Abarat 5
Abarat Karya Clive Barker Bagian 5
menyelamatkan sebanyak mungkin apa-apa yang bisa
diselamatkan dari kapal yang sedang tenggelam tersebut.
Peta berharga yang tadi sedang dilihat-lihat Tom dan Geneva diserahkannya pada
sang kapten untuk disimpan.
Sisanya - sejumlah makanan, beberapa jerigen air,
beberapa senjata - cepat-cepat diletakkan di dasar
sekoci. Geneva menarik napas panjang, mengucap syukur
pada dewi-dewi yang telah menyelamatkannya, lalu mulai melangkah menuju perahu
penyelamat sambil melayangkan pandang di perairan tersebut. la berharap Laut
Izabella mau mengembalikan kedua orang yang telah
ditelannya tadi. Sementara itu, ia melihat si naga belum tenggelam di bawah
gelombang. Makhluk itu sudah lemas karena kehilangan banyak darah, dan hampir-
hampir tak sanggup mengangkat kepalanya di atas air, tapi ia masih juga bertahan
berada dekat-dekat Belbelo, seolah-olah berharap masih bisa menyambar mangsa
yang diinginkannya. Air Laut Izabella tampak gelap oleh darahnya, dan dari
ombak-ombaknya mengepul uap berwarna
kekuningan, seakan-akan percampuran antara air asin dan cairan-cairan tubuh naga
itu menghasilkan semacam reaksi kimia.
"Apa kau melihat tanda-tanda Tom atau Mischief?"
sang kapten bertanya pada Geneva.
"Tidak," sahut Geneva dengan muram. "Sama sekali tidak."
"Di sini...," sebuah suara berkata pelan dari birai kapal.
Geneva melongok dari sisi kapal. Di sana, hampir-
hampir tak sanggup mengangkat kepala mereka di atas permukaan air yang
menggelegak, tampak John Mischief dan saudara-saudaranya. Beberapa saudaranya
kelihatannya sudah tak sadarkan diri. Dua di antara mereka bola matanya tampak
terbeliak, seperti sudah mati.
"Ya Tuhan," kata McBean. "Cepat kita angkat mereka ke sekoci."
Carlotti dan Geneva bersama-sama menyeret tubuh
Mischief dan saudara-saudaranya yang sudah lemas dari air, diangkat ke dalam
sekoci. Kemudian McBean mendorong sekoci kecil itu menjauhi kapal yang masih
terus tenggelam, lalu mendayungnya meninggalkan Belbelo, supaya mereka tidak
ikut terseret dalam pusaran yang timbul saat kapal tersebut karam.
Tanpa bicara Tria beranjak ke haluan sekoci kecil itu dan duduk di tempatnya
yang biasa. "Ada obat-obatan?" tanya Geneva. Dengan hati-hati ia melepaskan kemeja Mischief
yang robek dari balik celana panjangnya. Lubang-lubang bekas gigitan naga di
perutnya dan sisi-sisi tubuhnya tampak bergerigi dan dalam, serta masih
mengeluarkan darah. Carlotti beranjak ke bagian buritan sekoci, dan mengambil kotak perangkat P3K.
Ia membuka kotak itu dan mulai mengeluarkan beberapa buah perban serta kain
kasa. Geneva menekankan kedua tangannya pada luka-luka yang paling parah, supaya
tidak mengeluarkan darah lebih banyak. Kini mereka sudah berada pada jarak yang cukup
aman dari Belbelo. McBean berhenti mendayung dan menaikkan dayung-dayungnya.
"Biar aku yang mengurus Mischief sekarang," kata sang kapten pada Geneva. "Kau
mencari Tom." Ia menunjuk teleskopnya yang tergeletak di lantai
sekoci. "Pergilah," kata McBean. Kemudian dengan amat sedih ia melanjutkan, "Aku memang
sudah kehilangan Belbelo, tapi aku masih tetap kapten di sekoci ini. Pergilah
mencari Tom; tolong, Tuhan, temukan dia."
Geneva membiarkan McBean merawat Mischief. Ia
sendiri mulai mengamati perairan di sekitar tempat Tom telah dilemparkan oleh
cacing itu. Agak jauh dari sekoci kecil mereka, tubuh Belbelo yang sudah hancur mengerang
samar-samar ketika air Laut Izabella menderas masuk ke lubangnya. Sang kapten
sama sekali tidak mengangkat kepala. Ia meneruskan mengurus Mischief. Ia tak
ingin menyaksikan pemandangan tersebut. Suara derak-derik kapal yang sedang
karam itu semakin keras. Kayu-kayunya bergemeretak pecah. Tiang layarnya patah
dan roboh ke dalam air, memuncratkan air laut begitu tinggi, hingga seperti
tembok raksasa. Kemudian, sebelum tertutup sepenuhnya di bawah air, Belbelo berhenti terbenam
cukup lama, dan dalam kesunyian mencekam yang sekonyong-konyong timbul,
lonceng kapal tersebut terdengar berdentang.
Enam kali lonceng itu berbunyi, kemudian berhenti, dan untuk terakhir kalinya
air laut menyerbu kapal itu, gemuruhnya lebih keras daripada sebelumnya. Jauh
dari kedalaman di bawah sana terdengar satu bunyi
gemeretak menggemuruh untuk terakhir kali. Setelah itu, kapal kecil Kapten
McBean pun tenggelam dan bergabung dengan puluhan ribu kapal lainnya yang telah
ditelan oleh Laut Izabella selama berabad-abad.
Selama itu tak sekali pun sang kapten mengalihkan
tatapan dari pasien- pasiennya.
Ketika suara gemuruh tenggelamnya Belbelo akhirnya tak terdengar lagi, barulah
ia membuka suara. "Ada tanda-tanda Tom?"
"Sejauh ini belum ada," sahut Geneva yang masih mengamat-amati perairan
tersebut. "Dan bagaimana dengan cacing itu?" tanya sang kapten.
"Sudah lenyap," sahut Geneva. "Menyelinap pergi ketika kita sedang lengah.
Bagaimana Mischief dan saudara-saudaranya?"
"Rasanya beberapa di antara mereka ada yang
keadaannya lebih baik daripada lain-lainnya," sang kapten menjawab muram. "Aku
sudah berhasil menghentikan perdarahannya, tapi mereka semua masih belum
sadarkan diri." Ia memelankan suaranya, seakan-akan takut Mischief dan saudara-
saudaranya mendengar ucapannya. "Kondisi mereka tidak begitu bagus," katanya.
Pada saat itu Tria berbicara. Suaranya sangat pelan, sesuai dengan kulitnya yang
pucat. "Pulau Nonce," katanya.
Geneva mengalihkan tatapannya dari sosok Mischief
dan saudara-saudaranya yang menyedihkan, dan melihat Tria menunjuk ke sebelah
kiri. Seperempat mil dari mereka, air Laut Izabella tampak jauh lebih tenang. Awan-
awan badai sudah menipis, dan berkas-berkas sinar matahari menerobos di celah-
celahnya, menyinari sebuah pantai keemasan. Dan di belakang pantai itu tampak
daratan hijau tropis yang terbentang meninggi.
Geneva belum mendatangi Pulau Nonce lagi sejak
peristiwa tragis yang terjadi pada upacara perkawinan Finnegan dan Putri Boa.
Meski ia dan Tom sudah menebak bahwa Tria akan membawa mereka kemari, tetap saja
ia merasa berdebar-debar membayangkan kemungkinan
bakal kembali ke tempat tersebut.
"Hanya di Nonce ada harapan untuk Mischief dan saudara-saudaranya," kata Geneva.
"Bagaimana kalau salah satu dari mereka meninggal, sementara yang lainnya tetap
hidup?" tanya McBean.
"Itu dipikirkan nanti saja, kalau sudah benar-benar terjadi," sahut Geneva.
Kemudian ia menambahkan dengan suara lebih pelan. "Tapi mudah-mudahan saja itu
tidak terjadi." Sekonyong-konyong terdengar suara ketukan keras di sisa sekoci - sangat mirip
suara orang mengetuk pintu, minta diizinkan masuk. Geneva menoleh. Apa yang
dilihatnya benar-benar menggembirakan. Two-Toed Tom sedang berusaha mengangkat
dirinya dari dalam air ke atas sekoci. Geneva membantunya. Tom memanjat ke
dalam sekoci, lalu ambruk sambil terengah-engah di atas papan sekoci.
"Aku... takut... kalian berlayar pergi karena mengira aku sudah mati,"
"Kami tidak bakal meninggalkanmu," kata Geneva.
"Bagaimana nasib tukang gali kita?" sahut Tom, menoleh ke arah Mischief.
"Dia terluka parah. Kita sedang menuju Nonce, Tom.
Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan pertolongan untuk dia di sana."
"Luar biasa sekali, dia masih hidup," kata Tom terkagum-kagum. "Padahal tadi dia
sudah di dalam mulut naga."
"Memang," kata sang kapten. "Kalau mereka bisa bertahan hidup, mereka bakal
punya cerita hebat untuk disampaikan."
* * * Arus air Laut Izabella rupanya berpihak pada mereka.
Arus tersebut membawa sekoci mereka dengan cepat ke Pulau Nonce. Kondisi
Mischief dan saudara-saudaranya yang terluka tidak bertambah buruk selama dalam
perjalanan. Ketika pantai yang cerah oleh matahari itu sudah memanggil-manggil
di kejauhan sana, dan harum bunga-bunga memenuhi udara, semangat Geneva mulai
bangkit sedikit. Ketika mereka sudah berada sekitar enam ratus meter dari pantai, terasa ada yang
menyenggol sekoci kecil mereka dari bawah. Geneva beranjak ke sisi sekoci. Ia
bisa melihat karang-karang di bawah sana; air laut di situ dalamnya tak lebih
dari lima belas kaki. Pemandangan yang dilihatnya sangat indah: ikan-ikan
berwarna-warni, dalam berbagai bentuk dan ukuran, berenang
berombongan atau sendirian dengan senangnya di antara bongkah-bongkah batu
koral. Namun sesaat kemudian ikan-ikan itu bagai dilanda
kepanikan. Bersama-sama mereka berenang bergegas-
gegas menuju persembunyian, dan dalam sekejap sudah lenyap dari pandangan.
Geneva mulai menggumamkan doa, "Dewi-dewi,
dengarkanlah doaku dalam saat-saat sulit ini."
Hanya itu yang sempat diucapkannya. Pada saat itu
juga sebuah bercak hitam pekat menyebar di air, di bawah sekoci.
Geneva mundur dengan waspada dari sisi sekoci.
"Lindungi anak itu, Kapten," katanya, suaranya sangat pelan.
"Ada masalah?" gumam sang kapten.
" D?j? vu, " kata Geneva.
"Aku tidak terlalu yakin dia sudah..."
"Mati?" kata naga yang sekonyong-konyong muncul dari perairan yang gelap.
Sungguh pemandangan mengerikan. Pedang Geneva masih tertancap di
tenggorokannya, dan darah makhluk itu masih mengalir deras dari lukanya,
membasahi sisik-sisik di leher dan tubuh bagian atasnya yang semula gemerlapan.
Seluruh tubuhnya pun masih gemetar keras, seolah-olah naga itu bakal mengalami
kejang-kejang yang tak terkira
hebatnya. "Kau punya pistol, Kapten?" gumam Geneva.
"Ada di Belbelo..."
"Apa saja," kata Geneva. "Apa saja. Kiss Curl?"
Carlotti mencari-cari di dalam sekoci kecil itu, kalau-kalau ada sesuatu yang
bisa mereka gunakan untuk
membela diri. Namun gerakannya menarik perhatian
cacing itu, dan tanpa ragu makhluk tersebut menjulurkan tubuhnya ke depan. Kiss
Curl tak mungkin menghindar lagi.
Naga itu meliuk ke belakangnya, membuka mulut lebar-lebar, dan menelan Carlotti
bulat-bulat. "Tidak!" Geneva menjerit dan melemparkan diri ke arah Kiss Curl untuk meraih
temannya itu, sebelum ditelan oleh si naga. Namun naga itu menyentakkan
kepalanya ke belakang, seperti burung mencaplok ikan, dan Carlotti.
pun masuk ke perutnya, lenyap dari pandangan, tak
bersuara dalam kematian, seperti saat ia hidup.
"Bedebah!" kata Geneva, matanya basah oleh air mata amarah.
Naga itu memperdengarkan suara mengerikan dalam
tenggorokannya: suara tawa rendah yang hambar, tanpa nada gembira sedikit pun.
"Siapa berikutnya?" tanyanya, sambil mengamat-amati orang-orang lainnya.
"McBean?" bisik Geneva.
"Ya?" "Apakah ada cerawat di sekoci ini?"
"Aku yakin ada."
"Bisa kauambilkan?"
"Tentu." "Perlahan-lahan saja, Kapten. Jangan. Terburu. Buru."
Sang kapten bergerak sesuai instruksi Geneva. Dengan sangat hati-hati ia
mengangkat tempat duduk bagian tengah di sekoci itu. Di situ ada ruang
penyimpanan makanan untuk keadaan darurat dan - ya! - ada cerawat
juga. Sementara itu, si naga bergerak-gerak dan meliuk-liuk.
Jelas tampak bahwa tak lama lagi ia bakal ambruk. Tapi itu bukan berarti ia jadi
tidak terlalu berbahaya. Geneva tahu itu. Ia pernah melihat seekor naga membunuh
enam orang, padahal kepala naga itu sudah ditancapi pedang-pedang mereka.
"Ini," sang kapten berkata dengan suara oh-sangat-pelan, dan meletakkan cerawat
itu di tangan Geneva. Cerawat itu berat dan besar, tapi Geneva tahu bahwa ia tak perlu terlalu
memusingkan bidikannya; makhluk yang menjadi sasarannya toh sangat besar.
Apakah cacing itu melihat apa yang mereka lakukan"
la membuka mulutnya dan mengeluarkan suara meng-
gelegar, tapi suaranya lebih bernada kesakitan daripada marah; tubuhnya yang
menjelang ajal itu gemetar makin hebat seiring dengan setiap detak jantungnya.
Geneva mengacungkan cerawat itu. Satu mata si cacing yang masih berfungsi
berkedip-kedip. Sejenak hening, kemudian cacing itu berkata,
"Terkutuklah kau, perempuan?"
Dan Geneva pun menembakkan cerawat itu.
Tembakannya meninggalkan jejak merah berasap yang
tampak jelas bahkan dalam cahaya pagi yang tengah
menjelang. Bidikan Geneva cukup bagus. Cerawat itu melesat
masuk ke dalam tenggorokan si naga, dan untuk sesaat makhluk itu jadi tampak
seperti citra dirinya yang selama ini digambarkan dalam mitos-mitos: makhluk
dengan napas api dalam Testamen-Testamen Pottishak yang dihafalkan Geneva semasa
sekolah dulu. "Dan Naga Raksasa Cascatheka Rendithius mendatangi negeri itu seperti wabah
sampar. Dari tenggorokannya keluar api yang menghanguskan bumi...."
Ketika masih kecil, Geneva selalu ketakutan kalau
membayangkan peristiwa tersebut. Tapi sekarang, saat ia melihatnya dengan mata
kepala sendiri - naga yang
sebenar-benarnya, dengan api dari mulutnya - ternyata makhluk ini tidak terlalu
menakutkan. Bagaimanapun, makhluk ini cuma seekor cacing: dangkal, lirik, dan
kejam. Kemudian bubuk mesiu dari cerawat itu meledak. Dua lidah api putih yang terang
membutakan menyulut kedua mata monster itu. Naga itu menjerit; suara jeritan
yang keluar dari neraka perut-perutnya, dari kerongkongannya, dan dari
jantungnya yang tertusuk pedang.
Jeritan itu terdengar cukup lama, kemudian perlahan-lahan makin pelan, makin
pelan, dan akhirnya tak terdengar lagi.
Tubuh naga itu limbung, kedua matanya tinggal berupa lubang hitam, dan tanpa
mengeluarkan suara binatang itu roboh di atas tubuhnya sendiri, seakan-akan
tulang-tulangnya sudah berubah menjadi agar-agar. Ia tidak roboh ke kiri atau ke
kanan, melainkan di atas tubuhnya sendiri, di dalam air yang merah oleh darah,
ambruk dengan begitu anggunnya, hingga nyaris tidak meninggalkan gelombang di
permukaan air ketika akhirnya ia
lenyap dari pandangan. "Terima kasih dan selamat malam," sang kapten berkata dengan nada pahit.
"Cacing," kata Geneva, nadanya sama pahitnya dengan sang kapten. "Aku benci
sekali mereka. Dan sekarang mereka telah mengambil Kiss Curl. Aku bersumpah... aku
bersumpah tidak akan puas sampai semua naga sudah disapu bersih dari kepulauan
ini. Dan dari perairannya juga. Setiap ekornya." Ia menoleh pada Tom dan sang
kapten. "Setuju?"
"Setuju, " keduanya menjawab.
Setelah itu mereka bertiga berdiri dalam diam, mengheningkan cipta sejenak untuk
rekan mereka yang telah tiada.
Sementara mereka mengheningkan cipta, air Laut
Izabella membawa mereka perlahan-lahan ke pantai, sehingga saat mereka selesai
berdoa dan mengangkat kepala, lambung sekoci mereka sudah menyentuh pasir putih
halus Pulau Nonce.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita sudah sampai," kata Tria.
"Finnegan ada di suatu tempat di pulau ini?" tanya Geneva.
"Ya." sahut anak itu.
Tom menggelengkan kepala dengan perasaan tak
percaya. "Kita kembali ke tempat semuanya bermula," katanya.
Siapa sangka?" Mereka tidak bercakap-cakap lagi. Selama beberapa
saat berikutnya, dalam diam mereka mengangkat tubuh John Mischief dan saudara-
udaranya dari sekoci, membawanya ke bayang-bayang teduh pepohonan berbunga
yang berdiri berjajar di pantai itu.
26 RUMAH SI PEMBOHONG CANDY berjalan melintasi perbukitan yang naik turun.
Jalur jalan di hadapannya hanya diterangi bintang-
bintang. Sambil berjalan matanya terus menatap rumah berkubah yang aneh di
puncak bukit. Setiap langkahnya membuat ia semakin letih dan lapar. Ia sangat
berharap kedatangannya disambut ramah di rumah itu, dan mudah-mudahan di sana ia
akhirnya bisa membaringkan kepala untuk tidur. Seluruh anggota tubuhnya terasa
berat, dan kelopak matanya selalu ingin terpejam, hingga ia merasa seperti
sedang berjalan dalam tidur.
Ia menimbang-nimbang, apakah hendak berbaring di
tempat ini saja, meringkuk di rerumputan untuk tidur sejenak, sampai
keletihannya lenyap. Tapi dengan segera ia menepiskan rencana itu. Ia tidak tahu
binatang-binatang jenis apa saja yang tinggal di Ninnyhammer ini.
Jangan-jangan pulau ini dihuni oleh kodok-kodok
beracun, cerpelai-cerpelai pengisap darah, dan ular-ular ganas. Kemungkinan itu
tentu ada, mengingat macam-macam fauna aneh yang ia temui selama perjalanannya
di sini. Maka ia pun meneruskan berjalan, meski langkah kakinya makin pelan
karena kelelahan. Sekitar satu mil dari rumah itu, ia melihat sebuah pilar dengan platform kecil
di atasnya, yang mengobarkan api terang benderang. Barangkali ada dua belas
pilar lainnya di situ, semuanya mengobarkan api di puncaknya.
Kelihatannya pilar-pilar itu menandai batas-batas wilayah pemilik rumah
tersebut. Yang jelas, pilar-pilar tersebut menandai sesuatu, sebab begitu Candy
melewatinya, ia merasakan perubahan
samar dalam atmosfer sekelilingnya. Meski api pada pilar-pilar itu tidak terlalu
besar, cahaya yang dipancar-kannya sangat kuat, tidak sesuai dengan ukuran
pilar-pilar itu. Cahaya itu melipatgandakan bayang-bayang Candy dan membuat
tanah padat di bawahnya seakan-akan
meleleh di bawah kakinya.
Candy juga merasakan kehadiran makhluk-makhluk lain di dekatnya, meski karena
suatu sebab ia tak bisa melihat mereka. Barangkali mereka terlalu gesit untuk
bisa ditangkap oleh matanya yang sudah lelah. Bisa juga mereka tersembunyi di
antara rerumputan panjang. Atau mungkin juga mereka tidak kelihatan - mengingat ia
berada di Abarat, hal ini bukannya tak mungkin. Tapi kadang-kadang ia merasa
mereka menyapu mata kakinya, atau menyenggol bagian belakang kakinya.
Setelah beberapa saat, Candy mulai jengkel dengan
godaan mereka. "Siapa kalian?" kata Candy akhirnya. "Coba tunjukkan diri kalian. Aku paling
benci main sembunyi-sembunyian seperti ini."
Permintaannya segera mendapat reaksi. Dua ekor
binatang - ukurannya dua kali lebih besar daripada
kucing rumah, tapi jelas merupakan keluarga kucing juga - muncul dari balik
sekumpulan batu karang di dekat sana. Warna bulu mereka cokelat-kemerahan dan
jingga menyala, dengan garis-garis hitam serta mata besar bersinar-sinar.
"Kalian kelihatannya lapar," kata Candy pada mereka.
"Tapi percuma kalian memandangiku. Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan."
Sebagai jawaban, kucing yang lebih kurus mem-
perdengarkan bunyi meong melengking yang menggelitik bulu kuduk. Dalam tiga
puluh detik, enam ekor kucing dari persembunyian. Mereka semua mengamati Candy
dengan sangat tajam melalui mata mereka yang besar, seperti kedua kucing
sebelumnya. Candy merasa agak takut. Apakah kucing-kucing ini
sedang mengamat-amatinya untuk dimakan" Kalau tidak, kenapa mereka terus-menerus
mengikutinya begitu dekat, seakan-akan sedang mengendus-endus dagingnya"
Candy berhenti untuk kedua kali, menoleh pada
mereka, dan berkata, "Bisa tidak kalian berhenti memandangiku terus" Apa kalian
tidak tahu bahwa itu tidak sopan?"
Entah mereka mengerti atau tidak, yang jelas mereka tidak memberi respons.
Mereka masih juga mengikuti Candy, memandanginya dan terus memandanginya
sementara ia melangkah sepanjang jalan setapak sempit yang berkelok-kelok naik
menuju rumah berkubah itu.
Malah semakin dekat Candy ke rumah itu, semakin
gelisah kucing-kucing itu jadinya. Sekarang mereka bukan hanya mengikutinya dari
belakang. Mereka lari mendahuluinya, bolak-balik di depannya, seolah-olah ingin
membuat ia terjungkal. Sambil mondar-mandir mereka semua memperdengarkan suara
lengkingan nyaring seperti tadi. Kedengarannya seperti jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa. Perut Candy
jadi mulas mendengarnya. Akhirnya ia tidak tahan lagi. Dengan gesit ia meloncati kucing-kucing yang
menghalangi jalannya, lalu lari sekencang mungkin ke rumah tersebut. Kucing-
kucing itu mengejarnya, suara lengkingan mereka semakin meningkat dan tidak
terkendali lagi ketika Candy semakin mendekati ambang pintu rumah itu.
Ia bisa merasakan embusan napas mereka yang panas
di belakang kakinya saat ia berlari, dan ia khawatir salah satu yang paling
cepat dari mereka akan melompat
menerkamnya setiap saat, menancapkan kuku-kuku tajam di kakinya, hingga ia tak
bisa lari lagi. Sejauh ini ia berhasil mendahului mereka, tapi kejar-kejaran ini
membuatnya sangat lelah. Ketika ia mencapai rumah itu, napasnya terengah-engah,
paru-paru dan tenggorokannya serasa terbakar.
Ia menggedor-gedor pintu dan berteriak sekeras yang dimungkinkan oleh
tenggorokannya yan gpanas bagai
terbakar. "Ada orang di rumah?"
Tak ada jawaban. Ia menggedor-gedro lagi, memanggil-manggil dengan
keras. Pada saat itu, kucing-kucing sudah berhasil menyusulnya. Tapi, entah
kenapa, mereka tidak menyerangnya. Mereka hanya berjalan mondar-mandir, dua-
tiga meter di ambang pintu, sambil melolong-lolong nyaring.
"Tolong aku, tolong!" Candy berkata sambil kembali menggedor-gedro pintu.
Kali ini ia mendengar suara orang bergerak di balik pintu.
"Cepatlah," ia memohon.
Beberapa saat kemudian, pintu dibuka oleh seorang
pria bertampang masam yang mengenakan setelan ber-
warna kuning cerah. Tubuhnya pendek, tapi ia kelihatan lebih tinggi karena
mengenakan beberapa topi yang
bentuknya jelek di kepalanya. Semua topi itu dipakai bertumpuk satu sama lain.
la juga membawa satu topi di masing-masing tangannya, dan topi-topi itu pun
ditambah-kannya di atas tumpukan yang berantakan di kepalanya.
Kemudian ia mengambil sebatang tongkat panjang yang disandarkan di balik pintu
depan. Dengan tegas ia berkata, "Minggir, Nak," lalu ia keluar mengejar kucing-
kucing itu dengan tongkatnya.
"Pergi jauh-jauh, binatang-binatang jelek menjijikkan!"
teriaknya. "Kau, Nak, masuk ke dalam!"
Kucing-kucing itu tercerai-berai hingga berada pada jarak yang aman dari tongkat
laki-laki itu. Tapi kemudian mereka mulai mondar-mandir kembali sambil melolong-
lolong dengan suara melengking.
"Terima kasih," kata Candy pada penyelamatnya. "Aku yakin sekali mereka
bermaksud menyerangku."
"Oh, sudah pasti," laki-laki itu menjawab tanpa tersenyum. "Aku tidak ragu soal
itu. Mereka dikirim oleh setan sendiri untuk menyiksaku, kucing-kucing-Tarrie
sialan itu." "Kucing-kucing-Tarrie?"
"Ya. Kucing-kucing-Tarrie. Mereka mempunyai kota sendiri di sisi seberang pulau
ini. Namanya High Sladder.
Heran, kenapa mereka tidak tetap tinggal di wilayah mereka saja. Apa ada dari
mereka yang mencakarmu?"
"Tidak, mereka tidak mengapa-apakan aku. Aku cuma ketakutan karena mereka
mengejarku. Selain itu, suara yang mereka perdengarkan..."
"Mengerikan, bukan?" kata orang itu dengan masam. Ia mengibaskan tangan,
menyuruh Candy menepi, supaya ia bisa mengunci bagian atas, tengah, dan bawah
pintu. "Percayalah, kau mesti merasa takut pada makhluk-makhluk itu. Mereka semua
pernah menghabisi nyawa orang yang tidak tahu apa-apa."
"Masa?" "Berani sumpah! Anak-anak ada yang mati tercekik oleh bola-bola bulu mereka.
Bayi-bayi diisap darahnya sampai habis oleh kutu-kutu kucing-Tarrie yang
besarnya seukuran ibu jariku. Kau beruntung sanggup lari mendahului mereka.
Kalau tadi kau terpeleset dan jatuh, dalam sekejap mereka bakal langsung
menerkammu. Aku melihatmu dari jendelaku yang besar itu" - ia menunjuk ke atas
tangga, kemungkinan ke arah kubah rumah tersebut - dan aku juga membaca sedikit
mantra untukmu, supaya kau bisa lari lebih cepat. Mudah-mudahan itu bisa
menolong." "Yah, mantra itu pasti ada pengaruhnya. Buktinya, di sinilah aku sekarang."
"Ya, kau di sini. Dan aku senang melihatmu," Ia meletakkan togkatnya, lalu
berbalik pada Candy dan men-jabat tangannya. "Namaku Kaspar Wolfswinkel: filsuf,
tukang sihir, dan pakar sekaligus penikmat rum. Dan kau adalah...?"
"Candy Quackenbush."
"Quackenbush. Quack. En. Bush. Itu bukan nama khas Abarat"
"Memang-memang bukan. Aku cuma pendatang di sini, begitulah."
Wajah Kaspar yang berkerut-kerut dalam dan jelek
seperti tampak sangat terpesona.
"O ya?" katanya dengan nada sambil lalu. "Kau cuma pendatang" Dari..." Ia
membuat gerakan melingkar-lingkar di udara dengan satu jarinya. "Dari tempat
satunya itu, barangkali?"
"Dari Hereafter" Ya."
"Wah, wah," kata Wolfswinkel. "Jauh sekali perjalanan yang telah kautempuh. Dari
sana ke..." "Kemari?" kata Candy.
"Ya, begitulah. Dari sana kemari. Itu jauh sekali." la tersenyum, namun senyuman
itu tampak janggal di wajahnya yang lebih cocok memperlihatkan ekspresi muram
dan cemberut. "Wah, kau pasti tak bisa membayangkan betapa senangnya aku
mendapat kunjunganmu di rumahku ini."
"Apa Anda tinggal sendirian di sini?"
"Yah, kurang-lebih begitulah," kata Kaspar. la mengajak Candy ke ruang tamunya.
Melihat keadaan di situ, Candy jadi merasa ruang percetakan Samuel Klepp jauh
lebih rapi. Buku-buku, pamflet-pamflet, dan kertas-kertas bertebaran di mana-
mana, kecuali di sebuah kursi kulit empuk warna hijau. Wolfswinkel duduk di
kursi itu, sedangkan Candy dibiarkan berdiri saja. "Sebagian besar kerabatku dan
teman-temanku sudah meninggal," ia melanjutkan. "Menjadi korban-korban perang
yang dikobar-kan oleh kucing-kucing sialan itu" la menghela napas. "Dulu
Ninnyhammer ini tempat yang indah bagai-kan surga, sampai kemudian kucing-
kucing-Tarrie itu membangun pemukiman kumuh yang mereka sebut kota. Aku ini
sudah tua. Sudah setengah pensiun. Pulau ini mestinya merupakan pulau yang tepat
bagiku untuk menghabiskan hari tuaku.
Aku ingin bisa duduk-duduk nyaman sambil minum rum dan merenungkan perjalanan
hidupku. Apa-apa saja yang
telah ku lakukan, apa-apa saja yang belum kuselesaikan.
Kau tahu maksudku, tentunya. Tapi tentu saja tak ada yang kusesali."
"Oh," kata Candy. "Kurasa baguslah kalau begitu." Ia agak bingung harus berkata
apa mengenai urusan penyesalan ini, maka ia mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih dipahaminya.
"Anda pasti kesepian di sini," katanya.
"Ya," sahut Kaspar. "Aku jelas merasa kesepian. Tapi ada yang lebih berat
daripada kesepian. Yakni berbagai kenangan itu."
"Tentang apa?" Tentang keadaan di Ninnyhammer ini dulunya, sebelum kedatangan kucing-kucing-
Tarrie. Mereka mengubah pulau yang indah ini menjadi mimpi buruk. Sungguh.
Sekali-sekali aku keluar mengambil persediaan bahan bakar untuk api-api itu..."
"Api-api di tonggak-tonggak itu?"
"Ya. Setidaknya aku jadi bisa melihat musuh-musuhku dengan adanya api-api itu.
Tapi aku selalu ketakutan, kalau-kalau suatu saat nanti aku kehabisan bahan
bakar, dan..." "Api-api itu padam."
"Tepat sekali. Kalau itu sampai terjadi... wah... rasanya riwayatku bakal tamat,
dan Kaspar Wolfswinkel juga akan tinggal kenangan."
"Tentunya ada cara untuk menangkap kucing-kucing itu,"
kata Candy. "Di rumahku di Chickentown..."
"Apa" Chickentown" Apa itu Chickentown?"
"Itu nama kota tempat tinggalku. Atau lebih tepatnya, tempat aku dulu tinggal."
"Konyol sekali sebuah kota dinamakan demikian,"
Wolfswinkel berkomentar. Nada suaranya membuat Candy jadi agak defensif.
" Ninnyhammer juga nama yang aneh," katanya.
Sepasang mata Wolfswinkel menyipit licik. "Aku sebenarnya tidak berasal dari
pulau ini" katanya. "O ya" Lalu kenapa Anda tinggal di sini?"
"Ceritanya panjang sekali. Mungkin nanti saja kuceritakan padamu. Bagaimana
kalau kau duduk saja" Kelihatannya kau capek." Candy melayangkan pandang di
seputar ruangan itu, mencari-cari tempat untuk duduk. Melihat bahwa semua kursi
ada isinya, Wolfswinkel menggumamkan sesuatu dengan pelan dan membuat gerakan
singkat ke arah salah satu kursi yang lebih kecil. Tumpukan buku yang bertengger
di kursi tersebut meloncat menyingkir seperti sekumpulan burung yang terkejut.
"Sekarang duduklah" katanya.
"Bolehkah aku membuka sepatu?"
"Silakan saja. Akan kuambilkan makanan untukmu.
Anggap saja di rumah sendiri."
"Kakiku sakit sekali, mau mati aku rasanya."
"Aku dulu punya kenalan yang kakinya seperti itu. Kaki-kaki itu suka berjalan
menginjak-injaknya. Archie
Kashanian nama orang itu. Kalau bangun tidur, dia suka melihat jejak-jejak kaki
di sekujur dada dan wajahnya.
Akhirnya dia mati gara-gara kaki-kakinya itu."
Candy tidak tahu apakah Kaspar sedang bercanda
atau tidak. Ia takut Kaspar tersinggung kalau ia tertawa, maka ia berusaha
menahan diri, walaupun rasanya
sungguh tidak masuk akal membayangkan orang bisa mati karena diinjak-injak oleh
kakinya sendiri. Sekali lagi Candy mengubah topik pembicaraan.
"Di Hereafter," katanya, "ada petugas-petugas yang khusus menangkapi binatang-
binatang telantar dan men-carikan rumah baru untuk mereka. Kalau tidak ada yang
mau menampung hewan-hewan ini, mereka dibius mati."
"Mencarikan rumah?" kata Wolfswinkel, nadanya kaget dan tak percaya. "Siapa yang
mau menampung monster-monster itu" Tempat mereka di neraka sana; itu satu-
satunya rumah yang pantas untuk kucing-kucing-Tarrie itu.
Tapi mereka sukar ditangkap. Mereka gesit sekali.
Mereka mesti dikelabui. Dengan racun! Begitulah caranya.
Kaulihat sepiring ikan di meja dekat pintu itu" Ikan itu mengandung cukup asam
scathrassic untuk membunuh gerombolan mereka. Tapi mereka tidak percaya padaku."
Ia diam sejenak, kemudian menjentikkan jemarinya.
"Tunggu dulu," katanya. "Barangkali saja kau bisa lebih beruntung! Ya, aku yakin
kau bisa lebih beruntung!"
"Aku?" tanya Candy.
"Ya, kau! Kalau mereka melihatmu mengeluarkan piring ikan itu - mereka kan belum
begitu mengenalmu - mungkin mereka terkecoh dan mau memakannya." Ia tampak sangat
puas dengan rencananya ini. "Sikapmu mesti kelihatan biasa-biasa saja..." ia
hendak bangkit dari kursinya.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu!" kata Candy. "Aku tidak ingin mengecewakan Anda, Mr. Wolfwinkel,
apalagi Anda sudah begitu baik padaku. Tapi aku tidak mau disuruh meracuni
kucing." "Kalau mereka cuma kucing-kucing biasa, aku bisa memahami prgulatan batinmu,
Miss Quackenbush. Tapi mereka bukan kucing biasa. Mereka itu kucing-kucing
setan. Percayalah padaku. Kucing-kucing setan. Mereka sudah mencelakai banyak
orang-bukan hanya aku, tapi juga orang-orang malang yang tidak tahu apa-apa di
pulau seberang Ninnyhammer - dan diracuni dengan asam seatharassic itu sebenarnya
belum apa-apa dibanding hukuman yang selayaknya mereka peroleh, percayalah.
Kalau ada keadilandi langit sana, biar mereka disambar petir semuanya."
Sebelum Candy sempat menjawan ledakan kemarahan
tuan rumahnya ini, dari ruang sebelah terdengar suara.
"Suara apa itu?" tanyanya.
"Oh, cuma suara angin," Wolfswinkel cepat-cepat menjawab. "Tak usah dihiraukan."
"Kedengarannya tidak seperti suara angin," kata Candy sambil bangkit dari
kursinya. "Kedengarannya seperti suara orang. Orang menangis."
"Oh! Menangis! Hmmm, ya. Memang ada tangisan! Aku tak ingin membuatmu takut
waktu kau baru datang tadi, tapi memang ada beberapa pelayat di rumah ini
bersamaku." "Pelayat?" "Salah seorang sahabatku - sahabat yang amat sangat kusayangi - meninggal diserang
kucing-kucing-Tarrie itu kemarin; dan kami sedang mengadakan acara tutup peti
untuknya. Berkumpul bersama-sama untuk mengenangnya, sambil bertukar cerita
tentang kebaikan-kebaikannya semasa hidup."
"O ya?" kata Candy. Rasanya ada yang tidak benar dalam penjelasan tersebut.
"Kalau memang sedang ada acara tutup peti," katanya, "kenapa Anda mengenakan
setelan berwarna kuning cerah?"
Wolfswinkel memandangi setelannya yang kuning
seperti kunyit, lalu pura-pura memperlihatkan ekspresi terkejut. "Jadi, setelan
ini warnanya kuning?" katanya.
"Apa kau yakin?"
"Ya." "Aduh duh," katanya dengan nada memelas. "Kaspar yang malang. Kebutaannya sudah
makin parah rupanya."
"Maksud Anda, Anda tidak tahu setelan ini berwarna kuning?" kata Candy; ia
semakin yakin bahwa kecurigaannya beralasan, dan entah kenapa laki-laki kecil yang aneh ini telah
membohonginya. "Ya," kata Kaspar sambil menempelkan satu tangan di dahinya, seakan-akan apa
yang terjadi itu terlalu berat untuk ditanggungnya. Tapi Candy tidak begitu saja
percaya akan sandiwaranya. Sekarang ia ingin sekali mencari tahu, siapa yang
telah mengeluarkan suara tangisan yang didengarnya itu.
Ia bangkit dari kursinya dan beranjak ke pintu sebelah, tempat suara isakan itu
tadi terdengar. "Kalau begitu, di mana pelayat-pelayat itu berada?"
katanya sambil berjalan. Kaspar bangkit untuk mencegahnya, tapi ia kurang gesit.
Candy sudah keburu masuk ke ruang sebelah.
Seperti telah ia perkirakan, di ruangan itu sama sekali tidak ada peti jenazah,
jenazah, atau seorang pelayat pun. Yang tampak olehnya hanyalah sebuah ruangan
gelap yang berantakan. Di salah satu temboknya
tergantung foto Kaspar berukuran besar, sedang duduk di punggung seekor binatang
yang kelihatannya merupakan persilangan antara seekor trenggiling raksasa dan
onta. "Tidak ada acara tutup peti di rumah ini!" kata Candy dengan marah. "Kau
berbohong padaku. Aku tidak suka pembohong!"
Kaspar telah mengikutinya ke ruang sebelah. "Lalu kenapa memangnya kalau aku
berbohong?" sahutnya tak acuh. "Ini kan rumahku. Aku boleh saja berbohong di
rumahku, kalau aku mau. Aku juga boleh saja lari-Iari telanjang bulat keliling
rumah sambil teriak-teriak haleluya kalau itu yang kuinginkan."
"Apa tidak pernah ada yang mengajarimu bahwa
berbohong itu sangat tidak terpuji?"
"Mungkin aku tidak tahan untuk tidak berbohong," sahut Kaspar. "Mungkin aku
mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan, yang membuatku berbohong. Kaspar
yang malang." "Oh," kata Candy. "Apa benar kau mengidap penyakit semacam itu?"
"Mungkin ya. Mungkin tidak."
"Oh, sudahlah" bentak Candy yang kesabarannya sudah hampir habis. "Apa tidak
bisa katakan yang sebenarnya saja?"
"Hmmm... ya, bisa saja. Tapi apa asyiknya kalau begitu?"
"Tahu tidak?" kata Candy. "Percakapan ini konyol. Dan kau juga laki-laki kecil
yang konyol." la membalikkan badan dan mulai berjalan ke arah pintu ke luar.
"Aku tidak bakal melangkah ke luar sana kalau aku jadi kau. Kucing-kucing-Tarrie
itu masih ada di luar."
"Lalu kenapa memangnya?" sahut Candy. "Aku lebih suka ambil risiko berada di
luar bersama mereka daripada tinggal di sini lebih..."
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Kaspar sudah melangkah ke ambang
pintu, menghalangi jalannya.
"Apa-apaan ini?" kata Candy. "Minggir, jangan halangi aku."
Kaspar tidak menjawab. Ia hanya mengangkat satu
lengannya, menempelkan tangannya yang berjemari
gemuk pendek di wajah Candy, lalu mendorong.
Candy terjungkal ke belakang, kakinya tersangkut
keset yang kusut. Ia pun jatuh terduduk, tulang ekornya menghantam lantai.
Sakitnya bukan main, dan ia menjerit.
"Sebaiknya kauhentikan sikapmu yang suka sok menilai orang, Nona Cilik," kata
Wolfswinkel; sekarang wajahnya sama sekali tidak menampakkan sisa-sisa
kebaikannya tadi sedikit pun. Ia berdiri di atas Candy dan menatap mata Candy
lekat-lekat. "Percayalah, aku pernah berbuat yang lebih jahat dalam hidupku,
bukan cuma berbohong. Jauh lebih jahat." "Aku percaya," sahut Candy perlahan.
Ia hendak bangkit berdiri, tapi dengan gesit
Wolfswinkel menendang kedua kakinya, hingga ia terjatuh lagi. Sekarang ia mulai
merasa agak takut terhadap Wolfswinkel. Penampilan orang ini memang seperti
badut, dengan topi-topi konyolnya serta setelan kuningnya itu, tapi bukankah
sejak dulu ia juga agak takut pada badut"
"Aku ingin pergi sekarang," katanya pada Wolfswinkel.
"Ingin pergi, ya" Wah, sayangnya tidak bisa. Kau akan tinggal di sini
bersamaku." "Kau tidak bisa menahanku di sini. Aku bukan..."
"... anak kecil" Bagiku kau cuma anak kecil. Bagiku kau ini masih bayi. Bayi
yang tidak punya siapa-siapa untuk melindungi. Aku berani bertaruh, tak seorang
pun tahu kau ada di sini."
Candy tidak menjawab, namun sikap diamnya itu justru membuat Wolfswinkel yakin
bahwa dugaannya benar. "Aku tidak bohong tentang satu hal," kata Kaspar.
"Tentang apa" "Aku memang mengucapkan mantra ketika aku melihatmu. Aku berharap kau membuat
kesalahan dengan meng-abaikan kucing-kucing-Tarrie itu, padahal sebenarnya
mereka berusaha memperingatkanmu supaya tidak
datang kemari. Dan lihat, ternyata mantraku ampuh! Kau jatuh ke tanganku,
seperti seekor ikan kecil yang bodoh."
"Tadi aku seperti bayi, sekarang aku seperti ikan," kata Candy ketus. "Pilih
salah satu saja!" Semakin lama ia semakin takut pada Wolfswinkel,
namun ia tak ingin menunjukkannya.
"Aku salah," kata Kaspar. "Kau bukan bayi, juga bukan ikan. Kau ini sandera."
" Apa" " "Kaudengar, kan" Kau ini sandera. Aku berani bertaruh di luar sana ada orang-
orang yang bersedia membayar beberapa ribu zem untuk mendapatkanmu."
"Wah, kau bakal kecewa kalau begitu," kata Candy.
"Aku tidak punya teman satu pun di Abarat."
" Nah, sekarang siapa yang berbohong?" Wolfswinkel berkata sambil membungkuk
untuk mencolek Candy. "Kau pasti punya teman-teman. Gadis cantik seperti kau
tidak punya teman" Barangkali ada setengah lusin cowok yang tergila-gila
padamu." Candy tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
konyol itu. "Kalau begitu, kau tentunya punya keluarga."
"Tapi mereka tidak di sini," kata Candy. Sambil berbicara, ia mengira-ngira
seberapa cepatkah ia bisa meloloskan diri dari antara kedua kaki Wolfswinkel
untuk menuju pintu. "Orangtuaku ada di..."
"Chickentown?" "Ya." "Hmmm," kata Wolfswinkel. "Kita lihat saja. Aku pasti bisa menemukan seseorang
di sini yang menginginkanmu.
Seseorang yang bersedia membayar untuk memperoleh-
mu. Malingo" Di mana kau" Malingo! Tunjukkan dirimu padaku sekarang juga. Kalau
tidak, kusamak kulitmu buat dijadikan sepatu bot."
"Aku di sini," sebuah suara berkata dari atas. Dan di sana - bergelantungan dengan
kepala di bawah, dari sebuah palang di atap - tampak makhluk yang wajahnya menyerupai topeng Halloween.
Kulitnya berwarna jingga berbintik-bintik. Tepi-tepi kedua matanya berupa
lingkaran gelap, dan kedua pupilnya berupa irisan berwarna gelap juga. Di
kepalanya ada empat buah tanduk ber-bonggol-bonggol. Dua helai kulit liat
berbentuk kipas mengembang di kedua sisi kepalanya, sebagai pengganti telinga
normal. Ia mengenakan T-shirt yang sudah kotor, dan celana panjang yang lebih
kotor lagi. Penampilan makhluk itu pasti sangat menakutkan, kalau saja ekspresi wajahnya
tidak sesedih itu. Melihatnya, Candy jadi teringat isak tangis yang didengarnya
ketika ia baru datang di rumah itu. Pasti si Malingo inilah yang menangis.
"Cepat turun dan pegangi anak sial ini," Wolfswinkel memerintahkan. "Sekorang!"
"Aku turun, aku turun!"
Malingo mulai menuruni palang-palang kayu itu.
Tapi sebelum ia sampai di tanah, Candy sudah
meloloskan diri. Ia mendorong perut Kaspar dengan dua tangan, kemudian lari ke
pintu yang ada di antara kedua ruangan tersebut, dan melesat ke ruang depan.
Sekarang Malingo sudah berada di tanah. Candy bisa mendengar suara ketepuk
kakinya yang telanjang berlari mengejar di lantai ubin. Ia gesit sekali. Candy
belum lagi sampai di bagian tengah ruangan ketika Malingo berhasil
menangkapnya. "Jangan berontak," katanya lembut. "Bisa lebih buruk akibatnya untuk kita berdua
kalau kau melawannya, percayalah." Mendengar suara Malingo yang bernada lembut itu,
Candy mengangkat wajah dan membalas tatapannya. Ia sama sekali tak mengira akan
melihat sorot ramah dan manis terpancar dari mata itu. Wajah Malingo yang seram
seperti topeng Halloween ternyata menyembunyikan sifat yang jauh lebih lembut.
"Bawa dia kemari," Wolfswinkel berteriak. "Dan cepat-lah."
Dengan patuh Malingo menarik Candy menjauhi pintu
depan, masuk ke ruang kedua. Kaspar sedang berdiri di hadapan sebuah cermin
panjang, mengatur-atur letak topi-topi berbentuk aneh di kepalanya.
"Kusarankan kau menuruti nasihat Malingo," kata Wolfswinkel. "Jangan sampai kau
merasakan akibat yang tidak enak dariku."
Candy tidak mengacuhkannya. Ia masih terus meronta-ronta untuk membebaskan diri
dari cengkeraman Malingo.
Tapi sia-sia saja. Malingo jauh lebih kuat daripada dirinya. Selain sangat kuat,
Malingo juga mengeluarkan bau yang membuat kepala pusing - semacam bau pahit-pahit
manis campuran antara cengkeh, kayu manis, dan limau busuk.
"Dengar, Nak," kata Wolfswinkel, "kau mesti tenang.
Kau cuma bakal capek sendiri meronta-ronta begitu. Aku tidak akan
mencelakakanmu, asalkan kau bersikap baik."
Kaspar meninggalkan cermin itu dan berjalan ke
seberang ruangan. Di sana sekotak besar ubin sudah dicat berwarna biru terang.
Pada masing-masing sudut kotak itu ada sebatang lilin gemuk pendek.
"Lilin-lilin, menyalalah," kata Kaspar, dan dengan mengeluarkan suara pelan
seperti satu sentakan napas, masing-masing lilin itu menyala sendiri.
"Lebih terang!" perintah Kaspar. Lidah api lilin-lilin itu menjadi lebih
panjang, cahayanya mengalahkan lampu-lampu lain di ruangan tersebut.
"Nah" kata Kaspar; ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Candy. "Coba kita
lihat, rahasia-rahasia apa saja yang kausembunyikan dariku. Malingo, kau
sudah tahu apa yang mesti dilakukan."
Malingo mendorong Candy ke arah kotak bercat biru
itu. "Jangan khawatir," bisiknya. "Tidak akan sakit kok."
"Aku dengar ucapanmu," kata Wolfswinkel. "Heran, buat apa kau baik-baik pada
gadis itu. Dia toh tak ada manfaatnya bagimu."
"Aku hanya..." "Diam!" bentak Kaspar. "Masukkan dia ke dalam cahaya! Ayo!" Malingo kembali
mendorong Candy dengan pelan. Candy terdorong masuk ke dalam kotak tersebut.
Pada saat itu juga ia merasa seolah tubuhnya melewati sebuah pembatas tak
terlihat. Di dalam kotak itu ia merasakan tekanan yang aneh pada tubuhnya,
seolah-olah udara di dalam kotak lebih berat daripada udara di luar, dan udara
itu menekannya dari segala sisi. Ini sama sekali tidak menyenangkan. Tekanan
tersebut membuat ia sulit menarik napas, dan kepalanya pun berdenyut-denyut
sakit sekali. Bukan itu saja; berada di dalam kotak bercat itu, ia jadi terisolasi dari dunia
di luar. la bisa melihat Wolfswinkel memberikan perintah ini-itu pada Malingo,
tapi ia tak bisa mendengar suara apa pun. Jelaslah bahwa ada semacam tembok yang
tidak tampak di sekelilingnya. Ia menguji dugaannya ini dengan cara mengulurkan tangannya.
Jemarinya serasa menyentuh
lemak dingin. Udara berat itu membeku di kulitnya.
Rasanya memuakkan sekali, sampai-sampai Candy
menarik kembali tangannya sebelum ia sampai pada
batas-batas ketahanannya.
Sementara itu, Wolfswinkel sedang mengayun-ayunkan tongkatnya ke sana kemari,
seperti orang sedang menuliskan huruf-huruf di udara.
Lilin-lilin berkedap-kedip; kotak itu berdenyut-denyut di seputar Candy.
Sekonyong-konyong dengan ngeri Candy merasa ada
sesuatu yang menarik-nariknya. Bukan menarik tangannya atau lengannya, melainkan
suatu tempat di bagian tengah kepalanya. Tarikan itu tidak membuat sakit
kepalanya bertambah, tapi tetap saja ia merasa diserang. Seolah-olah Wolfswinkel
sedang merogoh-rogoh bagian dalam kepalanya untuk menarik sesuatu keluar. Ia
melihat bercak-bercak aneh berupa citra-citra yang muncul di udara, di ujung
tongkat Wolfswinkel. Setelah citra-citra tersebut menyatu dan terfokus utuh,
barulah ia menyadari bahwa ia mengenali citra-citra tersebut. Ada sepuluh, dua
puluh, tiga puluh gambar yang muncul, semuanya diambil dari memori-memorinya.
Tampak Followell Street 34, jalanan tempat ia begitu sering berdiri sambil
membayangkan tempat-tempat jauh. Tampak pula kamar
tidurnya, wajah ibunya, pekarangan sekolah, dan rumah Ibu Janda White yang
halaman depannya dihiasi kincir-kincir aneka warna.
Kelihatannya Wolfswinkel sama sekali tidak tertarik pada gambar-gambar tersebut.
Dengan jengkel ia mengibaskan tongkatnya, menghapuskan semua citra itu.
Lalu ia mengumpulkan tenaga untuk percobaan berikutnya. Serangkaian citra lain
muncul dari kepala Candy.
Lebih baru. Pertama-tama tampak mercu suar itu, dan dermaga reyot Hark's Harbor.
Kemudian ada Mischief dan Shape serta air Laut Izabella yang bergolak. Lalu ada
para Sea-Skipper, dan Yebba Dim Day.
Namun, di antara sekian banyak gambar yang sudah
akrab di mata Candy, ada satu yang tidak ia kenali.
Sebuah bentuk dari cahaya biru-kehijauan yang tampak seperti sepotong jalinan
pita pendek yang dibekukan. Ada butir-butir kristal kecil gemerlapan pada pita
itu. Dari salah satu ujungnya terpancar jalur-jalur cahaya terang yang memecah
menjadi titik-titik kecil sinar yang sangat benderang, sebelum akhirnya melebur
dengan udara. Melihat pemandangan tersebut, Wolfswinkel terdiam
sejenak, kedua pipinya yang sudah merah semakin
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memerah. Tampak ekspresi kaget yang amat sangat di wajahnya, ekspresi tak
percaya. "Wah wah wah, coba lihat itu," gumamnya.
Seulas senyum jahat dan licik mulai mengembang di
bibirnya. Dilepaskannya tongkatnya, dibiarkan berdiri sendiri. Ia meludah ke
telapak tangan, lalu menggosok-gosok kedua tangannya, dan menyekanya di kaki
celana panjangnya. Sekarang tangannya sudah siap, dan ia
mengulurkannya untuk mengambil benda aneh yang
dikeluarkannya dari dalam pikiran Candy. Benda yang tidak nyata itu (bagaimana
mungkin benda itu nyata, kalau terbuat dari pikiran semata-mata") ternyata bisa
menjadi cukup nyata dan berwujud setelah berada dalam genggaman tangannya.
Rasa sakit yang amat sangat menghantam tengkorak
kepala Candy ketika jemari Wolfswinkel berhasil
menguasai benda tersebut. Candy serasa melihat bercak-bercak cahaya putih di
sudut-sudut matanya. Dengan cepat bercak-bercak ini menyebar, dan dalam beberapa
saat saja ia sudah kehilangan penglihatannya.
Kedua kakinya sekonyong-konyong terasa lemas. Ia
tersungkur ke depan, menimpa dinding tak tampak di dalam kotak biru tempatnya
berada. Lalu ia pun ambruk di lantai.
Yang terakhir diingatnya adalah suara Malingo yang terdengar dari sebelah luar
kotak. Malingo tidak menyebutkan namanya, melainkan hanya berseru cemas. Untuk sesaat
suara teriakannya itu mendengung-dengung di kepala Candy yang berdenyut-
denyut sakit. Kemudian suara itu semakin pelan dan semakin pelan, dan ia pun tak
sadarkan diri lagi. 27 BERCAKAP-CAKAP DENGAN CRISS-CROSS MAN KETIKA Candy tersadar dari pingsannya, kepalanya
terasa sakit luar biasa. Tapi setidaknya ia tidak lagi berada di dalam kotak
"penjara" hasil ciptaan Kaspar Wolfswinkel. Sekarang ia terbaring di sebuah
chaise lounge beludru yang padat dan keras, bersama setumpuk buku tua. Ia duduk,
memegang dahinya yang berdenyut-denyut. Rasanya ia agak demam, kedua matanya
serasa terbakar di balik kelopak matanya kalau ia berkedip-kedip.
Wolfswinkel sedang berbicara di ruang sebelah,
kedengarannya itu gembira dan bersemangat.
"Ya... ya... aku tahu apa yang kuperoleh itu, percayalah! Kunci Piramida itu ada
di tanganku. Ada orang yang memasukkan Kunci itu ke dalam pikirannya, tapi aku
sudah berhasil memperolehnya sekarang."
Candy bangkit berdiri, mencoba melawan rasa pusing yang menyerangnya. Ia
beranjak ke pintu di antara kedua ruangan tersebut. Namun, saat ia mendekati
pintu itu, sesosok tubuh muncul di hadapannya, dari atas. Ternyata Malingo. Ia
bergelantungan dengan kepala di bawah, dari palang-palang di langit-langit. Ia
menempelkan satu jarinya yang panjang, jingga, dan agak bengkok itu ke bibirnya.
Candy menunjuk ke arah pintu, mengisyaratkan bahwa ia ingin melihat Wolfswinkel.
Tapi Malingo mengibaskan tangan, menyuruhnya menyingkir. Candy
menuruti perintahnya. Meski penampilannya mengerikan, ada sesuatu dalam sorot
mata Malingo yang membuat
Candy bukan saja menyukainya, tapi juga merasa bisa mempercayainya.
Malingo memanjat ke langit-langit, masih dengan posisi kepala di bawah, kemudian
merambat turun di tembok, menggunakan celah-celah kecil di permukaannya sebagai
tempat berpegangan untuk kaki dan tangannya. Setelah itu ia jungkir balik dan
melompat lincah ke tanah, sekitar tiga-empat meter dari Candy; ekspresi dan
posturnya tampak waspada, seolah-olah khawatir kalau-kalau ia bakal kena pukul
setelah bersusah payah hingga sejauh ini.
"Jangan takut," bisik Candy. "Aku tidak akan memukulmu. Kau tidak usah takut
padaku." Malingo beringsut-ingsut mendekatinya.
"Kau mesti keluar dari sini," ia berbisik. "Majikanku orang yang sangat kejam,"
"Kalian berdua membicarakan apa?" Wolfswinkel berteriak dari ruang sebelah.
"Perlihatkan dirimu, Nak!
Sekarang juga! " Candy tahu bahwa lebih bijaksana kalau ia mematuhi laki-laki kecil yang jahat
itu daripada mendebatnya.
Maka ia melangkah ke pintu, memperlihatkan dirinya.
Wolfwinkel sedang duduk di kursi kulit berlengan,
sambil berbicara di sebuah pesawat telepon antik.
"Aku sedang berbicara dengan seseorang yang sangat menaruh minat terhadapmu,"
katanya. "O ya?" sahut Candy sambil angkat bahu sedikit.
"Sepertinya kau cukup terkenal, Candy Quackenbush.
Setidaknya begitulah yang kudengar." Lalu ia kembali mengalihkan perhatian pada
orang yang sedang berbicara dengannya di telepon. "Ya, dia ada bersamaku sekarang. Dia berdiri
tepat di hadapanku. Oh, tingginya sekitar seratus enam puluh, seratus enam puluh
dua. "Jadi, apa yang mesti kulakukan dengannya, Otto"
Kira-kira berapa harganya di pasar bebas?" Rupa-rupanya lawan bicara Wolfswinkel
menjadi marah mendengar pertanyaan itu, sebab Wolfswinkel kemudian berkata, "Tenang dulu,
Otto. Aku cuma bercanda. Aku tahu Carrion menginginkannya. Tapi yang pantaslah.
Kalau dia menginginkan Kunci dan gadis ini sekaligus, aku ingin minta imbalan
yang memuaskan. Wajar saja, bukan"
Ninnyhammer" Tidak, aku tidak berminat pada
Ninnyhammer. Kalau semua urusan ini sudah selesai, aku tak ingin lagi melihat
pulau karang sialan ini. Tidak. Aku ingin jadi Penguasa Babilonium! Atau Commexo
City! Mana sajalah, asal jangan di sini. Aku sudah muak tinggal di pulau yang para
penghuninya dalam keadaan
setengah tertidur semua."
Orang yang ditelepon Wolfswinkel rupanya kembali
marah-marah. Wolfswinkel mendengarkan sambil
mengetuk-ngetukkan jemarinya yang gemuk pendek -
seperti jemari tukang potong ayam yang gemuk oleh
darah - di lengan kursinya yang sudah botak.
"Sudah selesai bicaramu, Houlihan?" kata Wolfswinkel akhirnya. "Sepertinya kau
lupa bahwa akulah yang memegang kartu penting di sini. Aku memiliki sesuatu yang
sangat diinginkan Carrion. Tidak, tidak, bukan gadis itu.
Kunci itu! Kunci itu ada padaku! Aku tidak tahu bagaimana Kunci itu bisa sampai
ke tangan gadis ini, tapi aku berani mempertaruhkan topi-topiku bahwa Kunci itu
asli. Aku tahu seperti apa rasanya kekuasaan. Dan Kunci itu memancarkannya."
Ia mengangkat tangan kanannya yang memegang
Kunci tersebut, dan dengan tak acuh ia mengamat-amati benda tersebut. Seulas
senyum puas menghiasi wajahnya saat ia mendengarkan jawaban dari orang yang
diteleponnya. Akhirnya ia berkata, "Candy" Kemarilah. Aku sedang bicara dengan temanku.
Namanya Otto Houlihan. Dia...
seorang perantara, dan dia ingin bicara denganmu."
Wolfswinkel memanggil dengan gerakan tak sabar.
"Cepatlah, Nak! Tunjukkan sikap sopan. Dia cuma ingin yakin kau benar-benar ada
di sini." Tapi Candy tidak mau mendekat.
"Ayo kemari," Wolfswinkel menggeram, wajahnya mulai merah karena marah.
"Pergilah," Malingo bergumam di belakang Candy.
"Dia cepat sekali naik darah."
Dengan sangat enggan Candy menghampiri
Wolfswinkel. "Ini dia, Otto," kata Wolfswinkel. Ia mengulurkan pesawat penerima telepon pada
Candy. "Seperti kubilang tadi, tunjukkan sikap sopan. Otto Houlihan teman
lamaku. Kami dulu satu sekolah."
Candy mengambil pesawat penerima itu dari tangan
Wolfswinkel dan mendekatkannya ke telinganya.
"Halo...?" katanya.
"Apakah ini Candy Quackenbush?"
"Ya, aku Candy Quackenbush."
"Hmm, kau gadis yang sangat beruntung."
"Benarkah?" kata Candy. Saat ini ia tidak merasa dirinya sangat beruntung. "Apa
sebabnya?" "Yah, kau bisa saja tewas karena membawa-bawa Kunci itu"
"O ya?" kata Candy. Sedikit pun ia tidak mempercayai ucapan orang ini.
"Bilang saja iya," Wolfswinkel menggerakkan bibir tanpa bersuara.
"Sebelumnya aku bahkan tidak tahu bahwa aku
membawa-bawa kunci?" kata Candy. Ia ingat Mischief telah menegaskan padanya
dengan sangat agar ia menyangkal memiliki Kunci itu.
"Katakan saja yang sebenarnya padaku," kata Houlihan. "Lebih baik bagimu kalau
kau mengaku, daripada nanti ketahuan juga."
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya."
"Aku tidak akan mengulangi peringatanku," kata Otto Houlihan, suaranya sekarang
tidak lagi ramah. "Dari mana kau mencuri Kunci itu?"
"Aku tidak mencurinya," sahut Candy. "Sudah kubilang aku bahkan tidak tahu Kunci
itu ada padaku." "Wolfewinkel mengatakan dia menemukan Kunci itu dalam pikiranmu. Apa kau menuduh
dia berbohong?" "Tidak," kata Candy. "Kalau dia mengatakan begitu, berarti dia memang menemukan
Kunci itu di situ." "Tapi kau tidak tahu bagaimana Kunci itu bisa sampai ada padamu"
"Tidak, aku tidak tahu." Sesaat hening di ujung sana.
"Boleh aku pergi sekarang?" tanya Candy. "Tidak ada lagi yang bisa kusampaikan
padamu." "Oh, aku yakin masih banyak yang bisa kauceritakan padaku," kata Houlihan,
sekarang suaranya benar-benar sudah kehilangan nada ramahnya. Ada kesan
mengancam dalam kata-katanya itu. "Tapi kita punya banyak waktu untuk bicara,
kalau nanti aku datang menjemputmu.
Panggilkan Kaspar. Tak lama lagi aku akan menemuimu."
"Dia ingin bicara lagi denganmu," kata Candy, diserahkannya pesawat itu pada
Wolfswinkel. "Kau sudah selesai bicara dengan gadis itu?" tanya Wolfswinkel pda Houlihan,
Kelihatannya Houlihan menjawab ya, sebab sekarang
Wolfswinkel mengibaskan tangan, menyuruh Candy pergi.
Candy beranjak ke ruang sebelah, merasa lega interogasi tersebut sudah selesai.
Mungkin aku bisa kabur dari sini, sementara
Wolfswinkel sedang sibuk bicara di telepon, pikirnya. Ia melangkah ke jendela
dan mencoba mengguncang-guncang pegangannya. Tapi jendela itu terkunci. Di luar
sana sedang turun hujan. Tetes-tetes air hujan menerpa kaca-kaca jendela yang
kecil. "Tidak ada jalan keluar. Setidaknya, tidak bisa dari situ."
Candy menoleh. Malingo sedang bergelantungan
dengan kepala di bawah, dari palang-palang di atas.
Candy menghampirinya. "Bisakah aku mempercayaimu?" tanyanya. Pertanyaan bodoh, tentu saja; Malingo
takkan mengaku kalaupun ia tak bisa dipercaya. Tapi ia toh mengangguk, seolah-
olah sudah tahu apa yang bakal dikatakan Candy selanjutnya.
"Kau harus menolongku," bisik Candy padanya. "Aku mesti keluar dari rumah ini."
Wajah Malingo yang tampak terbalik itu menunjukkan ekspresi mengibakan.
"Itu mustahil," katanya. "Kaupikir aku tidak pernah mencobanya selama bertahun-
tahun ini" Tapi Kaspar
selalu berhasil menangkapku lagi. Dan setelah berhasil menangkapku, dia
memukuliku dengan tongkatnya. Kau tentunya tidak ingin mengalami yang seperti
itu" "Aku akan ambil risiko dipukuli," kata Candy. "Si Otto Houlihan ini akan datang
mengambilku. Dan aku benar-benar tak ingin berada di sini kalau dia datang
nanti" Malingo tampak semakin cemas. la berayun-ayun ke
depan ke belakang dari palang-palang itu, sambil
menyanyikan sebuah lagu pendek:
"Houlihan, Houlihan,
Si Criss-Cross Man, Si Criss-Cross Man. Panggil orang suci untukmu, panggilkan
Panggil cepat Secepat kaudapat Houlihan akan datang, Si Criss-Cross Man.. "
"Wah, lagumu tidak banyak gunanya" kata Candy.
"Aku perlu pertolongan, tapi kau malah bergelantungan sambil bernyanyi-nyanyi
seperti orang sinting."
"Aku tidak sinting." protes Malingo. "Aku cuma sudah capek dipukuli terus.
Dengan menyanyi, aku jadi lebih terhibur."
Ia mulai bergoyang-goyang lagi, kedua lengannya
memeluk tubuhnya. Sosoknya benar-benar menampakkan keputusasaan.
"Coba dengar," kata Candy; ia memegangi bahu Malingo, untuk memelankan gerakan
berayun-ayun Malingo. "Kita berdua menginginkan hal yang sama. Kau ingin keluar dari sini,
begitu pula aku," "Kalian berdua mengocehkan apa di dalam sana?"
Wolfswinkel berteriak dari ruang sebelah,
"Tidak mengocehkan apa-apa," Malingo menyahut dengan nada mengibakan.
"Tidak mengocehkan apa-apa" Tidak ada orang yang berisik tapi tidak mengocehkan
apa-apa, kecuali dia orang tolol tak berotak, Apakah kau seperti itu, Malingo?"
"I... i... ya, Sir."
"Nah, ucapkan keras-keras, supaya semua bisa
mendengar! Kau itu apa?"
"Aku... lupa, Sir."
"Orang tolol tak berotak. Ucapkan! Ayo! Ucapkan: Aku ini orang tolol tak
berotak, Sir." "Kau ini orang tolol tak berotak, Sir."
Wolfswinkel membanting pesawat teleponnya keras-
keras. "APA KAUBILANG?"
"Maksudku: Aku yang bodoh, Sir. Aku! Aku! Aku ini orang tolol tidak pakai otak,
Sir." "Kau tahu saat ini aku sedang apa, Malingo?"
"Tidak, Sir." "Aku sedang mengambil tongkatku. Dan kau tahu apa artinya itu, bukan?"
Candy melihat dua butir air mata merebak di mata
Malingo, mengalir di dahinya, dan menetes di karpet.
"Kemari, Malingo."
"Jangan ganggu dia!" protes Candy. "Kau membuat dia ketakutan."
Tutup mulutmu, atau kau yang berikutnya! Malingo"
Kemari kau, tikus kecil jelek!"
Candy melangkah ke pintu. "Tolonglah. Tadi aku yang bicara, bukan dia."
Wolfswinkel menggeleng-gelengkan kepala.
"Buat apa kau membela dia?" tanyanya. "Oh, aku tahu.
Kau sedang berusaha membujuknya supaya bersedia
membantumu, kan?" Ia tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang sebagian besar
sudah membusuk. "Nah, coba dengar ya. Malingo itu makhluk jenis geshrat. Dan
geshrat-geshrat itu semuanya pengecut, termasuk yang terbaik di antara mereka
sekalipun. Dan Malingolah yang paling pengecut dari antara mereka. Kemari,
Malingo. Sekarang juga! " Candy mendengar suara gedebuk pelan saat Malingo
melompat dari atas palang-palang. Tak lama kemudian ia muncul di pintu.
"Kumohon, Sir, jangan, Sir," pintanya; kata-katanya menjadi suatu permohonan
mengibakan. " Kubilang kemari! SEKARANG JUGA! Kalau aku sampai harus menunggu satu detik
lebih lama lagi..."
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malingo tidak lagi berusaha memohon belas kasihan. Ia mulai melangkah ke arah
Wolfswinkel, sambil mencuri-curi pandang dengan sangat sedih pada Candy, seolah-
olah merasa malu dipukuli di depan Candy.
"Berlutut," perintah Wolfswinkel, "SEKARANG! Mendekat padaku dengan berlutut.
Perlihatkan punggungmu!"
Malingo berlutut dan beringsut-ingsut mendekat ke arah tukang sihir itu.
"Kumohon...," Candy memulai.
"Kau ingin dia dihukum lebih berat lagi?" kata Wolfswinkel dengan nada dingin.
"Tidak," kata Candy. "Tentu saja tidak."
"Kalau begitu, tutup mulut. Dan jadi penonton saja.
Mungkin kau bakal dapat giliran berikutnya. Aku sama sekali tidak merasa
bersalah kalau harus memukuli
perempuan, percayalah."
Aku percaya, pikir Candy. Dan pada saat itu rasa benci yang amat sangat
berkobar-kobar di hatinya terhadap Wolfswinkel. Tak terbayang rasanya membenci
orang dengan tingkat kebencian seperti yang dirasakannya ini.
Tapi ia tidak berani membuka suara. Sebab Malingo
berada di bawah kaki orang jahat ini, dan sebentar lagi akan dipukuli karena
tadi berani berbicara. "Ambilkan aku segelas rum, Nak," kata Wolfswinkel.
"Dan tersenyumlah, Nak, tersenyumlah!"
Dengan susah payah Candy berusaha menunjukkan
tampang ceria. "Nah, sekarang ambilkan minumanku! Ada di meja ruang tamu. Sana! "
Candy membalikkan badan dan kembali ke ruangan
tempat ia tadi bercakap-cakap dengan Malingo.
Ada sebuah meja besar berukiran rumit di dinding
pojok. Di situ tampak sebuah karaf dari kristal, dan sebuah gelas kecil.
Candy membuka tutup karaf tersebut. Pada saat yang sama, matanya tertuju pada
lima lukisan yang digantung berderet di tembok, di atas meja tersebut. Semuanya
berupa potret: ada dua wanita dan tiga pria. Di bawah potret-potret itu ada nama
mereka masing-masing: Jengle Small, Dokter Inchball, Hetch Heckler, Biddy
Stuckmeyer, dan Deborah Jib. Tak ada apa pun yang menunjukkan
bahwa kelima orang itu saling bersaudara atau punya kaitan tertentu satu sama
lain, kecuali barangkali ada satu persamaan. Mereka semua memakai topi. Topi
dari jenis yang sama - tidak, malah topi-topi yang sama persis -
dengan topi-topi yang tertumpuk tidak keruan di kepala Kaspar Wolfswinkel.
Ketika sedang asyik mengamat-amati kejanggalan
tersebut, Candy mendengar suara tongkat Wolfswinkel bersiul di udara dan
mendarat di punggung Malingo. Ia tersentak ngeri. Pukulan pertama segera disusul
dengan pukulan kedua, lalu ketiga, dan keempat, dan kelima.
Setiap satu pukulan ia mendengar isakan pelan Malingo.
la bisa memahami air mata yang menyayat-nyayat hati itu. Ia sendiri pernah
menangis seperti itu setelah dipukuli ayahnya. Air mata lega karena siksaan itu
sudah selesai untuk saat ini. Dan air mata ketakutan bahwa pukulan itu akan
dialaminya lagi pada saat yang tak disangka-sangka. Ayahnya tidak memukuli
dengan tongkat, tapi ia punya cara sendiri untuk menimbulkan rasa sakit.
Dengan tubuh gemetar oleh amarah dan perasaan tak
berdaya, Candy menuang rum itu ke dalam gelas - dalam hati ia berharap tukang
sihir itu mati tersedak ketika meminumnya - kemudian ditutupnya kembali wadah itu,
dan ia pun beranjak membawakan minuman itu untuk
Wolfswinkel. Suara pukulan masih terus terdengar, namun berhenti ketika ia
melangkah masuk. Malingo tampak meringkuk seperti bola kecil yang
kesakitan dan penuh air mata di kaki Wolfswinkel.
Sosoknya seperti binatang yang sedang dihukum. Si
tukang sihir tampak kehabisan napas. Dadanya ber-
gemuruh keras. " Rum-nya! Rum-nya!" katanya, memanggil Candy.
Ia mengambil gelas itu dari tangan Candy.
"Pergi sana!" teriaknya.
Malingo merangkak pergi cepat-cepat, merayap naik
di tembok, melewati bagian atas pintu, dankembali ke tempat bergelantung
kesukaannya - begitulah perkiraan Candy. Kembali berayun-ayun di atas sana sambil
menyanyikan lagu tentang Houlihan dan orang suci.
Wolfswinkel mengosongkan isi gelas itu sekali tenggak.
"Ambilkan lagi! Ambilkan lagi!" katanya sambil menyodorkan gelasnya yang sudah
kosong. "Mana karafnya, Nak?"
"Aku tidak membawanya."
"Tidak membawanya, anak tolol" Ambil sana! "
Wolfswinkel mengayunkan tongkatnya kea rah Candy
dan nyaris saja mengenai hidung Candy.
Candy menjauh dari Wolfswinkel yang berkeringat,
sebelum tukang sihir itu sempat melayangkan pukulan kedua padanya, lalu ia
menyingkir ke jarak yang aman dari pukulan.
Sambil menyumpahi Wolfswinkel dengan pelan, meng-
gunakan kata-kata kasar yang diambilnya dari kosa kata ayahnya, Candy menuju
ruang sebelah untuk mengambil karaf itu.
28 JIWA SANG BUDAK DUGAAN Candy tentang Malingo ternyata benar.
Malingo memang sedang berayun-ayun dari palang-
palang di atap, air matanya menetes-netes di dahi, membasahi karpet di bawahnya.
" Kita mesti keluar dari sini," Candy menggerakkan bibirnya tanpa bersuara.
Malingo menggelengkan kepala, ekspresinya benar-
benar putus asa. Candy mengambil wadah rum itu dan kembali ke ruang depan. Ketika ia mencapai
pintu, telepon berdering.
Wolfswinkel mengangkat gagang telepon, dan menyodorkan gelasnya yang kosong pada
Candy, agar diisi kembali. Candy melihat ia telah meletakkan tongkatnya. Tongkat itu tergeletak di lengan-
lengan kursinya. Bagaimana kalau ia melemparkan wadah minuman ini
pada Wolfswinkel, dan sementara Wolfswinkel berusaha menangkap wadah itu, ia
akan mengambil tongkat di kursi dan mencoba kabur ke pintu depan" Tidak; percuma
saja. Kalaupun ia berhasil keluar dari sini - siapa yang tahu perangkap apa saja yang
telah disebar Wolfswinkel di seputar rumahnya untuk mencegah korban-korbannya
melarikan diri" - itu berarti ia meninggalkan Malingo.
Ia tak sampai hati melakukannya. Meski mereka baru dua menit bercakap-cakap, ia
merasa bertanggung jawab terhadap Malingo. Mereka mesti keluar dari sini
bersama-sama. Ia menuangkan rum lagi bagi tukang sihir itu.
Wolfswinkel sama sekali tidak memperhatikan apa yang dilakukannya. Apa pun yang
dikatakan si peneleponnya di ujung sana telah membuat ia sangat gembira.
"Dia ingin bicara dengan ku?" katanya. "Sungguh?"
Ia menenggak gelas berisi rum itu, lalu menyodor-kannya pada Candy untuk diisi
kembali. Candy me- menuhinya dengan gembira. Berdasarkan pengalaman, ia tahu akibat yang
ditimbulkan minuman keras terhadap pikiran yang jernih. Otak menjadi tumpul dan
berkabut. Ia memperkirakan bahwa tukang sihir yang mabuk tidak
bakal bisa berfungsi dengan semestinya, dan itulah yang ia inginkan saat ini.
Wolfswinkel mengosongkan gelas ketiga itu dengan
kecepatan yang sama seperti dua kali sebelumnya. Lalu ia minta rum lagi untuk
keempat kalinya. Namun, sebelum gelas itu sampai di bibirnya, keseluruhan
sikapnya berubah, dan ekspresi hormat yang aneh meliputi
wajahnya. "Penguasa Tengah Malam yang mulia," katanya. "Ini sungguh suatu kehormatan,
Sir." Penguasa Tengah Malam" pilar Candy. Rupanya ia sedang berbicara dengan
Christopher Carrion, sang
Pangeran Kegelapan sendiri. Apa kira-kira topik yang sedang mereka bahas"
Kelihatannya Candy-lah yang menjadi topik itu.
"Ya, tuanku, dia ada di sini," Wolfswinkel berkata. "Dia ada di sini, di
sampingku." Hening sejenak. "Kalau boleh kukatakan, Sir, menurut pendapatku dia
sama sekali bukan makhluk istimewa. Dia... cuma gadis biasa. Seperti kebanyakan
gadis-gadis: istimewa tapi juga tidak
istimewa." Hening lagi sejenak, sementara Wolfswinkel mendengarkan. "Oh, ya,
Sir, aku sudah bicara dengan Otto Houlihan. Dia akan datang kemari untuk
mengambil Kunci itu." Hening lagi. "Dan gadis itu juga" Oh ya, tentu saja. Dia
milik Anda." Wolfswinkel menenggak minumannya dan sekali lagi
menyorongkan gelasnya untuk diisi kembali. Tapi wadah minuman itu sudah kosong.
Dengan kesal Wolfswinkel memberi isyarat pada Candy untuk mencari minuman lagi.
Kalau melihat kedua tangan Wolfswinkel yang agak
gemetar, serta kedut-kedut di bawah mata dan mulutnya, Candy mendapat kesan
bahwa ia merasa terintimidasi hingga ke tulang sumsumnya yang pengecut itu,
meski ia juga merasa tersanjung bisa berbicara langsung dengan sang Penguasa
Tengah Malam sendiri. Candy beranjak ke ruang sebelah, untuk mencari
minuman lagi. la tak perlu jauh-jauh mencari. Ada sebuah botol di meja. Saat ia
sedang berusaha membuka tutupnya, matanya kembali menatap potret-potret yang digantung di tembok.
"Siapa orang-orang ini?" ia bergumam pada Malingo.
Perlu waktu sejenak bagi geshrat itu untuk tersadar dari perasaan sedih yang
menyelimutinya. Setelah tersadar, barulah ia berbisik:
"Mereka semua temannya. Sesama anggota Kelompok Penyihir Nonce. Tapi kemudian
dia bersumpah setia pada King Rot..."
"Siapa?" "Carrion." "Oh. King Rot. Aku mengerti. Apa yang dia lakukan, setelah bersumpah setia?"
"Dia membunuh mereka."
"Apa" Dia membunuh teman-temannya sendiri?"
"Rum! " Wolfswinkel berteriak.
"Kenapa?" " RUM!" Wolfswinkel sudah ada di depan pintu sekarang,
dengan gelasnya yang kosong. Wajahnya merah padam
akibat minuman keras dan perasaan gembiranya, seperti sebutir tomat mengilap
yang bertengger di atas pisang yang terlalu matang.
"Itu tadi," katanya sambil menggerakkan tangan dengan sikap angkuh, "adalah
Penguasa Tengah Malam sendiri. Kaulihat, hari pembebasanku sudah dekat, dan
semuanya berkat dirimu." Ia tersenyum miring pada Candy, memamerkan deretan
giginya yang jelek. "Saat yang sangat indah, Nona, waktu kau datang mengetuk
pintuku. Kau telah mengubah hidupku. Coba bayangkan.
Siapa mengira tikus kecil jelek seperti kau ternyata menjadi kunci pembawa
kebebasan bagi Paman Kaspar?"
Ia berjalan mendekat dan mencubit pipi Candy, seolah-olah Candy adalah anak
kecil, dan ia sendiri seorang kerabat yang penuh sayang.
"Beri aku segelas rum lagi, Nak," katanya. "Buat aku senang sampai Otto datang.
Dengan begitu, mungkin aku tidak bakal memukulimu sampai babak belur."
Candy membuka tutup botol minuman dan menuangkan
isinya ke gelas hingga penuh. Saat Wolfswinkel mendekatkan gelas itu ke
bibirnya, Candy mengambil kesempatan tersebut dan sengaja membiarkan botol itu
lepas dari jemarinya. Botol itu pecah di lantai, di antara mereka, dan tercium
bau rum yang tajam. " Dasar anak tol..."
Candy tidak memberi kesempatan pada Wolfswinkel
untuk menyelesaikan makiannya. Dengan kedua tangannya ia mendorong dada
Wolfswinkel. Kebanyakan minum rum telah membuat Wolfswinkel tak bisa berdiri
kokoh. Ia terhuyung-huyung, berusaha memperoleh keseimbangan.
Sementara itu, Candy menyelinap ke pintu, menuju ruang sebelah.
Tampak olehnya tongkat Wolfswinkel masih tergeletak di lengan kursi.
Tanpa memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk mempertanyakan atau
meragukan tepat tidaknya langkah yang akan diambilnya, Candy meraih tongkat
tersebut. Tongkat itu bergetar dalam genggamannya, seolah-
olah tidak rela dipegang oleh orang tak dikenal. Tapi Candy tak mau diintimidasi
oleh tongkat itu. la memeganginya erat-erat, dan menunggu si pemilik tongkat muncul di situ.
Entah bagaimana, Wolfswinkel tahu apa yang telah
dilakukan Candy, sebab ia menjerit , "Letakkan tongkat itu!"
Padahal ia belum lagi muncul di pintu.
Getaran-getaran tongkat itu semakin menjadi-jadi
ketika mendengar suara majikannya. Tapi Candy tak mau melepaskannya.
Wolfswinkel sekarang berdiri di depan pintu, me-
nudingkan jarinya pada Candy.
"Kubilang letakkan tongkat itu" kata Wolfswinkel, suaranya berat oleh pengaruh
minuman keras. "Letakkan, atau aku akan..."
"Atau apa?" tanya Candy sambil memegang tongkat itu seperti memegang pemukul
bisbol. "Apa yang akan kau lakukan, heh" Kau tak bisa membunuhku, sebab kalau
aku mati, kau tidak punya apa-apa untuk diberikan pada tuan dan majikanmu itu."
Wolfswinkel menyeka keringat yang bermunculan di
dahinya dan nyaris menetes turun ke matanya.
"Malingo!" teriaknya. "Cepat kemari! SEKARANG
JUGA!" Dengan patuh Malingo merangkak mengitari bagian
atas pintu, dengan kepala di bawah.
"Tangkap bedebah cilik itu!" perintah Wolfswinkel. "Dan ambilkan tongkat itu!"
Malingo ragu-ragu, matanya menatap Candy dengan
sorot putus asa. "Kubilang..." "Aku dengar apa katamu," sahut Malingo.
Sejenak Wolfswinkel tersentak mendengar ucapan
budaknya. Lebih tepatnya, tersentak mendengar nada suaranya. Ada sesuatu yang
baru dalam suara Malingo.
Dan Wolfswinkel sama sekali tak senang mendengarnya.
Ia merasa perlu mengeluarkan ancaman lagi.
"Lakukan perintahku, geshrat. Kalau tidak, kupatahkan tulang-tulangmu semuanya."
"Dengan apa" " Candy mengingatkan. "Tongkat ajaibmu ada di tanganku."
"Tapi kau tidak tahu cara menggunakannya, Nona"
sahut Wolfswinkel, dan sebelum Candy sempat meng-
hindar, ia sudah menyambar ujung tongkat itu.
Meski mabuk oleh minuman keras, cengkeraman tangannya mengandung kekuatan
supranatural. Ia menarik tongkat itu ke kiri, lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi, berusaha merampasnya dari
cengkeraman Candy. Tapi semakin
bernafsu ia menarik, semakin erat Candy memegangi
tongkat itu. "Kalau tidak kaulepaskan juga...," Wolfswinkel berteriak padanya, wajahnya yang
jelek itu jadi semakin jelek oleh amarah meluap-luap.
"Omong besar. Kau cuma bisa omong besar" kata Candy. "Pembohong dalam setelan
kuning seperti kulit pisang.''
Bibir Wolfswinkel menekuk karena marahnya, dan ia
menarik tongkat di tangan Candy ke arahnya. Sejenak terjadi tarik-menarik,
begitu seru, hingga akhirnya pegangan mereka pada tongkat itu sama-sama
terlepas. Tongkat itu jatuh ke lantai, di antara mereka, lalu terguling-guling di papan-
papan lantai. Candy dan Wolfswinkel sama-sama bergerak hendak
mengambilnya, tapi sebelum mereka berhasil mencapai tongkat itu, Malingo sudah
meluncur turun dari langit-langit dan dengan gesit menyambar tongkat tersebut.
Kaspar Wolfswinkel tersenyum penuh kemenangan.
"Anak baik," katanya pada Malingo. "Kau memang amat sangat baik. Nanti aku akan
memberimu hadiah untuk ini." Ia menyeka dahinya yang berkeringat dengan lengan jas kuningnya.
Kemudian ia mengulurkan tangannya yang gemuk. "Nah, sekarang berikan tongkat itu
pada Paman Kaspar," katanya.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malingo yang biasanya selalu patuh kini memandangi majikannya seperti makhluk
yang terpesona oleh seekor ular berbisa. Tapi ia tidak mengembalikan tongkat
itu. "Apa kau tidak dengar?" tuntut Wolfswinkel. "BERIKAN
TONGKAT ITU PADAKU. Aku akan menghajar gadis celaka ini sampai dia menjerit-
jerit minta ampun. Tidakkah itu menyenangkan?"
Lama... lama sekali tidak terjadi apa-apa. Kemudian dengan perlahan-lahan - dengan
amat-amat sangat perlahan - Malingo menggelengkan kepala.
"Candy...," ia berkata pelan, tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari
orang yang pernah menjadi majikannya ini. "Sebaiknya kau pergi dari sini.
Cepatlah, sebelum Houlihan datang kemari."
"Aku tidak akan pergi tanpa kau."
Mendengar itu, Malingo menatap Candy dengan sorot
mata takut bercampur gembira.
"Oh, manis sekali," komentar Wolfswinkel. "Sangat mengharukan." Kemudian ia
memasang senyum dan memanggil Malingo. "Ayo, Nak. Sudah cukup ber-candanya. Kau
sudah dapat kesempatan. Kita hentikan saja sandiwara ini. Kau tahu bahwa kau
tidak punya nyali untuk meninggalkanku."
Nada suaranya begitu manis, dan kedengaran sangat
meyakinkan. "Kau milikku, Malingo," ia meneruskan. "Ingat" Aku membelimu dalam suatu
transaksi yang sah. Aku punya dokumen-dokumen resminya. Kau tidak bisa pergi.
Maksudku, yang benar saja, apa jadinya dunia ini kalau setiap budak pergi begitu
saja sesuka hati mereka?"
Senyum di wajahnya lenyap. Wolfswinkel sudah
kehabisan sikap manis rupanya.
"Kuulangi untuk terakhir kali," katanya. "Berikan tongkat itu padaku, dan aku
berjanji, aku berjanji padamu bahwa aku tidak akan menyakitimu."
Malingo tidak bergerak. Bahkan berkedip pun tidak.
"Oh, oh, tunggu sebentar," Wolfswinkel melanjutkan.
"Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Kau bisa mencium kebebasan, bukan
begitu" Dan kau jadi agak tergoda. Tapi coba pikir-pikir dulu, geshrat. Kau
tidak tahu cara bertahan hidup di dunia luar sana."
"Jangan dengarkan omongannya," kata Candy.
"Jiwamu jiwa budak, geshrat. Itu tidak akan berubah sampai kapan pun."
"Tak ada yang perlu ditakutkan di luar sana," kata Candy. Kemudian, karena ingin
jujur, ia meralat ucapannya. Katanya, "Yah, setidaknya keadaan di luar sana
tidak lebih buruk daripada di sini. Daripada dia. Lagi pula, kan ada aku
bersamamu..." "Oh, tidak, tidak akan," kata Wolfswinkel sambil menyambar pergelangan tangan
Candy. Cengkeramannya terasa panas seperti api. Candy
menjerit kesakitan dan meronta-ronta dengan keras agar bisa lepas dari pegangan
Wolfswinkel, sampai-sampai topi-topi yang dikenakan bertumpuk-tumpuk di kepala
Wolfswinkel bergeser miring dari kepalanya yang licin oleh keringat.
Wolfswinkel tampak panik, dan ia melepaskan Candy
agar bisa menangkap topi-topinya yang hendak jatuh itu.
Didorongnya topi-topi itu kembali ke posisi semula. Candy mundur menjauh dari
jangkauan Wolfswinkel, tangannya begitu sakit, hingga mati rasa. Digosok-
gosoknya tangan itu agar pulih. Sementara itu, ia kembali teringat lukisan
kelima tukang sihir yang telah dibunuh Wolfswinkel.
Bersamaan dengan itu, muncul sebuah pikiran sederhana di benaknya.
Topi-topinya. Sebagian kekuatannya ada pada topi-topi konyol itu.
Ia hanya sempat memikirkan hal tersebut sejenak. Tahu-tahu Wolfswinkel sudah
mendekati Malingo dengan kedua tangan terulur, untuk mengambil tongkatnya.
"Berikan tongkat itu padaku," katanya pada Malingo,
"Ayo. Kau tahu tongkat itu milikku.
Tampak bercak-bercak ludah kuning-putih di bibirnya.
Ia seperti hendak meledak oleh kemarahan yang meluap-luap.
Malingo mengangkat tongkat tersebut.
"Anak baik," kata Wolfswinkel, menyunggingkan senyum tipis di wajahnya yang
berkeringat. Malingo menatap mata majikannya lekat-lekat.
Kemudian ia mengangkat satu kakinya. Dipegangnya
tongkat itu dengan dua tangan, lalu dihantamkannya ke lututnya.
Wolfswinkel melolong keras ketika tongkat itu patah menjadi dua.
Potongan-potongan kayunya berhamburan ke segala
arah, dan suara derak patahnya berkumandang dari
tembok-tembok. Malingo mengangkat potongan-potongan tongkat itu
dan menunjukkannya pada Wolfswinkel.
"Kau tidak akan pernah memukuli aku lagi dengan tongkat ini," katanya.
Kemudian ia melemparkan kedua patahan tongkat itu
di lantai, persis di tempat ia dipukuli dan direndahkan beberapa menit
sebelumnya. Wolfswinkel memandangi potongan-potongan tongkat-
nya dengan tubuh gemetar.
"Hmm... hmm...," gumamnya. "Berani juga kau rupanya, ya" Kemudian ia mengangkat
kedua tangannya dan menyatukan jemarinya di atas kepala.
Ia menggumamkan sesuatu yang tak bisa dipahami
Candy, namun nadanya terdengar sangat mengancam.
Diurainya jemarinya yang tadi disatukan, lalu perlahan-lahan ia merenggangkan
jari-jarinya itu. Muncul sebuah bentuk yang tercipta dari kegelapan pekat di
antara kedua telapak tangannya. Bentuk itu jadi semakin besar ketika ia
merenggangkan kedua tangannya, menyerupai seekor cacing gendut sepanjang lima
kaki, dengan sungut yang ujung-ujungnya tajam seperti kait. Cacing itu mempunya
dua kepala, masing-masing di ujung-ujung
tubuhnya, dengan wajah menyerupai Kaspar. Gigi mereka seta jam gigi ikan hiu.
"Bagus sekali," kata Wolfswinkel sambil memandangi makhluk menjijikkan hasil
ciptaannya. "Kau suka eeriac kecilku itu?"
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia menempatkan
kedua tangannya di depan tubuhnya dan melepaskan
makhluk itu. Eeriac itu, meski tampak padat seperti makhluk hidup sungguhan, sepertinya bisa
melawan gaya gravitasi, sebab ia seketika melayang tinggi di atas kepala semua
orang yang ada di ruangan tersebut, meliuk-liuk dan berputar-putar seperti tali
yang hendak membuat simpul.
Eeriac itu melengkungkan tubuhnya dan mengarahkan kedua wajahnya yang menakutkan
pada penciptanya. Wolfswinkel mengangguk pada makhluk tersebut. "Kau sudah siap?" tanyanya.
Makhluk itu membuka mulutnya dan memperdengarkan suara desis dari kedalaman
tenggorokannya. "Bagus," kata Wolfswinkel. Ia menunjuk Malingo dan berkata,
"Bunuh budakku."
Eeriac itu tidak ragu-ragu sedikit pun. Ia meluncur turun dari ketinggian dan
terbang ke arah Malingo. Untunglah Malingo sangat gesit. Ia sudah biasa
memanjat di seluruh ruangan itu. Ia mengenai setiap batu dan lekukannya. Sebelum
eeriac itu bisa mencapainya, ia sudah memanjat naik seperti labah-labah di
tembok. Eeriac itu mengejarnya, kait-kait di sungut-sungutnya yang tak terhitung
banyaknya itu saling beradu, hingga
menimbulkan bunga-bunga api, cukup terang untuk
memenuhi ruangan tersebut dengan cahaya menusuk mata.
Wolfswinkel merasa senang melihat pemandangan ini.
la bertepuk ringan seperti anak kecil yang egois ketika kejar-mengejar itu
mengakibatkan tempat lilin gantung berayun-ayun. Debu dan serangga-serangga mati
berjatuhan dari kristal-kristalnya yang berkelap-kelip dan bergoyang-goyang.
"Cepat keluar!" Malingo berteriak pada Candy.
"Cepat." Gara-gara meminta Candy untuk pergi, ia jadi
kehilangan waktu yang berharga. Dalam sekejap eeriac itu berhasil menyusulnya
dan merengut Malingo di antara mulutnya.
Candy tidak tahan melihat pemandangan itu. ia
mengalihkan pandang, tatapannya kini tertuju pada
Wolfswinkel. Wolfswinkel tampak sangat asyik menonton pemandangan di atas sana.
Ia pasti tidak akan menyadari kalau Candy diam-diam mendekatinya.
Beranikah Candy" Ya, tentu saja ia berani. Ia mau
melakukan apa saja untukuk membebaskan Malingo dari monster ciptaan Wolfswinkel.
Candy menengadah ke atas untuk melihat keadaan
Malingo. Tidak terlalu bagus rupanya. Eeriac itu melilit tubuh Malingo, kait-
kaitnya berusaha mencari-cari kulit Malingo. Tapi Malingo tidak selemah manusia
biasa. Meski kulitnya tentu sakit akibat pukulan-pukulan Wolfswinkel tadi, namun
kait-kait eeriac itu tidak melukainya.
Meski demikian, situasi yang dihadapinya tetap sangat berbahaya: bukan karena
kait-kait itu, tapi karena gigi-gigi eeriac itu. Dengan dua tangan ia berusaha
sedapat mungkin menjauhkan kedua mulut makhluk itu dari wajahnya. Untuk
sementara, usahanya berhasil. Tapi eeriac itu kuat sekali. Sebentar lagi gigi-
gigi tajam monster itu pasti berhasil menggigit Malingo.
Candy tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendekati Wolfswinkel yang masih juga
bertepuk tangan menonton pemandangan mengerikan itu, kemudian bersiap-siap
menghantamkan tubuhnya sendiri ke bahu Wolfswinkel.
Wolfswinkel berbalik pada saat terakhir dan meng-
angkat tangannya untuk memukul Candy, tapi sudah
terlambat. Candy menyeruduknya, dengan satu sapuan tangannya ia menjatuhkan
topi-topi yang dikenakan Wolfswinkel. Wolfswinkel melolong sangat marah, kemudian berlutut dengan panik untuk
memunguti kembali topi-topinya.
Candy berusaha mencegahnya sedapat mungkin dengan
menendang topi-topi itu dari tangannya.
Dari atas sana terdengar suara ledakan sangat keras, seperti suara petasan
raksasa yang meledak. Candy menengadah, dan melihat eeriac itu tidak lagi merupakan ancaman bagi
Malingo. Bersamaan dengan
lenyapnya kekuatan sihir Wolfswinkel, makhluk itu mulai menghilang. Ia telah
melepaskan Malingo, dan sekarang ia terangguk-angguk di seputar ruangan, seperti
balon kelebihan gas yang sekonyong-konyong mulai kehabisan gasnya. Kalau
menghantam benda padat - deretan buku, tempat lilin gantung, meja, lantai - ia
meledak menjadi serangkaian bunga api berwarna hitam dan tubuhnya
makin lama makin mengecil. Candy memandanginya
sejenak, kemudian ia memanggil Malingo yang masih bergelantungan di langit-
langit. "Cepat turun!" Malingo melompat turun dan berdiri di hadapan
Candy. "Kau tidak apa-apa?" tanya Candy.
"Dia tidak berhasil menyakitiku." Ia tersenyum. "Dia mencoba tapi..."
Candy tersenyum dan menggandeng tangan Malingo
yang lengket. "Kita mesti keluar dari sini," katanya, dan mereka pun lari ke pintu.
Saat mereka mencapai pintu, eeriac itu menghantam tembok di atasnya dan
melepaskan hujan bunga api hitam yang terasa panas, untuk terakhir kali.
Kemudian ia jatuh ke lantai, di antara Malingo dan Candy. Sosoknya sudah kempes
menjadi versi kecil sosok sebelumnya. Ia meng-geliat di lantai, kedua mulutnya
masih memperdengarkan desisan serak.
"Jangan melihat," kata Malingo.
"Tidak apa. Aku tidak mual kok.
Malingo menginjak eeriac itu dan menghabisinya. Ketika ia mengangkat kakinya,
makhluk itu tinggal berupa noda gelap di karpet.
"Sekarang kita pergi," kata Malingo.
Ia menarik gerendel paling atas di pintu depan. Candy membuka gerendel tengah
dan paling bawah. "Tunggu.
Bagaimana dengan Kunci itu?" katana pada Malingo, sambil membuka pintu.
"Ini bukan saatnya memikirkan Kunci itu," sahut Malingo, sebab suara lolongan
Kaspar terdengar makin keras di belakang mereka.
Candy mengangguk setuju, dan sambil bergandengan
tangan mereka pun melewati ambang pintu.
Dan tidak menoleh lagi. Mereka keluar begitu saja dari rumah tersebut, ke
udara malam di Ninnyhammer, meninggalkan Kaspar
Wolfswinkel yang masih juga meneriakkan ancaman-
ancaman serta ungkapan kemarahannya di belakang
mereka. 29 MATA KUCING "AKU bebas!" teriak Malingo sambil berlari. "Tak percaya rasanya! Aku bebas! Aku
bebas! " Sekonyong-konyong ia berhenti berlari dan meraih
Candy ke dalam pelukannya. Begitu erat ia memeluk, hingga Candy hampir-hampir
tak bisa bernapas. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih," katanya sambil mengayun-ayunkan
Candy. "Kau memberiku keberanian untuk melakukannya! Apa pun yang terjadi padaku
sesudah ini, aku akan selalu merasa berutang budi padamu."
Kemudian ia memberikan satu ciuman lengket penuh
sayang di pipi Candy. Candy agak terperanjat menerima perlakuan ini. Ia tak ingat, kapan terakhir kali
ia dipeluk atau dicium. Tapi dengan cepat ia sudah berhasil menguasai diri, dan
ia kembali mengalihkan percakapan pada urusan-urusan
yang perlu. "Kita belum sepenuhnya lepas dari bahaya," katanya.
"Kita perlu melarikan diri sejauh mungkin dari si Kulit Pisang itu."
Malingo tertawa. "Setuju," katanya. "Apa kau punya perahu?"
"Tidak. Dan kurasa kau juga tidak punya kapal pesiar mewah di sekitar sini?"
"Tidak. Sayangnya tidak. Omong-omong, bagaimana kau bisa sampai kesini?"
"Hmmm, begini... aku dibawa oleh seekor kupu-kupu raksasa...," kata Candy.
"Kupu-kupu raksasa?"
"Yang dikirim oleh Christopher Carrion."
"Oh, jadi si Penguasa Tengah Malam sudah beberapa lama mengejar-ngejarmu
rupanya. Kenapa dia begitu
tertarik padamu?" "Yah, sebab aku punya Kunci yang diinginkannya...,"
Candy memulai. Tapi kemudian ia terdiam. "Tapi tak mungkin dia mengejarku karena
Kunci itu. Dia bahkan tidak tahu aku menyimpan Kunci itu, sampai Wolfswinkel
menemukannya." "Apa kau tahu untuk apa Kunci misterius itu sebenarnya?"
"Tidak, tidak tahu. Aku tidak diberitahu."
Baru saja Candy berkata demikian, tiba-tiba ia mendengar suara Kaspar
Wolfswinkel. Kalau mendengar
caranya berbisik, sepertinya ia berada di dekat-dekat situ.
"Oh, Kunci itu," katanya. "Kau ingin tahu untuk apa Kunci itu..."
Malingo menoleh pada Candy, kegembiraan di
wajahnya Ienyap, digantikan oleh ekspresi ketakutan yang amat sangat. "Dia ada
di sini!" katanya. "Tidak apa-apa," gumam Candy. "Dia tidak bakal menyakiti kita."
Sambil berbicara ia melihat-Iihat sekelilingnya, mencari tanda-tanda keberadaan
Wolfswinkel dalam suasana
remang-remang itu. Tapi Wolfswinkel tidak terlihat, meskipun suaranya terdengar
begitu dekat. "Sekadar informasi untukmu," tukang sihir itu meneruskan, "Kunci itu untuk
membuka Piramida-Piramida di Xuxux."
"O ya?" kata Candy. Ia berharap bisa mempertahankan percakapan tersebut
sementara ia berusaha mencari-cari di mana Wolfswinkel berada. "Piramida, eh"
Menarik sekali." Ia mendekatkan tubuhnya pada Malingo.
"Ayo kita berdiri merapatkan punggung," katanya.
"Dengan begitu, dia tak bisa menyergap kita dengan diam-diam."
Malingo menuruti saran Candy dan dengan hati-hati
melangkah maju, menempelkan punggungnya pada
punggung Candy.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Percayalah," Wolfswinkel melanjutkan dengan nada menyombong, "aku akan
mendapatkan imbalan yang sangat besar atas apa yang kulakukan pada Jam ini. Aku
akan memperoleh kekuasaan dalam skala yang tak
mungkin terbayang oleh orang-orang seperti kau..."
"Di mana dia?" Candy berbisik pada Malingo. "Dia ada di dekat kita. Aku yakin
dia di dekat kita. Kenapa kita tak bisa melihatnya" "
"Kau sudah mulai kebingungan, kan?" Wolfswinkel berkata. "Kau mulai bertanya-
tanya, apakah indra-indramu yang menyedihkan itu pada akhirnya tidak
berfungsi lagi" Barangkali kau sudah mulai sinting.
Pernahkah itu terpikir olehmu" Apa yang pernah dikatakan seorang penyair tentang
hal itu" Pikiran manusia tak tahan menanggung terlalu banyak kenyataan. Makhluk
malang. Kau bakal segera masuk rumah sakit jiwa."
Malingo menggenggam tangan Candy. "Kau tidak bakal jadi gila " katanya.
"Lalu kenapa dia kedengarannya begitu dekat dengan kita?"
Tubuh Malingo gemetar hebat. "Sebab dia memang dekat," sahutnya. "Dia sangat
dekat." "Tapi aku tidak melihatnya" " kata Candy. Ia masih juga mengamat-amati
lingkungan sekitar mereka.
"Topi-topinya itu memberinya kekuatan besar," bisik Malingo. "Dia telah membuat
dirinya tidak tampak."
"Jadi... jadi dia bisa berada di mana saja?" kata Candy.
"Rasanya begitulah."
Berpegang pada informasi baru ini, Candy mem-
perhatikan lingkungan sekitar mereka untuk mencari tanda-tanda kehadiran musuh
mereka, seberapa pun kecilnya. Segerumbulan semak-semak tampak bergoyang ketika Wolfswinkel
melewatinya; sebutir kerikil gemeretak terinjak kakinya yang tidak kelihatan.
Namun sulit sekali untuk memastikan apa pun dalam cahaya api yang
berkelip-kelip dan menipu mata dari tonggak-tonggak itu.
Wolfswinkel-kah itu, yang bergerak menyeruak rerumputan di sebelah kirinya,
ataukah itu sekadar permainan cahaya" Napas Wolfswinkel-kah yang mengembus dekat
telinganya, atau itu hanya embusan angin"
"Aku benci situasi ini," bisik Candy.
Baru saja ia berkata demikian, terdengar suara
tamparan keras dan Malingo terjungkal ke depan, menjerit kaget. Seketika ia
melepaskan tangan Candy yang digenggamnya dan memutar tubuh sambil mengangkat
kedua tinjunya, seperti petinju zaman dulu.
"Dia ada di sini! " Malingo memperingatkan. "Dia ada di sini! Dia baru saja
menghantam..." Tapi ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ter-
dengar suara pukulan kedua, lalu ketiga, begitu keras sampai-sampai Malingo
terlempar ke tanah. Malingo
mengangkat kedua tinjunya ke atas kepala, untuk
melindungi diri dari pukulan lebih lanjut.
"Lari, Candy," teriaknya. "Pergi dari sini sebelum dia memukulimu."
Pada saat itu Candy merasa kedua lengan Kaspar
mencengkeramnya, dan ia diangkat ke udara. Tenaga
Wolfswinkel benar-benar tenaga supranatural; dan
sumber tenaga itu tentu saja berasal dari topi-topi konyolnya. Candy
menggerakkan lengannya ke sana
kemari, berharap bisa menjatuhkan lagi topi-topi itu dari kepala si tukang
sihir, tapi Wolfswinkel memeganginya dengan posisi sedemikian rupa sehingga ia
tak bisa mengenai topi-topi itu.
"Kau ikut pulang ke rumah denganku," katanya.
"Sekarang juga"
Candy masih terus meronta-ronta, tapi tak sanggup
mengimbangi tenaga Wolfswinkel. Ia mulai menjerit-jerit minta tolong, siapa tahu
ada seseorang di lorong-Iorong gelap itu yang bisa menyelamatkan mereka.
"Percuma saja kau menjerit-jerit," kata Wolfswinkel, mulutnya yang tidak
kelihatan itu hanya beberapa senti jaraknya dari telinga Candy. Napasnya berbau
rum. Sebelum Candy bisa menjawab, tampak rerumputan di
sekitar mereka bergerak-gerak, lalu dari antara
kegelapan muncul sejumlah kucing-Tarrie. Bukan cuma beberapa ekor. Tadi tempat
itu kosong melompong; tahu-tahu binatang-binatang itu sepertinya berada di mana-
mana di sekitar mereka; telinga kucing-kucing itu tegak meruncing, mata mereka
bersinar-sinar mengawasi Candy dengan tajam, sementara Candy meronta-ronta dalam
cengkeraman musuhnya yang tidak kelihatan.
Ketika kucing-kucing itu makin mendekat, Candy
teringat ucapan Wolfswinkel tentang mereka, yang
katanya sangat jahat. Benarkah ucapannya itu" Apakah sekarang kucing-kucing-
Tarrie ini juga hendak melakukan sesuatu yang jahat terhadap mereka" Apakah
mereka berniat menyergap Malingo yang malang, yang saat ini tergeletak di tanah, dan
mencakar matanya hingga mencelat keluar" Atau mereka berniat memanjat ke tubuh Candy dan membuatnya mati
kehabisan napas" Sebelum kedatangan kucing-kucing ini, situasi mereka sudah cukup buruk, tapi
sekarang jauh lebih buruk lagi.
Demikianlah anggapan Candy.
Tapi ketika kucing-kucing-Tarrie itu makin mendekat, Candy merasa cengkeraman
Kaspar pada dirinya agak mengendur, dan tukang sihir itu menggumamkan beberapa patah kata dari bibirnya.
"Kalian jauh-jauh dari aku..." ia memperingatkan kucing-kucing tersebut.
Kucing-kucing-Tarrie itu tidak mengacuhkannya. Mereka tetap maju mendekat,
tatapan mata mereka pun semakin tajam.
"Jangan memandangiku seperti itu," kata Wolfswinkel pada mereka.
Memandangiku" pikir Candy. Apa maksudnya
memandangiku" Dia kan tidak kelihatan. Bagaimana bisa kucing-kucing itu
memandanginya" Tapi sekonyong-konyong Candy mengerti.
"Kucing-kucing itu bisa melihatmu," katanya pada Kaspar.
Tukang sihir itu tidak menjawab. Tapi jawaban memang tak lagi diperlukan. Bahasa
tubuh Kaspar sudah menjelaskan segala sesuatunya. Ia sudah mulai gemetar, dan
cengkeramannya pada Candy sudah jauh berkurang,
sehingga Candy bisa melepaskan diri darinya. Dengan segera ia menghampiri
Malingo yang masih berbaring meringkuk di tanah.
"Tidak apa-apa," katanya. "Ada kucing-kucing-Tarrie di sini,"
"Itu tidak apa-apa" " tanya Malingo sambil berbalik untuk menatap Candy.
Wajahnya yang berdarah menunjukkan ekspresi ketakutan.
"Ya, tidak apa-apa " kata Candy.
"Kenapa bisa tidak apa-apa?"
"Sebab kucing-kucing-Tarrie itu bisa melihatnya, Malingo"
"Mereka bisa melihatnya?"
Candy dan Malingo sama-sama memandangi kucing-
kucing itu. Mata binatang-binatang itu semuanya terfokus ke satu titik yang sama, hanya
beberapa meter dari Candy dan Malingo. Dan dari tiiik itulah terdengar suara
Wolfswinkel. "Kalian jauh-jauh dariku, binatang-binatang jelek!"
ancamnya pada kucing-kucing tersebut. "Jauh-jauh, ku-peringatkan kalian. Atau
kubakar ekor kalian. Aku tidak main-main. Kalian belum tahu apa saja yang bisa
kulakukan pada binatang macam kalian!"
Beberapa ekor kucing-Tarrie saling pandang dengan
cemas ketika mendengar ancaman Wolfswinkel, tapi
semuanya tak ada yang mau mundur.
"Dia cuma omong besar," kata Candy pada mereka.
"Kalian mengerti" Dia takut pada kalian."
" Diam kau, anak sialan!" Wolfswinkel menjerit, sekarang suaranya melengking.
"Awas kau nanti."
Sementara itu Malingo sudah bangkit berdiri. Darah mengalir di sisi wajahnya,
dari luka di keningnya, tapi sepertinya ia tak peduli. Sosoknya kini memancarkan
kesan percaya diri yang baru dan masih asing untuknya.
"Selama ini kau selalu saja mengancam orang-orang,"
katanya sambil maju ke tempat tatapan kucing-kucing-Tarrie itu terpusat; dengan
kata lain, ke titik tempat tukang sihir itu berdiri. Wolfswinkel tidak
mengatakan apa-apa lagi - kemungkinan agar Malingo tidak tahu di mana persisnya ia
berada, sehingga mantan budaknya itu tak dapat menyentuhnya. Kemudian ia mundur
dengan cepat. Candy dan Malingo bisa mendengar bunyi tanah yang kena sepak kaki-
kakinya, dan mereka bisa melihat tatapan kucing-kucing-Tarrie yang kini bergerak
naik ke lereng, mengikuti si tukang sihir yang Iari hendak mencari perlindungan
di dalam rumahnya. Malingo tak sudi membiarkan Wolfswinkel mencapai
rumahnya. Ia lari mendaki lereng, mengejar Wolfswinkel, sambil menoleh sesekali
ke arah kucing-kucing-Tarrie, untuk memastikan ia lari ke arah yang benar.
Dua puluh meter dari pintu depan, ia menyergap.
Terdengar suara teriakan keras dan sangat marah dari kegelapan.
"Lepaskan aku, budak!" Wolfswinkel berteriak.
"Aku bukan budakmu!" Malingo balas berteriak.
Wolfswinkel jelas-jelas berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Malingo.
Malingo kelihatan seperti sedang bergulat dengan dua ekor belut licin dan gemuk
yang tidak kelihatan. Ancaman-ancaman dan sumpah serapah meluncur dari bibir
Wolfswinkel. Merasa kesal dengan maki-makian Wolfswinkel yang
tak ada habisnya, Malingo mengguncang-guncang tubuh tukang sihir itu.
"Perlihatkan dirimu!" perintahnya.
Candy menduga Malingo sudah mencengkeram leher
Wolfswinkel dan mengancam akan mencekiknya.
"Buka topi-topimu dan perlihatkan dirimu!" tuntut Malingo.
Tak lama kemudian, sebuah sosok hilang-timbul mulai muncul dalam pegangan tangan
Malingo, dan akhirnya tampak Kaspar Wolfswinkel yang masih sangat marah. Ia
telah melepaskan topi-topinya, dan memeganginya di kedua tangan. Di masing-
masing tangan ada tiga topi.
Kalau melihat ekspresi wajahnya, sepertinya ia ingin membunuh semua makhluk
hidup di Ninnyhammer pada saat itu juga, dan akan melakukannya dengan senang
hati - dimulai dengan membunuh Candy dan Malingo, lalu
dilanjutkan dengan menghabisi kucing-kucing-Tarrie itu.
"Nah, Kaspar," sebuah suara berbicara di belakang Candy, "barangkali seharusnya
kau kembali saja ke rumahmu dan tetap di sana. Kau kan tahu, mestinya kau tidak
boleh berkeliaran ke mana-mana."
Candy menoleh, ingin tahu siapa yang berbicara itu. la mendapati dirinya
berhadap-hadapan dengan sesosok
makhluk berkaki dua yang jelas-jelas masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
kucing-kucing-Tarrie itu.
Wajah lebar makhluk ini ditumbuhi bulu-bulu halus
berwarna cokelat kemerahan. Sepasang matanya yang
bersinar-sinar sudah jelas merupakan mata kucing, begitu pula kumis-kumis yang
mencuat dari kedua pipinya.
Rupanya ia mendaki bukit untuk melihat apa yang terjadi.
"Dia yang memulai semuanya ini, Jimothi!" kata Kaspar sambil memandang Candy.
"Gadis sialan itu. Salahkan dia, jangan aku."
"Oh, demi A'zo, diamlah, Wolfswinkel," sahut makhluk itu.
Dan Candy sangat terkejut ketika Wolfswinkel benar-benar diam.
Makhluk itu kembali menatap Candy. "Namaku Jimothi Tarrie."
"Senang sekali berkenalan denganmu."
"Dan kau tentunya Candy Quackenbush yang 'terkenal'
itu?" "Kau tahu tentang aku?"
"Sedikit sekali pengunjung kepulauan ini yang kehadirannya begitu banyak
dibicarakan seperti dirimu,"
kata Jimothi. "O ya?" "Ya, sungguh." Ia tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing tajam.
"Selama dua hari belakangan ini aku berkeliling dari pulau ke pulau, dan
sepertinya semua orang yang kutemui tahu tentang dirimu.
Kepopuleranmu makin meningkat setiap Jam. Orang-orang yang mustahil pernah
bertemu denganmu mengaku-aku
pernah melihatmu." "O ya?" kata Candy.
"Percayalah. Apa kau pernah membeli sepotong Furini dari pembuat keju di
Autland?" "Tidak." "Nah, dia bilang kau pernah belanja padanya.
Bagaimana dengan sepatu yang kaupesan dari seorang tukang sepatu di Tazmagor?"
"Aku malah belum pernah pergi ke Tazmagor."
"Nah, lihat sendiri kan, betapa terkenalnya kau?" kata Jimothi.
"Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu," kata Candy.
"Yah, ada beberapa alasan bagus," kata Jimothi.
"Salah satunya, tentu saja, adalah asal-usulmu. Kau orang pertama yang datang
dari Hereafter, setelah sekian lama.
Selain itu, sepertinya kau selalu meninggalkan masalah di tempat-tempat yang
kausinggahi. Memang semua itu
bukan salahmu. Ada pihak-pihak lain yang menimbulkan masalah karena begitu
bernafsu mengejar-ngejarmu. Tapi masalah tetap saja masalah."
Candy menghela napas, masih merasa bingung.
"Selain itu," kata Jimothi, "yang menjadi masalah adalah saat kedatanganmu."
"Kenapa hal itu begitu penting?"
"Ya, sebab banyak orang - mulai dari penyair di sudut-sudut jalan, sampai tukang
ramal yang paling dihormati di Abarat - sudah lama mengatakan bahwa ada suatu
kekuatan pengubah yang sedang bekerja. Kekuatan yang mau tak mau akan
mengacaukan keteraturan hidup kami yang menyedihkan ini."
"Kenapa menyedihkan?" tanya Candy. "Apa yang menyedihkan tentang kehidupan
kalian?" "Dari mana aku harus memulai ya?" Jimothi berkata pelan. "Begini saja. Kami
tidak bisa tidur nyenyak akhir-akhir ini."
"Kami?" "Kami-kami yang masih tergerak untuk mempertanyakan hendak ke manakah hidup ini
membawa kami. Dan seberapa besarkah nilai mimpi-mimpi kami. Kami terbangun dengan membawa rasa
Tengah Malam di tenggorokan kami." "Maksudmu Christopher Carrion?"
"Dia bagian dari itu. Tapi dia bukan bagian yang paling menakutkan," kata
Jimothi. "Bagaimanapun, Keluarga Carrion sudah punya tempat dalam percaturan
kekuasaan sejak adanya ahli-ahli sejarah yang mencatat segala sesuatunya. Sejak
dulu Kegelapan selalu punya peran untuk dimainkan. Tanpa Kegelapan, mana mungkin
kita mengenal Terang" Tapi kalau ambisi-ambisi
Kegelapan itu sudah terlalu berlebihan, barulah dia perlu dilawan,
didisiplinkan, dan kadang-kadang ditundukkan untuk sementara waktu - kalau perlu.
Setelah itu barulah dia dibiarkan bangkit kembali, sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya mengikuti Jalan Kegelapan tidak kalah terhormatnya daripada
mengikuti Jalan Terang, asal dilakukan dengan tujuan jejas."
Candy tidak yakin apakah ia memahami sepenuhnya
segala perkataan itu, tapi ia yakin kalau ia merenung-kannya lagi, maka segala
ucapan Jimothi akan terdengar masuk akal. Yang jelas, ia tak punya kesempatan
untuk menanyakan macam-macam pada kucing-Tarrie itu.
Jimothi masih terus berbicara tentang keadaan di
Abarat, dan Candy menelan semuanya.
"Masalah yang sesungguhnya adalah Commexo," kata Jimothi. "Rojo Pixler dan
Commexo Kid-nya. Dia membeli tempat-tempat suci dan membangun restoran-restoran
di situ. Dan sepertinya tak ada yang ambil pusing atas tindakannya. Orang-orang
terlalu asyik minum Panacea-nya. Keadaan ini membuatku muak. Jam demi Jam, Hari
demi Hari, kami biarkan dia merampas keajaiban-keajaiban dalam hidup kami. Dan
apa yang kami peroleh sebagai gantinya" Soda dan Panacea." ia menggeleng-
gelengkan kepala dengan putus asa. "Apa kau sudah mulai mengerti?" tanyanya.
"Sedikit," sahut Candy.
"Dan sekarang, tiba-tiba saja kau datang dari Hereafter. Begitu kau tiba, orang-
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang mulai berbicara, orang-orang mulai bertanya-tanya... diakah orangnya?"
"Orangnya?" "Orang yang akan menyembuhkan segala penyakit kami. Orang yang akan
menyelamatkan kami dari kebodohan-kebodohan kami sendiri. Orang yang akan
membuat kami terjaga!"
Candy tak bisa menjawab selain mengatakan bukan,
bukan dia orangnya; dia bukan siapa-siapa. Tapi ia tahu bahwa Jimothi takkan mau
mendengar jawaban seperti itu. Maka ia diam saja.
"Kau adalah jiwa yang luar biasa," kata Jimothi padanya. "Satu hal itu aku
yakin." Candy menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa..."
Maksudku... aku?" Ia menghela napas, tak sanggup berkata-kata, seperti halnya ia
tahu bahwa ia takkan sanggup memenuhi harapan-harapan Jimothi yang tinggi terhadapnya. Mana mungkin
ia bisa membuat orang-orang ini terjaga" Ia sendiri tertidur nyenyak selama ini,
asyik dengan mimpi-mimpinya, sampai beberapa hari
yang lalu. "Jangan takut untuk meraih tujuanmu," kata Jimothi.
"Meski saat ini kau sendiri belum jelas tentang tujuanmu."
Candy mengangguk. "Mengherankan kau bisa selamat dalam perjalananmu sejauh ini. Kau menyadari itu"
Pasti ada yang men-jagamu."
Ucapan Jimothi membuat Candy teringat kembali
segala peristiwa yang telah dialaminya semenjak ia bertemu John Mischief: nyaris dijemput
maut di tangan Mendelson Shape, dan nyaris tenggelam di Laut Izabella; nyaris
kena anak-anak panah yang mendesing melewati kepalanya dari rombongan berburu
Pixler; lalu jatuh dari ketinggian, berpegangan pada bangkai kupu-kupu
raksasa itu. Dan akhirnya... pertemuannya dengan
Wolfswinkel. Ke mana pun ia menoleh, ada saja kesulitan yang menimpanya.
"Semua ini berawal dari sebuah kunci," katanya, mencoba memahami segala sesuatu
yang telah membawanya pada situasi sekarang ini. "Dan Wolfswinkel mengambilnya,
dari dalam pikiranku. Bisakah kau mengambilnya lagi dari dia?"
"Sayang sekali aku tak bisa berbuat apa-apa tentang itu. Meskipun Wolfswinkel
seorang tahanan dan aku sipirnya, aku tak punya kekuasaan untuk mengambil
kembali apa yang telah diambilnya darimu, seperti halnya aku tak bisa menyita
topi-topinya." Raja Silat 8 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Tantangan The Dare 2
menyelamatkan sebanyak mungkin apa-apa yang bisa
diselamatkan dari kapal yang sedang tenggelam tersebut.
Peta berharga yang tadi sedang dilihat-lihat Tom dan Geneva diserahkannya pada
sang kapten untuk disimpan.
Sisanya - sejumlah makanan, beberapa jerigen air,
beberapa senjata - cepat-cepat diletakkan di dasar
sekoci. Geneva menarik napas panjang, mengucap syukur
pada dewi-dewi yang telah menyelamatkannya, lalu mulai melangkah menuju perahu
penyelamat sambil melayangkan pandang di perairan tersebut. la berharap Laut
Izabella mau mengembalikan kedua orang yang telah
ditelannya tadi. Sementara itu, ia melihat si naga belum tenggelam di bawah
gelombang. Makhluk itu sudah lemas karena kehilangan banyak darah, dan hampir-
hampir tak sanggup mengangkat kepalanya di atas air, tapi ia masih juga bertahan
berada dekat-dekat Belbelo, seolah-olah berharap masih bisa menyambar mangsa
yang diinginkannya. Air Laut Izabella tampak gelap oleh darahnya, dan dari
ombak-ombaknya mengepul uap berwarna
kekuningan, seakan-akan percampuran antara air asin dan cairan-cairan tubuh naga
itu menghasilkan semacam reaksi kimia.
"Apa kau melihat tanda-tanda Tom atau Mischief?"
sang kapten bertanya pada Geneva.
"Tidak," sahut Geneva dengan muram. "Sama sekali tidak."
"Di sini...," sebuah suara berkata pelan dari birai kapal.
Geneva melongok dari sisi kapal. Di sana, hampir-
hampir tak sanggup mengangkat kepala mereka di atas permukaan air yang
menggelegak, tampak John Mischief dan saudara-saudaranya. Beberapa saudaranya
kelihatannya sudah tak sadarkan diri. Dua di antara mereka bola matanya tampak
terbeliak, seperti sudah mati.
"Ya Tuhan," kata McBean. "Cepat kita angkat mereka ke sekoci."
Carlotti dan Geneva bersama-sama menyeret tubuh
Mischief dan saudara-saudaranya yang sudah lemas dari air, diangkat ke dalam
sekoci. Kemudian McBean mendorong sekoci kecil itu menjauhi kapal yang masih
terus tenggelam, lalu mendayungnya meninggalkan Belbelo, supaya mereka tidak
ikut terseret dalam pusaran yang timbul saat kapal tersebut karam.
Tanpa bicara Tria beranjak ke haluan sekoci kecil itu dan duduk di tempatnya
yang biasa. "Ada obat-obatan?" tanya Geneva. Dengan hati-hati ia melepaskan kemeja Mischief
yang robek dari balik celana panjangnya. Lubang-lubang bekas gigitan naga di
perutnya dan sisi-sisi tubuhnya tampak bergerigi dan dalam, serta masih
mengeluarkan darah. Carlotti beranjak ke bagian buritan sekoci, dan mengambil kotak perangkat P3K.
Ia membuka kotak itu dan mulai mengeluarkan beberapa buah perban serta kain
kasa. Geneva menekankan kedua tangannya pada luka-luka yang paling parah, supaya
tidak mengeluarkan darah lebih banyak. Kini mereka sudah berada pada jarak yang cukup
aman dari Belbelo. McBean berhenti mendayung dan menaikkan dayung-dayungnya.
"Biar aku yang mengurus Mischief sekarang," kata sang kapten pada Geneva. "Kau
mencari Tom." Ia menunjuk teleskopnya yang tergeletak di lantai
sekoci. "Pergilah," kata McBean. Kemudian dengan amat sedih ia melanjutkan, "Aku memang
sudah kehilangan Belbelo, tapi aku masih tetap kapten di sekoci ini. Pergilah
mencari Tom; tolong, Tuhan, temukan dia."
Geneva membiarkan McBean merawat Mischief. Ia
sendiri mulai mengamati perairan di sekitar tempat Tom telah dilemparkan oleh
cacing itu. Agak jauh dari sekoci kecil mereka, tubuh Belbelo yang sudah hancur mengerang
samar-samar ketika air Laut Izabella menderas masuk ke lubangnya. Sang kapten
sama sekali tidak mengangkat kepala. Ia meneruskan mengurus Mischief. Ia tak
ingin menyaksikan pemandangan tersebut. Suara derak-derik kapal yang sedang
karam itu semakin keras. Kayu-kayunya bergemeretak pecah. Tiang layarnya patah
dan roboh ke dalam air, memuncratkan air laut begitu tinggi, hingga seperti
tembok raksasa. Kemudian, sebelum tertutup sepenuhnya di bawah air, Belbelo berhenti terbenam
cukup lama, dan dalam kesunyian mencekam yang sekonyong-konyong timbul,
lonceng kapal tersebut terdengar berdentang.
Enam kali lonceng itu berbunyi, kemudian berhenti, dan untuk terakhir kalinya
air laut menyerbu kapal itu, gemuruhnya lebih keras daripada sebelumnya. Jauh
dari kedalaman di bawah sana terdengar satu bunyi
gemeretak menggemuruh untuk terakhir kali. Setelah itu, kapal kecil Kapten
McBean pun tenggelam dan bergabung dengan puluhan ribu kapal lainnya yang telah
ditelan oleh Laut Izabella selama berabad-abad.
Selama itu tak sekali pun sang kapten mengalihkan
tatapan dari pasien- pasiennya.
Ketika suara gemuruh tenggelamnya Belbelo akhirnya tak terdengar lagi, barulah
ia membuka suara. "Ada tanda-tanda Tom?"
"Sejauh ini belum ada," sahut Geneva yang masih mengamat-amati perairan
tersebut. "Dan bagaimana dengan cacing itu?" tanya sang kapten.
"Sudah lenyap," sahut Geneva. "Menyelinap pergi ketika kita sedang lengah.
Bagaimana Mischief dan saudara-saudaranya?"
"Rasanya beberapa di antara mereka ada yang
keadaannya lebih baik daripada lain-lainnya," sang kapten menjawab muram. "Aku
sudah berhasil menghentikan perdarahannya, tapi mereka semua masih belum
sadarkan diri." Ia memelankan suaranya, seakan-akan takut Mischief dan saudara-
saudaranya mendengar ucapannya. "Kondisi mereka tidak begitu bagus," katanya.
Pada saat itu Tria berbicara. Suaranya sangat pelan, sesuai dengan kulitnya yang
pucat. "Pulau Nonce," katanya.
Geneva mengalihkan tatapannya dari sosok Mischief
dan saudara-saudaranya yang menyedihkan, dan melihat Tria menunjuk ke sebelah
kiri. Seperempat mil dari mereka, air Laut Izabella tampak jauh lebih tenang. Awan-
awan badai sudah menipis, dan berkas-berkas sinar matahari menerobos di celah-
celahnya, menyinari sebuah pantai keemasan. Dan di belakang pantai itu tampak
daratan hijau tropis yang terbentang meninggi.
Geneva belum mendatangi Pulau Nonce lagi sejak
peristiwa tragis yang terjadi pada upacara perkawinan Finnegan dan Putri Boa.
Meski ia dan Tom sudah menebak bahwa Tria akan membawa mereka kemari, tetap saja
ia merasa berdebar-debar membayangkan kemungkinan
bakal kembali ke tempat tersebut.
"Hanya di Nonce ada harapan untuk Mischief dan saudara-saudaranya," kata Geneva.
"Bagaimana kalau salah satu dari mereka meninggal, sementara yang lainnya tetap
hidup?" tanya McBean.
"Itu dipikirkan nanti saja, kalau sudah benar-benar terjadi," sahut Geneva.
Kemudian ia menambahkan dengan suara lebih pelan. "Tapi mudah-mudahan saja itu
tidak terjadi." Sekonyong-konyong terdengar suara ketukan keras di sisa sekoci - sangat mirip
suara orang mengetuk pintu, minta diizinkan masuk. Geneva menoleh. Apa yang
dilihatnya benar-benar menggembirakan. Two-Toed Tom sedang berusaha mengangkat
dirinya dari dalam air ke atas sekoci. Geneva membantunya. Tom memanjat ke
dalam sekoci, lalu ambruk sambil terengah-engah di atas papan sekoci.
"Aku... takut... kalian berlayar pergi karena mengira aku sudah mati,"
"Kami tidak bakal meninggalkanmu," kata Geneva.
"Bagaimana nasib tukang gali kita?" sahut Tom, menoleh ke arah Mischief.
"Dia terluka parah. Kita sedang menuju Nonce, Tom.
Mudah-mudahan kita bisa mendapatkan pertolongan untuk dia di sana."
"Luar biasa sekali, dia masih hidup," kata Tom terkagum-kagum. "Padahal tadi dia
sudah di dalam mulut naga."
"Memang," kata sang kapten. "Kalau mereka bisa bertahan hidup, mereka bakal
punya cerita hebat untuk disampaikan."
* * * Arus air Laut Izabella rupanya berpihak pada mereka.
Arus tersebut membawa sekoci mereka dengan cepat ke Pulau Nonce. Kondisi
Mischief dan saudara-saudaranya yang terluka tidak bertambah buruk selama dalam
perjalanan. Ketika pantai yang cerah oleh matahari itu sudah memanggil-manggil
di kejauhan sana, dan harum bunga-bunga memenuhi udara, semangat Geneva mulai
bangkit sedikit. Ketika mereka sudah berada sekitar enam ratus meter dari pantai, terasa ada yang
menyenggol sekoci kecil mereka dari bawah. Geneva beranjak ke sisi sekoci. Ia
bisa melihat karang-karang di bawah sana; air laut di situ dalamnya tak lebih
dari lima belas kaki. Pemandangan yang dilihatnya sangat indah: ikan-ikan
berwarna-warni, dalam berbagai bentuk dan ukuran, berenang
berombongan atau sendirian dengan senangnya di antara bongkah-bongkah batu
koral. Namun sesaat kemudian ikan-ikan itu bagai dilanda
kepanikan. Bersama-sama mereka berenang bergegas-
gegas menuju persembunyian, dan dalam sekejap sudah lenyap dari pandangan.
Geneva mulai menggumamkan doa, "Dewi-dewi,
dengarkanlah doaku dalam saat-saat sulit ini."
Hanya itu yang sempat diucapkannya. Pada saat itu
juga sebuah bercak hitam pekat menyebar di air, di bawah sekoci.
Geneva mundur dengan waspada dari sisi sekoci.
"Lindungi anak itu, Kapten," katanya, suaranya sangat pelan.
"Ada masalah?" gumam sang kapten.
" D?j? vu, " kata Geneva.
"Aku tidak terlalu yakin dia sudah..."
"Mati?" kata naga yang sekonyong-konyong muncul dari perairan yang gelap.
Sungguh pemandangan mengerikan. Pedang Geneva masih tertancap di
tenggorokannya, dan darah makhluk itu masih mengalir deras dari lukanya,
membasahi sisik-sisik di leher dan tubuh bagian atasnya yang semula gemerlapan.
Seluruh tubuhnya pun masih gemetar keras, seolah-olah naga itu bakal mengalami
kejang-kejang yang tak terkira
hebatnya. "Kau punya pistol, Kapten?" gumam Geneva.
"Ada di Belbelo..."
"Apa saja," kata Geneva. "Apa saja. Kiss Curl?"
Carlotti mencari-cari di dalam sekoci kecil itu, kalau-kalau ada sesuatu yang
bisa mereka gunakan untuk
membela diri. Namun gerakannya menarik perhatian
cacing itu, dan tanpa ragu makhluk tersebut menjulurkan tubuhnya ke depan. Kiss
Curl tak mungkin menghindar lagi.
Naga itu meliuk ke belakangnya, membuka mulut lebar-lebar, dan menelan Carlotti
bulat-bulat. "Tidak!" Geneva menjerit dan melemparkan diri ke arah Kiss Curl untuk meraih
temannya itu, sebelum ditelan oleh si naga. Namun naga itu menyentakkan
kepalanya ke belakang, seperti burung mencaplok ikan, dan Carlotti.
pun masuk ke perutnya, lenyap dari pandangan, tak
bersuara dalam kematian, seperti saat ia hidup.
"Bedebah!" kata Geneva, matanya basah oleh air mata amarah.
Naga itu memperdengarkan suara mengerikan dalam
tenggorokannya: suara tawa rendah yang hambar, tanpa nada gembira sedikit pun.
"Siapa berikutnya?" tanyanya, sambil mengamat-amati orang-orang lainnya.
"McBean?" bisik Geneva.
"Ya?" "Apakah ada cerawat di sekoci ini?"
"Aku yakin ada."
"Bisa kauambilkan?"
"Tentu." "Perlahan-lahan saja, Kapten. Jangan. Terburu. Buru."
Sang kapten bergerak sesuai instruksi Geneva. Dengan sangat hati-hati ia
mengangkat tempat duduk bagian tengah di sekoci itu. Di situ ada ruang
penyimpanan makanan untuk keadaan darurat dan - ya! - ada cerawat
juga. Sementara itu, si naga bergerak-gerak dan meliuk-liuk.
Jelas tampak bahwa tak lama lagi ia bakal ambruk. Tapi itu bukan berarti ia jadi
tidak terlalu berbahaya. Geneva tahu itu. Ia pernah melihat seekor naga membunuh
enam orang, padahal kepala naga itu sudah ditancapi pedang-pedang mereka.
"Ini," sang kapten berkata dengan suara oh-sangat-pelan, dan meletakkan cerawat
itu di tangan Geneva. Cerawat itu berat dan besar, tapi Geneva tahu bahwa ia tak perlu terlalu
memusingkan bidikannya; makhluk yang menjadi sasarannya toh sangat besar.
Apakah cacing itu melihat apa yang mereka lakukan"
la membuka mulutnya dan mengeluarkan suara meng-
gelegar, tapi suaranya lebih bernada kesakitan daripada marah; tubuhnya yang
menjelang ajal itu gemetar makin hebat seiring dengan setiap detak jantungnya.
Geneva mengacungkan cerawat itu. Satu mata si cacing yang masih berfungsi
berkedip-kedip. Sejenak hening, kemudian cacing itu berkata,
"Terkutuklah kau, perempuan?"
Dan Geneva pun menembakkan cerawat itu.
Tembakannya meninggalkan jejak merah berasap yang
tampak jelas bahkan dalam cahaya pagi yang tengah
menjelang. Bidikan Geneva cukup bagus. Cerawat itu melesat
masuk ke dalam tenggorokan si naga, dan untuk sesaat makhluk itu jadi tampak
seperti citra dirinya yang selama ini digambarkan dalam mitos-mitos: makhluk
dengan napas api dalam Testamen-Testamen Pottishak yang dihafalkan Geneva semasa
sekolah dulu. "Dan Naga Raksasa Cascatheka Rendithius mendatangi negeri itu seperti wabah
sampar. Dari tenggorokannya keluar api yang menghanguskan bumi...."
Ketika masih kecil, Geneva selalu ketakutan kalau
membayangkan peristiwa tersebut. Tapi sekarang, saat ia melihatnya dengan mata
kepala sendiri - naga yang
sebenar-benarnya, dengan api dari mulutnya - ternyata makhluk ini tidak terlalu
menakutkan. Bagaimanapun, makhluk ini cuma seekor cacing: dangkal, lirik, dan
kejam. Kemudian bubuk mesiu dari cerawat itu meledak. Dua lidah api putih yang terang
membutakan menyulut kedua mata monster itu. Naga itu menjerit; suara jeritan
yang keluar dari neraka perut-perutnya, dari kerongkongannya, dan dari
jantungnya yang tertusuk pedang.
Jeritan itu terdengar cukup lama, kemudian perlahan-lahan makin pelan, makin
pelan, dan akhirnya tak terdengar lagi.
Tubuh naga itu limbung, kedua matanya tinggal berupa lubang hitam, dan tanpa
mengeluarkan suara binatang itu roboh di atas tubuhnya sendiri, seakan-akan
tulang-tulangnya sudah berubah menjadi agar-agar. Ia tidak roboh ke kiri atau ke
kanan, melainkan di atas tubuhnya sendiri, di dalam air yang merah oleh darah,
ambruk dengan begitu anggunnya, hingga nyaris tidak meninggalkan gelombang di
permukaan air ketika akhirnya ia
lenyap dari pandangan. "Terima kasih dan selamat malam," sang kapten berkata dengan nada pahit.
"Cacing," kata Geneva, nadanya sama pahitnya dengan sang kapten. "Aku benci
sekali mereka. Dan sekarang mereka telah mengambil Kiss Curl. Aku bersumpah... aku
bersumpah tidak akan puas sampai semua naga sudah disapu bersih dari kepulauan
ini. Dan dari perairannya juga. Setiap ekornya." Ia menoleh pada Tom dan sang
kapten. "Setuju?"
"Setuju, " keduanya menjawab.
Setelah itu mereka bertiga berdiri dalam diam, mengheningkan cipta sejenak untuk
rekan mereka yang telah tiada.
Sementara mereka mengheningkan cipta, air Laut
Izabella membawa mereka perlahan-lahan ke pantai, sehingga saat mereka selesai
berdoa dan mengangkat kepala, lambung sekoci mereka sudah menyentuh pasir putih
halus Pulau Nonce.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita sudah sampai," kata Tria.
"Finnegan ada di suatu tempat di pulau ini?" tanya Geneva.
"Ya." sahut anak itu.
Tom menggelengkan kepala dengan perasaan tak
percaya. "Kita kembali ke tempat semuanya bermula," katanya.
Siapa sangka?" Mereka tidak bercakap-cakap lagi. Selama beberapa
saat berikutnya, dalam diam mereka mengangkat tubuh John Mischief dan saudara-
udaranya dari sekoci, membawanya ke bayang-bayang teduh pepohonan berbunga
yang berdiri berjajar di pantai itu.
26 RUMAH SI PEMBOHONG CANDY berjalan melintasi perbukitan yang naik turun.
Jalur jalan di hadapannya hanya diterangi bintang-
bintang. Sambil berjalan matanya terus menatap rumah berkubah yang aneh di
puncak bukit. Setiap langkahnya membuat ia semakin letih dan lapar. Ia sangat
berharap kedatangannya disambut ramah di rumah itu, dan mudah-mudahan di sana ia
akhirnya bisa membaringkan kepala untuk tidur. Seluruh anggota tubuhnya terasa
berat, dan kelopak matanya selalu ingin terpejam, hingga ia merasa seperti
sedang berjalan dalam tidur.
Ia menimbang-nimbang, apakah hendak berbaring di
tempat ini saja, meringkuk di rerumputan untuk tidur sejenak, sampai
keletihannya lenyap. Tapi dengan segera ia menepiskan rencana itu. Ia tidak tahu
binatang-binatang jenis apa saja yang tinggal di Ninnyhammer ini.
Jangan-jangan pulau ini dihuni oleh kodok-kodok
beracun, cerpelai-cerpelai pengisap darah, dan ular-ular ganas. Kemungkinan itu
tentu ada, mengingat macam-macam fauna aneh yang ia temui selama perjalanannya
di sini. Maka ia pun meneruskan berjalan, meski langkah kakinya makin pelan
karena kelelahan. Sekitar satu mil dari rumah itu, ia melihat sebuah pilar dengan platform kecil
di atasnya, yang mengobarkan api terang benderang. Barangkali ada dua belas
pilar lainnya di situ, semuanya mengobarkan api di puncaknya.
Kelihatannya pilar-pilar itu menandai batas-batas wilayah pemilik rumah
tersebut. Yang jelas, pilar-pilar tersebut menandai sesuatu, sebab begitu Candy
melewatinya, ia merasakan perubahan
samar dalam atmosfer sekelilingnya. Meski api pada pilar-pilar itu tidak terlalu
besar, cahaya yang dipancar-kannya sangat kuat, tidak sesuai dengan ukuran
pilar-pilar itu. Cahaya itu melipatgandakan bayang-bayang Candy dan membuat
tanah padat di bawahnya seakan-akan
meleleh di bawah kakinya.
Candy juga merasakan kehadiran makhluk-makhluk lain di dekatnya, meski karena
suatu sebab ia tak bisa melihat mereka. Barangkali mereka terlalu gesit untuk
bisa ditangkap oleh matanya yang sudah lelah. Bisa juga mereka tersembunyi di
antara rerumputan panjang. Atau mungkin juga mereka tidak kelihatan - mengingat ia
berada di Abarat, hal ini bukannya tak mungkin. Tapi kadang-kadang ia merasa
mereka menyapu mata kakinya, atau menyenggol bagian belakang kakinya.
Setelah beberapa saat, Candy mulai jengkel dengan
godaan mereka. "Siapa kalian?" kata Candy akhirnya. "Coba tunjukkan diri kalian. Aku paling
benci main sembunyi-sembunyian seperti ini."
Permintaannya segera mendapat reaksi. Dua ekor
binatang - ukurannya dua kali lebih besar daripada
kucing rumah, tapi jelas merupakan keluarga kucing juga - muncul dari balik
sekumpulan batu karang di dekat sana. Warna bulu mereka cokelat-kemerahan dan
jingga menyala, dengan garis-garis hitam serta mata besar bersinar-sinar.
"Kalian kelihatannya lapar," kata Candy pada mereka.
"Tapi percuma kalian memandangiku. Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan."
Sebagai jawaban, kucing yang lebih kurus mem-
perdengarkan bunyi meong melengking yang menggelitik bulu kuduk. Dalam tiga
puluh detik, enam ekor kucing dari persembunyian. Mereka semua mengamati Candy
dengan sangat tajam melalui mata mereka yang besar, seperti kedua kucing
sebelumnya. Candy merasa agak takut. Apakah kucing-kucing ini
sedang mengamat-amatinya untuk dimakan" Kalau tidak, kenapa mereka terus-menerus
mengikutinya begitu dekat, seakan-akan sedang mengendus-endus dagingnya"
Candy berhenti untuk kedua kali, menoleh pada
mereka, dan berkata, "Bisa tidak kalian berhenti memandangiku terus" Apa kalian
tidak tahu bahwa itu tidak sopan?"
Entah mereka mengerti atau tidak, yang jelas mereka tidak memberi respons.
Mereka masih juga mengikuti Candy, memandanginya dan terus memandanginya
sementara ia melangkah sepanjang jalan setapak sempit yang berkelok-kelok naik
menuju rumah berkubah itu.
Malah semakin dekat Candy ke rumah itu, semakin
gelisah kucing-kucing itu jadinya. Sekarang mereka bukan hanya mengikutinya dari
belakang. Mereka lari mendahuluinya, bolak-balik di depannya, seolah-olah ingin
membuat ia terjungkal. Sambil mondar-mandir mereka semua memperdengarkan suara
lengkingan nyaring seperti tadi. Kedengarannya seperti jeritan jiwa-jiwa yang tersiksa. Perut Candy
jadi mulas mendengarnya. Akhirnya ia tidak tahan lagi. Dengan gesit ia meloncati kucing-kucing yang
menghalangi jalannya, lalu lari sekencang mungkin ke rumah tersebut. Kucing-
kucing itu mengejarnya, suara lengkingan mereka semakin meningkat dan tidak
terkendali lagi ketika Candy semakin mendekati ambang pintu rumah itu.
Ia bisa merasakan embusan napas mereka yang panas
di belakang kakinya saat ia berlari, dan ia khawatir salah satu yang paling
cepat dari mereka akan melompat
menerkamnya setiap saat, menancapkan kuku-kuku tajam di kakinya, hingga ia tak
bisa lari lagi. Sejauh ini ia berhasil mendahului mereka, tapi kejar-kejaran ini
membuatnya sangat lelah. Ketika ia mencapai rumah itu, napasnya terengah-engah,
paru-paru dan tenggorokannya serasa terbakar.
Ia menggedor-gedor pintu dan berteriak sekeras yang dimungkinkan oleh
tenggorokannya yan gpanas bagai
terbakar. "Ada orang di rumah?"
Tak ada jawaban. Ia menggedor-gedro lagi, memanggil-manggil dengan
keras. Pada saat itu, kucing-kucing sudah berhasil menyusulnya. Tapi, entah
kenapa, mereka tidak menyerangnya. Mereka hanya berjalan mondar-mandir, dua-
tiga meter di ambang pintu, sambil melolong-lolong nyaring.
"Tolong aku, tolong!" Candy berkata sambil kembali menggedor-gedro pintu.
Kali ini ia mendengar suara orang bergerak di balik pintu.
"Cepatlah," ia memohon.
Beberapa saat kemudian, pintu dibuka oleh seorang
pria bertampang masam yang mengenakan setelan ber-
warna kuning cerah. Tubuhnya pendek, tapi ia kelihatan lebih tinggi karena
mengenakan beberapa topi yang
bentuknya jelek di kepalanya. Semua topi itu dipakai bertumpuk satu sama lain.
la juga membawa satu topi di masing-masing tangannya, dan topi-topi itu pun
ditambah-kannya di atas tumpukan yang berantakan di kepalanya.
Kemudian ia mengambil sebatang tongkat panjang yang disandarkan di balik pintu
depan. Dengan tegas ia berkata, "Minggir, Nak," lalu ia keluar mengejar kucing-
kucing itu dengan tongkatnya.
"Pergi jauh-jauh, binatang-binatang jelek menjijikkan!"
teriaknya. "Kau, Nak, masuk ke dalam!"
Kucing-kucing itu tercerai-berai hingga berada pada jarak yang aman dari tongkat
laki-laki itu. Tapi kemudian mereka mulai mondar-mandir kembali sambil melolong-
lolong dengan suara melengking.
"Terima kasih," kata Candy pada penyelamatnya. "Aku yakin sekali mereka
bermaksud menyerangku."
"Oh, sudah pasti," laki-laki itu menjawab tanpa tersenyum. "Aku tidak ragu soal
itu. Mereka dikirim oleh setan sendiri untuk menyiksaku, kucing-kucing-Tarrie
sialan itu." "Kucing-kucing-Tarrie?"
"Ya. Kucing-kucing-Tarrie. Mereka mempunyai kota sendiri di sisi seberang pulau
ini. Namanya High Sladder.
Heran, kenapa mereka tidak tetap tinggal di wilayah mereka saja. Apa ada dari
mereka yang mencakarmu?"
"Tidak, mereka tidak mengapa-apakan aku. Aku cuma ketakutan karena mereka
mengejarku. Selain itu, suara yang mereka perdengarkan..."
"Mengerikan, bukan?" kata orang itu dengan masam. Ia mengibaskan tangan,
menyuruh Candy menepi, supaya ia bisa mengunci bagian atas, tengah, dan bawah
pintu. "Percayalah, kau mesti merasa takut pada makhluk-makhluk itu. Mereka semua
pernah menghabisi nyawa orang yang tidak tahu apa-apa."
"Masa?" "Berani sumpah! Anak-anak ada yang mati tercekik oleh bola-bola bulu mereka.
Bayi-bayi diisap darahnya sampai habis oleh kutu-kutu kucing-Tarrie yang
besarnya seukuran ibu jariku. Kau beruntung sanggup lari mendahului mereka.
Kalau tadi kau terpeleset dan jatuh, dalam sekejap mereka bakal langsung
menerkammu. Aku melihatmu dari jendelaku yang besar itu" - ia menunjuk ke atas
tangga, kemungkinan ke arah kubah rumah tersebut - dan aku juga membaca sedikit
mantra untukmu, supaya kau bisa lari lebih cepat. Mudah-mudahan itu bisa
menolong." "Yah, mantra itu pasti ada pengaruhnya. Buktinya, di sinilah aku sekarang."
"Ya, kau di sini. Dan aku senang melihatmu," Ia meletakkan togkatnya, lalu
berbalik pada Candy dan men-jabat tangannya. "Namaku Kaspar Wolfswinkel: filsuf,
tukang sihir, dan pakar sekaligus penikmat rum. Dan kau adalah...?"
"Candy Quackenbush."
"Quackenbush. Quack. En. Bush. Itu bukan nama khas Abarat"
"Memang-memang bukan. Aku cuma pendatang di sini, begitulah."
Wajah Kaspar yang berkerut-kerut dalam dan jelek
seperti tampak sangat terpesona.
"O ya?" katanya dengan nada sambil lalu. "Kau cuma pendatang" Dari..." Ia
membuat gerakan melingkar-lingkar di udara dengan satu jarinya. "Dari tempat
satunya itu, barangkali?"
"Dari Hereafter" Ya."
"Wah, wah," kata Wolfswinkel. "Jauh sekali perjalanan yang telah kautempuh. Dari
sana ke..." "Kemari?" kata Candy.
"Ya, begitulah. Dari sana kemari. Itu jauh sekali." la tersenyum, namun senyuman
itu tampak janggal di wajahnya yang lebih cocok memperlihatkan ekspresi muram
dan cemberut. "Wah, kau pasti tak bisa membayangkan betapa senangnya aku
mendapat kunjunganmu di rumahku ini."
"Apa Anda tinggal sendirian di sini?"
"Yah, kurang-lebih begitulah," kata Kaspar. la mengajak Candy ke ruang tamunya.
Melihat keadaan di situ, Candy jadi merasa ruang percetakan Samuel Klepp jauh
lebih rapi. Buku-buku, pamflet-pamflet, dan kertas-kertas bertebaran di mana-
mana, kecuali di sebuah kursi kulit empuk warna hijau. Wolfswinkel duduk di
kursi itu, sedangkan Candy dibiarkan berdiri saja. "Sebagian besar kerabatku dan
teman-temanku sudah meninggal," ia melanjutkan. "Menjadi korban-korban perang
yang dikobar-kan oleh kucing-kucing sialan itu" la menghela napas. "Dulu
Ninnyhammer ini tempat yang indah bagai-kan surga, sampai kemudian kucing-
kucing-Tarrie itu membangun pemukiman kumuh yang mereka sebut kota. Aku ini
sudah tua. Sudah setengah pensiun. Pulau ini mestinya merupakan pulau yang tepat
bagiku untuk menghabiskan hari tuaku.
Aku ingin bisa duduk-duduk nyaman sambil minum rum dan merenungkan perjalanan
hidupku. Apa-apa saja yang
telah ku lakukan, apa-apa saja yang belum kuselesaikan.
Kau tahu maksudku, tentunya. Tapi tentu saja tak ada yang kusesali."
"Oh," kata Candy. "Kurasa baguslah kalau begitu." Ia agak bingung harus berkata
apa mengenai urusan penyesalan ini, maka ia mengalihkan pembicaraan ke topik yang lebih dipahaminya.
"Anda pasti kesepian di sini," katanya.
"Ya," sahut Kaspar. "Aku jelas merasa kesepian. Tapi ada yang lebih berat
daripada kesepian. Yakni berbagai kenangan itu."
"Tentang apa?" Tentang keadaan di Ninnyhammer ini dulunya, sebelum kedatangan kucing-kucing-
Tarrie. Mereka mengubah pulau yang indah ini menjadi mimpi buruk. Sungguh.
Sekali-sekali aku keluar mengambil persediaan bahan bakar untuk api-api itu..."
"Api-api di tonggak-tonggak itu?"
"Ya. Setidaknya aku jadi bisa melihat musuh-musuhku dengan adanya api-api itu.
Tapi aku selalu ketakutan, kalau-kalau suatu saat nanti aku kehabisan bahan
bakar, dan..." "Api-api itu padam."
"Tepat sekali. Kalau itu sampai terjadi... wah... rasanya riwayatku bakal tamat,
dan Kaspar Wolfswinkel juga akan tinggal kenangan."
"Tentunya ada cara untuk menangkap kucing-kucing itu,"
kata Candy. "Di rumahku di Chickentown..."
"Apa" Chickentown" Apa itu Chickentown?"
"Itu nama kota tempat tinggalku. Atau lebih tepatnya, tempat aku dulu tinggal."
"Konyol sekali sebuah kota dinamakan demikian,"
Wolfswinkel berkomentar. Nada suaranya membuat Candy jadi agak defensif.
" Ninnyhammer juga nama yang aneh," katanya.
Sepasang mata Wolfswinkel menyipit licik. "Aku sebenarnya tidak berasal dari
pulau ini" katanya. "O ya" Lalu kenapa Anda tinggal di sini?"
"Ceritanya panjang sekali. Mungkin nanti saja kuceritakan padamu. Bagaimana
kalau kau duduk saja" Kelihatannya kau capek." Candy melayangkan pandang di
seputar ruangan itu, mencari-cari tempat untuk duduk. Melihat bahwa semua kursi
ada isinya, Wolfswinkel menggumamkan sesuatu dengan pelan dan membuat gerakan
singkat ke arah salah satu kursi yang lebih kecil. Tumpukan buku yang bertengger
di kursi tersebut meloncat menyingkir seperti sekumpulan burung yang terkejut.
"Sekarang duduklah" katanya.
"Bolehkah aku membuka sepatu?"
"Silakan saja. Akan kuambilkan makanan untukmu.
Anggap saja di rumah sendiri."
"Kakiku sakit sekali, mau mati aku rasanya."
"Aku dulu punya kenalan yang kakinya seperti itu. Kaki-kaki itu suka berjalan
menginjak-injaknya. Archie
Kashanian nama orang itu. Kalau bangun tidur, dia suka melihat jejak-jejak kaki
di sekujur dada dan wajahnya.
Akhirnya dia mati gara-gara kaki-kakinya itu."
Candy tidak tahu apakah Kaspar sedang bercanda
atau tidak. Ia takut Kaspar tersinggung kalau ia tertawa, maka ia berusaha
menahan diri, walaupun rasanya
sungguh tidak masuk akal membayangkan orang bisa mati karena diinjak-injak oleh
kakinya sendiri. Sekali lagi Candy mengubah topik pembicaraan.
"Di Hereafter," katanya, "ada petugas-petugas yang khusus menangkapi binatang-
binatang telantar dan men-carikan rumah baru untuk mereka. Kalau tidak ada yang
mau menampung hewan-hewan ini, mereka dibius mati."
"Mencarikan rumah?" kata Wolfswinkel, nadanya kaget dan tak percaya. "Siapa yang
mau menampung monster-monster itu" Tempat mereka di neraka sana; itu satu-
satunya rumah yang pantas untuk kucing-kucing-Tarrie itu.
Tapi mereka sukar ditangkap. Mereka gesit sekali.
Mereka mesti dikelabui. Dengan racun! Begitulah caranya.
Kaulihat sepiring ikan di meja dekat pintu itu" Ikan itu mengandung cukup asam
scathrassic untuk membunuh gerombolan mereka. Tapi mereka tidak percaya padaku."
Ia diam sejenak, kemudian menjentikkan jemarinya.
"Tunggu dulu," katanya. "Barangkali saja kau bisa lebih beruntung! Ya, aku yakin
kau bisa lebih beruntung!"
"Aku?" tanya Candy.
"Ya, kau! Kalau mereka melihatmu mengeluarkan piring ikan itu - mereka kan belum
begitu mengenalmu - mungkin mereka terkecoh dan mau memakannya." Ia tampak sangat
puas dengan rencananya ini. "Sikapmu mesti kelihatan biasa-biasa saja..." ia
hendak bangkit dari kursinya.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu!" kata Candy. "Aku tidak ingin mengecewakan Anda, Mr. Wolfwinkel,
apalagi Anda sudah begitu baik padaku. Tapi aku tidak mau disuruh meracuni
kucing." "Kalau mereka cuma kucing-kucing biasa, aku bisa memahami prgulatan batinmu,
Miss Quackenbush. Tapi mereka bukan kucing biasa. Mereka itu kucing-kucing
setan. Percayalah padaku. Kucing-kucing setan. Mereka sudah mencelakai banyak
orang-bukan hanya aku, tapi juga orang-orang malang yang tidak tahu apa-apa di
pulau seberang Ninnyhammer - dan diracuni dengan asam seatharassic itu sebenarnya
belum apa-apa dibanding hukuman yang selayaknya mereka peroleh, percayalah.
Kalau ada keadilandi langit sana, biar mereka disambar petir semuanya."
Sebelum Candy sempat menjawan ledakan kemarahan
tuan rumahnya ini, dari ruang sebelah terdengar suara.
"Suara apa itu?" tanyanya.
"Oh, cuma suara angin," Wolfswinkel cepat-cepat menjawab. "Tak usah dihiraukan."
"Kedengarannya tidak seperti suara angin," kata Candy sambil bangkit dari
kursinya. "Kedengarannya seperti suara orang. Orang menangis."
"Oh! Menangis! Hmmm, ya. Memang ada tangisan! Aku tak ingin membuatmu takut
waktu kau baru datang tadi, tapi memang ada beberapa pelayat di rumah ini
bersamaku." "Pelayat?" "Salah seorang sahabatku - sahabat yang amat sangat kusayangi - meninggal diserang
kucing-kucing-Tarrie itu kemarin; dan kami sedang mengadakan acara tutup peti
untuknya. Berkumpul bersama-sama untuk mengenangnya, sambil bertukar cerita
tentang kebaikan-kebaikannya semasa hidup."
"O ya?" kata Candy. Rasanya ada yang tidak benar dalam penjelasan tersebut.
"Kalau memang sedang ada acara tutup peti," katanya, "kenapa Anda mengenakan
setelan berwarna kuning cerah?"
Wolfswinkel memandangi setelannya yang kuning
seperti kunyit, lalu pura-pura memperlihatkan ekspresi terkejut. "Jadi, setelan
ini warnanya kuning?" katanya.
"Apa kau yakin?"
"Ya." "Aduh duh," katanya dengan nada memelas. "Kaspar yang malang. Kebutaannya sudah
makin parah rupanya."
"Maksud Anda, Anda tidak tahu setelan ini berwarna kuning?" kata Candy; ia
semakin yakin bahwa kecurigaannya beralasan, dan entah kenapa laki-laki kecil yang aneh ini telah
membohonginya. "Ya," kata Kaspar sambil menempelkan satu tangan di dahinya, seakan-akan apa
yang terjadi itu terlalu berat untuk ditanggungnya. Tapi Candy tidak begitu saja
percaya akan sandiwaranya. Sekarang ia ingin sekali mencari tahu, siapa yang
telah mengeluarkan suara tangisan yang didengarnya itu.
Ia bangkit dari kursinya dan beranjak ke pintu sebelah, tempat suara isakan itu
tadi terdengar. "Kalau begitu, di mana pelayat-pelayat itu berada?"
katanya sambil berjalan. Kaspar bangkit untuk mencegahnya, tapi ia kurang gesit.
Candy sudah keburu masuk ke ruang sebelah.
Seperti telah ia perkirakan, di ruangan itu sama sekali tidak ada peti jenazah,
jenazah, atau seorang pelayat pun. Yang tampak olehnya hanyalah sebuah ruangan
gelap yang berantakan. Di salah satu temboknya
tergantung foto Kaspar berukuran besar, sedang duduk di punggung seekor binatang
yang kelihatannya merupakan persilangan antara seekor trenggiling raksasa dan
onta. "Tidak ada acara tutup peti di rumah ini!" kata Candy dengan marah. "Kau
berbohong padaku. Aku tidak suka pembohong!"
Kaspar telah mengikutinya ke ruang sebelah. "Lalu kenapa memangnya kalau aku
berbohong?" sahutnya tak acuh. "Ini kan rumahku. Aku boleh saja berbohong di
rumahku, kalau aku mau. Aku juga boleh saja lari-Iari telanjang bulat keliling
rumah sambil teriak-teriak haleluya kalau itu yang kuinginkan."
"Apa tidak pernah ada yang mengajarimu bahwa
berbohong itu sangat tidak terpuji?"
"Mungkin aku tidak tahan untuk tidak berbohong," sahut Kaspar. "Mungkin aku
mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan, yang membuatku berbohong. Kaspar
yang malang." "Oh," kata Candy. "Apa benar kau mengidap penyakit semacam itu?"
"Mungkin ya. Mungkin tidak."
"Oh, sudahlah" bentak Candy yang kesabarannya sudah hampir habis. "Apa tidak
bisa katakan yang sebenarnya saja?"
"Hmmm... ya, bisa saja. Tapi apa asyiknya kalau begitu?"
"Tahu tidak?" kata Candy. "Percakapan ini konyol. Dan kau juga laki-laki kecil
yang konyol." la membalikkan badan dan mulai berjalan ke arah pintu ke luar.
"Aku tidak bakal melangkah ke luar sana kalau aku jadi kau. Kucing-kucing-Tarrie
itu masih ada di luar."
"Lalu kenapa memangnya?" sahut Candy. "Aku lebih suka ambil risiko berada di
luar bersama mereka daripada tinggal di sini lebih..."
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Kaspar sudah melangkah ke ambang
pintu, menghalangi jalannya.
"Apa-apaan ini?" kata Candy. "Minggir, jangan halangi aku."
Kaspar tidak menjawab. Ia hanya mengangkat satu
lengannya, menempelkan tangannya yang berjemari
gemuk pendek di wajah Candy, lalu mendorong.
Candy terjungkal ke belakang, kakinya tersangkut
keset yang kusut. Ia pun jatuh terduduk, tulang ekornya menghantam lantai.
Sakitnya bukan main, dan ia menjerit.
"Sebaiknya kauhentikan sikapmu yang suka sok menilai orang, Nona Cilik," kata
Wolfswinkel; sekarang wajahnya sama sekali tidak menampakkan sisa-sisa
kebaikannya tadi sedikit pun. Ia berdiri di atas Candy dan menatap mata Candy
lekat-lekat. "Percayalah, aku pernah berbuat yang lebih jahat dalam hidupku,
bukan cuma berbohong. Jauh lebih jahat." "Aku percaya," sahut Candy perlahan.
Ia hendak bangkit berdiri, tapi dengan gesit
Wolfswinkel menendang kedua kakinya, hingga ia terjatuh lagi. Sekarang ia mulai
merasa agak takut terhadap Wolfswinkel. Penampilan orang ini memang seperti
badut, dengan topi-topi konyolnya serta setelan kuningnya itu, tapi bukankah
sejak dulu ia juga agak takut pada badut"
"Aku ingin pergi sekarang," katanya pada Wolfswinkel.
"Ingin pergi, ya" Wah, sayangnya tidak bisa. Kau akan tinggal di sini
bersamaku." "Kau tidak bisa menahanku di sini. Aku bukan..."
"... anak kecil" Bagiku kau cuma anak kecil. Bagiku kau ini masih bayi. Bayi
yang tidak punya siapa-siapa untuk melindungi. Aku berani bertaruh, tak seorang
pun tahu kau ada di sini."
Candy tidak menjawab, namun sikap diamnya itu justru membuat Wolfswinkel yakin
bahwa dugaannya benar. "Aku tidak bohong tentang satu hal," kata Kaspar.
"Tentang apa" "Aku memang mengucapkan mantra ketika aku melihatmu. Aku berharap kau membuat
kesalahan dengan meng-abaikan kucing-kucing-Tarrie itu, padahal sebenarnya
mereka berusaha memperingatkanmu supaya tidak
datang kemari. Dan lihat, ternyata mantraku ampuh! Kau jatuh ke tanganku,
seperti seekor ikan kecil yang bodoh."
"Tadi aku seperti bayi, sekarang aku seperti ikan," kata Candy ketus. "Pilih
salah satu saja!" Semakin lama ia semakin takut pada Wolfswinkel,
namun ia tak ingin menunjukkannya.
"Aku salah," kata Kaspar. "Kau bukan bayi, juga bukan ikan. Kau ini sandera."
" Apa" " "Kaudengar, kan" Kau ini sandera. Aku berani bertaruh di luar sana ada orang-
orang yang bersedia membayar beberapa ribu zem untuk mendapatkanmu."
"Wah, kau bakal kecewa kalau begitu," kata Candy.
"Aku tidak punya teman satu pun di Abarat."
" Nah, sekarang siapa yang berbohong?" Wolfswinkel berkata sambil membungkuk
untuk mencolek Candy. "Kau pasti punya teman-teman. Gadis cantik seperti kau
tidak punya teman" Barangkali ada setengah lusin cowok yang tergila-gila
padamu." Candy tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan
konyol itu. "Kalau begitu, kau tentunya punya keluarga."
"Tapi mereka tidak di sini," kata Candy. Sambil berbicara, ia mengira-ngira
seberapa cepatkah ia bisa meloloskan diri dari antara kedua kaki Wolfswinkel
untuk menuju pintu. "Orangtuaku ada di..."
"Chickentown?" "Ya." "Hmmm," kata Wolfswinkel. "Kita lihat saja. Aku pasti bisa menemukan seseorang
di sini yang menginginkanmu.
Seseorang yang bersedia membayar untuk memperoleh-
mu. Malingo" Di mana kau" Malingo! Tunjukkan dirimu padaku sekarang juga. Kalau
tidak, kusamak kulitmu buat dijadikan sepatu bot."
"Aku di sini," sebuah suara berkata dari atas. Dan di sana - bergelantungan dengan
kepala di bawah, dari sebuah palang di atap - tampak makhluk yang wajahnya menyerupai topeng Halloween.
Kulitnya berwarna jingga berbintik-bintik. Tepi-tepi kedua matanya berupa
lingkaran gelap, dan kedua pupilnya berupa irisan berwarna gelap juga. Di
kepalanya ada empat buah tanduk ber-bonggol-bonggol. Dua helai kulit liat
berbentuk kipas mengembang di kedua sisi kepalanya, sebagai pengganti telinga
normal. Ia mengenakan T-shirt yang sudah kotor, dan celana panjang yang lebih
kotor lagi. Penampilan makhluk itu pasti sangat menakutkan, kalau saja ekspresi wajahnya
tidak sesedih itu. Melihatnya, Candy jadi teringat isak tangis yang didengarnya
ketika ia baru datang di rumah itu. Pasti si Malingo inilah yang menangis.
"Cepat turun dan pegangi anak sial ini," Wolfswinkel memerintahkan. "Sekorang!"
"Aku turun, aku turun!"
Malingo mulai menuruni palang-palang kayu itu.
Tapi sebelum ia sampai di tanah, Candy sudah
meloloskan diri. Ia mendorong perut Kaspar dengan dua tangan, kemudian lari ke
pintu yang ada di antara kedua ruangan tersebut, dan melesat ke ruang depan.
Sekarang Malingo sudah berada di tanah. Candy bisa mendengar suara ketepuk
kakinya yang telanjang berlari mengejar di lantai ubin. Ia gesit sekali. Candy
belum lagi sampai di bagian tengah ruangan ketika Malingo berhasil
menangkapnya. "Jangan berontak," katanya lembut. "Bisa lebih buruk akibatnya untuk kita berdua
kalau kau melawannya, percayalah." Mendengar suara Malingo yang bernada lembut itu,
Candy mengangkat wajah dan membalas tatapannya. Ia sama sekali tak mengira akan
melihat sorot ramah dan manis terpancar dari mata itu. Wajah Malingo yang seram
seperti topeng Halloween ternyata menyembunyikan sifat yang jauh lebih lembut.
"Bawa dia kemari," Wolfswinkel berteriak. "Dan cepat-lah."
Dengan patuh Malingo menarik Candy menjauhi pintu
depan, masuk ke ruang kedua. Kaspar sedang berdiri di hadapan sebuah cermin
panjang, mengatur-atur letak topi-topi berbentuk aneh di kepalanya.
"Kusarankan kau menuruti nasihat Malingo," kata Wolfswinkel. "Jangan sampai kau
merasakan akibat yang tidak enak dariku."
Candy tidak mengacuhkannya. Ia masih terus meronta-ronta untuk membebaskan diri
dari cengkeraman Malingo.
Tapi sia-sia saja. Malingo jauh lebih kuat daripada dirinya. Selain sangat kuat,
Malingo juga mengeluarkan bau yang membuat kepala pusing - semacam bau pahit-pahit
manis campuran antara cengkeh, kayu manis, dan limau busuk.
"Dengar, Nak," kata Wolfswinkel, "kau mesti tenang.
Kau cuma bakal capek sendiri meronta-ronta begitu. Aku tidak akan
mencelakakanmu, asalkan kau bersikap baik."
Kaspar meninggalkan cermin itu dan berjalan ke
seberang ruangan. Di sana sekotak besar ubin sudah dicat berwarna biru terang.
Pada masing-masing sudut kotak itu ada sebatang lilin gemuk pendek.
"Lilin-lilin, menyalalah," kata Kaspar, dan dengan mengeluarkan suara pelan
seperti satu sentakan napas, masing-masing lilin itu menyala sendiri.
"Lebih terang!" perintah Kaspar. Lidah api lilin-lilin itu menjadi lebih
panjang, cahayanya mengalahkan lampu-lampu lain di ruangan tersebut.
"Nah" kata Kaspar; ia kembali mengalihkan perhatiannya pada Candy. "Coba kita
lihat, rahasia-rahasia apa saja yang kausembunyikan dariku. Malingo, kau
sudah tahu apa yang mesti dilakukan."
Malingo mendorong Candy ke arah kotak bercat biru
itu. "Jangan khawatir," bisiknya. "Tidak akan sakit kok."
"Aku dengar ucapanmu," kata Wolfswinkel. "Heran, buat apa kau baik-baik pada
gadis itu. Dia toh tak ada manfaatnya bagimu."
"Aku hanya..." "Diam!" bentak Kaspar. "Masukkan dia ke dalam cahaya! Ayo!" Malingo kembali
mendorong Candy dengan pelan. Candy terdorong masuk ke dalam kotak tersebut.
Pada saat itu juga ia merasa seolah tubuhnya melewati sebuah pembatas tak
terlihat. Di dalam kotak itu ia merasakan tekanan yang aneh pada tubuhnya,
seolah-olah udara di dalam kotak lebih berat daripada udara di luar, dan udara
itu menekannya dari segala sisi. Ini sama sekali tidak menyenangkan. Tekanan
tersebut membuat ia sulit menarik napas, dan kepalanya pun berdenyut-denyut
sakit sekali. Bukan itu saja; berada di dalam kotak bercat itu, ia jadi terisolasi dari dunia
di luar. la bisa melihat Wolfswinkel memberikan perintah ini-itu pada Malingo,
tapi ia tak bisa mendengar suara apa pun. Jelaslah bahwa ada semacam tembok yang
tidak tampak di sekelilingnya. Ia menguji dugaannya ini dengan cara mengulurkan tangannya.
Jemarinya serasa menyentuh
lemak dingin. Udara berat itu membeku di kulitnya.
Rasanya memuakkan sekali, sampai-sampai Candy
menarik kembali tangannya sebelum ia sampai pada
batas-batas ketahanannya.
Sementara itu, Wolfswinkel sedang mengayun-ayunkan tongkatnya ke sana kemari,
seperti orang sedang menuliskan huruf-huruf di udara.
Lilin-lilin berkedap-kedip; kotak itu berdenyut-denyut di seputar Candy.
Sekonyong-konyong dengan ngeri Candy merasa ada
sesuatu yang menarik-nariknya. Bukan menarik tangannya atau lengannya, melainkan
suatu tempat di bagian tengah kepalanya. Tarikan itu tidak membuat sakit
kepalanya bertambah, tapi tetap saja ia merasa diserang. Seolah-olah Wolfswinkel
sedang merogoh-rogoh bagian dalam kepalanya untuk menarik sesuatu keluar. Ia
melihat bercak-bercak aneh berupa citra-citra yang muncul di udara, di ujung
tongkat Wolfswinkel. Setelah citra-citra tersebut menyatu dan terfokus utuh,
barulah ia menyadari bahwa ia mengenali citra-citra tersebut. Ada sepuluh, dua
puluh, tiga puluh gambar yang muncul, semuanya diambil dari memori-memorinya.
Tampak Followell Street 34, jalanan tempat ia begitu sering berdiri sambil
membayangkan tempat-tempat jauh. Tampak pula kamar
tidurnya, wajah ibunya, pekarangan sekolah, dan rumah Ibu Janda White yang
halaman depannya dihiasi kincir-kincir aneka warna.
Kelihatannya Wolfswinkel sama sekali tidak tertarik pada gambar-gambar tersebut.
Dengan jengkel ia mengibaskan tongkatnya, menghapuskan semua citra itu.
Lalu ia mengumpulkan tenaga untuk percobaan berikutnya. Serangkaian citra lain
muncul dari kepala Candy.
Lebih baru. Pertama-tama tampak mercu suar itu, dan dermaga reyot Hark's Harbor.
Kemudian ada Mischief dan Shape serta air Laut Izabella yang bergolak. Lalu ada
para Sea-Skipper, dan Yebba Dim Day.
Namun, di antara sekian banyak gambar yang sudah
akrab di mata Candy, ada satu yang tidak ia kenali.
Sebuah bentuk dari cahaya biru-kehijauan yang tampak seperti sepotong jalinan
pita pendek yang dibekukan. Ada butir-butir kristal kecil gemerlapan pada pita
itu. Dari salah satu ujungnya terpancar jalur-jalur cahaya terang yang memecah
menjadi titik-titik kecil sinar yang sangat benderang, sebelum akhirnya melebur
dengan udara. Melihat pemandangan tersebut, Wolfswinkel terdiam
sejenak, kedua pipinya yang sudah merah semakin
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memerah. Tampak ekspresi kaget yang amat sangat di wajahnya, ekspresi tak
percaya. "Wah wah wah, coba lihat itu," gumamnya.
Seulas senyum jahat dan licik mulai mengembang di
bibirnya. Dilepaskannya tongkatnya, dibiarkan berdiri sendiri. Ia meludah ke
telapak tangan, lalu menggosok-gosok kedua tangannya, dan menyekanya di kaki
celana panjangnya. Sekarang tangannya sudah siap, dan ia
mengulurkannya untuk mengambil benda aneh yang
dikeluarkannya dari dalam pikiran Candy. Benda yang tidak nyata itu (bagaimana
mungkin benda itu nyata, kalau terbuat dari pikiran semata-mata") ternyata bisa
menjadi cukup nyata dan berwujud setelah berada dalam genggaman tangannya.
Rasa sakit yang amat sangat menghantam tengkorak
kepala Candy ketika jemari Wolfswinkel berhasil
menguasai benda tersebut. Candy serasa melihat bercak-bercak cahaya putih di
sudut-sudut matanya. Dengan cepat bercak-bercak ini menyebar, dan dalam beberapa
saat saja ia sudah kehilangan penglihatannya.
Kedua kakinya sekonyong-konyong terasa lemas. Ia
tersungkur ke depan, menimpa dinding tak tampak di dalam kotak biru tempatnya
berada. Lalu ia pun ambruk di lantai.
Yang terakhir diingatnya adalah suara Malingo yang terdengar dari sebelah luar
kotak. Malingo tidak menyebutkan namanya, melainkan hanya berseru cemas. Untuk sesaat
suara teriakannya itu mendengung-dengung di kepala Candy yang berdenyut-
denyut sakit. Kemudian suara itu semakin pelan dan semakin pelan, dan ia pun tak
sadarkan diri lagi. 27 BERCAKAP-CAKAP DENGAN CRISS-CROSS MAN KETIKA Candy tersadar dari pingsannya, kepalanya
terasa sakit luar biasa. Tapi setidaknya ia tidak lagi berada di dalam kotak
"penjara" hasil ciptaan Kaspar Wolfswinkel. Sekarang ia terbaring di sebuah
chaise lounge beludru yang padat dan keras, bersama setumpuk buku tua. Ia duduk,
memegang dahinya yang berdenyut-denyut. Rasanya ia agak demam, kedua matanya
serasa terbakar di balik kelopak matanya kalau ia berkedip-kedip.
Wolfswinkel sedang berbicara di ruang sebelah,
kedengarannya itu gembira dan bersemangat.
"Ya... ya... aku tahu apa yang kuperoleh itu, percayalah! Kunci Piramida itu ada
di tanganku. Ada orang yang memasukkan Kunci itu ke dalam pikirannya, tapi aku
sudah berhasil memperolehnya sekarang."
Candy bangkit berdiri, mencoba melawan rasa pusing yang menyerangnya. Ia
beranjak ke pintu di antara kedua ruangan tersebut. Namun, saat ia mendekati
pintu itu, sesosok tubuh muncul di hadapannya, dari atas. Ternyata Malingo. Ia
bergelantungan dengan kepala di bawah, dari palang-palang di langit-langit. Ia
menempelkan satu jarinya yang panjang, jingga, dan agak bengkok itu ke bibirnya.
Candy menunjuk ke arah pintu, mengisyaratkan bahwa ia ingin melihat Wolfswinkel.
Tapi Malingo mengibaskan tangan, menyuruhnya menyingkir. Candy
menuruti perintahnya. Meski penampilannya mengerikan, ada sesuatu dalam sorot
mata Malingo yang membuat
Candy bukan saja menyukainya, tapi juga merasa bisa mempercayainya.
Malingo memanjat ke langit-langit, masih dengan posisi kepala di bawah, kemudian
merambat turun di tembok, menggunakan celah-celah kecil di permukaannya sebagai
tempat berpegangan untuk kaki dan tangannya. Setelah itu ia jungkir balik dan
melompat lincah ke tanah, sekitar tiga-empat meter dari Candy; ekspresi dan
posturnya tampak waspada, seolah-olah khawatir kalau-kalau ia bakal kena pukul
setelah bersusah payah hingga sejauh ini.
"Jangan takut," bisik Candy. "Aku tidak akan memukulmu. Kau tidak usah takut
padaku." Malingo beringsut-ingsut mendekatinya.
"Kau mesti keluar dari sini," ia berbisik. "Majikanku orang yang sangat kejam,"
"Kalian berdua membicarakan apa?" Wolfswinkel berteriak dari ruang sebelah.
"Perlihatkan dirimu, Nak!
Sekarang juga! " Candy tahu bahwa lebih bijaksana kalau ia mematuhi laki-laki kecil yang jahat
itu daripada mendebatnya.
Maka ia melangkah ke pintu, memperlihatkan dirinya.
Wolfwinkel sedang duduk di kursi kulit berlengan,
sambil berbicara di sebuah pesawat telepon antik.
"Aku sedang berbicara dengan seseorang yang sangat menaruh minat terhadapmu,"
katanya. "O ya?" sahut Candy sambil angkat bahu sedikit.
"Sepertinya kau cukup terkenal, Candy Quackenbush.
Setidaknya begitulah yang kudengar." Lalu ia kembali mengalihkan perhatian pada
orang yang sedang berbicara dengannya di telepon. "Ya, dia ada bersamaku sekarang. Dia berdiri
tepat di hadapanku. Oh, tingginya sekitar seratus enam puluh, seratus enam puluh
dua. "Jadi, apa yang mesti kulakukan dengannya, Otto"
Kira-kira berapa harganya di pasar bebas?" Rupa-rupanya lawan bicara Wolfswinkel
menjadi marah mendengar pertanyaan itu, sebab Wolfswinkel kemudian berkata, "Tenang dulu,
Otto. Aku cuma bercanda. Aku tahu Carrion menginginkannya. Tapi yang pantaslah.
Kalau dia menginginkan Kunci dan gadis ini sekaligus, aku ingin minta imbalan
yang memuaskan. Wajar saja, bukan"
Ninnyhammer" Tidak, aku tidak berminat pada
Ninnyhammer. Kalau semua urusan ini sudah selesai, aku tak ingin lagi melihat
pulau karang sialan ini. Tidak. Aku ingin jadi Penguasa Babilonium! Atau Commexo
City! Mana sajalah, asal jangan di sini. Aku sudah muak tinggal di pulau yang para
penghuninya dalam keadaan
setengah tertidur semua."
Orang yang ditelepon Wolfswinkel rupanya kembali
marah-marah. Wolfswinkel mendengarkan sambil
mengetuk-ngetukkan jemarinya yang gemuk pendek -
seperti jemari tukang potong ayam yang gemuk oleh
darah - di lengan kursinya yang sudah botak.
"Sudah selesai bicaramu, Houlihan?" kata Wolfswinkel akhirnya. "Sepertinya kau
lupa bahwa akulah yang memegang kartu penting di sini. Aku memiliki sesuatu yang
sangat diinginkan Carrion. Tidak, tidak, bukan gadis itu.
Kunci itu! Kunci itu ada padaku! Aku tidak tahu bagaimana Kunci itu bisa sampai
ke tangan gadis ini, tapi aku berani mempertaruhkan topi-topiku bahwa Kunci itu
asli. Aku tahu seperti apa rasanya kekuasaan. Dan Kunci itu memancarkannya."
Ia mengangkat tangan kanannya yang memegang
Kunci tersebut, dan dengan tak acuh ia mengamat-amati benda tersebut. Seulas
senyum puas menghiasi wajahnya saat ia mendengarkan jawaban dari orang yang
diteleponnya. Akhirnya ia berkata, "Candy" Kemarilah. Aku sedang bicara dengan temanku.
Namanya Otto Houlihan. Dia...
seorang perantara, dan dia ingin bicara denganmu."
Wolfswinkel memanggil dengan gerakan tak sabar.
"Cepatlah, Nak! Tunjukkan sikap sopan. Dia cuma ingin yakin kau benar-benar ada
di sini." Tapi Candy tidak mau mendekat.
"Ayo kemari," Wolfswinkel menggeram, wajahnya mulai merah karena marah.
"Pergilah," Malingo bergumam di belakang Candy.
"Dia cepat sekali naik darah."
Dengan sangat enggan Candy menghampiri
Wolfswinkel. "Ini dia, Otto," kata Wolfswinkel. Ia mengulurkan pesawat penerima telepon pada
Candy. "Seperti kubilang tadi, tunjukkan sikap sopan. Otto Houlihan teman
lamaku. Kami dulu satu sekolah."
Candy mengambil pesawat penerima itu dari tangan
Wolfswinkel dan mendekatkannya ke telinganya.
"Halo...?" katanya.
"Apakah ini Candy Quackenbush?"
"Ya, aku Candy Quackenbush."
"Hmm, kau gadis yang sangat beruntung."
"Benarkah?" kata Candy. Saat ini ia tidak merasa dirinya sangat beruntung. "Apa
sebabnya?" "Yah, kau bisa saja tewas karena membawa-bawa Kunci itu"
"O ya?" kata Candy. Sedikit pun ia tidak mempercayai ucapan orang ini.
"Bilang saja iya," Wolfswinkel menggerakkan bibir tanpa bersuara.
"Sebelumnya aku bahkan tidak tahu bahwa aku
membawa-bawa kunci?" kata Candy. Ia ingat Mischief telah menegaskan padanya
dengan sangat agar ia menyangkal memiliki Kunci itu.
"Katakan saja yang sebenarnya padaku," kata Houlihan. "Lebih baik bagimu kalau
kau mengaku, daripada nanti ketahuan juga."
"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya."
"Aku tidak akan mengulangi peringatanku," kata Otto Houlihan, suaranya sekarang
tidak lagi ramah. "Dari mana kau mencuri Kunci itu?"
"Aku tidak mencurinya," sahut Candy. "Sudah kubilang aku bahkan tidak tahu Kunci
itu ada padaku." "Wolfewinkel mengatakan dia menemukan Kunci itu dalam pikiranmu. Apa kau menuduh
dia berbohong?" "Tidak," kata Candy. "Kalau dia mengatakan begitu, berarti dia memang menemukan
Kunci itu di situ." "Tapi kau tidak tahu bagaimana Kunci itu bisa sampai ada padamu"
"Tidak, aku tidak tahu." Sesaat hening di ujung sana.
"Boleh aku pergi sekarang?" tanya Candy. "Tidak ada lagi yang bisa kusampaikan
padamu." "Oh, aku yakin masih banyak yang bisa kauceritakan padaku," kata Houlihan,
sekarang suaranya benar-benar sudah kehilangan nada ramahnya. Ada kesan
mengancam dalam kata-katanya itu. "Tapi kita punya banyak waktu untuk bicara,
kalau nanti aku datang menjemputmu.
Panggilkan Kaspar. Tak lama lagi aku akan menemuimu."
"Dia ingin bicara lagi denganmu," kata Candy, diserahkannya pesawat itu pada
Wolfswinkel. "Kau sudah selesai bicara dengan gadis itu?" tanya Wolfswinkel pda Houlihan,
Kelihatannya Houlihan menjawab ya, sebab sekarang
Wolfswinkel mengibaskan tangan, menyuruh Candy pergi.
Candy beranjak ke ruang sebelah, merasa lega interogasi tersebut sudah selesai.
Mungkin aku bisa kabur dari sini, sementara
Wolfswinkel sedang sibuk bicara di telepon, pikirnya. Ia melangkah ke jendela
dan mencoba mengguncang-guncang pegangannya. Tapi jendela itu terkunci. Di luar
sana sedang turun hujan. Tetes-tetes air hujan menerpa kaca-kaca jendela yang
kecil. "Tidak ada jalan keluar. Setidaknya, tidak bisa dari situ."
Candy menoleh. Malingo sedang bergelantungan
dengan kepala di bawah, dari palang-palang di atas.
Candy menghampirinya. "Bisakah aku mempercayaimu?" tanyanya. Pertanyaan bodoh, tentu saja; Malingo
takkan mengaku kalaupun ia tak bisa dipercaya. Tapi ia toh mengangguk, seolah-
olah sudah tahu apa yang bakal dikatakan Candy selanjutnya.
"Kau harus menolongku," bisik Candy padanya. "Aku mesti keluar dari rumah ini."
Wajah Malingo yang tampak terbalik itu menunjukkan ekspresi mengibakan.
"Itu mustahil," katanya. "Kaupikir aku tidak pernah mencobanya selama bertahun-
tahun ini" Tapi Kaspar
selalu berhasil menangkapku lagi. Dan setelah berhasil menangkapku, dia
memukuliku dengan tongkatnya. Kau tentunya tidak ingin mengalami yang seperti
itu" "Aku akan ambil risiko dipukuli," kata Candy. "Si Otto Houlihan ini akan datang
mengambilku. Dan aku benar-benar tak ingin berada di sini kalau dia datang
nanti" Malingo tampak semakin cemas. la berayun-ayun ke
depan ke belakang dari palang-palang itu, sambil
menyanyikan sebuah lagu pendek:
"Houlihan, Houlihan,
Si Criss-Cross Man, Si Criss-Cross Man. Panggil orang suci untukmu, panggilkan
Panggil cepat Secepat kaudapat Houlihan akan datang, Si Criss-Cross Man.. "
"Wah, lagumu tidak banyak gunanya" kata Candy.
"Aku perlu pertolongan, tapi kau malah bergelantungan sambil bernyanyi-nyanyi
seperti orang sinting."
"Aku tidak sinting." protes Malingo. "Aku cuma sudah capek dipukuli terus.
Dengan menyanyi, aku jadi lebih terhibur."
Ia mulai bergoyang-goyang lagi, kedua lengannya
memeluk tubuhnya. Sosoknya benar-benar menampakkan keputusasaan.
"Coba dengar," kata Candy; ia memegangi bahu Malingo, untuk memelankan gerakan
berayun-ayun Malingo. "Kita berdua menginginkan hal yang sama. Kau ingin keluar dari sini,
begitu pula aku," "Kalian berdua mengocehkan apa di dalam sana?"
Wolfswinkel berteriak dari ruang sebelah,
"Tidak mengocehkan apa-apa," Malingo menyahut dengan nada mengibakan.
"Tidak mengocehkan apa-apa" Tidak ada orang yang berisik tapi tidak mengocehkan
apa-apa, kecuali dia orang tolol tak berotak, Apakah kau seperti itu, Malingo?"
"I... i... ya, Sir."
"Nah, ucapkan keras-keras, supaya semua bisa
mendengar! Kau itu apa?"
"Aku... lupa, Sir."
"Orang tolol tak berotak. Ucapkan! Ayo! Ucapkan: Aku ini orang tolol tak
berotak, Sir." "Kau ini orang tolol tak berotak, Sir."
Wolfswinkel membanting pesawat teleponnya keras-
keras. "APA KAUBILANG?"
"Maksudku: Aku yang bodoh, Sir. Aku! Aku! Aku ini orang tolol tidak pakai otak,
Sir." "Kau tahu saat ini aku sedang apa, Malingo?"
"Tidak, Sir." "Aku sedang mengambil tongkatku. Dan kau tahu apa artinya itu, bukan?"
Candy melihat dua butir air mata merebak di mata
Malingo, mengalir di dahinya, dan menetes di karpet.
"Kemari, Malingo."
"Jangan ganggu dia!" protes Candy. "Kau membuat dia ketakutan."
Tutup mulutmu, atau kau yang berikutnya! Malingo"
Kemari kau, tikus kecil jelek!"
Candy melangkah ke pintu. "Tolonglah. Tadi aku yang bicara, bukan dia."
Wolfswinkel menggeleng-gelengkan kepala.
"Buat apa kau membela dia?" tanyanya. "Oh, aku tahu.
Kau sedang berusaha membujuknya supaya bersedia
membantumu, kan?" Ia tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang sebagian besar
sudah membusuk. "Nah, coba dengar ya. Malingo itu makhluk jenis geshrat. Dan
geshrat-geshrat itu semuanya pengecut, termasuk yang terbaik di antara mereka
sekalipun. Dan Malingolah yang paling pengecut dari antara mereka. Kemari,
Malingo. Sekarang juga! " Candy mendengar suara gedebuk pelan saat Malingo
melompat dari atas palang-palang. Tak lama kemudian ia muncul di pintu.
"Kumohon, Sir, jangan, Sir," pintanya; kata-katanya menjadi suatu permohonan
mengibakan. " Kubilang kemari! SEKARANG JUGA! Kalau aku sampai harus menunggu satu detik
lebih lama lagi..."
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malingo tidak lagi berusaha memohon belas kasihan. Ia mulai melangkah ke arah
Wolfswinkel, sambil mencuri-curi pandang dengan sangat sedih pada Candy, seolah-
olah merasa malu dipukuli di depan Candy.
"Berlutut," perintah Wolfswinkel, "SEKARANG! Mendekat padaku dengan berlutut.
Perlihatkan punggungmu!"
Malingo berlutut dan beringsut-ingsut mendekat ke arah tukang sihir itu.
"Kumohon...," Candy memulai.
"Kau ingin dia dihukum lebih berat lagi?" kata Wolfswinkel dengan nada dingin.
"Tidak," kata Candy. "Tentu saja tidak."
"Kalau begitu, tutup mulut. Dan jadi penonton saja.
Mungkin kau bakal dapat giliran berikutnya. Aku sama sekali tidak merasa
bersalah kalau harus memukuli
perempuan, percayalah."
Aku percaya, pikir Candy. Dan pada saat itu rasa benci yang amat sangat
berkobar-kobar di hatinya terhadap Wolfswinkel. Tak terbayang rasanya membenci
orang dengan tingkat kebencian seperti yang dirasakannya ini.
Tapi ia tidak berani membuka suara. Sebab Malingo
berada di bawah kaki orang jahat ini, dan sebentar lagi akan dipukuli karena
tadi berani berbicara. "Ambilkan aku segelas rum, Nak," kata Wolfswinkel.
"Dan tersenyumlah, Nak, tersenyumlah!"
Dengan susah payah Candy berusaha menunjukkan
tampang ceria. "Nah, sekarang ambilkan minumanku! Ada di meja ruang tamu. Sana! "
Candy membalikkan badan dan kembali ke ruangan
tempat ia tadi bercakap-cakap dengan Malingo.
Ada sebuah meja besar berukiran rumit di dinding
pojok. Di situ tampak sebuah karaf dari kristal, dan sebuah gelas kecil.
Candy membuka tutup karaf tersebut. Pada saat yang sama, matanya tertuju pada
lima lukisan yang digantung berderet di tembok, di atas meja tersebut. Semuanya
berupa potret: ada dua wanita dan tiga pria. Di bawah potret-potret itu ada nama
mereka masing-masing: Jengle Small, Dokter Inchball, Hetch Heckler, Biddy
Stuckmeyer, dan Deborah Jib. Tak ada apa pun yang menunjukkan
bahwa kelima orang itu saling bersaudara atau punya kaitan tertentu satu sama
lain, kecuali barangkali ada satu persamaan. Mereka semua memakai topi. Topi
dari jenis yang sama - tidak, malah topi-topi yang sama persis -
dengan topi-topi yang tertumpuk tidak keruan di kepala Kaspar Wolfswinkel.
Ketika sedang asyik mengamat-amati kejanggalan
tersebut, Candy mendengar suara tongkat Wolfswinkel bersiul di udara dan
mendarat di punggung Malingo. Ia tersentak ngeri. Pukulan pertama segera disusul
dengan pukulan kedua, lalu ketiga, dan keempat, dan kelima.
Setiap satu pukulan ia mendengar isakan pelan Malingo.
la bisa memahami air mata yang menyayat-nyayat hati itu. Ia sendiri pernah
menangis seperti itu setelah dipukuli ayahnya. Air mata lega karena siksaan itu
sudah selesai untuk saat ini. Dan air mata ketakutan bahwa pukulan itu akan
dialaminya lagi pada saat yang tak disangka-sangka. Ayahnya tidak memukuli
dengan tongkat, tapi ia punya cara sendiri untuk menimbulkan rasa sakit.
Dengan tubuh gemetar oleh amarah dan perasaan tak
berdaya, Candy menuang rum itu ke dalam gelas - dalam hati ia berharap tukang
sihir itu mati tersedak ketika meminumnya - kemudian ditutupnya kembali wadah itu,
dan ia pun beranjak membawakan minuman itu untuk
Wolfswinkel. Suara pukulan masih terus terdengar, namun berhenti ketika ia
melangkah masuk. Malingo tampak meringkuk seperti bola kecil yang
kesakitan dan penuh air mata di kaki Wolfswinkel.
Sosoknya seperti binatang yang sedang dihukum. Si
tukang sihir tampak kehabisan napas. Dadanya ber-
gemuruh keras. " Rum-nya! Rum-nya!" katanya, memanggil Candy.
Ia mengambil gelas itu dari tangan Candy.
"Pergi sana!" teriaknya.
Malingo merangkak pergi cepat-cepat, merayap naik
di tembok, melewati bagian atas pintu, dankembali ke tempat bergelantung
kesukaannya - begitulah perkiraan Candy. Kembali berayun-ayun di atas sana sambil
menyanyikan lagu tentang Houlihan dan orang suci.
Wolfswinkel mengosongkan isi gelas itu sekali tenggak.
"Ambilkan lagi! Ambilkan lagi!" katanya sambil menyodorkan gelasnya yang sudah
kosong. "Mana karafnya, Nak?"
"Aku tidak membawanya."
"Tidak membawanya, anak tolol" Ambil sana! "
Wolfswinkel mengayunkan tongkatnya kea rah Candy
dan nyaris saja mengenai hidung Candy.
Candy menjauh dari Wolfswinkel yang berkeringat,
sebelum tukang sihir itu sempat melayangkan pukulan kedua padanya, lalu ia
menyingkir ke jarak yang aman dari pukulan.
Sambil menyumpahi Wolfswinkel dengan pelan, meng-
gunakan kata-kata kasar yang diambilnya dari kosa kata ayahnya, Candy menuju
ruang sebelah untuk mengambil karaf itu.
28 JIWA SANG BUDAK DUGAAN Candy tentang Malingo ternyata benar.
Malingo memang sedang berayun-ayun dari palang-
palang di atap, air matanya menetes-netes di dahi, membasahi karpet di bawahnya.
" Kita mesti keluar dari sini," Candy menggerakkan bibirnya tanpa bersuara.
Malingo menggelengkan kepala, ekspresinya benar-
benar putus asa. Candy mengambil wadah rum itu dan kembali ke ruang depan. Ketika ia mencapai
pintu, telepon berdering.
Wolfswinkel mengangkat gagang telepon, dan menyodorkan gelasnya yang kosong pada
Candy, agar diisi kembali. Candy melihat ia telah meletakkan tongkatnya. Tongkat itu tergeletak di lengan-
lengan kursinya. Bagaimana kalau ia melemparkan wadah minuman ini
pada Wolfswinkel, dan sementara Wolfswinkel berusaha menangkap wadah itu, ia
akan mengambil tongkat di kursi dan mencoba kabur ke pintu depan" Tidak; percuma
saja. Kalaupun ia berhasil keluar dari sini - siapa yang tahu perangkap apa saja yang
telah disebar Wolfswinkel di seputar rumahnya untuk mencegah korban-korbannya
melarikan diri" - itu berarti ia meninggalkan Malingo.
Ia tak sampai hati melakukannya. Meski mereka baru dua menit bercakap-cakap, ia
merasa bertanggung jawab terhadap Malingo. Mereka mesti keluar dari sini
bersama-sama. Ia menuangkan rum lagi bagi tukang sihir itu.
Wolfswinkel sama sekali tidak memperhatikan apa yang dilakukannya. Apa pun yang
dikatakan si peneleponnya di ujung sana telah membuat ia sangat gembira.
"Dia ingin bicara dengan ku?" katanya. "Sungguh?"
Ia menenggak gelas berisi rum itu, lalu menyodor-kannya pada Candy untuk diisi
kembali. Candy me- menuhinya dengan gembira. Berdasarkan pengalaman, ia tahu akibat yang
ditimbulkan minuman keras terhadap pikiran yang jernih. Otak menjadi tumpul dan
berkabut. Ia memperkirakan bahwa tukang sihir yang mabuk tidak
bakal bisa berfungsi dengan semestinya, dan itulah yang ia inginkan saat ini.
Wolfswinkel mengosongkan gelas ketiga itu dengan
kecepatan yang sama seperti dua kali sebelumnya. Lalu ia minta rum lagi untuk
keempat kalinya. Namun, sebelum gelas itu sampai di bibirnya, keseluruhan
sikapnya berubah, dan ekspresi hormat yang aneh meliputi
wajahnya. "Penguasa Tengah Malam yang mulia," katanya. "Ini sungguh suatu kehormatan,
Sir." Penguasa Tengah Malam" pilar Candy. Rupanya ia sedang berbicara dengan
Christopher Carrion, sang
Pangeran Kegelapan sendiri. Apa kira-kira topik yang sedang mereka bahas"
Kelihatannya Candy-lah yang menjadi topik itu.
"Ya, tuanku, dia ada di sini," Wolfswinkel berkata. "Dia ada di sini, di
sampingku." Hening sejenak. "Kalau boleh kukatakan, Sir, menurut pendapatku dia
sama sekali bukan makhluk istimewa. Dia... cuma gadis biasa. Seperti kebanyakan
gadis-gadis: istimewa tapi juga tidak
istimewa." Hening lagi sejenak, sementara Wolfswinkel mendengarkan. "Oh, ya,
Sir, aku sudah bicara dengan Otto Houlihan. Dia akan datang kemari untuk
mengambil Kunci itu." Hening lagi. "Dan gadis itu juga" Oh ya, tentu saja. Dia
milik Anda." Wolfswinkel menenggak minumannya dan sekali lagi
menyorongkan gelasnya untuk diisi kembali. Tapi wadah minuman itu sudah kosong.
Dengan kesal Wolfswinkel memberi isyarat pada Candy untuk mencari minuman lagi.
Kalau melihat kedua tangan Wolfswinkel yang agak
gemetar, serta kedut-kedut di bawah mata dan mulutnya, Candy mendapat kesan
bahwa ia merasa terintimidasi hingga ke tulang sumsumnya yang pengecut itu,
meski ia juga merasa tersanjung bisa berbicara langsung dengan sang Penguasa
Tengah Malam sendiri. Candy beranjak ke ruang sebelah, untuk mencari
minuman lagi. la tak perlu jauh-jauh mencari. Ada sebuah botol di meja. Saat ia
sedang berusaha membuka tutupnya, matanya kembali menatap potret-potret yang digantung di tembok.
"Siapa orang-orang ini?" ia bergumam pada Malingo.
Perlu waktu sejenak bagi geshrat itu untuk tersadar dari perasaan sedih yang
menyelimutinya. Setelah tersadar, barulah ia berbisik:
"Mereka semua temannya. Sesama anggota Kelompok Penyihir Nonce. Tapi kemudian
dia bersumpah setia pada King Rot..."
"Siapa?" "Carrion." "Oh. King Rot. Aku mengerti. Apa yang dia lakukan, setelah bersumpah setia?"
"Dia membunuh mereka."
"Apa" Dia membunuh teman-temannya sendiri?"
"Rum! " Wolfswinkel berteriak.
"Kenapa?" " RUM!" Wolfswinkel sudah ada di depan pintu sekarang,
dengan gelasnya yang kosong. Wajahnya merah padam
akibat minuman keras dan perasaan gembiranya, seperti sebutir tomat mengilap
yang bertengger di atas pisang yang terlalu matang.
"Itu tadi," katanya sambil menggerakkan tangan dengan sikap angkuh, "adalah
Penguasa Tengah Malam sendiri. Kaulihat, hari pembebasanku sudah dekat, dan
semuanya berkat dirimu." Ia tersenyum miring pada Candy, memamerkan deretan
giginya yang jelek. "Saat yang sangat indah, Nona, waktu kau datang mengetuk
pintuku. Kau telah mengubah hidupku. Coba bayangkan.
Siapa mengira tikus kecil jelek seperti kau ternyata menjadi kunci pembawa
kebebasan bagi Paman Kaspar?"
Ia berjalan mendekat dan mencubit pipi Candy, seolah-olah Candy adalah anak
kecil, dan ia sendiri seorang kerabat yang penuh sayang.
"Beri aku segelas rum lagi, Nak," katanya. "Buat aku senang sampai Otto datang.
Dengan begitu, mungkin aku tidak bakal memukulimu sampai babak belur."
Candy membuka tutup botol minuman dan menuangkan
isinya ke gelas hingga penuh. Saat Wolfswinkel mendekatkan gelas itu ke
bibirnya, Candy mengambil kesempatan tersebut dan sengaja membiarkan botol itu
lepas dari jemarinya. Botol itu pecah di lantai, di antara mereka, dan tercium
bau rum yang tajam. " Dasar anak tol..."
Candy tidak memberi kesempatan pada Wolfswinkel
untuk menyelesaikan makiannya. Dengan kedua tangannya ia mendorong dada
Wolfswinkel. Kebanyakan minum rum telah membuat Wolfswinkel tak bisa berdiri
kokoh. Ia terhuyung-huyung, berusaha memperoleh keseimbangan.
Sementara itu, Candy menyelinap ke pintu, menuju ruang sebelah.
Tampak olehnya tongkat Wolfswinkel masih tergeletak di lengan kursi.
Tanpa memberi kesempatan pada dirinya sendiri untuk mempertanyakan atau
meragukan tepat tidaknya langkah yang akan diambilnya, Candy meraih tongkat
tersebut. Tongkat itu bergetar dalam genggamannya, seolah-
olah tidak rela dipegang oleh orang tak dikenal. Tapi Candy tak mau diintimidasi
oleh tongkat itu. la memeganginya erat-erat, dan menunggu si pemilik tongkat muncul di situ.
Entah bagaimana, Wolfswinkel tahu apa yang telah
dilakukan Candy, sebab ia menjerit , "Letakkan tongkat itu!"
Padahal ia belum lagi muncul di pintu.
Getaran-getaran tongkat itu semakin menjadi-jadi
ketika mendengar suara majikannya. Tapi Candy tak mau melepaskannya.
Wolfswinkel sekarang berdiri di depan pintu, me-
nudingkan jarinya pada Candy.
"Kubilang letakkan tongkat itu" kata Wolfswinkel, suaranya berat oleh pengaruh
minuman keras. "Letakkan, atau aku akan..."
"Atau apa?" tanya Candy sambil memegang tongkat itu seperti memegang pemukul
bisbol. "Apa yang akan kau lakukan, heh" Kau tak bisa membunuhku, sebab kalau
aku mati, kau tidak punya apa-apa untuk diberikan pada tuan dan majikanmu itu."
Wolfswinkel menyeka keringat yang bermunculan di
dahinya dan nyaris menetes turun ke matanya.
"Malingo!" teriaknya. "Cepat kemari! SEKARANG
JUGA!" Dengan patuh Malingo merangkak mengitari bagian
atas pintu, dengan kepala di bawah.
"Tangkap bedebah cilik itu!" perintah Wolfswinkel. "Dan ambilkan tongkat itu!"
Malingo ragu-ragu, matanya menatap Candy dengan
sorot putus asa. "Kubilang..." "Aku dengar apa katamu," sahut Malingo.
Sejenak Wolfswinkel tersentak mendengar ucapan
budaknya. Lebih tepatnya, tersentak mendengar nada suaranya. Ada sesuatu yang
baru dalam suara Malingo.
Dan Wolfswinkel sama sekali tak senang mendengarnya.
Ia merasa perlu mengeluarkan ancaman lagi.
"Lakukan perintahku, geshrat. Kalau tidak, kupatahkan tulang-tulangmu semuanya."
"Dengan apa" " Candy mengingatkan. "Tongkat ajaibmu ada di tanganku."
"Tapi kau tidak tahu cara menggunakannya, Nona"
sahut Wolfswinkel, dan sebelum Candy sempat meng-
hindar, ia sudah menyambar ujung tongkat itu.
Meski mabuk oleh minuman keras, cengkeraman tangannya mengandung kekuatan
supranatural. Ia menarik tongkat itu ke kiri, lalu ke kanan, lalu ke kiri lagi, berusaha merampasnya dari
cengkeraman Candy. Tapi semakin
bernafsu ia menarik, semakin erat Candy memegangi
tongkat itu. "Kalau tidak kaulepaskan juga...," Wolfswinkel berteriak padanya, wajahnya yang
jelek itu jadi semakin jelek oleh amarah meluap-luap.
"Omong besar. Kau cuma bisa omong besar" kata Candy. "Pembohong dalam setelan
kuning seperti kulit pisang.''
Bibir Wolfswinkel menekuk karena marahnya, dan ia
menarik tongkat di tangan Candy ke arahnya. Sejenak terjadi tarik-menarik,
begitu seru, hingga akhirnya pegangan mereka pada tongkat itu sama-sama
terlepas. Tongkat itu jatuh ke lantai, di antara mereka, lalu terguling-guling di papan-
papan lantai. Candy dan Wolfswinkel sama-sama bergerak hendak
mengambilnya, tapi sebelum mereka berhasil mencapai tongkat itu, Malingo sudah
meluncur turun dari langit-langit dan dengan gesit menyambar tongkat tersebut.
Kaspar Wolfswinkel tersenyum penuh kemenangan.
"Anak baik," katanya pada Malingo. "Kau memang amat sangat baik. Nanti aku akan
memberimu hadiah untuk ini." Ia menyeka dahinya yang berkeringat dengan lengan jas kuningnya.
Kemudian ia mengulurkan tangannya yang gemuk. "Nah, sekarang berikan tongkat itu
pada Paman Kaspar," katanya.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Malingo yang biasanya selalu patuh kini memandangi majikannya seperti makhluk
yang terpesona oleh seekor ular berbisa. Tapi ia tidak mengembalikan tongkat
itu. "Apa kau tidak dengar?" tuntut Wolfswinkel. "BERIKAN
TONGKAT ITU PADAKU. Aku akan menghajar gadis celaka ini sampai dia menjerit-
jerit minta ampun. Tidakkah itu menyenangkan?"
Lama... lama sekali tidak terjadi apa-apa. Kemudian dengan perlahan-lahan - dengan
amat-amat sangat perlahan - Malingo menggelengkan kepala.
"Candy...," ia berkata pelan, tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari
orang yang pernah menjadi majikannya ini. "Sebaiknya kau pergi dari sini.
Cepatlah, sebelum Houlihan datang kemari."
"Aku tidak akan pergi tanpa kau."
Mendengar itu, Malingo menatap Candy dengan sorot
mata takut bercampur gembira.
"Oh, manis sekali," komentar Wolfswinkel. "Sangat mengharukan." Kemudian ia
memasang senyum dan memanggil Malingo. "Ayo, Nak. Sudah cukup ber-candanya. Kau
sudah dapat kesempatan. Kita hentikan saja sandiwara ini. Kau tahu bahwa kau
tidak punya nyali untuk meninggalkanku."
Nada suaranya begitu manis, dan kedengaran sangat
meyakinkan. "Kau milikku, Malingo," ia meneruskan. "Ingat" Aku membelimu dalam suatu
transaksi yang sah. Aku punya dokumen-dokumen resminya. Kau tidak bisa pergi.
Maksudku, yang benar saja, apa jadinya dunia ini kalau setiap budak pergi begitu
saja sesuka hati mereka?"
Senyum di wajahnya lenyap. Wolfswinkel sudah
kehabisan sikap manis rupanya.
"Kuulangi untuk terakhir kali," katanya. "Berikan tongkat itu padaku, dan aku
berjanji, aku berjanji padamu bahwa aku tidak akan menyakitimu."
Malingo tidak bergerak. Bahkan berkedip pun tidak.
"Oh, oh, tunggu sebentar," Wolfswinkel melanjutkan.
"Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Kau bisa mencium kebebasan, bukan
begitu" Dan kau jadi agak tergoda. Tapi coba pikir-pikir dulu, geshrat. Kau
tidak tahu cara bertahan hidup di dunia luar sana."
"Jangan dengarkan omongannya," kata Candy.
"Jiwamu jiwa budak, geshrat. Itu tidak akan berubah sampai kapan pun."
"Tak ada yang perlu ditakutkan di luar sana," kata Candy. Kemudian, karena ingin
jujur, ia meralat ucapannya. Katanya, "Yah, setidaknya keadaan di luar sana
tidak lebih buruk daripada di sini. Daripada dia. Lagi pula, kan ada aku
bersamamu..." "Oh, tidak, tidak akan," kata Wolfswinkel sambil menyambar pergelangan tangan
Candy. Cengkeramannya terasa panas seperti api. Candy
menjerit kesakitan dan meronta-ronta dengan keras agar bisa lepas dari pegangan
Wolfswinkel, sampai-sampai topi-topi yang dikenakan bertumpuk-tumpuk di kepala
Wolfswinkel bergeser miring dari kepalanya yang licin oleh keringat.
Wolfswinkel tampak panik, dan ia melepaskan Candy
agar bisa menangkap topi-topinya yang hendak jatuh itu.
Didorongnya topi-topi itu kembali ke posisi semula. Candy mundur menjauh dari
jangkauan Wolfswinkel, tangannya begitu sakit, hingga mati rasa. Digosok-
gosoknya tangan itu agar pulih. Sementara itu, ia kembali teringat lukisan
kelima tukang sihir yang telah dibunuh Wolfswinkel.
Bersamaan dengan itu, muncul sebuah pikiran sederhana di benaknya.
Topi-topinya. Sebagian kekuatannya ada pada topi-topi konyol itu.
Ia hanya sempat memikirkan hal tersebut sejenak. Tahu-tahu Wolfswinkel sudah
mendekati Malingo dengan kedua tangan terulur, untuk mengambil tongkatnya.
"Berikan tongkat itu padaku," katanya pada Malingo,
"Ayo. Kau tahu tongkat itu milikku.
Tampak bercak-bercak ludah kuning-putih di bibirnya.
Ia seperti hendak meledak oleh kemarahan yang meluap-luap.
Malingo mengangkat tongkat tersebut.
"Anak baik," kata Wolfswinkel, menyunggingkan senyum tipis di wajahnya yang
berkeringat. Malingo menatap mata majikannya lekat-lekat.
Kemudian ia mengangkat satu kakinya. Dipegangnya
tongkat itu dengan dua tangan, lalu dihantamkannya ke lututnya.
Wolfswinkel melolong keras ketika tongkat itu patah menjadi dua.
Potongan-potongan kayunya berhamburan ke segala
arah, dan suara derak patahnya berkumandang dari
tembok-tembok. Malingo mengangkat potongan-potongan tongkat itu
dan menunjukkannya pada Wolfswinkel.
"Kau tidak akan pernah memukuli aku lagi dengan tongkat ini," katanya.
Kemudian ia melemparkan kedua patahan tongkat itu
di lantai, persis di tempat ia dipukuli dan direndahkan beberapa menit
sebelumnya. Wolfswinkel memandangi potongan-potongan tongkat-
nya dengan tubuh gemetar.
"Hmm... hmm...," gumamnya. "Berani juga kau rupanya, ya" Kemudian ia mengangkat
kedua tangannya dan menyatukan jemarinya di atas kepala.
Ia menggumamkan sesuatu yang tak bisa dipahami
Candy, namun nadanya terdengar sangat mengancam.
Diurainya jemarinya yang tadi disatukan, lalu perlahan-lahan ia merenggangkan
jari-jarinya itu. Muncul sebuah bentuk yang tercipta dari kegelapan pekat di
antara kedua telapak tangannya. Bentuk itu jadi semakin besar ketika ia
merenggangkan kedua tangannya, menyerupai seekor cacing gendut sepanjang lima
kaki, dengan sungut yang ujung-ujungnya tajam seperti kait. Cacing itu mempunya
dua kepala, masing-masing di ujung-ujung
tubuhnya, dengan wajah menyerupai Kaspar. Gigi mereka seta jam gigi ikan hiu.
"Bagus sekali," kata Wolfswinkel sambil memandangi makhluk menjijikkan hasil
ciptaannya. "Kau suka eeriac kecilku itu?"
Kemudian, tanpa menunggu jawaban, ia menempatkan
kedua tangannya di depan tubuhnya dan melepaskan
makhluk itu. Eeriac itu, meski tampak padat seperti makhluk hidup sungguhan, sepertinya bisa
melawan gaya gravitasi, sebab ia seketika melayang tinggi di atas kepala semua
orang yang ada di ruangan tersebut, meliuk-liuk dan berputar-putar seperti tali
yang hendak membuat simpul.
Eeriac itu melengkungkan tubuhnya dan mengarahkan kedua wajahnya yang menakutkan
pada penciptanya. Wolfswinkel mengangguk pada makhluk tersebut. "Kau sudah siap?" tanyanya.
Makhluk itu membuka mulutnya dan memperdengarkan suara desis dari kedalaman
tenggorokannya. "Bagus," kata Wolfswinkel. Ia menunjuk Malingo dan berkata,
"Bunuh budakku."
Eeriac itu tidak ragu-ragu sedikit pun. Ia meluncur turun dari ketinggian dan
terbang ke arah Malingo. Untunglah Malingo sangat gesit. Ia sudah biasa
memanjat di seluruh ruangan itu. Ia mengenai setiap batu dan lekukannya. Sebelum
eeriac itu bisa mencapainya, ia sudah memanjat naik seperti labah-labah di
tembok. Eeriac itu mengejarnya, kait-kait di sungut-sungutnya yang tak terhitung
banyaknya itu saling beradu, hingga
menimbulkan bunga-bunga api, cukup terang untuk
memenuhi ruangan tersebut dengan cahaya menusuk mata.
Wolfswinkel merasa senang melihat pemandangan ini.
la bertepuk ringan seperti anak kecil yang egois ketika kejar-mengejar itu
mengakibatkan tempat lilin gantung berayun-ayun. Debu dan serangga-serangga mati
berjatuhan dari kristal-kristalnya yang berkelap-kelip dan bergoyang-goyang.
"Cepat keluar!" Malingo berteriak pada Candy.
"Cepat." Gara-gara meminta Candy untuk pergi, ia jadi
kehilangan waktu yang berharga. Dalam sekejap eeriac itu berhasil menyusulnya
dan merengut Malingo di antara mulutnya.
Candy tidak tahan melihat pemandangan itu. ia
mengalihkan pandang, tatapannya kini tertuju pada
Wolfswinkel. Wolfswinkel tampak sangat asyik menonton pemandangan di atas sana.
Ia pasti tidak akan menyadari kalau Candy diam-diam mendekatinya.
Beranikah Candy" Ya, tentu saja ia berani. Ia mau
melakukan apa saja untukuk membebaskan Malingo dari monster ciptaan Wolfswinkel.
Candy menengadah ke atas untuk melihat keadaan
Malingo. Tidak terlalu bagus rupanya. Eeriac itu melilit tubuh Malingo, kait-
kaitnya berusaha mencari-cari kulit Malingo. Tapi Malingo tidak selemah manusia
biasa. Meski kulitnya tentu sakit akibat pukulan-pukulan Wolfswinkel tadi, namun
kait-kait eeriac itu tidak melukainya.
Meski demikian, situasi yang dihadapinya tetap sangat berbahaya: bukan karena
kait-kait itu, tapi karena gigi-gigi eeriac itu. Dengan dua tangan ia berusaha
sedapat mungkin menjauhkan kedua mulut makhluk itu dari wajahnya. Untuk
sementara, usahanya berhasil. Tapi eeriac itu kuat sekali. Sebentar lagi gigi-
gigi tajam monster itu pasti berhasil menggigit Malingo.
Candy tidak menunggu lebih lama lagi. Ia mendekati Wolfswinkel yang masih juga
bertepuk tangan menonton pemandangan mengerikan itu, kemudian bersiap-siap
menghantamkan tubuhnya sendiri ke bahu Wolfswinkel.
Wolfswinkel berbalik pada saat terakhir dan meng-
angkat tangannya untuk memukul Candy, tapi sudah
terlambat. Candy menyeruduknya, dengan satu sapuan tangannya ia menjatuhkan
topi-topi yang dikenakan Wolfswinkel. Wolfswinkel melolong sangat marah, kemudian berlutut dengan panik untuk
memunguti kembali topi-topinya.
Candy berusaha mencegahnya sedapat mungkin dengan
menendang topi-topi itu dari tangannya.
Dari atas sana terdengar suara ledakan sangat keras, seperti suara petasan
raksasa yang meledak. Candy menengadah, dan melihat eeriac itu tidak lagi merupakan ancaman bagi
Malingo. Bersamaan dengan
lenyapnya kekuatan sihir Wolfswinkel, makhluk itu mulai menghilang. Ia telah
melepaskan Malingo, dan sekarang ia terangguk-angguk di seputar ruangan, seperti
balon kelebihan gas yang sekonyong-konyong mulai kehabisan gasnya. Kalau
menghantam benda padat - deretan buku, tempat lilin gantung, meja, lantai - ia
meledak menjadi serangkaian bunga api berwarna hitam dan tubuhnya
makin lama makin mengecil. Candy memandanginya
sejenak, kemudian ia memanggil Malingo yang masih bergelantungan di langit-
langit. "Cepat turun!" Malingo melompat turun dan berdiri di hadapan
Candy. "Kau tidak apa-apa?" tanya Candy.
"Dia tidak berhasil menyakitiku." Ia tersenyum. "Dia mencoba tapi..."
Candy tersenyum dan menggandeng tangan Malingo
yang lengket. "Kita mesti keluar dari sini," katanya, dan mereka pun lari ke pintu.
Saat mereka mencapai pintu, eeriac itu menghantam tembok di atasnya dan
melepaskan hujan bunga api hitam yang terasa panas, untuk terakhir kali.
Kemudian ia jatuh ke lantai, di antara Malingo dan Candy. Sosoknya sudah kempes
menjadi versi kecil sosok sebelumnya. Ia meng-geliat di lantai, kedua mulutnya
masih memperdengarkan desisan serak.
"Jangan melihat," kata Malingo.
"Tidak apa. Aku tidak mual kok.
Malingo menginjak eeriac itu dan menghabisinya. Ketika ia mengangkat kakinya,
makhluk itu tinggal berupa noda gelap di karpet.
"Sekarang kita pergi," kata Malingo.
Ia menarik gerendel paling atas di pintu depan. Candy membuka gerendel tengah
dan paling bawah. "Tunggu.
Bagaimana dengan Kunci itu?" katana pada Malingo, sambil membuka pintu.
"Ini bukan saatnya memikirkan Kunci itu," sahut Malingo, sebab suara lolongan
Kaspar terdengar makin keras di belakang mereka.
Candy mengangguk setuju, dan sambil bergandengan
tangan mereka pun melewati ambang pintu.
Dan tidak menoleh lagi. Mereka keluar begitu saja dari rumah tersebut, ke
udara malam di Ninnyhammer, meninggalkan Kaspar
Wolfswinkel yang masih juga meneriakkan ancaman-
ancaman serta ungkapan kemarahannya di belakang
mereka. 29 MATA KUCING "AKU bebas!" teriak Malingo sambil berlari. "Tak percaya rasanya! Aku bebas! Aku
bebas! " Sekonyong-konyong ia berhenti berlari dan meraih
Candy ke dalam pelukannya. Begitu erat ia memeluk, hingga Candy hampir-hampir
tak bisa bernapas. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih," katanya sambil mengayun-ayunkan
Candy. "Kau memberiku keberanian untuk melakukannya! Apa pun yang terjadi padaku
sesudah ini, aku akan selalu merasa berutang budi padamu."
Kemudian ia memberikan satu ciuman lengket penuh
sayang di pipi Candy. Candy agak terperanjat menerima perlakuan ini. Ia tak ingat, kapan terakhir kali
ia dipeluk atau dicium. Tapi dengan cepat ia sudah berhasil menguasai diri, dan
ia kembali mengalihkan percakapan pada urusan-urusan
yang perlu. "Kita belum sepenuhnya lepas dari bahaya," katanya.
"Kita perlu melarikan diri sejauh mungkin dari si Kulit Pisang itu."
Malingo tertawa. "Setuju," katanya. "Apa kau punya perahu?"
"Tidak. Dan kurasa kau juga tidak punya kapal pesiar mewah di sekitar sini?"
"Tidak. Sayangnya tidak. Omong-omong, bagaimana kau bisa sampai kesini?"
"Hmmm, begini... aku dibawa oleh seekor kupu-kupu raksasa...," kata Candy.
"Kupu-kupu raksasa?"
"Yang dikirim oleh Christopher Carrion."
"Oh, jadi si Penguasa Tengah Malam sudah beberapa lama mengejar-ngejarmu
rupanya. Kenapa dia begitu
tertarik padamu?" "Yah, sebab aku punya Kunci yang diinginkannya...,"
Candy memulai. Tapi kemudian ia terdiam. "Tapi tak mungkin dia mengejarku karena
Kunci itu. Dia bahkan tidak tahu aku menyimpan Kunci itu, sampai Wolfswinkel
menemukannya." "Apa kau tahu untuk apa Kunci misterius itu sebenarnya?"
"Tidak, tidak tahu. Aku tidak diberitahu."
Baru saja Candy berkata demikian, tiba-tiba ia mendengar suara Kaspar
Wolfswinkel. Kalau mendengar
caranya berbisik, sepertinya ia berada di dekat-dekat situ.
"Oh, Kunci itu," katanya. "Kau ingin tahu untuk apa Kunci itu..."
Malingo menoleh pada Candy, kegembiraan di
wajahnya Ienyap, digantikan oleh ekspresi ketakutan yang amat sangat. "Dia ada
di sini!" katanya. "Tidak apa-apa," gumam Candy. "Dia tidak bakal menyakiti kita."
Sambil berbicara ia melihat-Iihat sekelilingnya, mencari tanda-tanda keberadaan
Wolfswinkel dalam suasana
remang-remang itu. Tapi Wolfswinkel tidak terlihat, meskipun suaranya terdengar
begitu dekat. "Sekadar informasi untukmu," tukang sihir itu meneruskan, "Kunci itu untuk
membuka Piramida-Piramida di Xuxux."
"O ya?" kata Candy. Ia berharap bisa mempertahankan percakapan tersebut
sementara ia berusaha mencari-cari di mana Wolfswinkel berada. "Piramida, eh"
Menarik sekali." Ia mendekatkan tubuhnya pada Malingo.
"Ayo kita berdiri merapatkan punggung," katanya.
"Dengan begitu, dia tak bisa menyergap kita dengan diam-diam."
Malingo menuruti saran Candy dan dengan hati-hati
melangkah maju, menempelkan punggungnya pada
punggung Candy.
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Percayalah," Wolfswinkel melanjutkan dengan nada menyombong, "aku akan
mendapatkan imbalan yang sangat besar atas apa yang kulakukan pada Jam ini. Aku
akan memperoleh kekuasaan dalam skala yang tak
mungkin terbayang oleh orang-orang seperti kau..."
"Di mana dia?" Candy berbisik pada Malingo. "Dia ada di dekat kita. Aku yakin
dia di dekat kita. Kenapa kita tak bisa melihatnya" "
"Kau sudah mulai kebingungan, kan?" Wolfswinkel berkata. "Kau mulai bertanya-
tanya, apakah indra-indramu yang menyedihkan itu pada akhirnya tidak
berfungsi lagi" Barangkali kau sudah mulai sinting.
Pernahkah itu terpikir olehmu" Apa yang pernah dikatakan seorang penyair tentang
hal itu" Pikiran manusia tak tahan menanggung terlalu banyak kenyataan. Makhluk
malang. Kau bakal segera masuk rumah sakit jiwa."
Malingo menggenggam tangan Candy. "Kau tidak bakal jadi gila " katanya.
"Lalu kenapa dia kedengarannya begitu dekat dengan kita?"
Tubuh Malingo gemetar hebat. "Sebab dia memang dekat," sahutnya. "Dia sangat
dekat." "Tapi aku tidak melihatnya" " kata Candy. Ia masih juga mengamat-amati
lingkungan sekitar mereka.
"Topi-topinya itu memberinya kekuatan besar," bisik Malingo. "Dia telah membuat
dirinya tidak tampak."
"Jadi... jadi dia bisa berada di mana saja?" kata Candy.
"Rasanya begitulah."
Berpegang pada informasi baru ini, Candy mem-
perhatikan lingkungan sekitar mereka untuk mencari tanda-tanda kehadiran musuh
mereka, seberapa pun kecilnya. Segerumbulan semak-semak tampak bergoyang ketika Wolfswinkel
melewatinya; sebutir kerikil gemeretak terinjak kakinya yang tidak kelihatan.
Namun sulit sekali untuk memastikan apa pun dalam cahaya api yang
berkelip-kelip dan menipu mata dari tonggak-tonggak itu.
Wolfswinkel-kah itu, yang bergerak menyeruak rerumputan di sebelah kirinya,
ataukah itu sekadar permainan cahaya" Napas Wolfswinkel-kah yang mengembus dekat
telinganya, atau itu hanya embusan angin"
"Aku benci situasi ini," bisik Candy.
Baru saja ia berkata demikian, terdengar suara
tamparan keras dan Malingo terjungkal ke depan, menjerit kaget. Seketika ia
melepaskan tangan Candy yang digenggamnya dan memutar tubuh sambil mengangkat
kedua tinjunya, seperti petinju zaman dulu.
"Dia ada di sini! " Malingo memperingatkan. "Dia ada di sini! Dia baru saja
menghantam..." Tapi ia tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ter-
dengar suara pukulan kedua, lalu ketiga, begitu keras sampai-sampai Malingo
terlempar ke tanah. Malingo
mengangkat kedua tinjunya ke atas kepala, untuk
melindungi diri dari pukulan lebih lanjut.
"Lari, Candy," teriaknya. "Pergi dari sini sebelum dia memukulimu."
Pada saat itu Candy merasa kedua lengan Kaspar
mencengkeramnya, dan ia diangkat ke udara. Tenaga
Wolfswinkel benar-benar tenaga supranatural; dan
sumber tenaga itu tentu saja berasal dari topi-topi konyolnya. Candy
menggerakkan lengannya ke sana
kemari, berharap bisa menjatuhkan lagi topi-topi itu dari kepala si tukang
sihir, tapi Wolfswinkel memeganginya dengan posisi sedemikian rupa sehingga ia
tak bisa mengenai topi-topi itu.
"Kau ikut pulang ke rumah denganku," katanya.
"Sekarang juga"
Candy masih terus meronta-ronta, tapi tak sanggup
mengimbangi tenaga Wolfswinkel. Ia mulai menjerit-jerit minta tolong, siapa tahu
ada seseorang di lorong-Iorong gelap itu yang bisa menyelamatkan mereka.
"Percuma saja kau menjerit-jerit," kata Wolfswinkel, mulutnya yang tidak
kelihatan itu hanya beberapa senti jaraknya dari telinga Candy. Napasnya berbau
rum. Sebelum Candy bisa menjawab, tampak rerumputan di
sekitar mereka bergerak-gerak, lalu dari antara
kegelapan muncul sejumlah kucing-Tarrie. Bukan cuma beberapa ekor. Tadi tempat
itu kosong melompong; tahu-tahu binatang-binatang itu sepertinya berada di mana-
mana di sekitar mereka; telinga kucing-kucing itu tegak meruncing, mata mereka
bersinar-sinar mengawasi Candy dengan tajam, sementara Candy meronta-ronta dalam
cengkeraman musuhnya yang tidak kelihatan.
Ketika kucing-kucing itu makin mendekat, Candy
teringat ucapan Wolfswinkel tentang mereka, yang
katanya sangat jahat. Benarkah ucapannya itu" Apakah sekarang kucing-kucing-
Tarrie ini juga hendak melakukan sesuatu yang jahat terhadap mereka" Apakah
mereka berniat menyergap Malingo yang malang, yang saat ini tergeletak di tanah, dan
mencakar matanya hingga mencelat keluar" Atau mereka berniat memanjat ke tubuh Candy dan membuatnya mati
kehabisan napas" Sebelum kedatangan kucing-kucing ini, situasi mereka sudah cukup buruk, tapi
sekarang jauh lebih buruk lagi.
Demikianlah anggapan Candy.
Tapi ketika kucing-kucing-Tarrie itu makin mendekat, Candy merasa cengkeraman
Kaspar pada dirinya agak mengendur, dan tukang sihir itu menggumamkan beberapa patah kata dari bibirnya.
"Kalian jauh-jauh dari aku..." ia memperingatkan kucing-kucing tersebut.
Kucing-kucing-Tarrie itu tidak mengacuhkannya. Mereka tetap maju mendekat,
tatapan mata mereka pun semakin tajam.
"Jangan memandangiku seperti itu," kata Wolfswinkel pada mereka.
Memandangiku" pikir Candy. Apa maksudnya
memandangiku" Dia kan tidak kelihatan. Bagaimana bisa kucing-kucing itu
memandanginya" Tapi sekonyong-konyong Candy mengerti.
"Kucing-kucing itu bisa melihatmu," katanya pada Kaspar.
Tukang sihir itu tidak menjawab. Tapi jawaban memang tak lagi diperlukan. Bahasa
tubuh Kaspar sudah menjelaskan segala sesuatunya. Ia sudah mulai gemetar, dan
cengkeramannya pada Candy sudah jauh berkurang,
sehingga Candy bisa melepaskan diri darinya. Dengan segera ia menghampiri
Malingo yang masih berbaring meringkuk di tanah.
"Tidak apa-apa," katanya. "Ada kucing-kucing-Tarrie di sini,"
"Itu tidak apa-apa" " tanya Malingo sambil berbalik untuk menatap Candy.
Wajahnya yang berdarah menunjukkan ekspresi ketakutan.
"Ya, tidak apa-apa " kata Candy.
"Kenapa bisa tidak apa-apa?"
"Sebab kucing-kucing-Tarrie itu bisa melihatnya, Malingo"
"Mereka bisa melihatnya?"
Candy dan Malingo sama-sama memandangi kucing-
kucing itu. Mata binatang-binatang itu semuanya terfokus ke satu titik yang sama, hanya
beberapa meter dari Candy dan Malingo. Dan dari tiiik itulah terdengar suara
Wolfswinkel. "Kalian jauh-jauh dariku, binatang-binatang jelek!"
ancamnya pada kucing-kucing tersebut. "Jauh-jauh, ku-peringatkan kalian. Atau
kubakar ekor kalian. Aku tidak main-main. Kalian belum tahu apa saja yang bisa
kulakukan pada binatang macam kalian!"
Beberapa ekor kucing-Tarrie saling pandang dengan
cemas ketika mendengar ancaman Wolfswinkel, tapi
semuanya tak ada yang mau mundur.
"Dia cuma omong besar," kata Candy pada mereka.
"Kalian mengerti" Dia takut pada kalian."
" Diam kau, anak sialan!" Wolfswinkel menjerit, sekarang suaranya melengking.
"Awas kau nanti."
Sementara itu Malingo sudah bangkit berdiri. Darah mengalir di sisi wajahnya,
dari luka di keningnya, tapi sepertinya ia tak peduli. Sosoknya kini memancarkan
kesan percaya diri yang baru dan masih asing untuknya.
"Selama ini kau selalu saja mengancam orang-orang,"
katanya sambil maju ke tempat tatapan kucing-kucing-Tarrie itu terpusat; dengan
kata lain, ke titik tempat tukang sihir itu berdiri. Wolfswinkel tidak
mengatakan apa-apa lagi - kemungkinan agar Malingo tidak tahu di mana persisnya ia
berada, sehingga mantan budaknya itu tak dapat menyentuhnya. Kemudian ia mundur
dengan cepat. Candy dan Malingo bisa mendengar bunyi tanah yang kena sepak kaki-
kakinya, dan mereka bisa melihat tatapan kucing-kucing-Tarrie yang kini bergerak
naik ke lereng, mengikuti si tukang sihir yang Iari hendak mencari perlindungan
di dalam rumahnya. Malingo tak sudi membiarkan Wolfswinkel mencapai
rumahnya. Ia lari mendaki lereng, mengejar Wolfswinkel, sambil menoleh sesekali
ke arah kucing-kucing-Tarrie, untuk memastikan ia lari ke arah yang benar.
Dua puluh meter dari pintu depan, ia menyergap.
Terdengar suara teriakan keras dan sangat marah dari kegelapan.
"Lepaskan aku, budak!" Wolfswinkel berteriak.
"Aku bukan budakmu!" Malingo balas berteriak.
Wolfswinkel jelas-jelas berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Malingo.
Malingo kelihatan seperti sedang bergulat dengan dua ekor belut licin dan gemuk
yang tidak kelihatan. Ancaman-ancaman dan sumpah serapah meluncur dari bibir
Wolfswinkel. Merasa kesal dengan maki-makian Wolfswinkel yang
tak ada habisnya, Malingo mengguncang-guncang tubuh tukang sihir itu.
"Perlihatkan dirimu!" perintahnya.
Candy menduga Malingo sudah mencengkeram leher
Wolfswinkel dan mengancam akan mencekiknya.
"Buka topi-topimu dan perlihatkan dirimu!" tuntut Malingo.
Tak lama kemudian, sebuah sosok hilang-timbul mulai muncul dalam pegangan tangan
Malingo, dan akhirnya tampak Kaspar Wolfswinkel yang masih sangat marah. Ia
telah melepaskan topi-topinya, dan memeganginya di kedua tangan. Di masing-
masing tangan ada tiga topi.
Kalau melihat ekspresi wajahnya, sepertinya ia ingin membunuh semua makhluk
hidup di Ninnyhammer pada saat itu juga, dan akan melakukannya dengan senang
hati - dimulai dengan membunuh Candy dan Malingo, lalu
dilanjutkan dengan menghabisi kucing-kucing-Tarrie itu.
"Nah, Kaspar," sebuah suara berbicara di belakang Candy, "barangkali seharusnya
kau kembali saja ke rumahmu dan tetap di sana. Kau kan tahu, mestinya kau tidak
boleh berkeliaran ke mana-mana."
Candy menoleh, ingin tahu siapa yang berbicara itu. la mendapati dirinya
berhadap-hadapan dengan sesosok
makhluk berkaki dua yang jelas-jelas masih memiliki hubungan kekerabatan dengan
kucing-kucing-Tarrie itu.
Wajah lebar makhluk ini ditumbuhi bulu-bulu halus
berwarna cokelat kemerahan. Sepasang matanya yang
bersinar-sinar sudah jelas merupakan mata kucing, begitu pula kumis-kumis yang
mencuat dari kedua pipinya.
Rupanya ia mendaki bukit untuk melihat apa yang terjadi.
"Dia yang memulai semuanya ini, Jimothi!" kata Kaspar sambil memandang Candy.
"Gadis sialan itu. Salahkan dia, jangan aku."
"Oh, demi A'zo, diamlah, Wolfswinkel," sahut makhluk itu.
Dan Candy sangat terkejut ketika Wolfswinkel benar-benar diam.
Makhluk itu kembali menatap Candy. "Namaku Jimothi Tarrie."
"Senang sekali berkenalan denganmu."
"Dan kau tentunya Candy Quackenbush yang 'terkenal'
itu?" "Kau tahu tentang aku?"
"Sedikit sekali pengunjung kepulauan ini yang kehadirannya begitu banyak
dibicarakan seperti dirimu,"
kata Jimothi. "O ya?" "Ya, sungguh." Ia tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing tajam.
"Selama dua hari belakangan ini aku berkeliling dari pulau ke pulau, dan
sepertinya semua orang yang kutemui tahu tentang dirimu.
Kepopuleranmu makin meningkat setiap Jam. Orang-orang yang mustahil pernah
bertemu denganmu mengaku-aku
pernah melihatmu." "O ya?" kata Candy.
"Percayalah. Apa kau pernah membeli sepotong Furini dari pembuat keju di
Autland?" "Tidak." "Nah, dia bilang kau pernah belanja padanya.
Bagaimana dengan sepatu yang kaupesan dari seorang tukang sepatu di Tazmagor?"
"Aku malah belum pernah pergi ke Tazmagor."
"Nah, lihat sendiri kan, betapa terkenalnya kau?" kata Jimothi.
"Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu," kata Candy.
"Yah, ada beberapa alasan bagus," kata Jimothi.
"Salah satunya, tentu saja, adalah asal-usulmu. Kau orang pertama yang datang
dari Hereafter, setelah sekian lama.
Selain itu, sepertinya kau selalu meninggalkan masalah di tempat-tempat yang
kausinggahi. Memang semua itu
bukan salahmu. Ada pihak-pihak lain yang menimbulkan masalah karena begitu
bernafsu mengejar-ngejarmu. Tapi masalah tetap saja masalah."
Candy menghela napas, masih merasa bingung.
"Selain itu," kata Jimothi, "yang menjadi masalah adalah saat kedatanganmu."
"Kenapa hal itu begitu penting?"
"Ya, sebab banyak orang - mulai dari penyair di sudut-sudut jalan, sampai tukang
ramal yang paling dihormati di Abarat - sudah lama mengatakan bahwa ada suatu
kekuatan pengubah yang sedang bekerja. Kekuatan yang mau tak mau akan
mengacaukan keteraturan hidup kami yang menyedihkan ini."
"Kenapa menyedihkan?" tanya Candy. "Apa yang menyedihkan tentang kehidupan
kalian?" "Dari mana aku harus memulai ya?" Jimothi berkata pelan. "Begini saja. Kami
tidak bisa tidur nyenyak akhir-akhir ini."
"Kami?" "Kami-kami yang masih tergerak untuk mempertanyakan hendak ke manakah hidup ini
membawa kami. Dan seberapa besarkah nilai mimpi-mimpi kami. Kami terbangun dengan membawa rasa
Tengah Malam di tenggorokan kami." "Maksudmu Christopher Carrion?"
"Dia bagian dari itu. Tapi dia bukan bagian yang paling menakutkan," kata
Jimothi. "Bagaimanapun, Keluarga Carrion sudah punya tempat dalam percaturan
kekuasaan sejak adanya ahli-ahli sejarah yang mencatat segala sesuatunya. Sejak
dulu Kegelapan selalu punya peran untuk dimainkan. Tanpa Kegelapan, mana mungkin
kita mengenal Terang" Tapi kalau ambisi-ambisi
Kegelapan itu sudah terlalu berlebihan, barulah dia perlu dilawan,
didisiplinkan, dan kadang-kadang ditundukkan untuk sementara waktu - kalau perlu.
Setelah itu barulah dia dibiarkan bangkit kembali, sebagaimana mestinya.
Pada akhirnya mengikuti Jalan Kegelapan tidak kalah terhormatnya daripada
mengikuti Jalan Terang, asal dilakukan dengan tujuan jejas."
Candy tidak yakin apakah ia memahami sepenuhnya
segala perkataan itu, tapi ia yakin kalau ia merenung-kannya lagi, maka segala
ucapan Jimothi akan terdengar masuk akal. Yang jelas, ia tak punya kesempatan
untuk menanyakan macam-macam pada kucing-Tarrie itu.
Jimothi masih terus berbicara tentang keadaan di
Abarat, dan Candy menelan semuanya.
"Masalah yang sesungguhnya adalah Commexo," kata Jimothi. "Rojo Pixler dan
Commexo Kid-nya. Dia membeli tempat-tempat suci dan membangun restoran-restoran
di situ. Dan sepertinya tak ada yang ambil pusing atas tindakannya. Orang-orang
terlalu asyik minum Panacea-nya. Keadaan ini membuatku muak. Jam demi Jam, Hari
demi Hari, kami biarkan dia merampas keajaiban-keajaiban dalam hidup kami. Dan
apa yang kami peroleh sebagai gantinya" Soda dan Panacea." ia menggeleng-
gelengkan kepala dengan putus asa. "Apa kau sudah mulai mengerti?" tanyanya.
"Sedikit," sahut Candy.
"Dan sekarang, tiba-tiba saja kau datang dari Hereafter. Begitu kau tiba, orang-
Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang mulai berbicara, orang-orang mulai bertanya-tanya... diakah orangnya?"
"Orangnya?" "Orang yang akan menyembuhkan segala penyakit kami. Orang yang akan
menyelamatkan kami dari kebodohan-kebodohan kami sendiri. Orang yang akan
membuat kami terjaga!"
Candy tak bisa menjawab selain mengatakan bukan,
bukan dia orangnya; dia bukan siapa-siapa. Tapi ia tahu bahwa Jimothi takkan mau
mendengar jawaban seperti itu. Maka ia diam saja.
"Kau adalah jiwa yang luar biasa," kata Jimothi padanya. "Satu hal itu aku
yakin." Candy menggelengkan kepala. "Bagaimana bisa..."
Maksudku... aku?" Ia menghela napas, tak sanggup berkata-kata, seperti halnya ia
tahu bahwa ia takkan sanggup memenuhi harapan-harapan Jimothi yang tinggi terhadapnya. Mana mungkin
ia bisa membuat orang-orang ini terjaga" Ia sendiri tertidur nyenyak selama ini,
asyik dengan mimpi-mimpinya, sampai beberapa hari
yang lalu. "Jangan takut untuk meraih tujuanmu," kata Jimothi.
"Meski saat ini kau sendiri belum jelas tentang tujuanmu."
Candy mengangguk. "Mengherankan kau bisa selamat dalam perjalananmu sejauh ini. Kau menyadari itu"
Pasti ada yang men-jagamu."
Ucapan Jimothi membuat Candy teringat kembali
segala peristiwa yang telah dialaminya semenjak ia bertemu John Mischief: nyaris dijemput
maut di tangan Mendelson Shape, dan nyaris tenggelam di Laut Izabella; nyaris
kena anak-anak panah yang mendesing melewati kepalanya dari rombongan berburu
Pixler; lalu jatuh dari ketinggian, berpegangan pada bangkai kupu-kupu
raksasa itu. Dan akhirnya... pertemuannya dengan
Wolfswinkel. Ke mana pun ia menoleh, ada saja kesulitan yang menimpanya.
"Semua ini berawal dari sebuah kunci," katanya, mencoba memahami segala sesuatu
yang telah membawanya pada situasi sekarang ini. "Dan Wolfswinkel mengambilnya,
dari dalam pikiranku. Bisakah kau mengambilnya lagi dari dia?"
"Sayang sekali aku tak bisa berbuat apa-apa tentang itu. Meskipun Wolfswinkel
seorang tahanan dan aku sipirnya, aku tak punya kekuasaan untuk mengambil
kembali apa yang telah diambilnya darimu, seperti halnya aku tak bisa menyita
topi-topinya." Raja Silat 8 Pendekar Kelana Sakti 6 Bidadari Kuil Neraka Tantangan The Dare 2