Penculikan Bintang Televisi 1
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi Bagian 1
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi
Liburan Paskah tiba. Bersama Paman Quentin dan Bibi Fanny, LIMA SEKAWAN berlibur
ke Bournemouth, sebuah kota di pantai selatan lnggris.
Ketika sedang berjalan-jalan di pantai, LIMA SEKAWAN bertemu dengan Ralph Mory,
sutradara televisi BBC stasiun daerah. Ia menawari LIMA SEKAWAN untuk ikut
bermain dalam sebuah film televisi. Tentu saja LIMA SEKAWAN senang sekali
mendapat kesempatan ini. Gary Findler, jutawan Amerika yang gemar sekali menonton televisi, kebetulan
juga sedang ada di Bournemouth. Ia mengunjungi studio televisi BBC dan
mengundang seluruh kerabat kerjanya, termasuk LIMA SEKAWAN, untuk menghadiri
pesta yang akan diadakan di atas kapal pesiarnya. Lucky- Mary.
Dalam pesta itu Stephen Bird, aktor pemegang peran utama dalam film yang sedang
digarap, hilang. Hilangnya Stephen ini kemudian disusul oleh hilangnya aktor dan
aktris utama lainnya. LIMA SEKAWAN yang sudab akrab dengan para korban tentu saja tidak tinggal diam.
Mereka segera memutuskan untuk menyelidiki dan membongkar kejadian misterius
ini.... Penerbit PT Gramedia JI Palmerah Selatan 22 Lt. IV
Jakarta Pusat 83.135 LIMA SEKAWAN: PENCULIKAN BINTANG TELEVISI
petualangan baru LIMA SEKAWAN
ciptaan ENID BLYTON diceritakan oleh Claude Voilier
ilustrasi oleh Jean Sidobre
Penerbit PT Grramedia Jakarta. 1983 "LES CINQ A LA TELEVISION"
by Claude Votlier Copyright ? Librairie Hachette 1973
All rights reserved "LIMA SEKAWAN: PENCULIKAN RINTANG TELEVISI"
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman
"DIE BERUHMTEN 5 IM FERNSEHEN"
oleh Agus Setiadi GM 83.135 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Graniedia, Jakarta 1983
Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
Scan DJVU: www.tag-dgn.blogspot.com
Convert & Edit by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Daftar Isi: Bab I Diajak Main di TV Bab II Di Studio TV Bab III Pesta Misterius Bab IV Sikap Aneh Bab V Susy atau Bukan"
Bab VI Berunding Bab VII Kecelakaan Aneh Bab VIII Marc Diculik Bab IX Perkembangan Baru Rab X Aline juga Lenyap! Bab XI Di Atas Lucky Mary
Bab XII Kembali ke Hotel Bab XIII Kembali ke Lucky Mary
Bab XIV Ketahuan! Bab XV Ke Manakah Dick"
Bab XVI Pemeriksaan Polisi
Bab XVII Timmy Beraksi Bab XVIII Akhir yang Memuaskan
Bab I DIAJAK MAIN DI TV "Ayo, kemarikan! Bacakan yang keras dong - atau beri kesempatan pada kami untuk
ikut membaca!" Tapi George - yang nama sebenarnya Georgina - berlagak tuli. Koran yang sedang
dibaca diturunkannya sedikit. Dipandangnya ketiga sepupunya dengan sikap bosan.
Setelah itu ia menghilang lagi di balik koran itu.
Dick, yang tampangnya mirip dengan George, tidak sabar lagi melihat sikap yang
menganggap sepi itu. Diisentakkannya koran dari tangan saudara sepupunya.
"Yippii!" serunya begitu melihat apa yang mengasyikkan George tadi. Suara Dick
melengking karena kegembiraannya. "Kita dimuat dalam harian Times! Kita terkenal
sekarang!" Dick berbaring memanjang di atas rumput, lalu mulai membaca artikel
itu. "Tanpa masuk koran pun kita sudah terkenal," kata George dengan sikap seolah tak
acuh. Tapi matanya yang bersinar-sinar menunjukkan bahwa ia sebenarnya bangga.
Ia mencengkeram tengkuk Timmy yang berbulu tebal lalu mengguncang-guncangnya.
"Benar kan, Tim?"
Timmy menggonggong seolah-olah membenarkan ucapan tuannya. Anjing itu meloncat
dari anak satu ke anak yang lain. Ia ingin agar mereka menghentikan membaca dan
bermain-main dengan dia. Tapi sementara itu Anne dan Julian juga sudah sibuk memperhatikan artikel itu.
Mereka mengamat-amati foto mereka berempat yang tertera pada halaman pertama.
Timmy juga ikut dalam foto itu. Di atasnya tertera dengan huruf yang besar-
besar: Berkat "LIMA SEKAWAN", jaringan penyelundup rokok intemasional diringkus.
Sebetulnya bukan baru sekali itu Lima Sekawan menjadi bahan berita dalam surat
kabar. Tapi mereka masih saja merasa bangga jika membaca berita mengenai diri
mereka. Dengan perasaan agak kurang percaya, bahwa mereka ternyata sering lebih
gesit dan berani daripada polisi. Dalam artikel yang dimuat dalam surat kabar
Times yang terpandang hari itu dibeberkan berbagai kisah petualangan mereka,
misalnya saja pengalaman bersama Jo, gadis cilik dan kaum kelana yang dulu
sering menimbulkan kerepotan.
Anne, saudara sepupu George yang paling muda, memandang Julian, abangnya.
Matanya bersinar-sinar. "Wah - hebat!" kata Anne, mengucapkan hal yang ada dalam pikiran saudara-
saudaranya. "Satu halaman penuh, hanya mengenai kita saja!"
Saat itu mereka sudah kembali berada di Pondok Kirrin, rumah orang tua George.
Letaknya di Kirrin, sebuah kota kecil di pesisir barat lnggris. Berbagai
petualangan mereka, sering bermula dari rumah itu.
Mereka sedang menikmati liburan Natal di situ. Walau waktu itu musim dingin,
namun cuaca nyaman sekali. Rasanya seolah musim semi. Sepanjang hari anak-anak
itu bisa berada di luar rumah.
Mereka asyik sekali menyimak berita yang tertulis dalam surat kabar, sampai
tidak mendengar langkah orang mendekat. Keempat-empatnya kaget ketika tahu-tahu
terdengar suara Paman Quentin di dekat mereka.
"Jika rapor kalian menjelang liburan Paskah nanti memuaskan, sebagai imbalan
kalian akan kuberi hadiah...."
Paman berhenti sebentar. Sambil tersenyum diperhatikannya anak-anak yang
mendongak dengan napas tertahan. Keempat anak itu menunggu lanjutan kalimat
ilmuwan yang biasanya selalu serius itu dan yang jarang mengacuhkan mereka.
Paman Quentin menyelesaikan kalimatnya, ".. berlibur ke Bournemouth, di pantai
selatan! Timmy juga boleh ikut. Bulan April nanti aku akan menghadiri kongres
yang diadakan di sana. Kebetulan sekali waktunya jatuh bertepatan dengan liburan
kalian. Menurutku kalian sudah sepantasnya mendapat kesempatan pesiar, sebagai
imbalan untuk jasa kalian sebagai detektif selama ini!"
"Wah! Paman benar-benar top, deh!" Kalimat itu terlontar dengan nada gembira
dari mulut Dick. Paman Quentin kaget mendengar istilah yang asing baginya itu.
Ia cepat-cepat kembali ke rumah. Anak-anak jaman sekarang kalau bicara seenaknya
saja, pikirnya sambil melangkah masuk. Ia ayah dan paman yang sangat baik asal
jangan diganggu ketenangannya bekerja. Pengaulannya sehari-hari selalu dengan
angka-angka serta rumus-rumus belaka - jadi ?a selalu bingung kalau menghadapi
keadaan yang tidak tenang. Sedang Dick tidak menyuarakan perasaannya dengan
lantang! "Katamu tadi benar," kata George path Dick. sementara ayahnya sudah masuk lagi
ke dalam rumah. "Aku memang tidak selalu sependapat dengannya - tapi aku sangat
mengagumi ayahku!" "Bibi Fanny juga hebat," kata Anne menambahkan. Ia sangat sayang pada bibinya,
ibu George. "Masih tiga bulan lagi ...," kata Julian sambil mendesah. Pikirannya melayang,
membayangkan asyiknya liburan Paskah nanti. "Bournemouth saat musim semi pasti
menyenangkan sekali ... iklim seperti di pantai Laut Tengah, sementara daun
palem melambai-lambai ...!"
*** Waktu tiga bulan berlalu dengan cepat sekali. Keempat anak itu belajar dengan
rajin. Mereka melakukannya dengan gembira. Begitu tekun mereka belajar, sehingga
dapat dipastikan bahwa angka-angka dalam rapor tentu bagus semua. Dan dengan
begitu Paman Quentin tentu harus menepati janji. Ketika liburan Paskah akhirnya
tiba, dua orang dewasa dan empat remaja yang diikuti seekor anjing nampak naik
ke kereta api yang menuju ke Bournemouth. Julian diberi tugas oleh Paman untuk
mengawasi ketiga saudaranya. George dan Dick menyeringai dibalik punggung Paman.
Mereka sama sekali tidak senang masih dianggap seperti anak kecil!
Bibi Fanny sudah memesan kamar di sebuah hotel kecil yang strategis letaknya.
Dari hotel itu dengan cepat mereka bisa sampai di tengah kota, tapi juga tidak
jauh dari tepi pantai pemandian. Dengan cepat anak-anak mengeluarkan pakaian
dari dalam koper lalu menaruhnya dalam lemari yang tersedia. Setelah selesai,
mereka diijinkan berjalan-jalan ke pantai.
"Hai, Laut! Kami datang !" seru Dick bersemangat. Ia mulai lari, diikuti oleh
saudara-saudaranya. Dengan napas agak tersengal-sengal mereka sampai di tempat orang berjalan-jalan
di tepi pantai. Mereka menyandarkan din ke pagar. Mereka menghirup hawa laut
yang segar, sambil menatap kagum ke arah ombak yang memecah di depan mereka.
Timmy menyatakan kegembiraannya dengan cara khas - yaitu cara anjing! Ia
berlari-lari ke sana dan kemari, berusaha menangkap burung-burung camar yang
terbang menyambar-nyambar di situ. Dan burung-burung itu kelihatannya seperti
melayani keinginannya bercanda. Mereka diam saja didekati Tirnmy. Ketika sudah
dekat sekali, barulah camar-camar itu mengepakkan sayap. Langsung membumbung
tinggi, teriring teriakan melengking tinggi. Dengan cepat sudah semakin banyak
orang berkerumun. Mereka tertarik mendengar gonggongan Timmy yang bercampuraduk
dengan teriakan burung-burung camar. Mereka tertawa geli melihat kelakuan anjing
iseng itu, yang tidak henti-hentinya melompat-lompat dengan lidah terjulur ke
luar. "Diam, Timmy!" kata George sambil tertawa. "Kau ini memalukan seluruh keluarga
saja!" "He!" seru seorang pemuda di antara orang-orang yang berkerumun menonton.
"Kalian ini kan kelompok Lima Sekawan terkenal yang diberitakan oleh harian
Times !" Dick menoleh ke arah pemuda itu.
"Ya, betul," jawabnya. Ia merasa bangga karena ada yang mengenali. "Memang
kamilah mereka itu."
Pemuda yang menyapa itu mengatakan bahwa ia orang televisi daerah. Kemudian Ia
menanyakan akan berapa lama Dick beserta saudara-saudaranya berada di
Bournemouth. "Kami di sini sampai kongres yang dihadiri ayahku selesai," jawab George. "Jadi
kurang lebih empat belas hari lagi." Pemuda itu diam sesaat. Kelihatannya seperti sedang berpikir. Kemudian ia
tersenyum. "Bagaimana - maukah kalian ikut main dalam suatu film televisi?" tanya pemuda
itu. "Aku punya ide yang hebat sekali, setelah berjumpa dengan kalian di sini.
Tolong sebutkan alamat kalian selama berada di sini - nanti dengan segera kalian
akan kuhubungi lagi!"
Anak-anak menyebutkan nama hotel kecil tempat mereka menginap, meski mereka
sebenarnya tidak tahu pasti kemauan pemuda tak dikenal itu. Mereka juga agak
kaget mendengar ajakan yang datang begitu tiba-tiba. Tapi sebelum mereka sempat
bertanya lebih lanjut, pemuda tadi sudah menghilang lagi di tengah orang banyak
yang melancong makan angin di tepi pantai.
"Kurasa dia itu orang sinting," kata Anne, yang paling dulu pulih dan
kekagetannya. "Bagaimana kalau menurut kalian?"
"Ah, dia sih bukan sinting, tapi pembual!" tukas Dick.
"Menurutku, ajakannya tadi itu serius. Ia kelihatannya tidak main-main," potong
George. "Tapi sayangnya ia tidak menyebutkan namanya."
"Kita lihat saja nanti bagaimana kelanjutannya," kata Julian mengakhiri
pembicaraan yang menduga-duga itu. "Tenang-tenang sajalah dulu .... Kalau ia
tadi benar-benar serius, pasti suatu saat nanti muncul. Ia kan tahu di mana kita
menginap!" Setelah itu anak-anak melanjulkan pelancongan mereka, menikmati kenyamanan hawa
laut. Mereka asyik bermain-main dengan Tirnmy. Anjing itu sangat gembira, karena
mendapat kesempatan berlari-lari di pantai yang begitu luas tanpa ada yang
mengomeli. Setelah beberapa saat, perjumpaan secara tiba-tiba dengan pemuda yang
mengaku dan televisi tadi sudah dilupakan.
Baru malam harinya anak-anak teringat lagi pada kejadian itu. Saat itu mereka
baru saja selesai makan malam. Ketika mereka melintasi ruang depan hotel bersama
Paman Quentin dan Bibi Fanny, wanita pengurus hotel itu datang menghampiri.
"Ada orang ingin bicara dengan Anda sebentar, Pak," kata wanita itu pada Paman.
"Ini kartu namanya."
Paman Quentin menerima kartu yang disodorkan padanya, lalu membaca nama yang
tertera di situ. Kening Paman berkerut.
"Ralph Mory - Sutradara - Televisi BBC Stasiun Daerah," gumam Paman membaca
tulisan itu. "Hm - mau apa dia" Aku tak merasa mengenalnyal"
Paman tidak sempat lama-lama merasa heran, karena saat itu juga orang yang ingin
bicara itu datang menghampiri. Orangnya jangkung, berbahu bidang. Senyumnya
simpatik. "Maaf jika saya mengganggu," kata orang itu dengan sopan, "tapi saya ingin
bicara sedikit dengan Anda, mengenai anak-anak ini. Mereka akhir-akhir ini
beberapa kali menjadi pokok pemberitaan dalam surat-surat kabar yang
menceritakan berbagai pengalaman mereka sebagai detektif amatir. Tim kami lantas
mendapat gagasan untuk memasukkan mereka dalam sebuah film yang sedang
direncanakan pembuatannya. Tentang itulah saya ingin berbicara dengan Anda.
Bisakah Anda meluangkan waktu sebentar?"
Paman mengajak sutradara TV itu ke ruang duduk yang letaknya bersebelahan. Anak-
anak tentu saja ikut, karena ingin mengetahui rencana yang akan dipaparkan.
Dengan cepat sutradara itu menjelaskan pokok persoalannya.
"Kami bermaksud membuat suatu film seri, yang terdiri dari beberapa episode,"
katanya. "Apa itu, episode?" bisik Anne bertanya pada Julian.
"Episode itu bagian yang utuh - yang berdiri sendiri," desis Dick memotong,
sebelum Julian sempat membuka mulut. "Sekarang jangan tanya-tanya lagi - nanti
kita tidak tahu rencana yang diajukan!"
Itu memang benar, karena sementara itu sang sutradara masih berbicara terus.
"Nah - kami bermaksud untuk menyisipkan Lima Sekawan untuk berperan dalam salah
satu episode yang berkisar mengenai penyelundupan rokok. lni film yang
mempromosikan rokok yang terkenal - jadi bisa dibilang film iklan! Pada akhir
cerita Lima Sekawan tentu saja menang dan kawanan penyelundup diserahkan pada
polisi. Saya yang memegang tanggung jawab untuk produksi film ini. Karenanya
saya berani menawarkan imbalan honor yang pasti memuaskan!"
"Saya sama sekali tidak tertarik pada soal uang," kata ayah George dengan sikap
menolak. "Saya sama sekali tidak suka anak gadis saya beserta sepupu-sepupunya
ikut tampil dalam suatu film yang sebetulnya merupakan iklan untuk rokok. Saya
tidak setuju jika kaum remaja diikut-ikutkan dalam promosi untuk sesuatu yang
sebetulnya bisa berbahaya bagi kesehatan. Dan di samping itu..."
"Aduh, Ayah - kalau kami boleh ikut, pasti asyik," sela George memotong
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembicaraan dengan cepat.
"Dan di samping itu," sambung Julian dengan mata bersinar, "kan menarik, bisa
mengikuti dari dekat kesibukan membuat film televisi! Pasti akan menambah
pengetahuan ... ya kan, Paman"'
Paman Quentin tertawa. "Kau ini memang pintar, Ju," katanya. "Kau tahu di mana letak kelemahanku. Kalau
dilihat dari segi itu, tawaran ini juga menarik bagiku!" Paman berhenti sebentar
sambil berpikir, lalu meneruskan, "Baiklah kalau begitu. Aku setuju. Tapi Anda
harus berjanji menjaga keselamatan anak-anak ini. Jangan sampai terrjadi apa-apa
yang tidak enak dengan mereka!"
"Saya sendiri yang akan menjaga keselamatan mereka, Profesor," kata sutradara
muda itu cepat-cepat. "Saya selalu hadir untuk mengawasi setiap pengambilan
adegan. Jadi Anda sama sekali tidak usah khawatir."
Setelah itu Paman mash berbicara lagi dengan sutradara yang bernama Ralph Mory
itu, memperbincangkan berbagai segi bisnis pertelevisian. Tapi George dan ketiga
saudara sepupunya tidak begitu memperhatikan. Mereka sibuk dengan khayalan
masing-masing. Wah - ternyata liburan sekali itu akan sangat menyenangkan.
Banyak hal baru yang pasti akan mereka alami nanti. Bayangkan apa kata teman-
teman di sekolah, kalau mendengar bahwa Lima Sekawan akan tampil di televisi!
Keempat remaja itu baru mengikuti pembicaraan kembali ketika Ralph Mary
mengatakan bahwa skrip film itu sebagian besar sudah selesai ditulis dan
shooting sudah bisa dimulai dengan pengambilan adegan-adegan dalam ruangan di
studio. Shooting dengan lokasi di luar akan menyusul kemudian. Tentang itu sama sekali tidak ada
kesulitan. Bournemouth letaknya kan di tepi laut. Jadi merupakan latar belakang
yang ideal bagi kisah yang bersangkutan dengan penyelundupan.
Bab II DI STUDIO TV Dua hari kemudian anak-anak dijemput dengan mobil dinas TV setempat. Saat itu
masih pagi sekali. Timmy juga dibawa, karena Lima Sekawan tanpa Timmy dianggap
seperti sup yang kurang garam. Atau gado-gado tanpa bumbu sambal kacang! Lagi
pula anggotanya jadi tinggal empat.
Mereka diantarkan ke sebuah gedung besar berdinding kaca. Letaknya di pinggiran
kota Bournemouth. Ternyata studio TV regional BBC bertempat di gedung itu.
Ralph Mory sudah lebih dulu ada di sana. Ia menyambut kedatangan keempat remaja
yang ditemani Timmy. Sikapnya ramah sekali. Mereka diajaknya sebentar melihat-
lihat ke semua studio yang ada di situ. George dan ketiga sepupunya hanya
memandang segala-galanya sambil membisu. Mereka kagum dan bingung melihat begitu
banyak peralatan teknik yang ternyata ada dalam studio televisi. Di mana-mana
nampak kamera, monitor yang diperlukan untuk mengamati jalan shooting. Belum
lagi kabel-kabel yang simpang-siur serta lampu-lampu besar yang menyilaukan
mata. Lalu dekor yang macam-macam. Anak-anak sangat terkesan, karena baru sekali
itulah mereka benar-benar melihat dunia kehidupan yang masih asing bagi mereka
itu dari dekat. Anne berdiri menghadap suatu dinding kaca. Ia sedang
memperhatikan kesibukan pengambilan adegan yang sedang berlangsung di atas
sebuah panggung kecil dalam studio di balik dinding kaca itu. Anne memperhatikan
kesibukan itu dengan penuh minat. Setelah beberapa waktu, ia berpaling pada
George yang berdiri di sisinya.
"Aduh," keluh Anne, "takkan mungkin aku bisa bermain begitu wajar di depan
kamera! Kalau aku jadi gadis itu pasti kikuk sekali. Masih bagus kalau tidak
terserempet-serempet kabel!"
"Jangan konyol." tukas George sambil menggerakkan kepalan tinju dengan pelan,
menumbuk rusuk sepupunya yang berambut pirang itu. "Belum apa-apa kau sudah
mulai panik! Ini kan kesempatan yang baik sekali bagi kita untuk main dalam
film! Sudah, sekarang jangan banyak pikiran dulu. Lihat sajalah, nanti kita
pasti akan asyik. Soal kikuk atau tidak, serahkan saja pada sutradara. Itu kan
urusan dia!" Akhirnya keempat remaja itu diajak sutradara ke ruang kantornya. Ruangan itu
luas sekali dan sangat apik. Perabotarmnya bergaya anggun. Ketika mereka masuk,
nampak sudah ada beberapa orang berdiri di situ sambil bercakap-cakap. Tapi
obrolan mereka langsung terhenti ketika tahu bahwa Ralph Mory datang bersama
anak-anak. "Kalian sudah berkumpul rupanya, sapa Ralph dengan gembira. "Perkenalkan
sebentar - mereka inilah Lima Sekawan yang termasyhur. Tapi kalian tentu sudah
tahu sendiri. Dan ini - "Ralph Mory berbalik ke arah Lima Sekawan sementara
tangannya dilambaikan ke arah orang-orang yang berkumpul. "mereka para pemeran
utama film kita. Baiklah kuperkenalkan mereka satu per satu: ini Stephen Bird
yang memainkan peranan Joe, pemimpin kawanan penyelundup. Lalu yang tiga ini
masing-masing Marc, Tom, dan Renato, para anggota komplotan. Renato ini aslinya
dari Italia. Sedang gadis ini satu-satunya wanita yang ikut Namanya Susy
Marshal." Wanita muda yang diperkenalkan itu tersenyum manis. Wajahnya cantik, sedang
rambutnya yang pirang keemasan terurai lurus melampaui batas bahu.
"Dalam film itu nanti aku istri Joe. Tapi dalam kehidupan sebenarnya, aku baru
saja bertunangan dengan Stephen."
George dan ketiga sepupunya merasa senang sekali karena akan bekerja sama dengan
orang-orang televisi yang ternyata ramah-tamah. Sikap mereka yang semula agak
malu-malu dan kikuk dengan cepat sekali lenyap setelah mengalami sambutan yang
begitu terbuka dan ramah. Ralph Mory langsung mulai bicara tentang urut-urutan
pengambilan adegan. Ia harus menghemat waktu, karena setiap menit yang disia-
siakan berarti pemborosan uang modal.
"Urut-urutan pengambilan adegan tidak sesuai dengan urut-urutan jalan cerita,"
katanya menjelaskan pada anak-anak. "Berdasarkan pertimbangan biaya, kita buat
dulu shooting yang bisa dilakukan dalam studio. Setelah itu barulah kita pindah
untuk merekam adegan-adegan yang terjadi di luar. Hari ini kalian belum perlu
beraksi - jadi bisa melihat dulu bagaimana rekan-rekan kalian melakukan akting
di depan kamera. Tapi mulai besok kalian mulai ikut main. Jangan takut, segala-
galanya pasti beres! Satu-satunya yang menyulitkan bagiku adalah soal sempitnya
waktu. Kalian dua minggu lagi kan sudah harus kembali ke sekolah! Jadi kita
tidak boleh membuang-buang waktu. Film yang akan kita buat ini terdiri dari dua
bagian. Tapi ceritanya padat sekali. Menegangkan sampai detik penghabisan!"
Kemudian dimulai pengambilan adegan pertama, berupa perundingan di antara para
penyelundup. Para aktor beraksi dengan sangat meyakinkan, sampai anak-anak lupa
bahwa yang mereka saksikan itu hanya akting belaka. Ralph tidak mengatakan apa-
apa tentang gaya permainan para aktor. Ia tidak ingin anak-anak terpengaruh. Ia
yakin bahwa kewajaran sikap mereka pasti akan nampak dalam akting mereka nanti.
Shooting yang dilakukan setelah itu dengan George serta ketiga sepupunya untuk
menguji kemampuan mereka, membenarkan dugaan Ralph. Keempat remaja itu beraksi
secara wajar dan sedikit pun tanpa merasa canggung.
Siang sampai sorenya mereka sibuk melatih peranan yang harus mereka lakukan
untuk shooting keesokan harinya. Mereka berlatih cara berjalan yang benar di
depan kamera. Mereka juga belajar cara berbicara dengan ucapan yang jelas tapi
tanpa terdengar dibikin-bikin.
Dengan cepat George beserta ketiga sepupunya merasa seperti sudah kenal lama
sekali dengan para aktor rekan-rekan mereka di situ.
"Mereka semuanya baik hati!" kata Anne dengan wajah berseri-seri.
"Memang, mereka sangat menyenangkan," sambut Julian sambil menganggukkan kepala
tanda sependapat. "Apalagi Stephen - dia itu tipe yang benar-benar top!" Dalam pergaulan selama
sehari saja dengan orang-orang TV, Dick sudah ketularan cara mereka berbicara.
Dan "tipe" adalah ungkapan mereka untuk menyatakan "orang".
Sementara itu George sudah hafal akan kebiasaan-kebiasaan khas para aktor.
Stephen misalnya, mempunyai kebiasaan menyentakkan kepalanya ke atas untuk
melemparkan jambulnya yang tiap kali tergerai menutupi kening. Sedang Susy kalau
bicara hampir selalu mulai dengan, 'Kurasa ...'. Sedang Marc rupanya seperti
kecanduan permen masam. Ia selalu mengulum permen jenis itu.
Keesokan paginya anak-anak datang lagi ke studio. Perasaan mereka saat itu agak
gelisah. Penata dekorasi telah menyiapkan sebuah gua tiruan dari bahan karton.
Dalam gua itulah mereka akan memerankan adegan petualangan yang pertama. Menurut
skenario, anak-anak ditawan para penyelundup dan ditinggalkan dalam keadaan
terikat di gua itu. Kemudian Timmy datang setelah berhasil mencium jejak George.
Anjing setia itu memutuskan tali yang mengikat George dengan giginya, sehingga
anak-anak akhirnya berhasil membebaskan diri.
"Ya, siap! Snootl" seru Ralph memberi aba-aba. George dan ketiga saudaranya
bergidik. Mereka merasa agak seram, berada dalam gua suram berwarna hijau lumut
itu. Adegan yang harus dimainkan itu mirip sekali dengan salah satu petualangan
mereka yang menyeramkan. Mereka merasa seperti kembali menghadapi bahaya gawat
saat itu, dan bukan sedang melakukan akting untuk suatu film. Mereka melupakan
kamera yang berdesir di tempat gelap. Dengan sikap gelisah yang tidak dibuat-
buat George bersuit memanggil Timmy. Ia berharap semoga anjing setia itu datang
untuk membebaskannya dan situasi gawat itu.
Selama itu Timmy dikurung dalam sebuah ruangan sempit yang terdapat di samping
studio di mana shooting dilakukan. Begitu terdengar suitan George, seorang
asisten membukakan pintu. Timmy melesat ke arah datangnya suitan tadi, lalu...
Saat itu terdengar bunyi tertawa riuh menggema dalam ruang studio!
"Stop!" teriak Ralph Mory. Ia marah sekali. "Binatang apa itu?"
Pertanyaan itu tidak mengherankan. Memang sebenarnya Timmy yang masuk ke dalam
studio sambil berlari. Tapi Timmy yang bagaimana tampangnya! Ia tidak bisa
dikenali lagi. Ternyata ketika terkurung dalam bilik sempit ia merasa bosan dan
gelisah. Ia tidak tahu kenapa ia dikurung di situ. Dicarinya jalan ke luar agar
bisa bergabung lagi dengan George. Tapi pintu dikunci dari luar. Timmy meloncat
menendang-nendang dinding, karena siapa tahu - mungkin saja dinding itu tiruan
belaka seperti dinding gua yang ada dalam studio. Anjing itu begitu sibuk
mencari jalan keluar sehingga lupa berhati-hati. Sebuah rak dengan cat berember-
ember terbalik diterjang olehnya. Tentu saja cat tumpah dan melumurinya.
Sebagai akibatnya,Timmy nampak seperti binatang ajaib dari planet Anu: tubuhnya
yang sebelah kiri dihiasi bercak-bercak cat hijau, sedang sisi kanannya
bergaris-garis merah. Kepalanya berlumuran cat kuning, sedang ekornya seperti
kena semburan warna biru.
Semua yang ada dalam studio tertawa terpingkal-pingkal - kecuali Ralph dan anak-
anak. Wah kalau begitu terus. bisa payah pembuatan film ini! Adegan itu harus
diulangi sekali lagi, setelah Timrny dibersihkan secara berhati-hati dengan
larutan pembersih cat. Dengan cepat Ralph sudah melupakan kekesalannya, karena
pengambilan adegan-adegan berikutnya berjalan lancar sekali. Sambil tersenyum
gernbira ditepuk-tepuknya bahu para aktor amatir itu.
"Bagus, Anak-anak!" katanya memuji ketika kesibukan shooting untuk hari itu
selesai. "Kalian benar-benar pantas mendapat pujian"
Saat itu pintu studio dibuka dari luar. Padahal lampu merah di atas pintu masih
menyala. tanda bahwa saat
itu sedang ada shooting. Seorang laki-laki yang tak dikenal melangkah masuk. Sikapnya seolah-olah ialah
pemilik studio. Begitu masuk, ia lantas nnenyebutkan namanya.
"Aku Gary Findler!" katanya lantang. Ia berkata sambil tersenyum. Tapi wajahnya
tidak nampak bertambah ramah karenanya, sebab senyuman itu agak miring. Senyuman
yang seolah-olah meremehkan.
Semua yang hadir memandang serentak ke arahnya. Semua tercengang ketika
mendengar namanya. Soalnya, siapa yang tidak mengenal nama Gary Findler"!
Jutawan Amenika, raja produk sintetik yang namanya setap hari tertera dalam
berita-berita surat kabar sejak perahu pesiarnya yang mewah masuk dan berlabuh
di pelabuhan Bournemouth. Sejak saat itu foto-fotonva sering terpampang di mana-
mana. Jutawan Amerika itu melemparkan senyumnya ke semua yang hadir di situ. Orangnya
tinggi besar, dengan rambut beruban dipangkas pendek.
Dick menyikut saudara sepupunya.
"Huii - kita mendapat kehormatan besar, dikunjungi raja bahan sintetik,"
gumamnya kagum. Tapi sang Sutradara sama sekali tidak merasa terkesan. Ralph Mory mengerutkan
keningnya, tanda bahwa ia jengkel atas kemunculan yang tiba-tiba itu.
"Orang yang tak berkepentingan dilarang masuk ke dalam studio, Pak," katanya
dengan nada dingin. "Ya, ya - aku tahu." Jutawan itu mengibaskan tangannya. "Anda harus memaafkan,
tapi aku ingin sekali berkenalan dengan Anda. Anda kan sutradara yang bernama
Mory?" Dan logatnya kentara sekali bahwa ia orang Amerika.
"Ya, aku Mory," kata sang Sutradara agak menggerutu. "Anda ada perlu apa
denganku?" "Begini. Aku ini gemar sekali menonton televisi," kata jutawan Amerika itu.
"Sejak aku ada di sini, setiap hari kuikuti acara-acara siaran Anda. Aku sangat
menyukainya. Anda beserta tim Anda benar-benar hebat Apalagi aktris yang namanya
Susy Marshal. Aku terutama tertarik melihat permainannya. Begitu pula akting
yang ditampilkan oleh aktor Stephen Bird."
"Kalau begitu Anda mujur," kata Ralph. Sikapnya agak ramah sekarang. "Kami baru
saja menyelesaikan shooting suatu adegan. Segenap tim hadir di sini."
Ia memperkenalkan para aktor pada orang Amerika itu, tanpa melupakan Lima
Sekawan. Pak Findler nampak berbahagia sekali. Kelihatannya ?a memang penggemar
siaran lelevisi. Kabarnya orang Amerika kalau nonton televisi, setiap harinya
bisa sampai berjam-jam! "Nasibku hari ini memang sedang mujur sekali," katanya sambil membungkukkan
tubuh dengan gaya sopan di depan Susy, aktris cantik itu. "Kini aku ingin agar
kalian semua mau menolongku. Mau tidak?"
Wajah Ralph Mory berubah lagi, kembali menampakkan sikap sebal. Pasti dalam hati
ia berkata bahwa si Amerika itu jangan mengira bisa berbuat semaunya saja di
sini! Tapi sikapnya melunak lagi setelah mendengar kata-kata Pak Findler.
"Besok malam aku akan mengadakan pesta di atas kapal pesiarku, Lucky Mary. Aku
ingin mengundang kalian semua untuk menghadirinya. Ya, kalian semua termasuk
anjing ini." Ia menepuk-nepuk kepala Timmy dengan ramah.
Orang-orang televisi tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan yang begitu baik
untuk bersenang-senang. Dengan segera mereka menyatakan mau datang. Sedang
George bergegas-gegas menelepon orang tuanya untuk minta ijin. Setelah membujuk-
bujuk sebentar, akhirnya anak-anak diijinkan untuk menghadiri pesta itu.
"Terima kasih atas undangan Anda," kata Ralph Mow atas nama seluruh awak
televisi. "Sekarang marilah kita berkeliling melihat-lihat studio."
Bab III PESTA MISTERIUS Keesokan harinya shooting berlangsung dari pagi sampai sore, hanya dengan
selingan sebentar untuk makan dan minum. Hubungan antara para aktor dengan anak-
anak menjadi bertambah akrab. Kegairahan mereka melakukan akting semakin
bertambah dari adegan ke adegan berikut.
Akhirnya pekerjaan untuk hari itu selesai. Ralph mengantarkan George beserta
ketiga sepupunya pulang ke hotel.
"Kalian beristirahat saja dulu sebentar," katanya. "Acara malam ini pasti sampai
larut. Nanti pukul sembilan aku akan datang menjemput lagi."
Istirahat" Siapa yang bisa beristirahat apabila perasaan begitu bergelora
membayangkan pesta yang pasti akan meriah malam itu. Anak-anak bergegas makan
malam. Setelah itu mereka mulai mempersiapkan diri, berdandan untuk pesta. Anne
yang paling sibuk di antara mereka. Berlainan halnya dengan George, Anne sangat
memperhatikan keapikan. Dengan pakaian pestanya ia mondar-mandir di depan cermin
besar, mematut-matut diri. Jari-jarinya setiap kali meraih rambut, mengusap-usap
sisiran yang sudah rapi. Pipinya nampak merah jambu. Sambil berdandan Anne tidak
henti-hentinya bercerita. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa George berdiri
dengan tampang cemberut di depan lemari yang terbuka lebar pintunya.
"Sialan!" katanya menggerutu. "Hanya karena ada pesta konyol ini, aku sekarang
terpaksa memakai rok!"
George merasa sebal. Ia lebih senang apabila bisa muncul di pesta dengan pakaian
santai, bercelana jeans seperti biasanya. Tapi itu pasti takkan diijinkan Ibu.
Dengan kasar disentakkannya sepotong gaun sederhana berwarna merah dan gantungan
di lemari, lalu dikenakan. Potongan gaun itu biasa-biasa saja, sama sekali tidak
menyolok. Tapi memakai gaun itu pun George sudah tidak senang. Rambutnya yang
hitam ikal ditelusurinya beberapa kali dengan jari-jarinya. Bagi George, itu
sudah berarti berdandan rapi. Kini ia sudah siap untuk berangkat ke pesta!
Kesebalannya lenyap ketika melihat perahu pesiar yang ditambatkan di dermaga
pelabuhan. Kapal itu terang-benderang, nampak meriah dengan perhiasan pesta.
Pasti ribuan lampu yang terpasang di sekeliling geladak, kata George dalam hati.
Sinarnya menerangi perairan di pelabuhan, dari ujung ke ujung. Kedatangan mereka
disambut alunan bunyi musik lembut. Anak-anak mengikuti Ralph turun dan mobil.
Palu benjalan menuju ke tempat pesta sambil mengobrol dan tertawa-tawa.
Gary Findler menyambut tamu-tamunya di ujung titian. Ia nampak sangat riang. Hal
itu dapat dimengerti, karena tokoh-tokoh terpenting sekalipun di kota itu
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata datang untuk memenuhi undangannya.
"Selamat datang, selamat datang! Kalian ternyata benar-benar menepati janji,"
serunya sambil menyongsong "Langsung saja masuk ke salon dan silakan menikmati
hidangan di situ!" Lima menit kemudian Stephen dan Susy tiba dengan taksi, disusul tidak lama
kemudian oleh Marc, Tom, dan Renato.
Pesta di kapal mendekati puncak kemeriahan. Para tamu bergerak seperti mengalir
dari salon yang satu ke salon yang lain sambil menikmati makanan dan minuman
yang tersedia. Satu-satunya yang tidak ikut berpindah-pindah tempat dalam pesta itu hanya
Timmy. Anjing itu memilih tempat di atas titian, di mana ia asyik mengunyah
tulang yang sengaja disediakan untuknya. Tapi Dick sebenarnya juga tidak pernah
pergi jauh-jauh dari meja hidangan. Setiap kali ada yang mengajaknya pindah,
selalu saja ia meli hat salah satu hidangan yang belum sempat dicicip.
George, Julian, dan Anne asyik menonton orang-orang yang berdansa di ruang salon
terbesar, sambil menangkap obrolan sepotong-sepotong di tengah keramaian orang
berpesta. Menjelang pukul satu malam, akhirnya Anne tidak tahan lagi.
"Aduh, aku sudah capek sekali," katanya sambil menguap. "Bagaimana kalau kita
pulang saja sekarang, George?"
"Kita harus bersabar sebentar," jawab George, yang matanya juga sudah sipit
karena mengantuk. "Ralph tadi berjanji akan mengantar kita pulang. Tapi Ia
sekarang rupanya sudah melupakan kita. Dan tanpa dia, kita tidak bisa berbuat
apa-apa." Pesta itu masih berlangsung terus selarna beberapa waktu lagi. Tapi para tamu
mulai pulang satu demi satu. Akhirnya yang tinggal hanya Ralph, Susy - dan anak-
anak, tentunya. "Kau kelihatannya belum capek,' kata Ralph mengganggu Susy sambil menggandeng
aktris itu. "Apa" Aku sekarang bukan capek lagi namanya. Tapi aku menunggu Stephen. Entah ke
mana ia sekarang! Ia menghilang sejam yang lalu, setelah hanya mengatakan,
'Sebentar saja'. Sejak itu aku tidak melihatnya lagi. Terus terang, aku mulai
was-was sekarang." "Mungkin ia tidak enak hadan, karena kebanyakan minum," kata Ralph Mory menduga.
"Coba kuperiksa sebentar ke kamar kecil.
Gary Findler mengantarnya ke situ. Tapi Stephen ternyata tidak ada di situ.
"Tidak ada," kata sang Sutradara sambil mengangkat bahu, ketika ia kembali ke
geladak. Mata Susy Marshal terbeliak karena kaget.
"Tapi - kalau begitu - di mana...?" tanyanya ketakutan. Tidak ada yang bisa
memberikan jawaban yang memuaskan.
"Anda tahu pasti, ia tadi belum turun?" tanya Gary Findler dengan nada prihatin.
"Pasti" kata Susy. Ia menunduk. "Stephen takkan mau meninggalkan aku tanpa
mengatakan apa-apa. Kecuali itu ia tadi mengatakan hanya akan sebentar saja."
"Aneh" kata Ralph menggerutu.
"Kalau begitu, seharusnya ia masih berada di atas kapal ini," kata Julian
mencampuri pembicaraan. "Kita cari saja dengan teliti."
Mendengar usul itu, George langsung hilang rasa mengantuknya.
"Timmy pasti akan bisa menemukannya dengan segera!" katanya. "Syal yang Anda
pegang itu kan kepunyaan Stephen, Susy. Boleh kupinjam sebentar, biar Timmy
mencium baunya." Syal disodorkan ke depan hidung Timrny. Anjing cerdik itu mengendus-endusnya,
lalu memandang George dengan sikap bertanya.
"Cari, Timmy! Cari!" kata George menyuruh anjingnya. "Pergi, Cari Stephen!"
Tapi anjing itu hanya berkeliaran saja dalam ruangan salon tanpa berhasil
menemukan jejak yang jelas. Rupanya tadi terlalu banyak orang di situ. Apalagi
para tamu wanita dengan bau wewangian mereka yang menusuk hidung, mengakibatkan
Timmy tidak mampu mengenali bau khas Stephen. Akhirnya mereka yang masih tinggal
di kapal terpaksa mencari sendiri tanpa dibantu oleh Timrny.
Ditambah dengan para anak buah kapal, mereka memeriksa kapal. Semua sudut
diperiksa, dan anjungan kemudi sampai ke ruang muatan. Tapi pencarian itu sia-
sia belaka. Stephen seakan-akan menghilang ditelan malam. Sejak Ia meninggalkan
salon, tidak ada yang ingat melihat dia lagi.
Tapi Ralph belum mau menyerah.
"Ia pasti sudah turun ke darat," katanya. "Aku yakin, Ia tadi pusing karena
terlalu banyak minum."
Dugaan itu dibantah oleh Gary Findler,"Aku tadi sudah menyuruh orang menelepon.
Stephen tidak ada di hotelnya. Di rumah sakit juga
tidak" Ralph Mory mengumpat karena kesal dan bingung.
"Kalau begitu satu-satunya harapan kita tinggal polisi," katanya.
Tidak ada yang membantah ketika ia pergi menelepon. Dan walau saat itu sudah
larut malam, tapi tak lama kemudian datang dua petugas polisi. Dan mata mereka
yang merah ketahuan bahwa mereka dibangunkan dari tidur yang nyenyak. Dengan
segera mereka mulai memeriksa di atas kapal. Tapi usaha itu tetap sia-sia -
Stephen masih saja tidak berhasil ditemukan.
Susy sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Gadis cantik itu menangis dengan
suara lirih. Tapi itu pun tidak ada gunanya, karena Stephen tetap hilang. Ralph
akhirnya memutuskan untuk mengantar Susy dan anak-anak pulang ke hotel masing-
masing. "Besok pagi semuanya pasti akan sudah beres lagi," kata sutradara muda itu
menenangkan. Anak-anak sebenarnya sudah capek sekali. Tapi walau begitu mereka masih sempat
berbicara tentang pesta yang berakhir secara aneh.
"Kasihan Susy, pasti Ia takkan bisa tidur malam ini," kata George. "Pemeriksaan
oleh polisi baru besok pagi benar-benar di mulai. Mudah-mudahan saja tunangannya
tidak mengalami hal yang tidak enak."
Sementara itu dalam hati George telah timbul dugaan tertentu. Menurut
perasaannya saat itu, kejadian itu pasti merupakan kesempatan bagi Lima Sekawan
untuk mengadakan penyelidikan ... karena bagaimanapun hanya mereka yang
mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam kejadian misterius itu. Itu pun
kalau benar-benar ada misteri!
Penyelidikan yang dilakukan keesokan harinya hanya membenarkan hal yang sudah
diketahui sejak semula. Stephen Bird lenyap tak berbekas. Pihak kepolisian
rnenarik kesimpulan yang aneh. Menurut mereka aktor itu hanya pura-pura saja
hilang. Tujuannya agar namanya menjadi bahan pembicaraan dan pemberitaan di kalangan
masyarakat, sehingga Ia bertambah terkenal. Sedang dalam kenyataannya, Stephen
menyembunyikan diri! Tentu saja orang-orang TV tersinggung mendengar tuduhan itu!
"Kalian keliru menarik kesimpulan!" tukas Ralph Mory. Sutradara muda itu
menyuarakan pendapat semua rekannya. "Stephen sama sekali bukan tipe aktor yang
gemar mengejar ketenaran nama dengan cara konyol seperti itu!"
"Selain itu ia sama sekali tidak perlu menonjol-nonjolkan namanya," kata Susy.
"Ia kan sudah cukup terkenal! Lagi pula jika ia bermaksud begitu, pasti aku
diberi tahu sebelumnya. Stephen takkan sampai hati membuat aku cemas dan bingung
seperti ini!" Bab IV SIKAP ANEH Ralph Mory benar-benar terdesak. Walau masih saja belum diperoleh keterangan
yang lebih jelas perihal lenyapnya Stephen, ia tidak berani menanggung risiko
menghentikan pengambilan adegan-adegan film Dalam bisnis seperti itu, waktu
berarti uang. Akhirnya Ia memutuskan untuk melanjutkan shooting dengan seorang
stand-in untuk rnenggantikan Stephen. Aktor pengganti itu memerankan tokoh
pemimpin komplotan penyelundup, di mana ia tidak perlu terlalu dekat kamera.
Dengan begitu nanti pirsawan televisi tidak menyadari bahwa dia bukan Stephen.
Para pemeran bermain dengan lesu. Sama sekali tidak meyakinkan penampilan
mereka. Anak-anak ingin menghibur Susy yang kelihatannya sangat sedih dan
bingung. Mereka mengusulkan pada aktris itu agar pindah penginapan saja, ke
hotel kecil yang mereka tempati. Gadis cantik itu menerima ajakan mereka dengan
terharu. Malam itu juga Susy pindah penginapan.
Sehabis makan malam, George masuk ke kamar Susy.
"Susy," katanya dengan suara pelan, "kami - maksudku aku bersama ketiga saudara
sepupuku - telah mengambil keputusan untuk berusaha mencari tunanganmu. Kami
akan beraksi sendiri, karena dari polisi saat ini takkan bisa diharapkan
bantuan. Kau kan tahu, kami ini sudah berpengalaman menyelidiki rahasia yang
misterius! Jadi mestinya kau setuju jika kami mengadakan penyelidikan."
"Tentu saja aku setuju!" kata Susy. Untuk pertama kalinya ia tersenyum lagi
sejak Stephen lenyap. "Hanya kalian berempatlah yang benar-benar bisa kuandalkan
saat ini!" "Kenapa hanya empat" Lima, maksudmu," kata George mengajak bercanda.
"Betul juga, aku tidak boleh melupakan Timmy," kata Susy. Ia tersenyum lagi.
Tapi kelihatannya agak dipaksakan.
Setelah itu George mernaparkan rencana yang udah disusun. Ia begitu bersemangat
sehingga kata-katanya meluncur seperti air terjun.
"Kami akan mendatangi kapal pesiar itu sekali lagi," katanya. "Gary Findler
perlu ditanyai secara lebih teliti, begitu pula awak kapalnya. Kecuali itu kami
juga ingin memeriksa seluruh kapal - mungkin saja kemarin malam ada yang
terlewat, juga tadi pagi."
Susy ketularan semangat George yang menggelora. Ia bertepuk tangan dengan
gembira. "Tapi bagaimana dengan orang tuamu?" tanyanya kemudian.
"Soal itu beres," kata George sambil nyengir. "Ayah dan Ibu kebetulan diundang
menghadiri jamuan makan malam. Jadi kami bisa berangkat sekarang juga!"
"Aku ikut!" kata Susy dengan tegas.
"Tapi ..." George agak keberatan, karena penyelidikan begitu biasanya hanya
dilakukan oleh mereka berlima. "Tidak ada tapi-tapi, karena Stephen itu kan tunanganku," kata Susy memberi
alasan. Akhirnya lima menit kemudian mereka sudah menuju ke pelabuhan: George, Julian,
Dick, Anne, Timmy - dan Susy! Mereka sudah membayangkan pertanyaan apa saja yang
akan mereka ajukan nanti.
Tapi bayangan itu buyar berganti rasa kecewa ketika mereka tiba di dermaga.
Jutawan Amerika itu ternyata mengadakan pesta lagi malam itu! Seorang awak kapal
berdiri menjaga di ujung titian. Hanya para tamu yang membawa undangan saja yang
diperbolehkan naik ke kapal. Rupanya itu tindakan pengamanan, agar jangan sampai
ada pencuri yang bisa ikut naik untuk mengambil barang-barang berharga serta
perhiasan mahal yang dipakai para tamu wanita malam itu.
Susy menghampiri kelasi yang menjaga. Sikapnya tegas tapi ramah. Aktris itu
tersenyum semanis mungkin.
"Kami kenalan baik Pak Findler," katanya. "Namaku Susy Marshal, aktris televisi!
Aku sudah pernah diundang menghadiri pesta di sini. Tolong sampaikan pada
majikan Anda, aku ingin bicara sebentar dengannya. Ada urusan penting."
"Maaf, tapi saya tidak boleh meninggalkan tempat ini jika tidak ada perintah
dari atas," jawab kelasi itu.
Saat berikutnya George melakukan sesuatu yang sama sekali tak diduga oleh siapa
pun juga di situ. Anak bandel itu melihat jutawan Amerika itu muncul di anjungan
kemudi. Tanpa berpikir panjang lagi George berseru memanggil-manggil sambil
melambai-lambaikan tangannya dengan sibuk.
"Pak Findler! Yuhuu! Pak Findler!"
Rupanya Timmy menganggap suara George yang sudah nyaring itu masih kurang keras.
Ia merasa perlu memberi bantuan. "Guk! Guk guk guk!" gonggongnya. Keberisikan mereka berdua di dermaga tak
mungkin tak terdengar, karena bunyi musik di kapal pun masih kalah nyaring.
Jutawan Amerika itu berpaling. Ia menjenguk ke bawah dari tepi kapal - tepat
pada saat kelasi yang bertugas menjaga mencengkeram bahu George sambil berteriak
marah. "Jangan berisik!" tukas kelasi itu. "Dasar anak laki-laki bandel! Seenaknya saja
berteniak, seperti memanggil teman sendiri. Pak Findler itu orang penting,
tahu!" George menggeliat, melepaskan diri dari cengkeraman. Ia cepat-cepat memegang
kalung leher Timmy, yang sudah mulai menggeram-geram. Kelasi itu ternyala salah
duga. Dikiranya George itu anak laki-laki, karena rambutnya yang dipotong pendek
dan celana jeans serta kemeja laki-laki yang dipakai.
"Seenaknya saja kau mencengkeram orang," tukas George. Matanya berkilat-kilat
karena marah. "Begitu kuberi perintah, dengan segera anjingku ini ..."
"Ada apa ribut-ribut di situ?" terdengar suara Gary Findler yang lantang dari
arah anjungan. Kelasi yang ditanya mendongak hendak menjawab. Tapi reaksi Susy
lebih cepat. "Pak Findler," serunya. "Saya Susy Marshall. Saya ingin bicara dengan Anda - ada
urusan penting! Lima Sekawan juga ada di sini!"
Jutawan Amerika menggerakkan tangannya dengan sikap kesal. Rupanya saat itu
tidak tepat untuk berbicara serius dengannya. Tamu-tamu sudah berdatangan semua,
dan Pak Findler ingin lekas-lekas ke salon untuk menyalami mereka.
Tapi setelah bimbang sejenak ?a berseru memanggil Susy.
"Naiklah ke atas" serunya. Ketika melihat George beserta saudara-saudaranya
hendak mengikuti Susy, dengan segera jutawan itu menambahkan, "Kalian jangan
ikut! Di sini sudah terlalu banyak orang!"
Susy bergegas naik ke kapal. Ia menoleh ke arah anak-anak sambil tersenyum,
menandakan bahwa ia pun ikut menyesal bahwa mereka tidak boleh ikut. Kemudian la
masuk ke dalam bersama Gary Findler.
Dick mengumpat. "Pak Tua itu malam ini rupanya sedang tidak senang!" tukasnya. "Keterlaluan -
kita ini dianggapnya apa!"
"Keramahannya waktu itu rupanya merupakan kekecualian!" kata Julian menggerutu.
Ia pun jengkel diperlakukan seperti itu.
"Betul - ia sama sekali tidak ramah!" kata Anne menyetujui.
George diam saja. Padahal darahnya mendidih. Rencananya buyar dengan begitu
saja. Seperti gelembung sabun tercocok duri - lenyap tak berbekas! Sedang
menurut perkiraannya Susy tidak cukup tangkas untuk menangani rencana mereka
seorang diri. Tapi apa boleh buat! Saat itu mereka benar-benar tak berdaya. Ia
harus menunggu di dermaga bersama saudara-saudaranya sampai Susy muncul lagi.
Kelasi yang menjaga tidak boleh sampai merasa cuniga!
Lama sekali rasanya mereka menunggu. Waktu berjalan seperti merayap. Keempat
anak itu mondar-mandir di dermaga. Semua membisu. Tiba-tiba Dick berhenti
melangkah. "Kenapa Susy begitu lama di atas" Mestinya kan sudah dari tadi kembali!" katanya
heran. "Ah, kau ini ada-ada saja," kata Julian. "Menanyai orang-orang kan tidak bisa
cepat-cepat. Untuk itu diperlukan waktu. Menurutku, waktu sebegini lama malah
merupakan pertanda baik!"
"Hm," sela George dengan nada sangsi. "Menurutku, Susy itu terlalu lembut
sifatnya. Ia takkan sanggup mengorek keterangan secara lugas. Aku lebih suka
kalau ..." Kalimatnya tak diteruskan, karena saat itu datang seorang kelasi berlari-lari
menghampiri. "Kalian ini kan Lima Sekawan" tanya kelasi itu sambil memandang anak-anak
bergantian. "Ya, betul," kata Dick. "Ada apa?"
"Aku disuruh Nona Marshal memberi tahu bahwa kalian tidak perlu lebih lama lagi
menunggunya di sini. Kalian diminta olehnya kembali saja ke hotel. Ia akan
menyusul nanti. Dalam sampul ini ada uang buat ongkos taksi."
Kelasi itu bergegas kembali ke kapal, sementara anak-anak hanya bisa melongo
saja sambil mernandang ke pintu kapal. Mereka sama sekali tak menyangka-nyangka
kejadian itu. "Yah," kata Julian setelah membisu beberapa detik, "kalau begitu kita kembali ke
hotel." "Aku sama sekali tak menduga Susy akan begitu," dengus Goerge. "Mestinya paling
tidak ia kan harus mencoba agar kita juga bisa naik ke kapal!"
"Mungkin ia ingin bersenang-senang sedikit untuk agak menyegarkan pikiran," kata
Anne membela aktris itu. "Seenaknya! Mana mungkin Susy bersenang-senang, sementara tunangannya belum
ditemukan!" Muka Anne memerah karena malu. Dengan cepat Dick menyela.
"Sudahlah, jangan kita pikirkan lagi soal itu," katanya. "Kita kembali saja ke
hotel sekarang!"
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu belum begitu malam. Karenanya anak-anak memutuskan untuk menunggu Susy
kembali. Mereka ingin segera mengetahui keterangan yang berhasil dikorek aktris
itu dari Gary Findler. Mungkin saja ada hal-hal yang diingat jutawan Amerika
itu, yang barangkali ada gunanya untuk membantu penyelidikan.
Anak-anak menunggu di kamar George dan Anne sambil main kartu. Setelah menunggu
selama satu jam, tiba-tiba telepon di situ berdering. Dengan cepat George meraih
gagang pesawat. "Halo?" "Saya berbicara dengan George Kirrin?" tanya orang yang menelepon. Ternyata
portir hotel. "Nona Marshal ingin bicara dengan Anda."
"Susy," bisik George pada saudara-saudaranya.
"Halo, Susy! Ada apa" Ada yang berhasil kauselidiki" Tidak" ... Wah, payah!"
Dengan cepat diteruskannya kata-kata Susy pada Julian serta kedua adiknya agar
mereka tahu dengan segera. Kemudian ia berbicara lagi dengan Susy.
"Bagaimana" Kau menelepon dari suatu cafe " Karena kau tahu kami pasti sudah
tidak sabar lagi menunggu" Terima kasih, kami memang masih menunggu, jadi
cepatlah kembali!... Apa" ... Kau belum akan kembali sekarang" Kenapa tidak,
Susy" Kau masih hendak ke polisi dulu" ... Kenapa" Ada apa?"
Selama beberapa saat George tidak berbicara. Ia hanya mendengarkan dengan tekun,
tanpa memotong sedikit pun. Anak-anak yang lain menahan napas. Ah, akhirnya
selesai juga George menelepon.
Dikembalikannya gagang pesawat ke tempatnya. Ia kelihatan bingung.
"Susy tahu-tahu meletakkan gagang pesawatnya," kata George dengan nada heran.
"Kalian mau tahu, apa katanya sebelum itu padaku" Katanya, ia merasa bahwa taksi
yang ditumpanginya tadi dibuntuti sebuah mobil berisi dua orang laki-laki yang
tak dikenal! Karena itu ia sekarang hendak ke kantor polisi agar kedua orang itu
disergap. Mungkin mereka itu orang-orang yang sebelumnya telah menculik Stephen,
dan sekarang hendak memeras Susy. Itu perkiraan Susy. Nah - bagaimana pendapat
kalian tentang hal ni?"
"Menurutku, persoalannya semakin bertambah gawat" kata Julian.
"Tepat. Dan Susy ternyata lebih tangkas daripada sangkaanku semula!" kata George
bersemangat. "Kedua orang tak dikenal yang membuntuti itu pasti penjahat!" ujar Dick
menyatakan pendapatnya. "Aduh - mudah-mudahan saja Susy tidak diapa-apakan oleh mereka," keluh Anne
dengan suara lirih. Ia takut mengingat nasib aktris yang malang itu.
George menggerakkan bahunya dengan sikap jengkel.
"Menunggu! Lagi-lagi menunggu" tukasnya. "Bisa gila aku jika terus-menerus
begini! Kurasa, kita harus ..."
Kalimatnya terputus oleh Dick yang tertawa geli. "Wah, George - kau begitu
prihatin mengenai Susy, Sampai caramu bicara pun sudah seperti dia. Kurasa..."
Dick tertawa lagi. Tapi George tidak ikut tertawa. Perasaannya saat itu tidak mengijinkannya. Ia
termenung. Keningnya berrkerut. Beberapa saat kemudian Anne menjamah tangannya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, George?"
"Apa yang akan kalian lakukan, terserah - kalau aku, aku hendak menunggu Susy
pulang di bawah. Aku tidak tahan lebih lama terkurung dalam kamar ini!"
George turun ke ruang depan bersama Timmy. Ketiga saudara sepupunya ikut. Mereka
mengambil tempat di kursi besar yang empuk. Dua jam lamanya mereka bertahan
menunggu di situ. Tapi malam semakin larut. Rasa kantuk semakin menguasai diri
mereka. Satu per satu mata mereka terpejam.
Bab V SUSY ATAU BUKAN" Tengah malam orang tua George kembali dari perjamuan makan. Mereka kaget sekali
ketika melihat George dan ketiga sepupunya tertidur di kursi besar dalam ruang
depan hotel. Paman Quentin menyangka keempat remaja itu menunggu mereka. Dengan
kesal dibangunkannya anaknya.
Dengan mata kuyu karena mengantuk George memandang ke arah jam dinding. Lewat
tengah malam! Dan Susy masih juga belum kembali. Seketika itu juga kantuknya
lenyap. Sebelum ayahnya sempat marah, George cepat-cepat menceritakan
pengalamannya bersama ketiga sepupunya malam itu.
"Bagaimana pendapat Paman mengenai kejadian ini?" tanya Julian menyela dengan
gelisah. "Kutelepon saja polisi sekarang!" kata Paman. "Mereka pasti tahu di mana Susy
sekarang berada!" Tapi ternyata Susy Marshal sama sekali tidak datang ke kantor polisi. Dengan
begitu tinggal satu kemungkinan saja lagi: Susy Marshal juga hilang tak
berbekas! Jejaknya lenyap setelah ia menelepon George ke hotel. Sesudah Stephen, kini Susy
juga tidak diketahui ke mana perginya!
"Ada sesuatu yang tidak beres di sini," kata ayah George setengah menggumam.
"Barangkali ada sesuatu yang menyebabkan ia terhalang di tengah jalan."
"Kalau begitu masih lumayan," potong George. "Tapi menurut dugaanku, kedua
penjahat yang membuntuti dengan mobil itu tadi yang menculiknya. Aku berani
bertaruh, pasti kedua orang itu juga yang menculik Stephen!"
Sampai keesokan paginya, Susy Marshal masih tetap tidak muncul di hotel. Kini
polisi kota Bournemouth menghadapi dua kasus yang sejenis.
Ralph Mory kaget dan bingung sekali ketika mengetahui bahwa kedua pemeran
utamanya lenyap. Tapi ia harus menepati jadwal waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian kerja. Walau demikian ia menganggap masih terlalu dini untuk
menggantikan Susy dengan seorang stand-in.
"Pasti tak lama lagi ia akan ditemukan!" katanya di studio. "Polisi harus
mencarinya sampai ditemukan. Mereka harus melakukannya dengan segera!"
Kenyataannya tidak semudah ucapan Ralph. Bukan saja Susy yang masih tetap belum
ditemukan walau sudah dicari sepanjang hari, tapi taksi yang seharusnya
mengantar dari pelabuhan pulang ke hotel juga ikut lenyap. Sepanjang hari radio
berulang kali mengumumkan berita kehilangannya. Koran-koran sore memasang foto
Susy Marshal di halaman depan dengan permintaan pada masyarakat yang mengetahui
di mana aktris itu berada agar selekas-lekasnya melaporkan pada polisi. Tapi
seruan itu sama sekali tidak membawa hasil. Tidak ada pengemudi taksi yang
datang untuk mengatakan bahwa Ia-lah yang mengantarkan Susy.
Anak-anak duduk mengelompok setelah selesai pengambilan adegan-adegan pagi itu.
Suasana murung menyelubungi mereka.
"Susy pasti diculik," kata George sambil mengeluh.
"Tapi untuk apa?" tanya Anne.
"Tentu saja untuk minta uang tebusan, Goblok!" tukas Dick dengan kesal.
"Stephen sudah lebih dulu lenyap - tapi sampai sekarang belum ada yang menuntut
tebusan bagi pembebasannya," bantah Julian. "Jika yang menculik Susy komplotan
yang sama." "Menurut dugaanku," kata George dengan gaya yakin, "para penculik Stephen
menyangka bahwa Susy menemukan petunjuk yang mencurigakan. Karena itulah mereka
menculiknya - supaya jejak mereka tidak sampai bisa dilacak! Tapi ini pendapatku
pribadi!" Siangnya anak-anak pergi ke kantor polisi, karena mereka diminta datang untuk
memberikan kesaksian mengenai kejadian misterius itu. Pak Komisaris yang
menangani kasus itu ternyata ramah sekali. Karenanya George memberanikan diri
untuk mengajukan pertanyaan padanya.
"Susy Marshal itu teman baik kami," kata George "Kalau ternyata ia mengalami
kejadian yang tidak enak, wah - gawat! Kami sangat prihatin memikirkan nasibnya.
Pengemudi taksi yang seharusnya mengantarkan dari dermaga pelabuhan ke hotel,
sampai sekarang belum juga datang melapor. Dengan begitu Pak Findler yang sampai
saat ini kita ketahui merupakan orang yang paling akhir melihat Susy. Kalau
boleh saya bertanya, apakah jutawan itu melihat ada mobil yang mencurigakan
ketika ia mengantar aktris itu turun dari kapal?"
Pak Komisaris tersenyum. Lima Sekawan dikenal olehnya dari pemberitaan surat-
surat kabar. Karenanya ia bisa menduga bahwa anak-anak itu sedang berusaha untuk
melakukan pelacakan. Pak Komisaris sama sekali tidak keberatan untuk memberikan
keterangan yang mungkin berguna.
"Pak Findler tadi sudah kemari untuk memberikan keterangan, sebelum kalian
tiba," katanya sambil mengambil catatan yang berisi keterangan jutawan Amerika
itu."Kubacakan saja keterangannya."
George mengangguk. Pak Komisaris mulai membaca,
"Saya kaget sekali ketika mendengar bahwa Nona Marshal hilang. Saya mendengarnya
lewat radio. Kasihan gadis itu! Kemarin malam la mendatangi saya di kapal. Ia
disertai Lima Sekawan yang terkenal. Sayang saya tidak bisa mengijinkan mereka
ikut naik, karena saat itu di kapal sudah terlalu banyak tamu. Kemudian saya
berbicara empat mata dengan Nona Marshal di kantor saya. Gadis itu meminta
dengan sangat agar saya berusaha mengingat-ingat kembali. Katanya, mungkin saja
ada salah satu kejadian penting yang saya lupakan ketika pertama kali memberi
keterangan. Mungkin saja ada sesuatu yang bisa membantu penyelidikan mengenal
hilangnya Stephen Bird, tunangan Nona Marshal. Tapi sayang, saya tidak bisa
membantunya mengenai hal itu. Satu-satunya yang saya ingat hanyalah bahwa
setelah berbicara sebentar dengan tunangannya, kemudian Stephen meninggalkan
ruang pesta. Cuma itu saja! Setelah itu, saya tidak melihatnya lagi.
Pertanyaan: Lamakah Nona Marshal di kapal Anda ketika datang untuk kedua
kalinya" "Ya, Pak! Bahkan terlalu lama, menurut saya. Anda harus mengerti, saat itu saya
sedang mengadakan pesta. Saya ditunggu para tamu. Tapi saya merasa kasihan pada
gadis malang itu. Ia sangat gelisah kelihatannya. Karena saya tidak bisa
membantu lebih lanjut, saya lantas mengajaknya bicara sebagai penghibur hati.
Saya katakan bahwa Ia harus bersabar, karena polisi pasti akan segera berhasil
menemukan tunangannya kembali .... Pokoknya kurang lebih begitulah ucapan saya
waktu itu padanya. Akhirnya saya antarkan dia sampal ke titian. Saya memanggil
taksi yang saat itu kebetulan lewat ... Tidak, saya tidak melihat ada mobil yang
mencurigakan. Tapi saat itu saya sedang tergesa-gesa. Jadi terus terang saja,
saya tidak begitu memperhatikan!"
Catatan mengenai keterangan Gary Findler berakhir sampai di situ saja. Tidak ada
hal-hal baru di dalamnya. Dengan hati berat anak-anak kembali ke studio untuk
melanjutkan pengambilan adegan selanjutnya. Mereka bermain tanpa semangat
bersama Marc dan Timmy. Setelah itu mereka pergi ke pantai untuk mencari hawa
segar sebentar. "Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Dick dengan tiba-tiba pada George.
Dilihatnya sepupunya itu termenung terus sejak tadi.
"Apa yang kupikirkan" Macam-macam! Misalnya saja aku tidak mengerti, apa
sebabnya pengemudi taksi yang ditumpangi Susy tadi malam tidak datang melapor ke
kantor polisi. Padahal kan diumumkan berulang-ulang lewat radio! Jadi mestinya
ia tahu bahwa urusannya penting sekali. Keterangannya sangat diperlukan polisi!"
"Jangan-jangan ia pun ikut diculik!" kata Anne.
"Kalau itu yang terjadi, pasti sudah masuk laporan mengenai kelenyapannya."
bantah George. "Tidak - menurutku ia tidak datang melapor karena alasan tertentu
.... Tapi bukan itu yang paling menjadi pikiranku." George menatap jauh ke
tengah laut. "Ada soal lain."
"Apa itu?" tanya Dick, Julian, dan Anne serempak.
"Kalian masih ingat tidak, setelah aku berbicara dengan Susy lewat telepon
kemarin malam, aku ikut-ikut memulai kalimatku dengan, 'Kurasa...' Persis burung
beo! Kalian tahu sebabnya" Karena Susy juga mempunyai kebiasaan khas, selalu
memulai setiap pembicaraan dengan kata, 'Kurasa ...'!"
"Soal itu kan tak perlu kaupikirkan !" kata Dick heran. "Kami semua juga tahu,
Susy mempunyai kebiasaan begitu !"
"Betul, tapi ia tidak selalu mengatakannya. Sering, tapi tidak selalu! Sedang
ketika ia menelepon tadi malam, setiap kalimat dimulainya dengan perkataan itu.
Sampai menyolok sekali, dan aku ketularan sebagai akibatnya. Sungguh, setiap
kalimat dimulainya dengan, 'Kurasa....!"
"Mungkin karena saat itu ia gugup."
"Omong kosong! Kalau orang sedang gugup, bisa saja tergagap-gagap atau berbicara
tak tentu ujung pangkal - tapi seperti kemarin malam - tidak mungkin!"
"Nanti dulu," sela Julian"Apa sih sebetulnya yang hendak kaukatakan?"
"Menurutku, segala "kurasa" itu disengaja sampai timbul kesan dibikin-bikin."
"Maksudmu, Susy melakukannya sebagai lelucon."
"Susy sendiri tidak, "potong George dengan sengit, "tapi orang lain!"
Saudara-saudara sepupunya ribut mendengar ucapannya yang terakhir. George
melantangkan suaranya untuk mengatasi keributan itu.
"Di samping itu, semakin kupikir semakin yakin aku bahwa yang kudengar malam
tadi bukan suara Susy," katanya.
Saat itu nampak beberapa orang pelancong datang ke arah mereka. Keempat anak itu
berpindah tempat, duduk di bangku yang tersedia di tepi jalan pelancongan itu.
"Ya," kata George meneruskan, "kemarin malam aku yakin berbicara dengan Susy.
Kalian pasti akan begitu juga! Tapi sekarang ... tidak. Yang berbicara denganku
kemarin itu bukan Susy! Kedengarannya memang sangat mirip, tapi gaya bicaranya
lain. Tekanan suaranya tidak sama!"
"Jadi maksudmu ada orang lain yang menyamar sebagai Susy?" tanya Anne tegang.
"Dengan tujuan agar kita terpedaya?"
"Mestinya begitulah," desah George. "Saat aku menerima telepon dari Susy palsu
itu. Susy yang asli sudah diculik. Aku berani bertaruh, taksi yang ditumpanginya
juga bukan taksi sebenarnya, Dengan begitu, segala-galanya jelas sekarang!"
Dick tidak bisa lebih lama tenang. Ia meloncat bangun, lalu berdiri di depan
sepupunya. "Kalau begitu komplotan penjahat mana yang kita hadapi?" tanyanya sambil
mengepalkan tinju. Melihat gerakannya yang seakan hendak berkelahi, Timmy
langsung menggeram dengan galak.
"Kalau itu kita ketahui, urusan ini beres," keluh Julian. "Saat ini kita sama
sekali tidak tahu apa-apa! Sama sekali tidak ada petunjuk yang hisa dijadikan
pegangan. Belum pernah kita begini tidak berdaya. Sulit, sulit!"
"Kesulitan itu tujuannya untuk diatasi," seru George bersemangat. "Kita pasti
berhasil membongkar teka-teki ini. Lima Sekawan harus berhasil menemukan Stephen
serta Susy .... Kalau tidak, lebih baik kita pensiun saja!"
"Sayang kalau itu sampai terjadi, karena kita kan masih muda," kata Dick dengan
suara dibuat-buat gemetar seperti kakek-kakek. Saudara-saudaranya tertawa
mendengar kelakarnya. Suasana yang semula suram lenyap digantikan kegembiraan.
"Menurut dugaanku, kejadiannya mungkin begini," kata George melanjutkan
pemikirannya. "Para penjahat sebelumnya memang sudah mengintai Susy kemarin.
Mereka membuntuti kita sampai ke kapal Pak Findler. Mereka ikut menunggu di
tempat tersembunyi sampai Susy turun lagi. Kepergian kita yang lebih dulu
mempermudah rencana mereka. Sayang, kenapa saat itu kecurigaanku tidak timbul!
Pendek kata, Susy kemudian masuk ke dalam taksi palsu lalu dilarikan oleh para
penjahat. Ia kini berada di tangan mereka seperti Stephen!"
Saudara-saudaranya mengangguk tanda setuju, karena perkiraan George memang masuk
akal. "Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan sekarang, George?" tanya
Julian. George menjawab dengan segera, "Kita harus menentukan siapa saja yang rasanya
perlu dicurigai, lalu kita awasi mereka secara ketat!"
Malam itu anak-anak sibuk menyusun daftar nama orang-orang yang mungkin ada
sangkut-pautnya dengan kelenyapan kedua pemain film itu.
"Menurut pendapatku paling dulu kita harus meneliti orang-orang televisi," kata
Dick "Soalnya, mereka yang paling tahu mengenai kebiasaan Stephen dan Susy
sehari-hari." "Kau ini seenaknya saja," kata Anne memprotes "Bagaimana kau bisa menuduh Ralph
Mory, Marc, atau salah satu rekan kita yang lain!"
"Kita saat ini bukan hendak menuduh siapa-siapa," kata Dick membela diri. "Tapi
kita kan harus mulai dengan salah seorang yang mengenal kebiasaan Stephen dan
Susy. Apakah kita menyukai orang itu atau tidak, itu soal lain!"
"Betul!" kata George. "Nanti dalam perkembangan selanjutnya, mereka yang
ternyata tak bersalah kita coret namanya dari daftar. Mulai besok kita memulai
pelacakan - siapa tahu, barangkali saja ada jejak yang kita temukan nanti."
Bab VI BERUNDING Keesokan harinya semua yang dianggap mungkin bisa dicurigai berkumpul di dekat
kamera televisi: Ralph Mory, Marc, Tom, dan Renato. Di samping itu tentu saja semua tenaga teknik
di studio, serta orang misterius dan tak dikenal.
Nama Ralph sebetulnya bisa langsung dicoret dan catatan. Soalnya, keberhasilan
filmnya tergantung dan Stephen dan Susy, di samping Lima Sekawan. Kecuali itu
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 9 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Tak Terduga 2
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi
Liburan Paskah tiba. Bersama Paman Quentin dan Bibi Fanny, LIMA SEKAWAN berlibur
ke Bournemouth, sebuah kota di pantai selatan lnggris.
Ketika sedang berjalan-jalan di pantai, LIMA SEKAWAN bertemu dengan Ralph Mory,
sutradara televisi BBC stasiun daerah. Ia menawari LIMA SEKAWAN untuk ikut
bermain dalam sebuah film televisi. Tentu saja LIMA SEKAWAN senang sekali
mendapat kesempatan ini. Gary Findler, jutawan Amerika yang gemar sekali menonton televisi, kebetulan
juga sedang ada di Bournemouth. Ia mengunjungi studio televisi BBC dan
mengundang seluruh kerabat kerjanya, termasuk LIMA SEKAWAN, untuk menghadiri
pesta yang akan diadakan di atas kapal pesiarnya. Lucky- Mary.
Dalam pesta itu Stephen Bird, aktor pemegang peran utama dalam film yang sedang
digarap, hilang. Hilangnya Stephen ini kemudian disusul oleh hilangnya aktor dan
aktris utama lainnya. LIMA SEKAWAN yang sudab akrab dengan para korban tentu saja tidak tinggal diam.
Mereka segera memutuskan untuk menyelidiki dan membongkar kejadian misterius
ini.... Penerbit PT Gramedia JI Palmerah Selatan 22 Lt. IV
Jakarta Pusat 83.135 LIMA SEKAWAN: PENCULIKAN BINTANG TELEVISI
petualangan baru LIMA SEKAWAN
ciptaan ENID BLYTON diceritakan oleh Claude Voilier
ilustrasi oleh Jean Sidobre
Penerbit PT Grramedia Jakarta. 1983 "LES CINQ A LA TELEVISION"
by Claude Votlier Copyright ? Librairie Hachette 1973
All rights reserved "LIMA SEKAWAN: PENCULIKAN RINTANG TELEVISI"
dialihbahasakan dari edisi bahasa Jerman
"DIE BERUHMTEN 5 IM FERNSEHEN"
oleh Agus Setiadi GM 83.135 Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Graniedia, Jakarta 1983
Anggota IKAPI Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia Jakarta
Scan DJVU: www.tag-dgn.blogspot.com
Convert & Edit by: Farid ZE
Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Daftar Isi: Bab I Diajak Main di TV Bab II Di Studio TV Bab III Pesta Misterius Bab IV Sikap Aneh Bab V Susy atau Bukan"
Bab VI Berunding Bab VII Kecelakaan Aneh Bab VIII Marc Diculik Bab IX Perkembangan Baru Rab X Aline juga Lenyap! Bab XI Di Atas Lucky Mary
Bab XII Kembali ke Hotel Bab XIII Kembali ke Lucky Mary
Bab XIV Ketahuan! Bab XV Ke Manakah Dick"
Bab XVI Pemeriksaan Polisi
Bab XVII Timmy Beraksi Bab XVIII Akhir yang Memuaskan
Bab I DIAJAK MAIN DI TV "Ayo, kemarikan! Bacakan yang keras dong - atau beri kesempatan pada kami untuk
ikut membaca!" Tapi George - yang nama sebenarnya Georgina - berlagak tuli. Koran yang sedang
dibaca diturunkannya sedikit. Dipandangnya ketiga sepupunya dengan sikap bosan.
Setelah itu ia menghilang lagi di balik koran itu.
Dick, yang tampangnya mirip dengan George, tidak sabar lagi melihat sikap yang
menganggap sepi itu. Diisentakkannya koran dari tangan saudara sepupunya.
"Yippii!" serunya begitu melihat apa yang mengasyikkan George tadi. Suara Dick
melengking karena kegembiraannya. "Kita dimuat dalam harian Times! Kita terkenal
sekarang!" Dick berbaring memanjang di atas rumput, lalu mulai membaca artikel
itu. "Tanpa masuk koran pun kita sudah terkenal," kata George dengan sikap seolah tak
acuh. Tapi matanya yang bersinar-sinar menunjukkan bahwa ia sebenarnya bangga.
Ia mencengkeram tengkuk Timmy yang berbulu tebal lalu mengguncang-guncangnya.
"Benar kan, Tim?"
Timmy menggonggong seolah-olah membenarkan ucapan tuannya. Anjing itu meloncat
dari anak satu ke anak yang lain. Ia ingin agar mereka menghentikan membaca dan
bermain-main dengan dia. Tapi sementara itu Anne dan Julian juga sudah sibuk memperhatikan artikel itu.
Mereka mengamat-amati foto mereka berempat yang tertera pada halaman pertama.
Timmy juga ikut dalam foto itu. Di atasnya tertera dengan huruf yang besar-
besar: Berkat "LIMA SEKAWAN", jaringan penyelundup rokok intemasional diringkus.
Sebetulnya bukan baru sekali itu Lima Sekawan menjadi bahan berita dalam surat
kabar. Tapi mereka masih saja merasa bangga jika membaca berita mengenai diri
mereka. Dengan perasaan agak kurang percaya, bahwa mereka ternyata sering lebih
gesit dan berani daripada polisi. Dalam artikel yang dimuat dalam surat kabar
Times yang terpandang hari itu dibeberkan berbagai kisah petualangan mereka,
misalnya saja pengalaman bersama Jo, gadis cilik dan kaum kelana yang dulu
sering menimbulkan kerepotan.
Anne, saudara sepupu George yang paling muda, memandang Julian, abangnya.
Matanya bersinar-sinar. "Wah - hebat!" kata Anne, mengucapkan hal yang ada dalam pikiran saudara-
saudaranya. "Satu halaman penuh, hanya mengenai kita saja!"
Saat itu mereka sudah kembali berada di Pondok Kirrin, rumah orang tua George.
Letaknya di Kirrin, sebuah kota kecil di pesisir barat lnggris. Berbagai
petualangan mereka, sering bermula dari rumah itu.
Mereka sedang menikmati liburan Natal di situ. Walau waktu itu musim dingin,
namun cuaca nyaman sekali. Rasanya seolah musim semi. Sepanjang hari anak-anak
itu bisa berada di luar rumah.
Mereka asyik sekali menyimak berita yang tertulis dalam surat kabar, sampai
tidak mendengar langkah orang mendekat. Keempat-empatnya kaget ketika tahu-tahu
terdengar suara Paman Quentin di dekat mereka.
"Jika rapor kalian menjelang liburan Paskah nanti memuaskan, sebagai imbalan
kalian akan kuberi hadiah...."
Paman berhenti sebentar. Sambil tersenyum diperhatikannya anak-anak yang
mendongak dengan napas tertahan. Keempat anak itu menunggu lanjutan kalimat
ilmuwan yang biasanya selalu serius itu dan yang jarang mengacuhkan mereka.
Paman Quentin menyelesaikan kalimatnya, ".. berlibur ke Bournemouth, di pantai
selatan! Timmy juga boleh ikut. Bulan April nanti aku akan menghadiri kongres
yang diadakan di sana. Kebetulan sekali waktunya jatuh bertepatan dengan liburan
kalian. Menurutku kalian sudah sepantasnya mendapat kesempatan pesiar, sebagai
imbalan untuk jasa kalian sebagai detektif selama ini!"
"Wah! Paman benar-benar top, deh!" Kalimat itu terlontar dengan nada gembira
dari mulut Dick. Paman Quentin kaget mendengar istilah yang asing baginya itu.
Ia cepat-cepat kembali ke rumah. Anak-anak jaman sekarang kalau bicara seenaknya
saja, pikirnya sambil melangkah masuk. Ia ayah dan paman yang sangat baik asal
jangan diganggu ketenangannya bekerja. Pengaulannya sehari-hari selalu dengan
angka-angka serta rumus-rumus belaka - jadi ?a selalu bingung kalau menghadapi
keadaan yang tidak tenang. Sedang Dick tidak menyuarakan perasaannya dengan
lantang! "Katamu tadi benar," kata George path Dick. sementara ayahnya sudah masuk lagi
ke dalam rumah. "Aku memang tidak selalu sependapat dengannya - tapi aku sangat
mengagumi ayahku!" "Bibi Fanny juga hebat," kata Anne menambahkan. Ia sangat sayang pada bibinya,
ibu George. "Masih tiga bulan lagi ...," kata Julian sambil mendesah. Pikirannya melayang,
membayangkan asyiknya liburan Paskah nanti. "Bournemouth saat musim semi pasti
menyenangkan sekali ... iklim seperti di pantai Laut Tengah, sementara daun
palem melambai-lambai ...!"
*** Waktu tiga bulan berlalu dengan cepat sekali. Keempat anak itu belajar dengan
rajin. Mereka melakukannya dengan gembira. Begitu tekun mereka belajar, sehingga
dapat dipastikan bahwa angka-angka dalam rapor tentu bagus semua. Dan dengan
begitu Paman Quentin tentu harus menepati janji. Ketika liburan Paskah akhirnya
tiba, dua orang dewasa dan empat remaja yang diikuti seekor anjing nampak naik
ke kereta api yang menuju ke Bournemouth. Julian diberi tugas oleh Paman untuk
mengawasi ketiga saudaranya. George dan Dick menyeringai dibalik punggung Paman.
Mereka sama sekali tidak senang masih dianggap seperti anak kecil!
Bibi Fanny sudah memesan kamar di sebuah hotel kecil yang strategis letaknya.
Dari hotel itu dengan cepat mereka bisa sampai di tengah kota, tapi juga tidak
jauh dari tepi pantai pemandian. Dengan cepat anak-anak mengeluarkan pakaian
dari dalam koper lalu menaruhnya dalam lemari yang tersedia. Setelah selesai,
mereka diijinkan berjalan-jalan ke pantai.
"Hai, Laut! Kami datang !" seru Dick bersemangat. Ia mulai lari, diikuti oleh
saudara-saudaranya. Dengan napas agak tersengal-sengal mereka sampai di tempat orang berjalan-jalan
di tepi pantai. Mereka menyandarkan din ke pagar. Mereka menghirup hawa laut
yang segar, sambil menatap kagum ke arah ombak yang memecah di depan mereka.
Timmy menyatakan kegembiraannya dengan cara khas - yaitu cara anjing! Ia
berlari-lari ke sana dan kemari, berusaha menangkap burung-burung camar yang
terbang menyambar-nyambar di situ. Dan burung-burung itu kelihatannya seperti
melayani keinginannya bercanda. Mereka diam saja didekati Tirnmy. Ketika sudah
dekat sekali, barulah camar-camar itu mengepakkan sayap. Langsung membumbung
tinggi, teriring teriakan melengking tinggi. Dengan cepat sudah semakin banyak
orang berkerumun. Mereka tertarik mendengar gonggongan Timmy yang bercampuraduk
dengan teriakan burung-burung camar. Mereka tertawa geli melihat kelakuan anjing
iseng itu, yang tidak henti-hentinya melompat-lompat dengan lidah terjulur ke
luar. "Diam, Timmy!" kata George sambil tertawa. "Kau ini memalukan seluruh keluarga
saja!" "He!" seru seorang pemuda di antara orang-orang yang berkerumun menonton.
"Kalian ini kan kelompok Lima Sekawan terkenal yang diberitakan oleh harian
Times !" Dick menoleh ke arah pemuda itu.
"Ya, betul," jawabnya. Ia merasa bangga karena ada yang mengenali. "Memang
kamilah mereka itu."
Pemuda yang menyapa itu mengatakan bahwa ia orang televisi daerah. Kemudian Ia
menanyakan akan berapa lama Dick beserta saudara-saudaranya berada di
Bournemouth. "Kami di sini sampai kongres yang dihadiri ayahku selesai," jawab George. "Jadi
kurang lebih empat belas hari lagi." Pemuda itu diam sesaat. Kelihatannya seperti sedang berpikir. Kemudian ia
tersenyum. "Bagaimana - maukah kalian ikut main dalam suatu film televisi?" tanya pemuda
itu. "Aku punya ide yang hebat sekali, setelah berjumpa dengan kalian di sini.
Tolong sebutkan alamat kalian selama berada di sini - nanti dengan segera kalian
akan kuhubungi lagi!"
Anak-anak menyebutkan nama hotel kecil tempat mereka menginap, meski mereka
sebenarnya tidak tahu pasti kemauan pemuda tak dikenal itu. Mereka juga agak
kaget mendengar ajakan yang datang begitu tiba-tiba. Tapi sebelum mereka sempat
bertanya lebih lanjut, pemuda tadi sudah menghilang lagi di tengah orang banyak
yang melancong makan angin di tepi pantai.
"Kurasa dia itu orang sinting," kata Anne, yang paling dulu pulih dan
kekagetannya. "Bagaimana kalau menurut kalian?"
"Ah, dia sih bukan sinting, tapi pembual!" tukas Dick.
"Menurutku, ajakannya tadi itu serius. Ia kelihatannya tidak main-main," potong
George. "Tapi sayangnya ia tidak menyebutkan namanya."
"Kita lihat saja nanti bagaimana kelanjutannya," kata Julian mengakhiri
pembicaraan yang menduga-duga itu. "Tenang-tenang sajalah dulu .... Kalau ia
tadi benar-benar serius, pasti suatu saat nanti muncul. Ia kan tahu di mana kita
menginap!" Setelah itu anak-anak melanjulkan pelancongan mereka, menikmati kenyamanan hawa
laut. Mereka asyik bermain-main dengan Tirnmy. Anjing itu sangat gembira, karena
mendapat kesempatan berlari-lari di pantai yang begitu luas tanpa ada yang
mengomeli. Setelah beberapa saat, perjumpaan secara tiba-tiba dengan pemuda yang
mengaku dan televisi tadi sudah dilupakan.
Baru malam harinya anak-anak teringat lagi pada kejadian itu. Saat itu mereka
baru saja selesai makan malam. Ketika mereka melintasi ruang depan hotel bersama
Paman Quentin dan Bibi Fanny, wanita pengurus hotel itu datang menghampiri.
"Ada orang ingin bicara dengan Anda sebentar, Pak," kata wanita itu pada Paman.
"Ini kartu namanya."
Paman Quentin menerima kartu yang disodorkan padanya, lalu membaca nama yang
tertera di situ. Kening Paman berkerut.
"Ralph Mory - Sutradara - Televisi BBC Stasiun Daerah," gumam Paman membaca
tulisan itu. "Hm - mau apa dia" Aku tak merasa mengenalnyal"
Paman tidak sempat lama-lama merasa heran, karena saat itu juga orang yang ingin
bicara itu datang menghampiri. Orangnya jangkung, berbahu bidang. Senyumnya
simpatik. "Maaf jika saya mengganggu," kata orang itu dengan sopan, "tapi saya ingin
bicara sedikit dengan Anda, mengenai anak-anak ini. Mereka akhir-akhir ini
beberapa kali menjadi pokok pemberitaan dalam surat-surat kabar yang
menceritakan berbagai pengalaman mereka sebagai detektif amatir. Tim kami lantas
mendapat gagasan untuk memasukkan mereka dalam sebuah film yang sedang
direncanakan pembuatannya. Tentang itulah saya ingin berbicara dengan Anda.
Bisakah Anda meluangkan waktu sebentar?"
Paman mengajak sutradara TV itu ke ruang duduk yang letaknya bersebelahan. Anak-
anak tentu saja ikut, karena ingin mengetahui rencana yang akan dipaparkan.
Dengan cepat sutradara itu menjelaskan pokok persoalannya.
"Kami bermaksud membuat suatu film seri, yang terdiri dari beberapa episode,"
katanya. "Apa itu, episode?" bisik Anne bertanya pada Julian.
"Episode itu bagian yang utuh - yang berdiri sendiri," desis Dick memotong,
sebelum Julian sempat membuka mulut. "Sekarang jangan tanya-tanya lagi - nanti
kita tidak tahu rencana yang diajukan!"
Itu memang benar, karena sementara itu sang sutradara masih berbicara terus.
"Nah - kami bermaksud untuk menyisipkan Lima Sekawan untuk berperan dalam salah
satu episode yang berkisar mengenai penyelundupan rokok. lni film yang
mempromosikan rokok yang terkenal - jadi bisa dibilang film iklan! Pada akhir
cerita Lima Sekawan tentu saja menang dan kawanan penyelundup diserahkan pada
polisi. Saya yang memegang tanggung jawab untuk produksi film ini. Karenanya
saya berani menawarkan imbalan honor yang pasti memuaskan!"
"Saya sama sekali tidak tertarik pada soal uang," kata ayah George dengan sikap
menolak. "Saya sama sekali tidak suka anak gadis saya beserta sepupu-sepupunya
ikut tampil dalam suatu film yang sebetulnya merupakan iklan untuk rokok. Saya
tidak setuju jika kaum remaja diikut-ikutkan dalam promosi untuk sesuatu yang
sebetulnya bisa berbahaya bagi kesehatan. Dan di samping itu..."
"Aduh, Ayah - kalau kami boleh ikut, pasti asyik," sela George memotong
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembicaraan dengan cepat.
"Dan di samping itu," sambung Julian dengan mata bersinar, "kan menarik, bisa
mengikuti dari dekat kesibukan membuat film televisi! Pasti akan menambah
pengetahuan ... ya kan, Paman"'
Paman Quentin tertawa. "Kau ini memang pintar, Ju," katanya. "Kau tahu di mana letak kelemahanku. Kalau
dilihat dari segi itu, tawaran ini juga menarik bagiku!" Paman berhenti sebentar
sambil berpikir, lalu meneruskan, "Baiklah kalau begitu. Aku setuju. Tapi Anda
harus berjanji menjaga keselamatan anak-anak ini. Jangan sampai terrjadi apa-apa
yang tidak enak dengan mereka!"
"Saya sendiri yang akan menjaga keselamatan mereka, Profesor," kata sutradara
muda itu cepat-cepat. "Saya selalu hadir untuk mengawasi setiap pengambilan
adegan. Jadi Anda sama sekali tidak usah khawatir."
Setelah itu Paman mash berbicara lagi dengan sutradara yang bernama Ralph Mory
itu, memperbincangkan berbagai segi bisnis pertelevisian. Tapi George dan ketiga
saudara sepupunya tidak begitu memperhatikan. Mereka sibuk dengan khayalan
masing-masing. Wah - ternyata liburan sekali itu akan sangat menyenangkan.
Banyak hal baru yang pasti akan mereka alami nanti. Bayangkan apa kata teman-
teman di sekolah, kalau mendengar bahwa Lima Sekawan akan tampil di televisi!
Keempat remaja itu baru mengikuti pembicaraan kembali ketika Ralph Mary
mengatakan bahwa skrip film itu sebagian besar sudah selesai ditulis dan
shooting sudah bisa dimulai dengan pengambilan adegan-adegan dalam ruangan di
studio. Shooting dengan lokasi di luar akan menyusul kemudian. Tentang itu sama sekali tidak ada
kesulitan. Bournemouth letaknya kan di tepi laut. Jadi merupakan latar belakang
yang ideal bagi kisah yang bersangkutan dengan penyelundupan.
Bab II DI STUDIO TV Dua hari kemudian anak-anak dijemput dengan mobil dinas TV setempat. Saat itu
masih pagi sekali. Timmy juga dibawa, karena Lima Sekawan tanpa Timmy dianggap
seperti sup yang kurang garam. Atau gado-gado tanpa bumbu sambal kacang! Lagi
pula anggotanya jadi tinggal empat.
Mereka diantarkan ke sebuah gedung besar berdinding kaca. Letaknya di pinggiran
kota Bournemouth. Ternyata studio TV regional BBC bertempat di gedung itu.
Ralph Mory sudah lebih dulu ada di sana. Ia menyambut kedatangan keempat remaja
yang ditemani Timmy. Sikapnya ramah sekali. Mereka diajaknya sebentar melihat-
lihat ke semua studio yang ada di situ. George dan ketiga sepupunya hanya
memandang segala-galanya sambil membisu. Mereka kagum dan bingung melihat begitu
banyak peralatan teknik yang ternyata ada dalam studio televisi. Di mana-mana
nampak kamera, monitor yang diperlukan untuk mengamati jalan shooting. Belum
lagi kabel-kabel yang simpang-siur serta lampu-lampu besar yang menyilaukan
mata. Lalu dekor yang macam-macam. Anak-anak sangat terkesan, karena baru sekali
itulah mereka benar-benar melihat dunia kehidupan yang masih asing bagi mereka
itu dari dekat. Anne berdiri menghadap suatu dinding kaca. Ia sedang
memperhatikan kesibukan pengambilan adegan yang sedang berlangsung di atas
sebuah panggung kecil dalam studio di balik dinding kaca itu. Anne memperhatikan
kesibukan itu dengan penuh minat. Setelah beberapa waktu, ia berpaling pada
George yang berdiri di sisinya.
"Aduh," keluh Anne, "takkan mungkin aku bisa bermain begitu wajar di depan
kamera! Kalau aku jadi gadis itu pasti kikuk sekali. Masih bagus kalau tidak
terserempet-serempet kabel!"
"Jangan konyol." tukas George sambil menggerakkan kepalan tinju dengan pelan,
menumbuk rusuk sepupunya yang berambut pirang itu. "Belum apa-apa kau sudah
mulai panik! Ini kan kesempatan yang baik sekali bagi kita untuk main dalam
film! Sudah, sekarang jangan banyak pikiran dulu. Lihat sajalah, nanti kita
pasti akan asyik. Soal kikuk atau tidak, serahkan saja pada sutradara. Itu kan
urusan dia!" Akhirnya keempat remaja itu diajak sutradara ke ruang kantornya. Ruangan itu
luas sekali dan sangat apik. Perabotarmnya bergaya anggun. Ketika mereka masuk,
nampak sudah ada beberapa orang berdiri di situ sambil bercakap-cakap. Tapi
obrolan mereka langsung terhenti ketika tahu bahwa Ralph Mory datang bersama
anak-anak. "Kalian sudah berkumpul rupanya, sapa Ralph dengan gembira. "Perkenalkan
sebentar - mereka inilah Lima Sekawan yang termasyhur. Tapi kalian tentu sudah
tahu sendiri. Dan ini - "Ralph Mory berbalik ke arah Lima Sekawan sementara
tangannya dilambaikan ke arah orang-orang yang berkumpul. "mereka para pemeran
utama film kita. Baiklah kuperkenalkan mereka satu per satu: ini Stephen Bird
yang memainkan peranan Joe, pemimpin kawanan penyelundup. Lalu yang tiga ini
masing-masing Marc, Tom, dan Renato, para anggota komplotan. Renato ini aslinya
dari Italia. Sedang gadis ini satu-satunya wanita yang ikut Namanya Susy
Marshal." Wanita muda yang diperkenalkan itu tersenyum manis. Wajahnya cantik, sedang
rambutnya yang pirang keemasan terurai lurus melampaui batas bahu.
"Dalam film itu nanti aku istri Joe. Tapi dalam kehidupan sebenarnya, aku baru
saja bertunangan dengan Stephen."
George dan ketiga sepupunya merasa senang sekali karena akan bekerja sama dengan
orang-orang televisi yang ternyata ramah-tamah. Sikap mereka yang semula agak
malu-malu dan kikuk dengan cepat sekali lenyap setelah mengalami sambutan yang
begitu terbuka dan ramah. Ralph Mory langsung mulai bicara tentang urut-urutan
pengambilan adegan. Ia harus menghemat waktu, karena setiap menit yang disia-
siakan berarti pemborosan uang modal.
"Urut-urutan pengambilan adegan tidak sesuai dengan urut-urutan jalan cerita,"
katanya menjelaskan pada anak-anak. "Berdasarkan pertimbangan biaya, kita buat
dulu shooting yang bisa dilakukan dalam studio. Setelah itu barulah kita pindah
untuk merekam adegan-adegan yang terjadi di luar. Hari ini kalian belum perlu
beraksi - jadi bisa melihat dulu bagaimana rekan-rekan kalian melakukan akting
di depan kamera. Tapi mulai besok kalian mulai ikut main. Jangan takut, segala-
galanya pasti beres! Satu-satunya yang menyulitkan bagiku adalah soal sempitnya
waktu. Kalian dua minggu lagi kan sudah harus kembali ke sekolah! Jadi kita
tidak boleh membuang-buang waktu. Film yang akan kita buat ini terdiri dari dua
bagian. Tapi ceritanya padat sekali. Menegangkan sampai detik penghabisan!"
Kemudian dimulai pengambilan adegan pertama, berupa perundingan di antara para
penyelundup. Para aktor beraksi dengan sangat meyakinkan, sampai anak-anak lupa
bahwa yang mereka saksikan itu hanya akting belaka. Ralph tidak mengatakan apa-
apa tentang gaya permainan para aktor. Ia tidak ingin anak-anak terpengaruh. Ia
yakin bahwa kewajaran sikap mereka pasti akan nampak dalam akting mereka nanti.
Shooting yang dilakukan setelah itu dengan George serta ketiga sepupunya untuk
menguji kemampuan mereka, membenarkan dugaan Ralph. Keempat remaja itu beraksi
secara wajar dan sedikit pun tanpa merasa canggung.
Siang sampai sorenya mereka sibuk melatih peranan yang harus mereka lakukan
untuk shooting keesokan harinya. Mereka berlatih cara berjalan yang benar di
depan kamera. Mereka juga belajar cara berbicara dengan ucapan yang jelas tapi
tanpa terdengar dibikin-bikin.
Dengan cepat George beserta ketiga sepupunya merasa seperti sudah kenal lama
sekali dengan para aktor rekan-rekan mereka di situ.
"Mereka semuanya baik hati!" kata Anne dengan wajah berseri-seri.
"Memang, mereka sangat menyenangkan," sambut Julian sambil menganggukkan kepala
tanda sependapat. "Apalagi Stephen - dia itu tipe yang benar-benar top!" Dalam pergaulan selama
sehari saja dengan orang-orang TV, Dick sudah ketularan cara mereka berbicara.
Dan "tipe" adalah ungkapan mereka untuk menyatakan "orang".
Sementara itu George sudah hafal akan kebiasaan-kebiasaan khas para aktor.
Stephen misalnya, mempunyai kebiasaan menyentakkan kepalanya ke atas untuk
melemparkan jambulnya yang tiap kali tergerai menutupi kening. Sedang Susy kalau
bicara hampir selalu mulai dengan, 'Kurasa ...'. Sedang Marc rupanya seperti
kecanduan permen masam. Ia selalu mengulum permen jenis itu.
Keesokan paginya anak-anak datang lagi ke studio. Perasaan mereka saat itu agak
gelisah. Penata dekorasi telah menyiapkan sebuah gua tiruan dari bahan karton.
Dalam gua itulah mereka akan memerankan adegan petualangan yang pertama. Menurut
skenario, anak-anak ditawan para penyelundup dan ditinggalkan dalam keadaan
terikat di gua itu. Kemudian Timmy datang setelah berhasil mencium jejak George.
Anjing setia itu memutuskan tali yang mengikat George dengan giginya, sehingga
anak-anak akhirnya berhasil membebaskan diri.
"Ya, siap! Snootl" seru Ralph memberi aba-aba. George dan ketiga saudaranya
bergidik. Mereka merasa agak seram, berada dalam gua suram berwarna hijau lumut
itu. Adegan yang harus dimainkan itu mirip sekali dengan salah satu petualangan
mereka yang menyeramkan. Mereka merasa seperti kembali menghadapi bahaya gawat
saat itu, dan bukan sedang melakukan akting untuk suatu film. Mereka melupakan
kamera yang berdesir di tempat gelap. Dengan sikap gelisah yang tidak dibuat-
buat George bersuit memanggil Timmy. Ia berharap semoga anjing setia itu datang
untuk membebaskannya dan situasi gawat itu.
Selama itu Timmy dikurung dalam sebuah ruangan sempit yang terdapat di samping
studio di mana shooting dilakukan. Begitu terdengar suitan George, seorang
asisten membukakan pintu. Timmy melesat ke arah datangnya suitan tadi, lalu...
Saat itu terdengar bunyi tertawa riuh menggema dalam ruang studio!
"Stop!" teriak Ralph Mory. Ia marah sekali. "Binatang apa itu?"
Pertanyaan itu tidak mengherankan. Memang sebenarnya Timmy yang masuk ke dalam
studio sambil berlari. Tapi Timmy yang bagaimana tampangnya! Ia tidak bisa
dikenali lagi. Ternyata ketika terkurung dalam bilik sempit ia merasa bosan dan
gelisah. Ia tidak tahu kenapa ia dikurung di situ. Dicarinya jalan ke luar agar
bisa bergabung lagi dengan George. Tapi pintu dikunci dari luar. Timmy meloncat
menendang-nendang dinding, karena siapa tahu - mungkin saja dinding itu tiruan
belaka seperti dinding gua yang ada dalam studio. Anjing itu begitu sibuk
mencari jalan keluar sehingga lupa berhati-hati. Sebuah rak dengan cat berember-
ember terbalik diterjang olehnya. Tentu saja cat tumpah dan melumurinya.
Sebagai akibatnya,Timmy nampak seperti binatang ajaib dari planet Anu: tubuhnya
yang sebelah kiri dihiasi bercak-bercak cat hijau, sedang sisi kanannya
bergaris-garis merah. Kepalanya berlumuran cat kuning, sedang ekornya seperti
kena semburan warna biru.
Semua yang ada dalam studio tertawa terpingkal-pingkal - kecuali Ralph dan anak-
anak. Wah kalau begitu terus. bisa payah pembuatan film ini! Adegan itu harus
diulangi sekali lagi, setelah Timrny dibersihkan secara berhati-hati dengan
larutan pembersih cat. Dengan cepat Ralph sudah melupakan kekesalannya, karena
pengambilan adegan-adegan berikutnya berjalan lancar sekali. Sambil tersenyum
gernbira ditepuk-tepuknya bahu para aktor amatir itu.
"Bagus, Anak-anak!" katanya memuji ketika kesibukan shooting untuk hari itu
selesai. "Kalian benar-benar pantas mendapat pujian"
Saat itu pintu studio dibuka dari luar. Padahal lampu merah di atas pintu masih
menyala. tanda bahwa saat
itu sedang ada shooting. Seorang laki-laki yang tak dikenal melangkah masuk. Sikapnya seolah-olah ialah
pemilik studio. Begitu masuk, ia lantas nnenyebutkan namanya.
"Aku Gary Findler!" katanya lantang. Ia berkata sambil tersenyum. Tapi wajahnya
tidak nampak bertambah ramah karenanya, sebab senyuman itu agak miring. Senyuman
yang seolah-olah meremehkan.
Semua yang hadir memandang serentak ke arahnya. Semua tercengang ketika
mendengar namanya. Soalnya, siapa yang tidak mengenal nama Gary Findler"!
Jutawan Amenika, raja produk sintetik yang namanya setap hari tertera dalam
berita-berita surat kabar sejak perahu pesiarnya yang mewah masuk dan berlabuh
di pelabuhan Bournemouth. Sejak saat itu foto-fotonva sering terpampang di mana-
mana. Jutawan Amerika itu melemparkan senyumnya ke semua yang hadir di situ. Orangnya
tinggi besar, dengan rambut beruban dipangkas pendek.
Dick menyikut saudara sepupunya.
"Huii - kita mendapat kehormatan besar, dikunjungi raja bahan sintetik,"
gumamnya kagum. Tapi sang Sutradara sama sekali tidak merasa terkesan. Ralph Mory mengerutkan
keningnya, tanda bahwa ia jengkel atas kemunculan yang tiba-tiba itu.
"Orang yang tak berkepentingan dilarang masuk ke dalam studio, Pak," katanya
dengan nada dingin. "Ya, ya - aku tahu." Jutawan itu mengibaskan tangannya. "Anda harus memaafkan,
tapi aku ingin sekali berkenalan dengan Anda. Anda kan sutradara yang bernama
Mory?" Dan logatnya kentara sekali bahwa ia orang Amerika.
"Ya, aku Mory," kata sang Sutradara agak menggerutu. "Anda ada perlu apa
denganku?" "Begini. Aku ini gemar sekali menonton televisi," kata jutawan Amerika itu.
"Sejak aku ada di sini, setiap hari kuikuti acara-acara siaran Anda. Aku sangat
menyukainya. Anda beserta tim Anda benar-benar hebat Apalagi aktris yang namanya
Susy Marshal. Aku terutama tertarik melihat permainannya. Begitu pula akting
yang ditampilkan oleh aktor Stephen Bird."
"Kalau begitu Anda mujur," kata Ralph. Sikapnya agak ramah sekarang. "Kami baru
saja menyelesaikan shooting suatu adegan. Segenap tim hadir di sini."
Ia memperkenalkan para aktor pada orang Amerika itu, tanpa melupakan Lima
Sekawan. Pak Findler nampak berbahagia sekali. Kelihatannya ?a memang penggemar
siaran lelevisi. Kabarnya orang Amerika kalau nonton televisi, setiap harinya
bisa sampai berjam-jam! "Nasibku hari ini memang sedang mujur sekali," katanya sambil membungkukkan
tubuh dengan gaya sopan di depan Susy, aktris cantik itu. "Kini aku ingin agar
kalian semua mau menolongku. Mau tidak?"
Wajah Ralph Mory berubah lagi, kembali menampakkan sikap sebal. Pasti dalam hati
ia berkata bahwa si Amerika itu jangan mengira bisa berbuat semaunya saja di
sini! Tapi sikapnya melunak lagi setelah mendengar kata-kata Pak Findler.
"Besok malam aku akan mengadakan pesta di atas kapal pesiarku, Lucky Mary. Aku
ingin mengundang kalian semua untuk menghadirinya. Ya, kalian semua termasuk
anjing ini." Ia menepuk-nepuk kepala Timmy dengan ramah.
Orang-orang televisi tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan yang begitu baik
untuk bersenang-senang. Dengan segera mereka menyatakan mau datang. Sedang
George bergegas-gegas menelepon orang tuanya untuk minta ijin. Setelah membujuk-
bujuk sebentar, akhirnya anak-anak diijinkan untuk menghadiri pesta itu.
"Terima kasih atas undangan Anda," kata Ralph Mow atas nama seluruh awak
televisi. "Sekarang marilah kita berkeliling melihat-lihat studio."
Bab III PESTA MISTERIUS Keesokan harinya shooting berlangsung dari pagi sampai sore, hanya dengan
selingan sebentar untuk makan dan minum. Hubungan antara para aktor dengan anak-
anak menjadi bertambah akrab. Kegairahan mereka melakukan akting semakin
bertambah dari adegan ke adegan berikut.
Akhirnya pekerjaan untuk hari itu selesai. Ralph mengantarkan George beserta
ketiga sepupunya pulang ke hotel.
"Kalian beristirahat saja dulu sebentar," katanya. "Acara malam ini pasti sampai
larut. Nanti pukul sembilan aku akan datang menjemput lagi."
Istirahat" Siapa yang bisa beristirahat apabila perasaan begitu bergelora
membayangkan pesta yang pasti akan meriah malam itu. Anak-anak bergegas makan
malam. Setelah itu mereka mulai mempersiapkan diri, berdandan untuk pesta. Anne
yang paling sibuk di antara mereka. Berlainan halnya dengan George, Anne sangat
memperhatikan keapikan. Dengan pakaian pestanya ia mondar-mandir di depan cermin
besar, mematut-matut diri. Jari-jarinya setiap kali meraih rambut, mengusap-usap
sisiran yang sudah rapi. Pipinya nampak merah jambu. Sambil berdandan Anne tidak
henti-hentinya bercerita. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa George berdiri
dengan tampang cemberut di depan lemari yang terbuka lebar pintunya.
"Sialan!" katanya menggerutu. "Hanya karena ada pesta konyol ini, aku sekarang
terpaksa memakai rok!"
George merasa sebal. Ia lebih senang apabila bisa muncul di pesta dengan pakaian
santai, bercelana jeans seperti biasanya. Tapi itu pasti takkan diijinkan Ibu.
Dengan kasar disentakkannya sepotong gaun sederhana berwarna merah dan gantungan
di lemari, lalu dikenakan. Potongan gaun itu biasa-biasa saja, sama sekali tidak
menyolok. Tapi memakai gaun itu pun George sudah tidak senang. Rambutnya yang
hitam ikal ditelusurinya beberapa kali dengan jari-jarinya. Bagi George, itu
sudah berarti berdandan rapi. Kini ia sudah siap untuk berangkat ke pesta!
Kesebalannya lenyap ketika melihat perahu pesiar yang ditambatkan di dermaga
pelabuhan. Kapal itu terang-benderang, nampak meriah dengan perhiasan pesta.
Pasti ribuan lampu yang terpasang di sekeliling geladak, kata George dalam hati.
Sinarnya menerangi perairan di pelabuhan, dari ujung ke ujung. Kedatangan mereka
disambut alunan bunyi musik lembut. Anak-anak mengikuti Ralph turun dan mobil.
Palu benjalan menuju ke tempat pesta sambil mengobrol dan tertawa-tawa.
Gary Findler menyambut tamu-tamunya di ujung titian. Ia nampak sangat riang. Hal
itu dapat dimengerti, karena tokoh-tokoh terpenting sekalipun di kota itu
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ternyata datang untuk memenuhi undangannya.
"Selamat datang, selamat datang! Kalian ternyata benar-benar menepati janji,"
serunya sambil menyongsong "Langsung saja masuk ke salon dan silakan menikmati
hidangan di situ!" Lima menit kemudian Stephen dan Susy tiba dengan taksi, disusul tidak lama
kemudian oleh Marc, Tom, dan Renato.
Pesta di kapal mendekati puncak kemeriahan. Para tamu bergerak seperti mengalir
dari salon yang satu ke salon yang lain sambil menikmati makanan dan minuman
yang tersedia. Satu-satunya yang tidak ikut berpindah-pindah tempat dalam pesta itu hanya
Timmy. Anjing itu memilih tempat di atas titian, di mana ia asyik mengunyah
tulang yang sengaja disediakan untuknya. Tapi Dick sebenarnya juga tidak pernah
pergi jauh-jauh dari meja hidangan. Setiap kali ada yang mengajaknya pindah,
selalu saja ia meli hat salah satu hidangan yang belum sempat dicicip.
George, Julian, dan Anne asyik menonton orang-orang yang berdansa di ruang salon
terbesar, sambil menangkap obrolan sepotong-sepotong di tengah keramaian orang
berpesta. Menjelang pukul satu malam, akhirnya Anne tidak tahan lagi.
"Aduh, aku sudah capek sekali," katanya sambil menguap. "Bagaimana kalau kita
pulang saja sekarang, George?"
"Kita harus bersabar sebentar," jawab George, yang matanya juga sudah sipit
karena mengantuk. "Ralph tadi berjanji akan mengantar kita pulang. Tapi Ia
sekarang rupanya sudah melupakan kita. Dan tanpa dia, kita tidak bisa berbuat
apa-apa." Pesta itu masih berlangsung terus selarna beberapa waktu lagi. Tapi para tamu
mulai pulang satu demi satu. Akhirnya yang tinggal hanya Ralph, Susy - dan anak-
anak, tentunya. "Kau kelihatannya belum capek,' kata Ralph mengganggu Susy sambil menggandeng
aktris itu. "Apa" Aku sekarang bukan capek lagi namanya. Tapi aku menunggu Stephen. Entah ke
mana ia sekarang! Ia menghilang sejam yang lalu, setelah hanya mengatakan,
'Sebentar saja'. Sejak itu aku tidak melihatnya lagi. Terus terang, aku mulai
was-was sekarang." "Mungkin ia tidak enak hadan, karena kebanyakan minum," kata Ralph Mory menduga.
"Coba kuperiksa sebentar ke kamar kecil.
Gary Findler mengantarnya ke situ. Tapi Stephen ternyata tidak ada di situ.
"Tidak ada," kata sang Sutradara sambil mengangkat bahu, ketika ia kembali ke
geladak. Mata Susy Marshal terbeliak karena kaget.
"Tapi - kalau begitu - di mana...?" tanyanya ketakutan. Tidak ada yang bisa
memberikan jawaban yang memuaskan.
"Anda tahu pasti, ia tadi belum turun?" tanya Gary Findler dengan nada prihatin.
"Pasti" kata Susy. Ia menunduk. "Stephen takkan mau meninggalkan aku tanpa
mengatakan apa-apa. Kecuali itu ia tadi mengatakan hanya akan sebentar saja."
"Aneh" kata Ralph menggerutu.
"Kalau begitu, seharusnya ia masih berada di atas kapal ini," kata Julian
mencampuri pembicaraan. "Kita cari saja dengan teliti."
Mendengar usul itu, George langsung hilang rasa mengantuknya.
"Timmy pasti akan bisa menemukannya dengan segera!" katanya. "Syal yang Anda
pegang itu kan kepunyaan Stephen, Susy. Boleh kupinjam sebentar, biar Timmy
mencium baunya." Syal disodorkan ke depan hidung Timrny. Anjing cerdik itu mengendus-endusnya,
lalu memandang George dengan sikap bertanya.
"Cari, Timmy! Cari!" kata George menyuruh anjingnya. "Pergi, Cari Stephen!"
Tapi anjing itu hanya berkeliaran saja dalam ruangan salon tanpa berhasil
menemukan jejak yang jelas. Rupanya tadi terlalu banyak orang di situ. Apalagi
para tamu wanita dengan bau wewangian mereka yang menusuk hidung, mengakibatkan
Timmy tidak mampu mengenali bau khas Stephen. Akhirnya mereka yang masih tinggal
di kapal terpaksa mencari sendiri tanpa dibantu oleh Timrny.
Ditambah dengan para anak buah kapal, mereka memeriksa kapal. Semua sudut
diperiksa, dan anjungan kemudi sampai ke ruang muatan. Tapi pencarian itu sia-
sia belaka. Stephen seakan-akan menghilang ditelan malam. Sejak Ia meninggalkan
salon, tidak ada yang ingat melihat dia lagi.
Tapi Ralph belum mau menyerah.
"Ia pasti sudah turun ke darat," katanya. "Aku yakin, Ia tadi pusing karena
terlalu banyak minum."
Dugaan itu dibantah oleh Gary Findler,"Aku tadi sudah menyuruh orang menelepon.
Stephen tidak ada di hotelnya. Di rumah sakit juga
tidak" Ralph Mory mengumpat karena kesal dan bingung.
"Kalau begitu satu-satunya harapan kita tinggal polisi," katanya.
Tidak ada yang membantah ketika ia pergi menelepon. Dan walau saat itu sudah
larut malam, tapi tak lama kemudian datang dua petugas polisi. Dan mata mereka
yang merah ketahuan bahwa mereka dibangunkan dari tidur yang nyenyak. Dengan
segera mereka mulai memeriksa di atas kapal. Tapi usaha itu tetap sia-sia -
Stephen masih saja tidak berhasil ditemukan.
Susy sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Gadis cantik itu menangis dengan
suara lirih. Tapi itu pun tidak ada gunanya, karena Stephen tetap hilang. Ralph
akhirnya memutuskan untuk mengantar Susy dan anak-anak pulang ke hotel masing-
masing. "Besok pagi semuanya pasti akan sudah beres lagi," kata sutradara muda itu
menenangkan. Anak-anak sebenarnya sudah capek sekali. Tapi walau begitu mereka masih sempat
berbicara tentang pesta yang berakhir secara aneh.
"Kasihan Susy, pasti Ia takkan bisa tidur malam ini," kata George. "Pemeriksaan
oleh polisi baru besok pagi benar-benar di mulai. Mudah-mudahan saja tunangannya
tidak mengalami hal yang tidak enak."
Sementara itu dalam hati George telah timbul dugaan tertentu. Menurut
perasaannya saat itu, kejadian itu pasti merupakan kesempatan bagi Lima Sekawan
untuk mengadakan penyelidikan ... karena bagaimanapun hanya mereka yang
mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam kejadian misterius itu. Itu pun
kalau benar-benar ada misteri!
Penyelidikan yang dilakukan keesokan harinya hanya membenarkan hal yang sudah
diketahui sejak semula. Stephen Bird lenyap tak berbekas. Pihak kepolisian
rnenarik kesimpulan yang aneh. Menurut mereka aktor itu hanya pura-pura saja
hilang. Tujuannya agar namanya menjadi bahan pembicaraan dan pemberitaan di kalangan
masyarakat, sehingga Ia bertambah terkenal. Sedang dalam kenyataannya, Stephen
menyembunyikan diri! Tentu saja orang-orang TV tersinggung mendengar tuduhan itu!
"Kalian keliru menarik kesimpulan!" tukas Ralph Mory. Sutradara muda itu
menyuarakan pendapat semua rekannya. "Stephen sama sekali bukan tipe aktor yang
gemar mengejar ketenaran nama dengan cara konyol seperti itu!"
"Selain itu ia sama sekali tidak perlu menonjol-nonjolkan namanya," kata Susy.
"Ia kan sudah cukup terkenal! Lagi pula jika ia bermaksud begitu, pasti aku
diberi tahu sebelumnya. Stephen takkan sampai hati membuat aku cemas dan bingung
seperti ini!" Bab IV SIKAP ANEH Ralph Mory benar-benar terdesak. Walau masih saja belum diperoleh keterangan
yang lebih jelas perihal lenyapnya Stephen, ia tidak berani menanggung risiko
menghentikan pengambilan adegan-adegan film Dalam bisnis seperti itu, waktu
berarti uang. Akhirnya Ia memutuskan untuk melanjutkan shooting dengan seorang
stand-in untuk rnenggantikan Stephen. Aktor pengganti itu memerankan tokoh
pemimpin komplotan penyelundup, di mana ia tidak perlu terlalu dekat kamera.
Dengan begitu nanti pirsawan televisi tidak menyadari bahwa dia bukan Stephen.
Para pemeran bermain dengan lesu. Sama sekali tidak meyakinkan penampilan
mereka. Anak-anak ingin menghibur Susy yang kelihatannya sangat sedih dan
bingung. Mereka mengusulkan pada aktris itu agar pindah penginapan saja, ke
hotel kecil yang mereka tempati. Gadis cantik itu menerima ajakan mereka dengan
terharu. Malam itu juga Susy pindah penginapan.
Sehabis makan malam, George masuk ke kamar Susy.
"Susy," katanya dengan suara pelan, "kami - maksudku aku bersama ketiga saudara
sepupuku - telah mengambil keputusan untuk berusaha mencari tunanganmu. Kami
akan beraksi sendiri, karena dari polisi saat ini takkan bisa diharapkan
bantuan. Kau kan tahu, kami ini sudah berpengalaman menyelidiki rahasia yang
misterius! Jadi mestinya kau setuju jika kami mengadakan penyelidikan."
"Tentu saja aku setuju!" kata Susy. Untuk pertama kalinya ia tersenyum lagi
sejak Stephen lenyap. "Hanya kalian berempatlah yang benar-benar bisa kuandalkan
saat ini!" "Kenapa hanya empat" Lima, maksudmu," kata George mengajak bercanda.
"Betul juga, aku tidak boleh melupakan Timmy," kata Susy. Ia tersenyum lagi.
Tapi kelihatannya agak dipaksakan.
Setelah itu George mernaparkan rencana yang udah disusun. Ia begitu bersemangat
sehingga kata-katanya meluncur seperti air terjun.
"Kami akan mendatangi kapal pesiar itu sekali lagi," katanya. "Gary Findler
perlu ditanyai secara lebih teliti, begitu pula awak kapalnya. Kecuali itu kami
juga ingin memeriksa seluruh kapal - mungkin saja kemarin malam ada yang
terlewat, juga tadi pagi."
Susy ketularan semangat George yang menggelora. Ia bertepuk tangan dengan
gembira. "Tapi bagaimana dengan orang tuamu?" tanyanya kemudian.
"Soal itu beres," kata George sambil nyengir. "Ayah dan Ibu kebetulan diundang
menghadiri jamuan makan malam. Jadi kami bisa berangkat sekarang juga!"
"Aku ikut!" kata Susy dengan tegas.
"Tapi ..." George agak keberatan, karena penyelidikan begitu biasanya hanya
dilakukan oleh mereka berlima. "Tidak ada tapi-tapi, karena Stephen itu kan tunanganku," kata Susy memberi
alasan. Akhirnya lima menit kemudian mereka sudah menuju ke pelabuhan: George, Julian,
Dick, Anne, Timmy - dan Susy! Mereka sudah membayangkan pertanyaan apa saja yang
akan mereka ajukan nanti.
Tapi bayangan itu buyar berganti rasa kecewa ketika mereka tiba di dermaga.
Jutawan Amerika itu ternyata mengadakan pesta lagi malam itu! Seorang awak kapal
berdiri menjaga di ujung titian. Hanya para tamu yang membawa undangan saja yang
diperbolehkan naik ke kapal. Rupanya itu tindakan pengamanan, agar jangan sampai
ada pencuri yang bisa ikut naik untuk mengambil barang-barang berharga serta
perhiasan mahal yang dipakai para tamu wanita malam itu.
Susy menghampiri kelasi yang menjaga. Sikapnya tegas tapi ramah. Aktris itu
tersenyum semanis mungkin.
"Kami kenalan baik Pak Findler," katanya. "Namaku Susy Marshal, aktris televisi!
Aku sudah pernah diundang menghadiri pesta di sini. Tolong sampaikan pada
majikan Anda, aku ingin bicara sebentar dengannya. Ada urusan penting."
"Maaf, tapi saya tidak boleh meninggalkan tempat ini jika tidak ada perintah
dari atas," jawab kelasi itu.
Saat berikutnya George melakukan sesuatu yang sama sekali tak diduga oleh siapa
pun juga di situ. Anak bandel itu melihat jutawan Amerika itu muncul di anjungan
kemudi. Tanpa berpikir panjang lagi George berseru memanggil-manggil sambil
melambai-lambaikan tangannya dengan sibuk.
"Pak Findler! Yuhuu! Pak Findler!"
Rupanya Timmy menganggap suara George yang sudah nyaring itu masih kurang keras.
Ia merasa perlu memberi bantuan. "Guk! Guk guk guk!" gonggongnya. Keberisikan mereka berdua di dermaga tak
mungkin tak terdengar, karena bunyi musik di kapal pun masih kalah nyaring.
Jutawan Amerika itu berpaling. Ia menjenguk ke bawah dari tepi kapal - tepat
pada saat kelasi yang bertugas menjaga mencengkeram bahu George sambil berteriak
marah. "Jangan berisik!" tukas kelasi itu. "Dasar anak laki-laki bandel! Seenaknya saja
berteniak, seperti memanggil teman sendiri. Pak Findler itu orang penting,
tahu!" George menggeliat, melepaskan diri dari cengkeraman. Ia cepat-cepat memegang
kalung leher Timmy, yang sudah mulai menggeram-geram. Kelasi itu ternyala salah
duga. Dikiranya George itu anak laki-laki, karena rambutnya yang dipotong pendek
dan celana jeans serta kemeja laki-laki yang dipakai.
"Seenaknya saja kau mencengkeram orang," tukas George. Matanya berkilat-kilat
karena marah. "Begitu kuberi perintah, dengan segera anjingku ini ..."
"Ada apa ribut-ribut di situ?" terdengar suara Gary Findler yang lantang dari
arah anjungan. Kelasi yang ditanya mendongak hendak menjawab. Tapi reaksi Susy
lebih cepat. "Pak Findler," serunya. "Saya Susy Marshall. Saya ingin bicara dengan Anda - ada
urusan penting! Lima Sekawan juga ada di sini!"
Jutawan Amerika menggerakkan tangannya dengan sikap kesal. Rupanya saat itu
tidak tepat untuk berbicara serius dengannya. Tamu-tamu sudah berdatangan semua,
dan Pak Findler ingin lekas-lekas ke salon untuk menyalami mereka.
Tapi setelah bimbang sejenak ?a berseru memanggil Susy.
"Naiklah ke atas" serunya. Ketika melihat George beserta saudara-saudaranya
hendak mengikuti Susy, dengan segera jutawan itu menambahkan, "Kalian jangan
ikut! Di sini sudah terlalu banyak orang!"
Susy bergegas naik ke kapal. Ia menoleh ke arah anak-anak sambil tersenyum,
menandakan bahwa ia pun ikut menyesal bahwa mereka tidak boleh ikut. Kemudian la
masuk ke dalam bersama Gary Findler.
Dick mengumpat. "Pak Tua itu malam ini rupanya sedang tidak senang!" tukasnya. "Keterlaluan -
kita ini dianggapnya apa!"
"Keramahannya waktu itu rupanya merupakan kekecualian!" kata Julian menggerutu.
Ia pun jengkel diperlakukan seperti itu.
"Betul - ia sama sekali tidak ramah!" kata Anne menyetujui.
George diam saja. Padahal darahnya mendidih. Rencananya buyar dengan begitu
saja. Seperti gelembung sabun tercocok duri - lenyap tak berbekas! Sedang
menurut perkiraannya Susy tidak cukup tangkas untuk menangani rencana mereka
seorang diri. Tapi apa boleh buat! Saat itu mereka benar-benar tak berdaya. Ia
harus menunggu di dermaga bersama saudara-saudaranya sampai Susy muncul lagi.
Kelasi yang menjaga tidak boleh sampai merasa cuniga!
Lama sekali rasanya mereka menunggu. Waktu berjalan seperti merayap. Keempat
anak itu mondar-mandir di dermaga. Semua membisu. Tiba-tiba Dick berhenti
melangkah. "Kenapa Susy begitu lama di atas" Mestinya kan sudah dari tadi kembali!" katanya
heran. "Ah, kau ini ada-ada saja," kata Julian. "Menanyai orang-orang kan tidak bisa
cepat-cepat. Untuk itu diperlukan waktu. Menurutku, waktu sebegini lama malah
merupakan pertanda baik!"
"Hm," sela George dengan nada sangsi. "Menurutku, Susy itu terlalu lembut
sifatnya. Ia takkan sanggup mengorek keterangan secara lugas. Aku lebih suka
kalau ..." Kalimatnya tak diteruskan, karena saat itu datang seorang kelasi berlari-lari
menghampiri. "Kalian ini kan Lima Sekawan" tanya kelasi itu sambil memandang anak-anak
bergantian. "Ya, betul," kata Dick. "Ada apa?"
"Aku disuruh Nona Marshal memberi tahu bahwa kalian tidak perlu lebih lama lagi
menunggunya di sini. Kalian diminta olehnya kembali saja ke hotel. Ia akan
menyusul nanti. Dalam sampul ini ada uang buat ongkos taksi."
Kelasi itu bergegas kembali ke kapal, sementara anak-anak hanya bisa melongo
saja sambil mernandang ke pintu kapal. Mereka sama sekali tak menyangka-nyangka
kejadian itu. "Yah," kata Julian setelah membisu beberapa detik, "kalau begitu kita kembali ke
hotel." "Aku sama sekali tak menduga Susy akan begitu," dengus Goerge. "Mestinya paling
tidak ia kan harus mencoba agar kita juga bisa naik ke kapal!"
"Mungkin ia ingin bersenang-senang sedikit untuk agak menyegarkan pikiran," kata
Anne membela aktris itu. "Seenaknya! Mana mungkin Susy bersenang-senang, sementara tunangannya belum
ditemukan!" Muka Anne memerah karena malu. Dengan cepat Dick menyela.
"Sudahlah, jangan kita pikirkan lagi soal itu," katanya. "Kita kembali saja ke
hotel sekarang!"
Lima Sekawan Penculikan Bintang Televisi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat itu belum begitu malam. Karenanya anak-anak memutuskan untuk menunggu Susy
kembali. Mereka ingin segera mengetahui keterangan yang berhasil dikorek aktris
itu dari Gary Findler. Mungkin saja ada hal-hal yang diingat jutawan Amerika
itu, yang barangkali ada gunanya untuk membantu penyelidikan.
Anak-anak menunggu di kamar George dan Anne sambil main kartu. Setelah menunggu
selama satu jam, tiba-tiba telepon di situ berdering. Dengan cepat George meraih
gagang pesawat. "Halo?" "Saya berbicara dengan George Kirrin?" tanya orang yang menelepon. Ternyata
portir hotel. "Nona Marshal ingin bicara dengan Anda."
"Susy," bisik George pada saudara-saudaranya.
"Halo, Susy! Ada apa" Ada yang berhasil kauselidiki" Tidak" ... Wah, payah!"
Dengan cepat diteruskannya kata-kata Susy pada Julian serta kedua adiknya agar
mereka tahu dengan segera. Kemudian ia berbicara lagi dengan Susy.
"Bagaimana" Kau menelepon dari suatu cafe " Karena kau tahu kami pasti sudah
tidak sabar lagi menunggu" Terima kasih, kami memang masih menunggu, jadi
cepatlah kembali!... Apa" ... Kau belum akan kembali sekarang" Kenapa tidak,
Susy" Kau masih hendak ke polisi dulu" ... Kenapa" Ada apa?"
Selama beberapa saat George tidak berbicara. Ia hanya mendengarkan dengan tekun,
tanpa memotong sedikit pun. Anak-anak yang lain menahan napas. Ah, akhirnya
selesai juga George menelepon.
Dikembalikannya gagang pesawat ke tempatnya. Ia kelihatan bingung.
"Susy tahu-tahu meletakkan gagang pesawatnya," kata George dengan nada heran.
"Kalian mau tahu, apa katanya sebelum itu padaku" Katanya, ia merasa bahwa taksi
yang ditumpanginya tadi dibuntuti sebuah mobil berisi dua orang laki-laki yang
tak dikenal! Karena itu ia sekarang hendak ke kantor polisi agar kedua orang itu
disergap. Mungkin mereka itu orang-orang yang sebelumnya telah menculik Stephen,
dan sekarang hendak memeras Susy. Itu perkiraan Susy. Nah - bagaimana pendapat
kalian tentang hal ni?"
"Menurutku, persoalannya semakin bertambah gawat" kata Julian.
"Tepat. Dan Susy ternyata lebih tangkas daripada sangkaanku semula!" kata George
bersemangat. "Kedua orang tak dikenal yang membuntuti itu pasti penjahat!" ujar Dick
menyatakan pendapatnya. "Aduh - mudah-mudahan saja Susy tidak diapa-apakan oleh mereka," keluh Anne
dengan suara lirih. Ia takut mengingat nasib aktris yang malang itu.
George menggerakkan bahunya dengan sikap jengkel.
"Menunggu! Lagi-lagi menunggu" tukasnya. "Bisa gila aku jika terus-menerus
begini! Kurasa, kita harus ..."
Kalimatnya terputus oleh Dick yang tertawa geli. "Wah, George - kau begitu
prihatin mengenai Susy, Sampai caramu bicara pun sudah seperti dia. Kurasa..."
Dick tertawa lagi. Tapi George tidak ikut tertawa. Perasaannya saat itu tidak mengijinkannya. Ia
termenung. Keningnya berrkerut. Beberapa saat kemudian Anne menjamah tangannya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, George?"
"Apa yang akan kalian lakukan, terserah - kalau aku, aku hendak menunggu Susy
pulang di bawah. Aku tidak tahan lebih lama terkurung dalam kamar ini!"
George turun ke ruang depan bersama Timmy. Ketiga saudara sepupunya ikut. Mereka
mengambil tempat di kursi besar yang empuk. Dua jam lamanya mereka bertahan
menunggu di situ. Tapi malam semakin larut. Rasa kantuk semakin menguasai diri
mereka. Satu per satu mata mereka terpejam.
Bab V SUSY ATAU BUKAN" Tengah malam orang tua George kembali dari perjamuan makan. Mereka kaget sekali
ketika melihat George dan ketiga sepupunya tertidur di kursi besar dalam ruang
depan hotel. Paman Quentin menyangka keempat remaja itu menunggu mereka. Dengan
kesal dibangunkannya anaknya.
Dengan mata kuyu karena mengantuk George memandang ke arah jam dinding. Lewat
tengah malam! Dan Susy masih juga belum kembali. Seketika itu juga kantuknya
lenyap. Sebelum ayahnya sempat marah, George cepat-cepat menceritakan
pengalamannya bersama ketiga sepupunya malam itu.
"Bagaimana pendapat Paman mengenai kejadian ini?" tanya Julian menyela dengan
gelisah. "Kutelepon saja polisi sekarang!" kata Paman. "Mereka pasti tahu di mana Susy
sekarang berada!" Tapi ternyata Susy Marshal sama sekali tidak datang ke kantor polisi. Dengan
begitu tinggal satu kemungkinan saja lagi: Susy Marshal juga hilang tak
berbekas! Jejaknya lenyap setelah ia menelepon George ke hotel. Sesudah Stephen, kini Susy
juga tidak diketahui ke mana perginya!
"Ada sesuatu yang tidak beres di sini," kata ayah George setengah menggumam.
"Barangkali ada sesuatu yang menyebabkan ia terhalang di tengah jalan."
"Kalau begitu masih lumayan," potong George. "Tapi menurut dugaanku, kedua
penjahat yang membuntuti dengan mobil itu tadi yang menculiknya. Aku berani
bertaruh, pasti kedua orang itu juga yang menculik Stephen!"
Sampai keesokan paginya, Susy Marshal masih tetap tidak muncul di hotel. Kini
polisi kota Bournemouth menghadapi dua kasus yang sejenis.
Ralph Mory kaget dan bingung sekali ketika mengetahui bahwa kedua pemeran
utamanya lenyap. Tapi ia harus menepati jadwal waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian kerja. Walau demikian ia menganggap masih terlalu dini untuk
menggantikan Susy dengan seorang stand-in.
"Pasti tak lama lagi ia akan ditemukan!" katanya di studio. "Polisi harus
mencarinya sampai ditemukan. Mereka harus melakukannya dengan segera!"
Kenyataannya tidak semudah ucapan Ralph. Bukan saja Susy yang masih tetap belum
ditemukan walau sudah dicari sepanjang hari, tapi taksi yang seharusnya
mengantar dari pelabuhan pulang ke hotel juga ikut lenyap. Sepanjang hari radio
berulang kali mengumumkan berita kehilangannya. Koran-koran sore memasang foto
Susy Marshal di halaman depan dengan permintaan pada masyarakat yang mengetahui
di mana aktris itu berada agar selekas-lekasnya melaporkan pada polisi. Tapi
seruan itu sama sekali tidak membawa hasil. Tidak ada pengemudi taksi yang
datang untuk mengatakan bahwa Ia-lah yang mengantarkan Susy.
Anak-anak duduk mengelompok setelah selesai pengambilan adegan-adegan pagi itu.
Suasana murung menyelubungi mereka.
"Susy pasti diculik," kata George sambil mengeluh.
"Tapi untuk apa?" tanya Anne.
"Tentu saja untuk minta uang tebusan, Goblok!" tukas Dick dengan kesal.
"Stephen sudah lebih dulu lenyap - tapi sampai sekarang belum ada yang menuntut
tebusan bagi pembebasannya," bantah Julian. "Jika yang menculik Susy komplotan
yang sama." "Menurut dugaanku," kata George dengan gaya yakin, "para penculik Stephen
menyangka bahwa Susy menemukan petunjuk yang mencurigakan. Karena itulah mereka
menculiknya - supaya jejak mereka tidak sampai bisa dilacak! Tapi ini pendapatku
pribadi!" Siangnya anak-anak pergi ke kantor polisi, karena mereka diminta datang untuk
memberikan kesaksian mengenai kejadian misterius itu. Pak Komisaris yang
menangani kasus itu ternyata ramah sekali. Karenanya George memberanikan diri
untuk mengajukan pertanyaan padanya.
"Susy Marshal itu teman baik kami," kata George "Kalau ternyata ia mengalami
kejadian yang tidak enak, wah - gawat! Kami sangat prihatin memikirkan nasibnya.
Pengemudi taksi yang seharusnya mengantarkan dari dermaga pelabuhan ke hotel,
sampai sekarang belum juga datang melapor. Dengan begitu Pak Findler yang sampai
saat ini kita ketahui merupakan orang yang paling akhir melihat Susy. Kalau
boleh saya bertanya, apakah jutawan itu melihat ada mobil yang mencurigakan
ketika ia mengantar aktris itu turun dari kapal?"
Pak Komisaris tersenyum. Lima Sekawan dikenal olehnya dari pemberitaan surat-
surat kabar. Karenanya ia bisa menduga bahwa anak-anak itu sedang berusaha untuk
melakukan pelacakan. Pak Komisaris sama sekali tidak keberatan untuk memberikan
keterangan yang mungkin berguna.
"Pak Findler tadi sudah kemari untuk memberikan keterangan, sebelum kalian
tiba," katanya sambil mengambil catatan yang berisi keterangan jutawan Amerika
itu."Kubacakan saja keterangannya."
George mengangguk. Pak Komisaris mulai membaca,
"Saya kaget sekali ketika mendengar bahwa Nona Marshal hilang. Saya mendengarnya
lewat radio. Kasihan gadis itu! Kemarin malam la mendatangi saya di kapal. Ia
disertai Lima Sekawan yang terkenal. Sayang saya tidak bisa mengijinkan mereka
ikut naik, karena saat itu di kapal sudah terlalu banyak tamu. Kemudian saya
berbicara empat mata dengan Nona Marshal di kantor saya. Gadis itu meminta
dengan sangat agar saya berusaha mengingat-ingat kembali. Katanya, mungkin saja
ada salah satu kejadian penting yang saya lupakan ketika pertama kali memberi
keterangan. Mungkin saja ada sesuatu yang bisa membantu penyelidikan mengenal
hilangnya Stephen Bird, tunangan Nona Marshal. Tapi sayang, saya tidak bisa
membantunya mengenai hal itu. Satu-satunya yang saya ingat hanyalah bahwa
setelah berbicara sebentar dengan tunangannya, kemudian Stephen meninggalkan
ruang pesta. Cuma itu saja! Setelah itu, saya tidak melihatnya lagi.
Pertanyaan: Lamakah Nona Marshal di kapal Anda ketika datang untuk kedua
kalinya" "Ya, Pak! Bahkan terlalu lama, menurut saya. Anda harus mengerti, saat itu saya
sedang mengadakan pesta. Saya ditunggu para tamu. Tapi saya merasa kasihan pada
gadis malang itu. Ia sangat gelisah kelihatannya. Karena saya tidak bisa
membantu lebih lanjut, saya lantas mengajaknya bicara sebagai penghibur hati.
Saya katakan bahwa Ia harus bersabar, karena polisi pasti akan segera berhasil
menemukan tunangannya kembali .... Pokoknya kurang lebih begitulah ucapan saya
waktu itu padanya. Akhirnya saya antarkan dia sampal ke titian. Saya memanggil
taksi yang saat itu kebetulan lewat ... Tidak, saya tidak melihat ada mobil yang
mencurigakan. Tapi saat itu saya sedang tergesa-gesa. Jadi terus terang saja,
saya tidak begitu memperhatikan!"
Catatan mengenai keterangan Gary Findler berakhir sampai di situ saja. Tidak ada
hal-hal baru di dalamnya. Dengan hati berat anak-anak kembali ke studio untuk
melanjutkan pengambilan adegan selanjutnya. Mereka bermain tanpa semangat
bersama Marc dan Timmy. Setelah itu mereka pergi ke pantai untuk mencari hawa
segar sebentar. "Apa yang sedang kaupikirkan?" tanya Dick dengan tiba-tiba pada George.
Dilihatnya sepupunya itu termenung terus sejak tadi.
"Apa yang kupikirkan" Macam-macam! Misalnya saja aku tidak mengerti, apa
sebabnya pengemudi taksi yang ditumpangi Susy tadi malam tidak datang melapor ke
kantor polisi. Padahal kan diumumkan berulang-ulang lewat radio! Jadi mestinya
ia tahu bahwa urusannya penting sekali. Keterangannya sangat diperlukan polisi!"
"Jangan-jangan ia pun ikut diculik!" kata Anne.
"Kalau itu yang terjadi, pasti sudah masuk laporan mengenai kelenyapannya."
bantah George. "Tidak - menurutku ia tidak datang melapor karena alasan tertentu
.... Tapi bukan itu yang paling menjadi pikiranku." George menatap jauh ke
tengah laut. "Ada soal lain."
"Apa itu?" tanya Dick, Julian, dan Anne serempak.
"Kalian masih ingat tidak, setelah aku berbicara dengan Susy lewat telepon
kemarin malam, aku ikut-ikut memulai kalimatku dengan, 'Kurasa...' Persis burung
beo! Kalian tahu sebabnya" Karena Susy juga mempunyai kebiasaan khas, selalu
memulai setiap pembicaraan dengan kata, 'Kurasa ...'!"
"Soal itu kan tak perlu kaupikirkan !" kata Dick heran. "Kami semua juga tahu,
Susy mempunyai kebiasaan begitu !"
"Betul, tapi ia tidak selalu mengatakannya. Sering, tapi tidak selalu! Sedang
ketika ia menelepon tadi malam, setiap kalimat dimulainya dengan perkataan itu.
Sampai menyolok sekali, dan aku ketularan sebagai akibatnya. Sungguh, setiap
kalimat dimulainya dengan, 'Kurasa....!"
"Mungkin karena saat itu ia gugup."
"Omong kosong! Kalau orang sedang gugup, bisa saja tergagap-gagap atau berbicara
tak tentu ujung pangkal - tapi seperti kemarin malam - tidak mungkin!"
"Nanti dulu," sela Julian"Apa sih sebetulnya yang hendak kaukatakan?"
"Menurutku, segala "kurasa" itu disengaja sampai timbul kesan dibikin-bikin."
"Maksudmu, Susy melakukannya sebagai lelucon."
"Susy sendiri tidak, "potong George dengan sengit, "tapi orang lain!"
Saudara-saudara sepupunya ribut mendengar ucapannya yang terakhir. George
melantangkan suaranya untuk mengatasi keributan itu.
"Di samping itu, semakin kupikir semakin yakin aku bahwa yang kudengar malam
tadi bukan suara Susy," katanya.
Saat itu nampak beberapa orang pelancong datang ke arah mereka. Keempat anak itu
berpindah tempat, duduk di bangku yang tersedia di tepi jalan pelancongan itu.
"Ya," kata George meneruskan, "kemarin malam aku yakin berbicara dengan Susy.
Kalian pasti akan begitu juga! Tapi sekarang ... tidak. Yang berbicara denganku
kemarin itu bukan Susy! Kedengarannya memang sangat mirip, tapi gaya bicaranya
lain. Tekanan suaranya tidak sama!"
"Jadi maksudmu ada orang lain yang menyamar sebagai Susy?" tanya Anne tegang.
"Dengan tujuan agar kita terpedaya?"
"Mestinya begitulah," desah George. "Saat aku menerima telepon dari Susy palsu
itu. Susy yang asli sudah diculik. Aku berani bertaruh, taksi yang ditumpanginya
juga bukan taksi sebenarnya, Dengan begitu, segala-galanya jelas sekarang!"
Dick tidak bisa lebih lama tenang. Ia meloncat bangun, lalu berdiri di depan
sepupunya. "Kalau begitu komplotan penjahat mana yang kita hadapi?" tanyanya sambil
mengepalkan tinju. Melihat gerakannya yang seakan hendak berkelahi, Timmy
langsung menggeram dengan galak.
"Kalau itu kita ketahui, urusan ini beres," keluh Julian. "Saat ini kita sama
sekali tidak tahu apa-apa! Sama sekali tidak ada petunjuk yang hisa dijadikan
pegangan. Belum pernah kita begini tidak berdaya. Sulit, sulit!"
"Kesulitan itu tujuannya untuk diatasi," seru George bersemangat. "Kita pasti
berhasil membongkar teka-teki ini. Lima Sekawan harus berhasil menemukan Stephen
serta Susy .... Kalau tidak, lebih baik kita pensiun saja!"
"Sayang kalau itu sampai terjadi, karena kita kan masih muda," kata Dick dengan
suara dibuat-buat gemetar seperti kakek-kakek. Saudara-saudaranya tertawa
mendengar kelakarnya. Suasana yang semula suram lenyap digantikan kegembiraan.
"Menurut dugaanku, kejadiannya mungkin begini," kata George melanjutkan
pemikirannya. "Para penjahat sebelumnya memang sudah mengintai Susy kemarin.
Mereka membuntuti kita sampai ke kapal Pak Findler. Mereka ikut menunggu di
tempat tersembunyi sampai Susy turun lagi. Kepergian kita yang lebih dulu
mempermudah rencana mereka. Sayang, kenapa saat itu kecurigaanku tidak timbul!
Pendek kata, Susy kemudian masuk ke dalam taksi palsu lalu dilarikan oleh para
penjahat. Ia kini berada di tangan mereka seperti Stephen!"
Saudara-saudaranya mengangguk tanda setuju, karena perkiraan George memang masuk
akal. "Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan sekarang, George?" tanya
Julian. George menjawab dengan segera, "Kita harus menentukan siapa saja yang rasanya
perlu dicurigai, lalu kita awasi mereka secara ketat!"
Malam itu anak-anak sibuk menyusun daftar nama orang-orang yang mungkin ada
sangkut-pautnya dengan kelenyapan kedua pemain film itu.
"Menurut pendapatku paling dulu kita harus meneliti orang-orang televisi," kata
Dick "Soalnya, mereka yang paling tahu mengenai kebiasaan Stephen dan Susy
sehari-hari." "Kau ini seenaknya saja," kata Anne memprotes "Bagaimana kau bisa menuduh Ralph
Mory, Marc, atau salah satu rekan kita yang lain!"
"Kita saat ini bukan hendak menuduh siapa-siapa," kata Dick membela diri. "Tapi
kita kan harus mulai dengan salah seorang yang mengenal kebiasaan Stephen dan
Susy. Apakah kita menyukai orang itu atau tidak, itu soal lain!"
"Betul!" kata George. "Nanti dalam perkembangan selanjutnya, mereka yang
ternyata tak bersalah kita coret namanya dari daftar. Mulai besok kita memulai
pelacakan - siapa tahu, barangkali saja ada jejak yang kita temukan nanti."
Bab VI BERUNDING Keesokan harinya semua yang dianggap mungkin bisa dicurigai berkumpul di dekat
kamera televisi: Ralph Mory, Marc, Tom, dan Renato. Di samping itu tentu saja semua tenaga teknik
di studio, serta orang misterius dan tak dikenal.
Nama Ralph sebetulnya bisa langsung dicoret dan catatan. Soalnya, keberhasilan
filmnya tergantung dan Stephen dan Susy, di samping Lima Sekawan. Kecuali itu
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 9 Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Tak Terduga 2