Pencarian

Dalam Lorong Pencoleng 2

Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng Bagian 2


dan digerendel. Tapi mereka berhasil membukanya, tanpa terlalu menimbulkan
keributan. Setelah itu mereka keluar. Hujan sudah berhenti, tapi langit masih tetap
mendung. Di kejauhan terdengar bunyi guruh. Angin dingin berembus, menyapu muka
anak-anak yang kepanasan.
"Enak, dingin," bisik Dick. "Sekarang - kita keluar lewat pekarangan" Itukah
jalan tersingkat" Atau lebih baik memanjat pagar, pergi ke kandang sebelah
dulu?" "Lewat pekarangan saja," kata Julian singkat. Mereka lantas melintasi pekarangan
pertanian itu, yang pada siang hari selalu ribut dengan segala macam bunyi.
Tapi malam itu, pekarangan sunyi sepi. Dick dan Julian melalui kompleks lumbung
dan kandang. Dari dalam salah satu kandang terdengar bunyi meringkik pelan.
"Itu Jenny, kuda Pak Penruthlan yang agak sakit," kata Julian, sambil berhenti
berjalan. "Kita masuk sebentar ke dalam; untuk melihat keadaannya. Ketika
terakhir kali aku melihatnya, Jenny sedang berbaring lesu di atas jerami."
Ternyata kuda itu sudah tidak berbaring lagi sekarang. la berdiri sambil
mengunyah-ngunyah. Rupanya sudah merasa sehat kembali. Syukurlah, kalau begitu.
Kuda itu meringkik ketika melihat Dick dan Julian.
Setelah itu keduanya meneruskan langkah. Mereka sampai ke pagar, lalu
memanjatnya. Sementara itu hujan sudah mulai turun lagi, walau hanya rintik-
rintik. Untung mereka membawa senter. Coba kalau tidak! Takkan bisa mereka
melihat selangkah ke depan, karena malam gelap gulita.
"He, Ju - kau dengar tidak?" kata Dick sekonyong-konyong Ia tertegun.
"Tidak! Mendengar apa?" jawab Julian, sambil memperhatikan.
"Kedengarannya seperti suara batuk," kata Dick.
"Ah, pasti biri-biri," jawab Julian. "Aku pernah mendengar seekor biri-biri tua
batuk. Kedengarannya persis kayak Paman Quentin kalau sedang batuk-batuk. Berat
dan suram!" "Bukan - yang ini bukan bunyi biri-biri," kata Dick lagi. "Tapi pokoknya, di
lapangan ini tidak ada siapa-siapa."
"Tadi itu cuma khayalanmu saja," kata Julian. "Kurasa takkan ada orang yang
begitu tolol, mau keluar pada malam segelap ini. Kecuali kita, tentunya!"
Kedua anak itu itu melintasi lapangan dengan hati-hati. Bunyi guruh terdengar
lagi, agak lebih dekat daripada sebelumnya. Kemudian tampak sambaran kilat,
disusul bunyi petir. Dick berhenti lagi. Disambarnya lengan abangnya.
"Ada orang berjalan," kata Dick kaget, "agak jauh di depan kita. Sewaktu barusan
ada kilat, aku melihatnya sekilas. Ia sedang memanjat pagar yang kita tuju.
Siapa itu yang keluar malam-malam begini."
"Kelihatannya ia berjalan ke arah yang sama seperti kita," jawab Julian. "Dan
kurasa jika kita melihat dia, pasti ia pun sudah melihat kita pula!"
"Kurasa tidak mungkin," kata Dick, "kecuali jika ia kebetulan menoleh ke
belakang! Yuk, kita lihat ke mana orang itu pergi."
Sambil menyelinap, mereka berjalan menuju pagar. Sesampainya di situ, mereka
memanjatnya. Tapi tiba-tiba ada orang memegang bahu Dick!
Dick kaget setengah mati. Tangan orang tak dikenal itu mencengkeram begitu kuat,
sehingga anak itu menjerit kesakitan. Ia berusaha membebaskan diri dari
cengkeraman itu. Julian juga merasa ada tangan hendak menangkapnya. Tapi ia sempat mengelak dan
merapatkan diri ke semak-semak pagar. Sementara itu senter dipadamkan dengan
segera. Ia merunduk diam-diam. Jantungnya berdebar keras.
"Lepaskan!" seru Dick sambil menggeliat-geliat. Kemejanya nyaris robek, begitu
keras ia meronta-ronta. Dick mengayunkan kaki, menendang pergelangan kaki orang
tak dikenal itu. Sesaat cengkeraman agak mengendur. Tapi bagi Dick, kesempatan
itu sudah cukup! Dengan sekali sentak, ia berhasil membebaskan diri. Tapi
robekan kemejanya tetap dalam cengkeraman lawannya.
Dick lari ke jalan di luar pagar, lalu cepat-cepat menyembunyikan diri di bawah
semak yang tumbuh di pinggir. Ia merunduk di situ. Napasnya tersengal-sengal.
Didengarnya orang yang mencengkeramnya tadi lewat sambil menggerutu. Dick
bersembunyi semakin jauh ke dalam semak. Cahaya senter menyapu tanah di
dekatnya. Untung saja ia tidak kelihatan!
Dick menunggu sampai bunyi langkah orang itu tidak kedengaran lagi. Kemudian ia
merangkak ke luar, berhati-hati menyusuri jalan.
"Julian!" panggilnya pelan. Dick nyaris saja melompat karena kaget ketika
abangnya tibatiba menjawab dari jarak yang dekat sekali.
"Aku di sini. Kau tidak apa-apa?"
Dick mendongak, mencoba melihat ke arah sebatang pohon yang gelap. Tapi tentu
saja ia tidak bisa melihat apa-apa.
"Senterku terjatuh tadi," katanya. "Kau di mana, Ju" Di atas pohon?"
Terasa ada tangan menggapai-gapai, meraba kepalanya.
"Aku di sini, duduk di dahan yang paling bawah," kata Julian. "Tadinya aku
bersembunyi dalam semak pagar tapi lalu naik ke sini. Aku tak berani menyalakan
senter, takut orang tadi masih ada di sekitar sini."
"Ia sudah pergi," kata Dick. "Astaga, nyaris saja bahuku copot dicengkeramnya
tadi. Bajuku sampai robek! Siapa orang itu" Kau sempat melihatnya?"
"Tidak," kata Julian, sambil turun dari pohon. "Kita cari dulu sentermu sebelum
pulang. Sayang jika hilang! Mestinya jatuh dekat pintu pagar tadi."
Mereka lantas mencari ke tempat itu. Julian tidak berani menyalakan senternya.
Jadi mereka mencari sambil meraba-raba. Tapi dasar nasib sedang mujur - tiba-
tiba senter itu terinjak oleh Dick. Dengan segera ia memungutnya.
"He, dengar! Pasti orang tadi yang kembali lagi!" kata Dick tiba-tiba. "Aku
mendengar batuknya, persis seperti tadi! Apa yang kita lakukan sekarang?"
"Yah - aku sekarang sudah tidak kepingin lagi pergi ke atas bukit untuk melihat
apakah ada sinar memancar dan menara atau tidak," kata Julian. "Sebaiknya kita
bersembunyi dulu, lalu mengikuti orang itu untuk melihat ke mana ia pergi.
Menurut perasaanku, orang yang berkeliaran malam-malam begini, pasti tidak
bermaksud baik." "Betul!" kata Dick. "Aku setuju saranmu - kita masuk lagi ke semak pagar. Aduh!
Banyak rumput jelatang rupanya di tempat ini. Dasar nasib!"
Langkah orang itu terdengar semakin mendekat. Kemudian terdengar suara batuk-
batuk. "Rasanya aku tahu siapa yang batuk seperti itu," bisik Dick. Tapi Julian
menyuruhnya diam. "Ssst!" desisnya.
Orang itu tiba di pintu pagar, lalu memanjatnya. Setelah menunggu beberapa saat,
Julian dan Dick lantas mengikuti dengan hati-hati dari belakang. Langkah orang
di depan mereka tidak kedengaran, karena ia berjalan di atas rumput. Tapi
sementara itu langit menjadi agak cerah. Mereka melihat bayangan bergerak di
depan mereka. Julian dan Dick berjalan dengan hati-hati. Mereka menahan napas setiap kali kaki
mereka tersandung ke batu, atau terdengar bunyi ranting patah terinjak. Sekali-
sekali terdengar lagi bunyi batuk di depan.
"Ia menuju ke rumah," bisik Julian. Samar-samar dikenalinya bentuk lumbung-
lumbung. "Mungkinkah salah seorang pekerja" Mereka kan tinggal dalam pondok-
pondok di sekeliling pertanian."
Orang itu masuk ke pekarangan dengan langkah sepelan mungkin. Julian dan Dick
mengikuti terus dan belakang. Orang itu mengitari lumbung-lumbung, lalu masuk ke
dalam kebun kecil yang dipelihara sendiri oleh Bu Penruthlan. Julian dan Dick
mengikuti terus. Laki-laki tak dikenal itu menuju ke pintu depan. Anak-anak menahan napas. Apakah
orang itu bermaksud merampok keluarga Penruthlan" Sambil berjingkat-jingkat,
Julian dan Dick semakin mendekati. Terdengar pintu ditutup dengan pelan, lalu
digerendel! Setelah itu - sunyi.
"Ia masuk ke dalam rumah," kata Julian tercengang.
"Kau masih belum tahu siapa orang itu" Kau masih belum bisa menebaknya?" kata
Dick. "Sebetulnya kita harus langsung tahu tadi ketika mendengar dia batuk-
batuk. Itu kan Pak Penruthlan! Pantas bahuku nyaris copot ketika tadi
dicengkeram dengan tangannya yang kuatnya kayak catut!"
"Pak Penruthlan" - Astaga! Betul," kata Julian tercengang. Ia begitu kaget,
sampai hampir lupa berbisik "Kita tadi tidak tahu bahwa pintu depan tidak
terkunci karena kita keluar lewat pintu belakang. Rupanya dialah yang kita ikuti
dan tadi! Konyol! Tapi apa yang dicarinya di bukit" Ia tadi sama sekali tidak
pergi menengok kudanya, karena Jenny sama sekali tidak sakit."
"Barangkali saja ia senang jalan-jalan pada malam hari" kata Dick "Yuk - kita juga
masuk saja! Aku agak kedinginan, karena kemejaku robek."
Keduanya menyelinap menuju ke pintu belakang. Untung pintu itu belum terkunci
lagi. Dengan segera mereka masuk ke dalam. Setelah mengunci dan menggerendel
pintu kernball, mereka lalu berjingkat-jingkat naik ke tingkat atas. Ketika
sudah aman dalam kamar tidur mereka kembali, barulah keduanya mengembuskan napas
lega. "Nyalakan sentermu, Julian," kata Dick sambil meringis. "Tolong lihat bahuku,
memar atau tidak. Rasanya sakit sekali!"
Julian menyorotkan senternya ke bahu Dick. Ia bersiul pelan.
"Astaga, bahu kananmu biru lebam! Rupanya kuat sekali cengkeramannya tadi."
"Memang," kata Dick sambil mengaduh. "Yah, kali ini kita kurang berhasil. Kita
membuntuti tuan rumah kita, lalu tertangkap olehnya. Setelah terlepas, dia lagi
yang kita ikuti terus sampai di sini. Konyol!"
"Ah, sudahlah!" kata Julian. "Kurasa tak ada sinar memancar dan menara tua itu.
Aku ingin tidur sekarang. Kurasa kita tidak rugi, karena tidak jadi pergi ke
bukit!" 8. The Barneys Datang ! KEESOKAN paginya, Julian dan Dick memperhatikan Pak Penruthlan dengan perasaan
heran. Rasanya aneh, jika mengingat kemarin malam mereka mengalami kejadian yang
tidak enak dengan tuan rumah mereka, tapi orang itu sendiri tidak sadar bahwa
mereka berdualah yang nyaris tertangkap olehnya! Pak Penruthlan terbatuk-batuk
sebentar. Julian menyenggol Dick sambil meringis.
Seperti biasa, Bu Penruthlan memandang anak-anak dengan wajah berseri-seri.
"Enakkah tidur kalian tadi malam?" tanyanya. "Badai cuma sebentar, kan?"
Pak Penruthlan berdiri dari kursinya. Sambil mengucapkan "Ah, kok, ooh," atau
kata-kata lain yang kedengarannya seperti itu, ia melangkah ke luar.
"Apa katanya?" tanya Anne kepingin tahu. Menurut anggapannya, tak mungkin ada
orang yang bisa memahami cara berbicara Pak Penruthlan yang luar biasa itu.
Menurut Julian, petani itu berbicara dengan bahasa steno. Jadi bahasa yang
dipersingkat! "Kata Pak Penruthlan, mungkin saat makan siang nanti ia belum kembali," kata Bu
Penruthlan menjelaskan. "Mudah-mudahan ia sempat makan di salah satu tempat.
Tadi sarapannya pukul setengah enam pagi. Untung ia masih sempat masuk sebentar,
dan minum secangkir teh bersama kalian. Kasihan, tadi malam ia sibuk sekali."
Dick dan Julian langsung memasang telinga.
"Lho, kenapa?" tanya Julian, pura-pura tidak tahu.
"Anu, ia terpaksa bangun malam-malam," kata Bu Penruthlan, "ia harus merawat
kuda kami, Jenny, yang sakit. Aku terbangun ketika ia keluar Untung saja Benny
tidak menggonggong. Baru dua jam setelah itu Pak Penruthlan kembali. Selama itu
ia terus menemani Jenny. Benar-benar kasihan!"
Julian dan Dick sama sekali tidak merasa kasihan. Soalnya, mereka tahu pasti ke
mana Pak Penruthlan pergi kemarin malam. Ia sama sekali tidak merawat Jenny,
kuda yang katanya sakit. Padahal ketika Dick dan Julian menengok sebentar ke
dalam kandang, kuda itu kelihatan biasa-biasa saja.
Kedua anak itu bingung. Apa sebabnya Pak Penruthlan tidak berterus terang pada
istrinya" Kenapa harus berbohong" Apakah yang dilakukannya saat itu, sehingga
istrinya sendiri pun tidak boleh tahu"
Sehabis sarapan, Anne dan George diberitahu segala-galanya yang terjadi kemarin
malam. Tentu saja mereka tercengang.
"Kenapa aku tidak diberitahu bahwa kalian hendak pergi," kata George agak
menyesali. "Padahal kalau tahu, pasti aku ingin ikut."
"Dari semula aku sudah merasa, Pak Penruthlan itu agak aneh dan - menyeramkan,"
kata Anne sambil merenung. "Pasti ia sedang bermaksud jahat! Sayang - padahal
istrinya begitu ramah."
Tiba-tiba Anne merasa ada orang bersembunyi di dekat tempat mereka duduk. Ia
memandang berkeliling dengan perasaan gelisah. Betul juga - di sela-sela tanaman
yang tumbuh tinggi, dilihatnya ada yang bersembunyi sambil mengintip ke arah
mereka. Anne memperhatikan dengan lebih cermat.
Ternyata Yan. Siapa lagi kalau bukan anak kecil itu! Yan tersenyum sekilas, lalu
keluar dan persembunyiannya dan menghampiri Anne. Anak itu memang paling suka
pada Anne. Sambil berjalan, Yan mengulurkan tangan.
"Tidak, aku sedang tidak punya permen," kata Anne. "Kau tadi malam takut, Yan"
Maksudku, ketika hujan badai."
Yan menggeleng. Ia mendekat, lalu berbicara dengan suara pelan.
"Kemarin malam aku melihat cahaya itu lagi!"
Anne menatapnya dengan heran. Cahaya apa"
"Maksudmu - sinar suar yang memancar dari menara tua itu?" tanya Anne, meminta
penegasan. Yan mengangguk. Anne lantas bergegas mendatangi Julian dan Dick.
"Dick! Julian! Kata Yan, tadi malam ia melihat sinar memancar dari menara tua."
"Astaga!" seru kedua anak itu serempak. Mereka memandang Yan, yang ikut
mendekati mereka. "Kau melihat sinar itu?" tanya Julian.
Yan mengangguk. "Sinar besar! Besar sekali," katanya. "Seperti - seperti api kebakaran!"
"Kau melihatnya memancar dari menara?" tanya Dick.
Sekali lagi Yan mengangguk.
"Kakekmu juga melihatnya?" tanya Dick untuk kedua kalinya.
Lagi-lagi Yan mengangguk.
"Dia juga melihatnya."
"Kau tidak bohong?" tanya Julian. Ia agak ragu-ragu.
Sekali ini Yan menggeleng. Tidak, ia tidak bohong.
"Pukul berapa kau melihatnya?" tanya Dick mengusut.
Tapi Yan tidak bisa mengatakannya. Anak itu tidak memiliki arloji. Dan kalau
punya pun, ia masih tetap tidak bisa mengatakannya. Yan tidak bisa membaca jam.
"Sialan!" kata Julian pada Dick. "Kita rugi. Jika Yan tidak bohong, sebetulnya
kemarin malam kita pun bisa melihat sinar itu."
"Betul! Yah, kita pergi saja lagi malam ini untuk mengamat-amati," kata Dick.
"Cuaca saat ini tidak tetap! Banyak angin, dan awan bergulung-gulung terus. jika
nyala suar itu tampak pada malam-malam dengan cuaca seperti sekarang, kurasa
kita akan bisa melihatnya menyala lagi. Tapi aku tak bisa mengerti, kenapa
menara pencoleng itu masih dipakai. Kan tak ada kapal yang memperhatikan nyala
aneh seperti itu, sebab sudah ada mercu suar modern yang memberi isyarat terus-
menerus!" "Aku juga ikut," kata Yan yang mengikuti pembicaraan mereka.
"Tidak boleh," larang Juiian. "Kau harus tinggal bersama Kakek. Nanti ia
bingung, jika tahu-tahu kau tak ada di rumah."
Saat itu hujan mulai turun.
"Sialan," umpat George. "Mudah-mudahan cuaca tidak terus memburuk. Selama ini
selalu cerah. Tapi hari ini dingin, dan angin bertiup kencang. Kita masuk,
Anne!" Persis ketika anak-anak masuk, hujan pun turun dengan lebat. Sesampai di dalam,
Bu Penruthlan menyambut mereka dengan bersemangat.
"The Barneys hendak memakai lumbung kami besok malam!" katanya. "Mula-mula
mereka mengadakan pertunjukan di sini, lalu setelah itu pindah ke tempat lain.
Maukah kalian membantu membersihkan lumbung dan mempersiapkan segala
sesuatunya?" "Tentu saja kami mau," kata Julian. "Sekarang saja kami mulai, karena banyak
barang-barang yang harus dikeluarkan. Ke mana kami harus memindahkannya, Bu" Ke
lumbung yang satu lagi?"
Dua puluh menit kemudian, rombongan artis datang. Mereka langsung menuju ke
lumbung. Sudah beberapa kali mereka mengadakan pertunjukan di situ. Mereka
gembira ketika berjumpa lagi dengan anak-anak itu. Apalagi setelah mendengar
bahwa Julian beserta saudara-saudaranya akan membantu.
Para artis itu sudah tidak lagi mengenakan pakaian panggung mereka, tidak
seperti sewaktu pertama kali berjumpa dengan anak-anak. Hampir semuanya
mengenakan celana panjang, termasuk para wanitanya. Mereka sudah siap untuk
bekerja keras. Membersihkan lumbung, lalu memasang panggung dan dekor
sederhana. Julian melihat topeng kepala kuda dibawa masuk oleh seorang laki-laki bertubuh
kecil. Orang itu menandak-nandak dengan jenaka, sambil menggendong kepala kuda.
"Itu untuk apa?" tanya Julian. "Ah, itukah yang bernama Clopper" Kuda yang bisa
duduk sambil menyilangkan kaki?"
"Betul," jawab laki-laki kecil itu. "Dan aku yang mengurusnya. Harus kuawasi
terus. Perintah Bos!"
"Siapakah Bos?" tanya Julian lagi. "Laki-laki yang di sana itu?"


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menganggukkan kepala ke arah Jaki-laki berwajah suram, yang saat itu sedang
mengawasi anak buahnya yang sedang memindahkan jerami.
"Betul - itu dia orangnya," kata laki-laki kecil itu sambil nyengir "Tuan besar,
pemimpin kami. Bagaimana pendapatmu tentang kudaku ini, Nak?"
Julian memperhatikan topeng kepala kuda itu. Bikinannya bagus. Matanya bersinar
jenaka, bisa dikerjap-kerjapkan. Mulutnya bisa digerak-gerakkan membuka dan
menutup. "Aku cuma memainkan peranan kaki belakang saja," kata laki-laki itu dengan nada
menyesal. "Tapi aku juga bertugas menggerak-gerakkan ekor. Yang jadi kaki
depannya Pak Binks. Itu dia, berdiri di sana! Ia menggerak-gerakkan kepalanya -
maksudku kepala kuda. Kau harus melihat apabila Clopper mulai heraksi. Sungguh -
kuda seperti dia tidak ada tandingannya di bumi ini. Apa saja bisa dikerjakan
olehnya. - kecuali terbang tentunya!"
"Mana kaki depan dan belakangnya, serta anu, bagian tubuhnya?" tanya Dick, yang
saat itu datang mendekat. Diperhatikannya kepala kuda dengan penuh minat.
"Ada di sana," kata laki-laki kecil itu. "O ya, namaku Sid. Dan siapa nama
kalian" Kenapa kalian ada di sini?"
Julian memperkenalkan dirinya sendiri serta Dick, lalu menjelaskan bahwa mereka
berdua membantu di situ karena selama liburan tinggal di pertanian. Kemudian
dipegangnya setumpuk jerami. Menurut perasaannya, sudah waktunya ia bekerja.
"Tolong sedikit dong," katanya pada Sid. Tapi Sid menggeleng.
"Maaf, tidak bisa!" jawabnya santai. "Aku dilarang sembarangan meletakkan topeng
kepala kuda ini. Aku harus selalu di sampingnya. Yah, aku dan Copper memang
selalu seiring!" "Kenapa" Apakah karena harganya mahal?" tanya Dick.
"Bukan begitu," jawab Sid. "Soalnya, Clopper ini sangat terkenal. Dan sangat
penting. Selama ini, kalau pertunjukan kami terasa agak lesu, kami lantas
menampilkan Clopper. Para penonton tertawa geli dan bertepuk tangan. Suasana
menjadi enak kembali. Clopper sudah sering sekali menyelamatkan pertunjukan
kami. Clopper memang kuda hebat!"
Saat itu Pak Binks datang ke tempat mereka. Badannya lebih besar daripada Sid.
Dan jauh lebih kuat! Ia memandang Julian dan Dick sambil nyengir.
"Kalian sedang mengagumi Clopper?" tanya Pak Binks. "Apakah Sid sudah bercerita
tentang kepala ini, yang pernah terjatuh dan gerobak" Saat itu kami sedang dalam
perjalanan. Tiga mil kemudian, barulah kami sadar kepala Clopper sudah tidak ada
lagi! Wah, Bos mengamuk waktu itu! Katanya tanpa Clopper kami tidak bisa
mengadakan pertunjukan. Nyaris saja kami dipecat semua waktu itu."
"Ya, kami ini penting," kata Sid. Ia membusungkan dada, lalu berjalan dengan
kocak sambil menjunjung kepala Clopper di depannya. "Aku, Binks, dan Clopper -
tanpa kami, tidak ada pertunjukan!"
"Jangan berani-berani melepaskan kepala itu, biar cuma sesaat," kata Pak Binks.
"Kau diperhatikan oleh Bos. Nah, sekarang kau dipanggil olehnya."
Sid ketakutan. Cepat-cepat ia menghadap orang yang disebut Bos, sambil mengepit
kepala kuda di bawah ketiak.
Laki-laki bertampang suram itu mengatakan sesuatu dengan nada tajam. Sid
mengangguk-angguk tanda mengerti, lain kembali ke tempat semula. Julian
menghampirinya. "Coba kulihat sebentar, berat tidak kepala kuda itu," katanya. "Aku sudah sering
melihat topeng kepala kuda di atas panggung." Sambil berkata begitu, Julian
mengulurkan tangan, hendak mengambil topeng kepala kuda itu.
Tapi Sid cepat-cepat memindahkan barang itu ke sisinya yang lain, sambil melotot
menatap Julian. Ia menoieh ke belakang, untuk melihat apakah laki-iaki yang
bertampang suram mendengar pertanyaan Julian.
"Permintaanmu tolol," kata Sid ketus. "Padahal tadi kan sudah kukatakan, aku
tidak boleh melepaskan kepala kuda ini - biar sebentar saja, juga tidak boleh!
Dan baru saja Bos biiang padaku, 'Jangan dekat-dekat dengan kedua anak itu,
karena anak-anak biasanya nakal-nakal! Kalau kau tidak berhati-hati, tahu-tahu
kepala kuda sudah mereka rampas.' Nah, begitu kata Bos padaku tadi! Kau ingin
kami kehilangan pekerjaan, ya?"
Julian tertawa. "Jangan konyol, ah," katanya geli. "Masa karena begitu saja, Anda lantas
dipecat! Kapan Anda dan Pak Binks berlatih" Kami ingin menonton."
"Kalau itu, bisa saja," kata Sid, yang sudah agak tenang kembali. Ia lantas
memanggil Pak Binks. "Binks, anak-anak ini ingin menonton kita latihan. Ambil
kakinya!" Pak Binks dan Sid berjalan ke tempat yang sudah dilapangkan daiam lumbung, laIu
mulai memakai pakaian kuda yang terbuat dan kain terpal. Sid menunjukkan cara
menggerak-gerakkan ekor dengai sebelah tangannya.
Pak Binks memasang kaki depan, lalu memakai topeng kepala kuda. Ternyata
kepalanya cuma masuk sampai ke leher kuda. Dengan kedua tangannya, ia menarik-
narik tali untuk membuka dan menutup mulut kuda, serta menggerakkan mata yang
bisa berputar-putar. Sid memasukkan kedua tungkainya ke kaki belakang kuda. Sesudah itu ia
membungkuk, meletakkan kepala dan lengannya ke punggung Pak Binks. Itulah yang
menjadi punggung kuda. Seseorang menghubungkan kedua bagian kuda itu dengan
menarik ritsletingnya. "Wah - kudanya bagus!" kata Dick senang. Clopper tampak llncah dan jenaka. Kedua
laki-laki yang ada di dalamnya mulai beraksi, membuat kuda itu melakukan
berbagai perbuatan yang serba kocak. Mula-mula berbaris. Kiri-kanan, kiri-kanan.
Setelah itu berdansa dengan kaki depan. Setelah itu berpindah, kaki belakang
yang mendapat giliran berdansa, sedang kaki depan tidak bergerak.
Tiba-tiba kaki belakang saling terpaut, menyebabkan kuda itu jatuh. Kepala kuda
menoleh ke belakang, memandang keadaan dirinya sendiri dengan heran. Matanya
terputar-putar. Sementara itu Anne dan George sudah ikut menonton pula. Sedang Yan mengintip dan
pintu. Semuanya terbahak-bahak melihat tingkah polah kuda konyol itu.
Kemudian Clopper menggigit ekornya sendiri, lalu berputar mengelilingi dirinya
sendiri. Ia berdiri dengan kaki belakang. Melompat seperti kanguru, sambil
bersuara aneh. Semua yang ada dalam lumbung ikut menonton. Bahkan Bos yang
selalu bertampang masam, saat itu terpaksa tersenyum melihat kejenakaan Clopper.
Akhirnya kuda itu duduk bertumpu pada kaki belakangnya. Sedang kaki depannya
disilangkan di depan dada. Kocak sekali kelihatannya. Clopper lantas menguap
lebar, memamerkan sederet gigi yang besar-besar.
"Aduh! Sudah, sudah!" seru Anne sambil terpingkal-pingkal. "Sudah, aku tak kuat
lagi! Percaya deh sekarang, kau memang penting, Clopper. Kau yang paling hebat
dan seluruh pertunjukan!"
Suasana pagi itu riang gembira, karena rombongan artis tak henti-hentinya
bergurau, mengobrol, dan tertawa-tawa. Sid dan Pak Binks mencopot pakaian kuda
mereka. Dan Sid kembali bertugas menjaga topeng kepala kuda, yang terus-menerus
dikepit di bawah ketiak. Kemudian Bu Penruthlan memanggil anak-anak untuk makan siang. Yan mengejar
Julian, lalu memegang lengannya.
"Aku melihat cahaya," katanya mendesak. "Datanglah, kita lihat malam ini. Jangan
lupa! Aku melihatnya!"
Julian sudah melupakan hal itu, karena terlalu asyik bergaul dengan artis-artis
The Barneys. Ditatapnya anak laki-laki kecil itu. Julian nyengir.
"Ya deh, ya deh," katanya. "Aku takkan lupa. Kami akan menengoknya malam ini,
Yan. Tapi kau tidak boleh ikut, jadi lupakan saja! Nih - kukasih permen.
Sekarang pergilah." 9. Cahaya di Menara SORE itu, ruangan dalam lumbung sudah sama sekali lain keadaannya. Barang-
barang pertanian yang semula disimpan di situ, sudah dikeluarkan semua. Jerami,
jagung, pupuk berkarung-karung, dan macam-macam peralatan mesin - semuanya
dipindahkan ke tempat lain. Ruangan kelihatan lapang sekarang. Rombongan artis
puas melihatnya. "Kami sudah sering bermain di sini," kata mereka pada anak-anak. "Lumbungnya
yang paling bagus di daerah sini. Tapi pengunjung tidak begitu banyak, karena
tempat ini agak terpencil. Penonton kami cuma dan dua desa yang dekat dengan
pertanian ini. Walau begitu, kami selalu senang datang ke sini. Dan sehabis
pertunjukan, Bu Penruthlan selalu menghidangkan makan malam yang sedap bagi
kami!" "Kami percaya!" kata Dick, sambil nyengir "Pasti karena itu pula kalian mau
datang ke tempat terpencil begini. Untuk menikmati masakan Bu Penruthlan! Aku
sendiri pun mau datang dari jauh untuk itu!"
Sementara itu panggung sudah siap dipasang. Panggung itu terbuat dari beberapa
lembar papan panjang, yang diletakkan di atas sejumlah tong. Selembar kain hitam
dibentangkan menutupi dinding kayu di belakang panggung itu. Pada kain itu
terlukis pemandangan daerah pedesaan. Pemandangan itu dilukis sendiri oleh para
anggota rombongan, sedikit demi sedikit.
"Itu aku yang melukis," kata Sid. Ia menunjuk pada gambar seekor kuda, yang
sedang berdiri di tengah padang. "Aku harus melukiskan si Clopper di situ. Kau
melihatnya?" Banyak gambar dekor yang dimiliki rombongan The Barneys. Selama pertunjukan,
dekor diganti beberapa kali. Semua bikinan sendiri. The Barneys bangga terhadap
hasil karya mereka itu. Terutama yang menampakkan sebuah puri, lengkap dengan
menara. Menara itu mengingatkan Dick dan Julian pada menara tua, yang menurut Yan
memancarkan sinar malam sebelumnya. Kedua anak laki-laki itu saling berpandangan
dengan sembunyi-sembunyi. Julian menganggukkan kepalanya lambat-lambat. Mereka
bertekad untuk menyelidikinya malam ini, untuk memastikan apakah Kakek dan Yan
berkata sebenarnya atau tidak.
Dalam hati Julian bertanya-tanya, mungkinkah malam nanti mereka harus waspada
terhadap kemungkinan tepergok oleh Pak Penruthlan" Jenny, kuda pertanian itu,
sudah kelihatan sehat sekali sekarang. Ini pun kalau benar pernah sakit! Kuda
itu sudah berkeliaran lagi di luar, di padang rumput. Jadi tak ada alasan bagi
Pak Penruthlan untuk berkeliaran lagi malam-malam.
Julian dan Dick sama sekali tidak bisa membayangkan, buat apa Pak Penruthlan
keluar tadi malam. Padahal cuaca saat itu sama sekali tidak bagus! Mungkinkah ia
hendak menemui seseorang" Jika hendak mendatangi penggembala yang tinggal di
atas bukit, waktunya terlalu singkat! Lagi pula, untuk apa" Dia kan paginya
sudah berjumpa dengan Kakek.
Bu Penruthlan datang. Ia hendak melihat keadaan lumbung, yang sudah hampir
selesai dipersiapkan untuk pertunjukan nanti malam. Wajah wanita itu tampak
benseri-seri. Baginya, saat-saat seperti itu sangat meriah. The Barneys akan
mengadakan pertunjukan dalam lumbungnya, penduduk desa akan berduyun-duyun
datang besok malam, dan sehabis pertunjukan akan dihidangkan makan besar! Asyik!
Sejak pagi Bu Penruthlan sibuk terus dalam dapur. Macam-macam yang dimasak
olehnya. Tempat penyimpanan makakan sudah penuh dengan segala macam kue dan
tarcis. Anak-anak silih berganti menjenguk ke dalam kamar itu, sambil mengendus-
endus penuh nikmat. Bu Penruthlan mengusir mereka pergi. Ia tertawa senang.
"Besok kalian harus membantuku," katanya. "Mengupas kacang polong, membersihkan
kentang dan sayur-mayur. Kalian juga harus memetik buah strawberi liar dalam
hutan. Aku memerlukannya, untuk menambah kesedapan hidangan buah campur."
"Tentu saja kami dengan senang hati membantu kata Anne yang rajin. "Kami senang
melakukannya! Tapi untuk hidangan makan malam, Anda bekerja sendiri, Bu?"
"Tidak! Ada satu atau dua orang desa yang akan tinggal sehabis pertunjukan,
untuk membantuku menghidangkan," kata istri petani bertubuh montok itu.
Menghadapi pekerjaan dapur sebanyak itu pun, wajahnya masih terus berseri-seri.
Rupanya Bu Penruthlan gemar sekali memasak! "Lagi pula, besok pagi aku akan
bangun pukul lima. Cukup banyak waktuku!"
"Kalau begitu, Anda lebih baik cepat-cepat tidur malam ini Bu," kata George.
"Kita semua harus lekas tidur," kata Bu Penruthlan. "Karena besok kita akan
bangun pagi dan tidur larut malam. Kalau Pak Penruthlan, tidak sukar menyuruhnya
lekas-lekas tidur. Pak Penruthlan cepat sekali mengantuk kalau malam."
Menurut anak-anak, pasti malam itu Pak Penruthlan mau lekas tidur - karena malam
sebelumnya ia lama berkeliaran di luar. Dalam cuaca buruk lagi! Julian dan Dick
juga sudah capek. Tapi mereka sudah bertekad hendak pergi ke bukit tempat
menggembalakan biri-biri. Mereka hendak mendatangi tempat yang ditunjukkan
Kakek, yang dari tempat itu bisa terlihat menara kuno dekat pantai. Mereka ingin
menyelidiki, apakah memang benar ada sinar suar memancar dan sana!
Saat hidangan sore, Pak Penruthlan ikut makan bersama anak-anak. Petani itu
makan dengan lahap. Ia tidak mengatakan apa-apa kecuali mendenguskan serangkaian
bunyi yang kedengarannya seperti "Oahah, oh". Tapi ternyata ia berbicara pada
istrinya, karena Bu Penruthlan langsung menjawab.
"Aku senang mendengar Pak Penruthlan suka kue itu," katanya. "Aku sendiri juga
berpendapat, kue itu enak."
Bukan main - Bu Penruthlan selalu mampu menangkap kata-kata yang diucapkan
suaminya. Dan yang juga terasa janggal, kenapa Bu Penruthlan selalu bersopan
santun pada suaminya - seperti layaknya terhadap orang yang baru dikenal! Dalam
hati Anne bertanya-tanya, apakah kalau mereka sedang sendiri, wanita itu menyapa
suaminya masih dengan sebutan "Pak Penruthlan?" Anne memperhatikan Pak
Penruthlan dengan penuh perhatian.
Bukan main besar tubuhnya, selera makannya pun menakjubkan. Seperti raksasa saja
lahapnya! Saat itu Pak Penruthlan menoleh. Dilihatnya Anne sedang memperhatikan dirinya.
Pak Penruthlan mengangguk, sambil mengatakan "Ah! Oooh, kok, uker!" Anne sama
sekali tak bisa menangkap maknanya. Rasanya seperti diajak berbicara dalam
bahasa asing. Karenanya Anne cuma bisa melongo.
"Ah, Pak Penruthlan ini senang sekali menggoda anak," kata Bu Penruthlan. Dia
tak tahu, harus menjawab bagaimana! "Atau mungkin kau tahu, Anne?"
"Eh - anu, Bu - aku tadi tidak begitu menangkap kata-katanya," jawab Anne.
Mukanya merah padam, karena malu.
"Nah, itu dia, Pak! Dengar sendiri kan, kata-kata Pak Penruthlan tidak jelas
kalau bicara tanpa gigi," kata istri petani itu mengecam. "Sudah begitu sering
kukatakan, pakailah gigi palsu itu kalau mau bercakap-cakap. Kalau aku memang
bisa mengerti, tapi orang lain tidak! Bagi mereka, kedengarannya tentu seperti
gumaman belaka." Sambil mengerutkan kening, Pak Penruthlan mengatakan sesuatu secara menggumam
lagi. Sementara itu anak-anak memandang ke arahnya, sambil melongo. Apa" Pak
Penruthlan sudah tidak punya gigi lagi" Astaga - kalau begitu, bagaimana caranya
ia makan" Begitu asyik petani itu menggigit dan mengunyah. Padahal sama sekali
tidak punya gigi! "Jadi itulah sebabnya cara bicaranya begitu aneh," pikir Dick dengan geli. "Tapi
bayangkan, tak punya gigi saja sudah selahap itu makannya! Apalagi kalau masih
lengkap, pasti lebih hebat lagi."
Bu Penruthlan cepat-cepat mengganti pokok pembicaraan, karena tampak jelas
suaminya jengkel padanya. Wanita itu lantas mengobrol dengan gembira, tentang
rombongan The Barneys. "Wah, si Clopper benar-benar kocak! Lihat saja nanti, bagaimana ia menandak-
nandak di panggung, lalu tiba-tiba terjatuh ke lantai. Pak Penruthlan selalu
terpingkal-pingkal, sampai ia sendiri nyaris terjatuh dan kursi. Pak Penruthlan
senang sekali pada kuda itu. Sudah lebih dari sepuluh kali ia menonton
pertunjukan Clopper, tapi masih saja terpingkal-pingkal!"
"Kuda itu memang kocak," kata Julian. "Aku dan dulu kepingin menampilkan lawakan
seperti itu dalam malam kesenian akhir tahun di sekolah kami. Bersama Dick,
kurasa kami sanggup menampilkannya. Aku ingin Sid dan Pak Binks memberi
kesempatan pada kami untuk mencobanya sekali saja."
Akhirnya mereka selesai makan. Hampir semua hidangan licin tandas disikat anak-
anak, serta Pak Penruthlan tentunya! Istri petani itu tampak senang.
"Nah, begitu dong," katanya. "Aku paling senang melihat orang memakan habis
semua hidangan yang disajikan."
"Soal begitu gampang saja, Bu - jika hidangannya seenak yang Anda sajikan pada
kami," kata George. "Betul kan, Tim" Timmy pasti mau kalau disuruh tinggal di
sini, Bu Penruthlan!"
Anak-anak membantu mencuci piring. Setelah itu mereka duduk-duduk sebentar,
sambil membaca. Tapi Pak Penruthlan berulang kali menguap lebar-lebar. Akhirnya
anak-anak ketularan. Bu Penruthlan tertawa geli.
"Ayo, semuanya masuk ke tempat tidur" katanya. "Belum pernah kulihat orang
sebanyak ini menguap ganti-berganti! Kasihan Pak Penruthlan. Ia capek, karena
kemarin malam terpaksa menjaga Jenny sampai larut!"
Anak-anak saling berpandangan. Mereka tahu, bukan karena itu Pak Penruthlan
mengantuk! Anak-anak lantas masuk ke kamar tidur masing-masing. Mereka tertawa geli ketika
mendengar Pak Penruthlan masih menguap keras-keras dalam kamar tidurnya.
Julian memandang ke luar jendela. Malam itu gelap sekali. Angin bertiup kencang.
Sekalisekali turun hujan deras sebentar. Menurut perasaan Julian, terdengar
bunyi deburan ombak memecah ke karang dalam teluk. Dalam keadaan cuaca begitu,
ombak taut pasti sangat menggelora.
"Malam ini cocok sekali bagi para pencoleng untuk beraksi," kata Julian pada
Dick "jika mereka masih ada sekarang ini! Kapal yang terlalu dekat ke gosong


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karang m?lam ini takkan besar harapannya bisa selamat! Pasti akan terbanting ke
karang, dan dalam waktu setengah jam saja pecah berantakan! Dan besok, di pantai
akan berserakan puing-puing pecahannya."
"Sebaiknya kita tunggu sebentar sebelum pergi," kata Dick. "Sekarang masih
terlalu sore. Kalau cuaca kebetulan cerah, saat ini di atas bukit pasti masih
terang. Tapi sekarang pasti gelap, karena cuaca buruk. Kita membaca-baca saja
dulu. Nyalakan lilin, Ju."
Sementara itu angin bertiup semakin kencang, semakin mendekati kecepatan badai.
Bunyinya menderu-deru dan mendengung di sekeliling rumah. Kedengarannya seperti
ada raksasa yang sedang marah dan kesakitan. Tak enak pergi ke bukit malam-malam
begini! Tapi mereka sudah bertekad hendak pergi.
"Kita berangkat sekarang," kata Julian, setelah menunggu agak lama. "Hari
semakin larut. Di luar sudah gelap sekali."
Keduanya tadi belum berganti pakaian. Jadi mereka bisa langsung berangkat.
Berjingkat-jingkat menuruni tangga, lalu keluar lewat pintu belakang. Mereka
baru berani menyalakan senter ketika sudah agak jauh dan rumah.
Tadi ketika berada di serambi dalam, mereka melihat sebentar ke pintu depan.
Ternyata terkunci dan digerendel. Jadi sudah pasti saat itu Pak Penruthlan tidak
keluar! Dengan langkah-langkah tegap mereka berjalan melawan badai. Napas mereka
tersengal-sengal setiap kali angin mengembus kencang dari depan. Keduanya
mengenakan baju hangat, karena hawa saat itu cukup dingin.
Mereka melintasi padang dan ladang, memanjat pagar demi pagar. Beberapa kali
mereka berhenti sebentar, untuk memastikan arah langkah mereka masih benar. Lega
p?rasaan mereka ketika menjumpai sekawanan biri-biri. Mereka pasti sudah dekat
ke pondok Kakek! "Itu dia pondoknya," kata Julian setelah beberapa saat. "Itu, tampak bentuknya
yang gelap. Kita harus hati-hati sekarang."
Mereka menyelinap, melewati pondok. Di dalam tidak kedengaran apa-apa. Tidak ada
cahaya lilin memancar lewat celah pintu. Rupanya Kakek sudah tidur nyenyak! Dan
Yan juga. Julian membayangkan anak kecil itu tidur meringkuk di sisi kakek tua,
di atas pembaringan yang terbuat dari bulu biri-biri.
Anak-anak itu berjalan terus, menuju ke tempat dari mana menara tua di kejauhan
itu bisa terlihat. Mereka harus menemukan tempat itu, karena kalau agak bergeser
ke kiri atau ke kanan, menara tersebut takkan terlihat.
Mereka tak berhasil menemukan tempat itu. Atau mungkin pula sudah ditemukan, dan
mereka berdiri tepat di tempat itu, tapi karena hari sangat gelap, menara tua di
kejauhan tidak tampak. "Kalau malam ini suar itu tidak dinyalakan, kita takkan bisa tahu apakah kita
memandang ke arah yang benar atau tidak kata Julian, "Menara itu sendiri takkan
bisa kita lihat dalam gelap. Kenapa tak terpikir hal itu oleh kita tadi" Aku
mengira akan bisa melihatnya, tak peduli ada suar menyala atau tidak. Dasar
tolol!" Keduanya mondar-mandir sambil menatap terus ke arah yang menurut perkiraan
mereka merupakan tempat menara. Tapi percuma! Sia-sia saja mereka berjalan jauh-
jauh! Kemudian, tiba-tiba Julian berseru kaget, "Siapa itu" Aku melihatmu! Siapa itu?"
Dick terlonjak. Ada apa lagi" Saat itu ada seseorang datang beringsut-ingsut,
lain menyapa dengan takut-takut.
"Ini aku! Yan!"
"Astaga! Kau ini - di mana-mana selalu muncul!" kata Julian. "Rupanya kau sudah
menunggu kami, ya?" "He-eh! Ikut aku," kata anak kecil itu sambil menarik-narik Julian. Julian dan
Dick ikut dengan Yan, beberapa langkah ke kanan, naik lebih tinggi ke atas
bukit. Kemudian Yan berhenti.
Seketika itu juga Julian serta adiknya melihat sinar suar. Tak mungkin keliru,
itulah suar yang dimaksudkan Kakek. Nyalanya berkelip-kelip terus, seperti nyala
mercu suar kecil. Setiap kali menyala, tampak samar-samar bentuk menara.
"Kelihatannya seperti semacam isyarat," kata Julian. "Aneh! Siapakah yang
melakukannya, dan untuk apa" Pada zaman modern sekarang ini kan sudah tidak ada
lagi pencoleng yang merampok kapal kandas!"
"Kata Kakek, yang menyalakan suar itu ayahnya." kata Yan dengan nada takjub.
Tapi Julian malah tertawa.
"Ah, mana mungkin!" tukasnya. "Tapi walau begitu, ini merupakan kejadian
misterius, ya, Dick" Mungkinkah ada kapal yang bisa tertipu dan berlayar
mendekati pantai, sehingga kindas di situ" Cuaca malam ini sangat buruk! Ombak
laut pasti menggelora, menghajar remuk setiap kapal yang berlayar terlalu dekat
ke pantai sini." "Betul. Yah - kalau ada kapal pecah terbentur karang, pasti kita akan mendengar
beritanya besok." kata Dick "Tapi mudah-mudahan saja tidak ada. Tak enak rasanya
membayangkan kemungkinan itu! Memangnya pencoleng-pencoleng itu masih ada?"
"Tapi kalau ada, saat ini pasti mereka sedang menyelinap melalui Lorong
Pencoleng yang tersembunyi itu," kata Julian. "Di pantai, mereka lantas menonton
kapal yang sial itu, terbanting-banting ke gosong karang. Latu kalau kapal
pecah, dengan cepat mereka merampok muatannya - dan kembali menyelinap ke darat
melaiui lorong tersebut."
Dick gemetar karena ngeri.
"Sudah, Ju!" katanya. "Jangan ngomong begitu. Nah - sekarang apa yang akan kita
lakukan?" "Aku tahu," kata Julian tegas. "Kita akan mencari menara itu. Jika berhasil kita
temukan, kita periksa ada apa sebenarnya di sana. Itulah yang akan kita lakukan
secepat mungkin. Mungkin besok!"
10. Bersiap-siap MEREKA masih berdiri di atas bukit selama beberapa saat lagi, memperhatikan
nyala suar di kejauhan. Kemudian kembali ke pertanian. Angin dingin bertiup
sangat kencang. Walau saat itu sudah musim panas, anak-anak menggigil
kedinginan. "Untung kau menemukan kami tadi, Yan," kata Dick sambil merangkul pundak anak
kecil yang juga menggigil kedinginan itu. "Terima kasih atas bantuanmu. Kami
akan menyelidiki menara tua itu. Maukah kau menunjukkan jalan ke sana?"
Yan semakin menggigil. "Tidak! Aku takut!" katanya. "Aku takut pada menara."
"Kenapa takut?" tanya Dick. "Tapi baiklah! Kalau takut, tak usah sajalah. Memang
agak aneh! Sekarang, kembalilah ke pondokmu."
Yan melesat pergi, seperti kelinci ketakutan. Sedang Dick dan Julian melangkah
kembali ke rumah. Mereka merasa tidak perlu berhati-hati karena yakin hanya
merekalah yang masih berkeliaran malam itu. Tapi ketika sudah dekat ke
pekarangan rumah keluarga Penruthlan, tiba-tiba mereka tertegun.
"Dalam lumbung yang besar ada cahaya," bisik Dick "Sekarang lenyap - eh, tidak!
Itu, menyala lagi! Di sana ada seseorang, yang sedang menyalakan senter
berulang-ulang. Siapa dia?"
"Barangkali salah seorang anggota The Barneys." jawab Julian sambil berbisik
pula. "Kita periksa saja sebentar! Mereka malam ini kan tidur di sini, di
gudang-gudang." Keduanya lantas berjingkat-jingkat menghampiri lumbung, lalu mengintip ke dalam
lewat suatu celah di pintu. Mula-mula mereka tidak melihat apa-apa. Tapi
kemudian tampak sinar senter, menyorot ke arah beberapa barang perlengkapan
rombongan artis yang ditaruh di pojok. Pakaian panggung, mantel, dekor, dan
macam-macam lagi. "Ada orang sedang merogoh-rogoh kantong pakaian artis!" desis Julian. "Nekat
sekali! Pencuri!" "Siapa dia?" tanya Dick "Mungkinkah salah seorang artis The Barneys?"
Sesaat sinar senter menerangi punggung tangan orang tak dikenal yang sedang
merogoh-rogoh kantong pakaian artis itu. Nyaris saja Dick dan Julian berseru
kaget. Untung cepat ditahan.
Mereka mengenal tangan itu. Penuh ditumbuhi bulu berwarna hitam!
"Itu Pak Penruthlan!" bisik Dick.
"Betul, sekarang aku bisa mengenalinya. Lihat saja bayangannya yang besar itu.
Sedang apa dia di situ" Rupanya ia tidak begitu waras! Berkeliaran malam-malam
di bukit, menyelinap masuk ke dalam lumbung, lalu merogoh-rogoh kantong orang
lain. Nah, nah - lihat apa yang dilakukannya sekarang! Membongkar laci-laci
lemari yang akan dipakai The Barneys dalam salah satu pertunjukan mereka! Ya,
betul - pasti Pak Penruthlan tidak waras pikirannya!"
Julian merasa kikuk. Tidak enak rasanya mengintip-intip perbuatan tuan rumah
mereka. Tapi orang itu memang aneh! Tidak berterus terang, berkeliaran malam-
malam, merogoh-rogoh kantong orang lain. Betul juga pendapat Dick - Pak
Penruthlan pasti tidak beres otaknya! Tahukah Bu Penruthlan" Mestinya tidak -
sebab kalau tahu, pasti ia sedih. Sedangkan Bu Penruthlan sangat periang!
"Yuk, kita pergi," bisik Julian. "Segala-galanya diperiksa olehnya! Aku tak
mengerti, apa yang ingin dicarinya di antara pakaian dan peralatan panggung The
Barneys. Aneh - kurasa ia tidak waras! Yuk - aku tidak ingin melihat Pak
Penruthlan mengambil sesuatu. Tidak enak rasanya bila kita terpaksa mengatakan
bahwa kita memergokinya sewaktu ia sedang mencuri."
Dick dan Julian menjauhi lumbung, kembali ke rumah melalui pintu belakang. Di
dalam, mereka menengok ke pintu depan sebentar. Pintu tertutup, tapi tidak lagi
terkunci dan digerendel. Keduanya naik ke atas. Mereka bingung. Aneh-aneh kejadian malam itu!
"Yuk - kita bangunkan Anne dan George, lalu kita ceritakan pengalaman tadi," kata
Julian pelan. "Aku tidak sabar lagi menunggu besok pagi."
Sebenarnya George belum tidur, begitu pula Timmy. Ketika Julian dan Dick
menyelinap ke luar tadi, Timmy mendengar mereka. Sejak itu ia berjaga-jaga
terus, menunggu mereka kembali. Dan begitu terdengar langkah kedua anak itu,
segera dibangunkannya George. Karena itu ia sudah menunggu-nunggu suara berbisik
di pintu! "Anne! George! Bangun - ada kabar penting!" bisik Julian.
Timmy mendengking pelan, Lalu lari ke pintu. Tak lama kemudian Anne juga
terbangun. Anne dan George sangat heran mendengar cerita kedua saudara mereka.
Tentang Pak Penruthlan yang menggeratak dalam lumbung, dan juga tentang sinar
suar yang ternyata memang memancar dari menara tua.
"Jadi Kakek tidak bohong," bisik Anne. "Ia benar-benar melihat sinar suar itlu
lagi. Hih - aneh! Bagaimana pendapatmu, Julian" Apakah besok akan ada berita
tentang kapal yang terdampar di pantai" Aku tak tahan membayangkannya !"
"Aku juga," kata George, sambil mendengarkan bunyi angin mendesing di luar
rumah. "Aduh, seram rasanya! Terdampar pada malam seram seperti sekarang,
terbentur-bentur ke karang didorong ombak bertalu-talu! Ingin rasanya pergi
sekarang juga ke teluk - karena siapa tahu, kita bisa menolong!"
"Kurasa takkan banyak gunanya jika kita ke sana sekarang," kata Dick. "Aku
bahkan sangsi, apakah kita bisa mendekati teluk pada malam ganas seperti
sekarang. Ombak pasti memukul sampai ke jalan yang menuju ke sana!"
Anak-anak masih berbincang-bincang terus. Tapi kemudian George menguap.
"Kita tidur saja sekarang," katanya, "sebab kalau tidak, kita takkan bisa bangun
pagi besok. Oya, besok kita tidak bisa pergi menyelidiki menara tua itu, Ju. The
Barneys akan mengadakan pertunjukan di sini, dan kita kan sudah berjanji pada Bu
Penruthlan akan membantu dia."
"Kalau begitu lusa saja kita ke sana," kata Julian. "Pokoknya, aku sudah
bertekad akan pergi. Kata Yan, ia takkan mengantarkan kita ke sana. Katanya
takut!" "Aku juga takut," kata George, sambil berbaring di tempat tidurnya. "Kalau aku
melihat nyala suar itu tadi, aku pasti akan terlompat ketakutan."
Julian dan Dick kembali ke kamar mereka. Tak Lama kemudian, mereka sudah
tertidur. Angin masih terus mendesing di luar, tapi mereka tidak mendengarnya
lagi. Mereka sangat capek, setelah berjalan jauh ke bukit.
Keesokan harinya mereka sibuk sekali, sehingga hampir-hampir tidak ingat lagi
pada kejadian malam sebelumnya. Tapi ada yang mengingatkan mereka
Saat itu Bu Penruthlan sedang mengurus sarapan anak-anak, sambil bercerita
dengan riang gembira. Bu Penruthlan memang tidak pernah kehabisan bahan
percakapan. Sepanjang hari berbicara terus - dengan anak-anak, atau pada anjing-
anjing yang ada di situ. "Angin tadi malam kencang sekali, ya?" katanya. "Kalian bisa tidur" Kalau aku,
pulas sekali! Pak Penruthlan juga - ia tak berkutik sedikit pun semalam suntuk.
Maklumlah, ia sangat capek!"
Anak-anak saling memberi isyarat dengan tendangan di bawah meja. Tapi mereka
tidak mengatakan apa-apa. Mereka lebih tahu tentang tingkah Laku Pak Penruthlan
pada malam hari daripada istrinya itu!
Setelah itu, anak-anak benar-benar sibuk! Membantu di dapur, menolong mengangkat
barang-barang The Barneys, ikut mengatur tempat duduk penonton. Segala macam
yang bisa dipakai untuk duduk, diletakkan berjejer di tengah lumbung. Bangku-
bangku, tong-tong, kotak-kotak. Anne bahkan kebagian tugas memperbaiki pakaian
panggung. Mula-mula ia menawarkan diri untuk memasang kancing yang terlepas.
Tahu-tahu ia sudah kebanjiran permintaan tolong. Ada yang minta ditambalkan
pakaiannya yang robek, ada lagi yang minta dibetulkan entah apanya yang rusak.
Pokoknya, sehari itu anak-anak sibuk terus. Yan datang lagi, dan seperti
biasanya pula, kedatangannya itu disambut hangat oleh Timmy. Semua anjing suka
kepada Yan. Tapi terlebih lagi Timmy. Oleh Bu Penruthlan, Yan tidak henti-
hentinya disuruh-suruh. Dan anak itu melakukan segala-galanya dengan senang dan
cekatan. "Yan memang tidak begitu cerdas otaknya. Tapi ia bisa cekatan, kalau tahu akan
mendapat makanan sebagai hadiah." kata Bu Penruthlan. Jadi sehari itu terus-
menerus terdengar suara wanita itu mengatakan, "Yan, tolong ambilkan
ini!"-"Lakukan itu, Yan!" Dan Yan melesat, sebentar ke sana, setelah itu kemari.
Rombongan The Barneys bekerja keras. Mereka latihan sebentar. Semuanya kacau-
balau. Bos marah-marah sambil membanting-banting kaki. Anne sampai heran, kenapa
anak buahnya betah bekerja untuknya! Habis - apa enaknya bekerja pada orang yang
selalu cemberut, dan kalau marah tidak tanggung-tanggung!
Menurut rencana pertunjukan, pertama-tama akan ditampilkan permainan musik oleh
sekawanan pelawak. Setelah itu menyusul drama. Ceritanya sedih, memeras air mata
penonton. Dalam cerita itu tampil sejumlah penjahat dan pahlawan, serta seorang
tokoh wanita yang selalu bernasib malang. Anne lega, ketika melihat bahwa
akhirnya tokoh itu berhasil menemukan kebahagiaan.
Clopper, si kuda ajaib, tidak begitu berperan. Ia cuma mondar-mandir naik-turun
panggung, untuk memancing supaya penonton tertawa dan bergembira. Atau mengisi
kekosongan dalam acara. Tugas itu pasti akan dilakukannya dengan sempurna.
Julian dan Dick menonton Sid dan Pak Binks berlatih sendiri. Mereka memilih
suatu tempat yang agak terpisah, di salah satu pojok pekarangan! Aksi mereka
benar-benar kocak. Menari, berlari dan menandak, berbaris lalu tersandung,
terputar-putar, duduk, bangun lalu tidur. Pokoknya ada-ada saja akal Sid dan Fak
Binks supaya penonton terlawa.
"Boleh kucoba topeng kepala itu sebentar, Pak Binks?" Julian meminta. "Boleh,
ya" Sebentar saja - untuk mengetahui berapa beratnya."
Tapi percuma saja. Sid tidak mau mengizinkan. Sedang Pak Binks tidak bisa ikut
memutuskan hal itu. "Pokoknya, aku diperintah begitu," kata Sid. Begitu Pak Binks melepaskan topeng
itu dan kepalanya, dengan segera Sid menyambar dan mengepitnya di bawah ketiak.
"Aku tidak mau kehilangan pekerjaan. Bos sudah mengancam! Kalau kepala kuda ini
tercecer lagi, aku pun akan ikut dicecerkan olehnya! Jadi jangan pegang-pegang
Clopper!" "Anda juga membawanya serta kalau tidur?" tanya Dick. "Membosankan dong - ke
mana-mana harus selalu menjaga kepala kuda itu!"
"Ah, lama-kelamaan terbiasa juga," jawab Sid. "Ya, kalau tidur Clopper selalu
kubawa. Kami bahkan berbagi bantal. Untung Clopper tidak pemah mendengkur kalau
tidur!" "Dia acara yang paling baik dalam pertunjukan kalian," kata Julian nyengir.
"Nanti malam, para penonton pasti terpingkal-pingkal melihat tingkah lakunya!"
"Memang selalu begitu," kata Pak Binks. "Dia anggota The Barneys yang paling
penting. Tapi upahnya yang paling rendah. Sialan!"
"Ya, kaki depan dan kaki belakangnya tidak banyak menerima upah," kata Sid.
"Soalnya, Clopper dihitung satu orang. jadi penghasilannya terpaksa kami bagi
dua. Yah - begitulah kalau sudah nasib!"
Kemudian Sid dan Pak Binks kembali ke lumbung. Seperti biasa, Sid berjalan
sambit mengepit kepala Clopper. Laki-laki kecil itu jenaka. Selain riang, suka
iseng dan bercanda. Sewaktu makan siang, tiba-tiba Julian teringat pada sesuatu.
"Bu Penruthlan," katanya setelah merenung sesaat, "angin kencang tadi malam itu
kan tidak menyebabkan ada kapal terdampar di teluk?"
Istri petani itu tampak tercengang mendengar pertanyaan Julian.
"Tidak, Julian," jawahnya. "Kan tidak mungkin lagi! Dewasa ini, kapal-kapal yang
lewat di sini selalu berlayar jauh ke tengah laut. Kan ada mercu suar yang
memberi isyarat supaya menjauh. Sekarang bila ada kapal yang mau masuk ke teluk,
kapal itu hanya bisa melakukannya pada saat air laut pasang tinggi. Saat itu pun
masih harus berhati-hati sekali, jangan sampai terbentur ke karang! Para nelayan


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenal baik letak karang-karang itu. Sekali-sekali mereka masuk ke dalam
tetuk. Tapi kapal lain, tidak ada!"
Anak-anak lega mendengar keterangan itu. Jadi sinar aneh yang mernancar kemarin
malam ternyata tidak mengakibatkan bencana. Syukurlah!
Mereka mulai makan. Pak Penruthlan juga makan bersarna mereka. Ia makan dengan
lahap, tanpa berbicara sedikit pun. Cuma rahangnya saja yang sibuk bergerak-
gerak. Sukar dipercaya bahwa ia tidak mempunyai gigi untuk mengunyah.
Julian memperhatikan punggung tangan petani itu, penuh ditumbuhi bulu-bulu
berwarna hitam. Ya, tak salah lagi. Tangan itulah yang dilihatnya kemarin malam. Dan bukan
sedang memegang pisau dan garpu, tapi merogoh-rogoh kantong pakaian artis.
Akhirnya malam yang ditunggu-tunggu tiba. Semua sudah siap. Sebuah meja besar
dan kokoh dimasukkan ke dalam dapur. Bu Penruthlan memberikan satu lembar kain
putih yang sangat lebar pada Anne dan George untuk dihamparkan sebagai taplak
meja. "Aku biasa memakainya pada saat pesta panen," kata Bu Penruthlan bangga. "Kami
setalu mengadakan perjamuan makan. Kami memakai meja yang ini juga. Tapi ditaruh
dalam lumbung yang besar, karena tempat ini tidak cukup untuk menampung seluruh
pekerja kami. Sehabis makan semua disingkirkan, lalu kami menari."
"Wah, senang dong!" kata Anne. "Memang untung hidup di pertanian. Selalu saja
ada kesibukan!" "Orang kota, lain pendapat mereka!" kata Bu Penruthlan. "Menurut mereka, hidup
di desa selalu sepi. Padahal di pertanian jauh lebih sibuk daripada di mana pun.
Paling enak hidup di pertanian, begitulah pendapatku."
"Betul, Bu," kata Anne sependapat.George juga mengangguk. Alas meja yang putih
bersih sudah dihamparkan. Indah sekali tampaknya!
"Itu asli," kata Bu Penruthlan. "Warisan nenek moyangku, dan sudah hampir dua
ratus tahun umurnya! Tapi masih putih bersih, dan sedikit pun tak ada tambalan!
Alas meja ini sudah sering sekali menjadi saksi musim panen, jauh lebih sering
daripada taplak mana pun!"
Kemudian anak-anak mengatur piring-gelas dan sendok-garpu di atas meja. Akan
banyak yang ikut makan malam itu. Seluruh rombongan The Barneys diundang makan.
Anak-anak tentu saja ikut duduk di situ. Lalu masih ada satu atau dua orang
desa, yang diminta tinggal untuk membantu-bantu. Wah - pasti akan asyik pesta
makan nanti malam! Sore itu tidak dihidangkan teh. Maksud Bu Penruthlan, supaya anak-anak lebih
berselera pada perjamuan nanti. Dan mereka juga tidak berkeberatan.
"Orang desa sudah mulai datang," seru Julian. Ia berdiri dekat pintu lumbung,
membantu menjual karcis masuk.
"Hore! Pertunjukan akan dimulai! Ayo, silakan masuk! Pertunjukan paling hebat di
dunia. Masuklah berbondong-bondong! Pertunjukan The Barneys sebentar lagi akan
dimulai!" 11. The Barneys dan Clopper
TIDAK lama kemudian lumbung sudah penuh dengan penonton. Sampai terpaksa
ditambah beberapa kotak lagi, untuk tempat duduk anak-anak yang tidak kebagian
tempat. Suasana dalam lumbung sangat meriah. Orang-orang sibuk mengobrol sambil
tertawa-tawa. Anak-anak sudah ada yang ribut bertepuk tangan, tak sabar lagi
menunggu pertunjukan dimulai.
Yan juga muncul, ditemani oleh Timmy. George merasa yakin, Yan berlagak seolah-
olah Timmy anjingnya! Anak kecil itu tampak lebih bersih daripada biasanya. Bu
Penruthlan yang memandikannya!
"Kalau tidak mau mandi, kau tidak boleh menonton," ancam Bu Penruthlan "Dan juga
tidak boleh ikut makan."
Tapi Yan tetap tidak mau mandi. Takut air, katanya!
"Nanti aku tenggelam dalam bak," katanya, sambil cepat-cepat mundur menjauhi bak
mandi. Padahal sudah diisi air oleh Bu Penruthlan.
"Takut ya," kata Bu Penruthlan galak. Diangkatnya anak yang takut air itu, lalu
diceburkannya ke dalam air. Lengkap dengan pakaiannya yang kurnal. "Nah,
sekarang kau boleh lebih takut lagi! Buka pakaianmu! Nanti kucuci setelah kau
selesai mandi. Aduh - bukan main joroknya anak ini!"
Yan menjerit-jerit, sementara Bu Penruthlan sibuk menyabuni, menggosok, kemudian
mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Anak itu benar-benar nekat! Ia mencoba
memukul Bu Penruthlan. Tapi tanpa mengatakan apa-apa, istri petani yang biasanya
periang itu menampar pantat anak itu. Yan langsung terdiam. Sakit rasanya bagian
tubuhnya, yang baru saja berkenalan dengan tangan Bu Penruthlan. Yan lantas
memutuskan untuk tidak menimbulkan kejengkelan Bu Penruthlan, selama ia tak
berdaya dalam air yang ditakutinya itu!
Kemudian Bu Pennithian mencuci pakaian Yan yang sudah sangat kumal, dan
menjemurnya supaya lekas kering. Sementara itu Yan dibungkusnya dalam syal yang
sudah usang. Ia disuruh menunggu dalam keadaan terbungkus, sampai pakaiannya
kering kembali. "Kapan-kapan kau akan kubikinkan pakaian yang pantas," kata Bu Penruthlan. "Anak
nakal. Lihatlah - tubuhmu kurus sekali. Kau perlu kuberi makan banyak-banyak."
Mendengar perkataan makan, tampang Yan langsung berseri-seri. Kalau disuruh
makan, ia selalu setuju. Tapi mandi - lain kali saja deh! Kini ia ikut hadir
dalam lumbung bersama Timmy, menyambut kedatangan para penonton. Ia merasa
dirinya penting. Dan ketika melihat Kakek datang, Yan tidak bisa menahan diri
lagi. Anak itu bersorak-sorak karena girang!
"Kakek datang! Kakek datang! Mula-mula aku tak mau percaya, Kakek akan sungguh-
sungguh datang. Ayo masuk, Kek! Kucarikan tempat duduk, ya."
"Kenapa tampangmu malam ini kelihatannya lain?" tanya pak tua itu agak bingung.
"Aku mandi." kata Yan. Kedengarannya ia bangga. "He-eh! Aku mandi, Kek! Kakek
sebetulnya juga harus mandi."
Kakek mengayunkan tangan, pura-pura hendak menempeleng. Setelah itu Kakek
mengangguk ke kiri dan ke kanan, menyalami orang-orang yang dikenalnya. Kakek
membawa tongkat gembalanya yang besar. Ketika duduk pun, tongkat itu tidak
dilepaskan. "Wah, Kek - sudah hampir dua puluh tahun kita tidak berjumpa," sapa seorang desa
bertubuh besar dan bermuka merah. "Bikin apa saja selama ini?"
"Mengurus diriku sendiri, dan menggembalakan biri-biri," jawab Kakek dengan
lambat-lambat, seperti gaya bicara orang daerah itu umumnya. "Ya, mungkin
setelah ini baru dua puluh tahun kemudian kau akan meihatku di sini lagi, Joe
Tremayne. Dan mau tahu, aku kemari bukan karena ingin menonton pertunjukan, tapi
karena mau makan enak setelah itu."
Orang-orang yang mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Kakek berseri-seri. Yan
memandang kakeknya dengan bangga. Kakek pasti tidak kalah, biar diadu ngomong
dengan siapa pun! "Ssst - pertunjukan akan dimulai!" kata seseorang ketika tampak layar panggung
bergerak-gerak. Seketika itu juga penonton berhenti mengobrol. Semua menatap ke
arah panggung. Layar yang terbuat dari kain gorden biru yang sudah pudar
warnanya, terbentang menutupi panggung.
Dan belakang dekor terdengar biola digesek untuk mencoba nada. Lalu disusul lagu
yang meriah. Layar ditarik tersentak-sentak ke samping. Sebentar-sebentar
tersangkut! Penonton mengembuskan napas panjang. Karena asyik! Mereka sudah sering menonton
pertunjukan The Barneys. Tapi rupanya tidak pemah bosan.
Ketika layar sudah terbuka santa sekali, tampak para anggota rombongan The
Barneys berjejer di atas panggung. Sementara pemain biola semakin gairah
menggesek biolanya, para artis menyanyikan sebuah lagu gembira. Para penonton
ikut nimbrung pada bagian refrainnya. Sedang Kakek mengetuk-ngetukkan tongkatnya
ke lantai, mengikuti irama lagu.
Segala-galanya disambut dengan tepukan tangan meriah. Kemudian terdengar
seseorang berseru nyaring,
"Mana si Clopper" Di mana dia?"
Clopper, kuda serba bisa itu tampil dengan malu-malu. Ia melirik ke arah
penonton. Sikapnya begitu malu-malu kucing, sampai Kakek nyaris terjatuh dan
kursinya karena terlalu keras tertawa.
Biola terdengar lagi memainkan lagu mars. Clopper berbaris, mengikuti irama lagu
itu. Lagu dipercepat, dan Clopper berlari. Musik makin lama makin cepat, Clopper
lari seperti dikejar setan, dan - terjatuh dari panggung.
"Huaaahahaha!" terdengar tawa keras sekali. "Huahahaha!" Begitu keras, sehingga
semua menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata Pak Penruthlan, Petani itu
terbungkuk-bungkuk di tempat duduknya, seperti sedang kesakitan. Padahal ia cuma
geli meihat tingkah Clopper yang kocak.
Clopper juga mendengar suara tawa yang sangat keras itu. Ia lantas mengangkat
satu kaki depan ke belakang telinga, supaya bisa mendengar lebih jelas. Melihat
tingkahnya yang kocak itu, Kakek tertawa terpingkal-pingkal sampai terjatuh dari
kursi. Sementara itu di atas panggung, kaki belakang Clopper terkait ke kaki
depannya, dan ia pun ikut terjatuh. Pertonton tertawa terjerit-jerit melihatnya.
Untung atap lumbung tidak sampai roboh!
"Selesai!" Dan samping panggung terdengar suara memerintah dengan tegas. Julian menoleh,
untuk melihat siapa yang berbicara. Ternyata Bos, yang berdiri dekat tirai
sambil mengawasi jalan pertunjukan. Tampangnya tetap suram - walaupun Clopper
bertingkah dengan jenaka sekali. Kuda ajaib itu segera menuruti perintahnya. Ia
mengundurkan diri, sambil melambai-lambaikan kaki belakang ke arah penonton yang
menyambut dengan tepuk tangan meriah.
Pertunjukan berlangsung dengan memuaskan. Padahal acaranya biasa-biasa saja.
Lelucon-lelucon yang ditampilkan sudah kuno, nyanyian yang diperdengarkan agak
sumbang, sedang tari-tariannya masih kalah dibandingkan dengan tarian anak-anak
perempuan di sekolah. Tapi semuanya dihidangkan dengan riang gembira, konyol dan
menyenangkan, sehingga dan awal sampai akhir, suasana terus-menerus meriah.
Bagi Clopper pertunjukan malam itu benar-benar merupakan saat gemilang baginya!
Setiap kali kepalanya menjenguk sedikit saja ke luar, penonton sudah mulai
tertawa terbahak-bahak. Mereka kelihatannya sama sekali takkan protes, apabila
hanya satu artis yang tampil malam itu. Asal artis itu Clopper! Julian dan Dick
memperhatikan tingkah lakunya dengan kagum. Kepingin sekali mereka diizinkan
mencoba kaki depan dan belakang, serta memasang topeng kepala kuda itu. Mereka
ingin diperbolehkan melawak di atas panggung!
"Sid dan Binks memang hebat, ya?" kata Dick. "Coba kita bisa meminjam pakaian
kuda mereka, lalu tampil dalam malam kesenian Natal di sekolah, Ju! Pasti anak-
anak akan tertawa sampai sakit perut melihat kita. Kita tanyakan saja pada Sid."
"Ia takkan mau meminjamkan kepala itu." kata Julian. "Tapi tanpa kepala pun bisa
saja, asal boleh meminjam kedua pasang kakinya. Pasti kita bisa melawak
dengannya, Dick!" Para penonton merasa menyesal, ketika akhirnya tirai ditarik kembali menutup
panggung. Pertunjukan sudah selesai. Pemain biola memperdengarkan lagu
kebangsaan. Hadirin berdiri semua, lalu menyanyikan lagu itu dengan bersemangat.
"Hidup The Barneys!" Seru seorang anak, diikuti oleh seluruh hadirin. Kakek
melambai-lambai dengan tongkatnya. Tapi lambaiannya agak - terlalu bersemangat.
Tongkatnya membentur tengkuk seorang petani bertubuh besar tinggi.
"Wah, Kek," kata petani itu, sambil mengusap-usap tengkuk, "mau menantang
berkelahi, ya" Jangan deh, Kek - aku tak berani! Siapa mau digaet dengan tongkat
gembalamu yang bengkok ujungnya itu, seperti biri-biri! Pasti aku akan jatuh
terpelanting!" Kakek sangat gembira. Sudah lama ia tak menikmati malam hiburan semeriah itu.
Ada barangkali empat puluh tahun. Ah, mungkin bahkan sudah lima puluh tahun.
Pokoknya sudah lama sekali. Dan sekarang" Dan sekarang hiburan akan ditambah
jamuan makan malam. Untuk itulah sebetulnya ia datang. Akan diperlihatkannya
pada anak-anak muda enam puluhan tahun itu, apa yang namanya makan besar!
Orang-orang desa pulang ke rumah masing-masing, sambil mengobrol dan tertawa-
tawa. Dua atau tiga wanita masih tinggal di situ, untuk membantu-bantu di dapur
Bu Penruthlan sibuk sekali bekerja. Para artis tidak mau repot-repot mengganti
pakaian dulu. Dengan pakaian panggung, mereka langsung pergi ke dapur. Muka
mereka coreng-moreng karena riasan panggung mereka meleleh kena keringat. Hawa
dalam lumbung panas sekali, karena penuh dengan penonton yang berdesak-desakan.
Anak-anak sangat puas malam itu. Mereka tertawa terus melihat kelakuan Clopper
yang kocak, sehingga tubuh mereka sekarang terasa lemas. Mereka juga senang dan
geli menyaksikan drama yang ditampilkan, dengan penuh keluh kesah, erangan,
ancaman-ancaman, serta sedu sedan. Tapi sekarang meneka akan makan enak!
Para artis mengerubungi meja makan, sambil bercanda dan memuji-muji Bu
Penruthlan. Mereka bersikap seperti rombongan anak sekolah sedang piknik -
begitu ramai suasana saat itu.Julian memperhatikan mereka. Alangkah riangnya
para artis itu! Kemudian ia menoleh, mencari-cari Bos. Mestinya saat itu ia juga
sudah bisa tersenyum. Tapi Bos ternyata sama sekali tidak hadir di situ. Julian celingak-celinguk
mencarinya. Tidak - Bos memang tidak ada di dapur!
"Mana Bos?" tanya Julian pada Sid, yang duduk di sebelahnya.
"Bos" Ah, dia sedang menyendiri dalam lumbung," kata Sid, sambil menggasak
makanan yang tertumpuk dalam piring. "Bos tidak pernah mau makan bersama kami.
Bahkan, setelah pertunjukan selesai pun tidak mau! Ia memang senang menyendiri.
Pasti ia nanti akan disuguhi makanan sepiring penuh. Tapi masa bodoh - aku belum
pernah bisa cocok dengan Bos."
"Mana Clopper" Maksudku - topeng kepala kuda itu?" kata Julian lagi. Kepala itu
tidak tampak di samping Sid. "Kautaruh di bawah meja?"
Tidak! Malam ini Bos yang menjaga. Katanya, ia tidak mau kepala itu tertendang-
tendang di bawah meja, atau sampai tersiram kuah," kata Sid, sambil mengambil
makanan lagi. "Wah, Bu Penruthlan memang pandai masak! Kenapa aku tidak menikah
saja dengan wanita seperti dia" Daripada makin lama makin kurus seperti sekarang
ini, menandak-nandak jadi kaki belakang Clopper!"
Dick dan Julian lantas pergi ke lumbung, membawa makanan dan minuman untuk Bos.
Di luar, angin masih kencang. Hujan mulai turun lagi.
"Eh, tidak ada orang di sini," kata Julian, ketika masuk ke dalam lumbung. Ia
memandang berkeliling dengan heran. Baki diletakkannya di atas sebuah kotak.
Kemudian ia melihat secarik kertas disangkutkan ke tirai.Didekatinya kertas itu,
dan ternyata ilu pemberitahuan dan Sos.
"Satu jam lagi kembali," baca Julian. "Sedang jalan-jalan. Bos."
"Yah, kalau begitu kita tinggal saja baki ini di sini," kata Julian. Ketika ia
berpaling henclak keluar lagi bersama Dick, tiba-tiba perhatian mereka tertarik
pada sesuatu. Kaki depan dan kaki belakang Clopper. Keduanya tertegun, karena
serempak mendapat pikiran yang sama.
"Para artis sedang makan, sedang Bos pergi berjalan-jalan sebentar! Jika kami
mencoba kaki itu, pasti takkan ketahuan!"
Kedua anak itu berpandang-pandangan.
"Yuk, kita coba pakaian itu!"
"Tapi cepat," kata Julian, "kau jadi kaki belakang, dan aku kaki depan. Cepat!"
Mereka cepat-cepat mengenakan kedua pasang kaki itu. Julian berhasil memasang
ritsleting sampai hampir seluruh tubuh kuda tersambung. Tapi rasanya belum
serasi kalau kepala tidak ikut dicoba. Mungkinkah dibawa berjalan-jalan oleh
Bos" Mestinya tidak, karena di lumbung kan sudah aman.
"Itu dia di kursi, di bawah syal!" kata Dick. Mereka lantas menderap seirama ke
kursi. Kepala kuda diangkat oleh Julian. Ternyata lebih berat daripada
perkiraannya. Julian memandang sebentar ke sebelah dalam, untuk melihat sampai
di mana kepalanya bisa dimasukkan. Kemudian ia merogoh-rogoh, karena ingin tahu
bagaimana caranya menggerak-gerakkan mata dan mulut kuda itu. Tangannya
menyentuh sesuatu di sisi leher Clopper Semacam tutup yang ada di situ membuka,
dan saat berikutnya rokok berhamburan ke lantai.
"Sialan!" kata Julian. "Tak kusangka Pak Binks menyimpan rokoknya dalam kepala
Clopper. Tolong pungutkan bungkusan-bungkusan yang terserak di lantai, Dick -
akan kumasukkan kembali."
Rokok yang disodorkan oleh Dick dimasukkan ke tempat semula. Sesudah semuanya
masuk, Julian lantas mengatupkan tutup tempat penyimpanan itu kembali. Kemudian
dengan hati-hati dipasangnya kepala Clopper, menudungi kepalanya sendiri. Aneh
rasanya, memakai topeng berat itu.
"Di bagian leher ini ada lubang, untuk melihat ke luar," katanya pada Dick.
"Dengan begitu Pak Binks bisa melihat arah jalannya. Aku semula heran, kenapa ia
tidak terbentur-bentur! Nah, aku sudah siap sekarang. Kepala ini rasanya sudah
terpasang teguh. Nanti kalau kuhitung, satu-dua-satu-dua, kita harus melangkah
seirama. Kita membiasakan diri dulu dengan pakaian Clopper. Setelah itu baru
mencoba berbagai gerak yang lucu. Bagaimana kedengarannya suaraku dari dalam
topeng ini" Lucu tidak?"
"Aneh," jawab Dick, yang berdiri membungkuk membentuk punggung Clopper,
sementara tangannya memeluk pinggang abangnya. "He, bunyi apa itu?"
"Ada orang datang," kata Julian kaget. "Jangan-jangan Bos kembali. Cepat, kita
harus lari ke luar sebelum tertangkap."
Mereka lantas menderap dengan gerakan kikuk ke luar lumbung, tepat ketika Bos
masuk. Nyaris saja kepala rombongan The Barneys itu terpelanting karena
ketubruk. Bos cuma bisa melongo mulanya, tidak segera menyadari bahwa yang lari
ke luar itu Clopper. Tapi kemudian ia berteriak marah, lalu mengejar
"Aku tidak bisa meihat." kata Julian. "Ke mana arah kita" Wah, untung - masuk ke
kandang kosong! Cepat, bukakan ritsleting yang menyambung kedua pasang kaki ini.


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesudah itu kau harus menolongku membuka topeng kepala, karena aku tak bisa
melakukannya sendiri."
Tapi sial - ritsletingnya macet. Dick dan Julian menarik-narik terus, tapi
percuma saja. Kelihatannya malam itu mereka terpaksa berperan terus menjadi
Clopper! 12. Pergi ke Menara "SIALAN!" umpat Julian bingung. "Ritsletinginya macet! Sulit sekali membukanya
dari sebelah dalam. Aduh, bukan main beratnya topeng kuda ini. Aku mesti
berhasil melepaskannya."
Topeng kepala Clopper ditarik-tarik Julian ke atas, supaya terlepas. Tapi entah
bagaimana, topeng itu menyangkut. Julian sampai putus asa. Julian merasa, topeng
itu mungkin baru bisa lepas, kalau kepalanya sendiri juga ikut terlepas!
Kuda itu lantas duduk karena kehabisan tenaga. Bentuknya aneh sekali - kaki
depan bersebelahan dengan kaki belakang! Julian menyandarkan kepala ke dinding
kandang. Napasnya tersengal-sengal.
"Aduh, aku kepanasan sekali," keluhnya. "Ayo, Dick, cari akal, dong! Kita harus
minta tolong. Tapi aku tak berani kembali ke lumbung karena Bos ada di situ.
Sedang dalam keadaan seperti ini, tak mungkin kita bisa masuk ke dapur. Habis
kita ditertawakan orang-orang yang ada di situ. Belum lagi Sid dan Pak Binks,
yang pasti akan marah pada kita!"
"Kita memang tolol tadi," kata Dick, sambil menyentak-nyentak ritsieting. "Uhh!
Aku kepingin tahu, apa gunanya ritsieting konyol ini. Punggungku pegal sekali
rasanya. Kau tidak bisa mengubah cara dudukmu, Ju" Saat ini aku seperti sedang
jungkir balik saja rasanya."
"Kita ke dapur saja sekarang," kata Julian kemudian. Ia berusaha bangkit. Saat
itu Dick juga mencoba berdiri. Hasilnya" Kedua anak itu jatuh bergulingan,
saling menimpa. Mereka mencoba sekali lagi. Ternyata berhasil, walau sikap
mereka goyah. "Ternyata tidak mudah menjadi Clopper," kata Julian, "Mana lubang untuk mata
miring terus letaknya - aku sama sekali tidak bisa melihat!"
Tapi akhirnya Julian berhasil juga membetulkan letak lubang itu. Bergerak
seiring dengan adiknya, ia lantas beringsut-ingsut keluar dan kandang. Dengan
berhati-hati mereka meintasi pekarangan. Julian mengatur irama langkah dengan
suara pelan. Satu, dua, satu dua. Dengan begitu mereka bisa melangkah seirama,
sehingga tidak ada risiko tersandung.
Akhirnya mereka sampai di pintu dapur Mereka ingin mencoba menarik perhatian
seseorang yang ada di dalam, tanpa perlu masuk. Dekat pintu ada jendela yang
cukup besar. Daun jendela menganga, karena hawa dalam dapur sangat panas. Julian
kemudian memberanikan diri memandang ke dalam. Ia ingin melihat, apakah George
atau Anne ada di dekat-dekat situ. Jika ada, ia hendak memanggil mereka ke luar.
Tapi Julian lupa, kepalanya masih tersarung dalam topeng kepala Clopper yang
besar dan kikuk! Ketika ia menjulurkan kepala, topeng itu terbentur keras ke
ambang jendela. Orang-orang yang ada dalam dapur menoleh. Langsung Lerdengar
suara berteriak-teriak. "Ada kuda! Pak Penruthlan, kuda Anda ada yang terlepas!" seru salah seorang
penduduk desa, yang membantu Bu Penruthian di dapur "Kulihat kepalanya di
jendela!" Dengan segera Pak Penruthlan bergegas keluar. Julian dan Dick cepat-cepat
mundur, lalu menderap lari. Boleh juga gaya mereka saat itu! Sudah lebih mirip
gerak kuda! Nah, ke mana sekarang" Pak Penruthlan masih sempat melihat bayangan
mereka bergerak dalam gelap. Ia lantas mengejar.
Kuda palsu itu mempercepat langkah. Bukan satu-dua, satu-dua lagi - tapi
berganti hop- hop-hop! Tapi justru hop-hop-hop ini yang membawa kesialan. Kaki
depan dan kaki belakang tidak lagi berderap seirama. Akibatnya, kaki Julian
tersangkut ke kaki Dick - atau mungkin pula Dick yang menyandung kaki Julian,
pokoknya mereka roboh seperti nangka busuk! Pak Penruthlan bergegas menghampiri
dengan cemas, karena mengira kudanya cedera. Tapi tiba-tiba petani itu tertegun
sambil melongo. "Tarik lututmu dari mulutku!" terdengar suara membentak. Lho! Ada kuda bisa
berbicara"! Kemudian Pak Penruthlan baru menyadari apa yang terjadi. Rupanya ia
berhadapan dengan kuda palsu, yang dipakai oleh dua orang. Tapi siapa" Suara
yang terdengar tadi seperti suara Julian atau Dick. Pak Penruthlan menendang
rusuk kuda itu pelan-pelan.
"Aduh! Jangan tendang!" terdengar suara Dick. "Aku tak tahu siapa itu - tapi
tolong bukakan ritsleting ini! Kami tidak bisa bernapas!"
Gelak Pak Penruthlan meledak! Tapi ia membungkuk dan dengan sekali sentakan
kuat, ritsieting terbuka. Badan Clopper terbagi dua.
Julian dan Dick merangkak ke luar dengan perasaan Lega.
"Wah! Pak Penruthlan rupanya! Terima kasih, Pak!" kata Julian agak malu. "Kami
tadi - anu, ingin jalan-jalan sedikit!"
Pak Penruthlan tertawa lagi, lebih keras dari tadi. Kemudian masuk kembali ke
dapur, untuk melanjutkan makannya. Dick dan Julian lega sekali. Berjingkat-
jingkat mereka kembali ke lumbung, sambil membawa kedua pasang kaki kuda serta
topeng kepala. Keduanya mengintip sebentar ke dalam, lewat jendela. Bos ada di
situ, berjalan mondar-mandir dengan langkah panjang-panjang. Tampaknya sedang
marah-marah. Julian menunggu dulu, sampai kepala rombongan artis itu berjalan ke arah ujung
lumbung yang terjauh dan tempat mereka mengintip. Begitu orang itu sampai di
ujung, cepat-cepat didorongnya pakaian Clopper ke dalam lewat pintu. Dan ketika
Bos berpaling lagi, tahu-tahu ia melihat kostum Clopper! Bos lalu menghampiri,
sambil memandang ke arah pintu yang agak terbuka.
Tapi Julian dan Dick sudah menghilang. Besok saja mereka mengakui kesalahan,
apabila suasana sudah agak reda! Keduanya menyelinap masuk ke dapur. Mereka
kepanasan. Pakaian mereka acak-acakan. Mudah-mudahan saja tidak ada yang
memperhatikan! George dan Anne langsung melihat mereka masuk. George datang menghampiri.
"Kalian habis berbuat apa" Lama sekali perginya! Masih ingin ikut makan, sebelum
hidangan habis?" "Nanti saja kuceritakan," kata Julian. "Ya, kami ingin makan - karena tadi baru
sempat makan sedikit. Perutku keroncongan!"
Pak Penruthlan sudah kembali ke tempatnya semula, menghadapi meja makan. Ia
menuding dengan pisaunya ke arah Dick dan Julian, yang saat itu menempati tempat
masing-masing. "Kok-kok-oo," katanya tak jelas, lalu tertawa. Ia mengucapkan beberapa patah
kata lagi, yang sama tidak jelasnya.
"O, mereka tadi membantu Pak Penruthlan menangkap kuda yang menjengukkan kepala
di jendela," kata Bu Penruthlan sambil mengangguk-angguk. "Kuda mana yang
lepas?" "Clopper!" jawab petani itu dengan jelas. Ia tertawa lagi, keras-keras. Karena
tak ada yang tahu apa yang dimaksud olehnya, maka tidak ada yang mengomentari
kata-katanya. Tapi, Anne dan George langsung mengerti. Keduanya memandang Dick
dan Julian sambil nyengir.
Acara malam itu sangat menyenangkan. Orang-orang merasa menyesal ketika
perjamuan itu berakhir. Anne dan George membantu menumpuk piring-piring kotor,
sementara Julian dan Dick membawanya ke bak cuci. Rombongan The Barneys ikut
menyingsingkan lengan. Suasana di dapur menjadi meriah kembali, orang-orang
bekerja dengan riang gembira.
Akhirnya orang-orang selesai bekerja. Dapur menjadi kosong kembali. Lampu besar
yang ada di situ dipadamkan. Para tamu kembali ke tempat masing-masing.
Rombongan The Barneys kembali ke tempat mereka tidur malam itu.
Sambil beriringan dengan Yan, Kakek pulang ke pondoknya di atas bukit. Ia
berkeluh kesah. "Aku kebanyakan makan," katanya, "pasti malam ini tidak bisa tidur"
"Tak apalah sekali ini, Kek." kata Bu Penruthlan. Setelah para tamu pergi semua,
ia menutup dan mengunci pintu dapur. Istri petani itu memandang berkeliling. Ia
kelihatan capek, tapi bahagia. Ia memang paling senang sibuk berjam-jam,
menyiapkan hidangan yang enak-enak - lalu melihat hidangannya itu dilahap orang
dengan seketika! Bu Penruthlan memang baik hati, pikir anak-anak.
Tidak lama kemudian mereka sudah pulas di tempat tidur masing-masing. Pak
Penruthlan serta istrinya juga sudah tidur. Hanya satu yang masih bangun, yaitu
kucing. Kucing itu tinggal di dapur, mencari tikus. Ia tidak suka jika di dapur
banyak orang. Yang paling disukainya jika tempat itu sunyi sepi. Karena pada
saat-saat begitulah, tikus-tikus mulai bermunculan!
Keesokan harinya cuaca cerah dan panas. Hanya angin yang masih bertiup kencang.
Saat sarapan, Bu Penruthlan mengatakan pada anak-anak, "Hari ini aku akan sibuk
sekali membereskan bekas pesta kemarin, bagaimana jika kalian pergi piknik
dengan bekal sisa makanan kemarin - hm" Kalau mau, kalian kan bisa melancong
sepanjang hari. Kebetulan cuaca sedang cerah, jadi pasti akan menyenangkan!"
Anak-anak tidak perlu disuruh dua kali Julian sudah merencanakan pergi ke menara
tua yang dulu dipakai oleh para pencoleng. Sekarang datang kesempatan untuk
melaksanakan rencana itu.
"Tentu saja kami mau, Bu," jawabnya. "Biar saja George dan Anne yang menyiapkan
bekal piknik, karena Anda kan sudah cukup repot!"
Tapi Bu Penruthlan mana mau menyerahkan tugas menyiapkan makanan pada orang
lain. Ia membekali sekeranjang makanan. Cukup untuk dimakan selusin orang, pikir
Julian ketika melihat istri petani itu sibuk.
Setelah siap semua, anak-anak dan Timmy berangkat. Anjing pertanian yang empat
ekor mengantarkan mereka keluar. Keempat-empatnya berlari-lari dan melompat-
lompat, seakan-akan memancing Timmy agar ia ikut bermain gila-gilaan. Tapi Timmy
tetap berjalan dengan tenang, seakan-ikan hendak mengatakan, "Aku sedang
mengantar anak-anak melancong, jadi tak ada waktu untuk bermain-main dengan
kalian. "Bagaimana jika Yan muncul?" kata George. "Perlukah ia tahu apa yang akan kita
kerjakan hari ini?" Julian berpikir sebentar.
"Tidak, kurasa ia lebih baik tidak ikut. Soalnya, mungkin kita nanti menemukan
sesuatu yang rahasia dan ia lalu menceritakannya pada orang-orang!"
"Betul," kata George. "Kalau begitu jika ia muncul, kausuruh pergi lagi. Aku
sudah bosan melihat anak itu! Untung ia sekarang sudah agak bersih daripada
sebelumnya." Seperti biasanya Yan memang muncul dan dengan langkah yang tak terdengar oleh
anak-anak itu. Anak itu tidak pernah memakai sepatu. Kalau bukan karena tingkah
Timmy, anak-anak takkan bisa tahu bahwa Yan membuntuti mereka. Anjing itu tiba-
tiba berpaling meninggalkan sisi George, sambil menggonggong-gonggong dengan
gembira. George berpaling untuk melihat ke mana anjingnya pergi. Saat itu dilihatnya Yan
berjalan di belakang mereka.
"Julian," desis George, "Yan sudah ada lagi di belakang kita!"
"Hai, Yan," sapa Julian. "Hari ini kau tidak boleh ikut. Kami hendak bepergian
sendiri." "Aku ikut," kata Yan, sambil membuntuti terus. Hari itu Yan kelihatan lebih
bersih daripada biasanya.
"Tidak bisa, Yan," kata Julian lagi. "Pergilah! Mengerti" Pergi! Hari ini kami
tidak ingin melihatmu."
Tampang Yan langsung cemberut. Ditatapnya Anne dengan pandangan berharap.
"Aku ikut, ya?" tanyanya. Tapi Anne menggeleng.
"Hari ini jangan," kata Anne, "lain kali sajalah. Nih, kuberi permen - tapi kau
harus pergi." Yan menerima permen yang disodorkan, lalu berpaling dengan masam. Ia pergi ke
lapangan di tepi jalan, dan tak lama kemudian sudah tidak kelihatan lagi.
Anak-anak meneruskan langkah. Mereka mengenakan baju hangat ketika angin bertiup
semakin kencang. Tiba-tiba Julian mengeluh keras.
"Lega perasaanku jika kita sudah makan siang," katanya. "Keranjang bekal ini
berat sekali!" "Nanti kalau sudah sampai di menara, kita tinggalkan saja barang-barang di
sana," kata Dick. "Sebelum makan siang, sebaiknya kita memeriksa tempat itu
sebentar. Kurasa Bu Penruthlan ingin agar kita makan siang, sore, dan malam di
luar, kalau melihat bekal yang dibawakan olehnya!"
Anak-anak tidak tahu pasti, apakah arah perjalanan mereka benar. Mudah-mudahan
saja begitu! Mereka mempelajari peta daerah itu sebentar. Mereka melihat
sejumlah jalan kecil, yang menurut perasaan mereka menuju ke menara tua itu.
Mereka lantas memilih jalan yang rasanya paling baik ditempuh.
Julian membawa kompas. Alat itu dipergunakan olehnya untuk menentukan arah
sewaktu melintas jalan, memotong lapangan, dan kadang-kadang merintis semak!
Julian merasa yakin bahwa arah langkah mereka sudah benar. Pokoknya, mereka
menuju ke pesisir! "He! Itu ada dua bukit yang berdampingan," kata Anne sambil menuding. "Kurasa
itulah kedua bukit yang kita lihat mengapit menara tua.
"Ya, betul," kata Dick "Kita sudah hampir sampai. Aku ingin tahu orang-orang
dulu lewat jalan mana, ketika menara dan rumah itu masih didiami. Di sini
kelihatannya sama sekali tidak ada jalan menuju ke sana."
Mereka berjalan terus, melintasi sebidang tanah yang tak terurus. Tak lama
kemudian mereka tiba di sebuah jalan sempit yang penuh ditumbuhi semak. Jalan
itu diapit pagar tanaman tinggi, yang menaungi kepala seperti atap layaknya.
"Terowongan hijau," kata Anne senang. "Awas, Ju - jangan sampai tersenggol
rumput jelatang yang gatal itu."
Jalan yang tak terpelihara itu kemudian menikung tajam ke kanan. Dan tak jauh
dan tikungan, tampak menara tua. Anak-anak berhenti berjalan, menatap ke arah
bangunan itu. Dan tempat itulah ada suar memancar lebih seabad yang lampau,
menyebabkan kapal-kapal tersesat dan terjerumus ke dalam bencana. Dan baru saja
dua malam yang lalu anak-anak melihat suar itu memancar kembali.
"Kelihatannya sudah bobrok," kata Dick mengomentari. "Banyak bagiannya sudah
runtuh. Kurasa rumah di bawahnya juga sudah sangat rusak, walau saat ini
bangunan itu tidak bisa kita lihat. Cuma atapnya yang tampak sedikit dan sini.
Yuk - pasti akan asyik kita di sana nanti!"
Menara tua itu ternyata tidak begitu menyeramkan kelihatannya pada siang hari.
Padahal sewaktu Julian dan Dick melihat ada cahaya memancar dan situ pada malam
badai, tampak menyeramkan sekali! Sekarang, bangunan itu kelihatannya hanya
berupa puing-puing. Anak-anak menuju ke tempat itu, meantis semak belukar.
"Kelihatannya sudah lama tak ada lagi yang datang ke tempat ini," kata Julian,
agak heran. Coba kita tadi membawa sabit, rumput ini bisa kita tebas! Sukar
sekali berjalan di tempat ini. Tubuhku sudah gatal-gatal, kena jelatang!"
Akhirnya mereka sampai di rumah yang dituju. Ternyata memang sudah banyak yang
rusak. Pintu-pintu jebol dan engsel, jendela miring-miring dan tak berkaca lagi.
Atap sudah berlubang-lubang. Tanaman mawar liar menjalari dinding, bunganya yang
putih agak menyedapkan pemandangan di situ.Cuma menaranya yang kelihatan masih
kokoh. Itu pun bagian atasnya sudab ada yang runtuh. Julian menerobos masuk
lewat pintu depan. Lantai rumah ditumbuhi rumput liar.
"Di sini ada tangga batu, menuju ke menara," serunya dan dalam. "He - apa ini
yang tercecer di sini!"
"Minyak" kata George setelah memeriksa sebentar "Rupanya ada minyak tumpah,
ketika dibawa ke atas menara dengan kaleng atau di dalam lampu. Julian, kurasa
kita perlu berhati-hati sedikit. Jangan-jangan masih ada orang di sini!"
13. Dalam Menara Pencoleng
MENDENGAR pembicaraan Julian dengan George, Dick dan Anne bergegas menghampiri
tangga batu itu. Minyak" Cuma ada satu kemungkinan! Di atas menara ada lampu.
Keempat anak itu memperhatikan bekas tumpahan minyak di tiap-tiap anak tangga.
"Kita naik ke atas," kata Julian kemudian. "Aku dulu! Hah-hati, tempat ini
kelihatannya sudah sangat rapuh."
Menara itu letaknya di ujung bangunan. Dindingnya lebih tebal daripada dinding
rumah. Satu-salunya jalan ke situ, lewat ambang pintu di dalam rumah. Dalam
menara ada tangga pilin yang terjal, terbuat dari batu.
"Mestinya ini bekas pintu menara," kata Dick, sambil menendang selembar papan
tebal yang sudah lapuk, tergeletak dekat ambang pintu.
"Yang ada dalam menara ini rupany? cuma tangga batu ini! Mungkin dulu tempat
peninjauan." "Atau tempat memberi isyarat pada kapal-kapal yang lewat, supaya terpancing
menuju ke karang lalu terbentur sampai pecah di sana," sambung George. "Aduh,
Tim - kalau jalan jangan mendesak-desak begitu! Nyaris saja aku terjatuh tadi,
karena tangga ini sangat curam."
Sangkaan Dick tadi benar. Menara itu tampaknya yang berisi tangga pilin yang
terjal. Julian yang sampai paling dulu di atas. Terdengar ia tersentak.
Pemandangan dan situ ke arah laut, sangat luar biasa. Sampai jauh ke tengah,
tampak air laut yang biru sekali. Lebih dekat ke pesisir, ombak memecah di atas
gosong karang yang terbenam di bawah permukaan laut, menunggu kapal yang lengah.
Ketika George sampai di atas, anak itu ikut memandang dengan takjub di samping
Julian. Pemandangan dari situ benar-benar sangat mengagumkan. Langit dan laut
seakan bertanding siapa yang lebih biru. Ombak memecah di atas karang, burung
camar melayang-layang dibawa angin kencang.


Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Julian memperingatkan Dick, yang saat itu menyusul naik.
"Hati-hati, jangan bersandar ke dinding," katanya, "karena tampaknya sudah
sangat rapuh." Julian mendorong pinggir atas menara di dekatnya. Begitu terdorong, dinding itu
lang-sung pecah dan jatuh ke dasar menara. Di sana-sini tampak bagian-bagian
yang sudah runtuh lebih dulu, sehingga dinding sekeliling puncak menara
berlubang-lubang. Ketika Anne sampai di atas, segera Julian memegang lengan
adiknya itu. Ia takut kalau secara tak sengaja ada yang terdorong ke dinding,
karena di situ sempit. Ia tidak ingin salah seorang dar mereka jatuh.
George memegang kalung leher Timmy erat-erat. Anjingnya itu disuruhnya berdiri
diam-diam. "Jangan naikkan kakimu ke dinding, Tim," kata George memperingatkan. "Nanti,
tahu-tahu kau jatuh ke kaki menara!"
"Kalian lihat sendiri, tempat ini sangat baik untuk memancarkan sinar suar
malam-malam ke tengah laut," kata Dick. "Dari kejauhan pun masih bisa terlihat!
Zaman dulu, apabila kapal-kapal layar terjebak dalam badai yang mengamuk di
sekitar pesisir ini, mereka pasti bersyukur melihat ada nyala suar yang bisa
dijadikan pembimbing."
"Ya, tapi suar macam apa!" kata Julian. "Suar jahat, yang menipu dan
menjerumuskan mangsanya ke karang yang sudah menunggu! Nanti dulu - aku ingin
mengetahui posisi kita sekarang. Karang itu, apakah yang letaknya dekat teluk
yang kita datangi tempo hari?"
"Kurasa itulah dia," jawab Dick. "Tapi di sekitar sini begitu banyak karang dan
teluk. Sukar untuk mengetahui, apakah itu yang kita lihat sebelum ini"
"Kapal-kapal yang berlayar menuju suar, mestinya kemudian pecah membentur karang
yang di bawah itu," kata Julian, sambil menuding. "Lalu bagaimana para pencoleng
bisa sampai ke sana" Pasti dari sini ada jalan menuju ke tempat itu."
"Mungkin itu yang disebut Lorong Pencoleng?" kata Dick.
Julian memikir-mikir sebentar.
"Entahlah, aku tidak tahu," katanya kemudian. "Menurut pendapatku, Lorong
Pencoleng itu mestinya suatu jalan dari salah satu tempat di darat menuju ke
laut. Pasti itu merupakan jalan yang praktis untuk orang desa. Tidak! Kurasa
kejadian waktu itu begini."
"Bagaimana?" tanya saudara-saudaranya serempak.
"Menurut perkiraanku, dulu kalau ada badai, malam-malam orang yang tinggal dalam
rumah ini naik ke sini lalu memancarkan sinar suar palsu. Tujuannya untuk
memancing kapal yang ada di tengah laut supaya datang mendekat. Dengan
bergairah, diperhatikannya kapal yang berlayar semakin dekat!"
Anak-anak membayangkan kapal itu. George bergidik. Kasihan, kapal yang malang!
"Lalu apabila kapal sudah terbentur karang dan pecah, orang yang ada di atas
menara ini lantas memberi isyarat lagi. Tapi kali ini pada orang yang mengawasi
dan atas bukit di sebelah sana," kata Julian melanjutkan teorinya, sambil
menuding ke arah darat. "Seseorang yang berdiri di tempat ia bisa melihat sinar suar itu. Mungkin sinar
suar dipancarkan terus untuk memancing kapal layat lalu dikedip-kedipkan untuk
memberi isyarat pada pengamat yang berdiri di atas bukit. Isyarat itu berarti,
Ada kapal terempas ke karang. Beritahu kawan-kawan!"
"Hih, seram!" kata Anne. "Kejadian seperti yang kaukatakan itu rasanya
mustahil!" "Memang sulit membayangkan ada orang bisa begitu kejam," kata Julian. "Tapi
kurasa begitulah kejadiannya. Kemudian, orang yang tinggal di rumah ini pergi ke
teluk yang paling dekat dan sini, menunggu kedatangan kawan-kawannya yang
melewati jalan yang satu lagi - mungkin lewat Lorong Pencoleng!"
"Mestinya lorong itu jalan rahasia." kata Dick. "Kurasa yang mengetahuinya cuma
orang desa yang tergolong kaum pencoleng.Bagaimanapun, perbuatan itu melanggar
undang-undang! Jadi mereka perlu bertindak sembunyi-sembunyi. Kita kan mendengar
sendiri cerita Kakek - semua pencoleng yang mengenal jalan itu harus bersumpah
tak akan menceritakannya pada orang lain!"
"Mungkin ayah Kakek yang dulu tinggal di rumah ini, dan pada malam-malam badai
ia naik ke atas menara, untuk menyalakan suar palsu yang dipancarkan ke arah
laut yang sedang menggelora," kata Julian.
"Itu sebabnya Yan mengatakan, ia takut pada menara ini," kata Dick. "Rupanya
anak itu menyangka, ayah Kakek masih ada di sini untuk menyalakan suar palsu!
Tapi kita lebih tahu. Yang menyalakan suar orang lain - seseorang yang bermaksud
jahat!" "Dan jangan lupa, bisa saja orang itu sekarang masih ada di sini!" kata Julian.
Ia memelankan suaranya. "Astaga - betul juga katamu," kata Dick. Ia memandang ke sekeliling menara
sempit itu. "Aku ingin tahu, di mana lampu suar ditaruh olehnya. Di sini barang
itu tidak ada!" "Di tangga tadi, di mana-mana tampak bekas minyak tumpah," kata Anne. "Pasti
lampu itu besar, karena nyalanya harus tampak sampai jauh ke tengah laut!"
"Lihatlah, lampu itu mestinya diletakkan di sini," kata Dick. "Di sini ada
bercak minyak." Anak-anak memperhatikan bercak-bercak berwarna gelap itu. Dick membungkuk, untuk
mencium baunya. "Ya, minyak tanah," katanya.
Sementara itu George memandang ke arah tembok seberang. Ia memanggil ketiga
saudara sepupunya, supaya datang ke tempatnya.
"Di sini juga ada bekas minyak!" katanya. "Aku tahu apa yang terjadi! Begitu ada
kapal mendekat karena terpancing sinar suar palsu, orang yang menjaga lampu
lantas memindahkannya ke tembok sebelah sana. Gunanya untuk memberi isyarat pada
pengamat yang ada di atas bukit, bahwa kapal sudah datang!"
"Betul, itulah yang terjadi di sini," kata Anne. "Tapi siapa yang melakukannya"
Kan tidak ada lagi yang tinggal di sini. Rumah ini sudah bobrok, tidak bisa
didiami lagi. Mestinya orang itu tahu jalan ke sini! Ialah yang menyalakan lampu
dan memberi isyarat."
Setelah itu anak-anak terdiam. Dick menatap Julian. Keduanya mempunyai pikiran
yang sama. Mereka melihat seseorang berkeliaran malam-malam, ketika cuaca sedang
buruk! Mereka melihat orang itu dua kali!
"Mungkinkah orang itu Pak Penruthlan?" kata Dick "Waktu kita keluar untuk
Tujuh Pedang Tiga Ruyung 9 Pendekar Rajawali Sakti 213 Gadis Serigala Rahasia Hiolo Kumala 17
^