Pencarian

Memanah Burung Rajawali 20

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 20


kuat untuk mengangkat batu raksasa itu. Lama-lama keponakannya bisa mati karena
sakitnya itu. Ia menjadi lebih bingung lagi ketika ia merasakan kakinya dingin,
apabila ia mengangkat sebelah kakinya, nyata sepatunya sudah basah, tanah pasir
yang ia injaknya itu kerendam air. Itulah air laut pasang, yang naik sampai ke
lembah itu. "He, budak cilik!" See Tok membentak Nona Oey. "Jikalau kau hendak menolongi
jiwa gurumu, lekas kau tolongi keponakanku ini!"
Oey Yong lagi berpikir keras ketika ia ditegur itu. Batu begitu berat, di pulau
ini tidak ada orang lain, yang dapat membantu. Bagaimana" Ia mendongkol atas
teguran itu. "Coba kalau guruku tidak terluka, pasti dia dapat membantu!" katanya. "Ilmu luar
dari guruku lihay sekali, tenaganya besar luar biasa, dengan kita berempat
bekerja sama, mestinya batu ini dapat digeser. Sekarang..."
Ia angkat kedua tangannya, ia menggoyang-goyangkannya, tandanya ia putus asa.
Auwyang Hong tidak senang mendengar itu tetapi itulah kenyataan, ia tidak bisa
bilang suatu apa. Ia pikir, memang benar kalau Ang Cit Kong tidak terluka,
pengemis itu pasti dapat membantu mereka. Maka maulah ia memikir itu adalah
takdir, kebetulan keponakannya bercelaka, kebetulan Pak Kay terluka...
"Paman," terdengar suaranya Auwyang Kongcu perlahan. "Kau hajar saja aku supaya
aku lantas mati..." "Aku....aku tidak dapat bertahan lagi...."
Auwyang Hong mengawasi, lantas ia mencabut pisau belatinya.
"Kau tahan sakit sedikit," katanya seraya terus menggigit gigi. "Tanpa sepasang
kakimu, kau masih dapat hidup...!"
Ia maju mendekati, hendak ia menguntungi kedua kaki orang.
"Paman, paman!" berteriak-teriak si keponakan. "Jangan, jangan! Lebih baik kau
tolong aku dengan membunuh aku saja...!"
Marah paman itu. "Percuma aku mendidik kau banyak tahun, kenapa kau tidak mempunyai semangat
laki-laki"!" bentaknya.
Keponakan itu menutup mulutnya, dengan kedua tangannya ia mendekap dadanya.
Dengan begitu ia mencoba menahan sakitnya.
Menyaksikan itu, hatinya Oey Yong lemas juga. Ia lantas berpikir pula, hingga ia
ingat caranya ayahnya bekerja di Tho Hoa To waktu ayahnya itu mengangkat batu
dan balok. "Tunggu!" ia berkata kepada Auwyang Hong. "Kalau kau kutungi kedua kakinya,
apakah itu bukan berari kau mengantarkan jiwanya" Aku ada mempunyai satu daya,
entah berhasil atau tidak, mari kita coba dulu."
"Lekas bilang, lekas bilang, apa itu?" See Tok lantas mendesak. "Nona yang baik,
kali ini tentulah kau berhasil..."
"Hm," pikir Oey Yong. "Kau sangat ingin menolongi keponakanmu, sekarang kau
tidak mencaci dan membentak-bentak aku pula, bahkan memanggil aku nona yang
baik." Ia lantas tersenyum, terus ia berkata: "Baiklah! Sekarang kau mesti
dengar titahku. Lekas kau keset pohon itu, kau membuatnya dadung yang panjang
untuk menarik batu besar itu..."
"Siapakah yang menariknya?" Auwyang Hong memotong. Ia heran. Bukankah mendorong
dan menarik sama saja sebab mereka tetap bertiga"
"Kita bekerja seperti dari atas perahu kita mengangkat jangkar," Oey Yong
bilang. Auwyang Hong mengerti, tiba-tiba ia jadi mendapat harapan.
"Cocok, cocok!" katanya. "Kita menarik sambil berputaran!"
Kwee Ceng tidak tahu caranya Oey Yong akan bekerja, begitu mendengar si nona
minta babakan pohon untuk diambil tali seratnya, ia lantas saja mengeluarkan
pisaunya, terus ia bekerja memotong babakan pohon.
Auwyang Hong dan Oey Yong juga turut bekerja.
Tidak lama mereka sudah mendapatkan beberapa puluh lembar babakan yang panjang.
Auwyang Hong bekerja sambil mengawasi keponakannya, tiba-tiba ia menghela napas
dan berkata dengan putus asa: "Sudahlah, tak usah kita memotong lebih jauh...."
"Kenapa?" tanya Oey Yong heran. "Kenapa tidak jadi?"
See Tok menunjuk ke arah keponakannya.
Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi. Mereka melihat air pasang telah naik hingga
tubuh Auwyang Kongcu sudah kerendam separuhnya. Maka jangan kata untuk membikin
tambang, memotong babakan saja sudah tidak keburu....
Auwyang Kongcu sendiri berdiam, ia tidak bergerak, tidak bersuara.
"Jangan putus asa!" kata nona Oey kemudian. "Lekas potong terus!"
Auwyang Hong si iblis yang biasanya malang-melintang, mendengar suaranya si
nona, sudah lantas bekerja pula. Ia bekerja dengan cepat sekali. Oey Yong
sendiri lompat dari atas pohon, ia lari kepada Auwyang Kongcu. Ia angkat tubuh
orang, ia mengganjalnya dengan satu batu besar. Secara begini, pemuda itu tidak
kerendam mukanya, maka dapatlah ia bernapas terus.
"Adik yang baik, terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu," berkata
Auwyang Kongcu dengan perlahan. "Aku tidak bakal hidup lebih lama pula, akan
tetapi melihat kau begini sungguh-sungguh menolongi aku, kalau aku nanti mati,
aku mati senang...."
"Jangan mengucap terima kasih padaku," kata Oey Yong yang karena jujurnya merasa
jengah sendirinya. "Kau terjebak karena akulah yang mengaturnya, kau tahu?"
"Hus, jangan omong keras-keras!" mencegah Auwyang Kongcu. "Kalau pamanku
mendapat dengar, tidak nanti dia melepaskanmu! Sudah sedari siang-siang aku
dapat mengetahui perbuatanmu ini, tetapi terbinasa di tanganmu, sedikit juga aku
tidak menyesal...." Oey Yong menghela napas, hatinya berpikir; "Meski orang ini menjemukan tetapi
terhadapku dia tidak buruk..." Ia lantas kembali ke bawah pohon, untuk mulai
bekerja. Ia melara, membuatnya sebuah dadung kasar. Ini rupanya belum cukup
kuat, maka empat helai itu ia melaranya pula menjadi satu helai yang besar.
Auwyang Hong bersama Kwee Ceng tidak hentinya memotong babakan pohon, untuk
diambil seratnya, dan si nona pun tak henti-hentinya melara. Semua bekerja cepat
dan sungguh-sungguh. Mereka mesti berlomba sama sair pasang. Air baru saja naik,
tak gampang-gampang lekas surut.
Belum Oey Yong dapat melara kira-kira setombak panjangnya, air sudah naik hingga
dipinggirnya mulutnya Auwyang Kongcu, setelah ia dapat lagi beberapa kaki, air
itu sampai di pinggiran bibir, ya, ke bibir, hingga dilain saat terlihat saja
liang hidungnya si anak muda.
Menampak itu Auwyang Hong lompat turun dari atas pohon.
"Menyingkirlah kamu!" katanya pada Kwee Ceng dan Oey Yong. "Aku hendak bicara
sama keponakanku. Kamu sudah berbuat apa yang kamu bisa, aku mengerti kebaikanmu
ini." Kwee Ceng pun merasa bahwa harapan sudah lenyap, ia lompat turun, dengan jalan
berendeng sama si nona, ia bertindak pergi jauhnya lebih dari sepuluh tombak.
"Mari kita pergi ke belakang batu besar itu, kita mencuri dengar perkataannya,"
bisik Oey Yong si cerdik.
"Urusan toh tidak mengenai kita?" berkata si anak muda. "Laginya si tua bnagka
yang lihay itu tentunya mengetahuinya...."
"Semampusnya keponakannya itu, mungkin dia akan mengganggu suhu," kata Oey Yong.
"Kalau kita ketahui niatnya, dapat kita bersiaga. Umpama kata si tua bangka
beracun itu memergoki kita, kita bilang saja kita kembali untuk mengambil
selamat berpisah dari keponakannya itu..."
Kwee Ceng mengangguk. Ia anggap alasan itu tepat. Bersama-sama mereka lantas
jalan terus, untuk memutar dengan diam-diam, selekasnya mereka tak nampak lagi
oleh Auwyang Hong, lekas-lekas mereka menghampirkan ke arah batu. Tentu sekali
mereka tak sudi memperdengarkan tindakan kaki mereka.
Tepat mereka sampai, mereka dapat mendengar kata-katanya Auwyang Hong: "Kau
pergilah dengan baik, aku mengerti maksud hatimu. Kau berkeinginan mesti nikahi
putrinya Oey Lao Shia sebagai istrimu, pasti aku akan membikin keinginanmu itu
terkabul." Kedua muda-mudi di belakang batu itu heran bukan main.
"Dia bakal segera mampus, cara bagaimana keinginan itu dapat dikabulkan?" mereka
berpikir. "Apakah artinya kata-kata si tua bangka berbisa ini?"
Mereka memasang kuping terlebih jauh, setelah mana mereka jadi kaget dan gusar,
punggung mereka dialirkan peluh dingin. Auwyang Hong itu berkata: "Akan aku
bunuh putrinya Oey Lao Shia ini, nanti aku masuki tubuhnya dalam satu liang
kubur bersamamu! Bukankah semua orang mesti mati" Kau dan dia tak dapat hidup
bersama, tetapi mati dapat dikubur menjadi satu, kau tentu merasa puas juga..."
Mulutnya Auwyang Kongcu telah kerendam air, tidak dapat ia menjawab.
Oey Yong memencet tangannya Kwee Ceng, yang ia tarik, dengan perlahan ia
bertindak. Maka bersama-sama mereka menyingkir dari situ.
Auwyang Hong tengah berduka sangat, ia tidak mendengar suara apa juga.
Tiba di tempat dimana mereka sudah berpisah cukup jauh, Kwee Ceng berkata dengan
sengit. "Yong-jie, lebih baik kita hampirkan si bisa bangkotan itu untuk mengadu
jiwa dengannya!" "Bertempur sama dia, kita melawan dengan kecerdikan, tidak dengan tenaga,"
menyahut si nona tenang. "Bagaimana caranya itu?"
"Aku lagi memikirkannya."
Mereka jalan terus, sampai di tikungan. Di situ si nona melihat gombolan pohon
gelaga. "Jikalau dia tidak jahat dan kejam, aku dapat jalan untuk menolongi keponakannya
itu," berkata Oey Yong.
Kwee Ceng heran. "Bagaimana itu?" dia tanya.
Oey Yong menghampirkan gombolan gelaga itu, ia memotong sebatang, di antaranya
lalu ia angkat itu, dimasuki ke dalam mulutnya, untuk menyedot dan bernapas.
"Bagus!" Kwee Ceng bertepuk tangan. "Oh, Yong-jie yang baik bagaimana kau dapat
memikirkan ini" Bagaimana sekarang, kita menolongi atau jangan?"
Oey Yong memainkan bibirnya.
"Tentu aku tidak sudi menolongi dia!" sahutnya. "Si tua bangka berbisa itu
hendak membunuh aku, biarlah dia coba membunuhnya! Aku tidak takut!"
Kwee Ceng heran, ia berdiam diri.
Si nona mengawasi, lalu ia tarik tangan orang.
"Engko Ceng," katanya halus, "Mustahilkah kau menghendaki aku menolongi manusia
jahat itu" Adakah kau berkhawatir untuk keselamatanku" Jikalau kita menolongi
dia, belum tentu dua manusia jahat itu dapat berbauta baik kepada kita..."
"Memang kau benar," berkata Kwee Ceng. "Memang aku memikirkan kau dan suhu. Aku
pikir si tua bangka berbisa ada satu pemimpin partai, mestinya perkataannya
dapat dipercaya juga..."
Oey Yong mengambil keputusan dengan cepat.
"Baik, marilah kita menolongi dia!" katanya. "Habis itu, kita lihat saja nanti.
Kita boleh jalan setindak demi setindak."
Keduanya lantas jalan balik, mereka putarkan batu raksasa itu.
Sekarang Auwyang Hong berdiri di dalam air, sebelah tangannya memegangi
keponakannya. Ia melihat dua orang muda itu menghampirkan, matanya lantas
bersinar, sikapnya mengancam.
"Aku menyuruh kamu pergi, buat apa kamu kembali"!" tanyanya bengis.
Oey Yong menghampirkan sepotong batu, di situ ia berduduk.
"Aku datang untuk melihat dia sudah mampus atau belum?" ia menyahut sembari
tertawa geli. "Habis kalau mati bagaimana, kalau hidup bagaimana"!" tanya See Tok, tetap
bengis, panas hatinya. Si nona menghela napas. "Kalau ia sudah mati, sayang, tidak ada daya lagi..." sahutnya.
Auwyang Hong heran, hingga ia berjingkrak.
"Oh, nona yang baik," serunya. "Dia...dia masih belum mati! Benarkah kau ada
punyai daya" Lekas bicara!"
Oey Yong menyodorkan batang gelaganya.
"Kau masuki ini ke dalam mulutnya, dia tentu tidak mati," sahutnya enteng.
Auwyang Hong girang, ia menyambuti, ia lompat pula kepada keponakannya. Dengan
cepat ia masuki batang gelaga itu ke dalam mulut keponakannya itu, hingga batang
itu merupakan semacam pipa.
Keadaannya Auwyang Kongcu sedang hebatnya, tetapi ia masih dapat mendengar
pembicaraan di antara si nona dan pamannya itu, begitu pipa dimasuki ke dalam
mulutnya, ia telan air yang terakhir di mulutnya itu, lalu ia dapat bernapas
seperti biasa. Ia girang hingga sesaat ia melupakan kakinya yang sakit.
"Lekas!" berseru Auwyang Hong. "Lekas kita melanjuti membuat dadung itu!"
"Paman Auwyang," berkata si nona, sebelum ia menyambut ajakan itu, bukankah kau
memikir untuk membunuh aku untuk dikorbankan untuk keponakanmu itu?"
See Tok melengak. "Kenapa ia dengar pembicaraanku barusan?" pikirnya.
Oey Yong masih tertawa, ia berkata pula: "Kau hendak membunuh aku, kalau
maksudmu kesampaian, habis itu Thian sangat membenci kejahatanmu itu, kepada kau
diturunkan sesuatu malapetaka, siapakah nanti yang menolongi kamu?"
Auwyang Hong sangat membutuhkan bantuan orang, ia tidak mengambil peduli
gangguan itu, dengan berlagak tuli dengkak, ia lari ke darat, ke bawah pohon
untuk mulai lagi memotongi babakan pohon.
Si nona tidak mengganggu terlebih jauh, ia pun mengajak Kwee Ceng untuk bekerja
pula. Mereka sama-sama melara setelah babakan didapat cukup banyak.
Masih kira-kira satu jam melara beberapa kali, ia menghampirkan dadung, baru
mereka berhasil merampungkan sehelai dadung yang panjangnya tiga puluh tombak
lebih. Sementara itu kepalanya Auwyang Kongcu sudah mulai kerendam air, hingga
tampak tinggal pipa gelaga itu.
Auwyang Hong berkhawatir, beberapa kali ia menyam pirkan, untuk memeriksa nadi
keponakannya itu. Untuk kelegaan hatinya, nadi itu tetap berjalan baik. Ia pun
menjadi terlebih lega telah sesaat kemudian ternyata, air pasang sudah tiba
saatnya untuk surut pula, maka dilain detik, kepalanya si anak muda mulai
tertampak pula. "Cukuplah sudah!" terdengar suaranya Oey Yong keras habis ia mengulur-ulur
dadung buatannya itu. "Sekarang aku membutuhkan tiga batang kayu besar untuk
dipakai sebagai alat putaran."
Auwyang Hong bersangsi. Mereka tidak mempunyai kampak atau golok, bagaimana
mereka bisa mendapatkan potongan-potongan kayu yang dibutuhkan itu"
"Bagaimana itu harus dibuatnya?" ia menanya.
"Kau tak usah ambil tahu caranya, kau cari kayunya saja!" membentak si nona.
See Tok berkhawatir juga nona itu benar-benar murka dan nantinya tidak sudi
membantu terlebih jauh, lantas ia pergi menghampirkan pepohonan. Ia pilih yang
batangnya tidak terlalu besar, ia berjongkok di situ, ia pegang pohon dengan
kedua tangannya, lalu sambil mengerahkan tenaga dari Kuntauw Kodok, ia coba
mendorong pohon itu. Nyata ia berhasil! Maka ia lantas bekerja terus, merobohkan
semuanya tiga buah pohon.
Kwee Ceng dan Oey Yong mengulurkan lidahnya menyaksikan tenaga orang yang besar
itu. Auwyang Hong masih bekerja. Ia mencari sebuah batu besar dan lancip, ia
menggunainya untuk membabat berulang-ulang, memutuskan semua cabang kecil dari
ketiga batang pohon itu, setelah semuanya merupakan sebagai potongan balok,
terus ia menyerahkan itu kepada si nona.
Oey Yong dan Kwee Ceng menyambuti.
"Begini," kata si nona kepada kawannya. Ia pun lantas bekerja.
Kwee Ceng membantui tanpa banyak omong.
Oey Yong mengikat ketiga batang balok itu satu kepada lain, ia mengikat erat-
erat, ia meninggalkan tiga ujung yang panjang. Kemudian selebihnya dadung ia
bawa ke batu besar itu, untuk melibatnya dibagian tengahnya, lalu ujung itu
diikat kepada balok-balok yang sudah dipasang dan terikat rapi itu.
Ketiga potong balok itu diikat di seputarnya sebuah pohon cemara tua yang besar
sekali, yang tumbuh di sebelah kanan batu raksasa itu. Besarnya pohon mungkin
tak terpeluk lima atau enam orang.
"Bukankah pohon cemara tua ini dapat melayani batu besar itu?" kemudian si nona
tanya si Bisa dari Barat.
Auwyang Hong mengangguk. Sekarang ia mengerti sudah maksudnya nona itu.
Tapi Oey Yong masih kurang puas, ia menyuruh si tua bangka berbisa membuat lagi
dadung yang terlebih kecil, untuk dipakai itu mengikat lebih jauh ketiga
potongan balok itu, supaya kekuatannya bertambah.
"Nona yang baik, kau sungguh cerdik!" akhirnya See Tok memuji. "Inilah yang
dibilang keluarga pintar luar biasa, - ada ayahnya, ada putrinya!"
"Tapi mana aku dapat menandingi keponakanmu itu?" berkata Oey Yong tertawa. "ah,
marilah kita mulai menarik memutar!"
Auwyang Hong menurut, begitu juga dengan Kwee Ceng, maka setelah memegang
masing-masing ujungnya ketiga balok itu, mereka lantas saja menolak dengan
mengeluarkan tenaga mereka. Perlahan tetapi tentu, batu itu bergerak berkisar
sedikit. Sementara itu dengan lewatnya sang waktu - matahari sudah doyong ke darat - air
pun telah surut habis, hingga sekarang Auwyang Kongcu terlihat duduk mendeprok
di tanah yang merupakan lumpur berpasir. Ia mendelong mengawasi batu besar itu,
yang bergeraknya sangat ayal, nampaknya ia bergelisah dan bergirang......


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab 44. Ilmu yang sejati dan yang palsu
Bab ke-44 cersil Memanah Burung Rajawali.
Batang pohon cemara tua dan besar itu bagaikan dilindas balok-balok itu, yang
berputar di sekitarnya berputar tak hentinya. Dengan babakan runtuh, batang itu
menjadi terlebih licin dan berputarnya balok-balok tak seberat semula.
Auwyang Hong tidak percaya Thian, malaikat atau iblis, tetapi sekarang diam-diam
ia memuji supaya mereka diberikan tambahan tenaga, supaya batu raksasa itu dapat
terangkat cukup tinggi hingga kedua kaki keponakannya tak tertindih lebih lama
lagi. Asal batu itu dapat terangkat, Auwyang Kongcu bisa diangkat untuk
disingkirkan. Tengah mereka mendorong mendadak terdengar satu suara keras dan nyaring, hingga
ketiganya kaget dan lompat minggir. Nyata dadung di tengah terputus, maka dengan
sendirinya batu besar itu balik pada kedudukannya yang lama. Mereka sendiri,
apabila mereka tidak berlompat pasti terkena balok-balok itu.
Auwyang Hong menjadi sangat lesu, air mukanya tak enak dilihat.
Oey Yong pun masgul bukan main. Inilah ia tak sangka.
"Marilah kita membikin lagi dadung yang terlebih kasar," kata Kwee Ceng
kemudian. Ia tidak melihat lain jalan. "Kita memakai dua rangkap."
Auwyang Hong menggeleng kepala.
"Sulit," katanya. "Kita bertiga tidak berdaya...."
"Kalau saja ada yang membantui...." Kwee Ceng berkata sambil ngelamun.
Mendengar itu, Oey Yong melengak, lalu mendadak ia berjingkrak seraya menepuk-
nepuk tangan. "Akur! Akur!" serunya. "Ada orang yang membantu....!"
Kwee Ceng heran, ia girang.
"Yong-jie," katanya, "Benarkah ada orang yang membantui?"
"Ah, sayang engko Auwyang mesti menderita lagi satu hari..." berkata si nona. "Ia
mesti menanti sampai besok diwaktu air pasang barulah ia lolos dari
penderitaannya ini...."
Auwyang Hong heran begitu pun Kwee Ceng. Keduanya mengawasi nona itu. Mereka
berpikir hingga di dalam hatinya mereka menanya: "Mustahilkah besok di waktu air
pasang ada orang yang datang membantu?"
Oey Yong tidak memperdulikan mereka itu.
"Setelah bekerja keras seharian, aku lapar!" katanya, tertawa. "Mari kita
mencari makanan dulu baru kita bicara pula."
"Nona," akhirnya Auwyang Hong menanya, " Kau bilang besok bakal ada orang datang
membantu, apakah artinya pembilanganmu itu?"
"Besok pada waktu begini, batu yang menindih tubuh saudara Auwyang bakal
disingkirkan," menyahut si nona. "Inilah ada rahasia alam, tak dapat aku
membocorkannya...." Melihat orang bicara secara demikian sungguh-sungguh, Auwyang Hong menjadi
separuh percaya dan separuh tidak. Pula, ia tidak mempercayai, ia pun tidak
mempunyai daya lain. Maka terpaksa ia berdiam saja menemani keponakannya itu.
Oey Yong bersama Kwee Ceng sudah lantas pergi memburu beberapa ekor kelinci,
yang seekor mereka matangi, untuk dibagi kepada Auwyang Hong dan keponakannya
itu. Mereka sendiri berdahar bertiga bersama Ang Cit Kong di dalam gua. Sembari
berdahar mereka dapat ketika pasang omong tentang segala kejadian sejak mereka
berpisahan. Si pemuda girang sekali mendapat penjelasan bahwa Auwyang Kongcu
roboh karena jebakan si nona.
Kemudian malam itu ketiganya tidur nyenyak. Mereka percaya Auwyang Hong tidak
bakal datang mengganggu sebab See Tok mengharap-harapkan sangat bantuan mereka
guna menolongi keponakannya itu. Mereka menyalakan api ungun di mulut gua untuk
mencegah masuknya binatang liar.
Besoknya fajar, baru Kwee Ceng membuka matanya, ia dapat melihat satu bayangan
orang berkelebat di muka gua. Ketika ia berlompat bangun, ia mendapatkan Auwyang
Hong. "Apakah nona Oey sudah bangun?" menanya Auwyang Hong perlahan.
Oey Yong mendusin, selagi Kwee Ceng berlompat bangun, kapan ia dengar suaranya
musuh ia pejamkan pula matanya dan menperdengarkan gerosan napasnya untuk
berpura-pura tidur nyenyak.
"Belum," Kwee Ceng menyahut, perlahan. "Ada apa?"
"Kalau sebentar dia sudah bangun, minta dia datang untuk menolongi orang,"
menyahuti See tOk. "Baik," menjawab Kwee Ceng.
Dari dalam, Cit Kong menyambar: "Aku telah kasih dia minum arak yang wangi
bernama Mabok Seratus Hari di dalam tempo tiga bulan mungkin dia tak akan
mendusin...!" Auwyang Hong melengak justru mana Pak Kay tertawa terbahak-bahak, maka taulah
bahwa ia tengah digoda. Ia mendongkol bukan main tetapi ia ngeloyor pergi.
Oey Yong melompat bangun, ia pun tertawa.
"Kalau bukan sekarang kita goda dia, kita hendak tunggu kapan lagi?" katanya.
Dengann ayal-ayalan nona itu menyisir rambutnya dan merapikan pakaiannya, habis
mana ia membawa joran untuk pergi memancing ikan, untuk memburu kelinci, yang
semuanya dimatangi untuk mereka sarapan pagi.
Selama itu Auwyang Hong telah datang tujuh atau depalan kali, ia bergelisah
seperti semut di atas kuali panas.
"Yong-jie," menanya Kwee Ceng, "Benarkah sebentar diwaktu air pasang bakal
datang orang membantui kita?"
"Kau percayakah bakal datang pembantu?" si nona balik menanya, tertawa.
"Aku tidak percaya." sahut si anak muda.
"Aku juga tidak percaya!" Dan si nona tertawan pula.
Kwee Ceng tercengang. "Jadinya kau sengaja mempermainkan si tua bangka berbisa itu?"
"Bukan seluruhnya aku mendustai dia," sahut si nona. "Diwaktu air pasang, aku
ada mempunyai daya untuk menolongi keponakannya itu."
Kwee Ceng tahu kekasihnya cerdik sekali, ia tidak menanya lebih jauh.
Oey Yong lantas ajak pemuda itu pergi ke pinggir laut untuk encari pelbagai
macam batok kerang. Nona Oey tidak mempunyai kawan semenjak kecil, ia biasa main-main seorang diri,
sekarang ia mendapat Kwee Ceng sebagai teman, ia gembira bukan main. Begitulah
diajakinya pemuda itu berlomba mendapati banyak lokan dan ynag bagus-bagus juga.
Dalam tempo yang pendek, mereka mendapatkan banyak, saking gembira, saban-saban
terdengar suara tertawa mereka. Sesaat itu mereka seperti lupa bahwa mereka
berada di pulau kosong di mana jiwa mereka terancam bahaya maut.........
"Eh, engko Ceng, rambutmu kusut, mari aku tolong sisirkan," kata si nona
kemudian. Kwee Ceng menurut, maka itu mereka duduk berduaan. Dari sakunya, Oey Yong
mengeluarkan sisirnya yang terbuat dari batu giok bersalut emas. Ia membuka
rambut orang dan menyisirnya dengan perlahan-lahan.
"Bagaimana dayanya untuk mengusir See Tok dan keponakannya itu?" ia bertanya
sambil tangannya bekerja. "Kalau mereka itu sudah tidak ada, kita bertiga dapat
berdiam dengan aman di sini. Tidakkah itu bagus?"
"Tapi aku memikirkan ibuku serta enam guruku," menyahut Kwee Ceng.
"Ah, ya, masih ada ayahku juga..." menambah si nona. Ia berhenti sebentar, lalu ia
berkata pula: "Entah bagaimana dengan enci Bok sekarang..... Suhu telah menyuruh
aku menjadi Pangcu dari Kay Pang, karena itu aku pun jadi memikirkan itu kawanan
pengemis............."
Kwee Ceng tertawa. "Maka itu aku pikir lebih baik kita pikirkan daya untuk berlalu dari sini...."
katanya. Oey Yong sudah selesai menyisiri, lalu ia mengondekan rambut pemuda itu.
"Yong-jie, kau menyisiri rambutku, kau mirip ibuku," kata Kwee Ceng.
"Kalau begitu, panggilah aku ibu!" Oey Yong tertawa.
Si anak muda diam saja, lantas si nona mengitik dia.
"Kau memanggil atau tidak?" nona itu pun menanya.
Kwee Ceng kaget kegelian, ia berjingkrak bangun, maka kacaulah pula kondenya.
"Kau tidak mau memanggil, ya sudah saja!" berkata Oey Yong tertawa. "Memang
siapa yang sangat menginginkan itu" Kau tahu, di belakang hari tentu bakal ada
orang yang memanggil ibu kepadaku. Nah, kau duduklah!"
Kwee Cengb erduduk pula, untuk si nona mengondekan pula rambutnya.
"Engko Ceng," si nona menanya pula, "Bagaimana tentang melahirkan anak. Tahukah
kau?" "Tahu." "Coba bilang." "Orang menikah menjadi suami istri, itu artinya mendapat anak."
"Hal itu pun aku tahu. Hanya bagaimana sebenarnya?"
"Sampai sebegitu jauh, aku tidak tahu. Cobalah kau bilang."
"Aku juga tidak tahu. Pernah aku tanya ayah, ayah bilang...."
Kwee Ceng hendak menanya jelas ketika mereka mendadak mendengar suara seperti
cecer pecah di belakang mereka: "Urusan mendapat anak itu nanti juga kamu
mendapat tahu sendiri! Sekarang air pasang mau naik pula!"
Keduanya terkejut. Mereka tidak menyangka Auwyang Hong - orang yang membuka
suara nyaring itu - telah tahu-tahu berada di antara mereka. Muka Oey Yong pun
menjadi merah. Kwee Ceng menyusul kawannya itu.
Auwyang Kongcu tertindih batu sehari semalam, ia payah bukan main.
"Nona Oey,!" berkata Auwyang Hong, suaranya keren. Ia pun menyusul mereka ini.
"Kau yang bilang diwaktu air pasang bakal ada orang datang membantu kita. Urusan
ini mengenai jiwa manusia, bukannya urusan main-main!"
"Ayahku pandai ilmu meramalkan, putrinya pasti mengerti juga ilmu itu tiga
bagian," menyahut si nona. "Apakah artinya baru ilmu meramalkan?"
Auwyang Hong memang ketahui baik kepandaiannya Oey Yok Su.
"Jadinya ayahmu yang bakal datang?" dia menegaskan. "Bagus!"
"Hm!" si nona mendengarkan suara tawar. "Untuk urusan remeh ini kenapa aku mesti
sampai mengganggu ayahku" Laginya, jikalau ayah dapat melihatmu, mana dia sudi
mengasih ampun" Apakah yang kau buat girang?"
Disenggapi begitu, Auwyang Hong bungkam.
"Engko Ceng," berkata si nona, tanpa menggubris pula See Tok, "Coba kau tolong
mencari bongkot pohon, semakin banyak semakin bagus. Pula pilihlah yang besar-
besar." Si anak muda bersedia untuk bekerja, ia lantas pergi. Oey Yong lantas bekerja,
melara dadung dan menyambung yang putus kemarin.
Auwyang Hong tidak dapat berdiri diam saja, ia tanya nona itu apa benar Oey Yok
Su bakal datang. Sia-sia belaka ia menanya sampai beberapa kali, Oey Yong ganda
ia dengan bernyanyi-nyanyi perlahan, tangannya terus bekerja. Karenanya ia
terpaksa ngeloyor pergi, untuk membantui Kwee Ceng mencari balok. Ia dapat
melihat Kwee Ceng merobohkan pohon dengan serangan Hang Liong Sip-pat Ciang,
dengan dua kali hajaran saja dia dapat mematahkan batang sebesar mangkok.
"Hebat bocah ini," memikir See Tok. "Dia pun hapal Kiu Im Cin-keng, kalau dia
terus dikasih tinggal hidup, di belakang hari dia bakal menjadi bahaya untuk
pihakku..." Maka berpikirlah ia, keponakannya ketolongan atau tidak, pemuda ini
harus disingkirkan. Habis itu ia bekerja, ia membuatnya Kwee Ceng heran dan
kagum. Ia berdiri di antara dua pohon, begitu ia menggeraki tangannya kedua
pihak, dua-dua pohon itu roboh patah dengan berbareng.
"Paman Auwyang," Kwee Ceng menanya, "Sampai kapan aku dapat mencapai ilmu
seperti ynag dipunyakan kau ini?"
Wajah Auwyang Hong bermuram durja, di dalam hatinya, ia kata: "Tunggu sampai kau
menitis pula..." Ia tidak memberikan jawaban pada pemuda itu.
Setelah memperoleh belasan potong balok, Kwee Ceng dan See Tok membawa itu semua
kepada Oey Yongn. Matanya See Tok kemudian diarahkan ke tengah laut. Ia mau
melihat ada perahu datang atau tidak. Ketika itu air mulai naik. Terang sekali
ia sudah tidak sabaran sekali, maka juga ia mengajak si nona dan pemuda lekas
bekerja. Kali ini Oey Yong mengikat potongan-potongan balok itu kepada batu. Ia pakai
balok-balok itu untuk meminjam tenaga mengambangnya. Setelah itu, dengan dadung
yang terikat rapi pula pada pohon besar, mereka mulai lagi dengan usahanya
mendorong mutar ujung-ujung balok yang diikat pada pohon itu.
Percobaan si nona ini memberi hasil yang menyenangkan, dengan dibantu tenaga
mengambangnya balok-balok itu, batu besar itu dapat terangkat hanya dengan
beberapa putaran. Auwyang Hong menyuruh muda-mudi itu menahan kuat-kuat, ia sendiri lari ke batu.
Air telah pasang dalam, maka untuk menolongi keponakannya, ia mesti menahan
napas untuk selulup. Tidak sukar untuknya memondong Auwyang Kongcu, buat dibawa
ke darat. Kegirangannya Kwee Ceng tidak terhingga besarnya yang pertolongan mereka itu
telah berhasil, tanpa merasa ia bersorak-sorai, kemudian ia tarik tangannya Oey
Yong, untuk diseret berlari-lari ke gua mereka tanpa memperdulikan pula itu
paman dan keponakannya. "Adik Yong, pantas atau tidak aku bersorak?" tanya Kwee Ceng. "Hatimu lega atau
tidak?" "Aku hanya lagi memikirkan tiga soal yang aku merasakan kesulitannya," menyahut
si nona. "Kau sangat cerdas, kau pasti mempunyai dayanya," berkata pula Kwee Ceng. "Soal-
soal apakah itu?" Oey Yong menyebut-nyebut kesulitan tetapi ditanya begitu, ia bersenyum. Hanya,
belum lagi ia memberikan jawabannya atau kedua alisnya telah dikerutkan.
"Soal yang pertama tidak apa," berkata Ang Cit Kong yang semenjak tadi berdiam
saja. "Yang kedua dan yang ketiga memang sulit sekali, sungguh itu dapat membuat
orang tidak berdaya......."
Kwee Ceng menjadi heran. "Eh, mengapakah suhu mendapat tahu?" katanya. "Apakah itu?"
"Aku dapat menerka pikirannya Yong-jie," menyahut sang guru. "Yang pertama-tama
yaitu dengan cara bagaimana dia dapat mengobati lukaku. Di sini tak ada tabib,
tak ada obat, aku si pengemis tua menyerah saja kepada takdir. Lihat saja, aku
bakal mati atau bisa hidup terus... Yang kedua itu ialah bagaimana caranya untuk
melawan Auwyang Hong si licin dan berbisa itu. Dia suka berbalik pikir, maka dia
tak lah dapat dipercaya habis segala pembilangannya. Dia sangat lihay, kamu
berdua tidak nanti bisa menempur padanya. Yang ketiga ialah soal bagaimana kita
bisa dapat pulang ke daratan. Benar bukan, Yong-jie?"
Nona itu mengangguk. "Benar!" sahutnya. "Inilah soal sangat penting untuk kita, soal bagaikan bencana
di depan mata. Aku memikir jalan untuk dapat mengendalikan si tua bangka berbisa
itu, walaupun tidak sempurna, asal dia dapat dibikin tidak berani memandang
sebelah mata kepada kita."
"Melihat keadaan, sekarang ini kita mesti melawan si bisa bangkotan itu dengan
otak bukannya dengan tenaga," berkata Ang Cit Kong. "Hanya dia sangat cerdik dan
licin, inilah kesulitannya. Sukar dia dapat diperdayakan..."
Oey Yong berdiam, ia berpikir. Kwee Ceng pun tidak berdaya.
Ang Cit Kong berpikir keras sekali, ia merasakan dadanya sakit, karen aitu ia
lalu batuk-batuk. Nona Oey kaget, lekas-lekas ia pegangi guru itu, untuk dikasih rebah.
Disaat itu, mendadak gua menjadi gelap, ada bayangan hitam yang mengalinginya.
Si nonalah yang paling dulu mengangkat kepalanya. Ia melihat Auwyang Hng berdiri
tegar seraya memondong keponakannya. Dengan suara serak tetapi bengis, See Tok
membentak: "Kamu semua keluar! Serahkan gua ini padaku untuk aku merawat
keponakanku!" Kwee Ceng gusar hingga ia berlompat bangun.
"Di sini ada guruku!" ia berseru.
Auwyang Hong mengasih dengar suara dingin: "Sekalipun Giok Hong Taytee yang
tinggal disini, dia juga mesti keluar!"
Kwee Ceng bertambah gusar, tetapi Oey Yong lekas menarik tangan bajunya,
kemudian si nona memondong tubuh gurunya, untuk dibawa keluar dari gua itu.
Selagi lewat di samping Auwyang Hong, Cit Kong menyeringai.
"Sungguh gagah, sungguh angker!" ia menyindir.
Matanya Auwyang Hong mencilak. Kalau ia menyerang, segera Ang Cit Kong akan
terbinasa, entah kenapa ia merasakan suatu pengaruh aneh, maka lekas-lekas ia
berpaling ke arah lain, untuk menyingkir dari mata tajam si pengemis. Walaupun
begitu, mulutnya membilang: "Sebentar kamu membawakan barang makanan untuk kami
berdua. Dan kau, dua makhluk cilik, jikalau kamu main gila dengan barang makanan
itu, hati-hati jiwamu bertiga!"
Ketiganya berjalan terus, hati mereka panas. Kwee Ceng sangat mendongkol, ia
mengutuk tak hentinya. Pak Kay dapat menutup mulut, demikian juga Oey Yong.
Hanya nona ini bekerja otaknya.
"Kamu tunggu sebentar di sini, akan aku mencari tempat yang baru," kata Kwee
Ceng kemudian. Oey Yong menurut, ia berhenti di bawah sebuah pohon yang teduh.
Di atas pohon itu ada dua ekor bajing tengah berlari-lari di cabang-cabang, lari
turun naik, matanya mengawasi kepada ketiga orang itu. Berani mereka itu, mereka
berani datang dekat kira-kira tiga kaki.
Oey Yong tertarik kepada kedua bajing itu.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seekor bajing berani sekali, dia datang dekat dan mencium-cium nona itu.
Kawannya lebih berani pula, dia turun dan merayap di ujung bajunya Ang Cit Kong!
Oey Yong menghela napas, ia berkata: "Terang sudah di sini tak pernah ada
manusia. Lihat, binatang ini tidak takut orang."
Mendengar suara orang, bajing itu lari naik ke atas.
Oey Yong mengawasi, maka ia dapat melihat banyak cabang-cabang pohon yang besar,
yang terlibat-libat oyot otan. Daun pohon itu pun lebat sekali.
"Sudah engko Ceng, tak usah kau pergi mencari tempat lagi," berkata nona ini.
"Mari kita naik saja ke atas pohon ini."
Kwee Ceng sudah ebrtindak ketika ia mendengar suara si nona. Ia mengangkat
kepalanya, untuk melihat ke atas. Benar-benar ia mendapatkan sebuah tempat
perlindungan. Sampai disitu keduanya naik ke atas pohon itu. Mereka menekan cabang-cabang,
mereka pun membuat palangan, hingga di situ terdapat ruangan seperti lauwteng,
di mana orang bisa duduk atau rebah. Setelah selesai, mereka turun untuk
mengangkat Ang Cit Kong naik ke atas. Mereka tak usah manjat lagi, cukup dengan
mereka mendukung guru itu di kiri dan kanan, dengan berbareng mereka mengenjot
tubuh untuk berlompat ke atas. Maka dilain saat, Pak Kay sudah dapat dipernahkan
dengan baik. "Untuk sementara kita berdiam di atas pohon ini bagaikan burung!" berkata si
nona tertawa. "Biarlah mereka itu berdiam di dalam gua bagai binatang-binatang
berkaki empat!" "Bilang Yong-jie, kau hendak memberikan makanan atau tidak kepada mereka?" Kwee
Ceng tanya. "Sekarang ini kita belum mendapat jalan, kita pun tidak dapat melawan pada si
tua bangka berbisa itu," menyahut si nona, "Maka untuk sementara baik kita
menurut saja..." Kwee Ceng berdiam. Ia mendongkol berbareng masgul sekali.
Oey Yong mengajaki pemuda itu pergi ke belakang bukit, untuk berburu. Mereka
berhasil merobohkan seekor kambing gunung, yang mereka terus sembelih, dijadikan
dua potong. Mereka menyalakan api untuk membakarnya.
Setelah dibakar matang, Oey Yong lemparkan yang separuh ke tanah.
"Kau kencingin!" ia kata pada Kwee Ceng.
Si anak muda tertawa. "Ah, dia tentu mendapat tahu nanti..."
"Jangan kau pedulikan! Kau kencinginlah!" berkata si nona.
Mukanya Kwee Ceng menjadi merah.
"Aku tidak bisa...." sahutnya.
"Kenapakah?" "Sekarang aku belim ingin membuang air kecil..."
Mendengar itu si nona tertawa terpingkal-pingkal.
Tiba-tiba terdengar suaranya Ang Cit Kong di atas pohon.
"Kau lemparkan ke atas, nanti aku yang kerjakan!" kata si tua bangkotan yang
jenaka itu. Kwee Ceng tertawa, ia berlompat naik dengan daging kambing itu.
Pak Kay sudah lantas membuktikan perkataannya itu.
Sembari tertawa Kwee Ceng lompat turun pula, terus ia bertindak ke arah gua.
"Tunggu dulu!" Oey Yong mencegah. "Mari itu yang sepotong lagi!"
"Apa" Yang bersih?" tanya si anak muda. Ia menggaruk-garuk kepalanya saking
heran. "Benar!" menyahut si nona. "Kita berikan si tua bangka yang bersih..."
Walaupun ia ada sangat tidak mengerti, Kwee Ceng toh berbuat seperti katanya si
nona yang ia sangat percayai itu. Ia menukar daging bersih dengan daging yang
telah diberi air kencing itu.
Oey Yong memanggang pula daging yang kotor itu, kemudian ia pergi mencari
bebuahan. Juga Ang Cit Kong tidak mengerti perbuatannya si murid, ia menjadi heran
berbareng masgul. Oey Yong memanggang daging hingga menyiarkan baunya yang lezat, yang
membangkitkan nafsu berdahar. Demikian Auwyang Hong di dalam guanya, hidungnya
dapat mencium bau itu, lekas-lekas ia keluar, setibanya di mulut gua, tidak
menanti Kwee Ceng - yang membawakan daging - dekat padanya, ia sudah memburu
untuk menyambuti separuh dirampas.
Hebat nafsu dahar dari See Tok ini tetapi mendadak air mukanya berubah.
"Mana yang sebelah lagi?" mendadak ia bertanya.
Si anak muda tidak menjawab dengan mulutnya, ia cuma menunjuk ke belakang.
Tanpa membilang suatu apa, Auwyang Hong bertindak cepat ke bawah pohon di sana
ia sambar daging kambing yang sebelahnya itu, sedang yang berada di tangannya ia lemparkan ke
tanah. Tetap dengan tidak membilang suatu apa, kecuali ketawa dingin, ia memutar
tubuhnya akan kembali ke guanya.
Kwee Ceng cepat-cepat berpaling ke arah lain, kalau tidak, pastilah akan
terlihat wajahnya yang menahan tertawa. Ia anggap lucu sekali perbuatannya
Auwyang Hong itu, yang telah terjebak Oey Yong. Baru setelah orang pergi jauh,
ia lari kepada Oey Yong, wajahnya tersungging senyum.
"Yong-jie!" katanya tertawa, "Kenapa kau ketahui dia bakal menurkarnya?"
Si nona itu pun tertawa. "Bukannya ilmu perang ada membilang," menyahut si noa, "Bahwa yang kosong itu
berisi, dan yang berisi ialah kosong" Si tua bangka berbisa itu pasti menduga
kita menaruhkan racun di daging yang kita berikan padanya, dia tak sudi kena
diakali, tetapi aku, aku justru menghendaki dia terpedaya!"
"Hebat!" memuji si anak muda, yang terus membeset daging itu, untuk dibawa naik
ke ranggon pohonnya yang istimewa, untuk menyuguhkan kepada gurunya, kemudian
bersama si nona ia pun turut dahar.
Auwyang Hong dan keponakannya dahar daging panggang itu dengan bernafsu. See Tok
merasakan bau engas, ia menyangka daging itu memang demikian bau asalnya, ia
menangsal terus. Bertiga Oey Yong berhadar dengan hati mereka riang gembira.
"Yong-jie," berkata Kwee Ceng kemudian. "Akalmu ini bagus tetapi berbahaya..."
"Mengapa?" tanya si nona.
"Umpama kata si tua bangka berbisa tidak menukar, bukankah kita bakal makan
daging yang kotor dan bau itu?"
Oey Yong tertawa terpingkal-pingkal, hingga tubuhnya miring dan jatuh ke tanah,
tetapi ia dapat jatuh berdiri, maka dilain detik ia sudah berada di atas pula.
"Benar, benar, memang berbahaya sekali!" katanya.
Ang Cit Kong bersenyum, tetapi ia menghela napas ketika ia berkata: "Anak-anak
yang tolol, kalau benar dia tidak menukarnya, apakah kamu tidak dapat makan
daging bau pesing itu?"
Kwee Ceng melengak, lalu ia tertawa hingga ia pun terguling-guling dari tempat
duduknya, jatuh ke tanah seperti si nona tadi.
Setelah sang gelap petang datang, Auwyang Kongcu merintih karena rasa nyerinya,
sedang Auwyang Hong pergi ke bawah pohon.
"Budak kecil, kau turun!" ia memanggil Oey Yong, suaranya bengis.
Si nona terkejut. Ia tidak menyangka orang datang demikian lekas.
"Mau apa"!" ia terpaksa menyahuti.
"Keponakanku menghendaki air the, pergi kau melayani dia!" menitah See Tok.
Kaget ketiga orang di atas pohon itu, berbareng dengan itu, panas hari mereka.
"Lekas!" terdengar pula suara Auwyang Hong. "Kau mau tunggu apa lagi"!"
"Mari kita mengadu jiwa dengannya!" berkata Kwee Ceng perlahan.
"Lebih baik kamu berdua kabur ke belakang gunung," Ang Cit Kong bilang. "Jangan
kau pedulikan aku lagi..."
Dua-dua jalan itu, mengadu jiwa dan merat, telah dipikirkan Oey Yong. Dua-dua
jalan itu pasti akan mengakibatkan kebinasaannya Ang Cit Kkong. Inilah ia tidak
menginginkannya. Maka akhirnya ia pikir baik mereka mengalah saja. demikian ia
lompat turun. "Baiklah, nanti aku lihat lukanya!" ia kata.
"Hm!" See Tok mengasih dengar suaranya yang dingin. "Eh, bocah she Kwee, kau
juga turun!" ia menambahkan, membentak. "Apakah kau ingin enak-enak tidur
nyenyak"! Bagus betul!"
Dengan menahan sabar sebisanya, Kwee Ceng berloncat turun.
"Malam ini kau mesti menyediakan untukku seratus potong balok yang besar,"
menitah si Bisa dari Barat, "Kalau kurang sepotong saja, kakikmu sebelah akan
kuhajar patah! Kalau kurang dua, dua-duanya kakimu patah semua!"
"Buat apa balok itu"!" Oey Yng tanya. "Laginya malam gelap buta rata seperti
ini, cara bagaimana orang mencarinya dan mengerjakannya"!"
"Budak cilik, kau banyak bacot! Lekas kau rawati keponakanku! Ada apa
hubungannya kau dengan urusan si bocah cilik ini" Pergi kau, kalau kau main
gila, siksaan akan menjadi bagianmu!" Ia mengancam pada Kwee Ceng.
Oey Yong memberi tanda kepada si anak muda untuk bersabar, lantas ia bertindak
pergi, diikuti si Bisa dari Barat.
Kwee Ceng mengawasi sampai orang tak terlihat lagi, ia lantas menjatuhkan diri,
berduduk dengan memegangi kepalanya. Ia berpikir keras, gusarnya dan mendongkol
dan berduka juga, hampir air matanya turun mengucur.
Tiba-tiba terdengar suaranya Ang Cit Kong: "Kakekku, ayahku, juga aku semasa
kecilku, kita menderita sangat dari bangsa Kim, kita menjadi budak, maka itu
apakah artinya kesengsaraan seperti ini?"
Kwee Ceng terkejut, ia mendusin.
"Kiranya dulu suhu pernah menjadi budak..." hatinya bekerja. "Siapa sangka
kemudian suhu menjadi stau ahli silat kenamaan dan ketua dari Partai Pengemis!
Kalau sekarang aku bersabar, boleh apakah?"
Karena ini, si anak muda mengambil ketetapannya. Dengan membawa obor kayu
cemara, ia pergi ke gunung belakang. Ia bekerja dengan menggunai pukulan Hang
Liong Sip-pat Ciang, merobohkan pohon-pohon sebesar mulut mangkok yamng besar.
Ia berbesar hati, ia berlaku ulet. Ia percaya betul Oey Yong bakal dapat
meloloskan diri, sebagaimana dulu si nona lolos dari istana Chao Wang.
Ilmu silat Hap Liong Sip-pat Ciang itu memerlukan tenaga besar dan keuletan,
inilah berat untuk Kwee Ceng yang masih muda, yang tenaga dalamnya masih meminta
latihan. Belum sejam lamanya, ia sudah berhasil merobohkan duapuluh satu pohon,
ketika ia menghajar pohon yang keduapuluh dua, ia merasakan tangannya sakit,
maka itu pohon tidak roboh, sebaliknya dadanya sakit pula. Ia terkejut, lekas-
lekas ia duduk bersila, untuk memusatkan semangatnya, untuk meluruskan nafasnya.
Setelah satu jam lamanya ia beristirahat seperti itu, ia berbangkit untuk
memulai dengan pekerjaannya. Pohon itu dapat juga dirobohkan. Tetapi, ketika ia
hendak mulai lagi kali ini ia merasa lemas sekali. Ia mengerti bahwa ia tidak
bisa memaksakan diri, atau ia bakal terluka di dalam. Hanya ia menjadi bingung.
Di pulau kosong ini di mana ia bisa dapat golok atau kampak! Dengan tangan
kosong, bagaimana ia dapat bekerja terus" Ia jadi berkhawatir seklai untuk kedua
kakinya. Ia masih membutuhkan hampir delapanpuluh batang lagi.
"Keponakannya telah patah kedua kakinya," kemudian ia berpikir lebih jauh,
"Karena itu tentulah dia sangat membenci sekali padaku, kalau malam ini aku bisa
menyediakan seratus batang, mungkin lain malam ia akan meminta seribu batang
lagi. Kapan habisnya pekerjaan ini" Dia pun tidak dapat dilawan. Di sini pasti
tidak bakal ada penolong untuk kita..."
Pemuda ini menghela napas, ia berputus asa.
"Taruh kata tempat ini bukan pulau kosong, siapa yang dapat menolongi kita?" ia
ngelamun pula. "Suhu telah runtuh ilmu silatnya, nasibnya belum ketahuan
bagaimana. Ada ayahnya Yong-jie tetapi ia pun sangat membenci padaku. Coan Cit
Cit Cu dan keenam guruku dari Kanglam juga bukan tandingannya See Tok ini.
Tinggallah kakak angkatku, Ciu Pek Thong, tetapi ia pun sudah terjun ke laut di
mana dia membunuh diri..."
Mengingat Ciu Pek Thong, Kwee Ceng jadi bertambah benci dan murka kepada Auwyang
Hong. Ia merasa berkasihan kepada kakak angkatnya itu, yang paham Kiu Im Cin-
keng tetapi yang tidak hendak menggunainya. Kakak itu pun pandai ilmu silat
memecah diri menjadi sebagai dua orang - dua pikirannya. Sayang kepandaian itu
menjadi tidak ada gunanya.
"Ah, Kiu Im Cin-keng! Kepandaian dua tangan kiri dan kanan saling berkelahi
sendiri...." Berpikir sampai di situ, Kwee Ceng seperti melihat bintang terang di langit yang
gelap. "Memang sekarang aku tidak dapat melawan See Tok," demikian ia mendapat pikiran
baru, "Tetapi Kiu Im Cin-keng ada pelajaran istimewa seperti istimewanya cara
berkelahi dengan dua tangan itu. Kenapa aku tidak hendak menyakinkan itu bersama
Yong-jie, menyakinkan terus bersama-sama siang dan malam, sampai tiba saatnya
mengadu jiwa dengan si tua bangka berbisa itu?"
Keras Kwee Ceng berpikir, ia tidak memperoleh kesudahan yang memuaskan.
"Ah, mengapa aku tidak mau menanyakan pikirannya suhu?" kemudian ia ingat lagi.
"Suhu kehilangan kepandaiannya tetapi tidak ingatannya, ia dapat memberi
petunjuk padaku..." Tidak ayal lagi, Kwee Ceng pulang. Di atas pohon, ia utarakan apa yang ia pikir
barusan terhadap gurunya.
Agaknya Ang Cit Kong setujui pikirannya muridnya ini.
"Sekarang coba kau membaca perlaha-lahan bunyinya Kiu Im Cin-keng," berkata sang
guru ini, "Nanti aku lihat ada daya apa yang dapat mempercepat pernyakinanmu....."
Kwee Ceng menurut, ia mulai membaca.
Tempo si anak muda membaca bagian "Orang tahu dengan duduk berdiam dia akan
memperoleh kemajuan, tetapi dia tahu untuk mencapai kemahiran dibutuhkan
keinsyafan, ketenangan dan kecerdasan, tubuh dan pikiran harus bekerja
berbareng. Kita harus bergerak seperti berdiam, walaupun kita dibentur, kita
tetap tenang," mendadak Cit Kong berlompat bangun seraya mulutnya berseru:
"Oh...!" "Kenapa, suhu?" tanya Kwee Ceng heran.
Pak Kay tidak menyahuti, ia hanya terus berpikir. Ia memahamkan artinya kata-
kata dari Kiu Im Cin-keng itu.
"Coba kau mengulangi satu kali lagi," katanya kemudian.
Kwee Ceng girang, ia percaya gurunya ini sudah memperoleh sesuatu ingzan, maka
ia membaca lagi. "Benar," Cit Kong berkata sambil mengangguk-angguk. "Kau melanjuti terus...."
Kwee Ceng menurut, ia menghapal terus-terusan, di dekat akhirnya, ia membaca:
"Mokansukojie pintek kim-coat-ouwsongsu kosannie..."
"Apa kau bilang?" tanya Cit Kong heran. Dia memotong.
"Aku pun tidak tahu artinya," sahut Kwee Ceng. "Ciu Toako tidak menjelaskannya."
"Nah, kau bacalah terus."
Kwee Ceng membaca pula, "Kiatjie-hoatsu katlo..." demikian seterusnya, untuk itu
ia mengeluarkan suara gigi dan lidah.
"Oh, kiranya kitab itu pun memuat mantera menangkap iblis..." berkata Cit Kong
kemudian. Hampir ia meneruskan mengatakannya, "Kiranya si imam busuk gemar main
gila untuk memperdayakan orang..." tetapi ia dapat membatalkan itu. Ia mengerti
Kiu Im Cin-keng mestinya istimewa sekali.
"Anak Ceng," katanya selang sesaat, "Kitab Kiu Im Cin-keng memuat ilmu yang
lihay luar biasa, tak dapat itu dipahamkan hanya semalam dan seharian..."
Kwee Ceng menyesal, ia putus asa.
"Sekarang pergilah lekas kau membuatnya duapuluh batang pohon itu menjadi sebuah
getek," kata Cit Kong. "Daya yang paling utama untukmu ialah menyingkirkan diri.
Aku akan berdiam bersama Yong-jie di sini, aku akan melihat selatan."
"Tidak suhu!" berkata Kwee Ceng. "Mana dapat aku meninggalkan kau..."
"See Tok jeri terhadap Oey Lao Shia, tidak nanti dia mencelakai Yong.jie," Cit
Kong memberi penjelasan. "Aku sendiri, aku sudha tidak berguna lagi...."
Kwee Ceng menjadi panas hatinya dan mendongkol, saking penasaran ia
melampiaskannya dengan menghajar batang pohon di depannya. Hebat serangannya
itu, suaranya sampai terdengar jauh dan berkumandang.
"Eh, anak Ceng," tanya Cit Kong heran. "Barusan kau memukul dengan tipu silat
apa itu?" "Kenapa, suhu?"
"Kau menghajar hebat tetapi batang pohon itu tak bergeming..."
Si anak muda menjadi merah mukanya. Ia mengaku karena kehabisan tenaga, ia tidak
dapat memakai tenaga lagi.
"Bukan, bukannya begitu," kata guru itu. "Pukulan itu ada sedikit aneh. Coba kau
mengulanginya sekali lagi!"
Kwee Ceng tetap heran tetapi ia menurut. Ia menghajar pula. Hebat suara hajaran
itu tetapi tetap pohon itu tidak gempur. Sekarang ia sadar sendirinya. Maka ia
lantas berkata: "Sebenarnya inilah pukulan Kong-beng-kun yang terdiri dari
tujuhpuluh dua jurus yang diajarkan oleh Ciu Toako."
"Kong-beng-kun?" tanya Cit Kong. "Belum pernah aku dengar itu..."
"Kong-beng-kun" ialah pukulan Tangan Kosong. Arti sebenarnya yaitu "kosong
terang". "Selama Ciu Toako dikurung di Tho Hoa To," Kwee Ceng memberi keterangan, "Dia
menganggur tiap hari. Lantas ia menciptakan ilmu pukulannya itu. Dia mengajarkan
aku enambelas huruf yang menjadi rahasia tipu silatnya itu, ialah 'Berhasil
besar seperti pecah, kegunaannya tak buruk, terlalu penuh seperti meletus,
kegunaannya tak habisnya.' Baiklah kalau sekarang muridmu menjalankannya untuk
suhu lihat?"

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sekarang ini malam gelap, tidak dapat aku melihatnya," menyahut sang guru.
"Lagi pula inilah ilmu silat mahir, tidak usah dijalankan lagi. Kau menuturkan
saja untuk aku mendengarnya."
"Kwee Ceng lantas menutur, mulai dari jurus pertama "Mangkok kosong diisi nasi",
jurus kedua "Rumah kosong ditinggali orang", demikian seterusnya. Ia pun
menjelaskan maknanya setiap huruf.
Ciu Pek Thong berandalan dan jenaka, maka jenaka juga namanya semua jurusnya
itu. Ang Cit Kong cerdas sekali, setelah mendengar sampai di jurus kedelapanbelas ia
memegat: "Sudah cukup tidak usah kau menuturkan terlebih jauh. Sekarang kita
dapat menempur See Tok!"
"Dengan menggunai Kong-beng-kun ini?" tanya Kwee Ceng heran. "Aku khawatir aku
belum berlatih mahir."
"Aku ketahui ini tetapi kita mesti mencari kehidupan di antara kematian, kita
harus mencoba menempur bahaya. Bukankah kau membawa pisau belati pengasihnya Khu
Cie Kee?" Kwee Ceng menghunus pisaunya itu, yang di dalam gelap masih berkelebat sinarnya.
"Sekarang kau pergi menebang pohon dengan memakai pisau ini dengan menggunakan
ilmu silat Kong-beng-kun itu," menitah Cit Kong.
Kwee Ceng bersangsi. Pisauny aitu panangnya cuma sekaki lebih dan bagian
tajamnya pun tipis. "Aku mengajarkan kau Hang Liong Sip-pat Ciang," berkata gurunya. "Itulah ilmu
silat pihak Luar, Gwa-kee. Kong-beng-kun sebaliknya ilmu silat pihak Dalam, Lay-
kee. Maka kalau kau gunai kedua ilmu silat itu dengan dirangkap, piasu ini tajam
sehingga dapat memotong emas dan kumala! Apakah artinya baru pohon" Ingat, asal
diwaktu menggunai tenaga kau mengutamakan itu huruf rahasia 'kosong'."
Kwee Ceng lantas saja mengerti, maka lantas ia lompat turun. Ia mencari sebuah
pohon yang besar. Untuk menghajar, ia menggunai tenaga dari Kong-beng-kun,
tenaga yang ringan, seperti acuh tak acuh. Ia hanya mengurat bongkot pohon,
menggurat ke sekitarnya, tetapi kesudahannya, pohon itu roboh. Bukan main
girangnya ia. Ia mencoba terus, sebentar saja ia sudah dapat belasan pohon.
Dengan begitu, tak usah sampai terang tanah, ia sudah berhasil menyediakan
seratus pohon yang dimintai itu.
"Anak Ceng, mari naik!" tiba-tiba Cit Kong memanggil.
Murid itu melompat naik. "Benar berhasil, suhu!" ia berseru. "Sedikit pun aku tak usah menggunai tenaga
besar." "Dengan menggunai tenaga besar artinya tak berhasil, bukan?"
"Benar, suhu." "Untuk menebang pohon, tenagamu berlebihan," berkata sang guru. "Untuk melawan
See Tok, masih kurang. Maka itu kau mesti meyakinkan dulu Kiu Im Cin-keng, baru
ada ketikanya untuk menangi dia. Mari kita memikirkan daya untuk melawannya..."
Bicara dari hal berpikir, atau mencari akal, Kwee Ceng tidak dapat ebrbuat apa-
apa, maka itu, ia berdiam saja.
"Aku juga belum dapat memikir," kata Cit Kong selang sekian lama. "Kita tunggu
saja besok, biar Yong-jie yang memikirkannya. Anak Ceng, mendengar kau membaca
Kiu Im Cin-keng aku ingat suatu apa, setelah aku memikirkannya, rasanya aku
tidak memikir salah. Sekarang mari kau pegangi aku, hendak aku turun untuk
bersilat....." Kwee Ceng terkejut. "Jangan, suhu!" ia mencegah. "Lukamu masih belum sembuh! Mana bisa suhu
berlatih?" "Tetapi kitab toh menyebutnya, '...tubuh dan pikiran harus bergerak berbareng,
bergerak tapi seperti diam, walaupun dibentur, kita tetap tegar'. Maka marilah
kita turun." Kwee Ceng masih tetap tidak mengerti tetapi dia toh memondong gurunya itu.
Ang Cit Kng berdiri sambil memusatkan pikirannya, sesudah itu ia memasang kuda-
kudanya. Ketika ia meninju, dengan samar-samar Kwee Ceng melihat tubuh gurunya
terhuyung, ia segera maju untuk menolongi, tetapi begitu lekas juga, guru itu
sudah berdiri tetap pula, hanya napasnya sedikit memburu.
"Tidak mengapa," berkata sang guru itu.
Dilain saat, Cit Kong meninju dengan tangan kirinya. Kwee Ceng melihat kembali
guru itu terhuyung, kali ini dia diam saja, ia mengawasi terus.
Cit Kong meninju pula, berulang-ulang dari perlahan hingga sedikit cepat.
Nyatanya makin lama dia semakin tetap. Mulanya ia bernapas keras, kemudian
napasnya lurus. Diwaktu memutar tubuh, kuda-kudanya pun tetap.
Bersilat terus, Ang Cit Kong bisa menjalankan habis Hang Liong Sip-pat Ciang,
karena ia merasa masih kuat, ia meneruskan dengan Hok Houw Kun, ilmu silat
Menaklukkan Harimau. Begitu lekas gurunya sudah berhenti bersilat, karena girangnya Kwee Ceng
berseru, "Kau telah sembuh, suhu!" Ia girang bukan kepalang.
"Pondong aku naik!" Ang Cit Kong meminta.
Kwee Ceng menurut, ia bawa gurunya berlompat ke atas.
"Bagus, suhu, bagus!" ia memuji.
"Bagus apa!" kata guru itu, menghela napas. "Apa yang aku jalankan barusan cuma
bagus dipandang, gunanya tak ada..."
Kwee Ceng heran. "Setelah terluka, aku cuma beristirahat saja," menerangkan gurunya itu, "Tidak
tahunya sebenarnya semakin berlatih dan banyak bergerak, semakin baik. Sekarang
ini sudah terlambat, walaupun jiwaku ketolongan, kepandaianku tidak bakal pulih
kembali." Kwee Ceng hendak bicara, tak tahu ia harus bicara apa, maka kemudian ia bilang
saja. "Sekarang hendak aku memotong kayu pula."
Murid ini belum berlompat turun ketika gurunya berkata: "Anak Ceng, sekarang aku
dapat akal untu menggertak si tua bangka berbisa itu. Coba kau lihat, akalku
bakal berjalan atau tidak?"
Guru ini terus menuturkan akalnya itu.
"Bagus, suhu!" Kwee Ceng berseru. "Ini tentu berhasil!"
Smapai di situ, murid ini pergi turun pula, untuk bekerja, untuk bersiap.
Besok paginya, Auwyang ong muncul untuk memeriksa jumlah pohon, ia mendapatkan
cuma sembilanpuluh, masih kurang sepuluh lagi. Ia tertawa dingin, terus ia
berteriak: "He, anak campur aduk, lekas kau mengelinding keluar! Mana yang
sepuluh pohon lagi"!"
Perih rasa hati Oey Yong mendengar perkataan orang yang kotor itu. Semenjak sore
ia mendampingi Auwyang Kongcu, untuk merawatnya dengan terpaksa. Kapan ia
mendengar rintihan pemuda itu, hatinya menjadi lemah. Sebaliknya, mengingat
kecewirisan orang, ia jemu. Ketika pagi itu Auwyang Hong keluar, diam-diam ia
keluar juga, maka itu, ia dapat dengar suara yang kasar dari See Tok.
Atas pertanyaanya Auwyang Hong tidak ada jawaban. Di atas pohon sepi saja. Maka
See Tok lantas mengawasi ke atas, kupingnya pun dipasang. Tiba-tiba ia mendengar
suara desiran angin dari gunung belakang, suara angin dari orang yang tengah
bertempur. Ia menjadi heran, lekas-lekas ia lari untuk melihat. begitu lekas ia
menampaknya, ia menjadi kaget.
Di sana Ang Cit Kong lagi bertempur sama Kwee Ceng, hebat gerakan tangan dan
kaki keduanya. Oey Yong pun menyaksikan, ia juga heran bukan main. Ia hanya heran bercampur
girang. Rupanya tenaga gurunya itu sudah pulih kembali, maka juga ia bisa
bersilat dan dapat berlatih kembali dengan Kwee Ceng.
"Anak Ceng, hati-hatilah kau dengan jurus ini!" terdengar pemberian ingat dari
Pak Kay ketika ia hendak menyerang. Ia terus saja menolak.
Kwee Ceng menggeraki tangannya, untuk menangkis, hanya belum lagi tangan mereka
beradu, ia sudah mencelat mundur seperti yang tertolak denagn keras, bahkan
tubuhnya itu membentur sebuah pohon di belakangnya.
"Bruk!" demikian satu suara keras. Pohon itu roboh dan tubuh si anak muda
terpelanting. Pohon itu tidak terlalu besar, kira-kira sebesar mulut mangkok, tetapi toh heran
telah roboh terbentur tubuh Kwee Ceng.
Menyaksikan itu, Auwyang Hong berdiri tercengang, mulutnya menganga.
"Suhu!" Oey Yong berteriak. "Pukulan lihay dari Pek-kong-ciang!"
Ang Cit Kong tidak menjawab murid ini, hanya ia serukan Kwee Ceng: "Anak Ceng,
luruskan napasmu, untuk menjaga kau tidak sampai terluka di dalam!"
"Teecu tahu, suhu!" menyahut Kwee Ceng, yang sementara itu sudah maju pula,
untuk melanjuti pertempuran. Hanya beberapa jurus, kembali ia terhajar
terpelanting mundur, bahkan kembali membentur pohon hingga pohon itu roboh
seperti yang semula tadi.
Auwyang Hong terus berdiri diam. Ia mengawasi latihannya guru dan murid itu.
Hebatnya saban-saban Kwee Ceng kena dihajar mental mundur, saban mental dia
membentur pohon, pohonnya roboh seketika. Dari itu, cepat sekali, sepuluh pohon
sudah rebah di tanah. Oey Yong menghitung. "Sepuluh pohon!" dia berseru.
Kwee Ceng bernapas sengal-sengal, agaknya ia letih sekali.
"Teecu tidak kuat berlatih lebih lama lagi..." katanya susah.
Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Ilmu silat Kiu Im Cin-keng ini benar-benar
luar biasa! Aku tengah terluka parah,tetapi pagi ini, sekali saja berlatih, aku
berhasil!" Auwyang Hong heran dan bercuriga, maka ia dekati pohon-pohon yang roboh itu,
untuk memeriksa. Ia mendapatkan, bagian yang patah itu meninggalkan bekas yang
licin seperti bekas dipotong atau digergaji.
"Benarkah kitab ini begini lihay?" ia berpikir. "Kelihatannya si pengemis
bangkotan ini menjadi terlebih lihay daripada yang sudah-sudah.... Kalau mereka
bergabung menjadi satu, mana sanggup aku melawan mereka" Tidak boleh ayal lagi,
aku pun mesti lekas berlatih!"
Ia melirik kepada tiga orang itu, terus ia memutar tubuhnya untuk lari ke gua.
Setibanya, ia keluarkan bungkusannya dalam mana terisi naskah kitab Kiu Im Cin-
keng, yang ditulis Kwee Ceng, ia buka untuk dibaca, untuk memahaminya, untuk
nanti melatih diri. Cit Kong dan Kwee Ceng menanti sampai See Tok sudah lenyap dari pandangan mata
mereka, lantas mereka tertawa terbahak-bahak.
Oey Yong menghampirkan mereka.
"Suhu, inilah hebat!" pujinya. "Luar biasa isi kitab itu!"
Cit Kong tengah tertawa tak sempat ia menyahuti muridnya itu.
"Kami sedang bersandiwara!" Kwee Ceng memberitahu.
Si nona heran, ia mengawasi.
Si pemuda tidak menanti lama untuk membeberkan rahasianya. Ialah mereka berlatih
kosong, sedang semua pohon itu, lebih dulu sudah dipotong, ditinggalkan sedikit
bagian tengahnya agar tidak roboh, maka dengan ditabrak Kwee Ceng, robohlah
semua dengan segera. Kwee Ceng pun terpental bukan karena serangan, hanya
berbareng diserang, ia mencelat mundur seperti terpelanting, sengaja ia
membentur setiap pohon itu. Auwyang Hong tidak tahu rahasianya itu, tentu ia
kena diakali. Mendengar itu, kalau tadinya ia tertawa, Oey Yong menjadi berdiam, sepasang
alisnya pun dikerutkan. Ang Cit Kong tertawa, ia berkata: "Aku si tua bangka bisa menggeraki pula tangan
dan kakiku, untuk berjalan, ini pun sudah membuatnya aku beruntung. Sekarang ini
aku tidak memikirkan itulah ilmu silat yang tulen atau yang palsu! Yong-jie,
adakah kau berkhawatir kemudian See Tok bakal mengetahui rahasia kita ini?"
Oey Yong mengangguk. Jitu terkaan gurunya itu.
"See Tok sangat bermata tajam dan cerdas, memang tak selayaknya dia dapat
diakali. Tapi, segala apa sukar diduga-duga, maka sekarang ini tak usahlah kita
berkhawatir. Aku sekarang ingat Kwee Ceng, di situ ada bahagian pelajaran '
menukar urat menguatkan tulang' itulah luar biasa, aku pikir, selagi kita luang
tempo, baik kita sama-sama menyakinkannya."
Sabar bicaranya sang guru, tetapi Oey Yong menginsyafi artinya.
"Baik, suhu," katanya. "Mari kita mulai!"
Cit Kong menitahkan Kwee Ceng membaca di luar kepala hingga dua kali bagian itu
yang berfasal "Ie Kin Toan Kut Pian", lalu ia memberikan penjelasan, terus ia
suruh kedua muridnya berlatih, sesudah itu, ia pergi untuk memancing ikan, untuk
kemudian menyalakan api dan mematangai ikannya. Ia melarang kedua muridnya
membantunya, ia mewajibkan kedua muridnya berlatih terus.
Dengan lekas tujuh hari sudah berlalu, Oey Yong dan Kwee Ceng telah memperoleh
kemajuan. Berbareng dengan mereka, Auwyang Hong pun berbuat keras dengan kitab
Kiu Im Cin-keng yang palsu buatan Kwee Ceng itu.
Hari kedelapan, sambil tertawa Ang Cit Kong menanya Oey Yong, "Yong-jie,
bagaimana rasanya daging kambing panggangan gurumu?"
Oey Yong tertawa sambil mainkan mulutnya, menggeleng-geleng kepala.
"Ya, aku juga memakannya tak turun..." Cit Kong berkata pula, tetapi sambil
tertawa. Kemudian ia menambahkan: "Pelajaranmu babak pertama sudah selesai,
sekarang kamu mesti beristirahat, jikalau tidak, pernapasanmu bisa tertutup dan
akan merusak kesehatanmu. Sekarang begini: Yong-jie, pergi kau memasak, aku
bersama Ceng-jie akan pergi membikin getek."
"Membikin getek?" tanya Kwee Ceng dan Oey Yong berbareng.
"Memang!" menjawab sang guru."Apakah kamu pikir kita dapat berdiam terus di
pulau kosong ini sambil menemani si bisa bangkotan itu" Tidak!"
Dua-dua muda-mudi itu menjadi sangat girang.
"Bagus!" seru mereka.
Kedua pihak lantas berpisahan.
Kwee Ceng pergi ke tumpukan pohonnya yang seratus buah itu. Dadungnya pun sudah
tersedia, bekas menolongi Auwyang Kongcu. Ia lantas bekerja mengikat batang-
batang pohon itu. Ketika ia menarik dadung, tiba-tiba dadung itu terputus. Ia
mengulangi lagi, lagi dadung putus. Ia menjadi heran. Ia merasa tidak menggunai
tenaga terlalu besar. Mungkinkah dadungnya yang tak kuat" Saking heran, ia
menjadi berdiam saja. Sementara itu Oey Yong mendatangi sambil berlari-lari, tangannya membawa seekor
kambing. Si noa pergi berburu, ia bertemu sama kambing itu. Ia menyediakan
beberapa butir batu, untuk dipakai menimpuk batok kepala kambing itu. Ketika ia
berlari untuk mengubar, rasanya baru beberapa tindak, tahu-tahu ia telah datang
dekat sang kambing, maka batal menimpuk, ia berlompat menyambar. Hanya dengan
sekali saja ia dapat mencekuknya. Inilah diluar dugaannya, maka ia girang
berbareng heran dan segera lari pulang untuk memberitahukan pengalamannya itu.
Mendengar itu, Ang Cit Kong tertawa.
"Jikalau begitu adanya, terang sudah Kiu Im Cin-keng bukannya untuk main-main
saja," bilangnya. "Pula tidaklah penasaran itu beberapa orang kosen yang telah
berkorban jiwa untuk kitab ini..."
"Suhu," menanya Oey Yong girang, "Apakah sekarang kita bisa menghajar si tua
bangka berbisa itu?"
"Masih jauh, anak," menyahut Cit Kong menggoyang kepala. "Kau masih memerlukan
tempo pernyakinan tiga sampai lima tahun lagi. Kau harus ketahui hebatnya
Kuntauw Kodok dari si bangkotan itu. Kecuali It-yang-cie dari Ong Tiong Yang,
tidak ada lain ilmu yang dapat memecahkannya..."
Si nona membikin moyong mulutnya.
"Kalau begitu percuma kita belajar lagi lima tahun, kita toh tak dapat
mengalahkan dia!" katanya mendelu.
"Tentang itu tak dapat dikatakan pasti," Cit Kong membilang. "ada kemungkinan
yang isinya kitab ada jauh terlebih lihay daripada dugaanku."
"Sudah, Yong-jie, jangan kau terburu nafsu," Kwee Ceng campur bicara. "Tidak ada
salahnya jikalau kita menyakinkan terus."
Lagi tujuh hari telah lewat, sekarang kedua murid itu sudah selesai dengan babak
yang kedua. Pula telah selesai pembuatan geteknya Kwee Ceng. Untuk mendapatkan
layar, mereka membuat bahannya dari babakan pohon. Bahkan air minum serta
lainnya makanan sudah disiapkan juga.
Selama itu Auwyang Hong mengawasi saja orang bekerja dan bersiap-siap itu. Ia
tidak membilang suatu apa, malah mengawasinya pun secara acuh tak acuh,
membiarkan orang repot bekerja.
Bab 45. Pesiar dengan ikan hiu
Bab ke-45 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Datanglah sang malam dengan segala persiapannya yang sudah sempurnya. Tinggal
menanti besok pagi, Cit Kong bertiga bakal pergi berlayar. Selagi hendak tidur,
Oey Yong tanya, apa besok perlu mereka pamitan dari Auwyang Hong.
"Bahkan kita harus membuat perjanjian akan bertemu lagi dengannya sepuluh tahun
kemudian," menjawab Kwee Ceng. "Kita telah diperhina begini rupa, mana bisa kita
berdiam saja?" "Benar!" si nona bertepuk tangan. "Aku mohon kepada Thian supaya dua jahanam itu
dipayungi hingga dapat mereka kembali ke Tionggoan! Semoga si tua bangka berbisa
diberi umur panjang lagi sepuluh tahun!"
Besok paginya, Ang Cit Kong yang mendusin paling dulu. Ia berkuping terang,
lantas saja ia mendengar suara apa-apa di tepi laut. Ia bangun untuk berduduk,
ia memasang kuping pula. Itulah suara air.
"Ceng-jie, dengar!" ia memanggil Kwee Ceng. "Suara apa itu di tepian?"
Kwee Ceng emndusin, segera ia melompat turun dari pohon, terus lari ke tempat


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tinggi, dari sana ia memandang ke laut, apa yang ia saksikan membuatnya
mengutuk dan mencaci kalang kabutan, lalu ia berlari-lari ke arah tepian.
Oey Yong pun turut mendusin dan berlari-lari.
"Ada apa engko Ceng?" tanyanya sambil lari menyusul.
"Kedua jahanam itu telah pakai getek kita!" sahut Kwee Ceng sengit sekali.
Oey Yong kaget sekali. Begitu lekas mereka tiba di tepian, Auwyang Hong sudah memondong keponakannya
menaiki getek, yang terus saja ditolak, hingga sekejap kemudian getek itu sudah
terpisah beberapa tombak dari daratan...
Saking murkanya Kwee Ceng hendak melompat ke air, untuk berenang mengejar.
Oey Yong tarik tubuh orang.
"Tak dapat mereka disusul!" berkata si nona, mencegah.
Segara pun terdengar tertawa lebar dari Auwyang Hong.
"Terima kasih untuk persiapan kamu dari hal getek ini!" katanya mengejek.
Kwee Ceng berjingkrakan, ia melampiaskan kemendongkolannya dengan mendupak
sebuah pohon di sampingnya.
Ketika pohon itu bergoyang karena dupakan, tiba-tiba Oey Yong ingat suatu apa.
"Ada jalan!" serunya. Ia pun sudah lantas menjumput sebuah batu besar. Ia bawa
itu ke pohon, untuk diselipkan di batangnya. Ia kata pula, "Kau traik pohon itu,
kita menjepret menembak padanya!"
Kwee Ceng girang. Ia hampirkan pohon, untuk menjambret batangnya bagian atas
untuk ia menariknya hingga melengkung, sesudah mana ia melepaskannya, maka pohon
itu mejepret balik, membuatnya batu besar itu terlempar, tepat ke arah getek.
Hanya jatuhnya di samping, airnya muncrat, suaranya berdeburan hebat.
"Sayang!" Oey Yong mengeluh. Tapi lekas-lekas ia "mengisikan" pula meriamnya
yang istimewa itu. Serangan yang kedua ini mengenai tepat kepada getek, hanya karena pembuatannya
tangguh, getek itu tak rusak karenanya.
Serangan diulangi hingga tiga kali, yang dua gagal.
melihat kegagalannya itu, Oey Yong mendapat pikiran pula.
"Mari, aku yang akan menjadi pelurunya!" ia berseru.
Kwee Ceng melengak, akan sedetik kemudian ia sadar. Bukankah si nona lihay
ilmunya ringan tubuh dan pandai berenang" Maka lekas-lekas ia menyerahkan pisau
belatinya. "Hati-hati!" ia memesan. Segera ia menarik pula batang pohon itu. Oey Yong
sendiri segera memanjatnya.
"tembak!" berseru si nona setelah ia siap.
Kwee Ceng menurut, ia melepaskan cekalannya. Maka dalam sekejap itu juga tubuh
si nona terlempar melesat, di tengah udara ia berjumpalitan. Tetapi getek sudah
berlayar terus, ia kecebur di air terpisah jauhnya tiga tombak. Bagus cara
jatuhnya itu dan air muncrat bagaikan bunga rontok tersebar.
Auwyang Hong dan keponakannya kagum hingga mereka tercengang.
Oey Yong tidak menjadi putus asa. Segera ia selulup, untuk berenang di dalam air
untuk menyusul getek itu. Sebentar saja ia tiba di bawahnya getek.
Auwyang Hong mencoba membela diri, dengan galah kejennya ia menyerang di empat
penjurunya, menyerang ke air, tetapi ia tidak berhasil menusuk atau mengemplang
si nona. Di dalam air, Oey Yong sudah lantas bekerja. Mulanya ia membabat dadung itu,
untuk meloloskan semua balok pohon itu, atau mendadak ia ingat suatu akal, maka
ia batal membabat, ia cuma menggurat perlahan-lahan, di sana-sini. Ia hendak
membikin perahu istimewa itu tiba di tengah laut, nanti setelah digempur
gelombang pergi datang, dadung itu bakal putus sendirinya.
Habis bekerja, si nona tetap selulup, berdiam di dalam air, setelah sekian lama,
baru ia timbul di muka air. Sekarang ia terpisah sepuluh tombak lebih dari getek
itu, lalu ia berteriak-teriak bahwa ia tidak dapat menyandak....
Auwyang Hong tertawa berkakakan, ia membiarkan geteknya berlayar terus, maka itu
lewat sedikit lama, ia sudah terpisah jauh dari daratan pulau terpencil itu.
Oey Yong berenang ke pinggir, ketika ia mendarat, Cit Kong pun tiba di sana,
guru ini bersama Kwee Ceng masih mencaci kalang kabutan kepada See tOk yang
jahat dan licik itu. Mereka heran menampak roman si nona bergembira.
"kenapa kau girang?" tanya sang guru.
Kwee Ceng pun turut menanya.
Oey Yong menuturkan perbuatannya barusan.
"Bagus!" berseru Ang Cit Kong dan Kwee Ceng. Mereka pun girang sekali.
"Walaupun kita sudah kirim mereka itu untuk terkubur di tengah lautan, kita
sendiri harus bekerja dari baru pula," berkata si nona kemudian.
"Tidak apa, mari kita bekerja pula!" kata Kwee Ceng.
Mereka balik, untuk sarapan setelah itu dengan semangat penuh, mereka pergi
memotong pepohonan, mengumpul balok-balok diikat satu dengan lain dijadikan
getek. Mereka membuatnya pula tali.
Berselang beberapa hari rampung sudah getek mereka, Maka sekali lagi mereka
membuat persiapan. Tepat di harian angin tenggar mulai meniup keras, Kwee Ceng memasang layarnya
untuk memulai dengan pelayarannya. Tujuan mereka ialah barat.
Oey Yong memandang ke pulau, yang nampak makin lama makin kecil. Di akhirnya ia
menghela napas. "Hampir kita bertiga mengorbankan jiwa kita di pulau kosong itu," katanya.
"Hanya hari ini, dengan kepergian ini, aku merasa berat juga..."
"Lain hari, jikalau tempo kita luang, boleh kita pesiar ke sini!" berkata Kwee
Ceng. "Bagus!" berseru si nona gembira. "Bagus lain kali kita datang pula ke mari!
Tapi ingat, jangan kau salah janji! Sekarang mari kita memberi nama dulu pada
pulau ini. Suhu, kau pilih nama apa yang bagus?"
"Kau menggunai batu besar, menindih bangsat cilik itu," menyahut Ang Cit Kong si
guru, "Maka itu baiklah diberi nama Ap Kwie To, yaitu pulau menggencet iblis."
"Nama itu kurang menarik," kata si nona.
"Kau hendak cari yang menarik" Kalau begitu, tak usah kau tanya aku si pengemis
tua bangka!" berkata sang guru. "Tapi si bisa bangkotan itu pernah merasakan air
kencingku, lebih baik kita namankan saja Pulau Minum Kencing!"
Oey Yong tertawa tetapi ia menggoyang-goyangkan tangan, lalu ia miringkan
kepalanya untuk memikir. Ia melihat sinar layung yang indah, yang menaungi pulau
terpencil itu. "Baiklah diberi nama Beng Hee To," katanya kemudian. Artinya Pulau Sinar Layang.
Tetapi Cit Kong menggeleng kepala.
"Tak tepat itu," katanya. "Nama itu terlalu bagus."
Kwee Ceng membiarkan itu murid dan guru berkutat berdua, ia cuma tersenyum saja.
Mereka berlayar terus, sampai dua hari lamanya, tujuan angin masih belum
berubah. Dimalam kedua, Ang Cit Kong dan Oey Yong tidur, Kwee Ceng memegang kemudi.
Mendadak di antara siuran angin, ia mendengar teriakan: "Tolong! Tolong!" Suara
itu keras seperti bergeram, seperti cecer pecah dikapruki satu dengan lain.
Ang Cit Kong pun dapat mendengar teriakan itu, maka ia bangun berduduk.
"Itulah suara si tua bangka berbisa!" katanya.
Kembali mereka mendengar jeritan itu.
Oey Yong, yang mendusin, menjambret tangan gurunya.
"Hantu! Hantu!" katanya.
Ketika itu akhir bulan keenam, di langit tidak ada si putri makam, bahkan
bintang pun jarang, maka itu sang laut menjadi gelap gulita. Memang juga, dalam
suasa seperti itu, jeritan itu menyeramkan.
"Apakah kau si tua bangka berbisa?" kemudian Ang Cit Kong menanya. Tetapi ia
telah runtuh tenaga dalamnya, suaranya itu tak terdengar jauh.
Kwee Ceng mengumpul semangatnya, lalu ia pun berseru: "Apakah paman Auwyang di
sana?" "Benar, aku Auwyang Hong!" menjawab orang yang berteriak minta tolong itu.
"Tolong!" ia mengulangi jeritannya.
"Tidak peduli dia manusia atau iblis, mari kita jalan terus!" berkata Oey Yong.
"Tolong padanya!" tiba-tiba Cit Kong berkata.
"Jangan, jangan!" mencegah si nona. "Aku takut!"
"Dia bukannya iblis," kata Cit Kong.
"Biarnya begitu tidak seharusnya dia ditolong!"
"Menolong orang itulah aturan kami kaum Kay Pang," kata guru itu. "Kita berdua
adalah Pangcu Kay Pang dari dua turunan, tidak dapat kita merusak aturan kita
yang dihormati itu."
Oey Yong terpaksa berdiam, ia mengawasi Kwee Ceng menggunai pengayuh menuju ke
arah darimana datang jeritan minta tolong itu.
Setelah datang mendekat, daalm suasana gelap itu, dengan remang-remang terlihat
dua kepala orang yang lagi terombang-ambing sang gelombang, disampingnya ada
sebatang pohon, yang terang adalah lepasan getek. Karena pertolongannya batang
pohon itu, Auwyang Hong dan keponakannya tidak sampai kelelap mampus.
Kwee Ceng membungkuk, untuk menyambar lehernya Auwyang Kongcu, untuk diangkat
naik ke geteknya. Cit Kong baik budi, sampai ia melupakan dirinya sendiri. Ia mengulur tangannya,
untuk menolongi Auwyang Hong. See Tok mengerahkan tenaganya, dengan meminjam
tenaga Pak Kay, ia menggenjot tubuhnya hingga ia mencelat naik. Tapi celaka buat
Cit Kong, dia kena tertarik hingga ia kecebur ka air!
Kwee Ceng dan Oey Yong kaget sekali, keduanya segera terjun untuk menolongi.
Gusar si nona, maka ia menegur See Tok: "Guruku baik hati, dialah yang menolongi
kamu, kenapa kau justru menarik dia kecebur ke laut"!"
"Aku...aku bukannya sengaja," menyahut Auwyang Hong perlahan. Ia tahu Cit Kong
musnah kepandaiannya, tetapi ia pun sudah sangat lelah saking letih, lapar dan
haus, terpaksa ia mesti merendahkan diri. "Saudara Cit, aku menghanturkan maaf
kepadamu." Pak Kay tertawa tergelak.
"Bagus, bagus katamu!" katanya. "Hanya sayang, rahasia kepandaiannya aku si
pengemis tua telah pecah di hadapanmu....!"
Semua orang kuyup basah pakaiannya, tidak ada pakaian lain untuk menukarnya,
maka itu mereka membiarkannya.
"Nona yang baik, kau bagilah kami sedikit barang makanan," Auwyang Hong meminta.
"Sudah beberapa hari kami kelaparan dan berdahaga..."
"Persediaan makanan di sini cuma cukup untuk kami bertiga," menyahut Oey Yong.
"Membagi kamu tidaklah sukar. Hanya, habis kita mesti dahar apa?"
"Kalau begitu, nona kau membagi sedikit saja kepada keponakanku," berkata pula
Auwyang Hong. "Dia pun sakit kedua kakinya, dia tak bakalan sanggup bertahan......"
"Jikalau demikian, marilah kita berjual beli," berkata si nona. "Ularmu yang
jahat telah melukai guruku, sampai sekarang guruku masih belum sembuh. Kau
keluarkan obatmu pemunah bisa ular."
Auwyang Hong segera merogoh ke dalam sakunya, mengeluarkan dua peles kecil. Ia
mengangsurkan kepada si nona.
"Kau lihat sendiri, nona," katanya. "Peles ini telah kemasukan air, obatnya
lumer dan habis..." Oey Yong periksa kedua peles ini, yang berisikan air. Ia menggoyang-goyangnya,
ia membauinya juga. "Sekarang kau beritahukan saja resepnya," kata ia kemudian. "Mari kita mendarat
untuk membeli bahan-bahan obatnya."
"Jikalau aku hendak menipu barang makanan, dapat aku menulis resep ngacobelo,"
Auwyang Hong memberi keterangan. "Kau toh tidak ketahui resep itu tulen atau
palsu" Apakah kau sangka aku ada demikian hina" Baiklah aku omong terus terang
padamu. Ularku ada ular paling luar biasa di kolong langit ini, bisanya bukan
main hebatnya, siapa terpagut satu kali saja, biar orang sangat gagah dan kuat,
selewatnya delapanpuluh delapan hari, kendati dia tidak mati, dia mestinya
bercacad, dan menjadi piansiewie, bercacad seumur hidupnya. Pula tidak ada
halangannya untuk memberikan resep pada kamu, tetapi kau mesti mengerti juga,
bahan-bahannya sangat sukar dicari, bahkan itu memerluka musim dingin dan musim
panas selama tiga tahun berturut-turut, setelah itu barulah dapat dibikin
obatnya. Aku telah bicara, andaikata kau menghendaki aku mengganti jiwanya kakak
Cit ini, terserah kepada kamu...!"
Oey Yong dan Kwee Ceng mau percaya keterangan orang itu, pun mereka mengagumi
ketulusan orang, yang tidak takut mati.
"Yong-jie, dia tidak berdusta," Cit Kong juga bilang. "Hidup manusia itu telah
ditakdirkan, maka itu aku si pengemis tua tidak takut suatu apa. Kau bagilah
mereka makanan." Oey Yong menjadi sangat berduka, ia mau percaya gurunya tidak bakalan sembuh.
Meski begitu, dengan terpaksa ia memberikan sepaha daging kambing kepada itu
paman dan keponakannya. Auwyang Hong membeset beberapa potong untuk keponakannya, baru ia membeset
untuknya sendiri. Selagi ia menggayem, Oey Yong berkata padanya: "Paman Auwyang,
kau telah lukai guruku, maka diwaktu pertemuan yang kedua kali di gunung Hoa
San, kau pasti bakal menjagoi! Maka sekarang aku beri selanat lebih dulu
padamu!" "Itu belum tentu, nona," berkata See Tok. "Di kolong langit ini masih ada serupa
benda yang dapat menyembuhkan sakitnya kakak Cit ini..."
Oey Yong dan Kwee Ceng berjingkrak mendengar perkataan orang ini, sampai getek
mereka miring sebelah. "Benarkah itu?" keduanya menanya, berbareng.
Auwyang Hong menggerogoti paha kambingnya. Ia mengangguk.
"Cuma benda ini sangat sukar didapatkannya," ia menyahut. "Gurumu pastilah
mengetahui benda apa itu."
Kedua murid itu segera menoleh, mengawasi guru mereka.
Cit Kong tertawa. "Memang aku tahu, tapi apa gunanya menyebutkannya itu?" katanya.
Oey Yong menarik ujung baju gurunya itu.
"Suhu, bilanglah," ia memohon. "Biar bagaimana kita akan mencarinya sampai
dapat! Aku nanti minta bantuannya ayahku, pasti dia suka membantu kita
mencarinya!" "Hm!" Auwyang Hong bersuara hidung.
"Kenapa hm"!" Oey Yong menegur. Ia mendongkol.
"Dia menertawakan kau yang menganggap ayahmu itu bisa segala apa," kata Cit
Kong. "Kau tahu, benda itu ada di tubuh manusia, sekalipun ayahmu, ia tak dapat
mengambilnya." Si nona heran tak terkira.
"Orang?" katanya. "Siapakah dia?"
"Jangan kata orang itu lihay ilmu silatnya," Cit Kong menjelaskan pula, "Meski
dia tidak mempunyai tenaga untuk hanya menyembelih ayam, untuk kepentingan
diriku tidak nanti aku mencelakai lain orang..."
"Suhu!" berkata si nona, yang bertambah heran. "Ilmu silat yang lihay" Oh, aku
mengerti sekarang! Bukankah dia Lam Tee Toan Hong Ya" Suhu bilanglah, barang
apakah itu" Kenapa itu dapat merugikan lain orang?"
"Sudahlag, kau tidur saja," Cit Kong bilang, singkat. "Tak usah kau menanyakan
lagi, aku larang kau menanyakan lagi. Kau mengerti tidak?"
Oey Yong menurut. Ia pergi rebahkan diri. Karena ia khawatir Auwyang Hong nanti
mencuri barang makanannya, ia ambil tempat di antara tahang air dan
perbekalannya. Besoknya pagi, setelah mendusin dan melihat Auwyang Hong serta keponakannya,
nona Oey terkejut. Muka mereka kuning dan bengkak, tubuh mereka juga bagaikan
melar. Teranglah itu akibat beberapa hari lamanya mereka merendam di air, tanpa
dahar dan minum. Perahu dilayarkan sambil dibantu sama pengayuh, kira-kira jam tiga atau empat
lohor, di kejauhan tertampak garis-garis hitam samar-samar, beroman seperti
daratan. Kwee Ceng girang hingga ia berseru.
Sesudah berjalan lagi sekira waktu semakanan nasi, sekarang terlihat tegas
garis-garis hitam itu, yang benar daratan adanya.
Ketika itu angin sirap, gelombang tenang, hanya sang surya tengah memperlihatkan
pengaruhnya yang dahsyat, sinarnya menyorot panas sekali.
Selagi orang mengawasi ke darat, mendadak Auwyang Hong berlompat bangun
dibarengi gerakan kedua tangannya, dengan masing-masing sebelah tangannya, ia
mencekuk Kwee Ceng dan Oey Yong, sedang dengan gerakan kakinya ia menotok Ang
Cit Kong. Muda mudi ini kaget sekali. Sungguh mereka tidak menyangka. Lantas mereka
merasakan terpencet keras sampai tubuh mereka seperti mati separuh.
"Kau bikin apa"!" keduanya berseru.
See Tok menyeringai, ia tidak menjawab.
Ang Cit Kong ditotok, hingga ia tak sanggup bergerak, tetapi mulutnya merdeka.
"Oh, tua bangka beracun!" katanya menghela napas. "Seumurnya, tidak pernah dia
sudi menerima budi orang. Kita telah berlaku baik hati menolongi dia, beginilah
pembalasannya. Mana dia sudi hidup bersama kita di dalam dunia ini" Ah, dasar
aku, dalam malam gelap buta rata aku menolongi orang, hingga sekarang aku
mencelakai kedua anak ini..."
"Kau sudah tahu, itulah bagus!" berkata Auwyang Hong. "Laginya Kiu Im Cin-keng
telah berada di tanganku, mana aku dapat membiarkan bocah itu hidup lebih lama
sebab cuma-cuma dia bakal membahayakan diriku...!"


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar orang menyebut Kiu Im Cin-keng, mendadak Ang Cit Kong berkata dengan
nyaring: "Nouwjie-cit-liok, hapkwajie, lenghiat-kiatpian, pengtojin..."
Auwyang Hong melengak. Itulah kata-kata dalam Kiu Im Cin-keng sebagaimana
ditulis Kwee Ceng. Ia tidak dapat artikan maksudnya itu, sekarang Pak Kay dapat
menghapalnya. "Mungkinkah dia mengerti artinya itu?" pikirnya. "Kata-kata itu
bisa jadi ada rahasianya Kiu Im Cin-keng, maka kalau sekarang aku binasakan
mereka ini bertiga, pastilah di dalam dunia tidak ada orang lain lagi yang
mengerti.... Kalau itu benar, percuma saja aku mendapatkan kitabnya."
"Apakah artinya itu?" ia lantas tanya Pak Kay.
"Kunhoa-catcat, soatkin-hiepattow, biejiebiejie..." lanjut Pak Kay lagi.
Auwyang Hong berpikir keras. Ia mau percaya kata-kata si Pengemis dari Utara itu
mesti ada punya arti dalam.
Selagi orang diam menjublak, mendadak Ang Cit Kong berseru: "Ceng-jie, turun
tangan!" Hebat Kwee Ceng, begitu mendengar suara gurunya itu, tangan kirinya menarik,
tangan kanannya menyerang, dibarengi sama tendangan kaki kirinya!
Sebenarnya, dengan dipegangi Auwyang Hong, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah habis
daya, siapa tahu Ang Cit Kong cerdik, ia mengoceh untuk mengganggu pikiran
orang. Dan ia berhasil. Kwee Ceng menendang dengan jurus kedua dari Ie Kin Toan-kut-pian. Ia menendang
secara biasa, begitu pun tarikan tangannya untuk membebaskan diri serta
serangannya yang membarengi itu.
Auwyang Hong terperanjat. Di getek yang kecil itu, ia tidak dapat bergerak
dengan leluasa. Maka itu sambil terus memegangi si nona ia menangkis dan
berkelit. Kwee Ceng tidak berhenti menyerang setelah serangannya yang pertama itu, ia
lantas menyerang terus dengan bertubi-tubi. Ia mengerti baik sekali, jikalau
Auwyang Hong diberi bernapas, hingga ia sempat menggunai ilmu silatnya yang
istimewa, yaitu Kuntauw Kodok, mereka bertiga sukar dapat pertolongan lagi.
Benar-benar See Tok kena terdesak mundur.
Oey Yong juga tidak berdiam saja, walaupun tangannya sebelah tidak merdeka, ia
menggeraki tubuhnya akan membentur si Bisa dari Barat itu.
Tubuh See Tok tidak bergeming, bahkan dalam hatinya ia tertawa dan berkata:
"Budak cilik ini membentur aku, kalau dia tidak mental ke laut, itulah hebat!"
Sementara itu benturan si nosa sudah mengenai sasarannya. Benar-benar Auwyang
Hong tidak berkelit atau menangkis, ia pasang dadanya. Mendadak ia merasakan
dadanya sakit. Baru sekarang ia kegt dan ingat orang memakai baju lapis berduri
- joan-wie-kah dari Tho Hoa To. Ia berada di tepi getek, setengah tindak ia
tidak dapat mundur. Tidak ada jalan lain, maka ia melepaskan cekalannya, ia
berkelit, mendorong. Tidak tempo lagi, tubuh si nona terpelanting ke arah laut, akan tetapi sebelum
ia kecebur, Kwee Ceng keburu menyambar, menarik tangannya, sedang dengan tangan
kirinya, si anak muda melanjuti serangannya terus-menerus.
Segera setelah itu Oey Yong menghunus pisau belatinya, untuk maju menyerang.
Auwyang Hong memasang kuda-kuda di pinggir getek, air laut muncrat membasahkan
kakinya, bagaimana juga muda-mudi ini mendesak padanya, ia tidak bisa dipaksa
mundur. Ang Cit Kong dan Auwyang Kongcu tidak dapat bergerak, menyaksikan pertempuran
itu, hati mereka sama-sama bergoncang keras sebab mengkhawatirkan keselamatan
orang di pihaknya. Mereka pun menyesal yang mereka tidak dapat memberikan
bantuan mereka. Auwyang Hong lihay melebihkan Kwee Ceng dan Oey Yong akan tetapi sekarang ia
terhalang di dalam tiga hal. Pertama-tama, ia sudah kerendam lama, tenaga dan
kegesitannya hilang hampir separuh. Kedua meskipun Oey Yong lemah, dia tapinya
memakai baju lapis maka tubuhnya tak dapat diserang. Si nona juga memegang pisau
yang sangat tajam. Ketiga Kwee Ceng menyerang dengan Hang Liong Sip-pat Ciang,
dengan Kong-beng-kun juga, sedang ia bertubuh kuat berkat sudah minum darah
ular. Dia pun mengerti ilmu berkelahi sendiri dengan kedua tangannya kiri dan
kanan, ia cukup mahir dengan ilmu Coan Cin Pay. Dan yang paling belakang ini, ia
mulai menyakinkan Kiu Im Cin-keng bagian Ie-kin Toan-kut-pian itu, ilmu melatih
urat dan tulang. Demikan mereka itu jadi bertarung seru.
Lama-lama terlihat nyata Auwyang Hong menjadi semakin lihay, sebaliknya Kwee
Ceng dan Oey Yong nampak mulai reda rangsakannya. Ang Cit Kong menyaksikan itu,
hatinya keder. Dalam perlawanannya itu, Auwyang Hong memperoleh ketikanya. Dimana ia tidak
dapat menghajar tubuh si nona, ia menggant itu dengan tendangan. Lantas si nona
terjungkal, kecebur ke laut. Dengan begitu, seorang diri, Kwee Ceng jadi berada
di dalam bahaya. Si nona kecebur di sebelah kiri getek, ia lantas muncul pula si sebelah kanan,
di sini ia berlompat naik untuk terus menikam punggungnnya si Bisa dari Barat
itu. Karena diserang dari belakang, Auwyang Hong mesti memutar tubuhnya, karena itu
Kwee Ceng di lain bagian, keadaan mereka kembali menjadi seimbang.
Sekarang si nona berkelahi sambil mengasah otaknya. Ia menginsyafinya, karena
kalah gagah, dengan berkelahi terus secara begitu, akhirnya pihaknya yang bakal
kalah. Maka ia pikir, baiklah ia nyebur ke laut.
Cepat si nona berpikir, sebat ia bekerja. Mendadak ia membabat ke arah dadung
layar. Tepat babakannya itu, layar roboh seketika juga. Dengan begitu, getek pun
tak maju tak mundur, hanya memain mengikuti gelombang. Si nona sudah lantas
mundur, dengan dadunya layar itu ia melibat tubuh Ang Cit Kong beberapa libatan,
kemudian ia mengikat lain ujungnya di sepotong balok getek.
Karena ditinggali si nona, Kwee Ceng segera terdesak See Tok. Di jurus ke empat
dari musuhnya, terpaksa ia mundur. Ia didesak dengan serangan yang kelima dan
keenam. Saking terpaksa, si pemuda menangkis juga serangan yang ketujuh, ia
memakai jurus "Ikan lompat meletik". Di jurus ke delapan ia terpaksa mundur lagi
setindak. Tiba-tiba kakinya itu, kaki kiri, menginjak tempat kosong. Tapi ia
tidak bingung, berbareng ia menendang dengan kaki kanan, supaya musuh tak dapat
mendesak. Karena ini, tampak ampun, ia pun kecebur ke laut!
Karena robohnya si pemuda, getek goncang keras , justru itu, Oey Yong pun turut
berlompat, maka lagi sekali terjadi goncangan. Di dalam air, muda-mudi ini tidak
berdiam saja. Mereka mendekati getek yang mereka angkat, untuk dibikin terbalik
karam. Auwyang Hong terkejut. Ia dapat membade maksudnya anak-anak muda itu. Ia
mengerti, kalau getek terbalik, keponakannya mesti mati kelelap. Ia sendiri, ia
pun sulit melawan dua musuh itu. Maka segera ia bertindak. Ia angkat sebelah
kakinya, mengancam hendak menendang batok kepala Ang Cit Kong. Ia pun berseru
dengan ancamannya: "Bocah-bocah, dengar! Lagi satu kali kamu bergerak, akan aku
menendang!" Gagal akalnya yang pertama itu, Oey Yong tidak putus asa. Segera ia menjalankan
akalnya yang kedua, yang ia sudah lantas dapat pikir. Ia menyelam, dengan
pisaunya ia memotong dadung yang mengikat semua balok getek itu. Ia tahu, mereka
sudah mendekati daratan, maka dapatlah ia berenang ke daratan sambil menyeret
balok besar dimana gurunya terikat.
Lekas sekali terdengar suara dadung-daung putus, setelah mana, getek lantas
berpisah menjadi dua bagian. Auwyang Kongcu di getek kira, Auwyang Hong dan Ang
Cit Kong di getek kanan. Auwyang Hong kaget, ia sambar keponakannya itu. Ia
terus mendongko, bersiap menyambar mencekuk si nona apabila nona itu muncul di
muka air. Nona Oey di dalam air dapat membuka matanya. Ia mendapat lihat bayangan si Bisa
dari Barat itu. Maka ia tidak mau menimbulkan diri. Ia berdiam terus di dalam
air, pikirannya bekerja. Untuk sementara, suasana sunyi. Pertempuran berhenti sendirinya. Dengan sinarnya
matahari, laut menjadi terang sekali.
"Kalau getek itu dipecag dua lagi, gelombang bakal mendamparnya terbalik," si
nona berpikir. Auwyang Hong sebaliknya terus menjaga, untuk menghajar mampus si nona. Ia
percaya, Kwee Ceng seorang tak usah dibuat khawatir.
Disaat tegang itu, mendadak Auwyang Kongcu menunjuk ke kiri dan berseru-seru:
"Perahu! Perahu!"
Ang Cit Kong segera berpaling, begitu pun Kwee Ceng. Benarlah, mereka melihat
sebuah perahu besar berkepala naga-nagaan yang layarnya dipasang, laju memecah
gelombang. Auwyang Konngcu bermata awas, ia lantas melihat seorang yang berdiri di kepala
perahu, yang tubuhnya tertutup jubah suci warna merah. Ia pun segera mengenali
Leng Tie Siangjin. Segera ia memberitahukan pamannya.
Auwyang Hong kumpul semangatnya, terus ia berseru: "Di sini kawan! Lekas datang
ke mari!" Oey Yong dai dalam air belum tahu apa-apa, tetapi Kwee Ceng berkhawatir bukan
main. Maka ia selulup untuk menarik tangan kekasihnya, buat memberi tanda atas
datangnya musuh baru. Oey Yong memberi tanda untuk pemudanya bersedia menangkis pukulan Auwyang Hong,
ia sendiri hendak mencoba mengutungi lagi dadung getek.
Kwee Ceng tahu musuh sanat lihay dan ia terancam bahaya, tetapi keadaan sangat
genting, ia terpaksa. Ia lantas menggeraki kedua kakinya untuk timbul, kedua
tanganya diangkat ke atas.
Benar-benar Auwyang Hong sudah lantas menyerang dengan kedua tanganyna.
Kedua pihak tangan bentrok di muka air, hingga air muncrat dengan suaranya
bergebyar. Berbareng dengan itu, dadung pun putus, sedang perahu besar sudah
mendatangi tinggal lagi sepuluh tombak dari getek itu.
Oey Yong beniat muncul, untuk menyerang Auwyang Hong, ketika ia mendapat lihat
tubuh Kwee Ceng diam saja, tubuh itu tenggelam turun dengan perlahan. Ia menjadi
kaget, ia lantas berenang menghampirkan. Ia menarik tangan orang, untuk diajak
berenang hingga terpisah jauh dari getek. Di situ barulah ia muncul di muka air,
si anak muda ia angkat. Nyata sekarang, pemuda itu pingsan, kedua matanya meram,
mukanya pucat pasi. Ketika itu perahu besar sudah nempel sama getek, orang di atas lantas menyambuti
Auwyang Hong dan keponakannya naik ke perahu. Begitu juga Ang Cit Kong, yang
diangkat naik bersama. "Engko Ceng!" Oey Yong memanggil, hatinya goncang.
Kwee Ceng diam saja, walaupun kemudian ia dipanggil dua kali.
Dalam bingungnya, Oey Yong mengambil keputusan berbahaya.
"Biar perahu ada perahu musuh, aku mesti naik ke sana," demikian pikirnya. Maka
ia berenang pula, ke arah perahu.
Anak buah perahu sudah lantas menyambuti tubuh Kwee Ceng, buat diangkat naik,
kemudian ketika mereka hendak menyambuti si nona, mendadak si nona berloncat,
melientik bagaikan ikan, naik ke perahu, hingga mereka terkejut.
Kwee Ceng tergempur hebat ketika tadi ia menangkis serangannya Auwyang Hong, ia
pingsan seketika. Ketika ia mendusin, ia tampak dirinya dalam rangkulan Oey
Yong, dan mereka berada di sebuah perahu kecil. Ia memainkan napasnya, ia merasa
tak terluka di dalam, maka itu, ia geraki alisnya, ia tersenyum pada si nona.
Oey Yong juga tersenyum, karena hatinya lega. Sekarang ia bisa mengawasi ke
perahu besar, untuk mendapat ketahui siapa penghuninya perahu itu. begitu ia
melihat nyata, ia mengeluh di dalam hatinya.
Tujuh atau delapan orang tertampak di kepala perahu dan mereka semuanya adalah
jago-jago yang ia telah temui beberapa bulan yang lalu di istana Chao Wang,
umpama Cian Ciu Jin-touw Pheng Lian Houw yang matanya tajam, Kwie-bun Liong Ong
See Thong yang kepalanya botak lanang, Sam-tauw-kauw Hauw Thong Hay yang
jidatnya ditumbuhkan tiga buah kutil, Som Sian Lao Koay Nio Cu Ong yang
rambutnya putih tetapi romannya segar seperti bocah, begitupun Leng Tie Siangjin
si paderi Tibet yang mengenakan jubah suvi warna merah. Beberapa lagi yang
lainnya tak ia kenal. Oey Yong segera merasakan kesulitan untuk menyingkir dari orang-orang kosen itu.
Melihat kemajuannya ilmu silat Kwee Ceng dan ia sendiri, kalau satu lawan satu,
tak usah mereka jerikan segala Pheng Lian Houw itu, ia sendiri mungkin tak dapat
menang tetapi Kwee Ceng pasti, hanya di situ ada si tua bangka berbisa dan
jumlah mereka itu besar sekali...
Di atas perahu itu orang heran mendengar suaranya Auwyang Hong, kemudian
keheranan mereka bertambah apabila mereka pun dapat melihat Oey Yong dan Kwee
Ceng. Mereka mengawasi Auwyang Hong, yang memondong keponakannya, dan Kwee Ceng
serta Oey Yong yang menolongi Ang Cit Kong. Dua rombongan orang itu saling susul
naik ke perahu besar. Segera juga terlihat keluarnya seorang dari dalam perahu, seorang yang memakai
jubah sulam yang indah. Kapan matanya itu bentrok sama mata Kwee Ceng, keduanya
lantas saja terperanjat agaknya. Sebab orang itu, yang kumisnya sedikit tetapi
romannya tampan adalah Chao Wang Wanyen Lieh, putra keenam dari raja bangsa Kim.
Setelah kabur dari rumah abu keluarga Lauw di Poo-eng, lantaran khawatir nanti
dikejar Kwee Ceng, pangeran ini tak berani kembali ke Utara, kebetulan ia
bertemu rombangannya Pheng Lian Houw, lalu bersama-sama mereka menuju ke Selatan
untuk mencuri surat wasiat Gak Hui.
Pada ketika itu angkatan perang Mongolia tengah menyerang negara Kim, kotaraja
Yan-khia atau Tiong-touw sudah semenjak beberapa bulan kena dikurung rapat.
Daerah Yan In yang terdiri dari enambelas (ciu), semuanya sudah terjatuh ke
dalam tangan bangsa Mongolia. Maka itu, keadaannya negara Kim menjadi lemah
setiap hari. Kejadian itu membuatnya Wanyen Lieh menjadi berduka dan
berkhawatir. Tentara Mongolia kosen sekali, walaupun jumlah tentara Kim sepuluh
kali lipat lebih banyak, setiap bertempur tentara Kim-lah yang buyar duluan.
Keran ini, Wanyen Lieh tumpahkan pengharapannya kepada surat wasiat Gak Hui. Ia
percaya surat wasiat itu nanti bisa membantu ia membangun negaranya, kalau
berperang tentulah ia menang selalu, seperti Gak Hui sendiri sebelum dia
terfitnah dan terbinasa di tangan dorna Cin Kwee.
Dalam perjalanannya ke Selatan ini, Wanyen Lieh bertindak secara diam-diam. Ia
khawatir pihak kerajaan Selatan (Song) nanti dapat ketahui dan berjaga-jaga
hingga ia tak bakal berhasil dengan niatnya. Inilah sebabnya kenapa ia
menggunakan perahu. Ia ingin secara rahasia mendarat di pesisir Ciatkang dan
memasuki kota Lim-an, dimana pencurian bakal dilakukan. Pernah Chao Wang mencari
Auwyang Kongcu yang lihay itu, yang ia percaya bisa membantu padanya, tetapi
pemuda itu tak dapat ditemukan, maka terpaksa ia berjalan terus. Sungguh diluar
dugaan, sekarang ia bertemu sama Kwee Ceng di tengah laut ini. Ia hanya belum
tahu apa maksudnya pemuda she Kwee ini.
Menghadapi musuh besar yang telah membunuh ayahnya, Kwee Ceng menjadi sangat
gusar, ia mengawasi dengan bengis.
Dilain pihak Oey Yong yang bermata tajam dapat melihat di sebelah dalam perahu
ada tubuh yang keluar dan kemudian menyelip masuk, samar-samar ia mengenali Yo
Kang. Auwyang Kongcu lantas membuka mulutnya, untuk mengajar kenal pamannya.
"Paman, inilah pangeran keenam dari negara Kim terbesar yang paling haus dengan
orang-orang pintar dan gagah!" demikian sang keponakan. Ia juga perkenalkan
pangeran itu kepada pamannya.
Wanyen Lieh tidak ketahui kegagahannya Auwyang Hong akan tetapi karena Auwyang
Kongcu yang memperkenalkannya, ia angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.
Sebaliknya Pheng Lian Houw dan See Thong Thian serta lainnya, mendengar orang
ini See Tok yang termasyhur, maka mereka buru-buru memberi hormat sambil
memberikan pujian untuk mengangkat-angkat si Bisa dari Barat itu.
Auwyang Hong menjura separuh membalas pemberian hormat.
Leng Tie Siangjin si orang Tibet tidak pernah mendengar namanya See Tok, ia cuma
merangkap kedua tangannya, ia tidak membilang suatu apa.
Wanyen Lieh adalah seorang cerdik, menyaksikan Pheng Lian Houw semua yang
beradat tinggi, begitu mengghormati Auwyang Hong tidak peduli See Tok bermuka
kuning dan bengkak serta dandannya tidak karuan, mirip orang yang berpenyakitan,
ia lantas memperlakukannya dengan hormat, ia mengeluarkan kata-kata memuji.
Di atas perahu itu, pada ketika itu, adalah Som Sian Lao Koay yang perasaannya
paling berbeda daripada yang lainnya. Ia tengah menghadapi Kwee Ceng, orang yang
telah menghisap darah ularnya, ular yang ia pelihara sekian lama, yang menjadi
harapannya. Ia menghadapi musuh besarnya, bagaimana ia tidak menjadi sangat
gusar" Tetapi di samping si anak muda ada Ang Cit Kong, yang paling ia malui,
mau tidak mau, ia mesti mengendalikan diri, terpaksa ia memperlihatkan wajah
berseri-seri, sambil menjura dalam ia memberi hormat dan berkata dengan
merendah: "Yang rendah Nio Cu Ong menghadap Ang Pangcu. Adakah Pangcu banyak
baik?" Mendengar suaranya Som Sian Lao Koay, semua orang terperanjat. Dua-dua See Tok
dan Pak Kay ada sangat terkenal, tadinya mereka belum pernah melihatnya, siapa
tahu sekarang keduanya itu muncul dengan berbareng. Tentu sekali, mereka itu
hendak turut memberi hormat pula, ketika terdengar Ang Cit Kong tertawa dan
berkata: "Aku si pengemis tua sedang malang, aku telah digigit anjing jahat
hingga setengah mati setengah hidup, maka perlu apa kamu memberi hormat padaku"
Paling benar kau sediakanlah barang makanan untuk aku dahar!"
Semua orang heran, mereka semua mengawasi Auwyang Hong, akan mencari tahu apa
tindakannya See Tok itu. Auwyang Hong sangat cerdik, ia sudah lantas memikir rencana untuk nanti


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menurunkan tangan jahatnya. Tentu saja, paling dulu Ang Cit Kong yang mesti
disingkirkan. Kwee Ceng adalah yang kedua, sebab Kwee Ceng mesti dipaksa dulu
menguraikan rahasianya kitab Kiu Im Cin-keng. Oey Yong pun mesti dibunuh tidak
peduli Auwyang Kongcu sangat mencintainya. Selama Oey Yong masih hidup, ia tetap
terancam bahaya, hanya karena segan kepada Oey Yok Su, tidak mau ia turun tangan
sendiri, hendak ia meminjam tangan orang lain. Terutama di depan mata ini, ia
tidak sudi memberi ketika kepada mereka itu bertiga membuka rahasia
kejahatannya. Maka berkatalah ia menghadap Wanyen Lieh: "Tiga orang ini sangat
licin, mereka juga lihay ilmu silatnya, maka itu aku mohon ongya menjaga baik-
baik kepada mereka."
Mendengar suaranya Auwyang Hong, Nio Cu Ong menjadi sangat girang. Ia maju satu
tindak kepada Kwee Ceng, tangannya diangsurkan untuk menarik.
Kwee Ceng memutar balik tangannya yang hendak dicekal itu. "Plak!" maka
tangannya itu menghajar bahu orang. Itulah pukulan jurus "Melihat naga di
sawah", cepat dan berat, biarnya Som Sian Lao Koay lihay, ia toh terhajar mundur
hingga dua tindak dan tubuhnya terhuyung-huyung. Inilah ia tak sangka sama
sekali. Pheng Lian Houw dan lainnya baik di muka kepada Nio Cu Ong, di dalam hati mereka
membenci, maka senanglah mereka menyaksikan Som Sian Lao Koay mendapat hajaran
itu. Meski begitu, mereka sudah lantas bertindak, membubarkan diri, untuk
mengurung Ang Cit Kong bertiga itu. Mereka sudah memikir akan turun tangan
setelah si orang she Nio itu dirobohkan...
Sebenarnya Nio Cu Ong mengulurkan tangan sambil bersiap-siap kalau Kwee Ceng
menyerang ia dengan jurus Hang Liong Yoe-hoei, si Naga Menyesal, ia tidak
sangka, baru berselang satu bulan, si anak muda sudah mempelajari habis semua
jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, maka itu dalam segebrak saja ia kena
dihajar tanpa ia sempat menghindarkan diri. Ia menjadi bertambah panas hati.
Kwee Ceng tidak saja mengubar dia untuk menyerang lebih jauh, maka ialah yang
bertindak. Dengan menjejak dengan kaki kiri, ia berlompat maju, kedua tangannya
digeraki berbareng, menyerang dengan pukulannya yang ia paling andalkan, yaitu
tipu silat "Liauw-tong Ya-ho Kun-hoat" atau kuntauw "Rase liar dari Liauw-tong".
Dengan serangan ini ia hendak merampas jiwanya si anak muda, untuk membalas
malunya barusan sekalian membalas juga sakit hatinya sebab si anak muda
menghisap darah ularnya....
Kuntauw Rase Liar itu adalah suatu ilmu silat kesohor untuk wilayah Liauw-tong.
Satu kali Som Sian Lao Koay pergi mencari kolesom di gunung Tian Pek San,
kebetulan ia menyaksikan pertempuran di antara anjing pemburu dengan seekor rase
liar, yang bergulat di atas salju. Rase itu sangat gesit dan licin, dia
berlompatan ke segala penjuru menghindari tubrukan-tubrukannya si anjing yang
galak. Sampai sekian lama, anjing itu belum berhasil juga. Menyaksikan kegesitan
rase itu, Nio Cu Ong mendapat ilham, maka ia lantas menciptkan ilmu silatnya
itu. Ia batal mencari kolesom, ia membuat gubuk di gunung itu. Satu bulan
lamanya ia mengeram diri hingga berhasillah ia dengan ilmu silatnya yang baru
itu. Sejak itu, kecuali roboh di tangan Ang Cit Kong, belum pernah ada orang
yang sanggup menandingi padanya, maka heranlah ia sekarang ia kena dihajar Kwee
Ceng. Karena ini, ia jadi tidak berani berlaku sembarangan, hendak ia menggunai
kegesitannya. Ia berlompat sambil berkelit, meskipun orang tidak serang padanya,
lalu ia menjatuhkan diri, habis mana barulah ia menyerang benar-benar.
Kwee Ceng merasa aneh atas ilmu silat orang. Belum pernah ia melihat ilmu
semacam itu. Tapi ia cuma heran, ia melawan dengan tabah dan sabar. Ia turut
pengajarannya Ang Cit Kong, biar musuh gesit dan hebat, ia tidak kasih dirinya
dipermainkan. Dengan tetap ia menggunai Hang Liong Sip-pat Ciang untuk
melayaninya. Setelah lewat beberapa jurus, semua penonton lainnya pada menggeleng kepala.
Mereka semua lihay, mereka menjadi heran sekali.
"Bukankah Nio CU Ong lihay, dan ia menjadi kepala dari satu pertai persilatan?"
demikian mereka berpikir. "Kenapa sekarang, menghadapi satu bocah, dia selalu
main lompat-lompatan saja" Senantiasa berkelit tidak hendak ia menyerang secara
sungguh-sungguh?" Pertandingan berjalan terus. Selama itu Kwee Ceng terus mendesak. Lagi sedikit,
maka Som Sian Lao Koay bisa terdesak sampai dia bakal kecebur ke laut...
Nio Cu Ong heran dan gelisah juga mendapatkan kuntauw Rase Liarnya itu tidak
berjalan terhadap si anak muda, terpaksa ia memikir untuk menggunai lain tipu
silat. Apa celaka, ia tidak bisa mewujudkan pikirannya itu, Kwee Ceng mendesak
terus-menerus, ia tidak diberi ketika.
Selagi angin kepalan berderu-deru, terdengarlah seruannya Ang Cit Kong yang
sedari tadi nonton sambil berdiam saja, cuma matanya yang dipasang awas:
"Turunlah!" Menyusul seruan itu, Kwee Ceng menyerang dengan jurusan "Menunggang enam naga",
tangan kirinya menyapu hebat sekali.
Nio Cu Ong terkejut, hendak ia berkelit, tetapi tanpa ia berkuasa, tubuhnya
terjun ke luar perahu! Semua orang heran. Kecuali Auwyang Hong, tidak ada yang dapat melihat gerakannya
Kwee Ceng itu. Mereka lantas lari ke tepi perahu, ke arah mana tubuh Nio Cu Ong
terpelanting, untuk melihat. Tengah mereka berlari, dari arah laut terdengar
suara tertawa nyaring dan panjang, yang mana disusul sama meluncurnya tubuh Som
Sian Lao Koay itu, yang kembali ke dalam perahu di mana dia roboh di lantai
tanpa dapat bergerak pula, cuma jatuhnya itu yang terdengar keras sekali.
Semua orang menjadi terlebih heran lagi. Mungkinkah air laut, sang gelombang,
yang membuatnya tubuh orang membal balik" Dari itu, semua lalu melihat ke bawah,
ke muka air. Segera mereka mendapatkan seorang tua, yang rambut dan kumisnya
telah putih semua, lagi mondar-mandir cepat sekali di laut di dekat perahu.
Dengan mengawasi sebentar saja, dapatlah diketahui, orang tua itu tengah
menunggang seekor ikan hiu yang besar. Pantas dia dapat bergerak denag cepat dan
gesit. Kwee Ceng pun dapat melihat orang tua itu, ia kaget berbareng girang sekali.
"Ciu Toako!" ia memanggil, keras. "Aku di sini!"
Memangnya juga, orang tua yang menunggang ikan hiu itu adalah Loo Boan Tong Ciu
Pek Thong si orang tua berandalan, jenaka dan kocak.
Pek Thong dapat dengar suaranya Kwee Ceng, yang ia kenali, ia pun girang luar
biasa. Ia mengetok samping mata kiri dari ikannya, lantas ikan itu mutar ke
kiri, berenang mendekati perahu besar.
"Kwee Hiantee di sana?" menanya si jenaka. "Baik-baikah kau" Di depan sana ada
Arca Dewi Bumi 2 Dewa Arak 44 Tawanan Datuk Sesat Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 8
^