Pencarian

Karang Setan 1

Lima Sekawan 19 Karang Setan Bagian 1


KARANG SETAN Ebook by Syauqy_arr - OCR by Raynold
Bab 1 TAMU MENDADAK "Fanny!" Pak Kirrin berlari-lari menaiki tangga, sambil memegang sepucuk surat.
"Fanny! Kau di mana?"
"Di sini! Aku sedang membantu Joan, membersihkan kamar-kamar." Bu Kirrin muncul
dari salah satu kamar tidur. "Kau tidak perlu berteriak-teriak, Quentin - aku
tidak tuli! Ada apa sebetulnya?"
"Ini, baru saja datang surat dari teman lamaku, Profesor Hayling," kata Pak
Kirrin. "Kau masih ingat padanya?"
"Maksudmu yang pernah menginap di sini beberapa tahun yang lalu, dan selalu
tidak ingat pulang pada saat makan siang?" kata Bu Kirrin, sambil menepiskan
debu yang menempel pada jas suaminya.
"He - jangan begitu!" kata Pak Kirrin dengan nada jengkel. "Seolah-olah jasku
penuh debu! Sekarang dengar dulu - temanku akan datang hari ini kemari, dan akan
menginap selama seminggu di sini. Menurut rencana semula, ia baru akan datang
minggu depan." Bu Kirrin menatap suaminya sambil melongo.
"Aduh, tidak bisa!" katanya kemudian. "Kan hari ini George pulang, bersama
ketiga saudara sepupunya. Mereka akan menginap di sini selama sisa liburan. Kau
juga kan sudah tahu!"
"Aduh, betul juga katamu," kata Pak Kirrin. "Terus terang saja, aku lupa! Yah,
kalau begitu kau telepon saja George dan katakan padanya supaya jangan pulang.
Anak-anak tidak bisa ada di sini selama Profesor Hayling masih menginap. Aku
ingin tidak ada gangguan sama sekali selama itu. Kami hendak membicarakan suatu
penemuan penting temanku itu." Pak Kirrin memandang istrinya sebentar, lalu
buru-buru menyambung, "Kau jangan memandang begitu - mungkin ini penting sekali
artinya bagi kita." "Dan bagiku, yang penting adalah bahwa liburan anak-anak tidak selalu
terganggu," tukas Bu Kirrin. "Sebelum ini George kita suruh menginap di rumah
Dick, Julian dan Anne, karena kau harus menyelesaikan beberapa tulisan dengan
segera, dan kau tidak mau diganggu. Dan dari semula kau sudah tahu, hari ini
mereka akan kemari untuk menghabiskan sisa liburan di sini! kau harus menelepon
profesor temanmu itu Quentin. Katakan padanya, ia tidak bisa datang sekarang. "
"Ya deh, ya deh," kata Pak Kirrin, "tapi aku tahu pasti, ia tentu tersinggung.
Pasti!" Pak Kirrin kembali ke kamar kerjanya untuk menelepon, sementara Bu
Kirrin bergegas naik ke tingkat atas lagi. Ia masih harus menyelesaikan
pekerjaan, membereskan kamar-kamar tempat keempat anak yang akan datang itu
tidur nanti. "Anne bisa tidur dengan George, seperti biasa," katanya pada Joan. "Sedang
Julian dan Dick tidur di kamar tidur tamu."
"Senang rasanya anak-anak datang lagi," 'kata Joan sambil menyapu. "Saya sudah
rindu pada mereka. Kemarin saya membuatkan kue-kue untuk mereka - dua kaleng
penuh!" "Kau terlalu memanjakan mereka, Joan," kata Bu Kirrin sambil tersenyum. "Tidak
mengherankan jika mereka senang sekali padamu! Nah, sekarang kita - ".
Dari bawah terdengar Pak Kirrin memanggil-manggil istrinya lagi.
"Aduh, ada apa lagi sekarang," keluh Bu Kirrin. "Ya, aku datang, aku datang!"
Bu Kirrin bergegas menuruni tangga, lalu masuk ke kamar kerja suaminya Pak
Kirrin berdiri di situ, sambil memegang pesawat telepon
"Sekarang bagaimana?" kata Pak Kirrin setengah berteriak. "Profesor Hayling
sudah tidak ada di rumahnya lagi. Saat ini sedang dalam perjalanan ke sini. Aku
tidak bisa lagi membatalkan kedatangannya. Dan ia tidak sendiri, karena anak
laki-lakinya juga ikut."
"Anaknya" Aduh, aduh," keluh Bu Kirrin "Kau kan tahu sendiri, di sini tidak ada
tempat untuk mereka, karena semua kamar yang di atas dipakai oleh anak-anak."
"Kalau begitu telepon saja George dan katakan padanya, ia harus menginap
seminggu lagi di rumah saudara-saudara sepupunya," tukas Pak Kirrin. "Aku tidak
mengerti, apa sebabnya mereka semua harus kemari!"
"Aduh, Quentin - kau kan juga sudah tahu, orang tua ketiga keponakanmu itu hari
ini akan berlayar," kata istrinya. "Tapi kucoba saja menghubungi George. Kalau
bisa akan kubujuk dia supaya jangan datang beramai-ramai!"
Bu Kirrin mengangkat pesawat telepon, lalu memutar nomor pesawat di rumah
Julian, Dick dan Anne. Lama sekali telepon berdering tanpa ada yang mengangkat.
Baru kemudian terdengar suara seseorang.
"Halo - dengan siapa?" tanya suara itu.
"Di sini ibunya George - bisakah saya bicara sebentar dengan dia?"
"Wah - anak-anak sudah berangkat tadi, naik sepeda," jawab orang yang ada di
seberang sambungan. "Sekarang rumah ini kosong. Saya sendiri tetangga, yang
dimintai pertolongan untuk mengunci rumah. Sayang saya tidak bisa menghubungkan
Anda dengan George."
"Ya, apa boleh buat. Terima kasih." Bu Kirrin mengembalikan pesawat telepon ke
tempatnya, sambil mendesah. Sekarang bagaimana" Profesor Hayling beserta anak
laki-lakinya kini dalam perjalanan ke Pondok Kirrin. Dan anak-anak juga. Wah,
pasti kacau-balau keadaan di rumah itu nanti.
"Quentin," kata Bu Kirrin sambil masuk ke kamar kerja suaminya, yang saat itu
sedang sibuk membereskan kertas-kertas catatannya yang berserakan. "Dengar
sebentar, Quentin! George serta ketiga saudaranya saat ini sudah dalam
perjalanan menuju kemari. Sekarang aku benar-benar tidak tahu, di mana mereka
semua harus tidur nanti! Kelihatannya ada yang terpaksa tidur dalam kandang Timmy, dan - aku kepingin
menyuruhmu tidur dalam gudang arang!"
"Aku sedang sibuk sekarang," tukas Pak Kirrin. Ia tidak begitu memperhatikan
kata-kata istrinya tadi. Ia meneruskan, "Kertas-kertas ini harus sudah beres
semua apabila Profesor Hayling tiba. O ya - tolong katakan pada anak-anak,
mereka tidak boleh ribut selama tamuku itu ada di sini. Orangnya gampang marah,
dan ....." "Sekarang aku juga sudah mulai marah, Quentin," kata Bu Kirrin. "Dan Jika ...."
Ia tertegun. Matanya menatap ambang jendela kamar kerja. Kemudian telunjuknya
menuding ke arah yang sama.
"Lihatlah - apa itu?" tanyanya takut-takut. Suaminya menoleh ke arah yang
dituding, dan saat itu juga matanya membundar karena tercengang.
"Lho, itu kan monyet!" kata Pak Kirrin. "Dari mana datangnya tadi?"
Saat itu terdengar Joan memanggil-manggil dari bawah.
"Bu - ada mobil berhenti di depan rumah," seru juru masak itu. "Kelihatannya
tamu yang ditunggu! Seorang pria dengan seorang anak laki-laki."
Bu Kirrin masih tetap menatap monyet yang duduk di ambang jendela dengan
tercengang. Binatang itu menempelkan hidungnya di kaca jendela sambil mengoceh
dan menggaruk-garuk kaca.
"Aduh, jangan-jangan kawan lamamu itu memelihara monyet, yang juga dibawanya
kemari," keluh Bu Kirrin. Detik berikut ia nyaris terlompat karena kaget, ketika
pintu depan digedor keras-keras. Bu Kirrin bergegas membukakan.
Ya - benarlah ! Di depan Bu Kirrin tegak Profesor Hayling. Orang yang sering
lupa saat makan siang, ketika ia menginap di Pondok Kirrin beberapa tahun yang
lalu. Dan di sisinya berdiri seorang anak laki-laki berumur sekitar sembilan
tahun. Tampangnya lucu - mirip monyet yang kini sudah duduk di atas bahu anak
itu. Pak Profesor masuk ke dalam rumah, setelah menyuruh supir memasukkan barang-
barang. "Apa kabar, Bu Kirrin?" sapanya. "Mana suami Anda" Aku membawa kabar menarik
untuknya. Ah - di situ kau rupanya, Quentin! Kau sudah membereskan segala
catatanmu untukku?" "Halo, halo," ujar Pak Kirrin. Digoncang-goncangnya tangan teman lamanya itu
dengan gembira. "Apa kabar, apa kabar! Untung kau bisa datang. Kami sangat
gembira!" "Dan ini anakku, si Utik," kata Profesor Hayling. Ditepuknya punggung anak laki-
laki yang masih berdiri di sisinya dengan kuat-kuat, sampai nyaris saja anak itu
tersungkur. "Aku lupa namanya yang sebenarnya - kami di rumah selalu
menjulukinya si Utik, karena kerjanya. mengutak-utik mobil. Dia benar-benar
gemar pada mobil. Ayo, bersalaman dulu dengan Pak Kirrin serta istrinya, Tik!
He, mana si Iseng?" Kasihan Bu Kirrin, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan berbicara. Pak
Profesor sementara itu sudah masuk ke ruangan depan, sambil berbicara terus.
Monyet kecil yang tadi duduk di bahu anak yang dijuluki si Utik, melompat lalu
berayun-ayun pada tempat gantungan topi.
"Aduh, benar-benar seperti sirkus saja ramainya," keluh Bu Kirrin dalam hati.
Bagaimana dengan makan siang nanti" Padahal kamar-kamar belum selesai dibenahi.
Dan ketiga saudara sepupu George nanti juga akan datang. Aduh, aduh - apa lagi
yang dikerjakan monyet itu" Menyeringai, mengejek-ejek bayangannya sendiri di
cermin. Pantas diberi nama si Iseng!
Kedua tamu yang baru datang masuk ke ruangan tamu, lalu duduk di situ. Pak
Kirrin sudah tidak sabar lagi. Ia ingin segera membicarakan beberapa persoalan
dengan Pak Profesor. Karena itu ia mengambil setumpuk kertas dan meletakkannya
ke atas meja. "Aduh, jangan di sini! Di kamar kerja saja," kata Bu Kirrin dengan tegas. "Joan!
Tolong bawakan barang-barang ini ke atas, ke kamar tamu, ya. Dan sekaligus
benahi dipan di sana, untuk tempat tidur anak ini. Kecuali di situ, tidak ada
tempat lain untuk dia."
"Bagaimana dengan monyet itu?" tanya Joan. Ia menatap binatang itu dengan
perasaan waswas. "Apakah untuk dia juga perlu disediakan tempat tidur?"
"Dia tidur dengan aku," kata si Utik. Tak disangka anak sekecil itu lantang
sekali suaranya. Tiba-tiba ia lari menaiki tangga, sambil mengeluarkan suara
mendesum. Bu Kirrin melongo melihatnya.
"lho, kenapa dia" Sakit ya," tanyanya gelisah.
"Ah, tidak - dia sedang jadi mobil," kata ayah anak itu. "Kan sudah kukatakan
tadi, si Utik senang sekali pada mobil. Dan kadang-kadang ia bermain, pura-pura
menjadi mobil." "Aku mobil Jaguar" teriak si Utik dari ujung tangga sebelah atas. "Masak tidak
terdengar bunyi mesinku!"
Si Utik mendesum, menirukan suara mesin mobil mewah itu.
"He Iseng! Ayo ikut, pesiar denganku!" Monyet kecil itu lari ke atas lalu
melompat ke bahu si Utik, sambil mengoceh dengan suaranya yang tinggi. Setelah
itu si Utik yang sedang menjadi mobil Jaguar mengadakan pelancongan memasuki
semua kamar tidur yang ada di atas. Sekali-sekali terdengar bunyi tuternya
"Apakah anakmu itu selalu begitu?" tanya Pak Kirrin tercengang. "Bagaimana kau
bisa bekerja dengan tenang?"
"Ah - aku kan punya kamar kerja yang tenang dalam kebun," jawab Profesor
Hayling. "Dindingnya kulapisi bahan yang bisa menahan bunyi Mudah-mudahan kau
juga punya kamar seperti itu di sini."
"Aduh, tidak," kata Pak Kirrin dengan lesu. Di atas masih terdengar 'mobil
Jaguar' berkeliling-keliling. Berisik sekali anak itu. Mendengar suaranya selama
dua menit saja, sudah pusing kepala dibuatnya. Sedang menurut rencana, ia malah
akan menginap selama beberapa waktu di Pondok Kirrin!
Dipersilakannya Profesor Hayling masuk ke kamar kerja. Setelah itu pintu
ditutup. Tapi suara si Utik yang sedang main menjadi mobil di tingkat atas,
masih tetap terdengar! Sementara itu Bu Kirrin memperhatikan barang-barang Pak Profesor yang sedang
dibawa masuk. Ia merasa lesu. Aduh, apa sebabnya teman suaminya itu tidak
menginap di hotel saja" Sekarang keadaan di rumah pasti akan kacau-balau, dengan
keempat anak-anak yang sebentar lagi datang, lalu Pak Profesor beserta anak
laki-lakinya yang rupanya selalu menganggap dirinya mobil. Belum lagi monyet
kecil yang namanya saja sudah si Iseng! Di manakah mereka semua harus tidur
nanti" Bab 2 KERICUHAN KECIL Sementara itu George serta ketiga saudara sepupunya sudah berada dalam
perjalanan menuju ke Kirrin. Mereka naik sepeda, menyusur jalan desa. Timmy,
anjing kesayangan George berlari-lari mengiringi.
"Asyik rasanya, datang lagi ke Pondok Kirrin!" kata Anne. "Aku paling senang
memandang ke luar dari jendela, menikmati pemandangan Teluk Kirrin yang airnya
biru, sebiru langit! Bagaimana kalau kita kapan-kapan piknik ke Pulau!"
"Di Pondok Kirrin suasana selalu tenang," kata Dick. "Dan ibumu selalu ramah,
George! Mudah-mudahan saja Paman Quentin tidak kesal, jika kita bermain-main di
sana nanti!" "Kurasa sekali ini Ayah sedang tidak sibuk," kata George. "lagipula, kalian kan
cuma akan menginap selama satu minggu di sana! Sayang, Pak Profesor teman ayah
itu seminggu lagi akan datang menginap - kalau tidak begitu, kalian bisa lebih
lama berada di Pondok Kirrin!"
"Ah, satu minggu pun sudah cukup lama," kata Julian. "Nah, itu Teluk Kirrin,
sudah nampak di kejauhan!"
Keempat anak itu senang ketika melihat teluk yang biru airnya itu, serta Pulau
Kirrin yang terletak di mulutnya. Pulau itu nampak tenteram, bermandikan cahaya
matahari. "Kau untung, George, punya pulau yang merupakan milikmu sendiri," kata Anne.
"Ya, memang," jawab George. "Aku bergembira sekali waktu itu, ketika Ibu
menghadiahkannya padaku. Pulau itu sudah sejak dulu milik keluarga kami - tapi
sekarang merupakan milikku seorang diri! Besok kita ke sana!"
Akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.
"Aku bisa melihat cerobong asap Pondok Kirrin!" seru Julian, sambil berdiri pada
pedal sepedanya. "Dan asap mengepul dari dapur. Rupanya Joan sedang sibuk
memasak untuk makan siang!"
"Aku malah bisa mencium baunya," kata Dick sambil mengendus-endus udara. "Kalau
tidak salah, bau sosis!"
"Konyol!" seru ketiga saudaranya serempak, sambil tertawa. Mereka bersepeda
lagi, menuju pintu kebun sebelah belakang. Masuk ke pekarangan, menyimpan sepeda
di gudang. "Ibuuu!" seru George. "Kami sudah datang!"
Baru saja ia berseru, ketika dengan tiba-tiba Anne mencengkeram lengannya.
"George!" kata Anne kaget. "Apa itu" lihatlah - itu, mengintip dari balik
jendela yang sebelah sana!"
Anak-anak memandang ke arah yang dimaksudkan. George berseru kaget,
"Monyet' itu seekor monyet! Jangan, Tim! Timmy Jangan! Ayo kembali!"
Tapi Timmy sudah lari untuk memeriksa begitu ia melihat muka aneh yang mengintip
dari balik jendela rumah. Apakah yang dilihatnya itu seekor anjing kecil" Atau
semacam kucing yang aneh! Masa bodoh - apa pun makhluk itu, Timmy bertekat
hendak mengusirnya. Sambil ribut menggonggong Timmy- lari masuk ke rumah. Nyaris
saja ia menubruk seorang anak laki-laki yang sedang berdiri di situ. Monyet
kecil tadi ketakutan, lalu melompat ke rel tempat menggantungkan lukisan yang
terpasang sepanjang dinding kamar.
"Anjing jahat! Jangan ganggu monyetku!" Anak-anak mendengar suara seseorang
berteriak dengan marah. Lewat pintu yang terbuka, George melihat seorang anak
kecil memukul Timmy. Dengan cepat George lari masuk, dan langsung memukul anak
itu - sekeras pukulannya tadi terhadap Timmy. Setelah itu ditatapnya anak itu
dengan mata terbelalak. "Apa yang kaulakukan di sini?" sergah George. "Dan berani-beraninya memukul
anjing ku! Untung kau tidak digigitnya tadi" Dan mau apa binatang itu di atas?"
Monyet kecil itu gemetar ketakutan. Ia masih bergantung pada tempat
menggantungkan lukisan, sambil ribut merepet dengan suara mengiba-iba. Julian
masuk, bersamaan dengan Joan yang turun dari tingkat atas.
"Ada apa ribut-ribut di sini?" tanya Joan. "Nanti ayahmu datang dari kamar
kerjanya dan marah-marah lagi, George! Sudah, Timmy - jangan menggonggong terus!
Dan kau, Utik, jangan menangis lagi. Bawa pergi monyetmu itu, sebelum digigit
Timmy." "Aku tidak menangis," kata si Utik dengan galak, sementara tangannya mengusap-
usap mata, "Sini, Iseng! Takkan kubiarkan anjing itu menyakitimu. Nanti -
nanti...." "Bawa saja monyetmu pergi dari sini," kata Julian lembut. "Ayo, cepatlah
sedikit!" Si Utik mendecakkan lidah. Seketika itu juga monyet kecil itu meloncat ke
bahunya lalu merapatkan diri. Lengannya yang kurus memeluk leher si Utik erat-
erat. Terdengar suaranya, seperti orang tercekik.
"Aduh kasihan, dia menangis!" kata Anne. "Tak kusangka monyet bisa menangis.
Sudah, Timmy, jangan kautakut-takuti dia lagi. Kau tidak boleh mengganggu
makhluk yang lebih kecil!"
"Timmy tidak pernah mengganggu siapa-siapa!" sergah George dengan segera.
Ditatapnya Anne dengan mata terbelalak. "Tapi apa yang kausangka harus dilakukan
olehnya, begitu sampai di rumah langsung melihat di sini ada seorang anak asing
bersama seekor monyet! Kau ini siapa?"
"Bukan urusanmu!" tukas anak yang ditanya, lalu pergi meninggalkan ruangan.
Monyet kecil itu masih terus memeluk lehernya.


Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapa anak itu, Joan?" tanya Dick. "Dan mengapa ia ada di sini?"
"Sudah kukira akan terjadi keributan," kata Joan. "Dan penyebabnya Profesor
Hayling, teman lama ayahmu itu, George! Menurut rencana, sebetulnya baru minggu
depan ia datang. Tapi tadi pagi ada kabar bahwa ia kemari minggu ini juga -
bersama anak laki-lakinya. Tapi ia tidak bilang apa-apa tentang seekor monyet!"
"Mereka akan menginap di sini?" tanya George kaget. "Ibuku macam-macam saja -
kan dia tahu kita semua akan pulang hari ini! Ibu jahat, masak..."
"Diam, George," kata Julian. "Biarkan Joan bercerita dulu."
"Yah, kemudian mereka sudah datang, sebelum sempat diusahakan untuk
membatalkannya," sambung Joan. "Sekarang ayahmu menutup diri dalam kamar kerja
bersama Pak Profesor temannya itu! Sedang aku dan ibumu sudah tidak tahu akal
lagi, bagaimana mengatur tempat tidur untuk kalian semua. Anak tadi serta
ayahnya akan ditempatkan di kamar tidur tamu. Dan kurasa monyet itu juga akan
tidur di situ." "Tapi itu kan tempat untuk Julian dan Dick!" George sudah mulai marah lagi.
"Akan kukatakan pada Ibu, anak itu tidak bisa menginap di sini! Aku..."
"Sudahlah, George," kata Julian. "Kita harus mencari jalan lain. Kalau pulang,
sudah tidak bisa lagi. Rumah kami sekarang pasti sudah terkunci."
"Kalian bisa saja tidur di loteng," kata Joan dengan nada ragu. "Tapi di situ
banyak debu. lagipula banyak angin! Kalau kalian mau, bisa kutaruh beberapa
kasur di sana." "Baiklah, kami tidur di loteng," kata Julian. "Terima kasih, Joan. Mana Bibi
Fanny" Apakah dia tidak bingung menghadapi segala urusan ini?"
"Yah - begitulah," kata Joan. "Tapi kau kan tahu sendiri bagaimana bibimu itu!
Selalu baik hati, tidak pernah memikirkan diri sendiri. Profesor Hayling itu
benar-benar keterlaluan! Masuk kemari seakan-akan rumah ini miliknya membawa
barang-barang setumpuk, bersama anak yang aneh tadi - serta seekor monyet! Tapi
binatang itu kelihatannya baik. Tadi ketika aku sedang mencuci piring, ia datang
lalu menonton kesibukanku. Kalian boleh percaya atau tidak, tapi kemudian ia
hendak mencoba membantu mengeringkan."
Saat itu Bibi Fanny masuk ke dapur.
"Halo," sapanya sambil tersenyum ramah. "Benar juga, kalian sudah datang. Aku
tadi merasa seperti mendengar gonggongan Timmy. Nah, Tim - tunggu saja sampai
kau melihat monyet itu!"
"Timmy sudah melihatnya," kata George sambil cemberut. "Bu, apa sebabnya Ibu
masih menerima orang lain menginap di sini - padahal Ibu sudah tahu kami akan
tiba hari ini!" "Sudahlah, George!" tukas Julian. Ia melihat wajah Bibi Fanny yang nampak
bingung. "Kami takkan merepotkan, sungguh! Kami akan berusaha agar sesering
mungkin tidak ada di rumah. Kami akan berbelanja, melancong ke Pulau Kirrin,
pokoknya akan kami usahakan supaya tidak mengganggu...."
"Kau memang baik hati, Julian," kata bibinya sambil tersenyum. "Urusan memang
akan menjadi agak repot sekarang, apalagi Profesor Hayling sulit sekali bisa
ingat pulang pada waktunya pada saat makan. Dan kau tahu sendiri, bagaimana
pamanmu - bisa lupa makan pagi, siang dan malam setahun penuh - dan setelah itu
heran kenapa perutnya lapar!"
Anak-anak tertawa mendengar ucapan Bibi Fanny. Julian menggandeng bibinya.
"Kami akan senang tidur di loteng," katanya. "Anak-anak perempuan nanti membantu
menyelesaikan pekerjaan di rumah, sedang aku dan Dick membantu kalau ada tugas-
tugas lain. Wah, Bibi belum pernah melihat aku memakai celemek, ya" Pantas
sekali, apalagi dengan sapu di tangan!"
Bahkan Goerge pun ikut nyengir, membayangkan Julian sebagai pembantu rumah
tangga. Tiba-tiba Timmy pergi ke pintu yang terbuka sedikit. Ia mencium bau
monyet tadi lagi. Karena itu pintu didorongnya sampai terbuka lebar.
Timmy menggonggong. Didengarnya suara tinggi merepet. Hah - monyet itu mengata-
ngatai dirinya! Timmy melihat monyet itu duduk di atas sandaran tangan di pangkal tangga. Begitu
melihat Timmy muncul, binatang itu melonjak-lonjak sambil berteriak-teriak.
Kedengarannya seperti sedang tertawa. Timmy lari menghampiri. Sambil
menggonggong dengan galak, ia meloncat hendak menyambar monyet itu.
Tiba-tiba pintu kamar kerja terbuka. Sekali ini bukan hanya Paman Quentin yang
muncul dengan tampang marah, tapi ia ditemani Pak Profesor!
"Ada apa ribut-ribut di sini" Apakah di sini tidak bisa tenang sebentar?"
"Aduh'" keluh Bu Kirrin. Ia sudah membayangkan kejadian begitu berulang paling
sedikit dua puluh kali sehari, karena kini Timmy dan anak-anak sudah datang. Ia
bergegas menenangkan kedua sarjana yang sedang marah itu.
"Sudahlah - Timmy belum terbiasa dengan mnyet itu. Sekarang kembalilah ke kamar
dan tutup pintu. Akan kuusahakan kalian tak terganggu lagi!"
Saat itu Timmy menggonggong lagi. Kedengarannya galak sekali. Dengan cepat
Profesor Hyling lari masuk ke kamar kerja.
"Kalau Timmy begitu terus, dia harus dibawa pergi dari sini!" teriak Pak.
Kirrin, sebelum menghilang pula ke kamar kerjanya.
"Seenaknya saja Ayah mengatakan begitu," tukas George dengan muka merah padam
karena marah. "Jika Timmy harus pergi, aku juga pergi! Aduh, monyet itu
-lihatlah, sekarang dia duduk di utas jam besar! Binatang iseng - dia yang
seharusnya disuruh pergi dari sini, dan bukan Timmy!"
Bab 3 TIMMY DAN SI ISENG Setelah itu Julian dan Dick sibuk mengangkat dua lembar kasur ke loteng, disusul
dengan beberapa lembar selimut dan bantal-bantal. Ternyata di tempat itu memang
banyak angin! Tapi apa boleh buat. Mereka belum bisa berkemah, karena hawa di
luar masih terlalu dingin.
George masih tetap merajuk. Mukanya masam.
"Kalau kau tidak hati-hati, mukamu bisa tetap masam untuk selama-lamanya nanti,
George," kata Dick. "Sudahlah, jangan terus-terusan merajuk' Ibumu lebih repot
menghadapi urusan ini. Pasti seminggu ini ia akan sibuk terus."
Memang, Bibi Fanny sangat sibuk! Tidak gampang mengurus makanan untuk sembilan
orang - lagipula lima di antaranya anak-anak yang selalu lapar. Joan terus-
menerus repot di dapur. Untung George dan Anne ikut membantu. Sedang Dick dan
Julian setiap pagi pergi naik sepeda ke desa untuk berbelanja.
"Kenapa si Utik tidak ikut membantu?" tanya George pada hari kedua anak-anak
berada di rumah. "Apa lagi yang dilakukannya sekarang! lihatlah - ia berlari-
lari dalam kebun, sambil ribut-ribut. Diam, Utik! Kau mengganggu ayahmu, dan
juga ayahku '" "Kau sendiri - yang diam!" balas si Utik. "Tidakkah kau lihat, aku ini mobil
Bentley" Mesinnya kuat sekali. Dan kalau kurem, berhentinya halus sekali
-lihatlah, tanpa goncangan! Mau dengar tuternya" Hebat deh!"
Si Utik menirukan bunyi tuter mobil besar. Kedengaran mirip sekali! Tapi
seketika itu juga jendela kamar kerja dibuka dengan cepat. Suara dua orang pria
yang marah-marah berseru,
"Utik! Kenapa kau ribut-ribut" Kan sudah dibilang, harus tenang!"
Si Utik berusaha menjelaskan keadaannya yang sedang menjadi mobil Bentley. Tapi
keterangannya itu kelihatannya tidak diterima ayahnya, begitu pula Pak Kirrin.
Karena itu si Utik lantas menawarkan, lebih baik ia menjadi mobil mini saja.
"Mobil mini, bunyinya kayak begini," katanya, lalu mulai bergerak lagi sambil
mendengung pelan, "dan tuternya...."
Tapi jendela kamar kerja sudah ditutup lagi dengan bantingan keras. Mobil mini
itu lantas berjalan sendiri masuk ke dapur. Di sana mengatakan perutnya lapar,
dan minta roti. "Aku tidak biasa memberi makan pada mobil," jawab Joan. "Di sini tidak ada
bensin. Pergilah ke luar lagi."
Mobil mini lantas keluar dari dapur, digerakkan dengan dua kaki. Ia mencari
penumpang yang mau ikut. Si Iseng, monyet iseng itu meloncat naik ke bahu si
Utik. "Kau jadi penumpangku," kata si Utik. Si Iseng berpegangan ke rambut anak itu,
sementara si Utik berlari dengan cepat berkeliling kebun. Sekali-sekali
terdengar lagi bunyi tuternya. Tapi kini hanya pelan-pelan, tidak sekeras tadi
lagi. "Anak itu aneh," kata Joan pada Bu Kirrin yang saat itu masuk ke dapur.
"Sebetulnya tidak nakal - cuma rupanya senang sekali menjadi mobil! Belum pernah
kualami anak yang begitu gemar pada mobil. Siapa tahu, pada suatu hari nanti
benar-benar menjelma jadi mobil!"
Hujan turun keesokan harinya. Si Utik tidak bisa bermain-main di luar. Karenanya
ia berlari-lari hilir-mudik dalam rumah saja, sambil mendesum dan berteriak-
teriak menirukan bunyi tuter mobil. Seisi rumah pusing dibuatnya!
"He," sapa Joan, ketika anak itu masuk lagi ke dapur, mungkin sudah untuk kedua
puluh kalinya sejak pagi, "aku tak peduli kau jadi mobil Morris Minor, atau
Austin, atau Ford, atau jadi Rolls- Royce juga boleh saja - asal kau tidak
keluar masuk dapurl Aneh, mobil Rolls yang begitu bagus senangnya mencopet kue
dari dalam kaleng! Mobil apa itu?"
"Yah - kalau tidak ada bensin, aku kan perlu diisi sesuatu supaya bisa jalan,"
balas si Utik. "Coba lihat si Iseng, dia mencopet apel dari tempat penyimpanan
makanan, tapi Anda diam saja"
"Aduh binatang itu sudah masuk lagi ke sana?" seru Joan kaget, lalu bergegas
menuju tempat itu. "Siapa yang membiarkan pintunya terbuka tadi?"
"Timmy," kata si Utik.
"Jangan suka bohong," kata Joan, sambil mengusir si Iseng ke luar. "Timmy takkan
mau berbuat begitu. Timmy jujur, tidak kayak monyetmu yang suka iseng itu!"
"Anda tidak suka padanya?" tanya si Utik sedih. "Padahal dia senang sekali pada
Anda!" Joan melirik ke arah monyet kecil itu, yang duduk meringkuk di sudut dapur
sambil menutupi mukanya dengan lengan. Kelihatannya sedih sekali. Tapi satu
matanya sempat .mengintip ke luar, memandang Joan.
"Kau ini rupanya penipu kecil," kata juru masak itu. "Pura-pura menjadi monyet
yang paling sedih di dunia, padahal dalam hati sedang memikirkan perbuatan iseng
apa lagi yang bisa kaulakukan! Nih - kuberi biskuit - dan jangan berani datang
mendekati Timmy pagi ini. Dia marah sekali padamu "
"Apa yang diperbuat si Iseng terhadap Timmy?" tanya si Utik dengan heran. Ia
tidak mengerti, apa sebabnya Timmy marah terhadap monyet itu.
"Dia tadi mencuri tulang dari piring Timmy," Jawab Joan. "Tentu saja Timmy
lantas menggeram dengan galak. Aku sudah takut saja, Jangan-jangan. ekor si
monyet ini akan. digigit sampai putus! Wah, mesti kaulihat tadi - si Iseng lari
pontang-panting!" Sementara itu si Iseng merangkak dengan hati-hati mendekati Joan, sementara
matanya tak lepas dari biskuit yang masih dipegang juru masak itu. Ia tidak
berani terlalu mendekat, karena sudah kena pukul beberapa kali sebab ketahuan
mencopet makanan. Si Iseng kini tahu, tangan kanan Joan yang paling berbahaya -
karena bisa menyambar secepat kilat.
"Aah, ini - ambillah," kata Joan. "Dan jangan terus-terusan memandangku dengan
sedih, nanti tahu-tahu aku sudah memberi sepotong biskuit lagi. lho - ke mana
monyet itu?" Joan kaget, karena dengan tiba-tiba monyet itu sudah menyambar biskuit dari
tangannya, lalu cepat-cepat lari ke pintu. Tapi pintu tertutup. Si Utik pergi
membukakan untuknya. Seketika itu juga Timmy masuk ke dalam. Ternyata sedari
tadi anjing itu sudah menunggu di balik pintu, karena tercium olehnya bau sedap
dari sup yang sedang dimasak.
Si Iseng meloncat ke atas punggung sebuah kursi, sambil bersuara lirih.
Kedengarannya seperti meringkik, sedih dan penuh penyesalan. Timmy tertegun.
Kupingnya ditegakkan. Rupanya ia memahami bahasa binatang!
Si Iseng masih tetap memegang biskuit. Ia meloncat turun ke sandaran kursi. Joan
melongo, ketika monyet kecil itu dengan tak disangka-sangka menyodorkan
biskuitnya pada Timmy sambil merepet dengan suara pelan. Timmy mendengarkan
ocehannya sejenak, lalu mengambil biskuit itu dengan hati-hati dari tangan si
Iseng. Biskuit itu dilemparkannya ke atas, disambut lagi lalu langsung ditelan!
"Astaga - baru sekali ini aku melihat kejadian begitu!" kata Joan terheran-
heran. "Seolah-olah si Iseng tadi minta maaf pada Timmy karena mencuri tulangnya
-lalu memberikan biskuitnya sebagai pengganti! Wah, apa kata George nanti jika
ia mendengar mengenainya !"
Timmy menjilat-jilat moncongnya, kalau-kalau masih ada remah biskuit yang
menempel di situ. Kemudian ia menjulurkan kepala ke depan - dan menjilat hidung
si Iseng! "Timmy menyatakan terima kasih!" seru si Utik dengan senang. "Nah, sekarang
mereka sudah bersahabat - percayalah!"
Joan tercengang, tapi sekaligus juga senang. Bayangkan ternyata monyet itu baik
hati! Biskuit yang ingin dimakan olehnya sendiri, dihadiahkan pada Timmy. Joan
bergegas ke tingkat atas. Ia hendak mencari George, untuk menceritakan kejadian
itu padanya. Tapi George tidak mau percaya.
"Timmy takkan mau menerima pemberian biskuit dari monyet konyol itu!" tukasnya.
"Mustahil! Anda cuma mengada-ada saja, Joan - karena senang pada si Iseng. Tapi
tunggu saja, sampai ia melarikan garpu panggangan lagi!"
Tapi walau begitu George ikut turun juga dengan Joan. Ia ingin melihat, apakah
benar kedua binatang itu sudah tidak bermusuhan lagi. Dan begitu masuk di dapur,
dilihatnya pemandangan yang luar biasa!
Si Iseng duduk di punggung Timmy, yang berkeliling-keliling dalam dapur. Rupanya
Timmy sengaja mengajak si Iseng pesiar! Monyet kecil itu mengoceh keasyikan,
sementara si Utik berseru-seru dengan riang.
"Ayo cepat, Tim - lebih cepat lagi! Kau memang kuda hebat! Kalau ikut berpacu,
pasti menang! Ya - sekarang menderap!"
"Berhenti, Tim!" seru George. "Jangan ajak monyet itu bermain-main! Kau konyol!"
Tiba-tiba si Iseng mencondongkan tubuhnya ke depan, merangkul leher Timmy.
Setelah itu turun sambil memandang George, seakan-akan hendak mengatakan, "Ya
deh, aku turun! Bukan maksudku membuat Timmy kelihatan konyol!"
Timmy merasa bahwa- George marah. Karena itu ia lantas berbaring di lantai.
Seketika itu juga si Iseng -datang menghampiri, lalu berbaring di antara kedua
kaki depan Timmy. Ia sama sekali tidak kelihatan takut. Timmy membungkukkan
kepala, lalu menjilat-jilat monyet itu.
"Lihatlah itu!" kata Joan pada George. "Anjing- mu baik hati! Kau jangan
memarahinya, karena dia mau berteman dengan monyet yang tadi mencuri tulangnya'"
"Aku tidak berniat memarahinya!" George tercengang, tapi sekaligus juga merasa
bangga. "Dia memang luar biasa - anjing yang paling baik! Ya kan, Timmy manis?"
George menghampiri Timmy, lalu mengelus-elus kepala anjingnya itu. Sedang Timmy
mendongak, seakan-akan hendak berkata, "Nah, sekarang beres! Kita semua berteman
sekarang!" Sementara itu si Utik memperhatikan kejadian itu dari sudut dapur. Tapi ia diam
saja. Ia agak takut pada George, karena rupanya anak itu cepat marah. Ia senang
ketika melihat George menghampiri Timmy dan menepuk-nepuk kepalanya, tanpa
mengusir si Iseng. Karena senangnya, si Utik mengeluarkan suara yang keras
seperti tuter mobil truk. Orang-orang yang ada di dapur kaget mendengarnya, lalu
berseru menyuruhnya berhenti.
"Diam, Tik!" "Jangan ribut!"
"Guk'" gonggong Timmy.
"Kalau kau menuter terus, nanti Pak Kirrin marah," kata Joan. "Tidakkah sekali-
sekali kau bisa menjadi sesuatu yang tidak ribut" Sepeda, misalnya?"
Wah - itu gagasan baik, pikir si Utik. Dengan - segera ia lari meninggalkan
dapur, menuju ke serambi dalam. Sambil lari ia mendesis-desis, menirukan bunyi
roda sepeda yang berputar. Tapi kemudian ia ingin menirukan bel sepeda. Dan
bunyi yang terdengar, ternyata nyaring sekali!
Bunyinya mirip dengan bel rumah. Bu Kirrin bergegas ke pintu depan, karena
mengira ada orang datang! Saat itu pintu kamar kerja terbuka dengan keras.
Pak Kirrin muncul bersama ayah si Utik. Kasihan - anak itu tertangkap basah.
Ayahnya menggoncang-goncangnya begitu keras, sampai dua batang pinsil terlempar
dari kantongnya. Si Iseng menjerit-jerit melihat si Utik digoncang-goncang begitu. Wah - jeritan
nya melengking tinggi, sehingga George berlari-lari datang dari dapur, untuk
melihat apa yang terjadi. Dick, Julian dan Anne yang saat itu sedang di tingkat
atas, juga muncul bergegas-gegas. Joan tidak mau ketinggalan datang ke serambi.
Nyaris saja Pak Kirrin terpelanting ditubruk juru masak yang berbadan gemuk itu.
Kemudian George melakukan sesuatu, yang sebetulnya tidak boleh dilakukan saat
itu. Ia tertawa! Dan kalau Goerge sudah tertawa, tidak setengah-setengah. Enak
sekali kedengarannya. Namun saat itu baik Pak Kirrin maupun Profesor Hayling
sedang kesal. Mereka menganggap tertawa George itu tidak sopan, karena
menertawakan mereka. Dan hal itu sama sekali tidak patut dilakukan olehnya!
"Ini benar-benar sudah keterlaluan," bentak Pak Kirrin dengan muka merah-padam.
"Mula-mula anak ini main-main dengan bel - lalu George tertawa sehingga ia
merasa dirinya lucu! Aku tidak mau lagi! Tidakkah kalian tahu, saat ini di sini
sedang dilakukan pekerjaan maha penting - yang mungkin akan sangat besar
manfaatnya bagi umat manusia" Fanny, anak-anak ini semua harus pergi dari sini.
Aku tak mau mereka ada di sini, mengganggu kami yang sedang sibuk dengan urusan


Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penting. Kau tahu" Suruh mereka pergi!"
Setelah itu ia masuk lagi ke kamar kerja bersama Pak Profesor. Pintu ditutup
kembali dengan bantingan keras.
Nah - sekarang bagaimana"
Bab 4 IDE SI UTIK Ketika sedang terjadi ribut-ribut itu, Bu Kirrin muncul. Ia mengeluh dalam hati,
mendengar suaminya marah-marah. Aduh - sarjana seperti suaminya itu memang besar
sekali jasanya bagi umat manusia - tapi sering membuat keluarga sendiri tidak
bahagia!! Bu Kirrin tersenyum menatap George yang masam, lalu dia menggandeng
anaknya itu. "Yuk kita ke ruang duduk saja," katanya, "dan ajak yang lain-lainnya juga! Kita
perlu berunding sebentar, tentang apa yang sebaiknya dilakukan sekarang. Ayahmu
saat ini memang sedang sibuk dengan pekerjaan penting. Dan terus terang saja, si
Utik, Iseng dan Timmy mengganggu ketenangannya. Ya, ya - aku tahu, yang salah
bukan Timmy - tapi kau harus mengakui juga bahwa gonggongannya sangat nyaring!"
Bu Kirrin mengajak kelima anak itu ke ruang duduk. Timmy ikut dengan mereka.
Sedang Si Iseng tidak kelihatan batang hidungnya. Rupanya ia ketakutan mendengar
ribut-ribut tadi, lalu bersembunyi. Bu Kirrin memanggil Joan.
"Joan, tolong kami berembuk sebentar," kata Bu Kirrin. "Sekarang sebaiknya
bagaimana" Kita tidak bisa begini terus-menerus."
Anak-anak duduk dengan wajah serius. Timmy merebahkan diri di bawah saja. Mana
monyet kecil tadi, yang memberinya biskuit"
Perembukan dimulai oleh George.
"Bu, ini kan rumah kita sendiri," tukasnya dengan nada tersinggung. "Kenapa kami
yang harus pergi, hanya karena Ayah mengajak sarjana temannya itu menginap di
sini" Aku pun ada pekerjaan rumah untuk sekolah, tapi aku tak pernah marah-marah
kalau Ayah membanting-banting pintu pada saat aku sedang belajar. Tapi kalau aku
yang...." "Cukup, George," kata ibunya. "Kau seharusnya lebih memahami ayahmu! Watak
kalian berdua kan persis sama - sama-sama tidak sabaran, cepat naik darah, suka
membanting-banting pintu tapi juga sama-sama baik hati! Nah - sekarang kita
lihat saja apakah bisa ditemukan jalan keluar yang baik."
"Sebetulnya paling baik jika kami bisa tinggal di rumah orang tuaku," kata
Julian. Ia merasa tidak enak menghadapi kejadian tadi. "Tapi sayangnya, rumah
kami sekarang sudah terkunci."
"Bagaimana jika kita berkemah saja ke Pulau Kirrin?" kata George. Melihat ibunya
hendak mengatakan sesuatu, ia lantas buru-buru menambahkan, "Ya, ya, Bu - aku
tahu apa yang hendak Ibu katakan! Sekarang baru awal bulan April, hawa masih
terlalu dingin dan macam-macam lagi...."
"Ramalan cuaca untuk minggu ini sangat buruk," kata ibunya. "Hujan, hujan
melulu! Kalian takkan mungkin bisa berkemah di tengah hujan. Belum lagi basah
kuyup pada saat mendayung pulang balik ke pulau. Belum lewat tiga hari kalian
pasti sudah terkapar di tempat tidur, terserang sakit tenggorokkan. Dan kalau
sudah begitu, bagaimana?"
"Baiklah - kalau begitu usul Ibu bagaimana sebaiknya?" tukas George, yang masih
jengkel. "He! Apa yang sedang dikerjakan monyet itu?" seru Dick dengan tiba-tiba. "larang
dia!" "Ah, dia kan cuma hendak membesarkan nyala api," kata si Utik. Diperhatikannya
si Iseng yang sedang menyolok-nyolok bara di pediangan dengan sebatang tongkat
besi. "Rupanya ia merasa tempat ini dingin'"
"Setelah ini, apa lagi!" tukas Joan. Dirampasnya tongkat besi yang dipegang si
Iseng. "Kau mau membakar rumah ini rupanya, monyet - monyet..."
"Iseng!" sela Dick sambil nyengir. "Namanya saja si Iseng, bisanya cuma iseng
melulu! Dia perlu diawasi terus'"
"Nah - jika kami tidak boleh ke Pulau Kirrin, dan tinggal di sini juga tidak
bisa -lalu kami harus ke mana sekarang?" kata Julian. "Tinggal di hotel terlalu
mahal! Sedang menginap di rumah teman - siapalah yang mau menerima kita berlima,
ditambah seekor monyet bandel dan seekor anjing besar yang tidak kenal kata
kenyang?" Semuanya terdiam. Memang, persoalan itu tidak mudah dipecahkan! Tapi dengan
sekonyong-konyong si Utik membuka mulut.
"Aku tahu, ke mana kita bisa pergi," katanya. "Dan di sana kita bisa bersenang-
senang!" "0 ya?" tukas George dengan nada tak percaya. "Di mana tempatmu yang hebat itu?"
"Yah - yang kumaksudkan, mercu suar ku," kata si Utik sambil lalu. Ketika anak-
anak cuma menatapnya saja sambil melongo, si Utik mengangguk. "Kukatakan tadi
mercu suarku. Kalian tidak tahu mercu suar itu apa?" .
"Jangan konyol," kata Dick. "Sekarang bukan saatnya melucu."
"Aku tidak melucu," kata si Utik tersinggung. "Yang kukatakan tadi benar. Tanya
saja pada ayahku, kalau kalian tidak mau percaya. juga.
"Tapi, Tik - kan mustahil kau memiliki sebuah mercu suar," kata Bu Kirrin sambil
tersenyum geli. "Pokoknya aku punya," kata si Utik berkeras. "Soalnya begini! Ayahku pernah
melakukan suatu pekerjaan istimewa, yang tidak bisa dilakukan di darat. Karena
itu dibelinya sebuah mercu suar tua yang sudah tidak terpakai, lalu ia. bekerja
di situ. Aku ikut waktu itu. Wah -tempat itu asyik! Angin berderu-deru, dan
ombak tidak henti-hentinya memecah ke karang."
"Tapi ayahmu kan tidak menghadiahkan mercu suar itu padamu?" kata Julian masih
tetap tak percaya. "
"0 ya, ia menghadiahkannya padaku," jawab si Utik. "Kenapa tidak, karena aku
ingin sekali. Sedang dia sendiri sudah tidak memerlukannya lagi. Mau dijual,
tidak ada yang mau membeli. Dan aku ingin memilikinya. Jadi pada. hari ulang
tahunku yang baru lalu mercu suar itu dihadiahkannya padaku. Sekarang jadi
milikku!" "Bukan main!" seru Julian dengan kagum. "Bukan hanya George memiliki pulau
hadiah Ibunya - tapi si Utik pun punya mercu suar yang diperolehnya dari
ayahnya! Wah, kepingin juga punya orang tua yang memberi aku hadiah Gunung
berapi, atau sesuatu yang asyik'"
George memandang si Utik dengan mata bersinar-sinar.
"Jadi kau benar-benar punya mercu suar?" tanyanya. "Di mana letaknya?"
"Sekitar sepuluh mil di sebelah barat - di pesisir ini juga," kata si Utik.
"Mercu suar itu tidak besar - tapi bagus sekali! lampunya masih ada, tapi tidak
dipakai lagi sekarang."
"Apa sebabnya?" tanya Dick.
"Karena di tempat lain sudah dibangun mercu suar baru yang lebih besar," jawab
si Utik. "Di tempat yang lebih cocok untuk memberi tanda pada kapal-kapal yang
lewat. Karena itu mercu suar yang tua kemudian dijual. Tempat itu cocok sekali
bagi ayahku untuk bekerja. Di situ tak ada orang yang mengganggu, walau kadang-
kadang Ayah kesal terhadap burung-burung camar yang terbang sambil berteriak-
teriak. Kata Ayah, suara mereka kedengarannya seperti kucing. Ayah pernah
berniat hendak memberi susu, supaya mereka diam."
Semua tertawa. Si Utik memandang berkeliling dengan wajah berseri-seri. Dalam
hati ia berpikir, hebat juga aku ini - bisa membuat anak-anak tertawa! Dan bukan
hanya anak-anak, tapi Bu Kirrin dan Joan juga ikut tertawa mendengar ceritanya.
Kemudian si Utik memukul meja, sehingga semua berhenti tertawa dan memandangnya
dengan kaget. "Sekarang kalian sudah percaya, kan?" katanya. "Sungguh, mercu suar itu memang
milikku. Yuk, kita tinggal di sana sampai ayah-ayah kita selesai dengan
pekerjaan mereka. Kita bisa mengajak Timmy dan si Iseng - karena di sana tempat
cukup lapang." Usulnya itu tidak langsung ditanggapi. Tapi kemudian George menumbuk dada si
Utik dengan sikap ramah. "Aku mau! Asyik, tinggal dalam mercu suar! Teman-teman di sekolah pasti tak ada
yang mau percaya, jika kuceritakan nanti!"
"Bolehkah kami ke sana, Bibi Fanny?" tanya Anne pada bibinya, dengan mata
bersinar-sinar. "Wah - belum tahu," jawab Bibi Fanny. "Gagasan itu datangnya begitu tiba-tiba!
Aku perlu merembukkannya dulu dengan paman kalian. Dan tentu saja dengan ayah si
Utik juga!" "Ayahku pasti bilang boleh. Aku yakin!" kata si Utik. "Barang-barang kami masih
ada di sana! Wah, enak - bisa tinggal di mercu suar!"
Anak-anak sependapat dengan si Utik. Bahkan Timmy pun memukul-mukulkan ekor ke
lantai, seolah-olah ia mengerti apa yang sedang dibicarakan!
"Aku punya peta di mana ada tempat mercu suarku," kata si Utik, sambil merogoh-
rogoh kantong. "Sayang sudah agak kumal, karena sering kulihat-lihat. Nah, ini
dia petanya! Nih - ini garis pesisir - dan titik ini, itulah mercu suarku.
letaknya di atas karang!"
Semua berkerumun memperhatikan peta. Tak ada yang masih menyangsikan, itulah
penyelesaian yang paling baik! Dick memandang si Utik yang kelihatannya
bersemangat. Anak itu mujur, punya mercu suar miliknya sendiri, pikir Dick.
Bayangkan, anak seperti dia punya mercu suar!
"Karang tempat mercu suarku itu dulu sering sekali mengakibatkan bencana
terhadap kapal-kapal," kata si Utik. "Waktu itu di pesisir sering beraksi
pencoleng' Mereka menyalakan lampu, seolah-olah itulah penunjuk jalan di pantai.
Padahal itu hanya penipuan belaka! Kapal-kapal yang mempergunakan sinar lampu
mereka sebagai pedoman, kemudian pecah berantakan menubruk karang. Awak kapal
mati tenggelam! Dan para pencoleng menunggu sampai bangkai kapal terdampar ke
pantai, lalu kapal itu dirampok habis-habisan."
"Aduh, jahatnya'" seru Dick ngeri.
"Di sana juga ada sebuah gua. Dalam gua itulah para pencoleng menyimpan barang-
barang hasil perampokan mereka," kata si Utik "Gua itu kini dikenal dengan nama
Gua Pencoleng. Aku belum pernah masuk sampai jauh ke dalam. Aku takut! Kata
orang, di dalamnya masih berkeliaran sisa-sisa pencoleng."
"Omong kosong!" kata Bu Kirrin sambil tertawa. "Kurasa itu cuma dongeng yang
sengaja diceritakan, supaya anak-anak tidak masuk ke situ. Tempat begitu
biasanya memang berbahaya! Yah - aku tidak melihat alasan kenapa kalian tidak
bisa pergi ke mercu suar si Utik. itu, jika ayahnya setuju!"
"Wah! Terima kasih, Bu!" seru George, lalu memeluk ibunya kuat-kuat. "Asyik -
kita akan tinggal dalam mercu suar! Aku akan membawa teropongku, untuk
memperhatikan kapal-kapal yang lewat!"
"Dan Julian sebaiknya juga membawa gramafonnya," kata Bu Kirrin. "Kalau cuaca
buruk, hidup terkurung di sana bisa membosankan!"
"Ah, mustahil! Pasti asyik!" seru si Utik.
Tiba-tiba anak itu menjelma menjadi mobil balap. Ia lari mengelilingi kamar,
sambil menggeram-geram. Timmy menggonggong melihat tingkahnya, sedang si Iseng
merepet dengan ribut. "Ssst!" kata Bu Kirrin. "Nanti ayahmu marah lagi, Tik - dan kalian dilarang ke
mercu suar! Sudah, matikan saja mesinmu, dan duduk diam-diam di sini. Begitu ada
kesempatan, aku akan bicara dengan ayahmu!"
Bab 5 MERCU SUAR SI UTIK Bu Kirrin tidak mau membuang-buang waktu lagi, langsung saja ia pergi ke kamar
kerja untuk membicarakan kemungkinan anak-anak pergi menginap di mercu suar yang
katanya milik si Utik. Bu Kirrin mengetuk pintu dengan hati-hati.
Ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam. Tapi tidak ada yang berseru,
"Masuk'.! Karena itu ia mengetuk sekali lagi.
"Ada apa lagi sekarang!" seru Pak Kirrin. "Kalau itu kau, George, pergi saja -
jangan ganggu kami. Tapi kalau si Utik, bilang padanya supaya memarkir dirinya
dalam garasi. Mestinya dia yang ribut-ribut terus sepagi ini!"
Bu Kirrin tersenyum, lalu pergi. Mungkin lebih baik persoalan itu nanti saja
diajukan, pada saat makan siang. Ah pasti akan melegakan, apabila keadaan di
rumah bisa tenang untuk beberapa hari!
Ia pergi ke dapur, mencari Joan. Ternyata monyet kecil ada di sana, membantu
juru masak itu. Ia masuk ke dapur, untuk melihat barangkali ada remah-remah
makanan tercecer. Ketika Bu Kirrin datang, Joan sedang menggiling adonan sambil
berbicara pada si Iseng. "Nah, adonan ini kugiling begini -lalu begitu- dan ini, secuil untukmu!" Joan
menyodorkan secuil adonan pada si Iseng. Tentu saja monyet kecil itu menerimanya
dengan senang. Ia meloncat ke bahu Joan, lalu berbisik di telinganya. Joan pura-
pura mengerti apa yang diocehkan monyet itu.
"Ya, Iseng - kalau kau tidak nakal, nanti kuberi secuil lagi. Sekarang jangan
berbisik-bisik lagi. Geli kupingku karenanya. Kau turun saja dulu!"
"Wah, Joan - tak kukira aku akan melihat Anda menggiling adonan, dengan seekor
monyet bertengger di bahu!" kata Bu Kirrin. "Nah, bagaimana pendapat Anda
tentang gagasan menginap di mercu suar" Aku belum sempat berbicara dengan Pak
Kirrin dan Pak Profesor! Masuk ke kamar kerja saja pun tidak bisa, karena
suamiku mengira aku si Utik. Aku disuruhnya memarkir diriku dalam garasi!"
"Ide itu tidak jelek," kata Joan, sambil menggiling terus dengan bersemangat.
"itu kan suara si Utik lagi di serambi - menirukan bunyi mobil! Yah, Bu -
menurut pendapat saya jika mercu suar itu bisa didiami, biar saja anak-anak
menginap di sana, bersama si Utik dan monyet ini! Mereka pasti akan senang di
sana. Dan kan ada si Timmy, yang bisa menjaga. Hal-hal begitu memang yang paling
mereka sukai - menginap di mercu suar. Huh! Tempat tidak enak - terpencil,
dikelilingi ombak berdebur dan angin yang menderu-deru!"
"Ya, tapi apakah mereka tidak apa-apa, sendirian di sana?" tanya Bu Kirrin. Ia
masih agak sangsi. "Julian dan Dick sudah cukup besar! Mereka bisa menjaga yang lain - walau terus
terang saja, tidak gampang menjaga anak seperti si Utik," kata Joan. "Moga-moga
saja ia nanti tidak dengan tiba-tiba mengira dirinya pesawat terbang, lalu
melayang dari puncak menara di sana!"
Bu Kirrin tertawa. "Jangan katakan itu padanya," katanya. "Sangkaannya bahwa dia mobil saja, sudah
cukup merepotkan! Yah, Joan - terus terang saja aku kurang merasa enak, menyuruh
George serta saudara- saudaranya pergi sementara mereka baru saja tiba! Tapi tak
ada jalan lain, mengingat di sini ada dua sarjana yang cepat merasa terganggu.
Awas- monyet itu menemukan kantong kismis!"
"Dasar iseng!" tukas Joan, sambil berusaha menangkap monyet itu. Tapi si Iseng
lebih cepat. Ia melesat naik ke atas sebuah rak. Kantong berisi kismis
dipegangnya erat-erat. Ia merepet, kedengarannya seperti sedang mengomel.
"Ayo, kembalikan kismis itu!" kata Joan, sambil menghampiri lemari. "Kalau
tidak, kuikat nanti ekormu yang panjang itu ke kursi!"
Si Iseng mengeluarkan suara, yang terdengar seperti mengejek. Kemudian ia
memasukkan cakarnya ke dalam kantong, mengambil sebutir kismis. Kismis itu
bukannya dimasukkan ke mulut, tapi malah dilemparkan ke arah Joan. Tepat kena
pipinya ! Joan memandang si Iseng dengan kaget.
"Eh - kamu berani melemparku?" tukas Joan kemudian. "Ini sudah benar-benar
keterlaluan!" Joan mengambil air secangkir dari keran. Sementara itu si Iseng masih terus
melemparinya, dan juga Bu Kirrin dengan kismis. Monyet itu menandak-nandak di
atas rak, sambil menjerit-jerit keasyikan!
Sebagai akibatnya, sebuah mangkuk jatuh dari atas rak, dan pecah berantakan di
lantai. Si Iseng mendengarnya. Ia melompat ke tepi atas daun pintu yang agak
terbuka. Dari situ ia melanjutkan keisengannya, melempari Joan dan Bu Kirrin
dengan kismis ambil menjerit-jerit terus.
Tiba-tiba pintu kamar kerja terbuka. Pak Kirrin keluar, diikuti oleh Pak
Profesor. "Bunyi apa tadi?" tanya Pak Kirrin. "Apa yang sedng terjadi di sini" Bagaimana
kami bisa bek..." Dasar sedang sial, tepat pada saat itu Joan menyiramkan air ke arah si Iseng
yang masih bertengger di atas daun pintu. Siraman air itu membasahi tubuh monyet
itu, tapi juga mengenai Pak Kirrin yang saat itu membuka pintu!
Joan kaget sekali. Dengan segera ia lari ke bilik tempat menyimpan makanan. Ia
tidak tahu, apakah harus tertawa atau cepat-cepat minta maaf.
Sementara itu anak-anak berdatangan dari tempat duduk, karena ingin tahu apa
yang sedang terjadi. "Si Iseng lagi yang iseng," kata si Utik. Rupanya main-main dengan air!"
"Sebetulnya aku yang tadi menyiram dengan air," kata Joan dengan nada menyesal.
Ia mengintip dari balik pintu bilik tempatnya lari tadi, karena...."
"Anda yang menyiram?" kata Pak Kirrin dengan mata terbelalak. "Ada apa
sebetulnya di rumah ini" Masak Anda sampai menyiram diriku dengan air, Joan!
Anda sudah tidak waras lagi rupanya!"
"Begini, Quentin," sela istrinya. "Saat ini semua masih waras! Tapi mungkin tak
lama lagi semua akan menjadi gila, apabila keadaan masih terus begini! Kaudengar
kataku, Quentin - Aku hendak membicarakan sesuatu yang penting denganmu. Dengan
Anda juga, Profesor!"
Pak Profesor teringat, bahwa saat itu ia sedang bertamu. Ia membungkuk sedikit
ke arah Bu Kirrin. "Silakan, Bu," katanya sopan. Detik berikut ia mengernyit, karena ada buah
kismis mengenai kepalanya. Dick memandang si Iseng dengan kagum. Hebat juga
rupanya bidikan monyet kecil itu.


Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa itu, yang dilempar-lempar oleh monyet itu?" kata Pak Kirrin dengan suara
galak. Tapi saat itu juga ia sudah tahu tanpa mendapat jawaban dari siapa-siapa,
karena sebutir kismis yang dilemparkan oleh si Iseng tepat mengenai hidungnya.
"Singkirkan monyet itu! Masukkan ke tong sampah! Kenapa di sini ada monyet
melempar- lempar, serta seorang anak laki-laki yang kerjanya berkeliling dalam
rumah sambil berbunyi seperti mobil ngebut" Aku tak mau lagi! Kau dengar, Fanny"
Aku tidak mau!" Bu Kirrin menatap suaminya dengan galak.
"Ada sesuatu yang hendak kukatakan, Quentin! Dengar kataku, Quentin! Tadi si
Utik bercerita katanya ia mendapat hadiah sebuah mercu suar dari ayahnya. Ia
mengusulkan, sebaiknya ia bersama anak-anak yang lain menginap di sana Kaudengar
kataku tadi, Quentin?"
"Mercu suar" Apa maksudmu" Anak kecil itu punya sebuah mercu suar" Dan kau
percaya saja pada ceritanya itu?" tanya Pak Kirrin heran.
"Kebetulan si Utik tidak bohong," kata Profesor Hayling. "Aku memang membeli
sebuah mercu suar dulu, ketika aku perlu bekerja dengan teman di suatu tempat
yang jauh dari mana-mana. Tapi ketika aku sudah selesai dengan pekerjaan itu
mercu suar tadi tidak bisa kujual lagi. Peminat tidak ada! Karena itu ketika si
Utik merengek-rengek meminta, lantas kuhadiahkan saja padanya. Tapi bukan untuk
didiami!" "Mercu suar, sebagai tempat bekerja!" kata Pak Kirrin kagum. "Aku mau
membelinya! Aku nanti...."
"Tidak, Quentin," kata istrinya tegas. "Kalian berdua kuharap mendengarkan dulu
kata-kataku! Profesor Hayling, aku ingin tahu, apakah mercu suar itu bisa
didiami atau tidak. Kalau bisa, anak-anak ingin bertanya apakah mereka bisa
menginap di sana sampai kalian sudah selesai bekerja di sini. Mereka memang
merepotkan kalian. Tapi terus terang saja, kalian pun menyebabkan mereka juga
repot terus!" "Fanny!" tukas Pak Kirrin. Ia kaget dan tersinggung mendengar kata-kata istrinya
itu. "Dengar dulu, Yah," sela George. Ia berdiri di depan ayahnya. "Kami akan
menyingkir selekas mungkin dari sini, begitu kami mendapat izin menginap di
mercu suar milik si Utik. Bilang saja, ya! Hanya itu yang kami inginkan."
"Ya!" bentak Pak Kirrin. Ia sudah bosan berbantah-bantah terus. Ia ingin segera
menekuni kertas-kertas kerjanya bersama Pak Profesor. "Ya! pergilah ke mercu
suar - pergi ke penjara di London - pergilah ke kebun binatang jika kalian ingin
tinggal di sana! Monyet-monyet pasti akan bergembira menyambut kawan mereka yang
sedang meringis di atas lemari itu!"
"Aduh, terima kasih, Yah!" kata George senang. "Kami akan secepat-cepatnya
berangkat ke mercu suar. HORE! HOR...."
Sorak George terputus, karena Pak Kirrin masuk bersama Pak Profesor ke dalam
kamar kerja, sambil membanting pintu keras-keras George tidak peduli.
Dipegangnya kaki depan Timmy lalu diajaknya anjing itu menari-nari sekeliling
ruangan duduk. Bu Kirrin menjatuhkan diri di kursi, lalu tertawa. Joan ikut tertawa.
"Wah, ributnya ampun-ampunan!" kata juru masak itu. "Untung tak lama lagi mereka
semua akan sudah berangkat, Bu. Tempat di loteng terlalu banyak anginnya. Lihat
saja Julian lehernya kaku karena masuk angin!"
"Ah, ini kan tidak apa-apa," jawab Julian. "Pokoknya sebentar lagi kami semua
akan berangkat lagi, ditambah dengan dua teman baru. Pasti akan asyik
petualangan kita nanti?"
"Petualangan?" tanya si Utik tercengang. "Di mercu suarku itu sama sekali tak
ada petualangan. Letaknya sangat terpencil, di atas karang. Di sana tidak ada
apa-apa'" Si Utik belum begitu kenal dengan Lima Sekawan. Ia tidak tahu, di mana anak-anak
serta seekor anjing itu muncul, pasti tak lama kemudian terjadi hal-hal yang
mengasyikkan. Bab 6 MENGATUR RENCANA Setelah itu anak-anak sibuk menyusun rencana. Si Utik berulang kali bercerita
mengenai keadaan mercu suarnya.
"Bangunannya sangat tinggi!" katanya. "Di dalamnya ada tangga besi, berputar-
putar dari bawah ke atas. Sedang di atas terdapat bilik kecil, tempat lentera
yang dulu menyala untuk memperingatkan kapal-kapal agar jangan mendekat."
"Kedengarannya enak juga tinggal di sana," kata George. "Tapi bagaimana dengan
Timmy" Apakah dia nanti bisa menaiki tangga yang berputar-putar itu?"
"Dia kan bisa saja tinggal di bawah, kalau ternyata tidak bisa ikut naik," kata
si Utik. "Kalau si Iseng, naik ke atas merupakan soal sepele."
"Jika Timmy harus tidur di bawah, aku akan menemaninya," kata George.
"Kenapa tidak menunggu dulu sampai sudah tahu kayak apa mercu suar itu, sebelum
kau mengatur di mana kita tidur?" kata Julian sambil menepuk George. "Pertama-
tama kita harus menyelidiki dulu di mana letaknya yang tepat, serta jalan ke
sana. Sayang si Utik tidak bisa menjelma menjadi mobil yang benar-benar! Coba
kalau bisa, dengan cepat kita akan sudah sampai di tempat itu '"
Mendengar ucapan Julian, dengan segera si Utik membayangkan dirinya menjadi
sebuah mobil pengangkut besar, yang sedang membawa anak-anak serta barang-barang
mereka. Ia berlari-lari mengelilingi ruangan, sambil menderam-deram. Tiruan
bunyi tuter yang terdengar berulang-ulang, menyebabkan orang-orang yang ada di
situ setiap kali kaget. Akhirnya Julian berhasil memegangnya, ketika anak itu
lari mengelilingi meja. Si Utik didudukkannya ke kursi.
"Kalau kau begitu terus, nanti kami tinggalkan di sini," kata Julian. "Nah -
sekarang mana petamu itu! Kita pelajari sebentar. Setelah itu kita ambil peta
besar kepunyaan Bibi Fanny, dan di situ kita telusuri jajan yang ditempuh untuk
menuju ke mercu suarmu."
Tak lama kemudian kelima anak itu sudah asyik menelaah peta pesisir yang
berskala besar. Si Iseng bertengger di bahu Dick, sambil menggelitik tengkuk
anak itu. "Nih - kita harus lewat jalan ini," kata Julian. "Kalau lewat laut, sebenarnya
tidak sebegitu jauh dari sini. lihatlah - mengitari pantai sebelah sini, lalu
memotong teluk itu, lantas mengitari tanjung - dan itu dia karang di mana mercu
suarmu terletak. Tapi lewat jalan darat, agak jauh juga."
"Sebaiknya kita ke sana naik mobil," usul Dick. "Barang-barang kita cukup
banyak! Bukan cuma pakaian saja, tapi juga barang-barang lain seperti alat-alat
masak dan sebagainya. Dan bahan makanan.
"Di sana masih ada simpanan kami," kata si Utik. "Ayah meninggalkannya ketika
kami pergi." "Tapi mungkin sekarang sudah tidak baik lagi," kata Julian.
"Yah - pokoknya bawaan kita jangan sampai terlalu banyak," kata si Utik lagi.
"Nanti repot mengangkutnya melintasi karang sewaktu hendak menuju ke mercu suar!
Di sana tidak ada jalan, jadi kita harus mengangkutnya sendiri sampai ke tempat
itu. Tidak jauh dari situ ada sebuah desa. Jadi kalau kita memerlukan makanan
segar, bisa kita ambil dari desa itu. Tapi ada juga hari-hari bercuaca buruk,
pada saat begitu kalian akan melihat ombak besar ditiup angin, mengempas
setinggi rumah pada karang. Kalau hendak ke tepi pada saat pasang naik, harus
memakai perahu, karena karang terendam air laut'"
"Wah, asyik!" kata Dick dengan mata bersinar-sinar. "Bagaimana pendapatmu, Anne"
Sedari tadi kau diam saja'"
"Yah - terus terang saja, aku agak takut," kata Anne. "Kedengarannya tempat itu
sunyi sekali. Mudah-mudahan saja tidak ada kapal terhempas ke karang pada saat
kita sedang di sana'"
"Menurut si Utik, tak seberapa jauh dari situ ada mercu suar lain yang belum
lama dibangun," kata Julian. "Sinarnya akan memberi tahu kapal-kapal yang ada di
laut, agar menjauhi beting yang berbahaya itu. Kau kan mau ikut, Anne" Soalnya
Jika tidak mau, Bibi Fanny pasti takkan berkeberatan apabila kau tinggal di
sini. Kau pendiam, jadi takkan mengganggu ketenangan Paman Quentin atau Pak
Profesor!" "Siapa bilang aku tak mau ikut dengan kalian!" kata Anne agak tersinggung. "Di
sana kan sudah tidak ada pencoleng lagi, Julian" Tak enak rasanya, jika mereka
masih ada." "Mereka itu kan hidupnya pada jaman dulu," kata Julian. "Jangan khawatir terus,
Anne! Kita kan cuma akan berkunjung ke rumah peristirahatan si Utik di pinggir
laut! Musim semi ini ia menerima tamu."
"Sudahlah - kita teruskan perencanaan kita," kata Dick. "Kita ke sana naik
mobil- apa katamu, Tik?"
"Aku tadi bilang, jika kalian mau bisa kuantarkan," kata si Utik. "Aku bisa...."
"Jangan ngoceh! Kau kan tidak punya surat izin mengemudi," tukas George.
"Memang tidak - tapi walau begitu aku toh bisa menyetir," kata si Utik. "Aku
sudah pernah menyetir mobil ayahku berkeliling kebun. Dan ...."
"Tutup mulut!" kata Dick. "Kau ini tidak henti-hentinya bermain dengan mobil
khayalanmu! Nah, kapan kita ke sana, Julian?"
"Bagaimana kalau besok pagi?" jawab Julian. "Pasti semua akan senang jika kita
berangkat selekas mungkin. Bagi Bibi Fanny dan Joan merepotkan sekali, orang
sebanyak sekarang ada di sini. Soal mobil dan sopir nanti kita urus. Setelah itu
berkemas, lalu langsung berangkat!"
"Hore!" seru George dengan girang. Ia memukul-mukul meja, sehingga si Iseng
ketakutan lalu melompat naik ke atas lemari buku. "Wah, maaf Iseng - kau kaget
ya! Timmy, bilang padanya aku minta maaf. Aku tadi tidak sengaja menakut-
nakutinya. Si Iseng mungkin mengerti bahasa Anjing."
Timmy mendongak ke arah si Iseng, lalu mendengking pelan dua kali dan menyalak
satu kali. Si Iseng menelengkan kepala seperti mendengarkan, lalu melompat ke
atas punggung Timmy. "Terima kasih, Tim! Ternyata ia mengerti," kata George. Anak-anak tertawa semua.
Timmy mengibas-ngibaskan ekor, lalu meletakkan kepalanya ke pangkuan George
sambil memandang anak itu seperti hendak mengatakan sesuatu.
"Ya, ya - aku mengerti bahasamu, baik kau menggonggong ataupun hanya memandang,"
kata George, sambil menepuk-nepuk anjing kesayangannya itu. "Kau ingin jalan-
jalan, kan?" Timmy menggonggong dengan gembira, lalu lari ke pintu.
"Yuk, kita jalan-jalan ke bengkel!" ajak Julian. "Mungkin di sana ada mobil yang
bisa disewa: Tapi harus ada sopirnya, untuk membawa kembali mobil dari mercu
suar. Yuk, Tim!" Mereka berangkat ke bengkel desa. Hujan yang turun sejak pagi, saat itu berhenti
sebentar. Matahari, muncul dari balik awan. Sinarnya terpantul di air,
menyebabkan Teluk Kirrin nampak berkilau-kilauan.
"Sebenarnya aku kepingin berkemah di pulauku," kata George. "Tapi sekarang
memang terlalu lembab, tidak enak menginap di udara terbuka. lagipula sekali-
sekali asyik juga tinggal dalam mercu suar!"
Orang yang bertugas di bengkel mendengarkan cerita Julian, yang mengatakan ingin
menyewa mobil untuk pergi ke mercu suar si Utik.
"Mercu suar itu letaknya di atas Karang Setan - jadi bukan mercu suar baru yang
di High Cliffs," kata Julian. "Kami akan tinggal di sana selama beberapa hari."
"Tinggal di mercu suar?" kata orang itu. "Kau jangan main-main!"
"Tidak, aku tidak main-main. Mercu suar itu milik salah seorang dari kami,"
jawab Julian. "Tapi ada barang-barang yang perlu kami bawa. Karena itulah kami
berharap bisa menyewa mobil di sini beserta sopirnya sekaligus, untuk
mengantarkan kami ke sana besok. lalu pada saat kami hendak pulang lagi kemari,
kami akan memberi tahu Anda supaya mengirim mobil menjemput kami."
"Kalau begitu baiklah," kata orang itu. "Katamu tadi, kalian saat ini menginap
di Pondok Kirrin?" "Betul," jawab Julian. "Pak Kirrin paman kami."
"0, begitu," kata orang itu lagi. "Kalau Tuan George ini, aku sudah kenal. Tapi
tadi aku tidak tahu pasti, siapa kalian yang lain. Maklumlah, kadang-kadang ada
orang iseng memesan mobil, tapi kemudian mungkir!"
Hidung George kembang-kempis, karena orang itu menyebutnya dengan panggilan
'tuan'. Sudah dikira laki-laki, dipanggil 'tuan' lagi! Anak itu membenamkan
kedua tangannya dalam-dalam ke kantongnya, untuk menyembunyikan rasa bangga.
"Kita perlu membawa bantal dan selimut," kata Julian. "Begitu pula baju hangat.
Kurasa di mercu suar itu tentu tidak hangat."
"Di sana ada alat pediangan," kata si Utik. "Kurasa dulu dipakai untuk
memanaskan lampu suar. Kalau nanti udara dingin, kita bisa menyalakannya."
"Barang-barang apa saja yang masih ada di sana?" tanya Dick pada si Utik.
"Sebaiknya kita memesan perbekalan makanan di toko serta minuman juga untuk
diangkut dengan mobil ke sana."
"Kalau makanan dalam kaleng, kalau tidak salah masih banyak," kata si Utik
mengingat-ingat. "Sengaja kami tinggal sebagai simpanan apabila ayahku ingin kembali ke sana
untuk bekerja dengan tenang."
"Hm. Sayang ia tidak mengundang Paman Quentin, untuk bekerja saja di sana," kata
Julian. "Coba kalau begitu, kan kita tidak usah repot-repot lagi. Semua senang!"
Anak-anak mampir ke toko penjual makanan. Anne berusaha menyusun daftar barang-
barang yang perlu dipesan, di samping makanan dalam kaleng.
"Gula - mentega - telur - lalu - aduh, tolong aku, George. Berapa banyak yang
perlu ku pesan?" "Jangan lupa, kita nanti juga bisa berbelanja di desa yang ada di sana," sela si
Utik. "Cuma agak repot, jika angin kencang sedang bertiup. Kalau begitu,
berjalan di atas karang agak berbahaya! Mungkin kita akan terkurung dalam mercu
suar selama satu atau dua hari. Bahkan dengan perahu pun terlalu besar
risikonya." "Asyik!" seru George. Ia sudah membayangkan terkurung di tempat itu sementara
badai mengamuk di luar, menunggu-nunggu diselamatkan dari bahaya tenggelam dan
kelaparan! "Kita perlu biskuit, Anne. Dan coklat, yang banyak! Limun jahe juga
jangan lupa. Serta seterup, satu botol besar. lalu...."
"He, he, tunggu! Kau tahu, siapa yang harus membayar semuanya ini?" tukas
Julian. "Aku, tahu! Bisa bangkrut aku nanti jika segala-galanya dibeli. "
Julian mengambil dompet dari kantongnya.
"Nih - uang satu pound." katanya. "Cuma itulah yang bisa kukeluarkan saat ini!
lain kali giliran Dick yang membayar."
"Uangku juga banyak," kata si Utik. Dikeluarkannya uang segenggam dari
kantongnya. "Astaga!" seru George. "Rupanya ayahmu selalu memberi, setiap kali kau minta
uang padanya. Yah, dia begitu linglung. Dimintai uang tiga kali sehari pun,
masih memberi juga."
"Ah - ayahmu kan juga linglung," balas si Utik. "Tadi pagi ia menuangkan kopi ke
buburnya. Padahal maunya yang diambil susu! Kebetulan aku melihatnya. Yang lebih
parah lagi, bubur bersaus kopi itu dimakannya, tanpa sadar bahwa dia keliru
ambil!" "Sudahlah, tak perlu kita membicarakan soal orang tua kita di depan umum," kata
Julian. "Tik, apakah kau tidak perlu belanja makanan untuk si Iseng" George
sudah membeli biskuit untuk Timmy, dan kita juga akan membawa beberapa potong
tulang untuknya." "Aku bisa membeli makanan sendiri untuk monyetku," tukas si Utik. Ia agak kurang
enak, karena dikecam oleh Julian. Kemudian dibelinya kismis serta buah-buahan
untuk monyetnya itu. Si Iseng berkilat-kilat matanya melihat makanan yang begitu
enak, semua untuknya sendiri.
"Jangan pegang!" bentak George, ketika dilihatnya tangan si Iseng merayap masuk
ke kantong biskuit untuk Timmy. Begitu digertak, monyet itu langsung melompat ke
atas bahu si Utik. Ia menyembunyikan muka di balik tangannya, seakan-akan merasa
malu ketahuan! "Kita beli saja lagi buah-buahan," kata Julian. "Nah, kurasa sekarang sudah
cukup! Semuanya kita suruh antarkan ke bengkel, dan dimasukkan ke mobil yang
akan kita pakai besok."
"Aduh, tak sabar lagi rasanya menunggu besok," kata George dengan mata bersinar-
sinar. Bab 7 BERANGKAT Asyik sekali malam itu mereka membicarakan perjalanan keesokan harinya. Naik
mobil menuju Karang Setan, lalu melihat-lihat keadaan mercu suar serta
melayangkan pandangan ke lautan luas, menyaksikan ombak besar yang memecah di
karang. "Bagiku, yang paling asyik nanti malam pertama kita tidur di sana," kata George.
"Bayangkan, cuma kita sendiri di mercu suar tua itu! Yang ada di sekeliling kita
cuma angin dan ombak. Berbaring sambil berselimut, dan besoknya terbangun karena
deru angin dan deburan ombak!"
"Dan burung-burung camar," kata si Utik menambahkan. "Mereka tak henti-hentinya
berteriak-teriak. Kita bisa memperhatikan mereka dari puncak bangunan. Aku ingin
punya sayap kayak burung camar, meniti angin dengan sayap terbentang lebar'"
"Meniti angin! Bahasamu hebat, Tik! Tapi memang, burung camar tidak terbang,
tapi dibawa angin. Meniti!" kata Anne. "Cuma aku kurang senang mendengar suara
mereka. Begitu sedih - berdiri bulu romaku mendengarnya!"
Bu Kirrin sebenarnya agak segan mengizinkan anak-anak berangkat. Ramalan cuaca
untuk minggu itu buruk terus. Jadi ia sudah membayangkan anak-anak meringkuk
kedinginan dalam mercu suar yang kosong, dan mungkin juga tengah mati ketakutan


Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di situ. Tapi baru saja ia menyuarakan kesangsiannya, dengan segera anak-anak
memprotes. "Tapi mobil sudah kami pesan!"
"Dan makanan juga! Joan sudah membekali kami sekaleng penuh dengan macam-macam.
Ia bahkan spesial membuatkan kue!"
"Ibu ini bagaimana sih?" tukas George. "Masak udah bilang boleh, sekarang mau
melarang?" "Ya, ya - sudahlah!" kata Bu Kirrin. "Aku takkan bisa melarang kalian pergi.
Tapi jangan lupa menulis surat ke rumah, ya" itu jika di sana kalian bisa
mengeposkan surat!" "Di desa ada kantor pos kecil," kata si Utik. "Kami akan mengirim kabar setiap
hari, dengan kartu pos. Supaya Anda tahu kami dalam keadaan selamat."
"Baiklah kalau begitu," kata Bu Kirrin. "Tapi Jangan lupa, karena jika tidak ada
kartu pos dari kalian, aku akan merasa gelisah. Dan jangan lupa membawa mantel
bertudung -lalu lars karet, dan..."
"Aduh, Ibu ini betul-betul keterlaluan! Menurut perasaanku, setelah ini kita
akan disuruhnya membawa payung," kata George. "Wah, kalau kita membawa payung di
sana, pasti akan langsung diterbangkan angin ke laut. Menurut si Utik, angin di
sana selalu kencang."
"Anda tidak perlu khawatir, Bibi Fanny," sela Dick. "Bayangkan saja kami sedang
asyik main kartu di dalam, sementara angin mengamuk di luar! Kami akan duduk-
duduk berselubung selimut sambil main kartu, dengan limun jahe dan biskuit
coklat...." "Guk'" gonggong Timmy, mendengar perkataan yang dikenal baik olehnya itu.
"Hah - kaukira kau akan diberi makan biskuit coklat terus-terusan, ya Tim," kata
Dick sambil menggosok-gosok bulu di kepala Timmy. "Kau tidak boleh memotong
perkataan orang, itu tidak sopan."
Timmy menggonggong pelan, seolah-olah minta maaf.
"Sebaiknya malam ini kalian cepat tidur," kata Bu Kirrin. "Besok pagi kalian
masih harus berkemas. Dan tadi dikatakan, mobil dipesan untuk datang menjemput
pukul setengah sepuluh."
"Pukul delapan tepat kami pasti sudah ada di bawah untuk sarapan," kata Julian.
"Kalau Pak Profesor, berani taruhan ia baru akan turun pukul sebelas - karena
lupa sarapan. Tik, ayahmu itu rupanya tidak pernah makan makanan panas ya"
Maksudku, kelihatannya ia selalu datang terlambat, atau bahkan sama sekali lupa
makan." "Yah, jika kelihatannya Ayah lupa makan lagi, aku kan masih ada yang bisa
menyikat habis makanan untuknya," kata si Utik. "Dan si Iseng juga doyan makan.
Mesti kalian lihat, bagaimana lahapnya ia makan daging berlemak."
"Apa pun yang diperbuat oleh si Iseng, aku takkan heran melihatnya. Namanya saja
sudah si Iseng," kata Julian. "Aku cuma berpikir-pikir, bagaimana cara kita
menghadapi keisengannya, apabila kita semua terkurung dalam mercu suar itu pada
saat cuaca buruk. Disuruh melampiaskan isengannya di luar, tidak bisa - nanti
hilang dibawa angin atau ombak! Bibi Fanny, tadi pagi monyet kecil ini mengambil
pinsilku, dan habis dinding dicoret-coret olehnya! Dia berlagak bisa menulis.
Atau mungkin saja dia menulis dalam bahasa monyet! Untung aku tidak bisa
membacanya - karena pasti yang dituliskannya itu kata-kata yang tidak sopan!"
"Kau tidak boleh bicara begitu tentang si Iseng," kata si Utik tersinggung. "Dia
monyet yang tahu aturan. Kau sih, belum pernah kenal monyet-monyet lain!"
"Wah, tak usah deh," kata Julian.
Ternyata si Utik benar-benar tersinggung. Digendongnya si Iseng, lalu. pergi
meninggalkan kamar. Tak lama setelah itu terdengar deru mobil reli serambi
dalam. Dari bunyinya mobil itu sudah bobrok dan perlu dibetulkan! Bu Kirrin
bergegas ke pintu. "He - kan sudah beberapa kali kukatakan, jangan main begitu dalam serambi,"
desisnya. "Ayo masuk lagi kemari sebelum ayahmu mendengar, Tik! Wah, suasana
dalam rumah ini pasti lain sekali nantinya, apabila segala mobil yang
berkeliaran di sini sejak kau datang sudah tak terdengar lagi!"
"Aku bukan mobil- tapi traktor," kata si Utik. Ia heran, masak Bu Kirrin tidak
bisa membedakan mobil dengan traktor. "Aku selalu merasa ingin menjadi kendaraan
bermotor, jika ada orang jahat padaku atau si Iseng."
"Ah, kau ini terlalu kekanak-kanakan," tukas George.
"Aku mau tidur," kata si Utik. Ia sudah tersinggung lagi!
"Ide yang baik, karena besok pagi kalian harus bangun tepat pada waktunya," kata
Bibi Fanny. "Selamat tidur, Utik manis! Selamat tidur, Iseng!"
Sambil berkata begitu si Utik didorong dengan pelan tapi tegas ke arah pintu.
Anak itu naik ke atas sambil menggerutu. Si Iseng bertengger di bahunya. Tapi
sementara ia berganti pakaian, kejengkelannya langsung lenyap, karena dikalahkan
keasyikan membayangkan perjalanan besok. Mereka akan beramai-ramai berangkat ke
mercu suar. Ke mercu suar kepunyaannya. Hah - pasti George dan yang lain-lain
tercengang melihatnya! Si Utik merebahkan diri ke tempat tidur, didampingi oleh
si Iseng. Keesokan paginya, George yang paling dulu bangun. Begitu membuka mata ia
langsung duduk. Ia sudah cemas saja, jangan-jangan ramalan cuaca kemarin tepat
dan hujan sedang turun dengan lebat. Ia menoleh ke jendela.
Aduh, syukurlah! Sekali ini ramalan cuaca keliru. Matahari bersinar cerah.
Deburan ombak di kejauhan tak terdengar saat itu. Jadi berarti tak ada angin
keras! George membangunkan Anne.
"He, bangun - kita berangkat hari ini!" katanya. "Ayo cepat - sudah pukul
setengah delapan nih!"
Semua turun pada waktunya untuk sarapan pagi - kecuali Profesor Hayling !
Seperti biasa orang itu baru muncul ketika semua sudah selesai makan. Ia datang
lewat pintu depan. "0 - kalau begitu rupanya Anda sudah sedari tadi bangun," kata Bu Kirrin.
"Kukira masih tidur."
"Tidak - aku tadi dibangunkan si Utik pagi-pagi sekali," jawab Profesor dengan
nada mengeluh. "Atau mungkin juga si monyet yang membangunkan. Entahlah!
Keduanya mirip sekali tampangnya, kalau dilihat pagi-pagi."
Pak Kirrin sudah bangun, tapi ia tidak ikut sarapan. Seperti biasa, sarjana itu
sudah sibuk lagi di kamar kerjanya.
"Tolong panggilkan ayahmu, George," kata Bu Kirrin. "Nanti makanannya dingin,
tidak enak lagi dimakan."
George mengetuk pintu kamar kerja.
"Sarapan, Ayah!" katanya.
"Aku sudah sarapan - dua butir telur rebus," jawab ayahnya dari dalam.
"Aduh, Yah - itu kan kemarin," kata George kesal. "Hari ini kita sarapan daging
dan telur goreng! Ayah ternyata sudah lupa lagi. Ayo Yah, kami sebentar lagi
akan berangkat." "Berangkat" Berangkat ke mana?" tanya Pak Kirrin dengan heran. Tapi George sudah
kembali lagi ke kamar makan. Ayahnya memang keterlaluan! Jangan-jangan nanti
malah lupa, ia tinggal di mana!
Sehabis sarapan, anak-anak sibuk berkemas. Selimut, jas, pakaian tidur yang
hangat, beberapa kaleng berisi kue-kue yang dibuatkan oleh Joan, roti sandwich
untuk bekal di jalan, buku-buku, bermacam-macam permainan. Begitu banyak yang
harus mereka kemaskan, sampai George mengomentari bahwa orang pasti mengira
mereka akan pergi selama sebulan.
"Mana mobilnya?" tanya Dick dengan tidak sabar. "Jangan-jangan terlambat! Atau
arlojiku yang terlalu cepat jalannya!"
"itu dia, sudah datang!" seru Anne "Aduh, sayang Anda tidak ikut, Bibi Fanny!
Kami pasti akan bersenang-senang di sana. Mana si Iseng" Ah - itu dia! Dan
Timmy" Tim, kita akan tinggal dalam sebuah mercu suar. Kau tak tahu kan, apa
itu?" Sementara itu mobil yang dipesan memasuki pekarangan Pondok Kirrin. Supirnya
membunyikan tuter. Pak Kirrin kaget, lalu berpaling dengan marah pada si Utik.
"Kau lagi yang main-main jadi mobil dan menirukan bunyi tuter! Ayo, mengaku
saja." "Bukan, Pak - bukan aku! Sungguh!" jawab si Utik tersinggung. Ia cepat-cepat
menjauh, untuk menghindarkan diri dari kemungkinan ditempeleng. "Nah - itu,
mobil itu yang tadi menuter!"
"Akan kutanyakan pada supirnya, mau apa ia masuk kemari dan membunyikan tuter,
mengagetkan kita semua!" kata Pak Kirrin dengan nada jengkel.
"Aduh, Ayah ini bagaimana" Mobil itu kan datang untuk mengantarkan kami ke mercu
suar! Ke mercu suar, Yah!" George tidak tahu, apakah ia harus marah atau geli.
"0 ya, betul," kata Pak Kirrin. "Kenapa tidak dikatakan dari tadi"- Nah, selamat
jalan! Selamat jalan! Bersenang-senanglah kalian di sana - dan jangan lupa
mengeringkan badan sehabis berenang."
Anak-anak bergegas masuk ke dalam mobil, sementara supir menaruh barang-barang
di tempat bagasi. Ia cuma melongo saja ketika melihat Timmy dan si Iseng ikut
masuk. "Apakah cukup tempat untuk kalian semua?" tanyanya. "Wah, banyak sekali isinya.
Kalian berlima, ditambah seekor anjing besar serta seekor monyet kecil."
Kemudian mobil berangkat. Terdengar derunya, diiringi deru mobil tiruan yang
keluar dari mulut .si Utik.
"Nah - kita berangkat sekarang," kata George. Ia merasa berbahagia. "Kita
kembali bepergian sendiri. Inilah yang paling kusukai. Kau juga kan, Tim?"
Timmy menggonggong sebagai tanda setuju. Anjing itu meletakkan kepalanya ke kaki
George. Ah - sekarang ia akan berlibur lagi dengan George. Bagi Timmy, tak
peduli ke mana ia akan pergi. Ke ujung dunia pun mau! Asal George ada di
sampingnya! Bab 8 TIBA DI TUJUAN Begitu mobil sudah meluncur di jalan raya, si Utik mulai mengajak supir
mengobrol. Macam-macam yang ditanyakannya. Tentu saja mengenai mobil. Anak-anak
yang lain mendengarkan ocehannya dengan perasaan geli.
"Aku tidak begitu senang pada mobil baru," kata si Utik. "Terlalu macam-macam
instrumennya!" "Tapi beberapa di antaranya hebat," kata Pak Supir. Ia geli mendengar anak yang
tidak penyegan itu. Ditekannya sebuah tombol, dan dengan seketika jendela di
sisi si Utik bergerak turun dengan sendirinya, teriring desuman pelan. Si Utik
menoleh ke arah jendela dengan heran.
"Aduh, jangan buka jendela," seru Anne, karena begitu jendela terbuka, dengan
segera angin dingin menghembus ke dalam. "Tutup lagi, Tik!"
Si Utik menutup jendela, lalu melanjutkan obrolannya tentang mobil. Pak Supir
menyentuh tombol yang tadi secara sembunyi-sembunyi. Jendela di samping si Utik
turun lagi secara otomatis. Angin menderu masuk.
"Tik! Jangan main-main dengan jendela!" tukas Julian yang duduk di belakang.
"Aku sama sekali tidak menyentuhnya," jawab si Utik. Ditatapnya kaca jendela
aneh itu dengan perasaan curiga. Tahu-tahu kaca itu menutup kembali dengan
sendirinya. Si Utik mulai merasa tidak enak. Ditatapnya kaca jendela dengan
tajam, takut kalau barang iseng itu mulai bergerak lagi dengan sendirinya. Anak-
anak yang lain tertawa ditahan. Mereka tahu, Pak Supir bisa membuka dan menutup
kaca jendela dengan menekan tombol.
"Nah, sekarang si Utik pasti bungkam," kata Dick menggumam pada saudara-
saudaranya." Ternyata memang benar. Selama sisa perjalanan, si Utik tidak mengatakan apa-apa
lagi tentang mobil, baik yang baru maupun yang tua.
Perjalanan mereka sangat menyenangkan. Sebagian besar menyusur garis pantai, dan
hanya kadang-kadang saja lewat pedalaman. Pemandangan indah sekali.
"Rupanya anjing itu menyukai pemandangan," kata Pak Supir. "Sedari tadi
kepalanya terjulur terus keluar."
"Kusangka ia begitu, karena menyukai hawa segar," kata George. "Kau suka melihat
pemandangan, Timmy?"
"Guk," gonggong Timmy sebagai jawaban, lalu memalingkan kepala untuk menjilat
George. Si Iseng, monyet kecil itu juga kebagian dijilat. Kasihan si Iseng, ia
tidak suka naik mobil. Ia duduk diam-diam, takut mabuk. Padahal mobil itu
meluncur dengan tenang. Bunyinya persis seperti yang biasa ditirukan oleh si
Utik! Sekitar tengah hari mereka berhenti sebentar untuk makan siang. Mereka menikmati
roti sandwich sambil duduk-duduk di atas tebing. Pak Supir membawa bekal
sendiri. Ketika si Iseng melihat bahwa setengah dari roti orang itu diisi dengan
tomat, dengan segera mendatanginya lalu duduk di lututnya. Asyik sekali ia
makan, mengemis tomat dari Pak Supir.
"Kira-kira. sejam lagi kita akan tiba di tujuan," kata Pak Supir. "Di Karang
Setan, kalian akan menginap di mana" Orang di bengkel tadi tidak mengatakan apa-
apa mengenainya." "Di mercu suar, Pak," kata Julian. "Anda tahu tempatnya?"
"Tahu - tapi itu kan bukan tempat tinggal!" kata Pak Supir. Dikiranya Julian
main-main. "Maksud, kalian menginap di hotel mana" Atau tinggal di rumah
kenalan?" "Tidak, kami betul-betul akan tinggal di mercu suar," kata si Utik. "Aku
pemiliknya. Punyaku sendiri."
"Wah, kalau begitu kau memiliki tempat yang sangat bagus pemandangannya," kata
Pak Supir lagi. "Aku dilahirkan di desa Karang Setan. Kakek ayahku sekarang
masih tinggal di rumah tempat aku dilahirkan dulu. Wah - ketika aku masih kecil,
ia sering mendongeng macam-macam tentang mercu suar itu.. Pencoleng-pencoleng
pernah menyerbu ke situ dan meringkus penjaganya. Setelah itu mereka memadamkan
lampu, supaya sebuah kapal besar yang sedang lewat tersesat dan membentur
karang!" "Hih, seram! Bagaimana selanjutnya?" tanya Dick.
"Yah, kapal itu pecah berkeping-keping sebagai akibatnya," kata Pak Supir.
"Berantakan! Para pencoleng menunggu sampai air laut pasang naik, menghanyutkan
barang-barang yang berhamburan dari kapal yang pecah ke pantai. Kalian datangi
saja kakek ayahku, dan minta padanya supaya bercerita. Mungkin kalian nanti
bahkan diajak melihat Gua Pencoleng di sana ...."
"Wah! kami juga sudah pernah mendengar mengenai gua itu," kata George. "Betulkah
kami bisa melihatnya" Dan betulkah, di sana masih ada pencoleng?"
"Ah, tidak - sudah sejak lama di sana tidak ada pencoleng lagi," kata Pak Supir.
"Riwayat mereka tamat, begitu dibangun mercu suar yang baru. Soalnya, lampu suar
yang baru itu sangat terang. Pada saat badai yang paling dahsyat pun, nyalanya
masih kelihatan. Sedang nyala lampu di mercu suar lama yang kalian datangi ini
tidak begitu baik. Tapi walau begitu, banyak juga kapal yang diselamatkan
olehnya!" "Siapakah nama kakek Anda?" tanya George. "Dan di mana tinggalnya?"
"Dia bukan kakekku, tapi kakek ayahku," kata Pak Supir, sambil membanting setir
untuk menghindari segerombolan sapi yang berdiri di pinggir jalar
"Namanya Jeremiah - Jeremiah Boogle. Tanya saja pada orang di sana, pasti mereka
kenal! Biasanya dia duduk-duduk di dermaga sambil mengisap pipa. Kalau ada orang
mendekat selalu ditatapnya sambil cemberut. Tapi kalian tak perlu takut karena
Kakek Jeremiah suka pada anak-anak! Nanti kalian pasti asyik mendengar cerita-
ceritanya. Wah, ada lagi gerombolan sapi di depan!" .
"Bunyikan saja tuter," kata si Utik.
"Kau sudah pernah mendengar cerita tentang sapi yang meloncati bulan, Nak?"
tanya Pak Supir. "Belum" Nah, ceritanya begini. Ada orang membunyikan tuter ketika seekor sapi
sedang lewat. Sapi itu begitu kaget, sampai meloncat tinggi sekali - melompati
bulan! Tidak baik membunyikan tuter dekat sapi. Nanti kaget, lalu melompat-
lompat. " Setelah melewati sebuah tikungan, Pak Supir menuding ke depan.
"Lihatlah," katanya. "Kalian lihat karang yang tinggi di sebelah sana. itu"
Itulah awal kawasan Karang Setan. Sebentar lagi kita sampai."
"Kenapa namanya Karang Setan?" tanya George ingin tahu.
"Yah, karang di situ berbahaya sekali, sehingga menurut perkiraan orang dulu
setan jahat yang meletakkannya di situ," cerita Pak Supir. "Gosong karangnya ada
yang tersembunyi di bawah permukaan air, sehingga perahu yang lewat di situ
pasti robek lunasnya. Ada pula yang runcing-runcing, seperti gigi hiu. lalu ada
lagi menjorok ke tengah, menyebabkan kapal yang dihempas ombak ke situ pecah
berantakan. Ya, nama Karang Setan memang tepat sekali!"
"Kapan kelihatan mercu suarku?" tanya si Utik. "Mestinya sebentar lagi."
"Tunggu sampai kita sudah melewati puncak bukit ini," kata Pak Supir. "Dan suruh
monyetmu menyingkirkan cakarnya dari kantong jasku! Di situ tidak ada tomat
lagi!" "Ayo! Jangan nakal, Iseng!" kata si Utik. Suaranya galak sekali. Si Iseng
menyembunyikan mukanya di balik tangan, sambil bersuara seperti menangis.
"Ah, dia pura-pura!" kata George. "Mana, sama sekali tidak keluar air matanya.
Wah, lihatlah - itukah dia mercu suarnya?"
"Betul, itulah dia," kata Pak Supir. "Dari sini bisa kelihatan dengan jelas
sekali. Bagus sekali, walaupun sudah tua" Ya, jaman dulu orang biasa membuat
bangun-bangunan dengan baik. Mercu suar itu terbuat dari batu. Ombak di situ
besar-besar, jadi menaranya harus tinggi. Sebab kalau tidak, sinar lampunya
takkan nampak dari tengah laut, kabur karena tetesan air yang membasahi kaca-
kaca jendela."

Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di manakah tempat penjaganya dulu tinggal?" tanya Dick. .
"Di bawah bilik tempat lampu ada sebuah kamar yang cukup nyaman," kata Pak
Supir. "Dulu aku pernah diajak Kakek Jeremiah ke sana. Baru sekali itu aku
melihat air laut yang begitu menggelora!"
"Ayahku pernah tinggal di sana, pada suatu musim panas," kata si Utik berbangga.
"Dan aku menemaninya, lama sekali. Asyik deh!"
"Untuk apa ayahmu tinggal dalam mercu suar?" tanya Pak Supir ingin tahu. "Apakah
ia harus bersembunyi?"
"Bukan begitu! Ayahku sarjana, dan katanya waktu itu ia mencari tempat yang
tenang, di mana tidak ada telepon berdering dan tak ada orang berkunjung," kata
si Utik menjelaskan. "Dan dia bisa hidup tenang di situ, ditemani olehmu?" kata Pak Supir menggoda.
"Wah, wah!" "Sebetulnya tempat itu juga tidak terlalu tenang," kata si Utik. "Bunyi ombak
sangat berisik, begitu pula deru angin. Tapi hal-hal begitu tidak dipedulikan
ayahku Yang dirasakannya mengganggu cuma bunyi bel berdering, atau suara orang
bercakap-cakap. Atau mengetuk pintu. Hal-hal begitu yang sangat menjengkelkan
dirinya. Ayahku senang sekali tinggal di mercu suar itu."
"Yah - mudah-mudahan kalian akan senang di sana," kata Pak Supir. "Untukku tidak
begitu cocok, karena yang terdengar cuma bunyi ombak dan jeritan burung camar
melulu. Biar kalian sajalah - aku tidak usah!"
Mobil menuruni bukit, dan mercu suar lenyap lagi dari pandangan.
"Sebentar lagi sampai," kata si Utik. "Nah, Iseng - senangkah kau kembali lagi
di mercu suar" Wah, aku masih ingat bagaimana cepatnya kau naik-turun tangga
berputar di sana!" Mobil menurun terus, nyaris sampai ke tepi air. Mercu suar kini nampak jelas,
agak menjorok letaknya ke tengah. Sebuah perahu kecil terombang-ambing dalam
keadaan terikat ke sebuah dermaga batu. Si Utik berseru dengan gembira, sambil
menuding perahu itu. "Itulah perahu yang kami pakai dulu, untuk membawa kami bolak-balik ke mercu
suar pada saat air laut sedang pasang naik."
"Punyamu?" tanya George. Ia agak iri.
"Kurasa begitu, karena dijualnya bersamaan dengan mercu suar," jawab si Utik.
"Pokoknya itulah yang akan kita pakai nanti, jika air sedang tinggi sehingga
kita tidak bisa berjalan lewat karang."
"Kalian perlu berhati-hati, jangan sampai terjebak oleh badai di mercu suar,"
kata Pak Supir sambil menghentikan mobil. "Pada saat badai, ombak laut antara
Karang Setan dan dermaga sini terlalu liar. Berbahaya jika kalian naik perahu
sekecil itu." "Aku sudah biasa mendayung perahu" kata George. "Aku juga punya satu, sejak aku
masih kecil." "Ya, aku tahu kau cukup pandai berperahu," kata Pak Supir lagi. "Nah - sekarang
kita sudah sampai. Sekarang kalian akan langsung ke mercu suar - dengan perahu
itu" Perlu kutolong membawakan barang-barang kalian?"
"Kalau Anda mau, terima kasih," kata Julian.
Bersama Pak Supir, ia mengangkut segala bawaan ke perahu. Seorang laki-laki tua
duduk di dermaga tidak jauh dari situ. Ketika anak-anak datang ia langsung
menyapa. "Tadi ada pesan dari Kirrin, meminta agar aku menyiapkan perahu ini untuk
kalian," katanya. "Siapa di antara kalian anak Profesor Hayling?"
"Aku," jawab si Utik dengan segera. "Ini perahuku, dan itu mercu suarku! Yuk -
kita naik perahu ke sana! Ayo, cepat - aku sudah tidak sabar lagi menunggu."
Bab 9 DALAM MERCU SUAR Kelima anak itu berlompatan masuk ke dalam perahu. Timmy menyusul tanpa ragu-
ragu sedikit pun. Tapi si Iseng menjerit ketakutan ketika dibawa masuk ke perahu
oleh si Utik. "Jangan takut, Iseng," kata si Utik. "Kau tidak ingat lagi perahuku ini" Tapi
kau memang tak pernah suka naik perahu!"
Dalam perahu ada dua pasang dayung. Julian meraih sepasang. Sedang yang sepasang
lagi baru saja hendak diambil oleh George, tapi Dick cepat-cepat mendahului. Ia
nyengir melihat tampang George yang marah.
"Maaf - tapi laut sedang beralun besar, dan nanti kita harus melewati bagian
yang sangat berombak. Aku kan lebih kuat sedikit dari dirimu, George!"
"Tapi aku takkan kalah cekatan kalau mendayung," tukas George. Tepat pada saat
itu perahu oleng Dengan cepat George bergerak, menyelamatkan sebuah tas yang
nyaris tercebur ke air. "Bagus!" kata Julian. "Untung kau cepat bertindak! Wah, di sini besar sekali
alunnya!" "Kita akan lewat di gosong karang itu?" tanya Anne sambil memandang ke dalam
air. "Tapi sekarang air cukup tinggi, jadi lunas perahu takkan sampai
menggeser." "Inilah gosong karang yang bisa kita lewati dengan berjalan kaki, jika pasang
sedang surut," kata si Utik. "Pada saat itu, di sana-sini ada genangan air. Dulu
aku biasa bermain-main di dalamnya. Enak, airnya hangat karena dipanasi sinar
matahari. Sayang tidak ada keran di sini untuk mencampurnya dengan air dingin,
apabila ternyata terlalu panas!"
Anne terkikik geli. "Sayang sekarang belum cukup hangat, sehingga kita bisa mandi-mandi," katanya.
"Hih - lihatlah ke bawah! Tak jauh di bawah lunas perahu, kelihatan ujung karang
yang runcing-runcing!"
"Ya - kurasa dulu di sini banyak kapal yang robek lunasnya karena tergeser ke
situ," kata Julian. "Pantas tempat ini disebut orang Karang Setan! Arus di sini
deras juga ya, Dick?"
"Sekarang aku yang mendayung," kata George, sambil memegang salah satu dayung
yang ada di tangan Dick. "Tidak bisa," kata Dick sambil nyengir. "Lebih baik kau menjaga tas-tas kita
saja!" "Sudah sangat tuakah mercu suarmu itu?" tanya Anne, sementara bangunan itu
nampak semakin dekat. "Kelihatannya sih sudah tua sekali!" .
"Memang," jawab si Utik. "Yang membangunnya seorang hartawan. Sudah lama sekali!
Anak gadisnya tenggelam bersama sebuah kapal yang terhempas ke karang sini.
Karena itu ia lantas membangun mercu suar itu. Sebagian sebagai kenang-kenangan
pada anaknya, tapi sebagian juga untuk mencegah berulangnya bencana itu"
Anne memperhatikan bangunan itu. Nampaknya kokoh dan tinggi. Dasarnya dibangun
pada landasan batu karang. Menurut perkiraan Dick, fondasinya pasti dalam sekali
masuk ke dalam karang, supaya mercu suar itu bisa tahan kena tiupan angin pada
saat badai. Semacam beranda terdapat di puncaknya, mengelilingi sisi luarnya.
Letaknya agak di bawah ambang jendela melingkar, lewat mana sinar lampu suar
dulu memancar pada saat gelap. Pasti bagus sekali pemandangan laut, apabila
dilihat dari beranda itu, pikir Anne.
Perahu kini sudah. dekat ke mercu suar. Dari dasar karang di tepi air terdapat
tangga batu untuk naik ke atas, ke sebuah pintu yang letaknya agak tinggi di
atas ombak yang memecah di karang.
"Apakah pintu itu terkunci?" tanya Dick dengan tiba-tiba. "Tidak enak rasanya
sudah susah-susah mendayung sampai kemari, tapi ternyata kita tidak bisa masuk!"
"Tentu saja pintu itu dikunci," kata si Utik. "Ada yang membawa anak kuncinya?"
"Jangan. main-main!" kata Julian. Ia berhenti mendayung, lalu memandang si Utik
sambil melotot. "Maksudmu, kita tidak bisa masuk ke dalam?"
"Ah, aku kan cuma main-main saja," kata si Utik. Ia nyengir, melihat tampang
Julian yang kecut. "Ini dia anak kuncinya. Mercu suar itu kan kepunyaanku Ayahku sudah menyerahkan
anak kunci pintu itu dan sekarang selalu kubawa-bawa. Aku tidak mau jika sampai
hilang" Anak kunci itu besar sekali. George tercengang. Tak disangkanya barang sebesar
itu bisa masuk ke dalam kantong si Utik. Anak itu mengacung-acungkannya, sambil
nyengir lagi. "Aku sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat membuka pintu mercu suarku dengan
anak kunciku ini!" katanya. "Kau pasti juga kepingin punya mercu suar, ya
George." "Memang," kata George. Ia mendongak, memandang mercu suar yang kini menjulang
tinggi, setelah mereka begitu dekat padanya.
"Sekarang harus hati-hati," kata si Utik pada Julian dan Dick. "Tunggu dulu
sampai ada ombak besar mengalun kemari! Kemudian kalian ikut naik dengannya
sambil menuju ke batu yang sebelah sana - itu, yang menonjol di atas air! Di
baliknya air tenang, entah kenapa - dan kalian bisa mendayung dengan aman sampai
ke tangga batu. Di sana ada tiang dari batu. Kau nanti menambatkan tali perahu
ke tiang itu, George. Dari tempatmu lebih mudah mencapainya, daripada tempatku
ini." Ternyata mencapai tempat itu tidak begitu sukar. lebih gampang dari sangkaan
anak-anak. Perahu bergerak memasuki perairan tenang, lalu Dick dan Julian
berdayung sekuat tenaga menuju tangga batu. Kemudian tiba giliran George untuk
melemparkan tali yang ujungnya berupa jerat ke tiang batu - dan mereka pun
sampai di kaki mercu suar. Tinggal memanjat beberapa bongkah karang saja lagi,
untuk mencapai kaki tangga. Karang yagg harus dilewati tidak terbenam dalam air.
Satu per satu anak-anak itu meloncat keluar dari perahu, diikuti oleh Timmy.
Mereka mendongak, memandang ke atas. Mercu suar itu nampak besar sekali
sekarang, dilihat dari bawah!
"Sekarang aku akan membuka pintu!" kata si Utik dengan bangga sambil menaiki
tangga. "Lihatlah, besarnya batu-batu yang dipakai untuk membangun mercu suarku.
Tidak heran, jika tahan begitu lama."
Dimasukkannya anak kunci ke dalam lubang yang terdapat di daun pintu yang
terbuat dari papan yang kokoh. Dicobanya memutarnya, tapi sia-sia. Dicoba lagi -
tapi hasilnya tetap tidak ada. Anak itu berpaling, memandang teman-temannya
dengan tampang ketakutan.
"Aku tak bisa membukanya," katanya. "Sekarang bagaimana?"
"Sini kucoba sebentar," kata Julian. "Mungkin macet sedikit." Dipegangnya anak
kunci, lalu diputarnya kuat-kuat. Seketika itu juga terputar, dan pintu terbuka.
Julian menyuruh anak-anak masuk, supaya tidak lebih lama diganggu angin dan
percikan air laut. Setelah semua masuk, ditutupnya lagi pintu.
"Nah - sekarang kita sudah berada di dalam," katanya. "Wah, gelap sekali di
sini! Untung aku tidak lupa membawa senter."
Disorotkannya senter ke segala arah. Tapi yang nampak hanya tangga besi yang
terjal, melingkar-lingkar naik ke atas. Letaknya di tengah-tengah ruangan gelap
itu. "Lewat tangga itu kita bisa naik sampai ke puncak, ke bilik tempat lampu suar,"
kata si Utik. "Kalau kita naik, nanti akan melewati beberapa kamar lain. Yuk,
kita ke atas! Tapi kalian sebaiknya berpegangan pada sandaran tangga, karena
mungkin nanti ada yang pusing karena harus berputar-putar terus sampai ke atas."
Setelah itu si Utik mendului naik. Ia bangga sekali, bisa menunjukkan keadaan di
dalam mercu suar pada teman-temannya. Kemudian mereka sampai pada sebuah lubang.
lewat situ tangga memasuki sebuah ruangan sempit yang gelap.
"Ini salah satu tempat penyimpanan," kata si Utik, sambil menyorotkan cahaya
senternya ke sekeliling ruangan. "lihatlah, itu dia kaleng-kaleng makanan yang
kukatakan ditinggal oleh ayahku di sini. Nah, setelah ini menyusul bilik minyak.
Tempatnya tidak begitu besar."
"Apa itu, bilik minyak?" tanya Anne.
"Ah, itu dulu tempat menyimpan kaleng-kaleng yang berisi minyak lilin. Minyak
itulah yang dulu dipakai untuk menyalakan lampu suar yang ada di atas. lampunya
lampu minyak, karena waktu itu belum ada listrik. Nah - inilah yang disebut
bilik minyak itu." Ruangan itu rendah sekali langit-langitnya. Di situ sama sekali tidak ada
jendela. Banyak sekali kaleng bertumpuk-tumpuk di situ. Bau tempat itu tidak
enak. Anne menutup hidung.
"Aku tidak senang pada bilik ini," katanya dengan suara sengau. "Suasananya
tidak enak. Baunya juga tidak enak! Yuk, kita naik terus ke atas."
Di bilik yang berikut ada sebuah jendela kecil. Sinar matahari masuk lewat
jendela itu, sehingga ruangan menjadi lebih terang dan cerah.
"Di sinilah waktu itu aku tidur bersama ayahku," kata si Utik. "Astaga -
ternyata kami lupa membawa kasur itu kembali ke rumah. Syukurlah - jadi sekarang
kita pakai!" Mereka meneruskan langkah, mendaki tangga besi yang berputar-putar. Sampai di
sebuah kamar yang langit-langitnya lebih tinggi dari bilik-bilik lainnya. Di
situ pun ada sebuah jendela, walau ukurannya kecil. Sinar matahari yang masuk
lewat situ menyebabkan kamar itu juga nampak agak cerah. Di tempat itu ada
sebuah meja, tiga kursi serta sebuah peti. Kecuali itu masih ada pula sebuah
meja tulis serta sebuah tungku minyak yang kecil untuk merebus air atau
menggoreng makanan. "Nah - itu dia tempat penggorenganku!" kata si Utik. "Barang itu banyak gunanya
bagi kita nanti. Kecuali itu masih ada pula sebuah ceret serta sebuah panci.
Kami waktu itu ada juga meninggalkan sendok, garpu dan pisau. Tapi sayang,
kurasa tidak cukup untuk kita berlima. Di sini juga ada piring dan gelas, tapi
tidak lengkap lagi. Banyak yang kupecahkan dulu. Tapi masih ada beberapa mangkuk
dan piring dari kaleng. Aku dulu biasa membersihkannya dengan jalan mengelapnya
saja. Maklumlah, di mercu suar air sulit didapat."
"Mana bejana air di sini?" tanya George. "Kita kan memerlukan air juga."
"Ayahku dulu menyuruh dibuatkan sebuah tempat penadah air hujan, di sisi barat
bangunan ini," kata si Utik. "Air hujan ditampung di situ, lalu mengalir lewat
pipa yang masuk ke dalam dari salah satu jendela. Masuk ke tangki kecil yang
terdapat di sebelah atas bak tempat mencuci. Aku tadi lupa menunjukkannya pada
kalian. Di sana ada keran. Ayahku pintar sekali, sedang soal begitu kan gampang
sekali! Dia tidak mau mondar-mandir ke darat saban hari, hanya untuk mengambil
air! Wah, asyik sekali kami di sini waktu itu,"
"Kurasa sekarang kau akan semakin senang, karena banyak teman di sini," kata
Dick. "Waktu itu kau pasti kesepian."
"Kan ada si Iseng," jawab si Utik. Mendengar namanya disebut, monyet kecil itu
langsung melompat ke dalam pelukan si Utik.
"lalu kamar apa lagi yang ada dalam mercu suar yang bagus ini?" tanya Julian.
"Cuma ada satu lagi, yaitu tempat lampu suar," jawab si Utik. "Yuk, kita ke atas
untuk melihatnya. Dulu ruangan itu yang paling penting dalam bangunan ini. Tapi
sekarang tidak terpakai lagi!"
Si Utik naik ke atas, menuju kamar lampu. Bangga sekali perasaannya saat itu,
bisa memperagakan mercu suar miliknya sendiri!
Bab 10 MENGATUR TEMPAT Sekali lagi anak-anak naik ke atas, lewat tangga besi yang berbentuk spiral itu.
Timmy agak kewalahan. Tapi si Iseng malah melesat mendahului, seolah-olah dialah
pemilik mercu suar itu! Bilik tempat lampu suar ternyata berupa sebuah kamar yang tinggi dan dikelilingi
jendela kaca yang besar-besar. Ruangan itu sangat terang, karena sinar matahari
memancar ke dalam tanpa rintangan sedikit pun. Pemandangan dari situ benar-benar
hebat. Anne berseru kagum! Mercu suar itu tinggi letaknya. Anak-anak bisa
melayangkan pandangan sampai bermil-mil jauhnya ke tengah laut berombak yang
biru tua warna airnya. Anak-anak mengelilingi ruangan ini, sambil memandang ke
berbagai arah. "He - di sini ada pintu!" seru Dick. "Apakah lewat sini kita bisa ke balkon atau
serambi yang terdapat di luar itu?"
"Bisa," jawab si Utik. "Serambi itu mengelilingi sisi luar bilik lampu ini. Wah
- kalian harus melihat nanti, apabila cuaca sedang buruk. Burung camar yang
hendak menghindar dari serangan badai, banyak yang mencari perlindungan ke sini.
Sampai berbelas ekor yang hinggap di serambi! Tapi kita hanya bisa ke luar kalau
cuaca sedang tenang. Karena kalau tidak, ada bahaya kita akan jatuh terdorong
angin. Kalian tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan di sini kalau sedang ada
angin ribut. Sungguh - ketika aku di sini dulu bersama ayahku, kadang-kadang aku
mendapat kesan seolah-olah mercu suar ini bergoyang-goyang !"
"Ini merupakan tempat paling mengasyikkan di mana aku pernah tinggal," kata Anne
dengan mata bersinar-sinar. "Kau memang anak paling mujur di dunia, Tik!"
"Begitu pendapatmu?" kata si Utik. Ia merasa senang mendengar ucapan Anne, dan
ditepuknya anak itu. "Sudah kuharapkan dari semula bahwa kalian akan
menyenanginya. Kalau si Iseng, dia senang sekali di sini. Ya kan, Iseng?"
Saat itu monyet kecil itu sudah naik ke atas lampu suar yang besar, dan
bertengger di situ. Ia berceloteh pada Timmy, seakan-akan sedang bercerita. Dan
Timmy kelihatannya seperti sedang asyik mendengarkan, dengan kepala terteleng.
"Si Timmy - kelihatannya kayak mengerti saja ocehan monyet," kata George geli.
"He, Tik! lampu ini sekarang tidak pernah dinyalakan lagi, ya?"
"Betul," jawab si Utik. "Sudah kukatakan, tak jauh di sini sudah dibangun mercu
suar lain. lampunya kuat sekali pancarannya. lampu listrik! Malam hari nanti
kita akan bisa melihat sorotannya, jauh menjangkau ke tengah laut."
"Siapa merasa lapar?" tanya Dick sambil menggosok-gosok perutnya. "Perutku sudah
keroncongan !" "Aduh - kita tadi tidak menurunkan barang-barang dari perahu!" seru si U,tik
kaget. "Yuk, kita masukkan semuanya sekarang - dan sesudah itu makan! Pukul


Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berapa sekarang?" Ia melihat arlojinya sebentar. "Astaga - setengah lima! Pantas
perutku terasa lapar sekali. Yuk, Iseng - kita harus bekerja. Kau nanti ikut
mengangkut barang juga, ya!"
Anak-anak bergegas menuruni tangga putar, melewati kamar demi kamar, dan
akhirnya sampai ke pintu yang menuju ke luar.
"Kurasa pintu ini sengaja dibuat sekokoh mungkin, karena pada saat badai pasti
ombak menghempas sampai ke mari," kata Julian sambil membuka pintu. Seketika itu
juga angin memburu masuk ke dalam ruangan. Nyaris saja Julian terpelanting
dilanda angin. Anak-anak harus mencondongkan tubuh ke depan supaya tidak
terlempar ke belakang. Sambil bertumpu kuat-kuat, mereka berjalan meniti batu-
batu, menuju perahu ditambatkan. Nampak perahu itu bergerak-gerak dengan pelan
di atas air yang tenang karena terlindung tempatnya.
"Nah, perahuku," kata si Utik, "kau tentunya menyangka kami tidak kembali lagi,
ya" Barang-barang kami kaujaga baik-baik tadi" Perahu pintar!"
"Konyol " kata Dick sambil nyengir. Kemudian ia berpaling ke Julian. "Ju, kita
berdua mengangkat yang berat-berat, sedang yang lain mengangkat sisanya. He -
mau kauapakan barang-barang itu, Iseng?"
Si Iseng mengambil beberapa bungkusan kecil, lalu melompat ke darat dengannya
"Jangan khawatir, dia sudah biasa membantu," seru si Utik. "Si Iseng itu sering
ikut aku berbelanja, dan mau saja kusuruh membawakan tas atau barang-barang
lain. Biar saja dia membantu, karena ia senang melakukannya."
Monyet kecil itu ternyata sangat berguna. Ia mondar-mal1dir mengangkuti barang-
barang kecil, sambil mengoceh dengan gembira. Timmy memperhatikan ulahnya,
dengan ekor terkulai ke bawah. Rupanya ia iri melihat si Iseng, yang begitu
cekatan mempergunakan cakarnya. Sedang Timmy hanya mempunyai dua pasang kaki!
George menepuk-nepuk anjingnya dengan kasih sayang.
"Jangan kecewa, Tim! Nih - kaubawa keranjang ini ke atas."
Timmy menggondol keranjang, lalu lari menaiki tangga batu menuju ke mercu suar.
Biarpun dia tidak bisa memegang barang-barang kecil seperti si Iseng - tapi
setidak-tidaknya ia bisa disuruh membawa keranjang!
"Perahu ini kita biarkan saja terapung di sini," kata si Utik. "Takkan apa-apa,
selama laut tidak terlalu menggelora ! Pada saat begitu, kita harus menariknya
sampai agak tinggi ke atas tangga batu ini."
"Yuk, kita makan saja dulu, sebelum membenahi barang-barang," usul Anne. "Aku
sudah lapar sekali !"
"Itulah payahnya tinggal di mercu suar," kata si Utik dengan serius. "Perut
rasanya lapar terus! Ketika aku ikut dengan ayahku tinggal di sini dulu, aku
biasa makan lima sampai enam kali sehari."
"Aku setuju saja kalau kita juga begitu," kata Dick sambil nyengir. "Yuk,
sekarang kita gabungkan saja makan sore dengan makan malam!"
Barang-barang bawaan ada yang ditaruh di kamar tidur, dan sebagian lagi
diletakkan dalam bilik yang dijadikan kamar duduk, karena ada meja dan kursi-
kursi di situ. Si Utik sementara itu sibuk di 'dapur'. Hujan sering sekali turun
selama hari-hari belakangan. Jadi bejana penadah air hujan yang di luar sudah
banyak isinya. Begitu si Utik membuka keran yang terdapat di atas bak tempat
cuci, dengan segera mengucur air hujan yang jernih. Air itu ditampung dalam
panci, untuk merebus telur.
Tak lama kemudian air mendidih. Setelah menunggu beberapa saat, Anne mengambil
sendok dan mengeluarkan telur yang direbus satu per satu.
"Tepat tiga setengah menit," katanya. "Wah - masing-masing dua butir! Kalau
begini terus, kita akan terpaksa berbelanja ke desa setiap hari. George, kau
yang menyiapkan roti. Roti ada dalam bungkusan itu. Tapi kalau mentega - entah
di mana ditaruhnya tadi! Tapi aku tahu pasti, kita tidak lupa membawa."
Setelah semua siap, anak-anak pun makan dengan lahap. Asyik rasanya makan di
situ, diiringi suara burung camar yang berteriak-teriak di luar, serta deru
angin yang sekali-sekali menampar bangunan yang kokoh itu. Sedang bunyi laut
ikut bercampur dengan segala bunyi-bunyi yang lain.
Anne duduk berpeluk lutut, menunggu gilirannya dituangkan limun jahe. Ia
membayangkan keasyikan tinggal di tempat itu berhari-hari. Hanya mereka sendiri
- tanpa orang lain! Selesai makan, Anne dan George bangun untuk mencuci piring dan cangkir.
"Aduh, kenapa mesti repot-repot mencuci," kata si Utik. "lap saja, kan beres!
Nah - begini!" Sambil berkata begitu, ia memberi contoh bagaimana caranya membersihkan piring
dengan lap. "Hih - kotor!" kata Anne. "Dasar anak laki-laki! Soal begini, serahkan saja
padaku. Aku suka melakukannya."
"Dasar anak perempuan," balas si Utik sambil nyengir.
"Aku juga anak perempuan, tapi aku tidak suka pada pekerjaan ini," kata George.
"Sayang aku bukan anak laki-laki!"
"Tak apalah - tampangmu kayak anak laki-laki, dan sering tingkahmu juga kasar
kayak anak laki-laki! Dan kau juga tidak begitu tahu aturan," kata si Utik.
Dikiranya dengan ucapan itu ia bisa melipur perasaan George. Tapi sangkaannya
ternyata keliru. "Aku lebih tahu aturan, dibandingkan dengan dirimu," kata George tersinggung,
lalu pergi sambil merengut untuk memandang ke luar. Tapi ia tak tahan lama-lama
merajuk, karena pemandangan di luar begitu mengagumkan. Sejauh mata memandang.
hanya laut saja yang kelihatan! George mendesah karena kagum. Kemudian ia
berpaling. Ia sudah lupa bahwa beberapa saat yang lalu ia jengkel pada si Utik.
Ia tersenyum pada anak itu.
"Jika seluruh pemandangan ini bisa kumiliki, aku akan merasa paling kaya di
dunia ini," katanya. "Kau benar-benar untung, Tik!"
"0 ya?" kata si Utik sangsi. "Yah, kalau kau mau, silakan ambil pemandangan itu
setengahnya. Aku tak perlu semuanya."
Julian tertawa, lalu menepuk punggung si Utik.
"Selama kita di sini, kita akan menikmatinya bersama-sama," katanya. "Yuk,
sekarang kita mulai mengatur tempat. George, kau dan Anne sebaiknya tidur saja
di ruang duduk sini! Sedang kami bertiga di bawah, dalam kamar tidur. Setuju,
Tik?" "Kenapa tidak - asal kalian tidak berkeberatan si Iseng tidur bersama kita,"
jawab si Utik. "Sedang Timmy, kurasa dia akan tidur di tempat anak-anak perempuan."
Setelah itu mereka mengatur penyimpanan barang-barang.
"itu ditaruh dalam kamar gudang," kata Julian, "dan yang ini, dan ini - di sini
saja! Selimut di kamar tidur, tapi yang dua ini biar di sini, karena Anne dan
George kan tidur di sini."
"Alat-alat permainan di kamar duduk," kata Dick, sambil menyodorkan setumpuk
kartu permainan pada Anne, "begitu juga buku-buku serta kertas-kertas untuk
menulis. Eh - kita jangan sampai lupa mengirimkan sepucuk kartu pos pada Bibi
Fanny setiap hari. Kita sudah berjanji!"
"Kalau hari ini Ibu pasti akan sudah tahu bahwa kita tiba dengan selamat di
sini, karena Pak Supir tadi tentu akan bercerita padanya," kata George.
"Tapi besok kita harus ke desa dan membeli setumpuk kartu pos di sana - untuk
dikirimkan satu hari satu pada ibuku. Kalau tidak, aku tahu Ibu pasti akan
gelisah." "Ibu-ibu memang semua selalu begitu," kata Dick. "Tapi tidak enak juga rasanya,
jika punya ibu yang sikapnya tidak peduli. He - sekarang kita main kartu yuk!"
Tak lama kemudian mereka sudah asyik main kartu, teriring gelak tertawa. Timmy
dan si Iseng memperhatikan dengan penuh minat. Senang sekali nampaknya mereka
semua di mercu suar itu. Bab 11 JEREMIAH BOOGLE Ketika di luar sudah mulai gelap, si Utik berhenti sebentar bermain. Ia
mengambil sebuah lampu minyak model kuno. Digoncang-goncangnya lampu itu.
"Masih ada minyak di dalamnya," kata anak itu. "Bagus! Akan kunyalakan sekarang,
supaya kita bisa melihat dengan jelas."
"Sayang kita tidak bisa menyalakan lampu besar yang ada di atas," kata George.
"Pasti itulah saat yang paling disukai penjaga yang di sini dulu! Menyalakan
lampu suar, pemberi tanda pada kapal-kapal agar jangan mendekat. Aku kepingin
tahu, siapa yang pertama-tama mendapat akal untuk membangun mercu suar. Mungkin
seorang keluarga pelaut yang berlayar, yang tidak ingin keluarganya itu
mengalami bencana terbentur ke karang!"
"Salah satu mercu suar besar yang pertama-tama dibangun pada jaman purba," kata
Julian bercerita. "letaknya di sebuah pulau bernama Pharos, di muara Sungai Nil,
tidak jauh dari Bandar Alexandria. itu di Mesir!"
"Dibuatnya dari apa" Dari batu, seperti mercu suarku ini?" tanya si Utik.
"Bukan - dari batu pualam putih," kata Julian. "Aku tadi teringat pada bangunan
itu, ketika kita sedang mendaki tangga berputar. Mercu suar di Pharos itu juga
punya tangga seperti itu - tapi jauh lebih besar."
"lampunya kayak apa?" tanya si Utik lagi.
"Aku tidak tahu, apakah mercu suar itu diperlengkapi dengan lampu," jawab
Julian. "Menurut cerita sejarah, setiap malam di puncak menara dihidupkan api
unggun yang besar sekali. Nyalanya terlihat dari kapal-kapal yang berada di
tengah laut, seratus mil dari tempat itu!"
"Astaga! Kalau begitu menara di Pharos itu tentunya sangat tinggi," kata Dick.
"Menurut cerita, tingginya sekitar 200 meter," kata Julian. Dick berseru kagum.
"Ajaib, tidak sampai tumbang ditiup angin," katanya. "Yuk, kapan-kapan kita ke
sana untuk melihatnya."
"Goblok!" tukas Julian. "Kan sudah lenyap. Bangunan itu didirikan lebih dari dua
ribu tahun yang lampau! Pada suatu waktu terjadi gempa bumi, dan bangunan megah
itu hancur berantakan sebagai akibatnya!"
Anak-anak yang mendengar cerita itu terdiam karena kaget. Semua memandang
berkeliling, memperhatikan tembok mercu suar di mana mereka berada saat itu. Hih
- gempa bumi! Bencana yang mengerikan, juga bagi mercu suar kecil!
"Jangan takut, Anne!" kata Julian sambil tertawa. "Malam ini kecil sekali
kemungkinannya di sini terjadi gempa! Tapi mercu suar di Pharos itu salah satu
dari ketujuh keajaiban dunia jaman purba. Tapi jangan tanya, apa-apa saja
keajaiban yang enam lagi. Sekarang aku sudah sangat mengantuk. Tak mampu lagi
mengingat-ingat!" "Aku ingin menyalakan lampu suar yang di sini," kata Anne. "Tidak enak rasanya
berada dalam mercu suar gelap, yang sebelumnya selama bertahun-tahun selalu
memancarkan sinar. Bisakah lampu itu dinyalakan, Tik" Atau sudah rusak?"
"Anne - jika kau mengira kita akan repot-repot naik ke atas untuk menyalakan
lampu itu, hanya karena kau merasa tidak enak - nah, kau salah sangka," kata
Dick tegas. "lagipula, pasti lampu itu kini sudah rusak."
"lho, kenapa?" kata si Utik. "Selama ini kan tak pernah diapa-apakan."
"He, bagaimana ini" Kita masih mau main kartu, atau tidak?" tukas Julian. "Perlu
kuingatkan pada kalian, sampai sekarang boleh dibilang aku terus-menerus menang!
Rasanya kayak main dengan segerombolan anak yang tak berotak."
Ejekan itu memanaskan perasaan yang lainnya. Mereka mulai main lagi, dan semua
berusaha keras untuk mengalahkan Julian.
"Kita akan main terus, sampai kau benar-benar kapok," kata Dick dengan penuh
tekat. Tapi malam itu Julian sedang bernasib baik. Setelah lima kali bermain, Anne
menguap lebar-lebar. "Wah, maaf - aku menguap bukan karena bosan," katanya. "Datangnya begitu tiba-
tiba, sehingga tak sempat lagi kutahan."
"Aku juga sudah mulai mengantuk," kata Dick. "Bagaimana jika kita makan lagi
sedikit, dan setelah itu langsung tidur."
Mereka lantas makan kue beberapa potong, sambil bermalas-malasan.
"Sekarang tidur!" kata Julian sesudah itu. "Anak-anak perempuan memerlukan
bantuan dengan kasur atau lain-lainnya?"
"Tidak, terima kasih," jawab Anne. "Kalian yang laki-laki masih ingin menyikat
gigi dan mencuci badan dulu" Kalau ya, lakukanlah sekarang."
Tak sampai seperempat jam kemudian semua sudah rebah di pembaringan masing-
masing. Ketiga anak laki-laki menempati kamar tidur di bawah, beralaskan selimut
tebal beberapa lapis. Sedang George dan Anne berbaring di atas kasur dan
berselubung selimut. Timmy tidur di samping George.
Dengan segera semuanya sudah terlelap. Di luar terdengar air laut mendesah dan
berdebur-debur sedang desing angin menggantikan teriakan burung camar pada siang
hari. Tapi dalam bangunan tua itu sunyi sepi. Bahkan si Iseng yang biasanya
bergerak-gerak, dalam tidurnya tenang sekali.
Enak rasanya bangun pagi-pagi, dan mendengar burung camar kembali berteriak-
teriak. Anak-anak sarapan roti dengan telur, disusul dengan buah apel. Setelah
itu mereka berembuk, mengatur rencana kegiatan hari itu.
"Enaknya kita belanja dulu, untuk membeli telur, roti dan susu segar satu atau
dua botol," kata Anne.
"Dan kita bisa juga mencari kakek ayah Pak Supir yang kemarin. Barangkali saja
dia mau bercerita tentang mercu suar ini, serta pencoleng-pencoleng jaman dulu,"
kata Dick. "Ya - mungkin pula ia nanti mau menunjukkan Gua Pencoleng," kata Julian. "Aku
kepingin melihatnya! Ayo deh, kita cepat-cepat saja menyelesaikan pekerjaan yang
masih harus dilakukan di sini. Setelah itu kita ke dermaga. Pasang saat ini
pasti sedang surut. Jadi kita bisa berjalan kaki menyusur karang ke sana!"
"Tapi kita harus sudah kembali lagi sebelum pasang mulai naik," kata si Utik
memperingatkan. "Sebab apabila perahu kita tinggalkan di sini, kita takkan bisa
kembali apabila karang sudah digenangi air laut!"
"Betul!" kata Julian membenarkan. "Jadi kita harus cepat-cepat berangkat."
Dengan segera pekerjaan sudah selesai, dan mereka pun pergi ke dermaga. Mereka
berjalan kaki, menyusur karang yang pada saat pasang surut nampak terbentang
antara mercu suar dan daratan. Karang itu runcing-runcing!
Tak lama kemudian anak-anak sudah sampai di dermaga batu yang kecil.
"Siapa nama kakek ayah Pak Supir kemarin?" tanya Dick sambil berusaha mengingat-
ingat. "Jeremiah Boogle," kata Anne. "Orangnya sudah tua. Biasa mengisap pipa, dan
kalau didekati orang suka mengerutkan kening."
"Dia pasti gampang ditemukan!" kata Julian yakin. "Yuk, mungkin dia saat ini
sedang ada di sini. "
"itu dia !'" kata George, ketika melihat seorang laki-laki tua dengan pipa
panjang terselip di mulutnya. "Pasti itulah Kakek Jeremiah!"
Orang yang dimaksudkan oleh George sedang duduk-duduk dengan kaki terjulur lurus
ke depan. Orangnya sudah tua sekali. Ia mengisap pipa panjang. Janggutnya tebal:
Ia memakai topi pet pelaut. Alisnya lebat, nyaris menutupi mata.
Anak-anak menghampiri orang itu, diikuti oleh Timmy. Sedang si Iseng bertengger
di atas bahu si Utik. Orang tua itu dengan segera melihat monyet kecil yang
kocak itu. "Wah, ada monyet!" kata laki-laki tua itu. "Aku sudah sering membawa pulang
monyet, sehabis berlayar." Dijentikkannya jarinya, sambil mengeluarkan suara-
suara aneh dari kerongkongannya. Si Iseng mendengarkan bunyi-bunyi itu, sambil
menelengkan kepala. Sekonyong-konyong ia melompat, berpindah dari bahu si Utik
ke bahu orang itu, lalu menggosok-gosokkan kepalanya ke telinga pelaut tua itu.
"Iseng!" seru si Utik tercengang. "Coba lihat, George. Padahal biasanya, ia
tidak mau mendatangi orang yang belum dikenali'"
"Yah - ada kemungkinannya aku kenal dengan kakeknya'" kata pelaut tua itu sambil
tertawa. Ia menggaruk-garuk leher si Iseng. "Monyet-monyet semua senang padaku
-- dan aku pun senang pada mereka!"
"Eh - Anda yang bernama Jeremiah Boogle?" tanya Julian.
"Betul -- akulah dia," jawab pak tua itu sambil menabik. "Dari mana kau
mengetahui namaku?" "Pak Jackson, supir mobil yang mengantar kami kemari kemarin yang mengatakannya.
Katanya, ayahnya cucu Anda," kata Julian. "Kami sekarang tinggal di mercu suar
tua selama liburan. Kata Pak Jackson, Anda banyak mengetahui cerita-cerita
mengenainya ! Dan juga mengenai pencoleng-pencoleng yang dulu banyak di sini,
sebelum mercu suar itu dibangun.'"
"Ya, aku memang bisa bercerita banyak mengenainya," kata Kakek Jeremiah sambil
mengepul-ngepulkan asap pipanya, sehingga si Iseng terbatuk-batuk. "Jauh lebih
banyak dari keturunanku yang konyol itu. Jackson tidak tahu apa-apa! Tahunya
cuma tentang mobil - lain tidak. Hah, siapalah yang perlu mobil, kendaraan
berisik yang menghamburkan asap kotor dan bau! Hah! George Jackson itu bancil"
"Tidak, Kek! Dia ahli teknik yang paling baik di tempat kami," kata George
dengan segera. "Tak ada yang tidak diketahuinya tentang mobil."
"Mobil- hahh!" gerutu kakek ayah Pak Jackson sambil mendengus. "Sudah kukatakan
tadi, itu kan barang jelek yang berisik dan bau!"
"Kami tidak bermaksud membicarakan soal mobil, Kek," kata Julian. "Kami ingin
bertanya tentang jaman dulu di sini. Tentang pencoleng dan sebagainya."
"Ah - jaman dulu," kata pelaut tua itu. "Aku bahkan kenal beberapa orang dari
pencoleng-pencoleng itu ... seorang di antaranya bernama One-Ear Bill .... "
Kakek Jeremiah mulai dengan kisahnya yang luar biasa.
Bab 12 KISAH JEREMIAH "Ketika aku masih kecil," kata laki-laki tua itu memulai kisahnya, "tidak jauh
lebih tua dari anak ini," dan dia menuding si Utik, "di sana belum dibangun


Lima Sekawan 19 Karang Setan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mercu suar! Tapi batu karang jahat itu sudah ada sejak dulu kala! Pada saat-saat
badai banyak kapal yang terjebak ke situ. Karang itu seakan-akan menganga,
menunggu mangsa! Kalian kan tentunya tahu namanya?"
"Ya, Karang Setan," jawab si Utik.
"Nah - di atas tebing yang tinggi di sana itu, dulu hidup seorang laki-laki tua
yang jahat," sambung Kakek Jeremiah. "Dia mempunyai seorang anak, yang sama
jahatnya seperti dia. Kecuali itu, di sana ada pula seorang keponakannya. Mereka
dijuluki Trio Pencoleng. Kalian tentunya tahu, trio berarti tiga pasangan. Akan
kuceritakan sekarang, kenapa mereka dijuluki begitu."
"Anda mengenal mereka?" tanya Dick.
"Tentu saja!" jawab Kakek Jeremiah. "Apabila aku kebetulan sedang bersembunyi di
balik salah-satu semak pada saat mereka lewat aku biasa melempari mereka dengan
batu. Mereka jahat sekali! Kejam dan jahil! Semua takut sekali pada mereka.
Orang tua itu dijuluki One-Ear Bill. Kata orang, telinganya yang satu putus
digigit monyet Tapi aku tidak menyalahkan monyet yang menggigitnya, seperti
halnya aku takkan menyalahkan monyet ini, jika ia menggigit putus telinga
seseorang yang kukenal di sini. Tapi aku tak mau menyebut nama - karena siapa
tahu ia bisa mendengarnya."
Sambil berkata begitu Kakek Jeremiah menoleh ke belakang, seolah-olah orang yang
sedang dibicarakan ada di sekitar situ.
"Yah - seperti kukatakan tadi, yang tua bernama One-Ear Bill. Anaknya bernama
Nosey, sedang keponakannya Bart. Kedua orang itu sama saja jahatnya! Hanya satu
pikiran mereka bertiga, yaitu uang. Mereka tidak peduli, dengan jalan bagaimana
mereka memperolehnya." Kakek Jeremiah berhenti sebentar untuk meludah, sebagai
tanda jijik. "Hah!" dengusnya kemudian. "Akan kuceritakan pada kalian, bagaimana cara mereka
bisa menjadi kaya. Ya, ya - akan kuceritakan segala-galanya! Supaya menjadi
pelajaan bagi kalian serta setiap orang! Nah - kalian lihat tebing yang tinggi
di sebelah sana itu" itu, yang di atasnya ada tiang dengan bendera yang
berkibar-kibar!" "Ya, kami melihatnya," kata anak-anak serempak, sambil memandang ke arah yang
ditunjuk. "Nah, di tempat itu kapal tidak boleh merapat ke pantai!" kata Kakek. "Jika
terlalu dekat, akan diseret arus lalu dilemparkan ke karang yang di situ. Ya -
ke Karang Setan! Dan dengan begitu, tamatlah riwayat kapal yang malang itu. Tak
ada kapal yang bisa menghindarkan diri dari cengkeraman ujung-ujung karang yang
runcing di situ, apabila sudah terseret oleh arus. Nah, untuk mencegah supaya
kapal-kapal berlayar tidak terlalu dekat, pada siang hari di atas tebing
dikibarkan bendera. Sedang pada malam hari, dinyalakan lampu tanda bahaya.
Keduanya merupakan tanda jelas, yang berarti 'Awas! Jangan dekat-dekat!
Berbahaya!" Kakek Jeremiah berhenti sebentar, lalu melanjutkan ceritanya.
"Tentu saja para pelaut semua mengenal bendera dan lampu yang terpasang di situ.
Dan mereka lantas mengarahkan haluan perahu ke tengah laut, menjauhi Karang
Setan. Tapi itu tidak menyenangkan One-Ear Bill. Baginya, ia tidak keberatan
jika ada kapal yang pecah di situ. Dengan segera ia akan turun ke pantai,
merampok barang-barang muatan yang terdampar di situ. Dan ia tak pernah mau
mengulurkan tangan, menyelamatkan para penumpang atau awak kapal yang
menggelepar-gelepar dalam air! Ada orang yang mengatakan, dia itulah setan dari
Karang Setan! " "Aduh, jahatnya orang itu!" kata Anne dengan ngeri.
"Ya, memang," kata Kakek Jeremiah. "Nah - karena adanya kedua tanda itu, kapal-
kapal tidak sering pecah lagi terbentur karang. Karenanya One-Ear Bill lantas
berembuk dengan anaknya, Nosey, serta keponakannya, Bart. Mereka mengatur
rencana yang jahat sekali!"
"Rencana apa itu?" tanya si Utik dengan mata terbelalak.
"Pada malam badai, ia memadamkan lampu yang menyala di atas tebing, lalu
memindahkannya ke tebing di sebelah situ," kata Kakek Jeremiah menuding ke suatu
tebing menonjol, yang letaknya tak begitu jauh. "Dan kalian kan tahu sendiri,
ada apa di bawah tebing itu - di sekeliling mercu suar!" .
"Batu Karang! Karang yang runcing! Karang Setan!" kata George ngeri.
"Maksud Kakek, One-Ear Bill dan yang dua lagi dengan sengaja memasang lampu
menyala di situ pada malam-malam bercuaca buruk, dengan maksud agar ada kapal
yang tertipu lalu pecah terbentur karang?" kata Julian.
"Ya, itulah maksudku," kata Jeremiah Boogle. "Lagipula, pada suatu malam yang
gelap aku pernah berjumpa dengan One-Ear Bill. Waktu itu sedang ada badai.
Kulihat dia bersama Nosey membawa lampu tanda bahaya! Tentu saja mereka
membawanya dalam keadaan padam. Tapi aku waktu itu membawa lentera yang menyala.
Jadi lampu itu kulihat dengan jelas, dibawa mereka. Sungguh, aku melihatnya
sendiri! Dan ketika mereka melihat aku, lantas mereka menyuruh Bart mengejar,
untuk melemparkan ku dari atas tebing. Maksudnya, supaya aku tidak bisa
bercerita pada siapa-siapa tentang perbuatan mereka itu. Tapi aku berhasil
melarikan diri! Dan tentu saja mereka kuadukan. Ya, ya -. mereka kuadukan! One-
Ear Bill dihukum dan dipenjarakan. Biar tahu rasa dia, orang tua yang jahat!
Tapi dia tidak peduli. Pokoknya dia sudah kaya. Kaya sekali !"
"Dari mana ia mendapat kekayaannya?" tanya Dick.
"Waktu itu kapal-kapal yang berlayar lewat pesisir sini, datangnya dari negeri-
negeri jauh," kata Kakek Jeremiah, "banyak di antaranya mengangkut harta. Dan
One-Ear Bill merampok begitu banyak emas, perak, mutiara dan barang-barang lain
dari kapal-kapal yang pecah, sehingga ketika dipenjarakan ia tahu bahwa nanti
kalau sudah keluar lagi, ia tidak perlu bekerja karena sudah kaya. Dia sudah
kaya-raya, jadi tidak perlu mencelakakan kapal lagi!"
"Tapi apa sebabnya harta hasil perampokan itu tidak dirampas?" tanya Julian.
"Sebab harta itu disembunyikan olehnya," kata Kakek Jeremiah. "Dia
menyembunyikannya dengan sangat baik. Bahkan Nosey atau Bart pun tidak tahu
tempatnya. Mereka berdua yakin, semuanya disembunyikan oleh One-Eart Bill dalam
salah satu gua yang ada di bawah tebing. Dan mereka juga sudah mencari ke mana-
mana, tapi sia-sia belaka. Harta karun itu tidak mereka temukan. Mereka juga
dihukum penjara, tapi hukuman mereka tidak sebegitu lama seperti One-Ear Bill."
"Apakah One-Ear Bill mengambilnya lagi, ketika keluar dari penjara?" tanya Dick.
Asyik sekali ia mendengarkan kisah laki-laki tua itu.
"Tidak, ia tidak mengambilnya," kata Kakek, sambil mengepul-ngepulkan asap pipa.
"Senang hati ku karenanya. Laki-laki tua yang jahat itu mati dalam penjara."
"Jadi, kalau begitu bagaimana dengan harta hasil perampokannya?" tanya George.
"Siapa yang menemukannya kemudian?"
"Tidak ada," jawab Kakek Jeremiah. "Harta itu masih tetap tersembunyi di tempat
One-Ear Bill menaruhnya dulu. Rahasia itu dibawa mati olehnya. Bart dan Nosey
tidak bosan-bosannya mencari. Hah - aku melihat mereka hilir-mudik berhari-hari
keluar-masuk gua. Malam hari pun mereka tidak berhenti, mencari terus dengan
diterangi lampu. Tapi mereka sama sekali tak berhasil menemukan apa-apa. Kini
keduanya sudah lama mati: Tapi di Karang Setan sini masih ada kerabat mereka,
yang takkan berkeberatan jika memperoleh harta karun itu. Mereka sangat miskin.
Anak mereka dua, kurus-kurus!"
"Tidak adakah yang mempunyai dugaan tertentu, di mana harta karun itu
disembunyikan?" tanya Julian. "Bagaimana dengan gua yang pernah kami dengar
disebut-sebut - maksud kami Gua Pencoleng ?"
"Ya - di sini memang ada Gua Pencoleng," kata Kakek Jeremiah, sambil mengetuk-
ngetuk pipanya supaya padam. "Kurasa ada barangkali lima ribu orang yang sudah
mencari-cari di situ, dengan harapan akan bisa menemukan harta yang dicari
dengan sia-sia oleh Bart dan Nosey. Mungkin juga jumlah orang yang pernah
mencari di situ, mencapai sepuluh ribu. Entahlah! Aku sendiri pun sudah pernah
mencari ke sana - tapi bahkan sekeping uang pun tak kutemukan olehku! Kalau
kalian mau, kapan-kapan akan kuajak ke sana. Tapi jangan berharap akan menemukan
sesuatu dalam gua itu. Kurasa One-Ear Bill tak pernah menyembunyikan apa-apa di
situ." "Kami sangat ingin melihat gua itu," kata Dick, sedang George mengangguk-angguk
dengan bersemangat. "Tentu saja bukan untuk berburu harta karun - karena sudah
jelas tidak ada di situ. Mungkin ada yang menemukan, lalu mengangkutnya pergi
dengan diam-diam!" "Mungkin saja," kata Kakek. "Baiklah - kalian katakan saja kapan kalian ingin
melihat-lihat ke sana. Pada umumnya, setiap hari aku duduk duduk di sini. Dan
kalau kalian kebetulan punya tembakau sedikit yang tidak kalian perlukan
sendiri, harap ingat padaku, ya!"
"Kami belikan saja sekarang juga," kata Julian sambil tertawa geli. "Tembakau
merek apa yang Kakek isap biasanya?"
"Bilang saja pada Tom di toko penjual rokok, kalian hendak membeli tembakau
untuk Kakek Jeremiah Boogle. Nanti akan diberinya tembakau yang kusukai," kata
laki-laki tua itu. "Tapi ingat- jangan coba-coba masuk sendiri ke gua itu,
karena nanti tersesat."
"Baiklah," kata Julian, "Kami akan berhati-hati."
Setelah itu anak-anak pergi meninggalkan dermaga. Timmy merasa senang, karena
akhirnya mereka meneruskan perjalanan. Ia sama sekali tidak memahami cerita
asyik yang dikisahkan Kakek Jeremiah selama itu. Ia hanya heran, apa sebabnya
George tidak mengajaknya berjalan-jalan dulu, seperti yang biasa dilakukan
sehabis sarapan. Timmy mendengking pelan. George membungkuk, dan menepuk-nepuk
kepala anjing kesayangannya itu.
Mrs Mcginty Sudah Mati 3 Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Misteri Kapal Layar Pancawarna 6
^