Pencarian

Petualangan Disirkus Asing 1

Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing Bagian 1


Petualangan di SIRKUS ASING
Gudang Download Ebook: www.zheraf.net
http://zheraf.wapamp.com Bab 1, ANAK-ANAK PULANG. Suasana di rumah yang biasanya sunyi senyap, tiba-tiba menjadi sangat ramai.
Anak-anak baru saja datang. Mereka pulang untuk berlibur. Sambil berteriak dan
tertawa-tawa, mereka menyeret kopor-kopor ke dalam rumah. Kiki tentu saja tidak
mau ketinggalan. Burung kakaktua cerewet itu memekik-mekik.
"Bibi Allie! Kami sudah datang!" seru Jack. "Diam, Kiki! Aku sampai tidak bisa
mendengar suaraku sendiri!"
"Ibu! Ibu di mana, ya?" Dinah memanggil-manggil. "Kami sudah pulang, Bu!"
Ibunya datang bergegas-gegas, ia tersenyum gembira. "Dinah! Philip! Tak kukira
kalian akan datang secepat ini. Wah, kau sudah besar sekarang, Lucy! Dan kau,
Philip, tubuhmu semakin subur saja kelihatannya!"
"Aku sendiri sampai heran," kata Philip sambil nyengir, lalu merangkul ibunya,
Bu Cunningham. "Padahal makanan kami di asrama sekolah begitu
brengsek, sampai aku selalu meninggalkan meja makan dalam keadaan
lapar!" Ibunya tertawa. "Alaa kau selalu berkata begitu jika pulang "berlibur ke rumah," kata Bu Cunningham sambil tertawa. Setelah itu
ia menyapa Kiki. "Apa kabar, Kiki?"
"Apa kabar," kata burung kakaktua itu dengan serius, ia mengacungkan kaki
kirinya, seolah-olah mengajak bersalaman.
"Itu kepandaiannya yang baru," kata Jack. "Tapi bukan kaki yang itu, Kiki.
Tidak tahukah kau perbedaan antara kaki kanan dan kaki kiri?"
"Kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan," seru Kiki dengan segera,
seperti memberi aba-aba. Iramanya tepat. "Kiri, kanan, kiri
?"Sudah, sudah cukup," kata Jack memotong.
"Mana Bill, Bibi Allie?"
"ia sebenarnya berniat pulang untuk menyambut kedatangan kalian," kata Bibi
Allie, yang setelah menikah dengan Bill, kini bernama Bu
Cunningham. "Tapi tadi pagi ia ditelepon dari London. Setelah itu
ia buru-buru berangkat ke sana, naik mobil."
"Kenapa ia harus pergi, justru saat kami pulang karena liburan Paskah?" kata
Lucy-Ann dengan kesal. "Apakah ia mendapat tugas rahasia lagi?"
"Mudah-mudahan tidak," kata Bu Cunningham. "Saat ini aku sedang menunggu-nunggu
telepon darinya. Kurasa malam nanti ia sudah akan kembali."
"Bagaimana, Bu apakah tidak sebaiknya kami membongkar kopor-kopor
"di sini saja, lalu langsung mengangkut barang-barang kami ke atas?" tanya
Dinah. "Sulit sekali bergerak di sini, karena penuh dengan kopor."
"Ya, keluarkanlah barang-barang kalian, dan bawa ke atas. Tapi
jika kopor-kopor nanti sudah kosong, tinggalkan dua buah di sini," kata
ibunya. "Besok kita akan berangkat, untuk berlibur beramai-ramai!"
Anak-anak langsung mengerumuni Bu Cunningham.
"Dalam surat-surat Ibu, Ibu tidak pernah menulis apa-apa tentang itu, Bu," kata
Philip. "Akan ke manakah kita" Kenapa Ibu selama ini tidak pernah menceritakan
rencana itu?" "Ini sebenarnya gagasan Bill, bukan rencanaku," kata Bu Cunningham. "Menurut
pendapatnya, pasti menyenangkan jika sekali-sekali pergi berlibur beramai-
ramai. Aku sendiri kaget, ketika ia dengan tiba-tiba saja mengajukan usul itu."
"Aneh kenapa ia tidak pernah mengatakan apa-apa mengenai hal itu pada kami?" "kata Philip. "Ini pasti ada apa-apanya! waktu itu, ketika ia
datang menjenguk kami di sekolah, ia malah masih berbicara
tentang apa saja yang akan kami kerjakan di rumah, apabila
pulang untuk liburan Paskah ini."
"Menurutku, sama sekali tidak ada anehnya," balas Bu Cunningham.
Bill kan memang suka begitu dengan tiba-tiba saja mendapat ide."
" ?"Lalu besok kita akan berlibur ke mana?" tanya Jack, sambil mendorong Kiki yang
saat itu sedang mencongkel-congkel tutup tempat kue.
"Kita akan ke suatu desa. Mamanya Little Brockleton," jawab Bu Cunningham. "Desa
itu sangat tenang. Letaknya di tengah-tengah alam yang indah. Kalian pasti akan
merasa senang di sana. Bisa berkeliaran seenaknya ke mana-mana, tanpa
perlu repot-repot berdandan dulu dengan rapi."
"Banyakkah burung-burung di daerah situ?" tanya Jack. "Di manakah
letaknya yang tepat" Di pinggir laut?"
Burung merupakan satwa yang sangat disukai Jack. Ke mana pun perginya, ia sudah
merasa puas apabila sepanjang hari bisa mengamati kehidupan burung-burung di
tengah alam bebas. "Kau ini, ingatanmu selalu hanya pada burung-burung terus," kata
Bu Cunningham sambil tersenyum. "Aku tidak tahu apa-apa tentang
jenis-jenis burung yang ada di sana kurasa sama saja seperti di tempat-tempat
"lain. Tapi nanti sajalah kaulihat sendiri, jika kita sudah sampai di sana.
Sekarang kita keluarkan saja dulu barang-barang dari kopor kalian. Kopor-kopor
Dinah dan Lucy saja yang kita pakai nanti. Kelihatannya lebih
utuh, dibandingkan dengan kopor-kopor kalian, Jack dan Philip!"
"Bisakah kami makan dulu nanti, setelah selesai membongkar isi kopor-kopor ini?"
tanya Philip. "Aku sudah lapar setengah mati. Makanan di asrama...
?"Ya, ya ceritamu itu sudah kudengar tadi, Philip," kata ibunya. "Setengah jam
"lagi kalian sudah bisa makan siang dengan hidangan yang kalian
"sukai. Daging dingin, selada, panggang kacang buncis dengan kentang
yang direbus bersama kulitnya, lalu tomat.
"Anak-anak bersorak. Kiki berjingkat-jingkat, berjalan di satu tempat.
"Asyik! Asyik!" teriaknya, menirukan seruan anak-anak. "Selamat pagi, selamat
malam!" Sambil membongkar kopor-kopor mereka, keempat remaja itu bercerita pada Bu
Cunningham. "Dalam perjalanan tadi, Kiki bertingkah lagi," kata Jack, sementara
kedua tangannya sibuk mengumpulkan baju-baju yang setiap kali terjatuh
lagi dari pelukannya. "Dalam gerbong kami ada seorang laki-laki tua yang
ramah. Bayangkan, apa yang kemudian dilakukan oleh Kiki! ia turun ke kolong
tempat duduk, mengambil kertas-kertas pembungkus permen yang berserakan di situ,
lalu menyelipkan kertas-kertas itu ke dalam lipatan celana laki-laki tua
itu. Ibu harus membayangkan air muka orang itu, ketika ia
kemudian secara kebetulan membungkuk, lalu melihat kertas-kertas lengket yang
berjejalan dalam lipatan celana panjangnya!"
"Setelah itu Kiki menggonggong, menirukan suara anjing," kata Lucy-Ann sambil
cekikikan. "Pak Tua itu kaget sekali mendengarnya, ia sampai terlonjak dari
tempat duduknya seperti kena tembak." ?"Dor, dor!" pekik Kiki menyela. "Cuci kaki, dan tutup pintu!"
"Sudah lama aku tidak mendengar ocehan-mu, Kiki," kata Bu Cunningham sambil
tertawa. Kiki menegakkan jambulnya, ia beringsut-ingsut mendekati Bu
Cunningham, lalu mengusap-usapkan paruh ke pipinya.
"Jika Kiki sudah begini, aku takkan heran jika ia tahu-tahu mendengkur seperti
"kucing," kata Bu Cunningham. Digaruk-garuknya tengkuk burung kakaktua itu.
Tak lama kemudian anak-anak sudah selesai membongkar isi kopor-kopor mereka.
Pakaian yang kotor dimasukkan ke dalam sebuah keranjang besar. Sedang yang
masih bersih disimpan dalam lemari.
"Aku tidak mengerti, kenapa orang selalu ribut-ribut tentang pekerjaan
berkemas dan membereskan kopor," kata Jack. "Cari apa kau di kantungku, Kiki"
Ayo, keluarkan kepalamu dari situ! Sejak kapan kau suka sekali makan permen,
hmm" Awas nanti paruhmu lengket, dan kau tidak bisa mengoceh lagi."
"Kiki mengeluarkan kepalanya dari kantung Jack, sambil menjerit. Burung bandel
itu senang, karena menemukan permen. Manisan yang masih terbungkus itu
dibawanya terbang ke atas lemari. Di situ ia mulai membuka bungkus permen
itu, sambil mengoceh dengan suara pelan pada dirinya sendiri.
"Untunglah dengan begitu untuk sementara waktu ia akan sibuk sendiri," kata
"Dinah. "Kalau kita sedang ramai, Kiki suka ikut-ikutan berisik, sih!"
"Betul persis seperti yang ngomong," kata Philip. Dinah menatap
"abangnya dengan mata melotot. Nampaknya tidak lama lagi pasti akan pecah
pertengkaran antara mereka berdua. Karenanya Jack cepat-cepat menengahi.
"Ayo, dua-duanya diam!" tukasnya. "Masa, hari pertama liburan sudah langsung
bertengkar! Coba lihat, Lucy-Ann repot seorang diri, membawa pakaian ke atas.
Kaus kakinya berceceran di tangga!"
Saat itu telepon berdering. Bu Cunningham bergegas mendatangi pesawat itu.
"Pasti ini Bill," katanya sambil mendekatkan gagang telepon ke telinga.
Ternyata yang menelepon memang Bill. Bu Cunningham hanya menyela dengan kalimat-
kalimat singkat. "Ya." "Tidak." "Ya, aku mengerti." "Ya, ya, itu bisa
" " "kubayangkan." "Baiklah, akan kujelaskan pada mereka." "Jadi sampai nanti
" "malam."
"Apa katanya?" tanya Lucy-Ann. "Akan pulangkah dia?"
"Ya, ia akan pulang pukul setengah enam nanti," kata Bu Cunningham. Air
mukanya tidak menunjukkan kegembiraan, ia sudah hendak mengatakan sesuatu. Tapi
kelihatannya ragu-ragu, karena mulutnya ditutup kembali.
"Kata Ibu tadi, Ibu akan menjelaskan pada kami. Apa yang harus Ibu jelaskan,
Bu?" tanya Philip. "Mudah-mudahan bukan kabar buruk," kata Lucy-Ann dengan nada cemas. "Bill kan
masih adi ikut berlibur bersama kita?"
"Ya, ya, tentu saja. Hanya ia akan membawa orang lain," kata Bu Cunningham. ia
"cepat-cepat melanjutkan ketika melihat tampang anak-anak. "Tapi kalian tidak
perlu langsung kecewa, Anak- anak!"
"Siapakah orang itu?" tanya anak-anak serempak, sambil memandang Bu Cunningham
dengan sikap curiga. "Mudah-mudahan bukan bibinya yang tua itu," kata Dinah. "Aku tidak
ingin sepanjang masa liburan harus bersikap sopan dan manis, terus-menerus."
"Itu bisa kumengerti," kata ibunya. "Tapi yang akan ikut itu bukan bibinya,
melainkan seorang anak laki-laki. Keponakan seorang teman Bill."
"Siapa namanya" Kenalkah kami padanya?" tanya Jack.
"Bill tidak menyebutkan namanya tadi," kata Bu Cunningham.
"Kenapa ia tidak pulang saja ke rumahnya sendiri?" tanya Dinah dengan sebal.
"Kenapa kita harus mengajaknya" Aku tidak suka pada anak kecil, karena nanti
paling-paling cuma merepotkan saja."
"Awas kalau ia berani mencoba-coba!" kata Philip dengan sengit. "Anak kecil "harus patuh pada kita. Ya kan, Jack" Di sekolah cukup banyak anak-anak seperti
itu dan kami tahu bagaimana cara menghadapi mereka."
?"Tapi kenapa ia harus ikut dengan kita?" kata Dinah sekali lagi. "Apakah anak
itu tidak punya rumah?"
"Rumah sih ada sebenarnya tapi di luar negeri," kata ibunya menjelaskan, "ia
"anak asing, yang disekolahkan di sini. Dan sekarang ia disuruh berlibur di
sini, supaya bisa mengenal kehidupan keluarga Inggris. Kecuali itu, karena
salah satu sebab ia tidak bisa pulang dalam liburan ini kalau tidak salah,
"karena keluarganya ada yang sakit."
"Yah kalau begitu apa boleh buat," kata Lucy-Ann. Dalam bayangannya, anak laki-
"laki itu pasti merasa rindu pada keluarganya sendiri, dan perlu dihibur.
"Kalau begitu biar kau saja yang nanti menemaninya, Lucy-Ann," kata Dinah.
"Kau bisa mengajaknya berjalan-jalan dalam kereta bonekamu, serta kalau sudah
malam menidurkannya!"
"Jangan konyol, Dinah anak itu tidaklah sekecil itu," kata ibunya. "Bagaimana
" kalian sudah selesai mengosongkan kopor-kopor" Kalau sudah, sekarang cuci
"tangan dulu setelah itu kita makan!"
?"Cuci tangan, sisir rambut, bersihkan kaki, bersihkan hidung,"
teriak Kiki. "Sisir tangan, cucihidung, bersihkan rambut
"Kau mulai bingung ya, Kiki?" kata Jack sambil tertawa. Kiki terbang, lalu
hinggap di bahu tuannya. Dicubitinya telinga Jack dengan paruhnya. Ketika gong
berbunyi memanggil anak-anak makan, burung bandel itu menjerit, lalu terbang
menghambur ke ruang makan, ia mengenal makna bunyi itu!
"Kejar dia, Jack!" seru Bu Cunningham. "Nanti habis tomat kalian dimakannya!"
Tapi sementara itu anak-anak sudah bergegas menuju ke ruang makan.
Bab 2, GUSTAVUS DATANG Siangnya anak-anak berkeliling rumah, untuk melihat apakah ada sesuatu yang
berubah. Setelah itu Dinah, Jack, dan Philip pergi ke kebun, di mana
bunga-bunga musim semi sudah mulai bermunculan di sana-sini. Sayangnya, belum
tumbuh sesuatu yang bisa dimakan. Namun mereka menjumpai enam ekor ayam baru.
Mereka langsung memperkenalkan keenam ternak unggas itu pada Kiki. Sedang
Lucy-Ann masih terus melihat-lihat keadaan di dalam rumah.
"Di kamar tamu ada permadani baru," katanya pada Bibi Allie. "Tapi cuma itu saja
perubahan di situ. Untunglah karena aku tidak suka ketika pulang "melihat segala-galanya berubah. Anak yang akan datang bersama Bill, akan
di situkah tidurnya nanti, Bibi Allie?"
"Ya," jawab Bu Cunningham. "Sebentar lagi aku akan membereskan tempat itu. Kau
ke kebun saja sekarang, menyusul yang lain-lain. Tolong petikkan beberapa
kuntum bunga narsis, Lucy- Ann. Nanti kita taruh di ruang depan."
Lucy-Ann berjalan dengan santai ke luar, sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Baginya,
hari pertama dalam liburan selalu paling indah. Perasaan akan menghadapi
waktu beberapa minggu tanpa harus ke sekolah, sangat dinikmatinya.
Cepat kemari, Lucy-Ann!" seru Jack, ketika adiknya muncul di kebun. "Lihatlah
" " Kiki sedang pamer di depan ayam-ayam yang baru!"
"Kiki bertengger di atas sebatang tonggak di depan kandang ayam. Keenam ayam
baru itu berkerumun, seolah-olah mengaguminya. Mereka berkotek-kotek.
Seekor di antaranya memanjangkan tubuh ke atas sambil mengepak-ngepakkan sayap,
seakan-akan berusaha hendak terbang. Kiki menelengkan kepala, ikut-ikut
memanjangkan tubuh, melebarkan sayap,lalu terbang membubung. Kemudian menukik,
ke arah ayam-ayam yang kelihatan terkejut.
"Kokkokkok," serunya dengan serius, menirukan suara ayam. "Kokokkok!"
Ayam-ayam itu datang menghampiri Kiki, sambil berkotek-kotek. Seekor ayam
betina nekat, mematuk bulu ekor Kiki. Eh kurang ajar! Kiki langsung menerjang
"maju, sambil menirukan bunyi pesawat terbang yang sedang mengalami kerusakan
mesin. Ayam-ayam baru itu pontang-panting ketakutan, lari terbirit-birit
menuju kandang, berdesak-desak dulu-mendului masuk lewat lubang pintu yang
sempit. Kiki berjalan tergeyot-geyot mengejar, sambil berkotek-kotek lagi.
Saat itu Bu Cun ningham menjenguk ke luar dari jendela dapur "Jangan
perbolehkan Kiki mengganggi ayam-ayam itu, Anak-anak!" serunya.
"Nanti tidak ada yang mau bertelur!"
"Kiki sudah masuk ke dalam kandang!" seru Jack menjawab. "Mungkin ingin duduk di
salah satu sarang, dan mencoba bertelur seperti ayam-ayam itu! Ayo keluar,
"Kiki!" Kepala Kiki tersembul di pintu kandang.
"Jerangkan air, Polly," ocehnya dengan ramah, lalu berkotek-kotek. Setelah itu
ia terbang, lalu hinggap di bahu Jack. Ayam-ayam saling berpandangan dengan
sikap lega. Nampaknya seperti sedang berembuk, apakah sudah aman lagi untuk
pergi ke luar. "Nah itu kucing tetangga," kata Dinah. Mungkin ia datang untuk melihat,
" "kenapa di sini ribut- ribut! Pegangi Kiki, Jack!"
"Ah, biar saja! Kiki nanti pasti akan menggonggong seperti anjing, jika
kucing itu berani mendekat," kata Jack. "Yuk, kita ke rumah kaca, untuk
melihat apa yang ditanam Pak Kebun di situ."
Siang itu menyenangkan. Cuaca cerah, dan anak-anak menikmati keleluasaan
berkeliaran di kebun. Senang rasanya, berada di rumah kembali. Hanya kedatangan
anak asing itu saja yang terasa mengganggu.
"Ah lebih baik kutunggu saja kedatangan Bill di pintu pagar," kata Lucy-Ann,
"setelah anak- anak selesai minum teh sore itu.
"Kami ikut!" seru Philip. "Aku sudah kepingin sekali berjumpa dengan Bill!
Untung saja kali ini ia tidak harus melakukan tugas rahasia, sehingga bisa ikut
berlibur dengan kita!"
Anak-anak pergi ke pintu pagar. Mereka berdiri di situ, sambil memandang dengan
tegang ke arah jalan. Kiki tahu, anak-anak sedang menunggu kedatangan Bill.
Jambul burung itu bergerak- gerak, turun-naik. "Bill, Bill!" serunya
berulang-ulang. "Mana Bill" Bill mengupil!"
Akhirnya Jack menepuk paruh burung iseng itu. "Diam, Kiki!" katanya. "Lihatlah
itu ada mobil datang kemari.?"Tapi mobil itu tidak berhenti di depan rumah. Kiki menirukan bunyi tuter, ketika
kendaraan itu lewat. Pengemudinya tercengang, karena tidak melihat ada mobil
lain. Tapi supaya aman, ia juga membunyikan tuter. Siapa tahu, mungkin di
dekat-dekat situ ada jalan samping yang tidak nampak dengan jelas.
Tiba-tiba Lucy-Ann berseru dengan gembira, "Itu Bill!"
Sebuah mobil besar berwarna hitam datang, dan berhenti di depan pintu pagar.
Bill menjengukkan kepalanya dari dalam kendaraan itu, sambil tertawa. Di
sisinya ada orang lain. Anak-anak tidak bisa melihat orang itu dengan jelas.
Itukah anak asing yang akan ikut berlibur"
Bill membuka pintu, lalu meloncat ke luar. Dengan segera ia sudah dikerumuni
anak-anak. "Halo, Bill! Apa kabar" Akhirnya kau datang juga!"
Kiki tidak mau ketinggalan. Burung itu menjerit-jerit. "Bill upil!"
Bill tertawa. "Bertambah bandel saja kau sekarang, Kiki," katanya. "Rupanya
memang sudah waktunya aku pulang, untuk mengajarkan sedikit tata-krama padamu."
Kiki terbang ke bahunya, lalu berkotek-kotek seperti ayam betina. He, he,
"jangan bertelur di tengkukku, ya!" kata Bill, pura-pura kaget.
"Mana Ibu, Dinah?" Itu dia."


Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Cunningham muncul dari dalam rumah. Bill hendak menyongsong. Tapi tiba-tiba
terdengar suara mendeham dengan keras. Datangnya dari dalam mobil.
Ah, betul juga! Aku kan membawa tamu" Kau sudah menceritakan pada anak-
"anak mengenai dia, Allie?" tanya Bill pada istrinya, yang sementara itu sudah
sampai di situ. Ya, sudah!" jawab Bu Cunningham. "Mana dia" Eh, masih di dalam
" "mobil" Kenapa tidak turun?"
Turunlah," kata Bill.
"Semua memandang ke arah pintu mobil, sementara seorang anak laki-laki yang
umurnya sekitar sebelas tahun keluar lewat situ. Anak-anak memandangnya dengan
penuh minat. Penampilannya sangat asing. Rambutnya yang hitam pekat
berombak-ombak dan dibiarkan tumbuh panjang. Bola matanya juga nampak hitam
sekali, dengan bulu mata tebal dan panjang. Bahkan lebih panjang daripada bulu
mata Dinah dan Lucy-Ann. Tingkah lakunya sopan sekali. Anak asing itu
menghampiri Bu Cunningham. Sambil membungkukkan diri dalam-dalam
dipegangnya tangan Bu Cunningham, lalu disentuhkannya ke bibirnya. Bu Cunningham
tidak bisa menyembunyikan perasaan geli. Ia tersenyum. Sedang anak-anak
melongo. "Saya mengucapkan terima kasih, Nyonya yang budiman," kata anak itu. Kentara
sekali logatnya yang asing.
"Sama-sama," balas Bu Cunningham dengan ramah. "Kau sudah minum teh tadi?"
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena sementara itu anak laki-laki tadi
sudah berpaling pada Dinah. Dan sebelum Dinah sempat mengelak, tangannya
sudah dipegang oleh anak laki-laki itu, dan didekatkan ke bibirnya.
"Jangan!" seru Dinah kaget, sambil cepat-cepat menarik tangannya. Lucy-Ann
menyembunyikan tangannya ke balik punggung. Aneh sekali anak laki-laki ini,
pikirnya. Dalam hati, Bill merasa geli melihat kekagetan Dinah dan Lucy-
Ann. Tapi ia tidak menampakkannya.
"Gus," katanya pada anak itu, "kami di sini kalau berjumpa hanya bersalaman
saja." Bill menoleh pada istrinya. "Eh ini Gustavus Bar-milevo, Allie. "ia akan ikut berlibur dengan kita, karena pamannya menitipkan dia padaku
selama beberapa waktu."
Sekali lagi Gus membungkuk dalam-dalam. Tapi sekali ini tanpa mencium
tangan. Bill memperkenalkan anak-anak padanya. "Dan ini Dinah, Lucy-Ann,
Jack, dan Philip. Mudah-mudahan kalian bisa menjadi teman baik."
Jack dan Philip bersalaman dengan Gus. Mereka bersikap sopan. Tapi dalam hati,
perasaan mereka tidak enak melihatnya. Aduh, selama liburan mereka harus
bergaul terus dengan anak seaneh itu" Setiap kali bersalaman, Gus membungkuk
sedikit. Gayanya kocak! "Aku senang berkenalan denganmu," katanya tiap kali. Kemudian ia
menoleh ke arah Kiki. "Burung macam apa ini" Siapa namanya?"
"Ini burung Kiki," kata Jack dengan wajah serius. "Perkenalkan, Gus ini Kiki.
"Kiki, ini Gus!"
Kiki mengulurkan kaki kirinya. Gus agak heran melihatnya. Tapi ia mengulurkan
tangannya pula, mengajak bersalaman. Tiba-tiba ia menjerit. Cakar Kiki
ternyata terlalu dalam mencengkeram tangannya.
Berisik, berisik!" jerit Kiki mengomel. "Cuci kaki.bersihkan hidung! Panggil
"dokter." Jarriku berdarrah," keluh Gus."Lihatlah berdarrah banyak!"
" "Panggil dokter! Polly pilek! Panggil dokter!" oceh Kiki tidak henti-hentinya.
"Baru saat itulah Gus menyadari bahwa yang mengoceh itu Kiki. ia menatap burung
kakaktua itu dengan mulut ternganga. Jari tangan yang berdarah dilupakannya.
"Burung itu bicarra," katanya dengan kagum, "ia bicarra! ia melihat jarriku
berdarrah, lalu bicarra surruh panggil dokterr. Aku belum pernah lihat burrung
kiki macam begini!" "Masuklah ke rumah nanti jarimu ku-balut," kata Bu Cunningham dengan nada agak
"kurang sabar. "Ya, lihatlah - berdarrah," kata Gus. Dengan air muka sedih dipandangnya
setetes kecil darah dari luka di jarinya jatuh ke tanah, ia kelihatannya
sudah hampir menangis. Tapi kemudian sikapnya berubah. "Burrung ini
harrus dimasukkan dalam kandang. Harrus karrena itu perrintahku!"
kata Gus dengan nada memerintah.
Anak-anak yang lain begitu kaget mendengarnya, sehingga selama sesaat
mereka hanya bisa melongo saja.
"Jangan seenaknya saja ngomong," tukas Jack kemudian. "Yuk, Bibi
Allie, kita masuk saja ke rumah. Kalau lama-lama di sini, jangan-jangan Gus
nanti mati kehabisan darrah!"
Gus cepat-cepat lari ke rumah. Rupanya ia takut, jangan-jangan bisa mati
karena kehabisan darah. Anak-anak yang lain ikut masuk.
"Otaknya tidak beres," kata Dinah dengan suara lirih.
He!" seru Bill, yang masih ada di dekat mobil. "Kalian kok tidak membantu "aku mengangkut barang-barang ini ke dalam?"
Wah maaf, Bill, sampai lupa," kata Jack, lalu bergegas kembali ke mobil.
" ?"Habis, tingkah laku Gus begitu aneh! Bangsa apa dia itu?"
ia berasal dari salah satu negara di selatan, tapi kalian jangan bertanya-tanya
"padanya tentang orang tua atau tanah airnya karena mungkin ia nanti
"menangis. Maaf ya, kalian terpaksa kurepotkan dengan anak itu. Tapi kurasa ia
akan bisa menyesuaikan diri dengan kalian, ia selama ini tinggal di asrama
sekolahnya. Kelakuannya di situ cukup baik. Pokoknya, akan kuusahakan agar ia
nanti tidak terlalu merepotkan kalian karena temankulah yang menitipkannya
"padaku!" Nanti kami bantu, Bill," kata Lucy-Ann berjanji. "Kurasa ia
"cuma pemalu saja! Ih aku tadi sudah takut saja, jangan-jangan
"tanganku juga dicium olehnya. Kalau itu sampai terjadi, apa kata teman-temanku
di sekolah nanti?" Kecil kemungkinannya bahwa mereka akan tahu." kata Bill menenangkan. "Jack,
"bawa tas itu dan kau kopor ini, Philip! Ah, senangnya, ada di rumah lagi!
" "Di tengah-tengah kalian, dan juga Kiki tentu saja! Ya kan, Kiki?"
"Cul, Bill muncul!" teriak Kiki, lalu hinggap di bahu Bill. "Cul-cul-cul!"
"Bab 3, KIKI DAN GUSSY
Malam itu anak-anak sibuk berkemas, karena besoknya mereka akan sudah
berangkat lagi. Mereka ribut mempermasalahkan apa yang perlu dibawa, dan apa
yang tidak. Gustavus kelihatannya tidak biasa menghadapi keadaan seperti itu. ia hanya duduk
tercengang- cengang saja sambil mengelus-elus jarinya yang dibalut, semntara
di sekelilingnya anak-anak ramai berbicara simpang siur. ia juga sangat
tertarik pada Kiki, yang tidak henti-hentinya dipandanginya. Tapi Gus tidak
mau didekati. Setiap kali Kiki hendak mendekat, anak itu langsung menggerak-
gerakkan tangan, seperti hendak mengusir ayam. "Husy nyahlah pergi!" seru
"Gus. "Pergilah nyah!"
"Ngomongnya asal bunyi saja seperti Kiki," kata Jack sambil nyengir karena
"geli. "Kiki sampai bingung melihatnya! Eh, ke mana bukuku tadi" Bibi Allie,
"aku tadi kan sudah memasukkan buku yang besar itu ke dalam kopor" Kenapa
sekarang tidak ada?"
"Kau memang sudah memasukkannya," kata Bibi Allie, "tapi kemudian kukeluarkan
lagi. Untuk kesekian kalinya kukatakan, kau tidak bisa membawa selusin buku
tentang burung, Jack! Dua saja sudah lebih dari cukup! Jadi kau harus memilih,
buku mana yang ingin kaubawa!"
Janganlah sekeras itu," keluh Jack. "Tapi -kalau teropong, itu kan boleh
"kubawa, ya" Kalau tidak, mendingan aku tidak ikut saja."
Teropongmu bisa kaugantungkan di lehermu." kata Bu Cunningham. "Harap kauingat,
"Kita akan bertujuh dalam mobil, belum lagi barang-barang. Jadi kita harus
membatasi diri pada yang paling perlu saja. Kiki! Ayo, kembalikan tali itu!
"Aduh, bisa gila aku nanti karena ulah burung iseng itu. Barang apa pun, kalau
kuletakkan sebentar saja, pasti langsung dibawanya lari."
Mana kandang?" seru Gustavus dengan tiba-tiba. Nada suaranya seperti
"memerintah. Masukkan burrung itu dalam kandang!"
Jangan mengoceh terus tentang kandang!" tukas Jack. "Kau tidak punya hak,
memerintah- merintah di sini!"
Gustavus tidak senang mendengar nada suara Jack. ia meluruskan sikapnya.
Burrung ini jakhat," kata Gus. "tidak baik jakhat! Harrus masuk dalam " " "kandang!"
Jack!" kata Bu Cunningham dengan nada memperingatkan, begitu dilihatnya air
"muka Jack menjadi merah padam. "Gustavus masih belum biasa bergaul dengan Kiki.
Begitu pula dengan kita. Berilah kesempatan padanya untuk menyesuaikan
diri dulu. Gustavus, burung itu tidak jahat. Kiki itu baik hati. Sekarang
diamlah." Tapi Gus ternyata keras kepala. "Mana kandang?" katanya sekali lagi. "Kandang
besar untuk burrung jakhat!"
Jack mendatangi anak itu. Didekatkannya mukanya ke muka anak itu, lalu
berbicara lambat- lambat dengan suara lantang. "Aku punya kandang kandang
"yang besar sekali, untuk anak kecil yang konyol. Sekarang akan kuambil kandang
itu, lalu kau akan ku-kurung di dalamnya. Dengan begitu kau akan aman dari
burrung jakhat!" Jack kaget sekali, ketika tahu-tahu Gus menangis. Anak-anak
yang lain memandang sambil melongo. Ih masa anak berumur sebelas tahun
"masih suka menangis! Bahkan Lucy-Ann pun merasa geli melihatnya.
Bu Cunningham menghampiri Gustavus. "ia rupanya capek," katanya pada anak-
anak. "Baginya, semuanya masih asing sekali dan ia rupanya juga belum pernah
"melihat burung seperti Kiki. Kiki memang burung aneh! Sudahlah, janganlah
menangis, Gus! Jack tadi kan hanya main-main saja."
"Siapa bilang!" kata Jack. "Kandang Kiki yang tua kan lapang sekali, dan...
"Bu Cunningham tidak memberi kesempatan pada Jack untuk menyelesaikan
kalimatnya. Dipegangnya lengan Gustavus, lalu dibimbingnya meninggalkan
ruangan. Anak-anak yang lain berpandang-pandangan, lalu mengangkat bahu.
Dengan anak seperti itu kita harus bergaul selama liburan ini," kata Jack
"sambil mendengus. "Akan kutunjukkan padanya nanti, siapa sang berkuasa di
sini." "ya, betul!" seru Dinah dengan sebal. "Dia kira siapa dia itu, hahh!" Seenaknya
saja, hendak mengurung Kiki! Coba kau tadi benar-benar mengambil
kandang Kiki, Jack aku kepingin melihat tampang Gustavus."
"Paling-paling tangisnya akan bertambah keras." kata Lucy-Ann. "Gussy yang
"malang!" 'Gussut! teriak Kiki dengan tiba-tiba. "Gussut cemberut!" Anak-anak tertawa.
"Ocehanmu lagi-lagi tepat sekali," kata Philip pada Kiki. "Anak itu
"memang benar-benar pencemberut. Gussut cemberut. Kita pasti segera muak
melihatnya!" "Gussut cemberut!" teriak Kiki. Burung iseng itu menandak-nandak, mundur-maju.
?"Cuci mulut, Gussut cemberut!"
"Keringkan air mata, maksudmu," kata Philip. "Moga-moga saja Gussy nanti tidak
terlalu sering menangis, ah! Lain kali kalau ia menangis lagi, akan
kuambilkan serbet pengelap piring, lalu akan kusuruh dia mengeringkan air mata
dengan lap itu!" Saat itu Bu Cunningham masuk lagi. ia mendengar kata-kata Philip. "Janganlah
kalian bersikap terlalu keras pada anak itu," katanya. "Memang, tingkah
lakunya memang agak konyol tapi pasti baginya sama sekali tidak enak, tahu-tahu
"berada di tengah-tengah sekian banyak orang yang masih asing. Ditambah lagi ia
belum begitu menguasai bahasa kita! Menurut pendapatku, hal itu tidak boleh
kalian lupakan. Berilah kesempatan padanya untuk menyesuaikan diri."
"Baiklah, Bu," kata Philip. "Tapi aku masih tetap belum mengerti bukan kebiasaan"Bill untuk dengan begitu saja memaksa kita agar bergaul dengan anak sekonyol
itu." "Soalnya begini, kata Bu Cunningham menjelaskan. "Karena salah satu sebab, anak
"itu terpaksa dititipkan pada Bill. Dan Bill tidak bisa menolak, ia sebenarnya
sudah menduga, kalian tentu takkan merasa cocok kalau disuruh bergaul dengan
anak seperti Gustavus. Karena itu ia mula-mula hendak bepergian sendiri,
dengan anak itu. Tapi aku ingin kita berlibur beramai-ramai, dengan Bill.
Karena itu akhirnya kami memutuskan untuk mengajak Gustavus. Hanya ada dua
pilihan. Berlibur dengan Bill dan Gustavus, atau kita pergi sendiri tanpa
"mereka berdua."
"O, begitu," kata Philip. "Kalau begitu apa boleh buat. Mendingan sebal karena
ada Gustavus, daripada berlibur tanpa Bill."
Itu sudah kusangka," kata ibunya. "Jadi kalian harus mau agak mengalah, ya!
"Sebab, Bill bisa saja mengambil keputusan untuk pergi berdua dengan Gus saja,
jika kalian terlalu cerewet. Lagi pula, kalian pasti mampu membuat Gustavus mau
menyesuaikan diri. Baginya, itu ada baiknya! Anak itu nampaknya biasa
dimanjakan." "Nantilah kami pasti akan bisa membuatnya sadar," kata Jack. "Tapi di mana dia
"sekarang?" "Sudah kusuruh masuk ke kamar tidur," kata Bu Cunningham. "Untuk saat ini,
tempat itulah yang paling baik untuk dia. Masih banyak yang harus kita kerjakan
malam ini. Aku tidak punya waktu untuk mengurus pertengkaran, anak yang
menangis, serta keluh kesah!"
"Setuju!" kata Jack. "Nah karena Gus Cengeng sudah disingkirkan, kita
"lanjutkan saja berkemas. Atau Anda barangkali memerlukan bantuan untuk
menyiapkan hidangan makan malam, Bibi Allie?"
"Kalian sudah lapar lagi?" kata Bibi Allie dengan heran. "Baiklah kalau begitu
"Dinah dan Lucy-Ann yang menyiapkan. Sedang kalian, Philip dan Jack kalian
"berdua membantuku meneruskan berkemas. Kita harus membawa barang sesedikit
mungkin! Bawaan Gustavus, sebagian besar bisa ditinggal saja di sini. Macam-
macam saja bawaannya seperti piama dari kain sutra, misalnya! Dan pada
"setiap pakaiannya, tersulam huruf-huruf depan namanya."
"Kalau begitu ia pasti sering diganggu anak-anak yang seasrama dengan dia," kata
Philip. "Sayang, kenapa mereka tidak memotong rambutnya yang panjang itu.
Sudah panjang, berombak-ombak lagi seperti anak perempuan. Tidak bisakah kita
"menyuruhnya memotong rambut, Bu?"
"Kita lihat saja nanti," jawab ibunya. "Tapi sudahlah, janganlah kita
berbicara terus-menerus tentang dia. Aku sudah bosan!"
Setelah itu mereka meneruskan berkemas, karena ingin selesai saat
hidangan makan malam siap. Bu Cunningham bersikap tegas. Setiap anak hanya
diperbolehkan membawa pakaian yang benar-benar diperlukan nanti. Untuk kedua
kalinya ia mengeluarkan buku tebal tentang burung, yang dimasukkan dengan diam-
diam oleh Jack ke dalam sebuah kopor. Bu Cunningham melakukannya sambil
melirik ke arah anak itu.
"Eh aneh!" kata Jack berpura-pura heran. "Kenapa tahu-tahu ada di dalam kopor
"itu, ya?" "Sekarang kututup kopor ini," kata Bu Cunningham. "Sungguh, Jack kadang-kadang
"kurasa kau ini masih perlu dipukul pantatmu sekali-sekali!"
Setelah itu anak-anak makan. Suasana di meja makan sangat meriah. Suara mereka
bercakap- cakap dan tertawa-tawa terdengar sampai di tingkat atas, di mana
Gustavus duduk di tempat tidur dengan sebuah baki berisi makanan di atas
lututnya, ia sudah capek sekali. Tapi walau begitu ia merasa agak iri,
mendengar betapa riangnya anak-anak berkumpul di ruang makan di tingkat bawah,
ia merasa bahwa anak-anak itu tidak begitu senang terhadapnya. Tapi menurut
perasaannya, yang menjadi penyebab bukanlah tingkah lakunya, melainkan burrung
jakhat itu. Awas jika ada kesempatan, akan ditamparnya burung itu! ia "mengayunkan tangan. Eh tahu-tahu tangannya itu membentur selimut. Baki di atas
"lututnya tergoyang. Limun tumpah, membasahi alas kaki. Sialan! Gustavus buru-
buru mengeringkan baki yang basah dengan serbetnya, ia begitu sibuk, sehingga
tidak dilihatnya Kiki menyelinap masuk lewat pintu yang terbuka sedikit. Burung
kakaktua iseng itu ingin melihat, apa sebabnya Gustavus tidak ikut makan di
bawah. Kiki berjalan tergeyot-geyot ke bawah tempat tidur. Diperiksanya sandal yang
ada di situ. Kemudian perhatiannya teralih ke sebuah kotak kardus. Apakah
isi kotak itu" ia berusaha mengangkat tutup kotak itu dengan paruhnya. Kiki
memang sangat suka membuka-buka tutup. Gustavus mendengar bunyi yang
mencurigakan di bawah tempat tidur.
"Siapa itu?" tanyanya ketakutan. Kiki menimbang-nimbang, bunyi apa yang akan
diperdengarkan, ia bisa menirukan bermacam- macam bunyi. Misalnya saja bunyi
peluit kereta api yang sedang melewati terowongan. Tapi itu lebih baik jangan
"karena Bu Cunningham pasti akan datang, lalu marah-marah. Kiki juga bisa
menirukan mesin pemotong rumput yang kurang minyak. Tapi itu pun lebih baik
jangan! Kiki bisa pula menirukan suara orang batuk. Batuk mendeham-deham, atau
batuk penderita pilek berat, ia pun bisa menirukan suara orang bersin.
"Bunyinya persis aslinya! Gustavus kaget setengah mati, ketika tiba-tiba
terdengar suara orang bersin di kolong tempat tidur. Astaga! Siapakah itu"
Jangan-jangan ada perampok di kolong tempat tidur, ia gemetar
ketakutan. Sebagai akibatnya, limun di atas baki tumpah lagi. Kini Kiki
menirukan suara orang batuk-batuk. Batuk yang dalam dan berat. Bunyinya
menyeramkan. Bulu tengkuk Gustavus berdiri. Kerongkongannya terasa
seperti tersumbat. Siapakah yang batuk-batuk itu" ia tidak berani berdiri untuk
memeriksa. Habis bagaimana kalau orang itu nanti mencengkeram pergelangan
"kakinya, begitu ia turun dari tempat tidur"
Kiki mengerang-ngerang. Gustavus semakin gemetar ketakutan, sehingga nyaris saja
baki berisi makanan terjatuh dari tempat tidur. Gustavus masih sempat
memegangnya. Tapi karena tangannya sangat gemetar, sebuah piring terjatuh


Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga ke lantai. Piring itu membentur sepatu, lalu bergulir ke kolong tempat
tidur. Kiki kaget melihat ada piring bergulir ke arahnya. ia cepat-cepat
melompat ke tepi. Dengan penuh minat diperhatikannya piring yang berputar-
putar sebentar, sampai akhirnya jatuh tertelungkup.
Akhirnya Gustavus bisa berteriak.
"Tolong! Tolong ada orang di kolong tempat tidur! Tolong, tolong!"
"Dalam sekejap mata, Bill sudah muncul di ambang pintu. "Ada apa?"
"Di kolong tempat tidur ada orang," kata Gustavus ketakutan. Bill membungkuk.
Tapi ia tidak melihat siapa-siapa di kolong tempat tidur.
Kiki sudah cepat-cepat mendului, bersembunyi di dalam sebuah lemari. Burung
iseng itu menelengkan kepala, mendengarkan dengan penuh minat.
"Kau tadi melamun, ya?" kata Bill dengan ramah pada Gustavus. "Di kolong
tidak ada siapa- siapa! Sini, kubawa saja bakimu itu ke bawah. Kau tidur saja
sekarang!" Bab 4, KE LITTLE BROCKLETON
Keesokan paginya cuaca cerah. Awan putih bersih berarak-arak di langit.
Kelihatannya seperti gumpalan kapas," kata Dinah. "Mudah-mudahan cuaca selama "liburan akan begini terus."
Kukeluarkan saja mobil dari garasi," kata Bill. "Jika aku nanti membunyikan
"tuter, kalian semua harus sudah siap. Allie, kau nanti duduk - depan, di
sampingku. Kau juga, Lucy-Ann duduk di tengah-tengah, di antara aku dan
"Bibi Allie! Sedang kalian berempat, kalian di belakang, ya! Barang-barang
kita taruh di tempat bagasi. Jika di antara kalian ada yang ingin berjalan kaki,
itu gampang rewel sajalah nanti di tengah jalan. Dengan senang hati aku akan
"menurunkannya!"
Anda benar-benar sampai hati melakukannya. Bill?" tanya Lucy-Ann.
"Ya, tentu saja!" jawab Bill. Ia memasang tampang galak, sampai Gustavus ngeri
"melihat-lihat. ia pun langsung memamerkan tatakrama yang sopannya luar biasa,
ia membukakan pintu Sambil membungkukkan badan, dipersilakannya yang lain-lain
lewat lebih dulu. Setiap barang yang disentuh Bu Cunningham buru-buru
diambil olehnya, untuk dibawakan. Kesibukannya itu menyebabkan ia
menghalangi langkah orang lain. Dan setiap kali itu terjadi, Gustavus pun buru-
buru melompat ke samping, membungkukkan badan sambil berkata, "Maaf! Maafkan
saya!" "Saya sayur," oceh Kiki dengan segera. "Sayur guyur!" Kemudian burung konyol
itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Bagaimana jarimu yang luka itu, Gus?" tanya Jack.
"Sudah tidak berrdarrah lagi terrima kasih," jawab Gus.
?"Lebih baik jangan kauganggu Kiki," kata Jack memperingatkan, "karena nanti kau
di-patuknya lagi sehingga kau berdarrah-darrah banyak sekalli!"
"Ih burrung itu jakhat," kata Gus. "Aku tidak suka pada burrung itu."
?"Kurasa perasaan Kiki juga begitu terhadapmu," kata Jack. "Sekarang
minggirlah jika tidak ingin perutmu terbentur kopor berat ini."
"Gustavus cepat-cepat menepi. "Maaf, maaf sekali!" katanya sambil membungkuk.
Akhirnya mereka sudah siap untuk berangkat. Wanita yang dimintai tolong menjaga
rumah mengantar sampai ke pintu. Bill membunyikan tuter. Nyaring sekali
bunyinya. Gustavus langsung lari ke mobil. Rupanya ia takut ditinggal. Lucy-
Ann duduk di depan, diapit oleh Bill dan Bu Cunningham. Sedang keempat
anak lainnya duduk berdesak-desakan di jok belakang.
Gustavus langsung mengkerut ketika melihat Jack duduk di sampingnya. Soalnya,
Kiki bertengger di bahu anak itu. Kiki menirukan bunyi sumbat botol terbuka.
PLOK! Gustavus terlonjak, karena kaget. Kiki terkekeh, lalu sekali lagi
menirukan bunyi itu. "PLOK! Gussut. Gussut cemberut. Gussut cemberut. PLOK!"
"Eh ada apa, Gus?" tanya Jack. ia tercengang, karena tahu-tahu Gustavus
"melorot ke lantai mobil.
"Maaf! Maaf, ya tapi burrung Kiki meludahi telingaku!" kata Gus, yang
"sementara itu sudah duduk di lantai. Anak-anak yang lain terpingkal-pingkal.
"Jangan konyol, ah," kata Jack. "Ayo, duduklah yang benar, di atas sini. Kalau
mau, pindah saja ke sebelah situ di samping Dinah. Tapi kukatakan saja
"sekarang, Kiki nanti pasti berkeliaran ke mana-mana, jika sudah bosan
bertengger di atas bahuku."
"Buang ingusmu!" teriak Kiki, sambil memandang Gus yang masih duduk di lantai.
Anak itu melongo. "Di belakang sudah siap semua?" seru Bill, sambil menghidupkan mesin. Gigi
perseneling dimasukkan, pedal gas ditekan. Mobil mulai bergerak maju.
"Muatannya kali ini berat sekali," kata Bill. "Pasti kendaraan ini akan
mengerang-ngerang, jika harus mendaki tanjakan."
Tapi mesin mobil itu kuat. Bu Cunningham merasa lega, karena kendaraan itu
ternyata masih mampu meluncur dengan laju. Jika tidak ada aral melintang,
sebelum gelap mereka pasti akan sudah tiba di tempat tujuan.
"Apakah kita di sana nanti akan menempati rumah tetirah, Bibi Allie?" tanya
Lucy-Ann. "Ya," jawab Bu Cunningham, "letaknya kurang-lebih dua kilometer dari desa.
Namanya 'Pondok Batu', karena letaknya dekat sebuah tambang terbuka, tempat
penggalian batu. Katanya, di dekat-dekat situ ada usaha pertanian. Kita bisa
membeli susu segar, telur, mentega, dan juga roti di tempat itu. Enak juga,
tidak perlu setiap kali pergi ke desa."
"Dalam liburan ini aku ingin menyelidiki kehidupan labah-labah," kata Philip.
"Mereka itu makhluk yang luar biasa! Apalagi yang besar, yang kakinya panjang-
panjang dan berbulu...."
Dinah bergidik. "Aduh bicara tentang yang lainnya saja, ah," katanya. "Entah kenapa, tapi "begitu ada yang menyebut-nyebut binatang itu, sekujur tubuhku langsung
merinding seakan-akan ada yang merayapi punggungku."
"Wah mana labah-labahku itu" Wah, jangan-jangan minggat!" Philip berbuat
" "seolah-olah sibuk mencari-cari dalam kantungnya.
Gustavus memandangnya dengan wajah ngeri. Anak itu rupanya juga takut pada
labah-labah. Dinah terpekik.
Jangan suka jail, Philip! Kau tadi benar-benar mengantungi labah-labah?"
?"Philip!" kata ibu mereka sambil menoleh ke belakang. "Ingat, apa kata Bill
tadi! Kau ingin berjalan kaki sampai ke Little Brockleton, ya"!"
Tidak, tidak aku sama sekali tidak mengantungi labah-labah," kata Philip
" "buru-buru. "Kau bisa duduk dengan tenang, Di. He, Gus, masa enak duduk di
"bawah begitu!" Aku setiap kali lupa bahwa kau ada di situ. Mudah-mudahan saja
kau selama ini tidak menjadi alas kakiku. Secara tidak sengaja, tentunya!"
"Kau tidak boleh bicarra begitu," kata Gus tersinggung. "Aku akan marrah, jika
aku dijadikan alas kakimu!"
"Yuk, kita melakukan permainan," ajak Jack, untuk mencegah kemungkinan
terjadinya pertengkaran. "Kita berlomba menghitung jenis-jenis binatang yang
kita lewati. Anjing berbulu hitam, kucing putih, kuda belang."
Kenapa cuma binatang saja" Kendaraan juga, dong!" kata Lucy-Ann mengusulkan.
?"Baiklah kalau begitu ditambah sepeda merah, serta gerobak tukang es krim!
"Kita berlomba menghitung sampai seratus. Yang paling belakangan mencapai angka
itu, ia harus membelikan es krim untuk kita semua."
Usul permainan itu menarik minat Gustavus. ia cepat-cepat duduk ke atas, di
samping Dinah. Bill dan istrinya yang duduk di depan, menarik napas lega.
Sekarang mereka akan bisa agak lebih tenang, karena anak-anak pasti sibuk
memperhatikan jalanan, siapa yang paling dulu melihat hewan dan kendaraan yang
masuk hitungan. Gus mengikuti permainan itu dengan asyik. Tapi caranya selalu saja keliru.
Anjing hitam dan kucing putih selalu lupa dihitungnya, sedang semua kuda ikut
dihitung. Padahal yang masuk hitungan hanya yang berbulu belang saja. Wajahnya
langsung suram, begitu anak-anak yang lain mengatakan bahwa kuda putih, kuda
hitam, dan juga kuda coklat tidak boleh ikut dihitung.
"Wah, wah, kelihatannya mau menangis, kata Philip. "Tunggu, Gus! Tunggu dulu " "nih pakai sapu tanganku!" Dikeluarkannya selembar lap dapur yang sempat
disambarnya sebelum berangkat tadi, dan disodorkannya pada Gus. Gustavus
menatap lap itu sesaat sambil melongo lalu tertawa dengan suara keras.
?"He ini kan bukan sapu tangan. Ini kan lap. Aku tidak mau mengusap air
" "mata dengan lap. Aku akan tertawa saja!"
Nah, begitu dong!" kata Jack. Ditepuknya bahu Gus. "Kalau jengkel, mendingan
"tertawa. Itu lebih kami sukai!"
Anak-anak sama sekali tidak menduga bahwa Gus akan bisa menanggapi gangguan
terhadapnya dengan tertawa. Perasaan mereka terhadapnya mulai agak berubah
"tidak lagi menganggapnya sangat konyol. Gus tidak lagi ikut melakukan permainan
dengan anak-anak yang lain. Tapi ketika permainan itu selesai, lagi-lagi ia
melakukan sesuatu yang tidak mereka sangka-sangka. Lucy-Ann yang paling
akhir mencapai hitungan seratus. Jadi ialah yang harus
membelikan es krim untuk yang lain-lainnya, ia mengeluarkan dompetnya.
"Bill," kata Lucy-Ann, "nanti kalau ada tukang es krim, kita berhenti sebentar,
ya?" Bill mengangguk. Dan ketika mobil mereka berpapasan dengan gerobak tukang es krim, Bill
berhenti. Tapi sebelum Lucy-Ann turun, Gustavus sudah membuka pintu belakang,
lalu melesat mendului ke luar. ia berlari mendatangi tukang es krim.
"Saya minta tujuh, ya," katanya. He, he nanti dulu! Aku yang kalah bermain,
"bukan kau," seru Lucy-Ann agak jengkel. Tapi kemudian ia melongo. Gustavus
mengedarkan dompetnya. Dompet itu tebal. Dari dompet itu dikeluarkannya
setumpuk uang kertas. Astaga, bukan main banyaknya! Gus mengambil selembar,
lalu menyodorkannya pada tukang es krim. Orang itu juga tercengang melihat uang
sebanyak itu. "Kau baru menang lotere, ya?" tanya orang itu. "Atau mungkin ayahmu jutawan?"
Gus tidak memahami pertanyaan itu. Sambil mengantungi uang kembalian, ia kembali
ke mobil. "Ini, silakan," katanya dengan wajah berseri-seri, sambil mengacungkan es krim
yang baru dibelinya pada mereka yang berada di dalam kendaraan.
"Terima kasih, Gus," kata Bill. "Tapi kau sebetulnya tidak bisa membawa-bawa
uang sebanyak itu."
"Kenapa tidak bisa" Bisa saja," jawab Gustavus. "Selama di sekolah, aku selalu
membawa-bawa di dalam saku. Ini namanya kan uang saku! Jadi harus selalu ada di
dalam saku." "Itu memang benar," kata Bill. "Tapi uang lebih dari seratus pound, tidak bisa
lagi disebut uang saku. Yang itu memang ada di sakumu, tapi uang saku yang
sebenarnya ialah ah, mendingan kalian saja yang menjelaskannya. Anak-anak."
"Ternyata Gus tidak bisa dibuat mengerti bahwa uang sebanyak itu bukanlah uang
saku, walau ditaruh di dalam sakunya.
"Selama di sekolah, kau seharusnya menyerahkan uang itu pada pimpinan asrama,"
kata Philip. "Tapi di situ dikatakan, aku boleh memiliki uang saku," kata Gus berkeras. "Uang
ini pemberian pamanku. Jadi ini milikku."
"Keluargamu rupanya kaya raya, ya," kata Jack. "Kurasa bahkan Bill pun tidak
mengantungi uang sebanyak itu ke mana-mana. Gus ini anak jutawan, Bill?"
"Yah bisa dibilang berada," kata Bill. ia memasukkan gigi perseneling, "menginjak pedal gas, dan mobil besar itu mulai meluncur lagi. "Tapi meski
begitu, uang itu harus dititipkannya padaku. Aku tidak ingin menanggung risiko
kalau anak ini dirampok orang."
"Nah, nah, ia mau menangis lagi," kata Dinah. "Cepat, Philip mana lap dapur
"tadi?" "Aku bukan mau menangis tapi mau muntah," kata Gustavus dengan serius. "Aku
"kalau naik mobil, selalu mabuk. Kemarin juga begitu. Maaf, Pak Cunningham,
bolehkah aku muntah?"
"Aduh mak!" kata Bill, sambil menginjak rem. Mobil besar itu langsung
berhenti. "Ayo cepat, turun! Dorong dia ke luar. Dinah! Kenapa aku tadi
"mengizinkan dia makan es krim" Ini memang salahku sendiri, karena
kemarin pun ia sudah mengatakan, ia selalu mabuk jika naik mobil."
Bu Cunningham ikut turun, untuk menolong Gustavus. Dinah mengomel-ngomel.
"Tapi itu kan bukan salahnya," kata Lucy-Ann. "Lagi pula, ia sekarang sudah
tidak mabuk agi. Sudah segar lagi tampangnya."
"Maaf, aku memang sudah baik lagi," kata Gus, sambil masuk kembali ke mobil.
"Nih pegang lap ini," kata Philip, sambil menyorongkan kain itu ke tangan
"Gus. "Untuk berjaga-jaga, jika perutmu nanti mulai mual lagi."
"Semua sudah siap di belakang?" seru Bill. Kita meneruskan
perjalanan! Pukul satu nanti kita berhenti sebentar untuk mengisi perut.
Menurut taksiranku, sekitar saat minum teh petang nanti kita akan sudah sampai
di Little Brockleton. Mudah-mudahan saja! He Gus, nanti jika terasa ingin
muntah lagi, cepat-cepat berteriak, ya!"
Saya kalau muntah, hanya satu kali saja," kata Gus. "Es
"krim saya tadi jatuh. Bisakah anda berhenti sebentar, kalau ada tukang
es krim lagi?" Tidak," kata Bill dengan tegas. "Mulai sekarang, tidak boleh lagi minum es
"krim dalam mobil. Kalian yang di belakang mendingan tidur saja sebentar,
sampai kita berhenti untuk makan siang!"
Bab 5, PONDOK BATU Akhirnya mereka sampai di Little Brockleton, sebuah desa kecil yang apik. Mobil
mereka yang lewat menyebabkan ayam-ayam bertemperasan ke pinggir, begitu pula
sekawan bebek dengan suaranya yang berisik. Bill menghentikan kendaraan di
sebuah bangunan kecil. Itulah kantor pos desa.
"Aku hanya ingin mengirim telegram sebentar" katanya. "Setelah itu kita nanti
mampir di tempat pertanian untuk menanyakan jalan ke Pondok Batu, di samping
membeli bahan makanan, serta memesan susu."
Tidak lama setelah Bill memasuki kantor pos, ia sudah keluar lagi. Anak-anak
tahu, setiap hari Bill harus melapor ke kantor pusat, untuk menanyakan apakah
ada tugas penting yang harus diselesaikan. Tugas rahasia, yang hanya ia saja
yang bisa mengerjakannya. Setelah itu mereka menuju ke tempat pertanian.
Mereka disambut oleh seorang wanita istri pemilik pertanian itu.
"Silakan masuk," kata wanita itu dengan riang. "Aku sudah sejak setengah jam
ini menunggu-nunggu kalian. Hidangan sore sudah kusiapkan."
"Terima kasih, Bu," kata Bu Cunningham, sambil melangkah masuk. "Wah ini pesta"namanya!"
Hidangan yang disajikan memang luar biasa, melebihi hidangan biasa pengiring
minum teh. Di atas meja makan nampak daging asap segar, berwarna merah muda dan
berkilat karena lemaknya. Lalu perkedel daging yang dihias dengan daun
peterseli, mentega kuning keemasan dalam beberapa mangkuk kaca, lemak susu
sekendi penuh, madu, selai buah arbei buatan sendiri, roti bundar yang masih
hangat, kue buah prem. Warnanya ungu tua, seungu warna buah yang ada di
dalamnya. Lalu sandwich berisi telur. Dan tidak ketinggalan hidangan minuman
teh, coklat panas, serta susu segar berlemak.
"Kalau sudah besar nanti, aku ingin tinggal di pedesaan saja," kata Jack,
sambil memandangi hidangan yang tersaji di atas meja.
Saat itu barulah Gustavus merasa senang, bahwa Bu Cunningham sewaktu makan
siang tadi mengatakan bahwa ia sebaiknya jangan terlalu banyak makan. Untung
saja ia menurut, karena kini seleranya langsung bangkit melihat hidangan
sesedap itu. "Kau ingin makan apa?" tanya istri petani dengan ramah padanya, melihat cara
Gussy memandang hidangan.
"Aku minta daging itu, yang warna merah itu," kata Gussy sambil menuding. "Dan
"ditambah dengan kue daging itu, ditambah dengan lemak susu."
"Dia ini orang asing rupanya, ya?" kata istri petani sambil tertawa. "Daging
asap dengan lemak susu apakah kau tidak mual nanti, Nak?"
?"Tolong iriskan sepotong daging asap saja untuknya," kata Bu Cunningham. "Kalau
perkedel, lebih baik jangan karena tidak mungkin ia bisa menghabiskan kedua-
"duanya. Apalagi dengan lemak susu!"
"Aku sudah memesan apa yang kuinginkan," kata Gustavus dengan sikap angkuh,
sambil menatap istri petani yang kelihatannya heran. "Dan itulah yang harus
dihidangkan," katanya, lalu menambahkan, "Terima kasih."
"Jangan banyak bicara, Gus," kata Bill. "Ingat, di mana kau sekarang berada."
"Aku ingat," kata Gus, dengan sikap heran. "Dan aku minta...."
"Diam!" kata Bill. Gus langsung terdiam. Anak-anak yang lain nyengir. Baru
tahu rasa sekarang, kata mereka dalam hati. Sedang Gus sangat marah,
ia menatap Bill sambil melotot, ia membuka mulut, seperti hendak mengatakan
sesuatu. Tapi tidak jadi, begitu melihat cara Bill memandang ke arahnya. Bill
mengedipkan mata ke arah anak-anak yang lain. Mereka membalas kedipan itu.
"Gussut cemberut," oceh Kiki, yang bertengger di atas bahu kiri Jack. "Gussy
mandi di Kali." Istri petani tidak kaget mendengar ocehan Kiki. "Bibiku dulu juga pernah
memelihara burung kakaktua," katanya. "Tapi bicaranya tidak sepandai burung
kalian ini." "Masih hidupkah dia?" tanya Jack. ia membayangkan betapa asyiknya jika
kedua kakaktua itu digabungkan. Apakah yang akan mereka ocehkan"
"Siapa yang masih hidup" Bibiku atau kakaktua itu?" tanya istri petani, sambil"meruangkan susu segar ke dalam beberapa mangkuk. "Kalau burung kakaktua
yang kautanyakan ia sudah mati. Katanya umurnya ketika itu sudah lebih dari
"seratus tahun. Tapi bibiku masih hidup. Itu dia duduk di sana, dekat
"pendiangan, ia sebenarnya bukan bibiku langsung, tapi bibi ibuku. Jika ia masih
bisa tetap sehat selama sepuluh tahun lagi, umurnya pun sudah akan lebih
dari satu abad."

Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak memandang ke arah wanita tua yang duduk di dekat pendiangan itu dengan
perasaan kagum. Wanita itu tersenyum samar, karena merasa bahwa ia sedang
dibicarakan. Setelah itu ia menunduk lagi, meneruskan rajutannya.
Bibiku itu sering jatuh, kalau bangun dari tidurnya malam-malam," kata istri
"petani. "Sekarang Pak Dokter akan cuti selama seminggu. Aku
bingung jadinya! Bagaimana jika Bibi Naomi jatuh lagi, dan mengalami cedera"
Kecuali kalian, tidak ada tetangga lain di dekat-dekat sini. Sedang tempat yang
kalian sewa itu pun sudah cukup jauh letaknya!"
"Jika Anda kapan-kapan memerlukan bantuan, beri saja kabar pada kami," kata Bu
Cunningham dengan segera. "Saya pasti akan segera datang. Anda tidak perlu
bingung memikirkan tidak ada dokter, karena saya cukup berpengalaman dalam
memberikan pertolongan pertama."
"Terima kasih," kata istri petani. "Nah siapa ingin mencicipi kue buah ini"
"Rasanya enak! Aku tahu pasti, karena aku sendiri yang membuatnya."
"Wah kalau saya masih harus makan lagi, saya khawatir nanti tidak mampu
"bangun," kata Bill. "Sudah, Anak-anak kita masih harus terus ke Pondok Batu.
"Anda sudah mengirim orang untuk membersihkan tempat itu, Bu Ellis?"
"O ya, tentu saja," kata istri petani. "Wanita yang saya suruh ke sana itu
sekaligus juga sudah membawakan telur, susu, serta sedikit bahan makanan untuk
persediaan sementara. Nanti kalau perlu apa-apa lagi, jangan segan-segan
kemari, ya! Mudah-mudahan kalian bisa berlibur dengan nyaman dan tenang di
tempat itu." Anak-anak merasa segan meninggalkan tempat pertanian dengan Bu Ellis yang
ramah itu. Sewaktu masuk lagi ke dalam mobil, Jack memandang Gustavus dengan
sikap curiga. "Tampangmu agak lain kelihatannya. Gus," katanya. "Kau tidak
apa-apa nanti, di tengah jalan?"
"Pasti tidak apa-apa," kata Bu Cunningham cepat-cepat. "Tempat itu tidak jauh
lagi dari sini." "Anda tahu pasti, Bibi Allie?" kata Jack dengan nada sangsi. Tapi setelah itu ia
mengangkat bahu. "Eh Kiki kenapa juga diam saja" Itulah kenapa tadi begitu
" "rakus!"
Kiki bersendawa. Tidak ada yang pernah mengetahui dengan pasti, apakah burung
iseng itu benar-benar banyak angin di dalam lambungnya, atau hanya berpura-
pura saja. Menurut Bu Cunningham, Kiki selalu hanya pura-pura belaka.
"He, Kiki!" bentak Jack. "Kau ini tidak tahu aturan!"
?"Maaf," kata Kiki. Gustavus memandang burung itu dengan heran. Ada
burung bisa mengeluarkan angin lewat mulut saja sudah cukup aneh baginya.
Apalagi yang bisa minta maaf sesudah itu! Gustavus begitu heran, sampai tidak
jadi merasa mual. Sementara itu Bill mengemudikan mobilnya melewati jalan yang berkelok-kelok,
mendaki sebuah bukit rendah, lalu menuruni sebuah jalan lain yang diapit pagar
hidup. Semak pagar itu begitu tinggi tumbuhnya, sehingga anak-anak merasa
seperti sedang lewat dalam sebuah terowongan berwarna hijau. Mobil melewati
sebuah tikungan tajam dan di depan mereka nampak Pondok Batu. Letaknya agak
" jauh dari jalan. Tempat itu menarik. Kebunnya penuh dengan berbagai jenis bunga-
bungaan. Bill menyewanya dari pemiliknya, yang sedang pergi berlibur ke Prancis
Selatan. Jendela-jendela rumah itu agak kecil ukurannya. Rumah-rumah tua
sejenis itu, memang biasanya kecil-kecil jendelanya. Pintunya terbuat dari
papan kayu ek yang kokoh. Warnanya sudah kehitam-hitaman. Di depan pintu
ada beranda kecil yang dinaungi atap jerami, sama dengan bahan atap rumah itu.
"Pondok beratap jerami! Alangkah indahnya!" kata Lucy-Ann. "Entah kenapa,
rumah beratap rumput selalu memberi kesan seperti merupakan bagian dari
suatu dongeng! Aku pasti akan merasa senang, tinggal di tempat seperti ini!"
Bill membuka pintu depan. Anak-anak berebut-rebut masuk. Tidak henti-hentinya
mereka berseru dengan kagum dan senang, melihat barang-barang yang ada di situ.
"Harap kalian jangan lupa, ini bukan rumah kita," kata Bu Cunningham
mengingatkan. "Jadi kita harus berhati-hati sekali! Tapi kurasa kecil
kemungkinannya kalian akan menimbulkan kerusakan di sini, karena boleh
dibilang sepanjang hari akan berkeliaran terus di luar rumah."
"Kecuali itu, kami kan bukan anak kecil lagi," kata Jack.
Jack dan Philip disuruh berbagi tempat dengan Gustavus di ruang loteng yang
lapang. Dinah dan Lucy-Ann menempati ruang tidur kecil yang terletak di
atas ruang duduk, sementara Bill dan istrinya di kamar tidur besar, yang
bersebelahan dengan kamar tidur kecil. Ruang sepen penuh berisi bekal makanan!
Bu Cunningham menghembuskan napas lega, ketika melihat begitu banyak daging
asap, telur, dan juga susu segar yang ada di situ. ia sebenarnya sudah khawatir
memikirkan masalah mengisi perut anak-anak yang selalu saja merasa lapar. Tapi
dengan bantuan Bu Ellis, nampaknya itu takkan menjadi persoalan besar!
"Dinah kau dan Lucy-Ann mengeluarkan barang-barang kita dari dalam kopor," "katanya. Tidak banyak yang kita bawa, jadi sebentar saja kalian pasti akan
"sudah selesai dengan pekerjaan itu. Tolong atur pakaian anak-anak laki-laki
di lemari besar di kamar mereka. Tempat itu cukup lapang untuk pakaian mereka
bertiga." Saat itu Gustavus muncul. Sambil menuruni tangga dari ruang loteng, ia berkeluh
kesah. "Aku tidak bisa tidur dengan mereka berdua," katanya pada Bu
Cunningham, yang sedang mengeluarkan pakaian dari kopor-kopor, dibantu oleh
Dinah dan Lucy-Ann. "Aku belum pernah tidur bersama orang lain."
"Kenapa tidak?" tanya Lucy-Ann.
"Aku tidak suka tidur bersama orang lain," kata Gus. "Di asrama, aku selalu
tidur seorang diri dalam satu kamar. Di sini, juga harus begitu. Begitu
kebiasaan dalam keluarga kami."
"Tapi di sini tidak!" tukas Dinah dengan segera. "Jangan kaududuki
kemeja-kemeja itu, Gus! Jangan suka konyol kau kan melihat sendiri, di
"sini cuma ada tiga ruang tidur."
"Ada apa lagi sekarang?" kata Bill yang saat itu masuk, ketika ia melihat
wajah Gustavus cemberut.
"Ini Gus mengatakan bahwa ia minta satu kamar tidur untuk dia sendiri,"
"kata Dinah. "Katanya, begitulah kebiasaan dalam keluarganya. Dikiranya dia
itu siapa" Pangeran?"
Bill cepat-cepat mendului berbicara, karena melihat mulut Gustavus sudah
terbuka untuk mengatakan sesuatu. "Gus, kau tidur bersama kedua temanmu di
atas. Mengerti?" "Aku tidur sendiri," kata Gus sekali lagi. "Aku belum pernah...."
"Ah aku tahu jalan keluar," kata Dinah. Matanya berkilat-kilat jail. "Di "samping ruang tidur di loteng kan ada bilik kecil tempat menaruh kopor. Kenapa
kau tidak tidur saja seorang diri di situ, Gus" Kau pasti takkan berkeberatan
berbagi tempat dengan labah-labah yang banyak di situ dan yang kakinya panjang-
"panjang dan berbulu karena mereka kan tidak berbaring di tempat tidur. Ketika
"masuk ke situ tadi, aku juga mendengar bunyi gemerisik di belakang pipa ledeng.
Pasti itu tikus! Atau mungkin binatang lain...."
Gustavus ketakutan. "Tidak! Aku tidak mau tidur dengan labah-labah dan tikus," katanya. "Tapi aku
tetap tidak mau tidur dengan Jack dan Philip. Apalagi dengan burrung jakhat
itu!" "Coba ikut aku sebentar, Gus," kata Bill. Dipegangnya bahu anak itu, lalu
didorongnya ke luar, ke ruang duduk. Pintu kamar ditutup olehnya. Dinah dan
Lucy-Ann berpandang-pandangan dengan heran, sementara dari balik pintu
terdengar samar suara Bill berbicara.
"Ada apa sih sebenarnya, Bu?" tanya Dinah pada ibunya. "Kenapa Bill tidak
langsung saja memarahi Gus Konyol itu" Jika tingkah laku anak itu begini
terus, lama-lama kami bisa benci padanya."
"Serahkan saja urusan ini pada Bill," kata Bu Cunningham dengan singkat.
Setelah itu ia mengatakan, "Tolong bawakan barang-barang ini ke atas, Dinah
"dan kau, Lucy-Ann, yang ini kaubawa ke kamarku, ya" Pipa-pipa Bill ikut kukemas
atau tidak tadi, ya" Kenapa sekarang tidak ada?"
Dinah dan Lucy-Ann naik ke tingkat atas. "Sikap Ibu seperti Bill saja ikut-
"ikutan sok rahasia," kata Dinah dengan sebal. "Ada apa sih sebenarnya" Atau
mungkin Gustavus itu pangeran yang sedang menyamar!"
"Apa" Anak konyol seperti itu pangeran?" kata Lucy-Ann. ia mendengus. "Mana
"mungkin!." Bab 6, GUSTAVUS MENYEBALKAN
Dengan cepat mereka sudah membiasakan diri tinggal di Pondok Batu. Bu Cunningham
merasa puas, di samping berbahagia, ia semula agak cemas, membayangkan harus
mengurus tujuh orang selama liburan itu. Di samping harus melakukan segala-
galanya seorang diri, ia juga khawatir, jangan-jangan urusan berbelanja
akan sangat merepotkan. Tapi kenyataannya tidak begitu.
Desa Little Brockleton tidak begitu jauh letaknya dari Pondok Batu. Dengan
berjalan kaki pun masih bisa. Bu Gump, wanita bertubuh kecil yang membantu
membersihkan, setiap hari selalu datang. Kecuali rajin, orangnya juga periang,
ia menyukai anak-anak. Hanya Gustavus saja yang tidak begitu disukainya.
"Anak itu seenaknya saja memerintah-merintah," keluhnya pada Bu Cunningham.
"Masa, aku pernah disuruhnya naik ke tingkat atas, untuk mengambilkan sapu
tangan. Dia itu anak asing, ya" Aku tidak mau disuruh-suruh anak kecil seperti
dia!" Selama hari-hari pertama, Gussy memang menyebalkan. Ada-ada saja yang tidak
disukainya. ia mengeluh, apabila saat makan diberi piring yang agak retak,
ia menolak ketika disuruh membereskan tempat tidurnya sendiri. Padahal itu
merupakan aturan yang sudah ditetapkan dari semula.
"Aku bukan tukang membereskan tempat tidur," katanya dengan sikap angkuh. "Itu
pekerjaan Bu Gump."
"Tidak! Kau harus membereskan tempat tidurmu sendiri," kata Dinah tegas. "Ayo
cepat, ke atas! Jangan suka rewel, ya!"
"Gussas pemalas, Gussas pemalas!" oceh Kiki. "Gussut cemberut...."
Gustavus meraih sebuah buku, lalu melemparkannya ke arah Kiki. Burung itu
mengelak, lalu hinggap di sandaran sebuah kursi, ia bertengger di situ, sambil
terkekeh-kekeh. Gus hendak mengambil sebuah buku lagi. Tahu-tahu ia jatuh
terjengkang. Dinah sudah habis kesabarannya, ia tidak mau lebih lama lagi
melihat tingkah laku Gustavus yang menyebalkan itu. ia menerjang anak itu, lalu
mengantuk-antukkan kepalanya ke lantai. Gus menjerit-jerit. Dengan segera Bu
Cunningham muncul di ambang pintu.
"Ada apa di sini?" serunya. "Dinah! Ayo, lepaskan anak itu. Cepat! Sekarang
pergi ke kamarmu. Jangan keluar sampai aku datang. Kita perlu bicara sebentar."
"Gus tadi melempar Kiki dengan buku," kata Dinah dengan napas terengah-engah.
Mukanya merah padam, karena marah. Gustavus masih tetap terkapar di lantai.
Anak itu menangis. "Ayo bangun, Gus," kata Bu Cunningham padanya. "Kau sama saja nakalnya seperti
Dinah! Ayo, kau juga harus ke kamarmu sekarang!"
"Anda tidak berhak memerintah aku," kata Gus. Meski air matanya bercucuran, ia
berusaha bersikap angkuh. "Suruh anak perempuan itu pulang. Dan burrung jakhat
itu juga!" "Pergi ke kamar cepat!" seru Bu Cunningham. Nada suaranya galak sekali. "Gustavus buru- buru berdiri, lalu lari ke tingkat atas. Dibantingnya pintu
kamar loteng, lalu dikuncinya dari dalam. Bill masuk ke ruang duduk, untuk
melihat kenapa ada suara ribut-ribut di situ.
"Siapa lagi, kalau bukan Gustavus," kata Bu Cunningham menjawab pertanyaan
suaminya. "Anak itu sulit sekali diatur. Keadaannya tidak bisa begini terus,
Bill. Anak-anak tidak mengerti, kenapa Gus begitu aneh tingkah lakunya. Tidak
bisakah kita berterus terang saja pada mereka?"
"Aku akan bicara lagi dengan anak itu," kata Bill. "Jika setelah itu ia
masih saja belum mau menyesuaikan diri, kurasa aku terpaksa mengajaknya
pergi sendiri ke tempat lain. Tapi sebenarnya ia di sini lebih aman, di tengah
anak-anak." Setelah itu Bill naik ke atas. Bu Cunningham juga naik, mendatangi Dinah. Lucy-
Ann juga ada di situ, sedang sibuk mengatur pakaian di dalam lemari.
"Ya tapi kenapa Gussy boleh berbuat semaunya saja?" kata Dinah dengan masam,
"ketika ia diomeli ibunya, "ia selalu saja ingin ikut campur dalam segala
hal, memerintah-merintah, dan selalu meminta yang paling baik dari apa saja.
Dan berani-beraninya anak itu melempar Kiki dengan buku!"
?"Perasaanmu bisa kumengerti," kata ibunya. "Tapi sulitnya, Bill sudah berjanji
akan mengawasi Gus selama beberapa minggu ini. Kurasa mungkin sebaiknya ia
mengajak Gus pergi ke tempat lain, sehingga kita bisa berlibur di sini tanpa
merasa terganggu." "Aduh, jangan!" sela Lucy-Ann dengan cepat. "Jangan, Bibi Allie! Bibi kan
menikah dengan Bill. jadi ia sekarang kan sudah jadi keluarga kita! Katakan
sesuatu dong, Dinah!"
"Aku juga tidak suka Bill pergi," kata Dinah. "Tapi aku juga tidak bisa
berjanji, tidak akan melabrak Gussy lagi. Pokoknya, aku tidak ingin Bill pergi
dari sini." Bu Cunningham tidak sabar lagi. "Tentukanlah sikapmu," katanya. "Selama itu kau
di sini saja seorang diri, supaya bisa berpikir dengan tenang. Yuk, kita ke
bawah, Lucy-Ann!" Jack dan Philip tidak tahu bahwa Gustavus melempar Kiki dengan buku, karena
tidak ada yang menceritakan hal itu pada mereka. Tapi Kiki sendiri yang
membalas perbuatan itu. Dengan berbagai macam cara diganggunya Gustavus,
sehingga anak itu tidak pernah bisa merasa tenang. Apabila anak itu duduk di
meja makan, tahu-tahu Kiki menyusup ke bawah meja lalu mencubit ibu jari kaki
Gus. Atau kalau tidak, Kiki bersembunyi di ruang tidur di bawah loteng,
mengintai anak itu. Dan begitu Gus berada di situ, Kiki pun mulai beraksi.
Ditirukannya bunyi yang menyeramkan, sehingga Gus lari pontang-panting ke bawah
lagi! "Bill kelihatannya tidak berniat menghukum Gus," kata Dinah pada Lucy-Ann. "Tapi
Kiki sendiri yang melakukannya. Yang jelas, Gus sekarang sudah agak mendingan.
Meskipun begitu, aku sebenarnya lebih suka jika ia tidak ikut piknik dengan
kita hari ini." Bill dan istrinya mengajak anak-anak berpiknik ke sebuah bukit. Mereka berangkat
setelah selesai sarapan pagi. Bekal makanan dibawa oleh Bill serta anak laki-
laki, dalam ransel yang dipanggul. Gustavus tentu saja mengomel-ngomel lagi.
"Aku belum pernah melakukannya," katanya dengan ketus. "Di negeriku, ini
pekerjaan kedelai eh, salah keledai! Aku tidak mau jadi keledai!" Ia " "tercengang, ketika kata-katanya itu ditanggapi anak-anak dengan gelak tertawa
ramai. "Aduh, Gus kau ini," kata Jack sambil tertawa. "Rupanya kau tidak tahu, bahwa
"berdasarkan tingkah lakumu selama ini, kau memang keledai?"
"Kau tidak boleh bilang begitu," kata Gustavus. Keningnya berkerut. "Kalau kita
sekarang ada di negeriku, kau akan..."
"Ah sudahlah, Keledai, jangan mengoceh terus!" kata Philip, sambil mendorong
"Gus. "Tinggalkan saja ranselmu, jika kau tidak mau membawanya. Tidak ada yang
akan keberatan! Isinya kan bekal makanan untukmu sendiri. Kami berdua membawakan
bekal Dinah dan Lucy-Ann, sedang bekal Ibu dibawakan oleh Bill."
"Lemparkan saja ke dalam semak! Dengan begitu kau tidak usah repot-
repot membawanya," kata Dinah mengejek. "Ayo, lemparkan!"
Tapi Gustavus tidak melakukannya. Setelah berpikir sebentar, ia memanggul
ranselnya, walau dengan tampang cemberut. Bukit tempat mereka akan piknik,
bentuknya seperti kerucut yang puncaknya datar. Di lerengnya tumbuh berbagai
jenis bunga-bungaan. "Dari atas sana, pemandangan pasti bagus sekali," kata Jack, sementara
mereka berjalan mendaki bukit. Lereng yang mereka lewati cukup terjal. Tapi
akhirnya mereka sampai juga di puncaknya. Angin bertiup kencang di situ. Namun
malah terasa menyegarkan, karena sinar matahari saat itu sudah terik.
Eh ternyata Gus tidak jadi membuang ranselnya," kata Jack, pura-pura baru
"melihat. Wah perutku sudah lapar sekali!"
" "Semua merasa lapar. Bekal yang dibawa disikat habis. Kiki juga mendapat
bagiannya, yang terutama terdiri dari pisang. Kiki senang sekali makan
pisang, yang dipegangnya dengan satu kaki. Gussy bersin. Kiki langsung
menirukannya. Suara bersinnya lebih nyaring. Kemudian Gussy menyedot hidung.
Bu Cunningham tidak suka mendengar kebiasaannya itu. Dan Kiki kembali
menirukan bunyinya. "Jangan, Kiki!" kata Bu Cunningham. "Seorang saja yang suka menyedot-nyedot
hidung, sudah cukup!"
"Polly pilek," kata Kiki. ia menyedot hidung sekali lagi. Bunyinya persis
seperti Gussy. Anak itu tidak mengacuhkannya. Tapi semenit kemudian terdengar
lagi bunyinya menyedot hidung. "Bersihkan hidungmu!" teriak Kiki. "Mana sapu
tanganmu! Gussy pilek, panggil..."
"Diam, Kiki!" kata Jack. "Janganlah menyedot-nyedot hidung terus, Gussy! Nanti
Kiki menirukan, lalu tidak henti-hentinya menyedot-nyedot hidung pula."
"Aku tidak menyedot-nyedot hidung," kata Gustavus. "Burung itu yang jakhat!
ia harus dimasukkan ke dalam kandang!"
"Sudah, Gus," kata Bill, yang duduk bersandar sambil mengisap pipa. "Ingat apa
yang kukatakan padamu."
Gus langsung diam, lalu memejamkan mata. Anak-anak lain duduk sambil menikmati
pemandangan yang terhampar di depan mata Mereka sangat menikmatinya, karena bisa
melihat sampai jauh sekali.
"Yang di sana itu desa kita," kata Philip sambil menuding. "Dan itu tempat


Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertanian. Pondok Batu hanya nampak ujung cerobong asapnya, serta sedikit
atapnya. Itu, yang di sana di sela pepohonan." ?"Dan itu jalan raya yang kita lewati," kata Jack. "Mana teropongku" Tolong
ambilkan, Di! Wah, dengan teropong, aku bisa melihat sampai jauh sekali.
"Aku bisa melihat lalu lintas di jalan raya yang berkelok-kelok kelihatannya
"sekecil mobil-mobil mainan kita, Philip. Nih lihat saja sendiri."
"Philip mendekatkan teropong itu ke matanya. Teropong itu memang benar-benar
bermutu. Dengannya, ia bisa melihat sampai jauh sekali.
"Ya mobil-mobil dan truk-truk itu kelihatannya aneh sekecil mobil mainan,
" "menyusur jalan yang kelihatan menjulur seperti pita," katanya. "Nah itu ada
"mobil hitam seperti mobil kita. Aku ingin tahu, sampai di mana aku bisa
"mengikutinya dengan teropong ini."
Anak-anak yang lain merebahkan diri, lalu memejamkan mata. Sinar matahari terasa
hangat di tubuh, menyebabkan mereka agak mengantuk. Apalagi perut sudah terisi
penuh. "Mobil itu masih terus berjalan di jalan raya," Kata Philip, sambil
meneropong. "Laju sekali jalannya. Mungkin itu mobil polisi."
"Kau takkan bisa mengenalinya dengan jelas, Karena jaraknya terlalu jauh," kata
Jack. "Kalau kau sebutkan nomornya, nanti ku-katakan apakah itu mobil polisi atau
bukan," kata Bill, yang saat itu sedang membaca surat Kabar. Ia menoleh ke arah
Philip. "Bill ini cerdik," kata Jack sambil tertawa, diikuti oleh Philip, "ia tahu
pasti, dari sini kau takkan mungkin bisa mengenali nomor mobil itu. Kau masih
bisa melihatnya. Philip?"
"Sekarang hilang, karena tertutup rumah-rumah nah, itu dia, kelihatan
"lagi. Menuju ke persimpangan dan menyeberang. Sekarang berhenti."
"Terdengar suara dengkuran. Ternyata Gustavus tertidur. Kiki menirukan bunyinya.
Sementara itu Philip melanjutkan laporan pengamatannya. "Seorang laki-laki
turun, ia berjalan kembali. Rupanya untuk melihat petunjuk yang tertulis pada
papan penunjuk jalan. Sekarang ia kembali lagi ke mobil, lalu masuk. Ternyata
mereka salah jalan, karena mobil itu mundur. Nah benar juga kataku.
"Sekarang mereka membelok, memasuki jalan yang menuju ke desa kita."
"Sebentar lagi akan kaukatakan bahwa mobil itu berhenti di depan Pondok Batu,"
gumam Jack dengan suara agak mengantuk. "Kau kan cuma mengarang-ngarang.
Philip. Mengaku sajalah!"
"Mobil itu tidak kelihatan lagi. Eh, tidak, tidak, itu dia," sambung Philip, "tanpa mengacuhkan komentar Jack. "Ya, melewati desa lalu memasuki jalan yang
"menuju ke tempat pertanian. Sekarang berhenti lagi. Dekat seorang laki-laki.
Mungkin untuk menanyakan jalan, atau salah satu alamat. Sekarang mobil
"bergerak lagi, menuju ke tempat pertanian. Mungkin itu kenalan, atau keluarga
Bu Ellis." Tiba-tiba Bill meletakkan surat kabar yang sedang dibaca, lalu mengambil
teropong dari tangan Philip, ia mengarahkannya ke rumah petani. Dengan segera
sudah dilihatnya mobil hitam itu. Bill memperhatikan kendaraan yang nampaknya
mahal itu dengan tekun. Kemudian teropong dikembalikannya lagi pada Philip,
tanpa mengatakan apa-apa.
"Anda tahu mobil siapa itu, Bill?" tanya Jack ingin tahu, karena melihat air
muka Bill agak berubah. "Tidak," kata Bill, "tapi kedatangannya menyebabkan aku berpikir sedikit. Sayang
aku tidak bisa bicara lebih banyak. Tapi nanti malam akan kudatangi Bu Ellis.
Mungkin dari dia akan bisa kuketahui, siapa yang datang dengan mobil itu!"
Bab 7, UCAPAN YANG MENGAGETKAN
Setelah mendengar ucapan Bill, perhatian Jack dan Philip pada mobil hitam itu
semakin bertambah besar. Mereka mengamat-amatinya bergantian. Mobil itu
berhenti di rumah petani selama kurang-lebih dua puluh menit. Kemudian berputar,
lalu kembali lewat jalan yang sama seperti ketika datang.
"Mobil itu sudah pergi lagi, Bill," kata Philip melaporkan. "Kurasa penumpangnya
tamu-tamu Bu Ellis. Eh, lihatlah, mulut Gussy menganga. Yuk, kita masukkan
"sesuatu ke dalamnya!"
"Jangan ganggu keledai yang sedang tidur," kata Jack. "Dan jangan ajari Kiki
perbuatan yang bukan-bukan. Nanti ia ikut-ikut, lalu rumput, atau bunga ke
dalam mulut Gussy!" Philip memandang berkeliling. Selain ia sendiri, hanya Jack dan Bill saja yang
tidak tidur. Sedang yang lain-lain pulas semuanya, ia merogoh kantungnya
dengan hati-hati, lalu mengeluarkan seekor binatang kecil yang lucu, berbulu
coklat kemerahan. Aduh, lucunya! Tapi hati-hati saja kau kalau Dinah melihatnya, pasti ia akan
" "langsung terpekik. Dari mana kau mendapatnya?"
"Aku menemukannya tadi, di tengah jalan," kata Philip, "ia sedang enak-enak
duduk di dahan sebatang pohon, ia sama sekali tidak berusaha lari, ketika
kutangkap." "Ya, tentu saja," kata Jack, dengan nada agak iri. "Aku belum pernah melihat ada
binatang yang tidak langsung tertarik padamu, Philip. Lucu sekali tikusmu itu!"
"Aku menamakannya Penidur." Philip mengelus-elus bulu binatang kecil itu, yang
memandangnya dengan mata yang besar berkilat.
"Tikus pohon suka sekali tidur. Kelihatannya selalu seperti sedang melamun.
Nanti kalau kita ke desa lagi, tolong ingatkan aku untuk membeli biji-bijian,
ya! Dinah lebih baik jangan diberi tahu, bahwa aku memelihara Penidur. Aku akan
menyimpannya di dalam kantung, ia bisa hidup dengan nyaman di situ. Aku sebelum
ini sudah pernah memelihara tikus pohon. Binatang itu sangat jinak."
Tiba-tiba Jack mengambil sikap seperti mendengarkan. "He kau dengar tidak itu"
"Seperti ada orang bercakap-cakap!"
Jack dan Philip memandang berkeliling. Mereka melihat dua orang laki-laki
melintas di jalan kecil yang menyusur kaki bukit. Kedua orang itu berkacap-
cakap. Nampaknya mereka pertanian.
"Aku ke bawah sebentar, ah," kata Philip. "Aku ingin tahu, apakah di sekitar
sini ada musang. Kau ikut, Jack?"
Kedua anak itu lari ke kaki bukit, mendatangi kedua orang yang sedang berjalan
tadi. Mereka mendengar langkah Jack dan Philip yang berlari-lari menghampiri,
lalu menoleh. "Selamat siang," sapa Jack dengan napas terengah-engah, "Bolehkah kami bertanya
sedikit" Kami ingin tahu apakah di sini ada musang, yang masih agak muda.
Aku belum pernah melihat binatang itu." ?"Tapi aku pernah," sambut temannya yang lebih tua. "Memang tidak mungkin bisa
melihat musang, jika sepanjang malam tidur terus. Musang memang hanya keluar
saat malam hari." "Ya, tentu saja kau kan biasa berburu secara sembunyi-sembunyi," kata laki-
"laki yang lebih muda. "Malam-malam selalu keluyuran di luar, sementara orang
yang baik-baik tidur." Temannya mengedipkan mata dengan Jenaka.
"Kenapa kalian bertanya tentang musang, Nak?" tanyanya pada Jack.
"Kami ingin mengamat-amati kehidupannya," jawab Philip. "Saya sangat suka
mengamat-amati kehidupan binatang liar. Selama ini saya belum pernah melihat
musang di alam bebas. Kami saat ini sedang berlibur di sini. Kami tinggal di
Pondok Batu." "Kalau begitu kalian tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mengamati kehidupan musang," kata laki-laki yang
lebih tua. "Kalian bisa menemukan binatang-binatang itu di dalam hutan sebelah
selatan rumah kalian. Atau kalau tidak, di bekas tambang batu. Tahun lalu aku
melihat seekor di sana."
"Terima kasih, Pak," kata Philip dengan gembira. "Kami akan mengamat-amati
kedua tempat itu." "Kecuali itu, di bekas tambang itu juga ada burung hantu," kata laki-laki yang
tua. "Bermacam-macam jenis burung hantu hidup di situ. Mereka berburu tikus di
tempat itu. Burung hantu yang biasa tinggal dalam lumbung, kalau berteriak
suaranya sangat menyeramkan!"
"Ya, aku tahu," kata Jack. Seketika itu juga timbul niatnya untuk melakukan
pengintaian di bekas tambang batu yang disebutkan laki-laki tua itu, untuk
mengamat-amati burung hantu. Jack sangat suka melihat burung itu. Siapa tahu,
mungkin ia nanti bisa menangkap seekor yang masih kecil, lalu mencoba
menjinakkannya. Tapi ia harus berjaga-jaga, jangan sampai burung itu melihat
tikus pohon peliharaannya. Kalau itu sampai terjadi, habislah riwayat Penidur!
Setelah meminta diri dari kedua laki-laki itu, Jack dan Philip pergi untuk
melihat-lihat di sekitar kaki bukit. Tiba-tiba terdengar suara memanggil-
manggil mereka dari atas.
"Jack! Philip! kita akan pulang sekarang! Kalian ikut, atau akan menyusul
nanti?" "Kami datang!" seru Jack, lalu mendaki bukit bersama Philip, mendatangi yang
lain-lain. Gus sudah bangun lagi. Tapi tampangnya masam, ia meludah ke tanah.
"Ihh! Tahu adat sedikit dong!" kata Jack dengan jijik.
"Katanya, ada yang memasukkan rumput ke dalam mulutnya tadi, ketika ia sedang
enak-enak tidur," kata Dinah sambil tertawa geli. Kaukah yang melakukannya,
Jack?" "Tidak, bukan aku! Dan juga bukan Philip."
"Nah kau dengar sendiri, kan?" kata Dinah, sambil menoleh ke arah Gus. ?"Tidak ada yang memasukkan apa-apa ke dalam mulutmu. Itu cuma sangkaanmu
saja! Mungkin kau tadi mengunyah-ngunyah rumput, lalu tertelan."
"Tidak," kata Gus dengan ketus. "Itu perbuatan jakhat! Hampir saja aku mencekik
karenanya." "Tercekik, bukan mencekik!" kata Lucy-Ann membetulkan. "Tapi aneh tidak ada
"yang memasukkan sesuatu ke dalam mulutmu, tapi kau nyaris tercekik. Ih,
"sudah, jangan meludah- ludah terus."
Jack dan Philip saling melirik. Mereka tahu, siapa yang berbuat iseng
terhadap Gus. Anak itu melihat mereka saling melirik, lalu langsung mendamprat.
"Kalian tahu siapa yang melakukannya! Ayo, mengaku sajalah!"
"Baiklah, kami memang tahu," kata Jack. "Kami sendiri hampir saja melakukannya
pula. Habis, kau lucu sekali sih kelihatannya mendengkur dengan mulut
"ternganga lebar."
"Aku tidak mendengkur," bantah Gus. "Ayo katakan, siapa yang melakukan perbuatan
jahat itu." "Sudahlah," kata Bill menengahi. "Kurasa yang melakukannya pasti Kiki. Burung
iseng itu pernah berbuat serupa terhadap aku! Kau tidak bisa diajak bercanda,"ya!"
Tahu-tahu Gus berbicara dengan cepat sekali, dalam bahasanya sendiri. Mukanya
merah padam, karena marah, ia berdiri sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang
panjang. Kata-kata asing meluncur ke luar dari mulutnya. Semua memandangnya
dengan heran, karena tidak mengerti apa yang dikatakan olehnya.
Kiki sangat tertarik mendengarnya, ia hinggap ke bahu Jack yang berdiri di
samping Gus. Kiki menelengkan kepala, dengan sikap mendengarkan. Ketika Gus
berhenti sejenak untuk menarik napas, Kiki mulai mengoceh.
"Pracaspriciscascispaspusgusut kusut," oceh burung iseng itu dengan serius, lalu
menyambung dengan rentetan kata-kata yang ada artinya, dicampur dengan kata-
kata karangannya sendiri! Semua yang mendengarnya tertawa geli. Kiki seolah-
olah berbicara pada Gus dalam bahasanya sendiri. Gus memandang Kiki dengan
mulut ternganga. "ia berbahasa Inggris?" tanyanya dengan heran. "Apa yang dikatakannya?"
"Kiki mengoceh sama seperti kau tadi," jawab Jack. "Ayo diam, Kiki! Jangan sok
"aksi, ah!" Sementara itu Bill sudah lebih dulu menuruni bukit, bersama istrinya. Dinah
dan Lucy-Ann menyusul, sambil cekikikan. Gus memang menyebalkan. Tapi tingkah
lakunya sering juga menggelikan. Gus menyusul paling belakang, ia berjalan
sambil mengiraikan rambutnya yang panjang, dengan sikap membangkang. Sekali-
sekali ia asih meludah-ludah, karena rasanya seperti ada rumput di dalam mulut.
Kiki menirukan perbuatannya dengan asyik, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Sekitar
pukul setengah enam, mereka tiba kembali di Pondok Batu.
"Jika ada yang masih merasa lapar setelah makan sebanyak tadi, ambil saja
sendiri susu dan biskuit dari dapur," kata Bu Cunningham. "Juga masih ada kue
buah jika kalian lapar sekali."
"Kelima anak itu rupanya sangat lapar, karena piring yang berisi kue buah yang
besar dengan segera sudah licin tandas. Mereka juga menghabiskan persediaan
susu. Bu Cunningham terkejut.
"Sekarang tidak ada lagi susu untuk minuman coklat nanti malam, serta untuk
sarapan besok pagi," katanya.
"Biar sajalah," kata Bill. "Nanti malam kuambilkan dari tempat pertanian. Dengan
begitu ada alasan bagiku untuk ke sana, dan mengajukan beberapa pertanyaan
secara sambil lalu pada Bu Ellis."
"Ada misteri lagi, Bill?" tanya Dinah. "Siapa tahu, kan karena mungkin saja
"sambil berlibur, kau juga sedang menangani salah satu tugas rahasia."
"Ada misteri atau tidak, yang jelas Bill selalu bersikap waspada," kata Philip.
"Itu kan termasuk tugas ya, Bill?"
"Kita bermain kartu, yuk" ajak Dinah. "Mana kartu-kartu kita" kita bermain Lomba
Setan, ya" Kau tahu permainan itu, Gus?"
Gus mengangguk. "Ya, kami biasa melakukan permainan itu di asrama. Aku sudah
pandai. Bisa cepat sekali." ia berbuat seolah-olah sedang membagi-bagi Kartu
permainan. Geraknya begitu sibuk, sehingga rambutnya berulang kali jatuh
ke depan, menutupi mata. Dengan sikap tidak sabar, ia mendorong rambut
yang jatuh itu kembali ke belakang. Dalam sehari, paling sedikit ada seratus
kali ia melakukan gerakan itu. Dinah sampai sebal melihatnya.
"Ah, rambutmu itu!" serunya. "Kau ini pantasnya jadi anak perempuan saja, Gus!"
"Sudah jangan cari perkara lagi," kata Jack. "Dan kau jangan melotot "begitu, Gus! Lututku langsung gemetar, jika kaupelototi."
"Kau sinting," tukas Gus.
"Sinting," ulang Kiki dengan segera. "Sin-t ng, sintang, sintung!"
"Sudah, cukup!" kata Jack. Ditepuknya paruh Kiki. "Mana kartu-kartunya, Dinah"
Yuk, kita mulai saja sekarang."
Kelima anak itu duduk di lantai. Dengan segera mereka sudah asyik bermain
kartu. Kiki tidak memahami permainan itu. Jack melarangnya, ketika ia hendak
mengambil kartu-kartu yang bertebaran di lantai. Kiki pergi ke sudut kamar.
"Sintang!" ocehnya di situ. "Sintung! Sintingsintung!"
Gus ternyata sangat mahir bermain Lomba Setan. Tangannya sangat cekatan
mengambil kartu, dan menempatkannya di tempat-tempat yang menguntungkan, ia
bermain dengan penuh semangat, sampai napasnya terengah-engah. Rambutnya jatuh
lagi ke depan, menutupi mata. Tangannya bergerak, hendak menyibakkannya
lagi ke belakang. Jack memanfaatkan peluang itu. Dengan tenang ia meletakkan
sebuah kartu di tumpukan yang sudah diincar oleh Gus. Gus melihatnya, lalu
berteriak dengan kesal. "Aku tadi sudah hendak meletakkan kartuku di situ tapi terganggu rambutku!"
?"Kalau begitu kenapa tidak kau potong pendek saja?" tanya Dinah. "Dengan
rambut panjang, tampangmu seperti anak perempuan."
"Ya, betul kenapa tidak dipotong saja?" kata Philip. Diletakkannya kartu-
"kartunya ke lantai. "Besok kita ke desa, untuk melihat apakah di sana ada
tukang cukur. Kalau ada, kita potong saja rambutmu itu, Gus. Rambut panjang kan
cuma merepotkan saja."
"Ya, besok kita suruh potong saja rambutmu itu," sambut Jack. Kata-kata itu
ditanggapi oleh Gus dengan sikap yang tak tersangka-sangka, ia membanting
kartu-kartunya ke tanah, lalu berdiri dengan wajah merah padam.
"Rambut pendek memang cocok untuk anak-anak seperti kalian," katanya dengan
congkak, tapi untukku, tidak! Rambutku tidak boleh dipotong pendek. Di
negeriku, anak laki-laki seperti aku selalu berambut panjang!"
"Anak laki-laki seperti kau?" kata Jack mengulangi. "Apa lagi maksudmu" Kau
ini rupanya menganggap dirimu hebat, ya" Kau mungkin saja anak keluarga
kaya-raya tapi tingkah lakumu seperti anak raja! Jangan suka sok, ah! Kau kan
"bukan pangeran!"
Gus meluruskan sikap tegaknya. Sekali lagi disibakkannya rambutnya ke belakang.
"Aku ini pangeran!" katanya dengan sikap anggun. "Aku ini pangeran Aloysius
Gramondie Rasmolie Torquinel, dari negara Taurirlessia!"
Bab 8, PENJELASAN BILL Ruang duduk Pondok Batu langsung senyap. Tidak ada yang berbicara. Sampai-sampai
Kiki pun ikut terdiam. Semua memandang dengan heran ke arah Gus. Tidak ada yang
tahu, apakah kata- kata anak itu harus dipercaya atau tidak. Gus masih
berdiri, sambil menatap anak-anak yang duduk di lantai dengan mata berkilat-
kilat. Tapi tiba-tiba bibirnya bergetar. Gus merapatkannya kuat-kuat.
Kelihatannya seperti menahan tangis.
"Aku melanggar janji!" keluhnya dengan suara gemetar. "Aku ini pangeran, tapi
aku melanggar janjiku sendiri!"
Anak-anak begitu kaget, sehingga tidak tahu bahwa sementara itu Bill datang, ia
ikut mendengar kejadian itu. Kini ia melangkah maju, lalu menyapa Gus.
"Ya, kau melanggar janji, Aloysius Gramondie Rasmolie Torquinel," katanya dengan
suara galak. "Padahal pamanmu menjamin, kau takkan mungkin melanggar janji.
Bagaimana aku akan melindungimu, jika kau tidak bisa menepati janji?"
Anak-anak semakin melongo. Ada apa sebenarnya"
"Dia ini dia betul-betul pangeran, Bill?" tanya Jack tergagap-gagap. ?"Kalian boleh percaya atau tidak, tapi memang begitulah kenyataannya,"
jawab Bill. "ia keponakan raja Tauri-Hessia."
"Pantas tingkah lakunya aneh," kata Dinah. "Suka memerintah, suka meninggi,
dan uangnya begitu banyak."
"Itu pula sebabnya kenapa rambutnya panjang," kata Bill. "Para pangeran di
Tauri-Hessia, memang kebiasaannya berambut panjang. Itu merepotkan bagi Gus,


Lima Sekawan 07 Petualangan Di Sirkus Asing di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena di sekolah ia sering ditertawakan teman-temannya. Tapi mereka tahu
siapa dia. Karena itu mereka tidak sampai keterlaluan mengganggunya."
Anak-anak memandang Gus yang ternyata bernama Pangeran Aloysius dengan
" "perasaan ingin tahu. Dinah mendesah, ketika untuk sekian kalinya anak itu
menggerakkan kepalanya, melemparkan rambutnya ke belakang.
"Kau harus membuang kebiasaanmu itu Gus! Bagiku, kau akan tetap bernama Gussy
"karena namamu yang panjang itu tidak mungkin bisa kuingat. Allo Alloanu!"
?"Ya, ia memang harus tetap bernama Gus," Kata Bill dengan cepat. "Nama Gustavus
Barmilevo itu kuberikan padanya karena alasan tertentu. Saat ini keadaan di
negerinya sedang rawan. Hal itu menyebabkan ia harus tinggal untuk sementara
waktu di sini, dengan nama lain."
"Apa sih yang sedang terjadi di negaranya?" tanya Jack. "Ada revolusi, ya?"
"Soalnya begini," kata Bill. "Seperti kukatakan tadi, pamannya raja Tauri-
Hessia. Dan karena raja itu tidak punya anak, Gussy ini menjadi satu-satunya
ahli waris, ia putra mahkota kerajaan Tauri-Hessia. Di negeri itu ada
sekelompok orang yang tidak suka pada Raja, karena ia dianggap memerintah
dengan tangan besi. Padahal Raja sangat bijaksana dalam menjalankan roda
pemerintahan. Dan pemerintah negara kita mendukungnya."
"Dan semuanya ini diketahui oleh Gus?" tanya Philip.
"Ya," jawab Bill. "Semuanya sudah dijelaskan padanya. Gus menyayangi pamannya,
ia tidak ingin dijadikan boneka oleh musuh-musuh, yang bermaksud hendak
menaikkannya ke atas tahta, menggantikan sang paman. Jika Gus sudah menjadi
raja, mereka beranggapan akan bisa dengan mudah menyuruh-nyuruhnya. Sedang
pamannya akan ditangkap. Atau mungkin juga dibunuh! Jadi selama keadaan di
negerinya masih rawan, ia dititipkan di bawah pengawasanku. Tidak ada yang
boleh tahu, siapa dia sebenarnya. Bagi orang sini ia anak asing biasa saja,
bernama Gustavus Bar-milevo, yang bersekolah di sini."
"Dan sekarang aku melanggar janjiku," kata Gussy dengan murung. "Saya minta
maaf, Pak Bill!" "Kau tidak perlu minta maaf, asal kau tidak mengulangi kejadian seperti tadi
lagi," kata Bill. "Semua yang ada di sini, takkan membongkar rahasiamu.
Kami semua teman-temanmu. Atau lebih tepat dikatakan, kami ingin menjadi
temanmu, jika kau mau bersikap lebih pantas."
"Mulai sekarang aku akan bersikap pantas," kata Gus berjanji.
"Mudah-mudahan kau tidak lupa lagi," kata Bill. "Sebaiknya tingkah lakumu
seperti anak-anak yang lain, supaya jika ada orang yang memperhatikan kita,
kau akan disangka teman sekolah anak-anak, yang ikut berlibur dengan kami. Lagi
pula, selama ini kelakuanmu sama sekali bukan seperti pangeran, melainkan anak
kecil yang manja. Jika aku ini orang Tauri-riessia, aku pasti akan sedih
membayangkan akan punya raja seperti kau."
"Pemerintah manakah yang memintamu agar mengawasi Gussy, Bill?" tanya Dinah.
Pemerintah kita, atau pemerintah Tauri-Hessia?"
"Kedua-duanya," jawab Bill. "Mereka sama-sama berkepentingan, bahwa negeri itu
diperintah oleh seorang raja yang tegas dan adil. Saat ini aku belum bisa
memberi keterangan mengenai alasannya. Tapi kurasa kericuhan yang sedang
berlangsung di sana, dalam waktu beberapa minggu akan sudah bisa diatasi. Dan
selama itu Gussy harus disembunyikan di sini, bersama kita."
"Sekarang aku baru mengerti," kata Dinah. "Tapi kau sebenarnya harus langsung
memberi tahu kami tentang keadaan sebenarnya, Bill supaya kami bisa lebih "memahami kelakuan Gussy."
"Aku diperintahkan agar jangan bicara dengan siapa-siapa mengenai dia, kecuali
dengan ibumu," kata Bill. "Kalau ibumu, ia tentu saja perlu diberi tahu. Aku
sengaja menyewa rumah ini untuk tempat kita berlibur, karena letaknya terpencil.
Gus kuajak ikut kemari, karena di sini ia paling aman di tengah-tengah
"kalian. Di sini ia tidak akan terlalu menyolok, karena ada kalian."
"Anda memang bijaksana, Bill," kata Lucy-Ann. Dipegangnya tangan Bill.
"Kami semua akan membantu menjaga Gus. Gussy, kami semua teman-temanmu."
"Terima kasih," kata Gus. ia membungkuk sedikit, dengan gaya yang
kocak. "Itu merupakan kehormatan bagiku."
"Nah begitu dong," kata Bill, sambil menepuk bahu Gus. "Sekarang segala-
"galanya yang baru saja kalian dengar tentang Pangeran Aloysius Gramondie dan
Tauri-Hessia, harus kalian lupakan lagi. Mengerti?"
"Ya, Bill!" Anak-anak mengangguk dengan sikap bersungguh-sungguh. Aneh rasanya,
di tengah- tengah permainan Lomba Setan, dengan tiba-tiba mendengar
penjelasan mengenai masalah yang begitu serius dan luar biasa. Dengan
perasaan lega mereka kembali menyibukkan diri dengan permainan yang tadi
terputus. Sementara itu Bill meninggalkan ruangan, untuk menceritakan kejadian itu pada
istrinya. "Aduh, lihatlah apa yang dilakukan oleh Kiki sementara kita tadi berembuk,"
"kata Jack dengan kesal. "Habis kartu-kartu kita diacak-acak! Letakkan kembali
kartu-kartu yang kau pegang itu, Kiki!"
"ia main kartu sendirian," kata Lucy-Ann ambil tertawa, "ia memegang dua lembar
kartu, persis seperti kita, menunggu gilirannya main. Letakkan kartu-kartu itu,
Kiki!" "Satu, dua, tiga, enam, empat, satu," kata Kiki. Seperti biasa, ia keliru
menyebutkan urut urutan angka. "Satu,dua, empat, pakai sepatu."
"Empat, satu, pakai sepatu, Kiki," kata Lucy-Ann. "Kau ngaco, ah!"
Kiki menirukan suara orang tersedak, ia sering berbuat begitu, jika merasa
melakukan kekeliruan. "Cukup, Kiki," kata Jack. "Ada yang masih ingin meneruskan permainan kita?"
Ternyata tidak ada. Anak-anak ingin meneruskan pembicaraan tentang keterangan
Bill tadi. Tapi mereka tidak mau merembukkannya di depan Gus. Saat itu kepala
Bu Cunningham tersembul dari balik pintu.
"Bill hendak pergi ke pertanian untuk mengambil susu. Ada yang ingin ikut" Tapi
Gussy lebih baik jangan, kata Bill."
"Aku ikut," kata Lucy-Ann sambil berdiri. "Kalian lebih baik tinggal saja, Jack
dan Philip, untuk melindungi Bibi Allie."
Jack dan Philip setuju. Meskipun negeri Tauri-Hessia jauh letaknya, tapi
keduanya merasa perlu bersikap waspada.
"Aku juga tidak ikut," kata Dinah. "Telapak kakiku melepuh."
Jadi hanya Lucy-Ann saja yang ikut dengan Bill. Anak itu merasa berbahagia,
karena bisa seorang diri menemaninya. Bill selalu riang dan jenaka jika bergaul
dengan anak-anak. Tapi jika hanya seorang diri saja dengan dia, Bill lebih
ramah lagi. Begitulah perasaan Lucy-Ann. Mereka berjalan bergandengan tangan.
Sementara itu di luar sudah mulai gelap.
"Kita jangan berbicara tentang Gus," kata Bill dengan suara pelan. "Kita harus
sangat berhati- hati. Orang lain tidak ada yang boleh tahu, siapa Gus
sebenarnya, ia akan banyak mengalami kesulitan, apabila dalam umurnya sekarang
ini diangkat menjadi raja."
"Aku takkan mengatakan apa-apa mengenai dia," balas Lucy-Ann sambil berbisik.
"Kita berbicara saja tentang Jack."
"Kau ini rupanya tidak pernah bosan membicarakan abangmu itu, ya?" kata
Bill sambil tersenyum. "Menurutku, ia memiliki sesuatu yang juga ingin sekali kumiliki."
"Apa itu" Kiki?" tanya Lucy-Ann.
"Bukan, bukan Kiki. Seorang adik perempuan yang manis dan baik hati," kata
Bill. Senang rasanya melihat dua orang kakak-adik yang begitu sayang-
menyayangi, seperti kalian berdua."
"Kurasa itu karena orang tua kami sudah meninggal ketika kami masih kecil-
keciL," kata Lucy-Ann sambil merenung. "Waktu itu kami cuma berdua saja. Tapi
sekarang kami punya Anda, Bibi Allie, dan begitu pula Dinah dan Philip. Kami
ini beruntung!" "Aku pun merasa beruntung, mendapat sekaligus satu keluarga yang lengkap,"
kata Bill. Eh, ngomong-ngomong, kita sudah hampir sampai. Kau ikut masuk,"Lucy-Ann. Tapi jangan ikut bicara. Biar aku saja yang berbicara dengan Bu
Kisah Dewi Kwan Im 1 Fear Street - Cewek Kaya The Rich Girl Kuman Pengacau Rachel 2
^