Pencarian

Rahasia Logam Ajaib 2

Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib Bagian 2


"Biar kubantu menarik tali yang satu," kata Julian. "Beban ini terlalu berat,
jika ditarik oleh satu orang saja!"
"Hah!" kata Morgan meremehkan, lalu mulai berjalan sambil menarik. Kereta salju
meluncur di belakangnya. "Tenaga anakku itu, tidak kalah dengan seekor kuda," kata Bu Jones bangga.
"Sepuluh ekor, Bu," kata Julian. Kepingin rasanya menjadi sebesar dan sekekar
Morgan. George diam saja. Tapi sebetulnya ia belum memaafkan orang itu, karena
kemarin meremehkan luka Timmy. George berjalan bersama saudara-saudaranya,
sambil memanggul sepatu ski. Ia melambaikan tangan pada Bu Jones, yang memandang
mereka pergi dengan perasaan waswas.
Rasanya jauh sekali jalan yang harus didaki, apabila harus membawa atau menghela
barang-barang. Morgan berjalan paling depan. Enak saja kelihatannya ia menarik
kereta salju yang sarat dengan muatan. Julian di belakangnya, menghela kereta
luncur sambil memanggul sepatu ski kepunyaannya. Dick juga membawa barang-barang
yang serupa seperti Julian. Sedang Anne dan George hanya memanggul sepatu ski.
Lalu Timmy" Anjing itu berada di posisi paling depan - atau kadang-kadang paling
belakang, semau dia. Pokoknya asyik!
Morgan berjalan sambil membisu. Ketika Julian mengajaknya bercakap-cakap,
jawabannya selalu berupa suara memberungut. Julian memperhatikan laki-laki yang
berbadan kekar itu dengan penuh minat. Ia heran, apa sebabnya orang itu membisu
terus. Padahal nampaknya ia cerdas - bahkan baik hati! Tapi sikapnya selalu
masam. Kasar tindak-tanduknya. Ah, - sudahlah sebentar lagi mereka toh akan
berpisah lagi, dan anak-anak tak perlu berurusan dengan dia!
Akhirnya mereka tiba di pondok. Anne dan George lari mendului, sambil berseru-
seru dengan senang. George mengintip ke dalam lewat jendela.
"Aduh - ini kan kayak rumah biasa! Lihatlah- itu dia tempat tidur, menempel ke
dinding. Dan lantai pun dilapisi dengan karpet. Cepat, Julian - mana anak
kuncinya?" "Dipegang Morgan," kata Julian. Anak-anak menunggu, sampai orang itu membukakan
pintu. "Terima kasih," kata Julian dengan sopan.
"Kalau Anda tidak membantu, pasti kami kewalahan membawa segala barang ini
kemari." Morgan hanya mendengus sebagai jawaban. Tapi kelihatannya ia senang.
"Kadang-kadang Pak Gembala lewat di sini," ujarnya dengan suara yang berat.
Anak-anak heran, mendengar Morgan mau berbicara dengan mereka. "Kalau kalian
mau, dia bisa dititipi pesan."
Setelah itu ia pergi menuruni bukit. Langkahnya panjang-panjang, mirip raksasa
dalam dongeng. "Orang aneh," kata Anne, sambil menatap ke arah Morgan, yang sementara itu
semakin menjauh. "Aku tidak tahu, apakah aku senang padanya - atau tidak."
"itu kan tidak penting," kata Dick. "Tolong dulu, Anne. Banyak yang masih harus
kita lakukan. Bagaimana jika kau bersama George mengurus soal tempat tidur
kita?" Anne paling senang melakukan tugas-tugas seperti itu. Tapi George tidak! la
lebih senang disuruh mengangkut barang-barang ke dalam, seperti yang saat itu
dilakukan oleh Julian dan Dick. Tapi ia masuk juga ke rumah bersama Anne,
membuka lemari-lemari serta memeriksa isinya dengan penuh perhatian.
"Di sini banyak tersedia selimut dan bantal," kata Anne. "Begitu pula perabot
makan! Tentunya banyak tamu Bu Jones yang kemari pada musim panas. George,
sebaiknya kau yang mengatur tempat tidur - sementara aku membereskan bekal
makanan kita." "Baiklah," kata George. Dalam ruangan itu ada enam tempat tidur, masing-masing
tiga pada satu sisi. Tempat tidur itu bertingkat-tingkat, satu di atas yang
lain. Tak lama kemudian George sudah sibuk mengatur empat tempat tidur.
Sementara itu Anne juga ada di situ. Setelah itu ia memeriksa tungku, apakah
sudah ada minyak di dalamnya. Malam nanti, hawa pasti sangat dingin.
"Ya - penuh," katanya puas. "Nanti malam saja kunyalakan, karena selama hari
terang kita kan jalan-jalan dan di luar terus. Betul kan, Dick?"
"Ya!" kata Dick, yang sedang sibuk mengeluarkan barang-barang dari kopernya.
"Ngomong-ngomong, di luar ada tempat penyimpanan. Di dalamnya terdapat sekaleng
minyak, serta sebuah kendi. Kendi itu kurasa untuk mengambil air di salah satu
sumber pada musim panas. Kalau sekarang, cukup apabila kita mencairkan salju
saja. Masih lamakah kalian?"
"Tidak - sudah hampir selesai," kata Anne. "Apakah kita makan dulu, sebelum
pergi" Atau kita membawa bekal roti dengan daging asap saja dulu, dan nanti
setelah kembali baru makan?"
"Kita bawa roti sandwich saja," kata Julian. "Aku tidak ingin berhenti untuk
makan. Lagipula sekarang kan kita belum lapar lagi. Siapkan saja sandwich, Anne
nanti kita bawa pula beberapa buah apel untuk dimakan sambil berjalan!"
Dengan cepat roti sandwich sudah selesai disiapkan. Dick dan Julian mengisi
kantong mereka dengan beberapa butir buah apel. Setelah itu mereka berangkat.
Bab 9 KISAH ANEH Hari itu anak-anak tidak mau repot-repot membawa ski. Soalnya, salju saat itu
belum cukup tebal. Kecuali itu, mereka ingin bermain-main dengan kereta luncur.
Dick ditemani George di keretanya, sedang Julian membawa Anne. Timmy tidak mau
diajak naik kereta. "Ayo berlomba, siapa paling duluan sampai di bawah!" seru Julian. "Satu - dua -
tiga!" Kedua kereta itu meluncur dengan laju di atas salju. Angin mendesing di
telinga anak-anak, yang berteriak-teriak keasyikan.
Julian menang dengan mudah, karena kereta yang dinaiki Dick dan George
tersangkut pada sesuatu yang menonjol di bawah salju, sehingga terjungkir. Dick
dan George jatuh terpelanting dalam salju. Keduanya cepat-cepat bangun lagi,
terkejap-kejap menyemburkan salju yang masuk ke mulut.
Timmy sibuk sekali. Ia berlari-lari mengejar kedua kereta luncur yang melesat ke
bawah. Menggonggong-gonggong dengan ribut, jengkel karena kakinya selalu
terbenam ke dalam salju. Ia kaget sekali ketika tahu-tahu Dick dan George
melayang sewaktu kereta mereka tersangkut.
Dihampirinya kedua anak yang terduduk di salju. Ia meloncat-loncat mengelilingi
mereka, menjilat-jilat dan mendorong-dorong mereka. Ia bukannya membantu,
malahan menyukarkan mereka bangun lagi.
"Aduh, Timmy!' seru Dick jengkel. Anak itu jatuh terduduk lagi sewaktu hendak
berdiri, karena terdorong oleh Timmy yang begitu ribut. "Sana- George saja, yang
kaugulingkan, jangan aku! Panggil dia, George!"
Menarik kereta luncur kembali ke atas bukit, bukan pekerjaan enteng. Tapi anak-
anak tak peduli, karena ada imbalannya - yaitu meluncur ke bawah, melesat di
atas salju! Tak lama kemudian muka keempat anak itu sudah kemerah-merahan. Ingin
rasanya mereka membuka jas dan syal - begitu panas badan mereka!
"Uhh - aku tak mampu lagi menarik kereta ini ke atas!" kata Anne kemudian. "Aku
kehabisan tenaga. Kalau kau masih mau, terpaksa sendiri saja, Julian!"
"Aku sebenarnya masih mau - tapi kaki ku tak kuat lagi," kata Julian dengan
napas terengah-engah. "He, Dick! Kami berdua tidak mau lagi bermain luncur-
luncuran! Kami kini akan naik ke puncak bukit ini dan makan roti di sana, sambil
menonton kalian!" Tapi tak lama kemudian Dick dan George juga ikut capek, lalu menyusul ke atas.
Timmy senang, bisa duduk sebentar! Lidahnya terjulur ke luar. Napasnya mengepul-
ngepul, nampaknya seperti kabut bergulung-gulung. Mula-mula anjing itu heran,
melihat ada asap keluar dari mulutnya. Tapi dengan segera kekhawatirannya
lenyap, setelah melihat dari mulut anak-anak juga keluar asap. Julian memandang
saudara-saudaranya sambil nyengir. Semua duduk sambil makan roti dengan lahap.
"Sayang Ibu tidak bisa melihat kita sekarang," katanya. "Tak seorang pun yang
batuk-batuk. Kita sudah sehat kembali! Tapi besok - badan kita sudah pasti
pegal-pegal!" Sementara itu Dick sibuk memandang ke bukit di seberang lembah. Jaraknya sekitar
satu mil dari tempat mereka duduk saat itu. Lereng bukit itu curam.
"itu dia bangunan yang kulihat kemarin," katanya. "itu - yang menjulang itu, itu
kan cerobong asap?" "Wah, matamu tajam sekali!" kata George. "Orang lain takkan bisa melihat
bangunan yang letaknya sejauh itu, apabila diselubungi salju!"
"Kita membawa teropong?" tanya Julian. "Mana dia barangnya" Aku ingin meneropong
ke sana, untuk memastikan apakah di sana memang ada bangunan, seperti kata
Dick." "Kutaruh dalam lemari tadi," kata Anne sambil bangkit. "Kuambil sebentar! Aduh -
pegalnya!" Anne bergegas mengambil teropong, lalu memberikannya pada Dick. Dick mengarahkan
alat pelihat jauh itu ke bukit seberang, lalu menyetelnya sampai cocok.
"Ya!" katanya kemudian. "Memang sebuah bangunan - dan rasanya itu Menara Tua.
Masih ingat kan - tempat yang kita datangi kemarin dulu, ketika tersesat sewaktu
ke sini." "Coba kulihat," kata Anne. "Kurasa aku bisa mengenalinya kembali. Sewaktu mobil
menikung dalam perjalanan ke sana, aku sempat melihat menaranya sekilas."
Diambilnya teropong dari tangan abangnya, lalu didekatkan ke matanya.
"Ya - itu memang Menara Tua," katanya. "Wanita tua yang tinggal sendiri di sana,
tentunya sunyi sekali hidupnya! Aneh - di pintu gerbang ada tulisan dilarang
masuk - dan tidak ada siapa-siapa di sana kecuali seekor anjing galak!"
Tiba-tiba Timmy menggonggong. Ia berdiri, sambil berpaling ke arah jalan yang
menuju ke tempat yang lebih tinggi lagi.
"Mungkin Aily datang lagi," kata Julian. Tapi yang muncul bukan dia, melainkan
seorang wanita bertubuh kecil tapi cekatan. Ia berjalan dengan cepat. Kepalanya
bertudung syal. Pakaiannya rapi. Ia tidak tampak heran ketika melihat anak-anak
yang sedang duduk-duduk. "Selamat pagi," sapanya, "kalian tentunya anak-anak yang diceritakan Aily padaku
kemarin malam. Kalian menginap di pondok keluarga Jones?"
"Betul," jawab Julian. "Mulanya kami bertetirah di pertanian. Tapi anjing kami
tidak bisa cocok dengan anjing-anjing sana. Karena itu kami lantas pindah ke
sini. Di atas sini enak. Pemandangannya indah !"
"Kalau kalian nanti ketemu dengan Aily, tolong bilang pada anakku itu bahwa
malam ini ia harus pulang," kata wanita itu, sambil merapatkan syalnya. "Macam-
macam saja anak itu, berkeliaran dengan anak biri-birinya. Sama tidak beresnya
seperti wanita tua yang di rumah sana itu," katanya, sambil menuding ke arah
Menara Tua. "Ah - Anda tahu juga rupanya tempat itu," kata Julian dengan segera. "Secara
kebetulan, kami pernah sampai ke pintu gerbangnya, lalu...."
"Tapi pasti cuma sampai di situ saja," potong Ibu Aily. "Di pintu kan terpasang
tanda dilarang masuk! Padahal aku dulu biasa datang ke sana tiga kali seminggu,
dan selalu disambut dengan ramah! Tapi Bu Thomas kini tidak mau didatangi siapa-
siapa lagi, kecuali teman-teman anak lelakinya. Kasihan dia kata orang
pikirannya tidak waras lagi. Kurasa memang begitu, karena kalau tidak pasti ia
mau ketemu dengan aku. Aku kan sudah bertahun-tahun bekerja untuknya!"
Anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kenapa di pintu dipasang tanda 'Dilarang masuk'?" tanya Julian. "Kecuali itu,
di sana juga ada anjing galak."
"Soalnya, ada kawan Bu Thomas yang ingin tahu apa yang sedang terjadi di sana,"
kata ibu Aily. "Tapi tak ada yang bisa berbuat apa-apa mengenainya. Tempat itu
sekarang menjadi aneh! Malam-malam terdengar berbagai bunyi di situ - tahu-tahu ada kabut - serta
cahaya berpendar-pendar...."
Menurut perasaan Julian, itu hanya desas-desus belaka, yang tersiar di kalangan
penduduk desa yang merasa kesal karena tidak diperbolehkan lagi datang ke sana.
Ia tersenyum. "Ya ya, kau boleh saja tersenyum," kata wanita itu dengan nada jengkel. "Tapi
sejak bulan Oktober lalu, di sana terjadi hal-hal aneh. Mobil-mobil pengangkut
datang ke sana, di tengah malam. Kenapa harus malam-malam"
Kurasa kendaraan-kendaraan itu datang untuk membawa pergi barang-barang
kepunyaan Bu Thomas - segala perabot rumah tangga dan barang-barang lainnya! Aku
kasihan padanya - selalu ramah dan baik hati. Dan kini aku tak - tahu apa yang
terjadi dengan dirinya!"
Wanita itu cepat-cepat menghapus air matanya yang menggenang.
"Aku sebenarnya tak boleh menceritakan hal-hal ini pada kalian, karena nanti
kalian takut tidur sendiri di sini."
"Ah, kami tidak takut, Bu," kata Julian, ia merasa geli, karena disangka takut
mendengar desas-desus yang begitu saja. "Tentang Aily, Bu - apakah anak itu
tidak kedinginan, berkeliaran dengan pakaian yang begitu tipis?"
"Aduh, anak itu bandelnya tidak setengah-setengah," kata ibunya. "Keluyuran
seperti anak gelandangan di bukit-bukit sini, sering bolos untuk mendatangi
ayahnya yang menggembalakan biri-biri di sebelah atas sana - kalau malam tidak
pulang! Bilang pada anak itu dia akan dihukum, apabila tidak mau pulang malam
ini. Dia itu persis ayahnya - senangnya selalu menyendiri!"
Anak-anak mulai merasa tidak enak, menghadapi wanita pengomel itu. Julian
berdiri. "Yah - kalau kami nanti berjumpa dengan Aily, kami pasti akan menyuruhnya
.pulang," katanya. "Dan Anda kalau kebetulan lewat di tempat Bu Jones, maukah
mampir sebentar di sana untuk mengabarkan bahwa kami baik-baik saja di sini"
Terima kasih sebelumnya, Bu."
Wanita itu mengangguk sambil bergumam, lalu meneruskan perjalanan menuruni
bukit. "Macam-macam saja ceritanya tadi," kata Dick, sambil mengikuti wanita itu dengan
pandangannya. "Menurut pendapatmu, apakah semuanya cuma desas-desus belaka -
atau ada benarnya, Ju?"
"Ah - tentu saja desas-desus!" kata Julian. Ia melihat bahwa perasaan Anne
menjadi kurang enak. "Keluarga Aily benar-benar aneh! Ayahnya seorang gembala
yang hidup di atas bukit. Aily sendiri berkeliaran dengan ditemani seekor anjing
serta seekor anak biri-biri. Sedang ibunya gemar menyebarkan desas-desus!"
"He - hari mulai gelap," kata Dick. "Lebih baik kita pulang saja sekarang ke
pondok! Kita nyalakan tungku, supaya ruangan menjadi hangat. Aku agak
kedinginan, karena terlalu lama berada di luar. Lampu minyak kita nyalakan juga,
supaya suasana menjadi enak!"
Tak lama kemudian mereka sudah berada dalam pondok. Tungku minyak menyebarkan
kehangatan, sedang lampu meja menerangi ruangan.
"Kita main kartu, yuk?" ajak Dick. "Nanti saja kita makan sore!"
Mereka lantas bermain remi. Dengan cepat kartu-kartu Dick direbut saudara-
saudaranya. Ia menguap, lalu pergi ke jendela. Ia memandang ke luar, menatap ke
dalam gelap. Tiba-tiba ia kaget. Sikapnya menegang. Tanpa menoleh, dipanggilnya
saudara-saudaranya. "He! Ke sini sebentar - cepat! Ada apa di sana itu" Cepatlah sedikit!"
Bab 10 TENGAH MALAM "Ada apa, Dick" Kau melihat apa?" seru George. Begitu terdengar Dick memanggil,
dengan cepat George meletakkan kartu-kartunya, lalu menghampiri jendela. Julian
sudah lebih dulu sampai di samping Dick. Pikirannya sudah macam-macam saja.
Semua memandang ke luar. Anne menatap dengan takut-takut.
"Sudah hilang sekarang." kata Dick kecewa.
"Tapi apa yang kaulihat tadi?" tanya George.
"Entah! Tapi aku melihatnya di sana - di lereng seberang, di tempat Menara Tua,"
kata Dick. "Aku tak bisa melukiskannya - kelihatannya kayak pelangi - ah, tidak
- bukan kayak pelangi - tapi kayak - aah, sulit melukiskannya!"
"Coba saja," kata Julian.
"Nanti dulu - kau tahu kan, bagaimana udara nampak seperti bergetar pada hari
yang sangat panas?" kata Dick. Julian mengangguk. "Nah, kayak itulah yang
kulihat di bukit seberang tadi! Menjulang tinggi, lalu lenyap!"
"Dan warnanya?" tanya Anne.
"Rasanya seperti segala macam warna yang kulihat tadi," kata Dick. "Sulit
menjelaskannya, karena baru sekali ini aku melihat pemandangan begitu. Tahu-tahu
muncul- menjulang tinggi lalu hilang lagi. Cuma itu saja!"
"Kan itu seperti yang dikatakan oleh ibu Aily - kabut serta sinar berpendar-
pendar," kata Julian, yang teringat lagi pada cerita wanita tadi. "Wah, kalau
begitu bukan desas-desus yang disampaikannya pada kita tadi. Tapi apakah sinar
yang berpendar-pendar itu?"
"Apakah tidak lebih baik jika kita kembali ke bawah, untuk menceritakan kejadian
ini?" tanya Anne. Ia berharap Julian setuju, karena di sini ia enggan menginap
dalam pondok itu. Tapi harapannya meleset.
"Tidak," kata Julian, "karena mestinya orang-orang di sana juga sudah pernah
mendengar mengenainya. Kecuali itu, ini kan malah asyik! Mungkin kita bisa tahu
lebih banyak tentang hal itu. Dari sini kita bisa memperhatikan Menara Tua
dengan jelas. Jarak dari sini ke sana tidak sampai satu mil!"
Mereka kembali menatap ke arah bukit seberang, yang tak kelihatan dalam gelap.
Mereka menunggu-nunggu kejadian selanjutnya. Tapi ternyata langit tetap gelap.
"Ah, bosan rasanya terus-terusan memandang ke tempat gelap," kata Anne sambil
berpaling. "Kita main kartu lagi yuk!"
"Baiklah," kata Julian. Dick yang sudah kalah, hanya memperhatikan saudara-


Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudaranya main. Sekali-kali ia memandang ke arah jendela, menatap kegelapan.
Tak lama kemudian Anne kehabisan kartu. Ia berdiri dari kursi, lalu menuju ke
lemari. "Kusiapkan saja makanan sekarang," katanya. "Kita makan telur rebus dan minum
coklat! Atau ada yang lebih suka minum teh?"
"Tidak - coklat!" seru saudara-saudaranya serempak. Anne mengambil kaleng yang
berisi bubuk coklat dari dalam lemari.
"Aku perlu air untuk membuat coklat," katanya.
"Ambil saja salju! Kan banyak di luar," kata Dick. "Eh, nanti dulu! Biar aku
saja yang mengambilkan, karena kau tentunya takut ke luar sendiri kan" Nanti
jika terdengar aku berteriak, kalian akan tahu ada sesuatu yang terjadi dengan
diriku." Setelah itu Dick pergi ke luar, diikuti oleh Timmy. Sedang Anne menunggu dalam
pondok, dengan ketel di tangan.
Tiba-tiba terdengar Dick berteriak di luar. Anne begitu kaget, sehingga ketel
yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke lantai, menyebabkan Julian dan George
terlompat dari tempat duduk mereka. Julian bergegas lari ke pintu.
"Ada apa, Dick?"
Dick muncul di ambang pintu, sambil meringis.
"Ah, tidak apa-apa," jawabnya. "Maaf deh, jika kalian kaget karenanya. Cuma
ketika aku tadi mengeruk salju, tiba-tiba ada yang menubrukku dari belakang!"
"Siapa itu?" tanya George tegang. "Dan kenapa Timmy diam saja?"
"Kurasa karena ia tahu bahwa tidak ada bahaya," jawab Dick sambil terus nyengir.
"Nih, Anne - saljunya! Tinggal kau didihkan saja."
"Dick!" bentak George. "Siapa yang ada di luar?"
"Tak banyak yang kulihat tadi, karena senterku kuletakkan ke tanah supaya bisa
lebih gampang mengambil salju," kata Dick. "Tapi kurasa yang menubrukku tadi
Fany - anak biri-biri itu! Aku kaget sekali, sehingga berteriak! Tapi binatang
itu sudah lari lagi."
"Wah, kalau begitu mestinya Aily ada di dekat-dekat sini," kata Julian. "Apa
maunya dia berkeliaran di luar, pada malam gelap begini?"
Ia pergi ke pintu, lalu memanggil-manggil.
"Aily! Ke sinilah, ada makanan untukmu!"
Tapi tak terdengar suara menjawab dari luar. Tak. ada yang muncul dari tempat
yang gelap. Timmy berdiri di samping Julian dengan telinga ditegakkan. Ia
menatap ke tempat yang gelap. Tadi Ia kaget, ketika Fany tiba-tiba muncul dan
menyenggol Dick sehingga anak itu nyaris tersungkur. Timmy hendak menggonggong.
Tapi masak anjing sebesar dia, menggonggongi anak biri-biri" Karena itu Timmy
memilih untuk diam saja. Setelah beberapa saat, pintu ditutup kembali oleh Julian.
"Bisa sakit anak itu, jika benar dia yang berkeliaran di luar sementara udara
begitu dingin seperti sekarang ini," kata Julian. "Apalagi pakaiannya begitu
tipis! Sudahlah, Anne kau tidak perlu cemas jika mendengar bunyi di luar, atau
melihat muka orang di jendela. Pasti itu Aily lagi!"
"Tidak peduli. dia atau bukan, pokoknya aku tidak mau melihat muka seseorang
tiba-tiba muncul di jendela," tukas Anne, sambil memasukkan salju ke dalam
ketel. "Kurasa anak itu pikirannya kurang beres! Masa, malam-malam begini
keluyuran seorang diri di pegunungan bersalju. Tak heran ibunya marah-marah."
Tidak lama kemudian mereka berempat sudah menghadapi hidangan yang disajikan di
atas meja kecil dalam pondok. Telur rebus, roti segar dengan mentega serta keju,
begitu pula selai buatan Bu Jones yang mereka temukan dalam lemari. Sambil makan
mereka minum coklat panas, yang diberi kepala susu oleh Anne.
"Raja atau ratu pun takkan senikmat aku makan sekarang," kata Dick. "Anne,
kurasa susu kutaruh saja di luar - supaya tahan lama."
"Baiklah," jawab Anne. "Tapi jangan ditaruh di tempat yang bisa dicapai anak
biri-biri tadi - itu jika memang anak biri-biri yang menubrukmu dari belakang!"
Disodorkannya tempat susu pada Dick. "Dan jangan berteriak lagi, ya! Mengagetkan
orang saja." Setibanya di luar, Dick memandang berkeliling. Tapi ia tidak melihat apa-apa.
Dan juga tidak ada yang kemudian menubruknya lagi. Ia agak menyesal!
"Besok saja piring dan cangkir kucuci dengan salju," kata Anne. "Kapan kalian
tidur" Aku tahu, sekarang masih agak sore - tapi mataku rasanya seperti mau
terpejam terus!" "Baiklah, kita tidur sekarang," kata Julian. "Kalian berdua di sisi sini, sedang
aku dan Dick di sebelah sana. Bagaimana, apakah tungku ini kita biarkan menyala
atau tidak?" "Biarkan menyala," kata Dick. "Tanpa pemanasan, tempat ini dinginnya kayak peti
es!" "Ya, aku juga lebih senang jika dibiarkan menyala," kata Anne. "Setelah
kejadian-kejadian tadi, rasanya lebih enak apabila tempat ini agak terang!"
Anak-anak lantas berbaring di tempat masing-masing. Lumayan juga tidur di situ,
walau tidak seenak di tempat tidur yang biasa. Pembaringan mereka berderak-
derak. Yang paling berisik pembaringan George.
"Kurasa sebabnya karena Timmy ikut tidur di situ," kata Anne mengantuk. "Untung
saja pembaringanku di sebelah atas, George. Jadi tidak perlu khawatir tertimpa
oleh Timmy, jika ia malam-malam terguling dari tempat tidur."
Satu per satu mereka terlelap. Api dalam tungku menyala terus. Julian sudah
mengecilkannya, sehingga ruangan dalam pondok hanya remang-remang diterangi
olehnya. Tengah malam Timmy terbangun. Mula-mula hanya satu telinganya yang tegak.
Kemudian disusul yang satu lagi. Setelah itu ia duduk di tempat tidur. Tapi
anak-anak tidak ada yang ikut bangun. Semua tidur nyenyak.
Timmy mulai menggeram. Lalu menggonggong dengan keras. Detik berikutnya, anak-
anak terbangun semua. Timmy menggonggong sekali lagi.
"Ssst, jangan ribut," bisik George, sambil memegang Timmy. "Ada apa, Tim" Ada
orang di luar, ya?" "Ada apa sih?" tanya Julian dari pembaringannya di seberang ruangan. Tapi tak
ada yang mendengar atau melihat sesuatu yang luar biasa. Kalau begitu, apa
sebabnya Timmy tiba-tiba menggonggong.
Api dalam tungku minyak masih menyala, menimbulkan lingkaran terang yang
bergerak-gerak di langit-langit kamar. Bunyi minyak terbakar menggeleguk pelan.
Kecuali itu tak ada bunyi lain yang terdengar.
"Rupanya di luar ada orang," kata Dick kemudian. "Bagaimana jika Timmy kita
lepaskan, agar ia bisa memeriksa sebentar."
"Sebaiknya kita tunggu dulu, untuk melihat apakah dia menggonggong lagi," kata
Julian. "Sebab mungkin saja tadi ada tikus lari di lantai. Timmy selalu menggonggong
kalau ada yang lewat tak peduli tikus atau gajah!"
"Ya, betul juga katamu," kata George. "Baiklah, kita tidur saja lagi. Nah, Timmy
juga sudah berbaring kembali. Tim, kalau yang kaulihat tadi cuma seekor tikus,
pakai otak sedikit dong! Biarkan saja binatang itu bermain-main. Kau tak perlu
membangunkan kami." Beberapa saat kemudian semuanya sudah pulas kembali - kecuali Anne! Anak itu
berbaring dengan mata terbuka lebar. Ia berpikir-pikir, apakah sebetulnya yang
menyebabkan Timmy menggonggong tadi. Menurut perasaannya, tak mungkin tikus!
Karena Anne belum bisa tidur, dia pulalah yang paling dulu mendengar bunyi itu.
Mula-mula dikiranya ia cuma salah dengar saja. Tapi kemudian disadarinya bahwa
yang terdengar itu memang benar-benar ada!
"Aneh, kedengarannya seperti geraman," katanya dalam hati, lalu duduk. Terdengar
Timmy mendengking pelan, seperti hendak mengatakan bahwa ia juga mendengar bunyi
itu. "Kayaknya seperti datang dari bawah," pikir Anne. Sementara itu bunyi tadi
semakin bertambah keras. Timmy menggeram-geram.
"Jangan ribut, Tim," bisik Anne. "Pasti itu cuma bunyi guruh di kejauhan!"
Tapi tiba-tiba bumi bergetar! Datangnya dengan tiba-tiba saja, sehingga Anne
bingung. Mula-mulanya dikira ia sendiri yang menggigil kedinginan. Tapi ternyata
bukan! Pembaringannya terasa bergetar, ketika Anne menyentuh pinggirnya. Saat
itu barulah ia benar-benar merasa takut. Ia berseru kuat-kuat.
"Julian! Dick! Bangun - ada kejadian aneh! He, bangun!" Sedang Timmy mulai
menggonggong. Bab 11 KEJADIAN ANEH Anak-anak langsung terbangun, ketika Anne berteriak-teriak. Julian langsung
meloncat dari pembaringannya. Ia lupa bahwa saat itu ia menempati tempat tidur
teratas. Ia terbanting dengan keras ke lantai.
"Aduh, Ju! Kau lupa ya, bahwa kau tidur di pembaringan paling atas!" kata George
dengan geli bercampur takut. "Kau tidak apa-apa" Ada apa sih, Anne - kenapa kau
tiba-tiba berteriak" Kau melihat sesuatu?"
"Bukan melihat - tapi mendengar dan merasakan sesuatu!" jawab Anne. Ia merasa
lega, karena saudara-saudaranya sudah bangun. "Bukan aku saja, Timmy juga
mengalaminya! Tapi sekarang sudah lenyap lagi."
"Ya - tapi apa yang kaudengar dan rasakan itu?" tanya Julian. Ia duduk di tepi
pembaringan Dick, sambil mengusap-usap lututnya yang sakit.
"Anu...... seperti getaran yang dalam sekali," kata Anne. "Rasanya seperti jauh
sekali di dalam tanah. Jadi bukan seperti guruh di langit, melainkan kayak
gempa. Bunyi itu diiringi semacam getaran! Kebetulan aku menyentuh tepi
pembaringanku. Terasa bergetar-getar! Aku tidak tahu, apa yang sebetulnya
terjadi tadi. Pokoknya aku ketakutan!"
"Mungkin tadi memang ada gempa," kata Dick. Dalam hati ia agak sangsi. Mungkin
semuanya cuma ada dalam impian Anne belaka. "Pokoknya masuk akal mengenainya.
Mungkin di sekitar sini ada pertambangan, di mana orang bekerja siang malam!"
"Besok saja kita selidiki," kata Dick. Anak-anak lantas kembali ke tempat tidur
masing-masing. Mereka kedinginan. Karena itu Julian membesarkan nyala api dalam tungku, supaya
kamar bertambah hangat. Keesokan paginya mereka bangun agak terlambat. Semuanya masih merasa agak capek
karena kemarin sibuk terus sampai sore, ditambah lagi dengan kejadian pada malam
harinya. Julian bergegas turun dari pembaringannya, ketika melihat bahwa saat itu sudah
pukul sembilan kurang sepuluh menit. Anak-anak dibangunkan olehnya, lalu ia
keluar untuk mengambil salju. Ia hendak memasak air.
Tak lama kemudian sarapan sudah siap. Seperti biasa, Anne yang menyiapkannya.
Telur rebus dengan daging asap, roti, mentega dengan keju dan lagi-lagi mereka
memilih coklat panas sebagai minuman. Anak-anak sarapan sambil mengobrol. Tentu
saja yang .dibicarakan kejadian malam sebelumnya. Rasanya kejadian itu tidak
begitu aneh dan seram lagi, karena dibicarakan dalam suasana yang begitu cerah.
Matahari bersinar terang, terpantul pada salju yang putih.
Ketika mereka sedang asyik-asyiknya sarapan sambil mengobrol, tiba-tiba Timmy
menggonggong, lalu lari ke pintu.
"Ada apa lagi sekarang?" kata Dick. Detik berikutnya, muncul muka seseorang dari
balik jendela. Wajah orang itu menarik perhatian anak-anak. Kelihatannya tua, karena penuh
kerut. Tapi toh memberikan kesan muda! Matanya biru, secerah langit tak berawan.
Yang muncul itu muka seorang laki-laki, berkumis dan berjanggut lebat.
"Wah - tampangnya kayak rasul dalam Kitab Injil," kata Anne kaget. "Siapakah
dia?" "Kurasa dialah Pak Gembala," jawab Julian, sambil berjalan ke pintu. "Kita
undang dia minum coklat. Barangkali saja dia bisa menjawab beberapa pertanyaan
kita!" Julian membuka pintu. "Anda Pak Gembala?" tanyanya. "Silakan masuk, Pak! Kebetulan kami sedang
sarapan. Minum coklat panas ya?"
Pak Gembala masuk ke dalam pondok. Ia tersenyum, menyebabkan wajahnya semakin
banyak kerutnya. Dalam hati Julian timbul keragu-raguan, apakah orang itu bisa
berbahasa Inggris, atau hanya bahasa Wales saja. Orang itu bertubuh jangkung.
Sikapnya tegak. Jelas bahwa ia lebih muda daripada kesan yang nampak saat itu.
"Kalian baik hati," katanya. Melihat orang itu berdiri di pintu sambil bertopang
pada tongkat gembalanya, dalam hati Anne terlintas pikiran bahwa orang-orang
seperti laki-laki itu sudah ada sejak sekian ribu tahun. Sejak ada biri-biri,
yang perlu digembala. Gembala itu berbicara pelan-pelan, rupanya karena tidak biasa berbahasa Inggris.
"Kalian hendak mengirim berita ke pertanian?" katanya. Nada bicaranya enak
didengar, seperti bernyanyi. Memang begitulah logat orang Wales.
"O ya -tolong sampaikan ya, Pak," kata Julian, sambil menyuguhkan roti berlapis
mentega dengan keju padanya. "Katakan, kami baik-baik saja di sini."
"Kalian baik-baik saja," ulang gembala itu. Ia menolak roti yang ditawarkan
Julian padanya. "Tidak, aku tidak ingin makan. Tapi kalau minum, bolehlah! Pagi ini sangat
dingin. Terima kasih!"
"Pak, Anda tadi malam mendengar bunyi geraman atau tidak?" tanya Julian. "Dan
juga merasakan getaran, serta melihat kabut berwarna terang di bukit sebelah
sana?" Pak Gembala menghirup coklat panasnya, sambil memandang ke bukit seberang.
"Bukit itu memang aneh," katanya pelan-pelan. "Kata kakekku, di sana ada seekor
anjing besar yang tinggalnya di perut bukit. Binatang itu selalu menggeram-
geram, minta makan. Sedang menurut nenekku, bukit itu tempat tinggal para
penyihir yang sibuk dengan ilmu mereka - dan biasanya ada asap mengepul."
"Asap" Asap apa?" tanya George.
"Kurasa, maksudnya kabut," kata Julian. "Sudahlah, jangan memotong lagi. Biarkan
Pak Gembala bercerita."
"Asap itu mengepul ke udara," sambung orang itu. Keningnya berkerut, menunjukkan
bahwa ia harus bersusah-payah berbicara, karena tidak biasa memakai bahasa
Inggris dalam pergaulannya sehari-hari. "Sampai sekarang, asap itu masih sering
mengepul ke atas! Anjing masih tetap menggeram, para penyihir masih selalu sibuk
- dan asap selalu mengepul!"
"Kemarin malam kami mendengar geraman anjing itu, serta melihat asap mengepul
dari panci ramuan penyihir," kata Anne. Anak itu terpukau mendengar suara
gembala. Orang itu memandangnya, lalu tersenyum.
"Ya," katanya, "betul! Tapi anjing itu sekarang bertambah galak, sedang penyihir
bertambah jahat.... "
"Jahat?" sela Julian. "Jahat bagaimana, Pak?" Gembala itu menggelengkan kepala.
"Aku ini bukan orang pintar," katanya. "Tidak banyak yang kuketahui - di samping
biri-biriku, angin dan langit - tapi aku tahu bukit yang di sana itu jahat. Ya,
betul - Jahat! Kalian jangan berani-berani pergi ke tempat itu! Tanah di sana
tidak bisa dibajak, tidak bisa dicangkul. Tidak bisa dipakai apa-apa!"
Anak-anak mendengarnya dengan kagum. Orang yang sedang berbicara itu gembala
biasa - tapi kata-katanya membuat mereka terkesan.
"Orang ini kerjanya selalu menggembalakan biri-biri," pikir Julian sambil
menatap gembala yang sedang bercerita. "Selalu sendiri, sibuk dengan
renungannya. Jadi tidak mengherankan, jika ceritanya aneh-aneh. Tapi - apakah
maksudnya bahwa bukit seberang itu tidak bisa dibajak?" Pak Gembala meletakkan
cangkirnya ke meja. "Aku pergi sekarang," katanya, "nanti kusampaikan pesan kalian pada Bu Jones.
Terima kasih atas kebaikan hati kalian tadi. Selamat tinggal!"
Orang itu melangkah ke luar, dengan sikap berwibawa. Anak-anak melihatnya
melintas di sebelah luar jendela. Janggutnya yang panjang berkibar ditiup angin.
"Wah, bukan main!" kata Dick sambil menarik napas. "Aku tadi rasanya seperti
mendengar. pendeta berkhotbah. Aku senang pada orang itu! Tapi apa maksudnya
dengan tanah yang tidak bisa dibajak dan dicangkul" itu kan omong kosong!"
"Belum tentu," kata Julian. "Kau masih ingat kan, mobil yang kita tumpangi
seperti merayap sewaktu menuruni bukit itu" Dan cerita ibu Aily - Istri gembala
tadi - tentang pengantar surat yang terpaksa meninggalkan sepedanya di kaki
bukit! Jadi mungkin saja, pada jaman dulu bajak yang dipakai tidak bisa maju
dengan lancar. Dan begitu pula cangkul, tidak bisa dipakai sebagaimana
mestinya." "Tapi apa sebabnya?" tanya. Anne bingung. "Masakan kau percaya pada cerita-
cerita macam begitu" Aku tahu, mobil kita geraknya seperti merayap sewaktu turun
dari sana - tapi sebabnya mungkin karena waktu itu ada sesuatu yang tidak beres
dengan mesinnya." "Rupanya Anne tidak mau percaya pada bajak yang tidak mau membajak, serta
cangkul yang tidak bisa dicangkulkan," kata Dick menggoda.
"Sudahlah - kita lupakan saja kejadian tadi malam! Sekarang kita main ski.
Badanku masih terasa pegal setelah kemarin - tapi tak ada salahnya sekarang kita
main ski!" Timmy sama sekali tidak suka pada olahraga ski. Sepatu ski tidak mungkin bisa
dipasang ke kakinya. Karena itu ia tidak bisa mengikuti kecepatan gerak anak-
anak, sewaktu mereka meluncur dengan laju menuruni lereng!
Mula-mula ia masih berusaha mengejar. Tapi setelah ia terbenam dalam onggokan
salju, anjing itu lantas menyadari bahwa olahraga semacam itu tidak cocok
untuknya. Ia berdiri lagi, mengibaskan salju yang menempel pada tubuh, sambil
memperhatikan anak-anak yang asyik meluncur itu dengan perasaan sedih.


Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Julian serta saudara-saudaranya sudah biasa, bermain ski. Lereng bukit yang
diluncuri panjang sekali, dan menyambung dengan lereng bukit di sebelahnya. Di
bukit itulah terletak Menara Tua.
Julian meluncur dengan lancar ke bawah. Kelajuan geraknya mendorong dirinya naik
sedikit ke bukit sebelah. Dari situ ia berseru pada saudara-saudaranya.
"He! Yuk, kita naik ke puncak bukit ini! Dari sana kita meluncur ke bawah, terus
naik lagi ke lereng bukit kita. Dengan begitu kita bisa menghemat waktu !"
Hanya Anne saja yang kurang begitu setuju terhadap usul itu. Tapi ia diam saja.
Dick memandang adiknya itu.
"Anne takut naik ke bukit Menara Tua!" katanya mencemoohkan. "Rupanya kau takut
pada anjing besar yang diam dalam bukit dan suka menggeram-geram pada malam
hari! Atau yang kau takut itu para penyihir di atas bukit, yang suka mengepul-
ngepulkan asap?" "Jangan konyol!" tukas Anne. Ia jengkel pada Dick, karena ternyata bisa menebak
perasaannya. Anne tidak percaya pada dongeng tentang anjing besar serta penyihir
- tapi entah kenapa, hatinya tidak enak kalau disuruh menginjakkan kaki ke bukit
itu! "Tentu saja aku ikut!"
Ia pun lantas ikut dengan saudara-saudaranya, mendaki bukit aneh itu.
"Lihatlah - sekarang kita bisa melihat Menara Tua dengan jelas," kata George
pada Julian. Memang benar! Tidak jauh dari tempat mereka nampak gedung besar itu, lengkap
dengan menaranya. Bangunan itu terletak di sisi lereng yang curam. Anak-anak
berdiri untuk memperhatikan.
"Dari sini kita bisa memandang ke dalam beberapa kamarnya," kata Julian. "Aku
ingin tahu, apakah wanita tua penghuni rumah itu - Bu Thomas - masih tinggal di
sana!" "Kalau masih, kasihan," kata George. "Bayangkan, tidak pernah berjumpa dengan
siapa-siapa tak ada lagi kawan yang berkunjung. Aku kepingin ke sana - pura-pura
tersesat, supaya ada kesempatan untuk melihat-lihat tempat itu. Tapi sayangnya,
di situ ada anjing galak!"
"Ya - dan aku tidak ingin mencari-cari keributan," kata Julian. "Nah - sekarang
kita sudah hampir sampai di puncak bukit ini. Kita tunggu dulu sampai Dick dan
Anne sudah tiba di sini - dan setelah itu kita berlomba meluncur sampai ke
lereng bukit seberang! Asyik sekali lereng ini!"
Bab 12 DI ATAS BUKIT "Julian! Lihatlah - itu kan ada seseorang berdiri di balik salah satu jendela
menara! itu yang sebelah kanan!" kata George sementara mereka sedang menunggu.
Julian memandang ke arah menara. Ia masih sempat melihat orang itu sekilas,
sebelum menghilang. "Ya, betul!" katanya. "Kurasa orang tadi memperhatikan kita. Kurasa jarang ada
orang datang ke sini, sehingga aneh juga ketika melihat kita ada di tempat ini!
Kau tadi masih sempat melihat, apakah orang itu laki-laki atau wanita?"
"Kurasa wanita," kata George. "Mungkinkah Bu Thomas" Aduh, Ju - jangan-jangan
dia terkurung dalam menara itu, sementara anaknya yang jahat bersama kawan-
kawannya menjuali barang-barangnya ! Kan ada yang mengatakan, kadang-kadang ada
mobil pengangkut datang ke situ tengah malam"!"
"He, kami sudah sampai!" seru Dick, yang mendaki bersama Anne. "Wah, berat juga
mendaki bukit ini! Tapi tak apa, karena bisa asyik 'nanti - meluncur ke bawah.
Sekarang aku ingin istirahat sebentar!"
"Dick, kami berdua tadi merasa seperti melihat seseorang berdiri di balik
jendela menara di sebelah sana itu .- itu, jendela yang sebelah kanan," kata
Julian. "Nanti jika kita sudah kembali di pondok, akan kita teropong jendela
itu. Mungkin saja akan nampak sesuatu di sana!"
Dick dan Anne menatap ke arah jendela itu. Sementara mereka sedang memandang,
tahu-tahu ada yang menarik tirai sehingga jendela tertutup!
"Nah - kita ketahuan! Rupanya orang itu tidak suka diperhatikan!" kata Julian.
"Pantas tersiar cerita yang macam-macam mengenai itu! Yuk - sekarang kita
berlomba ke bawah." Keempat anak itu berangkat serempak, tapi masing-masing mengambil jalan yang
berlain-lainan. Terasa angin mendesing, karena begitu laju mereka meluncur.
Julian dan Anne lancar sekali meluncur ke bawah, sehingga bisa naik lagi ke
lereng bukit sebelah sampai setengah jalan.
Tapi George dan Dick tidak begitu mujur! Sepatu ski mereka tersangkut pada
sesuatu, sehingga keduanya terpental ke atas lalu jatuh terjerembab di atas
salju yang empuk. Mereka terkapar sesaat dengan napas tertahan, agak kaget
karena kejadian tiba-tiba itu.
"Wah!" kata Dick setelah beberapa saat. "Kaget sekali aku tadi! Kaukah itu,
George" Semuanya beres?"
"Kurasa ya," jawab George, "cuma pergelangan kakiku yang sebelah terasa agak
aneh - ah, tidak! Semua beres! Eh, Timmy datang ke mari. Rupanya ia melihat kita
terpelanting tadi, lalu buru-buru datang untuk menolong. Kami tidak apa-apa,
Tim! Ini juga termasuk keasyikan main ski!"
Sementara mereka masih terkapar sesaat sambil mengatur napas, tiba-tiba
terdengar seseorang berseru dari kejauhan.
"He! Ayo pergi dari lereng ini!"
Dick buru-buru duduk. Dilihatnya seorang laki-laki bertubuh jangkung berjalan
mengarungi salju menuruni ke tempat mereka. Datangnya dari arah Menara Tua. Ia
kelihatannya marah. "Kami cuma main ski di sini!" balas Dick berteriak. "Sama sekali tidak bermaksud
jahat. Anda siapa?" "Aku pengawas di sini," kata laki-laki itu, sambil menganggukkan kepala ke arah
Menara Tua. "Dan tanah ini termasuk pekarangan rumah itu. Jadi kalian harus
pergi!" "Kalau begitu kami akan minta izin pada pemiliknya," kata Dick. Ia berdiri,
dengan maksud supaya bisa lebih jelas melihat gedung itu.
"Tidak bisa! Di sini cuma ada aku!" bentak laki-laki itu. "Kan sudah kukatakan,
akulah yang menjadi pengawas di sini. Kalau kalian tidak mau pergi, nanti
kusuruh anjingku menyerang kalian!" Setelah itu ia kembali ke atas.
"Aneh," kata Dick pada George, "Katanya, ia satu-satunya yang ada di sini -
padahal belum lama berselang kita masih melihat ada orang di balik jendela
menara! Pengawas itu takkan mungkin bisa begitu cepat datang dari sana kemari -
jadi terbukti dia bukan sendiri di tempat itu! Di menara masih ada orang lagi!
Aneh, ya?" Selama itu George memegang kalung leher Timmy kuat-kuat. Soalnya, Timmy Jangsung
menggeram, begitu mendengar laki-laki tadi marah-marah. Dan George khawatir,
jangan-janga Timmy menerjang. Lalu jika anjing yang galak itu muncul, pasti akan
terjadi perkelahian sengit. Itulah yang ditakutkan oleh George, karena pasti
Timmy akan digigit lagi! Dick dan George memeriksa ikatan sepatu ski masing-masing, apakah masih teguh.
Kemudian mereka meneruskan peluncuran ke bawah. Sementara itu Julian dan Anne
sudah menunggu di puncak bukit seberang.
"Siapa orang tadi" Kenapa dia berteriak-teriak begitu?" tanya Julian. "Dia
datangnya dari Menara Tua?"
"Ya," jawab Dick, "orangnya pemarah! Kami disuruhnya pergi dari lereng itu.
Katanya ia pengawas Menara Tua, dan lereng itu termasuk daerahnya. Ketika
kukatakan aku hendak minta izin pada pemilik, ia lantas mengatakan bahwa yang
ada di situ cuma dia seorang diri! Padahal kita tahu, apa yang dikatakannya itu
tidak benar." "Ya, betul," kata Julian dengan bingung. "Kenapa ada orang yang tidak senang
kalau kita main ski di sana" Apakah mungkin karena takut kita akan melihat
sesuatu di rumah itu" Untuk apa ia berbohong, mengatakan di sana tidak orang
lain kecuali dia" Bagaimana kesanmu - apakah dia itu memang pengawas?"
"Yah - yang jelas logatnya tidak seperti orang Wales!" kata George. "Sedang
menurut perasaanku, pemilik Menara Tua mestinya kan memilih seseorang dari desa
yang rasanya bisa dipercayai - jadi orang Wales! Ya, kan" Aneh!"
"Dan kalau ditambah dengan segala kejadian malam kemarin jadinya bukan saja aneh
- tapi bahkan mencurigakan," kata Dick. "Perlu diselidiki!"
"Jangan," kata Anne. "Nanti liburan kita terganggu. Kan waktu kita tak terlalu
banyak." "Kecuali itu aku juga tidak tahu, bagaimana kita akan melakukan penyelidikan,"
kata George. "Aku tidak mau datang ke Menara Tua, selama di sana masih ada
anjing galak. Sedang jalan lain untuk mengadakan penyelidikan, tidak ada. itu
pun, kalau ada hasilnya! Kurasa tidak ada."
"He! Tahukah kalian, sekarang sudah hampir pukul satu?" kata Anne, mengalihkan
pembicaraan. "Belum ada yang merasa lapar?"
"Wah - bukan lapar lagi," jawab Julian. "Tapi karena kusangka baru pukul.
setengah dua belas, aku diam saja. Kalau begitu kita kembali saja dulu ke
pondok, untuk makan."
Sesampai di depan pondok, anak-anak melihat dua botol susu terletak di salju. Di
sampingnya ada bungkusan besar. Timmy langsung menghampiri barang itu. Kemudian
ia menggonggong, sambil mengibas-ngibaskan ekor.
"Kata Timmy, isinya daging - jadi jelas untuk dia," kata George sambil tertawa.
Julian membuka bungkusan itu. Setelah melihat isinya, ia pun ikut tertawa.
"Benar! Isinya daging panggang," katanya.
Siang itu anak-anak makan dengan lahap. Timmy mendapat bagian pula. Ia jengkel,
ketika daging disimpan setelah mereka selesai makan. Menurut pendapatnya, tulang
yang menempel pada daging itu bagiannya.
"Jangan, Tim!" kata George, ketika Timmy meletakkan kaki depannya ke pangkuan
anak itu dengan sikap meminta. "Daging ini kita simpan untuk besok. Dan kalau
dagingnya sudah habis, barulah tulangnya untukmu."
"Kelihatannya akan turun salju lagi," kata Julian sambil memandang ke luar. "Eh
- siapa ya, yang membawa susu dan daging itu kemari?"
"Kurasa gembala, dalam perjalanan kembali ke atas," kata Dick. "Dia memang baik
hati! Tapi anaknya ke mana, ya" Aily, maksudku! Aku khawatir jika ia terjebak
dalam hujan salju, sehingga terpaksa menginap di luar."
"Kurasa anak itu mampu mengurus dirinya sendiri," kata Julian. "Aku sebenarnya
kepingin ketemu lagi dengan dia. Tapi selama ia tidak merasa lapar, kecil
kemungkinan ia muncul di sini!"
"itu dia anaknya!" seru Anne tiba-tiba. Dan benarnya - Aily memandang ke dalam
lewat jendela. Ia menjunjung anak biri-birinya, supaya bisa ikut melihat.
"Kita ajak saja dia makan - lalu kita tanyakan apakah dia tahu siapa yang
tinggal di Menara Tua," kata George. "Mungkin pula ia pernah melihat seseorang
di jendela kanan menara!"
"Baiklah, kusuruh dia masuk," kata Julian sambil menuju ke pintu. "Bisa saja ia
tahu - karena kan biasa berkeliaran di daerah sini!"
Dugaan Julian ternyata tepat. Aily memang mengetahui sesuatu - sesuatu yang
sangat menarik perhatian!
Bab 13 KETERANGAN AILY Kini Aiy sudah tidak malu-malu lagi. Ia tidak lari, ketika pintu sudah dibuka
oleh Julian. Anak perempuan itu masih tetap berpakaian seperti waktu mereka
berjumpa untuk pertama kalinya. Tapi la tidak kelihatan kedinginan! Wajahnya
berseri-seri. "Halo, Aily!" kata Julian. "Ayo masuk! Kebetulan kami sedang makan!"
Anjing anak itu langsung masuk. Rupanya ia mencium bau makanan di situ. Timmy
kaget ketika anjing kecil itu tahu-tahu sudah masuk. Ia menggeram.
"Jangan marah, Tim - dia kan tamumu," kata George. "Kau harus tahu sopan-
santun!" Anjing kecil itu mengibas-ngibaskan ekornya
"Nah, Dave hendak mengatakan bahwa kau tidak perlu takut padanya!" kata Anne.
Semua tertawa mendengar kelakarnya itu. Timmy lantas mengibas-ngibaskan ekornya
pula, tanda bahwa ia mau berteman dengan Dave, anjing kecil itu.
Kemudian Aily masuk, sambil menggendong anak biri-biri kesayangannya. Ia agak
khawatir, kalau Timmy menyerang. Tapi ternyata Timmy suka padanya. Begitu anak
biri-biri itu dilepaskan ke lantai supaya bisa berkeliaran dengan bebas, Timmy
langsung membuntuti sambil mengibas-ngibaskan ekor.
Anne menawarkan daging pada Aily. Tapi anak perempuan itu tidak mau daging. Ia
menuding keju. "itu yang kusukai," katanya. Ia senang sekali, ketika Anne memotongkan keju
sebongkah besar untuknya. Aily duduk di lantai sambil makan.
"Di mana kau tidur tadi malam, Aily?" tanya George. "Ibumu mencarimu."
Aily kelihatannya tidak begitu mengerti, karena George terlalu cepat. Karena itu
diulanginya sekali lagi. "Dalam lumbung, di pertanian Bu Jones," jawab Aily.
"Aily - siapakah yang tinggal di Menara Tua?" tanya Julian pula. Ia berbicara
lambat-lambat. "Banyak orang," kata perempuan itu sambil menuding keju. Ia minta lagi. "Orang
besar, orang kecil. Dan anjing besar. Lebih besar dari dia!" katanya, sambil
menuding Timmy. Anak-anak berpandang-pandangan dengan heran. Ternyata banyak yang tinggal di
Menara Tua. Apakah kerja mereka di situ"
"Padahal menurut pengawas, cuma dia sendiri yang ada di situ," kata George.
"Sekarang dengar baik-baik, Aily! Masih adakah seorang wanita tua di sana?"
tanya Julian. "Mengerti" Wanita tua!"
Aily mengangguk, tanda mengerti.
"Ya - ada wanita tua! Aku melihatnya dalam menara. Kadang-kadang dia tidak
melihat Aily. Aily sembunyi."
"Kau bersembunyi di mana?" tanya Dick heran.
"Aily tidak mau bilang," jawab anak kecil itu. Dipandangnya Dick dari balik
pelupuk matanya yang setengah terpejam. Seolah-olah hendak menyembunyikan
sesuatu. "Kau melihat wanita tua itu, sewaktu kau berada di luar?" tanya Julian. Aily
memikir-mikir sebentar, lalu menggeleng.
"Kalau begitu di mana?" tanya Julian mendesak lebih lanjut. Ia mengambil
sepotong coklat dari kantongnya. "Nih, ada coklat! Kuberikan padamu, kalau kau
mau mengatakannya." Coklat itu dipegang Julian sedemikian rupa, sehingga tidak terjangkau oleh Aily.
Anak itu memandang dengan mata bersinar-sinar. Rupanya ia tidak sering,
memperolehnya. Tahu-tahu tangannya menyambar, hendak mengambil makanan itu. Tapi
Julian lebih cepat. "Tidak! Kau jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru coklat ini kuberikan
padamu," katanya. Tiba-tiba Aily memukul Julian, yang mengelak sambil tertawa, lalu memegang kedua
tangan anak itu. "Jangan memukul, Aily! Aku kan kawan. Kawan tidak boleh dipukul," kata Julian.
"Ah - aku tahu di mana kau berada, sewaktu melihat wanita tua itu," kata Dick
dengan tiba-tiba. "Saat itu kau ada di pekarangan, Aily! Dalam kebun!"
"Dari mana kau tahu?" seru Aily. Ia meronta, membebaskan diri dari pegangan
Julian, lalu berdiri menatap Dick. Nampaknya marah, tapi sekaligus juga
ketakutan. "He, he - jangan marah," kata Dick kaget.
"Dari mana kau tahu?" tanya Aily sekali lagi. "Kau tidak bilang siapa-siapa?"
"Tentu saja aku tidak bilang siapa-siapa" kata Dick.. Ia tidak berbohong, karena
memang baru saat itu pikiran itu datang. "Ha - jadi rupanya saat itu kau ada
dalam pekarangan Menara Tua, ya" Bagaimana caramu masuk?"
"Aily tidak mau bilang," kata anak perempuan itu. Tiba-tiba ia menangis. Anne
hendak membujuknya, tapi ditolakkan dengan kasar. "Yang masuk Dave - bukan Aily.
Kasihan si Dave anjing besar menggonggong - guk, guk - begitu, lalu ...
lalu ....." "Lalu kau masuk, untuk mengambil Dave. Ya, kan?" kata Dick. "Aily anak baik,
Aily anak berani." Aily mengusap air matanya. Ia mengangguk, ambil tersenyum memandang Dick.
"Aily baik," katanya, lalu memangku anjing kecilnya. "Kasihan si Dave!"
"Jadi rupanya ia masuk ke pekarangan Menara Tua," bisik Julian pada Dick. "Tapi
bagaimana caranya" Mungkin dengan jalan menerobos pagar tanaman." Kemudian
Julian berpaling pada Aily.
"Aily - kami ingin melihat wanita tua itu. Bisakah kami masuk dengan jalan
menerobos pagar?" "Tidak bisa!" kata Aily sambil menggeleng-geleng. "Sekelilingnya ada pagar
kawat. Pagar tinggi. Bisa menggigit!"
Anak-anak tertawa mendengar kalimat Aily yang terakhir. Bayangkan - ada pagar
yang bisa menggigit. Tapi kemudian George merasa tahu apa yang dimaksudkan oleh
anak itu. "Pagar yang dialiri" arus listrik," katanya. "Wah, kalau begitu Menara Tua lebih
mirip benteng, daripada tempat tinggal biasa. Gerbang yang tertutup rapat,
dijaga anjing galak, sedang pagar pun dialiri arus listrik!"
"Tapi jika begitu, bagaimana caranya sampai Aily bisa masuk?" tanya Dick. "He,
Aily! Sudah seringkah kau melihat wanita tua itu" Dan apakah ia melihatmu juga?"
"Aily sering melihat dia - jauh di atas menara. Dan dia pernah melihat Aily. Ia
melemparkan kertas-kertas dari jendela."


Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kau memungutnya?" tanya Julian. Ia semakin tertarik. "Ada tulisannya atau
tidak kertas-kertas itu?"
Semua menunggu jawaban Aily dengan tegang. Dan anak itu mengangguk.
"Ya - seperti di sekolah. Dengan tinta!"
"Kau membaca apa yang ditulisnya?" tanya Dick.
Tampang Aily tiba-tiba seperti orang bingung. Mula-mula ia'menggeleng. Tapi
kemudian mengangguk. "Ya, Aily membacanya," katanya. "Di situ tertulis, 'Selamat pagi, Aily. Apa
kabar, Aily." "Jadi wanita itu rupanya kenal padamu, ya?" kata Dick.
"Tidak, dia tidak kenal dengan Aily - kenalnya dengan ibu Aily," jawab anak
kecil itu. "Ia menulis pada kertas-kertasnya. 'Aily, kau anak baik. Anak baik
sekali'." "Dia bohong," kata Dick pelan-pelan. Ia melihat bahwa anak kecil itu berbicara
tanpa berani menatap mereka. "Tapi kenapa?"
"Kurasa aku tahu sebabnya," kata Anne. Diambilnya secarik kertas, lalu
ditulisnya di situ dengan huruf-huruf besar, "Selamat pagi, Aily".
Kertas itu kemudian disodorkan pada Aily. "Coba baca ini," kata Anne.
Aily cuma melongo saja. Ia sama sekali tidak tahu, apa yang ditulis di kertas
itu. "Dia sama sekali belum bisa membaca," kata Anne kemudian. "Ia malu, dan
karenanya pura-pura bisa. Tapi tak apa, Aily! Begini - masih adakah kertas yang
dijatuhkan wanita tua itu padamu sekarang?"
Aily merogoh kantong selama beberapa saat. Kemudian dikeluarkannya secarik
kertas. Kertas itu nampaknya seperti halaman buku yang disobek. Aily
menyodorkannya pada Dick.
Bersama ketiga saudaranya, Dick lantas membaca tulisan yang tertera di situ.
Tulisannya kecil-kecil, nyaris tak terbaca.
"Aku minta tolong! Aku ditawan dalam rumahku sendiri. Di sini terjadi berbagai
peristiwa seram. Anakku mati, dibunuh mereka. Tolong! Bronwen Thomas. "
"Astaga!" kata Julian kaget. "Ini benar-benar Gawat! Bagaimana - perlukah kita
melapor pada polisi?"
"Kurasa di daerah ini hanya seorang petugas polisi untuk tiga sampai empat desa
sekaligus," kata Dick. "Kecuali itu - mungkin saja wanita tua itu tidak waras
lagi pikirannya. Jadi mungkin saja ia cuma mengada-ada."
"Kalau begitu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah hal ini benar atau tidak?"
kata George. Dick memandang Aily. "Aily! Kami ingin mendatangi wanita tua itu. Kasihan, ia seorang diri di sana.
Kami ingin mengantarkan makanan untuk dia. Maukah kau menunjukkan jalan masuk ke
pekarangan?" "Tidak mau," kata Aily. Ia menggeleng-geleng, untuk menegaskan sikapnya. "Di
sana ada anjing besar. Anjing dengan gigi - kayak begini!"
Sambil berkata begitu Aily menyeringai sambil menyergah, sehingga Timmy
terbelalak memandangnya. Anak-anak tertawa melihat kelakuan anak kecil itu.
"Yah - apa boleh buat, kalau ia tidak mau," kata Julian kecewa. "Lagipula kalau
kita berhasil masuk, di dalam masih ada anjing galak itu. Aku tidak kepingin
bertemu dengan dia!"
"Aily menunjukkan jalan masuk ke rumah," kata anak itu dengan tiba-tiba. Semua
melongo memandangnya. "Masuk ke dalam rumah?" kata Dick. "Tapi - tapi - kalau masuk ke rumah,
sebelumnya kita harus melewati pekarangan dulu, Aily!"
"Tidak," jawab Aily sambil menggeleng. "Aily nanti menunjukkan jalan masuk ke
rumah. Betul - Aily tunjukkan. Di situ tidak ada anjing besar!"
Tiba-tiba Timmy menggonggong. Ada orang lewat di depan pintu. Orang itu
memandang sekilas ke dalam. Ternyata dia ibu Aily, yang sedang dalam perjalanan
ke atas bukit untuk mengantarkan sesuatu bagi, suaminya. Begitu melihat Aily
duduk di lantai, wanita itu berseru dengan marah. Ia berdiri di ambang pintu,
sambil menyemburkan kata-kata dalam bahasa Wales.
Anak-anak tak menangkap maksudnya. Tapi Aily ketakutan, lalu lari hendak
bersembunyi dalam lemari. Dave dan Fany, anak biri-birinya ikut lari.
Tapi percuma! Ibunya masuk dengan cepat, lalu menyeret Aily ke luar sambil
menggoncang-goncangnya. Timmy menggeram-geram, sedang Dave gemetar ketakutan.
Anak biri-biri mengembik dalam gendongan Aily.
"Aily ikut pulang dengan aku!" kata ibunya, sambil melotot ke arah Julian serta
ketiga saudaranya. Seakan-akan mempersalahkan mereka sebagai penyebab Aily tidak
mau pulang. "Di rumah nanti kupukul!"
Wanita itu keluar sambil menggenggam lengan Aily yang meronta-ronta. Julian dan
saudara-saudaranya tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimana pun wanita itu ibu
Aily! Dan anak itu memang bandel - kerjanya keluyuran terus.
"Kurasa sebaiknya kita turun ke pertanian, lalu menceritakan segala-galanya pada
Morgan," kata Julian beberapa saat kemudian. "Jika kejadian ini memang serius -
maksudku jika wanita tua itu benar-benar ditawan di sana - kurasa kita sendiri
tidak bisa berbuat banyak mengenainya. Tapi mungkin saja Morgan bisa membantu!
Paling sedikit dia bisa melaporkan pada polisi. Yuk - sekarang saja kita
berangkat! Nanti kalau kemalaman, kita menginap saja di sana. Ayo, cepat!"
Bab 14 SIKAP TAK TERDUGA George sebenarnya enggan ikut ke bawah. Ia khawatir kalau-kalau Timmy nanti
bertemu lagi dengan anjing-anjing sana, lalu diserang oleh mereka. Julian
melihat tampangnya yang ragu-ragu. Tanpa bertanya lagi, ia langsung mengerti.
"Apakah kau lebih senang menunggu di situ saja bersama Timmy, sampai kami
kembali?" tanyanya pada George. "Kurasa kalau ada Timmy, kau takkan apa-apa jika
sendiri di sini. Cuma apakah kau tidak takut nanti, jika malam-malam ada lagi
bunyi guruh diiringi getaran serta sinar yang berpendar-pendar?"
"Aku akan menemaninya," kata Anne. "Kurasa paling baik, jika kau serta Dick saja
yang turun. Aku agak capek, jadi takkan bisa berjalan secepat kalian berdua."
"Baiklah! Kalau begitu aku dan Dick yang pergi, sedang kalian berdua menunggu di
sini bersama Timmy," kata Julian. "Yuk, Dick! Jika kita cepat-cepat, mungkin
sebelum gelap kita sudah bisa tiba lagi di sini."
Mereka bergegas menuruni lereng, menyusur jalan setapak yang masih diselimuti
salju. Lega perasaan mereka ketika sudah hampir sampai di rumah Bu Jones. Lampu
di dapur sudah menyala. Dick dan Julian masuk lewat pintu depan, tapi langsung menuju ke dapur. Bu Jones
ada di situ. Ia sedang mencuci piring. Ia berpaling ketika mendengar langkah
kaki mendekat. "Wah - ada tamu," katanya kaget, lalu cepat-cepat mengeringkan tangan ke handuk.
"Ada yang tidak beres" Mana anak-anak yang perempuan?"
"Mereka ada di pondok," jawab Julian. "Kami baik-baik saja, Bu,"
"Atau kalian hendak mengambil bekal makanan lagi?" tanya Bu Jones. Menurut
perkiraannya, itulah yang menyebabkan kedua anak laki-laki itu datang dengan
tiba-tiba. "Bukan, Bu! Makanan kami masih banyak," kata Julian. "Kami kemari karena ingin
bicara dengan Pak Morgan, anak Anda! Kami - yah, ada sesuatu yang hendak kami
sampaikan padanya. Urusan penting!"
"Urusan apa ya?" tanya Bu Jones ingin tahu. "Nanti dulu - Morgan, katamu - ya,
dia ada dalam lumbung yang besar itu." Bu Jones menunjuk ke luar. Anak-anak
memandang ke arah itu. Di luar nampak bangunan lumbung yang dimaksudkan. "Morgan
ada di situ. Kalian kan menginap di sini malam ini" Dan tentunya juga mau makan
malam di sini!" "Ya - terima kasih, Bu," jawab Julian. Tiba-tiba ia teringat, tadi tidak sempat
makan sore. "Terima kasih banyak. Tapi sekarang kami hendak mendatangi Pak
Morgan dulu." Keduanya lantas ke luar, pergi ke lumbung besar yang ditunjukkan oleh Bu Jones.
Ketiga anjing besar kepunyaan Morgan langsung lari ke luar sambil menggeram-
geram, ketika mendengar langkah orang yang tidak dikenal. Tapi kemudian mereka
mengenali Dick dan Julian, lalu menggonggong-gonggong sebagai ucapan., selamat
datang. Sesaat kemudian Morgan sendiri muncul. Ia ingin melihat, apa yang menyebabkan
ketiga anjingnya menggonggong. Ia heran melihat Julian dan Dick sedang
berjongkok di pekarangan, sambil mengelus-elus ketiga anjing itu.
"He - ada apa?" tanya Morgan. "Ada yang tidak beres?"
"Ya - kurasa begitu," jawab Julian. "Dan kami datang, untuk memberi tahu Anda."
Morgan mengajak mereka masuk ke dalam lumbung, yang sudah remang-remang. Morgan
melanjutkan kesibukannya menggaru jerami, sementara Julian mulai dengan
ceritanya. "Ini mengenai Menara Tua," kata Julian. Seketika itu juga Morgan berhenti
bekerja. Tapi kemudian dilanjutkan lagi, sementara ia mendengarkan terus tanpa
berkata apa-apa. Julian melanjutkan kisahnya. Ia bercerita tentang suara menggeram, sinar pendar
di langit yang dilihat oleh Dick, lalu getaran yang dirasakan oleh mereka
berempat - kemudian tentang wanita yang mereka lihat di jendela menara - disusul
dengan kisah Aily tentang lembaran-lembaran kertas. Julian juga bercerita
tentang kertas yang ditunjukkan oleh Aily pada mereka, di mana tertulis bahwa Bu
Thomas tertawan di rumahnya sendiri.
Saat itu barulah Morgan membuka mulut.
"Mana kertas itu?" tanyanya dengan suaranya yang berat.
Julian mengambilnya dari dalam kantong, lalu disodorkan pada Morgan. Orang itu
menyalakan lampu untuk membacanya, karena tempat itu sudah terlalu gelap.
Ia membaca tulisan yang tertera di atas kertas. Kemudian kertas itu
dimasukkannya ke dalam kantong. Julian kaget, dan memintanya kembali.
"Atau Anda hendak menunjukkannya pada polisi?" tanyanya. "Bagaimana pendapat
Anda tentang kejadian ini" Adakah tindakan yang bisa kita ambil" Tidak enak
rasanya membayangkan..."
"Akan kukatakan apa yang harus kalian lakukan" potong orang itu. "Serahkan saja
urusan ini padaku. Pada Morgan Jones! Kalian kan masih anak-anak, yang belum
tahu apa-apa. Ini bukan urusan anak-anak! Kalian harus kembali ke pondok, dan
melupakan segala-galanya yang pernah kalian dengar atau lihat! Dan jika Aily
muncul lagi, kalian harus membawa anak itu ke sini. Nanti aku akan bicara dengan
dia!" Nada bicaranya begitu keras dan tegas, sehingga anak-anak kaget dibuatnya.
"Tapi, Pak," kata Julian, "apakah Anda tidak hendak berbuat apa-apa tentang soal
ini" Misalnya lapor pada polisi, atau....."
"Sudah kukatakan tadi, ini bukan urusan anak-anak," kata orang itu. "Sekarang
aku tidak mau bicara lagi mengenainya ! Kalian kembali ke atas, dan jangan
bicara pada siapa-siapa tentang kejadian ini. Jika kalian tidak mau menurut,
kalian harus pulang besok,"
Setelah berkata begitu, laki-laki bertubuh besar itu memanggul penggarunya, lalu
pergi ke luar, Julian dan Dick ditinggal sendiri dalam lumbung,
"Apa-apaan itu?" tukas Julian tersinggung. "Yuk, kita kembali saja ke atas! Aku
tidak mau makan malam di sini. Aku tidak mau berjumpa lagi dengan laki-laki
kasar itu malam ini!"
Dengan perasaan kecewa keduanya lantas keluar, berjalan menuju ke kaki bukit,
Hari sementara itu sudah mulai gelap. Julian meraba-raba kantong celananya,
mencari senter. "Aduh, rupanya aku tadi lupa." katanya. "Kau membawa senter. Dick?"
Ternyata Dick juga tidak membawanya, Sedang keduanya enggan berjalan dalam
gelap, Kemudian Julian teringat, dalam kamar mereka di rumah Bu Jones masih ada
satu senter lagi, yang sengaja disediakan sebagai cadangan. Ia memutuskan untuk
kembali dan mengambil barang itu.
"Yuk," ajaknya pada Dick. "Kita mengambilnya, tapi kalau bisa Jangan sampai
berjumpa dengan Morgan atau Bu Jones!"
Mereka menyelinap, kembali ke pertanian. Dengan cepat Julian menaiki tangga
batu, menuju ke kamar tidur tempat mereka menginap. Ternyata senter itu ada
dalam salah satu laci di situ.
Kemudian ia turun lagi lewat tangga - dan menubruk Bu Jones di bawah. Wanita tua
itu terpekik karena kaget.
"Ah, kau rupanya, Julian! Apa sebetulnya yang kaukatakan pada Morgan, sehingga
menyebabkan anakku itu marah-marah" Kulihat mukanya masam sekali. Sebentar ya,
akan kusiapkan makan malam untuk kalian. Kalian mau daging panggang dengan....."
"Jangan repot-repot, Bu - karena kami memutuskan untuk pulang saja ke pondok,"
kata Julian. "Hari sudah gelap, dan kedua anak perempuan itu sendirian di sana,"
"Ya, ya - betul juga katamu," ujar Bu Jones,
"Tapi tunggu sebentar, aku punya roti segar. Kecuali itu, juga kue bikinanku
sendiri. Tunggu sebentar, ya,"
Dick dan Julian menunggu di ambang pintu. Mereka sudah cemas saja, kalau Morgan
tiba-tiba muncul. Mereka enggan berjumpa lagi dengan dia malam itu. Tapi tiba-
tiba terdengar suaranya berseru-seru di kejauhan, membentak-bentak pada anjing-
anjingnya. Suara Morgan memang sangat lantang!
"Rupanya ia melampiaskan kemarahannya pada anjing-anjing itu," bisik Julian pada
Dick. "Wah - pasti gawat jika harus berurusan dengan dia! Badannya begitu kekar dan
kuat - biar melawan sepuluh orang sekaligus, kurasa ia masih bisa menang!"
Saat itu Bu Jones datang lagi, membawa tas yang penuh berisi makanan.
"Ini, untuk kalian," katanya. "Jaga kedua anak perempuan itu baik-baik, ya! Dan
jangan kalian dekati Morgan saat ini. Ia sedang jengkel sekarang!"
Julian dan Dick memang tidak berniat untuk berjumpa lagi dengan laki-laki yang
sedang marah-marah. itu. Mereka merasa lega ketika sudah agak jauh mendaki
lereng, dan tidak mendengar lagi bentakan-bentakan Morgan!
"Nah, jelas sekarang bahwa dari dia kita tidak bisa mengharapkan bantuan," kata
Julian kemudian. "Kita bahkan dilarangnya berbuat sesuatu tentang urusan ini.
Seolah-olah kita anak kecil!"
"Ya - berkali-kali ia mengatakan, kita ini anak-anak," kata Dick kesal. "Terus
terang saja aku bingung, Ju. Apa sebabnya ia begitu jengkel" Apakah la tidak
percaya pada kita?" "Bukan begitu - dia malah percaya sekali" jawab Julian. "Kursa ia lebih banyak
tahu tentang urusan ini, dibandingkan dengan apa yang bisa kita ceritakan
padanya. Ada sesuatu yang tidak beres di Menara Tua - sesuatu yang aneh dan
berlangsung dengan sembunyi-sembunyi! Dan jelas, Morgan terlibat di dalamnya.
Karena itulah kita disuruhnya tutup mulut dan jangan campur tangan. Karena
itulah kita disuruhnya melupakan segala-galanya! Aku merasa pasti, apa pun yang
sedang terjadi di sana. Morgan ikut terlibat dalam urusan itu!"
"Astaga!" kata Dick, setelah bersiul karena kagum bercampur kaget. "itu rupanya
yang menyebabkan dia marah-marah! Rupanya ia khawatir kalau kegiatan mereka itu
terganggu karena kita. Dan sekarang aku mengerti - itulah sebabnya ia tidak mau
kita melapor pada polisi. Nah - sekarang bagaimana, Ju?"
"Entah! Kita masih perlu. berunding dulu dengan George dan Anne," kata Julian.
"Macam-macam saja! Liburan kita sudah singkat, sekarang datang pula urusan
begini." "Menurut pendapatmu, apakah sebetulnya yang sedang terjadi di Menara Tua?" tanya
Dick. "Maksudku bukan cuma soal seorang wanita tua yang terkurung di atas menara,
sementara barang-barangnya dijuali. Yang kumaksudkan hal-hal lainnya pula!
Getaran yang mengguruh, serta kabut aneh itu, sebetulnya apa?"
"Yah - kurasa kejadian-kejadian itu mungkin tak ada hubungannya dengan
keterlibatan Morgan," kata Julian sambil berpikir-pikir. "Tapi aku merasa pasti,
ia terlibat dalam perkara pencurian harta Bu Thomas! Aku bahkan merasa, segala
desas-desus tentang kejadian-kejadian aneh itu bahkan dipakai guna menjauhkan
orang-orang dari tempat itu! Memang, orang desa biasanya lebih percaya pada
takhyul, dibandingkan dengan orang kota!"
"Mungkin saja kau benar," sela Dick, "tapi aku kurang yakin! Aku merasa bahwa
ada sesuatu yang aneh di sini - dan desas-desus itu ada benarnya!"
Setelah itu keduanya membisu. Mereka berjalan beriringan, dibantu oleh batu-batu
hitam sebagai penunjuk arah. Sorotan senter yang dipegang oleh Julian, menerangi
batu demi batu, sementara mereka mendaki terus. Jalan ke pondok rasanya jauh
sekali saat itu - lebih jauh daripada siang hari.
Tapi akhirnya nampak juga cahaya terang yang memancar keluar dari jendela
pondok. Dick dan Julian menarik napas lega. Mereka merasa sangat lapar. Untung
Bu Jones tadi membekali mereka dengan makanan tambahan.
Terdengar suara Timmy menggonggong. George membukakan pintu, karena dari
gonggongan anjingnya ia tahu bahwa yang datang Dick dan Julian.
"Untung kalian pulang, dan tidak jadi menginap di bawah!" seru Anne gembira.
"Lalu bagaimana" Apakah Morgan akan melapor ke polisi?"
"Tidak," jawab Julian. "Ia marah-marah pada kami. Kami dilarangnya mencampuri
urusan itu. Kertas berisi pesan Bu Thomas diambil olehnya. Kuminta kembali -tapi
tidak diberikan! Kini kami merasa, dia ada hubungannya dengan kejadian-kejadian
di Menara Tua!" "Baiklah kalau begitu," kata George dengan segera. "Urusan ini akan kita tangani
sendiri! Kita akan menyelidiki rahasia yang menyelubungi tempat itu - dan yang
pasti, kita akan membebaskan Bu Thomas! Aku belum tahu caranya, tapi kita pasti


Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan membebaskannya. Ya kan, Tim?"
Bab 15 ADA APA, TIM"
Kemudian keempat anak itu makan malam Mereka duduk mengelilingi tungku yang
menyala, makan sambil berunding. Lama sekali mereka bercakap-cakap. Tindakan
apakah yang sebaiknya dilakukan" Memang gampang saja bagi George untuk
mengatakan bahwa mereka pasti akan mengadakan penyelidikan serta membebaskan Bu
Thomas - tapi pelaksanaannya bagaimana" Cara masuk ke gedung itu saja, mereka
tidak tahu! Dan sudah jelas, tidak ada yang mau berurusan dengan anjing galak
penjaga Menara Tua! "Coba jika Aily bisa membantu kita," keluh Julian. "Cuma dia satu-satunya
harapan kita! Kurasa percuma saja kita melapor pada polisi, karena toh tidak
akan dipercayai! Lagipula jarak dari sini ke desa di mana ada kantor polisi,
tidak bisa dibilang dekat."
"Aku heran, apa sebabnya penduduk desa tidak berbuat apa-apa tentang Menara
Tua," kata Dick dengan bingung. "Maksudku - getaran dan bunyi berisik yang tadi
malam, serta cahaya pendar di langit ketika ada kabut menyelubungi tempat
itu....." "Memang! Tapi kurasa kesemuanya itu lebih jelas terlihat dan terasa lagi di
sini, daripada dalam lembah," kata Anne. Anak itu kadang-kadang logis sekali
jalan pikirannya. "Mungkin saja getaran aneh kemarin itu tidak terasa di sana -
begitu pula dengan bunyi gemuruh, juga tak terdengar! Mungkin orang-orang di
bawah tidak melihat kabut aneh yang menyelubungi Menara Tua"
"Betul juga katamu," ujar Julian. "Tak terpikir olehku tadi kemungkinan itu. Ya,
kita di sini bisa lebih Jelas melihat dan mendengar segala-galanya! Dan kecuali
kita, kurasa gembala yang ada di sebelah atas kita juga! Lalu orang yang ada di
pertanian di bawah kita.... ya, pasti mereka juga melihat dan mendengarnya,
kalau mengingat sikap Morgan tadi terhadap kita! Jelas sekali dia tahu tentang
persoalan yang kita laporkan padanya."
"Dan ia juga bersekongkol dengan orang-orang yang menurut Aily ada di Menara
Tua. Orang kecil, dan orang besar, katanya. Wah - kepingin rasanya dia mau
menunjukkan jalan masuk ke tempat itu pada kita! Bagaimana caranya, ya"
Sebetulnya kan mustahil, karena tempat itu dikelilingi pagar tinggi, yang
dialiri arus listrik."
"Pagar yang menggigit!" kata George sambil tertawa.. "Terang saja anak itu
kaget, karena kena sengat listrik ketika menyentuhnya! Anak itu aneh sekali
hidupnya liar, seperti gelandangan saja!"
Moga-moga Ibunya tidak jadi memukul dia" kata Anne prihatin. "Aily memang nakal,
dan sering bolos. - tapi walau begitu, aku suka padanya. Masih ada orang yang
ingin makan keju" Kita Juga masih punya buah apel. Atau bisa juga kubuka buah
pir satu kaleng." "Buah pir sajalah," kata Julian. "Aku kepingin makan yang manis-manis! Wah -
tetirah kita ini ternyata ramai juga, ya?" '
"Entah kenapa, kita selalu terlibat dalam kesulitan," kata Anne, sambil pergi ke
lemari untuk mengambil buah pir dalam kaleng.
"Jangan bilang kesulitan dong, Anne," kata Dick. "Sebut petualangan, begitu!
Memang, ke mana saja kita pergi, selalu menjumpai petualang-petualangan. Ada
orang yang begitu, petualangan datang sendiri, tanpa dicari! Dan kita termasuk
orang semacam itu. Untung saja, jadi hidup ini tidak membosankan!"
Tiba-tiba Timmy menggonggong. Keempat anak itu kaget dibuatnya. Nah - ada lagi
sekarang" "Suruh Timmy ke luar," kata Dick. "Setelah mengalami kejadian yang serba aneh,
kurasa Timmy perlu kita suruh memeriksa siapa saja yang datang kemari malam-
malam!" "Baiklah," kata George, lalu pergi ke pintu. Baru saja ia hendak membukanya,
ketika terdengar seekor anjing menggonggong di luar. George tertegun.
"Timmy tidak boleh keluar, karena siapa tahu yang datang itu Morgan dengan
anjing-anjingnya! Kukenali gonggongan yang berat itu."
"Ada orang lewat," kata Anne agak takut. "Astaga - memang betul Morgan!"
Laki-laki itu lewat di luar, dekat jendela pondok. Anak-anak melihat bahunya
yang bidang, serta kepalanya yang tertunduk melawan angin, sementara ia berjalan
mendaki bukit. Morgan lewat tanpa menoleh sedikit pun ke arah pondok. Tapi
ketiga anjingnya menggonggong. Rupanya mengendus bahwa dalam pondok ada anjing
lain. Timmy langsung membalas gonggongan mereka.
Setelah itu keadaan sunyi kembali. Morgan sudah menghilang ke atas bukit bersama
anjing-anjingnya. "Huuh - untung saja Timmy tidak jadi kausuruh keluar tadi," ujar Dick. "Pasti
habis diserang ketiga anjing itu!"
"Mau ke mana orang itu?" kata Anne heran. "Aneh - dia pergi ke atas bukit ini,
dan bukannya menuju ke Menara Tua!"
"Mungkin hendak mendatangi gembala," kata Julian. "Dia kan ada di atas, dengan
biri-birinya. He - jangan-jangan Pak Gembala juga terlibat dalam urusan ini!"
"Ya ampun," kata Anne kaget. "mustahil! Pak Gembala itu orang baik-baik! Tak
bisa kubayangkan, dia ikut terlibat dalam komplotan penjahat!"
Semua sependapat dengan Anne. Semua suka pada Pak Gembala. Tapi untuk apa Morgan
pergi mendatanginya, malam-malam begini"
"Mungkin dia hendak memberi tahu Pak Gembla, bahwa kita perlu diawasi," kata
Julian, "karena dianggap kita mengetahui rahasia mereka. "
"Atau mungkin pula ia hendak mengadukan Aily, karena berkeliaran di pekarangan
Menara Tua," kata Dick. "Wah - jangan-jangan anak itu akan mengalami kesulitan,
karena kita memberi tahu Morgan tentang dia - serta menyerahkan kertas yang
ditemukan olehnya!" Anak-anak saling berpandang-pandangan. Semua merasa tidak enak. Anne
menganggukkan kepala dengan serius.
"Ya, pasti itu yang hendak dilakukan Morgan di atas," katanya. "Sekarang Aily
tentu akan kena marah" Kasihan Aily!"
Malam itu tidak ada yang ingin main kartu. Mereka bercakap-cakap, sambil sekali-
sekali memasang telinga. Mereka ingin tahu, kapan Morgan lewat lagi. Tapi kalau
ia muncul. Timmy sudah pasti akan mengetahuinya!
Sekitar pukul setengah sembilan, Timmy menggonggong.
"Pasti itu Morgan, yang kembali dari atas," kata Julian menduga. Semua memandang
ke jendela, menunggu lewatnya orang itu, Tapi mereka tidak melihat bahu yang
bidang, dan juga tak terdengar suara anjing menggonggong di luar.
Kemudian baru nampak oleh George, bahwa Timmy duduk dengan telinga meruncing ke
atas, sementara kepalanya agak dimiringkan, Kenapa anjing itu begitu" Seakan-
akan mendengar sesuatu! Tapi kenapa tidak menggonggong lagi" Aneh,
"Coba lihat si Timmy!" kata George. "Ia mendengar sesuatu di luar - tapi tidak
menggonggong! Kelihatannya juga tenang-tenang saja. Ada apa, Tim?"
Timmy tidak mengacuhkan tuannya, ia mendengarkan terus dengan seksama. dengan
kepala agak dimiringkan. Apakah yang didengar olehnya" Anak-anak mulai gelisah,
karena mereka tidak bisa mendengar apa-apa. Di luar sunyi senyap,
Tiba-tiba Timmy meloncat bangun, sambil menggonggong dengan gembira, ia lari ke
pintu, lalu menggaruk-garuk sambil mendengking-dengking. Ia menoleh ke arah
George, lalu menggonggong lagi. Seakan-akan hendak mengatakan, "Ayo, cepat -
buka pintu!" "Ada apa, Tim?" tanya Dick dengan heran. "Ada temanmu yang datang, barangkali"
Bagaimana kita buka pintu atau tidak, Ju?"
"Biar aku saja," kata Julian, lalu membuka pintu secelah. Timmy lari ke luar,
sambil menggonggong dan mendengking-dengking,
"Tidak ada siapa-siapa di luar," kata Julian. "He, Tim! Kenapa kau ribut-ribut"
Tolong ambilkan senter itu, Dick! Kususul anjing itu, untuk melihat ada apa
sebenarnya." Julian pergi ke luar, sambil menyorotkan cahaya senter ke segala arah untuk
mencari Timmy. Ternyata anjing itu ada di dekat kayu tempat menyimpan kaleng-
kaleng minyak. Julian tercengang melihat Timmy menggaruk-garuk peti itu.
"Cari apa di situ, Tim?" tanyanya. "Kan tidak ada apa-apa! Kalau tidak percaya,
kuangkat tutupnya, supaya kau bisa melihat sendiri. Anjing konyol!"
Julian mengangkat tutup peti. Maksudnya hendak membuktikan pada Timmy, bahwa di
situ tidak ada apa-apa kecuali kaleng minyak. Tapi detik berikutnya, Julian
melongo! Nyaris saja tutup peti terlepas dari tangannya. Di dalam tempat itu
ternyata ada seseorang. Aily!
"Aily!" seru Julian kaget. "Astaga -Aily- apa yang kaulakukan di sini?"
Aily mendongak memandangnya, dengan mata terkejap-kejap. Anak itu ketakutan.
Dipeluknya anak biri-biri serta anjing kecilnya. Tubuhnya gemetar. Nampak oleh
Julian bahwa anak itu menangis.
"Kasihan," katanya. "Yuk, masuk ke dalam pondok. Kau pasti akan merasa lebih
enak, jika tubuhmu sudah hangat."
Tapi Aily menggeleng. Dipeluknya kedua binatang kesayangannya dengan lebih erat.
Tapi Julian juga tidak mau mengalah. Ia tidak mau meninggalkan anak kecil itu
kedinginan di luar. Tanpa banyak bicara lagi, anak itu diangkatnya dengan kedua
binatang kesayangannya sekaligus! Aily berusaha membebaskan diri. Tapi Julian
lebih kuat. Dari dalam pondok terdengar George memanggil-manggil dengan nada tidak sabar.
"Ju! Julian! Timmy! Di mana kalian" Ada sesuatu di luar?"
"Ya," jawab Julian, "Kini akan kubawa masuk!"
Digendongnya Aily masuk ke dalam pondok, Ketiga anak yang ada di dalam,
memandang dengan mata melotot. Mereka tercengang. Lho - Aily ada di situ" Nampak
bahwa anak kecil itu menggigil kedinginan. Mukanya pucat pasi.
"Bawa dia ke dekat tungku," kata Anne, sambil mengelus-elus lengan Aily yang
kurus, "Kasihan!"
Julian hendak menurunkannya ke lantai. Tapi tidak bisa, karena Aily memeluknya
erat-erat. Rupanya ia merasa aman dalam gendongan Julian yang kuat dan baik
hati. Akhirnya Julian terpaksa duduk di kursi, sementara masih menggendong Aily.
Sedang anak biri-biri dan anjing kecil yang tadi ikut digendong, cepat-cepat
meloncat turun, lalu berkeliaran dalam kamar sambil mengendus-endus.
"Aku tadi menemukan dia dalam peti tempat menyimpan minyak - bersama anjing
serta biri-birinya," kata Julian menjelaskan, "Ketiganya meringkuk di situ,
berdesak-desak. Kurasa mereka masuk ke tempat itu untuk bersembunyi, dan
sekaligus berlindung terhadap hawa dingin di luar. Mungkin ia sudah pernah tidur
di situ sebelum ini, bersama kedua binatang itu. Kasihan - nampaknya ia sedih.
Sebaiknya kita beri makan saja dulu."
"Akan kubuatkan minuman coklat panas untuknya," kata Anne. "George, tolong
ambilkan roti, mentega dan keju dari lemari! Eh - apakah anjing dan biri-biri
itu tidak perlu diberi makan pula" Apa makanan anak biri-biri?"
"Susu," jawab Dick. "Tuangkan saja di piring, mungkin dia mau meminumnya dengan
cara begitu, Macam-macam saja kejadian di sini!"
Aily merasa nyaman dalam gendongan Julian. Ia meringkuk dalam pelukan anak laki-
laki itu, tidak ingat lagi pada perasaan takut, karena capek dan kedinginan!
Kasihan - apakah yang menyebabkan dia sampai bersembunyi dalam peti yang di luar
itu" "Rupanya ia tadi ikut pulang dengan ibunya," kata Julian, sambil memperhatikan
anjing kecil yang sedang bermain-main dengan Timmy. "Lalu mungkin dipukul serta
dikurung di salah satu tempat. Dan mungkin pula kemudian Morgan datang untuk
memarahi, serta meminta pada Ibunya agar anak itu jangan diizinkan lagi
pergi......" "Morgan!" ulang anak kecil yang digendong oleh Julian, ia terduduk, Matanya
nyalang, nampak sangat takut. Ia memandang berkeliling, seakan-akan mengira
laki-laki itu ada di situ.
"Morgan! Jangan, jangan!"
"Sudahlah." kata Julian menenangkan, "kami akan menjaga dirimu, Jangan khawatir,
Morgan takkan bisa berbuat apa-apa terhadapmu!"
"Nah - apa ku bilang tadi!" kata Julian pada saudara-saudaranya. "Ternyata
Morgan memang mencari anak ini, untuk memarahinya - dan begitu orang itu pergi
lagi, dia ini lantas minggat dari rumah dan bersembunyi di sini. Jahat sekali
orang itu! Kalau anak ini dibentak-bentak seperti ketika ia marah-marah pada
kami berdua tadi, bisa kubayangkan bahwa anak ini setengah mati ketakutan.
Kurasa Morgan takut bahwa Aily akan semakin banyak membeberkan rahasia - mungkin
bahkan menunjukkan jalan -masuk ke Menara Tua! Karena itu ia harus cepat-cepat
dikurung!" Saat itu Timmy menggonggong dengan tiba-tiba. Tapi kali ini tidak ramah.
"Mungkin itu Morgan, yang kembali dari atas," kata Anne kecut. "Cepat -
sembunyikan anak itu! Kalau tidak, ia pasti akan dibawa pergi lagi oleh Morgan!
Cepat - ke mana kita menyembunyikannya?"
Bab 16 AILY BERUBAH PIKIRAN
Secepat kilat Aily meloncat dari gendongan Julian, ketika mendengar bahwa yang
datang itu mungkin Morgan. Ia memandang berkeliling dengan gelisah, lalu lari ke
arah pembaringan. Dengan sekali lompat saja ia sudah berada di tempat tidur yang
paling atas. lalu menyelubungi dirinya dengan selimut. Ia meringkuk di situ,
tanpa bergerak sedikit pun. Anak biri-biri memandang ke atas dengan tercengang,
lalu mengembik. Kemudian ia menyusul naik ke atas tempat tidur. Binatang sekecil itu, ternyata
tinggi juga lompatannya. Ia meringkuk di tempat tidur teratas di samping Aily,
Tinggal Dave, anjing kecil itu sendirian di lantai. Ia mendengking-dengking
sedih. . "Astaga!" kata Dick kaget. "Kalian lihat loncatan-loncatan tadi" Bukan main -
sekali loncat, langsung naik ke tempat tidur teratas! Sudahlah, Tim - jangan
menggonggong terus. Nanti tak terdengar Morgan datang! He, Ju - di manakah harus
kita sembunyikan anjing kecil ini" Ia tidak boleh ketahuan ada di sini!"
Julian menjunjung Dave, lalu menaruhnya ke tempat tidur teratas, di mana Aily
dan anak biri-birinya sudah berada.
"Kurasa cuma di sini ia mau diam," kata Julian. "Jangan bergerak-gerak, Aily,
sampai kami memberi tahu bahwa keadaan sudah aman lagi!"
Anak kecil itu tidak menjawab. Juga tak terdengar suara mengembik atau
menggonggong. Tapi tiba-tiba Timmy menggonggong lagi lalu lari ke pintu.
"Lebih baik kukunci saja pintu," kata Julian. "Morgan serta anjing-anjingnya
tidak boleh sampai bisa masuk ke sini. Kurasa Morgan tahu bahwa Ally lari dari
rumah - atau mungkin juga anak itu sudah lari sewaktu dimarahi olehnya, lalu
Morgan mengira Ally pergi ke tempat ayahnya Pak Gembala! Dan Morgan harus
mencegah Aily. Jangan sampai anak itu membeberkan hal-hal yang diketahuinya!"
"Ah - jangan sampai anjing-anjing itu masuk kemari," kata George bingung.
"Kudengar gonggongan mereka di kejauhan!"
"Cepat! Kita pura-pura sedang main kartu," kata Dick, lalu. menyambar setumpuk
kartu yang terletak di atas rak. "Jadi jika Morgan nanti mengintip ke dalam, ia
akan mendapat kesan bahwa di sini biasa-biasa saja - sehingga tak mengira Ally
ada di sini." Keempat anak itu bergegas duduk mengelilingi meja. Dick membagi-bagikan kartu.
Tangan Anne gemetar, sehingga setiap kali ia memungut kartu, pasti terlepas
lagi. Dick menertawakan adiknya.
"Dasar kikuk," katanya. "Jangan takut - Morgan takkan menggigitmu! He - jika aku
nanti berseru, 'Nah!', itu artinya aku melihat Morgan mengintip di jendela.
Mengerti" Dan kita harus main, terus, seperti tidak ada apa-apa."
Dick berkata begitu, karena dialah yang duduk menghadap ke jendela. Sambil
bermain, diperhatikannya jendela dengan waspada. Sementara itu sudah tidak
terdengar lagi gonggongan anjing di luar. Tapi Timmy belum beranjak dari balik
pintu. Telinganya masih tetap ditegakkan, seperti mendengarkan sesuatu.
Anak-anak bermain remi. Kelihatannya asyik sekali. Silih berganti mereka
mengambil kartu yang terletak di meja. Kadang-kadang terjadi pertengkaran kecil,
karena salah seorang di antara mereka terlalu tergesa-gesa hendak mengambil.
"Nah!" seru Dick dengan tiba-tiba. Mendengar seruannya itu, anak-anak semakin
bersemangat main kartu. Tapi perhatian mereka sebetulnya sudah beralih, ke balik
jendela. Apakah yang dilihat Dick di situ"
Anak itu melihat bayang-bayang seseorang yang berdiri agak jauh dari jendela.
Orang itu memandang ke dalam. Kelihatannya seperti - ya, betul! Memang Morgan!
"Nah!" seru Dick sekali lagi, untuk memperingatkan saudara-saudaranya bahwa
orang itu masih di luar. "Nah!"
Sementara itu Morgan maju semakin dekat ke jendela. Rupanya ia mengira tak ada
yang melihat dirinya di situ. Ia menyangka keempat anak itu begitu asyik main
kartu, sehingga tidak memperhatikan apa-apa lagi selain permainan mereka. Morgan
memandang ke seluruh ruangan. Setelah itu mukanya lenyap dari balik jendela.
"Ia sudah pergi lagi," bisik Dick. "Tapi jangan berhenti main! Mungkin ia ke
pintu sekarang." Detik berikutnya terdengar pintu diketuk dari luar.
"Ya - betul," kata Dick dengan suara pelan. "Sekarang giliranmu, Julian."
"Siapa di luar?" seru Julian.
"Aku, Morgan! Buka pintu, aku mau masuk," kata Morgan dengan suaranya yang
berat. "Tidak bisa! Anjing kami ada di sini - nanti dia diserang anjing-anjingmu,"
jawab Julian. Ia sudah bertekat, tidak akan membukakan pintu.
Orang itu mencoba masuk - tapi pintu sudah dikunci dari dalam. Morgan
menggerutu. "Maaf, kami tidak berani membukanya," seru Julian lagi dari dalam. "Nanti Anda


Lima Sekawan 17 Rahasia Logam Ajaib di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digigit anjing kami. Dengarlah- ia sudah menggeram-geram!"
"Ayo menggonggong, Tim!" bisik George pada anjingnya. Dan anjing itu menurut. Ia
menggonggong keras-keras, sehingga telinga anak-anak terasa seperti tuli
dibuatnya! Akhirnya Morgan mengalah.
"Jika kalian berjumpa dengan Aily, suruh dia pulang," katanya. "Anak itu minggat
lagi, dan sekarang Ibunya merasa cemas. Sedari tadi aku berkeliaran mencarinya."
"Baiklah," kata Julian. "Jika dia kemari akan kami suruh menginap di sini."
"Jangan! Suruh dia pulang!" bentak Morgan. "Jangan, ingat kataku sewaktu di
lumbung tadi - agar kita semua tidak mengalami kesulitan!"
"Kita semua" Hahh!" kata Dick menggumam. "Dia dan kawan-kawannya yang akan
mengalami kesulitan, apabila rahasia mereka sampai terbongkar. Dasar Jahat! Dia
sudah pergi, Tim?" Timmy pergi dari pintu, lalu berbaring kembali di lantai. Ia menggonggong
sekali, seolah-olah mengatakan. "Aman!" Ia bersikap tak peduli, ketika terdengar
anjing-anjing tadi menggonggong di kejauhan.
"Rupanya mereka sudah kembali ke bawah, bersama Morgan," kata George lega.
"Sekarang Aily bisa turun untuk makan!"
George menghampiri tempat tidur bertingkat.
"Aily!" panggilnya. "Morgan sudah pergi lagi. Yuk, turun, dan makan dulu! Anak
biri-birimu akan kita beri susu, sedang Dave mendapat daging serta biskuit!"
Nampak kepala Aily muncul di tepi tempat tidur teratas. Dengan hati-hati ia
mengintip sebentar. Setelah itu dengan satu loncatan saja ia sudah berada di
bawah. Anak biri-birinya menyusul turun. Enak saja binatang itu meloncat, jatuh
pada keempat kakinya. Sedang Dave terpaksa dibantu, karena tidak berani!
Anak-anak memandang dengan geli, ketika Aily langsung lari menghampiri Julian,
sambil mengembangkan lengan minta digendong. Rupanya ia merasa aman dekat remaja
itu. Julian kemudian memangku anak itu, yang merapatkan diri padanya.
Sementara itu George sibuk menaruh roti, mentega dan keju di atas meja di depan
Aily. Sedang Anne mengambilkan susu untuk anak biri-biri, yang segera minum
dengan lahap. Susu berceceran di tepi piring. Dave, anjing kecil itu mula-mula
juga ingin minum susu. Tapi kemudian pindah ke piring berisi daging dan biskuit
yang diletakkan oleh Anne di lantai untuknya.
"Nah - sekarang keluarga Aily sudah makan," kata Anne. "Julian - jangan
perbolehkan Aily makan selahap itu - nanti dia sakit perut! Wah, belum pernah
kulihat anak makan secepat dia. Lapar sekali kelihatannya! Mungkin belum makan
lagi sejak tadi siang, ketika kita memberinya keju."
Selesai makan, Aily merebahkan diri kembali ke dada Julian, sambil mendongak
Sepasang Taji Iblis 1 Mustika Lidah Naga 6 Pertemuan Di Kotaraja 7
^