Beraksi Kembali 3
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali Bagian 3
"Aku mesti ke luar untuk memeriksa keadaan kandang Tim," katanya. "Jangan sampai
ia tertimbun salju. Pasti ia tercengang-cengang, karena belum pernah
melihatnya." Tim heran sekali melihat tanah dan segala benda sekelilingnya dilapisi sesuatu
yang berwarna putih dan lembut. Anjing itu berbaring dalam kandangnya sambil
memandang gumpalan-gumpalan salju yang jatuh dengan pelan dari langit. Matanya
yang besar berwarna coklat bergerak-gerak mengikuti jatuhnya gumpalan-gumpalan
sampai ke tanah. Tim bingung dan sedih. Mengapa ia harus sendirian tinggal dalam
kandang yang dingin di luar" Mengapa George tidak datang untuk mengajaknya
bermain-main" Mungkinkah tuannya tidak sayang lagi padanya" Anjing itu merasa
sengsara, seperti George pula!
Tim gembira sekali ketika Julian datang, dan melonjak-lonjak menyambutnya.
"Nah, Tim!" sapa Julian. "Apa kabar" Biar kusingkirkan dulu salju yang bertumpuk
di sini, dan kuputar letak kandangmu! Supaya tak ada salju terbang masuk ke
dalam. Nah - begini lebih baik. Tidak Tim, kita bukan akan jalan-jalan! Jangan
sekarang." Julian masih bermain-main sebentar dengan anjing yang malang itu. Kemudian ia
masuk lagi. Adik-adiknya menyongsong ke pintu kamar duduk.
"Julian, Pak Guru mau berjalan-jalan sendiri. Bibi Fanny beristirahat sebentar,
sedang Paman Quentin sibuk di kamar kerjanya. Bagaimana kalau kita naik ke atas
dan ngobrol dengan George?"
"Kita kan dilarang oleh Paman Quentin," kata Julian.
"Aku juga tahu," ujar Dick. "Tapi aku berani menanggung risiko ketahuan, asal
George bisa menjadi agak gembira karenanya. Tentunya ia merasa sedih sekali,
harus berbaring sendirian. Apalagi karena tak diperbolehkan bertemu dengan Tim
selama berhari-hari."
"Yah - kalau begitu biar aku saja yang ke atas, karena aku yang tertua," kata
Julian. "Kalian berdua menunggu dalam kamar duduk sambil ngobrol. Dengannya
Paman Quentin akan mengira kita semua ada di sini. Aku menyelinap ke atas, dan
bicara sebentar dengan George."
"Baiklah," kata Dick menerima usul itu. "Kirim salam padanya! Katakan, kami akan
mengurus Tim." Julian menyelinap naik ke atas. Dibukanya pintu kamar George lalu ditutupnya
kembali setelah ia melangkah ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya George duduk
di tempat tidur. Anak perempuan itu memandangnya dengan wajah berseri-seri.
"Ssst!" bisik Julian. "Sebetulnya aku tak boleh ke mari!"
"Wah, Julian," kata George bergembira. "Untung kau ke mari! Aku sangat kesepian.
Ke marilah, duduk di sebelah sini. Jadi kalau tiba-tiba ada yang datang, kau
bisa cepat-cepat bersembunyi!"
Julian duduk ke tempat yang ditunjukkan. George mulai mencurahkan segala
pendapat yang dipikirkannya selama berbaring sendirian.
"Kurasa Pak Guru Roland yang mencuri kertas-kertas itu. Benar, aku yakin!"
katanya. "Aku mengatakannya bukan karena aku benci padanya! Sungguh, Julian -
bukan itu alasannya! Soalnya, aku kan pernah memergokinya menyelinap dalam kamar
kerja Ayah pada suatu siang. Dan sesudah itu sekali lagi di tengah malam.
Mungkin saja dia dulu mendengar kabar tentang penyelidikan Ayah, lalu datang
melamar dengan maksud hendak mencuri hasil pekerjaan itu. Ia bernasib mujur
bahwa kita memerlukan seorang guru pembimbing. Aku merasa pasti dialah yang
mencuri kertas-kertas penting itu. Dan aku juga merasa pasti, Tim sengaja
dimintanya supaya dikeluarkan dari rumah, supaya ia bisa leluasa mencuri dengan
tak terdengar oleh anjingku itu. Jadi Tim tidak bisa menggeram untuk
memberitahukan pada kita."
"Entahlah, George," sambut Julian. Anak itu tak bisa menerima sangkaan saudara
sepupunya bahwa guru pembimbing mereka melakukan perbuatan sejahat itu.
"Kedengarannya terlalu mengada-ada, dan sukar dipercayai."
"Kan banyak hal-hal mustahil yang ternyata toh terjadi," kata George. "Banyak
sekali! Dan ini satu di antaranya."
"Nah! Kalau memang benar Pak Guru yang mencuri kertas-kertas itu, tentunya
sekarang masih ada dalam rumah," kata Julian. "Sepanjang hari Pak Guru belum ke
luar. Tentunya kertas-kertas itu disembunyikannya di salah satu tempat dalam
kamar tidurnya." "Tentu saja!" ujar George dengan hati berdebar-debar. "Ah, coba dia ke luar
sekarang! Pasti akan kuperiksa kamarnya sekarang juga."
"George! Kau tak bisa berbuat seperti itu," kata Julian kaget. Menurut
perasaannya, perbuatan demikian tidak pantas.
"Kau tak tahu apa saja yang bisa kulakukan, jika aku mau," kata George. Bibirnya
yang menipis menunjukkan kebulatan tekat. "He! - bunyi apa itu?"
Mereka mendengar pintu tertutup dengan suara keras. Julian mengendap-ngendap
mendekati jendela, lalu mengintip ke luar. Saat itu salju sedang tidak turun
sebentar. Pak Roland memakai kesempatan baik itu untuk pergi ke luar rumah.
Rupanya dia hendak jalan-jalan sebentar, mencari hawa segar.
"Pak Roland yang keluar," kata Julian.
"Wah - aku bisa memeriksa kamarnya sekarang! Asal kau berjaga-jaga di depan
jendela, untuk memberitahukan padaku apabila ia datang kembali," kata George.
Seketika itu juga ia menyingkapkan selimut dan meloncat bangkit.
"Jangan, George!" larang Julian. "Tidak baik, membongkar-bongkar kamar orang!
Lagipula kalau memang dia pencurinya, kertas-kertas itu pasti dibawanya serta.
Bahkan mungkin saat ini ia pergi untuk menyerahkannya pada teman sekomplotan."
"Tak pernah terpikir olehku kemungkinan itu," ujar George sambil menatap Julian,
"Lemas tubuhku mendengarnya! Tentu saja saat ini ia mungkin sedang bermaksud
untuk menyerahkan surat-surat itu pada komplotannya. Misalnya saja, Pak Guru
mengenal kedua seniman yang tinggal di Kirrin Farm. Bisa saja mereka pun
termasuk komplotan."
"Ah George, janganlah sekonyol itu," kata Julian. "Kau ini terlalu mengada-ada.
Enak saja ngomong, tentang komplotan dan entah apa lagi. Kalau ada orang
mendengar omonganmu, pasti akan mengira kita sedang menghadapi petualangan
seru." "Memang," ujar George sekonyong-konyong. Wajahnya sangat serius. "Aku bisa
merasakannya! Kita sedang berhadapan dengan suatu petualangan hebat."
Julian memandang saudara sepupunya sambil berpikir-pikir. Mungkinkah kata-kata
George ada benarnya"
"Julian, maukah kau menolongku?" tanya George.
"Tentu saja," jawab Julian dengan segera.
"Pergilah ke luar dan ikuti Pak Guru Roland," kata George. "Tapi jangan sampai
ia melihatmu. Dalam lemari gantung di serambi dalam ada sebuah mantel hujan
berwarna putih. Kalau kau memakainya, takkan mudah kelihatan di tengah salju.
Kau mengikuti dari belakang. Perhatikan kalau-kalau ia berjumpa dengan orang
lain, dan menyerahkan sesuatu yang kelihatannya seperti kertas-kertas yang
dicuri dari buku ayahku. Kau kan tahu, maksudku kertas ukuran besar yang biasa
dipakai olehnya untuk membuat catatan ilmiah. Kau tidak bisa keliru, karena
ukurannya besar sekali!"
"Baiklah," kata Julian. "Tapi sebelum aku pergi, kau harus berjanji takkan
menggeledah kamarnya. Kau tak bisa melakukan hal-hal semacam itu, George!"
"Bisa saja!" kata George. "Tapi aku takkan melakukannya, asal kau menolongku
membuntuti Pak Guru Roland. Aku yakin ia pergi ke luar, karena hendak
menyerahkan barang curiannya pada teman-teman sekomplotannya! Dan tanggung
mereka itu kedua seniman di Kirrin Farm, yang pura-pura tak dikenal olehnya."
"Nanti akan ternyata bahwa kau keliru," ujar Julian sambil berjalan menuju ke
pintu. "Kurasa aku takkan bisa membuntuti Pak Guru lagi, karena ia ke luar lima
menit yang lalu!" "Tentu saja kau bisa, Tolol! Kan kelihatan jejak sepatunya dalam salju," kata
George. "O ya, Julian! Aku sampai lupa menceritakan sesuatu yang sangat menarik.
Tapi sekarang tak ada waktu lagi, karena kau harus cepat-cepat menyusul! Nanti
saja naik lagi ke mari, kalau kau sudah kembali. Soalnya tentang Jalan Rahasia."
"O ya?" kata Julian dengan gembira. Selama itu ia merasa sangat kecewa, karena
usaha mereka mencari dan memeriksa sama sekali tak mendatangkan hasil. "Baiklah,
akan kucoba menyelinap ke atas lagi nanti. Kalau aku tak muncul, berarti aku
tidak bisa. Jadi kau harus menunggu sampai saat tidur."
Sudah itu Julian ke luar, sambil menutup pintu dengan hati-hati sekali. Ia
menyelinap turun. Sesampai di bawah ia menjengukkan kepala sebentar di celah
pintu kamar duduk yang dibukanya sedikit. Ia berbisik pada kedua adiknya, bahwa
ia akan ke luar untuk membuntuti Pak Guru yang sedang jalan-jalan.
"Nanti kuceritakan sebabnya," katanya singkat. Diambilnya mantel hujan putih
dari lemari di serambi dalam, lalu diselubungkan ke tubuhnya. Tertutup selubung
putih, Julian masuk ke kebun sambil mengendap-endap. Salju sudah mulai turun
lagi. Tetapi belum lebat, sehingga jejak kaki Pak Guru Roland masih bisa
terlihat karena belum habis tertimbun salju baru. Orang itu memakai sepatu
tinggi yang besar. Jejak-jejaknya nampak jelas di atas salju yang terhampar di
tanah setebal lima belas senti.
Julian berjalan cepat-cepat, mengikuti arah jejak. Daerah pedesaan saat itu
menampakkan suasana musim dingin yang sejati. Semuanya kelihatan putih diliputi
salju. Langit berawan tebal. Dari warnanya Julian tahu bahwa masih banyak lagi
salju yang akan turun ke bumi. Pak Guru Roland masih belum nampak di depannya.
Julian mempercepat langkahnya.
Jejak-jejak sepatu besar yang sepasang itu diikutinya, lewat jalan besar, lalu
membelok memasuki jalan setapak yang melintasi padang. Julian berjalan tersaruk-
saruk. Matanya terpaku ke jejak sepatu. Sekonyong-konyong ia berhenti, karena
mendengar suara orang berbicara. Di sisi kanan jalan itu ada sebuah semak yang
agak besar. Suara yang didengarnya datang dari arah situ. Julian menghampiri
semak dengan hati-hati. Sekarang ia bisa mendengar suara Pak Guru berbicara
dengan setengah berbisik. Julian tak bisa menangkap kata-katanya.
"Ia ngomong dengan siapa?" pikirnya heran. Julian merayap semakin dekat ke
semak. Di bawah semak tak ada salju, karena tertahan daun-daun yang menaungi di
atasnya. Julian memutuskan untuk merangkak ke dalam lekuk tanah tak bersalju
itu. Semak itu berduri daunnya, tetapi ia tak peduli. Dari dalam lekuk, ia akan
bisa mengintip ke sebelah sana. Dengan hati-hati Julian merangkak ke bawah semak
dan ke dalam lekuk yang ada di bawahnya. Dahan dan ranting di situ tak berdaun.
Disingkapkannya ranting-ranting yang menghalangi pandangan dengan hati-hati.
Julian sangat kaget ketika melihat Pak Guru sedang bicara dengan kedua seniman
yang tinggal di Kirrin Farm. Pak Roland sedang bisik-bisik dengan Pak Thomas dan
Pak Wilton! Ternyata kata George memang benar. Guru pembimbing mereka ke luar
untuk bertemu dengan kedua orang itu. Dan sementara Julian mengintip dari balik
ranting-ranting kering, ia melihat betapa Pak Guru menyerahkan beberapa lembar
kertas yang dilipat dua pada Pak Thomas.
"Kelihatannya seperti kertas-kertas yang berasal dari buku Paman Quentin," kata
Julian dalam hati. "Benar-benar aneh! Kelihatannya semua ini mirip seperti
komplotan - dan Pak Roland sebagai tokoh utama."
Pak Thomas memasukkan kertas-kertas itu ke dalam kantong mantelnya. Ketiga orang
itu masih ngomong lagi sebentar. Mereka bisik-bisik, sehingga kuping Julian yang
tajam itu pun tak bisa menangkap isi pembicaraan mereka. Kemudian mereka
berpisah. Kedua seniman menuju ke Kirrin Farm, sedang Pak Roland mengambil jalan
setapak yang melintasi padang. Julian meringkuk dalam lekuk di bawah semak.
Hatinya berdebar-debar. Kalau Pak Guru berpaling, pasti ia akan ketahuan! Tetapi
untung orang itu berjalan terus, dengan tidak menoleh lagi. Tak lama kemudian
sudah nampak lagi di balik tirai hujan salju yang sementara itu sudah lebat
lagi. Hari pun mulai gelap. Julian tak bisa melihat jalan dengan jelas. Ia
bergegas berjalan di belakang Pak Guru, karena khawatir tersesat di tengah badai
salju. Pak Guru Roland juga tak ingin berlama-lama di luar. Ia berjalan cepat-cepat
menuju Pondok Kirrin. Akhirnya ia sampai di pintu pagar kebun. Julian
memperhatikan, sementara Pak Guru bergegas masuk ke rumah. Julian menunggu
sebentar, menunggu saat sampai Pak Guru telah membuka pakaian luarnya. Sudah itu
barulah ia menyusul. Sambil melewati kandang, ditepuk-tepuknya kepala Tim. Di
depan pintu rumah yang membuka ke kebun dibukanya mantel putih serta sepatu
tinggi. Sudah itu ia cepat-cepat menyelinap masuk ke kamar duduk, sebelum Pak
Guru turun ke bawah dari kamar tidurnya.
"Apa yang terjadi tadi?" tanya Dick dan Anne dengan segera, karena melihat wajah
abang mereka tegang. Tetapi Julian tak bisa mengatakan, karena saat itu Joanna
masuk membawa hidangan teh.
Julian sangat kecewa, karena sepanjang sore itu ia tak bisa bicara dengan aman,
karena setiap saat ada saja orang dewasa yang hadir dalam kamar duduk. Ia pun
tak mendapat kesempatan untuk menyelinap ke atas dan mendatangi George.
Sebenarnya ia sudah tak sabar lagi dan ingin cepat-cepat menceritakan hasil
pengintipannya, tetapi ia tahu bahwa ia terpaksa menunggu.
"Salju masih turun, Bibi Fanny?" tanya Anne.
Bibi pergi ke depan, lalu membuka pintu untuk melihat ke luar. Salju bertumpuk
tinggi di depan tangga depan rumah.
"Ya," katanya setelah masuk kembali ke kamar duduk. "Turunnya lebat sekali!
Kalau terus-menerus turun selebat ini, nanti kita akan terkurung salju! Persis
seperti musim dingin dua tahun yang lalu. Lima hari lamanya kami tidak bisa ke
luar. Tukang susu tidak bisa datang. Begitu pula tukang roti! Untung saat itu di
rumah banyak tersedia susu dalam kaleng, dan aku bisa membuat roti sendiri.
Kasihan kalian! Besok tidak bisa jalan-jalan di luar, karena salju yang
bertumpuk akan terlampau tebal!"
"Kirrin Farm juga akan terkurung salju?" tanya Pak Guru Roland.
"O ya! Bahkan lebih parah lagi daripada rumah ini," ujar Bibi Fanny. "Tapi
keluarga Sanders tak pernah khawatir, karena banyak persediaan makanan di sana.
Mereka takkan bisa ke luar dari rumah. Persis seperti kita, bahkan lebih banyak
salju di sana!" Julian heran, mengapa Pak Guru bertanya begitu. Apakah ia khawatir teman-
temannya tak bisa pergi ke kantor pos untuk mengirimkan kertas-kertas rahasia
itu" Atau mungkin mereka hendak membawanya pergi naik mobil atau bis" Julian
merasa itulah jawaban atas pertanyaannya tadi. Ia kepingin sekali merundingkan
persoalan itu dengan saudara-saudaranya.
"Aduh, aku capek sekali!" katanya kemudian, ketika jam menunjukkan waktu pukul
delapan malam. "Kita tidur saja yuk!"
Dick dan Anne tercengang memandangnya. Julian, sebagai yang tertua, biasanya
tidur paling lambat. Tetapi malam ini ia yang mengajak tidur! Tetapi Julian
cepat-cepat mengedipkan mata. Dan karena kedua adiknya bukan anak-anak yang
tolol, dengan segera mereka memahami maksudnya. Mereka segera menuruti
contohnya. Dick menguap lebar-lebar, sedang Anne menggeliat sambil menggosok-gosok mata.
Bibi Fanny meletakkan barang jahitannya sebentar ketika melihat gelagat anak-
anak itu. "Wah! Rupanya kalian sudah benar-benar mengantuk," katanya. "Kurasa kalian lebih
baik pergi saja tidur sekarang!"
"Bolehkah saya pergi sebentar untuk menjenguk Tim?" tanya Julian. Bibinya
mengangguk. Julian mengenakan sepatu tingginya yang terbuat dari karet serta
mantelnya, lalu pergi ke pekarangan. Tanah di situ diliputi salju tebal. Kandang
anjing sudah hampir tertimbun olehnya. Tim menginjak-injak salju yang jatuh di
depan pintu kandangnya. Ia berdiri di tempat yang agak terbuka itu. Dipandangnya
Julian ketika anak itu datang dari arah rumah.
"Kasihan, kau harus sendiri di tengah salju yang dingin," kata Julian. Ditepuk-
tepuknya kepala Tim. Anjing itu mendengking-dengking dengan pelan. Rupanya ia
ingin diajak masuk ke dalam.
"Coba aku boleh membawamu ke dalam," kata Julian menyesal. "Tapi biarlah, Tim.
Besok pagi aku akan datang melihatmu."
Julian masuk lagi ke dalam rumah. Anak-anak mengucapkan selamat tidur pada Bibi
Fanny dan Pak Guru Roland, lalu naik ke tingkat atas.
"Cepatlah berganti pakaian! Sudah itu kenakan mantel kamar kalian, lalu pergi ke
kamar George," bisik Julian pada adik-adiknya. "Jangan berisik! Nanti terdengar
oleh Bibi Fanny, lalu ia datang memeriksa ke atas. Ayoh, cepat!"
Tak sampai tiga menit kemudian anak-anak sudah berkumpul dan duduk di atas
tempat tidur George. Anak itu sangat senang melihat ketiga saudara sepupunya
datang. Anne langsung masuk ke bawah selimut, karena kakinya kedinginan.
"Bagaimana, Julian" Kau masih mengikuti Pak Guru Roland dari belakang?" bisik
George. "Untuk apa Julian membuntuti?" tanya Dick yang sedari tadi sudah kepingin tahu.
Dengan ringkas diceritakan oleh Julian segala-galanya: mulai dari kecurigaan
George, lalu bagaimana ia berjalan menyelinap di salju sambil mengikuti jejak
kaki Pak Guru, dan apa saja yang dilihatnya dari balik ranting-ranting semak.
Mata George berkilat-kilat marah, ketika Julian sampai pada bagian cerita
tentang Pak Guru yang menyerahkan seberkas kertas pada kedua seniman.
"Maling! Pasti yang diserahkannya itu kertas-kertas yang hilang! Padahal ayahku
begitu ramah terhadapnya. Aduh, apa yang bisa kita lakukan sekarang" Kedua orang
itu pasti akan membawa atau mengirimkan kertas-kertas itu secepat mungkin, dan
sebagai akibatnya maka rahasia yang telah diselidiki sejak lama oleh Ayah akan
dipakai oleh orang lain. Bahkan mungkin oleh negara lain!"
"Mereka tak bisa pergi membawa kertas-kertas itu," kata Julian menerangkan.
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Salju di luar tebal sekali, George. Kalau hujan salju masih turun terus, kita
akan terkurung di sini selama beberapa hari. Dan orang-orang di Kirrin Farm juga
tidak bisa ke luar, karena terhalang salju! Kalau mereka hendak menyembunyikan
kertas-kertas itu, maka mau tak mau harus pada salah satu tempat di Kirrin Farm
sendiri. Alangkah baiknya jika kita bisa ke sana dan mencarinya!"
"Yah, kenyataannya kita tidak bisa," ujar Dick. "Itu sudah pasti! Kalau kita mau
mencoba juga, bisa terbenam nanti dalam salju."
Keempat anak itu saling berpandangan dengan wajah suram. Dick dan Anne hampir-
hampir tak mau percaya, bahwa Pak Guru yang periang sebenarnya seorang pencuri.
Bahkan mungkin seorang mata-mata, yang berusaha mencuri suatu rahasia penting
dari seorang sarjana yang bersahabat dengannya. Dan anak-anak tidak berdaya
untuk mencegahnya. "Kita laporkan saja pada ayahmu," kata Julian akhirnya.
"Jangan!" bantah Anne. "Ia toh takkan mau percaya! Bukankah begitu, George?"
"Kita akan dicemoohkannya, lalu ia pergi menceritakan laporan kita pada Pak
Roland," kata George. "Dengan begitu Pak Roland akan mendengar bahwa
perbuatannya sudah kita ketahui. Ia sama sekali tak boleh menduga bahwa kita
sudah tahu!" "Sst! Kudengar langkah-langkah Bibi Fanny di tangga!" bisik Dick tiba-tiba.
Secepat kilat kedua anak laki-laki menyelinap ke luar dan masuk ke tempat tidur
masing-masing. Sedang Anne melompat ke pembaringannya yang terletak
berseberangan dengan tempat tidur George. Ketika bibi mereka masuk, keadaan
dalam kedua kamar sepi dan tenang. Keempat anak itu berbaring di tempat tidur
masing-masing. Nampaknya sudah tak tahan lagi menahan kantuk. Mereka silih
berganti menguap, lebar sekali!
Bibi Fanny mengucapkan selamat malam pada mereka, sambil membetulkan letak
selimut. Tetapi begitu terdengar langkahnya menuruni tangga lagi, dalam sekejap
mata mereka berempat sudah bergabung kembali dalam kamar George.
"George, kau tadi mau menceritakan sesuatu tentang Jalan Rahasia," kata Julian
mengingatkan. "Oya - betul," ujar George. "Mungkin sangkaanku ini tidak benar - tapi dalam
kamar kerja ayahku di bawah, di atas rak perapian di situ ada delapan papan
pelapis dinding cerobong! Dan lantainya dari batu, sedang kamar itu menghadap ke
timur! Aneh, ya" Persis seperti yang tertulis dalam petunjuk Jalan Rahasia."
"Di situ juga ada lemari dinding?" tanya Julian.
"Tidak. Tapi yang lain-lainnya lengkap," sahut George. "Karena itu timbul
sangkaanku, barangkali saja tempat masuk itu adanya di rumah ini, dan bukan di
Kirrin Farm. Bagaimana pun juga, baik Pondok Kirrin maupun rumah petani itu
dulunya milik keluargaku. Dan orang-orang yang di jaman dulu tinggal di Kirrin
Farm, tentunya mengetahui segala seluk beluk rumah kami ini."
"Astaga! George - bukan main, apabila tempat masuk ke Jalan Rahasia itu memang
benar ada di sini!" ujar Dick. "Hebat! Ayoh, kita ke bawah sekarang juga! Kita
periksa saja." "Jangan konyol," kata Julian mencegahnya. "Kita masuk ke kamar kerja, padahal
saat ini Paman Quentin ada di dalamnya" Edan! Aku lebih memilih berhadapan
dengan dua puluh ekor singa lapar, daripada menghadapi Paman Quentin! Apalagi
setelah kejadian-kejadian kemarin malam!"
"Tapi kita harus memeriksanya, apakah sangkaan George itu benar! Kita HARUS
MEMERIKSANYA!" Dick terlalu bersemangat, sampai lupa berbisik.
"Tutup mulutmu, goblok!" kata Julian sambil menumbuk adiknya itu. "Kau mau seisi
rumah datang ke mari?"
"Maaf deh, aku lupa tadi," kata Dick. "Sungguh-sungguh mengasyikkan! Kita
menghadapi petualangan lagi!"
"Persis seperti yang kukatakan," kata George bergairah. "Begini sajalah! Kita
menunggu sampai saat tengah malam. Sudah itu, apabila orang-orang dewasa sudah
tidur nyenyak, kita menyelinap ke bawah. Kita lihat saja, apakah dugaanku benar"
Mungkin saja sangkaanku keliru, tetapi kita harus memeriksanya malam ini juga.
Aku takkan bisa tidur, sebelum memeriksa satu per satu papan pelapis yang
terdapat di atas rak pediangan dalam kamar kerja Ayah."
"Aku pun pasti tak bisa tidur," sambut Dick. "He! Coba dengar! - ada orang
datang" Sebaiknya kita pergi saja ke kamar masing-masing! Ayoh, Julian! Tengah
malam nanti kita berkumpul lagi di sini, lalu merayap ke bawah untuk memeriksa
kebenaran sangkaan George."
Julian dan Dick bergegas kembali ke kamar mereka. Tetapi mereka tidak bisa
tidur. George juga tetap terjaga. Ia berbaring di tempat tidur, sementara
pikirannya sibuk dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama masa liburan
itu. "Persoalannya seperti teka-teki silang," pikirnya. "Mula-mula banyak yang tak
kuketahui! Tetapi pelan-pelan terdapat juga gambaran jelas."
Anne masih kecil. Tak peduli betapa tegang persoalan yang dihadapi, ia selalu
segera pulas apabila sudah mencium bau bantal. Ia harus dibangunkan ketika
tengah malam tiba. "Ayoh, bangun!" bisik Julian sambil menggoncang-goncang bahu adiknya itu. "Kau
tak mau ikut mengalami peristiwa yang asyik ini?"
XIV JALAN RAHASIA! ANAK-ANAK berjalan mengendap-endap menuruni tangga yang gelap. Mereka sangat
hati-hati, karena tak mau menimbulkan bunyi yang membangunkan orang. Mereka
masuk ke kamar kerja Paman Quentin. Dengan pelan, George menutup pintu. Sudah
itu baru menyalakan lampu.
Keempat anak itu memandang kedelapan papan pelapis yang terpasang di atas rak
tempat pediangan. Betul, jumlahnya tepat delapan buah! Empat di barisan bawah,
dan empat lagi di atasnya. Julian membentangkan kain linen ke atas meja. Setelah
itu anak-anak berkerumun mempelajarinya.
"Tanda silang terdapat di tengah-tengah papan kedua pada baris sebelah atas,"
kata Julian setengah berbisik. "Kucoba saja menekannya. Kalian memperhatikan
baik-baik!" Julian menghampiri pediangan. Yang lain mengikuti dari belakang. Hati mereka
berdebar-debar. Papan sebelah atas agak tinggi letaknya. Julian agak berjingkat,
lalu menekan bagian tengah papan kedua keras-keras. Tetapi tak ada sesuatu pun
yang terjadi. "Tekan lebih keras lagi! Pukul dengan kepalanmu," kata Dick mengajari. Ia sudah
tak sabaran lagi. "Aku tak berani terlalu berisik," kata Julian. Tangannya meraba-raba permukaan
papan, mencari-cari tempat yang agak kasar. Barangkali di situ ada pegas atau
tuas yang tersembunyi. Tiba-tiba papan itu tergeser! Persis seperti yang terjadi dalam serambi di
Kirrin Farm! Anak-anak menatap lubang gelap yang menganga di balik papan. Hati
mereka berdebar-debar keras.
"Lubang itu terlalu sempit," kata George. "Jadi tak mungkin merupakan tempat
masuk ke Jalan Rahasia!"
Julian mengambil senter dari kantong mantel kamarnya. Dimasukkannya senter itu
ke dalam lubang, lalu dinyalakan. Seketika itu juga ia terjerit karena gembira.
Tetapi jeritannya tak terlalu keras. Karena kalau sampai terdengar Paman Quentin
- wah, gawat! "Di dalam ada semacam pegangan. Pada pegangan itu terikat seutas kawat. Aku akan
menariknya! Kita lihat saja, apa yang terjadi nanti."
Julian menarik pegangan itu. Tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk
menggerakkan pegangan yang kelihatannya tertancap ke dinding. Dick memasukkan
tangannya ke lubang. Kedua anak laki-laki itu menarik bersama-sama.
"Nah! Sekarang mulai bergerak," kata Julian terengah-engah. "Ayoh, Dick! Tarik
lebih keras lagi!" Sekonyong-konyong pegangan itu terlepas dari dinding, dengan menarik kawat yang
sudah tua dan berkarat. Pada saat itu juga terdengar bunyi aneh menciut-ciut
dari bawah permadani yang terhampar di depan pediangan. Anne terhuyung-huyung,
seperti hendak jatuh. "Julian! Lantai di bawah permadani bergerak!" katanya ketakutan. "Aku
merasakannya. Cepat, lihat ke bawah permadani!"
Pegangan itu tidak bisa ditarik lebih jauh lagi ke luar. Julian dan Dick
melepaskannya, lalu memandang ke lantai. Ada sesuatu yang bergerak di bawah
permadani, di sebelah kanan pediangan. Mereka melihatnya dengan jelas. Permadani
di situ tidak terhampar rata, melainkan agak melengkung ke bawah.
"Rupanya ada ubin yang bergeser," kata Julian dengan suara bergetar karena
tegang. "Pegangan ini menggerakkan sebuah pengungkit yang tertambat pada kawat.
Cepat - angkat permadani itu, dan kita gulung karpetnya."
Mereka berempat memindahkan permadani, lalu menggulung karpet. Begitu tempat
yang ditunjukkan oleh Anne tersingkap, mereka melihat pemandangan yang
menakjubkan. Sebuah ubin di lantai merosot ke bawah, tertarik dengan salah satu
cara oleh kawat yang terikat pada pegangan yang tersembunyi di balik papan!
Sebuah lubang gelap menganga di tempat ubin yang sekarang sudah tergeser.
"Lihatlah!" bisik George dengan asyik. "Tempat masuk ke Jalan Rahasia!"
"Ternyata memang di sini tempatnya!" kata Julian.
"Ayoh, kita masuk?" ajak Dick.
"Jangan!" kata Anne. Anak itu gemetar, karena ngeri membayangkan lenyap ditelan
lubang gelap itu. Julian menyorotkan senternya ke lubang yang menganga di bawah mereka. Batu ubin
yang semula menutupi, ternyata merosot ke bawah lalu tergeser ke samping. Di
bawah nampak rongga yang cukup besar dan bisa memuat tubuh seorang dewasa yang
berdiri membungkuk. "Kurasa dari bawah sini ada lorong menuju ke luar," kata Julian. "Ke mana ya?"
"Kita harus memeriksanya," usul George.
"Jangan sekarang," kata Dick. "Sekarang terlalu gelap dan dingin. Aku tak
kepingin meraba-raba sepanjang Jalan Rahasia pada waktu tengah malam. Kalau
turun ke bawah saja aku setuju! Hanya untuk melihat wujudnya. Tapi besok saja
kita menelusuri lorong."
"Besok Paman Quentin akan bekerja lagi di sini," kata Julian.
"Katanya tadi, besok pagi ia akan menyingkirkan salju yang bertumpuk di pintu
depan," kata George. "Saat itu kita akan bisa menyelinap ke sini. Besok hari
Sabtu. Barangkali saja tidak ada pelajaran."
"Baiklah," jawab Julian, yang sebetulnya sudah kepingin memeriksa lorong pada
saat itu juga. "Tapi sekarang kita periksa saja, apakah di bawah memang ada
sebuah lorong. Dari sini kita cuma melihat sebuah lubang gelap yang menganga!"
"Kubantu kau turun," kata Dick. Julian turun ke dalam lubang gelap itu, dengan
membawa senter. Sesampai di bawah ia berseru gembira.
"Ini memang tempat masuk ke Jalan Rahasia! Dari sini ada lorong menembus bawah
rumah. Lorongnya sempit dan rendah. Aku kepingin tahu, ke mana tujuannya!"
Julian agak menggigil. Lubang itu dingin dan lembab.
"Tolong aku naik, Dick," katanya. Tak lama kemudian ia sudah keluar dari lubang,
dan berada kembali di ruang kerja yang hangat.
Anak-anak berpandang-pandangan. Mereka merasa bergembira. Hati mereka berdebar-
debar. Mereka menghadapi petualangan yang akan mengasyikkan. Sayang mereka tidak
bisa mulai saat itu juga.
"Kita coba membawa Tim serta besok," kata George. "He! Bagaimana caranya menutup
lubang ini kembali?"
"Kita tidak bisa membiarkan permadani dan karpet melengkung di atas lubang,"
kata Dick. "Dan papan itu pun tak boleh kita biarkan terbuka."
"Kita lihat saja, barangkali ada cara tertentu untuk mengembalikan ubin ke
tempatnya semula," kata Julian. Ia berjingkat lagi, lalu meraba-raba dalam
lubang di balik papan. Tangannya memegang sebuah tombol yang terpasang dalam
batu. Tombol itu ditariknya. Seketika itu juga pegangan menggeser lagi ke dalam,
tertarik oleh kawat. Dan pada waktu bersamaan, ubin batu menggelincir ke atas
sampai rata letaknya dengan lantai. Gerak batu itu menimbulkan bunyi menciut-
ciut pelan. "Wah! Seperti sulap saja!" ujar Dick kagum. "Memang benar-benar sulap!
Bayangkan, alat-alat penggeraknya masih bekerja dengan lancar, setelah bertahun-
tahun tak pernah dipakai! Baru sekali inilah aku melihat barang yang begitu
menakjubkan!" Dari tingkat atas terdengar suara. Anak-anak berdiri seperti terpaku. Mereka
menajamkan telinga. "Itu Pak Guru!" kata Dick berbisik. "Pasti ia terbangun karena mendengar kita.
Cepat, kita harus naik ke atas sebelum ia sempat turun."
Mereka cepat-cepat memadamkan lampu, lalu membuka pintu kamar kerja itu dengan
berhati-hati. Sesudah itu menyelinap lari ke atas. Berjingkat-jingkat, seperti
orang-orang Indian hendak berburu. Hati mereka berdebar-debar keras, sehingga
anak-anak khawatir akan terdengar seisi rumah.
George dan Anne berhasil sampai di kamar mereka dengan selamat. Begitu pula
Dick. Tetapi Julian nampak oleh Pak Guru Roland, sewaktu orang itu keluar dari
kamarnya dengan membawa senter.
"Sedang apa kau di situ, Julian?" tanya guru pembimbingnya dengan heran. "Kau
tadi juga mendengar sesuatu bunyi di bawah?"
"Ya - banyak bunyi-bunyi yang saya dengar di bawah," kata Julian. Dia tidak
bohong! "Tapi mungkin penyebabnya salju yang jatuh dari atap ke tanah. Bisa
saja, kan?" "Entah ya," kata Pak Guru agak ragu. "Kita periksa saja ke bawah."
Mereka turun berdua. Tetapi tentu saja tak ada lagi yang bisa dilihat di situ.
Julian merasa bersyukur, karena berhasil menutup papan pelapis dan mengembalikan
ubin ke tempatnya semula. Ia sama sekali tak berniat menceritakan rahasia yang
baru berhasil mereka bongkar pada Pak Guru itu.
Karena ternyata tidak ada apa-apa, mereka naik lagi ke tingkat atas. Julian
masuk ke kamarnya. "Bagaimana" Beres?" bisik George.
"Beres!" jawab Julian. "Sudah, jangan ngomong lagi. Pak Guru Roland masih
bangun! Aku tak mau membangkitkan kecurigaannya."
Kedua anak itu tertidur. Ketika mereka bangun lagi keesokan harinya, alam di
luar putih semua. Salju menyelubungi segala-galanya. Timbunannya tebal sekali.
Kandang tempat Tim tidur tidak nampak! Tetapi sekitar tempatnya kemarin nampak
jejak-jejak kaki. George menjerit kaget, ketika melihat betapa tebal salju yang menyelubungi
segala-galanya. "Tim yang malang! Aku akan membawanya masuk. Tak peduli apa kata Ayah nanti!
Pokoknya aku tak mau membiarkannya terbenam dalam salju."
George lekas-lekas mengenakan pakaian tebal, lalu lari ke bawah. Diarunginya
hamparan salju yang membendung, menuju ke kandang. Sesampai di sana, dilihatnya
Tim tidak ada lagi! George terkejut mendengar suara menggonggong dari arah dapur. Joanna mengetuk-
ketuk jendela di situ. "Jangan khawatir, semua sudah beres!" katanya. "Aku tak sampai hati melihat
anjingmu sengsara dalam salju. Karena itu kuajak masuk! Kata ibumu, aku boleh
mengajaknya ke dapur. Tapi kau tak boleh masuk ke mari dan bermain-main
dengannya." "Syukurlah!" seru George dengan perasaan lega. "Tim sudah ada lagi di tempat
yang hangat." Kemudian ia berseru ke arah jendela, di mana Joanna masih berdiri,
"Terima kasih! Anda memang baik hati!"
George masuk ke dalam rumah, dan menyampaikan kabar baik itu pada ketiga saudara
sepupunya Mereka sangat bergembira mendengarnya.
"Dan aku juga punya kabar baik untukmu," ujar Dick. "Pak Guru tidak bisa bangun,
karena sakit selesma. Jadi hari ini kita tidak belajar. Horee!"
"Wah, itu memang benar-benar kabar baik," sahut George. "Tim ada dalam dapur
yang hangat, sedang Pak Guru meringkuk di tempat tidur karena terlalu kedinginan
sehingga sakit pilek. Senang sekali hatiku mendengarnya!"
"Pokoknya kita sekarang bisa memeriksa Jalan Rahasia dengan aman," ujar Julian.
"Pagi ini Bibi Fanny akan sibuk bekerja di dapur bersama Joanna, sedang Paman
Quentin repot menyingkirkan salju di luar. Kuusulkan supaya kita belajar sendiri
di kamar duduk. Kalau keadaan sudah aman, barulah kita mulai menyelidiki lorong
yang merupakan Jalan Rahasia!"
"Tetapi kenapa kita harus belajar?" tanya George dengan agak kecewa.
"Sebab kalau tidak, kita harus membantu ayahmu menyingkirkan salju," ujar Julian
menerangkan. Paman Quentin heran ketika mendengar usul Julian, agar anak-anak berempat
belajar sendiri di kamar duduk.
"Kukira kalian hendak membantu aku menyingkirkan salju," kata Paman. "Tapi
memang mungkin lebih baik apabila kalian belajar saja."
Anak-anak duduk dengan rapi di kamar duduk, sambil menghadapi buku-buku
pelajaran mereka. Mereka mendengar suara Pak Guru terbatuk-batuk di kamar
tidurnya. Kedengaran langkah Bibi masuk ke dapur, disusul oleh suaranya
berbicara dengan Joanna. Mereka mendengar bunyi kaki Tim menggaruk-garuk daun
pintu dapur - kemudian ketak-ketuk jarinya di lantai lorong rumah. Kemudian
muncul hidung yang besar di celah pintu kamar duduk! Tim datang mencari tuannya
yang sangat disayangi. "Timmy!" seru George, lalu memeluk binatang kesayangannya itu.
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sikapmu seolah-olah sudah berpisah selama satu tahun," kata Julian.
"Rasanya memang seperti sudah setahun," jawab George. "He, ayahku sudah sibuk di
luar. Bagaimana kalau kita masuk sekarang ke kamar kerjanya" Kurasa keadaan aman
untuk beberapa waktu."
Mereka meninggalkan kamar duduk, dan pergi ke kamar kerja. Tak lama kemudian
Julian sudah menarik pegangan yang tersembunyi di balik papan penutupnya.
Permadani dan karpet sudah disingkapkan sebelumnya oleh George. Batu ubin
bergeser; mula-mula ke bawah, kemudian ke samping. Jalan Rahasia sudah terbuka!
"Ayoh!" seru Julian mendesak. "Cepat!"
Dengan segera ia terjun ke dalam lubang. Dick menyusul. Sudah itu Anne, lalu
George. Julian menyorong mereka memasuki lorong yang sempit dan rendah. Kemudian
ia mendongak. Mungkin lebih baik apabila karpet dan permadani dihamparkan
menutupi lubang, supaya tidak langsung ketahuan apabila ada orang yang kebetulan
masuk dan memandang berkeliling! Dalam beberapa detik saja ia sudah selesai
melakukannya. Kemudian disusulnya saudara-saudaranya yang sudah mendului.
Akhirnya mereka menempuh Jalan Rahasia!
XV PERJALANAN YANG MENDEBARKAN HATI
MELIHAT tuannya terjun ke dalam lubang di bawah lantai, dengan segera Tim ikut
menyusul. Sekarang ia berlari-lari mendului anak-anak dalam lorong. Anjing itu
heran, mengapa anak-anak ingin menyelidiki tempat yang begitu dingin dan gelap.
Julian dan Dick membawa senter, yang sinarnya sekarang menyorot jauh ke depan
mereka. Tak banyak yang bisa dilihat dalam lorong itu. Jalan Rahasia yang menjorok dalam
tanah di bawah Pondok Kirrin tidak lebar. Dan juga tidak tinggi, sehingga anak-
anak harus berjalan membungkuk beriring-iring. Mereka merasa lega ketika lorong
itu kemudian agak melebar. Dan tidak lagi serendah bagian awal. Capek rasanya
terus-menerus berjalan sambil membungkuk.
"Kau bisa menebak arah Jalan Rahasia ini?" tanya Dick kepada abangnya.
"Maksudku, menuju ke laut - atau ke pedalaman?"
"Ah, sudah pasti bukan ke laut!" ujar Julian yang berperasaan baik berkenaan
dengan arah jurusan. "Menurut perasaanku, lorong ini mengarah ke bawah padang.
Lihat saja dinding tempat ini. Banyak pasirnya! Dan kita tahu bahwa padang
berpasir tanahnya. Mudah-mudahan saja tidak ada sebagian yang sudah runtuh
dindingnya." Keempat anak itu meneruskan penjelajahan mereka. Jalan Rahasia itu lurus sekali.
Tetapi kadang-kadang agak membelok juga sedikit, mengitari tempat-tempat
berbatu. "Aduh! Di sini dingin dan gelap," ujar Anne sambil menggigil. "Sayang aku tak
mengenakan baju tebal tadi! Sudah berapa mil kita berjalan, Julian?"
Julian tertawa. "Satu mil saja pun belum! He - lorong runtuh di sebelah sana!"
Diterangi cahaya senter yang terang-benderang, anak-anak melihat bahwa di depan
mereka ada sebagian lorong yang runtuh langit-langitnya. Julian menendang-
nendang tanah pasir yang menghalangi langkah.
"Ah, tidak apa-apa!" katanya. "Halangan sebegini saja, bisa kita dobrak dengan
mudah. Yang runtuh tak banyak, dan sebagian besar terdiri dari pasir. Aku saja
yang mendobraknya." Tak lama kemudian jalan di depan mereka sudah bebas kembali, setelah ditendang-
tendang pasir yang menghalangi. Anak-anak berjalan agak merunduk melewati
onggokan pasir yang telah agak diratakan oleh Julian. Walau begitu mereka
berhati-hati, agar kepala tak terantuk ke langit-langit lorong. Julian
menyorotkan cahaya senter ke depan. Nampak bahwa jalan di depan mereka bersih
dari penghalang. "Di sini Jalan Rahasia lebar sekali!" seru Julian sekonyong-konyong.
Disorotkannya senter kian ke mari, untuk menunjukkan pada saudara-saudaranya.
"Rupanya sengaja dilebarkan, membentuk semacam bilik kecil," ujar George.
"Lihatlah, di bagian belakang sana ada semacam bangku yang terbuat dari batu
cadas. Kurasa bilik ini merupakan tempat beristirahat di tengah jalan."
Pendapat George memang benar. Merangkak-rangkak terus dalam lorong yang sempit,
sangat melelahkan. Tempat yang agak lapang dengan bangku yang terbuat dari batu
cadas itu cocok sekali sebagai tempat beristirahat sebentar. Keempat anak yang
sudah capek itu duduk berdesak-desakan di bangku batu. Mereka kedinginan, tapi
hati mereka tetap bergairah.
"Ayoh, kita meneruskan perjalanan," kata Julian, setelah mereka beristirahat
selama beberapa menit. "Badanku sudah kedinginan, karena duduk diam-diam terus.
Aku kepingin tahu, di mana ujung lorong ini!"
"Julian! Mungkinkah keluarnya nanti di Kirrin Farm?" tanya George sekonyong-
konyong. "Kauingat kata Ibu Sanders, bahwa ada sebuah lorong rahasia yang
berawal di rumah itu, dan menuju ke salah satu tempat. Nah - mungkin inilah
lorong yang dimaksudkannya! Dan arahnya menuju ke Pondok Kirrin!"
"Kurasa kau benar, George!" ujar Julian. "Ya, benar! Kedua rumah itu di jaman
dulu milik keluargamu. Dan dulu memang sering terdapat lorong-lorong rahasia
yang menghubungkan rumah dengan rumah. Jadi jelaslah bahwa Jalan Rahasia ini
menghubungkan kedua rumah keluargamu itu. Kenapa aku tak berpikir ke situ selama
ini"!" "He!" seru Anne dengan suara melengking tinggi. "Aku juga mendapat ide!"
"Ide apa?" tanya saudara-saudaranya.
"Begini! Kalau kertas-kertas penting kepunyaan Paman sekarang ada di tangan
kedua seniman yang tinggal di Kirrin Farm, mungkin kita akan bisa mengambilnya
kembali sebelum mereka sempat mengirimkannya lewat pos, atau membawanya sendiri
ke tempat lain!" ujar Anne dengan suara meninggi. Ia begitu bergairah terhadap
idenya itu, sampai nyaris tergagap-gagap. "Saat ini mereka tidak bisa pergi
karena salju yang mengurung! Persis seperti keadaan kita di Pondok Kirrin."
"Anne! Betul katamu itu!" kata Julian.
"Anak pintar!" puji Dick.
"Wah, kalau kita berhasil menyelamatkan kertas-kertas itu - bukan main!" seru
George. Tim ikut-ikut ribut, lalu melonjak-lonjak. Ada sesuatu yang menyebabkan
anak-anak girang, dan ia tak mau ketinggalan. Ia kepingin ikut gembira!
"Ayoh!" kata Julian sambil membimbing tangan Anne. "Ini benar-benar
mengasyikkan! Kalau terkaan George bahwa Jalan Rahasia ini berujung di salah
satu tempat dalam rumah pertanian ternyata benar, maka kita akan bisa
menggeledah kamar kedua orang yang menginap di sana untuk mencari kertas-kertas
itu." "Katamu dulu, menggeledah kamar orang lain merupakan perbuatan tak pantas," kata
George. "Ya, tapi waktu itu aku kan belum mengetahui hal-hal yang kuketahui sekarang,"
jawab Julian. "Kita melakukannya demi kepentingan ayahmu. Bahkan juga demi
negara kita, apabila rumus rahasia itu berharga. Kita harus mengasah otak, untuk
memperdayai musuh-musuh berbahaya."
"Menurut pendapatmu, mereka sungguh-sungguh berbahaya?" tanya Anne. Ia agak
ngeri. "Ya, kurasa mereka itu berbahaya," jawab Julian. "Tapi kau tak perlu khawatir,
karena ada aku dan Dick serta Tim yang bisa melindungi!"
"Aku juga bisa melindungi Anne," kata George tersinggung. "Aku tak kalah berani
kalau dibandingkan dengan anak laki-laki!"
"Ya, betul," kata Dick. "Kau bahkan lebih galak dari semua temanku yang laki-
laki." "Ayohlah, kita terus," kata Julian. Ia tak sabar lagi. "Aku kepingin lekas
sampai ke ujung lorong ini."
Mereka meneruskan perjalanan. Anne berjalan di belakang Julian, sedang Dick di
belakang George. Tim lari pulang balik sepanjang iring-iringan itu.
Menurut pendapatnya, aneh benar cara anak-anak menyibukkan diri pagi itu!
Sesudah berjalan cukup jauh, Julian berhenti dengan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Dick dari belakang. "Mudah-mudahan tak ada langit-langit runtuh
lagi!" "Tidak! Tapi kurasa kita sudah sampai di ujung lorong!" kata Julian bergairah.
Anak-anak berdesak-desakan maju. Ternyata lorong itu sudah berakhir. Di depan
mereka terdapat dinding batu cadas. Pada dinding itu terpasang besi-besi, yang
rupanya dimaksudkan sebagai injak-injakan. Besi-besi itu terpasang berjajar
lurus ke atas. Ketika Julian menyorotkan sinar senternya mengikuti urutan besi-
besi itu ke atas, anak-anak melihat bahwa di bagian atas lorong terdapat sebuah
lubang persegi empat. "Sekarang kita harus mendaki dinding batu ini," kata Julian. "Lewat lubang gelap
itu dan terus memanjat ke atas - entah sampai di mana kita ke luar nanti! Aku
dulu yang memanjat. Kalian menunggu dulu di sini. Nanti aku kembali lagi, dan
akan kukatakan apa yang kulihat di atas."
Senter dijepitkannya di sela gigi-giginya. Sesudah itu Julian mulai mendaki,
dengan menginjakkan kaki ke besi-besi yang terpasang seperti tangga tegak lurus.
Ia melewati lubang gelap, sementara tangannya diraba-rabakan ke atas mencari
injak-injakan besi yang berikut.
Agak jauh juga ia memanjat ke atas. Seperti menaiki cerobong asap, pikir Julian.
Tempat di situ dingin, dan berbau pengap.
Tiba-tiba ia sampai ke semacam ambang. Ia melangkah naik ke situ. Diambilnya
senter yang selama itu terjepit di sela gigi, lalu disorotkan ke sekelilingnya.
Di belakang dan di kedua sisinya terdapat dinding batu, demikian pula di
atasnya. Sedang di bawah kakinya menganga liang gelap yang baru saja dilewati
olehnya. Kemudian Julian menyinarkan senternya ke depan. Ia terkejut!
Bukan dinding batu yang menghadang di depannya, melainkan sebuah pintu besar
yang terbuat dari papan kayu kokoh berwarna hitam. Sebuah pegangan terdapat pada
pintu itu, kira-kira setinggi pinggang letaknya. Julian mencoba memutarnya
dengan tangan gemetar. Apakah yang akan dilihatnya di balik pintu"
Pintu itu membuka ke arahnya, melewati batas ambang. Dengan susah payah Julian
beringsut mengitari daun pintu yang sudah terbuka, berhati-hati agar jangan
sampai terjatuh ke dalam liang yang dalam. Ia mengira akan masuk ke dalam sebuah
kamar, atau bilik. Tetapi bilik yang gelap gulita!
Ternyata tangannya yang meraba-raba ke depan, menyentuh kayu lagi! Disorotkannya
senter yang ada di tangannya. Ternyata ia berdiri menghadapi papan lebar, yang
kelihatannya merupakan daun pintu lagi. Tangannya meraba-raba papan itu. Tiba-
tiba daun pintu itu tergeser ke samping!
Saat itu juga Julian tahu di mana ia berada.
"Aku di dalam lemari di Kirrin Farm, yang dinding belakangnya dua lapis!"
pikirnya. "Ternyata Jalan Rahasia berujung di sini. Benar-benar cerdik! Sewaktu
kami bermain-main dalam lemari ini, kami sama sekali tidak menduga bahwa lemari
ini bukan saja memiliki dinding belakang yang berlapis dua, tetapi juga
merupakan jalan masuk ke Jalan Rahasia yang tersembunyi di balik dinding
belakang nomor dua!"
Lemari gantung itu penuh berisi pakaian kepunyaan seniman-seniman yang mendiami
kamar itu. Julian berdiri diam-diam sambil menajamkan telinga. Ia tak mendengar
suara orang dalam kamar. Bagaimana jika ia melihat sebentar ke dalam kamar"
Siapa tahu, kalau-kalau kertas penting yang hilang dari kamar kerja Paman
Quentin ada di dalam! Tetapi kemudian Julian teringat pada ketiga saudaranya yang pasti sudah menunggu
dengan tidak sabar di bawah, dalam lorong yang dingin. Lebih baik ia turun saja
dulu, dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Kemudian mereka bisa
naik semua, dan masuk ke kamar untuk membantunya mencari kertas-kertas itu.
Julian masuk lagi ke rongga yang terdapat di belakang daun pintu yang bisa
tergeser. Dinding palsu itu bergerak lagi ke tempatnya semula. Sekarang Julian
berdiri di ambang sempit, sedang pintu kayu yang kokoh terbuka ke samping.
Julian membiarkan pintu itu terbuka. Kakinya meraba-raba ke bawah, dan menyentuh
injak-injakan teratas dalam liang gelap yang menganga di bawahnya. Julian turun
lagi ke bawah, sambil berpegang erat-erat pada injak-injakan yang terbuat dari
batang-batang besi. Senter terjepit di sela giginya.
"Lama benar kau pergi," seru George menyesali saudara sepupunya. "Cepat, ceritakan apa yang kaulihat di atas!"
"Wah, benar-benar asyik," kata Julian. "Sungguh-sungguh hebat! Menurut
perkiraanmu, ke mana tujuan lubang yang di atas ini" Baik kukatakan saja, karena
kalian toh takkan berhasil menebaknya! Liang di atas ini menuju ke lemari dalam
kamar di Kirrin Farm, yang ada dinding palsu di belakangnya!"
"Astaga!" seru Dick.
"Bukan main!" ujar George.
"Kau masuk ke kamar?" tanya Anne.
"Aku memanjat sampai ke ujung sebelah atas, lalu sampai ke sebuah pintu papan
yang besar dan kokoh," kata Julian bercerita. "Di bagian yang menghadap ke liang
terdapat sebuah pegangan. Pegangan itu kuputar, lalu kubuka pintu lebar-lebar.
Kemudian aku melihat sebuah pintu kayu lagi di depanku. Setidak-tidaknya, mula-
mula kukira aku berhadapan dengan pintu lagi, karena aku belum tahu bahwa itu
dinding palsu yang terdapat di belakang lemari. Dinding itu tergeser dengan
mudah. Aku melangkah maju - dan tahu-tahu sudah berdiri di tengah pakaian yang
bergelantungan dalam lemari! Sudah itu aku bergegas kembali, untuk
menceritakannya pada kalian."
"Wah! Sekarang juga kita bisa mencari kertas-kertas yang hilang," kata George
bergairah. "Ada orang dalam kamar tadi?"
"Aku tak mendengar suara orang," kata Julian. "Usulku begini! Kita semua naik ke
atas, lalu mencari dalam kedua kamar yang disewa seniman-seniman itu. Kamar yang
di sebelah juga mereka sewa."
"Ya, setuju!" seru Dick. Dia dengan segera menyukai petualangan yang menegangkan
itu. "Kita berangkat sekarang juga. Kau duluan, Julian. Sudah itu Anne, lalu
George. Dan aku yang paling belakang."
"Bagaimana dengan Tim?" tanya George.
"Dia kan tidak bisa memanjat," kata Julian. "Dia memang anjing yang hebat,
tetapi kalau memanjat tidak mungkin bisa, George. Kita harus meninggalkannya di
sini." "Dia pasti tak senang," kata George.
"Tapi kita tak mungkin bisa menggendongnya ke atas," kata Dick. "Kau kan tak
berkeberatan ditinggal sebentar di bawah sini, Tim?"
Tim mengibas-kibaskan buntut, seolah-olah tak keberatan. Tetapi begitu ia
melihat keempat anak itu menghilang dalam lubang gelap di atas kepalanya,
seketika itu juga buntutnya menghilang di sela kedua kaki belakangnya. Apa" Ia
ditinggal sendiri" Permainan apa lagi itu"
Tim melonjak ke tembok, tetapi jatuh lagi ke tanah yang lembab. Ia melompat
sekali lagi sambil mendengking. George berseru dari atas dengan suara pelan,
"Jangan ribut, Tim! Kami takkan lama-lama."
Tim berhenti mengeluh. Ia berbaring di dasar dinding, dengan telinga ditajamkan.
Petualangan kali ini menjadi semakin aneh saja baginya.
Tak lama kemudian keempat anak itu sampai ke ambang yang sempit. Pintu kayu yang
besar masih terbuka lebar. Julian menghidupkan senternya, dan ketiga saudaranya
melihat dinding palsu yang terdapat di belakang lemari. Julian menyentuh dinding
itu dengan tangannya. Seketika itu juga dinding tersebut tergeser ke pinggir.
Sinar lampu senter menerangi jas dan mantel-mantel kamar!
Anak-anak berdiri diam sambil mendengarkan. Dari dalam kamar tak terdengar suara
apa-apa. "Aku akan membuka pintu lemari ini sedikit, lalu mengintip ke dalam kamar,"
bisik Julian. "Semua diam!"
Anak laki-laki itu menerobos pakaian yang bergantungan menghalangi, sambil
meraba-raba mencari pintu lemari sebelah depan. Setelah ditemukan, lalu
ditolakkannya sehingga terbuka sedikit. Sejalur cahaya matahari menyinar masuk
ke dalam lemari. Julian mengintip dengan hati-hati ke luar, melihat ke dalam
kamar. Kamar itu kosong. Tak ada seorang pun di dalamnya. Bagus!
"Ayoh," bisiknya pada saudara-saudaranya yang masih menunggu di belakang. "Dalam
kamar tak ada orang."
Satu per satu anak-anak itu menyelinap keluar dari lemari. Dalam kamar itu ada
sebuah tempat tidur besar, sebuah tempat cuci tangan, sebuah lemari laci, sebuah
meja kecil dengan dua buah kursi. Hanya itu saja perabot kamar. Mereka akan bisa
memeriksa kamar itu dengan mudah!
"Lihat, Julian! Di sini ada pintu ke kamar sebelah," ujar George dengan tiba-
tiba. "Kita berdua bisa mencari di kamar sana, sedang kalian berdua di sini.
Pintu yang menuju ke luar kita kunci dari dalam, supaya tak ada orang yang bisa
tiba-tiba masuk." "Bagus idemu itu!" ujar Julian. Dari tadi ia memang khawatir, jangan-jangan ada
orang masuk dan memergoki mereka sewaktu sedang sibuk membongkar kamar. "Aku dan
Anne pergi mencari ke kamar sebelah, sedang kau dan Dick di sini. Kunci pintu
luar, Dick. Pintu luar di kamar sebelah akan kukunci pula. Dan pintu penghubung
ini kita biarkan terbuka, supaya kita bisa ngomong kalau perlu!"
Dengan menyelinap Julian beserta Anne pergi ke kamar sebelah lewat pintu
penghubung. Kamar itu serupa saja dengan kamar yang pertama. Juga kosong! Dengan
segera Dick melakukan tindakan sama dengan pintu luar dari kamar sebelah. Julian
menghembuskan napas lega. Baru sekarang ia merasa aman!
"Anne, singkapkan permadani yang terhampar di lantai," katanya pada adiknya.
"Periksa, barangkali kertas-kertas itu disembunyikan di situ. Kemudian periksa
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bawah bantal-bantal kursi. Kauperiksa tempat tidur, barangkali saja barang
yang kita cari disembunyikan di bawah kasur."
Mereka mulai mencari. Julian mulai dengan memeriksa laci-laci, karena menurut
perasaannya di situlah tempat yang paling masuk akal untuk menyembunyikan
barang-barang. Anak-anak meraba-raba ke sana sini dengan tangan gemetar.
Perasaan mereka saat itu sangat tegang. Tegang, tetapi juga mengasyikkan!
Dalam hati anak-anak itu bertanya-tanya, di mana kedua orang yang tinggal dalam
kamar-kamar itu. Barangkali di dapur, karena di situ hangat. Kedua kamar tidur
itu dingin, dan mereka pasti tak mau meninggalkan dapur yang hangat. Mau ke luar
rumah juga tidak bisa, karena salju bertumpuk tinggi sekeliling Kirrin Farm.
Dick dan George sibuk mencari dalam kamar pertama. Mereka memeriksa setiap laci,
membongkar kasur tempat tidur, dan membalik permadani dan karpet yang terhampar
di lantai. Mereka bahkan merogohkan tangan ke dalam lubang perapian yang besar!
"Bagaimana Julian" Ada yang sudah kautemukan?" Dick muncul di ambang pintu
penghubung. Ia berbicara dengan setengah berbisik.
"Belum ada," jawab Julian. Nada suaranya agak suram. "Mereka pandai
menyembunyikan kertas-kertas itu! Mudah-mudahan saja tidak selalu dibawa-bawa
oleh mereka - dalam kantong, misalnya!"
Dick memandangnya dengan perasaan kecut. Kemungkinan itu sama sekali tak
teringat olehnya selama itu. "Wah! Kalau benar begitu, payah deh!"
"Kau harus mencari lagi ke setiap tempat! Ke setiap pojok!" kata Julian
memerintahkan. "Bantal-bantal harus kautepuk-tepuk, karena mungkin saja
diselipkan ke dalamnya."
Dick pergi lagi ke kamar sebelah. Kemudian menyusul bunyi ribut-ribut di situ.
Kedengarannya seperti anak itu sedang memukul-mukul bantal!
Anne dan Julian melanjutkan usaha pencarian mereka. Setiap sudut mereka periksa.
Keduanya bahkan membalik lukisan-lukisan yang tergantung di dinding, untuk
melihat, kalau-kalau kertas penting itu diselipkan di belakangnya. Tetapi
kesibukan mereka tetap sia-sia. Kertas-kertas itu tetap tak berhasil mereka
temukan. Benar-benar mengecewakan.
"Sebelum berhasil menemukannya, kita tidak akan pergi dari sini," kata Julian
dengan jengkel. "Tadi kita sudah bernasib mujur, menyuruk-nyuruk lewat Jalan
Rahasia - dan langsung masuk ke mari. Sekarang kita harus menemukan kertas-
kertas itu!" "He," kata Dick yang muncul kembali di ambang pintu penghubung, "Aku mendengar
suara orang! Dengarkan!"
Keempat anak itu mendengarkan. Betul - terdengar suara-suara orang bercakap-
cakap! Dan di depan pintu kamar!
XVI KETAHUAN! "APA yang kita perbuat sekarang?" tanya George sambil berbisik. Anak-anak
berjingkat-jingkat ke kamar pertama. Mereka terpaku di situ, sambil memasang
kuping. "Sebaiknya kita turun lagi ke Jalan Rahasia," ujar Julian.
"Jangan, kita...." Baru saja George hendak membantah, ketika terdengar bunyi
pegangan pintu digerakkan orang dari luar. Tetapi orang yang menggerakkan itu
tidak bisa masuk! Pintu masih terkunci dari dalam. Terdengar seruan marah. Dari
suaranya, anak-anak mengetahui bahwa orang itu Pak Wilton.
"Thomas!" seru orang itu. "Pintuku macet rupanya. Bolehkah aku masuk lewat pintu
kamarmu" Entah kenapa lagi pegangan pintuku ini!"
"Ayoh, kita lewat dari kamarku!" terdengar suara Pak Thomas menjawab. Sudah itu
menyusul bunyi langkah-langkah menuju ke pintu luar kamar kedua. Terdengar
gerakan memutar pegangan di situ, disambung keretak-keretak bunyi pembuka pintu
itu digoncang-goncangkan dengan keras!
"Ada apa lagi dengan pintu ini"!" kata Pak Wilton dengan jengkel. "Tidak bisa
kubuka" Mungkinkah kedua pintu kamar kita terkunci?"
"Kelihatannya memang begitu!" kata Pak Thomas.
Sesudah itu senyap sebentar. Anak-anak bisa menangkap dengan jelas beberapa
patah perkataan yang diucapkan dengan berbisik-bisik di luar.
"Kertas-kertas kita aman" Barangkali ada orang mencarinya!"
"Kan disimpan dalam kamarmu?" ujar Pak Thomas. Sudah itu sepi lagi.
Anak-anak berpandang-pandangan. Ternyata kedua orang yang di luar memang
memiliki kertas-kertas penting yang hilang. Dan yang lebih penting lagi, kertas-
kertas itu disimpan dalam kamar. Dalam kamar di mana keempat anak itu sedang
berada! Mereka memandang berkeliling dengan mata bersinar-sinar. Mereka memeras
otak, mengingat-ingat tempat mana yang belum sempat mereka periksa.
"Cepat! Kita lanjutkan mencari, sementara masih ada waktu," bisik Julian. "Tapi
jangan sampai kedengaran di luar!"
Sambil berjingkat-jingkat, keempat anak itu melanjutkan usaha pencarian. Sibuk
sekali mereka mencari! Mereka bahkan membalik-balik halaman buku-buku yang
terletak di meja. Tetapi mereka tetap tak berhasil menemukan kertas-kertas yang
dicari. "Ibu Sanders!" terdengar suara Pak Wilton berseru kuat-kuat. "Apakah Ibu tadi
dengan tak sengaja mengunci kedua pintu ini" Kami tak bisa masuk!"
"Astaga!" kata Ibu Sanders dari dasar tangga. "Aku datang! Tak ada satu pintu
pun yang kukunci tadi."
Sekali lagi pegangan pintu digoncang-goncang dari luar. Tetapi pintu tetap tidak
bisa dibuka. Kedua orang itu semakin tidak sabar kedengarannya.
"Mungkin ada orang dalam kamar kami," kata Pak Wilton.
Ibu Sanders tertawa mendengarnya.
"Siapa yang akan masuk ke kamar Anda" Di rumah ini cuma ada aku dan suamiku! Dan
Anda tahu sendiri, tak ada orang yang bisa masuk dari luar. Aku bingung jadinya
- jangan-jangan penutup pintu macet."
Saat itu Anne sedang mengangkat kendi tempat air. Maksudnya hendak memeriksa di
bawahnya. Tetapi ternyata kendi itu lebih berat dari perkiraannya semula. Kendi
itu terpaksa diletakkannya kembali dengan mengejut, karena tangannya tak kuat
lagi. Sebagai akibatnya terbentur ke tempat cuci tangan yang terbuat dari batu
pualam. Bunyinya berdenting nyaring. Air tumpah membasahi lantai!
Bunyi ribut itu terdengar sampai di luar pintu. Dengan segera Pak Wilton
menggedor-gedor daun pintu, serta menggoncang-goncang pegangannya.
"Siapa di dalam" Ayoh, buka pintu! Sedang mengapa di dalam?"
"Kau ini memang benar-benar konyol," bisik Dick dengan marah pada Anne.
"Sekarang pasti mereka akan mendobrak pintu!"
Memang tepat itulah yang hendak dilakukan kedua orang yang marah-marah di luar!
Mereka khawatir kalau-kalau orang tak dikenal, yang secara aneh bisa masuk ke
kamar mereka, bermaksud hendak mencari kertas-kertas rahasia. Kemungkinan itu
harus dicegah! Mereka menyandarkan bahu ke daun pintu, lalu mendorong sekuat
tenaga. Daun pintu bergetar dan berderik-derik.
"He! Jangan dirusak pintuku!" terdengar suara Ibu Sanders berseru dengan marah.
Tetapi kedua orang itu tak mempedulikannya. Sekali lagi terdengar bunyi berderak
keras, ketika mereka membenturkan bahu mereka kembali ke daun pintu.
"Cepat! Kita harus pergi!" kata Julian. "Orang-orang itu tak boleh sampai
mengetahui jalan kita masuk ke mari! Kalau mereka sudah tahu, lain kali kita
tidak bisa datang lagi untuk melanjutkan pencarian kita. Anne, George, Dick!
Cepat, masuk lagi ke lemari!"
Anak-anak itu lari ke lemari pakaian.
"Aku yang turun dulu, supaya bisa menunjukkan jalan bagi kalian," kata Julian.
Ia pergi sampai ke ambang yang sempit. Sesudah berhasil menemukan injak-injakan
dengan kakinya, ia segera turun. Seperti biasa, senter diselipkan di antara
giginya. "Anne! Sekarang kau yang turun," panggilnya. "Kau Dick, turun sesudah Anne.
Tolong adikmu, jika ia memerlukannya. George pandai memanjat - jadi ia bisa
turun sendiri." Anne menuruni liang dengan lambat. Ia sangat gugup, dan juga agak takut. Ia
takut jatuh, sehingga injak-injakan nyaris tak terasa di bawah kakinya.
"Cepatlah, Anne!" bisik Dick yang berada di atasnya. "Pintu sudah hampir pecah
didobrak oleh mereka!"
Dari arah pintu luar terdengar bunyi ribut sekali. Sebentar lagi daun pintu
pasti akan sudah pecah kena dobrak, dan kedua orang yang sudah mengamuk itu akan
memburu ke dalam kamar. Dick merasa lega, karena sudah bisa mulai menuruni
injak-injakan yang berjajar tegak lurus ke bawah! Kalau mereka semua sudah ada
dalam liang, George akan menutup pintu kayu yang besar dari belakang. Kalau
pintu itu sudah tertutup, mereka akan aman!
Saat itu George masih bersembunyi di sela-sela pakaian dalam lemari. Ia sedang
menanti giliran turun. Sementara anak itu berdiri di situ sambil memikir-
mikirkan tempat persembunyian yang mungkin masih belum diperiksa, tiba-tiba
tangannya menyentuh sesuatu yang berbunyi kemerisik dalam kantong sebuah mantel
yang tergantung di sebelahnya. Mantel itu mantel hujan, dengan kantong yang
besar-besar. Jantung George seakan-akan terhenti sejenak!
Mungkinkah kertas-kertas itu masih tertinggal dalam kantong mantel yang dipakai
penerimanya, ketika ia bersama temannya bertemu dengan Pak Guru Roland untuk
menerima barang curian itu" Memang hanya di situlah anak-anak belum sempat
mencari! Mereka belum mencari dalam kantong jas-jas yang tergantung dalam
lemari! Dengan jari-jemari yang gemetar, George merogoh kantong yang tadi
menimbulkan bunyi gemerisik.
Tangannya menyentuh seberkas kertas, lalu ditariknya ke luar. Dalam lemari itu
gelap, jadi George tak bisa meneliti apakah kertas-kertas itu memang yang
dicari-cari selama ini. Mudah-mudahan saja benar! Diselipkannya kertas-kertas
itu ke dalam baju, karena pakaian yang dikenakannya tak mempunyai kantong yang
besar. Dengan berbisik, George bertanya pada Dick,
"Aku bisa turun sekarang?"
Pintu terbuka dengan bunyi berderak keras. Seketika itu juga Pak Wilton dan Pak
Thomas menerpa ke dalam kamar. Mereka memandang berkeliling. Kamar itu kosong!
Tetapi di lantai nampak genangan air yang tumpah dari kendi. Jadi mestinya dalam
kamar ada orang yang bersembunyi.
"Lihat dalam lemari!" seru Pak Thomas.
George merayap mundur dari sela-sela pakaian sampai ke ambang yang sempit.
Dinding belakang yang palsu belum tertutup, dan masih tergeser dalam dinding
kamar. George menuruni beberapa injak-injakan, lalu menutup daun pintu besar
yang saat itu sudah berada di atas kepalanya. Ia tak cukup kuat untuk menutupnya
sampai rapat. Tapi mudah-mudahan saja kedua orang itu tak melihat adanya
kelainan di dinding belakang lemari pakaian mereka. Mudah-mudahan ia sudah
selamat! Kedua orang itu membuka lemari pakaian, lalu meraba-raba di sela pakaian yang
tergantung di situ. Barangkali saja orang yang tadi menumpahkan air ternyata
bersembunyi di situ! Tiba-tiba terdengar Pak Wilton berseru kaget.
"Kertas-kertas hilang! Aku menyimpannya dalam kantong mantelku ini. Sekarang tak
ada lagi! Cepat, Thomas! Kita harus menemukan orang yang mengambilnya. Kertas-
kertas itu harus kita kuasai kembali!"
Kedua orang itu tidak memperhatikan bahwa dinding belakang lemari mundur agak
lebih ke belakang daripada biasanya! Mereka pergi dari depan lemari, karena
sudah meyakinkan bahwa di dalam tak ada orang bersembunyi. Mereka mencari dalam
kamar. Sementara itu Julian beserta kedua adiknya sudah sampai ke dasar liang yang
menjulur tegak lurus. Mereka sudah berdiri di pangkal Jalan Rahasia. Mereka
sudah tak sabar lagi menunggu George yang belum sampai-sampai juga di bawah.
George yang malang! Ia begitu bergegas, sehingga kurang hati-hati. Bajunya
tersangkut pada sebuah injak-injakan.
"Astaga, George! Cepatlah sedikit!" panggil Julian.
Tim melonjak-lonjak di kaki dinding batu. Anjing itu gelisah, karena merasa
bahwa anak-anak gelisah dan takut. Ia ingin menyusul George. Mengapa tuannya
tidak datang-datang juga" Mengapa dia berada dalam liang yang gelap di atas itu"
Tim merasa sedih, lalu melolong-lolong. Suaranya nyaring dan memilukan, sehingga
anak-anak kaget dibuatnya.
"Diam, Tim!" kata Julian.
Sekali lagi Tim melolong. Suaranya menggema dalam liang yang sempit itu.
Kedengarannya aneh dan menyeramkan! Anne ketakutan, lalu menangis. Tim melolong
tak henti-hentinya. Kalau anjing itu sudah sekali melolong, sukar disuruh
berhenti. Kedua orang yang berada dalam kamar tidur mendengar bunyi yang aneh itu. Mereka
saling berpandangan dengan heran.
"Bunyi apa itu?" tanya Pak Wilton.
"Kedengarannya seperti lolongan anjing dalam lubang di bawah tanah," jawab Pak
Thomas. "Aneh!" kata Pak Wilton lagi. "Datangnya seperti dari dalam lemari itu."
Dengan segera ia menghampiri lemari, lalu membuka pintunya. Tepat saat itu Tim
melolong lagi. Kedengarannya sangat pilu dan menyeramkan, sehingga Pak Wilton
terloncat sebagai akibatnya. Kemudian ia masuk ke dalam lemari, lalu meraba-raba
ke sebelah belakang. Pintu besar yang memang belum tertutup rapat, terbuka kena
dorong tangannya. "Thomas! Ada sesuatu yang aneh dalam lemari ini," seru Pak Wilton. "Tolong
ambilkan senterku! Tadi kuletakkan di atas meja!"
Sekali lagi Tim melolong. Bunyinya menyebabkan Pak Wilton gemetar. Kalau Tim
melolong, bunyinya menegakkan bulu roma. Apalagi ketika terpantul dalam liang!
Pak Thomas bergegas mengambil senter, lalu disorotkan ke bagian belakang lemari.
"Loh, apa itu"!" seru Pak Wilton tercengang. "Di belakang lemari ada pintu!
Membukanya ke mana?"
Ibu Sanders yang sedari tadi memandang tindakan kasar kedua penyewa kamarnya itu
dengan tercengang-cengang bercampur marah, datang menghampiri lemari.
"Astaga!" serunya kaget. "Aku tahu bahwa dinding belakang lemari ini berlapis
dua - tapi tak kusangka bahwa dinding kedua juga bisa dibuka! Rupanya inilah
tempat masuk ke Jalan Rahasia, yang dipakai orang-orang jaman dulu!"
"Ke mana jalan itu?" kata Pak Wilton dengan ketus.
"Entah!" jawab Ibu Sanders. "Aku tak pernah tertarik pada hal-hal seperti itu!"
"Ayo, Thomas - kita harus turun ke bawah," ujar Pak Wilton, yang sementara itu
sudah menyorotkan senternya ke lubang yang gelap. Ia melihat bahwa ada injak-
injakan besi yang berjajar lurus ke bawah. "Pasti pencuri tadi lewat dari sini.
Ia belum bisa pergi jauh-jauh! Kita kejar dia - karena kertas-kertas itu harus
kita rebut kembali!"
Tak lama kemudian kedua orang itu sudah menuruni liang batu yang memanjang ke
bawah. Mereka turun sambil meraba-raba injak-injakan yang berikut. Mereka ingin
tahu, sampai ke mana mereka nanti. Di bawah tak terdengar apa-apa. Pasti orang
yang mengambil kertas-kertas itu sudah berhasil melarikan diri!
Akhirnya George berhasil melepaskan bajunya yang tersangkut pada injak-injakan.
Hampir saja dia terguling karena ditubruk oleh Tim yang girang melihat tuannya
kembali dengan selamat. "Kau ini benar-benar konyol," kata George sambil mengusap kepala anjingnya.
"Sekarang rahasia kita terbongkar, karena lolonganmu tadi. Cepat, Julian - kita
harus pergi dari sini. Sebentar lagi kedua orang itu akan sudah mengejar. Mereka
pasti bisa mendengar lolongan Tim tadi."
Julian membimbing tangan Anne.
"Ayoh, Anne," katanya. "Kau harus lari sekencang-kencangnya. Cepatlah sedikit!
Dick, kau bersama-sama dengan George."
Mereka bergegas menyusur lorong yang gelap dan sempit. Mereka masih jauh dari
rumah! Hati anak-anak berdebar keras. Mereka lari tersaruk-saruk dalam lorong,
diterangi cahaya senter. Julian bergegas sambil menarik tangan Anne. Di belakang mereka terdengar suara
orang berseru, "Lihat! Di depan ada cahaya senter! Itu dia pencurinya! Ayoh, sebentar lagi
pasti akan berhasil kita bekuk lehernya!"
XVII TIM YANG PERKASA "CEPATLAH sedikit, Anne!" seru Dick yang berlari di belakang adiknya itu.
Kasihan Anne! Ia tak mau lari cepat-cepat. Dua atau tiga kali ia nyaris jatuh
tersungkur, karena ditarik oleh Julian dan didorong dari belakang oleh Dick.
Napasnya terengah-engah. Ia merasa seolah-olah paru-parunya nyaris meledak.
"Aku harus istirahat sebentar," katanya dengan napas terputus-putus. Tetapi
mereka tak sempat beristirahat, karena ada dua orang yang marah mengejar mereka.
Anak-anak sampai ke bagian lorong yang agak melebar, yang ada bangku batu di
sisinya. Anne memandang tempat peristirahatan itu dengan rasa kepingin. Tetapi
kedua abangnya menyuruhnya terus berlari.
Tiba-tiba kaki Anne tersandung batu. Anak perempuan itu tersungkur. Nyaris saja
Julian ikut terseret dan jatuh! Anne berusaha hendak bangkit. Tetapi tiba-tiba
ia menangis. "Kakiku terkilir! Aduh! Julian, sakit rasanya jika kupakai berjalan!"
"Tapi kau harus terus, Manis," ujar abangnya. Julian merasa kasihan pada adiknya
yang kesakitan itu. Tetapi ia sadar bahwa sebentar lagi mereka akan tertangkap,
apabila ia tak bersikap tegas. "Usahakanlah lari sebisa-bisamu."
Tetapi Anne tak mungkin bisa lari cepat. Ia menangis kesakitan. Jalannya lambat
dan terpincang-pincang, sehingga hampir saja Dick jatuh karena menubruknya. Dick
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menoleh ke belakang. Dilihatnya sinar lampu senter kedua pengejar mereka makin
lama semakin mendekat. Apakah yang harus mereka lakukan sekarang" Tiba-tiba
George mengambil keputusan berani.
"Aku akan tinggal di sini bersama Tim," katanya pada saudara-saudaranya. "Kami
akan menahan kedua orang itu. Ini, Dick - kaukantongi kertas-kertas ini. Kurasa
memang itulah yang kita cari! Tapi aku belum yakin, sebelum bisa melihatnya di
tempat terang. Aku menemukannya dalam kantong salah satu mantel yang tergantung
dalam lemari tadi." "Astaga!" kata Dick terkejut. Diambilnya kertas-kertas yang seberkas itu, lalu
diselipkannya dalam baju tebalnya. Persis seperti dilakukan oleh George
sebelumnya, karena kantongnya pun terlalu kecil untuk memuat lembaran-lembaran
kertas yang lebar itu. "Biar Julian dan Anne saja yang terus lari! Aku akan
menemanimu di sini, George!"
"Jangan! Kau harus menyelamatkan kertas-kertas itu, karena mungkin memang
kepunyaan ayahku," kata George. "Ayoh, teruslah lari, Dick. Aku takkan apa-apa,
karena ditemani oleh Tim. Aku akan menunggu di sini, di balik tikungan di
belakang batu cadas ini. Tim akan kusuruh menggonggong keras-keras nanti!"
"Bagaimana kalau orang-orang itu membawa pistol," ujar Dick dengan agak cemas.
"Nanti Tim ditembak oleh mereka."
"Kutanggung mereka tak punya pistol," kata George. "Ayoh, Dick! Kau harus lari
cepat-cepat. Orang-orang itu sudah hampir sampai. Itu dia cahaya senter mereka!"
Dick lari mengejar Anne yang berjalan terpincang-pincang. Diceritakannya pada
Julian usul George. "George memang hebat," kata Julian kagum. "Anak itu tak kenal takut sama sekali.
Ia akan berhasil mencegah orang-orang itu maju mengejar lebih jauh, sampai aku
berhasil mengantar Anne yang sedang kesakitan ini!"
George menunggu sambil merunduk di balik batu cadas. Tangannya memegang kalung
leher anjingnya. "Sekarang, Tim!" bisiknya. "Menggonggonglah sekeras-kerasnya. Sekarang!"
Selama itu Tim menunggu sambil menggeram-geram. Tetapi begitu didengarnya
perintah tuannya, anjing itu dengan segera menggonggong dengan galak. Bukan main
nyaring gonggongannya. Suaranya lantang dan berat, menggema di seluruh lorong
yang gelap dan sempit itu. Orang-orang yang mengejar sudah dekat ke tikungan,
tempat George menunggu. Mereka tertegun ketika mendengar gonggongan anjing yang
galak. "Kalau kalian berani melewati tikungan ini, akan kusuruh anjingku menggigit
kalian!" teriak George.
"Anak kecil yang berteriak itu," ujar orang yang satu pada temannya. "Hanya anak
kecil saja. Ayoh, kita kejar!"
Tim menggonggong lagi sambil meronta-ronta, karena George masih tetap memegang
kalung lehernya erat-erat. Ia sudah tak sabar lagi, hendak menerjang kedua orang
itu. Cahaya senter semakin mendekat, sudah memancar ke balik tikungan. George
melepaskan anjingnya. Dengan segera Tim meloncat dan menyongsong musuh-musuhnya.
Sekonyong-konyong kedua orang itu melihatnya di tengah-tengah sinar lampu senter
mereka. Tim sangat menakutkan. Tubuhnya yang memang sudah besar, sekarang
kelihatan bertambah besar lagi karena marah. Bulu tengkuknya berdiri semua,
sehingga kelihatannya agak menyerupai singa! Tim menyeringai, nampak taring-
taringnya yang panjang dan runcing berkilat-kilat kena sinar senter.
Kedua orang itu ngeri melihat anjing yang galak itu.
"Kalau kalian berani maju selangkah saja lagi, akan kusuruh anjingku menerkam!"
seru George mengancam. "Tunggu, Tim! Tahan dulu sampai kuperintahkan!"
Anjing itu berdiri di tengah cahaya senter yang menyorot ke arahnya. Ia
menggeram-geram dengan suaranya yang berat. Kelihatannya benar-benar galak.
Kedua orang itu memandangnya dengan ragu-ragu. Seorang di antaranya mencoba maju
setapak. Tetapi langkahnya itu terdengar oleh George. Seketika itu juga ia
berseru, "Ayoh, Tim! Terkam dia!"
Tim melompat, dan menyambar leher orang yang nekat itu. Orang itu tak menyangka
akan diserang. Karena itu ia rubuh ke tanah. Tangannya dikibas-kibaskan dengan
bingung. Ia berusaha menghindarkan diri dari serangan Tim. Temannya menolongnya.
"Suruh anjingmu pergi," seru orang kedua. "Kalau tidak, kami akan terpaksa
menyakitinya!" "Lebih mungkin dia yang akan menyakiti kalian," jawab George. Anak itu muncul
dari balik batu. Senang hatinya melihat kedua orang itu tak berdaya menghadapi
Tim. "Tim! Berhenti!"
Seketika itu juga Tim menurut. Ia berhenti menyerang. Tetapi ia menatap tuannya,
seakan-akan hendak berkata, "Aku tadi sedang asyik! Kenapa kausuruh berhenti?"
"Kau siapa?" tanya orang yang terkapar di tanah.
"Aku tak mau menjawab pertanyaan kalian," jawab George ketus. "Kunasihatkan agar
kalian kembali cepat-cepat ke Kirrin Farm. Kalau berani masuk ke lorong ini
lagi, akan kuperintahkan anjingku mengejar! Dan lain kali ia akan menggigit
benar-benar!" Kedua orang itu bergegas kembali. Mereka tak ingin berhadapan lagi dengan Tim.
George masih menunggu sebentar, sampai cahaya senter mereka tak nampak lagi.
Sudah itu ia membungkuk, untuk menepuk-nepuk kepala Tim.
"Anjing manis!" katanya. "Aku benar-benar bangga padamu. Ayoh, kita susul
saudara-saudaraku! Kurasa malam ini kedua orang itu akan memberanikan diri masuk
lagi ke lorong ini. Biar saja! Mereka pasti akan kaget kalau nanti melihat di
mana ujungnya. Apalagi melihat siapa yang menunggu di ujung lorong!"
George bergegas menyusur lorong, didampingi oleh Tim yang berlari-lari kecil. Ia
membawa senter yang diserahkan oleh Dick padanya. Tak lama kemudian ketiga
saudaranya telah tersusul. Dengan napas terengah-engah George menceritakan apa
yang telah terjadi tadi. Bahkan Anne yang sedang kesakitan karena kakinya
terkilir, tertawa terkikik-kikik ketika mendengar bagaimana Tim melompat dan
membanting Pak Wilton ke tanah.
"Nah, kita sudah sampai," ujar Julian. Mereka sudah sampai di lubang yang
terdapat di bawah lantai kamar kerja Paman Quentin. "He - apa ini?"
Lubang yang tadi gelap, kini terang karena disinari cahaya yang masuk dari atas.
Karpet dan permadani yang semula ditutupkan kembali oleh Julian di atas lubang,
nampak sudah disingkapkan lagi. Anak-anak tercengang.
Paman Quentin dan Bibi Fanny berdiri di depan lubang itu. Mereka sangat kaget
ketika melihat wajah keempat anak tiba-tiba muncul dari dalam lubang di bawah
kaki mereka. Nyaris mereka terjatuh ke dalam karena kaget!
"Julian! Anne! Apa yang kalian perbuat dalam lubang itu?" seru Paman Quentin.
Ditolongnya anak-anak naik ke atas. Akhirnya mereka selamat, kembali berada
dalam kamar kerja yang hangat. Enak rasanya, tak perlu kedinginan lagi dalam
lorong yang lembab dan gelap. Kelima-limanya berkerumun dekat ke api pediangan.
Lima, karena Tim juga agak kedinginan!
"Apa arti kesemuanya ini?" tanya Bibi Fanny. Wajahnya pucat. Ia kelihatan cemas.
"Tadi aku masuk ke mari, karena hendak membersihkan ruangan. Sewaktu menginjak
permadani di sana itu, tahu-tahu lantai seakan-akan merosot ke bawah. Dengan
segera permadani dan karpet kusingkapkan. Kulihat sebuah lubang gelap menganga
di bawahnya. Dan di balik papan pelapis dinding di atas pediangan juga terdapat
lubang. Saat itu kulihat bahwa kalian lenyap! Dengan segera kupanggil Paman. Apa
yang terjadi selama ini" Dan lorong itu menuju ke mana?"
Dick menarik kertas-kertas yang selama itu terselip di balik baju tebalnya, lalu
diserahkan pada George. Anak itu meneruskannya pada ayahnya.
"Inikah kertas-kertas Ayah yang hilang?" tanyanya.
Dengan segera Paman Quentin menyambar kertas-kertas itu, seolah-olah jauh lebih
berharga daripada emas! "Ya! Ya, betul - ini kertas-kertasku! Syukurlah, aku sudah mendapatnya kembali.
Tiga tahun lamanya aku bekerja keras untuk menyempurnakannya. Ketiga lembar
kertas ini memuat inti rumus rahasiaku. Di mana kau menemukannya, George?"
"Kisahnya panjang sekali," sahut George. "Kau saja yang menceritakannya, Julian.
Aku capek!" Julian mulai bercerita. Tak ada barang satu pun yang dilupakannya.
Diceritakannya bagaimana George memergoki Pak Guru Roland yang sedang menyelinap
mengintip-ngintip dalam kamar kerja. Diceritakannya bahwa George merasa yakin
Pak Guru tak menghendaki Tim ada dalam rumah, karena selalu menggonggong apabila
ia sedang menyelinap di bawah pada malam hari. Lalu George melihatnya bercakap-
cakap dengan kedua seniman, yang menurut pengakuannya sama sekali tak dikenal
olehnya. Semakin jauh jalan cerita, semakin tercengang-cengang pula Paman
Quentin dan Bibi Fanny mendengarnya. Benar-benar luar biasa cerita Julian!
Tetapi pokoknya kertas-kertas yang hilang sudah berhasil diselamatkan.
Syukurlah! Paman Quentin mendekap kertas-kertas itu, seolah-olah tak mau
dilepaskannya lagi. Kemudian giliran George bercerita. Dituturkannya betapa Tim beraksi, menghalang-
halangi kedua orang yang mengejar mereka.
"Jadi walaupun Ayah menyuruh Tim yang malang tinggal dalam kandang yang dingin
di luar, dan tak diperbolehkan bermain-main dengan aku, tetapi ia akhirnya
menyelamatkan kami! Dan kertas-kertas Ayah," katanya pada ayahnya, sambil
menatap dengan matanya yang biru cerah.
Paman Quentin kelihatan kikuk. Ia merasa bersalah, karena menghukum George dan
Tim. Ternyata dugaan mereka tentang Pak Guru Roland benar, sedang sikapnya
keliru. "George yang malang," katanya, "Dan juga Tim! Aku benar-benar menyesal."
George tidak suka mendendam orang yang sudah mengaku bersalah. Ia tersenyum
memandang ayahnya. "Ah, sudahlah," ujarnya. "Tapi karena aku sebelumnya dihukum secara tidak adil,
apakah Ayah tidak berpendapat bahwa Pak Guru Roland harus dihukum secara adil
dan sepatutnya" Sudah sepantasnya ia dihukum!"
"Ya, tentu saja dia akan dihukum," kata ayahnya berjanji. "Saat ini ia sedang
meringkuk di tempat tidur, karena sakit selesma. Mudah-mudahan saja ia tak
mengetahui perkembangan yang baru ini. Kalau ia sampai mendengarnya, jangan-
jangan nanti ia akan melarikan diri."
"Tak mungkin," kata George. "Saat itu rumah kita masih terkurung salju.
Sebaiknya Ayah menelepon polisi, minta mereka datang selekas mungkin jika salju
sudah tersingkir. Dan kurasa kedua orang yang mengejar kami tadi akan berusaha
kembali menyusur lorong, karena ingin merebut kertas-kertas Ayah. Bagaimana
pendapat Ayah" Bisakah kita menangkap mereka yang juga muncul di sini nanti?"
"Tentu saja!" seru Paman Quentin. Dari air muka Bibi Fanny nampak bahwa ia tak
menginginkan terjadinya hal-hal selanjutnya yang menegangkan syaraf. "Kalian
kelihatannya kedinginan semua! Dan tentu sudah sangat lapar, karena sekarang
sudah hampir waktu makan siang. Pergilah ke kamar makan, dan duduk dekat
perapian di sana. Sebentar lagi Joanna akan menghidangkan makanan yang hangat.
Sudah itu kita akan merundingkan tindakan-tindakan selanjutnya."
Tak seorang pun dari mereka memberitahukan kejadian-kejadian itu pada Pak Guru
Roland. Tentu saja tidak! Orang itu masih terbaring dalam kamarnya. Sekali-
sekali kedengaran suaranya batuk-batuk. George menyelinap ke atas, lalu mengunci
pintunya dari luar. Ia tak mau Pak Guru bisa ke luar, dan menangkap pembicaraan
yang tak boleh diketahuinya!
Mereka makan siang dengan nikmat. Nyaman dan hangat rasa tubuh, karena perut
sudah kenyang. Sehabis makan, mereka masih duduk-duduk sambil bercakap-cakap
tentang pengalaman mereka, serta merencanakan tindakan-tindakan selanjutnya.
"Aku akan menelepon polisi," ujar Paman Quentin. "Dan malam ini Tim akan menjaga
dalam kamar kerjaku, kalau-kalau kedua seniman gadungan itu tiba-tiba muncul!"
Sorenya Pak Guru Roland merasa tubuhnya sudah agak nyaman. Ia berpakaian, lalu
menuju ke pintu. Maksudnya hendak turun ke bawah. Tetapi ternyata pintu kamar
terkunci! Dengan jengkel dipukul-pukulnya daun pintu. Mendengar suara ribut-
ribut di atas, George nyengir. Dengan segera ia naik ke atas. Ia sudah
menceritakan pada saudara-saudaranya, bahwa pintu kamar Pak Guru Roland dikunci
olehnya. "Ada apa, Pak Guru?" tanya George dengan suara manis dan sopan.
"Kau itu, George?" tanya Pak Guru Roland. "Coba periksa, ada apa dengan pintu
kamarku ini! Aku tak bisa membukanya dari dalam."
Anak kunci pintu itu sudah dikantongi oleh George sebelumnya. Ia menjawab dengan
suara riang, "Wah! Pak Guru, kuncinya tidak ada! Jadi aku tidak bisa membukanya. Tunggulah,
kucari dulu!" Pak Guru marah dan bingung. Ia tak mengerti, bagaimana pintunya bisa terkunci
dari luar, dan anak kuncinya hilang. Ia sama sekali tak menyangka bahwa
rahasianya sudah terbongkar. Sementara itu George turun kembali, dan bercerita
pada ayahnya bahwa ia mengunci pintu kamar Pak Guru. Paman Quentin tertawa
mendengarnya. "Biar saja ia terkurung di dalam," katanya. "Sekarang ia tidak bisa lagi
melarikan diri." Malam itu mereka cepat tidur. Tim ditinggal dalam kamar kerja. Ia bertugas
menjaga lubang lorong yang merupakan Jalan Rahasia. Pak Guru Roland semakin lama
makin bingung dan marah, karena pintu kamarnya masih tetap belum dibuka juga. Ia
berteriak-teriak memanggil Paman Quentin. Tetapi yang datang hanya George. Pak
Guru benar-benar bingung. Dan George" Dia senang sekali. Disuruhnya Tim
menggonggong keras-keras di depan pintu kamar Pak Guru. Orang itu heran
mendengar suara gonggongan itu, karena ia tahu bahwa George dilarang bermain-
main dengan Tim selama tiga hari. Pikiran Pak Guru kacau. Mungkinkah anak yang
bandel dan galak itu mengurung semua orang dewasa di rumah itu" Pak Guru sama
sekali tak sanggup membayangkan apa saja yang telah terjadi di luar kamarnya.
Tengah malam seisi rumah terbangun, karena Tim menggonggong dengan ribut. Paman
Quentin beserta anak-anak bergegas turun ke bawah, diikuti oleh Bibi Fanny dan
Joanna yang tercengang-cengang. Sesampai mereka di kamar kerja, nampak
pemandangan yang menyenangkan!
Pak Wilton dan Pak Thomas, kedua seniman palsu meringkuk di belakang kursi
panjang. Mereka ketakutan melihat Tim yang menggonggong-gonggong dengan galak!
Anjing itu menjaga lubang yang terdapat di lantai batu, sehingga kedua orang itu
tidak bisa melarikan diri lagi. Tim memang benar-benar anjing yang cerdik! Ia
menunggu diam-diam, sampai kedua orang itu sudah menyelinap masuk ke dalam kamar
kerja. Kemudian ia melompat ke lubang untuk menjaga di situ, supaya kedua orang
itu tidak bisa lari lagi lewat jalan tersebut!
"Selamat malam, Pak Wilton! Selamat malam, Pak Thomas," sapa George dengan
sopan. "Kalian ingin bertemu dengan Pak Guru Roland?"
"Di sini rupanya tempat tinggalnya?" kata Pak Wilton berpura-pura bodoh. "Kaukah
anak yang kami lihat dalam lorong tadi siang?"
"Betul! Aku dan ketiga saudaraku," jawab George. "Kalian ke mari hendak mencari
kertas-kertas yang kalian curi dari Ayahku?"
Kedua orang itu terdiam, karena sadar bahwa perbuatan mereka sudah ketahuan.
Kemudian Pak Wilton bertanya,
"Mana Roland?" "Kita antar saja tamu-tamu ini ke tempat Pak Roland, Paman?" usul Julian sambil
mengejapkan mata pada George. "Walau saat ini sudah tengah malam, tapi Pak Guru
pasti akan senang melihat mereka."
"Ya, baiklah!" jawab Paman dengan segera. Ia mengerti maksud keponakannya.
"Ajaklah mereka ke atas. Tim, kau ikut mengantarkan."
Kedua orang itu ikut dengan Julian ke atas. Tim menjaga dari belakang. George
menyusul sambil tertawa nyengir. Diserahkannya anak kunci kamar pada Julian.
Dibukanya pintu dan menyilakan orang-orang itu masuk, sementara ia menyalakan
lampu kamar. Pak Guru Roland ternyata tidak tidur. Ia berseru kaget ketika
melihat kedua kawannya datang.
Sebelum mereka sempat mengatakan apa-apa, Julian sudah menutup pintu kembali dan
menguncinya dari luar. Anak kunci diberikannya pada George.
"Sekarang ketiga-tiganya sudah terkurung di dalam," kata Julian. "Tim kita suruh
menjaga di sini. Mereka takkan mungkin bisa melarikan diri lewat jendela, karena
tempatnya terlalu tinggi. Dan kalaupun bisa, mereka toh tak bisa lari jauh.
Rumah kita masih terkurung salju tebal."
Semuanya masuk lagi ke tempat tidur masing-masing. Tetapi anak-anak sukar bisa
memejamkan mata, karena habis mengalami kejadian-kejadian yang sangat
menegangkan. Anne sibuk berbisik-bisik dengan George, sedang Julian tak henti-
hentinya mengajak Dick mengobrol. Banyak sekali yang mereka percakapkan!
Keesokan harinya polisi datang! Seisi rumah tercengang, karena salju di luar
masih bertimbun-timbun. Tetapi ternyata polisi tak mundur menghadapi salju.
Mereka memakai ski, dan datang sambil meluncur di atas salju. Mereka hendak
melihat ketiga orang penjahat yang terkurung dalam kamar tidur. Suasana menjadi
ramai! "Kami belum bisa membawa mereka pergi, sebelum salju tersingkir," kata Inspektur
polisi. "Tapi kami akan memborgol mereka, supaya tak mencoba lari atau berbuat
sesuatu yang merugikan. Pintu kamar harap dibiarkan terkunci, dan anjing itu
harus terus menjaga di luar. Sehari dua hari ini mereka aman di situ. Kami telah
menyediakan makanan secukupnya di dalam, sampai kami kembali lagi. Tapi kalau
nanti ternyata makanan itu tidak mencukupi, biar saja! Mereka sudah sepantasnya
dihukum!" Dua hari kemudian salju mencair. Polisi datang lagi untuk menjemput Pak Guru
Roland beserta kedua kawannya. Anak-anak memandang kesibukan mereka.
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hore! Liburan ini kita tidak perlu belajar lagi!" seru Anne dengan riang.
"Dan Tim tidak lagi dilarang masuk ke rumah," sambung George.
"Ternyata kau benar, George," kata Julian. "Dan kami keliru. Wah, kau galak
sekali! Tapi untunglah kau tak mau tunduk."
"Ya, George memang galak!" ujar Dick sambil merangkul saudara sepupunya. "Tapi
aku senang apabila George galak. Asyik-asyik pengalaman kita bersama-sama. Aku
kepingin tahu, apakah sesudah ini kita akan mengalami petualangan lagi?"
Tentu saja! Scan & DJVU: pelestaribuku http://pelestaribuku.wordpress.com
Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Pedang Keadilan 27 Pendekar Slebor 46 Serigala-serigala Lapar Bulan Biru Di Mataram 1
"Aku mesti ke luar untuk memeriksa keadaan kandang Tim," katanya. "Jangan sampai
ia tertimbun salju. Pasti ia tercengang-cengang, karena belum pernah
melihatnya." Tim heran sekali melihat tanah dan segala benda sekelilingnya dilapisi sesuatu
yang berwarna putih dan lembut. Anjing itu berbaring dalam kandangnya sambil
memandang gumpalan-gumpalan salju yang jatuh dengan pelan dari langit. Matanya
yang besar berwarna coklat bergerak-gerak mengikuti jatuhnya gumpalan-gumpalan
sampai ke tanah. Tim bingung dan sedih. Mengapa ia harus sendirian tinggal dalam
kandang yang dingin di luar" Mengapa George tidak datang untuk mengajaknya
bermain-main" Mungkinkah tuannya tidak sayang lagi padanya" Anjing itu merasa
sengsara, seperti George pula!
Tim gembira sekali ketika Julian datang, dan melonjak-lonjak menyambutnya.
"Nah, Tim!" sapa Julian. "Apa kabar" Biar kusingkirkan dulu salju yang bertumpuk
di sini, dan kuputar letak kandangmu! Supaya tak ada salju terbang masuk ke
dalam. Nah - begini lebih baik. Tidak Tim, kita bukan akan jalan-jalan! Jangan
sekarang." Julian masih bermain-main sebentar dengan anjing yang malang itu. Kemudian ia
masuk lagi. Adik-adiknya menyongsong ke pintu kamar duduk.
"Julian, Pak Guru mau berjalan-jalan sendiri. Bibi Fanny beristirahat sebentar,
sedang Paman Quentin sibuk di kamar kerjanya. Bagaimana kalau kita naik ke atas
dan ngobrol dengan George?"
"Kita kan dilarang oleh Paman Quentin," kata Julian.
"Aku juga tahu," ujar Dick. "Tapi aku berani menanggung risiko ketahuan, asal
George bisa menjadi agak gembira karenanya. Tentunya ia merasa sedih sekali,
harus berbaring sendirian. Apalagi karena tak diperbolehkan bertemu dengan Tim
selama berhari-hari."
"Yah - kalau begitu biar aku saja yang ke atas, karena aku yang tertua," kata
Julian. "Kalian berdua menunggu dalam kamar duduk sambil ngobrol. Dengannya
Paman Quentin akan mengira kita semua ada di sini. Aku menyelinap ke atas, dan
bicara sebentar dengan George."
"Baiklah," kata Dick menerima usul itu. "Kirim salam padanya! Katakan, kami akan
mengurus Tim." Julian menyelinap naik ke atas. Dibukanya pintu kamar George lalu ditutupnya
kembali setelah ia melangkah ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya George duduk
di tempat tidur. Anak perempuan itu memandangnya dengan wajah berseri-seri.
"Ssst!" bisik Julian. "Sebetulnya aku tak boleh ke mari!"
"Wah, Julian," kata George bergembira. "Untung kau ke mari! Aku sangat kesepian.
Ke marilah, duduk di sebelah sini. Jadi kalau tiba-tiba ada yang datang, kau
bisa cepat-cepat bersembunyi!"
Julian duduk ke tempat yang ditunjukkan. George mulai mencurahkan segala
pendapat yang dipikirkannya selama berbaring sendirian.
"Kurasa Pak Guru Roland yang mencuri kertas-kertas itu. Benar, aku yakin!"
katanya. "Aku mengatakannya bukan karena aku benci padanya! Sungguh, Julian -
bukan itu alasannya! Soalnya, aku kan pernah memergokinya menyelinap dalam kamar
kerja Ayah pada suatu siang. Dan sesudah itu sekali lagi di tengah malam.
Mungkin saja dia dulu mendengar kabar tentang penyelidikan Ayah, lalu datang
melamar dengan maksud hendak mencuri hasil pekerjaan itu. Ia bernasib mujur
bahwa kita memerlukan seorang guru pembimbing. Aku merasa pasti dialah yang
mencuri kertas-kertas penting itu. Dan aku juga merasa pasti, Tim sengaja
dimintanya supaya dikeluarkan dari rumah, supaya ia bisa leluasa mencuri dengan
tak terdengar oleh anjingku itu. Jadi Tim tidak bisa menggeram untuk
memberitahukan pada kita."
"Entahlah, George," sambut Julian. Anak itu tak bisa menerima sangkaan saudara
sepupunya bahwa guru pembimbing mereka melakukan perbuatan sejahat itu.
"Kedengarannya terlalu mengada-ada, dan sukar dipercayai."
"Kan banyak hal-hal mustahil yang ternyata toh terjadi," kata George. "Banyak
sekali! Dan ini satu di antaranya."
"Nah! Kalau memang benar Pak Guru yang mencuri kertas-kertas itu, tentunya
sekarang masih ada dalam rumah," kata Julian. "Sepanjang hari Pak Guru belum ke
luar. Tentunya kertas-kertas itu disembunyikannya di salah satu tempat dalam
kamar tidurnya." "Tentu saja!" ujar George dengan hati berdebar-debar. "Ah, coba dia ke luar
sekarang! Pasti akan kuperiksa kamarnya sekarang juga."
"George! Kau tak bisa berbuat seperti itu," kata Julian kaget. Menurut
perasaannya, perbuatan demikian tidak pantas.
"Kau tak tahu apa saja yang bisa kulakukan, jika aku mau," kata George. Bibirnya
yang menipis menunjukkan kebulatan tekat. "He! - bunyi apa itu?"
Mereka mendengar pintu tertutup dengan suara keras. Julian mengendap-ngendap
mendekati jendela, lalu mengintip ke luar. Saat itu salju sedang tidak turun
sebentar. Pak Roland memakai kesempatan baik itu untuk pergi ke luar rumah.
Rupanya dia hendak jalan-jalan sebentar, mencari hawa segar.
"Pak Roland yang keluar," kata Julian.
"Wah - aku bisa memeriksa kamarnya sekarang! Asal kau berjaga-jaga di depan
jendela, untuk memberitahukan padaku apabila ia datang kembali," kata George.
Seketika itu juga ia menyingkapkan selimut dan meloncat bangkit.
"Jangan, George!" larang Julian. "Tidak baik, membongkar-bongkar kamar orang!
Lagipula kalau memang dia pencurinya, kertas-kertas itu pasti dibawanya serta.
Bahkan mungkin saat ini ia pergi untuk menyerahkannya pada teman sekomplotan."
"Tak pernah terpikir olehku kemungkinan itu," ujar George sambil menatap Julian,
"Lemas tubuhku mendengarnya! Tentu saja saat ini ia mungkin sedang bermaksud
untuk menyerahkan surat-surat itu pada komplotannya. Misalnya saja, Pak Guru
mengenal kedua seniman yang tinggal di Kirrin Farm. Bisa saja mereka pun
termasuk komplotan."
"Ah George, janganlah sekonyol itu," kata Julian. "Kau ini terlalu mengada-ada.
Enak saja ngomong, tentang komplotan dan entah apa lagi. Kalau ada orang
mendengar omonganmu, pasti akan mengira kita sedang menghadapi petualangan
seru." "Memang," ujar George sekonyong-konyong. Wajahnya sangat serius. "Aku bisa
merasakannya! Kita sedang berhadapan dengan suatu petualangan hebat."
Julian memandang saudara sepupunya sambil berpikir-pikir. Mungkinkah kata-kata
George ada benarnya"
"Julian, maukah kau menolongku?" tanya George.
"Tentu saja," jawab Julian dengan segera.
"Pergilah ke luar dan ikuti Pak Guru Roland," kata George. "Tapi jangan sampai
ia melihatmu. Dalam lemari gantung di serambi dalam ada sebuah mantel hujan
berwarna putih. Kalau kau memakainya, takkan mudah kelihatan di tengah salju.
Kau mengikuti dari belakang. Perhatikan kalau-kalau ia berjumpa dengan orang
lain, dan menyerahkan sesuatu yang kelihatannya seperti kertas-kertas yang
dicuri dari buku ayahku. Kau kan tahu, maksudku kertas ukuran besar yang biasa
dipakai olehnya untuk membuat catatan ilmiah. Kau tidak bisa keliru, karena
ukurannya besar sekali!"
"Baiklah," kata Julian. "Tapi sebelum aku pergi, kau harus berjanji takkan
menggeledah kamarnya. Kau tak bisa melakukan hal-hal semacam itu, George!"
"Bisa saja!" kata George. "Tapi aku takkan melakukannya, asal kau menolongku
membuntuti Pak Guru Roland. Aku yakin ia pergi ke luar, karena hendak
menyerahkan barang curiannya pada teman-teman sekomplotannya! Dan tanggung
mereka itu kedua seniman di Kirrin Farm, yang pura-pura tak dikenal olehnya."
"Nanti akan ternyata bahwa kau keliru," ujar Julian sambil berjalan menuju ke
pintu. "Kurasa aku takkan bisa membuntuti Pak Guru lagi, karena ia ke luar lima
menit yang lalu!" "Tentu saja kau bisa, Tolol! Kan kelihatan jejak sepatunya dalam salju," kata
George. "O ya, Julian! Aku sampai lupa menceritakan sesuatu yang sangat menarik.
Tapi sekarang tak ada waktu lagi, karena kau harus cepat-cepat menyusul! Nanti
saja naik lagi ke mari, kalau kau sudah kembali. Soalnya tentang Jalan Rahasia."
"O ya?" kata Julian dengan gembira. Selama itu ia merasa sangat kecewa, karena
usaha mereka mencari dan memeriksa sama sekali tak mendatangkan hasil. "Baiklah,
akan kucoba menyelinap ke atas lagi nanti. Kalau aku tak muncul, berarti aku
tidak bisa. Jadi kau harus menunggu sampai saat tidur."
Sudah itu Julian ke luar, sambil menutup pintu dengan hati-hati sekali. Ia
menyelinap turun. Sesampai di bawah ia menjengukkan kepala sebentar di celah
pintu kamar duduk yang dibukanya sedikit. Ia berbisik pada kedua adiknya, bahwa
ia akan ke luar untuk membuntuti Pak Guru yang sedang jalan-jalan.
"Nanti kuceritakan sebabnya," katanya singkat. Diambilnya mantel hujan putih
dari lemari di serambi dalam, lalu diselubungkan ke tubuhnya. Tertutup selubung
putih, Julian masuk ke kebun sambil mengendap-endap. Salju sudah mulai turun
lagi. Tetapi belum lebat, sehingga jejak kaki Pak Guru Roland masih bisa
terlihat karena belum habis tertimbun salju baru. Orang itu memakai sepatu
tinggi yang besar. Jejak-jejaknya nampak jelas di atas salju yang terhampar di
tanah setebal lima belas senti.
Julian berjalan cepat-cepat, mengikuti arah jejak. Daerah pedesaan saat itu
menampakkan suasana musim dingin yang sejati. Semuanya kelihatan putih diliputi
salju. Langit berawan tebal. Dari warnanya Julian tahu bahwa masih banyak lagi
salju yang akan turun ke bumi. Pak Guru Roland masih belum nampak di depannya.
Julian mempercepat langkahnya.
Jejak-jejak sepatu besar yang sepasang itu diikutinya, lewat jalan besar, lalu
membelok memasuki jalan setapak yang melintasi padang. Julian berjalan tersaruk-
saruk. Matanya terpaku ke jejak sepatu. Sekonyong-konyong ia berhenti, karena
mendengar suara orang berbicara. Di sisi kanan jalan itu ada sebuah semak yang
agak besar. Suara yang didengarnya datang dari arah situ. Julian menghampiri
semak dengan hati-hati. Sekarang ia bisa mendengar suara Pak Guru berbicara
dengan setengah berbisik. Julian tak bisa menangkap kata-katanya.
"Ia ngomong dengan siapa?" pikirnya heran. Julian merayap semakin dekat ke
semak. Di bawah semak tak ada salju, karena tertahan daun-daun yang menaungi di
atasnya. Julian memutuskan untuk merangkak ke dalam lekuk tanah tak bersalju
itu. Semak itu berduri daunnya, tetapi ia tak peduli. Dari dalam lekuk, ia akan
bisa mengintip ke sebelah sana. Dengan hati-hati Julian merangkak ke bawah semak
dan ke dalam lekuk yang ada di bawahnya. Dahan dan ranting di situ tak berdaun.
Disingkapkannya ranting-ranting yang menghalangi pandangan dengan hati-hati.
Julian sangat kaget ketika melihat Pak Guru sedang bicara dengan kedua seniman
yang tinggal di Kirrin Farm. Pak Roland sedang bisik-bisik dengan Pak Thomas dan
Pak Wilton! Ternyata kata George memang benar. Guru pembimbing mereka ke luar
untuk bertemu dengan kedua orang itu. Dan sementara Julian mengintip dari balik
ranting-ranting kering, ia melihat betapa Pak Guru menyerahkan beberapa lembar
kertas yang dilipat dua pada Pak Thomas.
"Kelihatannya seperti kertas-kertas yang berasal dari buku Paman Quentin," kata
Julian dalam hati. "Benar-benar aneh! Kelihatannya semua ini mirip seperti
komplotan - dan Pak Roland sebagai tokoh utama."
Pak Thomas memasukkan kertas-kertas itu ke dalam kantong mantelnya. Ketiga orang
itu masih ngomong lagi sebentar. Mereka bisik-bisik, sehingga kuping Julian yang
tajam itu pun tak bisa menangkap isi pembicaraan mereka. Kemudian mereka
berpisah. Kedua seniman menuju ke Kirrin Farm, sedang Pak Roland mengambil jalan
setapak yang melintasi padang. Julian meringkuk dalam lekuk di bawah semak.
Hatinya berdebar-debar. Kalau Pak Guru berpaling, pasti ia akan ketahuan! Tetapi
untung orang itu berjalan terus, dengan tidak menoleh lagi. Tak lama kemudian
sudah nampak lagi di balik tirai hujan salju yang sementara itu sudah lebat
lagi. Hari pun mulai gelap. Julian tak bisa melihat jalan dengan jelas. Ia
bergegas berjalan di belakang Pak Guru, karena khawatir tersesat di tengah badai
salju. Pak Guru Roland juga tak ingin berlama-lama di luar. Ia berjalan cepat-cepat
menuju Pondok Kirrin. Akhirnya ia sampai di pintu pagar kebun. Julian
memperhatikan, sementara Pak Guru bergegas masuk ke rumah. Julian menunggu
sebentar, menunggu saat sampai Pak Guru telah membuka pakaian luarnya. Sudah itu
barulah ia menyusul. Sambil melewati kandang, ditepuk-tepuknya kepala Tim. Di
depan pintu rumah yang membuka ke kebun dibukanya mantel putih serta sepatu
tinggi. Sudah itu ia cepat-cepat menyelinap masuk ke kamar duduk, sebelum Pak
Guru turun ke bawah dari kamar tidurnya.
"Apa yang terjadi tadi?" tanya Dick dan Anne dengan segera, karena melihat wajah
abang mereka tegang. Tetapi Julian tak bisa mengatakan, karena saat itu Joanna
masuk membawa hidangan teh.
Julian sangat kecewa, karena sepanjang sore itu ia tak bisa bicara dengan aman,
karena setiap saat ada saja orang dewasa yang hadir dalam kamar duduk. Ia pun
tak mendapat kesempatan untuk menyelinap ke atas dan mendatangi George.
Sebenarnya ia sudah tak sabar lagi dan ingin cepat-cepat menceritakan hasil
pengintipannya, tetapi ia tahu bahwa ia terpaksa menunggu.
"Salju masih turun, Bibi Fanny?" tanya Anne.
Bibi pergi ke depan, lalu membuka pintu untuk melihat ke luar. Salju bertumpuk
tinggi di depan tangga depan rumah.
"Ya," katanya setelah masuk kembali ke kamar duduk. "Turunnya lebat sekali!
Kalau terus-menerus turun selebat ini, nanti kita akan terkurung salju! Persis
seperti musim dingin dua tahun yang lalu. Lima hari lamanya kami tidak bisa ke
luar. Tukang susu tidak bisa datang. Begitu pula tukang roti! Untung saat itu di
rumah banyak tersedia susu dalam kaleng, dan aku bisa membuat roti sendiri.
Kasihan kalian! Besok tidak bisa jalan-jalan di luar, karena salju yang
bertumpuk akan terlampau tebal!"
"Kirrin Farm juga akan terkurung salju?" tanya Pak Guru Roland.
"O ya! Bahkan lebih parah lagi daripada rumah ini," ujar Bibi Fanny. "Tapi
keluarga Sanders tak pernah khawatir, karena banyak persediaan makanan di sana.
Mereka takkan bisa ke luar dari rumah. Persis seperti kita, bahkan lebih banyak
salju di sana!" Julian heran, mengapa Pak Guru bertanya begitu. Apakah ia khawatir teman-
temannya tak bisa pergi ke kantor pos untuk mengirimkan kertas-kertas rahasia
itu" Atau mungkin mereka hendak membawanya pergi naik mobil atau bis" Julian
merasa itulah jawaban atas pertanyaannya tadi. Ia kepingin sekali merundingkan
persoalan itu dengan saudara-saudaranya.
"Aduh, aku capek sekali!" katanya kemudian, ketika jam menunjukkan waktu pukul
delapan malam. "Kita tidur saja yuk!"
Dick dan Anne tercengang memandangnya. Julian, sebagai yang tertua, biasanya
tidur paling lambat. Tetapi malam ini ia yang mengajak tidur! Tetapi Julian
cepat-cepat mengedipkan mata. Dan karena kedua adiknya bukan anak-anak yang
tolol, dengan segera mereka memahami maksudnya. Mereka segera menuruti
contohnya. Dick menguap lebar-lebar, sedang Anne menggeliat sambil menggosok-gosok mata.
Bibi Fanny meletakkan barang jahitannya sebentar ketika melihat gelagat anak-
anak itu. "Wah! Rupanya kalian sudah benar-benar mengantuk," katanya. "Kurasa kalian lebih
baik pergi saja tidur sekarang!"
"Bolehkah saya pergi sebentar untuk menjenguk Tim?" tanya Julian. Bibinya
mengangguk. Julian mengenakan sepatu tingginya yang terbuat dari karet serta
mantelnya, lalu pergi ke pekarangan. Tanah di situ diliputi salju tebal. Kandang
anjing sudah hampir tertimbun olehnya. Tim menginjak-injak salju yang jatuh di
depan pintu kandangnya. Ia berdiri di tempat yang agak terbuka itu. Dipandangnya
Julian ketika anak itu datang dari arah rumah.
"Kasihan, kau harus sendiri di tengah salju yang dingin," kata Julian. Ditepuk-
tepuknya kepala Tim. Anjing itu mendengking-dengking dengan pelan. Rupanya ia
ingin diajak masuk ke dalam.
"Coba aku boleh membawamu ke dalam," kata Julian menyesal. "Tapi biarlah, Tim.
Besok pagi aku akan datang melihatmu."
Julian masuk lagi ke dalam rumah. Anak-anak mengucapkan selamat tidur pada Bibi
Fanny dan Pak Guru Roland, lalu naik ke tingkat atas.
"Cepatlah berganti pakaian! Sudah itu kenakan mantel kamar kalian, lalu pergi ke
kamar George," bisik Julian pada adik-adiknya. "Jangan berisik! Nanti terdengar
oleh Bibi Fanny, lalu ia datang memeriksa ke atas. Ayoh, cepat!"
Tak sampai tiga menit kemudian anak-anak sudah berkumpul dan duduk di atas
tempat tidur George. Anak itu sangat senang melihat ketiga saudara sepupunya
datang. Anne langsung masuk ke bawah selimut, karena kakinya kedinginan.
"Bagaimana, Julian" Kau masih mengikuti Pak Guru Roland dari belakang?" bisik
George. "Untuk apa Julian membuntuti?" tanya Dick yang sedari tadi sudah kepingin tahu.
Dengan ringkas diceritakan oleh Julian segala-galanya: mulai dari kecurigaan
George, lalu bagaimana ia berjalan menyelinap di salju sambil mengikuti jejak
kaki Pak Guru, dan apa saja yang dilihatnya dari balik ranting-ranting semak.
Mata George berkilat-kilat marah, ketika Julian sampai pada bagian cerita
tentang Pak Guru yang menyerahkan seberkas kertas pada kedua seniman.
"Maling! Pasti yang diserahkannya itu kertas-kertas yang hilang! Padahal ayahku
begitu ramah terhadapnya. Aduh, apa yang bisa kita lakukan sekarang" Kedua orang
itu pasti akan membawa atau mengirimkan kertas-kertas itu secepat mungkin, dan
sebagai akibatnya maka rahasia yang telah diselidiki sejak lama oleh Ayah akan
dipakai oleh orang lain. Bahkan mungkin oleh negara lain!"
"Mereka tak bisa pergi membawa kertas-kertas itu," kata Julian menerangkan.
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Salju di luar tebal sekali, George. Kalau hujan salju masih turun terus, kita
akan terkurung di sini selama beberapa hari. Dan orang-orang di Kirrin Farm juga
tidak bisa ke luar, karena terhalang salju! Kalau mereka hendak menyembunyikan
kertas-kertas itu, maka mau tak mau harus pada salah satu tempat di Kirrin Farm
sendiri. Alangkah baiknya jika kita bisa ke sana dan mencarinya!"
"Yah, kenyataannya kita tidak bisa," ujar Dick. "Itu sudah pasti! Kalau kita mau
mencoba juga, bisa terbenam nanti dalam salju."
Keempat anak itu saling berpandangan dengan wajah suram. Dick dan Anne hampir-
hampir tak mau percaya, bahwa Pak Guru yang periang sebenarnya seorang pencuri.
Bahkan mungkin seorang mata-mata, yang berusaha mencuri suatu rahasia penting
dari seorang sarjana yang bersahabat dengannya. Dan anak-anak tidak berdaya
untuk mencegahnya. "Kita laporkan saja pada ayahmu," kata Julian akhirnya.
"Jangan!" bantah Anne. "Ia toh takkan mau percaya! Bukankah begitu, George?"
"Kita akan dicemoohkannya, lalu ia pergi menceritakan laporan kita pada Pak
Roland," kata George. "Dengan begitu Pak Roland akan mendengar bahwa
perbuatannya sudah kita ketahui. Ia sama sekali tak boleh menduga bahwa kita
sudah tahu!" "Sst! Kudengar langkah-langkah Bibi Fanny di tangga!" bisik Dick tiba-tiba.
Secepat kilat kedua anak laki-laki menyelinap ke luar dan masuk ke tempat tidur
masing-masing. Sedang Anne melompat ke pembaringannya yang terletak
berseberangan dengan tempat tidur George. Ketika bibi mereka masuk, keadaan
dalam kedua kamar sepi dan tenang. Keempat anak itu berbaring di tempat tidur
masing-masing. Nampaknya sudah tak tahan lagi menahan kantuk. Mereka silih
berganti menguap, lebar sekali!
Bibi Fanny mengucapkan selamat malam pada mereka, sambil membetulkan letak
selimut. Tetapi begitu terdengar langkahnya menuruni tangga lagi, dalam sekejap
mata mereka berempat sudah bergabung kembali dalam kamar George.
"George, kau tadi mau menceritakan sesuatu tentang Jalan Rahasia," kata Julian
mengingatkan. "Oya - betul," ujar George. "Mungkin sangkaanku ini tidak benar - tapi dalam
kamar kerja ayahku di bawah, di atas rak perapian di situ ada delapan papan
pelapis dinding cerobong! Dan lantainya dari batu, sedang kamar itu menghadap ke
timur! Aneh, ya" Persis seperti yang tertulis dalam petunjuk Jalan Rahasia."
"Di situ juga ada lemari dinding?" tanya Julian.
"Tidak. Tapi yang lain-lainnya lengkap," sahut George. "Karena itu timbul
sangkaanku, barangkali saja tempat masuk itu adanya di rumah ini, dan bukan di
Kirrin Farm. Bagaimana pun juga, baik Pondok Kirrin maupun rumah petani itu
dulunya milik keluargaku. Dan orang-orang yang di jaman dulu tinggal di Kirrin
Farm, tentunya mengetahui segala seluk beluk rumah kami ini."
"Astaga! George - bukan main, apabila tempat masuk ke Jalan Rahasia itu memang
benar ada di sini!" ujar Dick. "Hebat! Ayoh, kita ke bawah sekarang juga! Kita
periksa saja." "Jangan konyol," kata Julian mencegahnya. "Kita masuk ke kamar kerja, padahal
saat ini Paman Quentin ada di dalamnya" Edan! Aku lebih memilih berhadapan
dengan dua puluh ekor singa lapar, daripada menghadapi Paman Quentin! Apalagi
setelah kejadian-kejadian kemarin malam!"
"Tapi kita harus memeriksanya, apakah sangkaan George itu benar! Kita HARUS
MEMERIKSANYA!" Dick terlalu bersemangat, sampai lupa berbisik.
"Tutup mulutmu, goblok!" kata Julian sambil menumbuk adiknya itu. "Kau mau seisi
rumah datang ke mari?"
"Maaf deh, aku lupa tadi," kata Dick. "Sungguh-sungguh mengasyikkan! Kita
menghadapi petualangan lagi!"
"Persis seperti yang kukatakan," kata George bergairah. "Begini sajalah! Kita
menunggu sampai saat tengah malam. Sudah itu, apabila orang-orang dewasa sudah
tidur nyenyak, kita menyelinap ke bawah. Kita lihat saja, apakah dugaanku benar"
Mungkin saja sangkaanku keliru, tetapi kita harus memeriksanya malam ini juga.
Aku takkan bisa tidur, sebelum memeriksa satu per satu papan pelapis yang
terdapat di atas rak pediangan dalam kamar kerja Ayah."
"Aku pun pasti tak bisa tidur," sambut Dick. "He! Coba dengar! - ada orang
datang" Sebaiknya kita pergi saja ke kamar masing-masing! Ayoh, Julian! Tengah
malam nanti kita berkumpul lagi di sini, lalu merayap ke bawah untuk memeriksa
kebenaran sangkaan George."
Julian dan Dick bergegas kembali ke kamar mereka. Tetapi mereka tidak bisa
tidur. George juga tetap terjaga. Ia berbaring di tempat tidur, sementara
pikirannya sibuk dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama masa liburan
itu. "Persoalannya seperti teka-teki silang," pikirnya. "Mula-mula banyak yang tak
kuketahui! Tetapi pelan-pelan terdapat juga gambaran jelas."
Anne masih kecil. Tak peduli betapa tegang persoalan yang dihadapi, ia selalu
segera pulas apabila sudah mencium bau bantal. Ia harus dibangunkan ketika
tengah malam tiba. "Ayoh, bangun!" bisik Julian sambil menggoncang-goncang bahu adiknya itu. "Kau
tak mau ikut mengalami peristiwa yang asyik ini?"
XIV JALAN RAHASIA! ANAK-ANAK berjalan mengendap-endap menuruni tangga yang gelap. Mereka sangat
hati-hati, karena tak mau menimbulkan bunyi yang membangunkan orang. Mereka
masuk ke kamar kerja Paman Quentin. Dengan pelan, George menutup pintu. Sudah
itu baru menyalakan lampu.
Keempat anak itu memandang kedelapan papan pelapis yang terpasang di atas rak
tempat pediangan. Betul, jumlahnya tepat delapan buah! Empat di barisan bawah,
dan empat lagi di atasnya. Julian membentangkan kain linen ke atas meja. Setelah
itu anak-anak berkerumun mempelajarinya.
"Tanda silang terdapat di tengah-tengah papan kedua pada baris sebelah atas,"
kata Julian setengah berbisik. "Kucoba saja menekannya. Kalian memperhatikan
baik-baik!" Julian menghampiri pediangan. Yang lain mengikuti dari belakang. Hati mereka
berdebar-debar. Papan sebelah atas agak tinggi letaknya. Julian agak berjingkat,
lalu menekan bagian tengah papan kedua keras-keras. Tetapi tak ada sesuatu pun
yang terjadi. "Tekan lebih keras lagi! Pukul dengan kepalanmu," kata Dick mengajari. Ia sudah
tak sabaran lagi. "Aku tak berani terlalu berisik," kata Julian. Tangannya meraba-raba permukaan
papan, mencari-cari tempat yang agak kasar. Barangkali di situ ada pegas atau
tuas yang tersembunyi. Tiba-tiba papan itu tergeser! Persis seperti yang terjadi dalam serambi di
Kirrin Farm! Anak-anak menatap lubang gelap yang menganga di balik papan. Hati
mereka berdebar-debar keras.
"Lubang itu terlalu sempit," kata George. "Jadi tak mungkin merupakan tempat
masuk ke Jalan Rahasia!"
Julian mengambil senter dari kantong mantel kamarnya. Dimasukkannya senter itu
ke dalam lubang, lalu dinyalakan. Seketika itu juga ia terjerit karena gembira.
Tetapi jeritannya tak terlalu keras. Karena kalau sampai terdengar Paman Quentin
- wah, gawat! "Di dalam ada semacam pegangan. Pada pegangan itu terikat seutas kawat. Aku akan
menariknya! Kita lihat saja, apa yang terjadi nanti."
Julian menarik pegangan itu. Tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk
menggerakkan pegangan yang kelihatannya tertancap ke dinding. Dick memasukkan
tangannya ke lubang. Kedua anak laki-laki itu menarik bersama-sama.
"Nah! Sekarang mulai bergerak," kata Julian terengah-engah. "Ayoh, Dick! Tarik
lebih keras lagi!" Sekonyong-konyong pegangan itu terlepas dari dinding, dengan menarik kawat yang
sudah tua dan berkarat. Pada saat itu juga terdengar bunyi aneh menciut-ciut
dari bawah permadani yang terhampar di depan pediangan. Anne terhuyung-huyung,
seperti hendak jatuh. "Julian! Lantai di bawah permadani bergerak!" katanya ketakutan. "Aku
merasakannya. Cepat, lihat ke bawah permadani!"
Pegangan itu tidak bisa ditarik lebih jauh lagi ke luar. Julian dan Dick
melepaskannya, lalu memandang ke lantai. Ada sesuatu yang bergerak di bawah
permadani, di sebelah kanan pediangan. Mereka melihatnya dengan jelas. Permadani
di situ tidak terhampar rata, melainkan agak melengkung ke bawah.
"Rupanya ada ubin yang bergeser," kata Julian dengan suara bergetar karena
tegang. "Pegangan ini menggerakkan sebuah pengungkit yang tertambat pada kawat.
Cepat - angkat permadani itu, dan kita gulung karpetnya."
Mereka berempat memindahkan permadani, lalu menggulung karpet. Begitu tempat
yang ditunjukkan oleh Anne tersingkap, mereka melihat pemandangan yang
menakjubkan. Sebuah ubin di lantai merosot ke bawah, tertarik dengan salah satu
cara oleh kawat yang terikat pada pegangan yang tersembunyi di balik papan!
Sebuah lubang gelap menganga di tempat ubin yang sekarang sudah tergeser.
"Lihatlah!" bisik George dengan asyik. "Tempat masuk ke Jalan Rahasia!"
"Ternyata memang di sini tempatnya!" kata Julian.
"Ayoh, kita masuk?" ajak Dick.
"Jangan!" kata Anne. Anak itu gemetar, karena ngeri membayangkan lenyap ditelan
lubang gelap itu. Julian menyorotkan senternya ke lubang yang menganga di bawah mereka. Batu ubin
yang semula menutupi, ternyata merosot ke bawah lalu tergeser ke samping. Di
bawah nampak rongga yang cukup besar dan bisa memuat tubuh seorang dewasa yang
berdiri membungkuk. "Kurasa dari bawah sini ada lorong menuju ke luar," kata Julian. "Ke mana ya?"
"Kita harus memeriksanya," usul George.
"Jangan sekarang," kata Dick. "Sekarang terlalu gelap dan dingin. Aku tak
kepingin meraba-raba sepanjang Jalan Rahasia pada waktu tengah malam. Kalau
turun ke bawah saja aku setuju! Hanya untuk melihat wujudnya. Tapi besok saja
kita menelusuri lorong."
"Besok Paman Quentin akan bekerja lagi di sini," kata Julian.
"Katanya tadi, besok pagi ia akan menyingkirkan salju yang bertumpuk di pintu
depan," kata George. "Saat itu kita akan bisa menyelinap ke sini. Besok hari
Sabtu. Barangkali saja tidak ada pelajaran."
"Baiklah," jawab Julian, yang sebetulnya sudah kepingin memeriksa lorong pada
saat itu juga. "Tapi sekarang kita periksa saja, apakah di bawah memang ada
sebuah lorong. Dari sini kita cuma melihat sebuah lubang gelap yang menganga!"
"Kubantu kau turun," kata Dick. Julian turun ke dalam lubang gelap itu, dengan
membawa senter. Sesampai di bawah ia berseru gembira.
"Ini memang tempat masuk ke Jalan Rahasia! Dari sini ada lorong menembus bawah
rumah. Lorongnya sempit dan rendah. Aku kepingin tahu, ke mana tujuannya!"
Julian agak menggigil. Lubang itu dingin dan lembab.
"Tolong aku naik, Dick," katanya. Tak lama kemudian ia sudah keluar dari lubang,
dan berada kembali di ruang kerja yang hangat.
Anak-anak berpandang-pandangan. Mereka merasa bergembira. Hati mereka berdebar-
debar. Mereka menghadapi petualangan yang akan mengasyikkan. Sayang mereka tidak
bisa mulai saat itu juga.
"Kita coba membawa Tim serta besok," kata George. "He! Bagaimana caranya menutup
lubang ini kembali?"
"Kita tidak bisa membiarkan permadani dan karpet melengkung di atas lubang,"
kata Dick. "Dan papan itu pun tak boleh kita biarkan terbuka."
"Kita lihat saja, barangkali ada cara tertentu untuk mengembalikan ubin ke
tempatnya semula," kata Julian. Ia berjingkat lagi, lalu meraba-raba dalam
lubang di balik papan. Tangannya memegang sebuah tombol yang terpasang dalam
batu. Tombol itu ditariknya. Seketika itu juga pegangan menggeser lagi ke dalam,
tertarik oleh kawat. Dan pada waktu bersamaan, ubin batu menggelincir ke atas
sampai rata letaknya dengan lantai. Gerak batu itu menimbulkan bunyi menciut-
ciut pelan. "Wah! Seperti sulap saja!" ujar Dick kagum. "Memang benar-benar sulap!
Bayangkan, alat-alat penggeraknya masih bekerja dengan lancar, setelah bertahun-
tahun tak pernah dipakai! Baru sekali inilah aku melihat barang yang begitu
menakjubkan!" Dari tingkat atas terdengar suara. Anak-anak berdiri seperti terpaku. Mereka
menajamkan telinga. "Itu Pak Guru!" kata Dick berbisik. "Pasti ia terbangun karena mendengar kita.
Cepat, kita harus naik ke atas sebelum ia sempat turun."
Mereka cepat-cepat memadamkan lampu, lalu membuka pintu kamar kerja itu dengan
berhati-hati. Sesudah itu menyelinap lari ke atas. Berjingkat-jingkat, seperti
orang-orang Indian hendak berburu. Hati mereka berdebar-debar keras, sehingga
anak-anak khawatir akan terdengar seisi rumah.
George dan Anne berhasil sampai di kamar mereka dengan selamat. Begitu pula
Dick. Tetapi Julian nampak oleh Pak Guru Roland, sewaktu orang itu keluar dari
kamarnya dengan membawa senter.
"Sedang apa kau di situ, Julian?" tanya guru pembimbingnya dengan heran. "Kau
tadi juga mendengar sesuatu bunyi di bawah?"
"Ya - banyak bunyi-bunyi yang saya dengar di bawah," kata Julian. Dia tidak
bohong! "Tapi mungkin penyebabnya salju yang jatuh dari atap ke tanah. Bisa
saja, kan?" "Entah ya," kata Pak Guru agak ragu. "Kita periksa saja ke bawah."
Mereka turun berdua. Tetapi tentu saja tak ada lagi yang bisa dilihat di situ.
Julian merasa bersyukur, karena berhasil menutup papan pelapis dan mengembalikan
ubin ke tempatnya semula. Ia sama sekali tak berniat menceritakan rahasia yang
baru berhasil mereka bongkar pada Pak Guru itu.
Karena ternyata tidak ada apa-apa, mereka naik lagi ke tingkat atas. Julian
masuk ke kamarnya. "Bagaimana" Beres?" bisik George.
"Beres!" jawab Julian. "Sudah, jangan ngomong lagi. Pak Guru Roland masih
bangun! Aku tak mau membangkitkan kecurigaannya."
Kedua anak itu tertidur. Ketika mereka bangun lagi keesokan harinya, alam di
luar putih semua. Salju menyelubungi segala-galanya. Timbunannya tebal sekali.
Kandang tempat Tim tidur tidak nampak! Tetapi sekitar tempatnya kemarin nampak
jejak-jejak kaki. George menjerit kaget, ketika melihat betapa tebal salju yang menyelubungi
segala-galanya. "Tim yang malang! Aku akan membawanya masuk. Tak peduli apa kata Ayah nanti!
Pokoknya aku tak mau membiarkannya terbenam dalam salju."
George lekas-lekas mengenakan pakaian tebal, lalu lari ke bawah. Diarunginya
hamparan salju yang membendung, menuju ke kandang. Sesampai di sana, dilihatnya
Tim tidak ada lagi! George terkejut mendengar suara menggonggong dari arah dapur. Joanna mengetuk-
ketuk jendela di situ. "Jangan khawatir, semua sudah beres!" katanya. "Aku tak sampai hati melihat
anjingmu sengsara dalam salju. Karena itu kuajak masuk! Kata ibumu, aku boleh
mengajaknya ke dapur. Tapi kau tak boleh masuk ke mari dan bermain-main
dengannya." "Syukurlah!" seru George dengan perasaan lega. "Tim sudah ada lagi di tempat
yang hangat." Kemudian ia berseru ke arah jendela, di mana Joanna masih berdiri,
"Terima kasih! Anda memang baik hati!"
George masuk ke dalam rumah, dan menyampaikan kabar baik itu pada ketiga saudara
sepupunya Mereka sangat bergembira mendengarnya.
"Dan aku juga punya kabar baik untukmu," ujar Dick. "Pak Guru tidak bisa bangun,
karena sakit selesma. Jadi hari ini kita tidak belajar. Horee!"
"Wah, itu memang benar-benar kabar baik," sahut George. "Tim ada dalam dapur
yang hangat, sedang Pak Guru meringkuk di tempat tidur karena terlalu kedinginan
sehingga sakit pilek. Senang sekali hatiku mendengarnya!"
"Pokoknya kita sekarang bisa memeriksa Jalan Rahasia dengan aman," ujar Julian.
"Pagi ini Bibi Fanny akan sibuk bekerja di dapur bersama Joanna, sedang Paman
Quentin repot menyingkirkan salju di luar. Kuusulkan supaya kita belajar sendiri
di kamar duduk. Kalau keadaan sudah aman, barulah kita mulai menyelidiki lorong
yang merupakan Jalan Rahasia!"
"Tetapi kenapa kita harus belajar?" tanya George dengan agak kecewa.
"Sebab kalau tidak, kita harus membantu ayahmu menyingkirkan salju," ujar Julian
menerangkan. Paman Quentin heran ketika mendengar usul Julian, agar anak-anak berempat
belajar sendiri di kamar duduk.
"Kukira kalian hendak membantu aku menyingkirkan salju," kata Paman. "Tapi
memang mungkin lebih baik apabila kalian belajar saja."
Anak-anak duduk dengan rapi di kamar duduk, sambil menghadapi buku-buku
pelajaran mereka. Mereka mendengar suara Pak Guru terbatuk-batuk di kamar
tidurnya. Kedengaran langkah Bibi masuk ke dapur, disusul oleh suaranya
berbicara dengan Joanna. Mereka mendengar bunyi kaki Tim menggaruk-garuk daun
pintu dapur - kemudian ketak-ketuk jarinya di lantai lorong rumah. Kemudian
muncul hidung yang besar di celah pintu kamar duduk! Tim datang mencari tuannya
yang sangat disayangi. "Timmy!" seru George, lalu memeluk binatang kesayangannya itu.
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sikapmu seolah-olah sudah berpisah selama satu tahun," kata Julian.
"Rasanya memang seperti sudah setahun," jawab George. "He, ayahku sudah sibuk di
luar. Bagaimana kalau kita masuk sekarang ke kamar kerjanya" Kurasa keadaan aman
untuk beberapa waktu."
Mereka meninggalkan kamar duduk, dan pergi ke kamar kerja. Tak lama kemudian
Julian sudah menarik pegangan yang tersembunyi di balik papan penutupnya.
Permadani dan karpet sudah disingkapkan sebelumnya oleh George. Batu ubin
bergeser; mula-mula ke bawah, kemudian ke samping. Jalan Rahasia sudah terbuka!
"Ayoh!" seru Julian mendesak. "Cepat!"
Dengan segera ia terjun ke dalam lubang. Dick menyusul. Sudah itu Anne, lalu
George. Julian menyorong mereka memasuki lorong yang sempit dan rendah. Kemudian
ia mendongak. Mungkin lebih baik apabila karpet dan permadani dihamparkan
menutupi lubang, supaya tidak langsung ketahuan apabila ada orang yang kebetulan
masuk dan memandang berkeliling! Dalam beberapa detik saja ia sudah selesai
melakukannya. Kemudian disusulnya saudara-saudaranya yang sudah mendului.
Akhirnya mereka menempuh Jalan Rahasia!
XV PERJALANAN YANG MENDEBARKAN HATI
MELIHAT tuannya terjun ke dalam lubang di bawah lantai, dengan segera Tim ikut
menyusul. Sekarang ia berlari-lari mendului anak-anak dalam lorong. Anjing itu
heran, mengapa anak-anak ingin menyelidiki tempat yang begitu dingin dan gelap.
Julian dan Dick membawa senter, yang sinarnya sekarang menyorot jauh ke depan
mereka. Tak banyak yang bisa dilihat dalam lorong itu. Jalan Rahasia yang menjorok dalam
tanah di bawah Pondok Kirrin tidak lebar. Dan juga tidak tinggi, sehingga anak-
anak harus berjalan membungkuk beriring-iring. Mereka merasa lega ketika lorong
itu kemudian agak melebar. Dan tidak lagi serendah bagian awal. Capek rasanya
terus-menerus berjalan sambil membungkuk.
"Kau bisa menebak arah Jalan Rahasia ini?" tanya Dick kepada abangnya.
"Maksudku, menuju ke laut - atau ke pedalaman?"
"Ah, sudah pasti bukan ke laut!" ujar Julian yang berperasaan baik berkenaan
dengan arah jurusan. "Menurut perasaanku, lorong ini mengarah ke bawah padang.
Lihat saja dinding tempat ini. Banyak pasirnya! Dan kita tahu bahwa padang
berpasir tanahnya. Mudah-mudahan saja tidak ada sebagian yang sudah runtuh
dindingnya." Keempat anak itu meneruskan penjelajahan mereka. Jalan Rahasia itu lurus sekali.
Tetapi kadang-kadang agak membelok juga sedikit, mengitari tempat-tempat
berbatu. "Aduh! Di sini dingin dan gelap," ujar Anne sambil menggigil. "Sayang aku tak
mengenakan baju tebal tadi! Sudah berapa mil kita berjalan, Julian?"
Julian tertawa. "Satu mil saja pun belum! He - lorong runtuh di sebelah sana!"
Diterangi cahaya senter yang terang-benderang, anak-anak melihat bahwa di depan
mereka ada sebagian lorong yang runtuh langit-langitnya. Julian menendang-
nendang tanah pasir yang menghalangi langkah.
"Ah, tidak apa-apa!" katanya. "Halangan sebegini saja, bisa kita dobrak dengan
mudah. Yang runtuh tak banyak, dan sebagian besar terdiri dari pasir. Aku saja
yang mendobraknya." Tak lama kemudian jalan di depan mereka sudah bebas kembali, setelah ditendang-
tendang pasir yang menghalangi. Anak-anak berjalan agak merunduk melewati
onggokan pasir yang telah agak diratakan oleh Julian. Walau begitu mereka
berhati-hati, agar kepala tak terantuk ke langit-langit lorong. Julian
menyorotkan cahaya senter ke depan. Nampak bahwa jalan di depan mereka bersih
dari penghalang. "Di sini Jalan Rahasia lebar sekali!" seru Julian sekonyong-konyong.
Disorotkannya senter kian ke mari, untuk menunjukkan pada saudara-saudaranya.
"Rupanya sengaja dilebarkan, membentuk semacam bilik kecil," ujar George.
"Lihatlah, di bagian belakang sana ada semacam bangku yang terbuat dari batu
cadas. Kurasa bilik ini merupakan tempat beristirahat di tengah jalan."
Pendapat George memang benar. Merangkak-rangkak terus dalam lorong yang sempit,
sangat melelahkan. Tempat yang agak lapang dengan bangku yang terbuat dari batu
cadas itu cocok sekali sebagai tempat beristirahat sebentar. Keempat anak yang
sudah capek itu duduk berdesak-desakan di bangku batu. Mereka kedinginan, tapi
hati mereka tetap bergairah.
"Ayoh, kita meneruskan perjalanan," kata Julian, setelah mereka beristirahat
selama beberapa menit. "Badanku sudah kedinginan, karena duduk diam-diam terus.
Aku kepingin tahu, di mana ujung lorong ini!"
"Julian! Mungkinkah keluarnya nanti di Kirrin Farm?" tanya George sekonyong-
konyong. "Kauingat kata Ibu Sanders, bahwa ada sebuah lorong rahasia yang
berawal di rumah itu, dan menuju ke salah satu tempat. Nah - mungkin inilah
lorong yang dimaksudkannya! Dan arahnya menuju ke Pondok Kirrin!"
"Kurasa kau benar, George!" ujar Julian. "Ya, benar! Kedua rumah itu di jaman
dulu milik keluargamu. Dan dulu memang sering terdapat lorong-lorong rahasia
yang menghubungkan rumah dengan rumah. Jadi jelaslah bahwa Jalan Rahasia ini
menghubungkan kedua rumah keluargamu itu. Kenapa aku tak berpikir ke situ selama
ini"!" "He!" seru Anne dengan suara melengking tinggi. "Aku juga mendapat ide!"
"Ide apa?" tanya saudara-saudaranya.
"Begini! Kalau kertas-kertas penting kepunyaan Paman sekarang ada di tangan
kedua seniman yang tinggal di Kirrin Farm, mungkin kita akan bisa mengambilnya
kembali sebelum mereka sempat mengirimkannya lewat pos, atau membawanya sendiri
ke tempat lain!" ujar Anne dengan suara meninggi. Ia begitu bergairah terhadap
idenya itu, sampai nyaris tergagap-gagap. "Saat ini mereka tidak bisa pergi
karena salju yang mengurung! Persis seperti keadaan kita di Pondok Kirrin."
"Anne! Betul katamu itu!" kata Julian.
"Anak pintar!" puji Dick.
"Wah, kalau kita berhasil menyelamatkan kertas-kertas itu - bukan main!" seru
George. Tim ikut-ikut ribut, lalu melonjak-lonjak. Ada sesuatu yang menyebabkan
anak-anak girang, dan ia tak mau ketinggalan. Ia kepingin ikut gembira!
"Ayoh!" kata Julian sambil membimbing tangan Anne. "Ini benar-benar
mengasyikkan! Kalau terkaan George bahwa Jalan Rahasia ini berujung di salah
satu tempat dalam rumah pertanian ternyata benar, maka kita akan bisa
menggeledah kamar kedua orang yang menginap di sana untuk mencari kertas-kertas
itu." "Katamu dulu, menggeledah kamar orang lain merupakan perbuatan tak pantas," kata
George. "Ya, tapi waktu itu aku kan belum mengetahui hal-hal yang kuketahui sekarang,"
jawab Julian. "Kita melakukannya demi kepentingan ayahmu. Bahkan juga demi
negara kita, apabila rumus rahasia itu berharga. Kita harus mengasah otak, untuk
memperdayai musuh-musuh berbahaya."
"Menurut pendapatmu, mereka sungguh-sungguh berbahaya?" tanya Anne. Ia agak
ngeri. "Ya, kurasa mereka itu berbahaya," jawab Julian. "Tapi kau tak perlu khawatir,
karena ada aku dan Dick serta Tim yang bisa melindungi!"
"Aku juga bisa melindungi Anne," kata George tersinggung. "Aku tak kalah berani
kalau dibandingkan dengan anak laki-laki!"
"Ya, betul," kata Dick. "Kau bahkan lebih galak dari semua temanku yang laki-
laki." "Ayohlah, kita terus," kata Julian. Ia tak sabar lagi. "Aku kepingin lekas
sampai ke ujung lorong ini."
Mereka meneruskan perjalanan. Anne berjalan di belakang Julian, sedang Dick di
belakang George. Tim lari pulang balik sepanjang iring-iringan itu.
Menurut pendapatnya, aneh benar cara anak-anak menyibukkan diri pagi itu!
Sesudah berjalan cukup jauh, Julian berhenti dengan tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Dick dari belakang. "Mudah-mudahan tak ada langit-langit runtuh
lagi!" "Tidak! Tapi kurasa kita sudah sampai di ujung lorong!" kata Julian bergairah.
Anak-anak berdesak-desakan maju. Ternyata lorong itu sudah berakhir. Di depan
mereka terdapat dinding batu cadas. Pada dinding itu terpasang besi-besi, yang
rupanya dimaksudkan sebagai injak-injakan. Besi-besi itu terpasang berjajar
lurus ke atas. Ketika Julian menyorotkan sinar senternya mengikuti urutan besi-
besi itu ke atas, anak-anak melihat bahwa di bagian atas lorong terdapat sebuah
lubang persegi empat. "Sekarang kita harus mendaki dinding batu ini," kata Julian. "Lewat lubang gelap
itu dan terus memanjat ke atas - entah sampai di mana kita ke luar nanti! Aku
dulu yang memanjat. Kalian menunggu dulu di sini. Nanti aku kembali lagi, dan
akan kukatakan apa yang kulihat di atas."
Senter dijepitkannya di sela gigi-giginya. Sesudah itu Julian mulai mendaki,
dengan menginjakkan kaki ke besi-besi yang terpasang seperti tangga tegak lurus.
Ia melewati lubang gelap, sementara tangannya diraba-rabakan ke atas mencari
injak-injakan besi yang berikut.
Agak jauh juga ia memanjat ke atas. Seperti menaiki cerobong asap, pikir Julian.
Tempat di situ dingin, dan berbau pengap.
Tiba-tiba ia sampai ke semacam ambang. Ia melangkah naik ke situ. Diambilnya
senter yang selama itu terjepit di sela gigi, lalu disorotkan ke sekelilingnya.
Di belakang dan di kedua sisinya terdapat dinding batu, demikian pula di
atasnya. Sedang di bawah kakinya menganga liang gelap yang baru saja dilewati
olehnya. Kemudian Julian menyinarkan senternya ke depan. Ia terkejut!
Bukan dinding batu yang menghadang di depannya, melainkan sebuah pintu besar
yang terbuat dari papan kayu kokoh berwarna hitam. Sebuah pegangan terdapat pada
pintu itu, kira-kira setinggi pinggang letaknya. Julian mencoba memutarnya
dengan tangan gemetar. Apakah yang akan dilihatnya di balik pintu"
Pintu itu membuka ke arahnya, melewati batas ambang. Dengan susah payah Julian
beringsut mengitari daun pintu yang sudah terbuka, berhati-hati agar jangan
sampai terjatuh ke dalam liang yang dalam. Ia mengira akan masuk ke dalam sebuah
kamar, atau bilik. Tetapi bilik yang gelap gulita!
Ternyata tangannya yang meraba-raba ke depan, menyentuh kayu lagi! Disorotkannya
senter yang ada di tangannya. Ternyata ia berdiri menghadapi papan lebar, yang
kelihatannya merupakan daun pintu lagi. Tangannya meraba-raba papan itu. Tiba-
tiba daun pintu itu tergeser ke samping!
Saat itu juga Julian tahu di mana ia berada.
"Aku di dalam lemari di Kirrin Farm, yang dinding belakangnya dua lapis!"
pikirnya. "Ternyata Jalan Rahasia berujung di sini. Benar-benar cerdik! Sewaktu
kami bermain-main dalam lemari ini, kami sama sekali tidak menduga bahwa lemari
ini bukan saja memiliki dinding belakang yang berlapis dua, tetapi juga
merupakan jalan masuk ke Jalan Rahasia yang tersembunyi di balik dinding
belakang nomor dua!"
Lemari gantung itu penuh berisi pakaian kepunyaan seniman-seniman yang mendiami
kamar itu. Julian berdiri diam-diam sambil menajamkan telinga. Ia tak mendengar
suara orang dalam kamar. Bagaimana jika ia melihat sebentar ke dalam kamar"
Siapa tahu, kalau-kalau kertas penting yang hilang dari kamar kerja Paman
Quentin ada di dalam! Tetapi kemudian Julian teringat pada ketiga saudaranya yang pasti sudah menunggu
dengan tidak sabar di bawah, dalam lorong yang dingin. Lebih baik ia turun saja
dulu, dan menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Kemudian mereka bisa
naik semua, dan masuk ke kamar untuk membantunya mencari kertas-kertas itu.
Julian masuk lagi ke rongga yang terdapat di belakang daun pintu yang bisa
tergeser. Dinding palsu itu bergerak lagi ke tempatnya semula. Sekarang Julian
berdiri di ambang sempit, sedang pintu kayu yang kokoh terbuka ke samping.
Julian membiarkan pintu itu terbuka. Kakinya meraba-raba ke bawah, dan menyentuh
injak-injakan teratas dalam liang gelap yang menganga di bawahnya. Julian turun
lagi ke bawah, sambil berpegang erat-erat pada injak-injakan yang terbuat dari
batang-batang besi. Senter terjepit di sela giginya.
"Lama benar kau pergi," seru George menyesali saudara sepupunya. "Cepat, ceritakan apa yang kaulihat di atas!"
"Wah, benar-benar asyik," kata Julian. "Sungguh-sungguh hebat! Menurut
perkiraanmu, ke mana tujuan lubang yang di atas ini" Baik kukatakan saja, karena
kalian toh takkan berhasil menebaknya! Liang di atas ini menuju ke lemari dalam
kamar di Kirrin Farm, yang ada dinding palsu di belakangnya!"
"Astaga!" seru Dick.
"Bukan main!" ujar George.
"Kau masuk ke kamar?" tanya Anne.
"Aku memanjat sampai ke ujung sebelah atas, lalu sampai ke sebuah pintu papan
yang besar dan kokoh," kata Julian bercerita. "Di bagian yang menghadap ke liang
terdapat sebuah pegangan. Pegangan itu kuputar, lalu kubuka pintu lebar-lebar.
Kemudian aku melihat sebuah pintu kayu lagi di depanku. Setidak-tidaknya, mula-
mula kukira aku berhadapan dengan pintu lagi, karena aku belum tahu bahwa itu
dinding palsu yang terdapat di belakang lemari. Dinding itu tergeser dengan
mudah. Aku melangkah maju - dan tahu-tahu sudah berdiri di tengah pakaian yang
bergelantungan dalam lemari! Sudah itu aku bergegas kembali, untuk
menceritakannya pada kalian."
"Wah! Sekarang juga kita bisa mencari kertas-kertas yang hilang," kata George
bergairah. "Ada orang dalam kamar tadi?"
"Aku tak mendengar suara orang," kata Julian. "Usulku begini! Kita semua naik ke
atas, lalu mencari dalam kedua kamar yang disewa seniman-seniman itu. Kamar yang
di sebelah juga mereka sewa."
"Ya, setuju!" seru Dick. Dia dengan segera menyukai petualangan yang menegangkan
itu. "Kita berangkat sekarang juga. Kau duluan, Julian. Sudah itu Anne, lalu
George. Dan aku yang paling belakang."
"Bagaimana dengan Tim?" tanya George.
"Dia kan tidak bisa memanjat," kata Julian. "Dia memang anjing yang hebat,
tetapi kalau memanjat tidak mungkin bisa, George. Kita harus meninggalkannya di
sini." "Dia pasti tak senang," kata George.
"Tapi kita tak mungkin bisa menggendongnya ke atas," kata Dick. "Kau kan tak
berkeberatan ditinggal sebentar di bawah sini, Tim?"
Tim mengibas-kibaskan buntut, seolah-olah tak keberatan. Tetapi begitu ia
melihat keempat anak itu menghilang dalam lubang gelap di atas kepalanya,
seketika itu juga buntutnya menghilang di sela kedua kaki belakangnya. Apa" Ia
ditinggal sendiri" Permainan apa lagi itu"
Tim melonjak ke tembok, tetapi jatuh lagi ke tanah yang lembab. Ia melompat
sekali lagi sambil mendengking. George berseru dari atas dengan suara pelan,
"Jangan ribut, Tim! Kami takkan lama-lama."
Tim berhenti mengeluh. Ia berbaring di dasar dinding, dengan telinga ditajamkan.
Petualangan kali ini menjadi semakin aneh saja baginya.
Tak lama kemudian keempat anak itu sampai ke ambang yang sempit. Pintu kayu yang
besar masih terbuka lebar. Julian menghidupkan senternya, dan ketiga saudaranya
melihat dinding palsu yang terdapat di belakang lemari. Julian menyentuh dinding
itu dengan tangannya. Seketika itu juga dinding tersebut tergeser ke pinggir.
Sinar lampu senter menerangi jas dan mantel-mantel kamar!
Anak-anak berdiri diam sambil mendengarkan. Dari dalam kamar tak terdengar suara
apa-apa. "Aku akan membuka pintu lemari ini sedikit, lalu mengintip ke dalam kamar,"
bisik Julian. "Semua diam!"
Anak laki-laki itu menerobos pakaian yang bergantungan menghalangi, sambil
meraba-raba mencari pintu lemari sebelah depan. Setelah ditemukan, lalu
ditolakkannya sehingga terbuka sedikit. Sejalur cahaya matahari menyinar masuk
ke dalam lemari. Julian mengintip dengan hati-hati ke luar, melihat ke dalam
kamar. Kamar itu kosong. Tak ada seorang pun di dalamnya. Bagus!
"Ayoh," bisiknya pada saudara-saudaranya yang masih menunggu di belakang. "Dalam
kamar tak ada orang."
Satu per satu anak-anak itu menyelinap keluar dari lemari. Dalam kamar itu ada
sebuah tempat tidur besar, sebuah tempat cuci tangan, sebuah lemari laci, sebuah
meja kecil dengan dua buah kursi. Hanya itu saja perabot kamar. Mereka akan bisa
memeriksa kamar itu dengan mudah!
"Lihat, Julian! Di sini ada pintu ke kamar sebelah," ujar George dengan tiba-
tiba. "Kita berdua bisa mencari di kamar sana, sedang kalian berdua di sini.
Pintu yang menuju ke luar kita kunci dari dalam, supaya tak ada orang yang bisa
tiba-tiba masuk." "Bagus idemu itu!" ujar Julian. Dari tadi ia memang khawatir, jangan-jangan ada
orang masuk dan memergoki mereka sewaktu sedang sibuk membongkar kamar. "Aku dan
Anne pergi mencari ke kamar sebelah, sedang kau dan Dick di sini. Kunci pintu
luar, Dick. Pintu luar di kamar sebelah akan kukunci pula. Dan pintu penghubung
ini kita biarkan terbuka, supaya kita bisa ngomong kalau perlu!"
Dengan menyelinap Julian beserta Anne pergi ke kamar sebelah lewat pintu
penghubung. Kamar itu serupa saja dengan kamar yang pertama. Juga kosong! Dengan
segera Dick melakukan tindakan sama dengan pintu luar dari kamar sebelah. Julian
menghembuskan napas lega. Baru sekarang ia merasa aman!
"Anne, singkapkan permadani yang terhampar di lantai," katanya pada adiknya.
"Periksa, barangkali kertas-kertas itu disembunyikan di situ. Kemudian periksa
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di bawah bantal-bantal kursi. Kauperiksa tempat tidur, barangkali saja barang
yang kita cari disembunyikan di bawah kasur."
Mereka mulai mencari. Julian mulai dengan memeriksa laci-laci, karena menurut
perasaannya di situlah tempat yang paling masuk akal untuk menyembunyikan
barang-barang. Anak-anak meraba-raba ke sana sini dengan tangan gemetar.
Perasaan mereka saat itu sangat tegang. Tegang, tetapi juga mengasyikkan!
Dalam hati anak-anak itu bertanya-tanya, di mana kedua orang yang tinggal dalam
kamar-kamar itu. Barangkali di dapur, karena di situ hangat. Kedua kamar tidur
itu dingin, dan mereka pasti tak mau meninggalkan dapur yang hangat. Mau ke luar
rumah juga tidak bisa, karena salju bertumpuk tinggi sekeliling Kirrin Farm.
Dick dan George sibuk mencari dalam kamar pertama. Mereka memeriksa setiap laci,
membongkar kasur tempat tidur, dan membalik permadani dan karpet yang terhampar
di lantai. Mereka bahkan merogohkan tangan ke dalam lubang perapian yang besar!
"Bagaimana Julian" Ada yang sudah kautemukan?" Dick muncul di ambang pintu
penghubung. Ia berbicara dengan setengah berbisik.
"Belum ada," jawab Julian. Nada suaranya agak suram. "Mereka pandai
menyembunyikan kertas-kertas itu! Mudah-mudahan saja tidak selalu dibawa-bawa
oleh mereka - dalam kantong, misalnya!"
Dick memandangnya dengan perasaan kecut. Kemungkinan itu sama sekali tak
teringat olehnya selama itu. "Wah! Kalau benar begitu, payah deh!"
"Kau harus mencari lagi ke setiap tempat! Ke setiap pojok!" kata Julian
memerintahkan. "Bantal-bantal harus kautepuk-tepuk, karena mungkin saja
diselipkan ke dalamnya."
Dick pergi lagi ke kamar sebelah. Kemudian menyusul bunyi ribut-ribut di situ.
Kedengarannya seperti anak itu sedang memukul-mukul bantal!
Anne dan Julian melanjutkan usaha pencarian mereka. Setiap sudut mereka periksa.
Keduanya bahkan membalik lukisan-lukisan yang tergantung di dinding, untuk
melihat, kalau-kalau kertas penting itu diselipkan di belakangnya. Tetapi
kesibukan mereka tetap sia-sia. Kertas-kertas itu tetap tak berhasil mereka
temukan. Benar-benar mengecewakan.
"Sebelum berhasil menemukannya, kita tidak akan pergi dari sini," kata Julian
dengan jengkel. "Tadi kita sudah bernasib mujur, menyuruk-nyuruk lewat Jalan
Rahasia - dan langsung masuk ke mari. Sekarang kita harus menemukan kertas-
kertas itu!" "He," kata Dick yang muncul kembali di ambang pintu penghubung, "Aku mendengar
suara orang! Dengarkan!"
Keempat anak itu mendengarkan. Betul - terdengar suara-suara orang bercakap-
cakap! Dan di depan pintu kamar!
XVI KETAHUAN! "APA yang kita perbuat sekarang?" tanya George sambil berbisik. Anak-anak
berjingkat-jingkat ke kamar pertama. Mereka terpaku di situ, sambil memasang
kuping. "Sebaiknya kita turun lagi ke Jalan Rahasia," ujar Julian.
"Jangan, kita...." Baru saja George hendak membantah, ketika terdengar bunyi
pegangan pintu digerakkan orang dari luar. Tetapi orang yang menggerakkan itu
tidak bisa masuk! Pintu masih terkunci dari dalam. Terdengar seruan marah. Dari
suaranya, anak-anak mengetahui bahwa orang itu Pak Wilton.
"Thomas!" seru orang itu. "Pintuku macet rupanya. Bolehkah aku masuk lewat pintu
kamarmu" Entah kenapa lagi pegangan pintuku ini!"
"Ayoh, kita lewat dari kamarku!" terdengar suara Pak Thomas menjawab. Sudah itu
menyusul bunyi langkah-langkah menuju ke pintu luar kamar kedua. Terdengar
gerakan memutar pegangan di situ, disambung keretak-keretak bunyi pembuka pintu
itu digoncang-goncangkan dengan keras!
"Ada apa lagi dengan pintu ini"!" kata Pak Wilton dengan jengkel. "Tidak bisa
kubuka" Mungkinkah kedua pintu kamar kita terkunci?"
"Kelihatannya memang begitu!" kata Pak Thomas.
Sesudah itu senyap sebentar. Anak-anak bisa menangkap dengan jelas beberapa
patah perkataan yang diucapkan dengan berbisik-bisik di luar.
"Kertas-kertas kita aman" Barangkali ada orang mencarinya!"
"Kan disimpan dalam kamarmu?" ujar Pak Thomas. Sudah itu sepi lagi.
Anak-anak berpandang-pandangan. Ternyata kedua orang yang di luar memang
memiliki kertas-kertas penting yang hilang. Dan yang lebih penting lagi, kertas-
kertas itu disimpan dalam kamar. Dalam kamar di mana keempat anak itu sedang
berada! Mereka memandang berkeliling dengan mata bersinar-sinar. Mereka memeras
otak, mengingat-ingat tempat mana yang belum sempat mereka periksa.
"Cepat! Kita lanjutkan mencari, sementara masih ada waktu," bisik Julian. "Tapi
jangan sampai kedengaran di luar!"
Sambil berjingkat-jingkat, keempat anak itu melanjutkan usaha pencarian. Sibuk
sekali mereka mencari! Mereka bahkan membalik-balik halaman buku-buku yang
terletak di meja. Tetapi mereka tetap tak berhasil menemukan kertas-kertas yang
dicari. "Ibu Sanders!" terdengar suara Pak Wilton berseru kuat-kuat. "Apakah Ibu tadi
dengan tak sengaja mengunci kedua pintu ini" Kami tak bisa masuk!"
"Astaga!" kata Ibu Sanders dari dasar tangga. "Aku datang! Tak ada satu pintu
pun yang kukunci tadi."
Sekali lagi pegangan pintu digoncang-goncang dari luar. Tetapi pintu tetap tidak
bisa dibuka. Kedua orang itu semakin tidak sabar kedengarannya.
"Mungkin ada orang dalam kamar kami," kata Pak Wilton.
Ibu Sanders tertawa mendengarnya.
"Siapa yang akan masuk ke kamar Anda" Di rumah ini cuma ada aku dan suamiku! Dan
Anda tahu sendiri, tak ada orang yang bisa masuk dari luar. Aku bingung jadinya
- jangan-jangan penutup pintu macet."
Saat itu Anne sedang mengangkat kendi tempat air. Maksudnya hendak memeriksa di
bawahnya. Tetapi ternyata kendi itu lebih berat dari perkiraannya semula. Kendi
itu terpaksa diletakkannya kembali dengan mengejut, karena tangannya tak kuat
lagi. Sebagai akibatnya terbentur ke tempat cuci tangan yang terbuat dari batu
pualam. Bunyinya berdenting nyaring. Air tumpah membasahi lantai!
Bunyi ribut itu terdengar sampai di luar pintu. Dengan segera Pak Wilton
menggedor-gedor daun pintu, serta menggoncang-goncang pegangannya.
"Siapa di dalam" Ayoh, buka pintu! Sedang mengapa di dalam?"
"Kau ini memang benar-benar konyol," bisik Dick dengan marah pada Anne.
"Sekarang pasti mereka akan mendobrak pintu!"
Memang tepat itulah yang hendak dilakukan kedua orang yang marah-marah di luar!
Mereka khawatir kalau-kalau orang tak dikenal, yang secara aneh bisa masuk ke
kamar mereka, bermaksud hendak mencari kertas-kertas rahasia. Kemungkinan itu
harus dicegah! Mereka menyandarkan bahu ke daun pintu, lalu mendorong sekuat
tenaga. Daun pintu bergetar dan berderik-derik.
"He! Jangan dirusak pintuku!" terdengar suara Ibu Sanders berseru dengan marah.
Tetapi kedua orang itu tak mempedulikannya. Sekali lagi terdengar bunyi berderak
keras, ketika mereka membenturkan bahu mereka kembali ke daun pintu.
"Cepat! Kita harus pergi!" kata Julian. "Orang-orang itu tak boleh sampai
mengetahui jalan kita masuk ke mari! Kalau mereka sudah tahu, lain kali kita
tidak bisa datang lagi untuk melanjutkan pencarian kita. Anne, George, Dick!
Cepat, masuk lagi ke lemari!"
Anak-anak itu lari ke lemari pakaian.
"Aku yang turun dulu, supaya bisa menunjukkan jalan bagi kalian," kata Julian.
Ia pergi sampai ke ambang yang sempit. Sesudah berhasil menemukan injak-injakan
dengan kakinya, ia segera turun. Seperti biasa, senter diselipkan di antara
giginya. "Anne! Sekarang kau yang turun," panggilnya. "Kau Dick, turun sesudah Anne.
Tolong adikmu, jika ia memerlukannya. George pandai memanjat - jadi ia bisa
turun sendiri." Anne menuruni liang dengan lambat. Ia sangat gugup, dan juga agak takut. Ia
takut jatuh, sehingga injak-injakan nyaris tak terasa di bawah kakinya.
"Cepatlah, Anne!" bisik Dick yang berada di atasnya. "Pintu sudah hampir pecah
didobrak oleh mereka!"
Dari arah pintu luar terdengar bunyi ribut sekali. Sebentar lagi daun pintu
pasti akan sudah pecah kena dobrak, dan kedua orang yang sudah mengamuk itu akan
memburu ke dalam kamar. Dick merasa lega, karena sudah bisa mulai menuruni
injak-injakan yang berjajar tegak lurus ke bawah! Kalau mereka semua sudah ada
dalam liang, George akan menutup pintu kayu yang besar dari belakang. Kalau
pintu itu sudah tertutup, mereka akan aman!
Saat itu George masih bersembunyi di sela-sela pakaian dalam lemari. Ia sedang
menanti giliran turun. Sementara anak itu berdiri di situ sambil memikir-
mikirkan tempat persembunyian yang mungkin masih belum diperiksa, tiba-tiba
tangannya menyentuh sesuatu yang berbunyi kemerisik dalam kantong sebuah mantel
yang tergantung di sebelahnya. Mantel itu mantel hujan, dengan kantong yang
besar-besar. Jantung George seakan-akan terhenti sejenak!
Mungkinkah kertas-kertas itu masih tertinggal dalam kantong mantel yang dipakai
penerimanya, ketika ia bersama temannya bertemu dengan Pak Guru Roland untuk
menerima barang curian itu" Memang hanya di situlah anak-anak belum sempat
mencari! Mereka belum mencari dalam kantong jas-jas yang tergantung dalam
lemari! Dengan jari-jemari yang gemetar, George merogoh kantong yang tadi
menimbulkan bunyi gemerisik.
Tangannya menyentuh seberkas kertas, lalu ditariknya ke luar. Dalam lemari itu
gelap, jadi George tak bisa meneliti apakah kertas-kertas itu memang yang
dicari-cari selama ini. Mudah-mudahan saja benar! Diselipkannya kertas-kertas
itu ke dalam baju, karena pakaian yang dikenakannya tak mempunyai kantong yang
besar. Dengan berbisik, George bertanya pada Dick,
"Aku bisa turun sekarang?"
Pintu terbuka dengan bunyi berderak keras. Seketika itu juga Pak Wilton dan Pak
Thomas menerpa ke dalam kamar. Mereka memandang berkeliling. Kamar itu kosong!
Tetapi di lantai nampak genangan air yang tumpah dari kendi. Jadi mestinya dalam
kamar ada orang yang bersembunyi.
"Lihat dalam lemari!" seru Pak Thomas.
George merayap mundur dari sela-sela pakaian sampai ke ambang yang sempit.
Dinding belakang yang palsu belum tertutup, dan masih tergeser dalam dinding
kamar. George menuruni beberapa injak-injakan, lalu menutup daun pintu besar
yang saat itu sudah berada di atas kepalanya. Ia tak cukup kuat untuk menutupnya
sampai rapat. Tapi mudah-mudahan saja kedua orang itu tak melihat adanya
kelainan di dinding belakang lemari pakaian mereka. Mudah-mudahan ia sudah
selamat! Kedua orang itu membuka lemari pakaian, lalu meraba-raba di sela pakaian yang
tergantung di situ. Barangkali saja orang yang tadi menumpahkan air ternyata
bersembunyi di situ! Tiba-tiba terdengar Pak Wilton berseru kaget.
"Kertas-kertas hilang! Aku menyimpannya dalam kantong mantelku ini. Sekarang tak
ada lagi! Cepat, Thomas! Kita harus menemukan orang yang mengambilnya. Kertas-
kertas itu harus kita kuasai kembali!"
Kedua orang itu tidak memperhatikan bahwa dinding belakang lemari mundur agak
lebih ke belakang daripada biasanya! Mereka pergi dari depan lemari, karena
sudah meyakinkan bahwa di dalam tak ada orang bersembunyi. Mereka mencari dalam
kamar. Sementara itu Julian beserta kedua adiknya sudah sampai ke dasar liang yang
menjulur tegak lurus. Mereka sudah berdiri di pangkal Jalan Rahasia. Mereka
sudah tak sabar lagi menunggu George yang belum sampai-sampai juga di bawah.
George yang malang! Ia begitu bergegas, sehingga kurang hati-hati. Bajunya
tersangkut pada sebuah injak-injakan.
"Astaga, George! Cepatlah sedikit!" panggil Julian.
Tim melonjak-lonjak di kaki dinding batu. Anjing itu gelisah, karena merasa
bahwa anak-anak gelisah dan takut. Ia ingin menyusul George. Mengapa tuannya
tidak datang-datang juga" Mengapa dia berada dalam liang yang gelap di atas itu"
Tim merasa sedih, lalu melolong-lolong. Suaranya nyaring dan memilukan, sehingga
anak-anak kaget dibuatnya.
"Diam, Tim!" kata Julian.
Sekali lagi Tim melolong. Suaranya menggema dalam liang yang sempit itu.
Kedengarannya aneh dan menyeramkan! Anne ketakutan, lalu menangis. Tim melolong
tak henti-hentinya. Kalau anjing itu sudah sekali melolong, sukar disuruh
berhenti. Kedua orang yang berada dalam kamar tidur mendengar bunyi yang aneh itu. Mereka
saling berpandangan dengan heran.
"Bunyi apa itu?" tanya Pak Wilton.
"Kedengarannya seperti lolongan anjing dalam lubang di bawah tanah," jawab Pak
Thomas. "Aneh!" kata Pak Wilton lagi. "Datangnya seperti dari dalam lemari itu."
Dengan segera ia menghampiri lemari, lalu membuka pintunya. Tepat saat itu Tim
melolong lagi. Kedengarannya sangat pilu dan menyeramkan, sehingga Pak Wilton
terloncat sebagai akibatnya. Kemudian ia masuk ke dalam lemari, lalu meraba-raba
ke sebelah belakang. Pintu besar yang memang belum tertutup rapat, terbuka kena
dorong tangannya. "Thomas! Ada sesuatu yang aneh dalam lemari ini," seru Pak Wilton. "Tolong
ambilkan senterku! Tadi kuletakkan di atas meja!"
Sekali lagi Tim melolong. Bunyinya menyebabkan Pak Wilton gemetar. Kalau Tim
melolong, bunyinya menegakkan bulu roma. Apalagi ketika terpantul dalam liang!
Pak Thomas bergegas mengambil senter, lalu disorotkan ke bagian belakang lemari.
"Loh, apa itu"!" seru Pak Wilton tercengang. "Di belakang lemari ada pintu!
Membukanya ke mana?"
Ibu Sanders yang sedari tadi memandang tindakan kasar kedua penyewa kamarnya itu
dengan tercengang-cengang bercampur marah, datang menghampiri lemari.
"Astaga!" serunya kaget. "Aku tahu bahwa dinding belakang lemari ini berlapis
dua - tapi tak kusangka bahwa dinding kedua juga bisa dibuka! Rupanya inilah
tempat masuk ke Jalan Rahasia, yang dipakai orang-orang jaman dulu!"
"Ke mana jalan itu?" kata Pak Wilton dengan ketus.
"Entah!" jawab Ibu Sanders. "Aku tak pernah tertarik pada hal-hal seperti itu!"
"Ayo, Thomas - kita harus turun ke bawah," ujar Pak Wilton, yang sementara itu
sudah menyorotkan senternya ke lubang yang gelap. Ia melihat bahwa ada injak-
injakan besi yang berjajar lurus ke bawah. "Pasti pencuri tadi lewat dari sini.
Ia belum bisa pergi jauh-jauh! Kita kejar dia - karena kertas-kertas itu harus
kita rebut kembali!"
Tak lama kemudian kedua orang itu sudah menuruni liang batu yang memanjang ke
bawah. Mereka turun sambil meraba-raba injak-injakan yang berikut. Mereka ingin
tahu, sampai ke mana mereka nanti. Di bawah tak terdengar apa-apa. Pasti orang
yang mengambil kertas-kertas itu sudah berhasil melarikan diri!
Akhirnya George berhasil melepaskan bajunya yang tersangkut pada injak-injakan.
Hampir saja dia terguling karena ditubruk oleh Tim yang girang melihat tuannya
kembali dengan selamat. "Kau ini benar-benar konyol," kata George sambil mengusap kepala anjingnya.
"Sekarang rahasia kita terbongkar, karena lolonganmu tadi. Cepat, Julian - kita
harus pergi dari sini. Sebentar lagi kedua orang itu akan sudah mengejar. Mereka
pasti bisa mendengar lolongan Tim tadi."
Julian membimbing tangan Anne.
"Ayoh, Anne," katanya. "Kau harus lari sekencang-kencangnya. Cepatlah sedikit!
Dick, kau bersama-sama dengan George."
Mereka bergegas menyusur lorong yang gelap dan sempit. Mereka masih jauh dari
rumah! Hati anak-anak berdebar keras. Mereka lari tersaruk-saruk dalam lorong,
diterangi cahaya senter. Julian bergegas sambil menarik tangan Anne. Di belakang mereka terdengar suara
orang berseru, "Lihat! Di depan ada cahaya senter! Itu dia pencurinya! Ayoh, sebentar lagi
pasti akan berhasil kita bekuk lehernya!"
XVII TIM YANG PERKASA "CEPATLAH sedikit, Anne!" seru Dick yang berlari di belakang adiknya itu.
Kasihan Anne! Ia tak mau lari cepat-cepat. Dua atau tiga kali ia nyaris jatuh
tersungkur, karena ditarik oleh Julian dan didorong dari belakang oleh Dick.
Napasnya terengah-engah. Ia merasa seolah-olah paru-parunya nyaris meledak.
"Aku harus istirahat sebentar," katanya dengan napas terputus-putus. Tetapi
mereka tak sempat beristirahat, karena ada dua orang yang marah mengejar mereka.
Anak-anak sampai ke bagian lorong yang agak melebar, yang ada bangku batu di
sisinya. Anne memandang tempat peristirahatan itu dengan rasa kepingin. Tetapi
kedua abangnya menyuruhnya terus berlari.
Tiba-tiba kaki Anne tersandung batu. Anak perempuan itu tersungkur. Nyaris saja
Julian ikut terseret dan jatuh! Anne berusaha hendak bangkit. Tetapi tiba-tiba
ia menangis. "Kakiku terkilir! Aduh! Julian, sakit rasanya jika kupakai berjalan!"
"Tapi kau harus terus, Manis," ujar abangnya. Julian merasa kasihan pada adiknya
yang kesakitan itu. Tetapi ia sadar bahwa sebentar lagi mereka akan tertangkap,
apabila ia tak bersikap tegas. "Usahakanlah lari sebisa-bisamu."
Tetapi Anne tak mungkin bisa lari cepat. Ia menangis kesakitan. Jalannya lambat
dan terpincang-pincang, sehingga hampir saja Dick jatuh karena menubruknya. Dick
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menoleh ke belakang. Dilihatnya sinar lampu senter kedua pengejar mereka makin
lama semakin mendekat. Apakah yang harus mereka lakukan sekarang" Tiba-tiba
George mengambil keputusan berani.
"Aku akan tinggal di sini bersama Tim," katanya pada saudara-saudaranya. "Kami
akan menahan kedua orang itu. Ini, Dick - kaukantongi kertas-kertas ini. Kurasa
memang itulah yang kita cari! Tapi aku belum yakin, sebelum bisa melihatnya di
tempat terang. Aku menemukannya dalam kantong salah satu mantel yang tergantung
dalam lemari tadi." "Astaga!" kata Dick terkejut. Diambilnya kertas-kertas yang seberkas itu, lalu
diselipkannya dalam baju tebalnya. Persis seperti dilakukan oleh George
sebelumnya, karena kantongnya pun terlalu kecil untuk memuat lembaran-lembaran
kertas yang lebar itu. "Biar Julian dan Anne saja yang terus lari! Aku akan
menemanimu di sini, George!"
"Jangan! Kau harus menyelamatkan kertas-kertas itu, karena mungkin memang
kepunyaan ayahku," kata George. "Ayoh, teruslah lari, Dick. Aku takkan apa-apa,
karena ditemani oleh Tim. Aku akan menunggu di sini, di balik tikungan di
belakang batu cadas ini. Tim akan kusuruh menggonggong keras-keras nanti!"
"Bagaimana kalau orang-orang itu membawa pistol," ujar Dick dengan agak cemas.
"Nanti Tim ditembak oleh mereka."
"Kutanggung mereka tak punya pistol," kata George. "Ayoh, Dick! Kau harus lari
cepat-cepat. Orang-orang itu sudah hampir sampai. Itu dia cahaya senter mereka!"
Dick lari mengejar Anne yang berjalan terpincang-pincang. Diceritakannya pada
Julian usul George. "George memang hebat," kata Julian kagum. "Anak itu tak kenal takut sama sekali.
Ia akan berhasil mencegah orang-orang itu maju mengejar lebih jauh, sampai aku
berhasil mengantar Anne yang sedang kesakitan ini!"
George menunggu sambil merunduk di balik batu cadas. Tangannya memegang kalung
leher anjingnya. "Sekarang, Tim!" bisiknya. "Menggonggonglah sekeras-kerasnya. Sekarang!"
Selama itu Tim menunggu sambil menggeram-geram. Tetapi begitu didengarnya
perintah tuannya, anjing itu dengan segera menggonggong dengan galak. Bukan main
nyaring gonggongannya. Suaranya lantang dan berat, menggema di seluruh lorong
yang gelap dan sempit itu. Orang-orang yang mengejar sudah dekat ke tikungan,
tempat George menunggu. Mereka tertegun ketika mendengar gonggongan anjing yang
galak. "Kalau kalian berani melewati tikungan ini, akan kusuruh anjingku menggigit
kalian!" teriak George.
"Anak kecil yang berteriak itu," ujar orang yang satu pada temannya. "Hanya anak
kecil saja. Ayoh, kita kejar!"
Tim menggonggong lagi sambil meronta-ronta, karena George masih tetap memegang
kalung lehernya erat-erat. Ia sudah tak sabar lagi, hendak menerjang kedua orang
itu. Cahaya senter semakin mendekat, sudah memancar ke balik tikungan. George
melepaskan anjingnya. Dengan segera Tim meloncat dan menyongsong musuh-musuhnya.
Sekonyong-konyong kedua orang itu melihatnya di tengah-tengah sinar lampu senter
mereka. Tim sangat menakutkan. Tubuhnya yang memang sudah besar, sekarang
kelihatan bertambah besar lagi karena marah. Bulu tengkuknya berdiri semua,
sehingga kelihatannya agak menyerupai singa! Tim menyeringai, nampak taring-
taringnya yang panjang dan runcing berkilat-kilat kena sinar senter.
Kedua orang itu ngeri melihat anjing yang galak itu.
"Kalau kalian berani maju selangkah saja lagi, akan kusuruh anjingku menerkam!"
seru George mengancam. "Tunggu, Tim! Tahan dulu sampai kuperintahkan!"
Anjing itu berdiri di tengah cahaya senter yang menyorot ke arahnya. Ia
menggeram-geram dengan suaranya yang berat. Kelihatannya benar-benar galak.
Kedua orang itu memandangnya dengan ragu-ragu. Seorang di antaranya mencoba maju
setapak. Tetapi langkahnya itu terdengar oleh George. Seketika itu juga ia
berseru, "Ayoh, Tim! Terkam dia!"
Tim melompat, dan menyambar leher orang yang nekat itu. Orang itu tak menyangka
akan diserang. Karena itu ia rubuh ke tanah. Tangannya dikibas-kibaskan dengan
bingung. Ia berusaha menghindarkan diri dari serangan Tim. Temannya menolongnya.
"Suruh anjingmu pergi," seru orang kedua. "Kalau tidak, kami akan terpaksa
menyakitinya!" "Lebih mungkin dia yang akan menyakiti kalian," jawab George. Anak itu muncul
dari balik batu. Senang hatinya melihat kedua orang itu tak berdaya menghadapi
Tim. "Tim! Berhenti!"
Seketika itu juga Tim menurut. Ia berhenti menyerang. Tetapi ia menatap tuannya,
seakan-akan hendak berkata, "Aku tadi sedang asyik! Kenapa kausuruh berhenti?"
"Kau siapa?" tanya orang yang terkapar di tanah.
"Aku tak mau menjawab pertanyaan kalian," jawab George ketus. "Kunasihatkan agar
kalian kembali cepat-cepat ke Kirrin Farm. Kalau berani masuk ke lorong ini
lagi, akan kuperintahkan anjingku mengejar! Dan lain kali ia akan menggigit
benar-benar!" Kedua orang itu bergegas kembali. Mereka tak ingin berhadapan lagi dengan Tim.
George masih menunggu sebentar, sampai cahaya senter mereka tak nampak lagi.
Sudah itu ia membungkuk, untuk menepuk-nepuk kepala Tim.
"Anjing manis!" katanya. "Aku benar-benar bangga padamu. Ayoh, kita susul
saudara-saudaraku! Kurasa malam ini kedua orang itu akan memberanikan diri masuk
lagi ke lorong ini. Biar saja! Mereka pasti akan kaget kalau nanti melihat di
mana ujungnya. Apalagi melihat siapa yang menunggu di ujung lorong!"
George bergegas menyusur lorong, didampingi oleh Tim yang berlari-lari kecil. Ia
membawa senter yang diserahkan oleh Dick padanya. Tak lama kemudian ketiga
saudaranya telah tersusul. Dengan napas terengah-engah George menceritakan apa
yang telah terjadi tadi. Bahkan Anne yang sedang kesakitan karena kakinya
terkilir, tertawa terkikik-kikik ketika mendengar bagaimana Tim melompat dan
membanting Pak Wilton ke tanah.
"Nah, kita sudah sampai," ujar Julian. Mereka sudah sampai di lubang yang
terdapat di bawah lantai kamar kerja Paman Quentin. "He - apa ini?"
Lubang yang tadi gelap, kini terang karena disinari cahaya yang masuk dari atas.
Karpet dan permadani yang semula ditutupkan kembali oleh Julian di atas lubang,
nampak sudah disingkapkan lagi. Anak-anak tercengang.
Paman Quentin dan Bibi Fanny berdiri di depan lubang itu. Mereka sangat kaget
ketika melihat wajah keempat anak tiba-tiba muncul dari dalam lubang di bawah
kaki mereka. Nyaris mereka terjatuh ke dalam karena kaget!
"Julian! Anne! Apa yang kalian perbuat dalam lubang itu?" seru Paman Quentin.
Ditolongnya anak-anak naik ke atas. Akhirnya mereka selamat, kembali berada
dalam kamar kerja yang hangat. Enak rasanya, tak perlu kedinginan lagi dalam
lorong yang lembab dan gelap. Kelima-limanya berkerumun dekat ke api pediangan.
Lima, karena Tim juga agak kedinginan!
"Apa arti kesemuanya ini?" tanya Bibi Fanny. Wajahnya pucat. Ia kelihatan cemas.
"Tadi aku masuk ke mari, karena hendak membersihkan ruangan. Sewaktu menginjak
permadani di sana itu, tahu-tahu lantai seakan-akan merosot ke bawah. Dengan
segera permadani dan karpet kusingkapkan. Kulihat sebuah lubang gelap menganga
di bawahnya. Dan di balik papan pelapis dinding di atas pediangan juga terdapat
lubang. Saat itu kulihat bahwa kalian lenyap! Dengan segera kupanggil Paman. Apa
yang terjadi selama ini" Dan lorong itu menuju ke mana?"
Dick menarik kertas-kertas yang selama itu terselip di balik baju tebalnya, lalu
diserahkan pada George. Anak itu meneruskannya pada ayahnya.
"Inikah kertas-kertas Ayah yang hilang?" tanyanya.
Dengan segera Paman Quentin menyambar kertas-kertas itu, seolah-olah jauh lebih
berharga daripada emas! "Ya! Ya, betul - ini kertas-kertasku! Syukurlah, aku sudah mendapatnya kembali.
Tiga tahun lamanya aku bekerja keras untuk menyempurnakannya. Ketiga lembar
kertas ini memuat inti rumus rahasiaku. Di mana kau menemukannya, George?"
"Kisahnya panjang sekali," sahut George. "Kau saja yang menceritakannya, Julian.
Aku capek!" Julian mulai bercerita. Tak ada barang satu pun yang dilupakannya.
Diceritakannya bagaimana George memergoki Pak Guru Roland yang sedang menyelinap
mengintip-ngintip dalam kamar kerja. Diceritakannya bahwa George merasa yakin
Pak Guru tak menghendaki Tim ada dalam rumah, karena selalu menggonggong apabila
ia sedang menyelinap di bawah pada malam hari. Lalu George melihatnya bercakap-
cakap dengan kedua seniman, yang menurut pengakuannya sama sekali tak dikenal
olehnya. Semakin jauh jalan cerita, semakin tercengang-cengang pula Paman
Quentin dan Bibi Fanny mendengarnya. Benar-benar luar biasa cerita Julian!
Tetapi pokoknya kertas-kertas yang hilang sudah berhasil diselamatkan.
Syukurlah! Paman Quentin mendekap kertas-kertas itu, seolah-olah tak mau
dilepaskannya lagi. Kemudian giliran George bercerita. Dituturkannya betapa Tim beraksi, menghalang-
halangi kedua orang yang mengejar mereka.
"Jadi walaupun Ayah menyuruh Tim yang malang tinggal dalam kandang yang dingin
di luar, dan tak diperbolehkan bermain-main dengan aku, tetapi ia akhirnya
menyelamatkan kami! Dan kertas-kertas Ayah," katanya pada ayahnya, sambil
menatap dengan matanya yang biru cerah.
Paman Quentin kelihatan kikuk. Ia merasa bersalah, karena menghukum George dan
Tim. Ternyata dugaan mereka tentang Pak Guru Roland benar, sedang sikapnya
keliru. "George yang malang," katanya, "Dan juga Tim! Aku benar-benar menyesal."
George tidak suka mendendam orang yang sudah mengaku bersalah. Ia tersenyum
memandang ayahnya. "Ah, sudahlah," ujarnya. "Tapi karena aku sebelumnya dihukum secara tidak adil,
apakah Ayah tidak berpendapat bahwa Pak Guru Roland harus dihukum secara adil
dan sepatutnya" Sudah sepantasnya ia dihukum!"
"Ya, tentu saja dia akan dihukum," kata ayahnya berjanji. "Saat ini ia sedang
meringkuk di tempat tidur, karena sakit selesma. Mudah-mudahan saja ia tak
mengetahui perkembangan yang baru ini. Kalau ia sampai mendengarnya, jangan-
jangan nanti ia akan melarikan diri."
"Tak mungkin," kata George. "Saat itu rumah kita masih terkurung salju.
Sebaiknya Ayah menelepon polisi, minta mereka datang selekas mungkin jika salju
sudah tersingkir. Dan kurasa kedua orang yang mengejar kami tadi akan berusaha
kembali menyusur lorong, karena ingin merebut kertas-kertas Ayah. Bagaimana
pendapat Ayah" Bisakah kita menangkap mereka yang juga muncul di sini nanti?"
"Tentu saja!" seru Paman Quentin. Dari air muka Bibi Fanny nampak bahwa ia tak
menginginkan terjadinya hal-hal selanjutnya yang menegangkan syaraf. "Kalian
kelihatannya kedinginan semua! Dan tentu sudah sangat lapar, karena sekarang
sudah hampir waktu makan siang. Pergilah ke kamar makan, dan duduk dekat
perapian di sana. Sebentar lagi Joanna akan menghidangkan makanan yang hangat.
Sudah itu kita akan merundingkan tindakan-tindakan selanjutnya."
Tak seorang pun dari mereka memberitahukan kejadian-kejadian itu pada Pak Guru
Roland. Tentu saja tidak! Orang itu masih terbaring dalam kamarnya. Sekali-
sekali kedengaran suaranya batuk-batuk. George menyelinap ke atas, lalu mengunci
pintunya dari luar. Ia tak mau Pak Guru bisa ke luar, dan menangkap pembicaraan
yang tak boleh diketahuinya!
Mereka makan siang dengan nikmat. Nyaman dan hangat rasa tubuh, karena perut
sudah kenyang. Sehabis makan, mereka masih duduk-duduk sambil bercakap-cakap
tentang pengalaman mereka, serta merencanakan tindakan-tindakan selanjutnya.
"Aku akan menelepon polisi," ujar Paman Quentin. "Dan malam ini Tim akan menjaga
dalam kamar kerjaku, kalau-kalau kedua seniman gadungan itu tiba-tiba muncul!"
Sorenya Pak Guru Roland merasa tubuhnya sudah agak nyaman. Ia berpakaian, lalu
menuju ke pintu. Maksudnya hendak turun ke bawah. Tetapi ternyata pintu kamar
terkunci! Dengan jengkel dipukul-pukulnya daun pintu. Mendengar suara ribut-
ribut di atas, George nyengir. Dengan segera ia naik ke atas. Ia sudah
menceritakan pada saudara-saudaranya, bahwa pintu kamar Pak Guru Roland dikunci
olehnya. "Ada apa, Pak Guru?" tanya George dengan suara manis dan sopan.
"Kau itu, George?" tanya Pak Guru Roland. "Coba periksa, ada apa dengan pintu
kamarku ini! Aku tak bisa membukanya dari dalam."
Anak kunci pintu itu sudah dikantongi oleh George sebelumnya. Ia menjawab dengan
suara riang, "Wah! Pak Guru, kuncinya tidak ada! Jadi aku tidak bisa membukanya. Tunggulah,
kucari dulu!" Pak Guru marah dan bingung. Ia tak mengerti, bagaimana pintunya bisa terkunci
dari luar, dan anak kuncinya hilang. Ia sama sekali tak menyangka bahwa
rahasianya sudah terbongkar. Sementara itu George turun kembali, dan bercerita
pada ayahnya bahwa ia mengunci pintu kamar Pak Guru. Paman Quentin tertawa
mendengarnya. "Biar saja ia terkurung di dalam," katanya. "Sekarang ia tidak bisa lagi
melarikan diri." Malam itu mereka cepat tidur. Tim ditinggal dalam kamar kerja. Ia bertugas
menjaga lubang lorong yang merupakan Jalan Rahasia. Pak Guru Roland semakin lama
makin bingung dan marah, karena pintu kamarnya masih tetap belum dibuka juga. Ia
berteriak-teriak memanggil Paman Quentin. Tetapi yang datang hanya George. Pak
Guru benar-benar bingung. Dan George" Dia senang sekali. Disuruhnya Tim
menggonggong keras-keras di depan pintu kamar Pak Guru. Orang itu heran
mendengar suara gonggongan itu, karena ia tahu bahwa George dilarang bermain-
main dengan Tim selama tiga hari. Pikiran Pak Guru kacau. Mungkinkah anak yang
bandel dan galak itu mengurung semua orang dewasa di rumah itu" Pak Guru sama
sekali tak sanggup membayangkan apa saja yang telah terjadi di luar kamarnya.
Tengah malam seisi rumah terbangun, karena Tim menggonggong dengan ribut. Paman
Quentin beserta anak-anak bergegas turun ke bawah, diikuti oleh Bibi Fanny dan
Joanna yang tercengang-cengang. Sesampai mereka di kamar kerja, nampak
pemandangan yang menyenangkan!
Pak Wilton dan Pak Thomas, kedua seniman palsu meringkuk di belakang kursi
panjang. Mereka ketakutan melihat Tim yang menggonggong-gonggong dengan galak!
Anjing itu menjaga lubang yang terdapat di lantai batu, sehingga kedua orang itu
tidak bisa melarikan diri lagi. Tim memang benar-benar anjing yang cerdik! Ia
menunggu diam-diam, sampai kedua orang itu sudah menyelinap masuk ke dalam kamar
kerja. Kemudian ia melompat ke lubang untuk menjaga di situ, supaya kedua orang
itu tidak bisa lari lagi lewat jalan tersebut!
"Selamat malam, Pak Wilton! Selamat malam, Pak Thomas," sapa George dengan
sopan. "Kalian ingin bertemu dengan Pak Guru Roland?"
"Di sini rupanya tempat tinggalnya?" kata Pak Wilton berpura-pura bodoh. "Kaukah
anak yang kami lihat dalam lorong tadi siang?"
"Betul! Aku dan ketiga saudaraku," jawab George. "Kalian ke mari hendak mencari
kertas-kertas yang kalian curi dari Ayahku?"
Kedua orang itu terdiam, karena sadar bahwa perbuatan mereka sudah ketahuan.
Kemudian Pak Wilton bertanya,
"Mana Roland?" "Kita antar saja tamu-tamu ini ke tempat Pak Roland, Paman?" usul Julian sambil
mengejapkan mata pada George. "Walau saat ini sudah tengah malam, tapi Pak Guru
pasti akan senang melihat mereka."
"Ya, baiklah!" jawab Paman dengan segera. Ia mengerti maksud keponakannya.
"Ajaklah mereka ke atas. Tim, kau ikut mengantarkan."
Kedua orang itu ikut dengan Julian ke atas. Tim menjaga dari belakang. George
menyusul sambil tertawa nyengir. Diserahkannya anak kunci kamar pada Julian.
Dibukanya pintu dan menyilakan orang-orang itu masuk, sementara ia menyalakan
lampu kamar. Pak Guru Roland ternyata tidak tidur. Ia berseru kaget ketika
melihat kedua kawannya datang.
Sebelum mereka sempat mengatakan apa-apa, Julian sudah menutup pintu kembali dan
menguncinya dari luar. Anak kunci diberikannya pada George.
"Sekarang ketiga-tiganya sudah terkurung di dalam," kata Julian. "Tim kita suruh
menjaga di sini. Mereka takkan mungkin bisa melarikan diri lewat jendela, karena
tempatnya terlalu tinggi. Dan kalaupun bisa, mereka toh tak bisa lari jauh.
Rumah kita masih terkurung salju tebal."
Semuanya masuk lagi ke tempat tidur masing-masing. Tetapi anak-anak sukar bisa
memejamkan mata, karena habis mengalami kejadian-kejadian yang sangat
menegangkan. Anne sibuk berbisik-bisik dengan George, sedang Julian tak henti-
hentinya mengajak Dick mengobrol. Banyak sekali yang mereka percakapkan!
Keesokan harinya polisi datang! Seisi rumah tercengang, karena salju di luar
masih bertimbun-timbun. Tetapi ternyata polisi tak mundur menghadapi salju.
Mereka memakai ski, dan datang sambil meluncur di atas salju. Mereka hendak
melihat ketiga orang penjahat yang terkurung dalam kamar tidur. Suasana menjadi
ramai! "Kami belum bisa membawa mereka pergi, sebelum salju tersingkir," kata Inspektur
polisi. "Tapi kami akan memborgol mereka, supaya tak mencoba lari atau berbuat
sesuatu yang merugikan. Pintu kamar harap dibiarkan terkunci, dan anjing itu
harus terus menjaga di luar. Sehari dua hari ini mereka aman di situ. Kami telah
menyediakan makanan secukupnya di dalam, sampai kami kembali lagi. Tapi kalau
nanti ternyata makanan itu tidak mencukupi, biar saja! Mereka sudah sepantasnya
dihukum!" Dua hari kemudian salju mencair. Polisi datang lagi untuk menjemput Pak Guru
Roland beserta kedua kawannya. Anak-anak memandang kesibukan mereka.
Lima Sekawan 02 Beraksi Kembali di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hore! Liburan ini kita tidak perlu belajar lagi!" seru Anne dengan riang.
"Dan Tim tidak lagi dilarang masuk ke rumah," sambung George.
"Ternyata kau benar, George," kata Julian. "Dan kami keliru. Wah, kau galak
sekali! Tapi untunglah kau tak mau tunduk."
"Ya, George memang galak!" ujar Dick sambil merangkul saudara sepupunya. "Tapi
aku senang apabila George galak. Asyik-asyik pengalaman kita bersama-sama. Aku
kepingin tahu, apakah sesudah ini kita akan mengalami petualangan lagi?"
Tentu saja! Scan & DJVU: pelestaribuku http://pelestaribuku.wordpress.com
Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Pedang Keadilan 27 Pendekar Slebor 46 Serigala-serigala Lapar Bulan Biru Di Mataram 1