Pencarian

Abarat 4

Abarat Karya Clive Barker Bagian 4


Kemudian ia memerintahkan sesuatu pada makhluk
tunggangannya dalam bahasa yang tidak dipahami
Candy. Kupu-kupu itu mengepakkan sayap-sayap
raksasanya dan melayang naik ke udara.
Sekilas Candy melihat wajah Klepp yang panik saat ia mencoba mengulurkan tangan
untuk meraih Candy dari cengkeraman kupu-kupu itu, tapi jangkauannya tidak
berhasil mencapai tangan Candy.
Candy pun terangkat makin tinggi dan makin jauh, di atas tepian Kepala Raksasa
Yebba Dim Day. Ia takut setengah mati. Jantungnya berdebar keras seperti
genderang ditabuh di dada dan kepalanya. Setitik
keringat menetes di tulang belakangnya.
Squiller yang malang masih menempel di wajah Candy, berpegangan erat daripada
tadi. Anehnya Candy merasa bersyukur atas kehadiran gunta ini. Rasanya seperti
memiliki jimat keberuntungan. Ia merasa selama Squiller masih bersamanya ia
pasti bisa mengatasi apa pun
yang menunggunya di depan sana.
Dengan sangat hati-hati, supaya tidak mengejutkan
kupu-kupu yang mencengkeramnya (sekarang ia sudah
ratusan kaki di atas air Laut Izabell; kalau ia sampai jatuh dari ketinnggian
ini, petualangan-petualangannya di Abarat pasti bakal segera berakhir), Candy
mengangkat tangannya untuk membelai gurita itu.
"Tidak apa-apa," gumamnya pada makhluk yang gemetar ketakutan itu. "Aku janji
tidak bakal membiarkan apa pun menimpamu."
Ia merasa terhibur bahwa ada makhluk lain yang mesti dilindunginya dalam situasi
mengerikan ini. Ia telah berjanji pada Squiller. Sekarang tergantung pada
dirinya untuk memenuhi janji itu. Mereka berdua harus bisa keluar hidup-hidup
dari petualangan-petualangan yang telah menanti di depan sana, betapapun
berbahaya perjalanan yang mesti ditempuh, dan betapapun mengerikan nasib yang
menunggu. 21 PERBURUAN DALAM keadaan yang lebih menyenangkan, Candy
mungkin bisa menikmati perjalanan yang membawanya
menjauhi menara-menara Yebba Dim Day ini. Ia tidak takut ketinggian, jadi ia
tidak keberatan bahwa mereka berada ribuan kaki di atas tanah. Pemandangan dari
atas sini sungguh menakjubkan: bentangan air laut yang berkilauan terkena cahaya
matahari, tempat pulau-pulau jam-jam Siang Hari terserak, serta perairan gelap
tempat pulau-pulau Jam-Jam Malam Hari menyebar.
Tapi mustahil ia bisa menikmati perjalanan dalam posisi berbahaya seperti
sekarang ini. Cengkeraman kupu-kupu itu pada tubuhnya memang cukup mantap, tapi
dengan jelas Candy tahu bahwa anatomi makhluk ini tidak
dirancang untuk menahan beban seberat dirinya. Sesekali ada saat-saat
menegangkan ketika kaki-kaki ramping makhluk itu bergerak-gerak berusaha
mencengkeram tubuhnya lebih erat. Kalau ini terjadi, Squiller otomatis menempel lebih erat ke
kepala Candy, seperti pemanjat tebing berpegangan mati-matian di permukaan
karang. Candy juga bukan hanya takut dijatuhkan dari
ketinggian. Yang lebih mengerikan justru celotehan Mendelson Shape yang bernada
penuh ancaman. "Aku yakin kau mengira tidak bakal melihatku lagi, eh?"
katanya. Candy tidak menjawab.
"Hmm, kau mestinya tahu," Shape melanjutkan, "aku bukan jenis orang yang mudah
menyerah. Kalau Lord Carrion menghendakimu, maka Lord Carrion akan
mendapatkanmu. Dia pangeranku. Kata-katanya adalah hukum bagiku."
Ia diam sejenak, jelas-jelas sengaja memancing respons ketakutan dari Candy.
Tapi berhubung Candy diam saja, ia meneruskan dengan nada penuh percaya diri.
"Aku berani bertaruh dia akan memberikan hadiah padaku atas keberhasilanku
menangkapmu. Mungkin dia akan memberiku sedikit bagian di Abarat kalau Malam
Kemenangannya sudah tiba, saat Kegelapan menyelimuti segala sesuatu. Nanti akan
ada Kegelapan Total. Dan semua orang di dalam Emporium Pendosa akan dibangkitkan
pada Malam itu. Kaulihat saja nanti"
Sejauh itu Candy masih diam saja, tapi sekarang rasa ingin tahunya bangkit.
"Demi Tuhan, apa sih sebenarnya Emporium Pendosa itu?" tanyanya.
"Tempat di mana nama Tuhan tidak pernah dituliskan,"
kata Mendelson, merasa geli dengan leluconnya sendiri.
"Emporium Pendosa itu sebuah buku yang ditulis oleh nenek Lord Carrion, Mater
Motley. Di situ dia membuat daftar tujuh ribu pendosa paling besar di Abarat."
"Tujuh ribu pendosa. Dan kau salah satunya?"
"Ya." Kedengarannya tidak terlalu bisa dibanggakan,"
komentar Candy. "Kau tahu apa?" bentak Mendelson Shape. "Kau baru satu kali berhasil kabur
dariku, dan kaupikir kau sudah tahu semuanya! Jangan harap, Missy! Aku bisa
menyuruh makhluk ini menjatuhkanmu dalam sekejap!" Ia membungkuk ke depan dan
berkata, " Cafire! "
Menuruti perintah tersebut, kupu-kupu tunggangannya bergerak-gerak sedikit, lalu
melepaskan Candy. Candy menjerit ketika tubuhnya terlepas dari
cengkeraman makhluk itu dan mulai meluncur ke bawah.
" Jazah! " teriak Shape. " Jazah! "
Dalam sekejap makhluk itu sudah mencengkeramnya
kembali, meski cengkeramannya seperti bisa terlepas setiap saat. Shape tampaknya
menyadari hal ini. ia meneriakkan satu perintah lagi, dalam bahasa yang tidak
dimengerti Candy. Kali ini makhluk itu bereaksi dengan menarik Candy kembali ke
tubuh sebelah atasnya dan memeganginya lebih erat, dekat sekali dengannya;
begitu dekat, sampai-sampai bulu-bulu hitam kaku di perut makhluk itu terasa
menusuk-nusuk Candy, padahal tubuhnya terlindung lapisan jaket yang diberikan
Samuel Klepp padanya. Candy merasa ada setetes cairan mengalir di sisi
wajahnya. Squiller yang malang rupanya mengira mereka akan jatuh sampai mati ke
bawah sana, dan dalam kepanikannya ia tak bisa mengendalikan diri, hingga terkencing-kencing. Candy
mengulurkan tangan dan mem-belainya.
"Tidak apa-apa," bisiknya.
Jantungnnya sendiri berdebar tak terkendali dan
kepalanya berdenyut. Ia menengadah ke arah Shape,
menimbang-nimbang haruskan ia berusaha berdamai
dengan orang itu, supaya Shape tidak menakut-nakutinya lagi dengan cara
berbahaya seperti tadi. Kali berikutnya mungkin saja kuu-kupu ini tidak cukup
cepat menangkapnya kembali saat ia jatuh.
Namun perhatian Shape sedang tertuju pada sesuatu di depan mereka. Candy
mengikuti arah tatapannya dan
melihat sebuah armada balon udara-lima atau enam
balon-muncul dari balik segumpal awan yang disinari cahaya bulan, mungkin
sekitar seperempat mil jauhnya.
"Demi Nefernow, ada apa lagi ini?" ia mendengar Mendelson menggerutu sendiri.
Nefernow, pikir Candy; rasanya ini kata makian ala Abarat yang pertama dalam
kamusku. Rupanya seseorang dalam armada balon udara itu
telah melihat kupu-kupu tersebut, sebab balon paling depan sekarang berubah
haluan, menuju ke arah mereka.
"Skrill! Skrill! " Mendelson berseru-seru.
Kupu-kupu tunggangannya mematuhi perintah itu dan
mulai terbang menurun dengan mendadak. Ia menukik
begitu tajam, sampai-sampai Candy khawatir ia dan
Squiller akan meluncur jatuh dari celah di antara kaki-kaki makhluk itu. Maka ia
mengulurkan tangan ke atas kepala, dan mencengkeram perut makhluk itu dengan dua
tangan, tidak memedulikan bulu-bulu keras yang tajam menusuk.
Di bawah mereka tampak sebuah pulau. Kalau mereka
jatuh sekarang, habislah mereka. Candy berpegangan erat. Kupu-kupu ini satu-
satunya harapannya. Ia menengok kembali ke arah armada balon udara
tersebut. Jelas tampak bahwa mereka bukan hanya
terbang mengandalkan angin, sebab dalam sepuluh atau lima belas detik sejak
kupu-kupu ini menurun, armada itu sudah berhasil mengejar mereka hingga
setengahnya. Candy mendengar suara siulan nyaring, dan sesuatu
terbang dekat sekali ke wajahnya. Tak lama kemudian terdengar siulan kedua,
diikuti oleh serangkaian kata makian ala Abarat. Shape telah menempelkan dirinya
di tubuh dan kepala kupu-kupu itu. Baru sesaat kemudian Candy tahu sebabnya.
Setelah itu ia pun mengerti
rupanya mereka ditembaki. Para penumpang balon-balon itu adalah pemburu-pemburu.
Jelas mereka berniat menjatuhkan kupu-kupu mi. Entah mereka tidak melihat bahwa
kupu-kupu itu membawa penunggang dan tawanan, atau mereka tidak peduli akan
nasib Shape dan Candy kalau peluru-peluru mereka mengenai sasaran. Apa pun
alasannya, itu tidak penting lagi. Konsekuensinya sama saja bagi Candy dan
Squiller. Sekarang terdengar siulan ketiga, diikuti oleh suara gedebuk. Kemudian
seluruh tubuh kupu-kupu itu bergetar keras.
"Aduh, jangan...,"gumam Candy. "Tolong jangan sampai ini terjadi."
Tapi sudah terlambat untuk berdoa.
Candy menengadah ke kepala makhluk itu dan melihat bahwa kupu-kupu itu terkena
tembakan anak panah persis di antara kedua matanya yang besar. Rupanya anak
panah itu ditembakkan oleh seseorang dari salah satu balon udara.
Tak ada darah yang mengalir dari luka itu. Yang
keluar adalah aliran warna berbentuk spiral yang
melayang naik ke udara gelap. Kelihatannya serangga ini merupakan semacam hasil
ciptaan sihir. Itu sebabnya ia tidak mati seketika, meski sudah terluka parah.
Ia masih berjuang untuk naik, sepasang sayap raksasanya
mengepak-ngepak perlahan penuh keanggunan saat ia
berusaha naik. Tapi usahanya tidak banyak berhasil. Serangkaian
tembakan kembali dilepaskan dari balon-balon itu, dan anak-anak panah tersebut
membuat lubang demi lubang di membran halus sayap-sayap si kupu-kupu. Kembali
aliran warna merembes keluar dari luka-lukanya, dan saat fragmen-fragmen warna
itu melayang naik, kepak sayap-sayap si kupu-kupu pun semakin pelan. Dan
akhirnya berhenti sama sekali.
Mereka mulai turun lagi. Candy menatap Shape. Shape masih membungkuk
dekat kupu-kupu tunggangannya, mati-matian membisikkan sesuatu dengan panik,
agar makhluk itu tidak terus menurun.
Tapi sia-sia. Kupu-kupu itu jatuh, jatuh, dan terus jatuh. Candy dan Shape hanya bisa
berpegangan padanya sementara si
kupu-kupu meluncur turun semakin cepat dan semakin cepat ke tanah yang keras di
bawah. BAGIAN EMPAT ANEH BIN AJAIB Jiwa di air, Jiwa di batu. Jiwa bernama, Jiwa tak dikenal. Jam-jam menelan Raga kita, tulang-belulang kita.
Tinggallah jiwa; Satu-satunya yang tersisa.
-sajak yang digoreskan oleh
tangan tak dikenal, di sebuah
batu besar di Karang Vesper
21 DI HUTAN TIANG-TIANG GANTUNGAN
TAK seorang pun - tidak juga Christopher Carrion
sendiri - mengetahui rahasia Pulau Tengah Malam hingga sekecil-kecilnya. Pulau
itu merupakan sebuah labirin yang diisi oleh tiang-tiang dari batu karang hitam,
danau-danau tak berdasar, tambang-tambang, hutan-hutan, jurang-jurang, serta
dataran-dataran rendahnya. Pulau itu menyimpan misteri-misteri purba yang tak
terhitung banyaknya. Carrion bahkan pernah mendengar bahwa
segala macam rasa takut yang pernah mencekam hati
manusia ada di Gorgossium. Semuanya berkumpul pada Jam yang menakutkan itu, Jam
ketika masa lalu menyelinap pergi dan kita ditinggalkan dalam gelap, tidak tahu apa yang akan
terjadi selanjutnya. Kalau ada.
Malam ini Carrion pergi berjalan-jalan di antara
kemegahan-kemegahan Gorgossium yang mengerikan,
memikirkan apa-apa yang telah dilihatnya melalui mata kupu-kupu hasil
ciptaannya, yang ia buat dari debu mayat di Karang Vesper.
Ia telah menyaksikan penerbangan ke Yebba Dim Day, dan tentu saja ia telah
melihat gadis itu berdiri di sana, di menara Kepala Raksasa, mengamati kepulauan
yang terhampar di sana. Ia merasa senang melihat ekspresi ketakutan di wajah gadis
itu ketika kupu-kupu ciptaannya, dengan dipandu oleh Shape, menukik menyambar
gadis itu dan membawanya pergi. Perjalanan kembali ke Pulau Tengah Malam pun
dimulai. Segala sesuatunya berjalan sangat memuaskan.
Tapi kemudian muncul balon-balon udara itu, dan
mereka menyerang si kupu-kupu. Dengan perasaan marah namun tak berdaya Carrion
mengawasi balon-balon itu bergerak mendekat. Dengan ngeri ia memandang anak-anak
panah mereka berdesing. Ia telah mendengar
Mendelson memerintahkan kupu-kupu itu turun kemungkinan karena berharap bisa
mengelak dari para pengejarnya. Tapi usahanya sia-sia. Salah satu anak panah itu mengenai
sasarannya, dan merusak kekuatan telepati kupu-kupu tersebut. Citra-citra yang
muncul dalam benak Carrion mendadak lenyap.
Carrion tidak peduli akan nasib kupu-kupu itu - makhluk itu diciptakan dari debu
dan cahaya, dan akan kembali menjadi debu dan cahaya. Ia juga tak peduli akan
nasib Mendelson Shape. Yang ada dalam pikirannya hanyalah si gadis yang diculik
kupu-kupu itu dari menara-menara di Yebba Dim Day.
Meski ia hanya melihat gadis itu sekilas - wajah gadis itu juga tertutup sejenis
perangkat yang ia pakai menutupi matanya - perasaannya berdesir ketika melihat
gadis itu; ia serasa mengenali gadis itu. Gadis itu orang yang istimewa; orang
yang penting; bahkan barangkali orang yang dapat membangkitkan perasaan cinta di
hatinya. Namun, meski hatinya berdebar-debar melihat si gadis, akal sehatnya menyuruh ia
berhati-hati. Selama ini ia selalu tidak beruntung dalam masalah cinta. Kalau
kita tidak hati-hati, cinta bisa membuat patah hati. Membuat kita merasa begitu
kalut, begitu bingung, dan begitu tak berarti, hingga hidup ini jadi serasa tak
ada gunanya lagi dijalani. Hal-hal ini diketahuinya bukan dari buku-buku,
melainkan dari pengalaman-pengalaman pahit dalam
hidupnya. Carrion memutuskan untuk memikirkan ini lebih jauh, maka ia tidak kembali ke
Menara Kedua Belas, melainkan meneruskan menyusuri jalan setapak kesukaannya
yang melintasi Hutan Tiang-Tiang Gantungan. Sambil berjalan, pikirannya beralih
dari gadis yang telah dilihatnya di menara-menara di Yebba Dim Day pada seorang
gadis lain yang juga istimewa; gadis yang telah menyebabkan ia begitu patah hati. Sang
Putri Boa. Bertahun-tahun telah berlalu sejak putri itu melukai hatinya, namun sampai
sekarang bekas-bekas luka itu masih tersisa.
Di mata Carrion, Putri Boa memiliki kecantikan yang tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata; gadis dengan pesona tak terperi dan pribadi begitu manis. Putri itu
adalah anak perempuan Raja Claus, yang ketika itu menjadi penguasa persekutuan
Pulau-Pulau Siang Hari. Karenanya sang putri merupakan pasangan yang sempurna
bagi sang Penguasa Tengah Malam. Demikianlah yang dikatakan Carrion
dalam surat-suratnya pada sang putri.
"Betapa menguntungkan bagi kedua belah pihak, kalau kau bersedia menikah
denganku" tulisnya ketika itu. "Kau yang mencintai Jam-Jam Benderang, dan aku
yang mencintai Malam. Bukankah kita akan menjadi pasangan yang sangat serasi"
Selama berabad-abad pulau-pulau kita selalu berperang, kadang-kadang terlibat
permusuhan diam-diam, kadang-kadang perang terbuka; tapi selalu saja ada konflik


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berakhir dengan kematian banyak orang, serta jalan buntu yang tidak membawa
penyelesaian apa-apa bagi kedua belah pihak.
"Tapi semua itu akan berakhir. Tidak akan ada perang lagi, selama-lamanya! Kalau
kau bersedia menikah denganku, pada hari pernikahan kita akan kita umumkan bahwa
segala permusuhan antara Pulau-Pulau Malam dan Pulau-Pulau Siang akan dihentikan
saat itu juga. Dan luka-luka lama itu akan disembuhkan melalui cinta antara
kita. Dan suatu Zaman Baru akan dimulai. Zaman Cinta Abadi. Para prajurit akan
dilucuti senjatanya dan diperintahkan beralih pada pekerjaan yang didasarkan
atas cinta. Pada hari itu juga aku akan membebaskan seluruh pasukan tambal-
sulamku yang banyak itu, yang selama ini bertugas mempertahankan pulauku dari
serangan musuh. Tindakan ini kulakukan untuk menunjukkan keyakinanku. Dengan
demikian, aku memperlihatkan pada dunia bahwa lebih baik aku mati tanpa senjata,
dan dengan hati penuh cinta, daripada mengayunkan pedang kembali.
"Dan kau, kekasihku, akan menjadi sumber inspirasiku.
Kau, Putriku yang manis, akan menjadi jiwa penuh cinta, dan seluruh Abarat akan
berterima kasih padamu, sebab kaulah yang telah memadamkan amarah di jantung
sang Malam." Banyak surat semacam itu yang ditulis Carrion, dan banyak pula balasannya dari
sang Putri Boa. Dalam surat-suratnya, sang putri menyatakan betapa indah
perasaan-perasaan Carrion terhadapnya, dan betapa inginnya ia percaya bahwa
Zaman Cinta Abadi yang disebut-sebut oleh Carrion benar-benar bisa diwujudkan.
"Ayahku, Raja Claus, dan saudara laki-lakiku Quiffin telah menyarankan aku untuk
menerima lamaranmu serta tawaran-tawaranmu yang mulia, tulis sang putri. "Tapi,
Pangeran, aku tidak yakin bisa mengambil keputusan untuk bertindak sesuai yang
kauinginkan. Kalau di hatiku tidak tumbuh perasaan cinta mendalam, yang amat
sangat dibutuhkan seandainya jiwa kita hendak disatukan dalam pernikahan, maka
hubungan kita tidak akan berjalan dengan baik sebagaimana seharusnya. Kuharap
kau bisa memahami bahwa ucapanku ini sama tidak dimaksudkan untuk menyakiti
hatimu. Aku hanya ingin menyatakan kebenarannya, sehingga tak ada kesalahpahaman
antara kita." Suratnya yang bernada penuh keraguan itu telah
melukai perasaan Carrion. (Memang bukan penolakan
terang-terangan, setidaknya pada awal-awalnya).
Setelah menerima surat tersebut selama bermalam-malam Carrion tidak bernafsu
makan dan tidak berbicara pada siapa pun.
Akhirnya ia menulis surat balasan, memohon sang putri agar mempertimbangkan
kembali keputusannya. "Kalau yang menjadi keberatanmu adalah penampilanku, Lady, " kata Carrion, "maka
kau tak usah cemas; nenekku, Mater Motley, telah berjanji akan menggunakan
keterampilan-keterampilannya dalam ilmu sihir untuk menghapuskan bekas-bekas
yang ditimbulkan oleh kesedihan serta kesepian padaku. Sekiranya kau setuju
untuk menerima lamaranku - meski kau mengatakan jiwamu tidak tersentuh oleh
perasaan cinta untukku, aku berani berharap suatu ketika nanti aku berhasil
menimbulkan cinta itu di hatimu -
maka Pangeran Tengah Malam-mu ini akan menjadi manusia yang sama sekali baru,
sebagaimana layaknya seorang kekasih; baru di matamu, baru di mataku dan
akhirnya... baru di mata seluruh dunia."
Namun segala bujukan itu tak dapat menggoyahkan
sang putri untuk mengubah keputusannya. la membalas surat Carrion penuh
kelembutan, namun selalu saja ada nada penuh keraguan dalam isi suratnya. Ia
tidak terang-terangan menolak, sebab ayahnya setuju untuk menerima lamaran
Carrion, dan melihat kesempatan yang sangat bagus untuk menghentikan perang
antara Siang dan Malam kalau putrinya dan sang Penguasa Tengah Malam menikah. Tapi untuk menerima
lamaran itu sang putri harus lebih dulu mengenyahkan segala pertanyaan yang
menghantuinya. Ia banyak bermimpi tentang hal-hal yang membuatnya takut, tulis sang putri.
Carrion membalas dengan bertanya, mimpi-mimpi apa
sajakah yang mengganggunya.
Putri Boa tidak memberikan jawaban mendetail dalam surat balasannya. Ia hanya
mengatakan bahwa mimpi-mimpi itu membuatnya takut, dan walaupun ia tidak
meragukan niat Carrion yang baik dan mulia terhadap dirinya, ia tetap tak dapat
menghapuskan mimpi-mimpi itu dari dalam benaknya.
Sementara Carrion berjalan-jalan di Hutan Tiang
Gantungan, burung-burung gagak dan burung-burung
pemakan bangkai mengikutinya. Burung-burung gagak itu terbang dari satu pohon ke
pohon lainnya, dan burung-burung pemakan bangkai melompat-lompat di kakinya,
saling berkelahi memperebutkan tempat paling dekat di kakinya. Carrion ingat
betapa ia dengan susah payah menyusun surat-surat yang ditulisnya untuk sang
putri, sebab ia bertekad meyakinkan sang putri bahwa mimpi-mimpi yang
mengganggunya itu tidaklah penting, dan bahwa sang putri boleh yakin akan cinta
Carrion yang tak pernah padam untuknya.
"Aku akan melindungimu" tulis Carrion, "dari segala kekuatan yang mengancammu.
Aku sendiri akan melindungimu dari Kematian. Kumohon, Lady, yakinlah padaku; tak
ada kekuatan jahat di udara, di bumi, maupun di laut yang dapat mencelakakanmu."
Setiap kali ia mengirim surat pada sang putri, selalu ada saat-saat tegang penuh
penantian akan jawaban yang bakal diterimanya. Disusul oleh saat mendebarkan ketika jawaban yang
ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga, dan Carrion membuka sampul surat itu
dengan jemari kaku dan gemetar. Namun jawaban yang diterimanya tak pernah memuas-
kan. Ia pun mendesak sang putri, berulang kali, agar tidak menyiksanya dengan
ketidakpastian, Akhirnya, setelah ia memohon-mohon, sang putri pun memberikan
jawaban yang jelas. Amat sangat jelas. Ia tidak mencintai Carrion, ia tidak bisa dan
tidak akan pernah mencintai Carrion.
Carrion serasa tersapu oleh gelombang kebencian pada diri sendiri ketika membaca
jawaban final itu. Ia tahu kenapa sang putri menolaknya. Penolakan tersebut sama
sekali tak ada hubungannya dengan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya.
Alasannya jauh lebih sederhana daripada itu.
Sang putri membencinya. Itulah kebenarannya. Kebenaran yang sangat me-
nyakitkan. Betapapun lembutnya putri itu menyatakan penolakannya, Carrion dapat
menangkap apa-apa yang tersirat dalam suratnya. Sang putri menganggap ia
sebagai sosok mengerikan dan jelek, penuh bekas-bekas luka, dan pembawa mimpi
buruk, dan ia membenci Carrion dengan sepenuh hatinya
Demikianlah awal, pertengahan, dan akhir dari urusan tersebut.
Acara jalan-jalan santai yang panjang dan penuh
perenungan ini akhirnya membawa Carrion ke jantung hutan tersebut. Di sinilah
tiang-tiang gantungan raksasa dulu pernah didirikan. Beberapa di antaranya masih
dihiasi tali-tali penggantung yang sudah lapuk, dan pada beberapa tali itu masih
ada sisa-sisa laki-laki dan perempuan-perempuan yang dulu dihukum mati. Semuanya
sudah mengering dalam pose-pose terakhir mereka yang mengerikan, mulut mereka
menganga lebar. Beberapa ada yang lidahnya sudah habis dimakan
burung-burung gagak yang lapar. Banyak burung di
sekitar tempat ini yang suaranya jadi seperti suara orang-orang yang lidahnya
mereka makan. Sekarang pun
mereka berceloteh seperti manusia, sambil melompat-lompat di cabang-cabang
pepohonan berwarna merah darah yang tumbuh dari kayu tiang-tiang gantungan itu.
"Sial sekali digantung pada malam seperti ini, eh?"
"Aku juga digantung pada malam seperti ini. lstriku menangis sedih sekali."
"Istriku tidak"
"Kenapa tidak?"
"Justru gara-gara dia aku jadi digantung."
"Kau membunuhnya?"
"Jelas saja kubunuh. Puding roti buatannya benar-benar puding paling tidak enak
di seantero Tazmagor."
Sang Penguasa Tengah Malam mengenyahkan per-
cakapan konyol itu dari dalam benaknya, dan mem-
biarkan pikirannya beralih kembali pada gadis yang telah dilihatnya melalui mata
si kupu-kupu di menara-menara Yebba Dim Day. Gadis itu masih hidup, walaupun ia
jatuh dari udara ketika kupu-kupu tersebut tewas.
Carrion yakin sekali akan hal itu, meski keyakinannya terasa tidak masuk akal.
Cepat atau lambat ia akan menemukan gadis itu dan akan berbicara padanya.
Beranikah ia beranggapan bahwa barangkali gadis ini datang dari Hereafter
sebagai hadiah untuknya, untuk menggantikan nasib malang cintanya yang dulu
ditolak oleh Putri Boa" Barangkali itu sebabnya ia merasa mengenali gadis itu.
Sebab gadis itu merupakan hadiah yang datang secara kebetulan baginya.
Pikiran tersebut berhasil memperbaiki sedikit suasana hatinya yang murung. la
terus berjalan di antara pepohonan, menuju tepi jurang karang. Dari sana ia bisa memandang ke arah pulau-
pulau di sebelah barat. Termasuk ke Yebba Dim Day tentunya
Rute yang diambilnya membawanya melewati sebuah
tempat di antara pohon-pohon. Di situ ada dua pria bertopeng yang sedang
berkelahi dengan gada. Keduanya pernah menjadi sipir di penjara Carrion, dan
keduanya saling bermusuhan. Nama mereka Wendigo dan Chilek, dan mereka
sebenarnya dua kakak-beradik.
Beberapa hari yang lalu Carrion menghibur diri dengan sengaja menyebarkan bibit
pertengkaran di antara mereka (ia menyebarkan desas-desus pada mereka
masing-masing bahwa saudara satunya diam-diam ingin menguasai jabatan sebagai
sipir di penjara itu). Sebenarnya ia hanya ingin menguji, perlu waktu berapa lama untuk menghancurkan
perasaan sayang yang mendalam di antara dua bersaudara itu dengan kecemburuan.
Ternyata tidak lama. Lihat sekarang, mereka bertarung sampai mati gara-gara hal
yang sama sekali tidak benar.
Tanpa terlihat, Carrion mengawasi dari balik bayang-bayang, saat perkelahian
tersebut akhirnya selesai. Salah satu laki-laki itu tergelincir di tumpukan
daun-daun busuk yang licin di bawah kaki mereka, dan jatuh ke tanah. Laki-laki
satunya tidak memberi kesempatan pada saudaranya untuk memohon belas kasihan. la
mengangkat gadanya dan menghantamkannya dengan seruan gembira, seperti anak
kecil. Tapi perasaan gembiranya tidak berlangsung lama.
Seruan senangnya berangsur-angsur hilang dan si
pemenang seakan-akan tersadar dari pengaruh rasa iri dan haus darah yang semula
menguasainya. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan membuka topengnya.
Topeng dan gada itu dibiarkannya jatuh dan tangannya, kemudian ia jatuh berlutut
di samping saudaranya. Wajahnya menampakkan rasa penyesalan yang amat
sangat. Carrion tertawa, merasa sangat senang. Mendengar
tawa itu Wendigo mengangkat wajah dari mayat
saudaranya dan memandang ke dalam bayang-bayang.
"Siapa di situ?" bentaknya kepada kegelapan.
Rasa sedih yang sekonyong-konyong terdengar dalam
suaranya mengganggu sekawanan burung gagak yang
bertengger pada cabang-cabang pohon di atas. Sepertinya mereka juga mengawasi
pertarungan tadi. Sekarang mereka berseru-seru pada Wendigo, sambil terbang
berputar-putar mengelilinginya.
"Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!"
Wendigo mengibaskan tangan, mencoba mengusir
mereka, tapi burung-burung itu tak mau pergi.
Mereka masih terus terbang berputar-putar, beberapa bahkan ada yang berani
mendarat di kepala Wendigo, melompat-lompat di situ dan tertawa-tawa di
telinganya. Wendigo memukul mereka asal-asalan, tapi mereka sudah terbang menghindar sebelum
ia sempat menangkap kaki-kaki mereka yang hitam kurus. Merasa kalah dan
sendirian dalam kejahatannya, Wendigo terperenyak sambil
terisak-isak di tengah-tengah dedaunan mati.
Carrion meninggalkan burung-burung gagak yang
masih terus berseru-seru pada Wendigo yang terisak-isak.
Suasana hatinya sudah semakin baik sekarang.
Sementara ia berjalan, dari arah barat angin berembus di antara pepohonan,
bersiul di antara gigi-gigi busuk orang-orang yang digantung dan mendesah dari
lubang-lubang mata mereka. Tali-tali di tiang-tiang gantungan berderit-derit
ketika mayat-mayat itu terayun ke depan ke belakang.
Carrion melepaskan salah satu sarung tangannya dan mengangkat tangan itu ke
atas, untuk merasakan sapuan angin; bibirnya menyeringai membentuk senyuman. Ada
bekas-bekas luka permanen pada kedua bibirnya, akibat hukuman dari neneknya
bertahun-tahun silam. Mendengar Carrion mengucapkan kata c inta, Mother Motley
menjahit kedua bibir Carrion dan membiarkannya seperti itu
seharian, hingga ia kelaparan dan tak bisa berbicara.
"Di mana kau berada, wahai gadis dari Hereafter?"
Carrion bertanya-tanya. Kata-katanya lenyap terbawa angin.
"Datanglah padaku," ia melanjutkan, sambil melangkah di antara mayat-mayat yang
tergantung-gantung, menuju ke laut, "Aku tak akan menyakitimu, Nak. Aku
bersumpah atas nisan orang yang kucintai. "
Namun angin kembali membawa pergi kata-katanya.
Dan ia membiarkannya. Barangkali gadis dari Hereafter itu akan mendengar apa-apa
yang ia ucapkan, dan mau memenuhi permintaannya.
"Datanglah padaku, " katanya lagi, menyuarakan permintaannya dengan berbisik,
dan membayangkan kata- kata itu mencari jalan menuju telinga si gadis. Mungkin saat gadis itu tidur,
atau saat ia menatap ke arah laut, seperti Carrion juga sedang memandang ke
laut. "Kau dengar aku?" katanya. "Aku menantimu. Datanglah padaku. Datanglah padaku.
Datanglah padaku." 23 SI PENCIPTA COMMEXO KID MESKI sudah tewas, kupu-kupu raksasa itu tidak jatuh seperti batu dari langit.
Sepasang sayapnya begitu lebar, dan membawanya meluncur turun berputar-putar,
seperti layang-layang yang kehilangan embusan angin. Candy berpegangan erat-erat
pada thorax kupu-kupu itu, sambil berdoa keras-keras.
"Tuhan, tolong aku!"
Namun kata-kata itu tersedot lenyap dari mulutnya oleh kecepatan mereka
meluncur, yang kian lama kian bertambah.
Sekilas ia melihat pemandangan yang terbentang di
bawah sana. Bukan batu karang semata-mata, tapi juga bukan tanah empuk. Yang
tampak adalah bentangan padang gersang dengan beberapa batang pohon tumbuh tersebar di sana-sini.
Itu saja sudah cukup menakutkan, lebih-lebih ketika Mendelson Shape mengulurkan
tangan ke bagian bawah tubuh kupu-kupu itu dan mulai mengguncang-guncang
Candy agar pegangannya terlepas. Candy tidak mengerti kenapa ia melakukan itu.
Barangkali Shape sekadar ingin mengurangi beban si kupu-kupu. Apa pun alasannya,
tindakan itu membawa malapetaka baginya. Saat ia
berusaha mengguncang-guncang Candy, pegangannya
sendiri terlepas, dan ia pun meluncur ke depan, di atas kepala makhluk itu.
Dengan panik ia menyambar sungut kupu-kupu itu, tapi berat tubuhnya justru
membuat si kupu-kupu menukik makin tajam.
Sekarang giliran Shape berdoa keras-keras memohon
pertolongan, dalam bahasa yang tidak dipahami Candy.
Permohonan-permohonannya sama sia-sianya dengan
doa-doa Candy tadi. la mendengar Shape mencakar-
cakar si kupu-kupu, berusaha merayap naik kembali, setiap tarikan napasnya
berupa isakan. Tapi usahanya sia-sia. Doa-doanya terdengar makin panik. Kemudian
angin berembus lebih kencang, dan ia pun terbawa pergi.
Candy sempat melihatnya sekilas saat ia terbang lewat.
Lalu ia lenyap tertelan kegelapan di bawah sana
meninggalkan Candy yang telentang berpegangan di
perut kupu-kupu yang meluncur deras itu. Rentangan lebar sayap si kupu-kupu
memperlambat laju menukiknya. Itu satu-satunya yang menolong Candy. Ia
berpegangan erat-erat, mengantisipasi hantaman kerasyang bakal dialaminya kalau mereka


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terempas ke tanah nanti. Tapi ia beruntung. Tiupan angin membawa kupu-kupu
itu menjauh dari karang-karang tempat Mendelson jatuh tadi. Sebaliknya, mereka
mengarah ke salah satu gerumbulan pepohonan. Tubuh serangga itu mendarat di atas kerimbunan pohon.
Ranting-ranting dan cabang-cabang pohon berderak patah, dan tubuh raksasa si
kupu-kupi terancam jatuh hingga ke tanah, namun pohon-pohon muda itu ternyata
cukup kuat menahan berat tubuhnya.
Daun-daun bertemperasan ke udara, lalu berjatuhan
berputar-putar menimpa Candy. Candy berbaring tak
bergerak, menunggu gerakan terakhir si kupu-kupu
mereda. Kemudian pelan-pelan ia berguling telungkup dan mengintip dari celah-
cdah cabang-cabang pohon yang berderak-derak. Ia masih dua puluh kaki di atas tanah, atau barangkali lebih tinggi lagi. Ia
tahu bahwa ia mesti bergerak dengan sangat hati-hati kalau ingin tiba di tanah
tanpa cedera. Ternyata hal ini tidak terlalu sulit. Dengan mudah ia bisa berpegangan atau
menginjakkan kaki pada pohon-pohon.
Meski masih gemetar akibat petualangan mendebarkan beberapa saat tadi, ia
berhasil turun ke tanah dengan selamat.
Setibanya di tanah, dengan hati-hati Candy melepaskan Squiller dari kepalanya.
Gurita malang itu gemetar hebat. Sedapat mungkin Candy berusaha menenangkannya
dengan kata-kata lembut. "Tidak apa-apa," katanya. "Kita sudah aman sekarang"
la mesti memasukkan Squiller ke dalam air secepatnya.
Squiller sudah menjadi "matanya" selama satu jam atau lebih. la heran gurita itu
masih hidup. Sekarang, setelah berada di tanah, Candy melihat-lihat sekelilingnya. Tempat apa
ini" Atau, lebih tepatnya -
berhubung ia berada di Abarat - di pulau jam berapakah ia berada"
Di sini gelap - lebih gelap daripada di Yebba Dim
Day - tapi tidak gelap gulita. Ia menebak pulau ini
adalah Pulau Jam Sepuluh Malam. Pulau Ninnyhammer, kalau menurut pelajaran yang
diperolehnya dari Klepp. Udara agak dingin, dan dari kejauhan sana, tiupan
angin membawa nada-nada musik sedih yang dimainkan sebuah orkestra.
Candy melangkah ke tepi gerumbulan kecil pohon
tersebut, untuk melihat apakah ia bisa menemukan sumber nada-nada musik itu.
Ternyata mudah saja. Saat ia
mengintip dari balik pepohonan, dua pemburu menurunkan balon udara mereka
perlahan-lahan, tidak sampai lima puluh meter dari Candy; lampu-lampu besar di
keranjang balon-balon itu bersinar terang, menyoroti tanah ke segala arah. Candy
tak ingin melangkah ke tengah
cahaya itu; jangan-jangan ia menjadi sasaran empuk bagi pemburu-pemburu
tersebut. Maka ia mundur kembali ke balik pohon-pohon dan mengawasi apa yang
bakal terjadi. Mula-mula ia mendengar suara pintu-pintu keranjang balon dibuka, disusul suara
mendesum pelan. Kemudian muncul serangkaian anak tangga, sehingga pemburu-
pemburu manja ini tak perlu melompati jarak pendek antara pintu keranjang balon
dan tanah. Tiga laki-laki yang muncul dari balon itu mengenakan pakaian sama persis - setelan
kelabu berkerah tinggi, dan sepatu bot kelabu mengilap. Pemimpin mereka - kalau
dilihat dari cara kedua laki-laki lainnya menunjukkan sikap hormat padanya -
justru bukan yang paling tua. la
seorang pria muda bertubuh kecil, dengan rambut warna jingga yang jatuh menutupi
dahi, kedua matanya selalu disipitkan, seperti orang yang memandang dunia dengan
penuh curiga. Kedua laki-laki lainnya - barangkali para pengawal-
nya - hampir dua kali lebih besar daripada dirinya, dan mereka segera saja
memeriksa keadaan sekitar. Keduanya membawa senjata api.
Akhirnya, paling belakang, muncul seorang laki-laki kulit hitam yang sangat
jangkung, sampai-sampai ia harus menundukkan kepala untuk keluar dari pintu
keranjang balon tersebut. Ia mengenakan sepasang kacamata kecil keperakan dan
membawa semacam lempeng elektronik
berukuran besar. Layar lempeng itu memancarkan cahaya kedap-kedip yang menerangi
wajahnya: kadang-kadang putih, kadang-kadang biru-kehijauan, kadang-kadang
jingga. Ia memperhatikan dengan seksama segala sesuatu yang dikatakan atau
dilakukan oleh si laki-laki berambut jingga, dan sebagai respons jemarinya yang
panjang dan cekatan bergerak tak henti-henti di lempeng tersebut, menuliskan
secara mendetail segala sesuatu yang diucapkan atau dilakukan majikannya.
Si laki-laki bermata curiga sudah mengarahkan
tatapannya pada kupu-kupu yang tersangkut di pohon; ia mendekati makhluk
tersebut, sambil berbicara.
"Pernahkah kau melihat bentuk kehidupan yang
semacam ini, Mr. Birch?" tanyanya pada laki-laki ber-kacamata keperakan itu.
Tapi ia tidak menunggu orang tersebut menjawab. "Doggett?" kata Mr. Pencuriga
pada salah satu pengawalnya yang bertubuh lebih besar.
"Coba ambilkan beberapa kait dan tali, supaya kita bisa menurunkan makhluk ini.
Aku ingin dia disimpan untuk koleksi kita"
"Segera, Mr. Pixler," Doggett berkata, kemudian meninggalkan yang lain-lainnya
untuk melaksanakan perintah tersebut.
Pixler" Candy berkata pada dirinya sendiri. Mungkinkah laki-laki bertubuh kecil
ini adalah arsitek utama Commexo City"
"Bagaimana pendapatmu tentang makhluk itu, Birch?"
Pixler bertanya pada rekannya.
Yang ditanya beranjak ke sisi Pixler. la dua setengah kaki lebih jangkung
daripada majikannya, dan meski semua orang ini mengenakan setelan praktis yang
sama persis, laki-laki yang satu ini tampak lebih elegan dalam setelan tersebut.
"Saya baru saja memeriksa seluruh isi ensiklopedi Flora dan Fauna di Kepulauan
karya Willsberger, dan..."
"Dan tidak ada keterangan tentang kupu-kupu
raksasa?" kata Pixler; dengan lembut ia menepuk-nepuk jambulnya, untuk
memastikan jambul itu masih tetap seperti bentuknya semula.
"Tidak ada." "Aku tidak heran," kata Pixler. "Menurut pendapatku, makhluk ini diciptakan
dengan sihir. Coba lihat warna-warni yang mengalir keluar darinya, Birch.
Makhluk itu dibangkitkan dengan sihir. Sihir yang sangat kuat." Pixler
tersenyum. "Perlu waktu untuk menghapus segala macam bentuk sihir di kepulauan
ini. Banyak buku yang mesti kita bakar, banyak roh yang mesti dienyahkan..."
Candy merinding melihat laki-laki itu, yang berbicara tentang membakar buku-buku
dan mengenyahkan roh-roh dengan senyum kecil penuh antisipasi di wajahnya. Jadi,
rupanya itulah falsafah Rojo Pixler, si arsftek Commexo City yang hebat.
Ucapannya mengerikan untuk didengar.
"Aku tidak ingin orang-orang ini mendatangi tukang-tukang sihir dan dukun-dukun
lokal mereka untuk minta penyembuhan atau minta diramal. Aku ingin mereka
datang pada kita. Padaku! Kalau mereka ingin merasakan sihir, biarlah sihir kita
yang mereka nikmati. Sihir yang bersih. Sistematis."
"Haleluya" kata Birch.
"Kau mencemooh aku, ya?" bentak Pixler sambil memutar badan ke arah Birch, dan
menudingkan satu jarinya ke wajah laki-laki itu.
Birch mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah.
Lempeng yang dipegangnya terjatuh. "Astaga, tidak.
Sama sekali tidak, Sir"
Pixler tertawa terbahak-bahak. "Aku cuma bercanda, Birch. Bercanda!" katanya.
"Apa?" kata Birch dengan ekspresi kosong.
"Apa kau tidak punya rasa humor?" Mr. Pencuriga bertanya.
"Oh. Bercanda?"
"Ayolah, Birch, gembiralah sedikit. Aku percaya padamu." Birch membungkuk dan
mengambil lempeng yang tadi dijatuhkannya. Sambil membungkuk, ia menatap Pixler
sekilas. Pixler tidak melihat sorot yang terpancar dari tatapan itu. Tapi Candy
melihatnya. Sorot mata itu berbicara banyak. Di balik sikap luarnya yang
kelihatan setia, Birch rupanya menyimpan perasaan muak yang
amat sangat terhadap majikannya.
"Coba tuliskan ini untukku, Birch," kata Pixler. "Aku ingin mengumumkan amnesti
terhadap kepemilikan segala
macam buku tentang sihir. Kalau buku-buku itu diserahkan pada kita di Commexo
City untuk dibakar dalam jangka waktu tiga puluh hari, aku sendiri akan menjamin
bahwa siapa pun yang menyerahkan buku-buku itu tidak akan dijatuhi hukuman."
"Dengan segala hormat, Sir," kata Birch, "tidak ada hukum yang melarang praktek
sihir di luar Commexo City.
Dan sekali lagi, dengan segala hormat, saya rasa akan sangat sulit meminta
Dewan-Dewan Pulau mana pun untuk menerapkan hukum semacam itu."
"Bagaimana kalau kita katakan pada para penasihat sok ini bahwa mereka tidak
bakal bisa menjalin hubungan dagang lebih lanjut dengan Commexo, kecuali kalau
mereka menciptakan hukum seperti itu!" kata Pixler.
"Mungkin cara itu bisa diterapkan," kata Birch. "Tapi bagaimana dengan para
pemain penting" Saya dengar
keluarga Carrion memiliki perpustakaan berisi buku-buku sihir yang sangat
banyak. Mungkin perpustakaan mereka adalah yang paling besar di seluruh
kepulauan ini. Bagaimana cara kita membuat mereka menyerahkan
buku-buku tersebut?"
"Aku akan mencari jalan," kata Rojo, sikapnya penuh percaya diri. "Aku selalu
bisa menemukan jaiannya. Kau kan tahu aku."
"Tunggu," kata Birch perlahan. "Ada apa?"
"Tolong sebentar Sir," kata Birch. Ia menyerahkan lempengnya yang berkelap-kelip
itu pada bosnya. "Ada apa sih, Birch?" kata Pixler.
"Tidak ada apa-apa, Sir," kata Birch. Ia menjauhi atasannya satu langkah, menuju
ke arah pepohonan, lalu selangkah lagi, dan selangkah lagi.
"Birch?" Pada saat itu Birch menyerbu dengan langkah-langkah panjang ke dalam semak-
semak. Sudah terlambat ketika Candy menyadari bahwa
dirinyalah yang menjadi sasaran kejaran Birch. Ia membalikkan badan dan mulai
berlari, tapi baru satu meter Birch sudah berhasil menangkapnya.
"Ada mata-mata?" teriak Pixler.
"Cuma seorang gadis," sahut Birch. Ia menarik Candy keluar dari bayang-bayang,
membawanya ke tengah-tengah cahaya benderang yang memancar dari balon-
balon udara. Candy memprotes keras perlakuan Birch terhadap dirinya, tapi ia tak
punya pilihan. Birch jauh lebih kuat daripada dirinya, dan sepertinya ia tak
peduli bahwa cengkeramannya menyakiti Candy.
"Kaukah yang membuat kupu-kupu itu?" tanya Pixler.
"Kaukah yang menciptakannya?" Ia menunjuk kupu-kupu yang sudah mati itu. Kupu-
kupu itu masih tetap tersangkut di pepohonan, meski Doggett dan teman-temannya
sudah berusaha menurunkannya.
"Kemungkinan gadis ini salah satu anggota suku asli pulau ini," kata Birch,
masih tetap memegangi Candy erat-erat. "Beberapa dari mereka tidak bisa bicara
saya rasa" "Apa kau bisu?" tanya Pixler.
"Tidak," sahut Candy.
"Ah. Berarti teori itu tidak benar," kata Pixler.
"Kalau begitu, kau siapa?" tanya Birch.
"Namaku Candy Quackenbush, dan untuk kauketahui, aku sedang diculik oleh makhluk
yang tersangkut di pepohonan itu ketika kalian-tuan-tuan yang pandai dan
pemberani ini - menembaknya jatuh dari udara. Aku bisa mati terbunuh gara-gara
ulah kalian." Pixler mendengarkan ungkapan kemarahan itu dengan
ekspresi agak geli di wajahnya.
"Kurasa tidak apa-apa kalau kaulepaskan nona muda ini, Birch," kata Pixler.
"Bagaimana kalau dia bersenjata?" kata Birch, masih belum mau melepaskan Candy.
"Apa yang kaupegang di tanganmu itu?" tanya Doggett.
"Ini Squiller," jawab Candy sambil menatap gurita itu.
Dengan sedih ia menyadari bahwa selama beberapa
menit terakhir tadi - ketika ia sedang mendengarkan
segala omong kosong Rojo Pixler tentang membakar buku-buku sihir - gurita kecil
temannya itu akhirnya mengembuskan napas terakhir. Kemungkinan besar Squiller
sudah terlalu lama berada di luar habitat alaminya.
" Lepaskan aku!" sentak Candy dengan marah; di-hantamnya Birch dengan sikunya,
agar orang itu melepaskannya. "Kaudengar apa kata gadis itu," kata Pixler.
Birch melepaskan Candy, tapi tetap siap siaga di
dekatnya, kalau-kalau Candy berusaha menyerang
majikannya. "Bagaimana kalau dia kauserahkan padaku?" kata Pixler. Ia mengulurkan kedua
tangannya untuk menerima tubuh Squiller.
"Tidak," kata Candy. "Biar aku yang menguburkannya.
Aku ingin memanjatkan doa sedikit untuknya."
"Untuk seekor gurita" Astaga!" kata Birch. "Kalian penduduk pulau ini benar-
benar primitif." "Jangan sembarangan menilai begitu, Birch," kata Pixler. Suaranya terdengar
lebih lembut. "Dulu adik perempuanku, Filomena, suka menguburkan binatang-
binatang kesayangannya di kebun belakang, waktu kami masih kanak-kanak. Cukup
banyak binatang yang kami kuburkan di kebun itu. Aku yang menggali lubangnya,
dan dia yang menulis doanya. Ritual-ritual kecil itu penting.
Dari mana asalmu, Nak?"
"Pokoknya jauh dari sini," sahut Candy.
Sekonyong-konyong ia merasa kesedihan yang amat
sangat merambati dirinya. Dengan sepenuh hati ia
berharap bahwa dengan sekali menjentikkan jari ia sudah bisa kembali ke
pekarangan belakang rumahnya sendiri di Followell Street, untuk menguburkan
Squiller di samping Monty si burung kenari dan beberapa ekor ikan
maskokinya yang sudah mati - mereka semua teman-
teman masa kecilnya. la merasa matanya mulai berkaca-kaca, padahal ia sama
sekali tak ingin menangis di hadapan dua orang yang sama sekali asing baginya
ini. Maka ia berkata, "Permisi sebentar, aku ingin menguburkan Squiller di dalam hutan. Senang bisa
berkenalan dengan Anda, Mr.
Pixler. Dan kau..." - ia menoleh pada Birch - "tidak begitu menyenangkan."
"Wah, terus terang sekali bicaranmu," kata Pixler.
"Kami biasa bicara terus terang di Minnesota,"
"Minnesota?" kata Birch. "Pulau apa itu?"
"Minnesota tidak berada di Abarat, Birch," kata Pixler.
"Maksud Anda?" "Ya," kata Pixler, "Minnesota berada di Hereafter."
Candy meninggalkan kedua orang itu dan melangkah
ke dalam hutan. Ia sengaja tidak mau dekat-dekat daerah tempat Doggett dan
rekan-rekannya sedang berusaha
menurunkan kupu-kupu yang sudah mati itu dari antara cabang-cabang pepohonan.
Ia menemukan tempat yang tanahnya tampak tidak
terlalu keras, dan ia pun mulai menggali dengan kedua tangannya. Setelah
menggali sekitar satu kaki, ia membaringkan Squiller yang kecil di dasar lubang,
kemudian menutupinya dengan segenggam tanah. Selama hidupnya, baru satu kali ia
menghadiri pemakaman - pemakaman
neneknya - tapi ia ingat sedikit kata-kata yang diucapkan dalam acara penguburan.
"Dari debu kembali menjadi debu...," gumamnya.
Kemudian ia menambahkan sendiri, "Terima kasih telah menemaniku, Squiller. Aku
sangat sedih dengan kepergianmu. Aku akan sangat kehilangan dirimu." Sambil berbicara, ia mulai
menimbun tubuh Squiller dengan tanah.
"Di mana pun kau berada kini, semoga kau menyukainya.''
Ia mendengus keras, menelan air matanya yang terasa asin. Bukan hanya pemakaman
dadakan Squiller yang membuatnya menangis, melainkan juga berbagai pikiran tentang rumahnya, serta
jarak yang terbentang antara tempat ini dengan jalanan-jalanan di Chickentown.
"Sekarang aku seorang diri," ia berkata pada dirinya sendiri.


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, kau tidak sendirian."
Candy menoleh. Rojo Pixler berdiri dekat di belakangnya.
"Ini acara pemakaman pribadi," kata Candy padanya.
"Oh, maaf," sahut Pixler, suaranya terdengar tulus. "Aku sama sekali tidak
bermaksud mengganggumu dalam saat-saat sedih ini. Tapi tadi kau mengatakan
sesuatu yang sangat menarik."
"Oya?" "Waktu kaubilang kau berasal dari Minnesota."
"Oh, itu." "Ya, itu. Benarkah apa yang kaukatakan itu?"
"Kenapa memangnya?"
"Sebab aku akan sangat berterima kasih padamu kalau kau mau menunjukkan jalan
padaku ke sana." "Ke Minnesota?"
"Ya, ke Minnesota."
Candy tampak terheran-heran. "Kau tidak bakal suka di sana," katanya.
"Oh, kurasa aku akan suka. Aku selalu mencari peluang-peluang pasar yang baru
untuk Commexo Kid dan Panacea-nya." Candy tidak menjawab. Ia menyelesaikan menimbuni
makam Squiller, kemudian dengan lembut ia menepuk-
nepuk tanah makam itu. Sementara itu, Pixler berjongkok di sampingnya.
"Ini," kata Pixler. Ia telah membuat sebuah salib kecil dari dua batang ranting
yang diikat dengan rumput.
Candy agak terkejut dengan sikap simpatik yang
sederhana ini, tapi kemudian ia berpikir , Hmmm, dia cuma ingin beramah-tamah.
Maka diambilnya salib itu dari tangan Pixler dan ditancapkannya di tanah empuk,
di bagian kepala makam. "Terima kasih," katanya.
"Sama-sama. Aku ingin kita berteman. Siapa tadi namamu?"
"Candy Quackenbush."
"Candy, namaku Rojo. Aku tidak akan bertele-tele.
Kenyataan bahwa kau datang dari Hereafter sangatlah penting bagiku."
"Apa sebabnya?" kata Candy. "Keadaan di sana sama sekali tidak semenarik di
sini." "Ya, barangkali untukmu tidak menarik," sahut Rojo.
"Sebab kau sudah terbiasa di sana. Tapi bagiku... tempat itu merupakan teritori
baru untuk dijelajahi. Sebuah dunia baru. Aku sudah melakukan segala yang bisa
kulakukan di sini. Aku perlu tempat baru untuk..."
"Untuk ditaklukkan," kata Candy sambil bangkit berdiri dan memandang Pixler.
"Tidak," protes Pixler dengan tenang. "Apa aku kelihatan seperti penakluk" Aku
orang beradab, Candy. Aku membangun kota-kota..."
"Dan membakari buku-buku," kata Candy.
Pixler tampak tak senang kebohongannya terungkap.
Sebelum ia sempat menjawab, Candy sudah melanjutkan berkata, "Dan menembaki
makhluk-makhluk yang tidak berdaya."
"Aku tidak melihat kau dibawa oleh kupu-kupu itu.
Sumpah. Kalau aku tahu, tentunya aku tidak akan
menembak." "Kupu-kupu itu ada penunggangnya."
"O ya?" "Ya. Namanya Mendelson Shape. Dia jatuh dan tewas."
Rojo tampak benar-benar menyesal. "Menyedihkan sekali. Aku benar-benar patut
disalahkan. Karena terlalu bernafsu untuk berburu, aku melakukan tindakan yang
tidak semestinya. Apa kau mengenalnya" Si penunggang itu, maksudku. Kalau dia
punya keluarga, aku akan memberikan ganti rugi sedapat mungkin."
"Aku tidak tahu apakah dia punya keluarga. Dia bekerja untuk seseorang bernama
Christopher Carrion."
"Carrion" O ya?" Rojo mengalihkan tatapannya dari Candy pada kupu-kupu itu, yang
sudah hampir berhasil diturunkan oleh Doggett dan rekan-rekannya. "Jadi, makhluk
itu hasil karya Carrion, eh?" katanya, suaranya terdengar takjub. "Sangat
mengesankan." Candy ikut memandangi kupu-kupu itu. Cahaya dan
warna-warni masih memancar keluar dari tubuhnya,
berpendar-pendar di udara, menerangi pepohonan
dengan warna biru, ungu, kuning, dan merah.
"Hmmm, coba katakan...," kata Pixler, "... untuk apa kau jalan-jalan naik kupu-
kupu ciptaan Carrion?"
"Aku bukan sedang jalan-jalan. Shape menculikku."
"Menculikmu?" "Ya." Rojo tersenyum kecil, terkesan puas akan dirinya sendiri.
"Hmmm," katanya. "Kalau begitu, berarti aku telah menyelamatkanmu dari kesulitan
yang sangat besar. Kau tidak bakal selamat kalau menjadi tawanan Carrion,
percayalah. Orang itu jahatnya seperti setan. Dan kalau sampai dia menemukan
jalan untuk datang ke Hereafter..."
"Itu tidak terlalu sulit," kata Candy.
"Untuk datang ke sana barangkali tidak terlalu sulit.
Tapi untuk menancapkan kuku di sana..." Pixler menyapukan tangan ke rambutnya.
"ltu bakal merupakan tantangan. Coba dengar, Candy. Aku yakin sekali kita bisa
saling membantu." Tapi Candy tidak langsung percaya begitu saja.
"Bagaimana bisa?" tanyanya.
"Coba pikirkan baik-baik. Aku memerlukan orang yang tahu betul tentang
Hereafter, sementara kau memerlukan orang di sini untuk melindungimu dari
Carrion." "Aku tidak butuh dilindungi."
"Oh, anak manis, kau sama sekali tidak punya
bayangan apa yang bakal dilakukan orang ini padamu kalau dia berniat berbuat
kejam. Dia sangat sewenang-wenang, percayalah."
"Biarpun demikian, aku tetap tidak mau menceritakan apa-apa padamu tentang
Hereafter," kata Candy sambil mundur menjauhi Pixler.
"Oh, ayolah, jangan menyulitkan begitu. Aku tahu kita bertemu dalam situasi yang
tidak menguntungkan. Tapi aku benar-benar menyesal telah menembak jatuh kupu-
kupu itu. Peristiwa itu tidak disengaja. Bisa terjadi pada siapa saja."
"Siapa saja yang sedang berburu," kata Candy.
"Aku tahu tidak semua orang senang berburu. Tapi aku merasa terhibur dengan
berburu. Dan aku punya koleksi binatang yang diawetkan di Commexo City.
Koleksiku banyak sekali. Ada sembilan belas ribu spesimen, mulai dari kutu
sampai ikan paus Kiefalent. Aku ingin sekali menunjukkannya padamu."
"Mungkin lain kali saja," sahut Candy.
Pixler angkat bahu. "Terserah kau percaya atau tidak,"
katanya, kini nadanya terdengar ketus. "Aku tidak peduli.
Pada akhirnya, kau akan datang memohon-mohon padaku kalau nanti Carrion
mengejarmu. Kau akan memohon-mohon meminta aku menyembunyikanmu darinya."
"Ya, mungkin saja...," sahut Candy. "Tapi untuk saat ini aku lebih suka
mengambil risiko saja."
"Kumohon," kata Pixler, untuk terakhir kalinya berusaha meyakinkan Candy.
"Izinkan aku membawamu ke
Commexo City. Sebagian kepulauan ini tidak aman. Para penghuninya masih liar.
Sama sekali belum beradab."
"Aku tidak mau ikut denganmu ke Commexo City. Titik,"
sahut Candy. Sebenarnya Candy ingin juga menerima ajakan Pixler.
Bagaimanapun, Pixler cukup sopan terhadapnya. Ia
tampak lebih normal, lebih seperti manusia biasa
dibandingkan makhluk-makhluk yang dijumpai Candy
selama ini dalam perjalanannya. Dan Candy merasa
terhibur akan hal ini. Sebab saat ini ia merasa begitu sendirian, dan sangat
lelah. Ia sudah tidak tahu lagi, berapa lama telah berlalu sejak saat ia dan
Mischief melompat ke dalam Laut Izabella (ia sudah menyesuaikan jam tangannya,
seperti disarankan Mischief, tapi sekarang jam tangan itu mati). Kini ia merasa
seperti orang-orang di Hereafter yang mengadakan perjalanan keliling dunia
hingga tubuh mereka menjadi bingung menyesuaikan diri dengan jam-jam yang
dilalui. Pikirannya menjadi lamban tersendat-sendat, dan seluruh tubuhnya pegal-
pegal. Mau tak mau ia merasa tergoda juga membayangkan ikut
pulang bersama Pixler ke suatu tempat nyaman, di mana mandi air panas dan tempat
tidur empuk sudah menanti.
Tapi, kalau ia ikut bersama Pixler, berarti ia akan sepenuhnya berada di bawah
kendali orang itu, bukan" Ia akan berada di kota Pixler, menjadi tamu Pixler.
Atau menjadi tawanan nya.
"Kau masih ragu-ragu rupanya," kata Pixler yang bisa membaca kebingungan di
wajah Candy. "Kau pasti sedang membayangkan tempat yang nyaman untuk
mengistirahatkan badan."
Candy berusaha menahan diri dari godaan-godaan itu dengan memusatkan pikiran
pada hal lain. la mengalihkan perhatiannya pada kupu-kupu itu.
Di sana, di tengah-tengah pepohonan, Doggett dan
rekan-rekannya sudah hampir berhasil menurunkan kupu-kupu tersebut. Terdengar
orang-orang meneriakkan ini-itu serta serentetan seruan memberi perintah,
kemudian bangkai kupu-kupu itu pun berderak jatuh dari
pepohonan, lebih cepat daripada yang diperkirakan
orang-orang tersebut. Ketika menghantam tanah, kupu-kupu itu meledak menjadi
pendar-pendar cahaya serta warna-warni cemerlang.
Tapi ada unsur lain dalam substansi makhluk itu yang ikut terlepas bersama
warna-warni dan cahaya yang
berpendar-pendar. Candy melihat empat per lima wajah-wajah berupa tengkorak
melayang naik dari sisa-sisa membran kupu-kupu itu, berputar-putar naik ke
angkasa. Pemandangan ini bukan hanya menarik perhatian
Candy. Pixler dan Birch juga ikut terpesona. Maka Candy memanfaatkan kesempatan
tersebut. Dengan hati-hati ia mundur selangkah, lalu selangkah lagi, dan
selangkah lagi. Birch dan Pixler tidak menyadarinya. Ledakan yang
terjadi pada kupu-kupu itu menimbulkan efek seperti kembang api. Perhatian kedua
orang itu sepenuhnya terserap ke sana. Setelah mundur lima langkah, Candy membalikkan
badan dan lari. Sebentar saja ia sudah mencapai sisi seberang
gerumbulan pepohonan itu. la berhenti sejenak dan
menoleh ke belakang. Sosok Birch dan Pixler tampak seperti siluet, berlatar
belakang pendar-pendar cahaya dari kupu-kupu tadi. Baru pada saat itulah mereka
menyadari Candy sudah pergi. Mereka menoleh ke sana kemari, berusaha mengira-
ngira di mana Candy berada.
Tapi rupanya mereka sudah terlalu lama memandangi
cahaya gemerlap kupu-kupu itu, dan cahaya itu masih terasa membutakan mata. Atau
barangkali sosok Candy memang tak terlihat karena tersembunyi oleh kegelapan.
Apa pun sebabnya, ketika mereka memandang ke
arahnya - sesekali - mereka tak bisa melihatnya.
Pixler meneriakkan sesuatu pada Birch, yang segera berlari kembali ke balon
mereka. Dia hendak mencari bala bantuan, pikir Candy.
Sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari sini.
la membalikkan tubuh dari orang-orang dan kupu-kupu itu, mengamati pemandangan
di hadapannya yang disinari cahaya bintang. Pulau Ninnyhammer terdiri atas rangkaian perbukitan
yang naik-turun dengan lembut. Di puncak salah satu bukit tersebut - barangkali
sekitar dua mil dari tempat Candy berdiri - ada sebuah bangunan
dengan kubah besar di atasnya. Jendela-jendelanya
memancarkan cahaya. Kalau bangunan itu sebuah rumah, berarti ada orang di rumah
itu. Dan kalau bangunan itu adalah semacam tempat ibadah (berhubung ada kubah di
atasnya, Candy menduga barangkali itu memang tempat ibadah) berarti tempat itu
terbuka untuk pengunjung. Atau mungkin bangunan itu adalah tempat perlindungan -
itulah yang ia butuhkan saat itu. Tempat perlindungan.
Sekarang ia tidak lagi menoleh pada Rojo Pixler atau kupu-kupu yang melepaskan
cahaya warna-warni serta wajah-wajah tengkorak itu. Ia melangkah menuruni lereng
landai, yang mengarah menjauhi pepohonan. Tak lama kemudian, gerumbulan
pepohonan ini sudah tidak
kelihatan lagi, dan suara-suara orang-orang tadi juga lenyap terbawa angin.
Untuk pertama kalinya sejak tiba di Abarat, Candy kini hanya seorang diri. Tak
ada para pemburu, tak ada para Sea-Skipper, tak ada Izarith, Samuel Klepp, atau
John Mischief dan saudara-saudaranya.
Yang ada hanya dirinya, Miss Candy Quackenbush dari Chickentown, di bawah
bentangan langit asing yang sarat bintang-bintang.
Sekonyong-konyong dari relung-relung jiwanya meluap perasaan suka cita yang tak
disangka-sangka. Perasaan sukacita itu membuat ia bernyanyi sambil
melangkah. Bukan lagu dari Hereafter yang dinyanyikannya, melainkan lagu pendek
dan aneh yang waktu itu dinyanyikan para Sea-Skipper.
"O malangnya daku! O malangnya daku! Dulu kupunya Pohon Kelinci.
Tapi dimakan kadal dan pohonku mati,
Kini aku tak punya peliharaan lucu lagi!
O malangnya daku! O malangnya daku! Dulu kupunya Pohon Kelinciii"
Entah bagaimana, ia ingat persis syair lagu itu, seoIah-olah ia sudah lama
sekali mengenal lagu tersebut,
padahal itu tentu tak mungkin. Namun lagu itu meluncur begitu saja dari
bibirnya, seperti lagu masa kecil yang pernah ia pelajari ketika duduk di Taman
Kanak-Kanak. Nah, itu suatu misteri lagi, pikirnya sambil menyenyikan lagi itu keras-keras.
Ia merasa puas dan yakin bahwa dalam per-
jalanannya ini, entah di mana, ia pasti akan menemukan jawaban dari misteri
tersebut - sekaligus menemukan
makanan untuk perutnya. Maka ia pun terus melangkah, sambil menyanyikan lagi itu
kembali. 24 TUKANG GALI DAN NAGA JOHN MISCHIEF tidak sekadar membual ketika mengatakan bahwa ia - atau lebih
tepatnya mereka (ia dan saudara-saudaranya) - adalah pencuri-pencuri ulung.
Selama perjalanan karier mereka yang panjang sebagai kriminal, kedelapan
bersaudara itu telah mencuri dari berbagai tempat dan berhasil memperoleh macam-
macam barang curian. Hanya satu kali mereka pernah tertangkap, dan berhasil
melarikan diri dari pengawasan, dengan menceburkan diri ke laut ketika sedang
dibawa kembali ke Yebba Dim Day.
Sudah terlalu banyak pencurian yang mereka lakukan, hingga mereka tak ingat lagi
rinciannya. Tapi ada beberapa pengalaman yang suka mereka kenang kembali kalau sedang mengingat-ingat
masa lalu dengan perasaan puas diri. Pencurian yang mereka lakukan di chateau Malleus Nyce di
Huffell's Hill, misalnya, memberikan hasil yang sangat memuaskan. Mereka
berhasil membawa kabur setiap kostum yang pernah dikenakan
Nyce di Karnaval-Karnaval Cacodemonic di Soma Plume: enam puluh satu potong
kostum, semuanya bertatahkan permata-permata berharga, dan dijahit dengan Benang
Sirius. Sekitar setahun kemudian, mereka berhasil membobol masuk ke dalam
penjara di Scoriae, dan mencuri semua tato yang ada di tubuh si gangster Monkai-
Monkai, hingga ia jadi kelihatan telanjang seperti saat baru dilahirkan.
Mereka juga pernah berhasil membongkar gembok-
gembok pintu Ruang Benda-Benda Kenangan yang terdiri atas seratus tiga puluh
satu ruang harta. Dulunya harta itu milik orang-orang besar dan terhormat di
Abarat, dari masa ketika pulau-pulau Abarat masih merupakan dua puluh empat
kesukuan terpisah-pisah. Tidak ada benda yang benar-benar berharga di
dalam ruang harta itu. Tidak ada permata-permata dan logam-logam bernilai
tinggi. Tapi di di dalam ruangan-ruangan tersebut ada


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

barang-barang yang jauh lebih berharga daripada
kekayaan apa pun. Di sini, di dalam rak-rak ruang harta ini, ada bermacam-macam
benda kesayangan yang dikoleksi dan dikatalog dengan rapi: buku-buku milik putra raja, mainan-mainan
milik putri-putri raja, lilin-lilin mainan yang oleh pembuat-pembuatnya
diimpikan bakal menjadi istana sungguhan suatu hari nanti. Para pembeli
potensial objek-objek indah yang sepele ini adalah orang-orang di seberang
Kepulauan Abarat, yang masih mengidolakan para pemilik benda-benda tersebut. Dan
Mischief Bersaudara memperhitungkan mereka bakal meraup ke-
untungan jutaan zem dari menjual benda-benda tersebut, hingga mereka kelak tak
perlu mencuri lagi. Tapi ternyata urusannya tidak berjalan semulus yang diharapkan. Dua hari
kemudian, Monkai-Monkai berhasil kabur dari penjara. Ia mengejar Mischief
Bersaudara, dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah
dengan menyerahkan semua basil curian mereka dari
Ruang Benda-Benda Kenangan pada Monkai-Monkai.
Tapi yang paling membanggakan bagi Mischief
Bersaudara adalah keberhasilan mereka mencuri sebuah lukisan berjudul Saat yang
Indah - sebab sulit sekali mencuri lukisan itu.
Lukisan itu tersimpan di tempat yang dikenal dengan sebutan Rumah Batu.
Pemiliknya adalah mantan penguasa Pulau-Pulau Siang Hari, Raja Claus. Sejak
kematian putrinya, Claus mencari penghiburan dengan makan dan terus makan,
hingga beratnya mencapai lebih dari lima ratus kilogram. Ia makan dan tidur di
sebuah mobil mainan yang sangat besar. Dengan kendaraan itulah ia mengejar
Mischief Bersaudara ketika ia terbangun dan mendapati lukisannya sudah hilang
dicuri. Mischief dan saudara-saudaranya hampir saja ter-
tangkap. Tapi mereka bangga akan keberhasilan mereka.
Begitu bingungnya mereka, sampai-sampai nyaris ingin menyimpan saja lukisan
curian itu. Lukisan Saat yang Indah itu merupakan hasil karya yang memang indah. Pelukisnya,
Thaddeus George, membuat tiga lukisan yang, kalau dijejerkan, akan menampilkan
keseluruhan Kepulauan Abarat,diabadikan dalam cat
minyak, pada masa ketika orang-orang masih punya
harapan-harapan besar untuk masa depan. Raja Claus memesan lukisan tersebut dari
Thaddeus enam minggu sebelum acara pernikahan putrinya. Ia membawa
Thaddeus berkeliling naik balon udara, sehingga pelukis itu bisa melihat
keseluruhan Abarat terbentang pada "saat yang indah"
Abarat dalam lukisan Thaddeus sangat berbeda dari
Abarat yang sekarang. Pulau-pulau sangat berbeda enam belas tahun yang lalu.
Waktu itu belum ada Commeco City di Pulau Pyon. Babilonium masih merupakan
sekumpulan kecil tenda yang dilengkapi sarana-sarana hiburan
sederhana (sebuah Bianglala Raksasa, sebuah rumah kaca, sebuah kandang dengan
manusia aneh di dalamnya). Lalu lintas udara di atas kepulauan tersebut hanya
diisi oleh beberapa juta ekor burung serta balon udara sang raja, dan lalu
lintas lautnya terutama diisi oleh perahu-perahu layar yang hilir mudiki.
Untuk menyempurnakan karyanya, Thaddeus sengaja
menambah ukuran pulau-pulau serta mengurangi komp-
leksitasnya. Sebagian besar kota dan desa tidak
dimasukkan ke dalam lukisannya. Bagian-bagian kecil yang tidak termasuk dalam
Jam mana pun-Karang Vesper, misalnya-juga tidak dimasukkan ke dalam lukisan.
Tapi, dalam bentuknya yang telah sangat di-
sempurnakan pun, karya terakhir Thaddeus yang terkenal ini merupakan hasil
karyanya yang paling ambisius.
Melihat lukisan itu, kita serasa menjadi burung yang melayang-melayang di atas
pulau tersebut, didorong tiupan angin lembut yang hangat.
John Bersaudara memperoleh hasil lumayan besar dari mencuri lukisan tersebut.
Mereka menjual lukisan itu pada Rojo Pixler yang berani membayar ribuan zem.
Mischief menduga uang tersebut adalah hasil pinjaman, sebab pada masa itu Pixler
masih menjadi salesman keliling yang menjual mainan anak-anak yang bisa diputar
dengan pegas, dicat dengan warna-warni cerah dan norak.
Ada kemungkinan Pixler menggunakan lukisan itu
sebagai cara untuk merencanakan niatnya mengambil alih seantero Kepulauan
Abarat, dengan perlahan tapi pasti.
Mischef dan saudara-saudaranya bukannya tidak
menyadari hal ini. Pada tahun-tahun selanjutnya, setelah membeli lukisan itu,
kemampuan penilaian Pixler (dan keberuntungannya) meningkat sangat pesat.
Sekarang ia sudah menjadi makhluk non-magis yang paling berkuasa di Abarat.
Selain Commexo City - yang wilayahnya
begitu luas, hingga boleh dibilang merupakan dunia tersendiri - mantan salesman
ini juga memiliki saham di Babilonium yang memungkinkan ia mengendalikan pulau
tersebut. Sekarang ia sedang merencanakan membuat
kubah peristirahatan - menurut istilahnya - di Pulau Jam Lima Sore. Bahkan ada
desas-desus bahwa ia akan
membeli Ziggurat Raksasa di Soma Plume untuk
dihancurkan, lalu diubah menjadi kota lain sebesar Commexo.
Kepada publik ia menampilkan wajah ala Commexo
Kid yang selalu tersenyum, tapi di balik senyum itu Pixler bukanlah orang yang
baik hati. Ketika membeli lukisan itu, ia menyatakan bahwa jika John Mischief
atau saudara-saudaranya berani membicarakan pada siapa pun
transaksi di antara mereka, maka Pixler akan menyuruh orang membungkam mereka.
Itulah Rojo Pixler yang sebenarnya.
Maka Mischief dan saudara-saudaranya tetap tutup
mulut rapat-rapat, dan kasus hilangnya lukisan itu sama sekali tidak diberitakan
di surat kabar. Namun masih banyak kasus-pencurian lain yang dilakukan John
Bersaudara. Dan kasus-kasus ini masih terus menjadi bahan pembicaraan di kedai-
kedai kopi serta kios-kios kue, meski sudah lewat bertahun-tahun yang lalu.
Orang-orang berpendapat bahwa kalau Mischief dan saudara-
saudaranya berhasil dilacak dan ditangkap bakal
dihukum mati. Itu sebabnya Mischief tida berani dekat-dekat Yebba Dim Day, walaupun ia
sebenarnya capek melarikan diri dan sangat ingin tetap dekat-dekat Candy, supaya
bisa mengambil kembali Kunci yang waktu itu diserahkannya pada Candy.
Ia tidak berani mencari-cari Candy di Yebba Dim Day, karena takut dikenali. Ia
memilih untuk menunggu di dalam air dekat dermaga, sampai ribut-ribut itu
berakhir. Kemudian ia naik kembali ke dermaga (sisa-sisa dermaga, tepatnya), dengan
harapan bisa menemukan perahu untuk membawanya ke pulau yang tidak terlalu
ramai. Ia ingin beristirahat beberapa hari, sekaligus merencanakan tindakan
berikutnya, Ia sedang beruntung rupanya. Ketika sedang menyuapi potongan-potongan ikan lapis
mentega pada Slop, ia mendengar seorang wanita menepuk-nepukkan tangan
untuk menarik perhatian orang-orang di dermaga. Lalu wanita itu mengumumkan,
"Kami butuh tukang gali."
Saudara-saudara Mischief serentak berseru , "Dia bisa menggali!"
Mau tak mau, Mischief terpaksa menawarkan diri. Hal seperti itu bukan baru
pertama kali terjadi. Lima menit kemudiaan, sebuah perahu layar bertiang dua - namanya Berlbelo -
berangkat meninggalkan Yebba Dim Day, menuju perairan Selat-Selat Senja.
Kapten kapal itu bernama Kapten Hemmett McBean. Ia bertubuh besar dan memang
berdarah pelaut. Selain Mischief Bersaudara, ada empat penumpang lain di kapal tersebut. Pertama-tama
adalah orang yang tadi mengumumkan mencari penggali - seorang wanita kulit hitam
gagah perkasa bernama Geneva Peachtree. Jelas tampak bahwa dialah yang memimpin
misi ini, apa pun tujuannya.
Selain Geneva dan sang kapten ada dua penggali
lainnya. Satu adalah makhluk dari Pulau Spake, namanya Two-Toed Tom; satunya
lagi seorang laki laki bertubuh besar yang tampak garang, berkepala botak, hanya
dihiasi tiga helai rambut ikal hitam; namanya "Kiss Curl"
Carlotti. Dulunya ia seorang penjudi yang cukup disegani, tapi sejak kehilangan
lidah dan jari-jari tengah kakinya pada sebuah taruhan bertahun-tahun silam, ia
telah bersumpah tidak akan berjudi lagi. Anggota terakhir dari kelompok aneh ini
- yang tidak kalah penting dari yang lainnya - adalah seorang gadis yang
kelihatannya sebatang kara, usianya tidak lebih dari tiga belas tahun, dengan rambut pirang-
putih panjang serta sepasang mata sayu berwarna gelap. Gadis ini bernama Tria,
dan hampir sepanjang waktu ia duduk di haluan Belbelo, melamun memandangi air
Laut Izabella. Perairan itu dengan segera menjadi jauh lebih ganas ketika kapal kecil McBean
meninggalkan Selat dan mengarah ke samudra lepas. Awan-awan petir tampak
berarak-arak dari puncak-puncak Gua Hap, dan Hemmett telah memperingatkan para
penumpangnya bahwa bakal ada badai dahsyat. Sekarang awan-awan itu bergerak di
atas bentangan laut, memuntahkan petir di air yang berbuih-buih menggelegak.
Gadis itu - Tria - sepertinya sama sekali tidak ter-
pengaruh oleh gerakan Belbelo di atas ombak-ombak yang makin mengganas. la masin
terus memandang ke arah pulau-pulau yang tampak gelap di depan sana.
Sesekali ia membisikkan sesuatu pada Geneva. Instruksi-instruksi yang
dibisikkannya kemudian disampaikan pada McBean, dan McBean akan mengarahkan
kapalnya ke jurusan mana pun yang dikatakan Tria.
Sementara kapal mereka bergerak. Two-Toed Tom,
yang tubuhnya penuh dengan tato melingkar-lingkar
seperti spiral, duduk di bagian kanan kapal, memegang sehelai peta yang sudah
kuning dan sudah sering dilipat-lipat, sambil mempelajari isinya dengan sebuah
kaca pembesar. Geneva Peachtree berdiri di bagian tengah kapal tersebut,
sesekali memberi perintah ini-itu, tapi kebanyakan ia hanya melayangkan pandang
memeriksa cakrawala. Sesekali ia menghampiri Two-Toed Tom untuk melihat peta.
John Bersaudara merasa sangat penasaran, maka
mereka mendekat dan bertanya, apa yang menarik pada peta yang diamat-amati itu.
Begitu John Bersaudara mendekat, Two-Toed Tom, cepat-cepat mulai melipat peta
tersebut. Tapi Geneva berkata,
"Tidak apa-apa, Tom. Aku kenal mereka."
"Kau kenal kami?" tanya John Pluckitt.
"Sekadar tahu reputasi kalian," Geneva Peachtree menjawab sambil menyunggingkan
senyum yang sangat manis, sampai-sampai John Bersaudara merasa agak jatuh cinta padanya seketika
itu juga. "Kalau kau sudah tahu siapa kami, ada kemungkinan kau tidak bakal mempercayai
kami," kata John Moot.
"Justru sebaliknya," sahut Geneva pada Moot. "Satu-satunya orang yang benar-
benar kupercayai adalah orang yang berani mempertaruhkan segala-galanya."
"Ah," kata John Pluckitt. "Kalau begitu, kamilah orangnya."
"Aku berjanji pada kalian," kata Geneva. "Kalau segala sesuatunya berjalan
lancar dalam ekspedisi ini, aku akan memberikan tempat tinggal untuk kalian, di
mana kalian tidak akan bisa disentuh oleh tangan-tangan hukum.
Di sana kalian bisa memulai kehidupan baru."
"Di manakah itu?"
"Di Pulau Telur Hitam," sahut Geneva. "Mungkin pulau itu kelihatannya tidak
terlalu menarik. Jam Empat Pagi adalah saat-saat yang gelap. Bulan sudah
tenggelam dan matahari belum lagi terbit. Tapi di pulauku tidak cuma ada
kegelapan dan kematian."
"Benarkah?" "Percayalah padaku. Kadang-kadang, saat hidup ini terasa begitu muram dan tanpa
harapan, ada cahaya yang tersembunyi di jantung peristiwa."
Ia memalingkan wajah sambil berbicara, dan John
Mischief tahu bahwa dengan ucapannya itu, Geneva
bukan hanya bermaksud menggambarkan misteri-misteri yang ada di pulaunya,
melainkan juga sedang membicarakan saat sekarang ini: perjalanan ini serta
tujuannya. Sepertinya ini saat yang tepat untuk menanyakan, apa sebenarnya tujuan
perjalanan ini. "Apa rencanamu untuk kita-kita ini?" tanya John Fillet.
"Dan kenapa kau membutuhkan orang untuk menggali?"
"Beritahu mereka, Tom," kata Geneva.
Two-Toed Tom tampak agak enggan.
"Ayolah," desak Geneva.
"Aku tidak mau membuat mereka takut," kata Tom.
"Kurasa John Mischief bukan jenis yang gampang merasa takut," sahut Geneva.
"Begitu pula saudara-saudaranya."
"Terserah kau kalau begitu."
"Oke, Nah, ayo beritahu mereka," sahut Geneva. Kata-katanya, meski diucapkan
dengan nada lambat, jelas-jelas merupakan perintah. Setelah itu ia meninggalkan
Tom untuk berbicara dengan John Bersaudara. Ia sendiri pergi untuk menemui Tria
lagi. John Bersaudara memandangi kepergiannya.
"Bisa cepat sekali, ya?" kata Two-Toed Tom.
"Apa?" "Jatuh cinta pada Geneva. Cukup sekali pandang, langsung jatuh cinta."
John Bersaudara menatap Tom. Sallow, Drowze, dan
Pluckitt tersipu-sipu. "Jangan khawatir. Dia selalu menimbulkan efek seperti itu terhadap setiap orang.
Bahkan terhadapku juga. Kau punya pacar?"
"Tidak," sahut Mischief. "Kau?"
"Aku punya rumah tangga yang aneh " kata Two-Toed Tom. "Kau mau lihat?"
"Mau," kata Mischief."
Two-Toed Tim mengeluarkan sehelai foto yang sudah
lusuh karena sering dilihat. Ada lima orang dalam foto itu.
Satu adalah Tom sendiri, dengan seekor Jenga berkepala dua dari Pulau Idjit
meringkuk di kakinya. Di samping Tom berdiri seorang laki-laki bertubuh besar,
berkulit merah, dengan rambut panjang dikepang, menggendong seekor babi mini
dalam pelukannya. "Aku mengerti maksudmu," kata Mischief. "Memang rumah tangga yang aneh. Kau
rindu pada mereka?" Tentu saja; aku rindu pada mereka semua. Kami sudah lama bersama-sama. Tapi misi
ini penting bagiku. Mereka mengerti bahwa aku harus ikut di dalamnya." Dengan
sangat hati-hati ia menyimpan kembali foto itu. "Dan mereka tahu bahwa aku
mungkin tidak akan kembali."
"Apa katanya?" tanya John Pluckitt.
"Aku mendengar apa yang dikatakannya," John Drowze menjawab. Keseluruhan batang
tanduk tempat kepala Drowze menempel kini condong ke depan saat ia berbicara pada Tom. "Coba
katakan yang jelas," kata John Drowze. "Maksudmu kita semua bisa tewas
terbunuh?" "Oh, diamlah kalian semua," kata John Mischief. la merasa malu akan sikap
pengecut yang diperlihatkan saudara-saudaranya. "Kita sudah setuju untuk ikut
dalam perjalanan ini, dan kita akan menjalaninya sampai tuntas."
"Tapi akan lebih menyenangkan kalau kita tahu persis, sebenarnya kita-kita ini
terlibat urusan apa," Sallow berkata dengan sikap percaya diri seperti biasa.
"Dengan demikian, kita bisa berjaga-jaga."
"Benar sekali," kata Tom, yang sekarang sudah tidak lagi menunjukkan sikap
menjaga jarak. "Dari mana aku harus memulai, ya" Hmm, aku mulai dengan Finnegan
saja. Apa di antara kalian ada yang ingat seorang laki-laki bernama Finnegan Hob?"
"Tentu saja," kata John Slop. "Dia kan laki-laki malang..."
"... yang seharusnya menikah dengan Putri Boa"
sambung John Moot. "Tapi tidak sampai menikahi sang putri..." John Sallow menimpali.
"... karena sang putri diculik oleh naga di depan altar"
John Mischief menambahkan.
"Benar sekali," kata Tom. "Finnegan orang yang baik.


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku yakin dia bakal menjadi orang hebat seandainya dia sudah menikah dengan sang
putri dan mendapat kesempatan untuk memegang tampuk kekuasaan. Dia dan sang putri bisa menyembuhkan
luka-luka lama di seantero kepulauan ini. Pertikaian-pertikaian yang bermula
dari perang antara Malam dan Siang"
"Dia bukan keturunan bangsawan, bukan?" tanya John Serpent.
"Nah, justru itulah yang menarik mengenai Finnegan,"
kata Tom. "Ayahnya adalah Pangeran Siang. Namanya Maffick Hob. Ibunya bukan dari
keturunan bangsawan, tapi memiliki kekuatan-kekuatan sihir yang luar biasa. Dia
berasal dari pulau Malam. Nama ibunya Mariah Capella, dan dia tinggal di Speckle
Frew." "Hasil perpaduan yang menarik, si Finnegan ini,"
komentar Mischief. "Bukan cuma perpaduan yang menarik," kata Tom.
"Pernikahan antara Maflick dan Mariah seberanya terlarang; Pangeran Siang dengan
wanita penyihir dari pulau Malam. Yang seperti itu belum pernah terjadi. Maka
Finnegan merupakan orang yang langka, dalam segala hal. Aku beruntung sekali
sempat mengenalnya selama beberapa bulan, ketika dia sedang menjali hubungan
dengan Putri Boa. Aku bertugas mengurus kandang-kandang kuda sang putri, dan
akulah yang mengatur agar mereka bisa pergi berkuda bersama-sama. Mulanya
hubungan ini dirahasiakan. Tapi rahasia itu tak bisa disimpan lama-lama."
"Kenapa tidak?"
"Sebab perasaan cinta sang putri terhadap Finnegan terpancar keluar dan seluruh
gerak-geriknya. Cinta sedalam itu tak bisa disembunyikan, apalagi dari orang-
orang yang mengenal sang putri dengan baik. Misalnya ayahnya. Dengan segera
ayahnya tahu rahasia kecil
kami." "Dan apa kata Raja Claus ketika akhirnya dia tahu?"
tanya John Moot. "Mulanya dia marah sekali. Bagaimana mungkin sang putri bisa jatuh cinta pada
laki-laki yang asal-usulnya patut dipertanyakan" ' Setengah ini setengah itu',
begitulah kata sang raja ketika itu. Tapi sikapnya kemudian berubah drastis."
"Kenapa?" "Sebab dia bertemu Finnegan." Tom menyunggingkan senyum kecil dan sedih. "Kalau
kau melihat Finnegan, walaupun baru dua menit, kau akan segera tahu bahwa dia
orang yang sangat baik. Sangat lembut. Sangat penuh kasih sayang. Begitu yakin
akan pandangan-pandangannya dan begitu dalam perasaan-perasaannya...."
Tom mendesah berat. Rupanya kenangan-kenangan
tersebut merupakan kenangan-kenangan manis sekaligus sedih baginya. "Singkatnya,
Raja Claus akhirnya menyetujui hubungan mereka, dan rencana pernikahan pun
diumumkan. Upacara pernikahan akan dilangsungkan di Nonex di Istana Tua Bowers.
Percayalah, belum pernah kulihat wanita sebahagia sang putri pada bulan-bulan
menjelang pernikahannya itu. Cintanya pada Finnegan terpancar dari segala
sesuatu yang dia perbuat dan dia ucapkan." Mata Tom berkaca-kaca, lalu air
matanya tumpah, mengalir di kedua pipinya.
"Ada satu hal yang menghiburku," katanya, suaranya serak oleh kesedihan. "Sang
putri sangat bahagia, hingga saat-saat terakhir hidupnya."
"Jadi, kau berada di Istana itu ketika malapetaka tersebut terjadi?" tanya
Sallow. "Ya," sahut Tom. "Aku ada di sana. Aku berdiri sekitar sepuluh meter dari sang
putri, ketika lidah naga itu menyambarnya." Lalu Tom terdiam, peristiwa
mengerikan itu terbayang-bayang olehnya. "Naga itu menyeretnya keluar dari pintu
Istana, sebelum kami menyadari apa yang terjadi. Finnegan yang mula-mula
tersadar dan langsung mengejar. Tapi sudah terlambat. Sang putri sudah tewas
ketika Finnegan tiba di luar. Baru sekitar sepuluh atau dua belas detik yang
lalu dia berdiri di depan altar bersama Finnegan di sampingnya, dan tahu-tahu
dia sudah tergeletak di tanah, tidak bernyawa lagi.
Sekarang pun, setelah bertahun-tahun lewat, kalau
teringat peristiwa itu aku rasanya belum bisa percaya."
Guruh menggelegar di atas sana, mengguncang papan-
papan kapal yang mereka tumpangi, kemudian butir-butir air hujan sedingin es
mulai turun menimpa wajah mereka, menjadi satu dengan air mata di wajah Tom.
"Lalu, apa hubungannya kisah tersebut dengan perjalanan kita ini?" tanya John
Mischief. "Begini. Selama sembilan tahun setelah kematian sang putri, Finnegan berusaha
mencari keluarga naga yang telah membunuh kekasihnya. Dia ingin mendapatkan
jawaban. Dia tahu bahwa pembunuhan terhadap sang
putri bukan semata-mata perbuatan seekor cacing
jahat...." "Kok cacing?" tanya John Serpent.
"Ya, Sir; cacing" jawab Tom dengan perasaan muak yang amat sangat. "Makhluk
seperti itu tidak pantas disebut naga. Sebutan itu terlalu bagus untuknya."
"Tunggu," kata Mischief. "Rasanya aku belum begitu paham. Maksudmu Finnegan
memburu naga-naga ini - maksudku cacing-cacing ini - untuk menginterogasi mereka?"
"Cacing juga punya lidah," kata Tom. "Dan banyak di antara mereka sangat pandai
bicara. Beberapa bahkan bisa dianggap penyair."
"O ya?" kata John Sallow. "Aku belum pernah tahu itu."
"Puisi mereka ada yang bagus?" tanya John Moot.
"Picisan, sampah, kampungan " sahut Tom.
"Cuma ingin tahu kok," kata Moot.
"Maka Finnegan mengumpulkan orang-orang yang
bersedia membantunya mencari cacing-cacing ini." kata Tom. "Waktu itu kami
bersebelas. Dua belas, termasuk Finnegan. Sekarang yang tersisa dari kelompok
kami hanyaIah McBean, Kiss Curl, Geneva, dan aku sendiri."
"Lordy," kata Slop.
"Memburu naga bukanlah pekerjaan yang cocok untuk orang-orang yang ingin berumur
panjang." "Kurasa Finnegan sudah membunuh naga yang
menewaskan kekasihnya?"
"Ya. Finnegan membunuhnya persis di luar Istana. Dia memanjat ke dalam mulut
naga itu dan menusukkan pedang ke otaknya. Cacing itu terkenal. Barangkali kau pernah mendengarnya"
Namanya Gravainia Pavonine."
"Mengesankan sekali," kata Mischief.
"Mereka sebenarnya makhluk yang menggelikan kalau sudah terpojok," kata Two-Toed
Tom. "Mereka sok berisik dan sok penting, tapi sama sekali tak punya rasa cinta
atau kehormatan sedikit pun.
"Tapi mereka cerdas?" tanya Pluckitt.
"Oh, tentu saja. Beberapa di antara mereka amat sangat cerdas. Tapi menurutku
kecerdasan tidak ada gunanya tanpa cinta"
"Tepat sekali ucapanmu," kata John Sallow.
"Percayalah, aku sudah beberapa kali berhadapan dengan cacing-cacing semacam itu
pada masaku. Mereka spesies yang jahat, sombong, dan kejam. Yang keturunan
bangsawan juga sama saja."
"Kau bertemu dengan yang bangsawan?"
"Oh, ya. Gravainia Pavonine ada di urutan keempat Takhta Naga. Di urutan satu,
dua, dan tiga adalah kakak-kakak lelakinya, Nemapsychus dan Giamantis, dan kakak
perempuannya, Pijirantia Pavonine. Dan sampai sekarang semuanya masih hidup."
"Bagaimana dengan Finnegan?" tanya John Moot. "Tadi kau sedang bercerita tentang
dia, lalu beralih pada cerita tentang cacing-cacing ini."
"Ah ya, Finnegan. Di sinilah gadis itu berperan," kata Tom. Ia menunjuk gadis
kecil yang masih duduk di haluan Belbelo, memandangi ombak-ombak. Geneva sudah
menyampirkan sehelai mantel di bahu Tria, tapi gadis itu sepertinya tidak
memedulikan hujan yang turun deras.
"Teman kecil kita, Tria, punya kemampuan hebat untuk menemukan orang; sering
kali orang-orang yang sudah lama hilang."
"Kapan kalian semua terakhir kali melihat Finnegan?"
tanya Mischief. "Sekitar enam tahun yang lalu," sahut Tom. "Dia menghilang begitu saja, atas
pilihannya sendiri."
"Apa sebabnya?"
"Sebab pencariannya terhadap keluarga Gravainia Pavonine telah memakan begitu
banyak korban. Dia tak ingin orang-orang lain mati karena membantunya, maka dia
pergi diam-diam ketika kami sedang berada di Efreet.
Dia meninggalkan catatan, meminta kami semua meneruskan kehidupan masing-masing,
dan melupakan dirinya. Padahal mana mungkin kami bisa melupakan dia?"
Ia memandang ke arah Geneva, yang kebetulan juga
sedang menatap ke arahnya. Dari ekspresi wajah Tom, Geneva tahu persis kisah apa
yang sedang diceritakannya. Ia mengangguk sedikit, menyuruh Tom menyelesaikan ceritanya.
Maka Tom meneruskan. "Kami semua berusaha mematuhi pesan-pesan
Finnegan, demi dia dan demi diri kami sendiri. Kami mengambil jalan masing-
masing dan mencoba meneruskan hidup kami sendiri-sendiri. Tapi kami selalu
terkenang-kenang akan Finnegan. Mana mungkin kami melupakan-
nya" Kami sudah bertahun-tahun menemaninya, ikut serta dalam pencariannya. Kami
semua tahu bahwa dia ada di suatu tempat di luar sana, di antara pulau-pulau
itu, berkelana seorang diri." Tom menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kami sedih
memikirkannya. Kami selalu memasang telinga, kalau-kalau ada berita tentang dia,
dan kadang-kadang ada kabar yang sampai pada
kami - dia pernah terlihat di tempat ini atau itu - tapi tak pernah ada kabar yang
pasti. Kemudian, sekitar tujuh minggu yang lalu, Geneva bertemu dengan Tria. Dan
kelihatannya anak itu seketika tahu bahwa Geneva
sedang mencari-cari seseorang."
"Jadi, dia tahu bahwa Finnegan masih hidup?"
"Begitulah katanya."
"Dia yakin?" "Yakin. Tapi dia merasa di mana pun Finnegan berada, lokasinya ada di dalam
tanah." "Ah ha!" kata Mischief. "Jadi, itu sebabnya kalian membutuhkan tukang gali?"
"Kau tidak akan menggali sendirian, percayalah padaku," kata Geneva yang
menggabungkan diri dalam percakapan tersebut. "Kami semua akan ikut menggali
bersamamu." "Aku senang mendengarnya," kata Mischief.
Geneva berpaling pada Tom. "Bisakah kau mencoba membujuk Tria supaya mau turun
ke bawah sejenak" Mungkin dia mau mendengarkanmu. Setidaknya sampai
badai ini..." Kalimatnya terputus oleh suara sesuatu yang
menggesek-gesek sepanjang sisi bawah Belbelo. Kapal itu terguncang-guncang.
"Apa kita menabrak sesuatu?" John Serpent bertanya cemas.
"Sejak awal aku sudah tahu mestinya kita tidak ikut dalam perjalanan ini," John
Pluckitt menggerutu. "Ini sinting..."
Mischief tidak mengacuhkan celotehan saudara-
saudaranya. la melongok dari sisi kapal, untuk melihat apakah mereka menabrak
karang. Tapi ternyata tidak; benda yang mereka tabrak - atau tepatnya, benda yang
menabrak mereka - bergerak di dalam air yang
menggelora itu. Dan benda itu bukanlah benda kecil.
Tom mengangkat kepala, memandang Mischief.
Wajahnya menunjukkan ekspresi sangat cemas.
"Kurasa akhirnya kita menemukan naga pertama kita,"
katanya. 25 MISCHIEF TAK BERDAYA BENAR saja. Makhluk itu seekor naga - dari jenis yang hidup di lautan. Ia
menegakkan tubuhnya dua puluh kaki di atas air yang bergolak menggelegak, bagian
belakang kepalanya terentang melebar seperti kepala ular kobra, dan dipenuhi
duri-duri sepanjang satu kaki. Kemunculan-nya membuat Belbelo terguncang-guncang
begitu dahsyat, hingga kapal itu nyaris terbalik.
" A'zo dan Cha! " seru Mischief. "Coba lihat makhluk itu!"
" Ambil Tria! " Geneva berteriak.
Dengan segera Two-Toed Tom berlari sepanjang kapal yang bergoyang-goyang itu
untuk menjemput Tria yang masih berada di haluan. Kedatangan naga raksasa yang
begitu mendadak itu sama sekali tidak mengagetkan Tria yang masih memusatkan
pikirannya untuk mencari-cari keberadaan Finnegan. Tapi ia tidak memprotes
ketika Tom menariknya dari posisi berbahaya itu dan membawanya ke dalam kabin
yang kecil. Sementara itu, si naga
membuka suara. "Perairan ini milikku," katanya, suaranya dalam dan halus, nadanya sangat
bijaksana. "Aku menuntut bayaran dari siapa pun yang hendak berlayar
melaluinya." Ia menyurukkan kepalanya rendah-rendah, untuk memeriksa siapa saja
yang ada di dek Belbelo. "Hari ini aku akan bermurah hati. Sebagai ganti rugi
atas pelanggaran kalian memasuki wilayahku, aku hanya akan mengambil... coba
kulihat, apa yang akan kuambil, ya" " Ia mengendus-endus, kepalanya menyapu
papan-papan kapal yang berkeriat-keriut. "Aku akan mengambil gadis kecil itu"
katanya . "Di mana dia" jangan sembunyikan dia."
Kepala si naga semakin dekat dengan pintu kabin.
"Keluarkan dia!" tuntutnya. "Ayo! Biarkan aku mengambilnya, dan kalian boleh
lewat dengan selamat."
la berpaling pada Carlotti.
"Ke manakah tujuanmu, Sir?" tanya caring itu dengan sangat sopan.
Carlotti cuma menggelengkan kepala.
"Jangan menolak menjawab" si naga berkata lagi, gigi-giginya yang runcing
mengerikan amat sangat dekat
dengan kepala Carlotti yang malang, seakan-akan ingin menebasnya dalam sekejap.
"Kau tidak bakal mendapatkan jawaban darinya," kata Geneva sambil melayangkan
pandang ke sekitar, mencari-cari pedangnya. "Dia tidak bisa bicara."
" Ah, " kata si naga, sekarang beralih pada Geneva.
"Kalau begitu, kau saja yang menjawab, hei perempuan.
Hendak ke manakah kalian" Ke Pulau Nonce, bukan?"
"Mungkin." "Dengan ekorku, aku bisa menciptakan gelombang yang akan membawa kalian ke sana
lebih cepat daripada seharusnya!"
"Aku percaya kau bisa," kata Geneva sambil mengambil pedangnya yang tergeletak
di tumpukan pakaian. "Berikan saja gadis kecil itu padaku" naga itu berkata; embusan napasnya begitu
keras, hingga menggetarkan pintu-pintu kabin.
"Jangan harap," sahut Geneva; dengan pedangnya ia menyentuh sisi tenggorokan
naga itu, untuk mengalihkan perhatiannya dari kabin.
Naga itu kembali mengarahkan tatapan laparnya
pada Geneva. "Jangan membuatku marah, perempuan" katanya. "Berikan saja gadis kecil itu
sebagai bayaran untukku."
"Kau sudah dengar jawabanku, cacing," sahut Geneva.
"Jangan harap."
"Terkutuklah kau, perempuan" kata naga itu . "Rasakan ini!"
Ia memperdengarkan suara memuakkan, seperti suara
orang hendak muntah, dan dengan tiba-tiba ia melontarkan keseluruhan isi kelima
perutnya dalam satu semburan keras ke arah Geneva. Begitu kuat semburan itu,
hingga Geneva terlempar ke seberang dek. Pedangnya terlepas dari genggaman, dan
jatuh berputar-putar di papan-papan kapal.
Geneva bangkit berdiri, sepatu botnya tergelincir
ketika menginjak cairan-cairan perut si naga yang licin.
Dua kali ia terpeleset, tapi ketiga kalinya ia berhasil berdiri tegak. Ia telah
mengambil senjata baru - salah satu tulang berukuran besar yang tadi dimuntahkan
si cacing. Dengan gesit ia berlari maju dan memukulkan tulang itu ke hidung si
naga. Tulang itu pecah berantakan, tapi Geneva mengambil tulang lainnya dan
kembali memukul-mukulkannya pada si naga, hingga tulang itu juga pecah berantakan
seperti yang sebelumnya. "Sampai berapa lama kita mau main-main seperti ini?"
naga itu berkata, pura-pura kelihatan lelah. "Aku sudah mulai jengkel."
Mischief dan saudara-saudaranya mengawasi per-
tarungan itu, tidak tahu apakah sebaiknya bersembunyi saja atau terjun ke laut.
"Pokoknya aku tidak mau dekat-dekat makhluk itu,"
John Serpent memperingatkan.
"Justru mestinya kau senang ditemani makhluk itu," kata John Pluckitt. "Namamu
kan Serpent, yang berarti ular"


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Percakapan itu menarik perhatian Geneva.
"Mischief!" teriaknya. "Alihkan perhatiannya!"
"Apa?" "Kau dengar, kan" Alihkan perhatiannya!"
"Bagaimana caranya?"
"Pakai imajinasimu!"
Sambil berkata demikian, Geneva berlutut di tengah-tengah muntahan busuk yang
disemburkan si naga, mencari-cari pedangnya yang tadi terjatuh.
"Tongkat pengait!" kata John Moot. "Mischief! Dengarkan aku! Ambil tongkat
pengait itu!" "Ada di mana?" "Di belakang kita!" kata John Drowze.
"Aku tidak melihatnya!"
"Ada di tembok kabin, Mischief!" teriak John Moot.
"Apa kau buta?"
Memang ada tongkat pengait tergantung di tembok
kabin itu. Sialnya tongkat itu berada persis di bawah si naga yang sekarang
menegakkan tubuhnya supaya bisa melihat dengan lebih baik, ke mana saja musuh-
musuhnya lari kocar-kacir.
"Jangan khawatir!" kata John Drowze. "Naga itu tidak tertarik pada kita. Kita
luput dari perhatiannya."
"Kata-kata terakhir yang patur dikenang," kata John Serpent.
Tapi Drowze benar. Setidaknya untuk sementara ini si naga tidak tertarik pada
John Bersaudara. Ia sedang asyik memperhatikan Geneva yang tengah berlutut,
sambil memperlihatkan senyum puas melihat keadaan wanita itu.
Mischief menyurukkan tubuhnya di bawah juluran leher si naga, dan menyambar
tongkat pengait itu dari tempatnya di tembok. Tongkat itu sekitar enam kaki
panjangnya, dengan kait besi di ujungnya. Tapi rasanya senjata itu tidak terlalu
ampuh. "Tongkat ini bakal patah!" kata Mischief.
"Tidak ada pilihan lain!" John Drowze berteriak pada Mischief.
"Aku tahu," kata Mischief. Kemudian ia berseru pada cacing raksasa itu. "Hei,
kau!" Sejenak naga itu menoleh sekilas pada John Ber-
saudara. Tatapannya dingin dan angkuh. Kemudian
dengan tak acuh didorongnya John Bersaudara dengan hidungnya, seolah-olah mereka
hanyalah sepotong daging busuk yang entah bagaimana bisa sampai di piringnya.
Setelah Mischief terjungkal, naga itu menjulurkan kepalanya yang besar dan
berduri ke arah pintu kabin.
"Gadis kecil!" katanya. "Kau bisa keluar sekarang! "
Ia mendorong pintu kabin. Seketika pintu itu terbuka, engsel-engselnya terlepas
dari kerangkanya. Mischief bangkit berdiri dengan kepala pening. la mendengar Tom berteriak-teriak
pada binatang itu agar tidak masuk. Makhluk itu menarik napas, kemudian
menyembur-kannya. Jendela-jendela kabin tertiup keluar, dan
gelombang panas berasap menyembur dari dalam kabin.
Dengan terbatuk-batuk dan pandangan kabur oleh air mata, Two-Toed Tom dan Tria
tersandung-sandung keluar dari kabin, tidak tahan oleh panas yang menyelimuti
bagian dalam kabin. Kemudian naga itu membuka mulutnya dan meluncurkan dagunya yang bersisik di
papan-papan kapal yang berkeriat-keriut, untuk menyambar gadis itu.
Namun sebelum ia sempat meraup Tria, Kiss Curl
Carlotti menyerangnya dengan sebilah pedang pendek. Ia menusukkan pedang itu ke
bagian daging yang lunak di sekitar lubang hidung si naga. Darah berwarna gelap
menyembur dari luka yang timbul, dan berbunyi mendesis ketika mengenai papan-
papan Belbelo. Naga itu mengerut-kan bibir dengan marah dan membuka
mulutnya, menganga amat sangat lebar, sampai-sampai rahang bawahnya terlepas
dari sendi-sendinya dan mulutnya terus menganga seperti terowongan.
"Awas, Carlotti!" Mischief berteriak dan tergopoh-gopoh berlari di dek yang
basah, untuk mencegah naga itu menyambar Tria.
la mengarahkan serangannya pada mata naga itu,
kemudian menghunjamkan tongkat kaitnya ke bagian bola mata. Kait tersebut
mengenai kelopak mata si naga, lebih karena kebetulan saja, bukan karena
Mischief menghantam dengan tepat.
"Tarik!" John Serpent berteriak.
Mischief menarik. Bagian kelopak mata naga yang
lunak pun robek, dan darah kembali menyembur dari luka tersebut. Sebagian
menciprati lengan-lengan Mischief dan menimbulkan rasa perih yang hebat.
Si naga menggeleng-gelengkan kepala, untuk memaksa Mischief melepaskan
senjatanya. Ia menegakkan tubuh dan memperdengarkan geraman murka membahana,
karena dirinya terluka. "Wajahku!" jeritnya, gema suaranya membahana di kapal itu, dari ujung ke ujung.
"Wajahku yang sempurna!
Wajahku yang indah!"
Ia menggeleng-gelengkan kepala, dan berhasil
melepaskan kait itu dari kelopak matanya. Darah
mengalir lebih banyak lagi dari lukanya, memenuhi mata si naga.
"Kau berhasil!" kata John Moot.
"Jangan terlalu yakin," kata Mischief. Ia mundur di papan-papan yang Iicin oleh
darah. Setengah buta, naga itu kembali menundukkan kepalanya ke dek, membuka mulutnya
yang sebesar terowongan, dan menyurukkan rahang bawahnya di papan-papan,
untuk menyambar Mischief.
Tanpa senjata, John Bersaudara hanya bisa mundur
menjauhi mulut naga raksasa itu sambil berteriak-teriak minta pertolongan.
"Geneva! Tolong! Tolong! Ya Tuhan, makhluk itu akan memakan kami hidup-hidup!"
"Aku datang!" Geneva membalas seruannya.
Ia masih mencari-cari pedangnya di tengah genangan muntahan naga, tapi sulit
sekali menemukan pedang itu, karena kapal mereka bergoyang-goyang hebat,
ditambah lagi dengan gerakan si naga yang membuat
perairan seputar Belbelo bergolak berbuih-buih.
Sekarang mulut naga itu tinggal satu-dua kaki dari John Bersaudara. Berhubung
tak ada ruang lagi untuk lari, Mischief pun masuk ke dalam kabin yang berasap.
"Habis!" teriak si naga, yang sudah bertekad akan memakan habis penyerang-
penyerangnya. "Habislah kalian semua!"
Duri-duri di kepalanya membuat naga itu tak bisa
masuk melalui pintu, tapi binatang yang sudah gila karena marah itu tidak mau
mundur begitu saja. Ia menggerak-gerakkan kepala maju-mundur dengan hebatnya,
hingga kerangka pintu berderak-derak, dan akhirnya runtuh.
Kemudian ia mendorong masuk kepalanya ke dalam
kabin. John Bersaudara terperangkap di dalam.
"Tendang dia!" teriak Fillet.
"Tonjok dia!" teriak Drowze.
Berhubung tak ada kemungkinan untuk menyingkir ke
sebelah kiri atau kanan monster itu, dan satu-satunya yang menunggu di depan
adalah napas panas yang disembur-kannya, Mischief pun menyerang makhluk itu
dengan membabi buta, menonjok moncongnya, bibirnya, bahkan gusi-gusinya. Tapi
usahanya sia-sia saja. Cacing itu menyurukkan kepalanya ke dalam kabin dan
mengatupkan gigi- gigunya di tubuh John Bersaudara. Anehnya ia melakukannya dengan sangat lembut.
Sebenarnya ia bisa saja menggigit Mischief hingga terpotong dua, tapi kelihatannya monster itu sengaja
ingin menyiksa korbannya dengan memakannya perlahan-lahan. Ia pun menyeret John
Bersaudara yang menjerit-jerit keluar dari pintu yang sudah hancur berantakan.
Di dek semua orang juga sedang menjerit-jerit, kecuali Tria. Teriakan-teriakan,
ancaman-ancaman, doa-doa, semuanya dikerahkan untuk menyelamatkan Mischief
supaya tidak dimakan hidup-hidup.
Tapi si naga tidak tergoyahkan. Perlahan-lahan -
dengan sikap hampir-hampir anggun dan penuh
wibawa - ia mengangkat kepalanya, tubuh John Ber-
saudara tergantung-gantung dari sisi mulutnya, kemudian ia mulai masuk kembali
ke dalam air Laut Izabella yang bergolak.
Sebagai usaha nekat terakhir, Tom berlari ke tepi
kapal, mengulurkan tangan, dan menyambar tangan
Mischief. Ehtah bagaimana, si cacing masih bisa berbicara,
padahal ia sedang menggigit korbannya di antara gigi-giginya.
"Dua kena sekali pukul" geramnya.
"Geneva!" teriak Tom. "Demi A'zo, tolong kami!"
"Aku di sini!" Geneva balas berteriak padanya.
Geneva rupanya sudah berhasil menemukan pedang-
nya. Ia tidak buang-buang waktu untuk membersihkan lendir yang menempel pada
pedang itu. Dengan segera ia menghambur ke dek yang sudah miring, untuk kembali
menghantam musuhnya. Tom sudah mencengkeram tepian Belbelo dengan satu tangan, tapi tepian yang licin
itu membuat pegangannya tidak mantap; dan setiap kali naga itu menyentakkan
tubuhnya supaya pegangan Tom mengendur, gigi-giginya menancap makin dalam di
tubuh John Mischief. John Mischief dan saudara-saudaranya tidak berdiam diri saja mendapatkan
perlakuan demikian. Mereka ingin yang lain-lain tahu bahwa mereka kesakitan;
delapan suara bersama-sama melolong-lolong, atau terisak-isak, atau berteriak-
teriak, menuntut agar yang lain segera bertindak dan membebaskan mereka sebelum
terlambat. Kini Geneva sudah tiba di sisi kapal, dan ia berteriak pada si naga.
"Lepaskan mereka, cacing!" perintahnya. "Atau kucabut nyawamu. Lepaskan,
kataku!" Naga itu memandangi pedang Geneva dari sudut
matanya yang hitam tertutup darah. Ia tahu bahwa kalau ia bertahan tak mau
melepaskan korbannya, Geneva
pasti akan menebas lehernya. Maka ia pun melakukan tiga hal sekaligus secepat
kilat. Ia melepaskan John Mischief - pegangan Mischief pada Tom terlepas, dan ia
jatuh ke air - lalu ia mengangkat salah satu kaki depannya yang bertaji dan
menghantamkannya ke sisi kapal, menembus dek dan semua papan di bawahnya, sampai
ke suatu titik di bawah garis air. Terakhir, ia menyambar Two-Toed Tom dan
melemparkannya sejauh mungkin dari Belbelo.
Ketika ia membalikkan badan kembali, pedang
Geneva menebas dada sebelah atas naga itu. Si cacing mengeluarkan teriakan
kesakitan yang sangat keras; getaran yang ditimbulkan oleh teriakannya begitu
kuat, sampai-sampai semua paku di dek melompat terlepas dari papan-papan, hanya
menyisakan bubungan yang digunakan si pembuat kapal untuk menutup kapal tersebut
dan menyatukan papan-papannya.
Kemudian ia merunduk mengejar Geneva dengan
kecepatan menakutkan, hingga Geneva terdesak mundur ke seberang kapal, berat
tubuhnya saja sudah membuat bubungan itu retak dan papan-papannya lepas.
Seketika itu juga jelaslah bahwa Belbelo - yang selama itu telah bertahan dengan
hebatnya - kini tak dapat
diselamatkan lagi. "Hemmett!" Geneva berteriak. Sang kapten berada di belakang kemudi kapal selama
pertempuran itu berlangsung, berusaha mengendalikan kapalnya agar tidak terbalik
akibat guncangan-guncangan hebat yang ditimbulkan si cacing.
"Keluarkan Tria dari kapal!"
"Tapi kapalku..."
"Kapal ini tak bisa diselamatkan lagi, Kapten!
Selamatkan anak itu!"
Sementara Geneva berbicara, rahang-rahang si naga
mengatup tiga inci dari wajah Geneva. Darah perih
menyengat, disertai gelombang panas dari paru-parunya yang tertikam, menyembur
dari luka akibat tusukan pedang Geneva di dadanya. Darah itu menciprati lengan dan leher Geneva, tapi
rasa perih yang ditimbulkannya tidak membuat Geneva mundur. Ia bertahan,
walaupun naga yang terluka itu berkali-kali mengatupkan rahangnya, hampir-hampir
mengenai wajah Geneva. Untunglah hanya satu matanya yang berfungsi, jadi ia tak
bisa mengukur arah serangannya dengan baik, sehingga
berkali-kali tidak mengenai sasarannya. Tapi suara yang terdengar ketika naga
itu mengatupkan rahang-rahangnya sangatlah mengerikan; seperti bunyi kelontang
keras pintu besi yang terempas menutup berulang kali.
Geneva menarik napas panjang dan mengangkat
pedangnya. la tahu, takkan ada kesempatan kedua baginya untuk mengulangi
serangan yang bakal ia lakukan ini.
Ia harus menusukkan pedangnya di sebelah bawah, di belakang tulang dada yang
keras, agar bisa mengenai jantung naga itu. Kalau berhasil, pedang itu akan
menghunjam ke organ-organ penting naga ini dan membunuhnya. Tapi kalau ia sampai
meleset, cacing ini akan memangsanya.
Geneva mengangkat pedangnya, sambil berdoa dalam
hati kepada sembilan puluh satu dewi yang dipuja di tanah kelahirannya.
Naga itu sudah bersiap-siap mengatupkan rahangnya
lagi. Geneva bisa mendengar otot-otot rahangnya berderak-derik seperti pegas
raksasa saat membuka. Sambil memasrahkan diri pada dewi-dewi pujaannya,
serta pada instingnya sendiri, Geneva merunduk rendah-rendah di bawah rahang
naga dan menempelkan ujung
pedangnya di tenggorokan naga yang bersisik. Dengan segera ia merasakan
permukaan keras yang menahan
pedangnya, seolah-olah yang ditusuknya itu adalah
sepotong tulang. Sambil menyumpah-nyumpah ia mencari tempat lain.
Naga itu membuka mulutnya, menyemburkan bau isi
perutnya yang busuk. Ini dia! Ia mesti menyerang. Sekarang juga, atau takkan ada kesempatan lagi.
Geneva menusukkan pedangnya; ya, pedang itu berhasil menembus sjsik-sisik naga
yang keras dan berwarna kelabu kehijauan, menembus hingga ke dalam dagingnya.
Geneva menumpukan seluruh berat tubuhnya pada
pedang itu. Dan itu sudah cukup. Bilah pedang tersebut menghunjam ke balik
tulang dada makhluk itu. Geneva merasa tubuh naga itu menggelepar ketika
rongga dadanya tertusuk pedang yang menembus masuk hingga ke jantungnya yang
besar. Mulutnya yang sudah menganga kini membuka lebih lebar lagi. Dan jauh...
jauh dari dalam rongganya yang busuk itu terdengar suara seperti geraman seribu
ekor anjing gila. "Matilah," kata Geneva padanya dengan suara cukup keras, agar terdengar oleh
naga itu. Kemudian ia memuntir bilah pedangnya yang tertancap di dalam jantung naga.
Geraman menggemuruh itu jadi makin keras, dan bau busuk yang keluar dari dalam
perutnya begitu memuakkan: bau kematian yang dilepaskan dari isi perut binatang
tersebut. Perlahan-lahan mata si naga yang masih berfungsi bergulir ke kiri, memandang
lagi untuk terakhir kali. Bibir atasnya menyeringai menampakkan deretan giginya
yang mengerikan. Tapi semua itu hanya ancaman kosong
belaka. Geramannya lambat laun makin pelan. Tak ada lagi murka yang tersisa di
tubuhnya yang terluka. Keseluruhan tubuh naga itu gemetar hebat. Kemudian ia meletakkan kedua kaki
depannya ke sisi kapal yang
sedang tenggelam itu, dan mendorong.
Geneva membiarkan pedangnya meluncur lepas dari
genggaman, daripada mengambil risiko ikut ditarik ke laut oleh naga yang hendak
pergi itu. Tersandung-sandung Geneva mundur ke dek yang sudah hancur dan sudah
tenggelam enam inci ke dalam air. la hampir-hampir tak percaya bahwa ia telah
mengalahkan binatang itu.
"Apa kau masih hidup?" McBean berseru padanya.
"Nyaris saja," kata Geneva.
Tadi, sementara Geneva bertarung dengan naga,
McBean telah menyiapkan sekoci kecil yang berwarna merah dan telah
melemparkannya dari sisi seberang
Belbelo. Kini tergopoh-gopoh ia membawa Tria - yang tadi diincar si naga dan
dibayar dengan nyawanya - ke dalam sekoci tersebut.
Sementara itu, Kiss Curl Carlotti sedang berusaha


Abarat Karya Clive Barker di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Algojo Algojo Bukit Larangan 3 Pendekar Slebor Dendam Jasad Dedemit Pendekar Lembah Naga 19
^