Pencarian

Perempuan Suci 2

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 2


"Zarri Bano, aku tak mampu menunggu selama itu. Aku tak bisa!" Sikander memohon pada Zarri Bano dalam hati. Dia lalu bangkit menuju kamar mandi. Sebelum meninggalkan ruangan, dia menghampiri dan berdiri dekat Zarri Bano sejenak, bermaksud memberinya dukungan moral dan kata-kata penghibur.
Duduk di sudut yang jauh di ruangan itu, dikelilingi oleh para lelaki lainnya dari desa itu, Habib memerhatikan tindakan Sikander. Bahkan dalam kesedihannya sekalipun, pikirannya yang tajam tetap bekerja. Bagaimana Zarri Bano menemukan keluarga Sikander, rumah mereka, dan kebiasaan mereka" Dia bertanya-tanya. Apakah Zarri Bano akan menikah dengan lelaki itu" Habib ingin tahu apa yang telah terjadi antara putrinya dan lelaki "angkuh" itu di Karachi.
* * * Tiga hari berikutnya adalah sebuah mimpi buruk, tidak hanya untuk Habib, keluarga, dan kerabatnya, tetapi juga untuk semua keluarga tetangga mereka, di kota kecil Tanda Adam dan kampung halamannya, Chiragpur. Kibaran kain dukacita digantung di setiap rumah. Semua orang tanpa sungkan tetapi penuh hormat menghargai kedukaan Habib. Selain seorang tuan tanah feodal dengan kekayaan melimpah yang keluarganya berasal dari kasta tertinggi, Habib Khan juga dikaruniai tiga orang anak rupawan dan berhektar-hektar tanah untuk diwariskan kepada mereka. Dia adala
h lelaki yang paling membuat iri banyak orang, selain juga paling disukai dan dihormati sebagai tokoh di kotanya.
Maka, semua orang berkabung atas wafatnya putra Habib dan betapa Jafar telah menjadi anak laki-laki yang luar biasa! Salah satu anak laki-laki tertampan, yang mati dengan tragis dalam usia sangat muda, belum menikah, dan belum memiliki anak untuk meneruskan garis keturunannya. "Cara yang memilukan untuk mati!" keluh mereka yang sedemikian berempati terhadap kedukaan Habib yang baru saja kehilangan ahli waris dan putra satu-satunya, tambatan hati mereka. Dalam sebuah budaya dan negeri di mana para anak laki-laki secara tradisional dipuja-puja, anak lelaki semata wayang menjadi harta yang tak ternilai di atas semua kekayaan duniawi bagi seorang ayah. Karena itu, kehilangan anak lelaki satu-satunya bagaikan kehilangan hidup itu sendiri kekalahan terbesar dari semua musuh terjahat yang bisa dihadapi.
Bagaimana mungkin seseorang dapat menerima sebuah kedukaan dan kehilangan seperti ini" Mereka hanya dapat menerawang dengan suram di antara diri mereka sendiri. Bisakah Habib dan keluarganya pulih dari kekalahan ini" Lebih jauh lagi, diam-diam orang-orang itu memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan. Akankah Habib mengikuti adat yang sudah berabad-abad dilestarikan untuk menunjuk salah seorang anak perempuannya sebagai ahli warisnya"
Semua kerabat Zarri Bano, termasuk kakek kandungnya, Siraj Din, dan neneknya, datang untuk berkabung dan menghadiri pemakaman. Semua kamar di rumah itu terisi. Seprai dan selimut di rumah itu diganti setiap hari. Dapur yang luas mempekerjakan tiga orang koki yang bekerja tiga kali sepanjang hari, termasuk Naimat Bibi dari desa yang seharian menyiapkan makanan dan melayani tetamu. Ada arus pergerakan orang-orang yang konstan tiada henti, lakilaki, perempuan, dan anak-anak berseliweran di vila itu. Mereka duduk berkelompok dalam ruangan-ruangan, juga di halaman. Berkumpul seperti ini, meski dimaksudkan sebagai perkabungan, juga melahirkan kesempatan besar untuk para tetamu saling bertukar kabar dan membagi cerita, gosip sosial, dan perjodohan.
Zarri Bano dan Ruby mengunci diri dalam kamar mereka dan hanya memperbolehkan pelayan rumah mereka, Fatima, masuk membawa makanan. Hanya di sanalah mereka memiliki privasi bersama. Dengan lebih dari seratus orang memenuhi rumah, mereka tidak dapat terlepas dari pandang mata dan telinga yang mengintai. Mereka membiarkan ayah, kakek, dan ibu mereka menemui para tetamu dan mengatur pemakaman.
* * * Jafar dikuburkan di sebidang tanah keluarga yang indah di pemakaman setempat, termasuk dalam kompleks masjid Chiragpur. Jenazahnya diusung melalui upacara pemakaman ke tempat itu dengan menggunakan truk di hari kedua setelah kematiannya. Ini adalah hari yang sangat menyesakkan bagi semua orang, khususnya bagi orangtua Jafar, kedua saudari kandungnya, dan sahabat lamanya dari desa, Khawar. Khawar menyatakan dukacitanya secara langsung dengan menangis di dada Siraj Din dan Habib beberapa kali, dan dia dikungkung perasaan kehilangannya sendiri. Kedua saudari kandung Jafar saling bertangisan sepanjang hari, memikirkan saudara mereka yang sedang dibaringkan di bawah tumpukan tanah.
Di hari ketiga, Sikander dan Zarri Bano tak sengaja saling berpapasan. Sikander dan kedua orangtuanya tetap tinggal di sana seusai pemakaman seperti para tetamu lainnya.
Mereka berhenti dan saling memandang dengan sorot mata sedih. Sikander ingin mengucapkan banyak hal, tetapi hanya mampu berkata-kata sedikit karena aturan sosial mencegahnya. Sampai mereka secara resmi bertunangan di hadapan semua orang, mereka tidak memiliki hak untuk saling mendampingi satu sama lain.
Zarri Bano sendiri kini menampakkan sikap seolah-olah tidak lagi merasakan hubungan khusus di antara mereka. Hari-hari saat mereka menghabiskan waktu bersama di Karachi seakan-akan terjadi berjuta-juta tahun yang lalu. "Seakan-akan, dengan kematian adik laki-lakinya, dia sudah menghapuskan aku dan semua saat indah di perkebunan di Karachi dan sepanjang pantai waktu itu," pikir Sikander dengan putus asa. Hanya se
ulas senyum di wajahnya yang menandakan bahwa gadis itu mengenalinya.
"Apa kabarmu, Zarri Bano"" sapa Sikander pelan. Dia merana melihat tampang gadis itu yang begitu muram. Lesung pipit di pipinya tampaknya kini terhapus begitu saja. Dia masih tampak begitu cantik dengan pakaian berwarna muram dan kerudung sifon putih. Namun, percikan cahaya di mata hijaunya sudah sirna. Keriangan masa muda dalam dirinya, sudah menguap tawa di matanya juga raib!
"Sebaik yang bisa diharapkan dalam suasana seperti ini, Sahib Sikander. Terima kasih sudah bersedia hadir dan terima kasih juga atas dukunganmu. Aku yakin ayahku akan menghargainya," dia menjawab sopan, tanpa mampu menatap langsung mata lelaki itu. Zarri bersiap untuk berlalu.
"Terima kasih kembali," sahut Sikander, berupaya mengatakannya dengan nada yang sama.
Menyadari mereka berada di tempat umum, di luar halaman, dengan banyak perempuan dan laki-laki mengawasi dan ikut mendengarkan pembicaraan mereka dengan penuh minat, Zarri Bano merasa sangat kikuk berada di dekat Sikander.
"Aku harus pergi, Sahib Sikander." Dia memohon diri dan berlalu dari hadapan lelaki itu.
Dengan setengah hati, Sikander membiarkan gadis itu pergi. Namun, dia tetap memandanginya dengan tatapan putus asa. Sudah lama sekali dia menyadari bahwa dirinya sungguh-sungguh jatuh cinta pada Zarri Bano, sejak hari pertama mereka berserobok pandang di mela. Dia kini merasa tersiksa oleh keinginannya untuk melindungi dan menjaga gadis itu dari segenap rasa sakit dan penderitaannya. Andai saja mereka sudah menikah sebelum Jafar wafat! Dia tentu bisa membawa Zarri Bano keluar dari tempat duka ini dan menenangkannya dengan ketulusan cintanya. Sekarang ini dia tidak berdaya melakukan apa pun. Seakan-akan dia tidak mengambil bagian apa pun dalam kehidupan Zarri Bano.
Para pelayat hanya menyaksikan pertemuan singkat antara putri sulung Habib dan seorang pengusaha tampan berbadan tinggi itu. Namun, Fatima menangkap sesungging senyuman persekongkolan dari Shahzada di halaman saat dia melihat mereka berdua.
Saat melewati Kaniz, Fatima melihat wajahnya berubah sinis saat dia melirik ke arah sorot mata penuh amarah perempuan itu. Di sudut yang agak jauh di halaman, Firdaus sedang duduk bersama Ruby, sedangkan Khawar tampak berdiri di belakangnya, membungkukkan bahunya dan membisikkan sesuatu ke telinga Firdaus. Firdaus mendongak menatap Khawar, lalu tertawa.
Kaniz sudah dengan sewaspada mungkin mengawasi putranya. Dia memandang angkuh ke atas tepat saat Fatima berlalu menjauh, tetapi belum sempat menangkap bias kemenangan di wajah saingannya itu. Piring makanan di tangan Kaniz bergetar dan jatuh dengan sebuah suara benturan keras di atas lantai semen itu. Begitu membalikkan tubuhnya, Fatima dengan segera dan cekatan membereskan pecahan-pecahan itu dari sekitar kaki Kaniz.
"Chaudharani Kaniz, apakah Anda ingin aku mengisi kembali piring Anda"" tanyanya santun sambil tetap berjongkok sibuk di lantai.
"Tidak, terima kasih. Aku tidak menginginkan apa pun darimu!" sahut Kaniz ketus, dengan suara yang cukup nyaring untuk didengar semua tetamu dan perempuan desa yang berada di sekitar tempat itu.
Dengan wajah memucat, Fatima berusaha menahan diri, menolak terpancing oleh ucapan Kaniz. Dengan bijak dia memilih berlalu pergi.
Kaniz bisa mengatakan apa pun yang ingin dikatakannya, tetapi dia tidak dapat melakukan apa pun untuk mencegah kasih sayang putranya kepada putriku! pikir Fatima gembira. Dengan sebuah senyuman nyinyir di wajahnya, dia terus bergerak mendatangi para pelayat lainnya dan menyodorkan baki-baki berisi buah-buahan. Dia tidak menawarkan apa pun lagi pada Kaniz.
* * * Habib Khan juga sempat menyaksikan pertemuan singkat antara Sikander dan putrinya. Shahzada menangkap emosi yang berbeda menyeruak di wajah suaminya. Dia berusaha mengartikannya sebaik mungkin setelah bertahun-tahun hidup bersamanya. Melihat Shahzada menatapnya, Habib lalu mengajaknya berbicara tentang apa yang sedang ditatapnya.
"Katakan pada Zarri Bano bahwa dia tidak boleh berbincang dengan orang asing," titahnya tegas, "khususnya dalam pertemuan ini,
saat semua jenis telinga bisa ikut mendengarkan dan menonton untuk sejumput gosip murahan. Itu tidak baik untuk reputasi putriku."
"Tetapi Habib Sahib, Sikander bukanlah seorang asing! Dia adalah tamu khusus kita, seseorang yang segera akan menjadi anggota keluarga kita kenyataannya dia adalah seorang calon menantu," sahut Shahzada. Suaranya meninggi perlahan karena dia merasa tidak memahami titah suaminya itu.
"Mungkin ini adalah kismet. Mungkin Sikander tidak ditakdirkan untuk menjadi anggota keluarga kita. Setidaknya, tidak sebagai suami Zarri Bano." Habib berpaling sambil berbicara dengan suara pelan seperti untuk dirinya sendiri.
"Apa" Apa maksudmu"" gugat Shahzada sambil mencondongkan kepalanya ke arah suaminya. Sebuah bogem mentah baru saja meninju dadanya. Matanya membelalak dengan raut wajah merana.
"Tidak apa-apa. Lupakan saja apa yang baru kukatakan," bisik Habib dari belakang Shahzada sebelum bangkit dan melintasi halaman untuk berbicara dengan ayahnya, Siraj Din.
Shahzada bagaimanapun tak mampu melupakannya. Dengan terhuyung-huyung, dia bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan halaman rumah itu dalam kekalutan, dan mencari kesendirian di dalam kamarnya. Habib mengancam akan menceraikannya jika dia berani mendorong Zarri Bano menikahi Sikander ini gila! Kata-kata ketus dan dingin dari mulut suaminya telah membuatnya terguncang, nyaris sama mengerikannya dengan kematian putranya semata wayang. "Ini tidak mungkin!" Sirene meraung-raung nyaring di kepalanya. Dia tentu saja tidak dapat merencanakan takdir seperti itu! Tidak bagi putrinya yang rupawan! Mereka tidak mungkin sekeji itu. Mereka tidak bisa sekeji itu! pikirnya kalut. Kepalanya tersiksa oleh bermacam-macam bayangan buruk.
Masih dalam kekalutan, Shahzada mencari putrinya. Zarri Bano sedang berada di kamarnya. Tampak olehnya putrinya itu sedang membaca Al-Quran, dengan kepala tertutup kerudung. Benak ibunya membayangkan sebuah kenyataan pahit.
"Zarri, sayangku. Tolong simpanlah kitab suci itu di rak di atas perapian dan mari kita bicara." Shahzada menghambur ke arahnya dengan suara bergetar dan langsung terduduk di atas sofa. Dia bersusah payah untuk bisa tersenyum pada putrinya itu, tetapi gagal.
"Ya, Ibu." Setelah mencium Al-Quran dengan takzim, Zarri Bano menyimpan Kitab Suci di rak di atas perapian dan menyingkap turun kerudung di kepalanya. Dia menggoyangkan kepalanya membuat rambut ikalnya berayun, jatuh dengan lembut di atas bahu dan mukanya, lalu menjurai indah di punggungnya.
"Katakan padaku, Zarri Bano, kau sungguh-sungguh ingin menikah dengan Sikander, bukan"" Shahzada memulai perbincangan mereka, tanpa mampu memandangi mata putrinya.
Pipi Zarri yang tadinya pucat mulai dihiasi semburat merah muda dan Zarri Bano pun mengangguk. "Ya, Ibu. Dua hari sebelum aku menekuri kematian Jafar, Sahib Sikander melamarku dan aku sudah menerimanya. Itu sebabnya kemudian aku menelepon Ibu untuk mengabarkannya. Namun, bagaimana mungkin aku sempat memikirkan pernikahan setelah kini aku kehilangan adikku tercinta""
"Kau harus memikirkannya, sayang. Kau harus menikah secepatnya."
"Tetapi ini bukan saat yang tepat, Ibu. Bagaimana mungkin Ibu menyarankannya" Kita baru saja menguburkan Jafar kemarin. Itu akan menjadi masalah yang sangat sensitif. Apa yang akan dikatakan Ayah""
"Kau harus segera mengatakan hal itu padanya karena menurutku dia mungkin akan membuat rencana lain untukmu, setelah kini dia kehilangan Jafar." Suara Shahzada terdengar sangat lirih. Dia menunggu reaksi atau komentar apa pun yang terlintas di benak putrinya itu, sambil berharap Zarri memahami apa yang dikatakannya. Namun, Zarri Bano hanya menatapnya dengan sorot mata hampa sehingga Shahzada terdorong untuk menjelaskannya lagi.
"Ayahmu...," Shahzada tercekat. Dia merasa sulit sekali untuk mengutarakan kata-katanya, "... menginginkanmu untuk menjadi ahli warisnya, dan menjadi Shahzadi Ibadat kita, 'Perempuan Suci' kita, secara adat."
Zarri Bano menatap nanar, tampak terpana ketika menyerap semua yang dikatakan ibunya. Mulutnya ternganga, tetapi tidak ada sebuah suara pun yang keluar.
Dalam kekalutan, Shahzada menengadah dan Zarri Bano melihat ketakutan dirinya terpancar pada sepasang mata cokelat ibunya yang hangat. Pancaran sorot matanya bak seekor binatang yang diburu dan terluka. Dunia terbalik dalam pusarannya bagi Zarri Bano.
"Tidak, Ibu! Jangan!"
Tangis membuncah dari palung jiwanya yang terdalam.
7. IBU PASTI sudah salah paham! pikir Zarri Bano kalut di dalam kamarnya setelah Shahzada menjatuhkan "bom" itu dan bergegas keluar kamar dengan chador putihnya yang panjang menjuntai di belakangnya.
"Tidak mungkin! Mereka tidak dapat melakukan itu padaku!" gugat Zarri Bano pada dinding-dinding kamarnya. "Aku harus berbicara pada ayahku dan mengenyahkan gagasan gila ini dari benakku." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap gerakannya itu bisa mendatangkan mukjizat, tetapi dia malah merasa lebih pening dan lebih bingung daripada sebelumnya.
Sambil berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, Zarri Bano merasa bimbang atas siapa yang bisa dia percaya. Jika dia mengatakannya pada Ruby, adiknya itu akan sama kalutnya dan sama terguncangnya dengan dirinya sendiri. Mengapa harus menambah beban batinnya"
Beberapa saat kemudian, dia terpikir untuk berbicara pada ayahnya, tetapi semuanya tak berguna. Dengan tampang berkabungnya, Habib selalu dikelilingi oleh para pria lainnya dan itu membuat Zarri Bano sulit mendekati ayahnya itu. Bagaimanapun, Zarri Bano tidak dapat menenangkan dirinya sebelum mengatakan semuanya itu langsung kepada ayahnya.
"Aku harus bisa berbicara pada Ayah malam ini juga!" tekadnya.
Sekitar setengah dua belas malam, saat dia tahu pasti bahwa kedua orangtuanya akan berada di kamar tidur mereka, Zarri Bano mengetuk pintunya dan masuk. Kamar yang luas dengan langit-langit tinggi menjulang itu tampak temaram, tetapi perabot dari kayu walnut membuat suasana di kamar itu tetap terasa hangat. Ibunya sedang shalat di salah satu sudut, di atas sajadahnya. Habib sedang duduk di sofa dekat ranjang sambil membuka-buka koran Jang. Dia meletakkan koran itu saat melihat putrinya masuk.
"Bagaimana kabarmu, putriku"" sapanya ramah. Wajahnya menyeruakkan senyuman. "Dengan banyaknya tetamu di mana-mana, aku tidak sempat berbicara denganmu untuk menenangkanmu, putriku."
Ketika Zarri Bano sudah duduk di sampingnya, Habib memusatkan semua perhatiannya pada anak kesayangannya itu, perhiasannya yang paling indah. Bahkan, putra satu-satunya tidak mampu bersaing dalam mendapatkan kasih sayang yang dirasakannya untuk Zarri Bano. Zarri Bano menggenggam tangan ayahnya, menciumnya, dan menyentuhkannya ke pipinya.
"Ayah, aku merindukan adikku. Bagaimana kita dapat bertahan tanpanya"" ratapnya sambil menyandarkan kepalanya ke bahu sang ayah. Sambil merangkul putrinya, Habib mendekapnya erat. Kemudian, teringat niatan awalnya mendatangi kamar orangtuanya malam itu, Zarri Bano melepaskan kepalanya dari dekapan sang ayah.
"Ayah, aku belum sempat menceritakan padamu tentang kunjunganku ke Karachi," serunya.
Habib mengalihkan pandangan matanya ke arah surat kabar lagi. "Hmm!" Dia mendehamkan suara datar dari tenggorokannya. Zarri Bano mengawasi betapa senyum penuh kasih itu berganti menjadi sebuah tatapan kosong.
"Sahib Sikander telah melamarku," lanjutnya perlahan seraya menunggu sang ayah menatap wajahnya kembali, sehingga dia bisa melihat reaksinya. Tetapi, dia malah melihat bahu dan lehernya menegang. "Apakah Ayah mendengar apa yang baru saja kukatakan"" desak Zarri Bano gugup.
"Ya, aku bisa mendengarmu, Zarri Bano," ujar Habib sambil menoleh ke arahnya. "Aku mengetahuinya. Ibumu sudah memberitahukannya padaku. Apa yang kau katakan padanya"" Suaranya terdengar ketus.
Sambil tertunduk kaku di sajadahnya, Shahzada lupa melanjutkan shalat yang sedang dijalankannya. Dia menunggu dengan jantung berdebar jawaban dari mulut putrinya.
"Aku menerimanya. Aku sadar bahwa ini bukan saat yang tepat, tetapi kupikir aku harus memberitahukannya pada Ayah dahulu, sebelum orangtua Sikander mendatangi Ayah." Zarri Bano meluncurkan semua kalimat itu dalam satu desahan napas. Pipinya merona merah karena malu saat reaksi yang dinantikannya ti
dak juga muncul. "Tidakkah Ayah senang" Setelah bertahun-tahun Ayah menungguku menentukan pilihanku pada seorang lelaki untuk menikahiku dan akhirnya sekarang aku melakukannya, Ayah malah membisu. Seolah-olah Ayah tidak menginginkanku menikah!"
Habib menangkap percikan kemarahan dalam suara putrinya. "Kau terlalu tegang, putriku. Ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk membicarakan pernikahanmu. Kita baru saja menguburkan adikmu kemarin."
"Maafkan aku, Ayah. Maafkan aku Ayah benar, ini bukan waktu yang tepat. Aku sangat tidak sensitif." Zarri Bano menguatkan diri untuk memohon maaf dengan gigi-gigi bergemeletuk menahan geram. Untuk pertama kali seumur hidupnya, dia merasakan pijaran kemarahan terhadap ayahnya sebuah pengalaman yang sungguh baru.
"Ada apa dengannya"" batinnya. Mengapa dia membuat segalanya begitu sulit"
Zarri bangkit dan berdiri tegak, menangkap kekalutan di mata ibundanya. Ketakutan kembali meraja dalam dirinya saat dia kembali ke kamarnya. Sedang terjadi sebuah kekeliruan. Sangat keliru, sebenarnya. Selama ini ayahnya selalu punya waktu untuknya, dalam suasana hati yang bagaimanapun atau dalam waktu apa pun. Dan kini, sorot mata sedingin es di matanya itu! Zarri Bano bergidik.
Tak lama kemudian, di atas ranjang, Zarri Bano menatap langit-langit kamar yang putih dan menerawang membayangkan apakah dirinya dan ibunya pernah menduga semua ini. Lagi pula, Habib benar: betapa dia sudah bersikap tidak sensitif dengan memperbincangkan pernikahannya begitu cepat setelah kematian adiknya tercinta. Namun, ayahnya tidak bisa melakukan hal itu padanya... tidak pada putri kesayangannya, seorang anak perempuan kepada siapa dia akan "siap menjual segala yang ada di dunia ini untuknya".
Merasa sedikit lebih terhibur, Zarri Bano membalikkan tubuhnya dan segera tertidur pulas.
* * * Shahzada merasa begitu bersusah payah untuk menyelesaikan shalat isyanya. Dengan jemari gemetar, dia melipat sajadah tebalnya dan menyimpannya di dalam laci meja rias. Dari sudut matanya, diam-diam diamatinya sosok kaku suaminya. Dia sedang duduk dalam posisi yang sama.
Shahzada merasakan perdebatan sengit di dalam benaknya: apa yang harus dilakukannya" Haruskah dia memperbincangkan hal itu dengan suaminya itu" Jika ternyata dia salah mengira, dia justru akan menanamkan gagasan gila itu ke dalam benak suaminya, dan dia tidak mau mengambil risiko itu. Sambil menarik napas panjang, dia merayap naik ke ranjangnya sendiri.
Sepuluh menit berlalu. Matanya masih terbuka. "Dia tidak sedang membaca. Aku tahu pasti," ujar Shahzada pada dirinya sendiri. "Apa yang sedang kau pikirkan, Habib Sahib"" serunya nyaring. "Kau sama sekali tidak bergerak sejak Zarri Bano meninggalkan kamar kita. Ada masalah apa""
"Tidak," sahut Habib. Dia memunggungi istrinya.
"Aku tak sengaja mendengar apa yang dikatakan Zarri Bano. Aku senang dia sudah menerima pinangan Sikander. Akhirnya, putri kita telah menemukan seseorang yang diinginkannya untuk menikah. Sikander adalah sosok yang tepat untuknya," ujar Shahzada dengan berani. Dia juga sangat menyadari sikap menentang suaminya pada para pelamar dan dia sadar sedang bermain api.
"Tolong jangan membicarakan pernikahannya! Kita baru saja menguburkan anak laki-laki kita, dan kau tampaknya sudah langsung merencanakan pesta pernikahan Zarri Bano."
"Kau salah memahamiku. Aku tidak merencanakan apa pun. Seperti juga kau, aku pun telah kehilangan orang yang kucintai anakku. Sebagai seorang ibu, aku tidak akan pernah bisa pulih dari kehilangan ini, Habib," tukas Shahzada membela diri.
"Ayolah, tidak perlu saling melontarkan kata-kata kekanak-kanakan tentang siapa yang paling merasa kehilangan, Shahzada," ujar Habib. Lelaki itu akhirnya menoleh ke arahnya. Ekspresinya begitu menekan. "Jafar adalah kesayangan kita, dan kita sudah kehilangan dirinya. Sekarang ini aku merasa jatuh dalam keterpurukan terhebat dalam hidupku. Apa yang akan terjadi pada diri kita dan ahli waris kita""
Tikaman perasaan kembali menghantam dada Shahzada. Terpaku, bagaikan terkena patukan seekor ular kobra, Shahzada menusukkan pandangannya ke mata suaminya.
"Apa maksudmu"" ucapnya lirih.
"Karena kita tidak punya anak laki-laki sekarang ini, lalu siapakah yang akan menjadi ahli warisku, Shahzada" Pada siapa aku akan menyerahkan semua tanah ini" Aku tidak mungkin memberikannya pada orang asing yang kebetulan menikahi putriku. Ini adalah tanah kita, yang terkumpul dan dibayarkan oleh keringat dan kerja keras kakek moyangku, turun-temurun selama berabad-abad dari generasi ke generasi. Katakan padaku, apa yang akan kau lakukan jika kau berada di tempatku"" Dia terdiam sejenak yang bagi istrinya tampak sebagai sebuah momen kehancuran. Lalu, "Hanya ada satu pilihan di hadapan kita."
"Tidak!" jeritan Shahzada melengking menggetarkan semua sudut ruangan yang gelap itu. Napasnya memburu. Dia terlompat dari ranjangnya dan berdiri di hadapan suaminya. "Tidak, Habib! Itu bukan seperti yang kupikirkan." Keheningan yang mencekam dari suaminya begitu menakutkan baginya. Dia meninjukan kepalan tangannya ke dada suaminya. Menyadari keadaannya, Habib mendorong istrinya menjauh.
"Berhentilah! Kendalikan dirimu, perempuan!" Wajah Shahzada memucat. Habib memelototi istrinya dengan sorot mata yang lebih dingin daripada puncak Himalaya. Saat itu juga sesuatu telah mati dalam diri Shahzada. Dia sedang memandangi seseorang yang benar-benar asing baginya sesosok tuan tanah feodal yang keji, bukan suaminya.
"Tidak, tidak. Sampai kau katakan padaku apa yang ada dalam kepalamu. Jangan membiarkanku dalam keadaan tegang, kumohon, Habib!" ratapnya. Tubuh Shahzada menggapai untuk memukul lelaki itu lagi. Dipicu oleh kekerasan primitif di dalam dirinya, Shahzada membuat dirinya sendiri terkejut dan juga suaminya.
Habib kembali mencengkeram tangan istrinya kuat-kuat dan mendorong tubuhnya. "Baiklah, aku akan mengatakannya padamu. Aku akan berbicara pada ayahku mengenai kemungkinan Zarri Bano menjadi seorang Shahzadi Ibadat, seorang Perempuan Suci. Kau puas sekarang"" ujarnya menggeram di depan muka Shahzada.
"Shahzadi Ibadat, " istrinya mengulang kata itu dengan nada sendu. Suaranya memudar menjadi bisikan lirih saat tubuhnya menjauh dari suaminya sentuhan suaminya kini terasa membakar tubuhnya. "Jadi, kau akan mengorbankan putri kesayanganmu""
"Mengorbankan"" tukas Habib terdengar murka. "Beraninya kau mengatakan hal seperti itu! Putriku akan menjadi seorang Perempuan Suci yang termurni, tersaleh, terpelajar, dan yang paling dipuja oleh semua orang." Begitu kata-kata ini meluncur keluar dari mulutnya, perasaannya semakin baik.
"Kau gila, Habib Sahib! Bagaimana mungkin kau melakukan hal ini pada putrimu sendiri" Aku tidak rela! Ini bukan zaman kekaisaran Akbar. Ini abad kedua puluh ini tidak bisa terjadi."
"Ini bisa dan akan terjadi! Menurutmu, apakah kau, seorang perempuan, dapat mencegahnya" Beban itu menindihmu, perempuan."
"Habib, dengarkan aku," bujuk Shahzada putus asa. "Dia akan menikah dengan Sikander. Dia baru saja mengabarkannya padamu." Shahzada kini merasa bagaikan sedang berjalan di atas pasir isap dan tanah serasa menghilang begitu cepat dari pijakannya.
"Oh tidak, dia tidak akan menikah. Aku sudah putuskan! Kau sebaiknya memberitahunya. Aku sudah kehilangan seorang putra, dan aku tidak akan melepaskan semua warisanku pada seseorang yang benar-benar asing. Aku ingin kau mendukungku dalam hal ini. Itulah kewajibanmu sebagai seorang istri. Jika kau tidak melakukannya, tradisi kuno kita akan memberatkan posisimu. Jadi, sebaiknya kau membiasakan diri dengan gagasan itu. Ingatlah apa yang kukatakan: Aku akan menceraikanmu begitu kau memberontak melawan kami."
Habib menghunjamkan sorot matanya ke mata istrinya dengan keji. "Dan berhentilah membicarakan omong kosong tentang pengorbananku. Zarri Banoku yang cantik sudah ditakdirkan atas nasibnya ini. Kematian adiknya menetapkan masa depannya sebagai Shahzadi Ibadat. Inilah yang selalu terjadi saat para putra tunggal meninggal dunia di kalangan kita. Warisan akan jatuh pada anggota keluarga perempuan berikutnya kau tahu itu."
"Jadi, kau akan menikahkan putrimu dengan ladang-ladangmu dan keyakinannya." Air mata kalut mengalir di wajah Shahzada. "Itu adala
h zulm, kekejian yang terkeji. Jika kau tetap menjalankannya, aku tidak akan pernah, tak akan pernah, memaafkanmu, Habib tidak akan pernah! Kau boleh menceraikanku! Tidak ada lagi yang tersisa di antara kita. Camkan ini, jika kau akan menjadikan putrimu seorang Perempuan Suci, kau juga sekaligus menguburkan seorang istri."
"Aku tidak akan mendengarkan rengekan bodohmu lagi. Aku akan tidur di kamar yang lain," bentaknya. Suaranya yang berat dan dingin terdengar membahana, dan dia, membanting pintu di belakangnya. Kata-kata istrinya telah membuatnya berang. Dia tahu apa yang dirasakan Shahzada karena dia juga merasakan kepedihan yang sama. Bagaimanapun, tidak seperti istrinya, dia tidak memiliki pilihan lain. Dia diperingatkan oleh apa yang dikatakan Shahzada bahwa dia tidak akan memaafkannya, tetapi, "Dia akan berubah seiring berjalannya waktu," ujarnya pada dirinya sendiri.
Di dalam benaknya dia mengingat bayangan Shahzadi Ibadat lainnya di masa kanak-kanaknya. Betapa dia sempat begitu terpukau oleh perempuan itu, ketenarannya, dan pujian yang diterimanya dari semua orang. Ke mana pun dia pergi, "Bibi, Bibi, " menggema bersahutan di sekelilingnya.
Zarri Bano dan karisma pribadinya akan melebihi semua Shahzadi Ibadat sepanjang sejarah. Dia memiliki kecantikan sekaligus terpelajar. Dia bahkan sudah mendapatkan gelar pascasarjananya. Semakin Habib memikirkan putrinya itu sebagai seorang Perempuan Suci, dia kian teryakinkan bahwa dia sudah menetapkan sebuah keputusan yang tepat. Istrinya hanyalah salah satu dari jenis kelamin yang lemah dan karena itu dia memiliki pandangan yang picik tentang hal ini.
"Apakah dia tidak mengharapkan kejayaan dan kehormatan untuk putri kami"" sahutnya dengan menatap bintang-gemintang di angkasa sambil berjalan-jalan mengelilingi lahan miliknya. Cahaya dari langit berbintang itu membias di atas berhektar-hektar tanah penuh tanaman. Dada bidang Habib membusung karena bangga. Seraya merasakan kebahagiaan, matanya menyapu bentangan ladang hijau tebu dan lobak yang berkilauan terkena sinar bulan, menghampar hingga melebihi batas cakrawala.
Desah napas kelegaan dan kepuasan terlepas dari bibirnya. Yang terkaya dari semua pemilik tanah, tidak ada seorang pun yang mampu menandingi kekayaannya atau pengaruhnya. "Ya! semua ini akan menjadi milik Zarri Bano. Dia yang akan mewarisinya. Dia akan menjadi satu-satunya tuan dari semua kekayaan ini setelah kematianku. Sebagai anak kesayanganku, dia pantas mendapatkannya."
Dengan semangat membumbung tinggi, dia pun kembali ke vilanya. Pikirannya dengan gesit melesat ke depan dan dengan cekatan membuat keputusan-keputusan. Besok dia akan merundingkan dengan sang ayah tentang Zarri Bano. Tapi, setelah menimbang-nimbang, dia ingin membicarakannya malam ini juga.
Siraj Din masih terjaga. Dia tak mampu terlelap. Dia merindukan kampung halaman dan ranjangnya. Dia mengisap kuat-kuat hookah-nya, membuat air di bejana kecil itu bergejolak menjijikkan. Bahkan, rasa tembakaunya saja tidak sama di kota ini!
Habib menemukan ayahnya tengah berada di atas sebuah charpoy, di beranda belakang, sedang mengamati bintang-gemintang menari-nari di angkasa. Siraj Din menyapa putranya dan menepuk sebuah bantalan kursi di samping ranjang lipatnya.
"Ayah, aku ingin berbicara padamu. Ini tentang Zarri Bano dan warisan kita," dia berkata pelan. Siraj Din melupakan tembakaunya dan menegakkan duduknya di atas ranjang itu untuk menyimak. Ada banyak sekali soal yang harus didiskusikan.
* * * Shahzada meringkuk di atas ranjangnya, menatap sendu udara kosong di depannya. Ini adalah saat tersuram dalam hidupnya. Ketakutan atas apa yang akan dilakukan suaminya benar-benar menghantuinya. "Bagaimana mungkin mereka mampu melakukan hal itu pada anak kesayanganku"" ratapnya. "Ini keji dan tidak manusiawi. Zarri Bano dilahirkan untuk mencinta, untuk hidup, untuk mengandung anak-anak. Bagaimana mereka bisa mengunci takdirnya untuk sebuah kehidupan tanpa anak, hanya ibadat, pemujaan ketenangan""
Kesunyian yang gelap-mencekam di kamarnya seolah-olah mengejeknya. Kesunyian itu mengancamnya, menyingkap keti
dakberdayaannya sebagai seorang perempuan, sebagai seorang ibu, dan sebagai seorang istri. Terpasung oleh tradisi dan budaya keluarga besar suaminya yang berabad-abad usianya, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Nasib Zarri Bano memang sudah terkunci. Tidak ada lagi jalan keluar untuk putrinya.
Saat suaminya kembali ke kamar tidur mereka, Shahzada masih saja terjaga. Dia tidak mendekati istrinya dan Shahzada tidak menunjukkan sedikit pun bahwa dia menyadari kehadiran suaminya suatu fenomena baru untuk mereka berdua. Seolah-olah ada sebidang tembok tebal yang tiba-tiba saja menjulang di antara mereka, memisahkan mereka satu sama lain bak sepasang musuh. Shahzada tidak lagi merasa takut pada suaminya. Kenyataannya, dia bahkan tidak takut akan apa pun dan siapa pun. Bahkan juga tidak pada ayah mertuanya. Yang ditakutinya hanyalah nasib buruk yang menanti putrinya.
Dalam kegelapan, mata Shahzada membiaskan kepedihan dan kebencian. Dia tahu persis apa yang harus dilakukannya. Dia akan berdiri di pihak suaminya dan mendukung keputusannya. Bagaimanapun, dia tidak akan pernah memaafkan suaminya atau tradisi barbar yang membuat lelaki seperti suaminya memperbudak perempuan dan membuat mereka menjadi orang asing. Laki-laki seperti dialah yang melupakan perikemanusiaan mereka dan mendagangkan kehidupan orang-orang yang dicintainya demi bongkahan-bongkahan tanah mereka yang berharga.
Shahzada ingin sekali melompat keluar dari rumahnya dan membakar ladang-ladang itu, membumihanguskan semuanya. Dia meratap, "Tanah mewakili kesuburan. Bagi keluargaku dan anak perempuanku, tanah berarti kehancuran dan ketidaksuburan. Untuk menjaga agar tanah ini tetap menjadi milik keluarga, putriku ditakdirkan untuk selamanya perawan dan tak berputra. Dia harus mengingkari kebahagiaan seorang ibu; kedua tangannya tidak akan pernah merasakan kebahagiaan merengkuh seorang bayi yang baru dilahirkan ke dadanya."
Dengan pilu, Shahzada membayangkan apa yang sedang dimimpikan oleh putrinya saat itu juga. Apakah Sikander muncul dalam mimpi-mimpinya" Apakah dia tidur dalam damai, tidak menyadari hukuman yang baru saja ditimpakan untuknya, dan tali yang disiapkan untuk menjerat lehernya"
"Aku seorang ibu, tetapi aku seorang pengkhianat," isaknya di dalam bantalnya.
* * * Ketika terbangun pagi-pagi sekali mendengar suara azan subuh dari masjid di dekat rumah mereka, Shahzada kembali terisak. Putrinya yang sempat menjalani kehidupan yang bebas dan nyaman akan segera mendapati seluruh hidupnya berputar di sekitar sajadah. Sepenuhnya mengabdikan diri untuk ibadah.
Bangkit perlahan dan dengan langkah tertatih, Shahzada pergi ke kamar mandi. Seusai berwudhu, dia melaksanakan shalat subuh.
Habib juga sudah bangun dan mengamati istrinya dari atas ranjangnya. Dia menghitung lamanya Shahzada melakukan wirid berdoa kepada Allah. Apa yang didoakannya" Apakah dia berdoa untuk anak perempuannya"
Ketika Shahzada berdiri, dia berhadapan dengan wajahnya yang tampak muram dan hampa. Lingkaran hitam mengelilingi matanya. Dalam semalam, dia tampak sudah bertambah tua. Tidak tampak kedukaan, tetapi juga tidak ada maaf dalam sepasang mata cokelat muda itu.
"Apakah kau berdoa untuk kami, Shahzada"" tanya Habib dengan suara terbata penuh keraguan yang muncul untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
"Aku sudah mendoakan keluargaku. Untuk almarhum anak lelakiku, semoga dia beristirahat dalam damai di surga. Untukmu, semoga Allah mengampunimu dan mengampuni kita, untuk apa yang akan kita lakukan," jawab Shahzada dengan nada dingin.
"Shahzada, tidak ada yang perlu diampuni. Mengapa kau tetap saja berbicara seperti itu"" "Aku tidak akan berdebat denganmu, Habib."
Habib menyadari adanya kekurangan yang disengaja dengan panggilan hormat Sahib setelah namanya. Hal itu membuatnya sedih, tetapi dia membiarkannya berlalu.
"Apa yang akan kukatakan adalah," lanjut Shahzada, "aku tidak akan pernah memaafkanmu, tetapi aku akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untuk mendukungmu dalam segala hal, sebagai kewajibanku."
"Terima kasih," balas Habib dengan helaan napas lega, bersyukur atas dukungan sa
ng istri. "Jangan berterima kasih padaku," tukas Shahzada ketus. "Aku hanyalah sebuah boneka, semata-mata seorang perempuan tak berharga yang mengerjakan titahmu. Kau dan ayahmu adalah dalangnya, Habib. Kau menggenggam nasib putriku dalam kepalan tanganmu. Pilihan apa yang kumiliki" Aku hanya bisa ikut berayun dan menuruti ke arah mana pun kau tarik atau bagaimanapun kau gerakkan aku. Apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkan putriku dari nasib buruk yang kau takdirkan untuknya" Orang menyebutnya sebagai kismet, tetapi tampaknya seperti kau yang memahatkan kismet orang lain dan mendiktekan takdir mereka seperti yang kau katakan padaku dengan sangat berapi-api kemarin. Aku terbelenggu oleh rantai dominasi priamu, ressmeh-mu, tradisi-tradisimu."
"Jangan berbicara ngawur!" Dia menoleh pada istrinya dengan marah sambil terduduk di atas ranjangnya.
"Itu dia. Hanya itu yang kau yakini dariku berbicara ngawur. Sepanjang yang kau pikirkan, Allah hanya memberkahimu dengan akal sehat." Shahzada berpaling darinya dan meninggalkan ruangan. Habib tetap terduduk di atas ranjangnya, merasa dibingungkan oleh kata-kata istrinya.
"Oh, Jafar, mengapa kau harus pergi"" Habib menjerit. "Karena kematianmulah aku terpaksa harus melakukan ini semua. Aku merasa masa berkabung keluarga kita tidak akan pernah berakhir. Ibumu tidak akan pernah memaafkanku dan itu akan kutanggung dengan berat sekali." Dia mencengkeram kepalanya sendiri dan menangis tersedu-sedu sepenuh hati.
8. SHAHZADA TURUN ke dapur guna memastikan segalanya lancar untuk sarapan pagi tetamu mereka. Dia berdoa agar Zarri Bano belum bangun karena dia belum sanggup menghadapi putrinya itu. Tugas yang menghadangnya adalah tugas yang sangat besar: menyiapkan putri kesayangannya untuk menjadi seorang Perempuan Suci.
Berdiri sendirian di tengah-tengah dapurnya yang modern, lengkap, dan luas, Shahzada berusaha mengawasi pekerjaan ketiga kokinya saat mereka sedang mempersiapkan halwa puri, kari Chana, teh, kue-kue, dan paratha. Pikirannya benar-benar linglung. Berkali-kali dia harus menyembunyikan wajahnya di balik kerudungnya, saat air mata tak tertahankan jatuh perlahan di pipinya. Pengurus rumah tangganya, Fatima, adalah orang pertama yang melihatnya menangis.
"Shahzada Sahiba, ayolah, janganlah Anda menangis. Kami semua mencintai Jafar kita yang tampan. Kita akan menghabiskan sisa umur kita untuk menangis dan berduka untuknya, tolong berhentilah menangis," desak Fatima yang juga tidak mampu menahan dirinya untuk tidak menangis. "Pergilah dan duduklah di kamar yang lain. Kami dapat menyelesaikan semuanya di sini." Sambil mengelap matanya dengan sudut chador-nya, Fatima menuntun majikannya keluar dari dapur.
Mereka masuk ke sebuah ruangan penghubung dan bersama-sama duduk di atas sebuah sofa empuk. Shahzada memperlakukan semua pelayan dan bawahannya sebagai sesama manusia, dan dengan kebaikan hati yang tulus, Shahzada berhasil membina hubungan yang luar biasa dengan Fatima. Dia sudah bekerja pada mereka selama lebih dari dua puluh tahun dan karena itu Fatima nyaris seperti anggota keluarga saja.
Meski kelaziman menuntutnya untuk tidak melakukannya, berbagi dan membicarakan kegundahannya dengan Fatima tidak akan terelakkan. Kalau tidak, Shahzada merasa akan menjadi gila, serasa memeluk sebuah bom mematikan sendirian saja di dadanya.
"Oh, Fatima, Fatima!" seru Shahzada dengan suara terbata-bata. "Kupikir aku adalah perempuan hidup yang paling berbahagia. Aku memiliki sebuah rumah yang indah, gaya hidup yang menyenangkan, dan hingga kematian Jafarku, aku dikaruniai anak-anak yang paling rupawan yang pernah kuimpikan dan kudambakan. Aku mengenal semua ibu yang membanggakan anak-anaknya. Aku mencoba menjadi salah satunya. Bagaimana mungkin aku melupakan putraku yang tampan" Rubyku yang cantik dan Zarri Bano...," dia tersedak oleh air mata yang mengucur deras.
"Ayolah, Sahiba, Anda masih memiliki Ruby dan Zarri Bano. Janganlah menangis. Anda memiliki semuanya untuk menjadi seorang ibu yang berbangga hati. Tidak seorang pun yang dapat menandingi kecantikan Zarri Bano kita dan dia masih hidu
p." "Jangan membicarakan kecantikannya apa gunanya itu jika disembunyikan karena tidak akan ada laki-laki yang akan mengaguminya, untuk mencintainya, dan membuatnya berkeluarga."
"Apa yang sedang Anda katakan, Sahiba" Ada apa dengan Zarri Bano"" Fatima tercekat.
"Dia mendapat musibah." Shahzada menatap nanar teman dan pembantunya itu. Matanya berkilauan oleh air mata.
"Aku tidak mengerti," sahut Fatima sambil membalas tatapan Shahzada dengan ketakutan membias di wajahnya. "Katakan padaku, mengapa dia mendapat musibah"" Sebagai seorang yang percaya pada adanya ilmu hitam, Kala Jadoo, Fatima kini benar-benar tegang. Mungkinkah seseorang menggunakan sebuah azimat jahat untuk merusak kesehatan anak asuhnya itu" Benak Fatima menjadi sedemikian kalut dipenuhi bermacam-macam dugaan dan takhayul. "Biasanya ini terjadi di desa, pasti tidak bisa terjadi di sini, di kota ini," bisiknya lirih kepada majikannya.
"Ini bukan ilmu hitam, Fatima. Ini lebih buruk. Dia akan menjadi seorang Shahzadi Ibadat, seorang Perempuan Suci!"
Fatima menatap wajah majikannya dengan ketakutan. "Shahzada Sahiba" Tidak!" erangnya. Suaranya begitu lemah nyaris bagai desisan belaka. "Itu tidak mungkin. Siapa yang berkata begitu""
Melihat kekalutan Fatima, Shahzada mengingat kembali kekalutan dirinya sendiri kemarin ketika Habib pertama kali menyebutkan rencananya ini padanya. Tidakkah dirinya bahkan memukuli dada suaminya dengan menggunakan kepalan tangannya" Dan kini, dari seorang istri penurut dan patuh yang tidak pernah meninggikan nada suaranya atas lelaki itu sebelumnya, dia meninjukan kepalan tangannya! Kenyataan itu menyelimutinya. "Tak satu pun dari semua ini yang sungguh terjadi! Itu akan menjadi sebuah mimpi buruk," dia mengucapkan kalimat itu.
Dia merasa begitu tua. Kehilangan Jafar dan sekarang Zarri Bano melumpuhkannya hingga ke tulang-tulangnya.
Dia adalah sang chaudharani, ratu keluarga ini. Meski begitu, dengan satu serangan saja, suaminya sudah menjatuhkannya ke tingkat terendah dari yang paling rendah. Bahkan, istri seorang penjual ikan saja memiliki lebih banyak kewenangan dan akan mampu melawan serangan suaminya demi anak-anaknya. Dia, sebaliknya, terbelenggu di dalam sangkar emasnya.
Bahkan, jika suaminya melemah di bawah kendalinya, dia tidak akan mampu seorang diri melawan tekanan dari sesepuhnya yang lain, khususnya ayah Habib. Siapa yang pernah mendengar seorang menantu perempuan sendirian mengusung keadilan seraya melawan kehendak penguasanya" Sebagai seorang perempuan, dia tidak memiliki kekuatan apa pun pendapatnya tidak berarti. Hukum berlaku di antara mereka: kata-kata kaum lelaki adalah perintah, dan mereka dilahirkan untuk dipatuhi. Mereka memiliki kemampuan khusus dalam hal memberi dalih sehingga segalanya terdengar begitu meyakinkan. Di hadapan kezaliman mereka yang dengan tebal tersamarkan itu, perempuan tidak akan pernah bisa berharap menang atau menantang mereka. Mereka selalu selangkah di muka dan sangat cekatan dalam hal itu.
Zarri Bano tidak akan mempunyai kesempatan. Dia akan hancur melawan benteng tirani patriarkat ini. Bahkan dengan kebeliaannya, feminisme, dan pendidikan universitas yang dikenyamnya, dan dengan kepribadiannya yang ramah, dia tetap akan digariskan untuk menjadi seorang pecundang dalam permainan kekuasaan kaum lelaki ini.
Seperti juga ibunya, dia sudah dididik sejak bayi untuk menghormati dan memuja setiap keinginan ayahandanya dan siapa pun lelaki yang dituakan dalam keluarga mereka. Menentang salah satu keputusan mereka akan dianggap sebagai pembangkangan tingkat tinggi dan sebuah tanda dari gangguan moral dan sosial, sebentuk pemberontakan yang oleh para tetua akan dianggap harus dimusnahkan sesegera mungkin dan dengan sebentuk perlakuan hingga dia tidak akan pernah bisa meninggikan kepalanya yang buruk itu lagi.
Di sisi lain, Shahzada menganggap membantu putrinya melarikan diri dari takdirnya adalah sesuatu yang tak mungkin. Ke mana dan apa yang akan dijadikan pelarian Zarri Bano" Kekuatan klan keluarganya, seperti juga trah yang lain, bergantung kepada izzat mereka kehormatan keluarga mereka.
Bagi Zarri Bano, meninggalkan rumahnya akan membuat izzat mereka terpuruk jatuh di mata semua orang. Tidak ada seorang pun yang mampu memperbaiki guncangannya, baesti, kehilangan muka.
Kemungkinan anak perempuannya menikah sebelum upacara penobatan Perempuan Suci juga terasa tidak mungkin. Pernikahan itu pasti akan membangkitkan skandal besar, khususnya jika pernikahan itu tidak direstui oleh ayah dan kakeknya, dan masih dalam suasana berkabung karena kematian adiknya. Mereka harus berkabung untuk Jafar selama tiga bulan.
Singkatnya, tidak ada jalan keluar bagi putri tercintanya! Zarri Bano juga akan terbelenggu di dalam sangkar emas, tetapi dia tidak akan berada di bagian dalam sangkar itu karena tidak seperti ibunya, dia tidak akan pernah menikah, memiliki anak, menikmati kebersamaan seorang suami, atau mengurus kehidupan rumah tangga yang normal seperti perempuan-perempuan lainnya. Tugas dan kewajibannya hanyalah melakukan ibadah agama.
"Fatima, andai saja aku ini istri tukang ikan," kini dia mengungkapkan isi kepalanya keras-keras. "Dengan begitu, aku dapat melindungi kepentingan putriku: Di sini aku seorang chaudharani, tetapi aku bahkan tidak memiliki cukup kekuatan dalam jemariku untuk melindungi putriku dari nasib buruk yang menunggunya."
"Ayolah, Sahiba, jangan menangis. Tentu saja itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin terjadi pada Zarri Bano kita. Itu sangat gila dan kejam. Bagaimana mungkin seorang perempuan cantik yang sudah cukup matang untuk menikah dan punya anak bisa dipisahkan dari tugas yang sudah ditakdirkan bagi kita, sebagaimana juga semua perempuan di seluruh dunia" Untuk itulah, Allah menciptakan kita."
"Ini akan terjadi dan sedang terjadi, Fatima. Kukatakan padamu bahwa aku tak berdaya mencegah apa yang akan terjadi nanti, yang tampaknya akan diselenggarakan dalam beberapa hari ini." Shahzada menatap Fatima dengan sorot mata penuh kepiluan. "Kalian orang-orang dari kasta rendah merasa iri pada kekayaan yang kami miliki, tetapi saat ini aku akan memberikan apa saja untuk bertukar kehidupan denganmu, atau sebagai seorang perempuan yang tinggal di dalam pondok yang terbuat dari lumpur kering. Fatima, kedua tangan putriku tidak akan pernah dilukis dengan henna merah berpola pengantin." Dia merintih, seolah-olah jantungnya mau pecah.
Mulut Fatima terus ternganga akibat dari penuturan yang dikatakan chaudharani-nya meresap sempurna ke dalam benaknya. Tidak mungkin! Kedua tangannya mulai saling menggosok satu sama lain, menandakan kekalutan batinnya.
Sambil berjongkok di lantai, Fatima meletakkan kepalanya di pangkuan majikannya dan mulai terisak. Karena sempat membesarkan Zarri sejak usianya tujuh tahun, Fatima mencintai Zarri Bano layaknya seorang ibu kandung. Fatima menyuapinya, memandikannya, dan mendandaninya. Selama bertahun-tahun, dia senang mendengarkan celotehnya, sindiran-sindiran sinisnya, dan selalu mengintip para pelamarnya untuk dilaporkan pada gadis itu, sebelum Zarri Bano menemui mereka. Di dalam hatinya, seperti juga di dalam hati ayah Zarri Bano, Fatima tidak pernah merasa puas melihat para pelamar tersebut. Dia selalu berpikir bahwa Zarri Bano terlalu bagus untuk para lelaki itu. Hanya Sikanderlah yang lulus dari ujian itu. Dan itu hanya karena dia menangkap secercah cahaya dan tatap sayu di mata Zarri Bano yang tidak pernah disaksikan Fatima sebelumnya saat Zarri Bano menghadapi lelaki lainnya. Hati pengurus rumah tangga itu membuncah karena bangga dan bahagia, mengetahui bahwa akhirnya Zarri Bano sudah menemukan jodohnya. Seorang lelaki yang bisa dihormatinya sekaligus dicintai.
Sekarang kenyataan lain muncul. "Tidak mungkin terjadi!" Dia ingin berlari dan menghantamkan kepalanya ke dinding di hadapan Chaudhury Habib untuk mengembalikan akal sehatnya!
Mereka berdua tetap saling berangkulan, terpaku dalam kedukaan selama bermenit-menit dalam hening. Baru ketika si koki, Naimat Bibi, mendatangi mereka untuk bertanya apakah mereka harus menyiapkan meja makan untuk makan pagi, Shahzada terpaksa harus berdiri dengan setengah hati. Kehidupan harus terus berjalan. Krisis pribadi harus dikes
ampingkan untuk menghadapi rutinitas dan penampilan sehari-hari.
* * * Sejam kemudian, sebagian besar tamu yang sudah mandi dan berdandan turun memasuki ruang makan yang luas. Mereka duduk berkelompok dan sementara mereka menyantap makanan, mereka juga mengobrol dan memindah-mindahkan makanan ke sekeliling meja. Ketika Habib masuk, dia duduk sendirian di sebuah sofa, bukan di salah satu dari keempat meja makan besar itu, dan langsung mengunyah sepotong roti kering menemani tehnya. Dia tampak sedang merenung ketika Shahzada memandanginya, sambil lalu-lalang di antara meja-meja makan untuk memastikan semua tamunya dilayani dengan baik. Bahkan dengan kedukaan pribadi yang meradang di dalam hatinya, dia tetap teliti mengawasi semuanya, memastikan semua perabot porselennya bersih tak bernoda, dan serbet tersedia di mana-mana.
Ruby dan Zarri Bano memasuki ruang makan. Melihat berkeliling dan tersenyum ramah pada semua orang, mereka duduk berdua di sebuah meja yang masih kosong dua kursinya. Semua orang berhenti bersantap, mengasihani mereka saudari-saudari yang malang yang baru saja kehilangan seorang saudaranya.
Habib dan Shahzada saling menyorotkan tatapan tegang saat melihat kepala Zarri Bano tak berkerudung. Di hadapan para kerabatnya, Zarri Bano tidak pernah berusaha menutupi kepalanya.
Sepuluh menit kemudian, Sikander dan ibunya, Bilkis, memasuki ruang makan. Zarri Bano memunggunginya. Tetapi saat secara kebetulan dia melihat dari cangkirnya sekilas ayahnya yang saat itu menyorotkan tatapan penuh peringatan, Zarri Bano menyadari kehadiran Sikander. Ketika menoleh melihatnya, mulutnya membentuk seulas
senyum hangat matanya memercikkan rasa suka. Sikander balas tersenyum padanya. Matanya menatap penuh kasih sayang ke wajah Zarri Bano. Dia tampak tak peduli siapa pun yang menyaksikannya.
Potongan roti kering di tangan Habib berderak nyaring, menggetarkan suasana. Dengan sopan, Sikander bergerak menjauh, membimbing ibunya ke ujung ruangan ke meja makan lainnya. Zarri Bano mengikuti gerakan lelaki itu dengan tatapan sendu. Dia menoleh ke arah ayahnya, memerhatikan ekspresi tegangnya dan gerakan-gerakan kaku tangannya. Sebersit rasa ketakutan muncul di benaknya begitu dia mengingat kata-kata ibundanya sekali lagi.
Sebagai ujian, mata Zarri Bano menjelajahi ruangan mencari Sikander. Sekali lagi dia melihat sorot mata sang ayah yang meneliti tatapan mereka berdua. Dia merasa bersalah, seolah-olah baru saja ketahuan karena melakukan kesalahan. "Bukan suatu kejahatan melakukan kontak mata dengan lelaki yang akan menikah denganku!" Dia ingin meneriakkan kata-kata itu ke arah Habib. Zarri Bano lalu menatap ke arah ibunya mencari pembelaan, tetapi Shahzada menghindari tatapan putrinya dengan berpura-pura menyerahkan selembar serbet ke salah seorang tamu.
Dengan malas, Zarri Bano mengangkat kerudung Muslimnya, menutupi kepalanya, dan kemudian sengaja memalingkan wajahnya ke arah sang ayah. Dia tidak tersenyum kepadanya kali ini, dan ayahnya memerhatikan hal itu. Ada sesuatu yang lain dalam sorot mata dan ekspresi Zarri Bano sekarang.
Apakah keputusan itu kini sudah jatuh" Sudahkah dia menyadarinya" pikir Habib panik. Dia bergidik ketakutan memikirkan apa yang ditawarkan masa depan pada mereka, sambil mencemaskan kapan Zarri Banonya yang berharga itu akan tersenyum padanya lagi. Belum apa-apa, dia sudah bisa merasakan sikap menentang putrinya itu meruap dari setiap pori-pori tubuhnya, melintasi ruangan.
9. "KAU AKAN menjadi seorang Perempuan Suci, Zarri Bano!" Habib menyatakannya dengan suara membahana kepada putrinya.
Itu terjadi dua minggu setelah kejadian di ruang makan pagi itu. Selama itu, ayah dan anak itu tidak lagi berbicara satu sama lain, dan mereka saling menghindar.
Sikander dan ibunya sudah pulang ke rumah mereka. Dia dijadwalkan pergi ke Singapura untuk urusan bisnis. Sikander dan Zarri Bano tidak memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang berdua saja, begitu juga ibunda Sikander tidak sempat bercakap-cakap dengan ibunda Zarri Bano. Shahzada selalu tidak sempat mengobrol secara pribadi dengan Bilkis. Oleh karena itu,
dengan baik ibu maupun anak lelakinya itu pergi tanpa sempat memperbincangkan apa pun tentang rencana pertunangan Sikander dengan Zarri Bano.
Zarri Bano memerhatikan sikap tak suka ayahnya terhadap Sikander. Itu menurutnya tidak masuk akal. Ayahnya pernah memohon kepadanya untuk menikahi seseorang, tetapi kini dia memberikan perlakuan yang amat dingin kepada calon menantunya. Sebagian besar tetamu dan pengunjung sudah pulang. Hanya beberapa kerabat dekat dari keluarga itu yang masih tinggal untuk memberikan doa khusus pada selamatan hari keempat puluh chaleesema, atas meninggalnya Jafar.
Seperti pengecut, Shahzada dan Fatima telah memilih untuk bungkam, dan menghindar dari Zarri Bano. Mereka bersalah karena menjaga sebuah rahasia jahat, sambil menunggu dengan ketakutan sampai Habib membongkarnya sendiri kepada putrinya itu. Kemudian dunia ini serasa meledak di sekeliling tubuh mereka.
Pada akhirnya Habib memerlukan waktu dua minggu untuk memanggil putrinya agar menemuinya. Sekarang, putrinya berdiri di hadapannya, dan Habib mengetahui bahwa tubuh jangkung Zarri Bano tegak bagaikan sebatang kawat per. Dia menolak duduk. Dengan berdiri tegak, Habib berdeham membersihkan tenggorokannya yang kering. Belum pernah sebelumnya dia merasa begitu sulit berbicara pada "bintang" kesayangannya itu. Sebelumnya, mereka tidak pernah berhenti berbicara satu sama lain. Sejak kematian Jafar, samudra nan luas seolah membentang di antara mereka.
"Menurutku, Zarri Bano, ini adalah saatnya kita membicarakan masa depanmu," ujarnya berat hati, dan dia mulai melangkah berkeliling ruangan.
"Maksud Ayah, pernikahanku"" potong Zarri Bano memberanikan diri, dan itu membuat ayahnya tercekat. Zarri Bano tidak akan membuat pembicaraan ini mudah bagi sang ayah.
"Tidak," sahut Habib tegas. Lalu dia memutuskan untuk mengambil tindakan berbahaya. Ini bukan saatnya membuang-buang waktu. "Bukan pernikahanmu. 'Masa depan'-mu Zarri Bano." Habib terdiam sejenak. Lalu, "Tidak akan ada pernikahan bagimu, putriku. Kau malah akan menjalankan upacara yang lain. Kami sudah memutuskan bahwa kau akan menjadi seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. "
Zarri Bano menatap kosong ayahnya. Apa yang sedang dikatakannya" Pasti dia tidak sungguh-sungguh!
"Mengapa"" tanya Zarri Bano amat lirih. "Aku tidak ingin menjadi Perempuan Suci, Ayah. Ayah tidak sungguh-sungguh, bukan" Ini sebuah gurauan dan ini gurauan yang buruk." Dia menatap sang ayah dengan tatapan penuh protes.
"Tidak, putriku tersayang, ini bukan gurauan. Aku tidak pernah lebih serius lagi seumur hidupku." Suara yang begitu tega dan tak berperasaan itu menghambur ke arah Zarri Bano. "Kau tahu betul tradisi kita, tentang ahli waris laki-laki yang meninggal dan putri tertuanya menggantikannya menjadi seorang Shahzadi Ibadat. Aku tidak memiliki pilihan lain. Kau harus berusaha mengerti."
"Tidak ada pilihan" Aku tidak percaya, Ayah. Tidak mungkin aku menjadi seorang Perempuan Suci," ancamnya. "Aku tahu konsekuensinya dan aku tidak tepat untuk tugas itu. Seperti yang Ayah ketahui, aku bahkan nyaris tidak pernah menutup kepalaku dengan benar. Aku hanya mengetahui sedikit tentang agama. Aku adalah seorang perempuan yang sangat duniawi. Aku tidak bisa menjadi seorang biarawati!"
"Kau akan segera terbiasa dengan tugas itu," ujar Habib tegas.
"Ini gila. Ayah tak mungkin serius," sahut Zarri Bano datar. "Aku sudah menerima pinangan Sikander Sahib. Ayah sendiri sudah merestui dan mendukung adanya perjodohan. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengannya. Aku ingin menikah dengannya!" Zarri Bano merasa terhenyak dengan intonasi suaranya dan disadarinya pipinya segera saja merona merah.
"Situasinya sekarang sudah berubah." Muncullah suara yang tegas itu lagi. "Kita kehilangan adikmu. Tidak akan ada upacara pernikahan untukmu. Aku tidak akan memberi restu padamu untuk menikahi lelaki ini atau lelaki mana pun, Zarri Bano. Tidak akan pernah."
"Tidak, Ayah!" Zarri Bano menjauh dari ayahnya, seolah-olah lelaki itu adalah sesosok setan.
Habib menyaksikan ekspresi tidak percaya yang tertumpah, bercampur ketakutan dan kemarahan, s
ilih berganti membias di wajah putrinya. Dia melihat putrinya berperang dengan dirinya sendiri, mencoba memahami kata-kata ayahandanya. Kemudian begitu kenyataan menerpanya, wajah Zarri Bano berubah sepucat mayat dan dia pun berlari terbirit-birit ke luar.
Begitu mencapai lorong, dia tidak tahu ke arah mana dia harus berbelok. Suara bising terus bergaung di telinganya dan matanya menjadi kabur oleh air mata. Entah bagaimana, dia bisa menemukan pintu kamar tidurnya dan menerjangnya hingga terbuka, dan dia pun terhuyung masuk. Tungkai-tungkai kakinya lemas dan tubuhnya roboh di atas lantai.
Ketakberdayaan ini diikuti oleh kegelapan yang tiada tara. Tak sadar diri, Zarri Bano kehilangan orientasi atas waktu dan ruang. Jam dinding terus berdetak. Detik dan menit berlalu, sementara Zarri Bano tergeletak di atas lantai marmer yang dingin dan ayahandanya berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya sendiri.
10. SEJAM KEMUDIAN Shahzada bergabung dengan suaminya. Dia mendapati sang suami berdiri terpaku di tepi jendela kamar tidur mereka, seperti biasa menatap halaman berhias bebungaan yang sedang mekar-mekarnya. Shahzada memerhatikan kepalanya yang tertunduk tak bahagia. Tanpa banyak ribut, Habib mengatakan pada sang istri tentang apa yang sudah dilakukannya. "Aku sudah berbicara padanya, Shahzada."
Baki makanan yang dipegang istrinya bergetar dan dia meletakkannya di atas meja rias.
"Di... di... di mana dia"" tukasnya gugup. Matanya segera membengkak dipenuhi air mata.
"Aku tidak tahu." Habib membalikkan tubuhnya dan kembali melemparkan pandangan ke luar jendela. "Dia pergi beberapa saat yang lalu," sahutnya datar.
Perlahan Shahzada berjalan keluar dari kamar mereka. Dengan pandangan kabur, dia berjalan ke arah kamar Zarri Bano. Pintunya tak mau terbuka; sesuatu mengganjalnya. Setelah mendorong dan membuatnya terbuka sedikit, Shahzada menyelipkan kepalanya ke balik pintu.
Dalam keremangan kamar itu, Shahzada menyaksikan putrinya tergeletak di lantai. Matanya terbuka, tetapi pandangannya begitu kosong menatap ruang hampa. Setelah menjerit pilu, Shahzada melangkah masuk ke dalam kamar itu. Di benaknya dia sadari bahwa masih ada banyak tetamu di rumahnya dan sebagian besar di antaranya akan senang hati memasang telinga.
Seraya merangkak di atas lantai marmer, Shahzada mengangkat kepala putrinya dan merengkuhnya ke dalam pelukannya. Sambil memegangi kepala putrinya, dia mulai menggoyang-goyangkannya perlahan. Sungai air mata mengalir lembut di pipinya.
"Zarri Bano, bicaralah padaku, anakku. Apakah kau terluka" Mengapa kau terbaring di lantai""
Sambil menyandarkan putrinya di bahunya, Shahzada menyeretnya melintasi lantai yang dingin dan berusaha mengangkatnya ke atas ranjang di tengah ruangan. "Ruby! Ruby!" teriaknya memanggil putri bungsunya di lorong.
"Ada apa"" tanya Ruby sembari berlari tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya. Shahzada tidak menjawab, hanya memberi isyarat padanya untuk masuk ke kamar Zarri Bano dan menyalakan lampu di samping tempat tidurnya.
"Apa yang terjadi dengan Zarri Bano, Ibu" Mengapa dia melotot seperti itu"" tanya Ruby cemas.
"Pergilah dan ambil segelas air untuk kakakmu. Dia tidak sehat," pinta Shahzada padanya. "Menurutku, dia pingsan."
Tidak tampak reaksi apa pun dari Zarri Bano ketika ibunya mengelilingi tempat tidurnya dan sekali lagi meletakkan kepala putrinya di pangkuannya. Mata gadis itu tetap terbelalak, tapi tanpa perhatian ke arah wajah ibundanya. Dia menelan air yang disodorkan ke bibirnya oleh Ruby yang kalut, tetapi tidak berkata apa-apa.
"Haruskah aku memanggil Ayah"" tanya Ruby panik. Dia tidak pernah melihat kakaknya seperti itu. Pemandangan itu terlalu menakutkan setelah kematian kakak laki-lakinya.
"Tidak usah, Ruby," ujar Shahzada lirih. "Ayahmulah yang menyebabkan semua ini."
"Apa maksud Ibu"" Ruby tidak mengerti.
"Ayahmu baru saja memberi tahu Zarri Bano bahwa dia akan dijadikan seorang Shahzadi Ibadat, " bisik Shahzada. Keheningan yang mencekam menyeruak.
"Ya, Tuhan!" Ruby tercekat. "Ibu, ini tidak mungkin terjadi. Zarri Bano sudah terikat untuk segera menikah." "Tidak. Tidak akan ad
a pernikahan untuk putriku yang cantik ini," Shahzada berkata kelu.
Suara ibunya yang semakin samar lebih menakutkan bagi Ruby daripada histeria yang tadi dilakukannya. "Tetapi Ibu, dengarkan aku! Siapa yang bilang bahwa dia akan dijadikan seorang Shahzadi Ibadat"" tanyanya sambil mendorong tangan ibunya dengan keras.
"Itu sudah diputuskan oleh ayah dan kakekmu." Shahzada mengingat kembali kejadian saat dirinya dipanggil untuk menemui Siraj Din dan diberi tahu bahwa Zarri Bano akan menjadi seorang Bibi sang Perempuan Suci. Dan bahwa dirinya, sebagai ibunya, diharapkan mampu menyiapkan Zarri untuk tugas itu. "Jangan melawan kami dalam soal ini, Shahzada," Siraj Din memperingatkannya dengan nada suara yang pelan dan terdengar dingin.
"Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" gagap Ruby "Ibu, ini gila. Bagaimana mungkin Ayah bisa melakukan hal ini menyembunyikan kakakku yang jelita ini di balik selembar kerudung hitam"" Ruby melontarkan bayangan yang terbentuk di dalam kepalanya. "Ya, Tuhan. Melihat kakakku terbungkus burqa, yang menutupi kepala hingga jari kakinya, itu jelas tidak mungkin, bukan" Aku akan menemui Ayah! Dia tidak bisa melakukan ini atau membiarkan hal ini terjadi."
Dia berbalik untuk pergi berlalu, tetapi ibundanya menangkap lengannya dan menarik tubuhnya agar kembali duduk.
"Tidak, jangan, Ruby! Aku sudah mencoba membujuknya, tetapi tidak ada gunanya. Bagaimana mungkin kau bisa berhasil, kalau aku saja gagal" Zarri Bano tidak bisa meloloskan diri dari nasib buruk ini." Ruby menatap ibundanya dengan sorot mata ketakutan yang langsung terbias di wajahnya. "Dia menggenggam tradisinya, dan ayah serta semua kerabat laki-lakinya akan mendukungnya," Shahzada melanjutkan kalimatnya dengan gemetar.
"Tetapi Ibu, mengapa mereka melakukan semua ini"" Kini Ruby yang gemetaran karena rasa takut dan amarah.
"Tidakkah kau pahami"" Suara Shahzada terdengar kental oleh sarkasme. "Tidakkah kau ketahui bahwa kakakmu akan diikat kuat-kuat pada ladang tebu busuk di sekeliling tanah kita"" suara Shahzada luruh, tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Maksud Ibu, kakakku akan dinikahkan pada zemin kita dia tidak akan diperbolehkan untuk menikah, selamanya"" Ruby lagi-lagi tercekat. "Tapi, Zarri Bano tidak membutuhkan harta kita. Sikander dapat memenuhi semua kebutuhannya dengan melimpah."
"Ruby, sayangku, dengarkan Ibu. Zarri Bano adalah ahli waris ayahmu. Dia tidak bisa menghindar dari tugas itu atau dari apa yang diwarisinya. Keduanya akan selamanya saling berkaitan. Hanya dengan menjadi seorang Perempuan Suci, dia dapat menjadi ahli waris yang sah...." Shahzada terdiam, memandang dengan terbelalak ke arah pintu yang terbuka, tepat ketika bayangan Habib tampak melintasi lantai.
Habib bisa membaca suasana dengan sekilas saja. Tatapan menuduh dari mata Ruby, dengan mulut yang setengah ternganga siap untuk berteriak ke arah ayahnya, dan istrinya yang dengan tegang mencengkeram tangan gadis itu dari belakang, berusaha untuk menghentikannya. Ruby kemudian berbalik dan menatap ibundanya. Shahzada memberi isyarat dengan kedua matanya agar Ruby tenang. "Jadi, Ruby juga sudah tahu," pikir Habib. Sambil berjalan gontai memasuki kamar itu. Sosoknya yang tinggi dan kaku berdiri tegak di tepi ranjang dan memandangi putri sulungnya yang terbaring tak bergerak di depannya. Dia merasa terpuruk. Sebuah pengalaman baru baginya menjadi sedemikian terasing dari keluarganya.
"Shahzada dan Ruby, maukah kalian pergi meninggalkan kamar ini" Aku ingin sendirian dengan Zarri Bano," pintanya. Shahzada tak juga beranjak pergi.
"Tolonglah, kataku!" perintahnya. "Aku ayahnya. Aku juga mencintainya. Jangan perlakukan aku seperti seorang penderita lepra. Jangan merebut atau menghilangkan wewenangku."
Nada dingin suaranya memaksa Shahzada meletakkan kembali kepala putri sulungnya ke atas bantal dan menarik Ruby yang tampak marah keluar dari ruangan tersebut. Hanya karena kewajibannya sebagai anak selama bertahun-tahun dan penghormatan kepada orangtualah yang mencegah Ruby meneriaki sang ayah dan menahan kemarahannya yang meledak-ledak terhadapnya.
Habib menyak sikan mereka berlalu. Sambil menghela napas berat, dia menjatuhkan pandangannya ke arah putri sulungnya. Mata Zarri Bano masih menunjukkan tatapan kosong. Dengan membungkuk, Habib mengangkat kepala Zarri Bano dan meletakkannya ke dalam pangkuan tangannya. Setengah berjongkok di atas permukaan lantai marmer yang dingin, Habib memalingkan wajah Zarri Bano perlahan ke arahnya. Sambil mengusap lembut anak-anak rambut dari belakang telinga Zarri Bano, Habib berbisik, "Lihat Ayah, putriku sayang. Jangan mengabaikanku!"
Tepat pada nada suara tenang tetapi tegas itu, kelopak mata Zarri Bano terangkat perlahan ke arah wajah sang ayah.
"Terima kasih, putriku yang cantik." Dia mengusap lembut pipi putrinya seperti yang biasa dilakukan Habib saat dia masih seorang gadis kecil dan biasa tertidur di pangkuannya. Saat dia sudah beranjak dewasa, tata krama sosial memaksa mereka untuk hanya berbincang atau paling-paling dia mencium ubun-ubun putrinya. Habib selalu ingin mengelus pipi putrinya yang berlesung pipit dan indah, khususnya saat Zarri Bano tertawa dan tersenyum menggoda padanya. Hari ini dia ingin mengurai rasa sakitnya di tingkat yang sepantasnya.
Zarri Bano terus menatap nanar ayahnya. Tiba-tiba saja segalanya muncul kembali dalam pikirannya bagaikan segumpal awan hitam dan dia pun memalingkan wajahnya dari sang ayah.
Habib berdiri seraya membiarkan kedua lengannya terjatuh ke samping tubuhnya. Sehebat apa pun dia berusaha menutupinya dari dirinya sendiri, penolakan putrinya itu tetap terasa sangat menyakitkan.
"Maafkan Ayah, Zarri Bano, tetapi semuanya tidak akan seburuk yang kau duga," ujarnya pada putri sulungnya itu. "Aku tidak memiliki pilihan lain...."
Zarri Bano menatap ayahnya dengan sorot mata ketakutan. Habib menyaksikan sorot mata seekor binatang yang terperangkap di mata Zarri.
"Tentu saja Ayah punya pilihan lain!" serunya. "Setiap manusia memiliki pilihan! Tak satu pun di dunia ini yang terikat selamanya. Apa yang Ayah maksudkan sebenarnya adalah Ayah tidak memiliki pilihan antara memberikan berhektar-hektar tanah kepada putrimu atau tidak sama sekali. Aku tidak menginginkan ladangmu, Ayah! Dan aku tidak ingin menjadi Perempuan Sucimu, Shahzadi Ibadat-mu." Dia terdiam sejenak, memandangi raut wajah sang ayah lekat-lekat, mencari tanda-tanda bahwa dia telah masuk ke dalam lubuk sanubari kemanusiaannya.
Roman muka kaku dan datar, serta tatap mata dingin itu menyampaikan satu pesan saja pada Zarri Bano. Dia semata-mata hanya menggenggam batang yang rapuh. Suaranya tenggelam begitu saja, dan dia pun melontarkan pernyataan barunya, "Aku ingin menjadi perempuan normal, Ayah, dan hidup normal! Aku ingin menikah. Aku bukanlah orang saleh, seperti yang Ayah tahu. Aku seorang perempuan modern yang terpelajar dari abad kedua puluh. Aku tidak hidup di zaman Mughal seorang pion dalam permainan catur kaum lelaki. Tidakkah kau lihat, Ayah, aku jarang sekali shalat dalam hidupku, tidak juga rajin membuka Al-Quran dan menggunakannya sebagai pedoman. Bagaimana mungkin aku kemudian menjadi seorang Perempuan Suci" Aku tidak cocok untuk peranan itu. Ayah, aku ingin ."
"Yang ingin kau katakan hanyalah bahwa kau membutuhkan seorang laki-laki di dalam hidupmu," tukas Habib memotongnya.
Pipi Zarri merona merah karena malu dan terkejut. Dia menatap nanar ayahnya dalam bisu. Kemudian pandangannya tertunduk seiring dengan rasa malu dan amarah yang bercampur aduk menyiksa tubuhnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia membenci ayahnya dengan cara yang tak pernah dipikirkannya. Konotasi seksual dalam kata-kata yang dilontarkan sang ayah telah mengguncangnya hingga ke dalam kalbu.
"Aku tidak berkata bahwa aku menginginkan seorang laki-laki!" Bicaranya kini begitu pelan sampai Habib nyaris tidak bisa mendengarnya. "Aku hanya ingin menjadi perempuan normal dan hidup normal seperti perempuan lainnya."
"Jika kau tidak menginginkan...," Habib terhenti. Orang-orang tidak berbicara pada anak perempuannya dengan sikap atau intonasi seperti ini. "Jika kau tidak ingin ditemani seorang lelaki," Habib memperbaiki sikapnya, "atau mendambakannya, lalu men
gapa kau begitu memberontak sehingga tidak ingin menjadi seorang Shahzadi Ibadat" Sebagai perempuan normal, sebagai seorang istri, kau akan terikat pada seorang laki-laki. Kehidupan semacam itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan izzat, kehormatan dan ketenaran yang akan dihadirkan oleh perananmu itu kepadamu dan keluargamu."
"Kegemilangan" Izzat" Ketenaran" Aku tidak menginginkan semua itu, Ayah. Mengertikah Ayah" Tolong, tinggalkan aku sendirian!" jerit Zarri Bano. "Apakah aku sedang membentur-benturkan kepalaku ke dinding batu""
Habib berdiri dan melangkah ke arah pintu. Di ambangnya dia berhenti dan berbalik, dan dengan hati yang terpuruk dalam, Zarri Bano menangkap tatapan dingin dan tegas di mata ayahnya.


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau boleh menjerit-jerit semaumu, putriku tersayang yang sombong, tetapi kau akan melakukan apa yang kukatakan aku tahu kau akan melakukannya. Kita berdua sama. Kau tidak akan pernah mengecewakanku, aku tahu pasti, tidak terhadap tradisi kita, tidak juga kepada kakekmu. Jika kau tidak mau mematuhi keputusanku, setidaknya pikirkanlah kakekmu." Habib menatap mata putrinya yang berkilauan oleh air mata bak butiran permata raksasa di wajahnya. Tetapi hari ini, butiran itu tidak memengaruhinya.
Untuk pertama kalinya, Zarri Bano diserang kepanikan dalam hidupnya. Rasa takut yang mencekam menyelimutinya; mulutnya kering, napasnya memburu.
Ayahnya telah menyiapkan sebuah jebakan dan dia terjerat dengan mudah, dengan menggunakan seksualitas sebagai amunisinya. Kata-kata sang ayah membadai di kepalanya: "yang kau inginkan adalah seorang laki-laki. " Zarri Bano meringkukkan tubuhnya. Tangannya membelit mendekap dadanya seraya mengingat kembali perasaannya terhadap Sikander. Ya, dia mendambanya, tetapi ayahnya sudah merendahkan pernikahan dan landasannya, menghinakan dirinya sekaligus inti keperempuanannya, dengan menekankan caciannya bahwa yang sesungguhnya diinginkan Zarri Bano adalah kehadiran seorang lelaki dalam hidupnya.
Masih bergulat dengan sensasi mencekam berada di dasar kegelapan yang pekat, dengan pahit Zarri Bano menyadari bahwa ayahnya telah menang. Karena dirinya tidak akan pernah membiarkan ayahnya atau dunia tahu bahwa dia menginginkan dan mendambakan Sikander. Itu adalah situasi yang tidak memungkinkan. Dan tidak ada lagi jalan keluar baginya.
Menit berganti jam. Jam dinding itu tanpa ampun terus berdetak melintasi malam. Tak seorang pun mendatangi kamarnya. Segenap angan dan pikirannya melayang dan menguap di benaknya saat dia menatap langit-langit putih susu yang menjulang di atas sana.
"Aku tidak bisa mengecewakan Ayah ataupun keluargaku," isaknya. "Ayah menang! Dia berhasil memerasku secara psikologis."
Dia benar-benar tidak boleh memandangi Sikander lagi. Ayahnya telah menyatakan semuanya, mengenyahkan sesuatu yang begitu alami, begitu indah, dan membuatnya menjadi mustahil. Bahkan para ibu saja tidak akan berani memperbincangkan masalah semacam itu dengan anak-anak perempuan mereka, apalagi seorang ayah. Sekali lagi pipi Zarri Bano merona karena malu. Kebencian pada ayahnya meruak kembali dan membakar seluruh tubuhnya.
Dia bangkit dari ranjang dan berdiri di depan cermin. Dia memandang datar ke arah bayangannya sendiri. Dia tahu apa yang harus dilakukannya.
* * * Ketika Shahzada memasuki kamarnya beberapa saat kemudian, Zarri Bano sudah sepenuhnya menguasai diri. Rambutnya tersisir dan terjurai ke belakang, diikat satu simpul di belakang lehernya. Ada segurat ketenangan dalam mimik mukanya yang sudah berhari-hari tidak disaksikan Shahzada. Shahzada tersenyum kaku.
"Apakah kau baik-baik saja, putriku"" Zarri Bano sedang duduk di sofa dengan sebuah buku di tangannya. Kemudian dia bangkit berdiri. Tatapan sedih Shahzada memandang ke arah sosok tinggi dan angkuh milik putrinya itu.
"Ya, Ibu. Hari ini aku sudah dewasa. Aku tidak hanya putrimu atau putri ayahku, aku adalah aku! Namun, Ibu dan Ayah telah secara brutal mengoyak identitasku sebagai seorang perempuan normal dan malah merendahkanku pada tingkatan sebuah boneka. Menurut Ayah, aku harus mengerjakan apa yang dititahkannya. Jadi, itulah aku." K
epahitan menusuk jantung ibundanya. "Aku tidak pernah menyadari Ayah bisa melakukan hal ini padaku. Aku dulu mengasihani perempuan lain yang memiliki para lelaki tiran. Tak kuduga aku sendiri dibesarkan di pangkuan seorang lelaki tiran. Ayahku membuat diriku percaya bahwa dia akan 'menjual dunia ini untukku', padahal kenyataannya dia perlahan tapi pasti berniat 'menjual' diriku ini pada hasrat patriarkat dan tradisi kunonya. Apa yang bisa kulakukan sendirian, Ibu" Kalian semua telah menjerat dan membungkamku ke dalam sebuah komitmen yang harus bersedia kujalani dengan terpaksa, Ibu. Aku tidak akan pernah ikhlas. Pada saat ini, aku tidak merasakan apa pun selain kebencian yang membara pada Ayah. Hanya waktu yang akan menentukan apakah dia akan memiliki kembali Zarri Banonya yang dulu."
Zarri Bano mengunci tatapan Shahzada, merasakan ekspresi keterkejutan sang ibu. "Kini aku yang berdiri di hadapanmu, Ibu, adalah Shahzadi Ibadat ayahku." Dia merentangkan tangannya dengan dramatis. "Sang Perempuan Suci. Perempuan yang diciptakan Ayah untuk membunuhku. Tidakkah kau tahu bahwa para lelaki adalah pencipta sesungguhnya dalam kebudayaan kita, Ibu" Mereka mencetak kehidupan dan takdir kita sesuai dengan hasrat dan nafsu mereka. Yang paling ironis dari segala yang ironis, karena aku tidak mampu memaafkan diriku sendiri karenanya, adalah bahwa ini terjadi pada diriku seseorang yang membela hak kaum perempuan. Selama ini aku tinggal di dalam sebuah rumah kaca yang menjanjikan, Ibu. Putri Tidurmu telah dengan kasar dibangunkan untuk merasakan dunia tiran kaum patriarkis. Jangan menunjukkan kesedihan seperti itu. Aku membebaskan Ibu dari semua kesalahan. Aku tahu Ibu tidak mampu menolongku. Aku tidak akan menuntut pertanggung-jawabanmu atas apa pun."
Shahzada telah menyimak semuanya. Tangannya terangkat untuk menutup mulutnya. Banyak yang ingin dikatakannya, tetapi dia tak mampu melontarkan apa pun hanya air mata dan rasa bersalah meraja dalam diam. Zarri Bano melangkah ke depan dan menarik tubuh ibundanya dengan lembut ke dalam pelukannya.
Tanpa air mata, dia tegar dalam waktu lama. Tidak ada yang dipedulikannya lagi. Kepedihan telah membebalkan pikiran dan tubuhnya. Tanpa banyak bicara dan dengan kebersahajaan yang hanya dimiliki seorang Zarri Bano dan ternyata cukup membantunya tegar, dia berbisik di telinga ibundanya, "Katakan pada Ayah, dia dapat memulai persiapan pernikahanku dengan Kitab Suci Al-Quran."
11. DESA CHIRAGPUR lebih besar daripada sebagian besar desa tetangganya, tetapi menunjukkan sebuah kesamaan: memiliki sebuah masjid dan dua buah madrasah satu untuk anak-anak lelaki dan yang satunya lagi untuk anak-anak perempuan. Dengan kubah besar bermozaik hijau dan menara putih tinggi menjulang, masjid itu didirikan di alun-alun desa. Di depannya bertebaran tukang roti bakar, tukang jagal, tukang gerabah, dan toko-toko lainnya. Kedua madrasah dibangun di pinggiran desa, di antara ladang sayuran, gandum, dan tebu yang menghijau subur. Keseluruhan desa itu terbagi oleh delapan jalan, dengan jajaran rumah beraneka bentuk, ukuran, dan penampilan.
Hawaii, rumah besar milik ayah Habib Khan, Siraj Din, si tuan tanah feodal, terletak di dekat masjid dan karena itu penghuninya menikmati posisi paling sentral di desa itu. Dengan tanah yang sangat luas dan halaman yang membentang membentuk persegi panjang, rumah itu menghabiskan seperempat lahan yang dihuni oleh seluruh penduduk desa. Keluarga Siraj Din telah menguasai Chiragpur selama puluhan tahun, bahkan sebelum hijrahnya para pengungsi Muslim dari India setelah pemisahan India dan Pakistan.
Hari ini matahari bersinar terang di langit biru musim panas yang cerah, meratakan sinarnya ke ladang-ladang. Kedamaian menyelimuti segenap penduduk desa. Faisal, si petani, sedang membajak lahan dengan traktor barunya. Dua puluh empat jam suara "chug-chug" dari penggilingan gandum tiada henti terdengar hingga ke tempat jauh siang dan malam suara yang tak mungkin ditiadakan bagi segenap penduduk desa itu. Para perempuan sibuk di rumah-rumah mereka atau bertebaran di ladang-ladang, dan sebagian
besar anak-anak sedang bersekolah.
Putri tertua Fatima, Firdaus, sedang beristirahat sejenak pagi itu di beranda luar kantornya ketika petugas sekolah datang dan memberinya sebuah pesan: Fatima telah menelepon untuk memberi tahu putrinya bahwa dia akan kembali ke desa siang itu.
Setelah beberapa menit, Ibu Sadaf, kepala sekolah putri, bergabung dengan Firdaus di beranda. Mereka punya persoalan penting untuk didiskusikan. "Jadi, ibumu akan kembali ke desa ini untuk selamanya, sayangku"" tanya kepala sekolah itu pada wakil dan tangan kanannya yang baru berusia dua puluh enam tahun itu.
"Aku tidak tahu, Bu, mungkin untuk beberapa hari saja. Keluarga yang diasuhnya sangat bergantung padanya, khususnya setelah kini putra mereka, Jafar, tewas dalam kecelakaan berkuda dan putri tertua mereka, Zarri Bano, tampaknya akan segera menikah. Anda pasti pernah melihat gadis itu!" ujar Firdaus dengan antusias. "Dia datang untuk menghabiskan libur hari raya dengan kakeknya di sini di desa ini. Dia sangat memesona. Begitu tinggi, ramping, dan kulitnya bagaikan buah persik ranum. Rambutnya ikal berkilau dan matanya bagai permata dan dia sangat terpelajar. Ibuku tidak jemu-jemunya membicarakan gadis itu. Ketika kami masih remaja, kami pernah iri padanya dan menuduh ibu kami lebih mencintainya daripada mencintai kami, anak-anak perempuannya sendiri." Firdaus terkekeh mengenangnya. "Itu dahulu. Sekarang ini, kalau Zarri Bano mengunjungi kakeknya, Siraj Din, kami tak sabar untuk segera memanggilnya. Dia bisa menjadi seorang kepala sekolah yang hebat. Aku bisa membayangkan para muridnya akan terpukau oleh kepribadian dan penampilannya. Ibu sangat senang akhirnya dia menemukan seseorang yang menarik minatnya untuk menikah."
"Jadi, kau mungkin akan menghadiri pesta pernikahan itu"" Ibu Sadaf bertanya sebelum disela oleh dering telepon di kantornya. Dia bangkit untuk menjawabnya. "Maafkan aku, Firdaus. Aku akan segera kembali."
Firdaus menunduk mengamati dokumen yang dipegangnya. Matanya dengan cepat meneliti permukaan kertas berisi pemberitahuan tentang inspeksi pemerintah yang akan dilaksanakan. Ketika dia mendengar suara langkah kaki kuda, Firdaus mendongak dan memandang ke arah dinding kokoh yang mengelilingi halaman sekolah yang luas. Di atasnya terlihat bagian atas tubuh seorang laki-laki, tampak sedang duduk di atas punggung seekor kuda.
Itu adalah Khawar yang sedang menatap langsung ke arahnya. Begitu tatapan mereka berserobok, Khawar tersenyum, mempertontonkan tampang gayanya yang rupawan. Firdaus segera menunduk kembali memandangi kertas-kertas, merasa malu oleh tatapan Khawar dan juga kehadirannya. Ketika dia mendongak kembali, Khawar tampak mendekat, tetapi matanya tetap menatap lekat-lekat wajah Firdaus. Tiba-tiba, dia mengangkat tangannya dan memberi salam pada Firdaus.
Firdaus tahu Khawar sedang menggodanya dengan aksi beraninya itu. Sejak kejadian di ladang kembang kol desa beberapa minggu lalu, Khawar jadi senang menunjukkan sikapnya pada Firdaus secara terang-terangan. Kemarahan menerpa Firdaus. Hanya karena Khawar telah membantunya berdiri, bukan berarti reputasinya harus berkompromi dengan itu. Bagaimana jika seseorang melihat lelaki itu melambaikan tangan kepadanya tadi" Lidah-lidah akan mulai menceracau! Sebuah gunjingan kecil saja di desa itu bisa jadi satu ledakan gunung. Firdaus akan segera menjadi seorang kepala sekolah saat Ibu Sadaf pensiun di musim panas ini. Maka, dia tidak mungkin membuat skandal sekecil apa pun yang bisa merusak reputasinya.
Apa yang akan terjadi saat dia mengambil alih tempat ini" Firdaus membayangkan. Akankah dia tetap tinggal di desa ini atau akankah dia pindah ke kota dan meniti kariernya sendiri di sana" Tentu saja, itu semua bergantung pada siapa yang akan menikahinya. Firdaus mengeluh pada dirinya sendiri.
Pernikahan, pada saat itu, adalah masalah utama bagi Firdaus dan keluarganya. Ibunya tidak pernah membuang-buang waktu dengan meminta bantuan tiga orang mak comblang untuk menemukan pasangan yang pantas untuk Firdaus. "Mengingat putriku memiliki kualitas yang sangat baik dan terpelajar, se
lain juga cukup menarik, hanya yang terbaiklah yang pantas untuknya. Aku tidak akan membiarkannya hidup dengan pemuda yang biasa-biasa saja," ujar Fatima berbangga hati. Masalahnya adalah, sebagaimana yang sering dikeluhkannya pada semua orang, "Nyaris tidak ada lelaki yang pantas di desa ini yang mendekati kualifikasi putriku dan status hidupnya."
Pada akhirnya nanti, sebagai calon kepala sekolah menengah untuk perempuan, Firdaus itu tidak mungkin menikahi sembarang orang. Satu-satunya laki-laki yang menurut Fatima pantas untuknya adalah Khawar dan dia memang pantas dalam segala hal: terpelajar, tampan, dan berasal dari keluarga tuan tanah yang kaya. Itu merupakan bonus
tambahan: dengan menikahi Khawar, Firdaus akan selamanya hidup mapan di desa itu dan dia bisa menjadi kepala sekolah sepanjang hayatnya.
Itulah yang dalam benak Fatima dianggap sebagai sebuah perjodohan yang paling ideal!
Masalahnya adalah ibunda Khawar, Kaniz, sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dia tidak akan pernah merestui perjodohan semacam itu untuk putranya "perjodohan dengan anak perempuan seorang tukang cuci!" Itu akan menjadi sebuah aib yang tidak mungkin terpulihkan meski oleh status Firdaus sebagai wakil kepala sekolah sekalipun.
Dengan sepenuh hati, Firdaus berharap bahwa ibunya akan berhenti dari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga yang begitu hina. Ibunya tidak perlu bekerja. Mengapa dia melakukannya" Memalukan, jika ibu dari seorang wakil kepala sekolah harus bekerja sebagai pembantu di rumah orang lain. Jika dia kembali ke rumah untuk selamanya, mereka semua dapat hidup layaknya keluarga biasa lainnya. Ibunya dapat menjaga suaminya yang terpaksa harus terus tergeletak di atas tempat tidur, daripada meninggalkannya dalam perawatan putri-putrinya yang harus mengurusi kehidupan mereka sendiri.
Hari ini dia sungguh-sungguh akan melakukan perbincangan serius dengan ibundanya, Firdaus berjanji pada dirinya sendiri. Fatima terus membayar mahal untuk para mak com-blang agar menemukan rishta yang cocok, sementara dia masih saja menciptakan sebuah halangan nyata bagi seorang calon pasangan yang cocok dengan tetap bekerja sebagai pengurus rumah tangga. Ibunda Khawar akan terus memandang remeh mereka dengan hidung panjangnya yang angkuh selama ibunya masih bekerja "mencuci piring", seperti yang selalu dicaci oleh Chaudharani Kaniz.
Firdaus tahu betul dalam tiga tahun terakhir ini bahwa Khawar hanya memerhatikannya dan berminat melanjutkan hubungan yang seharusnya dirasakan oleh semua laki-laki di desa itu dan diharapkan menjadi tindakan santun yang dilakukannya terhadap para perempuan. Para perempuan yang lebih tua menjadi para bibi dan yang lebih muda seharusnya menjadi para saudari.
Firdaus dan Khawar tidak memiliki kesempatan untuk saling menjajaki perasaan masing-masing atau bahkan untuk saling mengenal lebih dekat. Mereka hanya bertemu di hadapan orang lain atau kadang-kadang, kebetulan, saat mereka ada dijalan desa. Pada kesempatan seperti ini, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, mereka tetap menjaga jarak dan membisu. Namun, Firdaus selalu merasakan pandangan Khawar padanya setiap kali dia melintas. Dalam beberapa hari terakhir ini, Khawar mulai mengendarai kudanya di jalur yang menuju arah sekolahan dan melintasi dinding tinggi, tepat pada saat Firdaus istirahat dan tengah menikmati teh di beranda.
Firdaus tidak yakin mengapa Khawar mengistimewakannya. Ibunda Khawar tampak masih saja mengejar-ngejar para putri Habib Khan. Selain itu, masih ada banyak perempuan desa yang menarik. Satu-dua gadis muda ini bisa cukup diterima oleh ibunda Khawar.
Keluarga Khawar menempati peringkat kedua dalam hierarki desa itu setelah keluarga Siraj Din. Mereka memiliki tanah atas nama mereka, sebuah rumah besar, dan dua kediaman nyaman di kota-kota terdekat. Sebagai satu-satunya anak lelaki, Khawar bertanggung jawab dalam menjalankan bisnis keluarganya yang berupa penyewaan berhektar-hektar tanah subur pada para penyewa dari desa.
Seperti Baba Siraj Din, yang langkah-langkahnya diikuti oleh Khawar dan dia juga memang suka diikuti, Khawar pun dalam
tahun-tahun terakhir ini mulai memainkan peranan penting dalam dewan pengelolaan desa, terutama dalam mengawasi dan mengurus sekolah. Biasanya Firdaus akan menghindari pertemuan dan membiarkan kepala sekolah menghadapi mereka. Khawar secara khusus meminta pengganti Ibu Sadaf diambil dari desa itu.
"Jika kita mendapatkan seorang perempuan dari desa ini," ujarnya pada suatu pertemuan, "dia akan lebih mengabdikan diri tidak hanya pada sekolah dan para muridnya, tetapi juga akan memiliki komitmen yang sama untuk mencoba mewariskan pada mereka etos kehidupan penduduk desa ini dan sopan santunnya, karena dia akan menjadi seperti kita. Dengan demikian, kita bisa meninggalkan anak-anak kita dengan aman dalam tangannya karena dia memiliki kepedulian dan ketertarikan yang sama dengan kita. Juga, dia bisa dimintai konsultasi oleh para orangtua karena dia akan tinggal di desa ini."
"Singkatnya, saya yakin kita akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengangkat orang dari desa ini, daripada mendatangkan orang dari kota. Kita tak mungkin menahan orang kota untuk tinggal selamanya di sini. Mereka memiliki gaya hidup yang berbeda dan cara tersendiri dalam menangani sesuatu, dan mereka akan selalu ngotot. Mereka tidak memiliki rasa pengabdian pada kita atau kehidupan desa ini secara luas. Kita juga tidak dapat mengharapkan mereka mengabdi pada kita. Selain itu, saya belajar dari pengalaman bahwa bagaimanapun mereka memiliki kecenderungan untuk bersikap angkuh terhadap kita. Seolah-olah kita yang hidup di pedesaan ini tak lebih dari sekadar orang-orang kampungan."
Akhirnya dia selesai berbicara, seraya menyapukan pandangannya kepada enam orang lelaki lainnya sesama anggota dewan sekolah dan Ibu Sadaf. Dia telah berapi-api mengatakannya dan karenanya menuntut tanggapan positif dari mereka semua.
"Oh, begitu," sahut Siraj Din. "Berapa orang kandidat yang akan melamar dari desa untuk pekerjaan ini"" Sebagai salah satu pendiri sekolah tersebut, dia juga seperti Khawar, memberi perhatian yang sangat besar terhadap masalah calon pengganti Ibu Sadaf ini. Dia telah membantu pendirian sekolah tersebut dengan bantuan kedua orang putranya. Menyepakati apa yang diusulkan Khawar, dia juga ingin mempertahankan etos desa itu semurni dan setertib mungkin. Dia tidak menginginkan nona yang "canggih" dari kota merusak gadis-gadis polos yang diasuhnya. Pengaruh seorang kepala sekolah sangatlah kuat. Masalah tersebut menuntut pemikiran yang sangat matang. Idealnya, dia menginginkan cucu perempuannya, Zarri Bano, untuk mengepalai sekolah itu tetapi dia tahu bahwa gadis itu terlalu mencintai kota besar untuk mau tinggal di sini. Dia akan tersiksa oleh tenangnya kehidupan pedesaan.
"Selain Firdaus, tidak ada lagikah kandidat lainnya"" sambung Siraj Din. "Dia seorang gadis yang masih sangat muda dan belum menikah. Itu artinya kita akan mulai lagi dari awal..."
"Mengapa demikian, Paman Siraj Din"" tukas Khawar. "Perempuan masih bisa bekerja setelah mereka menikah."
"Tentu saja bisa. Aku tidak bermaksud seperti itu. Maksudku adalah dia akan segera terikat untuk meninggalkan desa ini," jelas Siraj Din. "Ibunya sedang mencari-cari rishta yang tepat untuk Firdaus dalam tiga tahun terakhir ini. Tidak ada seorang pun di desa ini yang sesuai dengan keinginan Fatima. Kecuali, tentu saja...," Siraj Din mengangkat pandangannya dengan penuh arti ke arah Khawar, tetapi kemudian dia segera mengenyahkan pikiran itu karena dia tahu betul Kaniz bahkan tidak akan sudi mendengarkan usulan seperti itu, apalagi membiarkannya terjadi. Dia terus mengganggunya agar bertindak sebagai perantara selama tiga tahun terakhir ini untuk meminang Zarri Bano.
Khawar tahu betul apa yang dimaksud Siraj Din.
Firdaus juga mengetahui hal itu saat dia duduk menguping di balik tirai di mejanya. Jendelanya terbuka dan dia sudah menyimak semuanya. Wajahnya memerah karena gusar. Apakah maksud lelaki tua itu Khawar harus menikahinya agar dia tetap tinggal di desa itu" Betapa menyebalkan! Apakah pendapat pribadinya tidak berarti apa pun" Dia sama sekali tidak berhasrat mengikatkan diri dengan Kha
war atau terlibat apa pun dengan ibundanya yang pongah dan nyinyir itu. Dia akan menikahi orang yang lebih sesuai, tetapi juga akan tetap tinggal di desa itu. Suaminya kelak pastilah bukan Khawar! Firdaus adalah calon istri yang bermutu, bukan gadis yang angkuh!
12. FATIMA KEMBALI ke desa itu dengan membawa berkotak-kotak barang dan memperlihatkan segala kemewahan di dalam mobil Audi hitam milik Habib Khan. Dia membawa serta persediaan makanan, pakaian, dan barang-barang lainnya yang hanya bisa dibeli di butik-butik terkemuka di kota, termasuk hadiah-hadiah untuk ketiga putrinya. Shahzada secara pribadi membantu Fatima mengemas semua barangnya dan melepas sendiri kepergiannya.
"Kami akan sangat merindukanmu, Fatima. Tinggallah di rumahmu setidak-tidaknya selama satu minggu kau berutang waktu pada keluargamu. Cobalah memilih rishta untuk Firdaus kali ini. Jika kau membutuhkanku, aku akan datang dan membantumu menemukan seorang pemuda yang pantas untuk putrimu yang amat berharga itu!"
Fatima berseri-seri karena bahagia mendengar kata-kata majikannya itu. Dia adalah majikan yang baik hati, ramah, dan dermawan. "Terima kasih, Chaudharani Sahiba!" serunya dari jendela mobil.
Sambil menyusuri jalan raya berbatu di kampungnya, Fatima menyaksikan teman-temannya, dan hatinya terasa penuh sesak oleh rasa bangga ketika dilihatnya mereka memandang penuh perhatian ke arah mobil hitam berkilau yang ditumpanginya, dan mereka mulai mengekor di belakangnya.
Mobil itu berhenti dahulu di halaman depan rumah Baba Siraj Din. Fatima selalu mengikuti ritual untuk menyapanya dan menghadapnya terlebih dahulu setiap kali dia kembali ke kampungnya. Sebagai buzurg, atau yang dituakan di desa itu, Siraj Din juga menikmati posisi tertinggi di antara penduduk desa itu. Entah bagaimana, Siraj Din tidak ada di rumah pagi itu. Fatima diberi tahu oleh pelayannya bahwa lelaki itu sedang keluar berjalan-jalan ke ladangnya.
Fatima bergegas memasuki kembali mobil itu dan mendatangi daerah tempat tinggal Kaniz, sudut lain dari desa itu. Merasa bergairah hendak naik mobil melewati rumah keluarga Khawar, Fatima berdoa agar Chaudharani Kaniz yang perkasa itu, menyaksikannya berada di dalam mobil itu dari kamarnya di balkon yang tinggi di lantai dua rumahnya.
Seraya menurunkan kaca jendela mobil, Fatima diam-diam melirik ke arah jendela kamar Kaniz. Ketika disaksikannya seraut wajah perempuan tampak di jendela itu, Fatima memutuskan untuk keluar dari mobilnya. Bagaikan seorang majikan, dia memerintahkan Ali untuk menghentikan mobil itu. Suaranya sengaja dibuat nyaring agar terdengar tidak hanya oleh orang-orang di jalanan, tetapi juga oleh mereka yang menguping sembunyi-sembunyi. "Ali! Tolong antarkan semua bingkisanku ke rumahku," serunya angkuh. "Ada sepuluh bingkisan. Aku akan mengunjungi temanku Rani terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah. Sesudah itu, putri-putriku tidak akan membiarkanku keluar rumah," dia mengakhiri kalimatnya dengan derai tawa.
Sambil menyelendangkan chador hitam barunya ke kedua bahunya, Fatima memasuki rumah yang tepat berseberangan dengan rumah Kaniz. Pipinya menggembung menahan tawa.
Fatima begitu menikmati aksinya itu. Dia merasa yakin sembilan puluh sembilan persen bahwa Kaniz masih terus mengamat-amatinya, karena dia nyaris bisa merasakan sorot tajam sepasang mata elang Kaniz sedang memelototi punggungnya.
Perempuan itu dengan penasaran menghindar dari tepi jendela dan membanting daun jendelanya sehingga jendela kayu itu bergetar engsel-engsel nya. Dia menyadari bahwa dia sudah dipermainkan Fatima dengan melongok ke luar jendela. "Apa jadinya dunia ini"" omel Kaniz dengan jijik. "Seorang perempuan pencuci meneriakkan perintahnya kepada sesama pelayan dan naik sebuah mobil Audi! Betapa vulgarnya!" gerutunya. "Sepuluh bingkisan," tirunya mengejek. Seakan-akan sangat berarti bagi semua orang di sini berapa batang sabun Lux dan pasta gigi Colgate yang dibawa Fatima dari kota untuk putri-putrinya. "Bingkisan-bingkisan itu paling-paling hanya berisi baju-baju bekas dari anak-anak perempuan Chaudharani Shahzada," ejek Kaniz berbicara pa
da dirinya sendiri. "Ibu dan anak memiliki kepribadian yang berbeda, tetapi mereka memiliki satu sifat yang sama. Mereka berdua membanggakan diri mereka melebihi statusnya," pikir Kaniz. Firdaus, bagaimanapun, jauh lebih parah daripada ibunya. Hanya karena dia berhasil membuat dirinya cukup terpelajar dan mengajar di sebuah sekolah, kini dia seakan-akan memiliki langit dan keinginan yang tak berbatas perempuan muda yang merasa dirinya penting! Dia berharap segenap warga desa mengunjunginya, seolah-olah dialah, bukan Kaniz, yang menjadi seorang Chaudharani!
Ketakutan dan mimpi buruk Kaniz yang dirahasiakannya, yang membuat sekujur tubuhnya merinding, adalah bahwa Firdaus, entah bagaimana jalannya, akan menjerat putra kesayangannya ke dalam pernikahan. Dia sudah mendengar desas-desus santer di desa itu bahwa Firdaus telah berkata tentang tidak adanya jodoh yang pantas untuknya di sini dasar gadis binal, ular berkepala dua yang licik! Menurut Kaniz, Firdaus telah mengincar Khawar sejak dia masih seorang gadis kecil berusia dua belas tahun, dengan selalu mengamat-amatinya dari atap rumahnya.
"Mereka anggap apa aku ini" Apakah mereka pikir aku ini cukup bodoh untuk merestui anak perempuan tukang cuci itu memaksakan kehendaknya kepada putraku semata wayang, agar dia bisa mewarisi berhektar-hektar tanah milik kami" Tidak akan pernah!"
Fatima dapat mengumpulkan semua bingkisan yang ada di muka bumi ini, mengendarai barisan mobil berkilau memasuki desa, putrinya menjadi seorang profesor di universitas, atau apa pun yang diinginkannya, tetapi semua itu tetap tidak mampu menghapus tingkatan pekerjaan Fatima sebagai babu. Ada beberapa hal yang tidak akan pernah berubah! Tidak ada uang atau pencapaian apa pun yang dapat menutupi kenyataan-kenyataan tertentu, atau mampu membeli derajat dan latar belakang yang tak ternodai.
Kaniz tertawa di depan cermin, mencermati jajaran giginya yang putih rapi, sebelum dia menyikat dan mengikirnya menggunakan muswak, kemudian dengan sak dia memulas merah bibirnya. Saat mengamati lebih dekat di muka cermin, dia melihat noda chaiei-nya yang mengerikan noda hitam yang terbentuk tepat di bawah mata kirinya di atas pipinya yang berwarna terang.
Kaniz terbelalak. Ini adalah masalah yang lebih gawat daripada Firdaus dan ibunya. Tak boleh ada satu noda pun yang mengotori wajahnya dia selalu memastikan hal itu. Cermin itu mungkin sedang mengelabuinya. Dia
mengambil cermin kecil bergagang dari laci kayunya dan memutuskan naik ke balkon untuk bercermin dengan lebih jelas di bawah cahaya matahari.
13. FIRDAUS DAN kedua adiknya bertemu dengan ibu mereka dua jam kemudian, lama setelah Ali mengantarkan bingkisan-bingkisannya dan pulang lagi ke kota. Gusar dan tegang, mereka tak sabar menunggunya.
"Dia seharusnya mendahulukan keluarganya daripada berhura-hura mengunjungi teman-temannya." Mereka semua sepakat dengan Salma tentang hal itu. Tetapi itulah ibu mereka dialah aturan itu sendiri, tidak bertanggung jawab pada siapa pun!
Ayah mereka juga sedang menunggu dengan sabar di atas ranjangnya di pasar. Dia tidak bertemu Fatima selama hampir dua bulan. Putri-putrinyalah yang mengganti pakaiannya, membereskan tempat tidurnya, dan membereskan seluruh pojok rumah dengan cepat untuk menyambut kedatangan ibu mereka. Dia akan selalu memandang berkeliling dengan kritis. Salma, putri keduanya, sudah menggoreng ikan segar yang diketahuinya sebagai makanan kesukaan ibunya. Disertai hidangan pencuci mulut karai halwa.
Akhirnya, gerbang kayu rumah mereka berderak terbuka dan sosok tambun Fatima menyelinap masuk. Dengan gembira, kedua tangannya terentang ke arah putri-putrinya. Segera saja Salma menghambur ke pelukan ibunya, diikuti Fazeelet, si putri bungsu, dan akhirnya Firdaus.
"Ibu bisa santai saja, Ibunda sayang. Kami bisa menunggu sampai bulan depan," sindir Firdaus sambil menertawakan wajah malu ibunya ketika dia merengkuh tubuhnya dengan hangat.
"Ayolah, gadis-gadisku. Kalian tahu bahwa aku harus menyapa teman-temanku di sepanjang jalan pulang. Nah, aku sudah di sini sekarang, dan kalian akan memilikiku selama dua mingg
u penuh. Apa kabar kalian semua""
Mereka menuntun sang ibu masuk ke pasar, menghampiri ayah mereka. Dengan daun jendela yang terbuka lebar, Fiaz dimabuk keriangan sambutan putri-putrinya. Wajah kurusnya menyeruakkan senyum. Garis-garis kerentaan yang belum waktunya menghiasi wajahnya. Senang rasanya mendapati Fatima pulang. Beberapa hari ke depan ini pasti akan menyenangkan. "Ini adalah dunia yang aneh," pikirnya sedih, "karena seorang suami menunggu dengan sabar kepulangan istrinya dari tempatnya bekerja. Pada umumnya, seharusnya sang suamilah yang datang dari ladang atau kota atau luar negeri."
Fiaz tidak memelihara kepedihan dalam hatinya terhadap istrinya. Sebaliknya, dia sudah belajar untuk menerima takdirnya secara filosofis. Jika bukan karena pekerjaan Fatima di rumah keluarga Habib Khan, bagaimana mungkin dia dan keluarga mudanya bisa bertahan ketika dia kehilangan salah satu kakinya"
Fiaz masih bisa mengingat dengan jelas hari ketika kepiluan itu terjadi, saat dia terbangun dengan keterkejutan yang mengerikan di rumah sakit karena mendapati kaki kanannya telah diamputasi. Matanya mengatup. Secara otomatis dia menutup kenangan tentang kejadian yang membuat kismet dan nasib mereka menjadi menyedihkan.
Seusai menyemai ladangnya, ketika dia sedang menghela dua ekor kerbaunya kembali ke peternakan, tiba-tiba saja salah satu di antaranya berbalik, mengakibatkan tali kekang yang dipegang Fiaz terlepas. Fiaz pun goyah dan kemudian terjerembap. Hanya dalam beberapa detik, mimpi terburuknya terjadi, saat dia merasakan kaki-kaki kerbau itu menginjak-injak kedua kakinya. Kemudian semuanya menjadi gelap baginya.
Selama bulan-bulan berikutnya, kehilangan fungsi kaki yang satunya lagi membuat Fiaz harus menangani patah hatinya karena terpaksa menjual kerbau-kerbaunya dan sebagian tanahnya, serta harus meminjam uang dari tetangga-tetangganya untuk membayar biaya pengobatan. Tidak ada seorang pun dari kerabatnya ataupun kerabat Fatima bisa membantu mereka.
Selain keputusasaan yang menyiksa dan kebutuhan mendesak untuk memberi makan keempat anak mereka, Fatima harus menelan harga dirinya dan mendatangi rumah besar itu untuk bekerja. Dia segera dipekerjakan membantu menantu tertua Siraj Din, Shahzada, membesarkan ketiga anaknya, sekaligus mengurus rumah tangganya. Untuk mengerjakan semua itu, Fatima harus meninggalkan anak-anaknya di rumah dengan suaminya, meminta pertolongan tetangganya, Naimat Bibi, koki desa itu, untuk mengawasi mereka. Tanpa air mata menetes di wajahnya, batinnya menangis membayangkan anak-anaknya ditinggalkan sendirian tanpa seorang ibu. "Aku tidak punya pilihan lain. Melakukan ini atau sama sekali tidak ada makanan di mulut mereka," dia meratap pada dirinya sendiri saat merengkuh mereka dalam pelukannya di malam hari.
Ketika Habib memindahkan keluarganya ke kota, Fatima ikut pindah dengan mereka, dengan sangat terpaksa. Sungguh-sungguh menyadari apa yang menjadi konsekuensi Fatima dan keluarganya, Habib dan Shahzada pernah memintanya untuk membawa mereka bersamanya, tetapi Fiaz tidak bersedia. Akhirnya, keluarga Habib menunjukkan penghargaan mereka lewat kedermawanan. Mereka membayari biaya sekolah anak-anak Fatima dan membelikan buku-bukunya, serta membiayai pengobatan suaminya, sekaligus juga memberinya gaji yang melimpah, yang sebagian besar ditabung Fatima di bank.
Ketika ibu mereka pindah ke kota bersama keluarga Khan, Firdaus yang masih berumur dua belas tahun memikul tanggung jawab penuh mengurus rumah tangga keluarganya, me-rawat ayahnya yang sakit dan mengurus dua orang adik perempuan dan adik laki-lakinya, Sarfaraz. Rumah Habib di kota terlalu jauh bagi Fatima untuk bolak-balik setiap hari. Akhirnya kunjungannya menjadi dua kali seminggu.
Tahun demi tahun berlalu, anak-anak Fatima mulai terbiasa hidup tanpa ibunya. Karena memiliki cukup uang, Sarfaraz bisa dikirim ke Dubai dan Firdaus ke perguruan tinggi yang ternama untuk belajar menjadi guru, lalu Salma belajar selama dua tahun di sekolah menjahit di kota. Kini tujuan hidup Fatima adalah mengumpulkan ribuan lakh rupee untuk maskawin putri-putriny
a. Itu adalah pil pahit yang harus ditelan kelelakian Fiaz. Dia, yang menurut adat adalah lelaki pencari nafkah bagi keluarganya, dipaksa oleh nasib untuk menjadi seseorang yang bergantung kepada istrinya, dan juga harus selalu kehilangan sosoknya.
Selama bertahun-tahun Fiaz menyaksikan perubahan yang terjadi pada diri Fatima. Dia menjadi sedemikian terikat dengan anak-anak Habib Khan, khususnya Zarri Bano, seolah-olah mereka adalah anak-anaknya sendiri. Seleranya juga berubah menjadi selera "tinggi". Tinggal di antara kemewahan istana megah keluarga Khan, Fatima jadi
mendapati semua yang dimilikinya di rumah, di desa, begitu usang, remeh, dan kampungan. Meski dia tidak mempermasalahkannya, keluarganya mengetahui perasaannya itu dari caranya berbicara dan memandang sekelilingnya.
Di tahun-tahun pertama dia merasakan, transisi antara gaya hidup majikannya dan di rumahnya sendiri di kampung begitu menyiksanya. Contohnya, kini dia sudah terbiasa dengan penyejuk udara di setiap ruangan di rumah Habib, termasuk di dapur. Karena itu, Fatima merasa gerah dan tersiksa berada di dapurnya sendiri yang sempit. Selain kenyataan bahwa di dapurnya itu tidak ada perkakas modern yang bergantungan di dinding dan dia harus berjongkok di lantai untuk memasak, di dapurnya juga hanya ada satu buah kipas angin yang ditempatkan di langit-langit. "Kipas itu tak berguna," gerutu Fatima pada putri-putrinya sambil mengipasi wajahnya yang memerah kegerahan dengan selembar karton. "Kipas itu hanya meniupkan lebih banyak udara panas ke wajah kita!"
"Ibu menjadi sangat manja; Ibu tersayang, karena penyejuk udara di kota," balas Salma kesal.
"Kalian benar, anak-anak. Kehidupan di rumah Shahzada telah mengikisku secara menyedihkan. Aku memang menjadi manja. Bayangkan, bagaimana bisa seorang ibu menjadi lebih manja daripada putri-putrinya yang terpelajar," dia terkekeh sambil membanting sebuah cAapatti-bermentega lagi ke atas wajan.
* * * "Bagaimana kabarmu, Sayangku"" tanya Fiaz ketika Fatima menyapanya dan duduk di kursi di samping ranjangnya. Fatima merasakan seolah dirinya adalah seorang asing istri kurang ajar, tepatnya, yang meninggalkan keluarga dan rumahnya.
Dia hanya bisa berharap Fiaz akan mengerti dan memaafkannya. Entah bagaimana, dia selalu dikuasai rasa bersalah setiap kali pulang ke rumahnya.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu"" kata-kata itu meluncur cepat dari mulutnya. "Aku mohon maaf karena sudah lama sekali tidak pulang. Aku selalu menelepon Firdaus ke sekolahnya untuk memastikan kau baik-baik saja. Aku seorang istri yang payah, Fiaz Sahib, aku sadari itu. Maafkan aku, tetapi kau memahaminya, bukan""
"Ya, aku paham, Sayangku. Kau bukan seorang istri yang payah kau tahu itu. Kami kehilangan dirimu, tentu saja, tetapi kami tahu bahwa kau sangat dibutuhkan di sana. Jangan pernah merasa bersalah, Fatima. Jika bukan karenamu, akan berada di manakah kita" Terkadang aku dihantui rasa bersalah. Kau seharusnya menikahi Sarwar sehingga kau tidak akan pernah mengalami situasi seperti ini."
"Hus, Fiaz Sahib! Jangan bodoh. Aku menikahimu, bukan Sarwar. Inilah kismet-ku. Kau adalah suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Aku bekerja, Fiaz Sahib, hanya karena aku ingin memberi Firdaus maskawin yang besar. Aku tidak ingin dia membayarnya dari kantongnya sendiri harga diriku tidak akan membiarkan hal itu terjadi! Dia dapat membantu membayarkan maskawin adik-adik perempuannya, tetapi aku akan tetap menyiapkan maskawin untuknya. Mari, biar kupijat kakimu."
Fatima duduk di kaki ranjang dan mulai melemaskan otot-otot kaku di tungkai suaminya yang tak pernah digunakan itu. Fiaz bersandar ke bantal dan memejamkan matanya, menikmati sentuhan tangan istrinya. Dia membayangkan ritual seperti ini selama beberapa hari ke depan.
14. SETENGAH JAM kemudian, pasangan itu terganggu oleh suara berat Kulsoom yang menggelegar dan gemerencing dua lusin gelang manik-manik kaca yang teruntai di tangan-tangan kurusnya. Mak comblang desa itu sudah datang. Tampaknya dia tak ingin kehilangan banyak waktu mendengar kepulangan "Fatima Jee" ke desa itu, mengingat keem
pat anak Fatima berarti peluang bisnis yang menjanjikan bagi Kulsoom.
Sapaan selamat datang dan basa-basi ala kadarnya segera dilakukan. Kulsoom dan Fatima dengan lihai segera berganti bahan pembicaraan yang paling mengganggu benak keduanya.
"Nah, sudahkah kau temukan seorang rishta yang cocok untuk Firdausku, Kulsoom Jee"" Fatima memulainya dengan bersemangat.
"Sudah." Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, Kulsoom menangkap percikan bahagia di sorot mata Fatima. "Malah ada dua."
"Oh, bagus sekali!" kini Fatima benar-benar memusatkan perhatiannya. Sambil duduk tegak di kursinya, dia juga tampak mencondongkan tubuhnya ke depan. "Ceritakan padaku tentang mereka," pintanya.
Sayap Sayap Terkembang 1 Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Gema Di Ufuk Timur 4
^