Pencarian

Beraksi Kembali 2

Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali Bagian 2


di mana pohon-pohon umumnya kehilangan daunnya, tumbuh-tumbuhan holly tetap
berdaun hijau. Holly banyak dipakai sebagai perhiasan Natal di negeri-negeri
berbahasa Inggris. "Wah, kalian kelihatannya begitu semarak, seperti dalam kartu Natal," ujar Bibi
Fanny ketika melihat mereka berlima datang lewat jalan kebun sambil memanggul
ranting-ranting holly. Pak Guru Roland menemukan sekelompok pohon yang ada
tumbuhan mistletoe-nya di dahan-dahan teratas. Mistletoe adalah semacam tumbuhan
benalu, dan dipakai sebagai penghias pintu dan jendela di rumah-rumah orang
Kristen waktu Natal. Tumbuhan itu juga mereka bawa ke rumah. Buahnya berkilat-
kilat seperti mutiara berwarna hijau muda. Bagus sekali!
"Pak Guru harus memanjat pohon untuk mengambilnya," kata Anne. "Ia pintar
memanjat - seperti kera."
Semua yang mendengarnya tertawa, kecuali George. Anak itu tak mau tertawa
mengenai hal-hal lucu yang berhubungan dengan guru pembimbing. Tumbuh-tumbuhan
yang dibawa mereka onggokkan di serambi depan, lalu mereka masuk untuk mencuci
tangan. Malamnya mereka akan menghias rumah.
"Apakah Paman akan mengijinkan kamar kerjanya dihiasi?" tanya Anne. Ruangan itu
penuh dengan berbagai macam alat yang serba aneh serta tabung-tabung gelas.
Kalau anak-anak sekali-sekali masuk ke situ, mereka selalu memandang segala
peralatan ajaib itu sambil tercengang-cengang.
"Tidak, kamar kerjaku tak boleh diusik-usik," kata Paman Quentin dengan segera.
"Aku tak membolehkannya."
"Paman, kenapa dalam kerja banyak peralatan yang aneh-aneh itu?" tanya Anne
dengan mata terbuka lebar-lebar. Paman Quentin tertawa mendengar pertanyaan
keponakannya yang kocak itu.
"Aku sedang mencari suatu rumus rahasia!" katanya.
"Apa itu?" tanya Anne lagi.
"Kau takkan bisa mengerti," kata pamannya. "Semua peralatan yang kaukatakan
aneh-aneh ini membantu mengadakan berbagai percobaan. Hasil yang didapat kucatat
dalam bukuku. Dan dari hasil penelitianku aku akan bisa menyusun suatu rumus
rahasia. Rumus itu jika sudah siap, akan besar sekali manfaatnya."
"Paman ingin menemukan suatu rumus rahasia, dan kami ingin mengetahui suatu
jalan rahasia," kata Anne. Anak itu lupa bahwa ia sama sekali tak boleh
mengatakan soal itu pada orang lain.
Saat itu Julian sedang berdiri di pintu. Ia memandang Anne dengan wajah masam.
Untung saja Paman Quentin tak begitu memperhatikan Anne berceloteh. Dengan cepat
Julian menariknya ke luar kamar.
"Anne, satu-satunya cara supaya kau tidak bisa membuka rahasia adalah menjahit
mulutmu," kata Julian dengan marah pada adiknya.
Joanna, juru masak, sibuk membuat kue-kue untuk hidangan Natal. Suami isteri
petani tua yang tinggal di Kirrin Farm mengirimi seekor ayam kalkun yang besar
dan sudah dipotong. Kalkun itu disimpan dalam sepen. Hidung Tim mencium bau
daging enak, dan Joanna terpaksa sibuk mengusirnya dari dapur. Di atas rak dalam
kamar duduk disimpan kue-kue kering berkotak-kotak. Di mana-mana tersembunyi
berbagai bungkusan yang kelihatannya terselubung rahasia. Suasana di rumah itu
saat itu benar-benar bernapaskan perayaan Natal. Anak-anak merasa bahagia dan
asyik. Pak Guru Roland pergi ke kebun dan mencabut sebatang pohon cemara yang masih
muda. "Kita harus memasang pohon Natal," katanya. "Kalian mempunyai perhiasan pohon?"
"Tidak," kata Julian, ketika melihat George menggeleng.
"Sore ini aku akan ke kota untuk membelinya," kata Pak Guru menjanjikan.
"Menghias pohon Natal merupakan pekerjaan yang menyenangkan. Kita memasangnya di
serambi dalam, lalu kita nyalakan lilin-lilinnya pada Hari Natal sesudah saat
minum teh. Ayoh, siapa mau ikut membeli lilin dan perhiasan pohon?"
"Saya! Saya! Saya!" seru Julian dan kedua adiknya berebut-rebut. Tetapi George
tetap membisu. Dia benar-benar keras kepala! Tak mau ikut dengan Pak Guru, biar
diajak melakukan sesuatu yang asyik, yaitu membeli perhiasan untuk pohon Natal.
George sebelumnya tak mengenal pohon Natal. Dan sebenarnya ia sangat ingin
melihat seperti apa pohon itu. Tetapi keinginannya dirusak, karena Pak Guru
Roland yang membeli benda-benda penghiasnya, yang membuat pohon cemara biasa
menjadi semarak. Akhirnya selesailah pohon Natal yang dipasang di serambi dalam. Lilin-lilin
berwarna-warni terpasang pada tempatnya di ranting-ranting, sedang daun-daunnya
yang hijau penuh bertaburan dengan hiasan yang berkilau-kilauan. Benang perak
menjulur ke bawah dari ranting-ranting, nampaknya seperti tetesan embun yang
membeku. Anne meletakkan gumpalan-gumpalan kapas di sana sini, supaya kelihatan
seperti salju. "Indah sekali," ujar Paman Quentin yang kebetulan lewat ketika Pak Guru sedang
memasang perhiasan pohon yang terakhir. "Eh - ada boneka bidadari di atas pohon!
Untuk siapa itu" Seorang anak perempuan yang manis?"
Dalam hati Anne berharap, semoga boneka itu akan dihadiahkan Pak Guru Roland
kepadanya. Ia merasa pasti, boneka itu takkan diberikan pada George - lagipula
George pasti tak mau menerimanya. Boneka itu cantik sekali, dengan gaun renda
yang tipis serta sayap kemilau keperak-perakan.
Sementara itu Julian beserta kedua adiknya sudah bisa menerima Pak Guru Roland
sebagai guru, dan juga selaku teman. Sebetulnya semua suka padanya: Paman
Quentin, Bibi Fanny, dan juga Joanna - juru masak. Tentu saja George masih tetap
merupakan kekecualian. Ia dan Tim masih selalu menjauhi Pak Guru. Keduanya
langsung berwajah cemberut, begitu Pak Guru masuk ke kamar di mana mereka
berada. "Aku belum pernah tahu bahwa anjing bisa bermuka masam!" kata Julian sambil
memperhatikan Tim. "Wah, cemberutnya sama seperti George!"
"Dan aku selalu mendapat kesan seolah-olah George ikut menjepitkan buntutnya di
sela kaki seperti Tim, apabila Pak Guru ada dalam ruangan," kata Anne sambil
cekikikan. "Ya, tertawa sajalah," kata George menggumam. "Kalian jahat terhadapku. Aku
mempunyai perasaan aneh terhadapnya. Tim juga begitu."
"Ah George, kau ini konyol," ujar Dick. "Kau sebenarnya tak mempunyai perasaan
aneh. Soalnya hanya karena Pak Guru masih tetap menyapamu dengan nama Georgina,
serta bersikap tegas terhadapmu. Lagipula ia tak suka pada Tim. Kurasa ia
sendiri tak bisa mengubah kenyataan bahwa ia tak suka pada anjing. Misalnya
saja, ada seorang tersohor bernama Lord Roberts - ia benci pada kucing."
"Kalau kucing kan lain," kata George. "Tapi jika ada orang tak suka anjing,
apalagi anjing seperti Tim, maka pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan orang
itu!" "Ah, tak ada gunanya berdebat dengan George," ujar Julian. "Kalau dia sudah
sekali mempunyai pendapat tentu, tidak bisa diajak bicara lagi."
George keluar dari ruangan itu dengan marah. Menurut pendapat ketiga saudaranya,
kelakuannya seperti anak kecil.
"Aku heran melihatnya," ujar Anne. "Ia periang sekali selama di sekolah. Dan
sekarang tahu-tahu ia aneh, persis seperti waktu kita untuk pertama kali
berjumpa dengannya waktu musim panas yang lalu."
"Pak Guru Roland baik sekali, mau memasang pohon Natal dan mengurus
perhiasannya," kata Dick. "Kadang-kadang aku juga kurang senang padanya, tapi
harus kuakui bahwa orangnya baik sekali. Bagaimana jika kita tanyakan padanya,
apakah dia bisa menafsirkan arti kata-kata yang tertera di kain tua kita itu.
Aku tak keberatan apabila dia mengetahui rahasia kita."
"Aku senang bila ia boleh mengetahuinya," kata Anne. Anak itu sedang sibuk
membuat kartu Natal yang sangat bagus untuk Pak Guru yang disukainya itu. "Ia
sangat pintar. Aku yakin, ia akan bisa mengatakan apa sebetulnya 'Jalan Rahasia'
itu. Kita tanyakan saja padanya."
"Baiklah," kata Julian. "Akan kutunjukkan kain tua kita padanya. Malam ini Malam
Kudus. Pak Guru akan duduk bersama kita di ruang duduk, karena Bibi Fanny ada di
kamar kerja bersama Paman Quentin. Mereka berdua sibuk membungkus hadiah-hadiah
yang diperuntukkan bagi kita semua."
Malam itu, sebelum Pak Guru masuk ke ruangan, Julian mengambil kain linen yang
masih tergulung dan membentangkannya di atas meja. George memandang secarik kain
itu dengan heran. "Sebentar lagi Pak Guru datang," katanya. "Lebih baik kausembunyikan kain itu
cepat-cepat!" "Kami hendak menanyakan padanya, apakah ia bisa menterjemahkan kata-kata yang
tertulis dalam bahasa Latin ini," kata Julian.
"Apa?" tanya George kaget. "Kau hendak menceritakan rahasia kita padanya"
Kenapa?" "Kita kan ingin mengetahui rahasianya," jawab Julian. "Kita tak perlu
menceritakan di mana kita menemukannya. Kita tak perlu mengatakan apa-apa,
kecuali menanyakan makna tulisan-tulisan dan tanda-tanda ini. Kita bukan hendak
mengajaknya bersama-sama mempunyai rahasia! Kita hanya akan meminta bantuan
kecerdasannya." "Aku tak pernah berniat hendak meminta bantuan padanya," ujar George. "Coba
lihat saja nanti, pasti ia akan ingin mengetahui segala-galanya. Ia selalu ingin
tahu." "Apa maksudmu?" kata Julian kaget. "Aku sama sekali tak mendapat kesan bahwa ia
orang yang ingin tahu urusan orang lain."
"Kemarin aku melihatnya mengintip-ngintip sekitar kamar kerja yang saat itu
sedang kosong," kata George. "Ia tak melihat aku di luar bersama Tim. Aku
melihatnya lewat jendela. Sibuk sekali ia di kamar kerja Ayah."
"Kau sendiri mengetahui, Pak Guru sangat tertarik pada pekerjaan ayahmu," kata
Julian. "Jadi kenapa ia tak boleh melihatnya" Ayahmu juga senang padanya. Kau
cuma mengada-ada saja, supaya bisa menjelek-jelekkan Pak Guru."
"Ah, kalian berdua bisanya cuma bertengkar terus. Tutup mulut!" kata Dick
memarahi. "Sekarang kan Malam Kudus."
Saat itu Pak Guru masuk. "Nah, semua sedang sibuk?" katanya sambil tersenyum. "Apakah terlalu sibuk,
sehingga tak sempat main kartu?"
"Pak, bolehkah kami minta tolong sedikit?" tanya Julian. "Kami mempunyai secarik
kain linen yang sudah tua umurnya. Di atasnya tertera tanda-tanda aneh. Kata-
katanya kelihatan seperti bahasa Latin. Kami tak bisa menterjemahkannya."
George berseru marah ketika melihat Julian menyodorkan kain linen yang tua ke
dekat Pak Guru. Dengan segera ia bangkit, lalu pergi ke luar ruangan. Pintu
dibantingnya keras-keras. Tim ikut keluar.
"Wah! Georgina yang manis, malam ini sedang tidak ramah!" ujar Pak Guru sambil
menarik kain itu ke dekatnya. "Di mana kalian mendapatnya" Aneh benar!"
Anak-anak tak ada yang menjawab. Pak Guru mempelajari tanda-tanda yang tertera
di kain itu. Tiba-tiba ia berseru,
"Ah, sekarang aku tahu kenapa kalian ingin mengetahui arti kata-kata Latin yang
kalian tanyakan waktu itu! Maksudku kata-kata yang berarti 'Lorong Rahasia'. Ini
dia, tertulis di sebelah atas gulungan ini."
"Ya," jawab Dick. Anak-anak duduk agak merapat. Mereka berharap, semoga Pak Guru
bisa membantu dan menemukan pemecahan rahasia tanda-tanda itu.
"Kami cuma ingin mengetahui makna kata-katanya, Pak," kata Julian.
"Ini benar-benar menarik," ujar Pak Guru Roland. Ia memperhatikan secarik kain
itu dengan kening berkerut. "Rupa-rupanya di sini tertera petunjuk-petunjuk
untuk menemukan lubang atau tempat masuk ke sebuah lorong atau jalan rahasia."
"Memang begitu sangkaan kami!" seru Julian bergairah. "Tepat begitulah sangkaan
kami! Pak, tolonglah bacakan petunjuk-petunjuk itu. Bisakah Anda menafsirkan
maknanya?" "Yah - kurasa kedelapan bujur sangkar ini merupakan gambar papan-papan kayu,"
kata guru pembimbing sambil menunjuk ke kedelapan bujur sangkar yang tergambar
di atas kain. "Tunggu sebentar - susah sekali membaca kata-kata ini, karena
tulisannya sudah pudar. Benar-benar mengasyikkan! 'Solum lapideum' - 'paries
ligneus' - dan yang ini - 'cel-lu-la' - ya, betul, 'cellula'!"
Anak-anak mendengarkan dengan asyik. 'Papan kayu'. Rupanya yang dimaksudkan
papan-papan pelapis dinding, di salah satu ruangan di Kirrin Farm.
Pak Guru Roland memperhatikan kata-kata dalam bahasa Latin yang sudah hampir tak
kelihatan lagi tulisannya di atas kain itu. Kemudian disuruhnya Anne meminjam
kaca pembesar pada Paman Quentin. Dengan segera anak perempuan itu kembali
dengan membawa alat yang diperlukan. Mereka berempat mengamat-amati tulisan
melalui kaca pembesar. Sekarang kelihatannya tiga kali lebih besar!
"Yah," ujar Pak Guru pada akhirnya. "Yang bisa kutafsirkan dari kata-kata
petunjuk di kain ini adalah: sebuah kamar menghadap ke timur; delapan papan
kayu, satu di antaranya yang diberi tanda silang bisa dibuka; lantai batu - ya,
kurasa arti kata ini memang lantai batu. Lalu sebuah lemari besar. Sangat ajaib
dan mengasyikkan! Di mana kalian mendapatnya?"
Sesaat tak ada yang menjawab.
"Ah, kami menemukannya di suatu tempat," jawab Julian sesudah itu. "Terima kasih
banyak, Pak Guru. Kami sendiri takkan pernah berhasil menafsirkannya. Jadi
mestinya tempat masuk ke Jalan Rahasia terdapat dalam kamar yang menghadap ke
timur." "Kelihatannya begitu," ujar Pak Guru sambil memperhatikan kain tua itu sekali
lagi. "Di mana katamu kalian menemukannya?"
"Kami tak mengatakan di mana," jawab Dick. "Sebetulnya ini rahasia."
"Kurasa kalian bisa saja mengatakannya padaku," kata Pak Guru sambil menatap
Dick dengan matanya yang biru berkilauan. "Aku bisa dipercayai menyimpan
rahasia. Wah, kalau kalian tahu berapa banyak rahasia yang kusimpan."
"Yah, kenapa Anda tak boleh tahu di mana kami menemukannya," ujar Julian
mengalah. "Di Kirrin Farm, dalam sebuah kantong tempat tembakau. Saya rasa Jalan
Rahasia berawal di salah satu tempat dalam rumah itu. Soalnya sekarang di mana,
dan ke mana arahnya?"
"Apa" Kalian menemukannya di Kirrin Farm"!" seru Pak Guru. "Wah, rupanya rumah
tua itu menarik sekali. Kapan-kapan aku mau ke sana."
Julian menggulung kain itu kembali, lalu memasukkannya ke dalam kantong.
"Terima kasih, Pak," katanya. "Anda telah memecahkan suatu rahasia yang
memusingkan kepala kami selama ini. Tapi dengannya timbul rahasia baru! Sehabis
Natal kami akan mencari tempat masuk ke Jalan Rahasia itu, kalau kami berkunjung
lagi ke Kirrin Farm."
"Aku ikut," kata Pak Guru Roland. "Barangkali saja aku bisa membantu. Itu jika
kalian tak keberatan!"
"Yah - Anda sudah membantu kami menafsirkan arti kata-kata tadi," kata Julian.
"Jadi kalau Anda ingin, bisa saja ikut dengan kami."
"O ya," sambung Anne.
"Kalau begitu kita akan bersama-sama mencari Jalan Rahasia," kata Pak Guru
Roland. "Kita akan asyik mengetuk-ketuk papan kayu, dengan harapan semoga tiba-
tiba menganga sebuah lubang tempat masuk yang gelap!"
"Kurasa George tidak akan mau ikut," kata Dick berbisik pada abangnya. "Kau tadi
sebenarnya tak boleh mengijinkan Pak Guru ikut, Julian. Dengan begini George
akan tersisih. Kau tahu ia tak suka disisihkan."
"Aku tahu," jawab Julian. Ia merasa kurang enak. "Tapi kita tak perlu repot-
repot memikirkan hal itu sekarang. Barangkali saja sehabis Natal, kelakuan
George akan berubah. Dia kan tak bisa terus-terusan merajuk seperti sekarang!"
VIII APA YANG TERJADI MALAM ITU"
ASYIK sekali anak-anak pada hari Natal. Mereka bangun pagi-pagi sekali. Bergegas
turun dari tempat tidur, dan mendatangi kursi-kursi yang tak jauh dari situ
untuk melihat hadiah-hadiah yang bertumpuk di atasnya. Anak-anak berseru-seru
dan menjerit-jerit karena girang.
"Wah, sebuah stasiun kereta api! Memang ini yang kuidam-idamkan. Siapa yang
kiranya memberikan padaku?"
"Sebuah boneka - yang matanya bisa terbuka dan terpejam! Akan kuberi nama Betsy
padanya." "Aduh, hebat buku ini - tentang pesawat terbang. Dari Bibi Fanny! Baik benar
dia." "Tim! Lihatlah apa yang dihadiahkan Julian untukmu. Kalung dengan paku-paku
tembaga. Wah, akan gagah kau memakainya. Ayoh, bilang terima kasih padanya!"
"Nah, dari siapa lagi hadiah ini" He, siapa yang memberi hadiah ini untukku"
Mana kartunya" O, dari Pak Guru Roland. Baik sekali ia itu. Lihat Julian, aku
dihadiahi pisau saku dengan tiga mata pisau!"
Begitulah anak-anak ribut berseru-seru menyatakan kegirangan mereka menerima
hadiah. Sejam lamanya mereka sibuk membuka bungkusan-bungkusan yang beraneka
macam bentuknya. Kedua kamar tidur anak-anak penuh dengan kertas-kertas
berserakan! "Siapa yang memberi buku tentang anjing itu, George?" tanya Julian. Ia melihat
sebuah buku yang bagus dengan gambar anjing di atas tumpukan hadiah kepunyaan
George. "Pak Guru Roland," jawab George singkat. Julian kepingin tahu, apakah George
akan mau menerimanya. Menurut perasaannya, anak itu akan menolak. Tetapi walau
ia keras kepala dan suka melawan, namun George kali itu membulatkan tekat untuk
tidak merusak suasana Hari Natal yang damai. Karena itu ketika anak-anak datang


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke Pak Guru untuk mengucapkan terima kasih mereka atas pemberian hadiah, George
juga tak ketinggalan. Ia juga mengucapkan terima kasih, meski dengan suara pelan
dan sikap agak kaku. George sama sekali tidak memberikan hadiah pada Pak Guru. Tetapi ketiga saudara
sepupunya tak melupakan guru pembimbing itu. Pak Guru menyatakan terima kasihnya
dengan ramah. Kelihatannya ia sangat senang menerima hadiah-hadiah itu.
Dikatakannya pada Anne bahwa belum pernah ia menerima kartu Natal sebagus yang
dibuat anak itu. Anne memandangnya dengan wajah berseri-seri.
"Wah, benar-benar senang rasanya saya di sini pada waktu Natal ini!" ujar Pak
Guru, ketika mereka duduk beramai-ramai menghadapi meja makan yang penuh dengan
hidangan istimewa Hari Natal. Mereka akan makan siang.
"Bolehkah saya membantu memotong daging, Tuan Quentin" Saya pintar memotong."
Paman Quentin menyerahkan pisau pemotong beserta garpu pemegang daging pada Pak
Guru. Ia merasa lega, karena memotong daging memang bukan pekerjaan yang terlalu
mudah. Artinya memotong dengan cara yang baik!
"Kehadiran Anda di sini menyenangkan," kata Paman dengan hangat. "Menurut
pendapatku Anda bisa menyesuaikan diri dengan baik, dan rasanya Anda seperti
sudah kami kenal lama!"
Hari Natal itu benar-benar menggembirakan. Tentu saja hari itu anak-anak tidak
belajar. Begitu pula pada hari berikutnya. Anak-anak mencurahkan seluruh
perhatian mereka pada makanan enak yang berlimpah ruah, makan permen, dan
menanti-nanti saat penyalaan Pohon Natal.
Pohon itu kelihatan indah sekali ketika lilin-lilin yang terpasang di ranting-
rantingnya sudah dinyalakan. Cahayanya berkelip-kelip semarak dalam ruang
serambi yang remang-remang. Perhiasannya berkilau-kilauan memantulkan cahaya
lilin. Tim duduk di depan pohon, tak henti-hentinya menatap seperti kena sihir.
"Tim juga asyik, seperti kita," ujar George. Dan memang, anjing itu menikmati
hari bahagia tersebut. Sama seperti anak-anak.
Menjelang saat tidur, anak-anak sudah capek sekali.
"Tak lama lagi aku pasti akan sudah tertidur," kata Anne sambil menguap lebar-
lebar. "Wah George - menyenangkan sekali hari ini, ya" Aku senang sekali melihat
Pohon Natal!" "Ya, memang indah," ujar George sambil meloncat masuk ke tempat tidur. "Nah, Ibu
datang untuk mengucapkan selamat tidur. Ayoh Tim, masuk ke keranjang!"
Dengan segera Tim masuk ke keranjang tempat tidurnya dekat jendela. Anjing itu
selalu berada di tempat itu apabila Bibi Fanny masuk untuk mengucapkan selamat
tidur pada George dan Anne. Tetapi begitu ia ke luar lagi, dengan segera Tim
lari ke bawah tempat tidur George. Dan memang di situlah ia tidur, dekat ke kaki
tuannya. "Apakah tidak lebih baik jika malam ini Tim tidur di luar saja?" tanya ibu
George. "Kata Joanna, Tim akan makan banyak sekali di dapur. Jangan-jangan dia
nanti sakit perut!" "Ah, jangan Bu!" seru George membantah. "Tim harus tidur di bawah, pada malam
perayaan Natal" Tidak enak dong perasaannya!"
"Ya, baiklah," kata ibu sambil tertawa. "Sudah bisa kutebak bahwa kau pasti tak
setuju. Sekarang kalian cepatlah tidur! Malam sudah larut, dan kalian pasti
sudah sangat lelah."
Sesudah itu Bibi Fanny pergi ke kamar anak laki-laki, untuk mengucapkan selamat
tidur pada Julian dan Dick. Kedua anak itu sudah hampir tertidur sewaktu ia
masuk. Dua jam kemudian seisi rumah sudah berada di tempat tidur masing-masing. Rumah
itu sepi dan gelap. George dan Anne tidur nyenyak di tempat tidur masing-masing.
Tim juga sudah terlelap di bawah pembaringan George.
Tetapi tiba-tiba anak itu terjaga. Ia kaget, karena mendengar suara Tim
menggeram. Tidak keras-keras, tetapi cukup untuk membuat tuannya terbangun.
Anjing itu duduk dengan kepala ditegakkan. George tahu bahwa anjingnya itu
sedang menajamkan telinga. Ia mendengar bunyi yang mencurigakan"
"Ada apa, Tim?" bisik George. Anne masih tetap tidur dengan nyenyak. Tim masih
terus menggeram. George duduk di tempat tidur. Dipegangnya kalung leher
anjingnya, agar jangan menggeram lagi. Ia khawatir kalau ayahnya terbangun.
Kalau Paman Quentin terbangun, pasti akan marah!
Tim berhenti menggeram, karena tuannya sudah bangun. George masih tetap terduduk
di tempat tidur. Ia tak tahu, apa yang harus dikerjakannya. Tak ada gunanya
membangunkan Anne, karena anak itu hanya akan ketakutan saja. Apa sebabnya Tim
menggeram" Belum pernah ia melakukannya pada waktu malam!
"Mungkin lebih baik aku turun saja ke bawah untuk memeriksa," pikir George. Ia
bukan anak yang penakut. Untuknya sama sekali tidak seram, menyelinap dalam
rumah yang gelap dan sunyi. Lagipula kan ada Tim mendampingi! Untuk apa takut,
jika ditemani anjing sebesar itu.
George mengenakan mantel kamarnya, karena hawa dingin. Piama kurang hangat, jadi
ia tak mau berkeliaran di luar dengan berpakaian itu saja.
"Barangkali ada kayu bakar yang jatuh dari perapian, dan membakar permadani yang
terletak di depan tempat pediangan," pikir George. Ia mencium-cium sambil
menuruni tangga rumah, mencari bau kebakaran. "Barangkali Tim mencium bau
kebakaran, lalu menggeram untuk memperingatkan ada bahaya!"
George menyelinap melewati serambi dalam, menuju ke ruang duduk. Tangannya
diletakkan di kepala anjingnya, supaya ia jangan ribut. Ternyata api di
pediangan kamar duduk tidak apa-apa. Nyalanya sudah redup, tinggal bara saja
yang nampak. Keadaan di dapur juga beres. Kuku kaki Tim menimbulkan bunyi
berketik-ketik ketika berjalan di lantai yang berlapis linoleum di situ.
Kemudian mereka mendengar sesuatu bunyi yang datangnya dari seberang rumah. Tim
menggeram dengan keras. Bulu tengkuknya berdiri. George tegak seperti terpaku di
tempatnya. Mungkinkah ada pencuri yang masuk"
Tiba-tiba Tim merengatkan diri dari pegangan George. Anjing itu berlari
melintasi serambi dalam, melewati sebuah lorong dan langsung masuk ke kamar
kerja yang terletak di seberangnya! George mendengar suara orang berseru kaget,
dan setelah itu bunyi seolah-olah ada orang atau barang jatuh ke lantai.
"Ada pencuri!" kata George pada dirinya sendiri. Dengan segera ia lari ke kamar
kerja ayahnya. Dilihatnya ada senter yang masih menyala terletak di lantai.
Rupanya senter itu terjatuh dari tangan orang yang saat itu sedang bergulat
melawan Tim. Dengan segera George menyalakan lampu kamar. Apa yang dilihatnya dalam ruang
kerja itu, menyebabkan ia tercengang-cengang. Pak Guru Roland berguling-guling
di lantai, berusaha membebaskan diri dari serangan Tim. Anjing itu tidak
menggigitnya, tetapi menarik-narik mantel kamar yang dikenakan oleh Pak Guru
itu. "Ah, kau yang datang, George! Suruh anjingmu ini melepaskan mantel kamarku,"
ujar Pak Guru Roland dengan pelan tetapi bernada marah. "Kau mau seisi rumah
terbangun?" "Kenapa Pak Guru menyelinap di sini dengan membawa senter?" tanya George dengan
tegas. "Aku tadi mendengar bunyi yang mencurigakan di sini. Lalu aku ke mari, hendak
memeriksa," jawab Pak Guru sambil duduk. Tangannya dilambai-lambaikan untuk
menjauhkan Tim yang sedang marah. "Suruh anjingmu ini pergi!"
"Kenapa Pak Guru tadi tidak menyalakan lampu?" tanya George lagi. Ia sama sekali
tak berniat akan menyuruh Tim melepaskan gigitannya pada mantel kamar orang itu.
Ia bahkan senang melihat Pak Guru Roland marah-marah dan ketakutan.
"Aku tak berhasil menemukan sakelarnya," jawab orang itu. "Letaknya di tempat
yang salah." Katanya memang benar. Bagi orang yang belum tahu, sakelar lampu kamar itu tidak
gampang ditemukan. Tiba-tiba Tim menggonggong dengan nyaring, karena ditolakkan
oleh Pak Guru. "Nah! Sekarang terbangun seisi rumah!" ujar Pak Guru dengan marah. "Padahal aku
tadi hati-hati sekali, supaya tak ada yang terganggu. Kukira aku bisa memeriksa
sendiri, apakah ada orang masuk ke mari - misalnya saja pencuri! Ini ayahmu
datang!" Paman Quentin muncul sambil menggenggam sebatang besi pengatur api di tangannya.
Ia tertegun ketika melihat Pak Guru terbaring di lantai, dijaga oleh Tim yang
menggeram-geram. "Ada apa ini?" katanya dengan suara keras. Pak Guru Roland berusaha hendak
bangkit, tetapi seketika itu juga geraman Tim menjadi lebih galak. Paman Quentin
memanggilnya dengan garang.
"Tim! Ayoh, ke mari!"
Tim memandang ke arah George. Ia ingin tahu, apakah tuannya menyetujui perintah
Paman Quentin. Tetapi George diam saja. Karenanya Tim juga tak mempedulikan
perintah itu. Ia bahkan menyambar dengan gigi-giginya yang runcing ke arah
pergelangan kaki Pak Guru.
"Anjing ini sudah edan!" teriak Pak Guru ketakutan. Ia masih tetap terkapar di
lantai. "Aku sudah pernah digigitnya sekali. Sekarang dia mau menggigit lagi!"
"Tim! Cepat ke mari, Tim!" seru ayah George dengan marah. "George, anjingmu ini
tak mau menurut. Suruh dia mundur, sekarang juga!"
"Ke marilah, Tim!" ujar George dengan tenang. Seketika itu juga Tim
menghampirinya. Anjing itu tegak di sisi tuannya. Bulu tengkuknya masih tetap
berdiri. Ia menggeram pelan, seolah-olah memperingatkan,
"Awas, Pak Guru! Jangan main-main, nanti kuterkam!"
Pak Guru bangkit. Ia marah sekali!
"Saya tadi mendengar bunyi yang aneh di sini. Karenanya saya turun ke bawah
dengan membawa senter, ingin melihat kalau-kalau ada yang tidak beres," katanya.
"Menurut perasaan saya tadi, bunyi itu seakan-akan berasal dari kamar kerja
Anda. Karena saya tahu di sini banyak buku-buku dan peralatan berharga, saya
khawatir jangan-jangan ada orang hendak mencurinya. Baru saja saya sampai dalam
ruangan ini, tahu-tahu anjing itu muncul dan langsung menerpa sehingga saya
terjatuh! George juga masuk, tetapi ia tak mau menyuruh anjingnya mundur."
"Aku tak bisa mengerti kenapa kau begitu, George! Aku benar-benar tak mengerti,"
kata Paman Quentin dengan marah. "Kuharap kau tak berniat hendak konyol lagi,
seperti kelakuanmu sebelum saudara-saudara sepupumu datang musim panas yang
lalu. Dan Tim sudah pernah menggigit Pak Guru" Baru sekarang aku mendengarnya!"
"George menyuruhnya berbaring di bawah meja sewaktu anak-anak sedang belajar,"
kata Pak Guru. "Saya tidak mengetahuinya! Sewaktu saya hendak menjulurkan kaki
di bawah meja, tak sengaja tersentuh tubuh anjing itu. Seketika itu juga saya
digigitnya. Saya memang tak menceritakan peristiwa itu pada Anda, karena tak mau
merepotkan. Tetapi sebetulnya George beserta anjingnya sudah selalu berbuat hal-
hal yang menjengkelkan saya, sejak hari pertama saya di sini."
"Kalau begitu Tim harus ke luar! Ia harus tinggal dalam kandangnya di kebun,"
kata ayah George. "Aku tak mau melihatnya lagi dalam rumah! Itu hukumannya, dan
juga untukmu, George. Aku tak mau membiarkan tingkah laku seperti begini! Pak
Guru Roland kan sangat baik hati gada kalian semua."
"Aku tak mau menyuruh Tim tinggal di luar," ujar George dengan marah. "Udara di
luar sangat dingin! Ia akan sedih sekali, kalau dipaksa tidur di luar."
"Biar," kata ayahnya keras. "Mulai sekarang, apakah Tim boleh masuk ke dalam
rumah selama masa liburan ini, sepenuhnya tergantung dari kelakuanmu. Aku akan
menanyakan pada Pak Guru, bagaimana kelakuanmu setiap hari. Kalau laporannya
buruk, maka Tim harus tetap di luar. Mengerti"! Sekarang kau tidur lagi - tapi
sebelumnya minta maaf dulu pada Pak Guru!"
"Tidak mau!" seru George. Dengan perasaan kacau karena marah dan sedih, anak
perempuan itu lari menaiki tangga, menuju ke kamarnya. Kedua orang dewasa yang
berada di kamar kerja, hanya bisa memandangnya dengan tercengang-cengang.
"Biarkan saja," kata Pak Guru Roland setelah beberapa saat. "George seorang anak
yang sangat sulit wataknya. Sudah jelas, ia telah membulatkan tekat untuk tidak
menyukai saya. Tapi saya akan senang sekali bila bisa meyakinkan bahwa anjing
itu tak ada lagi dalam rumah. Saya khawatir Georgina akan menyuruhnya menerkam
saya, begitu ada kesempatan baik!"
"Sayang hal serupa ini harus terjadi," ujar ayah George menyesal. "Apa ya, bunyi
yang Anda dengar tadi" Kurasa sebatang kayu bakar yang sudah hampir habis
dimakan api, lalu terjatuh di sela kisi-kisi besi di perapian. Sekarang - apa
yang harus kulakukan dengan anjing yang menjengkelkan ini" Kurasa aku harus
mengusirnya ke luar!"
"Untuk malam ini, biarkan saja di dalam," sahut Pak Guru. "Saya mendengar suara-
suara di tingkat atas! Jadi ternyata yang lain-lain juga sudah terbangun. Lebih
baik kita tidak membikin ribut-ribut lagi."
"Benar juga," kata ayah George lega. Ia tak mau berurusan dengan seorang gadis
cilik yang membangkang, serta seekor anjing besar yang sedang marah di tengah
malam buta! Kedua orang itu kembali ke kamar masing-masing dan tidur lagi. Tetapi George
masih belum bisa memejamkan mata kembali dengan cepat. Ketika ia sampai di
tingkat atas, ternyata ketiga saudaranya terbangun. George melaporkan kejadian
yang baru saja dialaminya.
"George, kau ini benar-benar konyol," ujar Dick dengan kesal. "Kenapa Pak Guru
tak boleh turun ke bawah, jika ia mendengar bunyi yang mencurigakan" Kau sendiri
juga turun! Sekarang Tim yang malang tidak boleh lagi diam dalam rumah, padahal
udara sangat dingin di luar!"
Anne mulai terisak-isak. Ia sedih mendengar guru pembimbing yang disenanginya
jatuh ke lantai karena diterkam oleh Tim. Dan ia juga sedih karena Tim dihukum
sebagai akibat perbuatannya sendiri!
"Sudah! Jangan menangis seperti bayi!" tukas George. "Aku tak menangis, padahal
Tim anjingku!" Tetapi sebetulnya George sangat sedih. Ketika yang lain-lain sudah terlelap
kembali, barulah dilepaskannya bendungan air mata. Bantal menjadi basah kuyup
karenanya! Tim mendekat sambil mendengking-dengking pelan. Anjing itu selalu
ikut murung, apabila melihat tuannya sedang sedih!
IX MENCARI JALAN RAHASIA KEESOKAN harinya anak-anak tidak belajar.
George kelihatan agak pucat. Ia lebih banyak berdiam diri. Tim sudah ditambatkan
di kandangnya. Dari dalam rumah dapat terdengar suaranya melolong-lolong dengan
sedih. Mereka semua kasihan padanya.
"Wah George, sayang hal-hal seperti ini harus terjadi," kata Dick. "Kenapa kau
selalu galak" Hasilnya cuma kerumitan saja bagimu - dan bagi Tim yang malang."
Perasaan George saat itu tak menentu. Ia sangat membenci Pak Guru Roland,
sehingga tak mau bertatapan muka. Mual rasanya melihat muka orang yang sekarang
dibencinya itu! Tetapi ia juga tak berani terang-terangan bertindak kasar dan
membangkang. Ia khawatir Pak Guru akan melaporkan kelakuannya itu pada ayahnya,
lalu jangan-jangan ia tak diperbolehkan lagi bergaul dengan Tim. Mungkin bahkan
melihatnya saja tak boleh! Sangat sukar bagi seseorang yang suka melawan seperti
George, untuk memaksa diri bersikap sopan terhadap orang yang tak disukai.
Pak Guru Roland tak mengacuhkannya. Ketiga saudara sepupunya berusaha
mengikutsertakan George dalam pembicaraan dan rencana-rencana mereka. Tetapi
anak itu tetap diam saja. Ia sama sekali tak menunjukkan minat!
"George, hari ini kita akan ke Kirrin Farm," ujar Dick. "Mau ikut" Kami hendak
mencari tempat masuk ke Jalan Rahasia. Mestinya terdapat dalam rumah itu."
Sebelumnya anak-anak sudah menceritakan pada George, mengenai keterangan Pak
Guru tentang tanda-tanda yang tertera di kain tua mereka. Ketiga saudara
sepupunya bergairah sekali, walau keasyikan perayaan Natal menyebabkan mereka
melupakannya untuk sementara waktu.
"Ya, tentu saja aku mau ikut," jawab George. Mukanya tak sesuram sebelumnya.
"Kita ajak Tim, karena dia pasti ingin jalan-jalan!"
Tetapi ketika George mendengar bahwa Pak Guru Roland juga ikut, seketika itu
juga ia berganti pikiran. Biar diupah seberapa pun, ia tak mau pergi bersama
orang itu! Tidak, ia tidak mau. Lebih baik berjalan-jalan sendirian, dengan Tim.
"Kenapa kau tiba-tiba tidak mau lagi, George" Bayangkan keasyikan kita nanti,
mencari tempat masuk ke Jalan Rahasia," ujar Julian seraya memegang lengan
saudara sepupunya itu. George menyentakkan lengannya.
"Aku tak mau, jika Pak Guru ikut," katanya berkeras kepala. Saudara-saudaranya
menyadari bahwa tak ada gunanya berusaha membujuk anak yang sedang merajuk itu.
"Aku akan jalan-jalan sendiri dengan Tim," kata George. "Kalian pergi saja
dengan Pak Guru kalian yang tersayang!"
George ke luar bersama Tim. Ketiga saudaranya melihat anak perempuan itu
berjalan seorang diri di jalan kebun. Mereka merasa sedih dan bingung. George
semakin tersisih, sedang mereka sama sekali tak berdaya untuk memperbaiki
suasana. "Nah, kalian sudah siap semua?" tanya Pak Guru. "Berangkat sajalah duluan! Aku
masih ada urusan sebentar di desa!"
Karenanya ketiga anak itu lantas berangkat. Mereka sangat menginginkan George
ada bersama mereka. Tetapi anak itu tak nampak batang hidungnya.
Pak Sanders serta isterinya senang sekali melihat ketiga anak itu datang. Mereka
diajak duduk di dapur yang luas, dan diberi hidangan roti jahe yang masih hangat
dan susu panas. "Nah, apakah kalian bermaksud hendak menemukan barang-barang tersembunyi lagi,"
tanya Ibu Sanders sambil tersenyum ramah.
"Ibu mengijinkannya?" tanya Julian. "Kami mencari sebuah kamar yang menghadap ke


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

timur. Berlantai batu, dan dindingnya dilapisi dengan papan."
"Semua kamar di tingkat bawah lantainya dari batu," kata Ibu Sanders. "Cari saja
kalau kalian mau, Nak. Aku tahu, kalian takkan merusak apa-apa. Tapi jangan
masuk ke kamar di atas yang ada lemari berdinding palsu ya! Dan juga jangan
masuk ke kamar sebelahnya - karena kedua kamar itulah yang ditempati kedua
seniman tamuku!" "Baiklah," kata Julian. Sebetulnya ia agak menyesal, karena tidak bisa lagi
bermain-main dalam lemari yang mengasyikkan itu. "Pelukis-pelukis itu sudah
datang, Bu" Aku kepingin ngobrol dengan mereka, mengenai lukisan-lukisan. Aku
juga kepingin jadi pelukis."
"O ya?" kata Ibu Sanders. "Wah, bukan main! Aku selalu heran mendengar orang
yang bisa mencari uang dengan melukis."
"Bagi pelukis yang penting bukan uang, melainkan membuat lukisan," ujar Julian
dengan bersungguh-sungguh. Keterangannya itu semakin mengherankan Ibu Sanders.
Ia tertawa sambil menggeleng.
"Seniman memang aneh!" katanya. "Sudahlah! Kalian pergi saja mencari barang yang
ingin kalian temukan. Tapi hari ini kau tak bisa ngobrol dengan kedua seniman
itu, Master Julian - mereka sedang ke luar."
Sesudah selesai makan dan minum, anak-anak bangkit. Mereka agak bingung, di mana
harus mulai mencari. Mereka harus menemukan sebuah kamar, atau kamar-kamar yang
menghadap ke timur. Itu yang pertama-tama harus mereka lakukan.
"Bagian sebelah mana dari rumah ini yang menghadap ke timur, Bu?" tanya Julian.
"Ibu Sanders tahu?"
"Dapur ini tepat menghadap ke utara," jawab Ibu Sanders. "Jadi di timur di
sebelah sana," katanya sambil menunjuk ke kanan.
"Terima kasih," kata Julian. "Ayoh, kita mulai mencari!" Ketiga abang beradik
itu keluar dari dapur, lalu membelok ke kanan. Di depan mereka terdapat tiga
kamar. Yang satu semacam sepen yang sudah jarang dipakai lagi, lalu sebuah bilik
kecil yang dipergunakan sebagai tempat kerja oleh Pak Sanders. Sedang kamar
ketiga dulunya merupakan kamar duduk. Tetapi sekarang tak pernah dipakai lagi.
Di situ dingin, karena perapiannya tak pernah dinyalakan.
"Ketiga kamar ini lantainya semua dari batu," kata Julian.
"Jadi ketiga-tiganya harus kita periksa," sambut Anne.
"Tidak! Tidak perlu," jawab Julian. "Misalnya saja, kamar sepen ini tidak perlu
kita masuki!" "Lho, kenapa?" tanya Anne heran.
"Kau ini memang tolol! Lihat saja, dindingnya dari batu. Padahal kita mencari
dinding berlapis papan," kata Julian. "Pakai dong otakmu!"
"Mestinya ada alasan tertentu, kenapa dalam petunjuk yang dituliskan di atas
kain linen ada delapan bujur sangkar," ujar Julian sambil memperhatikan kain
secarik yang ada di tangannya. "Kurasa ada baiknya jika kita memperhatikan,
kalau-kalau ada tempat tertentu yang dilapisi dengan delapan papan bujur sangkar
saja. Misalnya dinding sebelah atas sebuah jendela!"
"Kedua kamar ini perlu kita periksa," kata Dick "Baik bilik kecil, maupun kamar
duduk berpapan pelapis dinding!"
Asyik benar mereka memeriksa kedua kamar itu! Mereka mulai dengan bilik yang
kecil. Seluruh dindingnya dilapisi papan yang terbuat dari kayu berwarna gelap.
Tetapi tak ada satu tempat pun di situ yang hanya dilapisi dengan delapan papan
bujur sangkar! Karenanya anak-anak berpindah ke kamar berikutnya.
Papan pelapis dinding di situ lain wujudnya. Kelihatannya belum begitu tua, dan
juga tak gelap warna kayunya. Anak-anak memeriksa tiap bujur sangkar. Satu per
satu diketuk dan ditekan-tekan. Setiap saat mereka sudah mengharapkan akan ada
papan yang tergeser ke samping, seperti yang terjadi dalam serambi.
Tetapi harapan mereka sia-sia. Kesibukan mereka sama sekali tak membawa hasil.
Tak ada papan yang tiba-tiba tergeser. Sewaktu mereka sedang sibuk mencari-cari,
kedengaran langkah-langkah kaki berjalan di serambi disertai suara orang
bercakap-cakap. Seorang yang kurus jangkung menengok ke dalam kamar duduk yang
tak terpakai lagi. Orang itu berhidung mancung dan berkaca mata.
"Halo," sapanya. "Kata Ibu Sanders, kalian sedang sibuk mencari harta karun atau
sesuatu seperti itu. Nah, bagaimana hasilnya?"
"Belum berhasil," kata Julian dengan sopan. Diperhatikannya orang yang menyapa.
Di belakangnya ada satu orang lagi. Kelihatannya lebih muda dari laki-laki yang
di depan. Orang yang di belakang bermata agak sipit dan bermulut lebar. "Kalian
kedua seniman yang menginap di sini?"
"Betul!" ujar orang yang di depan. Ia masuk ke dalam kamar. "Apa sebenarnya yang
kalian cari?" Sebetulnya Julian tak ingin menceritakan, tetapi untuk tidak menjawab juga
susah. Jadi ia menerangkan seperlunya saja.
"Kami sedang mencari, kalau-kalau di sini ada papan pelapis dinding yang bisa
tergeser," katanya. "Dalam serambi ada satu! Kami senang mencari-cari.
Mengasyikkan!" "Bolehkah kami membantu?" tanya seniman yang pertama. "Siapa nama kalian" Namaku
Thomas, dan temanku ini bernama Wilton."
Anak-anak mengajak kedua pelukis itu ngobrol selama semenit dua menit. Anak-anak
bersikap sopan, tetapi mereka sama sekali tak mengingini bantuan kedua orang
seniman itu. Kalau di situ ada sesuatu yang bisa ditemukan, maka mereka ingin
menemukannya sendiri. Kalau ada orang dewasa yang memecahkan rahasia yang sedang
menyibukkan anak-anak, akan lenyaplah keasyikan mereka! Tetapi susah melarang
orang dewasa. Tak lama kemudian mereka semua sudah sibuk mengetuk-ketuk papan pelapis dinding
kamar duduk. Tiba-tiba terdengar suara menyapa,
"Halo! Wah, sibuk benar kalian ini!"
Anak-anak berpaling ke arah datangnya suara itu. Mereka melihat Pak Guru berdiri
di ambang pintu. Ia tersenyum. Kedua seniman yang sedang membantu mencari juga
ikut memandangnya. "Dia teman kalian?" tanya Pak Thomas.
"Ya - dia guru pembimbing kami selama masa libur. Orangnya sangat ramah!" ujar
Anne sambil lari menghampiri Pak Guru lalu memegang tangannya.
"Maukah engkau memperkenalkan aku pada mereka, Anne," kata Pak Guru meminta
sambil tersenyum pada anak itu.
Anne tahu bagaimana cara memperkenalkan orang. Ia sudah sering melihat ibunya
melakukan. "Ini Pak Guru Roland," katanya pada kedua seniman itu. Kemudian ia berpaling
memandang guru pembimbingnya. "Dan ini Pak Thomas, sedang tuan itu bernama Pak
Wilton." Ketiga orang dewasa itu saling membungkukkan badan untuk memberi hormat.
"Anda berdua menginap di sini?" tanya Pak Guru. "Rumah petani ini menarik, ya?"
"He - bukankah sekarang sudah waktunya kita pulang?" tanya Julian kaget, ketika
terdengar bunyi jam berdenting.
"Betul, kurasa memang sudah waktu bagi kita," jawab Pak Guru. "Sayang, rupanya
aku tak bisa cepat-cepat menyusul, seperti yang kuharapkan tadi. Lima menit lagi
kita akan sudah harus pulang. Tak boleh terlambat semenit pun! Tapi aku masih
bisa membantu sebentar, untuk menemukan jalan rahasia yang aneh itu!"
Mereka mulai sibuk lagi, mengetuk-ketuk dan menekan-nekan. Tetapi tak ada
hasilnya. Benar-benar mengecewakan!
"Yah! Sekarang kita benar-benar harus pulang," kata Pak Guru. "Ayoh, kita minta
diri pada Ibu Sanders."
Mereka berbondong-bondong masuk ke dapur. Ibu Sanders sedang memasak. Baunya
enak sekali! "Anda sedang menyiapkan makan siang kami, Bu Sanders?" kata Pak Wilton. "Hmmm,
Bu Sanders memang jago masak!"
Ibu Sanders tersenyum mendengar pujian itu. Kemudian ia berpaling dan memandang
anak-anak. "Nah, kalian berhasil menemukan yang dicari?" tanyanya.
"Tidak," kata Pak Guru, sebelum anak-anak sempat membuka mulut. "Kami tak
berhasil menemukan Jalan Rahasia."
"Jalan Rahasia?" tanya Ibu Sanders dengan heran. "Loh, kalian tahu mengenainya"
Kukira hal itu sudah lama dilupakan orang! Terus terang, sudah sejak lama aku
tak percaya lagi bahwa Jalan Rahasia itu ada!"
"Ibu juga tahu mengenainya?" seru Julian bergairah. "Di mana letaknya?"
"Aku tak tahu, Nak! Rahasia itu sudah lama dilupakan orang," kata wanita tua
itu. "Aku hanya ingat bahwa nenekku pernah menceritakannya, sewaktu aku masih
lebih kecil lagi daripada kalian sekarang. Tapi waktu itu aku sama sekali tak
berminat pada hal-hal seperti itu. Perhatianku lebih terarah pada sapi, ayam dan
biri-biri." "Ah Bu, cobalah mengingat-ingatnya kembali," ujar Dick meminta-minta. "Apakah
sebetulnya Jalan Rahasia itu?"
"Maksudnya suatu jalan tersembunyi, dari rumah ini ke suatu tempat lain," kata
Ibu Sanders. "Tapi aku tak tahu ke mana. Jalan itu biasa dipakai di jaman dulu,
kalau orang-orang hendak menyembunyikan diri dari kejaran musuh."
Anak-anak kecewa ketika mendengar bahwa Ibu Sanders tak banyak mengetahui
tentang Jalan Rahasia. Mereka meminta diri, lalu pulang bersama guru pembimbing
mereka. Anak-anak merasa kesibukan mereka pagi itu sia-sia belaka.
Sesampai di Pondok Kirrin, ternyata George sudah ada di dalam. Mukanya tidak
begitu pucat lagi. Ia menyambut kedatangan saudara-saudara sepupunya dengan
bersemangat. "Ada sesuatu yang kalian temukan di sana" Ayoh, ceritakan dong!" katanya.
"Tak ada yang bisa diceritakan," ujar Dick dengan suram. "Kami menemukan tiga
kamar yang menghadap ke timur. Dan berlantai batu. Tapi cuma dua di antaranya
yang dindingnya berlapis papan. Jadi di kedua kamar itulah kami sibuk mencari-
cari. Sepanjang pagi kami menekan dan mengetuk-ketuk papan. Tapi hasilnya sama
sekali tidak ada!" "Tapi kami sempat berkenalan dengan kedua seniman yang tinggal di sana," kata
Anne. "Orang yang satu kurus tinggi, berhidung mancung dan memakai kaca mata.
Yang satu lagi lebih muda, bermata sipit. Mulutnya lebar sekali!"
"Aku melihat mereka tadi pagi," kata George. "Mendengar ceritamu, mestinya kedua
seniman itulah yang kulihat tadi! Pak Guru Roland sedang bercakap-cakap dengan
mereka. Tapi mereka tak melihat aku."
"Tak mungkin," kata Anne dengan segera. "Pak Guru tak mengenal mereka. Jadi
bukan kedua seniman itu yang kaulihat tadi. Aku tahu pasti, karena akulah yang
memperkenalkan keduanya pada Pak Guru."
"Tapi aku sendiri mendengar Pak Guru Roland menyapa salah seorang dari mereka,
dengan menyebutkan nama Wilton," ujar George. Ia heran. "Jadi mestinya Pak Guru
mengenal mereka." "Tak mungkin kedua seniman itu yang kaulihat bersama Pak Guru," ulang Anne.
"Mereka benar-benar tak mengenalnya. Pak Thomas bahkan bertanya, apakah Pak Guru
teman kami." "Aku yakin tak keliru melihat tadi," ujar George berkeras. "Kalau Pak Guru
mengatakan tak kenal pada kedua seniman itu, ia bohong!"
"Kau ini selalu ingin menonjolkan, seolah-olah ia berbuat sesuatu yang jahat!"
seru Anne. Ia merasa tersinggung. "Kau selalu mengada-ada tentang Pak Guru
Roland!" "Sst!" kata Julian. "Pak Guru datang."
Pintu kamar terbuka. Pak Guru masuk ke dalam.
"Nah, bagaimana?" katanya. "Mengecewakan sekali, bukan" Aku juga menyesal,
karena kita tak berhasil menemukan Jalan Rahasia! Tapi kita juga konyol,
mencari-cari dalam kamar duduk itu. Papan pelapis dinding di situ belum begitu
tua! Mestinya baru dipasang bertahun-tahun sesudah pelapis di bilik kecil."
"Yah, jadi tak ada gunanya mencari-cari di sana lagi," kata Julian dengan
kecewa. "Dan aku hampir yakin, dalam bilik kecil juga takkan ada yang bisa
ditemukan. Kita sudah memeriksa di situ dengan seksama. Mengecewakan sekali,
bukan?" "Memang," kata Pak Guru Roland. "Nah, Julian - bagaimana pendapatmu tentang
kedua seniman tadi" Aku senang berkenalan dengan mereka. Kelihatannya mereka
ramah. Aku mau berkenalan lebih baik dengan keduanya."
George memandang guru pembimbing mereka itu. Mungkinkah ia berbohong, padahal
ngomongnya begitu bersungguh-sungguh" Anak perempuan itu sungguh-sungguh
bingung. Ia merasa yakin, kedua orang yang dilihatnya sedang bicara dengan Pak
Guru adalah seniman-seniman yang diceritakan ketiga saudara sepupunya. Tetapi
kalau begitu mengapa Pak Guru berpura-pura tak kenal dengan mereka" Jadi
mestinya dialah yang keliru melihat. Tetapi ia tetap merasa tak enak mengenai
persoalan itu. George berniat hendak menyelidiki keadaan sebenarnya - kalau
bisa! X GEORGE DAN TIM KECEWA PELAJARAN dimulai kembali keesokan paginya.
Dan Tim tidak boleh lagi berbaring di bawah meja tempat anak-anak bekerja.
Sebetulnya George kepingin menolak jika disuruh belajar. Tetapi ia tahu, takkan
ada gunanya membangkang! Orang dewasa sangat berkuasa. Mereka bisa menjatuhkan
bermacam-macam jenis hukuman. Ia sendiri tak peduli jika dihukum, tetapi ia tak
sampai hati apabila Tim ikut-ikut dihukum pula.
Karena itu ia duduk menghadapi meja bersama ketiga saudara sepupunya. George
menunggu kedatangan guru pembimbing mereka dengan wajah pucat dan masam. Anne
sangat gembira karena pelajaran akan dimulai kembali. Anak itu siap melakukan
apa saja yang akan menyenangkan hati Pak Guru Roland, karena ia diberi hadiah
boneka bidadari yang berasal dari puncak Pohon Natal! Anne merasa belum pernah
melihat boneka secantik itu.
Ketika Anne menunjukkannya pada George, saudara sepupunya hanya memandang sambil
cemberut. Ia tak suka pada boneka, apalagi boneka yang dipilihkan oleh Pak Guru
Roland dan kemudian diberikan olehnya pada Anne! Tetapi Anne sangat menyukai
boneka itu. Karenanya ia bertekad hendak ikut belajar bersama saudara-
saudaranya, dan bekerja sebaik mungkin.
George bekerja asal jadi. Pokoknya jangan sampai kena marah! Tetapi Pak Guru
sama sekali tak menunjukkan minat terhadapnya, dan juga tidak pada hasil
pekerjaannya. Anak-anak yang lain dipuji-pujinya. Ketika Julian agak mengalami
kesukaran dalam salah satu pelajaran, Pak Guru menerangkannya secara panjang
lebar. Saat mereka sedang bekerja, terdengar suara Tim melolong-lolong di luar. Anak-
anak gelisah dan sedih, karena mereka sangat sayang pada anjing itu. Tim teman
baik mereka! Mereka sedih membayangkan anjing itu disisihkan, dan harus
menderita dingin dan sengsara dalam kandang di kebun. Ketika saat istirahat
selama sepuluh menit tiba, Pak Guru ke luar sebentar. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Julian untuk ngomong dengan George.
"George! Tak tahan rasanya mendengar Tim yang malang melolong-lolong kedinginan
di luar. Aku bahkan merasa mendengar dia terbatuk-batuk. Biarlah aku bicara
dengan Pak Guru tentang Tim. Kan tak enak rasanya mengetahui bahwa Tim menderita
di luar." "Aku pun merasa mendengar Tim batuk-batuk," kata George dengan prihatin. "Mudah-
mudahan saja tidak pilek! Ia sama sekali tidak bisa mengerti, kenapa aku sampai
memasukkannya ke dalam kandang. Ia pasti menganggapku kejam!"
George memalingkan kepalanya cepat-cepat, karena takut kalau air matanya keluar
saat itu. Ia selalu mengaku tak pernah menangis - tetapi sukar menahan air mata
yang hendak mengalir, jika ia ingat pada Tim yang sedang kedinginan di luar.
Dick menjamah lengannya. "George, aku tahu kau membenci Pak Guru Roland. Kurasa kau tak bisa mengubah
kenyataan itu. Tapi kami juga tak tahan mendengar Tim melolong-lolong karena
ditinggal sendirian di luar! Nampaknya hari ini akan turun salju. Pasti takkan
mengenakkan bagi Tim. Bisakah kau bersikap menurut hari ini, dan melupakan
kebencianmu" Supaya nanti kalau ayahmu menanyakan tentang kelakuanmu pada Pak
Guru, dia akan mengatakan bahwa kau menurut sekali! Sudah itu kami akan meminta
pada Pak Guru, agar ia memperbolehkan Tim masuk lagi ke rumah."
"Nah, dengar itu!"
Tim terbatuk-batuk lagi di halaman. Hati George terasa seperti diiris-iris,
karena sedih. Jangan-jangan Tim terserang penyakit radang paru-paru! Dan ia tak
bisa merawat, karena anjing kesayangannya itu harus tinggal dalam kandang. Kalau
hal itu benar terjadi, ia akan merasa sedih sekali. George memandang Julian dan
Dick. "Baiklah," katanya. "Aku memang benci pada Pak Guru Roland. Tapi kebencian itu
kalah dibandingkan dengan sayangku terhadap Tim. Jadi demi kepentingan Tim, aku
akan berpura-pura menjadi anak manis dan mau bekerja keras. Sudah itu kalian
akan bisa meminta pada Pak Guru, apakah Tim diperbolehkan masuk kembali."
"Nah, begitu dong!" kata Julian. "Pak Guru datang - ingat, George! Berusahalah
sebaik-baiknya!" Guru pembimbing tercengang. Ketika ia masuk ke ruang belajar, George
memandangnya sambil tersenyum. Hal itu begitu tak tersangka olehnya, sehingga
Pak Guru bingung. Ia semakin bingung ketika melihat George bekerja lebih rajin
daripada ketiga saudaranya. Anak itu bahkan menjawab dengan sopan dan gembira,
ketika diajak bicara oleh Pak Guru. Guru pembimbing itu memuji,
"Bagus, Georgina! Ternyata otakmu cerdas."
"Terima kasih. Pak Guru," jawab George sambil tersenyum kecil. Senyumnya itu tak


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seberapa, jika dibandingkan dengan senyuman riang yang sering menghias wajah
ketiga saudara sepupunya. Tetapi walau begitu, George tersenyum!
Waktu makan siang, George melayani Pak Guru Roland dengan sangat sopan. Ia
menyodorkan garam meja, menawarkan roti lagi, dan menambahkan air ke gelas Pak
Guru yang sudah kosong! Saudara-saudaranya memandang George dengan kagum. Anak
itu benar-benar tabah! Mestinya sangat sukar baginya untuk bersikap seolah-olah
Pak Guru seorang teman baik, padahal dalam hati ia sangat membenci orang itu!
Pak Guru Roland kelihatan sangat senang, dan nampaknya mau membalas
keramahtamahan George. Ia berkelakar dengan anak itu, serta menawarkan
peminjaman sebuah buku cerita yang dimilikinya. Cerita tentang anjing! Ibu
George gembira melihat anaknya yang berwatak keras itu seakan-akan sudah
berubah. Pokoknya suasana hari itu enak, lebih bergembira.
"George, sebaiknya kau ke luar, sebelum ayahmu datang menanyakan tentang
kelakuanmu hari ini pada Pak Guru," kata Julian. "Nanti kalau Pak Guru
memberikan laporan yang menyenangkan, kami akan meminta apakah Tim boleh masuk
lagi. Rasanya lebih enak, kalau kau tak di sini."
"Baiklah," kata George. Anak itu sudah berharap-harap, semoga hari yang berat
itu cepat berlalu. Rasanya berat sekali harus berpura-pura ramah. Ia takkan mau
melakukannya, kalau bukan demi kepentingan Tim!
Menjelang pukul enam sore George menghilang dari kamar, ketika didengarnya
langkah kaki ayahnya mendekat. Paman Quentin masuk ke dalam kamar, lalu
menganggukkan kepala pada Pak Guru.
"Nah, bagaimana" Anak-anak rajin belajar hari ini?" tanyanya.
"O ya, rajin sekali," kata Pak Guru. "Hari ini Julian berhasil memahami sesuatu
yang sebelumnya tak dimengerti olehnya. Pekerjaan Dick dalam mata pelajaran
bahasa Latin memuaskan. Dan Anne membuat latihan bahasa Perancis dengan
sempurna. Tidak ada satu pun yang salah."
"Bagaimana dengan George?" tanya Paman.
"Saya memang sampai pada laporan tentang Georgina," kata Pak Guru Roland. Ia
menoleh dan melihat bahwa anak itu sudah tak ada lagi. "Hari ini ia belajar
lebih rajin dari saudara-saudaranya! Saya benar-benar puas melihat prestasinya.
Ia berusaha keras! Ia pun benar-benar bersikap sopan dan ramah. Menurut perasaan
saya, Georgina ingin mengubah sikapnya."
"Ia memang baik sekali hari ini," ujar Julian dengan gembira. "Paman Quentin,
George hari ini telah berusaha keras. Sungguh! Dan ia saat ini sedang sedih
sekali." "Kenapa?" tanya Paman Quentin dengan nada heran.
"Karena Tim," kata Julian menerangkan. "Dia harus di luar terus. Dan sekarang
terbatuk-batuk." "Paman, ijinkanlah Tim masuk lagi ke rumah. Kasihan dia," ujar Anne meminta-
minta. "Ya, Paman," sambung Dick. "Bukan hanya demi George yang sangat sayang padanya,
tapi juga demi kami. Kami sangat merasa kasihan, mendengarnya melolong-lolong di
luar. Lagipula sudah sepantasnya George diberi hadiah, karena hari ini ia benar-
benar telah berusaha sebaik-baiknya."
"Yah," kata Paman Quentin sambil memandang wajah ketiga keponakannya yang
menatapnya dengan penuh harap. Paman Quentin agak ragu. "Bagaimana enaknya, ya"
Kalau George tak membandel lagi - dan hawa di luar semakin dingin - nah...."
Paman memandang Pak Guru. Dikiranya akan mengatakan sesuatu yang sifatnya
menguntungkan bagi Tim. Tapi Pak Guru tak mengatakan apa-apa, hanya dari air
mukanya nampak bahwa ia jengkel.
"Bagaimana pendapat Anda, Roland?" tanya Paman.
"Menurut pendapat saya, Anda harus tegas. Anjing itu harus tetap di luar," kata
Pak Guru. "George anak manja, dan perlu dididik secara tegas. Anda harus betul-
betul memegang keputusan yang sudah diambil tentang anjing itu. Tak ada alasan
berlembut hati, hanya karena anak itu sekali mencoba menunjukkan sikap yang
pantas." Anak-anak menatap Pak Guru. Mereka kaget dan kecewa! Mereka tak mengira bahwa
Pak Guru akan menyatakan sikap seperti itu. Mereka mengira Pak Guru akan
mendukung usul mereka! "Pak Guru jahat sekali!" seru Anne dengan kecewa. "Katakanlah, bahwa Pak Guru
mengijinkan Tim masuk lagi ke rumah!"
Guru pembimbing itu tak mengacuhkannya. Ia menatap Paman dengan bibir berkerut
di balik kumisnya yang tebal.
"Nah - kurasa kita lihat dulu bagaimana tingkah laku George selama seminggu,"
kata Paman pada akhirnya. "Bagaimanapun juga, satu hari bukan waktu yang lama."
Anak-anak jengkel melihat paman mereka itu. Mereka menganggapnya lemah dan tidak
berbelas kasihan. Tetapi Pak Guru Roland menganggukkan kepala. Nampaknya ia
puas. "Ya, masa percobaan satu minggu rasanya lebih baik," katanya. "Jika Georgina
baik tingkah lakunya selama seminggu, kita akan bisa bicara lagi tentang anjing
itu. Tetapi untuk saat ini saya rasa lebih baik ia di luar dulu."
"Baiklah," ujar Paman Quentin, lalu pergi ke luar. Sebelum menutup pintu, ia
berpaling sebentar dan berkata pada Pak Guru, "Kalau ada waktu nanti, datanglah
ke kamar kerjaku. Pekerjaanku dengan rumus rahasia sudah berkembang lebih jauh.
Saat ini aku sedang menghadapi tahap yang sangat menarik."
Ketiga anak itu saling berpandangan. Tetapi mereka tak mengatakan apa-apa. Jahat
benar guru pembimbing mereka, karena menghalangi-halangi Paman Quentin yang
sebenarnya sudah cenderung akan mengijinkan Tim masuk kembali! Mereka kecewa
mendengar sikap Pak Guru yang berlawanan dengan harapan mereka. Pak Guru melihat
air muka anak-anak yang kecut itu.
"Sayang aku terpaksa mengecewakan kalian," katanya. "Tapi kalau kalian sudah
pernah digigit oleh Tim, dan kemudian diterpa sampai jatuh ke lantai lalu
diancam dengan taring-taringnya yang runcing, pasti kalian juga tak
menginginkannya masuk ke dalam lagi!"
Sehabis berkata begitu, Pak Guru ke luar. Anak-anak bingung, tak tahu apa yang
harus dikatakan pada George. Sesaat kemudian anak itu masuk. Mukanya berseri-
seri, penuh harapan. Tetapi begitu melihat wajah suram ketiga saudara sepupunya,
ia tertegun. "Tim tak boleh masuk?" tanyanya buru-buru. "Apakah yang terjadi tadi" Ayoh,
cerita dong!" Ketiga saudara sepupunya bercerita. Ketika mendengar bahwa Pak Guru bersikap
keras tentang Tim, wajah George berubah menjadi merah karena marah. Apalagi
setelah mengetahui bahwa ayahnya sendiri sebenarnya sudah mengatakan bahwa Tim
mungkin akan diperbolehkan masuk lagi.
"Jahat benar orang itu!" serunya marah. "Aku benci padanya! Akan kubalas
kejahatannya itu! Benar, akan kubalas nanti!"
George lari keluar kamar. Anak-anak mendengarnya sibuk sebentar di serambi
dalam. Sudah itu menyusul bunyi pintu depan ditutup keras-keras.
"George ke luar," kata Julian. "Padahal di luar sudah gelap. Pasti ia ke Timmy.
George yang malang! Sekarang dia akan lebih merajuk lagi!"
Malam itu George tidak bisa tidur. Ia berbaring dengan gelisah di tempat
tidurnya. Ditajamkannya kuping. Ia mendengar Tim terbatuk-batuk dan mendengking-
dengking pelan, seakan-akan sedang menangis. George tahu bahwa anjingnya
kedinginan di luar. Ia sudah menaruh jerami segar banyak-banyak dalam
kandangnya, yang juga diputar letaknya supaya Tim terlindung dari angin utara
yang dingin. Tetapi pasti anjing kesayangannya itu masih tetap kedinginan tidur
di luar, karena sudah terbiasa berbaring dalam kamar yang hangat.
Bunyi batuk anjingnya kedengaran kering, sehingga George akhirnya tak tahan
lagi. Ia harus bangun dan ke luar untuk mendatanginya.
"Ia akan kubawa masuk sebentar, lalu kugosok dadanya dengan obat yang biasa
dipakai oleh Ibu jika ia sedang pilek," pikir anak itu. "Barangkali saja akan
menolong." Dengan cepat George mengenakan pakaian, lalu menyelinap turun ke bawah. Seisi
rumah sudah sepi. Ia keluar dengan hati-hati, lalu membuka rantai yang mengikat
Tim ke kandang. Anjing itu sangat senang ketika melihat tuannya datang.
"Ayoh, kita masuk sebentar ke dalam," bisik George. "Akan kugosok dadamu yang
sakit dengan minyak obat."
Tim mengikuti tuannya masuk ke dalam rumah. George mengajaknya ke dapur. Tetapi
api di situ sudah padam. Ruangan itu dingin. George melihat ke kamar-kamar lain.
Di ruang kerja ayahnya, api dalam pediangan masih cukup besar. George mengajak
Tim masuk ke situ. Ia tak menyalakan lampu, karena ruangan cukup terang disinari
cahaya api yang masih berkobar. George membawa sebuah botol kecil berisi obat
gosok yang diambilnya dari lemari kecil di kamar mandi. Diletakkannya botol itu
ke dekat api, supaya menjadi hangat.
Kemudian digosok-gosoknya dada anjing yang berbulu tebal dengan minyak obat itu.
Diharapkannya semoga Tim sembuh dari penyakitnya.
"Kalau bisa, kau tak boleh batuk selama kita di sini," bisik George. "Kalau kau
batuk, nanti ada yang mendengar. Berbaringlah di sini, dekat api. Supaya badanmu
hangat. Tak lama lagi pilekmu akan sembuh."
Tim berbaring di atas permadani. Ia merasa senang karena bisa pergi dari kandang
yang dingin, dan berada dekat tuannya. George mengelus-elus kepala anjing itu.
Cahaya api dalam pediangan terpantul pada permukaan berbagai peralatan aneh dan
tabung-tabung gelas yang tersimpan di atas rak-rak dalam kamar kerja Paman
Quentin. Sebatang kayu tergeser dalam api yang sebagai akibatnya memercik-
mercik. Suasana dalam ruangan itu tenang dan hangat.
George nyaris tertidur seketika itu juga. Anjingnya yang besar ikut memejamkan
mata. Mereka berdua berbaring dengan perasaan tenang dan bahagia. George
merebahkan kepalanya ke punggung Tim yang hangat.
George terbangun ketika mendengar lonceng jam berdenting enam kali. Ruangan itu
sudah dingin. George menggigil. Astaga! Sudah pukul enam pagi! Sebentar lagi
juru masak akan bangun. Ia tak boleh melihat Tim dalam kamar kerja!
"Tim! Tim, bangun," kata George berbisik. "Kau harus kembali ke kandang. Aku
tahu batukmu sudah sembuh, karena tak terdengar lagi sejak kau di dalam. Ayoh
bangun - dan jangan ribut-ribut. Ssst!"
Tim terbangun, lalu menggeliat. Ia mengerti, bahwa ia tak boleh menimbulkan
bunyi sedikit pun juga. Keduanya menyelinap ke luar.
Tak lama kemudian Tim sudah dirantai lagi dalam kandangnya. Ia berbaring
meringkuk di atas jerami kering. George ingin ikut berbaring bersama anjingnya.
Sesudah menepuk-nepuk kepala Tim sebentar, ia menyelinap lagi masuk ke rumah.
Ia langsung masuk ke tempat tidur. Ia sangat mengantuk dan kedinginan. Karenanya
ia lupa berganti pakaian terlebih dulu. Detik berikutnya ia sudah pulas!
Ketika bangun, Anne tercengang melihat George bangkit dari tempat tidur dengan
rompi, celana jean, celana pendek yang sampai ke lutut serta baju tebal.
"He! Kau sudah berpakaian!" seru Anne. "Tapi kemarin malam aku melihatmu mengenakan baju tidur."
"Ssst, diamlah," kata George memperingatkan. "Tadi tengah malam aku turun dan
mengajak Tim masuk ke dalam. Aku menyuruhnya berbaring di depan pediangan dalam
kamar kerja ayahku. Dadanya kugosok-gosok dengan minyak obat. Kau harus berjanji
takkan menceritakannya pada siapa-siapa."
Anne berjanji, dan ia benar-benar menepati katanya. Bayangkan! George berani
berkeliaran di tengah malam yang gelap! Bukan main saudara sepupunya itu.
XI PENCURIAN CATATAN-CATATAN PENTING
"GEORGE, hari ini kau jangan galak, ya?" ujar Julian sehabis sarapan. "Karena
toh takkan menolong dirimu serta Tim."
"Kaukira aku akan menurut kata, padahal aku tahu dengan pasti bahwa Pak Guru
Roland takkan memperbolehkan Tim masuk ke dalam selama liburan ini?" kata
George. "Mereka kan mengatakan hendak melihat dulu selama seminggu," ujar Dick. "Tidak
bisakah kaucoba bersikap menurut selama satu minggu?"
"Tidak! Karena kalau waktu seminggu sudah berlalu, pasti Pak Guru Roland akan
mengatakan bahwa kelakuanku hendak diteliti lagi selama satu minggu
selanjutnya," kata George. "Ia benar-benar tidak senang pada Tim. Dan juga
padaku! Kalau mengenai diriku, aku tidak heran. Karena apabila aku bermaksud
hendak berwatak yang menjengkelkan, aku memang benar-benar menjengkelkan! Tapi
untuk apa dia membenci Tim yang malang!"
"Aduh, George! Rusak suasana liburan kita jika kau membandel dan karenanya
terus-menerus kena marah," kata Anne.
"Biar saja rusak!" kata George. Dari air mukanya nampak bahwa ia sudah merajuk
lagi. "Tapi kenapa suasana liburan kami harus ikut rusak?" tanya Julian.
"Kalian tak perlu ikut-ikut merasa bahwa liburan ini tidak menyenangkan lagi,"
ujar George. "Kalian bisa saja terus bersenang-senang! Kalian bisa jalan-jalan
dengan Pak Guru kalian yang tercinta, bermain macam-macam dengannya pada waktu
malam. Kalian bisa ngobrol dan berkelakar sepuas-puas hati. Kalian tak perlu
mempedulikan aku." "Kau ini memang agak aneh, George," kata Julian sambil menghela napas panjang.
"Kami senang padamu, dan kami tak ingin melihat dirimu sedih. Jadi bagaimana
mungkin kami bisa bersenang-senang, jika kami tahu bahwa kau sedang sedih" Dan
begitu pula halnya dengan Tim."
"Kau tak perlu memikirkan diriku," kata George dengan suara seperti tercekik.
"Aku mau jalan-jalan dengan Tim. Hari ini aku tidak mau belajar."
"Kau harus belajar, George!" kata Julian dan Dick serempak.
"Tidak ada 'harus'!" balas George dengan ketus. "Pokoknya aku tidak mau! Aku
tidak sudi belajar dengan Pak Guru, sampai ia mengijinkan Tim masuk lagi ke
dalam." "Tapi kau kan tahu sendiri bahwa kau tidak bisa berbuat seperti itu," kata Dick
lemas. "Nanti kau dipukul!"
"Kalau keadaannya kelihatannya gawat, aku akan minggat," kata George dengan
suara bergetar. "Aku akan minggat bersama Tim."
Anak itu ke luar sambil menutup pintu keras-keras. Saudara-saudaranya hanya bisa
menatap saja. Mereka tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Apalah yang bisa
dibuat dalam menghadapi anak seperti George! Ia selalu mendengar kata, jika
didekati dengan ramah tamah dan penuh pengertian. Tetapi begitu berhadapan
dengan seseorang yang tak menyenanginya, atau tak disenangi olehnya, maka George
dengan segera menjauh. Dan langsung membangkang jika tersinggung.
Pak Guru Roland masuk ke ruang duduk dengan mengepit buku-buku. Ia tersenyum
melihat ketiga anak yang sudah duduk menunggunya.
"Nah, rupanya kalian sudah siap sedia. Mana George?"
Anak-anak tidak ada yang menjawab. Mereka tak berniat menjatuhkan saudara sepupu
mereka. "Tidak ada yang tahu?" tanya Pak Guru heran. Ia memandang Julian.
"Tidak, Pak," jawab Julian dengan sebenarnya. "Saya tak tahu di mana ia
sekarang." "Yah - barangkali sebentar lagi dia datang," kata Pak Guru Roland. "Mungkin
memberi makan anjingnya!"
Anak-anak mulai belajar. Waktu berjalan terus. Tetapi George tetap belum muncul
juga! Pak Guru memandang jam, lalu mendecakkan lidah sebagai tanda bahwa ia tak
sabar lagi. "Masakan George sampai begini terlambat! Benar-benar mengesalkan. Anne coba
kaucari dia sebentar."
Anne pergi ke luar. Dicarinya George di kamar tidur. Tidak ada. Di dapur - juga
tak ada! Joanna sedang sibuk membuat kue. Diberikannya sepotong yang masih
panas-panas pada Anne. Tetapi Joanna tak tahu di mana George berada.
Anne mencari di mana-mana, tetapi sia-sia. George tak ditemukannya. Karenanya ia
kembali ke kamar duduk, lalu melaporkan pada Pak Guru. Pak Guru marah
kelihatannya! "Aku akan terpaksa melaporkan kejadian ini pada ayahnya," katanya. "Selama ini
aku belum pernah menghadapi anak yang begitu bandel seperti George. Kelihatannya
ia sengaja mencari-cari perkara."
Pelajaran dilanjutkan. George masih tetap belum muncul ketika saat istirahat
tiba. Julian menyelinap ke luar. Dilihatnya kandang di kebun kosong.
Rupanya George pergi bersama Tim! Wah, pasti ia akan kena marah bila kembali
nanti. Baru saja anak-anak duduk kembali menghadapi buku-buku pelajaran sehabis
beristirahat, mereka sudah terganggu lagi.
Paman Quentin masuk bergegas-gegas. Kelihatannya bingung dan khawatir.
"Kalian tadi ada yang masuk ke kamar kerjaku?" tanyanya pada anak-anak.
"Tidak, Paman," jawab yang ditanya.
"Kan Paman melarang kami masuk," sambung Julian.
"Kenapa" Ada barang yang rusak?" tanya Pak Guru.
"Ya! Tabung-tabung yang kupersiapkan kemarin untuk melakukan suatu percobaan,
ternyata pecah sekarang. Dan yang lebih gawat lagi, tiga halaman yang penting
dari bukuku lenyap," kata Paman Quentin. "Aku bisa saja menulisnya kembali, tapi
untuk itu aku harus bekerja keras lagi. Aku benar-benar bingung karenanya!
Kalian yakin tidak mengacak-acak barang-barang dalam kamar kerjaku?"
"Ya, Paman," ujar mereka serempak. Muka Anne tiba-tiba menjadi merah! Ia
teringat akan cerita George padanya tadi pagi. George masuk ke kamar kerja
ayahnya di tengah malam bersama Tim, lalu menggosok-gosok dada anjingnya dengan
minyak obat! Tetapi tak mungkin George yang memecahkan tabung-tabung percobaan,


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengambil beberapa halaman yang penting dari buku yang sedang ditulis oleh
ayahnya. Pak Guru Roland melihat perubahan air muka Anne.
"Ada yang kauketahui mengenai soal ini, Anne?" tanyanya.
"Tidak, Pak," jawab Anne. Tetapi mukanya semakin menjadi merah. Anak itu kikuk
sekali kelihatannya. "Mana George?" tanya Paman Quentin dengan tiba-tiba.
Anak-anak berdiam diri. Pak Guru yang menjawab,
"Kami tidak tahu. Pagi ini ia tidak muncul."
"Jadi ia tidak belajar"! Kenapa tidak?" tanya Paman Quentin. Keningnya mulai
berkerut. "Ia tak mengatakan apa-apa," kata Pak Guru dengan singkat. "Saya rasa ia
tersinggung, karena tadi malam kita bersikap tegas mengenai Tim. Dengan begini
ia hendak menyatakan kekesalan hatinya!"
"Nakal benar anak itu!" kata ayah George dengan marah. "Aku heran, ada apa
dengannya akhir-akhir ini. Fanny! - Ke marilah sebentar. Tahukah engkau bahwa
George tidak ikut belajar hari ini?"
Bibi Fanny masuk. Kelihatannya sangat khawatir. Di tangannya ada sebuah botol
kecil. "George tidak mengikuti pelajaran?" kata Bibi mengulangi ucapan Paman. "Aneh! Di
mana dia sekarang?" "Saya rasa Anda tak perlu mengkhawatirkannya," ujar Pak Guru dengan tenang.
"Mungkin ia merajuk, lalu pergi mengajak Tim. Menurut pendapat saya yang lebih
penting saat ini adalah kenyataan bahwa pekerjaan Anda nampaknya dirusak orang.
Mudah-mudahan saja bukan oleh George! Anak itu sedang sakit hati, dan mungkin
saja ingin membalas dendam karena anjingnya tak diijinkan masuk ke rumah."
"Tentu saja bukan George yang merusak!" seru Dick. Ia marah, karena ada sangkaan
bahwa saudara sepupunya akan berbuat sejahil itu.
"George takkan pernah berbuat jahat seperti itu," kata Julian.
"Tidak! George takkan sampai hati melakukannya," sambung Anne. Ia membela
saudara sepupunya itu, walau dalam hatinya ia sangat bimbang. Bagaimana pun,
George ada dalam kamar kerja kemarin malam!
"Aku merasa yakin bahwa George takkan melakukan perbuatan seperti itu. Bahkan
berniat pun tidak," kata Bibi Fanny. "Kertas-kertas tulisanmu mungkin tercecer!
Sedang mengenai tabung-tabung yang pecah - barangkali kena tirai jendela yang
melambung tertiup angin! Kapan saat terakhir kau melihat kertas-kertasmu itu?"
"Kemarin malam," kata Paman Quentin. "Aku masih sempat meneliti sekali lagi, dan
memeriksa angka-angka supaya benar-benar cocok. Halaman-halaman yang hilang itu
mengandung arti sari rumusku. Apabila jatuh ke tangan orang lain, mereka akan
bisa memakai penemuan rahasiaku. Aku sungguh-sungguh bingung karenanya! Aku
harus tahu, apa yang terjadi dengan kertas-kertasku itu."
"Botol ini kutemukan dalam kamar kerjamu, Quentin," ujar Bibi Fanny sambil
menunjukkan botol kecil yang ada di tangannya. "Kaukah yang menaruhnya di sana.
Aku menemukannya di atas ambang pengaman dekat pediangan."
Paman mengambil botol itu, lalu mengamat-amatinya.
"Minyak kamper!" katanya sambil membaca tulisan yang tertera pada etiket botol.
"Tentu saja bukan aku yang menaruhnya di sana. Untuk apa?"
"Loh - kalau begitu siapa yang melakukannya?" tanya Bibi dengan heran. "Anak-
anak tidak ada yang pilek! Lagipula mereka takkan mengambil minyak ini dan
membawanya ke kamar kerjamu, lalu memakainya di sana. Benar-benar luar biasa!"
Mereka heran semuanya. Kenapa sebuah botol minyak kamper tiba-tiba terletak
dalam kamar kerja" Hanya satu orang saja yang bisa menebak, kenapa botol itu ada di situ. Anne
tiba-tiba teringat bahwa menurut cerita George, ia membawa Tim ke kamar kerja
lalu menggosoknya dengan minyak obat di situ! Tim batuk, dan karenanya perlu
diobati. Astaga! Sekarang bagaimana" Sayang George melupakan botol itu dalam
kamar kerja! Air muka Anne berubah menjadi merah lagi, sementara ia memandang botol itu. Mata
Pak Guru Roland pagi itu ternyata sangat tajam. Ia melihat perubahan yang
terjadi pada Anne. "Anne! Ada sesuatu yang kauketahui sehubungan dengan botol itu!" kata Pak Guru
sekonyong-konyong. "Kaukah yang meletakkannya di kamar kerja?"
"Tidak," jawab Anne. "Saya sama sekali tidak masuk ke sana. Kan sudah saya
katakan tadi." "Tetapi ada sesuatu yang kauketahui mengenai botol itu," kata Pak Guru sekali
lagi. Semuanya menatap Anne. Anak itu membalas pandangan mereka. Hatinya berdebar-
debar. Persoalannya benar-benar gawat! Ia tak boleh membocorkan rahasia George.
Tak boleh! Kedudukan anak itu sudah cukup sulit. Anne mengerutkan bibir. Tetapi
ia tetap tak mau menjawab.
"Anne!" sapa Pak Guru Roland dengan garang. "Kau harus menjawab jika ditanya."
Anne masih saja membisu. Kedua abangnya memandangnya. Mereka merasa bahwa sikap
membangkang adik mereka itu ada hubungannya dengan George. Tetapi mereka tidak
tahu bahwa George malam kemarin membawa Tim masuk ke dalam.
"Anne, Manis," kata Bibi Fanny dengan lembut. "Kalau ada sesuatu yang
kauketahui, kau harus menceritakannya pada kami. Barangkali dengannya kami akan
berhasil mengetahui apa yang terjadi dengan kertas-kertas kepunyaan Paman
Quentin. Kertas-kertas itu penting sekali artinya."
Tetapi Anne berkeras tak mau membuka mulut. Air matanya berlinang-linang. Julian
meremas lengannya, sebagai tanda setiakawan.
"Jangan ganggu Anne lagi," katanya pada ketiga orang dewasa yang berdiri di
depan mereka. "Kalau ia merasa tak bisa mengatakannya, tentu ada alasannya yang
penting." "Kurasa ia melindungi George," kata Pak Guru. "Betul kan, Anne?"
Anne menangis tersedu-sedu. Sambil merangkul adiknya, Julian berkata sekali
lagi, "Anne jangan diganggu! Tidakkah kalian melihat bahwa ia sedang bingung?"
"Biar George sendiri yang mengatakan, jika ia beranggapan sudah waktunya untuk
masuk kembali," kata Pak Guru Roland. "Saya yakin anak itu tahu sebabnya botol
itu bisa sampai di kamar kerja. Dan kalau ia sendiri yang menaruhnya, berarti
George masuk ke sana. Dia satu-satunya yang masuk ke situ."
Anak-anak sama sekali tak bisa membayangkan kemungkinan bahwa George bisa
merusak hasil pekerjaan ayahnya. Tetapi Anne merasa bimbang, karena khawatir
bahwa memang George yang melakukan. Ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan
abangnya. "Kalau George nanti datang, suruh masuk ke kamar kerjaku," kata Paman Quentin
dengan jengkel. "Bagaimana orang bisa bekerja, kalau terus-menerus ada gangguan"
Dari dulu aku sudah selalu tak menyetujui adanya anak-anak dalam rumah."
Paman keluar sambil marah-marah. Anak-anak merasa lega melihat dia pergi. Pak
Guru mengatupkan buku-bukunya yang terletak di atas meja.
"Pagi ini kita tidak bisa lagi melanjutkan pelajaran," katanya. "Kenakan pakaian
tebal kalian! Pergilah jalan-jalan sebentar, sampai saat makan siang."
"Ya - itu ide yang baik," sambut Bibi Fanny. Ia kelihatan pucat dan cemas. Bibi
ke luar, diikuti oleh Pak Guru Roland.
"Aku tak tahu, apakah Pak Guru berniat ikut jalan-jalan dengan kita," kata
Julian setengah berbisik. "Kita harus cepat-cepat ke luar dan mencari George.
Kita harus memperingatkannya tentang kejadian di sini!"
"Betul!" kata Dick. "Keringkan air matamu, Anne Sayang. Cepatlah ambil mantel
kalian. Kita menyelinap ke luar kebun, sebelum Pak Guru turun lagi. Kutanggung
George berjalan-jalan ke tempat yang disukainya di atas bukit-bukit batu. Kita
songsong dia ke sana!"
Anak-anak bergegas mengenakan pakaian tebal mereka, lalu pergi menyelinap ke
luar. Mereka lari cepat-cepat melintasi kebun, dan sudah berada di luar pagar
sebelum Pak Guru Roland tahu bahwa ketiga anak itu sudah menghilang! Mereka
bergegas ke bukit-bukit batu, sambil mencari-cari George.
"Itu dia! Bersama Tim," seru Julian sambil menunjuk ke depan. Kemudian ia
berteriak-teriak memanggil, "George! George! Cepatlah ke mari! Ada sesuatu yang
perlu kami ceritakan padamu!"
XII GEORGE TERLIBAT DALAM KESULITAN
"ADA APA?" tanya George melihat ketiga saudara sepupunya bergegas-gegas
menyongsongnya. "Ada kejadian gawat?"
"Ya, George. Tiga lembar yang penting-penting dari buku yang sedang ditulis oleh
ayahmu hilang dicuri orang!" kata Julian dengan napas terengah-engah. "Kecuali
itu tabung-tabung percobaannya juga pecah berantakan. Menurut pendapat Pak Guru,
mungkin kau terlibat dalam kejadian itu!"
"Jahat benar pikirannya!" seru George, sementara matanya berkilat-kilat karena
marah. "Seakan-akan aku sampai hati melakukan kejahilan seperti itu! Kenapa ia
sampai mengira aku yang melakukannya?"
"Kau meninggalkan botol obat di atas ambang pengaman dekat perapian dalam kamar
kerja ayahmu, George," ujar Anne menerangkan. "Aku tak melaporkan ceritamu
tentang kejadian malam kemarin. Tapi rupa-rupanya Pak Guru Roland merasa bahwa
botol minyak gosok itu ada hubungannya denganmu."
"Jadi kau tak menceritakan pada abang-abangmu bahwa kemarin malam aku memasukkan
Tim ke dalam rumah?" tanya George. "Sebetulnya tak banyak yang bisa diceritakan,
Julian. Tengah malam kudengar Tim terbatuk-batuk. Lalu kukenakan pakaian
seadanya supaya tidak kedinginan. Aku turun ke bawah, dan kuajak Tim masuk ke
kamar kerja Ayah. Api dalam pediangan di situ masih menyala. Ibu menyimpan
sebotol minyak yang selalu dipakainya untuk menggosok dada apabila ia batuk-
batuk. Menurut perasaanku, minyak itu pasti akan menolong Tim yang sedang batuk-
batuk pula. Kuambil botol itu, lalu kugosokkan minyak obat ke dada Tim. Tahu-
tahu kami tertidur di depan pediangan, sampai pukul enam pagi. Aku masih
mengantuk ketika terbangun itu. Jadi aku lupa mengembalikan botol minyak ke
tempatnya lagi. Cuma itulah yang terjadi semalam."
"Kalau begitu kau tak mengambil beberapa lembar kertas dari buku yang sedang
ditulis Paman" Dan kau tak memecahkan tabung-tabung percobaan di kamar
kerjanya?" tanya Anne.
"Tentu saja tidak, tolol!" kata George tersinggung. "Edan rupanya kau ini,
menanyakan hal-hal seperti itu padaku."
George tak pernah bohong. Saudara-saudara sepupunya selalu mempercayai kata-
katanya, walau kedengarannya sangat sukar diterima. Ketiga anak itu menatapnya,
sedang George membalas tatapan mereka.
"Kalau begitu, siapa yang mengambil kertas-kertas itu?" kata Julian dengan
bingung. "Jangan-jangan tercecer, dan mungkin akan ditemukan lagi oleh ayahmu.
Kurasa ia menyimpannya di suatu tempat yang aman, tetapi sesudah itu lupa!
Sedang tabung-tabung percobaan bisa saja terjungkir, lalu pecah. Menurut
perasaanku, tempat-tempatnya ada yang kelihatannya goyah."
"Kurasa aku sekarang akan kena marah, karena memasukkan Tim ke dalam kamar
kerja," kata George.
"Dan karena tak ikut belajar pagi ini," sambung Dick. "Kau ini benar-benar
konyol, George. Aku belum pernah mengenal anak yang begitu gampang terjerumus
dalam kerumitan seperti engkau."
"Apakah tidak lebih baik kau menunggu di luar, sampai mereka sudah agak tenang?"
tanya Anne. "Tidak," jawab George dengan tegas. "Kalau aku akan kena marah, lebih baik
sekarang juga. Aku tidak takut!"
Anak itu berjalan menuruni jalan di bukit, diikuti oleh Tim yang seperti biasa
berlari-larian mengelilingi tuannya. Ketiga saudara sepupunya mengikuti dari
belakang. Mereka merasa tak enak, karena sebentar lagi akan mengalami kesulitan.
Pak Guru Roland kebetulan melihat dari jendela, ketika anak-anak datang
beriringan. Dengan segera ia membuka pintu depan. Ia melirik George.
"Ayahmu menyuruhmu menghadap ke kamar kerja," katanya. Kemudian dipandangnya
ketiga anak lainnya. "Kenapa kalian pergi dengan tidak menunggu aku dulu?" tanyanya jengkel. "Aku
tadi sebenarnya ingin pergi bersama kalian."
"O ya" Wah, maaf," ujar Julian dengan sopan. Ia tak mau menatap guru pembimbing
mereka. "Kami cuma jalan-jalan sebentar ke bukit batu."
"Georgina! Kau kemarin malam masuk ke kamar kerja ayahmu?" tukas Pak Guru sambil
menatap George, sementara anak itu membuka mantel dan topinya.
"Aku hanya mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahku, dan bukan pertanyaan-
pertanyaanmu," ujar George menantang.
"Kau ini kurang ajar, perlu dipukul," kata Pak Guru Roland. "Kalau aku jadi
ayahmu, pasti kulakukan!"
"Tapi kau bukan ayahku," jawab George dengan ketus. Ia menghampiri pintu kamar
kerja, lalu membukanya. Di dalam tak ada orang.
"Ayah tak ada di dalam," kata George.
"Sebentar lagi akan datang," kata Pak Guru. "Masuk saja ke dalam, dan tunggu di
situ. Sedang kalian naik ke atas. Bersihkan badan, karena sebentar lagi kita
makan siang." Ketiga anak itu naik ke atas dengan langkah-langkah berat. Mereka merasa tak
enak, meninggalkan George sendiri menghadapi nasib. Mereka mendengar suara Tim
melolong-lolong di luar. Anjing itu rupanya tahu bahwa tuannya sedang mengalami
kesukaran. Ia ingin menemani.
George duduk di kursi sambil menatap api di pediangan. Diingatnya bagaimana ia
duduk di atas permadani di depan api pediangan, sambil menggosok-gosok dada Tim
yang sakit batuk dengan minyak obat. Konyol! Kenapa dia sampai bisa lupa dan
tidak mengembalikan botol itu ke tempatnya semula"!
Paman Quentin masuk sambil merengut. Ia memandang anaknya dengan garang.
"Kau di sini kemarin malam, George?" tanyanya.
"Ya, Ayah," jawab George segera.
"Apa yang kaulakukan di sini?" tanya ayahnya. "Kau kan tahu, anak-anak tidak
boleh masuk ke kamar kerjaku."
"Aku tahu," sahut George. "Tapi kemarin malam aku tak tahan mendengar Tim batuk-
batuk terus! Karenanya sekitar pukul setengah satu aku menyelinap ke luar, lalu
mengajaknya masuk. Kamar ini waktu itu tinggal satu-satunya yang masih hangat.
Oleh sebab itu aku lantas duduk di sini, lalu menggosok dadanya dengan minyak
yang biasa dipakai Ibu jika sedang batuk-batuk."
"Kau menggosok dadanya dengan minyak kamper!" seru Paman Quentin tercengang.
"Gila-gilaan! Apa gunanya"!"
"Kurasa itu tidak gila-gilaan," ujar George, "Kuanggap ada gunanya. Dan batuknya
hari ini sudah sangat berkurang. Aku menyesal masuk ke ruang kerja ini. Tapi aku
tak menyentuh apa-apa."
"Kemarin malam terjadi sesuatu yang gawat di sini, George," kata ayahnya sambil
memandang George dengan serius. "Beberapa tabung percobaan yang kupakai untuk
mengadakan eksperimen penting kutemukan pecah berantakan. Dan yang lebih parah
lagi, tiga lembar kertas yang penting hilang dari buku yang sedang kutulis. Kau
berani bersumpah bahwa kau tak tahu-menahu tentang kertas-kertas itu?"
"Aku tak tahu-menahu tentang kertas-kertas Ayah yang hilang," ujar George sambil
menatap mata ayahnya. Matanya sendiri bersinar biru cerah. Paman Quentin merasa
yakin bahwa George tidak bohong. Anak itu tak tahu-menahu tentang kejadian
kemarin malam. Kalau begitu, di mana kertas-kertas pentingnya"
"George," kata Paman Quentin dengan suara yang sudah menjadi lebih tenang,
"Ketika aku pergi tidur pukul sebelas kemarin malam, di sini semuanya masih
beres. Ketiga lembar kertas yang penting itu masih kubaca sekali lagi, dan
kuperiksa isinya. Tapi pagi ini tahu-tahu sudah lenyap."
"Kalau begitu hilangnya mesti antara pukul sebelas dan pukul satu tengah malam,"
kata George. "Aku ada di sini dari saat itu sampai pukul enam pagi."
"Tapi siapa yang mengambil?" tanya ayahnya kebingungan. "Kalau aku tidak salah,
jendela-jendela terkunci semua. Dan tak ada yang tahu kecuali aku sendiri bahwa
ketiga lembar kertas itu penting. Benar-benar luar biasa kejadian ini!"
"Pak Guru Roland mungkin tahu bahwa kertas-kertas itu penting," ujar George
lambat-lambat. "Ah, tak mungkin! Edan!" ujar Paman Quentin. "Dan andaikan ia menyadari
pentingnya kertas-kertas itu, mustahil dia yang mengambil. Roland orang yang
baik sekali. O ya - aku teringat lagi - kenapa pagi ini kau tak mengikuti
pelajaran?" "Aku tak mau lagi belajar dengan orang itu," jawab George. "Aku benci padanya!"
"George!" kata ayahnya dengan marah. "Aku tak senang mendengar kau ngomong
begitu. Apakah kau ingin kehilangan Tim?"
"Tidak, Ayah," jawab George. Ia merasa lemas mendengar ancaman ayahnya itu.
"Ayah tidak adil, memaksa aku dengan jalan mengancam akan membuang Tim. Jika
Ayah melakukannya - aku - aku - aku akan minggat!"
George tidak menangis. Ia duduk lurus-lurus di kursi, dengan mata menatap
ayahnya. Sikapnya menantang! Paman Quentin mengeluh. Ia teringat, sewaktu kecil
dia pun sering kali disebut anak yang sukar. Mungkin George mendapat sifat keras
itu dari dia. Sebetulnya anak itu bisa baik dan manis. Tetapi sekarang" George
duduk dengan sikap membandel di depannya.
Sekali lagi Paman Quentin mengeluh. Ia bingung, tak tahu apa yang harus
diperbuatnya dengan George. Lebih baik ia ngomong dulu dengan isterinya. Paman
Quentin bangkit, lalu berjalan ke pintu.


Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu di sini! Aku harus ngomong sebentar dengan ibumu tentang dirimu."
"Tapi jangan bicarakan tentang aku dengan Pak Guru," kata George meminta. Ia
merasa yakin, guru pembimbing itu pasti akan mengusulkan hukuman yang berat-
berat untuknya dan Tim. "Ayah, coba kemarin malam Tim ada dalam rumah! Coba ia
seperti biasanya tidur di kamarku, pasti ia bisa mendengar ada orang yang hendak
mencuri kertas-kertas penting itu. Lalu ia menggonggong dan membangunkan seisi
rumah!" Paman Quentin diam saja. Tetapi ia sadar bahwa kata George itu benar. Tim takkan
membiarkan ada orang lain masuk ke kamar kerja. Aneh! Kalau ada orang memanjat
jendela kamar kerja dari luar, mengapa Tim tidak menggonggong tengah malam
kemarin! Tetapi letak kandangnya di sisi lain. Jadi bisa saja ia memang tak
mendengar apa-apa. Pintu kamar kerja ditutup Paman Quentin. George masih terduduk di kursinya.
Matanya menatap rak sebelah atas pediangan. Di atas rak terdapat sebuah jam yang
berdetak-detik. George merasa sengsara. Segala-galanya kacau balau!
Sementara memandang itu, ia menghitung-hitung papan pelapis dinding cerobong
pediangan. Begitu saja, karena iseng. Berapa jumlah papan pelapis di situ"
Delapan. Berapa" Delapan! Kenapa angka delapan menarik baginya" Di mana disebut-
sebut persoalan delapan papan pelapis dinding" George berusaha mengingat-ingat.
Ah ya, tentu saja! Dalam petunjuk Jalan Rahasia. Di kain linen tertera delapan
kotak bujur sangkar. Sayang, di rumah pertanian Kirrin Farm tidak terdapat
delapan lembar papan pelapis di atas tempat pediangan.
George memandang ke luar jendela, karena ingin tahu apakah kamar itu menghadap
ke timur. Ia hendak melihat letak matahari. Tetapi sinarnya tidak masuk lagi ke
kamar, karena hari sudah siang. Namun tadi pagi kamar itu diterangi cahaya
matahari. Jadi mestinya menghadap ke timur. Bayangkan! Ia berada dalam kamar
yang menghadap ke timur. Dan di situ ada sebagian dinding yang berpapan pelapis
delapan buah. Apakah lantai di situ juga dari batu.
Lantai kamar berlapis karpet tebal. George bangkit dari duduknya, lalu pergi ke
dinding. Disingkapkannya tepi karpet di situ. Matanya menatap ubin batu yang
lebar-lebar. Kamar kerja itu berlantai batu!
George duduk lagi di tempatnya. Ia memandang kedelapan papan yang di atas
pediangan. Dicobanya mengingat-ingat papan yang mana yang diberi tanda silang
pada gambar petunjuk. Tetapi tak mungkin petunjuk itu memaksudkan sebuah kamar
di Pondok Kirrin. Jalan Rahasia berawal di Kirrin Farm, yang ditinggali keluarga
petani Sanders! Tetapi siapa tahu, barangkali saja Jalan Rahasia terdapat di Pondok Kirrin!
Memang, kain petunjuk itu ditemukan di Kirrin Farm. Tetapi kenyataan itu tidak
perlu berarti bahwa Jalan Rahasia berawal di sana, meski Ibu Sanders merasa
demikian. Hati George berdebar-debar.
"Kedelapan papan itu harus kuperiksa semua, untuk mencari papan yang pada kain
petunjuk diberi tanda silang," pikirnya. "Barangkali saja bisa tergeser, dan
sekonyong-konyong aku akan berhadapan dengan lubang tempat masuk ke Jalan
Rahasia!" Ia bangkit untuk melaksanakan niatnya. Tetapi tepat pada saat itu pintu kamar
terbuka. Ayahnya masuk dengan wajah serius.
"Aku sudah ngomong dengan ibumu," katanya. "Ia juga sependapat, bahwa kau telah
bersikap tak menurut, kurang ajar dan menantang. Kami tak bisa membiarkan
kelakuanmu yang seperti itu, George. Kau perlu dihukum."
George memandang ayahnya dengan perasaan cemas. Asal jangan Tim ikut-ikut
dihukum! Tetapi tentu saja hukuman itu ada sangkut pautnya dengan Tim.
"Sehari ini kau harus tinggal di kamarmu. Kau harus segera tidur. Kecuali itu
kau tak boleh bermain-main dengan Tim selama tiga hari," kata ayahnya. "Akan
kusuruh Julian mengurus makanan dan mengajaknya jalan-jalan. Kalau kau masih
tetap membandel, kami akan terpaksa memberikan Tim pada orang lain.
Kedengarannya memang aneh, tetapi aku khawatir Tim berpengaruh jelek terhadap
dirimu." "Tidak, Ayah! Itu tidak benar!" teriak George. "Aduh, dia akan sedih sekali
apabila aku tak boleh melihatnya selama tiga hari."
"Nasi sudah menjadi bubur, George," ujar ayahnya. "Sekarang kau langsung masuk
ke tempat tidur. Di sana kaupikirkan baik-baik kata-kataku tadi! Aku sangat
kecewa melihat kelakuanmu selama masa liburan ini. Kukira pergaulanmu dengan
ketiga saudara-saudara sepupumu telah mengubah watakmu, menjadi anak perempuan
yang biasa dan penurut. Tapi kenyataannya kau bahkan menjadi lebih parah."
Paman membuka pintu. George ke luar dengan kepala diangkat tinggi-tinggi.
Didengarnya suara orang-orang sedang makan siang di kamar makan. Ia segera naik
ke tingkat atas, lalu berganti pakaian dengan baju tidur. Sambil masuk ke tempat
tidur, pikirannya melayang ke anjingnya. Ia merasa sedih, karena tak boleh
melihat Tim selama tiga hari. Takkan ada yang bisa tahu betapa sayang George
pada Tim! Joanna masuk membawa baki berisi makanan.
"Sayang kau harus tidur sekarang," kata juru masak itu dengan suara riang. "Kau
tak boleh keras kepala! Kalau kau tak membangkang lagi, pasti sebentar lagi akan
diperbolehkan turun ke bawah."
George makan dengan segan-segan. Ia tak merasa lapar. Kemudian ia merebahkan
diri, sambil memikirkan Tim. Pikirannya juga melayang kedelapan bidang papan
yang terpasang di atas rak pediangan. Mungkinkah papan-papan itu yang tertera
gambarnya pada petunjuk Jalan Rahasia" George memeras otak sambil memandang ke
luar jendela. "Astaga!" katanya tiba-tiba. Dengan segera ia menegakkan badan dan duduk di
tempat tidur. "Hujan salju! Sewaktu melihat langit yang gelap pagi tadi, sudah
kukira hari ini akan turun salju. Turunnya lebat sekali! Nanti malam pasti sudah
tebal hamparan salju di tanah. Tim yang malang! Mudah-mudahan saja Julian
mengurus supaya kandangnya tidak kemasukan salju yang kena tiup angin."
George banyak waktunya untuk berpikir, karena tak ada kesibukan lain yang bisa
dikerjakannya di tempat tidur. Joanna datang kembali untuk mengambil baki.
Tetapi kecuali dia, tak ada lagi yang datang. George merasa yakin, anak-anak
pasti dilarang naik ke atas untuk menemaninya. Ia merasa kesepian dan tersisih.
Ia berpikir-pikir tentang kertas-kertas ayahnya yang hilang. Mungkinkah Pak Guru
Roland yang mengambil" Bagaimanapun juga, ia sangat menaruh minat terhadap
pekerjaan ayahnya. Dan kelihatannya Pak Guru juga memahami persoalannya. Pencuri
harus seseorang yang tahu kertas-kertas mana yang penting. Dan kalau pencuri itu
masuk dari luar, tentunya Tim akan menggonggong. Kandangnya memang tidak berada
pada sisi rumah yang bersamaan dengan kamar kerja, tetapi pendengaran anjing itu
sangat tajam. "Kurasa yang mengambil mesti seseorang yang ada dalam rumah," kata George pada
dirinya sendiri. "Dan pasti orang itu bukan anak-anak. Dan pasti juga bukan Ibu
atau Joanna. Jadi tinggal Pak Guru Roland. Lagipula aku pernah memergokinya
dalam kamar kerja, ketika aku terbangun karena geraman Tim."
Sekonyong-konyong George terduduk di tempat tidur.
"Kurasa Pak Guru Roland memang sengaja menginginkan Tim diusir dari rumah,
karena ia mau mengaduk-aduk dalam kamar kerja lagi," katanya menarik kesimpulan.
"Dan ia takut kalau-kalau Tim akan menggonggong lagi! Pantas ia sangat berkeras
meminta agar Tim tetap di luar, sewaktu yang lain-lain sudah mengharap dan
meminta untukku supaya Tim diperbolehkan masuk. Kurasa Pak Guru yang mencuri
kertas-kertas itu. Ya, aku yakin dialah yang mencuri!"
George gelisah di tempat tidur. Mungkinkah memang Pak Guru yang mencuri kertas-
kertas penting, dan memecahkan tabung-tabung gelas yang diperlukan ayahnya untuk
melakukan percobaan" George sangat menginginkan kedatangan ketiga saudara
sepupunya, supaya berunding dengan mereka!
XIII JULIAN MENDAPAT BUKTI KETIGA anak yang ada di bawah merasa kasihan pada George. Tetapi Paman Quentin
melarang mereka naik ke atas untuk menemaninya.
"Ada baiknya jika George disuruh sendirian untuk beberapa lama, supaya bisa
memikirkan untung rugi tindakan-tindakannya selama ini," kata Paman.
"Kasihan George," kata Julian pada adik-adiknya. "Sayang, ya" Eh - hujan salju!"
Lebat sekali turun salju. Julian pergi ke jendela dan memandang ke luar.
Bloon Cari Jodoh 10 Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Pemburu Darah 1
^