Pencarian

Di Kota Hantu 1

Lima Sekawan Di Kota Hantu Bagian 1


Lima Sekawan Di Kota Hantu "LES CINQ DANS LA CITE SECRETE"
by Claude Voilier Copyright ? Librairie Hachette, 1976
Allrights reserved LIMA SEKAWAN: DI KOTA HANTU"
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman
"THE BERUHMTEN 5 IN DER GEISTERSTADT"
Oleh Agus Setiadi GM 84.O14 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia. Jakarta 1984
Anggota IKAPI Dicetak oleh PT Gramedia Scan by tagdgn www.tag -dg n.blog spot .com
Convert & Edit by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
DAFTAR ISI Bab I Berlibur di Skotlandia 7
Bab II Kisah Lama 19 Bab III Ke Killan 33 Bab IV Penyelidikan Dimulai 48
Bab V Gua Tersembunyi 62 Bab VI Gempa! 72 Bab VII Peninggalan Kuno 90
Bab VIII Mencari Jalan 103
Bab IX Di Kota Mati 115 Bab X Penemuan Menggemparkan 130
Bab XI Ratu Sulmai 145 Bab XII Penyergapan 155 Bab XIII Misteri Tersingkap 171
Bab I BERLIBUR DI SKOTLANDIA "Sungguh! Daerah pegunungan tidak kalah indah dan menarik, dibandingkan dengan
laut!" Julian berusaha menghibur George. Gadis remaja saudara sepupunya itu sejak tadi
menatap pemandangan yang membentang di depan mata dengan perasaan sebal.
Sejak kecil Ia selalu hidup di daerah pesisir yang menghadap ke samudera luas.
Ia gemar sekali berenang. Karena itu Ia sebetulnya sama sekali tidak setuju
dengan rencana untuk sekali itu berlibur di villa musim panas milik salah
seorang kenalan ayahnya. Soalnya, tempat itu di dataran tinggi Skotlandia - di
sebelah utara. Seperti biasanya setiap musim panas, kali itu pun Julian beserta kedua adiknya,
Dick dan Anne, ikut berlibur dengan George. Orang tua George, Paman Quentin dan
Bibi Fanny, sudah menganggap ketiga remaja itu seperti anak mereka sendiri.
Mereka senang sekali bahwa George bersahabat karib dengan ketiga saudara
sepupunya. Apalagi ditambah dengan Timmy, anjing George yang setia, lengkaplah
sudah Lima Sekawan. Tapi perasaan George saat itu jauh dari gembira.
"Huh, gunung! Apa itu?" omelnya. "Bagusnya hanya kalau ada salju, untuk main
ski! Tapi saat musim panas seperti sekarang ini, pegunungan benar-benar
menyebalkan! Kalau siang panas, tapi untuk malam hari diperlukan baju hangat
sekoper penuh!" "Aduh - kau ini kalau bicara selalu suka melebih-lebihkan," kata Anne mencampuri
pembicaraan. "Lihat sajalah nanti - kita di sini pasti akan bisa mengalami
berbagai kejadian yang mengasyikkan - seperti di Kirrin!"
George masih saja belum bisa diyakinkan. Anak itu nama sebenarnya Georgina. Tapi
sejak kecil Ia sudah selalu lebih suka menjadi anak laki-laki. Ketika bicaranya
baru bisa sepatah-sepatah pun Ia sudah menamakan dirinya George. Dan nama itu
tetap melekat padanya sampai sekarang. Matanya berkilat-kilat memancarkan
kecerdasan, sementara segala gerak-gerik dan tingkah lakunya sedikit pun tidak
ada bedanya dengan anak laki-laki. Kesan itu semakin dipertegas oleh bentuk
tubuhnya yang ramping kelaki-lakian, serta rambut ikalnya yang tidak pernah
sempat tumbuh sampai panjang. Selalu pendek!
Sedang Anne, sepupunya yang termuda, penampilan serta wataknya kebalikan dari
George. George berambut coklat gelap - bahkan bisa dibilang kehitam-hitaman.
Sedang Anne berambut pirang berkilauan, seakan-akan ingin bertanding dengan
sinar bola matanya yang biru cerah. Tingkah lakunya yang serba lemah lembut
biasanya bisa melunakkan emosi George yang selalu meledak-ledak.
Julian saudara sepupu George yang tertua. Ia juga yang paling dewasa jalan
pikirannya di antara mereka berempat. Kalau ada kesulitan, akal sehatnya sudah
sering terbukti bisa menemukan pemecahan. Rambutnya pirang, seperti warna rambut
Anne. Perawakannya tinggi langsing.
"Hari pertama di tempat lain memang sering terasa menyebalkan," kata Julian.
"Bahkan kalau kita berlibur di Kirrin pun, hari pertamanya kita sering merasa
bingung, tidak tahu apa yang hendak dilakukan. Sungguh - aku yakin kita di sini
lama-kelamaan juga akan merasa seasyik di Kirrin!"
Kirrin letaknya di daerah pesisir barat lnggris. Orang tua George tinggal di
kota kecil itu. Rumah mereka asyik, dekat tebing curam yang seakan-akan memagar
teluk yang pemandangannya luar biasa indah. Dan dari teluk berpagar tebing
itulah biasanya segala petualangan mereka berawal.
Dick, sepupu George yang tengah, mirip sekali dengan dia. Sampai banyak orang
menyangka mereka berdua anak kembar.
"Kata Julian tadi benar," kata Dick. "Lagi pula, yang paling penting kita
berlima bisa berkumpul. Ya, kan?"
Mendengar itu wajah George langsung cerah. Dick benar, katanya dalam hati. Ia
berpaling pada Tim, anjingnya yang setia.
"Nah, Tim - kalau kau, bagaimana pendapatmu?"
"Guk!" gonggong Timmy singkat. Ekornya dikibas-kibaskan menyapu tanah,
menyebabkan debu beterbangan.
"Hah - dia juga setuju dengan kami!" kata Dick sambil tertawa. "Kurasa sekarang
saja ia sudah mengendus bahwa kita akan mengalami saat-saat yang mengasyikkan di
sini nanti. Aku berani bertaruh, dalam pikiran Timmy saat ini, Ia sudah asyik
menarik-narik kaki penjahat misterius!"
Dick mengomentari kelakuan Timmy yang mengambil dahan kering, lalu meletakkan
benda itu di depan kaki George. Rupanya anjing itu mengajak bermain.
"Aku tidak keberatan jika kita sekali-sekali berlibur tanpa mengalami kejadian
apa-apa" sela Anne. "Biasanya setiap kali kembali ke sekolah sehabis liburan,
aku selalu capek - karena selama libur tidak henti-hentinya merasa tegang"
"Sudahlah, kita lihat saja apa yang terjadi nanti" kata Julian sambil bangkit
dengan cepat. "Sementara itu kita menyibukkan diri dengan pelancongan melihat-
lihat keadaan daerah sini!"
Saat itu sudah lewat tengah hari. Mereka baru paginya tiba di desa Klyness itu,
tempat mereka akan berlibur. Sebelumnya mereka baru sempat berkeliaran melihat-
lihat dalam kebun. Villa kawan Paman Quentin yang dipinjamkan letaknya di ujung
jalan ke luar desa. Tempat itu tenang dan sunyi. Itu yang menyebabkan Paman
Quentin memilih berlibur di situ, supaya Ia bisa melakukan penelitian tanpa ada
yang mengganggu. Ayah George ilmuwan yang terkenal namanya di kalangan
internasional. Di desa pegunungan itu ia mengharapkan akan bisa bekerja dengan
tenang. Saat itu ada tugas rumit yang harus diselesaikan.
"Dengar dulu sebentar, Anak-anak," kata Bibi Fanny ketika mereka sedang sarapan
pagi. "Di sini kalian boleh hidup leluasa. Aku dan paman kalian bermaksud hendak
mengadakan pelancongan berjalan kaki menyusur pegunungan, apabila Paman ingin
istirahat sebentar dari kesibukan kerjanya. Bagaimana rencana kalian membagi
waktu, terserah - asal ingat pulang waktu makan! Dan satu lagi. Jangan berbuat
yang aneh-aneh!" "Dan kau, Julian," kata Paman Quentin menambahkan, "kau harus menjaga George
serta kedua adikmu. Kau yang paling tua, jadi kau yang bertanggung jawab atas
adik-adikmu ini." Julian sendiri juga sudah tahu. Kalau Anne, belum pernah menimbulkan kesulitan.
Tapi lain halnya dengan George dan Dick. Keduanya cocok sekali. Sama-sama gesit
dan suka melakukan tindakan gila-gilaan. Dalam menghadapi berbagai peristiwa,
George sering paling dulu beraksi. Kemudian baru disusul saudara-saudaranya.
Tapi itu tidak selalu begitu. Kalau situasi yang dihadapi terlalu berbahaya,
biasanya Julian malah berusaha mencegah.
Kalau Julian mengajukan usul, biasanya diterima. Begitu pula halnya dengan kali
itu. Mereka langsung setuju dengan usulnya untuk melancong guna melihat-lihat
daerah sekitar Klyness yang baru sekali itu mereka datangi.
Keempat remaja itu duduk-duduk di kebun, di bawah sebatang pohon pinus. Mereka
sibuk merundingkan rencana pelancongan.
Julian mengeluarkan sebuah buku saku dari kantungnya. Buku itu terbitan badan
pariwisata dan memuat berbagai keterangan mengenai daerah itu.
"Ini," katanya sambil mengacungkan buku yang dipegang, "di sini tertera bis mana
saja yang bisa kita naiki jika ingin pergi ke berbagai tempat yang agak jauh
Sedang untuk melancong di sekitar sini, kita kan punya sepeda."
"Betul! Sepeda - dan kaki," kata George. Tampangnya sudah cemberut lagi. "Lihat
saja ke sekeliling kita! Di mana-mana cuma bukit dan gunung saja yang nampak.
Bisa ambruk kita dari sepeda nanti, karena harus tidak henti-hentinya mendaki!"
"Ya, tapi kalau sudah tiba di puncak. kemudian jalan kan pasti menurun," tukas
Dick sambil nyengir. "Pokoknya, rumah ini pangkalan yang benar-benar serasi," kata Julian sambil
memandang ke sekeliling. "Dan sini kita bisa berangkat mengunjungi berbagai
tempat yang menarik."
"Apalagi di sini ada Joan," kata Dick sambil meneguk liur, membayangkan bekal
makanan enak yang pasti akan disiapkan juru masak keluarga Kirnin itu.
"Dasar anak rakus!" kata George. "lngatanmu tidak lain pada makanan melulu.
Kurasa petualangan yang paling asyik bagimu, jika ada yang mengajakmu mencopet
perkedel !" Sambil tertawa-tawa, mereka bangkit. Daun pinus yang seperti jarum dan melekat
ke pakaian dikibaskan dengan tangan. Mereka sudah memutuskan untuk pergi
melancong ke desa serta daerah sekitarnya besok, sehabis sarapan pagi.
Pagi-pagi keesokan harinya pelancongan dimulai. Timmy berlari-lari mendului
sambil menggonggong-gonggong. Karena jahan yang dilewati menurun, dengan cepat
mereka sudah sampai di tengah desa.
Klyness merupakan desa yang menanik untuk dilihat-lihat. Di tengah desa ada
suatu medan yang romantis, mengapit sebuah gereja kuno. Di tengah-tengahnya ada
pancuran dengan semburan air sejuk. Bak pinggiran pancuran ditanami bunga
berwarna-warni. Dan situ bisa dilihat gunung-gunung yang melingkungi.
Keempat remaja itu sudah melihat-lihat gereja tua, begitu pula toko-toko di
sekeliling medan. Mereka merasa capek karena tadi harus bersepeda di atas jalan
berbatu-batu. Mereka juga haus sekali. Kalau Timmy gampang saja caranya
menyelesaikan masalah itu. Ia terjun ke dalam kolam pancuran, lalu berenang-
renang di situ sambil minum sepuas-puas hati!
George dan ketiga saudara sepupunya mendatangi sebuah restoran kecil, lalu duduk
menghenyakkan diri ke kursi-kursi yang tersedia di situ. Muka mereka yang
kepanasan nampak semakin merah kena bayangan kain payung pelindung berwarna
oranye yang ditimpa sinar matahari. Timmy berbaring di tempat terang. Uap
mengepul naik dan bulunya yang basah kuyup.
Seorang gadis datang menghampiri anak-anak. Ia pelayan restoran itu.
"Selamat pagi," sapanya sambil tersenyum ramah. "Kalian mau pesan apa?"
George memesankan sari buah empat gelas, sedang untuk Timmy beberapa potong
biskuit. Tidak lama kemudian gadis tadi sudah datang lagi mengantarkan pesanan.
"Kalian senang di sini?" tanyanya dengan penuh perhatian.
"Belum tahu, karena baru saja tiba kemarin," kata George dengan segera. "Apa
keistimewaan di sini yang rasanya pantas untuk dilihat?"
"Istimewa?" kata gadis pelayan itu. Ia mengingat-ingat sebentar, lalu berkata
lagi, "Sebenarnya tidak ada apa-apa yang istimewa di sini. Tapi kalau kalian
senang melancong, memang di sinilah tempatnya." Gadis itu tersenyum sebelum
menambahkan, "Dan di samping itu banyak pula kisah-kisah kuno di sini. Orang
sini masih selalu saling menceritakan kisah-kisah itu saat cuaca buruk
menyebabkan tidak enak berada di luar rumah."
"Asyik!" kata Anne bergairah. "Aku paling senang mendengar kisah-kisah lama!"
"Kalau begitu kau pasti senang mendengar hikayat Gunung Killan" kata gadis
pelayan itu. Bab II KISAH LAMA "Ceritakan dong," kata Anne meminta.
Gadis itu menoleh ke meja-meja lain. Dilihatnya ada beberapa tamu yang belum
sempat dilayani. "Sayang tidak bisa sekarang, karena aku masih harus melayani tamu-tamu lain.
Begini saja," katanya sambil agak membungkukkan diri ke arah anak-anak. "Kalian
pergi saja ke Nenek Katy. Katakan padanya, aku yang menyuruh kalian. Namaku
Christine. Nenek Katy itu penduduk tertua di desa ini. Ia tahu semua kisah dan
hikayat daerah kami. Ia pasti gembira atas kedatangan kalian, karena ada
pendengar yang belum pernah mendengar ceritanya."
George dan ketiga sepupunya bergegas menghabiskan minuman mereka. Setelah
membayar, mereka cepat-cepat mengambil sepeda masing-masing. Sementara Christine
buru-buru berseru, menyebutkan alamat wanita tua yang akan didatangi itu.
Berkat petunjuk Christine, rumah Nenek Katy berhasil ditemukan dengan cepat.
Wanita berumur lanjut itu tinggal di sebuah rumah bangunan kuno yang dindingnya
dilabur putih bersih. Ketika George serta ketiga sepupunya datang, Ia sedang
duduk-duduk di depan rumah, berjemur diri. Sinar matahari pagi yang cerah terasa
nyaman, mengurangi kengiluan pada persendian tubuh yang dihinggapi penyakit
encok. Ia duduk sambil menopangkan kedua tangannya pada sebatang tongkat yang
kekar. Wajahnya langsung bersinar gembira mendengar penjelasan Julian, apa sebabnya
mereka datang ke situ. "Sini - duduklah dekat-dekat padaku" kata wanita yang sudah berumur lanjut itu
dengan suara tuanya. "Aku senang jika ada yang datang berkunjung."
George dan Anne duduk di bangku mendampingi Nenek Katy, sementara Dick dan
Julian memakai potongan batang kayu bakar sebagai ganti kursi.
"Dulu - "ujar Nenek Katy membuka kisah. George mulai gelisah. Jangan-jangan
Nenek Katy akan mengisahkan dongeng yang sudah dikenal setiap anak kecil! Tapi
dugaan itu keliru. Dua menit kemudian gadis bandel itu sudah asyik mendengarkan
kata-kata yang meluncur dari mulut Nenek Katy, sementara matanya menatap wajah
yang penuh kerut. Nenek Katy bercerita tentang sesuatu yang menurut hikayatnya
terjadi beberapa abad yang lampau di desa Klyness.
"Gunung yang di sebelah sana itu," katanya sambil menuding, "itulah yang namanya
Gunung Killan." Anak-anak memandang ke arah yang ditunjuk. Mereka melihat sebuah bukit yang
letaknya tidak begitu jauh dari desa Klyness.
"Di kaki gunung itu ada desa" ujar Nenek Katy meneruskan cerita. "Desa itu
senama dengan gunung yang menaungi. Jadi juga Killan namanya. Menurut penduduk
di situ, Gunung Killan itu sebelah dalamnya berongga."
"Wah - kalau begitu, itu bukan gunung" kata Anne dengan nada tercengang. "Orang
yang hendak mendaki ke atas, pasti terperosok masuk ke perutnya!"
Wanita berumur lanjut itu tersenyum
"Ya - itu tergantung tebal tipisnya tanah yang dipijak," katanya. "Tapi dengan
pengertian berongga seperti kukatakan tadi, maksudku bukan seperti - yah,
seperti balon, misalnya. Bukan, bukan begitu maksudku! Gunung Killan itu
kabarnya banyak liangnya. Dan orang mengatakan pula bahwa di tengah-tengahnya
ada rongga yang besar sekali. Kata orang, di situ ada semacam lembah yang dulu
pernah ada penghuninya. Tidak ada yang tahu asal-usul penghuni lembah itu. Lalu
kemudian tahu-tahu mereka lenyap tak berbekas, menjadi korban suatu bencana
dahsyat." Anne mendengarkan penuturan itu dengan napas tertahan. Hati kecilnya mengatakan,
itu kan cuma dongeng! Tapi dongeng atau bukan, yang jelas mengasyikkan.
Dick memperhatikan gerak air muka George. Kelihatan sekali bagaimana perasaan
gadis remaja itu, yang sedang mendengarkan kisah Nenek Katy. George berpendapat
bahwa kisah kuno itu pasti ada benarnya, dan bukan dongeng semata-mata. Kini
yang penting berusaha mengetahui mana yang dongeng dan mana yang benar-benar
pernah terjadi! "Menurut Anda, betul-betul pernah terjadikah peristiwa yang Anda kisahkan ini?"
tanya George dengan tiba-tiba. Rupanya ia sudah tidak bisa menahan diri lagi.


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nenek Katy kaget mendengar pertanyaan itu. Selama beberapa saat Ia termangu.
"Wah - aku sendiri juga tidak begitu tahu," katanya kemudian, "tapi aku yakin,
tidak semuanya merupakan khayalan orang."
"Pendapatku sama" kata George.
"Mungkin memang benar, ada suatu kelompok bangsa asing semasa dulu lari
berlindung ke dalam gunung itu...." kata Nenek Katy menduga-duga.
"Itu kalau gunung itu benar-benar berongga bagian dalamnya" kata Dick.
"Itu bukan mustahil! Mungkin saja dulu di dalamnya benar-benar ada lembah
tersembunyi. Bahkan bisa jadi sekarang pun lembah itu masih ada di sana."
'Tapi kalau benar begitu," sela Julian, "kenapa sampai sekarang belum ada yang
menemukan kembali" Masa selama ini tidak ada yang berusaha mencari !"
George semakin bersemangat. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Bencana yang Anda katakan tadi," katanya pada Nenek Katy, "adakah yang tahu
bencana apa itu" Mungkinkah gempa bumi?"
Nenek Katy memandangnya dengan kagum. "Kenapa kau mengira begitu" Itu memang
dugaanku pula. Kalian perlu tahu, dulu di daerah sini sering terjadi gempa bumi.
Dan kalau sudah gempa, dahsyatnya bukan main! Desa Killan misalnya sudah tiga
kali musnah seluruhnya. Tapi bagaimana sampai bisa ke situ dugaanmu?" tanya
wanita berumur lanjut itu sambil terus menatap George.
Gadis remaja itu tertawa.
"Itu kan sama sekali tidak sulit," katanya. "Karena apabila jalan masuk ke
lembah di gunung sampai tertimbun, maka itu hanya mungkin terjadi karena ada
tanah longsor. Sedang tanah longsor biasanya terjadi apabila ada gempa bumi."
"Wah - pintarnya!" gumam Dick. Ia paling suka mengganggu saudara sepupunya,
walau di pihak lain mengagumi kecerdasannya.
George tidak membalas, karena saat itu perhatiannya tertumpah pada kisah Nenek
Katy. Bahkan Julian pun mulai bangkit minatnya.
"Memang masuk akal" katanya. "Dengan adanya gempa bumi, bisa jadi hikayat ini
mengandung kebenaran"
Keempat remaja itu menghujani Nenek Katy dengan bermacam-macam pertanyaan. Tapi
tidak banyak lagi yang masih bisa diceritakan wanita berumur lanjut itu.
"Wah - sayang aku tidak tahu lagi perinciannya yang lebih lanjut. Sejak dua
tahun belakangan ini ingatanku mundur sekali. Di samping itu aku sudah lama
tidak menceritakan kisah tadi. Jadi sudah banyak yang lupa!" Wanita itu
memandang keempat remaja itu. "Kenapa kalian tidak pergi saja sendiri ke Killan"
Di sana ada tukang roti yang gemar mendongeng. Ia pasti lebih banyak tahu
daripada aku. Ayahnya yang meninggal dunia tahun lalu, semasa hidupnya paling
jago bercerita di daerah sini."
Anak-anak mengucapkan terima kasih, lalu meminta diri. Begitu sampai di rumah
lagi, mereka langsung menuju ke bawah pohon pinus yang dipilih sebagai tempat
berunding. George yang paling dulu membuka pembicaraan. "Nah - bagaimana pendapat kalian
mengenai tadi itu?" katanya. "Menurutku, kisah itu ada benarnya. Aku punya usul!
Bagaimana kalau kita berusaha mengadakan penyelidikan mengenainya" Kan lumayan,
untuk mengisi waktu selama liburan di sini!
Dick tertawa sambil memandang sepupunya yang nampak bersemangat. "Ya, kenapa
tidak?" katanya. "Lalu kalau teka-teki itu sudah berhasil kita selidiki,
kemudian kita mengarang buku dengan judul Mencari Lembah yang Hilang atau
Menyusur Jejak Bangsa yang Lenyap!"
"Jadi kau sungguh-sungguh beranggapan bahwa ada kemungkinan kita akan menemukan
sesuatu, George?" tanya Anne
"Pokoknya, aku siap untuk melakukan apa saja!" kata George dengan wajah berseri-
seri. "Aku sama sekali tidak membayangkan yang macam-macam - tapi kan tidak ada
salahnya jika kita mencoba mengadakan penyelidikan"! Bagaimana pendapatmu, Ju?"
"Aku tahu, dalam pikiranmu saat ini pasti sudah terbayang asyiknya menggali-gali
mencari tulang belulang di lembah yang hilang itu," kata Julian. "Kau tidak
boleh lupa, sebelum ini pasti sudah ada orang-orang yang berpengalaman daripada
kita, seperti ahli-ahli ilmu purbakala dan ilmu bangsa-bangsa yang telah
berusaha menyelidiki misteri itu!"
"Ya, tapi mereka tidak berhasil!" kata Dick. "Sebab kalau mereka berhasil,
takkan ada lagi misteri itu sekarang."
"Masa bodoh ilmuwan," seru George. "Pokoknya, penyelidikan kita pasti lebih
asyik dibandingkan dengan yang dilakukan oleh mereka! Kalau kalian setuju,
dengan begitu sambil mengenali daerah, kita mungkin saja akan memperoleh
petunjuk-petunjuk penting! Nah - sekarang bagaimana?"
"Ya, bolehlah," desah Julian.
"Setuju!" seru Anne bersemangat.
Dick menyatakan pendapat dengan anggukan tegas.
Sedang Timmy menggonggong-gonggong ribut, lalu mulai menggali lubang besar di
tengah rerumputan - seolah-olah hendak berlatih mengadakan penggalian mencari
lembah yang hilang. "Kalau begitu soal ini beres," kata George puas. "Besok kita ke Killan. Hari ini
rasanya sudah tidak bisa lagi, karena sudah terlalu siang. Di samping itu
kudengar suara Joan memanggil-manggil!"
Joan, juru masak keluarga Kirrin, orangnya baik sekali. Tapi Ia juga tidak
segan-segan memberi tugas. Ia memanggil keempat remaja itu karena hendak disuruh
mencari buah frambos dalam hutan, untuk dijadikan hidangan pencuci mulut nanti.
Sementara melakukan tugas itu, pikiran George melayang. Besok kita akan mulai
mencari jejak bangsa yang hilang, katanya dalam hati. Perasaannya sudah gelisah
sekali saat itu. Malam itu sebelum tidur mereka masih menyempatkan diri memandang ke arah Gunung
Killan, yang nampak berupa bayangan hitam dengan latar belakang langit cerah
bertaburan bintang. "Bintang-bintang itu..." gumam Anne termangu, "orang-orang yang dulu menghuni
lembah gaib itu pasti juga pernah menengadah seperti sekarang, mengagumi
keindahannya. Bintang-bintang itu satu-satunya saksi kehidupan serta kepunahan
bangsa itu." "Ya - apabila bintang-bintang bisa bicara...." kata Dick sambil diam-diam
menyenggol Julian. la sudah mulai lagi mengganggu George.
"Besok kita pasti juga akan lebih banyak tahu daripada sekarang!" kata George
dengan sikap yakin. "Paling tidak, kita akan bisa mencari ketegasan lebih lanjut
mengenai kebenaran kisah yang dituturkan Nenek Katy!"
"Dengan begitu berakhirlah kisah kita untuk hari ini," kata Julian. "Tokoh-tokoh
utamanya akan masuk ke tempat tidur sekarang, karena besok harus mengadakan
perjalanan jauh dengan sepeda...."
Sambil tertawa-tawa, keempat remaja itu masuk ke rumah.
Bab III KE KILLAN Pukul enam pagi keesokan harinya Dick sudah menggedor-gedor pintu kamar tidur
yang ditempati George dan Anne.
"Bangun, bangun, hari sudah siang!" serunya. "Ahli purbakala tidak perlu banyak-
banyak tidur!" Anak-anak sarapan. Mereka tidak banyak bicara. Mereka tidak nampak bersemangat
seperti malam sebelumnya, karena masih agak mengantuk. Hanya Timmy saja yang
kelihatannya tidak sabar lagi. Ia menggaruk-garuk pintu, ingin cepat-cepat
berangkat. Joan sudah menyiapkan bekal perjalanan yang mencukupi untuk sepanjang hari.
Keranjang yang dipakai sebagai tempat berat sekali, sampai nyaris tak ada yang
bisa menjinjingnya Keempat remaja itu kemudian berangkat naik sepeda di tengah alam yang segar dan
agak lembab karena embun pagi. Timmy berlari-lari di depan mereka. Tapi beberapa
kilometer kemudian anjing konyol itu timbul kemalasannya. Ia duduk di pinggir
jalannya. Napasnya terengah-engah. Lidahnya terjulur. George mengangkat lalu
memboncengkannya dalam keranjang yang ada di belakang. Setelah itu perjalanan
dilanjutkan. Anak-anak sama sekali tidak merasa capek karena mereka bersepeda
dengan penuh kegembiraan. Mereka memasuki desa Killan yang dituju sambil
bernyanyi-nyanyi. Dengan mudah mereka menemukan tempat tinggal tukang roti yang diceritakan Nenek
Katy sehari sebelumnya. Orang itu tinggal di sebuah bangunan tua. Bangunan itu
dulunya tempat penggilingan gandum, tapi sekarang dijadikan rumah. Tukang roti
itu menyambut anak-anak dengan ramah, ketika mereka masuk ke ruang penjualan
untuk membeli roti segar. Kemudian Julian menceritakan alasan mereka datang.
Tukang roti itu tertawa. "Pasti Nenek Katy yang menyuruh kalian kemari!" tebaknya.
"Betul!" kata George. Matanya berkilat-kilat. "Kami ingin tahu lebih banyak
mengenai hikayat lembah yang hilang!"
"Sayang saat ini aku sedang tidak ada waktu, Anak-anak! Tapi jangan kecewa,
karena masih ada Alice. Ia anakku. Ia juga tahu segala-galanya, karena kakeknya
- jadi ayahku - dulu entah berapa ratus kali menceritakan kisah yang itu-itu
juga. Alice! Coba kemari sebentar!"
Seorang anak perempuan berambut coklat muncul dari ruang belakang. Umurnya
sekitar dua belas tahun. George langsung menyukai anak itu, begitu pula ketiga
sepupunya. Timmy mengacungkan kaki depannya , mengajak bersalaman.
"Kalian mengobrol di luar saja" kata tukang roll, "aku banyak kerja di sini."
Saat itu Anne mendapat gagasan gemilang. Kenapa Alice tidak diajak saja, ikut
berpiknik" Alice dengan gembira menerima ajakan itu. Ayahnya membungkuskan kue-kue sekotak
besar. "Baiklah," kata George, "itu mengenai wujud mereka. Lalu apa saja yang mereka
lakukan seharian" Bagaimana penghidupan mereka?"
Alice tertawa mendengar pertanyaan George yang bertubi-tubi itu. "Kalau
mendengarmu, seakan-akan sudah pasti bahwa mereka itu benar-benar pernah ada.
Kau kan tahu, itu sama sekali tidak terbukti?"
"Apabila dalam hikayat diceritakan mengenai bagaimana rupa mereka, kan bisa saja
ada keterangan mengenai apa pekerjaan mereka sehari-hari - ya, kan?" sela Dick.
Kata-katanya itu memang masuk akal. Alice mengingat-ingat sebentar.
"Menurut Kakek, tentang itu tidak diketahui dengan jelas. Tapi kalau berburu,
itu sudah pasti!" kata anak itu kemudian.
"Ya, tentu saja" tukas George dengan kesal. "Kalau tidak begitu, dari mana
mereka mendapat daging untuk dimakan! Kalau hutan, di mana-mana ada di daerah
sini. Mungkin waktu itu penuh sesak dengan babi hutan!"
Alice saat itu memperhatikan Timmy yang sedang mengunyah biskuit. Kemudian Ia
menoleh, tersenyum pada George.
"Anjingmu mengingatkan aku pada suatu hal yang juga dikisahkan dalam hikayat
Orang Hitam," katanya.
George menatapnya dengan sikap tak mengerti, begitu pula ketiga saudara
sepupunya. Sambil tertawa Alice melanjutkan, "Anjing-anjing mereka katanya tidak pernah
menggonggong!" Sekarang anak-anak yang lain benar-benar tercengang.
"Apa" ltu kan tidak masuk akal!" seru Dick setelah beberapa saat. "Apa sebabnya
begitu?" "Entah - aku juga tidak tahu. Aku cuma mengulangi apa yang dulu dikisahkan Kakek
saja." "Mana ada anjing yang tidak pernah menggonggong"!" kata Dick dengan sengit.
"Atau mungkin memang dari semula sudah bisu?"
"Jadi anjing-anjing mereka tidak menggonggong," ulang George lambat-lambat
dengan sikap seperti melamun. "Baiklah! Sekarang tentang hal-hal lainnya. Masih
ada lagi yang kauketahui?"
"Mereka dipimpin seorang - "
"Raja?" potong Julian dengan cepat.
"Bukan! Bukan raja, tapi ratu. Namanya Sulmai," kata Alice.
"Kedengarannya seperti nama orang Timur!"
"Tutup mulutmu, Dick - jangan kauganggu cerita Alice!" tukas George.
"Hikayat lama itu juga menyebutkan nama lembah misterius tempat mereka tinggal.
Temulka namanya - sama seperti kota mereka," sambung Alice.
"Masih ada lagi yang kauketahui?" tanya Julian yang sementara itu sudah ikut
tertarik seperti yang lain-lain.
"Tentu saja," jawab Alice sambil tersenyum penuh rahasia. "Yang paling menarik
sengaja kuceritakan paling akhir." Ia berhenti sebentar, memancing rasa ingin
tahu. "Kata orang, bangsa yang lenyap itu mengenal rahasia membuat emas."
"Emas?" George mengulangi kata itu dengan mata terbuka lebar.
"Ya, betul - membuat emas! Menurut kisah Kakek dulu, bangsa itu menyembah sebuah
patung yang terbuat dari emas murni. Itu patung ratu mereka. Orang itu
menyembahnya karena Ratu Sulmai dikatakan memiliki kekuatan gaib, bisa
menyembuhkan segala macam penyakit."
"Kisah ini makin lama makin tidak masuk akal," gumam Julian. Tapi saudara-
saudaranya memandang Alice dengan mata tak berkedip karena terpesona pada
ceritanya. Kemudian George bangkit dengan cepat, lalu berjalan kian kemari seperti sedang
sibuk berpikir. Timmy ikut mondar-mandir. Mungkin Ia mengira George sedang
berolahraga pagi! "Kita tidak boleh lupa bahwa kisah tadi merupakan hikayat," kata George sambil
menimbang-nimbang. "Jadi bisa saja ada benarnya! Kita sekarang tinggal
menimbang, mana yang benar dan mana yang hanya cerita orang saja! Tapi kalau
aku, aku yakin bahwa Bangsa Hitam itu benar-benar pernah ada!"
"Aku juga," kata Anne sependapat.
"Selain yang telah kaukisahkan tadi, kau benar-benar tidak tahu apa-apa lagi?"
kata Dick sambil memandang Alice.
"Tidak, hanya itu saja yang kuketahui," jawab Alice. Ia menyambung, "Tapi kalian
bisa kutunjukkan jalan paling asyik menuju Gunung Killan, kalau kapan-kapan
kalian ingin melancong ke sana!"
Anak-anak mengemaskan makanan yang tersisa ke dalam keranjang piknik. Sepeda-
sepeda dimasukkan ke dalam semak supaya aman, lalu setelah itu mereka berangkat.
Jalan setapak yang menuju ke Killan ternyata tidak sukar dilalui. Tanjakan-
tanjakan yang ada tidak terjal. Rombongan remaja itu berjalan sambil mengobrol
dengan ramai. Timmy menyibukkan diri dengan mengejar-ngejar kelinci serta capung
yang banyak terdapat di sekitar situ. Setelah berjalan beberapa waktu, George
mulai merasa bosan. Di sebelah kanan jalan terdapat lereng yang melandai ke
bawah. Sedang sisi kanannya tebing cadas yang menjulang sampai ke puncak.
Pemandangan gundul di sisi itu diseling oleh rumput dan belukar di sana-sini.
Tebing ini perlu diteliti secara lebih cermat, kata George dalam hati. Jika
memang benar ada lembah tersembunyi dalam gunung ini yang jalan masuknya
tertimbun batu, maka di salah satu tempat mestinya ada celah, lewat mana orang
bisa mengintip ke dalam. Anak-anak tidak mengatakan apa-apa tentang rencana mereka pada Alice Anak itu
baru saja mereka kenal. Kalau itu diceritakan, jangan-jangan ia malah akan
menertawakan mereka nanti!
Akhirnya mereka sampai di puncak. Dan situ pemandangan indah sekali!
"Bagus sekali kan, negeriku?" seru Alice dengan bangga.
"Ya - bagus sekali" kata George yang setelah itu menggerutu dengan suara pelan,
"tapi masih kalah kalau kubandingkan dengan Kirrin."
Timmy memandang tuannya, seolah-olah hendak mengatakan bahwa pendapatnya juga
begitu. Julian memandang arlojinya.
"Kita harus turun lagi sekarang," katanya. "Hari sudah mulai sore. Lagi pula
kita tidak boleh terlalu lama meninggalkan sepeda-sepeda kita di bawah tanpa
pengawasan. Bayangkan kalau ada orang datang lalu mengambil dengan diam-
diam...." "Wah!" Anne kaget membayangkan kemungkinan itu.
"Tapi di daerah sini tidak mungkin ada pencuri!"
"Siapa bilang," kata Dick menggoda. "Jika suatu bangsa saja bisa hilang, apalagi
kalau cuma sepeda saja"!
Sambil bergurau dan tertawa-tawa, mereka menuruni gunung. Hari pertama itu
berlangsung dengan menarik bagi mereka. Malamnya mereka langsung tidur, karena
sudah capek sekali. Keesokan harinya mereka bangun ketika hari sudah agak siang.
Selesai sarapan pagi mereka berkumpul lagi di bawah pohon pinus yang kemarin.
Mereka hendak membicarakan rencana selanjutnya.
"Alice kemarin sudah membantu kita," kata George. "Tapi kurasa masih ada lagi
keterangan lain yang bisa kita peroleh di samping kisahnya."
"Kalau menurutku tidak," kata Anne. Bibir bawahnya diajukan sedikit ke depan.
"Siapa lagi yang bisa kita tanyai selain dia?"
Julian juga sependapat dengan adiknya itu.
"Ya, siapa lagi yang bisa kita datangi?" tanyanya.
"Guru desa," jawab George dengan segera. "Guru luas pengetahuannya. Lagi pula
untuk memberi pelajaran ilmu bumi di sekolah, pasti diperlukan catatan mengenai
perkembangan daerah sini.!"
"Di Killan tidak ada sekolah," kata Anne dengan suaranya yang lembut. "Tidak
ingatkah kalian bahwa mengatakan Ia bersekolah di Klyness?"
"Betul juga," kata George. Kemudian Ia berseru, "Wah - kalau begitu malah hebat!


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita tidak perlu jauh-jauh!"
"Kau lupa rupanya bahwa sekarang ini liburan," Dick mengingatkan. "Para guru
pasti bepergian semuanya, setelah sibuk mengajarselama ini! Apalagi yang
dihadapi murid-murid bandel seperti seorang anak yang kukenal baik!"
"Yau menantang, ya"!" kata George pura-pura "Tapi kau benar - aku lupa sekarang
sedang liburan. Tapi kita coba saja datang ke sekolah. Kita lihat saja, siapa
yang nanti muncul membukakan pintu."
Bab IV PENYELIDIKAN DIMULAI Tanpa membuang-buang waktu lagi, keempat remaja itu bergegas mengambil sepeda,
lalu berangkat menuju gedung Sekolah Dasar desa itu. Ketika mereka tiba di situ,
nampak seorang laki-laki yang sudah agak tua keluar. Ketika ditanya, ternyata ia
Kepala Sekolah di situ. Lima Sekawan sedang bernasib mujur! Kepala Sekolah itu
mendengarkan cerita anak-anak tentang maksud kedatangan mereka. Setelah itu
dengan ramah diajaknya mereka ikut ke rumah.
"Sayang tidak banyak lagi keterangan yang bisa kutambahkan berkenaan dengan
hikayat Gunung Killan" kata Kepala Sekolah itu kemudian. "Hal-hal terpenting
sudah kalian ketahui anjing-anjing yang tidak menggonggong, rahasia pembuatan
emas, lalu warna kulit bangsa misterius itu, patung ratu mereka yang dihubungkan
dengan kemampuannya menyembuhkan orang sakit.... Pada hakekatnya, aku hanya bisa
menambahkan satu hal lagi. Nama Temulka yang diberikan bangsa yang lenyap itu
pada kota serta lembah tempat kediaman mereka, artinya 'Air Marah'."
"Temulka" ulang Julian sambil merenung, "Air Marah. "
"Ya, betul." kata Kepala Sekolah itu. "Sementara orang menduga bahwa yang
dimaksudkan sebuah sungai berarus deras dalam lembah yang lenyap itu. Aku
sendiri tidak punya pendapat yang berbeda."
Julian beserta saudara-saudaranya kemudian meminta diri sambil mengucapkan
terima kasih. Ketika sudah berada di luar lagi, mereka termangu.
"Kita takkan bisa maju-maju kalau terus-menerus begini caranya" kata Dick. "Aku
lebih setuju jika kita langsung saja pergi mencari jalan masuk ke lembah gaib
itu" "Aku baru saja hendak mengajukan usul serupa!" seru George bersemangat. "Yuk,
kita langsung berangkat sekarang juga!"
Julian menyabarkan sepupunya. Menurut pendapatnya, sebelum itu mereka harus
memberi tahu orang tua George dulu. Begitu pula meminta pada Joan agar
menyiapkan bekal makanan. Kalau sudah bangkit semangatnya, George memang suka
lupa pada hal-hal seperti itu...
Tidak s?mpai sejam kemudian keempat remaja itu sudah bersepeda lagi dengan
gembira, kali ini menuju ke Killan. George tidak mau membuang-buang waktu. Timmy
diboncengkannya dalam keranjang, supaya nanti ia tidak perlu berhenti untuk
mengangkat anjingnya yang capek berlari-lari. Timmy menikmati perjalanan itu.
Lidahnya terjulur ke luar. Kelihatannya seolah-olah tertawa gembira.
Sesampai di tujuan mereka makan-makan dulu. Mereka memilih tempat yang sudah
didatangi sehari sebelumnya. Selesai makan, sisa bekal dimasukkan lagi ke dalam
keranjang makanan. Sepeda-sepeda ditaruh dalam semak. Setelah itu mereka mulai
berjalan, mendaki jalan setapak yang menyusur lereng gunung.
Sekali itu mereka tidak sempat mengamat-amati bunga, kupu-kupu, serta
pemandangan alam yang indah. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada tebing
batu yang ada di sisi kiri jalan.
Setelah berjalan sekitar setengah kilometer, tiba-tiba Dick tertegun. Ia berdiri
di depan semak pakis yang lebat. Semak itu nampak acak-acakan, seperti ada yang
melanda. "Mungkin ada keledai lewat di sini" kata Anne.
"Kenapa tidak mungkin manusia?" kata George menyangsikan. "Kalau keledai, semak
ini pasti sudah roboh karena diinjak-injak. Tapi kelihatannya ini cuma didorong
saja dengan sembrono ke samping. Mungkin di belakangnya ada apa-apa...?"
Sambil bicara, George maju lalu mendorong sebagian dan semak itu ke samping. Ia
menjengukkan kepala ke belakang tumbuh-tumbuhan itu. Detik berikut
terdengarsuaranya berseru dengan gembira, "Asyik. Ada gua di sini!"
"Cepat - kita masuk!" seru Dick.
Keempat remaja itu memang sengaja mengenakan pakaian serba praktis. Karenanya
mereka tidak perlu berhati-hati. Mereka bisa merangkak-rangkak sesuka mereka.
Untung saja - karena celah yang merupakan mulut gua itu sempit sekali. Mereka
hanya bisa masuk dengan jalan menahan napas.
"Mungkin ini jalan masuk ke lembah yang lenyap itu," gumam Anne penuh harap.
"Itu sangkaanmu saja," kata Julian. "Jika begini! gampang menemukannya mestinya
kan sudah diketahui sejak berabad-abad sebelum kita!"
"Sayang kini sudah ada orang mendului kita," kata Dick.
"Dan nampaknya belum begitu lama," kata George membenarkan. Ia memperhatikan
tempat itu. "Kelihatannya ini cuma gua dangkal saja - bukan liang yang menjorok masuk ke
dalam gunung. Tapi sebaiknya kita periksa saja dengan senter."
Anak-anak menyalakan senter yang sengaja mereka bawa.
Diterangi sinar senter, lubang yang semula gelap itu langsung tidak terasa
misterius lagi. Dick dan Juhian menyusuri tepi tempat itu sambil memukul-mukul
dindingnya. Tapi mereka tidak menemukan liang atau celah yang bisa dimasuki. Gua
itu ternyata gua biasa saja.
Anak-anak merasa kecewa. Mereka kembali lagi ke luar, ke tempat terang. Ketika
sudah berada di jalan setapak lagi, mereka melihat dua sosok tubuh berdiri di
situ. Mereka tidak langsung bisa mengenali siapa kedua orang itu, karena mata
mereka masih agak silau setelah beberapa waktu berada di tempat gelap.
"Wah - ada segerombolan monyet!" satu dari kedua orang tak dikenal itu
berbicara. Suaranya kasar.
"Mau apa kalian kemari"!" tukas yang satu lagi dengan suara yang sama tidak
ramahnya. Setelah mata mereka terbiasa lagi pada cahaya terang, Julian dan ketiga
saudaranya melihat siapa yang berdiri di depan mereka. Dua orang pemuda bertubuh
kekar. Keduanya mengenakan pakaian seperti jagoan. Mereka berumur antara delapan
behas sampai dua puluh tahun. Tampang mereka menampakkan gelagat tidak enak.
Aku tidak kepingin berjumpa dengan mereka d tempat gelap, pikir Dick yang
biasanya tidak cepat merasa ngeri.
Tapi tahu-tahu George melangkah maju, lalu berdiri tegak menatap kedua pemuda
berpenampilan kasar itu. "Mau apa kami kemari!" tukasnya dengan sikap menantang. "Kurasa sama seperti
kalian - melancong!"
Mata pemuda yang berperawakan lebih besar mulai berkilat-kilat.
"Kaudengar kata anak laki-laki ini, Bob?" katanya sambil berpaling memandang
temannya. "Berani juga ia bermulut besar!"
Bukan baru sekali itu George dikira anak laki-laki. Biasanya Ia bangga jika
begitu. Tapi saat itu ia tidak merasa dipuji. Ia berjaga-jaga, karena kedua
pemuda yang dihadapi bersikap mengancam. Timmy yang ada di samping George
rupanya berperasaan sama. Anjing setia itu tidak menggeram. Tapi bulu tengkuknya
menegak. "Aku sama sekali tidak besar mulut" kata George. "Aku cuma menjawab pertanyaan
kalian!" "Kau rupanya pandai bersilat lidah," kata pemuda yang rupanya bernama Bob.
"Bagaimana pendapatmu jika jago kate ini kita cabuti bulunya beberapa helai?"
Temannya tertawa jelek. "Pertama-tama aku masih ingin mendapat jawaban dari kalian! Nah - mau apa kalian
di sini?" Julian menatapnya lurus-lurus.
"Sepupu perempuanku tadi sudah mengatakan - kami melancong di sini" katanya
tegas. "Kami hendak mendaki Gunung Killan" sambung Anne. Anak itu berusaha
menyembunyikan rasa takutnya. Sementara itu pemuda yang bernama Bob menatap
George dengan sikap agak heran.
"Eli - rupanya dia ini anak perempuan," kata Bob. "Tapi sekarang terus terang
saja. Kami melihat kalian tadi keluar dari dalam gua yang disana itu. Menurutku
kalian ini anak-anak yang suka mencampuri urusan orang lain!"
"Masa bodoh!" seru Dick yang sudah hilang kesabarannya. "Pokoknya kami juga
berhak ada di sini. Tempat ini kan bebas didatangi siapa pun juga!"
"Kami ingin lewat!" tukas George.
"He, he - jangan terburu-buru pergi !" Bob berdiri menghadang. Tapi ia tidak
memperhitungkan Timmy! Anjing itu kini menggeram dengan galak, sambil
menyeringai memperlihatkan taring. Sikapnya agak merunduk, siap akan nenerjang
maju. "Jangan berani coba-coba!" kata Bob dengan geram. Tapi Ia ditarik oleh temannya.
"Yuk - kita pergi! Anjing itu tidak main-main!"
"Baiklah!" Sebelum berpaling Ia masih mengancam George serta ketiga sepupunya,
"Kalian hati-hati - jangan coba-coba datang lagi kemari!"
"Kenapa kami yang harus hati-hati," balas George sambil menggaruk-garuk kepala
Timmy, sementara kedua pemuda tadi menjauh ke arah desa.
"Huhh! Tampang mereka - persis penjahat!" kata Dick sambil mendengus
"Mudah-mudahan kita tidak berjumpa lagi dengan mereka," kata Anne lirih.
Julian nampak agak prihatin.
"Mereka tadi bukan pelancong," katanya. "Mereka orang sini, jadi pasti suka
berkeliaran di sekitar sini. Itu berarti kita pasti akan berhadapan lagi dengan
mereka jika kita meneruskan penyelidikan ini."
"Biar saja!" kata George sambil mengangkat bahu tanda tak peduli. "Aku tidak
takut pada mereka Keduanya bukan cuma bertampang jahat, tapi juga tolol. Kalau
mereka mengganggu kita lagi. Timmy pasti akan - "Ia menirukan gerak menggigit" -
dan seketika itu juga kita bebas dari gangguan mereka!"
"Tapi sebelumnya Timmy harus berpuasa dulu. seminggu!" kata Dick sambil
cekikikan. "Ya - dan kemudian ada kemungkinan Ia mati karena keracunan!" kata Julian
menambahkan. Gurauan keduanya meredakan suasana yang semula tegang. Anak-anak meneruskan
pendakian. Bob dan kawannya sudah tidak diingat lagi.
Tapi penyelidikan hari itu sama sekali tidak mendatangkan pengetahuan baru
mengenai misteri lembah yang lenyap. Tebing batu curam mereka periksa dengan
teliti sekali. Tapi tidak dijumpai hal-hal yang luar biasa.
Sebelum sempat mencapai puncak, Julian sudah mengajak pulang.
Dick mengomel, "Huuh, lamban sekali jalannya penyelidikan kita. Sampai kita
mencapai puncak, jangan-jangan aku sudah berjanggut putih yang panjang sekali!"
"Dan kalau sampai di puncak, itu berarti baru satu sisi gunung ini yang kita
korek-korek" sambut Julian sambil mengeluh. "Entah di mana letak jalan masuk
lembah itu!" "Rasanya seperti mencari jarum dalam jerami!"
"Kalian berdua ini benar-benar perusak suasana" tukas George yang akhirnya kesal
mendengar Dick dan Julian tidak henti-hentinya berkeluh-kesah. "Orang berhasil
memang harus berusaha keras!"
"Betul" kata Anne. "Kalau aku - aku yakin bahwa pasti berhasil!"
Nampak jelas bahwa Anne ingin sekali melihat hikayat lama itu menjelma menjadi
kenyataan Dick menandang adiknya sambil ketawa, lalu mengangguk.
"Memang - yang penting kita asyik" katanya. "Kalau sudah malas mencari, kan
tidak ada yang melarang kita berhenti!"
Bab V GUA TERSEMBUNYI Har-hari selanjutnya mereka meneruskan pencarian. Setiap kali pagi-pagi mereka
mendaki semakin tinggi. Dan kalau sudah hampir sore, turun lalu pulang dengan
perasaan kecewa. Kecuali George, semua sudah lesu. Apalagi karena menghadapi
persoalan lain.... Selama itu dua kali mereka bertemu lagi dengan Bob serta kawannya. Dengan
tatapan mata marah dan curiga, keduanya cepat-cepat menghindar. Itu tentu saja
karena Timmy. Kedua pemuda itu takut padanya. Anak-anak tidak mengerti, apa yang
menyebabkan adanya sikap permusuhan itu.
"Mungkin- mereka tidak menyukai kita datang ke Killan," kata George.
"Apa alasannya"!" tukas Dick. "Tempat ini kan bukan milik mereka!"
Karena kedua pemuda itu, suasana lantas terasa menegangkan. Terdapat kesan
seakan-akan keduanya mengawasi setiap gerak-gerik mereka dari jauh.
Suatu siang yang cerah George serta ketiga sepupunya ada lagi untuk kesekian
kalinya di atas gunung Mereka meneruskan pencarian, walau sudah semakin lesu.
Hanya Timmy saja yang masih nampak gembira. Anjing itu berlari-lari kian kemari.
la asyik mengejar kelinci, kodok, dan entah binatang apa lagi. Atau kalau tidak,
berguling-guling dengan asyik di tengah tumbuh-tumbuhan rendah.
Tiba-tiba George melihat Timmy mengendus-endus, lalu mengejar seekor tikus
ladang sambil mendengking-dengking.
"Tim! Timmy! Sini, Tim," seru George memanggil-manggil. "Jangan kauganggu tikus
itu!" Tapi Timmy pura-pura tidak mendengar karena sedang asyik. Dengan hidung menempel
ke tanah. dikutinya jejak tikus tadi. Tikus itu melesat lari menghilang ke dalam
semak belukar. Timmy langsung mengejar. Tahu-tahu anjing itu sudah menghilang di
tengah semak. "Ah, macam-macam saja anjing itu," kata Dick mengomel. "Ke mana dia sekarang"
George menyeruak ke dalam semak sambil memanggil -manggil, "Tim! Timmy!"
Ia mendengar Timmy menggonggong. Aneh - kenapa kedengarannya seperti dari jauh
sekali. George maju dengan susah payah. Tiba-tiba a berseru kaget, "Ada lubang!"
Di depannya menganga sebuah lubang di tengah tebing batu. Lubang sebuah gua,
yang tidak nampak dari jalan setapak yang selama itu mereka telusuri.
Julian, Dick, dan Anne bergegas-gegas datang.
"Nah! Akhirnya kita berhasil menemukan gua yang benar-benar gua!" kata Dick
sambil bersorak gembira. "Jauh lebih besar daripada yang waktu itu! Aku berani
bertaruh, ini pasti jalan masuk ke ...."
"Jangan cepat-cepat senang dulu!" potong George "Rumput di sini kelihatannya
seperti ada yang menginjak-injak. Nih - ini bahkan ada jejak kaki orang. Ini
berarti bahwa ada yang tahu di sini ada gua!"
"Wah! Lihat ini!"
Anak-anak yang lain mendengar suara Anne berseru dari dalam gua. Anak itu
meraba-raba berbagai benda yang bergantungan di dinding gua atau terhampar di
bawah. Julian membungkuk untuk mengamat-amati dengan lebih teliti.
"Perangkap, jerat, dan kulit kelinci!" serunya. "Dan di pojok sana, tumpukan
kulit yang sudah kering!"
"Rupanya ini tempat bersembunyi pemburu gelap!' kata Dick.
"Ini rupanya penjelasannya!" seru George puas. "Dari semula sudah kuduga. Pantas
kedua orang aneh itu kelihatannya gelisah terus. Rupanya mereka khawatir kita
akan menemukan tempat persembunyian mereka - seperti yang terjadi sekarang!"
"Kau benar, George!" kata Julian sambil mengangguk. "Mereka itu pemburu gelap!"
"Mereka, atau bisa juga orang lain," kata Dick berhati-hati. "Kita sama sekali
tidak mempunyai bukti bahwa keduanya memasang jerat dan perangkap tanpa ijin!"
Tiba-tiba keempat remaja itu kaget. Dari arah luar terdengar bunyi semak
disibakkan dengan buru-buru. Sesaat kemudian Anne menjerit, karena melihat
pemuda yang bernama Bob masuk ke dalam gua bersama kawannya.
"Apa kataku!" teriak Bob pada kawannya. "Mereka ternyata memang memata-matai
kita. Tapi kau tetap saja tidak mau percaya. Sekarang kaulihat sendiri
kenyataannya!" Anak-anak gentar juga mendengar Bob membentak-bentak. Dari ucapannya sendiri
terbukti bahwa mereka berdua memang pemburu gelap.
Bob datang menghampiri dengan sikap mengancam.
"Kuperingatkan saja kalian sekarang" amuknya. "Kalian pasti menyesal nanti,
kalau berani melapor ke polisi."
Dengan susah payah George harus menahan Timmy yang hendak menerjang kedua pemuda
itu. "Kami sama sekali tidak memata-matai kalian," katanya dengan sengit. "Kami
tidak suka begitu." "Kalau begitu, apa yang kalian cari di sini?" bentak teman Bob.
Julian buru-buru berusaha menjelaskan. "Kami sedang berlibur di daerah sini dan
berjalan-jalan di gunung untuk mengisi waktu" katanya. "Itu kan biasa?"
"Kau ini memang bodoh, atau pura-pura saja tak memahami pertanyaanku tadi"
bentak pemuda teman Bob "Aku ingin tahu apa yang kalian lakukan di sini - dalam
gua ini, tahu!" "Kami masuk kemari karena tadi menyusul Timmy, anjingku," kata George berterus
terang. "Ia tahu-tahu menghilang ketika sedang mengejar tikus."
Tapi kedua pemburu gelap itu kelihatannya tidak mempercayai penjelasan itu.
Mereka menatap keempat remaja itu dengan mata berkilat-kilat marah. Anne
mengkerut ketakutan. "Katanya betul," ucapnya hampir-hampir tak kedengaran. "George tidak pernah
berbohong. Gua ini secara kebetulan saja kami temukan. Tapi bukan ini yang kami
cari sebenarnya...."
"Diam, Anne!" bentak George dengan marah.
Tapi sudah terlambat. Bob serta kawannya memandang Anne dengan penuh minat.
"Lalu apa yang sebetulnya kalian cari ?"


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

George sebenarnya bermaksud hendak melepaskan Timmy. Tapi Bob ternyata menduga
niat itu. Dengan cepat pemuda itu menghunus pisau.
"Kubunuh nanti anjingmu itu, jika kau nekat melepaskannya," sergahnya mengancam.
George tidak jadi melakukan niatnya - dan Anne bercerita! Anak itu membeberkan
segala rencana mereka, sementara anak-anak yang lain hanya bisa ikut mendengar
saja tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mencegah. Ketika Anne selesai berbicara,
tahu-tahu Bob tertawa terbahak-bahak.
"Kalian ini ternyata masih kekanak-kanakan, mau saja percaya pada dongeng yang
begitu tidak masuk akal! Tapi kalau kalian memang ingin mencari jejak Orang
Hitam - silakan! Tapi kuperingatkan sekali lagi, jangan bilang pada siapa-siapa
tentang gua ini. Pada siapa pun, jangan! Mengerti" Sekarang enyahlah dan sini.
Pergi - cepat!" Dengan perasaan lega anak-anak bergegas keluar, menuju tempat terang.
Setelah mereka pergi, kedua pemburu gelap saling berpandang-pandangan.
"He, Philip." kata Bob sambil berbisik-bisik, "bagaimana jika ocehan anak tadi
ternyata benar" Barangkali saja patung emas itu benar-benar ada! Yang jelas
mereka tadi bertekad bulat hendak mencari sampai dapat!"
"Biar saja mereka mencari! Kalau ternyata berhasil menemukan, tinggal kita curi
saja dari mereka. Selama itu kita harus terus mengamat-amati!"
"Tepat! Kita amat-amati mereka tanpa ketahuan. Hebat juga apabila kita berhasil
memperoleh harta itu tanpa harus repot-repot mencari!"
Keduanya bergembira membayangkan kemungkinan itu. Mereka lantas memberkas
tumpukan kulit binatang hasil jeratan mereka yang sudah kering.
Tanpa menyadari bahwa mereka diintai, hari-hari selanjutnya Julian beserta
ketiga saudaranya melanjutkan pencarian jalan masuk ke lembah yang tersembunyi
dalam perut gunung. Tapi sia-sia belaka!
Mereka sampai di puncak Gunung Killan tanpa sedikit pun menemukan tanda-tanda
yang menggembirakan. Akhirnya Julian menyarankan agar usaha mencari lembah itu
dihentikan saja. "Kita coba saja sekali lagi besok," kata George yang belum mau menyerah. "Siapa
tahu, mungkin besok kita bernasib baik...."
Kata-katanya itu ternyata merupakan ramalan tepat, karena malam itu terjadi
sesuatu yang membawa akibat penting bagi Lima Sekawan.
Bab VI GEMPA! Malam itu seisi rumah tidur nyenyak. Tapi menjelang pukul lima pagi semua
dikagetkan oleh guncangan yang keras sekali.
Anne terloncat bangun sambil berteriak ketakutan. "George! George! Apakah yang
terjadi?" serunya. George yang berbaring di tempat tidur sebelah berusaha menyalakan lampu. Tapi
tidak bisa. Listrik mati! Saat itu bumi berguncang sekali lagi - lebih keras
dari guncangan pertama. Anne menjerit.
"Gempa bumi!" kata George. "Cepat - kita harus keluar dari sini. Kita lari ke
kebun! Cepat - nanti kita tertimpa tembok runtuh!"
Anne memaksa tubuhnya yang lunglai untuk beranjak bangun dari tempat tidur. Ia
lari ke luar kamar, menyusul George yang sudah lari lebih dulu. Bunyi-bunyi aneh
menggema dalam rumah, bercampur dengan suara orang serta langkah kaki lari
bergegas-gegas. Paman Quentin dan Bibi Fanny muncul membawa senter.
"George! Anne! Dick! Julian! Cepat - kita harus lari ke luar! Cepaat!"
Semua bergegas lari ke kebun. Di luar sunyi senyap. Tidak ada angin berhembus.
Tak terdengar suara burung-burung berkicau. Tanah di bawah kaki bergoyang-goyang
lagi. "Cepat, ke tempat yang lapang!" seru Bibi Fanny. "Di situ paling aman apabila
tanah tidak merekah."
"Wah, bagaimana jika rumah roboh?" kata Paman Quentin dengan perasaan cemas.
"Pekerjaan penelitianku masih ada di dalam!"
"Nyawa kita lebih penting daripada segala-galanya," sambut Bibi Fanny dengan
tegas. "Lamakah gempa bumi seperti ini, Yah?" tanya George kecut.
"Entah, aku juga tidak tahu" jawab ayahnya. "Tapi seingatku, dulu daerah sini
sering dilanda gempa yang hebat. Jadi bagi orang sini sudah tidak aneh lagi."
Kata-katanya terpotong bunyi gemuruh yang seakan-akan datang dari perut bumi.
"Semuanya bertiarap! Cepat!" seru Paman Quentin.
George tidak langsung mengikuti seruan ayahnya. Detik berikutnya tahu-tahu Ia
jatuh terjerembab. Dirasakannya tanah bergerak-gerak.
"Aduh - rumah pasti roboh sekarang," seru Joan berkeluh-kesah.
Timmy mendengking lirih, sementara bunyi gemuruh lambat-lambat menghilang lagi.
Dengan sikap ragu semua berdiri kembali. Dari arah desa terdengar suara orang
ramai berseru-seru. Selama satu jam seterusnya, tanah masih terasa bergetar
pelan. Akhirnya bumi seperti menarik napas lega. Suasana berubah menjadi senyap.
Hari sudah terang. Tapi keluarga Kirrin masih belum beranjak dan tempat semula.
"Kurasa bahaya sudah lewat sekarang," kata Paman Quentin. "Yuk, kita ke desa.
Barangkali tenaga kita diperlukan di sana!" Paman Quentin beranjak, hendak
pergi. "Tapi masa dengan pakaian tidur, Quentin!" kata Bibi Fanny mengingatkan
suaminya. Paman Quentin memang pelupa sekali. Ia tidak sadar bahwa saat itu
masih memakai piama. Dengan cepat mereka berganti pakaian, lalu pergi ke desa. Di sana rnereka
menjumpai pemandangan yang menyedihkan. Sejumlah rumah roboh, sementara
bangunan-bangunan lainnya retak-retak. Kaca-kaca jendela pecab berhamburan di
tanah. Menara gereja kuno juga tidak ada lagi. Untung saja tidak ada korban jiwa
dalam kejadian itu. Tapi yang cedera cukup banyak. Penghuni desa yang ketakutan bergerombol-gerombol
di tengah jalan. Tak ada yang berani masuk kembali ke rumah masing-masing.
Paman Quentin, Bibi Fanny, dan Joan menyingsingkan lengan baju, ikut membantu di
mana diperlukan. Begitu pula halnya dengan George serta ketiga saudara
sepupunya. Menjelang tengah hari situasi sudah mulai terkendali. Korban yang cedera
diangkut ke rumah sakit, sementara mereka yang kehilangan tempat tinggal
ditampung di tempat tetangga. Semua ikut bekerja keras, berusaha mengatasi
akibat-akibat gempa dahsyat itu.
Kemudian keluarga Kirrin kembali ke villa yang mereka tempati. Joan
menghidangkan sarapan untuk memulihkan tenaga yang terkuras tadi.
"Mungkinkah gempa tadi terulang lagi?" tanya Anne takut-takut.
"Kemungkinannya memang ada - tapi kurasa takkan terjadi," kata Bibi Fanny
menenangkan. "Tapi orang-orang di desa khawatir kejadian tadi akan berulang" kata Julian
sambil mendesah. Ia agak gelisah.
"Alaa - kita lihat saja nanti" ujar George berlagak berani, sambil menyodorkan
sepotong daging pada Timmy yang siap menunggu di bawah meja. "Untuk apa kita
sudah takut sebelum ada kejadian apa-apa?"
Hari itu anak-anak tidak pergi ke mana-mana. Mereka tidak meninggalkan rumah.
Tapi keesokan harinya keadaan ternyata tetap tenang. Mereka lantas, memutuskan
untuk melanjutkan usaha pencarian.
Keempat remaja itu berangkat lagi menuju ke Gunung Killan, lalu langsung memulai
pendakian sambil meneliti tebing.
Cukup lama mereka mencari-cari tanpa menemukan apa-apa. Sedang Timmy selalu
mendului. Tiba-tiba anjing itu berhenti lalu menggonggong.
"Pasti Ia menemukan sesuatu!" kata George sambil lari menghampiri, disusul oleh
Julian, Dick, dan Anne. Mereka melihat tanah di depan Timmy merekah. Nampak sebuah celah yang dalam
sekali, melintang di jalan setapak yang sedang mereka telusuri.
"Ini pasti karena gempa kemarin!" seru Anne.
"Tidak begitu lebar," kata Dick. Ia berlutut sambil mengintip ke dalam celah.
"Kita bisa melompatinya ke seberang!"
"He! Tidak jauh dari sini kan gua dangkal yang kita temukan waktu itu," kata
Julian dengan tiba-tiba. "Aku masih ingat tempat ini."
"Ya, betul!" kata George sambil mengangguk. "Tapi sekarang tidak kelihatan lagi!
Semak di depannya juga lenyap. Lihatlah - waktu itu kan di sana tempatnya!" Ia
menuding ke arah di mana semula nampak lubang gelap. Dengan sinar mata berkilat-
kilat Ia menambahkan, "Rupanya gunung ini kemarin juga ikut bergerak. Yuk, kita
periksa ke sana!" "Untuk apa?" tanya Dick.
"Aku ingin tahu ada apa di bawah tumpukan batu-batu yang longsor ini!" jawab
George bersemangat. Keempat remaja itu sibuk memindahkan batu-batu yang menutupi. Setelah semua
tersingkir, nampak lubang gua. Ternyata ukurannya bertambah besar sekarang.
"Jangan masuk - karena mungkin berbahaya!" kata Julian memperingatkan. "Siapa
tahu, jangan-jangan di dalam ada retakan dalam."
"Betul! Dan di samping itu kita kan sudah pernah masuk," kata Dick menambahkan.
Tapi sementara itu George sudah masuk. Sesaat kemudian terdengar suaranya
berseru dengan gembira. Anak-anak yang lain bergegas menyusul. Sesampai di dalam
mereka melihat George berdiri sambil menyorotkan cahaya senternya ke dinding
gua. Di situ nampak retakan yang lebar.
"Lihatlah?" serunya sambil menoleh ke arah ketiga saudaranya. "Dinding di sini
retak. Bukan itu saja aku juga merasakan ada hembusan angin dari arah dalam.
Mungkin inilah jalan masuk ke lembah yang hilang itu!"
Tidak lama kemudian keempat remaja itu sudah masuk ke dalam retakan baru itu,
yang rupanya merupakan liang masuk ke dalam gunung. George berjalan paling
depan, menerangi jalan yang akan dilewati. Hanya ia sendiri yang pagi itu
teringat akan perlunya membawa senter. Tapi sayangnya cahaya senter itu sudah
lemah. Retakan itu ternyata tidak begitu lebar. Hanya cukup untuk dilewati satu orang.
Dan itu pun dengan susah payah. Tapi mereka tidak perlu membungkuk- bungkuk,
karena celah itu tinggi sekali.
Mulanya keempat remaja itu harus berjalan dengan hati-hati, karena harus melalui
batu besar-kecil yang berserakan. Tapi kemudian dasar celah bertambah rata dan
lebar. "Liang ini kelihatannya menuju ke perut gunung," kata Julian.
"Tapi kita harus berhati-hati, karena tidak tahu di mana ujungnya," kata Dick.
"Jangan-jangan nanti kita terjerumus ke dalam sebuah lubang. Atau tertimpa batu
yang jatuh dari atas."
"Memang, itu bisa saja terjadi." kita George. "Tapi ada kemungkinan pula kita
nanti menemukan lembah yang selama ini lenyap, dan dengan begitu akhirnya
mengetahui rahasia Orang Hitam yang dulu menghuni lembah itu."
George berani berkata begitu karena la mengandalkan naluri Timmy. Sudah sering
terjadi anjing itu memberi peringatan kalau ada bahaya menghadang mereka.
Dick menyingkirkan rasa was-wasnya. Jiwa petualangannya tergugah. Diikutinya
George yang sudah masuk lebih jauh. Sedang Julian memperhatikan nyala senter
yang semakin redup. Anne membisu. Ia merasa sangsi dan juga cemas.
Tahu-tahu nyala senter yang dibawa George padam. Suara-suara kaget menggema
dalam liang yang tahu-tahu menjadi gelap gulita.
"Nah - apa kataku tadi...." umpat Juian.
"Jangan mengomel!" desis George sambil mengguncang-guncang senternya. "ini pasti
masih bisa menyala lagi sebentar. Mungkin masih cukup jika kita cepat-cepat
kembali." Ternyata senter itu menyala lagi setelah agak lama diguncang-guncang oleh
George. Tapi cahayanya redup sekali, sehingga jalan yang harus dilewati hanya
samar-samar saja nampak. Dengan langkah tersaruk-saruk keempat remaja itu
menyurutkan langkah. Mereka menarik napas lega ketika akhirnya sampai lagi di
tempat terang di luar gua.
"Huuh- nyaris saja kita celaka tadi"desah Dick lega.
"Ya memang! Tadi kita terlalu nekat," kata Julian.
Sementara itu George nampak termangu, menatap mulut gua. Timmy menirukan
tuannya, ikut memandang dengan kepala dimiringkan.
"Coba dengar sebentar!" kata George kemudian. "Lubang ini harus cepat-cepat kita
timbun lagi supaya tidak ada orang lain masuk dan mendului kita. Ayo, kita
tumpukkan batu-batu di depannya."
Julian memandangnya dengan kagum.
"Betul sekali katamu itu," pujinya. Ia menoleh pada adik-adiknya. "Cepat bantu!
Kalau kita berempat, dengan cepat lubang ini akan sudah tertimbun lagi!"
Mereka bergegas-gegas menimbun mulut gua. Ternyata ini tidak sia-sia! Baru saja
lubang selesai ditimbun seluruhnya, ketika terdengar Iangkah orang
menghampiri... Ternyata yang datang kedua pemuda yang itu-itu juga. Bob dan Philip!
Rupanya mereka hendak memeriksa gua tempat mereka menimbun kulit binatang hasil
jeratan. Begitu melihat anak-anak, Bob langsung berseru dengan nada mengejek,
"Eh, ketemu lagi! Kalian masih tetap sibuk dengan petualangan konyol itu?"
"Kalian tidak takut pada gempa?" tanya temannya. "Segala-galanya roboh
berantakan! Nanti kalian mati tertimpa batu!"
Anak-anak tidak menjawab. Mereka tidak suka pada kedua pemuda kasar itu.
Karenanya mereka juga tidak mau diajak berbicara.
Philip ternyata gampang marah. Sikap anak-anak yang membisu membangkitkan
kejengkelannya. "He!" bentaknya. "Kalian bisu, ya" Jawab, kalau diajak bicara!"
"Kami tidak bercerita pada siapa-siapa tentang kalian," kata George dengan nada
datar. "Itu kan sudah cukup! Kami tidak harus mengobrol dengan kalian. Sekarang
jangan ganggu kami lagi!"
George memang anak yang berani. Tapi sikapnya terlalu polos. Ia tidak tahu kapan
saatnya harus bersiasat. Jawabannya menyebabkan Philip semakin marah.
"Kepingin rasanya menghajar anak laki-laki besar mulut ini!" teriaknya sambil
menyodorkan kepalan tinjunya ke depan hidung George.
"Dia kan anak perempuan!" kata Bob dengan sikap meremehkan. "Anak perempuan
kalau dipukul cepat sekali menangis!" Ia tertawa terbahak-bahak. Rupanya geli
mendengar leluconnya sendiri.
George merasakan darahnya rnenggelegak. Tapi Julian cepat-cepat menengahi.
"Kami tidak mencari keributan!" katanya sambil mengangkat tangan kanannya dengan
sikap menyabarkan. Tapi itu malah menambah kesulitan. Dengan sikap curiga Philip mengarahkan
tatapan matanya pada tangan Julian yang kotor karena habis mengangkut batu yang
berlumur tanah dan lumpur.
"Aha!" seru pemuda itu. George tidak diacuhkannya lagi. "Rupanya kalian habis
menggali, ya" Lihat saja. tanganmu begitu kotor!" Sikapnya berubah menjadi
licik. "Bagaimana ada sesuatu yang kalian temukan tadi" Ayo, bilang! Kami ingin
sekali tahu!" George kaget. Seketika itu juga Ia tahu bahwa kedua pemuda berandal itu tertarik
pada patung emas Ratu Sulmai. Sementara itu Philip berpaling pada Anne, karena
anak itu sebelumnya telah membeberkan segala-galanya yang diketahui.
"Sudah - sekarang jangan ganggu kami lagi!" seru George cepat-cepat. Ia tidak
bisa menguasai dirinya lagi. "Sergap, Tim!"
Kedua pemuda yang semula mengambil sikap mengancam kaget sekali mendengar seruan
George. Mereka tidak siap dengan pisau mereka. Tahu-tahu Timmy sudah menyerang
secepat kilat. Bob dan Philip bingung sekali. Mereka hanya melihat taring tajam
di tengah moncong yang terbuka lebar, mata merah mendelik, serta bulu tengkuk
berdiri tegak. Timmy beraksi dengan cepat sekali, menyambar-nyambar kian kemari.
Betis, ujung jaket,sepotong kain celana -ia menggigit tanpa memilih-milih lagi!
Bob dan Philip tidak tahan menghadapi serangan itu. Sambil berteriak-teriak
ketakutan, mereka lari pontang-panting. Timmy mengejar sambil menggonggong-
gonggong tanda menang. George tertawa terpingkal-pingkal, sampai hampir hampir tidak bisa memanggil
Timmy. "Tim! Sini, Tim!" serunya.
Timmy kembali dengan napas terengah-engah. Anak-anak mengelus-elus kepala anjing
setia itu. Wajah mereka berseri-seri. Hanya Julian yang agak termenung.
Disadarinya bahwa dengan adanya kejadian itu kini terdapat permusuhan secara
terang-terangan dengan Bob dan Philip!
Bab VII PENINGGALAN KUNO Keesokan harinya mereka kembali lagi ke tempat itu. Mereka berbekal senter
dengan baterai yang masih baru. Julian juga membawa tali dan kapur tulis.
"Ini untuk berjaga-jaga kalau liang itu tahu-tahu bercabang," katanya
menjelaskan. "Dengan kapur ini kita menandai jalan mana yang kita lewati."
"Lalu tali itu?" tanya Anne.
"Ini kalau menghadapi jalan yang sangat rumit. Ujungnya kita ikatkan ke batu,
lalu kita berjalan sambil mengulur tali. Dengan begitu jalan kembali pasti akan
bisa kita temukan. Tali lebih baik daripada kapur."
"Kenapa begitu?" tanya Anne. Ia masih belum mengerti.
"Untuk melihat tanda kapur kan diperlukan cahaya. Kalau tali, tidak perlu. Kita
bisa merabanya dalam gelap."


Lima Sekawan Di Kota Hantu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi kita kan berbekal senter?" kata adiknya.
"Senter bisa saja tahu-tahu mati!"
"Mana mungkin!" bantah George. "Baru saja tadi kita ganti."
"Kalau jatuh lalu rusak, bagaimana?" desak Juhian.
"Kau ini rupanya kurang percaya pada diri sendiri Ju," tukas Dick sambil
nyengir. "Masa senter yang perlu bisa sampai kita jatuhkan!"
"Lebih baik berjaga-jaga daripada menyesal kemudian," kata Julian berkeras.
Dick tertawa lagi. "Kau ini seperti orang yang memakai ikat pinggang dan tali pnahan celana
sekaligus, karena khawatir celanamu merosot," katanya.
Julian ikut tertawa bersama anak-anak yang lain. Kiasan yang diucapkan Dick
memang kocak sekali. Sambil bercakap-cakap, keempat remaja itu berjalan terus menyusur liang. Tempat
di mana mereka kemarin terpaksa berbalik sudah dilewati. Mereka bisa maju dengan
cepat, berkat sinar senter yang kini terang.
Seperti biasa, George berjalan paling depan. Jantungnya berdebar-debar. Setiap
kali di depan ada belokan, ia selalu sudah membayang-bayangkan akan melihat
sesuatu yang baru di sebaliknya.
Tiba-tiba liang itu mulai melebar.
"He - di depan ada gua lagi!" serunya bersemangat.
Keempat remaja itu bergegas-gegas maju sampai di ujung liang. Di depan
terbentang rongga lapang berdinding batu. Rongga itu rupanya dulu terjadi karena
ada sungai dalam tanah mengalir di situ.
"Kemarilah sebentar!" seru Dick yang menyoroti salah satu bagian rongga itu. "Di
sini ada gambar-gambar!"
Dengan mata terbuka lebar, George memandang ke tempat yang disoroti.
"Ya, betul! Dan berwarna-warna lagi," bisiknya kagum.
Gambar-gambar itu menampakkan sejumlah orang bersenjata tombak yang sedang
berburu kijang dan babi hutan.
"Gambar pemburu serta anjing-anjing mereka" gumam Anne.
"Para pemburunya berkulit hitam!" seru Dick.
"Mungkinkah mereka ini Orang Hitam yang diceritakan dalam hikayat itu?" bisik
Julian kagum. "Luar biasa!" ucap George dengan bersemangat. "Nah - sekarang barulah kau mau
percaya bahwa lembah yang lenyap itu benar-benar ada!"
"Tenang, tenang dulu" kate Julian. "Gambar-gambar ini belum merupakan bukti!"
"Yuk, kita terus!" seru Anne.
Masih ada beberapa gambar lagi yang ditemukan dalam gua itu. Semua kelihatannya
sudah sangat tua umurnya.
Tapi penemuan selanjutnya benar-benar membuat hati anak-anak itu berdebar keras.
Di sebelah kiri dan kanan liang dari mana mereka muncul tadi ternyata ada dua
lorong lagi. Dengan segera senter disorotkan ke dalamnya.
"Aku berani bertaruh, kedua lorong inii pasti menuju ke lembah yang kita cari
itu," kata George. "Kita periksa saja satu per satu" kata Anne menyarankan.
Tapi George menganggap itu membuang-buang waktu saja. Dick sependapat dengannya.
Pedang Bayangan Panji Sakti 11 Wiro Sableng 041 Malaikat Maut Berambut Salju Kaki Tiga Menjangan 20
^