Pencarian

Perempuan Suci 4

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 4


Zarri Bano tidak mengecewakan mereka semua! Dengan mata menyorot sinis ke arah wajah-wajah mereka yang tampak penuh minat, dia tersenyum menyadari sepenuhnya bahwa dirinya dan adiknya telah menyuguhkan pemandangan yang menakjubkan.
Betapa mereka adalah pasangan yang sangat kontras! pikir perempuan-perempuan itu. Kedua kakak beradik itu sama-sama cantik menawan. Yang satu tampak begitu memesona dengan mengenakan busana pesta khusus untuk perayaan itu, sementara yang satunya terbungkus jubah hitam tak berbentuk, dengan sembilan puluh persen tubuhnya tertutup dari pandangan.
Dengan berkerumun dan saling menyandarkan bahu satu sama lain, para tamu perempuan itu memasang telinga, berusaha mendengarkan gemerencing gelang emas di tangan Zarri Bano. Mereka merasa yakin bahwa dia memakai perhiasan emas di balik burqa itu karena mereka sudah menyaksikan seluruh perhiasan itu dipamerkan di gazebo. "Betapa malangnya dia tidak melangkah turun dalam riasan terbaiknya dan memamerkan diri sebelum masuk ke dalam pakaian burung gagak itu," gumam salah seorang perempuan kepada temannya dengan nada ke
sal, merasa dicurangi. Di ruang tamu yang luas, kehadiran Zarri Bano sudah diumumkan sebelum gadis itu memasuki ruangan. Begitu kedua kakak beradik itu berdiri di ambang pintu, semua mata seolah-olah terhipnotis, terpaku ke arah mereka.
Sambil memandangi apa yang terjajar di hadapannya, Zarri Bano lebih bisa melihat daripada mendengar betapa semua yang hadir menghela napas terkejut. Dia sadar bahwa dirinya menjadi pemandangan yang menakjubkan. Tak seorang pun pernah melihat Zarri Bano mengenakan burqa sebelumnya. Tidak juga mereka menduganya akan terjadi dalam seratus tahun karena di antara anggota keluarga Habib, dia memiliki reputasi sebagai gadis yang paling anggun dan penuh gaya, di mana dupatta tak pernah menutupi kepalanya. Selain itu, dia juga satu-satunya yang memiliki reputasi sebagai gadis yang amat menawan hati para pria.
Sekarang ini, melihat gadis itu berbusana sedemikian sederhana, sebagian tetamu, baik laki-laki maupun perempuan, merasa tidak enak hati karena tiba-tiba saja perasaan bahwa ada sebuah kenyataan kejam di balik perayaan itu menekan batin mereka. Semua dekorasi upacara di ruangan itu amat menyerupai sebuah pesta pernikahan meskipun kenyataannya itu bukanlah sebuah pesta pernikahan yang layak dimeriahkan oleh semua hiasan itu. Tidak ada mempelai lelaki yang hendak diberi ucapan selamat atau yang tampak bahagia bertabur uang. Tidak ada juga mempelai perempuan yang malu-malu dan dikagumi riasan pengantinnya yang mewah dan semarak. Hanya seorang perempuan cantik yang tertutup dari pandangan dalam sehelai jubah hitam dan bertampang sederhana, dengan hanya satu garis kecil terbuka di wajahnya. Hari ini adalah saat ketika sebuah dunia sudah terbalik.
Terpana, dan dengan mulut setengah terbuka, Gulshan, sepupu Zarri Bano, duduk di samping ibunya bersama-sama tetamu lainnya. Sebelumnya dia sudah membantu mendandani Zarri Bano, tetapi kini dia merasa sulit menerima kenyataan sepupunya mengenakan burqa. Sebagai seorang pengagum yang selalu mencemburui Zarri Bano, Gulshan telah menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan membenci sekaligus mengagumi sepupunya itu atas sikap, penampilannya yang menawan, dan sifat-sifat terbaik dirinya.
Rasa irinya itu sudah berlangsung sejak masa kanak-kanak. Gulshan selalu merasa tertutupi bayangan Zarri Bano sehingga dia nyaris selalu merasa ketakutan berada di ruangan yang sama dengan sepupunya itu, meski meniru penampilan Zarri Bano yang tampak angkuh dan sombong. Namun, Gulshan tidak memiliki kecerdasan, karisma, dan kecantikannya.
Ketika untuk pertama kalinya mendengar kabar bahwa Zarri Bano akan menjadi seorang Perempuan Suci, Gulshan merasakan ledakan rasa senang di dadanya, meski kemudian diikuti rasa bersalah. Seperti juga semua orang di ruangan itu, dia sudah menunggu dengan menahan napas, bertanya-tanya apakah mungkin Zarri Bano akan melakukannya, akan benar-benar turun mengenakan burqa sebagai seorang Perempuan Suci.
Sekarang, melihatnya terbungkus jubah yang menyerupai karung berwarna hitam itu, berbagai perasaan berkecamuk dalam dirinya. Bukan rasa senang dan puas yang dirasakannya, dia malah merasa ketakutan sekaligus iba pada Zarri Bano. "Ini luar biasa!" pikirnya bingung. Perempuan lain mungkin pantas untuk peranan itu, tetapi tidak Zarri Bano kami. Dengan tetes air mata menggantung di ujung bulu-bulu matanya, Gulshan sangat ingin menjerit di hadapan para tetamu, "Tolong jangan lakukan ini pada Zarri Bano kami!"
Namun entah mengapa, bibirnya terkunci, terikat oleh adat istiadat patriarkat yang sudah berabad-abad dan kesepakatan tentang kaum perempuan yang patuh dan diam. Lagi pula, apa yang bisa dilakukannya jika ibunda Zarri Bano dan adiknya sendiri tidak berdaya membantunya" Diam-diam dia melayangkan pandangan ke arah kakeknya, pamannya, Habib, dan ayahnya. Bagai sebuah kendaraan yang bergerak dengan kecepatan penuh, perayaan itu segera saja berjalan mencapai tujuannya, tak tercegah lagi. Gulshan, sebagai seorang gadis biasa, hanyalah sebutir kerikil di antara batu-batu karang raksasa yang dengan mudah bisa diancam atau jika perlu dihancurkan.
Gulshan me merhatikan seorang pemuda berdada bidang yang duduk dengan ibunya di barisan kursi yang sama dengan dirinya. Dia juga sedang menyaksikan acara yang sedang berlangsung itu dengan wajah terpana seakan terhipnotis. Gulshan mengagumi penampilannya yang bersih dan rupawan. Gelombang ketertarikan menghempas dadanya dan dengan takjub dia membatin, "Apakah Zarri Bano tidak merasakan apa pun atas lelaki ini""
Laki-laki yang penampilannya menarik hati Gulshan itu juga ternyata menerima lirikan dari banyak orang. Terlihat agak aneh karena jika Jafar tidak meninggal dunia, Sikander-lah, lelaki itu, yang akan duduk di samping Zarri Bano sebagai seorang mempelai laki-laki. Ini benar-benar sebuah kismet!
Sama sekali tak terganggu dengan tatapan-tatapan tertarik yang tertuju ke arahnya, sepasang mata Sikander terpusat sepenuhnya pada perempuan berjubah hitam itu. Mungkinkah itu Zarri Bano" Benaknya berperang dengan sebuah bayangan. Sosok itu sangat jauh dari wujud perempuan yang dikenal dan diidamkannya. Dia mengingat warna kulit Zarri Bano yang seterang kulit buah persik, ikal rambutnya yang berkilauan, dan bentuk tubuhnya yang menawan di manakah semua itu" Sekuat tenaga dia berusaha mengendalikan dirinya yang seolah ingin segera menghambur ke arah Zarri Bano dan mengoyak pakaian jelek itu dari tubuhnya. Dengan pilu, dia berusaha memberi alasan pada dirinya sendiri mengapa dia bereaksi sekuat itu. Perempuan-perempuan zaman dahulu sudah mengenakan burqa selama berabad-abad. Sebagian besar kaum perempuan, di bagian tertentu masyarakat Pakistan, masih mengenakannya, tetapi dia merasa tidak tahan melihat Zarri Bano berpakaian Seperti itu.
Bola mata kelabu Sikander menyorot tajam ke arah Habib dalang dari pertunjukan keji ini. Dengan menahan kemarahan yang amat pahit, Sikander merasakan kebenciannya menggelegak naik ke pipinya.
Dengan mata tertuju ke arah putri sulungnya, Habib berpura-pura tidak menyadari sorot tajam mata Sikander dan kebenciannya. Seperti juga semua orang yang hadir di aula itu, dia juga terguncang oleh penampilan Zarri Bano yang mengenakan burqa, tetapi dia berhasil mempertahankan wajahnya tetap datar sambil duduk bersisian dengan ayahnya Siraj Din, adiknya, dan para tetua desa lainnya.
Berhadapan dengan empat sosok lelaki yang duduk di atas panggung itu adalah sekelompok perempuan, termasuk Zarri Bano, Ruby, Shahzada, Sakina, dan bibi-bibi tertua Zarri Bano serta Chaudharani Kaniz dari desa. Yang disebutkan terakhir, sebagai istri dari mendiang tuan tanah, telah diberi penghormatan khusus dengan diberi tempat duduk di atas panggung.
Panggung itu didirikan di ujung ruangan luas itu. Seperti juga ruangan-ruangan yang lain, ruangan itu juga disemarakkan dengan rangkaian balon, lampu warna-warni, dan bendera-bendera. Selembar karpet sutra Persia bercorak bebungaan merah terhampar di lantainya. Di dekat Habib dan anggota keluarga lainnya, duduk dua orang tetua desa di atas sebuah kursi besar berselimut kain tebal serupa beludru. Di bagian tengah panggung lainnya, berdiri sebuah meja kayu mahoni dengan sewadah besar karangan bunga di atasnya. Di sebelahnya, di atas jari-jari kayu berukir yang anggun, tergeletak sebuah Kitab Suci Al-Quran yang sampulnya berhias kaligrafi indah. Berhadapan dengan panggung itu, di barisan kursi dengan sandaran beludru, duduklah para tetamu.
Dengan pura-pura terbatuk untuk merebut perhatian, Habib berdiri tegak untuk menghadapi semua yang hadir. Zarri Bano duduk dengan kepalanya yang terbungkus kain hitam, tertunduk, menatap karpet sutra Persia itu. Dengan berdeham terlebih dahulu, Habib mulai berbicara.
"Hadirin sekalian, saudara-saudara, handai tolan, dan sahabat semua, selamat datang di upacara putri saya. Saya merasa sangat terhormat atas kehadiran Anda semua. Mengingat sebagian dari para tamu sudah datang sejak beberapa hari yang lalu, saya harap Anda semua merasa nyaman tinggal di rumah kami. Bagi Anda yang baru datang hari ini, saya berharap Anda dapat tinggal bersama kami setidaknya selama beberapa hari lagi, dan berkenan atas apa yang mampu kami sediakan.
"Saya telah mengundang buzurgya
ng paling terhormat di wilayah kita untuk melangsungkan upacara ini. Ia sudah berhubungan dengan keluarga kami sejak lama. Tentu saja, sebagaimana yang mungkin sudah Anda ketahui, upacara yang akan Anda sekalian saksikan ini bukanlah sebuah upacara pernikahan biasa, dan bukan juga sebuah pesta pertunangan. Ini adalah upacara khas keluarga besar kami dan kami sangat mengagungkannya. Upacara ini mengangkat kaum perempuan kami, dengan cara yang unik, untuk mengemban sebuah tugas yang jauh melebihi tugas perempuan-perempuan biasa. Putri sulung saya yang cantik jelita...." Dia melirik ke arah Zarri Bano dengan pancaran rasa cinta di matanya.
"Zarri Bano akan menjadi ahli waris saya menjadi Perempuan Suci kami. Dia juga akan menjadi seorang ulama Islam, seorang guru moral dan keagamaan bagi ratusan perempuan muda di kota dan daerah kita, seorang perempuan yang menjadi simbol kesucian dan ibadah dalam bentuk yang paling murni. Kelak, kami harap, dia akan memiliki sekolah sendiri, madrasah atau perguruan tinggi miliknya sendiri. Dia akan kembali ke universitas dan mempelajari agama Islam di tingkat yang lebih tinggi. Untuk itu, saya berencana mengirimkannya ke Mesir, ke Universitas Kairo, yang merupakan universitas Islam tertua di dunia Muslim. Sebagai bagian dari kehidupan barunya, dia akan menghadiri konferensi Islam di seluruh dunia kapan pun atau di mana pun yang mereka tawarkan. Dia akan berada di bawah pengasuhan Perempuan Suci lainnya Sakina, yang merupakan sahabat keluarga kami. Al-Muhtaramah Sakina akan melantik putri saya menuju tugas barunya. Perlu Anda sekalian ketahui, bukanlah soal mudah menjadi seorang Perempuan Suci karena akan ada begitu banyak yang harus dipelajari dan banyak sekali harapan yang harus dipenuhi. Pada kenyataannya, itu sungguh-sungguh sebuah kehidupan yang baru.
"Satu-satunya yang membedakan adalah, untuk melakukan tugasnya ini, Zarri Bano tidak akan punya waktu ataupun keharusan untuk melakukan tugas biasa sehari-hari."
Habib berhenti sejenak untuk menarik napas seraya melayangkan pandangannya ke segenap hadirin. Ruangan luas itu kini terselimuti keheningan yang membius. Hanya suara kipas angin di langit-langit yang terdengar. Helaan napas puas diembuskan Habib Khan. Kini dia merasa begitu senang dengan kemampuan berbicaranya. Lalu, dia pun melanjutkan.
"Seperti yang sudah saya katakan, putri saya akan menjadi terlalu sibuk untuk terlibat dalam masalah-masalah remeh yang biasa dinikmati gadis-gadis pada umumnya, seperti pergi ke pasar untuk membeli gelang. Dia tidak akan punya cukup waktu untuk menikah, mengurus suami, atau berumah tangga. Saya bertanya kepada Anda semua, suami mana yang akan mengizinkan seorang istri mengabdikan diri sepenuhnya untuk beribadah, untuk berdoa" Untuk menunaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya, Anda harus menyerahkan diri sepenuhnya untuk tugas ini. Putri saya telah setuju melakukan semua ini dan untuk mengikatkan dirinya menjadi Perempuan Suci keluarga besar kami, secara
adat tradisional keluarga kami. Mulai saat ini, dia juga akan menjadi ahli waris tunggal saya, yaitu satu-satunya yang akan memiliki semua kekayaan dan tanah saya yang akan saya wariskan saat saya mati nanti. Setelah itu, semuanya akan bergantung kepadanya, bagaimana dia akan mewariskannya. Biasanya, ini akan diturunkan kepada putra tertua saudara kandung. Jadi, contohnya, jika anak saya Ruby kelak memiliki seorang putra, dia akan menjadi sang ahli waris setelah Zarri Bano.
"Inilah alasan kita semua berkumpul hari ini, yaitu untuk melantik dan menyerahkan putri saya pada peranan barunya. Buzurg kita akan memimpin upacara ini. Ia akan memulainya dengan membaca beberapa surah dari Kitab Suci Al-Quran dan Surah Ya Sin.
"Silakan dimulai!" Habib menoleh ke arah buzurg tertua sebelum kembali ke tempat duduknya.
Berbusana jubah hitam panjang, dengan turban putih membalut kepalanya, buzurg itu berdiri. Setelah berdeham sebentar, dia pun membaca Kitab Suci Al-Quran. Mendengar suaranya yang melengking nyaring di ruangan itu, para perempuan bergegas menutupi kepala mereka dengan kerudung untuk membedakan sik
ap mereka terhadap kalimat Suci yang didengarnya. Kemudian, buzurg tertua mengangkat Kitab Suci Al-Quran dari rehal dan membungkuk di depan Zarri Bano. Pada awalnya dia memegang kitab itu di atas kepala Zarri Bano dan membaca beberapa surah lagi, lalu dia meletakkan Kitab Suci itu di dekat wajah Zarri.
Gadis itu mendongak menatapnya, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kemudian, ketika mulai paham, dia meraih Kitab Suci itu dengan kedua tangannya dan menciumnya dengan takzim di kedua sisinya. Buzurg itu menuntunnya untuk membaca lagi beberapa surah dari Kitab Suci. Zarri mematuhinya di bawah tatapan hadirin yang mendengarkan dengan khidmat. Buzurg itu bukanlah seorang imam, tetapi upacara itu menjadi sedemikian mirip dengan upacara pernikahan. Ketika Zarri Bano selesai melafazkan surah, lelaki tua itu mengucapkan terima kasih padanya dan perlahan-lahan dengan takzim dia meletakkan kembali Kitab Suci Al-Quran itu ke tempatnya semula.
"Sekarang kau sudah menikah dengan keyakinanmu," serunya dengan suara yang menggema ke seluruh ruangan.
Lelaki itu beranjak mendekati Habib, mengulurkan tangannya. Habib meraih buzurgke dalam pelukannya dengan hangat. Kemudian, dia berpaling ke arah ayahnya, Siraj Din, dan melakukan hal serupa. Ucapan selamat mubarak menggema di setiap penjuru ruangan itu.
Bagi sebagian tamu lelaki, ini adalah tanda untuk bangkit dan membaur berbincang-bincang dengan para lelaki lainnya. Upacara itu usai sudah dan ruangan luas itu pun tiba-tiba saja kembali menjadi bising. Para tetamu mulai saling memeluk layaknya yang biasa terjadi dalam upacara-upacara pernikahan. Zarri Bano tetap duduk dengan mata terpaku pada Kitab Suci Al-Quran, sama sekali tidak memedulikan keadaan sekelilingnya. Saat suara bising itu lama-kelamaan memasuki benaknya, dia memalingkan wajahnya untuk menatap para tetamu.
Pandangan Zarri Bano tertuju ke arah kerumunan tamu, menatap berpasang-pasang mata, kemudian secepat kilat mengalihkan pandangannya, sampai matanya hinggap pada sepasang mata kelabu. Pikirannya yang sempat bingung kini bangkit lagi. Sepasang mata itu! Dia mengenal lelaki itu! Sengatan kesadaran menjalari tubuhnya. "Ternyata dia datang juga meski berkata tidak akan datang." Merasa bersyukur sekaligus tersanjung oleh kehadirannya, matanya berusaha menyorotkan permintaan maaf, memaparkan yang tidak mampu dikatakan oleh bibirnya, dan segala yang tak mampu dijelaskan oleh kedua tangannya. "Tolong maafkan aku!" sepasang mata Zarri meratap pada laki-laki yang cintanya telah dia korbankan itu. "Maafkanlah dan lupakanlah aku. Semuanya kini sudah berakhir!"
Sikander terkunci dalam tatapan mata Zarri Bano. Keduanya begitu terbius dan enggan melepaskan kontak mata tak disengaja itu. Hanya itulah komunikasi yang paling mungkin dijalin olehnya yang mampu menghubungkannya dengan Zarri Banonya yang dulu. Jika ekspresi Zarri Bano mengguratkan kepedihan dan permintaan maaf, sepasang mata Sikander memancarkan rasa frustrasi dan tuduhan pengkhianatan pada Zarri Bano matanya itu menyiratkan pesan khusus untuknya, "Aku tidak akan pernah memaafkanmu, Zarri Bano!"
Tangan ayahnya yang mencekal bahu Zarri Bano dengan kasar memutuskan kontak dari seberang ruangan itu. Dengan bergidik, Zarri Bano menundukkan pandangannya, kembali menyurutkan dirinya ke dalam cangkang mati rasa yang sudah diciptakannya di sekeliling dirinya. Ketika ayahnya memanggil namanya, Zarri Bano melemparkan pandangan kosong pada ayahnya. Seraya tersenyum, dengan cinta memancar di kedua matanya, dia mengucapkan selamat pada putrinya itu dan menciumnya pada ubun-ubunnya yang tertutup jilbab. Kemudian, kakeknya, Siraj Din, mendatanginya dan melakukan hal yang sama. Sambil berpaling ke arah Ruby, Habib memintanya membawa Zarri Bano memasuki kamar karena upacara kini sudah selesai.
Dengan langkah mantap, Habib turun dari panggung dan segera menerima ucapan selamat dari para tetamu yang mengalungkan untaian uang di lehernya. Zarri Bano dengan patuh membuntuti Sakina dan Ruby ke sisi ruang lainnya dan diam-diam dituntun melewati kerumunan tetamu yang tampak terpukau. Tidak ada se
orang pun yang berani mendekati Zarri Bano atau memiliki nyali untuk menghampiri dan memberi ucapan selamat padanya atau bahkan mengalungkan untaian bunga di sekeliling lehernya. Itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak boleh dilakukan. Dalam benak sebagian hadirin, terbersit pertanyaan, "Apa yang harus diberi ucapan selamat" Seorang gadis dipenjarakan dalam sebuah kehidupan yang serba terbatas!"
Melangkah mendekati ambang pintu ruangan, Zarri Bano menemukan pintu keluar agak terhalangi oleh Sikander. Awalnya dia menatap Sikander dengan sorot mata terkejut. Kemudian raut muka menutup diri tersirat di matanya bersamaan dengan pandangan yang dilontarkannya melalui balik bahu Sikander ke kamar lainnya.
Baru saat itulah Sikander menerima dengan pedih kekalahannya. Dia merasa tidak mampu melakukan apa pun. Dia melangkah kikuk kembali memasuki ruangan dan melayangkan pandangannya ke segenap tetamu lainnya. Apakah semua orang di ruangan itu sudah gila" Apa yang mereka beri ucapan mubarak" Apakah mereka merayakan terpenjaranya seorang perempuan" Tidak adakah orang yang punya cukup nyali untuk menghentikannya" Apakah buzurg itu sungguh-sungguh melakukan upacara" Upacara macam apa itu" Apakah dia memang menggantikan mempelai laki-laki dengan Kitab Suci Al-Quran" Betulkah Zarri Bano telah dinikahkan dengan agamanya, bukan dengan seorang lelaki yang hidup"
Ibunya, Bilkis, menarik lembut tangannya dan perlahan-lahan membimbingnya keluar dari ruangan itu. Dia sudah mengawasinya dengan resah, mencoba mengikuti jalan pikiran putranya itu. Bilkis mencemaskan Sikander, juga Zarri Bano. Kini dengan tugas barunya, Zarri Bano terlarang untuk bergaul dengan kaum lelaki. Sebelum meninggalkan ruangan itu, Sikander menoleh ke belakang dan berserobok pandang dengan Habib Khan. Kedua lelaki itu saling menatap tajam dengan penuh kebencian dan ketidakpercayaan.
Setelah memandangi satu per satu kedua lelaki itu, akhirnya Bilkis memutuskan untuk menyeret anaknya keluar dari ruangan dan memasuki gazebo di halaman berumput. Makan malam sudah disiapkan oleh koki-koki berturban ketika Bilkis duduk di depan salah satu meja. Sikander menunduk memandangi ibunya seolah-olah perempuan itu sudah kehilangan akal. "Ada apa denganmu, putraku" Duduklah dan bersantap. Semuanya sudah berakhir!" bisiknya lirih seraya mendongak memandangi Sikander dengan penuh keprihatinan.
"Duduklah dan bersantap!" ulang pemuda itu. Dia bertanya-tanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya pada ibunya. "Ibu, aku akan menjadi gila. Aku tidak mampu bersantap! Aku tidak tahu mengapa aku datang ke sini. Dalam hatiku, dengan tololnya aku masih saja meyakini bahwa bagaimanapun, Zarri Bano tidak akan menjalani tindakan gila ini, dan bahwa seseorang entah dari mana akan menghentikannya. Namun, kita semua gagal menyelamatkannya dan bersekongkol dengan ayahnya. Aku akan pergi, Ibu. Tempat ini seperti neraka! Semua orang sudah gila!"
Sikander beranjak pergi dalam kemarahan, tidak peduli sebagian tamu ikut menguping kata-katanya dan kini menatap penuh perhatian padanya dan ibunya. Bilkis, terdiam karena malu, bangkit berdiri dan mencoba tersenyum kikuk, lalu membuntuti anaknya keluar dari khoti, dan keluar dari kehidupan Zarri Bano.
* * * Kembang api dan roket dinyalakan dan dilontarkan ke angkasa, meledak di udara menjadi ribuan pijaran bintang. Pertunjukan itu sangat menghibur para tamu dan anak-anak kecil dari keluarga-keluarga di sekitar tempat itu. Bak untaian bunga warna-warni, lampu-lampu menyemarakkan semua tempat di sekitar mereka, seolah-olah memberi tahu dunia bahwa kebahagiaan masih ada di rumah Habib Khan.
Untuk mengakhiri perayaan itu, Habib telah menyewa sebuah kelompok musik yang akan mempertunjukkan lagu-lagu daerah bagi semua tetamu. Para lelaki, dengan alat musik mereka yang beraneka ragam termasuk gendang tabla, duduk bersila di atas setumpuk bantal di salah satu gazebo.
Segera mereka membuat semua orang terlena oleh alunan irama musik mereka. Mula-mula mereka menyanyikan lagu-lagu religius, khususnya yang bertemakan perikehidupan Rasulullah Muhammad, kemudian lagu
-lagu sekuler, bertema perayaan atas cinta dan hasrat manusia. Terdengar suara-suara penuh gairah diwarnai kata-kata, "Wa, wa!" dari setiap penjuru. Sebagian tetamu bahkan melompat dari kursi mereka untuk menari atau terjatuh karena terbuai lagu itu, kepala mereka bergoyang-goyang dan kaki mereka menjejak-jejak mengikuti irama gendang tabla dan tepukan tangan yang mengiringinya.
Terlena dan terbius oleh alunan musik, Habib menepuk-nepukkan jemarinya ke lengan kursi yang didudukinya di hadapan para tamu lelaki. Musik berhasil mengenyahkan ketegangan yang dirasakannya seharian itu di dalam dirinya. Dia melongok-longokkan kepalanya ke arah gazebo mencari istrinya, bertanya-tanya dalam hati apakah istrinya ikut mendengarkan alunan lagu itu atau tidak. Namun, Shahzada tidak terlihat di mana-mana!
Istrinya itu sedang berada di kamar Zarri Bano, berusaha membujuk putri sulungnya untuk menyantap makanan. Sejak upacara berlangsung, Zarri Bano tidak banyak berkata-kata dan belum menyantap apa pun. Dia duduk mengenakan jilbab hitam di ujung ranjangnya, menatap ibunya dan adiknya yang duduk kaku di sofa di depannya.
"Ayolah, Zarri Bano, kau harus makan sesuatu," bujuk Shahzada.
"Aku tidak lapar, Ibu," sahut Zarri Bano lirih. Matanya seolah-olah menembus tubuh ibunya.
"Nanti kau bisa sakit, putriku." Shahzada bangkit dan merengkuh tubuh putrinya itu ke dalam pelukannya. Tetap bersikap kaku dalam pelukan ibunya, kedua tangan Zarri Bano tetap di samping tubuhnya, tidak membalas pelukan sang ibu.
"Aku tidak bisa makan, Ibu," ujarnya akhirnya seraya perlahan mendorong tubuh Shahzada menjauhinya. "Pergilah, Bu. Ibu harus menyalami para tamu. Ruby, kau juga harus pergi, sayang. Aku tahu kau sangat suka pada para pemusik itu aku bisa mendengar musik mereka dari sini. Aku akan baik-baik saja. Lagi pula, bukankah pengantin biasanya ditinggalkan sendirian di akhir acara""
Ibu dan putri bungsunya itu saling menatap satu sama lain. Zarri Bano menggunakan kata pengantin!
21. SAAT ITU sudah lewat tengah malam. Sebagian besar tamu Habib sudah tidur dalam kamar-kamar yang disediakan untuk mereka. Sekelompok kecil tamu masih duduk bersama di salah satu gazebo di kebun dan melanjutkan diskusi mereka tentang apa yang terjadi hari itu.
Shahzada sebagai nyonya rumah membiarkan mereka melakukannya dia sudah merasa cukup lelah. Ketika memutuskan mendatangi kamar putrinya untuk menengok keadaannya, dia menemukan kamar itu dalam keadaan gelap. Shahzada berpikir bahwa Zarri Bano sudah terlelap sehingga dia perlahan menutup pintunya. Dia kemudian berdiri di lorong, malas memasuki kamarnya sendiri dan berduaan dengan suaminya.
Saat pada akhirnya dia memasuki kamarnya, dalam keremangan, dada Shahzada begitu sesak oleh kemarahan yang terpendam. Bagaimana mungkin suaminya bisa tidur nyenyak" Dia berjalan hilir mudik perlahan di dalam kamar dan tidak melihat Habib yang sedang duduk tegak di ranjangnya.
Cahaya bulan dari jendela menerangi kamar mereka dan menyorotkan bayangan-bayangan di dinding. "Apakah mereka semua sudah terlelap"" tanya Habib lirih. Tangan Shahzada membeku di dalam lengan baju malam kurta-nya. Kedua bahunya menjadi kaku. Dia tidak menjawab atau menolehkan wajahnya untuk menghadap Habib. Dia malah melangkah menuju kamar mandi yang berhubungan dengan kamar mereka.
Merasa kecewa, Habib menyandarkan punggungnya ke bantal. Matanya menatap langit-langit kamar. Ketika Shahzada kembali ke kamar dan perlahan menaiki ranjangnya sendiri, dia menunggu istrinya itu mengatakan sesuatu. Dia tidak berkata apa pun. Habib terkesiap karena terkejut. Tidak pernah seperti ini sebelumnya!
"Tadi itu adalah upacara yang megah, bukan, Shahzada"" kata-katanya menusuk Shahzada, menyengatnya hingga membuatnya menanggapi, seakan tak ada yang bisa dilakukan lagi.
"Ya, itu adalah upacara yang megah untukmu, Habib!" balasnya ketus.
"Untukku" Bagaimana denganmu"" tanyanya sambil menolehkan wajahnya menghadap istrinya. Shahzada sedang menatap suaminya dengan mata melotot.
"Untukku, Habib"" Shahzada hampir saja tersedak oleh kata-katanya sendiri. "Itu adalah upacara pengorbanan
putriku sendiri untuk sebuah nasib buruk kau sebut itu megah""
Habib berjuang untuk mengendalikan emosinya. "Aku berharap kau tidak berpanjang lebar dengan kekonyolan seperti itu. Jika kau berkata seperti itu, sebagai seorang ibu, apa yang akan dikatakan orang-orang""
"Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan orang, Habib."
Dia menyabar-nyabarkan diri menghadapi sikap ketus istrinya dengan menyebut nama depannya tanpa panggilan penghormatan yang biasa diberikannya. Itu adalah penghinaan yang sengaja dilakukan Shahzada.
"Yang kutahu hanyalah kau yang menang. Akhirnya, kau meraih apa yang selalu ingin kau ukir dalam hati putrimu. Kematian putramu memberimu alasan yang sangat tepat," lanjut Shahzada tanpa ampun dan tanpa rasa takut.
"Apa yang sedang kau katakan, Shahzada! Ini sangat tidak adil...."
"Tidak adil!" jerit Shahzada seraya terduduk tegak. "Jangan berbicara padaku tentang ketidakadilan! Adilkah namanya jika kau berusaha sekuat tenaga mencegah putrimu sendiri menikah" Kau tidak pernah sungguh-sungguh ingin menikahkannya dengan lelaki mana pun, bukan" Khususnya pada Sikander. Ali, tidak. Kau terlalu mencintainya. Dia adalah hartamu, milikmu, dan kau tidak sanggup menerima bayangan adanya lelaki lain yang...."
"Diam! Kau tolol, perempuan bodoh." Sambil duduk Habib menatap istrinya. Tangannya bergetar di atas kain pelapis ranjangnya. "Kau tidak tahu apa yang sudah kau katakan." Mati-matian dia berusaha mengendalikan kemarahannya dan degupan jantungnya yang memburu.
"Ya, Habib, kau benar. Aku adalah seorang perempuan tolol. Karena hanya perempuan tolol yang akan membiarkan putri kandungnya sendiri menjalani upacara itu hanya untuk menyenangkanmu. Yang kutahu pasti adalah aku membencimu, Habib, sangat membencimu karena mengorbankan putri kita yang cantik." Shahzada memutar tubuhnya memunggungi suaminya. Jantungnya berdebar keras di dalam rongga dadanya. Mulutnya kering. Dia tidak pernah berbicara pada suaminya seketus itu sebelumnya atau berbicara kasar seperti itu.
Merasa betul-betul terguncang oleh ledakan kemarahan istrinya yang tak pernah diduganya dan kebenciannya yang menggelegak, Habib menyandarkan punggungnya ke atas bantal. Sambil memandangi kegelapan di sekitarnya, benak Habib memunculkan pertanyaan: Betulkah aku terlalu mencintai putriku" Betulkah aku tidak menginginkan Zarri Bano menikah dengan siapa pun" Apakah aku memang seorang ayah yang posesif" "Tidak! Tidak!" dia kuat-kuat membantahnya dalam diam. "Ini terjadi karena kematian Jafar. Kita tidak bisa melupakannya!"
* * * Zarri Bano terbaring di dalam gelap dengan kedua mata terbuka lebar, terbungkus kepompong sutra burqa-nya. Dia tidak menanggalkannya karena merasa tidak punya alasan untuk melakukannya. Kehidupan seakan sudah kehilangan makna dan momentumnya. Hari ini menjadi hari yang paling aneh seumur hidupnya. Dia belum mampu menyadari kebebalan fisik dan mental yang dicapainya sejak dirinya mengenakan burqa itu. Perutnya meratap kelaparan, tetapi mulutnya menolak menelan apa pun. Baki penuh berisi makanan tetap tidak tersentuh di atas meja riasnya.
Dia tidak tahu pasti kapan dia jatuh tertidur, tetapi dia pasti sudah terlelap tanpa menyadarinya karena ketika terbangun, cahaya menyelinap masuk lewat celah gorden kamarnya. Mata Zarri Bano mengelana ke sekeliling ruangan itu. Ingatan tentang upacara itu menyerangnya, membuatnya mengatupkan matanya kembali kuat-kuat, putus asa, dan berharap bahwa semua itu hanyalah mimpi.
Tangannya menyentuh kepalanya yang terbungkus. Cangkang yang menyakitkan itu terasa sangat asing teraba jemarinya. Suara gesekan burqa mengingatkannya bahwa dia masih mengenakannya. Tiba-tiba saja dia merasa tercekik. Dia ingin sekali mengoyak pakaian itu.
Sambil mencengkeram kuat selimutnya, Zarri Bano berkata pada dirinya sendiri, "Aku tidak harus mengenakannya, setidaknya di atas ranjang." Tidak ada aturan yang mengharuskannya mengenakan burqa di atas ranjang. Namun, busana itu adalah simbol sejati status barunya. Orang akan mengenalinya sebagai siapa lagi kalau bukan sebagai Perempuan Suci" "Mulai saat ini, aku harus selalu mengena
kannya," dia mencamkan sendiri kata-kata itu dengan pedih.
Di kamar mandi, dengan satu tarikan keras, dia menanggalkan pakaian hitam itu dan melemparkannya ke atas lantai marmer. Namun, Zarri segera membungkuk untuk memungutnya dan kemudian dengan hati-hati menggantungkannya di salah satu gantungan di dinding. Batinnya menegur dirinya sendiri. "Ini akan menjadi kulit keduaku. Aku harus belajar menyukai dan menghormatinya. Mengoyaknya akan berarti merusak sebagian dari diriku sendiri identitas baruku."
Zarri Bano berdiri di bawah pancuran air, membiarkan air hangat menghujani tubuhnya, dan dia pun mulai melumuri dirinya dengan sabun. Ketika menangkap bayangan dirinya di dinding keramik yang berkilau bagaikan cermin, dia membiarkan pandangannya melahap tubuhnya. Kemudian, sambil mengatupkan kelopak matanya rapat-rapat, dia menghapuskan bayangan di keramik itu. Dia selalu bersyukur atas apa yang diberikan Allah pada tubuhnya.
Dengan wajah mendongak ke arah pancuran air, Zarri Bano membiarkan air melarutkan air mata asin dari pipinya. "Ini seharusnya menjadi ritual mandi pertamaku setelah menikah, setelah semalaman ditinggalkan tidak sendirian, melainkan dengan seseorang." Wajah Sikander tiba-tiba saja terbias di depan matanya. Dia masih mampu mengingat bentuk bibirnya yang sensual.
"Bagaimana aku dapat menangani rasa rindu yang harus disangkal dan menikmati sebuah kehidupan yang sepenuhnya steril"" jerit batinnya.
Apa yang tidak akan dilakukannya adalah mengingkari kemewahan sebuah rumah, untuk terakhir kalinya, di kehidupan masa lampaunya dan orang-orang yang ada di dalamnya. Kelak dia akan dengan serta-merta dan selamanya menutup pintu ruang di benaknya dan membubuhkan label "masa lalu". "Aku akan melakukannya," sumpahnya, "tetapi tidak hari ini."
Hari ini dia akan membebaskan pikiran dan hatinya menikmati masa lalu dan rasa kehilangan atas kehidupan seorang Zarri Bano, dan apa yang akan terjadi seandainya Jafar tidak meninggal dunia. "Dia berkata bahwa aku akan mengingatnya hingga hari kematianku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu" Aku menginginkanmu, Sikander!" ratap Zarri Bano.
Tangannya terkepal menekan otot-otot perutnya untuk menggandakan rasa sakitnya, seiring jeritan duka yang menyayat berbaur dengan suara air yang memancar. Bagaimana dia akan mampu menghentikan rasa sakit atas kekosongan, rahim yang terlupakan, dan kerinduan untuk menimang seorang anak di dadanya" "Aku juga menginginkan anak seperti perempuan lainnya, ya Allah!" ratapnya.
Itu adalah mandi terlama yang pernah dilakukannya seumur hidup. Meski secara fisik dia merasa segar, kepiluan tetap membekas di hatinya, di seluruh tungkai dan matanya. Selesai mengeringkan tubuh, dia melangkah ke lemari pakaian dan mencari pakaian yang paling sederhana dan paling polos. Seraya melirik ke arah semua pakaian anggun miliknya yang tergantung di sana, sifon, krep, katun, kain tipis, dan beludru. Tangannya merayapi pakaian hitam dari bahan sifon yang dipakainya sewaktu bertemu Sikander untuk pertama kalinya.
Dengan gerakan cepat bertenaga, dia menarik semua pakaian itu dari lemari dan mencampakkannya ke lantai kamarnya, termasuk sifon hitam itu. "Mereka tidak berguna dalam kehidupanku sekarang," ujarnya. Dia akan meminta Fatima untuk mengenyahkannya.
Akhirnya, Zarri memutuskan untuk mengenakan sebuah pakaian polos dari kain linen. Merasa begitu terpuruk dan kecewa, sekali lagi matanya meneteskan buliran air mata. Hari ini dia seharusnya berdandan dalam pakaian pengantin yang paling megah dengan warna-warni cemerlang. Akan ada nuansa kegairahan dan keriangan di tempat itu. Namun, jika itu memang adalah hari pernikahannya, dia pastilah tidak akan berada di kamar tidurnya. Dia akan berada di Karachi, di rumah Sikander, di kamar tidur lelaki itu, atau berada di Singapura....
Zarri Bano melangkah pelan ke arah meja rias dan memasang selembar handuk di cermin panjang untuk menutupi bayangan rambutnya yang pendek. Tanpa perlu merias wajah, tanpa perlu menata rambut, tanpa keinginan Zarri untuk melihat bagaimana rupanya, cermin itu sudah kehilangan fungsinya.
Dengan kas ar, tangannya menyapu permukaan meja rias itu, mengenyahkan botol-botol, krim, pelembut kulit, kemasan-kemasan, dan pewangi. Dia menjatuhkan semua itu ke dalam sebuah keranjang besar, lalu mengikatnya kuat-kuat. Kini hanya tinggal sebuah sisir, sebotol krim tangan, dan sebuah kemasan krim pelembap di permukaan meja yang kini bersih. Dari laci-lacinya, dia mengeluarkan sebuah kotak beludru berisi perhiasan. Sambil membuka kotak itu satu per satu, Zarri memandangi isinya. Perak, emas, rubi, opal, dan permata berkilauan di depan matanya. Setelah menutup kotak-kotak itu satu per satu, dia meletakkannya bertumpuk di salah satu sudut meja riasnya. Dia akan menyerahkan semuanya itu kepada adiknya, Ruby, dan sepupunya, Gulshan. "Satu-satunya perhiasan dalam hidupku kini hanyalah jilbab, burqa, " ujarnya pada cermin yang terbungkus handuk.
Setelah menyisir rambutnya yang basah, Zarri Bano pun kembali menyelusupkan diri ke dalam burqa, menguji reaksi dirinya pada benda itu. Anehnya, benda itu tidak lagi terasa seburuk sebelumnya. Dengan ekspresi seorang ulama yang tenang di mata dan wajahnya, Zarri Bano beranjak meninggalkan kamarnya. Burqa itu berdesir di setiap langkahnya. Ketika dia melintasi kamar orangtuanya, pintu tampak terbuka dan ayahnya melangkah ke luar. Dengan tampak rikuh, mata Habib memandang dengan gugup ke arah tubuh Zarri yang berselubung jilbab. Zarri Bano setengah mati berusaha mengendalikan dirinya. Bagaimana mungkin dia memandangiku seperti ini, dengan tatapan mata ketakutan" pikir Zarri Bano. Padahal ayahnya sendirilah yang telah memaksanya melakukan ini semua!
Zarri Bano segera mengasihani ayahnya. Dia lalu mengangguk ikhlas padanya. Masa lalu sudah berlalu. Mereka berdua harus menerima dan mempersatukan diri untuk masa kini. Dengan khidmat, Zarri menyapa ayahnya, "Assalamu 'alaikum, Ayah," dan Zarri melanjutkan langkahnya.
"Wa 'alaikumussalam, putriku," balas Habib lirih seraya mengikuti langkah putrinya itu dengan benak yang sulit untuk menyatukan kedua sosok putrinya. Inilah yang diinginkannya, bukan" Burqa adalah bagian terpenting dari situasi itu. Dia merasa yakin tidak bisa menerima putrinya dalam sosok berbusana seperti seorang Shahzadi Ibadat. Pengabdian pada agama dan kemewahan tidak akan pernah berjalan bersama.
Mengamati putrinya menuruni tangga, perasaan jengah menderanya karena benda hitam itu memberi isyarat kuat padanya bahwa dia tidak akan pernah terbiasa dengannya. Apakah bagian kepalanya memang harus berbentuk sejelek itu" tanyanya dalam hati. Tidak bisakah jika berupa kerudung lepas yang biasa ditutupkan di atas kepala dan bahunya saja, daripada busana serupa karung yang sedemikian polos" Zarri Bano jadi terlihat seperti hantu berwarna hitam. Putrinya sempat menjadi contoh dalam soal gaya berbusana dan penampilan. Dia pasti tidak harus mengenakan karung tak berbentuk itu di dalam rumah, bukan" Dia akan membicarakan hal itu dengannya.
Sama sekali tidak menyadari apa yang dipikirkan ayahnya, Zarri Bano tak terasa sudah menjejakkan kakinya di ruang makan. Melihat sosoknya, sebagian tetamu berhenti bercakap-cakap. Mereka diam-diam mengamatinya bergerak mengelilingi ruangan itu, dan di saat yang sama mereka juga merasa jengah.
Gulshanlah yang pertama berhasil pulih dari keterpanaannya dan melangkah mendekat untuk menyalami sepupunya dengan seulas senyum di wajahnya. "Zarri Bano, mari duduklah bersamaku. Aku tadi tidak yakin apakah kau sudah bangun, kalau tidak aku akan naik ke kamarmu dan membantumu berdandan."
"Mengapa" Membantuku memilih salah satu gaun pengantinku barangkali"" balas Zarri Bano datar seraya mengangkat bagian leher burqa-nya untuk memperlihatkan pakaian kumal yang dikenakannya di baliknya. Mata Gulshan terbelalak.
"Apa yang kau harapkan lenghajingga terangku yang kau dan ibuku pesan dari penjahit terbaik di Lahore" Aku bukan seorang pengantin yang harus berdandan; lagi pula, kini aku harus menjadi seorang perempuan pengabdi seorang perempuan berselera sederhana," ujar Zarri Bano. "Tidak jadi masalah buatku sekarang tentang bagaimana rupaku, Gulshan. Seperti yang kau lihat, ke
angkuhan adalah satu hal yang harus kubinasakan dari diri Zarri Bano yang dulu. Tahukah kau, aku mengira bahwa itu akan menjadi hal terberat untuk dilakukan, tetapi aku cukup berhasil mengatasinya."
"Namun, kau tidak akan mengenakan busana ini sepanjang hari, bukan"" sahut Gulshan gundah. "Ini hanyalah penyelubungan secara simbolis. Bahkan perempuan-perempuan berpurdah pun tidak selalu mengenakan purdahnya setiap saat. Hanya saat mereka keluar rumah. Di rumah mereka berbusana seperti permaisuri."
"Gulshan, tolong kau camkan bahwa aku bukanlah perempuan berpurdah yang harus disembunyikan di belakang dinding rumah kita. Aku bisa melakukan apa pun dan pergi ke mana pun yang aku suka, dalam kaidah-kaidah tugasku dan dengan beraneka tuntutan yang dihasilkannya untukku, sebagai seorang manusia dan sebagai Perempuan Suci. Kini aku harus hidup dengan nama itu dan belajar untuk menyesuaikan diri pada sebuah kehidupan sederhana dan bersahaja, dan bilamana memungkinkan, aku harus menghindari kontak dalam bentuk apa pun dengan kaum laki-laki." Ketika melontarkan kalimat itu, Zarri Bano melemparkan pandangannya ke arah sang ayah. Dia mendengar semua perkataannya, Zarri tahu pasti hal itu, karena ayahnya kemudian menundukkan pandangannya.
Ruby yang berdiri di belakang Zarri Bano mendapati kata-kata ini begitu memilukan dan tampak kental tanda-tanda kepedihan di wajah kakaknya yang tertutup itu. Dirinya sendiri telah semalaman menangis.
Senyum Zarri Bano tampak luruh saat dia menatap kilauan air mata di mata cokelat Ruby.
"Ruby sayang, kau dan Gulshan boleh melihat-lihat semua perhiasanku dan membaginya di antara kalian berdua karena aku tidak mungkin menggunakan perhiasan apa pun lagi."
Ruby tak tahan. Dadanya terasa sesak dan dia pun berlari keluar ruangan. Seolah-olah kini Zarri Bano sedang sekarat di hadapannya dan tengah mengucapkan salam perpisahan.
Begitu sampai di kamarnya, Ruby menangis terisak. Seharian itu, dia memisahkan diri dari kakaknya. Dia tidak tahan melihat busana hitam menakutkan itu menutupi tubuh indah kakaknya. Burqa dan Zarri Bano sesungguhnya tidak bisa disatukan! Andai saja Jafar masih hidup hari ini, Zarri Bano mungkin baru kembali dari rumah mertuanya saat ini, dan alih-alih mengenakan pakaian hitam, dia akan tampak menawan berbalut keindahan riasan pengantinnya. Sebuah permata yang paling berkilau di antara permata lainnya, dengan seorang pengantin laki-laki yang paling tampan di sisinya. Sekarang, ke mana pun Zarri Bano pergi, dia akan berdiri bak sebuah sosok terlarang dalam pakaian hitam tidak memedulikan semua yang datang menghampirinya.
* * * Ruby menjaga jarak dari Zarri Bano selama beberapa hari kemudian. Itu lebih mudah baginya dengan banyaknya tamu yang hadir dan perempuan-perempuan yang mereka sebut sebagai "perempuan salihah" yang datang mengunjungi kakaknya dan tampak bersemangat untuk saling membagi ilmu mereka tentang Islam.
Sakina tetap serupa bayangan hitam di samping Zarri Bano, membuat Ruby selalu mencemburuinya. Zarri Bano kini tampak selalu melakukan shalat, menghitung untaian tasbih sambil berzikir dan membaca Kitab Suci Al-Quran, mengunjungi sekolah-sekolah agama, dan menyelenggarakan seminar persaudaraan Muslimah dengan berbagai kelompok perempuan.
Sepanjang masalah keagamaan, Zarri Bano sadar diri bahwa dia memang sangat abai tentang itu sebelumnya. Namun, karena dikaruniai otak yang cerdas, dalam dua minggu saja dia tidak hanya menyerap semua ilmu dasar agamanya, melainkan juga mengalami perkembangan pesat dalam membaca karya-karya para ulama. Buku-buku Islam kini berserakan di kamarnya.
Pada minggu ketiga, sebuah perbedaan besar menyeruak di antara kedua kakak beradik itu, dan keduanya enggan saling berbicara dari hati ke hati. Zarri Bano tampak berhasil menekan ingatannya mengenai masa lalunya, sedangkan Ruby, adiknya tercinta, adalah seseorang yang langsung menghubungkannya dengan dirinya yang dahulu. Sebulan telah berlalu, Ruby dengan berat hati harus menerima kenyataan bahwa dia sudah kehilangan kakaknya untuk agamanya.
Memang benar. Zarri Bano kini sudah sepenuhnya menjadi seo
rang Perempuan Suci. Dia tidak pernah melakukan apa pun dengan setengah hati.
22. PROFESOR NIGHAT Sultana dengan penuh syukur meninggalkan ruangan di kampusnya di Universitas Karachi. Dengan kedua kaki pegal dan koper penuh sesak oleh tugas-tugas mahasiswa yang harus dinilai olehnya, dia tidak akan mendapatkan libur hari Jumat.
Telepon berdering di ruang belajar ketika dia baru saja sampai di rumahnya.
"Untukmu, Ibu. Ini dari Bibi Zeenat," teriak putrinya dari ruang belajar.
"Terima kasih, sayang. Akan Ibu terima," ujar Nighat pada putrinya. "Tolong lihat apakah meja makan sudah disiapkan. Ibu sangat lapar. Ibu juga sakit kepala. Perkuliahan seolah-olah tidak ada akhirnya hari ini." Dia lalu duduk di kursi kulit di depan mejanya. Seraya tangannya meraih gagang telepon, dia mulai berbicara pada sahabatnya itu.
Rucksana meninggalkan ibunya sendirian dan melangkah ke arah meja makan. Dia melihat meja makannya sudah disiapkan untuk makan malam oleh pembantu perempuan mereka.
Lima menit kemudian, Nighat memasuki ruang makan. Rucksana berdiri dan dengan penuh hormat menarik salah satu kursi untuk diduduki ibunya. Garis-garis kecemasan tampak sangat jelas di kening Nighat. Sejak dirinya menjanda tujuh tahun yang lalu, garis-garis itu jadi menetap.
"Apakah semuanya baik-baik saja"" tanya Rucksana sambil membungkuk di atas meja untuk mengisi piring ibunya terlebih dahulu.
"Ya, sayang. Kau bisa makan sekarang. Aku tidak begitu lapar," jawabnya dan dia pun memasuki ruang tamu untuk duduk di sofa.
"Ibu bilang, Ibu sedang kelaparan tadi!" seru putrinya.
Nighat mulai memijat, meredakan urat tegang di dahinya. Itu seperti beban yang sangat berat.
"Ibu, ada apa"" tanya Rucksana cemas seraya membuntuti ibunya ke ruang tamu.
"Tidak ada apa-apa. Makanlah. Nanti Ibu menyusul."
"Tidak, sampai Ibu juga ikut makan. Aku tahu Ibu sangat lelah dan lapar."
"Ibu baru saja kehilangan selera makan, sayangku. Ibu sangat marah!"
"Mengapa""
"Sesuatu sudah terjadi pada salah satu anggota perempuan APWA kami salah satu mahasiswa senior Ibu, panggil saja Zarri Bano. Dia sudah menulis banyak artikel mewakili kami di majalah yang didirikannya. Menurut Zeenat, dia sudah dijadikan semacam Perempuan Suci. Rucksana, Ibu tidak sanggup memercayainya. Apa yang sudah terjadi" Ini adalah sebuah kabar yang sensasional. Betulkah ini terjadi" Zeenat berkata bahwa ini ada kaitannya dengan adat istiadat kuno keluarganya, dan bahwa saudara laki-laki satu-satunya meninggal dunia baru-baru ini dalam sebuah kecelakaan berkuda."
"Ibu, apa itu Perempuan Suci"" Rucksana merasa bingung. Dia tidak pernah mendengar sebutan itu sebelumnya.
"Ibu sendiri tidak yakin, sayangku. Zeenat berkata bahwa dia dijadikan seseorang yang hidup terisolasi, dijauhkan dari kaum laki-laki. Dia pergi ke mana-mana mengenakan burqa hitam. Dan bagian yang lebih menghebohkan adalah bahwa dia terlarang untuk menikah dengan siapa pun selamanya! Zarri Bano adalah salah satu mahasiswa Ibu yang paling cemerlang," ujar Nighat sedih. "Dia nyaris memiliki segalanya kecerdasan, kepribadian, kecantikan, dan sebuah keluarga kaya raya yang mendukungnya. Yang lebih penting lagi, dia dengan keras mengampanyekan hak-hak perempuan. Jika ini terjadi pada salah satu anggota kami yang sedemikian kuat, kami semua akan kehilangan. Tujuan kami, aspirasi kami, harapan semuanya, Rucksana!"
"Jangan gusar, Ibu. Mengapa Ibu tidak membicarakan ini dengan Zarri Bano atau mengunjunginya" Mungkin saja semua ini tidak benar," usul putrinya mencoba membantu sambil menggenggam tangan ibunya untuk membuatnya lebih tenang.
"Ibu pasti akan berbicara dengannya," sahut Nighat. Tatapannya masih tampak menerawang. "Bagus! Sekarang, mari kita makan. Aku sudah amat lapar," ujar Rucksana seraya menarik tangan ibunya memasuki ruang makan.
Sambil duduk di kursinya, Nighat memainkan sendok pada makanannya. Pikirannya tetap terpusat pada Zarri Bano malam itu. Tugas-tugas yang harus dinilai kini sepenuhnya terlupakan. Pada malam harinya dia berbaring dengan mata nyalang. Benaknya berkecamuk dengan sosok-sosok asing, kemarahan yang campur aduk memburu
dalam tubuhnya. Kemarahannya pada Zarri Bano atas apa yang dilakukannya, pada keluarganya, dan di atas semua itu, dia marah pada semua perempuan Pakistan yang tak berdaya menghadapi serangan kekuasaan yang patriarkat.
* * * Jumat siang, seminggu kemudian, Nighat meninggalkan rumahnya di Karachi dan pergi mengunjungi Zarri Bano di Tanda Adam. Selama mengendarai mobilnya melintasi jalanan Sindi yang tandus dan berdebu, benaknya disibukkan dengan apa yang akan dikatakannya.
Begitu dia sampai ke tempat tinggal keluarga Zarri Bano, rumah itu tampak ramai oleh kerumunan orang. Sekelompok laki-laki dengan kumis tebal hitam dan jaket panjang hitam tampak sedang melangkah keluar dari halaman ketika Nighat memarkirkan mobilnya di halaman. Dia bisa mendengar tawa orang-orang dewasa dan anak-anak dari halaman belakang.
Seorang pembantu laki-laki tua yang menuntunnya ke arah ruang tamu memberitahunya bahwa Zarri Bano sedang keluar melakukan suatu kunjungan bersama sahabat istimewa sekaligus pembimbing spiritualnya, Sakina. Nighat menunggu dengan sabar sambil berusaha menikmati sajian menyegarkan yang disajikan oleh Fatima. Mengetahui bahwa Nighat adalah seorang profesor universitas, Fatima tidak bisa menahan diri untuk mengatakan dengan bangga bahwa putri kandungnya sendiri, Firdaus, adalah "wakil kepala sekolah".
Beberapa menit kemudian, ketika Zarri Bano memasuki ruang tamu, Nighat terkesiap melihatnya. Sosok berselubung hitam itu menyerang segenap indranya; sebentuk amarah memburu di dalam nadinya. Keinginan yang menggebu untuk mengoyak kain hitam itu dari tubuh Zarri Bano menggetarkannya. Matanya mencucurkan air mata ketidakpercayaan.
Bibirnya bergerak untuk menyapa bekas mahasiswinya itu, tetapi semua kata-katanya seolah lenyap.
Dengan pilu, menyadari reaksi yang ditimbulkannya pada profesornya, Zarri Bano membaca adanya ekspresi negatif di wajah Nighat. Mimik itu memberinya pandangan tentang apa yang dipikirkan orang-orang dalam kehidupannya, seperti Nighat, mengenai dirinya yang menjadi seorang Perempuan Suci.
"Assalamu 'alaikum, Profesor Nighat. Betapa senangnya Anda datang kemari," Zarri Bano menyambut tutornya dengan hangat.
"Wa 'alaikumussalam, Zarri Bano. Apa kabarmu" Aku mendengar tentangmu dari kawanku, Zeenat." Akhirnya Nighat menemukan kembali suaranya, meski senyumnya sulit menampakkan diri.
"Terima kasih telah datang menengokku. Seperti yang Anda lihat, aku baik-baik saja. Bagaimana dengan putrimu, Rucksana""
"Dia baik-baik saja, Zarri Bano." Nighat menundukkan pandangannya dengan rikuh dari tatap mata bekas mahasiswinya itu. Ternyata ini sungguhan. Pikirannya berkecamuk. Zarri Bano menjalaninya.
Gadis muda itu menunggu dengan cemas ledakan kemarahan dari Profesor Nighat. Nighat yang sempat dikejutkan oleh kemarahannya sendiri berkata lembut.
"Mengapa""
Zarri Bano tidak tahu bagaimana harus mulai menjelaskan. Gadis itu menjawab dengan suara pelan bersahaja. "Aku harus melakukannya. Percayalah padaku."
"Kau harus"" suara Nighat meninggi karena emosi yang memburu. "Dari orang lain aku mungkin akan menduga jawaban seperti itu, tapi bukan darimu. Kau berkata bahwa perempuan menggenggam nasibnya sendiri. Betapa palsunya! Kau sudah mengkhianati dan mengecewakan seluruh perempuan Pakistan. Jika hal seperti ini bisa terjadi pada seorang perempuan matang yang terpelajar dari sebuah universitas seorang feminis yang juga seorang perempuan modern hanya Allah yang akan membantu perempuan muda tak terdidik di pedalaman Pakistan yang akan mengangguk dan disuruh-suruh, di bawah belas kasihan dan titah kaum lelaki mereka. Zarri Bano, aku merasa begitu marah, begitu impoten. Kerja keras kita bertahun-tahun musnah sudah. Mengapa, Zarri Bano" Mengapa""
Zarri Bano mendengarkan dalam diam kemarahan sahabatnya itu.
"Anda bertanya mengapa. Akan kukatakan pada Anda. Aku berutang penjelasan karena Anda adalah sahabatku, tutor, dan teladanku. Aku terbangun di suatu pagi, dan menemukan identitasku tercerabut dariku, lalu kusadari bahwa orang lain, ayahku, menggenggamnya dalam tangannya, dan dialah yang akan membentuk identitas itu untukku. Aku
terbangun dan menyadari bahwa buku-buku itu, buku-buku tentang feminisme, kampanye, dan pendidikan, semuanya benar-benar tak berguna untuk melawan tirani patriarkat dari kaum tuan tanah kita yang feodal. Dengan tololnya, aku meyakinkan diriku sendiri bahwa sebagai seorang perempuan dari kalangan atas yang modern dan terpelajar, aku akan berbeda dari perempuan-perempuan 'malang' itu, yang diturunkan derajatnya dalam masyarakat kita, yang melakukan apa saja yang diperintahkan kaum laki-laki.
"Entah bagaimana, aku tahu bahwa pada akhirnya ternyata kita berada di dalam pingra yang sama sebuah sangkar burung yang kuncinya dipegang oleh para ayah dan tetua keluarga. Batinku terus-menerus merasa sakit mengingat gadis tujuh belas tahun yang gemetaran, yang nasibnya sudah ditentukan dan dia akan dinikahkan dengan seorang laki-laki yang seperti itu. Agama kita secara eksplisit mengatakan bahwa seorang perempuan harus memutuskan sendiri hidupnya. Meski tekanan moral dan psikologis tetap dibebankan padanya, untuk menerima keputusan anggota keluarga yang laki-laki. Ya, aku bahkan tidak disodori pilihan seperti itu. Pernikahan sangat terlarang bagiku oleh ayahku. Dia berkata bahwa aku tidak akan pernah menikah dengan siapa pun!" Zarri Bano menarik napas dengan berat.
"Apa"" Nighat menatap Zarri Bano tak percaya.
"Ya, ayahku yang mencegahku memerasku secara psikologis agar tak menikah dengan laki-laki yang membuatku jatuh cinta, lelaki yang sangat aku inginkan untuk menikahiku." "Ya Tuhan!"
Zarri Bano menatap ekspresi kengerian sahabatnya dengan pilu. Dia telah menelanjangi jiwanya pada perempuan ini dan tidak pada siapa pun lagi. Dia berutang itu padanya.
"Anda mungkin pernah mendengar tentang tradisi kami mengenai seorang Perempuan Suci dan ahli waris keluarga kami. Saat satu-satunya ahli waris laki-laki meninggal dunia, di keluarga besar kami, warisannya, dan khususnya tanah-tanahnya, akan diturunkan kepada ahli waris perempuan berikutnya. Perempuan itu disyaratkan tidak akan pernah meninggalkan rumah ayahnya. Akibatnya, dia tidak bisa menikah. Untuk mengesahkan keadaan ini, moyang kami menciptakan status seorang Perempuan Suci, seorang Shahzadi Ibadat. Itu adalah sebuah ukuran bagi laki-laki seperti ayahku untuk memastikan tanahnya tetap menjadi milik keluarga." Ada kepahitan dalam suara Zarri Bano.
"Kau bisa menolak dijadikan ahli waris dan menurunkan warisannya jika kau ingin menikah," desak Nighat.
"Mau tidak mau, akulah si ahli waris. Aku harus melakukannya! Tanah itu kini bagaikan sebentuk beban tanggung jawab, sebentuk azimat yang amat kubenci melingkar di leherku. Aku sudah berkali-kali melihat berhektar-hektar tanah kami dalam beberapa minggu terakhir ini, dan tetap tak mampu menerima dengan ikhlas kenyataan bahwa kemerdekaanku identitasku, dan keperempuananku telah ditukarkan dengan berhektar-hektar tanah. Tanah yang telah dianugerahkan Tuhan Yang Maha Pemurah kepada kami, yang dijaga keluargaku bak bubuk emas selama berabad-abad, lebih berharga bagi mereka daripada kemanusiaan itu sendiri." Tiba-tiba saja Zarri Bano tercekat, merasa cemas jika saja dirinya sudah bicara terlalu banyak. Kesetiaan keluarga dan kewajiban seorang anak pada orangtuanya adalah sesuatu yang kuat dalam wataknya.
"Andai kau dulu membicarakan masalah Perempuan Suci yang mengerikan ini padaku, aku pasti akan membantumu," ujar Nighat gusar. "Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang kita anut. Syariat kita, pengadilan kita, baik yang sekuler maupun yang Muslim, akan bersedia mengajukan kasus untukmu melawan keluargamu."
"Tidak, Anda tidak mengerti. Ya, aku bisa saja menolaknya. Aku bisa saja berlari pada ratusan orang untuk memohon pertolongan jika saja aku menginginkannya. Ini adalah satu kata 'jika' yang sangat penting, Profesor Nighat. Inilah yang harus Anda pahami. Aku bisa saja menikahi tunanganku jika aku menginginkannya. Dia mengatakan dan menuduhku atas hal yang sama seperti yang baru saja Anda lakukan. Dia juga menawariku dukungan dan penampungan, dan ketika aku tidak mengikuti sarannya itu, dia juga sangat terpukul dan marah seperti Anda.
" Ya, aku bisa saja membantah ayahku jika aku menginginkannya. Namun, pada akhirnya aku tidak menginginkannya, dengan alasan yang sama seperti, ribuan gadis dalam masyarakat patriarkat kita yang pada akhirnya mengatakan 'ya'. Demi izzat kami, dan kehormatan keluarga kami, seperti perempuan-perempuan lainnya, aku menjadi sedemikian pengecut dan menjadi korban dengan mengubur dan mengorbankan kebutuhan-kebutuhan pribadiku demi keluargaku. Aku tidak bisa menjadi penyebab kekecewaan keluargaku dan tradisi keluarga kami."
"Jadi kau pun menjadi seperti ini." Nighat mengusapkan tangannya pada kain hitam yang dikenakan Zarri Bano.
"Ya, Anda benar. Ada banyak hal lagi yang bisa dikatakan, tetapi aku tidak mampu mengatakannya. Ini sangat pribadi dan menyakitkan. Yang bisa kukatakan adalah bahwa perempuan dalam masyarakat kita juga menjadi tawanan dari silat keperempuanan yang malu-malu. Jika seorang ayah menolak permintaan putri kandungnya untuk menikah, bagaimana mungkin dia bisa dengan aktif memaksa untuk menikah" Dia akan dijuluki besharm, seorang perempuan binal."
"Kini aku sepenuhnya teryakinkan, Zarri Bano. Kau seorang perempuan dewasa. Kau tidak membutuhkan izin ayahmu dan kau tidak akan dijuluki sebagai seorang besharm jika kau memang ingin menikah. Agama kita, masyarakat kita, selalu mendukung pernikahan. Kau tidak akan dikritik."
"Ya, apa yang Anda katakan itu benar. Namun pada akhirnya, kesederhanaan perempuan dan harga diri memenjarakanku ke dalam sebuah peranan untuk patuh dan mengikuti keinginan ayahku. Dia mengatakan sesuatu yang telah begitu menyinggung perasaanku. Setelah itu, aku tidak akan pernah mampu memikirkan pernikahan lagi. Dia mencapai tujuannya dan aku tidak akan pernah memaafkannya untuk itu. Bagaimanapun, kini aku sedang belajar untuk meraih diriku yang baru dan hidup dengan identitasku yang baru."
Tiba-tiba saja Zarri Bano menghentikan kalimatnya dan sebuah tawa getir menghambur keluar dari bibirnya. "Profesor Nighat, Anda dapat menggunakan sebuah judul untuk penelitian dan kerja lapangan mahasiswa-mahasiswa pascasarjana berdasarkan kisahku..., 'Seorang Feminis yang Menjadi Perempuan Suci'."
"Bukankah kau akan diasingkan hampir seperti setengah berpurdah. Inilah yang selalu kita lawan, Zarri Bano. Kita masih dalam proses pemulihan dari kebijakan-kebijakan Zia Ul-Haq dan pengaruh negatifnya pada kehidupan perempuan kita. Kita sudah bekerja keras untuk membuat kaum perempuan keluar dari rumah mereka dan menjadi mandiri di atas kaki mereka sendiri dan memiliki karier. Lihat apa yang sudah kau lakukan" Mengasingkan dirimu sendiri."
Dengan sabar, Zarri Bano mendengarkan apa yang dikatakan Nighat. "Tidak, Anda salah paham. Tidak akan ada pengucilan bagiku seperti yang Anda bayangkan. Benar bahwa aku tidak boleh berhubungan dengan kaum laki-laki, tetapi aku akan menjadi tokoh masyarakat. Aku akan keluar rumah dan berada di mana saja. Pada kenyataannya, aku berharap akan mendapatkan kemerdekaan yang lebih tinggi daripada yang kumiliki sampai saat ini."
"Dalam pakaian seperti ini"" tatap Nighat tak percaya.
"Ya, dalam pakaian ini."
"Zarri Bano, aku tidak akan pernah bisa mengenakan burqa menyelubungi diriku seperti itu. Aku akan merasa sesak."
"Ya, aku sempat merasa sesak olehnya. Ini bagaikan kain kafan hitam yang menyelubungi tubuhku. Aku pernah berniat mengoyaknya menjadi perca dan membakarnya di hari pertama. Kemudian aku belajar menghargainya di hari ketiga. Aku menjadi terbiasa mengenakannya di hari kelima. Hari ini aku sudah merasa nyaman mengenakannya. Ini bukan sekadar kerudung atau burqa biasa, melainkan sebuah simbol dari jabatanku. Begitu terbiasa dengan tugas ini, sedikit demi sedikit aku akan terbiasa dengan burqa ini pula. Entah bagaimana, aku masih belum sanggup memandangi diriku sendiri di depan cermin. Aku juga belum terbiasa dengan pandangan penuh kecurigaan yang kuterima dari semua orang ke mana pun aku pergi. Aku sudah belajar satu hal. Orang kini mulai menjauh dariku secara fisik dan psikis setiap kali melihatku. Khususnya seseorang yang kukenal baik. Ayahku sendiri...." Suaranya mengabur.
"Ayahku, orang yang begitu bangga menjadikanku seorang Shahzadi Ibadat, tak mampu memandang langsung mataku dalam beberapa minggu terakhir ini. Adik dan ibuku sama-sama menganggap penampilanku sekarang begitu mengerikan dan mereka berusaha menghindariku. Aku bahkan belum pernah mengobrol sekali pun tentang masalah ini dengan salah satu dari mereka. Satu-satunya teman yang kumiliki adalah Sakina, Perempuan Suci lainnya."
"Perempuan yang datang bersamamu""
"Ya, itulah Sakina. Aku mempertahankan kewarasanku, sebagian karena dukungannya. Dia selalu membawaku ke sana-kemari. Dia terus bersamaku sejak upacara penahbisan itu. Tahukah Anda, lewat dirinyalah sebuah dunia baru terbuka untukku. Hari ini aku mendatangi sebuah darbar dan aku menikmati setiap menitnya. Sudah berapa lama Anda mengunjungi masjid setempat atau sebuah darbar" Aku sudah membaca dan melafazkan Kitab Suci Al-Quran dengan kemajuan yang cukup pesat. Aku mendapati diriku sebagai sebuah jiwa yang abai mengenai agama kita. Jadi, kini Anda lihat, aku tidak akan terkucil. Aku akan menjadi seekor burung dengan sayap yang terbentang membuatnya terbang melayang memasuki sebuah dunia baru. Sesungguhnya, aku akan terbang minggu depan ke Kairo selama setahun untuk mempelajari Islam di Universitas Kairo."
Nighat tidak segera menanggapi. Semua itu terlalu banyak untuk bisa diserapnya. "Baiklah, Zarri Bano, kau baik-baik saja dan sudah benar-benar dicuci otak," sahutnya dengan berat hati.
"Tidak, bukan cuci otak," tambah Zarri Bano lembut dan sedih. "Aku ingat ada orang lain lagi yang mengatakan hal serupa padaku beberapa minggu yang lalu. Aku berusaha keras mengatasi situasi yang kuhadapi, belajar untuk beradaptasi dengan tugas baruku dan status di dalam kehidupanku, serta melupakan masa laluku, demi masa kiniku. Anda seorang psikolog. Seperti yang Anda katakan, aku sudah menjadi seseorang yang terbentuk oleh lingkungan di sekitarnya."
Nighat tidak dapat lagi mendebatnya. Dia sudah datang dengan kemarahan membludak dan merasa dirinya benar, tetapi kini angin sudah berganti arah. Dan inilah dia, datang jauh-jauh untuk memberi dukungan moral pada Zarri Bano dan memberinya perlindungan; tetapi dia malah menemukan seorang perempuan yang tidak membutuhkan dukungan siapa pun. Seorang perempuan yang, singkatnya, sudah dengan gagah berani menantang kehidupan barunya dan tidak menyembunyikannya dari dunia luar. Nighat mengagumi keteguhannya. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa atau melakukan apa. Pada akhirnya, Zarri Bano yang kembali membantunya.
"Aku sangat menghormati Anda. Tolong jangan cemaskan apa yang terjadi dengan diriku. Aku mohon maaf apabila aku sudah mengecewakan Anda dan jika aku dianggap telah mengkhianati misi kita, tolong maafkan aku. Satu hal yang bisa dipelajari dari kasusku ini, yang sudah kuteriakkan pada jutaan perempuan lainnya, bahwa pada akhirnya kita sebagai kaum perempuan hanyalah manik-manik kecil dalam bentangan kain keluarga kita yang ditenun dengan pintar oleh para ayah dan anggota keluarga laki-laki lainnya."
"Ada lagikah yang bisa kukatakan, Zarri Bano""
"Tidak. Tolong doakan aku agar bisa belajar melupakan kehidupan lampauku dan menyesuaikan diri dengan kehidupan baruku dengan sebaik-baiknya. Insya Allah!"
"Kau ingin melupakan kami" Sebongkah besar kehidupanmu akan kau tukar dengan sebuah kehidupan dengan pengabdian penuh pada agama""
"Ya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk membuatku tetap waras. Saat ini aku tidak tahu siapa diriku. Aku sedang menggantungkan nyawaku pada selembar benang rapuh di antara dua dunia, hampir seperti seekor ikan yang keluar dari air. Zarri Bano, perempuan kampus, si feminis, sedang bertempur dengan sang Perempuan Suci yang setengah hati, yang sedang berusaha menceburkan diri sepenuhnya dalam sebuah pengabdian pada agama."
"Aku mendoakanmu, sahabatku. Kau tidak boleh melupakanku bahkan andaikan kau melupakan semua yang lainnya. Kau harus datang mengunjungiku sesekali dan menulis surat padaku dari Kairo."
"Tentu saja, aku tidak akan melupakan Anda!" sahut Zarri Bano sambil tertawa. "Maukah Anda tinggal untuk ikut mak
an malam"" pintanya saat melihat Nighat bangkit berdiri, siap untuk pergi.
"Tidak. Aku harus pergi. Akan sampai dua jam mengendarai mobil untuk pulang ke rumahku. Selamat tinggal, sayangku."
"Hudah Hafiz. Semoga Allah bersama Anda."
"Kau juga, sayang," jawab Nighat. Dia tersenyum kaku ke arah Zarri Bano sambil menaiki mobilnya dan berlalu meninggalkan rumah itu. "Semoga Allah bersama Anda" adalah kata-kata yang terdengar asing dari bibir Zarri Bano, dan kata-kata itu terngiang nyaring di benak Profesor Nighat saat dia mempercepat laju mobilnya menempuh perjalanan pulang yang panjang.
23. DI BANDAR udara Karachi yang tidak terlalu ramai, Zarri Bano menumpang maskapai penerbangan Mesir yang menuju Kairo. Ruby, Shahzada, Habib, dan sopir mereka telah menemaninya ke bandara. Shahzada dengan hujan air mata di wajahnya, diam-diam selalu menghapus bulir-bulir kepedihan itu. Habib berhasil menahan air matanya. Dia lebih berkonsentrasi melihat putrinya terbang dengan selamat daripada membiarkan emosinya mempermalukan dirinya di tempat umum.
"Terima kasih, Sakina, mau menemani putriku. Aku menyerahkannya pada pengawasanmu dan tangan Allah Yang Mahakuasa. Selalu saling menjagalah kalian," ini adalah kata-kata terakhir Habib pada Sakina begitu mereka siap memasuki ruang keberangkatan. Setelah memeluk Shahzada dan Ruby, kedua perempuan berpakaian burqa menjuntai-juntai itu beranjak pergi dan menghilang dari pandangan.
Di ruang keberangkatan, Zarri Bano menyadari adanya berpasang-pasang mata yang memandangi tubuhnya. Ini adalah pengalaman pertamanya berada di bandara mengenakan burqa. Dia tidak berusaha menghindar dari tatapan mereka meski sebagian dari mereka adalah kaum laki-laki. Tubuhnya tetap tegak dan sikapnya waspada. Sambil membuka sebuah novel dari penulis favoritnya, dia duduk membaca di sebuah sofa empuk di ruangan itu, menunggu saat menaiki pesawat.
Bagi keluarga Zarri Bano, mereka kemudian mengalami perjalanan pulang yang hening. Begitu sampai di rumah, mereka segera berpencar ke berbagai arah yang berbeda. Habib menyuruh sopir membawanya mengunjungi ayahnya di rumah mereka di desa Chiragpur. Ruby naik ke kamarnya dan menghidupkan kaset. Shahzada memasuki dapur, mencari pengurus rumah tangganya.
Fatima sedang sibuk membuat sajian kerala ghost dan menggoreng kerala-nya di atas kompor. Begitu melihat majikannya menghampiri, dia mematikan kompor dan menatap penuh harap pada Shahzada.
"Apakah pesawatnya tepat waktu, Chaudharani Sahiba""
"Ya, Fatima, putriku sudah pergi," jawab Shahzada sedih sambil melangkah keluar dari dapur. Fatima meletakkan sendok kayunya dan membuntuti majikannya memasuki halaman belakang, dan ke dalam lapangan rumput. Shahzada duduk di salah satu kursi dan Fatima di kursi lainnya. Matanya menatap lekat wajah sang majikan.
"Bisakah aku membawakan makanan atau minuman untuk Anda, Chaudharani Sahiba"" tanyanya lembut.
"Tidak, terima kasih, Fatima. Yang kubutuhkan hanya putriku. Di sini, di dalam dekapanku. Dia sudah pergi, Fatima. Aku masih saja tidak mengerti mengapa dia harus pergi. Hatiku ini terluka setiap hari sejak kematian Jafar. Aku tak mampu menerima siksaan lainnya," ujarnya pilu. Matanya mencucurkan air mata.
"Aku ikut prihatin. Ini adalah yang terbaik."
"Terbaik untuk siapa, Fatima" Mengapa putriku harus pergi ke luar negeri sendirian""
"Anda tahu, dia pergi untuk menjadi seorang ulama, untuk mempelajari Islam. Itu sebabnya!" bujuk Fatima, berupaya menghiburnya.
"Aku tahu, itu juga yang selalu dikatakan Habib. Tapi coba pikir, putriku adalah seorang yang sangat terpelajar. Dia sudah hampir dua puluh delapan tahun usianya. Mengapa dia harus menjadi mahasiswa lagi, Fatima" Perempuan seusianya... teman-temannya... sebagian besar kini sudah menikah dan memiliki anak. Dan apa yang dilakukan putriku" Apa yang sedang terjadi pada kami"" Shahzada menoleh dengan tatapan pilu ke arah pembantunya.
"Aku tidak bisa menahan apa pun lagi, Fatima. Aku terpuruk dalam kedukaanku dan tenggelam semakin jauh dalam pelupaan. Mimpi buruk ini seakan tidak ada habisnya. Apakah aku sudah melakukan kesalahan, Fatima" A
pakah aku seorang pendosa, seorang ghunagar" Apakah ini adalah jalan Allah dalam menghukumku" Aku sudah kehilangan putraku tercinta, putra kesayanganku. Dia terbaring di kedalaman dua meter di tanah pekuburan keluarga. Aku juga sudah kehilangan putri sulungku dia, yang tidak pernah memasuki masjid dan nyaris tidak pernah menyentuh sajadah, telah dinikahkan dengan agamanya. Aku kehilangan dia dan kini dia benar-benar menghilang dari kehidupan kita sehari-hari."
"Oh, ayolah. Dia pergi untuk beberapa bulan saja. Banyak orang yang bepergian ke luar negeri untuk belajar zaman sekarang ini."
"Namun, semua ini salah, Fatima! Kita sudah melakukan sesuatu yang mengerikan, mengubah kehidupan Zarri Bano. Apa hak kita melakukan itu" Dia ingin menikah dengan Sikander, mendirikan perusahaan penerbitan, dan tinggal di Karachi. Dia mencintai pergaulan dan mode. Kita telah memercayakan sebuah gaya hidup yang asing padanya. Allah tidak mengharapkan pengabdian total semacam itu dari kita. Allah menginginkan kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan mengingat-Nya. Pikirkanlah, tidak ada biarawati dalam agama kita, Fatima."
"Namun, semua ini bagus bukan, Chaudharani Sahiba" Dia akan menjadi orang yang lebih saleh dan Muslimah yang lebih baik," desak Fatima.
"Aku akan menjadi gila dengan memikirkan bahwa tidak akan ada cucu yang kuperoleh dari Zarri Banoku tersayang. Aku membenci pakaian hitam yang dipakainya sepanjang waktu. Putriku yang cantik terkubur di dalamnya. Sejak hari penahbisan itu, dia sudah berubah, tak sepatah kata penolakan pun keluar dari mulutnya. Aku sudah kehilangan dia, Fatima!"
Menyadari tanda-tanda kepanikan di wajah majikannya, Fatima bangkit dan membungkuk di atas rumput di depan Shahzada. Sambil menggenggam tangan perempuan malang itu, dia mulai memijatnya perlahan-lahan.
"Kita tidak kehilangan Zarri Bano. Dia hanya pergi untuk mengikuti perkuliahan. Ayolah, jika dia menikah, Anda juga akan kehilangan dia."
"Tidak, tidak! Ini tidak sama! Aku akan mampu mengatasi kehilangan semacam itu," ratap Shahzada.
"Aku memiliki hati yang jembar, Fatima, seluas lapangan rumput ini. Sekarang aku membawa sekeping batu kecil di hatiku. Aku sudah kehilangan keluargaku, kedamaian pikiranku, dan rasa tanggung jawabku pada pernikahan. Aku
tidak merasakan apa-apa lagi selain kebencian pada Habib Sahib, seolah-olah aku tidak pernah mencintainya sebelumnya seumur hidupku. Kemarahan yang meluap mengalir deras di dalam tubuhku setiap kali aku melihatnya. Aku merasa mengerut dan lidahku membeku. Aku tidak ingin berada satu kamar dengannya, apalagi satu ranjang. Dia memandangiku dengan tatapan menghukum. Aku sudah menutup pintu hatiku untuknya, selamanya. Aku tidak akan membiarkannya memasuki hatiku lagi. Dia sama saja dengan memberiku talak tiga yang diancamkannya padaku karena kami hidup bersama sebagai sepasang orang asing. Kupikir dia hanya berbicara dengan ayahnya dan berhektar-hektar tanahnya yang selalu dijelajahinya setiap malam."
"Ia yang benar-benar kehilangan, bukan Anda. Dan ia pantas begitu karena ialah yang menciptakan semuanya ini," suara Fatima meninggi.
"Rubylah satu-satunya yang tersisa," lanjut Shahzada muram, "tetapi aku juga sudah merasa kehilangannya. Dia begitu limbung tanpa kakaknya dan merasa sangat terganggu karena Zarri Bano diperbolehkan pergi dan belajar di Kairo, sementara dia tidak. Bisa kau bayangkan itu, Fatima" Ruby memiliki gelar sarjana. Mengapa dia masih menginginkan lebih banyak lagi" Pada masa kita dulu, kita hanya mendapatkan pendidikan sekolah dasar. Sekarang ini tidak ada akhir dari sebuah pendidikan."
"Tidakkah aku menyadarinya, Shahzada Jee" Aku sudah membayar semua itu dalam lima belas tahun terakhir ini untuk keempat anakku. Bagi kami yang rakyat jelata ini, gelar sarjana menjadi komoditas yang sangat berguna, khususnya di pasar perjodohan. Semakin terpelajar seorang perempuan, semakin diminati dia. Tidak semua orang dianugerahi apa yang dimiliki putri-putri Anda; kecantikan, kekayaan, dan tanah untuk tawar-menawar. Pendidikan adalah kualifikasi yang paling mungkin ditawarkan untuk sebagian
besar orang zaman sekarang, seperti yang Anda tahu, Shahzada Jee. Para lelaki menginginkan perempuan-perempuan terpelajar. Perempuan menginginkan pendidikan." Tiba-tiba saja Fatima terkekeh. "Kerala-nya akan menjadi karet jika aku tidak bergegas masuk dan melihatnya."
"Aku akan menyusul untuk membantumu," ujar Shahzada. Dia merasa sedikit lebih baik setelah meluapkan emosinya. "Kau adalah sahabat yang baik, Fatima. Apa yang bisa kulakukan tanpamu""
"Tak ada orang yang sempurna, Shahzada Jee," seru Fatima ceria sambil bergegas masuk ke dapur bersama majikannya. "Namun, aku akan meninggalkan Anda dalam waktu dekat ini, saat Firdausku menikah."
24. DENGAN NAIK mobil bersama sopirnya, Habib Khan melakukan perjalanan menuju Chiragpur. Begitu mereka berbelok ke arah jalan utama Hyderabad, seekor kerbau berlari melintas, nyaris menabrak mobil. Dengan kepalanya yang besar berayun ke kiri dan ke kanan, sementara lonceng dan rantai yang mengelilingi lehernya berdentang ramai, kerbau itu tampak panik dan berlari keluar dari jalan raya langsung menerobos ladang sayuran di seberangnya sambil menyeret rantai besi yang berat di belakangnya.
"Astaga!" seru Habib begitu mobilnya berderit mengerem. "Dari mana datangnya binatang itu"" Dia melongokkan wajahnya lewat kaca depan. "Kerbau milik siapakah itu, Riaz" Apakah kau mengenalnya" Apakah itu salah satu milik kita dari peternakan ayahku"" Habib melangkah ke luar mobil.
"Aku tidak tahu, Sahib Jee," sopir yang berusia empat puluh tahun itu menjawab sambil ikut-ikutan melongok lewat jendela depan untuk melihat lebih jelas ke arah kerbau hitam yang kulitnya masih tampak berlumuran lumpur itu.
Habib merasa aneh, lalu mencari di mana kawanan kerbau lainnya berada. Pastinya binatang itu tidak bisa berkeliaran seenaknya. Dia melihat dua orang perempuan, jaraknya sekitar 200 meter, sedang mencuci pakaian di dekat pompa air sumur yang menyalurkan air melalui saluran irigasi buatan hingga ke ladang-ladang.
Itu ternyata hari mencuci bagi Naimat Bibi. Dia berhasil meminta pertolongan sahabatnya, Kulsoom. Disibukkan oleh tugas mencuci linen dan seprai yang lumayan berat, ketika Naimat Bibi mendongak, dilihatnya Habib Khan sedang berjalan menghampiri mereka. Mulutnya langsung ternganga. Tangannya tetap dalam posisi mencuci dan mencengkeram danda yang berbentuk pemukul untuk memukul-mukul pakaian yang dicucinya. Dia segera saja mengayunkan benda itu dan menghantamkannya dengan satu hantaman kuat ke permukaan selimut katun berlumur sabun yang terhampar di atas papan cuci kayu yang sudah usang. Dia menoleh ke arah sahabatnya dengan panik. Kulsoom sedang membilas sehelai seprai di dalam air sambil berpegangan pada pompa air.
"Ayo cepat, Kulsoom Jee, di mana dupatta-ku" Khan Sahib sedang menuju ke sini," seru Naimat Bibi gemetaran.
Kulsoom tergagap karena terkejut dan menoleh sambil melongo, sementara kedua tangannya yang kecil memegang kuat seprai basah yang berat itu. Pergelangan tangannya yang rapuh tentu saja tidak diciptakan untuk memegangi cucian yang berat; kedua tangannya itu segera saja terasa sangat sakit. "Aku tidak tahu di mana dupatta-mu berada," gagapnya, "tapi ini, gunakan ini, ini akan cukup menutupi." Dengan satu tangan, dia melemparkan sarung bantal kering ke atas kepala Naimat Bibi, sementara dirinya sendiri berusaha keras memegangi kain basah yang terus meneteskan air itu.
Naimat Bibi meletakkan sarung bantal itu menutupi kepalanya, tepat di saat Habib Khan tiba dan berdiri hanya berjarak beberapa kaki dari mereka. Dia memandangi mereka berdua dengan tatapan geli. Naimat Bibi tampak lucu dengan selembar sarung bantal menutupi kepalanya dan Kulsoom yang mungil sedang gemetaran memegangi seprai yang menetes di kedua tangannya. Dia berusaha menjauhkan kain basah itu dari pakaiannya sendiri. Habib juga menatap gunungan cucian yang masih harus dikerjakan. Sisanya, cucian yang sudah bersabun dan yang selesai dibilas, teronggok di semak-semak di dekatnya untuk dikeringkan. Ada sebuah belanga tanah liat besar berisi sabun ditempatkan di dekat papan cuci, tempat pakaian-pakaian dipukuli oleh da
nda, sebuah metode efektif untuk menghilangkan kotoran.
"Sahib Jee, assalamu 'alaikum," Kulsoom memberi salam dengan penuh hormat meski dengan wajah merona. Hal terakhir yang diinginkannya adalah tertangkap basah sedang mencuci oleh seseorang seperti Habib Khan. Dan cucian itu bahkan bukan miliknya sendiri! Sahabatnya tampak meniru memberi salam yang sama.
"Wa 'alaikumussalam. Ini hari mencucimu, Kulsoom Jee dan Naimat Jee" Mengapa kau tidak menggunakan mesin cuci yang kau beli tahun lalu, Naimat Jee"" goda Habib sambil diam-diam mempertanyakan logika dan nalar kedua perempuan ini dengan membawa semua cucian ini, nyaris satu setengah kilometer jauhnya dari desa, dan kemudian, dia menyimpulkan, mereka juga harus menggotong kembali semuanya ke desa.
"Mesin-mesin itu tak berguna, Sahib Jee!" dengan cepat Naimat Bibi menjawabnya. "Milikku terbakar pada suatu hari. Berapa banyak tukang servis yang datang ke desa" Aku tidak berniat membawanya ke kota terdekat karena itu terlalu mahal dan terlalu merepotkan. Di sini, sebaliknya, kami mempunyai bergalon-galon air bersih segar, memompanya keluar, dan tentu saja ada lebih banyak udara dan cahaya matahari untuk menuntaskan sisanya."
"Mengapa tidak kalian beri tahu ayahku" Ia akan memperbaiki mesin-mesin itu untuk kalian. Kalau begitu, aku akan mengirimkan seorang tukang servis untuk memeriksanya besok. Dan tentu saja kalian tidak perlu membayar," Habib Khan meyakinkan Naimat Bibi.
Naimat Bibi pipinya merona karena senang. "Betapa dermawannya Anda, Sahib Jee. Di sini sahabatku ini membantuku."
Kulsoom Bibi menyeruakkan seulas senyuman gugup yang santun sambil dirinya tetap mencengkeram seprai basah kuyup itu dengan tangan kesakitan. Setelah memastikan bahwa pergelangan tangannya yang kurus akan segera patah beberapa saat lagi, dia bersumpah dalam hati bahwa ini bisa dipastikan untuk terakhir kalinya dia membantu Naimat Bibi mencuci.


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja dia merasa heran mengapa Naimat Bibi tidak mencuci di rumah saja, seperti orang-orang lainnya. Dan mengapa dia mengumpulkan terlalu banyak seprai untuk dicuci pada satu hari" Apakah dia tidak berpikir" Masalah ini membingungkan Kulsoom. Naimat Bibi tinggal sendirian, tetapi Kulsoom merasa yakin dia sudah mengumpulkan seprai milik sepuluh orang. Tidakkah dia memikirkan pergelangan tangan sahabatnya yang malang dan mengasihaninya"
Sebuah pikiran tiba-tiba saja terlompat dari kepala Kulsoom yang lelah. Apakah Naimat Bibi diam-diam sedang melakukan bisnis baru mencucikan seprai orang lain" Dan dia terjerat ke dalamnya. Dia, Kulsoom Jee, seorang mak comblang desa yang dihormati, yang sekian lama tidak pernah mencuci dan kini tidak mampu membungkuk untuk
melakukannya. Selama lima belas tahun terakhir ini, dia mewakilkan pekerjaan yang mengerikan dan merusak tulang punggung itu kepada doban, tukang cuci desa.
Meski begitu, di sinilah dia kini, tengah memeras kotoran dari seprai kotor milik orang lain!
Kulsoom tiba-tiba saja melepaskan seprai yang dipegangnya dan seprai itu jatuh ke dalam saluran irigasi, dan menyaksikannya hanyut. Tepat ketika Naimat Bibi melihat seprai spesial milik Sardara, si perempuan penjual susu, hanyut menghilang, dia menjerit dan melompat berdiri. Setelah mencampakkan danda, dia membungkuk di atas batu datar dan karena itu, tak sengaja dia menjatuhkan sarung bantal di atas kepalanya ke dalam air. Dia berseru tergagap saat benda itu juga menghilang di depan matanya yang panik.
"Ini, saudariku, jangan panik," Habib menawarkan bantuan. "Aku akan mengambil semua benda itu untukmu." Mata Habib tampak memercikkan tawa ketika menyaksikan senyum kikuk di wajah Kulsoom. Habib berpegangan ke dinding dan dengan terampil berhasil mengambil kedua kain itu dengan menggunakan danda.
Merasa sangat malu dan dengan pipi memerah bak buah prem, Naimat Bibi dengan penuh terima kasih mengambil cucian basah itu dari Sahib Jee.
"Nah, kau tidak bisa mengeluh bahwa sepraimu tidak terbilas dengan baik, Naimat Bibi," Habib mencandainya dengan pipi menggembung oleh tawa.
"Terima kasih, Sahib Jee," gumam Naimat Bibi sambil matanya menatap gugup ke ara
h jubah hitam panjang Habib yang basah. Setengah jubah itu di bagian bawahnya sudah basah kuyup.
Kulsoom memutuskan untuk berbicara dengan tuan tanah desa mereka yang terpandang itu, putra dari Siraj Din, tetua desa. Dia sudah belajar sejak muda tentang kebijakan dan betapa berharganya menyemai waderas, berteman dengan orang besar. Dia juga beberapa kali telah menikmati keuntungan material dengan melayani mereka dan tetap berada di bawah kekuasaan mereka. Maka, Kulsoom kini memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang sangat pribadi.
"Sahib Jee, bagaimana kabar Zarri Bano"" Dia sadar, seperti juga penduduk desa lainnya, bahwa Habib Khan sangat memuja putri sulungnya.
Melihat tawa di wajah Habib menghilang dan sebagai gantinya, semburat muram menghiasi wajahnya, Kulsoom mengomeli dirinya sendiri, merasa bahwa dia sudah menanyakan pertanyaan yang salah, dan di saat yang tidak tepat
juga"Dia sudah pergi, Kulsoom. Dia saat ini berada di dalam pesawat menuju Mesir." Kulsoom menyadari secara naluriah bahwa sang tuan tanah merasa sangat kehilangan putrinya itu.
"Untuk menjadi seorang ulama Islam, Habib Sahib"" dengan cerdik dia memberanikan diri menambah pertanyaannya. Ini diketahuinya dari salah satu pelayan Siraj Din.
"Ya, Kulsoom," balas Habib dengan nada berat. Kemudian dia mengganti bahan pembicaraan. "Bisakah kau katakan padaku kerbau siapakah itu, berlarian ke sana-kemari di ladang" Kerbau itu nyaris menerjang mobilku." Habib mengingat kembali alasan awalnya berada di tempat itu.
"Tampaknya itu milik Khawar Sahib. Dia mempekerjakan seorang pemuda baru yang membantunya di peternakan, dan kerbau nakal ini telah membuatnya kewalahan. Ini adalah kedua kalinya kerbau itu melompati dinding pembatas yang rendah, mematahkan rantainya, dan melarikan diri, berlari keluar dari desa. Kalau saja kerbau itu berlari ke arah sini, bukan hanya cucian kami yang hanyut di dalam saluran air itu, melainkan kami, perempuan-perempuan tua yang malang ini. Itu dia!" Kulsoom menunjuk ke arah sosok seorang pemuda yang berlari mengejar-ngejar kerbau.
"Kuharap kerbau itu akan berhenti. Kerbau yang diperah susunya normalnya adalah makhluk yang lembut dan lumayan jinak. Aku heran mengapa yang satu ini menjadi begitu liar" Jika kerbau ini berlarian mengelilingi ladang seperti ini, kita tidak akan punya hasil tanaman untuk dipanen," ujar Habib gusar seraya melihat pemuda itu akhirnya berhasil menggapai rantai dan mengalungkannya ke leher binatang itu, dan menuntunnya kembali ke desa.
"Allah Hafiz, Sahib Jee," seru Kulsoom dan Naimat Bibi bersamaan, dan berdiri tegak sebagai tanda penghormatan. Sementara Kulsoom menyibukkan Habib dengan pembicaraannya, Naimat Bibi telah berhasil menemukan kerudungnya dan mengenakannya di kepala dan sekeliling bahunya. Sangat tidak mengenakkan terlihat tanpa kerudung oleh seorang lelaki terpandang seperti itu.
Habib berlalu, kembali ke mobilnya. Dengan tatapan penuh kenangan, Kulsoom mengawasi kendaraan itu menghilang ke arah desa, meninggalkan gumpalan debu di belakangnya. Dia lalu memandangi gunungan cucian dengan sebal. Tidakkah akan menyenangkan meninggalkan sahabatnya itu dengan cuciannya, dan naik ke dalam mobil Habib untuk menumpang" Mungkin dia sudah berada di rumah saat ini.
Sambil menghela napas dan malas menjalani gunungan kedua seprai yang harus dicuci itu, Kulsoom setengah hati melanjutkan kerjanya. Sambil berjongkok di atas tungkainya di samping batu datar di dekat saluran air sumur itu, dia mulai menyapukan sabun ke seprai basah, sebelum menyerahkannya kepada temannya.
"Bukankah Habib Sahib itu pemurah, Kulsoom Jee" Tidakkah kau dengar dia akan mengirimkan seorang tukang servis untuk memeriksa mesin cuciku""
"Ya, aku dengar, Naimat Jee. Namun, kita tidak usah terkejut karenanya. Kau tahu ketiga tuan tanah kita, Siraj Din, Habib Khan, dan Khawar Sahib muda, semuanya begitu baik hati dan zemindar'yang lembut. Entah bagaimana, masih banyak tuan tanah feodal di daerah kita yang menyedot semua hasil keringat penduduknya dan membuat keluarga mereka terikat sebagai buruh untuk bekerja di tanah mereka generasi demi
generasi. Tidak ada seorang pun yang terikat pada salah satu dari ketiga ini atau berutang uang pada mereka di desa kita. Khawar Sahib dan Siraj Din benar-benar memedulikan kesejahteraan rakyat jelata seperti kita," ujar Kulsoom sok tahu.
"Di manakah Mesir itu, Kulsoom Jee"" tanya Naimat Bibi, begitu dia mulai memukuli seprai di atas papan kayu lagi. "Apakah tempat itu benar-benar sath sumundarphar""
"Aku tidak tahu apakah tujuh samudra jauhnya, tapi setidaknya aku tahu ini: ada sebuah laut setidaknya antara Pakistan dan Mesir. Tempat itu kalau tidak salah terletak di dekat Arab Saudi. Dahulu kala, orang-orang berangkat naik haji menggunakan kapal-kapal laut, maka pasti ada laut dan samudra yang menghalangi. Setelah menceritakan
semua ini, kau juga tahu betul, Naimat Bibi, aku bukan orang yang tepat untuk menjawab pertanyaanmu. Aku belum pernah memasuki pintu sekolah mana pun. Aku sama tidak terpelajarnya seperti kau. Betapa sialnya bahwa tidak ada gadis-gadis berpendidikan di desa saat kita masih kecil. Ini tidak adil. Jika saja aku bisa membaca dan menulis, itu akan sangat membantuku menyaring serangkaian nama untuk bisnisku. Aku tidak harus mengingat semua hal khususnya nama semua pemuda dan gadis yang harus kuingat, dan juga keluarga mereka. Namun sudahlah, kita sudah cukup mapan meski nyaris tidak bisa berhitung dan sepenuhnya tidak terpelajar."
"Kau mengatakan itu untuk dirimu sendiri! Kau memang sudah cukup mapan, Kulsoom Jee, dengan bisnis perjodohanmu!" tukas Naimat Bibi gusar. Dia tak mampu menyamarkan rasa iri dalam nada suaranya.
Merasa disadarkan oleh sarkasme ini, Kulsoom tiba-tiba saja mengingat gunungan seprai yang mereka cuci dan langsung menoleh ke arah temannya. Matanya berkilau penuh arti.
"Naimat Bibi, sebenarnya seprai kotor milik siapakah yang kubantu cucikan ini"" tanyanya dengan tak kalah sinisnya. "Tidak mungkin ini semua milikmu, bukan" Apa yang sudah kau lakukan" Mengganti sepraimu setiap malam""
Lalu hening beberapa saat.
"Setengah dari semua itu milik Sardara Jee," jawab Naimat Bibi sambil menatap malu ke arah temannya. "Kau tahu bahwa dia terikat di kursi roda dan aku ingin membantunya."
"Baiklah," sahut Kulsoom sambil menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Dia membayarmu untuk semua ini""
"Tidak juga, tetapi dia tidak akan memintaku membayar susu selama seminggu penuh." Naimat Bibi kini memandang dengan tatapan cemas ke arah papan cuci.
Dengan pipinya yang cokelat jadi memerah, Kulsoom bertanya, "Jadi semua acara cuci-mencuci, yang sudah membuat pergelangan tanganku patah ini, adalah jalan bagimu untuk mendapatkan tiga guci susu." Dia memalingkan wajahnya karena sebal. "Jika kau menginginkan susu, demi Tuhan, Naimat Bibi, aku sendiri bisa membelikannya untukmu, daripada harus mengerjakan semua pekerjaan berat ini. Pernahkah kau berpikir bagaimana kita mengangkut semua ini kembali ke desa" Ini sudah sore. Kau harus memasak saat ini juga di rumah Siraj Din. Anaknya baru saja datang. Tidak ada siapa pun yang mempersiapkan makanan di sana. Kita tidak akan duduk di sini dan menunggu semua cucian itu kering, bukan" Dan sekarang, karena ini basah, beratnya akan berlipat ganda. Jika pergelangan tanganku patah hari ini, aku tahu siapa yang harus disalahkan!"
"Oh jangan khawatir, Kulsoom Jee," ujar Naimat riang. "Kau tidak harus memanggulnya. Aku yakin beberapa lelaki akan melintas dan mereka tidak akan menolak permintaan kita untuk membantu membawa semua ini kembali ke desa."
"Baiklah, terserah kau saja," ujar Kulsoom Bibi lelah sambil mencampakkan satu seprai lagi untuk dibilas air bersih yang memancar keluar dari pompa. Dia berharap dengan sepenuh hati bahwa dia bisa mencampakkan semuanya ke air dan membiarkannya hanyut. Dan kemudian dia, sendirian, bisa pulang ke rumah dan meninggalkan sahabatnya itu mengurus semuanya sendiri.
Entah mengapa, dia sadar bahwa dia tidak bisa berbuat sekejam itu karena Naimat Bibilah yang selalu ada untuk merawatnya saat dia sakit. Naimat Bibilah satu-satunya yang terus setia mendampinginya ketika dia terserang malaria tahun lalu. Dengan ikhlas, Kulsoom melempar
kan seprai bersih ke arahnya dan mulai memerasnya, merendam baju kameze-nya, dan memecahkan dua di antara gelang-gelang kacanya yang berwarna hijau saat melakukannya.
25. SETELAH MENINGGALKAN Naimat Bibi dan Kulsoom yang sedang mengerjakan cuciannya, Habib langsung menuju rumah ayahnya. Saat melintasi jalanan sempit berdebu menuju desa Chiragpur, mobil mereka membunyikan klaksonnya pada sebuah traktor dan sebuah pedati yang ditarik sapi. Tampak mencolok di tengah-tengah desa, sebuah bangunan vila besar berwarna putih pupus, dengan balkon dari besi tempa putih di keempat sisinya dan jajaran tanaman dalam pot yang menjurai turun sepanjang dinding, berdiri megah di antara bangunan-bangunan sederhana di sekitarnya.
Ayah Habib kini tinggal di sini dengan tiga pelayan laki-lakinya dan seorang pengelola tanah yang mengawasi bisnis dan mengumpulkan pendapatan dari tanah tersebut. Siraj Din adalah lelaki desa sejati, seorang zemindar yang sudah mendarah daging. Tidak ada satu hal pun yang dapat membujuknya meninggalkan Chiragpur, "desa cahaya" itu, dan bergabung dengan putranya di kota. Dia merelakan kepindahan putranya sekeluarga dengan kekalutan dan kepedihan, tetapi dia sendiri tidak akan terbujuk melakukannya.
"Bagaimana mungkin seorang zemindar bisa menjadi zemindar yang sesungguhnya jika dia tinggal jauh dari tanahnya" Tanah ini adalah kehidupanku. Mataku butuh memandangi hamparannya dan menghirup aroma sayuran hijau segar yang tumbuh di ladang-ladang, yang siap untuk dipetik dan dipanen. Aku tidak akan pernah meninggalkannya!" demikian alasan Siraj Din yang tak tergoyahkan kepada putranya, ketika mereka membujuknya untuk meninggalkan rumahnya setelah ibu mereka, Zulaikha, meninggal dunia.
Akhirnya, mereka membiarkannya melakukan apa saja yang diinginkannya. Sebagai seorang lelaki yang mandiri dan angkuh, dia tidak membutuhkan anggota keluarga terdekat yang mana pun untuk memastikan terlayaninya kebutuhan hidupnya sehari-hari para pelayannya sudah bisa memenuhi semua yang dibutuhkannya dengan baik. Naimat Bibi adalah koki mereka. Siraj Din masih begitu sehat dan gagah di usia delapan puluh tahun. Berjalan kaki setiap hari mengelilingi ladangnya membuat jantung dan paru-parunya selalu dalam keadaan baik. Tidak seperti putra-putranya, dia tidak memiliki kelebihan lemak, melainkan garis pinggang yang ramping. Putra-putra dan cucu-cucunya mengunjunginya secara teratur sekitar dua sampai tiga kali seminggu.
Ketika memasuki rumah lamanya, sebuah pemandangan yang amat dikenal Habib menyambutnya. Satu halaman tengah yang luas dengan kamar-kamar berjajar rapi di keempat sisinya. Di tengah taman, di antara empat bedengan mawar dan tiga pohon, ayahnya duduk di kursi lipat bergaya palang, setengah berbaring ditopang bantal tinggi. Seorang pelayan laki-laki duduk di dekatnya, siap untuk menyerahkan hookah-nya. Seorang pelayan lainnya berdiri di belakangnya sambil memijat bahunya perlahan tetapi mantap.
Siraj Din tidak berusaha untuk bangkit, hanya meninggikan posisi kepalanya untuk menyambut kedatangan putranya. Seulas senyum mengembang di wajahnya. Habib mendekati sang ayah dan, setelah memberi salam padanya, membungkuk. Dengan sikap yang sudah biasa dilakukannya sejak kecil, Habib mengangkat tangan ayahnya dan menciumnya. Setelah menerima salam itu, Siraj Din memberi tanda pada putranya untuk duduk di charpoy lainnya.
"Bawakan makanan dan minuman untuk tuanmu!" perintahnya kepada pemuda yang sedang memijat bahunya dan segera menyuruhnya masuk untuk mencari Naimat Bibi, tanpa menyadari bahwa dia masih berada di ladang sedang mencuci.
"Jadi, dia sudah pergi," Siraj Din mengawali berbicara sambil membungkuk dan mengembuskan napas ke dalam hookah-nya, membuat air menggelegak di bejana logam selama beberapa detik. "Ya, Ayah. Dalam enam jam ini, dia akan sampai di Mesir."
"Baiklah," sahut Siraj Din. Matanya menatap putranya sambil kembali mengembuskan napas panjang. "Namun, aku tidak tahu akan jadi apa dunia ini, Anakku, karena seorang perempuan muda dan masih lajang dikirimkan ke luar negeri, sendirian, untuk hidup sendiri. Menurutku, it
u sama sekali tidak bisa diterima. Dengan tulus, aku berharap bahwa kau tahu apa yang kau lakukan. Aku sendiri akan berpikir dua kali untuk mengirimkan anak gadisku sendirian ke kota lain di Pakistan, apalagi ke negara lain."
"Zarri Bano pernah hidup sendirian di Karachi ketika dia sedang belajar di universitas, Ayah. Jika itu adalah anak gadismu, dia akan hidup di masa lain. Segalanya sudah berubah kini. Kita harus belajar berpacu dengan waktu. Ayah sudah menikmati keuntungan perkembangan mesin modern seperti traktor untuk membajak tanah, bukan" Bukankah lebih baik dibanding dibajak kerbau" Perempuan sekarang lebih mandiri, terpelajar, dan lebih bebas melakukan banyak hal. Kita tidak dapat lagi mengunci mereka di dalam rumah. Ini bukan zaman purdah, Ayah."
"Namun, dia sekarang ini adalah seorang perempuan pengabdi seorang Bibi, Habib!" dengus Siraj Din sebal. "Pada masaku dulu, seorang Bibi nyaris tidak pernah menjejakkan kaki keluar rumahnya karena itu adalah bagian dari kebersahajaan dan pengabdiannya. Keterasingan dan keterkucilannya dari kaum laki-laki menempatkannya ke tingkatan seorang Bibi. Perempuan semacam itu tidak bisa keluyuran mengelilingi belahan dunia sendirian dan hanya Allah yang tahu apa yang akan dihadapinya di sana."
"Putriku bukanlah seorang Bibi, Ayah juga tahu," sahut Habib ketus. Mulutnya mencibir kesal. "Ayah bicara tentang para Bibi tua yang tidak berpendidikan, Ayah, ingatlah bahwa Zarri Bano adalah seorang sarjana. Dia akan menjadi seorang ulama yang harus belajar mengajari orang lain tentang Islam. Bagaimana mungkin dia melakukan hal semacam itu di rumah, di antara orang-orang yang tak terdidik seperti itu" Seberapa banyak ilmu tentang agama kita di desa Ayah, Chiragpur ini" Harus kukatakan pada Ayah, sedikit sekali. Khususnya di antara para perempuannya yang nyaris tidak terpelajar. Tempat yang akan didatangi Zarri Bano adalah tempat belajar terbaik untuknya. Dia adalah seorang perempuan dewasa, Ayah, bukan anak kecil. Ayah harus berusaha memahami itu. Dia akan menjaga dirinya sendiri. Dalam berbagai kesempatan, aku meminta Sakina untuk bersamanya, mengawal sekaligus menemaninya, sampai dia mapan. Aku sendiri akan mengunjunginya dalam beberapa bulan ini."
"Di mana dia akan tinggal"" tanya Siraj Din lirih. Itu adalah masalah yang mengganggu pikirannya sepanjang hari karena dia sempat membayangkan cucu perempuannya yang jelita berada di satu negara asing, ditatap oleh lelakilelaki Mesir. Bahkan dengan mengenakan burqa-nya sekalipun, Zarri Bano tampak memiliki pesona tersendiri. Kecantikan gadis itu adalah kebanggaan keluarganya, meski juga bisa menjadi ancaman jika dikaitkan dengan kaum lelaki.
"Dia akan tinggal dengan sebuah keluarga Mesir yang kutemui saat aku berhaji di Jeddah lima tahun yang lalu. Kami terus saling berhubungan dan aku pernah mengunjungi mereka sekali. Laki-laki itu memiliki seorang anak perempuan yang juga sedang bersekolah di universitas yang akan dimasuki Zarri Bano dan seorang anak laki-laki yang mengajar di situ. Dia juga yang mengatur pendaftaran Zarri Bano di sekolah itu."
Seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, Siraj Din berkata, "Aku tidak tahu, Anakku." Dia tampak tidak puas. "Kau masih tidak bisa meyakinkanku tentang nilai dan kebijakan mengenai apa yang sudah kau lakukan itu."
"Ayah, aku tahu betul apa yang kulakukan. Hanya saja aku mulai belajar dan menyesali konsekuensi yang akan kuterima." Habib tidak berusaha menyembunyikan nuansa kesedihan dalam suaranya.
"Apa maksudmu"" tanya Siraj Din tajam sambil mengesampingkan hookah-nya. Si pelayan laki-laki dengan penuh santun mengembalikannya ke tempatnya.
"Kupikir aku sudah melakukan sesuatu yang benar, tetapi aku begitu sedih karenanya. Aku sudah kehilangan keluargaku. Aku berjalan sendirian di dalam rumahku, sebagai sosok yang kesepian, Ayah." Bola mata Habib terpusat ke arah kebun anggur di sudut terjauh halaman itu yang tengah berbuah lebat dengan ranting-ranting menggayut dibebani buah-buah anggur hijau matang.
"Jangan bodoh, Anakku," dengus Siraj Din. Mata hijaunya memercikkan tawa. "Pikiranmu mulai melemah."
"Tidak, Ayah, pikiranku tidak melemah seperti yang Ayah katakan. Aku dirajam perasaan bersalah, merasa ragu apakah aku sudah melakukan sesuatu yang benar."
"Tentu saja, kita sudah melakukan hal yang benar!" balas Siraj Din cepat. Tawa itu terhapus dari matanya. Tubuhnya menegang.
"Mungkinkah Selim melakukan hal itu pada Gulshan"" Habib menatap nanar mata ayahnya, seolah menantang untuk mendebatnya. "Tentu saja."
"Tidak, dia tidak akan melakukannya." Habib menggeleng-gelengkan kepalanya dan memalingkan pandangannya dari tatap mata ayahnya. "Ayah tahu, istrinya tidak akan mungkin membiarkannya. Aku memaksa putriku dan dia mematuhiku. Shahzada dengan putus asa memohon padaku untuk tidak melakukannya, tetapi pada akhirnya dia menyerah dan berdiri di sampingku bagaikan sebuah pilar penopang yang kukuh."
"Ya..., dia memang sudah seharusnya begitu!" tukas Siraj Din gusar. "Itu adalah kewajibannya."
"Ya, dia sudah melakukan kewajibannya. Namun, balasan yang harus kutanggung akan menjadi sangat besar. Dia tidak akan pernah memaafkan diriku, Ayah. Tidak sepatah kata pun dia berbicara padaku sejak malam ketika aku memberitahunya tentang nasib Zarri Bano. Aku sudah kehilangan dia." Sekali lagi mata Habib tertuju pada ketiga batang pohon yang biasa dipanjatnya saat masih kanak-kanak.
Siraj Din menegakkan posisi duduknya, meluruskan kakinya ke atas lantai marmer. Sambil mengesampingkan hookah-nya lagi, dia mencondongkan badannya ke depan agar bisa menatap lurus anaknya.
"Sekarang dengarkan aku baik-baik, Habib, aku tidak menyukai apa yang baru saja kudengar. Apakah kau sudah kehilangan kejantananmu" Siapakah kepala rumah tangga di dalam rumahmu" Aku sangat kecewa padamu." Sorot mata Siraj Din, tepat seperti mata putranya, juga seperti yang diwarisi Zarri Bano, tampak begitu tegang. "Jika kau membiarkan kelemahanmu, kau akan menemukan dirimu terikat di perandah istrimu, dalam jaringnya. Dia akan menguasaimu dan tidak hanya rumah tanggamu. Dia mengirimkan Zarri Bano ke rumah Sikander di Karachi tanpa restumu, bukan" Kau yang akan menjadi seorang perempuan di dalam rumahmu!" Siraj Din menyimpulkannya dengan sorot mata jijik di wajahnya.
"Tidak mungkin hal itu terjadi," balas Habib getir. "Pernikahanku, hubunganku dengan Shahzada, tidak seperti hubungan Ayah dengan Ibu dulu. Kami berdua membangun keharmonisan di dalam rumah tangga kami. Tidak ada persaingan kekuasaan di antara kami. Shahzada menyadari posisi dan seluruh kewajibannya seperti yang selalu dilakukannya. Aku tidak pernah mendominasinya sebagaimana yang Ayah ajarkan pada kami, atau seperti Ayah mendominasi Ibu. Aku tidak mematahkan semangat hidup Shahzada sesuatu yang seumur hidup Ayah nikmati atas Ibu, meski tidak cukup berhasil. Ibu menampik Ayah bahkan di atas ranjang kematiannya sekalipun. Shahzada bukanlah seorang perempuan yang memiliki semangat juang tinggi seperti Ibu. Itu masalahnya! Andai saja dia begitu, sehingga kami bisa berdebat dan bertengkar, tapi dia hanya mengucilkanku." Dia terhenti sejenak, kemudian melanjutkan kalimatnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, "Dengan bodoh aku telah mengancam akan menceraikannya. Kupikir aku telah membunuh sesuatu di dalam dirinya hari itu. Matanya, yang seperti mata Ruby, yang selalu hangat oleh cinta dan tawa, kini memandangiku dengan penuh kebencian. Aku telah melukainya dengan teramat kejam, Ayah. Dia sudah kehilangan dua orang anak sekaligus!"
Siraj Din kembali menyandarkan punggungnya dengan nyaman ke atas tumpukan bantal dan sambil menerawang dia memuntir kumisnya yang sudah dicat itu. Dia sepenuhnya merentangkan kakinya ke atas palang. Dengan menyambar hookah dan memasukkannya ke mulutnya untuk memberi keleluasaan pada putranya, dia melambaikan tangannya menyuruh pelayannya pergi dan memberi perintah, "Pergilah dan cari Naimat Bibi, di mana pun dia sedang menenggelamkan dirinya. Putraku sedang di sini dan perempuan itu harus menyiapkan makan malam."
Dia tidak bisa memercayai apa yang dikatakan Habib padanya. "Seusiamu, Habib! Kau sudah hampir enam puluh tahun. Mengapa kau harus sangat peduli pada istrimu" Kau tida
k membutuhkan seorang istri untuk menjalani kehidupanmu."
"Ayah, aku tidak sepertimu. Aku tidak bisa hidup sendirian. Aku sudah menjalani kehidupan yang berbeda dengan apa yang Ayah bagi dengan Ibu. Ayah membelenggu Ibu agar selalu berada dalam jangkauan Ayah, selalu merasa takut Ibu mendominasimu. Pada prosesnya Ayah sama sekali tidak mengerti tentang kasih sayang seorang perempuan, atau bagaimana rasanya hidup dalam harmoni, bukan" Ayah selalu menjaga tanah Ayah dan setengah mati berusaha
menunjukkan siapa kepala rumah tangga di rumah Ayah. Cinta yang telah Ibu abdikan untuk Ayah pasti sudah mulai terabaikan sejak hari pernikahan kalian. Aku mengingat semuanya."
"Kau mengingat hari pernikahanku"" gerutu Siraj Din tak mampu membendung cetusan kasarnya.
"Tentu saja tidak. Namun, aku masih memiliki ingatan masa kecilku. Aku menyaksikan betapa kalian berdua begitu serasi meski juga adalah pasangan yang kacau. Sifat Ayah menuntut kepatuhan dan pengabdian, sementara Ibu menuntut persamaan derajat dan penghormatan. Ayah tidak pernah memberikannya, bukan" Dan untuk membalasnya, Ibu tidak pernah mengabdikan dirinya untuk Ayah. Beliau adalah seorang perempuan tangguh. Itu yang membuat seluruh anggota keluarga tetap bertahan. Ibu adalah benteng pertahanan kami."
Dengan mata memancarkan ketidaksenangan ke arah putranya, Siraj Din menunjukkan lewat bahasa tubuhnya. "Aku tidak tahu apa yang telah merasukimu hari ini, Habib. Putraku sekarang mencaci makiku dan membela ibunya! Menurutku, seluruh dunia ini telah menjadi amat kacau. Seolah-olah aku ini sudah sedemikian kuno pada tingkatan kehidupanku kini. Aku hidup di sebuah negeri di mana seorang gadis binal menguasai kita. Dan ini konon adalah sebuah negara Islam! Mengapa kau tidak pergi saja dan meletakkan kepalamu di pangkuan Shahzada dan membiarkannya memijat punggungmu, daripada kau datang ke sini mencaciku tentang ibumu dan pernikahan kami, Habib!" Laki-laki yang dituakan itu sekarang tampak benar-benar tersinggung.
"Kita berasal dari bibit lelaki yang berbeda, putraku," dia melanjutkan kalimatnya penuh kebencian. "Kita tahu ukuran-ukuran kita seperti kita mengharapkan istri-istri kita dengan sepenuh hati mengetahui apa ukuran mereka. Memang benar bahwa ibumu Zulaikha adalah seorang perempuan tangguh. Mungkin itulah alasannya mengapa aku mau menikahinya dulu karena aku tahu dia mampu menentangku, mengimbangi watakku. Dengan caraku sendiri, aku juga mencintai ibumu, Habib. Aku tidak selamanya mendominasinya seperti yang kau tuduhkan. Seorang lelaki masih tetap membutuhkan kasih sayang seorang perempuan dalam hidupnya. Meskipun kau mungkin sulit memercayainya, aku sangat merindukannya."
"Ayah, tidak ada keharmonisan dalam kehidupan masa kanak-kanak kami. Hidup kami begitu kacau. Aku bersumpah bahwa saat aku menikah, itu sangat berbeda. Aku juga mengatakan hal itu pada Ibu. Kupikir itu sebabnya Ibu membantuku memilih Shahzada, dan bukan ibunya Gulshan. Ibu berkata bahwa Shahzada lebih cocok untuk temperamenku. Shahzada selalu menjadi istri yang baik dalam semua hal."
"Kau! Aku jijik menyadarinya bahwa kau adalah jenis yang sama dengan kakakku! Dia terbiasa berjalan di belakang istrinya. Dia sungguh-sungguh terikat pada perandah istrinya, menuruti setiap perintahnya, dan pada akhirnya, dia menjadi bayangan istrinya dan bahan tertawaan kami. Akibatnya, dia tidak punya sepatah kata pun untuk dikatakan karena istrinya menikahkan semua anaknya dengan anggota keluarganya sendiri. Aku belajar darinya bahwa seorang laki-laki bisa menjadikan dirinya begitu bodoh, dengan terlalu banyak memberi perhatian pada istrinya. Ada perempuan yang mampu dengan brutal menunggangi suaminya seperti itu. Itulah yang dilakukan kakak iparku! Dia mengendalikan kakakku hanya dengan satu gerakan alis matanya, dan serta-merta tanpa rasa malu memamerkannya di hadapan kami semua.
"Suatu hari aku menentangnya. Dengan penuh amarah, kukatakan padanya bahwa dia tidak seharusnya memperlakukan kakakku seperti itu. Tahukah kau apa yang dikatakannya padaku, Anakku" Dia menatap wajahku lekat-lekat dan tertawa, wajahnya sen
diri menyeringai. Dia mendorong dadaku dengan jari gendutnya. 'Urus sajalah urusanmu sendiri! Jika kau ingin mendominasi, lakukan saja itu kepada istrimu sendiri itu dia, saat kau berhasil mendapatkan seorang istri. Jangan padaku, bocah bau kencur!' dengusnya.
"Aku membenci mereka berdua. Aku belajar dari kakakku, seperti yang kau pelajari sebaliknya dariku, bahwa aku tidak akan pernah menjadi budak bagi seorang perempuan. Tidak ada perempuan mana pun yang memiliki kesempatan untuk mendominasi dan mempermalukanku. Kesialanku adalah karena aku menghabiskan umurku dengan melakukan hal itu pada istriku dan aku tidak pernah berhasil. Ibumu jauh berbeda dari kakak iparku; dia bernyali dan berani menentangku!"
"Paman mungkin saja lebih berbahagia daripada Ayah dalam pernikahannya," Habib tidak tahan untuk segera menimpali. "Dia mungkin saja menjalani kehidupan yang lebih bermakna daripada yang Ayah jalani dengan Ibu. Aku kepala rumah tangga di rumahku, Ayah, tepat seperti yang Ayah ajarkan padaku. Namun, untung saja, aku tidak memiliki istri yang semangat hidupnya harus kupatahkan. Shahzada selalu menjadi istri yang penuh cinta, baik budi, dan mendukungku. Seorang istri yang kemudian dengan tragis menjadi asing bagiku karena aku menguatkan keinginanku untuk mempertahankan tanah keluargaku."
Pendekar Bayangan Setan 5 Raja Naga 15 Pusara Keramat Pertempuran Di Kutub Utara 1
^