Pencarian

Sarjana Misterius 2

Lima Sekawan Sarjana Misterius Bagian 2


sudah khawatir saja, malam ini kita akan terpaksa tidur di atas tumpukan
jerami!" "Kalau aku sih tidak berkeberatan," kata George. "Aku senang berbaring di atas
jerami." "Kita nyalakan saja api sekarang, lalu memasak sesuatu," kata Julian. "Perutku
terasa lapar, setelah ribut-ribut tadi."
"Kalau aku, tak berselera," kata Anne. "Tidak enak rasanya mengetahui bahwa
orang-orang itu tidak mau bersahabat dengan kita. Itu kan konyol! Kita tidak
biasa begitu." "Betul - tapi mereka itu memang agak kekanak-kanakan," kata Julian. "Jika ada
orang berbuat jahat pada mereka, mereka lantas merajuk, dan menunggu kesempatan
membalas! Dan jangan lupa, mereka juga baru saja diadukan orang pada polisi -
entah dengan alasan apa! Jadi saat ini bisa kubayangkan mereka lekas sekali
tersinggung." "Sayang," kata George, sambil memperhatikan Dick menyalakan api unggun dengan
cekatan. "Padahal aku sudah berharap akan bisa bersenang-senang dengan mereka. O
ya - apakah petani yang memiliki lapangan ini tidak akan merasa keberatan bahwa
kita berkemah di sini?"
"Astaga! Sama sekali tak terpikir olehku hal itu," kata Julian. "Mungkin saja
lapangan ini bukan tempat berkemah. Mudah-mudahan besok tak ada petani yang
muncul, lalu berteriak-teriak mengusir kita!"
"Dan payahnya, kini kita jauh dari sungai," kata Anne. "Padahal kita memerlukan
air untuk mencuci." "Yah - terpaksa malam ini kita tidak mencuci," kata Dick tegas. "Aku tak ingin
ujung rambutku dibabat dengan cemeti oleh Buffalo, atau diikat kakiku oleh si
ahli tali, atau dikejar-kejar ular. Kurasa orang-orang pasar malam itu sudah
menunggu-nunggu kita mengambil air. Ah, benar-benar konyol keadaan seperti
begini!" Anak-anak lantas makan, tanpa banyak berbicara. Tahu-tahu keadaan menjadi rumit
bagi mereka. Mereka tidak bisa mengadu pada polisi karena persoalan yang begitu
sepele. Mereka memang juga tak berniat melakukannya. Tapi jika kemudian mereka
diusir oleh petani yang memiliki lapangan itu, bagaimana mereka bisa kembali ke
tempat semula" Siapa mau berkemah, dikelilingi orang-orang yang membenci mereka!
"Kita tidur saja dulu," kata Julian kemudian, ia lantas menyambung dengan
mengatakan pada Anne dan George. "Kalian tidak perlu khawatir, kita pasti akan
berhasil menemukan jalan untuk mengatasi kesulitan ini. Kita kan jago tentang
soal-soal begitu. Kita pantang menyerah!"
Anak-anak lantas menjadi agak bersemangat lagi.
"Yuk, kita masuk saja sekarang," kata Julian lagi sambil menguap. "Aku capek,
setelah berjalan jauh tadi. Aku ingin berbaring sambil membaca-baca."
Semua setuju dengan idenya itu. Mereka lantas membenahi bekas makan malam, lalu
masuk ke karavan masing-masing.
"Mudah-mudahan saja liburan kali ini tidak menjadi kacau," kata Anne, sewaktu
naik ke pembaringannya. George cuma mendengus saja.
"Kacau" Huhh! Kita lihat saja nanti! Aku punya firasat, kita bahkan akan
mengalami petualangan yang sangat menarik!"
Bab 9 KENALAN LAMA Kelihatannya ramalan George mengenai petualangan, terbukti
keesokan paginya. Sebelum Dick dan Julian bangun, pintu karavan mereka sudah
digedor orang dari luar. Julian kaget sekali, ketika tiba-tiba muncul muka seseorang di balik jendela.
Muka orang itu merah padam.
"Siapa yang mengizinkan kalian berkemah di sini?" bentak orang itu. Tanpa sempat
berganti pakaian dulu, Julian pergi ke pintu.
"Andakah pemilik lapangan ini?" tanyanya dengan sopan. "Kami mula-mulanya
berkemah di lapangan sebelah, lalu...."
"Lapangan itu memang disediakan untuk berkemah," kata orang itu, yang kalau
menilik pakaiannya adalah seorang petani. "Tapi yang ini tidak!"
"Seperti hendak kukatakan tadi, mulanya kami di lapangan sebelah," kata Julian
mengulangi. "Tapi entah kenapa, orang-orang pasar malam yang juga ada di situ
tidak menyukai kami. Lalu ketika kami sedang pergi, mereka memindahkan kedua
karavan kami kemari! Karena kami tak punya kuda untuk menghela, maka kami lantas
terpaksa tinggal saja di sini."
"Tapi pokoknya kalian tidak bisa tetap di sini," kata petani itu. "Lapangan ini
kusediakan khusus untuk tempat sapi-sapiku! Kalian harus pergi hari ini juga.
Kalau tidak, akan kuseret kedua karavan kalian ke jalan."
"Ya, tapi...." Julian masih berusaha membela diri, tapi ia tidak bisa
meneruskan. Petani itu sudah pergi, tanpa mengacuhkannya lagi. Sementara itu
jendela karavan yang satu lagi terbuka, dan terdengar kedua anak perempuan
memanggil Julian. "Kami mendengar kata-kata petani itu tadi," kata mereka. "Jahat benar dia! Apa
yang harus kita lakukan sekarang?"
"Sekarang kita akan sarapan dulu," kata Julian. "Setelah itu akan kuberikan
kesempatan satu kali lagi pada orang-orang pasar malam itu! Mereka harus
meminjami dua ekor kuda pada kita, yaitu kuda-kuda yang mereka pergunakan
kemarin malam untuk menarik karavan kita ke sini! Dengannya kita akan kembali ke
tempat semula. Tapi kalau mereka tak mau meminjamkan - yah, aku akan terpaksa
minta pertolongan pada polisi!"
"Aduh," keluh Anne, "aku paling tidak suka pada hal-hal seperti begini! Padahal
sebelum orang-orang pasar malam datang, kita enak sekali di sini. Tapi nampaknya
tak mungkin mengajak mereka supaya bersahabat dengan kita."
"Memang," kata Julian. "Aku sendiri pun sekarang sangsi, apakah aku masih ingin
bersikap ramah. Aku cenderung untuk pulang saja, daripada terus-terusan
dirongrong! Nanti setelah sarapan, aku bersama Dick akan mendatangi mereka
lagi." Kemudian anak-anak sarapan. Suasana saat itu suram, persis seperti pada waktu
makan malam sebelumnya. Julian tidak banyak bicara, ia sibuk memikirkan cara
sebaiknya untuk menghubungi orang-orang yang ada di lapangan sebelah.
"Kalian harus membawa Timmy," kata George. Anak-anak semua sependapat dengannya.
Pukul setengah sembilan, Julian dan Dick pergi ke sebelah bersama Timmy. Di sana
orang-orang pasar malam sudah pada bangun semua. Asap api unggun mereka mengepul
ke udara. Julian berpendapat sebaiknya mereka mendatangi artis penelan api saja. Karenanya
kedua anak itu lantas mendatangi karavannya. Orang-orang lain melihat mereka
datang, dan satu demi satu mereka meninggalkan api unggun masing-masing dan
mengelilingi Julian beserta adiknya. Timmy langsung menggeram, serta menyeringai
menampakkan taringnya yang runcing-runcing.
"Selamat pagi Pak," kata Julian menyapa Pak Alfredo, artis penelan api. "Pak,
petani yang memiliki lapangan sebelah mengusir kami pergi dari sana. Jadi kami
harus kembali kemari. Kami ingin meminjam dua ekor kuda untuk menghela karavan-
karavan kami." Orang-orang pasar malam yang mendengarkan, tertawa terkekeh-kekeh. Pak Alfredo
menjawab dengan sopan, sambil tersenyum lebar, "Wah, sayang - kami tidak
menyewakan kuda." "Aku bukan hendak menyewa," kata Julian sabar. "Terserah pada
Anda, apakah mau meminjamkan atau tidak. Tapi kalau Anda tidak mau - yah, aku
akan terpaksa meminta pertolongan pada polisi. Soalnya, karavan-karavan itu
bukan kepunyaan kami."
Orang-orang yang berkumpul terdengar menggumam marah. Timmy menggeram, lebih
nyaring lagi. Begitu mendengar suaranya, beberapa orang pasar malam itu buru-
buru mundur selangkah. TARR!! Julian berpaling dengan cepat. Orang-orang berpencaran. Tahu-tahu Dick dan
Julian sudah berhadap-hadapan dengan Buffalo! Orang itu mengayun-ayunkan
cemetinya, sambil tertawa menyeringai.
TARR! " Julian kaget setengah mati! Beberapa lembar rambut melayang dari ubung-ubunnya -
terpotong oleh ujung cemeti yang menyambar.
Orang-orang tertawa terbahak-bahak. Timmy menyeringai, memamerkan taring.
Dick memegang kalung leher anjing itu.
"Kalau kau melakukannya sekali lagi, akan kulepaskan anjing ini!" serunya
memperingatkan. Julian berdiri seperti terpaku di tempatnya, ia bingung, tak tahu apa yang harus
dilakukan saat itu. Ia tidak mau pergi begitu saja, diiringi sorak-sorai
mengejek, ia marah sekali, sehingga tak mampu mengatakan apa-apa.
Tiba-tiba terjadi sesuatu yang tak disangka-sangka. Sesosok tubuh kecil kelaki-
lakian datang berlari-lari dari arah kaki bukit yang landai itu. Anak itu mirip
dengan George: berambut ikal dipotong pendek, muka penuh bintik-bintik. Tapi ia
memakai rok berwarna kelabu. Dan tidak bercelana pendek, seperti George.
Anak itu bergegas datang sambil berteriak memanggil-manggil. "Dick! Dick! He -
Dick!" Dick berpaling. Sesaat ia cuma bisa melongo saja.
"Loh! Itu kan Jo! Jo! Anak gelandangan yang pernah mengalami petualangan seru
bersama kita. Itu Jo, Julian!"
Memang tak ada kesangsian lagi, anak yang bergegas-gegas datang itu Jo. Ia lari
menghampiri dengan wajah berseri-seri karena gembira, lalu langsung merangkul
Dick. Jo memang paling senang pada Dick.
"Dick! Aku tak tahu kau ada di sini! Dan Julian - kedua saudara kalian juga ada
di sini" Dan ini Timmy - Timmy yang manis! Kalian sedang berkemah di sini, Dick"
Wah, kalau begitu senang dong!"
Jo sudah hendak merangkul Dick lagi, tapi Dick cepat-cepat mencegahnya.
"Kau ini datang dari mana, Jo?"
"Begini," kata Jo menjelaskan, "Aku juga sedang libur, seperti kalian. Aku
lantas bermaksud hendak mengunjungi kalian di Pondok Kirrin. Dan kemarin aku ke
sana. Tapi ternyata kalian semua tidak ada. Melancong!"
"Lalu," kata Dick, ketika Jo berhenti sebentar.
"Aku sedang langsung pulang lagi ke rumah," kata Jo. "Lalu aku bermaksud
mengunjungi pamanku, saudara ibuku. Aku tahu saat ini ia sedang berkemah di
sini. Karena itu kemarin juga aku berangkat ke mari sambil membonceng kendaraan
yang lewat. Aku tiba tengah malam di sini."
"Astaga," kata Julian. "Lalu pamanmu itu siapa?"
"Belum tahu ya?" kata Jo. "Itu dia - Alfredo, Penelan Api! Wah, Dick! Julian!
Bolehkah aku menggabungkan diri, selama kalian ada di sini" Boleh ya" Ya" Kalian
kan belum lupa padaku?"
"Tentu saja belum," kata Dick. Mana mungkin bisa melupakan anak liar yang bandel
tapi sangat baik hati itu.
Kemudian barulah Jo menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Julian
dan Dick dikepung orang-orang pasar malam" Jo memandang berkeliling. Saat itu
juga ia merasa bahwa orang-orang itu bersikap tidak ramah terhadap kedua
temannya - walau saat itu tampang mereka menunjukkan keheranan yang luar biasa.
Dari mana Jo mengenal anak-anak ini" pikir mereka. Dan kenapa sikapnya begitu
ramah" Orang-orang itu bingung bercampur curiga.
"Mana Paman Alfredo?" tanya Jo sambil mencari-cari. "Ah, di situ rupanya! Paman,
mereka ini sahabat karibku - begitu pula kedua anak perempuan saudara mereka.
Mungkin keduanya juga ada di sini. Akan kuceritakan bagaimana baiknya mereka ini
padaku! Akan kuceritakan pada semua orang!"
Julian merasa agak kikuk, karena tidak enak kalau nanti dipuji-puji.
"Berceritalah pada mereka, Jo," katanya. "Sementara itu aku kembali ke George
dan Anne, untuk menyampaikan kabar ini. Pasti mereka akan kaget mendengar kau
ada di sini - dan Pak Alfredo itu pamanmu!"
Kemudian ia berpaling hendak pergi, diikuti oleh Dick dan Timmy. Orang banyak
menepi sedikit, membiarkan keduanya lewat. Setelah itu berkerumun lagi
mengelilingi Jo. Anak perempuan itu mulai bercerita dengan bersemangat. Suaranya
yang melengking tinggi, terdengar sampai ke ujung lapangan.
"Wah, wah!" kata Dick, sementara mereka menyusup lewat celah di tengah pagar.
"Luar biasa! Aku tadi nyaris tak bisa percaya, ketika Jo tahu-tahu muncul.
Sekarang mudah-mudahan saja George tidak lantas merajuk. Anak itu agak iri
melihat Jo bisa segala macam."
George dan Anne memang tercengang mendengar kabar itu. George kelihatannya tidak
begitu senang, ia lebih suka mengenal Jo dari kejauhan saja. Ia suka pada anak
itu, dan juga mengaguminya - tapi tidak mau mengakuinya berterus-te-rang. Jo
terlalu mirip dengan dirinya sendiri, sehingga George merasa tidak bisa terlalu
ramah padanya! "Bayangkan - Jo ada di sini!" kata Anne sambil tersenyum senang. "Wah, Julian -
untung saja ia muncul tadi. Aku ngeri mendengar ceritamu, tentang perbuatan
Buffalo menyerang dengan cemeti. Bisa botak kepalamu dibuatnya!"
"Ah, cuma beberapa lembar saja yang tercabut," kata Julian. "Tapi walau begitu,
aku toh kaget sekali! Kurasa orang-orang itu juga sangat kaget ketika Jo tiba-
tiba muncul sambil berlari-lari dan berteriak-teriak, lalu langsung merangkul
Dick! Nyaris saja Dick terpental jatuh."
"Ah, anak itu sebenarnya baik," kata Dick, "tapi kalau melakukan sesuatu, tak
pernah berpikir dulu. Aku ingin tahu, apakah orang yang memungutnya sebagai anak tahu bahwa Jo pergi.
Aku takkan heran, jika anak itu menghilang dengan begitu saja."
"Ya, kayak kedua sarjana itu," kata Julian sambil nyengir. "Wah, aku masih tetap
bingung sampai sekarang. Sama sekali tak kusangka tadi, bahwa Jo tahu-tahu ada
di sini!" "Kalau dipikir-pikir, sebetulnya tidak begitu aneh," kata Anne. "Ingat, ayahnya
kan termasuk kaum pengembara. Ya kan" Dan Jo bercerita sendiri, ibunya semasa
hidup menjadi artis sirkus, ia dulu mengadakan pertunjukan dengan anjing-anjing
yang terlatih. Ya kan, Julian" Nah - jadi kan wajar jika Jo ada hubungan
persaudaraan dengan orang-orang pasar malam. Tapi bayangkan, punya paman artis
penelan api!" "Ah ya, betul juga katamu," kata Julian. "Aku lupa, ibu Jo dulu juga orang
sirkus. Kurasa anak itu punya saudara di mana-mana. Aku ingin tahu, apa
ceritanya tentang kita pada orang-orang pasar malam!"
"Satu sudah pasti - Dick tentu dipuji-pujinya setengah mati," kata George. "Anak
itu memang senang sekali pada Dick. Barangkali orang-orang itu sekarang tidak
akan bersikap memusuhi lagi, jika mereka tahu bahwa Jo senang pada kita."
"Yah - tapi saat ini kita benar-benar repot," kata Dick. "Kita tidak bisa
tinggal terus di lapangan ini, karena pasti akan diuber-uber petani tadi. Sedang
orang-orang pasar malam tidak mau meminjamkan kuda-kuda mereka! Dan tanpa kuda
penghela, kita tidak bisa meninggalkan lapangan ini!"
"Kita kan bisa menanyakan pada petani itu, apakah ia mau meminjamkan kuda-
kudanya," saran Anne.
"Tapi kita pasti disuruhnya membayar sewa," kata Julian. "Aku tak mau membayar
sewa, karena bukan salah kita kedua karavan ini dipindahkan kemari!"
"Tempat ini tidak enak," kata Anne. "Aku tak mau lebih lama lagi di sini, karena
sama sekali tidak menyenangkan. Yuk, kita pulang saja!"
"Jangan lekas menyerah," kata Dick membesarkan hati adiknya. Timmy menggonggong,
tanda setuju. "He - itu ada yang datang lewat celah pagar yang di bawah," kata George sambil
menuding ke kaki lereng. "He! Itu kan Jo!"
"Ya, betul - astaga, ia menuntun dua ekor kuda!" seru Dick gembira. "Dasar si Jo
- dia membawa kuda-kuda Pak Alfredo!"
Bab 10 KEMBALI LAGI Keempat anak itu berlari-lari menyongsong Jo. Timmy tentu
saja tidak mau ketinggalan. Dan Jo berjalan terus menuntun kuda, dengan wajah
berseri-seri. "Hai Anne! Halo George! Ini baru kejutan! Senang rasanya bertemu lagi dengan
kalian!" "Jo!" kata Dick sambil mengambil alih tali kendali seekor kuda. "Bagaimana kau
bisa memperoleh kuda-kuda ini?"
"Gampang saja," jawab Jo sambil nyengir. "Aku tadi menjerit-jerit mengomeli
Paman Alfredo, lalu istrinya - jadi Bibi Anita ikut marah-marah! Setelah itu
setiap orang kami omeli!"
"Wah, pasti ramai kalian adu menjerit tadi," kata Julian. "Dan sebagai hasilnya
kemauanmu dituruti, dan kau dipinjami kuda untuk menghela karavan kami ke sana
lagi, Jo?" "Ya, ketika Bibi Anita menceritakan padaku bahwa orang-orang itu memindahkan
kedua karavan kalian ke lapangan sebelah, aku lantas marah-marah," kata Jo.
"Kukatakan - ah, lebih baik tak kuceritakan saja. Pokoknya, aku tadi kasar
sekali!" "Itu bisa kubayangkan," kata Dick. Ia masih ingat, lidah Jo memang tidak kenal
pilih perkataan kalau sedang marah.
"Lalu kuceritakan bagaimana kejadiannya sampai ayahku dipenjarakan, lalu kalian
membantuku menemukan orang yang baik hati dan mau memeliharaku di rumahnya,"
kata Jo melanjutkan ceritanya. "Mereka lantas menyesal telah memperlakukan
kalian dengan kasar. Setelah itu kukatakan pada Paman Alfredo, aku akan
mengambil kedua ekor kudanya untuk menghela karavan kalian kembali ke lapangan
sana." "0, begitu," kata Julian, "dan mereka membiarkan saja?"
"Tentu saja," kata Jo seenaknya. "Yuk, kita pasangkan kedua kuda ini ke karavan


Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian, dan cepat-cepat pindah. He - itukah petani yang memiliki lapangan ini"
Lihatlah - ia datang kemari!"
Petani itu memang datang. Tampangnya galak sekali. Dick dan Julian buru-buru
memasang kedua kuda ke karavan mereka. Sementara itu petani sudah sampai di
tempat itu. "Jadi akhirnya kalian berhasil juga mencari kuda," katanya. "Itu sudah kusangka
tadi. Seenaknya saja ngomong, mengaku tak bisa pindah, karena tidak ada kuda!"
Timmy menggeram sebagai jawaban. Tapi cuma dia saja yang menjawab. Anak-anak
diam saja. "Hiahh!" seru Jo, sambil menarik tali kendali kuda yang menghela karavan anak-
anak perempuan. "Ayo jalan! Hiahh!"
Kuda mulai melangkah. Jo sengaja mengendalikannya sehingga nyaris menubruk
petani. Orang itu buru-buru meloncat mundur, sambil menggeram. Timmy tidak mau
kalah gertak, ia menggeram kembali dengan galak, sehingga petani itu cepat-cepat
mundur. Anak-anak menuntun kedua ekor kuda yang menarik karavan, kembali ke lapangan
sebelah. Akhirnya sampai di pojok, tempat perkemahan semula.
Tali-tali penghela dilepaskan oleh Julian. Seekor kuda diserahkan tali
kendalinya pada Dick. "Kita sendiri yang memulangkan," kata Julian pada adiknya itu. Mereka lantas
menuntun kedua ekor kuda, menghampiri Pak Alfredo. Orang itu sedang sibuk
menggantung pakaian ke tali jemuran. Mulutnya penuh dengan jepit pakaian.
Pekerjaan itu tidak cocok dilakukan artis penelan api yang gagah berani. Tapi
Pak Alfredo kelihatannya tak peduli cocok atau tidak.
"Pak Alfredo," sapa Julian sesopan mungkin, "terima kasih karena dipinjami kedua
ekor kuda ini. Apakah kami harus menambatkannya ke salah satu tonggak, atau
lebih baik dilepaskan saja lagi?"
Alfredo berpaling menatap mereka. Dikeluarkannya beberapa buah jepit yang
terselip di bibirnya, ia kelihatan agak kikuk.
"Lepaskan saja," katanya, ia ragu-ragu sebentar, sebelum meneruskan, "Kami tidak
tahu, kalian kawan keponakanku, ia tadi menceritakan segala-galanya tentang
kalian. Kenapa tidak bilang bahwa kalian kenal dengan dia?"
"Mana mungkin mereka menceritakannya, jika tidak tahu Jo itu keponakanmu?" seru
Bu Alfredo, yang berdiri di ambang pintu karavan. "Fredo, Fredo! Dasar tak punya
otak! Kalau ada pun, otak udang! Hahhh! Nah - sekarang blusku yang paling bagus
kaujatuhkan ke tanah!"
Bu Alfredo cepat-cepat lari menghampiri. Pak Alfredo sudah ketakutan saja
melihatnya. Tapi untung sekali itu istrinya tidak datang sambil mengayun-ayunkan
panci. Setelah dekat, Bu Alfredo menatap Dick dan Julian yang memperhatikan
dengan geli. "Alfredo menyesal karena memindahkan karavan kalian," katanya. "Ya kan, Fredo?"
"Loh! Kan kau yang...." kata Alfredo hendak membantah, sementara matanya
terbelalak keheranan. Tapi ia tidak diberi kesempatan menyelesaikan kalimatnya.
Istrinya yang kecil mungil menyikutnya dengan keras, lalu cepat-cepat berbicara
lagi. Bicaranya cepat sekali, seperti sungai sedang banjir.
"Jangan dengarkan lelaki jahat ini! Dia tidak punya otak. Bisanya cuma menelan
api! Apa gunanya, menelan api" Kalau Jo - nah, anak itu punya otak! Kalian pasti
senang sekarang, karena sudah kembali ke tempat semula."
"Kami pasti lebih senang lagi, jika Anda semua sudah ramah sejak semula," kata
Julian. "Sekarang rasanya segan berkemah lebih lama di sini. Mungkin besok kami
akan pergi lagi dari sini!"
"Nah! Itulah, Fredo - kaudengar sendiri, itu kan akibat perbuatanmu! Kau yang
mengusir anak-anak ini!" seru Bu Alfredo. "Mereka kenal sopan santun - lain sama
sekali dengan dirimu! Kau perlu belajar kesopanan dari mereka, Fredo, kau
harus...." Pak Alfredo membuka mulut, maksudnya hendak membantah. Tapi tiba-tiba istrinya
menjerit, lalu lari masuk ke karavan.
"Ada barang terbakar! Ada yang terbakar!" jerit wanita itu.
Anak-anak melongo, ketika tiba-tiba melihat Pak Alfredo tertawa terbahak-bahak.
"Hahh!" serunya sambil tertawa terus. "Aksinya mau membikin kue, tapi akhirnya
terbakar hangus. Aduh, dia memang tak punya otak! Otak udang - huhh!" Dan Pak
Alfredo tertawa lagi. Julian berpaling hendak pergi, bersama Dick. Pak Alfredo menyapa mereka dengan
suara pelan. "Kini kalian bisa tetap di lapangan ini," katanya. "Kalian kawan Jo. Itu sudah
cukup bagi kami." "Mungkin," jawab Julian. "Tapi bagi kami, tidak! Besok kami akan pergi dari
sini." Kedua anak itu kembali ke karavan mereka. Di sana Jo sedang duduk-duduk di
rumput bersama George dan Anne. Jo asyik bercerita tentang kehidupannya bersama
keluarga angkatnya yang baik hati.
"Tapi sayangnya, mereka tak mengizinkan aku memakai celana pendek, dan bertindak
kayak anak laki-laki," katanya mengakhiri cerita dengan sedih. "Karena itulah
aku sekarang memakai rok. Pinjami aku celana pendek, ya George?"
"Tidak bisa," jawab George tegas. Tanpa memakai celana pendek pun, Jo sudah
terlalu mirip dengannya! "Jadi rupanya kau sudah berubah sekarang, Jo. Sudah
bisa membaca dan menulis?"
"Lumayanlah," jawab Jo singkat, lalu membuang muka. Baginya belajar sulit
sekali. Sebelumnya ia tak pernah bersekolah, ketika masih hidup gelandangan
bersama ayahnya. Kemudian ia memandang anak-anak lagi dengan mata berkilat-
kilat. "Bolehkah aku menggabungkan diri dengan kalian di sini?" tanyanya. "Ibu
angkatku pasti akan mengizinkan aku di sini - jika ia tahu aku bersama kalian."
"Jadi kau tak mengatakan padanya bahwa kau hendak kemari?" tanya Dick.
"Perbuatanmu itu tidak baik, Jo. Kan kasihan dia, pasti mencari-cari sekarang."
"Aduh, tak terpikir hal itu olehku," kata Jo menyesal. "Tolong tuliskan surat
padanya, Dick." "Tulis sendiri," kata George dengan segera. "Katamu, kau bisa menulis."
Jo tak mengacuhkan sindiran George.
"Bolehkah aku tinggal bersama kalian?" tanyanya lagi. "Aku tak perlu tidur dalam
karavan, di bawah kolong nya pun bisa. Aku memang selalu tidur di luar, jika
cuaca sedang bagus - maksudku ketika masih tinggal dalam karavan bersama ayahku.
Buatku sekarang menjadi selingan enak, tidak tidur dalam rumah! Banyak yang
kusukai dalam rumah, meski dulunya kukira akan pasti takkan senang! Tapi perkara
tidur, aku masih tetap paling senang tidur di luar."
"Yah - kau bisa saja tinggal bersama kami, kalau kami tetap berada di sini,"
kata Julian. "Tapi terus terang saja aku sudah agak malas sekarang, karena
diperlakukan dengan tidak ramah oleh semua orang di sini!"
"Nanti akan kusuruh mereka ramah pada kalian," kata Jo. Dengan segera anak itu
berdiri, seolah-olah hendak langsung memaksa orang pasar malam bersikap ramah
pada saat itu juga! Dick menariknya, menyuruh duduk kembali.
"Jangan!" katanya. "Kami akan berada di sini semalam lagi, lalu besok mengambil
keputusan. Bagaimana pendapatmu, Julian?"
"Setuju!" kata Julian, lalu melirik arlojinya. "Yuk, kita makan es krim untuk
merayakan kedatangan Jo. Dan Anne - kau serta George kan masih harus belanja
juga?" "Betul," jawab Anne sambil pergi mengambil keranjang belanja. Kemudian mereka
berbondong-bondong menuruni bukit, bersama Timmy. Ketika mereka lewat dekat
pawang ular, orang itu menyapa dengan ramah,
"Selamat pagi! Cuaca baik hari ini, ya?"
Anak-anak kaget mendengarnya, karena sebelumnya mereka selalu disambut dengan
masam. Anne tersenyum ramah, tapi George dan kedua saudara sepupunya yang laki-
laki diam saja. Mereka cuma menganggukkan kepala sambil lewat. Ketiga-tiganya
tidak begitu cepat bisa memaafkan, seperti Anne yang memang sangat baik hati!
Setelah itu mereka berpapasan dengan manusia karet, yang baru kembali dari
mengambil air di sungai. Di belakangnya berjalan ahli sulap dengan tali. Kedua
orang itu mengangguk ke arah anak-anak. Pak Karet yang selalu bertampang sedih,
saat itu bahkan tersenyum sekilas!
Kemudian mereka melihat Buffalo, yang sedang berlatih dengan cemetinya. Melihat
anak-anak lewat, ia segera berhenti berlatih dan datang menghampiri.
"Kalau kau ingin mencoba bermain dengan cemetiku, datang saja kapan kau mau,"
katanya menawarkan pada Julian.
"Terima kasih," jawab Julian dengan sikap sopan tapi kaku. "Mungkin besok kami
akan pergi dari sini."
"Tenang sajalah," kata Buffalo, karena merasa dirinya dianggap sepi.
"Bagaimana bisa tenang, kalau rambutku kaucabuti," kata Julian menukas dengan
segera. Tangannya mengusap-usap ubun-ubunnya, di mana ada beberapa lembar rambut
berdiri bekas dibabat oleh Buffalo. Buffalo tertawa keras-keras, lalu berhenti
lagi dengan tiba-tiba. Ia takut menyinggung perasaan Julian. Tapi Julian malah
nyengir, ia sebenarnya menyukai Buffalo yang berambut ikal gondrong dan gaya
bicaranya seperti malas-malasan.
"Kalian tinggal saja di sini bersama kami," katanya. "Nanti kupinjami cemeti
sebuah." "Tapi barangkali kami akan sudah pergi besok," kata Julian sekali lagi. Ia
mengangguk ke arah Buffalo, lalu meneruskan langkah.
"Aku mulai merasa ingin tinggal sekarang," kata George. "Lain rasanya jika semua
bersikap ramah." "Tapi kita toh berangkat," kata Julian ketus. "Aku sudah membulatkan tekad
sekarang! Kita cuma menunggu sampai besok. Setelah itu kita berangkat. Ini
bagiku merupakan urusan - yah, harga diri! Mungkin kau dan Anne tidak begitu
mengerti perasaanku."
Memang keduanya tidak mengerti. Tapi Dick bisa merasakannya, dan ia pun setuju
dengan sikap Julian. Anak-anak berjalan terus sampai di desa. Di sana mereka
masuk ke toko penjual es krim.
Sehari itu mereka asyik bersenang-senang. Mereka makan siang sambil duduk-duduk
di rumput dekat karavan. Tanpa disangka-sangka Ibu Alfredo menghadiahkan roti
sandwich khusus buatannya sendiri. Anne berkali-kali mengucapkan terima kasih,
ia sengaja melakukannya, untuk mengimbangi sikap kaku dengan mana Julian dan
Dick menyatakan terima kasih.
"Kalian sebetulnya bisa saja mengatakan agak lebih banyak, daripada cuma terima
kasih saja," kata Anne mengecam kedua abangnya. "Bu Alfredo sungguh-sungguh baik
hatinya. Aku sekarang sama sekali tak berkeberatan, jika kita tetap di sini."
Tapi anehnya, Julian tetap berkeras kepala, ia menggeleng.
"Kita pergi besok," katanya. "Kecuali jika terjadi sesuatu yang memaksa kita
tinggal di sini. Tapi takkan ada kejadian apa-apa."
Sekali lagi dugaan Julian keliru.
Bab 11 KEJADIAN ANEH Sehabis minum teh, anak-anak mengalami kejadian yang aneh.
Sore itu mereka agak larut minum teh. Tapi hidangan yang menyertai, semuanya
serba enak. Roti dengan mentega serta madu, kue donat yang baru dibeli, serta
kue bolu yang dibikinkan Bu Alfredo untuk mereka.
"Aduh, aku tak kuat makan lagi," kata George sambil mengusap-usap perutnya. "Kue
bolu itu benar-benar mengenyangkan. Aku rasanya bahkan tak mampu lagi berdiri
untuk berbenah - jadi kau jangan mengusulkannya, Anne!"
"Aku memang tak bermaksud membereskan dengan segera," jawab Anne. "Kan masih
banyak waktu! Kita duduk-duduk saja dulu di sini - menikmati sore yang indah
ini." Anak-anak lantas memperhatikan seekor burung yang asyik berkicau dengan merdu
"Bagus sekali kicauannya," kata Dick. "Dan bulunya juga indah!"
Burung itu ternyata tidak takut-takut. Seenaknya saja ia terbang ke rumput di
sisi anak-anak, untuk memakan remah-remah, ia bahkan hinggap ke lutut Anne. Anak
itu duduk diam-diam, sambil memperhatikan dengan asyik.
Timmy menggeram. Tentu saja burung itu lantas terbang pergi.
"Kau konyol. Tim," kata George. "Masa iri pada burung! He, Dick! Lihatlah - itu
kan burung-burung bangau, yang sedang terbang turun ke rawa di sisi timur bukit
puri itu?" "Betul," kata Dick. "Mana teropongmu, George. Dengan teropong, kita bisa lebih
jelas melihat burung-burung itu."
George mengambil teropongnya dari dalam karavan, lalu memberikannya pada Dick.
Dick langsung mengarahkannya ke rawa.
"Ya, ada empat ekor. Wah, bukan main - kakinya panjang-panjang. Sekarang mereka
sedang asyik mondar-mandir di rawa. Nah, seekor di antaranya mencocok sesuatu
dengan paruhnya yang panjang. Apa itu" O, kodok! Ya, aku bisa melihat kaki
belakangnya meronta-ronta!"
"Mana mungkin!" tukas George sambil merebut teropong. "Kau ini suka bohong.
Teropongku tak cukup kuat, untuk melihat kaki kodok dari jarak sejauh ini!"
Tapi ternyata teropong itu kuat sekali lensanya. Benda itu bagus sekali
buatannya. Terlalu bagus bagi George, karena ia tak bisa berhati-hati menjaga
barang. George masih sempat melihat kaki kodok yang malang itu lenyap ke dalam paruh
bangau. Kemudian rupanya ada sesuatu yang mengejutkan burung-burung itu. Sebelum
anak-anak yang lain bisa ikut melihat, burung-burung itu sudah beterbangan
semua. "Pelan sekali gerak sayap mereka," kata Dick. "Pasti lebih pelan daripada
burung-burung lain. Kemarikan lagi teropongmu, George - aku ingin memperhatikan burung-burung gagak.
Nampaknya pasti ada beribu-ribu, terbang mengelilingi puri! Mungkin sedang
jalan-jalan petang hari!"
Dick merapatkan teropong ke matanya, lalu menggerakkannya mengikuti terbang
burung gagak yang naik-turun memutar-mutar. Bising sekali bunyi mereka.
Dick melihat beberapa ekor terbang turun, ke menara satu-satunya yang masih
utuh. Ia mengikuti dengan teropong. Seekor gagak hinggap di ambang jendela
sempit yang terdapat dekat puncak menara. Burung itu hanya sekejap saja di situ,
lalu terbang lagi. Seolah-olah kaget, atau ketakutan!
Kemudian Dick melihat sesuatu, yang menyebabkan jantungnya berdebar keras.
Dengan teropong yang terarah ke jendela sempit, ia melihat sesuatu yang luar
biasa di situ. Ia menatap terus, seakan-akan belum bisa mempercayai matanya
sendiri. Kemudian ia berkata dengan suara pelan pada Julian.
"Ju - coba kaulihat sebentar dengan teropong!" katanya. "Arahkan ke jendela
sempit dekat puncak satu-satunya menara yang masih utuh! Lalu katakan padaku,
apa yang kaulihat di situ. Cepat!"
Sementara Anne dan George melongo, Julian mengambil teropong lalu mengarahkannya
ke puncak menara. Apakah yang baru saja dilihat oleh Dick" Julian menatap ke
arah puncak menara. "Ya, ya - memang luar biasa!" katanya sambil menatap. "Kurasa itu disebabkan
karena pantulan cahaya."
Sementara itu Anne dan George sudah tak mampu lagi menahan rasa ingin tahu.
George menyambar teropong dari tangan Julian.
"Sini! Aku juga ingin melihat!" katanya galak. Setelah itu ditatapkan ke jendela
sempit yang diperhatikan oleh Dick, dan kemudian oleh Julian. George memandang
agak lama, lalu menurunkan teropong. Ditatapnya Dick dan Julian dengan agak
kesal. "Kalian mau menipuku, ya?" tukasnya. "Aku tak melihat apa-apa di sana. Cuma
jendela saja - lain tidak!"
Anne sudah merampas teropong, mendului Dick yang ingin melihat lagi. Ia juga
mengarahkannya ke tempat sama. Ternyata George benar - di sana tidak ada apa-
apa! "Tidak ada apa-apa," kata Anne jengkel. Seketika itu juga Dick merampas teropong
dari tangan adiknya, lalu sekali lagi diarahkan ke jendela menara. Tapi cuma
sebentar saja, sesudah itu diturunkannya kembali.
"Sudah tidak ada lagi," katanya pada Julian. "Sekarang di jendela sana tak
nampak apa-apa lagi."
"Dick! Jika tidak segera kaukatakan apa yang kaulihat tadi, kau akan kami
gulingkan nanti ke kaki bukit ini," kata George kesal. "Kau cuma bikin-bikin
saja ya! Kau melihat apa tadi?"
"Yah - " kata Dick sambil menatap Julian, "aku tadi melihat muka orang. Muka
seseorang tak jauh dari jendela itu, sedang memandang ke luar. Kau melihat apa
tadi, Ju?" "Sama saja," jawab Julian. "Aku sampai merasa aneh."
"Muka orang?" seru George, Anne dan Jo serempak. Jo juga, karena anak itu memang
ada di situ. Cuma sebelumnya, ia tidak ikut berebut teropong. "Apa maksudmu?"
"Seperti yang kami katakan tadi," jawab Dick. "Biasa - muka orang, dengan mata,
hidung dan mulut." "Tapi puri itu kan tak didiami orang, karena tinggal reruntuhan," kata George
agak bingung. "Atau mungkin seseorang yang sedang melihat-lihat di situ?"
Julian memandang arlojinya.
"Tidak, aku merasa pasti orang itu bukan tamu," katanya kemudian. "Acara
melihat-lihat dalam puri, ditutup pukul setengah enam! Padahal -sekarang sudah
pukul enam lewat. Lagi pula muka orang itu kelihatannya - yah, seperti bingung!"
"Ya, perasaanku juga begitu," kata Dick. "Aneh sekali, ya Julian" Mungkin ada
penjelasan yang wajar mengenainya, tapi entah kenapa - aku agak merasa aneh!"


Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang kalian lihat itu muka apa?" tanya George lagi. "Maksudku, muka laki-laki
atau wanita?" "Kurasa laki-laki," kata Dick. "Aku sama sekali tak melihat rambutnya, karena
ruangan di balik jendela itu gelap. Aku juga tidak melihat pakaiannya. Tapi
mukanya, muka laki-laki! Kau tadi melihat alisnya tidak, Ju?"
"Ya," jawab Julian. "Alisnya tebal sekali, kan?"
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba George teringat pada sesuatu.
"Alis!" katanya dengan tiba-tiba. "Masakan kalian tidak ingat! Dalam foto
sarjana yang bernama Terry-Kane di koran, kelihatan alisnya tebal dan hitam! Kau
lantas mengatakan ia bisa saja mencukurnya, lalu ditempelkan ke bibir atas untuk
dijadikan kumis palsu! Masih ingat, Dick?"
"Ya, aku masih ingat," kata Dick, lalu memandang Julian. Tapi Julian menggeleng.
"Aku tak melihat adanya kemiripan antara mereka berdua," katanya. "Tapi di pihak
lain, jarak dari sini ke menara puri jauh sekali. Hanya karena teropong George
kuat sekali lensanya, kita bisa mengenali ada muka orang yang memandang dari
jendela yang begitu jauh letaknya. Ah, kurasa pasti ada penjelasan yang wajar,
kenapa di sana ada orang! Hanya karena kita tadi kaget, maka kita lantas merasa
kejadian ini sangat aneh."
"Sayang aku tadi tak melihat muka itu," desah George kecewa. "Padahal teropong
ini kepunyaanku!" "Kau bisa saja berusaha melihat ke sana terus," kata Dick sambil menyodorkan
teropong pada saudara sepupunya. "Mungkin saja muka itu muncul kembali."
Lalu George, Anne dan juga Jo silih berganti mengawasi dengan teropong. Tapi
muka itu tidak muncul lagi. Akhirnya mereka bertiga bahkan tidak bisa melihat
apa-apa lagi, karena hari sudah terlalu gelap. Melihat jendela saja sudah tidak
bisa, apalagi muka orang di baliknya!
"Aku tahu apa yang bisa kita lakukan," kata Julian mengusulkan. "Besok, kita
pergi saja ke puri itu, lalu naik ke atas menara. Saat itu kita akan bisa
memastikan, apakah di sana ada orang atau tidak!"
"Tapi kukira, kita besok akan pergi dari sini," kata Dick.
"O ya, betul juga - kita merencanakan untuk berangkat besok, ya?" kata Julian.
Ia sudah lupa sama sekali pada niatnya itu, karena baru saja mengalami kejadian
yang sangat menarik. "Yah - rasanya kita tidak bisa pergi sebelum melihat-lihat
ke dalam puri itu, dan mencari penjelasan tentang muka yang kami lihat tadi."
"Setuju!" kata George. "Bayangkan - kita tahu di sana ada sesuatu yang aneh,
lalu kita pergi dengan begitu saja, tanpa melakukan penyelidikan mengenainya.
Kalau aku, pasti tidak bisa!"
"Aku memang berniat tinggal di sini," kata Jo.
"Jika kalian pergi juga, aku bisa menumpang selama ini di tempat Paman Alfredo.
Nanti kuberi kabar pada kalian, apakah muka itu muncul lagi. Tapi George harus
meninggalkan teropongnya di sini."
"Tak mungkin," kata George tegas. "Kalau aku pergi, teropongku mesti kubawa.
Tapi aku tidak jadi pergi. Kau kan juga tidak jadi pergi, Julian?"
"Kita tinggal dulu di sini dan menyelidiki muka tadi," kata Julian. "Terus
terang saja, aku benar-benar bingung melihatnya. He - ada orang datang!"
Sesosok tubuh besar muncul di tengah ke-remangan senja. Ternyata yang datang itu
Pak Alfredo, artis penelan api.
"Jo!" serunya memanggil-manggil. "Kau ada di situ" Bibimu mengundangmu makan
malam bersama kami. Dan kawan-kawanmu juga!"
Setelah itu, sesaat tak ada yang berbicara. Anne memandang Julian dengan penuh
harap. Apakah abangnya itu masih tetap hendak mempertahankan keangkuhannya"
Mudah-mudahan saja tidak.
"Terima kasih. Pak," jawab Julian kemudian. "Tentu saja kami mau datang. Maksud
Anda saat ini juga?"
"Kalau bisa, kami akan sangat senang," kata Pak Alfredo sambil membungkukkan
tubuhnya sedikit. Gayanya persis seorang tuan rumah yang terhormat! "Kalian
ingin melihat aku menelan api" Tinggal bilang saja!"
Tawaran itu sangat menarik. Sayang apabila ditolak! Anak-anak langsung berdiri,
lalu mengikuti Pak Alfredo menyeberangi lapangan, menuju ke karavannya. Di luar
sudah menyala api unggun yang besar. Sebuah panci besar berwarna hitam
tergantung di atas api. Tercium bau yang semerbak.
"Makan malam belum siap betul," kata Pak Alfredo. Anak-anak agak lega
mendengarnya. Mereka baru saja makan sekenyang-kenyangnya pada waktu minum teh
tadi. Jadi perut mereka masih penuh. Tak mungkin bisa diisi lagi, walau selera
mereka sudah timbul lagi karena mencium bau masakan enak yang ada dalam panci
besar. Anak-anak lantas duduk mengelilingi api unggun.
"Anda benar-benar akan mengadakan pertunjukan menelan api untuk kami?" tanya
Anne. "Bagaimana cara Anda melakukannya. Pak?"
"Ho, itu sukar sekali," kata Pak Alfredo. "Aku mau memamerkannya - asal kalian
berjanji tidak akan menirukan. Kalian kan tidak mau rongga mulut kalian terbakar
hangus?" Tentu saja tidak ada yang mau.
"Aku juga tidak mau mulut Anda hangus," kata Anne menambahkan. Pak Alfredo kaget
mendengarnya. "Aku ini penelan api yang hebat sekali," katanya kemudian, untuk menenangkan
Anne. "Orang seperti aku, rongga mulutnya takkan hangus karena menelan api.
Sekarang tunggu sebentar, sementara aku mengambil obor. Nanti kupamerkan
pertunjukan menelan api pada kalian."
Saat itu datang seseorang, lalu duduk di samping anak-anak. Orang itu Buffalo.
Ia nyengir melihat mereka ada di situ. Skippy ikut muncul, lalu duduk dekat
suaminya. Disusul oleh pawang ular, yang mengambil tempat duduk di seberang api.
Tak lama kemudian Pak Alfredo muncul lagi. Ia membawa beberapa barang di
tangannya. "Wah, makin banyak penontonku!" katanya senang. "Nah, sekarang perhatikan baik-
baik. Pak Alfredo akan menelan api!"
Bab 12 MENELAN API DAN MACAM-MACAM LAGI
Pak Alfredo duduk di rumput, agak jauh dari nyala api unggun. Diletakkannya
sebuah mangkok kecil dari logam di depannya. Mangkok itu menghamburkan bau
minyak tanah. Kemudian diangkatnya dua buah benda, dan diperagakannya pada anak-
anak. "Itu obornya," kata Bu Alfredo bangga. "Api obor itulah yang nanti ditelan
olehnya." Pak Alfredo menyerukan sesuatu pada pawang ular, sambil mencelupkan kedua
obornya ke dalam mangkok berisi minyak tanah. Obor itu belum dinyalakan.
Bentuknya berupa tongkat dengan segumpal kapas di ujungnya.
Pawang ular menjulurkan tangan ke depan, mengambil ranting menyala dari api
unggun. Dengan gerakan tangkas, dilemparkannya ranting kecil itu ke dalam
mangkok. Minyak tanah yang ada di dalamnya langsung menyala. Apinya berkobar-
kobar. Saat itu Pak Alfredo sudah menjauhkan kedua obornya dari mangkok. Tapi kini
dimasukkannya silih berganti ke dalam minyak tanah yang terbakar.
Kedua obor itu menyala dengan seketika. Pak Alfredo memegang sebuah obor pada
masing-masing tangannya. Matanya berkilat-kilat diterangi cahaya api. Kelima
anak penontonnya duduk seperti terpaku, memandang seperti terpukau.
Pak Alfredo mendongak. Kepalanya ditarik ke belakang, makin jauh ke belakang -
lalu dibukanya mulut lebar-lebar, ia memasukkan sebuah obor menyala ke dalamnya,
lalu menutup mulutnya. Pipinya nampak bersinar kemerah-merahan, karena nyala api
yang ada dalam mulut. Anne terpekik, sedang George tersentak napasnya. Julian
dan Dick menahan napas karena tegang. Cuma Jo saja yang kelihatan tidak begitu
peduli. Anak itu sudah sering melihat pamannya memamerkan kemahiran itu!
Pak Alfredo mengangakan mulut. Api menyembur-nyembur ke luar. Pemandangan saat
itu benar-benar luar biasa. Api berkobar dari obor di tangan kiri, dan minyak
tanah yang terbakar dalam mangkok, dari obor di tangan kanan - dan menyambar-
nyambar ke luar dari mulut!
Pak Alfredo mengulangi pertunjukan itu dengan obor yang satu lagi. Sekali lagi
pipinya kemilau merah seperti lampu. Setelah itu disemburkannya lagi api dari
mulut. Pak Alfredo mengatupkan bibir, lalu menelan. Setelah itu memandang berkeliling,
sambil mengangakan mulut untuk menunjukkan bahwa tidak ada lagi api di situ. Ia
tersenyum lebar. "Nah - kalian suka menonton aku menelan api?" katanya, sambil memadamkan kedua
obornya. Minyak tanah dalam mangkok sudah terbakar habis. Kini hanya api unggun
saja yang masih menerangi tempat itu.
"Hebat sekali," ucap Julian kagum. "Tapi tidak terbakarkah rongga mulut Anda?"
"Siapa - aku" Tidak, belum pernah!" kata Pak Alfredo sambil tertawa keras. "Yah,
mungkin pada awalnya - tapi itu dulu, sudah bertahun-tahun yang lalu. Tapi
sekarang, tidak! Memalukan sekali kalau mulutku sampai terbakar. Aku akan
menghilang, jika hal itu sampai terjadi."
"Tapi - bagaimana caranya sampai mulut Anda tidak terbakar?" tanya Dick bingung.
Pak Alfredo tidak mau memberikan penjelasan. Itu merupakan rahasia
pertunjukannya. Dan artis, takkan mau membeberkan rahasia keahliannya!
"Aku juga bisa menelan api," kata Jo sambil lalu, tapi tanpa disangka-sangka.
"Coba kupinjam satu obormu. Paman Fredo!"
"Kau" Tidak!" seru Pak Alfredo. "Kepingin terbakar hangus, ya?"
"Tidak, Paman! Dan aku takkan terbakar," kata Jo. "Aku sudah memperhatikan
Paman. Sekarang aku tahu bagaimana caranya. Aku bahkan sudah pernah mencobanya."
"Pembual!" kata George dengan segera.
"Sekarang dengar baik-baik," kata Pak Alfredo. "Kalau kau berani menelan api,
kau akan kupukul sampai minta-minta ampun. Kau akan ku...."
"Kau takkan berbuat apa pun, Fredo," kata istrinya menyela. "Kalau Jo mulai
iseng di sini, aku yang akan menanganinya. Dan mengenai menelan api - yah, jika
di sini ada orang lain yang menelan api, akulah dia orangnya. Istrimu!"
"Kau tak boleh menelan api!" kata Pak Alfredo berkeras kepala. Rupanya ia
khawatir, istrinya yang galak itu nanti benar-benar akan mencobanya.
Tiba-tiba Anne menjerit ketakutan.
Sesosok tubuh panjang dan besar menggeleser di tanah, antara dia dan Julian.
Makhluk itu salah seekor ular sanca kepunyaan pawang ular! Ternyata tanpa setahu
anak-anak, orang itu membawa seekor. Jo menyambar ular itu, lalu memegangnya
kuat-kuat. "Biarkan saja," kata pawang ular. "Ia ingin kembali padaku, ia ingin jalan-jalan
sebentar." "Biarlah kupegang sebentar," kata Jo meminta. "Badannya terasa licin dan dingin.
Aku suka pada ular."
Julian mengulurkan tangan dengan takut-takut. Disentuhnya ular yang besar itu.
Benar juga kata Jo! Kulitnya licin sekali, dan terasa dingin. Aneh - padahal
kelihatannya kasar dan bersisik.
Ular itu menggeleser terus, menjalar naik ke bahu Jo, lalu menuruni punggung
anak itu. "Jaga jangan sampai ekornya membelit dirimu," kata pawang ular memperingatkan.
"Sudah beberapa kali hal itu kuperingatkan."
"Ular ini akan kujadikan selendang," kata Jo. Tubuh ular itu lantas ditarik-
tariknya, sehingga akhirnya menggelantung di leher seperti selendang. Mau tidak
mau, George kagum juga melihat keberanian anak itu. Sedang Anne, ia cepat-cepat
menjauh. Dick dan Julian menatap saja sambil melongo. Mereka bertambah kagum
terhadap gelandangan cilik itu.
Saat itu terdengar bunyi gitar yang dipetik dengan lembut. Ternyata Skippy,
istri Buffalo, yang bermain, sambil menggumamkan sebuah lagu bernada sedih. Tapi
refrainnya lincah, dinyanyikan bersama-sama oleh seluruh anggota rombongan
artis. Sementara itu hampir semuanya sudah berkumpul mengelilingi api unggun.
Banyak di antara mereka yang baru sekali itu dilihat oleh Julian serta saudara-
saudaranya. Asyik sekali rasanya duduk-duduk di sekitar api menyala, sambil mendengarkan
permainan gitar serta Skippy yang bernyanyi dengan suara pelan tapi jelas. Duduk
di dekat pawang ular, tak jauh dari seekor ular yang kelihatannya juga asyik
menikmati musik! Ular itu menggoyangkan tubuh mengikuti irama lagu. Tiba-tiba
binatang besar itu menggeleser turun lagi, lalu merayap mendatangi majikannya,
pawang ular. "Sini, Manis," kata laki-laki bertubuh kecil itu, sambil memain-mainkan ular
yang menggeliat di sela-sela tangannya. "Kau suka musik, Manis?"
"Ia sayang sekali pada ularnya," bisik Anne pada George. "Kok bisa ya?"
Sementara itu istri Alfredo berdiri.
"Kita harus bubar sekarang," katanya pada teman-teman seperkemahan. "Alfredo
harus makan. Ya kan, suamiku yang bandel?"
Alfredo setuju saja. Ia mengembalikan panci besar yang berat ke atas api lagi.
Tak lama kemudian sudah menghambur lagi bau semerbak. Anak-anak mencium-cium bau
itu dengan nikmat. "Mana Timmy?" tanya George dengan tiba-tiba. Anjing itu tak nampak di situ!
"Aku tadi melihatnya pergi menyelinap, sewaktu ular datang," kata Jo. "Ayo
kemari, Timmy! Kembalilah - ularnya sudah tidak ada lagi!"
"Kau tak perlu ikut memanggilnya," kata George. "Timmy anjingku. Timmy! Ke sini,
Timmy!" Timmy datang pelan-pelan. Ekornya masih tetap terselip di antara kaki belakang.
George mengelus-elusnya. Jo ikut-ikut menunjukkan kesayangannya. George menarik
anjing itu, supaya menjauh dari Jo. Ia tak suka apabila Timmy kelihatan sayang
pada anak perempuan yang bandel itu. Tapi Timmy memang sayang pada Jo. Jadi mau
apa" Hidangan malam itu enak sekali.
"Apa sih isinya?" tanya Dick, sambil mengangguk ketika ditawari lagi untuk kedua
kalinya. "Aku belum pernah merasakan sup kental seenak ini."
"Yah, macam-macam isinya! Ada ayam, bebek, daging sapi dan macam-macam lagi, lalu ditambah bawang, lobak...." kata istri Pak Alfredo menyebutkan
ramuannya satu-satu. "Pokoknya apa saja yang ada, kumasukkan. Sambil merebus,
aku mengaduk-aduk terus. Kadang-kadang ku-campurkan ayam hutan ke dalamnya, dan
kadang-kadang juga ayam kalkun...."
"Jangan banyak omong," kata Pak Alfredo menggerutu, ia khawatir jika ada yang
menanyakan, dari mana saja datangnya hewan sebanyak itu. Tapi Bu Alfredo
bukannya diam, tapi malahan membelalakkan mata.
"Kau berani menyuruh aku diam?" kata Bu Alfredo yang bertubuh mungil, sambil
mengacung-acungkan sendok besar. "Kau berani melarangku?"
Anak-anak tertawa sembunyi-sembunyi. Suami-istri Alfredo memang pasangan yang
kocak. Bertengkar terus, padahal sebenarnya mereka saling menyayangi. Cuma
caranya saja lain daripada yang lain!
Tak lama kemudian Julian berdiri.
"Kami ingin minta permisi dulu," katanya, ia berpendapat, sudah saatnya mereka
kembali ke karavan mereka, karena malam mulai larut. "Bu Alfredo, terima kasih
atas undangan tadi. Enak sekali makanannya!"
Saudara-saudaranya ikut berdiri.
"Dan juga terima kasih atas pertunjukan menelan api tadi. Pak Alfredo," kata
George. "Walau sudah makan api, tapi selera makan Anda tak berkurang karenanya!"
"Huhh!" kata Pak Alfredo. Mana mungkin bisa kenyang karena menelan api! Lalu ia
memandang keponakannya. "Jo - kau masih menginap lagi di sini malam ini" Boleh
saja, kalau mau!" "Aku cuma ingin meminjam selimut tua saja, Bibi Nita," kata Jo. "Aku ingin tidur
di bawah karavan Anne dan George."
"Kalau mau, kau bisa tidur di lantai, dalam karavan," kata George. Tapi Jo
menggeleng. "Tidak! Untuk sementara, aku bosan tidur di dalam. Aku ingin tidur di alam
bebas. Tempat di bawah kolong karavan sudah cukup bagiku. Kaum kelana biasa
tidur begitu, jika cuaca kebetulan baik."
Anak-anak kembali ke tempat mereka, melintasi lereng bukit yang gelap. Bulan
belum muncul di langit. Cuma ada beberapa bintang yang nampak berkelip-kelip di
atas cakrawala. "Undangan makan malam tadi sangat menyenangkan," kata Dick sambil berjalan. "Aku
senang pada paman dan bibimu, Jo."
Jo senang sekali mendengarnya, ia selalu senang apabila dipuji oleh Dick.
Setibanya di tempat anak-anak berkemah, ia langsung menyusup ke bawah kolong
karavan Anne dan George, lalu berbaring sambil membungkus diri dengan selimut
yang dipinjamnya dari keluarga Pak Alfredo. Selama beberapa bulan tinggal di
rumah orang tua angkatnya, Jo sudah diajari biasa menggosok gigi serta mencuci
badan. Tapi kini kesemuanya itu dilupakannya lagi, karena hidup berkelana
kembali! "Beberapa hari lagi pasti Jo akan sudah menjelma kembali menjadi anak liar yang
jorok, kumal, berambut kusut dan bersikap kasar seperti yang kita kenal dulu,"
kata George. Sekali itu ia menyisir rambutnya dengan rapi sekali, lain seperti
biasanya! "Aku senang bahwa kita akhirnya toh tidak jadi berangkat," katanya
sambil mempersiapkan diri untuk tidur. "Pendapatmu bagaimana, Anne" Menurutku,
orang-orang pasar malam kini ramah sekali terhadap kita."
"Ya, berkat Jo," kata Anne. George diam saja. Ia kurang senang, karena berhutang
budi pada Jo. Setelah selesai memakai baju tidur, ia lantas naik ke pembaringan.
"Aku kepingin rasanya bisa melihat muka di balik jendela menara puri, Anne,"
katanya setelah berbaring. "Aku ingin tahu siapa orang itu - dan apa sebabnya ia


Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada di sana - memandang ke luar."
"Saat itu aku tak kepingin bicara tentang muka yang kelihatan di balik jendela,"
jawab Anne sambil naik ke tempat tidurnya. "Kita bicara tentang soal lain saja."
la mematikan lampu, lalu merebahkan diri. Kedua anak perempuan itu masih
mengobrol sebentar. Tapi tiba-tiba George mendengar bunyi sesuatu di luar.
Apakah itu" Timmy menegakkan kepala, lalu menggeram pelan.
George memandang ke jendela di dinding seberang. Dilihatnya sebuah bintang
berkelip-kelip di langit. Tapi tiba-tiba muncul sesuatu yang gelap. Bayangan
bintang lenyap, tertutup olehnya.
Bayangan gelap yang muncul, merapat ke kaca jendela. Timmy menggeram lagi. Tapi
tidak terlalu keras. Mungkinkah ia tahu bayangan apa yang ada di luar"
George cepat-cepat mengambil senternya, lalu disorotkannya ke arah jendela.
Seketika itu juga ia menyadari apa yang dilihatnya di luar itu. Ia terkekeh
pelan. Kemudian dipanggilnya Anne.
"Anne! Anne! Cepat, di jendela ada muka sesuatu. Cepat, Anne! Bangun!"
"Aku belum tidur," jawab Anne. Anak itu terduduk, ketakutan. "Muka apa" Di mana"
Kau kan bukan cuma hendak menakut-nakuti saja, George?"
"Tidak ! - Itulah dia, lihatlah!" jawab George, lalu menyorotkan cahaya
senternya kembali ke jendela. Anne menjerit kaget. Dilihatnya muka yang panjang
dan coklat tua, memandang ke dalam. Tapi kemudian ia tertawa.
"Kau ini memang anak jail, George!" kata Anne sambil tertawa terus. "Itu kan
cuma kuda Pak Alfredo! Aduh, aku tadi benar-benar ketakutan sesaat. Awas - kalau
sekali lagi kau berbuat iseng, nanti akan kutarik dari pembaringanmu sehingga
jatuh ke lantai!" Anne mengibas-ngibaskan tangannya ke arah jendela.
"Ayo pergi, kuda konyol! Ayo pergi! Pergi!" George terkekeh-kekeh terus.
Bab 13 PERGI KE PURI Keesokan paginya sementara mereka sedang sarapan, anak-anak
kembali membicarakan muka yang muncul di balik jendela menara puri. Sambil
berbicara mereka silih berganti mengarahkan teropong ke jendela itu. Tapi tidak
kelihatan apa-apa di situ.
"Yuk, nanti kalau puri sudah dibuka lagi untuk umum, kita pergi ke sana dan
melihat-lihat di dalamnya," kata Dick. "Tapi ingat - jangan ada yang bicara
tentang muka di jendela, ya! Kaudengar kataku, Jo" Kau satu-satunya yang kadang-
kadang tidak bisa menahan mulut."
Jo langsung naik darah. "Aku?" katanya ketus. "Aku bisa menyimpan rahasia!"
"Ya deh, ya deh! Kau jadi seperti mau menelan api saja!" kata Dick sambil
nyengir, ia melirik arlojinya. "Sekarang masih terlalu pagi!"
"Kalau begitu aku membantu Pak Slither dulu mengurus ular-ularnya," kata Jo.
"Ada yang mau ikut?"
"Pak Slither! Cocok sekali nama itu untuk pawang ular," kata Dick. Pendapatnya
benar, karena 'slither' berarti menggeleser. "Kalau melihat saja aku tak
keberatan - tapi seram rasanya jika ular-ular itu merayap naik ke atas tubuh
kita!" Anak-anak lantas ikut dengan Jo, pergi ke karavan pawang ular. Cuma Anne saja
yang tinggal. Katanya, lebih baik ia membenahi bekas sarapan mereka.
Ternyata pawang ular sudah mengeluarkan kedua binatang kesayangannya dari dalam
kotak tempat mereka. "Ia memang memoles kulit ular itu," kata George, sambil duduk di dekat situ.
"Lihatlah - kulit yang coklat itu berkilauan sekarang!"
"Nih, Jo - tolong poleskan si Manis," kata Pak Slither. "Minyak poles ada dalam
botol itu. Ada kutu lagi di bawah sisiknya. Kalau kaupoles dengan obat itu,
pasti kutunya akan hilang dengan segera."
Kelihatannya Jo sudah tahu apa yang harus dilakukan, ia mengambil segumpal kain
bekas, menunggingkan botol yang berisi cairan kuning, lalu menepuk-nepuk badan
ular pelan-pelan dengan gumpalan kain yang sudah kena cairan. Dibiarkannya obat
itu meresap. George tidak mau kalah, ia menawarkan diri, hendak memoles ular yang satu lagi.
"Tolong pegangkan saja sebentar," kata Pak Slither, sambil menyodorkan ular yang
dipegangnya pada George. Setelah itu pawang ular berdiri dan masuk ke
karavannya. Wah! George tak menyangka ia akan ditinggal sendiri dengan ular
besar itu. Binatang itu menggeletak di atas lutut George, lalu mulai melilit
tubuh anak itu. "Jangan sampai kau dililit dengan ekornya," kata Jo memperingatkan.
Julian dan Dick cepat bosan menonton Jo dan George saling beradu berani bergaul
dengan ular. Mereka pergi ke tempat Buffalo. Orang itu sedang berlatih memutar-
mutar jerat, dengan gaya seperti gembala sapi di Amerika. Mahir sekali orang itu
memainkan tali. Bergelung-gelung geraknya di udara, macam-macam bentuk yang
dibuat. Buffalo memandang kedua anak itu sambil nyengir.
"Mau coba?" katanya menawarkan. Tapi baik Julian maupun Dick, keduanya sama
sekali tidak bisa bermain-main dengan tali jerat.
"Aku kepingin melihatmu melecut barang dengan cemeti," kata Dick. "Kau hebat
sekali!" "Apa yang harus kulecut?" kata Buffalo, sambil meraih cemetinya yang indah
buatannya itu. "Daun-daun di ujung atas semak itu?"
"Ya," kata Dick. Buffalo menatap sebentar, sambil mengayunkan cemeti beberapa
kali. Kemudian cemeti diangkat - dan dilecutkan. TARR!
Daun-daun di puncak semak lenyap dengan seketika, seperti disulap. Anak-anak
menatap dengan kagum. "Sekarang kuncup bunga yang di sana itu," kata Julian, sambil menuding. TARR!
Kuncup bunga lenyap. "Ini masih gampang," kata Buffalo. "Begini saja sekarang!
Kau pegang pinsil atau barang seperti itu. Ya - salah seorang dari kalian
berdua! Nanti barang itu kulecut, tanpa menyentuh jarimu sedikit pun!"
Julian kelihatan agak sangsi. Tapi Dick - tanpa berpikir panjang lagi anak itu
merogoh kantongnya, dan mengeluarkan sebatang pinsil merah. Pinsil itu tidak
begitu panjang. Dick menjulurkan tangan, sambil menjepit pinsil dengan dua jari.
Buffalo menatap benda itu dengan mata terpicing. Kelihatannya seperti sedang
mengukur jarak. Kemudian cemeti mulai bergerak naik. TARR!
Ujung cemeti melilit pinsil, dan menyentakkannya sehingga tertarik dari jepitan
jari Dick. Pinsil itu melayang - Buffalo menggerakkan tangan dengan cepat - dan
pinsil itu berpindah ke tangannya!
"Hebat!" seru Dick dan Julian dengan kagum. "Lama tidak belajar main cemeti
seperti begitu?" "Begitulah, sekitar dua puluh tahun," jawab Buffalo. "Tapi belajarnya harus
mulai dari kecil sekali - katakanlah, mulai dari umur tiga tahun! Aku diajar
ayahku. Dulu jika menurut perasaannya aku kurang cepat mengerti, dia pasti
langsung mengayunkan cemeti dan melecut pinggiran telingaku! Dengan cara begitu,
aku lantas cepat mahir!"
Kedua anak itu menatap telinga Buffalo yang lebar. Kelihatan memang agak kasar
pinggirnya! "Aku juga mengadakan pertunjukan melempar pisau," kata Buffalo lagi. Pemuda itu
nampak senang dikagumi Dick dan Julian. "Skippy kusuruh berdiri menyandar pada
selembar papan. Lalu aku melempar sejumlah pisau, menancap dekat ke tubuhnya.
Setelah selesai melempar dan Skippy pergi, pisau-pisau yang menancap di papan
susunannya membentuk gambar tubuhnya. Kalian mau melihat?"
"Wah, sebetulnya mau - tapi jangan sekarang," kata Julian, sambil memandang
arlojinya. "Kami tadi sudah bermaksud hendak pergi melihat-lihat puri Faynights.
Kau sudah pernah ke sana, Buffalo?"
"Belum. Untuk apa buang-buang waktu, menonton puri kuno yang sudah runtuh!" Kata
Buffalo meremehkan. "Tak usah ya!"
Orang itu lantas pergi ke karavannya, sambil memutar-mutar tali jerat. Gerak-
geriknya enak sekali, sehingga Dick sampai iri melihatnya. Sayang - kenapa ia
tidak belajar dari dulu-dulu, ketika ia masih kecil" Sekarang pasti ia tidak
bisa lagi semahir Buffalo. Ia sudah terlalu tua! Demikianlah pikiran Dick saat
itu. "George! Jo! Sudah waktunya kita berangkat!" kata Julian memanggil kedua anak
itu. "Kembalikan dulu ular-ular itu, lalu ikut dengan kami. Anne! Kau sudah
siap?" Pak Slither mengambil kembali kedua ekor ularnya. Kedua binatang besar itu
menggeleser-geleser, diusap-usap dengan kasih sayang oleh pemiliknya.
"Aku mesti cuci tangan dulu," kata George. "Tak enak rasanya, sehabis memegang
ular. Kau juga, Jo?"
Jo sebetulnya tak mengerti, apa perlunya mencuci tangan sehabis memegang ular.
Tapi ia toh ikut dengan George ke sungai. Di sana mereka mencuci tangan bersih-
bersih. George-setelah itu mengeringkan tangan dengan sapu tangan yang agak
kotor. Sedang Jo, tangan dikeringkannya ke rok yang lebih kotor lagi. Anak itu
memandang celana pendek George dengan agak iri. Ia tak senang, karena diharuskan
memakai rok! Ketika mereka pergi, karavan tidak dikunci dulu pintunya. Julian merasa yakin
bahwa orang-orang pasar malam kini sudah ramah terhadap mereka. Jadi pasti kedua
karavan itu akan ikut diawasi. Anak-anak berjalan menuruni lereng bukit, didului
oleh Timmy yang berlari-lari di depan mereka. Anjing itu menyangka bahwa ia yang
mengajak anak-anak berjalan-jalan!
Sesampai di kaki bukit, anak-anak menyusur jalan sebentar, sampai di gerbang
kayu yang tegak di depan jalan terjal yang menuju ke puri. Dilihat dari jarak
sedekat itu, puri Faynights nampak tinggi sekali. Tinggi dan anggun!
Anak-anak mendaki bukit lewat jalan terjal, sampai ke sebuah menara kecil. Di
kaki menara itu ada pintu sempit. Itulah jalan masuk ke puri.
Seorang wanita tua duduk di balik pintu. Tampangnya aneh, mirip dukun sihir.
Kalau bola matanya hijau, pasti Anne akan langsung menyangka wanita itu
keturunan penyihir. Menurut dongeng, penyihir selalu bermata hijau! Tapi biji
mata wanita tua itu hitam legam. Mulutnya sudah ompong, sehingga bicaranya sulit
dimengerti. "Lima anak. Bu," kata Julian, sambil menyodorkan uang.
"Anjing itu tidak boleh ikut masuk," gumam wanita tua itu. Anak-anak tidak
langsung mengerti apa maksudnya. Wanita itu lantas menuding Timmy, sambil
mengulangi kata-katanya tadi. Sambil bicara ia menggeleng-geleng.
"Oh - rupanya kami tidak diizinkan membawa anjing?" kata George. "Tapi dia ini
takkan berbuat apa-apa di dalam."
Wanita itu menuding papan pengumuman. Di situ tertulis dengan jelas: ANJING
DILARANG MASUK! "Ya deh! Kami tinggalkan dia di luar," kata George jengkel. "Huh, peraturan
konyol! Timmy, kau menunggu di sini, ya! Kami takkan lama di dalam."
Timmy kelihatan seperti kecewa. Tapi ia tahu, beberapa tempat memang tak boleh
dimasuki olehnya. Misalnya saja gereja! Timmy mengira bangunan itu pasti gereja
yang besar sekali - persis seperti tempat yang selalu dimasuki George pada hari
Minggu! Anjing itu lantas merebahkan diri di suatu pojok yang disinari matahari.
Sedang kelima anak itu masuk lewat pagar berputar, lalu membuka pintu yang ada
di belakangnya. Kini mereka berada di pekarangan dalam puri.
"Tunggu - kita perlu membawa buku pedoman," kata Julian. "Aku ingin mengetahui
beberapa hal tentang puri ini."
Julian kembali ke tempat nenek penjaga, dan membeli sebuah buku pedoman.
Kemudian, sambil berdiri di tengah pekarangan dalam, anak-anak mempelajari buku
itu. Di dalamnya tertulis sejarah puri. Sejarah yang penuh dengan kisah perang
dan damai, pertengkaran antara keluarga-keluarga bangsawan, perkawinan megah.
Pokoknya segala macam, yang biasa disebut sejarah!
"Kisahnya pasti menarik, asal disusun secara rapi," kata Julian. "Eh - ini ada
gambar denah puri. Ternyata di sini ada ruang kurungan di bawah tanah!"
"Tertutup untuk umum," kata Dick sambil membaca, ia merasa kecewa.
"Puri ini dulunya sangat kokoh dan kuat," kata Julian sambil mempelajari gambar
denah. "Dan tembok besar yang mengelilinginya, sudah ada semenjak jaman dulu.
Sedang puri yang sesungguhnya dibangun di tengah-tengah pekarangan dalam yang
mengelilingi. Di sini ditulis, tembok puri ini tebalnya sekitar dua setengah
meter. Bayangkan - dua setengah meter! Pantas masih tetap kokoh sampai
sekarang!" Anak-anak memandang reruntuhan bangunan besar yang sunyi itu dengan pandangan
kagum. Kelihatannya sangat tinggi. Di sana sini sudah sama sekali ambruk
temboknya. Pintu-pintunya sudah rusak semua.
"Menaranya ada empat - itu juga sudah kita ketahui," kata Julian, yang masih
membaca terus. "Di sini ditulis, tiga di antaranya sudah rusak sama sekali. Tapi
menara yang keempat masih bisa dibilang utuh! Tapi tangga batu yang menuju ke
atas sudah ambruk!" "Yah - kalau begitu kalian keliru," kata George sambil mendongak, memandang
menara yang masih berdiri. "Tak mungkin kalian melihat muka orang di atas! Jika
tangganya sudah ambruk, mana mungkin ada orang bisa naik."
"Hmm! Kita lihat saja dulu, kayak apa keadaan tangga itu," kata Julian. "Mungkin
cuma berbahaya saja, dan barangkali kita akan menjumpai papan pengumuman yang
melarang naik ke atas. Tapi sebetulnya masih bisa dinaiki, asal berhati-hati."
"Jadi kalau begitu, kita naik ke atas?" tanya Jo.
Mata anak itu berkilat gembira. "Lalu apa yang kita lakukan, jika kita jumpai si
Muka di atas?" "Tunggu saja sampai kita benar-benar bertemu dengannya!" kata Julian sambil
mengantongi buku pedoman. "Kelihatannya cuma kita saja pengunjung saat ini. Yuk
- kita mengelilingi pekarangan ini dulu!"
Mereka lantas berjalan menyusur pekarangan yang mengelilingi bangunan puri.
Banyak sekali batu putih besar-besar bertebaran di situ. Batu-batu itu berasal
dari dinding puri yang roboh. Di satu tempat nampak dinding sudah runtuh sama
sekali. Anak-anak bisa memandang dengan leluasa ke dalam puri. Kelihatannya
gelap. Menyeramkan! Akhirnya mereka sampai lagi di bagian depan.
"Yuk - kita masuk lewat pintu depan," kata Julian. "Itu jika gerbang batu yang
besar bisa disebut pintu! He - terbayangkah oleh kalian, betapa pada jaman dulu
para satria menunggang kuda hilir-mudik di pekarangan luas ini" Mereka sudah tak
sabar lagi, ingin berangkat untuk ikut berperang tanding" Bayangkanlah - itu
bunyi kaki kuda mereka berjalan di atas batu!"
"Ya, ya!" kata Dick bergairah. "Sekarang terbayang olehku pula!"
Anak-anak masuk ke dalam puri, lewat gerbang batu yang besar. Mereka menyusur
kamar demi kamar. Semua berdinding dan berlantai batu. Kesemua ruangan itu
gelap, karena jendelanya sempit sekali. Lebih cocok disebut celah.
"Jaman dulu, orang belum mengenal kaca untuk jendela," kata Dick. "Pasti pada
hari-hari dingin dan banyak angin, penghuni kamar-kamar begini mengucap syukur
karena jendela tidak besar-besar seperti jaman sekarang! Huhh!" Dick pura-pura
menggigil kedinginan. "Kamar gelap begini, pasti dingin sekali di musim salju!"
"Tapi lantai dulu biasa dihampari tikar kercut, dan pada dinding tergantung
permadani berlembar-lembar," kata Anne. Ia teringat pada pelajaran sejarah di
sekolah. "Yuk - kita pergi ke tempat tangga batu sekarang, Julian. Ayolah, kita
ke sana saja. Aku kepingin tahu, benarkah ada orang di atas menara!"
Bab 14 DI DALAM PURI FAYNIGHTS "Gaok! Gaok! Gaok!" Burung gagak beterbangan
mengitari puri kuno itu, sambil berteriak-teriak ribut sesama mereka. Anak-anak
mendongak, memandang burung-burung itu.
"Aku ingin tahu, sudah berapa lama kawanan gagak itu hidup di sekitar puri ini."
"Kurasa ranting-ranting yang berserakan di pekarangan ini, mestinya mereka yang
menjatuhkan," kata Julian. "Mereka membuat sarang dengan ranting-ranting besar!
Tapi ranting yang jatuh, mestinya sebanyak yang mereka pakai! Lihat saja
tumpukan yang di sana itu!"
"Sayang, dibuang-buang begitu saja!" kata Dick. "Coba menjatuhkannya dekat
karavan kita, aku kan tak perlu lagi repot-repot mengumpulkan kayu bakar setiap
hari!" Mereka berbicara sambil berdiri dekat gerbang besar, yang merupakan jalan masuk
ke dalam puri. Anne sudah tidak sabar lagi.
"Yuk, kita sekarang saja memeriksa menara," katanya mendesak.
Mereka menghampiri menara terdekat. Tapi ini tak nampak lagi bahwa itu dulu
sebuah menara. Kelihatannya cuma berupa setumpuk batu yang membukit.
Kemudian mereka pergi ke satu-satunya menara yang masih utuh. Mereka
mengharapkan, akan menemukan sisa-sisa tangga batu di sana. Tapi yang didapati,
benar-benar mengecewakan. Mereka bahkan sama sekali tidak bisa masuk ke dalam
menara! Salah satu tembok sebelah dalam ambruk, dan lantar penuh dengan batu
sehingga mereka tidak bisa masuk. Anak-anak tak melihat tangga di situ. Entah
ikut ambruk, atau mungkin pula terbenam di bawah puing tembok yang runtuh.
Julian heran. Nampak jelas, tak mungkin ada orang bisa naik ke atas menara lewat
jalan dalam. Tapi kalau begitu, kenapa ia melihat muka orang di jendela menara
itu" Julian mulai merasa tidak enak. Benar-benar muka orangkah yang dilihatnya"
Dan kalau bukan - lantas apa"
"Aneh," kata Dick, yang rupanya sama pikirannya seperti Julian. Ia menuding batu
yang bertumpuk-tumpuk di lantai dasar menara. "Kelihatannya mustahil ada orang
bisa naik ke puncak menara lewat sini! Tapi - kalau begitu bagaimana dengan muka
yang kita lihat kemarin?"
"Yuk, kita tanyakan saja pada nenek yang di luar tadi, apakah ada jalan lain
untuk naik ke atas," kata Julian. "Mungkin saja dia tahu."
Mereka lantas kembali lagi ke menara kecil di tembok luar, tempat mereka masuk
tadi. Wanita tua itu masih tetap duduk dekat pintu masuk, ia sibuk merajut.


Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bu, bolehkah kami bertanya sedikit?" tanya Julian. "Masih bisakah orang naik ke
atas menara yang di sana itu?"
Nenek itu mengatakan sesuatu. Tapi sulit sekali memahami kata-katanya. Tapi
karena sambil berbicara ia menggeleng-gelengkan kepala, jelaslah bahwa tak ada
jalan naik ke atas menara. Benar-benar aneh!
"Adakah denah lain yang lebih jelas lagi daripada yang ini?" tanya Julian sambil
menyodorkan buku pedomannya. "Misalnya saja di mana terdapat denah ruangan-
ruangan kurungan bawah tanah - serta denah menara-menara itu sewaktu masih
utuh?" Nenek itu mengatakan sesuatu. Kedengarannya seperti "Perhimpunan Kelestarian-"
dan masih ada lagi tambahan di belakangnya. "Apa kata Anda?" tanya Julian sekali
lagi. Tapi nenek tua itu rupanya sudah bosan ditanya-tanyai terus, ia membuka
sebuah buku besar. Dalam buku itu tertulis nama-nama serta catatan pembayaran,
ia menyimak sebentar, lalu menuding tulisan dalam buku itu. Ditunjukkannya
tulisan itu pada Julian. "Perhimpunan Kelestarian Bangun-bangunan Kuno," baca Julian. "Oh, itu maksud Ibu
tadi! Adakah orang mereka yang datang kemari akhir-akhir ini" Dan mungkinkah
mereka lebih banyak tahu daripada yang tertulis dalam buku pedoman ini?"
"Ya," jawab wanita tua itu. "Dua orang dari mereka datang hari Kamis yang lalu.
Sehari penuh mereka berada di sini. Tanyakan pada perhimpunan itu tentang segala
hal yang ingin kauketahui - dan jangan padaku! Aku cuma memungut uang masuk saja
di sini." Tahu-tahu nenek tua itu bisa berbicara dengan jelas. Tapi cuma sebentar saja.
Setelah itu ia mulai menggumam lagi, sehingga tak ada yang bisa menangkap kata-
katanya. "Pokoknya, ia sudah mengatakan apa yang ingin kita ketahui," kata Julian,
setelah mereka masuk kembali ke dalam puri. "Kita menelepon perhimpunan itu, dan
menanyakan apakah mereka bisa menambahkan keterangan mengenai puri ini.
Barangkali saja ada lorong-lorong rahasia serta hal-hal lain yang tidak
diterangkan dalam buku ini."
"Aduh, mengasyikkan," kata George bersemangat. "Yuk, kita kembali ke menara tadi
dan memeriksanya dari luar. Mungkin saja menara itu bisa dipanjat sebelah
luarnya." Anak-anak memeriksa sisi luar menara. Tapi ternyata tak bisa dipanjat. Walau
tembok di situ dibangun dengan batu-batu yang kasar tatanannya, sehingga bisa
dijadikan tempat berpegang dan berpijak, tapi toh terlalu berbahaya untuk
dipanjat - juga bagi anak yang sangat cekatan seperti Jo! Sebabnya, tak bisa
diketahui batu mana yang sudah longgar atau rapuh. Jadi selalu ada kemungkinan
pemanjat yang sial berpijak atau berpegangan ke batu itu - dan pasti saat itu
juga ia akan terbanting ke tanah!
Walau begitu, Jo masih ingin mencoba juga.
"Mungkin saja bisa," katanya sambil melepaskan sepatu.
"Pakai sepatumu kembali," kata Dick dengan segera. "Kau tak boleh nekat-nekatan.
Pada dinding ini sama sekali tak ada tanaman merambat yang bisa kaujadikan
pegangan!" Jo memasang sepatunya kembali sambil merengut. Tampangnya saat itu sangat mirip
dengan tampang George kalau sedang merajuk. Detik berikutnya anak-anak melongo.
Tahu-tahu ada yang datang berlari-lari menghampiri mereka. Siapa" Yah - siapa
lagi, kalau bukan Timmy! "Timmy!" seru George tercengang. "Kau masuk lewat mana" Jalan satu-satunya kan
lewat pagar berputar, sedang pintu di belakangnya tertutup.
Kami sendiri yang menutupnya tadi! Bagaimana kau bisa masuk."
Timmy menggonggong-gonggong. Maksudnya mungkin hendak menjelaskan. Anjing itu
kemudian lari ke menara yang masih utuh, melewati batu-batu yang berserakan.
Lalu berhenti dekat sebuah liang kecil, di sela tiga atau empat bongkah batu.
Timmy menggonggong lagi, sambil mengais-ngais salah satu batu.
"Ia keluar lewat sini," kata George. Ditarik-tariknya sebongkah batu besar. Tapi
tentu saja tak mampu digerakkannya barang sedikit juga! "Aku tak tahu bagaimana
Timmy tadi bisa menyusup keluar dari sini - karena liang ini kelihatannya sempit
sekali. Untuk kelinci saja, masih terlalu sempit! Kalau kita, pasti takkan ada
yang bisa lewat di sini."
"Yang membingungkan bagiku," kata Julian, "bagaimana Timmy bisa masuk dari luar
tadi. Kita kan meninggalkannya di halaman luar puri! Jadi kurasa ia pasti
menemukan sebuah lubang kecil, lalu menyusup masuk lewat situ."
"Ya, betul," sambung Dick. "Kita tahu tembok sekeliling puri tebalnya sekitar
dua setengah meter. Jadi rupanya Timmy menemukan suatu bagian yang sudah runtuh
sebelah bawahnya, lalu menyusup ke dalam lewat situ. Tapi - mungkinkah ada
lubang menembus tembok setebal dua setengah meter?"
Persoalan itu benar-benar membingungkan anak-anak. Mereka memandang Timmy, yang
mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian ia menggonggong dengan nyaring, lalu lari
berkeliling-keliling. Kelihatannya seperti mengajak bermain-main.
Pintu masuk terbuka, dan nenek tua yang tadi menjengukkan kepala ke dalam.
"Bagaimana anjing itu bisa masuk kemari?" serunya, "Ia harus keluar lagi dengan
segera!" "Kami sendiri juga bingung, bagaimana ia sampai bisa masuk," jawab Dick. "Atau
ada lubang di dinding luar?"
"Tidak," jawab nenek itu. "Sama sekali tidak ada! Pasti kalian sendiri yang
memasukkan anjing itu tadi, ketika aku kebetulan tidak melihat, ia harus keluar
sekarang - dan kalian juga! Kalian sudah cukup lama berada di dalam."
"Kita pergi saja sekarang," kata Julian. "Kita sudah melihat semua yang bisa
dilihat - atau tepatnya, semua yang diizinkan dilihat. Aku merasa yakin, pasti
ada salah satu jalan naik ke atas menara itu, walau tangganya sudah runtuh. Aku
akan menelepon Perhimpunan Kelestarian Bangun-bangunan Kuno! Aku akan meminta
dihubungkan dengan orang-orang yang memeriksa puri ini minggu lalu. Pasti mereka
itu ahli bangunan kuno."
"Ya - dan mungkin pada mereka ada denah yang lengkap," kata Dick. "Lorong-lorong
rahasia, kamar kurungan bawah tanah, kamar-kamar tersembunyi - jika ada!"
Mereka lantas keluar lagi, sambil menggiring Timmy.
"Sekarang aku ingin makan kue donat di tempat penjualan susu," kata George.
"Ditambah dengan limun. Siapa yang juga mau?"
Tentu saja tak ada yang menolak, termasuk Timmy. Ia langsung menggonggong.
"Timmy paling doyan makan kue donat," kata George. "Kalau diberi satu, langsung
ditelan habis olehnya!"
"Itu kan sayang," kata Anne. "Waktu itu ia makan empat - lebih banyak daripada
kita." "Kalian pergi saja dulu ke sana untuk memesannya," kata Julian. "Sementara itu
aku mencari Perhimpunan Kelestarian itu. Mestinya ada kantor mereka di daerah
sini." la pergi ke kantor pos untuk menelepon dari situ, sementara yang lain
berbondong-bondong masuk ke toko penjualan susu. Wanita penjual yang gemuk
menyambut mereka dengan wajah berseri-seri. Anak-anak dianggapnya langganan yang
paling baik. Dan kenyataannya memang begitu.
Anak-anak sedang sibuk mengunyah kue donat mereka yang kedua, ketika Julian
datang dari kantor pos. "Ada kabar?" tanya Dick.
"Ada - tapi kabar aneh," jawab Julian. "Aku berhasil menemukan alamat
perhimpunan itu. Mereka punya kantor cabang, yang tempatnya sekitar lima puluh
mil dari sini. Kantor cabang itu mengurus segala bangunan kuno di daerah
bergaris tengah seratus mil. Lalu kutanyakan apakah mereka punya brosur baru
dari puri Faynights."
Julian berhenti sebentar dan menggigit kuenya. Anak-anak menunggu dengan sabar,
sampai ia sudah menelannya. Setelah itu ia meneruskan ceritanya.
"Kata mereka, tak ada brosur baru. Puri Faynights paling akhir diperiksa dua
tahun yang lalu" "Tapi - persis begitulah tanyaku tadi," kata Julian, sambil menggigit kue
donatnya lagi. "Dan inilah kabar yang kukatakan aneh itu. Mereka mengatakan
bahwa mereka tak mengerti apa yang kumaksudkan, karena tak ada orang perhimpunan
yang dikirim kemari. Mereka juga bertanya, aku ini siapa?"
"Hmm!" kata Dick, sambil berpikir-pikir. "Kalau begitu kedua orang itu memeriksa
puri demi kepentingan mereka sendiri!"
"Betul," kata Julian. "Timbul perasaan pada diriku, muka yang kita lihat di
jendela menara, mesti ada hubungannya dengan kedua orang itu. Sudah jelas mereka
tak ada hubungan sama sekali dengan perhimpunan yang resmi. Mereka menyebutnya
hanya sebagai alasan - padahal mereka ingin mengetahui kemungkinan persembunyian
dalam puri!" Anak-anak menatap Julian. Mereka mulai merasakan suatu perasaan tertentu - yang
oleh George disebut 'perasaan bertualang'.
Jadi memang ada muka yang muncul di balik jendela menara, dan juga ada jalan
naik ke atas," kata Anne.
"Ya, kurasa begitu," jawab Julian. "Kedengarannya memang terlalu dicari-cari -
tapi aku merasa mungkin saja kedua sarjana yang menghilang itu lari kemari. Aku
tak tahu apakah kalian membacanya juga dalam berita di koran - tapi satu di
antara mereka yang bernama Jeffrey Pottersham, dia itu pernah menulis buku
tentang reruntuhan bangunan kuno yang terkenal, ia pasti tahu tentang Puri
Faynights, karena puri itu sangat terkenal. Jika mereka bermaksud bersembunyi di
salah satu tempat sampai keributan mengenai lenyapnya mereka sudah reda, lalu
setelah itu melarikan diri ke negara lain, yah...."
"Mereka bisa saja bersembunyi di atas menara, lalu pada suatu malam menyelinap
ke luar, pergi ke pantai dan di sana menyewa kapal nelayan!" seru Dick mendului
Julian. "Dengan cepat mereka bisa menyeberangi Selat Inggris."
"Ya - dugaanku yang timbul juga begitu," kata Julian. "Kurasa sebaiknya aku
menelepon Paman Quentin mengenai persoalan ini. Akan kupaparkan muka yang
kulihat kemarin dengan sejelas mungkin padanya. Kurasa urusan ini terlalu
penting, sehingga terlalu berat jika kita tangani sendiri. Mungkin saja kedua
orang itu membawa lari rahasia yang sangat penting artinya."
"Kita menghadapi petualangan lagi," kata Jo. Tampangnya serius. Tapi matanya
bercahaya. "Aku senang - karena ikut di dalamnya!"
Bab 15 PENGINTAIAN Anak-anak semua ikut merasa bersemangat.
"Kurasa aku berangkat saja naik bis ke kota terdekat," kata Julian. "Kalau dari
bilik telepon di sini, terlalu gampang didengar orang lain. Lebih baik aku
menelepon dari salah satu kios di jalan, di mana tak ada yang bisa mendengar
pembicaraanku." "Baiklah - pergi saja," kata Dick. "Kami akan berbelanja dulu, dan setelah itu
kembali ke karavan. Aku ingin tahu apa kata Paman Quentin tentang soal ini."
Sementara Julian menuju ke perhentian bis, anak-anak pergi berbelanja. Di jalan
mereka berpapasan dengan beberapa orang pasar malam. Sikap mereka pada ramah.
Ibu Alfredo juga ada di desa saat itu. Ia berjalan menenteng keranjang, yang
besarnya hampir sebesar dirinya sendiri. Wanita itu nampak berseri-seri ketika
melihat anak-anak. Ia berseru memanggil-manggil.
"Lihatlah - aku sampai terpaksa pergi belanja sendiri! Lelaki jahil itu terlalu
malas melakukannya. Dan dia tidak punya otak. Jika kusuruh membeli daging, pasti
ikan yang dibawanya. Kusuruh beli kubis, yang dibawa daun selada. Dia memang
tidak berotak!" Anak-anak tertawa geli. Memang lucu rasanya membayangkan Alfredo penelan api
yang bertubuh kekar itu, dengan seenaknya saja diperintah dan diomeli istrinya
yang kecil mungil. "Lain sekali rasanya melihat mereka kini bersikap begitu ramah," kata George
senang. "Mudah-mudahan sikap mereka akan begitu terus. Itu pawang ular, Pak
Slither! Tapi ia tak membawa ular-ular peliharaannya."
"Kalau ia membawa mereka kemari, pasti seluruh desa akan kosong dengan segera,"
kata Anne. "Ular-ular itu diberi makan apa ya?"
"Mereka diberi makan cuma dua minggu sekali," kata Jo. "Mereka menelan...."
"Jangan! Jangan ceritakan!" potong Anne cepat-cepat. "Aku tak kepingin tahu. He!
Itu Skippy!" Skippy melihat mereka, lalu melambai dengan riang. Wanita itu menenteng beberapa
bungkusan. Kelihatannya penuh berisi barang-barang belanjaan. Orang-orang pasar
malam, kalau berbelanja rupanya tidak pernah setengah-setengah!
"Rupanya besar juga penghasilan mereka," kata Anne.
"Yah - tapi begitu diterima langsung dibelanjakan," kata Jo. "Mereka tak pernah
menabung. Mereka cuma kenal saat-saat pesta, atau saat-saat payah. Nampaknya
banyak penerimaan mereka dalam pertunjukan terakhir - karena banyak sekali
belanjaan yang ditenteng!"
Anak-anak lantas kembali ke lapangan perkemahan. Sehari itu mereka asyik terus.
Para artis menyambut mereka dengan tangan terbuka.
rupanya sebagai imbalan atas sikap tak ramah sebelum itu. Pak Alfredo sekali
lagi memamerkan keahlian menelan api, dan menunjukkan cara menyiapkan
pertunjukan itu. Pak Karet mendemonstrasikan kecekatan menyusup-nyusup di sela
jari-jari roda karavannya. Setelah itu ia melipat dua tubuhnya. Lengan dan
tungkainya diputar-putar ke segala arah. Saat itu ia lebih mirip cumi-cumi
berlengan empat, daripada manusia biasa.
Kemudian a hendak menunjukkan tekniknya pada Dick. Tapi anak itu, melipat dua
tubuhnya secara benar saja sudah tidak bisa! Dick merasa kecewa, karena
sebetulnya ia ingin sekali bisa menguasai suatu kepandaian untuk dipamerkan pada
kawan-kawan di sekolah. Pak Slither tidak mau kalah. Pawang ular itu bercerita dengan asyik tentang
kehidupan ular. Ia mengakhiri ceritanya dengan beberapa keterangan tentang jenis
ular berbisa. Menurut katanya, pengetahuan seperti itu ada saja gunanya.
"Jika kalian ingin menangkap ular berbisa untuk menjinakkannya misalnya," kata
Pak Slither, "jangan dikejar dengan tongkat, atau ditekan ke tanah. Ular kalau
dibegitukan pasti ketakutan. Jadi takkan ada gunanya lagi."
"Lalu kita harus berbuat apa?" tanya George.
"Kau harus memperhatikan lidahnya yang bercabang," kata Pak Slither dengan
serius. "Kalian kan tahu, lidah ular selalu keluar masuk sambil bergetar terus?"
"Ya," kata anak-anak serempak.
"Nah! Kalau ada ular berbisa, dan lidahnya terjulur kaku, kalian harus hati-
hati," kata Pak Slither. "Kalau sedang begitu, jangan sentuh! Tapi jika nampak
lidahnya bergetar, geserkan saja lengan sepanjang tubuhnya. Ular itu pasti bisa
diangkat dengan gampang." Sambil berbicara, ia menirukan kata-katanya dengan
gerakan tangan - pura-pura mengangkat tubuh ular dan membiarkannya menjalar di
lengannya. Anak-anak keasyikan memperhatikannya. Tapi rasanya seram juga. Bulu
tengkuk mereka merinding.
"Terima kasih. Pak!" kata Dick kemudian. "Lain kafi jika aku memungut ular
berbisa, akan kuturuti nasihat tadi."
Anak-anak tertawa. Dick aksinya seperti dia setiap hari kerjanya cuma memungut
ular berbisa! Pak Slither merasa senang karena ceritanya didengar dengan penuh
minat. Tapi George dan Anne, diam-diam sudah membulat tekad. Kalau berjumpa
ular, mereka takkan mau melihat dulu apakah lidahnya bergetar atau tidak. Mereka
akan langsung lari pontang-panting!
Masih ada beberapa artis lagi yang tak begitu dikenal anak-anak. Misalnya Dacca.
Ia seorang penari. Dikenakannya sepatu bertumit tinggi, lalu dipamerkannya
keahliannya menari dengan gerakan kaki yang lincah di anak tangga paling atas
dari karavannya. Lalu Pearl, akrobat yang pandai macam-macam di atas tali yang
terentang di atas tanah. Berjalan, menari, jungkir balik. Gerakannya sangat
cekatan, setiap kali melompat jatuhnya selalu di atas tali lagi. Kecuali itu
masih banyak lagi yang termasuk anggota rombongan, tapi tugasnya melulu sebagai
pembantu. Jo belum mengenal mereka itu semuanya. Tapi dengan cepat ia kelihatan akrab
dengan orang-orang itu. Anak-anak sampai sangsi, apakah Jo masih mau kembali ke rumah
ibu angkatnya! "Jo sekarang sudah seperti mereka saja," kata George. "Periang, tak begitu
mempedulikan kebersihan, berbuat semaunya dan bermurah hati, malas tapi tak
segan bekerja keras! Lihat saja Buffalo! Kalau berlatih bisa sampai berjam-jam,
tapi tidur-tiduran pun bisa berjam-jam pula. Mereka itu aneh-aneh, tapi aku
sangat senang pada mereka!"
Anak-anak sependapat dengannya. Siang itu mereka makan tanpa Julian, karena anak
itu belum kembali. Kenapa begitu lama ia pergi" Padahal kan cuma hendak
menelepon Paman Quentin saja!
Akhirnya ia muncul juga. "Sayang aku pulang lambat," katanya, "tapi mula-mula aku tak berhasil mendapat
sambungan. Aku menunggu sebentar, karena mungkin saja Bibi Fanny dan Paman
Quentin sedang ke luar. Sambil menunggu aku makan siang dulu. Kemudian kucoba
lagi menelepon ke Pondok Kirrin. Bibi Fanny ada di rumah. Tapi Paman Quentin
ternyata sedang ke London. Malam ini ia baru pulang."
"Ke London?" kata George heran. "Ayah boleh dibilang tak pernah ke London'"
"Rupanya ia ke sana, sehubungan dengan kedua sarjana yang lenyap itu," kata
Julian. "Paman Quentin merasa yakin sekali bahwa sahabatnya, Terry-Kane bukan
pengkhianat, ia menghadap pemerintah untuk menyampaikan pendapatnya itu. Yah,
aku tentu saja tak mungkin bisa menunggu kepulangannya sampai nanti malam."
"Jadi kau tidak melaporkan pengalaman kita?" tanya Dick kecewa.


Lima Sekawan Sarjana Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku melaporkannya - tapi terpaksa pada Bibi Fanny saja," kata Julian. "Kata
Bibi, begitu Paman Quentin kembali ia akan meneruskannya. Sayang aku tidak bisa
berbicara sendiri dengan Paman, dan menanyakan pendapatnya. Tapi tadi Bibi Fanny
kuminta agar Paman mau menulis surat dengan segera padaku." Sore itu mereka
duduk-duduk lagi di lereng bukit, sambil menikmati sinar matahari yang hangat.
Cuaca saat itu sangat nyaman. Julian melayangkan pandangan ke reruntuhan puri
yang nampak di bukit sekarang. Perhatiannya terpaku pada menara yang masih utuh.
Letak puri begitu jauh, sehingga jendela sempit yang ada di puncak menara cuma
nampak samar. "Tolong ambil teropongmu, George," kata Julian. "Kita perhatikan lagi jendela
itu. Kemarin saat beginilah kita melihat muka itu."
George pergi mengambil teropongnya. Tapi benda itu tidak langsung diserahkannya
pada Julian. Ia ingin melihat dulu ke arah jendela dengannya. Mula-mula tidak
kelihatan apa-apa. Tapi kemudian, tiba-tiba muncul muka seseorang. George
berseru kaget. Julian menyentakkan teropong dari tangan George, lalu mengarahkannya ke jendela
puncak menara. Seketika itu juga dilihatnya muka orang yang kemarin. Ya - betul!
Muka yang dilihatnya kemarin. Dikenalinya alis tebal orang itu.
Kemudian anak-anak silih berganti memperhatikan dengan teropong. Semua ingin
melihat muka orang tak dikenal itu. Muka itu sama sekali tidak bergerak-gerak.
Cuma diam terus, sambil menatap ke luar. Ketika Anne sedang memperhatikannya,
muka itu tiba-tiba menghilang dan tidak muncul lagi.
"Nah - ternyata kita tidak keliru melihat kemarin," kata Julian. "Orang itu
memang ada di sana. Menurut perasaanku, muka itu kelihatannya kayak bingung."
"Betul," kata Dick. Yang lain-lain juga sependapat.
"Kemarin pun aku sudah berperasaan begitu," kata Dick lagi. "Mungkinkah orang
itu ditawan di sana?"
"Kelihatannya begitu," kata Julian. "Tapi bagaimana ia bisa sampai di sana"
Tempat itu memang cocok sekali untuk menawan orang. Takkan ada yang mengira di
situ ada orang yang disembunyikan. Kita pun, kalau tidak kebetulan sedang
mengamat-amati gagak dengan teropong, takkan mungkin bisa melihat muka itu.
Sungguh-sungguh kebetulan saja!"
"Betul - kebetulan yang luar biasa," kata Dick. "Ju - kurasa sebaiknya kita ke
puri lagi, lalu memanggil-manggil ke atas. Siapa tahu, mungkin orang itu
menjawab dengan teriakan, atau melemparkan surat untuk kita."
"Kalau memang bisa, pasti ia sudah terlebih dulu melemparkannya," kata Julian.
"Dan berteriak - kurasa ia harus menjulurkan badan keluar dari tembok tebal itu,
agar suaranya bisa terdengar jelas di bawah. Dari tadi kan kelihatan di balik
jendela, dan jendela itu nampaknya tebal sekali temboknya."
"Tidak bisakah kita ke sana untuk menyelidiki?" tanya George. Ia tak tahan lagi,
ingin beraksi. "Kan Timmy dengan salah satu jalan bisa menyusup ke dalam.
Masakan kita tidak bisa?"
"Boleh juga idemu itu," kata Julian. "Memang betul, Timmy berhasil menemukan
jalan masuk - dan mungkin lewat jalan itu pula kita bisa naik ke atas menara."
"Kalau begitu kita berangkat," kata George dengan segera.
"Jangan sekarang," bantah Julian. "Kalau sekarang kita berkeliaran di lereng
bukit sebelah luar puri, pasti akan ketahuan! Kita ke sana nanti malam. Begitu
bulan muncul, kita langsung berangkat."
Timmy memukul-mukulkan ekornya ke tanah, ia mengikuti pembicaraan anak-anak,
dengan sikap seakan-akan mengerti.
"Ya, kau akan kami ajak. Tim," kata George, "karena siapa tahu, kita akan
mengalami kesulitan nanti."
"Kurasa tidak," kata Julian. "Kita kan cuma hendak menyelidiki keadaan! Kurasa
takkan banyak yang akan kita temukan di sana, karena aku merasa pasti kita
takkan bisa masuk ke dalam menara! Tapi kalian mestinya merasa seperti aku juga.
Aku tak bisa tak mengacuhkan munculnya muka di jendela itu. Kalian, seperti aku
juga, ingin berbuat sesuatu mengenainya! Biar cuma berkeliaran di sekitar tembok
malam ini." "Ya - persis begitulah perasaanku," kata George. "Sekarang pun aku sudah tahu,
malam ini aku pasti tidak bisa tidur. Wah, ini benar-benar mengasyikkan , Ju!"
"Betul," jawab Julian. "Untung kita tidak jadi berangkat hari ini. Coba kalau
muka itu tidak kita lihat, pasti kita sudah tidak ada lagi di sini."
Ketika matahari terbenam, hawa menjadi agak dingin. Anak-anak masuk ke dalam
karavan Julian dan Dick, lalu main kartu di situ. Mereka sama sekali tidak
merasa mengantuk. Jo paling tidak bisa main kartu. Karenanya dengan segera ia
berhenti, lalu menonton saja sambil merangkul leher Timmy.
Sehabis makan malam, Dick sudah tidak sabar lagi menunggu.
"Masih belum waktunya juga, Ju?" tanyanya pada abangnya.
Kita berangkat sekarang!"jawab Julian memutuskan. "Pakai baju tebal - malam ini
kita akan mengadakan petualangan!"
Bab 16 LORONG RAHASIA Mereka menunggu sebentar, sampai bulan tertutup awan.
Begitu agak gelap, anak-anak bergegas menuruni bukit sambil menyelinap. Mereka
tidak mau ketahuan oleh orang-orang pasar malam.
Di bukit seberang mereka melalui jalan yang terjal ke atas. Tapi sesampai di
menara kecil, mereka lantas membelok ke kanan. Menyusur kaki tembok luar yang
tebal. Tidak mudah berjalan di situ, karena bukit dasar puri terjal lerengnya. Timmy
ikut dengan mereka. Anjing itu senang diajak berjalan-jalan malam hari.
"Sekarang dengar, Tim - kau harus menunjukkan, lewat mana kau tadi pagi masuk ke
pekarangan puri," kata George. "Mengerti, Tim" Ayo - tunjukkan. Tim!"
Timmy mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang. Lidahnya terjulur ke luar. Sambil
mengendus-endus, anjing itu lari mendului.
Kemudian ia berhenti dengan tiba-tiba, lalu menoleh ke arah anak-anak sambil
melolong pelan. Anak-anak segera bergegas mendekat.
Saat itu, bulan menghilang lagi di balik awan. Konyol! Julian mengambil senter
yang selalu dibawanya, lalu disorotkan ke tempat Timmy berdiri. Anjing itu
memandang padanya. Kalau Timmy manusia, pasti tampangnya kelihatan senang.
"Ada apa. Tim?" tanya Julian bingung. "Di sini kan tidak ada lubang sama sekali!
Jadi tak mungkin kau masuk lewat sini. Apa yang sebetulnya ingin kautunjukkan
pada kami?" Timmy menggonggong pelan. Kedengarannya lebih mirip orang batuk. Setelah itu ia
melompat ke atas, ke suatu tempat di tembok yang tingginya kira-kira semeter dan
tanah. Dan detik berikutnya, Timmy sudah lenyap!
"He! - Ke mana dia?" tanya Dick. "Tembok luar ini tebal sekali - jadi kalau satu
batu terlepas, di belakangnya pasti masih banyak!"
Julian memanjat tembok. Sesampai di lubang, disorotkannya senter ke dalamnya.
"He - ada yang menarik di sini!" katanya. "Ternyata di belakang lubang, masih
ada rongga! Dan Timmy masuk ke rongga itu!"
Anak-anak yang menunggu di tanah, bersemangat mendengar laporan Julian.
"Bisakah kita masuk untuk menyusulnya?" seru George dari bawah. "Coba panggil
Timmy, Ju!" Julian lantas berseru-seru ke dalam.
"Timmy! He, Tim! Kau di mana?"
Dari jauh terdengar suara gonggongan pelan. Tak lama kemudian nampak mata Timmy
bersinar dalam gelap Anjing itu berdiri dalam rongga sempit, yang terdapat di
belakang lubang. "Ia ada di sini," kata Julian pada anak-anak. "Kurasa aku tahu, rongga apa yang
nampak dalam tembok ini. Dulu, sewaktu tembok ini dibangun, di sebelah dalam
dibiarkan ada rongga penyekat. Mungkin untuk menghemat batu, atau mungkin juga
untuk dijadikan lorong rahasia - entahlah, aku juga tidak tahu. Dan karena ada
sebongkah batu terlepas, kini rongga itu bisa dimasuki dari sebelah luar.
Bagaimana - kita selidiki rongga ini?"
"Ya," terdengar jawaban serempak dari bawah. Julian lantas masuk lebih dalam, ke
tengah-tengah tembok. Disorotkannya cahaya senter ke sekeliling rongga tempatnya
berada, ia bisa berdiri di situ.
"Dugaanku tadi ternyata benar," serunya ke luar. "Di sini ada semacam lorong.
Tapi langit-langitnya rendah sekali. Kita harus membungkuk, kalau lewat di situ.
Kau yang naik paling dulu, Anne - kubantu kau nanti."
"Bagaimana udara di situ?" seru Dick ke dalam. "Agak pengap baunya," jawab
Julian. "Tapi jika ini memang lorong, maka pasti ada lubang-lubang udara
tersembunyi - supaya tetap ada udara mengalir. Ya, begitu Anne - kau berpegang
padaku. Jo, kini kau yang naik. Setelah itu George, dan paling akhir Dick."
Tak lama kemudian semuanya sudah masuk ke dalam lorong tersembunyi itu, yang
memanjang di tengah-tengah tembok luar puri. Langit-langitnya memang rendah.
Capek rasanya berjalan membungkuk-bungkuk terus. Lagi pula lorong itu gelap
gulita. Biar semua membawa senter yang dinyalakan saat itu, tapi tempat itu
tetap remang-remang. Agak sulit bagi mereka mengenali sekeliling mereka.
Anne memegang ujung baju Julian erat-erat. Anak itu tidak begitu senang berjalan
di tempat gelap, ia takut tertinggal.
Tiba-tiba Julian berhenti, sehingga anak yang berjalan di belakang terbentur
kawan di depannya. "Kenapa berhenti?" seru Dick yang berjalan paling belakang.
"Di sini ada tangga!" balas Julian. "Menuju ke bawah, dan sangat terjal. Semua
hati-hati melangkah!"
Tangga itu ternyata memang sangat terjal, nyaris tegak lurus.
"Sebaiknya kita berjalan mundur," kata Julian. "Dengan begitu kita bisa
berpegangan sambil melangkah turun. Anne, kau menunggu dulu sampai aku sudah di
bawah. Setelah itu kau akan kubantu turun."
Tangga batu itu tingginya kurang lebih tiga meter. Setelah Julian sampai dengan
selamat di kaki tangga, Anne memutar tubuh lalu menyusul turun sambil berjalan
mundur. Cara turun begitu ternyata lebih mudah bagi mereka.
Di bawah ada lorong lagi. Lorong itu lebih lebar dan tinggi. Untung saja, pikir
anak-anak lega. Tak enak rasanya membungkuk terus sambil berjalan.
"Ke mana arah lorong ini?" tanya Julian. Ia berhenti sambil berpikir. "Arahnya
tegak lurus pada tembok! Kurasa tembok sudah di belakang kita, dan kini kita
berada di bawah pekarangan sebelah dalam puri."
"Aku berani bertaruh, kita tak jauh dari menara," seru Dick dari belakang. "Wah -
mudah-mudahan saja menuju ke sana!"
Tapi tak seorang pun dari mereka bisa mengatakan dengan pasti, ke mana arah
lorong itu! Rasanya seperti lurus terus ke depan, tanpa berbelok-belok. Setelah
menempuh jarak sekitar dua puluh lima meter, Julian berhenti lagi.
"Ada tangga lagi di sini, menuju ke atas!" serunya. "Dan sama terjal seperti
yang tadi. Mungkin yang ini naik ke sebelah dalam puri. Siapa tahu, barangkali
saja ini lorong rahasia ke salah satu ruangan!"
Dengan berhati-hati kelima anak itu mendaki tangga yang terjal. Tak lama
kemudian mereka tiba di suatu tempat. Bukan lorong lagi, tapi sebuah ruangan
sempit. Bahkan sangat sempit! Kelihatannya merupakan rongga, dalam tembok
bangunan puri. Julian kaget, ia berhenti di situ, sementara yang lain ikut
berjejalan masuk. Ruangan itu luasnya cuma seperti dalam lemari besar. Pada suatu sisinya ada
sebuah bangku yang sempit. Di atas bangku nampak para-para memanjang. Sebuah
kendi yang sudah retak bibirnya terletak di atas para-para. Sedang di atas
bangku tergeletak sebilah pisau belati kecil yang matanya sudah patah dan
berkarat. "He - ini kan kamar rahasia - seperti yang biasa ada dalam bangunan kuno," kata
Julian. "Ini dulu dijadikan tempat persembunyian, kalau ada yang memerlukannya.
Kita ini berada dalam tembok puri - mungkin dalam tembok kamar tidur!"
"Dalam kendi ada air," kata George. "Dan pisau itu! Aku ingin tahu, siapa yang
dulu pernah bersembunyi di sini."
Dick menyorotkan senternya berkeliling ruangan. Tiba-tiba ia berseru, sementara
senter yang menyala diarahkan ke satu sudut.
"Apa itu?" tanya Julian.
"Kertas! Kertas perak yang berwarna biru dan merah!" kata Dick. "Itu kan kertas
pembungkus coklat! Kita sering membeli coklat, yang bungkusnya seperti itu."
Sambil bicara Dick memungut kertas perak itu, lalu dilicinkan. Betul - di situ
tertulis nama perusahaan produsennya!
Anak-anak tak ada yang berbicara. Semua sibuk berpikir. Cuma ada satu arti
penemuan itu. Ada orang yang belum lama berselang masuk ke situ - seseorang yang
makan coklat, lalu membuang kertas pembungkus dengan sembarangan. Karena orang
itu tak menyangka akan ada yang menemukan!
"Ternyata ada orang lain yang mengetahui jalan masuk ke sini," kata Julian
kemudian, menyatakan keheranannya. "Dan dari sini, arahnya ke mana" Mungkin saja
ke atas menara!" "Apakah tidak lebih baik berhati-hati sedikit?" kata Dick sambil memelankan
suara. "Maksudku - orang yang ke mari itu, mungkin saja masih berkeliaran di
sekitar sini." "Betul juga katamu. Mungkin lebih baik jika kita kembali," kata Julian. Ia
memikirkan ketiga anak perempuan yang ikut. Tapi George berpendapat lain.
"Jangan!" desis anak itu. "Kita terus! Asal hati-hati saja."
Anak-anak lantas melanjutkan langkah. Dari kamar tersembunyi itu ada sebuah
lorong. Lorong itu mereka masuki. Tapi beberapa meter kemudian mereka sampai di
kaki sebuah tangga pilin. Tangga itu berputar-putar ke arah atas, seperti bukaan
botol. Di atas anak-anak sampai di depan sebuah pintu. Pintu itu rendah dan sempit.
Pegangannya berupa gelang besi model kuno.
Julian ragu-ragu. Buka atau tidak" la berbisik-bisik pada anak-anak yang
menunggu sambil berdiri pada anak tangga yang lebih rendah.
"Di depanku ada pintu. Bagaimana - dibuka atau tidak?"
"Buka," terdengar desis beberapa anak sekaligus. Julian menjamah pegangan pintu
dengan hati-hati, lalu memutarnya. Sama sekali tak terdengar bunyi apa-apa.
Julian menyangka pintu itu terkunci. Tapi ternyata tidak. Daun pintu membuka
tanpa suara. Julian menengok ke balik pintu. Dikiranya ia akan melihat sebuah kamar, ia salah
duga, karena yang ada di belakang pintu itu semacam serambi. Serambi itu
kelihatannya berbentuk lingkaran, di sebelah dalam menara. Cahaya bulan menyinar
Buku Catatan Josephine 1 Pendekar Naga Putih 58 Majikan Pulau Setan Tengkorak Maut 6
^