Memperjuangkan Harta 2
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston Bagian 2
mengatakan agar Bu Philpot beristirahat sebentar. Biar mereka bertiga yang
membereskan meja dan mencuci piring-piring kotor.
"Cobalah bersikap agak ramah pada Junior siang ini," kata Bu Philpot sambil
pergi. "Dia kesepian, karena ayahnya harus pergi. Ajak dia bersama kalian."
Tak ada yang menjawab. Tak seorang pun mau mengajak anak itu.
"Anak konyol, manja, dan tidak tahu adat," kata George dalam hati. Ia begitu
bersemangat membenahi meja, sehingga hampir menabrak Anne. Ia buru-buru menyusul
ke pintu, ketika dilihatnya Julian hendak ke luar. "Julian, ada sesuatu yang
menarik yang hendak kami ceritakan padamu," bisik George. "Di mana kalian siang
ini?" "Kurasa masih di kandang ayam," kata Julian. "Nanti saja ke sana... setengah jam
lagi.'' Pendengaran Junior ternyata tajam sekali. Ia menangkap pembicaraan kedua
anak itu. Seketika itu timbul rasa ingin tahu pada dirinya: Hal apakah yang
begitu menarik, yang ingin diceritakan George pada Julian dan Dick" Mungkin
rahasia! Oke, Junior akan mendengarkan dengan sembunyi-sembunyi!
Setelah Anne dan George selesai bekerja di dapur dan pergi ke kandang ayam,
Junior diam-diam mengikuti dari belakang! la ke sudut kandang, lalu menempelkan
telinga ke dinding. "Sekarang datang pembalasan!" katanya dalam hati. "Biar mereka tahu rasa! Akan
kubalas kejahatan mereka... tidak pernah mau mengajak aku!" Junior tertawa
pelan. Puas hatinya, karena kini mendapat kesempatan membalas.
11. Anak-anak Berembuk Dick dan Julian sedang sibuk bekerja dalam kandang. Bunyi palu dan gergaji
membisingkan sekali. Karenanya kedua anak perempuan yang baru masuk menunggu
dulu, sampai kedua saudara mereka berhenti sebentar.
Snippet ada lagi di situ. Anjing itu masih ikut sibuk, lari mondar-mandir
membawa potongan-potongan kayu. Dan Nosey kini sedang merasa tertarik pada bekas
serutan yang bertebaran di lantai. Burung kocak itu mematuk-matuk, sambil
berkaok-kaok ribut. Di luar kandang, ayam berkotek-kotek, dan bebek meleter tidak jauh dari situ.
"Aku paling suka suara-suara seperti ini," kata Anne. Ia duduk di atas sebuah
karung di pojok kandang. Kemudian ia berseru pada Dick, berusaha mengalahkan
kebisingan di tempat itu.
"Perlu bantuan, Dick?"
"Tidak perlu," jawab Dick, "karena setelah selesai mengerjakan ini kami akan
beristirahat sebentar, untuk mendengarkan cerita kalian. Sekarang duduk saja
dulu di situ, sambil memperhatikan kemahiran kami bertukang! Wah, sebagai tukang
pasti lumayan penghasilanku."
"Awas, Nosey menyambar paku lagi!" seru George. Timmy meloncat, seakan-akan
hendak memburu. Seketika itu juga Nosey terbang ke atas, lalu hinggap pada
sebatang balok melintang sambil berkaok-kaok, seakan-akan menertawakan. Timmy
merebahkan diri kembali, jengkel terhadap gagak konyol itu.
Akhirnya Dick dan Julian selesai juga dengan kesibukan mereka. Keduanya duduk,
sambil menyeka keringat yang membasahi kening.
"Nah, sekarang kalian boleh bercerita," kata Dick. "Untung si Junior konyol
tidak ikut kemari, kalau tidak aku bisa salah memaku ke tubuhnya yang gendut."
Ditirukannya suara Junior merengek-rengek, "Yah... aku ikut, yaaa!"
Di luar, Junior mengepalkan tinju. Saat itu ia kepingin memukulkan beberapa
batang paku ke tubuh Dick!
Sementara itu Anne dan George mulai bercerita.
"Soal Puri Finniston," kata Anne. "Puri yang namanya kemudian dijadikan nama
desa dan pertanian ini. Pak tua yang bercerita pada kami tentang puri itu, juga
bernama Finniston. Kalian boleh percaya atau tidak, tapi dia keturunan wangsa
Finniston yang dulu tinggal di puri itu."
"Dan hampir seumur hidupnya ia berusaha terus menyelidiki segalanya yang bisa
diselidiki tentang puri tua itu," kata George. "Katanya, berbagai perpustakaan
tua sudah dimasukinya, catatan gereja sini juga sudah dipelajarinya, pokoknya ia
sudah ke mana-mana, dengan maksud menggali sejarah Puri Finniston."
Di luar kandang, Junior menahan napas supaya tidak ada satu patah kata pun yang
tak terdengar olehnya. Wah... padahal ayahnya bilang, ia tidak berhasil
memancing keterangan dari Pak Finniston pemilik toko antik itu, baik mengenai
puri itu, sejarahnya, maupun tempatnya. Kalau begitu apa sebabnya pak tua itu
mau bercerita pada Anne, dan George si anak laki-laki jahil itu" Junior merasa
tersinggung, ia mendengarkan makin saksama.
"Menurut kisah, pada abad kedua belas, puri itu malam-malam diserang musuh.
Ternyata dalam puri ada pengkhianat! Pengkhianat itu membakar puri, supaya
penghuninya disibukkan dengan usaha memadamkan api! Dengan begitu mereka tidak
siap untuk berperang," kata George. "Bagian dalam puri terbakar habis. Lalu
tembok luarnya roboh ke dalam, menimbun bekas landasan bangunan itu."
"Bukan main," kata Dick. "Pasti malam itu keadaan kacau-balau di sana. Dan semua
penghuninya mati terbunuh atau terbakar."
"Tidak, tidak semuanya," kata Anne. "Istri bangsawan penguasa puri, Lady
Finniston berhasil menyelamatkan diri. Ia lari, membawa anak-anaknya ke sebuah
gereja kecil yang terdapat dekat rumah yang sekarang ditempati keluarga Philpot.
Pokoknya, ada beberapa orarig dari wangsa Finniston yang selamat, sebab salah
seorang keturunannya kini menjadi pemilik toko antik di desa. Pak Finniston!"
"Ini menarik sekali," kata Julian. "Di mana tempat bekas puri itu" Mestinya bisa
gampang ditemukan, karena begitu banyak batu yang bertumpuk di atasnya."
"Tidak, batu-batu itu sudah tidak ada lagi di sana," kata George. "Kata Pak
Finniston; setelah batu-batu itu pecah karena pengaruh cuaca, para petani dan
penduduk yang tinggal di dekat-dekat situ beramai-ramai mengambilnya untuk
dijadikan bahan bangunan. Ada yang memakainya untuk membuat tembok, atau untuk
dinding sumur. Menurut Pak Finniston, di pertanian sini ada beberapa buah batu
itu. Ia sendiri tidak tahu di mana letak puri itu dulu, karena bekasnya kini
pasti sudah ditutupi semak belukar. Takkan mudah mencarinya, karena batu-batu
yang dulu menjadi tanda, kini sudah tidak ada lagi di sana."
'Tapi aku ingin mencarinya, Julian!" kata Anne. Ia berbicara dengan penuh
semangat. "Soalnya, menurut cerita Pak Finniston, ruang-ruang puri yang di ada
bawah tanah mungkin masih utuh. Dulu tak ada yang bisa masuk ke situ, karena
jalan di atasnya tertimbun batu-batu besar. Dan kini, setelah batu-batu itu
diangkut orang, tak ada lagi yang masih ingat pada puri itu!"
"Wah, kalau begitu mungkin barang-barang yang tersimpan di situ sejak berabad-
abad, sekarang pun masih utuh," kata Dick. "Astaga... mungkin ada barang-barang
berharga di situ, yang umurnya sudah tua sekali! Maksudku, sebuah pedang yang
ada di situ, biarpun sudah patah, harganya pasti sangat mahal! Maklum, pedang
kuno. Eh, jangan sampai cerita ini didengar Pak Henning, nanti pertanian ini
habis digali olehnya, untuk mencari jalan masuk ke kolong Puri Finniston!"
"Tentu saja kami takkan bercerita," kata George. "Dari mulutku, pasti ia tidak
akan mendengar apa-apa"
George tidak tahu bahwa segala perkataannya itu ikut didengar Junior yang
bersembunyi di luar! Anak gendut itu merah mukanya karena senang bercampur
kaget. Astaga, bukan main hebatnya rahasia itu! Apa kata ayahnya sekarang" Ada
ruang bawah tanah, yang mungkin penuh berisi emas dan barang berharga lainnya!
Junior menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan sikap puas. Ia sudah
membayangkan, kini ia bisa melakukan pembalasan terhadap anak-anak yang
menjengkelkannya itu. Begitu ayahnya pulang, junior akan menceritakan semua yang
didengarnya tadi. Gerakan Junior menggosok-gosokkan telapak tangan itu terdengar oleh Timmy.
Anjing itu langsung menggeram, telinganya tegak. Snippet juga ikut menggeram-
geram. Kemudian Timmy mendengar gerak Junior menyelinap pergi. Anak itu ketakutan,
ketika mendengar suara Timmy menggeram-geram. Kemudian Timmy menggonggong keras,
lalu lari menuju pintu kandang. Tapi pintu itu ditutup. Timmy mengorek-ngorek
dasar daun pintu, sambil menggeram-geram terus.
"Ada orang diluar! Cepat, kita keluar!" seru Dick. "Jika ternyata Junior, akan
kulempar dia ke kubangan!"
Ia berbebas membuka pintu dan anak-anak menghambur ke luar lalu mamandang
berkeliling. Tapi disitu tidak ada siapa-siapa! Junior sempat melarikan diri.
Kini ia bersembunyi di balik pagar semak di dekat situ.
"Ada apa, Tim?" tanya George. "Rupanya ia mendengar ayam-ayam yang mengais-ngais
dekat pintu," katanya pada anak-anak yang lain. "Di sini tidak ada siapa-siapa!
Aduh, aku sudah khawatir saja tadi, jangan-jangan si Junior yang bersembunyi
untuk mendengarkan pembicaraan kita! Pasti akan diteruskannya pada ayahnya!"
Kini Anne berpaling pada kedua Harry. "Tadi Pak Finniston juga bercerita, salah
satu benda yang bisa diselamatkan dari puri yang terbakar itu-atau mungkin pula
baru ditemukan kemudian-adalah sebuah daun pintu yang kokoh terbuat dari kayu
ek, diperkuat dengan bautbaut besi," katanya. "Betulkah itu salah satu pintu
dapur kalian?", "Memang, yaitu pintu yang membuka sedikit," kata Harry. "Kalian
mungkin tidak begitu memperhatikan selama ini, karena biasanya dibiarkan
terbuka. Tempat itu kan gelap sekali. Ya, mungkin saja pintu itu dulu berasal
dari puri. Kayunya tebal sekali, dan kokoh. Mungkin ayahku tahu pasti tentang
asal-usulnya." "Nanti kutanyakan," kata Harriet. "He, bagaimana kalau kapan-kapan kita beramai-
ramai mencari tempat bekas puri" Siapa tahu kita berhasil menemukannya! Jika
kami menemukan ruang-ruang bawah tanah, dan ternyata betul penuh dengan berbagai
barang berharga, apakah barang-barang itu kemudian menjadi milik kami" Pertanian
Finniston Farm kan sudah kepunyaan kami, beserta seluruh tanah di sekitar sini."
"O ya" Kalau begitu, semua yang ditemukan di sini akan menjadi milik kalian!"
kata Julian. "Wah, kami bisa membeli traktor baru nanti!" kata kedua Harry
serempak dengan bersemangat. "Sekarang saja kita mencari tempat itu," kata
George. "Jangan! Sebelumnya, harus kita selesaikan dulu pekerjaan ini," kata Julian.
"Kan kita sudah berjanji! Lagi pula masih cukup banyak waktu. Kecuali kita, tak
ada orang lain yang mengetahui rahasia itu."
"Yah, kalau begitu kami kembali dulu ke rumah," kata George. "Kami sudah
berjanji akan memetik buah-buahan untuk nanti malam. Sekarang saja kami
melakukannya. Aduh, mudahmudahan kita bisa berhasil menemukan tempat bekas puri
itu. Malam ini aku pasti bermimpi tentang itu"
"Coba saja mimpikan di mana letaknya," kata Julian sambil tertawa. "Jadi besok
kau bisa menjadi penunjuk jalan! Kalian berdua sama sekali tidak bisa menduga
letaknya?" Pertanyaan itu ditujukan pada Harry dan Harriet.
"Tidak," jawab keduanya serempak. Kening mereka berkerut. Harriet menambahkan,
"Tanah pertanian sini luas sekali! Dan letaknya bisa di mana saja."
"Ya, tapi kurasa tentu dekat puncak sebuah bukit," kata Julian. "Puri biasanya
dibangun di tempat yang agak tinggi, supaya daerah sekelilingnya bisa diawasi
dengan leluasa. Dengan begitu lawan yang mendekat cepat ketahuan! Dan menurut
George tadi, Pak Finniston mengatakan bahwa Lady Finniston melarikan diri dengan
anak-anaknya. Mereka bersembunyi dalam sebuah gereja. Gereja itu tentunya tidak
jauh dari puri. Menurut pikiranku, Puri Finniston tak mungkin lebih dari
seperempat mil jaraknya dari gereja! Jadi pencarian kita sudah berkurang banyak
luasnya. O ya, kita juga perlu melihatlihat gereja tua itu. Pasti menarik, walau
selama ini dipakai sebagai gudang!"
Sore itu Anne dan George sibuk memetik buah-buahan, sementara Dick dan Julian
menyelesaikan pekerjaan mereka di kandang. Menjelang saat minum teh, mereka
kembali ke rumah. Mereka capek, tapi puas. Anne dan George sudah lebih dulu
tiba. Ketika Dick, Julian, serta kedua Harry masuk, keduanya sedang sibuk
mengatur meja. Tapi dengan segera George berkata dengan bersemangat, "Hei, kami
sudah mengamat-amati pintu yang kita bicarakan tadi. Wah, hebat! Coba lihat,
Dick dan Julian! Aku berani taruhan apa saja, pintu ini pasti berasal dari puri
kuno itu!" Diajaknya kedua saudara sepupunya itu menghampiri pintu yang membatasi dapur
dengan lorong yang menuju ke pekarangan: Ternyata daun pintu itu berat, karena
George harus mengerahkan tenaga untuk menutupnya. Kemudian semua memperhatikan
dengan penuh minat. Pintu itu tebal, terbuat dari kayu pohon ek. Banyak baut besi tertancap di situ.
Di sisi luarnya, di tengah-tengah terdapat semacam pegangan berbentuk aneh,
terbuat dari besi. George mengangkat pegangan itu, lalu memukulkannya ke daun
pintu. Terdengar bunyi berdebam nyaring; menyebabkan anak-anak yang lain
berlompatan karena kaget.
"Kurasa ini bel zaman dulu!" kata George sambil tertawa, melihat tampang anak-
anak semua tercengang. "Bunyinya nyaring, sehingga dengan segera penjaga puri
akan datang berlarilari. Mungkinkah ini pintu depan puri" Ukurannya cukup besar,
jadi mungkin saja. Wah, harganya pasti mahal sekali kalau dijual!"
"Awas, ada Junior!" kata Anne dengan suara pelan. "Lihatlah, ia nyengir. Apa
lagi yang hendak dilakukannya sekarang?"
12. Ke Gereja Tua Pada saat minum teh, Julian mengajak Bu Philpot bicara tentang pintu itu. "Bagus
sekali pintu itu," kata Julian. "Apakah asalnya dari puri?"
"Kata orang begitu," jawab Bu Philpot. "Tapi tentang soal itu, Kakek lebih tahu
daripada aku." Saat itu Kakek tidak duduk di meja, melainkan di kursinya yang besar di dekat
jendela. Ia sedang mengisap pipa. Sebuah cangkir berisi teh panas terletak di
ambang jendela, di dekatnya.
"Ada apa?" tanya Kakek. Julian mengulangi pertanyaannya. Orang tua itu
mengangguk. "O ya, daun pintu itu asalnya memang dari puri. Kayunya sama dengan kayu yang
dijadikan balok-balok di lumbung, serta lantai kamar-kamar di atas! Ya, dan
orang Amerika itu kepingin sekali memilikinya! Aku dibujuk-bujuk, supaya mau
menjual! Hah! Katanya ia berani membayar lima puluh pound! Biar dibayar seribu
pound, aku tetap tidak mau menjualnya. Bayangkan, pintu itu nanti terpasang
dalam sebuah rumah modern di Amerika! Tidak bisa. Tidak bisa, kataku! Biar
bagaimana, aku tetap tidak mau!"
"Sudahlah, Kek, jangan ribut lagi," kata Bu Philpot membujuk. Pada anak-anak ia
berkata dengan suara pelan, "Cepat, bicara soal lain! Nanti Kakek marah-marah
terus!" Julian memutar otak, mencari-cari bahan pembicaraan yang lain. Untung ia
teringat pada kandang ayam. Ia lantas bercerita pada Kakek tentang apa saja yang
sudah dilakukan di situ siang tadi. Kakek menjadi tenang kembali, dan
mendengarkan cerita Julian dengan asyik. Malam itu Pak Henning tidak pulang.
Anak-anak rasa lega. Tapi keesokan harinya ia kembali menjelang tengah hari. Ia
datang bersama seorang laki-laki kurus berkacamata tebal. Orang itu
diperkenalkannya sebagai Pak Richard Durleston. "Pak Durleston ini seorang ahli
yang hebat," kata Pak Henning bangga. "Dia jauh lebih banyak pengetahuannya
dibandingkan dengan siapa pun, mengenai gedung-gedung tua di Inggris. Sehabis
makan siang aku ingin menunjukkan pintu dapur yang tua itu padanya, Bu Philpot,
serta lubang yang ada dalam dinding di kamar tidur atas, yang katanya dulu
tempat menaruh arang menyala untuk memanaskan bata penghangat tempat tidur"
Untung saat itu Kakek sedang tidak ada. Jadi ia tidak bisa langsung menolak.
Sehabis makan siang, Bu Philpot mengajak Pak Durleston menghampiri pintu tua
yang dibicarakan. "Hmm, ya, ini memang asli," kata laki-laki kurus itu sambil menganggung-angguk.
"Bagus sekali buatannya! Pantas jika dibayar dua ratus pound untuk ini, Pak
Henning!" Bu Philpot sebenarnya ingin sekali menerima tawaran itu. Dengan uang sebanyak
itu, bebannya akan bisa sangat berkurang. Tapi Bu Philpot menggeleng.
"Anda harus berbicara dengan Kakek dulu," katanya. "Tapi kurasa pasti ia tidak
mau! Nah, sekarang kita ke atas, melihat lubang yang ada dalam dinding salah
satu kamar tidur di sana."
Diajaknya Pak Henning dan Pak Durleston naik ke atas. Julian serta ketiga
saudaranya mengikuti dari belakang, bersama Timmy.
Ya, lubang di dinding itu memang tampak luar biasa. Pintunya tidak seperti pintu
oven yang biasa, yang terbuat dari besi, melainkan berupa pintu besi batangan
berukir-ukir. Bu Philpot membuka pintu itu. Di belakangnya tampak sebuah rongga
besar. Tempat itu dulu dipakai untuk menaruh bara menyala, untuk memanaskan bata
yang kemudian ditaruh di tempat tidur supaya hangat. Di situ masih ada beberapa
bongkah bata yang hitam hangus dan semacam baki besar, terbuat dari besi. Di
atasnya terdapat beberapa potong arang.
"Baki ini dulu dipakai sebagai tempat arang yang menyala, sebelum dimasukkan ke
dalam panci pemanas," katanya menjelaskan. "Kami masih memiliki sebuah panci tua
seperti itu. Itu dia barangnya, tergantung di dinding!"
Anak-anak ikut berpaling, karena mereka juga sangat berminat seperti kedua laki-
laki itu. Di dinding tergantung sebuah panci tembaga yang berwarna kuning
kemerah-merahan. "Bata panas dimasukkan ke situ," sambung Bu Philpot, "dan setelah itu panci
dibawa ke kamar-kamar tidur, lalu diselipkan ke semua tempat tidur sebentar
untuk menghangatkannya. Dan lubang di dinding itu-seperti kukatakan tadi-di
situlah tempat bata dipanaskan, yang kemudian dibungkus dengan kain flanel, lalu
ditaruh di tempat tidur."
"Hmmm. Sangat menarik. Jarang kulihat yang seutuh ini," kata Pak Durleston. Ia
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjenguk ke dalam lubang. "Ini ada harganya pula jika dibeli, Pak Henning.
Rumah tua yang menarik. Kurasa kita juga perlu mendatangi lumbung serta gudang-
gudang lainnya. Mungkin ada barang-barang di sana yang kalau dibeli akan
menguntungkan." Dalam hati George berkata, untung kata-kata itu tidak terdengar oleh kedua
Harry. Kedua anak itu sama sikapnya seperti Kakek, mereka tidak suka melepaskan
benda-benda yang merupakan bagian dari rumah pertanian kuno itu!
Setelah itu mereka turun lagi ke bawah. "Sekarang aku hendak mengajak Pak
Durleston melihat-lihat gereja tua itu sebentar, Bu," kata Pak Henning. Bu
Philpot mengangguk, lalu bergegas kembali ke dapur. Keempat anak itu berpandang-
pandangan. Julian menganggukkan kepala ke arah kedua laki-laki yang saat itu
melangkah ke pintu luar. "Bagaimana, kita ke sana juga?" katanya. "Kita kan belum melihat gereja itu!"
Mereka lantas mengikuti Pak Henning dan Pak Durleston. Dengan segera mereka
sampai di depan sebuah bangunan tua yang menjulang tinggi. Jendelanya juga
tinggi-tinggi, tapi sempit. Bagus sekali bentuknya! Mereka menyusul masuk lewat
pintu, dua langkah di belakang kedua laki-laki tadi. Sesampai di dalam, mereka
memandang berkeliling dengan kagum.
"Ya, kelihatannya jelas ini dulu gereja," kata Julian. Secara otomatis,
bicaranya menjadi lebih lirih. "Jendela-jendela itu, dan lengkungan ini...."
"Dan suasananya!" kata Anne. "Sekarang baru kumengerti maksud Pak Finniston,
ketika ia mengatakan tempat ini masih penuh dengan doa-walau sekarang dijadikan
tempat penyimpanan! Terasa bahwa di sini orang-orang dulu berdoa! Bagus sekali
gereja tua ini, sayang kini dijadikan tempat penyimpanan!"
"Ada seorang tua di toko antik desa Finniston bercerita padaku, bahwa Lady
Phillippa yang dulu mendiami puri kuno itu, biasa mengajak anak-anaknya yang
berjumlah lima betas orang ke sini untuk belajar berdoa," kata Pak Durleston
dengan tiba-tiba. "Yah, kisah menarik! Mungkin juga benar, karena gereja begini
sering dibangun dekat puri. Aku ingin tahu, lewat mana mereka kemari dari puri.
Sayang bangunan itu sekarang sudah tidak ada lagi. Ya, ya!"
"Kepingin rasanya kubeli gereja ini, lalu kubongkar, kemudian kupindahkan batu
demi batu ke Amerika," kata Pak Henning bersemangat. "Bagus sekali, ya" Cocok
jika dibangun kembali di tempatku."
"Lebih baik jangan," kata Pak Durleston, sambil menggeleng-geleng. "Gayanya
tidak sesuai. Sekarang kita ke gudang yang di sana itu, mungkin di antara
barang-barang rongsokan di situ ada sesuatu yang menarik."
Kedua orang itu keluar. Sedang anak-anak masih berdiri di dalam gereja,
mengagumi bangunan itu. Di lantai tampak karung bertumpuktumpuk, berisi gandum.
Ada juga karung-karung pupuk di situ. Setelah itu anak-anak berbondong-bondong
ke luar. Mereka segan mengikuti Pak Henning.
"Untung saja Pak Durleston berhasil mencegah gagasan konyolnya
tadi...memindahkan gereja ini ke Amerika," kata Anne. "Bayangkan, bangunan
sebagus ini dibongkar sampai ke dasarnya, lalu dipindahkan ke negara lain!"
"Anne, kalau kau marah hampir sama galaknya dengan Kakek!" kata Julian, lalu
menggandeng adiknya itu. "Tapi kurasa gereja tua ini takkan mungkin bisa dibeli
oleh Pak Henning, biarpun dia berani membayar sejuta dolar untuknya!"
"Aku sebenarnya suka sekali pada orang Amerika," kata Anne. "Tapi aku tidak suka
pada Pak Henning! Dia mau membeli benda-benda bersejarah, seperti orang membeli
cokelat atau permen!"
Semua tertawa mendengar perbandingan yang diucapkan Anne.
"Hei, kita sekarang sudah di luar," kata Julian setelah itu, "bagaimana jika
kita mencari-cari tempat di mana sebaiknya kita mulai melacak bekas puri kuno
itu"! Tentunya kita sependapat bahwa letaknya tak mungkin jauh dari gereja!"
"Ya, betul," kata Dick. "Dan besar kemungkinannya, terletak di atas sebuah
bukit. Cuma repotnya, di sekitar sini banyak sekali bukit. Daerah ini memang
berbukit-bukit!" "Yuk, kita ke sana... ke lereng itu," kata George. "Hei, itu Harry dan Harriet.
Kita panggil yuk! Mungkin mereka mau ikut."
Ternyata kedua anak kembar itu mau! "Tapi bisa bertahun-tahun kita mencari, baru
ketemu!" kata Harry. "Soalnya, tempat itu bisa terletak di maria saja di
pertanian ini!" "Kami tadi sudah memutuskan, mula-mula mencari di lereng ini," kata Julian. "Ayo
ikut, Tim dan Snippet! Aduh, si Nosey ingin ikut pula sekarang. Jangan hinggap
di pundakku, gagak sinting! Aku masih memerlukan telingaku!"
"Kaok!" seru gagak itu, lalu terbang dan hinggap di bahu Harriet.
Anak-anak mendaki lereng. Tapi hanya rumput melulu yang tampak di situ. Kemudian
mereka sampai di sebuah onggokan tanah yang tinggi.
"Rupanya seekor tikus mondok raksasa yang membuat onggokan tanah setinggi ini,"
kata anak-anak tertawa. Onggokan tanah itu memang tinggi, setinggi bahu. Di
dasarnya tampak liangliang kelinci. Kalau Timmy melihat liang kelinci, tanpa
bisa ditahan ia pasti menggalinya. Sesaat kemudian ia sudah sibuk mengorek tanah
di dasar onggokan, dibantu oleh Snippet. Tubuh anjing pudel hitam itu kecil.
Jadi bisa menyusup ke dalam sebuah liang.
Ketika ia keluar lagi, ia menggondol sesuatu. Kulit tiram! Julian memungut benda
itu dengan heran. "Lihatlah, kulit tiram! Padahal tempat ini kan jauh dari tepi laut. Kenapa bisa
sampai di sini" Ayo masuk lagi, Snippet! Gali terus, Timmy! Ayo cepat! Ada
sesuatu yang terpikir olehku."
Beberapa saat kemudian kesibukan Timmy dan Snippet menggali, menghasilkan
setumpuk kulit kerang dan tulang-belulang yang tergeletak di rumput.
"Tulang?" kata Anne heran. "Pasti bukan tulang manusia. Ini kan bukan kuburan
kuno, Julian?" "Bukan, tapi sesuatu yang lebih menarik dari pada kuburan," kata
Julian. "Aku merasa pasti, ini sebuah kokkenmodding."
"Hah" Apa itu?" kata George tercengang mendengar kata aneh yang disebutkan
Julian. "Lihatlah, Timmy mengambil kulit tiram lagi dari lubang itu."
"kokkenmodding itu bahasa Denmark. Ini istilah kaum ilmuwan, untuk menyebutkan
tumpukan sampah pemukiman zaman dulu kala," kata Julian menjelaskan, sambil
memungut segenggam kulit tiram. "Sering tumpukan itu besar sekali, kalau terdiri
dari sampah yang terbuang dari rumah-rumah besar atau puri! Tulang-belulang dan
kulit tiram tidak membusuk seperti sampah sisanya. Kurasa kita menemukan
tumpukan sampah puri yang kita cari. Wah, penemuan ini penting sekali artinya!"
"Lho, kenapa" Ini kan cuma sampah?" tanya anak-anak.
"Ya, memang, tapi kini kita tahu, puri kuno itu dulu pasti tegak di lereng ini,"
kata Julian. "Sebabnya, tumpukan sampah yang dibuang dari puri itu pasti tidak
jauh letaknya dari jendela dapur. Jadi tidak jauh dari tembok puri! Kita sudah
menemukan jejaknya! Ayo, sekarang kita menyebar. Kita harus memeriksa setiap
jengkal lereng ini!"
13. Pembalasan Junior Keenam anak itu mulai memeriksa tanah dengan bersemangat. Timmy menggonggong-
gonggong, karena merasa pasti ada sesuatu yang menyebabkan anak-anak dengan
tiba-tiba sibuk membungkuk-bungkuk memperhatikan tanah. Snippet menggonggong,
karena Timmy menggonggong. Sedang Nosey yang saat itu bertengger di pundak
Harry, berkaok-kaok dengan suara serak.
Tanpa diketahui oleh mereka semua, Junior ternyata mengintip kesibukan anak-anak
itu dari balik semak. Ia tercengang, ketika tiba-tiba terjadi keributan di
antara anak-anak. Kenapa mereka begitu bersemangat" Apa yang ditemukan oleh
Timmy dan Snippet di bawah onggokan tanah"
Dilihatnya Julian dan kelima anak yang lain menyebar, lalu bergerak lambat-
lambat mendaki lereng. Timmy mengikuti mereka dengan heran. Ia ingin sekali
mengetahui, apa sebetulnya yang dicari supaya ia bisa membantu!
Junior tidak beranjak dari belakang semak tempatnya bersembunyi sedari tadi. Ia
tahu, jika anak-anak diikutinya dari jarak dekat, pasti Timmy nanti akan
mengendus baunya lalu menggonggong.
Tiba-tiba kedua Harry berseru serempak. "Hei!" Anak-anak yang sedang sibuk
meneliti tanah, langsung mendongak ketika terdengar seruan itu. Mereka melihat
kedua Harry melambai-lambai dengan gembira.
Julian serta ketiga saudaranya bergegas mendatangi kedua Harry. Kedua anak
kembar itu berdiri di atas semacam pematang, sekitar dua ratus meter di bawah
puncak bukit landai itu. "Lihatlah!" kata Harry yang asli, sambil menggerakkan tangannya membuat
lingkaran yang besar. "Mungkinkah ini dulu tempat puri yang kita cari?"
Anak-anak memandang berkeliling. Mereka melihat semacam cekungan besar, mirip
piring raksasa. Ya, mungkin saja di situlah tempat puri kuno itu dulu! Luas
cekungan ini memungkinkannya. Tempat itu penuh ditumbuhi rumput tebal, yang
lebih gelap warnanya dibandingkan dengan rumput di sekitar situ.
Julian menepuk bahu Harry, sambil berkata, "Ya, kurasa di sinilah tempat puri
itu dulu! Satu-satunya alasan kenapa tanah di sini agak menurun dibandingkan
dengan sekeli!ingnya, adalah karena di tempat ini dulu ada sebuah bangunan yang
sangat berat. Dan itu Puri Finniston!"
"Dan letaknya juga tidak terlalu jauh dari koding-eh, anu-dari onggokan tempat
pembuangan sampah. Ya, kan?" kata Anne, sambil menaksir jarak antara kedua
tempat itu. "Memang, jaraknya cocok," kata Julian. "Dengan sendirinya tidak bisa terlalu
dekat. Kan berbau busuk, apalagi dalam cuaca panas. Ya, kalian berdua berhasil
menemukan tempat bekas puri kuno itu dulu berdiri," katanya pada kedua Harry.
"Jika kita mempunyai mesin-mesin yang diperlukan untuk menggali di sini, pasti
kita akan menemukan berbagai ruangan dan lorong bawah tanah-lengkap dengan
isinya!" Kedua anak kembar memandang ke cekungan besar yang ditumbuhi rumput lebat itu.
Muka mereka merah karena gejolak perasaan yang terpendam.
"Wah, apa kata Ibu nanti," kata mereka serempak.
"Pasti dia gembira," kata Dick. "Mungkin dengan penemuan ini, pertanian kalian
akan tertolong. Tapi lebih baik kita jangan bercerita dulu, karena siapa tahu,
nanti terdengar oleh Pak Henning. Sekarang kita datangi saja Bill, untuk
meminjam sekop dan peralatan lain. Kita bilang padanya, kita menemukan tulang-
tulang tua di atas bukit, dan sekarang ini mengadakan penggalian sedikit. Nanti
dengan segera kita akan tahu, apakah tempat ini memang benar bekas puri atau
bukan!" "Setuju!" kata Julian dengan bersemangat. "Sekarang kita ukur dulu, berapa luas
cekungan ini!" Mereka lantas mengelilinginya. Ternyata kelilingnya cukup besar,
bahkan untuk sebuah puri yang besar pun mencukupi. Mereka agak heran, kenapa
rumput yang tumbuh dalam cekungan warnanya agak lebih gelap dibandingkan dengan
warna rumput di sebelah luarnya.
"Kadang-kadang rumput yang tumbuh di tanah bekas bangunan kuno memang begitu
warnany kata Julian. "Wah, ini benar-benar mengasyikkan. Aku senang, bahwa
justru kedua Harry yang pertama-tama mengenalinya. Soalnya, ini kan termasuk
tanah mereka juga!" Tiba-tiba George berseru kaget. "He! Itu kan Junior, yang lari di sana itu?"
Dilihatnya Timmy menegakkan telinga, sedang hidungnya mengendus-endus.
"Ya betul!" tambah Goerge. "Rupanya anak itu mengintip kita! Jahat sekali dia!"
"Ah, takkan banyak yang diketahuinya," kata Julian, sambil memandang anak yang
lari menjauh itu. "Kurasa ia bahkan tidak tahu bahwa di sini dulu ada puri. Dan
sudah pasti ia tidak tahu bahwa kita sedang mencari-cari tempat bekas puri itu.
Ia cuma mengintip-intip karena ingin tahu saja!"
Padahal Junior tahu segala-galanya tentang puri kuno itu, karena ia ikut
mendengarkan pembicaraan anak-anak sewaktu di kandang ayam! Dan kini ia merasa
sudah waktunya untuk melaporkan semua yang berhasil diketahui olehnya pada
ayahnya! Ayahnya dijumpai olehnya ketika sedang meneliti sebuah pendiangan kuno, bersama
Pak Durleston. "Ini juga layak dibeli," kata Pak Durleston. "Ia bisa dibongkar, lalu dipasang
lagi di ruma Anda. Bagus sekali dan sangat tua umurnya. Lagi pula.."
"Yah, Ayah! Ayah!" seru Junior, sambil berlari-lari masuk. Pak Durleston menoleh
dengan jengkel. Mau apa lagi anak itu, pikirnya. Tapi Junior tak mengacuhkan
kejengkelan Pak Durleston. Ditarik-tariknya lengan ayahnya.
"Ayah! Aku tahu di mana tempat puri kuno itu dulu berada. Dan di bawahnya ada
ruangan bawah tanah, penuh dengan harta. Sungguh, Yah, aku tahu! Anak-anak itu
menemukan tempatnya. Aku melihat mereka, tapi mereka tidak melihat aku!"
"Apa saja yang kau ocehkan, Junior?" kata ayahnya. Pak Henning juga agak
jengkel, karena rembukannya dengan Pak Durleston terputus dengan tiba-tiba.
"Omong kosong! Mana mungkin kau tahu apa-apa tentang tempat bekas puri itu serta
lain-lainnya yang kaukatakan tadi!"
"Sungguh, Yah, aku betul-betul tahu! Aku mendengarkan percakapan mereka dalam
kandang ayam!" seru Junior, sambil terus menarik-narik lengan ayahnya. "Mereka
juga menemukan tumpukan sampah, Yah. Sampah itu berasal dari puri. Banyak sekali
tulang dan kulit tiram di situ. Setelah itu mereka mencari-cari tempat puri kuno
itu mungkin dulu berada. Menurut mereka, letaknya tak mungkin jauh dari tumpukan
sampah itu..." "Mereka benar," kata Pak Durleston. "Onggokan sampah yang mereka temukan itu
namanya kokkenmodding. Apabila tempat itu sudah diketahui, memang tidak sukar
lagi menemukan tempat bekas pemukiman manusia... dan di sini yang dicari puri!
Hmm, ini benar-benar menarik, Pak Henning. Apabila Anda bisa mengusahakan agar
kita diperbolehkan menggali di tempat itu, kiranya..."
"Oh, boy!" seru Pak Henning dengan gembira. Matanya melotot. "Sudah kubayangkan
judul berita dalam koran, 'Orang Amerika menemukan bekas puri kuno yang lenyap
selama berabadabad! Penggalian bawah tanah menghasilkan tulang-belulang tawanan
zaman dulu, mata uang emas berpeti-peti..."
"Tenang, tenang," kata Pak Durleston. "Mungkin di dalamnya sama sekali tidak ada
apa-apa! Kita tidak boleh menggantang asap, Pak Henning. Jangan bergembira dulu
tentang sesuatu yang belum tentu ada! Dan ingat, jangan dulu bercerita pada
wartawan. Jangan sampai orang-orang berduyun-duyun ke sini, ingin mengadakan
penggalian pula, sehingga harga-harga naik!"
"Wah, tidak sampai ke situ pikiranku tadi," kata Pak Henning kaget. "Baiklah, kita harus bertindak dengan hati-hati. Apa usul Anda?"
"Kuusulkan Anda mendekati Pak Philpot dulu. Bukan Kakek, tapi Pak Trevor
Philpot! Tawarkan padanya uang sebanyak.., yah, katakanlah lima ratus pound,
untuk membeli hak mengadakan penggalian di atas bukit itu," kata Pak Durleston.
"Nanti kalau ternyata ada sesuatu yang menarik di situ, Anda tawarkan lagi
sejumlah uang untuk memperoleh hak atas semua yang ditemukan di bawah tanah.
Bilang saja lima ratus pound lagi! Tak apa, mengeluarkan uang sebanyak itu,
karena barang-barang yang tertimbun di situ pasti sudah sangat tua umurnya. Jadi
sangat berharga! Ya, ya, begitulah saranku"
"Kedengarannya baik juga," kata Pak Henning. Ia sudah mulai bersemangat lagi.
"Dan selama itu Anda kan akan terus di sini mendampingi aku, Pak Durleston?"
"Tentu, tentu, asal Anda bersedia membayar," kata Pak Durleston. "Dan kurasa
lebih baik aku yang mendekati Pak Philpot, jadi bukan Anda. Aku khawatir,
jangan-jangan Anda membocorkan rahasia, apabila... apabila semangat Anda timbul
lagi sewaktu sedang berunding. Tentu saja Anda ikut hadir, tapi biar aku saja
yang bicara!" "Beres, beres - pokoknya Anda sendiri yang berunding," kata Pak Henning. Ia
begitu gembira saat itu, sehingga apa pun yang diusulkan oleh Pak Durleston,
pasti akan disetujui olehnya. Ditepuknya punggung Junior. "Bagus, Nak! Mungkin
sekarang kita akan memperoleh untung besar. Tapi ingat, jangan bicara dengan
orang lain tentang soal ini!"
"Aduh, Ayah menyangka aku ini apa?" kata Junior. "Mulai saat ini mulutku
terkunci rapat! Ayah kira aku mau membuka rahasia, apabila ini merupakan
kesempatan baik untuk membalas anak-anak yang sombong itu" Nanti kalau mereka
sudah pergi dari bukit itu, Ayah periksa saja sendiri ke sana. Pak Durleston
pasti akan tahu, apakah penemuan itu benar atau tidak!"
Jadi setelah anak-anak kembali ke rumah untuk membantu lagi, segera Pak Henning
dan Pak Durleston mengikuti Junior ke tempat tumpukan sampah. Dari situ ke
cekungan, yang diduga merupakan tempat puri dulu. Pak Henning makin bersemangat.
Sedang Pak Durleston yang selalu kelihatan lesu, sekali itu berseri-seri
tampangnya. Ia mengangguk-angguk beberapa kali.
"Kelihatannya memang inilah tempatnya," kata laki-laki berbadan kurus itu.
"Malam ini juga kita mulai dengan rencana kita - sesudah Kakek pergi tidur!
Sebab kalau tidak, mungkin pak tua itu akan menghambat. Orangnya sudah setua
bukit-bukit di sini, tapi rewelnya seperti gagak!"
Malam itu, ketika Kakek sudah masuk ke kamar tidurnya, Pak Henning dan Pak
Durleston mengajak suami-istri Philpot berunding. Pak petani serta istrinya cuma
bisa mendengar saja, sambil tercengang-cengang. Ketika mendengar bahwa Pak
Henning menawarkan pembayaran dengan cek sebesar lima ratus pound, hanya untuk
mendapat hak melakukan penggalian, Bu Philpot nyaris saja menangis karena
terharu! "Selanjutnya sudah kusarankan pada Pak Henning untuk membayar sejumlah uang
lagi, apabila ia menemukan sesuatu yang ingin dibawanya pulang ke Amerika,
sebagai... sebagai kenang-kenangan liburan yang indah di sini," kata Pak
Durleston. "Aduh, ini rasanya seperti mimpi kejatuhan bulan," kata Bu Philpot. "Uang itu
banyak gunanya untuk kita. Ya kan, Trevor?"
Sebelum Pak Philpot bisa menjawab, Pak Henning sudah mengambil buku cek serta
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pena dari kantongnya. Ia menulis nilai lima ratus pound pada selembar cek yang
langsung ditanda-tanganinya. Cek itu lalu disodorkan pada Pak Philpot.
"Mudah-mudahan saja nanti ada lagi cek yang menyusul," katanya. "Terima kasih,
besok akan kusuruh orang-orangku memulai penggalian."
"Aku akan membuatkan surat perjanjian resmi," kata Pak Durleston, ketika
dilihatnya Pak Philpot agak ragu-ragu menerima cek. "Tapi cek itu bisa Anda
uangkan dengan segera!"
Anak-anak tercengang mendengar kabar itu keesokan paginya. Mula-mula Bu Philpot
menceritakannya pada Harry dan Harriet, yang langsung lari mencari Julian serta
ketiga saudaranya untuk diajak berunding. Mereka mendengarkan laporan kedua anak
kembar itu dengan heran bercampur marah.
"Dari mana kedua orang itu mengetahui semuanya" Dari mana mereka tahu, di mana
tempat puri kuno itu dulu berada?" kata Dick sengit. "Aku berani bertaruh, pasti
Junior yang bercerita pada mereka! Pasti ia mengintip dan ikut mendengarkan
pembicaraan kita kemarin sehabis minum teh. Rupanya Pak Henning dengan
temannya... serta Junior. Huh... kepingin rasanya menjambak rambut anak itu!"
"Yah.., kurasa tak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang!" tukas George.
"Tahu-tahu kita akan melihat iring-iringan truk datang ke sini, penuh dengan
orang yang membawa sekop, cangkul, dan bermacam-macam peralatan lagi!"
Dugaan George ternyata tepat! Pagi itu juga bukit menjadi ramai. Pak Henning
menyewa tenaga empat orang untuk menggali. Mereka datang ke bukit dengan sebuah
truk. Kendaraan itu berjalan pelan-pelan, melewati onggokan tanah yang merupakan
timbunan sampah, terus menuju ke cekungan yang terdapat dekat puncak bukit.
Sekop, alat penggaru, dan bor terbanting-banting di dasar bak. Junior menandak-
nandak dengan gembira, sambil berseru-seru menantang keenam anak yang memandang
dengan suram. Tapi ia tidak berani datang terlalu dekat.
"Kalian menyangka aku tidak tahu apa-apa, ya" Padahal segala pembicaraan kalian
ikut kudengar! Huh, tahu rasa sekarang!" Junior mencibir.
"Kejar dia, Tim!" seru George dengan marah. "Tapi jangan sakiti. Ayo kejar!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Timmy langsung lari mengejar. Jika Junior
tidak cepat-cepat meloncat naik ke atas truk lalu mengambil sebuah sekop untuk
mempertahankan diri, pasti ia sudah terguling-guling di tanah karena ditubruk
oleh Timmy! Sekarang bagaimana" Anak-anak hampir saja putus asa. Tapi cuma hampir! Mungkin
masih ada yang bisa mereka lakukan. Siapa tahu.
Nah, apa sebabnya Julian dengan tiba-tiba tampak begitu gelisah"
14. Snippet dan Nosey Berjasa
"Sssst... dengar baik-baik!" kata Julian setengah berbisik. Ia celingukan
sebentar, untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain di dekat mereka. Kemudian
ia melanjutkan, "Masih ingat, George, katamu ada lorong rahasia dari puri ke
gereja tua?" "Ya, betul!" kata George, sementara Anne mengangguk dengan mata bersinar-sinar.
"Maksudmu cerita Pak Finniston dari toko barang antik, mengenai istri bangsawan
yang menyelamatkan anak-anaknya dari puri yang sedang terbakar" Katanya mereka
lari ke gereja tua, lewat lorong di bawah tanah! Wah, hampir saja aku lupa!"
"Ya, betul, Julian!" kata Anne. "Dan menurut sangkaanmu, lorong itu mungkin
sekarang masih ada... di bawah tanah?"
"Pikiranku begini," kata Julian. "Jika putri itu lari membawa anak-anaknya lewat
jalan bawah tanah, maka mestinya mereka mula-mula harus turun dulu ke kolong
puri. Jadi lorong atau terowongan itu tentunya berpangkal dalam kolong!"
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. "Tak mungkin mereka lari lewat jalan lain,
karena bukankah puri saat itu sedang dikepung musuh," kata Julian meneruskan
pertimbangannya. "Jadi mula-mula putri itu bersembunyi dalam ruangan bawah tanah
bersama anak-anaknya. Kemudian, ketika puri ambruk, ia melarikan mereka lewat
lorong rahasia, menuju gereja tua. Dan itu berarti..."
"Itu berarti, apabila kita menemukan letak lorong rahasia itu, kita akan bisa
masuk ke dalam kolong puri! Dan bahkan mungkin lebih dulu daripada para pekerja
yang disewa Pak Henning!" kata George. Hampir saja ia berteriak, karena gembira.
"Tepat!" kata Julian. Matanya berkilat-kilat. "Tapi jangan buru-buru ribut dulu.
Kita harus merundingkan soal ini dengan tenang! Dan hati-hati, jangan sampai
ketahuan si Junior lagi!"
"Timmy... jaga!" kata George. Dengan segera Timmy tegak menjaga. Anjing itu
memandang ke segala arah, dengan sikap tegak. Sekarang tak ada lagi yang bisa
mendekat, tanpa ketahuan Timmy!
Anak-anak duduk di tepi pagar semak. "Sekarang bagaimana rencana kita?" tanya
Dick. "Kuusulkan, kita sekarang pergi dulu ke gereja tua. Dari situ berjalan lurus ke
arah cekungan yang akan digali. Mungkin saja nanti kita akan melihat sesuatu
yang merupakan tanda di mana terletak lorong rahasia itu. Aku sekarang belum
bisa memperkirakan tanda macam bagaimana. Mungkin ada rumput yang warnanya agak
lebih gelap dari rumput sekelilingnya, seperti yang kita lihat di tempat bekas
puri. Yah, pokoknya kita harus berusaha. Dan kalau kita melihat sesuatu yang
bisa merupakan tanda, kita akan melakukan penggalian di tempat itu! Siapa tahu,
di bawahnya ada lorong!"
"Wah, hebat juga ide itu,Jul" kata Anne dengan bersemangat. "Yuk, sekarang saja
kita ke gereja!" Mereka pun berangkat beramai-ramai ke sana, diiringi oleh Timmy dan Snippet.
Nosey, si gagak iseng itu, tidak mau ketinggalan. Ia gemar mengganggu Snippet.
Dengan cepat mereka tiba di gereja, lalu langsung masuk ke dalam. Julian berdiri
di ambang pintu. Ia menunjuk ke arah bukit yang letaknya lebih tinggi.
"Sekarang kita lihat dulu," katanya. "Di sana letak tempat bekas puri, orang-
orang Pak Henning sudah mulai bekerja. Jika kita berjalan lurus ke arah itu,
kira-kira kita akan berjalan di atas lorong rahasia. Kurasa pembuatannya dulu
lurus, untuk menghemat tenaga. Lorong yang berkelok-kelok, penggaliannya memakan
waktu lebih lama." "Tapi pada garis lurus ke cekungan, tidak tampak rumput yang warnanya agak
lain," kata Dick. Ia memicingkan mata, menatap ke arah bukit. Anak-anak yang
lain mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Mereka agak kecewa.
"Kalau begitu, tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk;' kata George
sedih. "Apa boleh buat, sekarang kita terpaksa berjalan lurus ke bukit,
barangkali saja di tengah jalan ada sesuatu yang akan menunjukkan bahwa kita
berdiri di atas terowongan bawah tanah. Misalnya saja jika langkah kita
kedengaran menggema!"
"Kecil sekali kemungkinannya," kata Julian. "Tapi memang tidak ada lagi jalan
lain. Kita berangkat sajalah!"
Keenam anak itu mulai berjalan mendaki lereng. Mereka berusaha berjalan selurus
mungkin. Akhirnya mereka sampai ke tempat para pekerja sedang sibuk menggali,
tanpa melihat sesuatu tanda pun yang bisa dijadikan petunjuk. Benar-benar
mengecewakan. "Hei, anak-anak dilarang kemari!"
Mereka menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata Junior yang berteriak. "Ayo
pergi!" serunya lagi. "Tanah sini sudah dibeli ayahku!"
"Pembohong!" balas kedua Harry serempak. "Kalian cuma mendapat hak untuk
menggali saja, lain tidak!"
"Beeeh," cibir Junior. "Tunggu saja nanti! Dan jangan suruh anjingmu mengejarku,
nanti kuadukan pada ayahku!"
Tapi ketika Timmy menggonggong, saat itu juga Junior lari.
"Anak konyol!" kata George sambil tertawa. "Kenapa belum ada yang menempelengnya
sampai sekarang" Tapi kurasa tak lama lagi salah seorang dari pekerja itu pasti
akan melakukannya! Lihatlah, dia sudah iseng lagi, bermain-main dengan alat
pengebor." Junior memang menjengkelkan. Kerjanya mengganggu orang yang bekerja. Akhirnya
ayahnya menyeretnya ke truk, dan menyuruhnya tinggal di situ. Junior meraung-
raung karena kesal. Tapi tak ada yang mau mengacuhkannya.
Sementara itu anak-anak yang lain melangkah pergi. Mereka menuruni lereng lagi,
sambil berjalan lambat-lambat. Kali ini ditempuh garis yang agak lain daripada
yang tadi. Mereka belum putus harapan.
Nosey hinggap di pundak Harry sambil ber-kaok-kaok. Ia sudah bosan, karena tak
ada yang bisa diperbuatnya saat itu. Tapi tiba-tiba dilihatnya Snippet duduk di
tanah, sambil menggaruk-garuk leher. Secepat kilat Nosey terbang menukik ke
arahnya. Gagak itu tahu bahwa Snippet selalu memejamkan mata pada saat sedang
asyik menggaruk. Dan itulah saat yang paling tepat untuk mematuknya!
Tapi Nosey sial. Sebelum ia sempat, Snippet sudah membuka matanya kembali.
Anjing itu masih sempat melihat gagak yang hendak bertengger dan mematuknya.
Snippet langsung menangkap sayap Nosey. Burung gagak itu berkaok-kaok minta
tolong. Harry buru-buru lari mendatangi, sambil berteriak-teriak, "Lepaskan, Snippet!
Lepaskan, nanti patah sayapnya!"
Tapi sebelum Harry tiba untuk menolong, gagak iseng itu sudah berhasil
membebaskan dirinya sendiri. Tiba-tiba dipatuknya hidung Snippet, sehingga
anjing itu mendengking kesakitan. Dan begitu mulutnya terbuka, Nosey terjatuh ke
tanah. Gagak itu lari menjauh, dengan sayap terkulai. Ia tidak mampu terbang!
Dengan cepat Snippet mengejar. Kedua Harry berteriak-teriak melarang, tapi sama
sekali tak diacuhkan. Snippet bertekad hendak menangkap gagak yang menjengkelkan
itu! Tentu saja Nosey ketakutan. Sambil berkaok-kaok burung itu lari ke sana-
kemari, mencari tempat bersembunyi. Kemudian ia melihat sebuah liang kelinci.
Dengan segera ia lari ke situ, dan sambil berteriak dengan ribut ia menyusup ke
dalam. "Nosey masuk ke liang kelinci!" seru Dick sambil tertawa-tawa. "Gagak pintar!
Kau kalah, Snippet! Tapi Snippet belum mau mengaku kalah! la menyusul masuk. Badannya cukup kecil,
jadi bisa ikut menyusup ke dalam liang itu. Selama ini ia belum pernah memasuki
liang kelinci; karena takut pada lorong yang gelap, paling hanya mengendus-endus
di luar saja. Tapi jika Nosey berani masuk, Snippet tidak mau kalah!
Anak-anak memandang sambil melongo. Kedua Harry membungkukkan diri ke lubang,
lalu berteriak-teriak ke dalam.
"Ayo kembali, Snippet! Tolol! Liang ini simpang-siur di dasar bukit, nanti kau
tersesat di dalamnya: Sini, Snippet!"
Tapi dari dalam liang tidak terdengar apa-apa. "Rupanya mereka masuk jauh ke
dalam," kata Harry gelisah. "Di bukit ini banyak sekali liang kelinci yang
bersimpang-siur. Kata Ayah, dulu di sini banyak sekali kelinci berkeliaran.
Beribu-ribu!" "Yah... sekarang kita hanya bisa menunggu, sampai keduanya muncul kembali," kata
Anne. Ia duduk di tanah, karena merasa capek naik turun bukit.
"Baiklah," kata Julian. "Ada yang membawa permen?"
"Aku punya," kata George, yang memang biasa mengantongi permen ke mana-mana.
"Nih!" "Sebetulnya kita harus kembali sekarang," kata Harry, "masih banyak
pekerjaan yang menunggu!" Setelah menunggu beberapa saat, anak-anak melihat
telinga Timmy menegak. Anjing itu menggonggong sekali, sambil memandang mulut
liang. "Mereka datang," kata George. "Timmy sudah tahu!"
Ternyata Timmy memang tahu. Kedua binatang itu muncul lagi dari dalam liang.
Mula-mula Snippet, dan kemudian Nosey. Rupanya keduanya sudah berkawan lagi.
Snippet langsung lari menghampiri kedua Harry, seolah-olah tidak melihat mereka
selama beberapa hari. Anjing itu menggondol sesuatu, yang kemudian diletakkan di
depan kaki kedua anak kembar itu.
"Apa yang kaubawa?" tanya Harry, sambil memungut benda itu. "Tulang, ya?"
Dengan cepat Julian menyambarnya dari tangan Harry.
"Bukan, bukan tulang! Ini kan sebuah pisau! Pisau kecil berukir. Gagangnya sudah
patah. Wah, ini benda kuno! Di mana kau menemukannya, Snippet?"
"Gagak itu juga menggondol sesuatu di paruhnya!" kata Anne sambil menuding.
"Lihatlah!" Harriet dengan mudah berhasil menangkap gagak itu, karena Nosey masih belum bisa
terbang lagi. "Ini cincin!" seru anak itu. "Cincin bertatahkan batu merah!"
Keenam anak itu memandang kedua benda temuan itu sambil melongo. Sebuah pisau
yang sudah hitam karena tuanya, dan sebuah cincin emas yang masih ada
permatanya! Kedua benda itu pasti berasal dari satu tempat.
Rupanya Snippet dan Nosey tadi masuk ke kolong puri," kata George. Ia
mengucapkan hal yang juga dipikirkan kawan-kawannya. "Itu sudah pasti! Rupanya
liang kelinci ini tembus ke kolong yang menghubungkan kolong puri dengan gereja!
Dan Snippet serta Nosey masuk ke sana! Aduh, Snippet-kau memang anjing yang
cerdik! Kau menemukan lorong yang kami cari selama ini!"
"George benar!" kata Dick bersemangat. "Berkat Snippet dan Nosey, sekarang
banyak yang kita ketahui! Kita tahu sekarang, di kolong puri pasti masih banyak
barang yang tersimpan, dan kita juga tahu di ujung liang ini terdapat lorong
rahasia yang kita cari! Betul kan, Ju?"
"Betul!" jawab Julian. Mukanya merah karena gembira. "Wah, sekali ini kita
benar-benar mujur. Berkat Snippet dan Nosey! Lihat, gagak iseng itu mencoba
terbang lagi. Ternyata sayapnya tidak cedera berat! Bagus, Nosey, kali ini
keisenganmu besar gunanya!"
"Sekarang bagaimana?" tanya George, dengan mata bersinar-sinar. "Apakah kita
akan menggali di sini-karena sudah tahu letak lorong rahasia itu" Pasti tak
begitu dalam letaknya. Dan kalau sudah berada di situ, dengan gampang kita akan
bisa masuk ke kolong puri-mendahului Pak Henning serta orang-orangnya."
15. Menggali ke Lorong "Bagaimana cara minta izin untuk menggali?" tanya Anne. "Maksudku, bolehkah kita
menggali di sini?" "Kenapa tidak" Pak Henning kan hanya memperoleh izin untuk menggali di satu
tempat saja," kata Julian. "Kurasa kita tentu diizinkan menggali di sini. Lagi
pula jaraknya cukup jauh dari tempat bekas puri."
Kenapa kita tidak langsung menggali saja. Kita lihat nanti, dilarang atau
tidak," kata George. "Jika Pak Philpot yang melarang, akan kita katakan padanya
apa yang sebenarnya sedang kita kerjakan. Setelah itu tentu dia akan
mengizinkan! Tapi apa pun yang terjadi, jangan sampai Pak Henning mengetahui
penemuan kita, atau apa yang kita sangka telah ditemukan!"
"Kalau begitu apa yang akan kita katakan, jika ia bertanya kenapa kita menggali
di sini?" tanya Anne.
"Jawab seenaknya saja, kita main-main!" kata Dick. Kemudian ia bertanya pada
kedua Harry, "Kalian harus bekerja pagi ini" Bisakah kalian mengusahakan
beberapa sekop untuk kami?"
"Pakai saja sekop kami berdua... serta sekop Ayah," jawab Harry. "Kami
sebetulnya ingin membantu, tapi masih banyak pekerjaan yang menunggu. Sekarang
pun kami sudah agak terlambat!"
"Aduh, dan aku sudah berjanji... aku dan George akan membantu di dapur," kata
Anne. "Bagaimana jika kalian berdua saja yang menggali, Ju?"
"Tentu saja bisa," jawab Julian. "Memang, jika berdua saja pasti lebih lambat.
Tapi tak apa! Nanti sore kan bisa kita lanjutkan, apabila kedua Harry sudah
selesai bekerja!" "Beres! Kami akan bekerja secepat kilat!" kata Harry dan Harriet serempak.
"Sekarang kami ambilkan dulu sekop untuk kalian." Keduanya lari menuruni lereng,
diikuti oleh Snippet. Sementara George dan Anne berjalan dengan tenang, walaupun
perasaan mereka sangat gelisah saat itu. Wah, mudah-mudahan saja bisa ditemukan
lorong rahasia yang menghubungkan gereja tua dengan kolong puri! Timmy yang ikut
dengan mereka, menggerak-gerakkan ekor dengan gem-bira. Ia ikut merasakan
keasyikan anak-anak saat itu Timmy selalu senang, apabila ada sesuatu yang
mengasyikkan George! Tidak lama kemudian Harriet sudah datang lagi. Ia membawa dua buah sekop besar,
dan satu sekop kecil. Peralatan itu tidak bisa dibilang enteng. Ia memanggulnya
ke atas bukit, dengan napas terengah-engah.
"Hebat, Harry!" kata Dick sambil menyambut ketiga sekop itu. "Eh, nanti dulu!
Kau Harriet, karena di tanganmu tidak ada bekas luka!"
Sambil nyengir, Harriet lari kembali mendatangi saudara kembarnya yang sudah
sibuk bekerja, membantu orangtua mereka.
"Mereka anak-anak baik," kata Julian sambil memandangi kepergian anak itu.
Kemudian ia mulai menggali. "Ya, lebih baik dari pada seratus anak seperti
Junior! Aneh, ada anak-anak yang baik, dan ada pula yang sama sekali tak
berguna! Nah, Dick, kita mulai saja sekarang. Tanah di sini ternyata sangat
keras. Coba kita bisa meminjam salah satu mesin yang dipakai para pekerja di
atas itu, pasti akan lebih cepat kerja kita!"
Keduanya menggali dengan bersemangat. Hawa panas. Dick dan Julian membuka
pakaian mereka, sehingga tinggal bercelana pendek. Tapi mereka masih tetap
kepanasan. Karenanya mereka menyambut dengan gembira, ketika Anne datang membawa
limun dan kue-kue. "Wah, sudah dalam juga lubang yang kalian gali," kata anak itu. "Masih berapa
dalam lagi menurut perkiraan kalian?"
"Kurasa sedikit lagi sudah sampai," jawab Dick, sambil meneguk limun sepuas-
puasnya. Wah, sedap! Terima kasih, Anne. Saat ini kami mengikuti liang kelinci.
Mudah-mudafian saja sudah akan mencapai lorong itu sebelum kami kehabisan
tenaga!"
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, Junior datang!" kata Anne dengan tibatiba, sambil memandang ke atas bukit.
Memang, anak Amerika itu menghampiri mereka. Ia berani datang, karena melihat
bahwa Timmy dan Snippet tidak ada di situ:
Ketika sudah agak dekat ia berhenti. "Mau apa kalian menggali di situ?" serunya.
"Pergi!" balas Dick. "Ini bukan bukit kalian! Jika kalian boleh menggali, kenapa
kami tidak?" "Kalian bisanya cuma meniru-niru saja!" ejek Junior. "Kalian
ditertawakan ayahku!"
"Biar!" jawab Dick.
Junior masih memperhatikan kesibukan mereka sesaat. Kelihatannya ia agak
bingung. Kemudian lari lagi ke atas. Rupanya hendak melaporkan pada ayahnya.
Anne tertawa, lalu kembali ke rumah.
"Karena ayahnya tidak tahu-menahu tentang lorong rahasia, pasti ia mengira kita
sudah sinting, menggali-gali di sini," kata Julian sambil tertawa geli. "Yah,
biar ia mengira begitu! Nanti tentu dia mengamuk, jika sudah tahu apa yang
sebetulnya sedang kita lakukan di sini. Tapi ia takkan tahu, sampai kita sudah
berada dalam kolong puri!"
Dick ikut tertawa, lalu menyeka keringat yang membasahi kening.
"Aku kepingin cepat-cepat mencapai ujung liang ini," katanya. "Dan mudah-mudahan
saja memang betul menembus ke lorong yang kita cari Aku tidak mau harus
menggali-gali terus, karena tanah di sini keras dan kering!"
"Nah, sekarang sudah mulai berpasir," kata Julian. Ia menggali lebih dalam lagi.
Tiba-tiba ia berseru kaget. "He! Ujung sekopku melesak ke dalam. Kurasa kita
sudah sampai ke ujung liang. Kita sudah menemukan lorong rahasia itu!" Memang
benar! Liang kelinci itu mengarah ke samping, dan menembus sebuah lorong. Kedua
anak itu semakin rajin menggali. Rambut mereka tergerai menutupi kening.
Keringat bercucuran. Akhirnya mereka sampai di sebuah rongga yang agak lapang. Dan di dasarnya ada
lubang masuk ke... lorong! Kedua anak itu menjengukkan kepala ke bawah untuk
melihatnya. "Wah, ternyata tidak begitu dalam," kata Dick. "Untunglah, karena begini saja
aku sudah kepanasan!"
"Sekarang sudah hampir saatnya makan siang," kata Julian. "Sebetulnya aku tidak
ingin meninggalkan tempat ini, karena kita sudah sampai ke lorong. Tapi kita
perlu makan dulu. Perutku lapar sekali!"
"Aku juga! Tapi jika lubang ini kita tinggalkan tanpa dijaga, ada kemungkinannya
si Junior akan kemari dan menemukan lorong yang ada di bawah," kata Dick. "Nah,
itu George datang dengan Timmy. Barangkali saja dia mau meninggalkan Timmy,
untuk menjaga tempat ini."
George gembira sekali mendengar kabar bahwa lorong rahasia sudah ditemukan.
"Wah, dalam juga, ya," katanya. "Pantas keringat kalian bercucuran! Wah, jika
Pak Henning tahu apa yang kalian temukan, pasti ia akan bergegas datang!"
"Ya, tentu," kata Julian. "Dan justru itulah yang kami khawatirkan! Atau mungkin
juga Junior yang kemari, la!u masuk ke dalam lubang. Tadi ia sudah datang, dan
melihat kami menggali di sini."
"Sekarang kami takut meninggalkan tempat ini, karena jangan-jangan salah satu
dari mereka datang waktu kita tidak ada, lalu memeriksa ke bawah," kata Dick.
"Karena itu, bagaimana jika..."
George langsung menyela, seakan-akan sudah tahu apa yang hendak ditanyakan oleh
Dick. "Timmy akan kutinggalkan di sini, sementara kalian makan," katanya. "Pasti
takkan ada orang yang diperbolehkannya mendekat!"
"Terima kasih," kata Dick dan Julian, lalu kembali ke rumah bersama George,
sementara Timmy menjaga lubang.
"Jaga baik-baik," kata George pada anjingnya. "Jangan ada orang yang boleh
mendekat!" Timmy menggonggong, menyatakan bahwa ia mengerti. Kemudian ia merebahkan diri,
sambil menggeram-geram. Kalau ada orang yang berani menghampiri, ia sudah siap
untuk mengusir mereka. Ternyata ada juga yang berani mencoba, yaitu Junior dan ayahnya. Tapi begitu
mereka melihat Timmy berdiri dengan bulu tengkuk tegak dan menggeram dengan nada
mengancam, keduanya lantas mundur teratur. Mereka menuruni bukit untuk makan
siang di rumah. Pak Durleston membuntut dari belakang. Ia sudah kepayahan,
karena tak tahan hawa panas.
"Anak-anak konyol," kata Pak Henning pada Junior.
"Ikut-ikutan menggali, karena kita menggali! Menurut dugaan mereka, apa yang
bisa ditemukan di tempat itu" Tumpukan sampah lagi?"
Junior melempar batu ke arah Timmy, la!u lari pontang-panting ketika Timmy
mengejar dengan marah. Bahkan Pak Henning pun mempercepat langkah. Ia juga segan
berhadapan dengan Timmy! Sehabis makan siang, kedua Harry, Julian, Dick, George, Anne, dan Snippet
berbondongbondong mendaki lereng, menuju ke lubang yang masih dijaga Timmy.
Mereka membawakan dua buah tulang, dan air segayung.
Kedua Harry bersemangat sekali ketika melihat lubang yang digali oleh Julian dan
Dick. "Kita masuk sekarang yuk!" kata mereka serempak.
"Ya, kurasa sekarang memang ada kesempatan baik," kata Julian. "Para pekerja
yang menggali di atas sedang makan siang di desasedang Pak Henning dan Pak
Durleston masih ada di rumah."
"Aku dulu yang masuk," kata Dick, lalu turun ke dalam lubang. Sambil berpegangan
ke rumput yang tumbuh di tepi atas, kakinya menendangnendang dasar lubang, untuk
memperbesarnya. Kemudian ia meluncur ke bawah, sampai kakinya menembus ke dalam
lorong. "Aku masuk sekarang," katanya, sambil melepaskan pegangan. Ia meluncur ke bawah,
masuk ke dalam lorong yang pengap. Sesaat kemudian kakinya menyentuh tanah
empuk. "Tolong lemparkan senter ke sini!" serunya dari dalam lorong. "Di sini
gelap sekali. Kau kan tidak lupa membawa senter kita tadi, George?"
George bahkan membawa empat senter sekaligus!
"Awas," seru anak itu. "Akan kulemparkan sekarang!"
Senter dinyalakan dulu, lalu dilemparkannya ke dalam lubang. Dick menyambutnya
dengan cekatan, lalu menyorotkannya ke sekeliling tempatnya berada:
"Ya, ini memang lorong," serunya gembira. "Sudah jelas, inilah lorong yang kita
cari. Hebat! Nah, sekarang kalian semua menyusul masuk, lalu kita bersama-sama
menyusuri lorong ini, sampai ke kolong puri. Ayo, cepatlah sedikit!"
16. Menuju ke Kolong Puri
Dick menyorotkan sinar senternya ke atas, supaya anak-anak yang lain bisa
melihat jalan. Satu per satu mereka meluncur ke bawah. Timmy dan Snippet ikut
turun pula. Tapi Nosey tidak mau. Ia tinggal di atas, sambil berkaok-kaok.
Sesampai di bawah, anak-anak menyorotkan cahaya senter mereka ke muka dan ke
belakang. "Ke arah sana, mestinya menuju ke gereja tua," kata Julian. Hanya Timmy dan
Snippet saja yang bisa berdiri seperti biasa dalam lorong gelap itu, karena
langit-langitnya rendah sekali.
"Ayo kita terus!" kata Julian. Suaranya agak bergetar, menahan perasaan. "Kita
terus saja ke arah ini! Kita lihat nanti, sampai di mana ujungnya."
Lorong itu agak miring. Anak-anak berjalan menuju tempat yang lebih tinggi. Di
sana-sini ada bagian langit-langit yang runtuh, tapi tidak sampai mengganggu
perjalanan mereka. Hanya kadang-kadang ada yang tersandung, karena kakinya
tersangkut akar pohon. "Aneh!" kata Harry. "Di atas kan tidak ada pepohonan! Dari mana datangnya akar-
akar ini?" "Mungkin sisa-sisa pohon yang du!u penuh di lereng ini;' kata Julian.
Ia mengarahkan sinar senternya ke depan, karena takut kalau-kalau ada rintangan
yang bisa menghambat langkah selanjutnya. Tiba-tiba ia berseru kaget.
"Hei, apa ini" Dua helai bulu burung! Kenapa ada sini?"
Anak-anak memeriksa bulu-bulu itu dengan penuh perhatian. Kelihatannya masih
baru! Tapi bagaimana bisa sampai dalam lorong itu" Mungkinkah ada jalan lain
masuk ke situ... dan burung yang bulunya tercecer di situ menemukannya"
Tiba-tiba tawa Dick meledak. Kawan-kawannya menoleh dengan kaget.
"Kita benar-benar tolol!" serunya. "Ini kan bulu si Nosey! Rupanya tercecer di
sini, ketika lari menyusuri lorong ini dikejar oleh Snippet!"
"Ah ya, tentu saja! Kenapa tidak sampai ke situ pikiranku tadi;' kata Julian.
Mereka meneruskan perjalanan, menyusuri lorong ke arah atas. Tiba-tiba Julian
tertegun lagi. Dari arah depan terdengar bunyi mendengung pelan.
"Bunyi apa itu?" kata Anne ketakutan. "Hi... seram!"
Anak-anak berdiri seperti terpaku. Bunyi mendengung itu seakan-akan memenuhi
kepala mereka. Semua menggeleng-geleng, menyumbat telinga dengan jari... tapi
percuma! Bunyi itu masih tetap terdengar.
"Aku tak mau terus," kata Anne yang semakin takut.
Tiba-tiba bunyi mendengung berhenti. Anakanak menarik napas lega. Tapi hanya
sebentar, tak lama kemudian bunyi itu terdengar lagi. Tiba-tiba George tertawa.
Anak-anak memandangnya dengan heran.
"Ah, jangan takut!" katanya sambil tertawa terus. "Itu kan bunyi bor, yang
dipakai para pekerja yang menggali lubang di atas! Rupanya mereka sudah kembali
dari makan siang. Ayo, kalian tidak perlu takut!"
Semua tersenyum lega, lalu melanjutkan langkah. Tangan Anne masih gemetar
sedikit, sehingga cahaya senternya bergoyang-goyang. "Tidak banyak udara di
sini," katanya. "Mudahmudahan kita lekas sampai di ruangan kolong puri."
"Kurasa tak jauh lagi," kata Julian. "Lorong ini lurus, seperti perkiraan kita.
Dan bunyi alat bor sudah sangat nyaring sekarang. Kurasa kita sudah dekat!"
Tahu-tahu sinar senter yang dipegang Julian menerangi bekas sebuah pintu besar
yang tergeletak di tanah depannya. Rupanya pintu itu dulu membatasi ruang kolong
puri dengan lorong yang saat itu sedang dilewati anak-anak. Di situlah lorong
rahasia berakhir. Sorotan senter Julian menerangi suatu ruangan yang luas.
"Kita sudah sampai;" bisik Julian. Anne menyentuh sudut pintu yang tergeletak
dengan ujung sepatunya. Ternyata kayu pintu itu sudah sangat rapuh, langsung
ambruk menjadi debu. Snippet mendesak maju, lalu lari memasuki ruangan gelap itu. Ia menggonggong
sekali, seakan-akan hendak mengatakan, "Ayo, jangan takut! Aku sudah pernah
kemari!" "Hati-hati, Snippet!" seru Anne: la khawatir semuanya akan ambruk menjadi debu,
karena getaran langkah berlari anjing itu.
"Ya, kita harus hati-hati berjalan," kata Julian. "Rupanya semua yang ada di
sini sudah sangat rapuh, kecuali benda-benda yang terbuat dari logam. Ajaib
bahwa pintu tadi kelihatan begitu utuh-padahal kalau salah seorang dari kita
bersin, pasti pintu itu langsung menjelma menjadi debu!"
"Jangan bikin aku tertawa, Ju," kata Dick, sambil melangkah dengan hati-hati
mengitari daun pintu yang tergeletak di tanah. "Tawa pun mungkin bisa
menyebabkan kerusakan berat!" Tak lama kemudian mereka semua sudah berada dalam
ruang kolong yang gelap. Anak-anak menyorotkan sinar senter mereka ke segala
arah. "Wah, ruangan ini ternyata sangat luas," kata Julian. "Tapi di sini aku tidak
melihat ada kamar-kamar!"
"Untung," kata Harriet dan Anne serempak. Keduanya sudah takut akan menemukan
tulangbelulang tawanan zaman dulu yang terkurung di situ.
"Lihat, di sana ada gerbang," kata George, sambil mengarahkan sorotan senternya
ke kanan. "Terbuat dari batu! Dan lihat, itu ada satu lagi. Rupanya di sebelah
sana ada ruangan utama! Di sini yang ada cuma debu bertumpuktumpuk. Huh, baunya
pengap!" "Ikut di belakangku dengan hati-hati," kata Julian. Ia berjalan di depan, menuju
ke dua gerbang yang terbuat dari batu. Sesampai di situ, mereka menyorotkan
cahaya senter mereka ke dalam sebuah ruangan yang luas.
"Ini rupanya tempat penyimpanan barang-barang," kata Julian. "Langit-langitnya
ditopang dengan sejumlah balok yang kokoh. Lihatlah, beberapa di antaranya ada
yang sudah ambruk. Dan gerbang melengkung ini rupanya juga merupakan penopang
langit-langit itu. Bagus sekali buatannya!"
Dick dan kedua Harry lebih tertarik melihat barang-barang yang berserakan
sepanjang tepi dinding ruangan itu. Debu yang menyelubungi berhamburan ke atas,
ketika tersentuh. Snippet lari mondar-mandir sambil mengendus-endus. Sekali-
sekali ia bersin, karena debu masuk ke dalam hidungnya.
"Ada harta atau tidak di sini?" bisik Anne. Bisikannya menggema dalam ruangan.
"Aneh, bisikan di sini lebih menggema dibandingkan bila kita bicara dengan suara
biasa;' kata Anne. "Eh, apa ini?"
Anak-anak menyorotkan sinar senter mereka ke lantai. Di situ tampak tumpukan
Iogam yang menghitam. Julian membungkuk untuk memperhatikan dengan lebih cermat.
Tiba-tiba ia berseru dengan gembira.
Kalian tahu, ini apa?" katanya. "Baju besi! Kelihatannya masih bisa dibilang
utuh. Padahal sudah berabad-abad tergeletak di sini. Dan ini ada lagi satu...
dan ini! Apakah ini pakaian besi yang sudah tidak dipakai lagi, atau merupakan
cadangan! Coba kalian perhatikan topi baja ini hebat!"
Julian mendorong benda itu dengan kakinya. Terdengar bunyi berdenting, dan topi
baja itu tergulir di lantai.
"Tinggikah nilai barang itu sekarang?" tanya Harry.
"Wah... ini sama nilainya dengan emas," kata Julian. Suaranya begitu
bersemangat, sehingga anak-anak yang lain ikut tertarik. Harriet memanggil-
manggil Julian. "Julian, di sini ada peti. Cepat!"
Dengan hati-hati mereka melangkah ke tempat Harriet berdiri. Mereka tidak mau
berjalan bergegas-gegas, karena hanya akan menyebabkan debu beterbangan saja.
Harriet menuding sebuah peti besar berwarna gelap. Sudut-sudutnya diberi simpai
besi. Peti itu terbuat dari kayu yang berwarna gelap karena tuanya.
"Ada apa di dalamnya, ya?" bisik Harriet. Bisikannya itu menggema lagi dalam
ruangan. Timmy menghampiri peti itu, lalu mengendusendus. Alangkah kagetnya
anjing itu, ketika tahutahu peti itu sudah lenyap-menjadi debu! Hanya simpai dan
sudut-sudutnya saja yang masih tinggal, karena terbuat dari besi. Anak-anak
melongo. Mereka takjub, melihat suatu benda yang tampaknya kokoh, dengan pelan
ambruk dan berantakan... sebagai debu! Seperti dsulap, kata Anne dalam hati.
Dan di balik debu tampak sesuatu yang berkilat-kilat. Benda itu menggeleser ke
lantai, dengan bunyi berdencing. Aneh kedengarannya, memecah kesunyian ruang
bawah tanah itu. Anak-anak menatapnya dengan mata melotot. Anne menggapai lengan Julian, sehingga
abangnya itu kaget. "Apa itu, Ju" Emas?" tanya Anne.
Julian merogoh ke dalam debu, mengambil sebuah benda yang ada di situ.
Diperhatikannya benda itu.
"Ya, betul! Tidak salah lagi, ini emas! Emas tidak bisa berkarat. Rupanya ini
uang emas, yang disimpan dalam peti ini. Rupanya ketika putri penghuni puri ini
dulu lari bersama anakanaknya, ia tidak sempat membawa hartanya.
Sedang orang lain juga tidak bisa mengambil, karena jalan masuk ke sini
tertimbun dinding puri yang ambruk! Harta emas ini ada di sini sejak masa itu,
sama sekali tak tersentuh tangan manusia"
"Ya, sampai kita datang!" kata George. Ia menoleh pada kedua anak kembar.
"Orangtua kalian tidak perlu lagi bingung memikirkan pertanian mereka! Dari
hasil penjualan harta yang ada di sini, bisa dibeli segala traktor dan peralatan
lain yang mereka perlukan untuk mengurus usaha mereka! He Julian, lihatlah, di
sana ada sebuah peti lagi! Seperti yang ini, tapi ukurannya lebih kecil. Coba
kita lihat isinya. Mudah-mudahan uang emas lagi!"
Tapi yang terdapat di situ bukan emas, melainkan harta lain! Satu sisi peti itu
sudah pecah, dan isinya berhamburan ke luar.
"Wah, ini kan cincin!" kata Anne. Dipungutnya dua buah cincin yang tergeletak di
tengah debu. "Dan ini pending emas," kata George. "Wah, lihat, rantai ini
mestinya kalung, karena bertatah batu biru. Di sini rupanya gagak tadi menemukan
cincin yang digondolnya ke luar!"
"Dan di sini ada barang-barang lain!" seru Harry. Anak-anak menoleh ke
tempatnya. "Lihatlah, di sini ada rak, penuh dengan pedang dan pisau belati! Ada
di antaranya yang diukir indah!"
Di dinding berjajar-jajar rak besi yang ditopang beberapa batang besi yang
tertancap kokoh ke dalam dinding tanah. Tapi di antara batang penopang itu ada
yang sudah longgar, sehingga raknya menjadi miring. Pedang dan pisau yang
ditaruh di situ, ada yang terjatuh ke lantai. Snippet datang menghampiri lalu
mengambil sebuah pisau belati, persis seperti yang dilakukan olehnya, sewaktu
masuk ke situ pertama kali bersama Nosey.
"Bukan main bagusnya pedang-pedang ini!" kata Julian sambil memungut sebilah.
"Aduh, ternyata berat juga! Hampir tidak kuat aku mengangkatnya. Astaga, apa
itu?" Suatu benda terjatuh dari langit-langit ruangan tempat mereka berada. Sepotong
kayu. Dan saat itu juga bunyi mendengung yang sedari tadi mengiringi mereka
bertambah nyaring. Berderu keras, sehingga anak-anak kaget.
"Cepat, keluar!" seru Julian. "Sebentar lagi para pekerja yang di atas akan
sudah berhasil menembus langit-langit. Jangan sampai kita tertimbun, jika
langit-langit runtuh! Kita harus segera pergi dari sini!"
Disambarnya sebilah belati dari rak. Dengan pedang dan belati di tangan, ia
berlari menuju ke lorong rahasia. Saudara-saudaranya menyusul. Kedua Harry lari
paling akhir, karena sebelumnya mereka masih sempat meraup segenggam uang emas,
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua untai kalung, dan beberapa buah cincin. Mereka ingin menunjukkan harta karun
itu pada ibu mereka! Langit-langit mulai pecah dan berjatuhan, ketika anak-anak sampai di mulut !
orong. . "Kita harus menyuruh mereka berhenti menggali," kata Julian terengah-
engah, sambil menoleh ke betakang. "Jika langit-langit ruangan ini runtuh,
kemungkinan harta yang di bawah akan banyak yang musnah!"
Mereka bergegas menyusuri lorong yang rendah: Jantung mereka berdebar-debar.
Timmy berjalan paling depan. Anjing itu sudah tidak sabar fagi ingin cepat-cepat
menghirup hawa segar. "Wah, apa kata Ibu nanti kalau melihat ini," kata kedua Harry berulang-ulang.
17. Terjebak Keenam anak itu tersaruk-saruk menyusuri lorong. Di kejauhan masih terdengar
bunyi alat-alat bor menderu-deru. Mereka mempercepat langkah, karena takut
setiap saat kolong puri ditemukan oleh Pak Henning. Ayah Junior itu pasti sudah
tidak sabar menunggu di atas!
Akhirnya mereka sampai di tempat yang menurut taksiran mereka adalah tempat Dick
berhasil menembus lorong dari liang kelinci. Tapi lubang yang dibuat Dick sudah
tidak ada lagi! Yang tampak hanya tanah semata-mata, sebagian bahkan berguguran
masuk ke dalam lorong. Julian menatap tempat itu, diterangi cahaya senternya.
"Liang ambruk!" katanya. Suaranya gemetar. "Bagaimana kita sekarang" Kita tidak
membawa sekop untuk menggali jalan keluar!"
"Kita coba saja menggali dengan tangan," ujar Dick. Ia mulai menggali-gali ke
atas dengan tangannya. Tapi semakin digali, semakin banyak pula tanah
berhamburan masuk ke liang yang sudah menjadi lebar! Julian melarang Dick
meneruskan penggalian. "Jangan, Dick! Nanti terjadi tanah longsor, dan kita akan terkubur hidup-hidup
di sini! Aduh, gawat keadaan kita sekarang. Kita terpaksa kembali ke kolong,
lalu berseru-seru di situ, supaya terdengar orang-orang yang di atas. Sialan!
Dengan begitu Pak Henning akan mengetahui perbuatan kita."
"Kurasa para pekerja tidak akan terlalu lama lagi ada di atas," kata Dick,
setelah melihat arlojinya sebentar. "Mereka bekerja sampai pukul lima sore. Dan
sekarang sudah hampir pukul lima! Aduh, sudah lama sekali kita di sini, pasti Bu
Philpot sudah bertanya-tanya ke mana saja kita selama ini!"
"Nah, bunyi deru alat-alat bor sudah tidak terdengar lagi," kata Anne.
"Syukurlah! Bising telingaku dibuatnya!"
"Kalau begitu, tak ada gunanya kita ke kolong puri lagi," kata Julian. "Mereka
pasti sudah pergi, sebelum kita sampai di sana. Wah, keadaan kita sekarang
gawat! Kenapa tak terpikir kemungkinan ini olehku tadi... anak kecil pun tahu,
jalan masuk ke lorong bawah tanah perlu diperkokoh bila baru digali! Kalau
tidak, beginilah jadinya!"
"Ah, kita kan bisa saja menunggu di kolong puri, sampai para pekerja datang lagi
besok," kata George.
"Dari mana kita tahu mereka masih akan kembali?" kata Dick bingung. "Bisa saja
Pak Henning menghentikan mereka, jika ia merasa penggalian itu tidak ada
gunanya!" "Kau tidak boleh cepat-cepat putus asa," tukas George. Ia merasa bahwa kedua
Harry sudah mulai panik. Memang, kedua anak kembar itu sudah gelisah. Tapi bukan
mengingat nasib sendiri, melainkan karena takut ibu mereka akan setengah mati
ketakutan apabila mereka tidak pulang malam itu.
Selama itu Timmy berdiri di sisi George, menunggu dengan sabar sampai mereka
keluar dari lorong. Tapi akhirnya ia bosan menunggu, lalu pergi... tapi berjalan
menurun, bukan naik dan kembali ke kolong puri!
"Ju! Timmy pergi ke arah bawah!" kata George. "Kenapa tak terpikirkan
kemungkinan itu sedari tadi?"
"Ah, aku khawatir jalan ke sana buntu!" kata Julian. Ia berpaling pada kedua
Harry. "Kan tidak ada yang mengetahui jalan. masuk dari gereja ke lorong?"
"Tidak," jawab kedua anak kembar itu serempak. "Sepanjang pengetahuan kami,
sampai kini jalan masuk itu betum ditemukan."
"Tapi pokoknya, tak ada salahnya jika kita mencoba-coba," kata George. Tanpa
menunggu jawaban lagi, ia langsung menyusul Timmy yang sudah tidak sabar lagi.
"Di sini terasa sesak napasku."
Anak-anak mengikuti dari belakang. Snippet berjalan sambil meloncat-loncat.
Anjing kecil itu tidak menyadari kegawatan keadaan saat itu. Dikiranya anak-anak
senang bermain-main di situ.
Setelah menyusuri lorong yang bisa dibilang lurus, serta melampaui beberapa
bagian yang langit-langitnya runtuh sedikit, akhirnya mereka sampai di sebuah
bilik kecil. Lorong yang mereka lewati berakhir di situ.
Bilik itu seluruhnya terbuat dari batu. Tingginya sekitar satu setengah meter,
sedang sisi-sisinya sedikit lebih lebar dari dua meter. Julian memandang ke
atas. Apakah seluruh langit-langit terbuat dari batu" Jika ya, maka itu berarti
mereka terjebak! Tapi ternyata tidak seluruh langit-langit terbuat dari batu. Kira-kira di
tengah-tengahnya ada bidang dengan sisi-sisi sekitar sembilan puluh senti, yang
terbuat dari papan yang tampaknya kokoh. Bidang papan itu terletak pada batu
langit-langit. "Kelihatannya seperti tingkap," kata Julian, sambil memeriksa bidang papan itu
dengan bantuan cahaya senter. "Mungkin kita sekarang ini berada dibawah lantai
gereja tua! Dick dan Harry, jika kita bertiga menjunjung tingkap ini ke atas
bersama-sama, mungkin kita bisa mengangkatnya!"
Mereka lantas menjunjung beramai-ramai, dibantu pula oleh George. Tingkap itu
terangkat sedikit pojoknya. Tapi mereka tidak berhasil menggesernya.
"Aku tahu apa sebabnya tingkap ini tidak bisa diangkat," kata Harry. Mukanya
merah, karena baru saja mengerahkan tenaga habis-habisan. Di lantai gereja
banyak karung gandum dan bertumpuk-tumpuk pupuk! Jadi berat sekali! Kalau ada
dua atau tiga karung saja di atas tingkap ini, kita pasti tak mampu
mengangkatnya!" "Wah, betul juga," kata Julian dengan lesu. "Kalian sebelumnya tidak tahu-menahu
tentang jalan masuk ini, Harry?"
"Tentu saja tidak," jawab Harry. "Tak seorang pun tahu. Sebenarnya aneh! Tapi
mungkin karena tempat penyimpanan begini selalu penuh dengan karung-karung atau
barang-barang lain. Belum lagi gandum yang tumpah dan berserakan ke mana-mana!
Kurasa pasti sudah beratus tahun tempat itu tak pernah disapu!"
"Jadi bagaimana kita sekarang?" tanya Dick. "Kita tidak bisa di sini terus."
"Ssst, aku mendengar sesuatu," kata George. "Di atas!"
Anak-anak memasang telinga. Mereka mendengar suara seseorang berseru-seru di
atas. "Bill! Tolong kami sebentar!" seru orang itu. "Itu Jamie! Betul, para
pekerja kami minggu ini melakukan kerja lembur!" kata Harry.
"Rupanya Jamie hendak mengambil sesuatu dari tempat penyimpanan di atas. Cepat,
kita berteriakteriak sambil menggedor-gedor tingkap. Pokoknya harus berisik,
supaya terdengar orang-orang yang ada di atas!"
Dengan segera bilik sempit itu penuh dengan segala macam bunyi. Anak-anak
berteriak-teriak, memukul-mukulkan kepalan tinju, gagang pedang, atau pisau ke
kayu tingkap. Setelah itu berhenti, untuk mendengarkan reaksi dari atas. Sesaat
kemudian terdengar suara Jamie bertanya dengan heran.
"He, Bill! Bunyi apa itu tadi" Ada sekawanan tikus ladang yang sedang berkelahi
rupanya!" "Mereka mendengar kita," kata Julian bersemangat. "Ayo, sekali lagi! Kau ikut
menggonggong, Timmy!"
Dengan segera Timmy menggonggong se-keras-kerasnya. Ia sudah bosan berkeliaran
dalam lorong, lalu terkurung dalam bilik sempit bergema. Dan anak-anak tidak mau
kalah. Mereka berteriak, menjerit, sambil memukul-mukul kayu tingkap. Bunyi
berisik semakin menjadijadi. Bill dan Jamie tercengang. Mereka mendengarkan
dengan saksama. "Kedengarannya seperti dari sana," kata Bill. "Ada sesuatu di sana, tapi aku
tidak tahu apa! Kalau saat ini sudah malam, pasti kusangka di sini ada hantu.
Tapi mana ada hantu pada siang hari. Yuk, kita periksa ke sana sebentar."
Tempat asal bunyi ribut-ribut itu, penuh dengan karung-karung gandum. Kedua
pekerja itu terpaksa berjalan dengan susah payah, melangkahi karung-karung.
"Di pojok sini, Bill," kata Jamie. Ia berdiri di atas dua buah karung yang
bertumpuk. Kemudian didekatkannya kedua tangannya ke mulut membentuk corong
pengeras suara, lalu berseru dengan lantang.
"Siapa di situ?"
Anak-anak yang di bawah menjawab sekeras mungkin, dibantu gonggongan Timmy.
"Eh! Ada anjing menggonggong di bawah," kata Bill. Ia menggaruk-garuk kepala
sambil memandang karung-karung yang ada di bawah kakinya. Ia menyangka, jangan-
jangan dalam salah satu karung itu ada anjing.
"Bukan cuma anjing, tapi aku juga mendengar suara-suara orang," kata Jamie
sambil melongo. "Tapi di mana mereka" Masa di bawah karung!"
"Jangan-jangan di dalam bilik kecil yang pernah kita temukan di bawah lantai,"
kata Bill. Masih ingat, kan" Itu, yang ditutup dengan lempengan batu besar, dan
ada tingkapnya dari papan tebal! Masa sudah lupa!"
"Ya, ya, aku ingat lagi;" kata Jamie. Saat itu dari bawah terdengar lagi bunyi
ribut-ribut. Anakanak sudah mulai putus asa.
"Ayo, Bill;" kata Jamie. Didengarnya nada suara bingung, walau kata-kata anak
itu sendiri tidak bisa ditangkapriya. "Kita singkirkan karung-karung ini dulu.
Kita harus memeriksa, siapa sebetulnya yang ada di bawah!"
Berlusin-lusin karung mereka singkirkan, dan akhirnya tampaklah tingkap kayu
yang terbenam di lantai. Lempeng batu yang dulu menutupi sudah disingkirkan oleh
Bill dan Jamie beberapa tahun lalu, dan disandarkan ke dinding. Mereka tidak
mengembalikannya lagi ke tempat semula. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa
bilik kecil yang disangka tempat penyimpanan itu, sebetulnya merupakan jalan
masuk ke lorong rahasia yang menuju ke puri. Untung- saja lempeng batu itu sudah
disingkirkan. Sebab kalau masih ada di atas tingkap, biar sekeras apa pun mereka
berteriak-teriak, pasti takkan terdengar dalam ruangan gereja di atas mereka!
"Sekarang tinggal tingkap ini," kata Bill. Diketuk-ketuknya papan tebal itu
dengan sepatunya yang berat. "Siapa di bawah?" serunya.
"Kami!" jerit kedua Harry. Anak-anak yang lain ikut berteriak-teriak pula,
dibantu oleh gonggongan Timmy.
"Astaga, itu kan suara Harry dan Harriet!" kata Jamie.
Bagaimana mereka bisa masuk ke situ, tanpa menggeser karung-karung tadi terlebih
dulu?" Bill dan Jamie bersama-sama menjunjung tingkap kayu yang berat itu. Dan begitu
tingkap terangkat, seketika itu juga mata mereka melotot! Mereka tercengang,
melihat keenam anak yang berada di bawah bersama Timmy.
Timmy meloncat paling dulu ke atas, disusul oleh anak-anak satu per satu. . Bill
dan Jamie membantu dari atas.
"Aduh, terima kasih, Bill dan Jamie," kata kedua Harry, ketika sudah berada di
atas. "Untung saja kalian bekerja lembur... dan kebetulan masuk kemari!"
"Ibu kalian sudah mencari-cari sejak tadi," kata Bill dengan nada agak jengkel.
"Dan kalian kan sudah berjanji membantu aku?"
"Bagaimana kalian bisa masuk ke situ?" tanya Jamie.
"Wah, ceritanya panjang, lain kali saja kami bercerita," kata Harry. "Pokoknya,
sekali lagi terima kasih! Bisakah kalian mengembalikan tingkap ini ke tempatnya
semula" Dan jangan bilang siapa-siapa bahwa kami tadi ada di bawah, sampai kami
sudah bercerita bagaimana kami sampai berada di situ, ya" Sekarang kami harus
bergegas pulang, supaya Ibu tidak bertambah bingung!"
Keenam anak itu bergegas pulang ke rumah. Mereka sudah capek sekali.
Kerongkongan terasa haus, ingin rasanya cepat-cepat minum. Mereka merasa lega,
karena berhasil keluar dari bilik kecil yang terdapat di bawah lantai gereja
tua. Apa kata orang rumah nanti, jika melihat harta karun yang mereka bawa pulang"
18. Cerita Julian Harry dan Harriet bergegas-gegas pulang. Di rumah, ibu mereka masih terus
mencari ke mana-mana. Begitu sampai, kedua anak kembar itu langsung memeluknya.
Bu Philpot memarahi keduanya, tapi tidak dengan sungguh-sungguh.
"Ke mana saja kalian tadi?" kata wanita itu. "Kalian semua terlambat satu jam
untuk makan sore. Aku sudah gelisah saja! Pak Henning tadi bercerita, katanya
kalian sedang menggali di lereng bukit!"
"Kami lapar sekali, Bu! Nanti saja kami bercerita, sambil makan," kata kedua
Harry serempak. "Wah, Ibu pasti tercengang mendengarnya! Bu, mana Ayah... dan
Kakek?" "Mereka masih minum teh," jawab ibu mereka. "Keduanya juga terlambat, karena
sedari tadi mencari-cari kalian. Kakek marah-marah! Eh, apa yang kalian bawa
itu" Itu kan pedang"!"
"Kami makan dulu ya, Bu! Setelah itu akan kami ceritakan semuanya," kata kedua
anak kembar itu. "Perlukah kami membersihkan badan dulu?"
Bu Philpot mengangguk. "Huh...," kata Harry. Tapi ia tidak membantah ibunya. "Yuk, kita mandi saja
dulu," katanya pada anak-anak. "Harta karun ini kita sembunyikan di salah satu
pojok yang paling gelap, sehingga tidak terlihat oleh Ayah dan Kakek sebelum
kita siap menunjukkannya pada mereka!"
Beberapa menit kemudian, keenam anak itu sudah mandi. Dengan segera mereka
kembali ke dapur, lalu mulai makan dengan lahap.
Pak Philpot dan Kakek masih ada di situ. Keduanya sedang minum teh. Bu Philpot
menceritakan bahwa anak-anak sedang mandi dulu. Tapi setelah itu akan makan,
sambil melaporkan apa yang terjadi sampai mereka terlambat pulang.
"Hah!" tukas Kakek sambil mengerutkan alisnya yang tebal, ketika anak-anak
akhirnya datang. "Waktu aku masih kecil dulu, semenit pun aku tidak berani
datang terlambat pada waktu makan! Ibu kalian tadi sudah sangat gelisah,
memikirkan kalian berdua. Itu tidak bagus!"
"Maaf, Kek," kata kedua Harry serempak, karena terutama, merekalah yang dimarahi
Kakek. "Tapi Kakek mesti mendengarkan dulu pengalaman kami tadi. Kau saja yang
bercerita, Julian!" Julian pun bercerita sambil makan, dibantu oleh anak-anak lainnya yang sebentar-
sebentar menyela. Kakek sudah mengetahui bahwa Pak Henning mendapat izin untuk
mengadakan penggalian. Sebagai imbalannya, orang Amerika itu sudah membayar lima
ratus pound pada Pak Philpot.
Kakek marah-marah ketika mendengarnya. Tapi akhirnya ia mengalah, setelah sambil
menangis Bu Philpot mengatakan akan mengembalikan uang itu, walau sebenarnya
sangat diperlukan olehnya. Dan sekarang Kakek sudah mau marah-marah lagi!
Tapi ketika mendengar cerita Julian, ia lupa pada kemarahannya. Ia bahkan lupa
pada tehnya, yang sudah mulai dingin. Mengisi pipanya dengan tembakau pun, tak
diingatnya lagi. Kakek rnendengarkan dengan asyik, tanpa bertanya sedikit pun.
Julian pandai bercerita. Bu Philpot melongo, ketika ia sampai pada penuturan
tentang Snippet dan Nosey yang masuk ke dalam liang kelinci, lalu keluar lagi
dengan membawa pisau patah serta sebuah cincin!
"Ya, tapi dari mana...," sela Bu Philpot takjub. Tapi Julian sudah meneruskan
ceritanya. Dituturkannya bagaimana ia bersama Dick memperbesar liang itu, lalu
masuk ke dalamnya dan sampai di lorong rahasia yang sudah dilupakan orang!
"Wah!" seru Kakek. Diambilnya selembar saputangan merah yang besar dari
kantongnya, lalu disekanya keningnya yang berkeringat. "Wah, sayang aku tak ikut
tadi. Terus... terus...!"
Julian berhenti sebentar, untuk meneguk teh. Kemudian ia tertawa, lalu
meneruskan cerita. Dilukiskannya bagaimana mereka berenam kemudian menyusuri
lorong gelap dengan diterangi cahaya senter, ditemani Timmy dan Snippet. "Lorong
itu gelap dan baunya menyesakkan napas," kata Julian. "Tiba-tiba terdengar bunyi
yang keras sekali!" "Ya, mendengung-dengung," sela Anne.
"Bunyi apa itu?" tanya Kakek. Matanya terbelalak, karena terlalu ingin tahu.
"Bunyi alat-alat bor yang dipakai para pekerja yang melakukan penggalian di
tempat bekas puri," kata Julian. Seketika itu juga kemarahan Kakek meledak. Ia
menuding-nuding cucunya, Pak Philpot, dengan pipanya.
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak mau orang-orang itu datang kemari"!"
bentaknya. Tapi Kakek ditenangkan oleh Bu Philpot.
"Terus, Julian...," kata Bu Philpot.
Akhirnya Julian sampai pada bagian cerita yang paling asyik, yaitu ketika mereka
memasuki kolong puri... gerbang-gerbang batu... di manamana debu yang sudah
berabad-abad.... "Wah, tempat itu bergema," kata Anne. "Biar kami berbisik pun, langsung saja
terdengar gemanya!" Kemudian Julian menuturkan penemuan mereka di situ.
Baju besi yang masih utuh, tapi sudah hitam karena tuanya... rak-rak penuh
dengan pedang dan pisau panjang... lalu emas berpeti-peti....
"Emas!" Mustahil! Aku tidak percaya!" seru Kakek. "Kau cuma mengarang-ngarang
saja sekarang! Jangan suka melebih-lebihkan, ya! Cerita saja yang biasa"
Seketika itu juga kedua Harry bangun dari kursi masing-masing. Mereka
mengeluarkan mata uang emas dari kantong mereka. Logam itu masih tetap
berkilauan. Semuanya diletakkan di atas meja, di hadapan ketiga orang dewasa
itu. Dan ketika itu juga mulut ketiga-tiganya ternganga serempak, seperti
digerakkan mesin.
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini buktinya!" kata kedua Harry. "Sekarang katakan, apakah kami cuma mengada-
ada saja" Ini bukti bahwa kami tidak bohong!"
Pak Philpot memungut mata uang itu satu per satu. Dipandangnya mata uang itu
sebentar dengan mulut ternganga, lalu diteruskannya pada Kakek dan Bu Philpot
Kakek benar-benar tercengang. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Sambil
menggumam, dibalik-baliknya mata uang itu satu per satu.
"Ini benar-benar terbuat dari emas?" tanya Bu Philpot. Kelihatannya ia bingung
sekali, menghadapi rnata uang berkilau-kilauan itu. "Apakah ini milik kita,
Trevor" Apakah ini berarti kita akan bisa membeli traktor baru untukmu, dan..
"Tergantung dari berapa banyak yang ada di bawah puri," kata Pak Philpot. Ia
berusaha untuk tetap tenang. "Dan tentu saja tergantung dari berapa yang boleh
kita miliki. Karena mungkin saja sekarang yang menjadi pemilik adalah negara"
"Negara?" seru Kakek. Ia bangkit dari kursinya "Negara, katamu" Tidak bisa! Aku
pemiliknya Semuanya milik kita. Ditemukannya di tanah kita, dan berasal dari
nenek moyang kita. Ya, harta ini akan kubagikan juga pada Pak Finniston, sahabat
karibku sejak dulu!"
Anak-anak setuju dengan niat Kakek! Kemudian mereka menunjukkan perhiasan yang
juga mereka bawa. Bu Philpot mengagumi, walau perhiasan itu agak kotor
kelihatannya. Tapi Kakek dan cucunya, Pak Philpot, paling kagum ketika anak-anak
memperlihatkan pedang dan pisau hasil penemuan mereka di kolong puri. Kakek
mengambil pedang yang paling besar, lalu mengayun-ayunkannya di atas kepala
dengan galak. Tampangnya saat itu seperti pejuang zaman dulu, dengan janggutnya
yang lebat serta sorotan matanya yang menyala-nyala.
"Awas, Kek!" kata Bu Philpot ketakutan. "Nanti pecah barang-barangku di atas
bufet...." Pedang di tangan Kakek terayun ke belakang, menyambar, dan... PRANG!
"Nah, apa kataku! Pecah sekarang basi tempat daging!" seru Bu Philpot. "Biar
Julian menyelesaikan ceritanya dulu. Sekarang Kakek duduk dulu!"
"Ha," kata Kakek, sambil tersenyum lebar. Tapi ia duduk di tempatnya kembali.
"Ha! Enak rasanya, bisa mengayunkan pedang itu. Mana si Amerika" Aku mau mencoba
pedang ini padanya!"
Anak-anak berteriak-teriak ramai. Asyik rasanya melihat Kakek begitu gembira.
"Teruskan ceritamu," kata Kakek kemudian pada Julian. "Kau pintar bercerita,
Nak! Ayo, teruslah. He, he, kemarikan lagi pedangku itu, Bu. Siapa tahu,
barangkali saja nanti kuperlukan!. Biar kukepit, sambil mendengarkan cerita.
Hah!" Dengan cepat Julian menyelesaikan ceritanya, sampai pada bagian ketika ia
bersama anak-anak lainnya mencapai bilik sempit berdinding batu.
"Dan kami terjebak di situ," kata Julian. "Di atas kepala ada sebuah tingkap
besar dari papan-papan tebal. Dan di atasnya bertumpuk karung yang berat-berat!
Kami tidak mampu menjunjung tingkap ke atas. Karena itu kami lantas berteriak-
teriak!" "Jadi di situ rupanya lorong rahasia berakhir," kata Pak Philpot. "Lalu,
bagaimana kalian bisa keluar?"
"Kami berteriak-teriak sambil menggedor-gedor tingkap. Kebetulan Bill dan Jamie
masuk ke tempat itu. Mereka mendengar teriakan kami. Dengan segera karung-karung
mereka singkirkan, lalu tingkap dibuka," kata Julian. "Wah, lega sekali perasaan
kami melihat mereka! Kami sudah takut, jangan-jangan kami terjebak untuk selama-
lamanya di bawah tanah. Sebetulnya Jamie dan Bill tahu di bawah lantai gereja
tua ada sebuah bilik kecil. Tapi mereka menyangka itu cuma tempat penyimpanan
biasa!" "Tapi aku belum pernah mendengar mengenainya," kata Bu Philpot. Kakek
mengangguk-angguk, mengiyakan.
"Aku juga belum pernah," katanya. "Sepanjang ingatanku, sudah selalu ada karung
bertumpuktumpuk di lantai situ.
Dan tempat yang tidak ditutupi karung, semuanya penuh dengan debu tebal. Ya,
dulu ketika aku masih kecil dan sering bermain sembunyi-sembunyian di situ-
sekitar delapan puluh lima tahun yang lewat, ruangan itu sudah penuh dengan
karung-karung gandum"
"Sekarang pun masih banyak karung di sana," kata Anne.
"Dan nanti jika kalian sudah tua, tempat itu masih tetap penuh karung!" kata
Kakek. "Memang ada hal-hal yang takkan pernah berubah sepanjang masa. Syukurlah!
Ya, ya! Sekarang aku akan bisa tidur tenang lagi, karena dengan hasil penjualan
harta ini nanti, kau akan bisa merawat pertanian kita dengan baik, Trevor! Aku
akan bisa melihat Harry dan Harriet tumbuh menjadi dewasa dan memiliki pertanian
yang paling baik di daerah Dorset-dengan segala peralatan terbaru yang mereka
idam-idamkan! Nah, sekarang aku ingin mengayunkan pedang ini sekali lagi!"
Begitu Kakek mengucapkan kata-kata terakhir, anak-anak langsung berpencar
menjauh. Kakek kelihatannya menjadi muda kembali! Entah apa yang akan rusak
lagi, apabila ia mengayunkan pedang kuno itu. Ya, sore itu penuh dengan kejadian
yang serba ramai! 19. Akhir yang Menggembirakan
Sehabis makan sore, Harry dan Harriet keluar untuk memberi makan ayam. "Lebih
baik terlambat, daripada tidak sama sekali," kata kedua anak itu.
"Mana Pak Henning dan Pak Durleston serta Junior konyol, Bu Philpot?" tanya
George, sambil bangkit untuk membantu mencuci piring dan cangkir.
Pak Henning tadi masuk sebentar, untuk mengatakan bahwa ia hendak makan di
sebuah hotel bersama Pak Durleston," jawab Bu Philpot. "Junior juga diajak! Pak
Henning kelihatannya puas sekali. Katanya para pekerja sudah berhasil menggali
sampai menembus langit-langit ruangan di bawah puri. Ia juga menambahkan,
mungkin sebentar lagi akan menyodorkan sebuah cek senilai lima ratus pound untuk
pembayaran berikutnya!"
"Tapi Anda kan tidak bermaksud menerimanya, Bu?" sela Julian, yang menangkap
pembicaraan itu. "Barang-barang yang ada di sana, nilainya jauh lebih tinggi dari pada yang
mungkin akan ditawarkan oleh Pak Henning. Paling-paling dia nanti mengangkut
segala-galanya ke Amerika, dan di sana dijual lagi dengan harga berlipat ganda.
Jangan mau, Bu!" "Pak Finniston dari toko barang-barang antik di desa pasti tahu berapa nilai
yang sebenarnya," kata George.
"Dia kan keturunan wangsa Finniston, penguasa puri itu dulu! Pasti dia akan
gembira sekali, jika mendengar apa yang terjadi!"
"Kami akan memintanya agar kemari besok," kata Bu Philpot. "Kan Pak Henning juga
didampingi penasihatnya, Pak Durleston yang selalu masam itu! Jadi Pak Finniston
akan kita jadikan penasihat kita! Wah, Kakek pasti senang mendengarnya, karena
mereka berdua bersahabat karib."
Sebetulnya Bu Philpot tidak perlu repot-repot menyuruh orang memanggil Pak
Finniston. Sebab Kakek sudah mendahului turun ke desa, untuk menyampaikan kabar
baik itu pada sahabat karibnya. Dengan bersemangat Kakek bercerita pada Pak
Finniston. "Bukan main... uang emas, emas permata, baju besi, pedang, dan entah apa lagi!"
kata Kakek berulang-ulang. Mungkin ada dua puluh kali ia mengulangi cerita itu,
di depan Pak Finniston yang mengangguk-angguk sambil mendengarkan dengan serius.
"Pedang itu hebat sekali," kata Kakek dengan mata bersinar-sinar. "Cocok sekali
untukku, William! Wah, jika aku hidup di zaman dulu, pasti pedang kuno itu aku
yang memakainya! Barang itu takkan kujual. Akan kusimpan terus, untuk kuayun-
ayunkan di atas kepala, jika aku sedang kesal!"
"Ya, ya, tapi ingat, sebaiknya kau berdiri di tengah-tengah kamar yang kosong
pada saat itu," kata Pak Finniston. Ia agak ngeri, melihat sinar galak yang
memancar dari mata Kakek. "Lagi pula kurasa tidak seluruh harta karun itu boleh
kauambil! Ada peraturan yang menentukan bahwa sebagian harus diserahkan pada
negara. Tapi baju besi serta senjata tajam itu dengan itu saja kalian akan bisa
kaya raya!" "Cukup untuk membeli dua buah traktor?" tanya Kakek. "Cukup untuk membeli mobil
Land Rover baru" Mobil bobrok yang sekarang ada di pertanian... aduh, remuk
rasanya tulang-tulangku jika naik kendaraan itu! Sekarang begini, William. Kita
akan memerlukan sejumlah pekerja, untuk membongkar tanah yang menimbuni kolong
puri. Bagaimana jika pekerjakan terus orang-orang yang sekarang disewa Henning"
Pokoknya si Amerika itu tidak kita beri kesempatan lagi untuk menggali lebih
lanjut. Hah! Aku jengkel sekali kalau melihat dia.
Sekarang aku bisa menyuruhnya pergi! Dan kau, William, kaututup saja tokomu ini.
Kau menjadi penasihatku! Mau, kan" Aku tidak mau terdesak nanti, pada saat
menghadapi si Amerika itu... atau si Durleston!"
"Lebih baik kau berhenti bicara sebentar," kata Pak Finniston. "Lihatlah, mukamu
sudah merah padam! Jangan-jangan kau jatuh sakit nanti. Sekarang pulang saja
dulu. Besok aku datang. Mengenai pekerja akan kuurus! Dan jangan terlalu sering
main-main pedang, nanti keliru membabat kepala orang!"
"Bisa jadi," kata Kakek sambil melirik. "Misalnya saja jika Junior kebetulan
lewat ketika aku sedang mengayun-ayunkannya... ya deh, ya deh! Aku kan cuma
main-main saja!" Sambil tertawa sendiri Kakek pulang ke pertanian.
Malam itu Pak Henning dan Junior tidak kembali. Rupanya mereka terlalu asyik
mengorol dengan Pak Durleston di hotel mengenai hasil penggalian hari itu,
sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di situ.
"Petani biasanya pukul sembilan sudah tidur," kata Pak Henning, "dan sekarang
sudah lewat pukul sembilan! Besok pagi saja kita ke sana. Mereka akan kita minta
menandatangani surat perjanjian yang telah Anda buat, Pak Durleston! Mereka
sangat perlu uang, sehingga apa saja yang disodorkan pasti akan ditandatangani.
Dan ingat, jangan banyak bicara tentang apa yang kita lihat di sana, supaya
mereka mau dibayar lima ratus pound. Wah, sebentar lagi kita pasti kaya raya!"
Dan keesokan paginya mereka datang lagi ke pertanian, bersama Junior. Sebelumnya
mereka sudah menelepon bahwa mereka akan membawa surat perjanjian yang perlu
ditandatangani. "Dan akan ada cek lagi, Bu Philpot!" kata Pak Henning bermanis-manis lewat
telepon. Ketika mereka datang sekitar pukul sepuluh pagi, ternyata mereka
disambut orang ramai. Kakek beserta Pak Philpot dengan istrinya, lalu kedua Harry kembar, serta Pak
Finniston! Orang tua itu yang biasanya loyo, kali ini bersinarsinar matanya.
Kini ada kesempatan lagi baginya untuk mengalami peristiwa ramai. Asyik!
Lima Sekawan juga ada di situ. Timmy tidak begitu mengerti, apa sebabnya orang-
orang gelisah sedari tadi. Ia berdiri dekat George. Setiap kali Snippet hendak
mendekat, dengan segera Timmy menggeram-geram. Tapi anjing pudel yang kecil itu
tidak takut. Kalau Timmy menggeram, ia pun bisa menggeram.
Tak lama kemudian terdengar ada mobil masuk ke pekarangan. Pak Henning muncul
bersama Pak Durleston serta Junior. Anak itu nyengir!
"Halo," sapanya dengan gaya santai. "Nah, bagaimana?"
Sapaan itu hanya dibalas oleh Timmy, yang menggeram pelan. Junior cepat-cepat
menjauh. "Tutup moncongmu," gumamnya pada anjing itu.
"Tadi di hotel kau sarapan di tempat tidur, ya?" kata George tiba-tiba pada
Junior. "Masih ingat, terakhir kali kau sarapan di tempat tidur di sini, Timmy
menarik..." "Ah, sudahlah!" kata Junior dengan masam. Tapi setelah itu ia tidak bertingkah
lagi. Ia duduk dekat-dekat pada ayahnya. Kemudian mulailah pembicaraan yang
singkat, tapi memuaskan. Memuaskan bagi Pak Philpot, tentunya!
"Begini, Pak Philpot," kata Pak Henning membuka pembicaraan. "Pak Durleston ini
menyarankan padaku, untuk menawarkan lima ratus pound lagi. Terus terang saja,
kami agak kecewa melihat apa yang tampaknya terdapat dalam kolong puri kuno itu.
Tapi janji tetap janji! Jadi kami menawarkan pembayaran cek senilai lima ratus
pound sebagai pembayaran untuk segala-galanya yang mungkin kami temukan di sana.
Begitu kan, Pak Durleston?"
"Tepat," kata Pak Durleston dengan gaya pengusaha besar. Ia memandang
berkeliling lewat kacamata tanduknya. "Aku membawa surat perjanjiannya. Pak
Henning harus kuakui sangat bermurah hati. Sungguh! Penggalian itu ternyata
mengecewakan!" "Sayang," kata Pak Philpot, "tapi aku berpendapat lain! Penasihatku, Pak
Finniston, menyokong pendapatku itu. Kami sendiri akan melakukan penggalian di
sana, Pak Henning. Jadi kalau hasilnya mengecewakan, kamilah yang rugi, dan
bukan Anda." "Hei, apa-apaan ini?" tukas Pak Henning. Ia memandang berkeliling sambil
membelalakkan mata. "Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini, Pak Durleston" Ini
kan tidak menepati janji namanya?"
"Tawarkan seribu pound padanya," bisik Pak Durleston. Ia kaget menghadapi
perkembangan yang tak terduga-duga itu.
"Biar kalian menawarkan lima ribu padaku, aku tetap memilih untuk menggali
sendiri di tanah milikku," kata Pak Philpot. "Bukan itu saja, aku juga ingin
mengembalikan cek yang Anda berikan kemarin! Para pekerja tidak perlu Anda
berhentikan, karena aku hendak meminta mereka agar meneruskan penggalian. Mereka
akan kugaji untuk itu! Mulai sekarang mereka bekerja untukku."
"Ini gila-gilaan!" seru Pak Henning. Ia tidak bisa menahan marahnya lagi. Meja
dipukul-pukulnya, sambil melotot ke arah Pak Philpot dan istrinya. "Apa yang
kalian kira akan bisa ditemukan dalam kolong brengsek itu" Kemarin kami sudah
menggali sampai tempat itu, dan ternyata di situ boleh dibilang sama sekali
tidak ada apa-apa. Tawaranku tadi sudah bagus sekali! Tapi baiklah, sekarang
kunaikkan menjadi seribu pound."
"Tidak mau," kata Pak Philpot dengan tenang. Tapi Kakek sudah tidak sabar lagi.
Ia sudah bosan melihat tingkah Pak Henning yang memuakkan itu. Kakek berdiri
dari kursinya, lalu membentak sekuat tenaga sehingga semua kaget mendengarnya.
Timmy ikut kaget, lalu menggonggong dengan galak. Snippet ketakutan lalu
bersembunyi dalam lemari dapur!
"Hah! Sekarang dengar!" bentak Kakek. "Pertanian ini milikku, dan milik cucuku.
Kemudian akan diwariskan pada kedua anak cucuku, yang duduk di sana itu. Tak ada
pertanian lain yang sebagus ini, yang sudah merupakan milik keluargaku sejak
berabad-abad! Sedih hatiku melihat keadaannya terbengkalai, hanya karena tidak
ada uang untuk merawatnya! Tapi sekarang aku melihat uang banyak sekali dalam
kolong puri! HAHH! Uang yang kami perlukan untuk membeli segala macam alat
pertanian, dan entah untuk apa lagi. Kami tidak butuh uangmu! TIDAK!! Simpan
saja uangmu itu... biar busuk! Coba tawarkan lima ribu pound padaku, jika kau
ingin mengetahui jawabanku!"
Dengan cepat Pak Henning menoleh pada Pak Durleston. Penasihatnya itu
mengangguk. "Baiklah!" kata Pak Henning pada Kakek. "Lima ribu! Setuju?"
"TIDAK!" teriak Kakek. Orang tua itu keasyikan sendiri. Sudah lama ia tidak
mengalami keadaan yang begitu menyenangkan!
"Emas yang ada di sana, serta permata, baju besi, pedang, pisau, semua sudah
berabad-abad umurnya, dan...''
"Jangan ngoceh," kata Pak Henning mengejek. "Pembohong!"
Kakek memukulkan kepalan tinjunya ke meja dengan begitu keras, sehingga orang-
orang yang duduk mengelilinginya nyaris terguling dari kursi mereka.
"Harry! Harriet!" seru Kakek. "Ambilkan barang-barang yang kalian temukan
kemarin! Cepat, bawa kemari! Akan kubuktikan pada si Amerika ini bahwa aku tidak
bohong!" Kedua anak kembar itu bergegas pergi. Dan sesaat kemudian mereka sudah kembali
lalu menyerakkan segala barang yang mereka temukan kemarin ke atas meja. Pak
Henning, Pak Durleston, dan juga Junior, hanya bisa memandang sambil melongo.
"Nah, apa komentar kalian sekarang"!" tukas Kakek sambil memukul meja sekali
lagi. Pak Durleston menyandarkan diri ke punggung kursi: la hanya menyebutkan satu
patah kata saja. "Rongsokan!" katanya.
Sekarang tiba giliran Pak Finniston untuk menyatakan pendapat! Pak Durleston
yang tadi tidak memperhatikan laki-laki tua yang duduk agak ke belakang itu,
kaget ketika melihat Pak Finniston tahu-tahu ada di depannya. Ia tahu, laki-laki
itu ahli mengenai barang-barang antik. Ia sendiri pernah berusaha mengorek
keterangan dari orang itu mengenai letak bekas Puri Finniston.
"Para hadirin," kata Pak Finniston. Ia bersikap, seakan-akan hendak berpidato di
depan rapat. "Sebagai ahli barang antik yang sudah mempunyai nama, sayang aku
terpaksa mengatakan bahwa Pak Durleston ternyata tidak tahu apa-apa! Barang-
barang yang di atas meja ini dikatakannya cuma rongsokan belaka. Padahal bagi
seorang kolektor yang serius, barang-barang ini tinggi sekali nilainya! Aku
sendiri bisa menjualnya di London besok, dengan harga yang lebih tinggi lagi
daripada yang disarankan Pak Durleston pada Pak Henning. Cuma itu saja yang
ingin kukatakan. Terima kasih!"
Sambil membungkuk untuk memberi hormat, Pak Finniston duduk lagi. Anne kepingin
bertepuk tangan rasanya! "Yah, kurasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan," kata Pak Philpot sambil
bangkit. "Jika Anda katakan di hotel mana Anda menginap, nanti barang-barang
Anda akan kusuruh antarkan ke sana, Pak Henning! Anda pasti tidak mau lebih lama
lagi tinggal di sini sekarang."
"Aku tidak mau pergi, Yah! Aku ingin tinggal di sini," kata Junior tiba-tiba.
Anak itu merengek-rengek. "Aku ingin menonton mereka menggali dasar puri. Aku
ingin ikut menggali! Aku ingin tinggal!"
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi kami tidak suka!" tukas Harry. "Bisamu cuma mengintip, mendengarkan
pembicaraan orang lain, dan mengadu. Anak cengeng! Sarapan saja di tempat tidur!
Huh! Bisanya merengek-rengek, jika kemauannya tidak dituruti. Menjerit-jerit..."
"Harry!" seru ibu anak itu dengan kaget. "Jangan begitu! Aku tidak keberatan
Junior tinggal di sini, asal ia tidak minta macam-macam! Kan bukan salahnya
bahwa semuanya ini terjadi!"
"Aku ingin tinggal!" kata Junior sambil menangis. Karena jengkel, kakinya
menendang-nendang di bawah meja. Sial baginya, saat itu kebetulan Timmy ada di
situ. Hidungnya tertendang Junior. Seketika itu juga Timmy berdiri, lalu
menggeram-geram memamerkan taring. Junior lari pontang-panting.
"Masih mau tinggal sekarang?" seru George pada anak itu. Jawabannya diberikan
dengan segera. "TIDAK!" "Terima kasih, Tim! Kau membantu dia menentukan kemauan," kata George, sambil
menepuk-nepuk kepala anjingnya. Pak Henning marah sekali.
"Jika anjing itu sampai menggigit anakku, akan kusuruh agar dia dibinasakan,"
katanya. "Kau akan kuperkarakan, akan ku..."
"Pak, pergi sajalah sekarang," Bu Philpot. Ia kelihatan sudah capek. "Masih
banyak pekerjaan yang menungguku!"
"Aku pergi kapan aku mau," kata Pak Henning sombong. "Aku tidak bisa diusir
begitu saja, seperti tak membayar penginapan!"
"Kau lihat pedang ini, Henning?" tukas Kakek secara tiba-tiba. Disambarnya pedang kuno yang tergeletak di meja. "Bagus, ya" Orang zaman
dulu tahu bagaimana caranya menyingkirkan lawan mereka! Pedang ini diayunkan,
begini... lalu begitu... lalu..."
"He, awas! Itu berbahaya! Hampir saja aku kena!" seru Pak Henning ketakutan.
"Letakkan pedang itu ke meja lagi."
"Tidak! Ini milikku, aku takkan menjualnya," kata Kakek. Diayunkannya pedang
itu... TARR! Kena bola lampu yang tergantung di atas, sehingga pecah berantakan.
Pak Durleston tidak tahan lagi. Ia lari meninggalkan dapur. Di pintu ia
bertubrukan dengan Bill, yang kebetulan hendak masuk.
"Awas! Hati-hati, orang tua itu sudah gila!" seru Pak Durleston. "Ayo, Henning,
kita cepat-cepat pergi dari sini, sebelum kepalamu putus ditebasnya!"
Pak Henning lari menyelamatkan diri, dikejar Kakek sampai ke pintu. Kakek
menyumpah-nyumpah, diiringi gonggongan Timmy dan Snippet yang keasyikan. Sedang
yang lain tertawa terpingkal-pingkal.
"Aduh, Kakek... macam-macam saja Kakek ini," kata Pak Philpot. Kakek masih
mengayunayunkan pedang sambil nyengir lebar. Matanya berkilat-kilat jenaka.
"Ah, aku kan tidak apa-apa," katanya. "Cuma menurutku, pedang ini bisa membuat
mereka mau pergi. Kau tahu, mereka itu apa menurut pendapatku" Barang rongsokan!
Aduh, kenapa baru sekarang teringat istilah itu. Coba tadi, pasti kulontarkan
kata itu pada mereka. Rongsokan! Kaudengar itu, William Finniston?"
"Sekarang letakkan pedang itu di meja, sebelum lebih banyak kerusakan terjadi,"
kata Pak Finniston. Ia tahu bagaimana cara menghadapi Kakek. "Kita pergi ke
kedai minum, yuk! Di sana kita nanti berunding, apa yang akan kita lakukan
dengan sekian banyak harta karun ini! Tapi sebelumnya, letakkan dulu pedang itu.
Kakek takkan kuajak minum jika nekat membawa pedang itu ke sana!"
Bu Philpot menarik napas lega, ketika kedua laki-laki tua itu akhirnya pergi
juga ke kedai tanpa pedang! la duduk di kursi, lalu menangis. Anak-anak kaget
melihatnya. "Aku tidak apa-apa," kata Bu Philpot, ketika kedua Harry bergegas menghampiri
dengan gugup, "aku menangis karena gembira! Mulai sekarang aku tidak perlu lagi
terlalu berhemat serta menerima tamu yang ingin menginap. Sekarang ayah kalian
bisa membeli segala peralatan yang diperlukan... aduh, aku ini seperti anak
kecil saja!" "Bu, jadi kami juga harus pergi sekarang?" tanya Anne.
Tiba-tiba ia menyadari, bahwa ia beserta saudara-saudaranya sebetulnya juga tamu
yang merupakan beban yang harus dipikul Bu Philpot.
"Tidak, tidak, kalian bukan tamu lagi! Kalian sahabat kami!" kata Bu Philpot. Ia
tersenyum, sementara air matanya bercucuran terus. "Bukan itu saja. Kalian tidak
perlu membayar penginapan, sebab karena kalianlah kami sekarang tidak perlu
terlalu bersusah payah lagi membanting tulang!"
"Terima kasih, Bu. Kami memang masih ingin tinggal di sini," kata Anne. "Kami
ingin melihat, apa saja yang nanti ditemukan di bawah puri. Ya kan, George?"
"Tentu saja!" jawab George. "Kami ingin ikut menyaksikan segala-galanya. Wah,
petualangan kali ini benar-benar paling seru!"
"Kita selalu mengatakan begitu!" kata Anne. "Tapi asyiknya petualangan kali ini,
pengalaman kita belum selesai dengan kejadian tadi. Kita masih akan menonton
para pekerja menggali, dan membantu mereka mengangkut segala barang kuno yang
ditemukan ke atas. Bukan itu saja! Kita akan mendengar berapa hasil penjualan
yang diperoleh, dan... kita masih sempat melihat traktor baru datang! Terus
terang saja, menurut pendapatku justru sekarang pengalaman kita semakin
bertambah asyik. Betul kan; Tim?"
"Guk!" gonggong Timmy, sambil mengibasngibaskan ekor. Begitu keras kibasannya,
sehingga Snippet yang berada di dekatnya terpelanting!
Kisah Pedang Bersatu Padu 16 Satria Gendeng 16 Setan Madat Dendam Empu Bharada 16
mengatakan agar Bu Philpot beristirahat sebentar. Biar mereka bertiga yang
membereskan meja dan mencuci piring-piring kotor.
"Cobalah bersikap agak ramah pada Junior siang ini," kata Bu Philpot sambil
pergi. "Dia kesepian, karena ayahnya harus pergi. Ajak dia bersama kalian."
Tak ada yang menjawab. Tak seorang pun mau mengajak anak itu.
"Anak konyol, manja, dan tidak tahu adat," kata George dalam hati. Ia begitu
bersemangat membenahi meja, sehingga hampir menabrak Anne. Ia buru-buru menyusul
ke pintu, ketika dilihatnya Julian hendak ke luar. "Julian, ada sesuatu yang
menarik yang hendak kami ceritakan padamu," bisik George. "Di mana kalian siang
ini?" "Kurasa masih di kandang ayam," kata Julian. "Nanti saja ke sana... setengah jam
lagi.'' Pendengaran Junior ternyata tajam sekali. Ia menangkap pembicaraan kedua
anak itu. Seketika itu timbul rasa ingin tahu pada dirinya: Hal apakah yang
begitu menarik, yang ingin diceritakan George pada Julian dan Dick" Mungkin
rahasia! Oke, Junior akan mendengarkan dengan sembunyi-sembunyi!
Setelah Anne dan George selesai bekerja di dapur dan pergi ke kandang ayam,
Junior diam-diam mengikuti dari belakang! la ke sudut kandang, lalu menempelkan
telinga ke dinding. "Sekarang datang pembalasan!" katanya dalam hati. "Biar mereka tahu rasa! Akan
kubalas kejahatan mereka... tidak pernah mau mengajak aku!" Junior tertawa
pelan. Puas hatinya, karena kini mendapat kesempatan membalas.
11. Anak-anak Berembuk Dick dan Julian sedang sibuk bekerja dalam kandang. Bunyi palu dan gergaji
membisingkan sekali. Karenanya kedua anak perempuan yang baru masuk menunggu
dulu, sampai kedua saudara mereka berhenti sebentar.
Snippet ada lagi di situ. Anjing itu masih ikut sibuk, lari mondar-mandir
membawa potongan-potongan kayu. Dan Nosey kini sedang merasa tertarik pada bekas
serutan yang bertebaran di lantai. Burung kocak itu mematuk-matuk, sambil
berkaok-kaok ribut. Di luar kandang, ayam berkotek-kotek, dan bebek meleter tidak jauh dari situ.
"Aku paling suka suara-suara seperti ini," kata Anne. Ia duduk di atas sebuah
karung di pojok kandang. Kemudian ia berseru pada Dick, berusaha mengalahkan
kebisingan di tempat itu.
"Perlu bantuan, Dick?"
"Tidak perlu," jawab Dick, "karena setelah selesai mengerjakan ini kami akan
beristirahat sebentar, untuk mendengarkan cerita kalian. Sekarang duduk saja
dulu di situ, sambil memperhatikan kemahiran kami bertukang! Wah, sebagai tukang
pasti lumayan penghasilanku."
"Awas, Nosey menyambar paku lagi!" seru George. Timmy meloncat, seakan-akan
hendak memburu. Seketika itu juga Nosey terbang ke atas, lalu hinggap pada
sebatang balok melintang sambil berkaok-kaok, seakan-akan menertawakan. Timmy
merebahkan diri kembali, jengkel terhadap gagak konyol itu.
Akhirnya Dick dan Julian selesai juga dengan kesibukan mereka. Keduanya duduk,
sambil menyeka keringat yang membasahi kening.
"Nah, sekarang kalian boleh bercerita," kata Dick. "Untung si Junior konyol
tidak ikut kemari, kalau tidak aku bisa salah memaku ke tubuhnya yang gendut."
Ditirukannya suara Junior merengek-rengek, "Yah... aku ikut, yaaa!"
Di luar, Junior mengepalkan tinju. Saat itu ia kepingin memukulkan beberapa
batang paku ke tubuh Dick!
Sementara itu Anne dan George mulai bercerita.
"Soal Puri Finniston," kata Anne. "Puri yang namanya kemudian dijadikan nama
desa dan pertanian ini. Pak tua yang bercerita pada kami tentang puri itu, juga
bernama Finniston. Kalian boleh percaya atau tidak, tapi dia keturunan wangsa
Finniston yang dulu tinggal di puri itu."
"Dan hampir seumur hidupnya ia berusaha terus menyelidiki segalanya yang bisa
diselidiki tentang puri tua itu," kata George. "Katanya, berbagai perpustakaan
tua sudah dimasukinya, catatan gereja sini juga sudah dipelajarinya, pokoknya ia
sudah ke mana-mana, dengan maksud menggali sejarah Puri Finniston."
Di luar kandang, Junior menahan napas supaya tidak ada satu patah kata pun yang
tak terdengar olehnya. Wah... padahal ayahnya bilang, ia tidak berhasil
memancing keterangan dari Pak Finniston pemilik toko antik itu, baik mengenai
puri itu, sejarahnya, maupun tempatnya. Kalau begitu apa sebabnya pak tua itu
mau bercerita pada Anne, dan George si anak laki-laki jahil itu" Junior merasa
tersinggung, ia mendengarkan makin saksama.
"Menurut kisah, pada abad kedua belas, puri itu malam-malam diserang musuh.
Ternyata dalam puri ada pengkhianat! Pengkhianat itu membakar puri, supaya
penghuninya disibukkan dengan usaha memadamkan api! Dengan begitu mereka tidak
siap untuk berperang," kata George. "Bagian dalam puri terbakar habis. Lalu
tembok luarnya roboh ke dalam, menimbun bekas landasan bangunan itu."
"Bukan main," kata Dick. "Pasti malam itu keadaan kacau-balau di sana. Dan semua
penghuninya mati terbunuh atau terbakar."
"Tidak, tidak semuanya," kata Anne. "Istri bangsawan penguasa puri, Lady
Finniston berhasil menyelamatkan diri. Ia lari, membawa anak-anaknya ke sebuah
gereja kecil yang terdapat dekat rumah yang sekarang ditempati keluarga Philpot.
Pokoknya, ada beberapa orarig dari wangsa Finniston yang selamat, sebab salah
seorang keturunannya kini menjadi pemilik toko antik di desa. Pak Finniston!"
"Ini menarik sekali," kata Julian. "Di mana tempat bekas puri itu" Mestinya bisa
gampang ditemukan, karena begitu banyak batu yang bertumpuk di atasnya."
"Tidak, batu-batu itu sudah tidak ada lagi di sana," kata George. "Kata Pak
Finniston; setelah batu-batu itu pecah karena pengaruh cuaca, para petani dan
penduduk yang tinggal di dekat-dekat situ beramai-ramai mengambilnya untuk
dijadikan bahan bangunan. Ada yang memakainya untuk membuat tembok, atau untuk
dinding sumur. Menurut Pak Finniston, di pertanian sini ada beberapa buah batu
itu. Ia sendiri tidak tahu di mana letak puri itu dulu, karena bekasnya kini
pasti sudah ditutupi semak belukar. Takkan mudah mencarinya, karena batu-batu
yang dulu menjadi tanda, kini sudah tidak ada lagi di sana."
'Tapi aku ingin mencarinya, Julian!" kata Anne. Ia berbicara dengan penuh
semangat. "Soalnya, menurut cerita Pak Finniston, ruang-ruang puri yang di ada
bawah tanah mungkin masih utuh. Dulu tak ada yang bisa masuk ke situ, karena
jalan di atasnya tertimbun batu-batu besar. Dan kini, setelah batu-batu itu
diangkut orang, tak ada lagi yang masih ingat pada puri itu!"
"Wah, kalau begitu mungkin barang-barang yang tersimpan di situ sejak berabad-
abad, sekarang pun masih utuh," kata Dick. "Astaga... mungkin ada barang-barang
berharga di situ, yang umurnya sudah tua sekali! Maksudku, sebuah pedang yang
ada di situ, biarpun sudah patah, harganya pasti sangat mahal! Maklum, pedang
kuno. Eh, jangan sampai cerita ini didengar Pak Henning, nanti pertanian ini
habis digali olehnya, untuk mencari jalan masuk ke kolong Puri Finniston!"
"Tentu saja kami takkan bercerita," kata George. "Dari mulutku, pasti ia tidak
akan mendengar apa-apa"
George tidak tahu bahwa segala perkataannya itu ikut didengar Junior yang
bersembunyi di luar! Anak gendut itu merah mukanya karena senang bercampur
kaget. Astaga, bukan main hebatnya rahasia itu! Apa kata ayahnya sekarang" Ada
ruang bawah tanah, yang mungkin penuh berisi emas dan barang berharga lainnya!
Junior menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan sikap puas. Ia sudah
membayangkan, kini ia bisa melakukan pembalasan terhadap anak-anak yang
menjengkelkannya itu. Begitu ayahnya pulang, junior akan menceritakan semua yang
didengarnya tadi. Gerakan Junior menggosok-gosokkan telapak tangan itu terdengar oleh Timmy.
Anjing itu langsung menggeram, telinganya tegak. Snippet juga ikut menggeram-
geram. Kemudian Timmy mendengar gerak Junior menyelinap pergi. Anak itu ketakutan,
ketika mendengar suara Timmy menggeram-geram. Kemudian Timmy menggonggong keras,
lalu lari menuju pintu kandang. Tapi pintu itu ditutup. Timmy mengorek-ngorek
dasar daun pintu, sambil menggeram-geram terus.
"Ada orang diluar! Cepat, kita keluar!" seru Dick. "Jika ternyata Junior, akan
kulempar dia ke kubangan!"
Ia berbebas membuka pintu dan anak-anak menghambur ke luar lalu mamandang
berkeliling. Tapi disitu tidak ada siapa-siapa! Junior sempat melarikan diri.
Kini ia bersembunyi di balik pagar semak di dekat situ.
"Ada apa, Tim?" tanya George. "Rupanya ia mendengar ayam-ayam yang mengais-ngais
dekat pintu," katanya pada anak-anak yang lain. "Di sini tidak ada siapa-siapa!
Aduh, aku sudah khawatir saja tadi, jangan-jangan si Junior yang bersembunyi
untuk mendengarkan pembicaraan kita! Pasti akan diteruskannya pada ayahnya!"
Kini Anne berpaling pada kedua Harry. "Tadi Pak Finniston juga bercerita, salah
satu benda yang bisa diselamatkan dari puri yang terbakar itu-atau mungkin pula
baru ditemukan kemudian-adalah sebuah daun pintu yang kokoh terbuat dari kayu
ek, diperkuat dengan bautbaut besi," katanya. "Betulkah itu salah satu pintu
dapur kalian?", "Memang, yaitu pintu yang membuka sedikit," kata Harry. "Kalian
mungkin tidak begitu memperhatikan selama ini, karena biasanya dibiarkan
terbuka. Tempat itu kan gelap sekali. Ya, mungkin saja pintu itu dulu berasal
dari puri. Kayunya tebal sekali, dan kokoh. Mungkin ayahku tahu pasti tentang
asal-usulnya." "Nanti kutanyakan," kata Harriet. "He, bagaimana kalau kapan-kapan kita beramai-
ramai mencari tempat bekas puri" Siapa tahu kita berhasil menemukannya! Jika
kami menemukan ruang-ruang bawah tanah, dan ternyata betul penuh dengan berbagai
barang berharga, apakah barang-barang itu kemudian menjadi milik kami" Pertanian
Finniston Farm kan sudah kepunyaan kami, beserta seluruh tanah di sekitar sini."
"O ya" Kalau begitu, semua yang ditemukan di sini akan menjadi milik kalian!"
kata Julian. "Wah, kami bisa membeli traktor baru nanti!" kata kedua Harry
serempak dengan bersemangat. "Sekarang saja kita mencari tempat itu," kata
George. "Jangan! Sebelumnya, harus kita selesaikan dulu pekerjaan ini," kata Julian.
"Kan kita sudah berjanji! Lagi pula masih cukup banyak waktu. Kecuali kita, tak
ada orang lain yang mengetahui rahasia itu."
"Yah, kalau begitu kami kembali dulu ke rumah," kata George. "Kami sudah
berjanji akan memetik buah-buahan untuk nanti malam. Sekarang saja kami
melakukannya. Aduh, mudahmudahan kita bisa berhasil menemukan tempat bekas puri
itu. Malam ini aku pasti bermimpi tentang itu"
"Coba saja mimpikan di mana letaknya," kata Julian sambil tertawa. "Jadi besok
kau bisa menjadi penunjuk jalan! Kalian berdua sama sekali tidak bisa menduga
letaknya?" Pertanyaan itu ditujukan pada Harry dan Harriet.
"Tidak," jawab keduanya serempak. Kening mereka berkerut. Harriet menambahkan,
"Tanah pertanian sini luas sekali! Dan letaknya bisa di mana saja."
"Ya, tapi kurasa tentu dekat puncak sebuah bukit," kata Julian. "Puri biasanya
dibangun di tempat yang agak tinggi, supaya daerah sekelilingnya bisa diawasi
dengan leluasa. Dengan begitu lawan yang mendekat cepat ketahuan! Dan menurut
George tadi, Pak Finniston mengatakan bahwa Lady Finniston melarikan diri dengan
anak-anaknya. Mereka bersembunyi dalam sebuah gereja. Gereja itu tentunya tidak
jauh dari puri. Menurut pikiranku, Puri Finniston tak mungkin lebih dari
seperempat mil jaraknya dari gereja! Jadi pencarian kita sudah berkurang banyak
luasnya. O ya, kita juga perlu melihatlihat gereja tua itu. Pasti menarik, walau
selama ini dipakai sebagai gudang!"
Sore itu Anne dan George sibuk memetik buah-buahan, sementara Dick dan Julian
menyelesaikan pekerjaan mereka di kandang. Menjelang saat minum teh, mereka
kembali ke rumah. Mereka capek, tapi puas. Anne dan George sudah lebih dulu
tiba. Ketika Dick, Julian, serta kedua Harry masuk, keduanya sedang sibuk
mengatur meja. Tapi dengan segera George berkata dengan bersemangat, "Hei, kami
sudah mengamat-amati pintu yang kita bicarakan tadi. Wah, hebat! Coba lihat,
Dick dan Julian! Aku berani taruhan apa saja, pintu ini pasti berasal dari puri
kuno itu!" Diajaknya kedua saudara sepupunya itu menghampiri pintu yang membatasi dapur
dengan lorong yang menuju ke pekarangan: Ternyata daun pintu itu berat, karena
George harus mengerahkan tenaga untuk menutupnya. Kemudian semua memperhatikan
dengan penuh minat. Pintu itu tebal, terbuat dari kayu pohon ek. Banyak baut besi tertancap di situ.
Di sisi luarnya, di tengah-tengah terdapat semacam pegangan berbentuk aneh,
terbuat dari besi. George mengangkat pegangan itu, lalu memukulkannya ke daun
pintu. Terdengar bunyi berdebam nyaring; menyebabkan anak-anak yang lain
berlompatan karena kaget.
"Kurasa ini bel zaman dulu!" kata George sambil tertawa, melihat tampang anak-
anak semua tercengang. "Bunyinya nyaring, sehingga dengan segera penjaga puri
akan datang berlarilari. Mungkinkah ini pintu depan puri" Ukurannya cukup besar,
jadi mungkin saja. Wah, harganya pasti mahal sekali kalau dijual!"
"Awas, ada Junior!" kata Anne dengan suara pelan. "Lihatlah, ia nyengir. Apa
lagi yang hendak dilakukannya sekarang?"
12. Ke Gereja Tua Pada saat minum teh, Julian mengajak Bu Philpot bicara tentang pintu itu. "Bagus
sekali pintu itu," kata Julian. "Apakah asalnya dari puri?"
"Kata orang begitu," jawab Bu Philpot. "Tapi tentang soal itu, Kakek lebih tahu
daripada aku." Saat itu Kakek tidak duduk di meja, melainkan di kursinya yang besar di dekat
jendela. Ia sedang mengisap pipa. Sebuah cangkir berisi teh panas terletak di
ambang jendela, di dekatnya.
"Ada apa?" tanya Kakek. Julian mengulangi pertanyaannya. Orang tua itu
mengangguk. "O ya, daun pintu itu asalnya memang dari puri. Kayunya sama dengan kayu yang
dijadikan balok-balok di lumbung, serta lantai kamar-kamar di atas! Ya, dan
orang Amerika itu kepingin sekali memilikinya! Aku dibujuk-bujuk, supaya mau
menjual! Hah! Katanya ia berani membayar lima puluh pound! Biar dibayar seribu
pound, aku tetap tidak mau menjualnya. Bayangkan, pintu itu nanti terpasang
dalam sebuah rumah modern di Amerika! Tidak bisa. Tidak bisa, kataku! Biar
bagaimana, aku tetap tidak mau!"
"Sudahlah, Kek, jangan ribut lagi," kata Bu Philpot membujuk. Pada anak-anak ia
berkata dengan suara pelan, "Cepat, bicara soal lain! Nanti Kakek marah-marah
terus!" Julian memutar otak, mencari-cari bahan pembicaraan yang lain. Untung ia
teringat pada kandang ayam. Ia lantas bercerita pada Kakek tentang apa saja yang
sudah dilakukan di situ siang tadi. Kakek menjadi tenang kembali, dan
mendengarkan cerita Julian dengan asyik. Malam itu Pak Henning tidak pulang.
Anak-anak rasa lega. Tapi keesokan harinya ia kembali menjelang tengah hari. Ia
datang bersama seorang laki-laki kurus berkacamata tebal. Orang itu
diperkenalkannya sebagai Pak Richard Durleston. "Pak Durleston ini seorang ahli
yang hebat," kata Pak Henning bangga. "Dia jauh lebih banyak pengetahuannya
dibandingkan dengan siapa pun, mengenai gedung-gedung tua di Inggris. Sehabis
makan siang aku ingin menunjukkan pintu dapur yang tua itu padanya, Bu Philpot,
serta lubang yang ada dalam dinding di kamar tidur atas, yang katanya dulu
tempat menaruh arang menyala untuk memanaskan bata penghangat tempat tidur"
Untung saat itu Kakek sedang tidak ada. Jadi ia tidak bisa langsung menolak.
Sehabis makan siang, Bu Philpot mengajak Pak Durleston menghampiri pintu tua
yang dibicarakan. "Hmm, ya, ini memang asli," kata laki-laki kurus itu sambil menganggung-angguk.
"Bagus sekali buatannya! Pantas jika dibayar dua ratus pound untuk ini, Pak
Henning!" Bu Philpot sebenarnya ingin sekali menerima tawaran itu. Dengan uang sebanyak
itu, bebannya akan bisa sangat berkurang. Tapi Bu Philpot menggeleng.
"Anda harus berbicara dengan Kakek dulu," katanya. "Tapi kurasa pasti ia tidak
mau! Nah, sekarang kita ke atas, melihat lubang yang ada dalam dinding salah
satu kamar tidur di sana."
Diajaknya Pak Henning dan Pak Durleston naik ke atas. Julian serta ketiga
saudaranya mengikuti dari belakang, bersama Timmy.
Ya, lubang di dinding itu memang tampak luar biasa. Pintunya tidak seperti pintu
oven yang biasa, yang terbuat dari besi, melainkan berupa pintu besi batangan
berukir-ukir. Bu Philpot membuka pintu itu. Di belakangnya tampak sebuah rongga
besar. Tempat itu dulu dipakai untuk menaruh bara menyala, untuk memanaskan bata
yang kemudian ditaruh di tempat tidur supaya hangat. Di situ masih ada beberapa
bongkah bata yang hitam hangus dan semacam baki besar, terbuat dari besi. Di
atasnya terdapat beberapa potong arang.
"Baki ini dulu dipakai sebagai tempat arang yang menyala, sebelum dimasukkan ke
dalam panci pemanas," katanya menjelaskan. "Kami masih memiliki sebuah panci tua
seperti itu. Itu dia barangnya, tergantung di dinding!"
Anak-anak ikut berpaling, karena mereka juga sangat berminat seperti kedua laki-
laki itu. Di dinding tergantung sebuah panci tembaga yang berwarna kuning
kemerah-merahan. "Bata panas dimasukkan ke situ," sambung Bu Philpot, "dan setelah itu panci
dibawa ke kamar-kamar tidur, lalu diselipkan ke semua tempat tidur sebentar
untuk menghangatkannya. Dan lubang di dinding itu-seperti kukatakan tadi-di
situlah tempat bata dipanaskan, yang kemudian dibungkus dengan kain flanel, lalu
ditaruh di tempat tidur."
"Hmmm. Sangat menarik. Jarang kulihat yang seutuh ini," kata Pak Durleston. Ia
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjenguk ke dalam lubang. "Ini ada harganya pula jika dibeli, Pak Henning.
Rumah tua yang menarik. Kurasa kita juga perlu mendatangi lumbung serta gudang-
gudang lainnya. Mungkin ada barang-barang di sana yang kalau dibeli akan
menguntungkan." Dalam hati George berkata, untung kata-kata itu tidak terdengar oleh kedua
Harry. Kedua anak itu sama sikapnya seperti Kakek, mereka tidak suka melepaskan
benda-benda yang merupakan bagian dari rumah pertanian kuno itu!
Setelah itu mereka turun lagi ke bawah. "Sekarang aku hendak mengajak Pak
Durleston melihat-lihat gereja tua itu sebentar, Bu," kata Pak Henning. Bu
Philpot mengangguk, lalu bergegas kembali ke dapur. Keempat anak itu berpandang-
pandangan. Julian menganggukkan kepala ke arah kedua laki-laki yang saat itu
melangkah ke pintu luar. "Bagaimana, kita ke sana juga?" katanya. "Kita kan belum melihat gereja itu!"
Mereka lantas mengikuti Pak Henning dan Pak Durleston. Dengan segera mereka
sampai di depan sebuah bangunan tua yang menjulang tinggi. Jendelanya juga
tinggi-tinggi, tapi sempit. Bagus sekali bentuknya! Mereka menyusul masuk lewat
pintu, dua langkah di belakang kedua laki-laki tadi. Sesampai di dalam, mereka
memandang berkeliling dengan kagum.
"Ya, kelihatannya jelas ini dulu gereja," kata Julian. Secara otomatis,
bicaranya menjadi lebih lirih. "Jendela-jendela itu, dan lengkungan ini...."
"Dan suasananya!" kata Anne. "Sekarang baru kumengerti maksud Pak Finniston,
ketika ia mengatakan tempat ini masih penuh dengan doa-walau sekarang dijadikan
tempat penyimpanan! Terasa bahwa di sini orang-orang dulu berdoa! Bagus sekali
gereja tua ini, sayang kini dijadikan tempat penyimpanan!"
"Ada seorang tua di toko antik desa Finniston bercerita padaku, bahwa Lady
Phillippa yang dulu mendiami puri kuno itu, biasa mengajak anak-anaknya yang
berjumlah lima betas orang ke sini untuk belajar berdoa," kata Pak Durleston
dengan tiba-tiba. "Yah, kisah menarik! Mungkin juga benar, karena gereja begini
sering dibangun dekat puri. Aku ingin tahu, lewat mana mereka kemari dari puri.
Sayang bangunan itu sekarang sudah tidak ada lagi. Ya, ya!"
"Kepingin rasanya kubeli gereja ini, lalu kubongkar, kemudian kupindahkan batu
demi batu ke Amerika," kata Pak Henning bersemangat. "Bagus sekali, ya" Cocok
jika dibangun kembali di tempatku."
"Lebih baik jangan," kata Pak Durleston, sambil menggeleng-geleng. "Gayanya
tidak sesuai. Sekarang kita ke gudang yang di sana itu, mungkin di antara
barang-barang rongsokan di situ ada sesuatu yang menarik."
Kedua orang itu keluar. Sedang anak-anak masih berdiri di dalam gereja,
mengagumi bangunan itu. Di lantai tampak karung bertumpuktumpuk, berisi gandum.
Ada juga karung-karung pupuk di situ. Setelah itu anak-anak berbondong-bondong
ke luar. Mereka segan mengikuti Pak Henning.
"Untung saja Pak Durleston berhasil mencegah gagasan konyolnya
tadi...memindahkan gereja ini ke Amerika," kata Anne. "Bayangkan, bangunan
sebagus ini dibongkar sampai ke dasarnya, lalu dipindahkan ke negara lain!"
"Anne, kalau kau marah hampir sama galaknya dengan Kakek!" kata Julian, lalu
menggandeng adiknya itu. "Tapi kurasa gereja tua ini takkan mungkin bisa dibeli
oleh Pak Henning, biarpun dia berani membayar sejuta dolar untuknya!"
"Aku sebenarnya suka sekali pada orang Amerika," kata Anne. "Tapi aku tidak suka
pada Pak Henning! Dia mau membeli benda-benda bersejarah, seperti orang membeli
cokelat atau permen!"
Semua tertawa mendengar perbandingan yang diucapkan Anne.
"Hei, kita sekarang sudah di luar," kata Julian setelah itu, "bagaimana jika
kita mencari-cari tempat di mana sebaiknya kita mulai melacak bekas puri kuno
itu"! Tentunya kita sependapat bahwa letaknya tak mungkin jauh dari gereja!"
"Ya, betul," kata Dick. "Dan besar kemungkinannya, terletak di atas sebuah
bukit. Cuma repotnya, di sekitar sini banyak sekali bukit. Daerah ini memang
berbukit-bukit!" "Yuk, kita ke sana... ke lereng itu," kata George. "Hei, itu Harry dan Harriet.
Kita panggil yuk! Mungkin mereka mau ikut."
Ternyata kedua anak kembar itu mau! "Tapi bisa bertahun-tahun kita mencari, baru
ketemu!" kata Harry. "Soalnya, tempat itu bisa terletak di maria saja di
pertanian ini!" "Kami tadi sudah memutuskan, mula-mula mencari di lereng ini," kata Julian. "Ayo
ikut, Tim dan Snippet! Aduh, si Nosey ingin ikut pula sekarang. Jangan hinggap
di pundakku, gagak sinting! Aku masih memerlukan telingaku!"
"Kaok!" seru gagak itu, lalu terbang dan hinggap di bahu Harriet.
Anak-anak mendaki lereng. Tapi hanya rumput melulu yang tampak di situ. Kemudian
mereka sampai di sebuah onggokan tanah yang tinggi.
"Rupanya seekor tikus mondok raksasa yang membuat onggokan tanah setinggi ini,"
kata anak-anak tertawa. Onggokan tanah itu memang tinggi, setinggi bahu. Di
dasarnya tampak liangliang kelinci. Kalau Timmy melihat liang kelinci, tanpa
bisa ditahan ia pasti menggalinya. Sesaat kemudian ia sudah sibuk mengorek tanah
di dasar onggokan, dibantu oleh Snippet. Tubuh anjing pudel hitam itu kecil.
Jadi bisa menyusup ke dalam sebuah liang.
Ketika ia keluar lagi, ia menggondol sesuatu. Kulit tiram! Julian memungut benda
itu dengan heran. "Lihatlah, kulit tiram! Padahal tempat ini kan jauh dari tepi laut. Kenapa bisa
sampai di sini" Ayo masuk lagi, Snippet! Gali terus, Timmy! Ayo cepat! Ada
sesuatu yang terpikir olehku."
Beberapa saat kemudian kesibukan Timmy dan Snippet menggali, menghasilkan
setumpuk kulit kerang dan tulang-belulang yang tergeletak di rumput.
"Tulang?" kata Anne heran. "Pasti bukan tulang manusia. Ini kan bukan kuburan
kuno, Julian?" "Bukan, tapi sesuatu yang lebih menarik dari pada kuburan," kata
Julian. "Aku merasa pasti, ini sebuah kokkenmodding."
"Hah" Apa itu?" kata George tercengang mendengar kata aneh yang disebutkan
Julian. "Lihatlah, Timmy mengambil kulit tiram lagi dari lubang itu."
"kokkenmodding itu bahasa Denmark. Ini istilah kaum ilmuwan, untuk menyebutkan
tumpukan sampah pemukiman zaman dulu kala," kata Julian menjelaskan, sambil
memungut segenggam kulit tiram. "Sering tumpukan itu besar sekali, kalau terdiri
dari sampah yang terbuang dari rumah-rumah besar atau puri! Tulang-belulang dan
kulit tiram tidak membusuk seperti sampah sisanya. Kurasa kita menemukan
tumpukan sampah puri yang kita cari. Wah, penemuan ini penting sekali artinya!"
"Lho, kenapa" Ini kan cuma sampah?" tanya anak-anak.
"Ya, memang, tapi kini kita tahu, puri kuno itu dulu pasti tegak di lereng ini,"
kata Julian. "Sebabnya, tumpukan sampah yang dibuang dari puri itu pasti tidak
jauh letaknya dari jendela dapur. Jadi tidak jauh dari tembok puri! Kita sudah
menemukan jejaknya! Ayo, sekarang kita menyebar. Kita harus memeriksa setiap
jengkal lereng ini!"
13. Pembalasan Junior Keenam anak itu mulai memeriksa tanah dengan bersemangat. Timmy menggonggong-
gonggong, karena merasa pasti ada sesuatu yang menyebabkan anak-anak dengan
tiba-tiba sibuk membungkuk-bungkuk memperhatikan tanah. Snippet menggonggong,
karena Timmy menggonggong. Sedang Nosey yang saat itu bertengger di pundak
Harry, berkaok-kaok dengan suara serak.
Tanpa diketahui oleh mereka semua, Junior ternyata mengintip kesibukan anak-anak
itu dari balik semak. Ia tercengang, ketika tiba-tiba terjadi keributan di
antara anak-anak. Kenapa mereka begitu bersemangat" Apa yang ditemukan oleh
Timmy dan Snippet di bawah onggokan tanah"
Dilihatnya Julian dan kelima anak yang lain menyebar, lalu bergerak lambat-
lambat mendaki lereng. Timmy mengikuti mereka dengan heran. Ia ingin sekali
mengetahui, apa sebetulnya yang dicari supaya ia bisa membantu!
Junior tidak beranjak dari belakang semak tempatnya bersembunyi sedari tadi. Ia
tahu, jika anak-anak diikutinya dari jarak dekat, pasti Timmy nanti akan
mengendus baunya lalu menggonggong.
Tiba-tiba kedua Harry berseru serempak. "Hei!" Anak-anak yang sedang sibuk
meneliti tanah, langsung mendongak ketika terdengar seruan itu. Mereka melihat
kedua Harry melambai-lambai dengan gembira.
Julian serta ketiga saudaranya bergegas mendatangi kedua Harry. Kedua anak
kembar itu berdiri di atas semacam pematang, sekitar dua ratus meter di bawah
puncak bukit landai itu. "Lihatlah!" kata Harry yang asli, sambil menggerakkan tangannya membuat
lingkaran yang besar. "Mungkinkah ini dulu tempat puri yang kita cari?"
Anak-anak memandang berkeliling. Mereka melihat semacam cekungan besar, mirip
piring raksasa. Ya, mungkin saja di situlah tempat puri kuno itu dulu! Luas
cekungan ini memungkinkannya. Tempat itu penuh ditumbuhi rumput tebal, yang
lebih gelap warnanya dibandingkan dengan rumput di sekitar situ.
Julian menepuk bahu Harry, sambil berkata, "Ya, kurasa di sinilah tempat puri
itu dulu! Satu-satunya alasan kenapa tanah di sini agak menurun dibandingkan
dengan sekeli!ingnya, adalah karena di tempat ini dulu ada sebuah bangunan yang
sangat berat. Dan itu Puri Finniston!"
"Dan letaknya juga tidak terlalu jauh dari koding-eh, anu-dari onggokan tempat
pembuangan sampah. Ya, kan?" kata Anne, sambil menaksir jarak antara kedua
tempat itu. "Memang, jaraknya cocok," kata Julian. "Dengan sendirinya tidak bisa terlalu
dekat. Kan berbau busuk, apalagi dalam cuaca panas. Ya, kalian berdua berhasil
menemukan tempat bekas puri kuno itu dulu berdiri," katanya pada kedua Harry.
"Jika kita mempunyai mesin-mesin yang diperlukan untuk menggali di sini, pasti
kita akan menemukan berbagai ruangan dan lorong bawah tanah-lengkap dengan
isinya!" Kedua anak kembar memandang ke cekungan besar yang ditumbuhi rumput lebat itu.
Muka mereka merah karena gejolak perasaan yang terpendam.
"Wah, apa kata Ibu nanti," kata mereka serempak.
"Pasti dia gembira," kata Dick. "Mungkin dengan penemuan ini, pertanian kalian
akan tertolong. Tapi lebih baik kita jangan bercerita dulu, karena siapa tahu,
nanti terdengar oleh Pak Henning. Sekarang kita datangi saja Bill, untuk
meminjam sekop dan peralatan lain. Kita bilang padanya, kita menemukan tulang-
tulang tua di atas bukit, dan sekarang ini mengadakan penggalian sedikit. Nanti
dengan segera kita akan tahu, apakah tempat ini memang benar bekas puri atau
bukan!" "Setuju!" kata Julian dengan bersemangat. "Sekarang kita ukur dulu, berapa luas
cekungan ini!" Mereka lantas mengelilinginya. Ternyata kelilingnya cukup besar,
bahkan untuk sebuah puri yang besar pun mencukupi. Mereka agak heran, kenapa
rumput yang tumbuh dalam cekungan warnanya agak lebih gelap dibandingkan dengan
warna rumput di sebelah luarnya.
"Kadang-kadang rumput yang tumbuh di tanah bekas bangunan kuno memang begitu
warnany kata Julian. "Wah, ini benar-benar mengasyikkan. Aku senang, bahwa
justru kedua Harry yang pertama-tama mengenalinya. Soalnya, ini kan termasuk
tanah mereka juga!" Tiba-tiba George berseru kaget. "He! Itu kan Junior, yang lari di sana itu?"
Dilihatnya Timmy menegakkan telinga, sedang hidungnya mengendus-endus.
"Ya betul!" tambah Goerge. "Rupanya anak itu mengintip kita! Jahat sekali dia!"
"Ah, takkan banyak yang diketahuinya," kata Julian, sambil memandang anak yang
lari menjauh itu. "Kurasa ia bahkan tidak tahu bahwa di sini dulu ada puri. Dan
sudah pasti ia tidak tahu bahwa kita sedang mencari-cari tempat bekas puri itu.
Ia cuma mengintip-intip karena ingin tahu saja!"
Padahal Junior tahu segala-galanya tentang puri kuno itu, karena ia ikut
mendengarkan pembicaraan anak-anak sewaktu di kandang ayam! Dan kini ia merasa
sudah waktunya untuk melaporkan semua yang berhasil diketahui olehnya pada
ayahnya! Ayahnya dijumpai olehnya ketika sedang meneliti sebuah pendiangan kuno, bersama
Pak Durleston. "Ini juga layak dibeli," kata Pak Durleston. "Ia bisa dibongkar, lalu dipasang
lagi di ruma Anda. Bagus sekali dan sangat tua umurnya. Lagi pula.."
"Yah, Ayah! Ayah!" seru Junior, sambil berlari-lari masuk. Pak Durleston menoleh
dengan jengkel. Mau apa lagi anak itu, pikirnya. Tapi Junior tak mengacuhkan
kejengkelan Pak Durleston. Ditarik-tariknya lengan ayahnya.
"Ayah! Aku tahu di mana tempat puri kuno itu dulu berada. Dan di bawahnya ada
ruangan bawah tanah, penuh dengan harta. Sungguh, Yah, aku tahu! Anak-anak itu
menemukan tempatnya. Aku melihat mereka, tapi mereka tidak melihat aku!"
"Apa saja yang kau ocehkan, Junior?" kata ayahnya. Pak Henning juga agak
jengkel, karena rembukannya dengan Pak Durleston terputus dengan tiba-tiba.
"Omong kosong! Mana mungkin kau tahu apa-apa tentang tempat bekas puri itu serta
lain-lainnya yang kaukatakan tadi!"
"Sungguh, Yah, aku betul-betul tahu! Aku mendengarkan percakapan mereka dalam
kandang ayam!" seru Junior, sambil terus menarik-narik lengan ayahnya. "Mereka
juga menemukan tumpukan sampah, Yah. Sampah itu berasal dari puri. Banyak sekali
tulang dan kulit tiram di situ. Setelah itu mereka mencari-cari tempat puri kuno
itu mungkin dulu berada. Menurut mereka, letaknya tak mungkin jauh dari tumpukan
sampah itu..." "Mereka benar," kata Pak Durleston. "Onggokan sampah yang mereka temukan itu
namanya kokkenmodding. Apabila tempat itu sudah diketahui, memang tidak sukar
lagi menemukan tempat bekas pemukiman manusia... dan di sini yang dicari puri!
Hmm, ini benar-benar menarik, Pak Henning. Apabila Anda bisa mengusahakan agar
kita diperbolehkan menggali di tempat itu, kiranya..."
"Oh, boy!" seru Pak Henning dengan gembira. Matanya melotot. "Sudah kubayangkan
judul berita dalam koran, 'Orang Amerika menemukan bekas puri kuno yang lenyap
selama berabadabad! Penggalian bawah tanah menghasilkan tulang-belulang tawanan
zaman dulu, mata uang emas berpeti-peti..."
"Tenang, tenang," kata Pak Durleston. "Mungkin di dalamnya sama sekali tidak ada
apa-apa! Kita tidak boleh menggantang asap, Pak Henning. Jangan bergembira dulu
tentang sesuatu yang belum tentu ada! Dan ingat, jangan dulu bercerita pada
wartawan. Jangan sampai orang-orang berduyun-duyun ke sini, ingin mengadakan
penggalian pula, sehingga harga-harga naik!"
"Wah, tidak sampai ke situ pikiranku tadi," kata Pak Henning kaget. "Baiklah, kita harus bertindak dengan hati-hati. Apa usul Anda?"
"Kuusulkan Anda mendekati Pak Philpot dulu. Bukan Kakek, tapi Pak Trevor
Philpot! Tawarkan padanya uang sebanyak.., yah, katakanlah lima ratus pound,
untuk membeli hak mengadakan penggalian di atas bukit itu," kata Pak Durleston.
"Nanti kalau ternyata ada sesuatu yang menarik di situ, Anda tawarkan lagi
sejumlah uang untuk memperoleh hak atas semua yang ditemukan di bawah tanah.
Bilang saja lima ratus pound lagi! Tak apa, mengeluarkan uang sebanyak itu,
karena barang-barang yang tertimbun di situ pasti sudah sangat tua umurnya. Jadi
sangat berharga! Ya, ya, begitulah saranku"
"Kedengarannya baik juga," kata Pak Henning. Ia sudah mulai bersemangat lagi.
"Dan selama itu Anda kan akan terus di sini mendampingi aku, Pak Durleston?"
"Tentu, tentu, asal Anda bersedia membayar," kata Pak Durleston. "Dan kurasa
lebih baik aku yang mendekati Pak Philpot, jadi bukan Anda. Aku khawatir,
jangan-jangan Anda membocorkan rahasia, apabila... apabila semangat Anda timbul
lagi sewaktu sedang berunding. Tentu saja Anda ikut hadir, tapi biar aku saja
yang bicara!" "Beres, beres - pokoknya Anda sendiri yang berunding," kata Pak Henning. Ia
begitu gembira saat itu, sehingga apa pun yang diusulkan oleh Pak Durleston,
pasti akan disetujui olehnya. Ditepuknya punggung Junior. "Bagus, Nak! Mungkin
sekarang kita akan memperoleh untung besar. Tapi ingat, jangan bicara dengan
orang lain tentang soal ini!"
"Aduh, Ayah menyangka aku ini apa?" kata Junior. "Mulai saat ini mulutku
terkunci rapat! Ayah kira aku mau membuka rahasia, apabila ini merupakan
kesempatan baik untuk membalas anak-anak yang sombong itu" Nanti kalau mereka
sudah pergi dari bukit itu, Ayah periksa saja sendiri ke sana. Pak Durleston
pasti akan tahu, apakah penemuan itu benar atau tidak!"
Jadi setelah anak-anak kembali ke rumah untuk membantu lagi, segera Pak Henning
dan Pak Durleston mengikuti Junior ke tempat tumpukan sampah. Dari situ ke
cekungan, yang diduga merupakan tempat puri dulu. Pak Henning makin bersemangat.
Sedang Pak Durleston yang selalu kelihatan lesu, sekali itu berseri-seri
tampangnya. Ia mengangguk-angguk beberapa kali.
"Kelihatannya memang inilah tempatnya," kata laki-laki berbadan kurus itu.
"Malam ini juga kita mulai dengan rencana kita - sesudah Kakek pergi tidur!
Sebab kalau tidak, mungkin pak tua itu akan menghambat. Orangnya sudah setua
bukit-bukit di sini, tapi rewelnya seperti gagak!"
Malam itu, ketika Kakek sudah masuk ke kamar tidurnya, Pak Henning dan Pak
Durleston mengajak suami-istri Philpot berunding. Pak petani serta istrinya cuma
bisa mendengar saja, sambil tercengang-cengang. Ketika mendengar bahwa Pak
Henning menawarkan pembayaran dengan cek sebesar lima ratus pound, hanya untuk
mendapat hak melakukan penggalian, Bu Philpot nyaris saja menangis karena
terharu! "Selanjutnya sudah kusarankan pada Pak Henning untuk membayar sejumlah uang
lagi, apabila ia menemukan sesuatu yang ingin dibawanya pulang ke Amerika,
sebagai... sebagai kenang-kenangan liburan yang indah di sini," kata Pak
Durleston. "Aduh, ini rasanya seperti mimpi kejatuhan bulan," kata Bu Philpot. "Uang itu
banyak gunanya untuk kita. Ya kan, Trevor?"
Sebelum Pak Philpot bisa menjawab, Pak Henning sudah mengambil buku cek serta
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pena dari kantongnya. Ia menulis nilai lima ratus pound pada selembar cek yang
langsung ditanda-tanganinya. Cek itu lalu disodorkan pada Pak Philpot.
"Mudah-mudahan saja nanti ada lagi cek yang menyusul," katanya. "Terima kasih,
besok akan kusuruh orang-orangku memulai penggalian."
"Aku akan membuatkan surat perjanjian resmi," kata Pak Durleston, ketika
dilihatnya Pak Philpot agak ragu-ragu menerima cek. "Tapi cek itu bisa Anda
uangkan dengan segera!"
Anak-anak tercengang mendengar kabar itu keesokan paginya. Mula-mula Bu Philpot
menceritakannya pada Harry dan Harriet, yang langsung lari mencari Julian serta
ketiga saudaranya untuk diajak berunding. Mereka mendengarkan laporan kedua anak
kembar itu dengan heran bercampur marah.
"Dari mana kedua orang itu mengetahui semuanya" Dari mana mereka tahu, di mana
tempat puri kuno itu dulu berada?" kata Dick sengit. "Aku berani bertaruh, pasti
Junior yang bercerita pada mereka! Pasti ia mengintip dan ikut mendengarkan
pembicaraan kita kemarin sehabis minum teh. Rupanya Pak Henning dengan
temannya... serta Junior. Huh... kepingin rasanya menjambak rambut anak itu!"
"Yah.., kurasa tak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang!" tukas George.
"Tahu-tahu kita akan melihat iring-iringan truk datang ke sini, penuh dengan
orang yang membawa sekop, cangkul, dan bermacam-macam peralatan lagi!"
Dugaan George ternyata tepat! Pagi itu juga bukit menjadi ramai. Pak Henning
menyewa tenaga empat orang untuk menggali. Mereka datang ke bukit dengan sebuah
truk. Kendaraan itu berjalan pelan-pelan, melewati onggokan tanah yang merupakan
timbunan sampah, terus menuju ke cekungan yang terdapat dekat puncak bukit.
Sekop, alat penggaru, dan bor terbanting-banting di dasar bak. Junior menandak-
nandak dengan gembira, sambil berseru-seru menantang keenam anak yang memandang
dengan suram. Tapi ia tidak berani datang terlalu dekat.
"Kalian menyangka aku tidak tahu apa-apa, ya" Padahal segala pembicaraan kalian
ikut kudengar! Huh, tahu rasa sekarang!" Junior mencibir.
"Kejar dia, Tim!" seru George dengan marah. "Tapi jangan sakiti. Ayo kejar!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, Timmy langsung lari mengejar. Jika Junior
tidak cepat-cepat meloncat naik ke atas truk lalu mengambil sebuah sekop untuk
mempertahankan diri, pasti ia sudah terguling-guling di tanah karena ditubruk
oleh Timmy! Sekarang bagaimana" Anak-anak hampir saja putus asa. Tapi cuma hampir! Mungkin
masih ada yang bisa mereka lakukan. Siapa tahu.
Nah, apa sebabnya Julian dengan tiba-tiba tampak begitu gelisah"
14. Snippet dan Nosey Berjasa
"Sssst... dengar baik-baik!" kata Julian setengah berbisik. Ia celingukan
sebentar, untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain di dekat mereka. Kemudian
ia melanjutkan, "Masih ingat, George, katamu ada lorong rahasia dari puri ke
gereja tua?" "Ya, betul!" kata George, sementara Anne mengangguk dengan mata bersinar-sinar.
"Maksudmu cerita Pak Finniston dari toko barang antik, mengenai istri bangsawan
yang menyelamatkan anak-anaknya dari puri yang sedang terbakar" Katanya mereka
lari ke gereja tua, lewat lorong di bawah tanah! Wah, hampir saja aku lupa!"
"Ya, betul, Julian!" kata Anne. "Dan menurut sangkaanmu, lorong itu mungkin
sekarang masih ada... di bawah tanah?"
"Pikiranku begini," kata Julian. "Jika putri itu lari membawa anak-anaknya lewat
jalan bawah tanah, maka mestinya mereka mula-mula harus turun dulu ke kolong
puri. Jadi lorong atau terowongan itu tentunya berpangkal dalam kolong!"
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk. "Tak mungkin mereka lari lewat jalan lain,
karena bukankah puri saat itu sedang dikepung musuh," kata Julian meneruskan
pertimbangannya. "Jadi mula-mula putri itu bersembunyi dalam ruangan bawah tanah
bersama anak-anaknya. Kemudian, ketika puri ambruk, ia melarikan mereka lewat
lorong rahasia, menuju gereja tua. Dan itu berarti..."
"Itu berarti, apabila kita menemukan letak lorong rahasia itu, kita akan bisa
masuk ke dalam kolong puri! Dan bahkan mungkin lebih dulu daripada para pekerja
yang disewa Pak Henning!" kata George. Hampir saja ia berteriak, karena gembira.
"Tepat!" kata Julian. Matanya berkilat-kilat. "Tapi jangan buru-buru ribut dulu.
Kita harus merundingkan soal ini dengan tenang! Dan hati-hati, jangan sampai
ketahuan si Junior lagi!"
"Timmy... jaga!" kata George. Dengan segera Timmy tegak menjaga. Anjing itu
memandang ke segala arah, dengan sikap tegak. Sekarang tak ada lagi yang bisa
mendekat, tanpa ketahuan Timmy!
Anak-anak duduk di tepi pagar semak. "Sekarang bagaimana rencana kita?" tanya
Dick. "Kuusulkan, kita sekarang pergi dulu ke gereja tua. Dari situ berjalan lurus ke
arah cekungan yang akan digali. Mungkin saja nanti kita akan melihat sesuatu
yang merupakan tanda di mana terletak lorong rahasia itu. Aku sekarang belum
bisa memperkirakan tanda macam bagaimana. Mungkin ada rumput yang warnanya agak
lebih gelap dari rumput sekelilingnya, seperti yang kita lihat di tempat bekas
puri. Yah, pokoknya kita harus berusaha. Dan kalau kita melihat sesuatu yang
bisa merupakan tanda, kita akan melakukan penggalian di tempat itu! Siapa tahu,
di bawahnya ada lorong!"
"Wah, hebat juga ide itu,Jul" kata Anne dengan bersemangat. "Yuk, sekarang saja
kita ke gereja!" Mereka pun berangkat beramai-ramai ke sana, diiringi oleh Timmy dan Snippet.
Nosey, si gagak iseng itu, tidak mau ketinggalan. Ia gemar mengganggu Snippet.
Dengan cepat mereka tiba di gereja, lalu langsung masuk ke dalam. Julian berdiri
di ambang pintu. Ia menunjuk ke arah bukit yang letaknya lebih tinggi.
"Sekarang kita lihat dulu," katanya. "Di sana letak tempat bekas puri, orang-
orang Pak Henning sudah mulai bekerja. Jika kita berjalan lurus ke arah itu,
kira-kira kita akan berjalan di atas lorong rahasia. Kurasa pembuatannya dulu
lurus, untuk menghemat tenaga. Lorong yang berkelok-kelok, penggaliannya memakan
waktu lebih lama." "Tapi pada garis lurus ke cekungan, tidak tampak rumput yang warnanya agak
lain," kata Dick. Ia memicingkan mata, menatap ke arah bukit. Anak-anak yang
lain mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Mereka agak kecewa.
"Kalau begitu, tidak ada tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk;' kata George
sedih. "Apa boleh buat, sekarang kita terpaksa berjalan lurus ke bukit,
barangkali saja di tengah jalan ada sesuatu yang akan menunjukkan bahwa kita
berdiri di atas terowongan bawah tanah. Misalnya saja jika langkah kita
kedengaran menggema!"
"Kecil sekali kemungkinannya," kata Julian. "Tapi memang tidak ada lagi jalan
lain. Kita berangkat sajalah!"
Keenam anak itu mulai berjalan mendaki lereng. Mereka berusaha berjalan selurus
mungkin. Akhirnya mereka sampai ke tempat para pekerja sedang sibuk menggali,
tanpa melihat sesuatu tanda pun yang bisa dijadikan petunjuk. Benar-benar
mengecewakan. "Hei, anak-anak dilarang kemari!"
Mereka menoleh ke arah datangnya suara itu. Ternyata Junior yang berteriak. "Ayo
pergi!" serunya lagi. "Tanah sini sudah dibeli ayahku!"
"Pembohong!" balas kedua Harry serempak. "Kalian cuma mendapat hak untuk
menggali saja, lain tidak!"
"Beeeh," cibir Junior. "Tunggu saja nanti! Dan jangan suruh anjingmu mengejarku,
nanti kuadukan pada ayahku!"
Tapi ketika Timmy menggonggong, saat itu juga Junior lari.
"Anak konyol!" kata George sambil tertawa. "Kenapa belum ada yang menempelengnya
sampai sekarang" Tapi kurasa tak lama lagi salah seorang dari pekerja itu pasti
akan melakukannya! Lihatlah, dia sudah iseng lagi, bermain-main dengan alat
pengebor." Junior memang menjengkelkan. Kerjanya mengganggu orang yang bekerja. Akhirnya
ayahnya menyeretnya ke truk, dan menyuruhnya tinggal di situ. Junior meraung-
raung karena kesal. Tapi tak ada yang mau mengacuhkannya.
Sementara itu anak-anak yang lain melangkah pergi. Mereka menuruni lereng lagi,
sambil berjalan lambat-lambat. Kali ini ditempuh garis yang agak lain daripada
yang tadi. Mereka belum putus harapan.
Nosey hinggap di pundak Harry sambil ber-kaok-kaok. Ia sudah bosan, karena tak
ada yang bisa diperbuatnya saat itu. Tapi tiba-tiba dilihatnya Snippet duduk di
tanah, sambil menggaruk-garuk leher. Secepat kilat Nosey terbang menukik ke
arahnya. Gagak itu tahu bahwa Snippet selalu memejamkan mata pada saat sedang
asyik menggaruk. Dan itulah saat yang paling tepat untuk mematuknya!
Tapi Nosey sial. Sebelum ia sempat, Snippet sudah membuka matanya kembali.
Anjing itu masih sempat melihat gagak yang hendak bertengger dan mematuknya.
Snippet langsung menangkap sayap Nosey. Burung gagak itu berkaok-kaok minta
tolong. Harry buru-buru lari mendatangi, sambil berteriak-teriak, "Lepaskan, Snippet!
Lepaskan, nanti patah sayapnya!"
Tapi sebelum Harry tiba untuk menolong, gagak iseng itu sudah berhasil
membebaskan dirinya sendiri. Tiba-tiba dipatuknya hidung Snippet, sehingga
anjing itu mendengking kesakitan. Dan begitu mulutnya terbuka, Nosey terjatuh ke
tanah. Gagak itu lari menjauh, dengan sayap terkulai. Ia tidak mampu terbang!
Dengan cepat Snippet mengejar. Kedua Harry berteriak-teriak melarang, tapi sama
sekali tak diacuhkan. Snippet bertekad hendak menangkap gagak yang menjengkelkan
itu! Tentu saja Nosey ketakutan. Sambil berkaok-kaok burung itu lari ke sana-
kemari, mencari tempat bersembunyi. Kemudian ia melihat sebuah liang kelinci.
Dengan segera ia lari ke situ, dan sambil berteriak dengan ribut ia menyusup ke
dalam. "Nosey masuk ke liang kelinci!" seru Dick sambil tertawa-tawa. "Gagak pintar!
Kau kalah, Snippet! Tapi Snippet belum mau mengaku kalah! la menyusul masuk. Badannya cukup kecil,
jadi bisa ikut menyusup ke dalam liang itu. Selama ini ia belum pernah memasuki
liang kelinci; karena takut pada lorong yang gelap, paling hanya mengendus-endus
di luar saja. Tapi jika Nosey berani masuk, Snippet tidak mau kalah!
Anak-anak memandang sambil melongo. Kedua Harry membungkukkan diri ke lubang,
lalu berteriak-teriak ke dalam.
"Ayo kembali, Snippet! Tolol! Liang ini simpang-siur di dasar bukit, nanti kau
tersesat di dalamnya: Sini, Snippet!"
Tapi dari dalam liang tidak terdengar apa-apa. "Rupanya mereka masuk jauh ke
dalam," kata Harry gelisah. "Di bukit ini banyak sekali liang kelinci yang
bersimpang-siur. Kata Ayah, dulu di sini banyak sekali kelinci berkeliaran.
Beribu-ribu!" "Yah... sekarang kita hanya bisa menunggu, sampai keduanya muncul kembali," kata
Anne. Ia duduk di tanah, karena merasa capek naik turun bukit.
"Baiklah," kata Julian. "Ada yang membawa permen?"
"Aku punya," kata George, yang memang biasa mengantongi permen ke mana-mana.
"Nih!" "Sebetulnya kita harus kembali sekarang," kata Harry, "masih banyak
pekerjaan yang menunggu!" Setelah menunggu beberapa saat, anak-anak melihat
telinga Timmy menegak. Anjing itu menggonggong sekali, sambil memandang mulut
liang. "Mereka datang," kata George. "Timmy sudah tahu!"
Ternyata Timmy memang tahu. Kedua binatang itu muncul lagi dari dalam liang.
Mula-mula Snippet, dan kemudian Nosey. Rupanya keduanya sudah berkawan lagi.
Snippet langsung lari menghampiri kedua Harry, seolah-olah tidak melihat mereka
selama beberapa hari. Anjing itu menggondol sesuatu, yang kemudian diletakkan di
depan kaki kedua anak kembar itu.
"Apa yang kaubawa?" tanya Harry, sambil memungut benda itu. "Tulang, ya?"
Dengan cepat Julian menyambarnya dari tangan Harry.
"Bukan, bukan tulang! Ini kan sebuah pisau! Pisau kecil berukir. Gagangnya sudah
patah. Wah, ini benda kuno! Di mana kau menemukannya, Snippet?"
"Gagak itu juga menggondol sesuatu di paruhnya!" kata Anne sambil menuding.
"Lihatlah!" Harriet dengan mudah berhasil menangkap gagak itu, karena Nosey masih belum bisa
terbang lagi. "Ini cincin!" seru anak itu. "Cincin bertatahkan batu merah!"
Keenam anak itu memandang kedua benda temuan itu sambil melongo. Sebuah pisau
yang sudah hitam karena tuanya, dan sebuah cincin emas yang masih ada
permatanya! Kedua benda itu pasti berasal dari satu tempat.
Rupanya Snippet dan Nosey tadi masuk ke kolong puri," kata George. Ia
mengucapkan hal yang juga dipikirkan kawan-kawannya. "Itu sudah pasti! Rupanya
liang kelinci ini tembus ke kolong yang menghubungkan kolong puri dengan gereja!
Dan Snippet serta Nosey masuk ke sana! Aduh, Snippet-kau memang anjing yang
cerdik! Kau menemukan lorong yang kami cari selama ini!"
"George benar!" kata Dick bersemangat. "Berkat Snippet dan Nosey, sekarang
banyak yang kita ketahui! Kita tahu sekarang, di kolong puri pasti masih banyak
barang yang tersimpan, dan kita juga tahu di ujung liang ini terdapat lorong
rahasia yang kita cari! Betul kan, Ju?"
"Betul!" jawab Julian. Mukanya merah karena gembira. "Wah, sekali ini kita
benar-benar mujur. Berkat Snippet dan Nosey! Lihat, gagak iseng itu mencoba
terbang lagi. Ternyata sayapnya tidak cedera berat! Bagus, Nosey, kali ini
keisenganmu besar gunanya!"
"Sekarang bagaimana?" tanya George, dengan mata bersinar-sinar. "Apakah kita
akan menggali di sini-karena sudah tahu letak lorong rahasia itu" Pasti tak
begitu dalam letaknya. Dan kalau sudah berada di situ, dengan gampang kita akan
bisa masuk ke kolong puri-mendahului Pak Henning serta orang-orangnya."
15. Menggali ke Lorong "Bagaimana cara minta izin untuk menggali?" tanya Anne. "Maksudku, bolehkah kita
menggali di sini?" "Kenapa tidak" Pak Henning kan hanya memperoleh izin untuk menggali di satu
tempat saja," kata Julian. "Kurasa kita tentu diizinkan menggali di sini. Lagi
pula jaraknya cukup jauh dari tempat bekas puri."
Kenapa kita tidak langsung menggali saja. Kita lihat nanti, dilarang atau
tidak," kata George. "Jika Pak Philpot yang melarang, akan kita katakan padanya
apa yang sebenarnya sedang kita kerjakan. Setelah itu tentu dia akan
mengizinkan! Tapi apa pun yang terjadi, jangan sampai Pak Henning mengetahui
penemuan kita, atau apa yang kita sangka telah ditemukan!"
"Kalau begitu apa yang akan kita katakan, jika ia bertanya kenapa kita menggali
di sini?" tanya Anne.
"Jawab seenaknya saja, kita main-main!" kata Dick. Kemudian ia bertanya pada
kedua Harry, "Kalian harus bekerja pagi ini" Bisakah kalian mengusahakan
beberapa sekop untuk kami?"
"Pakai saja sekop kami berdua... serta sekop Ayah," jawab Harry. "Kami
sebetulnya ingin membantu, tapi masih banyak pekerjaan yang menunggu. Sekarang
pun kami sudah agak terlambat!"
"Aduh, dan aku sudah berjanji... aku dan George akan membantu di dapur," kata
Anne. "Bagaimana jika kalian berdua saja yang menggali, Ju?"
"Tentu saja bisa," jawab Julian. "Memang, jika berdua saja pasti lebih lambat.
Tapi tak apa! Nanti sore kan bisa kita lanjutkan, apabila kedua Harry sudah
selesai bekerja!" "Beres! Kami akan bekerja secepat kilat!" kata Harry dan Harriet serempak.
"Sekarang kami ambilkan dulu sekop untuk kalian." Keduanya lari menuruni lereng,
diikuti oleh Snippet. Sementara George dan Anne berjalan dengan tenang, walaupun
perasaan mereka sangat gelisah saat itu. Wah, mudah-mudahan saja bisa ditemukan
lorong rahasia yang menghubungkan gereja tua dengan kolong puri! Timmy yang ikut
dengan mereka, menggerak-gerakkan ekor dengan gem-bira. Ia ikut merasakan
keasyikan anak-anak saat itu Timmy selalu senang, apabila ada sesuatu yang
mengasyikkan George! Tidak lama kemudian Harriet sudah datang lagi. Ia membawa dua buah sekop besar,
dan satu sekop kecil. Peralatan itu tidak bisa dibilang enteng. Ia memanggulnya
ke atas bukit, dengan napas terengah-engah.
"Hebat, Harry!" kata Dick sambil menyambut ketiga sekop itu. "Eh, nanti dulu!
Kau Harriet, karena di tanganmu tidak ada bekas luka!"
Sambil nyengir, Harriet lari kembali mendatangi saudara kembarnya yang sudah
sibuk bekerja, membantu orangtua mereka.
"Mereka anak-anak baik," kata Julian sambil memandangi kepergian anak itu.
Kemudian ia mulai menggali. "Ya, lebih baik dari pada seratus anak seperti
Junior! Aneh, ada anak-anak yang baik, dan ada pula yang sama sekali tak
berguna! Nah, Dick, kita mulai saja sekarang. Tanah di sini ternyata sangat
keras. Coba kita bisa meminjam salah satu mesin yang dipakai para pekerja di
atas itu, pasti akan lebih cepat kerja kita!"
Keduanya menggali dengan bersemangat. Hawa panas. Dick dan Julian membuka
pakaian mereka, sehingga tinggal bercelana pendek. Tapi mereka masih tetap
kepanasan. Karenanya mereka menyambut dengan gembira, ketika Anne datang membawa
limun dan kue-kue. "Wah, sudah dalam juga lubang yang kalian gali," kata anak itu. "Masih berapa
dalam lagi menurut perkiraan kalian?"
"Kurasa sedikit lagi sudah sampai," jawab Dick, sambil meneguk limun sepuas-
puasnya. Wah, sedap! Terima kasih, Anne. Saat ini kami mengikuti liang kelinci.
Mudah-mudafian saja sudah akan mencapai lorong itu sebelum kami kehabisan
tenaga!"
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hei, Junior datang!" kata Anne dengan tibatiba, sambil memandang ke atas bukit.
Memang, anak Amerika itu menghampiri mereka. Ia berani datang, karena melihat
bahwa Timmy dan Snippet tidak ada di situ:
Ketika sudah agak dekat ia berhenti. "Mau apa kalian menggali di situ?" serunya.
"Pergi!" balas Dick. "Ini bukan bukit kalian! Jika kalian boleh menggali, kenapa
kami tidak?" "Kalian bisanya cuma meniru-niru saja!" ejek Junior. "Kalian
ditertawakan ayahku!"
"Biar!" jawab Dick.
Junior masih memperhatikan kesibukan mereka sesaat. Kelihatannya ia agak
bingung. Kemudian lari lagi ke atas. Rupanya hendak melaporkan pada ayahnya.
Anne tertawa, lalu kembali ke rumah.
"Karena ayahnya tidak tahu-menahu tentang lorong rahasia, pasti ia mengira kita
sudah sinting, menggali-gali di sini," kata Julian sambil tertawa geli. "Yah,
biar ia mengira begitu! Nanti tentu dia mengamuk, jika sudah tahu apa yang
sebetulnya sedang kita lakukan di sini. Tapi ia takkan tahu, sampai kita sudah
berada dalam kolong puri!"
Dick ikut tertawa, lalu menyeka keringat yang membasahi kening.
"Aku kepingin cepat-cepat mencapai ujung liang ini," katanya. "Dan mudah-mudahan
saja memang betul menembus ke lorong yang kita cari Aku tidak mau harus
menggali-gali terus, karena tanah di sini keras dan kering!"
"Nah, sekarang sudah mulai berpasir," kata Julian. Ia menggali lebih dalam lagi.
Tiba-tiba ia berseru kaget. "He! Ujung sekopku melesak ke dalam. Kurasa kita
sudah sampai ke ujung liang. Kita sudah menemukan lorong rahasia itu!" Memang
benar! Liang kelinci itu mengarah ke samping, dan menembus sebuah lorong. Kedua
anak itu semakin rajin menggali. Rambut mereka tergerai menutupi kening.
Keringat bercucuran. Akhirnya mereka sampai di sebuah rongga yang agak lapang. Dan di dasarnya ada
lubang masuk ke... lorong! Kedua anak itu menjengukkan kepala ke bawah untuk
melihatnya. "Wah, ternyata tidak begitu dalam," kata Dick. "Untunglah, karena begini saja
aku sudah kepanasan!"
"Sekarang sudah hampir saatnya makan siang," kata Julian. "Sebetulnya aku tidak
ingin meninggalkan tempat ini, karena kita sudah sampai ke lorong. Tapi kita
perlu makan dulu. Perutku lapar sekali!"
"Aku juga! Tapi jika lubang ini kita tinggalkan tanpa dijaga, ada kemungkinannya
si Junior akan kemari dan menemukan lorong yang ada di bawah," kata Dick. "Nah,
itu George datang dengan Timmy. Barangkali saja dia mau meninggalkan Timmy,
untuk menjaga tempat ini."
George gembira sekali mendengar kabar bahwa lorong rahasia sudah ditemukan.
"Wah, dalam juga, ya," katanya. "Pantas keringat kalian bercucuran! Wah, jika
Pak Henning tahu apa yang kalian temukan, pasti ia akan bergegas datang!"
"Ya, tentu," kata Julian. "Dan justru itulah yang kami khawatirkan! Atau mungkin
juga Junior yang kemari, la!u masuk ke dalam lubang. Tadi ia sudah datang, dan
melihat kami menggali di sini."
"Sekarang kami takut meninggalkan tempat ini, karena jangan-jangan salah satu
dari mereka datang waktu kita tidak ada, lalu memeriksa ke bawah," kata Dick.
"Karena itu, bagaimana jika..."
George langsung menyela, seakan-akan sudah tahu apa yang hendak ditanyakan oleh
Dick. "Timmy akan kutinggalkan di sini, sementara kalian makan," katanya. "Pasti
takkan ada orang yang diperbolehkannya mendekat!"
"Terima kasih," kata Dick dan Julian, lalu kembali ke rumah bersama George,
sementara Timmy menjaga lubang.
"Jaga baik-baik," kata George pada anjingnya. "Jangan ada orang yang boleh
mendekat!" Timmy menggonggong, menyatakan bahwa ia mengerti. Kemudian ia merebahkan diri,
sambil menggeram-geram. Kalau ada orang yang berani menghampiri, ia sudah siap
untuk mengusir mereka. Ternyata ada juga yang berani mencoba, yaitu Junior dan ayahnya. Tapi begitu
mereka melihat Timmy berdiri dengan bulu tengkuk tegak dan menggeram dengan nada
mengancam, keduanya lantas mundur teratur. Mereka menuruni bukit untuk makan
siang di rumah. Pak Durleston membuntut dari belakang. Ia sudah kepayahan,
karena tak tahan hawa panas.
"Anak-anak konyol," kata Pak Henning pada Junior.
"Ikut-ikutan menggali, karena kita menggali! Menurut dugaan mereka, apa yang
bisa ditemukan di tempat itu" Tumpukan sampah lagi?"
Junior melempar batu ke arah Timmy, la!u lari pontang-panting ketika Timmy
mengejar dengan marah. Bahkan Pak Henning pun mempercepat langkah. Ia juga segan
berhadapan dengan Timmy! Sehabis makan siang, kedua Harry, Julian, Dick, George, Anne, dan Snippet
berbondongbondong mendaki lereng, menuju ke lubang yang masih dijaga Timmy.
Mereka membawakan dua buah tulang, dan air segayung.
Kedua Harry bersemangat sekali ketika melihat lubang yang digali oleh Julian dan
Dick. "Kita masuk sekarang yuk!" kata mereka serempak.
"Ya, kurasa sekarang memang ada kesempatan baik," kata Julian. "Para pekerja
yang menggali di atas sedang makan siang di desasedang Pak Henning dan Pak
Durleston masih ada di rumah."
"Aku dulu yang masuk," kata Dick, lalu turun ke dalam lubang. Sambil berpegangan
ke rumput yang tumbuh di tepi atas, kakinya menendangnendang dasar lubang, untuk
memperbesarnya. Kemudian ia meluncur ke bawah, sampai kakinya menembus ke dalam
lorong. "Aku masuk sekarang," katanya, sambil melepaskan pegangan. Ia meluncur ke bawah,
masuk ke dalam lorong yang pengap. Sesaat kemudian kakinya menyentuh tanah
empuk. "Tolong lemparkan senter ke sini!" serunya dari dalam lorong. "Di sini
gelap sekali. Kau kan tidak lupa membawa senter kita tadi, George?"
George bahkan membawa empat senter sekaligus!
"Awas," seru anak itu. "Akan kulemparkan sekarang!"
Senter dinyalakan dulu, lalu dilemparkannya ke dalam lubang. Dick menyambutnya
dengan cekatan, lalu menyorotkannya ke sekeliling tempatnya berada:
"Ya, ini memang lorong," serunya gembira. "Sudah jelas, inilah lorong yang kita
cari. Hebat! Nah, sekarang kalian semua menyusul masuk, lalu kita bersama-sama
menyusuri lorong ini, sampai ke kolong puri. Ayo, cepatlah sedikit!"
16. Menuju ke Kolong Puri
Dick menyorotkan sinar senternya ke atas, supaya anak-anak yang lain bisa
melihat jalan. Satu per satu mereka meluncur ke bawah. Timmy dan Snippet ikut
turun pula. Tapi Nosey tidak mau. Ia tinggal di atas, sambil berkaok-kaok.
Sesampai di bawah, anak-anak menyorotkan cahaya senter mereka ke muka dan ke
belakang. "Ke arah sana, mestinya menuju ke gereja tua," kata Julian. Hanya Timmy dan
Snippet saja yang bisa berdiri seperti biasa dalam lorong gelap itu, karena
langit-langitnya rendah sekali.
"Ayo kita terus!" kata Julian. Suaranya agak bergetar, menahan perasaan. "Kita
terus saja ke arah ini! Kita lihat nanti, sampai di mana ujungnya."
Lorong itu agak miring. Anak-anak berjalan menuju tempat yang lebih tinggi. Di
sana-sini ada bagian langit-langit yang runtuh, tapi tidak sampai mengganggu
perjalanan mereka. Hanya kadang-kadang ada yang tersandung, karena kakinya
tersangkut akar pohon. "Aneh!" kata Harry. "Di atas kan tidak ada pepohonan! Dari mana datangnya akar-
akar ini?" "Mungkin sisa-sisa pohon yang du!u penuh di lereng ini;' kata Julian.
Ia mengarahkan sinar senternya ke depan, karena takut kalau-kalau ada rintangan
yang bisa menghambat langkah selanjutnya. Tiba-tiba ia berseru kaget.
"Hei, apa ini" Dua helai bulu burung! Kenapa ada sini?"
Anak-anak memeriksa bulu-bulu itu dengan penuh perhatian. Kelihatannya masih
baru! Tapi bagaimana bisa sampai dalam lorong itu" Mungkinkah ada jalan lain
masuk ke situ... dan burung yang bulunya tercecer di situ menemukannya"
Tiba-tiba tawa Dick meledak. Kawan-kawannya menoleh dengan kaget.
"Kita benar-benar tolol!" serunya. "Ini kan bulu si Nosey! Rupanya tercecer di
sini, ketika lari menyusuri lorong ini dikejar oleh Snippet!"
"Ah ya, tentu saja! Kenapa tidak sampai ke situ pikiranku tadi;' kata Julian.
Mereka meneruskan perjalanan, menyusuri lorong ke arah atas. Tiba-tiba Julian
tertegun lagi. Dari arah depan terdengar bunyi mendengung pelan.
"Bunyi apa itu?" kata Anne ketakutan. "Hi... seram!"
Anak-anak berdiri seperti terpaku. Bunyi mendengung itu seakan-akan memenuhi
kepala mereka. Semua menggeleng-geleng, menyumbat telinga dengan jari... tapi
percuma! Bunyi itu masih tetap terdengar.
"Aku tak mau terus," kata Anne yang semakin takut.
Tiba-tiba bunyi mendengung berhenti. Anakanak menarik napas lega. Tapi hanya
sebentar, tak lama kemudian bunyi itu terdengar lagi. Tiba-tiba George tertawa.
Anak-anak memandangnya dengan heran.
"Ah, jangan takut!" katanya sambil tertawa terus. "Itu kan bunyi bor, yang
dipakai para pekerja yang menggali lubang di atas! Rupanya mereka sudah kembali
dari makan siang. Ayo, kalian tidak perlu takut!"
Semua tersenyum lega, lalu melanjutkan langkah. Tangan Anne masih gemetar
sedikit, sehingga cahaya senternya bergoyang-goyang. "Tidak banyak udara di
sini," katanya. "Mudahmudahan kita lekas sampai di ruangan kolong puri."
"Kurasa tak jauh lagi," kata Julian. "Lorong ini lurus, seperti perkiraan kita.
Dan bunyi alat bor sudah sangat nyaring sekarang. Kurasa kita sudah dekat!"
Tahu-tahu sinar senter yang dipegang Julian menerangi bekas sebuah pintu besar
yang tergeletak di tanah depannya. Rupanya pintu itu dulu membatasi ruang kolong
puri dengan lorong yang saat itu sedang dilewati anak-anak. Di situlah lorong
rahasia berakhir. Sorotan senter Julian menerangi suatu ruangan yang luas.
"Kita sudah sampai;" bisik Julian. Anne menyentuh sudut pintu yang tergeletak
dengan ujung sepatunya. Ternyata kayu pintu itu sudah sangat rapuh, langsung
ambruk menjadi debu. Snippet mendesak maju, lalu lari memasuki ruangan gelap itu. Ia menggonggong
sekali, seakan-akan hendak mengatakan, "Ayo, jangan takut! Aku sudah pernah
kemari!" "Hati-hati, Snippet!" seru Anne: la khawatir semuanya akan ambruk menjadi debu,
karena getaran langkah berlari anjing itu.
"Ya, kita harus hati-hati berjalan," kata Julian. "Rupanya semua yang ada di
sini sudah sangat rapuh, kecuali benda-benda yang terbuat dari logam. Ajaib
bahwa pintu tadi kelihatan begitu utuh-padahal kalau salah seorang dari kita
bersin, pasti pintu itu langsung menjelma menjadi debu!"
"Jangan bikin aku tertawa, Ju," kata Dick, sambil melangkah dengan hati-hati
mengitari daun pintu yang tergeletak di tanah. "Tawa pun mungkin bisa
menyebabkan kerusakan berat!" Tak lama kemudian mereka semua sudah berada dalam
ruang kolong yang gelap. Anak-anak menyorotkan sinar senter mereka ke segala
arah. "Wah, ruangan ini ternyata sangat luas," kata Julian. "Tapi di sini aku tidak
melihat ada kamar-kamar!"
"Untung," kata Harriet dan Anne serempak. Keduanya sudah takut akan menemukan
tulangbelulang tawanan zaman dulu yang terkurung di situ.
"Lihat, di sana ada gerbang," kata George, sambil mengarahkan sorotan senternya
ke kanan. "Terbuat dari batu! Dan lihat, itu ada satu lagi. Rupanya di sebelah
sana ada ruangan utama! Di sini yang ada cuma debu bertumpuktumpuk. Huh, baunya
pengap!" "Ikut di belakangku dengan hati-hati," kata Julian. Ia berjalan di depan, menuju
ke dua gerbang yang terbuat dari batu. Sesampai di situ, mereka menyorotkan
cahaya senter mereka ke dalam sebuah ruangan yang luas.
"Ini rupanya tempat penyimpanan barang-barang," kata Julian. "Langit-langitnya
ditopang dengan sejumlah balok yang kokoh. Lihatlah, beberapa di antaranya ada
yang sudah ambruk. Dan gerbang melengkung ini rupanya juga merupakan penopang
langit-langit itu. Bagus sekali buatannya!"
Dick dan kedua Harry lebih tertarik melihat barang-barang yang berserakan
sepanjang tepi dinding ruangan itu. Debu yang menyelubungi berhamburan ke atas,
ketika tersentuh. Snippet lari mondar-mandir sambil mengendus-endus. Sekali-
sekali ia bersin, karena debu masuk ke dalam hidungnya.
"Ada harta atau tidak di sini?" bisik Anne. Bisikannya menggema dalam ruangan.
"Aneh, bisikan di sini lebih menggema dibandingkan bila kita bicara dengan suara
biasa;' kata Anne. "Eh, apa ini?"
Anak-anak menyorotkan sinar senter mereka ke lantai. Di situ tampak tumpukan
Iogam yang menghitam. Julian membungkuk untuk memperhatikan dengan lebih cermat.
Tiba-tiba ia berseru dengan gembira.
Kalian tahu, ini apa?" katanya. "Baju besi! Kelihatannya masih bisa dibilang
utuh. Padahal sudah berabad-abad tergeletak di sini. Dan ini ada lagi satu...
dan ini! Apakah ini pakaian besi yang sudah tidak dipakai lagi, atau merupakan
cadangan! Coba kalian perhatikan topi baja ini hebat!"
Julian mendorong benda itu dengan kakinya. Terdengar bunyi berdenting, dan topi
baja itu tergulir di lantai.
"Tinggikah nilai barang itu sekarang?" tanya Harry.
"Wah... ini sama nilainya dengan emas," kata Julian. Suaranya begitu
bersemangat, sehingga anak-anak yang lain ikut tertarik. Harriet memanggil-
manggil Julian. "Julian, di sini ada peti. Cepat!"
Dengan hati-hati mereka melangkah ke tempat Harriet berdiri. Mereka tidak mau
berjalan bergegas-gegas, karena hanya akan menyebabkan debu beterbangan saja.
Harriet menuding sebuah peti besar berwarna gelap. Sudut-sudutnya diberi simpai
besi. Peti itu terbuat dari kayu yang berwarna gelap karena tuanya.
"Ada apa di dalamnya, ya?" bisik Harriet. Bisikannya itu menggema lagi dalam
ruangan. Timmy menghampiri peti itu, lalu mengendusendus. Alangkah kagetnya
anjing itu, ketika tahutahu peti itu sudah lenyap-menjadi debu! Hanya simpai dan
sudut-sudutnya saja yang masih tinggal, karena terbuat dari besi. Anak-anak
melongo. Mereka takjub, melihat suatu benda yang tampaknya kokoh, dengan pelan
ambruk dan berantakan... sebagai debu! Seperti dsulap, kata Anne dalam hati.
Dan di balik debu tampak sesuatu yang berkilat-kilat. Benda itu menggeleser ke
lantai, dengan bunyi berdencing. Aneh kedengarannya, memecah kesunyian ruang
bawah tanah itu. Anak-anak menatapnya dengan mata melotot. Anne menggapai lengan Julian, sehingga
abangnya itu kaget. "Apa itu, Ju" Emas?" tanya Anne.
Julian merogoh ke dalam debu, mengambil sebuah benda yang ada di situ.
Diperhatikannya benda itu.
"Ya, betul! Tidak salah lagi, ini emas! Emas tidak bisa berkarat. Rupanya ini
uang emas, yang disimpan dalam peti ini. Rupanya ketika putri penghuni puri ini
dulu lari bersama anakanaknya, ia tidak sempat membawa hartanya.
Sedang orang lain juga tidak bisa mengambil, karena jalan masuk ke sini
tertimbun dinding puri yang ambruk! Harta emas ini ada di sini sejak masa itu,
sama sekali tak tersentuh tangan manusia"
"Ya, sampai kita datang!" kata George. Ia menoleh pada kedua anak kembar.
"Orangtua kalian tidak perlu lagi bingung memikirkan pertanian mereka! Dari
hasil penjualan harta yang ada di sini, bisa dibeli segala traktor dan peralatan
lain yang mereka perlukan untuk mengurus usaha mereka! He Julian, lihatlah, di
sana ada sebuah peti lagi! Seperti yang ini, tapi ukurannya lebih kecil. Coba
kita lihat isinya. Mudah-mudahan uang emas lagi!"
Tapi yang terdapat di situ bukan emas, melainkan harta lain! Satu sisi peti itu
sudah pecah, dan isinya berhamburan ke luar.
"Wah, ini kan cincin!" kata Anne. Dipungutnya dua buah cincin yang tergeletak di
tengah debu. "Dan ini pending emas," kata George. "Wah, lihat, rantai ini
mestinya kalung, karena bertatah batu biru. Di sini rupanya gagak tadi menemukan
cincin yang digondolnya ke luar!"
"Dan di sini ada barang-barang lain!" seru Harry. Anak-anak menoleh ke
tempatnya. "Lihatlah, di sini ada rak, penuh dengan pedang dan pisau belati! Ada
di antaranya yang diukir indah!"
Di dinding berjajar-jajar rak besi yang ditopang beberapa batang besi yang
tertancap kokoh ke dalam dinding tanah. Tapi di antara batang penopang itu ada
yang sudah longgar, sehingga raknya menjadi miring. Pedang dan pisau yang
ditaruh di situ, ada yang terjatuh ke lantai. Snippet datang menghampiri lalu
mengambil sebuah pisau belati, persis seperti yang dilakukan olehnya, sewaktu
masuk ke situ pertama kali bersama Nosey.
"Bukan main bagusnya pedang-pedang ini!" kata Julian sambil memungut sebilah.
"Aduh, ternyata berat juga! Hampir tidak kuat aku mengangkatnya. Astaga, apa
itu?" Suatu benda terjatuh dari langit-langit ruangan tempat mereka berada. Sepotong
kayu. Dan saat itu juga bunyi mendengung yang sedari tadi mengiringi mereka
bertambah nyaring. Berderu keras, sehingga anak-anak kaget.
"Cepat, keluar!" seru Julian. "Sebentar lagi para pekerja yang di atas akan
sudah berhasil menembus langit-langit. Jangan sampai kita tertimbun, jika
langit-langit runtuh! Kita harus segera pergi dari sini!"
Disambarnya sebilah belati dari rak. Dengan pedang dan belati di tangan, ia
berlari menuju ke lorong rahasia. Saudara-saudaranya menyusul. Kedua Harry lari
paling akhir, karena sebelumnya mereka masih sempat meraup segenggam uang emas,
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua untai kalung, dan beberapa buah cincin. Mereka ingin menunjukkan harta karun
itu pada ibu mereka! Langit-langit mulai pecah dan berjatuhan, ketika anak-anak sampai di mulut !
orong. . "Kita harus menyuruh mereka berhenti menggali," kata Julian terengah-
engah, sambil menoleh ke betakang. "Jika langit-langit ruangan ini runtuh,
kemungkinan harta yang di bawah akan banyak yang musnah!"
Mereka bergegas menyusuri lorong yang rendah: Jantung mereka berdebar-debar.
Timmy berjalan paling depan. Anjing itu sudah tidak sabar fagi ingin cepat-cepat
menghirup hawa segar. "Wah, apa kata Ibu nanti kalau melihat ini," kata kedua Harry berulang-ulang.
17. Terjebak Keenam anak itu tersaruk-saruk menyusuri lorong. Di kejauhan masih terdengar
bunyi alat-alat bor menderu-deru. Mereka mempercepat langkah, karena takut
setiap saat kolong puri ditemukan oleh Pak Henning. Ayah Junior itu pasti sudah
tidak sabar menunggu di atas!
Akhirnya mereka sampai di tempat yang menurut taksiran mereka adalah tempat Dick
berhasil menembus lorong dari liang kelinci. Tapi lubang yang dibuat Dick sudah
tidak ada lagi! Yang tampak hanya tanah semata-mata, sebagian bahkan berguguran
masuk ke dalam lorong. Julian menatap tempat itu, diterangi cahaya senternya.
"Liang ambruk!" katanya. Suaranya gemetar. "Bagaimana kita sekarang" Kita tidak
membawa sekop untuk menggali jalan keluar!"
"Kita coba saja menggali dengan tangan," ujar Dick. Ia mulai menggali-gali ke
atas dengan tangannya. Tapi semakin digali, semakin banyak pula tanah
berhamburan masuk ke liang yang sudah menjadi lebar! Julian melarang Dick
meneruskan penggalian. "Jangan, Dick! Nanti terjadi tanah longsor, dan kita akan terkubur hidup-hidup
di sini! Aduh, gawat keadaan kita sekarang. Kita terpaksa kembali ke kolong,
lalu berseru-seru di situ, supaya terdengar orang-orang yang di atas. Sialan!
Dengan begitu Pak Henning akan mengetahui perbuatan kita."
"Kurasa para pekerja tidak akan terlalu lama lagi ada di atas," kata Dick,
setelah melihat arlojinya sebentar. "Mereka bekerja sampai pukul lima sore. Dan
sekarang sudah hampir pukul lima! Aduh, sudah lama sekali kita di sini, pasti Bu
Philpot sudah bertanya-tanya ke mana saja kita selama ini!"
"Nah, bunyi deru alat-alat bor sudah tidak terdengar lagi," kata Anne.
"Syukurlah! Bising telingaku dibuatnya!"
"Kalau begitu, tak ada gunanya kita ke kolong puri lagi," kata Julian. "Mereka
pasti sudah pergi, sebelum kita sampai di sana. Wah, keadaan kita sekarang
gawat! Kenapa tak terpikir kemungkinan ini olehku tadi... anak kecil pun tahu,
jalan masuk ke lorong bawah tanah perlu diperkokoh bila baru digali! Kalau
tidak, beginilah jadinya!"
"Ah, kita kan bisa saja menunggu di kolong puri, sampai para pekerja datang lagi
besok," kata George.
"Dari mana kita tahu mereka masih akan kembali?" kata Dick bingung. "Bisa saja
Pak Henning menghentikan mereka, jika ia merasa penggalian itu tidak ada
gunanya!" "Kau tidak boleh cepat-cepat putus asa," tukas George. Ia merasa bahwa kedua
Harry sudah mulai panik. Memang, kedua anak kembar itu sudah gelisah. Tapi bukan
mengingat nasib sendiri, melainkan karena takut ibu mereka akan setengah mati
ketakutan apabila mereka tidak pulang malam itu.
Selama itu Timmy berdiri di sisi George, menunggu dengan sabar sampai mereka
keluar dari lorong. Tapi akhirnya ia bosan menunggu, lalu pergi... tapi berjalan
menurun, bukan naik dan kembali ke kolong puri!
"Ju! Timmy pergi ke arah bawah!" kata George. "Kenapa tak terpikirkan
kemungkinan itu sedari tadi?"
"Ah, aku khawatir jalan ke sana buntu!" kata Julian. Ia berpaling pada kedua
Harry. "Kan tidak ada yang mengetahui jalan. masuk dari gereja ke lorong?"
"Tidak," jawab kedua anak kembar itu serempak. "Sepanjang pengetahuan kami,
sampai kini jalan masuk itu betum ditemukan."
"Tapi pokoknya, tak ada salahnya jika kita mencoba-coba," kata George. Tanpa
menunggu jawaban lagi, ia langsung menyusul Timmy yang sudah tidak sabar lagi.
"Di sini terasa sesak napasku."
Anak-anak mengikuti dari belakang. Snippet berjalan sambil meloncat-loncat.
Anjing kecil itu tidak menyadari kegawatan keadaan saat itu. Dikiranya anak-anak
senang bermain-main di situ.
Setelah menyusuri lorong yang bisa dibilang lurus, serta melampaui beberapa
bagian yang langit-langitnya runtuh sedikit, akhirnya mereka sampai di sebuah
bilik kecil. Lorong yang mereka lewati berakhir di situ.
Bilik itu seluruhnya terbuat dari batu. Tingginya sekitar satu setengah meter,
sedang sisi-sisinya sedikit lebih lebar dari dua meter. Julian memandang ke
atas. Apakah seluruh langit-langit terbuat dari batu" Jika ya, maka itu berarti
mereka terjebak! Tapi ternyata tidak seluruh langit-langit terbuat dari batu. Kira-kira di
tengah-tengahnya ada bidang dengan sisi-sisi sekitar sembilan puluh senti, yang
terbuat dari papan yang tampaknya kokoh. Bidang papan itu terletak pada batu
langit-langit. "Kelihatannya seperti tingkap," kata Julian, sambil memeriksa bidang papan itu
dengan bantuan cahaya senter. "Mungkin kita sekarang ini berada dibawah lantai
gereja tua! Dick dan Harry, jika kita bertiga menjunjung tingkap ini ke atas
bersama-sama, mungkin kita bisa mengangkatnya!"
Mereka lantas menjunjung beramai-ramai, dibantu pula oleh George. Tingkap itu
terangkat sedikit pojoknya. Tapi mereka tidak berhasil menggesernya.
"Aku tahu apa sebabnya tingkap ini tidak bisa diangkat," kata Harry. Mukanya
merah, karena baru saja mengerahkan tenaga habis-habisan. Di lantai gereja
banyak karung gandum dan bertumpuk-tumpuk pupuk! Jadi berat sekali! Kalau ada
dua atau tiga karung saja di atas tingkap ini, kita pasti tak mampu
mengangkatnya!" "Wah, betul juga," kata Julian dengan lesu. "Kalian sebelumnya tidak tahu-menahu
tentang jalan masuk ini, Harry?"
"Tentu saja tidak," jawab Harry. "Tak seorang pun tahu. Sebenarnya aneh! Tapi
mungkin karena tempat penyimpanan begini selalu penuh dengan karung-karung atau
barang-barang lain. Belum lagi gandum yang tumpah dan berserakan ke mana-mana!
Kurasa pasti sudah beratus tahun tempat itu tak pernah disapu!"
"Jadi bagaimana kita sekarang?" tanya Dick. "Kita tidak bisa di sini terus."
"Ssst, aku mendengar sesuatu," kata George. "Di atas!"
Anak-anak memasang telinga. Mereka mendengar suara seseorang berseru-seru di
atas. "Bill! Tolong kami sebentar!" seru orang itu. "Itu Jamie! Betul, para
pekerja kami minggu ini melakukan kerja lembur!" kata Harry.
"Rupanya Jamie hendak mengambil sesuatu dari tempat penyimpanan di atas. Cepat,
kita berteriakteriak sambil menggedor-gedor tingkap. Pokoknya harus berisik,
supaya terdengar orang-orang yang ada di atas!"
Dengan segera bilik sempit itu penuh dengan segala macam bunyi. Anak-anak
berteriak-teriak, memukul-mukulkan kepalan tinju, gagang pedang, atau pisau ke
kayu tingkap. Setelah itu berhenti, untuk mendengarkan reaksi dari atas. Sesaat
kemudian terdengar suara Jamie bertanya dengan heran.
"He, Bill! Bunyi apa itu tadi" Ada sekawanan tikus ladang yang sedang berkelahi
rupanya!" "Mereka mendengar kita," kata Julian bersemangat. "Ayo, sekali lagi! Kau ikut
menggonggong, Timmy!"
Dengan segera Timmy menggonggong se-keras-kerasnya. Ia sudah bosan berkeliaran
dalam lorong, lalu terkurung dalam bilik sempit bergema. Dan anak-anak tidak mau
kalah. Mereka berteriak, menjerit, sambil memukul-mukul kayu tingkap. Bunyi
berisik semakin menjadijadi. Bill dan Jamie tercengang. Mereka mendengarkan
dengan saksama. "Kedengarannya seperti dari sana," kata Bill. "Ada sesuatu di sana, tapi aku
tidak tahu apa! Kalau saat ini sudah malam, pasti kusangka di sini ada hantu.
Tapi mana ada hantu pada siang hari. Yuk, kita periksa ke sana sebentar."
Tempat asal bunyi ribut-ribut itu, penuh dengan karung-karung gandum. Kedua
pekerja itu terpaksa berjalan dengan susah payah, melangkahi karung-karung.
"Di pojok sini, Bill," kata Jamie. Ia berdiri di atas dua buah karung yang
bertumpuk. Kemudian didekatkannya kedua tangannya ke mulut membentuk corong
pengeras suara, lalu berseru dengan lantang.
"Siapa di situ?"
Anak-anak yang di bawah menjawab sekeras mungkin, dibantu gonggongan Timmy.
"Eh! Ada anjing menggonggong di bawah," kata Bill. Ia menggaruk-garuk kepala
sambil memandang karung-karung yang ada di bawah kakinya. Ia menyangka, jangan-
jangan dalam salah satu karung itu ada anjing.
"Bukan cuma anjing, tapi aku juga mendengar suara-suara orang," kata Jamie
sambil melongo. "Tapi di mana mereka" Masa di bawah karung!"
"Jangan-jangan di dalam bilik kecil yang pernah kita temukan di bawah lantai,"
kata Bill. Masih ingat, kan" Itu, yang ditutup dengan lempengan batu besar, dan
ada tingkapnya dari papan tebal! Masa sudah lupa!"
"Ya, ya, aku ingat lagi;" kata Jamie. Saat itu dari bawah terdengar lagi bunyi
ribut-ribut. Anakanak sudah mulai putus asa.
"Ayo, Bill;" kata Jamie. Didengarnya nada suara bingung, walau kata-kata anak
itu sendiri tidak bisa ditangkapriya. "Kita singkirkan karung-karung ini dulu.
Kita harus memeriksa, siapa sebetulnya yang ada di bawah!"
Berlusin-lusin karung mereka singkirkan, dan akhirnya tampaklah tingkap kayu
yang terbenam di lantai. Lempeng batu yang dulu menutupi sudah disingkirkan oleh
Bill dan Jamie beberapa tahun lalu, dan disandarkan ke dinding. Mereka tidak
mengembalikannya lagi ke tempat semula. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa
bilik kecil yang disangka tempat penyimpanan itu, sebetulnya merupakan jalan
masuk ke lorong rahasia yang menuju ke puri. Untung- saja lempeng batu itu sudah
disingkirkan. Sebab kalau masih ada di atas tingkap, biar sekeras apa pun mereka
berteriak-teriak, pasti takkan terdengar dalam ruangan gereja di atas mereka!
"Sekarang tinggal tingkap ini," kata Bill. Diketuk-ketuknya papan tebal itu
dengan sepatunya yang berat. "Siapa di bawah?" serunya.
"Kami!" jerit kedua Harry. Anak-anak yang lain ikut berteriak-teriak pula,
dibantu oleh gonggongan Timmy.
"Astaga, itu kan suara Harry dan Harriet!" kata Jamie.
Bagaimana mereka bisa masuk ke situ, tanpa menggeser karung-karung tadi terlebih
dulu?" Bill dan Jamie bersama-sama menjunjung tingkap kayu yang berat itu. Dan begitu
tingkap terangkat, seketika itu juga mata mereka melotot! Mereka tercengang,
melihat keenam anak yang berada di bawah bersama Timmy.
Timmy meloncat paling dulu ke atas, disusul oleh anak-anak satu per satu. . Bill
dan Jamie membantu dari atas.
"Aduh, terima kasih, Bill dan Jamie," kata kedua Harry, ketika sudah berada di
atas. "Untung saja kalian bekerja lembur... dan kebetulan masuk kemari!"
"Ibu kalian sudah mencari-cari sejak tadi," kata Bill dengan nada agak jengkel.
"Dan kalian kan sudah berjanji membantu aku?"
"Bagaimana kalian bisa masuk ke situ?" tanya Jamie.
"Wah, ceritanya panjang, lain kali saja kami bercerita," kata Harry. "Pokoknya,
sekali lagi terima kasih! Bisakah kalian mengembalikan tingkap ini ke tempatnya
semula" Dan jangan bilang siapa-siapa bahwa kami tadi ada di bawah, sampai kami
sudah bercerita bagaimana kami sampai berada di situ, ya" Sekarang kami harus
bergegas pulang, supaya Ibu tidak bertambah bingung!"
Keenam anak itu bergegas pulang ke rumah. Mereka sudah capek sekali.
Kerongkongan terasa haus, ingin rasanya cepat-cepat minum. Mereka merasa lega,
karena berhasil keluar dari bilik kecil yang terdapat di bawah lantai gereja
tua. Apa kata orang rumah nanti, jika melihat harta karun yang mereka bawa pulang"
18. Cerita Julian Harry dan Harriet bergegas-gegas pulang. Di rumah, ibu mereka masih terus
mencari ke mana-mana. Begitu sampai, kedua anak kembar itu langsung memeluknya.
Bu Philpot memarahi keduanya, tapi tidak dengan sungguh-sungguh.
"Ke mana saja kalian tadi?" kata wanita itu. "Kalian semua terlambat satu jam
untuk makan sore. Aku sudah gelisah saja! Pak Henning tadi bercerita, katanya
kalian sedang menggali di lereng bukit!"
"Kami lapar sekali, Bu! Nanti saja kami bercerita, sambil makan," kata kedua
Harry serempak. "Wah, Ibu pasti tercengang mendengarnya! Bu, mana Ayah... dan
Kakek?" "Mereka masih minum teh," jawab ibu mereka. "Keduanya juga terlambat, karena
sedari tadi mencari-cari kalian. Kakek marah-marah! Eh, apa yang kalian bawa
itu" Itu kan pedang"!"
"Kami makan dulu ya, Bu! Setelah itu akan kami ceritakan semuanya," kata kedua
anak kembar itu. "Perlukah kami membersihkan badan dulu?"
Bu Philpot mengangguk. "Huh...," kata Harry. Tapi ia tidak membantah ibunya. "Yuk, kita mandi saja
dulu," katanya pada anak-anak. "Harta karun ini kita sembunyikan di salah satu
pojok yang paling gelap, sehingga tidak terlihat oleh Ayah dan Kakek sebelum
kita siap menunjukkannya pada mereka!"
Beberapa menit kemudian, keenam anak itu sudah mandi. Dengan segera mereka
kembali ke dapur, lalu mulai makan dengan lahap.
Pak Philpot dan Kakek masih ada di situ. Keduanya sedang minum teh. Bu Philpot
menceritakan bahwa anak-anak sedang mandi dulu. Tapi setelah itu akan makan,
sambil melaporkan apa yang terjadi sampai mereka terlambat pulang.
"Hah!" tukas Kakek sambil mengerutkan alisnya yang tebal, ketika anak-anak
akhirnya datang. "Waktu aku masih kecil dulu, semenit pun aku tidak berani
datang terlambat pada waktu makan! Ibu kalian tadi sudah sangat gelisah,
memikirkan kalian berdua. Itu tidak bagus!"
"Maaf, Kek," kata kedua Harry serempak, karena terutama, merekalah yang dimarahi
Kakek. "Tapi Kakek mesti mendengarkan dulu pengalaman kami tadi. Kau saja yang
bercerita, Julian!" Julian pun bercerita sambil makan, dibantu oleh anak-anak lainnya yang sebentar-
sebentar menyela. Kakek sudah mengetahui bahwa Pak Henning mendapat izin untuk
mengadakan penggalian. Sebagai imbalannya, orang Amerika itu sudah membayar lima
ratus pound pada Pak Philpot.
Kakek marah-marah ketika mendengarnya. Tapi akhirnya ia mengalah, setelah sambil
menangis Bu Philpot mengatakan akan mengembalikan uang itu, walau sebenarnya
sangat diperlukan olehnya. Dan sekarang Kakek sudah mau marah-marah lagi!
Tapi ketika mendengar cerita Julian, ia lupa pada kemarahannya. Ia bahkan lupa
pada tehnya, yang sudah mulai dingin. Mengisi pipanya dengan tembakau pun, tak
diingatnya lagi. Kakek rnendengarkan dengan asyik, tanpa bertanya sedikit pun.
Julian pandai bercerita. Bu Philpot melongo, ketika ia sampai pada penuturan
tentang Snippet dan Nosey yang masuk ke dalam liang kelinci, lalu keluar lagi
dengan membawa pisau patah serta sebuah cincin!
"Ya, tapi dari mana...," sela Bu Philpot takjub. Tapi Julian sudah meneruskan
ceritanya. Dituturkannya bagaimana ia bersama Dick memperbesar liang itu, lalu
masuk ke dalamnya dan sampai di lorong rahasia yang sudah dilupakan orang!
"Wah!" seru Kakek. Diambilnya selembar saputangan merah yang besar dari
kantongnya, lalu disekanya keningnya yang berkeringat. "Wah, sayang aku tak ikut
tadi. Terus... terus...!"
Julian berhenti sebentar, untuk meneguk teh. Kemudian ia tertawa, lalu
meneruskan cerita. Dilukiskannya bagaimana mereka berenam kemudian menyusuri
lorong gelap dengan diterangi cahaya senter, ditemani Timmy dan Snippet. "Lorong
itu gelap dan baunya menyesakkan napas," kata Julian. "Tiba-tiba terdengar bunyi
yang keras sekali!" "Ya, mendengung-dengung," sela Anne.
"Bunyi apa itu?" tanya Kakek. Matanya terbelalak, karena terlalu ingin tahu.
"Bunyi alat-alat bor yang dipakai para pekerja yang melakukan penggalian di
tempat bekas puri," kata Julian. Seketika itu juga kemarahan Kakek meledak. Ia
menuding-nuding cucunya, Pak Philpot, dengan pipanya.
"Bukankah sudah kukatakan, aku tidak mau orang-orang itu datang kemari"!"
bentaknya. Tapi Kakek ditenangkan oleh Bu Philpot.
"Terus, Julian...," kata Bu Philpot.
Akhirnya Julian sampai pada bagian cerita yang paling asyik, yaitu ketika mereka
memasuki kolong puri... gerbang-gerbang batu... di manamana debu yang sudah
berabad-abad.... "Wah, tempat itu bergema," kata Anne. "Biar kami berbisik pun, langsung saja
terdengar gemanya!" Kemudian Julian menuturkan penemuan mereka di situ.
Baju besi yang masih utuh, tapi sudah hitam karena tuanya... rak-rak penuh
dengan pedang dan pisau panjang... lalu emas berpeti-peti....
"Emas!" Mustahil! Aku tidak percaya!" seru Kakek. "Kau cuma mengarang-ngarang
saja sekarang! Jangan suka melebih-lebihkan, ya! Cerita saja yang biasa"
Seketika itu juga kedua Harry bangun dari kursi masing-masing. Mereka
mengeluarkan mata uang emas dari kantong mereka. Logam itu masih tetap
berkilauan. Semuanya diletakkan di atas meja, di hadapan ketiga orang dewasa
itu. Dan ketika itu juga mulut ketiga-tiganya ternganga serempak, seperti
digerakkan mesin.
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini buktinya!" kata kedua Harry. "Sekarang katakan, apakah kami cuma mengada-
ada saja" Ini bukti bahwa kami tidak bohong!"
Pak Philpot memungut mata uang itu satu per satu. Dipandangnya mata uang itu
sebentar dengan mulut ternganga, lalu diteruskannya pada Kakek dan Bu Philpot
Kakek benar-benar tercengang. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa. Sambil
menggumam, dibalik-baliknya mata uang itu satu per satu.
"Ini benar-benar terbuat dari emas?" tanya Bu Philpot. Kelihatannya ia bingung
sekali, menghadapi rnata uang berkilau-kilauan itu. "Apakah ini milik kita,
Trevor" Apakah ini berarti kita akan bisa membeli traktor baru untukmu, dan..
"Tergantung dari berapa banyak yang ada di bawah puri," kata Pak Philpot. Ia
berusaha untuk tetap tenang. "Dan tentu saja tergantung dari berapa yang boleh
kita miliki. Karena mungkin saja sekarang yang menjadi pemilik adalah negara"
"Negara?" seru Kakek. Ia bangkit dari kursinya "Negara, katamu" Tidak bisa! Aku
pemiliknya Semuanya milik kita. Ditemukannya di tanah kita, dan berasal dari
nenek moyang kita. Ya, harta ini akan kubagikan juga pada Pak Finniston, sahabat
karibku sejak dulu!"
Anak-anak setuju dengan niat Kakek! Kemudian mereka menunjukkan perhiasan yang
juga mereka bawa. Bu Philpot mengagumi, walau perhiasan itu agak kotor
kelihatannya. Tapi Kakek dan cucunya, Pak Philpot, paling kagum ketika anak-anak
memperlihatkan pedang dan pisau hasil penemuan mereka di kolong puri. Kakek
mengambil pedang yang paling besar, lalu mengayun-ayunkannya di atas kepala
dengan galak. Tampangnya saat itu seperti pejuang zaman dulu, dengan janggutnya
yang lebat serta sorotan matanya yang menyala-nyala.
"Awas, Kek!" kata Bu Philpot ketakutan. "Nanti pecah barang-barangku di atas
bufet...." Pedang di tangan Kakek terayun ke belakang, menyambar, dan... PRANG!
"Nah, apa kataku! Pecah sekarang basi tempat daging!" seru Bu Philpot. "Biar
Julian menyelesaikan ceritanya dulu. Sekarang Kakek duduk dulu!"
"Ha," kata Kakek, sambil tersenyum lebar. Tapi ia duduk di tempatnya kembali.
"Ha! Enak rasanya, bisa mengayunkan pedang itu. Mana si Amerika" Aku mau mencoba
pedang ini padanya!"
Anak-anak berteriak-teriak ramai. Asyik rasanya melihat Kakek begitu gembira.
"Teruskan ceritamu," kata Kakek kemudian pada Julian. "Kau pintar bercerita,
Nak! Ayo, teruslah. He, he, kemarikan lagi pedangku itu, Bu. Siapa tahu,
barangkali saja nanti kuperlukan!. Biar kukepit, sambil mendengarkan cerita.
Hah!" Dengan cepat Julian menyelesaikan ceritanya, sampai pada bagian ketika ia
bersama anak-anak lainnya mencapai bilik sempit berdinding batu.
"Dan kami terjebak di situ," kata Julian. "Di atas kepala ada sebuah tingkap
besar dari papan-papan tebal. Dan di atasnya bertumpuk karung yang berat-berat!
Kami tidak mampu menjunjung tingkap ke atas. Karena itu kami lantas berteriak-
teriak!" "Jadi di situ rupanya lorong rahasia berakhir," kata Pak Philpot. "Lalu,
bagaimana kalian bisa keluar?"
"Kami berteriak-teriak sambil menggedor-gedor tingkap. Kebetulan Bill dan Jamie
masuk ke tempat itu. Mereka mendengar teriakan kami. Dengan segera karung-karung
mereka singkirkan, lalu tingkap dibuka," kata Julian. "Wah, lega sekali perasaan
kami melihat mereka! Kami sudah takut, jangan-jangan kami terjebak untuk selama-
lamanya di bawah tanah. Sebetulnya Jamie dan Bill tahu di bawah lantai gereja
tua ada sebuah bilik kecil. Tapi mereka menyangka itu cuma tempat penyimpanan
biasa!" "Tapi aku belum pernah mendengar mengenainya," kata Bu Philpot. Kakek
mengangguk-angguk, mengiyakan.
"Aku juga belum pernah," katanya. "Sepanjang ingatanku, sudah selalu ada karung
bertumpuktumpuk di lantai situ.
Dan tempat yang tidak ditutupi karung, semuanya penuh dengan debu tebal. Ya,
dulu ketika aku masih kecil dan sering bermain sembunyi-sembunyian di situ-
sekitar delapan puluh lima tahun yang lewat, ruangan itu sudah penuh dengan
karung-karung gandum"
"Sekarang pun masih banyak karung di sana," kata Anne.
"Dan nanti jika kalian sudah tua, tempat itu masih tetap penuh karung!" kata
Kakek. "Memang ada hal-hal yang takkan pernah berubah sepanjang masa. Syukurlah!
Ya, ya! Sekarang aku akan bisa tidur tenang lagi, karena dengan hasil penjualan
harta ini nanti, kau akan bisa merawat pertanian kita dengan baik, Trevor! Aku
akan bisa melihat Harry dan Harriet tumbuh menjadi dewasa dan memiliki pertanian
yang paling baik di daerah Dorset-dengan segala peralatan terbaru yang mereka
idam-idamkan! Nah, sekarang aku ingin mengayunkan pedang ini sekali lagi!"
Begitu Kakek mengucapkan kata-kata terakhir, anak-anak langsung berpencar
menjauh. Kakek kelihatannya menjadi muda kembali! Entah apa yang akan rusak
lagi, apabila ia mengayunkan pedang kuno itu. Ya, sore itu penuh dengan kejadian
yang serba ramai! 19. Akhir yang Menggembirakan
Sehabis makan sore, Harry dan Harriet keluar untuk memberi makan ayam. "Lebih
baik terlambat, daripada tidak sama sekali," kata kedua anak itu.
"Mana Pak Henning dan Pak Durleston serta Junior konyol, Bu Philpot?" tanya
George, sambil bangkit untuk membantu mencuci piring dan cangkir.
Pak Henning tadi masuk sebentar, untuk mengatakan bahwa ia hendak makan di
sebuah hotel bersama Pak Durleston," jawab Bu Philpot. "Junior juga diajak! Pak
Henning kelihatannya puas sekali. Katanya para pekerja sudah berhasil menggali
sampai menembus langit-langit ruangan di bawah puri. Ia juga menambahkan,
mungkin sebentar lagi akan menyodorkan sebuah cek senilai lima ratus pound untuk
pembayaran berikutnya!"
"Tapi Anda kan tidak bermaksud menerimanya, Bu?" sela Julian, yang menangkap
pembicaraan itu. "Barang-barang yang ada di sana, nilainya jauh lebih tinggi dari pada yang
mungkin akan ditawarkan oleh Pak Henning. Paling-paling dia nanti mengangkut
segala-galanya ke Amerika, dan di sana dijual lagi dengan harga berlipat ganda.
Jangan mau, Bu!" "Pak Finniston dari toko barang-barang antik di desa pasti tahu berapa nilai
yang sebenarnya," kata George.
"Dia kan keturunan wangsa Finniston, penguasa puri itu dulu! Pasti dia akan
gembira sekali, jika mendengar apa yang terjadi!"
"Kami akan memintanya agar kemari besok," kata Bu Philpot. "Kan Pak Henning juga
didampingi penasihatnya, Pak Durleston yang selalu masam itu! Jadi Pak Finniston
akan kita jadikan penasihat kita! Wah, Kakek pasti senang mendengarnya, karena
mereka berdua bersahabat karib."
Sebetulnya Bu Philpot tidak perlu repot-repot menyuruh orang memanggil Pak
Finniston. Sebab Kakek sudah mendahului turun ke desa, untuk menyampaikan kabar
baik itu pada sahabat karibnya. Dengan bersemangat Kakek bercerita pada Pak
Finniston. "Bukan main... uang emas, emas permata, baju besi, pedang, dan entah apa lagi!"
kata Kakek berulang-ulang. Mungkin ada dua puluh kali ia mengulangi cerita itu,
di depan Pak Finniston yang mengangguk-angguk sambil mendengarkan dengan serius.
"Pedang itu hebat sekali," kata Kakek dengan mata bersinar-sinar. "Cocok sekali
untukku, William! Wah, jika aku hidup di zaman dulu, pasti pedang kuno itu aku
yang memakainya! Barang itu takkan kujual. Akan kusimpan terus, untuk kuayun-
ayunkan di atas kepala, jika aku sedang kesal!"
"Ya, ya, tapi ingat, sebaiknya kau berdiri di tengah-tengah kamar yang kosong
pada saat itu," kata Pak Finniston. Ia agak ngeri, melihat sinar galak yang
memancar dari mata Kakek. "Lagi pula kurasa tidak seluruh harta karun itu boleh
kauambil! Ada peraturan yang menentukan bahwa sebagian harus diserahkan pada
negara. Tapi baju besi serta senjata tajam itu dengan itu saja kalian akan bisa
kaya raya!" "Cukup untuk membeli dua buah traktor?" tanya Kakek. "Cukup untuk membeli mobil
Land Rover baru" Mobil bobrok yang sekarang ada di pertanian... aduh, remuk
rasanya tulang-tulangku jika naik kendaraan itu! Sekarang begini, William. Kita
akan memerlukan sejumlah pekerja, untuk membongkar tanah yang menimbuni kolong
puri. Bagaimana jika pekerjakan terus orang-orang yang sekarang disewa Henning"
Pokoknya si Amerika itu tidak kita beri kesempatan lagi untuk menggali lebih
lanjut. Hah! Aku jengkel sekali kalau melihat dia.
Sekarang aku bisa menyuruhnya pergi! Dan kau, William, kaututup saja tokomu ini.
Kau menjadi penasihatku! Mau, kan" Aku tidak mau terdesak nanti, pada saat
menghadapi si Amerika itu... atau si Durleston!"
"Lebih baik kau berhenti bicara sebentar," kata Pak Finniston. "Lihatlah, mukamu
sudah merah padam! Jangan-jangan kau jatuh sakit nanti. Sekarang pulang saja
dulu. Besok aku datang. Mengenai pekerja akan kuurus! Dan jangan terlalu sering
main-main pedang, nanti keliru membabat kepala orang!"
"Bisa jadi," kata Kakek sambil melirik. "Misalnya saja jika Junior kebetulan
lewat ketika aku sedang mengayun-ayunkannya... ya deh, ya deh! Aku kan cuma
main-main saja!" Sambil tertawa sendiri Kakek pulang ke pertanian.
Malam itu Pak Henning dan Junior tidak kembali. Rupanya mereka terlalu asyik
mengorol dengan Pak Durleston di hotel mengenai hasil penggalian hari itu,
sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di situ.
"Petani biasanya pukul sembilan sudah tidur," kata Pak Henning, "dan sekarang
sudah lewat pukul sembilan! Besok pagi saja kita ke sana. Mereka akan kita minta
menandatangani surat perjanjian yang telah Anda buat, Pak Durleston! Mereka
sangat perlu uang, sehingga apa saja yang disodorkan pasti akan ditandatangani.
Dan ingat, jangan banyak bicara tentang apa yang kita lihat di sana, supaya
mereka mau dibayar lima ratus pound. Wah, sebentar lagi kita pasti kaya raya!"
Dan keesokan paginya mereka datang lagi ke pertanian, bersama Junior. Sebelumnya
mereka sudah menelepon bahwa mereka akan membawa surat perjanjian yang perlu
ditandatangani. "Dan akan ada cek lagi, Bu Philpot!" kata Pak Henning bermanis-manis lewat
telepon. Ketika mereka datang sekitar pukul sepuluh pagi, ternyata mereka
disambut orang ramai. Kakek beserta Pak Philpot dengan istrinya, lalu kedua Harry kembar, serta Pak
Finniston! Orang tua itu yang biasanya loyo, kali ini bersinarsinar matanya.
Kini ada kesempatan lagi baginya untuk mengalami peristiwa ramai. Asyik!
Lima Sekawan juga ada di situ. Timmy tidak begitu mengerti, apa sebabnya orang-
orang gelisah sedari tadi. Ia berdiri dekat George. Setiap kali Snippet hendak
mendekat, dengan segera Timmy menggeram-geram. Tapi anjing pudel yang kecil itu
tidak takut. Kalau Timmy menggeram, ia pun bisa menggeram.
Tak lama kemudian terdengar ada mobil masuk ke pekarangan. Pak Henning muncul
bersama Pak Durleston serta Junior. Anak itu nyengir!
"Halo," sapanya dengan gaya santai. "Nah, bagaimana?"
Sapaan itu hanya dibalas oleh Timmy, yang menggeram pelan. Junior cepat-cepat
menjauh. "Tutup moncongmu," gumamnya pada anjing itu.
"Tadi di hotel kau sarapan di tempat tidur, ya?" kata George tiba-tiba pada
Junior. "Masih ingat, terakhir kali kau sarapan di tempat tidur di sini, Timmy
menarik..." "Ah, sudahlah!" kata Junior dengan masam. Tapi setelah itu ia tidak bertingkah
lagi. Ia duduk dekat-dekat pada ayahnya. Kemudian mulailah pembicaraan yang
singkat, tapi memuaskan. Memuaskan bagi Pak Philpot, tentunya!
"Begini, Pak Philpot," kata Pak Henning membuka pembicaraan. "Pak Durleston ini
menyarankan padaku, untuk menawarkan lima ratus pound lagi. Terus terang saja,
kami agak kecewa melihat apa yang tampaknya terdapat dalam kolong puri kuno itu.
Tapi janji tetap janji! Jadi kami menawarkan pembayaran cek senilai lima ratus
pound sebagai pembayaran untuk segala-galanya yang mungkin kami temukan di sana.
Begitu kan, Pak Durleston?"
"Tepat," kata Pak Durleston dengan gaya pengusaha besar. Ia memandang
berkeliling lewat kacamata tanduknya. "Aku membawa surat perjanjiannya. Pak
Henning harus kuakui sangat bermurah hati. Sungguh! Penggalian itu ternyata
mengecewakan!" "Sayang," kata Pak Philpot, "tapi aku berpendapat lain! Penasihatku, Pak
Finniston, menyokong pendapatku itu. Kami sendiri akan melakukan penggalian di
sana, Pak Henning. Jadi kalau hasilnya mengecewakan, kamilah yang rugi, dan
bukan Anda." "Hei, apa-apaan ini?" tukas Pak Henning. Ia memandang berkeliling sambil
membelalakkan mata. "Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini, Pak Durleston" Ini
kan tidak menepati janji namanya?"
"Tawarkan seribu pound padanya," bisik Pak Durleston. Ia kaget menghadapi
perkembangan yang tak terduga-duga itu.
"Biar kalian menawarkan lima ribu padaku, aku tetap memilih untuk menggali
sendiri di tanah milikku," kata Pak Philpot. "Bukan itu saja, aku juga ingin
mengembalikan cek yang Anda berikan kemarin! Para pekerja tidak perlu Anda
berhentikan, karena aku hendak meminta mereka agar meneruskan penggalian. Mereka
akan kugaji untuk itu! Mulai sekarang mereka bekerja untukku."
"Ini gila-gilaan!" seru Pak Henning. Ia tidak bisa menahan marahnya lagi. Meja
dipukul-pukulnya, sambil melotot ke arah Pak Philpot dan istrinya. "Apa yang
kalian kira akan bisa ditemukan dalam kolong brengsek itu" Kemarin kami sudah
menggali sampai tempat itu, dan ternyata di situ boleh dibilang sama sekali
tidak ada apa-apa. Tawaranku tadi sudah bagus sekali! Tapi baiklah, sekarang
kunaikkan menjadi seribu pound."
"Tidak mau," kata Pak Philpot dengan tenang. Tapi Kakek sudah tidak sabar lagi.
Ia sudah bosan melihat tingkah Pak Henning yang memuakkan itu. Kakek berdiri
dari kursinya, lalu membentak sekuat tenaga sehingga semua kaget mendengarnya.
Timmy ikut kaget, lalu menggonggong dengan galak. Snippet ketakutan lalu
bersembunyi dalam lemari dapur!
"Hah! Sekarang dengar!" bentak Kakek. "Pertanian ini milikku, dan milik cucuku.
Kemudian akan diwariskan pada kedua anak cucuku, yang duduk di sana itu. Tak ada
pertanian lain yang sebagus ini, yang sudah merupakan milik keluargaku sejak
berabad-abad! Sedih hatiku melihat keadaannya terbengkalai, hanya karena tidak
ada uang untuk merawatnya! Tapi sekarang aku melihat uang banyak sekali dalam
kolong puri! HAHH! Uang yang kami perlukan untuk membeli segala macam alat
pertanian, dan entah untuk apa lagi. Kami tidak butuh uangmu! TIDAK!! Simpan
saja uangmu itu... biar busuk! Coba tawarkan lima ribu pound padaku, jika kau
ingin mengetahui jawabanku!"
Dengan cepat Pak Henning menoleh pada Pak Durleston. Penasihatnya itu
mengangguk. "Baiklah!" kata Pak Henning pada Kakek. "Lima ribu! Setuju?"
"TIDAK!" teriak Kakek. Orang tua itu keasyikan sendiri. Sudah lama ia tidak
mengalami keadaan yang begitu menyenangkan!
"Emas yang ada di sana, serta permata, baju besi, pedang, pisau, semua sudah
berabad-abad umurnya, dan...''
"Jangan ngoceh," kata Pak Henning mengejek. "Pembohong!"
Kakek memukulkan kepalan tinjunya ke meja dengan begitu keras, sehingga orang-
orang yang duduk mengelilinginya nyaris terguling dari kursi mereka.
"Harry! Harriet!" seru Kakek. "Ambilkan barang-barang yang kalian temukan
kemarin! Cepat, bawa kemari! Akan kubuktikan pada si Amerika ini bahwa aku tidak
bohong!" Kedua anak kembar itu bergegas pergi. Dan sesaat kemudian mereka sudah kembali
lalu menyerakkan segala barang yang mereka temukan kemarin ke atas meja. Pak
Henning, Pak Durleston, dan juga Junior, hanya bisa memandang sambil melongo.
"Nah, apa komentar kalian sekarang"!" tukas Kakek sambil memukul meja sekali
lagi. Pak Durleston menyandarkan diri ke punggung kursi: la hanya menyebutkan satu
patah kata saja. "Rongsokan!" katanya.
Sekarang tiba giliran Pak Finniston untuk menyatakan pendapat! Pak Durleston
yang tadi tidak memperhatikan laki-laki tua yang duduk agak ke belakang itu,
kaget ketika melihat Pak Finniston tahu-tahu ada di depannya. Ia tahu, laki-laki
itu ahli mengenai barang-barang antik. Ia sendiri pernah berusaha mengorek
keterangan dari orang itu mengenai letak bekas Puri Finniston.
"Para hadirin," kata Pak Finniston. Ia bersikap, seakan-akan hendak berpidato di
depan rapat. "Sebagai ahli barang antik yang sudah mempunyai nama, sayang aku
terpaksa mengatakan bahwa Pak Durleston ternyata tidak tahu apa-apa! Barang-
barang yang di atas meja ini dikatakannya cuma rongsokan belaka. Padahal bagi
seorang kolektor yang serius, barang-barang ini tinggi sekali nilainya! Aku
sendiri bisa menjualnya di London besok, dengan harga yang lebih tinggi lagi
daripada yang disarankan Pak Durleston pada Pak Henning. Cuma itu saja yang
ingin kukatakan. Terima kasih!"
Sambil membungkuk untuk memberi hormat, Pak Finniston duduk lagi. Anne kepingin
bertepuk tangan rasanya! "Yah, kurasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan," kata Pak Philpot sambil
bangkit. "Jika Anda katakan di hotel mana Anda menginap, nanti barang-barang
Anda akan kusuruh antarkan ke sana, Pak Henning! Anda pasti tidak mau lebih lama
lagi tinggal di sini sekarang."
"Aku tidak mau pergi, Yah! Aku ingin tinggal di sini," kata Junior tiba-tiba.
Anak itu merengek-rengek. "Aku ingin menonton mereka menggali dasar puri. Aku
ingin ikut menggali! Aku ingin tinggal!"
Lima Sekawan 18 Memperjuangkan Harta Finniston di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tapi kami tidak suka!" tukas Harry. "Bisamu cuma mengintip, mendengarkan
pembicaraan orang lain, dan mengadu. Anak cengeng! Sarapan saja di tempat tidur!
Huh! Bisanya merengek-rengek, jika kemauannya tidak dituruti. Menjerit-jerit..."
"Harry!" seru ibu anak itu dengan kaget. "Jangan begitu! Aku tidak keberatan
Junior tinggal di sini, asal ia tidak minta macam-macam! Kan bukan salahnya
bahwa semuanya ini terjadi!"
"Aku ingin tinggal!" kata Junior sambil menangis. Karena jengkel, kakinya
menendang-nendang di bawah meja. Sial baginya, saat itu kebetulan Timmy ada di
situ. Hidungnya tertendang Junior. Seketika itu juga Timmy berdiri, lalu
menggeram-geram memamerkan taring. Junior lari pontang-panting.
"Masih mau tinggal sekarang?" seru George pada anak itu. Jawabannya diberikan
dengan segera. "TIDAK!" "Terima kasih, Tim! Kau membantu dia menentukan kemauan," kata George, sambil
menepuk-nepuk kepala anjingnya. Pak Henning marah sekali.
"Jika anjing itu sampai menggigit anakku, akan kusuruh agar dia dibinasakan,"
katanya. "Kau akan kuperkarakan, akan ku..."
"Pak, pergi sajalah sekarang," Bu Philpot. Ia kelihatan sudah capek. "Masih
banyak pekerjaan yang menungguku!"
"Aku pergi kapan aku mau," kata Pak Henning sombong. "Aku tidak bisa diusir
begitu saja, seperti tak membayar penginapan!"
"Kau lihat pedang ini, Henning?" tukas Kakek secara tiba-tiba. Disambarnya pedang kuno yang tergeletak di meja. "Bagus, ya" Orang zaman
dulu tahu bagaimana caranya menyingkirkan lawan mereka! Pedang ini diayunkan,
begini... lalu begitu... lalu..."
"He, awas! Itu berbahaya! Hampir saja aku kena!" seru Pak Henning ketakutan.
"Letakkan pedang itu ke meja lagi."
"Tidak! Ini milikku, aku takkan menjualnya," kata Kakek. Diayunkannya pedang
itu... TARR! Kena bola lampu yang tergantung di atas, sehingga pecah berantakan.
Pak Durleston tidak tahan lagi. Ia lari meninggalkan dapur. Di pintu ia
bertubrukan dengan Bill, yang kebetulan hendak masuk.
"Awas! Hati-hati, orang tua itu sudah gila!" seru Pak Durleston. "Ayo, Henning,
kita cepat-cepat pergi dari sini, sebelum kepalamu putus ditebasnya!"
Pak Henning lari menyelamatkan diri, dikejar Kakek sampai ke pintu. Kakek
menyumpah-nyumpah, diiringi gonggongan Timmy dan Snippet yang keasyikan. Sedang
yang lain tertawa terpingkal-pingkal.
"Aduh, Kakek... macam-macam saja Kakek ini," kata Pak Philpot. Kakek masih
mengayunayunkan pedang sambil nyengir lebar. Matanya berkilat-kilat jenaka.
"Ah, aku kan tidak apa-apa," katanya. "Cuma menurutku, pedang ini bisa membuat
mereka mau pergi. Kau tahu, mereka itu apa menurut pendapatku" Barang rongsokan!
Aduh, kenapa baru sekarang teringat istilah itu. Coba tadi, pasti kulontarkan
kata itu pada mereka. Rongsokan! Kaudengar itu, William Finniston?"
"Sekarang letakkan pedang itu di meja, sebelum lebih banyak kerusakan terjadi,"
kata Pak Finniston. Ia tahu bagaimana cara menghadapi Kakek. "Kita pergi ke
kedai minum, yuk! Di sana kita nanti berunding, apa yang akan kita lakukan
dengan sekian banyak harta karun ini! Tapi sebelumnya, letakkan dulu pedang itu.
Kakek takkan kuajak minum jika nekat membawa pedang itu ke sana!"
Bu Philpot menarik napas lega, ketika kedua laki-laki tua itu akhirnya pergi
juga ke kedai tanpa pedang! la duduk di kursi, lalu menangis. Anak-anak kaget
melihatnya. "Aku tidak apa-apa," kata Bu Philpot, ketika kedua Harry bergegas menghampiri
dengan gugup, "aku menangis karena gembira! Mulai sekarang aku tidak perlu lagi
terlalu berhemat serta menerima tamu yang ingin menginap. Sekarang ayah kalian
bisa membeli segala peralatan yang diperlukan... aduh, aku ini seperti anak
kecil saja!" "Bu, jadi kami juga harus pergi sekarang?" tanya Anne.
Tiba-tiba ia menyadari, bahwa ia beserta saudara-saudaranya sebetulnya juga tamu
yang merupakan beban yang harus dipikul Bu Philpot.
"Tidak, tidak, kalian bukan tamu lagi! Kalian sahabat kami!" kata Bu Philpot. Ia
tersenyum, sementara air matanya bercucuran terus. "Bukan itu saja. Kalian tidak
perlu membayar penginapan, sebab karena kalianlah kami sekarang tidak perlu
terlalu bersusah payah lagi membanting tulang!"
"Terima kasih, Bu. Kami memang masih ingin tinggal di sini," kata Anne. "Kami
ingin melihat, apa saja yang nanti ditemukan di bawah puri. Ya kan, George?"
"Tentu saja!" jawab George. "Kami ingin ikut menyaksikan segala-galanya. Wah,
petualangan kali ini benar-benar paling seru!"
"Kita selalu mengatakan begitu!" kata Anne. "Tapi asyiknya petualangan kali ini,
pengalaman kita belum selesai dengan kejadian tadi. Kita masih akan menonton
para pekerja menggali, dan membantu mereka mengangkut segala barang kuno yang
ditemukan ke atas. Bukan itu saja! Kita akan mendengar berapa hasil penjualan
yang diperoleh, dan... kita masih sempat melihat traktor baru datang! Terus
terang saja, menurut pendapatku justru sekarang pengalaman kita semakin
bertambah asyik. Betul kan; Tim?"
"Guk!" gonggong Timmy, sambil mengibasngibaskan ekor. Begitu keras kibasannya,
sehingga Snippet yang berada di dekatnya terpelanting!
Kisah Pedang Bersatu Padu 16 Satria Gendeng 16 Setan Madat Dendam Empu Bharada 16