Pencarian

Di Gua Kelelawar 2

Lima Sekawan Di Gua Kelelawar Bagian 2


George memandang berkeliling sambil mengerutkan kening.
"Apakah kalian tidak merasa seperti sudah pernah melihat tempat ini?" katanya
dengan tiba-tiba. Julian ikut memperhatikan sebentar.
"Ya - betul!" katanya. "Kita kini berada di atas, tebing, tepat di lereng bukit
tempat kita mengadaka piknik baru-baru ini. Ya, sekarang aku ingat lagi!"
"Dan aku ingat kembali pada semak yang waktu itu kulihat bergerak-gerak," seru
Anne yang berdiri di sampingnya dengan bersemangat. "Kita tadi keluar dari
lubang, tepat di tengah semak itu!"
"Aku tadi juga sudah menduga begitu," kau George. Air mukanya merah karena
bergairah "Ternyata waktu itu kau tidak salah lihat, Anne. Sewaktu kau melihat
semak itu bergerak-gerak, pasti ada orang meringkuk di dalamnya. Seseorang yang
hendak keluar dari lorong bawah tanab tadi, tapi tidak jadi - karena waktu itu
ada kita!" Mata Anne terbelalak mendengar kata-kata itu. "Jadi menurutmu, sebelum kita
sudah ada orang lain yang mempergunakan lorong tersembunyi itu?" tanyanya.
Dick menertawakan adiknya.
"Itu kan sudah jelas! Ketololanmu kadang-kadang keterlaluan, Anne! Apakah kau
menyangka bahwa kitalah yang pertama-tama memasuki lorong itu tadi."
"Tentu saja tidak - karena lorong bulat di bawah lubang tempat kita keluar tadi
jelas dibuat orang,"jawab Anne sambil menggeleng. "Tapi walau begitu rasanya
masih aneh juga... Apa sebabnya orang yang berada di bawah semak itu tidak
keluar ketika aku berteriak melihat semak bergerak-gerak?"
"Kau ini memang tidak punya daya khayal sama sekali, Anne," desah George,
seakan-akan bingung menghadapi sepupu yang begitu polos. "Jika orang yang tak
dikenal itu tidak berani muncul, maka tentunya karena ia tidak ingin kelihatan
oleh kita!" "Dan barang siapa tidak ingin dilihat orang, pasti dia mempunyai maksud jelek!
Atau menyembunyikan suatu rahasia," kata Dick menambahkan. "Nah, sekarang sudah
mengerti?" Anne bergidik. Ia merasa seram.
"Maksudmu... orang tak dikenal itu mungkin berniat jahat... mungkin Ia pencuri
atau..." "Pembunuh, atau hantu, atau mungkin juga serigala." kata Dick mengejek. "Kau ini
sungguh-sungguh keterlaluan. Sedikit-sedikit, langsung ketakutan! Heran, punya
adik yang begitu pengecut seperti kau!"
"Ah - kurasa orang itu mungkin pemburu liar, yang tidak ingin ketahuan," kata
Julian mencampuri. "Nah, sekarang kita harus cepat-cepat pulang. Kalau masih
berlama-larna di luar, nanti kita semua terserang radang paru-paru. Cepat,
kenakan pakaian, walau masih basah!"
Anak-anak pulang ke Pondok Kirrin, dengan tekad akan menyelidiki lorong
misterius itu begitu ada kesempatan baik.
Bab 8 KEMBALI KE GUA KELELAWAR PAGI-pagi keesokan harinya ada kabar baik. Patroli Penjaga Pantai berhasil
menemukan perahu milik George
yang terbalik, lalu menyeretnya ke Kirrin untuk mengembalikan kepada pemiliknya.
George meloncat-loncat senang mendengar berita itu.
"Hebat!" serunya. "Padahal kusangka perahuku itu pasti sudah lenyap untuk
selama-lamanya. Untung ditemukan kembali! Nasibku memang mujur - perahuku itu
boleh dibilang sama sekali tidak mengalami kerusakan. Hanya tiangnya saja yang
kuganti dengan yang baru!"
Sebaiknya kaubiarkan kering dulu" kata Julian menyarankan. "Nanti kalau sudah
kering bisa kita cat lagi kalau kau mau, tentunya!"
George langsung setuju. Saat itu minatnya sedang tertuju pada gua misterius yang
ada di kaki tebing. Ia ingin tahu, rahasia apa saja yang terkandung di dalamnya.
Karenanya urusan perahu harus menunggu dulu.
Tidak lama kemudian keempat remaja itu berangkat untuk mengadakan penjelajahan
di dalam gua, diikuti oleh Timmy. "Aku ingin tahu apa tepatnya yang ada di situ," kata George sambil berjalan.
"Jika ada orang lain yang mempergunakan lorong bawah tanah itu secara sembunyi-
sembunyi, itu kan mencurigakan! Kita harus berusaha menyelidiki niatnya!"
Lorong itu kan menghubungkan pantai dengan puncak tebing curam," kata Dick.
"Mungkin orang yang tak dikenal itu termasuk komplotan penyelundup!"
"Ah, jangan suka mengada-ada," potong Julian. "Kalau mengkhayal, ingat kenyataan
dong!" "Mungkin jawaban yang dicari sederhana saja," kata Anne mengajukan pertimbangan.
"Mungkin lorong itu merupakan jalan pintas biasa bagi orang-orang sini, yang
mengenal jalan itu!"
"Tapi kalau begitu, apa sebabnya orang tak dikenal itu bersembunyi?" desak
George. "Dan jangan lupa, di
samping lorong yang kita lewati, kan ada lagi loronglai n yang mengarah ke
bawah, masuk ke dalam bukit! Aku ingin tahu, di mana ujung lorong yang satu
itu!" Sesampai di bukit kecil tempat mereka berpiknik beberapa hari yang lalu, keempat
remaja itu turun dari sepeda bermotor masing-masing, lalu menyembunyikan
kendaraan-kendaraan mereka itu di dalam semak yang ng lebat. Setelah itu mereka
menuju ke semak tinggi berdaun tajam, yang menyembunyikan lubang masuk ke dalam
lorong misterius itu. Anak-anak semua membawa senter, karena mereka niat hendak melakukan penjelajahan
secara cermat. Seperti biasa, George tidak mau menunggu lama-lama. Ia cepat-
cepat lari ke semak itu. Tangannya terulur, hendak menyibakkan ranting-ranting
yang menghalangi. Tapi tahu-tahu ia tertegun.
Timmy menggeram-geram. "Sssst!" desis George sambil menoleh ke arah ketiga sepupunya. "Jangan bersuara!
Aku mendengar sesuatu di dalam. Rupanya ada orang datang!"
Keempat remaja itu menajamkan pendengaran mereka, dengan jantung berdebar keras.
Apakah yang akan terjadi"
Siapakah yang sesaat lagi akan muncul dan lubang tersembunyi itu"
Tiba-tiba nampak sesuatu yang bulat dan berbulu lebat, melesat lari dari tengah
semak. Dengan segera Timmy mengejarnya. Kelinci! Seekor kelinci yang sangat
besar! Anak-anak tertawa dengan perasaan lega.
"Timmy!" panggil George. "Ayo, sini! Tidak tahu malu, menakut-nakuti kelinci
malang itu!" Timmy kembali sambil mengibas-ngibaskan ekor, sementara kelinci tadi melompat-
lompat meninggalkan tempat itu.
"Wah - aku tadi ketakutan sekali" kata Anne berterus terang.
"Hmm" gumam George, "kita sudah terlalu banyak membuang waktu karenanya. Yuk,
kita mulai saja sekarang!"
Keempat remaja itu masuk ke dalam lorong bulat yang ada di bawah lubang Timmy
tentu saja harus dibantu, diturunkan oleh Julian, sementara George menyambut
dari bawah. Setelah semua sudah ada di dalam, Julian menyalakan senternya lalu
mulai berjalan. Anak-anak yang lain tidak menyalakan senter, karena diperlukan
sebagai cadangan kalau baterai Julian sudah habis nanti.
Mereka berjalan beriring-iring. Cahaya senter ternyata cukup terang untuk
mengenali letak lubang berbahaya yang menganga di lantai lorong. Lubang itu
kelihatannya dalam sekali.
Dick mengambil sebongkah batu dan menjatuhkannya ke dalam lubang. Saat itu juga
ia mulai menghitung. Sampai hitungan ketujuh, barulah terdengar bunyi batu
mengenai dasar. "Astaga!" desisnya kagum. "Dalam sekali rupanya! Kurasa cadas tebing ini banyak
lubangnya - tempat air mengalir dari atas!"
Mereka meneruskan langkah. Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat lorong
itu bercabang. "Ini dia cabang yang kemarin!" seru George bersemangat. "Kalian lihat cabang
yang satu lagi ini" Nampaknya mengarah ke dalam bukit!"
Julian mendorong sepupunya ke samping.
"Biar aku yang berjalan paling depan," katanya. "Kau sering terlalu nekat,
George!" "Mudah-mudahan saja nanti terbukti buntu," gumam Anne lirih. "Aku tidak suka
pada petualangan mencari-cari bahaya!"
"Dasar pengecut!" kata Dick mencemooh "Sudahlah, kita masuk saja!"
Julian mendului masuk ke dalam lorong gelap. Di situ tidak ada cahaya pendar
kehijauan seperti di lorong lainnya. Anak-anak agak sulit bernapas, karena hawa
pengap. Jalan yang dilalui pun sukar. Anak-anak melangkah tanpa berbicara.
Sempitnya lorong serta hawa yang pengap menyebabkan mereka merasa seperti
tertekan. Suasana itu makin lama makin mencekam, sampai Julian dengan tiba-tiba berseru,
"Lorong mulai melebar!"
Seruannya itu benar, sebab sampai saat itu lorong begitu sempit, mereka harus
bersusah payah untuk melaluinya. Tapi lorong itu kini mulai melebar, menyerupai
gua yang lapang. Anne menarik napas lega. Tapi sesaat kemudian Ia menjerit.
"Tolong!" teriaknya ketakutan. "Ada sesuatu menyambar rambutku! Nah, aku
merasanya lagi! Ju! Dick! Tolong!"
Di atas kepala mereka terdengar bunyi menyambar-nyambar. Julian mengarahkan
sorotan senternya ke atas. Saat itu terdengar suara orang tertawa.
George yang tertawa. Sinar senter menerangi wajah Anne yang ketakutan. Dan di
atas kepalanya nampak seekor kelelawar terbang menggelepar-gelepar. Binatang itu
rupanya juga terkejut, seperti Anne!
"Aduh, Anne! Itu kan cuma kelelawar!"
Anne mendongak sambil menutup mulutnya dengan tangan. Kelelawar itu terbang
menyenggol senter yang dipegang Julian, lalu membubung kembali ke langit-langit
gua. Seakan-akan itu merupakan isyarat, saat itu juga belasan ekor kelelawar
yang terganggu tidurnya melepaskan diri dari tempat mereka bergantung di atas
langit-langit, lalu terbang berputar-putar di dalam gua itu. Gerakan mereka
ribut sekali, seperti tarian liar.
Anne tidak tahan melihatnya. Ia menjerit sekuat-kuatnya. Timmy menggonggong
ribut. George mengumpat-umpat, begitu pula Dick. Berisik sekali suasananya saat
itu. Julian mengatasi masalah itu dengan cara yang gampang sekali. Ia beranjak dari
situ, menuju ke lubang, keluar dari rongga kelelawar itu. Dan karena ia yang
memegang senter, saudara-saudananya terpaksa mengikuti.
Mereka meneruskan langkah, menyusuri lorong yang sudah menyempit kembali.
Beberapa meter kemudian Julian berhenti sebentar.
"Bagaimana - kau sudah tidak kaget lagi sekarang?" tanyanya pada Anne. "Kau
tidak apa-apa, kan?"
"Ya, aku sudah tidak kaget lagi" jawab adiknya itu sambil berusaha tersenyum.
"Tapi walau begitu aku masih tetap merasa gelisah. Biar saja Dick mencemooh lagi
- tapi saat ini aku mempunyai firasat bahwa kita akan terjerumus ke dalam bahaya
besar!" Anne terpekik, karena tiba-tiba mendengar suara di depannya, mengulangi kata-
katanya. "Besar, besar, besar..."
"Aduh!" pekik Anne.
"Aduh, aduh, aduh," ulang suara tadi seperti mengejek.
Keempat remaja itu berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing, begitu pula
Timmy. Mereka berada di ambang suatu rongga lagi, yang jauh lebih besar dari
rongga yang baru mereka tinggalkan. Julian menyorotkan sinar senternya ke segala
arah. Di situ tidak ada siapa-siapa.
"Suara apa itu tadi?" tanya Dick berbisik-bisik.
"Itu kan gema," kata George sambil tertawa Bunyinya menggema, terdengar nyaring
sekali dan berulang-ulang. Bunyinya menakutkan!
Timmy bingung sekejap, lalu mulai mengendus-endus ke segala arah, mencari-cari
orang yang tak kelihatan itu. Ia menggonggong-gonggong, karena tidak berhasil
menemukan siapa-siapa. Bunyi gonggongannya pun menggema dalam rongga besar itu. Berisik sekali
kedengarannya sampai anak-anak terpaksa menutup telinga kebisingan.
Julian cepat-cepat mengajak meninggalkan tempat itu.
Tapi ternyata tidak mudah berjalan melintasi rongga gema itu - belum lagi
keberisikan yang terdengar. Anne menangis ketakutan. Apalagi Timmy tidak mau
diam, menggonggong-gonggong terus - seperti menantang gema untuk bertanding
siapa yang lebih nyaring. Telinga seakan-akan menjadi tuli karenanya.
Perjalanan kini kembali menyusur di lorong sempit Kesunyian di situ sangat
mencekam perasaan. Arah lorong masih selalu menuju ke bawah.
"Akan sampai di mana kita nanti, ya?" kata Julian bertanya-tanya pada diri
sendiri. "Mungkin lebih kita kembali saja!"
"Jangan, ah!" bantah George. Tiba-tiba ia menelengkan kepala, rnemasang telinga.
"He - kalian dengar tidak - itu, bunyi gemuruh di kejauhan. Kurasa itu..."
Ia mempercepat langkah, mendului Julian. Tiba-tiba ia tertegun.
"Wah! Coba lihat itu!" serunya.
Lorong berakhir lagi dalam sebuah rongga lain. Tapi yang ini bukan gua biasa,
seperti kedua rongga yang tadi dilewati.
Di tengah rongga itu ternyata ada sungai bawah tanah yang deras arusnya!
"Hebat!" seru Julian kagum. "Indah sekali ini. Kita seakan-akan berada di dalam
teater!" "Ayo, terus! Terus!" desak George.
Mereka bergegas-gegas, meneruskan perjalar Mereka dapat bergerak dengan leluasa,
karena rongga yang dimasuki itu lebar dan berlangit-langit tinggi. Anne bisa
bernapas dengan tenang kembali. Ia sudah tidak merasa cemas lagi.
Sesampai di tepi arus, anak-anak berdiri sambil memperhatikan.
"Kurasa dari sini air mengalir langsung ke laut," kata Julian.
"Ya, pasti," kata George sambil mengangguk. "Kalau kita telusuri tepinya, nanti
kita tentu akan sampai di ceruk tempat kita mendarat setelah perahuku terbalik
kemarin." "Belum tentu" kata Dick iseng. "Siapa tahu, saat kita sedang berjalan, tahu-tahu
bagian atas lorong runtuh - dan kita terjebak di dalam liang yang penuh air."
"Ih, kau ini," tukas Anne. "Kenapa tidak bicara hal-hal yang lebih mengenakkan
perasaan sih?" George diam saja. Perhatiannya terarah ke dasar rongga.
"Eh - di situ ada gelang dan besi!" katanya setelah beberapa saat.
Bab 9 HARTA CURIAN GEORGE tidak salah lihat. Pada dasar batu di dekat permukaan air di pinggir
sungal nampak sebuah gelang besi. Gelang itu disemenkan ke batu.
"Kelihatannya masih baru" kata Dick setelah mengamat-amati sejenak. "ini
merupakan bukti bahwa ada orang datang kemari naik perahu."
"Ya, aku sependapat denganmu!"
"Cepat periksa tempat ini - mungkin ada petunjuk-petunjuk lain!"
George menyalakan senternya, lalu mencari-cari ke segala arah. Tiba-tiba Ia
berseru dengan gembira! Ia menemukan ceruk pada dinding rongga, di balik batu
besar yang menjorok ke luar. Dan di dalam ceruk itu ada sebuah peti.
Ketiga sepupunya bergegas membantunya menyeret peti itu ke luar.
"Astaga!" bisik Julian, ketika membuka tutup peti itu.
Saudara-saudaranya membungkukkan badan ke depan, agar bisa melihat lebih jelas.
Di dalam peti itu ada tiga kantung yang berisi.
Anak-anak semakin tegang. Mereka berdesak-desakan. Apakah isi karung-karung itu"
Mereka agak ragu, sebaiknya karung-karung itu dibuka atau tidak.
Julian mengambil keputusan tegas. Diambilnya pisau sakunya, lalu memutuskan tali
pengikat salah satu kantung. Isi kantung itu ditumpahkannya ke tanah.
Mata uang, perhiasan, serta uang logam kuno berserakan di depan kaki anak-anak.
"Harta karun!" kata Anne tergagap.
"Nilainya jutaan," kata Dick.
"Pasti!" kata Julian yakin.
George membungkuk. Dipungutnya sebuah perhiasan emas, berbentuk mawar. Kelopak-
kelopak bunga emas itu dihiasai intan yang dibentuk seperti tetesan embun.
Sedang daun-daun pada tangkainya yang halus terbuat dan batu jamrud.
"Astaga!" kata Anne gugup. "Ini kan Mawar Emas yang terkenal, yang peristiwa
hilangnya banyak diberitakan di radio beberapa waktu yang lalu!"
"Betul," kata Julian membenarkan sambil mengambil perhiasan itu dan tangan
George, lalu mengamat-amatinya dari dekat. "Ini merupakan bukti nyata bahwa kita
sekarang berada di..."
"Tempat persembunyian kawanan penjahat yang selalu beraksi mencuri di puri-
puri!" kata George mendului.
Dengan cepat Dick memutuskan tali-tali pengikat kantung yang dua lagi. Dalam
kantung yang satu ternyata ada beberapa gulungan kain kanvas. Ternyata itu
lukisan-lukisan terkenal, yang reproduksinya pernah mereka lihat dalam siaran
khusus di televisi, sehubungan dengan terjadinya pencurian di Puri Lanyard.


Lima Sekawan Di Gua Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, sekarang tak ada keragu-raguan lagi mengenainya," kata Julian menegaskan.
"Untung saja kita kemarin memutuskan untuk kembali ke lorong dan mel?kukan
penyelidikan di sini" kata George bangga. "Ini ternyata gua perampok!"
"Betul, Gua Empat Puluh Perampok - dan namaku Ali Baba!" kata Dick berkelakar.
Sementara itu Anne sudah pulih dan rasa kagetnya tadi.
"Orang-orang itu benar-benar keterlaluan!" katanya sengit. "Lukisan-lukisan
berharga ini mereka gulung dengan cara yang salah - menghadap ke luar!
Lihatlah!" "Itu malah cara yang benar, Anne!" kata Julian membetulkan. "Dengan begitu
catnya tidak retak."
Sementara itu Dick mengeluarkan isi kantung yang ketiga.
"Bukan main!" seru George. "Ini kan koleksi jam dari Puri Berkshire yang sangat
dibanggakan Pangeran Penlech! Bangsawan itu pasti akan senang sekali, jika kita
nanti mengembalikan hartanya ini padanya!"
"Menurut dugaanku," kata Julian lambat-lambat, "rongga ini oleh para penjahat
dijadikan tempat penimbunan barang curian mereka. Di sinilah mereka
menyembunyikan hasil kejahatan mereka, mungkin untuk kemudian diselundupkan ke
luar negeri. Tapi tentu saja setelah batu-batu permata dilepaskan dari perhiasan
aslinya, lukisan-lukisan dilapisi dengan lukisan murahan, dan jam-jam emas ini
barangkali bahkan dilebur dan kemudian diangkut dalam bentuk emas batangan!"
"Pendek kata, kita menemukan tempat ini pada waktu yang tepat," kata George.
"Coba baru beberapa hari lagi kita datang, besar sekali kemungkinannya segala
harta ini sudah lenyap untuk selama-Iamanya! Kita boleh mengucap syukur
karenanya!" "Kita terutama boleh mengucap syukur bahwa kita berhasil menemukan tempat
penimbunan barang-barang curian ini, tanpa tepergok para pencuri itu," kata Anne
dengan wajah pucat. "Kita harus lekas-lekas pergi lagi dari sini!"
"Tenang, tenang," kata Dick "Jangan suka buru-buru! Sebelumnya kita masih harus
mengembalikan barang-barang ini ke dalam ketiga kantung itu, lalu memasukkan
kantung-kantung itu ke dalam peti tadi. Lalu peti kita seret ke tempatnya
semula" "Kau benar, Dick," kata Julian sependapat. "Barang-barang curian ini tidak boleh
satu pun kita bawa. Karena mungkin kecuali ini masih ada lagi peti-peti lainnya
di sini.." "Itu sudah pasti!" potong George. "Nah, katau begitu kita bereskan semuanya
lagi, lalu setelah itu baru memberi tahu polisi. Kurasa begitulah sebaiknya kita
bertindak!" Keempat remaja itu bergegas mengembalikan segala benda berharga itu ke dalam
kantung-kantung, yang kemudian dimasukkan lagi ke dalam peti. Mereka bekerja
dengan sangat cermat, karena para penjahat tidak boleh sampai merasa curiga
melihat ada sesuatu yang berubah, sampai tahu-tahu nanti polisi datang membekuk
mereka. Julian beserta ketiga saudaranya meneliti dengan seksama, untuk meyakinkan diri
bahwa mereka sama sekali tidak meninggalkan jejak di rongga itu. Kemudian mereka
pergi, berjalan lambat-lambat menyusuri tepi sungai bawah tanah.
"Penyelidikan kita sungguh-sungguh berhasil!' kata George berseri-seri. "Tapi
kita juga harus mengakui bahwa kali ini kita bernasib mujur. Baru saja kita
memulai penyelidikan - itu pun secara untung-untungan - eh, tahu-tahu semua
sudah beres! Tidak lama lagi, para penjahat itu pasti akan sudah tertangkap dan
dipenjarakan! Hidup Lima Sekawan!"
Ketiga sepupunya tersenyum melihat tingkah laku George. Tapi Timmy menggeram.
George menoleh dengan heran ke arah anjingnya. Dilihatnya bulu tengkuk Timmy
berdiri. Pasti ada sesuatu yang tidak beres, kata George dalam hati.
"Cepat, padamkan senter!" desisnya pada Julian. "Timmy belum pernah menggeram
tanpa alasan!' Keadaan sekeliling mereka langsung gelap, begitu Julian memadamkan senternya.
George mencengkeram bulu tengkuk Timmy.
"Sssst - diam, Tim!" bisiknya sambil menunduk. Anjing cerdas itu mengerti. Ia
tidak menggeram-geram lagi. Tapi sikapnya tetap waspada. Matanya menatap arah
hilir sungai. Anak-anak menahan napas. Mereka memicingkan mata, berusaha melihat
dalam gelap. Setelah beberapa saat, barulah mereka bisa mengenali bentuk-bentuk
batu cadas di dekat mereka. Itu pun henya samar-samar saja.
Timmy masih tetap seperti terpaku di tempatnya semula, dan masih memsndang ke
arah yang sama. Dengan peresaan tegang, anak-anak menajamkan telinga.
Mule-mula keadaan tetap sunyi seperti semula. Tapi kemudian George mendengar
bunyi berkecipak pelan. Bab 10 NYARIS KETAHUAN "ITU bunyi dayung!" kata George tegang.
Siapakah yang datang itu"
Tentu saja kawanan pencuri, kata Anne dalam hati. Ia harus menahan diri, jangan
sampai berteriak. Anak itu menekankan tangannya ke mulut.
Julian dapat menebak bahwa adiknya itu pasti ketakutan sekali, ia merangkulnya.
Dirasakannya tubuh Anne gemetar. Tiba-tiba dari arah hilir sungai nampak sinar
samar, yang bergerak ke arah mereka. Timmy menatap sinar kecil itu dengan sikap
waspada. George yang paling dulu bereaksi.
"Kita harus bersembunyi!" bisiknya pada ketiga saudara sepupunya. "Para penjahat
itu tidak boleh memergoki kita di sini!"
Ia menyelinap pergi, bersembunyi di balik batu besar yang menonjol ke luar Timmy
langsung menyusulnya, begitu pula Dick. Tapi Anne tidak mampu bergerak, karena
terlalu ngeri. Ia hanya bisa berdiri seperti patung. Ia tidak mampu menggerakkan
kaki. Melihat keadaannya, Julian cepat-cepat memegang lengannya....
"Ayo, ikut!" bisik Julian sambil menarik Anne ke balik batu besar.
Setelah agak aman, rasa ingin tahu keempat remaja itu muncul kembali. Mereka
mengintip dengan hati-hati dari balik batu. Rongga yang baru saja mereka
tinggalkan nampak semakin terang, diterangi sinar yang semakin mendekat.
Sesaat kemudian mereka melihat nyala obor muncul dari balik tikungan sungai.
Obor itu dipasang pada haluan sebuah perahu yang dinaiki tiga orang laki-laki.
Pendayungnya berambut pirang dan bertubuh kekar. Anak-anak dapat melihatnya
dengan jelas, karena diterangi cahaya obor. Sedang laki-laki yang dua lagi tidak
begitu jelas kelihatan, karena terlindung bayangan tubuh orang yang mendayung.
Tapi nampaknya perawakan mereka lebih kecil.
Terdengar suara ketiga laki-laki itu bercakap-cakap. Pikiran yang sama melintas
dalam hati anak-anak yang bersembunyi: orang-orang itu mengenal baik tempat ini.
Pasti merekalah kawanan pencuri yang dicari-cari polisi selama itu!
Perahu semakin mendekat, menghampiri tepi yang rupanya biasa dijadikan tempat
pendaratan. Laki-laki yang berambut pirang melepaskan dayung, lalu meloncat ke darat. Tanpa
bergegas-gegas ia menghela tali perahu agak lebih jauh sedikit ke arah hulu,
lalu menambatkannya pada gelang besi yang tadi sudah dilihat anak-anak.
Sementara itu teman-temannya memindahkan sebuah karung dari perahu ke darat.
Karung itu kelihatannya berat sekali.
"He, Erich," kata seorang dari keduanya dengan nada menggerutu. Ia berpaling ke
arah laki-laki kekar berambut pirang. "Cepatlah sedikit, bantu kami mengangkat!"
Laki-laki yang disapa dengan nama Erich menyeringai.
"Kalian ini payah - tidak bertenaga," katanya mencemooh. "Aku ingin tahu apa
yang kalian lakukan jika tidak ada aku."
"He, jangan lupa - kau memang kuat, tapi kamilah yang berotak," tukas orang yang
diejek. "Betul kan Manuel?"
"Ya, kau benar, Joe," kata orang yang ketiga dengan nada menyabarkan.
"Sudahlah, untuk apa kita bertengkar," kata Erich. "Mendingan kita bergembira,
karena harta kita makin hari makin bertambah banyak!"
"Tinggal menguras isi satu atau dua puri lagi, lalu setelah itu kita minggat ke
luar negeri," kata orang yang bernama Joe. Kedengarannya Ia puas.
"Aku setuju saja! Tapi sekarang kita taruh dulu hasil kerja kita tadi malam!"
Anak-anak mendengarkan pembicaraan para penjahat dengan hati berdebar-debar. Wah
- kalau mereka kini menuju ke tempat persembunyian mereka...
Melihat air muka ketiga penjahat itu anak-anak langsung tahu, kalau mereka
sampai ketahuan pasti takkan ada ampun lagi. Kawanan pencuri itu nampak jelas
tidak mengenal arti kata kasihan. Julian menggenggam tangan Anne yang
dirasakannya gemetar, untuk memberi semangat. George menutup mulut Timmy dengan
tangannya. Ah! Anak-anak masih bernasib baik. Kekhawatiran mereka tadi ternyata tidak
beralasan. Ketiga penjahat itu sedikit pun tidak memperhatikan keadaan dalam
rongga, apalagi memandang ke arah tempat anak-anak bersembunyi.
Mereka lewat sambil menyeret-nyeret karung berat. Mereka tidak berhenti di ceruk
tempat peti yang tadi ditemukan George. Ketiganya berjalan sedikit Iebih jauh
lagi. Di situ mereka menarik peti lain, yang tersembunyi di dalam ceruk pula.
Peti itu serupa bentuknya dengan peti yang pertama. Dari tempat mereka anak-anak
memperhatikan penjahat-penjahat itu memasukkan karung yang mereka bawa ke dalam
peti. Sesaat kemudian terdengar suara penjahat yang bernama Joe.
"Hari aksi kita tadi malam jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah-
sudah," kata orang itu dengan nada puas. "Kita semua akan kaya raya, jika
seluruh hasil sudah dibagi-bagi."
"Aku geli kalau mengingat polisi yang kerepotan berusaha menangkap kita," kata
Erich sambil tertawa. "Mana mungkin mereka berhasil! Kita terlalu licin, mereka takkan bisa menemukan
jejak kita. Mereka pusing memikirkan bagaimana kita bisa masuk ke dalam Puri Berkshire yang katanya
dijaga ketat itu. Biar saja mereka bingung!" Erich tertawa keras-keras.
George mengepalkan tinjunya karena marah mendengar polisi diejek-ejek. Ia sudah
ingin sekali berteriak keras-keras, "Jangan terlalu cepat bergembira, Pencuri!
Tunggu saja sampai kami sudah keluar dari sini, baru tahu rasa kalian! Sekarang
berpuas-puaslah dulu, selama masih bisa. Tapi besok tidak ada alasan lagi bagi
kalian untuk merasa menang!"
Anak-anak memperhatikan dengan seksama, sementara ketiga pencuri itu sibuk
dengan urusan mereka. Setelah harta curian disembunyikan, ketiga orang itu
kembali ke tempat perahu mereka ditambatkan.
Nah - bagus, sekarang mereka pergi lagi, kata George dalam hati. Tapi saat itu
ada sesuatu yang melesat lari ke dekat kakinya, lalu,menyelusup di sela kaki
Timmy. Seekor tikus besar!
George tidak sempat lagi menahan Timmy. Anjing itu langsung lupa bahwa Ia tidak
boleh bergerak atau menggonggong selama para penjahat masih ada. Perhatiannya
hanya pada tikus kurang ajar, yang berani lewat di depan hidungnya. Nalurinya
sebagai binatang pemburu bangkit. Sambil menggonggong-gonggong dikejarnya tikus
besar tadi. Tentu saja suara Timmy terdengar oleh ketiga penjahat yang saat itu sudah hendak
naik lagi ke perahu mereka. Ketiga-tiganya kaget, memandang berkeliling dengan
sikap bingung. Mereka melihat Timmy yang asyik mengejar tikus sambil ribut
menggonggong. "Ada anjing," seru Erich. "Dari mana datangnya?"
Joe mengumpat-umpat, sambil mengikuti gerak Timmy dengan mata terbelalak karena
heran dan marah. "Kita harus menangkapnya!" seru Manuel, lalu mengejar Timmy.
Tapi anjing itu tidak mempedulikan orang-orang itu. Tikus yang dikejarnya lari
memasuki lorong yang tadi dilewatinya bersama anak-anak. Timmy tidak mau
melepaskan mangsanya dengan begitu saja. Tanpa mengacuhkan ketiga penjahat yang
ribut berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan tangan, anjing melesat masuk
lorong, mengejar tikus yang lari. Suara gonggongannya menggema di dalam rongga.
Kejar-kejaran itu berlangsung dengan ramai. Paling depan tikus besar, dikejar
oleh Timmy. Sedang Erich lari dengan langkah panjang-panjang, mengejar Timmy.
Joe dan Manuel menyusul paling belakang.
Tidak lama kemudian terdengar suara ribut campur aduk dikejauhan.
Keempat remaja yang masih bertahan di tempat persembunyian mereka berpandang-
pandangan dengan cemas. "Sekarang mereka berada di rongga gema" kata Dick dengan suara serak. "Bunyi
mereka menggema bertalu-talu!"
"Aku ngeri mendengarnya" kata Anne lirih. Ia sudah hampir tidak dapat menahan
tangis. Julian mengambil keputusan dengan cepat. "Kita harus saat ini juga pergi dan
sini." katanya. "Sebentar lagi para penjahat itu pasti akan muncul lagi, lalu
mencari kita!" "Tapi mereka kan sama sekali tidak tahu bahwa kita ada di sini" gumam Anne
sambil mengisak pelan. Dick mengibaskan tangannya dengan sikap kesal. "Kau ini benar-benar tolol!"
tukasnya. "Orang-orang itu pasti bisa menebak bahwa Timmy takkan mungkin
sendirian saja di sini. Tadi itu reaksi yang wajar bahwa mereka langsung
mengejarnya. Apabila mereka berhasil menangkap Timmy, mereka tentu akan
memeriksa pelat nama yang tergantung pada kalung lehernya!"
"Timmy tidak memakai pelat nama, dan tak benkalung" bantah George.
"Apabila ia tidak berhasil mereka tangkap, pencuri-pencuri itu pasti akan
kembali lalu mencari-cari di sini" kata Dick lagi. "Pokoknya kita akan ketahuan
nanti." "Sudah, jangan bertengkar terus!" kata Julian dengan tegas. "Aku mengatakan
bahwa kita harus segera pergi dan sini, Ayo, cepat!"
Dipegangnya tangan Anne lalu ditariknya sambil melangkah pergi, meninggalkan
tempat persembunyian. Dick menyusul mereka dengan segera. Hanya George saja yang
melangkah dengan lambat dan ragu-ragu.
"He, Ju," bisiknya. "Kita tidak bisa lari lewat lorong yang tadi - karena para
penjahat ada di situ...."
"Memang bukan maksudku lari lewat situ." kata Julian dengan tenang. "Aku punya
akal lain! Ayo ikut!"
Gagasan Julian ternyata sangat sederhana, tapi di pihak lain sangat hebat.
"Sungai ini bisa dilayari, karena buktinya Erich beserta kedua kawanannya muncul
clengan perahu.. Melaluinya, kita akan langsung sampai di laut. Lagi pula ini
satu-satunya jalan keluar bagi kita, kita tidak bisa lewat jalan semula. Kita
akan menghiliri sungai ini dengan perahu yang ditinggalkan secara sembrono oleh
ketiga penjahat tadi."
Dick tahu bahwa abangnya bisa sepenuhnya diandalkan. Sambil berjalan mengikuti
Julian menuju ke perahu, ia berpikir, "Yang paling menyebalkan ialah bahwa kita
tadi sudah hampir berhasil. Tinggal memanggil polisi saja, untuk menangkap para
penjahat serta menyelamatkan harta yang ditimbun di situ. Kenapa pada saat
terakhir Timmy bertingkah setolol itu?"
Julian berhenti di dekat tambatan perahu.
"Cepat naik" katanya sambil menuding ke perahu "Ini satu-satunya kemungkinan
bagi kita untuk menyelamatkan diri. Arus sungai ini deras, kita akan lekas
sampai di laut. Para penjahat tidak akan bisa mengejar nanti, karena satu-
satunya perahu yang ada di sini sudah kita ambil. Ada kemungkinan kita nanti
bisa kembali lagi ke mari dengan polisi, sebelum harta yang tertimbun di sini
diangkut pergi semua, karena untuk itu pencuri-pencuri itu harus mondar-mandir
beberapa kali lewat lorong bawah tanah. Tapi kurasa mereka pasti akan berusaha
melarikan diri secepat mungkin, tanpa memikirkan harta curian mereka lagi. Nah -
cepatlah sedikit!" Dick tidak menunggu lama-lama lagi. Ia meloncat ke dalam perahu. Julian
mendorong Anne. "Ayo, loncat! Sambut dia, Dick!"
Anne meloncat. Kini Julian menoleh ke arah George yang berdiri agak memisah dan sama sekali
tidak menunjukkan gelagat akan menyusul. Julian menyapanya dengan heran, melihat
sikap sepupunya itu. "Ayo, George! Kita tidak punya banyak waktu lagi. Cepatlah, naik ke perahu!"
Tapi George tetap berada di tempatnya. Dengan wajah cemberut ia berkata, "Kalian
bertiga saja yang pergi! Aku tidak ikut!"
Bab 11 MELARIKAN DIRI KETIGA sepupunya memandang dengan kaget.
"Kau sudah gila, ya"!" bentak Dick. "Kenapa sih, tiba-tiba kau begitu" Apakah
kau ingin ditangkap ketiga penjahat itu!"
"Yang jelas aku tidak ingin pergi tanpa Timmy!" balas George. "Jika kalian
sampai hati meninggalkan anjingku sendiri menghadapi para penjahat, silakan!
Tapi aku tidak mau!"
"Timmy tidak perlu kaucemaskan" kate Julian. "Ia takkan bisa ditangkap para
penjahat. Anjing itu cerdik sekali. Pasti Ia sudah cepat-cepat lari keluar lewat
liang di bukit, lalu pulang ke rumah!"
"Itu kan cuma sangkaanmu saja," kate George membandel. "Mustahil Timmy lari
meninggalkan aku di sini! Tidak - Ia pasti akan kembali, untuk mencari aku.
Kalau aku sekarang ikut dengan kalian, nanti Timmy tidak menemukan siapa-siapa
lagi di sini. Tidak, aku tidak mau meninggalkannya sendiri di sini."
"Tapi... jika kau tidak ikut... nanti keselamatanmu terancam," kata Anne
ketakutan.

Lima Sekawan Di Gua Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biar!" kata George berkeras. "Timmy tidak akan pernah mau pergi tanpa aku.
Karena itu aku juga tidak
pergi tanpa dia!" "Aku bisa memahami perasaanmu, George," Julian dengan ketus. "Tapi kita tidak
punya waktu untuk menunggu lebih lama. Kau harus mematuhi kataku!" Ia memegang
bahu sepupunya itu mengulangi, "Ayo, cepat - loncat!"
George masih berusaha menolak. Julian mengambil tindakan tegas. Diangkatnya
George, lalu dijunjungnya masuk ke dalam perahu.
"Tolong aku, Dick!" seru Julian.
George meronta-ronta. Tapi Dick dan Anne memeganginya erat-erat, mencegah jangan
sampai anak bisa meloncat kembali ke tepi. Julian melepaskan penambat, lalu
bergegas meloncat ke dalam perahu.
Perahu bergerak menjauhi tepi, meluncur, semakin laju dibawa arus ke hilir.
Ternyata kalau terlambat sedikit saja, habislah riwayat keempat remaja itu.
Tepat saat itu ketiga penjahat muncul kembali dari dalam lorong dengan napas
mendengus-dengus. Mereka mengumpat-ngumpat dengan kasar.
Joe yang paling dulu melihat anak-anak yang melarikan diri dengan perahu. Ia
berteriak dengan marah, "Lihatlah! Sudah kuduga dari tadi, anjing itu tidak
mungkin sendiri saja datang kemari!"
"Itu kan anak-anak!" tukas Manuel.
Erich membentuk terompet dengan kedua belah tangannya, lalu berteriak dengan
suara lantang dan berat. "He, kalian yang dalam perahu! Ayo kembali !"
"Seenaknya saja memerintah!" balas Dick mengejek. "Kami kembali kalau kami mau.
Dan karena kami tidak mau, yah - kelihatannya kami takkan kembali!"
"Sudahlah, jangan mengejek!" kata Julian menggerutu. "Nanti mereka bertambah
marah!" George diam saja. Tapi air mukanya cemberut.
"Kalian takkan kami apa-apakan. asal perahu itu kalian kembalikan!" seru Erich
lagi. Tapi perahu beserta keempat remaja yang menaikinya sudah menghilang di balik
tikungan sungai. "Mereka mau mencoba menggertak, padahal tidak bisa berbuat apa-apa lagi," kata
Dick sambil tertawa. "Kita berhasil menipu mereka!"
Julian mengemudikan perahu dengan cekatan, mengikuti arus. Dibiarkannya Dick
tertawa sendiri. Wajahnya serius, seperti sedang merenung.
"Aduh, tampangmu seperti awan mendung, Ju!" kata Dick geli.
"Itu karena aku berpikir lebih panjang daripada kau, Dick! Kau bergembira
seperti anak kecil yang berhasil mempermainkan orang, tanpa memikirkan akibat-
akibatnya!" "Tapi kita kan berhasil melarikan din dengan selamat," kata Dick.
"Memang betul, dan untuk saat ini itulah yang paling penting," balas Julian.
"Tapi ketiga penjahat itu sudah melihat kita. Mereka tahu bahwa kita menemukan
tempat persembunyian mereka. Kini mereka pasti akan cepat-cepat melarikan diri!"
"Siapa bilang aku tidak memikirkan kemungkin itu, Ju!" kata Dick. "Tapi
menurutku, para penjahat itu tidak tahu bahwa kita sudah menemukan harta curian
yang mereka sembunyikan. Mereka bahkan tidak tahu bahwa kita mengetahui mereka
itulah kawanan pencuri yang dicari-cari polisi. Karena itu menurutku mereka
pasti beranggapan bahwa kita ini anak-anak iseng, yang suka berkeliaran memasuki
lorong-lorong bawah tanah, lalu melarikan perahu mereka yang secara kebetuan
saja kita temukan tadi!"
"Hmm," kata Julian sambil berpikir-pikir. "Penjahat biasanya cepat sekali
curiga! Mereka kini pasti bergegas-gegas menyembunyikan harta curian mereka di
tempat lain, lalu setelah itu lari. Sekarang kita tinggal berharap bahwa kita
bisa bertindak lebih cepat daripada mereka!"
Dick sudah tidak tertawa lagi, karena terpengaruh oleh kata-kata Julian. Suasana
mencekam menyelubungi perahu. Hanya bunyi kecipak dayung saja yang masih
terdengar. Anne menjamah lengan George.
"Kau marah, George?" tanyanya lirih.
"Ya!" bentak George. "Kalian semua pengecut. Tak berperasaan, hanya mengingat
keselamatan diri sendiri! Kita ini kan Lima Sekawan, termasuk Timmy! Selama ini
kusangka bahwa kita harus selalu bersatu! Menurutku kita sudah mengkhianati
Timmy, meninggalkan dia sendiri tadi. Takkan bisa kumaaafkan perbuatan kalian,
menyeret aku pergi!"
"Jangan suka begitu, ah!"tukas Julian. "Keselamatan kita pun tidak kalah
pentingnya. Lagi pula, Timmy sama sekali tidak terancam bahaya."
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?" sergah George. "Para penjahat itu takkan
segan-segan membunuhnya!"
"Tenangkan perasaanmu," kata Dick menyabarkan. "Kita kan melihat sendiri tadi
bahwa mereka tidak berhasil menangkapnya."
"Ya, aku juga yakin bahwa Timmy takkan bisa mereka tangkap" sela Anne.
Tapi George tidak bisa dibujuk. Kemarahannya semakin memuncak.
"Kenapa kalian bisa mengatakan yakin"!" tukasnya. "Kalau Timmy tadi mereka
bunuh, mereka kan tidak perlu menyeret-nyeretnya kembali supaya kita
melihatnya." "Tapi kenapa mereka harus membunuhnya" Anjing kan mustahil bisa membocorkan
rahasia persembunyian mereka," kata Anne lagi. "Percayalah, George - Timmy pasti
mampu menjaga dirinya sendiri. Anjing itu kan sangat cerdik!"
Kata-kata pujian itu menyebabkan kemarahan George agak menyurut. Va, Timmy
memang anjing yang sangat cerdas. Ia takkan mungkin bisa dengan mudah
dijebak.... Sementara itu perahu yang mereka tumpangi meluncur terus dengan laju ke hilir,
di bawa arus yang deras. "He! Aku rasanya seperti melihat sinar terang di depan!" seru Julian memecah
kesunyian beberapa saat kemudian.
Dick berpaling, tanpa melepaskan dayung.
"Hore!" soraknya. "Itu sinar matahari!"
Anne ikut bersorak gembira, begitu pula George. Lubang keluar dari terowongan
kini sudah dapat dilihat jelas, berbentuk setengah lingkaran di ujung sungai
bawah tanah yang sedang mereka lewati.
"Kita selamat!" desah Anne dengan perasaan bahagia. Ditekannya tangan George.
"Aku ingin tahu, kita akan muncul di mana nanti," gumam George. Keningnya
berkerut. "Soalnya, kita harus cepat-cepat pergi ke tempat kendaraan kita. Kita
tidak boleh membuang-buang waktu!"
"Pokoknya, sekarang kita sudah ada di luar!" kata Dick bergembira.
Perahu yang mereka tumpangi meluncur dengan laju, keluar dari terowongan. Saat
itu sedang pasang tinggi.
Perahu agak oleng, dipermainkan ombak laut.
"Ke mana kita sekarang?" tanya Dick pada Julian, sambil mengangkat dayung.
Julian memandang berkeliling.
"Itu lubang masuk ke gua yang kemarin," katanya sambil menunjuk. "Tapi jalan ke
atas menyusuri dinding tebing kembali tidak bisa kita lewati. Yah. sekarang
bagaimana?" Seperti biasa dalam menghadapi situasi yang sulit. George tidak perlu lama-lama
berpikir. "Yang paling penting saat ini ialah memberi tahu polisi!" ujarnya. "Kecuali itu
kita juga perlu mengamati gerak-gerik ketiga pencuri itu. Kita harus membuntuti,
kalau mereka keluar dari tempat persembunyian tadi." Ia benhenti sebentar, lalu
meneruskan, "Pertama-tama Dick dan Anne kita turunkan di teluk kecil yang
terdapat di balik gua itu. Kurasa dari situ tidak begitu sukar mendaki lereng
tebing. Kalau sudah sampai di atas, Anne harus bergegas pergi dengan
kendaraannya ke kota, memberi laporan pada polisi. Ceritakan pengalaman kita
tadi. Polisi pasti akan meminta padamu agar mengantar mereka kemari. Suruh
mereka cepat-cepat datang, karena setiap menit besar sekali artinya! Dan kau,
Dick, kau amat-amati lubang keluar yang terdapat di bawah semak!"
"Tapi... bagaimana dengan kau sendiri, dan Julian?" tanya Dick dan Anne
serempak. "Julian menjaga jalan masuk lewat gua, sedang aku mengawasi tempat di mana
sungai tadi mengalir ke laut - karena siapa tahu, mungkin para penjahat berusaha
melarikan diri lewat jalan itu. Mungkin saja kita bisa membuntuti niereka."
Rencana George bagus sekali. Bahkan Julian pun tidak mempunyai usul yang lebih
baik. Tapi mereka harus cepat-cepat bertindak.
Dick berdayung kembali, menuju ke teluk kecil yang dimaksudkan oleh George.
Ternyata George tidak keliru. Teluk kecil itu, yang pantai pasirnya jarang
digenangi air saat pasang naik, dibatasi tebing yang tidak begitu sukar
dipanjat. Ketika perahu sudah mencecah pasir, Dick bergegas membantu Anne meloncat ke
darat. Keduanya buru-buru mendaki tebing, rnenuju ke jalan setapak yang terdapat
di tepi atasnya. Tanpa menunggu lagi, George menggantikan Dick mendayung. Perahu diarahkannya ke
mulut gua yang mereka masuki kemarin.
Sesampainya di situ ia menahan perahu di tepi tebing, memberi kesempatan pada
Julian untuk turun. "He, Ju - kau dan Dick yang paling besar kemungkinannya nanti akan memergoki
ketiga penjahat itu, apabila mereka lari. Jadi jaga baik-baik!" kata George
mengingatkan. "Beres! Tapi kau juga hati-hati!" balas Julian.
"Pokoknya tahu beres!"
"Perahu itu sulit dikemudikan," kata Julian sambil mengernyitkan muka. "Kecuali
itu aku juga merasa kurang enak membiarkan kau sendiri!"
"Kita sama-sama memikul risiko," sahut George. Ia tertawa nyengir, lalu mulai
mendayung. Gerakannya sangat cekatan, pikir Julian sambil memperhatikan sepupunya dengan
pandangan kagum. Anak itu memang tabah.
Beberapa saat kemudian semua sudah berada di tempat yang ditentukan oleh George
bagi mereka. Dick dan Anne sadar betapa pentingnya tugas mereka. Keduanya mendaki tebing
sambil saling membantu mencari tempat pegangan dan berpijak yang aman.
Mulanya pendakian masih dapat dikatakan mudah. Tapi kemudian lereng bertambah
curam. Berulang kali Dick harus membantu Anne, agar jangan sampai terpeleset.
Tapi akhirnya mereka sampai juga di atas.
Kini mereka harus buru-buru. Dick lari menghampiri sebatang pohon kecil yang
terdapat dekat semak besar yang berdaun runcing, lalu bersembunyi di belakang
nya. Dan situ ia dapat mengamat-amati lubang ke luar dari rongga bawah tanah,
tanpa ia sendiri kelihatan..
Sedang Anne lari untuk mengambil sepeda bermotornya. Dengan cepat dipacunya
kendaraan itu, ke arah kota.
Mudah-mudahan polisi mau mempercayai laporanku nanti, pikirnya dalam perjalanan.
Dan mudah-mudahan bantuan tidak terlambat datang, karena ketiga saudaranya yang
bertugas menjaga di tempat yang terpisah-pisah takkan sanggup sendirian saja
menghadapi para penjahat.
Dick memperhatikan adiknya, sampai Anne tidak kelihatan lagi di balik tikungan.
Kini ia tinggal menunggu. Tiba-tiba Dick merasa dirinya kecil dan tak berdaya.
Apalah yang bisa dilakukannya, apabila ketiga penjahat itu ternyata berusaha
minggat lewat lubang di bawah semak itu" Dalam kenyataannya ia takkan bisa
berbuat apa-apa, kecuali membuntuti mereka dengan diam-diam. Dengan begitu
setidak-tidaknya Ia akan tahu ke mana mereka pergi.
"Ya - dan kalau sudah tahu, aku akan cepat-cepat kembali untuk memberitahukannya
pada yang lain- lain," katanya dalam hati. "Atau mungkin lebih baik aku juga
yang menyampaikan laporan pada polisi" Atau mungkin sebaiknya...?"
Bab 12 PENJAHAT MENGHILANG! ANNE mengambil jalan pintas, menuju ke kantor polisi di kota. Sesampainya di
sana Ia langsung menghadap kepala polisi. Laporan yang disampaikannya begitu
jelas dan meyakinkan, sehingga kepala polisi itu mau mempercayainya.
Dipanggilnya anak buahnya, lalu diberinya penjelasan mengenai peristiwa yang
terjadi, disertai petunjuk-petunjuk yang dianggap perlu.
"Cepat!" katanya mengakhiri perintah. "Jangan sampai ketiga penjahat itu bisa
meloloskan diri!" Anne disuruh masuk ke mobil polisi. sementara sepeda bermotornya diikatkan ke
atap kendaraan itu. Kemudian mereka mengambil jalan terpendek yang menuju ke
tebing pantai. Kepala polisi yang memimpin rombongan nampak sangat gelisah. Jika
laporan anak perempuan itu benar, maka ada kemungkinan ia beserta anak buahnya
akan berhasil membekuk kawanan pencuri yang sudah lama dicari-cari, setelah
menyelamatkan harta yang mereka curi!
Dengan cepat rombongan itu sudah sampai di tempat tujuan. Dick merasa lega
ketika melihat mobil polisi datang. Ia bergegas-gegas menyongsong.
Setelah menyapa dengan sopan, Ia memberi penjelasan yang diperlukan.
"Salah satu jalan masuk ke bawah ada di bawah semak itu," katanya. "Tapi sejak
saya melakukan pengamatan, belum ada penjahat yang muncul lewat."
"Bagus" kata kepala polisi memuji, lalu Ia memberi perintah salah seorang anak
buahnya, "Lionel, Anda
gantikan anak muda ini sekarang! Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, Anda harus
memberi tanda dengan jalan menembakkan pistol. Kami akan segera datang."
"Siap!" Setelah itu kepala polisi beserta sisa anak buahnya menuruni lereng tebing,
menuju ke air. Anne dan Dick
ikut. "Selama ini tidak ada yang muncul lewat gua," kata Julian, ketika rombongan
polisi sampai di tempatnya menjaga. "Itu saya ketahui dengan pasti!"
"Aduh," gumam Anne ketakutan. "Kalau begitu... mungkin George yang terpaksa
menghadapi penjahat-penjahat itu seorang diri...."
Julian berpaling ke arah laut, lalu berseru memanggil-manggil.
"George! George! Kemarilah, George!"
Tidak lama kemudian George muncul dengan perahu, dari balik batu tempat ia
mengintai selama itu. Ketika melihat polisi sudah datang, Ia berseru, "Bagaimana
dengan penjahat-penjahat itu" Kalian melihat mereka" Tidak" Aku juga belum!
Kalau begitu mereka pasti masih ada di dalam!"
"Coba kita periksa saja," kata kepala polisi. Ia sebenarnya lebih senang jika
anak-anak tidak ikut. Tapi baik Ia sendiri maupun anak buahnya tidak tahu jalan.
Julian menawarkan diri untuk menunjukkan, Sedang Dick, George, dan Anne memaksa
ingin ikut.Akhirnya kepala polisi mengalah.
"Baiklah, karena kurasa ini takkan berbahaya," katanya "Kemungkinannya ketiga
penjahat itu tidak membawa senjata."
Salah seorang polisi ditugaskan mengawasi muara sungai bawah tanah, sementara
yang lain-lain memasuki gua. Mereka berjalan dengan hati-hati, menyusuri lorong
yang licin dasarnya. Tanpa ragu sedikit pun, Julian mendului masuk ke lorong
yang menuju ke bawah. Ketika sampai di gua kelelawar, George menyarankan agar
senter-senter lebih baik dipadamkan, supaya kawanan kelelawar yang bergantungan
di langit-langit tempat itu tidak merasa terganggu.
Akhirnya rombongan kecil itu sampai di tepi sungai bawah tanah...
Pencuri-pencuri itu masih belum nampak. Julian mengajak polisi menuju ke tempat
gelang yang biasa dipakai untuk menambatkan perahu. Ia kecewa sekali, karena di
situ pun penjahat tidak ada. Mereka lenyap
berbekas! Aneh - ke manakah mereka" Kan tidak mungkin begitu saja. Kepala polisi menyapa
Julian dengan kening berkerut.
"Mudah-mudahan kalian tidak bermaksud iseng, mempermainkan polisi." katanya
dengan nada galak. "Kalian tahu bahwa kalian melihat mereka tadi?"
"Pasti, Pak!" kata Julian tegas, lalu menuturkan bagaimana ciri-ciri ketiga
penjahat itu. "Dan harta curian mereka disembunyikan di sana - sudut itu!" kata Dick
menambahkan. "Silakan periksa, Pak!"
Tapi sekali lagi anak-anak kecewa. Peti yang semula ada di sini, kini tidak ada
lagi. "Saya berani bersumpah bahwa lukisan-lukisan, koleksi jam, serta segala
perhiasan yang dicuri dari berbagai puri dan museum masih ada di sini!" kata
Dick dengan bersungguh-sungguh kepada para petugas kepolisian.
Tiba-tiba kepala polisi membungkuk.
"Ya - kau tidak berbohong," katanya sambil mendesah. "Ini salah satu benda
itu... sebuah jam yang terbuat dari emas! Kita harus menerima kenyataan bahwa
para pencuri itu berhasil melarikan diri dari sini, dengan membawa harta curian
mereka!" "Tapi itu kan tidak mungkin, Pak!" bantah Julian. "Tiga dari kami sejak tadi
terus mengawasi ketiga jalan keluar yang ada. Ketiga penjahat itu pasti masih
bersembunyi di sekitar sini!"
Saat itu mereka dikejutkan oleh gonggongan anjing.
"Guk! Guk! Guk!"
Seketika itu juga George berseri-seri lagi air mukanya.
"Tim! Timmy!" serunya dengan gembira. Ia mengenali suara anjingnya.


Lima Sekawan Di Gua Kelelawar di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang menggonggong itu ternyata memang Timmy. Anjing itu muncul dari lorong yang
gelap, langsung menubruk George dan menjilati tangannya.
George tidak sampai hati mengomelinya. Lagi pula Ia terlalu senang melihat Timmy
kembali. Selama itu ia sudah cemas sekali memikirkan nasibnya. Selama menelusuri
lorong, tak henti-hentinya ia berdoa agar dapat melihat anjingnya itu dalam
keadaan selamat. Dan kini Timmy berdiri di depannya, sambil mengibas-ngibaskan
ekornya dengan gembira. George terharu, tapi tidak mau menampakkannya. Ia menggaruk-garuk kepala Timmy.
"Nah, Tim! Ke mana saja kau selama ini"'
Anjing cerdas itu seakan-akan memahami pertanyaan tuannya, karena ia berpaling
lalu lari menuju suatu sudut gelap dari mana Ia muncul tadi.
"Guk! Guk!" gonggongnya, seperti memanggil.
George memahami maksudnya.
"Timmy hendak memperlihatkan sesuatu pada kita!" serunya, lalu bergegas
menghampiri. Saat itu barulah ia melihat bahwa di situ ada lorong lagi.
"He, di sini ada lagi sebuah lorong!" serunya. "Ketiga pencuri itu pasti lari
lewat sini. Huh, sial - kenapa kita tadi tidak memeriksa dengan lebih cermat!"
Ia sudah hendak lari memasuki lorong, tapi kepala polisi yang ada di dekatnya
menahan. "Tenang, tenang," katanya. "Aku dulu, bersama anak buahku. Kita harus hati-
hati!" Anak-anak terpaksa mematuhi perintahnya. Lorong yang baru nampak itu sempit
sekali bagian depannya. Karena itulah tidak gampang kelihatan. Tapi kemudian
menjadi lebar, dan orang dapat melewatinya dengan mudah.
Lama sekali iring-iringan itu berjalan sambil membisu, menelusuri lorong bawah
tanah itu. Kepala polisi mulai gelisah.
"Paling sedikit sudah satu kilometer kita menyusuri lorong gelap ini!" katanya.
Saat itu lorong menikung. Timmy yang berjalan mendului, berhenti di tempat yang
kelihatannya merupakan ujung jalan itu. Ia berdiri, menopang kaki depannya ke
dinding batu. "Guk! Guk! Guk!" gonggongnya, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Kepala
polisi menghampirinya, lalu mengamat-amati dinding lorong. Ternyata di dekat
kaki Timmy ada semacam tuas. Kepala polisi menarik tuas itu. Sebongkah batu
bergeser ke samping. Di belakangnya nampak tangga yang juga terbuat dari batu.
Tangga tersembunyi. Tanpa mengatakan apa-apa, kepala polisi memberi isyarat
kepada anak buahnya, menyuruh mereka menaiki tangga itu.
Apakah yang akan mereka temukan di atas sana"
Bab 13 TEMUAN YANG TAK TERDUGA-DUGA
GEORGE menghitung ada sekitar dua puluh anak tangga yang dilalui, ketika
akhirnya rombongan itu sampai di atas. Semua berhenti.
"Di depan ada dinding batu!" kata polisi yang berjalan paling depan. "Tapi
tangga ini tidak mungkin menuju ke tempat yang buntu. Pasti ada jalan keluar
dari sini. Kita harus menemukannya."
Dick mendesak maju, menghampiri kepala polisi.
"Biar saya saja yang mencari," katanya. Dengan cekatan ia meraba-raba dinding
batu itu. Teraba olehnya celah yang sempit sekali, hampir rata dengan dinding.
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti kunci terbuka!
Sepotong dinding berbentuk persegi empat bergerak memutar pada sumbunya sendiri.
Di belakangnya nampak sinar remang-remang. Tahu-tahu Dick merasa dirinya didorong ke samping.
"Biar kami masuk dulu!" kata kepala polisi. "Mungkin kita sudah sampai di tempat
tujuan!" Dengan hati-hati sekali para petugas kepolisian menyusup masuk. Anak-anak
menyusul, tanpa bertanya lagi.
"Eh ini kan ruang tamu Puri Berkshire!" seru Anne dengan suara tertahan.
Mereka kini memang berada di bangsal puri, di mana Pangeran Penlech beberapa
hari yang lalu memamerkan koleksi jamnya yang berharga pada anak-anak. Julian
beserta ketiga saudaranya memandang ke belakang. Ternyata pintu keluar dari
lorong bawah tanah tadi terdapat di bekas pendiangan yang besar, yang sudah lama
tidak pernah dipakai lagi.
Sekarang segala-galanya sudah jelas!
Lewat lorong rahasia itulah kawanan pencuri bisa memasuki puri tanpa ketahuan,
lalu pergi lagi setelah menyikat habis harta yang ada di situ. Dan lewat lorong
itu pula beberapa saat yang lalu ketiga penjahat itu melarikan diri, dengan
membawa harta curian mereka.
"Sekarang soalnya sudah jelas!" seru salah seorang polisi. "Mereka lari lewat
puri ini, dengan membawa segala harta harta curian mereka. Rupanya mereka tahu
bahwa di balik pendiangan ada lorong tersembunyi. Tapi aneh, kenapa saat siang
begini mereka bisa lewat di sini, tanpa diketahui oleh Pangeran Penlech,
pelayannya, atau pengunjung puri!"
"Pertanyaan itu bisa dijawab dengan mudah!" kata kepala polisi. "Hari ini Purl
Berkshire tidak dibuka untuk umum. Sedang Pangeran Penlech - yah, kurasa Ia
sendiri atau bersama pelayannya - takkan mampu menghadapi tiga orang pencuri
yang nekat!" "Astaga!" seru Julian kaget. "Mudah-mudahan saja pangeran beserta pelayannya
tidak diapa-apakan oleh mereka!"
"Kita cari saja keduanya!" kata kepala polisi, lalu berpaling dan memberi
perintah pada anak buahnya, "Periksa seluruh ruangan dengan seksama!"
Anak-anak tidak mau ketinggalan Mereka ikut mencari. Tiap kali sebelum memasuki
ruangan mereka mendengarkan dulu di balik pintu, untuk meyakinkan bahwa di
belakangnya tidak ada penjahat yang sudah siap menyergap. Tindakan itu
sebenarnya hanya untuk berjaga-jaga saja, sebab para penjahat pasti sudah lama
melarikan diri. Usaha pencarian di lantai bawah sama sekali tidak membawa hasil. Tidak ada orang
di situ. Tapi ketika naik ke tingkat atas, Julian serta ketiga saudaranya
mendengar suara rintihan pelan. Dengan serempak mereka menerobos masuk ke kamar
dari mana suara tadi berasal. Ternyata itu kamar tidur Pangeran Penlech. Anak-
anak tertegun di ambang pintu, sambil memasang telinga.
"Di sana!" seru George sambil menuding ke sebuah lemari dinding.
Kepala polisi yang sementara itu sudah tiba memutar kunci lemari, membuka
pintunya. Pangeran Penlech meringkuk di lantai lemari, dalam keadaan terikat. Di
sisinya meringkuk pelayannya, Jan.
"Pangeran Penlech!" seru Julian. "Cepat, kita harus membebaskannya!"
Ia berlutut di samping bangsawan itu. Sumpal yang menyumbat mulut dibuka, sedang
tali yang mengikat tangan diputuskan dengan pisau saku. Sementara itu Jan
dibebaskan oleh salah seorang petugas polisi.
"Anda cedera?" tanya kepala polisi pada kedua orang yang malang itu.
"Tidak!" kata Pangeran Penlech. "Tapi para penjahat itu benar-benar keterlaluan.
Ketika mengikat kami tadi, mereka masih sempat membanggakan din bahwa merekalah
yang mencuri jam-jam emas koleksiku. Benar-benar keterlaluan! Sambil tertawa
mereka bercerita bahwa mereka akan keluar lewat pintu depan - biar polisi
bingung! Mereka menganggap diri mereka lebih cerdik daripada polisi. Mereka juga
mengatakan belum mau pergi dari daerah sini, sebelum segala harta yang ada di
sini habis mereka curi !"
Wajah kepala polisi merah padam mendengar tantangan itu.
"Nanti mereka pasti menyesal karena bersikap begitu kurang ajar!" sergahnya.
"Yang jelas, saat ini mereka masih bisa berkeliaran dengan bebas... dan koleksi
jamku ada di tangan mereka!" kata Pangeran Penlech dengan nada getir. "Padahal
aku sama sekali tidak mengasuransikan koleksiku itu. Aku memamerkannya di sini
untuk mendapat penghasilan. Sekarang aku benar-benar hancur!"
Air mata Anne berlinang-linang. Ia menghampiri bangsawan itu lalu memegang
tangannya. "Polisi pasti marnpu membantu Anda, Pangeran," katanya lirih "Kami berlima pun
Pendekar Patung Emas 20 Wiro Sableng 003 Dendam Orang-orang Sakti Pendekar Aneh Naga Langit 12
^