Kediri sampai di kapalnya di Kali Pacekan! Berperang
melawan pasukan Raden Wijaya yang sebelumnya adalah mitra pasukan Tartar menggempur
Kediri!" ujar Doktor Aisun.
"Oh, ya. Apa yang harus kubicarakan kepadamu waktu itu, ya" Sungguh mendesak sekali! Ah, ya!
Saputangan gambar naga! Masih adakah padamu, saputangan milik Fang Fang?" Swandanu masih
terpancang pada kisahnya sendiri!
"Pada waktu itu";Ada! Kusimpan dalam kocekku yang kutambatkan pada perutku. Saputangan itu
kuletakkan di pinggangku sebelah kiri depan. Di sini," ujar Pamoraga sambil berdiri dan menunjukkan tempatnya.
16 "Sekarang" Sekarang, masihkah kamu simpan?" "Apa" Saputangan itu" Gila! Ya terang tidak ada!
Kejadian itu tujuh ratus tahun yang lalu! Sekarang di mana, masa aku bisa tahu?"
"Fang Fang! Saputangan itu sekarang sudah tidak ada lagi padanya!" ujar Swandanu sambil
menggenggam erat tangan Fang Fang. "Katamu Pamoraga selalu membawanya meskipun di
medan perang!" Ifets "Ya. Memang aku selalu membawanya! Juga waktu memimpin pasukan Tartar untuk
menunjukkan jalan ke Kota Kediri. Pada waktu melewati .tikungan Kali Brantas dan mungkin
melewati kamu juga, saputangan itu masih dalam kocekku!"
"Fang Fang! Kita harus berjuang lagi mencari dan mendapatkannya! Harus! Sebelum akhir
perjalanan ini, kita harus temukan, hams tergenggam olehmu! Tanpa saputangan itu, kita tidak akan
tenteram dalam peraduan abadi!" suara Swandanu bergetar karena desakan emosinya yang
meluap-luap. "Ya, Mas Danu! Aku akan membantumu!" "Kka harus berjuang bersama-sama mencarinya,
menapak tilas, sampai perjalanan akhir! Jangan pisah lagi denganku! Pamor! Ingatkah kamu, di
mana saputangan itu akhirnya hilang dari padamu?" suara Swandanu tetap gementar.
Pamoraga mengheningkan cipta, memejamkan matanya, pikkannya dibulatkan untuk mengingat
bayang-bayang kejadian yang pernah hinggap di kepalanya. Tidak ingat! Ia menggeleng dan
menjawab dengan sedih. 'Tidak.
Aku tidak dapat mengingatnya! Maafkan, Swandanu! Fang
Fang!" Geraham Swandanu bergemeretak!
"Swandanu! Sabarlah! Kita semua sedang merunut perjalananmu ke Kediri^ lipur Doktor Aisun.
Kepada yang ktia ia bertanya, "Jadi tidak ada di antara kalian yang mengetahui peristiwa
kembalinya pasukan Tartar ke Ujunggaluh" Bagaimana pengalaman di balik angan kalian" Apa
tidak ada yang ikut pasukan Tartar" Aku ingin menimba pengalaman dari pelaku-pelakunya. Fusen
dan Yong Pin, bukankah kamu ikut kembali berlayar ke Singasari setelah selamat mengantarkan
Duta Mengki'i ke FukienjHsi.
"Ya, Nyonya! Bahkan kami yang menganjurkan agar perahu dan kapal dilabuhkan di muara Kali
Pacekan! Sebab pengalaman dengan Tuan Puteri Fang Fang ketika menemukan saputangan di
suatu dangau, tempat itu dekat dengan laut. Kalau kami ingin ke Singasari, lebih baik berlabuh di
situ, bisa mengirit perjalanan darat antara Tuban dan Ujunggaluh."
"Tidakkah kalian ikut menyerbu ke Kediri?"
"Ikut juga. Aku dan Yong Pin ikut pasukan Panglima Kau Hsing."
"Jadi waktu pulang dari Kediri kalian ikut mengalami serangan bersembunyi dari laskar Raden
Wijaya?" "Tidak. Kami tidak ingat itu!"
17 "Aku selalu dekat dengan Raden Wijaya. Aku sedang bersama Panglima Kau Hsing ketika
mengejar seorang pangeran Kediri yang lolos dari pengepungan pasukan Tartar. Tetapi kami tidak
ikut menyerbu pasukan Tartar yang pulang dari Kediri," penjelasan Pamoraga.
"Sayang sekali. Kalau begitu tidak ada seorang pun yang hidup di antara kalian setelah Kediri jatuh.
Apa ini karena hebatnya perang yang melibatkan permusuhan berbagai pihak sehingga kalian
secara kebetulan tidak bisa ikut mengalami kembalinya tentara Tartar ke Ujunggaluh. Atau ada
sesuatu yang membuat rentetan jiwa kalian melayang pada kurun waktu penyerbuan Ibukota
Kerajaan Kediri," ucap Doktor Aisun. Wajahnya berkerinyut, namun sinar matanya berbinar, seirama
dengan getar suaranya yang kian menanjak. Ia ingin menunjukkan bahwa di bidang studi arkeologi
itu ada segi-segi yang menarik untuk dipaparkan.
"Maksud Nyonya, pada kasus kedua itu ada seseorang yang sengaja membunuh kami berempat
dengan maksud-maksud tersembunyi?" tanya Yong Pin merasa ngeri. "Fusen, aku, Mas Pamoraga
dan Mas Swandanu. 'Berlima! Fusen, Yong Pin, Mas Pamor, Mas Danu dan aku! Berlima dengan aku! Karena aku ikut
serta pula dalam pasukan gabungan Raden Wijaya-Tartar ketika menyerbu Kediri. Tetapi aku tidak
tahu lagi akhir cerita! Serangkaian pembunuhan yang mengakibatkan korban lima orang! Dan
kelima orang korban itu sekarang berkumpul di sini!" sahut Fang Fang sambil langsung mencicipi air
es yang sedang dihidangkan.
"Ini menarik sekali. Sekarang keinginan pergi ke Kediri ini atas usul kalian sendiri, karena kalian
merasa kejadian dan pengalaman di Kediri itu sangat penting. Karena itu kalian sepakat pergi
bersama-sama ke sana. Kita belum tahu kejadian apa yang penting itu. Tapi sampai di sini kka
sudah mengetahui atau memperkirakan. Kejadian yang penting itu adalah kematian kalian itu.
Kalian,ikut mengalami penyerbuan ke Kediri, baik di pihak Raden Wijaya maupun pasukan Tartar.
Tetapi kalian tidak mengalami kejadian perangnya pasukan Tartar dengan Raden Wijaya! Di mana
dan mengapa kalian waktu itu?" Doktor Aisua tambah kuat saja bicaranya, bahkan dibantu
berdkfcjdari duduknya. Ia memang seorang dosen yang baik, di mana-mana bila sempat selalu
memberi kuliah, memaparkan ilmu pengetahuan miliknya kepada siapa saja yang tercekam
mendengarkannya. Seperti halnya di Warung Pojok luar kota barat Kota Jombang itu!
"Aku ingin ke Kediri karena kami merasa telah berbuat tolol bersama! Aku ingin mempelajari dan
memperbaiki nasib, jangan seperti yang terjadi pada masa itu! Aku ingin melihat tempat itu!" ujar
Fang Fang. "Dan jangan lupa, kita masih hams berjuang menemukan saputangan itu!" timpal Swandanu.
"Apa di antara kalian tidak ada yang lempar balam sembunyi batu. Kalian mengintip-intip,
memata-matai seseorang, ingin berebut barangnya dan kemudian bahkan membunuh empat di
antara orang lima yang terlibat ini, tapi sekarang tidak mau mengakui perbuatan itu dalam forum
ini?" tanya Doktor Aisun.
"Tentu bukan aku! Aku tidak menginginkan barang apa pun milik ternan-ternan ini! Jadi untuk apa
aku memata-matai atau mengintip dan akhirnya membunuh mereka" Kalau mereka terbunuh oleh
tanganku, tentulah itu bukan karena aku ingin memiliki barangnya, melainkan ia atau mereka
berada di pihak yang sedang kumusuhi! Di pihak Kediri!" ujar Pamoraga dengan tegas.
18 "Aku pun tidak berkepentingan dengan barang apa pun milik teman-teman ini. Aku datang ke Jawa
karena disuruh menemani Duta Mengki'i, dan balik berlayar ke sini lagi karena harus menaklukkan seorang
raja di Jawa. Boleh dikatakan aku menjadi penunjuk jalan karena aku punya pengalaman pertama.
Semuanya kulaksanakan dengan baik. Tidak ada niatku secuil pun untuk memiliki barang
teman-teman yang sekarang ada di sekitar meja makan ini! Waktu itu pasukan Raden Wijaya
adalah mitra perang kami!" ujar Yong Pin.
"Semua orang punya alasan kuat untuk menghindar jadi pembunuh. Terhitung si pembunuh. Oleh
karena itu, tidak usah tiap orang besar mulut mengemukakan alasan itu. Alasan sesungguhnya
tetap akan terkuak, sekalipun dimtup-mmpi dengan rapat," Dokter Mengki ikut bicara. "Baiklah
sekarang marilah kita bersantap. Tidak usah mencurigai seseorang. Nanti kita mencoba
mengungkap misteri itu sambil melihat tempat-tempat yang kalian anggap penting." BtUBL
Sementara makan, Fusen berbisik kepada sahabatnya. "Soal mengintai dan memata-matai, dalam
bertugas di pasukan Tartar, aku selalu memata-matai gerak-gerik orang-orang dari Singasari!
Termasuk Tuanku Pamoraga, yang selalu dekat dengan Panglima Kau Hsing! Itu perintah panglima
kita! Tidak boleh percaya sepenuhnya kepada orang Singasari! Kka yang krocuk mengamati,
sekalipun panglima kita tampaknya percaya penuh. Aku sudah melapor berbisik kepada Panglima
Kau Hsing, bahwa jalan yang kita tempuh bukan menuju ke Singasari, yang terletak di antara
puncak gunung di kaki langit yang terlihat dari bekas dangau tempat saputangan gambar naga
ditemukan. Tujuan kita sudah melenceng ke kanan!"
"Apa perintah Panglima Kau Hsing?" tanya Yong Pin.
"Itu tadi. Aku disuruh mengamat-amati gerak-gerik Tuanku Pamoraga!"
"Makanya aku kena murka. Aku justru menjamin bahwa Tuanku Pamoraga dapat dipercaya! Aku
merasa sudah kenal tabiatnya ketika mengantar kita berdelapan dari Singasari!" kata Yong Pin.
"Dan kka berdua bukankah sudah sepakat untuk memata-matai istri Tuanku Pamoraga, yang waktu
diperkenalkan sedang mengenakan pakaian Singasari dan berbicara dalam dua bahasa, menjadi
penerjemah. Bahasa kita diucapkan dengan fasih seperti ucapan para bangsawan Fukien! Dan
setelah perjalanan jauh dimulai, beliau terpaksa naik kuda, lalu dipersilakan mengenakan pakaian
prajurit Tartar. Kita langsung sepakat bahwa beliau Tuan Puteri Fang Fang! Jadi beliau tidak hilang
terbenam di dasar Bengawan Brantas!" !
"Ya! Kian lama kita intip dan perhatikan* tambah yakinlah kita bahwa beliau memang Tuan Puteri
Fang Fang!" "Maka di pertengahan perjalanan, timbul niatku untuk muncul di hadapannya, apa betul beliau
Puteri Fang Fang! Kalau kenal dengan aku, ya beliau memang Puteri Fang Fang! Tetapi ternyata
kesempatan mendekati beliau sukL Selain hanya para perwira saja yang diperkenankan berjalan
dekat Panglima Kau Hsing dengan mitra perangnya, penjagaan di sekitar Puteri itu dijaga ketat,
baik oleh pasukan Tartar maupun prajurit Singasari! Apakah perbuatanku selama perjalanan ke
Kediri dan hingga runtuhnya Kerajaan Kediri itu termasuk yang disebut-sebut oleh Doktor Aisun"
Aku ingin mengintip-intip dan memata-matai seseorang?"
"Dan apakah kita ini terlibat dalam pembunuhan" Intip-mengintip itu bukankah lain dengan
19 membunuh?" keluh Yong Pin.
"Bahwa terlibat dalam pembunuhan, itu mungkin saja! Sebab pada waktu itu memang banyak orang
asing, mitra tapi asing, dan bangsa sendiri yang meluap dendam kesumatnya, karena serakah ingin
memiliki barang kita?" Fusen umbar suara.
Sedangkan Swandanu berbisik di telinga Fang Fang yang duduk di sampingnya. "Aku memang
ingin merebut saputangan gambar naga yang dibawa Pamoraga. Aku telah bersumpah begitu untuk
kuberikan kepadamu, dengan cara baik-baik maupun mencuri, memaksa, atau tukar barang mahal!"
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memaksa kamu terang tidak berani. Kedudukan Kangmas Pamoraga waktu itu tinggi! Mas Danu
sulit untuk mendekati!"
"Tetapi ketika aku melihat dia lewat di tempat penampunganku, tempatku berlatih, aku bersumpah
lagi, aku harus memperoleh saputangan gambar naga itu! Lebih cepat lebih baik! Oleh karena tekad
itu, maka setelah siuman, aku langsung mengejar pasukan berkuda Tartar menuju Kediri. Tapi aku
berjalan kaki! Di kejauhan tampak debu berhambur di sela-sela pohon besar di hutan! Apakah
keinginanku merebut saputangan gambar naga itu termasuk tindakan pembunuhan seperti yang
disinggung Doktor Aisun?"
Fang Fang angkat bahu tanda tak tahu jawabannya. Lalu ia mengiraikan rambut di dahinya seperti
hendak membuang pikiran yang sedang berkecamuk di antara mereka' "Ah! Kita terlalu terpancang
pada gagasan Doktor 264 Aisun! Pembunuhan! Pembunuhan berangkai'.! Sungguh mengerikan! Tapi itu gagasan yang kejami
Kita mungkin tewas bersama atau seorang demi seorang, itu sudah tragedi yang mengerikan!
Apalagi kini para korban berkumpul di sini! Rasa ngeri itu bisa membangat karena kita berkumpul!
Tapi harus diingat bahwa waktu itu kita memang sedang berperang! Yang menjadi korban dan
tewas banyak, lebih banyak dari orang di restoran ini. Tapi jumlah yang hidup dan selamat pulang
ke keluarganya jauh lebih banyak lagi! Jadi tewas dalam peperangan dengan korban tewas begitu
banyak, merupakan hal biasa dan tidak mustahil. Wong kita berperang! Dan tidak mustahil bahkan
sangat mungkin, kita juga korban peperangan itu! Bagiku, jika tewasnya kita ini dicurigai sebagai
korban pembunuhan berangkai, kecurigaan itu sungguh keji! Aku tidak menolak kemungkinan itu,
tetapi kecurigaan itu sangat keji! Karenanya jangan dipikirkan lagi hal itu! Buang pikiran bahwa kita
tewas karena pembunuhan berangkai! Membebani pikiran saja! Lebih baik kita akui bahwa kita
tewas karena ketololan kita sendiri, atau gugur akibat peperangan! Dengan begitu kita terbebas dari
rasa curiga terhadap teman sendiri atau terbebani untuk mencari pembunuhnya! Kita akan diberati
lagi dengan rasa dosa kalau dalam pencarian nanti terbukti bahwa kitalah pembunuhnya! Buang
saja gagasan itu, buang saja kecurigaan itu! Mari lebih mencurahkan pemburuan kita, mendapatkan
saputangan gambar na sebelum alchir perjalanan ini!"
Swandanu mendengarkan bisik panjang Gadis Tul dengan penuh kekaguman dan kemesraan.
Fang F bagaikan bernyanyi untuk dirinya. Gerak bibirnya menghasilkan tekanan ucapan yang
menotok langsung irama denyut jantungnya, disertai bau mulut yang berbau wangi, sungguh menakjubkan. Sementara
berucap manis begitu, perawan ayu itu mempermainkan jari jemari Swandanu di bawah meja.
permainan yang khusus untuknya! Ah, betapa bahagia dan terharunya kalau yang begini terus
20 abadi! Swandanu menghempaskan napas keharuan, dan menyambut bisik panjang itu dengan
senyum gandrung seorang jejaka.
"Betul katamu! Saputangan itulah sasaran kita saat ini! Hams kka temukan! Itu yang kita buru dan
kita lacak. Aku ingat bahwa hampir di akhir perjalanan kita, saputangan itu sudah kamu
genggam'Jadi itulah yang harus kita usahakan' Pada saat terakhir itu, setelah saputangan berada di
genggamanmu, jangan kita lemparkan kepada orang lain, tetapi sembunyikanlah di dadamu, di
antara payudaramu!" "Aku berjanji tidak akan berbuat tolol lagi! Waktu itu kita terkejut! Geragapan! Karena terserang
bahaya, atau menemui musibah yang mendadak!"
Dalam bersantap, Doktor Aisun tidak berhenti memberikan kuliah. Ia tidak sakit hati bila
omongannya didengarkan atau tidak oleh kawan seputarnya. "Sebenarnya aku ingin kalian
masing-masing menceritakan pengalaman yang membayangi hidup kalian masa kini. Seperti halnya
Swandanu yang menceritakan penyeberangan rombongan Mengki'i di Rabut Carat tadi. Sudah jelas
bahwa kalian sama-sama terlibat kehidupan tujuh ratus tahun yang lalu. Dan pengalaman kalian ku
tidak terdapat pada buku studi sejarah yang pernah ditulis orang. Belum pernah kupelajari.
Bagaimana" Bisakah kalian nanti seterusnya berkisah sambil napak tilas sampai di tempat
kejadian?" tanya akhir Doktor Aisun.
266 "Baik! Dimulai dari aku," ujar Pamoraga, Si Taruna AKABRI. "Senang sekali menceritakan riwayat
diri sendiri. Aku mungkin memang seorang prajurit profesional. Dulu saat menjadi prajurit aku
sempat mempertunjukkan segala keterampilanku bertempur, memecahkan segala penyerangan di
lapangan, dan mengatur siasat di medan perang. Sekarang AKABRI menjadi pilihanku."
"Yang dimaksud oleh Doktor Aisun adalah menceritakan pengalaman diri, bukanlah mengenai
AKABRI-mu, melainkan perjalanan dki yang membayangi hidup ini," sahut Wariwari. Ia kuatir
Pamoraga bercerita mengenai hal yang salah. Keburu bangga!
"Jadi dari mana awalnya?"
"Kamu pengikut setia Raden Wijaya. Kamu mendampinginya sejak runtuhnya Istana Singasari.
Apakah ada istimewanya pengalaman itu?" Doktor Aisun memancing.
"Raden Wijaya seseorang yang cerdik. Dalam keadaan kepepet, diburu-buru oleh pasukan Kediri,
beliau masih bisa berkelit dengan pikirannya. Ia mencari jalan keluar dari kepungan bahaya dengan
jalan mencoba sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat. Kami tinggal dua belas orang saja ketika
di Kudadu ia menyamar menjadi tukang perahu, dan diantar oleh Lurah Kudadu, berangkat
mengarungi Selat Madura lewat Kali Rembang."
"Kamu salah seorang di antara dua belas orang itu?"
"Di Madura, Raden Wijaya langsung berunding dengan Adipati Wira raja. Apa saja nasihat orang
'pinter' Wira raja dituruti oleh Raden Wijaya. Yaitu setelah tenggang waktu, Jayakatwang yang tidak
seganas ketika memperoleh kemenangan, mulai-merayakan kemenangannya dengan
mabuk-mabukan, dan Raden Wijaya disuruh minta pengampunan. Bukan saja ampunan, bahkan
meminta Hutan Terik untuk digarap jadi tempat penghunian pun dikabulkan. Oi hutan itulah Raden
21 Wijaya dibantu oleh orang-orang Adipati Wiraraja, orang Madura, untuk mendirikan kerajaan baru.
. "Lalu tentara Tartar datang!" ujar Fusen tidak sabar. Tentara Tartar datang dengan jumlah amat
besar. Tiga puluh ribu prajurit bersenjata lengkap dan rata-rata pandai naik kuda! Kami datang
untuk memukul Raja Kertanegara yang telah membuat malu besar dengan memotong daun telinga
Tuanku Duta Mengki'i!" sahut Yong Pin. Ia memiliki semangat berpihak pada pasukan Tartar.
"Aku tidak ikut kembali menyerbu ke Singasari. Cukup yang muda-muda. Kami cepat jadi tua
setelah kekecewaan hidup menggerogoti pikiran dan perasaan. Kaisar Kubilai Khan tidak
mengizinkan, kuatir kalau tujuanku bercabang sambil mencari anak kami. Memang aku dapat
dorongan dari Aisun untuk kembali mencari dan menemukan mayat Fang Fang di dasar Bengawan
Brantas. Pengiriman tentara ke Singasari ini untuk bertempur, untuk memerangi sikap angkuh Raja
Kertanegara. Jadi lebih baik dikirimkan orang yang lebih muda, yang masih cekatan. Fusen, Yong
Pin, Ipar Hwee, dan yang sebaya mereka," sela Dokter Mengki ikut bicara.
Pamoraga yang ringan mulut segera berkisah lagi, "Kedatangan kapal-kapal Tartar yang berlabuh di
Ujunggaluh selalu dipantau dan dicurigai oleh Raden Wijaya. Apa maksudnya, mengapa begitu
banyak" Wah, andaikata beliau tahu bahasanya, tentu dengan mudah ia membujuk mereka untuk
membantunya menghancurkan kerajaan musuh mertuanya! Mendengar keluhan yang dibiarkan
keluar jadi rerasan itu, aku segera ingat istriku. Ia pun orang
Tartar! Barangkali ia mengerti bahasa itu. Aku segera menjemput istriku di Rabut Carat, yang
kutinggalkan di rumah Swandanu selama baktiku mengikuti perjuangan Raden Wijaya yang
diuber-uber tentara Kediri, hingga membangun penghunian di Hutan Terik, serta mempersiapkan
pasukan perlawanan untuk menghancurkan Kerajaan Kediri."
"Baru ingat punya istri ketika butuh!" komentar Wariwari sengak.
"Di Rabut Carat tidak kutemui Swandanu. Ia pergi mencariku, kata orang di rumah. Tapi aku tidak
pernah bertemu dengan Swandanu!"
"Aku mendekatimu dengan masuk menjadi sukarelawan pasukan cadangan" ucap Swandanu di
sampingnya. "Jadi Tuan Puteri Fang Fang dijemput dari Rabut Carat'" desak Fusen.
"Nanti dulu! Yang kutemui di Rabut Carat, perempuan yang pipinya bak mempelam dibelah ini!" ujar
Pamoraga sambil mencemol pipi gadis di sebelahnya.
"Hiss!" cepat Wariwari menampel tangan Pamoraga. Tangannya nampel tapi sinar matanya
berseri-seri memandangi si pencerita dari dekat dan bibirnya mengajak bercanda. Ia tak kuat
menahan gelak. "Ia sedang berada di depan rumah, menggilas kunir di batu genuk untuk diminum sarinya.
Rambutnya yang panjang dan tebal dibiarkan terurai lepas di pundak dan sebagian ujungnya
menggelitik payudaranya. Habis keramas, separuh tubuhnya yang berkulit kuning sawo tampak
segar kena sinar matahari sore. Ia menengadah ketika kudaku berhenti di depan rumahnya.
Rambutnya dikiraikan ke belakang dan tampaklah segala kekayaan perempuan yang dimilikinya,
serba indah dan ranum!"
22 "Hiss* Hiss! Stop! Jangan kamu teruskan! Saru!* jerit Wariwari.
W Ta menyebut namaku dengan mesra! Dan mengatakan bahwa suaminya, Swandanu, pergi
mencariku telah empat minggu lebih! Suaminya yang pergi jauh beberapa minggu itulah yang paling
dulu mengenai pusat pendengaranku, lalu terpancar jadi berahiku. Aku meloncat jatuh dari kuda,
langsung ke pangkuannya! Aduh! Adduuh! Ya begini ini, aku dicubiu" sekuat maunya...!"
"Sudah! Sudah! Urik! Nakalan! EmoM Emoh, jangan diceritakan! Hiss!"
"Untung di sini aku cuma dicubiti lenganku. Itupun berhasil aku elakkan. Peristiwa yang dulu, oh, ia
mengeluarkan kuku seperti kucing yang digunakan untuk menggaruk wajahku! Dan aku semaput
bukan karena kukunya, tapi karena kehalusan tubuhnya yang ngliga (lepas baju). Aduh, siapa ayu
seperti dia"!" "Kurang ajar! Kurang ajaaarl" "Itu kok bergumul!" Maunya apa"!" seru Fang Fang.
"Persis! Persis seperti itu! Begitulah Puteri Fang Fang menegur! Ia keluar dari rumah, dan melihat
keadaan kami berdua. Karena tahu yang bergumul adalah suaminya, ia tidak marah, tidak
cemberut. Kami berpisah ketika pemipis jamu itu berhasil mendorong aku hingga jatuh ke tanah,
dan dia bangkit Pipisan kunir yang ada di genuk batu, diambil dan dibantingkan ke arahku! Gemes!
Aku bangkit dan tidak menyerang lagi. Puteri Fang Fang melihat kejadian antara kami sambil
tertawa! Aku dan dia (sambil menunjuk hidung Wariwari) ketularan tertawa!"
"Gemes! Dilihat istrinya apa, nakalnya bukan main!"
"Wajahku tidak karuan, kena garukan kuku berkunir,
dilempari pilisan kunir! Masih dalam suasana tawa itu, Puteri Fang Fang mempersilakan aku masuk
ke rumah. Kami bertiga masuk, antara aku dan dia ambil jarak antara. Dia curiga kalau-kalau aku
menyerangnya lagi, dan aku memang mau menyerang saja kalau ada kesempatan."
"Setan alas! Bajul darat!" omel Wariwari.
"Dan begitulah aku menjemput Puteri Fang Fang, istriku, dan kubawa ke hadapan Raden Wijaya,
yang selanjutnya mendapat tugas sebagai penerjemah kami kepada pasukan Tartar! Tentu saja
Lembah Karang Hantu 1 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Jun 3
memenangkan sayembara menemukan saputangan. Ia tidak mau bercerita karena takut sama
kamu!" "lo, Memangnya aku badan sensor, hams ditakuti pengedar cerita" Apa yang kamu takutkan,
Wariwari?" "Dokter Mengki salah terima. Aku menunjuk kamu justru untuk menjawab pertanyaannya. Bukan
menunggu izin edar ceritaku!"
"Dokter tergesa saja! Sayembara itu belum sempat kami umumkan, meski sudah kami sepakati.
Jadi tukang perahu 203 202 yang lain belum ada yang mendengar tentang sayembara itu. Tidak ada masyarakat tukang perahu
yang berduyun-duyun nyemplung dan kungkum di Sungai Brantas! Tidak begitu, Dokter!"
"Lo, apa sebabnya?"
"Baru kami sepakati, belum kami umumkan karena sebenarnya Kangmas Swandanu dan Fang
Fang sepakat dengan berat hati, dan kebetulan Pamoraga datang menjenguk kami. Melihat Puteri
Fang Fang berada di rumah, Pamoraga tercengang! Dasar mata laki-laki, melihat wajah ayu seperti
itu! Huh, melotot matanya!" seru Wariwari mengomentari sikap Pamoraga bertatapan muka dengan
Fang Fang. "Ld. Aku betul-betul terkejut dan heran bertemu dengan Puteri Tartar di rumahmu! Bukan karena
kecantikannya ... terutama, melainkan karena aku sudah kenal siapa puteri ku! Meskipun dia kini
dibungkus dengan pakaian Jawa martabat isteri tukang perahu, aku tidak akan pangling karena
wajah itu beberapa bulan akhir ini kubawa pergi ke mana saja sebagai wajah kenang-kenangan!
Ada kenangan bernanah yang manis tentang puteri itu yang membikin demam hati sanubariku.
Yaitu persinggungan mukaku, hidungku, dengan perutnya, payudaranya dan haribaannya ketika
aku menghindari serangan prajurit bocah Tartar berkuda yang mendadak! Bocah itulah Puteri
Tartar, yang wajahnya selanjurnya kugembol, kubawa-bawa ke mana pergi, dan mencengangkan
daku di rumahmu! Apakah aku tidak mimpi" Bermimpi membayangkan wajah ayu berpakaian
prajurit Tartar itu menjadi berpakaian Jawa seperti kamu! Apakah mi-bukan bayangan keinginanku"
Untuk menyadarkan diri bermimpiy setidaknya aku
bertemu wajah Puteri Fang Fang yang berdandan cara Jawa
itu, dan segera saja tanganku menggapai wajah yang menatap dekat di depanku!" kisah Pamoraga
bagaikan seorang penyair berdeklamasi. "Ah, kamu! Dasar laki-laki mata keranjang! Alasan! Alasan! Kapan kamu pernah bertemu Puteri
12 Tartar"! Di ramahku itulah yang pertama kalinya! Dan begitu bertemu matamu melotot,
kalamenjingmu bergerak naik turun beberapa kali karena terpaksa menelan air liur nafsumu yang
muncrat ke mulutmu! Huh! Laki-laki di mana-mana saja sama!" ucap Wariwari lebih pedas! Pedas,
tapi diucapkan dengan nada tanpa dendam! Tidak membekaskan luka hati.
"Lo. Sungguh! Berani sumpah! Aku pernah bertatapan pandang dengan Puteri Tartar sebelumya! Di
mmahmu bukan yang pertama kalinya! Aku justru heran tercengang, mengapa Puteri itu masih
tertinggal di rumahmu! Sebab hampir tiga bulan setengah sebelumya, aku bertugas mengantarkan
rombongan utusan Tartar, tapi terpaksa berpisah sebelum sampai di penyeberangan Rabut Carat!
Kukira semuanya sudah berlangsung beres, sebab tidak ada laporan tentang tercecernya
rombongan Tartar itu. Memang dilaporkan telah terjadi pertempuran di sungai dengan banyaknya
jatuh korban di antara perampok Kediri, tetapi semua rombongan Tartar berhasil menyeberang!
Memang sebelum berpisah aku sempat menyebut nama suarnimu, Swandanu, sebagai pemilik
perahu yang bisa dipercaya untuk menyeberangkan mereka. Tapi aku tidak mengira sama sekali
bahwa Puteri Tartar yang cantik jelita yang bayang-bayangnya menghantui nikmat sanubariku,
masih tercecer di rumahmu! Karena kesibukan tugas
sempat menjenguk kamu dan suamimu, mempertanyakan
hal lewatnya rombongan Tartar itu. Dan baru tiga setengah bulan kemudian itu, ketika aku harus
bertugas menemui Adipati Wiraraja di Sumenep, sempat mampir ke rumahmu!"
"Betul! Betul! Perwira Singasari Pamoraga ini mengantarkan rombonganku sampai menjelang
tempat penyeberangan Rabut Carat! Betul juga bahwa Pamoraga bertemu dengan puteriku Fang
Fang dengan cara yang aneh, dan mungkin mengesankan mereka! Itu aku sudah tahu' Tidak perlu
kamu ragukan, Wariwari. Tapi yang paling ingin kuketahui saputangan gambar naga itu, apakah
akhirnya ketemu, dan siapa penemunya" Bagaimana itu, Wariwari" Segera ceritakan.'" ujar Mengki.
"Dia lebih mengetahui'" jawab Wariwari sambil mencebil ke arah Pamoraga.
"Sayembara itu urung kamu umumkan?" "Kami utarakan kepada Perwira Pamoraga!" "O, soal
saputangan hijau bersulam gambar naga berwarna kuning' Itu aku yang tanya dulu kepada Puteri
Fang Fang bukan" Setelah ternyata ia sudah pandai berbahasa Jawa, kisah pertemuan kami yang
pertama bisa kami ungkapkan dengan bahasa yang jelas. Puteri Fang Fang ternyata anggun dan
ayu bukan saja jasmaninya, tetapi juga hati dan nalarnya. Ia ramah tamah dan dewasa dalam
bergaul." Tentang saputangan itu"!" Dokter Mengki mendesak.
"Ah, ya! Aku tanyakan kepadanya tentang saputangan yang berbau harum, yang pernah kuminta
untuk tanda kenang-kenangan, dan dia lalu sewot! Di rumah Swandanu itulah Puteri Fang Fang
menjelaskan betapa berharganya saputangan gambar naga itu baginya! Karena itu waktu
hams berebut senjata, dia memilih menubruk saputangan daripada pedang! Dan ia sewot ketika
saputangan itu kuminta untuk kenangan! Dan mengapa ia tertinggal di rumah Swandanu juga
karena keinginannya memiliki terus saputangannya! Saputangan itu jatuh di sungai dan hilang!
Ketika kujumpai di rumah Swandanu, Puteri Fang Fang dan sahabatku itu mengemukakan
kedukaannya karena saputangan itu belum ketemu. Apakah tidak mungkin ketemu lagi!" Tiga
setengah bulan sudah lewat, apakah yang hilang itu bisa didapatkan kembali'"
"Tidak dikemukakan tentang sayembara usul Wariwari itu" Kukira itu pemecahan yang bagus! Yang
13 mencari saputangan bukan seorang dua orang, tapi secara massal! Kemungkinannya
mengobrak-abrik seluruh dasar sungai lebih besar sehingga tempat persembunyian saputangan itu
pun bakal terjelajahi! Bisa diketemukan!" tambahan pendapat dari Mengki dilontarkan.
"Ya. Perihal sayembara itu juga dikemukakan oleh Swandanu. Tapi bukan Swandanu dan Puteri
Fang Fang saja yang keberatan, aku juga!"
"Mengapa?" "Coba pikir. Andaikata yang menemukan itu seorang bocah anak tukang perahu, apa bunyi
sayembara itu akan diubah" Sebab anak-anak tukang perahu itu lebih pandai dan cekatan
berenang-renang mencari ikan di Bengawan Brantas, meskipun air sedang meluap sekali pun! Dan
tenis terang, aku tidak tega, tidak sampai hati melihat Puteri Fang Fang menjadi istri laki-laki tukang
perahu!" pendapat Pamoraga dikemukakan.
"Sontoloyo! Betul kamu! Itu merendahkan diri puteriku! Edan! Pikiran tentang saputangan itu
memang celaka sekali! "Waktu itu Wariwari sedang sibuk di dapur. Jadi ia tidak tahu usul keberatanku mengenai
sayembara itu. Aku yang ambil prakarsa. Biarlah sayembara itu ditunda dulu. Kami coba mencari
sendiri dulu. Aku mau mencarinya karena aku sendiri pemah menginginkan memiliki saputangan itu
sebagai kenang-kenangan. Keberangkatanku ke Sumenep biarlah ku tunda satu hari lagi. Maka
siang hari itu juga aku berangkat ke pangkalan diantar oleh Swandanu dan Puteri Fang Fang.
Matahari masih tinggi, namun sinarnya sudah menatap dahi kami ketika kami keluar dari rumah
Swandanu yang menghadap ke barat itu. Cahaya matahari yang terang! Menyilau! Waktu itu aku
seperti mendapat ucapan selamat dari Hyang Surya bahwa langkahku itu suatu tindakan yang tepat
dan benar! Langkahku jadi pasti, langkah yang mujur!" kisah Pamoraga dengan bahasa yang
diucapkan dengan gegap gempita.
"Jadi saputangan itu alchirnya ketemu"!" sergap Dokter Mengki penuh kegembiraan.
- Tentu! Aku yang mencari, aku yang mendapat mujizat!" taruna Akabri itu menjura dengan bangga.
"Waduh, sombongnya! Dasar mulut besar!" Tegur Wariwari menyerang.
"Sombong ini perlu untuk mengusir rasa kecil hati dan rendah diri!"-
"Jadi di mana saputangan itu ditemukan?" gairah tanya Dokter Mengki.
"Sabar, aku ceritakan secara kronologis," jawab Pamoraga.
208 "Tentu di dasar sungai tempat kejadian! Terjepit dua padas! Bagaimana menemukannya" Sungguh
menarik sekali! Apakah sebelumnya kamu ada ilham untuk mencari ke sana" Atau kebetulan saja7"
"Lo, kebetulan bagaimana!" Tidak! Aku mencari dengan berpikir, berharap, dan berdoa agar dapat
14 tuntunan dari Hyang Widhi! Aku mencari tidak dengan mata telanjang, tapi juga dengan mata hati
dan pikiran! Aku tidak segera masuk ke sungai pada waktu sampai di pangkalan. Dalam perjalanan
ke sana saja, beberapa tukang perahu dan kerabatnya hormat kepadaku ketika berpapasan dengan
kami, bahkan ada yang menyembah! Memang biasa pembesar di kalangan istana mendapat
penghormatan demikian di perjalanan. Tetapi pada waktu itu rasanya aku betul-betul mendapat
penghormatan bukan karena aku seorang perwira kenamaan dari Istana Singasari, tetapi karena
dewi keberuntungan sedang bersemayam di kepalaku. Perasaan jadi terang, pemikiran jadi jernih!
Aku minta kepada Swandanu agar menceritakan kembali apa yang diketahui dan dilakukan
beberapa waktu sebelum Puteri Fang Fang menceburkan diri ke sungai. Kalau dia bilang melirik,
aku minta di maha posisinya di perahu pada waktu melirik itu. Aku tanyakan juga berapa kecepatan
perahunya saat itu, dan Swandanu menjawab sangat lambat,- karena dia hampir-hampir tidak
mengayuh. Dia asyik berlirik-lirikan sama Puteri Fang Fang. Kemudian aku minta Puteri Fang Fang
menceritakan bagaimana cara dia menarik saputangan dan dadanya, cara melambaikannya, serta
di mana posisinya di perahu itu. Di haluan, katanya. Pikiranku bekerja keras! Aku ukur panjang
perahu yang bisa memuat tiga ekor kuda itu. Aku hitung berapa kecepatan saputangan
209 Iri berkibar di udara dan jatuhnya ke permukaan air. Lalu berapa lama saputangan berbau harum itu
terapung melayang-layang di permukaan air selagi masih kering, dan setelah basah.*
"waduh, seperti detektif saja!" omel Wariwari. Gairahnya melontarkan kritik kepada Pamoraga
karena cara berceritanya cenderung memamerkan kecakapannya dan tidak menghendaki segera
selesainya cerita dengan akibat yang memuaskan pendengar.
"Zo, memang jalannya pencarian begitu!". "Biarlah Wariwari, aku suka mendengarkan!" Dokter
Mengki terpesona. "Pada waktu itu, Swandanu dan Puteri Fang Fang ingin agar aku segera saja naik perahu bersama
mereka dan diantar sampai di tempat kejadian. Hal itu juga didorong oleh bertambah banyaknya
orang yang mengerumuni kami karena ingin mengelu-elukan hadirnya seorang perwira Singasari di
pangkalan!" 'Embel Masa orang berkerumun! Paling hanya dua tiga orang yang mendekati karena kebetulan
kenal perwira Singasari itu! Dan jangan lupa bahwa daya tarik Puteri Fang Fang untuk diamati dari
dekat juga besar!" ucap Wariwari.
Teruslah bercerita!" Dokter Mengki risau karena cerita Pamoraga terganggu.
"Kamu tidak ikut. Kamu menunggu rumah. Jadi kamu tidak melihat keadaan kami di pangkalan!"
Pamoraga membantah Wariwari.
"Jangan didengarkan, Dokter! Buainya tidak bakal rampung. Besar kepalanya!"
"Lalu, bagaimana?" Dokter Mengki tenis saja mendesak.
"Aku minta Swandanu turun dari perahunya. Puteri Fang Fang yang kadung di atas perahu, juga
aku bantu untuk turun. Mereka kecewa, apa aku urung ikut mencari saputangannya" Tidak! Aku
katakan kepada mereka aku tetap ingin menemukan saputangan itu. Kini kusuruh Swandanu
dibantu oleh beberapa laki-laki di situ untuk mendorong, mengangkat perahunya ke darat. Ldi Mau
15 diapakan" Mereka tanya. Mereka heran. Aku bersikeras untuk mendaratkan perahu Swandanu.
Mundur! Terutama buritannya harus naik ke darat! Dan dengan penuh tanya, mereka mengerjakan
apa yang kusuruhkan. Mereka mengerjakan tanpa pengertian, hanya karena perintahku saja.
Swandanu bahkan sudah kecewa karena tampaknya begitu buritan ku keluar dari permukaan air
dan mencuat ke darat, aku melihat apa yang kami cari ada di situ! Tersangkut pada lunas dasar
buritan perahu!" "Saputangan itu"! Tersangkut pada lunas buritan perahu"! Horee!" teriak Dokter Mengki. Ia
bersorak gembira seolah-olah penemuan itu terjadi pada saat itu. "Lahv bagaimana' Bagaimana
Fang Fang"! Bagaimana Fang Fang setelah kamu pungut saputangan itu" Dia tentu berteriak
gembira!" "Bukankah ini saputangan berbau harum yang kita cari bersama itu, Puteri" Tanyaku kepadanya.
Kulihat matanya berbinar-binar, napasnya sesak, mulurnya ternganga! Waduh, rasa hatiku
bergelora melihat wajah Puteri Fang Fang yang terpana tidak menyadari kecantikan dirinya! Aku
telah berhasil mengobrak-abrik haru-biru emosinya! Melenyapkan sadar dirinya! Aku bisa
menaklukkan dirinya, bebas berbuat apa saja terhadapnya andaikata aku rakus dan lepas kendali
nafsuku. Tapi aku heran! Pada waktu itu, justru rasa belas kasihan yang ikut tumbuh memancar
pada cita rasaku, pada sanubariku. Kasihani Perempuan yang begitu ayu, muda, terasing dari
keluarganya, kehilangan kesadaran, ketahanan, dan perlawanan. Betapa lemah keadaannya!
Tubuh yang begitu molek, terpampang tak berdaya di depan mataku! Aduh, rasa kasihku lebih
meluap menguasai rangsang nafsuku!"
"Tolol, Fang Fang itu! Ia begitu kagum dengan saputangan gambar naganya! Saputangan itu seperti
nyawanya! Tapi lupa juga keselamatannya! Ia memuja saputangan itu sebagai pelindungnya, tetapi
terlena bahwa saputangan itu; juga bisa menghancurkannya! Tolol! Tolol sekali! Coba kalau kamu
bukan perwira Singasari yang bermoral tinggi, apa Fang Fang tidak diganyang habis seketika itu
juga! Di tepi sungai, di alam terbuka, pada waktu matahari sore bersinar terang disaksikan banyak
orang! Saksi itu tidak bakal berbuat apa-apa, karena sudah tahu aturan bahwa siapa yang bisa
menemukan saputangan itu sah jadi suaminya. Sang suami bisa berbuat apa saja terhadap istrinya!
Huh, huh, huh! Wah, wah, wah! Cilaka betul! Tapi ya, masih beruntung juga bahwa yang
menemukan kamu! Perwira Singasarif" keluh kesah Dokter Mengki. Ya suka, ya susah!
Perasaannya terombang-ambing oleh cerita Pamoraga! Padahal biasanya, dalam bilik prakteknya,
dialah yang mengombang-ambingkan perasaan pasiennya.
"Lalu, apa yang terjadi dengan Tuan Puteri Fang Fang?" tanya Fusen yang ikut ternganga
mendengarkan cerita Pamoraga.
"Kuberikan saputangan itu kepadanya untuk diteliti. Setelah tidak salah lagi bahwa saputangan ku
benda suci yang dicari, ia pun menjatuhkan diri di hadapanku, mencium delamakan kakiku! Ia
pasrah kepadaku! Pasrah seperti
puteri tawanan setelah negaranya ditaklukkan seorang ksatria!"
"Waduh! Waduh! Disembah Puteri Fang Fang yang cantik jelita begitu, kian besar kepalamu, ya"
Dasar laki-laki pongah!" komentar Wariwari.
"Tidak, Wariwari! Ketika Puteri Fang Fang menjatuhkan diri di hadapanku, berlutut dan menyembah,
aku segera ikut berlutut, kutangkap pundaknya, kucegah untuk mencium kakiku! Tidak! Aku masih
16 sangat menghormati puteri itu! Aku tahu betul dia puteri bangsawan, puteri Duta Mengki'i, yang
tentu punya kedudukan tinggi di negerinya! Aku tidak boleh menganggap diriku lebih besar atau
lebih tinggi dari martabatnya, hanya karena aku bisa menemukan saputangan yang jadi gantungan
jiwa raganya! Aku cegah dia melakukan perendahan diri begitu! Kugoncang-goncang-kan
pundaknya agar kesadarannya pulih. Bagaikan dibangunkan dari tidur lelapnya, akhirnya matanya
diangkat dan memandangku dengan sayu, bertanya pasrah apa yang hams diperbuat untukku.
'Puteri Fang Fang!', kataku, 'Sadarlah akan dirimu! Sadarlah siapa Tuan Puteri! Jangan kalutkan diri
pada emosi yang cengeng! Tegakkan wajahmu, angkatlah dagumu, pandanglah aku seperti waktu
Tuan Puteri ingin membalas terpotongnya daun telinga ayahanda Tuanku Mengki'i! Ayo, bangkit!
Jangan berbuat malu ditonton orang banyak di alam terbuka begini!' Begitu kusampaikan
kepadanya!" "Bagus! Bagus! Tuanku memang pantas menjadi Perwira Singasari! Terhormat, pribadi yang kuat,
tak tergoyahkan oleh peristiwa yang menggiurkan nafsu selera rendah! Itulah prajurit Singasaril Aku
"Selanjutnya, Swandanu juga menolong membangkitkan Puteri Fang Fang. Dan kami segera
pulang. Dalam perjalanan itu, Puteri Fang Fang kami apit bersama antara aku dan Swandanu, agar
jiwanya yang terguncang oleh degup jantungnya tidak luluh. Kami saling menghibur. Puteri Fang
Fang mempererat genggaman tangannya padaku, menyatakan betapa gembiranya dan terima
kasihnya kepadaku. Pada awal perjalanan, ia tampak pucat tak berdaya. Setelah kami hibur, di
pertengahan perjalanan wajahnya telah bersinar-sinar kegembiraan. Pada awainya dia kami apit
untuk memberikan bantuan kekuatan, pada akhir perjalanan ia sudah berjalan tegak, dan
berpegang erat-erat pada lengan kedua laki-laki yang mengapitnya, aku dan Swandanu!"
"Tuan sungguh bijaksana! Saputangan yang ketemu Tuan berikan pada pemiliknya. Lalu Tuan
meninggalkannya tanpa minta imbalan apa-apa. Tapi, bagaimana Fang Fang setelah memiliki
kembali saputangannya" Tetap ikut Swandanu tentulah tidak beralasan yang mendasar. Ganjil!
Mau bekerja apa dia" Swandanu sudah punya Wariwari, masa pantas perempuan dewasa lainnya
seperti Fang Fang itu berdiam satu rumah dengan keluarga Swandanu" Kalau mau pulang ke
Fukien, siapa pengantarnya, bagaimana caranya'" tanya Dokter Mengki.
"Bagaimana yang terbaik pemecahannya menurut Dokter?" Pamoraga bertanya balik kepada
Dokter Mengki. Dokter Mengki tidak menjawab. Ia menggeleng, tidak menemukan jalan pemecahan terbaik.
Tuan ingat, aku pernah menginginkan menyimpan saputangan itu untuk kenang-kenangan?"
"Ya! Apakah ku yang Tuan lakukan" Lalu Fang Fang kembali tidak menggenggam saputangan
pusakanya lagi" 214 Apa dia mau" Apa arti perjuangannya masa lalu untuk memperoleh saputangan itu, perjuangan
keblinger yang membuat dia sengsara hidup tertinggal di tanah asing1?"
Tuan ingat, bagaimana bunyi sayembara mengenai pencarian saputangan itu, sayembara yang
belum diumumkan tetapi sudah diutarakan, ditawarkan kepadaku?" pancing Pamoraga.
Dokter Mengki terdiam sementara, perasaan dan nalarnya berkembang cepat melahap bahan
logika yang terpapar lewat cerita Pamoraga! "Hurah! Apakah Tuan tidak menyia-nyiakan hasil
17 sayembara itu"! Fang Fang menjadi istrimu"!" serunya sambil bersorak.
Pamoraga mengangguk. "Atas prakarsa sahabatku Swandanu ketika kami bertiga sedang
berapit-apitan pulang dari pangkalan! Itulah yang cepat membuat Puteri Fang Fang bersinar lagi
cahaya mukanya. Swandanu kembali menawarkan sayembara itu! Sayembara yang hasilnya jejas,
siapa yang memetik. Aku setuju, karena terus terang saja aku tak bisa menghapus kenangan manis
yang terlukis ketika Puteri Fang Fang menyerang aku dengan kudanya! Hidungku tertatap perut,
payudara, dan wajahnya! Sebagai laki-laki, aku mendambakan peristiwa itu bisa berulang kembali.
Kalau aku memetik hasil sayembara, dambaanku bisa menjadi kenyataan! Aku mau itu! Tapi masih
hams kutanyakan kepada Puteri Fang Fang. Apakah dia bisa menerimaku, sebab lahirnya
sayembara itu terasa seperti terpaksa. Kasihan kalau Puteri Fang Fang menerimaku atas dasar
terpaksa! Aku tidak menghendaki'"
"Tetapi aku tahu, Fang Fang punya perhatian penuh kepada Tuan! Terutama waktu kita hendak
berpisah! Tidak ada paksaan padanya untuk memperhatikan Tuan!" ujar
Dokter Mengki, yang kian kenal Pamoraga sebagai perwira Singasari, kian hormat pula. Dari mulai
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertamu, ia pun bertuan kepada Pamoraga! Mengki memang menghargai betul sikap dan perbuatan
perwira dan pemimpin Kerajaan Singasari itu.
"Setelah ada kesepakatan Tuanku Pamoraga mengambil istri Puteri Fang Fang, lalu apa yang
terjadi?" tanya pendengar setia lainnya, Yong Pin.
"Hari itu, tidak jadi tertunda, aku berangkat melaksanakan tugas pergi ke Sumenep. Saputangan
gambar naga dipercayakan Puteri Fang Fang untuk selamanya aku bawa. Ia percaya kalau aku
berhati-hati menyimpan saputangan itu, lain sama ayahnya. Ia percaya, selama aku menyimpan
saputangan tadi, aku akan selalu terlindungi jiwaku! Dan dengan menyimpan saputangan itu, kami
berdua bisa hidup rukun bahagia! Karena itu pulang dari Sumenep, aku mampir lagi ke rumah
Swandanu dan memboyong Puteri Fang Fang ke Istana Singasari. Menjadi istriku, istri perwira
Singasari. Puteri Fang Fang bergaul dengan para puteri kalangan Istana Singasari, dan diterima
dengan baik. Ia pandai bergaul dan mengambil hati teman kerabat istana. Ia cepat menyesuaikan
diri dan belajar banyak mengenai tata cara dan kebudayaan istana."
"Syukurlah, puteriku akhirnya memperoleh kebahagiaan! Dan hidup di kalangan Istana Singasari!
Aisun belum mengetahui hal ini! Ia masih belum mau percaya apa yang kuramalkan. Dulu ketika
aku putuskan untuk meninggalkan puteri Fang Fang di dasar Sungai Brantas, aku berkeyakinan
bahwa asal Fang Fang berpendirian teguh terhadap kekhasiatan saputangan gambar naga dan bisa
berdekatan dengan saputangan itu maka ia akan
memperoleh apa yang didambakannya! Sekarang kenyataan itu benar! Aisun belum kuberi tahu
akhir riwayat Fang Fang!" ujar Dokter Mengki, setengahnya kepada diri
sendiri. "Belum selesai riwayat Puteri Fang Fang! Setelah menjadi istriku dan bergaul di Istana Singasari,
masih ada lelakonnya yang lebih hebat," sambung Pamoraga. "Apa" Bagaimana?" tanya ketiga laki-laki
bermata sipit 18 itu serentak. "Tuan tahu, belum cukup dua tahun kemudian sejak kedatangan Tuan Mengki'i di Istana JStlgasari,
Istana Singasari diserang oleh orang-orang dari Kediri pimpinan Jayakatwang, besan Sri Baginda
Kertanegara sendiri! Nah, tentu saja istriku Puteri Fang Fang tidak dapat berdiam diri! Ada
lelakonnya yang patut Tuan ketahui Tetapi sebelum aku melanjutkan kisah itu, sebenarnya
perkawinanku dengan Puteri Fang Fang itu ada hambatannya. Hambatan yang berpangkal di hati
nuraniku!" kilah Pamoraga.
"Apa" Masih ada persoalan antara Tuan dengan Puteri Fang Fang?" tanya Yong Pin bersemangat.
"Bukan dengan dia, tetapi dengan Wariwari!" ucap Pamoraga sambil menunjuk gadis yang berada
di dekatnya. Gadis yang selalu memberi komentar tajam terhadap kisah Pamoraga.
"Apa" Aku tidak punya persoalan apa-apa dengan kamu!" jawab Wariwari terkejut bagaikan
disengat kalajengking. "Jauh sebelum aku ketemu Puteri Fang Fang, bahkan sebelum akil balik, aku sudah jatuh cinta
kepada tetanggaku teman sepermainan! Wariwari itulah manusianya!"
"Hiss! Jangan diceritakan! Perlakuanmu terhadapku mencemol pipi dengan mencuri-curi itu kisah
cinta kotor! Penyelewengan kasih! Tabu diceritakan!" timpal Wariwari kenes.
"Lagi pula kami tadi sudah mendengar cerita itu di mobil," tukas Fusen.
"Teruskan saja cerita tentang Puteri Fang Fang dan saputangan gambar naganya!" pinta Yong Pin.
"Rasanya aku ikut serta dalam peristiwa itu!"
"Ya. Aku juga! Memang rasanya kurang cocok kalau kisah Puteri Fang Fang dengan
saputangannya hanya terhenti di Istana Singasari! Sebab akhir cerita nanti adalah saputangan
gambar naga itu harus berada di Kediri!" kata Fusen.
"Bagaimana kamu bisa berkata begitu?" Dokter Mengki ganti membelalak kepada Fusen.
"Sebab, belum seminggu yang lalu aku menemukan saputangan hijau bercengkorongan gambar
naga itu di Kediri! Saputangan itu digunakan untuk menutupi wajah seorang prajurit Tartar yang
menyerupai diriku. Itulah akhir cerita saputangan gambar naga zaman Singasari. Dan awal kisah
saputangan gambar naga kembali ke zaman kita sekarang! Sebab saputangan yang kutemukan di
Kediri itu kubawa pulang ke Tuban, kujadikan oleh-oleh tanda mata kepada Fang Fang sehingga
membuat Fang Fang kurang waras, ucapan kalimatnya satu dengan yang lain tidak runtut, lalu
kubawa berobat kepada Tuan di Surabaya semalam."
"Permulaan kita semua jadi tidak waras!" jelas Dokter Mengki sambil tertawa, setelah maklum apa
yang dimaksud Fusen bahwa saputangan gambar naga itu harus berakhir di Kediri. "Kediri adalah
tempat bersambungnya kisah saputangan gambar naga zaman dulu dan zaman sekarang, yang
berarti dimulainya kisah gentayangan arwah tokoh pendukung lelakon saputangan gambar naga.
Dimulai dari 19 218 bangkitnya roh Fang Fang mencari saputangannya yang lepas dari tangannya ketika ia tewas, lalu
berjangkit ke arwah tokoh pendukung lainnya, menyusupi masing-masing tubuh kita, dan
gentayangan mengajak kita semua mencari kembali saputangan itu! Bukan Fang Fang seorang
yang kurang waras, kita semua jadi kesurupan!"
Sejenak sepi melanda mereka yang duduk di mang depan rumah Prawiradahana. Semua mencoba
meresapi arti ucapan Dokter Mengki, ahli penyakit jiwa. Tidak ada yang membantah. Mereka yang
merasa terlibat dalam lakon saputangan gambar naga, mengakui kebenaran ucapan itu.
"Kalau begitu, untuk menapak tilas akhir riwayat Puteri Fang Fang dan saputangan gambar naga,
sebaiknya kita melihat lokasi terjadinya peristiwa itu! Kediri!" ujar Dokter Mengki kembali memecah
sepi. "Aku tidak keberatan mengantarkan ke Kediri!" Yong Pin yang punya kendaraan spontan
menawarkan. "Sekali lagi kukatakan, aku merasa seperti ikut serta mendukung lakon itu!"
"Kalau Tuan-tuan napak tilas ke sana, aku pun sanggup menjadi penunjuk jalan. Kita punya waktu
untuk itu, bukan, Wariwari?"
"Aku terserah Mas Danu saja!"
"Kok Mas Danu! Kamu ini sejak zaman Singasari kan jatuh hati kepadaku. Dan aku jatuh cinta
kepadamu! Oleh karena itulah tadi kukemukakan kepada tuan-tuan ini, meskipun aku kawin dengan
Puteri Fang Fang, ada ganjalan berpangkal di hati nuraniku! Aku cinta padamu!"
"Hiss! Kok diulangi lagi kisah seronok itu! Aku kan jadi istri Kangmas Swandanu! Kamu mencuri-curi
saat mencemol pipiku!"
219 "Lo, itu zaman Singasari.' Generasi yang sekarang, kamu ini bakal jadi istriku.' Karena itu kuajak
kamu ke sini, menghadap ayah dan ibu, sebagai tunanganku.' Mau tidak sekarang kuajak ke Kediri"
Putuskanlah tanpa saran Swandanu."
"Ya. Di Kediri memang lebih banyak bekas peninggalan pasukan Tartar. Sebab ke sanalah mereka
menyerbu, tidak ke Singasari. Sebab Singasari telah diruntuhkan oleh Adipati Jayakatwang yang
kemudian jadi raja di Kediri. Tidak kurang dari dua puluh ribu tentara Tartar dengan lima ribu kuda
dikerahkan untuk menghancurkan Raja Jayakatwang di Kediri. Serbuan tentara Tartar tadi sebagai
balasan yang pernah dilakukan Sri Baginda Kertanegara terhadap utusan Tartar Mengki'i yang
diperung daun telinganya. Hal ini tentu menarik sekali kalau Tuan-tuan ingin melacak peristiwa
sejarah itu!" Prawiradahana ikut bicara. Ia kelihatannya memang tidak terlibat dalam lakon
saputangan gambar naga dan tidak bisa mengikuti kisah yang diceritakan beramai-ramai di
hadapannya. Ia tidak bisa menghayati. Tamu-tamunya, dan juga anaknya, kelihatannya orang
cerdik pandai dalam hal sejarah Singasari. Semua itii terlalu pelik dipahami oleh seorang pensiunan
Brigade Mobil Polisi. "Ya. Di Kediri nanti, Fusen bisa menunjukkan tempat di mana Panitia Tim Kompetisi Basket Lima
Kota menemukan kepala orang Tartar yang kena tusuk anak panah. Katanya masih berwujud wajah
20 prajurit Tartar, lengkap dengan kulit dan rambutnya. Bukan tengkorak. Itu Fusen yang cerita!" ujar
Yong Eto "Ah! Di mana itu" Kapan?" jerit Wariwari. "Di Kediri. Ditemukan baru-baru ini, ketika orang menggali
lubang untuk penanaman kepala kerbau sebagai
syarat peletakan batu pertama pembangunan gelora basket," jawab Fusen.
"Wah, itu cerita tersendiri yang tentu bagus sekali kalau kita bisa mengungkapkan," sambung
Pamoraga. "Kita mesti ke sana hari iru!"j
"Aku harus ikut! Aku harus ikut! Sejak dulu kala, zaman geger pasukan Tartar, aku tidak bisa pergi
ke Kediri. Tentang pertempuran di Kediri aku hanya mendengar kabar beritanya di sini, di rumahku
Rabut Carat. Meskipun siasat perang dan pelarian Raden Wijaya banyak dibicarakan di depanku,"
ujar Wariwari tersengat keinginan masa lalu, lena akan statusnya masa kini.
"Lo, aku senang kamu ikut rombongan kami ke Kediri. Tetapi bagaimana Swandanu dan nyonya
dosennya yang bawel itu?" goda Pamoraga.
"Huh! Masa aku harus menjadi pendengar terus saja" Di mana mereka sekarang" Esku segelas
sudah kuhabiskan, mereka belum juga tiba!" keluh Wariwari setengah jengkel.
"Ha-ha-ha!. Swandanu berjalan seiring bersama-sama Fang Fang! Seperti kerbau yang diumbar di
tempat tanaman kacang! Pergi ke mana saja perasaannya senang, meskipun tidak sampai juga!
Jangan harap cepat tiba. Bagi mereka, tambah lama mereka dibiarkan berdua, bertambah pekat
percintaan mereka!" ejek Pamoraga.
"Kamu jangan memanasi hatiku begitu!"
"Aku sudah pengalaman, Wariwari! Bahkan kamu juga sudah tahu sifat mereka berdua! Asal dekat,
ya lekati Kamu tob ingat betapa memalukannya tingkah laku mereka ketika ada kesempatan
kutinggalkan ke Sumenep, meski telah kita tetapkan Puteri Fang Fang jadi istriku dan akan
ku-boyong ke Istana Singasari?"
Tetapi itu kan Puteri Fang Fang! Bukan gadis Fang Fang dari Tuban!"
"Ala, sama saja. Mereka kesurupan arwah orang zaman Singasari dengan nama yang sama!" ujar
Pamoraga lugas. "Sekarang mereka bertiga. Ada ibu dosennya yang sangat dihormati oleh Mas Danu! Masa tidak
sungkan'" "Wa, ibu dosennya itu tampaknya malah mendorong mereka bersatu! Dia orang asing, tidak ada
laba-ruginya hubungan dengan perbuatan Swandanu dan Fang Fang! Dia telah mempelajari
sejarah Singasari, tentunya tahu juga bagaimana Puteri Fang Fang dan Swandanu Si Tukang
Perahu saling jatuh cinta. Oleh karena itu, ia membiarkan orang-orang titisannya bercinta-cintaan
pula!" ucap Pamoraga.
Pada waktu itu, ketiga orang yang mereka bicarakan datang. Dari jauh mereka sudah kelihatan.
Lalu mereka pun memasuki halaman yang luas. Fang Fang, gadis lincah yang berparas ayu,
tampak gembira menggandeng tangan Swandanu.
21 Dengan lincah Fang Fang langsung saja berucap kepada Fusen yang dianggap sebagai
pengawalnya dari Tuban, "Fusen! Aku nanti dari sini mau langsung ke Kediri! Mas Danu dan aku
akan menunjukkan tempat berakhirnya perjalanan kami kepada Doktor Aisun!"
Para hadirin tercengang! Kok bisa tembus bersatu rencana merekaidftl
Beberapa lama sebelum mereka sampai di rumah Pamoraga, terjadi peristiwa dan percakapan yang
mengasyikkan. Menempuh jalan besar Mojokerto
222 Fang Fang berjalan bersama Swandanu, sedang Doktor Aisun berada di belakangnya. Kedua
perempuan itu seperti ibu dan anak. Sang ibu membiarkan anak gadisnya berjalan akrab bahkan
mesra dengan laki-laki muda yang berhasil menarik hati kedua perempuan itu. Swandanu memang
mahasiswa yang cakap dan penuh minat belajar tentang benda-benda lama, dan ia juga bertubuh
semampai, sorot matanya lunak, dan merupakan tokoh yang banyak dipuja-puja para gadis. Jalan
yang mereka lewati beraspal halus, kendaraan tidak begitu padat lewat di sini sehingga para
pejalan kaki bisa santai tak terganggu. Di tepi jalan tumbuh teratur pepohonan rindang yang
berumur puluhan tahun, seolah-olah sebagai pohon sisa peninggalan dulu kala ketika daerah itu
masih merupakan hutan lebat Pohon-pohon tadi masih memberikan naungan kepada mereka yang
berjalan di bawahnya sehingga meskipun matahari bulan Mei bersinar cukup kuat, panasnya tidak
merisaukan benar. Di sebelah kiri-kanan jalan terhampar sawah dan ladang. Sekalipun sudah
memasuki pertengahan kemarau, tanah di situ cukup mendapatkan air sehingga tanaman yang di
sawah maupun di ladang dapat tumbuh baik. Tampak sekali pengelolaan tanaman oleh tangan
manusia yang rajin. Tanpa mengabaikan pengaruh alam yang menyenangkan itu, Doktor Aisun berjalan sambil
memandangi kedua makhluk di depannya sambil tersenyum-senyum. Lega hatinya. Fang Fang
yang dianggap sebagai anaknya, ta yakin itu anak ciptaannya, ternyata tidak tewas terkubur di
dasar Sungai Brantas seperti yang dibaca pada laporan perjalanan Duta Mengki'i. Fang Fang masih
mengalami hidup bahagia dan menggairahkan setelah tenggelamnya
di Sungai Brantas! Ia hidup berkat pertolongan Swandanu! Kini Doktor Aisun sedang merunut
kebahagiaan apakah yang direngguk oleh Puteri Fang Fang itu! Aisun berharap kehidupan Fang
Fang pasca tenggelam di Sungai Brantas berlangsung bahagia dengan penolongnya! Ia merasa
cocok dengan Swandanu yang kini jadi mahasiswanya! Tentunya begitu pula Swandanu, penolong
Puteri Fang Fang. Karena ku Doktor Aisun berjalan membuntuti dua orang muda-mudi yang tampak
rukun dan mesra itu dengan senang hati. Ia tersenyum-senyum. Kemesraan yang disaksikan itu
diharapkan tidak lain adalah peristiwa ulangan dari masa lama, lelakon yang kini sedang dirunutnya.
Sementara ku dengan asyik-masyuk Swandanu berkisah kepada Fang Fang.
"Kamu masih ingat perjalanan kita melarikan diri dari kericuhan Ibukota Kerajaan Kediri dengan
menggunakan sebuah biduk ke hilir?"
"Perjalanan yang terakhir! Kita tinggalkan semuanya, semua yang kak-mengait dengan kehidupan
bermasyarakat, untuk mengejar kehidupan menyendiri berdua! Mengejar cita-cita hidup bercinta!
Aku ingat itu!" 22 "Kita turutkan tuntutan naluri kasmaran kita! Mengabaikan tuntutan hidup yang lain!"
"Orang kasmaran memang tolol! Dengan pikiran waras, mana mungkin kita bisa melepaskan diri
dari kehidupan yang ruwet ftu" Kamu sebagai prajurit cadangan gabungan Raden Wijaya yang
sedianya dipersiapkan mencegat kembalinya pasukan Tartar dari Kediri, justru menyusup ke Kota
Kediri! Padahal waktu itu i justru pasukan Raden Wijaya yang baku telah meninggalkan kota.
Sehingga kehadiranmu di kota itu memancing bahaya, baik dari pihak orang Kediri
224 yang sedang menderita kekalahan, maupun pasukan Tari tar yang mulai curiga dengan perginya
Raden Wijaya! Waktu kamu menemui aku, kamu adalah prajurit cadangan Raden Wijaya yang
melalaikan tugas! Prajurit yang melarikan dWI Kamu bisa dihukum oleh kesatuanmu! Sekalipun
masih kesatuan liar yang acak-acakan!"
"Demi cinta kita, semua bahaya adalah bumbunya, rempah-rempahnya!"
"Kamu terlalu menyepelekan! Membuat kita terlena. Karena mengagungkan cinta asmara."
"Kita memang hidup dalam keadaan terjepit! Zaman huru-hara! Sehingga tidak mudah
mengembangkan percintaan kita! Bahkan bertemu secara badani pun kita susah. Tuntutan zaman
begitu! Maka tidak ayal kalau aku mesti berjuang mencari kesempatan! Begitu ada kesempatan,
aku tembak, aku raih, tanpa mempedulikan ancaman marabahaya! Sekalipun akhirnya kita lena,
aku tidak menyesal, tidak kecewa, karena dari pihakmu pun ternyata ada usaha yang sama! Begitu
ada kesempatan, kamu pergunakan dengan sebaik-baiknya! Kita lari bersama, berbuat bersama,
karena memang adanya satu tujuan. Kamu juga mengabaikan bahaya yang mengancam dirimu, diri
kita! Kita senasib sepenanggungan dengan bahagia asal dalam kesatuan hasrat, kebersamaan
tujuan!" "Ya! Tolol sekali! Aku mengabaikan bahaya itu! Terlalu gegabah ambil putusan mengikuti a
jakunmu! Musibah yang menyergap kita datangnya justru dari kelalaianku! Aku mohon maaf!" kata
Fang Fang sambil menunduk.
"Tapi itu masa lampau. Cinta kita tak sampai! Masa kini, kelihatannya jalan lurus terbentang bagi
kita. Kepaduan kita!"
225 pe 22 "Kamu lupa! Satu hal yang belum kita dapatkan! Saputangan gambar naga! Saputangan itu belum
ada padaku! Aku tidak bisa memperoleh kebahagiaan asmara dengan siapa pun tanpa
menggenggam saputangan gambar naga ku. Barang itu sebagian dari jiwaku! Mari kita cari dan
dapatkan sebelum kita sampai di rumah asmara yang kekal denganmu!"
"Saat kita melarikan diri berdua, bukankah kamu menggenggam saputangan jiwamu itu" Kita sudah
tiga dalam satu!" kata Swandanu.
"Kamu tidak tahu! Saputangan itu direbut orang! Aku tolol sekak! Melihat musibah yang datang
memisahkan kita, aku masih ingin lari menyelamatkan diri. Tapi akhirnya aku juga terjebak maut
23 karena pekertiku itu! Aku masih sempat memandang dunia yang akan menghitam. Dalam
keremangan, kulihat seseorang mau menolongku. Keburu dunia gelap, aku lemparkan saputangan
gambar naga itu kepadanya! Kuserahkan, agar dibawanya pulang kembali ke tanah airku! Itu
perbuatanku yang paling tolol! Seharusnya kugenggam erat-erat saat masuk ke dunia gelap,
terkubur bersamaku! Jadi aku tidak perlu bangkit gentayangan untuk memperolehnya seperti
sekarang ini! Tolol betul!"
"Aku ingin melihat ketololan kita kembali! Aku ingin melihat jalur perjalanan kita dulu! Kalau bersama
kamu, kita bisa saling mengungkap kisah lama kita. Dan mungkin saputangan itu bisa kita temukan
kembali, lalu akan kita bawa bahagia bersama yang kekal dan abadi!" ajak Swandanu.
"Ketololan, kelalaian, lupa diri, itu memang sifat manusia. Pemberian Tuhan! Nikmat Tuhan. Mari
berbekal dengan pengalaman ini, kita cari saputangan itu. Kalau sudah
ketemu, jangan kita berbuat tolol lagi! Kapan kita bisa napak tilas perjalanan tolol kita" Ke Kediri,
ajakanmu tadi?" "Bagaimana kalau sekarang juga, mumpung kita bisa bersatu begini?" Swandanu menawarkan
kembali niatnya. "Apakah dosenmu tidak bakal kapiran?"
"Mungkin ia juga senang pergi bersama kita. Ia ingin melahap semua pengalaman pasukan Tartar
waktu meyerbu Tanah Jawa! Bukankah pasukan itu dituntun oleh pasukan Raden Wijaya yang
menyerbu pusat Kerajaan Kediri" Kediri-lah tujuan akhk serbuan pasukan Tartar. Bu Aisun tentu
senang sekali diajak menjenguk bekas ibukota Kerajaan Kediri yang dihancurkan oleh pasukan
Tartar itu!" "Mama. Kami ingin meneruskan perjalanan ke Kediri siang ini juga. Apakah Mama harus kembali ke
Surabaya?" tanya Fang Fang sambil menoleh ke belakang.
"Adakah tempat yang lebih penting selain Kediri dalam perjalanan pasukan Tartar di Tanah Jawa"
Oh, bagus sekali! Aku akan ikut bersamamu! Hams ikut! Aku akan ikut ke mana kamu pergi, Fang
Fang!" suara keibuan keluar dari mulut perempuan sarjana itu.
Dari hasil percakapan itulah maka ketika mereka bertiga bergabung dengan para penumpang mobil
Crric di rumah Pamoraga, Fang Fang langsung bicara kepada Fusen, "Fusen! Aku nanti dari sini
mau langsung ke Kediri!"
" "Silakan diminum es degannya! Sudah kami siapkan!" ujar Pamoraga ramah tamah kepada tamu
yang baru datang. "Fang Fang, kamu tentu belum kenal
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahku! Beliau seorang pensiunan Brimob, lama sebelum pensiun sudah membeli rumah ini, yaitu
ketika bertugas di pendidikan."
Fang Fang meminum dulu es degannya. Dikiraikannya rambut yang terjurai di dahinya, dan
tampaklah wajah rupawan bermata sipit memandang dengan senyum memukau kepada laki-laki tua
yang duduk di kursi besar. Diletakkannya gelas esnya, lalu menangkupkan kedua telapak
tangannya, merunduk-runduk santun mendekati Prawiradahana, dan menghaturkan salam hormat.
24 *Ob, nuwun sewu! Boten wonten ingkang nyanjangi menawi wonten priyantun sepuh, dados kula
inggih tranyak-tranyak tanpa duga! Nuwun sewu, lo, Pak! Pun tepangaken, kula mitranipun ingkang
Putra, Mas Pamoraga! Fang Fang sesulih kula, Pak. Kula ngaturaken sugeng dhumateng Bapak1"
Prawiradahana dan para hadirin yang lain juga sekali lagi tercengang mendengar tanggapan Fang
Fang terhadap ucapan Pamoraga yang memperkenalkan ayahnya. Sama sekali tak terduga bahwa
gadis keturunan Cina itu dapat bertingkah laku seperti gadis Jawa dan menyampaikan salam
dengan bahasa Jawa krama, yang diucapkan fasih. Orang Jawa asli sebaya Fang Fang saja belum
tentu bisa berucap dan bertingkah seperti itu!
"Wah, wah, wah! Andaikata kita tidak melihat wajah dan namanya, aku sudah tidak mengira sama
sekali bahwa kamu bukan Jawa asli! Di mana dulu kamu belajar tindak-tan
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
duk Jawa begini halus" Apakah orang tuamu telah merasuk Jawa benar-benar" Tentunya kamu
Jawa bangsawan jika mendengar tutur katamu yang krama itu!" komentar Prawiradahana. c-
"O, lama hamba bergaul dengan Kangmas Pamoraga.
Sejak zaman Singasari masih jaya sampai runtuh: Sejak Kangmas Pamoraga sebagai seorang
perwira sampai menjadi panglima. Di Istana Singasari itulah hamba hidup dengan bahasa dan
bangsawan Jawa," jawab Fang Fang yang masih bertahan dengan bahasa Jawa krama.
"O, jadi lama ikut Ketoprak Siswa Budaya" Menjadi prameswari di Kerajaan Singasari" Wah,
makanya bahasa Jawamu eloki"
Serentak semua hadirin tertawa mendengar ucapan Prawiradahana. Semua paham dan
menghayati benar akan perkataan Fang Fang dan segala yang tersirat di dalamnya. Sebutan Istana
Singasari,. ya betul Singasari tempat ber-takhtanya Sri Baginda Kertanegara. Mereka maklum
mengapa Fang Fang mengemukakan Singasari sebagai tempat asal muasal dia belajar berbahasa
dan bertatakrama Jawa. Karena Fang Fang memang pernah hidup di situ. Dari para hadirin,
hanyalah Prawiradahana seorang yang tidak tanggap dengan cerita Fang Fang. Laki-laki ini tidak
bisa kontak dengan alam jauh waktu lampau! Maka komentarnya melenceng. Ia kira Fang Fang
hidup bersama warga ketoprak yang masih bisa mengajarkan dan melestarikan bahasa dan budaya
Jawa di masyarakat. Setelah berkenalan yang dirayakan dengan tertawa gegap gempita itu, Fang Fang mendekati
Pamoraga, tuan ramah yang dikenal baik, dan berbisik, lirih ke telinga Pamoraga.
"Ayo! Bisik-bisik apa itu?", tegur Wariwari berseloroh. Meski berseloroh murni, orang bisa mengira ia
cemburu. Fang Fang menoleh ke arah Wariwari dengan wajah pringisan, namun tetap mengajak tersenyum.
Saat berpandangan dengan Fang Fang, rasanya dunia ini terang dan tenteram!
Pamoraga paham apa yang dibisikkan kepadanya, dan mengajak Fang Fang mengikuti dia. waktu
melewati Wariwari, dengan gigih gadis ini menahan lengan Pamoraga.
"Dia bicara apa"!"
"Mau pipis. Minta diantar ke belakang!" bisik Pamoraga. Khusus untuk didengar Wariwari. Spontan
Wariwari mencubit seru lengan pemuda itu sambil tertawa lega.
"Sst! Kesempatan ini jangan digunakan untuk mengintip, IA" bisik Wariwari. khusus untuk didengar
Pamoraga. Keduanya cekikikan.
"Tapi kebetulan pintu kamar mandinya sedang menganga. Tidak bisa dikancing. Belum diperbaiki.
Kamu tahu sendiri semalam. Kesempatan baik sekali, ya!"
"Aku percaya, Taruna AKABRI tidak suka tawaran yang murahan seperti itu," ujar Wariwari, kini
1 dengan mata galak membelalak. Lenyap sudah gelak-gelaknya!
Fang Fang yang sudah berada di dekat mereka tentu mendengar pula kata terakhir itu. Ia tertawa
polos tanpa curiga apa-apa.
Kamar mandi ku terletak jauh di belakang rumah. Harus melewati mang tengah dan belakang yang
cukup luas. "Ibu di mana?" tanya Fang Fang ketika melewati mang tengah. Ia menggamk lengan Pamoraga,
minta dipandu karena mangan agak gelap. Apalagi bagi yang baru datang dari alam terbuka.
Pamoraga menggandeng tangan Fang Fang. Jari-jari mereka bertautan.
"Ibu ke Pamulungan. Sudah kadung janji dengan tetangga sebelah mau pergi ke dukun. Tadi pagi
kami sama 230 ketemu. Ibu menyesal tidak bisa menjamu kami lama-lama. Ia tak mengira aku datang kemarin
bersama teman-teman dan menginap. Namun hatinya lega, aku datang membawa wariwari, yang
kuakui sebagai gadisku, calon istriku. Tidak
gugup lagi ibu mencari menantu!"
"Kamu pandai sekali berbohong! Wariwari kan bukan
jodohmu!" ucap Fang Fang tertawa menyeringai.
"Kamu pikir begitu?"
"Aku tidak berpikir. Kenyataannya masa lampau kan dia bukan jodohmu!"
"Maaf. Pintunya tidak bisa ditutup rapat Rumah di desa, penghuninya sudah tua! Semua yang
rusak, asal masih bisa dipakai, ya dibiarkan rusak. Tak terawat!"
"Tidak apa! Rapat dan tidaknya tutup kamar mandi, kuncinya kan ada di jiwa taruna Akabri seperti
yang disebut-sebut oleh Wariwari tadi! Lagi pula, antara kita kan tidak ada rahasia lagi!" ujar Fang
Fang ceplas-ceplos. Gelak tawanya tidak terhapus dari wajahnya, ketika ia masuk ke kamar mandi.
Pamoraga gelisah benar. Bisik-bisiknya dengan Wariwari dan ceplas-ceplosnya dengan Fang Fang
mengusik hati laki-lakinya. Fang Fang masuk ke kamar mandi yang tidak bisa ditutup rapat
pintunya. Pamoraga tahu dan membayangkan apa yang dikerjakan Fang Fang. Patutkah kalau
Pamoraga menunggui di depan kamar mandi" Taruna Akabri tidak selayaknya melahap tiap
kesempatan yang ditawarkan! Pamoraga menggelincang nalarnya. Dengan hentakan istimewa, ia
berhasil menarik kakinya yang terpaku di ubin, lalu melangkah menjauh.
"Mas! Mas Pamor!"
"Ya?" 2 "Ciduknya nggak ada!"
"Ah, ya"! Tadi kugunakan untuk membasuh gelas! Kuletakkan di luar sana. Sebentar, kuambilkan!"
Keringat dingin keluar membasahi dahi dan pelipisnya.
Setelah mengambil ciduk, sampai di depan kamar mandi, jantung pemuda itu bergoda m kuat
sekali. Rasanya mau rontok di rongga dada itu. Pintunya masih menganga dan Fang Fang gadis
ayu ada di dalamnya! "Fang Fang! Ini ciduknya!" suaranya gagap.
"Bawa kemari! Mana, Mas?"
Setan di hatinya meraung! Ingat bahwa pucuk hidungnya dulu pernah menyinggung perut,
payudara, lalu pipi-riya yang lunak! Tapi itu zaman ia sebagai Perwira Singasari, dan Fang Fang
sebagai bocah prajurit Tartar! Dalam kehidupan abad ini, Pamoraga belum pernah ketemu gadis
Fang Fang! Baru sekali ini. Dan dia sudah laki-laki dewasa yang penuh birahi, sedang Fang Fang
aduhai moleknya bukan main dalam dandanannya yang tertutup! Kini, tubuh molek itu di dalam bilik
mandi, memanggil laki-laki "Mas"nya, yang 'antara-kita-&m-tidak-ada-rahasia-lagi'! Birahinya
menyala, dan tidak ingat lagi pribadi taruna Akabri! Dengan tekad nakal ia masuk ke kamar mandi!
La-dalah! Ketemu Fang Fang dengan wajah tersenyum tenang. Ia masih mengenakan baju kuning
lengan pendek, celana begi hijau yang tadi. Fang Fang masih berpakaian rapat seperti tadi, belum
buka-buka! Kecele! Senyumnya yang damai terpasang melindungi!
"Ah! Fang Fang! Kamu bikin jantungku terguncang-guncang' Mau copot ini ld"
"Mana ciduknya" Sekarang keluarlah! Tapi jangan pergi! Tunggu di luar situ sebagai gantinya
kancing pintu!" Senyumnya tidak hilang suaranya menggoda!
232 Klimaks dag-dig-dug sudah terlampaui. Pamoraga melaksanakan apa saja kemauan Fang Fang
yang tetap terlindung! Lumpuh semangat laki-lakinya. Keluar dari kamar mandi, tetapi tidak boleh
meninggalkan tempat. Ketika kemercik bunyi air dipermainkan di kamar mandi, Pamoraga melipat
kedua tangannya pada dada, wajahnya menunduk. Ia menjadi pekak, gemercik air di bilik mandi
yang pintunya tidak bisa ditutup rapat itu tidak terdengar lagi. Pikirannya melayang jauh. Jauh
sekali. Melayang ke masa lampau, masa yang telah lama sekali terlampaui.
Dahulu kala itu, rasanya Pamoraga kenal Fang Fang tidak sekadar kenal! Ia menjadi manusia
terdekat padanya untuk beberapa bulan lamanya. Karena itu ketika Fang Fang berbicara
ceplas-ceplos dan bersikap bebas, Pamoraga segera mengenal cara-cara itu dan bisa meladeni
apa mau perempuan itu. Ia tidak kaget dengan cara bergaul Fang Fang yang demikian. Begitulah
dulu kala yang berulang kembali pada masa-masa tertentu.
Fang Fang selesai di kamar mandi. Ketika keluar dilihatnya Pamoraga bersikap bagaikan patung
Buddha, diam dan merenung, tapi terus saja Fang Fang mendekati. Dengan hati-hati ia menggamit
lengan 'pertapa' itu. 3 "Mas! Kok seperti seorang puteri istana, pergi pipis ke kamar mandi saja dijaga oleh seorang
perwira! Aku ini apa?"
Pamoraga tetap mematung seperti Begawan Mintaraga yang didekati bidadari penggoda.
"Mas! Merenungi apa?"
Pamoraga menoleh. Sorot matanya yang lunak bertaut dan menggelut milik Fang Fang.
"Kamu seperti waktu pamitan mau berangkat menir* kerusuhan di Pandaan saja!" tegur Dewi Fang
Fang den cara seperti menegur suaminya.
"Dan kamu, istriku yang harus kutinggalkan! Berat rasanya, karena kita masih belum puas hidup
dan bergaul kemantenan. Aku sedang mempelajari pribadimu lebih dalam. Sementara kamu sedang
kemaruk mempelajari adat-istiadat dan pergaulan hidup di Istana Singasari. Aku mulai menyenangi
sifatmu, memuji-mujimu, karena ternyata kamu adalah istri yang patuh seperti yang dibutuhkan
laki-laki bermartabat perwira."
"Kamu harus jadi perwira, martabat, dan jiwamu! Hams menuruti perintah panglimamu, Raden
Wijaya. Kamu tidak usah kuatir meninggalkan daku di pemondokan istri para perwira di istana. Aku
sudah sesuai saja dengan cara pergaulan hidup mereka. Kami semua aman di istana. Pergilah,
Kangmas! Pergilah, perwiraku!"
Pamoraga mengangguk. Ia memang bukan perwira sembarang perwira, bukan seorang laki-laki
gagah yang dipersenjatai. Ia adalah seorang prajurit terlatih yang punya pikiran dan keterampilan
memainkan senjata di medan perang. Peraturan yang harus dipatuhi dihayatinya dengan giat, dan
tidak ada pikiran sekelumit pun untuk menolak atau menyelewengkan. Oleh karena itu ketika ada
kabar bahwa orang-orang Kediri membuat onar lagi di kawasan Pandaan, Raden Wijaya mendapat
perintah untuk memadamkan kerusuhan tadi, Pamoraga sudah diserahi memimpin pasukan
pelopornya. Ia senang dengan perintah itu, apalagi Fang Fang menginginkan ia jadi perwira! Ia
akan melaksanakannya dengan penuh bakti kepada Raja Singasari serta anak menantunya yang
menjadi panglima perangnya, Raden Wijaya! Pamoraga merasa mendapat dorongan keras untuk
maju dari Puteri Fang Fang, istrinya! Juga kebesaran Pamoraga, ia merasa benar, ditumpu benar
234 oleh kewibawaan istrinya. Tanpa Puteri Fang Fang, mungkin Pamoraga hanyalah prajurit
berpangkat tinggi saja. Mengapa ia termenung hanyalah karena ia rasanya masih saja pengantin baru. Berpisah dengan
Fang Fang memang mengharukan hatinya.
"Fang Fang! Sebenarnya aku termenung karena mempertimbangkan hendak memberikan
saputangan gambar naga yang masih kusimpan setelah kita kawin. Kamu tidak pernah
menanyakan barang itu setelah kita mengarungi hidup berumah tangga di Istana Singasari. Pada
kesempatan akan berpisah itu, aku ingin meninggalkan saputangan itu kepadamu. Kalau terjadi
sesuatu yang mengancam dirimu selama aku tinggal tugas, saputangan itu akan menjadi juru
selamat." 4 "Ya! Sebelum kamu mengeluarkan saputangan itu, aku sudah lebih dulu menanyakan apakah kamu
masih menyimpannya dan membawanya saat pergi bertugas. Saputangan itu kamu simpan
dikocekmu. Kamu berikan kepadaku. Aku menolak! Tetap simpanlah, karena benda itu akan
melindungi kamu dan keluarga kita. Selama kamu membawanya seizin aku, kamu akan tetap
dilindungi, keselamatan dan kebahagiaan akan terus berada di pihakmu! Pergilah menuruti perintah
komandanmu. Bawalah serta saputangan itu, agar kamu tetap selamat dalam pertempuran. Kamu
sudah menjadi keluargaku, suamiku! Kamu akan terkena pancaran perlindungan saputangan itu!" -'
"Kamu ingat, Fang Fang, akhirnya aku berangkat menunaikan tugas ketentaraanku. Saputangan
gambar naga itu kubawa serta. Bersama-sama Raden Wijaya dan pasukannya, aku berangkat
memadamkan kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang Kediri di Pandaan."
Fang Fang mengangguk. "Aku menunggumu dengan keyakinan mantap bahwa kamu akan
selamat!" "Perusuh itu orang-orang dari Kediri, datang di Pandaan dan sekitarnya dengan berperahu-perahu
ke hilir lewat Bengawan Brantas. Dulu waktu aku mengantar rombongan kamu dan ayahmu, mereka
sudah ku tumpas habis! Kini mereka muncul lagi! Mereka datang dalam gerombolan bersenjata
yang lebih besar lagi! Selesai menggempur gerombolan yang pertama, Raden Wijaya gundah hati
memikirkan istrinya. Aku tersengat oleh pengaruhnya, jadi gelisah memikkkan kamu! Apalagi boleh
dikata aku masih pengantin baru! Apa yang terjadi di istana?"
"Gempar! Orang-orang Kediri menyerbu istana dari arah barat dan selatan. Formasi sapit urang!
Kami terkepung. Pada waktu ku memang para panglima perang sedang tidak ada, termasuk Raden
Wijaya dan Raden Ardaraja. Mereka sedang memadamkan kerusuhan di sebelah utara ibukota
Kerajaan Singasari. Yang menyerbu istana ini bukan gerombolan bersenjata dari Kediri, tetapi
prajurit Kediri yang dipimpin langsung oleh Adipati Jayakatwang! Sri Baginda Kertanegara tidak
percaya bahwa besannya menohok kawan seiring. Pasukan Kediri telah memasuki istana, tapi
Baginda masih juga tidak memerintahkan melawan!" kisah Puteri Fang Fang.
'Tidak seorang pun mengira, Kerajaan Singasari yang begitu kuat, menganut mashab Buddha
Mahayana aliran Kalacakra yang mengandalkan senjata gaib untuk menggalang persahabatan
dengan Raja Bali, Raja Champa, bisa runtuh langsung karena kecurian jantung negerinya! D
"Sri Baginda Kertanegara dibunuh di istana!"
236 "Kegelisahan Raden Wijaya ternyata beralasan. Beliau mengutus aku yang masih pengantin baru
untuk menjenguk ke istana, mengobati rindu pada istri baru. Raden Wijaya sendiri masih
meneruskan menumpas gerombolan feaasenjata di daerah Pulungan. Aku terperanjat bukan main
ketika sampai di Singasari, menemui istana dalam keadaan porak-poranda. Matahari sudah
terbenam, sehingga orang tidak jelas membedakan antara kawan dan lawan. Dalam kesunyian
yang mencurigakan itu, hanya pada sudut-sudut jalan terdapat prajurit asing yang berkelompok
merayakan kemenangannya dengan minum-minum, aku berhasil menyelundup ke istana. Aku
datang ke tempat keputrian, tempat putri-putri bersemayam. Aku hams menyelinap agar tidak
ketahuan oleh prajurit-prajurit Kediri!"
"Jangan lupa menggunakan saputangan gambar naga sebagai penolak bala!" tukas Fang Fang
yang mendengarkan kisah dengan penuh perhatian.
5 "Ya! Pada waktu itu aku ingat saputangan dan pesan-pesanmu mengenai benda keramat itu.
Segera aku keluarkan dari kocek, dan kuikatkan pada pergelangan tanganku. Elok bin ajaib,
rasanya di mana aku ingin lalui, tempat-tempat itu sepi prajurit. Aku berhasil mencapai keputrian,
tetapi penghuninya telah kabur semua entah ke mana!"
"Sebagian ditawan dan diperkosa oleh orang-orang Kediri!"
"Bajingan edan! Mereka itu masih punya tali hubungan keluarga! Puteri Kertanegara yang nomor
tiga menjadi istri Raden Ardaraja, putra Jayakatwang. Ardaraja sendiri masih berjuang
bahu-membahu dengan Raden Wijaya memburu
pengacau ke arah utara."
y "Orang Jawa selalu memperebutkan takhta, harta, dan wanita.1 Kalau sudah kena penyakit itu, satu
saja atau ketiganya, orang suka lupa daratan. Tidak peduli apakah masih ada ikatan keluarga, sikat
saja! Biasanya merembet, kalau menjadi penguasa, kelebihan kekuasaannya untuk mencari harta
dan wanita! Aku sudah mempelajari hal itu," ujar Fang Fang.
"Aku tidak menemukan puteri-puteri di tempatnya. Deg, rasa jantungku! Bagaimana dengan istriku"
Segera saja ku jenguk ke tempat pemondokan. Pintu kubuka dengan keras, terbuka biak! Tapi
kosong! Dalamnya tidak terdapat manusia, tidak ada kamu! Aduh! Di mana Fang Fang, Dewiku"!
Ambruk aku di bilik itu! Ambruk tubuhku, ambruk semangatku! Aku tidak ingin hidup lagi! Nelangsa
rasanya!" Fang Fang gadis Tuban, mendekatkan tubuhnya pada Pamoraga, merangkul pundak taruna Akabri
yang sedang runtuh semangatnya karena kesurupan kisah zaman lampau. Tangannya memeluk
pundak itu erat-erat, seolah-olah mau menghiburnya.
"Kamu tidak ingat dengan saputangan gambar naga yang kamu ikatkan pada pergelangan
tanganmu?" tanya Fang Fang penuh rasa kasih sayang.
Pamoraga mengeluh panjang. Menggeleng-geleng. Ingin ia dengan begitu mengenyahkan rasa
sedih hatinya. Tidak! Tidak saat itti!"
Tapi bukankah saputangan itu masih tetap ada padamu?"
"Ya. Ya, tapi itu kemudian sekali munculnya di ingatanku. Perlahan-lahan aku membuka mata dan
memandang dalam gelap. Hanya remang-remang. Tapi tiba-tiba hidungku mencium bau harum!
Harum yang khusus, bagaikan asap
setanggi. Aku runut asal bau itu, dan aku ingat akan saputangan gambar naga! Ingat
pesan-pesanmu! Saputangan itu akan melindungi keluarga! Siapa keluargaku" Kamu. Puteri Fang
Fang! Berangsur dan pasti, bau harum itu menggugah semangatku untuk bangkit. Segera kuraba
pergelangan tanganku! Betul, saputangan itu masih kupakai Keyakinanku pun pulih kembali! Aku
tentu akan menemukan istriku dalam keadaan selamat Bangkit, dan kucari lebih teliti ruang
pondokan ku. Tetap kosong. Hanya barang-barang tak berharga saja yang tertinggal dalam
keadaan porak poranda. Manusianya tidak ada Jelas hanya perampok saja yang berbuat itu! Lalu
yang paling berharga di mana' Istriku! Bilik ini tentulah sudah dimasuki perampok, tetapi istriku di
6 mana waktu itu" Aduh, ngeri memikirkan hal itu. Bau harum seperti asap setanggi itulah yang
menolongku tidak putus asa. Aku harus cari segera. Ke tempat lain. Aku beranjak ke luar ketika
terdengar namaku terpanggil. Suaramu!" seru Pamoraga sambil memandang bersinar-sinar kepada
Fang Fang. "Kangmas Pamoraga!" ucap Fang Fang memanggil.
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya! Begitu kamu memanggilku dalam gelap. Di bilik pondokan kita!"
"Aku juga tergugah oleh bau asap setanggi! Kami tahu ada orang yang masuk bilik dengan
menendang pintu. Tetapi tidak berani berkutik. Justru menahan napas, agar tidak ketahuan
persembunyian kami. Kami tahu, orang ku jatuh terkulai di lantai. Tapi siapa yang berani bergerak
kalau beberapa waktu sebelumnya para penjarah barang dari Kediri berbuat ganas di tempat yang
sama" Jadi kami berdua tetap mengecilkan diri sembunyi di tempat ku. Takut kalau-kalau yang
datang dengan mendobrak pintu
ini juga penjarah yang luka parah, masuk ke bilik lalu ambruk. Kami biarkan keadaan sunyi dan
gelap gulita. Napas kami kuatur keluar masuknya perlahan, kecil-kecil saja, agar napas kami tidak terdengar oleh pendobrak
yang ambruk ku. Bakal untuk berapa lamanya, kami tidak tahu. Kecuali badan ini sakit semua untuk
meringkus, juga semuten. Tapi lebih baik daripada ketahuan oleh para penjarah, dan kami
mendapat perlakuan seperti puteri-puteri yang laini Kami benahan diam saja!" ,.1)1 mana kamu
bersembunyi?" "Bau harum seperti asap setanggi dibakar itulah yang menggugatku, bahwa orang
yang ambruk di bilik itu tentu membawa saputangan gambar naga! Kakangmas Pamoraga!"
"Ya1 Mendengar panggilan itu aku berbalik. Tidak ada orang. Terlalu gelap untuk ditembus dengan
sorot mataku! 'Fang Fang. Dewiku! Di mana kamu" Aku mencarimu, merindukan kamu, Dinda!'
balas tegurku." Fang Fang tertawa renyah. Remasan tangannya pada lengan taruna Akabri itu dipererat. "Kamu ini
lucu sekali! Calon panglima perang kebingungan karena istrinya hilang!"
"Di mana kamu bersembunyi" Sebab tiba-tiba kamu muncul dalam gelap, langsung menjawilku
seperti ini tadi! Aduh, leganya hatiku! Istriku ketemu dalam keadaan utuh, selamat! Bau dupa
setanggi meliputi pertemuan kita! Bau dari saputangan gambar naga! Fang Fang, buah hatiku!
Kamu bersembunyi di mana"!"
"Di atas kuda-kuda! Ketika prajurit Kediri mulai menggapai istana, keputrian geger! Mereka
berjerit-jerit lari lintang pukang tidak karuan tujuannya! Aku ingat akan Puteri Dara Petak! Segera
kugaet tangannya, dan kutarik
keluar keputrian, ku seret pergi bersembunyi ke pondokan kita. Meski sudah bersembunyi di situ,
aku merasa masih tidak aman. Maka aku cari beberapa gulung stagen. dengan susah payah aku
bikin tali tangga dengan mengait-kan ujungnya pada kuda-kuda bubungan rumah kita. Stagen yang
panjang itu tiap sehasta kusimpulkan sehingga ketika ujung-ujungnya bisa mengait pada kayu
kuda-kuda, bisa dengan mudah aku memanjatnya. Simpul tali ku merupakan anak tangga. Puteri
Dara Petak kusuruh menirukan perbuatanku. Dan selamatlah kami bertengger di kuda-kuda.
Tangga stagen kutarik ke atas. Apa yang kurasa tidak aman benar juga. Sebab kemudian datang
prajurit Kediri yang ganas rakus menjarah rayah barang-barang kita yang berharga!" ucap Fang
7 Fang dengan nada kesal. "Kamu tidak usah kesal karena itu! Yang pokok dan yang paling berharga adalah dirimu! Selamat
lepas dari penjarahan! Dan lagi, aduh aku bangga sekali kepadamu! Kamu telah menyelamatkan
Puteri Dara Petak! Karena kamulah, maka laporanku kepada Raden Wijaya bisa agak lancar! Aku
bisa kembali ke Pulungan dengan membawa serta kamu dan Puteri Dara Petak! Huh! Aku gemes
terhadapmu! Aku bangga sekali terhadapmu!" ujar Pamoraga. Sambil berkata demikian, Pamoraga
menghadap kepada Fang Fang. Tangan Fang Fang yang memegang lengannya dilepaskan dan
taruna Akabri ku pun ganti mendekap Fang Fang dari depan! Dipeluk dengan gemes! Mereka masih
berada di depan kamar mandi yang pintunya tidak bisa rapat ditutup.
"E, e, e, e! Aku tidak sendirian!" ujar Fang Fang kemalu-maluan dalam dekapan Pamoraga. Tapi ia
tidak menolak atau menghindar.
"Aku tahu, kamu bersembunyi dengan Puteri Dara Petak! Tidak sendirian dalam bilik ini!" ucap
Pamoraga lebih bernafsu lagi dan mempererat dekapannya*ti
"Hiss! Bukan! Orang laki!" ! j "Lahl Lah! Lah! Kalau dibiarkan, ya! Masa kencing kok kunanya
setengah hari! Apa yang dikeluarkan air setempayan penuh" Apa-apaan ini! Sudah curiga saja
aku!" terdengar suara perempuan menegur! Nada cemburu.
Pamoraga melepaskan pelukannya mendadak dan ambil jarak. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia tidak
lagi di bilik pondokannya di Istana Singasari, melainkan di depan kamar mandi rumahnya di
Watukosek. Wajahnya merah padam, tampak menggetar ketakutan, merasa berbuat dosa ketahuan
orang lain! Fang Fang tidak seterkejut Pamoraga. Melepaskan diri pelahan, jari-jarinya masih sempat mencubit
lengan Pamoraga, tersenyum terus. Ujarnya, "Perbuatanmu sebagai suami kepadaku tak pernah
sempurna! Pikiranmu selalu terganggu oleh perempuan lain, sekalipun aku sudah merelakan diriku
sepasrah mungkin, Perwiraku yang gagah perkasa!"
"Ayo, Pamor! Fang Fang! Tunggu apa lagi! Kita sepakat mau berangkat ke Kediri sekarang juga!
Rombongan bergabung dan semua pergi. Mobil kita dapat dipakai sampai Kediri, bukan?"
"Asal kamu dampingi aku, tentu bisa, Wariwari!" ucap Pamoraga masih gemetar.
Fang Fang berjalan melenggang ke depan, melewati Wariwari. Ia tersenyum mencebll mendengar
rayuan Pamoraga terhadap Wariwari.
"Kok kamu tersenyum begitu, Fang"!"
"Jangan dituduh dia mencuri. Aku yang menawarkan.
Hampir saja aku jadi miliknya! Kalau saja kamu tidak keburu datang, mungkin aku bisa
mengumumkan pertunanganku dengan Mas Pamor. Peristiwa ulangan seperu hasil sayembara
menemukan saputangan gambar naga dulu! Aku juga menaruh cinta kepadanya. Cuma aku kuatir
berulang seperti dulu juga. Ada kamu di hatinya. Jadi perbuatannya kepadaku sebagai istrinya tidak
pernah sempurna!" Ia berkata sambil berjalan terus, tidak peduli didengar atau tidak oleh sasaran
bicaranya. Tapi sebenarnya Fang Fang berbicara itu lebih utama ditujukan kepada diri sendiri!
8 "Apa" Apa" Kemunculanku mengganggu kalian?" tanya Wariwari. Pertanyaan itu ditujukan kepada
Fang Fang dan Pamoraga, yang berdirinya sudah ditengahi oleh Wariwari.
Pamoraga segera merangkulnya, mengajaknya mengikuti langkah Fang Fang yang telah melintasi
mang tengah. "Mengganggu apa" Mengganggu laki-laki yang mengintip perempuan kencing" Ha, ha, hal Aku
taruna Akabri, Id Tidak melahap apa saja yang ditawarkan!"
Wariwari pun terseret ke suasana kendor. Ia sudah pandai melucu, "Tapi yang ditawarkan barusan
bukan sembarang tawaran, to! Selera tinggi! Hebat juga kamu tidak kebakaran nafsu!"
Keluar dari rumah dalam suasana riang dan bergandengan tangan demikian, Pamoraga dan
Wariwari melanjutkan keakrabannya sambil mempersiapkan keberangkatannya ke Kediri. Fang
Fang, gadis yang molek itu, sudah kembali duduk melekat pada Swandanu. Tanpa perjanjian
otot-ototan, mereka telah berjalan berpasangan tanpa banyak bicara. Semua mengerti, rela, ikhlas,
dan senang hati! 243 Ketika bersiap meninggalkan rumah Prawiradahana, mereka sudah berpasang-pasangan. Fusen
naik mobil Civic yang dikemudikan oleh pemiliknya, Yong Pin.
"Kita sejak dulu memang berpasangan! Aku dan kamu tak terpisahkan sejak zaman Singasari!"
gurau Fusen ketika masuk mobil, duduk di samping sopir.
"Lalu, kamu lepas tugasmu mengawal Fang Fang yang kamu kerjakan sejak dari Tuban" Kamulah
yang bertanggung jawab mengajak dia keluar dari rumahnya yang aman damai di tengah
keluarganya!" Yong Pin setengah memperingatkan.
"Ah! Tapi sekarang ia lebih hangat dikurung oleh keluarganya generasi abad ketiga belas Masehi!"
ucap Fusen masih saja dengan gaya berseloroh. "Lihat itu, ayahnya, ibunya, kekasihnya, sekarang
mengerumuni dia, ikut pada mobil Suzuki semua! Aku tidak kuatir ia terkena bahaya! Ketiga orang
itu tentu siap sedia membela sampai mati kalau ada bahaya yang menyerang Fang Fang. Namun
begitu, sebagai pengawal, sebaiknya kita berjalan di belakang mobil mereka. Dengan begitu kita
masih bisa mengamat-amatinya."
Yong Pin melaksanakan seperti apa anjuran sahabatnya.
"Aku heran. Mengapa kamu juga tertarik pergi ke Kediri" Sebenarnya kamu bisa pulang ke
Surabaya dengan mobilmu ini. Aku bisa ikut mobil Suzuki itu sekalian, duduk bertiga dengan Dokter
Mengki dan Doktor Aisun."
"Ah! Masa etis aku tinggalkan kamu terpenggal di tengah jalan. Kadung berangkat bersama, ya
pulang bersama. Sudah kuniati menemani kamu sampai di mana saja demi pengobatan Fang Fang.
Lagi pula aku tadi sudah bilang. Aku ingin melihat tempat kamu menemukan kepala
244 orang Tartar yang kena panah beracun itu! Nanti sampai di sana kamu harus menyempatkan diri
9 datang ke tempat itu." "Beres!" Mobil Suzuki Carry di depan dikemudikan oleh taruna Akabri Pamoraga. Di sampingnya duduk
Wariwari. Pamoraga tersenyum lebar ketika gadis berwajah hitam manis itu masuk menyusul lewat
pintu sebelah. Si Gadis ita tidak tersenyum, tidak ikut-ikutan tersenyum. Tapi mulutnya mengatup,
janggutnya membesar nggondok seperti katak jantan mau memanggil betinanya.
"Kok seperti CPM yang bertugas di Istana?" pengemudi menggoda.
"Biar! Biar cara mengemudimu tidak grusa-grusuV jawab Wariwari ketus, keras, menyentak.
"Ayahku bertambah yakin bahwa aku menuruti panggilannya tidak hanya sekadar datang dengan
gadis asal bawa saja. Ada alasanku yang maton untuk menolak gadis pilihannya. Beliau tidak bicara
soal apa kepentingannya memanggilku sekarang ini. Tadi ketika kuparniti mereka bertanya, kapan
ayah dan ibuku bisa melamar ke rumahmu," ujar Pamoraga sambil melepaskan mobilnya ke jalan
raya. "Tidak dapatkah kamu berangkat lebih cepat dan ada di depan mereka" Kamu orang yang
memimpin dan menjadi penunjuk jalan dalam penyerbuan ke Kerajaan Jayakatwang ini! Lihat mobil
merah itu pun memperlambat jalan dan memberi kesempatan! Mereka orang Tartar, tidak tahu di
mana Kediri! Lupakan saja bicara soal ayahmu itu. Sudah tidak zaman lagi membicarakan hal itu
pada perjalanan ini. Lakonnya sekarang pasukan Tartar menyerbu Kediri!"
"Baik, Nona Muda! Ibumu tidak akan suka melihat kamu duduk di sebelahku begini. Tidak apa. Aku
akan membuktikan diri sebagai calon menantu yang baikf.BJ "Kalau kamu bicara itu lagi, aku akan
turun segera dan tidak ikut perjalanan ke Kediri! Juga peristiwa masa lalu ketika aku tinggal di
rumah sini, tidak terlibat jadi saksi apa yang kalian perbuat di samping menggempur Istana
Jayakatwang. Aku tidak peduli amat. Kalau diulang lagi ditinggal di sini, ya aku mau saja! Memang
ada keinginanku sekali ini untuk ikut napak tilas dan membongkar borok terpendam dalam
rekonstruksi kejadian tujuh abad yang lalu! Tapi kalau kamu bicara tentang pertunanganmu yang
menyebalkan hati itu, biarlah aku tinggal di sini saja! Memang nasib istri Jawa, tinggal di dapur
saja!" "Wah, wah, wah! Kedengarannya hebat betul! Membongkar borok terpendam! Lalu kamu nanti akan
membuat putusan terakhir! Siapakah jodohmu untuk abad sekarang, setelah melihat borok di Kediri
nanti! Akur, deh\ Kamu mesti ikut ke Kediri, dan tidak tinggal menunggui rumah di Rabut Carat!"
Yang duduk di kursi tengah adalah Fang Fang dan Swandanu. Meskipun tempatnya masih longgar,
Fang Fang duduk mendesak mahasiswa UGM itu sehingga napasnya bisa saling terasakan, baik
lewat kembang kempisnya dada maupun hembusan lembut lewat lubang hidung. Mereka berbicara
perihal pertemuan mereka kembali setelah kelompok pasukan Raden Wijaya terlari-lari melewati
daerah Rabut Carat, dan Pamoraga datang membawa Fang Fang untuk dititipkan di rumah
Swandanu! "Hatiku bersorak waktu itu karena Kangmas Pamoraga memutuskan meninggalkan aku di
rumahmu. Untung aku 10 tidak disuruh melanjutkan mengikuti pelarian Raden
Wijaya. Tidak disuruh menemani Puteri Dara Petak," bisikf ^ bisik Fang Fang.
"Andai ikut pelarian Raden Wijaya, pasti akan sulit
sekali." "Ya, berat sekali. Aku bersama Kangmas Pamoraga dan Puteri Dara Petak bergabung dengan
pasukan Raden Wijaya di Telagapager. Belum sampai bernapas lega, pasukan Kediri sudah datang
dari selatan. Raden Wijaya menyuruh para prajurit melawan. Tapi karena kalah banyak, pasukan
Raden Wijaya terpaksa lari ke utara. Aku dan Puteri Dara Petak ikut tersandung-sandung lari
demikian. Musuh tidak mengejar. Tapi keesokan harinya terjadi pertempuran sengit. Perwira
Singasari, Gajah Pagon, terluka pada pahanya. Ia ditandu masuk ke hutan. Heran, kekuatan
pasukan Raden Wijaya begitu menurun hingga lebih banyak yang melarikan diri daripada meladeni
bertempur melawan pasukan Kediri."
"Berita tentang hancurnya jantung Kerajaan Singasari sungguh melemahkan semangat juang
pasukan Raden Wijaya," komentar Swandanu.
"Kami berjalan masuk hutan untuk menghindari pengejaran dan pertempuran terbuka. Puteri Dara
Petak dan Perwira Gajah Pagon didukung bergantian. Karena Puteri Dara Petak kelelahan maka ia
minta ditandu saja. Sedang Gajah Pagon didukung belakang secara bergantian. Aku tidak mau,
karena merasa bisa berjalan sendiri. Sampai di Pandaan, kami diberi makan, oleh Buyut Pandaan
bernama Macan Kuping. Perwira Gajah Pagon terpaksa ditinggalkan di sana, disembunyikan pada
sebuah gubuk di tengah ladang."
"Kamu dan Puteri Dara Petak tetap mengikuti induk pasukan?"
"Di Kedungpeluk terjadi pertempuran lagi. Pasukan Raden Wijaya berhasil menghindar dan lari
menuju ke barat, sampai di Kepulungan. Orang tua Kakanda Pamoraga yang tinggal di situ
mengisahkan bahwa di situ tidak aman untuk prajurit Singasari. Selam pasukan resmi pengejar dari
Kediri, desa itu sudah beberapa waktu dikuasai oleh kaum pemberontak, orang dari Kediri, Kini
mereka telah bergabung dengan pasukan dari Kediri. Karena keterangan ini, maka pasukan Raden
Wijaya melanjutkan perjalanan menuju Rabut Carat. Aku urung ditinggalkan di rumah mertua di
Kepulungan." "Ya. Aku ingat kedatangan Raden Wijaya dan rombongannya. Puteri Dara Petak ditandu pada
sebuah kursi." . .."Di Rabut Carat juga terjadi pertempuran. Pasukan Kediri datang dari barat. Dari jauh bendera
mereka sudah tampak berkibar. Melihat kibaran bendera Kediri itu, Perwira Ardaraja yang selalu
bahu-membahu berjuang bersama Raden Wijaya, tiba-tiba mohon pamit untuk meninggalkan induk
pasukan, dan lari kembali ke Kepulungan," ganti Swandanu berkisah. Karena dalam pertempuran
itu ia ikut bersaksi. "Ardaraja, bukankah dia putra Jayakatwang raja di Kediri yang membunuh Baginda Kertanegara?"
"Ya. Ia menggabung pasukan Kediri di Kepulungan." "Dan aku diserahkan kepadamu untuk
11 dilindungi dari marabahaya."
"Sayang, saputanganmu tidak kauminta untuk ditinggalkan. Andaikata ditinggalkan kamu sudah
tidak gelisah lagi! Kita bisa hidup aman dan tenterami"
248 "Kangmas Pamoraga bukan orang bodoh. Saputangan
itu akan tetap dibawanya sebagai belenggu untukku! Ia
juga sudah termakan oleh saranku, bahwa selama ia menyimpan saputangan itu, jiwanya akan
selamat, dan akan bisa bertemu dengan aku lagi!"
"Dalam pergaulan asyik-masyuk denganmu selama ditinggal oleh Pamoraga yang setia mengikuti
perjalanan Raden Wijaya, aku jadi paham bahwa untuk memperoleh cintamu yang sejati, kita harus
memiliki saputangan gambar naga itu. Mutlak! Maka sejak saat itu aku berjanji dalam hati untuk
berusaha mengembalikan saputangan itu ke tanganmu! Akan kuminta baik-baik kepada Pamoraga
agar saputangan itu diberikan kepadamu."
"Kalau tidak boleh?"
"Untuk dia tidak ada kepentingannya, tetapi untukmu bisa memberikan ketenteraman!"
"Mungkin kalau yang minta kamu, ada persyaratan yang harus kamu penuhi!"
"Persyaratan apa pun akan kupenuhi!"
"Bagaimana kalau Mbak Wariwari diminta" Kangmas Pamoraga jatuh cinta sama Mbak Wariwari!
Begitu rupa sehingga pergaulannya denganku bersuami istri tidak bisa menjadi laki-laki yang
sempurna!" "Ah! Kamu baru berkata sekarang!"
'Tidak! Kangmas sudah tahu! Itulah yang membuat aku gemes sama kamu. Waktu ditinggalkan oleh
Kangmas Pamoraga mengikuti Raden Wijaya, kamu masih suka mencubit pipiku, dan segera
kuketahui bahwa kamu laki
"Ah, kamu!" "Bagaimana" Boleh Mbak Wariwari diminta, dan ditukar dengan saputangan itu?"
"Boleh! Silakan! Demi cinta kita! Cintamu yang sejati. Kka bisa hidup aman dan tenteram hingga
akhir zaman!" "Tapi terlambat sudah!" "Mengapa?"
"Habis, kamu tidak serius memperebutkan saputangan gambar naga itu bagiku. Katamu mau
menghubungi Kangmas Pamoraga yang menjadi orang kepercayaan Raden Wijaya. Kamu sudah
berangkat ke Hutan Terik tempat Raden wijaya membangun desa penghunian, tapi sampai begitu
jauh tidak ada kabar beritanya! Tahu-tahu kamu sudah menjadi prajurit cadangan ketika geger
12 pasukan Tartar menyerbu Ibukota Kerajaan Kediri!" kilah Fang Fang.
"Aku sudah berusaha, Puteri! Tetapi tidak mudah menemui Panglima Pamoraga! Sulit orang awam
seperti aku ini menemui orang berpangkat seperti dia! Ia sedang sibuk mengatur barisan
perlawanan terpendam terhadap kekuatan pasukan Kediri. Ia diberi tanggung jawab sepenuhnya
oleh Raden Wijaya untuk membentuk pasukan gabungan dari sisa-sisa prajurit Singasari yang
berceceran di segala tempat dengan orang-orang dari Madura, balabantuan dari Adipati Wiraraja.
Tempatnya tidak tetap, sehari di Hutan Terik melapor kepada Raden Wijaya, keesokan harinya
sudah berada di Ujunggaluh untuk membentuk pasukan di sana. Tentu saja aku tidak bisa bergerak
cepat mengikuti gerak Pamoraga yang dirahasiakan itu! Tidak sempat aku bertemu dia dan
mengutarakan maksud kita, minta kepadanya supaya saputangan gambar naga itu diberikan
kepadamu! Kesempatan bertemu dengan dia adalah kalau aku masuk sukarelawan menjadi tentara
bentukan baru. Sebab, kupikir pada suatu waktu yang singkat, Panglima Pamoraga tentulah melihat persiapan
pasukan bantuan baru ini. Maksudku pada waktu itulah aku menemui dia! Untuk menjadi pasukan
tetap, tidak bisa, karena aku bukan mantan prajurit Singasari! Tetapi nasib kurang mujur sedang
melanda diriku. Pasukan cadangan yang kumasuki tidak dilatih di Hutan Terik yang sudah terbentuk
desa dengan nama Majapahit, tetapi dikirim ke suatu hutan tersembunyi di tikungan Kali Brantas
yang jauh lebih ke hikr, yaij
"Yah, nasib kita waktu itu memang begitu! Belum jodoh! Aku tidak bisa bersatu dengan kamu dan
saputangan itu! Terlambat" Keburu datangnya pasukan Tartar yang mendarat di Kali Pacekan,
Ujunggaluh, dan terjadi pertempuran di Kediri!" , <
"Fang Fang, Dewiku! Sebetulnya kka belum terlambat!"
"Belum" Bagaimana" Kita sudah terkubur bersama, tetapi tidak mendapat ketenteraman jiwa
karena saputangan gambar naga itu tidak berada pada kita! Kita mau apa lagi?"
"Terlambat untuk masa lalu, generasi zaman runtuhm Kerajaan Kediri! Tetapi tidak generasi
pembangunan I donesia memasuki pelita kelima ini! Buktinya sekara kita bisa ketemu lagi, duduk
bersanding dan bicara mes begini tanpa diganggu gugat. Kita bisa melangsungk keakraban dan
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketenteraman bercinta ini untuk seterusnya sampai akhir zaman."
25) "Tanpa saputangan gambar naga lagi" Tidak mungkin, Mas Danu! Kalau memang mau mencapai
kekekalan bercinta, kita harus berusaha menemukan saputangan gambar naga itu! Mutlak!"
"Masih ada kesempatan! Harus kita temukan, saputangan itu akan kamu genggam sebelum kita
sampai pada akhir perjalanan! Aku nanti mau bicara dengan Pamoraga! Akan kuminta saputangan
gambar naga itu padanya! Kamu yakin bahwa dia masih menyimpannya baik-baik?"
Fang Fang mengangguk. "Biar pun pergi bertempur dan menjelajah medan perang, Kangmas
Pamoraga selalu menyimpan saputangan gambar naga ku. Saputangan itu tersembunyi dalam
koceknya diikat pinggangnya sebelah kiri. Ia bukan Papa! Kalau Papa memang sembrono!
Saputangan jimat bisa tercecer di dangau tepi Kali Pacekan!"
Swandanu mengangkat muka. Ia sadar bahwa ia berada di dekat Pamoraga. Tidak berduaan saja
dengan Fang Fang. Sekilas ia maki, begitu asyik bicara enak saja dengan gadis keturunan Cina
13 yang baik tubuhnya, wajahnya, dan cara bergaulnya yang begitu menggiurkan seorang laki-laki!
xMalu karena tingkah perbuatan Swandanu terhanyut pada lagu gandrung pada perempuan di
sebelahnya sehingga mengabaikan lingkungan' Tenggelam dalam asyik-masyuk, kehilangan tata
krama, dan tidak menghargai manusia lain seputarnya! Tapi cuma sekilas. Sebab berikutnya ia pun
sadar bahwa manusia lain seputarnya juga merupakan kehadiran Swandanu dengan Fang Fang!
Dan segala perbuatannya terhadap Fang Fang tidak ketahuan oleh yang lain, segala bicara yang
saling diucapkan tidak terdengar oleh rang last. Swandanu pun mengulurkan tangan untuk
nenggamk bahu Pamoraga yang sedang mengemudikan
mobil, bermaksud menanyakan perihal saputangan gambar
naga. "Pamor! Apakah saputangan Fang Fang masih kamu simpan7 Masih kamu gembol di pinggangmu"
Kamu kan tidak perlu lagi! Berikanlah kepada Fang Fang sekarang!" ucap Swandanu.
Belum! Belum terucapkan! Tangan yang telah melayang ditangkap tangan halus berjari-jari lentik,
berkulit kuning langsat. Tangan Fang Fang.
"Jangan, Mas! Jangan mengganggu! Mereka sedang memadu cinta!"
Swandanu menoleh ke kanan, menatap wajah yang tersenyum lembut dengan sapuan pandang
mata yang mengajak damai. "Nanti saja, kalau kka bisa berhadapan!"
Tertunda. Swandanu setuju! Menoleh ke kanan, di belakang wajah ayu itu, di luar mobil, tampak
terminal bus Mojokerto. Mobil pun berbelok ke kiri Jalan menjadi lebih luas, kecepatan ditambah!
Ketika melewati Trowulan, Doktor Aisun berseru, "Bukankah di sini Raden Wijaya kemudian
mendirikan pusat kerajaan" Di sini sebagian pasukan Tartar yang pulang kelelahan dari Kediri
dijebak dan dibantai Tidak adakah di antara kalian yang bisa bercerita tentang itu?"
Tapi pertanyaan itu juga tertunda jawabnya. Tidak ada yang mendengar. Deru mesin menggerang
keras. Dan kendaraannya lari bagaikan diuber setan!
Jok Suzuki Super Carry bagian belakang ditempati pasangan Dokter Mengki dan Doktor Aisun.
Kedua pasangan tua itu juga tidak berdiam diri: Mereka asyik bicara tentang masa muda. Mereka
seperti sama-sama pulang berlayar, membawa hati yang kecewa. Sebenarnya mereka
sudah kecewa sejak dari keberangkatannya! Mengapa Mengki'i harus jadi utusan Kubilai Khan"
Mengapa Mengki'i harus pergi berlayar" Karena dengan begitu, harus pisah dengan keluarganya!
Itu tidak mungkin! Menurut firasat Aisun Sang Istri, kalau mereka berpisah tentulah akan berpisah
selamanya! Mengki'i tercinta tidak akan kembali! Pulang cuma nama saja! Maka setelah babak
belur adu argumentasi, Aisun menang atau Mengki'i yang mengalah. Aisun dan gadisnya Fang
Fang naik ke kapal, ikut serta melawat ke Singasari! Dan pulang berlayar dengan hati kecewa!
Muhibah dutanya tidak berhasil, daun telinga kiri diperung orang, dan yang paling melukai hati,
Fang Fang tidak terbawa pulang! Tenggelam di Bengawan Brantas!
"Tahu kamu, siapa yang paling kecewa ketika kami tiba di Fukien kembali tanpa membawa serta
Fang Fang dan saputangan, itu?" tanya Doktor Aisun.
14 Mobil mereka sudah melewati stasiun kereta api Jombang. "Kita semua kecewa! Aku, kamu, Kubilai
Khan! Misi kita memang gagal! Tapi yang paling salah memang Kaisar Kubilai Khan! Mengapa
begitu rakus! Mengapa ingin menaklukkan Singasari! Kalau keinginannya tak sampai, tentulah
kecewa!" "Memang begitu! Siapa yang terlalu banyak keinginan, merekalah yang paling sering kecewa
karena banyak keinginannya tidak terpenuhi. Tetapi mereka yang banyak keinginan tentulah paling
banyak memperoleh hasil! Yang mau kubicarakan bukan soal kegagalan misi. Anu, Adik Hwee! Ia
begitu menyesal, gedrag-gedrug menggebrakkan kakinya ke lantai ketika diketahui saputangan
gambar naga jitu] tidak terbawa kembali ke tengah-tengah keluarga di Fukien"
254 "Apa" Saputangan itu lagi?"
"Ia sudah terpengaruh omonganku! Seperti halnya Fang Fang. Saputangan gambar naga itu
pengayom keluarga! Jangan dihilangkan! Kalau bisa jangan dikeluarkan dari
rumah warisan nenek moyang kita! Kalau saputangan itu berada di rumah maka harta peninggalan
nenek moyang kita, rumah besar, halaman, ladang dan kebun kita, akan tetap menjadi milik
keluarga dengan selamat!" gj i r "Kepercayaan takhayul ditonjol-tonjolkan!"
"Buktinya nyata. Kamu lalai mencecerkan saputangan itu dan misimu tidak berhasil!"
"Itu sudah bisa kami perkirakan. Aku menilik kedua utusan yang berangkat terdahulu, sembilan dan
tujuh tahun sebelumku, juga mengalami kegagalan."
"Ya. Tapi mereka tidak disertai pemangkasan daun telinga! Untung Fang Fang segera mengibarkan
saputangan itu ketika daun telingamu sedang dipangkas! Kalau tidak, anggota badanmu yang lain
dipotong sekalian!" "Hei! Sampai di mana kita?" seru Dokter Mengki menengok ke luar.
"Lepas Kota Jombang!" jawab sopk.
"Sudah jam dua belas! Cari warung, kita perlu mengisi perut!"
"Warung pojok sebelah kanan .jalan itu! Hidangannya boleh juga," kata Swandanu. i
Si Sopir Pamoraga mengerti. Ke situlah mobil dibelokkan dan parkir. Honda Civic merah yang
membuntuti tidak kurang waspada. Ia mengikuti dengan patuh.
Mereka duduk di seputar dua meja yang disatukan, yang tiap sisinya diduduki sepasang laki-laki
perempuan, kecuali pada sisi Fusen dan Yong Pin. Sementara pesanan makanan belum
dihidangkan, Doktor Aisun bercerita tentang kembalinya pasukan Tartar dari Kediri ke Ujunggaluh
yang mendapat perlawanan tersembunyi dari laskar Raden wijaya. Tentu saja kisah itu berdasarkan
hasil studi yang dipelajarinya.
Tadi di Trowulan aku tanya, tidak adakah di antara kalian yang bisa bercerita tentang kembalinya
pasukan Tartar dari Kediri" Tapi tidak ada yang menjawab. Bagaimana Pak Taruna Akabri?" tanya
15 Doktor Aisun. "Bukankah Tuan yang mewakili Raden Wijaya memimpin pasukan Tartar menuju
Kediri?" Pamoraga tidak menjawab dengan ucapan, cuma geleng kepala.
"Dan Swandanu" Kamu juga berjuang di pihak Raden Wijaya."
"Saya hanya pasukan cadangan! Sebelum pasukan Tartar berangkat dari Ujunggaluh, pasukan sisa
prajurit Singasari dibawa ke barat lagi dari tempat ini, di tikungan Kali Brantas. Di situ kami dilatih
berkelahi!" "Jadi tidak tahu bagaimana pasukan Tartar yang letih lelah pulang dari Kediri digempur pasukan
tersembunyi Raden Wijaya" Mestinya kamu tkv0*'
"Saya melihat mereka ketika melintas di dekat kami berlatih. Waktu itu debu berhamburan karena
tanah begitu kering dan berdebu, dilalui beratus-ratus kuda orang Tartar. Sebagian besar terpaksa
menutup hidungnya dengan saputangan. Namun begitu, saya melihat kembaran Tuan Puteri Fang
Fang ikut berjalan bersama panglima bangsa
Tartar. Mereka naik kuda beriringan, bahkan juga bersama
Pamoraga!" "Kok kembarannya?" Pamoraga terheran-heran.
"Sebab ia mengenakan pakaian prajurit Tartar seperti yang kulihat pertama kali dulu! Sedangkan
Puteri Fang Fang yang terakhir kutinggalkan di rumah Rabut Carat sudah berpakaian Jawa. Jadi
sepintas lalu kusangka putri yang berkuda beriringan dengan panglima pasukan Tartar itu
kembaran Fang Fang yang di ramahku! Apa lagi mereka hanya lewat saja, kulihat dari jauh. Karena
ku menyapamu pun tidak bisa! Tapi aku ingat, waktu itu aku perlu berbicara denganmu! Aku coba
mendekati kamu. Tapi sebelum sampai di dekatmu, aku sudah dipukul oleh salah seorang prajurit
Tartar. Begitu kerasnya pukulan mereka hingga aku tidak ingat diri lagi."
"Kalau aku ikut dalam pasukan Tartar, berarti waktu itu kami sedang berangkat untuk menyergap
Raja Jayakatwang di Kediri!" penjelasan Pamoraga.
"Ya, itu kan waktu berangkat menyerbu. Yang kutanyakan waktu pulangnya, waktu pasukan Tartar
terpaksa berperang sepanjang jalan dari Kediri sampai di kapalnya di Kali Pacekan! Berperang
melawan pasukan Raden Wijaya yang sebelumnya adalah mitra pasukan Tartar menggempur
Kediri!" ujar Doktor Aisun.
"Oh, ya. Apa yang harus kubicarakan kepadamu waktu itu, ya" Sungguh mendesak sekali! Ah, ya!
Saputangan gambar naga! Masih adakah padamu, saputangan milik Fang Fang?" Swandanu masih
terpancang pada kisahnya sendiri!
"Pada waktu itu";Ada! Kusimpan dalam kocekku yang kutambatkan pada perutku. Saputangan itu
kuletakkan di pinggangku sebelah kiri depan. Di sini," ujar Pamoraga sambil berdiri dan menunjukkan tempatnya.
16 "Sekarang" Sekarang, masihkah kamu simpan?" "Apa" Saputangan itu" Gila! Ya terang tidak ada!
Kejadian itu tujuh ratus tahun yang lalu! Sekarang di mana, masa aku bisa tahu?"
"Fang Fang! Saputangan itu sekarang sudah tidak ada lagi padanya!" ujar Swandanu sambil
menggenggam erat tangan Fang Fang. "Katamu Pamoraga selalu membawanya meskipun di
medan perang!" Ifets "Ya. Memang aku selalu membawanya! Juga waktu memimpin pasukan Tartar untuk
menunjukkan jalan ke Kota Kediri. Pada waktu melewati .tikungan Kali Brantas dan mungkin
melewati kamu juga, saputangan itu masih dalam kocekku!"
"Fang Fang! Kita harus berjuang lagi mencari dan mendapatkannya! Harus! Sebelum akhir
perjalanan ini, kita harus temukan, hams tergenggam olehmu! Tanpa saputangan itu, kita tidak akan
tenteram dalam peraduan abadi!" suara Swandanu bergetar karena desakan emosinya yang
meluap-luap. "Ya, Mas Danu! Aku akan membantumu!" "Kka harus berjuang bersama-sama mencarinya,
menapak tilas, sampai perjalanan akhir! Jangan pisah lagi denganku! Pamor! Ingatkah kamu, di
mana saputangan itu akhirnya hilang dari padamu?" suara Swandanu tetap gementar.
Pamoraga mengheningkan cipta, memejamkan matanya, pikkannya dibulatkan untuk mengingat
bayang-bayang kejadian yang pernah hinggap di kepalanya. Tidak ingat! Ia menggeleng dan
menjawab dengan sedih. 'Tidak.
Aku tidak dapat mengingatnya! Maafkan, Swandanu! Fang
Fang!" Geraham Swandanu bergemeretak!
"Swandanu! Sabarlah! Kita semua sedang merunut perjalananmu ke Kediri^ lipur Doktor Aisun.
Kepada yang ktia ia bertanya, "Jadi tidak ada di antara kalian yang mengetahui peristiwa
kembalinya pasukan Tartar ke Ujunggaluh" Bagaimana pengalaman di balik angan kalian" Apa
tidak ada yang ikut pasukan Tartar" Aku ingin menimba pengalaman dari pelaku-pelakunya. Fusen
dan Yong Pin, bukankah kamu ikut kembali berlayar ke Singasari setelah selamat mengantarkan
Duta Mengki'i ke FukienjHsi.
"Ya, Nyonya! Bahkan kami yang menganjurkan agar perahu dan kapal dilabuhkan di muara Kali
Pacekan! Sebab pengalaman dengan Tuan Puteri Fang Fang ketika menemukan saputangan di
suatu dangau, tempat itu dekat dengan laut. Kalau kami ingin ke Singasari, lebih baik berlabuh di
situ, bisa mengirit perjalanan darat antara Tuban dan Ujunggaluh."
"Tidakkah kalian ikut menyerbu ke Kediri?"
"Ikut juga. Aku dan Yong Pin ikut pasukan Panglima Kau Hsing."
"Jadi waktu pulang dari Kediri kalian ikut mengalami serangan bersembunyi dari laskar Raden
Wijaya?" "Tidak. Kami tidak ingat itu!"
17 "Aku selalu dekat dengan Raden Wijaya. Aku sedang bersama Panglima Kau Hsing ketika
mengejar seorang pangeran Kediri yang lolos dari pengepungan pasukan Tartar. Tetapi kami tidak
ikut menyerbu pasukan Tartar yang pulang dari Kediri," penjelasan Pamoraga.
"Sayang sekali. Kalau begitu tidak ada seorang pun yang hidup di antara kalian setelah Kediri jatuh.
Apa ini karena hebatnya perang yang melibatkan permusuhan berbagai pihak sehingga kalian
secara kebetulan tidak bisa ikut mengalami kembalinya tentara Tartar ke Ujunggaluh. Atau ada
sesuatu yang membuat rentetan jiwa kalian melayang pada kurun waktu penyerbuan Ibukota
Kerajaan Kediri," ucap Doktor Aisun. Wajahnya berkerinyut, namun sinar matanya berbinar, seirama
dengan getar suaranya yang kian menanjak. Ia ingin menunjukkan bahwa di bidang studi arkeologi
itu ada segi-segi yang menarik untuk dipaparkan.
"Maksud Nyonya, pada kasus kedua itu ada seseorang yang sengaja membunuh kami berempat
dengan maksud-maksud tersembunyi?" tanya Yong Pin merasa ngeri. "Fusen, aku, Mas Pamoraga
dan Mas Swandanu. 'Berlima! Fusen, Yong Pin, Mas Pamor, Mas Danu dan aku! Berlima dengan aku! Karena aku ikut
serta pula dalam pasukan gabungan Raden Wijaya-Tartar ketika menyerbu Kediri. Tetapi aku tidak
tahu lagi akhir cerita! Serangkaian pembunuhan yang mengakibatkan korban lima orang! Dan
kelima orang korban itu sekarang berkumpul di sini!" sahut Fang Fang sambil langsung mencicipi air
es yang sedang dihidangkan.
"Ini menarik sekali. Sekarang keinginan pergi ke Kediri ini atas usul kalian sendiri, karena kalian
merasa kejadian dan pengalaman di Kediri itu sangat penting. Karena itu kalian sepakat pergi
bersama-sama ke sana. Kita belum tahu kejadian apa yang penting itu. Tapi sampai di sini kka
sudah mengetahui atau memperkirakan. Kejadian yang penting itu adalah kematian kalian itu.
Kalian,ikut mengalami penyerbuan ke Kediri, baik di pihak Raden Wijaya maupun pasukan Tartar.
Tetapi kalian tidak mengalami kejadian perangnya pasukan Tartar dengan Raden Wijaya! Di mana
dan mengapa kalian waktu itu?" Doktor Aisua tambah kuat saja bicaranya, bahkan dibantu
berdkfcjdari duduknya. Ia memang seorang dosen yang baik, di mana-mana bila sempat selalu
memberi kuliah, memaparkan ilmu pengetahuan miliknya kepada siapa saja yang tercekam
mendengarkannya. Seperti halnya di Warung Pojok luar kota barat Kota Jombang itu!
"Aku ingin ke Kediri karena kami merasa telah berbuat tolol bersama! Aku ingin mempelajari dan
memperbaiki nasib, jangan seperti yang terjadi pada masa itu! Aku ingin melihat tempat itu!" ujar
Fang Fang. "Dan jangan lupa, kita masih hams berjuang menemukan saputangan itu!" timpal Swandanu.
"Apa di antara kalian tidak ada yang lempar balam sembunyi batu. Kalian mengintip-intip,
memata-matai seseorang, ingin berebut barangnya dan kemudian bahkan membunuh empat di
antara orang lima yang terlibat ini, tapi sekarang tidak mau mengakui perbuatan itu dalam forum
ini?" tanya Doktor Aisun.
"Tentu bukan aku! Aku tidak menginginkan barang apa pun milik ternan-ternan ini! Jadi untuk apa
aku memata-matai atau mengintip dan akhirnya membunuh mereka" Kalau mereka terbunuh oleh
tanganku, tentulah itu bukan karena aku ingin memiliki barangnya, melainkan ia atau mereka
berada di pihak yang sedang kumusuhi! Di pihak Kediri!" ujar Pamoraga dengan tegas.
18 "Aku pun tidak berkepentingan dengan barang apa pun milik teman-teman ini. Aku datang ke Jawa
karena disuruh menemani Duta Mengki'i, dan balik berlayar ke sini lagi karena harus menaklukkan seorang
raja di Jawa. Boleh dikatakan aku menjadi penunjuk jalan karena aku punya pengalaman pertama.
Semuanya kulaksanakan dengan baik. Tidak ada niatku secuil pun untuk memiliki barang
teman-teman yang sekarang ada di sekitar meja makan ini! Waktu itu pasukan Raden Wijaya
adalah mitra perang kami!" ujar Yong Pin.
"Semua orang punya alasan kuat untuk menghindar jadi pembunuh. Terhitung si pembunuh. Oleh
karena itu, tidak usah tiap orang besar mulut mengemukakan alasan itu. Alasan sesungguhnya
tetap akan terkuak, sekalipun dimtup-mmpi dengan rapat," Dokter Mengki ikut bicara. "Baiklah
sekarang marilah kita bersantap. Tidak usah mencurigai seseorang. Nanti kita mencoba
mengungkap misteri itu sambil melihat tempat-tempat yang kalian anggap penting." BtUBL
Sementara makan, Fusen berbisik kepada sahabatnya. "Soal mengintai dan memata-matai, dalam
bertugas di pasukan Tartar, aku selalu memata-matai gerak-gerik orang-orang dari Singasari!
Termasuk Tuanku Pamoraga, yang selalu dekat dengan Panglima Kau Hsing! Itu perintah panglima
kita! Tidak boleh percaya sepenuhnya kepada orang Singasari! Kka yang krocuk mengamati,
sekalipun panglima kita tampaknya percaya penuh. Aku sudah melapor berbisik kepada Panglima
Kau Hsing, bahwa jalan yang kita tempuh bukan menuju ke Singasari, yang terletak di antara
puncak gunung di kaki langit yang terlihat dari bekas dangau tempat saputangan gambar naga
ditemukan. Tujuan kita sudah melenceng ke kanan!"
"Apa perintah Panglima Kau Hsing?" tanya Yong Pin.
"Itu tadi. Aku disuruh mengamat-amati gerak-gerik Tuanku Pamoraga!"
"Makanya aku kena murka. Aku justru menjamin bahwa Tuanku Pamoraga dapat dipercaya! Aku
merasa sudah kenal tabiatnya ketika mengantar kita berdelapan dari Singasari!" kata Yong Pin.
"Dan kka berdua bukankah sudah sepakat untuk memata-matai istri Tuanku Pamoraga, yang waktu
diperkenalkan sedang mengenakan pakaian Singasari dan berbicara dalam dua bahasa, menjadi
penerjemah. Bahasa kita diucapkan dengan fasih seperti ucapan para bangsawan Fukien! Dan
setelah perjalanan jauh dimulai, beliau terpaksa naik kuda, lalu dipersilakan mengenakan pakaian
prajurit Tartar. Kita langsung sepakat bahwa beliau Tuan Puteri Fang Fang! Jadi beliau tidak hilang
terbenam di dasar Bengawan Brantas!" !
"Ya! Kian lama kita intip dan perhatikan* tambah yakinlah kita bahwa beliau memang Tuan Puteri
Fang Fang!" "Maka di pertengahan perjalanan, timbul niatku untuk muncul di hadapannya, apa betul beliau
Puteri Fang Fang! Kalau kenal dengan aku, ya beliau memang Puteri Fang Fang! Tetapi ternyata
kesempatan mendekati beliau sukL Selain hanya para perwira saja yang diperkenankan berjalan
dekat Panglima Kau Hsing dengan mitra perangnya, penjagaan di sekitar Puteri itu dijaga ketat,
baik oleh pasukan Tartar maupun prajurit Singasari! Apakah perbuatanku selama perjalanan ke
Kediri dan hingga runtuhnya Kerajaan Kediri itu termasuk yang disebut-sebut oleh Doktor Aisun"
Aku ingin mengintip-intip dan memata-matai seseorang?"
"Dan apakah kita ini terlibat dalam pembunuhan" Intip-mengintip itu bukankah lain dengan
19 membunuh?" keluh Yong Pin.
"Bahwa terlibat dalam pembunuhan, itu mungkin saja! Sebab pada waktu itu memang banyak orang
asing, mitra tapi asing, dan bangsa sendiri yang meluap dendam kesumatnya, karena serakah ingin
memiliki barang kita?" Fusen umbar suara.
Sedangkan Swandanu berbisik di telinga Fang Fang yang duduk di sampingnya. "Aku memang
ingin merebut saputangan gambar naga yang dibawa Pamoraga. Aku telah bersumpah begitu untuk
kuberikan kepadamu, dengan cara baik-baik maupun mencuri, memaksa, atau tukar barang mahal!"
Saputangan Gambar Naga Karya Suparto Brata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Memaksa kamu terang tidak berani. Kedudukan Kangmas Pamoraga waktu itu tinggi! Mas Danu
sulit untuk mendekati!"
"Tetapi ketika aku melihat dia lewat di tempat penampunganku, tempatku berlatih, aku bersumpah
lagi, aku harus memperoleh saputangan gambar naga itu! Lebih cepat lebih baik! Oleh karena tekad
itu, maka setelah siuman, aku langsung mengejar pasukan berkuda Tartar menuju Kediri. Tapi aku
berjalan kaki! Di kejauhan tampak debu berhambur di sela-sela pohon besar di hutan! Apakah
keinginanku merebut saputangan gambar naga itu termasuk tindakan pembunuhan seperti yang
disinggung Doktor Aisun?"
Fang Fang angkat bahu tanda tak tahu jawabannya. Lalu ia mengiraikan rambut di dahinya seperti
hendak membuang pikiran yang sedang berkecamuk di antara mereka' "Ah! Kita terlalu terpancang
pada gagasan Doktor 264 Aisun! Pembunuhan! Pembunuhan berangkai'.! Sungguh mengerikan! Tapi itu gagasan yang kejami
Kita mungkin tewas bersama atau seorang demi seorang, itu sudah tragedi yang mengerikan!
Apalagi kini para korban berkumpul di sini! Rasa ngeri itu bisa membangat karena kita berkumpul!
Tapi harus diingat bahwa waktu itu kita memang sedang berperang! Yang menjadi korban dan
tewas banyak, lebih banyak dari orang di restoran ini. Tapi jumlah yang hidup dan selamat pulang
ke keluarganya jauh lebih banyak lagi! Jadi tewas dalam peperangan dengan korban tewas begitu
banyak, merupakan hal biasa dan tidak mustahil. Wong kita berperang! Dan tidak mustahil bahkan
sangat mungkin, kita juga korban peperangan itu! Bagiku, jika tewasnya kita ini dicurigai sebagai
korban pembunuhan berangkai, kecurigaan itu sungguh keji! Aku tidak menolak kemungkinan itu,
tetapi kecurigaan itu sangat keji! Karenanya jangan dipikirkan lagi hal itu! Buang pikiran bahwa kita
tewas karena pembunuhan berangkai! Membebani pikiran saja! Lebih baik kita akui bahwa kita
tewas karena ketololan kita sendiri, atau gugur akibat peperangan! Dengan begitu kita terbebas dari
rasa curiga terhadap teman sendiri atau terbebani untuk mencari pembunuhnya! Kita akan diberati
lagi dengan rasa dosa kalau dalam pencarian nanti terbukti bahwa kitalah pembunuhnya! Buang
saja gagasan itu, buang saja kecurigaan itu! Mari lebih mencurahkan pemburuan kita, mendapatkan
saputangan gambar na sebelum alchir perjalanan ini!"
Swandanu mendengarkan bisik panjang Gadis Tul dengan penuh kekaguman dan kemesraan.
Fang F bagaikan bernyanyi untuk dirinya. Gerak bibirnya menghasilkan tekanan ucapan yang
menotok langsung irama denyut jantungnya, disertai bau mulut yang berbau wangi, sungguh menakjubkan. Sementara
berucap manis begitu, perawan ayu itu mempermainkan jari jemari Swandanu di bawah meja.
permainan yang khusus untuknya! Ah, betapa bahagia dan terharunya kalau yang begini terus
20 abadi! Swandanu menghempaskan napas keharuan, dan menyambut bisik panjang itu dengan
senyum gandrung seorang jejaka.
"Betul katamu! Saputangan itulah sasaran kita saat ini! Hams kka temukan! Itu yang kita buru dan
kita lacak. Aku ingat bahwa hampir di akhir perjalanan kita, saputangan itu sudah kamu
genggam'Jadi itulah yang harus kita usahakan' Pada saat terakhir itu, setelah saputangan berada di
genggamanmu, jangan kita lemparkan kepada orang lain, tetapi sembunyikanlah di dadamu, di
antara payudaramu!" "Aku berjanji tidak akan berbuat tolol lagi! Waktu itu kita terkejut! Geragapan! Karena terserang
bahaya, atau menemui musibah yang mendadak!"
Dalam bersantap, Doktor Aisun tidak berhenti memberikan kuliah. Ia tidak sakit hati bila
omongannya didengarkan atau tidak oleh kawan seputarnya. "Sebenarnya aku ingin kalian
masing-masing menceritakan pengalaman yang membayangi hidup kalian masa kini. Seperti halnya
Swandanu yang menceritakan penyeberangan rombongan Mengki'i di Rabut Carat tadi. Sudah jelas
bahwa kalian sama-sama terlibat kehidupan tujuh ratus tahun yang lalu. Dan pengalaman kalian ku
tidak terdapat pada buku studi sejarah yang pernah ditulis orang. Belum pernah kupelajari.
Bagaimana" Bisakah kalian nanti seterusnya berkisah sambil napak tilas sampai di tempat
kejadian?" tanya akhir Doktor Aisun.
266 "Baik! Dimulai dari aku," ujar Pamoraga, Si Taruna AKABRI. "Senang sekali menceritakan riwayat
diri sendiri. Aku mungkin memang seorang prajurit profesional. Dulu saat menjadi prajurit aku
sempat mempertunjukkan segala keterampilanku bertempur, memecahkan segala penyerangan di
lapangan, dan mengatur siasat di medan perang. Sekarang AKABRI menjadi pilihanku."
"Yang dimaksud oleh Doktor Aisun adalah menceritakan pengalaman diri, bukanlah mengenai
AKABRI-mu, melainkan perjalanan dki yang membayangi hidup ini," sahut Wariwari. Ia kuatir
Pamoraga bercerita mengenai hal yang salah. Keburu bangga!
"Jadi dari mana awalnya?"
"Kamu pengikut setia Raden Wijaya. Kamu mendampinginya sejak runtuhnya Istana Singasari.
Apakah ada istimewanya pengalaman itu?" Doktor Aisun memancing.
"Raden Wijaya seseorang yang cerdik. Dalam keadaan kepepet, diburu-buru oleh pasukan Kediri,
beliau masih bisa berkelit dengan pikirannya. Ia mencari jalan keluar dari kepungan bahaya dengan
jalan mencoba sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat. Kami tinggal dua belas orang saja ketika
di Kudadu ia menyamar menjadi tukang perahu, dan diantar oleh Lurah Kudadu, berangkat
mengarungi Selat Madura lewat Kali Rembang."
"Kamu salah seorang di antara dua belas orang itu?"
"Di Madura, Raden Wijaya langsung berunding dengan Adipati Wira raja. Apa saja nasihat orang
'pinter' Wira raja dituruti oleh Raden Wijaya. Yaitu setelah tenggang waktu, Jayakatwang yang tidak
seganas ketika memperoleh kemenangan, mulai-merayakan kemenangannya dengan
mabuk-mabukan, dan Raden Wijaya disuruh minta pengampunan. Bukan saja ampunan, bahkan
meminta Hutan Terik untuk digarap jadi tempat penghunian pun dikabulkan. Oi hutan itulah Raden
21 Wijaya dibantu oleh orang-orang Adipati Wiraraja, orang Madura, untuk mendirikan kerajaan baru.
. "Lalu tentara Tartar datang!" ujar Fusen tidak sabar. Tentara Tartar datang dengan jumlah amat
besar. Tiga puluh ribu prajurit bersenjata lengkap dan rata-rata pandai naik kuda! Kami datang
untuk memukul Raja Kertanegara yang telah membuat malu besar dengan memotong daun telinga
Tuanku Duta Mengki'i!" sahut Yong Pin. Ia memiliki semangat berpihak pada pasukan Tartar.
"Aku tidak ikut kembali menyerbu ke Singasari. Cukup yang muda-muda. Kami cepat jadi tua
setelah kekecewaan hidup menggerogoti pikiran dan perasaan. Kaisar Kubilai Khan tidak
mengizinkan, kuatir kalau tujuanku bercabang sambil mencari anak kami. Memang aku dapat
dorongan dari Aisun untuk kembali mencari dan menemukan mayat Fang Fang di dasar Bengawan
Brantas. Pengiriman tentara ke Singasari ini untuk bertempur, untuk memerangi sikap angkuh Raja
Kertanegara. Jadi lebih baik dikirimkan orang yang lebih muda, yang masih cekatan. Fusen, Yong
Pin, Ipar Hwee, dan yang sebaya mereka," sela Dokter Mengki ikut bicara.
Pamoraga yang ringan mulut segera berkisah lagi, "Kedatangan kapal-kapal Tartar yang berlabuh di
Ujunggaluh selalu dipantau dan dicurigai oleh Raden Wijaya. Apa maksudnya, mengapa begitu
banyak" Wah, andaikata beliau tahu bahasanya, tentu dengan mudah ia membujuk mereka untuk
membantunya menghancurkan kerajaan musuh mertuanya! Mendengar keluhan yang dibiarkan
keluar jadi rerasan itu, aku segera ingat istriku. Ia pun orang
Tartar! Barangkali ia mengerti bahasa itu. Aku segera menjemput istriku di Rabut Carat, yang
kutinggalkan di rumah Swandanu selama baktiku mengikuti perjuangan Raden Wijaya yang
diuber-uber tentara Kediri, hingga membangun penghunian di Hutan Terik, serta mempersiapkan
pasukan perlawanan untuk menghancurkan Kerajaan Kediri."
"Baru ingat punya istri ketika butuh!" komentar Wariwari sengak.
"Di Rabut Carat tidak kutemui Swandanu. Ia pergi mencariku, kata orang di rumah. Tapi aku tidak
pernah bertemu dengan Swandanu!"
"Aku mendekatimu dengan masuk menjadi sukarelawan pasukan cadangan" ucap Swandanu di
sampingnya. "Jadi Tuan Puteri Fang Fang dijemput dari Rabut Carat'" desak Fusen.
"Nanti dulu! Yang kutemui di Rabut Carat, perempuan yang pipinya bak mempelam dibelah ini!" ujar
Pamoraga sambil mencemol pipi gadis di sebelahnya.
"Hiss!" cepat Wariwari menampel tangan Pamoraga. Tangannya nampel tapi sinar matanya
berseri-seri memandangi si pencerita dari dekat dan bibirnya mengajak bercanda. Ia tak kuat
menahan gelak. "Ia sedang berada di depan rumah, menggilas kunir di batu genuk untuk diminum sarinya.
Rambutnya yang panjang dan tebal dibiarkan terurai lepas di pundak dan sebagian ujungnya
menggelitik payudaranya. Habis keramas, separuh tubuhnya yang berkulit kuning sawo tampak
segar kena sinar matahari sore. Ia menengadah ketika kudaku berhenti di depan rumahnya.
Rambutnya dikiraikan ke belakang dan tampaklah segala kekayaan perempuan yang dimilikinya,
serba indah dan ranum!"
22 "Hiss* Hiss! Stop! Jangan kamu teruskan! Saru!* jerit Wariwari.
W Ta menyebut namaku dengan mesra! Dan mengatakan bahwa suaminya, Swandanu, pergi
mencariku telah empat minggu lebih! Suaminya yang pergi jauh beberapa minggu itulah yang paling
dulu mengenai pusat pendengaranku, lalu terpancar jadi berahiku. Aku meloncat jatuh dari kuda,
langsung ke pangkuannya! Aduh! Adduuh! Ya begini ini, aku dicubiu" sekuat maunya...!"
"Sudah! Sudah! Urik! Nakalan! EmoM Emoh, jangan diceritakan! Hiss!"
"Untung di sini aku cuma dicubiti lenganku. Itupun berhasil aku elakkan. Peristiwa yang dulu, oh, ia
mengeluarkan kuku seperti kucing yang digunakan untuk menggaruk wajahku! Dan aku semaput
bukan karena kukunya, tapi karena kehalusan tubuhnya yang ngliga (lepas baju). Aduh, siapa ayu
seperti dia"!" "Kurang ajar! Kurang ajaaarl" "Itu kok bergumul!" Maunya apa"!" seru Fang Fang.
"Persis! Persis seperti itu! Begitulah Puteri Fang Fang menegur! Ia keluar dari rumah, dan melihat
keadaan kami berdua. Karena tahu yang bergumul adalah suaminya, ia tidak marah, tidak
cemberut. Kami berpisah ketika pemipis jamu itu berhasil mendorong aku hingga jatuh ke tanah,
dan dia bangkit Pipisan kunir yang ada di genuk batu, diambil dan dibantingkan ke arahku! Gemes!
Aku bangkit dan tidak menyerang lagi. Puteri Fang Fang melihat kejadian antara kami sambil
tertawa! Aku dan dia (sambil menunjuk hidung Wariwari) ketularan tertawa!"
"Gemes! Dilihat istrinya apa, nakalnya bukan main!"
"Wajahku tidak karuan, kena garukan kuku berkunir,
dilempari pilisan kunir! Masih dalam suasana tawa itu, Puteri Fang Fang mempersilakan aku masuk
ke rumah. Kami bertiga masuk, antara aku dan dia ambil jarak antara. Dia curiga kalau-kalau aku
menyerangnya lagi, dan aku memang mau menyerang saja kalau ada kesempatan."
"Setan alas! Bajul darat!" omel Wariwari.
"Dan begitulah aku menjemput Puteri Fang Fang, istriku, dan kubawa ke hadapan Raden Wijaya,
yang selanjutnya mendapat tugas sebagai penerjemah kami kepada pasukan Tartar! Tentu saja
Lembah Karang Hantu 1 Pendekar Bayangan Sukma 11 Pertarungan Di Gunung Tengkorak Jun 3