Pencarian

Petualangan Dilembah Maut 2

Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut Bagian 2


tangan Jack. Jack memanggilnya dengan kesal. Burung itu datang. Ia mengetuk-ngetukkan paruh,
karena merasa kurang enak mendengar nada suara tuannya. Jack menepuk paruh
burung itu dengan keras. "Kiki nakal! Kiki jahat! Pergi aku tidak senang lagi padamu. Tidak ayo
" "pergi!"
Kiki terbang menjauh sambil menguak dengan sedih. Jack jarang marah padanya.
Tapi saat itu Kiki tahu, Jack marah. Burung konyol itu masuk ke dalam kandang
sapi, lalu bertengger pada balok hangus yang melintang dekat atap. Kiki meng-
ayun-ayunkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan
"Kasihan Kiki! Kiki yang malang!" keluhnya. "Cul si Kiki muncul!"
"Sementara itu anak-anak sibuk bekerja di luar. Tidak lama kemudian Jack dan
Philip sudah menarik semua ke atas pohon, dan meletakkannya di ketiak dahan-
dahan yang besar. Setelah itu Jack memanjat lebih tinggi lagi, lalu memandang
berkeliling dengan teropongnya. Sesaat kemudian ia berseru-seru ke bawah,
memanggil Dinah dan Lucy-Ann. "Orang-orang itu datang! Cepat, naik! Masih ada yang ketinggalan" Coba periksa
sebentar!" Kedua anak perempuan itu memeriksa dengan buru-buru. Tapi mereka tidak menemukan
apa-apa. Setelah itu Lucy-Ann bergegas memanjat, disusui oleh Dinah. Mereka
duduk pada dahan yang lebar, lalu mengintip ke bawah. Tapi mereka tidak bisa
melihat apa-apa, karena terhalang dedaunan rimbun. Yah jika mereka tidak bisa "melihat ke bawah, takkan ada orang yang bisa melihat mereka di atas. Jadi mereka
aman di situ. Tak lama kemudian terdengar suara orang bercakap-cakap. Kedua orang itu rupanya
sudah dekat Anak-anak tidak berani berkutik. Lucy-Ann cepat-cepat mendekapkan
tangan ke mulut, ketika terasa bahwa ia akan batuk.
Di bawah, kedua laki-laki yang datang memeriksa kandang sapi dengan cermat Tapi
tentu saja mereka tidak menemukan apa-apa di situ, karena semuanya sudah
disingkirkan oleh anak-anak. Kedua laki-laki itu keluar lagi, lalu memperhatikan
bagian rumput yang rebah. Mereka tidak bisa menebak, apa yang menyebabkan rumput
bisa menjadi begitu keadaannya.
"Aku ingin memeriksa sekali lagi ke dalam kandang," kata laki-laki yang bernama
Juan, la masuk kembali ke dalam kandang. Kiki yang masih bertengger sambil
merajuk di atas balok, kesal melihat laki-laki itu muncul lagi.
"Bersihkan kakimu," kata Kiki dengan galak. "Dan sudah berapa kali kukatakan,
tutup pintu?" Laki-laki itu kaget setengah mati. Ia celingukan, memandang berkeliling. Kiki
meringkuk di atas balok yang agak menyudut letaknya. Jadi laki-laki itu tidak
bisa melihatnya. Orang itu memeriksa ke segala sudut. Kemudian dipanggilnya
temannya. "Baru saja ada suara mengatakan agar aku membersihkan kaki dan menutup pintu,'"
katanya. "Kau ini mengoceh saja," kata temannya dengan kesal. "Rupanya pikiranmu agak
kacau." "Jangan suka berkicau," kata Kiki dari atas. "Wah, wah, wah pakai sapu
"tanganmu." Kedua laki-laki yang di bawah saling berpegangan, karena kaget mendengar suara
Kiki yang tiba-tiba berkumandang dalam kandang gelap itu.
"Ssst jangan ribut," kata Juan. Kiki mendengarnya, lalu menambahkan.
?"Sssst!" katanya dengan lantang. Kedua laki-laki itu tidak tahan lagi. Mereka
lari tunggang-langgang ke luar.
Bab 9 MENYUSUN RENCANA BARU Kiki senang melihat kedua orang itu lari ke luar. "Tutup pintu!" teriaknya dari
atas. "Tutup pintu!"
Kedua laki-laki itu baru berhenti berlari, ketika sudah cukup jauh dari kandang.
Juan menyeka keningnya yang berkeringat.
"Apa itu tadi?" katanya dengan suara bergetar. "Hanya suara saja yang terdengar
padahal tidak ada siapa-siapa di situ."
"Temannya lekas pulih dari kekagetannya.
"Kalau ada suara, pasti ada orang," katanya. "Di dalam ada seseorang yang
mempermainkan kita. Sudah kusangka kita tidak sendirian di sini, ketika kulihat
rumput yang rebah itu tadi pagi. Tapi siapa orang itu" Mungkinkah ada orang lain
yang mencium adanya harta karun itu?"
Anak-anak yang bersembunyi di atas pohon. langsung menajamkan telinga. Harta
karun" Aha! Jadi itu rupanya yang dicari kedua laki-laki itu dalam lembah sunyi
ini. Harta karun! "Mana mungkin ada orang lain tahu apa yang kita ketahui?" tukas Juan. "Jangan
langsung senewen. Pepi itu tadi kan cuma suara saja. Mungkin itu burung "kakaktua"
Pepi terbahak. Kini gilirannya bersikap mencemooh.
"Kakaktua" Kau ini macam-macam saja, Juan," katanya. "Memangnya kau tahu, di
sini ada burung kakaktua" Dan yang bisa berbicara lagi! Kalau yang bersuara tadi
burung kakaktua, kumakan topiku ini dan topimu juga sekaligus!"
"Anak-anak yang mendengarkan di atas, saling berpandangan sambil nyengir. Lucy-
Ann ingin melihat laki-laki yang dipanggil dengan nama Pepi itu memakan topinya.
Pasti ia juga akan terpaksa memakan topi temannya karena Kiki memang seekor
"burung kakaktua! "Pasti ada orang yang bersembunyi di dalam," kata Pepi, "walau aku tidak tahu,
bagaimana ia bisa ke sini. Juan! Mungkin di bawah kandang ada ruangan bawah
tanah. Yuk, kita periksa. Kalau ternyata memang ada orang bersembunyi, akan
menyesal ia nanti!" Anak-anak merasa seram, mendengar nada suara orang itu. Lucy-Ann bergidik Hi
jahatnya orang itu! "Kedua laki-laki itu mendatangi kandang dengan sikap berhati-hati. Juan berdiri
di ambang pintu yang sudah rusak, lalu berseru dengan suara lantang.
"Siapa pun juga yang ada di dalam, ayo keluar! Kami berikan kesempatan
terakhir!" Tentu saja tidak ada orang yang keluar. Soalnya, memang tidak ada orang di
dalam! Juan menggenggam pistol. Kiki tidak bersuara. Ia kaget mendengar suara
berteriak-teriak itu. Untung saja baginya!
Juan sudah tidak tahan lagi. la mengarahkan laras pistol ke tempat yang
diduganya merupakan pintu masuk ke ruangan ke bawah tanah, lalu menarik pelatuk
senjata itu. DORR! Kiki nyaris jatuh dari balok, karena kaget dan takut Begitu pula halnya dengan
anak-anak yang bersembunyi di atas pohon. Jack cepat-cepat memegang Lucy-Ann.
DORR! Satu tembakan lagi menggelegar. Menurut perasaan anak-anak, Juan pasti
menembak asal saja, untuk menakut-nakuti orang yang disangkanya berbicara tadi.
Jack agak cemas. Kiki masih merajuk dalam kandang. Jack khawatir, kalau-kalau
Kiki terkena tembakan. Kedua laki-laki itu muncul dari dalam kandang. Beberapa saat mereka memandang
berkeliling. Kemudian mereka menuju ke dekat pohon tempat anak-anak bersembunyi,
sambil bercakap-cakap. "Tidak ada lagi siapa-siapa di dalam. Rupanya sempat menyelinap ke luar.
Sungguh, Pepi, pasti ada orang lain di sini mengintip kita!"
"Tapi masa ia mau membuka rahasianya, hanya untuk menyuruh kita membersihkan
kaki dan menutup pintu," kata Pepi mencemooh.
"Besok kita kembali saja lagi ke sini, dan memeriksa tempat ini dengan seteliti-
telitinya," kata Juan. "Aku yakin, di sini ada orang. Dan orang itu berbicara
dalam bahasa Inggris! Apa artinya itu" Perasaanku tidak enak. Jangan sampai ada
orang lain mengetahui tugas kita ini."
"Kita memang perlu menggeledah tempat ini dengan cermat," kata Pepi. "Kita harus
mengetahui, siapa yang berbicara tadi. Itu sudah pasti! Aku mau saja mencarinya
sekarang tapi hari sudah mulai gelap, dan perutku lapar. Yuk kita kembali!?" "Anak-anak merasa lega, ketika kedua laki-laki itu akhirnya pergi dari situ. Jack
memanjat sampai ke ujung atas pohon. Dari situ ia bisa melihat pesawat terbang
dalam lembah. Ia menunggu sampai kedua laki-laki tadi nampak melewati pesawat
mereka, dalam perjalanan menuju pondok.
"Sudah aman," serunya kemudian pada anak-anak yang lain, "mereka sudah sampai
dekat pesawat Aduh aku tadi kaget setengah mati, ketika terdengar tembakan-
"tembakan itu! Lucy-Ann nyaris terjatuh karenanya."
"Lizzie langsung keluar dari kantongku, lalu menghilang," kata Philip. "Mudah-
mudahan saja Kiki tidak apa-apa, Jack, ia mestinya sangat ketakutan, ketika
bunyi tembakan menggema dalam kandang."
Ketika anak-anak masuk ke dalam kandang, Kiki masih tetap seperti terpaku di
tempatnya bertengger. Tubuhnya gemetar. Jack memanggil-memanggilnya dengan suara
lembut. "Kiki! Kiki turunlah, Kiki! Keadaan sudah aman sekarang. Ini, aku datang
"menjemputmu." Dengan segera Kiki terbang ke bawah, lalu hinggap di atas bahu Jack. Burung itu
sibuk bercumbu dengan tuannya.
"Hmmm!" katanya berkali-kali. "Hmmmm!"
Dalam kandang gelap. Anak-anak merasa tidak enak di situ. Lucy-Ann berperasaan,
seolah-olah ada orang bersembunyi di salah satu sudut ruangan itu.
"Kita keluar saja," ajaknya. "Apa yang kita lakukan malam ini" Akan amankah jika
kita tidur di tempat yang biasa?"
"Tidak! Kita lebih baik memindahkan pembaringan kita ke tempat lain," kata Jack
"'Agak lebih tinggi dari sini ada semak belukar, di mana kita terlindung dari
angin. Di situ kita juga terlindung dari penglihatan orang lain. Di tempat itu
saja kita tidur." "He tahukah kalian, apa yang tadi kita tinggalkan dalam kandang ini?" kata
"Philip dengan tiba-tiba. "Kita meninggalkan kedua karung yang berisi kaleng-
kaleng makanan. Lihatlah itu dia karung-karungnya, di sudut!"
?"Aduh untung mereka tadi tidak melihatnya!" kata Jack. "Tapi sebenarnya aku
"juga tidak heran karena nampaknya seperti tumpukan sampah biasa. Tapi walau
"begitu. lebih baik kita memindahkannya ke dalam semak. Bekal makanan ini terlalu
penting, jangan kita tinggalkan di sini."
Anak-anak menyeret kedua karung itu ke tempat yang baru, lalu meninggalkannya di
situ Kemudian mereka berunding, apa yang akan dilakukan dengan barang-barang
yang ada di atas pohon. "Sebaiknya hanya selimut dan mantel hujan saja yang kita turunkan," kata Jack.
"Pakaian yang kita pakai sebagai bantal, terbungkus dalam selimut Koper-koper
kita tinggalkan saja di atas. Untuk apa kita repot-repot menyeretnya ke mana-
mana." Hari sementara itu sudah gelap. Agak repot juga menurunkan selimut dan mantel.
Tapi akhirnya berhasil juga. Kemudian mereka menuju ke tengah semak. Dinah dan
Lucy-Ann menghamparkan pembaringan mereka di situ.
"Di sini tidak begitu hangat seperti di bawah," kata Dinah. "Rasanya tempat ini
agak berangin. Dan besok ke mana kita bersembunyi besok" Orang-orang itu pasti"akan memeriksa ke balik semak ini."
"Kalian ingat air terjun?" kata Philip. "Di kakinya kalau tidak salah banyak
batu-batu dan tempat yang cocok sebagai persembunyian kita. Kurasa kita bisa
turun ke bawah, lalu mencari tempat yang baik di situ."
"Ya, kita ke sana saja," kata Lucy-Ann. "Aku kepingin melihat air terjun itu
lagi." Setelah itu anak-anak bersiap-siap untuk tidur. Mereka berbaring saling merapat,
karena dingin. Dinah mengambil pullover yang dijadikan bantal, lalu dipakainya.
Tiba-tiba ia menjerit, mengagetkan anak-anak yang lain.
"Hii! Ada sesuatu merayapi tubuhku mungkin tikus!"
?"Ah, bukan," kata Philip dengan nada senang. "Itu Lizzie ia sudah kembali
padaku. Ini dia!" Memang begitulah halnya. Entah dengan cara bagaimana kadal kecil itu bisa
menemukan Philip kembali, setelah tadi minggat ketika kedua laki-laki itu
datang. Philip memang mempunyai daya tarik istimewa terhadap binatang liar!
"Kau tak usah khawatir, Dinah," katanya. "Lizzie sudah aman dalam kantongku
sekarang. Kasihan pasti ia pusing, ketika terjatuh dari atas pohon tadi."
?"Lizzie pusing," kata Kiki dengan segera. "Lizzie pusing!"
"Sudahlah kita tidur saja sekarang," kata Jack. "Dan kau, jangan berbisik,
"Kiki!" "Hidup Ratu," kata Kiki. Setelah itu ia bungkam.
Anak-anak masih mengobrol sebentar. Tak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann
terlelap, disusul oleh Philip. Jack berbaring menelentang. Kiki bertengger pada
pergelangan kakinya. Jack menatap langit, memandang bintang-bintang yang
bertaburan. Pikirannya melayang ke Bibi Allie. la teringat, bahwa mereka
berjanji pada ibu Philip dan Dinah, tidak akan bertualang lagi. Tapi ternyata
pada malam mereka mengucapkan janji itu, mereka ikut pesawat terbang yang tak
dikenal'menuju ke suatu lembah asing, di mana rupa-rupanya ada 'harta karun'
yang tersembunyi. Luar biasa! Luar biasa Tahu-tahu Jack sudah tertidur.
"Bintang-bintang di langit menerangi keempat anak yang tidur dengan cahaya pudar,
bergerak melintas di cakrawala sampai akhirnya fajar menyingsing di timur.
Cahaya bintang padam satu-satu.
Pagi itu Philip cepat bangun. Ia memang bermaksud demikian, karena tidak tahu
kapan pagi itu kedua orang tak dikenal itu hendak datang untuk mencari 'orang'
yang mereka dengar suaranya kemarin petang. Philip membangunkan anak-anak yang
lain. Tidak dipedulikannya omelan mereka dalam keadaan setengah tidur.
"Tidak, Dinah! Kau benar-benar harus bangun," kata Philip. "Kita harus berangkat
pagi-pagi sekali. Ayo, bangun! Awas nanti kumasukkan Lizzie ke dalam kerah
"bajumu." Mendengar itu, Dinah cepat-cepat bangun. Ia melayangkan tangan, hendak
menempeleng Philip, tapi abangnya itu cepat-cepat menghindar. Pukulan Dinah
mengenai Kiki, yang menjerit karena kaget
"Wah, maaf, Kiki," kata Dinah. "Aku tak sengaja memukulmu! Kasihan, Kiki!"
"Kasihan, kasihan!" kata Kiki. Burung kakaktua itu terbang menjauh, takut kalau-
kalau Dinah mengayunkan tangannya lagi.
"Kita sarapan cepat-cepat saja," kata Jack. "Dengan sardin, biskuit dan susu
saja. Kalau tidak salah, aku melihat sekaleng sardin di bagian atas salah satu
karung kita. Ya, betul ini dia!"
Anak-anak melihat asap mengepul di lembah, di tempat kedua laki-laki itu. Jadi
ternyata mereka pun sudah bangun. Anak-anak bergegas sarapan. Setelah selesai,
Dinah buru-buru memasukkan kaleng-kaleng yang sudah kosong ke dalam liang
kelinci yang terdekat. Rumput di bagian bawah pembaringan mereka ditegakkan
kembali, supaya tidak nampak mencolok.
"Kurasa, sebaiknya sebagian besar dari bekal makanan kita sembunyikan saja di
tempat yang baik," kata Philip. "Kita membawa secukupnya saja untuk bekal hari
ini. Akan merepotkan saja, jika kedua karung yang berat-berat itu kita bawa ke
mana-mana." "Apakah tidak bisa kita sembunyikan saja di tengah semak belukar di sini?" kata
Dinah mengusulkan. "Tumbuhnya kan rapat sekali, takkan ada yang menduga di situ
ada apa-apa. Nanti jika kita perlu bekal lagi, kita bisa mengambilnya setiap
waktu." Anak-anak yang lain setuju. Kedua karung itu lantas dimasukkan ke tengah
belukar. Dan ternyata memang tidak kelihatan, kecuali jika ada orang menerobos
ke tengah-tengah belukar untuk memeriksa.
Anak-anak mengangkat selimut mantel serta buntalan pakaian yang dijadikan
bantal, lalu berangkat. Jack dan Philip membawa kaleng-kaleng makanan. Jack
masih membawa kamera dan teropongnya pula. Jadi mereka tidak bisa berjalan
cepat, karena bawaan cukup berat.
Mereka menempuh jalan yang sudah pernah dilalui. Ketika sampai di bagian terbuka
yang ditumbuhi rumput dan semak berbunga, mereka duduk sebentar untuk
beristirahat. Menurut perasaan mereka, kecil sekali kemungkinannya kedua laki-
laki yang di bawah membuntuti mereka. Keduanya pasti sibuk mencari-cari di
sekitar kandang sapi. Tiba-tiba Jack melihat kilatan cahaya di kejauhan. Dengan cepat ia merebahkan
diri. Disuruhnya anak-anak yang lain berbuat begitu juga.
"Ada orang sedang meneropong di bawah," katanya. "Kalau kita bertiarap, ada
kemungkinannya tidak terlihat. Aku baru saja melihat kilatan sinar yang
terpantul pada lensa. Sialan! Tak terpikir olehku kemungkinan bahwa mereka akan
mengamat-amati lereng gunung ini dengan teropong. Kalau mereka sampai melihat
kita, pasti mereka akan langsung mengejar!"
"Yuk, kita merangkak ke batu besar itu, lalu bersembunyi di belakangnya," kata
Philip. "Ayo! Jika kita sudah ada di situ, nanti kita bisa melanjutkan
perjalanan ke air terjun.".
Bab 10 TEMPAT PERSEMBUNYIAN YANG BAIK
Anak-anak merasa lega, ketika sudah sampai di belakang batu besar. Mereka merasa
yakin, di situ mereka pasti takkan bisa terlihat dari bawah. Philip memandang
berkeliling. Cekungan memanjat yang mereka telusuri sehari sebelumnya, terletak
di sebelah kiri batu. Mereka bisa menuju ke situ, tanpa terlihat dari bawah.
"Yuk, kita berangkat. Lewat sini," kata Philip, Ia bergerak sedemikian rupa,
sehingga selalu ada semak dan batu yang melindungi ke arah lembah.
Anak-anak masuk ke dalam cekungan yang merupakan parit kering itu. Hawa di situ


Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panas, karena tidak ada angin yang bertiup. Mereka sampai ke pinggiran menonjol,
yang mengitari bagian gunung yang merupakan tebing terjal. Setelah tebing
dikitari mereka kembali berhadapan dengan pemandangan mengagumkan yang mereka
lihat sehari sebelumnya. Di atas nampak puing-puing rumah petani yang habis
terbakar. Lucy-Ann tidak mau memandang ke arah situ, ia takut sedih, jika memandang balok-
balok yang hangus, serta tembok yang runtuh. Mereka berdiri sejenak, sambil
mendengarkan bunyi air terjun yang terdengar samar-samar. Kedengarannya seperti
ada orkes di kejauhan, yang sedang memainkan lagu yang sederhana tapi indah.
"Bagus sekali bunyinya!" kata Dinah. "Bagaimana, Philip" Kita ke atas atau ke
bawah sekarang" Jika kita akan ke dasar air terjun lalu bersembunyi di sela
batu-batu yang berserakan di situ, kita harus turun ke bawah! Kemarin kita
mendaki, melewati bagian yang berbatu-batu."
Jack dan Philip berpikir-pikir.
"Kurasa sebaiknya sekarang kita ke bawah saja," kata Jack kemudian. "Batu-batu
yang terdapat di sebelah atas mungkin berlumut, jadi licin. Kita jangan sampai
terpeleset, karena bawaan kita banyak Tangan kita tidak bisa dipakai untuk
berpegangan." Anak-anak lantas memilih jalan menuju ke bawah. Philip berjalan di depan, sambil
mencari-cari jalan terbaik. Di situ sebenarnya sama sekali tidak ada jalan. la
harus memilih tempat-tempat yang aman untuk menginjakkan kaki. Semakin dekat ke
air terjun, semakin lebat pula air memercik membasahi. Enak rasanya, karena
mereka agak kepanasan. Mereka melewati suatu tikungan. Setiba di balik tikungan itu, mereka langsung
berhadapan dengan air terjun. Bukan main megahnya! Lucy-Ann tertahan napasnya
karena kagum dan asyik. Ia tertegun, sambil menatap ke depan.
"Keras sekali bunyinya! seru Jack, berusaha mengalahkan bunyi air. "Perasaanku "bergelora dibuatnya."
"Aku juga begitu,' kata Dinah. "Mendengar bunyinya, aku lantas kepingin menari-
nari. Dan berteriak-teriak!"
"Kalau begitu, kita lakukan saja!" kata Jack, lalu mulai menandak-nandak dan
berteriak-teriak seperti orang sinting. Anak-anak yang lain ikut-ikutan. Kecuali
Lucy-Ann. Ia masih tetap tertegun, sambil memandang air terjun.
Tidak lama kemudian ketiga anak yang berjingkrak-jingkrak tadi berhenti, karena
kehabisan tenaga. Saat itu mereka berada di atas sebuah batu besar yang pipih
bagian atasnya. Batu itu basah kena air yang memercik dari bawah. Mereka belum
sampai di dasar air terjun, tapi baru kira-kira tiga perempat perjalanan ke
bawah. Bunyi air memekakkan telinga. Air yang berhamburan begitu deras, sehingga
kadang-kadang mereka merasa sulit bernapas. Semuanya terasa sangat mengasyikkan!
"Nah," kata Jack kemudian, setelah puas memandangi air terjun, "sekarang kita
harus mencari tempat bersembunyi yang baik. Kurasa orang-orang itu takkan
berpikir akan mencari kita di sini."
Mereka mencari-cari gua atau tumpukan batu yang bisa dijadikan tempat
bersembunyi. Lucy-Ann nampak agak ragu.
"Kurasa aku tidak sanggup menahan keberisikan ini terus-menerus," serunya pada
Jack. "Kepalaku pusing mendengarnya."
"Lizzie pusing," sela Kiki. Burung kakaktua itu juga ikut-ikut berteriak-teriak
tadi, dipengaruhi bunyi air terjun yang begitu dahsyat.
Yah, apa boleh buat," kata Jack "Tapi sebentar lagi kau pasti akan terbiasa.?"Tapi Lucy-Ann masih tetap ragu kelihatannya. Ia merasa yakin, takkan mungkin
bisa membiasakan diri pada bunyi gemuruh itu, yang tidak berhenti barang sekejap
pun. Ia takkan bisa tidur karenanya.
Anak-anak berkeliaran sekitar air terjun. Mereka tidak mau terlalu mendekati,
karena air yang memercik. Batu-batu di sekitarnya nampak basah semua. Tidak
kelihatan satu tempat pun yang nampaknya nyaman dan kering, untuk menyimpan
barang-barang mereka. "Selimut-selimut kita pasti akan lembab, karena percikkan air yang meresap,"
kata Dinah. "Dan siapa mau, berbaring di atas selimut basah. Ah kurasa ide ini
"ternyata tidak begitu baik."
Sementara itu Jack sudah memanjat lagi, agak ke atas. Ia sampai di suatu tempat
yang ditumbuhi tanaman pakis raksasa. Tanaman itu tumbuh menjulur ke bawah.
Kelihatannya bagus sekali seperti tirai hijau yang lebat. Jack berpikir-pikir.
Mungkin mereka bisa bersembunyi di belakang tumbuh-tumbuhan itu.
Ia berseru kaget, begitu tangannya menyingkapkan daun-daun pakis yang menjulur
ke bawah. Anak-anak lainnya tidak mendengar ucapannya, karena sebisingan air
terjun. "Astaga!" kata Jack pada dirinya sendiri. "Ternyata ada gua di belakang pakis
ini. Pasti dalamnya kering, karena air yang memercik tertahan daun-daun yang
menutupi. Pakis ini seolah-olah tirai tebal. He! Ayo, semuanya kemari!"
Tapi anak-anak yang lain tidak mendengar panggilannya itu. Jack tidak menunggu
lebih lama lagi. Ia langsung menerobos pakis. Ia sampai dalam ruangan gua.
Tempat itu agak gelap. Tapi kering. Langit-langit di situ agak rendah.
Lantainya beralas lumut. Jack merabanya. Kering! Rupanya apabila tanaman pakis
mati pada musim gugur, percikkan air bisa masuk ke dalam gua, sehingga lumut
tumbuh subur karena mendapat kelembaban. Tapi kini, pada musim panas, lumut
kering dan terasa lembut ketika diraba. Seperti pembaringan yang empuk, berwarna
hijau. "Ini tempat yang benar-benar cocok untuk kita," kata Jack dengan gembira.
"Benar-benar hebat! Takkan ada yang bisa melihat kita di sini karena terhalang
pakis yang menutupi di depan."
Pada satu sisi gua itu terdapat bagian yang agak menonjol ke depan, seperti
bangku. "Barang-barang bisa kita letakkan di situ," kata Jack pada dirinya sendiri.
"Lalu jika mantel kita hamparkan di atas lumut ini, kita akan bisa berbaring
dengan nyaman. Aku harus memberi tahu anak-anak!"
Rupanya agak lama juga ia baru ke luar lagi, karena sementara anak-anak sudah
merasa kehilangan. Mereka berseru keras-keras, memanggil-manggil.
"Jack! Jack! Di mana kau" Jack!"
Jack mendengar suara mereka ketika ia mendorong daun-daun pakis ke samping lalu
menjengukkan kepala ke luar. Dinah dan Kiki tiba-tiba melihat muka Jack di sela
daun-daun pakis, tidak jauh di atas kepala. Kiki terpekik kaget, lalu langsung
terbang menghampirinya. "Lihatlah!" seru Dinah memanggil Philip dan Lucy-Ann. "Itu Jack, bersembunyi di
belakang pakis yang besar itu!"
Jack membuat corong dengan kedua belah tangannya, lalu berseru keras-keras untuk
mengalahkan keberisikan bunyi air terjun.
"Naiklah kemari! Aku menemukan tempat yang bagus!"
Anak-anak yang lain bergegas naik. Jack mendorong daun-daun pakis ke samping,
supaya mereka bisa masuk dengan bebas.
"Silakan masuk ke kamarku!" katanya dengan sopan. "Senang sekali bahwa kalian
bisa datang" Ia menirukan gaya seorang tuan rumah yang menyilakan tamu-tamunya
masuk. Begitu anak-anak melewati tirai tumbuhan hijau dan masuk ke gua, mereka langsung
berseru dengan gembira. "Aduh, indahnya tempat ini! Takkan ada yang bisa menemukan kita di sini!"
"Di lantai terhampar permadani hijau permadani lumut!?""Bunyi air terjun tidak begitu terdengar di sini! Kita bisa bicara secara
biasa!" "Untunglah, jika kalian menyukainya," kata Jack merendah. "Aku kebetulan saja
menemukannya tadi. Sempurna, kan?"
Lucy-Ann merasa lega, karena di tempat itu bunyi air terjun tidak begitu bising
seperti di luar. Dinah senang merasakan keempukan lumut di bawah kaki. Sedang
Philip menyukai keamanan tempat persembunyian itu. Takkan ada yang bisa
menemukan mereka di situ kecuali secara kebetulan.
?"Yuk kita ambil saja barang-barang yang kita tinggalkan di atas batu tadi,"
"kata Dinah, yang selalu menyenangi kerapian. "Di sini cukup banyak tempat untuk
segala-galanya. Kaleng-kaleng makanan kita akan kuletakkan di atas batu yang
menonjol itu." "Langit-langit di sini rendah, kepala kita nyaris menyentuhnya jika kita berdiri
tegak," kata Philip. Dihampirinya tanaman pakis yang menutupi lubang masuk,
menyebabkan ruangan gua itu menjadi agak gelap. Ketika daun-daun hijau itu
ditepikan, cahaya matahari masuk ke dalam, sehingga ruangan menjadi terang.
"Nanti sebaiknya sebagian dari daun-daun pakis itu kita ikat, supaya ada cahaya
masuk ke dalam," katanya. "Dari sini kita bisa melihat air terjun dengan jelas.
Kita juga bisa melayangkan pandangan ke segala arah. Jadi jika ada orang datang,
kita akan bisa melihatnya dengan segera!"
"Aku tidak berkeberatan tinggal di sini selama beberapa waktu," kata Lucy-Ann
dengan nada senang. "Di sini aku merasa aman."
"Mungkin kita bahkan harus lama tinggal di sini," kata Philip. "Tapi tempat ini
memang enak. ?"Kedua orang itu pasti takkan bisa menemukan kita di sini," kata Jack.
"Mustahil!" Ia menyingkapkan daun-daun pakis yang menutupi, dan diikatnya sebagian. Anak-
anak duduk sebentar di atas lumut menikmati kehangatan sinar matahari yang masuk
ke dalam gua. Setelah itu mereka turun lagi, ke tempat selimut serta barang-barang lain
ditinggalkan. Barang-barang itu diangkut ke tempat mereka yang baru. Dinah
mengatur barang-barang yang tidak perlu dipakai pada bangku batu. Rapi
kelihatannya di situ. "Malam ini kita akan tidur di atas pembaringan empuk," katanya.
Kiki bertengger di atas bahu Jack, sambil memandang ke luar. Dilihatnya
pemandangan yang indah di situ. Paling depan air terjun dengan pelangi yang
membentang di sana sini. Kemudian menyusul lereng gunung yang terjal. Lalu jauh
di bawah nampak lembah yang hijau, yang terhampar sampai ke kaki lereng gunung-
gunung yang terjal di seberang.
Saat itu sudah waktunya makan lagi. Anak-anak merasa lapar. Mereka melirik-lirik
kaleng makanan yang berjejer-jejer di atas rak batu. Jack mencari-cari alat
pembuka kaleng. "Hati-hati, jangan sampai hilang," kata Philip. "Itu milik kita yang paling
berharga saat ini." "Jangan khawatir, takkan mungkin hilang," kata Jack, ia membuka sebuah kaleng.
Kiki memperhatikan dengan kepala terteleng ke samping. Burung kakaktua itu
menyukai kaleng-kaleng itu. Karena isinya enak-enak.
Beberapa -saat kemudian anak-anak sudah makan dengan lahap, sambil memperhatikan
air terjun di depan mereka. Asyik rasanya duduk-duduk sambil makan di situ,
dengan pemandangan indah di depan mata, dengan alas lumut yang empuk, serta
sinar matahari yang menghangatkan tubuh.
"Aneh kita ini kelihatannya selalu saja terlibat dalam berbagai petualangan," "kata Jack. "Tapi mudah-mudahan Bill dan Bibi Allie tidak khawatir memikirkan
kita. Coba kita bisa memberi kabar pada mereka."
"Tak mungkin," kata Philip. "Kita terasing sendiri di sini, tanpa ada
kemungkinan berhubungan dengan orang lain kecuali kedua laki-laki itu Aku
"benar-benar tidak tahu, apa yang harus kita kerjakan berikutnya. Untung saja
bekal makanan kita sekarang banyak."
"Sebaiknya kita kembali ke semak di mana menyembunyikan sisa bekal kita, lalu
membawanya kemari selekas mungkin," kata Jack.
"Lucy-Ann, bagaimana jika kau kami tinggalkan di sini bersama Dinah, sementara
aku dan Philip pergi mengambil barang-barang" Kami pasti harus bolak-balik
beberapa kali, karena tidak mungkin semuanya terbawa sekali jalan."
"Ya, pergilah kami pasti aman di sini," kata Dinah, sambil menyodorkan
"potongan ikan salem yang terakhir dari kaleng pada Kiki. "Siang ini saja kalian
berangkat. Kiki lebih baik ditinggal di sini, menemani kami."
Bab 11 GUA GEMA Siangnya Jack berangkat bersama Philip Mereka tahu bahwa masih cukup banyak
waktu untuk pergi ke semak di mana karung-karung berisi makanan disembunyikan,
lalu membawa ke gua. Mungkin mereka mampu membawa karung-karung itu seorang satu.
"Tapi kita harus waspada," kata Jack mengingatkan. "Kedua laki-laki itu pasti
sedang mencari-cari di bawah, Jangan sampai ketahuan oleh mereka. Kalian berdua
benar tidak apa-apa jika kami tinggal sendiri?"
"Jangan khawatir," kata Dinah dengan santai. Anak itu senang, karena tidak perlu
ikut turun dan kemudian ikut mengangkat kedua karung yang berat-berat itu ke
gua. Ia merebahkan diri di atas lumut, yang terasa sangat empuk.
Jack mengalungkan tali teropong ke lehernya. Alat bantu penglihatan itu
dibawanya, karena mungkin ada gunanya nanti untuk mengamat-amati kedua laki-laki
itu dari jauh. Sambil berjalan ke luar bersama Philip, ia masih sempat berseru
pada kedua anak perempuan yang tinggal di dalam gua.
"Jika kalian nanti kebetulan melihat ada orang lain di dekat-dekat sini, jangan
lupa dengan segera melepaskan tali yang mengikat daun-daun pakis ini, ya?"
serunya. "Dengan begitu mulut gua akan terlindung lagi sepenuhnya. Lucy-Ann,
jaga jangan sampai Kiki menyusul kami!"
Kiki bertengger di bahu Lucy-Ann. Jack yang menaruhnya di situ. Lucy-Ann
memegangi pergelangan kaki kakaktua itu erat-erat. Kiki menguak dengan sedih,
karena tahu bahwa ia tidak boleh ikut dengan Jack dan Philip.
"Sayang, sayang!" katanya dengan nada sedih. Jambulnya ditegakkan Kelihatannya
galak saat itu. Tapi Lucy-Ann tidak mau melepaskan pegangan, sampai Jack dan
Philip sudah tidak kelihatan lagi. Setelah itu barulah Kiki dilepaskan. Dengan
segera burung kakaktua itu terbang ke luar, lalu bertengger di atas batu. Ia
mencari-cari Jack. "Dalam sumur," katanya sambil bersungut-sungut "Burung gagak dalam sumur."
"Ah, kau ini mengoceh terus," kata Lucy-Ann.
"Kasihan Kiki!" kata Kiki sambil menggertakkan paruhnya keras-keras. "Kiki yang
malang!" Ia terbang kembali ke dalam gua. Dinah tidur nyenyak. Ia terkapar di atas lumut
yang empuk. Mulutnya ternganga. Kiki terbang menghampiri. Kepalanya dimiringkan
ke samping. Ia memperhatikan mulut Dinah yang ternganga. Kemudian dicabutnya
lumut sedikit dengan paruhnya yang bengkok. Melihat gelagatnya, Lucy-Ann cepat-
cepat berteriak. "Kiki! Awas, kalau kau berani memasukkannya ke dalam mulut Dinah!" Lucy-Ann
mengenal baik kebandelan burung kakaktua itu. "Kau nakal!"
"Bersihkan kakimu," kata Kiki dengan sebal, lalu terbang ke bagian belakang gua.
Lucy-Ann membalikkan tubuhnya. Sambil menelungkup. diperhatikannya terus burung
kakaktua itu. Kiki sedang kesal, jadi ia perlu diamat-amati.
Matahari memancar ke dalam gua. Hawa panas sekali di situ. Lucy-Ann menarik tali
yang mengikat daun-daun pakis. Dengan segera ruangan gua terlindung lagi,
sehingga sinar matahari tidak bisa masuk. Keadaan menjadi remang-remang gelap.
Dinah sama sekali tidak terbangun. Lucy-Ann berbaring menelungkup lagi. Ia
berpikir, mengingat-ingat segala kejadian yang sudah lewat Bunyi air terjun kini
terdengar samar, karena tirai daun pakis tebal sekali. "Kiki," panggil Lucy-Ann.
"Di mana kau, Kiki?" Tidak terdengar suara jawaban burung itu. Lucy-Ann
memicingkan mata, berusaha melihat di mana Kiki berada. Pasti burung konyol itu
sudah merajuk lagi, karena tidak diajak oleh Jack dan Philip!
"Kiki! Ayo ke sini!" panggil Lucy-Ann. "Kemarilah, mengobrol dengan aku. Nanti
kau kuajari lagu baru."
Tapi tidak terdengar jawaban Kiki. Bahkan menguak pun tidak. Padahal Kiki selalu
membalas jika diajak bicara. Juga apabila ia sedang merajuk.
Lucy-Ann memandang ke arah belakang gua. Kiki tidak nampak di situ. Kemudian
Lucy-Ann memperhatikan tempat penyimpanan bekal makanan. Tidak, Kiki juga tidak
ada di situ! Ke mana burung itu" Ia tak mungkin terbang ke luar, karena ada tirai daun pakis
yang menghalangi. Jadi mestinya masih ada dalam gua!
Di tempat perbekalan ada sebuah senter. Lucy-Ann mengambilnya, lalu
menyalakannya. Ia menyorotkannya berkeliling gua. Tapi Kiki tetap tidak bisa
ditemukan. Kini Lucy-Ann mulai gelisah. Dinah dibangunkan. Sambil menggosok-gosok mata,
anak itu duduk. Ia agak kesal, karena dibangunkan.
"Ada apa?" tukasnya. "Padahal sedang enak-enaknya tidur!"
"Aku tidak bisa menemukan Kiki," kata Lucy-Ann. "Aku sudah mencari ke mana-
mana." "'Paling-paling pergi menyusul Jack," kata Dinah, semakin jengkel. Ia merebahkan
diri lagi, sambil menguap lebar-lebar. Lucy-Ann menggoncang-goncangnya.
"Jangan tidur lagi, Dinah. Sungguh, baru saja Kiki masih ada di sini ia "terbang ke belakang tapi kini tahu-tahu ia lenyap!"
?"Biar saja nanti kan kembali dengan sendirinya," kata Dinah. "Jangan ganggu
"aku lagi, Lucy-Ann."
Dinah memejamkan matanya kembali. Lucy-Ann tidak berani mengatakan apa-apa lagi.
Ia takut pada Dinah. Anak itu bisa galak sekali, kalau marah. Lucy-Ann mendesah
pelan. Ia ingin Jack dan Philip cepat-cepat kembali. Aduh, apakah yang terjadi
dengan Kiki" Lucy-Ann bangun, lalu pergi ke belakang. Batu di situ berlipat lipat. Di balik
salah satu lipatan terdapat rongga yang gelap. Lucy-Ann menjenguk di situ.
Dikiranya Kiki bersembunyi di situ. Burung iseng itu kadang-kadang memang suka
menyembunyikan diri, untuk mengejutkan orang yang mencari dengan seruan, "Huh!"
Tapi Kiki ternyata tidak ada di situ. Lucy-Ann menyorotkan senter ke atas dan ke


Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bawah memeriksa rongga itu. Tiba-tiba ia tertegun. Cahaya senter terarah ke
suatu tempat. "Wah rupanya di sini ada liang!" kata Lucy-Ann. "Ke situ rupanya Kiki tadi
"masuk!" Ia merangkak masuk ke dalam liang itu, yang letaknya agak tinggi. Kira-kira
setinggi bahu. Liang itu tidak lebar, hanya cukup lapang untuk dimasukinya.
Lucy-Ann mengira ia akan sampai di gua lain, di seberangnya. Tapi ternyata
tidak! Liang itu agak menuju ke atas, berupa terowongan yang bulat dan sempit.
Lucy-Ann merasa yakin, Kiki pasti masuk ke dalam liang aneh yang gelap itu.
"Kiki!" serunya, sambil menyorotkan senter ke depan. "Di mana kau, Goblok" Ayo
kembali!" Tidak didengarnya suara jawaban Kiki. Lucy-Ann merangkak terus, sambil menduga-
duga berapa panjangnya liang itu. Bentuknya nyaris sebulat pipa. Mungkin liang
itu dulu tempat air mengalir ke bawah. Tapi sekarang liang itu kering. Di
dalamnya tak terdengar lagi bunyi deru air terjun, Walau Lucy-Ann sudah
mendengarkan 'baik-baik. Tempat itu sangat sunyi.
"Kiki! Kiki!" Dalam tidur, Dinah mendengar seruan itu. Ia bangun, lalu duduk dengan perasaan
sebal. Tapi ia tidak melihat Lucy-Ann dalam gua. Kini ia yang merasa takut!
Diingatnya kata Lucy-Ann tadi, bahwa Kiki tiba-tiba lenyap. Dan kini,
kelihatannya Lucy-Ann yang menghilang. Tirai daun pakis terjulur ke bawah,
menutupi mulut gua. Lucy-Ann takkan mungkin pergi ke luar, tanpa memberi tahu
Dinah terlebih dulu. Dinah memeriksa ruangan gua dengan seksama. Tapi Lucy-Ann tetap tidak ditemukan.
Aduh apakah yang terjadi dengan anak itu, dan dengan Kiki"
"Saat itu terdengar suara teriakan sekali legi. Kedengarannya samar-samar,
seperti di kejauhan Dinah pergi ke bagian belakang gua. Ia menemukan celah yang
tersembunyi di situ. Ia bergegas, mengambil sebuah senter lagi yang terdapat di
rak batu, lalu menerangi celah yang di belakang. Matanya terbelalak karena
heran, ketika melihat sepasang sepatu menjulur ke luar dari sebuah liang, yang
letaknya kira-kira setinggi bahu dari dasar gua.
Dipegangnya pergelangan kaki Lucy-Ann, lalu ditariknya. Sambil menarik, Dinah
berteriak-teriak "Kau mau ke mana, Lucy-Ann" Ada apa dalam lubang itu?"
"Aku tidak tahu, Dinah," balas Lucy-Ann sambil berteriak pula. "Kebetulan saja
aku menemukannya. Kurasa Kiki tadi masuk kemari. Apakah sebaiknya aku terus
saja, untuk mencarinya" Tap kau juga harus ikut."
"Baiklah," kata Dinah. "Kau masuk saja dulu."Lucy-Ann beringsut-ingsut semakin jauh dalam liang sempit itu. Tahu-tahu liang
melebar. Diterangi sorotan senter, Lucy-Ann melihat bahwa di bawahnya ada suatu
gua Tapi gua ini sangat lapang!
Ia berhasil keluar dari liang, lalu memandai berkeliling gua. Kelihatannya mirip
bangsal, tapi bangsal di bawah tanah. Langit-langitnya tinggi sekali. Entah dari
sudut mana dalam ruang remang-remang yang luas itu terdengar suara bernada
murung. "'Kasihan, kasihan!"
"Di sini kau rupanya, Kiki!" seru Lucy-Ann. Ia kaget, karena seketika itu juga
ia mendengar gema, "Kiki, Kiki, Kiki!" Bunyinya aneh dan asing!
"Cepat, Dinah!" seru Lucy-Ann. Perasaannya tidak enak, mendengar bunyi gema itu.
"Cepat Dinah, Dinah!" Gema sua a memantul dari segala arah. Kiki cepat-cepat
datang ke tempat Lucy-Ann. Burung itu ketakutan. Begitu banyak terdengar suara
dalam gua itu! Siapakah yang berteriak-teriak itu" Burung kakaktua tidak
mengenal gema. "Kiki yang malang," celotehnya ketakutan. "Kasihan Kiki!"
"Kiki, Kiki, Kiki," terdengar gemanya. Kiki bergidik sambil memandang
berkeliling. la men-cari-cari, siapa yang memanggilnya. Tapi ia tidak melihat
siapa-siapa. Tiba-tiba ia menguak dengan keras, seolah-olah menantang.
Seketika itu juga terpantul suaranya dan segala arah. Kedengarannya, seolah-olah
ruang gua itu penuh dengan burung kakaktua. Kiki benar-benar tercengang. Masa
"ada begitu banyak burung dalam ruangan gelap itu, tapi ia tidak melihat seekor
pun" Sementara itu Dinah muncul dari dalam liang, lalu berdiri di samping Lucy-Ann.
"Wah! Luasnya tempat ini!" katanya.
Tempat ini, patini, ini!" bunyi gemanya.
?"Segala ucapan kita menggema di sini," kata Lucy-Ann. "Aneh!"
"Aneh, aneh!" kata gema.
"Lebih baik kita berbisik-bisik," kata Dinah sambil berbisik. Seketika itu juga
ruang gua dipenuhi suara bisikan misterius. Bunyinya malah semakin mengerikan
kedua anak perempuan itu. Mereka saling mendekap ketakutan. Dinah yang paling
dulu sadar. "Itu kan hanya gema," katanya. "Gua seluas ini memang sering bergema. Aku ingin
tahu, adakah orang lain yang pernah ke sini sebelum kita!"
"Kurasa tidak ada," kata Lucy-Ann. Ia menyorotkan senternya berkeliling.
"Bayangkan mungkin saat ini kita menginjakkan kaki di tempat yang belum pernah
" didatangi manusia!" "Yuk kita memeriksa tempat ini sebentar," kata Dinah. "Kelihatannya tidak "banyak yang bias dilihat Tapi biar saja, sambil menunggu Jack dan Philip
kembali." Kedua anak perempuan itu melangkah lambat-lambat dalam gua besar yang gelap.
Bunyi langkah mereka menggema. Sekali Dinah bersin. Dengan sekejap mata
terdengar bunyi mengejut beruntun-runtun, dari segala arah. Dinah dan Lucy-Ann
sampai kaget mendengarnya.
"Jangan bersin lagi, Dinah," kata Lucy-Ann. Tidak enak rasanya mendengar bunyi
"gemanya. Lebih seram daripada suara Kiki menguak tadi!"
Mereka sudah hampir mengitari seluruh gua, ketika mereka sampai ke sebuah lorong
yang menuju ke luar. Lorong itu sempit, tapi tinggi - diapit dinding batu.
"Coba lihat itu!" kata Dinah tercengang. "Di sini ada lorong. Mungkin dari sini
kita bisa menuju ke salah satu tempat"
"Mungkin saja," kata Lucy-Ann. Matanya bersinar-sinar. "Jangan lupa, kedua orang
itu kan kemari karena hendak mencari harta karun! Kita tidak tahu harta karun
macam apa tapi mungkin saja barang itu tersembunyi di salah satu tempat di
"pegunungan sini."
"Kalau begitu kita telusuri saja lorong ini," kata Dinah. "Yuk, Kiki! Kami tidak
ingin meninggalkan dirimu di sini."
Kiki terbang menghampiri, lalu bertengger di bahu Dinah. Kedua anak perempuan
itu memasuki lorong sempit berdinding batu itu. Mereka tidak bercakap-cakap.
Cahaya senter mereka menerangi lorong di depan mereka. Apakah yang akan mereka
temukan nanti" Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 12 DI BALIK AIR TERJUN Lorong itu ternyata berkelok-kelok, dan agak Inenurun Dasarnya tidak rata,
sehingga kedua Anak perempuan itu berkali-kali tersandung. Pada tu tempat
langit-langit sangat menurun, sehingga keduanya terpaksa merangkak untuk bisa
melewati. Tapi dengan segera ruangan di atas kepala menjadi lapang kembali.
Setelah agak lama berjalan, mereka mendengar bunyi sesuatu yang tidak mereka
ketahui. Bunyi itu berat. berderu! Dan tidak henti-hentinya terdengar.
Bunyi apa itu?" kata Dinah. "Apakah kita sekarang sudah mendekati perut
"gunung, Lucy-Ann" Itu kan bukan bunyi api yang berkobar-kobar" Bunyi apakah itu
yang begitu dahsyat, perut bumi?"
"Aku tidak tahu," kata Lucy-Ann lirih Seketika itu juga ia ingin kembali. Api
yang menderu- deru dalam bumi" Hii ia sama sekali tidak kepingin melihatnya!
"Baru membayangkannya saja, napasnya sudah langsung terasa sesak.
Tapi Dinah tidak ingin kembali karena sudah terlanjur berjalan sampai di situ.
?"Apa" Kita kembali, sebelum tahu sampai ke mana lorong ini," katanya. "Tidak
bisa! Jack dan Philip pasti tertawa terpingkal-pingkal nanti, jika mereka
mendengar cerita kita. Kita jarang mendapat kesempatan menemukan sesuatu lebih
dulu dari mereka berdua. Siapa tahu mungkin kita nanti bahkan menemukan harta
"karun yang entah apa itu, Lucy-Ann!"
Lucy-Ann sama sekali tidak peduli terhada harta karun. Hanya satu yang
diingininya saat itu yaitu kembali ke gua yang dikenalnya, ke gua yang aman
dengan tirai pakisnya yang hijau.
"Kalau begitu, kau saja kembali sendiri," tukas Dinah. "Dasar penakut!"
Tapi Lucy-Ann lebih takut lagi disuruh kembali sendiri lewat gua gema. Karena
itu mau tidak mau. ia terpaksa ikut dengan Dinah. la berjalan dekat sekali di
belakang anak itu, sementara bunyi yang menderu-deru masih terdengar terus.
Makin lama semakin keras!
Akhirnya kedua anak itu tahu, apa yang menimbulkan bunyi itu. Ah tentu saja, "air terjun Bodoh sekali mereka tadi, tidak memikirkar kemungkinan itu. Tapi
kedengarannya memang lain, dari dalam gunung!
"Ternyata kita tadi tidak berjalan menuju ke .ialam gunung," kata Dinah.
"Lorong ini ujungnya di salah satu tempat dekat air terjun. Tapi di mana ya,
tepatnya?" Mereka kaget sekali, ketika akhirnya lorong mulai agak terang. Lorong itu
menikung, dan mereka sampai di suatu tempat yang remang-remang. Keremangan itu
bergerak-gerak. Aneh! Dari arah depan terasa datang tiupan angin sejuk,
membasahi rambut mereka. "Lucy-Ann!" seru Dinah dengan heran. "Ternyata kita sampai di belakang air
terjun. Lihatlah, itu kan air yang menyiram dengan deras dari atas! He kau
" "bisa mendengar aku" Aduh, bisingnya suara air!"
Lucy-Ann tegak seperti terpaku, dengan mata menatap ke depan, la kaget mendengar
bunyi seribut itu. Air terjun membentuk tirai tebal yang memisahkan tempat
mereka berada dari dunia luar. Air menghambur ke bawah, berkilat-kilat dan
memantulkan berbagai warna, tanpa henti. Kede-rasannya mengagumkan kedua anak
perempuan itu. Mereka merasa diri mereka begitu kecil dan lemah, ketika mereka
memandang banyaknya air yang tercurah ke bawah, dekat sekali di depan mereka.
Mereka merasa kagum, karena bisa berdiri dekat sekali padanya, tapi tidak apa-
apa kecuali basah sedikit karena kabut lembab yang memenuhi tempat itu.
"Pinggiran lorong tempat mereka sangat lebar. Lebarnya sama dengan air terjun.
Pada salah satu pinggirnya terdapat sebongkah batu yang tingginya selutut. Kedua
anak perempuan itu duduk di situ, sambil memperhatikan pemandangan mengagumkan
di depan mereka. ' Apa kata Jack dan Philip nanti?" kata Dinah. "Yuk, kita tinggal di sini sampai
mereka kembali. Jika kita tetap duduk di atas batu ini di pinggir air terjun mereka tentunya
" "bisa melihat kita nanti. Keduanya pasti tercengang, jika melihat kita melambai-
lambai dari sini. Baik dari atas maupun dari bawah tidak ada jalan untuk sampai
kemari. Satu-satunya jalan lewat belakang, dari lorong yang kita lalui tadi."
"Ya kita kagetkan mereka nanti," kata Lucy-Ann. la sudah tidak takut lagi
sekarang. "He dari sini kita bisa melihat gua kita! Maksudku, yang kelihatan
"tanaman pakis besar yang tumbuh di depannya. Kita akan bisa dengan mudah melihat
Jack dan Philip, apabila mereka kembali nanti."
Selama itu Kiki diam saja. Burung itu kaget ketika tahu-tahu berada di belakang
dinding yang terdiri dari air mengalir, la duduk bertengger sambil memperhatikan
air terjun. Sekali-sekali matanya terkejap.
"Mudah-mudahan saja Kiki tidak mencoba terbang, menembus air terjun," kata Lucy-
Ann dengan nada cemas. "Kalau ia mencoba juga pasti ia akan mati terbanting ke
batu di bawah karena terseret air!"
"Kiki tidak sekonyol itu," kata Dinah. "la tahu apa yang akan terjadi, jika ia
melakukan perbuatan seperti itu. Tapi ada kemungkinan ia akan terbang ke luar
lewat pinggir. Kalau itu dilakukan olehnya, takkan berbahaya!"
Lama juga anak-anak itu duduk di situ. Rasanya tidak bosan-bosannya mereka
memandang air terjun yang menderu-deru,
Tiba-tiba Lucy-Ann berseru pelan, sambil memegang lengan Dinah. "Lihatlah! Jack
dan Philip-kah yang datang itu" Ya, betul - itu mereka! Mereka mengangkut
sebuah karung. Bagus! Sekarang bekal makanan kita pasti cukup."
Mereka memperhatikan kedua anak laki-laki itu berjalan dengan susah payah di
sela batu- batu, menuju gua tempat persembunyian mereka.
Tiba-tiba Dinah kaget "Ada apa?" kata Lucy-Ann, ketika melihat perubahan air muka anak itu.
"Lihatlah ada orang mengikuti mereka!" kata Dinah. "Itu he, itu kan satu
" "dari kedua laki-laki itu! Dan itu satunya lagi! Aduh, kurasa Jack dan Philip
tidak tahu bahwa mereka diikuti dari belakang dengan diam-diam. Pasti kedua
laki-laki itu hendak mengintai ke mana mereka pergi. Aduh tempat persembunyian
"kita pasti ketahuan sekarang! Jack! Philip! Jack awas!"
"Dinah maju sampai ke pinggir sekali. Sambil berpegang pada pakis yang tumbuh di
situ, ia menjulurkan badannya ke luar. la melambaikan tangan sambil berteriak-
teriak. Dinah lupa, yang bisa mendengar dan melihatnya bukan Jack dan Philip saja, tapi
juga kedua laki-laki itu. Tapi sayang Jack dan Philip begitu sibuk memilih "jalan sambil membawa karung yang berat, sehingga mereka tidak mendengar dan
melihat Dinah. Tapi kedua laki-laki yang membuntuti mereka melihatnya. Keduanya
menatap dengan heran. Dari kejauhan mereka tidak bisa mengetahui apakah Dinah
laki-laki atau perempuan, orang dewasa atau anak-anak Soalnya, pinggiran air
terjun bergerak-gerak terus, dan kadang-kadang menutupi Dinah dari pandangan.
Mereka hanya bisa melihat bahwa ada orang menandak-nandak sambil melambai-
lambai di balik air terjun.
"Lihatlah!" kata laki-laki yang satu pada temannya. "Itu di balik air terjun!
"Rupanya di situ mereka bersembunyi. Astaga! Bagaimana mereka bisa sampai di
situ?" Kedua laki-laki itu menatap air terjun sambil melongo. Mata mereka bergerak-
gerak, mencari- cari jalan yang menuju ke tempat sosok tubuh samar itu menandak-
nandak Sementara itu Jack dan Philip sudah sampai di depan pakis yang menutupi lubang
gua. Mereka masih tetap belum menyadari adanya kedua laki-laki yang mengikuti
dari belakang, maupun Dinah yang melambai-lambai dari balik tirai air terjun.
Philip menyibakkan daun- daun pakis ke samping, sementara Jack menarik karung
yang berat ke dalam. Napasnya tersengal-sengal, karena karung itu berat Sesampai
di dalam, keduanya menjatuhkan diri ke atas lumut . Jantung mereka berdegup
keras, karena capek mendaki lereng terjal menuju gua sambil membawa karung berat
Mula- mula keduanya sama sekali tidak menyadari bahwa Dinah dan Lucy-Ann tidak
ada di situ. Tidak begitu jauh di bawah mulut gua, kedua laki-laki tadi kebingungan. Bagitu
terpesona mereka tadi memperhatikan Dinah yang menandak-nandak di balik air
terjun, sehingga tidak sempat melihat Jack dan Philip menyelinap di sela pakis,
masuk ke dalam gua. Ketika mereka mengalihkan pandangan dari air terjun, mereka
melongo. Tahu-tahu kedua anak laki-laki tadi sudah lenyap!
"Eh! Ke mana mereka?" tanya Juan. "Tadi kulihat masih ada di atas batu itu!"
"Ya, betul! Tapi kemudian perhatianku teralih pada orang yang melambai-lambai
dari balik air terjun. Hanya sebentar saja aku tidak memperhatikan, dan tahu-
tahu mereka kini lenyap," kata Pepi menggerutu. "Tapi sudah jelas ke mana mereka
pergi. Pasti mereka mengambil jalan yang menuju ke air terjun itu. Di situlah
mereka rupanya bersembunyi. Pintar juga karena siapa yang akan mengira ada
"orang bersembunyi di balik air yang terjun dengan deras itu! Nah sekarang kita
"sudah tahu di mana mencari mereka. Kini kita menuju ke air, lalu mendaki tebing
sampai ke pinggiran yang nampak itu. Sesampai di situ, kita bereskan mereka!"
Kedua orang itu mulai memanjat ke bawah, dengan harapan akan menemukan jalan
yang menuju ke pinggiran yang menonjol di balik air terjun. Sulit sekali gerak
mereka di atas batu- batu yang licin dan basah.
Dalam gua, Jack dan Philip dengan segera pulih dari rasa capek Mereka duduk,
lalu memandang berkeliling mencari-cari Dinah dan Lucy-Ann.
"He ke mana mereka?" kata Jack dengan heran. "Mereka tadi kan berjanji akan
"tetap ada di sini, sampai kita kembali. Aduh jangan-jangan mereka keluyuran
"sendiri! Pasti tersesat mereka nanti!"
Kedua anak perempuan itu tidak ada dalam gua. Itu sudah jelas. Jack dan Philip
tidak tahu bahwa di bagian belakang ada liang, tersembunyi di balik lipatan
batu. Karenanya mereka kebingungan. Jack menyingkapkan daun pakis, lalu
memandang ke luar. la kaget sekali, ketika langsung melihat kedua laki-laki yang
merangkak-rangkak di sela batu- batu besar, tidak jauh dari air terjun.
"Coba kaulihat ke luar sebentar!" katanya pada Philip.
Tirai pakis ditutupnya sedikit, karena khawatir kalau kelihatan dari luar.
"Itu kedua laki-laki itu! Aduh, jangan-jangan mereka tadi melihat kita masuk
"kemari! Bagaimana mereka bisa sampai di sini" Tadi kita kan melihat mereka di
dekat pesawat, ketika kita hendak menuju ke semak belukar itu!"
Sementara itu Dinah sudah menjauh dari pinggir lorong, la tidak tahu pasti,
apakah kedua laki-laki yang di luar itu melihat Jack dan Philip, ketika keduanya
masuk ke dalam gua yang tersembunyi di balik tanaman pakis besar. Tapi pokoknya,
ia harus memberi tahu mereka tentang munculnya kedua laki-laki itu. Dinah merasa
yakin, baik Jack maupun Philip pasti tidak tahu bahwa mereka tadi dibuntuti.
"Yuk, Lucy - Ann!" desa Dinah. "Kita harus kembali ke tempat Jack dan Philip.
Aduh coba kaulihat kedua laki-laki itu! Kurasa mereka sedang berusaha m
"encari jalan kemari. Rupanya mereka tadi melihat atau melambai lambai. Ayo
cepatlah sedikit!"

Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lucy-Ann mengikuti Dinah, menyusur lorong gelap yang berliku-liku, kembali ke
gua gema. la gemetar karena menahan ketegangan. Dinah berjalan secepat mungkin,
sambil menyorotkan senter ke depan. Kedua anak perempuan itu sama sekali lupa
pada Kiki. Burung kakatua itu ditinggal di belakang air terjun. Kiki masih
bertengger di atas batu, dengan sayap basah kena kabut, la memperhatikan kedua
orang yang memanjat dengan penuh minat, sehingga tidak mendengar ketika Dinah
dan Lucy-Ann pergi. Akhirnya anak-anak perempuan itu sampai lagi di gua gema.
Dinah berhenti berjalan, la berpikir sebentar. "Nah! Di mana liang tadi?"
katanya. "Liang tadi, liang tadi, tadi," terdengar gema suaranya, seolah-olah
mengejek. "Ah diam!" bentak Dinah. "Diam, diam, diam!" bentak gema membalas. "Dinah menyorotkan senternya ke sana dan ke sini. Secara kebetulan saja ia
menemukan liang yang mereka lalui tadi. Dengan segera ia sudah menyusup ke
dalam, lalu merangkak maju. Lucy-Ann menyusul dekat sekali di belakangnya.
Kasihan ia merasa seolah-olah setiap saat akan ada yang memegang kakinya dari
"belakang, la hampir saja membentur sepatu Dinah di depannya, karena ia bergegas-
gegas merangkak, la ingin cepat-cepat keluar dari liang sempit itu.
Jack dan Philip masih mengintip kedua laki-laki yang di luar dari sela-sela daun
pakis, ketika kedua adik mereka masing-masing muncul dari liang di belakang
gua. Kedua anak perempuan itu menghampiri abang-abang mereka dengan gerak
menyelinap. Setelah dekat, mereka langsung menubruk. Jack dan Philip nyaris
terpekik karena kaget! Philip memukul, karena mengira yang menyergap dari
belakang itu pasti musuh! Dinah menjerit, karena telinganya kena pukul, la
membalas. Detik berikutnya kedua anak itu sudah berguling-guling di atas lumut
"Aduh, aduh, jangan berkelahi!" keluh Lucy-Ann ketakutan. "Ini kami, Jack!
Philip! Kami aku dan Dinah!"
"Philip membebaskan diri dari pitingan Dinah, lalu duduk
Sementara Jack memandang sambil melongo. "Eh dari mana kalian tiba-tiba
"muncul?" tanyanya. "Aduh, kaget sekali kami tadi, ketika kalian tiba-tiba
menerpa dari belakang! Ke mana kalian tadi?"
"Di belakang ada liang, dan kami masuk ke situ," kata Dinah menjelaskan sambil
memandang Philip dengan mata melotot "He, tahukah kalian bahwa kedua laki-laki
itu tadi mengikuti kalian dari belakang" Mereka tadi tidak jauh di
belakang kalian. Kami sudah takut saja, jangan-jangan mereka melihat kalian
masuk kemari!" "Mereka mengikuti kami?" kata Jack. "Aduh, kami sama sekali tidak tahu! Coba
kalian mengintip sebentar ke luar. Lihatlah, apakah mereka mencari-cari kami di
bawah." Bab 13 AMAN DALAM GUA Keempat anak itu mengintip ke luar, dari sela-sela daun pakis. Lucy-Ann menahan
napas. Ya, betul itu dia kedua laki-laki tadi. Keduanya merangkak-rangkak di
"atas batu, dekat sekali ke air terjun.-
"Tapi apa yang mereka cari di bawah situ?" kata Jack dengan heran. "Kenapa di
situ mereka mencari kami" Tentunya mereka tahu bahwa kami tadi tidak lewat di
situ, apabila mereka membuntuti kami."
"Rupanya mereka melihat aku melambai-lambai memanggil kalian, dari balik air
terjun," kata Dinah. "Lalu mereka menyangka, di situ tempat persembunyian kita.
"Memanggil kami dari balik air terjun?" kata Philip, ia benar-benar bingung
sekarang. "Apa maksudmu, Dinah" Sudah sinting kau ini rupanya!"
"Aku tidak sinting!" tukas Dinah. "Di situ aku dan Lucy-Ann berada, ketika
kalian berdua mendaki tebing sebelah sana itu, menuju ke sini. Kami berdiri di
belakang air terjun. Aku tadi berusaha setengah mati untuk menarik perhatian
kalian, karena aku ingin memberi tahu bahwa kalian diikuti oleh kedua laki-laki
itu." 'Tapi tapi bagaimana kalian bisa sampai di belakang air terjun" Kalian ini "macam-macam saja! Kan berbahaya, memanjat-manjat batu yang licin hanya untuk
"pergi ke balik air terjun. Coba kalau kalian tadi...."
"Kami tadi bukan lewat situ, Goblok," kata Dinah. "Kami melalui jalan lain." la
bercerita pada Jack dan Philip, tentang liang sempit yang terdapat di belakang
gua dan yang menuju ke gua gema, dan juga tentang lorong yang menuju ke belakang
air terjun. Kedua anak laki-laki itu mendengarkan ceritanya dengan terheran
heran. "Astaga! Luar biasa!" kata Jack. "Yah kurasa kedua laki-laki itu melihatmu
"berdiri di situ, Dinah dan karenanya sesaat tidak memperhatikan kami berdua.
"Dan tepat ketika itulah kami menyusup kemari, menembus tirai pakis ini. Untung
saja!" "Rupanya itulah sebabnya kenapa mereka sekarang merangkak-rangkak di atas batu-
batu yang basah dan licin itu," kata Philip sambil nyengir. "Mereka mengira di
situ tempat persembunyian kita, di belakang air terjun! Karena itulah mereka
berusaha datang ke situ, untuk mengejar kita. Mereka tidak tahu bahwa bukan itu
jalan yang sebenarnya. Aku tidak melihat kemungkinan mereka akan bisa sampai ke
balik air terjun, lewat batu-batu yang terdapat di depan itu. Jika mereka tidak
berhati-hati, mungkin mereka akan dihanyutkan air, lalu terbanting ke bawah."
Lucy-Ann bergidik, karena ngeri.
"Hii! Aku tidak mau melihatnya," katanya. Ia tidak mau lagi mengintip dari sela-
sela daun pakis. Tapi Dinah serta kedua anak laki-laki itu memandang terus
dengan asyik. Mereka merasa aman dalam gua yang terlindung pakis. Asyik rasanya memperhatikan
kedua laki-laki itu berjalan tergelincir-gelincir di atas batu. Keduanya nampak
semakin marah. Kiki masih tetap ada di balik air terjun. Diperhatikannya kedua laki-laki yang
merangkak-rangkak itu dengan penuh minat. Tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.
Tertawanya itu didengar kedua laki-laki itu, mengatasi deru air terjun. Mereka
kaget, lalu berpandang-pandangan.
"Kaudengar itu?" tanya Juan. "Ada yang menertawakan kita! Awas, jika aku
berhasil menangkap mereka! Mereka mestinya ada di balik air terjun itu. Tapi
bagaimana mereka bisa masuk ke situ?"
Air terjun tidak bisa dimasuki, baik dari atas maupun dari bawah. Mustahil!
Kenyataan itu disadari kedua laki-laki itu, setelah berulang kali mereka
terjatuh. Sekali seorang dari mereka terpeleset dari atas batu yang licin,
nyaris terjerumus ke dalam air yang membanjir dengan deras dari atas. Akhirnya
mereka duduk pada suatu bagian batu yang menonjol, agak jauh dari tempat air
terjun. Mereka menyeka kepala Keduanya kepanasan, sementara pakaian mereka basah
kuyup. Mereka marah-marah.
Tapi mereka juga bingung. Dari mana datangnya kedua anak laki-laki tadi"
Mungkinkah di dekat-dekat situ ada perkemahan" Atau jangan-jangan mereka
bersembunyi di daerah pegunungan! Ah tidak mungkin karena mestinya mereka
" "akan kelihatan, berkeliaran mencari makan! Tidak mestinya orang-orang tak
"dikenal itu hanya sedikit jumlahnya, dan mereka yang mengirim kedua anak laki-
laki itu mencari makanan.
Anak-anak memperhatikan kedua laki-laki itu dengan asyik. Mereka senang melihat
kedua musuh mereka bingung. Asyik rasanya bisa melihat segala gerak-gerik
keduanya, sementara mereka sendiri tidak kelihatan. Bahkan Lucy-Ann pun kini
berani mengintip lagi, setelah tahu bahwa kedua laki-laki itu tidak lagi
berjalan sambil terpeleset-peleset dekat air terjun.
"Lebih baik kita pergi saja dari sini," kata Juan kemudian. "Jika di situ tempat
mereka bersembunyi, biar saja dulu. Lebih baik kita menjemput orang lagi, untuk
membantu kita menjaga di sini. Dengan begitu setiap orang yang muncul dari balik
air terjun, pasti akan ketahuan. Yuk aku sudah bosan dengan urusan ini!?"Kedua laki-laki itu berdiri. Jack memperhatikan mereka dari sela-sela daun pakis
Apakah mereka hendak kembali ke pondok di lembah" Atau mungkin ke pesawat
terbang" Jack cepat-cepat menutup dedaunan di depannya dan mendorong anak-anak
yang lain ke belakang, ketika ia melihat bahwa kedua laki-laki itu akan lewat
agak dekat ke gua. Jangan bicara," kata Jack memperingatkan, "mungkin mereka nanti lewat di dekat
"sini." Kedua laki-laki itu ternyata lewat dekat sekali. Mereka memilih jalan yang lewat
di depan gua. Anak-anak tidak bergerak sedikit pun, sementara di luar terdengar
langkah kedua laki-laki yang lewat. Lucy-Ann nyaris terpekik, ketika dengan
tiba-tiba tanaman pakis bergoyang-goyang. Cepat-cepat didekapkannya tangan ke
mulut. "Mereka masuk kita ketahuan," pikir anak itu. Jantungnya nyaris berhenti
"berdenyut. Pakis bergoyang-goyang lagi. Tapi hanya itu saja rupanya yang
terjadi. Bunyi langkah semakin menjauh. Anak-anak mendengar kedua laki-laki itu
bercakap-cakap. Tapi apa yang mereka katakan, tidak terdengar jelas.
"Sudah pergikah mereka?" tanya Dinah dalam hati. Dipandangnya Jack dengan alis
terangkat Jack mengangguk Ya, mereka sudah pergi. Aduh bukan main ngerinya
"anak-anak tadi, ketika pakis bergoyang-goyang. Padahal salah seorang dan kedua
laki-laki itu hanya berpegang ke situ, supaya jangan terjatuh. Juan dan Pepi
sama sekali tidak menduga bahwa tak sampai semeter dan tempat mereka lewat tadi
bersembunyi empat orang anak.
Jack menyibakkan tirai daun pakis, untuk mengintip lagi ke luar. Kedua laki-laki
itu tidak kelihatan. Jack merasa yakin, mereka pasti sudah kembali ke lembah.
Tapi ia tidak berani keluar, untuk memeriksa.
"Lebih baik kita diam-diam saja dulu di sini," katanya. "Kita makan dulu.
Setelah itu aku akan menyelinap ke luar, untuk melihat keadaan. Mana Kiki?"
Anak-anak tidak ada yang tahu.. Tapi kemudian Dinah teringat, burung kakaktua
itu tadi ikut dengannya, di belakang air terjun. Lalu ketika ia bersama Lucy-Ann
bergegas-gegas kembali untuk memberi tahu Jack dan Philip mengenai kedua laki-
laki itu, karena gugup mereka berdua lupa pada Kiki. Jadi mestinya kakaktua itu
masih ada di sana. "Sialan! Kalau begitu, sebaiknya kita jemput saja," kata Jack. "Tapi saat ini
aku malas bergerak, karena capek sehabis mengangkat karung berat sejauh tadi."
Saat itu terdengar suara di luar gua. Kedengarannya suram, dan seperti
menyesali. "Kiki yang malang, sendirian saja! Kasihan Kiki, kasihan sayang!"
Anak-anak tertawa mendengarnya. Dengan hati-hati Jack menyibakkan daun-daun
pakis. sedikit ke samping. Karena siapa tahu, mungkin kedua laki-laki tadi masih
ada di sekitar situ. Kiki masuk dengan sikap memelas. Ia terbang ke bahu Jack,
lalu menggigit-gigit telinga tuannya itu dengan perasaan sayang.
"Semua masuk!" Kini suara Kiki sudah terdengar agak riang lagi. Ia menggertak-
gertakkan paruh. Dinah mengusap-ngusap jambul burung itu, sehingga tegak.
"Rupanya Kiki tadi terbang dari balik air terjun, lalu langsung menuju kemari,"
katanya. "Kiki pintar! Burung pintar!"
"Hidup Ratu, kata Kiki. "Bersihkan kaki!" Jack mengeluarkan alat pembuka "kaleng, sementara anak-anak memilih kaleng-kaleng serta botol-botol yang akan
dibuka. Biskuit masih ada yang tersisa dalam sebuah kaleng. Anak-anak memilih
corned beef untuk dimakan bersama biskuit itu, serta buah aprikos sekaleng
besar. Jack menyibakkan tirai daun pakis agak ke samping, sehingga ada sinar
matahari yang masuk ke dalam gua. Sekali lagi anak-anak makan dengan nikmat.
Kiki kena marah, karena terlalu rakus memakan buah aprikos.
Agak lama juga anak-anak itu menunggu, sebelum mereka berani muncul dari dalam
gua. Matahari sudah rendah di sebelah barat, ketika akhirnya Jack keluar dari
balik tanaman pakis, lalu memandang berkeliling dengan cermat. Kedua laki-laki
tidak kelihatan lagi. Jack menemukan tempat yang agak tinggi. Jika ia duduk di
situ, ia akan bisa memandang ke segala arah dengan leluasa.
"Kita silih berganti menjaga," katanya. "Setengah jam lagi kau datang ya,
Philip!" Anak-anak melewatkan waktu sambil berkeliaran di sekitar tempat itu. Mereka
asyik memakan buah-buahan hutan. Nikmat sekali rasanya! Kiki juga ikut makan,
sambil tidak henti-hentinya bergumam, "Hmmm!"
Anak-anak silih berganti menjaga di tempat yang agak tinggi. Tapi tidak ada
sesuatu yang luar biasa Penglihatan menjadi samar-samar, ketika matahari sudah
menghilang di balik gunung. Mereka lantas masuk lagi ke dalam gua.
"Pasti nyaman tidur di sini malam ini," kata Lucy-Ann senang. "Lumut ini empuk
dan halus sekali, seperti beledu kelihatannya." Ia mengusap-usap lumut yang
terhampar di dasar gua. Rasanya juga halus, seperti beludru. Ia membantu Dinah
menghamparkan mantel-mantel serta selembar selimut sebagai alas tidur nanti,
serta menggulung pullover dan baju hangat untuk dijadikan bantal.
"Sekarang kita minum air buah dan makan beberapa potong biskuit," kata Dinah,
ketika anak-anak sudah duduk semua di atas pembaringan mereka. Ia membagi-
bagikan biskuit Sementara itu Jack mendorong daun-daun pakis ke samping, lalu
mengikatnya erat-erat. "Udara harus bisa masuk dengan leluasa," katanya. "Hawa di sini pasti pengap
jika daun-daun ini kita biarkan tertutup, karena kita kan berempat!" "Berlima,"
kata Dinah. "Jangan lupa Kiki!"
"Enam." kata Philip, sambil mengeluarkan kadalnya dari dalam kantong. "Jangan
lupa Lizzie!" "Aduh, kusangka kadal itu sudah minggat," kata Dinah dengan perasaan sebal. "Aku
tidak melihatnya sehari ini."
Sehabis makan dan minum, anak-anak merebahkan diri. Sementara itu di luar sudah
gelap. Enak rasanya berbaring di atas lumut yang empuk.
"Coba aku bisa tahu pasti bahwa Ibu tidak gelisah memikirkan kita, aku pasti
bisa lebih menikmati petualangan ini," kata Philip, sambil menyelubungi tubuh
dengan selimut. "Aku sama sekali tidak tahu di mana kita berada. Tapi yang
jelas, tempat ini sangat indah. Bagus ya, bunyi air terjun itu kedengarannya
"seperti nyanyian di malam hari!"
"Ya tapi nyanyian yang nyaring," kata Jack, Ia menguap. "Walau begitu, tidurku
"takkan terganggu karenanya. Aduh, Kiki! Jangan bertengger di perutku, dong! Aku
heran, kenapa kau selalu memilih tempat itu kalau mau tidur. Sana
"bertenggerlah di kakiku!"
"Bersihkan kakimu," tukas Kiki. Tapi ia terbang juga ke kaki Jack. Ia bertengger
di situ, lalu menyelipkan kepalanya di bawah sayap.
"Besok, aku dan Philip perlu mendatangi gua gema yang kalian ceritakan tadi,
serta berdiri di balik air terjun," kata Jack. "Bayangkan masa kalian berdua "bisa mengalami petualangan kecil seperti itu!"
"Apa petualangan kecil?" kata Lucy-Ann. "Itu petualangan besar apalagi
" "ketika tiba-tiba kami menyadari bahwa kami berada di belakang air terjun!"
Agak lama juga Dinah masih terjaga. Ia takut sekali apabila ia sudah tertidur,
tahu-tahu Lizzie merayap di atas tubuhnya. Ia sudah berjaga-jaga, siap untuk
merasakan rayapan kaki-kaki kecil. Tapi Lizzie sudah meringkuk di ketiak Philip.
Anak itu merasa geli tergelitik, setiap kali kadal kecil itu bergerak-gerak.
Suara air terjun berderu-deru terus sepanjang malam. Angin bertiup, menggerak-
gerakkan daun pakis. Seekor binatang liar, mungkin seekor rubah, datang
menghampiri gua. Ia berdiri di luar, sambil mengendus-endus. Dengan segera ia
lari, ketika tercium bau manusia di dalam.
Anak-anak tidur nyenyak semuanya. Tidak ada yang bergerak. Hanya Philip yang
terbangun sejenak, karena merasakan gerakan-gerakan. Ternyata Lizzie yang
terbangun, lalu pindah tempat ke belakang telinga Philip. Anak itu memejamkan
matanya kembali. Menjelang pagi, anak-anak terbangun karena terdengar bunyi berderum-derum. Bunyi
itu bahkan lebih nyaring daripada deru air terjun. Jack langsung duduk. Ia
heran. Bunyi apakah itu"
Bunyi itu makin lama makin nyaring. Kedengarannya kini seperti datang dari atas.
Apakah itu" "Itu bunyi pesawat!" seru Jack. "Pesawat terbang! Ada pesawat datang
untuk menyelamatkan kita! Cepat kita harus ke luar!"
"Anak-anak bergegas ke luar. Mereka mendongak, mencari-cari pesawat yang datang.
Mereka melihatnya, bergerak meninggi. Rupanya tadi pesawat itu terbang dekat
sekali ke lereng gunung, dan membangunkan mereka karena bunyinya yang keras.
"Pesawat itu datang untuk menyelamatkan kita?" tukas Philip. "Mana"! Itu kan
pesawat yang kita tumpangi kemari, Goblok!"
Bab 14 TAWANAN YANG MALANG Betul itu pesawat kedua laki-laki itu! Anak-anak sempat mengenalinya,
"sementara mereka memperhatikannya menghilang di kejauhan. Pesawat itu menuju ke
barat. "Mungkinkah pesawat itu hendak kembali ke pelabuhan udara di mana pesawat Bill
berada?" kata Jack menduga-duga. "Aku ingin tahu, apakah Bill mengetahui tindak-
tanduk kedua orang itu?"
"Kita sendiri saja tidak begitu banyak tahu, kecuali bahwa mereka ke sini untuk
mencari harta karun," kata Philip. "Tapi aku sama sekali tidak bisa
membayangkan, harta karun apa yang menurut mereka ada di sini!"
"Aku juga tidak bisa menebaknya," kata Jack. "Tapi kini mereka pergi. Akan
kembali lagikah mereka kemari?"
"Itu pasti," kata Philip. "Mereka takkan cepat menyerah! Mungkin mereka sekarang
hendak menyampaikan laporan bahwa di sini ada orang lain dan siapa tahu,
"mungkin mereka mengira kita juga sedang mencari-cari harta karun itu! Dan
mungkin saja mereka nanti kembali dengan membawa bantuan, untuk mencari kita!"
"Aduh," kata Lucy-Ann kaget "Aku tidak mau mereka berhasil menemukan kita!"
"Apakah kedua-duanya yang pergi itu?" kata Philip.
"Kurasa ya," jawab Jack "Tapi bisa saja kita memeriksa sebentar. Jika yang
berangkat hanya seorang, temannya pasti saat ini ada di dekat pondok mereka. Ia
takkan tahu kita ini terdiri dari berapa orang! Mungkin saja ia mengira ada
orang dewasa di antara kita dan karenanya tidak berani pergi jauh-jauh seorang"diri!"


Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi ketika anak-anak kemudian pergi menyelidiki, mereka tidak melihat siapa-
siapa dalam lembah. Di tempat perkemahan tidak nampak asap mengepul. Api sudah
dipadamkan. Sedang pintu pondok kini dikunci. Anak-anak menggoncang-goncang dan
menendang-nendang daun pintu, tapi tetap tidak bisa dibuka.
"Wah coba kita tahu orang-orang itu hendak pergi dengan pesawat terbang, kita
"kan bisa membonceng," kata Jack sambil nyengir. "Aku ingin tahu, kapan mereka
kembali jika mereka kembali, tentunya!"
?"Kurasa paling cepat besok pagi," kata Philip. "Tentunya mereka akan berangkat
lagi malam-malam. Yuk kita memeriksa peti-peti itu lagi."
"Tapi tak ada yang bisa dilihat di situ. Peti-peti itu masih tetap kosong, dan
masih diselubungi terpal. Anak-anak bermain-main selama beberapa jam, lalu makan
di bawah pohon. Makanan diambil dari persediaan yang masih tersembunyi di dalam
semak belukar. Sehabis makan Philip mengajak kembali ke air terjun. Ia ingin tahu jalan ke gua
gema. Ia ingin pergi pula ke balik air terjun. Anak-anak berangkat, setelah
menghapus segala jejak yang nampak di sekitar pondok.
Tapi sesampai di gua, Jack berseru dengan nada jengkel, sambil merogoh-rogoh
kantong. "Ada apa?" tanya Lucy-Ann.
"Mau tahu apa yang terjadi" Alat pembuka kaleng tertinggal di lembah!" kata
Jack. "Bayangkan konyol tidak"! Aku tadi berpendapat, mungkin kita masih ingin
"membuka kaleng makanan lagi. Karena itu alat pembuka kuletakkan di atas akar
pohon di mana kita berpiknik dan rupanya sekarang masih ada di situ. Pokoknya,
"tidak ada dalam kantongku!"
"Aduh, Jack! Kita tidak bisa makan nanti, kalau tidak ada alat pembuka kaleng,"
kata Philip. Sudah dibayangkannya, malam itu akan kelaparan. "Aduh, kau ini
benar-benar keledai goblok!"
"Ya, aku tahu," kata Jack sedih. "Yah apa boleh buat! Aku harus kembali untuk
"mengambilnya. Philip, kau pergi saja bersama Dinah dan Lucy-Ann melihat gua
gema, sedang aku akan turun ke lembah bersama Kiki untuk mengambil alat pembuka
kaleng. Sialan! Tapi ini memang salahku sendiri."
"Aku ikut, Jack," kata Lucy-Ann. Ia merasa kasihan pada abangnya.
"Tidak, nanti kau terlalu capek," kata Jack "Sana kau ikut saja dengan Philip
"dan Dinah. Lagi pula, aku bisa lebih cepat kalau berjalan sendiri. Tapi aku
istirahat dulu sebentar, sebelum berangkat lagi. Lain kali saja aku melihat gua
itu." Ia duduk di atas lumut. Anak-anak yang lain menemani duduk. Mereka merasa
kasihan padanya. Mereka tahu, Jack pasti kesal terhadap dirinya sendiri. Tapi
lebih mengesalkan lagi, apabila tidak bisa makan. Jadi alat pembuka itu perlu
diambil! Setelah beristirahat selama setengah jam, Jack sudah merasa mampu lagi berjalan
jauh. Ia segera berangkat, menuruni batu-batu dengan tangkas. Anak-anak yang
lain tahu, Jack tidak mungkin tersesat. Semua merasa sudah mengenal baik daerah
sekitar lembah. Kiki duduk di atas bahu Jack. Sambil berjalan, keduanya saling bercakap-cakap.
Kiki merasa senang, karena kali itu ia sendiri bersama tuannya. Biasanya ada
saja orang lain. Mereka berdua saling mengoceh dengan asyik.
Akhirnya Jack tiba di bawah pohon, di mana mereka tadi makan-makan. Ia mencari-
cari alat pembuka kaleng. Ia sudah khawatir saja, jangan-jangan barang itu tidak
ada lagi di situ. Tapi ternyata masih ada, terletak di atas akar. Diambilnya
barang itu, lalu dikantongi.
"Syukurlah," katanya.
"Syukur kukur," oceh Kiki. "Hilang sayang!"
"Ya, betul sayang kalau hilang," kata Jack. "Tapi sekarang kita harus bergegas"kembali. Sebentar lagi sudah petang, dan aku tidak ingin kembali dalam gelap.
Yuk, Kiki kita kembali ke atas gunung!"
?"Jack dan Jill," oceh Kiki.
"Jack dan Kiki, maksudmu," kata Jack sambil nyengir, lalu berpaling untuk
kembali. Tapi tiba-tiba ia tertegun, lalu memasang telinga. Ia merasa mendengar
bunyi yang sudah dikenalnya di kejauhan. Bunyi menderum.
"Aduh, Kiki! Begitu cepat mereka sudah kembali?" kata Jack. Ia memandang ke arah
barat, di mana langit masih nampak agak terang. "Betul itu memang pesawat
"terbang! Tapi apakah pesawat kedua orang itu"
"Pesawat terbang itu semakin mendekat Tiba-tiba Jack mendapat akal. Ia lari ke
pondok, lalu memanjat sebuah pohon yang letaknya tidak jauh dari tempat api
unggun. "Kau harus diam sekarang, Kiki," katanya tegas. "Jangan mengoceh. Mengerti"
Sssst!" "Sayang, sayang!" bisik Kiki dengan suara parau. Setelah itu ia membungkam,
sambil merapatkan diri ke leher Jack.
Pesawat terbang semakin mendekat, berputar makin lama makin rendah. Akhirnya
meluncur menuju landasan berumput. Roda-rodanya mencecah tanah, terlambung-
lambung sedikit, lalu berhenti. Dari tempatnya bersembunyi, Jack tidak bisa
melihat pesawat itu. Tapi ia memperkirakan, orang-orang itu pasti kemudian akan datang ke pondok,
atau setidak-tidaknya ke tempat api unggun. Dan perkiraannya tepat! Tidak lama
kemudian orang-orang itu muncul.
Jack nyaris saja terjatuh, ketika berusaha mengintip mereka dari sela-sela daun.
Hari sudah agak gelap, jadi sukar baginya untuk bisa melihat dengan jelas.
Ternyata yang datang empat orang. Jack memicingkan mata, berusaha melihat dengan
lebih jelas. Dilihatnya bahwa satu dari keempat orang yang datang itu rupanya
seperti tawanan, karena tangan orang itu diikat di belakang punggung. Aneh!
Orang itu berjalan terhuyung-huyung dengan kepala membungkuk. Dari caranya
berjalan terdapat kesan bahwa orang itu merasa pusing. Sekali-sekali ia
didorong, supaya berjalan lurus. Mereka menuju ke tempat api unggun.
Laki-laki yang bernama Juan menyalakan api, sementara Pepi pergi ke dalam
pondok. Diambilnya anak kunci dari kantongnya, lalu dibukanya pintu pondok.
Beberapa saat kemudian ia keluar lagi, membawa beberapa kaleng berisi sup dan
daging. Laki-laki yang menjadi tawanan duduk di rumput dengan kepala tertunduk. Nampak
jelas bahwa ia tidak sehat. Atau ia bersikap begitu, hanya karena takut" Jack
tidak mengetahui sebab sebenarnya.
Laki-laki yang keempat duduk dekat api. Menurut perkiraan Jack, orang itu
bertugas menjaga tawanan. Laki-laki itu diam saja, hanya matanya saja yang
bergerak-gerak, memperhatikan Juan dan Pepi.
Mulanya kedua laki-laki itu berbicara dengan suara pelan. Jack tidak bisa
menangkap kata-kata mereka. Orang-orang itu mula-mula makan sup panas. Disusul
dengan daging asin yang disimpan dalam botol. Mereka memakannya dengan roti yang
dibawa dari pesawat. Laki-laki yang ditawan memperhatikan mereka makan. Tapi ia tidak ditawari apa-
apa. Ketika tawanan itu mengatakan sesuatu dengan suara lirih, Juan tertawa. Ia
berbicara pada penjaga. "Bilang padanya, ia tidak akan mendapat makanan maupun minuman sama sekali,
sampai ia mau mengatakan apa yang ingin kami ketahui," katanya.
Penjaga mengulangi perkataannya itu dalam bahasa yang kedengarannya asing bagi
Jack. Tawanan menjawab. Tahu-tahu penjaga menempelengnya. Jack kaget bercampur
marah melihat kejadian itu. Bayangkan, memukul orang yang tidak berdaya!
Pengecut! Tawanan berusaha mengelak. Kemudian ia membungkuk dengan sikap lesu.
"Katanya, kau sudah memiliki peta. Jadi mau apa lagi?" kata si penjaga.
"Peta itu tidak bisa kami pahami, karena terlalu ruwet," kata Juan. "Jika ia
tidak bisa menjelaskannya besok ia harus menunjukkan jalannya pada kami."
Si penjaga menerjemahkan kata-kata itu pada tawanan, yang kemudian menggeleng.
"Katanya, ia terlalu lemah takkan sanggup berjalan sejauh itu," kata si "penjaga.
"Kalau begitu, akan kami seret dia," kata Pepi, sambil menyelipkan seiris lidah
asin di antara dua keping roti. "Bilang padanya, ia harus menunjukkan jalan pada
kami besok. Jika tidak mau, ia takkan diberi makan dan minum. Kalau sudah
setengah mati kelaparan, pasti ia menyerah juga akhirnya."
Selesai makan, Juan menguap lebar-lebar.
"Aku tidur sekarang," katanya. "Dalam pondok ada kursi untukmu, Luis. Tawanan
kita, biar menggeletak di lantai saja."
Tawanan itu meminta agar ikatan dilepaskan. Tapi permintaan itu tidak
diluluskan. Jack merasa kasihan padanya. Sementara itu api unggun dipadamkan,
dan keempat laki-laki itu masuk ke dalam pondok. Jack membayangkan bahwa Pepi
dan Juan pasti sebentar lagi bisa merebahkan diri mereka di atas kasur. Satu-
satunya kursi yang enak di situ, ditempati oleh orang yang bernama Luis. Sedang
tawanan yang malang itu harus terkapar di lantai yang keras, dengan tangan
terikat ke belakang punggung.
Jack menunggu sampai keadaan dirasakannya sudah aman. Lalu dengan hati-hati ia
turun dari atas pohon. Selama itu Kiki tidak berbunyi sedikit pun. Jack
berjingkat-jingkat, menghampiri pondok, lalu mengintip ke dalam lewat jendela.
Dilihatnya ada lilin menyala di dalam. Diterangi cahayanya yang berkelip-kelip,
ia bisa mengenali sosok tubuh keempat orang itu. Tawanan nampak sedang berusaha
mengatur letak berbaring di lantai. supaya agak nyaman.
Saat itu hari sudah hampir gelap. Mudah-mudahan saja aku nanti bisa menemukan
jalan kembali ke gua, pikir Jack, Ia merogoh kantongnya. Perasaannya lega,
ketika teraba olehnya senter di situ. Ah syukur barang itu dibawanya tadi!
" Matanya sangat awas, jadi ia bisa berjalan dengan cukup cepat. Hanya satu dua
kali ia tertegun. karena ragu harus lewat mana ia saat itu. Tapi Kiki selalu
tahu jalan. Burung kakaktua itu terbang mendahului sedikit, lalu memanggil Jack
dengan seruan. Atau suitan!
"Untung ada kau, Kiki!" kata Jack. "Kalau tidak, bisa tersesat aku tadi.
Anak-anak yang lain sudah gelisah saja memikirkan keadaannya. Ketika hari sudah
gelap dan Jack belum muncul juga. Lucy-Ann langsung bermaksud hendak mencarinya.
"Pasti Jack tersesat," katanya. Ia sudah hampir menangis.
"Ya dan kita ikut-ikut tersesat pula nanti, jika berkeliaran dalam gelap di "daerah pegunungan ini," kata Philip. "Kurasa Jack tadi sibuk mencari-cari alat
pembuka kaleng. Ketika ia melihat hari mulai gelap, ia lantas memutuskan lebih
baik tidak mencoba kembali malam ini. Pasti besok pagi ia pulang."
Anak-anak itu tidak bisa berbuat apa-apa malam itu. Dinah membenahi pembaringan.
Ketiga anak itu merebahkan diri di atasnya. Lucy-Ann menangis tanpa suara. Ia
merasa yakin, pasti ada sesuatu yang menimpa diri Jack.
Kemudian terdengar bunyi gemeresik pelan di dekat gua. Tirai daun pakis tersibak
ke samping. Anak-anak yang ada di dalam cepat-cepat duduk. Jantung mereka
berdebar keras. Jack-kah yang datang itu atau orang-orang tak dikenal yang
"mencari-cari mereka"
"Halo!" sapa suara yang mereka kenal baik. Suara Jack! "Di mana kalian?"
Ia menyalakan senter dan menyorotkannya ke dalam gua. Dilihatnya wajah tiga
orang anak yang memandang dengan gembira. Lucy-Ann buru-buru menubruk abangnya.
"Aduh, Jack kami sangka kau sudah tersesat," katanya. "Apa yang kaulakukan,
"sampai baru sekarang kembali" Kami sudah lapar sekali! Kau berhasil menemukan
kembali alat pembuka kaleng itu?"
"Ya ini dia kubawa! Aku juga membawa berbagai berita," kata Jack "Bagaimana
"jika aku menceritakannya sementara kita makan?"
Bab 15 PENCARIAN YANG SIA-SIA Beberapa kaleng makanan dibuka dengan segera. Kiki terkekeh dengan gembira,
ketika melihat buah nenas kegemarannya. Lucy-Ann duduk merapatkan diri pada Jack
"Apakah yang kaualami tadi" Cepatlah ceritakan aku tak sabar lagi!"
?"Biar aku makan dulu sedikit," kata Jack, menjengkelkan anak-anak yang lain. Ia
tahu, mereka ingin sekali mendengar kabar yang dikatakannya tadi. Tapi
sebetulnya ia sendiri pun ingin menceritakannya cepat-cepat. Karena itu tidak
lama kemudian ia mulai bercerita.
"Jadi pesawat itu sudah kembali!" seru Philip, ketika Jack sudah selesai
bercerita. "Lalu kedua laki-laki itu, apakah mereka juga datang lagi?"
Jack menuturkan pengamatannya, mengenai keempat orang yang turun dari pesawat.
Lucy-Ann merasa kasihan, mendengar nasib tawanan yang malang itu.
"Aku mulai mengerti sekarang," kata Philip kemudian. "Rupanya di salah satu
tempat dalam lembah ini ada harta tersembunyi. Mungkin milik penghuni rumah-
rumah yang terbakar di sini. Kedua laki-laki itu mendengar kabar mengenai harta
itu, lalu entah dengan cara bagaimana, berhasil menguasai peta yang menunjukkan
tempat harta itu disembunyikan. Tapi peta itu tidak bisa mereka pahami. Karena
itu mereka lantas menculik seseorang yang mengetahui letak harta itu."
"Ya, benar," kata Jack. "Tawanan itu orang asing maksudku bukan orang Inggris."Mungkin ia dulu pernah tinggal di lembah ini, bahkan mungkin ia sendiri yang
menyembunyikan harta itu. Kini ia diculik oleh kedua laki-laki itu, dan akan
dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian itu pada mereka. Ia tidak diberi makan
dan minum, sampai ia bersedia menunjukkan."
"Jahat sekali orang-orang itu!" kata Dinah. Anak-anak yang lain sependapat
dengannya. "Menurutmu, maukah ia menunjukkannya pada mereka?" tanya Lucy-Ann.
"Mudah-mudahan saja, demi keselamatannya sendiri," kata Jack "Tapi baiklah
kukatakan apa rencanaku. Kuusulkan, seorang dari kita nanti membuntuti mereka,
untuk melihat di mana harta karun itu disembunyikan. Orang-orang itu takkan
mungkin bisa membawa semuanya sekaligus. Siapa tahu kita nanti mendapat bantuan,
lalu menyelamatkan sisa harta karun. Tidak mungkin itu milik mereka!"
"Apakah harta itu. menurut perkiraanmu?" tanya Lucy-Ann Ia sudah membayangkan
emas berbatang-batang, serta batu permata yang indah-indah.
"Aku tidak tahu," kata Jack. Tapi kurasa saat ini kita berada di pedalaman
"benua Eropa. di mana dulu pernah ada perang berkecamuk. Dan kalian tahu juga
kan, waktu itu banyak sekali harta yang disembunyikan di berbagai tempat. oleh
orang-orang yang baik maupun jahat. Kurasa harta semacam itulah yang kini sedang
dicari orang-orang itu. Mereka berbicara dalam bahasa Inggris, tapi mereka bukan
orang Inggris. Mungkin orang Amerika Selatan. Tapi aku tidak tahu pasti!"
Anak-anak yang lain membisu, memikirkan ucapan Jack. Mungkin ia benar, pikir
mereka. Tapi Lucy-Ann merasa kurang enak, membayangkan akan membuntuti orang-
orang itu. Bagaimana jika mereka kemudian tahu, lalu berbalik dan menangkap anak
yang membuntuti" "Kurasa sebaiknya aku dan Philip saja yang membuntuti besok," kata Jack. "Aku
lebih senang jika Dinah dan Lucy-Ann tidak terlibat dalam urusan ini."
Ucapannya itu menimbulkan kemarahan Dinah. Sedang Lucy-Ann, dalam hati merasa
lega. "Kalau ada sesuatu yang asyik, selalu kalian sendiri yang melakukannya," tukas
Dinah. "Tidak aku harus ikut!"
?"Kalau kubilang tidak, tetap tidak!" balas Jack, ia menyalakan senter, lalu
menyorotkannya ke muka Dinah. "Sudah kukira matamu melotot," katanya.
"Sudahlah, Dinah kau tidak perlu marah-marah. Kau dan Lucy-Ann kan sudah
"mengalami petualangan kemarin siang, ketika kalian menemukan gua gema dan lorong
yang menuju ke belakang air terjun. Sekarang giliran kami, dong!"
"Ya deh," kata Dinah menggerutu. Tapi ia tidak mendesak lebih lanjut. Diam-diam
Lucy-Ann malah lega. "Mana Lizzie?" tanya Dinah, ia tidak mau tidur, sebelum tahu pasti di mana kadal
itu berada. "Tidak tahu," kata Philip mengganggu. "Di salah satu tempat! Barangkali di bawah
bantalmu." "Ia ada di sini," kata Jack. "Lizzie menempel di leherku, berseberangan dengan
Kiki. Hangat Jeherku jadinya!"
"Sayang!" kata Kiki, lalu terkekeh dengan suara lantang.
"Diam!" seru anak-anak serempak. Tidak ada yang senang mendengar kekehan Kiki.
Burung itu menyelipkan kepalanya ke bawah sayap. Tersinggung rupanya!
Anak-anak merebahkan diri di pembaringan. Mereka sudah sangat mengantuk.
"Malam kita yang keempat di lembah ini," kata Philip. "Lembah petualangan! Aku
ingin tahu, apa yang akan terjadi sesudah ini."
Tidak lama kemudian semuanya sudah pulas. Lizzie berpindah tempat. Dilintasinya
tubuh Lucy-Ann, ia meringkuk sambil menempel pada Dinah. Anak itu pasti tidak
mau, jika ia tahu. Tapi ia tidak tahu, karena sudah tidur nyenyak.
Keesokan paginya anak-anak bangun dengan perasaan riang.
"Sungguh," kata Dinah, sambil menurunkan beberapa buah kaleng dari atas rak
batu, "aku kini merasa seolah-olah sudah lama sekali tinggal dalam gua ini. Aneh
betapa cepatnya orang akan terbiasa pada hal-hal yang baru.?""Bagaimana kita bisa mengetahui kapan orang-orang itu berangkat, dan ke mana
arah tujuan mereka?" kata Philip.
"Mungkin kau masih ingat, kedua laki-laki itu kan datang ke arah sini, ketika
mereka waktu itu berangkat sambil membawa peta," kata Jack. "Kurasa jika kita
bersembunyi di batu besar berwarna hitam yang selalu kita lewati dalam
perjalanan kemari, mungkin kita akan bisa melihat mereka. Setelah itu dengan
mudah kita bisa membuntuti."
Sehabis sarapan, keempat anak itu dengan berhati-hati pergi ke batu besar yang
berwarna hitam, lalu bersembunyi di belakangnya. Sekali-sekali Jack mengintip,
kalau-kalau ada sesuatu yang kelihatan.
Setengah jam kemudian, tiba-tiba ia berseru dengan suara tertahan. "'Mereka
datang! Keempat-empatnya! Tawanan masih terikat tangannya ke belakang. Kasihan,
jalannya terhuyung-huyung."


Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keempat laki-laki itu lewat, agak jauh dari tempat anak-anak bersembunyi. Tapi
mereka nampak dengan jelas. Anak-anak mengenali kedua laki-laki yang datang ke
situ bersama mereka. Kata Jack, laki-laki yang satu lagi bernama Luis. Sedang
nama tawanan tidak diketahuinya. Tapi kelihatan jelas tawanan itu lemas
badannya, karena tidak makan dan minum.
"Sekarang kalian tinggal di sini," kata Jack pada Dinah dan Lucy-Ann. "Setidak-
tidaknya, sampai kami sudah tidak kelihatan lagi! Sesudah itu kalian harus
kembali ke air terjun, lalu tetap berada di sekitar situ supaya jangan
"tersesat. Ajak Kiki, Lucy! Lebih baik dia tidak ikut dengan kami."
Lucy-Ann mengambil Kiki dari bahu Jack, lalu memegang kaki burung kakaktua itu
erat-erat. Kiki menjerit marah. Anak-anak cepat-cepat berpaling, memandang ke
arah di mana keempat laki-laki tadi menghilang. Mereka khawatir, jangan-jangan
orang-orang itu mendengar jeritan itu. Tapi kelihatannya tidak!
Jack bersiap-siap untuk berangkat, bersama Philip.
"Aku membawa teropongku," katanya. "Dengan begitu kami nanti tidak perlu terlalu
dekat membuntuti, supaya jangan ketahuan. Nah, kami berangkat sekarang!"
Kedua anak laki-laki itu pergi sambil menyelinap. Mereka berjalan dari satu
tempat yang terlindung, ke tempat aman berikutnya. Mereka masih bisa melihat
keempat laki-laki itu berjalan di kejauhan.
"Perlukah kita menandai jalan yang kita lewati?" tanya Philip. "Atau akan
bisakah kita menemukan jalan kembali nanti?"
"Sebaiknya sedapat mungkin kita membuat tanda-tanda, karena siapa tahu," kata
Jack. "Nih aku punya sepotong kapur putih. Kita tandai batu-batu dengannya. Di "samping itu kita juga menakik batang-batang pohon."
Anak-anak itu meneruskan langkah. Arah mereka mendaki, mengikuti keempat laki-
laki yang berjalan di depan. Tapi mereka berjaga-jaga, jangan sampai terlalu
dekat Tidak lama kemudian mereka tiba di suatu bagian yang sangat terjal. Sulit
sekali berjalan di situ. Permukaan lereng terdiri dari batu-batu lepas. Mereka
tergelincir-gelincir terus.
"Mudah-mudahan mereka melepaskan ikatan tawanan mereka," kata Jack dengan napas
tersengal-sengal. "Aku takkan mau mendaki seperti begini dengan tangan terikat
ke belakang. Aku pasti takkan bisa menyelamatkan diri, apabila tergelincir."
Ketika mereka akhirnya sampai di ujung bagian yang sulit dilalui itu, orang-
orang yang di depan sudah tidak kelihatan lagi.
"Sialan!" kata Jack. "Kita terlalu lambat berjalan tadi. Kini orang-orang itu
lenyap!" Ia meneropong berkeliling. Kemudian dilihatnya empat sosok tubuh sedang mendaki
di sebelah timur, di atas tempat mereka.
"Itu mereka!" katanya. "Beres aku bisa melihat mereka. Lewat sini, Jambul!"
"Kedua anak itu meneruskan langkah. Kini lebih cepat, karena jalan yang harus
dilalui tidak sulit Sambil berjalan mereka memetik buah-buahan liar. Sekali
mereka berhenti untuk minum, di suatu mata air jernih yang mengucur dari bawah
batu. Mereka terus membuntuti keempat laki-laki yang berjalan di depan. Hanya sekali-
sekali saja orang-orang itu lenyap dari penglihatan. Tapi itu pun hanya sebentar
saja. Orang-orang itu tidak pernah menoleh ke belakang. Kelihatannya mereka juga
tidak meneropong berkeliling. Rupanya mereka tidak beranggapan, akan ada orang
membuntuti mereka. Akhirnya Jack dan Philip sampai di bagian lereng yang rusak. Batu-batu besar
bergulingan di mana-mana. Pohon-pohon kelihatan patah-patah. Di sana sini nampak
tanah dan batu terbongkar. Walau rumput sudah mulai tumbuh lagi di atasnya, tapi
masih nampak jelas bahwa di situ pernah terjadi bencana alam.
"Kurasa salju longsor," kata Jack "Menurut dugaanku, di sini pernah terjadi
hujan salju yang lebat sekali. Salju bertimbun-timbun, lalu merosot ke bawah
"membawa serta batu-batu besar, mematahkan pohon-pohon dan merusak lereng.
Mungkin terjadinya musim dingin yang lalu."
"Mana orang-orang itu?" kata Philip. "Aku tidak melihat mereka lagi. Tadi mereka
mengitari tebing itu."
"Ya! Sekarang kita harus berhati-hati, pada saat mengitarinya," kata Jack
"Mungkin di situ kita bias ketahuan dengan mudah karena di tempat ini tidak
"banyak tempat yang bisa di jadikan perlindungan."
Dengan berhati-hati sekali keduanya mengitari tebing itu. Untung saja mereka
begitu, karena hampir pada saat bersamaan mereka mendengar suara orang bercakap-
cakap. Mereka melihat keempat orang tadi.
Jack cepat-cepat mendorong Philip ke belakang. Di atas tebing itu tumbuh semak.
Kedua anak itu memanjat ke situ, lalu menyeruak di sela-sela dedaunan supaya
bisa mengintip ke luar. Ternyata mereka berada di atas semacam parit berbatu-
batu. Dalam parit itu pun nampak bekas-bekas salju longsor. Di mana-mana batu
bertumpuk-tumpuk. Tawanan orang-orang itu berdiri di depan salah satu tumpukan
batu. Tangannya sudah tidak terikat lagi. Ia menuding ke arah batu yang
bertumpuk-tumpuk, sambil mengatakan sesuatu dengan suara pelan. Penjaganya
menerjemahkan kata-katanya. Jack memasang telinga, berusaha ikut mendengarkan.
"Katanya, jalan masuk itu dulu di sini," kata si penjaga. Keempat laki-laki itu
memandang batu yang bertumpuk-tumpuk.
"Tepatnya di mana?" tukas Juan dengan nada tidak sabar. Dipandangnya tawanan
dengan mata melotot. Tawanan itu menuding lagi, sambil menggumam.
"Katanya, ia tidak tahu bahwa di sini terjadi batu longsor," kata Luis, si
penjaga. "Katanya, rupanya jalan masuk itu sekarang tertutup batu. Jika kalian
mau memindahkan sebagian dari batu-batu itu, mungkin kalian bisa menyusup masuk"
Juan marah-marah, tapi tidak jelas pada siapa ia marah. Mungkin pada tawanan,
tapi mungkin pula pada batu-batu yang menghalangi jalan masuk. Sambil berseru-
seru pada Luis dan Pepi agar membantu, ia lantas bergegas-gegas berusaha
menyingkirkan batu-batu. Tawanan mula-mula hanya duduk saja dengan murung di atas sebongkah batu. Tapi
Juan berseru memanggilnya pula. Dengan lemas tawanan berdiri untuk ikut
mengangkat. Tapi tubuhnya terlalu lemah.
Tawanan itu mencoba menarik sebongkah batu. Ia terhuyung-huyung, lalu jatuh.
Para penawannya membiarkan ia terkapar sementara mereka terus sibuk
menyingkirkan batu-batu besar ke tepi. Napas mereka tersengal-sengal. Keringat
bercucuran, membasahi kening.
Jack dan Philip memperhatikan kesibukan mereka. Dilihat dari tempat
persembunyian keduanya, nampaknya mustahil jalan masuk yang tertimbun batu itu
bisa dibebaskan lagi. "Kurasa ada beratus-ratus batu besar yang bertumpuk-tumpuk di situ," bisik Jack
pada Philip. "Tak mungkin mereka bisa menyingkirkan semuanya!"
Kelihatannya ketiga orang itu juga berpendapat demikian. Setelah beberapa waktu
sibuk, mereka berhenti mengangkat-angkat. Ketiganya duduk, untuk beristirahat.
Luis, si penjaga, menuding tawanan mereka.
"Bagaimana dengan dia?" katanya. "Bagaimana cara kita membawanya kembali?"
"Ah, beri saja makan dan minum," kata Juan menggerutu. "Nanti kan segar lagi!"
"Kita pergi saja sekarang," bisik Philip. "Sebentar lagi mereka pasti berangkat
pulang ke lembah. Ayo! Tapi sayang, kita tidak berhasil menemukan apa-apa.
Semula aku berharap, akan bisa ikut melihat harta yang dicari."
"Jika tempatnya tertimbun di balik batu-batu besar itu, pasti diperlukan alat-
alat besar untuk membebaskannya," kata Jack.
"Batu-batu sebesar itu takkan mungkin bisa dipindahkan dengan tangan. Yuk, "kita harus cepat-cepat pergi dari sini."
Kedua anak itu bergegas pergi. Untung mereka tadi menandai jalan yang dilewati.
Kalau tidak, ada kemungkinan mereka tersesat.
Setiba di air terjun, dengan segera Dinah dan Lucy-Ann menghujani mereka dengan
berbagai pertanyaan. Tapi Jack dan Philip hanya bisa menggelengkan kepala.
"Gua tempat harta karun itu tertimbun batu," kata Jack. "Mudah-mudahan saja
orang-orang itu tidak langsung putus asa, lalu pergi dari lembah ini. Kalau itu
terjadi, kita akan benar-benar terdampar di sini."
Bab 16 MENYELAMATKAN TAWANAN Beberapa saat setelah Jack dan Philip sudah berada kembali dalam gua, tiba-tiba
Lucy-Ann berseru. Anak itu sedang bertugas menjaga di mulut gua.
"He! Ada seorang laki-laki di bawah! Lihatlah itu, dekat air terjun! Dua orang" tidak, tiga!"
"Dengan cepat Jack menarik tali yang mengikat daun pakis, sehingga mulut gua
tertutup kembali di belakang tanaman itu. Ia menyibakkannya sedikit dengan hati-
hati, lalu mengintip ke luar.
"Mestinya sudah kuduga mereka akan kembali lewat sini, untuk mencari kita,"
katanya. "Sialan mereka itu! Satu dua tiga orang. Mana tawanan tadi?"
" ?"Mungkin roboh di tengah jalan. Kasihan!" kata Philip, yang ikut mengintip ke
luar. "Kelihatannya tadi pun sudah lemah sekali."
Anak-anak memperhatikan ketiga laki-laki itu, untuk melihat apa yang akan mereka
lakukan. Dengan segera niat orang-orang itu sudah kelihatan. Luis dan Juan akan
kembali ke pondok di lembah. Sedang Pepi ditinggal dekat air terjun, untuk
menjaga di situ, la harus mengamat-amati siapa saja yang keluar-masuk tempat
itu, serta memperhatikan jalan yang dilalui. Anak-anak tidak dapat mendengar
pembicaraan mereka, tapi niat orang-orang itu sudah jelas.
Kemudian Luis dan Juan pergi. Anak-anak tidak ada yang tahu, bagaimana nasib
tawanan. Pepi duduk di atas sebuah batu yang menghadap air terjun. Letaknya
kira-kira sama tinggi dengan pinggiran lorong di balik air, di mana Dinah dan
Lucy-Ann kemarin berada. "Sialan!" tukas Jack. "Bagaimana cara kita keluar-masuk sekarang, tanpa dilihat
orang itu" Saat ini ia memang membelakangi kita, tapi siapa tahu kalau ia dengan
tiba-tiba berbalik."
Lucy-Ann prihatin memikirkan nasib tawanan yang malang.
"Bagaimana jika ia jatuh di tengah jalan tadi, lalu dibiarkan terkapar begitu
saja," katanya cemas. "Kalau itu yang terjadi, ia bisa mati, kan?"
"Kurasa memang begitu," kata Jack, ia pun merasa cemas.
"Aduh, Jack! Kita tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja," kata Lucy-Ann.
Matanya terbelalak ketakutan. "Aku takkan bisa tenang, selama belum tahu
bagaimana nasibnya."
"Perasaanku juga begitu," kata Jack. Philip dan Dinah mengangguk. "Sikapnya
duduk tadi, kelihatan menyedihkan sekali. Aku yakin, orang itu sakit"
"Tapi bagaimana kita bisa menyelidiki apa yang terjadi dengan dirinya, selama
orang itu menjaga di luar?" kata Philip dengan nada suram.
Anak-anak membisu. Urusan itu benar-benar sulit pemecahannya. Tapi tiba-tiba
wajah Lucy-Ann nampak menjadi cerah kembali.
"Aku tahu akal," katanya. "Ada satu jalan yang pasti, agar Pepi tidak melihat
ada orang menyelinap keluar dari gua ini."
"Cara yang bagaimana. maksudmu?" tanya Jack. "Jika satu atau dua dari kita pergi
ke balik air terjun, lalu di situ menarik perhatian laki-laki yang di luar itu,
ia pasti akan terus memperhatikan kita sehingga tidak melihat ada orang
"menyelinap keluar dari gua ini," kata Lucy-Ann.
"Betul juga," kata Jack. Philip menganggukkan kepala. "Ya, idemu itu bagus! Nah
tunggu apa lagi" Bagaimana jika sekarang ini juga kita mengadakan pertunjukan "untuk laki-laki bernama Pepi itu" Lucy-Ann, kalau kau mau, kau bisa menandak-
nandak bersama Dinah. Apabila sudah berada di balik air terjun, kalian berdua
pasti aman. Orang itu tidak bisa mengapa-apakan kalian, kecuali jika ia tahu
jalan lewat sini. Nanti, sementara kalian menarik perhatiannya, aku bersama
Philip akan menyelinap ke luar, lalu mencari tawanan itu."
"Tapi nanti kalian harus menunggu dulu, sampai sudah melihat kami di balik air
terjun," kata Dinah sambil bangkit Bersama Lucy-Ann, ia menyusup masuk ke dalam
liang yang terdapat di belakang gua.
Jack dan Philip menunggu dengan sabar, sampai kedua anak perempuan itu nampak
di balik air terjun. Setelah beberapa saat, Philip menarik lengan Jack.
"Itu mereka! Hebat, adik-adik kita! Kelihatannya asyik mereka di sana" Apa itu,
yang mereka lambai-lambaikan" Ah, rupanya mereka melepaskan pullover merah
mereka lalu melambai-lambai dengannya. Lihatlah, mereka menandak-nandak!" Pepi
melihat kedua anak perempuan itu dengan segera. Sejenak ia tertegun, karena
kaget Tapi kemudian ia berdiri. Ia berseru-seru, sambil melambai-lambai. Dinah
dan Lucy-Ann tidak mengacuhkannya.
Keduanya menandak-nandak terus. Sementara itu Pepi berusaha dengan berbagai
cara, untuk bisa datang ke balik air terjun.
"Sekarang ada kesempatan bagi kita," kata Jack. "Ayo! Perhatian Pepi pasti akan
terus terpaku ke arah Dinah dan Lucy-Ann."
Dengan cepat Jack dan Philip menyelinap ke luar. Tirai daun pakis dirapatkan
kembali di belakang mereka. Keduanya bergegas-gegas pergi, sambil berlindung
terus supaya jangan ketahuan. Ketika Dinah dan Lucy-Ann melihat bahwa kedua
abang mereka sudah keluar dari gua dengan selamat dan tidak kelihatan lagi,
keduanya pergi dari belakang air terjun. Tugas mereka sudah selesai.
Sementara itu Jack dan Philip menyelinap terus di sela-sela batu, sambil
berjaga-jaga. Mereka baru berhenti sebentar, ketika sudah cukup jauh dari tempat
Pepi menjaga. "Nah sekarang bagaimana?" kata Jack "Kita kembali ke gua yang tertimbun batu,
"di mana harta itu rupanya berada sambil melihat-lihat barangkali tawanan itu
roboh di tengah jalan" Atau kita ke arah yang berlawanan, ke pondok di lembah,
untuk -melihat kalau-kalau tawanan itu sudah dibawa kembali ke sana?"
"Sebaiknya kita ke pondok," kata Philip sambil berpikir-pikir. "Kurasa kecil
sekali kemungkinannya orang-orang itu meninggalkan tawanan mereka begitu saja di
tengah jalan. Mungkin mereka masih ingin mengorek keterangan lebih lanjut dari
dia." Kedua anak laki-laki itu lantas pergi menuju pondok di lembah. Mereka sudah
hafal jalan ke sana! Ketika masih jauh dari tempat itu, mereka sudah melihat
asap mengepul. Dari kenyataan itu mereka tahu bahwa kedua laki-laki itu sudah
kembali di perkemahan mereka.
Tapi mereka tidak nampak. Begitu pula halnya dengan tawanan mereka. Jack dan
Philip menyelinap-nyelinap, menghampiri pondok. Mereka mengintip dari sela-sela
pohon. Mereka melihat pintu pondok tertutup. Mungkin terkunci. Apakah orang-
orang itu ada di dalam"
"Dengarlah! Bukankah itu suara mesin pesawat terbang?" kata Philip. "Ya, betul!
Apakah orang-orang itu hendak berangkat lagi?"
Kedua anak itu menuju ke suatu tempat, dari mana mereka bisa melihat pesawat
terbang dengan bantuan teropong. Tidak ternyata kedua laki-laki itu bukan hendak
" berangkat lagi. Mereka hanya melakukan sesuatu pada pesawat mereka. Mungkin
membetulkan sesuatu. Tapi tawanan tidak ada bersama mereka.
"Kau tinggal di sini dengan teropongku, Philip. Awasi terus orang-orang yang di
pesawat itu," kata Jack, sambil menyodorkan teropongnya ke tangan Philip. "Kalau
mereka berhenti bekerja lalu pergi ke arah pondok, beri tahukan padaku dengan
segera. Aku sekarang hendak mengintip ke dalam pondok lewat jendela, untuk
melihat apakah tawanan itu ada di dalam. Aku khawatir tentang nasibnya."
"Beres," kata Philip, lalu mulai meneropong. Jack bergegas pergi. Tidak lama
kemudian ia sudah tiba di pondok. Dicobanya membuka pintu. Ya ternyata memang "dikunci. Kini ia menyelinap ke jendela, lalu mengintip ke dalam.
Tawanan itu ada di situ, ia duduk di sebuah kursi. Kelihatannya sangat
menyedihkan. Mukanya dibenamkan dalam tangannya. Sementara Jack masih mengintip
terus, terdengar orang itu mengeluh. Jack merasa kasihan sekali padanya
"Coba aku bisa menolongnya ke luar," pikir "Dengan jalan memecahkan kaca jendela
percuma! Lubangnya terlalu sempit. Aku takkan bisa masuk lewat situ. Dan
"andaikan bisa, tawanan itu takkan bisa lolos di situ. Apa yang bisa ku lakuan
sekarang" Pintu takkan mungkin bisa kudobrak, karena terlampau kokoh!"
Dua tiga kali ia mengitari pondok itu. Tapi ia tetap tidak berhasil menemukan
jalan masuk. Akhirnya ia berdiri di depan pintu. Ia menatapnya dengan perasaan
benci. Pintu jahat! Tapi kemudian ia melihat sesuatu yang sama sekali tak terduga-duga. Ia melihat
"sebatang paku tertancap di ambang pintu. Dan pada paku itu tergantung anak
"kunci! Sebuah anak kunci berukuran besar! Pasti itulah anak kunci pintu yang
dihadapi. Kalau tidak untuk apa digantungkan di situ" Rupanya orang-orang itu
"sengaja menggantungkannya di tempat itu, supaya yang datang bisa langsung masuk,
tanpa perlu menunggu orang yang membawa anak kunci.
Tangan Jack gemetar. Diambilnya anak kunci itu dari tempatnya tergantung, lalu
dimasukkannya ke dalam lubang pada daun pintu. Anak kunci diputar. Agak berat
memang tapi ia bisa memutarnya.
"Pintu terbuka. Jack melangkah masuk. Tawanan mendongak, ketika mendengar pintu
terbuka. Ia menatap Jack dengan pandangan heran, sementara Jack memandangnya
sambil nyengir. "Aku datang untuk membebaskan Anda," kata Jack. "Anda mau ikut?"
Orang itu nampaknya tidak mengerti. Ia masih saja menatap Jack, dengan kening
agak berkerut. "Bicara pelan," kata orang itu. Jack mengulangi ucapannya, dengan lambat-lambat.
Kemudian ia menepuk dadanya, sambil berkata, "Aku teman. Teman! Mengerti?"
Orang itu rupanya mengerti. Ia mulai tersenyum. Tampangnya menyenangkan. Nampak
ramah, jujur tapi sedih, pikir Jack, ia mengulurkan tangannya.
?"Ikut denganku," katanya.
Orang itu menggeleng, lalu menuding kakinya. Ternyata kakinya terikat erat
dengan seutas tali. Dan orang itu rupanya begitu lemah, sehingga tidak mampu
melepaskan ikatan itu. Jack cepat-cepat mengambil pisau saku dari kantongnya,
lalu memotong tali yang mengikat kaki orang itu. Setelah ikatan terlepas, orang


Lima Sekawan 03 Petualangan Di Lembah Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu mencoba berdiri. Terhuyung-huyung, seperti hampir jatuh. Jack cepat-cepat
menopangnya. Dalam hati ia berpikir. Orang itu takkan mampu berjalan sendiri,
sampai ke gua. Ia kelihatannya semakin lemah.
"Yuk," kata Jack. "Kita tidak punya waktu lebih lama lagi."
Dikantonginya potongan-potongan tali yang diirisnya tadi. Kemudian ia membimbing
orang itu ke luar. Dengan seksama pintu dikunci kembali, lalu anak kunci
digantungkan ke paku. Ia memandang bekas tawanan itu sambil nyengir.
"Biar Juan dan Luis bingung," katanya. "Mereka pasti akan menyangka, Anda bisa
keluar walau pintu terkunci. Ah aku ingin bisa ada di sini nanti, apabila mereka"membuka pintu lalu melihat Anda tidak ada lagi."
Jack membimbing orang itu, lalu mengarahkannya ke pepohonan yang ada di dekat
situ. Orang itu berjalan dengan langkah gontai. Sekali-sekali ia mengerang,
seakan-akan terasa sakit baginya apabila berjalan. Jack semakin merasa yakin,
orang itu pasti takkan mampu diajak berjalan sampai ke gua.
Sejenak Jack bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana jika bekas
tawanan itu disembunyikan dulu dalam kandang sapi, di mana ia bersama anak-anak
yang lain bersembunyi pada hari pertama kedatangan mereka" Orang itu bisa
ditaruh dalam kotak kandang yang paling belakang. Lalu besok ia dijemput,
apabila badannya sudah agak kuat. Ya sebaiknya itulah yang dilakukan!
?"Tunggu di sini sebentar," kata Jack, ia ingin memberitahukan apa yang terjadi
pada Philip, dan meminta padanya agar terus berjaga-jaga sampai orang itu sudah
selamat dalam kandang. Philip sangat kaget ketika mendengar laporan Jack, ia
langsung mengangguk, untuk menyatakan setuju untuk terus menjaga sampai Jack
datang kembali menjemputnya.
"Orang-orang itu kelihatannya sedang membongkar mesin pesawat," kata Philip.
"Jadi masih agak lama juga mereka sibuk di sana."
Jack memapah bekas tawanan itu ke kandang sapi. Agak lama juga waktu yang
diperlukan untuk itu, karena orang itu tertatih-tatih langkahnya.
Begitu sampai di tempat tujuan, orang itu roboh. Napasnya terengah-engah. Nampak
jelas bahwa ia sakit. Tapi di situ tidak ada dokter yang bisa merawatnya. Yang
ada hanya Jack, yang menolongnya dengan lemah lembut. Orang itu nampak sangat
berterima kasih atas pertolongan itu.
"Anda tinggal di sini sampai besok, pada saat mana aku akan datang lagi untuk
membawa Anda ke tempat persembunyian yang lebih aman," kata Jack. Ia berbicara
lambat-lambat "Akan kutinggalkan air dan sedikit makanan untuk Anda di sini."
Banjir Darah Di Borobudur 2 Misteri Karibia A Caribbean Mystery Karya Agatha Christie Petualang Malam 2
^