Pencarian

Tiada Yang Abadi 1

Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon Bagian 1


N0TH1NG LASTS FOREVER Kisah tiga dokter wanita?cinta dan impian mereka, nasib yang datang tak terduga.
Dr. Paige taylor"Ketika ia mewarisi sejuta dolar dari seorang pasiennya yang meninggal, Jaksa Penuntut menuduhnya telah melakukan pembunuhan.
Dr. Kat Hunter" ia telan bertekad takkan pernah menjalin hubungan lagi dengan pria, namun kemudian terjebak dalam taruhan maut dengan rekannya yang memesona.
Dr. Honey Taft" Agar berhasil menjadi dokter, ia tahu takkan bisa mengandalkan otaknya. Jadi" harus ada jalan lain.
Nothing Lasts Forever?sekali lagi Sidney Sheldon membuktikan kepiawaiannya sebagai pengarang, membuat pembacanya bertanya-tanya, bagaimana akhir kisah ini.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37 Jakarta 10270 www.gramedia.com
TIADA YANG ABADI Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa bak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Kak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta
Sidney Sheldon TIADA YANG ABADI Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
NOTHING LASTS FOREVER by Sidney Sheldon Copyright " Sidney Sheldon 1994 All rights reserved
TIADA YANG ABADI Alih bahasa: Hendarto Setiadi Pembaca ahli: Dr. Mira W. GM 402 94.113 Hak cipta terjemahan Indonesia Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jf. Palmerah Barat 33?37, Jakarta 10270 Foto cover depan atas: Paul Postle Foto cover depan bawah: Larry Mulvehill/ SPL Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, Desember 1994
Cetakan kedua belas: Juni 2003 Cetakan ketiga belas: Juni 2004
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney Tiada Yang Abadi/ Sidney Sheldon; alih bahasa, hendarto Setiadi ?Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994
464 Mm.; 18 cm Judul asli: Nothing Lasts Forever ISBN 979 - 605 - 113 - 3
I. Judul II. Setiadi/ Hendarto
823 Untuk Anastasia dan Roderick Mann, dengan penuh cinta
Penulis ingin menyampaikan penghargaan sedalam-dalamnya kepada para dokter, perawat, dan teknisi medis yang telah bersedia berbagi pengalaman dengan penulis.
Apa yang tak dapat disembuhkan oleh obat, disembuhkan dengan pisau; apa yang tak dapat disembuhkan oleh pisau, disembuhkan dengan besi membara; dan apa yang tak dapat disembuhkan oleh besi membara harus dianggap tak tersembuhkan.
HIPPOCRATES, sekitar 480 SM
Manusia dibagi dalam tiga golongan: pria, wanita,dan dokter wanita.
SIR WILLIAM OSLER Prolog San Francisco Musim Semi, 1995
Jaksa wilayah carl andrews sedang marah besar. "Persetan, apa-apaan ini?" ia bertanya dengan geram. "Ada tiga dokter yang tinggal bersama dan bekerja di rumah sakit yang sama. Yang pertama hampir menyebabkan seluruh rumah sakit dikarantina, yang kedua membunuh pasiennya karena satu juta dolar, dan yang ketiga mati terbunuh.B
Andrews menarik napas panjang. "Dan ketiga-tiganya wanita! Tiga dokter wanita brengsek! Pihak media memperlakukan mereka seperti selebriti! Berulang kali mereka muncul di TV. 60 Minutes membahas mereka. Barbara Walters membuat liputan khusus tentang mereka. Setiap kali aku buka koran atau majalah, pasti ada foto atau artikel tentang mereka. Aku berani bertaruh, Hollywood akan memfilmkan kisah mereka, dan perempuan-perempuan itu pasti dijadikan pahlawan! Aku takkan heran kalau pemerintah memakai tampang mereka untuk prangko, seperti Presley. Hah, demi Tuhan, aku tidak terima!" Ia mengepalkan tangan dan menggebrak foto wanita pada sampul majalah Time. Judul di bawahnya berbunyi demikian: Dr. Paige Taylor?Malaikat Penolong atau Pengikut Setan"
"Dr. Paige Taylor." Suara si jaksa wilayah sarat dengan kebencian. Ia berpaling pada Gus Venable, kepala jaksa penuntut umum. "Kuminta kau sendiri yang menangani kasus ini, Gus. Aku ingin dia dipidana. Pembunuhan terencana. Kamar gas."
"Jangan khawatir," jawab Gus Venable dengan tenang. "Serahkan saja padaku."
Ketika duduk di ruang sidang sambil memperhatikan Dr. Paige Taylor, Gus Venable berkata dalam hati, Penampilannya bisa menyesatkan juri. Kemudian ia tersenyum sendiri. Juri tidak selugu itu. Wanita itu tinggi dan langsing. Matanya yang cokelat tua tampak mencolok di wajahnya yang pucat. Dilihat sepintas lalu, ia bisa disebut menarik. Tapi orang yang mengamatinya dengan lebih cermat akan melihat satu hal lagi?semua tahap kehidupan berdampingan dalam diri wanita itu. Ada kegembiraan masa kanak-kanak, kecanggungan masa remaja, serta kearifan dan penderitaan wanita dewasa. Penampilannya berkesan polos, tak berdosa. Setiap laki-laki pasti bangga memperkenalkan perempuan seperti dia pada ibunya, pikir Gus Venable dengan sinis. Kalau ibunya menyukai pembunuh berdarah dingin. *
Pandangan Dr. Paige Taylor menerawang jauh. Sepertinya ia menutup diri dan berada di tempat
berbeda, di waktu berbeda, jauh dari ruang sidang yang dingin dan steril tempat ia terperangkap.
Sidang itu berlangsung di Gedung Pengadilan San Francisco di Bryant Street. Bangunan berlantai tujuh yang menampung Pengadilan Tinggi dan Rumah Tahanan itu berkesan angker. Dinding luarnya dilapisi batu lempengan berwarna kelabu. Pengunjung yang ingin memasuki gedung pengadilan di" giring melewati sejumlah checkpoint keamanan yang dilengkapi peralatan elektronik. Pengadilan Tinggi menempati lantai tiga. Di Ruang Sidang 121, tempat kasus-kasus pembunuhan disidangkan, tempat duduk hakim menempel pada dinding belakang, dengan bendera Amerika terpasang di atasnya. Di sebelah kiri terdapat deretan bangku para anggota juri, dan di tengah ada dua meja yang terpisah oleh sebuah gang, satu untuk jaksa penuntut umum, satu lagi untuk penasihat hukum terdakwa.
Ruang sidang dipadati wartawan dan pengunjung?jenis pengunjung yang tertarik pada kecelakaan fatal di jalan bebas hambatan dan sidang kasus pembunuhan. Kasus yang satu ini memang spektakuler. Gus Venable, sang jaksa penuntut umum, merupakan tontonan tersendiri Badannya tinggi besar. Penampilannya mengesankan, dengan rambut tebal berwarna kelabu, janggut seperti janggut kambing, serta sikap keningrat-ningratan yang lazim ditemui di kalangan pemilik perkebunan dari daerah Selatan. Ia belum pernah mengunjungi daerah Selatan. Ia selalu tampak agak
bingung, namun otaknya seperti komputer. Ciri khasnya, baik di musim panas maupun musim dingin, adalah jas putih dan kemeja model kuno berkerah tegak.
Pembela Paige Taylor, Alan Penn, merupakan kebalikan Venable. Ia bertubuh pendek gemuk, penuh energi, dan dikenal sering berhasil memperjuangkan pembebasan bagi klien-kliennya.
Ini bukan pertama kali mereka berhadapan di ruang sidang. Mereka saling mengakui kehebatan yang lain, meski dengan berat hati, dan saling tak percaya. Di luar dugaan Venable, Alan Penn sempat menemuinya seminggu sebelum persidangan. "Aku datang ke sini untuk membantumu, Gus." Hati-hati kalau ada pembela yang menawarkan bantuannya. "Apa maksudmu, Alan?"
"Perlu kauketahui aku belum membahas ini dengan klienku, tapi andai kata?hanya andai kata? aku bisa membujuk dia mengaku bersalah, dengan tuntutan yang dikurangi" Pertimbangkanlah. Tak perlu ada sidang, dan kita bisa menghemat uang negara."
"Jadi, kau minta keringanan hukum?" "Ya."
Gus Venable mencari-cari sesuatu di mejanya. "Brengsek, mana kalenderku" Kau tahu tanggal berapa sekarang?" Tanggal satu Juni. Kenapa?" "Sepintas lalu kusangka sudah Natal, atau kau takkan minta hadiah seperti itu." "Gus?"
Sambil bersandar pada mejanya, Venable mencondongkan badan ke depan. "Begini, Alan, dalam keadaan biasa, tawaranmu akan kusambut dengan tangan terbuka. Terus terang, aku sendiri lebih senang kalau bisa memancing di Alaska sekarang ini. Tapi jawabannya tidak. Kau membela pembunuh berdarah dingin yang mencabut nyawa pasien tak berdaya untuk mendapatkan uangnya. Aku akan menuntut hukuman mati."
"Kupikir dia tidak bersalah, dan aku?"
Venable tergelak. "Tidak, kau tidak percaya dia tak bersalah. Tak seorang pun percaya dia tak bersalah. Kasus ini sudah jelas. Klienmu sama bersalahnya seperti Kain."
"Juri yang akan memutuskannya, Gus."
"Mereka takkan ragu sedetik pun." Ia terdiam sejenak. "Percayalah."
Setelah Alan Penn pergi, Gus Venable tetap duduk sambil merenungkan percakapan mereka. Kunjungan Penn merupakan tanda kelemahan. Penn tahu perkara itu tak mungkin dimenangkannya. Gus Venable memikirkan bukti-bukti tak terbantah yang ada di tangannya, serta saksi-saksi yang akan ia panggil, dan ia merasa puas.
Tak pelak lagi, Dr. Paige Taylor akan menuju kamar gas.
Menyusun juri ternyata tidak mudah. Kasus tersebut sudah berbulan-bulan menjadi berita utama. Pembunuhan berdarah dingin itu telah menimbulkan gelombang kemarahan.
Hakim yang menyidangkan perkara itu adalah Vanessa Young, hakim kulit hitam yang tegas dan didesas-desuskan sebagai calon berikut untuk Mahkamah Agung Amerika Serikat. Ia dikenal tak sabar terhadap para pengacara, dan cepat naik pitam. Di kalangan pembela di San Francisco ada pepatah yang berbunyi demikian: Jika klienmu bersalah dan kau mencari belas kasihan, jangan coba-coba masuk ke ruang sidang Hakim Young.
Sehari sebelum persidangan dimulai, Hakim Young sempat memanggil kedua pengacara ke ruang kerjanya.
"Kita akan menetapkan beberapa peraturan dasar, .Saudara-saudara. Mengingat sifat kasus ini, saya akan memberikan beberapa kelonggaran untuk memastikan terdakwa diadili dengan seadil-adilnya. Tapi saya peringatkan Anda berdua, jangan coba-coba menarik keuntungan dari ini. Jelas?"
"Ya, Yang Mulia."
"Ya, Yang Mulia."
Gus Venable telah tiba pada bagian akhir pembacaan dakwaannya. "Dan dengan demikian, para anggota juri yang terhormat, kami akan membuktikan?ya, membuktikan tanpa menyisakan sebersit keraguan pun?bahwa Dr. Paige Taylor telah membunuh pasiennya, John Cronin. Dan terdakwa bukan saja telah melakukan pembunuhan. Dia melakukannya demi uang" uang dalam jumlah besar. Terdakwa membunuh John Cronin demi satu juta dolar.
"Percayalah, setelah mendengarkan semua bukti, Anda takkan ragu memutuskan bahwa Dr. Paige Taylor bersalah melakukan pembunuhan berencana. Terima kasih."
Para anggota juri duduk membisu, menanti-nanti.
Gus Venable berpaling pada Hakim. "Jika Yang Mulia berkenan, saya ingin memanggil Gary Williams sebagai saksi negara pertama."
Setelah saksi diambil sumpah, Gus Venable berkata, "Anda bekerja sebagai mantri di Embarcadero County Hospital?"
"Ya." "^Benarkah Anda bekerja di Bangsal Tiga ketika John Cronin mulai menjalani perawatan tahun lalu?" "Ya, benar."
"Apakah Anda dapat memberitahu kami siapa dokter yang menangani pasien tersebut?" "Dr. Taylor."
"Menurut Anda, bagaimana hubungan antara Dr. Taylor dan John Cronin?"
"Keberatan!" Alan Penn langsung berdiri. "Jaksa menuntut saksi mengambil kesimpulan."
"Keberatan diterima."
"Saya akan mengambil pendekatan lain. Apakah Anda pernah mendengar percakapan antara Dr. Taylor dan John Cronin?"
"Oh, tentu. Mau tak mau. Saya terus bertugas di Bangsal Tiga waktu itu."
"Apakah percakapan-percakapan itu bisa disebut akrab?"
"Tidak, Sir." "Oh, ya" Kenapa Anda berpendapat begitu?"
"Ehm, saya ingat hari pertama John Cronin mulai dirawat, dan Dr. Taylor mulai memeriksanya, almarhum berkata?" Ia terdiam. "Saya tidak tahu apakah ucapannya pantas diulangi di sini. "Berkata?"
"Silakan, Mr. Williams. Saya kira tidak ada anak kecil di ruang sidang ini."
"Ehm, almarhum berkata tak mau ditangani dokter perempuan keparat."
"Dia berkata begitu kepada Dr. Taylor?"
"Ya, Sir." "Tolong ceritakan apa lagi yang mungkin Anda lihat atau dengar."
"Ehm, dia selalu menyebutnya "si perempuan keparat". Dia tak mau didekati Dr. Taylor. Setiap kali Dr. Taylor masuk ke kamarnya, dia berkata, "Si perempuan keparat datang lagi!", atau "Suruh perempuan keparat itu pergi", atau "Apakah tidak ada dokter betulan di sini?""
Gus Venable menoleh ke arah Dr. Taylor. Pandangan para anggota juri mengikutinya. Venable menggelengkan kepala, seakan-akan sedih, lalu kembali berpaling kepada saksi. "Menurut Anda, apakah Mr. Cronin kelihatan seperti orang yang ingin memberikan sejuta dolar kepada Dr. Taylor?"
Sekali lagi Alan Penn berdiri. "Keberatan! Jaksa menuntut saksi mengambil kesimpulan."
Hakim Young berkata, "Ditolak. Saksi silakan menjawab pertanyaan ite,"
Alan Penn menatap Paige Taylor dan kembali duduk.
"Tidak. Dia benar-benar benci padanya."
Dr. Arthur Kane duduk di kursi saksi.
Gus Venable berkata, "Dr. Kane, Anda dokter staf yang sedang bertugas ketika diketahui bahwa John Cronin terbu?"?ia menatap Hakim Young??"tewas akibat insulin yang dimasukkan melalui infusnya. Betulkah itu?"
"Ya." . "Dan belakangan Anda mengetahui bahwa Dr. Taylor bertanggung jawab?" "Itu benar."
"Dr. Kane, saya akan memperlihatkan sertifikat Kematian resmi dari rumah sakit yang ditandatangani oleh Dr. Taylor." Ia memungut selembar kertas dan menyerahkannya kepada Kane. "Tolong bacakan keras-keras."
Kane mulai membaca, "John Cronin. Penyebab kematian: Kegagalan pemapasan akibat komplikasi infark miokard?kematian serat otot jantung?akibat komplikasi emboli paru."
"Dan dalam bahasa awam?"
"Laporan ini menyatakan bahwa pasien bersangkutan meninggal akibat serangan jantung."
"Dan ditandatangani oleh Dr. Taylor?"
"Ya." "Dr. Kane, betulkah itu penyebab kematian John Cronin?"
"Tidak. Dia meninggal akibat injeksi insulin itu."
"Jadi, Dr. Taylor memberikan insulin dalam dosis mematikan, kemudian memalsukan laporan tersebut?"
"Ya." "Dan Anda melaporkan hal itu kepada Dr. Wallace, pimpinan rumah sakit, yang kemudian melaporkannya kepada pihak berwajib?"
"Ya. Saya merasa memiliki kewajiban." Suaranya bernada yakin. "Saya dokter. Saya tak bisa membenarkan pencabutan nyawa manusia dalam keadaan apa pun."
Saksi berikut yang dipanggil adalah janda John Cronin. Usia Hazel Cronin menjelang empat puluh. Rambutnya berwarna merah manyala, dan ia mempunyai tubuh berlekuk-lekuk yang gagal disembunyikan gaunnya yang hitam polos.
Gus Venable berkata, "Saya sadar betapa berat ku bagi Anda, Mrs. Cronin, tapi saya terpaksa minta agar Anda menjelaskan hubungan Anda dengan almarhum suami Anda kepada para anggota jari."
Hazel Cronin menyeka mata dengan saputangan renda yang besar. "Perkawinan John dan saya dilandasi kasih sayang mendalam. Dia pria yang luar biasa. Dia sering berkata pada saya bahwa sayalah satu-satunya sumber kebahagiaan yang pernah dia miliki." >^
"Berapa lama Anda menikah dengan John Cronin"*
"Dua tahun, tapi John selalu berkata bahwa ia menganggapnya seperti dua tahun di surga."
"Mrs. Cronin, apakah suami Anda pernah membicarakan Dr. Taylor dengan Anda" Mungkin memujinya sebagai dokter yang hebat" Atau mengatakan betapa besar bantuan Dr. Taylor" Atau dia menyukainya?"
"John tak pernah menyinggungnya."
"Tak sekali pun?"
"Tak sekali pun."
"Apakah John pernah menyinggung bahwa Anda dan saudara-saudara Anda akan dicoret dari surat wasiatnya?"
"Sama sekali tidak. Dia orang paling dermawan di dunia. Dia selalu berkata tak ada apa pun yang tak mungkin saya dapatkan, dan jika dia meninggal?"?suaranya terputus??"jika dia meninggal, saya akan menjadi wanita kaya?" Ia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Hakim Young berkata, "Sidang diistirahatkan lima belas menit."
Jason Curtis duduk di bagian belakang ruang sidang. Ia gusar sekali karena keterangan para saksi mengenai Paige. Inilah wanita yang kucintai, ia berkata dalam hati. Wanita yang akan kunikahi.
Segera setelah Paige ditangkap, Jason Curtis mengunjunginya di rumah tahanan.
"Kita akan melawan," ia membesarkan hati Paige. "Aku akan menyewa pengacara terbaik di
negeri ini." Sebuah nama melintas di benaknya. Alan Penn, Jason lalu menemui orang itu.
"Saya mengikuti kasus ini di koran," ujar Penn. "Oleh pers, dia sudah dicap bersalah membunuh John Cronin demi uang. Dia bahkan sudah mengaku bertanggung jawab atas Kematiannya."
"Saya kenal dia," Jason Curtis memberitahunya. "Percayalah, tak mungkin Paige berbuat begitu demi uang."
"Dia mengaku bertanggung jawab atas kematian John Cronin," kata Penn. "Jadi, ini kasus eutanasia, dan eutanasia merupakan pelanggaran hukum di California serta di sebagian besar negara bagian lainnya, tapi memang banyak suara pro dan kontra. Saya bisa saja menyinggung Florence Nightingale, bisikan ilahi, dan sebagainya, tapi masalahnya kekasih Anda menewaskan seorang pasien yang mewariskan sejuta dolar untuknya. Mana yang lebih dulu, ayam atau telur" Apakah sebelum menewaskannya dia sudah tahu tentang uang itu, atau bara sesudahnya?"
"Paige tidak tahu-menahu mengenai uang itu," Jason menjawab dengan tegas.
Nada suara Perm tetap datar. "Benar. Itu hanya kebetulan belaka. Jaksa Wilayah menganggapnya sebagai pembunuhan berencana, dan menuntut hukuman mati."
"Anda bersedia menerima kasus ini?"
Penn ragu-ragu. Kelihatan jelas bahwa Jason Curtis percaya sepenuhnya pada Dr. Taylor. Seperti Samson percaya pada Delilah. Ia menatap Jason
dan berkata dalam hati, Jangan-jangan rambut bocah malang ini juga sudah dipangkas tanpa dia menyadarinya.
Jason menunggu jawaban. "Saya bersedia, asal Anda ingat kita menghadapi perjuangan berat. Ini kasus yang sukar dimenangkan."
Ketika sidang dilanjutkan keesokan paginya, Gus Venable memanggil sejumlah saksi baru.
Seorang juru rawat sedang memberi keterangan, "Saya mendengar John Cronin berkata, "Saya tahu saya akan mati di meja operasi, dan saya mati karena Anda. Moga-moga Anda dipenjarakan karena pembunuhan.?"
Kemudian Roderick Pelham, seorang pengacara, dimintai kesaksian. Gus Venable berkata, "Ketika Anda memberitahu Dr. Taylor mengenai warisan satu juta dolar dari John Cronin, bagaimana tanggapan Dr. Taylor?"
"Dr. Taylor mengatakan sesuatu seperti "Rasanya tidak etis. Dia pasien saya.?"
"Dia mengakui itu tidak etis?"
"Ya." "Tapi dia bersedia menerima uang itu?" "Oh, ya. Tentu."
Alan Penn mendapat giliran menanyai saksi.
"Mr. Pelham, apakah Dr. Taylor tahu Anda akan mengunjunginya?"
"Ehm, tidak, saya?"
"Anda tidak menelepon dan memberitahunya, "John Cronin meninggalkan sejuta dolar untuk Anda?""
"Tidak. Saya?" "Jadi, waktu menyampaikan kabar itu, Anda berhadapan langsung dengan Dr. Taylor?" "Ya."
"Dan Anda dapat melihat reaksinya terhadap berita ini?" "Ya."
"Dan ketika Anda memberitahunya, bagaimana reaksi Dr. Taylor?"
"Him" dia" dia tampak terkejut, tapi?"
"Terima kasih, Mr. Pelham. Tak ada pertanyaan lagi."
Persidangan telah memasuki minggu keempat. Para pengunjung serta pihak pers menikmati pertunjukan yang diberikan oleh Jaksa dan Pembela. Gus Venable berpakaian serba hitam, Alan Penn serba putih, dan mereka berjalan mondar-mandir di ruang sidang, bagaikan dua pemain dalam pertarungan catur mematikan, dengan Paige Taylor sebagai pion yang akan dikorbankan.
Gus Venable sedang berusaha menyusun kesimpulan.
"Dengan seizin sidang, saya akan memanggil Alma Rogers sebagai saksi."
Setelah saksi diambil sumpah, Venable berkata, "Mrs. Rogers, apa pekerjaan Anda?"
*MUs Rogers." "Maaf." mm "Saya bekerja di Corniche Travel Agency."
"Kantor Anda mengurus tur ke berbagai negara, memberikan jasa pemesanan kamar hotel, dan mengatur akomodasi-akomodasi lain bagi para klien Anda?"
"Betul, Sir." "Sekarang tolong perhatikan terdakwa. Apakah Anda pernah melihatnya sebelum ini?"
"Oh, ya. Dia pernah mendatangi kantor kami, dua atau tiga tahun yang lalu."
"Dapatkah Anda menjelaskan maksud kedatangan terdakwa?"
"Dia mengaku berminat berwisata ke London dan Paris dan, kalau saya tidak salah, ke Venezia."
"Apakah dia menanyakan tur-tur paket?"
"Oh, tidak. Dia menginginkan pelayanan kelas satu?penerbangan, hotel. Dan seingat saya, dia juga berminat menyewa kapal pesiar."
Ruang sidang diliputi suasana hening. Gus Venable berjalan ke meja Jaksa dan memungut sejumlah folder. "Brosur-brosur ini ditemukan polisi di locker Dr. Taylor di rumah sakit. Ini daftar perjalanan ke Paris dan London dan Venezia, brosur-brosur, untuk hotel-hotel dan perusahaan penerbangan mahal, serta daftar harga sewa kapal pesiar pribadi."
Para pengunjung segera berbisik-bisik.
Si penuntut umum membuka salah satu brosur.
"Saya akan membacakan nama beberapa kapal yang tercantum di sini," ia berkata dengan lantang.
"Christina O" 26.000 dolar per minggu, ditambah biaya kapal; "Resolute Time" 24.500 dolar per minggu; Lucky Dream" 27.300 dolar per minggu." Ia menoleh. "Lucky Dream telah diberi tanda. Paige Taylor telah memilih kapal pesiar seharga 27.300 dolar per minggu. Yang belum dia tentukan hanyalah korbannya."
Alan Penn menoleh ke arah Paige. Wanita itu sedang menunduk, wajahnya pucat.
"Kami ingin brosur-brosur ini dicatat sebagai Barang Bukti A." Venable berpaling kepada Alan Penn dan tersenyum. "Giliran Anda."
Penn bangkit pelan-pelan, mengulur-ulur waktu. . Otaknya bekerja keras.
"Bagaimana bisnis wisata belakangan ini, Miss Rogers?"
"MaafT "Saya tanya bagaimana bisnis wisata belakangan mi" Apakah Corniche termasuk biro perjalanan besar?"
"Ya, cukup besar." , "Tentunya ada banyak orang yang mendatangi kantor Anda untuk minta keterangan mengenai perjalanan wisata."
"Oh, ya." |gfy,
"Kira-kira berapa banyak" Lima atau enam orang setiap hari?"
"Oh, tidak!" Saksi tampak tersinggung. "Kami melayani sampai lima puluh orang per hari."
"Lima puluh orang per hari?" Alan Penn mengangguk-angguk dengan kagum. "Dan kunjungan
yang kita bicarakan terjadi dua atau tiga tahun yang lalu. Jika Anda mengalikan lima puluh dengan sembilan ratus hari, itu berarti sekitar 45.000 orang."
"Kurang-lebih."
"Dan meskipun kantor Anda didatangi sekian banyak orang, Anda tetap mengingat Dr. Taylor. Apakah Anda bisa menjelaskannya?"
"Ehm, dia dan kedua temannya begitu bersemangat untuk berwisata ke Eropa. Saya sampai ikut bergembira bersama mereka. Mereka seperti anak-anak sekolah. Oh, ya. Saya ingat mereka, terutama karena mereka sepertinya takkan sanggup menyewa kapal pesiar."
"Begitu. Tentunya setiap orang yang mendatangi kantor Anda dan minta brosur pasti akan bepergian?"
"Ehm, tentu saja tidak. Tapi?"
"Dr. Taylor tidak melakukan pemesanan apa pun, bukan?"
"Ehm, tidak. Tidak melalui kantor kami. Dia?"
"Dan melalui kantor perjalanan lain juga tidak" Dia hanya minta sejumlah brosur?"
"Ya. Dia?" "Itu tidak sama dengan pergi ke Paris atau London, bukan?" "Ehm, tidak, tapi?"
"Terima kasih. Anda boleh kembali ke tempat duduk Anda."
Venable berpaling kepada Hakim Young. "Saya
ingin memanggil Dr. Benjamin Wallace sebagai saksi."
"Dr. Wallace, Anda bertanggung jawab atas administrasi Embarcadero County Hospital?"
"Ya." "Jadi, Anda tentunya mengenal Dr. Taylor dan mengetahui prestasi kerjanya?" "Ya, benar."
"Apakah Anda terkejut ketika mengetahui Dr. Taylor dituduh melakukan pembunuhan?"
Penn segera berdiri. "Keberatan, Yang Mulia. Jawaban Dr. Wallace takkan relevan."
"Kalau saya boleh menjelaskan," Venable memotong. "Jawaban saksi justru sangat relevan jika saya diperkenankan?"
"Baiklah, kita lihat kelanjutannya," ujar Hakim Young. "Tapi jangan main-main, Mr. Venable."
"Jika saya diperkenankan mendekati pertanyaan itu dari sudut lain," Venable melanjutkan. "Dr. Wallace, setiap dokter wajib mengucapkan Sumpah Hippocrates, bukan?"
"Ya." "Dan sumpah itu antara lain berbunyi," si penuntut umum membaca dari selembar kertas di tangannya, ?"Saya akan menjauhi segala tindak merugikan atau korupsi?""
"Ya." "Pernahkah ada tindakan Dr. Taylor di masa lalu yang mengisyaratkan dia mungkin melanggar sumpahnya?"
"Keberatan." "Ditolak." "Ya, ada."
"Dapatkah Anda menjelaskannya?"
"Kami pernah merawat pasien yang, menurut Dr. Taylor, membutuhkan transfusi darah. Keluarga pasien tersebut tidak mengizinkannya."
"Dan apa yang terjadi?"
"Dr. Taylor tetap memberikan transfusi."
"Apakah itu sesuai peraturan hukum?"
"Sama sekali tidak. Untuk itu diperlukan surat perintah pengadilan."
"Lalu apa yang dilakukan Dr. Taylor?"
"Dia mendapatkan surat perintah setelah melakukan transfusi, dan mengubah tanggalnya."
"Jadi dia melakukan tindakan ilegal, dan memalsukan catatan rumah sakit untuk menutup-nutupinya?"
"Benar." Alan Penn melirik ke arah Paige. Ia marah sekali. Persetan, apa lagi yang disembunyikannya dariku" ia bertanya pada dirinya sendiri.
Seandainya para pengunjung mencari tanda-tanda emosi pada wajah Paige Taylor, mereka terpaksa menahan kecewa.
Dingin seperti es, si ketua juri berkata dalam hati.
Gus Venable berpaling kepada Hakim. "Yang Mulia, seperti Anda ketahui, salah satu saksi yang hendak saya tampilkan adalah Dr. Lawrence
Barker. Sayangnya, Dr. Barker belum pulih dari stroke yang dialaminya, dan tidak dapat hadir di mang sidang ini-untuk memberi kesaksian. Sebagai gantinya, saya akan minta keterangan dari beberapa anggota staf rumah sakit yang pernah bekerja dengan Dr. Barker."
Penn bangkit. "Keberatan. Saya tidak melihat relevansinya. Dr. Barker tidak ada di sini, dan bukan Dr. Barker yang disidangkan di"sini. Jika?"
Venable memotong, "Yang Mulia, saya jamin alur pertanyaan saya sangat relevan dengan kesaksian yang baru saja kita dengar, dan selain itu juga menyangkut kemampuan terdakwa sebagai dokter."
Hakim Young tampak ragu-ragu. "Kita lihat bagaimana kelanjutannya. Ini ruang sidang, bukan sungai. Saya takkan mengizinkan siapa pun memancing di air keruh. Saudara Jaksa, silakan ajukan saksi Anda." "Terima kasih."
Gus Venable berpaling kepada petugas tata tertib. "Saya ingin memanggil Dr. Mathew Peterson."
Seorang pria perlente berumur enam puluhan menghampiri kursi saksi. Ia diambil sumpahnya, dan setelah ia duduk, Gus Venable berkata, "Dr. Peterson, sudah berapa lama Anda bekerja di Embarcadero County Hospital?"
"Delapan tahun."
"Dan apa spesialisasi Anda?"
"Saya ahli bedah jantung."
"Selama Anda bertugas di Embarcadero County
Hospital, pernahkah Anda mendapat kesempatan bekerja bersama Dr. Lawrence Barker?" "Oh, ya. Berkali-kali."
"Bagaimana pendapat Anda tentang Dr. Barker?"
"Sama seperti pendapat semua orang lain. Di samping DeBakey dan Cooley, Dr. Barker ahli bedah jantung terbaik di dunia."
"Apakah Anda hadir di ruang operasi pada pagi ketika Dr. Taylor mengoperasi pasien bernama?" ?Venable pura-pura membaca secarik kertas? ?"Lance Kelly?"
Nada suara saksi langsung berubah. "Ya, saya hadir."
"Tolong jelaskan apa yang terjadi pada pagi itu."
Dr. Peterson tampak bimbang ketika berkata, "Ehm, keadaannya mulai lepas kendali. Kami mulai kehilangan pasien tersebut."
"Kalau Anda mengatakan "kehilangan pasien tersebut", maksud Anda?"
"Jantungnya berhenti berdenyut. Kami berusaha membuat jantungnya bekerja kembali, dan?"
"Apakah Dr. Barker dipanggil?"
"Ya." "Dan apakah dia memasuki ruang operasi pada waktu operasi tengah berlangsung?"
"Menjelang akhir. Ya. Tapi ketika itu sudah terlambat untuk mengambil tindakan apa pun. Kami tidak berhasil membuat jantung pasien tersebut kembali bekerja."
"Dan apakah Dr. Barker mengatakan sesuatu kepada Dr. Taylor waktu itu?"
"Ehm, kami semua dalam keadaan tegang, dan?"
"Saya bertanya apakah Dr. -Barker mengatakan sesuatu kepada Dr. Taylor?" "Ya."


Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan apa yang dikatakannya?"
Suasana hening sejenak, dan di tengah keheningan terdengar gemuruh petir di luar, bagaikan suara Tuhan. Sesaat kemudian, badai mulai melanda.
"Dr. Barker berkata, "Kau telah membunuhnya.?"
Seketika suasana di ruang sidang menjadi hiruk-pikuk. Hakim Young segera mengetukkan palu. "Cukup! Apakah Anda semua manusia gua" Sekali lagi ada kekacauan seperti ini, Anda semua boleh berhujan-hujan di luar."
Gus Venable menunggu sampai keadaan tenang kembali. Kemudian ia bertanya, "Anda yakin itu yang dikatakan Dr. Barker kepada Dr. Taylor" "Kau telah membunuhnya?""
"Ya." "Dan Anda telah menyatakan Dr. Barker termasuk orang yang disegani di kalangan dokter?" "Oh, ya."
"Terima kasih. Sekian saja, Dokter." Ia berpaling kepada Alan Penn. "Silakan, Saudara Pembela."
Penn bangkit dan menghampiri kursi saksi. "Dr. Peterson, saya belum pernah mengikuti operasi, tapi saya bisa membayangkan suasananya
luar biasa tegang, terutama dalam operasi seserius operasi jantung."
"Suasananya memang sangat tegang."
-!!Dalam keadaan seperti itu, berapa banyak orang yang hadir di dalam ruang operasi" Tiga atau empat?"
"Oh, tidak. Selalu setengah lusin atau lebih."
"Oh, ya?" "Ya. Biasanya ada dua ahli bedah, satu sebagai asisten, kadang-kadang dua ahli ilmu bius, satu perawat instrumentalis, dan paling tidak satu circulating nurse."
"Begitu. Kalau begitu, suasananya pasti ramai. Orang-orang memberikan instruksi dan sebagainya."
"Ya." "Dan setahu saya, sering kali ada iringan musik selama operasi berlangsung." "Betul."
"Ketika Dr. Barker masuk dan melihat Lance Kelly sedang sekarat, itu tentu menambah ketegangan."
"Ehm, semua orang sibuk menyelamatkan si pasien."
"Berbicara serempak, mungkin?" "Ya, banyak suara yang tumpang tindih." "Meski demikian, di tengah ketegangan dan hiruk-pikuk serta iringan musik, Anda mendengar Dr. Barker berkata bahwa Dr. Taylor telah membunuh pasien tersebut. Dengan segala kebisingan itu, pendengaran Anda mungkin saja keliru, bukan?" "Tidak, Sir. Saya tak mungkin keliru."
"Kenapa Anda begitu yakin?"
Dr. Peterson menghela napas. "Karena saya berdiri tepat di samping Dr. Barker ketika dia mengatakannya."
Tak ada lagi yang dapat dikatakan Penn.
"Sekian saja." Paige Taylor Semakin terdesak, dan Alan Penn tak mampu melakukan apa-apa.
Denise Berry tampil sebagai saksi.
"Anda jura rawat di Embarcadero County Hospital?"
"Ya" "Sudah berapa lama Anda bekerja di sana?" "Lima tahun."
"Selama itu, pernahkah Anda mendengar percakapan antara Dr. Taylor dan Dr. Barker?" "Tentu. Sering kali."
"Apakah Anda dapat mengulangi beberapa percakapan?"
Suster Berry menoleh ke Dr. Taylor. Ia tampak ragu-ragu. "Ehm, Dr. Barker kadang-kadang bersikap sangat ketus."
"Bukan itu yang saya tanyakan, Suster Berry. Saya menanyakan ucapan Dr. Barker kepada Dr. Taylor yang pernah Anda dengar."
Suster Berry terdiam cukup lama. "Ehm, suatu kali Dr. Barker menyebut Dr. Taylor tidak kompeten, dan?"
Gus Venable berlagak terkejut. "Anda mendengar Dr. Barker menuduh Dr. Taylor tidak kompeten?"
"Ya, Sir. Tapi Dr. Barker selalu?"
"Komentar apa lagi yang pernah Anda dengar tentang Dr. Taylor?"
Saksi tampak enggan berbicara. "Saya tidak ingat persis."
"Miss Berry, Anda berada di bawah sumpah."
"Ehm, suatu kali saya mendengarnya berkata?" Sisa kalimat itu tidak terdengar dengan jelas.
"Kami tidak bisa mendengar Anda. Tolong keraskan suara Anda. Apa yang Anda dengar?"
"Dia berkata bahwa" bahwa anjingnya pun takkan dia biarkan dioperasi Dr. Taylor."
Para pengunjung menahan napas.
"Tapi saya yakin Dr. Barker hanya bermaksud?"
"Saya kira maksud Dr. Barker sudah cukup jelas."
Semua mata tertuju pada Paige Taylor.
Bukti-bukti memberatkan yang diajukan pihak kejaksaan tampaknya tak dapat dibantah. Namun Alan Penn dikenal sebagai penyulap ulung di ruang sidang. Kini ia memperoleh giliran untuk mengemukakan kasus tersebut dari sudut terdakwa. Sanggupkah ia melakukan keajaiban lagi"
Paige Taylor berada di kursi saksi, ditanyai Alan Penn. Inilah saat yang ditunggu-tunggu semua orang.
"Betulkah John Cronin pasien Anda, Dr. Taylor?"
"Ya, betul." "Dan bagaimana perasaan Anda terhadapnya?"
"Saya menyukainya. Dia sadar penyakitaya sudah parah, tapi dia sangat tabah. Dia menjalani operasi tumor jantung."
"Anda yang melakukan operasi jantung tersebut?"
"Ya." "Dan apa yang Anda temukan dalam operasi mT
"Ketika kami membuka dadanya, ternyata dia mengidap melanoma yang telah mencapai tahap metastase."
"Dengan kata lain, kanker yang telah menyebar ke seluruh tubuhnya."
"Ya. Kankernya menyebar melalui kelenjar-kelenjar getah bening."
"Berarti tak ada harapan lagi baginya" Tak ada kemungkinan untuk mengembalikan kesehatannya?"
"Tidak ada." "John Cronin dihubungkan dengan sistem penunjang hidup?" "Betul."
"Dr. Taylor, apakah Anda sengaja memberikan insulin dalam dosis mematikan untuk mengakhiri hidup John Cronin?"
"Ya." Para pengunjung langsung berbisik-bisik.
Dia benar-benar tenang, pikir Gus Venable. Dia bersikap seakan-akan dia cuma memberikan secangkir teh.
"Dapatkah Anda menjelaskan kepada juri mengapa Anda mengakhiri hidup John Cronin?"
"Karena dia memintanya. Dia memohon-mohon kepada saya. Dia memanggil saya tengah malam buta, dalam keadaan menahan rasa sakit yang luar biasa. Obat-obatan yang kami berikan tidak lagi menolong." Suaranya tetap mantap. "Dia mengatakan tak ingin menderita lebih lama. Hidupnya tinggal beberapa hari lagi. Dia memohon agar saya mengakhirinya. Dan itulah yang saya lakukan."
"Dokter, apakah Anda merasa ragu untuk mengakhiri hidup John Cronin" Apakah Anda menyesal atau merasa bersalah?"
Dr. Paige Taylor menggelengkan kepala. "Tidak. Seandainya Anda sempat melihat kondisinya" Tak ada gunanya membiarkan dia menderita lebih lama."
"Bagaimana Anda memberikan insulin itu?"
"Saya menginjeksikannya melalui infus."
"Apakah tindakan Anda menambah rasa sakit yang dialaminya?"
"Tidak. InjeksMtu hanya membuatnya tertidur."
Gus Venable langsung bangkit. "Keberatan! Saya rasa yang dimaksud terdakwa adalah menyebabkan Kematiannya! Saya?"
Hakim Young mengetukkan palu. "Mr. Venable, sikap Anda melewati batas. Anda akan memperoleh kesempatan untuk menanyai saksi. Silakan duduk kembali."
Jaksa menoleh ke arah juri, menggelengkan kepala, lalu duduk di kursinya.
"Dr. Taylor, pada waktu Anda memberikan injeksi insulin kepada John Cronin, apakah Anda tahu nama Anda tercantum dalam surat wasiatnya" Apakah Anda tahu dia meninggalkan sejuta dolar bagi Anda?"
"Tidak. Saya sangat terkejut ketika diberitahu."
Awas, hidungmu bisa mendadak panjang, pikir Gus Venable.
"Anda tidak pernah membicarakan uang, atau hadiah, atau meminta apa pun dari John Cronin?"
Paige Taylor agak tersipu. "Tidak." . "Tapi Anda cukup akrab dengannya?"
"Ya Kalau ada pasien yang sesakit itu, hubungan dokter-pasien berubah. Kami membahas masalah bisnisnya dan masalah keluarganya." " "Tapi Anda tidak mempunyai alasan untuk mengharapkan apa pun dari John Cronin?"
"Tidak." "Dia meninggalkan uang itu untuk Anda, karena dia menjadi hormat dan percaya pada Anda. Terima kasih, Dr. Taylor." Penn berpaling kepada Gus Venable. "Silakan, Saudara Jaksa."
Ketika Penn kembali ke meja pembela, Paige Taylor menatap ke bagian belakang ruang sidang. Jason duduk di sana. Pria itu tersenyum untuk membesarkan hatinya. Di sampingnya ada Honey. Paige tidak mengenal orang yang menempati kursi di sebelah Honey, kursi yang seharusnya diduduki Kat. Kalau dia masih hidup. Tapi Kat sudah mati, pikir Paige. Aku juga yang membunuhnya.
Gus Venable bangkit. Pelan-pelan ia menghampiri kursi saksi. Ia melirik ke deretan kursi yang ditempati pers. Setiap kursi terisi, dan semua wartawan sibuk membuat catatan. Aku akan memberikan sesuatu yang pantas ditulis, Venable berkata dalam hati.
Beberapa saat ia hanya berdiri di depan terdakwa, mengamatinya. Kemudian ia berkata dengan tenang, "Dr. Taylor, apakah John Cronin pasien pertama yang Anda bunuh di Embarcadero County Hospital?"
Alan Penn langsung naik pitam. "Yang Mulia, saya?"
Hakim Young telah mengetukkan palu. "Keberatan diterima!" Ia berpaling kepada kedua pengacara. "Sidang diistirahatkan lima belas menit. Saya ingin berbicara dengan Anda berdua di mang kerja saya."
Setelah kedua pengacara memasuki mang kerjanya, Hakim Young berpaling kepada Gus Venable. "Anda pernah mengenyam pendidikan di fakultas hukum, bukan, Gus?"
"Maaf, Yang Mulia. Saya?"
"Apakah Anda melihat tenda di luar sana?"
"Maaf?" Suara Hakim Young bagaikan lecutan cemeti. "Ruang sidang saya bukan sirkus, dan saya tidak berniat membiarkan Anda mengubahnya menjadi sirkus. Berani-beraninya Anda mengajukan pertanyaan menghasut seperti itu!"
"Saya mohon maaf, Yang Mulia. Pertanyaan itu akan saya susun ulang dan?"
"Itu belum cukup. Sikap Anda yang hams Anda benahi. Saya peringatkan Anda, sekali lagi Anda membuat lelucon seperti itu, saya akan menghentikan pemeriksaan karena kesalahan dalam persidangan."
"Baik, Yang Mulia."
Setelah mereka kembali ke ruang sidang, Hakim Young berkata kepada juri, "Juri diminta mengabaikan pertanyaan terakhir dari Saudara Jaksa." Ia berpaling kepada Gus Venable. "Silakan lanjutkan."
Gus Venable kembali menghampiri kursi saksi. "Dr. Taylor, Anda tentu terkejut sekali ketika diberitahu bahwa orang yang Anda bunuh meninggalkan satu juta dolar untuk Anda."
Alan Penn langsung bangkit. "Keberatan!"
"Diterima." Hakim Young menoleh kepada Venable. "Kesabaran saya ada batasnya."
"Saya minta maaf, Yang Mulia." Ia kembali berpaling kepada saksi. "Mestinya Anda sangat akrab dengan pasien Anda. Maksud saya, tidak setiap hari ada orang asing yang mewariskan sejuta dolar kepada kita, bukan?"
Paige Taylor agak tersipu. "Persahabatan kami berada dalam konteks hubungan dokter-pasien."
"Bukankah lebih dari itu" Tidak biasanya seseorang mencoret istrinya tercinta serta keluarganya dari surat wasiat, dan meninggalkan satu juta dolar kepada orang asing, kalau bukan karena di"
bujuk. Anda mengaku telah membahas masalah-masalah bisnis yang dialami John Cronin?"
Hakim Young mencondongkan badan ke depan dan berkata dengan nada mewanti-wanti, "Mr. Venable?" Jaksa mengangkat kedua belah tangan sebagai isyarat menyerah. Ia kembali berpaling kepada terdakwa. "Jadi, Anda dan John Cronin sekadar berbincang-bincang. Dia menceritakan hal-hal yang bersifat pribadi, dan dia menyukai dan menghargai Anda. Anda setuju bahwa itu kesimpulan yang masuk akal, Dokter?"
"Ya." "Dan karena itu dia memberikan sejuta dolar kepada Anda?"
Paige memandang ke luar mang sidang. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tak ada yang bisa dikatakannya.
Venable mulai menuju meja jaksa, lalu tiba-tiba membalik dan menghadap terdakwa.
"Dr. Taylor, tadi Anda menyatakan Anda tak menduga John Cronin akan meninggalkan uang bagi Anda, atau dia akan mencoret keluarganya dari surat wasiatnya."
"Itu benar." "Berapa penghasilan resident doctor di Embarcadero County Hospital?"
Alan Penn bangkit. "Keberatan! Saya tidak melihat?"
"Itu pertanyaan wajar. Saksi silakan menjawab." dokter yang sedang mengambil spesialisasi
"Tiga puluh delapan ribu dolar setahun."
Penuh simpati Venable berkata, "Tidak seberapa untuk zaman sekarang, bukan" Belum lagi kalau dipotong pajak, biaya hidup, dan berbagai biaya lainnya. Sisanya tentu tidak memadai untuk berpesiar, katakanlah ke London atau Paris atau Venezia, bukan?"
"Saya kira begitu."
"Ya. Jadi, Anda tidak merencanakan liburan seperti itu, karena Anda sadar takkan sanggup membiayainya."
"Itu benar." Alan Penn kembali berdiri. "Yang Mulia?"
Hakim Young berpaling kepada Jaksa. "Apa tujuan Anda, Mr. Venable?"
"Saya hanya ingin menegaskan bahwa terdakwa tidak merencanakan liburan mewah ke suatu tempat"
"Pertanyaan itu sudah terjawab."
Alan Penn sadar harus melakukan sesuatu. Sebenarnya ia kurang bersemangat, namun ia menghampiri kursi saksi dengan keriangan orang yang baru saja memenangkan lotere.
"Dr. Taylor, Anda ingat bahwa Anda mengumpulkan brosur-brosur perjalanan itu?"
"Ya." "Anda merencanakan liburan ke Eropa atau berniat menyewa kapal pesiar?" "Tentu saja tidak. Semuanya hanya semacam
Saya dan teman-teman saya menyangka itu bisa memberikan semangat baru. Kami semua sangat letih, dan" waktu itu kami menganggapnya se-. bagai ide yang bagus."
Diam-diam Alan Penn melirik ke arah juri. Wajah mereka menunjukkan bahwa mereka sama sekali tak percaya.
Gus Venable sedang meminta keterangan terdakwa dalam pemeriksaan ulang. "Dr. Taylor, Anda mengenal Dr. Lawrence Barker?"
Sebuah pikiran melintas dalam benak Paige Taylor. Aku akan membunuh Lawrence Barker. Pelan-pelan. Pertama-tama kubuat dia menderita" lalu kubunuh dia. "Ya. Saya mengenal Dr. Barker."
"Dalam konteks?"
"Dr. Barker dan saya sering bekerja sama dalam dua tahun terakhir."
"Menurut Anda, dia dokter yang kompeten?"
Alan berdiri dari kursinya. "Keberatan, Yang Mulia. Saksi?"
Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya atau Hakim Young sempat mengambil Keputusan, Paige menjawab, "Dia lebih dari kompeten. Dia cemerlang."
Penn sampai terduduk. Ia begitu tercengang, sehingga tak sanggup berkata apa-apa.
"Dapatkah Anda menjelaskan maksud Anda?"
"Dr. Barker termasuk ahli bedah jantung terkemuka di dunia. Dia mempunyai praktek pribadi yang besar, tapi dia menyumbangkan tiga hari
dalam seminggu kepada Embarcadero County Hospital."
"Jadi, Anda sangat menghargai pendapat Dr. Barker dalam bidang kedokteran?" "Ya."
"Dan apakah Anda merasa dia mampu menilai kemampuan dokter lain?"
Penn berdoa agar Paige menjawab, Saya tidak tahu.
Paige berpikir sejenak. "Ya."
Gus Venable berpaling kepada juri. "Anda mendengar terdakwa menyatakan sangat menghargai pendapat Dr. Barker dalam bidang kedokteran. Mudah-mudahan dia sempat memperhatikan penilaian Dr. Barker mengenai kemampuannya" atau tepatnya, ketidakmampuannya."
Alan Penn berdiri dengan gusar. "Keberatan!"
"Diterima." Namun terlambat. Ucapan itu telah menimbulkan dampak yang diharapkan.
Dalam reses berikutnya, Alan Penn mengajak Jason ke kamar kecil.
"Brengsek, gara-gara Anda%saya menghadapi masalah besar," ia berkata dengan gusar. "John Cronin membencinya, Barker membencinya. Saya menuntut agar klien-klien saya menceritakan segala sesuatu apa adanya. Itu satu-satunya cara saya bisa menolong mereka. Hmm, saya tidak sanggup menolong dia. Saya tidak sanggup berbuat apa-apa. Setiap kali dia buka mulut, dia semakin dalam menggali lubang kuburnya sendiri. Kasus ini hancur berantakan!"
Sore itu Jason Curtis mengunjungi Paige. "Ada tamu untuk Anda, Dr. Taylor." Jason masuk ke sel Paige. "Paige?"
Wanita itu membalik ke arahnya, dan berjuang menahan air mata. "Keadaannya gawat, kan?"
Jason memaksakan senyum. "Kau tahu apa kata orang?kau belum kalah sebelum kalah."
"Jason, kau percaya, kan, aku mengakhiri hidup Jason Cronin bukan demi uangnya" Apa yang kulakukan, kulakukan untuk menolongnya."
"Aku percaya," ujarjason dengan lembut. "Aku cinta padamu."
Ia memeluknya. Aku tidak mau kehilangan dia, pikir Jason. Aku tidak bisa kehilangan dia. Dialah tumpuan hidupku. "Semuanya akan beres. Aku kan sudah berjanji kita akan selalu bersama selama-lamanya."
Paige mendekapnya dengan erat dan berkata dalam hati, Tiada yang abadi. Kenapa semuanya jadi serba kacau begini?" Serba kacau" serba kacau".
BUKU SATU it 1 "Hunter, Kate." "Hadir."
"Taft, Betty Lou." "Ada."
"Taylor, Paige." "Hadir."
Hanya ada tiga wanita dalam rombongan resident tahun pertama yang baru diterima. Semuanya berkumpul di dalam auditorium besar dan suram di Embarcadero County Hospital.
Embarcadero County Hospital merupakan rumah sakit tertua di San Francisco, dan salah satu rumah sakit tertua di seluruh Amerika Serikat. Dalam gempa bumi tahun 1989, Tuhan mempermainkan para warga San Francisco dengan membiarkan Embarcadero County Hospital tetap berdiri tegak. Rumah sakit itu merupakan kompleks kumuh yang menempati lebih dari tiga blok persegi, dengan bangunan-bangunan batu bata dan batu yang tampak kelabu karena kotoran yang terkumpul selama bertahun-tahun.
San Francisco Juli, 1990 Di balik pintu depan bangunan utama terdapat mang tunggu besar, dengan bangku-bangku kayu yang keras untuk para pasien dan pengunjung. Cat pada dinding-dinding yang sudah terlalu sering dicat ulang mengelupas di sana-sini, dan lantai di koridor-koridor tampak aus dan tidak rata akibat ribuan pasien dengan kursi roda dan tongkat penyangga. Seluruh kompleks berkesan tua dan tak terawat.
Embarcadero County Hospital merupakan kota di dalam kota. Jumlah karyawannya mencapai lebih dari 9.000 orang, termasuk 450 dokter staf, 150 dokter sukarelawan yang bekerja paro waktu, 800 resident, serta 3.000 juru rawat, ditambah teknisi, pembantu unit, dan pegawai teknis lainnya. Lantai-lantai atas menampung 12 ruang operasi, pusat logistik, bank tulang, pusat penjadwalan, 3 bangsal darurat, bangsal AIDS, dan lebih dari 2.000 tempat tidur.
Kini, pada hari pertama kedatangan para resident bam di bulan Juli, Dr. Benjamin Wallace, kepala rumah sakit, berdiri untuk memberi sambutan kepada mereka. Wallace merupakan politikus sejati, seorang pria jangkung dan mengesankan, pandai berbasa-basi dan memiliki daya tarik memadai untuk mencapai posisi yang ditempatinya sekarang.
"Pagi ini saya ingin mengucapkan selamat datang kepada para resident dodor yang baru. Selama dua tahun pertama di fakultas kedokteran, Anda melakukan praktek bedah mayat. Selama dua
tahun terakhir, Anda menangani pasien-pasien rumah sakit di bawah pengawasan dokter-dokter senior. Tapi mulai sekarang, Anda yang bertanggung jawab atas pasien-pasien Anda. Ini membutuhkan tanggung jawab yang luar biasa, serta dedikasi dan keahlian."
Pandangannya menyapu gedung pertemuan. "Di antara Anda pasti ada yang ingin mendalami ilmu bedah. Tentu ada pula yang berniat mengambil spesialisasi dalam bidang penyakit dalam. Masing-masing kelompok akan dibimbing oleh resident senior, yang akan menjelaskan kegiatan-kegiatan rutin kepada Anda. Mulai sekarang, setiap tindakan Anda mungkin menyangkut masalah hidup atau mati."
Mereka mendengarkannya dengan penuh perhatian, menyerap setiap kata yang diucapkannya.
"Embarcadero County Hospital merupakan rumah sakit umum. Artinya, kita melayani setiap orang yang datang ke sini. Sebagian besar pasien kita termasuk miskin. Mereka datang ke sini karena tidak sanggup berobat di rumah sakit swasta. Ruang-ruang darurat sibuk selama 24 jam per hari. Anda akan menghadapi beban kerja yang terlalu berat dengan gaji terlalu rendah. Di rumah sakit swasta, dalam tahun pertama Anda mengerjakan tugas-tugas kecil yang bersifat rutin. Dalam tahun kedua, Anda boleh menyerahkan pisau bedah kepada dokter yang melakukan operasi, dan dalam tahun ketiga, Anda diizinkan melakukan operasi kecil di bawah pengawasan. Hmm, lupakanlah itu
semua. Moto kita di sini adalah "Nonton satu kali, kerjakan satu kali, ajarkan satu kali."
"Kita sangat kekurangan tenaga, dan makin cepat Anda bisa masuk ke mang operasi, makin baik. Ada pertanyaan?"
Jutaan pertanyaan ingin dilontarkan oleh para resident bam itu.
"Tidak ada" Bagus. Hari pertama Anda dimulai secara resmi besok. Anda akan melapor ke meja resepsionis utama pukul setengah enam besok pagi. Selamat bertugas!"
Pertemuan selesai. Orang-orang mulai menuju pintu keluar sambil bercakap-cakap. Tanpa sengaja^ ketiga wanita tadi terdiri mengelompok. "Mana wanita-wanita yang lain?" "Kelihatannya memang cuma,kita." "Seperti kembali ke kampus, ya" Perkumpulan laki-laki. Selamat datang di Abad Pertengahan."
Komentar itu diucapkan oleh wanita kulit hitam yang cantik. Tingginya hampir enam kaki, perawakannya tegap, namun gerak-geriknya anggun sekali. Segala sesuatu pada dirinya, cara berjalannya, sikap tubuhnya, sorot matanya yang tenang dan jenaka, menimbulkan kesan menjaga jarak. "Namaku Kate Hunter. Aku biasa dipanggil Kat."
"Paige Taylor." Muda dan ramah, bertampang cerdas, penuh percaya diri. Mereka berpaling ke wanita ketiga. "Betty Lou Taft. Aku biasa dipanggil Honey." Ia bicara dengan logat Selatan yang lembut. Ia
memiliki wajah berkesan polos, mata kelabu yang lembut, serta senyum ramah.
"Kau berasal dari mana?" tanya Kat.
"Memphis, Tennessee."
Mereka menatap Paige. Ia memutuskan menjawab dengan singkat, "Boston."
"Minneapolis," ujar Kat. Cukup dekat, katanya dalam hati.
"Kelihatannya kita sama-sama jauh dari kampung halaman," Paige berkomentar. "Kalian tinggal di mana?"
"Aku masih sewa kamar di hotel murahan," jawab Kat. "Aku belum sempat mencari tempat tinggal yang layak."
Honey menimpali, "Aku juga belum."
Wajah Paige bertambah cerah. "Aku sempat mendatangi beberapa apartemen tadi pagi. Ada satu yang bagus sekali, tapi aku tidak sanggup membayar uang sewanya. Kamar tidurnya ada tiga?"
Mereka berpandangan. "Kalau kita patungan",", ujar Kat.
Apartemen itu terletak di Distrik Marina, di Filbert Street. Kondisinya cocok sekali untuk mereka. Tiga kamar tidur, dua kamar mandi, karpet baru, mesin cuci, tempat parkir, biaya listrik dan air ditanggung pemilik. Perabotnya agak kampungan, tapi segala sesuatu rapi dan bersih.
Setelah mereka puas melihat-lihat semuanya, Honey berkata, "Menurutku, ini bagus sekali."
"Menurutku jugaF Kat sependapat. Mereka menatap Paige. "Kalau begitu, kita ambil saja." Sore itu juga mereka pindah. Petugas kebersihan gedung membantu menggotong barang-barang mereka ke atas.
"Jadi, kalian akan bekerja di ramah sakit," katanya. "Perawat, neh?" "Dokter," Kat meralat.
Petugas itu menatapnya dengan ragu. "Dokter" Maksudnya, dokter sungguhanV "Ya, dokter sungguhan," balas Paige. "Terns terang, kalau aku butuh perawatan medis, kurasa aku takkan mau diperiksa dokter wanita." "Kami akan memperhatikannya." "Mana pesawat TV?" tanya Kat. "Aku tidak melihat pesawat TV di sini?"
"Kalau mau TV, kalian harus beli sendiri. Nikmatilah apartemen ini, Nona-nona?ehm, Ibu-ibu Dokter." Ia terkekeh-kekeh.
Mereka menunggu sampai petugas itu keluar dari apartemen.
Kat menirukan suaranya dan berkata, "Perawat, hen?" Ia mendengus. "Huh, dasar sok jago. Oke, sekarang kita pilih kamar tidur."
"Ah, terserah kalian saja deh," ujar Honey dengan lembut. Mereka mengamati ketiga kamar tidur. Kamar dur utama lebih luas dari kedua kamar lainnya. Kat berkata, "Kau saja yang ambil, Paige. Kau ang menemukan apartemen ini."
Paige mengangguk. "Baiklah."
Mereka masuk ke kamar masing-masing dan mulai membongkar barang. Paige mengeluarkan foto berbingkai dari kopernya. Foto itu memperlihatkan pria berumur tiga puluhan. Wajahnya tampan. Ia memakai kacamata berbingkai hitam yang menimbulkan kesan terpelajar. Paige meletakkan foto itu di samping tempat tidur, bersebelahan dengan setumpuk surat.
Kat dan Honey melangkah masuk. "Bagaimana kalau kita makan malam di luar?"
"Boleh saja," jawab Paige. "Aku sudah selesai."
Kat melihat foto tadi. "Siapa itu?"
Paige tersenyum. "Pria yang bakal menikah denganku. Dia dokter yang bekerja untuk World Health Organization. Namanya Alfred Turner. Sekarang ini dia sedang bekerja di Afrika, tapi dia akan pindah ke San Francisco, supaya kami bisa bersama-sama."
"Kau beruntung," ujar Honey dengan sungguh-sungguh. "Sepertinya dia baik hati."
Paige menatapnya. "Kau punya hubungan khusus dengan seseorang?"
"Tidak. Kelihatannya aku kurang beruntung dengan pria."
Kat berkata, "Mungkin keberuntunganmu akan berubah di Embarcadero County Hospital."
Mereka makan malam di Tarantino"s, tidak jauh dari apartemen mereka. Selama makan malam, mereka mengobrol tentang latar belakang dan kehidupan mereka, tapi percakapan itu agak tersendat-sendat karena ketiga-tiganya menahan diri. Mereka tiga orang asing yang dengan hati-hati berusaha saling mengenal lebih baik.
Honey lebih banyak diam. Dia pemalu, pikir Paige. Pemalu dan perasa. Kurasa dia pernah patah hati di Memphis.
Paige menatap Kat. Percaya diri. Berwibawa. Aku suka cara bicaranya. Kelihatan sekali dia berasal dari keluarga baik-baik.
Sementara itu, Kat menilai Paige. Anak orang kaya yang seumur hidup tak pernah perlu ber-susah payah untuk mendapatkan sesuatu. Dia bisa maju berkat tampangnya.
Honey mengamati mereka berdua. Begitu yakin, begitu percaya diri. Mereka takkan mengalami kesulitan. Ketiga-tiganya keliru.
Ketika mereka kembali ke apartemen, Paige tak bisa" tidur. Ia berbaring di ranjang, memikirkan masa depan. Di luar jendelanya, di jalan, terdengar bunyi mobil bertabrakan, lalu orang-orang berseru. Suara-suara itu membangkitkan kenangan lama dalam diri Paige. Ia teringat pada gerombolan penduduk asli Afrika yang berteriak-teriak dan menyanyikan lagu perang, dan pada letusan-letusan senjata. Ia kembali ke masa lalu, ke desa kecil di hutan Afrika Timur, terjebak di tengah perang antarsuku.
Paige ketakutan. "Mereka akan membunuh kita!"
Ia dipeluk ayahnya. "Mereka takkan menyakiti kita, Sayang. Kita di sini untuk menolong mereka. Mereka tahu kita teman mereka."
Dan tanpa peringatan, kepala salah satu suku menyerbu masuk ke pondok mereka".
Honey termenung-menung di tempat tidur. Ini benar-benar jauh dari Memphis, Tennessee, Betty Lou. Rasanya aku takkan pernah bisa pulang ke sana. Takkan pernah. Suara Sheriff kembali terngiang-ngiang di telinganya, "Demi menghormati keluarganya, kematian Pendeta Douglas Lipton akan dicatat sebagai "bunuh diri dengan alasan tidak diketahui", tapi kusarankan kau segera angkat kaki dari sini, dan jangan kembali lagi"."
Kat memandang ke luar jendela kamar tidurnya sambil mendengarkan suara-suara di jalanan. Tetes-tetes hujan seakan-akan berbisik padanya; Kau berhasil" kau berhasil. Aku sudah membuktikan mereka semua keliru. Kau mau jadi dokter" Dokter wanita kulit hitam" Dan surat-surat penolakan dari sekolah-sekolah kedokteran. "Terima kasih atas lamaran Anda. Sayangnya penerimaan mahasiswa baru sudah ditutup."
"Mengingat latar belakang Anda, kami berpendapat Anda mungkin lebih cocok di universitas yang lebih kecil."
Kat memperoleh nilai-nilai tinggi ketika lulus dari sekolah menengah, tetapi dari 25 universitas tempat ia hendak mendaftarkan diri, hanya satu
yang menerimanya. Dekan fakultas bersangkutan
berkata, "Di zaman ini, kami gembira sekali jika ada mahasiswa yang berasal dari keluarga normal dan baik-baik."
Kalau saja ia tahu keadaan sebenarnya.
2 Pukul setengah enam keesokan paginya, ketika para resident tiba, staf rumah sakit telah siap membawa mereka ke tempat tugas masing-masing. Meskipun masih pagi, suasananya sudah hiruk-pikuk.
Sepanjang malam pasien-pasien teras berdatangan. Ada yang dibawa mobil ambulans, ada yang diantar mobil patroli polisi, ada pula yang berjalan kaki. Oleh para anggota staf, mereka dijuluki "02T"?orang-orang terbuang yang lemah dan berlumuran darah, para korban penembakan, penusukan, dan kecelakaan lalu lintas, mereka yang terluka baik jiwa maupun raga, para tuna wisma, orang-orang yang tereampak dan tak diinginkan lagi.
Suasananya ingar-bingar. Gerakan-gerakan kalang kabut, suara-suara melengking, dan lusinan krisis tak terduga?semuanya harus ditangani serempak.
Para resident baru berdiri mengelompok, berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
asing, sambil mendengarkan suara-suara membingungkan di sekeliling mereka.
Paige, Kat, dan Honey sedang menunggu di koridor ketika resident senior menghampiri mereka. "Siapa di antara Anda bertiga yang bernama Dr. Taft?"
Honey menoleh dan berkata, "Saya."
Resident itu tersenyum dan mengulurkan tangan. "Saya senang sekali bisa berkenalan dengan Anda. Saya diberitahu Kepala Staf bahwa Anda dokter baru dengan nilai-nilai tertinggi yang pernah bertugas di rumah sakit ini. Kami sangat gembira Anda bisa bergabung dengan kami."
Honey tersenyum malu-malu. "Terima kasih."
Kat dan Paige menatap Honey sambil membelalakkan mata. Tak kusangka dia sehebat itu," pikir Paige.
"Anda berniat mendalami bidang penyakit dalam, Dr. Taft?" "Ya."
Resident itu berpaling kepada Kat. "Dr. Hunter?" "Ya."
"Anda tertarik pada bedah saraf." "Betul."
Si resident mengamati sebuah daftar. "Anda ditugaskan di bawah Dr. Hutton." Kemudian giliran Paige. "Dr. Taylor?" "Ya."
"Anda akan mendalami bedah jantung." "Ya"
"Baik. Anda dan Dr. Hunter ditugaskan mengikuti kunjungan pasien. Silakan melapor di kantor Juru Rawat Kepala. Margaret Spencer. Di ujung lorong."
"Terima kasih."
Paige menatap kedua rekannya dan menarik napas panjang. "Oke, ini dia! Selamat bertugas untuk kita semua!"
Kepala juru rawat, Margaret Spencer, lebih pantas disebut kapal tempur daripada wanita. Tubuhnya pendek gemuk, tampangnya tegas, dan tingkah lakunya kasar. Ia sedang sibuk di balik meja juru rawat ketika Paige menghampirinya. "Permisi?"
Suster Spencer menoleh. "Ya?"


Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya disuruh melapor ke sini. Saya Dr. Taylor."
Suster Spencer menatap secarik kertas. "Tunggu sebentar." Ia melewati sebuah pintu. Semenit kemudian, ia kembali dengan beberapa potong baju operasi dan jas putih.
"Silakan. Baju operasi dipakai di mang operasi dan kalau mengunjungi pasien. Pada waktu melakukan kunjungan pasien, Anda hams memakai jas putih di luar baju operasi."
"Terima kasih."
"Oh. Dan ini." Suster Spencer mengambil sebuah papan nama bertulisan "Paige Taylor, M.D." dan menyerahkannya kepada Paige. "Ini papan nama Anda, Dokter." Paige terus menatap papan namanya. Paige
Taylor, M.D. Ia merasa seakan-akan diberi bintang jasa. Jerih payahnya selama bertahun-tahun terangkum dalam beberapa patah kata itu. Paige Taylor, M.D.
Suster Spencer menatapnya. "Ada yang tidak beres?"
"Oh, tidak. Tidak ada apa-apa." Paige tersenyum. "Tidak ada apa-apa. Terima kasih. Di mana saya?""
"Kamar ganti dokter ada di ujung lorong sebelah kiri. Anda ditugaskan mengunjungi pasien, jadi Anda perlu berganti pakaian."
"Terima kasih."
Paige menyusuri koridor, tercengang melihat kesibukan di sekelilingnya. Koridor itu penuh dokter, jura rawat, teknisi, dan pasien, semuanya bergegas ke tujuan masing-masing. Suasana semakin riuh akibat pengumuman-pengumuman yang tak henti-hentinya berkumandang dari pengeras suara.
"Dr. Keenan" OR Tiga" Dr. Keenan" OR Tiga."
?Dr. Talbot" Ruang Gawat Darurat Sam. Stat" Dr. Talbot" Ruang Gawat Darurat Sam. Stat."
"Dr. EngeL. Kamar 212" Dr. Engel" Kamar 212."
Paige menghampiri pintu bertulisan KAMAR GANTI DOKTER dan membukanya. Di dalamnya ada belasan dokter pria yang sedang berganti baju. Dua dari mereka telanjang bulat. Mereka menoleh dan menatap Paige ketika pintu membuka.
"Oh! Ehm" maaf," Paige bergumam, dan cepat-cepat menutup pintu. Ia berdiri di lorong, bingung. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada pintu bertulisan KAMAR GANTI JURU RAWAT. Paige menghampiri pintu itu dan membukanya. Di dalam ada beberapa perawat yang sedang mengenakan baju seragam.
Salah satu dari mereka menoleh. "Halo. Kau juru rawat yang bara?"
"Bukan," balas Paige dengan ketus. "Saya bukan juru rawat." Ia menutup pintu dan kembali ke kamar ganti dokter. Ia berhenti sebentar, lalu menarik napas panjang, dan melangkah masuk. Percakapan para dokter langsung terhenti.
Salah seorang dari mereka berkata, "Maaf, Sayang. Ruang ini khusus dokter."
"Saya dokter," ujar Paige.
Mereka berpandangan. "Oh" Ehm" selamat datang."
"Terima kasih." Paige ragu-ragu sejenak, ke* mudian ia menghampiri locker kosong. Para dokter yang lain memperhatikannya ketika ia menggantung pakaian serag;amnya. Sepintas lalu ia menoleh ke arah mereka, kemudian mulai membuka kancing-kancing blusnya.
Para dokter tampak salah tingkah. Salah satu dari mereka berkata, "Rasanya kita perlu" ehm" memberikan sedikit privasi kepada nona kecil ini, Saudara-saudara."
Nona kecil! "Terima kasih," ujar Paige. Ia menunggu sampai semua dokter selesai berganti pakaian dan meninggalkan ruangan. Aduh, apa setiap hari harus begini" ia bertanya-tanya.
Pada waktu melakukan kunjungan pasien, ada formasi khas yang tak pernah berubah. Dokter yang memimpin rombongan selalu berjalan di depan, diikuti resident senior, lalu para resident lainnya, dan satu atau dua mahasiswa kedokteran. Dokter yang akan memimpin rombongan Paige adalah Dr. William Radnor. Paige dan lima resident lain berkumpul di lorong, menunggu kedatangannya.
Di antara mereka ada satu dokter muda keturunan Cina. Ia mengulurkan tangan. "Tom Chang," katanya "Moga-moga semuanya segugup aku." Paige langsung menyukainya. Seorang pria menghampiri rombongan itu. "Selamat pagi," ia berkata. "Saya Dr. Radnor." Gaya bicaranya lemah lembut, matanya berwarna biru dan bersinar. Masing-masing resident memperkenalkan diri
"Ini pertama kali Anda mengikuti kunjungan pasien. Saya minta Anda semua memberikan perhatian penuh kepada segala sesuatu yang Anda lihat atau dengar, tapi Anda juga harus kelihatan tenang."
Perhatian penuh, tapi harus kelihatan tenang, Paige mengulangi dalam hati.
"Kalau pasien melihat Anda tegang, dia akan tegang, dan dia pasti menduga dia akan mati karena penyakit yang tidak Anda beri tahu kan padanya."
Jangan bikin pasien tegang.
"Ingat, mulai sekarang Anda akan bertanggung jawab atas hidup orang lain."
Bertanggung jawab atas hidup orang lain. Ya Tuhan!
Semakin lama Dr. Radnor berbicara, semakin gelisah perasaan Paige. Ketika dokter itu selesai memberi wejangan, seluruh kepercayaan diri Paige telah menguap. Aku belum siap! ia berkata dalam hati. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Siapa yang bilang aku sanggup jadi dokter" Bagaimana kalau ada pasien yang mati gara-gara aku"
Dr. Radnor kembali angkat bicara, "Saya mengharapkan catatan lengkap mengenai setiap pasien Anda?pemeriksaan lab, darah, elektrolit, semuanya. Jelas?"
"Jelas, Dokter," para resident bergumam serempak.
"Setiap saat ada tiga puluh sampai empat puluh pasien bedah di sini. Anda bertugas memastikan semua keperluan mereka terorganisasi dengan baik. Sekarang kita mulai dengan kunjungan pagi. Kunjungan ini diulang setiap sore"
Semuanya terasa begitu mudah di sekolah kedokteran. Paige mengenang masa empat tahun yang dihabiskannya di bangku kuliah. Ketika itu ada 150 mahasiswa, dan hanya lima belas wanita. Ia takkan pernah lupa hari pertama ia mengikuti mata kuliah ilmu urai tubuh. Para mahasiswa memasuki mangan besar bertegel putih berisi dua puluh meja
yang diatur berderet. Masing-masing meja ditutupi sehelai kain kuning. Kemudian mereka dibagi dalam kelompok lima-lima, dan setiap kelompok diberi satu meja.
Profesornya berkata, "Baiklah, silakan buka kain penutup." Itulah pertama kali Paige berhadapan dengan mayat Ia takut akan pusing atau mual, tapi anehnya ia malah merasa tenang. Mayat itu telah diawetkan, sehingga memudahkan Paige untuk tidak memandangnya sebagai jasad, manusia.
Mula-mula para mahasiswa masih bersikap khidmat di dalam laboratorium anatomi.. Tapi dalam waktu satu minggu saja?dan ini membuat Paige terheran-heran?mereka sudah bisa makan roti pada waktu melakukan pembedahan, dan melontarkan lelucon-lelucon kasar. Sikap mereka merupakan salah satu bentuk pertahanan diri, suatu penolakan terhadap kenyataan bahwa suatu saat mereka pun akan mati. Setiap mayat diberi nama, dan diperlakukan seperti teman lama. Paige memaksakan diri tampil sesantai para mahasiswa lain, namun itu tidak mudah baginya. Ia menatap mayat di hadapannya dan berkata dalam hati, Orang ini pernah punya rumah dan keluarga. Dia berangkat kerja .setiap hari, dan sekali setahun dia berlibur bersama istri dan anak-anaknya. Mungkin dia penggemar olahraga, suka nonton film dan pertunjukan sandiwara. Dia tertawa dan menangis, menyaksikan anak-anaknya tumbuh besar, berbagi suka-duka bersama mereka, dan dia punya im-ian-impian besar dan indah. Moga-moga semuanya terlaksana". Dan ia merasa terharu karena orang itu sudah mati, sedangkan ia masih hidup.
Lambat laun, pembedahan-pembedahan itu menjadi kegiatan rutin, bahkan bagi Paige. Buka rongga dada, periksa tulang iga, paru-paru, selaput jantung, pembuluh balik, pembuluh nadi, dan saraf-saraf.
Sebagian besar dari dua tahun pertama di sekolah kedokteran dihabiskan dengan menghafal daftar-daftar panjang yang oleh para mahasiswa disebut Hafalan Organ Tubuh. Dimulai dengan saraf-saraf kranial: olfaktorius, optikus, okulomotorius, tro-khlearis, trigeminus, abdusens, fasialis, akustikus, glosofaringeus, vagus, spinal, dan hipoglosus.
Para mahasiswa menggunakan pantun-pantun untuk membantu ingatan mereka. Pantun klasik adalah "On old Olympus"s towering tops, a French and German vended some hops." Versi modem di kalangan pria adalah "Oh, oh, oh, to touch and feel a girl"s vagina?such heaven."
Dua tahun terakhir di sekolah kedokteran lebih menarik, dengan mata kuliah ilmu penyakit dalam, ilmu bedah, ilmu penyakit anak-anak, dan obstetri, dan mereka juga berpraktek di rumah sakit setempat. Aku masih ingat", pikir Paige.
"Dr. Taylor?" Si resident senior sedang menatapnya.
Paige tersentak kaget. Yang lainnya sudah mulai menyusuri koridor.
"Sebentar," Paige berkata dengan terburu-buru.
Pertama-tama mereka mengunjungi bangsal yang
luas dan terbentuk persegi, dengan deretan tempat tidur di kedua sisi ruangan. Di samping masing-masing tempat tidur ada meja kecil. Semula Paige menduga ada tirai-tirai pemisah, tapi ternyata tidak ada privasi sama sekali.
Pasien pertama adalah pria setengah baya dengan warna kulit pucat kekuning-kuningan. Ia sedang tidur pulas, napasnya terengah-engah. Dr. Radnor terdiri di ujung tempat tidur, mengamati catatan yang tergantung di sana, lalu menghampiri si pasien dan menyentuh bahunya dengan lembut. "Mr. Potter?" Pasien itu membuka mata. "Heh?" "Selamat pagi. Saya Dr. Radnor. Saya hanya ingin melihat keadaan Anda. Anda bisa tidur nyenyak semalam?" "Lumayan." "Ada keluhan?" "Ya. Dada saya nyeri." "Coba saya lihat sebentar." Seusai pemeriksaan, Dr. Radnor berkata, "Kondisi Anda baik-baik saja. Saya akan menyuruh juru rawat memberikan sesuatu untuk mengatasi nyeri itu."
"Terima kasih, Dokter." "Nanti sore Anda akan kami tengok lagi." Mereka menjauhi tempat tidur. Dr. Radnor berpaling kepada para resident. "Ajukanlah pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab dengan ya atau tidak, agar pasien tidak menguras tenaga. Dan Anda hams menenangkan dia dengan mengatakan proses
penyembuhannya berjalan lancar. Saya minta Anda mempelajari catatannya dan membuat catatan sendiri. Nanti sore kita akan kembali ke sini untuk memeriksa keadaannya. Buatlah catatan tentang keluhan utama setiap pasien, penyakit yang sedang diderita, riwayat penyakit di masa lalu, latar belakang keluarga, dan latar belakang sosial. Apakah dia sering minum alkohol, merokok, dan sebagainya" Pada kunjungan berikut, saya mengharapkan laporan kemajuan masing-masing pasien."
Mereka pindah ke tempat tidur pasien berikut, seorang pria berumur empat puluhan.
"Selamat pagi, Mr. Rawlings."
"Selamat pagi, Dokter."
"Anda merasa lebih enak hari ini?"
"Tidak juga. Semalam saya susah tidur. Perut saya sakit."
Dr. Radnor berpaling kepada resident senior. "Bagaimana hasil proktoskopi?"
"Tak ada tanda-tanda gangguan."
"Beri dia barium enema dan foto saluran cema atas, stat"
Si resident senior membuat catatan.
Resident yang berdiri di samping Paige berbisik ke telinganya, "Kau tahu, kan, apa artinya starl "Shake that ass, Tootsie.?"
Dr. Radnor mendengarnya. "Stat berasal dari bahasa Latin, statim. Artinya "segera"."
Di tahun-tahun mendatang, Paige sering mendengar kata itu.
67 Pasien berikut adalah wanita setengah baya yang telah menjalani operasi bypass. "Selamat pagi, Mrs. Turkel." "Berapa lama lagi saya hams berbaring di sini?" "Tidak lama lagi. Operasi Anda berhasil. Sebentar lagi Anda sudah boleh pulang."
Dan mereka pindah ke pasien berikut.
Begitu seterusnya, berulang-ulang. Waktu berlalu dengan cepat. Mereka mengunjungi lebih dari tiga puluh pasien. Setelah melihat setiap pasien, para resident kalang kabut membuat catatan, dan berdoa agar mereka bisa membaca tulisan mereka sendiri nanti.
Sam pasien merupakan teka-teki bagi Paige. Sepertinya pasien itu dalam keadaan sehat walafiat.
Setelah mereka pindah, Paige bertanya, "Apa masalah pasien ini, Dokter?"
Dr. Radnor menghela napas. "Tak ada masalah sama sekali. Orang seperti dia dikenal sebagai gomer. Dan bagi Anda yang sudah lupa apa yang Anda pelajari di sekolah kedokteran, gomer adalah akronim dari "Get out of my emergency room". Mereka orang-orang yang menikmati keluhan kesehatan. Itu hobi mereka. Tahun lalu dia berobat enam kali di sini."
Mereka pindah ke pasien terakhir, seorang wanita tua yang dihubungkan dengan alat bantu pernapasan dan berada dalam keadaan koma.
"Dia terkena serangan jantung berat," Dr. Radnor menjelaskan kepada para resident. "Sudah enam minggu dia mengalami koma. Tanda-tanda
kehidupannya mulai melemah. Tak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk dia. Nanti sore stekernya akan dicabut."
Paige menatapnya dengan mata terbelalak. "Stekernya akan dicabut?"
Dr. Radnor berkata dengan lembut, "Komisi Etika Medis telah memutuskannya tadi pagi. Hidupnya tergantung pada alat bantu. Umurnya 87 tahun, dan dia sudah mati otak. Membiarkannya seperti ini hanya memperpanjang penderitaannya dan membebani keuangan keluarganya. Saya tunggu Anda semua nanti sore."
Mereka memperhatikannya pergi. Paige kembali menoleh ke pasien terakhir. Wanita itu masih hidup. Dalam beberapa jam, dia akan mati. Nanti sore stekernya akan dicabut.
Itu namanya pembunuhanl pikir Paige.
3 Sore itu, seusai kunjungan pasien, para resident baru berkumpul di mang santai di atas. Ruangan kecil itu berisi delapan meja, pesawat TV hitam-putih yang sudah tua sekali, serta dua otomat untuk membeli sandwich dan kopi pahit.
Percakapan di semua meja hampir sama.
Salah satu resident berkata, "Tolong periksa tenggorokanku dong" Meradang tidak?"
"Rasanya aku kena demam. Aku benar-benar tidak enak badan."
Terutku bengkak dan sakit. Ini pasti radang usus buntu."
"Dadaku rasanya sesak sekali. Moga-moga aku tidak terkena serangan jantung!"
Kat duduk semeja dengan Paige dan Honey. "Bagaimana hari pertama kalian?"
"Lumayan," kata Honey.
Mereka menatap Paige. "Aku tegang, tapi tampil
santai. Aku gugup, tapi berusaha tetap tenang." Ia mendesah. "Hari ini benar-benar melelahkan. Aku
sudah tak sabar pulang dan menikmati waktu luang nanti malam."
"Aku juga," Kat sependapat. "Bagaimana kalau kita makan malam bersama, lalu nonton film di bioskop?"
"Setuju." Seorang petugas menghampiri meja mereka. "Dr. Taylor?"
Paige menoleh. "Saya Dr. Taylor."
"Dr. Wallace menunggu Anda di kantornya."
Pimpinan rumah sakit! Apa salahku" Paige terheran-heran.
Petugas itu masih berdiri di sampingnya. "Dr. Taylor?"
"Segera." Ia menarik napas panjang dan bangkit dari kursinya. "Sampai nanti." "Mari, Dokter."
Paige mengikuti petugas itu ke sebuah lift dan naik ke lantai lima, tempat Dr. Wallace berkantor.
Benjamin Wallace duduk di balik meja kerjanya. Ia menoleh ketika Paige melangkah masuk. "Selamat sore, Dr. Taylor."
"Selamat sore."
Wallace berdehem. "Hmm. Hari pertama Anda bertugas, dan Anda sudah menjadi buah bibir di sini!"
Paige menatapnya dengan bingung. "Saya" saya tidak mengerti."
"Saya dengar ada sedikit masalah di kamar ganti dokter tadi pagi."
"Oh." Rupanya itu masalahnya!
Wallace memandangnya sambil tersenyum. "Kelihatannya saya hams mengusahakan sesuatu untuk Anda dan nona-nona yang lain."
"Kami?" Kami bukan nona-nona, Paige ingin berkata. "Kami akan sangat berterima kasih."
"Sementara itu, kalau Anda keberatan berganti pakaian bersama para juru rawat?"
"Saya bukan juru rawat," Paige berkata dengan tegas. "Saya dokter."
"Tentu, tentu. Baiklah, kami akan mengusahakan tempat khusus untuk Anda, Dokter." Terima kasih."
Ia menyerahkan selembar kertas kepada Paige. "Ini jadwal Anda. Anda bertugas jaga untuk 24 jam berikut, mulai pukul enam." Ia menatap arlojinya. "Berarti tiga puluh menit dari sekarang."
Paige menatapnya dengan terheran-heran. Tadi pagi ia mulai bekerja pukul setengah enam. "Dua puluh empat jam?"
"Ehm, 36, sebenarnya. Sebab pagi-pagi Anda ikut kunjungan pasien lagi."
Tiga puluh enam jam! Apa aku sanggup"
Ia akan segera mendapatkan jawabannya.
Paige mencari Kat dan Honey.
"Kelihatannya aku tak bisa ikut makan malam dan nonton," katanya. "Aku dapat tugas 36 jam."
Kat mengangguk. "Kami-juga dapat kabar burak. Besok aku yang dapat giliran, dan Honey hari Rabu."
"Jangan patah semangat," ujar Paige dengan
riang. "Setahuku ada ruang istirahat untuk para dokter jaga. Aku akan menikmati ini." Ia keliru.
Seorang petugas mengantar Paige menyusuri lorong panjang.
"Dr. Wallace memberitahu saya bahwa saya hams bertugas jaga 36 jam," Paige bercerita. "Apakah semua resident bekerja selama itu?"
"Hanya selama tiga tahun pertama," petugas itu menenangkannya.
Brengsek! "Tapi Anda pasti sempat beristirahat, Dokter." "Oh, ya?"
"Di sini. Ini mang istirahat untuk para dokter jaga." Ia membuka sebuah pintu dan Paige melangkah masuk. Ruangan itu mirip kamar rahib di biara miskin. Tak ada apa-apa selain tempat tidur lipat dengan kasur usang, tempat cuci tangan yang retak, dan meja kecil dengan pesawat telepon di atasnya. "Anda bisa tidur di sini sambil menunggu panggilan."
"Terima kasih."
Panggilan mulai berdatangan ketika Paige berada di coffee shop. Ia bam mau mulai makan malam.
"Dr. Taylor" ER Tiga" Dr. Taylor" ER Tiga."
"Ada pasien dengan tulang iga retak"."
"Mrs. Henegan mengeluh sakit dada"."
"Pasien di Bangsal Dua sakit kepala. Apakah dia boleh saya beri aSetaminofen?"
Tengah malam, Paige bam saja tertidur ketika dibangunkan deringan telepon.
"Segera ke ER Satu." Ternyata luka tusukan, dan pada waktu Paige selesai menanganinya, jam dinding telah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Pukul dua seperempat, ia sekali lagi dibangunkan. "Dr. Taylor" ER Dua. Staf." Sambil terkantuk-kantuk Paige berkata, "Baik." Apa arti stat" Shake that ass, Tootsie. Ia memaksakan diri bangun dan menyusuri koridor ke mang gawat darurat. Ada pasien yang patah kaki, menjerit-jerit kesakitan.
"Ambil foto rontgen," ujar Paige. "Dan beri dia Demerol, Jima puluh miligram." Ia meletakkan tangannya pada lengan pasien itu. "Anda akan segera pulih kembali Cobalah tenang."
Sebuah suara berkumandang dari pengeras suara, "Dr. Taylor" Bangsal Tiga. Stat."
Paige menatap pasien yang mengerang-erang. Ia tidak tega meninggalkannya.
Suara itu terdengar kembali. "Dr. Taylor" Bangsal Tiga. Stat."
"Segera," Paige bergumam. Lekas-lekas ia keluar ke lorong, menuju Bangsal Tiga. Ada pasien yang muntah, lalu tersedak saat menarik napas. "Dia tak bisa bernapas," kata jura rawat. "Tolong di-suction," perintah Paige. Ia masih memperhatikan pasien itu mengatur napas, ketika namanya dipanggil lagi melalui pengeras suara. "Dr. Taylor" Bangsal Empat. Bangsal Empat."
Paige menggelengkan kepala dan bergegas ke bangsal empat. Seorang pasien berteriak-teriak karena mengalami kejang perut. Paige memeriksanya dengan cepat. "Mungkin gangguan usus. Lakukan USG," kata Paige. Begitu ia selesai, panggilan berikut sudah terdengar. "Dr. Taylor ditunggu di ER Dua. Stat."
"Pasien tukak lambung di Bangsal Empat kesakitan"."
Pukul 03.30 dini hari. "Dr. Taylor, pasien di Kamar 310 mengalami perdarahan"."
Pasien di salah satu bangsal terkena serangan jantung, dan Paige sedang mendengarkan denyut jantungnya dengan gelisah, ketika namanya dipanggil melalui pengeras suara, "Dr. Taylor" ER Dua. Stat" Dr. Taylor" ER Dua. Stat."
Jangan panik, pikir Paige. Aku harus tetap tenang. Ia panik. Siapa yang lebih penting, pasien yang sedang diperiksanya, atau pasien berikut" "Jangan ke mana-mana," ia asal buka mulut. "Saya akan segera kembali."
Ketika Paige bergegas ke ER Dua, ia mendengar namanya dipanggil lagi. "Dr. Taylor, ER Sam. Stat" Dr. Taylor, ER Satu. Staf."
Ya Tuhan/ pikir Paige. Ia merasa seperti terperangkap di tengah mimpi burak mengerikan tanpa akhir.
Malam itu Paige masih dibangunkan untuk menangani kasus keracunan makanan, patah tangan, hernia hiatus, dan tulang iga retak. Waktu kembali
ke ruang istirahat, ia begitu letih sehingga nyaris tak sanggup bergerak. Ia merangkak ke tempat tidur lipat dan baru mulai tertidur ketika pesawat telepon berdering lagi.
Ia mengangkat gagang sambil tetap memejamkan mata. "H"lo?"
"Dr. Taylor, Anda sudah ditunggu-tunggu."
"Apa?" Ia terbaring sambil berusaha mengingat-ingat di mana ia berada.
"Sudah waktunya untuk kunjungan pasien, Dokter."
"Kunjungan pasien?" Ini cuma lelucon konyol, pikir Paige. Ini tidak manusiawi. Tak seorang pun bisa dipaksa bekerja seperti ini! Tapi ia sudah ditunggu-tunggu.
Sepuluh menit kemudian, Paige sudah mengikuti kunjungan pasien dalam keadaan antara sadar dan tidak. Ia menabrak Dr. Radnor. "Maaf," ia bergumam, "tapi saya belum sempat tidur"."
Dr. Radnor menepuk-nepuk bahunya dengan penuh pengertian. "Anda akan terbiasa."
Pada waktu Paige akhirnya selesai bertugas, ia tidur selama empat belas jam.
Ternyata tidak semua resident sanggup menghadapi tekanan yang luar biasa serta jam kerja yang berat, dan mereka menghilang begitu saja. Aku takkan menyerah, Paige bertekad.
Ia terus-menerus berada di bawah tekanan. Suatu hari, pada akhir giliran tugas selama 36 jam, Paige begitu lelah sehingga tak tahu lagi di mana
ia berada. Terhuyung-huyung ia berjalan ke lift dan berdiri di depan pintu. Pikirannya buntu.
Tom Chang menghampirinya. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja," Paige bergumam.
Chang meringis. "Tampangmu tidak keruan."
"Terima kasih. Kenapa mereka menyiksa kita seperti ini?" tanya Paige.
Chang angkat bahu. "Menurut teori sih supaya kita tahu perkembangan pasien-pasien kita. Kalau kita pulang dan meninggalkan mereka di sini, kita tidak tahu apa saja yang terjadi selama kita pergi."
Paige mengangguk-angguk. "Masuk akal." Sebenarnya sama sekali tidak masuk akal. "Bagaimana kita bisa mengurus mereka, kalau berdiri pun kita sudah tak kuat karena kelelahan?"
Chang kembali angkat bahu. "Bukan aku yang membuat peraturan. Beginilah cara kerja rumah sakit," Ia mengamati Paige, agak cemas. "Kau sanggup pulang sendiri?"
Paige menatapnya dan berkata dengan congkak, "Tentu saja."
"Hati-hati." Chang kembali menyusuri koridor.
Paige menunggu lift. Ketika pintu lift akhirnya membuka, Paige sudah bersandar ke dinding, tertidur pulas.
Dua hari kemudian, Paige sarapan bersama Kat.
"Kau mau dengar pengakuan mengerikan?" tanya Paige. "Kadang-kadang, kalau aku dibangunkan pukul empat pagi untuk memberikan aspirin
kepada seorang pasien, dan aku terhuyung-huyung di lorong, antara sadar dan tidak, dan aku melewati kamar-kamar tempat para pasien tidur nyenyak, rasanya aku ingin menggedor-gedor semua pintu dan berteriak, "Bangun semua!?" Kat mengulurkan tangan. "Selamat bergabung." Para.pasien beraneka macam. Segala usia dan warna kulit terwakili. Ada yang ketakutan, tabah, sopan, sombong, menuntut macam-macam, penuh pengertian. Mereka manusia yang tengah kesakitan.
Sebagian besar dokter berdedikasi tinggi. Dan seperti dalam setiap profesi lainnya, ada dokter yang cakap, ada pula yang tidak cakap. Ada yang muda, tua, serba kikuk, cekatan, menyenangkan, dan menyebalkan. Beberapa dari mereka, dalam satu atau lain kesempatan, melakukan pendekatan seksual terhadap Paige. Ada yang halus, ada pula yang kasar.
"Kau tak* pernah kesepian malam-malam" Aku sering. Mungkin kita bisa?"
"Jam kerja seperti ini benar-benar minta ampun, ya" Kau tahu apa yang bisa menambah tenagaku" Seks. Bagaimana kalau kita?"
"Istriku sedang ke luar kota beberapa hari. Aku punya pondok peristirahatan di dekat Carmel. Selama akhir pekan ini kita bisa?"
Dan para pasien. "Jadi, kau dokterku, heh" Kau tahu apa yang bisa menyembuhkanku?"
"Kemarilah, Sayang. Coba kulihat apa itu memang sungguhan"."
Paige mengertakkan gigi dan tidak menggubris mereka. Kalau Alfred dan aku sudah menikah, semua ini akan berhenti. Dengan memikirkan Alfred, ia merasakan kehangatan menyelubungi dirinya. Sebentar lagi Alfred akan pulang dari Afrika. Sebentar lagi.
Suatu pagi, ketika sedang sarapan sebelum kunjungan pasien, Paige dan Kat membicarakan pelecehan seksual yang mereka alami.
"Sebagian besar dokter selalu bersikap sopan, tapi ada beberapa yang menganggap kita di sini untuk melayani mereka," ujar Kat. "Hampir setiap minggu ada dokter yang coba-coba merayuku. "Bagaimana kalau kita mampir ke tempatku untuk minum-minum sedikit" Aku punya koleksi CD yang bagus." Atau di OR, kalau aku bertugas sebagai asisten, dokter bedahnya sengaja menyenggol dadaku. Sam orang gila malah bilang, "Kau tahu tidak, kalau aku pesan ayam, aku suka daging yang gelap.?"
Paige menghela napas. "Mereka pikir kita senang kalau diperlakukan sebagai objek seks. Aku lebih suka diperlakukan sebagai dokter."
"Tak sedikit dari mereka yang tidak senang kita berada di sini. Mereka mau tidur dengan kita, atau mau tidur dengan kita. Ini tidak adil. Wanita dianggap lebih rendah sampai kita membuktikan diri, dan pria dianggap lebih tinggi sampai mereka terbukti brengsek."
"Bidang kedokteran dikuasai pria," Paige berkomentar. "Coba kalau lebih banyak dokter wa-Jiita. Kita pasti bisa menyaingi mereka."
Paige sudah sering mendengar nama Arthur Kane disebut-sebut. Dokter itu terus-menerus menjadi sasaran gosip yang beredar di rumah sakit. Julukannya Dr. 007?diizinkan membunuh. Pemecahannya terhadap setiap masalah adalah operasi, dan ia memiliki jumlah operasi lebih besar di antara dokter-dokter Embarcadero County Hospital. Ia juga memiliki tingkat kematian tertinggi.
Ia botak, pendek, dan berhidung bengkok. Giginya kuning karena tembakau, dan badannya menggembung seperti balon. Lucunya, ia menganggap dirinya penakluk wanita. Para juru rawat dan resident selalu disebutnya sebagai "daun muda".
Paige Taylor termasuk daun muda. Kane melihatnya di mang santai dan duduk di mejanya, tanpa menunggu dipersilakan. "Aku sudah lama memperhatikanmu." Paige menoleh, terkejut. "Maaf?" "Aku Dr. Kane. Teman-temanku memanggilku Arthur." Suaranya bernada merayu.
Dalam hati, Paige bertanya-tanya berapa banyak temannya. "Bagaimana, kau betah di sini?" Pertanyaan itu di luar dugaan Paige. "Saya" lumayan."
Kane agak membungkuk ke depan. "Ini ramah sakit besar. Mudah sekali tersesat di sini. Kau mengerti maksudku, kan?"
Paige berkata dengan hati-hati, "Tidak."
"Kau terlalu cantik untuk tidak menonjol. Kalau mau maju di sini, kau perlu orang yang bisa membantumu. Orang yang tahu aturan mainnya."
Percakapan itu semakin tidak menyenangkan.
"Dan Anda mau membantu saya?"
"Betul." Kane memperlihatkan giginya yang kuning; "Bagaimana kalau kita membahasnya sambil makan malam?"
"Tak ada yang perlu dibicarakan," balas Paige. "Saya tidak tertarik."
Arthur Kane memperhatikan Paige berdiri dan pergi, dan roman mukanya tampak penuh dendam.
Para resident tahun pertama mengikuti jadwal rotasi dua bulanan, bergantian menekuni bidang obstetri, ortopedi, urologi, dan pembedahan.
Paige mulai menyadari bahwa pergi ke ramah sakit pelatihan untuk menjalani perawatan penyakit serius selama musim panas merupakan tindakan berbahaya, sebab banyak dokter staf sedang berlibur dan para pasien berada di tangan para resident muda. yang belum berpengalaman.
Hampir semua ahli bedah suka mendengarkan musik di ruang operasi. Salah satu dokter dijuluki Mozart dan satu lagi Axl Rose, berdasarkan jenis musik yang mereka gemari.
Entah apa sebabnya, operasi rupanya merangsang selera makan para ahli bedah. Mereka selalu berbicara soal makanan. Bukan hal aneh jika ahli bedah yang sedang mengangkat kantong empedu
yang terkena gangren tiba-tiba berkata, "Semalam aku makan di Bardelli"s. Masakan Itali terbaik di seluruh San Francisco."
"Kau sudah pernah coba kue kepiting di Cypress Club?""
"Kalau kau suka masakan daging sapi, coba makan eh* House of Prime Rib di Van Ness."
Dan sementara itu, seorang jura rawat membersihkan darah pasien yang berceceran.
Kalau tidak bicara mengenai makanan, para dokter membahas hasil pertandingan baseball atau football.
"Kau nonton pertandingan 49ers Minggu kemarin" Mereka pasti merasa kehilangan Joe Montana. Dia selalu bisa menyelamatkan mereka dalam dua menit terakhir."
Lalu keluarlah usus buntu yang pecah.
Kafka, pikir Paige. Kafka pasti suka suasana seperti ini.
Pukul tiga dini hari, ketika Paige sedang tidur di ruang istirahat dokter jaga, ia dibangunkan deringan telepon.
Sebuah suara parau berkata, "Dr. Taylor?Kamar 419?pasien serangan jantung. Anda hams cepat-cepat!" Hubungan telepon terputus.
Paige duduk di tepi tempat tidur, melawan rasa kantuk. Ia bangkit, terhuyung-huyung; Anda harus cepat-cepat! Ia keluar ke selasar, tapi tak ada waktu -untuk menunggu lift. Ia bergegas menaiki tangga, lalu menyusuri koridor lantai empat ke
Kamar 419. Jantungnya berdebar-debar. Ia membuka pintu dan terbengong-bengong. Kamar 419 ternyata gudang.
Kat Hunter mengikuti kunjungan pasien bersama Dr. Richard Hutton. Dokter itu berusia empat puluhan, kasar, dan selalu tergesa-gesa. Ia tak pernah menghabiskan lebih dari dua atau tiga menit untuk setiap pasien, mempelajari catatan mereka, lalu memberondong para resident bedah dengan berbagai perintah.
"Periksa hemoglobinnya dan jadwalkan pembedahan untuk besok"."
"Perhatikan catatan suhu badannya"."
"Cross-match empat unit darah?"
"Lepaskan"jahitan ini"."
"Ambil foto toraks"."
Kat dan para resident lain sibuk membuat catatan. Semuanya hampir kewalahan.
Mereka menghampiri seorang pasien yang sudah satu minggu dirawat di ramah sakit, dan telah menjalani serangkaian tes karena demam tinggi, namun tanpa hasil.
Ketika mereka keluar ke koridor, Kat bertanya, "Dia sakit apa?"
"Ini kasus HTYT," salah satu resident menjawab. "Hanya Tuhan yang tahu. Kami sudah melakukan pemeriksaan sinar-X, CAT scan, MRI, punksi lumbal, dan biopsi hati. Semuanya. Kami tidak tahu apa masalahnya."
Mereka pindah ke bangsal tempat seorang pa-
83 sien muda sedang tidur. Tampaknya ia telah menjalani pembedahan di kepala, sebab kepalanya masih dibalut. Ketika Dr. Hutton mulai membuka perbannya, pasien itu terbangun, terkejut. "Ada" ada apa?"
"Ayo, duduk," Dr. Hutton berkata dengan ketus. Anak muda itu gemetaran.
Aku takkan memperlakukan pasien-pasienku seperti itu, Kat berjanji pada dirinya sendiri.
Pasien berikut adalah pria tujuh puluhan yang kelihatan sehat Waktu Dr. Hutton menghampiri tempat tidurnya, pasien itu berteriak, "Gonzo! Kau akan kutim tut, bangsat!"
"Mr. Sparolini?"
"Mr. Sparolini apa" Gara-gara kau, aku jadi orang kasim."
"Mr. Sparolini, Anda telah setuju menjalani vasektomi, dan?"
"Itu kemauan istriku. Dasar brengsek! Tunggu saja sampai aku pulang."
Mereka membiarkannya menggerutu dengan kesal, fefflrg pto
"Kenapa dia?" salah satu resident bertanya.
"Dia bandot tua yang terlalu mengumbar nafsu. Istrinya yang masih muda punya enam anak dan tidak mau hamil lagi."
Pasien berikut adalah gadis cilik berumur sepuluh tahun. Dr. Hutton mempelajari catatannya. "Kau akan diberi suntikan untuk mengusir kuman-kuman jahat"
Seorang juru rawat mengisi alat suntik dan mendekati gadis itu.
"Jangan!" ia menjerit. "Aku tak mau disuntik! Sakit!"
"Kau takkan merasa sakit, Sayang," si juru rawat berusaha menenangkannya.
Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Kat.
"Kau takkan merasa sakit, Sayang"." Suara itu milik ayah tirinya yang berbisik-bisik dalam kegelapan mencekam.
"Kau akan menikmati ini. Rentangkan kakimu. Ayo, sundal kecil!" Dan ia mendorong kaki Kat sampai terentang, membenamkan alat vitalnya, dan membungkam Kat dengan sebelah tangan. Kat berusia tiga belas tahun waktu itu. Setelah malam itu, kunjungan ayah tirinya menjadi ritual yang mengerikan. "Kau beruntung punya orang seperti aku, yang mengajarimu cara memuaskan laki-laki," ayah tirinya sering berkata. Dan kemudian ia menindih Kat dan tak mau berhenti, biarpun Kat terisak-isak dan memohon-mohon.
Kat tak pernah mengenal ayah kandungnya. Ibunya petugas kebersihan yang bekerja malam hari di gedung perkantoran di dekat apartemen kecil mereka di Gary, Indiana. Ayah tiri Kat laki-laki berbadan besar yang cedera dalam kecelakaan di pabrik baja, dan hampir selalu tinggal di ramah sambil minum-minum. Pada malam hari, setelah ibu Kat berangkat kerja, ia masuk ke kamar Kat. "Awas kalau kau berani mengadu pada ibu atau
adikmu, kubunuh kau," ia mengancam. Dia tidak boleh menyakiti Mike, pikir Kat. Adiknya lima tahun lebih muda, dan Kat sangat menyayanginya. Ia melindungi dan membelanya mati-matian. Mike satu-satunya titik cerah dalam hidup Kat.
Suatu pagi, meski ngeri karena ancaman ayah tirinya, Kat memutuskan hams memberitahu ibunya apa yang telah terjadi. Ibunya akan menghentikannya, akan melindunginya.
"Mama, suami Mama datang ke tempat tidurku malam-malam kalau Mama sudah berangkat kerja, dan menggagahiku."
Ibunya mendelik sejenak, lalu menampar wajahnya dengan keras.
"Awas kalau kau sekali lagi berani mengarang cerita bohong seperti itu, dasar anak bejat!"
Kat tak pernah lagi menyinggungnya. Satu-satunya alasan ia tetap di rumah adalah Mike. Dia pdsti hancur tanpa aku, Kat berkata dalam hati. Tapi ketika tahu ia hamil, ia kabur dari rumah untuk tinggal bersama Ubinya di Minneapolis. Pada hari Kat lari dari ramah, hidupnya berubah total.


Tiada Yang Abadi N0th1ng Lasts Forever Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tak perlu cerita apa yang terjadi," Bibi Sophie berkata. "Tapi mulai sekarang, kau tak boleh kabur lagi. Kau tahu lagu yang dinyanyikan di Sesame Streefi It"s Not Easy Being Greenl Nah, Sayang, nasib orang kulit hitam juga tidak mudah. Ada dua pilihan untukmu. Kau bisa teras lari dan bersembunyi serta menyalahkan dunia atas masalah-masalahmu, atau kau bisa bangkit dan memutuskan untuk menjadi orang berarti."
"Bagaimana caranya?"
"Dengan menyadari bahwa kau berarti. Pertama-tama, Nak, kau harus punya cita-cita. Setelah itu, kau harus berusaha keras mewujudkan cita-citamu."
Aku tak sudi melahirkan bayinya, Kat memutuskan. Aku mau menggugurkan kandungan.
Semuanya dilaksanakan diam-diam, pada suatu akhir pekan, dan dikerjakan bidan kenalan bibi Kat. Seusai menjalani aborsi, Kat bersumpah dalam hati, Aku takkan pernah lagi membiarkan diriku disentuh laki-laki. Takkan pernah!
Minneapolis bagaikan negeri dongeng bagi Kat. Danau-danau dan sungai-sungai bisa ditemui dalam jarak beberapa blok saja dari hampir setiap rumah. Selain itu ada taman-taman yang tertata apik seluas lebih dari tiga ribu ekar. Ia berlayar di danau-danau dan naik kapal pesiar di Mississippi.
Ia mengunjungi kebun binatang bersama Bibi Sophie dan menghabiskah hari Minggu di Valleyfair Amusement Park. Ia berlibur di Cedar Creek Farm dan menonton satria-satria berbaju besi beradu tombak naik kuda di Shakopee Renaissance Festival.
Bibi Sophie memperhatikan Kat dan berkata dalam hati, Anak ini tak pernah menikmati masa kanak-kanak.
Kat mulai belajar menikmati hidup, tapi Bibi Sophie merasakan bahwa di lubuk hati Kat yang paling dalam ada tempat yang tak dapat diraih siapa pun, sebuah pembatas yang didirikannya agar terhindar dari sakit hati.
Kat berteman di sekolah. Tapi tak pernah dengan anak laki-laki. Semua temannya berkencan, tapi Kat lebih suka menyendiri, dan tak bersedia menceritakan alasannya kepada siapa pun. Ia menghormat! bibinya, yang sangat ia sayangi.
Semula Kat bersikap masa bodoh terhadap sekolah, dan tidak suka membaca buku, tapi Bibi Sophie mengubah semuanya itu. Rumahnya penuh buku, dan gairah membaca Sophie ternyata menular.
"Kau bisa menemukan dunia yang indah di dalam buku," ia memberitahu Kat. "Bacalah, dan kau akan belajar dari mana kau berasal dan ke mana kau menuju. Aku punya firasat kelak kau akan menjadi terkenal, Sayang. Tapi sebelumnya kau harus mengenyam pendidikan. Ini Amerika. Kau bisa meraih apa saja yang kauinginkan. Kau memang berkulit hitam dan miskin, tapi begitu juga beberapa wanita yang sekarang sudah menjadi anggota Kongres, bintang film, ilmuwan, dan tokoh olahraga. Suatu hari kita akan punya presiden kulit hitam. Kau bebas mengejar cita-citamu. Semuanya tergantung pada dirimu sendiri."
Itulah awainya. Kat menjadi murid terpandai di kelasnya. Ia gemar men*afa-Suatu hari, di perpustakaan sekolah, ia membuka buku Arrawsmith karangan Sinclair LeS^a"lterpeSOna oleh ki8ah dokter, muda yang penuh dedikasi. Ia membaca Promises to Keep karya Agnes Cooper, dan Woman Surgeon oleh
pr Else Rose, itu membuka cakrawala bam bagi Kat. Ternyata ada orang di dunia yang mengabdikan diri untuk menolong orang lain, untuk menyelamatkan nyawa. Ketika Kat pulang sekolah suatu hari, ia berkata pada Bibi Sophie, "Aku mau jadi dokter. Dokter terkenal."
4 Suatu Senin pagi, catatan tiga pasien Paige hilang, dan Paige disalahkan.
Hari Rabu, Paige dibangunkan pukul empat dini hari di ruang istirahat. Terkantuk-kantuk ia meraih gagang telepon. "Dr. Taylor."
Hening. "Halo" halo."
Ia mendengar bunyi napas. Kemudian ada bunyi klik.
Malam itu Paige tidak tidur lagi.
Pagi-pagi, ia berkata kepada Kat, "Entah aku mulai gila, atau ada orang yang benci padaku." Ia menceritakan pengalamannya kepada Kat.
"Kadang-kadang ada pasien yang menaruh dendam kepada dokternya," ujar Kat. "Coba kauingat-ingat?"
Paige menghela napas. "Ada puluhan orang." "Aku yakin ini bukan masalah serius." Paige berharap bisa seyakin Kat.
Menjelang akhir musim panas, ia menerima telegram yang telah lama dinanti-nantikannya. Telegram itu sudah menunggu di apartemen ketika Paige pulang larut malam. Bunyinya: Tiba San Francisco Minggu siang. Aku sudah tak sabar bertemu. Love, Alfred.
Akhirnya mereka akan bersama-sama lagi! Berulang-ulang Paige membaca telegram itu, dan setiap kali ia bertambah gembira. Alfred! Nama itu membangkitkan sejuta kenangan menyenangkan.
Paige dan Alfred sudah berteman sejak kecil. Ayah Paige dan ayah Alfred sama-sama termasuk tim medis WHO yang mengunjungi negara-negara dunia ketiga untuk memerangi penyakit-penyakit langka dan mematikan. Paige dan ibunya menyertai Dr. Taylor, yang bertugas sebagai pimpinan tim.
Paige dan Alfred menikmati masa kecil yang amat menyenangkan. Di India, Paige belajar bahasa Hindi. Pada usia dua tahun, ia tahu nama untuk pondok bambu yang mereka huni adalah basha. Ayahnya gorashaib, orang kulit putih, dan ia sendiri nani, adik perempuan. Ayah Paige biasa disapa dengan sebutan abadhan, pemimpin, atau baba, bapak.
Kalau orangtuanya sedang pergi, Paige minum bhanga, minuman memabukkan yang dibuat dengan daun ganja, dan makan chapati dengan ghi.
Dan kemudian mereka berangkat ke Afrika. Menghadapi pemalangan berikut.
Paige dan Alfred mulai terbiasa berenang di sungai yang dihuni buaya dan kuda nil. Binatang
91 peliharaan mereka adalah zebra, cheetah, dan ular. Mereka tinggal di pondok-pondok bundar tanpa .jendela yang terbuat dari anyaman kayu yang diolesi lumpur, dengan lantai tanah dan atap ilalang berben-tuk kemcut Suatu hari, Paige bertekad, aku akan tinggal di rumah sungguhan yang indah, dengan rumput hijau dan pagar kayu yang dicat putih.
Bagi para dokter dan juru rawat, cara hidup itu terasa berat dan melelahkan. Tapi bagi kedua anak itu, semuanya merupakan pemalangan tanpa akhir di negeri singa, jerapah, dan gajah. Mereka belajar di gedung-gedung sekolah bersahaja yang terbuat dari balok-balok kayu, dan kalau itu tidak tersedia, mereka belajar dari gum pribadi.
Paige anak yang cerdas, otaknya bagaikan spons yang sanggup menyerap apa saja. Alfred memujanya
"Suatu hari kau akan jadi istriku, Paige," kata Alfred ketika Paige berusia dua belas, dan ia sendiri empat belas.
Mereka dua anak serins, bertekad menghabiskan sisa hidup mereka bersama-sama.
Para dokter WHO merupakan pria dan wanita yang berbakti tanpa pamrih dan mengabdikan hidup untuk tugas mereka. Sering kali mereka terpaksa bekerja dalam keadaan yang luar biasa sulit. Di Afrika, mereka hams bersaing dengan para wogesha?dukun yang mengobati pasien-pasien berbekal ilmu yang diteruskan secara turun-temurun dan sering berakibat fatal. Obat tradisional suku Masai untuk luka dalam adalah olkilorite,
campuran darah sapi, daging mentah, dan sari akar misterius.
Untuk mengobati cacar, suku Kikuyu mengharuskan penderita dipukul-pukul dengan tongkat kayu oleh anak-anak untuk mengusir penyakit tersebut.
"Hentikan itu," Dr. Taylor selalu berpesan pada mereka. "Itu tidak membantu."
"Ini lebih baik daripada membiarkanmu menusukkan jarum ke kulit kita," mereka selalu membalas.
Para dokter bekerja di klinik-klinik yang berupa deretan meja di bawah pohon, untuk pembedahan. Mereka menangani ratusan pasien setiap hari, dan selalu ada antrean panjang yang menunggu dirawat?penderita lepra, penduduk setempat yang digerogoti TBC, batuk rejan, cacar, disentri.
Paige dan Alfred tak terpisahkan. Ketika mereka makin dewasa, mereka pergi ke pasar bersama-sama, ke desa yang jaraknya bermil-mil.
Sejak dini Paige sudah terbiasa dengan dunia kedokteran. Ia belajar merawat pasien, memberi suntikan, dan membagikan obat-obatan, dan ia memikirkan berbagai cara untuk membantu ayahnya.
Paige menyayangi ayahnya. Curt Taylor adalah orang paling baik hati yang pernah dikenal Paige. Ia benar-benar mencintai sesama manusia dan mengabdikan hidupnya untuk menolong mereka yang membutuhkannya, dan dorongan itu diwariskannya kepada Paige. Meski hams bekerja keras, ia selalu mempunyai waktu untuk putrinya. Dan
berkat ayahnya, ketidaknyamanan tempat-tempat
primitif yang mereka diami justru terasa menyenangkan bagi Paige.
Hubungan Paige dengan ibunya berbeda sama sekali. Ibunya berasal dari lingkungan orang kaya. Sikapnya yang dingin membuat Paige selalu menjaga jarak. Ketika menikah dengan dokter yang akan bekerja ,di tempat-tempat eksotis, ibu Paige membayangkan kehidupan yang romantis, tetapi kenyataan yang pahit telah mengecewakannya. Ia bukan wanita yang hangat dan penuh kasih sayang, dan tak henti-hentinya mengeluh.
"Kenapa kita hams tinggal di tempat yang sengsara ini, Curt?"
"Orang-orang di sini hidup seperti binatang. Kita bakal ketularan penyakit-penyakit mereka."
"Kenapa kau tidak berpraktek di Amerika Serikat saja dan menghasilkan uang seperti dokter-dokter lain?"
Begitu terus. Semakin sering ibunya mengeluh, semakin besar rasa kagum Paige terhadap ayahnya.
Ketika Paige berusia lima belas tahun, ibunya lari dengan pemilik perkebunan kakao besar di Brazil.
"Dia takkan kembali, bukan?" tanya Paige.
"Tidak, Sayang, Maafkan aku,"
"Aku senang!" Sebenarnya Paige tidak bermaksud berkata begitu. Ia sakit hati karena ibunya begitu tak peduli pada dirinya dan ayahnya, sehingga tega meninggalkan mereka.
Sampul Maut 4 Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Renjana Pendekar 2
^