Peperangan Raja Raja 19
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin Bagian 19
kata Theon pada mereka. "Ser Rodrik Cassel dan semua lord
yang datang membantunya. Aku tidak akan lari dari mereka.
Aku merebut kastel ini dan aku berniat mempertahankannya,
hidup atau mati sebagai Pangeran Winterfell. Tapi aku tidak
akan memerintahkan seorang pun untuk mati bersamaku.
Kalau kalian pergi sekarang, sebelum kekuatan utama Ser
Rodrik menyerang, masih ada kesempatan bagi kalian lolos."
Dia mencabut pedang panjang dan menggambar garis di tanah.
"Mereka yang bersedia tinggal dan bertarung, majulah."
Tak seorang pun bicara. Mereka berdiri dalam zirah
rantai, bulu, dan kulit yang disamak, sediam batu. Beberapa
orang bertukar pandang. Urzen menggeser-geser kaki. Dykk
Harlaw berdeham dan meludah. Jemari angin mengacak-acak
rambut pirang panjang Endehar.
Theon merasa seakan tenggelam. Kenapa aku terkejut"
pikirnya muram. Dia telah ditelantarkan ayahnya, pamannya,
kakaknya, bahkan si makhluk celaka Tengik. Untuk apa lagi
orang-orangnya membuktikan kesetiaan padanya" Tak ada
yang bisa dikatakan, tak ada yang bisa dilakukan. Dia hanya
bisa berdiri di sana di bawah dinding-dinding kelabu besar
dan langit putih kejam, dengan pedang di tangan, menunggu,
menunggu... 1068 Wex yang pertama menyeberangi garis. Tiga langkah
cepat dan dia pun berdiri di sisi Theon, membungkuk. Malu
karena tindakan bocah itu, Lorren Hitam mengikuti, sambil
merengut. "Siapa lagi?" tanya Theon. Rolfe Merah maju.
Kromm. Werlag. Tymor dan saudara-saudaranya. Ulf si Sakit.
Harrag Pencuri Domba. Empat keluarga Harlaw dan dua
Botley. Kenned si Paus jadi yang terakhir. Total tujuh belas
orang. Urzen termasuk di antara yang tak bergerak, juga Stygg,
serta sepuluh orang yang dibawa Asha dari Deepwood Motte.
"Pergi, kalau begitu," kata Theon pada mereka. "Larilah ke
kakakku. Dia akan menyambut kalian dengan hangat, aku
yakin." Setidaknya Stygg masih memasang raut malu. Yang lain
pergi tanpa sepatah kata pun. Theon menoleh pada tujuh
belas orang yang tinggal. "Kembali ke dinding. Jika para dewa
menyelamatkan kita, aku akan mengingat kalian semua."
Lorren Hitam tetap tinggal setelah yang lain pergi.
"Penghuni kastel akan melawan kita begitu pertempuran
dimulai." "Aku tahu. Kau mau aku melakukan apa?"
"Bunuh mereka," jawab Lorren. "Semuanya."
Theon menggeleng. "Apa jeratnya sudah siap?"
"Sudah. Kau mau menggunakannya?"
"Kau tahu cara yang lebih baik?"
"Aye. Aku memegang kapak dan berdiri di jembatan
gantung, lalu membiarkan mereka maju untuk menantangku.
Satu demi satu, dua, tiga, tidak masalah. Tidak ada yang bisa
melewati parit pertahanan selama aku masih bernapas."
Dia berniat mati, pikir Theon. Bukan kemenangan yang
diinginkannya, melainkan akhir yang pantas untuk dijadikan lagu.
"Kita akan memakai jerat."
"Terserah kau saja," balas Lorren, ada sorot menghina
di matanya. 1069 Wex membantunya memakai pakaian untuk bertempur.
Di balik mantel luar hitam dan jubah emas, dia mengenakan
zirah rantai yang diminyaki, dan di bawahnya kulit kaku yang
disamak. Setelah memakai zirah dan bersenjata, Theon naik
ke menara pengawas di sudut tempat dinding timur dan
selatan menyatu untuk menyaksikan kehancurannya. Pasukan
utara menyebar mengepung kastel. Sulit memastikan jumlah
mereka. Seribu setidaknya; mungkin dua kali lipat. Lawan tujuh
belas. Mereka membawa katapel dan pelontar panah. Dia tak
melihat menara pengepungan di jalan raja, tapi cukup banyak
kayu di hutan serigala untuk membuat menara pengepungan
sebanyak yang dibutuhkan.
Theon mengamati panji-panji mereka dengan teropong
Myr milik Maester Luwin. Kapak perang Klan Cerwyn
berkibar gagah ke mana pun dia memandang, juga ada pohon
Tallhart, dan putra duyung dari White Harbor. Ada segelintir
lambang Klan Flint dan Karstark. Di sana sini bahkan
terlihat lambangrusa besar Klan Hornwood. Tapi tidak ada
Klan Glover, Asha sudah membereskan mereka, tak ada pasukan
Bolton dari Dreadfort, tak ada pasukan Umber yang datang dari
bayang-bayang Tembok.Bukannya mereka dibutuhkan. Tak
lama kemudian bocah Cley Cerwyn muncul di depan gerbang
membawa bendera perdamaian di tiang yang tinggi, untuk
mengumumkan bahwa Ser Rodrik Cassel ingin berunding
dengan Theon Pembelot. Pembelot. Nama itu sepahit empedu. Dia teringat, dia
pergi ke Pyke untuk memimpin armada kapal panjang ayahnya
menyerbu Lannisport. "Aku akan keluar sebentar lagi," serunya
ke bawah. "Sendirian."
Lorren Hitam tidak setuju. "Hanya darah yang bisa
membersihkan darah," dia menyatakan. "Para kesatria
mungkin menepati gencatan senjata dengan kesatria lain, tapi
mereka tak terlalu peduli dengan kehormatan bila berurusan
dengan orang yang dianggap penjahat."
Theon meradang. "Aku Pangeran Winterfell dan ahli
1070 waris Kepulauan Besi. Sekarang bawa gadis itu dan laksanakan
apa yang kuperintahkan."
Lorren Hitam menatapnya dengan sorot mematikan.
"Aye, Pangeran."
Dia juga melawanku, Theon menyadari. Belakangan ini
rasanya setiap butir batu di Winterfell menentangnya. Kalau
aku mati, aku akan mati tanpa teman dan ditinggalkan. Pilihan
apa lagi yang dimilikinya selain hidup"
Dia berkuda ke kubu gerbang dengan mahkota di
kepala. Seorang perempuan mengambil air di sumur, dan Gage
si juru masak berdiri di pintu dapur. Mereka menyembunyikan
kebencian di balik tatapan muram dan ekspresi sedatar papan,
tapi Theon tetap saja bisa merasakannya.
Begitu jembatan gantung diturunkan, angin sejuk
berembus melintasi parit. Sentuhan itu membuatnya menggigil.
Ini karena udara dingin, tidak lebih, kata Theon pada diri sendiri,
menggigil kedinginan, bukan gemetar ketakutan. Bahkan lelaki
pemberani pun menggigilkedinginan. Dia berkuda memasuki
cekaman udara dingin, lewat di bawah gerbang besi, melalui
jembatang gantung. Gerbang luar berayun terbuka supaya dia
bisa melintas. Ketika dia muncul di bawah dinding, dia bisa
merasakan bocah-bocah itu mengawasinya dari soket kosong
tempat mata mereka dulu berada.
Ser Rodrik sudah menunggu di alun-alun dengan
menunggangi kuda kebiri bintik-bintiknya. Di sampingnya,
direwolf Klan Stark berkibar dari tongkat yang dipegang oleh
Cley Cerwyn yang belia. Hanya mereka yang berada di sana,
walaupun Theon bisa melihat para pemanah di atap rumahrumah yang mengelilinginya, penombak di kanannya, dan
di kirinya berderet kesatria berkuda di bawah panji-panji
putra duyung-dan-trisula Klan Manderly. Mereka semua
menginginkanku mati. Beberapa di antaranya pemuda yang
pernah mabuk, main dadu, bahkan bergulat dengannya, tapi
itu takkan menyelamatkannya seandainya dia jatuh ke tangan
mereka. 1071 "Ser Rodrik." Theon menghentikan kuda. "Aku sedih
kita terpaksa bertemu sebagai musuh."
"Yang membuatku sedih adalah aku harus menunggu
untuk menggantungmu." Kesatria tua itu meludah ke tanah
berlumpur. "Theon Pembelot."
"Aku seorang Greyjoy dari Pyke," Theon mengingatkan.
"Jubah yang dipakai ayahku membedungku bersimbolkan
kraken, bukan direwolf."
"Selama sepuluh tahun kau menjadi anak asuh Stark."
"Aku menyebutnya tawanan dan tahanan."
"Kalau begitu barangkali Lord Eddard seharusnya
merantaimu di dinding penjara bawah tanah. Tetapi dia
membesarkanmu di antara putra-putranya, bocah-bocah manis
yang kaubantai, dan sampai kapan pun aku akan merasa
malu karena telah melatihmu dalam seni perang. Seandainya
saja aku dulu menusukkan pedang di perutmu bukannya
meletakkannya di tanganmu."
"Aku datang untuk berunding, bukan menerima
hinaanmu. Katakan apa yang mau kaukatakan, pak tua. Apa
yang kauinginkan dariku?"
"Dua hal," jawab lelaki tua itu. "Winterfell dan nyawamu.
Perintahkan orang-orangmu membuka gerbang dan menyerah.
Mereka yang tidak membunuh anak-anak akan dibebaskan,
tapi kau akan ditahan untuk diadili Raja Robb. Semoga para
dewa menaruh iba padamu setelah dia kembali."
"Robb tidak akan pernah kembali ke Winterfell lagi,"
Theon berjanji. "Dia akan hancur di Moat Cailin, seperti yang
dialami pasukan selatan selama sepuluh ribu tahun. Sekarang
kami yang menguasai utara, Ser."
"Kalian menguasai tiga kastel," balas Ser Rodrik, "dan
yang satu ini aku berniat mengambilnya kembali, Pembelot."
Theon mengabaikan ucapannya. "Ini syarat-syaratku. Kau
punya waktu sampai matahari terbenam untuk membubarkan
diri. Mereka yang bersumpah setia pada Balon Greyjoy sebagai
raja mereka dan padaku sebagai Pangeran Winterfell akan
1072 mendapatkan kembali hak dankekayaan mereka, serta takkan
dilukai. Mereka yang menentang kami akan dihancurkan."
Cerwyn muda tampak tak percaya. "Kau sudah sinting,
Greyjoy?" Ser Rodrik menggeleng. "Hanya sombong, Nak. Theon
selalu menganggap tinggi dirinya, sayangnya." Lelaki tua itu
menudingkan jari ke arah Theon. "Jangan membayangkan
aku perlu menunggu Robb bertarung melintasi Neck untuk
berurusan dengan orang seperti kau. Aku membawa hampir
dua ribu orang... dan jika kabar angin itu benar, pasukanmu
tak lebih dari lima puluh."
Tujuh belas, sebenarnya. Theon memaksakan diri
tersenyum. "Aku punya sesuatu yang lebih baik daripada
pasukan." Lalu dia mengangkat tinju ke atas kepala, isyarat
yang ditunggu Lorren Hitam.
Dinding-dinding Winterfell di belakangnya, tapi Ser
Rodrik tepat menghadapnya dan mustahil tak melihat itu.
Theon memperhatikan wajahnya. Saat wajah lelaki tua itu
bergetar di bawah cambang putih kakunya, Theon tahu apa
yang dilihatnya. Dia tidak heran, pikir Theon sedih, tapi rasa
takut itu ada. "Pengecut," kata Ser Rodrik. "Memanfaatkan anakanak... ini hina."
"Oh, aku tahu," balas Theon. "Aku sendiri pernah
merasakannya, atau apa kau lupa" Umurku sepuluh tahun
waktu diambil dari rumah ayahku, untuk memastikan dia
tidak akan memberontak lagi."
"Itu tidak sama!"
Ekspresi Theon tetap tak berubah. "Jerat yang kupakai
tidak terbuat dari tali rami, memang benar, tapi tetap saja
aku merasakan hal yang sama. Dan jerat itu melukaiku, Ser
Rodrik. Membuatku lecet." Dia tidak pernah menyadari itu
sampai sekarang, tapi seiring meluncurnya kata-katanya dia
melihat kebenaran di dalamnya.
"Kau tak pernah disakiti."
1073 "Dan Beth-mu juga tidak akan disakiti, asalkan kau?"
Ser Rodrik tidak memberinya kesempatan menyelesaikan
ucapan. "Ular beludak," kata kesatria itu, wajahnya merah oleh
kemurkaan di balik cambang putihnya. "Aku sudah memberimu
kesempatan menyelamatkan pasukanmu dan mati dengan
sedikit terhormat, Pembelot. Aku seharusnya tahu terlalu
muluk menuntut itu dari pembunuh anak-anak." Tangannya
beralih ke gagang pedang. "Aku seharusnya membunuhmu di
sini dan saat ini juga dan mengakhiri kebohongan dan tipu
muslihatmu. Demi para dewa, aku harusnya melakukan itu."
Theon tak gentar pada lelaki tua gemetaran itu, tapi
lain lagi masalahnya dengan pemanah dan barisan kesatria.
Seandainya pedang sampai terhunus, kesempatannya kembali
ke kastel hidup-hidup nyaris tak ada. "Ingkari janjimu dan
bunuh aku, maka kau akan menyaksikan Beth kecilmu tercekik
di ujung tali." Buku-buku jemari Ser Rodrik memutih, tapi sesaat
kemudian dia melepaskan tangan dari gagang pedang. "Aku
memang sudah hidup terlalu lama."
"Aku tidak akan membantahnya, Ser. Kau bersedia
menerima syarat-syaratku?"
"Aku memiliki kewajiban kepada Lady Catelyn dan
Klan Stark." "Bagaimana dengan klanmu sendiri" Beth adalah
keturunan terakhirmu."
Kesatria tua itu menegakkan tubuh. "Aku menawarkan
diri sebagai pengganti putriku. Lepaskan dia, dan jadikan aku
tawanan. Pastinya pengurus kastel Winterfell lebih berharga
daripada anak-anak."
"Bagiku tidak." Tindakan gagah berani, pak tua, tapi
aku bukan orang bodoh. "Begitu juga bagi Lord Manderly atau
Leobald Tallhart, aku yakin." Kulit tua menyedihkanmu tak lebih
berarti dibandingkan orang lain. "Tidak, aku tetap menahan gadis
itu... dan memastikannya tetap aman, selama kau menuruti
perintahku. Nyawanya di tanganmu."
1074 "Demi para dewa, Theon, bisa-bisanya kau melakukan
ini" Kau tahu aku harus menyerang, telah bersumpah..."
"Jika pasukan ini masih bersenjata di depan gerbangku
ketika matahari terbenam, Beth akan digantung," kata Theon.
"Tawanan lain akan menyusulnya ke kuburan begitu fajar
tiba, dan satu orang lagi saat matahari terbenam. Setiap fajar
dan senja berarti kematian, sampai kalian pergi. Aku tidak
kekurangan tawanan." Dia tak menunggu jawaban, melainkan
memutar Smiler berbalik dan kembali ke kastel. Awalnya
perlahan, tapi membayangkan pemanah di belakangnya
membuatnya cepat-cepat mencongklang. Kepala-kepala kecil
memperhatikannya dari pasak, wajah hitam oleh ter dan
terkelupas menjulang makin besar seiring semakin dekatnya
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia; di antara mereka berdiri si kecil Beth Cassel, dengan leher
terjerat dan menangis. Theon membenamkan tumit di tubuh
Smiler dan berderap kencang. Tapal kuda Smiler berkeletakkeletuk di jembatan gantung, mirip rentak genderang.
Di pekarangan, Theon turun dan menyerahkan tali
kekang pada Wex. "Itu mungkin membuat mereka menahan
diri," katanya pada Lorren Hitam. "Kita akan tahu saat
matahari terbenam. Bawa pergi anak itu sampai saat itu, dan
jaga dia di suatu tempat yang aman." Di balik berlapis-lapis
kulit, baja, dan wol, tubuh Theon licin oleh keringat. "Aku
butuh secawan anggur. Setong anggur bahkan lebih baik lagi."
Perapian sudah dinyalakan di ruang tidur Ned Stark.
Theon duduk di sampingnya dan mengisi cawan dengan
anggur merah pekat dari ruang bawah tanah kastel, anggur
yang seasam suasana hatinya. Mereka akan menyerang, pikirnya
murung, memandangi api. Ser Rodrik menyayangi putrinya,
tapi dia tetap pengurus kastel, dan di atas semua itu dia seorang
kesatria. Seandainya Theon yang lehernya dilingkari jerat dan
Lord Balon yang memimpin pasukan, sangkakala perang pasti
sudah berbunyi mengisyaratkan serangan, dia yakin itu. Dia
seharusnya bersyukur pada para dewa bahwa Ser Rodrik bukan
orang kepulauan besi. Orang-orang negeri hijau lebih lembek,
1075 meskipun dia tak yakin mereka akan terbukti cukup lembek.
Kalau tidak, kalau lelaki tua itu memerintahkan untuk
menyerbu kastel apa pun yang terjadi, Winterfell akan jatuh;
Theon tidak memiliki delusi mengenai hal tersebut. Ketujuh
belas anak buahnya mungkin bisa membunuh tiga, empat,
atau lima kali lipat jumlah mereka, tapi akhirnya mereka pasti
dikalahkan. Theon memandangi kobaran api dari atas bibir cawan
anggur, merenungkan ketidakadilan semua ini. "Aku berkuda
di sisi Robb Stark di Hutan Berbisik," gumamnya. Malam itu
dia ketakutan, tapi bukan seperti ini. Memasuki medan perang
dikelilingi teman-teman dengan mati sendirian dan dibenci
adalah hal yang berbeda. Belas kasih, pikirnya merana.
Setelah anggur tak melipur laranya, Theon menyuruh
Wex mengambilkan busur lalu pergi ke pekarangan dalam
tertutup yang sudah lama. Di sana dia berdiri, melepaskan
anak panah demi anak panah di lapangan panahan sampai
bahunya nyeri dan jemarinya berdarah, hanya berhenti cukup
lama untuk mencabut anak-anak panah dari sasaran untuk
babak berikutnya. Aku menyelamatkan nyawa Bran dengan busur
ini, dia mengingatkan diri. Seandainya aku bisa menyelamatkan
nyawaku. Para perempuan pergi ke sumur, tapi tidak berlamalama; apa pun yang mereka lihat di wajah Theon menyebabkan
mereka buru-buru pergi. Di belakangnya tegak menara yang runtuh, puncaknya
bergerigi mirip mahkota di tempat api meruntuhkan bagian
atasnya lama berselang. Seiring beralihnya matahari, bayangbayang menara ikut bergerak, lambat laun memanjang, lengan
hitam yang seakan meraih Theon Greyjoy. Sewaktu matahari
menyentuh dinding, dia sudah berada dalam cengkeraman
lengan tersebut. Kalau aku menggantung gadis kecil itu, orangorang utara akan langsung menyerang, pikirnya seraya melepaskan
anak panah. Kalau aku tidak menggantungnya, mereka akan tahu
ancamanku cuma omong kosong. Tidak ada jalan keluar, tak satu
pun. 1076 "Seandainya kau punya seratus pemanah semahir
dirimu, kau mungkin punya kesempatan mempertahankan
kastel," suatu suara berkata lirih.
Ketika dia berbalik, Maester Luwin ada di belakangnya.
"Pergi," kata Theon padanya. "Aku sudah muak dengan
nasihatmu." "Dan hidup" Kau sudah muak hidup, pangeranku?"
Theon mengangkat busur. "Satu kata lagi, akan
kulepaskan anak panah ini ke jantungmu."
"Tidak akan." Theon menarik tali busur, mendekatkan bulu angsa
abu-abu ke pipinya. "Mau bertaruh?"
"Aku harapan terakhirmu, Theon."
Aku tidak punya harapan, pikirnya. Namun dia
menurunkan busur sedikit dan berkata, "Aku tidak akan
melarikan diri." "Yang kumaksud bukan melarikan diri. Bergabunglah
dengan Garda Malam."
"Garda Malam?" Theon membiarkan tali busurnya
kembali lurus dan mengarahkan anak panah ke tanah.
"Ser Rodrik mengabdi pada Klan Stark seumur hidup,
dan Klan Stark sejak dulu bersahabat dengan Garda. Dia
tidak akan menolak keinginanmu. Buka gerbang, letakkan
senjata, terima syarat-syaratnya, dan dia harus membiarkanmu
bergabung dengan Garda Malam."
Saudara Garda Malam. Artinya tak ada mahkota, tak ada
putra, tak ada istri... tapi itu artinya hidup, dan hidup dengan
kehormatan. Adik Ned Stark sendiri memilih Garda, begitu
juga Jon Snow. Aku punya banyak jubah hitam, begitu kulepas simbol
krakennya. Kudaku pun hitam. Aku bisa jadi orang penting di Garda"
kepala penjelajah, bahkan Komandan. Biar saja Asha menguasai
kepulauan sialan itu, tempat itu membosankan seperti Asha. Jika
aku bertugas di Mata Timur, aku bisa memimpin kapalku sendiri,
1077 dan ada perburuan seru di balik Tembok. Sedangkan mengenai
perempuan, perempuan wildling mana yang tidak menginginkan
seorang pangeran di ranjang mereka" Seulas senyum perlahan
merambat di wajahnya, Jubah hitam tidak bisa ditolak. Aku akan
sama hebatnya dengan laki-laki mana pun...
"PANGERAN THEON!" Teriakan mendadak itu
memecah lamunannya. Kromm berlari menyeberangi
pekarangan tertutup. "Orang-orang utara?"
Theon merasakan kengerian mendadak yang
memualkan. "Ada serangan?"
Maester Luwin mencengkeram lengannya. "Masih ada
waktu. Kibarkan bendera perdamaian?"
"Mereka bertarung," kata Kromm dengan nada
mendesak. "Lebih banyak yang naik, ratusan, dan awalnya
mereka bergabung dengan yang lain. Tapi sekarang mereka
malah berbalik menyerang pasukan utara!"
"Asha yang datang?" Apa akhirnya kakaknya datang
untuk menyelamatkannya"
Namun Kromm menggeleng. "Bukan. Mereka orangorang utara, sudah kubilang tadi. Dengan laki-laki berdarah di
panji-panjinya." Lelaki tanpa kulit dari Dreadfort. Theon teringat, Tengik
dulu anak buah Anak Haram Bolton sebelum tertangkap.
Sulit untuk percaya bahwa makhluk keji seperti dia mampu
membujuk Bolton untuk mengalihkan kesetiaan, tapi tak ada
alasan lain yang masuk akal. "Aku akan melihatnya sendiri,"
kata Theon. Maester Luwin mengikutinya. Sewaktu mereka tiba di
tembok bergerigi, mayat manusia dan bangkai kuda sudah
berserakan di alun-alun pasar di luar gerbang. Dia tak melihat
formasi perang, hanya pusaran kekacauan panji-panji dan
pedang. Teriakan dan jeritan menggema di udara musim gugur
yang dingin. Ser Rodrik sepertinya unggul dalam jumlah,
tapi orang-orang Dreadfort kelihatannya lebih terpimpin,
dan mereka menyerang lawan yang sedang lengah. Theon
1078 memperhatikan mereka menyerbu, mundur, dan menyerang
lagi, mengubrak-abrik kekuatan lawan yang lebih besar hingga
berantakan dan berdarah-darah setiap kali lawan berupaya
menyusun formasi di antara rumah-rumah. Dia bisa mendengar
derak mata kapak besi di perisai ek di tengah ringkik ketakutan
kuda yang terluka. Dia melihat penginapan itu terbakar.
Lorren Hitam muncul di sampingnya dan berdiri
tanpa bicara selama beberapa waktu. Matahari tampak
rendah di barat, mewarnai ladang dan rumah dengan nuansa
merah bersinar. Jeritgemetar kesakitan yang melengking
melayang melintasi dinding-dinding, dan sangkakala perang
terdengar jauh di balik rumah-rumah yang terbakar. Theon
memperhatikan seorang lelaki terluka menyeret tubuh dengan
susah payah menyeberangi tanah, mencorengkan darah di
tanah selagi berjuang mencapai sumur yang berada di tengah
alun-alun pasar. Dia tewas sebelum tiba di sana. Dia memakai
rompi kulit dan helm setengah kepala berbentuk kerucut, tapi
tidak ada simbol yang menandakan dia bergabung dengan
pihak mana. Kawanan gagak tiba dalam debu biru, bersama bintangbintang malam. "Bangsa Dothraki percaya bahwa bintangbintang adalah roh dari roh dari mereka yang tewas dengan
gagah berani," ujar Theon. Maester Luwin memberitahunya
itu, lama berselang. "Dothraki?" "Raja-raja kuda di seberang laut sempit."
"Oh. Mereka." Lorren Hitam bersungut di balik
janggutnya. "Orang-orang biadab memercayai semua hal-hal
konyol." Seiring menggelapnya malam dan menyebarnya asap,
lebih sulit untuk memantau apa yang terjadi di bawah, tapi
hiruk pikuk dentang baja lambat laut memudar hingga lenyap
sama sekali, sedangkan teriakan dan sangkakala perang
digantikan oleh erangan dan ratapan menyedihkan. Akhirnya
sebaris pasukan berkuda berderap ke luar dari asap yang
1079 membubung. Di depan tampak seorang kesatria berzirah warna
gelap. Helm bundarnya berkilau merah suram, dan jubah
merah muda pucat mengepak dari bahunya. Di luar gerbang
utama, dia menghentikan kuda, dan salah satu anak buahnya
berseru agar kastel dibuka.
"Kalian teman atau musuh?" Lorren Hitam berteriak ke
bawah. "Apa musuh akan membawakan hadiah sebagus
ini?" Helm Merah melambaikan tangan, dan tiga mayat
dicampakkan di depan gerbang. Sebatang obor dikibaskan di
atas tubuh-tubuh itu sehingga pasukan pertahanan di dinding
bisa melihat wajah mereka.
"Si tua pengurus kastel," kata Lorren Hitam.
"Dengan Leobald Tallhart dan Cley Cerwyn." Lord
muda itu terkena panah di mata, sedangkan lengan kiri Ser
Rodrik buntung sampai siku. Maester Luwin berteriak cemas
tanpa suara, berbalik dari dinding pertahanan, dan jatuh
berlutut karena mual. "Babi besar Manderly itu terlalu pengecut untuk
meninggalkan White Harbor, kalau tidak kami pasti juga
membawa dia," seru Helm Merah.
Aku selamat, pikir Theon. Lalu kenapa dia merasa sangat
kosong" Ini kemenangan, kemenangan manis, keselamatan
yang diharapkannya. Dia melemparkan pandang ke Maester
Luwin. Bila membayangkan senyaris apa aku menyerah, dan
bergabung dengan Garda Malam...
"Bukakan gerbang untuk teman-teman kita." Barangkali
malam ini Theon bisa tidur tanpa takut akan apa yang mungkin
dibawa oleh mimpinya. Orang-orang Dreadfort itu melintasi parit pertahanan
dan memasuki gerbang dalam. Theon turun bersama Lorren
Hitam dan Maester Luwin untuk menemui mereka di
pekarangan. Panji-panji merah pucat berkibar dari ujung
beberapa lembing, tapi lebih banyak lagi yang membawa kapak
perang, pedang besar, dan perisai yang terbelah dua hingga
1080 menyerpih. "Kalian kehilangan orang berapa banyak?" Theon
bertanya pada Helm Merah yang turun dari kuda.
"Dua puluh atau tiga puluh." Cahaya oborterpantul
dari enamel yang cuil dari pelindung wajahnya. Helm dan
pelindung lehernya dibentuk seperti sosok wajah dan bahu
manusia, tak berkulit dan berlumuran darah, mulut terbuka
dalam lolongan tersiksa tanpa suara.
"Ser Rodrik mengungguli kalian lima banding satu."
"Aye, tapi dia mengira kami teman. Kekeliruan biasa.
Ketika orang tua bodoh itu mengulurkan tangan, aku malah
memenggal separuh lengannya. Kemudian kubiarkan dia
melihat wajahku." Orang itu meletakkan kedua tangan di
helm dan melepaskannya dari kepala, lalu mengepitnya di
lekuk lengan. "Tengik," kata Theon, cemas. Bagaimana pelayan bisa
mendapatkan zirah sebagus itu"
Lelaki itu terbahak. "Bedebah itu sudah mati."Dia
melangkah mendekat. "Salah gadis itu. Kalau saja dia tidak
kabur sejauh itu, kuda Tengik tak bakal pincang, dan kami
mungkin bisa melarikan diri. Aku memberi Tengik kudaku
begitu melihat pasukan berkuda dari bukit.Aku sudah selesai
dengan gadis itu, dan Tengik mau melakukannya juga selagi
tubuh mereka masih hangat.Aku terpaksa menarik dia dari
gadis itu dan menjejalkan pakaianku ke tangannya"bot dari
kulit sapi dan doublet beledu, sabuk pedang bersepuh perak,
bahkan jubah bulu musangku.Berkudalah ke Dreadfort,
kataku padanya, bawa bala bantuan sebanyak mungkin. Bawa
kudaku, dia lebih cepat, dan ini, pakai cincin yang diberikan
ayahku, supaya mereka tahu aku yang mengirimnya. Dia sudah
tahu untuk tidak mempertanyakan perintahku. Sewaktu
mereka memanah punggungnya, aku melumuri tubuh dengan
kotoran gadis itu dan memakai baju kumal Tengik. Mereka
mungkin tetap saja menggantungku, tapi cuma itu kesempatan
yang kulihat." Dia menggosokkan punggung tangan di mulut.
"Dan sekarang, pangeranku yang baik, ada perempuan yang
1081 dijanjikan padaku jika aku membawa dua ratus orang. Nah,
aku membawa tiga kali lipatnya, dan tidak ada yang bocah
ingusan atau buruh tani, melainkangarnisun ayahku sendiri."
Theon telah berjanji. Sekarang bukan waktunya untuk
berjengit. Bayar imbalannya yang mahal dan tangani dia setelahnya.
"Harrag," panggilnya, "pergi ke kandang anjing dan jemput
Palla untuk..." "Ramsay." Ada senyum di bibir tebalnya, yang tak terlihat
di mata sangat pucatnya. "Snow, istriku memanggilku sebelum
dia memakan jari-jarinya, tapi bagiku Bolton." Senyumnya
membeku. "Jadi kau menawariku pengurus kandang sebagai
imbalan pelayananku yang baik, begitukah caranya?"
Ada nada tertentu dalam suaranya yang tak disukai
Theon, sama seperti dia tak menyukai tatapan kurang ajar
prajurit Dreadfort ke arahnya. "Dialah yang dijanjikan."
"Dia baunya mirip kotoran anjing. Kebetulan aku
sudah muak dengan bau busuk. Kurasa aku mau penghangat
ranjangmu sebagai gantinya. Siapa namanya" Kyra?"
"Apa kau sinting?" kata Theon berang. "Akan ku?"
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Punggung tangan si Anak Haram menghantamnya
telak, dan tulang pipinya retak disertai derak memualkan di
bawah sarung tangan baja. Dunia lenyap dalam raungan merah
menyakitkan. Beberapa lama setelahnya, Theon mendapati dirinya
tergeletak di tanah. Dia berguling bertiarap dan menelan
semulut penuh darah. Tutup gerbang! dia berusaha berteriak,
tapi sudah terlambat. Pasukan Dreadfort telah menebas Rolfe
Merah dan Kenned, dan lebih banyak lagi yang mengalir
masuk, bagai sungai berupa zirah rantai dan pedang tajam.
Ada dengung di telinganya, dan kengerian di sekelilingnya.
Lorren Hitam menghunus pedang, tapi ada empat orang
mendesaknya. Theon melihat Ulf ambruk oleh anak panah
busur silang di perutnya saat dia berlari menuju Aula Besar.
Maester Luwin berusaha meraihnya ketika seorang kesatria di
atas kuda perang menusukkan tombak di antara bahunya, lalu
1082 berputar kembali untuk menginjaknya dengan kuda. Lelaki
lain memutar-mutar obor di atas kepala lalu melemparkannya
ke atap jerami istal. "Sisakan keluarga Frey untukku," seru si
Anak Haram selagi kobaran api meraung naik, "dan bakar yang
lain. Bakar, bakar semuanya."
Hal terakhir yang dilihat Theon Greyjoy adalah Smiler,
melarikan diri dari istal yang dilalap api dengan surai terbakar,
memekik, mendompak... j 1083 TYRION D ia memimpikan langit-langit batu yang retak, bau darah,
kotoran, dan daging terbakar. Udara yang penuh asap
menusuk hidung. Orang-orang mengerang dan merintih
di sekelilingnya, dan sesekali terdengar jeritan menembus
udara, pekat oleh kesakitan. Ketika berusaha bergerak, dia
mendapati dirinya mengotori tempat tidurnya sendiri. Asap
di udara membuat matanya berair. Apa aku menangis" Dia tak
boleh membiarkan ayahnya melihat itu. Dia seorang Lannister
dari Casterly Rock. Seekor singa, aku harus menjadi singa, mati
seperti singa. Tetapi dia kesakitan setengah mati. Terlalu lemah
untuk mengerang, dia berbaring di kotorannya sendiri dan
memejamkan mata. Tak jauh dari sana ada yang memaki para
dewa dalam suara berat dan monoton. Dia mendengarkan
penghujatan itu dan bertanya-tanya apa dia sekarat. Beberapa
lama kemudian ruangan pun memudar.
Dia mendapati dirinya di luar kota, berjalan melintasi
dunia tak berwarna. Raven-raven melayang menembus langit
kelabu dengan sayap hitam lebar, sedangkan gagak-gagak
beterbangan dari makanan mereka dalam gerombolan berang
ke mana pun dia menapakkan kaki. Belatung putih menggali
daging hitam busuk itu.Serigala-serigala berwarna abu-abu,
begitu juga saudari sunyi; bersama-sama mereka melepaskan
1084 daging dari tulang-tulang mereka yang gugur. Mayat-mayat
bergeletakan di seantero arena turnamen perang. Matahari
berupa lingkaran putih terik, bersinar menerangi sungai
kelabu yang mengalir mengitari bangkai-bangkai hangus kapal
tenggelam. Dari api pembakaran mayat membubung pilar
asap hitam dan abu yang sangat panas. Ulahku, pikir Tyrion
Lannister. Mereka tewas di bawah komandoku.
Awalnya dunia sunyi, tapi kemudian dia mulai
mendengar suara-suara orang mati, lirih dan menakutkan.
Mereka menangis dan mengerang, memohon agar
penderitaannya diakhiri, menangis meminta pertolongan
dan menginginkan ibunya. Tyrion tidak pernah mengenal
ibunya. Dia menginginkan Shae, tapi gadis itu tak di sana. Dia
melangkah sendirian di tengah bayang-bayang kelabu, berusaha
mengingat... Saudari sunyi melucuti ziarah dan pakaian mereka
yang tewas. Seluruh warna terang telah luntur dari mantel
luar milik korban yang terbunuh; mereka berpakaian dalam
nuansa putih dan kelabu, darah mereka hitam dan mengerak.
Tyrion memperhatikan lengan dan kaki mereka diangkat
untuk menggotong tubuh telanjang mereka ke api pembakaran
mayat dan bergabung dengan rekan-rekan mereka. Logam dan
pakaian dilemparkan ke belakang pedati kayu berwarna putih,
ditarik oleh dua kuda hitam tinggi.
Begitu banyak yang mati, banyak sekali. Mayat mereka
terkulai lemas,wajah mereka kendur atau kaku atau bengkak
oleh gas, tak dikenali, nyaris tak terlihat seperti manusia.
Pakaian yang diambil saudari sunyi dari mereka dihiasi jantung
hitam, singa abu-abu, bunga layu, dan rusa hantu pucat. Baju
baja mereka penyok dan terbelah, zirah rantai koyak, pecah,
tertebas. Kenapa aku membunuh mereka semua" Dulu dia tahu
sebabnya, tapi entah bagaimana dia melupakannya.
Dia ingin bertanya pada salah satu saudari sunyi, tapi
saat mencoba bicara dia mendapati bahwa dia tak punya mulut.
Kulit mulus tanpa celah menutupi giginya. Penemuanitu
1085 membuatnya ngeri. Bagaimana dia bisa hidup tanpa mulut"
Dia mulai berlari. Kota tak jauh. Dia akan aman di dalam kota,
jauh dari semua mayat ini. Tempatnya bukan bersama orangorang mati. Dia tak punya mulut, tapi dia masih hidup. Bukan,
seekor singa, seekor singa, dan hidup. Namun setibanya di dinding
kota, gerbang tertutup untuknya.
Ketika dia terjaga lagi, hari sudah gelap. Awalnya dia
tidak bisa melihat apa-apa, tapi beberapa saat kemudian siluet
ranjang samar-samar tampak di sekitarnya. Tirai ditutup, tapi
dia bisa melihat bentuk tiang tempat tidur yang berukir, dan
kanopi beledu yang terjuntai di atas kepalanya. Di bawahnya
terasa kelembutan kasur bulu empuk, dan bantal di bawah
kepalanya dari bulu angsa. Tempat tidurku, aku di tempat tidurku,
di kamar tidurku sendiri.
Di dalam kanopi terasa hangat, di bawah tumpukan
tebal bulu dan selimut yang menyelubunginya. Dia berkeringat.
Demam, pikirnya linglung. Dia merasa sangat lemah, dan rasa
sakit menusuk-nusuknya begitu dia berjuang mengangkat
tangan. Dia pun menyerah. Kepalanya terasa sangat besar,
sebesar tempat tidur, terlalu berat untuk diangkat dari
bantal. Dia nyaris tak bisa merasakan tubuhnya sama sekali.
Bagaimana aku bisa sampai di sini" Dia berjuang mengingat-ingat.
Pertempuran kembali dalam kelebatan-kelebatan. Pertarungan
di sepanjang sungai, kesatria yang mengulurkan sarung tangan
padanya, jembatan dari kapal-kapal...
Ser Mandon. Tyrion melihat mata kosong yang mati,
tangan yang terulur, api hijau berkilau di pelat kepingan enamel
putih. Rasa takut melandanya dalam arus dingin; di bawah
selimut dia bisa merasakan kandung kemihnya mengeluarkan
air seni. Dia pasti sudah berteriak, seandainya punya mulut.
Tidak, itu mimpi, pikirnya, kepalanya berdentam-dentam. Tolong
aku, siapa saja, tolong aku. Jaime, Shae, Ibu, siapa saja... Tysha...
Tak ada yang mendengar. Tak ada yang datang.
Sendirian dalam gelap, dia kembali larut dalam tidur di
tengah aroma pesing. Dia memimpikan kakak perempuannya
1086 menjulang di atas tempat tidurnya, bersama ayah mereka di
sisinya, mengernyit. Itu pasti mimpi, karena Lord Tywin ribuan
kilometer jauhnya, bertempur melawan Robb Stark di barat.
Yang lain juga datang dan pergi. Varys menunduk menatapnya
dan mendesah, tapi Littlefinger membuat lelucon. Bajingan
pengkhianat sialan, pikir Tyrion murka, kami mengirimmu ke
Bitterbridge dan kau tidak pernah kembali.Terkadang dia bisa
mendengar mereka bercakap-cakap, tapi tak memahami katakata mereka. Suara mereka mendengung di telinganya seperti
tawon yang teredam oleh kain felt tebal.
Tyrion ingin bertanya apa mereka memenangkan
pertempuran. Kami pasti menang, kalau tidak kepalaku pasti
dipancang di pasak di suatu tempat. Kalau aku hidup, kami menang.
Dia tak tahu apa yang lebih membuatnya puas: kemenangan,
atau fakta bahwa dia bisa memikirkan itu. Akalnya sudah
kembali, meskipun perlahan. Baguslah. Hanya akal yang
dimilikinya. Kali berikutnya dia terbangun lagi, tirai ranjang sudah
terbuka, dan Podrick Payne menjulang di atasnya sambil
memegang lilin. Begitu melihat Tyrion membuka mata, dia
berlari pergi. Tidak, jangan pergi, tolong aku, tolong, Tyrion
berusaha memanggil, tapi dia hanya mampu mengeluarkan
erangan teredam. Aku tak punya mulut. Dia mengangkat
sebelah tangan ke wajah, setiap gerakannya menyakitkan dan
canggung. Jemarinya menemukan kain kaku di tempat dia
seharusnya mendapati daging, bibir, kulit. Linen. Paruh bawah
wajahnya diperban erat, topeng yang diperkeras oleh plaster
dengan lubang untuk bernapas dan memberi makan.
Tak lama kemudian Pod kembali muncul. Kali ini
bersama seorang asing, mengenakan rantai dan jubah maester.
"My lord, Anda harus diam," gumam lelaki itu. "Anda luka
parah. Anda akan menyakiti diri sendiri. Anda haus?"
Tyrion berhasil mengangguk dengan canggung. Sang
maester menyelipkan corong tembaga melengkung melewati
lubang di mulutnya dan menuangkan cairan yang pelan-
1087 pelan mengalir ke kerongkongannya.Tyrion menelan, nyaris
tak mengecapnya. Dia terlambat menyadari bahwa cairan itu
adalah sari bunga opium. Saat maester itu melepaskan corong
dari mulutnya, dia sudah kembali terlelap.
Kali ini dia bermimpi tengah menghadiri pesta, pesta
kemenangan di suatu aula besar. Dia duduk di kursi tinggi
di mimbar, dan orang-orang mengangkat piala minum
dan mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Marillion juga
hadir, penyanyi yang bepergian bersama mereka melintasi
Pegunungan Bulan. Dia memainkan harpa kayu dan bernyanyi
tentang tindakan berani si Setan Kecil. Bahkan ayahnya
tersenyum mendukung. Setelah lagu selesai, Jaime bangkit
dari tempatnya, memerintahkan Tyrion berlutut, menyentuh
sebelah bahunya lalu bahu yang satu lagi dengan pedang emas,
dan dia bangkit sebagai kesatria. Shae sudah menunggu untuk
memeluknya. Gadis itu meraih tangannya, tertawa-tawa dan
menggoda, menyebutkan raksasa Lannister.
Dia terbangun dalam gelap di ruangan dingin yang
kosong. Kanopi sudah ditutup lagi. Ada yang tidak beres,
bertolak belakang, meskipun dia tak bisa memastikan apa
itu. Dia sendirian lagi. Disibaknya selimut, berusaha duduk,
tapi sakitnya terlalu menyiksa dan segera saja dia menyerah,
bernapas terengah-engah. Sakit di wajahnya hanya sebagian
kecil dari yang dirasakannya, dan tusukan nyeri menembus
dada setiap kali dia mengangkat lengan. Apa yang terjadi
padaku" Bahkan pertempuran seperti mimpi bila dia berusaha
mengingat-ingatnya. Aku terluka lebih parah daripada yang
kusadari. Ser Mandon... Ingatan tersebut membuatnya takut, tapi Tyrion
memaksakan diri mempertahankan memori itu, memutarmutarnya dalam benak, memandangnya lekat-lekat. Dia
berusaha membunuhku, tak salah lagi. Bagian itu bukan mimpi. Dia
pasti sudah menebasku seandainya Pod tidak... Pod, di mana Pod"
Sambil mengertakkan gigi, dia meraih tirai tempat tidur
dan menyentaknya. Tirai itu lepas dari kanopi di atas kepala
1088 dan terjatuh, separuh di jerami dan separuh lagi menimpanya.
Bahkan usaha sekecil itu membuatnya pening. Ruangan
berputar-putar di sekelilingnya, seluruh dinding polos dan
berbayang-bayang gelap, dengan satu jendela sempit. Dia
melihat peti miliknya, tumpukan pakaiannya yang berantakan,
zirahnya yang penyok-penyok. Ini bukan kamar tidurku, Tyrion
menyadari. Bahkan bukan Menara Tangan Kanan Raja. Ada
yang memindahkan dia. Teriakan marahnya terdengar seperti
erangan teredam. Mereka memindahkanku ke sini untuk mati,
pikirnya seraya berhenti berusaha dan memejamkan mata
sekali lagi. Ruangan itu lembap dan dingin, dan tubuhnya
terbakar. Dia memimpikan tempat yang lebih baik, pondok
kecil nyaman di Laut Mentari Terbenam. Dinding-dindingnya
doyong dan retak-retak, lantainya dari tanah yang dipadatkan,
tapi dia selalu merasa hangat di sana, bahkan ketika perapian
padam. Dia biasa menggodaku mengenai itu, Tyrion teringat. Aku
tak pernah menyangka harus menyalakan api, itu tugas pelayan.
"Kita tidak punya pelayan," dia mengingatkanku, dan aku
akan membalas, "Kau memilikiku, aku pelayanmu," dan dia
akan berkata, "Pelayan pemalas. Apa yang mereka lakukan
pada pelayan pemalas di Casterly Rock, my lord?" dan Tyrion
menjawab, "Menciumnya." Ucapan itu selalu membuat gadis
itu terkikik. "Mereka tidak begitu. Aku berani taruhan, mereka
memukuli pelayan pemalas," dia akan berkata, tapi Tyrion
berkeras, "Tidak, mereka mencium pelayan yang pemalas,
persis seperti ini." Kemudian Tyrion akan menunjukkan
caranya. "Mereka mencium jemarinya dulu, semuanya, lalu
mencium pergelangan tangan, ya, dan di dalam lekuk siku.
Kemudian mereka mencium telinganya yang lucu, semua
pelayan kami memiliki telinga lucu. Berhenti tertawa! Dan
mereka mencium pipinya, mencium hidung yang ada benjolan
kecilnya, nah, persis seperti itu, kemudian mereka mencium
alisnya yang manis, rambutnya, bibirnya, mmmm... mulutnya...
lalu..." 1089 Mereka akan berciuman berjam-jam, dan menghabiskan
sepanjang hari tanpa melakukan apa-apa selain bermalasmalasan di tempat tidur, mendengarkan ombak, dan saling
menyentuh. Tubuh gadis itu merupakan keajaiban bagi Tyrion,
begitu juga sebaliknya. Terkadang dia bernyanyi untuk Tyrion.
Aku mencintai dara yang seterang musim panas, dengan cahaya
matahari di rambutnya. "Aku mencintaimu, Tyrion," bisiknya
sebelum mereka tidur pada malam hari. "Aku mencintai
bibirmu. Aku mencintai suaramu, dan kata-kata yang
kauucapkan padaku, dan caramu memperlakukanku dengan
lembut. Aku mencintai wajahmu."
"Wajahku?" "Ya. Ya. Aku mencintai tanganmu, dan caramu
menyentuhku. Kejantananmu, aku mencintainya, aku
mencintai rasanya ketika berada di tubuhku."
"Dia juga mencintaimu, my lady."
"Aku senang mengucapkan namamu. Tyrion Lannister.
Cocok dengan namaku. Bukan Lannister-nya, yang satu lagi.
Tyrion dan Tysha. Tysha dan Tyrion. Tyrion. My lord Tyrion..."
Bohong, pikir Tyrion, semua itu sandiwara, semua itu demi
emas, dia pelacur, pelacur Jaime, hadiah Jaime, kekasihku yang
pembohong.Wajah Tysha seolah memudar menjauh, lenyap di
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik tirai air mata, tapi bahkan setelah kepergiannya Tyrion
masih bisa mendengar sayup-sayup suaranya dari kejauhan,
memanggil dirinya. "... my lord, bisakah kau mendengarku" My
lord" Tyrion" My lord" My lord?"
Dari balik kabut lelap sari bunga opium, dia melihat
wajah merah muda halus membungkuk di atasnya. Dia
kembali dikamar lembap dengan tirai ranjang yang koyak,
dan wajah itu salah, bukan milik Tysha, terlalu bulat, dengan
janggut cokelat."Anda haus, my lord" Aku punya minumanmu,
minuman yang bagus. Anda tak boleh melawan, jangan, jangan
mencoba bergerak, Anda butuh istirahat." Dia memegang
corong tembaga di sebelah tangan merah mudanya yang
lembap dan botol di tangan yang satu lagi.
1090 Sewaktu lelaki itu membungkuk mendekat, jemari
Tyrion meluncur ke bawah rantai logamnya, mencengkeram,
menarik. Sang maester menjatuhkan botol, menumpahkan
sari bunga opium di selimut. Tyrion memutar rantai sampai
bisa merasakannya menekan leher gemuk lelaki itu. "Tidak.
Lagi," ucapnya parau, saking seraknya dia bahkan tak yakin dia
sudah bicara. Namun dia pasti telah melakukannya karena sang
maester menjawab dengan susah payah. "Lepaskan, kumohon,
my lord... butuh sari bunga itu, sakitnya... rantainya, jangan,
lepaskan, tidak..." Wajah merah muda itu mulai berubah ungu ketika
Tyrion melepaskan rantai. Sang maester buru-buru mundur
menghirup udara. Lehernya yang memerah menampakkan
lekuk dalam tempat rantai menekannya. Matanya juga putih.
Tyrion mengangkat tangan ke wajah dan membuat gerakan
merobek di topeng yang mengeras itu. Lagi. Dan lagi.
"Anda... Anda ingin perbannya dilepas?" tanya sang
maester akhirnya. "Tapi aku dilarang... itu tindakan... sangat
tidak bijak, my lord. Anda belum sehat, Ratu akan..."
Mendengar kakaknya disebut membuat Tyrion
menggeram. Kalau begitu apa kau salah satu antek-anteknya"
Dia menudingkan satu jari ke lelaki itu, lalu mengepalkannya
membentuk tinju. Menghancurkan, mencekik, sebuah janji,
kecuali si bodoh itu menuruti perintahnya.
Untungnya sang maester paham. "Aku... aku akan
menuruti perintah my lord, sudah pasti, tapi... ini tidak bijak,
luka Anda..." "Lakukan. Saja." Kali ini lebih nyaring.
Sambil membungkuk, lelaki itu meninggalkan ruangan
dan kembali beberapa saat kemudian, membawa pisau panjang
dengan mata bergerigi, sebaskom air, setumpuk kain lembut,
dan beberapa botol. Saat itu Tyrion sudah berhasil beringsut
mundur beberapa jengkal, jadi dia separuh duduk bersandar
di bantal. Sang maester meminta Tyrion tak bergerak sedikit
pun sewaktu dia menyelipkan ujung pisau ke bawah dagu, ke
1091 balik topeng. Tangannya terpeleset sedikit saja, maka Cersei akan
terbebas dariku, pikir Tyrion. Dia bisa merasakan mata pisau
menggergaji linen yang kaku, hanya beberapa sentimeter dari
lehernya. Untungnya, lelaki merah muda lembut itu bukan
salah satu makhluk pengikut Cersei yang pemberani. Tak
lama kemudian Tyrion merasakan udara sejuk di pipinya.
Ada rasa sakit juga, tapi dia berusaha sekuat tenaga tak
mengindahkannya. Maester membuang perban, masih
berkerak oleh ramuan obat. "Sekarang jangan bergerak, aku
harus membersihkan lukanya." Sentuhannya lembut, airnya
hangat dan nyaman. Lukanya, pikir Tyrion, mendadak teringat
kelebatan perak mengilap yang sepertinya melintas tepat
di bawah matanya. "Ini mungkin agak pedih," sang maester
memperingatkan sambil membasahi kain dengan anggur yang
beraroma bubuk herba. Rasanya lebih dari pedih. Rasanya
ada garis api melintang di wajah Tyrion, dan menusukkan
pengorek api yang membara ke hidungnya. Jemarinya
mencakari seprai dan dia terkesiap, tapi entah bagaimana
dia berhasil tak berteriak. Sang maester berkotek mirip ayam
betina tua. "Seharusnya lebih bijak membiarkan perbannya
tetap di tempat sampai lukanya merapat, my lord. Tapi, ini
kelihatannya bersih, bagus, bagus. Sewaktu kami menemukan
Anda di ruang bawah tanah di antara mereka yang tewas dan
sekarat, luka Anda kotor. Salah satu rusuk Anda patah, pasti
Anda bisa merasakannya, mungkin akibat pukulan gada,
atau terjatuh, sulit dipastikan. Dan Anda terkena panah di
lengan, di titikpertemuanantara lengan dengan bahu. Lukanya
menunjukkan tanda-tanda gangren dan aku sempat khawatir
Anda mungkin akan kehilangan lengan, tapi kami merawatnya
dengan anggur panas dan belatung, dan sekarang sepertinya
luka itu sembuh dengan bersih..."
"Nama," gumam Tyrion padanya. "Nama."
Sang maester berkedip. "Wah, Anda Tyrion Lannister,
my lord. Adik sang ratu. Anda ingat pertempuran itu" Terkadang
luka di kepala?" 1092 "Namamu." Tenggorokannya perih, dan lidahnya lupa
cara membentuk kata-kata.
"Aku Maester Ballabar."
"Ballabar," Tyrion mengulang. "Bawakan aku. Cermin."
"My lord," kata sang maester. "Aku tidak menyarankan...
itu mungkin, ah, tak bijak, mengingat... luka Anda..."
"Bawakan," dia harus berkata. Mulutnya kaku dan
pedih, seolah ada tinju memecahkan bibirnya. "Dan minuman.
Anggur. Bukan opium."
Maester itu bangkit dengan wajah memerah dan
tergopoh-gopoh pergi. Dia kembali bersama sekendi anggur
kuning emas pucat dan cermin perak kecil berbingkai ukiran
emas. Sambil duduk di pinggir tempat tidur, dia menuangkan
setengah cawan anggur dan memegangkannya di bibir bengkak
Tyrion. Anggur yang mengalir masuk terasa sejuk, walaupun
dia nyaris tak bisa mencecapnya. "Lagi," katanya begitu cawan
kosong. Maester Ballabar menuang lagi. Setelah menghabiskan
cawan kedua, Tyrion Lannister merasa cukup kuat untuk
menghadapi wajahnya. Dia membalik cermin, dan tak tahu harus tertawa atau
menangis. Lukanya panjang dan bergerigi, dimulai tak jauh
dari bawah mata kirinya dan berakhir di sisi kanan rahangnya.
Tiga perempat hidungnya lenyap, juga sebongkah bibirnya.
Seseorang sudah menjahit lukanya dengan benang catgut, dan
jahitan serampangan mereka masih tampak di torehan luka
berdarah, merah, dan setengah sembuh. "Cantik," ucapnya
parau, melemparkan cermin ke samping.
Sekarang dia ingat. Di jembatan dari kapal-kapal, Ser
Mandon Moore, satu tangan, pedang berkelebat ke wajahnya.
Seandainya aku tidak mundur, tebasan itu pasti memenggal puncak
kepalaku. Jaime sering berkata bahwa Ser Mandon-lah yang
paling berbahaya di Pengawal Raja, sebab sorot mata kosong
dan matinya tak memperlihatkan niatnya. Aku seharusnya tak
pernah memercayai seorang pun dari mereka. Dia tahu Ser Meryn
dan Ser Boros adalah antek kakak perempuannya, juga Ser
1093 Osmund, tapi dia membuat dirinya percaya bahwa yang lain
tidak sepenuhnya kehilangan kehormatan mereka. Cersei
pasti membayar dia untuk memastikan aku tak pernah kembali
dari pertempuran. Apa lagi alasannya" Setahuku aku tak pernah
merugikan Ser Mandon. Tyrion menyentuh wajah, mencubitnya
dengan jemari pendek besar. Satu lagi hadiah dari kakakku yang
baik. Sang maester berdiri di samping tempat tidur persis
angsa yang siap kabur. "My lord, nanti, kemungkinan besar
nanti ada parut..." "Kemungkinan besar?" Dengus tawanya berubah menjadi
ringisan kesakitan. Pasti ada parut, sudah jelas. Juga kecil
peluangnya hidungnya akan tumbuh kembali dalam waktu
dekat. Wajahnya memang tidak pernah enak dilihat. "Ini
mengajarkanku, jangan, bermain-main dengan, kapak."
Cengirannya terasa kaku. "Di mana kita" Tempat, tempat apa?"
Bicara menyakitkan baginya, tapi Tyrion sudah terlalu lama
diam. "Ah, Anda di Benteng Maegor, my lord. Ruangan di atas
Balairung Ratu. Yang Mulia ingin Anda di dekatnya, supaya
bisa menjaga Anda sendiri."
Berani taruhan dia melakukan itu. "Kembalikan aku,"
perintah Tyrion. "Tempat tidurku. Ruanganku." Tempat
orang-orangku mengelilingiku, juga maesterku sendiri, jika aku bisa
menemukan yang bisa kupercaya.
"Ruangan Anda... my lord, itu tidak mungkin. Tangan
Kanan Raja telah menempati bekas ruangan Anda."
"Aku. Adalah. Tangan Kanan Raja." Dia mulai lelah
akibat usahanya untuk berbicara, dan kebingungan karena apa
yang didengarnya. Maester Ballabar tampak gelisah. "Bukan, my lord, aku...
Anda terluka, nyaris tewas. Ayah Anda kini mengambil alih
tanggung jawab itu. Lord Tywin, dia..."
"Di sini?" "Sejak malam pertempuran. Lord Tywin menyelamatkan
1094 kita semua. Rakyat berkata itu hantu Raja Renly, tapi yang
lebih bijak tahu sebenarnya. Itu ayah Anda dan Lord Tyrell,
bersama Kesatria Bunga dan Lord Littlefinger. Mereka berkuda
menembus abu dan menyerang perebut takhta Stannis dari
belakang. Sebuah kemenangan besar, dan sekarang Lord Tywin
tinggal di Menara Tangan Kanan Raja untuk membantu Yang
Mulia menata kembali kerajaan, terpujilah para dewa."
"Terpujilah para dewa," ulang Tyrion datar. Ayahnya
dan Littlefinger dan hantu Renly" "Aku ingin..." Siapa yang
kuinginkan" Dia tidak bisa menyuruh Ballabar yang masih lugu
menjemput Shae untuknya. Siapa yang bisa dia panggil" Siapa
yang bisa dia percaya" Varys" Broon" Ser Jacelyn" "... squire-ku,"
dia menyelesaikan ucapan. "Pod. Payne." Pod-lah yang ada di
jembatan kapal-kapal, bocah itu menyelamatkan nyawaku.
"Bocah itu" Bocah aneh itu?"
"Bocah aneh itu. Podrick. Payne. Pergi. Panggil dia."
"Siap laksanakan perintah, my lord." Maester Ballabar
menganggukkan kepala dan bergegas keluar. Tyrion bisa
merasakan kekuatan merembes pergi dari tubuhnya selagi
menunggu. Dia bertanya-tanya berapa lama dia di sini, tertidur.
Cersei pasti menginginkanku tidur selamanya, tapi aku tidak akan
sepatuh itu. Podrick Payne memasuki kamar tidur dengan takut-takut
seperti tikus. "My lord?" Dia mengendap-endap mendekati
tempat tidur. Bagaimana bocah pemberani dalam perang bisa
setakut ini di kamar orang sakit" Tyrion bertanya-tanya. "Aku
berniat menemani Anda, tapi maester menyuruhku pergi."
"Suruh dia pergi. Dengarkan aku. Bicara susah. Butuh
anggur mimpi. Anggur mimpi, bukan sari bunga opium. Temui
Frenken. Frenken, bukan Ballabar. Awasi dia membuatnya.
Bawakan ke sini." Pod mencuri pandang ke wajah Tyrion
lalu cepat-cepat mengalihkan tatapan. Yah, aku tidak bisa
menyalahkannya karena itu. "Aku ingin," lanjut Tyrion, "orangku
sendiri. Pengawal. Bronn. Di mana Bronn?"
"Mereka mengangkatnya menjadi kesatria."
1095 Bahkan mengernyit menyakitkan. "Cari dia. Bawa dia."
"Siap laksanakan perintah. My lord. Bronn."
Tyrion menyambar pergelangan tangan bocah itu. "Ser
Mandon?" Bocah itu berjengit. "Aku t-tidak pernah berniat membb-b-b?"
"Mati" Kau yakin" Mati?"
Pod menggeser-geser kakinya, malu. "Tenggelam."
"Bagus. Jangan berkata apa-apa. Tentang dia. Tentang
aku. Apa saja soal itu. Sepatah kata pun."
Sewaktu squire-nya pergi, sisa-sisa kekuatan Tyrion juga
lenyap. Dia kembali berbaring dan memejamkan mata. Siapa
tahu dia akan memimpikan Tysha lagi. Aku penasaran apa dia
menyukai wajahku sekarang, pikir Tyrion getir.
j 1096 JON K etika Qhorin Jemari Buntung menyuruhnya mencari
semak-semak untuk menyalakan api, Jon tahu akhir
mereka sudah dekat. Pasti senang rasanya bisa hangat lagi, meskipun hanya sebentar,
katanya pada diri sendiri sambil menebas dahan gundul dari
pohon mati. Ghost duduk tegak seraya memperhatikan, sediam
biasanya. Apa dia akan melolong untukku saat aku mati, seperti
serigala Bran waktu dia jatuh" Jon bertanya-tanya. Apa Shaggydog
akan melolong, jauh di Winterfell, juga Grey Wind dan Nymeria, di
mana pun mereka mungkin berada"
Bulan meninggi di balik satu gunung dan matahari
tenggelam di balik gunung yang lain. Jon menggesekkan batu
api dan belati untuk menyalakan api, sampai akhirnya sulur
asap muncul. Qhorin menghampiri dan berdiri di dekatnya
begitu kobaran pertama muncul bekedip-kedip dari potongan
kulit pohon dan daun pinus yang kering."Sepemalu gadis
pada malam pernikahannya," komentar penjelajah bertubuh
besar itu dengan suara pelan, "dan hampir sama cantiknya.
Terkadang seseorang dapat melupakan bisa seindah apa api
itu." Dia bukan tipe lelaki yang kauharapkan untuk
membahas tentang gadis dan malam pernikahan. Sejauh yang
1097 diketahui Jon, Qhorin melewatkan seumur hidup di Garda.
Apa dia penah mencintai seorang gadis atau menikah" Jon tak
bisa bertanya. Dia malah mengipas-ngipas api. Setelah api
mendedas, dia membuka sarung tangan yang kaku untuk
menghangatkan tangan, dan mendesah, bertanya-tanya apakah
ciuman bisa senikmat ini. Kehangatan menyebar dari jari"
jarinya bagaikan mentega lumer.
Jemari Buntung duduk di tanah, bersila di dekat api,
cahaya yang berkelip bermain-main di raut keras wajahnya.
Hanya tinggal mereka berdua dari lima penjelajah yang
melarikan diri melewati Celah Lolongan, kembali ke alam liar
biru-kelabu Taring Beku. Awalnya Jon memelihara harapan bahwa Squire
Dalbridge mampu menahan para wildling di celah. Namun,
begitu mendengar tiupan sangkakala di kejauhan dan
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua tahu bahwa squire itu telah gugur. Setelahnya, mereka
memergoki elang itu melayang menembus langit senja dengan
sayap biru-kelabu besarnya dan Ular Batu menurunkan busur,
tapi burung itu terbang ke luar jangkauan bahkan sebelum
dia sempat memasang tali busur.Ebben meludah dan memaki
kesal para ward dan perasuk pikiran.
Mereka melihat elang tersebut dua kali lagi hari itu, dan
mendengar sangkakala berburu di belakang mereka menggema
di pegunungan. Setiap kalinya makin nyaring, kian dekat. Saat
malam tiba, Jemari Buntung menyuruh Ebben membawa
kudanya dan kudagarron Dalbridge, lalu pergi ke timur
menemui Mormont secepatnya, kembali ke tempat mereka
datang sebelumnya. Yang lain akan menghalangi pengejar.
"Suruh Jon saja," desak Ebben waktu itu. "Dia bisa berkuda
secepat aku." "Jon punya peran sendiri."
"Dia masih bocah."
"Bukan," tegas Qhorin, "dia anggota Garda Malam."
Ketika bulan terbit, Ebben memisahkan diri dari
mereka. Ular Batu berkuda ke timur bersamanya sejenak, lalu
1098 kembali untuk menghilangkan jejak mereka dan tiga orang
yang tersisa bertolak menuju barat daya.
Setelah itu, siang dan malam melebur menjadi satu.
Mereka tidur di pelana dan hanya berhenti cukup lama untuk
memberi makan dan minum kuda, lalu menungganginya lagi.
Mereka berkuda melewati bebatuan gundul, melalui hutan
pinus yang muram dan tetesan salju lama, melintasi bukit
es dan menyeberangi sungai dangkal tak bernama.Sesekali
Qhorin atau Ular Batu berbalik untuk menghapus jejak
mereka, tapi tindakan itu sia-sia. Mereka diawasi. Setiap fajar
dan senja, mereka melihat si elang melayang di antara puncakpuncak, tak lebih dari sekadar titik di luasnya angkasa.
Mereka sedang mendaki bukit rendah di antara dua
puncak berselimut salju saat seekor shadowcat datang menggeram
dari sarangnya, tak sampai sepuluh meter jauhnya. Binatang
buas itu kerempeng dan setengah kelaparan, tapi melihatnya
membuat kuda betina Ular Batu panik; dia mendompak dan
kabur, sebelum penjelajah itu sempat mengendalikannya, kuda
itu tergelincir ke lereng curam dan satu kakinya patah.
Ghost makan banyak hari itu, dan Qhorin berkeras
supaya para penjelajah mencampur sedikit darah kuda itu
dalam gandum mereka, untuk memberi kekuatan. Rasa
bubur yang menjijikkan itu nyaris membuat Jon tercekik, tapi
dia memaksakan diri menelannya. Mereka masing-masing
mengiris selusin daging mentah liat dari karkas binatang itu
untuk dikunyah sembari berkuda, dan meninggalkan sisanya
untuk shadowcat. Menaiki satu kuda berdua bukan pertanyaan. Ular Batu
menawarkan diri untuk tinggal dan menunggu para pengejar
lalu mengejutkan mereka begitu datang. Mungkin dia bisa
membawa beberapa di antaranya bersamanya ke neraka.
Qhorin menolak. "Kalau ada anggota Garda Malam yang
mampu melewati Taring Beku sendirian dan dengan berjalan
kaki, kaulah orangnya, saudaraku. Kau bisa mendaki gunung
yang harus dikitari kuda. Pergilah ke Tinju. Beritahu Mormont
1099 apa yang dilihat Jon, dan bagaimana caranya. Beritahu dia
bahwa kekuatan kuno telah bangkit, bahwa dia menghadapi
raksasa, warg, dan lebih buruk lagi. Katakan padanya bahwa
pohon-pohon kembali memiliki mata."
Dia tak punya kesempatan, pikir Jon saat memperhatikan
Ular Batu menghilang di bukit berselimut salju, serangga
hitam mungil merayap menyeberangi bentangan putih yang
bergelombang. Setelah itu, setiap malam terasa lebih dingin daripada
sebelumnya, dan lebih sepi. Ghost tidak selalu bersama mereka,
tapi juga tak jauh-jauh. Bahkan sewaktu mereka terpisah, Jon
bisa merasakan kedekatan Ghost. Dia lega karenanya. Jemari
Buntung bukan rekan yang paling menyenangkan. Kepang
panjang abu-abu Qhorin berayun pelan seiring gerakan
kudanya. Mereka sering berkuda berjam-jam tanpa bicara
sepatah kata pun, bunyi yang terdengar hanya gesekan tapal
kuda di batu dan lolongan angin yang bertiup tanpa henti di
dataran tinggi itu. Ketika tidur, dia tak bermimpi; tidak tentang
serigala, tidak tentang saudara-saudaranya, tidak tentang apa
pun. Bahkan mimpi tak bisa hidup di atas sini, katanya pada diri
sendiri. "Apa pedangmu tajam, Jon?" tanya Qhorin Jemari
Buntung dari seberang api yang berkobar.
"Pedangku dari baja Valyria. Beruang Tua yang
memberikannya padaku."
"Kau ingat sumpahmu?"
"Ya." Sumpah itu bukan kata-kata yang mudah
dilupakan seseorang. Begitu diucapkan, tidak bisa dibatalkan.
Sumpah itu mengubah hidupmu selamanya.
"Ucapkan lagi bersamaku, Jon Snow."
"Baiklah." Suara mereka menyatu di bawah bulan yang
meninggi sementara Ghost mendengarkan dan pegunungan
menjadi saksi. "Malam telah tiba dan kini giliranku berjaga.
Aku akan terus berjaga sampai ajalku tiba. Aku tidak akan
beristri, bertanah, dan beranak. Tahta dan kemuliaan bukanlah
1100 tujuanku. Aku akan hidup dan mati di tempatku berjaga. Aku
adalah pedang dalam kegelapan. Aku adalah pengawas di
benteng. Aku adalah api penakluk dingin, cahaya pembawa
fajar, sangkakala peringatan, perisai pelindung negeri manusia.
Hidup dan kehormatanku kubaktikan pada Garda Malam,
mulai malam ini dan setiap malam sesudahnya."
Setelah selesai, tak ada suara selain retihan samar api
dan desau angin di kejauhan. Jon membuka dan menutup
jemarinya yang terbakar, menggenggam erat kata-kata itu di
benaknya, berdoa supaya dewa-dewa ayahnya memberinya
kekuatan untuk mati dengan berani bila waktunya tiba. Takkan
lama lagi. Kuda-kuda garron sudah menjelang akhir kekuatan
mereka. Jon menduga tunggangan Qhorin takkan bertahan
sehari lagi. Saat itu kobaran api mengecil, kehangatan memudar.
"Api akan segera padam," kata Qhorin, "tapi jika Tembok
sampai jatuh, semua api akan padam."
Jon tidak bisa mengomentari itu. Dia mengangguk.
"Kita mungkin bisa meloloskan diri dari mereka," kata
si penjelajah. "Atau tidak."
"Aku tidak takut mati." Itu hanya separuh kebohongan.
"Mungkin tidak semudah itu, Jon."
Dia tak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Kalau kita tertangkap, kau harus menyerah."
"Menyerah?" Jon mengerjap terkejut. Para wildling
tak pernah menawan orang-orang yang mereka juluki gagak.
Mereka membunuhnya, kecuali... "Mereka hanya mengampuni
pelanggar sumpah. Orang yang bergabung dengan mereka,
contohnya Mance Rayder."
"Dan kau." "Tidak." Jon menggeleng. "Tidak pernah. Tidak akan."
"Kau akan menyerah. Aku memerintahkanmu."
"Memerintahkan" Tapi..."
1101 "Kehormatan kita tak lebih berarti daripada nyawa kita,
selama kerajaan aman. Apa kau anggota Garda Malam?"
"Ya, tapi?" "Tidak ada tapi-tapi, Jon Snow. Kau anggota, atau kau
bukan anggota." Jon duduk tegak. "Aku anggota."
"Kalau begitu dengarkan aku. Jika kita tertangkap, kau
akan bergabung dengan mereka, seperti desakan gadis wildling
yang pernah kautangkap. Mereka mungkin menuntutmu
mencabik-cabik jubahmu, bersumpah demi kuburan ayahmu,
memaki saudara-saudaramu dan Komandanmu. Kau tidak
boleh mundur, apa pun perintah mereka untukmu. Lakukan
perintah mereka... tapi dalam hatimu, ingatlah siapa dan apa
dirimu. Berkudalah bersama mereka, makan bersama mereka,
bertarung bersama mereka, selama yang dibutuhkan. Dan
perhatikan." "Perhatikan apa?" tanya Jon.
"Seandainya aku tahu," jawab Qhorin. "Serigalamu
melihat mereka menggali lembah Sungai Susu. Apa yang
mereka cari di tempat semuram dan sejauh itu" Apa mereka
telah menemukannya" Itulah yang mesti kauketahui, sebelum
kau kembali pada Lord Mormont dan saudara-saudaramu.
Itulah tugas yang kuembankan padamu, Jon Snow."
"Aku akan mematuhi perintahmu," ujar Jon enggan,
"tapi... kau akan memberitahu mereka, bukan" Beruang
Tua, setidaknya" Kau akan bilang padanya aku tidak pernah
melanggar sumpahku."
Qhorin Jemari Buntung menatapnya dari seberang api,
matanya lenyap dalam kolam bayangan. "Begitu aku bertemu
dengannya lagi. Aku bersumpah." Dia menunjuk api. "Ambil
kayu lagi. Aku ingin apinya terang dan panas."
Jon pergi mengambil dahan lagi, mematahkan masingmasing jadi dua sebelum melemparkannya ke api. Pohon itu
sudah lama mati, tapi tampak hidup lagi di dalam api, ketika
penari api bangkit dalam setiap batang kayu untuk berputar1102
putar dalam gaun mereka yang bersinar kuning, merah, dan
jingga. "Cukup," kata Qhorin tiba-tiba. "Sekarang kita
berkuda." "Berkuda?" Hari sudah gelap, dan udara malam dingin.
"Berkuda ke mana?"
"Kembali." Qhorin menaiki kuda garron letihnya sekali
lagi. "Api akan memancing mereka lewat, semoga saja. Ayo,
saudaraku." Jon memakai sarung tangan lagi dan menaikkan tudung.
Bahkan kuda mereka tampak enggan meninggalkan api.
Matahari telah lama terbenam, dan hanya cahaya keperakan
dingin dari bulan sabit yang menerangi jalan saat mereka
melewati medan berbahaya yang terbentang di belakang. Jon
tak tahu apa yang dipikirkan Qhorin, tapi mungkin itu suatu
kesempatan. Dia berharap begitu. Aku tidak mau berpura-pura
menjadi pelanggar sumpah, meskipun dengan alasan kuat.
Mereka berderap hati-hati, bergerak sesenyap yang
bisa dilakukan manusia dan kuda, menyusuri kembali jejak
mereka sampai tiba di mulut celah sempit tempat sungai kecil
membeku muncul di sela-sela dua gunung. Jon ingat tempat
ini. Mereka memberi minum kuda di sini sebelum matahari
tenggelam. "Airnya membeku," Qhorin mengamati sambil menoleh
ke samping, "kalau tidak kita akan berkuda melewati dasar
sungai. Tapi kalau kita memecahkan es, jejaknya akan terlihat.
Jangan jauh-jauh dari tebing. Ada tikungan satu kilometer lagi
yang bisa menyembunyikan kita." Dia memasuki celah. Jon
menatap penuh damba api unggun mereka di kejauhan untuk
terakhir kalinya, lalu menyusul.
Semakin jauh mereka berjalan, semakin dekat tebing
mengapit di kedua sisi. Mereka mengikuti aliran sungai yang
diterangi cahaya bulan menuju sumbernya. Untaian air beku
bertumbuhan di tepiannya yang berbatu, tapi Jon masih bisa
mendengar arus air di bawah lapisan es tipis yang keras.
1103 Guguran batu berserakan memblokir mereka setengah
jalan menuju atas, di satu bagian dinding tebing runtuh,
tapi kuda garron kecil dengan langkah mantap itu mampu
melintasinya. Di baliknya, dinding tebing merapat drastis, dan
sungai membawa mereka ke kaki air terjun tinggi dan berkelokkelok. Udara penuh uap air, mirip napas binatang dingin dan
besar. Air yang jatuh berkilau perak diterpa cahaya bulan.
Jon menatap sekeliling dengan kecewa. Tidak ada jalan keluar.
Dia dan Qhorin barangkali bisa memanjat tebing, tapi tidak
dengan kuda-kuda ini. Menurutnya mereka takkan bertahan
lama dengan berjalan kaki.
"Ayo cepat," perintah Jemari Buntung. Lelaki bertubuh
besar di kuda kecil itu berderap di bebatuan yang licin oleh
es, langsung memasuki tirai air terjun, dan menghilang. Ketika
dia tak muncul kembali, Jon menekankan tumit di kudanya
dan menyusul. Kudanya berusaha keras menjauh. Air yang
jatuh menghantami mereka dengan tinju beku, dan dinginnya
seolah menghentikan napas Jon.
Kemudian dia pun menembusnya; basah kuyup dan
menggigil, tapi menembusnya.
Celah di batu itu nyaris tak cukup besar untuk dilalui
manusia dan kuda, tapi di baliknya, dinding membuka dan
tanah berubah menjadi pasir halus. Jon bisa merasakan air
membeku di janggutnya. Ghost menerobos air terjun dalam
kelebatan kencang, mengguncang air dari bulunya, mengendusendus kegelapan dengan curiga, lalu mengangkat sebelah kaki
di salah satu dinding batu. Qhorin sudah turun dari kuda. Jon
melakukan hal serupa. "Kau tahu tempat ini ada di sini."
"Waktu umurku tak lebih tua darimu, aku mendengar
seorang saudara bercerita dia mengikuti shadowcat menembus
air terjun ini." Qhorin menurunkan pelana kudanya,
melepaskan cakotan dan tali kekang, lalu menyusurkan
jemari di surai kusutnya. "Ada jalan untuk menembus jantung
gunung. Saat fajar, jika mereka tak menemukan kita, kita akan
terus berjalan. Aku yang berjaga pertama, saudaraku." Qhorin
1104 duduk di pasir, memunggungi dinding, tak lebih dari bayangan
hitam samar di keremangan gua. Di tengah gemuruh air terjun,
Jon mendengar bunyi pelan gesekan baja di kulit yang artinya
Jemari Buntung menghunus pedang.
Jon melepaskan jubah basahnya, tapi udara di sini terlalu
lembap dan dingin untuk melepaskan pakaian yang lain.
Ghost berbaring di sampingnya dan menjilat sarung tangannya
sebelum meringkuk tidur. Jon bersyukur atas kehangatannya.
Dia bertanya-tanya apakah di luar api unggun masih berkobar,
atau kini sudah padam. Jika Tembok sampai jatuh, semua api
akan padam. Bulan bersinar menembus tirai air terjun dan
menerakan garis pucat berpendar di pasir, tapi beberapa lama
kemudian cahaya itu pun memudar dan menggelap.
Tidur akhirnya datang juga, dan disertai mimpi buruk.
Jon memimpikan kastel terbakar dan mayat-mayat bangkit
dari kuburan mereka. Suasana masih gelap saat Qhorin
membangunkannya. Sewaktu Jemari Buntung tidur, Jon duduk
bersandar di dinding gua, mendengarkan air dan menunggu
pagi. Begitu fajar tiba, mereka masing-masing mengunyah
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secarik daging kuda yang setengah membeku, lalu memasang
pelana di kuda garron lagi, dan memakai jubah hitam mereka
di bahu. Selama gilirannya berjaga, Jemari Buntung membuat
setengah lusin obor, membasahi gumpalan lumut kering dengan
minyak yang dibawanya di tas pelana. Sekarang dia menyalakan
yang pertama dan memimpin jalan memasuki kegelapan,
mengangkat cahaya pucat itu tinggi-tinggi di depannya. Jon
mengikuti bersama kuda-kuda. Jalur berbatu itu berkelok dan
menikung, pertama turun, kemudian naik, lalu turun lagi
dengan lebih curam. Di beberapa titik jalannya sangat sempit
sehingga sulit membujuk kuda garron supaya mau melewatinya.
Saat keluar, kami pasti sudah menyesatkan mereka, katanya pada
diri sendiri sambil melangkah. Elang pun tak mampu melihat
menembus batu padat. Kami pasti sudah menyesatkan mereka, lalu
kami berkuda sekencang-kencangnya menuju Tinju, dan menceritakan
1105 pada Beruang Tua semua yang kami ketahui.
Namun, begitu kembali memasuki cahaya berjam-jam
kemudian, elang itu sudah menunggu mereka, bertengger di
pohon mati tiga puluh meter di atas lereng. Ghost berderap
mendaki bebatuan mengejarnya, tapi burung itu mengepakkan
sayap dan mengudara. Mulut Qhorin menegang seraya mengikuti terbangnya si
burung dengan matanya. "Di sini tempat yang bagus untuk bertahan," dia
menyatakan. "Mulut gua menaungi kita dari atas, dan mereka
tidak bisa menyerang dari belakang tanpa menembus gunung.
Apa pedangmu tajam, Jon Snow?"
"Ya," jawabnya.
"Kita akan memberi makan kuda. Mereka sudah
melayani kita dengan gagah berani, binatang yang malang."
Jon memberi kuda garron-nya gandum terakhir dan
membelai surai kusutnya sementara Ghost berkeliaran dengan
gelisah di sela bebatuan. Dia mengencangkan sarung tangan
dan melemaskan jari-jarinya yang terbakar. Aku adalah perisai
pelindung negeri manusia.
Sangkakala berburu menggema di seantero pegunungan,
dan sesaat kemudian Jon mendengar gonggongan anjing
pemburu. "Mereka akan segera mencapai kita," Qhorin
mengumumkan. "Pastikan serigalamu tidak jauh darimu."
"Ghost, kemari," panggil Jon. Direwolf itu berbalik
dengan enggan ke sampingnya, ekor Ghost terangkat kaku di
belakangnya. Para wildling bermunculan di bukit tak sampai satu
kilometer jauhnya. Anjing-anjing pemburu berlari mendahului
mereka, makhluk kelabu-cokelat yang menggeram-geram
dengan lebih dari sedikit darah serigala dalam tubuh mereka.
Ghost mengernying, bulunya menegak."Tenang," gumam Jon.
"Tinggallah." Di atas kepala dia mendengar kepakan sayap.
Elang itu mendarat di tonjolan batu dan memekik penuh
kemenangan. 1106 Para pemburu mendekat dengan waspada, barangkali
mencemaskan panah. Jon menghitung jumlah mereka empat
belas, disertai delapan anjing. Perisai bulat besar mereka
terbuat kulit yang dibentangkan di anyaman rotan dan
bergambar tengkorak. Kira-kira separuhnya menyembunyikan
wajah di balik helm dari kayu kasar dan kulit yang disamak. Di
kedua sisi, pemanah memasang anak panah di busur dari kayu
dan tanduk, tapi tidak melepaskannya. Yang lain kelihatannya
bersenjatakan tombak dan palu bertangkai panjang.Satu
orang membawa kapak batu yang sudah cuil. Mereka memakai
bagian-bagian zirah yang dijarah dari penjelajah yang tewas
atau dicuri saat penyerbuan. Wildling tidak menambang atau
melebur, dan hanya ada segelintir pandai besi dan lebih sedikit
lagi bengkel tempa di utara Tembok.
Qhorin menghunus pedang panjangnya. Kisah tentang
bagaimana dia mengajari diri sendiri bertarung dengan tangan
kiri setelah kehilangan separuh tangan kanan merupakan
bagian legendanya; kabarnya kini dia menangani pedang
lebih baik daripada sebelumnya. Jon berdiri bersisian dengan
penjelajah bertubuh besar itu dan mencabut Longclaw dari
sarungnya. Meskipun udara dingin, keringat memedihkan
matanya. Sepuluh meter di bawah mulut gua, para pemburu
berhenti. Pemimpin mereka mendekat sendirian, menunggang
binatang yang lebih mirip kambing daripada kuda, dilihat
dari langkah mantapnya mendaki lereng yang berbatu. Ketika
lelaki itu dan tunggangannya makin dekat, Jon bisa mendengar
bunyi berkelotak-kelotek dari mereka; dua-duanya memakai
zirah dari tulang. Tulang sapi, domba, kambing, urus, dan elk,
tulang besar mammoth berbulu... juga tulang manusia.
"Baju Belulang," seru Qhorin ke arah bawah, sopan dan
dingin. "Untuk para gagak aku adalah Lord Tulang." Helm lelaki
itu terbuat dari tengkorak raksasa yang pecah, dan di kulit yang
disamak di sepanjang lengannya dijahitkan cakar beruang.
1107 Qhorin mencibir. "Aku tak melihat ada lord. Hanya
anjing mengenakan pakaian tulang ayam, yang berkelotakkelotek ketika dia menunggang."
Wildling itu mendesis berang, dan tunggangannya
mendompak. Dia memang berkelotak-kelotek, Jon bisa
mendengarnya; tulang-tulang itu dijahit longgar, sehingga
berguntak dan berderak setiap kali dia bergerak. "Tak lama
lagi tulangmu yang akan kubuat berkelotak-kelotek, Jemari
Buntung. Akan kurebus dagingmu dan membuat zirah panjang
dari rusukmu. Aku akan mengukir gigimu untuk dibuat rune,
dan makan bubur gandum dari tengkorakmu."
"Kalau kau menginginkan tulangku, ayo ambillah
kemari." Hal itu sepertinya enggan dilakukan Baju Belulang.
Jumlah pasukannya tak banyak berarti di ruang sempit bebatuan
tempat saudara hitam bertahan; untuk mengeluarkan mereka
dari gua, para wildling harus maju dua-dua setiap kalinya.
Namun salah satu rekannya mendekatkan kudanya ke samping
Baju Belulang, salah satu prajurit perempuan yang disebut istri
tombak. "Kami empat belas lawan dua, Gagak, dan delapan
anjing lawan serigalamu," seru perempuan itu. "Melawan atau
kabur, kalian milik kami."
"Tunjukkan pada mereka," perintah Baju Belulang.
Perempuan itu merogoh karung bernoda darah dan
mengeluarkan satu bagian tubuh. Ebben sebotak telur, jadi dia
mengayunkan kepala itu dengan memegang telinganya. "Dia
mati dengan berani," ucap si istri tombak.
"Tapi dia mati," ucap Baju Belulang, "sama dengan
kalian." Dia menghunus kapak perang, mengacungkannya
di atas kepala. Baja yang bagus, dengan kilau kejam di kedua
mata kapaknya; Ebben bukan orang yang tak merawat
senjatanya. Wildling lain berkerumun di samping Baju
Belulang, menyerukan ejekan. Beberapa memilih Jon sebagai
sasaran hinaan. "Itu serigalamu, Nak?" seru seorang pemuda
kurus, menyiapkan gada batunya. "Dia bakal jadi jubahku
1108 sebelum matahari terbenam." Dari sisi lain, istri tombak yang
berbeda membuka jubah bulu compang-campingnya untuk
memamerkan payudara putih besar pada Jon. "Apa bayi ini
menginginkan ibunya" Kemarilah, isap ini, Bocah." Anjinganjing juga menggonggong.
"Mereka mempermalukan kita agar bertindak bodoh."
Qhorin menatapnya lama. "Ingat perintahmu."
"Mungkin kita perlu membunuh mereka," Baju
Belulang meraung mengatasi keriuhan. "Panah mereka."
"Jangan!" Kata itu menyembur dari bibir Jon sebelum
anak panah sempat dilepaskan. Dia maju dua langkah dengan
cepat. "Kami menyerah!"
"Mereka mengingatkanku bahwa anak haram itu
pengecut," Jon mendengar Qhorin Jemari Buntung berkata
dengan dingin di belakangnya. "Ternyata benar. Larilah ke
tuan barumu, pengecut."
Dengan wajah memerah, Jon menuruni lereng ke tempat
Baju Belulang duduk di kudanya. Wildling itu menatapnya dari
balik lubang mata helm, dan berkata, "Orang merdeka tidak
butuh pengecut." "Dia bukan pengecut." Salah satu pemanah membuka
helm kulit dombanya dan menampakkan kepala berambut
merah kusut. "Itu Anak Haram Winterfell, yang mengampuni
nyawaku. Biarkan dia hidup."
Jon beradu pandang dengan Ygritte, dan tak bisa
berkata-kata. "Biarkan dia mati," Lord Tulang berkeras. "Gagak hitam
itu burung yang licik. Aku tidak memercayainya."
Di batu di atas mereka, si elang mengepakkan sayap dan
membelah udara disertai pekikan marah.
"Burung itu membencimu, Jon Snow," ucap Ygritte. "Dan
itu wajar. Dia dulu manusia, sebelum kau membunuhnya."
"Aku tidak tahu," sahut Jon jujur, berusaha mengingatingat wajah orang yang dibunuhnya di celah. "Kaubilang
Mance bersedia menerimaku."
1109 "Dia memang bersedia," balas Ygritte.
"Mance tidak di sini," tukas Baju Belulang. "Ragwyle,
belah perutnya." Istri tombak bertubuh besar itu menyipitkan mata
dan berkata, "Kalau gagak itu mau bergabung dengan orang
merdeka, biarkan dia memperlihatkan keberaniannya dan
membuktikan kebenaran ucapannya pada kita."
"Akan kulakukan apa pun perintah kalian." Kata-kata
itu terlontar dengan susah payah, tapi Jon mengucapkannya.
Zirah tulang Baju Belulang berkelotak nyaring ketika dia
terbahak. "Kalau begitu bunuh Jemari Buntung, anak haram."
"Memangnya dia bisa," ujar Qhorin. "Berbaliklah, Snow,
dan mati." Kemudian pedang Qhorin menyerangnya dan entah
bagaimana Longclaw melompat maju untuk menangkis.
Kuatnya benturan hampir menjatuhkan pedang anak haram
dari tangan Jon, dan menyebabkannya terhuyung mundur.
Kau tidak boleh mundur, apa pun perintah mereka untukmu.
Dia beralih memegang pedang dengan kedua tangan, cukup
gesit untuk melancarkan serangan, tapi penjelajah bertubuh
besar itu menepisnya dengan sangat mudah. Mereka saling
menyerang, jubah hitam berkelebat, dan kelincahan anak
muda melawan kekuatan ganas dari tebasan tangan kiri
Qhorin. Pedang panjang Jemari Buntung seolah berada di
mana-mana sekaligus, memberondongkan serangan dari satu
sisi kemudian dari sisi lain, mendesak Jon ke mana pun dia
mau, membuatnya hilang keseimbangan. Jon bisa merasakan
kedua lengannya mulai kebas.
Bahkan saat gigi Ghost mencekam keras betis si
penjelajah, entah bagaimana Qhorin tetap tegak. Namun saat
itu, ketika dia berputar, celah itu muncul. Jon menebas dan
berputar. Penjelajah itu mencondongkan tubuh menjauh,
dan untuk sesaat kelihatannya sabetan Jon tak menyentuhnya.
Kemudian garis merah basah muncul di leher lelaki besar itu,
secemerlang kalung batu mirah, dan darah menyembur ke luar
1110 darinya, Qhorin Jemari Buntung pun ambruk.
Moncong Ghost meneteskan cairan merah, tapi hanya
ujung pedang anak haram yang ternoda, satu sentimeter
terakhirnya. Jon menarik direwolf itu menjauh dan berlutut
dengan sebelah lengan memeluknya. Cahaya sudah memudar
di mata Qhorin. "... tajam," katanya, mengangkat jemari
cacatnya. Kemudian tangannya terkulai, dan dia pun pergi.
Dia sudah tahu, pikir Jon mati rasa. Dia sudah tahu apa
perintah mereka untukku. Saat itu Jon memikirkan Samwell
Tarly, Grenn dan Edd Sengsara, Pyp dan Kodok di Kastel
Hitam. Apa dia telah kehilangan mereka semua, seperti dia
kehilangan Bran, Rickon, dan Robb" Siapa dirinya sekarang"
Apa dirinya sekarang"
"Angkat dia." Tangan-tangan kasar menariknya bangkit.
Jon tak melawan. "Kau punya nama?"
Ygritte menjawab untuknya. "Namanya Jon Snow. Dia
anak Eddard Stark, dari Winterfell."
Ragwyle tertawa. "Siapa yang sangka" Qhorin Halfhand
dibunuh oleh anak haram bangsawan."
"Belah perutnya." Itu Baju Belulang, masih menunggang
kuda. Elang terbang menghampirinya dan hinggap di atas helm
tulangnya, memekik-mekik.
"Dia menyerah," Ygritte mengingatkan mereka.
"Aye, dan membunuh saudaranya," ujar lelaki pendek
berwajah biasa yang memakai helm setengah kepala dari besi
yang sudah karatan. Baju Belulang berkuda mendekat, tulang-tulang
berguntak. "Serigala itu yang melakukan tugasnya. Kemenangan
yang buruk. Kematian Jemari Buntung adalah milikku."
"Kami semua melihat betapa bersemangatnya kau
mengambilnya," ejek Ragwyle.
"Dia warg," kata Lord Tulang, "dan gagak. Aku tidak
suka padanya." 1111 "Mungkin dia memang warg," sahut Ygritte, "tapi
itu tak pernah membuat kita takut." Yang lain menyerukan
persetujuan. Di balik lubang mata tengkoraknya yang
menguning, tatapan Baju Belulang mengancam, tapi dia
menyerah sambil menggerutu. Mereka memang orang mereka,
pikir Jon. Mereka membakar Qhorin Jemari Buntung di tempatnya
gugur, dengan api pembakaran mayat yang dinyalakan dengan
daun pinus, semak-semak, dan dahan patah. Sebagian kayu
masih hijau, sehingga api terbakar perlahan dan berasap,
mengepulkan gumpalan hitam ke langit biru terang. Setelahnya
Baju Belulang mengambil beberapa tulang hangus, sedangkan
yang lain melempar dadu untuk mendapatkan perlengkapan
penjelajah itu. Ygritte memenangkan jubahnya.
"Apa kita kembali ke Celah Lolongan?" tanya Jon
padanya. Dia tidak tahu apakah dia sanggup menghadapi
ketinggian itu lagi, atau apakah kuda garron-nya mampu
bertahan melintasinya untuk kedua kalinya.
"Tidak," jawab Ygritte. "Tidak ada apa-apa di belakang
kita." Tatapan yang diarahkannya pada Jon tampak sedih. "Saat
ini, Mance sudah berada di Sungai Susu, berderap menuju
Tembok kalian." j
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1112 BRAN A bu yang berguguran mirip dengan salju kelabu halus.
Dia berderap melewati daun jarum pinus dan daun
kering, menuju pinggiran hutan tempat pohon-pohon pinus
mulai jarang. Di seberang padang terbuka dia bisa melihat
gundukan besar batu buatan manusia kontras dilatari kobaran
api. Angin bertiup panas dan pekat oleh ba darah dan daging
terbakar, begitu tajam sehingga dia mulai meneteskan air liur.
Namun, saat adasatu bau menarik mereka mendekat,
bau yang lain memperingatkan mereka agar mundur. Dia
mengendus-endus asap yang melayang. Manusia, banyak
manusia, banyak kuda, dan api, api, api. Tidak ada bau yang
lebih berbahaya, bahkan bau dingin dan tajam besi, karya
cakar manusia dan kulit keras. Asap dan abu mengaburkan
pandangannya, dan di langit dia melihat ular besar bersayap
yang raungannya berupa semburan api. Dia menyeringai
memamerkan gigi, tapi ular itu pergi. Di balik tebing-tebing,
api tinggi melahap bintang-bintang.
Sepanjang malam api itu meretih, dan sekali terdengar
raungan dan derakan keras yang membuat bumi melompat
di bawah kakinya. Anjing-anjing menggonggong dan
mendengking, kuda-kuda meringkik ketakutan. Lolongan
gemetar menembus malam; lolongan kawanan manusia,
1113 ratapan ngeri dan teriakan liar, tawa dan jeritan. Tidak ada
makhluk yang lebih berisik daripada manusia. Dia menegakkan
telinga dan mendengarkan, saudaranya menggeram setiap kali
ada suara. Mereka berkeliaran di bawah pohon-pohon ketika
angin pinus menerbangkan abu dan bara di langit.Akhirnya
kobaran api mulai mereda, dan kemudian padam. Pagi itu
matahari terbit berwarna kelabu dan berasap.
Baru saat itulah dia meninggalkan pepohonan,
mengendap-endap rendah menyeberangi padang. Saudaranya
berlari bersamanya, tertarik oleh bau darah dan kematian.
Mereka berderap tanpa suara melewati pondok-pondok yang
dibangun manusia dari kayu, rumput, dan lumpur. Banyak yang
terbakar dan banyak yang ambruk; lainnya tetap tegak seperti
sebelumnya. Tetapi, mereka tidak melihat atau mencium bau
manusia hidup di mana pun. Para gagak menyelimuti tubuhtubuh dan melompat ke udara sambil memekik saat dia dan
saudaranya mendekat. Anjing-anjing liar menyelinap pergi di
depan mereka. Di bawah tebing kelabu besar, seekor kuda sekarat
dengan ribut, berjuang bangkit dengan satu kaki patah dan
berteriak-teriak sewaktu terjatuh. Saudaranya mengitari kuda
itu, kemudian merobek lehernya sementara makhluk itu
menendang-nendang lemah dan memutar bola mata. Ketika
dia mendekati karkas tersebut, saudaranya menggeram padanya
dan merapatkan telinga ke kepala, dia menampar saudaranya
dengan kaki depan dan menggigit kakinya. Mereka berkelahi
di tengah rumput dan pasir dan jatuh di samping bangkai
kuda, sampai saudaranya berguling telentang tanda menyerah,
ekornya diturunkan rendah-rendah. Satu gigitan lagi di leher
saudaranya yang terpampang; kemudian dia pun makan, lalu
membiarkan saudaranya makan, dan menjilat darah dari bulu
hitamnya. Saat itu, bangunan gelap tersebut menariknya, rumah
bisikan tempat semua manusia buta. Dia bisa merasakan
jemari dingin menyentuhnya. Bau batunya merupakan bisikan
1114 bagi hidung. Dia berjuang melawan tarikan tersebut. Dia
tidak suka kegelapan. Dia serigala. Dia pemburu, pengintai,
dan pembantai, dan tempatnya bersama saudara-saudaranya
jauh di dalam hutan, berlari bebas di bawah langit berbintang.
Dia duduk tegak, mengangkat kepala, dan melolong. Aku
tidak mau pergi, teriaknya. Aku serigala, aku tidak mau pergi.
Tetapi, kegelapan tetap saja memekat, sampai menutupi mata,
memenuhi hidung, dan menyumbat telinganya, sehingga dia
tak bisa melihat atau mencium atau mendengar atau berlari,
dan tebing kelabu raib, bangkai kuda lenyap, saudaranya
menghilang, dan segala-galanya gelap dan hening dan hitam
dan dingin dan hitam dan mati dan hitam...
"Bran," ada suara berbisik lirih. "Bran, kembalilah.
Kembalilah sekarang, Bran. Bran..."
Dia memejamkan mata ketiga dan membuka dua mata
lainnya, dua mata yang lama, dua mata yang buta. Dalam
kegelapan, semua manusia buta. Tetapi ada yang mendekapnya.
Dia bisa merasakan lengan memeluknya, kehangatan tubuh
yang meringkuk di dekatnya. Dia bisa mendengar Hodor
bernyanyi "Hodor, hodor, hodor," lirih sendiri.
"Bran?" Itu suara Meera. "Kau meronta-ronta,
mengeluarkan suara-suara mengerikan. Apa yang kaulihat?"
"Winterfell." Lidahnya terasa asing dan kelu di
mulutnya. Suatu hari nanti ketika aku kembali, aku takkan tahu
lagi cara berbicara. "Winterfell. Terbakar habis. Ada bau kuda,
baja, dan darah. Mereka membunuh semua orang, Meera."
Bran merasakan tangan Meera di wajahnya, membelai
rambutnya ke belakang. "Kau berkeringat," ucap gadis itu.
"Kau mau minum?"
"Minum," dia setuju. Meera mendekatkan labu kulit ke
bibirnya, dan Bran menelan sangat cepat sehingga air meleleh
ke luar dari sudut mulutnya. Dia selalu lemah dan haus saat
kembali. Juga lapar. Dia teringat kuda yang sekarat, rasa darah
di mulutnya, bau daging terbakar di udara pagi. "Berapa lama?"
"Tiga hari," sahut Jojen. Dia mendekat tanpa suara,
1115 atau jangan-jangan dia sudah di sana sejak tadi; di dunia
gelap membutakan ini, Bran tak bisa memastikannya. "Kami
mencemaskanmu." "Aku bersama Summer," kata Bran.
"Terlalu lama. Kau akan membuat dirimu kelaparan.
Meera menyuapkan sedikit air ke kerongkonganmu, dan kami
mengoleskan madu di mulutmu, tapi itu tidak cukup."
"Aku makan," Bran berkata. "Kami membunuh elk dan
harus mengusir kucing pohon yang mencoba mencurinya."
Kucing itu kuning dan cokelat, hanya separuh ukuran direwolf,
tapi ganas. Dia teringat bau kesturi binatang itu, dan caranya
menggeram pada mereka dari dahan pohon ek.
"Serigala yang makan," ucap Jojen. "Bukan kau. Hatihati, Bran. Ingat siapa dirimu."
Dia ingat betul siapa dirinya; Bran si bocah, Bran si
cacat. Lebih baik jadi Bran si beastling. Apa mengejutkan bahwa
dia lebih memilih mimpi Summer-nya, mimpi serigalanya"
Di sini, di kelembapan dingin makam bawah tanah mata
ketiganya akhirnya terbuka. Dia bisa meraih Summer kapan
saja dia mau, dia bahkan menyentuh Ghost dan berbicara pada
Jon. Meskipun mungkin dia hanya memimpikan itu. Dia tak
mengerti kenapa sekarang Jojen selalu berusaha memanggilnya
kembali. Bran menggunakan kekuatan lengannya untuk
beringsut ke posisi duduk. "Aku harus menceritakan apa yang
kulihat pada Osha. Dia di sini" Ke mana dia?"
Perempuan wildling itu yang menjawab sendiri. "Tidak
ke mana-mana, m"lord. Aku sudah kenyang berkeliaran dalam
gelap." Bran mendengar gesekan kaki di batu, menoleh ke
arah bunyi itu, tapi tidak melihat apa-apa. Menurutnya dia
bisa mencium bau Osha, tapi dia tak yakin. Bau mereka semua
mirip, dan dia tak punya hidung Summer untuk membedakan
satu dengan yang lain. "Semalam aku kencing di kaki raja,"
lanjut Osha. "Atau mungkin tadi pagi, siapa yang tahu" Aku
tadi tidur, tapi sekarang tidak." Mereka semua sering sekali
tidur, bukan hanya Bran. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan.
1116 Tidur, makan, dan tidur lagi, dan kadang-kadang mengobrol
sebentar... tapi tak terlalu sering, dan hanya berbisik-bisik,
demi keamanan. Osha lebih senang jika mereka sama sekali tak
bicara, tapi mustahil menyuruh Rickon diam, atau melarang
Hodor menggumamkan, "Hodor, hodor, hodor," tanpa henti
pada diri sendiri. "Osha," kata Bran, "aku melihat Winterfell terbakar." Di
sebelah kirinya, dia bisa mendengar suara lirih napas Rickon.
"Hanya mimpi," sahut Osha.
"Mimpi serigala," bantah Bran. "Aku juga menciumnya.
Tidak ada yang baunya mirip dengan api, atau darah."
"Darah siapa?" "Manusia, kuda, anjing, semua orang. Kita harus pergi
melihatnya." "Aku cuma punya kulit tipis ini," jawab Osha. "Kalau
pangeran cumi-cumi itu menangkapku, mereka bakal menguliti
punggungku dengan cambuk."
Tangan Meera menemukan tangan Bran dalam
kegelapan dan meremas jemarinya. "Aku saja yang pergi kalau
kau takut." Bran mendengar tangan merogoh kantong kulit, diikuti
oleh bunyi baja bergesekan dengan batu api. Kemudian sekali
lagi. Percikan api melayang, tertangkap. Osha meniup pelan.
Api pucat panjang terjaga, meraih ke atas persis seorang gadis
berjinjit. Wajah Osha melayang di atasnya. Dia menyentuh api
dengan ujung obor. Bran terpaksa menyipit begitu ter mulai
terbakar, memenuhi dunia dengan kobaran jingga. Cahaya
membangunkan Rickon, yang duduk sambil menguap.
Ketika bayang-bayang bergerak, sempat terlihat seolah
mereka yang sudah mati juga bangkit. Lyanna dan Brandon,
Lord Rickard Stark ayah mereka, Lord Edwyle kakek mereka,
Lord Willam dan saudaranya Artos si Kepala Batu, Lord
Donnor dan Lord Beron dan Lord Rodwell, si mata satu Lord
Jonnel, Lord Barth dan Lord Brandon dan Lord Cregan yang
melawan Raja Naga. Di takhta batu mereka duduk dengan
1117 patung serigala di kaki mereka. Ke sinilah mereka pergi
setelah kehangatan merembes ke luar dari tubuh; inilah aula
gelap orang-orang mati, tempat yang manusia hidup takut
menapakkan kaki. Dan di mulut makam bawah tanah kosong yang
menantikan Lord Eddard Stark, di bawah sosok granit
berwibawanya, enam pelarian meringkuk mengelilingi
perbekalan roti, air, dan daging kering mereka yang minim.
"Tinggal sedikit," gumam Osha seraya mengerjap menatap
persediaan mereka. "Aku harus ke atas secepatnya untuk
mencuri makanan, atau kita terpaksa memakan Hodor."
"Hodor," kata Hodor, tersenyum lebar padanya.
"Di luar sana siang atau malam?" Osha bertanya-tanya.
"Aku sudah tidak bisa menentukannya lagi."
"Siang," kata Bran, "tapi cuaca gelap gara-gara asap."
"M"lord yakin?"
Tanpa menggerakkan tubuh cacatnya, Bran meraih
ke luar, dan sejenak pandangannya menjadi ganda. Di sana
berdiri Osha yang memegang obor, Meera, Jojen, dan Hodor,
serta deretan ganda pilar granit dan para lord yang telah lama
tiada di belakang mereka terentang dalam kegelapan... tapi juga
ada Winterfell, kelabu oleh asap yang mengepul, gerbang besar
dari kayu ek dan besi hangus dan miring, jembatan gantung
jatuh dalam lilitan rantai putus dan papan yang hilang. Tubuhtubuh mengambang dalam parit, pulau bagi para gagak.
"Yakin," Bran menyatakan.
Osha memikirkan itu sejenak. "Kalau begitu aku akan
ambil risiko menengoknya. Aku ingin kalian tidak jauh di
belakang. Meera, ambil keranjang Bran."
"Apa kita mau pulang?" tanya Rickon penuh semangat.
"Aku mau kudaku. Dan aku mau tar apel, mentega, madu, dan
Shaggy. Apa kita mau ke tempat Shaggydog?"
"Ya," Bran berjanji, "tapi kau harus diam."
Meera memasang keranjang rotan di punggung Hodor
dan membantu Bran menaikinya, memasukkan kakinya yang
1118 tak berguna di lubang keranjang. Ada getaran ganjil di perut
Bran. Dia tahu apa yang menunggu mereka di atas, tapi bukan
berarti semua ini menjadi lebih tak menakutkan. Saat mereka
pergi, dia menoleh menatap ayahnya untuk terakhir kali, dan
sepertinya Bran melihat kesedihan di mata Lord Eddard,
seolah tak menginginkan mereka pergi. Kami harus, pikirnya.
Sudah waktunya. Osha membawa tombak panjang dari kayu ek di sebelah
tangan dan obor di tangan yang satu lagi. Pedang tanpa sarung
melintang di punggungnya, salah satu dari pedang terakhir
karya Mikken. Dia menempanya untuk makam Lord Eddard,
agar hantunya damai. Namun setelah Mikken dibunuh dan
orang-orang kepulauan besi menjaga gudang senjata, senjata
yang bagus sulit ditampik, meskipun itu berarti merampok
kuburan. Meera mengambil pedang Lord Rickard, meskipun
dia mengeluh senjata itu terlalu berat. Brandon mengambil
pedang yang bernama sama dengannya, pedang yang dibuat
untuk paman yang tak pernah dikenalnya. Dia sadar dia takkan
mampu bertarung, tapi tetap saja pedang itu terasa nyaman di
tangannya. Namun itu hanya permainan, dan Bran mengetahuinya.
Langkah mereka menggema di makam bawah tanah
yang luas. Bayang-bayang di belakang mereka menelan
ayahnya sedangkan bayang-bayang di depan mundur untuk
menampakkan patung-patung lain; mereka bukan para lord
biasa, melainkan Raja-raja Utara lama. Mereka mengenakan
mahkota batu di kepala. Torrhen Stark, Raja yang Berlutut.
Edwyn Raja Musim Semi. Theon Stark, sang Serigala Lapar.
Brandonsang Pembakar dan Brandon sang Pembuat Kapal.
Jorah dan Jonos, Brandon si Nakal, Walton sang Raja Bulan,
Edderion sang Pengantin Pria, Eyron, Benjen si Manis dan
Benjen si Masam, Raja Edrick sang Janggut Salju. Wajah-wajah
mereka tegas dan kuat, dan sebagian dari mereka melakukan
tindakan mengerikan, tapi semuanya merupakan keluarga
Stark, dan Bran tahu seluruh kisah mereka. Dia tak pernah
takut pada makam bawah tanah; ini bagian dari rumahnya dan
1119 siapa dirinya, dan dia selalu menyadari bahwa suatu hari nanti
dia juga akan terbaring di sini.
Tetapi kini dia tak lagi terlalu yakin. Kalau aku ke atas,
apa aku akan pernah kembali ke bawah" Ke mana aku pergi saat
aku mati" "Tunggu," kata Osha begitu mereka tiba di tangga
batu melingkar-lingkar yang mengarah ke permukaan, dan
turun lebih ke bawah lagi tempat raja-raja yang lebih kuno
masih duduk di takhta gelap mereka. Dia menyerahkan obor
pada Meera. "Aku akan naik sambil meraba-raba." Mereka
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar langkah kakinya untuk beberapa lama, tapi bunyi
itu makin pelan saja sampai hilang sepenuhnya. "Hodor," kata
Hodor gugup. Bran berkata pada diri sendiri ratusan kali betapa dia
benci bersembunyi dalam kegelapan di bawah sini, betapa dia
ingin melihat matahari lagi, menunggang kudanya menembus
angin dan hujan. Tetapi setelah saat itu tiba, dia takut. Dia
merasa aman dalam gelap; ketika kau bahkan tak bisa melihat
tanganmu sendiri di depan wajah, mudah untuk percaya bahwa
musuh juga takkan pernah melihatmu. Dan patung para lord
memberinya keberanian. Bahkan meski dia tak bisa melihat
mereka, dia tahu mereka ada di sana.
Rasanya lama sekali sebelum mereka mendengar
sesuatu lagi. Bran mulai khawatir ada yang terjadi pada Osha.
Adiknya bergerak-gerak gelisah. "Aku mau pulang!" ucapnya
nyaring. Hodor mengangguk-angguk dan berkata, "Hodor."
Kemudian mereka mendengar langkah kaki lagi, makin keras,
dan beberapa menit kemudian Osha muncul dalam cahaya,
tampak murung. "Ada yang menghalangi pintu. Aku tidak bisa
memindahkannya." "Hodor bisa memindahkan apa saja," kata Bran.
Osha mengamati penjaga istal bertubuh besar itu
dengan sorot menilai. "Mungkin dia bisa. Ayo, kalau begitu."
Tangganya sempit, jadi mereka harus menaikinya
satu per satu. Osha di depan. Disusul Hodor, dengan Bran
membungkuk rendah-rendah di punggungnya supaya tak
1120 membentur langit-langit. Meera menyusul sambil membawa
obor, dan Jojen paling belakang, menggandeng tangan Rickon.
Mereka berputar dan berputar, bergerak naik dan naik. Bran
merasa kini dia bisa mencium asap, tapi mungkin itu hanya
asap obor. Pintu makam bawah tanah terbuat dari kayu ulin.
Sudah tua dan berat, dan dipasang miring di tanah. Hanya
satu orang yang bisa memasuki setiap kalinya. Osha mencoba
membukanya sekali lagi begitu tiba di sana, tapi Bran bisa
melihat bahwa pintunya bergeming. "Biar Hodor yang
mencobanya." Mereka harus mengeluarkan Bran dari keranjang dulu
supaya dia tak terjepit. Meera berjongkok di sampingnya di
tangga, sebelah lengan gadis itu merangkul bahunya dengan
protektif, sementara Osha dan Hodor bertukar tempat. "Buka
pintunya, Hodor," kata Bran.
Penjaga istal bertubuh besar itu menempelkan telapak
tangan di pintu, mendorong, dan mendengus. "Hodor?" Dia
menghantamkan tinju di kayu, yang sedikit pun tak bergerak.
"Hodor." "Pakai punggungmu," desak Bran. "Dan kakimu."
Hodor berbalik, menempelkan punggung di kayu dan
mendorong. Lagi. Lagi. "Hodor!" Dia meletakkan sebelah kaki
di anak tangga yang lebih tinggi sehingga dia membungkuk
di bawah daun pintu dan berusaha berdiri. Kali ini kayunya
mengerang dan berderak. "Hodor!" Kaki yang sebelah lagi
juga naik satu anak tangga, dan Hodor meregangkan kaki,
menyiapkan tubuh, dan menegakkannya. Wajahnya memerah,
dan Bran bisa melihat urat-urat di lehernya menonjol saat dia
berjuang mendorong beban di atasnya. "Hodor hodor hodor hodor
hodor HODOR!" Dari atas terdengar gemuruh pelan. Kemudian
pintu tersentak ke atas dan pilar cahaya menimpa wajah Bran,
membutakannya sejenak. Satu dorongan lagi menimbulkan
bunyi batu bergeser, dan kemudian pintu pun terbuka. Osha
menyodokkan tombak ke sana lalu menyelinap ke luar, Rickon
menyusup dari sela-sela kaki Meera untuk mengikutinya.
1121 Hodor mendorong pintu hingga terbuka lebar dan melangkah
ke permukaan. Reed bersaudara harus menggendong Bran
menaiki beberapa anak tangga terakhir.
Langit kelabu pucat, dan asap bergulung-gulung di
sekeliling mereka. Mereka berdiri di bawah bayangan Menara
Pertama, atau yang tersisa darinya. Satu sisi bangunan
sepenuhnya hancur dan runtuh. Batu dan gargoyle yang pecah
berserakan di seantero pekarangan. Mereka jatuh persis di
tempatku dulu, pikir Bran ketika melihatnya. Beberapa gargoyle
remuk berkeping-keping sehingga membuat dia bertanya-tanya
bagaimana dia bisa masih hidup. Di dekatnya, beberapa gagak
mematuki tubuh yang terimpit di bawah batu yang runtuh,
tapi karena posisinya tertelungkup Bran tak bisa memastikan
siapa dia. Menara Pertama sudah ratusan tahun tak pernah
digunakan, tapi kini bangunan itu lebih mirip cangkang
daripada yang sudah-sudah. Lantai-lantai terbakar di dalamnya,
begitu juga semua balok-baloknya. Dari tempat dinding
yang ambruk, mereka bisa melihat dari luar ruang-ruang di
dalamnya, bahkan kakusnya. Tetapi di belakang, menara
runtuh masih tegak, tak lebih hangus daripada sebelumnya.
Jojen Reed terbatuk-batuk karena asap. "Antar aku pulang!"
desak Rickon. "Aku mau pulang!" Hodor berputar sambil
mengentak-entakkan kaki. "Hodor," rintihnya pelan. Mereka
berdiri berdekatan dengan reruntuhan dan kematian di
sekeliling mereka. "Kita cukup berisik untuk membangunkan naga," kata
Osha, "tapi tak ada yang datang. Kastel ini mati dan terbakar,
persis mimpi Bran, tapi sebaiknya?" Ucapannya terhenti
mendadak begitu mendengar bunyi di belakang mereka, dan
dia berputar dengan tombak siaga.
Dua sosok gelap dan ramping muncul dari balik menara
runtuh, berderap perlahan melewati puing-puing. Rickon
berseru gembira, "Shaggy!" dan direwolf hitam itu berlari ke
arahnya. Summer mendekat lebih perlahan, menggosokan
kepala di lengan Bran, dan menjilat wajahnya.
"Sebaiknya kita pergi," kata Jojen. "Kematian sebanyak
1122 ini akan mendatangkan serigala-serigala selain Summer dan
Shaggydog, dan tidak semuanya berkaki empat."
"Aye, secepatnya," Osha sependapat, "tapi kita butuh
makanan, dan barangkali ada yang selamat dari ini. Jangan
berpencar. Meera, angkat perisaimu dan awasi bagian belakang
kita." Mereka butuh sepanjang sisa pagi untuk mengitari kastel
perlahan. Dinding granit yang besar masih tegak, hangus oleh
api di sana-sini tapi selain itu tak tersentuh. Tetapi di dalam,
hanya ada kematian dan kehancuran. Pintu Aula Besar gosong
dan membara, dan di dalamnya kayu-kayu kasau runtuh dan
seluruh atapnya amblas ke lantai. Panel-panel hijau dan kuning
rumah kaca hancur berkeping-keping, pohon, buah, dan
bunga tercerabut atau dibiarkan terpapar dan mati. Di istal,
yang terbuat dari kayu dan jerami, tak ada yang tersisa selain
abu, bara, dan bangkai kuda. Bran memikirkan Dancer, dan
ingin menangis. Ada danau dangkal beruap di bawah Menara
Perpustakaan, dan air panas mengalir dari celah di sampingnya.
Jembatan antara Menara Lonceng dan sangkar gagak roboh
ke pekarangan di bawah, sedangkan menara Maester Luwin
telah lenyap. Mereka melihat cahaya merah redup bersinar dari
jendela sempit ruang bawah tanah di bawah Menara Utama
Kastel, dan api kedua masih berkobar di salah satu gudang.
Osha memanggil pelan menembus asap yang mengepul
sembari melangkah, tapi tak seorang pun menjawab. Mereka
melihat seekor anjing menggigit mayat, tapi dia kabur begitu
mencium bau direwolf; anjing-anjing lain dibantai di kandang.
Raven-raven milik maester merubungi sebagian mayat,
sedangkan gagak-gagak dari menara runtuh mengerumuni
yang lain. Bran mengenali Poxy Tym, walaupun seseorang telah
membelah wajahnya dengan kapak. Ada mayat hangus, di luar
puing-puing terbakar kuil Ibu, duduk dengan kedua lengan
terulur dan tangannya mengepal membentuk tinju hitam,
seakan berniat meninju siapa saja yang berani mendekatinya.
"Jika para dewa bermurah hati," ucap Osha dengan suara
pelan bernada marah, "Yang Lain akan mengambil mereka
yang melakukan ini."
1123 "Theon pelakunya," kata Bran muram.
"Bukan. Coba lihat." Osha menunjuk ke seberang
pekarangan dengan tombaknya. "Itu salah satu orang kepulauan
besinya. Dan di sana juga. Itu kuda perang Greyjoy, lihat tidak"
Kuda hitam dengan anak panah di tubuhnya." Dia bergerak
di antara mayat-mayat, mengerutkan dahi. "Dan ini Lorren
Hitam." Lelaki itu dibacok sangat parah sehingga janggutnya
kini terlihat cokelat kemerahan. "Dia menewaskan beberapa
orang bersamanya." Osha membalikkan salah satu jasad lain
dengan kaki. "Ada lambangnya. Lelaki kecil, warnanya merah."
"Lelaki tanpa kulit dari Dreadfort," kata Bran.
Summer melolong, dan melesat pergi.
"Hutan sakral." Meera Reed berlari menyusul direwolf
itu, memegang perisai dan tombak kodoknya. Yang lain
mengikutinya, melangkah menembus asap dan bebatuan yang
runtuh. Udara lebih manis di bawah pepohonan. Beberapa
pohon pinus di pinggir hutan ikut terbakar, tapi jauh di dalam,
tanah yang lembap dan hutan hijau mengalahkan api. "Ada
kekuatan dalam hutan yang hidup," kata Jojen Reed, seakan
tahu apa yang dipikirkan Bran, "kekuatan yang setangguh api."
Di tepi kolam hitam, di bawah naungan pohon utama,
Maester Luwin tertelungkup di tanah. Ada jejak darah di
dedaunan lembap yang tadi dilewatinya sambil merayap.
Summer berdiri di dekatnya, dan awalnya Bran mengira dia
sudah tewas, tapi ketika Meera menyentuh lehernya, sang
maester mengerang. "Hodor?" kata Hodor sedih. "Hodor?"
Dengan lembut, mereka membalikkan tubuh Luwin.
Mata dan rambutnya abu-abu, dan dulu jubahnya juga kelabu,
tapi kini warnanya lebih gelap di tempat darah membasahinya.
"Bran," ucap sang maester lirih begitu melihat dia duduk tinggi
di punggung Hodor. "Dan Rickon juga." Dia tersenyum. "Para
dewa maha pengasih. Aku sudah tahu..."
"Sudah tahu?" tanya Bran bingung.
"Kakinya, aku bisa melihatnya... pakaiannya benar, tapi
otot di kakinya... bocah malang..." Maester Luwin terbatuk,
1124 dan darah menyembur dari dalam. "Kalian menghilang... di
hutan... tapi bagaimana?"
"Kami tidak ke mana-mana," jawab Bran. "Yah, hanya
sampai tepi hutan, lalu kembali. Aku menyuruh serigala pergi
untuk meninggalkan jejak, tapi kami bersembunyi di makam
Ayah." "Makam bawah tanah." Luwin terkekeh, ada buih darah
di bibirnya. Ketika berusaha bergerak, dia terkesiap kesakitan.
Air mata Bran menggenang. Ketika seseorang terluka,
kau membawanya ke maester, tapi apa yang bisa dilakukan jika
maestermu yang terluka"
"Kita harus membuat tandu untuk membawanya," kata
Osha. "Tidak perlu," tolak Luwin. "Aku sekarat, Perempuan."
"Kau tidak boleh," kata Rickon marah. "Tidak boleh."
Di sampingnya, Shaggydog menyeringai memamerkan gigi dan
menggeram. Maester itu tersenyum. "Sst, Nak, aku jauh lebih tua
dibandingkan kau. Aku bisa... mati sesukaku."
"Hodor, turun," ucap Bran. Hodor berlutut di samping
sang maester. "Dengar," kata Luwin pada Osha, "kedua pangeran...
ahli waris Robb. Tidak boleh... tidak boleh bersama... kau
dengar?" Perempuan wildling itu bersandar di tombaknya. "Aye.
Lebih aman jika berpisah. Tapi ke mana harus membawa
mereka" Kupikir, mungkin Klan Cerwyn..."
Maester Luwin menggeleng, meskipun jelas terlihat
dampak dari gerakan itu. "Bocah Cerwyn sudah tewas. Ser
Rodrik, Leboald Tallhart, Lady Hornwood... semua dibantai.
Deepwood sudah jatuh, Moat Cailin, tak lama lagi Torrhen's
Square. Orang-orang kepulauan besi di Pantai Berbatu. Dan di
timur, Anak Haram Bolton."
"Kalau begitu ke mana?" tanya Osha.
1125 "White Harbor... Klan Umber... entahlah... perang di
mana-mana... semua orang bertempur melawan tetangganya,
dan musim dingin akan datang... benar-benar bodoh, benarbenar kebodohan yang amat sangat..." Maester Luwin
mengangkat tangan dan memegang lengan bawah Bran,
jemarinya mengepal dengan kekuatan putus asa. "Kau harus
kuat sekarang. Kuat."
"Aku akan kuat," kata Bran, walaupun itu sulit. Ser
Rodrik terbunuh dan Maester Luwin, semua orang, semua orang...
"Bagus," ujar sang maester. "Anak baik. Putra... putra
ayahmu, Bran. Pergilah sekarang."
Osha mendongak menatap pohon utama, ke arah
wajah merah yang terukir di batang yang pucat. "Dan
meninggalkanmu untuk dewa-dewa?"
"Aku ingin..." Sang maester menelan ludah. "... sedikit...
sedikit air, dan... satu bantuan lain. Kalau kau bersedia..."
"Aye." Osha menoleh pada Meera. "Bawa anak-anak."
Jojen dan Meera menuntun Rickon pergi di antara
mereka. Hodor mengikuti. Dahan-dahan rendah melecut
wajah Bran selagi mereka merangsek menembus pepohonan,
dan dedaunan mengusap air matanya. Osha bergabung
dengan mereka di pekarangan beberapa saat kemudian. Dia
tak mengatakan apa-apa tentang Maester Luwin. "Hodor harus
tetap bersama Bran, menjadi kakinya," perempuan wildling itu
berkata tegas. "Aku akan membawa Rickon bersamaku."
"Kami akan pergi dengan Bran," kata Jojen Reed.
"Aye, sudah kuduga kalian akan melakukan itu,"
ujar Osha. "Aku akan mencoba lewat Gerbang Timur, dan
menyusuri jalan raja."
"Kami akan melewati Gerbang Pemburu," kata Meera.
"Hodor," kata Hodor.
Mereka mampir dulu di dapur. Osha menemukan
beberapa bongkah roti hangus yang masih bisa dimakan, dan
bahkan unggas panggang dingin yang dibaginya jadi dua. Meera
menggali seguci madu dan sekarung besar apel.Di luar, mereka
1126 berpamitan. Rickon terisak-isak dan menggelayuti kaki Hodor
sampai Osha memukulnya pelan dengan pangkal tombak.
Kemudian bocah itu cepat-cepat mengikutinya. Shaggydog
membuntuti mereka. Yang terakhir kali dilihat Bran dari
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka adalah ekor direwolf itu sebelum menghilang di balik
menara runtuh. Jerujibesi yang menutup Gerbang Pemburu bengkok
parah oleh panas sehingga tak bisa dinaikkan lebih dari tiga
puluh sentimeter. Mereka terpaksa menyusup di bawah pasakpasaknya, satu per satu.
"Apa kita akan pergi menemui ayah kalian?" tanya
Bran saat mereka menyeberangi jembatan gantung di antara
dinding. "Ke Greywater Watch?"
Meera menatap adiknya menanti jawaban. "Jalan kita ke
utara," Jojen mengumumkan.
Di tepi hutan serigala, Bran berbalik di keranjangnya dan
menatap kastel yang menjadi hidupnya untuk terakhir kalinya.
Sulur-sulur asap masih membubung ke langit kelabu, tapi
tidak lebih tebal dibandingkan asap yang biasa mengepul dari
cerobong-cerobong Winterfall pada suatu siang yang dingin di
musim gugur. Jelaga mengotori sebagian lubang panah, dan di
sana sini terlihat puncak dinding pelindung yang retak atau
hilang, tapi kelihatannya tak terlalu besar dari jarak sejauh ini.
Di baliknya, puncak benteng dan menara masih tegak seperti
ratusan tahun lalu, dan sulit untuk mengatakan bahwa kastel
itu telah dijarah dan dibakar habis. Batu itu kuat, kata Bran
Pembantai Dari Mongol 2 Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu Kasih Diantara Remaja 14
kata Theon pada mereka. "Ser Rodrik Cassel dan semua lord
yang datang membantunya. Aku tidak akan lari dari mereka.
Aku merebut kastel ini dan aku berniat mempertahankannya,
hidup atau mati sebagai Pangeran Winterfell. Tapi aku tidak
akan memerintahkan seorang pun untuk mati bersamaku.
Kalau kalian pergi sekarang, sebelum kekuatan utama Ser
Rodrik menyerang, masih ada kesempatan bagi kalian lolos."
Dia mencabut pedang panjang dan menggambar garis di tanah.
"Mereka yang bersedia tinggal dan bertarung, majulah."
Tak seorang pun bicara. Mereka berdiri dalam zirah
rantai, bulu, dan kulit yang disamak, sediam batu. Beberapa
orang bertukar pandang. Urzen menggeser-geser kaki. Dykk
Harlaw berdeham dan meludah. Jemari angin mengacak-acak
rambut pirang panjang Endehar.
Theon merasa seakan tenggelam. Kenapa aku terkejut"
pikirnya muram. Dia telah ditelantarkan ayahnya, pamannya,
kakaknya, bahkan si makhluk celaka Tengik. Untuk apa lagi
orang-orangnya membuktikan kesetiaan padanya" Tak ada
yang bisa dikatakan, tak ada yang bisa dilakukan. Dia hanya
bisa berdiri di sana di bawah dinding-dinding kelabu besar
dan langit putih kejam, dengan pedang di tangan, menunggu,
menunggu... 1068 Wex yang pertama menyeberangi garis. Tiga langkah
cepat dan dia pun berdiri di sisi Theon, membungkuk. Malu
karena tindakan bocah itu, Lorren Hitam mengikuti, sambil
merengut. "Siapa lagi?" tanya Theon. Rolfe Merah maju.
Kromm. Werlag. Tymor dan saudara-saudaranya. Ulf si Sakit.
Harrag Pencuri Domba. Empat keluarga Harlaw dan dua
Botley. Kenned si Paus jadi yang terakhir. Total tujuh belas
orang. Urzen termasuk di antara yang tak bergerak, juga Stygg,
serta sepuluh orang yang dibawa Asha dari Deepwood Motte.
"Pergi, kalau begitu," kata Theon pada mereka. "Larilah ke
kakakku. Dia akan menyambut kalian dengan hangat, aku
yakin." Setidaknya Stygg masih memasang raut malu. Yang lain
pergi tanpa sepatah kata pun. Theon menoleh pada tujuh
belas orang yang tinggal. "Kembali ke dinding. Jika para dewa
menyelamatkan kita, aku akan mengingat kalian semua."
Lorren Hitam tetap tinggal setelah yang lain pergi.
"Penghuni kastel akan melawan kita begitu pertempuran
dimulai." "Aku tahu. Kau mau aku melakukan apa?"
"Bunuh mereka," jawab Lorren. "Semuanya."
Theon menggeleng. "Apa jeratnya sudah siap?"
"Sudah. Kau mau menggunakannya?"
"Kau tahu cara yang lebih baik?"
"Aye. Aku memegang kapak dan berdiri di jembatan
gantung, lalu membiarkan mereka maju untuk menantangku.
Satu demi satu, dua, tiga, tidak masalah. Tidak ada yang bisa
melewati parit pertahanan selama aku masih bernapas."
Dia berniat mati, pikir Theon. Bukan kemenangan yang
diinginkannya, melainkan akhir yang pantas untuk dijadikan lagu.
"Kita akan memakai jerat."
"Terserah kau saja," balas Lorren, ada sorot menghina
di matanya. 1069 Wex membantunya memakai pakaian untuk bertempur.
Di balik mantel luar hitam dan jubah emas, dia mengenakan
zirah rantai yang diminyaki, dan di bawahnya kulit kaku yang
disamak. Setelah memakai zirah dan bersenjata, Theon naik
ke menara pengawas di sudut tempat dinding timur dan
selatan menyatu untuk menyaksikan kehancurannya. Pasukan
utara menyebar mengepung kastel. Sulit memastikan jumlah
mereka. Seribu setidaknya; mungkin dua kali lipat. Lawan tujuh
belas. Mereka membawa katapel dan pelontar panah. Dia tak
melihat menara pengepungan di jalan raja, tapi cukup banyak
kayu di hutan serigala untuk membuat menara pengepungan
sebanyak yang dibutuhkan.
Theon mengamati panji-panji mereka dengan teropong
Myr milik Maester Luwin. Kapak perang Klan Cerwyn
berkibar gagah ke mana pun dia memandang, juga ada pohon
Tallhart, dan putra duyung dari White Harbor. Ada segelintir
lambang Klan Flint dan Karstark. Di sana sini bahkan
terlihat lambangrusa besar Klan Hornwood. Tapi tidak ada
Klan Glover, Asha sudah membereskan mereka, tak ada pasukan
Bolton dari Dreadfort, tak ada pasukan Umber yang datang dari
bayang-bayang Tembok.Bukannya mereka dibutuhkan. Tak
lama kemudian bocah Cley Cerwyn muncul di depan gerbang
membawa bendera perdamaian di tiang yang tinggi, untuk
mengumumkan bahwa Ser Rodrik Cassel ingin berunding
dengan Theon Pembelot. Pembelot. Nama itu sepahit empedu. Dia teringat, dia
pergi ke Pyke untuk memimpin armada kapal panjang ayahnya
menyerbu Lannisport. "Aku akan keluar sebentar lagi," serunya
ke bawah. "Sendirian."
Lorren Hitam tidak setuju. "Hanya darah yang bisa
membersihkan darah," dia menyatakan. "Para kesatria
mungkin menepati gencatan senjata dengan kesatria lain, tapi
mereka tak terlalu peduli dengan kehormatan bila berurusan
dengan orang yang dianggap penjahat."
Theon meradang. "Aku Pangeran Winterfell dan ahli
1070 waris Kepulauan Besi. Sekarang bawa gadis itu dan laksanakan
apa yang kuperintahkan."
Lorren Hitam menatapnya dengan sorot mematikan.
"Aye, Pangeran."
Dia juga melawanku, Theon menyadari. Belakangan ini
rasanya setiap butir batu di Winterfell menentangnya. Kalau
aku mati, aku akan mati tanpa teman dan ditinggalkan. Pilihan
apa lagi yang dimilikinya selain hidup"
Dia berkuda ke kubu gerbang dengan mahkota di
kepala. Seorang perempuan mengambil air di sumur, dan Gage
si juru masak berdiri di pintu dapur. Mereka menyembunyikan
kebencian di balik tatapan muram dan ekspresi sedatar papan,
tapi Theon tetap saja bisa merasakannya.
Begitu jembatan gantung diturunkan, angin sejuk
berembus melintasi parit. Sentuhan itu membuatnya menggigil.
Ini karena udara dingin, tidak lebih, kata Theon pada diri sendiri,
menggigil kedinginan, bukan gemetar ketakutan. Bahkan lelaki
pemberani pun menggigilkedinginan. Dia berkuda memasuki
cekaman udara dingin, lewat di bawah gerbang besi, melalui
jembatang gantung. Gerbang luar berayun terbuka supaya dia
bisa melintas. Ketika dia muncul di bawah dinding, dia bisa
merasakan bocah-bocah itu mengawasinya dari soket kosong
tempat mata mereka dulu berada.
Ser Rodrik sudah menunggu di alun-alun dengan
menunggangi kuda kebiri bintik-bintiknya. Di sampingnya,
direwolf Klan Stark berkibar dari tongkat yang dipegang oleh
Cley Cerwyn yang belia. Hanya mereka yang berada di sana,
walaupun Theon bisa melihat para pemanah di atap rumahrumah yang mengelilinginya, penombak di kanannya, dan
di kirinya berderet kesatria berkuda di bawah panji-panji
putra duyung-dan-trisula Klan Manderly. Mereka semua
menginginkanku mati. Beberapa di antaranya pemuda yang
pernah mabuk, main dadu, bahkan bergulat dengannya, tapi
itu takkan menyelamatkannya seandainya dia jatuh ke tangan
mereka. 1071 "Ser Rodrik." Theon menghentikan kuda. "Aku sedih
kita terpaksa bertemu sebagai musuh."
"Yang membuatku sedih adalah aku harus menunggu
untuk menggantungmu." Kesatria tua itu meludah ke tanah
berlumpur. "Theon Pembelot."
"Aku seorang Greyjoy dari Pyke," Theon mengingatkan.
"Jubah yang dipakai ayahku membedungku bersimbolkan
kraken, bukan direwolf."
"Selama sepuluh tahun kau menjadi anak asuh Stark."
"Aku menyebutnya tawanan dan tahanan."
"Kalau begitu barangkali Lord Eddard seharusnya
merantaimu di dinding penjara bawah tanah. Tetapi dia
membesarkanmu di antara putra-putranya, bocah-bocah manis
yang kaubantai, dan sampai kapan pun aku akan merasa
malu karena telah melatihmu dalam seni perang. Seandainya
saja aku dulu menusukkan pedang di perutmu bukannya
meletakkannya di tanganmu."
"Aku datang untuk berunding, bukan menerima
hinaanmu. Katakan apa yang mau kaukatakan, pak tua. Apa
yang kauinginkan dariku?"
"Dua hal," jawab lelaki tua itu. "Winterfell dan nyawamu.
Perintahkan orang-orangmu membuka gerbang dan menyerah.
Mereka yang tidak membunuh anak-anak akan dibebaskan,
tapi kau akan ditahan untuk diadili Raja Robb. Semoga para
dewa menaruh iba padamu setelah dia kembali."
"Robb tidak akan pernah kembali ke Winterfell lagi,"
Theon berjanji. "Dia akan hancur di Moat Cailin, seperti yang
dialami pasukan selatan selama sepuluh ribu tahun. Sekarang
kami yang menguasai utara, Ser."
"Kalian menguasai tiga kastel," balas Ser Rodrik, "dan
yang satu ini aku berniat mengambilnya kembali, Pembelot."
Theon mengabaikan ucapannya. "Ini syarat-syaratku. Kau
punya waktu sampai matahari terbenam untuk membubarkan
diri. Mereka yang bersumpah setia pada Balon Greyjoy sebagai
raja mereka dan padaku sebagai Pangeran Winterfell akan
1072 mendapatkan kembali hak dankekayaan mereka, serta takkan
dilukai. Mereka yang menentang kami akan dihancurkan."
Cerwyn muda tampak tak percaya. "Kau sudah sinting,
Greyjoy?" Ser Rodrik menggeleng. "Hanya sombong, Nak. Theon
selalu menganggap tinggi dirinya, sayangnya." Lelaki tua itu
menudingkan jari ke arah Theon. "Jangan membayangkan
aku perlu menunggu Robb bertarung melintasi Neck untuk
berurusan dengan orang seperti kau. Aku membawa hampir
dua ribu orang... dan jika kabar angin itu benar, pasukanmu
tak lebih dari lima puluh."
Tujuh belas, sebenarnya. Theon memaksakan diri
tersenyum. "Aku punya sesuatu yang lebih baik daripada
pasukan." Lalu dia mengangkat tinju ke atas kepala, isyarat
yang ditunggu Lorren Hitam.
Dinding-dinding Winterfell di belakangnya, tapi Ser
Rodrik tepat menghadapnya dan mustahil tak melihat itu.
Theon memperhatikan wajahnya. Saat wajah lelaki tua itu
bergetar di bawah cambang putih kakunya, Theon tahu apa
yang dilihatnya. Dia tidak heran, pikir Theon sedih, tapi rasa
takut itu ada. "Pengecut," kata Ser Rodrik. "Memanfaatkan anakanak... ini hina."
"Oh, aku tahu," balas Theon. "Aku sendiri pernah
merasakannya, atau apa kau lupa" Umurku sepuluh tahun
waktu diambil dari rumah ayahku, untuk memastikan dia
tidak akan memberontak lagi."
"Itu tidak sama!"
Ekspresi Theon tetap tak berubah. "Jerat yang kupakai
tidak terbuat dari tali rami, memang benar, tapi tetap saja
aku merasakan hal yang sama. Dan jerat itu melukaiku, Ser
Rodrik. Membuatku lecet." Dia tidak pernah menyadari itu
sampai sekarang, tapi seiring meluncurnya kata-katanya dia
melihat kebenaran di dalamnya.
"Kau tak pernah disakiti."
1073 "Dan Beth-mu juga tidak akan disakiti, asalkan kau?"
Ser Rodrik tidak memberinya kesempatan menyelesaikan
ucapan. "Ular beludak," kata kesatria itu, wajahnya merah oleh
kemurkaan di balik cambang putihnya. "Aku sudah memberimu
kesempatan menyelamatkan pasukanmu dan mati dengan
sedikit terhormat, Pembelot. Aku seharusnya tahu terlalu
muluk menuntut itu dari pembunuh anak-anak." Tangannya
beralih ke gagang pedang. "Aku seharusnya membunuhmu di
sini dan saat ini juga dan mengakhiri kebohongan dan tipu
muslihatmu. Demi para dewa, aku harusnya melakukan itu."
Theon tak gentar pada lelaki tua gemetaran itu, tapi
lain lagi masalahnya dengan pemanah dan barisan kesatria.
Seandainya pedang sampai terhunus, kesempatannya kembali
ke kastel hidup-hidup nyaris tak ada. "Ingkari janjimu dan
bunuh aku, maka kau akan menyaksikan Beth kecilmu tercekik
di ujung tali." Buku-buku jemari Ser Rodrik memutih, tapi sesaat
kemudian dia melepaskan tangan dari gagang pedang. "Aku
memang sudah hidup terlalu lama."
"Aku tidak akan membantahnya, Ser. Kau bersedia
menerima syarat-syaratku?"
"Aku memiliki kewajiban kepada Lady Catelyn dan
Klan Stark." "Bagaimana dengan klanmu sendiri" Beth adalah
keturunan terakhirmu."
Kesatria tua itu menegakkan tubuh. "Aku menawarkan
diri sebagai pengganti putriku. Lepaskan dia, dan jadikan aku
tawanan. Pastinya pengurus kastel Winterfell lebih berharga
daripada anak-anak."
"Bagiku tidak." Tindakan gagah berani, pak tua, tapi
aku bukan orang bodoh. "Begitu juga bagi Lord Manderly atau
Leobald Tallhart, aku yakin." Kulit tua menyedihkanmu tak lebih
berarti dibandingkan orang lain. "Tidak, aku tetap menahan gadis
itu... dan memastikannya tetap aman, selama kau menuruti
perintahku. Nyawanya di tanganmu."
1074 "Demi para dewa, Theon, bisa-bisanya kau melakukan
ini" Kau tahu aku harus menyerang, telah bersumpah..."
"Jika pasukan ini masih bersenjata di depan gerbangku
ketika matahari terbenam, Beth akan digantung," kata Theon.
"Tawanan lain akan menyusulnya ke kuburan begitu fajar
tiba, dan satu orang lagi saat matahari terbenam. Setiap fajar
dan senja berarti kematian, sampai kalian pergi. Aku tidak
kekurangan tawanan." Dia tak menunggu jawaban, melainkan
memutar Smiler berbalik dan kembali ke kastel. Awalnya
perlahan, tapi membayangkan pemanah di belakangnya
membuatnya cepat-cepat mencongklang. Kepala-kepala kecil
memperhatikannya dari pasak, wajah hitam oleh ter dan
terkelupas menjulang makin besar seiring semakin dekatnya
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia; di antara mereka berdiri si kecil Beth Cassel, dengan leher
terjerat dan menangis. Theon membenamkan tumit di tubuh
Smiler dan berderap kencang. Tapal kuda Smiler berkeletakkeletuk di jembatan gantung, mirip rentak genderang.
Di pekarangan, Theon turun dan menyerahkan tali
kekang pada Wex. "Itu mungkin membuat mereka menahan
diri," katanya pada Lorren Hitam. "Kita akan tahu saat
matahari terbenam. Bawa pergi anak itu sampai saat itu, dan
jaga dia di suatu tempat yang aman." Di balik berlapis-lapis
kulit, baja, dan wol, tubuh Theon licin oleh keringat. "Aku
butuh secawan anggur. Setong anggur bahkan lebih baik lagi."
Perapian sudah dinyalakan di ruang tidur Ned Stark.
Theon duduk di sampingnya dan mengisi cawan dengan
anggur merah pekat dari ruang bawah tanah kastel, anggur
yang seasam suasana hatinya. Mereka akan menyerang, pikirnya
murung, memandangi api. Ser Rodrik menyayangi putrinya,
tapi dia tetap pengurus kastel, dan di atas semua itu dia seorang
kesatria. Seandainya Theon yang lehernya dilingkari jerat dan
Lord Balon yang memimpin pasukan, sangkakala perang pasti
sudah berbunyi mengisyaratkan serangan, dia yakin itu. Dia
seharusnya bersyukur pada para dewa bahwa Ser Rodrik bukan
orang kepulauan besi. Orang-orang negeri hijau lebih lembek,
1075 meskipun dia tak yakin mereka akan terbukti cukup lembek.
Kalau tidak, kalau lelaki tua itu memerintahkan untuk
menyerbu kastel apa pun yang terjadi, Winterfell akan jatuh;
Theon tidak memiliki delusi mengenai hal tersebut. Ketujuh
belas anak buahnya mungkin bisa membunuh tiga, empat,
atau lima kali lipat jumlah mereka, tapi akhirnya mereka pasti
dikalahkan. Theon memandangi kobaran api dari atas bibir cawan
anggur, merenungkan ketidakadilan semua ini. "Aku berkuda
di sisi Robb Stark di Hutan Berbisik," gumamnya. Malam itu
dia ketakutan, tapi bukan seperti ini. Memasuki medan perang
dikelilingi teman-teman dengan mati sendirian dan dibenci
adalah hal yang berbeda. Belas kasih, pikirnya merana.
Setelah anggur tak melipur laranya, Theon menyuruh
Wex mengambilkan busur lalu pergi ke pekarangan dalam
tertutup yang sudah lama. Di sana dia berdiri, melepaskan
anak panah demi anak panah di lapangan panahan sampai
bahunya nyeri dan jemarinya berdarah, hanya berhenti cukup
lama untuk mencabut anak-anak panah dari sasaran untuk
babak berikutnya. Aku menyelamatkan nyawa Bran dengan busur
ini, dia mengingatkan diri. Seandainya aku bisa menyelamatkan
nyawaku. Para perempuan pergi ke sumur, tapi tidak berlamalama; apa pun yang mereka lihat di wajah Theon menyebabkan
mereka buru-buru pergi. Di belakangnya tegak menara yang runtuh, puncaknya
bergerigi mirip mahkota di tempat api meruntuhkan bagian
atasnya lama berselang. Seiring beralihnya matahari, bayangbayang menara ikut bergerak, lambat laun memanjang, lengan
hitam yang seakan meraih Theon Greyjoy. Sewaktu matahari
menyentuh dinding, dia sudah berada dalam cengkeraman
lengan tersebut. Kalau aku menggantung gadis kecil itu, orangorang utara akan langsung menyerang, pikirnya seraya melepaskan
anak panah. Kalau aku tidak menggantungnya, mereka akan tahu
ancamanku cuma omong kosong. Tidak ada jalan keluar, tak satu
pun. 1076 "Seandainya kau punya seratus pemanah semahir
dirimu, kau mungkin punya kesempatan mempertahankan
kastel," suatu suara berkata lirih.
Ketika dia berbalik, Maester Luwin ada di belakangnya.
"Pergi," kata Theon padanya. "Aku sudah muak dengan
nasihatmu." "Dan hidup" Kau sudah muak hidup, pangeranku?"
Theon mengangkat busur. "Satu kata lagi, akan
kulepaskan anak panah ini ke jantungmu."
"Tidak akan." Theon menarik tali busur, mendekatkan bulu angsa
abu-abu ke pipinya. "Mau bertaruh?"
"Aku harapan terakhirmu, Theon."
Aku tidak punya harapan, pikirnya. Namun dia
menurunkan busur sedikit dan berkata, "Aku tidak akan
melarikan diri." "Yang kumaksud bukan melarikan diri. Bergabunglah
dengan Garda Malam."
"Garda Malam?" Theon membiarkan tali busurnya
kembali lurus dan mengarahkan anak panah ke tanah.
"Ser Rodrik mengabdi pada Klan Stark seumur hidup,
dan Klan Stark sejak dulu bersahabat dengan Garda. Dia
tidak akan menolak keinginanmu. Buka gerbang, letakkan
senjata, terima syarat-syaratnya, dan dia harus membiarkanmu
bergabung dengan Garda Malam."
Saudara Garda Malam. Artinya tak ada mahkota, tak ada
putra, tak ada istri... tapi itu artinya hidup, dan hidup dengan
kehormatan. Adik Ned Stark sendiri memilih Garda, begitu
juga Jon Snow. Aku punya banyak jubah hitam, begitu kulepas simbol
krakennya. Kudaku pun hitam. Aku bisa jadi orang penting di Garda"
kepala penjelajah, bahkan Komandan. Biar saja Asha menguasai
kepulauan sialan itu, tempat itu membosankan seperti Asha. Jika
aku bertugas di Mata Timur, aku bisa memimpin kapalku sendiri,
1077 dan ada perburuan seru di balik Tembok. Sedangkan mengenai
perempuan, perempuan wildling mana yang tidak menginginkan
seorang pangeran di ranjang mereka" Seulas senyum perlahan
merambat di wajahnya, Jubah hitam tidak bisa ditolak. Aku akan
sama hebatnya dengan laki-laki mana pun...
"PANGERAN THEON!" Teriakan mendadak itu
memecah lamunannya. Kromm berlari menyeberangi
pekarangan tertutup. "Orang-orang utara?"
Theon merasakan kengerian mendadak yang
memualkan. "Ada serangan?"
Maester Luwin mencengkeram lengannya. "Masih ada
waktu. Kibarkan bendera perdamaian?"
"Mereka bertarung," kata Kromm dengan nada
mendesak. "Lebih banyak yang naik, ratusan, dan awalnya
mereka bergabung dengan yang lain. Tapi sekarang mereka
malah berbalik menyerang pasukan utara!"
"Asha yang datang?" Apa akhirnya kakaknya datang
untuk menyelamatkannya"
Namun Kromm menggeleng. "Bukan. Mereka orangorang utara, sudah kubilang tadi. Dengan laki-laki berdarah di
panji-panjinya." Lelaki tanpa kulit dari Dreadfort. Theon teringat, Tengik
dulu anak buah Anak Haram Bolton sebelum tertangkap.
Sulit untuk percaya bahwa makhluk keji seperti dia mampu
membujuk Bolton untuk mengalihkan kesetiaan, tapi tak ada
alasan lain yang masuk akal. "Aku akan melihatnya sendiri,"
kata Theon. Maester Luwin mengikutinya. Sewaktu mereka tiba di
tembok bergerigi, mayat manusia dan bangkai kuda sudah
berserakan di alun-alun pasar di luar gerbang. Dia tak melihat
formasi perang, hanya pusaran kekacauan panji-panji dan
pedang. Teriakan dan jeritan menggema di udara musim gugur
yang dingin. Ser Rodrik sepertinya unggul dalam jumlah,
tapi orang-orang Dreadfort kelihatannya lebih terpimpin,
dan mereka menyerang lawan yang sedang lengah. Theon
1078 memperhatikan mereka menyerbu, mundur, dan menyerang
lagi, mengubrak-abrik kekuatan lawan yang lebih besar hingga
berantakan dan berdarah-darah setiap kali lawan berupaya
menyusun formasi di antara rumah-rumah. Dia bisa mendengar
derak mata kapak besi di perisai ek di tengah ringkik ketakutan
kuda yang terluka. Dia melihat penginapan itu terbakar.
Lorren Hitam muncul di sampingnya dan berdiri
tanpa bicara selama beberapa waktu. Matahari tampak
rendah di barat, mewarnai ladang dan rumah dengan nuansa
merah bersinar. Jeritgemetar kesakitan yang melengking
melayang melintasi dinding-dinding, dan sangkakala perang
terdengar jauh di balik rumah-rumah yang terbakar. Theon
memperhatikan seorang lelaki terluka menyeret tubuh dengan
susah payah menyeberangi tanah, mencorengkan darah di
tanah selagi berjuang mencapai sumur yang berada di tengah
alun-alun pasar. Dia tewas sebelum tiba di sana. Dia memakai
rompi kulit dan helm setengah kepala berbentuk kerucut, tapi
tidak ada simbol yang menandakan dia bergabung dengan
pihak mana. Kawanan gagak tiba dalam debu biru, bersama bintangbintang malam. "Bangsa Dothraki percaya bahwa bintangbintang adalah roh dari roh dari mereka yang tewas dengan
gagah berani," ujar Theon. Maester Luwin memberitahunya
itu, lama berselang. "Dothraki?" "Raja-raja kuda di seberang laut sempit."
"Oh. Mereka." Lorren Hitam bersungut di balik
janggutnya. "Orang-orang biadab memercayai semua hal-hal
konyol." Seiring menggelapnya malam dan menyebarnya asap,
lebih sulit untuk memantau apa yang terjadi di bawah, tapi
hiruk pikuk dentang baja lambat laut memudar hingga lenyap
sama sekali, sedangkan teriakan dan sangkakala perang
digantikan oleh erangan dan ratapan menyedihkan. Akhirnya
sebaris pasukan berkuda berderap ke luar dari asap yang
1079 membubung. Di depan tampak seorang kesatria berzirah warna
gelap. Helm bundarnya berkilau merah suram, dan jubah
merah muda pucat mengepak dari bahunya. Di luar gerbang
utama, dia menghentikan kuda, dan salah satu anak buahnya
berseru agar kastel dibuka.
"Kalian teman atau musuh?" Lorren Hitam berteriak ke
bawah. "Apa musuh akan membawakan hadiah sebagus
ini?" Helm Merah melambaikan tangan, dan tiga mayat
dicampakkan di depan gerbang. Sebatang obor dikibaskan di
atas tubuh-tubuh itu sehingga pasukan pertahanan di dinding
bisa melihat wajah mereka.
"Si tua pengurus kastel," kata Lorren Hitam.
"Dengan Leobald Tallhart dan Cley Cerwyn." Lord
muda itu terkena panah di mata, sedangkan lengan kiri Ser
Rodrik buntung sampai siku. Maester Luwin berteriak cemas
tanpa suara, berbalik dari dinding pertahanan, dan jatuh
berlutut karena mual. "Babi besar Manderly itu terlalu pengecut untuk
meninggalkan White Harbor, kalau tidak kami pasti juga
membawa dia," seru Helm Merah.
Aku selamat, pikir Theon. Lalu kenapa dia merasa sangat
kosong" Ini kemenangan, kemenangan manis, keselamatan
yang diharapkannya. Dia melemparkan pandang ke Maester
Luwin. Bila membayangkan senyaris apa aku menyerah, dan
bergabung dengan Garda Malam...
"Bukakan gerbang untuk teman-teman kita." Barangkali
malam ini Theon bisa tidur tanpa takut akan apa yang mungkin
dibawa oleh mimpinya. Orang-orang Dreadfort itu melintasi parit pertahanan
dan memasuki gerbang dalam. Theon turun bersama Lorren
Hitam dan Maester Luwin untuk menemui mereka di
pekarangan. Panji-panji merah pucat berkibar dari ujung
beberapa lembing, tapi lebih banyak lagi yang membawa kapak
perang, pedang besar, dan perisai yang terbelah dua hingga
1080 menyerpih. "Kalian kehilangan orang berapa banyak?" Theon
bertanya pada Helm Merah yang turun dari kuda.
"Dua puluh atau tiga puluh." Cahaya oborterpantul
dari enamel yang cuil dari pelindung wajahnya. Helm dan
pelindung lehernya dibentuk seperti sosok wajah dan bahu
manusia, tak berkulit dan berlumuran darah, mulut terbuka
dalam lolongan tersiksa tanpa suara.
"Ser Rodrik mengungguli kalian lima banding satu."
"Aye, tapi dia mengira kami teman. Kekeliruan biasa.
Ketika orang tua bodoh itu mengulurkan tangan, aku malah
memenggal separuh lengannya. Kemudian kubiarkan dia
melihat wajahku." Orang itu meletakkan kedua tangan di
helm dan melepaskannya dari kepala, lalu mengepitnya di
lekuk lengan. "Tengik," kata Theon, cemas. Bagaimana pelayan bisa
mendapatkan zirah sebagus itu"
Lelaki itu terbahak. "Bedebah itu sudah mati."Dia
melangkah mendekat. "Salah gadis itu. Kalau saja dia tidak
kabur sejauh itu, kuda Tengik tak bakal pincang, dan kami
mungkin bisa melarikan diri. Aku memberi Tengik kudaku
begitu melihat pasukan berkuda dari bukit.Aku sudah selesai
dengan gadis itu, dan Tengik mau melakukannya juga selagi
tubuh mereka masih hangat.Aku terpaksa menarik dia dari
gadis itu dan menjejalkan pakaianku ke tangannya"bot dari
kulit sapi dan doublet beledu, sabuk pedang bersepuh perak,
bahkan jubah bulu musangku.Berkudalah ke Dreadfort,
kataku padanya, bawa bala bantuan sebanyak mungkin. Bawa
kudaku, dia lebih cepat, dan ini, pakai cincin yang diberikan
ayahku, supaya mereka tahu aku yang mengirimnya. Dia sudah
tahu untuk tidak mempertanyakan perintahku. Sewaktu
mereka memanah punggungnya, aku melumuri tubuh dengan
kotoran gadis itu dan memakai baju kumal Tengik. Mereka
mungkin tetap saja menggantungku, tapi cuma itu kesempatan
yang kulihat." Dia menggosokkan punggung tangan di mulut.
"Dan sekarang, pangeranku yang baik, ada perempuan yang
1081 dijanjikan padaku jika aku membawa dua ratus orang. Nah,
aku membawa tiga kali lipatnya, dan tidak ada yang bocah
ingusan atau buruh tani, melainkangarnisun ayahku sendiri."
Theon telah berjanji. Sekarang bukan waktunya untuk
berjengit. Bayar imbalannya yang mahal dan tangani dia setelahnya.
"Harrag," panggilnya, "pergi ke kandang anjing dan jemput
Palla untuk..." "Ramsay." Ada senyum di bibir tebalnya, yang tak terlihat
di mata sangat pucatnya. "Snow, istriku memanggilku sebelum
dia memakan jari-jarinya, tapi bagiku Bolton." Senyumnya
membeku. "Jadi kau menawariku pengurus kandang sebagai
imbalan pelayananku yang baik, begitukah caranya?"
Ada nada tertentu dalam suaranya yang tak disukai
Theon, sama seperti dia tak menyukai tatapan kurang ajar
prajurit Dreadfort ke arahnya. "Dialah yang dijanjikan."
"Dia baunya mirip kotoran anjing. Kebetulan aku
sudah muak dengan bau busuk. Kurasa aku mau penghangat
ranjangmu sebagai gantinya. Siapa namanya" Kyra?"
"Apa kau sinting?" kata Theon berang. "Akan ku?"
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Punggung tangan si Anak Haram menghantamnya
telak, dan tulang pipinya retak disertai derak memualkan di
bawah sarung tangan baja. Dunia lenyap dalam raungan merah
menyakitkan. Beberapa lama setelahnya, Theon mendapati dirinya
tergeletak di tanah. Dia berguling bertiarap dan menelan
semulut penuh darah. Tutup gerbang! dia berusaha berteriak,
tapi sudah terlambat. Pasukan Dreadfort telah menebas Rolfe
Merah dan Kenned, dan lebih banyak lagi yang mengalir
masuk, bagai sungai berupa zirah rantai dan pedang tajam.
Ada dengung di telinganya, dan kengerian di sekelilingnya.
Lorren Hitam menghunus pedang, tapi ada empat orang
mendesaknya. Theon melihat Ulf ambruk oleh anak panah
busur silang di perutnya saat dia berlari menuju Aula Besar.
Maester Luwin berusaha meraihnya ketika seorang kesatria di
atas kuda perang menusukkan tombak di antara bahunya, lalu
1082 berputar kembali untuk menginjaknya dengan kuda. Lelaki
lain memutar-mutar obor di atas kepala lalu melemparkannya
ke atap jerami istal. "Sisakan keluarga Frey untukku," seru si
Anak Haram selagi kobaran api meraung naik, "dan bakar yang
lain. Bakar, bakar semuanya."
Hal terakhir yang dilihat Theon Greyjoy adalah Smiler,
melarikan diri dari istal yang dilalap api dengan surai terbakar,
memekik, mendompak... j 1083 TYRION D ia memimpikan langit-langit batu yang retak, bau darah,
kotoran, dan daging terbakar. Udara yang penuh asap
menusuk hidung. Orang-orang mengerang dan merintih
di sekelilingnya, dan sesekali terdengar jeritan menembus
udara, pekat oleh kesakitan. Ketika berusaha bergerak, dia
mendapati dirinya mengotori tempat tidurnya sendiri. Asap
di udara membuat matanya berair. Apa aku menangis" Dia tak
boleh membiarkan ayahnya melihat itu. Dia seorang Lannister
dari Casterly Rock. Seekor singa, aku harus menjadi singa, mati
seperti singa. Tetapi dia kesakitan setengah mati. Terlalu lemah
untuk mengerang, dia berbaring di kotorannya sendiri dan
memejamkan mata. Tak jauh dari sana ada yang memaki para
dewa dalam suara berat dan monoton. Dia mendengarkan
penghujatan itu dan bertanya-tanya apa dia sekarat. Beberapa
lama kemudian ruangan pun memudar.
Dia mendapati dirinya di luar kota, berjalan melintasi
dunia tak berwarna. Raven-raven melayang menembus langit
kelabu dengan sayap hitam lebar, sedangkan gagak-gagak
beterbangan dari makanan mereka dalam gerombolan berang
ke mana pun dia menapakkan kaki. Belatung putih menggali
daging hitam busuk itu.Serigala-serigala berwarna abu-abu,
begitu juga saudari sunyi; bersama-sama mereka melepaskan
1084 daging dari tulang-tulang mereka yang gugur. Mayat-mayat
bergeletakan di seantero arena turnamen perang. Matahari
berupa lingkaran putih terik, bersinar menerangi sungai
kelabu yang mengalir mengitari bangkai-bangkai hangus kapal
tenggelam. Dari api pembakaran mayat membubung pilar
asap hitam dan abu yang sangat panas. Ulahku, pikir Tyrion
Lannister. Mereka tewas di bawah komandoku.
Awalnya dunia sunyi, tapi kemudian dia mulai
mendengar suara-suara orang mati, lirih dan menakutkan.
Mereka menangis dan mengerang, memohon agar
penderitaannya diakhiri, menangis meminta pertolongan
dan menginginkan ibunya. Tyrion tidak pernah mengenal
ibunya. Dia menginginkan Shae, tapi gadis itu tak di sana. Dia
melangkah sendirian di tengah bayang-bayang kelabu, berusaha
mengingat... Saudari sunyi melucuti ziarah dan pakaian mereka
yang tewas. Seluruh warna terang telah luntur dari mantel
luar milik korban yang terbunuh; mereka berpakaian dalam
nuansa putih dan kelabu, darah mereka hitam dan mengerak.
Tyrion memperhatikan lengan dan kaki mereka diangkat
untuk menggotong tubuh telanjang mereka ke api pembakaran
mayat dan bergabung dengan rekan-rekan mereka. Logam dan
pakaian dilemparkan ke belakang pedati kayu berwarna putih,
ditarik oleh dua kuda hitam tinggi.
Begitu banyak yang mati, banyak sekali. Mayat mereka
terkulai lemas,wajah mereka kendur atau kaku atau bengkak
oleh gas, tak dikenali, nyaris tak terlihat seperti manusia.
Pakaian yang diambil saudari sunyi dari mereka dihiasi jantung
hitam, singa abu-abu, bunga layu, dan rusa hantu pucat. Baju
baja mereka penyok dan terbelah, zirah rantai koyak, pecah,
tertebas. Kenapa aku membunuh mereka semua" Dulu dia tahu
sebabnya, tapi entah bagaimana dia melupakannya.
Dia ingin bertanya pada salah satu saudari sunyi, tapi
saat mencoba bicara dia mendapati bahwa dia tak punya mulut.
Kulit mulus tanpa celah menutupi giginya. Penemuanitu
1085 membuatnya ngeri. Bagaimana dia bisa hidup tanpa mulut"
Dia mulai berlari. Kota tak jauh. Dia akan aman di dalam kota,
jauh dari semua mayat ini. Tempatnya bukan bersama orangorang mati. Dia tak punya mulut, tapi dia masih hidup. Bukan,
seekor singa, seekor singa, dan hidup. Namun setibanya di dinding
kota, gerbang tertutup untuknya.
Ketika dia terjaga lagi, hari sudah gelap. Awalnya dia
tidak bisa melihat apa-apa, tapi beberapa saat kemudian siluet
ranjang samar-samar tampak di sekitarnya. Tirai ditutup, tapi
dia bisa melihat bentuk tiang tempat tidur yang berukir, dan
kanopi beledu yang terjuntai di atas kepalanya. Di bawahnya
terasa kelembutan kasur bulu empuk, dan bantal di bawah
kepalanya dari bulu angsa. Tempat tidurku, aku di tempat tidurku,
di kamar tidurku sendiri.
Di dalam kanopi terasa hangat, di bawah tumpukan
tebal bulu dan selimut yang menyelubunginya. Dia berkeringat.
Demam, pikirnya linglung. Dia merasa sangat lemah, dan rasa
sakit menusuk-nusuknya begitu dia berjuang mengangkat
tangan. Dia pun menyerah. Kepalanya terasa sangat besar,
sebesar tempat tidur, terlalu berat untuk diangkat dari
bantal. Dia nyaris tak bisa merasakan tubuhnya sama sekali.
Bagaimana aku bisa sampai di sini" Dia berjuang mengingat-ingat.
Pertempuran kembali dalam kelebatan-kelebatan. Pertarungan
di sepanjang sungai, kesatria yang mengulurkan sarung tangan
padanya, jembatan dari kapal-kapal...
Ser Mandon. Tyrion melihat mata kosong yang mati,
tangan yang terulur, api hijau berkilau di pelat kepingan enamel
putih. Rasa takut melandanya dalam arus dingin; di bawah
selimut dia bisa merasakan kandung kemihnya mengeluarkan
air seni. Dia pasti sudah berteriak, seandainya punya mulut.
Tidak, itu mimpi, pikirnya, kepalanya berdentam-dentam. Tolong
aku, siapa saja, tolong aku. Jaime, Shae, Ibu, siapa saja... Tysha...
Tak ada yang mendengar. Tak ada yang datang.
Sendirian dalam gelap, dia kembali larut dalam tidur di
tengah aroma pesing. Dia memimpikan kakak perempuannya
1086 menjulang di atas tempat tidurnya, bersama ayah mereka di
sisinya, mengernyit. Itu pasti mimpi, karena Lord Tywin ribuan
kilometer jauhnya, bertempur melawan Robb Stark di barat.
Yang lain juga datang dan pergi. Varys menunduk menatapnya
dan mendesah, tapi Littlefinger membuat lelucon. Bajingan
pengkhianat sialan, pikir Tyrion murka, kami mengirimmu ke
Bitterbridge dan kau tidak pernah kembali.Terkadang dia bisa
mendengar mereka bercakap-cakap, tapi tak memahami katakata mereka. Suara mereka mendengung di telinganya seperti
tawon yang teredam oleh kain felt tebal.
Tyrion ingin bertanya apa mereka memenangkan
pertempuran. Kami pasti menang, kalau tidak kepalaku pasti
dipancang di pasak di suatu tempat. Kalau aku hidup, kami menang.
Dia tak tahu apa yang lebih membuatnya puas: kemenangan,
atau fakta bahwa dia bisa memikirkan itu. Akalnya sudah
kembali, meskipun perlahan. Baguslah. Hanya akal yang
dimilikinya. Kali berikutnya dia terbangun lagi, tirai ranjang sudah
terbuka, dan Podrick Payne menjulang di atasnya sambil
memegang lilin. Begitu melihat Tyrion membuka mata, dia
berlari pergi. Tidak, jangan pergi, tolong aku, tolong, Tyrion
berusaha memanggil, tapi dia hanya mampu mengeluarkan
erangan teredam. Aku tak punya mulut. Dia mengangkat
sebelah tangan ke wajah, setiap gerakannya menyakitkan dan
canggung. Jemarinya menemukan kain kaku di tempat dia
seharusnya mendapati daging, bibir, kulit. Linen. Paruh bawah
wajahnya diperban erat, topeng yang diperkeras oleh plaster
dengan lubang untuk bernapas dan memberi makan.
Tak lama kemudian Pod kembali muncul. Kali ini
bersama seorang asing, mengenakan rantai dan jubah maester.
"My lord, Anda harus diam," gumam lelaki itu. "Anda luka
parah. Anda akan menyakiti diri sendiri. Anda haus?"
Tyrion berhasil mengangguk dengan canggung. Sang
maester menyelipkan corong tembaga melengkung melewati
lubang di mulutnya dan menuangkan cairan yang pelan-
1087 pelan mengalir ke kerongkongannya.Tyrion menelan, nyaris
tak mengecapnya. Dia terlambat menyadari bahwa cairan itu
adalah sari bunga opium. Saat maester itu melepaskan corong
dari mulutnya, dia sudah kembali terlelap.
Kali ini dia bermimpi tengah menghadiri pesta, pesta
kemenangan di suatu aula besar. Dia duduk di kursi tinggi
di mimbar, dan orang-orang mengangkat piala minum
dan mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Marillion juga
hadir, penyanyi yang bepergian bersama mereka melintasi
Pegunungan Bulan. Dia memainkan harpa kayu dan bernyanyi
tentang tindakan berani si Setan Kecil. Bahkan ayahnya
tersenyum mendukung. Setelah lagu selesai, Jaime bangkit
dari tempatnya, memerintahkan Tyrion berlutut, menyentuh
sebelah bahunya lalu bahu yang satu lagi dengan pedang emas,
dan dia bangkit sebagai kesatria. Shae sudah menunggu untuk
memeluknya. Gadis itu meraih tangannya, tertawa-tawa dan
menggoda, menyebutkan raksasa Lannister.
Dia terbangun dalam gelap di ruangan dingin yang
kosong. Kanopi sudah ditutup lagi. Ada yang tidak beres,
bertolak belakang, meskipun dia tak bisa memastikan apa
itu. Dia sendirian lagi. Disibaknya selimut, berusaha duduk,
tapi sakitnya terlalu menyiksa dan segera saja dia menyerah,
bernapas terengah-engah. Sakit di wajahnya hanya sebagian
kecil dari yang dirasakannya, dan tusukan nyeri menembus
dada setiap kali dia mengangkat lengan. Apa yang terjadi
padaku" Bahkan pertempuran seperti mimpi bila dia berusaha
mengingat-ingatnya. Aku terluka lebih parah daripada yang
kusadari. Ser Mandon... Ingatan tersebut membuatnya takut, tapi Tyrion
memaksakan diri mempertahankan memori itu, memutarmutarnya dalam benak, memandangnya lekat-lekat. Dia
berusaha membunuhku, tak salah lagi. Bagian itu bukan mimpi. Dia
pasti sudah menebasku seandainya Pod tidak... Pod, di mana Pod"
Sambil mengertakkan gigi, dia meraih tirai tempat tidur
dan menyentaknya. Tirai itu lepas dari kanopi di atas kepala
1088 dan terjatuh, separuh di jerami dan separuh lagi menimpanya.
Bahkan usaha sekecil itu membuatnya pening. Ruangan
berputar-putar di sekelilingnya, seluruh dinding polos dan
berbayang-bayang gelap, dengan satu jendela sempit. Dia
melihat peti miliknya, tumpukan pakaiannya yang berantakan,
zirahnya yang penyok-penyok. Ini bukan kamar tidurku, Tyrion
menyadari. Bahkan bukan Menara Tangan Kanan Raja. Ada
yang memindahkan dia. Teriakan marahnya terdengar seperti
erangan teredam. Mereka memindahkanku ke sini untuk mati,
pikirnya seraya berhenti berusaha dan memejamkan mata
sekali lagi. Ruangan itu lembap dan dingin, dan tubuhnya
terbakar. Dia memimpikan tempat yang lebih baik, pondok
kecil nyaman di Laut Mentari Terbenam. Dinding-dindingnya
doyong dan retak-retak, lantainya dari tanah yang dipadatkan,
tapi dia selalu merasa hangat di sana, bahkan ketika perapian
padam. Dia biasa menggodaku mengenai itu, Tyrion teringat. Aku
tak pernah menyangka harus menyalakan api, itu tugas pelayan.
"Kita tidak punya pelayan," dia mengingatkanku, dan aku
akan membalas, "Kau memilikiku, aku pelayanmu," dan dia
akan berkata, "Pelayan pemalas. Apa yang mereka lakukan
pada pelayan pemalas di Casterly Rock, my lord?" dan Tyrion
menjawab, "Menciumnya." Ucapan itu selalu membuat gadis
itu terkikik. "Mereka tidak begitu. Aku berani taruhan, mereka
memukuli pelayan pemalas," dia akan berkata, tapi Tyrion
berkeras, "Tidak, mereka mencium pelayan yang pemalas,
persis seperti ini." Kemudian Tyrion akan menunjukkan
caranya. "Mereka mencium jemarinya dulu, semuanya, lalu
mencium pergelangan tangan, ya, dan di dalam lekuk siku.
Kemudian mereka mencium telinganya yang lucu, semua
pelayan kami memiliki telinga lucu. Berhenti tertawa! Dan
mereka mencium pipinya, mencium hidung yang ada benjolan
kecilnya, nah, persis seperti itu, kemudian mereka mencium
alisnya yang manis, rambutnya, bibirnya, mmmm... mulutnya...
lalu..." 1089 Mereka akan berciuman berjam-jam, dan menghabiskan
sepanjang hari tanpa melakukan apa-apa selain bermalasmalasan di tempat tidur, mendengarkan ombak, dan saling
menyentuh. Tubuh gadis itu merupakan keajaiban bagi Tyrion,
begitu juga sebaliknya. Terkadang dia bernyanyi untuk Tyrion.
Aku mencintai dara yang seterang musim panas, dengan cahaya
matahari di rambutnya. "Aku mencintaimu, Tyrion," bisiknya
sebelum mereka tidur pada malam hari. "Aku mencintai
bibirmu. Aku mencintai suaramu, dan kata-kata yang
kauucapkan padaku, dan caramu memperlakukanku dengan
lembut. Aku mencintai wajahmu."
"Wajahku?" "Ya. Ya. Aku mencintai tanganmu, dan caramu
menyentuhku. Kejantananmu, aku mencintainya, aku
mencintai rasanya ketika berada di tubuhku."
"Dia juga mencintaimu, my lady."
"Aku senang mengucapkan namamu. Tyrion Lannister.
Cocok dengan namaku. Bukan Lannister-nya, yang satu lagi.
Tyrion dan Tysha. Tysha dan Tyrion. Tyrion. My lord Tyrion..."
Bohong, pikir Tyrion, semua itu sandiwara, semua itu demi
emas, dia pelacur, pelacur Jaime, hadiah Jaime, kekasihku yang
pembohong.Wajah Tysha seolah memudar menjauh, lenyap di
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
balik tirai air mata, tapi bahkan setelah kepergiannya Tyrion
masih bisa mendengar sayup-sayup suaranya dari kejauhan,
memanggil dirinya. "... my lord, bisakah kau mendengarku" My
lord" Tyrion" My lord" My lord?"
Dari balik kabut lelap sari bunga opium, dia melihat
wajah merah muda halus membungkuk di atasnya. Dia
kembali dikamar lembap dengan tirai ranjang yang koyak,
dan wajah itu salah, bukan milik Tysha, terlalu bulat, dengan
janggut cokelat."Anda haus, my lord" Aku punya minumanmu,
minuman yang bagus. Anda tak boleh melawan, jangan, jangan
mencoba bergerak, Anda butuh istirahat." Dia memegang
corong tembaga di sebelah tangan merah mudanya yang
lembap dan botol di tangan yang satu lagi.
1090 Sewaktu lelaki itu membungkuk mendekat, jemari
Tyrion meluncur ke bawah rantai logamnya, mencengkeram,
menarik. Sang maester menjatuhkan botol, menumpahkan
sari bunga opium di selimut. Tyrion memutar rantai sampai
bisa merasakannya menekan leher gemuk lelaki itu. "Tidak.
Lagi," ucapnya parau, saking seraknya dia bahkan tak yakin dia
sudah bicara. Namun dia pasti telah melakukannya karena sang
maester menjawab dengan susah payah. "Lepaskan, kumohon,
my lord... butuh sari bunga itu, sakitnya... rantainya, jangan,
lepaskan, tidak..." Wajah merah muda itu mulai berubah ungu ketika
Tyrion melepaskan rantai. Sang maester buru-buru mundur
menghirup udara. Lehernya yang memerah menampakkan
lekuk dalam tempat rantai menekannya. Matanya juga putih.
Tyrion mengangkat tangan ke wajah dan membuat gerakan
merobek di topeng yang mengeras itu. Lagi. Dan lagi.
"Anda... Anda ingin perbannya dilepas?" tanya sang
maester akhirnya. "Tapi aku dilarang... itu tindakan... sangat
tidak bijak, my lord. Anda belum sehat, Ratu akan..."
Mendengar kakaknya disebut membuat Tyrion
menggeram. Kalau begitu apa kau salah satu antek-anteknya"
Dia menudingkan satu jari ke lelaki itu, lalu mengepalkannya
membentuk tinju. Menghancurkan, mencekik, sebuah janji,
kecuali si bodoh itu menuruti perintahnya.
Untungnya sang maester paham. "Aku... aku akan
menuruti perintah my lord, sudah pasti, tapi... ini tidak bijak,
luka Anda..." "Lakukan. Saja." Kali ini lebih nyaring.
Sambil membungkuk, lelaki itu meninggalkan ruangan
dan kembali beberapa saat kemudian, membawa pisau panjang
dengan mata bergerigi, sebaskom air, setumpuk kain lembut,
dan beberapa botol. Saat itu Tyrion sudah berhasil beringsut
mundur beberapa jengkal, jadi dia separuh duduk bersandar
di bantal. Sang maester meminta Tyrion tak bergerak sedikit
pun sewaktu dia menyelipkan ujung pisau ke bawah dagu, ke
1091 balik topeng. Tangannya terpeleset sedikit saja, maka Cersei akan
terbebas dariku, pikir Tyrion. Dia bisa merasakan mata pisau
menggergaji linen yang kaku, hanya beberapa sentimeter dari
lehernya. Untungnya, lelaki merah muda lembut itu bukan
salah satu makhluk pengikut Cersei yang pemberani. Tak
lama kemudian Tyrion merasakan udara sejuk di pipinya.
Ada rasa sakit juga, tapi dia berusaha sekuat tenaga tak
mengindahkannya. Maester membuang perban, masih
berkerak oleh ramuan obat. "Sekarang jangan bergerak, aku
harus membersihkan lukanya." Sentuhannya lembut, airnya
hangat dan nyaman. Lukanya, pikir Tyrion, mendadak teringat
kelebatan perak mengilap yang sepertinya melintas tepat
di bawah matanya. "Ini mungkin agak pedih," sang maester
memperingatkan sambil membasahi kain dengan anggur yang
beraroma bubuk herba. Rasanya lebih dari pedih. Rasanya
ada garis api melintang di wajah Tyrion, dan menusukkan
pengorek api yang membara ke hidungnya. Jemarinya
mencakari seprai dan dia terkesiap, tapi entah bagaimana
dia berhasil tak berteriak. Sang maester berkotek mirip ayam
betina tua. "Seharusnya lebih bijak membiarkan perbannya
tetap di tempat sampai lukanya merapat, my lord. Tapi, ini
kelihatannya bersih, bagus, bagus. Sewaktu kami menemukan
Anda di ruang bawah tanah di antara mereka yang tewas dan
sekarat, luka Anda kotor. Salah satu rusuk Anda patah, pasti
Anda bisa merasakannya, mungkin akibat pukulan gada,
atau terjatuh, sulit dipastikan. Dan Anda terkena panah di
lengan, di titikpertemuanantara lengan dengan bahu. Lukanya
menunjukkan tanda-tanda gangren dan aku sempat khawatir
Anda mungkin akan kehilangan lengan, tapi kami merawatnya
dengan anggur panas dan belatung, dan sekarang sepertinya
luka itu sembuh dengan bersih..."
"Nama," gumam Tyrion padanya. "Nama."
Sang maester berkedip. "Wah, Anda Tyrion Lannister,
my lord. Adik sang ratu. Anda ingat pertempuran itu" Terkadang
luka di kepala?" 1092 "Namamu." Tenggorokannya perih, dan lidahnya lupa
cara membentuk kata-kata.
"Aku Maester Ballabar."
"Ballabar," Tyrion mengulang. "Bawakan aku. Cermin."
"My lord," kata sang maester. "Aku tidak menyarankan...
itu mungkin, ah, tak bijak, mengingat... luka Anda..."
"Bawakan," dia harus berkata. Mulutnya kaku dan
pedih, seolah ada tinju memecahkan bibirnya. "Dan minuman.
Anggur. Bukan opium."
Maester itu bangkit dengan wajah memerah dan
tergopoh-gopoh pergi. Dia kembali bersama sekendi anggur
kuning emas pucat dan cermin perak kecil berbingkai ukiran
emas. Sambil duduk di pinggir tempat tidur, dia menuangkan
setengah cawan anggur dan memegangkannya di bibir bengkak
Tyrion. Anggur yang mengalir masuk terasa sejuk, walaupun
dia nyaris tak bisa mencecapnya. "Lagi," katanya begitu cawan
kosong. Maester Ballabar menuang lagi. Setelah menghabiskan
cawan kedua, Tyrion Lannister merasa cukup kuat untuk
menghadapi wajahnya. Dia membalik cermin, dan tak tahu harus tertawa atau
menangis. Lukanya panjang dan bergerigi, dimulai tak jauh
dari bawah mata kirinya dan berakhir di sisi kanan rahangnya.
Tiga perempat hidungnya lenyap, juga sebongkah bibirnya.
Seseorang sudah menjahit lukanya dengan benang catgut, dan
jahitan serampangan mereka masih tampak di torehan luka
berdarah, merah, dan setengah sembuh. "Cantik," ucapnya
parau, melemparkan cermin ke samping.
Sekarang dia ingat. Di jembatan dari kapal-kapal, Ser
Mandon Moore, satu tangan, pedang berkelebat ke wajahnya.
Seandainya aku tidak mundur, tebasan itu pasti memenggal puncak
kepalaku. Jaime sering berkata bahwa Ser Mandon-lah yang
paling berbahaya di Pengawal Raja, sebab sorot mata kosong
dan matinya tak memperlihatkan niatnya. Aku seharusnya tak
pernah memercayai seorang pun dari mereka. Dia tahu Ser Meryn
dan Ser Boros adalah antek kakak perempuannya, juga Ser
1093 Osmund, tapi dia membuat dirinya percaya bahwa yang lain
tidak sepenuhnya kehilangan kehormatan mereka. Cersei
pasti membayar dia untuk memastikan aku tak pernah kembali
dari pertempuran. Apa lagi alasannya" Setahuku aku tak pernah
merugikan Ser Mandon. Tyrion menyentuh wajah, mencubitnya
dengan jemari pendek besar. Satu lagi hadiah dari kakakku yang
baik. Sang maester berdiri di samping tempat tidur persis
angsa yang siap kabur. "My lord, nanti, kemungkinan besar
nanti ada parut..." "Kemungkinan besar?" Dengus tawanya berubah menjadi
ringisan kesakitan. Pasti ada parut, sudah jelas. Juga kecil
peluangnya hidungnya akan tumbuh kembali dalam waktu
dekat. Wajahnya memang tidak pernah enak dilihat. "Ini
mengajarkanku, jangan, bermain-main dengan, kapak."
Cengirannya terasa kaku. "Di mana kita" Tempat, tempat apa?"
Bicara menyakitkan baginya, tapi Tyrion sudah terlalu lama
diam. "Ah, Anda di Benteng Maegor, my lord. Ruangan di atas
Balairung Ratu. Yang Mulia ingin Anda di dekatnya, supaya
bisa menjaga Anda sendiri."
Berani taruhan dia melakukan itu. "Kembalikan aku,"
perintah Tyrion. "Tempat tidurku. Ruanganku." Tempat
orang-orangku mengelilingiku, juga maesterku sendiri, jika aku bisa
menemukan yang bisa kupercaya.
"Ruangan Anda... my lord, itu tidak mungkin. Tangan
Kanan Raja telah menempati bekas ruangan Anda."
"Aku. Adalah. Tangan Kanan Raja." Dia mulai lelah
akibat usahanya untuk berbicara, dan kebingungan karena apa
yang didengarnya. Maester Ballabar tampak gelisah. "Bukan, my lord, aku...
Anda terluka, nyaris tewas. Ayah Anda kini mengambil alih
tanggung jawab itu. Lord Tywin, dia..."
"Di sini?" "Sejak malam pertempuran. Lord Tywin menyelamatkan
1094 kita semua. Rakyat berkata itu hantu Raja Renly, tapi yang
lebih bijak tahu sebenarnya. Itu ayah Anda dan Lord Tyrell,
bersama Kesatria Bunga dan Lord Littlefinger. Mereka berkuda
menembus abu dan menyerang perebut takhta Stannis dari
belakang. Sebuah kemenangan besar, dan sekarang Lord Tywin
tinggal di Menara Tangan Kanan Raja untuk membantu Yang
Mulia menata kembali kerajaan, terpujilah para dewa."
"Terpujilah para dewa," ulang Tyrion datar. Ayahnya
dan Littlefinger dan hantu Renly" "Aku ingin..." Siapa yang
kuinginkan" Dia tidak bisa menyuruh Ballabar yang masih lugu
menjemput Shae untuknya. Siapa yang bisa dia panggil" Siapa
yang bisa dia percaya" Varys" Broon" Ser Jacelyn" "... squire-ku,"
dia menyelesaikan ucapan. "Pod. Payne." Pod-lah yang ada di
jembatan kapal-kapal, bocah itu menyelamatkan nyawaku.
"Bocah itu" Bocah aneh itu?"
"Bocah aneh itu. Podrick. Payne. Pergi. Panggil dia."
"Siap laksanakan perintah, my lord." Maester Ballabar
menganggukkan kepala dan bergegas keluar. Tyrion bisa
merasakan kekuatan merembes pergi dari tubuhnya selagi
menunggu. Dia bertanya-tanya berapa lama dia di sini, tertidur.
Cersei pasti menginginkanku tidur selamanya, tapi aku tidak akan
sepatuh itu. Podrick Payne memasuki kamar tidur dengan takut-takut
seperti tikus. "My lord?" Dia mengendap-endap mendekati
tempat tidur. Bagaimana bocah pemberani dalam perang bisa
setakut ini di kamar orang sakit" Tyrion bertanya-tanya. "Aku
berniat menemani Anda, tapi maester menyuruhku pergi."
"Suruh dia pergi. Dengarkan aku. Bicara susah. Butuh
anggur mimpi. Anggur mimpi, bukan sari bunga opium. Temui
Frenken. Frenken, bukan Ballabar. Awasi dia membuatnya.
Bawakan ke sini." Pod mencuri pandang ke wajah Tyrion
lalu cepat-cepat mengalihkan tatapan. Yah, aku tidak bisa
menyalahkannya karena itu. "Aku ingin," lanjut Tyrion, "orangku
sendiri. Pengawal. Bronn. Di mana Bronn?"
"Mereka mengangkatnya menjadi kesatria."
1095 Bahkan mengernyit menyakitkan. "Cari dia. Bawa dia."
"Siap laksanakan perintah. My lord. Bronn."
Tyrion menyambar pergelangan tangan bocah itu. "Ser
Mandon?" Bocah itu berjengit. "Aku t-tidak pernah berniat membb-b-b?"
"Mati" Kau yakin" Mati?"
Pod menggeser-geser kakinya, malu. "Tenggelam."
"Bagus. Jangan berkata apa-apa. Tentang dia. Tentang
aku. Apa saja soal itu. Sepatah kata pun."
Sewaktu squire-nya pergi, sisa-sisa kekuatan Tyrion juga
lenyap. Dia kembali berbaring dan memejamkan mata. Siapa
tahu dia akan memimpikan Tysha lagi. Aku penasaran apa dia
menyukai wajahku sekarang, pikir Tyrion getir.
j 1096 JON K etika Qhorin Jemari Buntung menyuruhnya mencari
semak-semak untuk menyalakan api, Jon tahu akhir
mereka sudah dekat. Pasti senang rasanya bisa hangat lagi, meskipun hanya sebentar,
katanya pada diri sendiri sambil menebas dahan gundul dari
pohon mati. Ghost duduk tegak seraya memperhatikan, sediam
biasanya. Apa dia akan melolong untukku saat aku mati, seperti
serigala Bran waktu dia jatuh" Jon bertanya-tanya. Apa Shaggydog
akan melolong, jauh di Winterfell, juga Grey Wind dan Nymeria, di
mana pun mereka mungkin berada"
Bulan meninggi di balik satu gunung dan matahari
tenggelam di balik gunung yang lain. Jon menggesekkan batu
api dan belati untuk menyalakan api, sampai akhirnya sulur
asap muncul. Qhorin menghampiri dan berdiri di dekatnya
begitu kobaran pertama muncul bekedip-kedip dari potongan
kulit pohon dan daun pinus yang kering."Sepemalu gadis
pada malam pernikahannya," komentar penjelajah bertubuh
besar itu dengan suara pelan, "dan hampir sama cantiknya.
Terkadang seseorang dapat melupakan bisa seindah apa api
itu." Dia bukan tipe lelaki yang kauharapkan untuk
membahas tentang gadis dan malam pernikahan. Sejauh yang
1097 diketahui Jon, Qhorin melewatkan seumur hidup di Garda.
Apa dia penah mencintai seorang gadis atau menikah" Jon tak
bisa bertanya. Dia malah mengipas-ngipas api. Setelah api
mendedas, dia membuka sarung tangan yang kaku untuk
menghangatkan tangan, dan mendesah, bertanya-tanya apakah
ciuman bisa senikmat ini. Kehangatan menyebar dari jari"
jarinya bagaikan mentega lumer.
Jemari Buntung duduk di tanah, bersila di dekat api,
cahaya yang berkelip bermain-main di raut keras wajahnya.
Hanya tinggal mereka berdua dari lima penjelajah yang
melarikan diri melewati Celah Lolongan, kembali ke alam liar
biru-kelabu Taring Beku. Awalnya Jon memelihara harapan bahwa Squire
Dalbridge mampu menahan para wildling di celah. Namun,
begitu mendengar tiupan sangkakala di kejauhan dan
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semua tahu bahwa squire itu telah gugur. Setelahnya, mereka
memergoki elang itu melayang menembus langit senja dengan
sayap biru-kelabu besarnya dan Ular Batu menurunkan busur,
tapi burung itu terbang ke luar jangkauan bahkan sebelum
dia sempat memasang tali busur.Ebben meludah dan memaki
kesal para ward dan perasuk pikiran.
Mereka melihat elang tersebut dua kali lagi hari itu, dan
mendengar sangkakala berburu di belakang mereka menggema
di pegunungan. Setiap kalinya makin nyaring, kian dekat. Saat
malam tiba, Jemari Buntung menyuruh Ebben membawa
kudanya dan kudagarron Dalbridge, lalu pergi ke timur
menemui Mormont secepatnya, kembali ke tempat mereka
datang sebelumnya. Yang lain akan menghalangi pengejar.
"Suruh Jon saja," desak Ebben waktu itu. "Dia bisa berkuda
secepat aku." "Jon punya peran sendiri."
"Dia masih bocah."
"Bukan," tegas Qhorin, "dia anggota Garda Malam."
Ketika bulan terbit, Ebben memisahkan diri dari
mereka. Ular Batu berkuda ke timur bersamanya sejenak, lalu
1098 kembali untuk menghilangkan jejak mereka dan tiga orang
yang tersisa bertolak menuju barat daya.
Setelah itu, siang dan malam melebur menjadi satu.
Mereka tidur di pelana dan hanya berhenti cukup lama untuk
memberi makan dan minum kuda, lalu menungganginya lagi.
Mereka berkuda melewati bebatuan gundul, melalui hutan
pinus yang muram dan tetesan salju lama, melintasi bukit
es dan menyeberangi sungai dangkal tak bernama.Sesekali
Qhorin atau Ular Batu berbalik untuk menghapus jejak
mereka, tapi tindakan itu sia-sia. Mereka diawasi. Setiap fajar
dan senja, mereka melihat si elang melayang di antara puncakpuncak, tak lebih dari sekadar titik di luasnya angkasa.
Mereka sedang mendaki bukit rendah di antara dua
puncak berselimut salju saat seekor shadowcat datang menggeram
dari sarangnya, tak sampai sepuluh meter jauhnya. Binatang
buas itu kerempeng dan setengah kelaparan, tapi melihatnya
membuat kuda betina Ular Batu panik; dia mendompak dan
kabur, sebelum penjelajah itu sempat mengendalikannya, kuda
itu tergelincir ke lereng curam dan satu kakinya patah.
Ghost makan banyak hari itu, dan Qhorin berkeras
supaya para penjelajah mencampur sedikit darah kuda itu
dalam gandum mereka, untuk memberi kekuatan. Rasa
bubur yang menjijikkan itu nyaris membuat Jon tercekik, tapi
dia memaksakan diri menelannya. Mereka masing-masing
mengiris selusin daging mentah liat dari karkas binatang itu
untuk dikunyah sembari berkuda, dan meninggalkan sisanya
untuk shadowcat. Menaiki satu kuda berdua bukan pertanyaan. Ular Batu
menawarkan diri untuk tinggal dan menunggu para pengejar
lalu mengejutkan mereka begitu datang. Mungkin dia bisa
membawa beberapa di antaranya bersamanya ke neraka.
Qhorin menolak. "Kalau ada anggota Garda Malam yang
mampu melewati Taring Beku sendirian dan dengan berjalan
kaki, kaulah orangnya, saudaraku. Kau bisa mendaki gunung
yang harus dikitari kuda. Pergilah ke Tinju. Beritahu Mormont
1099 apa yang dilihat Jon, dan bagaimana caranya. Beritahu dia
bahwa kekuatan kuno telah bangkit, bahwa dia menghadapi
raksasa, warg, dan lebih buruk lagi. Katakan padanya bahwa
pohon-pohon kembali memiliki mata."
Dia tak punya kesempatan, pikir Jon saat memperhatikan
Ular Batu menghilang di bukit berselimut salju, serangga
hitam mungil merayap menyeberangi bentangan putih yang
bergelombang. Setelah itu, setiap malam terasa lebih dingin daripada
sebelumnya, dan lebih sepi. Ghost tidak selalu bersama mereka,
tapi juga tak jauh-jauh. Bahkan sewaktu mereka terpisah, Jon
bisa merasakan kedekatan Ghost. Dia lega karenanya. Jemari
Buntung bukan rekan yang paling menyenangkan. Kepang
panjang abu-abu Qhorin berayun pelan seiring gerakan
kudanya. Mereka sering berkuda berjam-jam tanpa bicara
sepatah kata pun, bunyi yang terdengar hanya gesekan tapal
kuda di batu dan lolongan angin yang bertiup tanpa henti di
dataran tinggi itu. Ketika tidur, dia tak bermimpi; tidak tentang
serigala, tidak tentang saudara-saudaranya, tidak tentang apa
pun. Bahkan mimpi tak bisa hidup di atas sini, katanya pada diri
sendiri. "Apa pedangmu tajam, Jon?" tanya Qhorin Jemari
Buntung dari seberang api yang berkobar.
"Pedangku dari baja Valyria. Beruang Tua yang
memberikannya padaku."
"Kau ingat sumpahmu?"
"Ya." Sumpah itu bukan kata-kata yang mudah
dilupakan seseorang. Begitu diucapkan, tidak bisa dibatalkan.
Sumpah itu mengubah hidupmu selamanya.
"Ucapkan lagi bersamaku, Jon Snow."
"Baiklah." Suara mereka menyatu di bawah bulan yang
meninggi sementara Ghost mendengarkan dan pegunungan
menjadi saksi. "Malam telah tiba dan kini giliranku berjaga.
Aku akan terus berjaga sampai ajalku tiba. Aku tidak akan
beristri, bertanah, dan beranak. Tahta dan kemuliaan bukanlah
1100 tujuanku. Aku akan hidup dan mati di tempatku berjaga. Aku
adalah pedang dalam kegelapan. Aku adalah pengawas di
benteng. Aku adalah api penakluk dingin, cahaya pembawa
fajar, sangkakala peringatan, perisai pelindung negeri manusia.
Hidup dan kehormatanku kubaktikan pada Garda Malam,
mulai malam ini dan setiap malam sesudahnya."
Setelah selesai, tak ada suara selain retihan samar api
dan desau angin di kejauhan. Jon membuka dan menutup
jemarinya yang terbakar, menggenggam erat kata-kata itu di
benaknya, berdoa supaya dewa-dewa ayahnya memberinya
kekuatan untuk mati dengan berani bila waktunya tiba. Takkan
lama lagi. Kuda-kuda garron sudah menjelang akhir kekuatan
mereka. Jon menduga tunggangan Qhorin takkan bertahan
sehari lagi. Saat itu kobaran api mengecil, kehangatan memudar.
"Api akan segera padam," kata Qhorin, "tapi jika Tembok
sampai jatuh, semua api akan padam."
Jon tidak bisa mengomentari itu. Dia mengangguk.
"Kita mungkin bisa meloloskan diri dari mereka," kata
si penjelajah. "Atau tidak."
"Aku tidak takut mati." Itu hanya separuh kebohongan.
"Mungkin tidak semudah itu, Jon."
Dia tak mengerti. "Apa maksudmu?"
"Kalau kita tertangkap, kau harus menyerah."
"Menyerah?" Jon mengerjap terkejut. Para wildling
tak pernah menawan orang-orang yang mereka juluki gagak.
Mereka membunuhnya, kecuali... "Mereka hanya mengampuni
pelanggar sumpah. Orang yang bergabung dengan mereka,
contohnya Mance Rayder."
"Dan kau." "Tidak." Jon menggeleng. "Tidak pernah. Tidak akan."
"Kau akan menyerah. Aku memerintahkanmu."
"Memerintahkan" Tapi..."
1101 "Kehormatan kita tak lebih berarti daripada nyawa kita,
selama kerajaan aman. Apa kau anggota Garda Malam?"
"Ya, tapi?" "Tidak ada tapi-tapi, Jon Snow. Kau anggota, atau kau
bukan anggota." Jon duduk tegak. "Aku anggota."
"Kalau begitu dengarkan aku. Jika kita tertangkap, kau
akan bergabung dengan mereka, seperti desakan gadis wildling
yang pernah kautangkap. Mereka mungkin menuntutmu
mencabik-cabik jubahmu, bersumpah demi kuburan ayahmu,
memaki saudara-saudaramu dan Komandanmu. Kau tidak
boleh mundur, apa pun perintah mereka untukmu. Lakukan
perintah mereka... tapi dalam hatimu, ingatlah siapa dan apa
dirimu. Berkudalah bersama mereka, makan bersama mereka,
bertarung bersama mereka, selama yang dibutuhkan. Dan
perhatikan." "Perhatikan apa?" tanya Jon.
"Seandainya aku tahu," jawab Qhorin. "Serigalamu
melihat mereka menggali lembah Sungai Susu. Apa yang
mereka cari di tempat semuram dan sejauh itu" Apa mereka
telah menemukannya" Itulah yang mesti kauketahui, sebelum
kau kembali pada Lord Mormont dan saudara-saudaramu.
Itulah tugas yang kuembankan padamu, Jon Snow."
"Aku akan mematuhi perintahmu," ujar Jon enggan,
"tapi... kau akan memberitahu mereka, bukan" Beruang
Tua, setidaknya" Kau akan bilang padanya aku tidak pernah
melanggar sumpahku."
Qhorin Jemari Buntung menatapnya dari seberang api,
matanya lenyap dalam kolam bayangan. "Begitu aku bertemu
dengannya lagi. Aku bersumpah." Dia menunjuk api. "Ambil
kayu lagi. Aku ingin apinya terang dan panas."
Jon pergi mengambil dahan lagi, mematahkan masingmasing jadi dua sebelum melemparkannya ke api. Pohon itu
sudah lama mati, tapi tampak hidup lagi di dalam api, ketika
penari api bangkit dalam setiap batang kayu untuk berputar1102
putar dalam gaun mereka yang bersinar kuning, merah, dan
jingga. "Cukup," kata Qhorin tiba-tiba. "Sekarang kita
berkuda." "Berkuda?" Hari sudah gelap, dan udara malam dingin.
"Berkuda ke mana?"
"Kembali." Qhorin menaiki kuda garron letihnya sekali
lagi. "Api akan memancing mereka lewat, semoga saja. Ayo,
saudaraku." Jon memakai sarung tangan lagi dan menaikkan tudung.
Bahkan kuda mereka tampak enggan meninggalkan api.
Matahari telah lama terbenam, dan hanya cahaya keperakan
dingin dari bulan sabit yang menerangi jalan saat mereka
melewati medan berbahaya yang terbentang di belakang. Jon
tak tahu apa yang dipikirkan Qhorin, tapi mungkin itu suatu
kesempatan. Dia berharap begitu. Aku tidak mau berpura-pura
menjadi pelanggar sumpah, meskipun dengan alasan kuat.
Mereka berderap hati-hati, bergerak sesenyap yang
bisa dilakukan manusia dan kuda, menyusuri kembali jejak
mereka sampai tiba di mulut celah sempit tempat sungai kecil
membeku muncul di sela-sela dua gunung. Jon ingat tempat
ini. Mereka memberi minum kuda di sini sebelum matahari
tenggelam. "Airnya membeku," Qhorin mengamati sambil menoleh
ke samping, "kalau tidak kita akan berkuda melewati dasar
sungai. Tapi kalau kita memecahkan es, jejaknya akan terlihat.
Jangan jauh-jauh dari tebing. Ada tikungan satu kilometer lagi
yang bisa menyembunyikan kita." Dia memasuki celah. Jon
menatap penuh damba api unggun mereka di kejauhan untuk
terakhir kalinya, lalu menyusul.
Semakin jauh mereka berjalan, semakin dekat tebing
mengapit di kedua sisi. Mereka mengikuti aliran sungai yang
diterangi cahaya bulan menuju sumbernya. Untaian air beku
bertumbuhan di tepiannya yang berbatu, tapi Jon masih bisa
mendengar arus air di bawah lapisan es tipis yang keras.
1103 Guguran batu berserakan memblokir mereka setengah
jalan menuju atas, di satu bagian dinding tebing runtuh,
tapi kuda garron kecil dengan langkah mantap itu mampu
melintasinya. Di baliknya, dinding tebing merapat drastis, dan
sungai membawa mereka ke kaki air terjun tinggi dan berkelokkelok. Udara penuh uap air, mirip napas binatang dingin dan
besar. Air yang jatuh berkilau perak diterpa cahaya bulan.
Jon menatap sekeliling dengan kecewa. Tidak ada jalan keluar.
Dia dan Qhorin barangkali bisa memanjat tebing, tapi tidak
dengan kuda-kuda ini. Menurutnya mereka takkan bertahan
lama dengan berjalan kaki.
"Ayo cepat," perintah Jemari Buntung. Lelaki bertubuh
besar di kuda kecil itu berderap di bebatuan yang licin oleh
es, langsung memasuki tirai air terjun, dan menghilang. Ketika
dia tak muncul kembali, Jon menekankan tumit di kudanya
dan menyusul. Kudanya berusaha keras menjauh. Air yang
jatuh menghantami mereka dengan tinju beku, dan dinginnya
seolah menghentikan napas Jon.
Kemudian dia pun menembusnya; basah kuyup dan
menggigil, tapi menembusnya.
Celah di batu itu nyaris tak cukup besar untuk dilalui
manusia dan kuda, tapi di baliknya, dinding membuka dan
tanah berubah menjadi pasir halus. Jon bisa merasakan air
membeku di janggutnya. Ghost menerobos air terjun dalam
kelebatan kencang, mengguncang air dari bulunya, mengendusendus kegelapan dengan curiga, lalu mengangkat sebelah kaki
di salah satu dinding batu. Qhorin sudah turun dari kuda. Jon
melakukan hal serupa. "Kau tahu tempat ini ada di sini."
"Waktu umurku tak lebih tua darimu, aku mendengar
seorang saudara bercerita dia mengikuti shadowcat menembus
air terjun ini." Qhorin menurunkan pelana kudanya,
melepaskan cakotan dan tali kekang, lalu menyusurkan
jemari di surai kusutnya. "Ada jalan untuk menembus jantung
gunung. Saat fajar, jika mereka tak menemukan kita, kita akan
terus berjalan. Aku yang berjaga pertama, saudaraku." Qhorin
1104 duduk di pasir, memunggungi dinding, tak lebih dari bayangan
hitam samar di keremangan gua. Di tengah gemuruh air terjun,
Jon mendengar bunyi pelan gesekan baja di kulit yang artinya
Jemari Buntung menghunus pedang.
Jon melepaskan jubah basahnya, tapi udara di sini terlalu
lembap dan dingin untuk melepaskan pakaian yang lain.
Ghost berbaring di sampingnya dan menjilat sarung tangannya
sebelum meringkuk tidur. Jon bersyukur atas kehangatannya.
Dia bertanya-tanya apakah di luar api unggun masih berkobar,
atau kini sudah padam. Jika Tembok sampai jatuh, semua api
akan padam. Bulan bersinar menembus tirai air terjun dan
menerakan garis pucat berpendar di pasir, tapi beberapa lama
kemudian cahaya itu pun memudar dan menggelap.
Tidur akhirnya datang juga, dan disertai mimpi buruk.
Jon memimpikan kastel terbakar dan mayat-mayat bangkit
dari kuburan mereka. Suasana masih gelap saat Qhorin
membangunkannya. Sewaktu Jemari Buntung tidur, Jon duduk
bersandar di dinding gua, mendengarkan air dan menunggu
pagi. Begitu fajar tiba, mereka masing-masing mengunyah
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
secarik daging kuda yang setengah membeku, lalu memasang
pelana di kuda garron lagi, dan memakai jubah hitam mereka
di bahu. Selama gilirannya berjaga, Jemari Buntung membuat
setengah lusin obor, membasahi gumpalan lumut kering dengan
minyak yang dibawanya di tas pelana. Sekarang dia menyalakan
yang pertama dan memimpin jalan memasuki kegelapan,
mengangkat cahaya pucat itu tinggi-tinggi di depannya. Jon
mengikuti bersama kuda-kuda. Jalur berbatu itu berkelok dan
menikung, pertama turun, kemudian naik, lalu turun lagi
dengan lebih curam. Di beberapa titik jalannya sangat sempit
sehingga sulit membujuk kuda garron supaya mau melewatinya.
Saat keluar, kami pasti sudah menyesatkan mereka, katanya pada
diri sendiri sambil melangkah. Elang pun tak mampu melihat
menembus batu padat. Kami pasti sudah menyesatkan mereka, lalu
kami berkuda sekencang-kencangnya menuju Tinju, dan menceritakan
1105 pada Beruang Tua semua yang kami ketahui.
Namun, begitu kembali memasuki cahaya berjam-jam
kemudian, elang itu sudah menunggu mereka, bertengger di
pohon mati tiga puluh meter di atas lereng. Ghost berderap
mendaki bebatuan mengejarnya, tapi burung itu mengepakkan
sayap dan mengudara. Mulut Qhorin menegang seraya mengikuti terbangnya si
burung dengan matanya. "Di sini tempat yang bagus untuk bertahan," dia
menyatakan. "Mulut gua menaungi kita dari atas, dan mereka
tidak bisa menyerang dari belakang tanpa menembus gunung.
Apa pedangmu tajam, Jon Snow?"
"Ya," jawabnya.
"Kita akan memberi makan kuda. Mereka sudah
melayani kita dengan gagah berani, binatang yang malang."
Jon memberi kuda garron-nya gandum terakhir dan
membelai surai kusutnya sementara Ghost berkeliaran dengan
gelisah di sela bebatuan. Dia mengencangkan sarung tangan
dan melemaskan jari-jarinya yang terbakar. Aku adalah perisai
pelindung negeri manusia.
Sangkakala berburu menggema di seantero pegunungan,
dan sesaat kemudian Jon mendengar gonggongan anjing
pemburu. "Mereka akan segera mencapai kita," Qhorin
mengumumkan. "Pastikan serigalamu tidak jauh darimu."
"Ghost, kemari," panggil Jon. Direwolf itu berbalik
dengan enggan ke sampingnya, ekor Ghost terangkat kaku di
belakangnya. Para wildling bermunculan di bukit tak sampai satu
kilometer jauhnya. Anjing-anjing pemburu berlari mendahului
mereka, makhluk kelabu-cokelat yang menggeram-geram
dengan lebih dari sedikit darah serigala dalam tubuh mereka.
Ghost mengernying, bulunya menegak."Tenang," gumam Jon.
"Tinggallah." Di atas kepala dia mendengar kepakan sayap.
Elang itu mendarat di tonjolan batu dan memekik penuh
kemenangan. 1106 Para pemburu mendekat dengan waspada, barangkali
mencemaskan panah. Jon menghitung jumlah mereka empat
belas, disertai delapan anjing. Perisai bulat besar mereka
terbuat kulit yang dibentangkan di anyaman rotan dan
bergambar tengkorak. Kira-kira separuhnya menyembunyikan
wajah di balik helm dari kayu kasar dan kulit yang disamak. Di
kedua sisi, pemanah memasang anak panah di busur dari kayu
dan tanduk, tapi tidak melepaskannya. Yang lain kelihatannya
bersenjatakan tombak dan palu bertangkai panjang.Satu
orang membawa kapak batu yang sudah cuil. Mereka memakai
bagian-bagian zirah yang dijarah dari penjelajah yang tewas
atau dicuri saat penyerbuan. Wildling tidak menambang atau
melebur, dan hanya ada segelintir pandai besi dan lebih sedikit
lagi bengkel tempa di utara Tembok.
Qhorin menghunus pedang panjangnya. Kisah tentang
bagaimana dia mengajari diri sendiri bertarung dengan tangan
kiri setelah kehilangan separuh tangan kanan merupakan
bagian legendanya; kabarnya kini dia menangani pedang
lebih baik daripada sebelumnya. Jon berdiri bersisian dengan
penjelajah bertubuh besar itu dan mencabut Longclaw dari
sarungnya. Meskipun udara dingin, keringat memedihkan
matanya. Sepuluh meter di bawah mulut gua, para pemburu
berhenti. Pemimpin mereka mendekat sendirian, menunggang
binatang yang lebih mirip kambing daripada kuda, dilihat
dari langkah mantapnya mendaki lereng yang berbatu. Ketika
lelaki itu dan tunggangannya makin dekat, Jon bisa mendengar
bunyi berkelotak-kelotek dari mereka; dua-duanya memakai
zirah dari tulang. Tulang sapi, domba, kambing, urus, dan elk,
tulang besar mammoth berbulu... juga tulang manusia.
"Baju Belulang," seru Qhorin ke arah bawah, sopan dan
dingin. "Untuk para gagak aku adalah Lord Tulang." Helm lelaki
itu terbuat dari tengkorak raksasa yang pecah, dan di kulit yang
disamak di sepanjang lengannya dijahitkan cakar beruang.
1107 Qhorin mencibir. "Aku tak melihat ada lord. Hanya
anjing mengenakan pakaian tulang ayam, yang berkelotakkelotek ketika dia menunggang."
Wildling itu mendesis berang, dan tunggangannya
mendompak. Dia memang berkelotak-kelotek, Jon bisa
mendengarnya; tulang-tulang itu dijahit longgar, sehingga
berguntak dan berderak setiap kali dia bergerak. "Tak lama
lagi tulangmu yang akan kubuat berkelotak-kelotek, Jemari
Buntung. Akan kurebus dagingmu dan membuat zirah panjang
dari rusukmu. Aku akan mengukir gigimu untuk dibuat rune,
dan makan bubur gandum dari tengkorakmu."
"Kalau kau menginginkan tulangku, ayo ambillah
kemari." Hal itu sepertinya enggan dilakukan Baju Belulang.
Jumlah pasukannya tak banyak berarti di ruang sempit bebatuan
tempat saudara hitam bertahan; untuk mengeluarkan mereka
dari gua, para wildling harus maju dua-dua setiap kalinya.
Namun salah satu rekannya mendekatkan kudanya ke samping
Baju Belulang, salah satu prajurit perempuan yang disebut istri
tombak. "Kami empat belas lawan dua, Gagak, dan delapan
anjing lawan serigalamu," seru perempuan itu. "Melawan atau
kabur, kalian milik kami."
"Tunjukkan pada mereka," perintah Baju Belulang.
Perempuan itu merogoh karung bernoda darah dan
mengeluarkan satu bagian tubuh. Ebben sebotak telur, jadi dia
mengayunkan kepala itu dengan memegang telinganya. "Dia
mati dengan berani," ucap si istri tombak.
"Tapi dia mati," ucap Baju Belulang, "sama dengan
kalian." Dia menghunus kapak perang, mengacungkannya
di atas kepala. Baja yang bagus, dengan kilau kejam di kedua
mata kapaknya; Ebben bukan orang yang tak merawat
senjatanya. Wildling lain berkerumun di samping Baju
Belulang, menyerukan ejekan. Beberapa memilih Jon sebagai
sasaran hinaan. "Itu serigalamu, Nak?" seru seorang pemuda
kurus, menyiapkan gada batunya. "Dia bakal jadi jubahku
1108 sebelum matahari terbenam." Dari sisi lain, istri tombak yang
berbeda membuka jubah bulu compang-campingnya untuk
memamerkan payudara putih besar pada Jon. "Apa bayi ini
menginginkan ibunya" Kemarilah, isap ini, Bocah." Anjinganjing juga menggonggong.
"Mereka mempermalukan kita agar bertindak bodoh."
Qhorin menatapnya lama. "Ingat perintahmu."
"Mungkin kita perlu membunuh mereka," Baju
Belulang meraung mengatasi keriuhan. "Panah mereka."
"Jangan!" Kata itu menyembur dari bibir Jon sebelum
anak panah sempat dilepaskan. Dia maju dua langkah dengan
cepat. "Kami menyerah!"
"Mereka mengingatkanku bahwa anak haram itu
pengecut," Jon mendengar Qhorin Jemari Buntung berkata
dengan dingin di belakangnya. "Ternyata benar. Larilah ke
tuan barumu, pengecut."
Dengan wajah memerah, Jon menuruni lereng ke tempat
Baju Belulang duduk di kudanya. Wildling itu menatapnya dari
balik lubang mata helm, dan berkata, "Orang merdeka tidak
butuh pengecut." "Dia bukan pengecut." Salah satu pemanah membuka
helm kulit dombanya dan menampakkan kepala berambut
merah kusut. "Itu Anak Haram Winterfell, yang mengampuni
nyawaku. Biarkan dia hidup."
Jon beradu pandang dengan Ygritte, dan tak bisa
berkata-kata. "Biarkan dia mati," Lord Tulang berkeras. "Gagak hitam
itu burung yang licik. Aku tidak memercayainya."
Di batu di atas mereka, si elang mengepakkan sayap dan
membelah udara disertai pekikan marah.
"Burung itu membencimu, Jon Snow," ucap Ygritte. "Dan
itu wajar. Dia dulu manusia, sebelum kau membunuhnya."
"Aku tidak tahu," sahut Jon jujur, berusaha mengingatingat wajah orang yang dibunuhnya di celah. "Kaubilang
Mance bersedia menerimaku."
1109 "Dia memang bersedia," balas Ygritte.
"Mance tidak di sini," tukas Baju Belulang. "Ragwyle,
belah perutnya." Istri tombak bertubuh besar itu menyipitkan mata
dan berkata, "Kalau gagak itu mau bergabung dengan orang
merdeka, biarkan dia memperlihatkan keberaniannya dan
membuktikan kebenaran ucapannya pada kita."
"Akan kulakukan apa pun perintah kalian." Kata-kata
itu terlontar dengan susah payah, tapi Jon mengucapkannya.
Zirah tulang Baju Belulang berkelotak nyaring ketika dia
terbahak. "Kalau begitu bunuh Jemari Buntung, anak haram."
"Memangnya dia bisa," ujar Qhorin. "Berbaliklah, Snow,
dan mati." Kemudian pedang Qhorin menyerangnya dan entah
bagaimana Longclaw melompat maju untuk menangkis.
Kuatnya benturan hampir menjatuhkan pedang anak haram
dari tangan Jon, dan menyebabkannya terhuyung mundur.
Kau tidak boleh mundur, apa pun perintah mereka untukmu.
Dia beralih memegang pedang dengan kedua tangan, cukup
gesit untuk melancarkan serangan, tapi penjelajah bertubuh
besar itu menepisnya dengan sangat mudah. Mereka saling
menyerang, jubah hitam berkelebat, dan kelincahan anak
muda melawan kekuatan ganas dari tebasan tangan kiri
Qhorin. Pedang panjang Jemari Buntung seolah berada di
mana-mana sekaligus, memberondongkan serangan dari satu
sisi kemudian dari sisi lain, mendesak Jon ke mana pun dia
mau, membuatnya hilang keseimbangan. Jon bisa merasakan
kedua lengannya mulai kebas.
Bahkan saat gigi Ghost mencekam keras betis si
penjelajah, entah bagaimana Qhorin tetap tegak. Namun saat
itu, ketika dia berputar, celah itu muncul. Jon menebas dan
berputar. Penjelajah itu mencondongkan tubuh menjauh,
dan untuk sesaat kelihatannya sabetan Jon tak menyentuhnya.
Kemudian garis merah basah muncul di leher lelaki besar itu,
secemerlang kalung batu mirah, dan darah menyembur ke luar
1110 darinya, Qhorin Jemari Buntung pun ambruk.
Moncong Ghost meneteskan cairan merah, tapi hanya
ujung pedang anak haram yang ternoda, satu sentimeter
terakhirnya. Jon menarik direwolf itu menjauh dan berlutut
dengan sebelah lengan memeluknya. Cahaya sudah memudar
di mata Qhorin. "... tajam," katanya, mengangkat jemari
cacatnya. Kemudian tangannya terkulai, dan dia pun pergi.
Dia sudah tahu, pikir Jon mati rasa. Dia sudah tahu apa
perintah mereka untukku. Saat itu Jon memikirkan Samwell
Tarly, Grenn dan Edd Sengsara, Pyp dan Kodok di Kastel
Hitam. Apa dia telah kehilangan mereka semua, seperti dia
kehilangan Bran, Rickon, dan Robb" Siapa dirinya sekarang"
Apa dirinya sekarang"
"Angkat dia." Tangan-tangan kasar menariknya bangkit.
Jon tak melawan. "Kau punya nama?"
Ygritte menjawab untuknya. "Namanya Jon Snow. Dia
anak Eddard Stark, dari Winterfell."
Ragwyle tertawa. "Siapa yang sangka" Qhorin Halfhand
dibunuh oleh anak haram bangsawan."
"Belah perutnya." Itu Baju Belulang, masih menunggang
kuda. Elang terbang menghampirinya dan hinggap di atas helm
tulangnya, memekik-mekik.
"Dia menyerah," Ygritte mengingatkan mereka.
"Aye, dan membunuh saudaranya," ujar lelaki pendek
berwajah biasa yang memakai helm setengah kepala dari besi
yang sudah karatan. Baju Belulang berkuda mendekat, tulang-tulang
berguntak. "Serigala itu yang melakukan tugasnya. Kemenangan
yang buruk. Kematian Jemari Buntung adalah milikku."
"Kami semua melihat betapa bersemangatnya kau
mengambilnya," ejek Ragwyle.
"Dia warg," kata Lord Tulang, "dan gagak. Aku tidak
suka padanya." 1111 "Mungkin dia memang warg," sahut Ygritte, "tapi
itu tak pernah membuat kita takut." Yang lain menyerukan
persetujuan. Di balik lubang mata tengkoraknya yang
menguning, tatapan Baju Belulang mengancam, tapi dia
menyerah sambil menggerutu. Mereka memang orang mereka,
pikir Jon. Mereka membakar Qhorin Jemari Buntung di tempatnya
gugur, dengan api pembakaran mayat yang dinyalakan dengan
daun pinus, semak-semak, dan dahan patah. Sebagian kayu
masih hijau, sehingga api terbakar perlahan dan berasap,
mengepulkan gumpalan hitam ke langit biru terang. Setelahnya
Baju Belulang mengambil beberapa tulang hangus, sedangkan
yang lain melempar dadu untuk mendapatkan perlengkapan
penjelajah itu. Ygritte memenangkan jubahnya.
"Apa kita kembali ke Celah Lolongan?" tanya Jon
padanya. Dia tidak tahu apakah dia sanggup menghadapi
ketinggian itu lagi, atau apakah kuda garron-nya mampu
bertahan melintasinya untuk kedua kalinya.
"Tidak," jawab Ygritte. "Tidak ada apa-apa di belakang
kita." Tatapan yang diarahkannya pada Jon tampak sedih. "Saat
ini, Mance sudah berada di Sungai Susu, berderap menuju
Tembok kalian." j
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1112 BRAN A bu yang berguguran mirip dengan salju kelabu halus.
Dia berderap melewati daun jarum pinus dan daun
kering, menuju pinggiran hutan tempat pohon-pohon pinus
mulai jarang. Di seberang padang terbuka dia bisa melihat
gundukan besar batu buatan manusia kontras dilatari kobaran
api. Angin bertiup panas dan pekat oleh ba darah dan daging
terbakar, begitu tajam sehingga dia mulai meneteskan air liur.
Namun, saat adasatu bau menarik mereka mendekat,
bau yang lain memperingatkan mereka agar mundur. Dia
mengendus-endus asap yang melayang. Manusia, banyak
manusia, banyak kuda, dan api, api, api. Tidak ada bau yang
lebih berbahaya, bahkan bau dingin dan tajam besi, karya
cakar manusia dan kulit keras. Asap dan abu mengaburkan
pandangannya, dan di langit dia melihat ular besar bersayap
yang raungannya berupa semburan api. Dia menyeringai
memamerkan gigi, tapi ular itu pergi. Di balik tebing-tebing,
api tinggi melahap bintang-bintang.
Sepanjang malam api itu meretih, dan sekali terdengar
raungan dan derakan keras yang membuat bumi melompat
di bawah kakinya. Anjing-anjing menggonggong dan
mendengking, kuda-kuda meringkik ketakutan. Lolongan
gemetar menembus malam; lolongan kawanan manusia,
1113 ratapan ngeri dan teriakan liar, tawa dan jeritan. Tidak ada
makhluk yang lebih berisik daripada manusia. Dia menegakkan
telinga dan mendengarkan, saudaranya menggeram setiap kali
ada suara. Mereka berkeliaran di bawah pohon-pohon ketika
angin pinus menerbangkan abu dan bara di langit.Akhirnya
kobaran api mulai mereda, dan kemudian padam. Pagi itu
matahari terbit berwarna kelabu dan berasap.
Baru saat itulah dia meninggalkan pepohonan,
mengendap-endap rendah menyeberangi padang. Saudaranya
berlari bersamanya, tertarik oleh bau darah dan kematian.
Mereka berderap tanpa suara melewati pondok-pondok yang
dibangun manusia dari kayu, rumput, dan lumpur. Banyak yang
terbakar dan banyak yang ambruk; lainnya tetap tegak seperti
sebelumnya. Tetapi, mereka tidak melihat atau mencium bau
manusia hidup di mana pun. Para gagak menyelimuti tubuhtubuh dan melompat ke udara sambil memekik saat dia dan
saudaranya mendekat. Anjing-anjing liar menyelinap pergi di
depan mereka. Di bawah tebing kelabu besar, seekor kuda sekarat
dengan ribut, berjuang bangkit dengan satu kaki patah dan
berteriak-teriak sewaktu terjatuh. Saudaranya mengitari kuda
itu, kemudian merobek lehernya sementara makhluk itu
menendang-nendang lemah dan memutar bola mata. Ketika
dia mendekati karkas tersebut, saudaranya menggeram padanya
dan merapatkan telinga ke kepala, dia menampar saudaranya
dengan kaki depan dan menggigit kakinya. Mereka berkelahi
di tengah rumput dan pasir dan jatuh di samping bangkai
kuda, sampai saudaranya berguling telentang tanda menyerah,
ekornya diturunkan rendah-rendah. Satu gigitan lagi di leher
saudaranya yang terpampang; kemudian dia pun makan, lalu
membiarkan saudaranya makan, dan menjilat darah dari bulu
hitamnya. Saat itu, bangunan gelap tersebut menariknya, rumah
bisikan tempat semua manusia buta. Dia bisa merasakan
jemari dingin menyentuhnya. Bau batunya merupakan bisikan
1114 bagi hidung. Dia berjuang melawan tarikan tersebut. Dia
tidak suka kegelapan. Dia serigala. Dia pemburu, pengintai,
dan pembantai, dan tempatnya bersama saudara-saudaranya
jauh di dalam hutan, berlari bebas di bawah langit berbintang.
Dia duduk tegak, mengangkat kepala, dan melolong. Aku
tidak mau pergi, teriaknya. Aku serigala, aku tidak mau pergi.
Tetapi, kegelapan tetap saja memekat, sampai menutupi mata,
memenuhi hidung, dan menyumbat telinganya, sehingga dia
tak bisa melihat atau mencium atau mendengar atau berlari,
dan tebing kelabu raib, bangkai kuda lenyap, saudaranya
menghilang, dan segala-galanya gelap dan hening dan hitam
dan dingin dan hitam dan mati dan hitam...
"Bran," ada suara berbisik lirih. "Bran, kembalilah.
Kembalilah sekarang, Bran. Bran..."
Dia memejamkan mata ketiga dan membuka dua mata
lainnya, dua mata yang lama, dua mata yang buta. Dalam
kegelapan, semua manusia buta. Tetapi ada yang mendekapnya.
Dia bisa merasakan lengan memeluknya, kehangatan tubuh
yang meringkuk di dekatnya. Dia bisa mendengar Hodor
bernyanyi "Hodor, hodor, hodor," lirih sendiri.
"Bran?" Itu suara Meera. "Kau meronta-ronta,
mengeluarkan suara-suara mengerikan. Apa yang kaulihat?"
"Winterfell." Lidahnya terasa asing dan kelu di
mulutnya. Suatu hari nanti ketika aku kembali, aku takkan tahu
lagi cara berbicara. "Winterfell. Terbakar habis. Ada bau kuda,
baja, dan darah. Mereka membunuh semua orang, Meera."
Bran merasakan tangan Meera di wajahnya, membelai
rambutnya ke belakang. "Kau berkeringat," ucap gadis itu.
"Kau mau minum?"
"Minum," dia setuju. Meera mendekatkan labu kulit ke
bibirnya, dan Bran menelan sangat cepat sehingga air meleleh
ke luar dari sudut mulutnya. Dia selalu lemah dan haus saat
kembali. Juga lapar. Dia teringat kuda yang sekarat, rasa darah
di mulutnya, bau daging terbakar di udara pagi. "Berapa lama?"
"Tiga hari," sahut Jojen. Dia mendekat tanpa suara,
1115 atau jangan-jangan dia sudah di sana sejak tadi; di dunia
gelap membutakan ini, Bran tak bisa memastikannya. "Kami
mencemaskanmu." "Aku bersama Summer," kata Bran.
"Terlalu lama. Kau akan membuat dirimu kelaparan.
Meera menyuapkan sedikit air ke kerongkonganmu, dan kami
mengoleskan madu di mulutmu, tapi itu tidak cukup."
"Aku makan," Bran berkata. "Kami membunuh elk dan
harus mengusir kucing pohon yang mencoba mencurinya."
Kucing itu kuning dan cokelat, hanya separuh ukuran direwolf,
tapi ganas. Dia teringat bau kesturi binatang itu, dan caranya
menggeram pada mereka dari dahan pohon ek.
"Serigala yang makan," ucap Jojen. "Bukan kau. Hatihati, Bran. Ingat siapa dirimu."
Dia ingat betul siapa dirinya; Bran si bocah, Bran si
cacat. Lebih baik jadi Bran si beastling. Apa mengejutkan bahwa
dia lebih memilih mimpi Summer-nya, mimpi serigalanya"
Di sini, di kelembapan dingin makam bawah tanah mata
ketiganya akhirnya terbuka. Dia bisa meraih Summer kapan
saja dia mau, dia bahkan menyentuh Ghost dan berbicara pada
Jon. Meskipun mungkin dia hanya memimpikan itu. Dia tak
mengerti kenapa sekarang Jojen selalu berusaha memanggilnya
kembali. Bran menggunakan kekuatan lengannya untuk
beringsut ke posisi duduk. "Aku harus menceritakan apa yang
kulihat pada Osha. Dia di sini" Ke mana dia?"
Perempuan wildling itu yang menjawab sendiri. "Tidak
ke mana-mana, m"lord. Aku sudah kenyang berkeliaran dalam
gelap." Bran mendengar gesekan kaki di batu, menoleh ke
arah bunyi itu, tapi tidak melihat apa-apa. Menurutnya dia
bisa mencium bau Osha, tapi dia tak yakin. Bau mereka semua
mirip, dan dia tak punya hidung Summer untuk membedakan
satu dengan yang lain. "Semalam aku kencing di kaki raja,"
lanjut Osha. "Atau mungkin tadi pagi, siapa yang tahu" Aku
tadi tidur, tapi sekarang tidak." Mereka semua sering sekali
tidur, bukan hanya Bran. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan.
1116 Tidur, makan, dan tidur lagi, dan kadang-kadang mengobrol
sebentar... tapi tak terlalu sering, dan hanya berbisik-bisik,
demi keamanan. Osha lebih senang jika mereka sama sekali tak
bicara, tapi mustahil menyuruh Rickon diam, atau melarang
Hodor menggumamkan, "Hodor, hodor, hodor," tanpa henti
pada diri sendiri. "Osha," kata Bran, "aku melihat Winterfell terbakar." Di
sebelah kirinya, dia bisa mendengar suara lirih napas Rickon.
"Hanya mimpi," sahut Osha.
"Mimpi serigala," bantah Bran. "Aku juga menciumnya.
Tidak ada yang baunya mirip dengan api, atau darah."
"Darah siapa?" "Manusia, kuda, anjing, semua orang. Kita harus pergi
melihatnya." "Aku cuma punya kulit tipis ini," jawab Osha. "Kalau
pangeran cumi-cumi itu menangkapku, mereka bakal menguliti
punggungku dengan cambuk."
Tangan Meera menemukan tangan Bran dalam
kegelapan dan meremas jemarinya. "Aku saja yang pergi kalau
kau takut." Bran mendengar tangan merogoh kantong kulit, diikuti
oleh bunyi baja bergesekan dengan batu api. Kemudian sekali
lagi. Percikan api melayang, tertangkap. Osha meniup pelan.
Api pucat panjang terjaga, meraih ke atas persis seorang gadis
berjinjit. Wajah Osha melayang di atasnya. Dia menyentuh api
dengan ujung obor. Bran terpaksa menyipit begitu ter mulai
terbakar, memenuhi dunia dengan kobaran jingga. Cahaya
membangunkan Rickon, yang duduk sambil menguap.
Ketika bayang-bayang bergerak, sempat terlihat seolah
mereka yang sudah mati juga bangkit. Lyanna dan Brandon,
Lord Rickard Stark ayah mereka, Lord Edwyle kakek mereka,
Lord Willam dan saudaranya Artos si Kepala Batu, Lord
Donnor dan Lord Beron dan Lord Rodwell, si mata satu Lord
Jonnel, Lord Barth dan Lord Brandon dan Lord Cregan yang
melawan Raja Naga. Di takhta batu mereka duduk dengan
1117 patung serigala di kaki mereka. Ke sinilah mereka pergi
setelah kehangatan merembes ke luar dari tubuh; inilah aula
gelap orang-orang mati, tempat yang manusia hidup takut
menapakkan kaki. Dan di mulut makam bawah tanah kosong yang
menantikan Lord Eddard Stark, di bawah sosok granit
berwibawanya, enam pelarian meringkuk mengelilingi
perbekalan roti, air, dan daging kering mereka yang minim.
"Tinggal sedikit," gumam Osha seraya mengerjap menatap
persediaan mereka. "Aku harus ke atas secepatnya untuk
mencuri makanan, atau kita terpaksa memakan Hodor."
"Hodor," kata Hodor, tersenyum lebar padanya.
"Di luar sana siang atau malam?" Osha bertanya-tanya.
"Aku sudah tidak bisa menentukannya lagi."
"Siang," kata Bran, "tapi cuaca gelap gara-gara asap."
"M"lord yakin?"
Tanpa menggerakkan tubuh cacatnya, Bran meraih
ke luar, dan sejenak pandangannya menjadi ganda. Di sana
berdiri Osha yang memegang obor, Meera, Jojen, dan Hodor,
serta deretan ganda pilar granit dan para lord yang telah lama
tiada di belakang mereka terentang dalam kegelapan... tapi juga
ada Winterfell, kelabu oleh asap yang mengepul, gerbang besar
dari kayu ek dan besi hangus dan miring, jembatan gantung
jatuh dalam lilitan rantai putus dan papan yang hilang. Tubuhtubuh mengambang dalam parit, pulau bagi para gagak.
"Yakin," Bran menyatakan.
Osha memikirkan itu sejenak. "Kalau begitu aku akan
ambil risiko menengoknya. Aku ingin kalian tidak jauh di
belakang. Meera, ambil keranjang Bran."
"Apa kita mau pulang?" tanya Rickon penuh semangat.
"Aku mau kudaku. Dan aku mau tar apel, mentega, madu, dan
Shaggy. Apa kita mau ke tempat Shaggydog?"
"Ya," Bran berjanji, "tapi kau harus diam."
Meera memasang keranjang rotan di punggung Hodor
dan membantu Bran menaikinya, memasukkan kakinya yang
1118 tak berguna di lubang keranjang. Ada getaran ganjil di perut
Bran. Dia tahu apa yang menunggu mereka di atas, tapi bukan
berarti semua ini menjadi lebih tak menakutkan. Saat mereka
pergi, dia menoleh menatap ayahnya untuk terakhir kali, dan
sepertinya Bran melihat kesedihan di mata Lord Eddard,
seolah tak menginginkan mereka pergi. Kami harus, pikirnya.
Sudah waktunya. Osha membawa tombak panjang dari kayu ek di sebelah
tangan dan obor di tangan yang satu lagi. Pedang tanpa sarung
melintang di punggungnya, salah satu dari pedang terakhir
karya Mikken. Dia menempanya untuk makam Lord Eddard,
agar hantunya damai. Namun setelah Mikken dibunuh dan
orang-orang kepulauan besi menjaga gudang senjata, senjata
yang bagus sulit ditampik, meskipun itu berarti merampok
kuburan. Meera mengambil pedang Lord Rickard, meskipun
dia mengeluh senjata itu terlalu berat. Brandon mengambil
pedang yang bernama sama dengannya, pedang yang dibuat
untuk paman yang tak pernah dikenalnya. Dia sadar dia takkan
mampu bertarung, tapi tetap saja pedang itu terasa nyaman di
tangannya. Namun itu hanya permainan, dan Bran mengetahuinya.
Langkah mereka menggema di makam bawah tanah
yang luas. Bayang-bayang di belakang mereka menelan
ayahnya sedangkan bayang-bayang di depan mundur untuk
menampakkan patung-patung lain; mereka bukan para lord
biasa, melainkan Raja-raja Utara lama. Mereka mengenakan
mahkota batu di kepala. Torrhen Stark, Raja yang Berlutut.
Edwyn Raja Musim Semi. Theon Stark, sang Serigala Lapar.
Brandonsang Pembakar dan Brandon sang Pembuat Kapal.
Jorah dan Jonos, Brandon si Nakal, Walton sang Raja Bulan,
Edderion sang Pengantin Pria, Eyron, Benjen si Manis dan
Benjen si Masam, Raja Edrick sang Janggut Salju. Wajah-wajah
mereka tegas dan kuat, dan sebagian dari mereka melakukan
tindakan mengerikan, tapi semuanya merupakan keluarga
Stark, dan Bran tahu seluruh kisah mereka. Dia tak pernah
takut pada makam bawah tanah; ini bagian dari rumahnya dan
1119 siapa dirinya, dan dia selalu menyadari bahwa suatu hari nanti
dia juga akan terbaring di sini.
Tetapi kini dia tak lagi terlalu yakin. Kalau aku ke atas,
apa aku akan pernah kembali ke bawah" Ke mana aku pergi saat
aku mati" "Tunggu," kata Osha begitu mereka tiba di tangga
batu melingkar-lingkar yang mengarah ke permukaan, dan
turun lebih ke bawah lagi tempat raja-raja yang lebih kuno
masih duduk di takhta gelap mereka. Dia menyerahkan obor
pada Meera. "Aku akan naik sambil meraba-raba." Mereka
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar langkah kakinya untuk beberapa lama, tapi bunyi
itu makin pelan saja sampai hilang sepenuhnya. "Hodor," kata
Hodor gugup. Bran berkata pada diri sendiri ratusan kali betapa dia
benci bersembunyi dalam kegelapan di bawah sini, betapa dia
ingin melihat matahari lagi, menunggang kudanya menembus
angin dan hujan. Tetapi setelah saat itu tiba, dia takut. Dia
merasa aman dalam gelap; ketika kau bahkan tak bisa melihat
tanganmu sendiri di depan wajah, mudah untuk percaya bahwa
musuh juga takkan pernah melihatmu. Dan patung para lord
memberinya keberanian. Bahkan meski dia tak bisa melihat
mereka, dia tahu mereka ada di sana.
Rasanya lama sekali sebelum mereka mendengar
sesuatu lagi. Bran mulai khawatir ada yang terjadi pada Osha.
Adiknya bergerak-gerak gelisah. "Aku mau pulang!" ucapnya
nyaring. Hodor mengangguk-angguk dan berkata, "Hodor."
Kemudian mereka mendengar langkah kaki lagi, makin keras,
dan beberapa menit kemudian Osha muncul dalam cahaya,
tampak murung. "Ada yang menghalangi pintu. Aku tidak bisa
memindahkannya." "Hodor bisa memindahkan apa saja," kata Bran.
Osha mengamati penjaga istal bertubuh besar itu
dengan sorot menilai. "Mungkin dia bisa. Ayo, kalau begitu."
Tangganya sempit, jadi mereka harus menaikinya
satu per satu. Osha di depan. Disusul Hodor, dengan Bran
membungkuk rendah-rendah di punggungnya supaya tak
1120 membentur langit-langit. Meera menyusul sambil membawa
obor, dan Jojen paling belakang, menggandeng tangan Rickon.
Mereka berputar dan berputar, bergerak naik dan naik. Bran
merasa kini dia bisa mencium asap, tapi mungkin itu hanya
asap obor. Pintu makam bawah tanah terbuat dari kayu ulin.
Sudah tua dan berat, dan dipasang miring di tanah. Hanya
satu orang yang bisa memasuki setiap kalinya. Osha mencoba
membukanya sekali lagi begitu tiba di sana, tapi Bran bisa
melihat bahwa pintunya bergeming. "Biar Hodor yang
mencobanya." Mereka harus mengeluarkan Bran dari keranjang dulu
supaya dia tak terjepit. Meera berjongkok di sampingnya di
tangga, sebelah lengan gadis itu merangkul bahunya dengan
protektif, sementara Osha dan Hodor bertukar tempat. "Buka
pintunya, Hodor," kata Bran.
Penjaga istal bertubuh besar itu menempelkan telapak
tangan di pintu, mendorong, dan mendengus. "Hodor?" Dia
menghantamkan tinju di kayu, yang sedikit pun tak bergerak.
"Hodor." "Pakai punggungmu," desak Bran. "Dan kakimu."
Hodor berbalik, menempelkan punggung di kayu dan
mendorong. Lagi. Lagi. "Hodor!" Dia meletakkan sebelah kaki
di anak tangga yang lebih tinggi sehingga dia membungkuk
di bawah daun pintu dan berusaha berdiri. Kali ini kayunya
mengerang dan berderak. "Hodor!" Kaki yang sebelah lagi
juga naik satu anak tangga, dan Hodor meregangkan kaki,
menyiapkan tubuh, dan menegakkannya. Wajahnya memerah,
dan Bran bisa melihat urat-urat di lehernya menonjol saat dia
berjuang mendorong beban di atasnya. "Hodor hodor hodor hodor
hodor HODOR!" Dari atas terdengar gemuruh pelan. Kemudian
pintu tersentak ke atas dan pilar cahaya menimpa wajah Bran,
membutakannya sejenak. Satu dorongan lagi menimbulkan
bunyi batu bergeser, dan kemudian pintu pun terbuka. Osha
menyodokkan tombak ke sana lalu menyelinap ke luar, Rickon
menyusup dari sela-sela kaki Meera untuk mengikutinya.
1121 Hodor mendorong pintu hingga terbuka lebar dan melangkah
ke permukaan. Reed bersaudara harus menggendong Bran
menaiki beberapa anak tangga terakhir.
Langit kelabu pucat, dan asap bergulung-gulung di
sekeliling mereka. Mereka berdiri di bawah bayangan Menara
Pertama, atau yang tersisa darinya. Satu sisi bangunan
sepenuhnya hancur dan runtuh. Batu dan gargoyle yang pecah
berserakan di seantero pekarangan. Mereka jatuh persis di
tempatku dulu, pikir Bran ketika melihatnya. Beberapa gargoyle
remuk berkeping-keping sehingga membuat dia bertanya-tanya
bagaimana dia bisa masih hidup. Di dekatnya, beberapa gagak
mematuki tubuh yang terimpit di bawah batu yang runtuh,
tapi karena posisinya tertelungkup Bran tak bisa memastikan
siapa dia. Menara Pertama sudah ratusan tahun tak pernah
digunakan, tapi kini bangunan itu lebih mirip cangkang
daripada yang sudah-sudah. Lantai-lantai terbakar di dalamnya,
begitu juga semua balok-baloknya. Dari tempat dinding
yang ambruk, mereka bisa melihat dari luar ruang-ruang di
dalamnya, bahkan kakusnya. Tetapi di belakang, menara
runtuh masih tegak, tak lebih hangus daripada sebelumnya.
Jojen Reed terbatuk-batuk karena asap. "Antar aku pulang!"
desak Rickon. "Aku mau pulang!" Hodor berputar sambil
mengentak-entakkan kaki. "Hodor," rintihnya pelan. Mereka
berdiri berdekatan dengan reruntuhan dan kematian di
sekeliling mereka. "Kita cukup berisik untuk membangunkan naga," kata
Osha, "tapi tak ada yang datang. Kastel ini mati dan terbakar,
persis mimpi Bran, tapi sebaiknya?" Ucapannya terhenti
mendadak begitu mendengar bunyi di belakang mereka, dan
dia berputar dengan tombak siaga.
Dua sosok gelap dan ramping muncul dari balik menara
runtuh, berderap perlahan melewati puing-puing. Rickon
berseru gembira, "Shaggy!" dan direwolf hitam itu berlari ke
arahnya. Summer mendekat lebih perlahan, menggosokan
kepala di lengan Bran, dan menjilat wajahnya.
"Sebaiknya kita pergi," kata Jojen. "Kematian sebanyak
1122 ini akan mendatangkan serigala-serigala selain Summer dan
Shaggydog, dan tidak semuanya berkaki empat."
"Aye, secepatnya," Osha sependapat, "tapi kita butuh
makanan, dan barangkali ada yang selamat dari ini. Jangan
berpencar. Meera, angkat perisaimu dan awasi bagian belakang
kita." Mereka butuh sepanjang sisa pagi untuk mengitari kastel
perlahan. Dinding granit yang besar masih tegak, hangus oleh
api di sana-sini tapi selain itu tak tersentuh. Tetapi di dalam,
hanya ada kematian dan kehancuran. Pintu Aula Besar gosong
dan membara, dan di dalamnya kayu-kayu kasau runtuh dan
seluruh atapnya amblas ke lantai. Panel-panel hijau dan kuning
rumah kaca hancur berkeping-keping, pohon, buah, dan
bunga tercerabut atau dibiarkan terpapar dan mati. Di istal,
yang terbuat dari kayu dan jerami, tak ada yang tersisa selain
abu, bara, dan bangkai kuda. Bran memikirkan Dancer, dan
ingin menangis. Ada danau dangkal beruap di bawah Menara
Perpustakaan, dan air panas mengalir dari celah di sampingnya.
Jembatan antara Menara Lonceng dan sangkar gagak roboh
ke pekarangan di bawah, sedangkan menara Maester Luwin
telah lenyap. Mereka melihat cahaya merah redup bersinar dari
jendela sempit ruang bawah tanah di bawah Menara Utama
Kastel, dan api kedua masih berkobar di salah satu gudang.
Osha memanggil pelan menembus asap yang mengepul
sembari melangkah, tapi tak seorang pun menjawab. Mereka
melihat seekor anjing menggigit mayat, tapi dia kabur begitu
mencium bau direwolf; anjing-anjing lain dibantai di kandang.
Raven-raven milik maester merubungi sebagian mayat,
sedangkan gagak-gagak dari menara runtuh mengerumuni
yang lain. Bran mengenali Poxy Tym, walaupun seseorang telah
membelah wajahnya dengan kapak. Ada mayat hangus, di luar
puing-puing terbakar kuil Ibu, duduk dengan kedua lengan
terulur dan tangannya mengepal membentuk tinju hitam,
seakan berniat meninju siapa saja yang berani mendekatinya.
"Jika para dewa bermurah hati," ucap Osha dengan suara
pelan bernada marah, "Yang Lain akan mengambil mereka
yang melakukan ini."
1123 "Theon pelakunya," kata Bran muram.
"Bukan. Coba lihat." Osha menunjuk ke seberang
pekarangan dengan tombaknya. "Itu salah satu orang kepulauan
besinya. Dan di sana juga. Itu kuda perang Greyjoy, lihat tidak"
Kuda hitam dengan anak panah di tubuhnya." Dia bergerak
di antara mayat-mayat, mengerutkan dahi. "Dan ini Lorren
Hitam." Lelaki itu dibacok sangat parah sehingga janggutnya
kini terlihat cokelat kemerahan. "Dia menewaskan beberapa
orang bersamanya." Osha membalikkan salah satu jasad lain
dengan kaki. "Ada lambangnya. Lelaki kecil, warnanya merah."
"Lelaki tanpa kulit dari Dreadfort," kata Bran.
Summer melolong, dan melesat pergi.
"Hutan sakral." Meera Reed berlari menyusul direwolf
itu, memegang perisai dan tombak kodoknya. Yang lain
mengikutinya, melangkah menembus asap dan bebatuan yang
runtuh. Udara lebih manis di bawah pepohonan. Beberapa
pohon pinus di pinggir hutan ikut terbakar, tapi jauh di dalam,
tanah yang lembap dan hutan hijau mengalahkan api. "Ada
kekuatan dalam hutan yang hidup," kata Jojen Reed, seakan
tahu apa yang dipikirkan Bran, "kekuatan yang setangguh api."
Di tepi kolam hitam, di bawah naungan pohon utama,
Maester Luwin tertelungkup di tanah. Ada jejak darah di
dedaunan lembap yang tadi dilewatinya sambil merayap.
Summer berdiri di dekatnya, dan awalnya Bran mengira dia
sudah tewas, tapi ketika Meera menyentuh lehernya, sang
maester mengerang. "Hodor?" kata Hodor sedih. "Hodor?"
Dengan lembut, mereka membalikkan tubuh Luwin.
Mata dan rambutnya abu-abu, dan dulu jubahnya juga kelabu,
tapi kini warnanya lebih gelap di tempat darah membasahinya.
"Bran," ucap sang maester lirih begitu melihat dia duduk tinggi
di punggung Hodor. "Dan Rickon juga." Dia tersenyum. "Para
dewa maha pengasih. Aku sudah tahu..."
"Sudah tahu?" tanya Bran bingung.
"Kakinya, aku bisa melihatnya... pakaiannya benar, tapi
otot di kakinya... bocah malang..." Maester Luwin terbatuk,
1124 dan darah menyembur dari dalam. "Kalian menghilang... di
hutan... tapi bagaimana?"
"Kami tidak ke mana-mana," jawab Bran. "Yah, hanya
sampai tepi hutan, lalu kembali. Aku menyuruh serigala pergi
untuk meninggalkan jejak, tapi kami bersembunyi di makam
Ayah." "Makam bawah tanah." Luwin terkekeh, ada buih darah
di bibirnya. Ketika berusaha bergerak, dia terkesiap kesakitan.
Air mata Bran menggenang. Ketika seseorang terluka,
kau membawanya ke maester, tapi apa yang bisa dilakukan jika
maestermu yang terluka"
"Kita harus membuat tandu untuk membawanya," kata
Osha. "Tidak perlu," tolak Luwin. "Aku sekarat, Perempuan."
"Kau tidak boleh," kata Rickon marah. "Tidak boleh."
Di sampingnya, Shaggydog menyeringai memamerkan gigi dan
menggeram. Maester itu tersenyum. "Sst, Nak, aku jauh lebih tua
dibandingkan kau. Aku bisa... mati sesukaku."
"Hodor, turun," ucap Bran. Hodor berlutut di samping
sang maester. "Dengar," kata Luwin pada Osha, "kedua pangeran...
ahli waris Robb. Tidak boleh... tidak boleh bersama... kau
dengar?" Perempuan wildling itu bersandar di tombaknya. "Aye.
Lebih aman jika berpisah. Tapi ke mana harus membawa
mereka" Kupikir, mungkin Klan Cerwyn..."
Maester Luwin menggeleng, meskipun jelas terlihat
dampak dari gerakan itu. "Bocah Cerwyn sudah tewas. Ser
Rodrik, Leboald Tallhart, Lady Hornwood... semua dibantai.
Deepwood sudah jatuh, Moat Cailin, tak lama lagi Torrhen's
Square. Orang-orang kepulauan besi di Pantai Berbatu. Dan di
timur, Anak Haram Bolton."
"Kalau begitu ke mana?" tanya Osha.
1125 "White Harbor... Klan Umber... entahlah... perang di
mana-mana... semua orang bertempur melawan tetangganya,
dan musim dingin akan datang... benar-benar bodoh, benarbenar kebodohan yang amat sangat..." Maester Luwin
mengangkat tangan dan memegang lengan bawah Bran,
jemarinya mengepal dengan kekuatan putus asa. "Kau harus
kuat sekarang. Kuat."
"Aku akan kuat," kata Bran, walaupun itu sulit. Ser
Rodrik terbunuh dan Maester Luwin, semua orang, semua orang...
"Bagus," ujar sang maester. "Anak baik. Putra... putra
ayahmu, Bran. Pergilah sekarang."
Osha mendongak menatap pohon utama, ke arah
wajah merah yang terukir di batang yang pucat. "Dan
meninggalkanmu untuk dewa-dewa?"
"Aku ingin..." Sang maester menelan ludah. "... sedikit...
sedikit air, dan... satu bantuan lain. Kalau kau bersedia..."
"Aye." Osha menoleh pada Meera. "Bawa anak-anak."
Jojen dan Meera menuntun Rickon pergi di antara
mereka. Hodor mengikuti. Dahan-dahan rendah melecut
wajah Bran selagi mereka merangsek menembus pepohonan,
dan dedaunan mengusap air matanya. Osha bergabung
dengan mereka di pekarangan beberapa saat kemudian. Dia
tak mengatakan apa-apa tentang Maester Luwin. "Hodor harus
tetap bersama Bran, menjadi kakinya," perempuan wildling itu
berkata tegas. "Aku akan membawa Rickon bersamaku."
"Kami akan pergi dengan Bran," kata Jojen Reed.
"Aye, sudah kuduga kalian akan melakukan itu,"
ujar Osha. "Aku akan mencoba lewat Gerbang Timur, dan
menyusuri jalan raja."
"Kami akan melewati Gerbang Pemburu," kata Meera.
"Hodor," kata Hodor.
Mereka mampir dulu di dapur. Osha menemukan
beberapa bongkah roti hangus yang masih bisa dimakan, dan
bahkan unggas panggang dingin yang dibaginya jadi dua. Meera
menggali seguci madu dan sekarung besar apel.Di luar, mereka
1126 berpamitan. Rickon terisak-isak dan menggelayuti kaki Hodor
sampai Osha memukulnya pelan dengan pangkal tombak.
Kemudian bocah itu cepat-cepat mengikutinya. Shaggydog
membuntuti mereka. Yang terakhir kali dilihat Bran dari
Peperangan Raja Raja A Game Of Thrones 2 Karya George R.r. Martin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka adalah ekor direwolf itu sebelum menghilang di balik
menara runtuh. Jerujibesi yang menutup Gerbang Pemburu bengkok
parah oleh panas sehingga tak bisa dinaikkan lebih dari tiga
puluh sentimeter. Mereka terpaksa menyusup di bawah pasakpasaknya, satu per satu.
"Apa kita akan pergi menemui ayah kalian?" tanya
Bran saat mereka menyeberangi jembatan gantung di antara
dinding. "Ke Greywater Watch?"
Meera menatap adiknya menanti jawaban. "Jalan kita ke
utara," Jojen mengumumkan.
Di tepi hutan serigala, Bran berbalik di keranjangnya dan
menatap kastel yang menjadi hidupnya untuk terakhir kalinya.
Sulur-sulur asap masih membubung ke langit kelabu, tapi
tidak lebih tebal dibandingkan asap yang biasa mengepul dari
cerobong-cerobong Winterfall pada suatu siang yang dingin di
musim gugur. Jelaga mengotori sebagian lubang panah, dan di
sana sini terlihat puncak dinding pelindung yang retak atau
hilang, tapi kelihatannya tak terlalu besar dari jarak sejauh ini.
Di baliknya, puncak benteng dan menara masih tegak seperti
ratusan tahun lalu, dan sulit untuk mengatakan bahwa kastel
itu telah dijarah dan dibakar habis. Batu itu kuat, kata Bran
Pembantai Dari Mongol 2 Pendekar Mabuk 062 Misteri Malaikat Palsu Kasih Diantara Remaja 14