Pencarian

Di Gua Kelelawar 1

Lima Sekawan Di Gua Kelelawar Bagian 1


Lima Sekawan Di Gua Kelelawar "Puri ini bisa disamakan dengan bilik benda berharga di bank. Pencuri yang ingin
masuk, terlebih dulu harus menghancurkan pintu atau tembok dengan bahan
peledak," kata Pangeran Penlech.
Ternyata beberapa hari kemudian koleksi jam emas pangeran tersebut lenyap. Para
pencurinya sangat cerdik. Di sana tidak tampak bekas-bekas kekerasan ataupun
pengrusakan, dan jendela maupun pintu masih tertutup dari dalam.
Mengetahui hal ini LIMA SEKAWAN tak tinggal diam. Mereka beraksi kembali,
memecahkan misteri yang aneh ini.
Tetapi diam-diam penjahat sudah mengawasi George dan ketiga sepupunya, dan
penyusuran mereka ke lorong bawah tanah ternyata telah membawa mereka ke dalam
suatu pengalaman yang menegangkan.
Penerbit PT Gramedia Jl. Palmerah Selatan 22 Lt IV
Jakarta Pusat Scan by tagdgn www.tag-dgn.blogspot.com Convert & edited by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
LE MARQUIS APPELLE LES CINQ
by Claude Voilier Copyright ? Librairie Hachette. 1972
All rights reserved LIMA SEKAWAN: DI GUA KELELAWAR
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman
DIE BERUHMTEN 5 IN DER FLEDERMAUSHOHLE
oleh Agus Setiadi GM 84113 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia, Jakarta 1984
Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta Daftar Isi: Bab 1. Berlibur di Kirrin 7
Bab 2. Pencurian di Puri Kuno 15
Bab 3. Anne Melihat Sesuatu 26
Bab 4. Puri Berkshire 36 Bab 5. Pencurian yang Misterius 47
Bab 6. Dilanda Badai 55 Bab 7. Lorong di Dalam Gua 67
Bab 8. Kembali Ke Gua Kelelawar 79
Bab 9. Harta Curian 94 Bab 10. Nyaris Ketahuan 104
Bab 11. Melarikan Diri 119
Bab 12. Penjahat Menghilang! 135
Bab 13. Temuan yang Tak Terduga-duga 145
Bab 14. Penyelidikan di Dalam Gua 154
Bab 15. Ketahuan! 164 Bab 16. Melarikan Diri 181
Bab 17. Bantuan Datang 195
Bab 18. Akhir yang Seru 209
Bab 1 BERLIBUR DI KIRRIN "YAA - lempar kemari, Ju!" seru Dick bersemangat. Kedua tangannya dirapatkan,
siap untuk menangkap bola. Tapi Ia diganggu oleh Timmy. Anjing itu melonjak-
lonjak, ingin merebut bola. Dick memarahinya, "He! Jangan kauloncati aku, Tim!
Kau ini - bisanya cuma mengganggu saja!"
"He, Dick! Jangan seenaknya saja memarahi Timmy, ya!"
Muka George merah padam karena marah. Ia paling tidak senang kalau ada orang
lain memarahi anjing kesayangannya.
Anne, adik Julian dan Dick, cepat-cepat menengahi.
"Aduh, kalian berdua ini - masa hari pertama liburan sudah langsung bertengkar?"
kata anak berwatak lembut itu. "Kecuali itu ayahmu pasti tidak suka jika Ia
sampai mendengar kau marah-marah seperti anak laki-laki, George!"
"Benar katamu itu, Anne," kata Julian sambil tertawa. "Lebih baik kita menikmati
cuaca baik ini, sambil bersyukur bahwa tahun ini kita bisa bersama-sama lagi,
berlibur di Pondok Kirrin."
Seperti sudah sering terjadi, liburan itu Julian, Dick, dan Anne diundang paman
dan bibi mereka - orang tua George - untuk berlibur musim panas di tempat
kediaman mereka di tepi pantai. Paman mereka, Profesor Quentin Kirrin, ilmuwan
yang kenamaan, selalu sibuk mengadakan penelitian. Untuk itu Ia sangat
memerlukan ketenangan. Ia selalu marah kalau terganggu suara anak-anak yang
ribut. Karena itu George serta ketiga saudara sepupunya sama sekali tidak boleh
berisik. George. walaupun anak perempuan, tapi Ia tidak mengenal arti kata takut.
Keberaniannya kadang-kadang sudah menjurus pada sikap nekat. Tapi walau begitu
Ia ngeri kalau menghadapi ayahnya yang galak. Ia selalu menyelinap-nyelinap,
kalau lewat di depan kamar kerja Profesor Kirrin.
George kelihatan mirip sekali anak laki-laki, dengan rambutnya yang berwarna
coklat dipotong pendek. Tingkah lakunya lincah sekali. Ia senang sekali
melibatkan ke dalam berbagai petualangan. Dalam keadaan begitu biasanya Ia-lah
yang paling dulu bertindak. Dick, sepupunya yang sebaya, mirip sekali tampangnya
dengan George. Banyak orang menyangka bahwa mereka itu anak kembar.
"Kita bermain di tempat lain saja!" kata George. "Ayah pasti marah-marah lagi
jika kita sampai mengganggu ketenangannya bekerja, atau kaca jendela kamar
kerjanya kena lemparan bola!"
Anak-anak bergegas pergi. Timmy mengikuti mereka, sambil melonjak-lonjak dengan
gembira. George sangat menyayangi anjingnya itu. Jarang sekali George nampak
sendiri, tanpa ditemani Timmy.
George bersahabat karib dengan ketiga sepupunya. Mereka sudah sering mengalami
berbagai petualangan yang mengasyikkan. Mereka gemar sekali menyelidiki
peristiwa kejahatan serta rahasia yang misterius.
Pondok Kirrin, rumah Paman Quentin dan Bibi Fanny, terletak di atas tebing
pantai, tidak jauh dari desa Kirrin.
Anak-anak selalu sibuk kalau berlibur di situ. Bibi Fanny sangat memanjakan
ketiga keponakannya. Ia merasa senang melihat anak gadisnya yang kadang-kadang
keras kepala bersahabat dengan ketiga saudara sepupunya. Hanya dalam satu hal
Bibi Fanny selalu bersikap tegas. Anak-anak diharuskannya sudah ada lagi di
rumah pada waktu makan. Tentu saja itu jika mereka memang tidak pergi piknik,
atau sebelumnya sudah mengatakan akan makan di luar. Selebihnya, anak-anak bisa
berbuat semau mereka. Pemberian kelonggaran itu sangat menyenangkan anak-anak, karena banyak sekali
yang dapat dilakukan untuk mengisi waktu libur di daerah situ.
Setelah puas bermain bola, keempat remaja itu bermain-main di pantai, naik
perahu milik George. "Yuk - kita ke Pulau Kirrin," kata Dick. "Di sana kita nanti main sembunyi-
sembunyian!" "Hawa begini panas - kau mau main sembunyi-sembunyian?" kata Julian dengan nada
menolak. "Mendingan kita mandi-mandi di teluknya, dan bertanding adu lama
menyelam!" "Setuju!" kata George sambil merengkuh dayung.
Pulau yang mereka datangi itu milik George. Ia bangga sekali pada pulaunya itu.
Orang lain tidak diperbolehkannya mendarat di situ, jika tidak minta izin dulu
padanya. Keempat remaja itu bermain-main dengan asyik di sana. Seperti biasa, ada-ada
saja yang ingin dilakukan oleh George. Julian yang paling tua, berwatak tenang,
dan penuh pertimbangan, berulang kali harus menahan semangat sepupunya yang
selalu menggelora. Berkat Julian, sudah sering mereka terhindar dan bencana.
Tapi di pihak lain, saudara-saudaranya juga mengakui bahwa George memang banyak
sekali akalnya, dan biasanya mengasyikkan!
"Kita masih punya waktu sedikit, sebelum saat makan," kata George sambil
menambatkan perahunya ke dermaga di depan Pondok Kirrin, sepulangnya dari
pulaunya. "Bagaimana jika kita sekarang pesiar sebentar naik sepeda?"
"Ohh" kata Dick sambil mengernyitkan hidung, "aku sudah muak melihat sepeda
bobrokku! Ayahmu kan berjanji membelikan kita sepeda bermotor, jika kita
berprestasi baik di sekolah tahun ini. Tapi kelihatannya itu cuma janji saja!"
"Ya - padahal nilai rapor kita bagus-bagus," sambung Julian sambil mendesah.
"Kalau soal itu, kalian tidak perlu khawatir," kata George. "Ayahku memang
pelupa - tapi ia belum pernah tidak menepati janji!"
Ucapan George itu ternyata benar. Selesai sarapan keesokan harinya, Bibi Fanny
menyapa mereka sambil tersenyum-senyum.
"Ada sesuatu menunggu kalian di dalam gudang," katanya dengan sikap misterius.
"Coba lihat sebentar ke sana!"
Anak-anak bergegas-gegas pergi ke gudang kecil yang dindingnya dijalani tumbuhan
merambat, di samping tempat menanuh perahu. George membuka pintunya dengan
cepat. Wajahnya langsung berseri-seri. Begitu pula halnya dengan ketiga saudara
sepupunya. "Asyik!" seru George. "Ayah menepati janjinya! Sekarang kita tidak perlu lagi
naik sepeda tua - karena sudah mendapat empat sepeda bermotor yang baru!"
"Nanti saja kita mengucapkan terima kasih pada Paman, saat makan siang," kata
Julian. "Kalau sekarang malah hanya dianggap mengganggu saja olehnya!"
"Lihatlah," kata George. Ia berjingkrak-jingkrak dengan gembira. "Bahkan
keranjang pun sudah dipasang di belakang sadelku! Nah, Tim - mulai saat ini kau
tidak perlu lagi capek-capek berlari mengikuti kami!"
"Guk!" gonggong Timmy, seakan-akan mengerti.
"Yuk, kita coba sebentar," ajak Dick. "Coba kautunjukkan cara memakainya, Ju!
Kau kan sudah biasa naik sepeda bermotor!"
Sampai saat makan siang, keempat remaja itu asyik dengan kendaraan baru mereka.
Mereka berputar-putar di pekarangan dengan sepeda bermotor masing-masing. Dan
saat makan siang, Paman Quentin sampai kewalahan mendengar ucapan terima kasih
yang diserukan anak-anak dengan gembira. Sehabis makan mereka langsung berangkat
untuk pesiar. "Mulai hari ini kita bisa melancong ke mana-mana dengan santai," kata George
berseri-seri. "Capek rasanya naik sepeda terus-menerus!"
Bab 2 PENCURIAN DI PURI KUNO SELAMA hari-hari berikutnya anak-anak mendatangi desa-desa di sekitar situ,
naik-turun bukit. Sewaktu kendaraan mereka masih sepeda biasa, belum pernah
mereka melancong sesering dan sejauh itu.
Suatu pagi yang cerah, sehabis sarapan mereka pergi ke kebun untuk merundingkan
tujuan pelancongan yang selanjutnya.
"Bagaimana kalau kali ini kita menuju ke utara," kata Julian mengusulkan. "Di
arah sana banyak yang bisa kita lihat."
"Di selatan juga banyak," potong Dick.
"Sayangnya, kita tidak bisa menuju ke dua arah sekaligus," kata George. "Aku
setuju kalau kita ke utara saja!"
"Aku ke mana saja setuju," kata Anne yang memang biasa menurut saja, karena Ia
paling kecil. "Jadi ke utara!" kata Julian memutuskan dengan tegas. Dick menerima keputusan
itu dengan tampang agak cemberut.
Timmy melolong. Ia tidak suka melihat sepeda-sepeda baru itu, yang meluncur
tanpa perlu didayung tapi berbunyi berisik. Ia lebih suka capek berlari,
daripada disuruh duduk di dalam keranjang di belakang George.
"Ya - aku bisa mengerti, Tim," kata Dick. "Tidak lama lagi otot-otot kaki kami
pasti lemas, karena tidak
perlu lagi menggenjot pedal seperti dulu."
"Otak kita pun tidak bekerja" kata George sambil menyeringai. "Sampai kini belum
nampak misteri yang perlu diselidiki. Kalau begini terus, lama-kelamaan sel-sel
otak kita bisa kering dan berkarat seperti sepeda-sepeda tua kita yang sekarang
menganggur saja di gudang."
"Betul juga katamu itu" kata Julian sependapat. "Sudah lama kita tidak pernah
beraksi lagi, melakukan penyelidikan."
"Kalau kita di sini terus tanpa berbuat apa-apa, takkan mungkin kita mengalami
petualangan baru!" ata George sambil tertawa. Ia duduk di sadel sepeda
bermotornya. "Ayo, Tim! Jangan sok aksi - cepat masuk ke keranjangmu! Hari ini
kita akan mengadakan pelancongan yang jauh!"
Keempat remaja itu meluncur dengan sepeda motor masing-masing. Timmy duduk di
keranjang yang dipasang di belakang sadel kendaraan George. Beberapa waktu
kemudian mereka melihat sebuah puri kuno di kejauhan.
"Kita ke sana, yuk!" ajak Anne.
"Ya. setuju!" seru Dick. "Aku juga suka melihat-lihat bangunan kuno."
Di pinggir jalan terpasang papan pengumuman. Di situ tertera: "Terbuka untuk
Umum" Anak-anak menghentikan kendaraan mereka.
" Bagaimana" Kita masuk?" tanya Julian.
"Yaaa!" seru saudara-saudaranya serempak. Mereka menaruh sepeda bermotor masing-
masing di tempat parkir di halaman luar puri itu, lalu masuk lewat pintu gerbang
yang besar. Di dalam sejuk. Dan gelap!
Anne memicingkan mata, berusaha menembus keremangan yang menyelubungi ruangan
dalam. "Apa sebetulnya yang menarik di sini?" tanyanya setengah berbisik.
Penjual karcis masuk yang duduk di dalam bilik kecil berdinding kaca
memandangnya sambil tersenyum.
"Puri ini dibangun pada abad keenam belas" kata orang itu menjelaskan. "Di
samping mengagumi gaya bangunan serta sejumlah perabot dan masa itu, kalian juga
bisa melihat benda-benda berharga yang dipajang di lemari-lemari kaca - berbagai
perkakas rumah yang indah, jambangan, pending-pending kuno, perhiasan yang
terbuat dari emas dan perak, yang dulu dipakai para putri bangsawan
Inggris....." "Kau dengar itu, Ju" Perhiasan! Yuk - kita masuk!" kata Anne pada abangnya.
Julian tersenyum, lalu berjalan mendului.
Timmy tentu saja tidak mau ketinggalan. Penjual karcis melihatnya, lalu
memanggil anak-anak. "He! Anjing tidak boleh ikut masuk! Ikatkan saja dia di sini, selama kalian ada
di dalam." George memandang orang itu dengan sikap tersinggung.
"Timmy bukan anjing sembarangan, tahu!" tukas. "Ia tidak pernah menggonggong-
gonggong di dalam rumah, dan juga tidak pernah merusak barang-barang. Kecuali
itu aku juga membeli karcis untuknya."
George menghampiri tempat penjualan karcis. Dengan gaya santai diletakkannya
sejumlah uang di depan hidung si penjual, yang hanya bisa melongo saja.
"Yuk, Tim! Seenaknya saja - kau ini disangka apa tadi?" kata George sambil
menyusul ketiga sepupunya. yang sementara itu sudah berdiri di depan sebuah meja
panjang yang rendah. Bagian atas meja itu merupakan kotak. Sisi atas kotak itu
dari kaca. Dick memandang benda-benda yang dipajang di situ sambil menyeringai.
"Inikah yang oleh orang tadi dikatakan perhiasan berharga! Ini semuanya kan
barang murahan!" Julian mengerutkan kening. Ia tidak suka mendengar cara Dick berbicara, yang
dengan seenaknya saja meremehkan. Tapi setelah memperhatikan benda-benda di meja
pajangan selama beberapa saat, ia pun berkata.
"Katamu tadi memang benar. Semua benda yang dipajang di sini merupakan tiruan
belaka, dan bukan benda-benda berharga yang dibangga-banggakan penjual karcis
tadi. Aku sama sekali tidak melihat perhiasan berharga di sini!"
"Mungkin itu dipajang di lemari-lemari yang berikut," kata Anne.
Tapi benda-benda yang dipamerkan pada meja-meja dan lemari-lemari selanjutnya
sama saja seperti yang ada pada meja pertama. Sama-sama bukan barang berharga,
karena merupakan tiruan belaka.
"Aneh." gumam George. Ia memandang ke arah beberapa lemari yang terdapat di
dekat jendela. "Dan lemari-lemari kosong yang di sana itu juga aneh.... Ada
sesuatu yang tidak beres di situ!" Ia menghampiri tempat itu. Tiba-tiba Ia
berseru, "Nah - apa kataku! kuncinya terbongkar - dan ini, kacanya pecah!"
"Ya, pekan lalu puri ini kemasukan pencuri!" kata seorang pengunjung, yang saat
itu kebetulan ada bersama anak-anak di ruangan itu. "Koran-koran penuh dengan


Lima Sekawan Di Gua Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berita mengenai kejadiannya. Seperti yang bisa kulihat sampai sekarang, boleh
dibilang di sini tidak ada apa-apa yang masih disisakan para pencuri itu.
Sebetulnya kita harus memprotes pada pengelola puri ini. Masa untuk melihat
dinding-dinding tua serta lemari-lemari dan meja-meja pajangan kosong saja, kita
diharuskan membayar penuh harga karcis. Itu juga bisa dinamakan pencurian!"
Orang itu pergi sambil mengomel.
"Kalian dengar tidak cerita orang itu?" kata George tersemangat pada saudara-
saudaranya. "Puri ini baru saja kemasukan pencuri!"
"Mudah-mudahan saja polisi berhasil menangkap mereka kemudian!" kata Dick.
"Yuk, kita tanyakan pada penjual karcis di pintu depan!"
Anak-anak mendatangi orang itu, yang memperhatikan Timmy dengan sikap kurang
senang. Tapi ia mau memberi keterangan, ketika anak-anak bertanya padanya.
"Kabar itu memang benar," katanya. "Para pencuri itu kelihatannya cukup banyak
tahu tentang benda-benda kuno. Mereka hanya membongkar lemari-lemari dan meja-
meja pajangan yang berisi perhiasan yang paling berharga dari koleksi di puri
ini. Sedang benda-benda yang tidak ada harganya, sama sekali tidak disentuh.. -
juga benda-benda yang tidak
gampang dijual. Ya harus diakui, para pencuri itu sangat cekatan. Mereka beraksi
dengan bersih, tanpa sedikit pun meninggalkan jejak."
"Tapi polisi kemudian kan berhasil juga membekuk mereka?" tanya Dick. Ia
berkeyakinan bahwa kebenaran pada akhirnya pasti menang.
"Sayangnya sampai sekarang belum" kata penjual karcis sambil mengangkat bahu.
"Para penjahat itu masih tetap berkeliaran dengan bebas. Dan pekan yang baru
lalu ini mereka beraksi lagi. Kalian tidak begitu teliti membaca koran rupanya -
karena kalau kalian cukup teliti, pasti juga membaca bahwa mereka memasuki dua
puri lagi, serta sebuah museum. Para penjahat itu benar-benar berani!"
Kening Julian berkerut, seperti sedang mengingat-ingat.
"Ya, sekarang aku ingat lagi," katanya. "Aku mendengar berita mengenainya
semalam, di radio!" "Polisi kita sebenarnya cukup waspada! Aku jadi heran, kenapa para penjahat itu
sampai begitu berani !"
Anak-anak meninggalkan puri itu, lalu kembali menuju Pondok Kirnin. Enak rasanya
naik sepeda bermotor yang cukup laju. Angin berhembus membelai muka. Mereka
terpaksa berbicara dengan setengah berteriak apabila hendak mengatakan sesuatu,
untuk mengalahkan bunyi mesin serta deru angin.
Begitu sampai di rumah, George buru-buru mengumpulkan surat kabar selama satu
minggu yang lewat, lalu membawa semuanya ke tempat saudara-saudaranya berkumpul.
Dengan segera mereka sudah sibuk meneliti berita mengenai pencurian di purl yang
baru saja mereka datangi tadi, begitu pula di puri-puri lainnya. Perbuatan itu
nampaknya memang dilakukan oleh kawanan pencuri yang mengkhususkan diri untuk
merampok tempat-tempat penyimpanan benda-benda berharga di daerah sekitar situ.
Satu hal sudah pasti. Para pencuri itu sangat berani!
Sampai jauh malam ke empat remaja itu membicarakan peristiwa itu.
Bab 3 ANNE MELIHAT SESUATU CUACA keesokan paginya sangat cerah.
"Kalian tidak ingin piknik di hari seindah ini." kata Bibi Fanny mengusulkan.
"Pasti menyenangkan - sarapan sambil duduk-duduk di rumput, dan setelah itu
mandi-mandi di Ceruk Biara. Tempat itu nyaman. Tidak ada gangguan angin di situ.
Dan juga tidak ada arus yang menghanyutkan."
Keempat remaja itu menyambut saran itu dengan gembira. Mereka memang sangat suka
makan-makan dengan santai, di tengah alam luas.
Mereka pergi ke dapur, untuk membantu Bibi Fanny menyiapkan bekal piknik. Roti
dan makanan lainnya dimasukkan ke dalam keranjang, sedang minuman sari buah
dituangkan ke dalam botol-botol termos. Dick bekerja di samping pesawat radio
yang memperdengarkan musik gembira. Tiba-tiba musik dihentikan. Rupanya ada
berita penting! "Menurut kabar yang baru saja masuk, tadi malam Puri Lanyard yang terletak di
dekat desa Kirrin dimasuki kawanan pencuri yang sudah sejak tiga minggu
belakangan ini merajalela, mencuri benda-benda berharga dari sejumlah museum dan
puri kuno. Lukisan-lukisan berharga yang dipajang di bangsal atas puri itu
lenyap. Para pencuri bekerja dengan sangat cermat lagi. Mereka sama sekali tidak
meninggalkan jejak. Segala instalasi pengaman sama sekali tidak menggentarkan
mereka. Saat ini polisi sibuk melakukan pelacakan yang diharapkan dalam waktu
dekat akan menghasilkan petunjuk-petunjuk yang berguna...."
"Kalian dengar itu?" seru George. "Para pencuri itu beraksi lagi! Rupanya mereka
bertekad hendak menguasai semua harta yang ada di lingkungan sini. Coba aku ini
polisi..." "Kalau bicara, jangan suka sembarangan, George!" kata Bibi Fanny. "Aku mengucap
syukur bahwa polisi di sini bukan kau!"
George mengibaskan tangannya dengan sikap meremehkan.
"Ibu harus mengakui bahwa para penyidik tidak cekatan dalam menangani urusan
ini. Para penjahat bisa berbuat seenaknya, seolah-olah menantang. Kurasa..."
"Jangan begitu, George! Polisi pasti bekerja dengan penuh tanggung jawab,"
potong ibunya dengan serius. "Kau takkan mungkin bisa lebih baik dari mereka!
Tapi para penjahat rupanya licin sekali. Setelah peristiwa pencurian yang
pertama. polisi sudah melakukan penjagaan ketat di jalan-jalan, pelabuhan laut
dan udara, serta di sepanjang pantai. Tapi sampai kini jejak harta yang dicuri
itu belum berhasil ditemukan. Kurasa penjahat menyembunyikan benda-benda itu,
sampai orang mulai melupakan kejadian itu...."
Setelah perbekalan siap dikemaskan, anak-anak berangkat dengan kendaraan baru
mereka. Tidak lama kemudian mereka sampai di sebuah bukit kecil yang ditumbuhi
rumput pendek, dengan semak belukar di sana-sini. Dick mengajak naik sampai
separuh tinggi bukit dan mengadakan piknik di tempat itu. Mereka menurunkan
perbekalan dalam suasana gembira, sementara Timmy sudah asyik lari kesana
kemari, mengejar kupu-kupu dan capung yang banyak beterbangan di situ.
George mulai lagi dengan aksinya, mengatur saudara-saudaranya.
"Anne! Coba tolong hamparkan taplak," katanya. "Tolong bukakan tempat roti, Ju!
Hati-hati sedikit. Dick - tumpah isi botol itu nanti! Ayo, Tim, jangan lari-lari
terus di sini!" "Baik, Tuan Putri!"
"Siap, Nona manis!"
"Beres, Boss!" "Guk, guk!" George merasa diejek, lalu melempar Dick dengan kain lap, sedang sikunya
bergerak membentur pinggang Anne. Julian mengomel terhadap sepupunya yang sok
mengatur itu. Timmy merasa terpanggil untuk membela George yang disayanginya.
Pertengkaran itu berlanjut dengan pergulatan. Keempat remaja itu berguling-
guling di tanah sambil tertawa-tawa, sementara Timmy ikut sibuk. Ribut sekali
suaranya, menggonggong-gonggong.
Ya, liburan memang selalu menyenangkan!
Tidak banyak makanan yang tersisa, ketika anak-anak selesai makan, dibantu oleh
Timmy. Mereka memandang remah-remah yang tersisa. Mereka mendesah kekenyangan.
Kini mereka duduk-duduk dengan lesu di sekeliling taplak. Satu demi satu
merebahkan diri di rumput di bawah naungan belukar.
Jalan yang mereka lalui tadi nampak di bawah bukit, berkelok-kelok menyusur
garis tepi tebing. Di belakang garis tebing terhampar laut yang biru kemilau
diterangi sinar matahari. Saat itu sama sekali tidak ada angin berhembus. Langit
biru cerah, sedikit pun tak berawan. Indah sekali pemandangan di situ!
Anne agak menyesal, kenapa tadi terlalu banyak makan kue tart frambus. Kelopak
matanya kini terasa makin sukar ditahan supaya tetap terbuka. Mata Anne
terpejam. Tapi tidak lama kemudian ia terbangun dengan tiba-tiba. Ia cepat-cepat memandang
berkeliling, untuk melihat apakah saudara-saudaranya tahu bahwa ia tertidur
tadi. Rupanya tidak, karena mereka masih terus mengobrol sambil tertawa-tawa.
Anne bersikap seolah-olah dari tadi Ia asyik mendengarkan obrolan mereka. Tapi
tiba-tiba anak itu terpekik.
Julian terlonjak, kaget mendengar pekikan Anne.
"Ada apa?" "Itu - semak yang di belakang itu - tadi tahu-tahu bergerak!"
"Begitu saja sudah menjerit!" ejek Dick sambil nyengir. "Apa anehnya" Semak itu
bergerak karena daun-daunnya dihembus angin!"
"Tapi saat ini sama sekali tidak ada angin," kata Anne. "Justru karena itulah
aku kaget! Semak itu bergerak, tapi tidak seperti kalau dihembus angin. Kurasa
ada orang di bawahnya!"
"Fantasimu memang benar-benar luar biasa," kata George geli, sambil menggaruk-
garuk tengkuk Timmy yang berbaring memanjang di sisinya.
"Anne kita ini rupanya tertidur, lalu mimpi sedang berada di Negeri Misteri.
Tiba-tiba ia melihat seseorang yang tidak nampak bergerak menerobos semak-semak,
menghampirinya, lalu Ia menjerit sampai kita kaget dibuatnya!"
"Aku sama sekali tidak mimpi tadi!" bantah Anne. "Aku sungguh-sungguh melihat
semak itu bergerak-gerak...."
"Semak yang mana, sih?" tanya Julian ingin tahu.
"Itu - yang agak tinggi di belakang sana.... Nah! Itu, bergerak-gerak lagi. Tapi
hanya sedikit saja! Sungguh, itu bukan fantasiku saja!"
Saat itu Timmy lari sambil menggonggong-gonggong, menuju semak yang dimaksudkan
oleh Anne. Sesampai di situ ia lari berputar-putar mengelilingi semak itu,
sambil menggonggong dengan ribut.
"Tim! Timmy!" seru George memanggil anjingnya. "Ayo, sini! Kenapa lagi kau
sekarang?" "Timmy sudah sinting," kata Dick.
"Ah - dia kan cuma ingin diperhatikan!" kata Julian sambil nyengir. "Atau
mungkin Ia mempercayai cerita Anne!"
"Kurasa Ia menemukan jejak kelinci," kata George. "Kalau aku saat ini tidak
sedang malas karena kebanyakan makan, aku mau saja bangun untuk memeriksa semak
misteriusmu itu, Anne. Mungkin di situ ada liang kelinci!"
"Kelinci mana mungkin mampu menyebabkan semak sebesar itu sampai bergerak-gerak"
bantah Anne dengan sengit. "Aku tetap berpendapat bahwa di situ pasti ada..."
"Ya ya - kau sudah mengatakannya tadi," potong Dick. "Kau melihat seseorang yang
tidak nampak merayap masuk ke dalam liang kelinci. Kau memang hebat - bisa
melihat sesuatu yang tidak nampak! Atau jangan-jangan kau bahkan mampu meramal -
seperti peramal dari Delphi!"
Anne langsung tertarik, ingin mengetahui cerita tentang peramal terkenal dari
masa Yunani kuno itu. Tapi Julian langsung memotong sambil berdiri.
"Kita sudah terlalu lama membuang waktu dengan mengobrol tak menentu. Kita
jangan terlalu lama di sini, jika masih ingin melihat-lihat Puri Berkshire!"
Bab 4 DI PURI BERKSHIRE GEORGE, Dick, dan Anne menoleh dengan heran.
"Kita akan melihat-lihat apa?"
"Puri Berkshire." kata Julian. "Aku sengaja tidak menceritakannya pada kalian
tadi. Sebelum berangkat, aku sempat mempelajari brosur atraksi wisata daerah
sini sebentar. Puri itu satu di antara sedikit tempat kediaman bangsawan di sini
yang selama ini belum dimasuki pencuri. Karenanya aku lantas memutuskan agar
sebaiknya kita lekas-lekas melancong ke situ, sebelum harta yang ada di situ
habis dirampok - seperti puri lain-lainnya."
"Kalau begitu kau rupanya merasa pasti bahwa para penjahat itu tentu akan
mendatangi puri itu pula, Ju?" tanya Dick dengan mata bersinar-sinar.
George pun langsung ikut tertarik.
"Apa sih, barang berharga yang ada di sana?" tanyanya.
"Jam!" jawab Julian singkat. Ia tertawa, ketika melihat saudara-saudaranya
memandang sambil melongo. "Tentu saja harus kutambahkan bahwa kumpulan jam yang
ada di puri itu bukan sembarang jam, tapi terbuat dari emas. Benda-benda
berharga itu merupakan koleksi yang sangat dibanggakan pemiliknya, Pangeran
Penlech!" "Baru sekarang aku mendengar nama puri itu" kata George sambil meloncat ke atas
sadel sepeda bermotornya.
"Puri Berkshire yang dibangun semasa Abad Pertengahan, baru akhir-akhir ini saja
dijadikan tujuan wisata. Dulunya umum dilarang masuk ke sana. Menurut desas-
desus, Pangeran Penlech banyak utang - dan karenanya hidup dalam keadaan serba
kekurangan. Untuk menutupi keperluan hidup, dengan berat hati akhirnya Ia
memutuskan untuk membuka purinya untuk umum, serta memamerkan harta koleksinya."
"Kalau bangsawan itu tidak punya uang, kenapa tidak dijual saja kumpulan jam
emasnya?" tanya Dick.' "Dengan demikian Ia pasti bisa membayar kembali seluruh
utangnya." "Dari seluruh hartanya yang dulu banyak, hanya koleksi jam itulah yang sekarang
masih tersisa!" kata Julian sambil menggelengkan kepala. "Pangeran Penlech tidak
tega melepaskan benda-benda kesayangannya itu dari tangannya. Daripada melakukan
hal itu Ia memilih lebih baik mati kelaparan! Setiap jam dalam koleksi itu ada
sejarahnya sendiri. Satu di antaranya bahkan merupakan anugerah raja."
"Banyak sekali yang kauketahui tentang bangsawan itu," kata Dick tertawa. "Dan
mana saja kau mendapat segala keterangan itu?"
"Tentu saja dari brosur pariwisata yang kubaca tadi!" jawab Julian. "Nah - itu
dia, Puri Berkshire!"
Di depan nampak menjulang sebuah puri kuno berbenteng kekar, dikelilingi parit
pertahanan. "Ini lebih cocok jika disebut benteng!" seru George. "Zaman dulu pasti mampu
menangkis setiap serangan musuh!"
Anak-anak turun dari sepeda bermotor mereka ketika sudah sampai di depan parit,
lalu menuntun kendaraan masing-masing melewati jembatan kuno yang terbentang di
atas air. Di atas gerbang masuk yang berukir indah terpasang papan
pemberitahuan, di mana tertera saat-saat puri itu bisa dikunjungi.
"Bagus!" kata Dick. "Kurasa kita datang pada saat yang paling menguntungkan.
Sekarang masih pagi, jadi rasanya belum ada orang lain di dalam. Dengan begitu
cukup banyak waktu kita untuk melihat-lihat dengan tenang."
Pekarangan sebelah dalam benteng nampak tak terawat sedikit pun. Rumput tumbuh
liar, di celah ubin batu yang sudah retak-retak. Keadaan di situ nampak
berantakan, sama sekali tidak mengandung suasana ramah dan menyenangkan.
"Huhh, suramnya tempat ini!" kata Anne sambil bergidik. "Aku bisa mengerti, apa
sebabnya para pencuri sampai sekarang belum mau kemari. Aku tidak ingin malam-
malam ada di tempat ini. Di sini pasti ada hantu!"
Puri Berkshire sama sekali tidak menampakkan kesan anggun. Malah sebaliknya,
miskin dan menyedihkan. Tapi dalam lemari-lemari kayu berukir terpajang kumpulan
jam yang indah-indah, terbuat dari emas.
"Jam-jam ini pasti mahal sekali harganya!" kata George sambil merenung. "Sedang
penjagaan di sini kelihatannya diabaikan!"
Saat itu juga George berpaling dengan cepat, karena terdengar seseorang menyapa
dari arah belakangnya. "Jangan salah kira, Anak muda," kata orang yang baru muncul itu. "Harta ini aman
sekali, karena aku sendiri yang menjaga. Aku Pangeran Penlech!"
Julian memperkenalkan diri dengan sopan pada bangsawan pemilik puri itu, lalu
memperkenalkan saudara-saudaranya. Sambil tersenyum Pangeran Penlech meminta
maaf pada George, karena menyangka ia anak laki-laki. George tersenyum saja. Ia
malah bangga, jika ada orang menyangka dia laki-laki.
"Tapi koleksi Anda ini tentunya diasuransikan, ya?"
"Sayangnya tidak!" jawab bangsawan itu. "Premi yang harus kubayar untuk
mengamankan diriku dan kerugian jika hartaku ini hilang, terlalu tinggi bagiku.
Aku tidak memiliki uang sebanyak itu. Karenanya koleksiku ini kujaga sendiri,
dibantu pelayanku, Jan."
"Tidakkah itu terlalu sembrono?" sela Dick dengan cepat. Saat itu juga Ia
menyesal, telah mengucapkan kata-kata itu.
"Apanya yang sembrono?" tanya Pangeran Penlech.
"Yah - ini, segala harta koleksi Anda ini dipamerkan dengan begitu saja, tanpa
penjagaan yang ketat. Anda pasti bersikap waspada sekali. Tapi di pihak lain
Anda kan tidak bisa menjaga terus, siang dan malam, bersama pelayan Anda. Anda
kadang-kadang kan juga perlu makan, atau ingin berjalan-jalan sebentar"
Pangeran Penlech tertawa.
"Penjagaan kami tentu saja terbatas pada jam-jam puri ini dibuka untuk umum. Di
luar waktu itu kami tidak perlu repot, karena koleksiku bisa menjaga diri
sendiri dengan sempurna."
George memandang bangsawan itu dengan sikap sangsi.
"Apa maksud Anda?" tanyanya.
Pangeran Penlech membentangkan kedua lengannya, menunjukkan betapa tebal tembok
pun itu. "Puri ini bisa disamakan dengan bilik benda berharga di bank. Pencuri yang ingin
masuk terlebih dulu harus menghancurkan pintu atau tembok dengan bahan peledak.
Jika semua pintu sudah dikunci, aku bisa tidur tenang, tanpa harus takut kalau
ada pencuri masuk." "Tapi para penjahat yang mengkhususkan diri melakukan pencurian di puri-puri,


Lima Sekawan Di Gua Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabarnya sangat cekatan" kata Anne malu-malu. "Anda tentunya juga sudah pernah
mendengar tentang hal itu!"
Pangeran Penlech melambaikan tangan dengan sikap meremehkan.
"Ya, ya - tapi kurasa mereka takkan mau mencoba-coba di sini. Kuulangi sekali
lagi, puri ini sulit sekali bisa mereka masuki. Mereka pasti takkan berhasil!"
George tidak begitu yakin mengenainya.
"Kalau saya jadi Anda, saya akan sangat berhati-hati," katanya pelan.
Bangsawan itu tertawa lagi.
"Kau tidak perlu khawatir, Nona yang budiman," katanya. George mengernyit,
karena tidak suka mendengar sapaan gaya kuno itu. "Aku tidak hanya mengandalkan
ketebalan tembok puri serta kekokohan pintu-pintu ruangan di sini saja! Semua
jalan masuk ke Puri Berkshire dan semua lemari kaca diperlengkapi dengan
instalasi pengaman khusus, yang langsung bekerja begitu ada sesuatu yang
mencurigakan. Jadi kalian tidak perlu memprihatinkan keamanan koleksi jamku,
Anak-anak. Nah - bagaimana jika kalian sekarang kuantar melihat-lihat hartaku
sebentar?" Bersama Pangeran Penlech yang bertindak selaku pramuwisata, keempat remaja itu
dengan tenang melihat-lihat kumpulan jam emas yang jarang terdapat itu. Pangeran
Penlech sangat pandai membangkitkan minat pada benda-benda berharga itu. Ia
menceritakan sejarah berbagai jam antik yang termasuk koleksinya. Segala
kisahnya itu sangat memikat. Anak-anak merasa sangat puas atas kunjungan mereka
ke Puri Berkshire, ketika mereka akhirnya pamitan pada Pangeran Penlech.
Dalam perjalanan pulang anak-anak mampir sebentar di Ceruk Biara dan berenang-
renang di situ. George naik di atas batu yang tinggi, lalu dengan berani terjun
ke dalam air yang dingin. Ia sangat pandai berenang karena dibesarkan di tepi
laut. Saudara-saudaranya tidak ada yang bisa menandingi kemampuannya.
"Pikiranku selalu saja kembali pada koleksi jam tadi," kata Julian setelah
beberapa saat termenung-menung. "Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa dengan
harta terakhir Pangeran Penlech itu!"
"Apakah kau menduga adanya kemungkinan para penjahat nekat itu akan mencoba
mencurinya?" tanya Dick sambil menggoyang-goyangkan tubuh, mengibaskan air yang
menempel. "Kemungkinan itu ada saja!" kata Anne. "Kalau aku jadi bangsawan tadi, aku pasti
tidak bisa tidur nyenyak karena selalu cemas!"
"Tapi Ia tadi nampaknya begitu yakin bahwa takkan terjadi. apa-apa," kata
George. Keempat remaja itu kemudian sibuk berbicara dalam perjalanan pulang,
tentang koleksi jam emas yang sangat berharga milik Pangeran Penlech, begitu
pula tentang pengamanannya yang menurut bangsawan itu pasti sudah memadai.
Ketika mereka tiba di Pondok Kirrin, pembicaraan itu masih belum selesai juga.
Bab 5 PENCURIAN YANG MISTERIUS MALAM itu anak-anak cepat sekali tidur. Mereka sangat capek setelah melancong
sehari penuh. Keesokan harinya mereka masih tidur terus, walau hari sudah agak siang. Akhirnya mereka
dibangunkan cahaya matahari yang mengenai muka. Dengan gembira George meloncat
turun dan tempat tidurnya, lalu membangunkan Anne. Tapi sepupunya itu ternyata
masih mengantuk. Nampaknya sulit sekali untuk membuka kelopak matanya.
"Ayo bangun, Pemalas! Hari sudah siang!"
Saat itu dari arah kebun terdengar suara Julian dan Dick memanggil-manggil.
"He, Anak-anak perempuan! Bangun!"
"Ada kabar baru!"
George bergegas ke jendela.
"Kabar baru?" tanyanya sambil menjulurkan kepala ke luar "Kabar apa?"
"Turun sajalah dulu, nanti kami ceritakan!"
George dan Anne cepat-cepat berpakaian, lalu lari ke bawah. Dick menyongsong
mereka. Ia kelihatannya sangat bersemangat.
"Kami baru saja mendengar warta berita di radio," katanya bergegas-gegas,
"Kalian tahu, peristiwa apa
terjadi hari ini?" "Tepatnya, peristiwa tadi malam" kata Julian yang saat itu datang menggabungkan
diri. "Biar aku menebaknya!" kata George bergairah. "Puri Berkshire kemasukan pencuri,
yang kemudian menggondol jam-jam emas koleksi Pangeran Penlech. Betul?"
"Kau ternyata memang pandai meramal!" kata Julian kagum. Ia tertawa melihat air
muka Dick yang kecewa. "Tebakanmu itu tepat! Tapi memang gampang sih!"
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Anne penuh minat, ketika keempat remaja itu sudah
duduk menghadapi meja makan.
"Itulah pertanyaan yang sedang dipikirkan polisi," tata Dick sebagai jawaban,
sambil mencelupkan rotinya ke dalam cangkir berisi kopi susu. "Sekali ini para
penjahat benar-benar beraksi dengan sangat hebat. Tidak ada yang tahu, bagaimana
mereka sampai bisa masuk ke dalam puri. Kejadian itu merupakan teka-teki yang
misterius!" "Apa maksudmu?" tanya George. Matanya terbelalak karena heran. "Mereka pasti
membongkar lemari-lemari atau memecahkan kaca pelindungnya, kemudian mengambil
kumpulan jam-jam yang disimpan di situ."
"Kalau soal itu sudah jelas. Mereka beraksi tidak setengah-setengah," kata Dick.
"Satu jam pun tidak ada yang tertinggal. Tapi yang menjadi pertanyaan cara para penjahat itu masuk
ke dalam puri. Itu menjadi teka-teki sekarang!"
"Kenapa teka-teki?" tanya Anne.
"Coba kauingat kembali ruangan tempat koleksi itu dipamerkan.... Semua jendela
diperkuat pengamanannya dengan terali besi! Dan batang-batang terali itu, satu
pun tidak ada yang terlepas dan tempatnya. Kecuali itu hanya ada dua pintu di
ruangan itu. kedua-duanya masih utuh, sama sekali tidak nampak bekas dibuka
dengan paksa." "Bagaimana dengan cerobong asap perapian?" tanya George.
"Sudah sejak dua puluh tahun tidak pernah dipakai lagi. Kecuali itu Pangeran
Penlech tidak tahan kena angin. Karena itu lubang cerobong itu ditembok rapat,
atas perintahnya!" "Aneh" gumam George. "Barangkali instalasi pengaman tidak bekerja!"
"Sekali lagi tebakanmu tepat, George! Para penjahat memutuskan kabel-kabelnya,
sehingga alat pengaman itu tidak bisa bekerja."
"Pokoknya, tidak ada orang yang masuk dari luar ke dalam ruang pameran itu!
Setidak-tidaknya, begitulah kesan yang ada saat ini. Bahwa ruangan itu dimasuki
pencuri, hanya bisa dilihat dari kenyataan bahwa koleksi jam yang dipamerkan di
situ kini tidak ada lagi!"
"Ya, betul! Memang - kejadian ini sangat aneh!"
Anak-anak membicarakan peristiwa itu dengan asyik. Mereka bersemangat, karena
kini ada petualangan baru. Suatu teka-teki yang tak terpecahkan, dan kejadiannya
dekat sekali. Mereka sibuk memikirkan kejadian luar biasa itu. Bagaimana pana pencuri sampai
bisa menyikat habis seluruh isi lemari kaca, tanpa meninggalkan jejak sama
sekali" Itu kan tidak mungkin! Biar sedikit saja, tapi harus ada jejak yang
tertinggal - seperti pintu yang dibuka cengan paksa misalnya.
Terdorong rasa ingin tahu, hari itu juga keempat remaja itu datang lagi ke Purl
Berkshire. Sayang sekali, mereka tidak berhasil berjumpa dengan Pangeran
Penlech. Tapi untung Julian kemudian menemukan seorang petugas penyidikan.
Polisi itu mau memberikan keterangan terperinci.
"Para penjahat benar-benar berhasil dengan aksi mereka. Padahal kami sudah sejak
beberapa hari belakangan ini secara diam-diam mengamati puri ini" kata petugas
itu pada anak-anak. "Sekejap pun kami tidak pernah lengah. Tapi sekarang seperti
kalian tahu sendiri, segala kewaspadaan kami itu ternyata tak ada gunanya!"
Anak-anak kemudian pergi lagi. karena tidak berhasil memperoleh keterangan lebih
jauh. *** Tiga hari kemudian, pihak kepolisian masih belum memperoleh kemajuan pengusutan
yang dilakukannya. Berita di radio mengenai kejadian itu, masih tetap sama dari
hari ke hari. Kawanan penjahat yang melakukan aksi pencurian di puri-puri
seakan-akan menghilang, tanpa bekas!
George mengajukan usul, agar Lima Sekawan melakukan penyelidikan pula. Tapi
saudara-saudaranya menanggapi gagasan itu tanpa semangat. Meneka malas berbuat
apa-apa, karena saat itu hawa sedang panas sekali.
"Apakah kausangka kita akan bisa menemukan sesuatu, setelah polisi selama
beberapa hari bekerja dengan sia-sia?" tanya Julian sambil menguap.
Hawa panas saat itu benar-benar melesukan semangat. Kanenanya keempat remaja itu
kemudian memutuskan untuk berpesiar di air, mencari kesejukan.
"Kita berdayung dulu sampai Pulau Kirrin" kata George mengusulkan. "Setelah itu
baru layar dipasang."
Anak-anak berangkat dengan perahu George yang diberi nama "Topan". Mereka
mendayung dengan santai, menjauhi pantai tetuk. Angin berhembus pelan. Langit
yang menaungi berwarna biru cemerlang. Hanya di ufuk yang jauh saja ada dua
gumpalan kecil awan gelap....
Bab 6 DILANDA BADAI GEORGE sebenarnya sangat mengenal segala beluk yang berhubungan dengan laut.
Jika Ia mau menyempatkan diri memperhatikan keadaan langit dan arah angin, sudah
pasti ia akan langsung mengambil sikap berjaga-jaga. Namun saat itu Ia ingin
bersantai-santai. Jadi tidak diperhatikannya pertanda yang
nampak jelas di langit. Malah Anne yang paling dulu melihat bahwa warna laut
nampak berubah. "Lihat!" katanya sambil menuding ke arah laut dari mana ombak berbuih datang
bergulung-gulung ke arah perahu mereka. "Ada buih pada puncak ombak! Dan laut
kini gelap sekali warnanya! Angin juga bertambah dingin rasanya, sedang
hembusannya bertambah kencang dibandingkan dengan beberapa saat yang lalu!"
Dengan cepat langit menjadi gelap tertutup awan yang berdatangan dari berbagai
arah. Layar yang sudah dipasang, menggembung ditiup angin. Dengan sigap George
memutar haluan perahunya.
"Kita harus kembali!" katanya cepat. "Terlalu bahaya jika kita terus. Lebih baik
berhati-hati.." kalimatnya terpotong, karena saat itu terdengar gerakan nyaring.
Tiang layar yang langsung melengkung tertarik layar yang dihembus angin kencang.
"Aduh! Pasti patah deh tiang layar kita!" seru Julian cemas. Seolah-olah
membenarkan kecemasannya, saat itu juga datang lagi hembusan angin kencang.
Terdengar bunyi kayu patah! Untung Dick masih sempat cepat-cepat mengelak. Kalau
tidak pasti sudah tertimpa tiang yang patah. Tiang itu terbanting air dan
menyeret layar. Saat itu terbukti bahwa George sudah berpengalaman menangani
perahu layar. "Dick! Anne! Cepat - condongkan badan kalian ke sebelah kanan! Kita memerlukan
pengimbang!" serunya. "Ju, tolong aku menarik kembali layar ke dalam perahu,
sebelum kainnya basah sama sekali!"
Kalau sedang di laut, Julian dan kedua adiknya tak pernah membantah jika George
mengatakan sesuatu. Mereka tahu bahwa sepupu mereka itu bisa diandalkan, karena
sudah berulang kali membuktikannya. Anne dan Dick mencondongkan tubuh sejauh
mungkin keluar dari sisi sebelah kanan perahu. Anne sebetulnya sangat ketakutan.
Tapi hal itu tidak diperllihatkannya. Setelah berusaha selama beberapa dengan
bersusah payah, akhirnya George dan Julian berhasil menarik layar yang basah ke
dalam perahu. Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara Dick berteriak dengan gugup dan
cemas. "Anne! Anne terjatuh ke dalam air!" teriaknya. Seketika itu juga George
melepaskan layar yang dipegang, lalu bergegas menghampiri. Perahu yang diombang-
ambingkan ombak menjadi oleng karena gerakan yang tiba-tiba itu, lalu berputar-
putar. Geraknya semakin menjauhi tempat di mana Anne menggapai-gapai di dalam
air, berusaha mengapungkan diri setelah terbenam sesaat.
"Berenanglah menyongsong kami, Anne!" seru Julian sambil merapatkan kedua
tangannya ke mulut, membentuk corong. "Kami akan menolongmu!"
Julian meraih dayung, diikuti oleh Dick. Kedua remaja itu mengayuhkan dayung
sekuat tenaga, berusaha menghampiri Anne. Tapi kelihatannya akan sia-sia saja,
karena adik mereka semakin jauh dihanyutkan ombak.
George mengambil keputusan berani. Berenangnya kan hebat! Tanpa berpikir panjang
lagi, ia meloncat ke dalam air - diikuti oleh Timmy! Tindakan itu sebenarnya
sangat nekat, karena saat itu laut sedang bergelora. Tapi George sudah
membulatkan tekad. Apa pun risiko yang dihadapi, Ia harus menyelamatkan
sepupunya! Dick begitu kaget melihat George terjun ke laut, sampai dayung terlepas dari
pegangan. "Jangan gila-gilaan, George! Cepat, kembali!"
Ia begitu panik, sehingga tidak sadar bahwa gerak-geriknya membahayakan
kedudukan perahu. Suatu ombak yang jauh lebih besar dari yang datang sebelumnya
mengangkat perahu yang sedang oleng itu, lalu menghempaskannya kembali sehingga
langsung terbalik. Tahu-tahu Dick dan Julian pun sudah menggelepar-gelepar di
dalam air. Kini semua berjuang mati-matian, melawan laut yang sedang mengamuk. Nyaris tidak
mungkin mereka berenang dalam keadaan seperti itu. Entah beberapa kali saja
mereka terbenam, dilanda ombak besar yang menimpa. Anne sudah banyak menelan
air. Anak itu semakin lemas....
Saat itu dilihatnya Timmy yang berenang ke arahnya. Anjing itu sudah dekat
sekali padanya. Anne mendengar suara George berseru memanggil-manggil , "Anne!
Tabahkan hatimu - aku datang!"
Tapi Anne sudah tidak kuat lagi. Anak itu pingsan, bergerak-gerak seperti boneka
dimainkan ombak. Melihat keadaan itu Timmy cepat-cepat mencengkeram rambut Anne
dengan moncongnya, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga kepala anak yang
sedang tidak sadarkan diri itu berada di atas air. Usaha anjing yang setia itu
nyaris gagal, karena rambut Anne yang halus setiap kali meluncur lepas dari
cengkeraman moncongnya. Tapi Timmy memang anjing yang cerdas. Disadarinya bahwa Ia harus memegang Anne
dengan cara lain. Dilepaskannya rambut anak itu, lalu disambarnya kemeja Anne.
Tapi pegangan ke situ pun tidak cukup kokoh, karena kain kemeja Anne yang tipis
sudah hampir robek. Timmy terpaksa melonggarkan cengkeramannya. Tapi dengan
begitu Anne mulai terbenam lagi ke dalam air....
George berenang menghampiri dengan napas tersengal-sengal.
"Pegang yang kuat, Tim!" serunya, lalu meraih Anne yang tetap belum siuman.
Sambil menyeret sepupunya itu, George kini berenang, ke arah pantai. Tapi pantai
masih jauh sekali! Beberapa saat kemudian Julian sampai di tempat itu, sementara Anne siuman
kembali. Matanya terkejap-kejap.
"Berpeganglah pada kami berdua!" seru Julian sambil membantu George menyeret
Anne. Anne menurut. Ia berpegangan pada Julian dan George, sambil berusaha
mengapungkan diri dengan jalan menggerak-gerakkan kaki. George merasa lega
karena bebannya kini berkurang, sehingga Ia bisa berenang lebih cepat. Sementara
itu Dick pun sudah datang.
"Pantai ada di sebelah kanan!" teriaknya, berusaha mengalahkan suara angin yang
menderu-deru. "Jangan ke sana!" balas George sambil berteriak pula. "Arus di sebelah situ
terlalu deras. Kita tak mungkin bisa melawannya. Kita harus membiarkan diri
dihanyutkan arus. Jangan buang-buang tenaga! Kita menghampiri pantai dengan arah
condong! Mudah-mudahan kita masih tahan selama itu, karena badai semakin
menggila!" George memang benar. Sementara ombak makin meninggi, langit yang gelap berulang
kali menjadi terang-benderang karena sambaran kilat. Bunyi guruh bertalu-talu.
Hujan turun seperti dicurahkan dan langit.
Julian dan George gemar berolahraga. Jadi tubuh mereka terlatih baik. Tapi saat
itu mereka harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada supaya bisa bertahan terus
dan tidak tenggelam. Dick menggantikan George, supaya sepupunya itu dapat agak
beristirahat sebentar. Gigi Anne gemeletuk kedinginan. Ia nyaris tidak mampu
lagi bertahan, tetapi ia tetap berusaha jangan sampai pingsan kembali. Mereka
berenang terus, bermenit-menit yang dirasakan seperti benjam-jam, beringsut-
ingsut menuju pantai. "Sebentar lagi kita sampai!" seru Dick membesarkan hati.
Timmy yang pertama-tama menjejakkan kaki di pantai. Atau tepatnya, ia yang
paling dulu naik ke atas sebuah batu besar yang terdapat di kaki tebing curam.
Saat pasang surut di tempat itu ada jalur pantai sempit beralas kerikil. Tapi
pantai itu kini tidak nampak, karena laut sedang pasang naik. Mereka harus
menunggu paling sedikit satu jam lagi sampai badai reda dan pasang mulai surut
kembali. Kalau itu terjadi, barulah mereka bisa naik ke darat.
"Kita pasti sakit, jika berdiri terus di sini dengan pakaian basah," kata
Julian, setelah napas mereka mulai biasa lagi.
"Mau ke mana kita, jika tidak di sini terus." kata Dick sambil mengangkat bahu.
"Jalan ke atas menyusur dinding tebing terlalu berbahaya untuk dilalui dalam
cuaca seperti ini."

Lima Sekawan Di Gua Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita harus banyak bergerak, agar tubuh menjadi hangat," kata George
mengusulkan. Anne masih sangat lemas. Ia terkulai di atas batu, untuk memulihkan kekuatan.
Sementara itu anak-anak yang lain berjalan mondar-mandir, untuk memanaskan
badan. Kemudian mereka menghampiri kaki tebing, karena sepertinya mereka melihat
suatu gua di situ. Mereka ternyata tidak salah lihat. Dan dengan segera mereka sudah sampai di
mulut gua itu. Dari jauh, gua itu sama sekali tidak mengesankan nampaknya. Tapi
sesudah dimasuki, ternyata cukup lapang! Suasana di dalamnya agak aneh, yang
disebabkan oleh sinar pendar yang berasal dari ganggang dan lumut yang
mengandung fosfor. Seluruh dinding gua diterangi cahaya aneh itu. Lebih jauh ke
dalam gua terdapat semacam genangan air, yang juga memancarkan sinar samar.
Julian, Dick, dan George merasa seolah-olah memasuki alam dongeng - begitu ajaib
perasaan mereka saat itu.
"Yuk, kita periksa tempat ini," kata George mengajak. "Sambil menunggu pasang
surut." "Setuju!" kata Julian, sementara Dick mengangguk.
"Di dalam sini kita terlindung dari angin dan hujan." Julian menjengukkan kepala
ke luar, memanggil Anne, "Anne! Cepat kemari! Kita hendak memeriksa gua ini!"
Anne datang, dan berlima mereka masuk ke dalam gua. Mereka harus sangat berhati-
hati melangkah, karena batu yang merupakan dasar tempat itu licin berlumut.
Hujan masih turun terus di luar. Tapi di dalam gua hangat. Hawa panas sebelum
badai rupanya tertahan di situ. Anak-anak merasa senang, karena dengan begitu
pakaian mereka bisa lekas kering.
"Tapi sebaiknya kita buka saja pakaian kita, supaya jangan masuk angin," kata
Julian. Anak-anak yang lain mengikuti sarannya.
"Dan sekarang..." Dick hendak rnengatakan sesuatu, tapi terpotong oleh
gonggongan Timmy. "Kurasa Timmy menemukan sesuatu!" kata George sambil menunjuk ke arah anjingnya,
yang sudah masuk lebih jauh ke dalam gua.
Keempat remaja itu bergegas menyusul. Timmy masih terus menggonggong-gonggong,
sambil melonjak-lonjak di depan George. Rupanya Ia hendak memperlihatkan sesuatu
pada tuannya. Bab 7 LORONG DI DALAM GUA ANAK-ANAK memeriksa tempat itu. Mereka menemukan suatu lubang pada dinding gua.
Tadi tidak kelihatan, karena agak tertutup oleh batu yang menonjol ke luar.
"Ini pasti lorong bawah tanah!" seru Dick bersemangat. "Mungkin lewat lorong ini
kita bisa naik sampai ke atas tebing. Kalau benar begitu, kita tidak perlu
menunggu laut surut kembali!"
, "Hmm!" gumam Julian. Dengan hati-hati Ia menjulurkan kepala masuk ke dalam
lorong sempit itu. "Tapi kita tidak membawa senter untuk menerangi jalan yang
harus kita lalui nanti!"
"Aah - kita pasti masih bisa melihat!" kata George bersemangat. "Yuk, kita
masuk! Aku ingin tahu, sampai di mana kita nanti!"
"Hhh - perasaanku agak seram!" kata Anne terus terang sambil bergidik. "Entah
apa saja yang menunggu kita di dalam situ. Kecuali itu kita juga tidak tahu,
apakah langit-langitnya cukup kokoh. Jangan-jangan runtuh, saat kita berada di
dalam. Dan jangan-jangan di dalam juga ada..."
"Ada labah-labah raksasa, tikus besar, perampok, hantu, pembunuh, serigala,
gergasi!" kata Dick menyambung kalimat adiknya, sambil menirukan suara Anne yang
seperti mau menangis. "Jangan kauganggu adikmu, Dick!" tukas Julian.
"Sudahlah, tunggu apa lagi! Kita masuk saja" kata George sambil menyusup masuk
ke dalam lorong sempit itu, diikuti oleh Timmy. Ternyata lorong di sebelah dalam
lubang itu lumayan lebarnya. Hawa di situ pun tidak pengap. Jadi pasti tidak
buntu. Keempat remaja itu melangkah dengan hati-hati. Setelah berjalan beberapa
meter, mereka sampai ke suatu percabangan. Cabang sebelah kanan condong ke
bawah, masuk ke dalam bukit. Sedang yang kiri landai, menuju ke atas.
"Kurasa sudah jelas jalan mana yang harus kita ambil," kata George tanpa lama-
lama berpikir. "Karena tujuan kita ingin sampai di atas tebing ini, kita harus
mengambil lorong sebelah kiri."
"Tapi lorong ini lebih sempit," kata Julian sambil membanding-bandingkan. "Pasti
jauh lebih sukar kita melewatinya nanti."
Tapi jika lorong yang lebih lapang di sebelah kanan ini menuju ke perut bumi,
aku memilih lebih baik bersempit-sempit lewat lorong kiri," kata Dick sambil
tertawa. "Bagaimana kalau kita menunggu sampai air laut sudah surut dulu, lalu kita naik
lewat jalan di dinding tebing di luar," kata Anne dengan suara lirih.
"Wah, bisa mati kedinginan aku nanti, jika masih harus menunggu begitu lama,"
kata George. "Aku ingin cepat-cepat sampai di rumah lalu mengenakan pakaian
kering. Kecuali itu kita juga harus memberi tahu Patroli Penjaga Pantai, agar
perahuku diselamatkan. Nah - coba lihat, Timmy juga memilih lewat torong sebelah
kiri. He, Tim! Tunggu kami!"
Timmy memang memilih lorong sebelah kiri, yang mengarah ke atas. Julian
berpendapat bahwa naluri hewan bisa dijadikan andalan.
"Baiklah! Kita ikuti dia! Yuk, Anne - kau tidak perlu merasa cemas!"
Anak-anak terpaksa berjalan satu-satu di dalam lorong sempit itu. Mereka tidak
bisa cepat, karena lantai di situ tidak rata, lagi pula licin. Berulang kali
mereka nyaris terpeleset karena menginjak batu berlumut. Beberapa kali Anne
terpekik karena kaget dan ketakutan. Sinar pendar yang memancar dari dinding
lorong lembab itu tidak memadai, sehingga anak-anak hanya secara samar-samar
saja bisa melihat keadaan lorong.
Tiba-tiba George berhenti melangkah.
"He! Kenapa kau berhenti, Tim?" serunya. Timmy membalas dengan gonggongan yang
bernada peringatan. "Ada sesuatu yang tidak beres rupanya," kata George berbisik sambil menoleh ke
belakang. "Ada apa" Aku tidak melihat apa-apa di depan," balas Dick sambil menjulurkan
kepala, berusaha melihat lebih jelas.
George memanjangkan kakinya ke depan, meraba-raba tanah dengan ujung kaki.
Dengan segera Ia berseru kaget, "Wah Terima kasih Tim a kau memang anjing yang
cerdik dan setia. Untung ada kau yang memberitahu kami. Coba kalau tidak - Di
depan sini, di dasar lorong ada lubang menganga! Coba tidak diperingatkan Timmy
tadi, kita pasti sudah terperosok ke dalam!"
"Lebih baik kita kembali saja," kata Anne cemas.
"Kenapa harus kembali?" tukas George. "Kau kan melihat sendiri tadi, bahwa Timmy
selalu waspada. Jangan khawatir, kita pasti bisa melewati lubang ini!"
Sambil berkata begitu, George merapatkan diri ke dinding lorong, lalu bergerak
maju sambil beringsut-ingsut. Kakinya yang berada di depan meraba-raba lantai.
Ternyata lubang yang menganga di depan itu tidak sampai ke dinding. Jika
berhati-hati, mereka bisa lewat dengan jalan merapatkan diri ke tepi.
Setelah berhasil melewati lubang dengan selamat, anak-anak meneruskan
perjalanan. Lorong bertambah terjal ke arah atas, sehingga anak-anak harus
berjalan terbungkuk-bungkuk. Di beberapa bagian bahkan harus merangkak. Lama
sekali rasanya mereka menelusuri lorong gelap itu.
"Hore!" George yang berjalan di depan, tiba-tiba berseru dengan gembira."Kita
berhasil!" "Ya, betul di depan kita lorong tidak begitu gelap seperti selama ini!"
"Aku melihat lubang di depan. Bisakah kita keluar lewat situ?"
"Rasanya bisa, karena lubang itu cukup lebar." Lorong yang mereka lewati menjadi
lebar. Kini anak-anak berada di semacam lorong berbentuk bulat. Lorong itu
kelihatannya buatan manusia, karena nampak bekas tatahan di dindingnya. Lubang
yang nampak tadi berada di atas kepala mereka. Cahaya terang masuk lewat lubang
itu, yang tidak begitu tinggi Ietaknya. Julian menjulurkan lengannya ke atas
berpegangan pada tepi lubang. Ia menjunjung tubuhnya, dan sesaat kemudian sudah
berada di luar." "Aduh!" serunya. "Lubang ini ternyata terletak di tengah semak yang daunnya
berduri!" Dick menghembuskan napas lega, ketika semua sudah sampai di atas.
"Jauh lebih enak rasanya, berada di luar Yang berhawa segar!" katanya.
"Hujan juga sudah berhenti" sambut Anne.
Pasangan Naga Dan Burung Hong 8 Tusuk Kondai Pusaka Liong Hong Po Cha Yan Karya S D Liong Pendekar Aneh Dari Kanglam 3
^