Perempuan Suci 1
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 1
PEREMPUAN SUCI Diterjemahkan dari The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz
Penerjemah: Anton Kurnia & Atta Verin Penyunting: Salahuddien Gz
Penerbit: Qanita Edisi Baru (Gold Edition) Cetakan I, Januari 2012
Untuk anak-anak saya: Farakh Shuyab, Gulraiz Sarfaraz, Shahrukh Raees, dan kemenakan tercinta, Raees Hamza
Ucapan Terima Kasih TERIMA KASIH banyak kepada Joan Deitch dan John Shaw untuk kerja keras mereka.
Terima kasih saya untuk semua sahabat dan rekan sejawat: Profesor Akbar S. Ahmed, Sajida Ahmed, Maulana Qamaruzzaman Azmi, Amanda Challis, Lizbeth Cheatle, Ann Gibson, Dr. Afshan Khawaja, Shahed Saduallah, Jamil Dehlavi, Julie Northey, Maulana Habibur Rahman, Lynda Robinson, Richard Seidel, dan Masarat Shafi.
Saya juga ingin berterima kasih pada Ken Ashberry, John O'Brien, Andrew Brown, Glenda Cox, Bel Crompton, Carl Delaney, George Hastings, Patricia Kushnick, Samima Ahmed, Marie Froggatt, Nita Patel, Carl Ryan, Jane Sladen, Habidah Usman, Ann Vause, Madeleine Bedford, dan Merillie Vaughan Huxley.
Terima kasih pula untuk Colin Muir, Lavinia Murray, Peter Ridsdale Scott, Susie Smith, Lucy Scher, Sherry Ashworth, Elizabeth Baines, Cathy Bolton, Beverly Hughesdan, Pete Kalu, Jennifer Whitelaw, Qassim Afzal, Huma, Ali Azeem, Neil Broady, Khalid Hussain, Wakil Konsul Jamil Ahmad Khan, Raza Khan, Keelin Watson, Bridgette O'Connor, Asad Zaman, dan Angharad Jackson.
Secara khusus saya ingin berterima kasih pada Lord Nazir Ahmed dari Rotherham, Iftikhar Qaiser, Zahoor Niazi, Elizabeth Wright, Dr. Musharaf Hussain, Faisal Munir Khan, Saba dan Aamer Naeem, Asad, Mohsan dan Sherry Qureshi, Maqsood Ellahie Sheikh, Dr. Sidra Hasan, Bashir Mann, Mohamed Sarwar MP, Habib Ullah, Ghulam Rabbani MBE, Tahir Inam Sheikh, Yacub Nizami, Naveed Aziz, Bailie Muhammad Shoaib JP, Nisar Naqvi, Baldev Mavi, Rafaqat Hussain, dan Nazia Khalid.
Di Pakistan rasa terima kasih saya persembahkan kepada paman saya, Mohamed Ashraf, dan putranya, Ejaz Ashraf; Muhammad Iqbal, dan Khalid Mahmood.
Terima kasih tak terhingga saya sampaikan pada suami saya, Saeed Ahmad; orangtua saya, Mohamed Aslam dan Amina Akhtar; saudara-saudara lelaki saya dan para istri mereka Dr. Suhail Abbas, Dr. Zulfiqar Babar, Dr. Waqar Aslam, Sajida Parveen, dan Dr. Naushene Sara; serta saudara perempuan saya, Farah Shahnaz, atas dukungan mereka yang tiada habisnya.
Bagian Pertama Bagaimana aku bisa tersesat dari tamanku, Dan bagaimana aku terjebak dalam pusaran badai, aku pun tak tahu.
Muhammad Iqbal (1873-1938)
Prolog DI PROVINSI SINDU, di daerah perbatasan sebuah kota kecil, sebuah mela tampak sedang ramai-ramainya. Di tengah lapangan berdebu, pekan raya tahunan itu menarik para lelaki dari desa-desa di sekitarnya untuk mengudap makanan ringan panas dan dingin, menikmati suasana dan menonton keunikan para badut, pelawak, dan para penghibur lainnya.
Berkeliling di keempat provinsi di Pakistan, para pelakon itu mempertontonkan keterampilan khusus dan jiwa seni mereka kepada para penduduk Desa Sindu. Sontak terdengar tepukan tangan, derai tawa, dan siulan keras para pemuda yang merupakan keriangan dan pengharapan pada suatu siang di musim panas yang terik. Membentuk sebuah kerumunan yang lingkarannya makin membesar, mereka tampak sedang menyoraki sang badut seorang pemuda cekatan yang mampu mempertahankan tiga buah bola berlompatan sekaligus di udara.
Di dekat lingkaran berdebu itu berdiri seorang lelaki tua bertubuh kurus tetapi tampak kuat, dengan topi berhiaskan kaca di atas kepalanya, mencengkeram tali yang mengikat seekor monyet. Para penonton bersorak ribut ketika binatang yang didandani sehelai rok mungil berempel dan sebuah topi berwarna merah itu mulai menari-nari dan menggerak-gerakkan tubuh kecilnya di atas sebuah tilam rami. Si pemilik monyet menyunggingkan seulas senyum ompong pada para penontonnya, lalu mulai memainkan sebuah tabla dengan dua tongkat ramping, mendorong binatang itu melakukan serangkaian aksi jungkir balik yang lucu mengelilingi kerumunan. Gerombolan lelaki yang tengah bersorak-sorai buru-buru melangkah mundur untuk memberi jalan kepada monyet itu
. Dari kejauhan, sebuah jip Shogun hitam bermuatan dua orang lelaki melaju sepanjang jalanan berdebu. Jip itu berhenti di dekat mela. Sopirnya, seorang lelaki jangkung berumur awal tiga puluhan, turun dari kendaraan itu dan menutup pintu di belakangnya, kemudian bersandar pada jip itu dan merentangkan kakinya yang panjang.
Seraya membuka kacamata hitamnya, dia mengamati pemandangan di depannya dengan penuh perhatian. Seulas senyum pun tersirat di wajahnya mengikuti keunikan aksi sang monyet di lingkaran terbuka. Tak lama kemudian, merasa bosan dengan pertunjukan itu, tatapannya mengembara melintasi kerumunan dan tertambat pada seekor kuda yang diikatkan pada sebatang pohon. Dekat kuda itu, di bawah naungan payung hijau lebar pohon itu, berdiri seorang perempuan. Sepasang mata orang asing itu terhenti pada pemandangan tersebut.
Mengenakan sebuah shalwar kameze hitam yang indah, sehelai dupatta sifon yang serasi melingkari bahu dan rambutnya, seakan-akan membingkai wajah perempuan itu yang memang amat cantik.
Monyet itu kini bergerak penuh semangat, menari-nari liar mengikuti irama gendang. Kini sepasang tangan perempuan di bawah pohon itu pun teracung ikut bertepuk tangan. Angin hangat musim panas mencetak bahan lembut kameze-nya mengikuti bentuk tubuhnya yang ramping dan menyingkap dupatta itu dari kepalanya, membuatnya jatuh membentuk lipatan anggun di sekeliling bahunya. Perempuan itu tidak membuat gerakan untuk membetulkannya, mengabaikan kesepakatan umum bagi para perempuan untuk menutupi kepalanya di tempat umum di tengah sekelompok lelaki.
Tak ada perempuan lain yang hadir dalam mela itu, selain tiga orang perempuan tua, karena tidak biasa dan tidak bisa diterima oleh umum apabila para perempuan muda bergabung secara terbuka dalam sebuah kegiatan yang dilakukan seluruhnya oleh kaum lelaki.
Si orang asing merasa penasaran sekaligus senang melihat pembangkangan terang-terangan yang ditunjukkan perempuan itu. Mulutnya membentuk senyum lebar saat dia memerhatikan perempuan itu masih juga tidak membuat upaya untuk menutup rambutnya.
Saat dia memerhatikan hal itu, seorang pemuda menghampiri perempuan itu dan melepaskan ikatan kuda dari pohon. Sepasang mata kelabu orang asing itu pun melebar; tiba-tiba saja dia tampak begitu tegang. Kebekuan yang mencekam merasuki tubuhnya ketika dia mengamati wajah pemuda itu yang ternyata nyaris seperti replika wajah si perempuan.
Senyuman kini menghunjam pada matanya. Dia berdiri tegak.
Di bawah pohon, adik lelaki Zarri Bano, Jafar, berdiri di depan perempuan itu dan berbisik ke telinganya. Jafar berbalik untuk menghadap kerumunan orang, seketika pandangan sekilas lelaki itu menyapu mereka. Wajah Jafar berseri-seri. Seraya tersenyum, dia melambaikan tangannya.
"Para tetamu yang kita tunggu-tunggu dari Karachi telah tiba!" Jafar memberi tahu kakak perempuannya dengan bersemangat, kemudian raut wajahnya melunak. "Kakak tersayang, aku harap kau dapat memastikan kerudungmu tetap terpasang dengan benar di kepalamu saat kau berada di tempat umum," ia menegur lembut kakak perempuannya itu. "Lihat rambutmu! Tidak pernahkah kau merapikannya" Acak-acakan! Tidak baik seorang perempuan terlihat seperti ini. Kaum lelaki, khususnya para lelaki Badmash, akan memelototi para perempuan secantik dirimu. Kau terlihat begitu binal! Ini menciptakan kesan buruk. Tidak hanya tentangmu, tetapi juga tentang kita dan ayah kita. Hanya perempuan-perempuan nakal yang melakukan hal seperti itu." Dia tampak sangat menyadari keberadaan si orang asing dan berpasang mata yang menjelajah liar.
"Kau sudah selesai bicara, Jafar sayang"" goda Zarri Bano dengan nada suara menguasai. Pipi perempuan itu merona, "Aku tidak mau dikuliahi oleh adik bayiku. Memangnya kenapa jika dupatta-ku luruh selama beberapa detik" Apakah kau tidak pernah melihat rambut sebelumnya""
"Aku tidak ingin berdebat di sini, Baji Jan. Sebaiknya kau segera pulang. Ia sudah telanjur melihatmu dan ini tidak benar. Ini tidak baik bagi izzat kita." Keinginan Jafar untuk segera mengawal kakak perempuannya itu keluar dari pandangan umum sangat kuat.
Jafar me noleh kembali pada lelaki itu dan melambaikan tangannya lagi memberi tanda. Dia tampak tegang karena kakak perempuannya berdiri di sampingnya dengan kerudung terbuka. Si orang asing itu menganggukkan kepalanya ke arah mereka untuk memberi salam. Anak-anak rambut yang hitam tebal jatuh di atas dahinya, tampak berkilau
terkena cahaya matahari. Dia mengangkat tangannya untuk membalas salam itu, seulas senyum masih saja menghias bibirnya, tetapi matanya kini terpaku hanya pada Zarri Bano.
Zarri Bano merasakan tekanan dari sorot mata si orang asing dan terhanyut dibuatnya. Dia memerhatikan kedua lelaki yang saling bertukar salam itu dengan gundah kedua bola matanya melebar.
"Oh, tidak! Mungkinkah itu dia"" Zarri Bano menggumam gelisah. Dia berada di tempat yang salah, waktu yang salah, dan dilihat oleh orang-orang yang salah. Jantungnya berdegup kencang mengantisipasi keadaan yang mengerikan. Seraya melirik sekilas ke arah sosok lelaki itu, dia pun memberi tanda memanggil pada sopirnya.
"Aku siap pulang, Nalu. Bisakah kau membawa mobilnya memutar sisi sebelah sini. Di sana terlalu banyak lelaki." Kata-kata itu mengalir begitu saja.
"Baik, Sahiba muda."
Dia menunggu mobil itu mendekat dan tetap memunggungi si orang asing saat memasuki mobil. Dia hanya memandang ke luar jendela saat mobilnya melewati jip lelaki itu. Malangnya, matanya segera saja berserobok pandang dengan mata lelaki itu. Zarri Bano tersipu, segera dia menunduk ketika mobilnya mulai melaju.
Setelah memberi arahan pada kedua tamunya untuk membuntutinya, Jafar meraih kudanya. Dia melecut kudanya hingga ke bagian depan jip Shogun, lalu memimpin rombongan itu melintasi pasar kota hingga perbatasan dan mencapai vila keluarganya di Tanda Adam.
Lelaki yang lebih tua, Raja Din, duduk di samping putranya di kursi penumpang, memandangi punggung si pemuda berkuda putih di depannya.
"Nah, jika pemuda itu adalah si adik, Sikander, kita dapat menyimpulkan bahwa kakak perempuannya akan sangat menarik juga," ujar lelaki itu.
"Ayah, dia memang sangat menarik," balas Sikander dengan suara perlahan. Dia mengingat wajah perempuan itu dengan sangat jelas.
"Apa maksudmu" Apakah kau sudah melihatnya"" tukas Raja Din sambil menatapnya tajam. "Tidak, aku hanya menerka," Sikander berdusta.
"Baiklah. Jangan lupa, Anakku, mereka memiliki dua orang anak perempuan dan yang tertualah yang kita incar. Kita tidak boleh mendapatkan gadis yang salah! Kau tahu, kadang-kadang hal ini terjadi. Orang mengincar seorang calon dan malah berjodoh dengan yang lain."
Sikander melirik ke arah ayahnya, senyumnya sejenak tersungging di wajahnya. "Tentu saja," sahutnya. Apakah perempuan itu anak perempuan tertua atau yang lebih muda" Dia bertanya-tanya dalam hati sambil sedikit mengerutkan kening. Perempuan itu sangat cantik sebuah kejutan yang menyenangkan. Ironisnya, apakah perempuan itu menyadari siapa dirinya"
Jodohnya. Dia harus menjadi jodohnya! "Dengan cara apa pun, aku akan memiliki perempuan ini," Sikander berikrar dalam diam, seraya menepukkan tangannya pada kemudi mobil.
Saat melihat mobil di depan mereka lenyap dalam awan debu, Sikander Din merasakan suatu perasaan yang aneh bahwa dalam beberapa saat terakhir, hidupnya tiba-tiba saja terjalin dengan perempuan cantik berbaju hitam itu untuk selamanya.
1. ADA SEBUAH kesibukan mendadak di vila itu. Setelah memperingatkan semua orang bahwa para tamu mereka dari Karachi yang telah ditunggu-tunggu akan segera tiba, Zarri Bano langsung bergegas naik tangga ke kamar tidurnya, melangkahi dua anak tangga sekaligus, dan dengan cepat berganti pakaian. Kali ini dia menggunakan setelan warna merah jambu. Adik perempuannya, Ruby, masuk ke kamar dan memelototi Zarri mulai dari kepala hingga kaki dengan tatapan menggoda.
"Kau berganti baju! Kau akan segera turun dan menghadapi para tetamu! Aku tak percaya," ujarnya berpura-pura terpana. "Biasanya kau bahkan tidak bersedia menemui para lelaki yang dijodohkan denganmu atau orangtuanya. Lelaki ini pasti sangat istimewa sampai-sampai malika-ku, ratu semua kakak, berusaha ganti baju segala." Sepasang mata Ruby berger
ak-gerak lincah memandangi tubuh ramping kakaknya.
"Ah, ayolah Ruby. Aku habis mendatangi mela bersama Jafar. Aku merasa gerah dan berkeringat sehingga memutuskan untuk berganti pakaian. Siapa bilang aku benar-benar akan turun untuk menemuinya" Dia sudah kurang ajar dengan datang secara pribadi dan bahkan tidak mau mengirimkan foto dirinya terlebih dahulu." Zarri Bano mengomeli adiknya di depan cermin seraya membenahi sejumput rambut ikal dan memasangkan jepit-jepit di rambutnya agar menjadi gelungan yang menarik di bagian atas kepalanya. Dia pun membiarkan beberapa anak rambut berulir menyelinap keluar di sekitar telinganya. Dia merasa tertarik karena si orang asing telah melihatnya dan mungkin mengetahui siapa dirinya. Lelaki itu telah menangkap basah dirinya pada sebuah ketidakberuntungan.
"Jadi, kau sudah mendapatkan bayangan sekilas sosoknya"" Ruby membaca pikiran kakaknya dengan tepat.
"Tidak," kata Zarri Bano berdusta.
Mereka berdua sudah melihat sekilas sosok masing-masing. Dia mengingat pandangan seronok lelaki itu yang membuatnya jengah dan merasa tak berharga. Ketika mobilnya melintasi jip lelaki itu, dia sekali lagi memandanginya dari dekat seakan-akan lelaki itu sempat menyelami kedalaman jiwanya. Sambil gemetaran di depan cermin, Zarri Bano menangkap tatapan ketidakpastian dalam matanya sendiri dan ada sesuatu yang lain.
Begitu selesai berdandan, Zarri Bano melangkah untuk berdiri di dekat jendela yang terbuka ke arah bagian tengah halaman yang luas dan tertata indah di vila mereka. Beberapa saat kemudian, sebuah jip hitam memasuki gerbang yang terbuka dan berhenti di samping mobil abu-abu keluarga Bano.
Sikander membantu ayahnya melangkah keluar dari mobil, kemudian kedua lelaki itu berdiri dan memandang ke sekeliling halaman dengan bergairah. Di bagian tengah ada sehampar rumpun mawar yang sedang merekah dan di setiap penjuru tampak semak oleander yang sedang berbunga dan rumpun bugenvil yang harum merayapi dinding dengan indah setinggi enam kaki. Beranda yang panjang, dengan pilar-pilar alabaster dan lantai bermozaik, mengarah ke bagian dalam rumah. Ketika mata lelaki muda itu menyapu jendela kamar-kamar tidur di bagian atas, Zarri Bano buru-buru melangkah mundur ke balik gorden. Dia takut terlihat oleh pemuda itu.
Melihat sikap sang kakak, Ruby bergerak ke jendela dan melongok ke bawah. Jafar sudah bersama kedua tamu mereka.
"Ya, Tuhan, masya Allah, dia sangat ganteng. Tidak aneh kau jadi berubah." Ruby terkekeh melihat rona merah di pipi kakak perempuannya itu.
Terganggu oleh godaan Ruby, Zarri Bano berkata ketus, "Siapa bilang dia ganteng" Kau ingat Ali" Adakah yang bisa menyaingi tampangnya""
"Ya, Ali sangat tampan. Tetapi ada sesuatu dalam diri lelaki ini semacam karisma. Menurutku, dia mungkin memiliki sebuah umpan untuk menyeretmu ke dalam jaringnya, jeratnya bahkan kalaupun itu bukan karena tampangnya."
"Jangan bicara padaku tentang jaring dan jerat!" tukas Zarri Bano sambil berlalu dari tepi jendela. "Aku bukan seekor ikan yang harus dipancing, ditangkap, dan dijerat, Ruby."
"Maafkan aku, Baji Jan. Kata-kataku tak termaafkan, khususnya karena aku tahu bagaimana perasaanmu tentang analogi seperti itu dan juga karena kau adalah seorang feminis."
"Ya, kau sudah seharusnya menyesal. Aku seorang perempuan merdeka. Aku yang memutuskan apakah aku menginginkan lelaki ini atau lelaki yang lainnya. Ini sebabnya mengapa sepuluh tahun berlalu dan aku masih belum juga menikah. Kau mungkin malah akan menikah sebelum aku dan aku akan menjadi seorang perawan tua," guraunya.
"Kau tidak akan pernah menjadi perawan tua, Zarri Bano. Kau terlalu cantik dan gemerlap untuk disisihkan ke dalam laci. Seseorang akan memetikmu suatu hari nanti, jika bukan lelaki ini. Tahukah kau, aku mungkin saja akan menikah sebelum dirimu karena caramu mengecewakan orang. Aku mungkin akan berakhir di pelukan salah satu dari sekian banyak calonmu yang kau tampik. Tahukah kau berapa kali Chaudharani Kaniz mengunjungi kita, bahkan setelah kau menolak untuk menikah dengan Khawar" Kupikir dia kini mulai mengincarku. Jika kau tidak akan menik
ah dengannya, dia akan berpikir aku akan mau pada Khawar."
"Tidak ada seorang pun dari kita yang akan menikah dengan Khawar. Ia lebih seperti saudara laki-laki kita. Namun, bisakah kau bayangkan aku atau kau sebagai si angkuh nyonya Chaudharani Kaniz berikutnya di desa ini" Tidak, terima kasih. Aku tak akan menyia-nyiakan kepandaianku."
Perbincangan singkat ini telah membawa kebaikan kepada Zarri Bano dan membantunya untuk kembali bersikap normal. Dia berkata pada dirinya sendiri, "Hanya karena aku telah memergoki lelaki itu menatapku di antara keramaian manusia dan aku telah membalas tatapannya itu, ini tidak berarti apa-apa. Aku tidak akan jatuh ke dalam sihirnya, seperti yang dipikirkan Ruby."
Entah bagaimana, kebalikan dari yang biasa dilakukannya, dia tampak siap menemui tetamu ini untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Biasanya dia akan menganggap pertemuan-pertemuan dengan para calon suami
ini sebagai sesuatu yang membuatnya mual dan merendahkan martabatnya, apalagi saat diketahuinya kemudian bahwa dia akan menolak lamaran mereka.
Abaikan saja semua analisis itu, dia memikirkan semua hal yang menguatkannya saat menuruni tangga ulir yang mengarah ke dalam ruang tengah. Dia melangkah dengan mantap menghampiri ruang tamu. Dia adalah seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh tahun, bukan lagi seorang gadis remaja yang akan dipinang. Dia akan memperlakukan lelaki ini sebagai seorang tamu biasa. Dengan berdiri tegak dan meninggikan lehernya, Zarri Bano berdiri di ambang pintu, siap untuk melakukan langkah resminya memasuki ruangan itu.
* * * Sikander dan ayahnya, Raja Din, sedang duduk dan berbincang dengan orangtua Zarri Bano. Teh telah disajikan oleh Fatima, pembantu mereka. Ini adalah pertama kalinya mereka semua bertemu dalam satu ruangan. Jafar dan Sikander sudah sempat saling mengenal saat mereka sedang berbisnis di Karachi. Pada suatu kali Sikander mengundang Jafar ke rumahnya.
Sebuah persahabatan pun dengan cepat terjalin antara kedua lelaki itu. Pada kesempatan lain yang serupa, ibu Sikander mengajak Jafar berbicara tentang masalah perjodohan untuk anak laki-lakinya. Saat itu Jafar hanya dapat memikirkan kedua saudari kandungnya. Yang tertua, sudah diceritakannya kepada mereka, bahwa dia telah menolak sekian banyak calon sehingga mereka merasa malu kepada mereka yang datang untuk meminangnya. "Namun, kau boleh mencobanya," ujarnya pada Sikander. "Jika tidak, ada adik perempuanku, Ruby," candanya.
Setelah bertemu dengan Sikander dan mengenalnya lebih baik, Jafar secara naluriah tahu bahwa kakak perempuannya, Zarri Bano, adalah perempuan yang cocok untuk temannya itu. Dalam hal usia, pendidikan, tampang, dan watak, mereka berdua cocok.
Sekembalinya ke rumah, Jafar memberi tahu orangtuanya dan Zarri Bano tentang Sikander. Zarri langsung menghapus masalah itu dari benaknya dia tidak tertarik! Meski sejenak terpikir olehnya akan menyenangkan menikah dengan seseorang yang sudah memiliki tempat tinggal tetap di Karachi, saat dia merencanakan untuk mendirikan perusahaan penerbitannya di sana. Namun, ayah Jafar, Habib, dan ibunya, Shahzada, justru sangat tertarik. Mereka menyuruh Jafar untuk mengundang temannya dan orangtuanya itu ke rumah mereka.
Sampai saat itu, kedua orangtua Zarri sudah berputus asa. Mengusir para pelamar sudah menjadi semacam rutinitas. Dan tidak selalu Zarri Bano saja yang menolak para lelaki yang datang untuk melihat dan meminangnya, ayahnya juga sedikit terlalu banyak menuntut. Entah bagaimana, tidak ada seorang pun dari para pelamar yang diundang yang tampak seimbang dengan kepintaran lelaki tua itu ataupun kerupawanan anak perempuan tertuanya. Dia selalu mengakhiri pertemuan dengan berbicara angkuh, "Lelaki itu haruslah yang terbaik." Ketika Zarri Bano menampik para pelamarnya, diam-diam Habib mendukungnya dan bersyukur pada keputusan putri sulungnya.
Sebaliknya, sang istri melihat semua itu dari sudut pandang seorang ibu. Dia berada di titik keputusasaan. Zarri Bano sudah berada di penghujung usia dua puluhannya dan masih saja tidak ada tanda-tanda rencana pernikahan. "Kapan dia akan
berumah tangga dan membesarkan sebuah keluarga"" pertanyaan itu yang selalu dilontarkannya pada sang suami. Dan Habib sudah terbiasa untuk menjawab dengan tenang bahwa masih ada banyak waktu.
"Apakah kau mau memberikan putri kita yang cantik kepada sembarang nathu pethu"" Habib bertanya pada istrinya. "Aku hanya akan mengizinkannya menikahi seorang laki-laki dari bibit unggul terbaik dari keluarga tuan tanah yang memiliki keturunan unggul itu, dengan nama dan status sosial yang baik."
Istrinya kemudian akan merasa berkewajiban mengomeli Habib sebagai seorang istri. "Jangan berkata seperti itu, Habib Sahib. Semua anak akan selalu sangat berharga di mata orangtuanya, termasuk semua calon pelamar itu. Tidak baik selalu mengusir mereka. Kau dan putri sulungmu akan mendapatkan reputasi buruk karenanya. Mereka akan berpikir bahwa dia terlalu hebat, sombong, dan keras kepala. Padahal kenyataannya, dia hanyalah seorang gadis yang tak mampu menentukan pilihannya. Kau juga bersikap tidak membantu. Kau sudah bersekongkol dengannya dalam menampik para pelamar, bukan""
"Jangan bodoh! Aku hanya sangat posesif atas putriku dan menginginkan yang terbaik untuknya."
"Itu dia, kau terlalu posesif! Itulah masalahnya. Itu tidak sehat, Habib Sahib." Tatapan mata Shahzada menusuknya.
"Sekarang kau melebih-lebihkan." Habib berpaling dari istrinya, tertawa, dan mengakhiri perbincangan mereka.
Kini para tetamu kembali datang untuk bertemu dan ingin mengenal putri mereka. Jika semuanya berjalan lancar, akan ada pertemuan berikutnya dua minggu kemudian. Jika ternyata nantinya ada persahabatan yang tumbuh di antara Sikander dan Zarri Bano, seperti juga antara dua pasang orangtua mereka, Zarri Bano dapat mengunjungi rumah Sikander di Karachi.
Setelah menemui Sikander dan berbincang-bincang sejenak, Shahzada tampak sangat bersukacita. Sikander langsung menghangatkan hatinya. Mata Shahzada sering menelusuri wajah tampan pemuda itu. Namun, Habib menahan diri untuk tetap tenang. Dari penampilan dan sikapnya, Sikander sangat menarik. Habib tidak mungkin menolaknya, tetapi dia akan menunggu dan melihat reaksi putri sulungnya, baru kemudian memutuskan.
Sebuah ketukan di pintu membuat mereka semua tegak menanti siapa yang akan masuk.
Zarri Bano memasuki ruangan. Dia berdiri di hadapan mereka semua: tinggi, berpenampilan megah, dan memesona dengan pakaian berwarna merah jambu. Sikander yang langsung memandanginya dan merasa terpuaskan karena dia adalah perempuan yang dilihatnya di mela, mencondongkan badannya ke depan, seolah-olah sibuk membelah biskuit di atas sebuah piring. Saat itulah Habib melemparkan pandangannya ke arah Sikander, untuk melihat reaksinya terhadap putri kesayangannya. Mulutnya mengatup kencang menanti saat Sikander menengadah.
Ayah Sikander lain lagi. Dia yang sedang mengamati Zarri Bano untuk pertama kalinya, sungguh-sungguh terpukau. Sebuah seringai lebar muncul di wajahnya. Dia terus memelototi gerak-gerik Zarri Bano ketika dia melangkah mendekati mereka.
Zarri Bano mengucapkan salam kepada tetamu itu. Sikander mendengar suaranya, tapi masih saja malas menengadahkan wajahnya. Dia sadar bahwa suara itu begitu merdu, suaranya sesuai dengan penampilannya.
Zarri Bano melayangkan pandangannya ke semua orang yang ada di ruangan itu, menangkap sorot mata mereka satu per satu dan tersenyum. Setelah berada di dekat mereka, dia duduk di samping ibunya, di sebuah sofa yang tepat berseberangan dengan Sikander dan ayahnya. Kini, dia menanti lelaki itu menengadah ke arahnya karena sejak tadi pandangan mereka belum juga saling bertemu. Namun, dia seakan lebih peduli pada biskuit bodohnya ketimbang pada Zarri Bano!
Dia tidak tahu dari mana kenekatan itu datang, tapi memang sudah menjadi karakternya melawan sopan santun umum. Dia memutuskan untuk menyapanya secara pribadi sehingga lelaki itu akan terpaksa harus melihat ke arahnya dan menengadah. Dia tidak akan membiarkan dirinya diabaikan oleh orang asing angkuh dan tampan yang telah mencerabut dirinya dari dunianya yang damai dan berani mengasarinya dengan pandangan kurang ajarnya di lapangan tadi en
tah jodohnya atau siapa pun itu!
"Sahib Sikander," dia mulai menyapa dengan manis. Dia mengenal namanya dari Ruby saat menuruni tangga tadi. "Apakah kau menyukai perjalananmu kemari" Apakah mela kami menyenangkanmu" Kami memang agak sedikit unik dibandingkan dengan dunia yang canggih di Karachi, sebagaimana yang kau lihat."
Akhirnya dia menengadah! Alisnya beradu. Dia tampak terkejut pada keberanian Zarri Bano berbicara langsung padanya di hadapan orangtua mereka dan tanpa perkenalan resmi seperti pada umumnya. Selain itu, gadis itu dengan berani mengingatkannya pada kejadian yang mereka alami di mela! Itu tindakan yang tidak pantas. Sebuah kesan sebal terbias di matanya. Dia terlalu "berbeda" dari seleranya! Tiba-tiba saja sebuah pemikiran muncul di benaknya.
Sekarang dia memberikan sorot matanya seutuhnya kepada Zarri Bano. Bola matanya yang berwarna abu-abu keruh, seakan terpasang tepat ke dalam jiwa Zarri Bano. Namun, mereka berdua masih tetap terlihat tenang dan tidak tampak ada senyum jawaban di bibir Sikander.
"Ya, Sahiba, kami telah melalui perjalanan yang menyenangkan," balasnya sopan. "Dan ya, tentu saja, mela itu adalah sebuah hiburan menarik yang kami jumpai dalam perjalanan. Itu adalah kejutan yang mengasyikkan sekilas bayangan tentang apa yang ada di rumah ini."
Pipi Zarri Bano merona seketika. Hanya Sikander yang memerhatikan hal itu, karena hanya dia yang mengetahui dengan jelas penyebab ketersipuannya. Dia telah mengingatkan Zarri Bano tentang saat di mana pandangan mereka berserobok dan dia tampak senang menyadari bahwa ternyata ada juga sesuatu yang cacat dalam penampilan gadis itu.
Zarri Bano menoleh ke arah Raja Din; secara halus itu adalah upayanya untuk berpaling dari Sikander. Dia pun mulai berbicara fasih tentang Karachi dan universitas tempat dia pernah menuntut ilmu di sana. Raja Din sumringah memandanginya. Kecantikan Zarri yang memukau itu berenang-renang di matanya. Dia pun membayangkan cucu-cucu rupawan dengan wajah seperti perempuan ini. Matanya yang membiaskan warna biru dan hijau nan gemerlap, tampak berkilauan olehnya: dia membayangkan memiliki seorang cucu laki-laki dengan mata secemerlang itu! Dia menanggapi pertanyaan-pertanyaan Zarri dengan bersemangat.
Sementara mereka bercakap-cakap, Sikander diam-diam mengamati dan mendengarkan. Dia terpana melihat ayahnya begitu terpesona oleh Zarri Bano. Tidakkah hal yang sama terjadi pada dirimu, Sikander, ketika di mela" Sekilas pandangan dengannya sudah berhasil menjeratnya!
Setelah setengah jam, Zarri Bano meninggalkan mereka semua. Hanya sampai itulah yang harus diselesaikan pada pertemuan pertama.
Sikander dan ayahnya diundang untuk ikut makan malam. Kali ini Ruby menemani mereka, sedangkan Zarri Bano tinggal di kamarnya. "Bahkan kalaupun aku tertarik, karena aku tidak merasakan itu," ujarnya angkuh, "mengapa aku harus kembali ke ruangan itu" Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Jadi, mengapa aku harus mulai melakukannya sekarang" Khususnya untuk menyenangkan seorang lelaki yang bahkan sama sekali tidak ingin tersenyum padaku."
Namun, dia tidak mampu menahan diri untuk terus memasang telinga mendengarkan suara-suara dari lantai bawah dan menunggu saatnya tetamu itu pergi. Akhirnya, sambil bersembunyi di balik gorden, dia melihat mereka pergi. "Kau akan datang kembali padaku, Sikander yang angkuh," gumamnya. "Saat itulah yang akan menyenangkan sekali bagiku mencampakkanmu!" Dan Zarri Bano segera menjauhi tepi jendela, mengenyahkan lelaki itu seutuhnya dari benaknya.
Ketika Ruby naik beberapa saat kemudian dan mengatakan padanya bahwa mereka akan datang kembali, Zarri Bano tidak berkomentar apa pun. Di lantai bawah, di ruang tengah, dia berjalan melewati pembantu mereka, Fatima. Sesungging senyuman menghias wajah perempuan tua itu.
"Yang satu ini sangat tampan, bukan"" goda Fatima. Yang amat disukai Zarri Bano, Fatima cukup berani berbicara terus terang dengannya.
"Oh, dia lelaki yang baik, menurutku. Kita akan lihat apa yang akan terjadi nanti," jawab Zarri Bano. Pipinya berdekik lucu.
"Tetapi, Anda menyukainya, bukan"" desak Fat
ima ingin memastikan. Zarri Bano tertawa tergelak sambil melangkah ke arah ruang makan. Fatima menatap sosok majikan mudanya. Dia semata-mata hanya berharap agar Zarri Bano dan putri kandungnya, Firdaus, menikah dan berbahagia. Dia berdoa untuk kesehatan dan masa depan mereka. Di atas segalanya, mendapatkan Khawar sebagai menantu adalah mimpi Fatima yang sesungguhnya.
* * * Beberapa saat kemudian, berduaan dengan suaminya di kamar tidur mereka, Shahzada menatap wajah Habib, suaminya, dengan gundah. Dia terduduk di atas sofa. Sebuah buku neraca perhitungan untung rugi terhampar di atas pangkuannya.
"Aku tidak senang dengan perhitungan tentang tanah milik munshi. Ada sesuatu yang tidak cocok di sini." Habib mendongak memandang istrinya sekilas dari seberang ruangan.
"Tapi kau senang pada Sikander, kan"" Shahzada memberanikan diri.
Kepala Habib menegang sesaat, tapi dia segera menunduk kembali, membuka-buka halaman buku, dan menandai salah satu sudutnya dengan pena emasnya.
"Menurutku, putri kita akhirnya telah menemukan jodohnya," kata Shahzada mencoba lagi. Dia merasakan sebentuk keinginan yang mendesak untuk terus mengajukan masalah ini karena melihat tatapan aneh di sorot mata suaminya. Dia sadar bahwa sang suami sedang menyembunyikan pikirannya di balik buku perhitungan bisnis yang dipangkunya itu.
"Begitu menurutmu"" Habib balik bertanya, menoleh ke arah istrinya dan melemparkan pena emasnya ke atas meja di hadapannya.
"Ya," Shahzada menjawab dengan tegas. "Tidakkah kau lihat, Habib Sahib, pancaran mata putrimu saat dia kembali dari mela, dan reaksinya begitu bertemu dengan pemuda itu" Dia tidak pernah bertingkah seperti itu sebelumnya." Dengan mengabaikan sorot mata dingin suaminya yang sedingin pegunungan Kashmir itu Shahzada dengan berani bersikukuh, "Menurutku, pemuda tampan ini akan menjadi takdir putri kita...."
Seketika dia berhenti berbicara begitu suaminya menendang meja kayu kecil di depannya dan berdiri tegak. Sosok yang tinggi menjulang ini tampak menatap ke bawah ke arahnya, membiarkan buku perhitungan dagang itu terjatuh ke lantai marmer dengan suara keras.
"Aku belum memutuskannya." Dia berbicara dengan nada marah. "Sudah jelas bahwa kau dibuat mabuk olehnya. Bajingan penipu itu lebih memedulikan biskuit daripada menghormati putriku dan memberi perhatian yang pantas didapatkan Zarri Bano. Lelaki itu nyaris tidak memandang ke arah Zarri Banoku, Shahzada! Belasan lelaki bertekuk lutut pada putriku sejak dia masih remaja, dan mereka bahkan tidak peduli meski tidak melihatnya dengan jelas. Aku tersinggung dengan sikap seperti itu!"
"Namun, bagaimana dengan putrimu" Tidakkah kau lihat pancaran matanya"" Shahzada memohon.
"Ya, aku melihatnya." Habib menggerundel kesal. "Itu semakin menambah alasan bagiku untuk lebih waspada. Aku adalah kepala keluarga ini dan aku akan memutuskan apa yang terbaik untuk Zarri Bano. Aku tidak menyukai lelaki ini, Shahzada."
"Habib, kau terlalu bersikap protektif. Aku harus mengatakan padamu, Zarri Bano putri kita tampak sangat menyukainya. Kau pasti sudah melihat reaksinya di depan lelaki itu. Tidakkah kau lihat betapa dia "
"Lelaki ini memiliki kekuatan untuk menyakiti putri kesayanganku. Aku merasakan itu di dalam nadiku!" Habib menjawab kesal dengan memotong pembicaraan sang istri.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun melakukan apa saja yang menyebabkan dia sakit hati atau menghinanya dengan cara apa pun. Kau lupa, Shahzada, dalam trah kita, takdir diciptakan dan ditentukan oleh kita. Aku yang menentukan apabila lelaki ini akan menjadi takdir putri kita atau bukan."
"Tidak, Habib, jangan!" Shahzada memohon, kata-kata sang istri bergema di dalam ruangan kosong karena Habib langsung melangkah ke luar seraya membanting pintu kayu yang berat di belakangnya.
Shahzada menerawang ukiran di balik pintu itu dan merasakan semacam firasat buruk.
2. CHAUDHARANI KANIZ baru saja kembali dari liburan selama dua minggu di tempat peristirahatan Murri di perbatasan Kashmir. Dia juga dalam perjalanan mengunjungi dua saudarinya yang sudah menikah dan tinggal di Lahore, di Provinsi Punjab.
Sela in karena panasnya musim panas di Sindu yang menyengat, dia merasa senang berada dekat kampung halamannya. Dia mengharapkan putranya, Khawar, baik-baik saja dan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar di rumahnya yang dititipkan kepada pelayannya, Neesa.
Di dalam benak Chaudharani Kaniz, seorang rishta atau calon mempelai yang cocok yang sudah diperkenalkan kepadanya oleh adiknya, Sabra, di Lahore, akan menjadi calon istri yang hebat bagi Khawar. Seorang gadis yang menarik dan sangat berpendidikan, tetapi yang terutama adalah dia datang dari sebuah keluarga kaya raya dengan reputasi dan latar belakang yang baik. Satu-satunya ganjalan adalah tidak jelas apakah si gadis dan keluarganya akan menganggap lamarannya pantas untuk diterima. Pikiran tentang hal itu tertancap di dalam benak Kaniz bagaikan sebatang duri: mungkinkah seorang gadis kota dari kalangan menengah yang berpendidikan dari Lahore mampu menikmati keberadaannya di tempat terpencil, sebuah desa asli di Sindu yang panas"
Itu adalah sebuah masalah, dan masalah yang sangat besar! Karena kenyataannya sangat mudah dipahami bahwa di antara para perempuan dari Lahore hanya sebagian kecil yang menyukai kehidupan pedesaan, tidak peduli fasilitas apa pun yang ditawarkan. Bahkan masalah listrik sekalipun, video recorder, dan penyejuk udara bukanlah kompensasi yang pantas bagi kehidupan malam yang riuh rendah, dunia hiburan, dan fasilitas belanja yang ditawarkan oleh ibu kota tua Pakistan itu.
Dilahirkan dan dibesarkan di wilayah pedesaan membuat Kaniz sendiri tidak memedulikan gaya hidup kota besar sedikit pun. Saat diberi pilihan untuk menikahi seorang lelaki yang "biasa", tetapi berasal dari satu keluarga kota, atau tinggal di sebuah desa dan menikahi seorang tuan tanah kaya raya, Kaniz tanpa pikir panjang telah memutuskan untuk meraih kehormatan menjadi istri seorang zemindar. Dia diberkahi akal sehat dan kecerdikan sejak usia muda, diiringi hasrat untuk menjadi kaya raya yang ada padanya sejak lahir. Kaniz berpikir bahwa dia sangat tolol jika menampik tawaran seperti itu!
Menjadi seorang chaudharani dan memegang kekuasaan sebagai ratu rumah tangga di dalam sebuah hierarki desa yang saling mendukung satu sama lain adalah sebuah kesempatan yang tidak akan datang ke depan pintu orang setiap hari. Dia sudah melakukan tujuh puluh nafi sujud syukur pada Allah karena telah menganugerahkan kismet yang sedemikian bagus untuknya. Karena itu, Kaniz sama sekali tidak merasa bimbang untuk menetap di desa itu selamanya.
Daya tarik dan kemegahan kehidupan kota yang menyesatkan telah gagal menjeratnya. "Dengan berhektar-hektar tanah atas namanya dan hasil panen melimpah yang dihasilkannya, kau dan suamimu, Sarwar, tidak akan pernah kekurangan apa pun," demikian sang ibu mencekokinya dengan penuh semangat. Dia tidak harus diberi tahu bahwa mimpi materialistisnya yang terhebat akan terwujud dan memang begitulah yang terjadi.
Satu-satunya yang membahayakan dan terus-menerus terasa menyakitkan hingga hari ini adalah kenyataan bahwa suaminya ternyata sempat ditolak oleh seorang perempuan desa lainnya sebelum Kaniz muncul dalam kehidupannya. Dia hanyalah menjadi pilihan kedua lelaki itu. Ini adalah duri dalam daging, ular berbisa di tengah taman mawar, yang berdampak seperti penyakit kanker dalam kehidupannya, dan dia tidak mampu mengusir perasaan itu.
Di tahun-tahun pertama, dia benar-benar dibuat merana karena dijuluki sebagai "Chaudharani Kedua", mengingat semua orang mengetahuinya dan merupakan fakta tak terbantahkan bahwa Shahzada adalah pemilik tanah lokal pertama yang paling berpengaruh. Ketika Habib Khan dan Chaudharani Shahzada pindah ke kota terdekat, Tanda Adam, sepuluh tahun yang lalu, Kaniz merasa bersukacita. Hanya si lelaki tua, Siraj Din, yang tetap tinggal di hawali-nya yang luas di desa itu. Sampai saat itu, Shahzada, sebagai menantu tertua Siraj Din, tanpa disadarinya dan dengan lugu telah merampok semua pusat perhatian dari Kaniz yang malang.
Sekarang, hanya Kanizlah satu-satunya chaudharani di desa itu dan dia tidak pernah membiarkan seorang pun melupakan kenyataan itu
! Dengan perilakunya yang angkuh dan tinggi hati, dia menjaga jarak dengan sebagian besar penduduk desa. Itu semua akibat dia begitu terpengaruh oleh pepatah kuno yang mengatakan, "jangan pernah terlalu dekat dengan para pelayan dan tetanggamu". Bagaimana lagi dia dapat mempertahankan posisi khususnya dan kekuasaannya atas semua orang, pikir Kaniz, jika dia harus mengelus bahu setiap orang" Tanpa kekuasaan yang dimilikinya, dia bukanlah siapa-siapa!
Kaniz tersentak ke belakang saat mobilnya melaju keluar dari jalan raya ke jalan tak beraspal yang mengarah ke Chiragpur. Dengan senang hati, dia memperkirakan bahwa akan ada banyak orang yang menyadari kedatangannya. Malam ini, seluruh isi desa akan tahu bahwa Chaudharani Kaniz sudah kembali, karena hanya ada empat mobil di desa itu: mobil Kaniz, mobil Siraj Din, dan dua mobil lagi milik keluarga orang kaya baru yang mulai mengumpulkan kekayaannya karena anak laki-laki mereka pergi bekerja di Timur Tengah. Mula-mula sebuah kulkas raksasa, lalu sebuah video, dan akhirnya mereka mendapatkan kemajuan yang berarti dalam mempertontonkan kekayaan mereka lewat sebuah jip baru!
Kaniz memalingkan kepalanya dengan satu dengusan, sebuah cibiran mencemooh terukir di mulutnya yang indah. Jip dan video tidak akan mengubah garis keturunan. Dia dan keluarganya memiliki latar belakang sekaligus kekayaan. Barisan mobil mengilap tidak mampu membuat shan mereka terselimuti!
Jalanan yang berdebu itu membelah ladang sayuran nan hijau sepanjang satu mil. Kaniz membuka kaca jendela mobilnya dan menghirup udara segar pedesaan dengan nikmat. Betapa senangnya pulang kampung!
Setengah mengantuk, matanya menangkap sosok seorang lelaki di atas seekor kuda putih. Apakah itu Khawarnya" Dia adalah satu-satunya lelaki dengan seekor kuda putih di wilayah itu. Tanpa kacamatanya, dia tidak dapat betulbetul mengenalinya dari jarak sejauh itu. Sambil mengerutkan keningnya, dia mencoba mengenali sosok lainnya yang sedang bersamanya. Itu adalah seorang perempuan muda, berjalan beberapa meter di depan Khawar. Kaniz melihat perempuan itu berlari dan jatuh ke tanah, tenggelam di dalam ladang kembang kol yang rimbun.
Putranya melompat turun dari kudanya dan menolong perempuan itu berdiri. Khawar kini sedang berbincang-bincang dengannya dan gadis itu membalasnya sebelum membalikkan tubuh untuk pergi berlalu. Sambil menarik tali kekang kudanya, Khawar mulai berjalan pulang dengan gadis itu menuju desa.
Siapakah gadis bodoh itu" Kaniz bertanya-tanya dengan geram. Mengapa putranya harus berperilaku sedemikian idiot" Tidak benar seorang bujangan sepertinya berduaan di ladang asyik mengobrol bersenda gurau dengan seorang gadis, bahkan meskipun itu tidak disengaja. Itu adalah tindakan yang paling tidak patut dilakukan, mengingat reputasinya dan terutama reputasi perempuan itu. Kaniz harus mengingatkannya tentang kepatutan dan sopan santun yang berlaku di desa itu begitu dia sampai di rumah nanti. Chiragpur adalah sebuah desa kecil dan izzat, seorang gadis atau kehormatannya, adalah harta yang sangat tak ternilai.
Kaniz terus mengawasi mereka ketika dilihatnya si gadis mempercepat langkahnya. Lalu dia tampak membalikkan tubuhnya untuk mengatakan sesuatu pada Khawar. "Perempuan murahan!" Kaniz berdesis sambil menahan napas.
Khawar tampak berhenti mengikuti gadis itu. Dia kembali naik ke punggung kudanya dan melecut kudanya ke arah lain. Putranya itu masih saja tidak melihat mobil ibundanya dijalan.
Gadis itu kini sampai di jalan dan berjalan searah dengan mobil Kaniz menuju desa. Dia menoleh ke belakang untuk melihat mobil, tepat saat Kaniz sedang melongok ke luar jendela, dengan tubuh condong ke luar karena rasa penasarannya tentang identitas si gadis. Begitu mobilnya melintas, Kaniz menjatuhkan diri ke jok dengan wajah terbakar oleh panas yang tiba-tiba menyengat.
Firdaus! Anak perempuan tukang cuci itu! Anak perempuan musuhnya! Bagaimana mungkin putranya bisa melakukan hal seperti ini padanya"
"Betapa memalukan. Rubah betina itu! Aku menduga dia sudah menancapkan cakarnya pada diri putraku," umpat Kaniz, tersedak oleh kemurk
aannya. "Lihat saja nanti. Aku akan menghentikan hubungan ini sejak awal. Jika tidak, jangan sebut aku Kaniz!" Dia berikrar seraya menyekakan tangan ke wajahnya, dari dahi hingga dagu, dengan bahasa tubuh orang desa yang mengisyaratkan tantangan pribadi. "Diam-diam bertemu putraku di ladang! Gushty!Pelacur!"
* * * Putra Kaniz tidak pulang ke rumah sampai malam tiba. Saat itu Kaniz sudah membiarkan dirinya mengumbar angkara murkanya. Bara kebencian terhadap gadis itu telah membuatnya mencecar si pengurus rumah, Neesa, begitu dia melangkahkan kakinya di pintu depan.
"Ke mana saja putraku menghabiskan waktunya, Neesa"" cecarnya. "Tampaknya, dia mengeluyur terus selama aku tak ada. Seperti yang dikatakan orang tua zaman dulu, 'Ketika kucing pergi, rumah jadi dipenuhi cecurut'. Dalam hal ini, ketika ibunya pergi...."
"Ia pulang pergi sepanjang waktu, Nyonya. Mengerjakan bisnisnya, saya rasa," seketika Neesa menjawab. "Anda pasti sangat lelah. Apakah Anda ingin berbaring" Saya akan membangunkan Anda saat tuan muda pulang."
"Tidak, Neesa. Aku tidak dapat beristirahat sampai aku bertemu Khawarku. Aku seorang janda dan menanggung semua tanggung jawab sendirian. Karena itu, aku harus benar-benar mengetahui semuanya. Jika kau sudah mengetahui sesuatu tentang perilaku putraku, kau wajib memberitahukannya padaku, Neesa. Dia adalah putraku satu-satunya. Aku harus selalu siaga setiap saat demi kebaikannya."
"Ada masalah apa, Nyonya"" takut-takut Neesa bertanya, merasa penasaran untuk mengetahui sumber amukan Chaudharani-nya. "Adakah sesuatu yang telah terjadi""
"Tidak, tidak ada apa-apa. Kau boleh pergi sekarang. Panggil Khawar untuk menemuiku saat dia datang." Kaniz meminta pengurus rumah tangganya pergi.
Neesa menatap punggung majikannya selama beberapa detik, kemudian perlahan dia berlalu meninggalkan ruangan itu. Kaniz bukan seorang perempuan yang menyenangkan untuk dijadikan atasan dalam bekerja. Dia tidak hanya angkuh, tapi juga kejam. Dia jarang sekali memuji dan hanya mengharapkan segala sesuatunya dikerjakan dengan standar kualitas tertinggi. Dia memelihara jarak dengan semua pelayannya, termasuk Neesa pengurus rumah tangganya selama dua puluh sembilan tahun. Mengingat Neesa adalah bawahannya, Kaniz merasa tidak pantas baginya "menghargai" Neesa dengan kepercayaan.
Neesa menarik napas panjang dan kembali melakukan aktivitas bersih-bersihnya. Dia harus mengecek kembali setiap kamar dan setiap pilar, untuk memastikan tidak ada lagi debu dan sarang laba-laba, berjaga-jaga seandainya dia melewatkan satu celah sekalipun. Sebagai seorang pemilik rumah yang rapi dan obsesif, Nyonya Kaniz tentu saja akan terus-menerus mencolekkan jarinya ke setiap permukaan perabot dan memeriksa semua daun jendela untuk melihat ada tidaknya debu, sebelum dia pergi tidur. Itu adalah tugas yang selalu dengan sangat teliti dilakukannya setiap kali dia baru pulang dari bepergian meski dia sedang dalam keadaan sangat lelah sekalipun.
Majikannya sedang dalam suasana hati yang buruk. Neesa tidak ingin memberinya alasan lain untuk melampiaskan amarahnya padanya kali ini. Dengan sukarela, dia mengambil kain lap dan tongkat boker-nya lagi.
* * * Khawar, pemuda berusia dua puluh enam tahun dan ahli waris semua kekayaan duniawi ibundanya, menemukan Kaniz sedang bersandar pada setumpuk bantal di atas sofa di depan televisi. Dia sedang menonton sebuah film video sebuah film yang baru dirilis dari Bollywood, India.
"Assalamu 'alaikum, Ibu. Aku tak mengira Ibu sudah pulang. Kupikir Ibu akan kembali minggu depan." Khawar menyapanya, membungkuk, dan menciumnya dengan hangat di kening.
"Ya, begitulah. Aku sudah menunggu kau pulang selama berjam-jam, Anakku. Dari mana saja kau" Kuduga kau sudah bersenang-senang di ladang dengan kudamu, atau sedang mengadakan sebuah pertemuan penting, mungkin"" Kaniz memancing-mancing.
"Aku tadi mengadakan perundingan harga dengan chaprassi kita untuk minggu depan, Ibu, dan memeriksa mesin penumbuk tepung." Dia menjawabnya dengan kalem, memilih mengabaikan suasana hati ibundanya yang tampak sedang kesal.
"Aku tadi melihatmu," tukas Kaniz
. Suaranya direndahkan. Matanya yang gelap berbentuk kacang almond itu kini bersinar jahat di wajah putihnya.
"Di mana"" Khawar menyelusupkan badannya ke dalam sofa di samping ibunya. Kaniz menoleh untuk memeriksa dari dekat rona muka putranya, mencari tanda perasaan bersalah.
"Di tengah ladang dengan gadis itu!" ujar Kaniz ketus. Bola matanya mengecil dan menipis tajam.
"Apa maksud Ibu dengan 'gadis itu'"" tanpa takut-takut Khawar balas menatap tajam ke arah mata ibunya.
"Tampaknya, kau begitu asyik masyuk dengan anak perempuan tukang cuci itu sehingga kau bahkan tidak melihat mobil ibumu melintas."
"Aku bukan sedang asyik masyuk, Ibu. Ayolah! Firdaus terjatuh dan aku membantunya berdiri. Itu saja." "Tidak, kau tidak hanya membantunya berdiri! Aku menyaksikannya. Kau berjalan dan berbincang mesra dengannya."
"Ada apa ini, Ibu"" Khawar bergerak gelisah di atas sofa. "Sebuah penyelidikan" Lalu memangnya kenapa jika aku berbincang dengannya! Dia seorang warga desa, lagi pula, aku sudah bermain dengannya sejak kecil. Berbincang dengannya bukanlah suatu kejahatan, bukan" Aku hanya bertanya padanya tentang sekolah. Ibu ingat kan, aku adalah anggota panitia pengelola sekolah."
Kaniz mendengarkannya dengan sabar sebelum berbicara padanya dengan nada datar. Dia tak akan bisa menerima jika putranya menganggap remeh ucapannya atau bahkan salah memahaminya: Oleh karena itu, dia terdorong untuk mengutarakan semuanya pada Khawar. "Aku ingin kau menjauhi perempuan itu," ujarnya. "Aku tidak ingin kau menjalin hubungan apa pun dengannya, tidak juga dengan keluarganya. Terlalu memalukan bagi seorang tuan tanah yang kaya raya dan dibesarkan dengan baik mengejar-ngejar seorang anak perempuan tukang cuci."
Tidak sanggup lagi menerima hinaan dan cacian ibunya, Khawar bangkit berdiri dan menghela napas dengan berat.
"Firdaus adalah seorang wakil kepala sekolah, Ibu! Mengapa Ibu selalu dengan mudah meremehkan kenyataan itu" Ibu senang menghinanya dengan menjulukinya sebagai 'anak perempuan si tukang cuci'! Kenikmatan apa yang Ibu dapatkan dengan menghinanya" Dia bukan anak perempuan tukang cuci!"
"Menurutku dia memang begitu. Dan aku tidak mendapatkan kenikmatan apa pun, anak nakal! Aku sedang memberitahumu, Anakku, untuk tidak menodai nama baik kita dengan berhubungan dengan mereka. Lagi pula, aku sudah mendapatkan jodoh yang tepat untukmu, di Lahore, seorang perempuan yang sangat cantik dan terpelajar. Bibimu Sabra sudah bersusah payah demi kamu."
"Biar saja." Khawar bersiul pelan, melepaskan ikatan amarah yang mencekiknya. Dengan bangga, sebagaimana sang ibu, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak bersikap angkuh dan zalim. "Ibu dan Bibi Sabra bisa melakukan apa pun yang kalian suka dengan perempuan-perempuan 'Lahore' ini," sahutnya dingin. "Jika menginginkannya, aku bisa saja menikahi gadis itu anak perempuan tukang cuci itu dan tidak ada satu pun yang bisa kau lakukan untuk menghentikanku, Ibu." Dia memberi tatapan tajam ke arah ibunya dan tidak lagi berseloroh padanya.
Dengan mulut indahnya ternganga lebar, Kaniz menyaksikan putranya berlalu keluar dari kamar dengan marah. Satu-satunya yang mencegahnya menjadi histeris diperlakukan seperti itu adalah kesadaran bahwa Khawar hanya menggertaknya. Kaniz berpikir bahwa Khawar hanya mengatakan itu semua untuk membalasnya. Anak itu menyadari kewajibannya dan tidak akan melakukan sesuatu yang tak termaafkan seperti yang dikatakannya itu!
Dengan benak yang lebih tenang, Kaniz perlahan menutup mulutnya. Menepuk-nepuk tumpukan bantal di bawahnya, merentangkan tungkai-tungkainya yang besar dan panjang di atas sofa, dan menikmati lagi film yang sedang ditontonnya. Sekarang dia sudah sampai mana" Oh, ya. Si pemeran utama pria, Shahrukh Khan, baru saja jatuh cinta pada saudara si pemeran utama perempuan.... Tangan Kaniz menggapai piring yang berisi dendeng.
Begitu dia mulai masuk ke dalam plot film itu, Kaniz terganggu Neesa yang muncul tergopoh-gopoh, memberi tahu bahwa Mansur, lelaki desa penjual melon, sudah berada di gerbang rumah menunggu pesanan mereka. "Tidak, Neesa! Katakan padanya untuk melem
parkan buah-buahan busuknya ke sumur desa. Aku sedang tidak menginginkan buah-buah melonnya yang sedang tidak musim itu."
Dengan suasana malam yang kini sepenuhnya kelabu, Kaniz meminta Neesa memanggil Kulsoom, mak comblang desa, untuk datang ke rumah. Setelah gagal dengan upayanya menyatukan putra kesayangannya dengan Zarri Bano, sekarang dia siap memulai kembali dari awal. Zarri Bano yang angkuh itu telah menyatakan diri tidak menginginkan hidup di desa, dan, dia juga berkeras bahwa Khawar hanya menjadi seperti seorang kakak baginya.
"Baiklah," Kaniz mendengus dengan kesal. Perempuan itu juga terlalu gemerlap, terlalu terpelajar, dan keras kepala untuk seleranya. Kini Ruby yang pemalu menjadi masalah lainnya.... Kini ingin Kulsoom mencari tahu dari Habib Khan andai saja dia akan memperbolehkan Kaniz melamar anak perempuannya, Ruby, sebagai calon pengantin bagi Khawar.
Begitu Kaniz mencoba meraih ludoo lain dari atas piring dan melemparkannya ke dalam mulutnya, tiba-tiba saja terlintas bayangan Firdaus dan putranya, dan itu nyaris membuatnya tersedak. "Tidak akan pernah!" jeritnya dalam hati. "Langkahi dulu mayatku!"
3. BABA SIRAJ DIN, ditemani oleh asistennya yang setia sekaligus sopirnya, Waris, secara resmi memutuskan untuk mendatangi rumah putranya, Habib, untuk mendiskusikan masalah rishta cucu perempuannya, Zarri Bano. Begitu mobilnya sampai di halaman depan berlantai marmer di vila Habib yang megah, Siraj Din menunggu dengan sabar hingga sopirnya membantunya keluar dari jip. Sambil menggenggam erat tongkat gadingnya dengan satu tangan, dia meraih tangan Waris untuk turun dari kursinya. Dia menegakkan mantel wol hitamnya yang panjang dan membenahi serbannya agar pas lipatannya di atas kepalanya. Dia selalu mengunjungi putranya dengan berdandan formal, "Penampilan itu sangat berarti," itu yang selalu dipesankannya kepada putra-putra dan cucu-cucunya.
Tongkat gadingnya menyuarakan bunyi ketukan di atas lantai marmer putih susu itu, sementara Siraj Din menaiki tiga anak tangga di beranda yang mengarah ke dua pintu geser. Dia pun menekan tombol bel di dinding dan menunggu dengan tak sabar.
Fatima keluar dari dapur. Sambil mengelap tangannya yang basah ke ujung celemek yang dipakainya, dia berjalan tenang ke arah ruang tengah untuk melihat siapa yang berani memencet bel selama itu. Begitu dia menangkap bayangan sesosok lelaki tua yang berdiri di luar pintu kaca yang jernih, dengan kepala yang tinggi tegak sambil mengawasinya dengan tatapan mata dingin, Fatima terbirit-birit mendekati pintu. Dari balik bahunya, dia berteriak kepada majikannya, Shahzada, "Sahiba Jee, Baba Siraj Din datang!"
"Bismillah! Bismillah, Baba Jee!" Fatima menyambutnya, seraya menggeser pintu hingga terbuka sepenuhnya. Secepatnya dia memberi jalan dan merundukkan kepalanya di hadapan lelaki tua itu sebagaimana yang selalu dilakukannya. Dengan berwibawa, Siraj Din mengusap pelan kerudung di kepala Fatima sebelum dia berjalan memasuki ruang tengah.
Shahzada, menantu perempuannya yang tertua, telah mendengar teriakan Fatima. Siraj Din melihatnya bergegas keluar dari ruang tamu memegangi chador-nya kuat-kuat di kepalanya, sambil diam-diam menyelempangkan ujung lainnya ke sekeliling bahunya hingga menutupi dadanya. Dengan pandangan hormat yang hanya ditujukan ke mantel ayah mertuanya dan dengan pipi merona ceria, Shahzada berdiri di depan ayah mertuanya yang terhormat. Perlahan-lahan dia menaikkan kepalanya menghadap tangan Siraj Din yang terangkat. Lelaki tua itu meletakkan tangannya sejenak di atas kepala Shahzada, dan kedamaian menyeruak hatinya. Ini adalah kepala yang tidak pernah membuatnya jenuh untuk menepuknya. Kepala milik menantu perempuan kesayangannya, kebahagiaan dalam hidupnya setelah istrinya, Zulaikha, wafat.
"Assalamu 'alaikum, Aba Jan, " dengan gugup Shahzada menyapa ayah mertuanya, sambil mencemaskan chador sutra akan merosot dari posisinya yang tidak pas di atas kepalanya dan akibatnya akan terjadi skandal memalukan karena kepalanya akan terlihat oleh ayah mertuanya. "Kami tidak mengira Anda akan datang, Baba Jee," dengan gemetar
dia mencoba menjelaskan. "Wa 'alaikumussalam," Siraj Din membalas salam sebelum melangkah mendahului mereka memasuki ruang tamu, seraya bertanya sambil lalu, "Apakah Habib ada di rumah""
Shahzada membuntuti dua langkah di belakang ayah mertuanya saat dia memasuki ruang tamu yang besar. Fatima sudah terlebih dahulu melesat memasuki ruangan itu untuk menyiapkan takkia, atau bantal tebal, di atas sofa. Siraj Din tersenyum menghargai Fatima yang sedang menyusun tumpukan bantal krem bersarung brokat dengan sedemikian tingginya. Dia benar-benar tidak menyukai sofa-sofa modern. Hatinya masih saja merindukan palang, tumpukan kasur, dan bantal tradisional mewah yang menghiasi ruang-ruang utama di zaman dahulu. Namun, palangtidak cocok dengan perabotan lainnya di ruang tamu modern. Perabot seperti itu sudah dipindahkan ke ruang-ruang yang kini diberi nama "kamar tidur".
Mata Siraj Din bergerak ke arah lampu tinggi di satu sudut. Gorden panjang dengan bahan brokat dan talinya yang sepadan, ditarik dari dinding ke dinding jendela pendopo. Mereka kemudian duduk menghadap tiga buah meja marmer berat yang ditempatkan di antara dua buah sofa besar yang mewah. Ada banyak tempat duduk di ruangan itu yang cukup untuk dua puluh lima orang, Siraj Din mengingat kembali ke belakang. Mengetahui selera ayahnya soal perabot, Habib secara khusus membeli sebuah sofa peraduan yang elegan dari sebuah toko berkualitas di Karachi yang serasi dengan perabot mewah lainnya, termasuk karpet sutra yang sepenuhnya menutupi lantai marmer rumahnya.
Shahzada sejenak meninggalkan ayah mertuanya sendirian saat dia masuk ke dapur untuk memberi tahu koki keduanya agar menyiapkan hidangan spesial untuk Sahib Siraj Din dan agar dia membubuhkan sedikit bubuk cabe merah ke dalam hidangan berkaldu. Fatima juga sedang berada di dapur untuk menyiapkan sebuah hookah untuk Siraj Din, dengan tembakau segar yang disusun rapi di antara butiran batu bara di dalam topee. Ketika Shahzada kembali, Habib sudah menemani ayahnya membicarakan perundingan bisnis yang berkaitan dengan tanah mereka. Siraj Din bertanya pada putranya apakah cukup pantas menjual sebagian tanah di kampung halamannya, Chiragpur, kepada tuan tanah lainnya, Khawar.
"Sulit bagiku mengelola segala sesuatu dalam hidupku sekarang ini," keluh lelaki tua itu padanya. "Kau dan Jafar sudah cukup bersusah payah dengan tanah di sekitar sini. Ya, menurutku, aku akan membiarkan Khawar muda itu membeli sejumlah tanah di sana. Dia seorang pemuda yang pintar dan akan memelihara tanah itu dengan baik. Aku tidak ingin menjualnya kepada orang lain selain dia."
"Aku sepakat denganmu, Ayah. Zarri Bano sedang berpikir untuk membuka sebuah perusahaan penerbitan di Karachi, dengan bantuan Jafar. Jadi, dengan keterlibatan putraku di bisnis tersebut, aku merasa tidak akan punya cukup waktu untuk mengawasi kedua lahan di Tanda Adam sini dan di Chiragpur."
"Mana Zarri Bano"" Siraj Din bertanya pada menantu perempuannya saat Shahzada duduk di samping suaminya. Dia sudah disambut Jafar dan cucu bungsunya, Ruby.
Habib melemparkan sorot mata bertanya ke arah istrinya. Siraj Din juga memusatkan sepasang mata hijaunya, seperti putranya, ke wajah menantu perempuannya. Pancaran mata Shahzada menunjukkan kegentaran di depan
mereka berdua. Dengan salah tingkah, dia memainkan gantungan di ujung renda chador-nya, dengan tegang Shahzada menunggu Habib yang menjelaskan.
Beberapa detik berlalu. Habib tidak juga menjelaskan.
Dengan alis cokelat tebalnya yang berbentuk segitiga tampak terangkat di atas hidung elangnya, Siraj Din kini terpana menyaksikan keheningan.
Menyadari Habib sengaja berdiam diri, Shahzada terpaksa harus menjelaskan. Dia paham: ini adalah pembalasan Habib terhadap reaksinya membiarkan Zarri Bano pergi ke Karachi mendatangi rumah Sikander.
"Dia sedang berada di Karachi," jawab Shahzada dengan suara pelan dan datar.
"Apa yang sedang dilakukannya di sana"" tanya Siraj Din dengan nada tajam, yang segera saja menyadari bahwa hampir semua anggota keluarga ada di rumah itu. Cucu tertuanya pasti pergi sendirian.
Sebuah keheningan yang ganj
il merebak. Tatapan Siraj Din yang penuh tanya berpindah-pindah dari putranya ke menantu perempuannya. Sebuah ketegangan yang tersembunyi di ruangan itu menyiratkan padanya tentang adanya sesuatu yang salah sedang terjadi. Pasangan yang duduk di hadapannya itu tampak tertunduk seperti sedang saling menunggu. Masing-masing dari mereka tampak saling ingin melempar tanggung jawab untuk menjelaskan masalah Zarri Bano.
Shahzada yang pertama memandang takut-takut ke arah ayah mertuanya lalu ke arah suaminya, hatinya terpuruk saat melihat kekejaman yang sesungguhnya di mata suaminya tercinta, Habib. Dengan tabah, dia menerima kenyataan bahwa Habib sedang dalam suasana hati yang bengis dan tak mau kompromi.
"Zarri Bano sedang berkunjung ke rumah Sikander." Dia mengabarkan berita itu sambil memindahkan gelas-gelas minum ke atas baki. "Keluarga Sikander menginginkannya datang dan mengunjungi rumah mereka." Suara Shahzada membahana dalam keheningan ruangan itu. Seketika itu juga dia merasa sangat membutuhkan udara segar dari halaman belakang rumah mereka.
"Apakah kau sedang mengatakan padaku, Shahzada, bahwa cucu perempuanku yang masih muda dan perawan itu telah pergi sendirian untuk tinggal di rumah sebuah keluarga asing dan dengan ditemani seorang pemuda bujangan"" kata-kata Siraj Din merobek telinga Shahzada bagaikan satu lecutan cambuk. Ayah mertuanya tidak pernah berbicara padanya dengan nada suara ketus ataupun dengan diiringi sikap yang seperti itu.
"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun!" tukas Shahzada. Hatinya bergetar oleh kemarahan. Teringat akan sorot mata tajam putri sulungnya, Shahzada memberanikan diri untuk menatap langsung mata ayah mertuanya; dia juga merasa yakin bisa berbicara lantang di hadapan orang yang paling dituakan di keluarga besar mereka itu.
"Aba Jan, " dia berkata pelan-pelan. Dia selalu memanggilnya dengan kata yang berarti 'Ayah' itu. "Zarri Bano sudah pernah tinggal sendirian di Karachi di sebuah pondokan, seperti yang Anda ketahui, saat dia kuliah di universitas. Lagi pula dia akan tinggal di Karachi karena perusahaan penerbitan yang ingin dibangunnya. Dia adalah seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh tahun. Dan dia tidak berangkat sendirian. Jafar berangkat bersamanya. Orangtua Sikander memintanya tinggal beberapa hari lagi. Kupikir itu bagus untuknya agar lebih mengenal Sikander dan keluarganya sebelum dia menikahinya." Shahzada dalam hati membebaskan jiwa pemberontaknya yang baru saja menyeruak dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia melakukan itu semua demi anak perempuannya.
"Oh, begitu," komentar lelaki tua itu dengan nada suara pelan yang mengancam. "Dan itu artinya dia tinggal di rumah yang sama, bukan" Menghabiskan waktu dengan seorang pemuda dua orang yang bukan sedarah atau memiliki pengesahan apa pun yang mengikat mereka" Sejak kapan kau menjadi begitu tidak bermoral"" suara Siraj Din melecut Shahzada.
Tercekat mendengar penghinaan langsung yang diucapkan ayah mertuanya dan kata-kata yang begitu menuduh, darah mengalir deras ke pipi Shahzada.
Dengan mengetukkan tongkatnya berirama ke atas karpet sutra, Siraj Din menunggu menantunya mengatakan sesuatu sebuah permintaan maaf karena kelancangannya dalam berbicara dan menjawab pertanyaannya secara langsung, bukan membiarkan suaminya yang melakukannya. Dan di atas semua itu, dia bahkan kemudian cukup berani untuk membuat pembenaran atas sikapnya pada sang ayah mertua! Sekarang ini Siraj Din murka sekali terhadap menantu perempuan kesayangannya. Menunjukkan kekecewaannya yang mendalam, dia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Ini bukan Shahzada yang pernah dikenal dan dicintainya.
Shahzada melemparkan tatapan tak berdaya ke arah sang suami. Dia sangat mengharapkan dukungannya, berharap Habib akan mengatakan sesuatu untuk membelanya. Namun, Habib, dengan sorot mata sedingin sorot mata ayahnya, tetap terdiam dengan penuh wibawa di sampingnya.
Tiba-tiba saja Shahzada kembali merasa sangat tertekan dan ingin segera keluar dari keadaan yang memojokkannya itu. Dia bangkit, tetapi kata-kata Siraj Din kembali membuatnya te
rpaku di sofa. "Shahzada, aku tahu bahwa aku tak lebih dari seorang lelaki tua dan aku akan segera menjadi uzur di tengah dunia yang terus berubah ini. Hari demi hari kita terus diserang oleh nilai-nilai Barat, lewat satelit dan acara-acara televisi. Namun, aku harus berkata bahwa trah-ku belum seterpuruk itu untuk menjadi 'maju' yang keblinger, yang rusak moralnya, sehingga kita akan membiarkan anak-anak perempuan kita yang cantik dan belum menikah tinggal di rumah orang-orang asing tanpa pengawalan. Bersama dengan luasnya tanah kita, istri kita, dan anak-anak perempuan kita, ada izzat kita kehormatan kita dan itu adalah sesuatu yang paling berharga di dalam kehidupan kita. Kita tidak akan pernah kompromi mengenai perempuan kita dan izzat kita! Tidak peduli dalam zaman apa pun kita hidup, tidak peduli apa yang sudah didiktekan dunia pada kita; tidak peduli dusta-dusta setan yang seperti apa pun di luar pintu rumah kita. Bahkan, jika kau mempersembahkan, melupakan, atau mengambil bagian di dalam sopan santun lainnya di kelas pemilik tanah dari zaman tuan-tuan tanah feodal, kita tidak akan pernah membiarkan kau menodai izzat kita atau kehormatan para perempuan kita, Shahzada."
Dicecar seperti itu, Shahzada tidak berani mengangkat matanya, ataupun membiarkan dirinya berbicara. Dia terpuruk ke dalam kegamangan setelah dipermalukan ayah mertuanya, dengan bahasa tubuh yang menghina dan
memamerkan ketidaksukaannya. Setelah itu, Siraj Din mengusirnya dengan memunggunginya dan bersandar ke sofa besar.
Sambil menggigit bibir bawahnya yang gemetaran, Shahzada menyiratkan rasa sakit hatinya atas pengkhianatan suaminya. Dengan sebuah gerakan kikuk dan dengan memastikan bahwa chador-nya tidak melorot dari kepalanya, perlahan-lahan dia berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan kedua lelaki itu.
4. SIKANDER DAN Zarri Bano sedang berjalan-jalan berduaan sepanjang kebun jeruk di rumah Sikander, di pinggiran Kota Karachi yang subur. Matahari siang sedang bersinar terang di atas mereka.
Saat mereka berjalan bersisian, suasana yang menyelimuti mereka adalah pengharapan dan kegairahan. Sambil mengobrol ringan, keduanya tampak bahagia untuk berkeliling saja di sekitar topik utama di benak mereka, dengan menurutkan kehendak hati dan bersenda gurau.
Ini adalah pertemuan ketiga mereka. Zarri Bano, yang secara khusus diundang untuk mengunjungi rumah Sikander, telah menerima undangan itu dengan anggun. Sikander pada kenyataannya, sebagaimana yang diperkirakan oleh Zarri Bano, kembali ke Tanda Adam untuk mengunjunginya yang kedua kalinya. Kali ini mereka diberi kesempatan menghabiskan waktu sehari penuh berduaan. Dan Sikander tidak mengecewakan Zarri Bano, sebagaimana yang disadari Ruby kemudian.
Setelah makan malam, Sikander menawarkan diri memandu Zarri Bano mengelilingi kebun keluarganya. Kali ini tidak ada orangtua yang mengawal mereka. Mereka tidak diperlukan. Mereka adalah dua orang dewasa yang membutuhkan dan mendambakan komunikasi dan penjajakan terhadap perasaan mereka satu sama lain, sebelum menetapkan takdir mereka berdua.
Mereka sudah berjalan jauh dari rumah besar. Berjalan kaki di antara pepohonan jeruk, Zarri Bano berusaha menggapaikan tangannya untuk memetik sebuah sitrun matang dari batangnya.
"Mari kubantu, Zarri Bano."
Itulah untuk pertama kalinya dia memanggil Zarri dengan nama panjangnya bukan dengan panggilan formal "Sahiba". Panggilan itu terdengar bagaikan musik di telinga Zarri Bano.
Saat Sikander meraih batang pohon itu dan menarik sitrun dari batangnya, tak sengaja dia menyentuh tangan Zarri Bano. Gadis itu terdiam, suatu kesadaran yang ganjil merasuki tubuhnya. Dia menunggu lelaki itu menarik tangannya.
Dia tidak melakukannya. Akhirnya Zarri Banolah yang harus mengentakkan tangannya dengan sangat tersinggung. Zarri menantang Sikander secara langsung. Dengan tangan masih merasakan getaran dari sentuhan jemari Sikander, dia berkata dengan lirih dan emosional, "Sahib Sikander, kita berdua saja di kebun ini dan hanya berbicara berdua. Namun, biar kujelaskan padamu, aku tidak akan pernah mengizinkan siapa pun menjadi sedem
ikian bebasnya padaku. Tak seorang lelaki pun yang pernah menyentuhku atau berani melakukan itu, tidak peduli betapa tak bersalahnya dia."
Sikander menatap Zarri Bano. Sepercik kesedapan membias di matanya. Dia memandang ke arah tangan Zarri Bano lagi. Dia sangat memahaminya!
"Kebebasan apa yang sudah kurampas, Zarri Bano"" dia bertanya dengan suara lembut. "Jika sebentuk kontak fisik yang tak disengaja dari tanganku ini harus dibalas tangkisan kasarmu, kita mungkin sudah salah mengartikan kewajaran situasi ini, atau alasan mengapa kita di sini berjalan berdua, seperti yang kau katakan, seorang lelaki dan seorang perempuan tanpa ikatan di antara kita. Aku sempat mengharap bahwa ada satu tujuan dari jalan-jalan kita ini tujuan untukmu tinggal di rumahku, pada kenyataannya. Itu sebabnya ibu dan adikmu meninggalkanmu di sini, bukan""
Pipi Zarri Bano sontak merona. Dia datang ke kebun ini untuk memberinya jawaban secara pribadi bahwa dia bersedia menikah dengannya, tetapi sekarang, keinginan untuk menundanya meraja dalam diri Zarri Bano. Dia ingin memberi Sikander pelajaran menghukumnya atas kekurangajarannya.
"Kau sudah salah duga, Sahib Sikander. Tidak ada satu tujuan dalam jalan-jalan kita ini. Aku hanyalah seorang tamu di rumahmu dan aku ingin berjalan-jalan mengelilingi kebunmu. Kau menawarkan diri menemaniku. Itu saja." Dia tersenyum sopan pada pemuda itu.
"Baiklah, jika kau berpikir bahwa aku terlalu bebas, Sahiba, dan tidak ada tujuan dari jalan-jalan kita ini, aku akan meninggalkanmu dengan damai. Aku sendiri tidak terbiasa membawa perempuan yang masih lajang berkeliling kebun kami. Aku akan berjumpa denganmu lagi di dalam rumah." Dia membalas senyum Zarri Bano sesaat sebelum pergi berlalu, meninggalkan Zarri Bano yang terpaku mendengar jawabannya.
"Sahib Sikander!" Zarri Bano memanggilnya, mengerahkan kecerdasannya setelah merasa terpojok oleh aksi Sikander. Dia telah membalikkan meja ke arahnya dengan begitu rapi. "Kau memperlakukan tamu dengan tidak layak. Kupikir ada sebuah handani, kode etik, dan kehormatan seorang Sindu."
Sikander membalikkan tubuhnya untuk memandang Zarri. Zarri sedang berdiri di samping pohon jeruk. Kedua tangannya memeluk ke belakang seperti sedang merengkuh pohon itu nyaris bersatu dengannya. Sepoi angin nan hangat bermain-main dengan pakaian yang dikenakannya dan beberapa helai rambut panjang bergelombang berjatuhan di sekitar wajah dan bahunya.
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sikander menahan napas. Zarri sedang memandanginya dengan pancaran sinar mata yang sama terlukanya dengan keluguan yang diperlihatkannya ketika dia berada di bawah pohon di mela tempo hari. Hanya saja, kali ini dia mengenakan pakaian berwarna hijau gelap dan tampak begitu menawan. Seakan sedang ditarik gaya magnet, Sikander berbalik dan melangkah mendekat kembali, lalu berdiri tepat di hadapan Zarri.
Zarri Bano mengawasinya dan menunggu. Sebuah gelombang kegembiraan tiba-tiba saja menjalari nadinya. Karena tidak mampu mengendalikan perasaannya saat Sikander berlalu dengan marah darinya, dia pun panik. Dengan satu sentakan saja, kenyataan sesungguhnya menyeruak, bahwa dia ternyata sangat memedulikan lelaki itu, dan bahwa pendapatnya berarti banyak bagi Zarri.
Matanya tidak akan mampu dikenalinya lagi, seakan berbicara dan berbisik pada Sikander apa yang diingkari oleh hati dan benaknya.
Zarri adalah seorang perempuan berperawakan tinggi, tetapi Sikander masih lebih tinggi beberapa inci. Zarri Bano menengadah memandang wajahnya. Matanya tersedot oleh jurang dalam di dagu Sikander. Lalu mata Zarri terangkat terkunci oleh matanya.
Tak sanggup menahan diri lagi, Sikander merengkuh tangan Zarri dan menggenggamnya. Kali ini Zarri tidak berusaha menarik tangannya. Sikander terpukau dengan bentuk tangannya, kelembutan, dan warnanya. Dia juga terpukau melihat kuku-kuku jari yang terpelihara dengan baik. Dia membiarkan jemarinya perlahan menyelusuri kulit lembut itu.
"Tangan yang sangat indah," gumamnya. Matanya menantang mata Zarri Bano untuk memberontak dari rengkuhannya. Kemudian sebelum Zarri sempat menyorotkan keterkejutannya, Sikander membalikkan tan
gan gadis itu dan jemarinya mulai meraba telapak tangannya.
Zarri Bano terpaku karena terkejut. Jantungnya berdegup kencang, sebelum dia sempat menarik tangannya. Zarri sangat ketakutan melihat aksi Sikander dan juga reaksi dirinya sendiri terhadap perlakuan lelaki itu. Dia menyukai rasa saat jemari Sikander menyentuh telapak tangannya. Akal sehat dan sopan santun perempuannya menuntutnya untuk menarik tangannya dari tangan Sikander.
Dia semakin terguncang ketika Sikander kembali menarik tangannya yang satu lagi dan melakukan hal yang sama. Dia berusaha menariknya kembali, tetapi lelaki itu enggan melepaskannya. Rona wajahnya memerah. Zarri memalingkan wajahnya karena malu menatap gairah yang membara di mata lelaki itu. Dia pun salah tingkah. Sikander sedang menjarah wilayah terlarang dari dunia intimnya.
Dari tindakan Sikander, keduanya menyadari bahwa mereka telah tenggelam dalam suatu ikatan. Tidak ada lagi langkah mundur untuk mereka. Mereka telah sedemikian saling mengenal satu sama lain.
Sikander terpuaskan. Zarri ketakutan setengah mati, tetapi dia tidak menarik tangannya ketika untuk kedua kalinya digenggam oleh lelaki itu. Mata Zarri nyata-nyata memperlihatkan bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan ataupun dibisikkan tentang apa yang memenuhi hatinya.
"Aku sepertinya sudah menambah daftar kejahatanku di bukumu. Sepertinya aku ditakdirkan untuk begitu cepat tenggelam dalam semua pradugamu," rayu Sikander. Dia tersenyum lembut ke arah Zarri Bano. "Aku tidak pernah seakrab ini. Apakah Shahzadi Zarri Bano sekarang sudah tak mampu berkata-kata""
Wajah Zarri Bano merebakkan senyuman, menampakkan lesung pipit nan menawan di pipi kirinya.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu menjadi sedemikian akrab jika aku tidak menginginkannya," dia menjawab lirih.
"Kalau begitu aku merasa terhormat."
"Ya, memang sudah seharusnya. Ini adalah untuk pertama kalinya aku membiarkan seorang lelaki asing menyentuh tanganku."
"Namun, aku tidak akan menyentuh dan memegang kedua tanganmu yang indah ini andai aku tak berpikir bahwa aku memiliki hak untuk melakukannya. Aku juga memahami parameter kepemilikan sosial."
"Dan hak apakah yang kau maksud itu, jika aku boleh bertanya"" tanya Zarri Bano dengan nada suara yang sangat resmi. Kini dia siap untuk bermain api. "Kau terlalu percaya diri, Sahib Sikander."
"Hak sebagai calon suamimu, bukankah begitu, Zarri Bano"" bujuknya. Kedua matanya masih saja terpaku pada Zarri seraya memancarkan kilauan gelapnya yang hangat.
Itu dia lamaran secara lisan. Tidak ada lagi kata-kata yang berputar-putar tentang masalah itu. Sikander kini menanti dengan tegang sebuah jawaban dari gadis itu.
Ini adalah saat ketika Zarri Bano merasa begitu ketakutan, sekaligus tergugah oleh kebahagiaan. Namun, dia malah dikuasai oleh kekhidmatan yang terucap dalam momen tersebut. Senyum dan lesung pipit Zarri menghilang dan dia menatap lelaki itu dengan tatapan bingung. Dia tidak mampu memalingkan pandangannya.
Sikander menatapnya dan menunggu. Apakah dia akan menerima lamarannya atau tidak" Perlahan Sikander melepaskan tangan Zarri. Dia tidak ingin membebani gadis itu dengan sentuhan fisiknya, dan dia pun bergerak untuk berdiri agak jauh darinya.
Zarri Bano mengawasi gerakan mundurnya dengan perasaan kehilangan. Sekarang ini, dia sudah mengenali kekuatan karisma daya tarik lelaki ini yang melingkupinya. Setelah sepenuhnya terlepas dari lelaki itu, Zarri kembali ke alam realitas. Jangan sampai ada yang disesalinya.
Dia adalah lelaki pertama yang berhasil membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Pada kenyataannya, dia sudah mulai merasa takut terhadap perasaan-perasaan yang dibangkitkannya itu. Dia ingin membagi hidupnya bersama Sikander. Bersamanya, menyentuhnya, dan merasakan sentuhannya. Tanpa lelaki itu, hidupnya akan berkabut laksana sebuah ruang hampa kosong, tak berwarna, dan tak berarti. Dia membiarkan dirinya terisap ke dalam medan magnetnya. Dia menyadari secara naluriah bahwa Sikander adalah sesuatu yang paling berarti dalam hidupnya.
Mengikuti kata hati, dia melangkah mendekati Sikander: menggapai ke arahnya dan meletakk
an tangannya di tangan lelaki itu. Sikander menggenggamnya erat-erat. Kedua bahunya tampak rileks. Itu adalah kejutan yang paling menyenangkannya, tetapi dia membutuhkan sebuah tanggapan lisan dari Zarri. Dia menatap wajah gadis itu dengan sorot mata yang sekali lagi membujuknya, berusaha memusnahkan sisa-sisa kefeminisan dalam diri gadis itu yang tampaknya masih sulit ditundukkan.
Zarri Bano segera menanggapi. Pertama dengan sesungging senyuman dan kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke depan, sampai bahunya hampir bersentuhan dengan bahu Sikander.
"Kau benar sekali, Sahib Sikander. Aku tidak akan membiarkan tanganku disentuh jika aku tidak merasa bahwa itu benar." Pikiran dan perasaan yang jujur sangat penting di saat seperti ini, "Aku sangat tersanjung oleh lamaranmu dan kuharap kau juga akan menghargai penerimaanku."
Kedua kelopak mata Sikander terpejam. Dia sudah menerimanya.
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah membiarkanmu menyesalinya. Aku akan membuatmu menjadi perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini," dia berikrar untuk dirinya dan untuk Zarri Bano dengan suara yang dipenuhi janji.
"Aku juga berharap seperti itu karena seperti yang kau lihat, aku sudah menolak banyak pelamar. Aku nyaris tergoda untuk menolakmu juga." Dia menyunggingkan lesung pipitnya kepada Sikander. "Namun, kau adalah satu-satunya yang akhirnya mendapatkanku, seperti yang dikatakan oleh adikku. Bagaimanapun, aku menjunjung tinggi kemerdekaanku. Di atas segalanya, aku tidak akan terikat dengan cara apa pun. Kau harus memahami dan mengingatnya selalu, Sahib Sikander."
"Aku akan jujur padamu juga. Kau adalah perempuan pertama yang telah 'menangkapku lewat jaringnya'. Aku menginginkanmu apa adanya. Itulah yang paling kusukai darimu perilakumu yang lain daripada yang lain, kecerdikan, dan kecemerlanganmu. Mari kita masuk dan memberitahukan kabar gembira ini pada keluargaku. Mereka akan sangat berbahagia, khususnya ayahku yang memimpikan memiliki cucu dengan mata sepertimu. Kau dapat menelepon orangtuamu." Matanya kembali menerawangi wajah Zarri Bano. Tidak ada yang merona di kedua pipinya, sebelum dia menggandeng Zarri Bano bersamanya.
Mereka berjalan berbarengan sejauh beberapa meter, bersisian, dalam diam. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing dan mantra gaib menyuratkan bahwa langkah mereka berdua sudah digariskan. Begitu mereka mendekati vila itu, Zarri Bano bergerak agak menjauh dari Sikander.
"Sulit sekali berjauhan denganmu, khususnya saat kau ada di gedung yang sama," bisik Sikander ke telinganya dengan sebuah senyum nakal menghias bibirnya.
* * * Shahzada memasuki ruang tamu dengan rendah diri. Dia memegang hookah dan isinya di tangannya. Dia meletakkannya perlahan di samping ayah mertuanya dan kemudian duduk di sofa. Habib dan ayahnya baru saja selesai bersantap dan kini sedang menikmati teh shabz. Mereka terserap ke dalam sebuah diskusi seru tentang pabrik bata yang baru saja dibuka di dekat desa mereka, dan mereka sama sekali tidak memerhatikan Shahzada.
"Kita selalu berbangga diri atas pemandangan hijau di tanah milik kita. Kini dengan adanya bisnis pembuatan bata, mereka menyisakan sebuah kawah raksasa yang jelek di permukaan tanah. Tanah ini diacak-acak seenaknya. Habib, kita harus melakukan sesuatu tentang hal ini secepatnya. Aku tidak akan membiarkan industri-industri pembuat polusi ini didirikan di sekitar desa kita, tidak peduli selaku apa pun mereka. Di pedesaan kita berbangga hari dengan adanya udara segar."
Siraj Din menatap sekilas menantunya saat Shahzada berdiri dan mengambil hookah lagi. Perempuan itu berpikir bahwa memindahkan posisi pipa itu akan membuat ayah mertuanya semakin nyaman meraih pipa itu, lalu dia meletakkannya di dekat kaki Siraj Din. Sambil bersandar, Siraj Din meraih pipa itu ke arahnya dan mengisapnya kuat-kuat, membuat asap di dalam bejana aluminium yang mengilap itu bergejolak.
Saat mengisap pipanya, matanya melirik ke arah Shahzada, melihat segaris senyum masam di wajahnya dan semburat pucat di pipinya. Dia tidak mampu menahan diri untuk tidak membalas senyuman menantunya itu. Sorot mata
nya meredup dan dihiasi pancaran cinta seorang ayah dan rasa sayang. Shahzada akan selalu menjadi menantu kesayangannya meskipun sudah melakukan kesalahan dengan membuatnya berang. Sesungguhnya, dia memiliki tempat yang lembut di hatinya untuk Shahzada. Dia mengharapkan semua menantu perempuannya seperti Shahzada. Dengan besar hati, Siraj Din memutuskan untuk memaafkannya. "Dia manusia juga dan semua manusia kadang-kadang melakukan kesalahan."
Mata hijau Siraj Din menyempit saat menatap garis-garis ketegangan di wajah putranya. Siraj Din tidak bisa mengira-ngira suasana hati Habib dan hubungannya dengan sang istri. Beberapa saat sebelumnya, siang itu kentara sekali adanya kebekuan di antara mereka berdua, nyaris tampak seakan-akan mereka adalah dua orang asing. Tidak ada kata-kata atau sorot mata hangat yang terjalin di antara mereka. Sebaliknya, Habib hampir bersikap kejam terhadap istrinya dengan tidak memberi dukungan apa pun padanya. "Apa yang terjadi di antara mereka"" pikir Siraj Din. Dia merasa tergugah rasa ingin tahunya oleh adanya jurang yang menganga di antara orang-orang yang saling mencinta ini.
Siraj Din melemparkan pandangan bertanya ke arah menantu perempuannya.
Shahzada tersipu dipandangi seperti itu. Dia menyampaikan sebuah berita dengan agak takut-takut, "Aba Jan, Zarri Bano baru saja menelepon dari Karachi. Dia memberitahuku bahwa dia sudah memutuskan untuk menikah dengan Sikander dan dia terdengar begitu bahagia." Shahzada menatap kedua wajah lelaki itu dengan harap-harap cemas.
Dia menunggu, memandang satu wajah dan beralih ke wajah lainnya, tetapi yang ada hanyalah kesunyian yang senyap sebagai sambutan atas berita itu: Berhadapan dengan wajah dingin ayah mertuanya, Shahzada gemetar karena gugup. Sepasang jemarinya terus-menerus mengetuk-ngetuk pinggiran cangkir keramiknya yang berwarna emas. Ketika dia menoleh ke arah sang suami, sepasang sorot mata sekeras besi terpancar untuknya. "Mengapa mereka bersikap begitu dingin terhadapku"" Shahzada bertanya pilu pada dirinya sendiri. "Tidakkah mereka bahagia mendengar berita itu""
Dari kedalaman naluri keibuannya, muncul kenekatan dan pemberontakannya. Dia memutuskan untuk mengatakannya secara langsung kepada mertuanya.
"Tidakkah kalian berdua bahagia bahwa pada akhirnya kita berhasil mengatur perjodohan untuk Zarri Bano dan untuk kepuasan kita"" tanyanya, dan dia sudah tak mampu menutup-nutupi nada menuduhnya atau perasaan sakit hati di matanya.
Terguncang oleh kelancangan menantu "kesayangannya", Siraj Din dengan ketus membalas kata-katanya.
"Mengatur, Shahzada" Kami tidak melakukan pengaturan apa pun. Kau dan anak perempuanmu yang telah seenaknya mengatur semua itu. Kau bahkan tidak berniat memberi tahu kami bahwa Zarri Bano berangkat ke Karachi atau membicarakannya dengan kami terlebih dahulu apakah dia boleh pergi atau tidak, tanpa kehadiranmu sebagai pengawalnya. Tampaknya, Shahzadaku, kami tidak punya komentar apa pun tentang masalah ini. Luar biasa sekali kau telah melewati kami berdua, Habib dan aku. Aku tidak menyangka betapa cerdiknya menantuku. Kenyataannya, aku mulai penasaran, siapakah yang sesungguhnya menjadi kepala rumah tangga di rumah ini. Siapa yang berkuasa di
rumah ini" Kau atau anakku, Habib"" Siraj Din terdiam saat melihat putranya sontak bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan.
Shahzada menyaksikan semua itu dengan kepiluan dan kebingungan. Habib tidak mengatakan sepatah kata pun. Tidakkah dia merasa berbahagia atas putrinya" Apa yang terjadi padanya" Mulut Shahzada kini begitu kering. Dia menoleh ke arah pandangan mata ayah mertuanya yang sama dengkinya. Siraj Din menarik kakinya ke atas sofa dan kembali mengisap pipa panjangnya.
"Aba Jan, Anda tahu orang-orang ini sangat tertarik pada Zarri Bano kita." Shahzada merasa wajib menjelaskannya. "Jafar yang memperkenalkan kita pada mereka. Sahib Habib tidak memberitahukan semuanya pada Anda. Anda tahu kami tidak pernah melakukan apa pun tanpa restu atau kewenangan dari Anda. Tolong maafkan aku jika telah memberi kesan lain pada Anda. Sahib Habib adalah kepala rumah tangga di r
umah ini, bagaimana mungkin Anda meragukannya" Dan bagaimana mungkin aku, yang hanyalah seorang perempuan ini, berani mengambil langkah mengatur pernikahan anak perempuanku tanpa melibatkan Anda berdua" Anda menghinaku sekaligus diri Anda sendiri dengan kesimpulan yang ganjil seperti itu. Aku tidak bersalah apa pun, Aba Jan. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika kecintaanku pada putri sulungku dan pertimbanganku atas masa depan kebahagiaannya dalam menikahi orang yang tepat adalah kejahatan menurut Anda, berarti aku memang bersalah." Shahzada mengakhirinya dengan terdiam, mengumpulkan seluruh harga dirinya.
"Kalau begitu, katakan padaku, Shahzada, mengapa putraku bersikap begitu aneh padamu"" tanya Siraj Din ketus seraya menyimpan pipanya. "Aku telah hidup lebih dari tujuh puluh tahun untuk menjadi tidak buta dalam melihat tanda-tanda bahwa putraku tampak sangat terganggu atas dirimu sepanjang siang ini. Dia sama sekali tidak menunjukkan restunya terhadap perjodohan dengan pemuda kaya ini dan kau serta anak perempuanmu tampak begitu serius tentangnya. Katakan padaku, Shahzada, mengapa demikian"" Sorot mata Siraj Din menusuk langsung mata Shahzada. Dia tidak pernah menatap dengan sedemikian tajam kepadanya sebelumnya.
"Aku tidak tahu," sahut Shahzada pilu. Kepalanya tertunduk. Dia tak mampu menjelaskan sikap penolakan suaminya terhadap Sikander maupun kekesalan ayah mertuanya.
Dengan air mata meleleh di ujung matanya, Shahzada bangkit sambil terus menyembunyikan wajahnya. "Aku akan melihat apakah Jafar sudah pulang berkuda," sahutnya lirih dan dia pun meninggalkan ruangan itu.
Namun, yang dilakukan oleh Shahzada bukan melihat Jafar, melainkan mencari suaminya.
* * * Shahzada menemukan suaminya berada di kamar tidur mereka. Dia sedang berdiri memunggunginya, menatap ke luar ke arah ladang gandum dan jagung. Dia mendengar istrinya masuk dan nalurinya mengatakan bahwa itu memang Shahzada. Shahzada berhenti di tengah-tengah kamar tidur yang luas itu, menunggu lelaki itu membalikkan tubuhnya dan menatapnya. Dia tidak melakukannya.
Dalam kebingungan, Shahzada melangkah mengelilingi ruangan, mengambil handuk besar yang lembut dari ranjang Habib. Melipatnya dan menyimpannya di atas kursi. Kemudian, dia menegakkan buku-buku dan jurnal bisnis Habib di meja kerjanya di depan sofa. Lalu Shahzada menepuk-nepuk tumpukan bantal untuk kemudian disusun rapi di sudut sofa kulit, dan dia pun berdiri sambil mengawasi seisi ruangan tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Punggung Habib masih saja menghadap ke arahnya. Menyerah pada kenyataan bahwa suaminya tidak akan mulai berbicara padanya ataupun menanggapi keberadaannya, Shahzada pun menelan harga dirinya.
"Sahib Habib," bisiknya perlahan. Dia melangkah pelan untuk berdiri di belakang suaminya dan menyentuh tangannya. "Tidakkah menyenangkan jika Zarri Bano sudah setuju untuk menikah dengan Sikander" Aku sangat bahagia." Dia merasakan otot-otot tangan suaminya begitu tegang disentuhnya. "Tidakkah kau berbahagia, Habib Sahib"" ulangnya.
"Bahagia, Shahzada"" Habib tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya, menatap marah ke bawah, ke arahnya, dari tubuh tingginya yang menjulang. "Aku sudah mengatakan padamu, aku tidak tahan dengan lelaki itu! Kau pikir aku akan membiarkannya menikahi putri kesayanganku" Dia tidak pantas untuk Zarri Bano." Dia mengabaikan pandangan ketakutan di wajah Shahzada.
"Habib, Zarri Bano baru saja mengatakan pada kita bahwa dia ingin menikah dengan Sikander. Putri kita mencintainya!" Dia terbata-bata memohon pengertian sang suami.
"Cinta!" bentak Habib. "Sejak kapan perempuan-perempuan kita mulai jatuh cinta sebelum menikah"" dengusnya. Sorot matanya kali ini memancarkan kilau hijau kemarahan.
Jantung Shahzada berdetak kencang saat dia mengangkat wajah putus asanya menghadap suaminya. "Kau tidak akan mampu memerangi sesuatu yang sealamiah cinta, Habib," balasnya. "Penyakit apa yang sedang melandamu"" serunya. Matanya menatap tajam wajah suaminya.
"Aku akan memberitahumu penyakit yang sedang melandaku!" bentak Habib tepat di muka Shahzada. "Jika kau mendukung putriku untu
k menikahi lelaki ini dengan melawan keinginanku, aku akan menceraikanmu saat ini juga, Shahzada bukan talak satu atau talak dua, tapi talak tiga sekaligus! Kau akan kuceraikan, talak tiga! Dan itu akan kunyatakan sekaligus!" Dia memberondongkan kata-kata itu dengan kejam. Matanya memancarkan kebencian yang membara ke dalam mata Shahzada.
Shahzada terjajar ke belakang karena terguncang. Mulutnya setengah terbuka. Tatapan yang menyiratkan kemarahan dan keterkhianatan tampak di matanya. Suaminya yang lembut dan baik hati sudah berubah menjadi sesosok asing yang sudah mengancamnya dengan hukuman terkeji yang bisa diterima seorang perempuan dari suaminya. Talak tiga.
"Kau! Kau...," gagapnya dengan suara bergetar seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat di dadanya yang terasa sesak. "Kau bisa melakukan itu padaku" Kau akan menceraikanku" Aku, Habib, istrimu"" Mata cokelatnya yang hangat menatap nanar dengan memancarkan luka hati bercampur keterkejutan. "Kekuatan iblis mana yang merasukimu, suamiku terkasih" Kegilaan macam apa ini"" Tersedak oleh kata-katanya sendiri, dia terjajar, berlari
menjauhi suaminya dan langsung menghambur ke pelukan pengurus rumahnya, Fatima, begitu perempuan baik itu memasuki kamar terburu-buru tanpa mengetuk pintu.
Kedua perempuan itu saling menatap, tidak mampu memahami pandangan mereka satu sama lain. Wajah keduanya menyiratkan luka dan ketakutan.
"Nyonya! Jafar, Nyonya," sahut Fatima gugup. Wajahnya sepucat mayat. Dia menatap tajam majikannya. "Ia... ia...," Fatima tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia malah membenamkan kepalanya ke dada Shahzada.
"Jafar"" sahut Shahzada. Otaknya berputar saat disaksikannya sang suami berlari keluar dari ruangan.
5. PELAYAN BERPAKAIAN apik hilir mudik di sekitar meja tempat Sikander dan Zarri Bano tengah bersantap di pojok yang agak terpisah di sebuah restoran mewah di Karachi. Setelah pelayan berlalu membawa piring-piring, Sikander berkesempatan memandangi Zarri Bano dengan tatapan lembut. Karena terlalu malu untuk membaca sorot matanya, Zarri Bano melemparkan pandangannya ke arah orang-orang lain yang sedang makan malam di ruang tengah berpendingin yang didekorasi dengan indah bercorak Mughal*. (* Mughal adalah sebuah dinasti Muslim yang pernah menguasai sebagian India antara 1526-1857 penerj.)
"Kau seorang perempuan yang sangat cantik, Zarri Bano," bisik Sikander. "Pelayan itu tidak tahan untuk tidak memandangimu."
"Aku merasa hal itu memalukan, Sahib Sikander," Zarri Bano merasa harus menyatakannya. Dia tahu benar bahwa pipinya merona. "Aku belum pernah makan di luar berduaan dengan seorang pemuda sebelumnya."
"Apakah aku masih tampak seperti seorang pemuda, Zarri Bano" Pasti tidak begitu!" Zarri mendengarkan kata-kata itu mengandung kegusaran sekaligus luka hati.
"Memang, Sikander, kau akan seperti itu sampai aku melangkahkan kaki ke dalam rumahmu sebagai seorang istri." Matanya terpaku pada lukisan Mughal dari abad ketujuh belas yang menggambarkan seorang maharani sedang berjalan-jalan di tamannya. Zarri Bano merasa harus menjelaskan keadaannya kepada Sikander. "Untuk saat ini, tidak ada apa-apa di antara kita."
"Aku tidak sepakat tentang itu, Zarri Bano." Sikander mencondongkan tubuhnya ke depan di atas taplak meja. Tatapan lembutnya menghangatkan wajah Zarri. "Ada 'segalanya' di antara kita, dan kau tahu itu! Tak lain daripada cinta pada pandangan pertama, sejak kita saling berpandangan di mela!"
Zarri Bano menentangnya dengan halus. "Tidak ada ikatan darah di antara kita, Sikander. Kau bukan kerabat atau saudaraku."
"Tuhan melarangnya, Zarri Bano. Aku tidak akan pernah menjadi saudaramu! Perkataan macam apa ini" Mari kita ganti pokok pembicaraan. Ceritakan padaku tentang perusahaan penerbitan yang kau bicarakan kemarin dan rencana apa yang kau buat di Karachi ini."
Zarri Bano mengabaikan permintaannya dan malah melontarkan satu pertanyaan, "Seringkah kau membawa perempuan kemari untuk makan malam bersamamu"" Untuk beberapa alasan, sangat penting baginya untuk tahu berapa banyak perempuan yang pernah duduk di seberang meja Sikander. Terkejut karena muncul
nya pertanyaan itu, Sikander terdiam. Kemudian dia melongokkan kepala ke bawah untuk melihat serbet di tangannya.
"Tidak terlalu sering, tetapi aku membawa teman-teman pria dan kolegaku ke tempat ini. Mengapa kau tanyakan""
"Aku hanya penasaran." Zarri tersipu. Dia menjelaskan, "Karena begitulah orang-orang Karachi biasanya berperilaku, sebut saja, lebih 'maju' daripada kami yang ada di pedesaan. Dari yang kutahu, kau membawa seorang perempuan baru ke tempat ini setiap malam. Orang-orang itu melakukan banyak hal di sini yang dianggap tidak bermoral bagi kami di pedesaan, khususnya hubungan bebas antara lelaki dan perempuan."
"Dan kau, Zarri Bano" Di manakah posisimu"" tanya Sikander. Dia merasa lebih terpikat lagi oleh perempuan yang duduk di hadapannya.
"Tidak di mana-mana, Sikander." Sebuah tatapan sangat serius terbias di matanya. "Jangan terkecoh oleh kesan modern di hadapanmu. Aku mungkin tampak seperti bagian dari itu, tetapi di dalam diriku, aku adalah produk asli keluargaku. Jangan pernah kau lupakan itu. Aku berpikir dan berperilaku dalam satu sikap yang konsisten dengan tradisi keluargaku. Aku menghormati dan mengikuti tradisi kami yang sudah berabad-abad usianya. Inti sari kehidupanku terletak pada kesejahteraan keluargaku.
"Untung bagiku karena memiliki ayah dan kakek tercinta yang sangat ulet keduanya sangat mengasihiku dan membiarkanku melakukan apa yang ingin kulakukan. Sebagai contoh, tidak pernah terdengar sepuluh tahun yang lalu seorang perempuan dari keluargaku tinggal jauh dari rumah. Aku melakukannya. Aku tinggal di sini, di Karachi, selama tiga tahun saat aku belajar di universitas untuk gelar masterku. Sekarang ini ayahku yang menurut gurauan adikku 'bersedia menjual seluruh isi dunia ini' untukku, sedang membantuku mendirikan sebuah kantor penerbitan besar. Ngomong-ngomong, tahukah kau, Sikander, bahwa kau akan menikahi seorang perempuan kaya raya"" canda Zarri Bano.
Mata abu-abu Sikander berkilauan. "Bukan kekayaanmu yang kupikirkan. Aku memiliki kekayaanku sendiri yang layak bersaing dengan kekayaan ayahmu," balasnya. Lalu, sambil mencondongkan diri ke atas meja, Sikander berbisik, "Hanya kau yang kuinginkan!"
Semburat merah merona di pipi Zarri Bano menuntut Sikander untuk kembali duduk di bangkunya dan mengusulkan sesuatu, "Kita pergi""
"Ayo!" sahut Zarri Bano penuh syukur. Mulutnya terasa kering. Dia pun bangkit dari kursinya.
Mereka melewati jajaran meja-meja bundar. Menyadari adanya dua orang lelaki memandang kagum ke arah Zarri Bano yang tampak anggun dengan busana haute couture Karachi dan rambut panjangnya yang tebal berayun bebas di antara dua bahunya, Sikander pun bergerak sangat protektif di sampingnya dan memandunya keluar dari gedung itu.
Begitu mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil, Sikander bertanya, "Maukah kau berjalan-jalan di Taman Clifton atau sepanjang bibir pantai sebelum kita kembali ke rumah""
"Ya, aku akan senang sekali." Zarri Bano segera menyetujuinya.
Perjalanan itu terasa sunyi saat Zarri Bano menikmati pemandangan semaraknya kehidupan malam di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan Karachi. Mereka berhenti di salah satu pusat perbelanjaan. Sikander berkata lirih padanya, "Aku ingin kau membeli sebuah hadiah, Zarri Bano."
Zarri Bano menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Sikander, tolong jangan ada hadiah. Jangan dulu. Hanya cincinmu yang kuinginkan dan itu pun harus diserahkan pada waktu yang seharusnya melalui orangtuamu."
"Baiklah." Sikander berusaha tidak menunjukkan kekecewaannya dengan menoleh ke arah kaca mobil sebelum mereka kembali memasuki keramaian lalu lintas.
Berniat mencandainya, Zarri Bano menampakkan lesung pipitnya, entah bagaimana dia tahu tindakannya itu akan berakibat pada lelaki itu. "Aku akan membuatmu berhenti di pusat perbelanjaan ini setiap akhir pekan, Sikander," godanya. "Jadi, kau bisa membelikanku semua hadiah yang ada di dunia ini, termasuk di Singapura ketika kita menikmati bulan madu di sana."
Dalam keheningan yang damai, seolah-olah mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun, mereka berkeliling ke pojok-pojok Taman Clifton dan pasar
malamnya, sebelum akhirnya menuruni jalan ke arah pantai.
Di seberang Samudra Hindia, sebuah lingkaran kabut yang bersinar merah menangkap kilauan keemasan gelombang ombak yang bergetar. Sebuah kapal tua tampak jelas di cakrawala sendirian bermil-mil jauhnya dari dermaga. Embusan angin malam yang hangat meniup rambut Zarri Bano di sekitar wajahnya. Sambil tertawa dia membenahi rambutnya.
Seekor unta dengan dua orang anak kecil di punggungnya berjalan tertatih sepanjang tempat yang menyenangkan itu, dikendalikan oleh pemiliknya. Seorang lelaki yang menjual jagung bakar di atas bara perapian, layaknya penjual makanan ringan lainnya, tampak sibuk, dengan deretan orang yang mengantre untuk membeli jagung bakar, bahkan yang agak gosong sekalipun. Sikander menuntun Zarri Bano menjauh dari mereka yang juga berjalan-jalan malam di tepi pantai.
"Aku sering datang ke pantai di waktu malam. Aku merasa suasananya menenangkan," dia memberi tahu Zarri Bano sambil mengambil sebutir batu kecil dan melemparkannya ke tengah air.
"Bagiku, itu menenangkan karena kami tidak memiliki lautan atau sungai yang dekat dengan tempat tinggal kami, hanya ladang-ladang di tanah milik kakekku di desa kami."
Sikander berlutut di atas pasir pantai dan menjumput tiga cangkang kerang. Zarri Bano melihatnya menggoyangkan kerang itu untuk membersihkan pasirnya dan berdiri di hadapannya, mengacungkan salah satunya untuk dilihat Zarri Bano. "Aku menyenangi setiap menit di malam ini, Zarri Bano. Aku tahu kau menolak hadiah dariku, tapi tolong simpan benda ini sebagai sebuah kenangan tentang hari ini," pintanya lembut.
Tersentuh oleh kata-katanya, Zarri Bano membuka telapak tangannya dan menggenggam cangkang kerang itu erat-erat di tangannya. "Aku juga sangat menikmati malam ini, Sikander, tetapi jika kakekku melihatku berduaan denganmu malam ini, dia pasti akan mengamuk." Mereka berdua tergelak menikmati rasa bersalah mereka.
"Kalau begitu, Zarri Bano, menikahlah denganku secepat mungkin," ujarnya serak. "Tolong jangan membuatku menunggumu."
Zarri Bano memandangi pemandangan di belakang Sikander, air keemasan Samudra Hindia. Lalu dia berpaling menghadap Sikander, bukan kata-kata yang terungkap, dia hanya memandanginya. Dia hanya membiarkan lelaki itu membaca pesan halus yang terpancar dari matanya. "Aku pun menginginkan hal yang sama."
6. SEKEMBALINYA DARI kunjungan ke kantor-kantor milik Sikander, dengan tawa mereka berdua membahana di sepanjang jalan masuk, Zarri Bano dan Sikander memasuki ruang tamu dengan wajah-wajah yang membiaskan kebahagiaan. Tawa mereka tenggelam ke dalam kesunyian yang mencekam di ruangan itu. Ibunda Sikander, Bilkis, tergopoh menghapus air mata di matanya. Ayahnya memalingkan wajahnya dengan kaku dari tatapan Zarri Bano.
"Ada apa"" tanya Zarri Bano cemas. "Mengapa Anda menangis, Bibi Jee"" Dia segera bergerak ke samping Bilkis seraya merangkulnya.
"Aku takut kami mempunyai beberapa kabar buruk buatmu. Kau harus segera pulang, Zarri Bano, putriku," dengan lembut Bilkis memberitahunya, sambil menyeka wajahnya dengan kerudungnya.
"Apa yang terjadi"" tanya Zarri Bano. Dia berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang.
Sikander merasa waswas terhadapnya. Dia memandangi kedua orangtuanya dengan tatapan penuh tanya.
"Sikander, tolong atur kepulangan Zarri Bano sesegera mungkin. Ini tentang... adik lelaki Zarri Bano. Jafar mengalami sebuah kecelakaan tadi malam. Ia meninggal siang ini."
"Ya Allah, Tuhanku!" suara Zarri Bano lirih. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah sedang berusaha mengusir bayangan yang menyiksa pikirannya yang dihadirkan oleh kata-kata Bilkis. Kemudian dia menatap langit, merasa sangat terguncang.
Sikander mengamatinya dengan gemetar, merasakan juga keputusasaan Zarri Bano dan trauma yang sedang dijalaninya. Bagaimana mungkin seorang lelaki muda yang tampan meninggal dunia begitu saja" Ini sangat tidak adil.
"Ayah, aku akan mengantar sendiri Zarri Bano pulang. Dia tidak boleh berkendaraan dengan sopirnya saja. Ayah dan Ibu, menurutku; sebaiknya ikut serta. Apakah mereka menelepon""
"Ya, salah satu pelayan Habib K
han menelepon. Jafar terjatuh dari kudanya, dan kecelakaan itu melukai kepalanya. Pendarahan di otak, mereka bilang."
* * * Saat mereka tiba di rumah Zarri Bano dua jam kemudian, Zarri masih belum bisa mencucurkan air mata. Dia terus menerawang ke depan. Jiwanya tampak terpaku. Sikander terus mengawasinya, ingin menenangkannya, merangkulnya, dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya. Bagaimanapun, etiket sosial telah membuat kedua lengannya terjatuh ke bawah. Saat itu, di hadapan mata dunia, mereka tidak memiliki hubungan resmi yang menyatukan mereka. "Tidak ada apa-apa di antara kita," sebagaimana yang dinyatakan Zarri malam sebelumnya; dia mengingatnya dengan pahit. Suaminya saja, ayahnya, atau adik lelakinya yang mendapatkan kehormatan untuk menenangkannya dengan sentuhan fisik.
Dengan langkah tertatih, Zarri Bano memasuki rumahnya. Rumah bahagia itu telah berubah menjadi sebuah rumah duka. Para kerabat, sahabat, tetangga, dan pelayan ada di mana-mana ada yang menangis ataupun membaca doa. Saat mereka melihatnya, suara doa mereka semakin nyaring dan mereka bergegas menghambur ke arahnya untuk menyatakan dukacita. Dua orang perempuan mengembangkan lengan mereka ke arahnya dan menangis sesenggukan di dadanya. Berdiri kaku di antara mereka, Zarri Bano tidak mampu meneteskan air mata atau bersikap seperti apa yang ada di sekitarnya. Sikander dan kedua orangtuanya tetap berada di sisinya.
Fatima memandu mereka memasuki ruang tamu yang besar tempat jenazah Jafar dibaringkan di atas palang di tengah ruangan. Fatima dan anak perempuannya, Firdaus, diminta untuk menerima para tamu dan mereka yang turut berduka-cita dari para penduduk sekitar. Mereka adalah orang-orang yang tiba dari desa siang itu. Mereka meninggalkan apa saja; para ibu dan anak perempuan bergegas menawarkan diri untuk menenangkan dan memberi dukungan moral pada Shahzada dan Habib.
Mengelilingi sebuah ranjang besar dengan papan kayu, para pelayat menjenguk tubuh Jafar, memberi penghormatan. Beberapa orang perempuan menangis secara terbuka, yang lainnya melantunkan lagu-lagu perkabungan tradisional. Beberapa perempuan bahkan memukuli dada mereka sendiri dengan perlahan mengikuti adat kebiasaan desa itu. Yang lainnya memilih menyatakan kesedihan mereka dengan cara yang lebih halus: menangis diam-diam di balik chador dan kerudung mereka dan di bahu orang-orang yang mereka cintai. Secara ritual mereka beralih dari bahu ke bahu.
Masih terguncang, Zarri Bano berjalan menuju keranda adiknya. Melihat dia mendekat, sekelompok orang yang tengah berkabung dalam diam dengan penuh hormat memberinya jalan. Dengan mata kering, dia menatap adik lelakinya yang muda dan tampan, terbaring di sana. Mengapa orang-orang bodoh ini mengelilinginya dan menangis" pikirnya seraya menatap berkeliling pada kerumunan orang yang berkumpul.
"Bangun, Jafar, sayangku! Ini sudah siang! Bangun, Jafar!" Membungkuk di atas ranjang, Zarri Bano mulai menggoyang-goyangkan tangan adiknya yang dingin.
Mendengar kata-kata Zarri Bano dan memerhatikan bagaimana dia bersikap, ruangan itu bergema oleh ratapan dan alunan doa. Bahkan, yang hingga saat itu matanya kering pun ikut menangis, merasakan kepedihan Zarri Bano.
Shahzada duduk dekat ranjang putranya di atas lantai, bangkit dan dengan lembut membimbing Zarri Bano menjauh, menyandarkan sosok tinggi Zarri Bano pada tubuhnya sendiri. Lalu dia memberi isyarat pada Ruby yang tengah duduk di sisi lain tempat tidur untuk membawa pergi kakaknya dari tempat itu. Dalam keadaan terluka secara emosional, Shahzada tidak tega membiarkan orang-orang menyaksikan putri sulungnya menumpahkan kesedihannya secara kasar.
Ruby membimbing Zarri Bano ke kamarnya. Kedua bersaudara itu duduk di sofa, saling berpegangan tangan. Ruby berbicara, tetapi Zarri Bano tak menanggapi hanya terus menatap hampa.
"Ayolah, Kak, sadarlah! Menangislah, karena itu saja yang bisa kita lakukan. Jafar kita telah tiada."
"Dia menggenggam tanganku, Ruby. Kurasa aku mengaguminya. Akhirnya itu terjadi padaku, Ruby. Kurasa aku...." Zarri Bano menoleh dengan pandangan bertanya-tanya di wajahnya, memec
ahkan kesunyian yang aneh di antara mereka.
"Siapa yang menggenggam tanganmu, Baji Jan!" tanya Ruby terkejut.
"Sikander Sahib."
"Mengapa""
"Karena aku bersedia menjadi istrinya."
"Oh, aku ikut senang, Kakak," sahut Ruby merasa senang mendengar Zarri Bano kembali berkata.
"Aku harus menceritakan pada semua orang, akhirnya aku menemukan seorang lelaki yang ingin kunikahi. Mana Ibu" Aku harus bilang padanya!" Dengan tatapan nanar masih terlihat di matanya, Zarri Bano bangkit hendak pergi.
"Kak, tunggu dulu!" Ruby mencegah Zarri Bano dengan cemas. "Bukan waktunya menceritakan pada mereka atau pada orang lain. Ingatlah, kita sekarang baru saja kehilangan Jafar."
"Di mana hilangnya" Dia pasti sedang di kandang kuda. Aku akan memberitahunya lebih dulu."
"Tidak, dengarkan!" Ruby memekik putus asa. "Dia sudah mati. Cobalah mengerti. Jafar tak akan bisa mendengarmu lagi. Dia telah pergi selamanya. Dia tak akan bisa datang pada hari pernikahanmu." Tangis kesedihan bergema di ruangan itu ketika Ruby menunduk dan tersedu.
Zarri Bano menatap nanar pada kepala adiknya yang tertunduk, mencoba memahami apa yang tadi dikatakannya. Lalu, kata-kata "dia telah mati" bergema di kepalanya.
"Tidak! Tidak! Tidak! Adikku sayang!" Mulutnya bergetar dan dia melontarkan jeritan yang menusuk hati. Seraya berlari ke luar kamar, Zarri Bano bergegas melewati lorong di antara kamar-kamar tidur, menuruni tangga melingkar, langsung menuju ruang tamu. Dia tak sadar bahwa dia tak mengenakan dupatta, juga tak memakai sepatu. Menghampiri ranjang adiknya, dia menjatuhkan diri ke lantai di depannya dan menangis tersedu-sedu. Sembari menyentuh wajah adiknya dengan penuh cinta, Zarri Bano menatap wajah-wajah di sekelilingnya dalam kesedihan yang sunyi. Suara ratapan dan lantunan perkabungan terdengar lagi, disela oleh tangisan sedih Zarri Bano.
Sikander duduk bersama para lelaki lain di salah satu sisi ruangan itu, tak berdaya menyaksikan Zarri Bano. Dia marah pada takdir. Mengapa hidup ini begitu kejam" Baru semalam dia merasa menjadi lelaki paling bahagia di muka bumi dan sekarang ini yang terjadi! Mereka telah merencanakan pernikahan mereka di restoran. Bercakap-cakap tentang tempat-tempat yang akan dia tunjukkan pada Zarri Bano di Singapura pada bulan madu mereka.
Itu bukanlah sebuah pertanda baik. Dia sama sekali bukan seseorang yang memiliki kekuatan gaib, tetapi perasaan takut yang aneh melandanya. Kematian Jafar pasti akan berarti penangguhan perkawinan mereka. Dengan getir, dia mengutuk kismet-nya. Mereka bahkan belum sempat bertunangan atau bertukar cincin secara resmi. Dengan perginya satu-satunya putra mereka yang amat berharga, orangtua Zarri Bano pasti akan berkabung dalam waktu lama. Pernikahan mereka mungkin harus menunggu hingga beberapa bulan, bahkan mungkin setahun.
Kisah Pedang Di Sungai Es 20 Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk Perantauan Ke Tanah India 3
PEREMPUAN SUCI Diterjemahkan dari The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz
Penerjemah: Anton Kurnia & Atta Verin Penyunting: Salahuddien Gz
Penerbit: Qanita Edisi Baru (Gold Edition) Cetakan I, Januari 2012
Untuk anak-anak saya: Farakh Shuyab, Gulraiz Sarfaraz, Shahrukh Raees, dan kemenakan tercinta, Raees Hamza
Ucapan Terima Kasih TERIMA KASIH banyak kepada Joan Deitch dan John Shaw untuk kerja keras mereka.
Terima kasih saya untuk semua sahabat dan rekan sejawat: Profesor Akbar S. Ahmed, Sajida Ahmed, Maulana Qamaruzzaman Azmi, Amanda Challis, Lizbeth Cheatle, Ann Gibson, Dr. Afshan Khawaja, Shahed Saduallah, Jamil Dehlavi, Julie Northey, Maulana Habibur Rahman, Lynda Robinson, Richard Seidel, dan Masarat Shafi.
Saya juga ingin berterima kasih pada Ken Ashberry, John O'Brien, Andrew Brown, Glenda Cox, Bel Crompton, Carl Delaney, George Hastings, Patricia Kushnick, Samima Ahmed, Marie Froggatt, Nita Patel, Carl Ryan, Jane Sladen, Habidah Usman, Ann Vause, Madeleine Bedford, dan Merillie Vaughan Huxley.
Terima kasih pula untuk Colin Muir, Lavinia Murray, Peter Ridsdale Scott, Susie Smith, Lucy Scher, Sherry Ashworth, Elizabeth Baines, Cathy Bolton, Beverly Hughesdan, Pete Kalu, Jennifer Whitelaw, Qassim Afzal, Huma, Ali Azeem, Neil Broady, Khalid Hussain, Wakil Konsul Jamil Ahmad Khan, Raza Khan, Keelin Watson, Bridgette O'Connor, Asad Zaman, dan Angharad Jackson.
Secara khusus saya ingin berterima kasih pada Lord Nazir Ahmed dari Rotherham, Iftikhar Qaiser, Zahoor Niazi, Elizabeth Wright, Dr. Musharaf Hussain, Faisal Munir Khan, Saba dan Aamer Naeem, Asad, Mohsan dan Sherry Qureshi, Maqsood Ellahie Sheikh, Dr. Sidra Hasan, Bashir Mann, Mohamed Sarwar MP, Habib Ullah, Ghulam Rabbani MBE, Tahir Inam Sheikh, Yacub Nizami, Naveed Aziz, Bailie Muhammad Shoaib JP, Nisar Naqvi, Baldev Mavi, Rafaqat Hussain, dan Nazia Khalid.
Di Pakistan rasa terima kasih saya persembahkan kepada paman saya, Mohamed Ashraf, dan putranya, Ejaz Ashraf; Muhammad Iqbal, dan Khalid Mahmood.
Terima kasih tak terhingga saya sampaikan pada suami saya, Saeed Ahmad; orangtua saya, Mohamed Aslam dan Amina Akhtar; saudara-saudara lelaki saya dan para istri mereka Dr. Suhail Abbas, Dr. Zulfiqar Babar, Dr. Waqar Aslam, Sajida Parveen, dan Dr. Naushene Sara; serta saudara perempuan saya, Farah Shahnaz, atas dukungan mereka yang tiada habisnya.
Bagian Pertama Bagaimana aku bisa tersesat dari tamanku, Dan bagaimana aku terjebak dalam pusaran badai, aku pun tak tahu.
Muhammad Iqbal (1873-1938)
Prolog DI PROVINSI SINDU, di daerah perbatasan sebuah kota kecil, sebuah mela tampak sedang ramai-ramainya. Di tengah lapangan berdebu, pekan raya tahunan itu menarik para lelaki dari desa-desa di sekitarnya untuk mengudap makanan ringan panas dan dingin, menikmati suasana dan menonton keunikan para badut, pelawak, dan para penghibur lainnya.
Berkeliling di keempat provinsi di Pakistan, para pelakon itu mempertontonkan keterampilan khusus dan jiwa seni mereka kepada para penduduk Desa Sindu. Sontak terdengar tepukan tangan, derai tawa, dan siulan keras para pemuda yang merupakan keriangan dan pengharapan pada suatu siang di musim panas yang terik. Membentuk sebuah kerumunan yang lingkarannya makin membesar, mereka tampak sedang menyoraki sang badut seorang pemuda cekatan yang mampu mempertahankan tiga buah bola berlompatan sekaligus di udara.
Di dekat lingkaran berdebu itu berdiri seorang lelaki tua bertubuh kurus tetapi tampak kuat, dengan topi berhiaskan kaca di atas kepalanya, mencengkeram tali yang mengikat seekor monyet. Para penonton bersorak ribut ketika binatang yang didandani sehelai rok mungil berempel dan sebuah topi berwarna merah itu mulai menari-nari dan menggerak-gerakkan tubuh kecilnya di atas sebuah tilam rami. Si pemilik monyet menyunggingkan seulas senyum ompong pada para penontonnya, lalu mulai memainkan sebuah tabla dengan dua tongkat ramping, mendorong binatang itu melakukan serangkaian aksi jungkir balik yang lucu mengelilingi kerumunan. Gerombolan lelaki yang tengah bersorak-sorai buru-buru melangkah mundur untuk memberi jalan kepada monyet itu
. Dari kejauhan, sebuah jip Shogun hitam bermuatan dua orang lelaki melaju sepanjang jalanan berdebu. Jip itu berhenti di dekat mela. Sopirnya, seorang lelaki jangkung berumur awal tiga puluhan, turun dari kendaraan itu dan menutup pintu di belakangnya, kemudian bersandar pada jip itu dan merentangkan kakinya yang panjang.
Seraya membuka kacamata hitamnya, dia mengamati pemandangan di depannya dengan penuh perhatian. Seulas senyum pun tersirat di wajahnya mengikuti keunikan aksi sang monyet di lingkaran terbuka. Tak lama kemudian, merasa bosan dengan pertunjukan itu, tatapannya mengembara melintasi kerumunan dan tertambat pada seekor kuda yang diikatkan pada sebatang pohon. Dekat kuda itu, di bawah naungan payung hijau lebar pohon itu, berdiri seorang perempuan. Sepasang mata orang asing itu terhenti pada pemandangan tersebut.
Mengenakan sebuah shalwar kameze hitam yang indah, sehelai dupatta sifon yang serasi melingkari bahu dan rambutnya, seakan-akan membingkai wajah perempuan itu yang memang amat cantik.
Monyet itu kini bergerak penuh semangat, menari-nari liar mengikuti irama gendang. Kini sepasang tangan perempuan di bawah pohon itu pun teracung ikut bertepuk tangan. Angin hangat musim panas mencetak bahan lembut kameze-nya mengikuti bentuk tubuhnya yang ramping dan menyingkap dupatta itu dari kepalanya, membuatnya jatuh membentuk lipatan anggun di sekeliling bahunya. Perempuan itu tidak membuat gerakan untuk membetulkannya, mengabaikan kesepakatan umum bagi para perempuan untuk menutupi kepalanya di tempat umum di tengah sekelompok lelaki.
Tak ada perempuan lain yang hadir dalam mela itu, selain tiga orang perempuan tua, karena tidak biasa dan tidak bisa diterima oleh umum apabila para perempuan muda bergabung secara terbuka dalam sebuah kegiatan yang dilakukan seluruhnya oleh kaum lelaki.
Si orang asing merasa penasaran sekaligus senang melihat pembangkangan terang-terangan yang ditunjukkan perempuan itu. Mulutnya membentuk senyum lebar saat dia memerhatikan perempuan itu masih juga tidak membuat upaya untuk menutup rambutnya.
Saat dia memerhatikan hal itu, seorang pemuda menghampiri perempuan itu dan melepaskan ikatan kuda dari pohon. Sepasang mata kelabu orang asing itu pun melebar; tiba-tiba saja dia tampak begitu tegang. Kebekuan yang mencekam merasuki tubuhnya ketika dia mengamati wajah pemuda itu yang ternyata nyaris seperti replika wajah si perempuan.
Senyuman kini menghunjam pada matanya. Dia berdiri tegak.
Di bawah pohon, adik lelaki Zarri Bano, Jafar, berdiri di depan perempuan itu dan berbisik ke telinganya. Jafar berbalik untuk menghadap kerumunan orang, seketika pandangan sekilas lelaki itu menyapu mereka. Wajah Jafar berseri-seri. Seraya tersenyum, dia melambaikan tangannya.
"Para tetamu yang kita tunggu-tunggu dari Karachi telah tiba!" Jafar memberi tahu kakak perempuannya dengan bersemangat, kemudian raut wajahnya melunak. "Kakak tersayang, aku harap kau dapat memastikan kerudungmu tetap terpasang dengan benar di kepalamu saat kau berada di tempat umum," ia menegur lembut kakak perempuannya itu. "Lihat rambutmu! Tidak pernahkah kau merapikannya" Acak-acakan! Tidak baik seorang perempuan terlihat seperti ini. Kaum lelaki, khususnya para lelaki Badmash, akan memelototi para perempuan secantik dirimu. Kau terlihat begitu binal! Ini menciptakan kesan buruk. Tidak hanya tentangmu, tetapi juga tentang kita dan ayah kita. Hanya perempuan-perempuan nakal yang melakukan hal seperti itu." Dia tampak sangat menyadari keberadaan si orang asing dan berpasang mata yang menjelajah liar.
"Kau sudah selesai bicara, Jafar sayang"" goda Zarri Bano dengan nada suara menguasai. Pipi perempuan itu merona, "Aku tidak mau dikuliahi oleh adik bayiku. Memangnya kenapa jika dupatta-ku luruh selama beberapa detik" Apakah kau tidak pernah melihat rambut sebelumnya""
"Aku tidak ingin berdebat di sini, Baji Jan. Sebaiknya kau segera pulang. Ia sudah telanjur melihatmu dan ini tidak benar. Ini tidak baik bagi izzat kita." Keinginan Jafar untuk segera mengawal kakak perempuannya itu keluar dari pandangan umum sangat kuat.
Jafar me noleh kembali pada lelaki itu dan melambaikan tangannya lagi memberi tanda. Dia tampak tegang karena kakak perempuannya berdiri di sampingnya dengan kerudung terbuka. Si orang asing itu menganggukkan kepalanya ke arah mereka untuk memberi salam. Anak-anak rambut yang hitam tebal jatuh di atas dahinya, tampak berkilau
terkena cahaya matahari. Dia mengangkat tangannya untuk membalas salam itu, seulas senyum masih saja menghias bibirnya, tetapi matanya kini terpaku hanya pada Zarri Bano.
Zarri Bano merasakan tekanan dari sorot mata si orang asing dan terhanyut dibuatnya. Dia memerhatikan kedua lelaki yang saling bertukar salam itu dengan gundah kedua bola matanya melebar.
"Oh, tidak! Mungkinkah itu dia"" Zarri Bano menggumam gelisah. Dia berada di tempat yang salah, waktu yang salah, dan dilihat oleh orang-orang yang salah. Jantungnya berdegup kencang mengantisipasi keadaan yang mengerikan. Seraya melirik sekilas ke arah sosok lelaki itu, dia pun memberi tanda memanggil pada sopirnya.
"Aku siap pulang, Nalu. Bisakah kau membawa mobilnya memutar sisi sebelah sini. Di sana terlalu banyak lelaki." Kata-kata itu mengalir begitu saja.
"Baik, Sahiba muda."
Dia menunggu mobil itu mendekat dan tetap memunggungi si orang asing saat memasuki mobil. Dia hanya memandang ke luar jendela saat mobilnya melewati jip lelaki itu. Malangnya, matanya segera saja berserobok pandang dengan mata lelaki itu. Zarri Bano tersipu, segera dia menunduk ketika mobilnya mulai melaju.
Setelah memberi arahan pada kedua tamunya untuk membuntutinya, Jafar meraih kudanya. Dia melecut kudanya hingga ke bagian depan jip Shogun, lalu memimpin rombongan itu melintasi pasar kota hingga perbatasan dan mencapai vila keluarganya di Tanda Adam.
Lelaki yang lebih tua, Raja Din, duduk di samping putranya di kursi penumpang, memandangi punggung si pemuda berkuda putih di depannya.
"Nah, jika pemuda itu adalah si adik, Sikander, kita dapat menyimpulkan bahwa kakak perempuannya akan sangat menarik juga," ujar lelaki itu.
"Ayah, dia memang sangat menarik," balas Sikander dengan suara perlahan. Dia mengingat wajah perempuan itu dengan sangat jelas.
"Apa maksudmu" Apakah kau sudah melihatnya"" tukas Raja Din sambil menatapnya tajam. "Tidak, aku hanya menerka," Sikander berdusta.
"Baiklah. Jangan lupa, Anakku, mereka memiliki dua orang anak perempuan dan yang tertualah yang kita incar. Kita tidak boleh mendapatkan gadis yang salah! Kau tahu, kadang-kadang hal ini terjadi. Orang mengincar seorang calon dan malah berjodoh dengan yang lain."
Sikander melirik ke arah ayahnya, senyumnya sejenak tersungging di wajahnya. "Tentu saja," sahutnya. Apakah perempuan itu anak perempuan tertua atau yang lebih muda" Dia bertanya-tanya dalam hati sambil sedikit mengerutkan kening. Perempuan itu sangat cantik sebuah kejutan yang menyenangkan. Ironisnya, apakah perempuan itu menyadari siapa dirinya"
Jodohnya. Dia harus menjadi jodohnya! "Dengan cara apa pun, aku akan memiliki perempuan ini," Sikander berikrar dalam diam, seraya menepukkan tangannya pada kemudi mobil.
Saat melihat mobil di depan mereka lenyap dalam awan debu, Sikander Din merasakan suatu perasaan yang aneh bahwa dalam beberapa saat terakhir, hidupnya tiba-tiba saja terjalin dengan perempuan cantik berbaju hitam itu untuk selamanya.
1. ADA SEBUAH kesibukan mendadak di vila itu. Setelah memperingatkan semua orang bahwa para tamu mereka dari Karachi yang telah ditunggu-tunggu akan segera tiba, Zarri Bano langsung bergegas naik tangga ke kamar tidurnya, melangkahi dua anak tangga sekaligus, dan dengan cepat berganti pakaian. Kali ini dia menggunakan setelan warna merah jambu. Adik perempuannya, Ruby, masuk ke kamar dan memelototi Zarri mulai dari kepala hingga kaki dengan tatapan menggoda.
"Kau berganti baju! Kau akan segera turun dan menghadapi para tetamu! Aku tak percaya," ujarnya berpura-pura terpana. "Biasanya kau bahkan tidak bersedia menemui para lelaki yang dijodohkan denganmu atau orangtuanya. Lelaki ini pasti sangat istimewa sampai-sampai malika-ku, ratu semua kakak, berusaha ganti baju segala." Sepasang mata Ruby berger
ak-gerak lincah memandangi tubuh ramping kakaknya.
"Ah, ayolah Ruby. Aku habis mendatangi mela bersama Jafar. Aku merasa gerah dan berkeringat sehingga memutuskan untuk berganti pakaian. Siapa bilang aku benar-benar akan turun untuk menemuinya" Dia sudah kurang ajar dengan datang secara pribadi dan bahkan tidak mau mengirimkan foto dirinya terlebih dahulu." Zarri Bano mengomeli adiknya di depan cermin seraya membenahi sejumput rambut ikal dan memasangkan jepit-jepit di rambutnya agar menjadi gelungan yang menarik di bagian atas kepalanya. Dia pun membiarkan beberapa anak rambut berulir menyelinap keluar di sekitar telinganya. Dia merasa tertarik karena si orang asing telah melihatnya dan mungkin mengetahui siapa dirinya. Lelaki itu telah menangkap basah dirinya pada sebuah ketidakberuntungan.
"Jadi, kau sudah mendapatkan bayangan sekilas sosoknya"" Ruby membaca pikiran kakaknya dengan tepat.
"Tidak," kata Zarri Bano berdusta.
Mereka berdua sudah melihat sekilas sosok masing-masing. Dia mengingat pandangan seronok lelaki itu yang membuatnya jengah dan merasa tak berharga. Ketika mobilnya melintasi jip lelaki itu, dia sekali lagi memandanginya dari dekat seakan-akan lelaki itu sempat menyelami kedalaman jiwanya. Sambil gemetaran di depan cermin, Zarri Bano menangkap tatapan ketidakpastian dalam matanya sendiri dan ada sesuatu yang lain.
Begitu selesai berdandan, Zarri Bano melangkah untuk berdiri di dekat jendela yang terbuka ke arah bagian tengah halaman yang luas dan tertata indah di vila mereka. Beberapa saat kemudian, sebuah jip hitam memasuki gerbang yang terbuka dan berhenti di samping mobil abu-abu keluarga Bano.
Sikander membantu ayahnya melangkah keluar dari mobil, kemudian kedua lelaki itu berdiri dan memandang ke sekeliling halaman dengan bergairah. Di bagian tengah ada sehampar rumpun mawar yang sedang merekah dan di setiap penjuru tampak semak oleander yang sedang berbunga dan rumpun bugenvil yang harum merayapi dinding dengan indah setinggi enam kaki. Beranda yang panjang, dengan pilar-pilar alabaster dan lantai bermozaik, mengarah ke bagian dalam rumah. Ketika mata lelaki muda itu menyapu jendela kamar-kamar tidur di bagian atas, Zarri Bano buru-buru melangkah mundur ke balik gorden. Dia takut terlihat oleh pemuda itu.
Melihat sikap sang kakak, Ruby bergerak ke jendela dan melongok ke bawah. Jafar sudah bersama kedua tamu mereka.
"Ya, Tuhan, masya Allah, dia sangat ganteng. Tidak aneh kau jadi berubah." Ruby terkekeh melihat rona merah di pipi kakak perempuannya itu.
Terganggu oleh godaan Ruby, Zarri Bano berkata ketus, "Siapa bilang dia ganteng" Kau ingat Ali" Adakah yang bisa menyaingi tampangnya""
"Ya, Ali sangat tampan. Tetapi ada sesuatu dalam diri lelaki ini semacam karisma. Menurutku, dia mungkin memiliki sebuah umpan untuk menyeretmu ke dalam jaringnya, jeratnya bahkan kalaupun itu bukan karena tampangnya."
"Jangan bicara padaku tentang jaring dan jerat!" tukas Zarri Bano sambil berlalu dari tepi jendela. "Aku bukan seekor ikan yang harus dipancing, ditangkap, dan dijerat, Ruby."
"Maafkan aku, Baji Jan. Kata-kataku tak termaafkan, khususnya karena aku tahu bagaimana perasaanmu tentang analogi seperti itu dan juga karena kau adalah seorang feminis."
"Ya, kau sudah seharusnya menyesal. Aku seorang perempuan merdeka. Aku yang memutuskan apakah aku menginginkan lelaki ini atau lelaki yang lainnya. Ini sebabnya mengapa sepuluh tahun berlalu dan aku masih belum juga menikah. Kau mungkin malah akan menikah sebelum aku dan aku akan menjadi seorang perawan tua," guraunya.
"Kau tidak akan pernah menjadi perawan tua, Zarri Bano. Kau terlalu cantik dan gemerlap untuk disisihkan ke dalam laci. Seseorang akan memetikmu suatu hari nanti, jika bukan lelaki ini. Tahukah kau, aku mungkin saja akan menikah sebelum dirimu karena caramu mengecewakan orang. Aku mungkin akan berakhir di pelukan salah satu dari sekian banyak calonmu yang kau tampik. Tahukah kau berapa kali Chaudharani Kaniz mengunjungi kita, bahkan setelah kau menolak untuk menikah dengan Khawar" Kupikir dia kini mulai mengincarku. Jika kau tidak akan menik
ah dengannya, dia akan berpikir aku akan mau pada Khawar."
"Tidak ada seorang pun dari kita yang akan menikah dengan Khawar. Ia lebih seperti saudara laki-laki kita. Namun, bisakah kau bayangkan aku atau kau sebagai si angkuh nyonya Chaudharani Kaniz berikutnya di desa ini" Tidak, terima kasih. Aku tak akan menyia-nyiakan kepandaianku."
Perbincangan singkat ini telah membawa kebaikan kepada Zarri Bano dan membantunya untuk kembali bersikap normal. Dia berkata pada dirinya sendiri, "Hanya karena aku telah memergoki lelaki itu menatapku di antara keramaian manusia dan aku telah membalas tatapannya itu, ini tidak berarti apa-apa. Aku tidak akan jatuh ke dalam sihirnya, seperti yang dipikirkan Ruby."
Entah bagaimana, kebalikan dari yang biasa dilakukannya, dia tampak siap menemui tetamu ini untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Biasanya dia akan menganggap pertemuan-pertemuan dengan para calon suami
ini sebagai sesuatu yang membuatnya mual dan merendahkan martabatnya, apalagi saat diketahuinya kemudian bahwa dia akan menolak lamaran mereka.
Abaikan saja semua analisis itu, dia memikirkan semua hal yang menguatkannya saat menuruni tangga ulir yang mengarah ke dalam ruang tengah. Dia melangkah dengan mantap menghampiri ruang tamu. Dia adalah seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh tahun, bukan lagi seorang gadis remaja yang akan dipinang. Dia akan memperlakukan lelaki ini sebagai seorang tamu biasa. Dengan berdiri tegak dan meninggikan lehernya, Zarri Bano berdiri di ambang pintu, siap untuk melakukan langkah resminya memasuki ruangan itu.
* * * Sikander dan ayahnya, Raja Din, sedang duduk dan berbincang dengan orangtua Zarri Bano. Teh telah disajikan oleh Fatima, pembantu mereka. Ini adalah pertama kalinya mereka semua bertemu dalam satu ruangan. Jafar dan Sikander sudah sempat saling mengenal saat mereka sedang berbisnis di Karachi. Pada suatu kali Sikander mengundang Jafar ke rumahnya.
Sebuah persahabatan pun dengan cepat terjalin antara kedua lelaki itu. Pada kesempatan lain yang serupa, ibu Sikander mengajak Jafar berbicara tentang masalah perjodohan untuk anak laki-lakinya. Saat itu Jafar hanya dapat memikirkan kedua saudari kandungnya. Yang tertua, sudah diceritakannya kepada mereka, bahwa dia telah menolak sekian banyak calon sehingga mereka merasa malu kepada mereka yang datang untuk meminangnya. "Namun, kau boleh mencobanya," ujarnya pada Sikander. "Jika tidak, ada adik perempuanku, Ruby," candanya.
Setelah bertemu dengan Sikander dan mengenalnya lebih baik, Jafar secara naluriah tahu bahwa kakak perempuannya, Zarri Bano, adalah perempuan yang cocok untuk temannya itu. Dalam hal usia, pendidikan, tampang, dan watak, mereka berdua cocok.
Sekembalinya ke rumah, Jafar memberi tahu orangtuanya dan Zarri Bano tentang Sikander. Zarri langsung menghapus masalah itu dari benaknya dia tidak tertarik! Meski sejenak terpikir olehnya akan menyenangkan menikah dengan seseorang yang sudah memiliki tempat tinggal tetap di Karachi, saat dia merencanakan untuk mendirikan perusahaan penerbitannya di sana. Namun, ayah Jafar, Habib, dan ibunya, Shahzada, justru sangat tertarik. Mereka menyuruh Jafar untuk mengundang temannya dan orangtuanya itu ke rumah mereka.
Sampai saat itu, kedua orangtua Zarri sudah berputus asa. Mengusir para pelamar sudah menjadi semacam rutinitas. Dan tidak selalu Zarri Bano saja yang menolak para lelaki yang datang untuk melihat dan meminangnya, ayahnya juga sedikit terlalu banyak menuntut. Entah bagaimana, tidak ada seorang pun dari para pelamar yang diundang yang tampak seimbang dengan kepintaran lelaki tua itu ataupun kerupawanan anak perempuan tertuanya. Dia selalu mengakhiri pertemuan dengan berbicara angkuh, "Lelaki itu haruslah yang terbaik." Ketika Zarri Bano menampik para pelamarnya, diam-diam Habib mendukungnya dan bersyukur pada keputusan putri sulungnya.
Sebaliknya, sang istri melihat semua itu dari sudut pandang seorang ibu. Dia berada di titik keputusasaan. Zarri Bano sudah berada di penghujung usia dua puluhannya dan masih saja tidak ada tanda-tanda rencana pernikahan. "Kapan dia akan
berumah tangga dan membesarkan sebuah keluarga"" pertanyaan itu yang selalu dilontarkannya pada sang suami. Dan Habib sudah terbiasa untuk menjawab dengan tenang bahwa masih ada banyak waktu.
"Apakah kau mau memberikan putri kita yang cantik kepada sembarang nathu pethu"" Habib bertanya pada istrinya. "Aku hanya akan mengizinkannya menikahi seorang laki-laki dari bibit unggul terbaik dari keluarga tuan tanah yang memiliki keturunan unggul itu, dengan nama dan status sosial yang baik."
Istrinya kemudian akan merasa berkewajiban mengomeli Habib sebagai seorang istri. "Jangan berkata seperti itu, Habib Sahib. Semua anak akan selalu sangat berharga di mata orangtuanya, termasuk semua calon pelamar itu. Tidak baik selalu mengusir mereka. Kau dan putri sulungmu akan mendapatkan reputasi buruk karenanya. Mereka akan berpikir bahwa dia terlalu hebat, sombong, dan keras kepala. Padahal kenyataannya, dia hanyalah seorang gadis yang tak mampu menentukan pilihannya. Kau juga bersikap tidak membantu. Kau sudah bersekongkol dengannya dalam menampik para pelamar, bukan""
"Jangan bodoh! Aku hanya sangat posesif atas putriku dan menginginkan yang terbaik untuknya."
"Itu dia, kau terlalu posesif! Itulah masalahnya. Itu tidak sehat, Habib Sahib." Tatapan mata Shahzada menusuknya.
"Sekarang kau melebih-lebihkan." Habib berpaling dari istrinya, tertawa, dan mengakhiri perbincangan mereka.
Kini para tetamu kembali datang untuk bertemu dan ingin mengenal putri mereka. Jika semuanya berjalan lancar, akan ada pertemuan berikutnya dua minggu kemudian. Jika ternyata nantinya ada persahabatan yang tumbuh di antara Sikander dan Zarri Bano, seperti juga antara dua pasang orangtua mereka, Zarri Bano dapat mengunjungi rumah Sikander di Karachi.
Setelah menemui Sikander dan berbincang-bincang sejenak, Shahzada tampak sangat bersukacita. Sikander langsung menghangatkan hatinya. Mata Shahzada sering menelusuri wajah tampan pemuda itu. Namun, Habib menahan diri untuk tetap tenang. Dari penampilan dan sikapnya, Sikander sangat menarik. Habib tidak mungkin menolaknya, tetapi dia akan menunggu dan melihat reaksi putri sulungnya, baru kemudian memutuskan.
Sebuah ketukan di pintu membuat mereka semua tegak menanti siapa yang akan masuk.
Zarri Bano memasuki ruangan. Dia berdiri di hadapan mereka semua: tinggi, berpenampilan megah, dan memesona dengan pakaian berwarna merah jambu. Sikander yang langsung memandanginya dan merasa terpuaskan karena dia adalah perempuan yang dilihatnya di mela, mencondongkan badannya ke depan, seolah-olah sibuk membelah biskuit di atas sebuah piring. Saat itulah Habib melemparkan pandangannya ke arah Sikander, untuk melihat reaksinya terhadap putri kesayangannya. Mulutnya mengatup kencang menanti saat Sikander menengadah.
Ayah Sikander lain lagi. Dia yang sedang mengamati Zarri Bano untuk pertama kalinya, sungguh-sungguh terpukau. Sebuah seringai lebar muncul di wajahnya. Dia terus memelototi gerak-gerik Zarri Bano ketika dia melangkah mendekati mereka.
Zarri Bano mengucapkan salam kepada tetamu itu. Sikander mendengar suaranya, tapi masih saja malas menengadahkan wajahnya. Dia sadar bahwa suara itu begitu merdu, suaranya sesuai dengan penampilannya.
Zarri Bano melayangkan pandangannya ke semua orang yang ada di ruangan itu, menangkap sorot mata mereka satu per satu dan tersenyum. Setelah berada di dekat mereka, dia duduk di samping ibunya, di sebuah sofa yang tepat berseberangan dengan Sikander dan ayahnya. Kini, dia menanti lelaki itu menengadah ke arahnya karena sejak tadi pandangan mereka belum juga saling bertemu. Namun, dia seakan lebih peduli pada biskuit bodohnya ketimbang pada Zarri Bano!
Dia tidak tahu dari mana kenekatan itu datang, tapi memang sudah menjadi karakternya melawan sopan santun umum. Dia memutuskan untuk menyapanya secara pribadi sehingga lelaki itu akan terpaksa harus melihat ke arahnya dan menengadah. Dia tidak akan membiarkan dirinya diabaikan oleh orang asing angkuh dan tampan yang telah mencerabut dirinya dari dunianya yang damai dan berani mengasarinya dengan pandangan kurang ajarnya di lapangan tadi en
tah jodohnya atau siapa pun itu!
"Sahib Sikander," dia mulai menyapa dengan manis. Dia mengenal namanya dari Ruby saat menuruni tangga tadi. "Apakah kau menyukai perjalananmu kemari" Apakah mela kami menyenangkanmu" Kami memang agak sedikit unik dibandingkan dengan dunia yang canggih di Karachi, sebagaimana yang kau lihat."
Akhirnya dia menengadah! Alisnya beradu. Dia tampak terkejut pada keberanian Zarri Bano berbicara langsung padanya di hadapan orangtua mereka dan tanpa perkenalan resmi seperti pada umumnya. Selain itu, gadis itu dengan berani mengingatkannya pada kejadian yang mereka alami di mela! Itu tindakan yang tidak pantas. Sebuah kesan sebal terbias di matanya. Dia terlalu "berbeda" dari seleranya! Tiba-tiba saja sebuah pemikiran muncul di benaknya.
Sekarang dia memberikan sorot matanya seutuhnya kepada Zarri Bano. Bola matanya yang berwarna abu-abu keruh, seakan terpasang tepat ke dalam jiwa Zarri Bano. Namun, mereka berdua masih tetap terlihat tenang dan tidak tampak ada senyum jawaban di bibir Sikander.
"Ya, Sahiba, kami telah melalui perjalanan yang menyenangkan," balasnya sopan. "Dan ya, tentu saja, mela itu adalah sebuah hiburan menarik yang kami jumpai dalam perjalanan. Itu adalah kejutan yang mengasyikkan sekilas bayangan tentang apa yang ada di rumah ini."
Pipi Zarri Bano merona seketika. Hanya Sikander yang memerhatikan hal itu, karena hanya dia yang mengetahui dengan jelas penyebab ketersipuannya. Dia telah mengingatkan Zarri Bano tentang saat di mana pandangan mereka berserobok dan dia tampak senang menyadari bahwa ternyata ada juga sesuatu yang cacat dalam penampilan gadis itu.
Zarri Bano menoleh ke arah Raja Din; secara halus itu adalah upayanya untuk berpaling dari Sikander. Dia pun mulai berbicara fasih tentang Karachi dan universitas tempat dia pernah menuntut ilmu di sana. Raja Din sumringah memandanginya. Kecantikan Zarri yang memukau itu berenang-renang di matanya. Dia pun membayangkan cucu-cucu rupawan dengan wajah seperti perempuan ini. Matanya yang membiaskan warna biru dan hijau nan gemerlap, tampak berkilauan olehnya: dia membayangkan memiliki seorang cucu laki-laki dengan mata secemerlang itu! Dia menanggapi pertanyaan-pertanyaan Zarri dengan bersemangat.
Sementara mereka bercakap-cakap, Sikander diam-diam mengamati dan mendengarkan. Dia terpana melihat ayahnya begitu terpesona oleh Zarri Bano. Tidakkah hal yang sama terjadi pada dirimu, Sikander, ketika di mela" Sekilas pandangan dengannya sudah berhasil menjeratnya!
Setelah setengah jam, Zarri Bano meninggalkan mereka semua. Hanya sampai itulah yang harus diselesaikan pada pertemuan pertama.
Sikander dan ayahnya diundang untuk ikut makan malam. Kali ini Ruby menemani mereka, sedangkan Zarri Bano tinggal di kamarnya. "Bahkan kalaupun aku tertarik, karena aku tidak merasakan itu," ujarnya angkuh, "mengapa aku harus kembali ke ruangan itu" Aku tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. Jadi, mengapa aku harus mulai melakukannya sekarang" Khususnya untuk menyenangkan seorang lelaki yang bahkan sama sekali tidak ingin tersenyum padaku."
Namun, dia tidak mampu menahan diri untuk terus memasang telinga mendengarkan suara-suara dari lantai bawah dan menunggu saatnya tetamu itu pergi. Akhirnya, sambil bersembunyi di balik gorden, dia melihat mereka pergi. "Kau akan datang kembali padaku, Sikander yang angkuh," gumamnya. "Saat itulah yang akan menyenangkan sekali bagiku mencampakkanmu!" Dan Zarri Bano segera menjauhi tepi jendela, mengenyahkan lelaki itu seutuhnya dari benaknya.
Ketika Ruby naik beberapa saat kemudian dan mengatakan padanya bahwa mereka akan datang kembali, Zarri Bano tidak berkomentar apa pun. Di lantai bawah, di ruang tengah, dia berjalan melewati pembantu mereka, Fatima. Sesungging senyuman menghias wajah perempuan tua itu.
"Yang satu ini sangat tampan, bukan"" goda Fatima. Yang amat disukai Zarri Bano, Fatima cukup berani berbicara terus terang dengannya.
"Oh, dia lelaki yang baik, menurutku. Kita akan lihat apa yang akan terjadi nanti," jawab Zarri Bano. Pipinya berdekik lucu.
"Tetapi, Anda menyukainya, bukan"" desak Fat
ima ingin memastikan. Zarri Bano tertawa tergelak sambil melangkah ke arah ruang makan. Fatima menatap sosok majikan mudanya. Dia semata-mata hanya berharap agar Zarri Bano dan putri kandungnya, Firdaus, menikah dan berbahagia. Dia berdoa untuk kesehatan dan masa depan mereka. Di atas segalanya, mendapatkan Khawar sebagai menantu adalah mimpi Fatima yang sesungguhnya.
* * * Beberapa saat kemudian, berduaan dengan suaminya di kamar tidur mereka, Shahzada menatap wajah Habib, suaminya, dengan gundah. Dia terduduk di atas sofa. Sebuah buku neraca perhitungan untung rugi terhampar di atas pangkuannya.
"Aku tidak senang dengan perhitungan tentang tanah milik munshi. Ada sesuatu yang tidak cocok di sini." Habib mendongak memandang istrinya sekilas dari seberang ruangan.
"Tapi kau senang pada Sikander, kan"" Shahzada memberanikan diri.
Kepala Habib menegang sesaat, tapi dia segera menunduk kembali, membuka-buka halaman buku, dan menandai salah satu sudutnya dengan pena emasnya.
"Menurutku, putri kita akhirnya telah menemukan jodohnya," kata Shahzada mencoba lagi. Dia merasakan sebentuk keinginan yang mendesak untuk terus mengajukan masalah ini karena melihat tatapan aneh di sorot mata suaminya. Dia sadar bahwa sang suami sedang menyembunyikan pikirannya di balik buku perhitungan bisnis yang dipangkunya itu.
"Begitu menurutmu"" Habib balik bertanya, menoleh ke arah istrinya dan melemparkan pena emasnya ke atas meja di hadapannya.
"Ya," Shahzada menjawab dengan tegas. "Tidakkah kau lihat, Habib Sahib, pancaran mata putrimu saat dia kembali dari mela, dan reaksinya begitu bertemu dengan pemuda itu" Dia tidak pernah bertingkah seperti itu sebelumnya." Dengan mengabaikan sorot mata dingin suaminya yang sedingin pegunungan Kashmir itu Shahzada dengan berani bersikukuh, "Menurutku, pemuda tampan ini akan menjadi takdir putri kita...."
Seketika dia berhenti berbicara begitu suaminya menendang meja kayu kecil di depannya dan berdiri tegak. Sosok yang tinggi menjulang ini tampak menatap ke bawah ke arahnya, membiarkan buku perhitungan dagang itu terjatuh ke lantai marmer dengan suara keras.
"Aku belum memutuskannya." Dia berbicara dengan nada marah. "Sudah jelas bahwa kau dibuat mabuk olehnya. Bajingan penipu itu lebih memedulikan biskuit daripada menghormati putriku dan memberi perhatian yang pantas didapatkan Zarri Bano. Lelaki itu nyaris tidak memandang ke arah Zarri Banoku, Shahzada! Belasan lelaki bertekuk lutut pada putriku sejak dia masih remaja, dan mereka bahkan tidak peduli meski tidak melihatnya dengan jelas. Aku tersinggung dengan sikap seperti itu!"
"Namun, bagaimana dengan putrimu" Tidakkah kau lihat pancaran matanya"" Shahzada memohon.
"Ya, aku melihatnya." Habib menggerundel kesal. "Itu semakin menambah alasan bagiku untuk lebih waspada. Aku adalah kepala keluarga ini dan aku akan memutuskan apa yang terbaik untuk Zarri Bano. Aku tidak menyukai lelaki ini, Shahzada."
"Habib, kau terlalu bersikap protektif. Aku harus mengatakan padamu, Zarri Bano putri kita tampak sangat menyukainya. Kau pasti sudah melihat reaksinya di depan lelaki itu. Tidakkah kau lihat betapa dia "
"Lelaki ini memiliki kekuatan untuk menyakiti putri kesayanganku. Aku merasakan itu di dalam nadiku!" Habib menjawab kesal dengan memotong pembicaraan sang istri.
"Aku tidak akan membiarkan siapa pun melakukan apa saja yang menyebabkan dia sakit hati atau menghinanya dengan cara apa pun. Kau lupa, Shahzada, dalam trah kita, takdir diciptakan dan ditentukan oleh kita. Aku yang menentukan apabila lelaki ini akan menjadi takdir putri kita atau bukan."
"Tidak, Habib, jangan!" Shahzada memohon, kata-kata sang istri bergema di dalam ruangan kosong karena Habib langsung melangkah ke luar seraya membanting pintu kayu yang berat di belakangnya.
Shahzada menerawang ukiran di balik pintu itu dan merasakan semacam firasat buruk.
2. CHAUDHARANI KANIZ baru saja kembali dari liburan selama dua minggu di tempat peristirahatan Murri di perbatasan Kashmir. Dia juga dalam perjalanan mengunjungi dua saudarinya yang sudah menikah dan tinggal di Lahore, di Provinsi Punjab.
Sela in karena panasnya musim panas di Sindu yang menyengat, dia merasa senang berada dekat kampung halamannya. Dia mengharapkan putranya, Khawar, baik-baik saja dan bahwa segala sesuatunya berjalan lancar di rumahnya yang dititipkan kepada pelayannya, Neesa.
Di dalam benak Chaudharani Kaniz, seorang rishta atau calon mempelai yang cocok yang sudah diperkenalkan kepadanya oleh adiknya, Sabra, di Lahore, akan menjadi calon istri yang hebat bagi Khawar. Seorang gadis yang menarik dan sangat berpendidikan, tetapi yang terutama adalah dia datang dari sebuah keluarga kaya raya dengan reputasi dan latar belakang yang baik. Satu-satunya ganjalan adalah tidak jelas apakah si gadis dan keluarganya akan menganggap lamarannya pantas untuk diterima. Pikiran tentang hal itu tertancap di dalam benak Kaniz bagaikan sebatang duri: mungkinkah seorang gadis kota dari kalangan menengah yang berpendidikan dari Lahore mampu menikmati keberadaannya di tempat terpencil, sebuah desa asli di Sindu yang panas"
Itu adalah sebuah masalah, dan masalah yang sangat besar! Karena kenyataannya sangat mudah dipahami bahwa di antara para perempuan dari Lahore hanya sebagian kecil yang menyukai kehidupan pedesaan, tidak peduli fasilitas apa pun yang ditawarkan. Bahkan masalah listrik sekalipun, video recorder, dan penyejuk udara bukanlah kompensasi yang pantas bagi kehidupan malam yang riuh rendah, dunia hiburan, dan fasilitas belanja yang ditawarkan oleh ibu kota tua Pakistan itu.
Dilahirkan dan dibesarkan di wilayah pedesaan membuat Kaniz sendiri tidak memedulikan gaya hidup kota besar sedikit pun. Saat diberi pilihan untuk menikahi seorang lelaki yang "biasa", tetapi berasal dari satu keluarga kota, atau tinggal di sebuah desa dan menikahi seorang tuan tanah kaya raya, Kaniz tanpa pikir panjang telah memutuskan untuk meraih kehormatan menjadi istri seorang zemindar. Dia diberkahi akal sehat dan kecerdikan sejak usia muda, diiringi hasrat untuk menjadi kaya raya yang ada padanya sejak lahir. Kaniz berpikir bahwa dia sangat tolol jika menampik tawaran seperti itu!
Menjadi seorang chaudharani dan memegang kekuasaan sebagai ratu rumah tangga di dalam sebuah hierarki desa yang saling mendukung satu sama lain adalah sebuah kesempatan yang tidak akan datang ke depan pintu orang setiap hari. Dia sudah melakukan tujuh puluh nafi sujud syukur pada Allah karena telah menganugerahkan kismet yang sedemikian bagus untuknya. Karena itu, Kaniz sama sekali tidak merasa bimbang untuk menetap di desa itu selamanya.
Daya tarik dan kemegahan kehidupan kota yang menyesatkan telah gagal menjeratnya. "Dengan berhektar-hektar tanah atas namanya dan hasil panen melimpah yang dihasilkannya, kau dan suamimu, Sarwar, tidak akan pernah kekurangan apa pun," demikian sang ibu mencekokinya dengan penuh semangat. Dia tidak harus diberi tahu bahwa mimpi materialistisnya yang terhebat akan terwujud dan memang begitulah yang terjadi.
Satu-satunya yang membahayakan dan terus-menerus terasa menyakitkan hingga hari ini adalah kenyataan bahwa suaminya ternyata sempat ditolak oleh seorang perempuan desa lainnya sebelum Kaniz muncul dalam kehidupannya. Dia hanyalah menjadi pilihan kedua lelaki itu. Ini adalah duri dalam daging, ular berbisa di tengah taman mawar, yang berdampak seperti penyakit kanker dalam kehidupannya, dan dia tidak mampu mengusir perasaan itu.
Di tahun-tahun pertama, dia benar-benar dibuat merana karena dijuluki sebagai "Chaudharani Kedua", mengingat semua orang mengetahuinya dan merupakan fakta tak terbantahkan bahwa Shahzada adalah pemilik tanah lokal pertama yang paling berpengaruh. Ketika Habib Khan dan Chaudharani Shahzada pindah ke kota terdekat, Tanda Adam, sepuluh tahun yang lalu, Kaniz merasa bersukacita. Hanya si lelaki tua, Siraj Din, yang tetap tinggal di hawali-nya yang luas di desa itu. Sampai saat itu, Shahzada, sebagai menantu tertua Siraj Din, tanpa disadarinya dan dengan lugu telah merampok semua pusat perhatian dari Kaniz yang malang.
Sekarang, hanya Kanizlah satu-satunya chaudharani di desa itu dan dia tidak pernah membiarkan seorang pun melupakan kenyataan itu
! Dengan perilakunya yang angkuh dan tinggi hati, dia menjaga jarak dengan sebagian besar penduduk desa. Itu semua akibat dia begitu terpengaruh oleh pepatah kuno yang mengatakan, "jangan pernah terlalu dekat dengan para pelayan dan tetanggamu". Bagaimana lagi dia dapat mempertahankan posisi khususnya dan kekuasaannya atas semua orang, pikir Kaniz, jika dia harus mengelus bahu setiap orang" Tanpa kekuasaan yang dimilikinya, dia bukanlah siapa-siapa!
Kaniz tersentak ke belakang saat mobilnya melaju keluar dari jalan raya ke jalan tak beraspal yang mengarah ke Chiragpur. Dengan senang hati, dia memperkirakan bahwa akan ada banyak orang yang menyadari kedatangannya. Malam ini, seluruh isi desa akan tahu bahwa Chaudharani Kaniz sudah kembali, karena hanya ada empat mobil di desa itu: mobil Kaniz, mobil Siraj Din, dan dua mobil lagi milik keluarga orang kaya baru yang mulai mengumpulkan kekayaannya karena anak laki-laki mereka pergi bekerja di Timur Tengah. Mula-mula sebuah kulkas raksasa, lalu sebuah video, dan akhirnya mereka mendapatkan kemajuan yang berarti dalam mempertontonkan kekayaan mereka lewat sebuah jip baru!
Kaniz memalingkan kepalanya dengan satu dengusan, sebuah cibiran mencemooh terukir di mulutnya yang indah. Jip dan video tidak akan mengubah garis keturunan. Dia dan keluarganya memiliki latar belakang sekaligus kekayaan. Barisan mobil mengilap tidak mampu membuat shan mereka terselimuti!
Jalanan yang berdebu itu membelah ladang sayuran nan hijau sepanjang satu mil. Kaniz membuka kaca jendela mobilnya dan menghirup udara segar pedesaan dengan nikmat. Betapa senangnya pulang kampung!
Setengah mengantuk, matanya menangkap sosok seorang lelaki di atas seekor kuda putih. Apakah itu Khawarnya" Dia adalah satu-satunya lelaki dengan seekor kuda putih di wilayah itu. Tanpa kacamatanya, dia tidak dapat betulbetul mengenalinya dari jarak sejauh itu. Sambil mengerutkan keningnya, dia mencoba mengenali sosok lainnya yang sedang bersamanya. Itu adalah seorang perempuan muda, berjalan beberapa meter di depan Khawar. Kaniz melihat perempuan itu berlari dan jatuh ke tanah, tenggelam di dalam ladang kembang kol yang rimbun.
Putranya melompat turun dari kudanya dan menolong perempuan itu berdiri. Khawar kini sedang berbincang-bincang dengannya dan gadis itu membalasnya sebelum membalikkan tubuh untuk pergi berlalu. Sambil menarik tali kekang kudanya, Khawar mulai berjalan pulang dengan gadis itu menuju desa.
Siapakah gadis bodoh itu" Kaniz bertanya-tanya dengan geram. Mengapa putranya harus berperilaku sedemikian idiot" Tidak benar seorang bujangan sepertinya berduaan di ladang asyik mengobrol bersenda gurau dengan seorang gadis, bahkan meskipun itu tidak disengaja. Itu adalah tindakan yang paling tidak patut dilakukan, mengingat reputasinya dan terutama reputasi perempuan itu. Kaniz harus mengingatkannya tentang kepatutan dan sopan santun yang berlaku di desa itu begitu dia sampai di rumah nanti. Chiragpur adalah sebuah desa kecil dan izzat, seorang gadis atau kehormatannya, adalah harta yang sangat tak ternilai.
Kaniz terus mengawasi mereka ketika dilihatnya si gadis mempercepat langkahnya. Lalu dia tampak membalikkan tubuhnya untuk mengatakan sesuatu pada Khawar. "Perempuan murahan!" Kaniz berdesis sambil menahan napas.
Khawar tampak berhenti mengikuti gadis itu. Dia kembali naik ke punggung kudanya dan melecut kudanya ke arah lain. Putranya itu masih saja tidak melihat mobil ibundanya dijalan.
Gadis itu kini sampai di jalan dan berjalan searah dengan mobil Kaniz menuju desa. Dia menoleh ke belakang untuk melihat mobil, tepat saat Kaniz sedang melongok ke luar jendela, dengan tubuh condong ke luar karena rasa penasarannya tentang identitas si gadis. Begitu mobilnya melintas, Kaniz menjatuhkan diri ke jok dengan wajah terbakar oleh panas yang tiba-tiba menyengat.
Firdaus! Anak perempuan tukang cuci itu! Anak perempuan musuhnya! Bagaimana mungkin putranya bisa melakukan hal seperti ini padanya"
"Betapa memalukan. Rubah betina itu! Aku menduga dia sudah menancapkan cakarnya pada diri putraku," umpat Kaniz, tersedak oleh kemurk
aannya. "Lihat saja nanti. Aku akan menghentikan hubungan ini sejak awal. Jika tidak, jangan sebut aku Kaniz!" Dia berikrar seraya menyekakan tangan ke wajahnya, dari dahi hingga dagu, dengan bahasa tubuh orang desa yang mengisyaratkan tantangan pribadi. "Diam-diam bertemu putraku di ladang! Gushty!Pelacur!"
* * * Putra Kaniz tidak pulang ke rumah sampai malam tiba. Saat itu Kaniz sudah membiarkan dirinya mengumbar angkara murkanya. Bara kebencian terhadap gadis itu telah membuatnya mencecar si pengurus rumah, Neesa, begitu dia melangkahkan kakinya di pintu depan.
"Ke mana saja putraku menghabiskan waktunya, Neesa"" cecarnya. "Tampaknya, dia mengeluyur terus selama aku tak ada. Seperti yang dikatakan orang tua zaman dulu, 'Ketika kucing pergi, rumah jadi dipenuhi cecurut'. Dalam hal ini, ketika ibunya pergi...."
"Ia pulang pergi sepanjang waktu, Nyonya. Mengerjakan bisnisnya, saya rasa," seketika Neesa menjawab. "Anda pasti sangat lelah. Apakah Anda ingin berbaring" Saya akan membangunkan Anda saat tuan muda pulang."
"Tidak, Neesa. Aku tidak dapat beristirahat sampai aku bertemu Khawarku. Aku seorang janda dan menanggung semua tanggung jawab sendirian. Karena itu, aku harus benar-benar mengetahui semuanya. Jika kau sudah mengetahui sesuatu tentang perilaku putraku, kau wajib memberitahukannya padaku, Neesa. Dia adalah putraku satu-satunya. Aku harus selalu siaga setiap saat demi kebaikannya."
"Ada masalah apa, Nyonya"" takut-takut Neesa bertanya, merasa penasaran untuk mengetahui sumber amukan Chaudharani-nya. "Adakah sesuatu yang telah terjadi""
"Tidak, tidak ada apa-apa. Kau boleh pergi sekarang. Panggil Khawar untuk menemuiku saat dia datang." Kaniz meminta pengurus rumah tangganya pergi.
Neesa menatap punggung majikannya selama beberapa detik, kemudian perlahan dia berlalu meninggalkan ruangan itu. Kaniz bukan seorang perempuan yang menyenangkan untuk dijadikan atasan dalam bekerja. Dia tidak hanya angkuh, tapi juga kejam. Dia jarang sekali memuji dan hanya mengharapkan segala sesuatunya dikerjakan dengan standar kualitas tertinggi. Dia memelihara jarak dengan semua pelayannya, termasuk Neesa pengurus rumah tangganya selama dua puluh sembilan tahun. Mengingat Neesa adalah bawahannya, Kaniz merasa tidak pantas baginya "menghargai" Neesa dengan kepercayaan.
Neesa menarik napas panjang dan kembali melakukan aktivitas bersih-bersihnya. Dia harus mengecek kembali setiap kamar dan setiap pilar, untuk memastikan tidak ada lagi debu dan sarang laba-laba, berjaga-jaga seandainya dia melewatkan satu celah sekalipun. Sebagai seorang pemilik rumah yang rapi dan obsesif, Nyonya Kaniz tentu saja akan terus-menerus mencolekkan jarinya ke setiap permukaan perabot dan memeriksa semua daun jendela untuk melihat ada tidaknya debu, sebelum dia pergi tidur. Itu adalah tugas yang selalu dengan sangat teliti dilakukannya setiap kali dia baru pulang dari bepergian meski dia sedang dalam keadaan sangat lelah sekalipun.
Majikannya sedang dalam suasana hati yang buruk. Neesa tidak ingin memberinya alasan lain untuk melampiaskan amarahnya padanya kali ini. Dengan sukarela, dia mengambil kain lap dan tongkat boker-nya lagi.
* * * Khawar, pemuda berusia dua puluh enam tahun dan ahli waris semua kekayaan duniawi ibundanya, menemukan Kaniz sedang bersandar pada setumpuk bantal di atas sofa di depan televisi. Dia sedang menonton sebuah film video sebuah film yang baru dirilis dari Bollywood, India.
"Assalamu 'alaikum, Ibu. Aku tak mengira Ibu sudah pulang. Kupikir Ibu akan kembali minggu depan." Khawar menyapanya, membungkuk, dan menciumnya dengan hangat di kening.
"Ya, begitulah. Aku sudah menunggu kau pulang selama berjam-jam, Anakku. Dari mana saja kau" Kuduga kau sudah bersenang-senang di ladang dengan kudamu, atau sedang mengadakan sebuah pertemuan penting, mungkin"" Kaniz memancing-mancing.
"Aku tadi mengadakan perundingan harga dengan chaprassi kita untuk minggu depan, Ibu, dan memeriksa mesin penumbuk tepung." Dia menjawabnya dengan kalem, memilih mengabaikan suasana hati ibundanya yang tampak sedang kesal.
"Aku tadi melihatmu," tukas Kaniz
. Suaranya direndahkan. Matanya yang gelap berbentuk kacang almond itu kini bersinar jahat di wajah putihnya.
"Di mana"" Khawar menyelusupkan badannya ke dalam sofa di samping ibunya. Kaniz menoleh untuk memeriksa dari dekat rona muka putranya, mencari tanda perasaan bersalah.
"Di tengah ladang dengan gadis itu!" ujar Kaniz ketus. Bola matanya mengecil dan menipis tajam.
"Apa maksud Ibu dengan 'gadis itu'"" tanpa takut-takut Khawar balas menatap tajam ke arah mata ibunya.
"Tampaknya, kau begitu asyik masyuk dengan anak perempuan tukang cuci itu sehingga kau bahkan tidak melihat mobil ibumu melintas."
"Aku bukan sedang asyik masyuk, Ibu. Ayolah! Firdaus terjatuh dan aku membantunya berdiri. Itu saja." "Tidak, kau tidak hanya membantunya berdiri! Aku menyaksikannya. Kau berjalan dan berbincang mesra dengannya."
"Ada apa ini, Ibu"" Khawar bergerak gelisah di atas sofa. "Sebuah penyelidikan" Lalu memangnya kenapa jika aku berbincang dengannya! Dia seorang warga desa, lagi pula, aku sudah bermain dengannya sejak kecil. Berbincang dengannya bukanlah suatu kejahatan, bukan" Aku hanya bertanya padanya tentang sekolah. Ibu ingat kan, aku adalah anggota panitia pengelola sekolah."
Kaniz mendengarkannya dengan sabar sebelum berbicara padanya dengan nada datar. Dia tak akan bisa menerima jika putranya menganggap remeh ucapannya atau bahkan salah memahaminya: Oleh karena itu, dia terdorong untuk mengutarakan semuanya pada Khawar. "Aku ingin kau menjauhi perempuan itu," ujarnya. "Aku tidak ingin kau menjalin hubungan apa pun dengannya, tidak juga dengan keluarganya. Terlalu memalukan bagi seorang tuan tanah yang kaya raya dan dibesarkan dengan baik mengejar-ngejar seorang anak perempuan tukang cuci."
Tidak sanggup lagi menerima hinaan dan cacian ibunya, Khawar bangkit berdiri dan menghela napas dengan berat.
"Firdaus adalah seorang wakil kepala sekolah, Ibu! Mengapa Ibu selalu dengan mudah meremehkan kenyataan itu" Ibu senang menghinanya dengan menjulukinya sebagai 'anak perempuan si tukang cuci'! Kenikmatan apa yang Ibu dapatkan dengan menghinanya" Dia bukan anak perempuan tukang cuci!"
"Menurutku dia memang begitu. Dan aku tidak mendapatkan kenikmatan apa pun, anak nakal! Aku sedang memberitahumu, Anakku, untuk tidak menodai nama baik kita dengan berhubungan dengan mereka. Lagi pula, aku sudah mendapatkan jodoh yang tepat untukmu, di Lahore, seorang perempuan yang sangat cantik dan terpelajar. Bibimu Sabra sudah bersusah payah demi kamu."
"Biar saja." Khawar bersiul pelan, melepaskan ikatan amarah yang mencekiknya. Dengan bangga, sebagaimana sang ibu, ia tidak mampu menahan diri untuk tidak bersikap angkuh dan zalim. "Ibu dan Bibi Sabra bisa melakukan apa pun yang kalian suka dengan perempuan-perempuan 'Lahore' ini," sahutnya dingin. "Jika menginginkannya, aku bisa saja menikahi gadis itu anak perempuan tukang cuci itu dan tidak ada satu pun yang bisa kau lakukan untuk menghentikanku, Ibu." Dia memberi tatapan tajam ke arah ibunya dan tidak lagi berseloroh padanya.
Dengan mulut indahnya ternganga lebar, Kaniz menyaksikan putranya berlalu keluar dari kamar dengan marah. Satu-satunya yang mencegahnya menjadi histeris diperlakukan seperti itu adalah kesadaran bahwa Khawar hanya menggertaknya. Kaniz berpikir bahwa Khawar hanya mengatakan itu semua untuk membalasnya. Anak itu menyadari kewajibannya dan tidak akan melakukan sesuatu yang tak termaafkan seperti yang dikatakannya itu!
Dengan benak yang lebih tenang, Kaniz perlahan menutup mulutnya. Menepuk-nepuk tumpukan bantal di bawahnya, merentangkan tungkai-tungkainya yang besar dan panjang di atas sofa, dan menikmati lagi film yang sedang ditontonnya. Sekarang dia sudah sampai mana" Oh, ya. Si pemeran utama pria, Shahrukh Khan, baru saja jatuh cinta pada saudara si pemeran utama perempuan.... Tangan Kaniz menggapai piring yang berisi dendeng.
Begitu dia mulai masuk ke dalam plot film itu, Kaniz terganggu Neesa yang muncul tergopoh-gopoh, memberi tahu bahwa Mansur, lelaki desa penjual melon, sudah berada di gerbang rumah menunggu pesanan mereka. "Tidak, Neesa! Katakan padanya untuk melem
parkan buah-buahan busuknya ke sumur desa. Aku sedang tidak menginginkan buah-buah melonnya yang sedang tidak musim itu."
Dengan suasana malam yang kini sepenuhnya kelabu, Kaniz meminta Neesa memanggil Kulsoom, mak comblang desa, untuk datang ke rumah. Setelah gagal dengan upayanya menyatukan putra kesayangannya dengan Zarri Bano, sekarang dia siap memulai kembali dari awal. Zarri Bano yang angkuh itu telah menyatakan diri tidak menginginkan hidup di desa, dan, dia juga berkeras bahwa Khawar hanya menjadi seperti seorang kakak baginya.
"Baiklah," Kaniz mendengus dengan kesal. Perempuan itu juga terlalu gemerlap, terlalu terpelajar, dan keras kepala untuk seleranya. Kini Ruby yang pemalu menjadi masalah lainnya.... Kini ingin Kulsoom mencari tahu dari Habib Khan andai saja dia akan memperbolehkan Kaniz melamar anak perempuannya, Ruby, sebagai calon pengantin bagi Khawar.
Begitu Kaniz mencoba meraih ludoo lain dari atas piring dan melemparkannya ke dalam mulutnya, tiba-tiba saja terlintas bayangan Firdaus dan putranya, dan itu nyaris membuatnya tersedak. "Tidak akan pernah!" jeritnya dalam hati. "Langkahi dulu mayatku!"
3. BABA SIRAJ DIN, ditemani oleh asistennya yang setia sekaligus sopirnya, Waris, secara resmi memutuskan untuk mendatangi rumah putranya, Habib, untuk mendiskusikan masalah rishta cucu perempuannya, Zarri Bano. Begitu mobilnya sampai di halaman depan berlantai marmer di vila Habib yang megah, Siraj Din menunggu dengan sabar hingga sopirnya membantunya keluar dari jip. Sambil menggenggam erat tongkat gadingnya dengan satu tangan, dia meraih tangan Waris untuk turun dari kursinya. Dia menegakkan mantel wol hitamnya yang panjang dan membenahi serbannya agar pas lipatannya di atas kepalanya. Dia selalu mengunjungi putranya dengan berdandan formal, "Penampilan itu sangat berarti," itu yang selalu dipesankannya kepada putra-putra dan cucu-cucunya.
Tongkat gadingnya menyuarakan bunyi ketukan di atas lantai marmer putih susu itu, sementara Siraj Din menaiki tiga anak tangga di beranda yang mengarah ke dua pintu geser. Dia pun menekan tombol bel di dinding dan menunggu dengan tak sabar.
Fatima keluar dari dapur. Sambil mengelap tangannya yang basah ke ujung celemek yang dipakainya, dia berjalan tenang ke arah ruang tengah untuk melihat siapa yang berani memencet bel selama itu. Begitu dia menangkap bayangan sesosok lelaki tua yang berdiri di luar pintu kaca yang jernih, dengan kepala yang tinggi tegak sambil mengawasinya dengan tatapan mata dingin, Fatima terbirit-birit mendekati pintu. Dari balik bahunya, dia berteriak kepada majikannya, Shahzada, "Sahiba Jee, Baba Siraj Din datang!"
"Bismillah! Bismillah, Baba Jee!" Fatima menyambutnya, seraya menggeser pintu hingga terbuka sepenuhnya. Secepatnya dia memberi jalan dan merundukkan kepalanya di hadapan lelaki tua itu sebagaimana yang selalu dilakukannya. Dengan berwibawa, Siraj Din mengusap pelan kerudung di kepala Fatima sebelum dia berjalan memasuki ruang tengah.
Shahzada, menantu perempuannya yang tertua, telah mendengar teriakan Fatima. Siraj Din melihatnya bergegas keluar dari ruang tamu memegangi chador-nya kuat-kuat di kepalanya, sambil diam-diam menyelempangkan ujung lainnya ke sekeliling bahunya hingga menutupi dadanya. Dengan pandangan hormat yang hanya ditujukan ke mantel ayah mertuanya dan dengan pipi merona ceria, Shahzada berdiri di depan ayah mertuanya yang terhormat. Perlahan-lahan dia menaikkan kepalanya menghadap tangan Siraj Din yang terangkat. Lelaki tua itu meletakkan tangannya sejenak di atas kepala Shahzada, dan kedamaian menyeruak hatinya. Ini adalah kepala yang tidak pernah membuatnya jenuh untuk menepuknya. Kepala milik menantu perempuan kesayangannya, kebahagiaan dalam hidupnya setelah istrinya, Zulaikha, wafat.
"Assalamu 'alaikum, Aba Jan, " dengan gugup Shahzada menyapa ayah mertuanya, sambil mencemaskan chador sutra akan merosot dari posisinya yang tidak pas di atas kepalanya dan akibatnya akan terjadi skandal memalukan karena kepalanya akan terlihat oleh ayah mertuanya. "Kami tidak mengira Anda akan datang, Baba Jee," dengan gemetar
dia mencoba menjelaskan. "Wa 'alaikumussalam," Siraj Din membalas salam sebelum melangkah mendahului mereka memasuki ruang tamu, seraya bertanya sambil lalu, "Apakah Habib ada di rumah""
Shahzada membuntuti dua langkah di belakang ayah mertuanya saat dia memasuki ruang tamu yang besar. Fatima sudah terlebih dahulu melesat memasuki ruangan itu untuk menyiapkan takkia, atau bantal tebal, di atas sofa. Siraj Din tersenyum menghargai Fatima yang sedang menyusun tumpukan bantal krem bersarung brokat dengan sedemikian tingginya. Dia benar-benar tidak menyukai sofa-sofa modern. Hatinya masih saja merindukan palang, tumpukan kasur, dan bantal tradisional mewah yang menghiasi ruang-ruang utama di zaman dahulu. Namun, palangtidak cocok dengan perabotan lainnya di ruang tamu modern. Perabot seperti itu sudah dipindahkan ke ruang-ruang yang kini diberi nama "kamar tidur".
Mata Siraj Din bergerak ke arah lampu tinggi di satu sudut. Gorden panjang dengan bahan brokat dan talinya yang sepadan, ditarik dari dinding ke dinding jendela pendopo. Mereka kemudian duduk menghadap tiga buah meja marmer berat yang ditempatkan di antara dua buah sofa besar yang mewah. Ada banyak tempat duduk di ruangan itu yang cukup untuk dua puluh lima orang, Siraj Din mengingat kembali ke belakang. Mengetahui selera ayahnya soal perabot, Habib secara khusus membeli sebuah sofa peraduan yang elegan dari sebuah toko berkualitas di Karachi yang serasi dengan perabot mewah lainnya, termasuk karpet sutra yang sepenuhnya menutupi lantai marmer rumahnya.
Shahzada sejenak meninggalkan ayah mertuanya sendirian saat dia masuk ke dapur untuk memberi tahu koki keduanya agar menyiapkan hidangan spesial untuk Sahib Siraj Din dan agar dia membubuhkan sedikit bubuk cabe merah ke dalam hidangan berkaldu. Fatima juga sedang berada di dapur untuk menyiapkan sebuah hookah untuk Siraj Din, dengan tembakau segar yang disusun rapi di antara butiran batu bara di dalam topee. Ketika Shahzada kembali, Habib sudah menemani ayahnya membicarakan perundingan bisnis yang berkaitan dengan tanah mereka. Siraj Din bertanya pada putranya apakah cukup pantas menjual sebagian tanah di kampung halamannya, Chiragpur, kepada tuan tanah lainnya, Khawar.
"Sulit bagiku mengelola segala sesuatu dalam hidupku sekarang ini," keluh lelaki tua itu padanya. "Kau dan Jafar sudah cukup bersusah payah dengan tanah di sekitar sini. Ya, menurutku, aku akan membiarkan Khawar muda itu membeli sejumlah tanah di sana. Dia seorang pemuda yang pintar dan akan memelihara tanah itu dengan baik. Aku tidak ingin menjualnya kepada orang lain selain dia."
"Aku sepakat denganmu, Ayah. Zarri Bano sedang berpikir untuk membuka sebuah perusahaan penerbitan di Karachi, dengan bantuan Jafar. Jadi, dengan keterlibatan putraku di bisnis tersebut, aku merasa tidak akan punya cukup waktu untuk mengawasi kedua lahan di Tanda Adam sini dan di Chiragpur."
"Mana Zarri Bano"" Siraj Din bertanya pada menantu perempuannya saat Shahzada duduk di samping suaminya. Dia sudah disambut Jafar dan cucu bungsunya, Ruby.
Habib melemparkan sorot mata bertanya ke arah istrinya. Siraj Din juga memusatkan sepasang mata hijaunya, seperti putranya, ke wajah menantu perempuannya. Pancaran mata Shahzada menunjukkan kegentaran di depan
mereka berdua. Dengan salah tingkah, dia memainkan gantungan di ujung renda chador-nya, dengan tegang Shahzada menunggu Habib yang menjelaskan.
Beberapa detik berlalu. Habib tidak juga menjelaskan.
Dengan alis cokelat tebalnya yang berbentuk segitiga tampak terangkat di atas hidung elangnya, Siraj Din kini terpana menyaksikan keheningan.
Menyadari Habib sengaja berdiam diri, Shahzada terpaksa harus menjelaskan. Dia paham: ini adalah pembalasan Habib terhadap reaksinya membiarkan Zarri Bano pergi ke Karachi mendatangi rumah Sikander.
"Dia sedang berada di Karachi," jawab Shahzada dengan suara pelan dan datar.
"Apa yang sedang dilakukannya di sana"" tanya Siraj Din dengan nada tajam, yang segera saja menyadari bahwa hampir semua anggota keluarga ada di rumah itu. Cucu tertuanya pasti pergi sendirian.
Sebuah keheningan yang ganj
il merebak. Tatapan Siraj Din yang penuh tanya berpindah-pindah dari putranya ke menantu perempuannya. Sebuah ketegangan yang tersembunyi di ruangan itu menyiratkan padanya tentang adanya sesuatu yang salah sedang terjadi. Pasangan yang duduk di hadapannya itu tampak tertunduk seperti sedang saling menunggu. Masing-masing dari mereka tampak saling ingin melempar tanggung jawab untuk menjelaskan masalah Zarri Bano.
Shahzada yang pertama memandang takut-takut ke arah ayah mertuanya lalu ke arah suaminya, hatinya terpuruk saat melihat kekejaman yang sesungguhnya di mata suaminya tercinta, Habib. Dengan tabah, dia menerima kenyataan bahwa Habib sedang dalam suasana hati yang bengis dan tak mau kompromi.
"Zarri Bano sedang berkunjung ke rumah Sikander." Dia mengabarkan berita itu sambil memindahkan gelas-gelas minum ke atas baki. "Keluarga Sikander menginginkannya datang dan mengunjungi rumah mereka." Suara Shahzada membahana dalam keheningan ruangan itu. Seketika itu juga dia merasa sangat membutuhkan udara segar dari halaman belakang rumah mereka.
"Apakah kau sedang mengatakan padaku, Shahzada, bahwa cucu perempuanku yang masih muda dan perawan itu telah pergi sendirian untuk tinggal di rumah sebuah keluarga asing dan dengan ditemani seorang pemuda bujangan"" kata-kata Siraj Din merobek telinga Shahzada bagaikan satu lecutan cambuk. Ayah mertuanya tidak pernah berbicara padanya dengan nada suara ketus ataupun dengan diiringi sikap yang seperti itu.
"Aku tidak melakukan kesalahan apa pun!" tukas Shahzada. Hatinya bergetar oleh kemarahan. Teringat akan sorot mata tajam putri sulungnya, Shahzada memberanikan diri untuk menatap langsung mata ayah mertuanya; dia juga merasa yakin bisa berbicara lantang di hadapan orang yang paling dituakan di keluarga besar mereka itu.
"Aba Jan, " dia berkata pelan-pelan. Dia selalu memanggilnya dengan kata yang berarti 'Ayah' itu. "Zarri Bano sudah pernah tinggal sendirian di Karachi di sebuah pondokan, seperti yang Anda ketahui, saat dia kuliah di universitas. Lagi pula dia akan tinggal di Karachi karena perusahaan penerbitan yang ingin dibangunnya. Dia adalah seorang perempuan dewasa berusia dua puluh tujuh tahun. Dan dia tidak berangkat sendirian. Jafar berangkat bersamanya. Orangtua Sikander memintanya tinggal beberapa hari lagi. Kupikir itu bagus untuknya agar lebih mengenal Sikander dan keluarganya sebelum dia menikahinya." Shahzada dalam hati membebaskan jiwa pemberontaknya yang baru saja menyeruak dengan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia melakukan itu semua demi anak perempuannya.
"Oh, begitu," komentar lelaki tua itu dengan nada suara pelan yang mengancam. "Dan itu artinya dia tinggal di rumah yang sama, bukan" Menghabiskan waktu dengan seorang pemuda dua orang yang bukan sedarah atau memiliki pengesahan apa pun yang mengikat mereka" Sejak kapan kau menjadi begitu tidak bermoral"" suara Siraj Din melecut Shahzada.
Tercekat mendengar penghinaan langsung yang diucapkan ayah mertuanya dan kata-kata yang begitu menuduh, darah mengalir deras ke pipi Shahzada.
Dengan mengetukkan tongkatnya berirama ke atas karpet sutra, Siraj Din menunggu menantunya mengatakan sesuatu sebuah permintaan maaf karena kelancangannya dalam berbicara dan menjawab pertanyaannya secara langsung, bukan membiarkan suaminya yang melakukannya. Dan di atas semua itu, dia bahkan kemudian cukup berani untuk membuat pembenaran atas sikapnya pada sang ayah mertua! Sekarang ini Siraj Din murka sekali terhadap menantu perempuan kesayangannya. Menunjukkan kekecewaannya yang mendalam, dia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Ini bukan Shahzada yang pernah dikenal dan dicintainya.
Shahzada melemparkan tatapan tak berdaya ke arah sang suami. Dia sangat mengharapkan dukungannya, berharap Habib akan mengatakan sesuatu untuk membelanya. Namun, Habib, dengan sorot mata sedingin sorot mata ayahnya, tetap terdiam dengan penuh wibawa di sampingnya.
Tiba-tiba saja Shahzada kembali merasa sangat tertekan dan ingin segera keluar dari keadaan yang memojokkannya itu. Dia bangkit, tetapi kata-kata Siraj Din kembali membuatnya te
rpaku di sofa. "Shahzada, aku tahu bahwa aku tak lebih dari seorang lelaki tua dan aku akan segera menjadi uzur di tengah dunia yang terus berubah ini. Hari demi hari kita terus diserang oleh nilai-nilai Barat, lewat satelit dan acara-acara televisi. Namun, aku harus berkata bahwa trah-ku belum seterpuruk itu untuk menjadi 'maju' yang keblinger, yang rusak moralnya, sehingga kita akan membiarkan anak-anak perempuan kita yang cantik dan belum menikah tinggal di rumah orang-orang asing tanpa pengawalan. Bersama dengan luasnya tanah kita, istri kita, dan anak-anak perempuan kita, ada izzat kita kehormatan kita dan itu adalah sesuatu yang paling berharga di dalam kehidupan kita. Kita tidak akan pernah kompromi mengenai perempuan kita dan izzat kita! Tidak peduli dalam zaman apa pun kita hidup, tidak peduli apa yang sudah didiktekan dunia pada kita; tidak peduli dusta-dusta setan yang seperti apa pun di luar pintu rumah kita. Bahkan, jika kau mempersembahkan, melupakan, atau mengambil bagian di dalam sopan santun lainnya di kelas pemilik tanah dari zaman tuan-tuan tanah feodal, kita tidak akan pernah membiarkan kau menodai izzat kita atau kehormatan para perempuan kita, Shahzada."
Dicecar seperti itu, Shahzada tidak berani mengangkat matanya, ataupun membiarkan dirinya berbicara. Dia terpuruk ke dalam kegamangan setelah dipermalukan ayah mertuanya, dengan bahasa tubuh yang menghina dan
memamerkan ketidaksukaannya. Setelah itu, Siraj Din mengusirnya dengan memunggunginya dan bersandar ke sofa besar.
Sambil menggigit bibir bawahnya yang gemetaran, Shahzada menyiratkan rasa sakit hatinya atas pengkhianatan suaminya. Dengan sebuah gerakan kikuk dan dengan memastikan bahwa chador-nya tidak melorot dari kepalanya, perlahan-lahan dia berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan kedua lelaki itu.
4. SIKANDER DAN Zarri Bano sedang berjalan-jalan berduaan sepanjang kebun jeruk di rumah Sikander, di pinggiran Kota Karachi yang subur. Matahari siang sedang bersinar terang di atas mereka.
Saat mereka berjalan bersisian, suasana yang menyelimuti mereka adalah pengharapan dan kegairahan. Sambil mengobrol ringan, keduanya tampak bahagia untuk berkeliling saja di sekitar topik utama di benak mereka, dengan menurutkan kehendak hati dan bersenda gurau.
Ini adalah pertemuan ketiga mereka. Zarri Bano, yang secara khusus diundang untuk mengunjungi rumah Sikander, telah menerima undangan itu dengan anggun. Sikander pada kenyataannya, sebagaimana yang diperkirakan oleh Zarri Bano, kembali ke Tanda Adam untuk mengunjunginya yang kedua kalinya. Kali ini mereka diberi kesempatan menghabiskan waktu sehari penuh berduaan. Dan Sikander tidak mengecewakan Zarri Bano, sebagaimana yang disadari Ruby kemudian.
Setelah makan malam, Sikander menawarkan diri memandu Zarri Bano mengelilingi kebun keluarganya. Kali ini tidak ada orangtua yang mengawal mereka. Mereka tidak diperlukan. Mereka adalah dua orang dewasa yang membutuhkan dan mendambakan komunikasi dan penjajakan terhadap perasaan mereka satu sama lain, sebelum menetapkan takdir mereka berdua.
Mereka sudah berjalan jauh dari rumah besar. Berjalan kaki di antara pepohonan jeruk, Zarri Bano berusaha menggapaikan tangannya untuk memetik sebuah sitrun matang dari batangnya.
"Mari kubantu, Zarri Bano."
Itulah untuk pertama kalinya dia memanggil Zarri dengan nama panjangnya bukan dengan panggilan formal "Sahiba". Panggilan itu terdengar bagaikan musik di telinga Zarri Bano.
Saat Sikander meraih batang pohon itu dan menarik sitrun dari batangnya, tak sengaja dia menyentuh tangan Zarri Bano. Gadis itu terdiam, suatu kesadaran yang ganjil merasuki tubuhnya. Dia menunggu lelaki itu menarik tangannya.
Dia tidak melakukannya. Akhirnya Zarri Banolah yang harus mengentakkan tangannya dengan sangat tersinggung. Zarri menantang Sikander secara langsung. Dengan tangan masih merasakan getaran dari sentuhan jemari Sikander, dia berkata dengan lirih dan emosional, "Sahib Sikander, kita berdua saja di kebun ini dan hanya berbicara berdua. Namun, biar kujelaskan padamu, aku tidak akan pernah mengizinkan siapa pun menjadi sedem
ikian bebasnya padaku. Tak seorang lelaki pun yang pernah menyentuhku atau berani melakukan itu, tidak peduli betapa tak bersalahnya dia."
Sikander menatap Zarri Bano. Sepercik kesedapan membias di matanya. Dia memandang ke arah tangan Zarri Bano lagi. Dia sangat memahaminya!
"Kebebasan apa yang sudah kurampas, Zarri Bano"" dia bertanya dengan suara lembut. "Jika sebentuk kontak fisik yang tak disengaja dari tanganku ini harus dibalas tangkisan kasarmu, kita mungkin sudah salah mengartikan kewajaran situasi ini, atau alasan mengapa kita di sini berjalan berdua, seperti yang kau katakan, seorang lelaki dan seorang perempuan tanpa ikatan di antara kita. Aku sempat mengharap bahwa ada satu tujuan dari jalan-jalan kita ini tujuan untukmu tinggal di rumahku, pada kenyataannya. Itu sebabnya ibu dan adikmu meninggalkanmu di sini, bukan""
Pipi Zarri Bano sontak merona. Dia datang ke kebun ini untuk memberinya jawaban secara pribadi bahwa dia bersedia menikah dengannya, tetapi sekarang, keinginan untuk menundanya meraja dalam diri Zarri Bano. Dia ingin memberi Sikander pelajaran menghukumnya atas kekurangajarannya.
"Kau sudah salah duga, Sahib Sikander. Tidak ada satu tujuan dalam jalan-jalan kita ini. Aku hanyalah seorang tamu di rumahmu dan aku ingin berjalan-jalan mengelilingi kebunmu. Kau menawarkan diri menemaniku. Itu saja." Dia tersenyum sopan pada pemuda itu.
"Baiklah, jika kau berpikir bahwa aku terlalu bebas, Sahiba, dan tidak ada tujuan dari jalan-jalan kita ini, aku akan meninggalkanmu dengan damai. Aku sendiri tidak terbiasa membawa perempuan yang masih lajang berkeliling kebun kami. Aku akan berjumpa denganmu lagi di dalam rumah." Dia membalas senyum Zarri Bano sesaat sebelum pergi berlalu, meninggalkan Zarri Bano yang terpaku mendengar jawabannya.
"Sahib Sikander!" Zarri Bano memanggilnya, mengerahkan kecerdasannya setelah merasa terpojok oleh aksi Sikander. Dia telah membalikkan meja ke arahnya dengan begitu rapi. "Kau memperlakukan tamu dengan tidak layak. Kupikir ada sebuah handani, kode etik, dan kehormatan seorang Sindu."
Sikander membalikkan tubuhnya untuk memandang Zarri. Zarri sedang berdiri di samping pohon jeruk. Kedua tangannya memeluk ke belakang seperti sedang merengkuh pohon itu nyaris bersatu dengannya. Sepoi angin nan hangat bermain-main dengan pakaian yang dikenakannya dan beberapa helai rambut panjang bergelombang berjatuhan di sekitar wajah dan bahunya.
Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sikander menahan napas. Zarri sedang memandanginya dengan pancaran sinar mata yang sama terlukanya dengan keluguan yang diperlihatkannya ketika dia berada di bawah pohon di mela tempo hari. Hanya saja, kali ini dia mengenakan pakaian berwarna hijau gelap dan tampak begitu menawan. Seakan sedang ditarik gaya magnet, Sikander berbalik dan melangkah mendekat kembali, lalu berdiri tepat di hadapan Zarri.
Zarri Bano mengawasinya dan menunggu. Sebuah gelombang kegembiraan tiba-tiba saja menjalari nadinya. Karena tidak mampu mengendalikan perasaannya saat Sikander berlalu dengan marah darinya, dia pun panik. Dengan satu sentakan saja, kenyataan sesungguhnya menyeruak, bahwa dia ternyata sangat memedulikan lelaki itu, dan bahwa pendapatnya berarti banyak bagi Zarri.
Matanya tidak akan mampu dikenalinya lagi, seakan berbicara dan berbisik pada Sikander apa yang diingkari oleh hati dan benaknya.
Zarri adalah seorang perempuan berperawakan tinggi, tetapi Sikander masih lebih tinggi beberapa inci. Zarri Bano menengadah memandang wajahnya. Matanya tersedot oleh jurang dalam di dagu Sikander. Lalu mata Zarri terangkat terkunci oleh matanya.
Tak sanggup menahan diri lagi, Sikander merengkuh tangan Zarri dan menggenggamnya. Kali ini Zarri tidak berusaha menarik tangannya. Sikander terpukau dengan bentuk tangannya, kelembutan, dan warnanya. Dia juga terpukau melihat kuku-kuku jari yang terpelihara dengan baik. Dia membiarkan jemarinya perlahan menyelusuri kulit lembut itu.
"Tangan yang sangat indah," gumamnya. Matanya menantang mata Zarri Bano untuk memberontak dari rengkuhannya. Kemudian sebelum Zarri sempat menyorotkan keterkejutannya, Sikander membalikkan tan
gan gadis itu dan jemarinya mulai meraba telapak tangannya.
Zarri Bano terpaku karena terkejut. Jantungnya berdegup kencang, sebelum dia sempat menarik tangannya. Zarri sangat ketakutan melihat aksi Sikander dan juga reaksi dirinya sendiri terhadap perlakuan lelaki itu. Dia menyukai rasa saat jemari Sikander menyentuh telapak tangannya. Akal sehat dan sopan santun perempuannya menuntutnya untuk menarik tangannya dari tangan Sikander.
Dia semakin terguncang ketika Sikander kembali menarik tangannya yang satu lagi dan melakukan hal yang sama. Dia berusaha menariknya kembali, tetapi lelaki itu enggan melepaskannya. Rona wajahnya memerah. Zarri memalingkan wajahnya karena malu menatap gairah yang membara di mata lelaki itu. Dia pun salah tingkah. Sikander sedang menjarah wilayah terlarang dari dunia intimnya.
Dari tindakan Sikander, keduanya menyadari bahwa mereka telah tenggelam dalam suatu ikatan. Tidak ada lagi langkah mundur untuk mereka. Mereka telah sedemikian saling mengenal satu sama lain.
Sikander terpuaskan. Zarri ketakutan setengah mati, tetapi dia tidak menarik tangannya ketika untuk kedua kalinya digenggam oleh lelaki itu. Mata Zarri nyata-nyata memperlihatkan bahwa tidak ada lagi yang bisa dilakukan ataupun dibisikkan tentang apa yang memenuhi hatinya.
"Aku sepertinya sudah menambah daftar kejahatanku di bukumu. Sepertinya aku ditakdirkan untuk begitu cepat tenggelam dalam semua pradugamu," rayu Sikander. Dia tersenyum lembut ke arah Zarri Bano. "Aku tidak pernah seakrab ini. Apakah Shahzadi Zarri Bano sekarang sudah tak mampu berkata-kata""
Wajah Zarri Bano merebakkan senyuman, menampakkan lesung pipit nan menawan di pipi kirinya.
"Aku tidak akan pernah membiarkanmu menjadi sedemikian akrab jika aku tidak menginginkannya," dia menjawab lirih.
"Kalau begitu aku merasa terhormat."
"Ya, memang sudah seharusnya. Ini adalah untuk pertama kalinya aku membiarkan seorang lelaki asing menyentuh tanganku."
"Namun, aku tidak akan menyentuh dan memegang kedua tanganmu yang indah ini andai aku tak berpikir bahwa aku memiliki hak untuk melakukannya. Aku juga memahami parameter kepemilikan sosial."
"Dan hak apakah yang kau maksud itu, jika aku boleh bertanya"" tanya Zarri Bano dengan nada suara yang sangat resmi. Kini dia siap untuk bermain api. "Kau terlalu percaya diri, Sahib Sikander."
"Hak sebagai calon suamimu, bukankah begitu, Zarri Bano"" bujuknya. Kedua matanya masih saja terpaku pada Zarri seraya memancarkan kilauan gelapnya yang hangat.
Itu dia lamaran secara lisan. Tidak ada lagi kata-kata yang berputar-putar tentang masalah itu. Sikander kini menanti dengan tegang sebuah jawaban dari gadis itu.
Ini adalah saat ketika Zarri Bano merasa begitu ketakutan, sekaligus tergugah oleh kebahagiaan. Namun, dia malah dikuasai oleh kekhidmatan yang terucap dalam momen tersebut. Senyum dan lesung pipit Zarri menghilang dan dia menatap lelaki itu dengan tatapan bingung. Dia tidak mampu memalingkan pandangannya.
Sikander menatapnya dan menunggu. Apakah dia akan menerima lamarannya atau tidak" Perlahan Sikander melepaskan tangan Zarri. Dia tidak ingin membebani gadis itu dengan sentuhan fisiknya, dan dia pun bergerak untuk berdiri agak jauh darinya.
Zarri Bano mengawasi gerakan mundurnya dengan perasaan kehilangan. Sekarang ini, dia sudah mengenali kekuatan karisma daya tarik lelaki ini yang melingkupinya. Setelah sepenuhnya terlepas dari lelaki itu, Zarri kembali ke alam realitas. Jangan sampai ada yang disesalinya.
Dia adalah lelaki pertama yang berhasil membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Pada kenyataannya, dia sudah mulai merasa takut terhadap perasaan-perasaan yang dibangkitkannya itu. Dia ingin membagi hidupnya bersama Sikander. Bersamanya, menyentuhnya, dan merasakan sentuhannya. Tanpa lelaki itu, hidupnya akan berkabut laksana sebuah ruang hampa kosong, tak berwarna, dan tak berarti. Dia membiarkan dirinya terisap ke dalam medan magnetnya. Dia menyadari secara naluriah bahwa Sikander adalah sesuatu yang paling berarti dalam hidupnya.
Mengikuti kata hati, dia melangkah mendekati Sikander: menggapai ke arahnya dan meletakk
an tangannya di tangan lelaki itu. Sikander menggenggamnya erat-erat. Kedua bahunya tampak rileks. Itu adalah kejutan yang paling menyenangkannya, tetapi dia membutuhkan sebuah tanggapan lisan dari Zarri. Dia menatap wajah gadis itu dengan sorot mata yang sekali lagi membujuknya, berusaha memusnahkan sisa-sisa kefeminisan dalam diri gadis itu yang tampaknya masih sulit ditundukkan.
Zarri Bano segera menanggapi. Pertama dengan sesungging senyuman dan kemudian dia mencondongkan tubuhnya ke depan, sampai bahunya hampir bersentuhan dengan bahu Sikander.
"Kau benar sekali, Sahib Sikander. Aku tidak akan membiarkan tanganku disentuh jika aku tidak merasa bahwa itu benar." Pikiran dan perasaan yang jujur sangat penting di saat seperti ini, "Aku sangat tersanjung oleh lamaranmu dan kuharap kau juga akan menghargai penerimaanku."
Kedua kelopak mata Sikander terpejam. Dia sudah menerimanya.
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah membiarkanmu menyesalinya. Aku akan membuatmu menjadi perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini," dia berikrar untuk dirinya dan untuk Zarri Bano dengan suara yang dipenuhi janji.
"Aku juga berharap seperti itu karena seperti yang kau lihat, aku sudah menolak banyak pelamar. Aku nyaris tergoda untuk menolakmu juga." Dia menyunggingkan lesung pipitnya kepada Sikander. "Namun, kau adalah satu-satunya yang akhirnya mendapatkanku, seperti yang dikatakan oleh adikku. Bagaimanapun, aku menjunjung tinggi kemerdekaanku. Di atas segalanya, aku tidak akan terikat dengan cara apa pun. Kau harus memahami dan mengingatnya selalu, Sahib Sikander."
"Aku akan jujur padamu juga. Kau adalah perempuan pertama yang telah 'menangkapku lewat jaringnya'. Aku menginginkanmu apa adanya. Itulah yang paling kusukai darimu perilakumu yang lain daripada yang lain, kecerdikan, dan kecemerlanganmu. Mari kita masuk dan memberitahukan kabar gembira ini pada keluargaku. Mereka akan sangat berbahagia, khususnya ayahku yang memimpikan memiliki cucu dengan mata sepertimu. Kau dapat menelepon orangtuamu." Matanya kembali menerawangi wajah Zarri Bano. Tidak ada yang merona di kedua pipinya, sebelum dia menggandeng Zarri Bano bersamanya.
Mereka berjalan berbarengan sejauh beberapa meter, bersisian, dalam diam. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing dan mantra gaib menyuratkan bahwa langkah mereka berdua sudah digariskan. Begitu mereka mendekati vila itu, Zarri Bano bergerak agak menjauh dari Sikander.
"Sulit sekali berjauhan denganmu, khususnya saat kau ada di gedung yang sama," bisik Sikander ke telinganya dengan sebuah senyum nakal menghias bibirnya.
* * * Shahzada memasuki ruang tamu dengan rendah diri. Dia memegang hookah dan isinya di tangannya. Dia meletakkannya perlahan di samping ayah mertuanya dan kemudian duduk di sofa. Habib dan ayahnya baru saja selesai bersantap dan kini sedang menikmati teh shabz. Mereka terserap ke dalam sebuah diskusi seru tentang pabrik bata yang baru saja dibuka di dekat desa mereka, dan mereka sama sekali tidak memerhatikan Shahzada.
"Kita selalu berbangga diri atas pemandangan hijau di tanah milik kita. Kini dengan adanya bisnis pembuatan bata, mereka menyisakan sebuah kawah raksasa yang jelek di permukaan tanah. Tanah ini diacak-acak seenaknya. Habib, kita harus melakukan sesuatu tentang hal ini secepatnya. Aku tidak akan membiarkan industri-industri pembuat polusi ini didirikan di sekitar desa kita, tidak peduli selaku apa pun mereka. Di pedesaan kita berbangga hari dengan adanya udara segar."
Siraj Din menatap sekilas menantunya saat Shahzada berdiri dan mengambil hookah lagi. Perempuan itu berpikir bahwa memindahkan posisi pipa itu akan membuat ayah mertuanya semakin nyaman meraih pipa itu, lalu dia meletakkannya di dekat kaki Siraj Din. Sambil bersandar, Siraj Din meraih pipa itu ke arahnya dan mengisapnya kuat-kuat, membuat asap di dalam bejana aluminium yang mengilap itu bergejolak.
Saat mengisap pipanya, matanya melirik ke arah Shahzada, melihat segaris senyum masam di wajahnya dan semburat pucat di pipinya. Dia tidak mampu menahan diri untuk tidak membalas senyuman menantunya itu. Sorot mata
nya meredup dan dihiasi pancaran cinta seorang ayah dan rasa sayang. Shahzada akan selalu menjadi menantu kesayangannya meskipun sudah melakukan kesalahan dengan membuatnya berang. Sesungguhnya, dia memiliki tempat yang lembut di hatinya untuk Shahzada. Dia mengharapkan semua menantu perempuannya seperti Shahzada. Dengan besar hati, Siraj Din memutuskan untuk memaafkannya. "Dia manusia juga dan semua manusia kadang-kadang melakukan kesalahan."
Mata hijau Siraj Din menyempit saat menatap garis-garis ketegangan di wajah putranya. Siraj Din tidak bisa mengira-ngira suasana hati Habib dan hubungannya dengan sang istri. Beberapa saat sebelumnya, siang itu kentara sekali adanya kebekuan di antara mereka berdua, nyaris tampak seakan-akan mereka adalah dua orang asing. Tidak ada kata-kata atau sorot mata hangat yang terjalin di antara mereka. Sebaliknya, Habib hampir bersikap kejam terhadap istrinya dengan tidak memberi dukungan apa pun padanya. "Apa yang terjadi di antara mereka"" pikir Siraj Din. Dia merasa tergugah rasa ingin tahunya oleh adanya jurang yang menganga di antara orang-orang yang saling mencinta ini.
Siraj Din melemparkan pandangan bertanya ke arah menantu perempuannya.
Shahzada tersipu dipandangi seperti itu. Dia menyampaikan sebuah berita dengan agak takut-takut, "Aba Jan, Zarri Bano baru saja menelepon dari Karachi. Dia memberitahuku bahwa dia sudah memutuskan untuk menikah dengan Sikander dan dia terdengar begitu bahagia." Shahzada menatap kedua wajah lelaki itu dengan harap-harap cemas.
Dia menunggu, memandang satu wajah dan beralih ke wajah lainnya, tetapi yang ada hanyalah kesunyian yang senyap sebagai sambutan atas berita itu: Berhadapan dengan wajah dingin ayah mertuanya, Shahzada gemetar karena gugup. Sepasang jemarinya terus-menerus mengetuk-ngetuk pinggiran cangkir keramiknya yang berwarna emas. Ketika dia menoleh ke arah sang suami, sepasang sorot mata sekeras besi terpancar untuknya. "Mengapa mereka bersikap begitu dingin terhadapku"" Shahzada bertanya pilu pada dirinya sendiri. "Tidakkah mereka bahagia mendengar berita itu""
Dari kedalaman naluri keibuannya, muncul kenekatan dan pemberontakannya. Dia memutuskan untuk mengatakannya secara langsung kepada mertuanya.
"Tidakkah kalian berdua bahagia bahwa pada akhirnya kita berhasil mengatur perjodohan untuk Zarri Bano dan untuk kepuasan kita"" tanyanya, dan dia sudah tak mampu menutup-nutupi nada menuduhnya atau perasaan sakit hati di matanya.
Terguncang oleh kelancangan menantu "kesayangannya", Siraj Din dengan ketus membalas kata-katanya.
"Mengatur, Shahzada" Kami tidak melakukan pengaturan apa pun. Kau dan anak perempuanmu yang telah seenaknya mengatur semua itu. Kau bahkan tidak berniat memberi tahu kami bahwa Zarri Bano berangkat ke Karachi atau membicarakannya dengan kami terlebih dahulu apakah dia boleh pergi atau tidak, tanpa kehadiranmu sebagai pengawalnya. Tampaknya, Shahzadaku, kami tidak punya komentar apa pun tentang masalah ini. Luar biasa sekali kau telah melewati kami berdua, Habib dan aku. Aku tidak menyangka betapa cerdiknya menantuku. Kenyataannya, aku mulai penasaran, siapakah yang sesungguhnya menjadi kepala rumah tangga di rumah ini. Siapa yang berkuasa di
rumah ini" Kau atau anakku, Habib"" Siraj Din terdiam saat melihat putranya sontak bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan.
Shahzada menyaksikan semua itu dengan kepiluan dan kebingungan. Habib tidak mengatakan sepatah kata pun. Tidakkah dia merasa berbahagia atas putrinya" Apa yang terjadi padanya" Mulut Shahzada kini begitu kering. Dia menoleh ke arah pandangan mata ayah mertuanya yang sama dengkinya. Siraj Din menarik kakinya ke atas sofa dan kembali mengisap pipa panjangnya.
"Aba Jan, Anda tahu orang-orang ini sangat tertarik pada Zarri Bano kita." Shahzada merasa wajib menjelaskannya. "Jafar yang memperkenalkan kita pada mereka. Sahib Habib tidak memberitahukan semuanya pada Anda. Anda tahu kami tidak pernah melakukan apa pun tanpa restu atau kewenangan dari Anda. Tolong maafkan aku jika telah memberi kesan lain pada Anda. Sahib Habib adalah kepala rumah tangga di r
umah ini, bagaimana mungkin Anda meragukannya" Dan bagaimana mungkin aku, yang hanyalah seorang perempuan ini, berani mengambil langkah mengatur pernikahan anak perempuanku tanpa melibatkan Anda berdua" Anda menghinaku sekaligus diri Anda sendiri dengan kesimpulan yang ganjil seperti itu. Aku tidak bersalah apa pun, Aba Jan. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Jika kecintaanku pada putri sulungku dan pertimbanganku atas masa depan kebahagiaannya dalam menikahi orang yang tepat adalah kejahatan menurut Anda, berarti aku memang bersalah." Shahzada mengakhirinya dengan terdiam, mengumpulkan seluruh harga dirinya.
"Kalau begitu, katakan padaku, Shahzada, mengapa putraku bersikap begitu aneh padamu"" tanya Siraj Din ketus seraya menyimpan pipanya. "Aku telah hidup lebih dari tujuh puluh tahun untuk menjadi tidak buta dalam melihat tanda-tanda bahwa putraku tampak sangat terganggu atas dirimu sepanjang siang ini. Dia sama sekali tidak menunjukkan restunya terhadap perjodohan dengan pemuda kaya ini dan kau serta anak perempuanmu tampak begitu serius tentangnya. Katakan padaku, Shahzada, mengapa demikian"" Sorot mata Siraj Din menusuk langsung mata Shahzada. Dia tidak pernah menatap dengan sedemikian tajam kepadanya sebelumnya.
"Aku tidak tahu," sahut Shahzada pilu. Kepalanya tertunduk. Dia tak mampu menjelaskan sikap penolakan suaminya terhadap Sikander maupun kekesalan ayah mertuanya.
Dengan air mata meleleh di ujung matanya, Shahzada bangkit sambil terus menyembunyikan wajahnya. "Aku akan melihat apakah Jafar sudah pulang berkuda," sahutnya lirih dan dia pun meninggalkan ruangan itu.
Namun, yang dilakukan oleh Shahzada bukan melihat Jafar, melainkan mencari suaminya.
* * * Shahzada menemukan suaminya berada di kamar tidur mereka. Dia sedang berdiri memunggunginya, menatap ke luar ke arah ladang gandum dan jagung. Dia mendengar istrinya masuk dan nalurinya mengatakan bahwa itu memang Shahzada. Shahzada berhenti di tengah-tengah kamar tidur yang luas itu, menunggu lelaki itu membalikkan tubuhnya dan menatapnya. Dia tidak melakukannya.
Dalam kebingungan, Shahzada melangkah mengelilingi ruangan, mengambil handuk besar yang lembut dari ranjang Habib. Melipatnya dan menyimpannya di atas kursi. Kemudian, dia menegakkan buku-buku dan jurnal bisnis Habib di meja kerjanya di depan sofa. Lalu Shahzada menepuk-nepuk tumpukan bantal untuk kemudian disusun rapi di sudut sofa kulit, dan dia pun berdiri sambil mengawasi seisi ruangan tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Punggung Habib masih saja menghadap ke arahnya. Menyerah pada kenyataan bahwa suaminya tidak akan mulai berbicara padanya ataupun menanggapi keberadaannya, Shahzada pun menelan harga dirinya.
"Sahib Habib," bisiknya perlahan. Dia melangkah pelan untuk berdiri di belakang suaminya dan menyentuh tangannya. "Tidakkah menyenangkan jika Zarri Bano sudah setuju untuk menikah dengan Sikander" Aku sangat bahagia." Dia merasakan otot-otot tangan suaminya begitu tegang disentuhnya. "Tidakkah kau berbahagia, Habib Sahib"" ulangnya.
"Bahagia, Shahzada"" Habib tiba-tiba saja membalikkan tubuhnya, menatap marah ke bawah, ke arahnya, dari tubuh tingginya yang menjulang. "Aku sudah mengatakan padamu, aku tidak tahan dengan lelaki itu! Kau pikir aku akan membiarkannya menikahi putri kesayanganku" Dia tidak pantas untuk Zarri Bano." Dia mengabaikan pandangan ketakutan di wajah Shahzada.
"Habib, Zarri Bano baru saja mengatakan pada kita bahwa dia ingin menikah dengan Sikander. Putri kita mencintainya!" Dia terbata-bata memohon pengertian sang suami.
"Cinta!" bentak Habib. "Sejak kapan perempuan-perempuan kita mulai jatuh cinta sebelum menikah"" dengusnya. Sorot matanya kali ini memancarkan kilau hijau kemarahan.
Jantung Shahzada berdetak kencang saat dia mengangkat wajah putus asanya menghadap suaminya. "Kau tidak akan mampu memerangi sesuatu yang sealamiah cinta, Habib," balasnya. "Penyakit apa yang sedang melandamu"" serunya. Matanya menatap tajam wajah suaminya.
"Aku akan memberitahumu penyakit yang sedang melandaku!" bentak Habib tepat di muka Shahzada. "Jika kau mendukung putriku untu
k menikahi lelaki ini dengan melawan keinginanku, aku akan menceraikanmu saat ini juga, Shahzada bukan talak satu atau talak dua, tapi talak tiga sekaligus! Kau akan kuceraikan, talak tiga! Dan itu akan kunyatakan sekaligus!" Dia memberondongkan kata-kata itu dengan kejam. Matanya memancarkan kebencian yang membara ke dalam mata Shahzada.
Shahzada terjajar ke belakang karena terguncang. Mulutnya setengah terbuka. Tatapan yang menyiratkan kemarahan dan keterkhianatan tampak di matanya. Suaminya yang lembut dan baik hati sudah berubah menjadi sesosok asing yang sudah mengancamnya dengan hukuman terkeji yang bisa diterima seorang perempuan dari suaminya. Talak tiga.
"Kau! Kau...," gagapnya dengan suara bergetar seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat di dadanya yang terasa sesak. "Kau bisa melakukan itu padaku" Kau akan menceraikanku" Aku, Habib, istrimu"" Mata cokelatnya yang hangat menatap nanar dengan memancarkan luka hati bercampur keterkejutan. "Kekuatan iblis mana yang merasukimu, suamiku terkasih" Kegilaan macam apa ini"" Tersedak oleh kata-katanya sendiri, dia terjajar, berlari
menjauhi suaminya dan langsung menghambur ke pelukan pengurus rumahnya, Fatima, begitu perempuan baik itu memasuki kamar terburu-buru tanpa mengetuk pintu.
Kedua perempuan itu saling menatap, tidak mampu memahami pandangan mereka satu sama lain. Wajah keduanya menyiratkan luka dan ketakutan.
"Nyonya! Jafar, Nyonya," sahut Fatima gugup. Wajahnya sepucat mayat. Dia menatap tajam majikannya. "Ia... ia...," Fatima tak mampu melanjutkan kalimatnya. Dia malah membenamkan kepalanya ke dada Shahzada.
"Jafar"" sahut Shahzada. Otaknya berputar saat disaksikannya sang suami berlari keluar dari ruangan.
5. PELAYAN BERPAKAIAN apik hilir mudik di sekitar meja tempat Sikander dan Zarri Bano tengah bersantap di pojok yang agak terpisah di sebuah restoran mewah di Karachi. Setelah pelayan berlalu membawa piring-piring, Sikander berkesempatan memandangi Zarri Bano dengan tatapan lembut. Karena terlalu malu untuk membaca sorot matanya, Zarri Bano melemparkan pandangannya ke arah orang-orang lain yang sedang makan malam di ruang tengah berpendingin yang didekorasi dengan indah bercorak Mughal*. (* Mughal adalah sebuah dinasti Muslim yang pernah menguasai sebagian India antara 1526-1857 penerj.)
"Kau seorang perempuan yang sangat cantik, Zarri Bano," bisik Sikander. "Pelayan itu tidak tahan untuk tidak memandangimu."
"Aku merasa hal itu memalukan, Sahib Sikander," Zarri Bano merasa harus menyatakannya. Dia tahu benar bahwa pipinya merona. "Aku belum pernah makan di luar berduaan dengan seorang pemuda sebelumnya."
"Apakah aku masih tampak seperti seorang pemuda, Zarri Bano" Pasti tidak begitu!" Zarri mendengarkan kata-kata itu mengandung kegusaran sekaligus luka hati.
"Memang, Sikander, kau akan seperti itu sampai aku melangkahkan kaki ke dalam rumahmu sebagai seorang istri." Matanya terpaku pada lukisan Mughal dari abad ketujuh belas yang menggambarkan seorang maharani sedang berjalan-jalan di tamannya. Zarri Bano merasa harus menjelaskan keadaannya kepada Sikander. "Untuk saat ini, tidak ada apa-apa di antara kita."
"Aku tidak sepakat tentang itu, Zarri Bano." Sikander mencondongkan tubuhnya ke depan di atas taplak meja. Tatapan lembutnya menghangatkan wajah Zarri. "Ada 'segalanya' di antara kita, dan kau tahu itu! Tak lain daripada cinta pada pandangan pertama, sejak kita saling berpandangan di mela!"
Zarri Bano menentangnya dengan halus. "Tidak ada ikatan darah di antara kita, Sikander. Kau bukan kerabat atau saudaraku."
"Tuhan melarangnya, Zarri Bano. Aku tidak akan pernah menjadi saudaramu! Perkataan macam apa ini" Mari kita ganti pokok pembicaraan. Ceritakan padaku tentang perusahaan penerbitan yang kau bicarakan kemarin dan rencana apa yang kau buat di Karachi ini."
Zarri Bano mengabaikan permintaannya dan malah melontarkan satu pertanyaan, "Seringkah kau membawa perempuan kemari untuk makan malam bersamamu"" Untuk beberapa alasan, sangat penting baginya untuk tahu berapa banyak perempuan yang pernah duduk di seberang meja Sikander. Terkejut karena muncul
nya pertanyaan itu, Sikander terdiam. Kemudian dia melongokkan kepala ke bawah untuk melihat serbet di tangannya.
"Tidak terlalu sering, tetapi aku membawa teman-teman pria dan kolegaku ke tempat ini. Mengapa kau tanyakan""
"Aku hanya penasaran." Zarri tersipu. Dia menjelaskan, "Karena begitulah orang-orang Karachi biasanya berperilaku, sebut saja, lebih 'maju' daripada kami yang ada di pedesaan. Dari yang kutahu, kau membawa seorang perempuan baru ke tempat ini setiap malam. Orang-orang itu melakukan banyak hal di sini yang dianggap tidak bermoral bagi kami di pedesaan, khususnya hubungan bebas antara lelaki dan perempuan."
"Dan kau, Zarri Bano" Di manakah posisimu"" tanya Sikander. Dia merasa lebih terpikat lagi oleh perempuan yang duduk di hadapannya.
"Tidak di mana-mana, Sikander." Sebuah tatapan sangat serius terbias di matanya. "Jangan terkecoh oleh kesan modern di hadapanmu. Aku mungkin tampak seperti bagian dari itu, tetapi di dalam diriku, aku adalah produk asli keluargaku. Jangan pernah kau lupakan itu. Aku berpikir dan berperilaku dalam satu sikap yang konsisten dengan tradisi keluargaku. Aku menghormati dan mengikuti tradisi kami yang sudah berabad-abad usianya. Inti sari kehidupanku terletak pada kesejahteraan keluargaku.
"Untung bagiku karena memiliki ayah dan kakek tercinta yang sangat ulet keduanya sangat mengasihiku dan membiarkanku melakukan apa yang ingin kulakukan. Sebagai contoh, tidak pernah terdengar sepuluh tahun yang lalu seorang perempuan dari keluargaku tinggal jauh dari rumah. Aku melakukannya. Aku tinggal di sini, di Karachi, selama tiga tahun saat aku belajar di universitas untuk gelar masterku. Sekarang ini ayahku yang menurut gurauan adikku 'bersedia menjual seluruh isi dunia ini' untukku, sedang membantuku mendirikan sebuah kantor penerbitan besar. Ngomong-ngomong, tahukah kau, Sikander, bahwa kau akan menikahi seorang perempuan kaya raya"" canda Zarri Bano.
Mata abu-abu Sikander berkilauan. "Bukan kekayaanmu yang kupikirkan. Aku memiliki kekayaanku sendiri yang layak bersaing dengan kekayaan ayahmu," balasnya. Lalu, sambil mencondongkan diri ke atas meja, Sikander berbisik, "Hanya kau yang kuinginkan!"
Semburat merah merona di pipi Zarri Bano menuntut Sikander untuk kembali duduk di bangkunya dan mengusulkan sesuatu, "Kita pergi""
"Ayo!" sahut Zarri Bano penuh syukur. Mulutnya terasa kering. Dia pun bangkit dari kursinya.
Mereka melewati jajaran meja-meja bundar. Menyadari adanya dua orang lelaki memandang kagum ke arah Zarri Bano yang tampak anggun dengan busana haute couture Karachi dan rambut panjangnya yang tebal berayun bebas di antara dua bahunya, Sikander pun bergerak sangat protektif di sampingnya dan memandunya keluar dari gedung itu.
Begitu mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil, Sikander bertanya, "Maukah kau berjalan-jalan di Taman Clifton atau sepanjang bibir pantai sebelum kita kembali ke rumah""
"Ya, aku akan senang sekali." Zarri Bano segera menyetujuinya.
Perjalanan itu terasa sunyi saat Zarri Bano menikmati pemandangan semaraknya kehidupan malam di jalan-jalan dan pusat perbelanjaan Karachi. Mereka berhenti di salah satu pusat perbelanjaan. Sikander berkata lirih padanya, "Aku ingin kau membeli sebuah hadiah, Zarri Bano."
Zarri Bano menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Sikander, tolong jangan ada hadiah. Jangan dulu. Hanya cincinmu yang kuinginkan dan itu pun harus diserahkan pada waktu yang seharusnya melalui orangtuamu."
"Baiklah." Sikander berusaha tidak menunjukkan kekecewaannya dengan menoleh ke arah kaca mobil sebelum mereka kembali memasuki keramaian lalu lintas.
Berniat mencandainya, Zarri Bano menampakkan lesung pipitnya, entah bagaimana dia tahu tindakannya itu akan berakibat pada lelaki itu. "Aku akan membuatmu berhenti di pusat perbelanjaan ini setiap akhir pekan, Sikander," godanya. "Jadi, kau bisa membelikanku semua hadiah yang ada di dunia ini, termasuk di Singapura ketika kita menikmati bulan madu di sana."
Dalam keheningan yang damai, seolah-olah mereka sudah hidup bersama selama bertahun-tahun, mereka berkeliling ke pojok-pojok Taman Clifton dan pasar
malamnya, sebelum akhirnya menuruni jalan ke arah pantai.
Di seberang Samudra Hindia, sebuah lingkaran kabut yang bersinar merah menangkap kilauan keemasan gelombang ombak yang bergetar. Sebuah kapal tua tampak jelas di cakrawala sendirian bermil-mil jauhnya dari dermaga. Embusan angin malam yang hangat meniup rambut Zarri Bano di sekitar wajahnya. Sambil tertawa dia membenahi rambutnya.
Seekor unta dengan dua orang anak kecil di punggungnya berjalan tertatih sepanjang tempat yang menyenangkan itu, dikendalikan oleh pemiliknya. Seorang lelaki yang menjual jagung bakar di atas bara perapian, layaknya penjual makanan ringan lainnya, tampak sibuk, dengan deretan orang yang mengantre untuk membeli jagung bakar, bahkan yang agak gosong sekalipun. Sikander menuntun Zarri Bano menjauh dari mereka yang juga berjalan-jalan malam di tepi pantai.
"Aku sering datang ke pantai di waktu malam. Aku merasa suasananya menenangkan," dia memberi tahu Zarri Bano sambil mengambil sebutir batu kecil dan melemparkannya ke tengah air.
"Bagiku, itu menenangkan karena kami tidak memiliki lautan atau sungai yang dekat dengan tempat tinggal kami, hanya ladang-ladang di tanah milik kakekku di desa kami."
Sikander berlutut di atas pasir pantai dan menjumput tiga cangkang kerang. Zarri Bano melihatnya menggoyangkan kerang itu untuk membersihkan pasirnya dan berdiri di hadapannya, mengacungkan salah satunya untuk dilihat Zarri Bano. "Aku menyenangi setiap menit di malam ini, Zarri Bano. Aku tahu kau menolak hadiah dariku, tapi tolong simpan benda ini sebagai sebuah kenangan tentang hari ini," pintanya lembut.
Tersentuh oleh kata-katanya, Zarri Bano membuka telapak tangannya dan menggenggam cangkang kerang itu erat-erat di tangannya. "Aku juga sangat menikmati malam ini, Sikander, tetapi jika kakekku melihatku berduaan denganmu malam ini, dia pasti akan mengamuk." Mereka berdua tergelak menikmati rasa bersalah mereka.
"Kalau begitu, Zarri Bano, menikahlah denganku secepat mungkin," ujarnya serak. "Tolong jangan membuatku menunggumu."
Zarri Bano memandangi pemandangan di belakang Sikander, air keemasan Samudra Hindia. Lalu dia berpaling menghadap Sikander, bukan kata-kata yang terungkap, dia hanya memandanginya. Dia hanya membiarkan lelaki itu membaca pesan halus yang terpancar dari matanya. "Aku pun menginginkan hal yang sama."
6. SEKEMBALINYA DARI kunjungan ke kantor-kantor milik Sikander, dengan tawa mereka berdua membahana di sepanjang jalan masuk, Zarri Bano dan Sikander memasuki ruang tamu dengan wajah-wajah yang membiaskan kebahagiaan. Tawa mereka tenggelam ke dalam kesunyian yang mencekam di ruangan itu. Ibunda Sikander, Bilkis, tergopoh menghapus air mata di matanya. Ayahnya memalingkan wajahnya dengan kaku dari tatapan Zarri Bano.
"Ada apa"" tanya Zarri Bano cemas. "Mengapa Anda menangis, Bibi Jee"" Dia segera bergerak ke samping Bilkis seraya merangkulnya.
"Aku takut kami mempunyai beberapa kabar buruk buatmu. Kau harus segera pulang, Zarri Bano, putriku," dengan lembut Bilkis memberitahunya, sambil menyeka wajahnya dengan kerudungnya.
"Apa yang terjadi"" tanya Zarri Bano. Dia berusaha sekuat mungkin untuk tetap tenang.
Sikander merasa waswas terhadapnya. Dia memandangi kedua orangtuanya dengan tatapan penuh tanya.
"Sikander, tolong atur kepulangan Zarri Bano sesegera mungkin. Ini tentang... adik lelaki Zarri Bano. Jafar mengalami sebuah kecelakaan tadi malam. Ia meninggal siang ini."
"Ya Allah, Tuhanku!" suara Zarri Bano lirih. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya seolah-olah sedang berusaha mengusir bayangan yang menyiksa pikirannya yang dihadirkan oleh kata-kata Bilkis. Kemudian dia menatap langit, merasa sangat terguncang.
Sikander mengamatinya dengan gemetar, merasakan juga keputusasaan Zarri Bano dan trauma yang sedang dijalaninya. Bagaimana mungkin seorang lelaki muda yang tampan meninggal dunia begitu saja" Ini sangat tidak adil.
"Ayah, aku akan mengantar sendiri Zarri Bano pulang. Dia tidak boleh berkendaraan dengan sopirnya saja. Ayah dan Ibu, menurutku; sebaiknya ikut serta. Apakah mereka menelepon""
"Ya, salah satu pelayan Habib K
han menelepon. Jafar terjatuh dari kudanya, dan kecelakaan itu melukai kepalanya. Pendarahan di otak, mereka bilang."
* * * Saat mereka tiba di rumah Zarri Bano dua jam kemudian, Zarri masih belum bisa mencucurkan air mata. Dia terus menerawang ke depan. Jiwanya tampak terpaku. Sikander terus mengawasinya, ingin menenangkannya, merangkulnya, dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukannya. Bagaimanapun, etiket sosial telah membuat kedua lengannya terjatuh ke bawah. Saat itu, di hadapan mata dunia, mereka tidak memiliki hubungan resmi yang menyatukan mereka. "Tidak ada apa-apa di antara kita," sebagaimana yang dinyatakan Zarri malam sebelumnya; dia mengingatnya dengan pahit. Suaminya saja, ayahnya, atau adik lelakinya yang mendapatkan kehormatan untuk menenangkannya dengan sentuhan fisik.
Dengan langkah tertatih, Zarri Bano memasuki rumahnya. Rumah bahagia itu telah berubah menjadi sebuah rumah duka. Para kerabat, sahabat, tetangga, dan pelayan ada di mana-mana ada yang menangis ataupun membaca doa. Saat mereka melihatnya, suara doa mereka semakin nyaring dan mereka bergegas menghambur ke arahnya untuk menyatakan dukacita. Dua orang perempuan mengembangkan lengan mereka ke arahnya dan menangis sesenggukan di dadanya. Berdiri kaku di antara mereka, Zarri Bano tidak mampu meneteskan air mata atau bersikap seperti apa yang ada di sekitarnya. Sikander dan kedua orangtuanya tetap berada di sisinya.
Fatima memandu mereka memasuki ruang tamu yang besar tempat jenazah Jafar dibaringkan di atas palang di tengah ruangan. Fatima dan anak perempuannya, Firdaus, diminta untuk menerima para tamu dan mereka yang turut berduka-cita dari para penduduk sekitar. Mereka adalah orang-orang yang tiba dari desa siang itu. Mereka meninggalkan apa saja; para ibu dan anak perempuan bergegas menawarkan diri untuk menenangkan dan memberi dukungan moral pada Shahzada dan Habib.
Mengelilingi sebuah ranjang besar dengan papan kayu, para pelayat menjenguk tubuh Jafar, memberi penghormatan. Beberapa orang perempuan menangis secara terbuka, yang lainnya melantunkan lagu-lagu perkabungan tradisional. Beberapa perempuan bahkan memukuli dada mereka sendiri dengan perlahan mengikuti adat kebiasaan desa itu. Yang lainnya memilih menyatakan kesedihan mereka dengan cara yang lebih halus: menangis diam-diam di balik chador dan kerudung mereka dan di bahu orang-orang yang mereka cintai. Secara ritual mereka beralih dari bahu ke bahu.
Masih terguncang, Zarri Bano berjalan menuju keranda adiknya. Melihat dia mendekat, sekelompok orang yang tengah berkabung dalam diam dengan penuh hormat memberinya jalan. Dengan mata kering, dia menatap adik lelakinya yang muda dan tampan, terbaring di sana. Mengapa orang-orang bodoh ini mengelilinginya dan menangis" pikirnya seraya menatap berkeliling pada kerumunan orang yang berkumpul.
"Bangun, Jafar, sayangku! Ini sudah siang! Bangun, Jafar!" Membungkuk di atas ranjang, Zarri Bano mulai menggoyang-goyangkan tangan adiknya yang dingin.
Mendengar kata-kata Zarri Bano dan memerhatikan bagaimana dia bersikap, ruangan itu bergema oleh ratapan dan alunan doa. Bahkan, yang hingga saat itu matanya kering pun ikut menangis, merasakan kepedihan Zarri Bano.
Shahzada duduk dekat ranjang putranya di atas lantai, bangkit dan dengan lembut membimbing Zarri Bano menjauh, menyandarkan sosok tinggi Zarri Bano pada tubuhnya sendiri. Lalu dia memberi isyarat pada Ruby yang tengah duduk di sisi lain tempat tidur untuk membawa pergi kakaknya dari tempat itu. Dalam keadaan terluka secara emosional, Shahzada tidak tega membiarkan orang-orang menyaksikan putri sulungnya menumpahkan kesedihannya secara kasar.
Ruby membimbing Zarri Bano ke kamarnya. Kedua bersaudara itu duduk di sofa, saling berpegangan tangan. Ruby berbicara, tetapi Zarri Bano tak menanggapi hanya terus menatap hampa.
"Ayolah, Kak, sadarlah! Menangislah, karena itu saja yang bisa kita lakukan. Jafar kita telah tiada."
"Dia menggenggam tanganku, Ruby. Kurasa aku mengaguminya. Akhirnya itu terjadi padaku, Ruby. Kurasa aku...." Zarri Bano menoleh dengan pandangan bertanya-tanya di wajahnya, memec
ahkan kesunyian yang aneh di antara mereka.
"Siapa yang menggenggam tanganmu, Baji Jan!" tanya Ruby terkejut.
"Sikander Sahib."
"Mengapa""
"Karena aku bersedia menjadi istrinya."
"Oh, aku ikut senang, Kakak," sahut Ruby merasa senang mendengar Zarri Bano kembali berkata.
"Aku harus menceritakan pada semua orang, akhirnya aku menemukan seorang lelaki yang ingin kunikahi. Mana Ibu" Aku harus bilang padanya!" Dengan tatapan nanar masih terlihat di matanya, Zarri Bano bangkit hendak pergi.
"Kak, tunggu dulu!" Ruby mencegah Zarri Bano dengan cemas. "Bukan waktunya menceritakan pada mereka atau pada orang lain. Ingatlah, kita sekarang baru saja kehilangan Jafar."
"Di mana hilangnya" Dia pasti sedang di kandang kuda. Aku akan memberitahunya lebih dulu."
"Tidak, dengarkan!" Ruby memekik putus asa. "Dia sudah mati. Cobalah mengerti. Jafar tak akan bisa mendengarmu lagi. Dia telah pergi selamanya. Dia tak akan bisa datang pada hari pernikahanmu." Tangis kesedihan bergema di ruangan itu ketika Ruby menunduk dan tersedu.
Zarri Bano menatap nanar pada kepala adiknya yang tertunduk, mencoba memahami apa yang tadi dikatakannya. Lalu, kata-kata "dia telah mati" bergema di kepalanya.
"Tidak! Tidak! Tidak! Adikku sayang!" Mulutnya bergetar dan dia melontarkan jeritan yang menusuk hati. Seraya berlari ke luar kamar, Zarri Bano bergegas melewati lorong di antara kamar-kamar tidur, menuruni tangga melingkar, langsung menuju ruang tamu. Dia tak sadar bahwa dia tak mengenakan dupatta, juga tak memakai sepatu. Menghampiri ranjang adiknya, dia menjatuhkan diri ke lantai di depannya dan menangis tersedu-sedu. Sembari menyentuh wajah adiknya dengan penuh cinta, Zarri Bano menatap wajah-wajah di sekelilingnya dalam kesedihan yang sunyi. Suara ratapan dan lantunan perkabungan terdengar lagi, disela oleh tangisan sedih Zarri Bano.
Sikander duduk bersama para lelaki lain di salah satu sisi ruangan itu, tak berdaya menyaksikan Zarri Bano. Dia marah pada takdir. Mengapa hidup ini begitu kejam" Baru semalam dia merasa menjadi lelaki paling bahagia di muka bumi dan sekarang ini yang terjadi! Mereka telah merencanakan pernikahan mereka di restoran. Bercakap-cakap tentang tempat-tempat yang akan dia tunjukkan pada Zarri Bano di Singapura pada bulan madu mereka.
Itu bukanlah sebuah pertanda baik. Dia sama sekali bukan seseorang yang memiliki kekuatan gaib, tetapi perasaan takut yang aneh melandanya. Kematian Jafar pasti akan berarti penangguhan perkawinan mereka. Dengan getir, dia mengutuk kismet-nya. Mereka bahkan belum sempat bertunangan atau bertukar cincin secara resmi. Dengan perginya satu-satunya putra mereka yang amat berharga, orangtua Zarri Bano pasti akan berkabung dalam waktu lama. Pernikahan mereka mungkin harus menunggu hingga beberapa bulan, bahkan mungkin setahun.
Kisah Pedang Di Sungai Es 20 Goosebumps - Manusia Serigala Di Ruang Duduk Perantauan Ke Tanah India 3