Pencarian

Perempuan Suci 5

Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz Bagian 5


"Anakku, jika kau datang kemari untuk mendendangkan lagu tentang istrimu, kau sudah datang ke tempat yang salah. Camkan ini: kau adalah pemegang kekuasaan dan kepala keluargamu itu fondasi permanennya. Jika itu berjalan lancar, seluruh bangunan akan berada di bawah kakimu. Jangan lemah, Anakku! Istrimu akan memaafkanmu, waktu akan mengubahnya. Aku sepakat denganmu bahwa satu hal yang baik yang pernah dilakukan ibumu di antara semua yang pernah dilakukannya adalah menjodohkanmu dengan Shahzada. Dia adalah seorang menantu yang baik dan selalu seperti itu. Zarri Banoku adalah cucu perempuanku yang cantik. Aku amat bangga padanya dan aku juga sangat bangga padamu. Kau seorang anak laki-laki yang baik," Siraj Din tersentak kaget ketika melihat air mata mengalir dari mata Habib. "Hei! Jangan menangis." Sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dia menepuk kedua bahu putra sulungnya itu.
"Hidupku begitu hampa, Ayah," isak Habib. Bahunya membungkuk seraya membebaskan dirinya untuk meratap dan bersedih. " Jafar sudah pergi. Zarri Bano sudah pergi. Ruby enggan menatapku lagi. Shahzada menghindar dariku. Aku tidak sepertimu, Ayah. Aku menginginkan dan membutuhkan keluargaku. Aku tidak mampu menjalani kehidupan seperti ini. Aku hanya bisa berharap andai Jafar tidak meninggal dunia dan aku tidak pernah memaksa Zarri Bano untuk menjadi seorang Perempuan Suci."
"Oh, putraku, aku menyesal. Maafkan aku! Kau begitu terpukul. Aku lupa bahwa kau tidak seperti aku si kulit badak. Kau selalu menjadi yang paling perasa di antara keempat anakku." Perasaan tersinggung Siraj Din sebelumnya kini melunak, berempati pada dukacita anaknya. Kata-kata Habib telah menghancurkan hatinya.
26. IBRAHIM MUSA, seorang pemuda berusia dua puluh sembilan tahun, duduk di ruang belajar apartemen keluarganya di Kairo yang menghadap Sungai Nil. Tangannya mengelus-elus janggutnya yang tercukur rapi, dengan posisi tubuh seperti sedang berkonsentrasi penuh, dia membolak-balikkan beberapa kertas penelitian. Saat tenggelam dalam pikirannya, dia mendengar suara pintu menutup tamu-tamu mereka sudah tiba. Dia bangkit dan melepaskan kacamata bacanya, lalu menggosok-gosok matanya yang lelah.
Setelah meninggalkan ruang belajarnya, dia melongokkan pandangannya ke luar jendela balkon ruang makan, ke arah halaman kecil di mana sebuah mobil baru saja berhenti di sana. Dia menyaksikan kedua orangtuanya turun dari mobil itu, diikuti adiknya, Pakinaz, dan baru kemudian dua orang perempuan yang berjilbab hitam panjang. Alis matanya naik. Dia memandang lebih lekat lewat teralis balkon. Dia tidak menduganya. Begitu dia memercayai jilbab yang dilihatnya, dia pun kemudian merasa sangat senang.
Begitu meninggalkan ruang makan, dia menuruni tangga untuk kemudian berdiri di depan pintu masuk untuk menyambut ked
ua tamunya. Rasa penasaran dalam dirinya kini meluap-luap, khususnya dia sangat penasaran menunggu saat bertemu dengan gadis Pakistan yang datang untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo tempat dia mengajar. Daun pintu pun terbuka lebar. Ibrahim Musa berdiri menyambut sambil wajah tampannya memancarkan senyum dan menyapa dalam bahasa Arab, "Ahlan wa Sahlan Marhaba!" Yang pertama masuk adalah kedua orangtuanya, kemudian kedua perempuan itu, diikuti oleh Pakinaz.
"Ini putraku, Ibrahim Musa." Seulas senyum ramah tampak di wajah ayahnya ketika dia memperkenalkan anak laki-lakinya itu kepada kedua tamu mereka. "Aku sangat bangga padanya. Ini Zarri Bano, putri sahabatku, Habib Khan, dan ini kawannya, Ukhti Sakina."
"Assalamu 'alaikum!" sapa Zarri Bano pada Ibrahim Musa sambil memandanginya sesaat.
"Wa 'alaikumussalam, you are most welcome to our home, " ia menjawabnya dalam bahasa Inggris. Kedua bola mata gelapnya menatap lekat wajah gadis itu. Merasa malu, Zarri lalu membuntuti Pakinaz memasuki ruang makan.
Mereka semua duduk di sofa yang dipenuhi tumpukan bantal empuk buatan rumah yang kaya warna.
"Apakah kau ingin membuka hijabmu"" tanya Pakinaz kikuk. Dia merasa tidak yakin apakah dia sudah berbuat benar dengan bertanya seperti itu.
"Tenang saja," Zarri Bano meyakinkannya, melihat pancaran perasaan tidak enak gadis itu. "Kami mengenakannya setiap saat di dalam rumah." Dari ujung matanya, dia masih menyadari keberadaan pemuda itu. Zarri juga sadar bahwa lelaki itu sedang mengamatinya dari balik kacamatanya di ujung ruangan. Dengan lelaki itu berada di dekatnya, Zarri dan Sakina tidak berniat membuka burqa mereka!
"Baiklah," Pakinaz menyahut setelah terdiam beberapa saat, berharap mereka tidak akan menyangka dirinya juga mengenakannya atau mengira dia akan mencoba menyesuaikan diri.
Terdengar sebuah pembicaraan singkat dalam bahasa Arab antara ibu dan anak perempuannya itu, mengingat ibunda Pakinaz tidak bisa berbicara bahasa Inggris ataupun bahasa Urdu.
"Kuharap kalian tidak keberatan kami berbicara dalam bahasa Arab," Pakinaz memohon maaf sambil menoleh ke arah Zarri Bano. "Ibu berkata bahwa kau boleh tinggal selama kau suka dan berharap kau dapat menikmati waktumu selama berada di Kairo. Apakah kau sudah cukup lapar untuk makan malam""
"Ya, kurasa kami cukup lapar. Kami tidak makan banyak di pesawat. Kami tertidur tadi," Zarri Bano terkekeh.
Ibunda Pakinaz kembali berbicara dalam bahasa Arab. Kali ini Ibrahim menerjemahkannya dengan cepat untuk Zarri.
"Ibu kami ingin dan berharap kau bisa menikmati masakan Mesir. Yang jelas sangat berbeda dengan masakanmu." Dia berdiri tegak dan dengan penuh santun mengantarkan mereka memasuki ruang makan.
Musa memberi jalan bagi kedua sosok terbungkus kain hitam itu. Sudah tidak banyak lagi perempuan, kecuali kaum petani di pedalaman Mesir, yang mengenakan jilbab lebar seperti ini. Meski berharap masih ada banyak yang mengenakannya, dia tetap saja merasa terkejut bercampur bingung melihat rupa perempuan bermata hijau dalam pakaian konvensional untuk perempuan itu.
Tanpa sengaja, Musa mendapati dirinya duduk tepat di depan Zarri Bano. Begitu dia duduk, Zarri Bano menatap ke arahnya dan langsung menundukkan pandangannya lagi. Karena tidak ingin berhubungan apa pun dengan para pemuda, Zarri Bano tidak sempat tawar-menawar untuk tinggal serumah dengan yang satu ini. Perasaan gundah Zarri Bano, entah bagaimana, dirasakan oleh lelaki itu karena ketika melihat adiknya masuk dengan sebaki penuh daging domba di atas hamparan nasi, dia segera bangkit, memberikan tempat duduknya pada adiknya.
"Pakinaz, duduklah di sini dan makanlah bersama kedua tamu kita. Aku akan makan nanti saja." Dia berbicara dalam bahasa Inggris demi Zarri Bano. Begitu berdiri, dia sempat menangkap sorot mata berterima kasih di mata Zarri Bano. Kini Zarri tersenyum padanya untuk pertama kalinya sebagai penghargaan atas apa yang sudah dilakukannya. Dia menatap wajah gadis itu, melihat lesung yang menarik yang tiba-tiba muncul di pipi kirinya.
* * * Zarri Bano dan Sakina melihat Ibrahim Musa keesokan harinya, tepat ketika me
reka baru saja kembali dari kunjungan mereka ke Piramid Giza ditemani Pakinaz. Ibrahim yang juga baru pulang dari universitas, memutuskan bergabung dengan mereka di ruang makan untuk menikmati minuman dingin, dan dengan sopan bertanya pada tamu-tamunya, apakah mereka menikmati jalan-jalan mereka. Dia menanyakan itu pada Zarri Bano, mengingat dia adalah satu-satunya yang fasih berbahasa Inggris.
"Piramida itu adalah tontonan yang luar biasa, tetapi aku merasa klaustropobia saat menuruni tangga menuju liang makamnya. Menurutku, aku tidak akan terlalu bersemangat lagi menuruni tangga itu dalam waktu dekat ini, Abang Musa!" ujar Zarri Bano seraya tertawa.
"Ya, aku sepakat. Lorong-lorong di Piramid Giza memang sangat sempit, Adik Zarri Bano." Dia juga kemudian ikut tertawa. "Makam yang lain di Lembah para Raja memiliki lorong-lorong yang lebih lebar. Mungkin aku bisa mengatur sesuatu agar kita semua bisa mengunjungi Lembah para Raja dan Ratu, termasuk juga Luxor dan Karnak. Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku akan berjumpa dengan kalian lagi nanti. Assalamu 'alaikum."
"Wa 'alaikumussalam. Terima kasih atas saranmu. Kami akan sangat senang melakukannya begitu kami sudah santai. Prioritas utamaku adalah mendaftarkan diri ke universitas dan memulai kerja akademisku."
"Ya, tentu saja. Jika kau mau, Pakinaz dan aku bisa mengantarmu ke universitas, serta mengajakmu berkeliling untuk melihat-lihat isinya, sekaligus kami juga akan mengajakmu berjalan-jalan ke tempat lain."
"Oh, kau baik sekali, tetapi kami tidak ingin merepotkanmu. Kami tahu kau sangat sibuk mengajar dan juga mempersiapkan perkuliahanmu."
"Tidak sama sekali, kau sama sekali tidak merepotkan. Tapi, aku harus pergi sekarang."
"Tentu saja," Zarri Bano menjawab dengan sopan. Dia memandangi lelaki itu kembali memasuki ruang belajarnya.
* * * Tiga hari kemudian, Zarri Bano menelepon orangtua dan adiknya di Pakistan. Dia berbicara panjang lebar dengan Ruby.
"Udaranya panas di sini, tetapi cukup nyaman. Apartemen yang kami tempati ini menghadap Sungai Nil. Bayangkan, Ruby, dari balkon kami dapat melihat perahu-perahu berlayar bolak-balik di sungai legendaris ini. Kau sungguh-sungguh harus datang dan mengunjungi kami di Kairo secepatnya."
"Aku pasti merasa sangat beruntung," gerutu Ruby iri dari ujung telepon. "Aku merindukanmu, Zarri Bano."
"Aku juga merindukanmu, Ruby. Aku masih saja belum paham sepenuhnya di mana aku berada dan apa yang sedang kulakukan di sini, dan mengapa aku melakukannya."
"Aku mengerti, Kak. Katakan padaku, orang-orang macam apa mereka di situ"" tanyanya. Dengan bijak, dia segera mengalihkan pembicaraan mereka.
"Oh, mereka orang-orang yang sangat baik, Ruby. Seperti juga orangtuanya, ada anak-anak mereka yang masih lajang yang tinggal di rumah ini. Yang lainnya sudah menikah dan tinggal di Kairo atau Iskandariah. Besok, Pakinaz, anak perempuan mereka yang lajang itu, akan mengantar kami ke universitas tertua di Kairo, Al-Azhar, dan bertemu dengan kakaknya. Aku tak sabar ingin bertemu dia."
"Apakah yang tinggal di rumah itu dua saudara perempuan" Kau bilang ada anak-anak."
"Tidak, salah satunya putra mereka. Dia adalah seorang pengajar di universitas tempat aku akan belajar."
"Bagaimana tampangnya""
"Oh, lumayan. Kuharap dia akan bisa sedikit membantuku begitu aku mulai belajar. Aku akan tergabung dalam jurusan yang dipimpinnya. Dia bahkan sudah memberikan beberapa buku padaku tentang bagaimana cara mempelajari bahasa Arab. Sangat menguntungkan ada lelaki itu sebagai narasumberku. Aku sedang berusaha melatih lidahku berbicara bahasa Arab."
"Apakah dia berwajah tampan"" suara Ruby terdengar jelas sedang menggoda kakaknya itu.
"Ruby! Ya, sekadar informasi untukmu, dia tampan. Dia berjanggut hitam dan matanya berwarna gelap dan lebar sehingga kau bisa tenggelam di dalamnya. Apakah itu memuaskanmu" Sejujurnya, aku lebih suka dia tidak tinggal bersama keluarga ini. Aku jadi harus mengenakan burqa sepanjang waktu karenanya. Aku hanya melepaskannya di dalam kamarku."
"Oh, malang nian. Kau pasti merasa sesak napas, mengingat di sana pasti sangat panas. Bag
aimana kabar Sakina""
"Sakina sedang bersenang-senang. Dia sudah berbelanja banyak sekali dan membeli sekurang-kurangnya selusin botol parfum. Aku akan mengirimkan padamu beberapa botol saat Sakina pulang dalam dua minggu ini. Sampaikan salam sayangku pada semua orang." Zarri Bano mengakhiri pembicaraan pertamanya dari Mesir dengan adiknya.
Beberapa saat kemudian, Ibrahim mengantar mereka ke universitas tua itu dan mengajak mereka melihat-lihat, seraya menjelaskan aneka sejarah tentang tempat itu pada mereka.
* * * Zarri Bano melirik ke arah kalender papirus dengan sebuah lukisan pohon kehidupan Mesir yang digantungkan di dinding ruang belajar Ibrahim. Tiga bulan sudah berlalu. Saat itu dia sudah terdaftar di Universitas Al-Azhar. Semester kedua sudah dimulai dan kini dia sedang menjalani kuliahnya. Dia sudah memilih tema untuk tesisnya, "Perjalanan para Sejarahwan Awal Arab, Ibnu Khaldun dan Ibnu Battutah". Karena merasa kesulitan dalam menguasai bahasa Arab klasik, dia pun kemudian cukup belajar tentang bahasa Arab modern untuk mengatasi kebutuhannya sehari-hari, seperti saat berbelanja atau berbicara dijalan. Meskipun dia sudah memiliki kamarnya sendiri, dengan satu set meja belajar lengkap, Ibrahim Musa mengizinkannya menggunakan ruang belajarnya saat sedang tidak digunakan. Zarri Bano terpesona oleh rak buku yang memenuhi dinding-dindingnya yang dipenuhi buku-buku tentang Islam, agama, dan sejarah Islam.
Dia mendapatkan bantuan Pakinaz untuk menerjemahkan kata-kata dan memahami ungkapan serta idiom bahasa Arab yang tidak formal. Ibrahim Musa menawarkan untuk mengevaluasi pelajarannya setiap dua hari sekali dan membantunya dalam mengembangkan bahasa Arab klasiknya.
Setelah melewati beberapa hari pertamanya, Zarri Bano sudah mulai merasa rileks menerima kehadiran Ibrahim, dengan menyapa dan menganggapnya sebagai seorang kakak. Sementara bagi Ibrahim sendiri, dia menghormati dan menyapa Zarri sebagai adiknya. Tampak sangat menikmati kehadiran Zarri Bano, Ibrahim juga bersyukur dapat membagi ketertarikan dalam bidang yang dikuasainya bersama Zarri Bano. Pakinaz dan kedua orangtuanya sama sekali tidak tertarik dengan bidang yang digelutinya. Entah bagaimana, kini, seorang perempuan cerdas dengan semangat yang membuncah, yang datang dari belahan dunia lain, telah melakukan yang terbaik dalam bidang yang dipelajari Ibrahim itu.
"Adik Zarri Bano, aku sangat terkesan dengan kemampuanmu yang tinggi dalam menguasai bidang ini dengan waktu yang cukup singkat," ujarnya memuji kemajuan studi Zarri Bano pada suatu hari, sambil bersandar di kursinya dan mengamati Zarri Bano dari balik kacamatanya. Matanya yang gelap menyorot lurus ke wajah Zarri. Zarri Bano meraba keningnya untuk memeriksa andai ada helaian rambutnya yang keluar dari balik kerudung burqa-nya.
"Terima kasih atas pujiannya, Abang Musa. Aku merasa semua bidang yang kupelajari begitu menarik. Aku merasa seperti sebuah busa. Aku ingin menyerap sebanyak mungkin ilmunya. Sudah menjadi tujuanku menjadi seorang perempuan yang terpelajar dalam bidang agama dan kalau bisa dalam waktu yang sesingkat mungkin. Tentu saja, sebagaimana yang kau juga ketahui, sebagian besar kemajuanku berkat kau juga. Jika aku tidak memilikimu sebagai seorang mentor, tutor, atau apalah kau menyebutnya, aku tidak akan mendapatkan kemajuan sejauh ini."
"Sama-sama. Sangat menyenangkan berteman denganmu, Zarri Bano," dia menjawab hangat sambil mencondongkan tubuhnya ke depan. Zarri menyadari, dengan hati yang terpuruk, betapa Ibrahim Musa telah menghilangkan kata "adik". Sebentuk kesadaran fisik yang belum pernah ada sebelumnya segera saja menyeruak di antara mereka berdua.
Zarri Bano bersandar ke belakang dan dengan tatapan menerawang dia memandangi buku di pangkuannya. Kemudian dia bangkit, sambil matanya berusaha untuk terus menghindar dari sosok lelaki itu. "Maafkan aku, Abang Ibrahim. Menurutku, kita berdua sudah sangat lelah. Aku akan meninggalkanmu untuk beristirahat."
Terkesiap menerima sikap Zarri yang tiba-tiba saja berubah, Ibrahim memandangi gadis itu berlalu dengan tatap mata cemas.
27. HARI ITU Jumat pagi, keluarga Ibrahim sedang pergi berlibur ke Iskandariah, di pesisir Laut Tengah, mengunjungi kerabat mereka selama satu minggu. Mereka sudah mengajak Zarri Bano untuk ikut bersama mereka. Sambil berterima kasih atas tawaran baik mereka, Zarri Bano menolak dengan halus, mengatakan bahwa ada banyak buku yang harus dibaca untuk penelitiannya.
Setelah mandi untuk shalat Jumat, Zarri Bano memutuskan mengenakan baju katun merah panjang khas Mesir yang dibelinya dari pasar induk Kairo. Dia duduk di depan daun jendela dari kayu yang terbuka di ruang belajar Ibrahim. Dia membiarkan sepoi angin yang hangat dari Sungai Nil mengeringkan rambutnya yang membingkai wajahnya dalam ikal alami rambut yang tak tertata. Dengan sepasang mata terpejam, dia meresapi embusan angin hangat di wajahnya sambil memikirkan tugas-tugasnya tentang ilmuwan dan ahli matematika Muslim abad kedua belas.
Begitu mendengar langkah kaki di luar ruang belajar, segera dia terduduk tegak, dengan mata terbuka dan sangat waspada. Siapakah itu" Semua orang seharusnya sedang berada di Iskandariah. Menit berikutnya, pintu ruang studi itu terbentang lebar. Zarri Bano menatap kaget ke arah Ibrahim Musa yang memasuki ruangan.
"Assalamu 'alaikum!" sapanya pada Zarri. Padahal dirinya amat terkejut melihat sesosok perempuan asing di ruang studinya. Beberapa detik saja, sepasang mata di balik kacamatanya itu mengedip dan langsung mengirimkan bayangan perempuan itu ke dalam retinanya. Pakaian tangan pendek yang dikenakan Zarri Bano mempertunjukkan lengannya di bagian atas sikunya. Leher dan keindahan feminin tubuh Zarri tampak begitu cemerlang dalam pandangan Ibrahim.
Pipi Zarri Bano segera saja memerah ketika menyadari semuanya itu. Kedua lengannya terangkat dan melintang di depan dadanya, berusaha menyelimuti dirinya dari Ibrahim dan sorot matanya. Zarri membalikkan tubuhnya dan memandang ke bawah ke arah Sungai Nil.
"Wa 'alaikumussalam, Abang Musa." Dia membalas sapaan Ibrahim dengan suara bergetar. "Kupikir kau sedang berada di Iskandariah mengunjungi kakak perempuan sulungmu."
Ibrahim Musa secara naluriah memalingkan wajahnya begitu melihat bahasa tubuh Zarri yang tampak malu. Ia juga merasakan malu sekaligus rikuh karena telah memergoki Zarri dalam situasi yang memalukan seperti itu. Dan itu semua adalah kesalahannya. Ia baru saja masuk ketika Zarri berpikir bahwa dirinya sendirian di dalam rumah itu dan karenanya membuka burqa-nya untuk merasakan kenyamanan berkeliling di dalam rumah tanpa jilbab. Ia, Musa, telah merampas kenyamanannya itu dengan mengganggu privasi gadis itu.
"Maafkan aku, Adik Zarri Bano. Aku memohon maaf setulusnya. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa kau ada di sini...," suaranya lenyap, menunggu Zarri Bano mengatakan sesuatu. Matanya terfokus pada sosok langsing punggung dan bahu yang terpancar kuat dari bentuk pakaian yang dipakai Zarri Bano. Ibrahim masih merasa sulit mengenali sosok perempuan yang tampak rapuh di depannya itu sebagai seorang perempuan tangguh yang terus-menerus terbungkus jilbab longgar panjang.
"Tidak apa-apa, Abang Musa. Ini rumahmu," Zarri Bano menjawab lirih. Kepercayaan dirinya belum pulih setelah dilihat oleh pemuda lajang ini tanpa burqa-nya. Dia merasa telanjang di bawah tatap matanya. Punggungnya bergetar membayangkan mata lelaki Ibrahim menelusuri tubuhnya. "Kupikir kau sudah pergi ke Iskandariah dan tidak akan kembali sampai besok malam," ujarnya lagi, masih dengan posisi tubuh memunggungi.
"Aku memutuskan pulang lebih cepat karena ada pertemuan dengan teman-teman sejawatku di kampus. Aku minta maaf telah mengganggumu, saudariku. Tolong maafkan aku jika aku sudah membuatmu kesal. Dan silakan menikmati keleluasaanmu di rumah ini. Aku bisa meyakinkanmu, kau tidak akan diganggu lagi. Aku akan mengunjungi kakak perempuan keduaku di Kairo sini, dan aku akan menginap di rumahnya malam ini. Aku akan menemuimu lagi besok malam saat segenap anggota keluarga sudah pulang. Sekali lagi aku minta maaf. Assalamu 'alaikum."
"Tidak apa-apa. Wa 'alaikumussalam, Abang Musa."
Ibrahim berlalu, seraya menutup pintu de
ngan mantap di belakangnya. Zarri Bano masih tetap berdiri di ambang jendela sampai dia mendengar pintu luar menutup dan suara mesin mobil yang berlalu terdengar. Baru kemudian dia melepaskan kedua tangannya yang melintang kuat menutupi dadanya dan berbalik untuk duduk di depan meja.
Zarri Bano memandang bukunya yang terbuka di atas meja itu, tetapi itu sudah tak ada gunanya lagi! Ibrahim Musa sudah menyaksikan semuanya. Dia begitu marah pada dirinya sendiri karena dipergoki dalam keadaan seperti itu. "Aku seharusnya selalu mengenakan burqa-ku!" bentaknya pada dirinya sendiri. Bagaimana jika suatu kali dia mendapatkan kecelakaan dan tidak ada seorang pun di sekitarnya selain Musa" Bisakah dia menahan diri andai Musa harus menyentuh tubuhnya tanpa jilbab ketika menyelamatkannya"
Satu jam kemudian dia kembali ke kamarnya dan secara ritual mengenakan kembali burqa untuk menutupi seluruh tubuhnya. Barulah setelah itu, dengan duduk di balik perlindungan jilbabnya, dia mampu berkonsentrasi lagi pada buku yang sedang dibacanya. Dia tahu dari dalam hatinya bahwa dia tidak akan merasakan perasaan yang sama lagi menghadapi kehadiran Musa. Dia berharap pada Allah, berkali-kali, andai saja Musa tidak datang tadi, ataupun andai dirinya mengenakan burqa-nya saat itu.
* * * Ibrahim Musa mengemudikan mobilnya melewati lalu lintas sore di pusat kota yang padat menuju rumah kakak perempuannya. Saat melintasi pasar induk dan melihat sebuah pakaian tradisional Mesir tergantung di sebuah gerai di antara pakaian lainnya, ia pun mengingat Zarri Bano dengan baju merahnya. Ibrahim merasa malu mendengar apa yang disuarakan oleh pikirannya, tetapi memang tak bisa disangkal bahwa Zarri Bano adalah seorang perempuan yang sangat memesona. Ia sudah menduganya, dari raut wajah, tangan, dan matanya. Dengan melihat sosoknya tanpa jilbab, matanya mulai belajar menghargai apa yang tersembunyi di balik jubah hitam itu. Pada saat yang sama, ia begitu marah pada dirinya sendiri. Ia sudah melakukan kesalahan. Ia tidak berhak menatap seorang perempuan tanpa jilbabnya. Itu adalah keistimewaan yang hanya dinikmati pada anggota keluarganya atau suaminya dan ia bukan
salah satu di antaranya. Dengan kejadian itu, ia merasa malu atas Zarri dan dirinya sendiri. Ia berharap Zarri akan memaafkannya dan mau memercayainya lagi, dan tidak membangun benteng pembatas karena kejadian tersebut. Ia tidak menginginkan hal apa pun merusak hubungan harmonis yang sudah mereka jalin.
Dengan cemas, ia mengingat bagaimana Zarri Bano terus memunggunginya sepanjang waktu saat ia berada di kamar itu. Mungkin kini Zarri Bano akan selalu waspada dan terus menjaga jarak darinya. Jika dia melakukannya, Ibrahim tidak punya pilihan lain selain menerimanya dan menghormati keputusannya itu.
Bayangan Zarri Bano dalam balutan baju merahnya dan mahkota ikalnya yang membingkai wajah cantik itu membersit berkali-kali di depan matanya malam itu, saat ia bermain-main dengan anak-anak kakak perempuannya.
28. IBU SADAF yang menjadi kepala sekolah di sekolah menengah untuk para gadis di desa kini sudah pensiun dan Firdaus, sesuai dengan keinginan semua orang, serta-merta dipilih oleh dewan sekolah sebagai kepala sekolah yang baru.
Firdaus duduk di kantornya menyiapkan dokumen-dokumen penting untuk dipresentasikannya pada beberapa tamu khusus yang dinantikannya siang nanti. Seorang kepala sekolah dari sebuah perguruan tinggi perempuan di kota tetangga, tertarik untuk menjalin hubungan dengan sekolah-sekolah untuk para gadis di pedesaan. Firdaus memeriksa beberapa halaman terakhir dan sudah merasa puas dengan makalah yang sudah disiapkannya itu ketika mendengar langkah kaki di beranda luar. "Apakah mereka sudah datang"" Dia segera bangkit dari kursinya. Tanpa ketukan di pintu seperti pada umumnya, pintu itu didorong tiba-tiba dan terbuka. Firdaus mengerjap melihat orang yang berdiri di depannya dan terduduk di kursi.
Sosok tinggi Kaniz mendominasi ruangan itu. Selama beberapa detik yang mendebarkan, kedua perempuan itu saling menatap tajam satu sama lain, tak mampu berkata-kata. Sepasang mata Kaniz yang g
elap dan dingin menampakkan tatapan penuh penghinaan.
"Assalamu 'alaikum, Chaudharani Kaniz Sahiba," Firdaus akhirnya berhasil melontarkan sapaan setelah pulih dari keterkejutan dan mengingat tata krama sosialnya. "Apa yang bisa kubantu untuk Anda" Silakan duduk." Firdaus menganggukkan kepalanya ke arah kursi.
Kaniz melemparkan pandangan jijik ke arah kursi tersebut, lalu dia kembali menatap wajah Firdaus. "Gadis murahan" ini berani-beraninya memberi perintah kepadanya!
Firdaus melemparkan pandangannya ke arah jam dinding. Setiap saat tamu-tamunya bisa saja datang. Dia sama sekali tidak menginginkan kehadiran Kaniz ataupun sebuah pertengkaran dengan perempuan itu. Terlalu kebetulan Kaniz datang mengganggunya di saat-saat terakhir. Maka, Firdaus segera berdebat dengan dirinya sendiri mencari cara bagaimana mengusir perempuan itu tanpa tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan. Lagi pula, mengapa dia harus berada di sini"
"Adakah yang bisa kubantu" Seperti yang Anda lihat, aku sedang menunggu beberapa orang tamu yang akan segera tiba, Bibi." Firdaus mencoba menjelaskan situasinya dengan sopan sambil menatap mata Kaniz dengan tenang.
"Ya, tentu, kau pasti bisa membantuku." Sebeku lapisan es di pegunungan Kashmir, kata-kata Kaniz itu membahana ke sekeliling ruangan. "Mengapa engkau dan ibumu mengincar aku dan putraku, agar kalian bisa menjerat kami dengan jaring-jaring kejahatanmu""
Firdaus terkesiap. Dia memejamkan matanya dari balik kacamata bacanya dan batinnya menghitung sampai tiga sebuah kebiasaan efektif yang diterapkannya sejak lama sebagai usaha untuk mengendalikan diri dan temperamennya yang akan menjadi sangat tidak menyenangkan jika meledak.
"Aku tidak mengerti. Kami sama sekali tidak pernah membuat perangkap jahat atau jaring-jaring di sekitar Anda, putra Anda, ataupun keluarga Anda. Pastilah itu hanya imajinasi liar Anda yang membuat Anda berpikir seperti itu, Nyonya," Firdaus menjawab dengan dingin.
"Jangan menyebutku 'Nyonya'," desis Kaniz. Matanya yang gelap berbentuk buah almond menciut karena amarah yang membuncah. "Kau dan ibumu sudah menghancurkanku dan keluargaku."
Jantung Firdaus kini berdebar kencang di dalam dadanya. Perbincangan itu sudah menjadi semakin sulit dikendalikan, dan dia tidak tahu cara terbaik untuk menangani situasi itu.
"Kuulangi, Bibi, aku tidak tahu maksudmu. Aku tidak memiliki kaitan apa pun dengan putramu," Firdaus berusaha keras, sementara hatinya didera rasa takut terisap ke dalam pusaran badai imajinasi Kaniz yang simpang siur.
"Kau tidak memiliki kaitan apa pun dengan putraku, kau bilang" Kau licik, perempuan-perempuan yang berkomplot. Kau dan ibumu selalu mengejarnya selama bertahun-tahun. Tuhan tahu berapa gelas susu yang dicampuri tweezyang kau dan perempuan itu jejalkan ke dalam tenggorokan putraku. Khawar sudah kabur dari rumah karenamu, perempuan j alang!"
"Cukup sudah!" Firdaus serentak bangkit dari kursinya. Dia sepenuhnya merasa terguncang oleh ceracau berbisa perempuan itu. Pipinya yang kecokelatan kini membiaskan warna merah, dan dengan kedua tangan terentang di atas mejanya, Firdaus mencondongkan tubuh rampingnya yang setinggi satu setengah meter itu ke arah Kaniz. Gigi-giginya gemeretak menahan emosi seraya menggeramkan suaranya yang paling tegas suara yang biasa digunakan kepada murid-muridnya saja.
"Nyonya, silakan Anda keluar dari kantorku dan keluarlah dari hidupku. Anda tidak punya tata krama, tetapi aku tidak akan terseret ke dalam permainan rendah Anda dengan membalas kekurangajaran Anda. Tapi, biar kukatakan pada Anda bahwa aku tidak akan menyentuh putra Anda atau anggota keluarga Anda lainnya dengan sebatang dayung perahu sekalipun, apalagi menikahinya. Anda boleh menyimpan Khawar Anda yang tak ternilai itu. Buat saja barikade untuknya karena aku tak peduli," dia mengakhiri kata-katanya dengan tajam, bahkan dirinya tercekat sendiri mendengarnya. Kaniz tampaknya sudah berhasil memunculkan sisi terburuk Firdaus.
"Berani-beraninya kau mengatakan hal itu padaku! Tutup mulut jahatmu, gadis binal. Ia sudah kabur karenamu. Aku tidak tahu apa yang dilihatnya pada
mu. Kau hanyalah makhluk murahan!" Sorot mata penuh penghinaan yang terpancar di wajah Kaniz dan bentuk bibirnya yang mengerut ke bawah membuat kedua tangan Firdaus bergetar di atas meja.
"Ia tidak kabur dari rumah Anda karena kami, tetapi karena Anda. Ia tidak tahan berdekatan dengan seorang ibu mirip ular berbisa seperti Anda!" Firdaus kini tidak mengindahkan tata krama sosial dan memutuskan bahwa perempuan itu tidak pantas dihormati. "Aku tidak pernah memasangkan azimat tertentu padanya aku tidak memercayai hal-hal seperti itu. Perempuan-perempuan yang bodoh, percaya takhayul, dan jahat seperti Anda sajalah yang memercayai hal-hal menggelikan seperti itu. Aku tidak pernah merencanakan apa pun atas putra Anda dan tidak
akan pernah. Aku malu mengakui bahwa ibuku lebih menyukai jodoh seperti itu, tetapi ibuku juga bodoh seperti Anda. Tidak, Chaudharani Kaniz, aku tidak akan pernah menikah dengan putra Anda, bahkan andaikan Anda merangkak-rangkak dan berlutut memohon-mohon padaku."
"Itu hanya akan terjadi di akhir zaman!" jerit Kaniz histeris. "Aku merangkak untuk meminang seorang anak tukang cuci...." Matanya nyaris terbalik di dalam kedua rongganya.
Dia segera dikejutkan oleh entakan tangan Firdaus tiga kali pada bel di atas mejanya. Menyadari betapa dia ingin sekali memukul perempuan itu, Firdaus merasa terkejut oleh perasaannya yang begitu keji kepada Kaniz.
Penjaga sekolah, chaprassi, datang tergopoh-gopoh memasuki ruangan kantor kepala sekolah.
"Ada apa, Ibu Kepala Sekolah"" dengan penuh hormat ia bertanya pada Firdaus, dan dengan takut-takut ia memandangi satu per satu kedua perempuan yang sedang murka itu.
"Baba Jee, tolong antar tamu tak diundang ini keluar dari sekolah kita. Di masa yang akan datang, pastikan Anda bertugas dengan baik menjaga pintu. Kita tidak menginginkan nathupethu apa pun, tamu tak diundang dari mana pun, merangkak memasuki sekolah kita."
Meski sempat terkejut sendiri mendengar suaranya yang begitu tajam berbisa, Firdaus merasa lebih baik karenanya. Kaniz tercekat mendengar tanggapan sekejam itu. Terbakar amarah ingin kembali meneriakkan beberapa cacian lagi pada Firdaus, dia malah menemukan dirinya bak orang buta dan bisu yang mengikuti si chaprassi berjalan keluar dari ruangan itu.
Sambil meninggalkan ruangan itu dalam kebingungan sebagai perempuan yang telah dipermalukan, Kaniz tiba-tiba saja merasa dirinya sudah kehilangan tiga inci tinggi tubuhnya. "Dicampakkan keluar oleh seorang chaprassi! Aku, Kaniz, seorang chaudharani! Dan atas perintah siapa" Semata-mata oleh seorang anak perempuan tukang cuci!" dia menjeritkan kalimat itu di kepalanya, pada saat yang sama ketika dia ingin melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat.
Begitu melintasi halaman sekolah, dia melihat sekelompok perempuan, tampak rapi mengenakan busana shalwar kameze, berjalan memasuki gerbang. Firdaus, yang telah mengikuti Kaniz keluar dari ruang kantornya, segera bersemangat menyambut dan menyapa tamu-tamunya. Kaniz memandangi itu semua dengan getir, memandangi kedua tangan Firdaus yang terentang. Kini Firdaus telah sepenuhnya mengabaikan Kaniz dan dia mengantar tamu-tamunya memasuki ruangannya.
Merasa terkalahkan, Kaniz menyelinap pergi, menarik ujung kerudungnya hingga menutupi dahi serta menyembunyikan wajahnya.
Ada dua buah mobil yang berkilau diparkirkan di luar area parkir sekolah yang sempit. Orang-orang yang penampilannya menyerupai orang penting itu terbukti mengunjungi anak perempuan si tukang cuci itu! Mulut Kaniz mengatup kuat karena merasa sebal dan amat marah.
Kepala Kaniz masih terasa berputar. Begitu dia telah berada sejauh beberapa meter, Kaniz merasa tidak yakin lagi siapa dirinya sebenarnya.
Seolah-olah Firdaus sudah mencerabut identitasnya sebagai seorang chaudharani. Bayangan Firdaus yang semakin memuakkannya, yang sedang dipeluk bergantian oleh para perempuan berpakaian mewah itu, dengan senyum-senyum senang terpancar di wajah mereka, akan tetap menghantui Kaniz sampai hari kematiannya.
Firdaus sudah benar-benar membalikkan kenyataan itu di hadapannya. Dia sudah berhasil membuat dirinya, Kaniz,
merasa bagaikan seorang perempuan tukang cuci, sementara Firdaus menampilkan dirinya dengan sempurna sebagai seorang chaudharani di sekolah itu.
29. SAAT BERJALAN sendirian di salah satu ladang sayurannya, Siraj Din membungkuk dan menekan-nekan tanah kering dengan tongkat yang digunakannya untuk membantunya berjalan dengan maksud memeriksa segembur apa tanah di bawahnya. Sistem irigasi itu ternyata benar-benar bermanfaat. Sebuah traktor yang dikendarai oleh salah seorang pekerjanya, Faisal, melintas. Siraj Din meneruskan jalan-jalannya. Ia berjalan menuju arah desa.
Saat melintasi sekolah para gadis, ia tidak memerhatikan keberadaan seorang perempuan yang sedang duduk di atas sebuah batu besar di ujung jalan, sampai saat ia hanya berjarak sekitar beberapa meter dari perempuan itu. Dengan kepala tertunduk dan dupatta-nya menutupi sebagian wajahnya dari pandangan Siraj Din, ia tidak bisa mengenali siapa perempuan itu. Apakah dia salah seorang tamu dari kota atau dari desa tetangga" Namun, tidak tampak adanya barang bawaan di sekitarnya.
Begitu ia mendekat, perempuan itu tampaknya mendengar suara langkah Siraj Din dengan ketukan tongkatnya, dan perempuan itu pun menengadah. Siraj Din merasa sangat terkejut.
"Kaniz, apa yang sedang kau lakukan di sini, duduk di tengah jalan"" tanyanya seraya berhenti di hadapan Kaniz.
Perempuan itu tampak seperti bukan Kaniz, dia selalu bepergian menggunakan mobil. Tepi jalan desa dan di atas sebongkah batu berdebu adalah tempat terakhir yang akan dipikirkan orang untuk mencari Chaudharani Kaniz.
Kaniz membalas tatapan Siraj Din dengan sorot mata kosong. Lelaki itu menyipitkan matanya mengenali bentuk mulut yang terkatup rapat di wajah Kaniz. Sikap alaminya seolah-olah sirna. Ekspresi wajahnya menjadi begitu asing. Tanpa mampu berkata-kata, Kaniz terus menatap Siraj Din. Bibirnya tampak sedang berupaya sekuat tenaga untuk mengatakan sesuatu, tetapi dia gagal melontarkannya. Bibirnya itu seolah-olah terekat semen yang kuat. Siraj Din kini mencemaskan keadaannya. Ia menyaksikan ada dua orang perempuan lainnya melintas, salah satunya memikul seikat besar tebu di kepalanya. Mereka menundukkan kepala mereka sebagai tanda penghormatan begitu bertatapan dengan Siraj Din, dan mengucapkan "Salam". Ia membalas menundukkan kepalanya perlahan dan mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menepuk bahu perempuan-perempuan itu. Ia mengenal nama keduanya dan latar belakang keluarga mereka.
"Apakah kau baik-baik saja, Anakku"" ia bertanya lembut ketika menoleh kembali ke arah Kaniz. Siraj Din menyapa semua perempuan di desa itu dengan sebutan "anakku", dengan pengecualian kepada tiga orang, yang dengan alasan usia mereka, dipanggilnya sebagai "saudari".
Kaniz tak pernah dikenal sebagai seseorang yang bisa kehilangan kata-kata. Dalam keadaan normal, Siraj Din tertawa sendiri, dia adalah ratu pidato yang sangat piawai dalam membuat pidatonya mengalir dan membuat orang tetap berada di tempatnya.
"Dia mengusirku, Baba Jee," bisiknya begitu lirih sehingga Siraj Din nyaris tak bisa mendengar suaranya. Sambil memalingkan wajahnya dari pandangan Siraj Din, Kaniz menunduk memandangi tanah. "Siapa yang sudah mengusirmu, sayang"" bujuk Siraj Din.
Kaniz meliriknya dengan tajam, kemarahan tampak berpijar di bola matanya. Kaniz merasa kesal karena Siraj Din tidak bisa mengerti siapa yang dimaksudkannya sebagai "dia".
"Dia! Dia! Sundal itu! Charail itu yang sudah memantrai putraku menggunakan ilmu sihirnya. Si anak tukang cuci itu!" kata-kata yang mengalir deras itu kini melontarkan segenap kemarahan dan kebencian yang mengendap di dalam benak dan hatinya pada Firdaus.
"Maksudmu Firdaus"" terka Siraj Din dengan tepat.
"Ya! Sementara dia menyambut tamunya dengan tangan terbuka, memeluk, dan menciumi tamu-tamu 'dari kalangan tingkat tinggi'-nya yang tiba dari kota, dia memerintahkan chaprassi mencampakkanku ke luar seperti seorang pengemis. Bisakah kau memercayai itu, Baba Jee" Aku, chaudharani di desa ini, diusir oleh perempuan binal yang bahkan tidak cukup pantas untuk membersihkan sepatuku."
"Kaniz sayang, jangan terbawa e
mosi." Siraj Din menepukkan tongkatnya perlahan ke atas tanah. Seulas senyum tertahan tampak di wajahnya.
"Baba Jee, aku merasa seolah-olah identitas diriku sudah terampas saat aku berjalan keluar dari gerbang sekolah itu," ratap Kaniz seakan-akan tidak mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. "Aku sudah duduk di tempat ini sejak siang tadi. Kepalaku berputar karena tak mampu memercayainya. Siapakah aku" Aku terus bertanya-tanya dalam hatiku. Katakan padaku, Baba Jee, masih adakah chaudharani desa lainnya" Beginikah caranya memperlakukan seorang perempuan terhormat yang usianya lebih tua" Dia melakukannya dengan sengaja, untuk menghinaku dan membalurkan lumpur ke wajahku. Dia sudah membuat putraku melawanku. Khawar telah kabur dari rumah. Kini gadis itu mengusirku pula dari sekolah itu. Siapakah dia, Baba Jee" Dia tidak lebih dari seseorang yang namanya baru saja menanjak. Tangan-tangan ibunya masih berlumuran kotoran dari piring-piring yang dibersihkannya di rumah putra Anda!"
"Kaniz, Anakku, tenanglah. Menurutku, kau sudah terbawa jauh oleh imajinasimu. Aku yakin Firdaus tidak akan pernah berani mengusirmu."
"Namun, dia benar-benar melakukannya, Baba Jee. Mengapa Anda membelanya" Aku yakin aku akan terkena serangan jantung karena kejadian ini." Pipi Kaniz panas memerah karena amarah yang meluap-luap.
"Kupikir aku tahu apa yang kau maksud," Siraj Din berkata dengan penuh perhatian, "apa yang baru saja kau alami. Aku pernah mengalami kejadian serupa dalam hidupku. Aku tahu kita adalah raja dan ratu di wilayah kita yang kecil. Yang sulit kita percayai dan kita terima adalah bahwa di luar batas-batas wilayah itu, kita tidak berarti apa-apa, Kaniz. Aku juga mengalami kebangkitan diri yang cukup kejam, yaitu ketika aku diperlakukan dengan begitu rendahnya di Makkah oleh seseorang. Saat itu aku juga merasa pening karena terkejut. Egoku benar-benar terluka. Seperti kau, aku juga mulai meragukan identitas diriku dan ke war asanku. Pada akhirnya aku menyadari, dan itu terjadi dengan brutal
pada diriku serta menjadi pengalaman yang sangat berharga untukku, melihat segala sesuatu dari luar diriku, dari dunia yang kuciptakan sendiri. Di sini, di desa ini, aku menjadi tuan atas segalanya. Di kota, aku hanyalah seorang lelaki tua uzur."
"Kau bukan seorang lelaki uzur! Dan aku tidak terbawa emosi, Baba Jee. Dia benar-benar mengusirku," tukas Kaniz tak sabar.
"Lupakan saja. Jangan biarkan dirimu lebih kesal lagi. Mengapa kau tidak menyadari segalanya" Aku tahu apa yang sedang terjadi. Mengapa tidak kau biarkan saja putramu menikahi Firdaus""
"Tidak akan pernah!" jerit Kaniz. Dia sepenuhnya murka. Matanya memerah oleh kemarahannya.
Mulut Siraj Din membiaskan seulas senyum. Alis cokelatnya yang tebal menekuk karena terheran-heran. Ini adalah Kaniz yang dikenalnya; bersuara nyaring, garang, selalu yakin pada dirinya sendiri, dan sungguh-sungguh sok kuasa. Siraj Din tidak mengatakan apa pun selama beberapa detik, dengan bijak ia tetap berdiam diri membiarkannya tenang terlebih dahulu. Kaniz tetap berdiri. Tubuhnya kaku.
Siraj Din mulai melangkah bersama tongkatnya. Kaniz ikut berjalan di sisinya dan dalam diam mereka berjalan berdampingan menuju arah desa. Siraj Din tahu ia tidak akan membuat Kaniz senang mendengar kata-katanya, meski demikian, ia bersikukuh melakukannya.
"Kau tidak pernah memaafkan Fatima, bukan"" tuduh Siraj Din dengan nada lembut.
Kaniz terdiam. Langkahnya terhenti. Wajahnya berubah tajam pada Siraj Din, dengan mata terbelalak dan mulut sedikit ternganga. Siraj Din pun berhenti.
"Apakah maksud Anda"" tanya Kaniz dengan suara yang hampir-hampir tidak terdengar.
"Kau tahu benar apa yang kumaksud. Aku mengetahui semua yang sudah terjadi di desa ini, Kaniz."
Perempuan itu menatap tak percaya ke arah lelaki tua yang berdiri gagah dengan rambut putih dan janggutnya yang disemir. Mata Kaniz terbelalak lebar-lebar.
"Aku tidak tahu apa yang sedang kau katakan, Baba Jee." Kaniz berpura-pura tidak tahu apa-apa, sebagai upaya untuk menutupi masalah itu. Dia merasa terkejut dan terguncang menyadari bahwa lelaki tua itu mengetahuinya
, bahkan setelah dua puluh sembilan tahun. "Mengapa aku harus memaafkan Fatima"" lanjutnya. Dia telah, melontarkan nada sarkasme yang salah pada kalimatnya, diiringi seulas senyum di wajahnya.
Bibir Siraj Din seakan hendak tertawa. Kaniz memiliki kepiawaian dalam menyamarkan sikapnya dengan cepat. Senyum di wajah keriput Siraj Din kemudian melebar. Tidak ada satu pun dan siapa pun yang bisa membuat Kaniz terpuruk. Dia akan segera bangkit dari keterpurukannya dengan dendam membara.
Siraj Din meneruskan langkahnya sejauh beberapa meter seraya mengetuk-ngetukkan tongkatnya sepanjang jalan. Kaniz berjalan di sampingnya, menunggu lelaki tua itu mengatakan sesuatu. Tubuh Kaniz menegang. Siraj Din berdiri diam di tengah jalan yang berdebu. Ujung tongkatnya menggambarkan sebuah lingkaran, lalu menoleh pada perempuan di sampingnya.
"Kau sudah dengan sengaja bersikap bodoh, Kaniz. Kau sangat mengetahui apa yang kumaksud. Kau belum juga memaafkan Fatima karena sudah menolak cinta Sarwar, suamimu. Kini kau melihat pola itu berulang, dengan putramu sendiri tertarik pada anak perempuan Fatima."
Semburat merah segera tampak di pipi Kaniz yang berwarna terang. Dengan mempersetankan tata krama, dia lupa bagaimana seharusnya menghormati orang yang lebih tua.
"Baba Jee, kupikir karena usia tuamu, imajinasimu telah menghilangkan hal-hal yang terbaik dari dirimu. Alangkah...," dia baru saja akan melontarkan kata "tak masuk akal", tetapi dia berhasil menyadari pada waktu yang tepat bahwa kalimatnya akan sangat menyinggung lelaki yang lebih tua daripadanya itu.
Tepat setelah itu, tawa terbahak Siraj Din meledak membahana ke udara, membuat Kaniz terkejut. Merasa bingung, Kaniz tak berdaya menyaksikan tubuh langsing lelaki itu terguncang oleh tawa gelinya. Hanya Kaniz yang memiliki keberanian untuk berdiri di hadapan Siraj Din dan mengucapkan apa yang ingin dikatakannya tanpa menghaluskan kata-katanya, untuk kemudian melepaskan diri darinya. Menantu perempuannya saja, Shahzada, tidak berani menatap wajahnya ketika sedang berbicara padanya apalagi menghinanya dengan mengatakan bahwa imajinasinya sudah tak keruan!
"Hudah Hafiz, Baba Jee, aku harus pulang. Adikku sedang menungguku di rumah dan aku tidak punya cukup waktu untuk mendiskusikan perempuan tukang cuci itu atau gadis binalnya." Kata-kata yang diucapkan Siraj Din telah mengembalikan Kaniz ke dalam kehidupannya. Menyadari bahwa bahan pembicaraan Siraj Din terlalu memuakkan baginya, Kaniz ingin berlalu dari sana sebelum lelaki itu mengatakan hal-hal lain, dan sebelum dirinya sendiri mengatakan sesuatu yang mungkin nanti akan disesalinya. Sambil membenahi kerudung di sekitar bahunya, Kaniz bergegas meninggalkan Siraj Din.
Siraj Din melanjutkan jalan-jalannya menuju desa dengan segaris senyum yang masih saja menyeruak di bibirnya. Ia merasa sangat senang bahwa Kaniz bukanlah menantu perempuannya. A 'udzubllahi min dzalik. Jika itu terjadi, mungkin ia sudah terbaring di kuburnya saat ini. Perempuan itu mungkin akan merepotkan mereka dalam menangani lidahnya yang berbisa itu siang dan malam. Keegoisan, keangkuhan, dan kelabilannya akan serta-merta menghancurkan keharmonisan rumah tangga putranya sejak lama. Siraj Din begitu bersyukur pada istrinya, Zulaikha, karena telah memilihkan menantu yang cocok bagi Habib, seperti Shahzada.
Memikirkan Shahzada, membawa benaknya pada putranya, Habib. Putranya itu masih saja terlihat tidak berbahagia ketika terakhir kali Siraj Din mengunjunginya di kota. Sudah setahun sejak Zarri Bano menjadi seorang Perempuan Suci, menantunya, Shahzada, masih saja tidak serajin dan sebersemangat seperti biasanya. Secara lahiriah, ia tidak bisa menyalahkannya. Shahzada masih tampak sama. Dia menghormatinya seperti biasa, menyajikan makanan dan memberi penghormatan yang layak saat ia mengunjungi mereka. Kalau begitu, apa yang salah" Siraj Din merasa bingung.
Ia baru mengetahui jawabannya ketika putranya datang dengan pilu untuk memberitahukan hal itu padanya. "Dia sudah menutup pintu hatinya dan membiarkan kita di luar. Dia tidak akan pernah membiarkan kita masuk ke dalamnya
lagi." Ia bertanya-tanya bilamana Shahzada akan memaafkan mereka. Bukankah jalannya waktu bisa meluluhkan hati"
Habib memberitahunya bahwa Zarri Bano berangkat ke Inggris atas undangan salah seorang teman seuniversitasnya.
Siraj Din sangat merindukan cucu perempuannya yang tertua itu. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Zarri Bano bukanlah sang Perempuan Suci sebagaimana yang dibayangkannya. Ia mulai meragukan apakah keadaannya akan lebih baik jika ia memperbolehkannya menikah dengan Sikander. Setidak-tidaknya, dia akan tinggal di rumah dan menjalani kehidupan yang normal, alih-alih mengelana ke segala penjuru dunia dengan alasan menghadiri konvensi.
Dalam benaknya, semodern apa pun ia mencoba berpikir, ia tetap tidak mampu mencerna betapa cucu perempuannya yang cantik jelita itu harus sendirian dan berada di antara kerumunan pemuda-pemuda asing. Tidak aman bagi seorang perempuan berada di suatu tempat tanpa pengawalan kaum lelaki. Zarri Bano mereka sepenuhnya sendirian di Mesir! Siraj Din mencemaskan cucu perempuannya itu. Para lelaki bisa saja memerkosa mental seorang perempuan hanya dengan sebuah pandangan, bahkan andai perempuan itu ditutupi dari kepala hingga kaki.
Kemudian, ia mengingat sosok putranya yang kesepian saat menelusuri jalanan di tanah miliknya. Kata-kata Habib, "Apakah kita sudah melakukan hal yang benar terhadap Zarri Bano, Ayah"" kembali terngiang di telinganya.
"Tentu saja kita sudah bertindak benar!" seru Siraj Din pada dirinya sendiri. Zarri Bano sudah ditakdirkan untuk mewarisi semua kekayaan ayahnya dan menjadi seorang Bibi Perempuan Suci! Itu sudah menjadi kismet-nya.
30. DENGAN AGRESIF, Kaniz mendorong gerbang besi berwarna putih itu hingga terbuka dengan kakinya dan menutupnya dengan bantingan keras di belakangnya, seakan-akan dia hendak mengumumkan kedatangannya kepada semua orang. Dia bergegas mencari-cari adiknya. "Sabra!" teriaknya. Neesa datang tergopoh-gopoh dari arah gudang perlengkapan kamar tidur di lantai dasar. Begitu melihat nyonya rumahnya, dia segera meraih kerudung dari bahu Kaniz.
"Di mana adikku"" desak sang chaudharani. Neesa mengalihkan pandangannya. Kemarahan tampak menyeruak dari setiap lubang pori-pori majikannya itu.
"Dia sedang beristirahat, Sahiba Jee," ujar Neesa pada Kaniz sambil bergerak menjauh ketakutan. Dengan bijak, dia ingin menjaga jarak sejauh mungkin dengan perempuan itu. Kaniz sudah terkenal karena kebiasaannya mengamuk, melempar, dan memecahkan benda-benda di sekitarnya.
Dua jam kemudian adalah saat yang menyenangkan, saat Sabra turun setelah tidur siang. Masih menguap, Sabra tidak diberi kesempatan untuk menahan semburan kata-kata yang menderanya begitu dia melihat Kaniz berbaring di atas sebuah palang di beranda.
Kaniz sedang mengipasi diri dengan penuh semangat, menggunakan sebuah kipas tangan berhias manik-manik. Listrik di rumahnya sedang mati; generatornya juga sedang tidak berfungsi. Panas udara sore dan pipinya yang panas memerah cukup menjadi bahan bakar untuk luapan kemarahannya. "Dua kali dalam sehari! Apa gunanya membayar seribu rupee untuk penyejuk ruangan kalau tidak ada listrik untuk menyalakannya"" dengusnya kesal sambil setengah mati menahan diri menunggu adiknya itu duduk di sebuah kursi kayu sebelum mulai menceracau melampiaskan amarahnya.
Lalu, "Dia mengusirku, Sabra!" seru Kaniz. Kedua tangannya terentang dengan dramatis.
"Siapa, Kaniz sayang"" sahut Sabra dengan polosnya. Dia sama sekali tidak siap menahan lelehan lahar kata-kata yang siap diledakkan dari kawah mulut Kaniz yang indah itu.
"Sundal Firdaus itu, tentunya siapa lagi"" tukas Kaniz sambil menyorotkan pandangan mematikan ke arah adiknya. Dia merasa yakin Sabra sama sekali tidak memahaminya!
Kini Sabra sepenuhnya paham. "Apa maksudmu dia mengusirmu"" tanya Sabra lembut. Dia sangat penasaran untuk bisa menenangkan kakaknya dan menurunkan tekanan darahnya, yang sudah menjadi kebiasaannya saat Kaniz mengamuk.
"Waktu aku datang mengunjunginya, dia menyuruh chaprassi-nya menyeretku ke luar," desis Kaniz. Napasnya mendenguskan api. "Dia menyambut tamu-tamu istimewanya para kepala
sekolah dan pejabat-pejabat penting. Saat dia bersemangat menghambur ke arah mereka, dia menyuruh salah satu pelayannya menyeretku ke luar layaknya seorang pengemis."
"Apa, begitu saja" Kau pasti telah mengatakan sesuatu atau melakukan sesuatu, bukan"" Sabra tahu betul tentang sikap permusuhan kakaknya terhadap Fatima dan keluarganya.
"Aku hanya ingin memberitahunya tentang yang memang pantas didengarnya; agar dia tidak mengganggu putraku!" Kaniz mengayunkan kipas tangan itu ke depan wajah Sabra dengan satu ayunan panjang dan berat. Hawa panas segera saja membakar kedua pipi Sabra.
Sabra yang sudah berpengalaman menghadapi situasi seperti ini segera menghindar dari tatapan sang kakak. Dia memungut kipas tangan kedua dari meja dan mulai mengipasi wajahnya sendiri dengan perlahan-lahan. Dia belum sepenuhnya siap ikut campur dalam kemarahan Kaniz. Karena mengenal sekali sikap labil kakaknya sejak mereka masih kanak-kanak, Sabra dengan tepat bisa membaca suasana hati Kaniz dan tingkat kelabilannya bagaikan telapak tangannya sendiri.
"Dia sudah meninggalkan putramu," akhirnya Sabra mencoba menghibur. Kini dia mengirimkan tatapan jujur ke mata kakaknya.
"Oh, tidak, dia belum melakukannya!" Kaniz terpancing oleh keberanian adiknya membantahnya. "Khawarlah yang telah meninggalkanku! Aku ibunya, yang melahirkannya! Ia sudah meninggalkanku dan rumahnya untuk perempuan murahan itu. Demi Allah, apa yang dilihatnya dari perempuan itu" Dia pendek dan biasa-biasa saja bukan siapa-siapa," caci Kaniz. Hidungnya menjulang di udara.
Sabra menatap tenang kakaknya, merasa bimbang apakah dia harus berkata jujur sekali ini dan untuk itu dia harus berbicara amat terus terang atau haruskah dia hanya menghibur Kaniz seperti yang biasa dilakukannya, dengan berdiam diri.
Pada akhirnya, kejujuran menang hari itu lagi pula dia berutang kejujuran itu pada kakaknya. Hati Sabra menciut membayangkan apa yang akan terjadi nantinya. "Tapi, ini memang harus dikatakan," tegasnya pada dirinya sendiri. "Pada kenyataannya, sudah saatnya seseorang berani berbicara tentang ini."
"Kaniz, kakakku tersayang," mulainya seraya mengambil napas, "mengapa tidak kau biarkan saja Khawar menikahi gadis ini jika ia benar-benar menginginkannya" Maka, kau akan mendapatkannya kembali dalam rumah ini."
Sejenak keheningan yang sempurna menyeruak. Kaniz mengerjapkan matanya ke arah Sabra. Dia tidak mampu memercayai sepasang telinganya yang seakan-akan terbakar dia merasa benar-benar dikhianati. Adik kandungnya sendiri mengatakan sesuatu yang keji!
Bola mata Kaniz yang berbentuk almond membelalak. Bibir bawahnya bergetar karena luapan emosinya.
"Kau juga, Sabra"" ujarnya. Suaranya terdengar tak percaya. "Seakan-akan aku ini hidup di tengah-tengah sarang ular berbisa dan para pengkhianat. Aku baru saja dikuliahi si lelaki tua itu, Siraj Baba. Aku benar-benar tidak layak mendapatkannya lagi, sekarang dari adik kecilku, saudara kandungku sendiri. Apakah sundal kecil sudah berkeliling menyebarkan guna-gunanya kepada semua orang" Kepada kau juga" Kukatakan padamu, Adik, bahwa aku tidak akan
pernah membiarkan anak tukang cuci itu menduduki rumah tangga rumah ini. Selama aku masih hidup, rumah ini akan tetap menjadi milikku. Kau paham""
Sabra menghela napas dengan kesal. Dia sudah telanjur ikut campur masalah ini. Jadi, dia akan sekalian saja menjerumuskan dirinya hingga ke dasar kolam kekesalan kakaknya ini.
"Pernahkah kau pertimbangkan, Kaniz sayang, bahwa 'tukang cuci' itu, sebagaimana kau menyebutnya, bisa saja menjadi chaudharani, menduduki tempatmu" Jika dia menikah dengan Abang Sarwar, dialah yang akan menjadi nyonya di rumah ini. Namun, Fatima menolaknya. Baru setelah itu kau punya kesempatan untuk menjadi chaudharani di sini."
Saat itu Kaniz bisa saja mencekik Sabra. Andai saja lebih muda, dia akan menerkam adiknya itu dan mencabuti helai-helai rambutnya dari jalinan rambutnya yang tebal itu.
"Pertama Siraj Baba, sekarang kau!" desisnya. "Apakah semua orang sedang menganiaya dan mempermalukan aku""
"Aku tidak mengerti mengapa kau memendam kebencian seperti itu kepada mereka! Ka
u lihat, kau sudah mendapatkan segalanya, Kak. Kau adalah nyonya besar di tempat ini yang menguasai berhektar-hektar tanah. Sedangkan Fatima sebaliknya, dia harus bekerja keras dengan pekerjaan yang tidak menyenangkan untuk menafkahi suami dan keluarganya. Firdaus bisa saja menjadi anak perempuan Sarwar. Dia bisa saja menjadi adik perempuan Khawar."
"Khawar adalah putraku, Sabra. Imajinasimu sudah kacau balau." Suara Kaniz kini sedingin baja.
"Ayolah, Kakak, jangan menganiaya dirimu sendiri. Ingat tekanan darahmu. Kalian berdua berasal dari keluarga-keluarga terhormat. Gadis itu juga terpelajar. Firdaus dan Khawar tampaknya saling menginginkan. Lalu mengapa kau menghalang-halangi mereka" Aku akan katakan padamu alasannya. Ini menyangkut harga dirimu yang pada suatu hari nanti justru akan menjerumuskanmu. Aku tidak mau lagi menahan-nahan pembicaraan untuk menyenangkan hatimu. Aku tahu kau tidak suka mendengar kebenaran dan wajahmu akan seungu ubi karenanya, tetapi jika aku tidak mengatakannya, tidak ada orang lain yang akan melakukannya."
Sabra memandangi sang kakak tepat pada matanya saat berkata tegas, "Jika tidak merestui pernikahan ini, kau akan menyesalinya Hingga akhir hayatmu. Kau hanya memiliki seorang putra. Jika kehilangan Khawar, kau akan kehilangan semuanya. Cintalah yang sedang kau perangi sekarang ini, kakakku tersayang. Cinta membuat orang mampu melakukan hal-hal gila. Orang bisa terbunuh karena cinta. Banyak raja yang menjadi terkenal dalam sejarah karena meninggalkan takhtanya demi cinta. Kukatakan padamu, Kak," suaranya melembut, "kau sedang berada di ujung kehancuran."
"Aku memang sudah hancur. Khawar minggat dari rumah demi sundal itu," sahut Kaniz putus asa.
"Mengapa kau begitu membenci mereka"" Sabra ingin tahu. "Aku tidak memahaminya! Firdaus adalah seorang gadis yang baik, berdasarkan pengamatanku. Kukatakan padamu, Kak, dia adalah jodoh yang baik. Jika pergi ke kota, dia akan menjadi salah satu perempuan lajang terpelajar yang paling berbakat. Menurutku, kau akan senang mendapatkan seorang kepala sekolah sebagai menantumu menantu yang digaji ribuan rupee. Orang akan berdatangan membanjiri pintumu untuk memberi penghormatan. Kelak, dia bahkan bisa menjadi seorang kepala sekolah tinggi." Sabra memanas-manasi kakaknya.
Namun, Kaniz sama sekali tidak bergairah mendengarkannya. "Aku tidak ingin mendengar sepatah kata pun lagi, Sabra. Kau, adik kandungku sendiri, telah berubah menjadi seorang pengkhianat!" Jemarinya kini terangkat menutupi telinganya yang terasa panas. Dia sedang berusaha menghadang segenap kata-kata yang tidak ingin didengarnya.
"Tidak, kakakku tersayang, aku bukan seorang pengkhianat," Sabra berkata dengan bersahaja. "Kecemburuan dan kebencianmu telah menelan seluruh akal sehatmu."
"Kecemburuan! Cemburu pada siapa, kalau boleh aku bertanya""
"Pada Fatima, tentu saja. Kau tidak mampu memaafkannya karena telah membuat suamimu patah hati. Kau tak sanggup memikirkan bahwa kau adalah nomor dua bagi Sarwar, bahwa ia sebenarnya ingin menikahi Fatima, tetapi perempuan itu menolaknya. Yang tampaknya kau lupakan adalah jika Fatima menikah dengan Sarwar, akan ada di manakah kau" Di dalam sebuah apartemen berkamar tiga yang mengerikan di tengah pasar kota, di rumah orangtuamu. Kau pasti tidak akan menjadi chaudharani atas semua kemegahan ini!" Sabra mengakhiri kalimatnya dengan emosional. Dia sudah kehilangan rasa takut dan kesabarannya terhadap kakaknya.
Merasa tak percaya telah terhina, Kaniz bangkit dan melangkah memasuki rumah, menghempaskan kipasnya ke atas lantai marmer. Kipas itu jatuh dengan sebuah entakan tajam dan pecah menjadi dua bagian. Sabra menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menyerah. Dia sudah melakukannya sekarang. Kaniz pasti akan mengusirnya dari rumah itu.
Saat Neesa muncul untuk bertanya di mana mereka akan makan, apakah di dalam ruang makan atau di balkon atap, Sabra dengan menyesal memberi tahu Neesa agar membawakan bakinya ke halaman. Neesa merasa majikannya tidak akan makan bersama adiknya hari ini. "Kukira," lanjut Sabra sambil menatap Neesa dengan sorot mata lemah, "a
ku ada dalam buku hitamnya saat ini. Kau mungkin juga harus mengemasi barang-barangku. Aku akan segera meninggalkan rumah ini. Aku sudah tinggal terlalu lama kali ini!"
Neesa menyunggingkan senyum pengertian ke arah Sabra dan mengangguk paham. Itu bukan pertanda baik juga untuknya. Hari ini tidak diragukan lagi dia akan menanggung akibat dari kemarahan sang chaudharani, tetapi dia sudah menghabiskan dua puluh sembilan tahun dari umurnya untuk melakukan itu. Jadi, apa yang akan terjadi lain hari" Terkadang dia bingung, mengapa dia diam saja menghadapi cara-cara tirani majikannya. Namun, di dalam hatinya, Neesa tahu jawabannya: karena kasih sayangnya pada Khawar, tuan muda yang bersama-sama Kaniz telah dibesarkannya.
31. SIKANDER DUDUK dengan kedua orangtuanya di ruang tamu mereka di Karachi. Dua bulan telah berlalu sejak Zarri Bano menjadi seorang Perempuan Suci. Mereka sudah tahu dari beberapa teman bahwa Zarri Bano kini sedang belajar di Universitas Kairo. Sikander melarang kedua orangtuanya menyebut nama itu di depannya. "Aku tidak akan pernah bisa memaafkannya, Ibu!" serunya marah.
Sebuah gagasan, entah bagaimana, tumbuh di benak Bilkis. Setelah menimbang-nimbangnya sekian lama, dia merasa sulit mengabaikan gagasan itu. Malam ini, dengan keberadaan putra dan suaminya dalam suasana hati yang santai, dia bertaruh dan memutuskan melontarkannya.
"Sikander, tahukah kau bahwa aku dapat melihat beberapa helai uban di pelipismu"" ujarnya. Sikander tertawa. "Ini tidak lucu," seru Bilkis riang. "Sebagai seorang ibu, aku peduli, bukan mengenai ubanmu, melainkan tentang status lajangmu. Kedua adikmu nyaris tidak pernah mengunjungi kita lagi. Hatiku haus akan suara anak-anak di tempat yang luas dan sunyi ini. Aku menginginkan cucu, Sikander. Menurutku, sudah saatnya kini kau putuskan untuk menikah dan berumah tangga, Anakku."
Sikander, yang sedang sibuk dengan hitungan bisnisnya, mengesampingkan kertas-kertas kerja dari pangkuannya dan dengan penuh hormat memerhatikan kata-kata ibunya. Ia baru saja akan melontarkan kata-kata menenangkan saat ibunya berkata lirih, "Bagaimana kalau dengan Ruby""
Kata-kata sirna di mulut Sikander. Ia menatap ibunya dalam keheningan yang memukau, seakan-akan ia baru saja tersengat aliran listrik. Sambil mencampakkan kertas-kertasnya ke atas lantai, ia berdiri. "Tidak akan pernah!" Dengan sepasang mata kelabunya menjadi gelap tertutupi emosi, ia melangkah pergi ke luar ruangan itu.
Raja Din menoleh pada istrinya. Sorot matanya sendiri memancarkan keterkejutan. "Kapan dan dari mana kau mendapatkan gagasan gila ini, Sayangku" Alangkah tidak pekanya dirimu. Kau tahu betapa Sikander masih mencintai Zarri Bano. Sejujurnya, aku sendiri juga tidak bisa melupakan gadis itu," ia berkata pada istrinya dengan sorot mata pilu.
"Yah, Ruby kan adiknya," Bilkis membela diri. "Dia sama baiknya dan nyaris sama cantiknya. Aku tahu kalian berdua lebih menyukai kecantikan Zarri Bano, tetapi sekilas, penampilan kedua kakak beradik itu nyaris sulit dibedakan, dari model rambut Ruby dan warna matanya. Jika Sikander tidak bisa menikahi Zarri Bano, apa yang mencegahnya menikahi Ruby" Lagi pula, Ruby bukanlah seorang Perempuan Suci, bukan""
"Tidak, Bilkis! Sikander tidak menginginkan keterkaitan apa pun lagi dengan keluarga itu. Menikahi Ruby hanya akan membangkitkan kenangan masa lalu baginya. Tentu saja kau benar, Ruby adalah seorang gadis yang sangat menawan dan memiliki sifat-sifat yang baik, tetapi itu sepertinya tidak pantas. Apa yang akan dipikirkan Zarri Bano" Apa yang akan dipikirkan oleh Ruby sendiri""
"Jika dia cukup bernalar, Ruby akan cukup senang. Anak lelaki kita juga sangat berkualitas, kaya raya, dan seorang pemuda yang tampan. Sedangkan mengenai Zarri Bano, dia kini sudah memiliki dunia yang lain. Dari kabar yang kukumpulkan, dia akan terus melakukan perjalanan religius, mengikuti seminar atau berangkat haji. Dengan siapa adiknya menikah, tidak ada urusannya dengan dia."
"Tetapi dia memiliki perasaan," sanggah Raja Din.
"Dia tidak berhak merasa keberatan. Dia mencampakkan Sikander dan rencana pernikahan mere
ka untuk menjadi seorang Perempuan Suci," ujar Bilkis lugas.
"Sayangku, kau mendebat semuanya dengan sangat meyakinkan, tetapi pada akhirnya semua itu akan bergantung pada Sikander. Ia sama sekali tidak berminat pada keluarga itu. Kau tahu itu."
"Tapi, hatiku sudah menetapkan Ruby, dan aku tidak akan menyerah. Aku ingin mengusir hantu Zarri Bano dari hati anakku untuk selamanya. Aku tahu dari dalam lubuk hatiku perempuan itu hidup dalam benak dan hati Sikander setiap saat, sekuat apa pun ia menyangkal hal itu."
Bilkis memang tidak menyerah. Kenyataannya, dia terus-menerus menghantam penolakan putranya. Setelah tiga kali mencoba, dia berhasil membuat Sikander mau mendengarkannya lagi.
"Aku tahu apa yang kau rasakan terhadap Zarri Bano, tetapi itu semua kini sudah menjadi sejarah, Anakku. Dia menjadi bagian sebuah dunia yang lain, sebuah kehidupan yang lain. Kau harus belajar melupakannya. Dia tidak bisa kau gapai lagi. Tetapi, adiknya tidak begitu dan Ruby adalah seorang gadis yang baik."
"Ibu, kehidupankulah yang sedang Ibu bicarakan. Zarri Banolah yang ingin kunikahi, bukan Ruby Bagaimana mungkin tiba-tiba saja aku memikirkan Ruby sebagai istriku" Selain itu, dia juga akan selalu mengingatkanku pada kakaknya."
"Zarri Bano adalah masa lalu, Anakku," ulang Bilkis tegas.
"Aku tahu, Ibu. Ibu selalu mengingatkanku. Aku sudah berusaha menghilangkan dia dari pikiran dan hatiku. Aku sungguh-sungguh berusaha. Tetapi mengikatkan diriku pada Ruby akan mengembalikan semua itu. Aku tidak akan pernah mampu lari darinya atau keluarganya. Tidakkah Ibu pikirkan itu""
"Tidak, Anakku. Aku tidak memikirkannya. Kau harus menyesuaikan diri pada gagasan itu. Sudah jelas Zarri Bano adalah masa lalu, sedangkan Ruby adalah masa kini dan masa depan. Dia adalah seseorang yang memiliki haknya sendiri. Dia juga memiliki kualitas dan penampilan yang menurutmu menjadi daya tarik Zarri Bano. Dia bukan Zarri Bano, kami sadari itu, tetapi Ruby adalah seorang perempuan hebat. Beri dia kesempatan, Anakku, ayolah.... Dia adalah seorang perempuan yang pintar, cantik, anggun, dan memiliki kepribadian yang hangat bagaikan mentari pagi."
"Tapi, tak ada percikan-percikan itu," tambah Sikander dalam hati. Ia mengingat daya tarik paling nyata dalam diri Zarri Bano. Ia tahu ia tidak akan dapat menemukan hal itu dengan mudah dalam diri perempuan lain. Zarri Bano yang baru, sang Perempuan Suci, sudah kehilangan kualitas yang satu itu juga. Percikan itu ikut terkubur bersama Zarri Bano yang dulu, di balik burqa itu.
"Ibu, pernahkah terpikir oleh Ibu apa yang akan dikatakan Ruby atau apa yang akan dirasakannya tentang hal ini" Lagi pula, aku pernah menjadi tunangan kakaknya. Aku merasa ini adalah gagasan yang kontroversial. Aku yakin dia bahkan akan menganggapnya lebih dari itu, khususnya karena kakaknya sendirilah yang pertama kali ingin kunikahi. Jika Ibu menginginkan kejujuran, aku membenci gagasan itu. Kenyataannya, aku bahkan membenci keluarga itu."
"Lupakanlah Zarri Bano dan ayahnya! Apakah kau membenci Ruby""
"Tidak, tentu saja tidak."
"Lalu mengapa tidak kau nikahi saja dia"" Bilkis bersikukuh. "Ibu! Berhentilah!"
"Aku tidak akan berhenti sampai kau setuju, atau setidaknya bersedia memikirkan dengan jernih tentang hal ini, serta mengizinkanku menghubungi orangtua Ruby, alih-alih langsung mengubur gagasan ini hanya karena semua dugaanmu."
"Baiklah, Ibu, aku akan memikirkannya dengan serius. Sekarang bisakah kita mengganti pembicaraan""
Bilkis berhenti dan dengan penuh kemenangan dia menundukkan pandangannya, berusaha menyembunyikan rasa senangnya dari Sikander. Dia sudah setengah meraih tujuannya.
Sikander memang memikirkan hal itu. Ia memikirkannya sambil berbaring di atas ranjangnya di malam hari dan ketika ia berjalan-jalan di kebun jeruk. Malah, ia tidak bisa memikirkan hal lainnya. Beberapa hari kemudian, ia memberi tahu Bilkis bahwa ia sudah menyerah.
"Ibu bisa meneruskan rencana Ibu dan mendekati orangtua Zar Ruby," ujarnya seminggu kemudian. Ia memutuskan bahwa sudah waktunya untuk mengubur masa lalu dan membuat awalan baru. Zarri Bano sudah melakukannya
, bukan" Kini ia dituntut untuk melakukan hal serupa. Zarri Bano sudah melupakannya. Sekarang gilirannya melupakan perempuan itu.
"Aku akan melakukannya, Anakku yang tampan," sahut Bilkis, lalu memeluknya, dan merasakan kedua pipinya hangat oleh rasa senang. "Kau tak bisa bayangkan betapa bahagia aku dibuatnya. Kau tidak akan menyesalinya, aku jamin. Ruby adalah seorang gadis yang menawan, Sayangku."
"Itulah yang terlihat, Ibu. Dia tidak akan pernah menjadi seorang Zarri Bano, bukan" Aku tidak akan bercanda pada diriku sendiri, tetapi aku memang bodoh dengan menjerumuskan diri ke dalam keluarga itu lagi dan mendengarkan kata-kata Ibu."
* * * Bilkis tidak membuang-buang waktu dalam memulai gerakannya, dan dua minggu kemudian Sikander sudah secara resmi bertunangan dengan Ruby. Bilkis menelepon orangtua Ruby malam itu juga begitu Sikander memberinya lampu hijau. Shahzada dan Habib sangat terkejut mendengar pinangan Bilkis terhadap Ruby Sejak upacara penahbisan Zarri Bano, kedua belah pihak saling merasa rikuh. Berniat untuk mengganti kerugian karena telah memutuskan ikatan pertunangan mereka dengan Zarri Bano, Habib pun menyepakati lamaran itu bahkan sebelum ia menyampaikannya pada Ruby. Tatkala Shahzada dengan lembut mengemukakan masalah itu pada putrinya, wajah Ruby memerah karena malu. Dia memang berharap dapat segera menikah, tetapi tidak dengan bekas tunangan kakaknya, dan dia pun berkecut hati. Tentu saja dia merasa sangat tersanjung dengan lamaran tersebut, tetapi seolah-olah ada sesuatu yang tidak benar dalam hal itu. Sikander sangat kaya raya, terpelajar, tampan, dan berasal dari kelas sosial yang tinggi, ujarnya pada dirinya sendiri tetapi ia sempat akan menjadi suami kakaknya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi laki-laki itu" Ia adalah satu-satunya laki-laki yang diinginkan Zarri Bano untuk menikahinya dan ia juga satu-satunya yang dicegah untuk menikahi kakaknya itu. Bagaimana dirinya bisa menghadapi Zarri Bano jika dia menikahi Sikander" Dia akan mengkhianati kakaknya itu dengan cara yang paling buruk. Dia merasa menjadi seorang pengkhianat, bahkan hanya dengan memikirkan hal itu dalam benaknya. Untung saja Zarri Bano tidak ada di dekatnya. Dia sedang berada di India, di Azmeir Sharif, mengunjungi Gedung Pengadilan India yang terkenal itu. Bagaimana reaksi Zarri Bano nanti" Apa yang akan dikatakannya"
Selain itu, bagaimana dengan perasaannya sendiri" Ruby merasa bimbang. Sebentuk kesadaran yang menyayat mengembalikannya pada kenyataan bahwa dia memang melihat Sikander sebagai sosok yang menarik hati. Dan betul, dia akan dengan senang hati menikah dengan lelaki itu. Lagi pula, perempuan mana yang tidak mau" Dia mempertentangkan hal itu dengan dirinya sendiri. Satu-satunya penghalang yang menghadangnya adalah Zarri Bano dan reaksinya saat dia mengetahui rencana ini.
Setelah dua hari bergulat dengan pikirannya sendiri, Ruby memutuskan untuk menerima lamaran itu. Meskipun demikian, Sikander dan Ruby belum secara langsung saling berhubungan. Sikander tidak sebersemangat itu untuk segera bertemu dengan tunangannya. "Aku sudah mengenalnya. Aku pernah menjumpainya," ujarnya pada orangtuanya dengan sikap malas-malasan. Ia memberi izin pada kedua orangtuanya untuk meneruskan rencananya, sementara dirinya sendiri masih bimbang.
Pertunangan itu diresmikan oleh orangtua Sikander dua minggu kemudian. Mereka membawa berbagai bingkisan untuk Ruby, termasuk sebuah cincin pertunangan yang sangat mahal. Sikander bersedia menemani mereka ke rumah Ruby setelah mengetahui bahwa Zarri Bano tidak berada di Pakistan. Kalau tidak, ia akan lebih memilih pesta pertunangan itu dilangsungkan di rumahnya saja.
Setelah pertemuan resmi yang singkat di ruang tengah, dengan semua orang menikmati sajian penyegar, Ruby dan Sikander dibiarkan berduaan untuk bisa saling mengenal lebih baik situasi ini dengan pedih berhasil mengembalikan ingatan Sikander pada situasi serupa yang pernah dialaminya dulu, ketika ia dan Zarri Bano dibiarkan berduaan untuk berjalan-jalan di ladang.
Baik Sikander maupun Ruby saling merasa tidak enak satu sama lain. Terak


Perempuan Suci The Holy Woman Karya Qaisra Shahraz di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hir kali Ruby melihat lelaki itu, ia adalah calon kakak iparnya dan kini dia harus memandanginya sebagai tunangannya sendiri.
Mata Sikander menyapu sosok Ruby. Tidak dapat dimungkiri, dia adalah seorang perempuan yang rupawan. Soal penampilan, Sikander tidak salah memilih kecuali warna matanya. Sikander merasa bahwa bagaimanapun Ruby bukan
tandingan Zarri Bano dan tidak akan pernah bisa. Dia tidak akan pernah mampu menyalakan api dalam dirinya seperti yang pernah dilakukan Zarri Bano.
Sikander menggodok mentalnya sendiri. Ia harus berhenti membanding-bandingkan Ruby dengan Zarri Bano. "Dia tidak berarti apa-apa lagi bagiku!" dengan marah ia berseru pada dirinya sendiri. Lalu, mengapakah jantungnya selalu melayang setiap ia mendengar nama itu disebutkan, atau tatkala bayangan wajahnya mulai menyeruak di depan matanya"
Itu adalah satu perbincangan yang paling kaku karena Ruby terus menundukkan pandangannya di depan Sikander. "Apakah kau bahagia dengan perjodohan ini, Ruby Sahiba"" tanya Sikander.
"Ya," jawab Ruby Akhirnya dia memberanikan diri menatap mata Sikander. Semburat merah meronai pipinya. "Dan kau" Apakah kau bahagia melangsungkan semua ini"" tampak ekspresi serius di wajahnya, menggantikan rasa malu-malunya tadi.
"Ya," jawab Sikander dengan tegas. Ia sudah pernah melihat dan merasakan kekakuan sikap Ruby, dan hal itu sebaliknya telah meluluhkan kekakuan sikapnya sendiri. Mulutnya yang menawan kini membentuk seulas senyum hangat yang wajar.
Ruby merona karenanya. Dia sudah tertawan. Dia melupakan kakaknya dan malah menyambut laki-laki tampan ini dengan segenap hatinya.
Saat dia berdiri untuk mengembalikan piring kecilnya ke atas meja, Sikander memandanginya lekat-lekat. "Dia adalah Ruby, bukan Zarri Bano," ia mencamkan hal itu dalam dirinya. Zarri Bano harus dihapuskan dari hatinya. Kini ia merasa bahagia dan yakin bahwa Ruby pasti sanggup membantunya melakukan itu. Kedua kakak beradik itu sangat mirip dan juga sangat berbeda. Begitu Sikander melayangkan senyumnya ke dalam bola mata cokelat Ruby, ia bersumpah dalam hati bahwa ia tidak akan pernah membandingkan keduanya dalam benaknya lagi.
Ruby kembali dengan sebuah cangkir di tangannya, sesungging senyum yang bergetar masih tersisa di mulutnya. Dia bisa merasakan mata Sikander menyapu tubuhnya. Naluri keperempuanannya memberi isyarat padanya bahwa inilah untuk pertama kalinya Sikander menyaksikan dirinya sebagai perempuan dalam hakikatnya sendiri dan bukan sebagai adik Zarri Bano. Percikan kemenangan membakar dalam dirinya dan membuatnya merasa sangat berbahagia karenanya.
Mereka berbicara lama sekali. Tidak ada sengatan listrik, hasrat yang menggebu yang pernah ditumpahkannya pada Zarri Bano pada saat mereka pertama kali berduaan. Sikander tercenung, tetapi ia sudah mulai menikmati kebersamaannya bersama Ruby dan merasa lebih bahagia dibuatnya.
Ketika orangtua mereka kembali, mereka menemukan pasangan itu sedang mengobrol santai dan tertawa-tawa. Kedua pasang orangtua saling bertukar pandang dan tersenyum, menyadari bahwa pernikahan antara Ruby dan Sikander akan segera mereka langsungkan.
Malam itu juga, tanggal pernikahan sudah disepakati sebulan kemudian. Saat itu, Zarri Bano sudah kembali dari India. Andai ada yang merasakan ketegangan saat Shahzada menyebutkan nama Zarri Bano, tak ada seorang pun yang mengisyaratkan hal itu.
* * * Sikander dan kedua orangtuanya menolak dengan halus undangan menginap malam itu karena Sikander akan terbang ke Malaysia untuk urusan bisnis keesokan paginya. Mereka pulang larut malam itu.
Shahzada bergabung dengan suaminya di kamar tidur mereka setelah mereka mengantar kepergian Sikander dan orangtuanya. Dia duduk di sofa menghadap Habib yang sedang duduk di ranjangnya.
"Tahukah kau, ini akan menjadi pesta pernikahan Ruby, tetapi aku sama sekali tidak merasakan kebahagiaannya, Habib," Shahzada mulai berkata dengan nada suara sungguh-sungguh.
"Sebagai orangtua dari seorang anak perempuan, kita memang tidak ditakdirkan untuk merasa bahagia, Sayangku. Kita akan kehilangan seorang anak perempuan. Ya..., setidaknya kita masih memiliki
Zarri Bano, begitu Ruby meninggalkan kita...." Ia terdiam, memerhatikan raut wajah istrinya.
"Itu dia, Habib Zarri Bano." Shahzada berharap agar dia tidak harus melantur lebih jauh dari pokok pembicaraan.
"Memangnya ada apa mengenai dia"" tanya Habib tanpa membalas tatapan mata istrinya.
"Kita seharusnya tidak pernah menyetujui perjodohan dengan Sikander. Apakah kau sudah mempertimbangkan perasaan Zarri Bano tentang ini""
"Dia kini adalah seorang Perempuan Suci, Shahzada. Apakah ada pengaruhnya baginya dengan siapa Ruby menikah"" Habib menjawab dengan tajam. Habib merasa terganggu dengan istrinya yang terus-menerus mengungkapkan masalah itu dan membesar-besarkannya.
"Sikander adalah laki-laki yang akan dinikahi Zarri Bano, Habib! Kau pasti mengingat hal itu, bukan" Tidakkah kau pikir kau sudah cukup merusaknya, tanpa harus menyakiti perasaannya lagi" Bisakah kau menjadi sedikit lebih peka untuk melihat permasalahan ini dari sudut pandangnya""
"Shahzada, kau terlalu membesar-besarkan perasaan Zarri Bano. Kita sama sekali tidak tahu apa yang akan dipikirkannya. Karena dia tidak boleh menikah dengan siapa pun, apakah dia masih akan keberatan dengan siapa Sikander menikah" Dia sudah cukup sibuk dengan kehidupan barunya sehingga tak akan punya kesempatan untuk memikirkan kita. Lagi pula, aku merasa lebih senang karena bisa membayar ganti rugi pada Sikander dan keluarganya. Selain itu, apakah bedanya Ruby dengan Zarri Bano" Mereka berdua sama saja."
"Betulkah begitu, Habib sayang"" tanya Shahzada sinis. "Maukah kau menjadi orang yang memberi tahu Zarri Bano, saat dia kembali nanti, bahwa laki-laki yang kau cegah untuk menikah dengannya, kali ini akan menjadi adik iparnya""
Dibuat cemas oleh kata-kata Shahzada, Habib tidak berkata sepatah pun. Katakanlah, ia memang tidak ingin menjadi orang yang memberitahukan hal ini pada Zarri Bano, atau bahkan hanya sekadar menghadapinya. Ia tiba-tiba
saja serasa mendengar kembali, dengan sangat jelas, kata-kata putri sulungnya dahulu, "Aku ingin menikah dengan Sikander."
32. PERSIAPAN UNTUK gaun pengantin Ruby dilakukan dengan sangat cepat. Perhiasan sudah dipilih dan dipesan dari toko perhiasan langganan keluarga mereka. Tiga orang ahli busana di butik eksklusif mereka telah menerima pesanan untuk menyiapkan serangkaian koleksi pakaian beraneka rancangan, gaya, dan jenis bahan. Ruby, Shahzada, dan Fatima melakukan kegiatan belanja setiap hari ke pasar-pasar dan aneka pusat perbelanjaan untuk membeli barang-barang keperluan maskawin Ruby. Ruby memilih, sementara Shahzada dan Fatima memesan. Kegiatan itu nyaris seperti ritual, setiap hari mereka berangkat pagi-pagi sekali dari rumah dan kembali sore harinya dalam kondisi kelelahan dan membawa berkantung-kantung barang.
Sikander kerap menelepon Ruby di malam hari untuk menindaklanjuti pertunangan mereka. Dengan langkah ringan seakan terbang, Ruby akan berlari menuju telepon saat Fatima memberitahunya siapa yang menelepon. Wajahnya berkali-kali menyiratkan senyum lebar saat dia berbicara dengan Sikander. Fatima mengamatinya dengan perasaan campur aduk. Pada suatu kali, Ruby menangkap ekspresi pengurus rumah tangga mereka itu saat meletakkan gagang telepon.
"Fatima, apakah kau baik-baik saja"" tanya Ruby Senyum manis menghilang dari wajahnya. "Ya, Sayangku. Mengapa kau bertanya seperti itu""
"Tidak apa-apa. Aku.... Fatima, kau tidak setuju aku menikah dengan Sikander, bukan""
Fatima terhenyak. Keheningan tiba-tiba saja menyeruak di antara mereka, sementara perempuan tua itu berdebat dengan dirinya sendiri tentang apa yang harus diucapkannya.
"Ruby, tentu saja aku setuju! Aku berbahagia untukmu. Sikander akan menjadi seorang suami yang baik untukmu." Fatima berusaha keras menekan suara batinnya yang berkata, "Ia akan menjadi seorang suami yang baik untuk Zarri Bano." Batinnya meratap pilu untuk tuan putrinya, Zarri Bano. Dia tidak akan pernah mengatakan hal itu kepada siapa pun, bahkan pada Shahzada sekalipun yang selalu memercayakan nyaris segalanya kepadanya. Dia akan berduka untuk Zarri Banonya tercinta, tetapi cukup sendirian saja. Suara
batinnya itu berteriak nyaring, sampai-sampai Fatima merasa cemas jangan-jangan Ruby bisa mendengarnya, "Sikander seharusnya menjadi suami Zarri Bano, bukan suamimu!"
Itu adalah perubahan nasib yang aneh, Sikander menikahi kakak beradik. Ayah macam apa Habib ini" pikir Fatima gusar. Ia bisa saja menolak lamaran itu jika ia mau. Menggagalkan pernikahan salah satu putrinya dengan Sikander, tapi kemudian, justru mendukung putrinya yang lain untuk melakukannya. Dalam benak Fatima, itu semua tidak benar itu adalah tindakan tak bermoral!
* * * Sikander menelepon Ruby Siang harinya saat Zarri Bano dijadwalkan pulang dari India. Sejenak keheningan dan ketegangan merebak di saluran telepon itu ketika Ruby memberitahunya bahwa kakaknya akan pulang malam itu.
"Oh, begitu," itu saja yang diucapkannya. Dalam keadaan normal, ia akan menjemput dan menyambut Zarri Bano di bandar udara sebagai calon iparnya. Karena hubungan masa lalu di antara mereka berdua, ia merasa belum cukup siap untuk bertemu dengan gadis itu. Karena itu, ia tidak mengatakan apa pun. Ia malah menanyakan apa yang dibeli Ruby dari pasar hari itu.
"Membeli semua benda itu adalah hal yang bodoh, Ruby." Sikander tertawa dan menanggapi dengan suara riang begitu mendengar Ruby mendapatkan satu set pisau perak.
"Aku tahu," balas Ruby menyambut tawa Sikander. "Aku sangat tahu bahwa kau telah memiliki semuanya dalam rumahmu. Meskipun demikian, sudah menjadi adat kebiasaan para orangtua memberi hadiah-hadiah untuk anak perempuan mereka, dari lemari es hingga sikat gigi. Coba bayangkan Zarri Bano, dia memiliki gaun-gaun indah dan dia tidak pergi ke mana-mana untuk memamerkannya." Ruby terhenti, kedua pipinya memanas, dia menyesali kata-kata yang baru saja diucapkannya. Sekali lagi Ruby merasakan ketegangan di ujung saluran telepon di seberang sana. Apakah dia harus selamanya merasakan kepedihan rasa bersalahnya terhadap Zarri Bano" "Ini sangat tidak adil!" jeritnya dalam hati.
"Aku harus pergi dulu, Ruby Manajerku, Ali, sudah datang. Hudah Hafiz. " Sikander pun segera menutup telepon tanpa memberi tahu Ruby apakah ia akan menelepon lagi keesokan harinya.
Di kantornya, Sikander mengibaskan laporan komputer yang ia terima dari Singapura. Benaknya melayang pada Zarri Bano. Siang itu Zarri Bano akan tiba di bandara Karachi. Sikander tidak bertemu dengannya sejak upacara itu, tidak pula ingin ia berjumpa dengan gadis itu. Ia teringat kembali pada Zarri Bano. Sikander tak pernah bisa melupakannya atas apa yang telah dia perbuat padanya. Ia tak tahan untuk bertanya-tanya apakah reaksinya mendengar pernikahan Ruby yang akan dilangsungkan. Bibir Sikander berkerut. "Inilah pembalasanku, Zarri Bano!" ujarnya dengan getir, berharap ia menyaksikan sendiri ketika Zarri Bano mengetahui bahwa dirinya akan menjadi adik ipar gadis itu.
* * * Habib dan Shahzada pergi menjemput Zarri Bano diantar sopir mereka di bandara internasional Karachi. Mereka melihat Zarri Bano melewati pabean dengan mengenakan burqa hitamnya, ditemani Sakina dan dua perempuan lainnya. Dua orang perempuan itu berpakaian tidak setertutup kedua Perempuan Suci di sampingnya.
"Bagaimana kabar Azmeir Sharif, Putriku"" tanya Habib begitu mereka duduk dalam mobil mereka. Sakina dan kedua perempuan yang lain telah pergi bersama keluarga mereka masing-masing.
"Baik, Ayah. Ada banyak orang yang harus ditemui. Kami sesungguhnya menghabiskan waktu di sebuah rumah dekat darbar. Orang-orang yang kami tumpangi amat ramah. Setiap hari, di darbar, rasanya seperti ada perayaan. Ada pembacaan Al-Quran yang berlangsung berjam-jam dan jamuan makan siang yang terus berlanjut hingga makan
malam. Banyak sekali orang bergerombol mendatangi gedung-gedung suci untuk mencari nasihat, bimbingan moral, dan tuntunan agama. Aku berada dalam forum itu selama delapan belas jam sehari dan hanya bangkit untuk shalat. Aku begitu sibuk dan nyaris tidak bisa pergi dari tempat itu. Perempuan-perempuan berkerumun di dekatku. Seluruh tubuhku terasa sakit."
"Putriku yang malang. Kini kau bisa beristirahat di rumah. Kau bisa berjalan-jalan di sekeliling ladang-lada
ng kita di desa dan menghirup udara segar. Kau sudah cukup lama melakukan perjalanan dan pergi jauh dari rumah selama berbulan-bulan. Kami merindukanmu!" Shahzada memeluk putrinya penuh kasih sayang.
"Tahukah Ibu, perempuan-perempuan yang datang dengan berbagai keinginan dan harapan membutuhkanku untuk mendengarkan mereka. Mereka sudah mendengar kabar bahwa aku adalah seorang Perempuan Suci, dan karena itu mereka memperlakukanku dengan sangat hormat. Aku berdoa dan shalat untuk mereka seperti halnya aku memanjatkan doa untuk diriku sendiri.
"Kadang-kadang aku menangisi derita mereka. Dan itu malah membuat mereka lebih terisak lagi. Menurutku, mereka menghargaiku karena sudah berempati dengan luka hati dan hasrat batin mereka. Sebagian dari perempuan-perempuan itu memohon padaku untuk memanjatkan doa kepada Allah agar mereka diberi anak. Sebagian lainnya memintaku berdoa agar tubuh mereka sehat. Mereka sangat membutuhkan bantuan medis. Aku tahu yang paling mereka butuhkan mungkin adalah mendatangi dokter. Namun, keyakinan mereka pada agamanya dan pada kami yang menjadi 'perantara' antara Allah dan mereka yang membuat mereka mendatangi kami. Para dokter sepertinya tidak memberi mereka keuntungan. Perempuan atau laki-laki yang lain bisa saja mengambil keuntungan dari kerapuhan mereka, seperti yang aku yakin pernah mereka lakukan. Mudah saja bagi semua orang untuk masuk ke dalam pikiran seseorang, ke dalam ego orang lain, tetapi aku sangat kesal dibuatnya." Dia memandangi kedua orangtuanya dan berusaha keras menjelaskannya.
"Ada saat-saat ketika aku merasa aku ini seorang penipu. Karena aku tidak memiliki solusi penyembuhan ataupun mukjizat untuk mereka, hanya lewat doa dan keyakinanku. Reputasiku berkembang dengan sedemikian rupa sehingga mereka merasa bahwa aku dianugerahi kemampuan, pemujaan, dan perhatian khusus. Mereka adalah perempuan-perempuan yang tidak hanya mencium tanganku, tetapi juga berusaha menggapai telapak kakiku, Ibu. Menakutkan melihat reaksi mereka. Aku mengibaskan kakiku dan ingin sekali berteriak pada mereka, 'Lihatlah, aku perempuan biasa sepertimu juga,' tapi bibirku tetap terkunci. Aku menemukan diriku tak mampu menghancurkan angan-angan mereka dan menjauhkan mereka dari keyakinan dalam diri mereka bahwa doa-doaku akan membantu mereka. Aku juga didatangi para perempuan Hindu dan Sikh dengan maksud yang sama seperti para perempuan Muslim."
"Kau bukan sekadar perempuan biasa, Putriku tersayang," Habib menjawab tajam. "Kau adalah seorang Shahzadi Ibadat! Itu sebabnya mereka mendatangimu. Tidak hanya untuk mencari mukjizat, tetapi juga ilmu pengetahuan dan tuntunan. Kau adalah seorang perempuan terpelajar dan kini lebih mendalami masalah keagamaan. Waktu akan membuktikan bahwa kau akan menjadi perempuan paling terpelajar dalam masalah keagamaan di wilayah kita. Itu sebabnya kau tidak bisa menurunkan harkatmu sendiri atau berpikir bahwa kau adalah seorang penipu. Itu sebutan yang mengerikan, Sayangku. Kau harus merasa yakin pada kemampuan dirimu sendiri. Jangan pernah meragukan diri sendiri, Zarri Bano!" ujarnya dengan bangga.
"Cukup tentang aku dan Azmeir Sharif. Aku masih punya banyak kisah untuk kuceritakan pada kalian tentang Mesir dan Kairo, tapi itu nanti saja. Bagaimana dengan Ruby dan yang lainnya"" tanya Zarri Bano polos. Dia tidak melihat sorot mata orangtuanya ketika mereka saling bertukar pandang yang menyiratkan rahasia lewat kaca spion di dalam mobil mereka.
"Ruby baik-baik saja, begitu juga dengan semua orang, Anakku. Kami sangat merindukanmu, Zarri Bano," jawab Shahzada seraya merangkul erat-erat putrinya itu sampai akan mendekapnya.
"Sekarang ceritakanlah tentang Kairo!" Shahzada membelokkan Zarri Bano dari topik pembicaraan yang cukup berbahaya, tentang Ruby.
33. "ZARRI BANO akan segera tiba beberapa saat lagi!" Ruby dengan tegang mengamati Fatima yang sedang memberi sentuhan terakhir pada rangkaian bunga di atas meja makan. Matanya terpusat pada jam dinding. Dia semakin merasa seperti seorang pengkhianat menit demi menit.
Baru saja Ruby berniat mengatasi keadaan, Zarri Bano memasuki r
uangan itu dengan burqa hitamnya menjurai dan segera menghambur mendekap adiknya erat-erat. Dia sama sekali tidak menyadari betapa Ruby selalu menghindar melakukan kontak mata dengannya.
Selama makan malam bersama, setelah mandi dan menyegarkan diri, Zarri Bano bertanya dengan polos, apakah ada sesuatu yang penting yang terjadi saat dia berada di luar negeri.
"Aku merasa telah pergi bukan selama setahun, melainkan sepuluh tahun lamanya. Apa yang sudah kau lakukan selama aku tidak ada, Ruby"" Zarri Bano menoleh ke arah adiknya. Ruby langsung menundukkan pandangannya.
"Kami memiliki beberapa kabar bagus untukmu, Sayangku," jawab Shahzada dengan suara lembut. Dia bisa merasakan panasnya sorotan mata Ruby dan Habib di wajahnya.
"Apakah yang sudah terjadi" Katakanlah padaku, Ibu," pinta Zarri Bano dengan riang.
"Kami sudah menentukan tanggal pernikahan Ruby." Ruby dan Habib kini menahan napas, menunggu dengan tak sabar Shahzada melanjutkan kalimatnya yang menggantung itu.
"Wah! Berita hebat! Kapan dan dengan siapa" Kalian tidak pernah mengatakan apa pun padaku di telepon." Zarri Bano memandangi mereka bertiga dengan raut wajah terkejut.
"Aku akan memberitahumu tentang itu nanti, setelah kau beristirahat," tukas Ruby segera sebelum ibu atau ayahnya sempat mengatakan apa pun jantungnya serasa terlepas menghampiri kakaknya, seakan-akan sedang memberinya privasi.
"Apakah seseorang yang kukenal"" Zarri Bano bertanya lembut. Dia sama sekali tidak menyadari perubahan suasana di ruangan itu.
"Seperti yang Ruby katakan, dia akan memberitahumu nanti." Sambil menjilat bibirnya yang kering, Shahzada terdiam seraya mengirimkan satu sorotan tajam penuh arti ke arah suaminya. "Itu adalah hak Ruby, Habib Sahib, untuk menceritakannya pada kakaknya sendiri. Kau pasti merasa sangat lelah, Anakku, mengapa kau tidak tidur dulu saja""
"Memang benar bahwa aku lelah, Ibu, tetapi aku sangat penasaran ingin tahu siapa yang akan menikah dengan adikku. Pasti Khawar, benar kan" Chaudharani Kaniz pastilah sudah berhasil mengejarmu sekarang. Ya, kalian semua sangat tertutup tentang ini. Kalian membuatku merasa menjadi orang luar sekarang ini. Betapa penuh rahasia dirimu, Ruby!" goda Zarri Bano sambil tertawa melihat rona merah menghiasi wajah adiknya. Dia bangkit meninggalkan meja. Habib dan Shahzada saling bertukar pandang. Keduanya bernapas dengan lebih lega.
"Ruby, naiklah ke kamarku dan ceritakan semuanya!" Zarri Bano memberi isyarat pada adiknya sebelum menutup pintu.
Ruby duduk terpaku di kursinya. Saat perhitungan telah tiba. Dengan tungkai kaki yang dirasakannya seakan tiba-tiba saja dibelenggu dengan sebuah beban berat, Ruby bangkit dan mengirimkan tatapan memelas ke arah ibunya seakan-akan meminta bantuan. Shahzada, entah bagaimana, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih ke arah putrinya itu, menganggap bahwa masalah itu membutuhkan privasi antara kedua kakak beradik itu.
"Jangan cemas, Sayang," seru Shahzada lembut saat Ruby memandang ke arahnya lagi sebelum meninggalkan ruang makan.
* * * Di kamar tidurnya, Zarri Bano memandang ke sekeliling dengan rasa senang yang bergelora. Dia merasa bahagia bisa pulang ke rumah lagi. Dia memandang ke luar jendela ke arah taman dan rumpun mawar yang sedang bermekaran di halaman.
"Laki-laki itu adalah Sikander!"
Zarri Bano tidak mendengar Ruby masuk, tetapi lima kata yang terucap pelan itu seakan-akan membelah ruangan dan membekukannya di tempat. Dengan kelumpuhan menyerang beberapa bagian tubuhnya secara tiba-tiba, Zarri Bano mencoba menghilangkan semua perasaan dan sensasinya. Sepasang matanya membelalak lebar.
Ruby menunggu Zarri Bano membalikkan tubuhnya ke arahnya. Detik demi detik jam dinding terus berdetak. Sambil duduk kaku di ujung ranjang Zarri Bano, Ruby bimbang tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Bukan aku yang menginginkan perjodohan ini," ujarnya memelas. Dia merasa seakan-akan baru saja membenamkan sebilah pedang besar ke punggung kakaknya itu. "Zarri Bano, bukan aku! Tolong maafkanlah aku. Aku tahu bagaimana perasaanmu." Sambil menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak ta
ngannya, Ruby mulai terisak-isak.
Dengan isak tangis adiknya membahana di sekitarnya, Zarri Bano melupakan dirinya sendiri dan bergerak ke arah sosok yang mengerut itu.
"Jangan menangis," dia berbisik dari balik rambut adiknya, merengkuh tubuh adiknya dalam pelukannya. "Tidak ada yang harus dimaafkan. Aku berbahagia untukmu." Dengan bergetar, dia menyuarakan kata-kata yang berbeda dari apa yang tersirat dalam lubuk hatinya.
"Tetapi, dia tunanganmu. Aku benar-benar merasa bersalah, Zarri Bano," jelas Ruby seraya menengadahkan wajahnya yang berlumuran air mata, memandangi wajah kakaknya.
"Ya, dia pernah menjadi tunanganku." Zarri Bano berhasil mengendalikan raut wajahnya sedatar mungkin. "Itu di masa lalu, Adikku tersayang. Kau tidak memiliki alasan untuk meminta maaf. Jangan pernah merasa bersalah
mengenaiku. Itu sudah menjadi kismet-ku, takdirku. Ingat bahwa akulah yang melepaskan Sikander, ketika aku memutuskan untuk menjadi seorang Perempuan Suci. Aku melepaskan semua hak atasnya. Tidak menjadi masalah buatku dengan siapa dia akan menikah, entah itu denganmu atau perempuan lain."
"Oh, Kakakku tersayang, kau begitu murah hati. Terima kasih, Zarri Bano, karena kau begitu penuh pengertian." Air mata mengucur dari mata Ruby.
Tepat saat itu juga, Shahzada memasuki kamar itu dan menyaksikan kedua anak perempuannya berpelukan erat. Zarri Bano lebih tinggi daripada Ruby, dan dialah yang pertama kali melihat ibunya masuk, dari balik bahu Ruby.
Shahzada segera menangkap luka hati yang begitu jelas di mata Zarri Bano. Dia sedang menyembunyikan luka hati itu dari adiknya lewat kata-katanya yang meyakinkan, tetapi sesungguhnya dia tidak mampu menutupi hal itu dari ibunya.
Bagaimana mungkin seseorang bisa melewati luka hati yang seperti ini" Shahzada tercenung pilu, betapa batinnya melontarkan simpati mendalam kepada anak sulungnya. Tidak ada solusi untuk situasi seperti ini. Satu-satunya jalan adalah perdamaian total dalam diri seseorang dan semua yang dirasakannya.
"Ruby, kau sudah menceritakannya pada kakakmu"" tanya Shahzada dengan nada suara yang begitu hampa.
"Ya, Ibu, dia sudah menceritakannya." Zarri Bano melepaskan pelukannya. Ruby memutuskan bahwa itu adalah saat yang tepat untuk tidur dan meninggalkan Zarri Bano dengan penuh rasa terima kasih.
* * * Berdua saja di kamar, ibu dan putrinya itu saling menatap. Kemudian, Zarri Bano melangkah untuk berdiri di dekat jendela. Dia menyingkap jaring-jaring gorden untuk melongokkan pandangannya ke halaman dan taman di bawahnya dengan sorot mata yang muram. Rumahnya yang indah itu tiba-tiba saja menjadi sebuah benteng kepedihan. Keheningan menyeruak di antara kedua perempuan itu.
"Maafkan Ibu, Zarri Bano." Shahzada mendekat untuk berdiri di dekat putri sulungnya. "Bukan kami yang merencanakan semua ini kau harus memercayaiku. Ini usulan Bilkis. Aku menentangnya, Zarri Bano. Sebelum kami menyadari apa yang terjadi, pertunangan itu sudah berlangsung." Shahzada berharap putrinya akan mau mengerti.
"Ibu tak perlu menjelaskan padaku bagaimana ini bisa terjadi. Tidak juga Ibu harus meminta maaf."
"Zarri Bano, mengapa kau begitu menutup diri" Kau tidak harus berpura-pura di hadapanku atau berusaha menjaga perasaanku. Mengapa tidak kau katakan saja apa yang kau rasakan" Ingatlah, aku bukan Ruby, aku ibumu. Aku tahu. Kami tidak hanya tidak bertenggang rasa, tapi juga sudah bersalah telah membiarkan pertunangan itu terjadi. Aku telah mengatakannya pada ayahmu."
"Ibu, tolong tinggalkan aku sendiri. Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Aku tidak akan pernah bisa menikah, jadi apa masalahnya bagiku jika Sikander menikah" Ia memang harus menikahi seseorang suatu hari. Aku seorang Shahzadi Ibadat. Aku seharusnya tidak memedulikan hal ini." Namun, Zarri Bano tidak sanggup menutupi keputusasaan di matanya.
"Kau tidak hanya seorang Perempuan Suci. Pada dasarnya kau seorang perempuan yang berperasaan." Shahzada mengulurkan tangannya dan mengguncang tangan putrinya.
"Kalau begitu, sebagai seorang perempuan, katakan padaku bagaimana aku harus menghadapinya, Ibu!" jerit Zarri Bano pilu. "Tunjukkan padaku
caranya menghadapi semua ini, hambatan emosional terbesar dalam hidupku memenangkan perasaan keperempuananku. Ini adalah ujian Tuhan, Ibu, tetapi aku akan menang. Kukatakan padamu aku akan menang! Tetapi, tolong katakan dulu padaku bagaimana caranya. Tunjukkan caranya bagaimana aku bisa menghentikan pisau ini menghunjam dan mengoyak-ngoyak batinku."
Kepedihan dalam nada suara putrinya membuat air mata Shahzada mengalir deras membasahi pipinya.
Sambil mendekapkan kedua tangan kuat-kuat ke dadanya, Zarri Bano membungkukkan tubuh dan menjatuhkan tubuhnya ke kursi, berusaha menyembunyikan wajahnya yang merana dari ibunya.
"Sayangku, menangislah jika itu yang ingin kau lakukan. Kau bisa memercayakan padaku segenap perasaanmu, Putriku." Suara Shahzada sendiri bercampur sedu sedan dan isak tangisnya.
"Menangis, Ibu"" tukas Zarri Bano dengan lelehan air mata kepedihan berkilauan bagaikan permata hijau misterius di matanya. "Tolong, ya Allah, tolonglah aku!" dia meratap.
Zarri Bano membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan ibunya dan bersandar di bahunya. "Ia berkata... Ia berkata...," suaranya terbata-bata, tersendat-sendat, dengan kata-kata yang terpatah-patah. "Ia berkata bahwa aku akan mengingatnya hingga akhir hayatku, Ibu. Sekarang aku tidak akan pernah berlalu darinya. Bagaimana aku bisa membodohi diriku sendiri! Kupikir aku telah membunuh dan mengubur Zarri Bano yang lama di balik burqa ini, kafan hitam ini, tetapi dia ternyata masih hidup, Ibu. Dia masih hidup! Ya Allah, ampuni aku! Aku tidak pernah sadar betapa kejinya orangtuaku. Katakan padaku Ibu, bagaimana aku bisa membunuh perempuan di dalam diriku ini, perempuan yang masih saja mencintai laki-laki ini secara membabi buta."
Melepaskan diri dari dekapan Shahzada, Zarri Bano berusaha sekuat tenaga memunguti puing-puing pengendalian dirinya. Dia bangkit dan berdiri tegak. Dengan penuh amarah, dia menghapus air mata dari kedua pipinya.
"Aku ingin beristirahat sekarang. Maafkan aku, Ibu, atas kecengengan seorang perempuan lemah ini. Aku sangat malu. Ibu tidak akan pernah terpikir melihat suatu hari Zarri Banomu yang angkuh menangisi seorang lelaki. Aku tidak pernah tahu bahwa cinta dapat sedemikian menyakitkan. Ini cara Allah menghukumku karena telah menampik semua laki-laki yang melamarku. Aku seharusnya memberi selamat pada Ibu. Aku menyesal." Tubuhnya sekali lagi ambruk. Sambil berbaring, Zarri Bano memalingkan wajahnya dan mengatupkan kedua kelopak matanya.
Tak berdaya, Shahzada memandangi punggung putrinya itu selama beberapa saat. Dia takut menyentuhnya. Dia takut mengatakan sesuatu yang mungkin saja akan memecahkan kendali diri Zarri Bano yang rapuh dan mendorongnya ke jurang keterpurukan mental.
Akhirnya dia meninggalkan kamar itu sepasang matanya membengkak oleh air mata. Dia segera menuju dapur, tempat Fatima sedang menggosok sebuah bejana perak besar di tempat cuci piring.
"Dia sudah mengetahuinya, Fatima. Dia berkata, Aku tidak pernah tahu bahwa orangtuaku bisa sekejam ini," gumam Shahzada lirih di belakang rubuh pengurus rumah tangganya.
Tubuh Fatima tak bergerak. Tangannya yang berlumuran sabun tetap teracung di udara. "Bagaimana reaksi Zarri Bano"" tanyanya setengah berbisik, tanpa membalikkan tubuhnya.
"Seperti yang kita duga dia sungguh-sungguh hancur. Kita sudah melakukan sesuatu yang ganjil, Fatima. Aku tidak pernah menyangka melihat hari ketika putriku itu benar-benar kehilangan kendali atas dirinya. Dia selalu tampak tangguh dan tegar. Tetapi, kali ini dia hancur berkeping-keping, Fatima. Semoga Allah menolong kita dan menolong putriku. Dia masih saja belum mampu melupakan laki-laki itu."
"Memang tidak baik dan tidak pantas adiknya menikahi laki-laki yang dicintai Zarri Bano," ungkap Fatima jujur. "Ini akan menjadi sebuah pengalaman yang sangat menyakitkan untuk Zarri Bano, Shahzada Jee."
"Tolonglah, Fatima, jangan katakan lagi. Seperti yang dikatakannya, kita harus ingat bahwa dia adalah Perempuan Suci. Dia tidak bisa menikahi siapa pun, jadi dia harus menempa perasaan-perasaan seperti itu."
"Bahkan jika hal itu akan membunuhnya secara emosional
"" tanya Fatima.
"Ah, Fatima! Itu sudah kita lakukan saat kita membuatnya menjadi seorang Perempuan Suci. Jangan katakan apa-apa lagi. Jika Habib mendengar apa yang kau katakan...."
"Lantas mengapa kalau ia mendengarnya" Apa lagi yang dapat ia lakukan setelah apa yang sudah dilakukannya""
Fatima kembali mengurusi bejananya dengan sapuan tangan yang panjang dan keras, melepaskan kedukaannya, dan melampiaskannya pada benda itu. Bejana itu bisa dipastikan akan berkilau lebih terang daripada biasanya. Bulir-bulir air mata berenang-renang di mata Fatima yang bisa saja disaksikan Shahzada jika dia tidak meninggalkan dapur. Fatima menghela napas panjang.
"Habib dan Kaniz adalah dua orang dari jenis yang sama. Mereka berdua tahu bagaimana caranya menghancurkan kebahagiaan anak-anaknya." Mulut Fatima mencibir getir. Dia merasa sangat panas sehingga dia menyentakkan kerudung Kashmirnya yang berat dari bahunya dan membiarkannya teronggok di lantai.
34. MEMBIARKAN KAMARNYA gelap gulita, Zarri Bano duduk di kursi dengan kedua tangan di atas pangkuannya. Dengan sepasang mata terpejam rapat, dia mengayun-ayunkan tubuhnya ke depan dan ke belakang, putus asa karena tak mampu menahan bayangan-bayangan mengancam yang akan meluruhkan dinding batinnya, dinding yang sudah dibangunnya setelah upacara penahbisannya.
Masa lalu, entah bagaimana, dalam semua warna dan kecemerlangannya, telah menderanya kembali dengan sebuah pembalasan, seolah-olah ini adalah tahun terakhir hidupnya. Wajah Sikander ada di mana-mana di dalam benaknya. Dia menyerah, membiarkan adegan-adegan berkelebat di depan matanya yang mengatup, diakhiri dengan bayangan saat jemarinya menelusuri bibir laki-laki itu. Seakan-akan tubuhnya dialiri kehangatan rasa rindu, Zarri Bano merengkuh tubuhnya sendiri, menggeleng-gelengkan kepalanya dengan putus asa, dan berusaha mengenyahkan semua pikiran dan bayangan yang mendera dan menjeratnya.
"Aku membencimu, Sikander!" jeritnya nyaring. Lalu:
"Oh, ya Allah, tolonglah hamba-Mu. Ini adalah ujian terdahsyat yang telah Kau berikan. Engkau menguji kekuatan imanku serta kemurnian batin dan pikiranku. Dalam ujian ini, aku tak berharap bisa lulus! Bagaimana aku bisa murni dalam pikiran jika pikiran tentang Sikander bersama adikku menyayat-nyayatku laksana pedang tajam" Tubuhku mengucurkan darah dari luka-luka yang terserak. Aku juga benci dan muak pada diriku atas apa yang kuperbuat. Atas nama kelemahan keperempuananku."
Satu jam kemudian, masih mengenakan burqa-nya, dia merangkak naik ke ranjang. Betapa dia sangat merindukan ranjangnya ini setelah bermalam-malam merasakan ketidaknyamanan di Azmeir Sharif. Dengan menepuk-nepuk dan membalikkan bantal, lalu membenamkan wajahnya ke bantal tersebut, Zarri Bano berusaha mengenyahkan semua hal dari pikirannya.
Dia sadar Sikander pasti akan menikah suatu hari. Maka, dia mempersiapkan jiwanya untuk hal itu. Lalu mengapa dia masih merasa seolah-olah embusan napas terakhirnya sedang tersedot keluar dari tubuhnya" Jawabannya datang lewat sebuah erangan pilu.
"Ini karena Ruby adalah adikku. Aku harus terus menyaksikan kehidupannya dan dihantui bayangan bagaimana jika aku jadi menikah dengannya dulu." Apakah sebentuk kecemburuan yang sedang dirasakannya" "Ya!" suara batinnya menjerit, nyaring dan jelas. Dia tidak rela adiknya menikah dengan Sikander. Laki-laki lainnya boleh, tetapi jangan Sikander! Itu adalah ganjaran terkejam yang pernah diterimanya.
"Ia akan membagi hidupnya dan membina sebuah keluarga dengan adikku." Pisau itu bergerak-gerak di dalam tubuhnya lagi, saat dia memikirkan keintiman pernikahan yang akan mereka nikmati. Pernahkah ia mencampakkan seorang saudari kandung, satu tubuh, untuk mendapatkan tubuh lainnya" "Sikander, inikah balas dendam yang kau janjikan" Bagaimana kau tega melakukan hal ini padaku"" dia terisak, membenamkan wajahnya sekali lagi ke bantal empuknya.
Beberapa saat kemudian, dia terduduk tegak, kaku, di atas ranjangnya. Dia menatap jam dinding. Sudah pukul dua pagi. Bagaimana bisa keluarganya tidur dengan nyenyak saat mereka selesai melontarkan sebongkah bola api sepert
i ini padanya dan merampas kewarasannya"
"Ya Allah, tolonglah aku!" dia kembali meratap lewat bibirnya yang bergetar dan kering.
Dia bangkit dengan tabah untuk melakukan shalat malam. Dia percaya pada Allah dan hanya kepada-Nya dia akan meminta kedamaian dan ketenangan batin. Dia tahu dia akan mendapatkannya.
Begitu berdiri di atas sajadahnya, dia berusaha setengah mati untuk berkonsentrasi, meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia melafazkan bacaan dan mendirikan jumlah rakaat yang benar. Saat memusatkan pikiran itulah, dia melupakan Ruby dan Sikander. Ketika tiba saatnya melafazkan doa, Zarri Bano mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi di depan wajahnya dan memohon dengan sepenuh hatinya.
"Ya Allah, terimalah shalat dari seorang perempuan lemah, seorang pendosa. Bimbinglah aku kembali ke jalan-Mu yang penuh damai dan kepada pengabdianku pada agama. Ambillah perasaan manusiawi yang buruk ini, yang telah mengoyak-ngoyak diriku dan menyiksa jiwaku. Basuhlah kerinduanku ini, api yang menelan tubuhku ini. Aku seharusnya menjadi seorang perempuan yang murni. Bagaimana aku bisa menjadi seperti itu jika aku masih merasakan perasaan-perasaan seperti itu" Selimuti hamba-Mu ini dengan kebersahajaan seorang perempuan yang telah Kau sucikan. Hilangkan laki-laki yang menghantuiku saat ini dari benak dan hatiku. Tunjukkan padaku jalan-Mu karena hanya itulah jalan yang kucari.
"Kupikir aku sudah berada di jalan itu, jalan kedamaian dan kepolosan seorang perempuan. Kupikir aku bisa berbahagia berpisah dengan Zarri Bano yang lama. Hari ini aku tidak hanya kehilangan identitasku, tetapi juga jalan-Ku. Aku sudah hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu lagi ke mana harus menuju. Aku tidak ingin mengabaikan tugas dan peranku sebagai Shahzadi Ibadat. Bantulah aku membuang semua pikiran dan perasaan buruk ini untuk memurnikan diriku dan menghapus semua jejak masa laluku sehingga aku bisa memulai lembaran baru dalam keadaan murni, semurni-murninya. Bilaslah dari dalam hatiku hasratku yang menggebu pada Sikander! Berikan aku kekuatan agar aku dapat seutuhnya menikmati pernikahan adikku. Bekukan aku dalam ketertutupanku sehingga saat memandanginya, aku tidak merasakan apa pun, selain kegembiraan untuk adikku. Tolong bantulah aku menggapai pikiran yang seperti itu! Kalau tidak, aku akan menjadi orang yang kehilangan jiwa. Aku tidak akan mampu menahan siksa ini ataupun menghadapi adikku."
Terkurasnya energi membuatnya mengakhiri doa sepenuh hatinya. Zarri Bano lalu beranjak dari sajadahnya dan duduk di tepi ranjang. Dia membuka Kitab Suci Al-Quran dan membaca dua surah di dalamnya, juga beberapa halaman Al-Hadis. Meniti untaian tasbih sebanyak lima kali, sesuatu yang biasa dilakukannya sehabis shalat, memberinya sebuah tujuan yang lebih jelas dan kegiatan itu telah membawanya pergi dari kekacauan batinnya.
Akhirnya Zarri Bano berdamai dengan dirinya sendiri. Dia tertidur dan bangun sekitar pukul tujuh keesokan paginya. Dia sudah melewatkan shalat subuh. Saat membasuh diri dan berpakaian, dia terpana menyadari ketetapan pikirannya karena kini dia benar-benar merasa tenang dan damai.
Ketika mendatangi adiknya di lantai bawah, di ruang tengah, Zarri Bano tersenyum hangat dan tulus ke arah Ruby Batin Zarri Bano berseri-seri. Dia kini merasa yakin bisa menemui adiknya dan berbagi kebahagiaan tanpa sesuatu berkecamuk dalam dirinya. Menghadapi senyum sang kakak, Ruby merasa terselubungi oleh kehangatannya dan terbebas dari gundah gulana. Dia juga nyaris tak bisa tidur, tegang menghadapi pertemuan dengan kakaknya pagi ini.
Si Kangkung Pendekar Lugu 1 Bidadari Menara Ketujuh Karya Yasmi Munawwar Pahlawan Harapan 5
^