Pencarian

Panik Di Sirkus Sarani 2

Detektif Stop - Panik Di Sirkus Sarani Bagian 2


limun dingin. Orang tua Blitti tidak kelihatan. Mereka sedang sibuk
mempersiapkan pertunjukan perdana. Setelah kenyang, keenam anak itu langsung
pergi ke tenda kuda. Rantai-rantai bergemerin-cingan. Tapal-tapal yang keras
mengorek-ngorek tanah. Seratus kuda bersikap gelisah. Mereka mendengus-dengus.
Beberapa di antaranya sedang disikat dan dipersiapkan untuk tampil di arena.
Dengan bangga Dirk memamerkan kudanya yang gagah dan berwarna putih bersih.
Petra tak puas-puasnya memandang ke sekitar. Ia membelai-belai selusin kuda
poni. Seandainya mungkin, gadis itu akan langsung mulai bekerja sebagai pengurus
kuda di Sirkus Sarani. Tapi Dirk dan Blitti kemudian mengajak teman-teman mereka ke tempat lainke
sebuah karavan yang berdiri agak menyendiri. Dua artis seorang pria Itali
beraama istrinya sedang menyiapkan seekor monyet untuk pertunjukan. Monyet itu
bernama Bob. "Bob adalah seekor monyet tua yang jahat," Dirk menjelaskan. "Ia cepat sekali
menjadi marah. Itu memang bagian dari penampilannya. Di tengah arena, ia akan
mengamuk sejadi-jadinya. Para penonton menganggapnya lucu lalu bertepuk tangan.
Tapi sebenarnya hal ini menyedihkan. Seandainya Bob lagi baik hati, maka seluruh
penampilannya akan menjadi kacau."
Anak-anak menyaksikan pelatihnya memakaikan jas pada monyet itu. Bob
kelihatannya tidak senang, meskipun seharusnya ia sudah terbiasa. Monyet itu
menyeringai dengan buas. Tanpa rantai yang mengikatnya ke karavan tadi, Bob
pasti sudah menyerang anak-anak yang menontonnya itu. Muka Bob bahkan dirias
dengan make up. Ia diberi pewarna kelopak mata serta pemerah bibir. Kedua
kakinya dimasukkan ke dalam sepatu lars. Di bawah jasnya ia mengenakan kemeja
berwarna putih. Dan sebagai sentuhan akhir, sang pelatih memasang topi tinggi di
atas kepalanya. Kini Bob mirip orang kerdil yang aneh. Anak-anak kembali
berjalan. "Aku kira hal semacam itu tidak sesuai dengan hukum alam," kata Sporty. "Bob
pasti lebih berbahagia jika masih tinggal di hutan belantara."
"Tapi di sini ia selalu bisa makan sampai kenyang," Blitti menyanggah. "Di sini,
Bob tinggal bersama artis-artis dan tidak perlu memikirkan musuh-musuh yang siap
mengincar hidupnya. Kalau masih tinggal di hutan, mungkin ia sudah disantap oleh
seekor harimau atau seekor ular."
"Memang," kata Sporty. "Tapi menurutku, kehidupan di alam bebas tetap saja lebih
baik meskipun bukan tanpa risiko."
Mereka kini mendekati kandang simpanse. Untuk melindungi diri dari tiupan angin
yang dingin, binatang-binatang itu duduk berdesak-desakan di salah satu pojok
kandang. Sukar untuk membedakan apakah mereka berempat, berlima, ataupun
berenam. "Halo kalian, apa kabar?" Oskar menegur mereka. Si rakus yang tak pernah kenyang
itu masih sempat membawa dua potong roti terakhir dari karavan Blitti. Satu
sudah dihabiskannya. Yang kedua baru saja ia gigit. Roti itu diisi dengan ham
dan rasanya lezat sekali. Salah seekor monyet rupanya berpendapat sama.Secepat
kilat ia tiba-tiba keluar dari pojok kandang.Sebelum Oskar sempat bereaksi,
sebuah lengan berbulu sudah menyambar rotinya.
"Hei!" Oskar berseru. Sambil berdiri mematung ia menyaksikan rotinya disantap
oleh simpanse itu. Sporty tertawa terpingkal-pingkal. Kedua gadis itu melompat-lompat di tempat.
Dan Thomas dengan lengannya yang panjang meniru gerak-gerik monyet tadi. Perut
Dirk terasa dikocok-kocok. Hanya Oskar yang masih terpaku di tempat.
"Dasar brengsek!" ia mencetus kemudian. "Ada maling di Sirkus Sarani. Padahal
tadinya kukira sirkus ini adalah suatu usaha yang terhormat."
Simpanse tadi menatap Oskar sambil nyengir.
"Sialan! Sekarang dia bahkan mengejekku!" Oskar mendesah dengan kesal.
"Itu si Tom," Dirk menjelaskan. "Dialah yang terpandai di antara teman-temannya.
Ia punya kebiasaan untuk menyabet semua barang yang dilihatnya. Suatu hari ia
pernah mencuri cangklong ayahku. Dengan cangklong terselip di mulut, ia lalu
memanjat ke puncak tenda pertunjukan."
"Kalau begitu, aku takkan pernah memelihara monyet di rumah," Oskar bersumpah.
"Kalau semuanya bersikap seperti Tom, maka aku bisa kurus kering."
Sporty telah berpaling ke arah lain. Dengan heran ia menyaksikan kejadian di
dekat salah satu pintu masuk tenda pertunjukan. Seekor beruang coklat duduk di
sana. Ia menggerutu seakan-akan sedang jengkel. Seorang pemuda berjongkok di
hadapannya. Pemuda itu sedang mengikat sepasang sepatu roda pada kedua kaki
belakang si beruang. Kini ia telah menyelesaikan pekerjaannya itu. Ia berdiri,
merangkul beruang tadi, lalu membantunya untuk berdiri. Si beruang menurut saja.
Binatang itu agak sulit menjaga keseimbangannya, sehingga pemuda tadi terpaksa
menuntunnya menuju sebuah kandang sempit.
"Beruang itu bernama Fuzzy," kata Dirk. "Dia jago main sepatu roda. Tapi
malasnya juga tidak ketulungan. Sepatu rodanya sudah dipasang lama sebelum ia
harus muncul di arena."
"Fuzzy mirip boneka raksasa," ujar Petra. "Apakah semua beruang sejinak dia?"
"Sayangnya tidak," jawab Blitti. "Melatih beruang jauh lebih berbahaya
dibandingkan melatih harimau atau singa. Sebabnya, raut muka beruang tidak
pernah berubah. Jadi, si pelatih tidak bisa menduga apa yang sedang dirasakan
binatang itu." "Maksudmu bagaimana?" tanya Sporty.
"Begini, singa, harimau, macan belang - kucing-kucing besar pada umumnya - mempunyai
otot wajah. Karena itu, raut muka mereka bisa berubah-ubah. Mereka selalu
menunjukkan suasana hati mereka. Seorang pelatih yang berpengalaman harus dapat
membaca setiap perubahan yang terjadi. Berdasarkan itu, ia tahu apakah ia akan
diserang atau tidak. Lain halnya dengan beruang. Kulit mereka langsung menempel
pada tulang tengkorak. Karena itu, mungkin saja seekor beruang menyerang
pelatihnya dengan tiba-tiba. Itu sangat berbahaya, karena beruang adalah
binatang yang kuat sekali. Seekor beruang dewasa bisa merobohkan seekor kerbau
dengan sekali pukul saja."
"Wah," kata Oskar. "Kehidupan sirkus memang menarik, tapi juga amat berbahaya.
Ada simpanse yang suka mencuri, orang utan yang bisa menimbulkan bencana
kelaparan, monyet yang jahat, beruang yang tidak suka tersenyum dan tiba-tiba
menyerang seseorang, sekarang aku baru sadar betapa menyenangkan asrama kami
sebenarnya." "Ngomong-ngomong," kata Dirk, "kalian tentu saja bebas menonton pertunjukan.
Kapan saja kalian punya waktu. Tinggal menghubungiku. Aku akan mengusahakan
karcis gratis untuk kita semua."
"Hebat!" kata Sporty. "Kalau boleh memilih, aku lebih senang menonton
pertunjukan malam. Besok atau hari Sabtu."
Petra, Thomas, dan Oskar langsung setuju. Tapi mereka harus minta izin dulu dari
orang tua masing-masing. Besok siang mereka akan memberi kabar pada DirkSambil
ngobrol dengan seru, ternyata mereka telah kembali mendekati karavan direksi.
Mereka langsung berhenti begitu mendengar suara-suara itu.
"Pasti salah seorang anggota rombongan sirkus yang mengambil dompet saya!"
seorang pria berteriak. Kegaduhan itu berasal dari karavan direksi. Penuh rasa ingin tahu anak-anak
mendekati pintu yang terbuka, lalu mengintip ke dalam.Seorang pria berdiri di
depan meja tulis Pak Rettberg. Ia mengepalkan tangan. Wajahnya merah padam.
"Tidak ada yang menyerahkan dompet pada saya," kata ayah Dirk dengan tenang.
"Dan mudah-mudahan saja tidak ada pencuri di Sirkus Sarani - kalau itu yang Bapak
maksud. Tapi, silakan duduk dulu. Saya sudah memanggil beberapa pegawai saya.
Nanti kita akan mencari dompet Bapak bersama-sama."
Pak Rettberg sudah melihat anak-anak yang berdiri di ambang pintu dan menyuruh
mereka masuk. Pria yang marah-marah tadi sudah duduk - meskipun dengan berat
hati. Raut wajahnya mencerminkan pandangannya mengenai orang-orang sirkus:
pencuri, bajingan, orang yang tidak dapat dipercaya....
"Saudara tahu apa isi dompet saya itu"!" ia bertanya dengan napas tersengal-
sengal, seakan-akan baru saja berlari sejauh beberapa kilometer. "Isinya 22.000
Mark. Saya bisa membayangkan bahwa uang sebanyak itu cukup menggiurkan untuk
setiap orang - termasuk Saudara."
"Saya harap Bapak agak sopan sedikit," kata Pak Rettberg. Lalu ia menambahkan,
"Daripada berlarut-larut, saya kira urusan ini sebaiknya kita serahkan pada
polisi saja." "Tapi Saudara harus mengerti. Uang itu bukan milik saya! Saya harus
mempertanggung-jawab-kannya."
"Hal itu silakan Bapak ceritakan pada yang berwajib,"
Pak Rettberg menanggapinya sambil mengangkat gagang telepon. Ia lalu menghubungi
polisi.Sementara itu, karavan direksi sudah mulai penuh. Dua pekerja yang
lumayan rapi, serta dua orang pemain akrobat berdiri di sekitar meja.
"Bapak belum sempat memperkenalkan diri," Pak Rettberg kembali berpaling pada
pria tadi setelah selesai menelepon.
"Nama saya Wolfram Watz," jawab pria itu dengan terpaksa.Aku sudah pernah
melihatnya, pikir Sporty. Aku yakin, aku sudah pernah ketemu orang ini."
Wolfram Watz berusia sekitar 40 tahun, badannya agak terlalu gempal. Ia
berpakaian perlente. Wajahnya datar dengan pandangan kosong. Rambutnya yang
pirang keabu-abuan dipotong pendek. Bibirnya yang merah nampak bergerak-gerak
terus meskipun sedang tidak mengatakan apa-apa.Mobil patroli polisi yang
dikemudikan oleh Sersan Maier mungkin kebetulan lagi berada di sekitar daerah
sirkus. Kalau tidak, mana mungkin petugas polisi itu bisa tiba dalam waktu yang
begitu singkat. "Ada apa ini?" ia bertanya setelah mengeluarkan buku catatannya.
"Ada pencurian!" jawab si pria berpakaian perlente. "Saya kehilangan dompet. Dan
saya tahu persis di mana. Di dekat pintu belakang tenda pertunjukan. Baru
beberapa menit yang lalu. Daerah itu tertutup bagi pengunjung. Hanya orang-orang
sirkus yang mondar-mandir di sana. Saya tadi ingin melihat kandang macan dan
singa dari dekat. Karena itulah saya pergi ke sana Saya memang tertarik pada
binatang buas. Lagi pula masih ada waktu setengah jam sebelum pertunjukan
dimulai." Ia terdiam sejenak dan menyeka keringat dari wajahnya yang merah padam.
"Lalu?" tanya Sersan Maier."Saya terpeleset dan jatuh telentang. Pada saat
itulah dompet saya terselip keluar dari saku celana. Pertama-tama saya tidak
menyadarinya. Baru kemudian saya tahu bahwa dompet saya hilang. Langsung saja
saya kembali ke balik tenda. Saya pikir, dompet saya pasti masih tergeletak di
sana. Tapi tidak ada apa-apa! Dompet saya lenyap. Coba, siapa yang
mengambilnya?" "Bukan kami!" jawab Dirk dengan ketus. Ia tidak bisa menahan diri lagi. Suaranya
bergetar karena marah. "Ah, yang benar?" tanya Pak Watz sambil memelototi anak tu. "Saya mengatakan
bahwa salah seorang dari kalian yang mencuri dompet saya. Sebuah amplop berisi
22.000 Mark ada di dalamnya. Uang itu milik perusahaan. Saya bekerja sebagai
kepala bagian keuangan, dan..."
"Kalau begitu," ujar Sersan Maier, "kasus yang dihadapi sekarang ini bukanlah
sebuah kasus pencurian, melainkan kasus penggelapan barang temuan."
Rupanya petugas polisi itu juga menaruh curiga pada rombongan Sirkus Sarani.
"Kenapa Bapak tidak menggeledah setiap karavan yang ada di sini "! Biar jelas
bahwa kami tidak bersalah!" Blitti mengungkapkan dengan kesal.
"Sekaligus kandang-kandang binatang buas!" Dirk menambahkan, "dan..."
Tapi anak itu segera terdiam begitu menyadari bahwa ayahnya menatapnya dengan
tajam. "Saya memang tidak bisa menjamin bahwa seluruh anggota rombongan bersikap
jujur," Pak Rettberg berkata, "tapi sudah selama bertahun-tahun tidak pernah ada
pencurian di sini. Perlukah saya mengumpulkan seluruh anggota rombongan?"
Sersan Maier menggeleng. Ia menjilat ujung pensilnya, mencatat sesuatu, lalu
mengatakan bahwa sebaiknya mereka semua pergi ke pintu belakang tenda untuk
mencari dompet yang hilang itu.
"Apakah sudah pasti bahwa Pak Watz memang membawa dompet ketika datang ke sini?"
tanya Pak Rettberg. "Tentu saja!" jawab pria yang dimaksud itu dengan ketus. "Karcis tanda masuk
saya ada di dalamnya. Saya masih memeriksanya di tempat parkir sewaktu turun
dari mobil." Semua orang yang hadir, bahkan Direktur Rettberg, ikut mencari dompet yang
hilang tanpa hasil.Pak Watz mengulangi tuduhannya. Ia menunjukkan tempat ia
jatuh tadi. Dengan ketus ia menuntut agar pihak polisi mengambil tindakan tegas
dalam perkara ini. Sersan Maier kini secara teirang-terangan memperlihatkan
kecurigaannya terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan sirkus. Ia
bertanya berapa lama Sirkus Sarani akan mengadakan pertunjukan.
"Satu minggu," jawab Pak Rettberg.
"Baik. Kami akan menghubungi Anda lagi."
"Dan saya akan mengadukan hal ini!" teriak Pak Watz.
8. Seorang Pemeras Mengancam Kota
Malam semakin gelap. Kabut belum juga menipis. Tetapi lapangan upacara nampak
terang benderang. Sirkus Sarani telah menyalakan seluruh penerangannya. Mobil demi mobil memasuki
lapangan parkir. Calon-calon penonton antre di depan pintu masuk. Di dalam
tenda, para pemain musik menghibur pengunjung-pengunjung yang menunggu
pertunjukan dimulai. Tapi bagi anak-anak STOP sudah waktunya untuk pulang. Dirk
dan Blitti mengantarkan mereka sampai ke depan tenda raksasa itu.
Ketika berpisah dengan teman-temannya yang baru, Sporty kebetulan melihat sosok
yang berjalan terbungkuk-bungkuk itu. Perlahan-lahan orang itu mendekat dari
arah jalan raya. Sporty segera mengenalinya. Wajah si Hidung Bengkok nampak
puas. Tapi begitu melihat Sporty, ia berhenti dan menatap anak itu dengan tajam.
"Jangan kira bahwa saya tidak berterima kasih atas perhatianmu tadi," katanya.
"Mudah-mudahan saja saya punya kesempatan untuk membalas kebaikanmu dalam waktu
dekat ini." Lalu ia kembali berjalan.
"Sebaiknya kau berhati-hati terhadapnya," Dirk menasihati Sporty setelah si
Hidung Bengkok menghilang dari pandangan. "Dia pasti akan membalas dendam."
Sporty hanya mengangkat bahu. "Biarkan saja. Aku orang yang cinta damai."
"Tapi kalau perlu, Sporty juga bisa mengamuk," Thomas menambahkan. "Sporty sudah
sering mengatasi lawan yang jauh lebih besar dibandingkan dengannya. Temanku ini
kuat seperti seekor banteng dan merupakan salah seorang atlet judo terbaik di
sekolah kami. Ia sudah memegang sabuk coklat."
"Betul?" tanya Blitti sambil membelalakkan mata.
Sporty kembali mengangkat bahu. "Yah, mungkin aku memang berbakat. Yang jelas
aku memang rajin berlatih. Tapi bagaimana soal si Hibler itu" Kelihatannya
kecurigaan para pegawai toko swalayan tidak terbukti."
"Mana mungkin terbukti," ujar Oskar. "Si Hibler takkan mengakui sesuatu jika
masih bisa berkelit. Lihat saja contoh tadi. Pertama-tama ia kan tidak mau
mengaku bahwa ia telah pergi ke toko swalayan itu. Lalu ia menyangkal telah
membeli sebuah sekop Dan kemudian ia mengaku tidak tahu-menahu soal racun
sianida itu seperti orang tak berdosa saja."
Petra mulai menggigil. Langsung saja ia menaikkan kerah jaketnya yang berlapis
bulu domba."Sampai besok, deh," katanya sambil menaiki sepeda.
Dirk dan Blitti kembali ke sirkus. Anak-anak STOP pulang. Tentu saja Petra
diantar sampai ke rumah. Itu sudah menjadi kebiasaan mereka.Setelah gelap,
keadaan di jalan memang terlalu berbahaya untuk gadis-gadis dan wanita terutama
di sebuah kota besar. Keluarga Glockner tinggal di bagian kota yang termasuk kuno. Rumah mereka
terletak di atas toko bahan makanan milik Bu Glockner.Hari telah larut, namun
belum terlalu malam. Petra mengajak teman-temannya untuk mampir dulu. Undangan
itu diterima dengan suara bulat. Tentu saja, karena baik Sporty, Thomas, maupun
Oskar ingin ketemu Pak Glockner untuk menanyakan bagaimana akhir urusan dengan
Erwin Hibler tadi. Petra baru saja membuka pintu, ketika Bello menyerbu ke arahnya sambil
menggonggong dengan gembira. Seperti sebuah bola karet, anjing spanil berwarna
hitam putih itu melonjak-lonjak di sekitar gadis itu.Lalu ia berpindah pada
Sporty, yang memperoleh penyambutan yang sama meriahnya. Sporty membelai-belai
Bello, mengangkatnya, dan mengajaknya bermain, sampai anjing setia itu
menghilang ke kamar Petra. Tapi tidak sampai lima detik kemudian Bello sudah
muncul kembali sambil membawa sebuah tulang mainan yang terbuat dari kulit
kerbau hartanya yang paling berharga. Bello meletakkannya di hadapan kaki
Sporty. "Silakan dicicipi," ujar Oskar sambil nyengir.
Bu Glockner, yang baru keluar dari dapur, mendengar gurauan itu. Dan ia pun ikut
ketawa. Ibu Petra itu sangat baik hati. Sporty, Thomas, dan Oskar sangat
menyukainya. Dan begitu juga sebaliknya. Pada pandangan pertama sudah terlihat
bahwa Petra mirip sekali dengan ibunya.
"Nah, bagaimana sekolah kalian yang baru?" tanya wanita itu.
"Luar biasa, Bu!" jawab Petra sambil merangkul ibunya. "Kami langsung dapat
teman-teman baru. Anaknya direktur sirkus, dan putri seorang pelatih binatang
yang terkenal di seluruh dunia."
Pintu ruang tamu di belakang Petra kini membuka dan Pak Glockner melangkah


Detektif Stop - Panik Di Sirkus Sarani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar. Wajahnya ramah, seperti biasanya. Tetapi kali ini ia nampak agak cemas
dan lelah. "Silakan masuk," katanya. "Saya punya berita untuk kalian."
Anak-anak membuka jaket masing-masing. Kemudian mereka duduk di ruang tamu yang
nyaman. Bu Glockner mengeluarkan sekaleng biskuit dan menawarkan limun atau teh,
bagi yang berminat. Bello memanjat ke kursi Petra, meletakkan kepalanya pada
pangkuan gadis itu, mendesah dengan puas, lalu tertidur.
Tempat tidurnya enak juga, pikir Sporty. Petra menangkap pandangan temannya itu
Matanya yang biru berbinar-binar, seakan-akan ia bisa membaca pikiran
Sporty.Sporty berdehem, lalu cepat-cepat menoleh ke arah lain.
"Mengenai Hibler," kata Pak Glockner. "Kami telah menemui jalan buntu.
Kecurigaan padanya memang belum terhapus sama sekali, tetapi juga tidak
bertambah kuat. Seorang kasir di toko swalayan itu mengaku bahwa ia telah
melihat Hibler di sana. Penampilannya yang acak-acakan menyolok sekali di antara
kerumunan pengunjung lainnya. Menurut kasir itu, Hibler hanya pergi ke bagian
depan toko mereka, bukan ke bagian belakang, tempat rak berisi botol acar itu
berada. Namun karyawan toko swalayan itu juga tidak berani memastikannya.
Berarti, ada kemungkinan bahwa Hibler terlibat, tapi mungkin juga ia sama sekali
tidak bersalah. Sidik jari yang ditemukan pada botol acar itu ternyata bukan
sidik jari Hibler. Tapi kami memang tidak terlalu mengharapkan untuk segera
memperoleh hasil. Para penjahat sekarang bukan orang bodoh. Pokoknya Hibler
sudah mendapat peringatan. Kalau terjadi apa-apa, ia harus bersiap-siap untuk
diperiksa lagi. Tapi bukan itu yang membuat kepala saya jadi pusing. Ada hal
lain yang terjadi sementara kami mengorek keterangan dari laki-laki itu."
Pak Glockner terdiam sejenak. Ia minum seteguk teh dan menggigit sepotong
biskuit.Sementara itu Oskar sudah menghabiskan lima potong.Petra dan Sporty juga
minum teh. Baunya wangi sekali.
"Pada sore hari," Pak Glockner melanjutkan, "tidak lama sebelum kau menelepon
saya, Sporty, telah terjadi sebuah bencana. Ada pemerasan lagi di kota kita.
Tapi dibandingkan dengan yang ini, pemerasan yang pertama tidak ada apa-apanya.
Pak Walikota telah ditelepon tentu tanpa menyebutkan nama. Orang itu mengaku
mempunyai zat aceton-nitril dalam jumlah yang cukup untuk meracuni seluruh
negara kita. Ia menuntut uang tebusan sebesar satu juta Mark. Jika tuntutannya
tidak dipenuhi, maka orang itu akan menyebarkan racun itu di mana-mana. Air
tanah akan diracuninya, begitu juga air bersih. Di samping itu ia mengancam akan
menyebarkan zat berbahaya itu di tempat-tempat umum yang biasanya ramai
dikunjungi, misalnya gereja, sekolah-sekolah, stasiun kereta api, dan
sebagainya. Untuk bukti bahwa ia memang memiliki racun itu, ia akan segera
memberikan 'pertunjukan maut' untuk kita begitu katanya."
Dengan terkejut Bu Glockner menutupi mulutnya yang ternganga dengan sebelah
tangan. Petra pun langsung terduduk dengan tegak, sehingga kepala Bello merosot
dari pangkuannya. Anjing itu mendengus-dengus dengan kecewa.Oskar keselak
mendengar berita yang mengagetkan itu. Biskuit yang sedang dimakannya sampai
tersangkut di kerongkongan.Thomas sibuk membersihkan kacamatanya yang sebenarnya
tidak kotor. Melihat wajahnya yang berkerut-kerut, bisa diduga bahwa ia sedang
membayangkan susunan kimia dari bahan aceton-nitril itu. Sporty tetap berkepala
dingin, meskipun sangat marah. Hatinya tidak bisa menerima bahwa ada orang yang
tega berbuat seperti itu.
"Kami gencar sekali dalam melakukan pengusutan perkara ini," ujar Komisaris
Glockner. "Tapi sampai sekarang belum ada titik terang. Sebentar lagi saya harus
kembali ke kantor. Seandainya saja kami punya petunjuk untuk meringkus penjahat
itu." "Apakah zat aceton-nitril itu memang begitu berbahaya?" tanya Sporty.
"Ya! Racun yang dikandungnya itu bisa membunuh ratusan bahkan ribuan orang tak
berdosa. Aceton-nitril adalah suatu zat yang sangat beracun."
"Dan sifat-sifatnya sangat mengerikan!" seru Thomas. "Dalam jumlah kecil saja
zat itu membawa kematian. Aceton-nitril tidak berwarna, mudah terbakar, dan
larut dalam air. Jika perbandingannya tepat, zat itu juga bisa meledak. Gejala-
gejala keracunan yang pertama-tama muncul adalah kepala pusing, tenggorokan
gatal, dan sukar bernapas."
Komisaris Glockner mengangguk. "Keteranganmu lengkap sekali, Thomas. Kalian
tentu mengerti apa artinya" Bayangkan, racun itu di tangan seorang penjahat
berdarah dingin!" "Kalau racun itu disebarkan di tempat-tempat umum," kata Oskar, "maksudku di
sekolah-sekolah, maka murid-murid pasti diliburkan."
"Hanya itu yang kaupusingkan"!" Petra menghardiknya. "Lebih baik kau memikirkan
apa yang dimaksud penjahat itu dengan pertunjukan maut yang akan diberikannya.
Barangkali ia akan meracuni binatang-binatang."
Pikiran itu membuat Petra merinding. Cepat-cepat ia memeluk Bello dan mengelus-
elusnya. "Di mana zat aceton-nitril itu bisa diperoleh?" tanya Sporty. "Mestinya racun
semacam itu tidak dijual secara bebas, bukan?"
Pak Glockner mengangguk. "Tepat sekali, Sporty. Penyidikan kami juga berawal
dari pertanyaan itu. Tapi sekarang kami menemui jalan buntu. Kemungkinannya
terlalu banyak. Sebelum kami sempat mengecek semuanya, bencana itu mungkin sudah
terjadi." "Barangkali ada hubungan antara penjahat yang mencoba memeras kota dengan si
peracun acar ketimun di toko swalayan?" Sporty menduga-duga.
"Kemungkinannya kecil sekali," jawab Pak Glockner sambil menghabiskan tehnya.
"Dengan tuntutan sebesar satu juta Mark, pemeras itu takkan berani mengambil
risiko. Kejadian di toko swalayan itu bisa menggagalkan rencana besar itu."
"Dan apa yang akan dilakukan sekarang?"
"Pihak kami sudah membentuk suatu kelompok kerja khusus. Saya adalah salah
seorang anggota. Tapi untuk sementara waktu kami terpaksa bersabar dulu.
Seandainya kami tidak memperoleh kemajuan, dan si pemeras tetap pada
tuntutannya, maka tidak ada jalan lain. Pak Walikota terpaksa membayar. Uang
satu juta Mark memang bukan jumlah yang kecil, tapi jumlah uang yang
dipertaruhkan jauh lebih besar lagi. Menurut saya memang lebih baik membayar
daripada membahayakan nyawa orang banyak."
Ia melirik jam tangannya, lalu berpamit untuk pergi ke kantor.Sporty, Thomas,
dan Oskar juga minta diri.Petra mengantarkan mereka sampai ke pintu.Oskar
mengeluarkan kepala dan' mencium-cium udara.
"Astaga! Baunya seperti aceton nitril," katanya. "Sebaiknya kita pakai masker
anti gas saja." Anak itu memang tidak bisa diajak serius. Sifatnya memang sudah begitu.Petra
baru saja hendak menegurnya, tetapi mendadak gadis itu membuka mulutnya lebar-
lebar sambil membelalakkan mata.
"Hei!" kata Sporty. "Kenapa kau?"
"Tiba-tiba saja," ujar Petra, "aku teringat di mana aku - aku" KITA! - pernah
melihat si Wolfram Watz itu."
"Siapa?" tanya Oskar.
"Pria yang mengaku kehilangan dompet di balik tenda Sirkus Sarani." Sporty
memukul dahinya dengan pelan.
"Petra," katanya, "kau takkan percaya. Aku juga ingat lagi sekarang. Pantas saja
aku merasa pernah melihat orang itu. Petra, kelihatannya ada hubungan khusus
antara otakmu dan otakku."
"Biasanya sih, orang-orang cuma sehati saja," ujar Oskar sambil cekikikan. "Tapi
kalian lebih hebat. Sehati dan seotak! Jadi, dari mana kalian mengenal si Watz
itu?" "Stasiun kereta api," kata Petra.
"Seminggu yang lalu," Sporty melengkapi.
"Sore-sore," Petra menambahkan."Kita sedang berada di sana untuk mengumpulkan
dana bagi pembangunan desa-desa anak-anak SOS, dan ternyata Petra-lah yang dapat
paling banyak. Pantas saja, dengan tampang semenarik..."
"Aku baru tahu," ujar gadis itu, "bahwa aku begitu menarik."
"Ehm... oh, ya! Bukan... maksudku, aku... ehm... aku pernah mendengar orang
berkata begitu," Sporty benar-benar gelagapan. "Pokoknya - kita mengumpulkan uang
untuk suatu tujuan yang mulia. Di seluruh dunia terdapat sekitar 150 desa SOS
untuk anak-anak yatim-piatu dan anak-anak lain yang membutuhkannya. Dan waktu
itulah kita melihat Watz Nah, Oskar, sudah nyambung sekarang?"
"Sudah!" balas anak yang ditanya itu. "Si Watz berdiri di depan arena hiburan,
bukan" Dan sewaktu Thomas bertanya apakah ia bisa menyisihkan sedikit uang untuk
suatu tujuan yang baik, Watz menjawab dengan kasar sekali."
"Ya, waktu itu kita semua benar-benar kesal," kata Sporty.
"Aku masih agak bingung," Thomas berkata. "Tapi sepertinya kalian benar. Aku
tidak sempat melihat orang itu dengan jelas karena kacamataku berembun waktu
itu. Aku hanya tahu bahwa ia seorang pria. Seingatku, orang itu kemudian masuk
ke arena hiburan, bukan?"
"Aku sempat melihatnya main ding-dong di sana," Sporty mengenang. "Teman-teman,
daerah itu bukan daerah baik-baik. Arena hiburan itu punya nama buruk. Aku
membaca di koran, bahwa tempat itu seharusnya sudah ditutup. Ruang belakang
arena hiburan itu dipakai sebagai kasino gelap."
Sporty terdiam dan berpikir keras."Barangkali ia ikut main," anak itu bergumam
pelan. "Main?" tanya Oskar. "Main apa?"
"Main judi! Rolet, Poker, Black Jack, dan entah apa lagi," jawab Sporty.
"Bermain judi dengan taruhan yang tinggi sesuatu yang di negara kita hanya
diperbolehkan di kasino-kasino resmi sa-ja."
"Jadi menurutmu, si Watz itu seorang penjudi?" Petra bertanya.
"Jelas! Dan mungkin saja ia sebenarnya tidak kehilangan dompet. Barangkali
dompetnya itu sudah tergeletak di sebuah tong sampah, atau di dasar sungai.
Siapa tahu si Watz hanya berpura-pura karena telah menghambur-hamburkan uang
milik orang lain"!"
"Penalaranmu masuk akal," Thomas berkomentar. "Sebaiknya petunjuk ini kita usut
lebih lanjut." "Untuk membantu orang-orang sirkus aku tidak segan-segan. Ayo, apa lagi yang
kita tunggu di sini?" Sporty sudah mau membuka pintu rumah.
"Sekarang juga kalian mau pergi ke stasiun?" tanya Petra."Ya.?"Tapi aku tidak
boleh pergi lagi." "Memang lebih baik begitu," kata Sporty sambil meninju lengan Petra dengan
lembut. "Kau tentu masih ingat waktu terakhir kali kita ke sana. Ada saja orang
yang tidak jelas di sekitar stasiun. Pada siang hari saja daerah itu sudah tidak
menyenangkan. Apalagi pada malam hari" Dengar-dengar, di sana masih ada pedagang
wanita," Sporty berujar sambil mengedipkan sebelah mata. "Kalau kau ditangkap,
maka mereka bisa kaya raya dengan menjualmu ke Timur Tengah."
Dengan jengkel Petra menatap sahabatnya itu. "Dasar brengsek! Jangan sok tahu!
Memangnya aku masih membutuhkan perlindunganmu" Aku bukan bayi lagi, tahu"!"
Tanpa menunggu kelanjutannya, Sporty telah melompat ke jalanan. Ia tahu persis
bahwa Petra sangat berbahaya dalam keadaan marah.
9. Daerah Hitam di Sekitar Stasiun
Ketiga sahabat itu menyimpan sepeda mereka di samping pos polisi. Setelah
merantai semuanya, mereka pun berangkat. Udara terasa dingin. Kabut berbau
stasiun kereta api. Oskar mengeluarkan sekeping coklat dari jaket dan
menggigitnya dengan lahap. Thomas sibuk dengan kacamatanya yang berembun
terus.Lampu-lampu neon gemerlapan. Puluhan papan iklan terpasang pada dinding
rumah-rumah kuno yang berjajar di sepanjang jalan itu. Setiap papan iklan
berlomba-lomba untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat. Sepintas,
suasananya memang ramai dan meriah. Tapi bila diperhatikan dengan saksama, maka
segera terlihat bahwa rumah-rumah yang kebanyakan berlantai empat itu sudah
mulai tak terurus. Plesteran pada dinding dibiarkan pecah-pecah, dan cat tembok
mengelupas di sana-sini.Sporty mamandang sekitarnya.
"Macam-macam yang diiklankan di sini," pikirnya. "Ada reklame minuman keras,
rokok, koran gosip, permen karet, dan obat batuk. Yang lain semuanya papan nama
kedai minum, arena hiburan, serta permainan ketangkasan.Hampir semua orang yang
lalu-lalang adalah pria atau pemuda tanggung. Rupanya mereka kebanyakan waktu
dan tidak punya kerjaan lain. Wajah-wajah dengan pandangan hampa, yang hanya
tertarik pada bir atau minuman keras dan kedap-kedipnya lampu disko. Banyak di
antara pemuda tanggung itu malah lebih muda dari Sporty dan teman-temannya.
Semuanya menyelipkan sebatang rokok menyala dalam mulut. Beberapa di antara
mereka kelihatan teler, seakan-akan baru mencicipi obat bius.
Menyedihkan! kata Sporty dalam hati. Kenapa mereka tidak mengerjakan sesuatu
yang lebih bermanfaat bagi kehidupan mereka"
Semua arena permainan ketangkasan penuh sesak. Di tempat yang minggu lalu
dikunjungi Wolfram Watz, orang-orang berdesak-desakan di depan mesin ding-dong.
"Bodoh benar mereka," ujar Oskar. "Apa gunanya mereka menghabiskan uang di sini"
Kalau aku sih mendingan beli coklat."
Dua anak muda berpapasan dengan mereka. Mereka berlagak seperti jagoan. Oskar
tidak sempat menghindar dan bersenggolan dengan mereka. Sisa keping coklatnya
jatuh ke aspal. "Hus, hati-hati, dong," ia menggerutu. Kedua pemuda berandal tadi berhenti.
Salah satunya berkata,"He, Gembrot, mau apa kau" Jangan banyak tingkah kalau mau
selamat" Sporty dan Thomas sudah mendahului Oskar sejauh beberapa langkah. Ketika
mendengar ucapan pemuda tadi, mereka segera berbalik. Oskar, yang tidak mau cari
perkara, membungkuk dan meraih keping coklatnya. Pemuda yang lebih tinggi
mengenakan sepatu lars kulit berwarna hitam. Dengan brutal ia menginjak tangan
Oskar. Rupanya ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menyiksa seseorang
yang menurutnya tak mungkin melawan.
Oskar mengaduh kesakitan, mendorong sepatu lars itu, lalu berdiri kembali. Kulit
pada punggung tangannya lecet.Sambil melangkah mendekat, Sporty memperhatikan
kedua anak muda itu. Usia mereka antara 15 sampai 16 tahun. Tinggi mereka tidak
jauh berbeda dari Sporty. Tapi itulah satu-satunya persamaan di antara mereka.
Kedua pengacau itu rupanya pengikut aliran punk - suatu gerakan yang lahir di
daerah-daerah kumuh di Inggris pada tahun 1977. Anak-anak muda yang merasa
disingkirkan, yang senang mengenakan pakaian lusuh, dan yang sayangnya juga suka
menggunakan kekerasan.Sporty tentu saja tahu bahwa tidak semua pemuda punk bisa
disama-ratakan begitu saja. Di antara mereka ada yang hanya sekadar mengikuti
mode gila-gilaan itu, tetapi ada juga yang memang brengsek. Mereka inilah yang
tidak pernah melewatkan kesempatan untuk membuat keonaran. Kedua pemuda yang
dihadapi Oskar termasuk jenis kedua.Yang lebih tinggi berambut jabrik.
Setengahnya dicat biru muda, setengahnya lagi hijau menyala - sama sekali tidak
cocok dengan wajahnya yang kurus dan pucat. Kedua telinganya ditembus peniti.
Pakaiannya mungkin saja dipungut dari tempat sampah, karena baunya pun
begitu.Rambut temannya dicat dengan warna oranye. Tubuhnya yang gempal
terbungkus jaket kulit berwarna hitam. Daerah seputar matanya dicat hitam,
begitu pula kedua bibirnya. Tampangnya mengerikan terutama kalau nyengir.
Seperti sekarang, ketika ia menghajar perut Oskar dengan tinjunya. Oskar kembali
mengaduh. Terhuyung-huyung ia melangkah mundur. Kedua tangannya terlipat di
depan perut. "Bajingan!" Sporty berseru. "Kau memukul temanku! Tanpa alasan sama sekali!"
Si Gempal masih nyengir. Tetapi sedetik kemudian tamparan Sporty telah mendarat
di wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia merasakan tamparan sekeras itu.
Suaranya terdengar dalam radius seratus meter. Tapi teriakan si Gempal ternyata
lebih keras lagi. Wajahnya nampak tak keruan. Untuk sesaat ia benar-benar mirip
Frankenstein. Kemudian kepalanya mulai terasa pening. Tak berdaya ia bersandar
pada dinding rumah sambil memegangi kepalanya.Sepatu lars si Jangkung diarahkan
pada lutut Sporty. Jika mengenai sasaran, tendangan itu bisa mengakibatkan
cedera yang serius. Tapi tanpa kesulitan Sporty melompat ke samping. Sekaligus
ia menangkap kaki si Jangkung, sehingga pemuda itu terpaksa berdiri di atas satu
kaki. Dengan susah payah pemuda punk itu berusaha menjaga keseimbangan. Kedua
tangannya mendayung-dayung di udara.Dengan suatu gerakan mendadak Sporty mulai
berputar persis seperti seorang atlet lontar martil. Pada saat yang tepat ia
melepaskan lawannya. Si Jangkung terlempar tepat mengenai temannya yang masih
berdiri dengan lunglai. Keduanya memekik lalu jatuh ke aspal.
Beberapa pejalan kaki berhenti dan menyaksikan adegan itu. Tak ada yang ingin
tahu apa yang terjadi. Tak ada yang berminat untuk membantu kedua anak punk itu.
Hanya seorang pria muda yang kelewat rapi berkata penuh semangat,"Hajar saja!
Kembalikan saja mereka ke tempat sampah! Saya sudah muak melihat bajingan-
bajingan itu." "Perkara Anda muak atau tidak - itu bukan urusan saya," Sporty menghardiknya.
"Tenang, jangan marah dulu," si Rapi berkata cepat-cepat. "Saya hanya ingin
mendukungmu." "Saya tidak butuh dukungan Anda," jawab Sporty sambil berpaling pada Oskar.
"Bagaimana," ia bertanya, "masih sakit?"
"Sudah mendingan," ujar Oskar. "Sialan, bajingan-bajingan itu licik sekali.
Untung kau sudah memberi pelajaran pada mereka."
Oskar belum pulih benar. Tapi ia sudah bisa berdiri. Sambil nyengir ia
memperhatikan kedua musuhnya, yang diam-diam sudah mengambil langkah seribu.
Untuk selanjutnya, Sporty, Thomas, dan Oskar tidak berpencar lagi.
"Kita harus cari tahu apakah ada orang yang mengenal Wolfram Watz," Sporty


Detektif Stop - Panik Di Sirkus Sarani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengusulkan. "Tanpa keterangan itu, kita hanya membuang-buang waktu di sini.
Percuma saja kita mondar-mandir. Kita perlu kepastian bahwa si Watz memang suka
berjudi dan pernah mempertaruhkan uang dalam jumlah besar."
"Tapi siapa yang harus kita tanyai?" Thomas ingin tahu."Barangkali ayah Petra
bisa membantu kita. Nama-nama para bandar dan penjudi yang sudah pernah
berurusan dengan polisi pasti dikenalnya. Kalau kita datangi orang-orang itu,
sambil mengatakan bahwa mereka akan mendapat kesulitan jika tidak..."
Tiba-tiba ia terdiam. Mereka telah membelok ke suatu jalan kecil. Atau lebih
tepat: suatu gang sempit mobil pun tidak mungkin masuk. Gang itu diapit oleh
bangunan-bangunan kumuh di kedua sisinya. Semuanya gelap gulita. Satu-satunya
sumber cahaya adalah papan nama sebuah kedai minum di ujung gang.Yang membuat
Sporty terdiam bukanlah kegelapan yang pekat itu, tetapi kejadian yang kini
terlihat secara samar-samar.
Dua orang pria telah keluar dari sebuah pintu di sisi kanan gang. Mereka
berjalan tertatih-tatih karena menggotong seseorang. Dengan kasar keduanya
menjatuhkan orang itu .Salah seorang dan mereka ketawa.
"He, Bung! Di sini tidak ada kredit-kreditan. Kalau tidak punya uang, ya tidak
usah main. Lagi pula kau sudah kalah banyak, bukan" Dua puluh dua ribu Mark
dalam tiga hari! Seharusnya kau malah berterima kasih pada kami."
Temannya berkata,"Rampok bank sajalah! Itu cara paling mudah untuk memperoleh
uang. Dengan senang hati kami akan menerimamu kembali asal dompetmu sudah terisi
lagi. Hahaha!" Mereka kembali ke dalam rumah itu. Pintunya menutup. Sosok yang tergeletak di
aspal berguling ke samping sambil mengerang kesakitan. Dengan susah payah ia
berusaha berdiri. "Itu si Watz," Sporty berbisik pada kedua sahabatnya. "Kalian dengar apa yang
dikatakan kedua orang tadi?"
Mereka berlari mendekati pria itu.Ketika Sporty membungkuk di atasnya, ia
mencium bau minuman keras yang menusuk hidung. Wolfram Watz seakan-akan telah
berendam dalam alkohol. Ia mabuk berat.Bersama-sama mereka membantunya berdiri.
Tapi begitu dilepas, ia langsung terduduk lagi.
"Kami mendengar bahwa Anda kalah main judi sebanyak 22.000 Mark," kata Sporty.
"Berarti, cerita mengenai dompet yang hilang di sirkus hanyalah isapan jempol,
bukan?" "Siapa... siapa...," Wolfram Watz mengangkat kepala. "Siapa kalian"! Ah, bocah-
bocah brengsek yang...?"
Jangan banyak omong!" kata Sporty dengan tegas. "Katakan yang sebenarnya! Anda
menghabiskan uang itu di meja judi. Betul, tidak" Sebaiknya Anda mengaku
sajalah. Jangan sampai kami harus memanggil polisi untuk menggerebek sarang judi
gelap ini!" "Jangan, jangan!" jawab Watz cepat-cepat. "Kalau... kalau bandarnya mendapat
kesulitan gara-gara aku, maka mereka... mereka akan membereskanku.''
"Jadi bagaimana?""Ya... ya, kuakui semuanya."
"Anda mengakui bahwa cerita mengenai dompet yang hilang di Sirkus Sarani itu
hanyalah karangan Anda sendiri?"
"Ya... aku...," Wolfram Watz menutupi wajahnya dengan kedua belah tangan dan
mulai terisak-isak. "Thomas, Oskar, kita bantu dia berdiri," kata Sporty. "Lalu kita bawa ke pos
polisi. Ia harus memberikan pengakuan secara resmi. Supaya semuanya jadi jelas."
Pria mabuk itu sama sekali tidak berusaha untuk melawan atau melarikan diri.
Sporty menopangnya dari sebelah kiri, Thomas dari sebelah kanan. Oskar
mendorongnya dari belakang.Kepala Wolfram Watz kadang-kadang terkulai ke kanan,
kadang-kadang ke arah sebaliknya. Tubuhnya sama sekali tidak bertenaga.
Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di pos polisi. Petugas-petugas yang
berjaga di sana sempat terbengong-bengong ketika ketiga anak itu masuk sambil
membawa tawanan mereka. Para abdi hukum itu bertambah heran sewaktu Sporty
menjelaskan duduk perkaranya.Wolfram Waltz menunduk dengan malu - bukan karena
sedang mabuk berat, tetapi karena perbuatannya yang licik. Tanpa berani menatap
petugas-petugas polisi yang mengelilinginya, ia duduk di atas kursi kayu yang
keras.Ketika akhirnya ditanya apakah cerita Sporty itu benar, Watz mengangguk
lemah. "Semuanya... benar! Anak ini tidak bohong. Saya menyesal sekali. Mudah-
mudahan...," ia berkata dengan terisak-isak, "mudah-mudahan orang-orang sirkus
itu mau memaafkan saya."
"Kalau begitu, kami harus mencatat segala keterangan secara lengkap," ujar salah
seorang petugas. "Kami juga akan menggulung sarang judi gelap itu. Dan tentu
saja kami akan menghubungi Direktur Sirkus Sarani. Kalian," yang dimaksud adalah
ketiga anak STOP, "telah berjasa besar. Kalian boleh pulang sekarang. Biar kami
yang menyelesaikan perkara ini."
Angin dingin menyapu jalanan sewaktu Sporty, Thomas, dan Oskar menghampiri
sepeda-sepeda mereka. "Bukan main," kata Sporty sambil geleng-geleng kepala! "Si Watz langsung berubah
180 derajat. Nyalinya sudah ciut."
"Aku gembira bahwa orang-orang sirkus telah terbebas dari tudujian mencuri,"
Thomas berujar. "Kita benar-benar beruntung bahwa kebenaran langsung terungkap.
Ini berkat petunjuk Petra. Untung dia ingat di mana kita pernah ketemu si Watz."
Oskar menguap lebar-lebar. "Ibuku pasti cemas kalau kita tidak cepat-cepat
pulang. Ia akan memikirkan yang bukan-bukan, misalnya aku dihajar oleh
segerombolan anak punk yang doyan berkelahi. Lagi pula, aku sudah lapar."
Untuk beberapa saat mereka masih meneruskan perjalanan bersama-sama. Kemudian
mereka berpisah. Thomas masih sempat melambaikan tangan sebelum tertelan oleh
tirai kabut. Hanya lampu belakang sepedanya yang bersinar merah masih terlihat
secara samar-samar. Sporty dan Oskar menuju tempat tinggal keluarga Sauerlich.
Bu Sauerlich ternyata memang sudah mulai khawatir. Tapi ia memutuskan untuk
tidak berceramah secara panjang lebar, karena acara kesayangannya sedang
disiarkan di TV. Peristiwa di stasiun baru besok pagi akan diceritakan padanya.
Sementara ibunya terpaku di depan pesawat TV, Oskar sempat menyelinap ke dapur.
Sewaktu ia akhirnya muncul di kamarnya sambil tetap mengunyah Sporty sudah
berada di tempat tidur. Anak itu sudah mandi dan menggosok gigi.Oskar mengenakan
pakaian tidurnya yang bergaris-garis hijau-merah, lalu menyelipkan sekeping
coklat di bawah bantal. Sporty menatap langit-langit.
"Menurut aku," katanya, "kita tidak boleh bersikap seakan-akan ancaman
penyebaran racun itu bukan urusan kita. Kasus itu adalah urusan semua orang.
Jadi kita pun harus menyumbangkan sesuatu, bukan?"
"Menyumbang" Maksudmu, kita akan menyumbangkan uang saku kita untuk membantu
memenuhi tuntutan si pemeras?"
"Ngaco! Maksudku, kita harus mencoba mencari keterangan. Aku belum yakin bahwa
Erich Hibler - si Hidung Bengkok itu - benar-benar tidak terlibat. Nah, besok Blitti
dan Dirk akan mengantar kita keliling sirkus lagi. Kesempatan itu bisa kita
pergunakan untuk mengintai si Hibler. Kita harus membuntutinya ke mana-mana."
"Boleh saja. Tapi ini bisa berbahaya - terutama untukmu. Si Hibler pasti berusaha
untuk membahas dendam. Kalau dia tahu bahwa kau membuntutinya - wah, Sporty! Dia
pasti akan memasang perangkap untuk menjebak kita."
"Kenapa, memangnya" Tidak ada peraturan yang mengharuskan kita masuk ke
perangkapnya, bukan" Lagi pula Blitti, Dirk, dan Pak Rettberg pasti mau membantu
kita." Oskar mengangguk. Tapi ia nampak tak bergairah. Dan seperti biasanya kalau
merasa bingung, ia memasukkan sepotong coklat berukuran besar ke dalam mulut.
Malam ini Sporty tidur nyenyak sekali.Lain halnya dengan Oskar. Anak itu
bermimpi tentang sekelompok simpanse yang suka mencuri coklat, dan tentang
segerombolan anak punk yang menghajarnya dengan licik. Menjelang tengah malam,
kabut mulai menipis. Bulan purnama mengintip ke dalam kamar tidur kedua anak-
itu. Pagi berikutnya Bu Sauerlich muncul dengan mengenakan piyama bersulam benang
perak. Dengan pakaian tidur model itu, ia bahkan kelihatan lebih kurus ketimbang
biasanya. Pada waktu sarapan, ibu Oskar itu mengatakan bahwa ia merasa lapar
sekali. Kemudian ia menghabiskan dua cangkir teh dan segelas yoghurt.Sekolah
sirkus baru mulai pukul sepuluh. Tapi jam delapan lewat sedikit Petra dan Thomas
sudah muncul di rumah Oskar. Kali ini Petra mengajak Bello, anjingnya yang
setia. "Kita harus mengawasinya dengan ketat," kata Sporty. "Bello belum pernah
berhadapan dengan binatang-binatang buas. Mungkin saja ia tidak takut, tetapi
malah mengajak mereka untuk bermain bersama."
"Aku takkan melepaskan ikat lehernya," ujar Petra. "Aku hanya ingin agar Bello
menambah pengalaman."
10. Terjebak di Kandang Macan
Sambil bersepeda menuju sirkus, mereka berbincang-bincang mengenai peristiwa-
peristiwa yang terjadi kemarin.Thomas langsung memberi tahu Petra bahwa cerita
bohong Wolfram Watz ternyata sudah terbongkar.Semakin mendekat ke sirkus, Bello -
yang berlari di samping sepeda Petra - semakin sering mencium-cium udara. Rupanya
baunya berbeda dari yang biasa ia cium di rumah.
Ketika mereka tiba, suasana di sirkus masih tenang-tenang saja - setidak-tidaknya
di luar tenda pertunjukan. Di dalam tenda raksasa itu persiapan dan latihan
untuk nanti malam sedang berlangsung. Perintah-perintah diserukan dengan keras.
Anak-anak STOP menuntun sepeda masing-masing ke arah sekolah sirkus. Pak
Silbermann sudah mulai mengajar, seperti yang terdengar dari luar tapi murid-
muridnya bukan Blitti dan Dirk, melainkan anak-anak yang lebih kecil. Keempat
sahabat itu menyandarkan sepeda masing-masing. Sebelum mereka sempat melihat-
lihat ke sekitar, Blitti dan Dirk sudah muncul.
"Kalian benar-benar hebat!" kata Dirk. "Ayahku semalam dihubungi polisi. Petugas
yang menelepon ayahku itu mengatakan bahwa kalian telah berhasil meringkus si
penipu brengsek itu. Begitu mendengar berita itu, kami semua langsung larut
dalam kegembiraan. Dan hari ini ayahku ingin bertemu dengan kalian."
"Ah, jangan terlalu dibesar-besarkan," ujar Sporty. "Kebetulan saja kami
berhasil. Lagi pula kami melakukannya dengan senang hati. Semuanya berkat daya
ingat Petra yang..."
"Untuk kami urusan itu sangat berarti," Blitti memotong. "Coba bayangkan, apa
yang terjadi jika tuduhan mengenai pencurian uang 22.000 Mark di Sirkus Sarani
itu sempat tersebar ke mana-mana"!"
Pak Rettberg berada di karavan direksi. Dengan hangat ia menyambut kedatangan
keempat sahabat itu. "Jasa baik kalian," katanya dengan gaya resmi, "takkan pernah kami lupakan.
Untuk selanjutnya, kalian boleh menganggap sirkus ini sebagai rumah sendiri.
Sebenarnya, saya ingin menghadiahkan seekor anak macan pada kalian," ia
melanjutkan sambil ketawa. "Tapi masalahnya, anak macan pun suatu hari akan
menjadi besar, dan seekor macan dewasa tidak bisa dibawa jalan-jalan begitu saja
seperti Bello." "Kecuali itu, jatah makanannya juga jauh lebih besar," ujar Oskar.
"Kalau sempat, kami ingin jalan-jalan dulu sebelum masuk kelas," kata Sporty.
"Apakah latihan di arena pertunjukan boleh ditonton?"
"Tentu saja boleh," jawab Pak Rettberg. "Ajak saja Blitti dan Dirk."
Sebelum berangkat, keempat anak STOP bersama kawan-kawan mereka yang baru
berkumpul di suatu pojok yang sepi.
Di sana Sporty menerangkan rencananya."Aku rasa si Hibler bukan saja seorang
pendendam, tetapi juga seorang penjahat tulen dengan rencana-rencana busuk.
Kalau penilaianku keliru, aku bersedia minta maaf padanya di depan umum. Tapi
sebelumnya, aku ingin mengawasinya, dan melacak jejaknya. Petra, Thomas, dan
Oskar sudah setuju. Tapi bagaimana dengan kalian berdua?"
"Kami juga sependapat," ujar Dirk. "Si Hibler dia sebenarnya bukan anggota inti
rombongan kami. Dia hanya seorang pekerja yang kebetulan sudah agak lama bekerja
di sini. Tapi itu tidak berarti apa-apa. Mungkin saja dia besok sudah bekerja di
tempat lain." "Atau meringkuk di balik tembok penjara," Sporty berkomentar. "Di sana ia punya
cukup waktu untuk merenungkan bahwa pemerasan ternyata bukanlah cara paling
mudah untuk menjadi kaya."
"Kau kelihatan yakin sekali, Sporty," kata Blitti. "Apakah kau sudah punya bukti
bahwa Hibler terlibat?"
"Belum," Sporty terpaksa mengakui. "Tapi aku yakin, kita pasti bisa menemukan
sesuatu di karavan tempat tinggalnya."
"Erwin Hibler tinggal bersama Dieter Man-hold," Dirk menjelaskan. "Keduanya
sama-sama brengsek. Nanti akan kutunjukkan orangnya."
Tiba-tiba terjadilah kecelakaan itu. Hidung Petra terasa gatal sekali. Gadis itu
segera mengeluarkan saputangan dari saku untuk membersihkan hidungnya. Tali
pengikat Bello dijepitnya dengan kedua lututnya. Namun dengan sekali tarik,
anjing itu sudah terlepas. Percuma saja Petra berusaha merapatkan lututnya erat-
erat.Kelihatannya ada sesuatu yang menarik perhatian Bello. Dengan hidung
menempel ke tanah, anjing itu berlari menuju salah satu tenda berisi kandang
binatang. Petra memekik kaget.
Sporty, yang sedang membelakanginya, langsung berbalik badan.
Thomas sedang sibuk membersihkan kacamatanya, sehingga tidak bisa melihat apa-
apa. Oskar berdiri mematung. Sambil membelalakkan mata ia berseru,"Awas, Bello
kabur!" Tanpa ragu-ragu Sporty melesat ke depan. Meskipun sangat berbakat sebagai pelari
cepat, namun anak itu tidak berhasil menyusul Bello. Si Telinga Panjang sudah
keburu menghilang ke dalam tenda tadi.Sporty mengejarnya. Ia mendengar anak-anak
lain berada di belakangnya.
Tenda itu ternyata dihuni oleh sekelompok gajah. Gajah-gajah itu sedang sibuk
memasukkan rumput dan jerami ke dalam mulut dengan belalai mereka yang panjang
Hanya kadang-kadang mereka maju atau mundur selangkah. Rantai-rantai besar yang
terpasang pada kaki membuat mereka tetap berdiri di tempat.
Sporty berhenti. Ia memandang ke sekitar dan menemukan Bello. Anjing itu telah
mendekati seekor gajah betina yang berukuran besar sekali. Dengan hati-hati ia
mencium-cium kaki belakang binatang raksasa itu.Sporty menatapnya dengan
tegang.Sekali tendang, pikirnya, dan tamatlah riwayat Bello. Dengan hati-hati
anak itu mendekat. "Bello!" ia memanggil dengan suara tertahan. "Ayo, kemari! Cepat!"
Tapi Bello bukanlah anjing yang mudah menurut. Ia menengok dan melihat anak-anak
lain menyerbu ke dalam tenda. Langsung saja ia kabur lagi lewat pintu samping
tenda itu. "Aduh, Bello!" seru Petra dengan nada cemas. "Jangan lari, dong!"
Ketika Sporty keluar tenda, ia masih sempat melihat Bello berlari menuju
kerangkeng binatang-binatang buas. Singa-singa sedang bermalas-malasan di
dalamnya. Ujung ekor salah satunya terjulur keluar kerangkeng. Bello sampai di
kandang itu. Ia mendengus-dengus, berdiri di atas kedua kaki, dan mencoba
menyelipkan hidungnya melalui celah batang-batang besi. Namun sebuah auman keras
membuat Bello mengurungkan niatnya.Ketika Sporty berhasil mendekati anjing itu
sampai jarak di antara mereka tinggal lima langkah, Bello tiba-tiba kabur
lagi.Ia mengelilingi kerangkeng tadi dan menghilang dari pandangan Sporty.
Kandang-kandang berjejer-jejer di tempat ini. Di antaranya terdapat beberapa
karavan berisi peralatan. Sejumlah pekerja berjalan mondar-mandir. Namun sewaktu
ditanya, ternyata tak seorang pun di antara mereka melihat Bello. Tak seorang
pun menanggapi pertanyaan Sporty. Akhirnya anak-anak memutuskan untuk menyebar.
Mata Petra telah berkaca-kaca, dan hanya dengan susah payah ia bisa menahan
tangisnya. Gadis itu tetap di sekitar Sporty, yang tidak hanya gesit, tetapi
juga memiliki mata yang tajam.Sporty meraih tangan Petra untuk
menenangkannya.Kedua anak itu mengitari sebuah karavan kecil di dekat kandang
simpanse. Mereka tiba di suatu tempat terbuka dan berhenti terpaku.
"Aku takkan percaya kalau tidak melihatnya sendiri," ujar Sporty.
Tom, si simpanse, dengan tertatih-tatih melintas di hadapan mereka. Monyet
itulah yang mencuri roti Oskar kemarin sore. Tetapi hari ini, kelihatannya ia
lebih tertarik pada sesama makhluk berkaki empat. Dengan gaya yang meyakinkan
simpanse itu memegang tali pengikat leher Bello. Anjing itu menurut saja dan
malah mengibas-ngibaskan ekornya. Pasangan aneh itu menuju tenda pertunjukan
."Sayangnya tidak ada yang bawa kamera," ujar Petra. "Dengan foto seperti ini
kita bisa memenangkan hadiah pertama dalam lomba foto."
"Tapi tim juri pasti berpendapat bahwa kejadian ini sudah diatur sebelumnya,"
Sporty berkata sambil menaksir jarak antara mereka dalam hati. "Kita harus
memotong jalan mereka - sebelum mereka kabur lagi!"
"Ya, entah apa rencana mereka selanjutnya," Petra menanggapinya sambil
mengangguk. Anak-anak itu berlari menyusuri sederetan karavan menuju tenda pertunjukan.
Mereka berhasil mempersingkat jarak, namun tetap saja terlambat.Sporty hanya
sempat menyaksikan Tom dan Bello memasuki tenda pertunjukan, melalui salah satu
pintu samping. "Apa itu?" tanya Petra tanpa mengurangi kecepatannya.- "Kerangkeng itu,
maksudku." Kerangkeng yang dimaksud Petra mirip sebuah terowongan yang terbuat dari kisi-
kisi yang melengkung. Terowongan itu bermula di kandang harimau dan menuju ke
dalam tenda pertunjukan.

Detektif Stop - Panik Di Sirkus Sarani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Itu adalah pintu masuk untuk binatang-binatang buas," Sporty berseru. "Lewat
terowongan inilah mereka memasuki arena."
Anak-anak itu menyerbu ke dalam tenda pertunjukan. Lampu-lampu menyala terang.
Bau kulit dan serpihan kayu menggantung di udara.Di tengah-tengah arena terdapat
sebuah kerangkeng besar berbentuk lingkaran. Pada bagian atasnya terdapat
pengamanan khusus berupa jaring setinggi satu meter yang miring ke dalam. Dengan
demikian bisa dipastikan bahwa binatang-binatang buas yang tampil tidak mungkin
melarikan diri di tengah-tengah pertunjukan. Terowongan tadi berakhir di
kerangkeng besar ini. Sebuah pintu pengaman membatasinya. Pintu kedua masih
terbuka lebar, karena sang pelatih binatang buas - tentunya Pak Polakov, ayah
Blitti - belum datang.Tapi ada orang lain yang hadir di arena. Dan kehadirannya
sama sekali tidak menimbulkan kegembiraan di hati anak-anak itu.
Erwin Hibler berdiri di samping terowongan tadi. Kedua belah tangannya
dimasukkan ke dalam kantong celana. Ia mengisap sebatang cerutu. Sambil nyengir,
ia memperhatikan Tom dan Bello memasuki kerangkeng besar tadi. Maksudnya, hanya
Bello yang memasuki kerangkeng. Tom tiba-tiba saja berubah pikiran. Mungkin ia
tiba-tiba teringat bahwa di tempat ini sebentar lagi akan ada latihan
pertunjukan binatang buas.
Tom melepaskan tali pengikat Bello dan berhenti di ambang pintu kerangkeng,
sementara anjing itu terus saja berjalan.Bello mencium bau binatang buas - suatu
bau yang rupanya menarik perhatiannya. Sambil mengendus-endus, ia memeriksa
tempat duduk besi yang paling dekat ke pintu. Kursi itu biasanya diduduki oleh
harimau atau singa. Setelah selesai menelitinya, Bello kemudian berpindah ke
kursi di sebelahnya. Kejadian-kejadian berikut berlangsung cepat sekali,
meskipun bagi Sporty rasanya seperti berabad-abad.
Dari luar tenda terdengar suara logam berge-merincing."Tutup kerangkeng!" sebuah
suara pria berseru. "Awas, macan-macan sudah dilepas."
Si Hidung Bengkok menarik sebelah tangan dari kantong celana. Dengan ogah-ogahan
ia meraih sebuah rantai, yang - entah di mana - terpasang pada terowongan tadi.
Petra menahan napas. Ia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi.Sporty
berpikir, setiap detik amat berharga sekarang! Hanya itu yang dipikirkannya.
Langsung saja ia bertindak.Ia melesat ke arena - bagaikan panah yang terlepas dari
busur.Sporty melihat si Hidung Bengkok berusaha menutup pintu kerangkeng. Namun
ia berhasil mendahuluinya. Dengan keras ia menabrak pria itu sampai terpental ke
samping, menyelinap melewati pintu, dan nyaris terpeleset di tengah arena.
Seekor macan mengaum dengan keras.
"Bello!" Sporty memanggil.
Justru pada saat yang genting ini si Telinga Panjang asyik berkeliaran di
seberang kerangkeng. Sporty berlari melewati kursi-kursi besi. Ia menginjak tali
pengikat Bello, membungkuk, menyambar anjing itu, lalu berbalik badan.
Bello meronta-ronta. Untuk kedua kalinya Sporty terpeleset. Ia mendengar
teriakan-teriakan cemas, mengangkat kepala, dan melihat seekor macan besar
memasuki arena! Sambil membungkuk, binatang buas itu berlari menyusuri
terowongan. Pintu terowongan terbuka lebar. Macan-macan lain menyusul di
belakang yang pertama. Sporty menatap binatang buas itu. Gigi-gigi taring hewan pemangsa itu nampak
jelas. Matanya yang kehijau-hijauan menyala-nyala. Rupanya naluri pemburunya
sudah tersentuh. Sporty masih harus menyeberangi kerangkeng. Tidak mungkin ia
bisa melakukannya. Mati aku! pikirnya. Untuk sesaat kengerian melumpuhkan seluruh badannya. Tapi
kemudian ia berlari menuju pintu yang masih sedikit terbuka.
"Dasar sembrono!" seorang pria berteriak. "Cepat, tutup pintu terowongan!"
Dengan suara gaduh pintu terowongan menutup tepat di depan hidung macan tadi.
Kepalanya membentur pintu. Dengan marah binatang itu mengaum-aum, sambil
memukul-mukul pintu besi dengan cakarnya. Tingkahnya membuat Sporty merinding.
Kini Bello pun nampak sadar bahwa ia masuk ke tempat yang salah. Segera saja ia
berhenti memberontak.Sporty melewati pintu, dan menutupnya dengan satu tendangan
keras. Bello tetap digendongnya.Dalam sekejap Petra telah berdiri di samping
Sporty. Wajah gadis itu pucat pasi. Sambil menarik napas dengan tersengal-
sengal, Sporty menyerahkan Bello pada sahabatnya itu.
"He, ada apa ini?" seorang pria menegurnya. "Anak muda, apakah kau sudah bosan
hidup" Kau hampir saja celaka tadi!"
Sporty menatap pria itu. Potongan badannya, tinggi besar. Rambutnya berwarna
merah ma-nyala, dan wajahnya mirip sekali dengan Blitti. Tak salah lagi, pria
itu adalah Pak Polakov - ayah Blitti.
"Maaf, Pak," kata Sporty. "Anjing kami terlepas. Dan simpanse itu lalu
membawanya ke sini. Waktu kami sampai di sini, Bello sudah berada di dalam
kerangkeng. Terpaksa saya menyelamatkannya. Saya sama sekali tidak menduga bahwa
macan-macan itu sudah dilepaskan."
"Pekerjaan yang sembrono," Pak Polakov menggeram. "Sudah puluhan kali saya
peringatkan kalian," ia berujar pada Erwin Hibler yang masih berdiri di samping
terowongan, "macan-macan baru boleh dilepas kalau saya sudah ada di arena."
Hibler menatap pelatih binatang buas itu dengan geram. Wajahnya menjadi merah
padam. Sambil mengangkat bahu, ia membela diri,"Saya hanya melaksanakan tugas.
Saya dengar aba-aba dari luar. Ketika saya melihat bocah ini - melihatnya masuk ke
kerangkeng - saya pikir dia orang gila. Karena kaget, saya terpaku di tempat.
Sekujur tubuh saya terasa seperti lumpuh. Karena itu saya tidak sempat
bertindak." "Tapi Anda sempat melihat anjing kami berlari memasuki kerangkeng," ujar Sporty.
"Dan Anda malah nyengir lebar, lalu mencoba menutup pintu."
"He, jangan cari perkara lagi! Dasar bocah brengsek! Saya sama sekali tidak
melihat anjing kalian. Hanya kau yang kelihatan tadi."
Sporty kembali berpaling pada Pak Polakov."Siapa yang menutup pintu terowongan
tadi?" tanya Sporty pada si pelatih binatang. "Saya harus berterima kasih pada
orang itu." Pak Polakov ingin menjawab, namun Petra mendahuluinya.Suara gadis itu bergetar
ketika ia mengatakan, "Orang itu," ia berujar sambil menunjuk Erwin Hibler,
"sama sekali tidak bereaksi. Ia bahkan tetap diam ketika Anda, Pak Polakov - Anda
Pak Polakov, bukan" - memerintahkannya untuk menutup pintu terowongan. Akhirnya
Pak Polakov sendiri yang melompat maju dan melepaskan rantainya, sehingga pintu
besi itu jatuh menutup."
"Saya berutang nyawa pada Bapak," ujar Sporty pada ayah Blitti. "Terima kasih
banyak." Pak Polakov tersenyum lembut. "Yang penting tidak ada yang cedera," katanya.
"Apakah kalian teman-teman Blitti yang baru?"
Seakan-akan hendak menjawab pertanyaan ayahnya, Blitti kini menyerbu ke dalam
tenda. Dirk, Thomas, dan Oskar menyusul di belakang gadis itu.Sementara mereka
masih sibuk membicarakan kejadian tadi, Erwin Hibler diam-diam menyelinap ke
luar. Hanya Sporty yang memperhatikannya.
"Bajingan itu benar-benar menginginkan aku diterkam harimau, anak itu berkata
dalam hati. Sekarang baru kelihatan sifatnya yang asli. Dan sekarang aku tahu.
Kalau ia tega berbuat seperti tadi, maka ia pasti juga tidak segan-segan untuk
mencelakakan ratusan orang tak berdosa. Orang seperti dia mungkin saja
menaburkan racun di mana-mana."
"Eh, di mana si Tom?" Blitti tiba-tiba bertanya.
Sambil ketawa Dirk menunjuk ke puncak tenda. Semuanya mendongakkan kepala dan
melihat simpanse itu. Dengan riang gembira ia berakrobat pada ujung tiang tenda
di atas arena. "Tom seharusnya dikurung," kata Pak Polakov sambil ketawa. "Selalu saja dia
membuat keonaran. Sayangnya ia sudah terbiasa dilepas begitu saja. Dari kecil ia
sudah dididik seperti itu."
Petra sebenarnya masih ingin menyaksikan binatang-binatang buas beraksi di
arena. Namun jam tangannya sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang beberapa menit
waktunya untuk memulai pelajaran. Ketika mereka meninggalkan tenda raksasa itu,
Petra memegang tali pengikat Bello erat-erat.
"Sporty, aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu," kata gadis itu. "Tindakanmu tadi
benar-benar berani. Lain kali aku takkan mengajak Bello ke sirkus."
"Tapi Bello juga sudah membuktikan keberaniannya," ujar Oskar sambil ketawa.
"Bello anjing spanil paling berani di seluruh dunia! Dengan sikap berani mati ia
mendekati kaki belakang seekor gajah raksasa. Tanpa mengenal takut ia mengendus-
endus ujung ekor seekor singa. Dan dengan hati tabah ia akhirnya memasuki arena
bersama-sama segerombolan harimau."
Pada detik itu seekor kelinci berbulu putih melintas di hadapan mereka. Kelinci
itu benar-benar lucu mirip sebuah boneka dengan bulu tebal dan berpita
merah.Tapi apa yang dilakukan oleh Bello"Dengan terkejut anjing itu berhenti dan
melompat mundur. Sambil merintih-rintih ia lalu mencari perlindungan di balik
kaki Petra. "Lho, kenapa dia?" tanya Blitti.
"Dia ketakutan," jawab Thomas.
"Karena Albert?"
"Kalau Albert itu nama kelinci tadi, maka kau benar. Bello ketakutan karena
melihat Albert." Tawa mereka meledak-ledak, sementara Bello sibuk menggaruk-garuk kaki Petra.
Artinya: selamatkan aku dari makhluk mengerikan itu!
"Nah, ini baru kejutan," Sporty berkomentar. "Gajah, singa, harimau semua
dihadapinya dengan tenang. Tapi kalau seekor kelinci melintas di hadapannya,
nyalinya langsung ciut "
11. Tanda X di Atas Batu Raksasa
Sesuai pengumuman Pak Silbermann kemarin sore, pelajaran hari ini adalah
matematika dan bahasa Inggris. Selama dua jam anak-anak dihujani dengan
pertanyaan-pertanyaan. Tapi akhirnya itupun berlalu.
Sporty paling menonjol dalam pelajaran matematika pelajaran kesukaannya.
Dalam bahasa Inggris, Petra tak terkalahkan. Gadis itu memiliki perbendaharaan
kata kerja yang sangat luas, sehingga Pak Silbermann pun geleng-geleng
dibuatnya. Dan soal tata bahasa Petra mampu menghafalnya di luar kepala.
Selama jam pelajaran berlangsung, Bello berbaring di depan kaki Petra dan
bermimpi tentang pengalamannya tadi tentang gajah, singa, dan harimau. Sporty
berkali-kali menengok ke luar jendela. Dan setiap kali ia melihat si Hidung
Bengkok berkeliaran di luar.
Hari telah siang dan pelajaran pun berakhir. Pak Silbermann mengatakan hasil uji
coba ternyata sesuai dengan harapannya. Ia sangat berterima kasih pada anak-anak
STOP. Sporty - atas nama teman-temannya - lalu berterima kasih atas undangan ke
sekolah sirkus itu.Cuaca bertambah cerah. Cahaya matahari menyinari sisa
dedaunan yang masih bergantung pada dahan-dahan pohon.
Anak-anak STOP berjalan-jalan mengelilingi sirkus. Tapi kali ini Bello tidak
terlepas dari pengawasan mereka. Sepintas lalu, kelihatannya mereka tidak
mempunyai tujuan tertentu. Namun sesungguhnya mereka sedang mematai-matai si
Hidung Bengkok, yang sedang sibuk memotong-motong daging kuda dengan sebuah
kapak. "Nah, itu si Manhold, yang tinggal bersama Erwin Hibler," ujar Dirk sambil
menunjuk seorang pria kekar.
Laki-laki itu berwajah kotak. Kumis pirang melintang di atas bibirnya. Kaki
kirinya pincang. Ia selalu meludah setiap - kali melangkah - suatu kebiasaan buruk
yang tidak sedap dipandang.
"Yang mana karavan mereka?" tanya Sporty. Ia berbicara dengan suara tertahan,
walaupun baik Hibler maupun Manhold berada jauh dari mereka dan tak mungkin
mendengar omongannya. Dirk menjawab, tapi Sporty tidak mendengarnya. Sebab pada saat yang sama sebuah
kereta api ekspres melintas di kejauhan. Jaraknya sekitar satu kilometer, namun
peluitnya berbunyi nyaring sekali sehingga mengalahkan ucapan Dirk.
"Nomor 82?" tanya Sporty untuk memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
"Bukan, nomor 83."
"Hmm." Sporty melirik ke arah Hibler. Pria itu masih sibuk mengayunkan kapak
sambil membelakangi mereka.
"Sekaranglah saat yang tepat," ujar Sporty.
"Jangan, ah!" Petra berusaha mencegahnya. Matanya yang biru nampak cemas. "Kau
jangan terlalu mengandalkan keberuntunganmu. Bagaimana kalau tiba-tiba terjadi
sesuatu?" "Aku hanya ingin mengintip sedikit," kata Sporty berlagak tenang. Namun
sebenarnya, ia merasa detak jantungnya memburu
."Sst, Manhold pergi," Oskar berbisik - seakan-akan hanya dia yang melihatnya.
"Begini," kata Sporty. "Thomas kan bisa bersuit dengan nyaring. Kalian mengawasi
Hibler dan Manhold, dan kalau salah seorang dari mereka menuju karavan, kau
bersuit sekeras-kerasnya, Thomas. Supaya aku tahu bahwa ada bahaya. Tapi aku
memang belum tentu bisa masuk. Siapa tahu karavan mereka dikunci."
"Di sini tidak pernah ada yang mengunci karavannya," kata Dirk. "Segala milik
kami yang berharga mempunyai gigi taring, cakar tajam, atau tapal yang keras.
Yang mungkin diincar maling hanyalah karavan kassa, tempat penyimpanan uang.
Hanya karavan itu yang selalu dikunci. Dan uangnya dimasukkan ke dalam lemari
besi." "Ya, mudah-mudahan saja aku bisa menemukan petunjuk mengenai pemerasan itu,"
ujar Sporty. Ia berpisah dari rombongan teman-temannya. Melalui lapangan rumput yang nyaris
botak, ia menuju karavan-karavan yang berisi toilet.Begitu berada di luar
pandangan si Hidung Bengkok, Sporty langsung membelok. Dari arah belakang ia
menghampiri karavan nomor 83.Karavan itu berdiri sejajar dengan karavan-karavan
lainnya. Tapi arahnya agak miring, sehingga pintu masuknya tersembunyi dari
pandangan orang. Sporty melangkah mendekat. Seorang wanita muda berpapasan dengannya. Wanita itu
mengenakan pakaian ketat di bawah mantelnya. Wajahnya berkeringat - rupanya
seorang pemain akrobat yang baru selesai berlatih. Ia cantik, dan raut wajahnya
seperti orang Itali. Wanita muda itu memasuki karavan nomor 90.
Kini Sporty berdiri di hadapan tempat tinggal si Hidung Bengkok.Ia berhenti,
membungkuk seakan-akan hendak mengikat tali sepatunya lalu melirik ke kiri
kananTidak ada orang lain di sekitarnya. Tidak ada yang memperhatikannya.Cepat-
cepat anak itu menuju pintu karavan. Dengan hati-hati ia mencoba membukanya.
Dirk benar! Pintu itu tidak terkunci.Sporty melangkah ke dalam. Perasaannya agak
tidak tenang. Tapi apa boleh buat. Ia takkan memperoleh apa-apa kalau mundur
sekarang.Busyet, persis kapal pecah, pikir Sporty setelah masuk.
Semuanya jorok dan berantakan sama saja dengan kedua penghuninya. Udara pengap
di dalam karavan itu berbau minuman keras dan asap rokok.Dua buah tempat tidur
lipat saling berhadapan. Seprei dan tutup bantalnya pasti sudah berbulan-bulan
tidak pernah diganti. Dan lantai karavan juga sudah lama tidak pernah disapu.
Sporty mengintip ke balik tirai, lalu memeriksa dua buah lemari kecil. Kemudian
ia menengok ke bawah tempat tidur. Namun di sini pun ia tidak menemukan apa-
apa.Memangnya apa yang kuharapkan" ia bertanya dalam hati. Hibler takkan
sesembrono itu! Pandangannya menyapu seluruh karavan, dan akhirnya tertuju pada sebuah rak yang
terpasang di atas salah satu dari kedua tempat tidur.Pada rak itu terdapat
sebuah kotak cerutu, sebuah korek api gas, sebuah tatakan gelas yang
dipergunakan sebagai asbak, tiga buah buku dengan mutu yang patut dipertanyakan,
dan sebuah buku catatan tebal.
Sporty meraih buku catatan itu, membuka halaman pertama, dan membaca nama yang
tertulis di sana: Erwin Hibler.Nah, kebetulan! Buku catatan ini pasti penuh
petunjuk penting, anak itu berharap dalam hati.Namun kekecewaan segera datang
sewaktu ia membolak-balik halaman-halaman buku itu.Isinya kosong melompong.
Hanya halaman kertas yang masih putih dan belum terisi.
Sporty hampir saja meletakkannya kembali ke rak, ketika ia melihat tulisan pada
salah satu halaman depansatu-satunya catatan yang ada.
Pers Bebas, terbaca di sana, dan di belakangnya tertulis tanggal 9 September
tahun lalu.Harian Pers Bebas adalah koran yang paling banyak dibaca di kota itu
dan sekitarnya.Apakah catatan itu mempunyai arti tertentu" Pasti! Sporty
memutuskan untuk menyelidiki isi Pers Bebas edisi 9 September tahun lalu -
meskipun tanpa mengetahui apa yang dicarinya. Mudah-mudahan saja ada berita yang
bisa dihubungkan dengan Erwin Hibler.Ia mengembalikan buku catatan itu ke
tempatnya semula.Untuk kedua kalinya sebuah kereta api melintas di kejauhan.
Gemuruh rangkaian gerbongnya terdengar dengan jelas. Kini masinis kereta api itu
membunyikan - peluit nyaring dan lama sekali.
Sambil mencari-cari, Sporty memandang ke sekeliling. Tapi ternyata seluruh isi
karavan telah diperiksanya. Tiba-tiba ia tersentak kaget.Langkah-langkah berat
terdengar menaiki tangga di depan pintu.
Dengan satu lompatan anak itu menghilang ke bawah tempat tidur yang sebelah
kanan. Ia mendarat di tengah-tengah debu, abu rokok, dan koran-koran bekas.
Tempat tidur lipat itu rendah sekali, sehingga Sporty sulit bergerak. Ia menahan
napas. Pintu membuka. Sporty mengintip dari tempat persembunyiannya. Sepasang sepatu lars berwarna
hitam terlihat melangkah ke dalam karavan. Sepatu itu milik si Hidung Bengkok.
Kalau ia menemukanku di sini, maka tamatlah riwayatku, pikir Sporty. Si Hidung
Bengkok pasti akan menuduhku yang bukan-bukan. Dan ia memang punya alasan yang
kuat untuk itu. Aku masuk ke sini tanpa izin. Bagaimana aku bisa membuktikan


Detektif Stop - Panik Di Sirkus Sarani di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa aku tak bersalah, kalau si Hibler menuduhku mencuri"
Untuk sesaat Erwin Hibler berdiam diri di tengah-tengah ruangan. Kelihatannya
pria itu belum menyadari kehadiran Sporty. Namun sepertinya ia merasa bahwa ada
sesuatu yang berubah. Hal ini mungkin dirasakannya secara tak sadar.
Mudah-mudahan dia tidak mendadak kepingin membereskan tempat tidurnya sekarang,
Sporty berharap-harap cemas. Apa jadinya kalau dia membalikkan kasur, dan
menemukanku lagi nyengir di bawah sini. Brengsek' Kenapa Thomas tidak bersuit"!
Dia pasti lagi sibuk berceramah sementara aku terperangkap di sini. Sial,
sekarang aku mau bersin lagi! Debu sialan ini membuat hidungku jadi gatal.
Hibler bergerak lagi. Ia duduk menghadapi meja kecil di tengah-tengah ruangan
dan mengeluarkan sesuatu dan kantong celananya. Sambil menarik napas dengan
tersengal-sengal, pria itu membuka lipatan selembar kertas.
Milimeter demi milimeter Sporty merangkak maju. Ia berusaha keras untuk tidak
menimbulkan suara. Kini ia mengangkat kepala dan menatap ke arah Hibler.Pria itu
duduk bertopang dagu. Tangan kanannya memegang sebuah peta. Sporty melihat
sejumlah titik berwarna merah tertera pada peta itu. Si Hidung Bengkok
memelototi kertas di hadapannya. Kali ini ia tidak sedang mengunyah puntung
cerutunya. Raut wajahnya berubah-ubah, seakan-akan perasaannya terguncang dengan
hebat.Sporty menatap pria itu dari samping dan itu pun dari bawah, katakanlah
dengan sudut pandang mata kodok. Namun walaupun demikian, anak itu memperoleh
kesan bahwa wajah si Hidung Bengkok memancarkan kepuasan yang mendalam.
"Hei!" mendadak sebuah suara terdengar dari luar karavan. "Erwin!"
"Ya, ada apa?" Hibler menyahut dengan suara menggelegar, yang membuat debu di
bawah tempat tidurnya beterbangan.
Sporty nyaris tergoda untuk menutup telinga dan juga hidung, karena debu itu
nyaris membuatnya bersin.
"Ayo dong, Erwin! Tenagamu dibutuhkan, nih!" orang di luar berseru.
"Sebentar, Dieter!" Hibler membalas tanpa beranjak dari tempat duduknya. Dieter -
berarti Manhold, teman sekamamya, yang memanggil.
"Erwiiin!." Baru sekarang si Hidung Bengkok bergerak. Ia melepaskan peta tadi, berdiri,
bergumam tak jelas, lalu melangkah ke luar. Suara sepatu larsnya terdengar
dengan jelas ketika ia menuruni tangga.
Sporty menunggu sepuluh detik - kemudian bersin.Ia lalu merayap keluar dari tempat
persembunyiannya, membersihkan celana dan jaketnya dari debu, dan segera meraih
peta yang masih tergeletak di atas meja.
Aha! Peta itu menunjukkan bagian selatan kota. Hutan-hutan luas, danau, dan
pegunungan yang romantis membentuk pemandangan yang indah. Daerah itu ramai
dikunjungi para pelancong terutama pada akhir pekan. Setiap hari Sabtu dan
Minggu, semua restoran di daerah itu penuh sesak. Jalan pun jadi macet, karena
terpaksa menampung arus kendaraan orang-orang yang melarikan diri dari
kesumpekan kota.Di daerah itu tidak jauh dari kota, terdapat sebuah hutan yang
dinamakan Hutan Dongeng. Entah dari mana nama itu berasal. Selama pergi ke sana,
anak-anak STOP belum pernah berjumpa dengan nenek sihir, gerombolan orang
kerdil, atau makhluk-makhluk dongeng lainnya. Tapi keempat sahabat itu tahu apa
yang dimaksud dengan Batu Raksasa, yakni sekumpulan batu besar di tengah hutan,
yang menjulang ke angkasa.Erwin Hibler telah menandai tempat itu dengan huruf X.
Sporty segera melihatnya. Ia berpikir sejenak, namun tak berhasil menarik
kesimpulan yang masuk akal. Akhirnya ia memutuskan untuk secepatnya keluar dari
karavan nomor 83. Bagaimanapun juga, ia sudah berhasil menemukan dua petunjuk
yang patut diselidiki: Harian Pers Bebas edisi 9 September tahun lalu, dan Batu
Raksasa di Hutan Dongeng.
Sporty menutup pintu dan bergegas menuruni tangga. Ia segera membelok sambil
menarik napas lega. Tapi langkahnya langsung terhenti - sebab kalau tidak, ia akan
bertabrakan dengan si Hidung Bengkok. Sporty kaget sekali. Namun Erwin Hibler
tidak kalah terkejutnya. Pria itu sama sekali tidak menyangka akan berhadapan
dengan Sporty di tempat ini. Raut wajahnya mencerminkan kecurigaan. Dan rasa
benci. "Mau apa kau di sini?""Silakan menebaknya sendiri."
"Mau apa kau di sini?" Hibler membentaknya.
Sporty berlagak tuli. "Maaf, pendengaran saya agak kurang baik. Apakah Anda bisa
bicara lebih keras sedikit?"
Kedua tangan pria itu gemetar, seakan-akan ingin mencekik Sporty. Tapi anak itu
tidak bergidik. Ia hanya merentangkan kedua kakinya sambil membengkokkan lutut.
Gerakan ini memindahkan titik berat badannya ke bawah. Dengan sikap kuda-kuda
seperti itu, ia takkan terguncangkan dan siap untuk menghadapi serangan. Namun
Hibler rupanya masih bisa menahan diri.Untuk sesaat keduanya berpelototan dan
masing-masing bisa menebak apa yang dipikirkan lawannya. Si Hidung Bengkok
memasang tampang seram. Sporty sebaliknya, ia menatap lawannya dengan tenang.
Akhirnya mereka kembali berjalan. Sporty sudah bersiap-siap menerima pukulan
dari belakang. Tetapi ia tidak mau menengok. Dengan wajah cemas teman-temannya
memperhatikan kejadian itu. Bello mengendus-endus tanah sambil menggoyangkan
ekornya. Barangkali ia baru saja menemukan jejak harimau.
"Sejak kapan kau tidak bisa bersuit?" Sporty bertanya pada Thomas setelah
kembali bergabung dengan teman-temannya.
"Apa maksudmu" Aku tadi bersuit sekuat tenaga, Justru kau yang tidak bereaksi!"
"Aneh, aku tidak mendengar apa-apa. Bagaimana kau bersuit tadi" Mirip tiupan
wasit, atau lokomotif, atau... Astaga! Sekarang aku tahu! Kereta api itulah
penyebabnya. Peluitnya mengalahkan sultanmu. Ah, seharusnya aku menyadarinya
dari tadi." Dengan terkejut Thomas menggelengkan kepala. Kemudian ia terpaksa segera
membetulkan kacamata yang nyaris merosot dari hidungnya."Benar! Tadi memang ada
kereta api lewat! Dasar sial! Aku juga baru ingat sekarang. Tapi tadi... Dirk
membuntuti Erwin Hibler dan melihatnya menuju karavan nomor 83. Dirk lalu
memberikan tanda padaku, dan aku..."Ia memasukkan dua jari ke dalam mulut.
Kelihatannya seperti sedang mencoba makan dengan memakai sumpit.
"Aku sempat kelabakan tadi," kata Sporty. Kemudian ia bercerita.
"Berarti kunjunganmu tidak sia-sia," Oskar berkomentar. "Tapi apa hubungannya
Batu Raksasa dengan Pers Bebas?"
"Aku pun tidak melihat hubungannya," ujar Thomas. "Seingatku, tanggal 9
September tahun lalu tidak ada peristiwa penting."
"Dugaan-dugaan kita masih mengambang," kata Sporty. "Kita masih meraba-raba
dalam gelap. Sebaiknya, kita selidiki isi koran itu, lalu berkunjung ke Batu
Raksasa - kalau ada waktu. Soalnya kita juga harus tetap mengawasi si Hidung
Bengkok. Tapi masih ada sesuatu yang ingin kuketahui."
"Apa itu?" tanya Oskar."Apa yang telah terjadi di toko swalayan sementara kita
berada di sini" Apakah Pak Leibrecht sudah dihubungi lagi oleh si peracun botol
acar itu?" "Hanya ada satu cara untuk menjawab pertanyaanmu," Petra menanggapinya. "Kita
harus pergi ke sana. Kalian mau ikut?" ia lalu bertanya pada Blitti dan Dirk.
"Tentu saja."Keduanya mengambil sepeda masing-masing.
Keenam anak itu pun berangkat. Bello masih sempat melirik ke arah kandang
binatang-binatang buas. 12. Keadaan Mulai Gawat Dalam perjalanan, anak-anak STOP menunjukkan beberapa tempat yang menarik di
kota mereka pada Blitti dan Dirk.Thomas kembali menguras otak komputernya dan
menerangkan sejarah gereja-gereja, monumen-monumen, dan berbagai bangunan
penting lainnya.Mereka lalu mampir di rumah Petra. Di sinilah akhir perjalanan
bagi Bello. Petra membawanya ke dalam. Ketika keluar lagi, gadis itu bercerita
bahwa Bello langsung tertidur di bawah meja makan.
Keenam anak itu kembali bersepeda. Lalu lintas di jalanan agak sepi. Orang-orang
sedang bekerja - atau makan siang.Tempat parkir di depan toko swalayan hanya
terisi oleh sekitar dua lusin mobil. Anak-anak itu turun dari sepeda masing-
masing, lalu memasuki toko.
"Kita tidak bisa beramai-ramai menyerbu ke kantornya," kata Sporty. Yang
dimaksudnya adalah Pak Leibrecht, pimpinan toko swalayan."Dia bisa pingsan kalau
tiba-tiba didatangi segerombolan anak-anak. Sebaiknya Oskar dan aku saja yang
masuk, sebab Pak Leibrecht sudah mengenal kita berdua."
Tak ada yang merasa keberatan dengan usul itu. Petra, Thomas, beserta Blitti dan
Dirk menunggu di tempat penjualan majalah. Masing-masing mengambil sebuah
majalah dan mulai membaca.Sporty, yang ditemani Oskar, melangkah menuju kantor
Pak Leibrecht. Pintunya tertutup. Sporty mengetuk pintu, dan pimpinan toko
swalayan itu mempersilakan mereka masuk. Ia sedang duduk di balik meja tulisnya.
Di hadapannya terdapat sebuah piring berisi kentang dan sosis goreng.
Sambil mengunyah, Pak Leibrecht berkata,"Oh, kalian yang datang! Nah, apa kabar"
Kalian pasti ingin tahu apakah kami sudah membayar uang tebusan itu, bukan?"
Kedua anak itu menegurnya dengan ramah. Sporty sekaligus mengucapkan selamat
makan padanya. Sementara itu Oskar menatap piring di hadapan pria itu sambil
mendesah pelan. "Betul!" jawab Sporty kemudian. "Bagaimana kelanjutan kasus itu" Apakah sudah
ada perkembangan baru" Kami selama ini membuka mata lebar-lebar dan kami mungkin
juga sudah menemukan sebuah jejak."
Pak Leibrecht menatapnya dengan ragu-ragu. Mulutnya masih penuh kentang. Namun
ia bukannya menelan dulu, tapi malah langsung memasukkan sendok berikutnya.
"Rapat direktur perusahaan kami telah memutuskan untuk membayar uang itu - kalau
memang tidak ada cara lain," ia berujar dengan kurang jelas. "Tapi sampai
sekarang, si pemeras belum menghubungi kami lagi. Segala urusan lainnya sudah
kami serahkan pada polisi."
Tak ada yang perlu ditambahkan. Sporty dan Oskar mohon diri lalu meninggalkan
ruang kantor itu.Di depan pintu Oskar bertabrakan dengan Pak Klemm.
"Awas!" pria itu berseru. Dengan tegang ia memegang sebuah botol berisi acar
ketimun. Sebuah sampul surat tertempel pada botol itu.Sporty segera melihat.
Sama seperti pada surat ancaman yang pertama - alamat pada surat ini pun tersusun
dari huruf-huruf yang digunting dari sebuah koran.
"Dari si pemeras?" Sporty langsung bertanya.
Pak Klemm mengangguk. Wajahnya yang pucat basah karena keringat. Butir-butir
keringat bahkan muncul di atas kepalanya yang setengah botak. Dengan gelisah ia
mengedip-ngedipkan mata di balik kacamatanya yang tebal.
"Baru saja saya menemukannya. Mengerikan sekali."
Ia menyerbu ke kantor atasannya. Sporty dan Oskar tentu saja tidak mau
ketinggalan. Pak Leibrecht benar-benar terkejut. Ia sampai lupa menutup
mulutnya. Kemudian ia keselak, dan kentang bercampur sosis menghambur keluar.
"Saya baru saja menemukan botol ini," Pak Klemm berkata dengan tegang. "Lagi-
lagi acar ketimun yang diincar pemeras itu. Mereknya pun sama dengan yang
pertama. Surat itu dialamatkan pada Bapak. Tapi saya belum membukanya."
Itulah yang sekarang dilakukan Pak Leibrecht.Kali ini si pemeras menyusun sebuah
surat yang terperinci. "...membatalkan rencana untuk meracuni makanan lain," Pak Leibrecht membaca.
"Tapi dengan syarat tuntutan kami harus dipenuhi. Uang itu harus diserahkan
nanti sore. Anda harus memasukkan uang sejumlah 100 ribu Mark ke dalam sebuah
tas olahraga berwarna kuning, yang dijual di toko Anda. Pegawai Anda yang
bernama Klemm harus berada di stasiun kereta api pukul 16.00 - tepat di depan boks
telepon umum di sebelah tempat penitipan barang. Kami akan menelepon ke sana dan
Klemm akan menerima perintah selanjutnya. Dan jangan lupa: jika tuntutan kami
tidak dipenuhi, maka kami tidak segan-segan untuk melaksanakan rencana semula.
Semua cabang toko Anda akan menjadi sasaran kami."
Pak Leibrecht mengangkat kepala. Pandangan matanya nanar.
Dengan sikap menolak, Pak Klemm menjulurkan tangannya."Saya" Kenapa harus saya"
Apa urusan saya dengan para pemeras itu" Dan dan mana mereka tahu nama saya?"
Sporty menunjuk papan nama yang terpasang pada pakaian kerjanya."Nama Bapak
tercantum di sana. Saya kira para pemeras itu bukan orang yang buta huruf.
Buktinya, mereka bisa menulis surat ancaman."
"Pokoknya," Pak Klemm berkeras, "saya tidak mau menyerahkan uang itu!"
"Kita akan membayar," ujar Pak Leibrecht dengan pasti. "Rapat direksi sudah
memutuskannya. Dan jika Anda yang diminta untuk menyerahkan uangnya yah,
lakukanlah tugas itu dengan sebaik-baiknya. Tunjukkanlah tanggung jawab Anda
terhadap perusahaan kita."
Klemm mengangkat bahu. "Baiklah! Tapi saya harap perusahaan akan mengurus istri
saya jika terjadi sesuatu. Maksud saya, Mathilda sebagai orang yang
ditinggalkan..." "Jangan ngawur, Klemm," Pak Leibrecht menyela. "Anda takkan mati terbunuh. Anda
jangan terlalu membesar-besarkan persoalan ini. Para pemeras telah mengenal
Anda, mereka tahu bagaimana tampang Anda. Itulah sebabnya Anda dipilih. Mereka
ingin mengawasi Anda pada saat penyerahan uang. Tak ada yang akan membunuh Anda.
Anda tidak perlu cemas bahwa istri Anda akan menjadi janda."
"Apakah sudah pasti bahwa pemerasan ini dilakukan oleh lebih dari satu orang?"
tanya Sporty. "Selama ini hanya ada satu orang yang dicurigai, yaitu Erwin
Hibler. Tetapi kami juga sudah mengetahui bahwa ia mempunyai seorang teman akrab
Mungkin saja mereka bersekongkol. Dan..."
Sporty terdiam. Tiba-tiba ia menyadari ada sesuatu yang tidak ingin ia kemukakan
di sini. "Bagaimanapun juga saya harus menghubungi Komisaris Glockner," kata Pak
Leibrecht sambil mengangkat gagang telepon.Pak Klemm lalu bercerita pada Sporty
dan Oskar bahwa uang tebusan uang sejumlah 100 ribu Mark yang diminta para
pemeras sudah tersedia di bank. Jadi, tidak ada masalah yang menghalangi
penyerahan uang itu.Kedua anak itu kembali menemui teman-teman mereka yang masih
menunggu di tempat penjualan majalah.
"Keadaannya mulai gawat," kata Thomas setelah mendengar laporan Sporty. "Apakah
polisi akan berhasil menangkap si penjahat" Si Hidung Bengkok...."
"Si Hidung Bengkok tidak mungkin terlibat," kata Sporty cepat-cepat. "Coba
kaupikir! Sepanjang pagi ia bekerja di sirkus. Juga sewaktu kita duduk di ruang
kelas. Belasan kali aku melihatnya mondar-mandir lewat jendela. Berarti, ia
tidak mungkin datang ke sini untuk menempelkan surat ancaman yang baru itu."
"Betul," Thomas menanggapinya sambil menggosok-gosok kacamatanya. "Logika
detektifmu telah membebaskan Erwin Hibler dari tuduhan pemerasan. Sayang
sekali." "Tapi kita masih bisa berharap," Sporty berkomentar. Sebuah senyum tersungging
di bibirnya. "Hibler memang punya alibi, tapi bagaimana dengan temannya - Dieter
Manhold" Mungkin saja dialah yang menempelkan surat itu apalagi selama ini dia
sama sekali tidak diperhatikan. Jelas, bukan" Hibler pasti sudah tahu bahwa ia
dicurigai. Karena itu ia mengutus temannya. Dengan demikian, bentuk jamak yang
dipakai dalam kedua surat itu memang sesuai dengan kenyataan."
"Bagaimana langkah kita selanjutnya?" tanya Petra.
"Mudah saja! Paling lambat pukul setengah empat kita sudah harus berada di
stasiun kereta api," Sporty menjelaskan rencananya. "Kita akan berjaga di
tempat-tempat yang strategis. Sepeda-sepeda kita simpan di sekitar stasiun. Yang
penting, Pak Klemm tidak boleh terlepas dari pengawasan kita. Ayahmu, Petra,
pasti juga mempunyai rencana serupa. Tapi kita mempunyai kesempatan yang lebih
baik untuk membuntuti pegawai toko swalayan itu."
"Kenapa begitu?" tanya Oskar."Soalnya anak-anak seumur kita tidak terlalu
menarik perhatian dibandingkan dengan seorang petugas polisi - biarpun petugas itu
sudah menyamar dengan sebaik-baiknya. Para pemeras pasti akan mengawasi setiap
langkah Pak Klemm. Kalau memang Hibler dan temannya yang mendalangi pemerasan
ini, m.?ka semuanya percuma saja. Mereka sudah mengenal kita. Tapi kalau
penjahatnya orang lain, maka mereka hanya akan memperhatikan orang-orang yang
disangka sebagai polisi. Dan kita kan tidak punya tampang polisi."
"Siapa bilang?" ujar Oskar. "Coba perhatikan tampangku."
"Di tengah malam buta orang bahkan bisa keliru menyangkamu seekor anjing polisi.
Apalagi kalau lagi lapar suara perutmu benar-benar mirip geraman anjing yang
paling galak." "Grrr!" Oskar menggeram sambil menyeringai
."Tolong!" Petra berlagak kaget.
Oskar lalu bersiap-siap untuk merangkak di lantai.
"Jangan bercanda melulu, dong!" kata Sporty dengan tegas. "Ini bukan permainan -
yang kita hadapi adalah penjahat sungguhan. Ada yang punya usul?"
Semuanya berpikir keras. Tapi tidak ada gagasan yang muncul di benak mereka.
Lagi pula sudah waktunya untuk menyetor muka di rumah masing-masing. Sebelum
berpisah, anak-anak STOP berjanji untuk bertemu lagi dengan Blitti dan Dirk
pukul 15.30 di lapangan yang menghadap stasiun kereta api.
Petra dan Thomas pulang ke rumah masing-masing. Sporty dan Oskar menuju rumah
keluarga Sauerlich. Ketika mereka sampai, ibu Oskar ternyata sudah selesai makan
siang. Tapi baik Oskar maupun Sporty tidak menyesal, karena masakan siang itu
adalah sop bayem campur kacang ijo.
"Sayang sopnya tidak bisa dipanaskan lagi," ujar Bu Sauerlich dengan nada
menyesal. Memanah Burung Rajawali 20 Pendekar Pulau Neraka 39 Warisan Iblis Tusuk Kondai Pusaka 17
^