Breaking Dawn 11
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 11
padanya. Pasti menyenangkan bisa melepaskan diri dari kenyataan, walau hanya
beberapa jam. Hati-hati kukeluarkan kantong perhiasan beledu kecil dari dalam tasku tanpa
membukanya lebar-lebar, sehingga Edward tidak melihat banyaknya uang di
dalamnya, "Benda ini menarik perhatianku dari etalase toko barang antik yang kulewati."
Kuguncang kantong perhiasan itu, menjatuhkan sebentuk loket emas kecil ke
telapak tangan Edward. Loket bundar dengan hiasan sulur-sulur anggur ramping
terukir di tepi lingkaran. Di dalamnya ada tempat untuk memajang foto kecil dan,
di sisi berlawanan, terukir tulisan dalam bahasa Prancis.
"Tahukah kau apa artinya ini?" tanya Edward, nadanya berubah, lebih sendu
daripada sebelumnya. "Kata penjaga tokonya, kurang lebih artinya 'lebih dari hidupku sendiri'. Benar,
tidak?" "Ya, benar." Edward mendongak menatapku, mata topaznya menyelidik. Kubalas tatapannya
sebentar, lalu pura-pura mengalihkan perhatian pada televisi.
"Mudah-mudahan dia menyukainya," gumamku.
"Tentu saja dia akan menyukainya," kata Edward enteng, nadanya sambil lalu, dan
detik itu juga aku yakin ia tahu aku menyimpan sesuatu darinya. Aku juga yakin
ia tidak tahu apa itu secara spesifik.
"Ayo kita bawa dia pulang," Edward menyarankan, berdiri dan merangkul pundakku.
Aku ragu-ragu. "Apa?" desaknya.
"Aku ingin berlatih dengan Emmett sebentar... " Aku kehilangan waktu seharian
untuk melakukan tugas pentingku tadi; itu membuatku merasa tertinggal.
Emmett yang duduk di sofa bersama Rose sambil memegang remote control, tentu
saja mendongak dan nyengir gembira. "Bagus sekali. Hutan memang perlu ditebangi
sedikit." Edward mengerutkan kening pada Emmett, kemudian padaku.
"Masih banyak waktu untuk itu besok," tukasnya.
"Jangan konyol," protesku. "Tak ada lagi istilah masih banyak waktu. Konsep itu
sendiri sebenarnya tidak ada. Banyak yang harus kupelajari dan..,"
Edward memotong kata-kataku. "Besok."
Ekspresinya begitu bersungguh-sungguh hingga bahkan Emmett pun tidak membantah.
Kaget juga aku mendapati betapa sulitnya kembali ke rutinitas yang.
bagaimanapun, sama sekali baru. Namun mengenyahkan secuil harapan yang selama
ini kupelihara dalam hatiku membuat segalanya jadi mustahil.
Aku berusaha fokus pada hal-hal positif. Ada kemungkinan putriku selamat
melewati apa yang akan terjadi nanti, demikian pula Jacob. Kalau mereka memiliki
masa depan, berarti itu semacam kemenangan juga, bukan" Kelompok kecil kami
pasti bisa bertahan sendiri agar Jacob dan Renesmee mendapat kesempatan untuk
melarikan diri. Ya, strategi Alice hanya masuk akal bila kami harus bertempur
habis-habisan. Jadi, itu sendiri sudah merupakan kemenangan tersendiri,
mengingat keluarga Volturi tak pernah ditentang secara serius dalam satu abad
terakhir. Itu takkan menjadi akhir dunia. Hanya akhir keluarga Cullen. Akhir Edward, akhir
aku. Aku lebih suka seperti itu-bagian yang terakhir, setidaknya. Aku tidak ingin
hidup lagi tanpa Edward; kalau ia meninggalkan dunia ini, aku akan ikut
bersamanya. Sesekali aku bertanya-tanya dalam hati apakah ada kehidupan lain bagi kami
setelahnya. Aku tahu Edward tidak benar-benar memercayai hal itu, tapi Carlisle
percaya. Aku sendiri tak bisa membayangkannya. Di lain pihak, aku tidak bisa
membayangkan Edward tidak ada, bagaimanapun, di mana pun. Bila kami bisa bersama
di mana saja, itu berarti akhir yang membahagiakan.
Dan dengan demikian pola hari-hariku berlanjut,, bahkan semakin keras daripada
sebelumnya. Kami menemui Charlie pada Hari Natal, Edward, Renesmee, Jacob, dan aku. Semua
anggota kawanan Jacob sudah berada di sana, ditambah Sam, Emily, dan Sue,
Baik sekali mereka, mau datang ke rumah Charlie yang ruangannya kecil-kecil,
tubuh mereka yang besar dan hangat dijejalkan ke sudut-sudut ruangan,
mengelilingi pohon Natal yang hiasannya jarang-jarang, kelihatan sekali di
bagian mana Charlie merasa bosan dan berhenti menghias dan memenuhi
perabotannya. Werewolf memang selalu bersemangat menghadapi pertempuran, tak
peduli pertempuran itu sama saja dengan bunuh diri. Semangat mereka yang meluap-
luap memberikan semacam kegairahan yang menutupi perasaan lesuku. Edward,
seperti biasa, lebih pandai berakting ketimbang aku.
Renesmee memakai kalung yang kuberikan padanya menjelang fajar, dan dalam saku
jaketnya tersimpan MP3 player hadiah Edward-benda mungil yang bisa menyimpan
lima ribu lagu, sudah diisi dengan lagu-lagu favorit Edward. Di pergelangan
tangannya melingkar gelang anyaman, semacam cincin pertunangan versi Quileute.
Edward mengertakkan gigi melihat gelang itu, tapi aku tidak merasa terganggu.
Nanti, sebentar lagi, aku akan menyerahkan Renesmee kepada Jacob untuk dijaga
baik-baik. Jadi bagaimana mungkin aku merasa terganggu oleh simbol komitmen yang
justru kuharapkan" Edward menyelamatkan hari dengan memesan hadiah untuk Charlie juga. Hadiah itu
datang kemarin melalui kiriman khusus satu malam dan Charlie menghabiskan
sepanjang pagi membaca buku manualnya yang tebal tentang bagaimana
mengoperasikan alat pancing barunya yang dilengkapi sistem sonar.
Menilik cara para werewolf makan, hidangan makan siang yang disiapkan Sue pasti
lezat sekali. Aku penasaran apa kira-kira pandangan orang luar melihat kami.
Sudahkah kami memainkan peran masing-masing dengan cukup baik" Apakah orang
asing akan menganggap kami sekelompok teman yang berbahagia, merayakan Natal
sambil bergembira bersama"
Kurasa baik Edward maupun Jacob sama leganya denganku ketika tiba waktu pulang.
Aneh rasanya membuang-buang energi dengan bersandiwara menjadi manusia padahal
ada banyak hal penting lain yang bisa dilakukan. Aku sangat sulit
berkonsentrasi. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa bertemu Charlie. Mungkin
ada bagusnya juga aku terlalu kebas untuk benar-benar menyadari hal itu.
Aku tak pernah lagi bertemu ibuku sejak menikah, tapi diam-diam aku bersyukur
hubungan kami sejak dua tahun lalu sedikit demi sedikit mulai renggang. Ia
terlalu rapuh untuk duniaku. Aku tak ingin ia menjadi bagian dari semua ini.
Charlie lebih kuat. Bahkan mungkin cukup kuat untuk berpisah denganku sekarang, tapi aku tidak.
Suasana sangat sunyi di dalam mobil; di luar, hujan hanya berupa kabut tipis,
mengambang antara cairan dan es. Renesmee duduk di pangkuanku, bermain-main
dengan loketnya, membuka dan menutupnya berulang kali. Aku memandanginya dan
membayangkan hal-hal yang akan kukatakan pada Jacob sekarang kalau saja aku tak
perlu menjaga agar kata-kataku tidak masuk dalam pikiran Edward.
Kalau keadaan sudah aman, bawa dia ke Charlie. Ceritakan semuanya pada Charlie
kelak. Sampaikan pada Charlie, aku sangat sayang padanya, bahwa aku tak sanggup
meninggalkan dia bahkan setelah hidupku sebagai manusia berakhir. Katakan
padanya dia ayah terbaik. Sampaikan sayangku pada Renee, kudoakan ia bahagia dan
baik-baik saja... Aku akan memberikan dokumen-dokumennya pada Jacob sebelum terlambat. Aku akan
menitipkan padanya surat untuk Charlie juga. Dan surat untuk Renesmee. Sesuatu
yang bisa ia baca kalau aku sudah tak bisa mengungkapkan sayangku lagi padanya.
Sepertinya tak ada yang tidak biasa di luar rumah keluarga Cullen saat mobil
memasuki padang rumput, tapi aku mendengar kehebohan pelan di dalam. Banyak
suara rendah bergumam dan menggeram. Kedengarannya serius, seperti berdebat. Aku
bisa mendengar suara Carlisle dan Amun lebih sering daripada yang lain.
Edward memarkir mobilnya di depan rumah, tidak langsung memutar ke belakang dan
masuk garasi. Kami bertukar pandang cemas sebelum turun dari mobil.
Pembawaan Jacob serta-merta berubah; wajahnya serius dan hati-hati. Kurasa ia
sedang mengambil sikap sebagai Alfa sekarang. Jelas telah terjadi sesuatu, dan
ia akan mendapatkan informasi yang ia dan Sam butuhkan.
"Alistair pergi," gumam Edward saat kami bergegas menaiki tangga.
Di ruang depan di dalam, konfrontasi terlihat jelas. Berjajar di dinding tampak
lingkaran penonton, setiap vampir yang telah bergabung bersama kami, kecuali
Alistair dan tiga vampir lain yang terlibat perselisihan. Esme, Kebi, dan Tia
berada paling dekat dengan ketiga vampir di tengah; di tengah-tengah ruangan,
Amun mendesis pada Carlisle dan Benjamin.
Rahang Edward mengeras dan ia bergerak cepat ke sisi Esme, menyeretku
bersamanya. Aku mendekap Renesmee erar-erat di dada.
"Amun, kalau kau ingin pergi, tak ada yang memaksamu tetap tinggal di sini,"
kata Carlisle kalem. "Kau mencuri separo kelompokku, Carlisle!" sergah Amun, menudingkan jari dengan
kasar pada Benjamin. "Itukah sebabnya kau memanggilku ke sini" Untuk mencuri
dariku?" Carlisle mendesah, dan Benjamin memutar bola matanya.
"Ya, Carlisle mencari gara-gara dengan keluarga Volturi, membahayakan seluruh
keluarganya, hanya untuk merayuku supaya mau datang ke sini, ke kematianku,"
sergah Benjamin sarkastis. "Berpikirlah logis, Amun. Aku berkomitmen melakukan
hal yang benar di sini-aku bukan mau bergabung dengan kelompok lain. Kau boleh
melakukan apa saja yang kauinginkan, tentu saja, seperti yang telah dikatakan
Carlisle tadi." "Ini tidak akan berakhir dengan baik," geram Amun. "Alistair-lah satu-satunya
yang waras di sini. Seharusnya kita semua juga lari."
"Pikirkan siapa yang kausebut waras," gumam Tia pelan.
"Kita semua akan dibantai!"
"Tidak akan terjadi pertempuran," tandas Carlisle tegas. "Itu kan katamu!"
"Kalaupun ya, kau bisa menyeberang ke pihak lawan. Amun, Aku yakin keluarga
Volturi akan menghargai bantuanmu."
Amun tertawa mengejek. "Mungkin memang itu jawabannya"
Jawaban Carlisle lembur dan bersungguh-sungguh. "Aku takkan menghalangimu, Amun.
Kita sudah berteman sekian lama, tapi aku takkan pernah memintamu mati demi
aku." Suara Amun kini lebih terkendali. "Tapi kau membawa Benjamin mati bersamamu."
Carlisle meletakkan tangannya di pundak Amun. Amun menepiskannya.
"Aku akan tetap tinggal, Carlisle, tapi mungkin itu justru akan jadi kerugianmu.
Aku akan bergabung dengan mereka kalau memang itu satu-satunya jalan untuk
selamat. Kalian semua tolol kalau mengira bisa mengalahkan keluarga Volturi." Ia
memberengut, lalu mengembuskan napas, melirik Renesmee dan aku, lalu menambahkan
dengan nada putus asa, "Aku akan bersaksi bahwa anak itu bertumbuh. Memang
kenyataannya begitu. Siapa pun bisa melihatnya."
"Dan hanya itu yang kami minta darimu."
Amun meringis. "Tapi bukan itu saja yang kalian dapatkan, sepertinya," Ia
berpaling kepada Benjarnin. "Aku memberimu kehidupan. Kau menyia-nyiakannya,"
Wajah Benjamin terlihat lebih dingin daripada yang selama ini pernah kulihat;
ekspresinya sangat kontras dengan air mukanya yang kekanak-kanakan. "Sayang kau
tidak bisa mengganti keinginanku dengan keinginanmu dalam prosesnya; kalau bisa,
mungkin kau akan merasa puas padaku."
Mata Amun menyipit. Ia melambaikan tangan dengan kasar ke arah Kebi, dan mereka
merangsek melewati kami, keluar melalui pintu depan.
"Dia tidak pergi," kata Edward pelan padaku, "tapi dia akan semakin menjaga
jarak mulai sekarang. Dia tidak menggertak waktu mengatakan akan bergabung
dengan keluarga Volturi."
"Mengapa Alistair pergi?" bisikku.
"'Tidak ada yang tahu pasti; dia tidak meninggalkan pesan sama sekali. Dari
gumamannya, jelas sekali dia merasa pertempuran takkan bisa dihindari.
Berlawanan dengan sikapnya, dia sebenarnya terlalu peduli pada Carlisle yang
akan menghadapi keluarga Volturi. Kurasa dia memutuskan bahayanya kelewat
besar." Edward mengangkat bahu.
Walaupun pembicaraan kami jelas hanya berlangsung di antara kami berdua, tapi
tentu saja semua bisa mendengarnya. Eleazar menjawab komentar Edward seolah-olah
itu ditujukan bagi mereka semua.
"Menilik gumaman-gumamannya selama ini, sedikit lebih daripada itu. Kami tidak
banyak membicarakan agenda keluarga Volturi, tapi Alistair khawatir bahwa tak
peduli betapapun hebatnya kami bisa membuktikan kalian tak bersalah, keluarga
Volturi tetap takkan mau mendengar. Menurut anggapannya, mereka pasti akan
menemukan alasan untuk mencapai tujuan mereka di sini"
Para vampir itu saling melirik dengan sikap gelisah. Ide bahwa keluarga Volturi
akan memanipulasi hukum keramat mereka demi mendapatkan keuntungan pribadi
bukanlah ide yang populer. Hanya kelompok Rumania yang tetap tenang, senyum
separo mereka tampak ironis. Mereka sepertinya geli mendengar bagaimana yang
lain-lain ingin berpikir baik tentang musuh-musuh bebuyutan mereka.
Berbagai diskusi pelan dimulai pada saat bersamaan, tapi hanya diskusi kelompok
Rumania yang kudengarkan. Mungkin karena Vladimir yang berambut terang itu
berulang kali melirik ke arahku.
"Aku sangat berharap Alistair benar dalam hal ini" gumam Stefan kepada Vladimir.
"Tak peduli hasil akhirnya, kabar tetap akan menyebar. Sekarang waktunya dunia
melihat sendiri bagaimana jadinya keluarga Volturi. Mereka takkan pernah jatuh
kalau semua orang memercayai omong kosong tentang mereka yang melindungi
kehidupan kita." "Paling tidak bila memerintah nanti, kita jujur tentang diri kita apa adanya"
Vladimir menjawab. Stefan mengangguk. "Kita tidak pernah berlagak baik dan menganggap diri kita
suci." "Kupikir sudah tiba saatnya bertempur," kata Vladimir. "Bagaimana kau bisa
membayangkan kita akan menemukan kekuatan yang lebih baik untuk melakukannya"
Kesempatan lain sebagus ini?"
"Tak ada yang mustahil. Mungkin suatu saat nanti... "
"Kita sudah menunggu selama seribu lima ratus tahun, Stefan. Dan mereka semakin
lama semakin kuat." Vladimir terdiam sejenak dan memandangiku lagi. Ia tidak
menunjukkan keheranan ketika melihatku memandanginya juga. "Kalau keluarga
Volturi memenangkan konflik ini, mereka akan pergi dengan kekuatan yang lebih
besar daripada saat mereka datang. Dengan setiap penaklukan, mereka memperoleh
tambahan kekuatan. Pikirkan apa yang bisa diberikan vampir baru itu saja kepada
mereka"-ia menyentakkan dagunya ke arahku-"padahal dia belum menemukan semua
bakat yang dimilikinya. Belum lagi si penggoyang bumi itu." Vladimir mengangguk
ke arah Benjamin, yang mengejang. Hampir semua orang sekarang menguping
pembicaraan kelompok Rumania, seperti aku. "Dengan penyihir kembar mereka,
mereka tidak membutuhkan si pesulap atau si sentuhan api." Matanya beralih ke
Zafrina, kemudian Kate. Stefan memandangi Edward. "Si pembaca pikiran juga tidak terlalu diperlukan.
Tapi aku mengerti maksudmu. Benar, mereka akan mendapat banyak kalau menang."
"Lebih daripada yang kita rela mereka dapatkan, kau sependapat, bukan?"
Stefan mendesah. "Kurasa aku harus sependapat denganmu. Dan itu berarti... "
"Kita harus melawan mereka selagi masih ada harapan."
"Kalau kita bisa melumpuhkan mereka, bahkan, mengekspos mereka... "
"Kemudian, suatu saat nanti, yang lain-lain yang akan menyelesaikannya"
"Dan dendam kita akan terlunaskan. Akhirnya."
Mereka saling menatap beberapa saat, kemudian bergumam serempak. "Sepertinya
hanya itu satu-satunya jalan."
"Jadi kita bertempur," kata Stefan.
Walaupun aku bisa melihat hati mereka terbagi, keinginan mempertahankan diri
berperang dengan dendam, senyum yang tersungging di bibir mereka penuh
antisipasi. "Kita bertempur," Vladimir setuju.
Kurasa itu baik seperti Alistair, aku yakin pertempuran mustahil dihindari.
Dalam hal ini, tambahan dua vampir lagi yang mau bertempur di pihak kami akan
sangat membantu. Tapi keputusan kelompok Rumania tetap membuatku bergidik.
"Kami akan bertempur juga," kata Tia, suaranya yang biasanya muram terdengar
lebih khidmat. "Kami yakin keluarga Volturi akan melampaui otoritas mereka. Kami
tidak ingin menjadi bagian dari mereka." Mata Tia menatap pasangannya.
Benjamin menyeringai dan melirik kelompok Rumania dengan sikap nakal. "Rupanya,
aku komoditas panas. Kelihatannya aku harus memenangkan hak untuk bebas,"
"Ini bukan pettama kalinya aku bertempur untuk melepaskan diri dari kekuasaan
raja," sergah Garrett dengan nada menggoda. Ia menghampiri Benjamin dan menepuk
punggungnya. "Untuk kebebasan dari penindasan."
"Kami berpihak pada Cariisle," kata Tanya. "Dan kami bertempur bersamanya."
Pernyataan kelompok Rumania sepertinya membuat yang lain-lain merasa perlu
mendeklarasikan diri mereka juga.
"Kami belum memutuskan," kata Peter. Ia menunduk memandangi pasangannya yang
bertubuh mungil; bibir Charlotte mengatup tidak puas. Kelihatannya ia sudah
mengambil keputusan. Dalam hati aku bertanya-tanya apa gerangan keputusannya
itu. "Hal yang sama berlaku untukku," kata Randall.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan aku," imbuh Mary.
"Kawanan kami akan bertempur bersama keluarga Cullen," kata Jacob tiba-tiba.
"Kami tidak takut pada vampir," imbuhnya sambil tersenyum mengejek.
"Dasar anak-anak," gerutu Peter,
"Bocah-bocah ingusan," Randall mengoreksi.
Jacob menyeringai mengejek.
"Well, aku ikut," seru Maggie, menepiskan tangan dari cengkeraman Siobhan yang
berusaha menahannya. "Aku tahu kebenaran ada di pihak Cariisle. Aku tak bisa
mengabaikan hal itu,"
Siobhan memandangi anggota junior kelompoknya dengan sorot khawatir.
"Carilisle," katanya, seolah-olah hanya ada mereka di sana, tak menggubris
situasi yang mendadak formal dalam pertemuan ini, bagaimana beberapa pihak tiba-
tiba mendeklarasikan diri. "Aku tak ingin ini menjadi pertempuran"
"Aku juga tidak, Siobhan. Kau tahu aku paling tidak menginginkan hal itu."
Carlisle separo tersenyum. "Mungkin sebaiknya kau berkonsentrasi membuat situasi
tetap damai." "Kau tahu itu takkan membantu," tukas Siobhan.
Aku teringat pembicaraan Rose dan Carlisle tentang pemimpin kelompok Irlandia
itu; Carlisle yakin Siobhan memiliki bakat yang halus tapi kuat untuk membuat
keadaan menjadi seperti yang ia inginkan-namun Siobhan sendiri tidak
meyakininya. "Tak ada salahnya, kan?" ujar Carlisle.
Siobhan memutar bola matanya. "Haruskah aku memvisualisasikan hasil yang
kuinginkan?" tanyanya sarkastis,
Carlisle terang-terangan menyeringai sekarang. "Kalau kau tidak keberatan."
"Kalau begitu, kelompokku tidak perlu mendeklarasikan dirinya, bukan?" dengus
Siobhan. "Karena tidak ada kemungkinan akan terjadi pertempuran." Ia memegang
bahu Maggie, menarik gadis itu lebih dekat lagi padanya. Pasangan Siobhan, Liam,
berdiri diam tanpa ekspresi.
Hampir semua yang ada di ruangan itu terlihat bingung mendengar percakapan
antara Carlisle dan Siobhan yang jelas bernada bercanda, tapi mereka diam saja.
Itulah akhir pembicaraan dramatis malam ini. Pelan-pelan semua mulai membubarkan
diri, sebagian pergi berburu, sebagian lagi melewatkan waktu dengan buku-buku
Carlisle, menonton televisi, atau bermain komputer.
Edward, Renesmee, dan aku pergi berburu. Jacob ikut.
"Dasar lintah-lintah tolol," gerutu Jacob begitu sampai di luar rumah.
"Dikiranya mereka itu sangat superior." Ia mendengus,
"Mereka pasti shock berat kalau bocah-bocah ingusan itu nanti yang menyelamatkan
hidup superior mereka, ya, kan?" goda Edward.
Jake tersenyum dan meninju pundaknya. "Ya, benar sekali."
Ini bukan perburuan terakhir kami. Kami akan berburu lagi nanti mendekati saat
kedatangan keluarga Volturi. Karena tenggat waktunya tidak diketahui persis
kapan, rencananya kami akan berada di lapangan bisbol besar yang dilihat Alice
dalam penglihatannya selama beberapa hari, untuk berjaga-jaga saja. Kami hanya
tahu mereka akan datang pada saat salju sudah menutupi tanah. Kami tak ingin
keluarga Volturi berada terlalu dekat ke kota, dan Demetri akan membawa mereka
ke mana pun kami berada. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa yang bakal
dilacaknya, dan dugaanku ia bakal melacak Edward, karena ia tidak bisa
melacakku. Aku memikirkan Demetri sambil berburu, tidak begitu memerhatikan buruanku
ataupun kepingan-kepingan salju yang akhirnya muncul rapi meleleh sebelum sempat
menyentuh tanah yang berbatu-batu. Sadarkah Demetri ia tidak bisa melacakku"
Bagaimana reaksinya mengetahui hal itu" Bagaimana reaksi Aro" Atau Edward
keliru" Ada beberapa pengecualian kecil dari apa yang bisa kutahan, cara-cara
menghindari perisaiku. Semua yang ada di luar pikiranku rapuh terbuka bagi hal-
hal yang bisa dilakukan Jasper, Alice, dan Benjamin. Mungkin bakat Demetri juga
sedikit berbeda. Kemudian sebuah pikiran mendadak muncul dalam benakku, membuat langkahku
berhenti. Rusa yang sudah separo kering terjatuh dari tanganku ke tanah berbatu-
batu. Keping-keping salju menguap hanya beberapa sentimeter dari tubuh yang
hangat dengan suara mendesis-desis kecil. Aku memandang kosong tanganku yang
berlumuran darah. Edward melihat reaksiku dan bergegas mendatangiku, meninggalkan buruannya begitu
saja. "Ada apa?" tanyanya pelan, matanya menyapu hutan di sekeliling kami, mencari apa
pun yang memicu reaksiku barusan. "Renesmee," kataku, suaraku tersedak. "Dia di
balik pohon-pohon itu,"
Edward menenangkanku. "Aku bisa mendengar baik pikirannya maupun pikiran Jacob.
Dia baik-baik saja."
"Bukan itu yang kumaksud," sergahku. "Aku sedang memikirkan perisaiku kau benar-
benar menganggapnya hebat, bahwa bakatku itu akan bisa membantu. Aku tahu yang
lain-lain berharap aku bisa menamengi Zafrina dan Benjamin, walaupun aku hanya
bisa melakukannya selama beberapa detik saja setiap kali. Bagaimana kalau ada
kesalahan" Bagaimana kalau keyakinanmu padaku justru menjadi alasan kita gagal?"
Suaraku nyaris histeris, walaupun aku memiliki cukup pengendalian diri untuk
menjaga suaraku tetap pelan. Aku tak ingin membuat Renesmee takut.
"Bella, apa yang membuatmu tiba-tiba berpikir begitu" Tentu saja, menyenangkan
sekali kalau kau bisa melindungi dirimu, tapi kau tidak bertanggung jawab
menyelamatkan siapa-siapa. Jangan membuat dirimu tertekan karena hal yang tidak
perlu." "Tapi bagaimana kalau aku tak bisa melindungi apa-apa?" bisikku sambil tersengal
panik. "Yang bisa kulakukan ini, ini tidak bisa diandalkan, tidak benar! Tidak
ada dasar atau alasan untuk merasa yakin. Mungkin ini takkan bisa melawan Alec
sama sekali" "Ssst," Edward menenangkanku. "Jangan panik. Dan jangan khawatirkan Alec. Apa
yang dia lakukan tidak berbeda dengan yang dilakukan Jane atau Zafrina, Itu
hanya ilusi dia tidak bisa masuk ke dalam pikiranmu, sama seperti aku."
"Tapi Renesmee bisa!" Aku mendesis panik dari sela-sela gigiku, "Rasanya begitu
alami, jadi aku tak pernah menanyakannya sebelumnya. Sejak dulu dia memang
selalu begitu. Tapi dia memasukkan pikiran-pikirannya ke dalam kepalaku sama
seperti dia melakukannya pada orang-orang lain. Ada celah di perisaiku, Edward
Kutatap Edward dengan putus asa, menunggunya membenarkan kesadaranku yang
mengerikan itu. Bibirnya mengerucut, seakan-akan ia berusaha memutuskan
bagaimana menjelaskan sesuatu. Ekspresinya tampak sangat rileks.
"Kau sudah lama memikirkan hal ini, ya?" desakku, merasa seperti idiot karena
setelah berbulan-bulan baru menyadari sesuatu yang terpampang begitu jelas.
Edward mengangguk, senyum samar terbentuk di sudut-sudut mulutnya. "Sejak dia
pertama kali menyentuhmu."
Aku mendesah, menyesali kebodohanku sendiri, tapi sikap Edward yang kalem
sedikit membuatku tenang. "Tapi itu tidak membuatmu merasa terganggu" Menurutmu
itu bukan masalah?" "Aku punya dua teori, yang satu lebih besar kemungkinannya daripada yang lain."
"Beritahukan yang paling tidak mungkin."
"Well, dia anakmu," Edward menjelaskan. "Secara genetis dia separo kau. Dulu aku
sering menggodamu tentang bagaimana pikiranmu berada dalam frekuensi berbeda
dari kami semua. Mungkin frekuensi pikirannya sama denganmu,"
Aku tak bisa menerimanya, "Tapi kau mendengar pikirannya dengan jelas. Semua
orang bisa mendengar pikirannya. Dan bagaimana kalau pikiran Alec berada dalam
frekuensi berbeda" Bagaimana kalau...?"
Edward menempelkan jarinya ke bibirku. "Aku sudah mempertimbangkan hal itu.
Itulah sebabnya menurutku teori berikut ini jauh lebih mungkin."
Aku mengertakkan gigi dan menunggu.
"Ingatkah kau apa yang dikatakan Carlisle padaku tentang Renesmee, tepat setelah
dia menunjukkan kenangan pertamanya padamu?"
Tentu saja aku ingat. "Katanya, 'Bakat yang menarik. Seolah-olah dia melakukan
hal sebaliknya dari apa yang biasa kaulakukan."'
"Ya. Dan aku juga heran. Mungkin dia mengambil bakatmu dan membaliknya
juga." Aku mempertimbangkan hal itu.
"Tidak ada yang tahu isi pikiranmu" Edward memulai.
"Dan tak ada yang tidak tahu pikiran Renesmee?" aku menyelesaikan dengan nada
ragu. "Begitulah teoriku," kata Edward, "Dan kalau dia bisa masuk ke dalam kepalamu,
aku ragu ada perisai di planet ini yang sanggup menjauhkannya. Itu akan
membantu. Dari apa yang kita lihat selama ini, tak ada orang yang bisa meragukan
kebenaran pikiran Renesmee setelah mereka mengizinkannya menunjukkan pikiran-
pikiran itu pada mereka. Dan kurasa, tak ada yang bisa menghalangi Renesmee
menunjukkan pikirannya pada mereka, asal dia bisa berada cukup dekat. Bila Aro
memberinya kesempatan menjelaskan... "
Aku bergidik membayangkan Renesmee berada sangat dekat dengan mata Aro yang
serakah dan berkabut. "Well" kata Edward, mengusap-usap bahuku yang tegang. "Setidaknya tidak ada yang
bisa menghalangi Aro melihat hal sebenarnya."
"Tapi apakah hal yang sebenarnya cukup untuk menghentikan Aro?" bisikku.
Untuk itu, Edward tidak memiliki jawaban.
35. TENGGAT WAKTU "mau pergi?" tanya Edward, nadanya sambil lalu. Ada semacam ketenangan yang
dipaksakan dalam ekspresi wajahnya. Ia memeluk Renesmee sedikit lebih erat ke
dadanya. "Ya, ada beberapa urusan yang harus dibereskan.,.," jawabku, sama tenangnya. Ia
menyunggingkan senyum favoritku. "Cepatlah kembali padaku."
"Selalu." Kubawa lagi Volvonya, dalam hati penasaran apakah Edward membaca spedometer
setelah aku pergi waktu itu. Berapa banyak yang bisa disimpulkannya dari semua
itu" Bahwa aku merahasiakan sesuatu, jelas. Bisakah ia menyimpulkan alasan
mengapa aku tidak bercerita padanya" Apakah ia sudah bisa menebak bahwa Aro
mungkin akan mengetahui semua yang ia ketahui" Kupikir Edward pasti bisa
menyimpulkan hal itu, karena ia tidak menuntut penjelasan apa-apa dariku. Kurasa
ia berusaha tidak berspekulasi terlalu banyak, berusaha tidak memikirkan
perilakuku. Apakah ia sudah bisa
Menebak dari sikapku yang ganjil di pagi hari setelah Alice pergi membakar
bukuku di perapian" Entah apakah ia bisa menghubungkannya.
Sore itu sangat muram, hari gelap seperti sudah senja. Aku memacu mobilku
menembus keremangan, mataku tertuju ke awan tebal. Apakah malam ini akan turun
salju" Cukup untuk melapisi tanah dan menciptakan pemandangan seperti yang
tampak dalam penglihatan Alice" Edward memperkirakan kami masih punya waktu
kira-kira dua hari lagi. Kemudian kami akan berjaga-jaga di lapangan, menarik
keluarga Volturi ke tempat yang sudah kami pilih.
Saat melaju melintasi hutan yang semakin gelap, aku memikirkan perjalanan
terakhirku ke Seattle. Kurasa aku tahu tujuan Alice mengirimku ke kawasan kumuh
tempat J. Jenks berurusan dengan klien-kliennya yang berasal dari kalangan
bawah. Bila aku pergi ke kantornya yang lain, yang lebih resmi, mungkinkah aku
tahu apa yang akan kuminta" Seandainya aku bertemu dengannya sebagai Jason Jenks
atau Jason Scott, pengacara baik-baik, mungkinkah aku bisa menemukan J. Jenks,
pemalsu dokumen-dokumen ilegal" Aku harus melewati rute itu untuk tahu bahwa aku
membutuhkan sesuatu yang melanggar hukum. Itu petunjuk buatku.
Hari sudah gelap ketika mobilku memasuki tempat parkir restoran beberapa menit
lebih awal, mengabaikan para petugas valet di ambang pintu yang bersemangat
ingin membantu. Aku mengenakan lensa kontak dan menunggu J di dalam restoran.
Walaupun aku tergesa-gesa ingin segera membereskan urusan menyedihkan ini dan
kembali bersama keluargaku, J sepertinya berhati-hati untuk tidak menodai
reputasinya; aku punya firasat transaksi yang dilakukan di tempat parkir yang
gelap pasti akan menyinggung perasaannya.
Aku memberi nama Jenks di meja depan dan mattre d' yang berwajah muram
membimbingku ke lantai atas, ke ruangan pribadi kecil lengkap dengan perapian
dari batu yang apinya berderak-derak. Ia mengambil mantel panjang warna gading
yang kupakai untuk menutupi fakta bahwa aku mengenakan apa yang oleh Alice
dianggap sebagai busana yang tepat, dan si maitre d' terkesiap pelan begitu
melihat gaun koktailku yang terbuat dari satin warna putih kerang. Mau tak mau
aku tersanjung juga; aku masih belum terbiasa dianggap cantik oleh setiap orang
selain Edward. Si maitre d' melontarkan pujian terbata-bata sementara ia
meninggalkan ruangan dengan sikap goyah.
Aku berdiri di depan perapian, menunggu, mendekatkan jari-jariku ke api untuk
menghangatkannya sedikit sebelum berjabat tangan nanti. Walaupun jelas J sudah
tahu ada yang tidak biasa dengan keluarga Cullen, tapi tetap saja ini kebiasaan
yang baik untuk dipraktikkan.
Sekilas aku sempat penasaran bagaimana rasanya memasukkan tanganku ke api.
Bagaimana rasanya terbakar...
Kedatangan J mengalihkanku dari pikiran yang tidak-tidak. Si mattre d' juga
mengambil mantelnya, dan terbukti ternyata bukan aku satu-satunya yang berdandan
rapi untuk pertemuan ini,
"Maaf saya terlambat," kata J begitu kami ditinggal berdua saja.
"Tidak, Anda tepat waktu kok"
J mengulurkan tangan, dan kami berjabat tangan. Aku bisa merasakan jari-jarinya
lebih hangat daripada jari-jariku. Namun sepertinya itu tidak membuatnya
terganggu, "Anda tampak memesona, kalau saya boleh lancang mengatakannya, Mrs, Cullen."
"Terima kasih, J. Please, panggil saya Bella."
"Harus saya katakan, sungguh merupakan pengalaman yang berbeda bekerja dengan
Anda dibandingkan dengan Mr. Jasper. Tidak begitu... menegangkan." Ia tersenyum
ragu. "Benarkah" Padahal selama ini saya merasa kehadiran Jasper justru sangat
menenangkan." Alis J bertaut. "Begitu, ya?" gumamnya sopan meski jelas-jelas tidak sependapat
denganku. Aneh sekali. Apa yang telah dilakukan Jasper pada lelaki ini"
"Anda sudah lama kenal Jasper?"
J mendesah, tampak gelisah. "Saya sudah bekerja dengan Mr. Jasper selama lebih
dari dua puluh tahun, dan partner lama saya mengenalnya selama lima belas tahun
sebelumnya... Dia tidak pernah berubah." J meringis sedikit.
"Yeah, Jasper memang sedikit aneh dalam hal itu."
J menggeleng-gelengkan kepala seolah tak dapat mengenyahkan pikiran-pikiran yang
mengganggu. "Silakan duduk, Bella."
"Sebenarnya, saya agak terburu-buru. Saya harus menyetir cukup jauh untuk
pulang." Sambil bicara aku mengeluarkan amplop putih tebal dengan bonus untuknya
dari tas dan menyerahkannya padanya.
"Oh," ucap J, ada sedikit nada kecewa dalam suaranya. Ia memasukkan amplop itu
ke saku dalam jasnya tanpa merasa perlu mengecek jumlahnya. "Padahal saya
berharap kita bisa ngobrol-ngobrol sebentar."
"Tentang?" tanyaku ingin tahu.
"Well, biar saya serahkan dulu barang-barang pesanan Anda. Saya ingin memastikan
Anda puas." Ia berbalik, meletakkan tas kerjanya di meja, lalu membuka kunci-kuncinya. Ia
mengeluarkan amplop besar.
Walaupun tidak tahu apa persisnya yang harus kuteliti, aku melayangkan pandangan
sekilas pada isi amplop. J membalik foto Jacob dan mengubah warnanya sehingga
tidak terlalu kentara bahwa yang tercantum dalam paspor maupun SIM-nya adalah
foto yang sama. Keduanya tampak sempurna di mataku, tapi itu tidak berarti
banyak. Kulirik sekilas foto paspor Vanessa Wolfe, kemudian buru-buru membuang
muka, kerongkonganku tercekat.
"Terima kasih," kataku.
Mata J menyipit sedikit, dan aku merasa ia kecewa aku tidak terlalu cermat
meneliti. "Bisa saya pastikan semua sempurna. Semua pasti akan lolos pemeriksaan
paling ketat oleh ahlinya sekalipun."
"Saya yakin begitu. Saya benar-benar menghargai apa yang sudah Anda lakukan
untuk saya, J." "Sayalah yang senang, Bella. Di masa mendatang jangan segan-segan datang kepada
saya untuk apa saja yang dibutuhkan keluarga Cullen." Ia tidak menyinggungnya
sama sekali, tapi kedengarannya seperti undangan agar aku mengambil alih posisi
Jasper sebagai perantara.
"Tadi kata Anda ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan?"
"Eh, ya. Masalahnya sedikit rumit,.. " Ia melambaikan tangan ke perapian batu
dengan ekspresi bertanya. Aku duduk di pinggir batu, dan ia duduk di sebelahku.
Titik-titik keringat kembali bermunculan di keningnya, ia mengeluarkan
saputangan sutra biru dari saku dan mulai menyeka peluhnya.
"Anda saudari istri Mr. Jasper" Atau menikah dengan saudara lelakinya?" tanya J.
"Menikah dengan saudara lelakinya," aku mengklarifikasi, bertanya-tanya akan
mengarah ke mana pembicaraan ini.
"Kalau begitu, Anda istri Mr. Edward?"
"Benar,"
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
J tersenyum meminta maaf, "Saya sudah sering melihat nama-namanya, Anda
mengerti. Selamat, walaupun terlambat. Senang rasanya Mr, Edward telah menemukan
pasangan yang sangat memesona setelah sekian lama."
"Terima kasih banyak."
J terdiam sejenak, mengusap-usap saputangannya, "Setelah sekian tahun, Anda
tentunya paham saya sangat respek kepada Mr, Jasper dan seluruh keluarganya."
Aku mengangguk hati-hati.
J menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya tanpa bicara. "J, katakan saja
apa yang ingin Anda katakan."
Lagi-lagi ia menghela napas dan bergumam cepat, kata-katanya menyatu hingga
tidak terdengar jelas. "Kalau Anda bisa meyakinkan saya bahwa Anda tidak berencana menculik gadis kecil
itu dari ayahnya, saya pasti bisa tidur nyenyak malam ini."
"Oh," ucapku, terperangah. Butuh waktu satu menit untuk memahami kesimpulan
keliru yang diambilnya. "Oh tidak. Sama sekali tidak seperti itu." Aku tersenyum
lemah, berusaha meyakinkannya. "Saya sekadar menyiapkan tempat yang aman
untuknya, kalau-kalau terjadi sesuatu pada saya dan suami saya."
Mata J menyipit. "Anda memperkirakan akan terjadi sesuatu?" Wajahnya memerah,
lalu ia meminta maaf. "Sebenarnya itu bukan urusan saya."
Aku melihat semburat merah menyebar di balik membran kulitnya yang tipis dan
merasa senang-seperti yang sering kurasakan-bahwa aku bukan vampir baru biasa. J
sepertinya cukup baik, kalau mengesampingkan sisi kriminalnya, jadi akan sungguh
sayang kalau ia dibunuh. "Kita takkan pernah tahu," desahku,
J mengerutkan kening. "Semoga Anda beruntung kalau begitu. Dan saya mohon,
jangan kesal pada saya, my dear, tapi,., kalau Mr. Jasper datang menemui saya
dan bertanya nama apa yang saya cantumkan dalam dokumen-dokumen itu... "
"Tentu saja Anda harus langsung memberitahunya. Saya akan senang sekali bila Mr.
Jasper tahu tentang seluruh transaksi kita."
Sikap sungguh-sungguhku yang tulus sepertinya mampu meredakan sedikit keregangan
J. "Bagus sekali" ujarnya. "Dan saya tetap tidak bisa membujuk Anda untuk makan
malam bersama?" "Maafkan saya, J. Saat ini saya sedang diburu waktu."
"Kalau begitu, sekali lagi, saya doakan Anda tetap sehat dan bahagia. Apa saja
yang dibutuhkan keluarga Cullen, mohon jangan segan-segan menghubungi saya.
Bella." "Terima kasih, J."
Aku pergi dengan membawa barang-barang palsuku, menoleh sekilas dan melihat J
memandangiku, ekspresinya cemas bercampur menyesal.
Perjalanan pulang kutempuh lebih cepat. Malam itu gelap gulita, maka aku
mematikan lampu dan menginjak pedal gas sampai dasar. Sesampai di rumah,
sebagian besar mobil, termasuk Porsche Alice dan Ferrari-ku, tak ada di garasi.
Para vampir tradisional pergi sejauh mungkin untuk memuaskan dahaga. Aku
berusaha tidak memikirkan perburuan mereka di malam hari, meringis membayangkan
korban-korbannya. Hanya Kate dan Garrett yang berada di ruang depan, berdebat sambil bercanda
tentang kandungan nutrisi darah binatang. Aku menduga Garrett mencoba berburu
secara vegetarian tapi merasa itu sulit.
Edward pasti membawa Renesmee pulang ke pondok untuk tidur. Jacob, tak diragukan
lagi, pasti berada di hutan dekat pondok. Seluruh anggota keluargaku yang lain
pasti juga sedang pergi berburu. Mungkin pergi bersama keluarga Denali.
Itu berarti pada dasarnya aku sendirian di rumah, dan aku tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dari penciumanku kentara sekali aku orang pertama yang memasuki kamar Alice dan
Jasper setelah sekian lama, mungkin yang pertama sejak malam mereka meninggalkan
kami. Aku memeriksa lemari mereka tanpa suara sampai menemukan tas yang tepat.
Tas itu pasti milik Alice; ransel kulit hitam kecil, model yang biasa digunakan
sebagai dompet, cukup kecil hingga bahkan Renesmee bisa membawanya tanpa
terlihat aneh. Kemudian aku merampok simpanan uang mereka, membawa dua kali
jumlah pendapatan tahunan rata-rata rumah tangga Amerika. Kurasa pencurianku
takkan begitu kentara di sini ketimbang di bagian lain rumah, karena kamar ini
membuat semua orang sedih. Amplop berisi paspor dan KTP palsu masuk ke tas,
diletakkan di atas tumpukan uang. Kemudian aku duduk di pinggir tempat tidur
Alice dan Jasper, dengan sedih memandangi bungkusan tak berarti yang hanya bisa
kuberikan kepada putri dan sahabatku untuk membantu menyelamatkan hidup mereka.
Aku bersandar lemas di tiang tempat tidur, merasa tak berdaya.
Apa lagi yang bisa kulakukan"
Aku duduk di sana selama beberapa menit dengan kepala tertunduk sebelum ide
gemilang muncul dalam benakku.
Seandainya... Seandainya aku berasumsi Jacob dan Renesmee harus melarikan diri, seharusnya aku
juga berasumsi bahwa Demetri tewas. Dengan demikian, mereka yang selamat
memiliki sedikit ruang untuk bernapas, termasuk Alice dan Jasper.
Kalau begitu, mengapa Alice dan Jasper tak bisa membantu Jacob dan Renesmee"
Kalau mereka bisa dipertemukan kembali, Renesmee akan mendapatkan perlindungan
terbaik yang bisa dibayangkan. Tak ada alasan mengapa ini tidak bisa terjadi,
kecuali fakta bahwa Jake dan Renesmee tidak bisa dilihat Alice. Bagaimana Alice
bisa mulai mencari mereka"
Aku menimbang-nimbang sejenak, kemudian meninggalkan kamar, menyeberangi lorong
menuju kamar suite Carlisle dan Esme. Seperti biasa, meja Esme dipenuhi tumpukan
kertas dan cetak biru, semuanya tersusun rapi dalam tumpukan tinggi. Meja itu
memiliki kotak-kotak kecil di permukaannya; salah satunya kotak berisi kertas
surat. Aku mengambil selembar kertas dan bolpoin.
Kemudian aku memandangi kertas kosong berwarna putih gading itu selama satu
menit penuh, berkonsentrasi pada keputusanku. Alice mungkin tak bisa melihat
Jacob atau Renesmee, tapi ia bisa melihatku. Aku membayangkan ia melihatku saat
ini sepenuh hati berharap ia tidak sedang terlalu sibuk untuk memerhatikan.
Lambat-lambat, dengan sengaja, aku menuliskan kata-kata RIO DE JANEIRO dalam
huruf-huruf besar, memenuhi kertas,
Rio sepertinya tempat terbaik ke mana aku bisa mengirim mereka: letaknya jauh
dari sini, Alice dan Jasper menurut laporan terakhir berada di Amerika Selatan,
dan bukan berarti masalah-masalah lama kami hilang hanya karena kami memiliki
masalah yang lebih besar sekarang. Masa depan Renesmee masih misterius, usianya
yang melaju cepat juga masih menyisakan teror. Sebelumnya kami juga sudah
berencana pergi ke selatan. Sekarang akan menjadi tugas Jacob, dan mudah-mudahan
Alice, untuk mencari legenda-legenda itu.
Aku menunduk lagi, menahan desakan tiba-tiba untuk menangis, mengatupkan gigiku
rapat-rapat. Lebih baik Renesmee melanjutkan hidup tanpaku. Tapi aku sudah
sangat merindukan dia hingga nyaris tak sanggup menahan kesedihanku.
Aku menghela napas dalam-dalam dan memasukkan pesan itu di dasar tas ransel,
tempat Jacob akan menemukannya tak lama lagi.
Aku hanya bisa berharap karena kecil kemungkinan di SMA Jacob ada pelajaran
bahasa Portugis Jake setidaknya mengambil kelas Bahasa Spanyol sebagai mata
pelajaran pilihan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan sekarang kecuali menunggu.
Selama dua hari Edward dan Carlisle bertahan di lapangan tempat Alice melihat
keluarga Volturi datang. Lapangan yang sama tempat vampir-vampir baru Victoria
menyerang kami musim panas lalu. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah rasanya
seperti pengulangan bagi Carlisle, seperti deja vu. Bagiku, semua bakal terasa
baru. Kali ini Edward dan aku akan berdiri bersama keluarga kami.
Kami hanya bisa membayangkan keluarga Volturi akan melacak keberadaan Edward
atau Carlisle. Aku penasaran apakah mereka akan terkejut mendapati buruan mereka
tidak lari. Apakah itu akan membuat mereka waswas" Aku tak bisa membayangkan
keluarga Volturi pernah merasa perlu berhati-hati.
Walaupun aku mudah-mudahan tidak terlihat oleh Demetri, aku tetap bersama
Edward. Tentu saja. Kami hanya punya waktu beberapa jam untuk bersama-sama,
Edward dan aku belum melakukan apa-apa sebagai ucapan selamat tinggal terakhir,
juga tidak merencanakannya. Mengucapkan kata itu akan membuatnya menjadi sesuatu
yang final. Sama seperti mengetikkan kata Tamat di halaman terakhir naskah. Maka
kami pun tidak saling mengucapkan selamat berpisah, dan kami selalu berdekatan,
saling menyentuh. Bagaimanapun hasil akhirnya nanti, kami tetap takkan berpisah.
Kami mendirikan tenda untuk Renesmee beberapa meter ke dalam naungan hutan yang
melindungi. Itu seperti deja vu lagi, mengingat waktu kami berkemah dalam cuaca
dingin bersama Jacob. Hampir tak bisa dipercaya betapa banyaknya yang telah
berubah sejak bulan Juni. Tujuh bulan lalu, hubungan segitiga kami sepertinya
mustahil, tiga hati yang patah tanpa bisa dihindari lagi. Kini semuanya seimbang
dan sempurna. Rasanya sungguh ironis bahwa kepingan-kepingan puzzle itu justru
menyatu tepat pada saat semuanya akan dihancurkan.
Salju mulai turun lagi pada Malam Tahun Baru, Kali ini kepingan-kepingan salju
tidak mencair di tanah lapang yang membatu keras. Sementara Renesmee dan Jacob
tidur Jacob mendengkur sangat keras hingga membuatku heran mengapa Renesmee
tidak terbangun salju mulai membuat lapisan es tipis pertama di tanah, lalu
semakin tebal. Ketika matahari terbit, lengkaplah sudah pemandangan seperti yang
dilihat Alice dalam penglihatannya. Edward dan aku bergandengan tangan, berjalan
melintasi padang putih berkilauan, diam seribu bahasa.
Pagi-pagi sekali yang lain berkumpul, mata mereka memancarkan bukti bisu
mengenai persiapan mereka. Mata mereka sebagian kuning terang, sebagian merah
darah. Tak lama setelah berkumpul kami mendengar para serigala bergerak di dalam
hutan. Jacob muncul dari dalam tenda, meninggalkan Renesmee yang masih tertidur,
untuk bergabung bersama mereka.
Edward dan Carlisle mengatur yang lain-lain dalam formasi longgar, saksi-saksi
kami berdiri di kedua sisi seperti jajaran lukisan di galeri.
Aku menonton dari kejauhan, menunggu di dekat tenda, menjaga Renesmee. Waktu ia
bangun, aku membantunya mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan dengan hati-hati
dua hari sebelumnya. Baju yang terlihat manis dan feminin, tapi cukup praktis
dan tidak gampang kusut-walaupun seandainya si pemakai harus memakainya terus
sambil menunggangi serigala raksasa melintasi beberapa negara bagian. Di atas
jaketnya aku memakaikan ransel kulit hitam berisi dokumen-dokumen itu, uang,
petunjuk, dan surat cintaku untuk Renesmee dan Jacob, Charlie dan Renee.
Renesmee cukup kuat hingga itu bukan beban baginya.
Matanya membelalak lebar waktu ia melihat kesedihan di wajahku. Tapi ia sudah
bisa menerka sendiri sehingga tidak menanyakan apa yang kulakukan.
"Aku sayang padamu," kataku padanya. "Lebih dari segalanya."
"Aku juga sayang Momma," sahut Renesmee. Ia menyentuh loket di lehernya, yang
sekarang berisi foto dirinya, Edward, dan aku. "Kita akan selalu bersama."
"Dalam hati kita, kita akan selalu bersama," aku mengoreksi sambil berbisik
pelan, sepelan embusan napas. "Tapi kalau waktunya tiba hari ini, kau harus
meninggalkan aku." Mata Renesmee membelalak, dan ia menyentuhkan tangannya ke pipiku. Kata tidak
yang ia pikirkan justru terdengar lebih lantang daripada bila ia meneriakkannya.
Susah payah aku berusaha menelan ludah; tenggorokanku seperti membengkak.
"Maukah kau melakukannya untukku" Please?"
Renesmee menempelkan jari-jarinya lebih keras lagi ke wajahku. Mengapa"
"Aku tidak bisa memberitahumu," bisikku. "Tapi kau akan mengerti nanti. Aku
janji." Di benakku, aku melihat wajah Jacob.
Aku mengangguk, lalu menarik jari-jarinya dari wajahku. "Jangan pikirkan itu,"
desahku di telinganya. "Jangan bilang apa-apa pada Jacob sampai aku menyuruhmu
lari, oke?" Ia mengerti. Ia mengangguk.
Dari saku aku mengeluarkan satu detail terakhir.
Ketika sedang mengemasi barang-barang Renesmee, kilauan warna yang tak terduga-
duga tertangkap olehku. Sinar matahari yang menerobos masuk dari atap kaca
mengenai perhiasan yang tersimpan dalam kotak kuno berharga yang kuletakkan
tinggi di atas rak, di sudut yang tidak tersentuh. Aku menimbang-nimbang
beberapa saat, kemudian mengangkat bahu. Setelah membereskan semua petunjuk
untuk Alice, aku tidak bisa berharap konfrontasi yang terjadi nanti akan
berakhir damai. Tapi mengapa tidak mengawali semuanya seramah mungkin" tanyaku
pada diri sendiri. Apa salahnya" Maka kurasa aku pasti masih memiliki segelintir
harapan harapan kecil yang muluk karena aku kemudian menaiki rak itu dan
mengambil hadiah pernikahan yang diberikan Aro untukku.
Sekarang aku mengenakan kalung emas tebal itu di leher dan merasakan berat
berlian besar itu menggelayut di lekukan leherku.
"Cantik" bisik Renesmee. Lalu ia melingkarkan lengannya seperti ular di leherku.
Kudekap ia erat-erat di dada. Dalam posisi berpelukan seperti ini, aku
membawanya keluar dari tenda dan memasuki lapangan.
Edward mengangkat sebelah alis waktu aku mendekat, tapi tidak berkomentar sama
sekali saat melihat Renesmee ataupun aksesori yang kupakai. Ia hanya memeluk
kami lama sekali kemudian, sambil mengembuskan napas dalam-dalam, melepaskan
kami. Aku tidak bisa melihat sorot perpisahan di matanya. Mungkin ia punya
harapan lebih besar akan adanya kehidupan lain setelah kehidupan ini daripada
yang selama ini ia akui. Kami mengambil tempat masing-masing, Renesmee memanjat punggungku dengan lincah
agar tanganku bebas bergerak. Aku berdiri beberapa meter di belakang garis depan
yang terdiri atas Carlisle, Edward, Emmett, Rosalie, Tanya, Kate, dan Eleazar,
Dekat di sampingku adalah Benjamin dan Zafrina; tugasku melindungi mereka selama
mungkin. Mereka senjata penyerang terbaik kami. Bila keluarga Volturi tidak bisa
melihat, bahkan selama beberapa saat, itu akan mengubah segalanya.
Zafrina kaku dan garang, begitu juga Senna yang berdiri di sampingnya. Benjamin
duduk di tanah, telapak tangannya menempel di tanah, dan menggerutu pelan
tentang garis pembatas. Semalam ia menebar batu-batu kecil dalam gundukan yang
terlihat alami tapi yang sekarang tertutup salju di sepanjang padang rumput,
Tidak cukup besar untuk melukai vampir, tapi mudah-mudahan cukup untuk
mengalihkan perhatian. Para saksi bergerombol di samping kiri dan kanan kami, beberapa berdiri lebih
dekat mereka yang telah mendeklarasikan diri kepada kami adalah yang berdiri
paling dekat. Kulihat Siobhan mengurut pelipisnya, matanya terpejam penuh
konsentrasi; apakah ia berusaha menyenangkan hati Carlislei. Berusaha
memvisualisasikan resolusi diplomatik"
Di hutan di belakang kami, serigala-serigala yang tidak kelihatan berdiri diam
dan siap; kami hanya bisa mendengar napas mereka yang berat, serta jantung
mereka yang berdetak. Awan bergulung-gulung, menyebarkan cahaya hingga tak jelas apakah sekarang pagi
atau sore. Mata Edward mengeras saat mengamati pemandangan itu, dan aku yakin ia
juga melihat pemandangan yang sama persis detik ini juga pertama kalinya adalah
dalam penglihatan Alice, Pemandangannya akan sama ketika keluarga Volturi tiba.
Berarti waktunya hanya tinggal beberapa menit atau detik sekarang.
Seluruh anggota keluarga dan sekutu kami mengejang, bersiap-siap.
Dari dalam hutan, serigala besar berbulu cokelat kemerahan maju dan berdiri di
sampingku; pasti sulit sekali baginya berjauhan dengan Renesmee ketika Renesmee
sedang dalam bahaya besar.
Renesmee mengulurkan tangan untuk menyusupkan jari-jarinya ke pundak si serigala
besar, dan tubuhnya sedikit merileks. Ia lebih tenang kalau ada Jacob di
dekatnya. Aku juga ikut merasa sedikit lebih tenang. Selama ada Jacob
bersamanya, Renesmee akan baik-baik saja.
Tanpa mengambil risiko melirik ke belakang, Edward mengulurkan tangannya ke
belakang, kepadaku. Aku mengulurkan tangan ke depan sehingga bisa menggenggam
tangannya. Edward meremas jari-jariku.
Satu menit lagi berlalu, dan aku mendapati diriku membuka telinga lebar-lebar,
berusaha keras mendengar suara orang datang.
Kemudian Edward menegang dan mendesis pelan dari sela-sela giginya yang terkatup
rapat. Matanya menatap tajam ke hutan di sebelah utara tempat kami berdiri.
Kami memandang ke arah yang dilihatnya, dan menunggu sementara detik demi detik
berlalu. 36. HAUS DARAH Mereka datang berarak-arak, begitu anggun.
Formasi mereka kaku dan formal. Mereka bergerak bersama-sama, tapi tidak seperti
sedang berbaris; melainkan mengambang dalam gerakan sinkron dan sempurna dari
balik pepohonan-kesatuan sosok gelap yang tiada putus, seolah mengambang
beberapa sentimeter di atas salju putih, gerakan mereka sangat halus.
Perimeter terluar berwarna abu-abu; semakin ke dalam barisannya semakin gelap,
sampai akhirnya ke jantung formasi yang berwarna paling kelam. Setiap wajah
terlihat tirus, tersaput bayang-bayang. Gesekan pelan kaki mereka begitu teratur
bagaikan musik, ketukan rumit yang tak pernah goyah sedikit pun.
Lewat isyarat yang tak bisa kulihat-atau mungkin memang tak ada isyarat, hanya
hasil latihan berabad-abad-konfigurasi itu melipat ke arah luar. Gerakannya
masih terlalu kaku, kelewat persegi untuk menjadi seperti bunga merekah,
walaupun warnanya memperlihatkan hal itu seperti kipas
terbuka, anggun namun bersegi tajam. Sosok-sosok berjubah abu-abu menyebar ke
sisi kiri dan kanan, sementara sosok-sosok berjubah lebih gelap maju persis di
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah, setiap gerakannya terkendali sangat rapi.
Gerakan mereka lamban tapi pasti, tidak tergesa-gesa, tidak ada ketegangan,
tidak ada kecemasan. Derap langkah pasukan yang tak terkalahkan.
Ini hampir menyerupai mimpi burukku dulu. Satu-satunya yang kurang hanya
ekspresi mengejek penuh kemenangan yang kulihat di wajah-wajah dalam mimpiku-
senyum senang penuh nafsu membalas dendam. Sejauh ini, keluarga Volturi terlalu
disiplin untuk menunjukkan emosi apa pun. Mereka juga tidak menunjukkan ekspresi
kaget ataupun kecewa melihat kumpulan vampir yang menunggu mereka di sini -
kumpulan yang tiba-tiba saja terlihat berantakan dan tidak siap bila
dibandingkan rombongan mereka. Mereka juga tidak menunjukkan tanda-tanda kaget
melihat serigala raksasa berdiri di tengah-tengah kami.
Aku tak tahan untuk tidak menghitung. Mereka berjumlah 32. Meski tidak
menghitung dua sosok berjubah hitam yang berdiri agak jauh dan menyendiri di
barisan paling belakang, yang dugaanku adalah para istri-posisi mereka yang
terlindungi mengisyaratkan mereka takkan terlibat dalam penyerangan -jumlah kami
tetap kalah banyak. Hanya bersembilan belas dari kami yang akan bertempur, dan
tujuh yang akaN menonton saat kami dihancurkan. Bahkan dengan tambahan sepuluh
serigala, kami tetap kalah.
"Pasukan berjubah merah datang, pasukan berjubah merah datang," gumam Garrett
misterius pada dirinya sendiri, kemudian terkekeh. Ia bergeser selangkah lebih
dekat pada Kate. "Mereka benar-benar datang," bisik Vladimir pada Stefan.
"Istri-istri juga," Stefan balas mendesis. "Seluruh pengawal. Mereka semua bersama-sama. Bagus
juga kita tidak mencoba menyerang ke Volterra."
Kemudian, seakan-akan jumlah mereka belum cukup, sementara keluarga Volturi
perlahan-lahan maju dengan anggun, lebih banyak lagi vampir memasuki lapangan di
belakang mereka. Wajah-wajah dalam barisan panjang vampir yang terus berdatangan dan seolah tak
putus-putus itu merupakan antitesis kedisiplinan keluarga Volturi yang tanpa
ekspresi'-wajah mereka merupakan kaleidoskop emosi yang bermacam-macam. Awalnya
mereka terlihat shock dan beberapa bahkan cemas begitu melihat kekuatan tak
terduga yang menunggu. Tapi kecemasan itu dengan cepat langsung lenyap; mereka
merasa aman karena jumlah mereka yang sangat besar, aman dalam posisi mereka di
belakang pasukan Volturi yang tak terhentikan. Air muka mereka kembali ke
ekspresi yang mereka tunjukkan ketika kami membuat mereka terkejut tadi.
Cukup mudah memahami jalan pikiran mereka-wajah-wajah itu cukup eksplisit. Ini
rombongan yang marah, dilecut nafsu untuk menuntut keadilan. Aku tak sepenuhnya
menyadari perasaan dunia vampir terhadap anak-anak imortal sebelum aku membaca
wajah mereka. Jelas sekali rombongan yang tak beraturan ini-jumlahnya lebih dari empat puluh
vampir-adalah para saksi dari pihak keluarga Volturi. Kalau kami sudah mati
nanti, mereka akan menyebarkan berita bahwa para kriminal telah dilenyapkan,
bahwa keluarga Volturi telah bertindak tegas, tanpa memihak sama sekali.
Sebagian besar terlihat seperti mengharapkan lebih dari sekadar kesempatan
menyaksikan -mereka ingin membantu mencabik-cabik dan membakar.
Kami tak punya doa apa pun. Walaupun kami berhasil menetralisir serangan
keluarga Volturi, entah bagaimana caranya, saksi-saksi itu masih bisa mengubur
kami. Walaupun seandainya kami bisa membunuh Demetri, Jacob pasti takkan mampu
lari dari kejaran mereka.
Aku bisa merasakannya saat pemahaman yang sama meresap dalam pikiran semua
vampir di sekelilingku. Perasaan putus asa menggayut di udara, mendorongku ke
bawah dengan tekanan yang lebih besar daripada sebelumnya.
Satu vampir di pasukan lawan sepertinya tidak tergabung dalam pasukan mana pun;
aku mengenali Irina ketika ia berdiri ragu di antara kedua pasukan, ekspresinya
unik. Sorot ngerinya tertuju pada posisi Tanya di barisan depan. Edward
menggeram, suaranya sangat pelan tapi garang.
"Alistair benar," bisik Edward pada Carlisle.
Kulihat Carlisle melirik Edward dengan sikap bertanya.
"Alistair benar?" bisik Tanya.
"Mereka Caius dan Aro datang untuk menghancurkan dan menguasai," Edward
mengembuskan napas hampir tanpa suara; hanya bagian kami yang bisa mendengar.
"Mereka sudah menyiapkan banyak sekali strategi. Bila tuduhan Irina ternyata
tidak benar, mereka sudah bertekad mencari alasan lain untuk menyerang. Tapi
mereka bisa melihat Renesmee sekarang, jadi mereka sangat optimis tentang tujuan
mereka. Kita masih bisa berusaha membela diri dari tuduhan-tuduhan lain yang
sudah mereka rencanakan, tapi pertama-tama mereka harus berhenti dulu,
mendengarkan yang sebenarnya tentang Renesmee." Kemudian, suaranya semakin
pelan. "Mereka sebenarnya tidak berniat melakukan itu."
Jacob mengeluarkan dengusan kecil yang aneh.
Kemudian, tanpa diduga-duga, dua detik kemudian, prosesi itu benar-benar
berhenti. Alunan pelan musik yang mengiringi gerakan yang tertata tapi itu
mendadak berhenti. Barisan sangat disiplin itu tetap tak terpatahkan; keluarga
Volturi membeku dalam keheningan sebagai satu kesatuan. Mereka berdiri kira-kira
sembilan puluh meter dari kami.
Di belakangku, di semua sisi, aku mendengar degup jantung, lebih dekat daripada
sebelumnya. Aku mencuri pandang ke kiri dan ke kanan, melirik dari sudut mataku
untuk melihat apa yang membuat keluarga Volturi berhenti bergerak.
Serigala-serigala itu datang bergabung.
Di kedua sisi barisan kami yang tidak beraturan, serigala-serigala itu terbagi
dua, membentuk lengan yang panjang dan memagari. Sekilas aku sempat memerhatikan
jumlahnya lebih dari sepuluh, mengenali beberapa yang kukenal dan beberapa yang
tidak pernah kulihat sebelumnya. Seluruhnya ada enam belas serigala, berdiri
dalam jarak yang sama mengitari kami-totalnya tujuh belas, termasuk Jacob.
Kentara sekali dari tinggi badan dan ukuran telapak kaki mereka yang sangat
besar bahwa para pendatang baru itu masih amat sangat muda. Kurasa seharusnya
aku sudah bisa menduga hal ini. Dengan begitu banyaknya vampir berkemah di
sekitar kawasan ini, ledakan populasi werewolf tentu tak dapat dihindari.
Lebih banyak anak yang mati. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa Sam
mengizinkan ini terjadi, kemudian sadarlah aku bahwa ia tidak punya pilihan
lain. Bila satu saja serigala membela kami, keluarga Volturi pasti akan mencari
sisanya. Mereka mempertaruhkan seluruh spesies mereka dalam pertarungan ini.
Padahal kami akan kalah. Tiba-tiba aku marah sekali. Lebih dari marah, aku murka.
Perasaan putus asa dan tak berdaya yang kurasakan lenyap seluruhnya. Kilau
kemerahan samar terpancar dari sosok-sosok gelap di depanku, dan yang kuinginkan
saat itu hanya kesempatan untuk membenamkan gigi-gigiku ke sosok-sosok itu,
mengoyak tangan dan kaki mereka, lalu menumpuknya untuk dibakar. Begitu marahnya
aku hingga sanggup rasanya aku menari-nari mengitari api unggun sementara mereka
terpanggang hidup-hidup; aku akan tertawa sementara abu mereka membara. Bibirku
tertarik ke belakang, dan geraman rendah yang buas terlontar dari
kerongkonganku, keluar jauh dari dasar perut. Sadarlah aku sudut-sudut mulutku
terangkat, membentuk senyuman.
Di sebelahku, Zafrina dan Senna menggemakan geraman pelanku. Edward meremas
tangan yang masih digenggamnya, mengingatkanku.
Wajah-wajah berbayang keluarga Volturi sebagian besar masih tanpa ekspresi.
Hanya dua pasang mata yang menunjukkan emosi. Di bagian tengah, Aro dan Caius
berhenti unruk mengevaluasi, dan seluruh pengawal ikut berhenti bersama mereka,
menunggu perintah untuk membunuh. Mereka tidak saling melirik, namun jelas
keduanya saling berkomunikasi. Marcus, meski menyentuh tangan Aro yang lain,
sepertinya tidak terlibat dalam perbincangan itu. Ekspresinya tidak segarang
para pengawal, tapi nyaris sama kosongnya. Seperti ketika aku bertemu dengannya
waktu itu, ia terlihat sangat bosan.
Sosok para saksi keluarga Volturi condong ke arah kami, mata mereka tertuju
garang pada Renesmee dan aku, tapi mereka bertahan di tepi hutan, memberi jarak
yang cukup lebar antara mereka dan para pengawal Volturi. Hanya Irina yang
berada dekat di belakang keluarga Volturi, hanya beberapa langkah dari para
wanita kuno keduanya berambut pirang dengan kulit transparan dan mata berkabut
serta dua pengawalnya yang berbadan besar.
Ada seorang wanita di belakang Aro yang mengenakan jubah abu-abu gelap. Meski
tak bisa memastikan, tapi kelihatannya ia menyentuh bahu Aro. Inikah Renata, si
perisai lain itu" Aku penasaran, seperti halnya Eleazar, apakah ia bisa menolak
aku. Tapi aku takkan menyia-nyiakan hidup dengan berusaha menyerang Caius dan Aro.
Aku punya target-target vital lain.
Aku mencari-cari di antara barisan itu dan tidak kesulitan menemukan dua sosok
mungil berjubah abu-abu gelap yang berdiri agak ke tengah. Alec dan Jane,
anggota pengawal terkecil, berdiri tepat di samping Marcus, dan diapit Demetri
di sisi lain. Wajah mereka yang cantik tak menunjukkan ekspresi apa pun; mereka
mengenakan jubah tergelap setelah jubah hitam pekat yang dikenakan para tetua.
Si penyihir kembar, begitu Vladimir menyebut mereka. Kekuatan mereka merupakan
senjata pamungkas keluarga Volturi. Permata dalam koleksi Aro.
Otot-ototku menegang, dan racun terkumpul dalam mulutku.
Mata Aro dan Caius yang merah dan berkabut berkelebat menyapu barisan kami. Aku
membaca kekecewaan di wajah Aro saat tatapannya menyapu wajah kami berulang
kali, mencari vampir yang hilang. Kekecewaan membuat bibirnya menegang.
Saat itulah, aku merasa sangat bersyukur Alice telah kabur. Saat suasana sunyi
terus berlanjut, kudengar desah napas Edward memburu.
"Edward?" tanya Carlisle, pelan dan cemas.
"Mereka tidak tahu bagaimana memulainya. Mereka sedang menimbang-nimbang
berbagai opsi, memilih target-target kunci aku tentu saja, kau, Eleazar, Tanya.
Marcus membaca kekuatan hubungan kita satu sama lain, mencari titik-titik lemah.
Kehadiran kalompok Rumania membuat mereka kesal. Mereka juga khawatir melihat
wajah-wajah yang tidak mereka kenal Zafrina dan Senna terutama, serta para
serigala sudah pasti. Sebelumnya mereka tak pernah kalah jumlah."
"Kalah jumlah?" bisik Tanya dengan sikap tak percaya.
"Mereka tidak menghitung saksi-saksi mereka," desah Edward. "Mereka bukan siapa-
siapa, tidak berarti apa-apa bagi para pengawal, Aro hanya senang kalau ada yang
menonton." "Apakah sebaiknya aku berbicara?" tanya Carlisle,
Edward ragu-ragu, kemudian mengangguk. "Ini satu-satunya kesempatan yang akan
kauperoleh," Carlisle menegakkan bahu dan maju beberapa langkah ke depan garis pertahanan
kami. Aku tidak suka melihatnya sendirian, tak terlindung.
Carlisle membentangkan kedua lengannya, telapak tangan mengarah ke atas seperti
menyapa. "Aro, teman lamaku. Sudah berabad-abad kita tidak bertemu."
Lapangan putih itu sunyi senyap beberapa saat. Aku bisa merasakan ketegangan
bergulung-gulung keluar dari tubuh Edward sementara ia mendengarkan penilaian
Aro terhadap kata-kata Carlisle, Ketegangan semakin memuncak sementara detik
demi detik terus berjalan.
Kemudian Aro melangkah maju dari tengah-tengah formasi keluarga Volturi.
Perisainya, Renata, ikut bergerak bersamanya, seakan-akan ujung-ujung jari
Renata terjahit ke jubah Aro.
Untuk pertama kali barisan Volturi bereaksi. Geraman pelan bergaung di Seantero
barisan, alis-alis bertaut membentuk seringaian, bibir tertarik ke belakang,
memunculkan sederet gigi. Beberapa pengawal membungkuk, siap menerjang.
Aro mengangkat satu tangan ke arah mereka. "Damai."
Ia berjalan beberapa langkah lagi, kemudian menelengkan kepala. Matanya yang
berkabut berkilau penuh rasa ingin tahu,
"Kata-kata yang manis, Carlisle," desahnya, suaranya tipis dan lemah. "Walaupun
tidak pada tempatnya, mengingat pasukan yang kauhimpun untuk membunuhku, dan
membunuh orang-orang kesayanganku."
Carlisle menggeleng dan mengulurkan tangan kanannya, seolah-olah mereka tak
terpisahkan oleh jarak yang kira-kira masih sembilan puluh meter lagi. "Kau
tinggal menyentuh tanganku untuk tahu bahwa aku tak pernah bermaksud seperti
itu" Mata licik Aro menyipit. "Tapi apa gunanya niatmu itu, dear Carlisle, mengingat
apa yang telah kaulakukan?" Ia mengerutkan kening, dan bayang kesedihan melintas
di wajahnya entah itu tulus atau tidak, aku tak tahu.
"Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa yang bisa menyebabkan kau datang
menghukumku." "Kalau begitu menyingkirlah dan biarkan kami menghukum mereka yang bertanggung
jawab. Sungguh, Carlisle, tak ada yang lebih menyenangkanku selain menyelamatkan
hidupmu hari ini," "Tak ada yang melanggar hukum, Aro. Izinkan aku menjelaskan." Lagi-lagi,
Carlisle mengulurkan tangan.
Belum lagi Aro bisa menjawab, Caius maju dengan cepat ke sisi Aro.
"Begitu banyak aturan tak berguna, begitu banyak bukum tidak perlu yang
kauciptakan untuk dirimu sendiri, Carlisle," desis vampir kuno berambut putih
itu. "Bagaimana mungkin kau membela pelanggaran SATU hukum yang benar-benar
penting?" "Tidak ada hukum yang dilanggar. Kalau kalian mau mendengarkan... "
"Kami melihat anak itu, Carlisle," geram Caius. "Jangan perlakukan kami seperti
orang-orang tolol." "Dia bukan anak imortal. Dia bukan vampir. Aku bisa dengan mudah membuktikan hal
ini dalam beberapa saat... "
Caius langsung memotongnya. "Kalau benar dia bukan bocah terlarang, lantas
mengapa kau menghimpun satu batalion untuk melindunginya?"
"Saksi-saksi, Caius, seperti yang kalian bawa," Carlisle melambaikan tangan ke
gerombolan beringas di pinggir hutan; sebagian di antara mereka merespons dengan
menggeram. "Siapa pun di antara teman-teman ini bisa menjelaskan hal sebenarnya
tentang anak ini. Atau lihat saja anak itu, Caius. Lihat semburat merah darah di
pipinya" "Tipuan!" bentak Caius. "Mana informannya" Suruh dia maju!" Ia menjulurkan leher
panjang-panjang sampai melihat Irina berdiri di belakang para istri. "Kau!
Kemari!" Irina memandangi Caius dengan sikap tak mengerti, wajahnya seperti orang yang
belum sepenuhnya terbangun dari mimpi buruk yang mengerikan. Tidak sabar, Caius
menjentikkan jari-jarinya. Salah seorang pengawal para istri yang bertubuh besar
mendekati Irina dan menyenggol punggungnya dengan kasar. Irina mengerjapkan mata
dua kali, kemudian berjalan lambat-lambat menghampiri Caius dengan sikap
linglung. Ia berhenti beberapa meter jauhnya, matanya masih tertuju pada
saudari-saudarinya. Caius mendekati Irina dan menampar wajahnya.
Tamparan itu pasti tidak sakit, namun tindakan itu sangat merendahkan. Seperti
melihat orang menendang anjing. Tanya dan Kate mendesis berbarengan.
Tubuh Irina mengejang kaku dan matanya akhirnya terfokus pada Caius. Ia
menudingkan jarinya yang berkuku tajam pada Renesmee, yang bergayut di
punggungku, jari-jarinya masih mencengkeram bulu Jacob, Caius berubah warna
menjadi merah sepenuhnya dalam pandangan mataku yang penuh amarah. Geraman
menyeruak dari dada Jacob.
"Inikah anak yang waktu itu kaulihat?" tuntut Caius, "Anak yang jelas-jelas
lebih dari manusia?"
Irina menyipitkan mata pada kami, mengamati Renesmee untuk pertama kali sejak
memasuki lapangan. Kepalanya ditelengkan ke satu sisi, ekspresi bingung menghias
wajahnya. "Well" geram Caius.
"Aku.. aku tidak yakin," jawab Irina, nadanya terperangah.
Tangan Caius bergerak-gerak seolah gatal ingin menampar Irina lagi, "Apa
maksudmu?" tanyanya, suaranya berbisik dingin.
"Dia tidak sama, tapi kurasa dialah anak itu. Maksudku, dia sudah berubah. Anak
ini lebih besar daripada yang waktu itu kulihat, tapi,.. "
Sentakan marah Caius terlontar dari sela-sela giginya yang mendadak menyeringai,
dan Irina langsung berhenti bicara tanpa menyelesaikan kalimatnya. Aro buru-buru
mendatangi Caius dan meletakkan tangan di pundaknya dengan sikap menahan.
"Tenanglah, brother, Kita punya waktu untuk membereskannya. Tak perlu buru-
buru." Dengan ekspresi masam, Caius memunggungi Irina.
"Sekarang, Manis" kata Aro dengan suara bergumam hangat dan semanis madu.
"Tunjukkan padaku apa yang ingin kausampaikan." Ia mengulurkan tangannya pada
vampir yang kebingungan itu.
Ragu-ragu, Irina meraih tangan Aro. Aro memegangi tangannya selama lima
detik. "Kaulihat kan, Caius?" ujar Aro. "Sederhana saja mendapatkan apa yang kita
butuhkan." Caius tidak menyahut. Dari sudut mata Aro melirik para penontonnya,
gerombolannya, kemudian berbalik menghadapi Carlisle.
"Kalau begitu sepertinya kita menghadapi sedikit misteri. Kelihatannya anak itu
sudah bertumbuh. Namun ingatan pertama Irina jelas tentang anak imortal. Membuat
penasaran." "Itulah yang berusaha kujelaskan," kata Carlisle, dan dari perubahan suaranya,
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku bisa menebak kelegaannya. Inilah jeda yang menjadi tumpuan harapan kami
semua. Aku sama sekali tidak merasa lega. Aku menunggu, nyaris lumpuh oleh amarah,
menunggu berbagai strategi yang dikatakan Edward tadi.
Lagi-lagi Carlisle mengulurkan tangan.
Aro ragu-ragu sesaat. "Aku lebih suka mendapat penjelasan dari seseorang yang
memegang peranan lebih sentral dalam cerita ini, sobatku. Kelirukah aku
berasumsi bahwa pelanggaran ini bukan hasil perbuatanmu?"
"Tidak ada pelanggaran apa-apa."
"Terserah bagaimana kau menyebutnya, pokoknya aku akan mendapatkan setiap sisi
kebenaran" Suara tipis Aro mengeras.
"Dan cara terbaik mendapatkannya adalah mendapat buktinya langsung dari putramu
yang berbakat." Ia menelengkan kepala ke arah Edward. "Dan karena anak itu
bergayut di punggung pasangannya, aku berasumsi Edward terlibat dalam hal ini."
Tentu saja ia menginginkan Edward. Begitu ia bisa melihat isi kepala Edward, ia
akan mengetahui semua pikiran kami. Kecuali pikiranku.
Edward menoleh cepat untuk mencium keningku dan kening Renesmee, tanpa menatap
mataku. Lalu ia berjalan melintasi lapangan bersalju, meremas bahu Carlisle
waktu lewat. Aku mendengar rintihan pelan dari belakangku-ketakutan Esme tak
tertahankan lagi. Kabut merah yang kulihat di sekeliling pasukan Volturi berkobar lebih terang
daripada sebelumnya. Aku tak sanggup menyaksikan Edward berjalan melintasi ruang
putih kosong itu sendirian tapi aku juga tak sanggup membawa Renesmee selangkah
lebih dekat ke musuh-musuh kami. Kebutuhan yang saling bertentangan itu seakan
membelah hatiku; aku membeku begitu kaku hingga rasanya tulang-tulangku bakal
remuk saking kuatnya tekanan yang kurasakan.
Aku melihat Jane tersenyum saat Edward berjalan melintasi batas tengah di antara
kami. Kini ia lebih dekat kepada mereka dibandingkan kepada kami.
Senyum kecil penuh kemenangan itulah pemicunya. Amarahku memuncak, bahkan lebih
besar daripada kemurkaan yang kurasakan saat para serigala berkomitmen membela
kami dalam pertempuran celaka ini. Aku bisa merasakan amarah itu di lidahku aku
merasakannya mengalir ke sekujur tubuhku bagaikan gelombang pasang kekuatan
murni. Otot-ototku mengejang, dan aku langsung bertindak. Dengan segenap
kekuatan pikiran, kulemparkan perisaiku, kulontarkan ke tengah padang luas
sepuluh kali jarak terjauhku bagaikan lembing. Napasku menghambur keluar dengan
suara mendesis saking kuatnya lontaran yang kulakukan.
Perisai itu melejit dariku dalam naungan energi yang sangat kuat, baja cair yang
bentuknya menyerupai awan jamur. Kekuatan itu berdenyut-denyut seperti makhluk
hidup aku bisa merasakannya, dari puncak hingga ke pinggir.
Bahan elastis itu kini tidak tertarik kembali; dalam serbuan kekuatan instan
tadi, kulihat bahwa tarikan kembali yang kurasakan sebelumnya adalah hasil
perbuatanku sendiri ternyata selama ini aku berpegang erat pada bagian diriku
yang tidak terlihat itu sebagai bentuk pertahanan diri, secara tak sadar tidak
rela melepaskannya. Sekarang aku membebaskannya, dan perisaiku meledak dengan
mudahnya sejauh 45 meter dariku, dengan hanya menyita sedikit konsentrasiku. Aku
bisa merasakannya meregang seperti orot, patuh pada kemauanku. Aku mendorongnya,
membentuknya menjadi panjang dan oval yang lancip. Segala sesuatu di bawah
perisai elastis itu tiba-tiba menjadi bagian diriku aku bisa merasakan kekuatan
hidup segala sesuatu yang dilingkupinya bagaikan titik-titik panas cemerlang,
percikan bunga api terang benderang yang mengelilingiku. Kudorong perisai itu
lebih maju lagi di sepanjang lapangan, dan mengembuskan napas lega waktu
merasakan cahaya terang Edward dalam perlindunganku. Aku menahannya di sana,
meregangkan otot baru ini sehingga ia melingkupi Edward, lapisan tipis tapi tak
bisa ditembus yang membatasi tubuhnya dengan musuh-musuh kami.
Satu detik belum lagi berlalu. Edward masih berjalan menghampiri Aro. Segalanya
telah berubah, tapi tak ada yang menyadari ledakan itu kecuali aku. Tawa
terkejut berkumandang dari bibirku. Aku merasa yang lain melirikku dan melihat
mata hitam Jacob yang besar bergulir memandangiku seolah-olah aku sudah sinting,
Edward berhenti beberapa langkah dari Aro, dan dengan kecewa aku sadar bahwa
walaupun bisa, aku seharusnya tidak menghalangi ini terjadi. Inilah inti semua
persiapan kami: membuat Aro mau mendengar cerita dari sisi kami. Nyaris
menyakitkan rasanya melakukan hal itu, tapi dengan enggan kutarik kembali
perisaiku dan kubiarkan Edward terekspos lagi. Keinginan untuk tertawa itu
lenyap. Aku fokus sepenuhnya pada Edward, siap menamenginya begitu terjadi
sesuatu. Dagu Edward terangkat dengan sikap arogan, dan ia mengulurkan tangan pada Aro
seolah-olah itu kehormatan besar. Aro tampak sangat senang melihat sikapnya,
tapi tidak semuanya ikut merasa senang. Renata bergerak-gerak gugup dalam
bayang-bayang Aro, Caius begitu cemberut hingga kulitnya yang setipis kertas dan
transparan terlihat seperti berkerut permanen. Si kecil Jane memamerkan giginya,
dan di sampingnya mata Alec menyipit penuh konsentrasi. Kurasa ia sudah siap,
seperti aku, untuk bertindak dalam tempo sedetik.
Aro langsung mendatangi Edward tanpa berpikir dua kali dan memang, apa yang
perlu ia takutkan" Bayang-bayang besar sosok berselubung jubah abu-abu para
petarung berperawakan tegap seperti Felix berdiri hanya beberapa meter darinya,
Jane dan kemampuannya yang bisa membakar sanggup melempar Edward ke tanah,
menggeliat-geliat kesakitan. Alec mampu membutakan dan menulikan Edward sebelum
ia sempat maju satu langkah saja menghampiri Aro. Tak ada yang tahu aku memiliki
kemampuan menghentikan mereka, bahkan Edward sendiri pun tidak.
Sambil tersenyum tenang, Aro meraih tangan Edwatd.
Matanya langsung terpejam, kemudian bahunya tertekuk ke depan, menahan gempuran
informasi. Setiap pikiran rahasia, setiap strategi, setiap pandangan segala sesuatu yang
didengar Edward dalam pikiran-pikiran di sekelilingnya selama satu bulan
terakhir sekarang jadi milik Aro. Dan jauh lebih ke belakang lagi setiap visi
Alice, setiap momen tenang bersama keluarga kami, setiap gambar dalam pikiran
Renesmee, setiap ciuman, setiap sentuhan antara Edward dan aku... semua itu juga
menjadi milik Aro. Aku mendesis frustrasi, dan perisai itu bergolak karena ke-jengkelanku, berubah
bentuk dan berkontraksi di sekeliling kami.
"Tenang, Bella," bisik Zafrina. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat.
Aro terus berkonsentrasi pada pikiran-pikiran Edward. Kepala Edward tertunduk,
otot-otot lehernya mengunci rapat sementara ia membaca kembali semua yang
diambil Aro darinya, dan respons Aro terhadap semua itu.
Pembicaraan dua arah tapi tak seimbang ini berlangsung cukup lama hingga para
pengawal mulai gelisah. Gumaman rendah menjalar sepanjang barisan sampai Caius
menyerukan perintah tajam untuk diam. Jane beringsut maju seperti tak sanggup
menahan diri, dan wajah Renata kaku oleh perasaan tegang. Sesaat aku mengamati
perisai kuat yang sepertinya nyaris panik dan lemah itu; walaupun ia berguna
bagi Aro, kentara sekali ia bukan prajurit. Tugasnya bukan bertempur, tapi
melindungi. Tak ada nafsu haus darah dalam dirinya. Meski masih hijau, aku tahu
bila berhadapan dengannya, aku pasti sanggup mengenyahkannya.
Aku kembali fokus ketika Aro menegakkan badan, matanya terbuka, sorot matanya
takjub bercampur kecut. Ia tidak melepaskan tangan Edward.
Otot-otot Edward sedikit mengendur.
"Kaulihat sendiri, kan?" tanya Edward, suara beledunya kalem.
"Ya, aku melihatnya, benar," Aro sependapat, dan yang menakjubkan, ia nyaris
terdengar geli. "Aku ragu apakah ada di antara dewa ataupun kaum fana pernah
melihat dengan begitu jelasnya."
Wajah-wajah disiplin para pengawal menunjukkan sikap tak percaya yang sama
seperti yang kurasakan. "Kau memberiku banyak hal untuk dipikirkan, Sobat Muda," sambung Aro. "Jauh
lebih banyak dari yang kuduga." Meski begitu ia tidak melepaskan tangan Edward,
dan sikap Edward yang tegang menunjukkan ia mendengarkan.
Edward tidak menjawab. "Bolehkah aku bertemu dengannya?" tanya Aro hampir memohon dengan semangat
ketertarikan yang tiba-tiba muncul. "Tak pernah terbayangkan olehku keberadaan
makhluk semacam itu selama sekian abad hidupku. Sungguh merupakan tambahan yang
hebat bagi sejarah kita!"
"Apa-apaan ini, Aro?" bentak Caius sebelum Edward bisa menjawab. Pertanyaan itu
saja sudah membuatku menarik Renesmee ke dalam dekapanku, menggendongnya dengan
sikap protektif di dadaku.
"Sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehmu, sobatku yang praktis. Ambil waktu
sebentar untuk mempertimbangkan, karena keadilan yang tadinya ingin kita
tegakkan ternyata tak berlaku lagi."
Caius mendesis kaget mendengar kata-kata Aro.
"Damai, brother" Aro mewanti-wanti dengan nada menenangkan.
Seharusnya ini kabar baik kata-kata yang selama ini kami harapkan, penangguhan
hukuman yang tidak pernah benar-benar kami duga mungkin terjadi. Aro
mendengarkan kebenaran. Aro mengakui tidak terjadi pelanggaran hukum.
Tapi mataku terpaku pada Edward, dan kulihat otot-otot punggungnya menegang. Aku
memutar kembali dalam ingatanku instruksi Aro kepada Caius untuk
mempertimbangkan, dan mendengar makna ganda di dalamnya.
"Maukah kau memperkenalkanku pada putrimu?" tanya Aro lagi kepada Edward.
Caius bukan satu-satunya yang mendesis mendengar istilah baru itu.
Edward mengangguk enggan. Namun Renesmee sudah berhasil merebut hati banyak
orang. Aro sepertinya selalu menjadi pemimpin dari para tetua. Bila ia berpihak
pada kami, bisakah yang lain-lain melawan kami"
Aro masih mencengkeram tangan Edward, dan sekarang ia menjawab pertanyaan yang
tak bisa didengar kami semua,
"Kurasa kompromi pada titik ini jelas bisa diterima, mengingat situasinya. Kita
akan bertemu di tengah-tengah."
Aro melepas tangan Edward. Edward berbalik ke arah kami, dan Aro bergabung
dengannya, melingkarkan sebelah tangan dengan santai ke bahu Edward, seolah-olah
mereka bersahabat karib selama itu tetap bersentuhan dengan kulit Edward. Mereka
mulai berjalan melintasi lapangan menuju sisi kami.
Seluruh pengawal ikut bergerak di belakangnya. Aro mengangkat tangan dengan
sikap sembrono tanpa memandang mereka.
"Tahan, teman-teman kesayanganku. Sungguh, mereka tidak akan mencederai kita
bila kita bermaksud baik pada mereka,"
Pengawal merespons perintah itu secara lebih terbuka daripada sebelumnya, dengan
geraman dan desisan protes, tapi tetap bertahan pada posisi masing-masing.
Renata, yang semakin merapat pada Aro daripada yang sudah-sudah, merintih-rintih
cemas. "Tuan," bisiknya.
"Jangan cemas, sayangku," sahut Aro. "Semua beres"
"Mungkin sebaiknya kaubawa saja beberapa pengawalmu bersama kita," Edward
menyarankan. "Itu akan membuat mereka merasa lebih nyaman."
Aro mengangguk, seolah-olah ini pandangan bijak yang seharusnya terpikirkan
sendiri olehnya. Ia menjentikkan jarinya dua kali. "Felix, Demetri."
Kedua vampir itu langsung berada di sampingnya, terlihat sama persis seperti
waktu aku terakhir kali bertemu mereka. Keduanya bertubuh tinggi dan berambut
gelap, Demetri keras dan langsing seperti pedang, Felix gempal dan menyeramkan
seperti gada berpaku besi.
Mereka berlima berhenti tepat di tengah-tengah lapangan bersalju.
"Bella," seru Edward. "Bawa Renesmee... dan beberapa teman."
Aku menarik napas dalam-dalam. Tubuhku mengejang akibat sikap melawan. Bayangan
membawa Renesmee ke tengah medan konflik... Tapi aku percaya pada Edward. Ia
pasti tahu bila Aro merencanakan pengkhianatan pada tahap ini.
Aro memiliki tiga pelindung di sisinya untuk pertemuan puncak ini, jadi aku akan
membawa dua pelindung. Hanya butuh waktu satu detik bagiku untuk memutuskan.
"Jacob" Emmett?" pintaku pelan. Emmett, karena ia gatal ingin ikut. Jacob,
karena ia takkan tahan ditinggal.
Keduanya mengangguk. Emmett menyeringai.
Aku berjalan melintasi lapangan dengan mereka mengapitku. Aku mendengar geraman
para pengawal begitu mereka melihat pilihanku-jelas, mereka tidak percaya pada
werewolf. Aro mengangkat tangan, mengabaikan protes mereka lagi.
"Menarik juga teman-temanmu," gumam Demetri pada Edward.
Edward tidak menyahut, tapi geraman pelan terlontar dari sela-sela gigi Jacob.
Kami berhenti beberapa meter dari Aro. Edward merunduk di bawah lengan Aro dan
dengan cepat bergabung dengan kami, meraih tanganku.
Sesaat kami berhadapan sambil berdiam diti. Kemudian Felix menyapaku dengan
suara pelan. "Halo lagi, Bella." Ia menyeringai angkuh sambil terus menilai gerak-gerik Jacob
dari sudut matanya. Aku tersenyum kecut pada vampir raksasa itu. "Hei, Felix."
Felix terkekeh. "Kau kelihatan cantik. Ternyata kau pantas jadi imortal."
"Terima kasih banyak."
"Terima kasih kembali. Sayang... "
Felix tidak menyelesaikan komentarnya, tapi aku tidak butuh kemampuan seperti
Edward untuk bisa membayangkan akhirnya. Sayang sebentar lagi kami harus
membunuhmu. "Ya, sayang sekali, bukan?"
Felix mengedipkan mata. Aro tidak menggubris percakapan kami. Ia menelengkan kepala, terpesona. "Aku
mendengar jantungnya yang aneh," gumamnya dengan suara yang nyaris seperti
mengalun. "Aku mencium baunya yang aneh." Lalu matanya yang berkabut beralih
memandangiku. "Sejujurnya, Bella, kau benar-benar terlihat luar biasa menawan
sebagai imortal," ia memuji. "Seolah-olah kau memang dirancang untuk kehidupan
ini." Aku mengangguk, menanggapi pujiannya.
"Kau suka hadiahku?" tanyanya, mengamati bandul yang kukenakan.
"Hadiah yang cantik, dan Anda sangat, sangat murah hati. Terima kasih. Mungkin
seharusnya aku mengirim ucapan terima kasih."
Aro tertawa senang. "Ah, itu hanya benda kecil yang selama ini tetgeletak begitu
saja. Kupikir mungkin itu cocok dengan wajah barumu, dan ternyata benar."
Aku mendengar desisan kecil dari tengah-tengah barisan Volturi. Aku melihat ke
balik bahu Aro, Hmmm. Sepertinya Jane tidak suka mendengar fakta bahwa Aro memberiku hadiah.
Aro berdeham-deham untuk menarik perhatianku lagi. "Bolehkah aku menyapa
putrimu, Bella cantik?" tanyanya dengan nada manis.
Inilah yang kami harapkan, aku mengingatkan diriku sendiri. Sekuat tenaga
melawan dorongan untuk merenggut Renesmee dan kabur dari sini, aku maju dua
langkah. Perisaiku mengepak-ngepak seperti sayap di belakangku, melindungi
seluruh anggota keluargaku sementara Renesmee tidak terlindungi. Rasanya keliru
besar, mengerikan. Aro menghampiri kami, wajahnya berseri-seri.
"Luar biasa cantiknya dia," puji Aro. "Sangat mirip kau dan Edward." Kemudian
dengan suara lebih keras, ia berseru, "Halo, Renesmee."
Renesmee cepat-cepat berpaling padaku. Aku mengangguk.
"Halo, Aro," sahutnya dengan sikap formal, suaranya melengking tinggi.
Sorot mata Aro tampak kaget.
"Apa itu?" desis Caius dari belakang. Sepertinya ia marah sekali karena harus
bertanya. "Setengah mortal, setengah imortal," Aro memberitahu dia dan para pengawal lain
tanpa mengalihkan pandangan takjubnya pada Renesmee. "Dibenihkan, dan dikandung
oleh vampir baru ini ketika dia masih menjadi manusia."
"Mustahil," dengus Caius.
"Jadi menurutmu mereka membohongiku, begitu, brother?" Ekspresi Aro terlihat
sangat geli, tapi Caius tersentak. "Apakah detak jantung yang kaudengar juga
tipuan?" Caius merengut, tampak kecewa, seolah-olah pertanyaan-pertanyaan lembut Aro tadi
merupakan pukulan. "Tenang dan berhati-hatilah, brother" Aro mengingatkan, tetap tersenyum kepada
Renesmee. "Aku tahu benar betapa kau sangat mencintai keadilanmu, tapi tidak ada
keadilan bila kita bertindak melawan makhluk kecil unik ini hanya karena proses
kelahirannya. Dan begitu banyak yang bisa dipelajari, begitu banyak yang bisa
dipelajari! Aku tahu kau tidak memiliki antusiasme sepertiku dalam mengoleksi
sejarah, tapi bertoleranlah padaku, sementara aku menambahkan bab baru yang
membuatku terperangah oleh kemungkinannya. Kita datang, mengira akan menegakkan
keadilan dan sedih karena menyangka teman-teman ini palsu, tapi lihatlah apa
yang kita dapatkan! Pengetahuan baru tentang diri kita, kemungkinan-kemungkinan
yang bisa kita lakukan."
Aro mengulurkan tangan pada Renesmee dengan sikap mengundang. Tapi bukan itu
yang Renesmee inginkan. Renesmee justru mencondongkan tubuh menjauhiku,
menjulurkan tubuhnya untuk menempelkan ujung-ujung jarinya ke wajah Aro.
Aro tidak bereaksi shock seperti nyaris semua orang saat pertama kali melihat
Renesmee beraksi; ia sudah terbiasa melihat aliran pikiran dan kenangan dari
pikiran orang-orang lain, sama seperti Edward.
Senyumnya melebar, dan ia mendesah puas. "Brilian," bisiknya.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Renesmee rileks kembali dalam pelukanku, wajah mungilnya terlihat sangat serius.
"Please?" pinta Renesmee pada Aro.
Senyum Aro berubah lembut. "Tentu saja aku tidak berniat mencelakakan orang-
orang yang kaucintai, Renesmee sayang."
Suara Aro begitu menenangkan dan penuh kasih sayang hingga membuatku yakin. Tapi
kemudian aku mendengar Edward mengertakkan gigi dan, jauh di belakang kami,
desisan marah Maggie mendengar kebohongannya.
"Aku ingin tahu," kata Aro dengan sikap merenung seolah tidak menyadari reaksi
yang timbul dari kata-katanya barusan. Tanpa terduga matanya beralih kepada
Jacob, dan bukannya memandang Jacob dengan sorot jijik seperti anggota keluarga
Volturi lain memandang serigala raksasa itu, mata Aro justru dipenuhi semacam
kerinduan yang tidak kumengerti.
"Tidak bisa seperti itu," tukas Edward, nadanya yang selama ini selalu netral
mendadak berubah kasar. "Hanya pikiran selintas," kata Aro, terang-terangan menilai Jacob, kemudian
matanya bergerak lambat ke dua baris werewolf di belakang kami. Apa pun yang
ditunjukkan Renesmee padanya membuat Aro tiba-tiba tertarik pada para serigala.
"Mereka bukan milik kami, Aro. Mereka tidak mengikuti perintah kami seperti itu.
Mereka ada di sini karena mereka mau."
Jacob menggeram galak. "Tapi sepertinya mereka sangat dekat denganmu" kata Aro. "Dan pada pasanganmu
yang muda serta pada... keluargamu. Setia" Suaranya membelai kata itu lembut.
"Mereka berkomitmen melindungi nyawa manusia, Aro. Itulah yang membuat mereka
bisa hidup berdampingan dengan kami, tapi tidak dengan kalian. Kecuali kalian
mau berpikir ulang tentang gaya hidup kalian."
Aro tertawa riang. "Hanya pikiran selintas," ulangnya. "Kau tahu benar bagaimana
itu. Tak seorang pun di antara kami bisa mengendalikan keinginan bawah sadar
kami." Edward meringis. "Aku tahu benar bagaimana itu. Dan aku juga tahu perbedaan
antara pikiran semacam itu dengan pikiran yang memiliki tujuan di baliknya. Itu
takkan pernah berhasil, Aro."
Kepala Jacob yang besar berpaling ke arah Edward, dan dengkingan pelan terlontar
dari sela-sela giginya. "Dia tertarik pada ide tentang... anjing-anjing penjaga," Edward balas berbisik.
Selama satu detik suasana sunyi senyap, tapi sejurus kemudian terdengar geraman
marah dari moncong seluruh kawanan, memenuhi lapangan besar itu.
Terdengar gonggongan tajam bernada memerintah -dari Sam, dugaanku, walaupun aku
tidak berpaling untuk melihat-dan protes-protes itu terdiam menjadi kesunyian
yang menakutkan. "Kurasa itu sudah menjawab pertanyaanku" kata Aro, tertawa lagi. "Kawanan ini
sudah memilih kepada siapa mereka mau berpihak."
Edward mendesis dan mencondongkan tubuh ke depan. Aku mencengkeram lengannya,
bertanya-tanya apa gerangan yang ada dalam pikiran Aro yang membuat Edward
bereaksi begitu garang, sementara Felix dan Demetri serentak memasang kuda-kuda.
Aro melambaikan tangan lagi kepada mereka. Mereka kembali ke postur awal,
termasuk Edward. "Begitu banyak yang harus didiskusikan," ujar Aro, mendadak nadanya berubah
seperti pengusaha yang kewalahan memikirkan terlalu banyak hal. "Begitu banyak
yang harus diputuskan. Kalau kalian dan para pelindung kalian yang berbulu itu
mengizinkan, sobat-sobatku keluarga Cullen, aku akan berbicara dulu dengan
saudara-saudaraku." 37. PENEMUAN ARO tidak bergabung dengan para pengawalnya yang menunggu gelisah di sisi utara
lapangan; malah, ia melambai menyuruh mereka maju.
Edward langsung mundur, menarik lenganku dan Emmett. Kami bergegas mundur, mata
kami tetap tertuju pada ancaman yang bergerak maju. Jacob mundur paling akhir,
bulu bahunya meremang sementara ia menyeringai memamerkan taringnya pada Aro.
Renesmee menyambar ujung ekornya sementara kami bergerak mundur; ia memegangnya
seolah-olah itu tali kekang, memaksa Jacob tetap bersama kami. Kami sampai ke
tengah keluarga tepat ketika jubah-jubah hitam itu mengelilingi Aro lagi.
Kini hanya terbentang jarak 45 meter antara mereka dan kami siapapun dari kami
bisa menerjang melewati jarak tersebut hanya dalam sepersekian detik.
Caius langsung berdebat dengan Aro.
"Bagaimana kau bisa tunduk pada kekejian ini" Mengapa kita berdiri tanpa daya
begini padahal kejahatan besar diLakukan di depan mata kepala kita, tertutup
tipuan yang begini konyol?" Lengannya kaku di kedua sisi tubuhnya, tangannya
melengkung membentuk cakar. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa ia tidak
menyentuh Aro saja untuk mengungkapkan pendapatnya. Apakah kami menyaksikan
perpecahan di antara mereka!" Mungkinkah kami seberuntung itu"
"Karena semua itu benar," sahut Aro tenang. "Setiap katanya benar. Lihat betapa
banyak saksi yang siap membuktikan bahwa mereka telah melihat anak ajaib ini
tumbuh dan berkembang hanya dalam waktu singkat selama mereka mengenalnya. Bahwa
mereka merasakan hangatnya darah yang berdenyut dalam pembuluh darah anak itu."
Aro melambaikan tangan ke Amun di satu sisi, sampai kepada Siobhan di sisi yang
lain. Caius bereaksi aneh terhadap kata-kata Aro yang menenangkan, sedikit tersentak
mendengar kata saksi. Amarah lenyap dari wajahnya, digantikan ekspresi dingin
penuh perhitungan. Diliriknya saksi-saksi Volturi dengan ekspresi yang samar-
samar terlihat... gugup. Aku melirik gerombolan yang marah itu dan seketika melihat bahwa deskripsi itu
tak berlaku lagi. Nafsu bertempur telah berubah menjadi kebingungan. Bisik-bisik
menjalar di Seantero kerumunan saat mereka berusaha memahami apa yang terjadi,
Caius mengerutkan kening, berpikir keras. Ekspresi spekulatifnya menyulut api
amarahku yang masih membara meski pada saat bersamaan membuatku khawatir juga.
Bagaimana kalau para pengawal kembali bertindak mengikuti isyarat yang tak
kelihatan, seperti waktu berbaris tadi" Dengan cemas kuperiksa perisaiku;
rasanya tetap tak bisa ditembus, sama seperti tadi. Aku mengulurkannya menjadi
semacam kubah rendah dan lebar yang menaungi kelompok kami.
Aku bisa merasakan berkas-berkas tajam cahaya tempat keluarga dan teman-temanku
berdiri masing-masing memiliki rasa individual yang kupikir pasti akan bisa
kukenali bila aku rajin berlatih. Aku sudah bisa mengenali rasa Edward cahayanya
paling terang dibandingkan mereka semua. Ruang kosong ekstra di sekeliling
titik-titik bercahaya itu mengusikku, tak ada penghalang fisik yang ditamengi,
sehingga kalau salah seorang anggota keluarga Volturi yang berbakat masuk di
bawahnya, perisai itu takkan melindungi siapa pun kecuali aku. Aku merasakan
keningku berkerut saat menarik tameng elastis itu dengan sangat hati-hati, makin
lama makin dekat. Carlisle berada paling jauh di depan; kuisap perisaiku kembali
sedikit demi sedikit, berusaha melilitkannya ke tubuh Carlisle serapat yang
kubisa. Perisaiku sepertinya ingin bekerja sama. Tameng itu membungkus tubuh Carlisle;
kalau ia bergeser agar berdiri lebih dekat pada Tanya, tameng elastis itu ikut
meregang bersamanya, tertarik cahayanya.
Terpesona, aku menarik tameng itu lebih jauh lagi, membungkus setiap sosok
berkilauan yang merupakan teman atau sekutuku. Perisai itu membungkus tubuh
mereka dengan mudah, ikut bergerak bila mereka bergerak.
Baru satu detik berlalu, Caius masih menimbang-nimbang.
"Werewolf-werewolf itu," gumam Caius akhirnya.
Tiba-tiba panik, sadarlah aku sebagian besar werewolf tidak terlindungi. Aku
baru mau mengulurkan perisaiku pada mereka waktu menyadari, anehnya, bahwa aku
masih bisa merasakan bunga api mereka. Penasaran, kurapatkan kembali perisaiku,
sampai Amun dan Kebi yang berdiri paling jauh dari kelompok kami berada di luar
bersama para serigala. Begitu mereka berada di luar perisai, cahaya mereka
lenyap. Mereka tak lagi berada dalam indra baruku. Tapi para serigala masih
bercahaya cemerlang atau lebih tepatnya, sebagian dari mereka masih. Hmm,. aku
beringsut keluar lagi, dan begitu Sam berada di bawah naungan perisai, semua
serigala kembali memunculkan bunga api cemerlang.
Pikiran mereka pasti saling terhubung, lebih daripada yang kubayangkan selama
ini. Kalau sang Alfa berada di dalam naungan perisaiku, maka pikiran para
anggota yang lain juga terlindungi.
"Ah, brother.. " Aro menanggapi pernyataan Caius dengan ekspresi pedih.
"Apakah kau juga akan membela persekutuan itu, Aro?" tuntut Caius. "Anak-anak
Bulan sudah sejak permulaan zaman menjadi musuh bebuyutan kita. Kita sudah
memburu mereka hingga mereka nyaris punah di Eropa dan Asia. Tapi Carlisle malah
menjalin hubungan akrab dengan hama besar ini tak diragukan lagi sebagai upaya
menggulingkan kita. Supaya makin bisa melindungi gaya hidupnya yang tidak
lazim." Edward berdeham-deham keras sekali dan Caius memandang garang pada Edward. Aro
menempelkan tangan yang kurus dan rapuh ke wajahnya sendiri, seperti malu atas
sikap saudaranya. "Caius, sekarang ini tengah hari," Edward menunjukkan. Ia melambaikan tangan ke
arah Jacob. "Mereka bukan Anak-Anak Bulan, itu jelas. Mereka tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan musuh-musuhmu di bagian dunia lain."
"Telah terjadi mutasi genetis di sini," sembur Caius.
Rahang Edward membuka dan mengatup, lalu ia menjawab dengan nada datar, "Mereka
bahkan bukan werewolf, Aro bisa menjelaskannya padamu kalau kau tak percaya''
Bukan werewolf. Kulayangkan pandangan bingung pada Jacob. Ia mengangkat bahunya
yang besar kemudian menjatuhkannya lagi. Ia juga tidak mengerti maksud Edward,
"Dear Caius, aku akan memperingatkanmu untuk tidak mengungkit masalah ini
seandainya kau mau memberitahuku pikiran-pikiranmu," gumam Aro. "Walaupun
makhluk-makhluk itu menganggap diri mereka werewolf, sebenarnya mereka bukan
werewolf. Nama yang lebih tepat untuk mereka adalah shape-shifter. Pilihan wujud
serigala adalah murni kebetulan. Bisa saja mereka mengambil wujud beruang, atau
elang, atau macan tutul ketika pilihan pertama dibuat. Makhluk-makhluk ini
benar-benar tak ada hubungannya dengan Anak-Anak Bulan. Mereka hanya sekadar
mewarisi bakat ini dari ayah mereka. Ini masalah genetis mereka tidak meneruskan
spesies mereka dengan menulari orang lain seperti yang dilakukan werewolf
sejati," Caius memandang Aro garang dengan sikap jengkel dan sesuatu yang lain tuduhan
berkhianat, mungkin. "Tapi mereka tahu rahasia kita," sergah Caius datar.
Edward terlihat seperti hendak menjawab tuduhan itu, tapi Aro berbicara lebih
cepat. "Mereka makhluk-makhluk dari dunia supranatural kita, brother. Mungkin
mereka bahkan lebih berkepentingan merahasiakan keberadaan mereka daripada kita,
jadi mereka tak mungkin membocorkan rahasia kita. Berhati-hatilah, Caius. Tak
ada gunanya menuduh yang bukan-bukan,"
Caius menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Mereka saling melirik lama
sekali, pandangan mereka penuh arti.
Kurasa aku memahami instruksi di balik perkataan Aro yang hati-hati. Tuduhan
palsu takkan membantu meyakinkan para saksi kedua pihak, Aro mewanti-wanti Caius
agar beralih ke strategi berikut. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah alasan di
balik ketegangan yang jelas terlihat antara dua tetua itu keengganan Caius
membagi pikirannya dengan sentuhan adalah karena Caius tidak peduli pada
pertunjukan ini sebagaimana halnya Aro. Bahwa pembantaian yang bakal terjadi
jauh lebih esensial bagi Caius daripada reputasi tak bercela.
"Aku ingin bicara dengan si informan" Caius tiba-tiba berseru, dan mengarahkan
tatapan garangnya pada Irina.
Irina tidak menyimak pembicaraan Caius dan Aro, wajahnya berkerut-kerut merana,
matanya terpaku pada saudari-saudarinya yang berbaris untuk mati. Kentara sekali
di wajahnya bahwa ia sekarang menyadari tuduhannya ternyata salah besar.
"Irina" bentak Caius, tidak senang karena harus memanggilnya.
Irina mendongak, terkejut dan nyalinya langsung ciut. Caius menjentikkan jari-
jarinya. Ragu-ragu, Irina bergerak dari formasi pinggir Volturi untuk berdiri di depan
Caius lagi, "Jadi kelihatannya kau keliru besar dalam tuduhanmu," Caius memulai.
Tanya dan Kate mencondongkan tubuh dengan sikap waswas.
"Maafkan aku," bisik Irina. "Seharusnya aku memastikan dulu apa yang kulihat.
Tapi aku sama sekali tidak tahu... " Ia melambaikan tangan dengan sikap tak
berdaya ke arah kami. "Dear Caius, masa kau mengharapkan dia bisa menebak seketika itu juga sesuatu
yang begitu aneh dan mustahil" tanya Aro. "Siapa pun dari kita pasti akan
berasumsi sama." Caius menjentikkan jari-jarinya pada Aro untuk menyuruhnya diam.
"Kita semua tahu kau melakukan kesalahan," ujar Caius kasar. "Aku ingin tahu apa
motivasimu." Dengan cemas Irina menunggu Caius melanjutkan kata-katanya, kemudian
mengulangi," Motivasiku?"
"Ya, datang dan memata-matai mereka pada awalnya"
Irina tersentak mendengar kata memata-matai
"Kau tidak menyukai keluarga Cullen, benar begitu?"
Irina mengarahkan matanya yang merana ke wajah Carlisle,
"Ya, benar" ia mengakui.
"Karena...?" desak Caius.
"Karena para werewolf itu membunuh temanku," bisiknya. "Dan keluarga Cullen
tidak mau menyingkir untuk memberiku kesempatan membalas dendam atas
kematiannya." "Para shape-shifter" Aro mengoreksi pelan.
"Jadi keluarga Cullen berpihak pada para shape-shifter untuk melawan jenis kita
sendiri melawan teman dari seorang teman, bahkan." Caius menyimpulkan.
Aku mendengar Edward mengeluarkan suara bernada jijik. Caius mulai mencoret satu
demi satu "pelanggaran" dalam catatannya, mencari tuduhan yang bisa dijadikan
alasan. Bahu Irina mengejang. "Aku melihatnya seperti itu."
Caius menunggu lagi, kemudian mendorong, "Kalau kau mau mengajukan keluhan
secara resmi terhadap para shape-shifter itu dan terhadap keluarga Cullen karena
mendukung aksi mereka sekaranglah saat yang tepat" Ia menyunggingkan senyum
kecil yang kejam, menunggu Irina memberinya alasan berikutnya.
Mungkin Caius tidak mengerti seperti apa keluarga yang sesungguhnya hubungan
yang didasarkan pada cinta, bukan hanya keinginan untuk berkuasa. Mungkin ia
kelewat menilai tinggi potensi untuk membalas dendam.
Dagu Irina terangkat, bahunya ditegakkan.
"Tidak, aku takkan mengajukan keluhan terhadap para serigala, maupun keluarga
Cullen. Kedatangan kalian ke sini hari ini adalah untuk menghancurkan anak
imortal, Ternyata anak imortal itu tidak ada. Itu salahku, dan aku bertanggung
jawab penuh atasnya. Tapi keluarga Cullen tidak bersalah, dan kalian tak punya
alasan untuk tetap berada di sini. Aku benar-benar menyesal," kata Irina,
kemudian memalingkan wajah ke para saksi keluarga Volturi. "Tidak ada kejahatan.
Jadi tak ada alasan kuat bagi kalian untuk tetap berada di sini."
Caius mengangkat tangan selagi Irina bicara, dan di tangannya terdapat benda
aneh dari logam, dipahat dan penuh ukiran.
Itu isyarat. Responsnya begitu cepat hingga kami memandang dengan sikap
terperangah tak percaya sementara itu terjadi. Sebelum kami sempat bereaksi,
semuanya sudah berakhir. Tiga prajurit Volturi melompat maju, dan Irina tertutup sepenuhnya oleh jubah
abu-abu mereka. Pada detik yang sama suara logam terkoyak yang mengerikan
merobek keheningan di lapangan. Caius menyelinap ke pusat pergulatan abu-abu
itu, dan suara memekik shock meledak menjadi hujan bunga dan lidah api yang
melesat ke atas. Para prajurit melompat mundur, menghindari api yang tiba-tiba
berkobar, langsung menempati kembali posisi masing-masing dalam barisan para
pengawal yang lurus sempurna.
Caius berdiri sendirian di samping kobaran api yang melahap sisa-sisa tubuh
Irina, benda logam di tangannya masih menyembutkan lidah api tebal ke api unggun
itu. Dengan suara berdenting kecil, api yang melesat dari tangan Caius lenyap. Suara
terkesiap terdengar dari kerumunan saksi di belakang pasukan Volturi.
Kami terlalu terpana untuk mengeluarkan suara apa pun. Bukan hal aneh mengetahui
kematian datang begitu cepat dan tak terhentikan; tapi melihat itu terjadi
dengan mata kepala sendiri adalah soal lain,
Caius tersenyum dingin. "Sekarang dia sudah bertanggung jawab penuh atas
perbuatannya." Matanya berkelebat ke barisan depan kami, memandang sekilas sosok Tanya dan Kate
yang membeku kaku. Detik itu juga aku mengerti Caius tak pernah salah mengartikan kuatnya ikatan
keluarga yang sesungguhnya. Ini memang disengaja. Ia tidak menginginkan keluhan
Irina, ia justru ingin Irina menentangnya. Alasannya menghancurkan Irina adalah
untuk memicu kekerasan yang kini memenuhi udara bagai kabut tebal yang padat. Ia
telah melempar api. Kedamaian yang dipaksakan dalam pertemuan ini kini semakin terancam, seperti
gajah yang berdiri goyah di atas tali yang membentang tegang. Begitu pertempuran
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjadi, tak ada yang bisa menghentikannya. Pertempuran hanya akan semakin
menjadi-jadi sampai satu pihak musnah. Pihak kami. Caius tahu itu.
Begitu juga Edward, "Hentikan mereka!" pekik Edward, melompat untuk menyambar lengan Tanya ketika ia
maju ke arah Caius yang tersenyum dengan jeritan buas penuh amarah. Tanya tak
sanggup menepis cengkeraman Edward sebelum Carlisle memeluk pinggangnya dan
menguncinya. "Sudah terlambat untuk membantu Irina," Carlisle buru-buru membujuknya sementara
Tanya meronta-ronta. "Jangan beri apa yang Caius inginkan!"
Kate lebih sulit ditahan. Berteriak-teriak dengan kata-kata yang tidak jelas
seperti Tanya, ia menghambur untuk menyerang tindakan yang pasti akan berakhir
dengan kematian semua orang. Rosalie berada paling dekat dengannya, tapi sebelum
Rose sempat memitingnya, Kate menyetrumnya begitu kuat hingga Rose langsung
terkulai ke tanah, Emmett menyambar lengan Kate dan menjatuhkannya, lalu
terhuyung-huyung mundur, lututnya goyah. Kate berguling berdiri, kelihatannya
tak seorang pun bisa menghentikannya.
Garrett melompat dan menabraknya, menjatuhkannya ke tanah lagi. Ia melingkarkan
kedua lengannya ke tubuh Kate, mengunci tangannya sendiri. Kulihat tubuh Garrert
kejang-kejang ketika Kate menyetrumnya. Bola matanya berputar, tapi ia tidak
mengendurkan pitingan, "Zafrina," teriak Edward.
Mata Kate berubah kosong dan jeritannya berubah jadi erangan. Tanya berhenti
meronta-ronta. "Kembalikan penglihatanku," desis Tanya.
Susah payah, tapi dengan segenap kemampuan yang aku bisa, aku mengulur perisaiku
semakin kuat menutupi percikan bunga api teman-temanku, menariknya dengan hati-
hati dari Kate sambil berusaha menjaganya tetap melingkupi Garrett,
menjadikannya semacam lapisan tipis di antara mereka.
Kemudian Garrett bisa menguasai diri lagi, masih memegangi Kate di salju.
"Kalau aku melepaskanmu, apakah kau akan melumpuhkanku lagi, Kate?" bisiknya.
Kate menggeram sebagai respons, masih meronta-ronta tanpa bisa melihat.
"Dengarkan aku, Tanya, Kate," kata Carlisle dengan suara berbisik pelan namun
tegas. "Tak ada gunanya membalas dendam. Irina tak ingin kalian menyia-nyiakan
hidup kalian seperti ini. Pikirkan baik-baik apa yang kalian lakukan. Kalau
kalian menyerang mereka, kita semua mati."
Bahu Tanya membungkuk berduka, dan ia menyandarkan tubuhnya pada Carlisle,
meminta dukungan. Kate akhirnya terdiam. Carlisle dan Garrett terus menghibur
dua bersaudara itu dengan kata-kata yang terlalu mendesak untuk bisa menghibur.
Perhatianku kembali ke tatapan puluhan pasang mata yang memandangi kekacauan
yang sempat terjadi dalam kelompok kami. Dari sudut mata bisa kulihat Edward dan
yang lain, selain Carlisle dan Garrett, kembali bersiaga penuh.
Tatapan paling tajam berasal dari Caius, memandang dengan sikap marah bercampur
tak percaya pada Kate dan Garrett yang terduduk di salju. Aro juga menatap
mereka berdua, tidak percaya adalah emosi paling kuat yang terpancar dari
wajahnya. Ia tahu apa yang bisa dilakukan Kate. Ia telah merasakan kemampuannya
melalui ingatan Edward. Apakah ia mengerti apa yang sedang terjadi sekarang apakah ia melihat perisaiku
telah bertumbuh semakin kuat dan semakin halus, lebih daripada yang Edward
ketahui" Atau apakah ia mengira Garrett memiliki kemampuan imunitasnya sendiri"
Para pengawal Volturi tak lagi berdiri dengan sikap penuh disiplin mereka kini
membungkuk ke depan, siap menerjang.
Di belakang mereka, 43 saksi menonton dengan ekspresi yang sangat berbeda
daripada yang mereka perlihatkan tadi saat memasuki lapangan. Kebingungan
berubah menjadi kecurigaan. Penghancuran Irina yang secepat kilat tadi
mengguncangkan mereka semua. Apa sebenarnya kesalahan Irina"
Tanpa serangan langsung yang diandalkan Caius untuk mengalihkan perhatian para
Sepasang Garuda Putih 2 Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Pendekar Sakti Suling Pualam 9
padanya. Pasti menyenangkan bisa melepaskan diri dari kenyataan, walau hanya
beberapa jam. Hati-hati kukeluarkan kantong perhiasan beledu kecil dari dalam tasku tanpa
membukanya lebar-lebar, sehingga Edward tidak melihat banyaknya uang di
dalamnya, "Benda ini menarik perhatianku dari etalase toko barang antik yang kulewati."
Kuguncang kantong perhiasan itu, menjatuhkan sebentuk loket emas kecil ke
telapak tangan Edward. Loket bundar dengan hiasan sulur-sulur anggur ramping
terukir di tepi lingkaran. Di dalamnya ada tempat untuk memajang foto kecil dan,
di sisi berlawanan, terukir tulisan dalam bahasa Prancis.
"Tahukah kau apa artinya ini?" tanya Edward, nadanya berubah, lebih sendu
daripada sebelumnya. "Kata penjaga tokonya, kurang lebih artinya 'lebih dari hidupku sendiri'. Benar,
tidak?" "Ya, benar." Edward mendongak menatapku, mata topaznya menyelidik. Kubalas tatapannya
sebentar, lalu pura-pura mengalihkan perhatian pada televisi.
"Mudah-mudahan dia menyukainya," gumamku.
"Tentu saja dia akan menyukainya," kata Edward enteng, nadanya sambil lalu, dan
detik itu juga aku yakin ia tahu aku menyimpan sesuatu darinya. Aku juga yakin
ia tidak tahu apa itu secara spesifik.
"Ayo kita bawa dia pulang," Edward menyarankan, berdiri dan merangkul pundakku.
Aku ragu-ragu. "Apa?" desaknya.
"Aku ingin berlatih dengan Emmett sebentar... " Aku kehilangan waktu seharian
untuk melakukan tugas pentingku tadi; itu membuatku merasa tertinggal.
Emmett yang duduk di sofa bersama Rose sambil memegang remote control, tentu
saja mendongak dan nyengir gembira. "Bagus sekali. Hutan memang perlu ditebangi
sedikit." Edward mengerutkan kening pada Emmett, kemudian padaku.
"Masih banyak waktu untuk itu besok," tukasnya.
"Jangan konyol," protesku. "Tak ada lagi istilah masih banyak waktu. Konsep itu
sendiri sebenarnya tidak ada. Banyak yang harus kupelajari dan..,"
Edward memotong kata-kataku. "Besok."
Ekspresinya begitu bersungguh-sungguh hingga bahkan Emmett pun tidak membantah.
Kaget juga aku mendapati betapa sulitnya kembali ke rutinitas yang.
bagaimanapun, sama sekali baru. Namun mengenyahkan secuil harapan yang selama
ini kupelihara dalam hatiku membuat segalanya jadi mustahil.
Aku berusaha fokus pada hal-hal positif. Ada kemungkinan putriku selamat
melewati apa yang akan terjadi nanti, demikian pula Jacob. Kalau mereka memiliki
masa depan, berarti itu semacam kemenangan juga, bukan" Kelompok kecil kami
pasti bisa bertahan sendiri agar Jacob dan Renesmee mendapat kesempatan untuk
melarikan diri. Ya, strategi Alice hanya masuk akal bila kami harus bertempur
habis-habisan. Jadi, itu sendiri sudah merupakan kemenangan tersendiri,
mengingat keluarga Volturi tak pernah ditentang secara serius dalam satu abad
terakhir. Itu takkan menjadi akhir dunia. Hanya akhir keluarga Cullen. Akhir Edward, akhir
aku. Aku lebih suka seperti itu-bagian yang terakhir, setidaknya. Aku tidak ingin
hidup lagi tanpa Edward; kalau ia meninggalkan dunia ini, aku akan ikut
bersamanya. Sesekali aku bertanya-tanya dalam hati apakah ada kehidupan lain bagi kami
setelahnya. Aku tahu Edward tidak benar-benar memercayai hal itu, tapi Carlisle
percaya. Aku sendiri tak bisa membayangkannya. Di lain pihak, aku tidak bisa
membayangkan Edward tidak ada, bagaimanapun, di mana pun. Bila kami bisa bersama
di mana saja, itu berarti akhir yang membahagiakan.
Dan dengan demikian pola hari-hariku berlanjut,, bahkan semakin keras daripada
sebelumnya. Kami menemui Charlie pada Hari Natal, Edward, Renesmee, Jacob, dan aku. Semua
anggota kawanan Jacob sudah berada di sana, ditambah Sam, Emily, dan Sue,
Baik sekali mereka, mau datang ke rumah Charlie yang ruangannya kecil-kecil,
tubuh mereka yang besar dan hangat dijejalkan ke sudut-sudut ruangan,
mengelilingi pohon Natal yang hiasannya jarang-jarang, kelihatan sekali di
bagian mana Charlie merasa bosan dan berhenti menghias dan memenuhi
perabotannya. Werewolf memang selalu bersemangat menghadapi pertempuran, tak
peduli pertempuran itu sama saja dengan bunuh diri. Semangat mereka yang meluap-
luap memberikan semacam kegairahan yang menutupi perasaan lesuku. Edward,
seperti biasa, lebih pandai berakting ketimbang aku.
Renesmee memakai kalung yang kuberikan padanya menjelang fajar, dan dalam saku
jaketnya tersimpan MP3 player hadiah Edward-benda mungil yang bisa menyimpan
lima ribu lagu, sudah diisi dengan lagu-lagu favorit Edward. Di pergelangan
tangannya melingkar gelang anyaman, semacam cincin pertunangan versi Quileute.
Edward mengertakkan gigi melihat gelang itu, tapi aku tidak merasa terganggu.
Nanti, sebentar lagi, aku akan menyerahkan Renesmee kepada Jacob untuk dijaga
baik-baik. Jadi bagaimana mungkin aku merasa terganggu oleh simbol komitmen yang
justru kuharapkan" Edward menyelamatkan hari dengan memesan hadiah untuk Charlie juga. Hadiah itu
datang kemarin melalui kiriman khusus satu malam dan Charlie menghabiskan
sepanjang pagi membaca buku manualnya yang tebal tentang bagaimana
mengoperasikan alat pancing barunya yang dilengkapi sistem sonar.
Menilik cara para werewolf makan, hidangan makan siang yang disiapkan Sue pasti
lezat sekali. Aku penasaran apa kira-kira pandangan orang luar melihat kami.
Sudahkah kami memainkan peran masing-masing dengan cukup baik" Apakah orang
asing akan menganggap kami sekelompok teman yang berbahagia, merayakan Natal
sambil bergembira bersama"
Kurasa baik Edward maupun Jacob sama leganya denganku ketika tiba waktu pulang.
Aneh rasanya membuang-buang energi dengan bersandiwara menjadi manusia padahal
ada banyak hal penting lain yang bisa dilakukan. Aku sangat sulit
berkonsentrasi. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa bertemu Charlie. Mungkin
ada bagusnya juga aku terlalu kebas untuk benar-benar menyadari hal itu.
Aku tak pernah lagi bertemu ibuku sejak menikah, tapi diam-diam aku bersyukur
hubungan kami sejak dua tahun lalu sedikit demi sedikit mulai renggang. Ia
terlalu rapuh untuk duniaku. Aku tak ingin ia menjadi bagian dari semua ini.
Charlie lebih kuat. Bahkan mungkin cukup kuat untuk berpisah denganku sekarang, tapi aku tidak.
Suasana sangat sunyi di dalam mobil; di luar, hujan hanya berupa kabut tipis,
mengambang antara cairan dan es. Renesmee duduk di pangkuanku, bermain-main
dengan loketnya, membuka dan menutupnya berulang kali. Aku memandanginya dan
membayangkan hal-hal yang akan kukatakan pada Jacob sekarang kalau saja aku tak
perlu menjaga agar kata-kataku tidak masuk dalam pikiran Edward.
Kalau keadaan sudah aman, bawa dia ke Charlie. Ceritakan semuanya pada Charlie
kelak. Sampaikan pada Charlie, aku sangat sayang padanya, bahwa aku tak sanggup
meninggalkan dia bahkan setelah hidupku sebagai manusia berakhir. Katakan
padanya dia ayah terbaik. Sampaikan sayangku pada Renee, kudoakan ia bahagia dan
baik-baik saja... Aku akan memberikan dokumen-dokumennya pada Jacob sebelum terlambat. Aku akan
menitipkan padanya surat untuk Charlie juga. Dan surat untuk Renesmee. Sesuatu
yang bisa ia baca kalau aku sudah tak bisa mengungkapkan sayangku lagi padanya.
Sepertinya tak ada yang tidak biasa di luar rumah keluarga Cullen saat mobil
memasuki padang rumput, tapi aku mendengar kehebohan pelan di dalam. Banyak
suara rendah bergumam dan menggeram. Kedengarannya serius, seperti berdebat. Aku
bisa mendengar suara Carlisle dan Amun lebih sering daripada yang lain.
Edward memarkir mobilnya di depan rumah, tidak langsung memutar ke belakang dan
masuk garasi. Kami bertukar pandang cemas sebelum turun dari mobil.
Pembawaan Jacob serta-merta berubah; wajahnya serius dan hati-hati. Kurasa ia
sedang mengambil sikap sebagai Alfa sekarang. Jelas telah terjadi sesuatu, dan
ia akan mendapatkan informasi yang ia dan Sam butuhkan.
"Alistair pergi," gumam Edward saat kami bergegas menaiki tangga.
Di ruang depan di dalam, konfrontasi terlihat jelas. Berjajar di dinding tampak
lingkaran penonton, setiap vampir yang telah bergabung bersama kami, kecuali
Alistair dan tiga vampir lain yang terlibat perselisihan. Esme, Kebi, dan Tia
berada paling dekat dengan ketiga vampir di tengah; di tengah-tengah ruangan,
Amun mendesis pada Carlisle dan Benjamin.
Rahang Edward mengeras dan ia bergerak cepat ke sisi Esme, menyeretku
bersamanya. Aku mendekap Renesmee erar-erat di dada.
"Amun, kalau kau ingin pergi, tak ada yang memaksamu tetap tinggal di sini,"
kata Carlisle kalem. "Kau mencuri separo kelompokku, Carlisle!" sergah Amun, menudingkan jari dengan
kasar pada Benjamin. "Itukah sebabnya kau memanggilku ke sini" Untuk mencuri
dariku?" Carlisle mendesah, dan Benjamin memutar bola matanya.
"Ya, Carlisle mencari gara-gara dengan keluarga Volturi, membahayakan seluruh
keluarganya, hanya untuk merayuku supaya mau datang ke sini, ke kematianku,"
sergah Benjamin sarkastis. "Berpikirlah logis, Amun. Aku berkomitmen melakukan
hal yang benar di sini-aku bukan mau bergabung dengan kelompok lain. Kau boleh
melakukan apa saja yang kauinginkan, tentu saja, seperti yang telah dikatakan
Carlisle tadi." "Ini tidak akan berakhir dengan baik," geram Amun. "Alistair-lah satu-satunya
yang waras di sini. Seharusnya kita semua juga lari."
"Pikirkan siapa yang kausebut waras," gumam Tia pelan.
"Kita semua akan dibantai!"
"Tidak akan terjadi pertempuran," tandas Carlisle tegas. "Itu kan katamu!"
"Kalaupun ya, kau bisa menyeberang ke pihak lawan. Amun, Aku yakin keluarga
Volturi akan menghargai bantuanmu."
Amun tertawa mengejek. "Mungkin memang itu jawabannya"
Jawaban Carlisle lembur dan bersungguh-sungguh. "Aku takkan menghalangimu, Amun.
Kita sudah berteman sekian lama, tapi aku takkan pernah memintamu mati demi
aku." Suara Amun kini lebih terkendali. "Tapi kau membawa Benjamin mati bersamamu."
Carlisle meletakkan tangannya di pundak Amun. Amun menepiskannya.
"Aku akan tetap tinggal, Carlisle, tapi mungkin itu justru akan jadi kerugianmu.
Aku akan bergabung dengan mereka kalau memang itu satu-satunya jalan untuk
selamat. Kalian semua tolol kalau mengira bisa mengalahkan keluarga Volturi." Ia
memberengut, lalu mengembuskan napas, melirik Renesmee dan aku, lalu menambahkan
dengan nada putus asa, "Aku akan bersaksi bahwa anak itu bertumbuh. Memang
kenyataannya begitu. Siapa pun bisa melihatnya."
"Dan hanya itu yang kami minta darimu."
Amun meringis. "Tapi bukan itu saja yang kalian dapatkan, sepertinya," Ia
berpaling kepada Benjarnin. "Aku memberimu kehidupan. Kau menyia-nyiakannya,"
Wajah Benjamin terlihat lebih dingin daripada yang selama ini pernah kulihat;
ekspresinya sangat kontras dengan air mukanya yang kekanak-kanakan. "Sayang kau
tidak bisa mengganti keinginanku dengan keinginanmu dalam prosesnya; kalau bisa,
mungkin kau akan merasa puas padaku."
Mata Amun menyipit. Ia melambaikan tangan dengan kasar ke arah Kebi, dan mereka
merangsek melewati kami, keluar melalui pintu depan.
"Dia tidak pergi," kata Edward pelan padaku, "tapi dia akan semakin menjaga
jarak mulai sekarang. Dia tidak menggertak waktu mengatakan akan bergabung
dengan keluarga Volturi."
"Mengapa Alistair pergi?" bisikku.
"'Tidak ada yang tahu pasti; dia tidak meninggalkan pesan sama sekali. Dari
gumamannya, jelas sekali dia merasa pertempuran takkan bisa dihindari.
Berlawanan dengan sikapnya, dia sebenarnya terlalu peduli pada Carlisle yang
akan menghadapi keluarga Volturi. Kurasa dia memutuskan bahayanya kelewat
besar." Edward mengangkat bahu.
Walaupun pembicaraan kami jelas hanya berlangsung di antara kami berdua, tapi
tentu saja semua bisa mendengarnya. Eleazar menjawab komentar Edward seolah-olah
itu ditujukan bagi mereka semua.
"Menilik gumaman-gumamannya selama ini, sedikit lebih daripada itu. Kami tidak
banyak membicarakan agenda keluarga Volturi, tapi Alistair khawatir bahwa tak
peduli betapapun hebatnya kami bisa membuktikan kalian tak bersalah, keluarga
Volturi tetap takkan mau mendengar. Menurut anggapannya, mereka pasti akan
menemukan alasan untuk mencapai tujuan mereka di sini"
Para vampir itu saling melirik dengan sikap gelisah. Ide bahwa keluarga Volturi
akan memanipulasi hukum keramat mereka demi mendapatkan keuntungan pribadi
bukanlah ide yang populer. Hanya kelompok Rumania yang tetap tenang, senyum
separo mereka tampak ironis. Mereka sepertinya geli mendengar bagaimana yang
lain-lain ingin berpikir baik tentang musuh-musuh bebuyutan mereka.
Berbagai diskusi pelan dimulai pada saat bersamaan, tapi hanya diskusi kelompok
Rumania yang kudengarkan. Mungkin karena Vladimir yang berambut terang itu
berulang kali melirik ke arahku.
"Aku sangat berharap Alistair benar dalam hal ini" gumam Stefan kepada Vladimir.
"Tak peduli hasil akhirnya, kabar tetap akan menyebar. Sekarang waktunya dunia
melihat sendiri bagaimana jadinya keluarga Volturi. Mereka takkan pernah jatuh
kalau semua orang memercayai omong kosong tentang mereka yang melindungi
kehidupan kita." "Paling tidak bila memerintah nanti, kita jujur tentang diri kita apa adanya"
Vladimir menjawab. Stefan mengangguk. "Kita tidak pernah berlagak baik dan menganggap diri kita
suci." "Kupikir sudah tiba saatnya bertempur," kata Vladimir. "Bagaimana kau bisa
membayangkan kita akan menemukan kekuatan yang lebih baik untuk melakukannya"
Kesempatan lain sebagus ini?"
"Tak ada yang mustahil. Mungkin suatu saat nanti... "
"Kita sudah menunggu selama seribu lima ratus tahun, Stefan. Dan mereka semakin
lama semakin kuat." Vladimir terdiam sejenak dan memandangiku lagi. Ia tidak
menunjukkan keheranan ketika melihatku memandanginya juga. "Kalau keluarga
Volturi memenangkan konflik ini, mereka akan pergi dengan kekuatan yang lebih
besar daripada saat mereka datang. Dengan setiap penaklukan, mereka memperoleh
tambahan kekuatan. Pikirkan apa yang bisa diberikan vampir baru itu saja kepada
mereka"-ia menyentakkan dagunya ke arahku-"padahal dia belum menemukan semua
bakat yang dimilikinya. Belum lagi si penggoyang bumi itu." Vladimir mengangguk
ke arah Benjamin, yang mengejang. Hampir semua orang sekarang menguping
pembicaraan kelompok Rumania, seperti aku. "Dengan penyihir kembar mereka,
mereka tidak membutuhkan si pesulap atau si sentuhan api." Matanya beralih ke
Zafrina, kemudian Kate. Stefan memandangi Edward. "Si pembaca pikiran juga tidak terlalu diperlukan.
Tapi aku mengerti maksudmu. Benar, mereka akan mendapat banyak kalau menang."
"Lebih daripada yang kita rela mereka dapatkan, kau sependapat, bukan?"
Stefan mendesah. "Kurasa aku harus sependapat denganmu. Dan itu berarti... "
"Kita harus melawan mereka selagi masih ada harapan."
"Kalau kita bisa melumpuhkan mereka, bahkan, mengekspos mereka... "
"Kemudian, suatu saat nanti, yang lain-lain yang akan menyelesaikannya"
"Dan dendam kita akan terlunaskan. Akhirnya."
Mereka saling menatap beberapa saat, kemudian bergumam serempak. "Sepertinya
hanya itu satu-satunya jalan."
"Jadi kita bertempur," kata Stefan.
Walaupun aku bisa melihat hati mereka terbagi, keinginan mempertahankan diri
berperang dengan dendam, senyum yang tersungging di bibir mereka penuh
antisipasi. "Kita bertempur," Vladimir setuju.
Kurasa itu baik seperti Alistair, aku yakin pertempuran mustahil dihindari.
Dalam hal ini, tambahan dua vampir lagi yang mau bertempur di pihak kami akan
sangat membantu. Tapi keputusan kelompok Rumania tetap membuatku bergidik.
"Kami akan bertempur juga," kata Tia, suaranya yang biasanya muram terdengar
lebih khidmat. "Kami yakin keluarga Volturi akan melampaui otoritas mereka. Kami
tidak ingin menjadi bagian dari mereka." Mata Tia menatap pasangannya.
Benjamin menyeringai dan melirik kelompok Rumania dengan sikap nakal. "Rupanya,
aku komoditas panas. Kelihatannya aku harus memenangkan hak untuk bebas,"
"Ini bukan pettama kalinya aku bertempur untuk melepaskan diri dari kekuasaan
raja," sergah Garrett dengan nada menggoda. Ia menghampiri Benjamin dan menepuk
punggungnya. "Untuk kebebasan dari penindasan."
"Kami berpihak pada Cariisle," kata Tanya. "Dan kami bertempur bersamanya."
Pernyataan kelompok Rumania sepertinya membuat yang lain-lain merasa perlu
mendeklarasikan diri mereka juga.
"Kami belum memutuskan," kata Peter. Ia menunduk memandangi pasangannya yang
bertubuh mungil; bibir Charlotte mengatup tidak puas. Kelihatannya ia sudah
mengambil keputusan. Dalam hati aku bertanya-tanya apa gerangan keputusannya
itu. "Hal yang sama berlaku untukku," kata Randall.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan aku," imbuh Mary.
"Kawanan kami akan bertempur bersama keluarga Cullen," kata Jacob tiba-tiba.
"Kami tidak takut pada vampir," imbuhnya sambil tersenyum mengejek.
"Dasar anak-anak," gerutu Peter,
"Bocah-bocah ingusan," Randall mengoreksi.
Jacob menyeringai mengejek.
"Well, aku ikut," seru Maggie, menepiskan tangan dari cengkeraman Siobhan yang
berusaha menahannya. "Aku tahu kebenaran ada di pihak Cariisle. Aku tak bisa
mengabaikan hal itu,"
Siobhan memandangi anggota junior kelompoknya dengan sorot khawatir.
"Carilisle," katanya, seolah-olah hanya ada mereka di sana, tak menggubris
situasi yang mendadak formal dalam pertemuan ini, bagaimana beberapa pihak tiba-
tiba mendeklarasikan diri. "Aku tak ingin ini menjadi pertempuran"
"Aku juga tidak, Siobhan. Kau tahu aku paling tidak menginginkan hal itu."
Carlisle separo tersenyum. "Mungkin sebaiknya kau berkonsentrasi membuat situasi
tetap damai." "Kau tahu itu takkan membantu," tukas Siobhan.
Aku teringat pembicaraan Rose dan Carlisle tentang pemimpin kelompok Irlandia
itu; Carlisle yakin Siobhan memiliki bakat yang halus tapi kuat untuk membuat
keadaan menjadi seperti yang ia inginkan-namun Siobhan sendiri tidak
meyakininya. "Tak ada salahnya, kan?" ujar Carlisle.
Siobhan memutar bola matanya. "Haruskah aku memvisualisasikan hasil yang
kuinginkan?" tanyanya sarkastis,
Carlisle terang-terangan menyeringai sekarang. "Kalau kau tidak keberatan."
"Kalau begitu, kelompokku tidak perlu mendeklarasikan dirinya, bukan?" dengus
Siobhan. "Karena tidak ada kemungkinan akan terjadi pertempuran." Ia memegang
bahu Maggie, menarik gadis itu lebih dekat lagi padanya. Pasangan Siobhan, Liam,
berdiri diam tanpa ekspresi.
Hampir semua yang ada di ruangan itu terlihat bingung mendengar percakapan
antara Carlisle dan Siobhan yang jelas bernada bercanda, tapi mereka diam saja.
Itulah akhir pembicaraan dramatis malam ini. Pelan-pelan semua mulai membubarkan
diri, sebagian pergi berburu, sebagian lagi melewatkan waktu dengan buku-buku
Carlisle, menonton televisi, atau bermain komputer.
Edward, Renesmee, dan aku pergi berburu. Jacob ikut.
"Dasar lintah-lintah tolol," gerutu Jacob begitu sampai di luar rumah.
"Dikiranya mereka itu sangat superior." Ia mendengus,
"Mereka pasti shock berat kalau bocah-bocah ingusan itu nanti yang menyelamatkan
hidup superior mereka, ya, kan?" goda Edward.
Jake tersenyum dan meninju pundaknya. "Ya, benar sekali."
Ini bukan perburuan terakhir kami. Kami akan berburu lagi nanti mendekati saat
kedatangan keluarga Volturi. Karena tenggat waktunya tidak diketahui persis
kapan, rencananya kami akan berada di lapangan bisbol besar yang dilihat Alice
dalam penglihatannya selama beberapa hari, untuk berjaga-jaga saja. Kami hanya
tahu mereka akan datang pada saat salju sudah menutupi tanah. Kami tak ingin
keluarga Volturi berada terlalu dekat ke kota, dan Demetri akan membawa mereka
ke mana pun kami berada. Dalam hati aku bertanya-tanya siapa yang bakal
dilacaknya, dan dugaanku ia bakal melacak Edward, karena ia tidak bisa
melacakku. Aku memikirkan Demetri sambil berburu, tidak begitu memerhatikan buruanku
ataupun kepingan-kepingan salju yang akhirnya muncul rapi meleleh sebelum sempat
menyentuh tanah yang berbatu-batu. Sadarkah Demetri ia tidak bisa melacakku"
Bagaimana reaksinya mengetahui hal itu" Bagaimana reaksi Aro" Atau Edward
keliru" Ada beberapa pengecualian kecil dari apa yang bisa kutahan, cara-cara
menghindari perisaiku. Semua yang ada di luar pikiranku rapuh terbuka bagi hal-
hal yang bisa dilakukan Jasper, Alice, dan Benjamin. Mungkin bakat Demetri juga
sedikit berbeda. Kemudian sebuah pikiran mendadak muncul dalam benakku, membuat langkahku
berhenti. Rusa yang sudah separo kering terjatuh dari tanganku ke tanah berbatu-
batu. Keping-keping salju menguap hanya beberapa sentimeter dari tubuh yang
hangat dengan suara mendesis-desis kecil. Aku memandang kosong tanganku yang
berlumuran darah. Edward melihat reaksiku dan bergegas mendatangiku, meninggalkan buruannya begitu
saja. "Ada apa?" tanyanya pelan, matanya menyapu hutan di sekeliling kami, mencari apa
pun yang memicu reaksiku barusan. "Renesmee," kataku, suaraku tersedak. "Dia di
balik pohon-pohon itu,"
Edward menenangkanku. "Aku bisa mendengar baik pikirannya maupun pikiran Jacob.
Dia baik-baik saja."
"Bukan itu yang kumaksud," sergahku. "Aku sedang memikirkan perisaiku kau benar-
benar menganggapnya hebat, bahwa bakatku itu akan bisa membantu. Aku tahu yang
lain-lain berharap aku bisa menamengi Zafrina dan Benjamin, walaupun aku hanya
bisa melakukannya selama beberapa detik saja setiap kali. Bagaimana kalau ada
kesalahan" Bagaimana kalau keyakinanmu padaku justru menjadi alasan kita gagal?"
Suaraku nyaris histeris, walaupun aku memiliki cukup pengendalian diri untuk
menjaga suaraku tetap pelan. Aku tak ingin membuat Renesmee takut.
"Bella, apa yang membuatmu tiba-tiba berpikir begitu" Tentu saja, menyenangkan
sekali kalau kau bisa melindungi dirimu, tapi kau tidak bertanggung jawab
menyelamatkan siapa-siapa. Jangan membuat dirimu tertekan karena hal yang tidak
perlu." "Tapi bagaimana kalau aku tak bisa melindungi apa-apa?" bisikku sambil tersengal
panik. "Yang bisa kulakukan ini, ini tidak bisa diandalkan, tidak benar! Tidak
ada dasar atau alasan untuk merasa yakin. Mungkin ini takkan bisa melawan Alec
sama sekali" "Ssst," Edward menenangkanku. "Jangan panik. Dan jangan khawatirkan Alec. Apa
yang dia lakukan tidak berbeda dengan yang dilakukan Jane atau Zafrina, Itu
hanya ilusi dia tidak bisa masuk ke dalam pikiranmu, sama seperti aku."
"Tapi Renesmee bisa!" Aku mendesis panik dari sela-sela gigiku, "Rasanya begitu
alami, jadi aku tak pernah menanyakannya sebelumnya. Sejak dulu dia memang
selalu begitu. Tapi dia memasukkan pikiran-pikirannya ke dalam kepalaku sama
seperti dia melakukannya pada orang-orang lain. Ada celah di perisaiku, Edward
Kutatap Edward dengan putus asa, menunggunya membenarkan kesadaranku yang
mengerikan itu. Bibirnya mengerucut, seakan-akan ia berusaha memutuskan
bagaimana menjelaskan sesuatu. Ekspresinya tampak sangat rileks.
"Kau sudah lama memikirkan hal ini, ya?" desakku, merasa seperti idiot karena
setelah berbulan-bulan baru menyadari sesuatu yang terpampang begitu jelas.
Edward mengangguk, senyum samar terbentuk di sudut-sudut mulutnya. "Sejak dia
pertama kali menyentuhmu."
Aku mendesah, menyesali kebodohanku sendiri, tapi sikap Edward yang kalem
sedikit membuatku tenang. "Tapi itu tidak membuatmu merasa terganggu" Menurutmu
itu bukan masalah?" "Aku punya dua teori, yang satu lebih besar kemungkinannya daripada yang lain."
"Beritahukan yang paling tidak mungkin."
"Well, dia anakmu," Edward menjelaskan. "Secara genetis dia separo kau. Dulu aku
sering menggodamu tentang bagaimana pikiranmu berada dalam frekuensi berbeda
dari kami semua. Mungkin frekuensi pikirannya sama denganmu,"
Aku tak bisa menerimanya, "Tapi kau mendengar pikirannya dengan jelas. Semua
orang bisa mendengar pikirannya. Dan bagaimana kalau pikiran Alec berada dalam
frekuensi berbeda" Bagaimana kalau...?"
Edward menempelkan jarinya ke bibirku. "Aku sudah mempertimbangkan hal itu.
Itulah sebabnya menurutku teori berikut ini jauh lebih mungkin."
Aku mengertakkan gigi dan menunggu.
"Ingatkah kau apa yang dikatakan Carlisle padaku tentang Renesmee, tepat setelah
dia menunjukkan kenangan pertamanya padamu?"
Tentu saja aku ingat. "Katanya, 'Bakat yang menarik. Seolah-olah dia melakukan
hal sebaliknya dari apa yang biasa kaulakukan."'
"Ya. Dan aku juga heran. Mungkin dia mengambil bakatmu dan membaliknya
juga." Aku mempertimbangkan hal itu.
"Tidak ada yang tahu isi pikiranmu" Edward memulai.
"Dan tak ada yang tidak tahu pikiran Renesmee?" aku menyelesaikan dengan nada
ragu. "Begitulah teoriku," kata Edward, "Dan kalau dia bisa masuk ke dalam kepalamu,
aku ragu ada perisai di planet ini yang sanggup menjauhkannya. Itu akan
membantu. Dari apa yang kita lihat selama ini, tak ada orang yang bisa meragukan
kebenaran pikiran Renesmee setelah mereka mengizinkannya menunjukkan pikiran-
pikiran itu pada mereka. Dan kurasa, tak ada yang bisa menghalangi Renesmee
menunjukkan pikirannya pada mereka, asal dia bisa berada cukup dekat. Bila Aro
memberinya kesempatan menjelaskan... "
Aku bergidik membayangkan Renesmee berada sangat dekat dengan mata Aro yang
serakah dan berkabut. "Well" kata Edward, mengusap-usap bahuku yang tegang. "Setidaknya tidak ada yang
bisa menghalangi Aro melihat hal sebenarnya."
"Tapi apakah hal yang sebenarnya cukup untuk menghentikan Aro?" bisikku.
Untuk itu, Edward tidak memiliki jawaban.
35. TENGGAT WAKTU "mau pergi?" tanya Edward, nadanya sambil lalu. Ada semacam ketenangan yang
dipaksakan dalam ekspresi wajahnya. Ia memeluk Renesmee sedikit lebih erat ke
dadanya. "Ya, ada beberapa urusan yang harus dibereskan.,.," jawabku, sama tenangnya. Ia
menyunggingkan senyum favoritku. "Cepatlah kembali padaku."
"Selalu." Kubawa lagi Volvonya, dalam hati penasaran apakah Edward membaca spedometer
setelah aku pergi waktu itu. Berapa banyak yang bisa disimpulkannya dari semua
itu" Bahwa aku merahasiakan sesuatu, jelas. Bisakah ia menyimpulkan alasan
mengapa aku tidak bercerita padanya" Apakah ia sudah bisa menebak bahwa Aro
mungkin akan mengetahui semua yang ia ketahui" Kupikir Edward pasti bisa
menyimpulkan hal itu, karena ia tidak menuntut penjelasan apa-apa dariku. Kurasa
ia berusaha tidak berspekulasi terlalu banyak, berusaha tidak memikirkan
perilakuku. Apakah ia sudah bisa
Menebak dari sikapku yang ganjil di pagi hari setelah Alice pergi membakar
bukuku di perapian" Entah apakah ia bisa menghubungkannya.
Sore itu sangat muram, hari gelap seperti sudah senja. Aku memacu mobilku
menembus keremangan, mataku tertuju ke awan tebal. Apakah malam ini akan turun
salju" Cukup untuk melapisi tanah dan menciptakan pemandangan seperti yang
tampak dalam penglihatan Alice" Edward memperkirakan kami masih punya waktu
kira-kira dua hari lagi. Kemudian kami akan berjaga-jaga di lapangan, menarik
keluarga Volturi ke tempat yang sudah kami pilih.
Saat melaju melintasi hutan yang semakin gelap, aku memikirkan perjalanan
terakhirku ke Seattle. Kurasa aku tahu tujuan Alice mengirimku ke kawasan kumuh
tempat J. Jenks berurusan dengan klien-kliennya yang berasal dari kalangan
bawah. Bila aku pergi ke kantornya yang lain, yang lebih resmi, mungkinkah aku
tahu apa yang akan kuminta" Seandainya aku bertemu dengannya sebagai Jason Jenks
atau Jason Scott, pengacara baik-baik, mungkinkah aku bisa menemukan J. Jenks,
pemalsu dokumen-dokumen ilegal" Aku harus melewati rute itu untuk tahu bahwa aku
membutuhkan sesuatu yang melanggar hukum. Itu petunjuk buatku.
Hari sudah gelap ketika mobilku memasuki tempat parkir restoran beberapa menit
lebih awal, mengabaikan para petugas valet di ambang pintu yang bersemangat
ingin membantu. Aku mengenakan lensa kontak dan menunggu J di dalam restoran.
Walaupun aku tergesa-gesa ingin segera membereskan urusan menyedihkan ini dan
kembali bersama keluargaku, J sepertinya berhati-hati untuk tidak menodai
reputasinya; aku punya firasat transaksi yang dilakukan di tempat parkir yang
gelap pasti akan menyinggung perasaannya.
Aku memberi nama Jenks di meja depan dan mattre d' yang berwajah muram
membimbingku ke lantai atas, ke ruangan pribadi kecil lengkap dengan perapian
dari batu yang apinya berderak-derak. Ia mengambil mantel panjang warna gading
yang kupakai untuk menutupi fakta bahwa aku mengenakan apa yang oleh Alice
dianggap sebagai busana yang tepat, dan si maitre d' terkesiap pelan begitu
melihat gaun koktailku yang terbuat dari satin warna putih kerang. Mau tak mau
aku tersanjung juga; aku masih belum terbiasa dianggap cantik oleh setiap orang
selain Edward. Si maitre d' melontarkan pujian terbata-bata sementara ia
meninggalkan ruangan dengan sikap goyah.
Aku berdiri di depan perapian, menunggu, mendekatkan jari-jariku ke api untuk
menghangatkannya sedikit sebelum berjabat tangan nanti. Walaupun jelas J sudah
tahu ada yang tidak biasa dengan keluarga Cullen, tapi tetap saja ini kebiasaan
yang baik untuk dipraktikkan.
Sekilas aku sempat penasaran bagaimana rasanya memasukkan tanganku ke api.
Bagaimana rasanya terbakar...
Kedatangan J mengalihkanku dari pikiran yang tidak-tidak. Si mattre d' juga
mengambil mantelnya, dan terbukti ternyata bukan aku satu-satunya yang berdandan
rapi untuk pertemuan ini,
"Maaf saya terlambat," kata J begitu kami ditinggal berdua saja.
"Tidak, Anda tepat waktu kok"
J mengulurkan tangan, dan kami berjabat tangan. Aku bisa merasakan jari-jarinya
lebih hangat daripada jari-jariku. Namun sepertinya itu tidak membuatnya
terganggu, "Anda tampak memesona, kalau saya boleh lancang mengatakannya, Mrs, Cullen."
"Terima kasih, J. Please, panggil saya Bella."
"Harus saya katakan, sungguh merupakan pengalaman yang berbeda bekerja dengan
Anda dibandingkan dengan Mr. Jasper. Tidak begitu... menegangkan." Ia tersenyum
ragu. "Benarkah" Padahal selama ini saya merasa kehadiran Jasper justru sangat
menenangkan." Alis J bertaut. "Begitu, ya?" gumamnya sopan meski jelas-jelas tidak sependapat
denganku. Aneh sekali. Apa yang telah dilakukan Jasper pada lelaki ini"
"Anda sudah lama kenal Jasper?"
J mendesah, tampak gelisah. "Saya sudah bekerja dengan Mr. Jasper selama lebih
dari dua puluh tahun, dan partner lama saya mengenalnya selama lima belas tahun
sebelumnya... Dia tidak pernah berubah." J meringis sedikit.
"Yeah, Jasper memang sedikit aneh dalam hal itu."
J menggeleng-gelengkan kepala seolah tak dapat mengenyahkan pikiran-pikiran yang
mengganggu. "Silakan duduk, Bella."
"Sebenarnya, saya agak terburu-buru. Saya harus menyetir cukup jauh untuk
pulang." Sambil bicara aku mengeluarkan amplop putih tebal dengan bonus untuknya
dari tas dan menyerahkannya padanya.
"Oh," ucap J, ada sedikit nada kecewa dalam suaranya. Ia memasukkan amplop itu
ke saku dalam jasnya tanpa merasa perlu mengecek jumlahnya. "Padahal saya
berharap kita bisa ngobrol-ngobrol sebentar."
"Tentang?" tanyaku ingin tahu.
"Well, biar saya serahkan dulu barang-barang pesanan Anda. Saya ingin memastikan
Anda puas." Ia berbalik, meletakkan tas kerjanya di meja, lalu membuka kunci-kuncinya. Ia
mengeluarkan amplop besar.
Walaupun tidak tahu apa persisnya yang harus kuteliti, aku melayangkan pandangan
sekilas pada isi amplop. J membalik foto Jacob dan mengubah warnanya sehingga
tidak terlalu kentara bahwa yang tercantum dalam paspor maupun SIM-nya adalah
foto yang sama. Keduanya tampak sempurna di mataku, tapi itu tidak berarti
banyak. Kulirik sekilas foto paspor Vanessa Wolfe, kemudian buru-buru membuang
muka, kerongkonganku tercekat.
"Terima kasih," kataku.
Mata J menyipit sedikit, dan aku merasa ia kecewa aku tidak terlalu cermat
meneliti. "Bisa saya pastikan semua sempurna. Semua pasti akan lolos pemeriksaan
paling ketat oleh ahlinya sekalipun."
"Saya yakin begitu. Saya benar-benar menghargai apa yang sudah Anda lakukan
untuk saya, J." "Sayalah yang senang, Bella. Di masa mendatang jangan segan-segan datang kepada
saya untuk apa saja yang dibutuhkan keluarga Cullen." Ia tidak menyinggungnya
sama sekali, tapi kedengarannya seperti undangan agar aku mengambil alih posisi
Jasper sebagai perantara.
"Tadi kata Anda ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan?"
"Eh, ya. Masalahnya sedikit rumit,.. " Ia melambaikan tangan ke perapian batu
dengan ekspresi bertanya. Aku duduk di pinggir batu, dan ia duduk di sebelahku.
Titik-titik keringat kembali bermunculan di keningnya, ia mengeluarkan
saputangan sutra biru dari saku dan mulai menyeka peluhnya.
"Anda saudari istri Mr. Jasper" Atau menikah dengan saudara lelakinya?" tanya J.
"Menikah dengan saudara lelakinya," aku mengklarifikasi, bertanya-tanya akan
mengarah ke mana pembicaraan ini.
"Kalau begitu, Anda istri Mr. Edward?"
"Benar,"
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
J tersenyum meminta maaf, "Saya sudah sering melihat nama-namanya, Anda
mengerti. Selamat, walaupun terlambat. Senang rasanya Mr, Edward telah menemukan
pasangan yang sangat memesona setelah sekian lama."
"Terima kasih banyak."
J terdiam sejenak, mengusap-usap saputangannya, "Setelah sekian tahun, Anda
tentunya paham saya sangat respek kepada Mr, Jasper dan seluruh keluarganya."
Aku mengangguk hati-hati.
J menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya tanpa bicara. "J, katakan saja
apa yang ingin Anda katakan."
Lagi-lagi ia menghela napas dan bergumam cepat, kata-katanya menyatu hingga
tidak terdengar jelas. "Kalau Anda bisa meyakinkan saya bahwa Anda tidak berencana menculik gadis kecil
itu dari ayahnya, saya pasti bisa tidur nyenyak malam ini."
"Oh," ucapku, terperangah. Butuh waktu satu menit untuk memahami kesimpulan
keliru yang diambilnya. "Oh tidak. Sama sekali tidak seperti itu." Aku tersenyum
lemah, berusaha meyakinkannya. "Saya sekadar menyiapkan tempat yang aman
untuknya, kalau-kalau terjadi sesuatu pada saya dan suami saya."
Mata J menyipit. "Anda memperkirakan akan terjadi sesuatu?" Wajahnya memerah,
lalu ia meminta maaf. "Sebenarnya itu bukan urusan saya."
Aku melihat semburat merah menyebar di balik membran kulitnya yang tipis dan
merasa senang-seperti yang sering kurasakan-bahwa aku bukan vampir baru biasa. J
sepertinya cukup baik, kalau mengesampingkan sisi kriminalnya, jadi akan sungguh
sayang kalau ia dibunuh. "Kita takkan pernah tahu," desahku,
J mengerutkan kening. "Semoga Anda beruntung kalau begitu. Dan saya mohon,
jangan kesal pada saya, my dear, tapi,., kalau Mr. Jasper datang menemui saya
dan bertanya nama apa yang saya cantumkan dalam dokumen-dokumen itu... "
"Tentu saja Anda harus langsung memberitahunya. Saya akan senang sekali bila Mr.
Jasper tahu tentang seluruh transaksi kita."
Sikap sungguh-sungguhku yang tulus sepertinya mampu meredakan sedikit keregangan
J. "Bagus sekali" ujarnya. "Dan saya tetap tidak bisa membujuk Anda untuk makan
malam bersama?" "Maafkan saya, J. Saat ini saya sedang diburu waktu."
"Kalau begitu, sekali lagi, saya doakan Anda tetap sehat dan bahagia. Apa saja
yang dibutuhkan keluarga Cullen, mohon jangan segan-segan menghubungi saya.
Bella." "Terima kasih, J."
Aku pergi dengan membawa barang-barang palsuku, menoleh sekilas dan melihat J
memandangiku, ekspresinya cemas bercampur menyesal.
Perjalanan pulang kutempuh lebih cepat. Malam itu gelap gulita, maka aku
mematikan lampu dan menginjak pedal gas sampai dasar. Sesampai di rumah,
sebagian besar mobil, termasuk Porsche Alice dan Ferrari-ku, tak ada di garasi.
Para vampir tradisional pergi sejauh mungkin untuk memuaskan dahaga. Aku
berusaha tidak memikirkan perburuan mereka di malam hari, meringis membayangkan
korban-korbannya. Hanya Kate dan Garrett yang berada di ruang depan, berdebat sambil bercanda
tentang kandungan nutrisi darah binatang. Aku menduga Garrett mencoba berburu
secara vegetarian tapi merasa itu sulit.
Edward pasti membawa Renesmee pulang ke pondok untuk tidur. Jacob, tak diragukan
lagi, pasti berada di hutan dekat pondok. Seluruh anggota keluargaku yang lain
pasti juga sedang pergi berburu. Mungkin pergi bersama keluarga Denali.
Itu berarti pada dasarnya aku sendirian di rumah, dan aku tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Dari penciumanku kentara sekali aku orang pertama yang memasuki kamar Alice dan
Jasper setelah sekian lama, mungkin yang pertama sejak malam mereka meninggalkan
kami. Aku memeriksa lemari mereka tanpa suara sampai menemukan tas yang tepat.
Tas itu pasti milik Alice; ransel kulit hitam kecil, model yang biasa digunakan
sebagai dompet, cukup kecil hingga bahkan Renesmee bisa membawanya tanpa
terlihat aneh. Kemudian aku merampok simpanan uang mereka, membawa dua kali
jumlah pendapatan tahunan rata-rata rumah tangga Amerika. Kurasa pencurianku
takkan begitu kentara di sini ketimbang di bagian lain rumah, karena kamar ini
membuat semua orang sedih. Amplop berisi paspor dan KTP palsu masuk ke tas,
diletakkan di atas tumpukan uang. Kemudian aku duduk di pinggir tempat tidur
Alice dan Jasper, dengan sedih memandangi bungkusan tak berarti yang hanya bisa
kuberikan kepada putri dan sahabatku untuk membantu menyelamatkan hidup mereka.
Aku bersandar lemas di tiang tempat tidur, merasa tak berdaya.
Apa lagi yang bisa kulakukan"
Aku duduk di sana selama beberapa menit dengan kepala tertunduk sebelum ide
gemilang muncul dalam benakku.
Seandainya... Seandainya aku berasumsi Jacob dan Renesmee harus melarikan diri, seharusnya aku
juga berasumsi bahwa Demetri tewas. Dengan demikian, mereka yang selamat
memiliki sedikit ruang untuk bernapas, termasuk Alice dan Jasper.
Kalau begitu, mengapa Alice dan Jasper tak bisa membantu Jacob dan Renesmee"
Kalau mereka bisa dipertemukan kembali, Renesmee akan mendapatkan perlindungan
terbaik yang bisa dibayangkan. Tak ada alasan mengapa ini tidak bisa terjadi,
kecuali fakta bahwa Jake dan Renesmee tidak bisa dilihat Alice. Bagaimana Alice
bisa mulai mencari mereka"
Aku menimbang-nimbang sejenak, kemudian meninggalkan kamar, menyeberangi lorong
menuju kamar suite Carlisle dan Esme. Seperti biasa, meja Esme dipenuhi tumpukan
kertas dan cetak biru, semuanya tersusun rapi dalam tumpukan tinggi. Meja itu
memiliki kotak-kotak kecil di permukaannya; salah satunya kotak berisi kertas
surat. Aku mengambil selembar kertas dan bolpoin.
Kemudian aku memandangi kertas kosong berwarna putih gading itu selama satu
menit penuh, berkonsentrasi pada keputusanku. Alice mungkin tak bisa melihat
Jacob atau Renesmee, tapi ia bisa melihatku. Aku membayangkan ia melihatku saat
ini sepenuh hati berharap ia tidak sedang terlalu sibuk untuk memerhatikan.
Lambat-lambat, dengan sengaja, aku menuliskan kata-kata RIO DE JANEIRO dalam
huruf-huruf besar, memenuhi kertas,
Rio sepertinya tempat terbaik ke mana aku bisa mengirim mereka: letaknya jauh
dari sini, Alice dan Jasper menurut laporan terakhir berada di Amerika Selatan,
dan bukan berarti masalah-masalah lama kami hilang hanya karena kami memiliki
masalah yang lebih besar sekarang. Masa depan Renesmee masih misterius, usianya
yang melaju cepat juga masih menyisakan teror. Sebelumnya kami juga sudah
berencana pergi ke selatan. Sekarang akan menjadi tugas Jacob, dan mudah-mudahan
Alice, untuk mencari legenda-legenda itu.
Aku menunduk lagi, menahan desakan tiba-tiba untuk menangis, mengatupkan gigiku
rapat-rapat. Lebih baik Renesmee melanjutkan hidup tanpaku. Tapi aku sudah
sangat merindukan dia hingga nyaris tak sanggup menahan kesedihanku.
Aku menghela napas dalam-dalam dan memasukkan pesan itu di dasar tas ransel,
tempat Jacob akan menemukannya tak lama lagi.
Aku hanya bisa berharap karena kecil kemungkinan di SMA Jacob ada pelajaran
bahasa Portugis Jake setidaknya mengambil kelas Bahasa Spanyol sebagai mata
pelajaran pilihan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan sekarang kecuali menunggu.
Selama dua hari Edward dan Carlisle bertahan di lapangan tempat Alice melihat
keluarga Volturi datang. Lapangan yang sama tempat vampir-vampir baru Victoria
menyerang kami musim panas lalu. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah rasanya
seperti pengulangan bagi Carlisle, seperti deja vu. Bagiku, semua bakal terasa
baru. Kali ini Edward dan aku akan berdiri bersama keluarga kami.
Kami hanya bisa membayangkan keluarga Volturi akan melacak keberadaan Edward
atau Carlisle. Aku penasaran apakah mereka akan terkejut mendapati buruan mereka
tidak lari. Apakah itu akan membuat mereka waswas" Aku tak bisa membayangkan
keluarga Volturi pernah merasa perlu berhati-hati.
Walaupun aku mudah-mudahan tidak terlihat oleh Demetri, aku tetap bersama
Edward. Tentu saja. Kami hanya punya waktu beberapa jam untuk bersama-sama,
Edward dan aku belum melakukan apa-apa sebagai ucapan selamat tinggal terakhir,
juga tidak merencanakannya. Mengucapkan kata itu akan membuatnya menjadi sesuatu
yang final. Sama seperti mengetikkan kata Tamat di halaman terakhir naskah. Maka
kami pun tidak saling mengucapkan selamat berpisah, dan kami selalu berdekatan,
saling menyentuh. Bagaimanapun hasil akhirnya nanti, kami tetap takkan berpisah.
Kami mendirikan tenda untuk Renesmee beberapa meter ke dalam naungan hutan yang
melindungi. Itu seperti deja vu lagi, mengingat waktu kami berkemah dalam cuaca
dingin bersama Jacob. Hampir tak bisa dipercaya betapa banyaknya yang telah
berubah sejak bulan Juni. Tujuh bulan lalu, hubungan segitiga kami sepertinya
mustahil, tiga hati yang patah tanpa bisa dihindari lagi. Kini semuanya seimbang
dan sempurna. Rasanya sungguh ironis bahwa kepingan-kepingan puzzle itu justru
menyatu tepat pada saat semuanya akan dihancurkan.
Salju mulai turun lagi pada Malam Tahun Baru, Kali ini kepingan-kepingan salju
tidak mencair di tanah lapang yang membatu keras. Sementara Renesmee dan Jacob
tidur Jacob mendengkur sangat keras hingga membuatku heran mengapa Renesmee
tidak terbangun salju mulai membuat lapisan es tipis pertama di tanah, lalu
semakin tebal. Ketika matahari terbit, lengkaplah sudah pemandangan seperti yang
dilihat Alice dalam penglihatannya. Edward dan aku bergandengan tangan, berjalan
melintasi padang putih berkilauan, diam seribu bahasa.
Pagi-pagi sekali yang lain berkumpul, mata mereka memancarkan bukti bisu
mengenai persiapan mereka. Mata mereka sebagian kuning terang, sebagian merah
darah. Tak lama setelah berkumpul kami mendengar para serigala bergerak di dalam
hutan. Jacob muncul dari dalam tenda, meninggalkan Renesmee yang masih tertidur,
untuk bergabung bersama mereka.
Edward dan Carlisle mengatur yang lain-lain dalam formasi longgar, saksi-saksi
kami berdiri di kedua sisi seperti jajaran lukisan di galeri.
Aku menonton dari kejauhan, menunggu di dekat tenda, menjaga Renesmee. Waktu ia
bangun, aku membantunya mengenakan pakaian yang sudah kusiapkan dengan hati-hati
dua hari sebelumnya. Baju yang terlihat manis dan feminin, tapi cukup praktis
dan tidak gampang kusut-walaupun seandainya si pemakai harus memakainya terus
sambil menunggangi serigala raksasa melintasi beberapa negara bagian. Di atas
jaketnya aku memakaikan ransel kulit hitam berisi dokumen-dokumen itu, uang,
petunjuk, dan surat cintaku untuk Renesmee dan Jacob, Charlie dan Renee.
Renesmee cukup kuat hingga itu bukan beban baginya.
Matanya membelalak lebar waktu ia melihat kesedihan di wajahku. Tapi ia sudah
bisa menerka sendiri sehingga tidak menanyakan apa yang kulakukan.
"Aku sayang padamu," kataku padanya. "Lebih dari segalanya."
"Aku juga sayang Momma," sahut Renesmee. Ia menyentuh loket di lehernya, yang
sekarang berisi foto dirinya, Edward, dan aku. "Kita akan selalu bersama."
"Dalam hati kita, kita akan selalu bersama," aku mengoreksi sambil berbisik
pelan, sepelan embusan napas. "Tapi kalau waktunya tiba hari ini, kau harus
meninggalkan aku." Mata Renesmee membelalak, dan ia menyentuhkan tangannya ke pipiku. Kata tidak
yang ia pikirkan justru terdengar lebih lantang daripada bila ia meneriakkannya.
Susah payah aku berusaha menelan ludah; tenggorokanku seperti membengkak.
"Maukah kau melakukannya untukku" Please?"
Renesmee menempelkan jari-jarinya lebih keras lagi ke wajahku. Mengapa"
"Aku tidak bisa memberitahumu," bisikku. "Tapi kau akan mengerti nanti. Aku
janji." Di benakku, aku melihat wajah Jacob.
Aku mengangguk, lalu menarik jari-jarinya dari wajahku. "Jangan pikirkan itu,"
desahku di telinganya. "Jangan bilang apa-apa pada Jacob sampai aku menyuruhmu
lari, oke?" Ia mengerti. Ia mengangguk.
Dari saku aku mengeluarkan satu detail terakhir.
Ketika sedang mengemasi barang-barang Renesmee, kilauan warna yang tak terduga-
duga tertangkap olehku. Sinar matahari yang menerobos masuk dari atap kaca
mengenai perhiasan yang tersimpan dalam kotak kuno berharga yang kuletakkan
tinggi di atas rak, di sudut yang tidak tersentuh. Aku menimbang-nimbang
beberapa saat, kemudian mengangkat bahu. Setelah membereskan semua petunjuk
untuk Alice, aku tidak bisa berharap konfrontasi yang terjadi nanti akan
berakhir damai. Tapi mengapa tidak mengawali semuanya seramah mungkin" tanyaku
pada diri sendiri. Apa salahnya" Maka kurasa aku pasti masih memiliki segelintir
harapan harapan kecil yang muluk karena aku kemudian menaiki rak itu dan
mengambil hadiah pernikahan yang diberikan Aro untukku.
Sekarang aku mengenakan kalung emas tebal itu di leher dan merasakan berat
berlian besar itu menggelayut di lekukan leherku.
"Cantik" bisik Renesmee. Lalu ia melingkarkan lengannya seperti ular di leherku.
Kudekap ia erat-erat di dada. Dalam posisi berpelukan seperti ini, aku
membawanya keluar dari tenda dan memasuki lapangan.
Edward mengangkat sebelah alis waktu aku mendekat, tapi tidak berkomentar sama
sekali saat melihat Renesmee ataupun aksesori yang kupakai. Ia hanya memeluk
kami lama sekali kemudian, sambil mengembuskan napas dalam-dalam, melepaskan
kami. Aku tidak bisa melihat sorot perpisahan di matanya. Mungkin ia punya
harapan lebih besar akan adanya kehidupan lain setelah kehidupan ini daripada
yang selama ini ia akui. Kami mengambil tempat masing-masing, Renesmee memanjat punggungku dengan lincah
agar tanganku bebas bergerak. Aku berdiri beberapa meter di belakang garis depan
yang terdiri atas Carlisle, Edward, Emmett, Rosalie, Tanya, Kate, dan Eleazar,
Dekat di sampingku adalah Benjamin dan Zafrina; tugasku melindungi mereka selama
mungkin. Mereka senjata penyerang terbaik kami. Bila keluarga Volturi tidak bisa
melihat, bahkan selama beberapa saat, itu akan mengubah segalanya.
Zafrina kaku dan garang, begitu juga Senna yang berdiri di sampingnya. Benjamin
duduk di tanah, telapak tangannya menempel di tanah, dan menggerutu pelan
tentang garis pembatas. Semalam ia menebar batu-batu kecil dalam gundukan yang
terlihat alami tapi yang sekarang tertutup salju di sepanjang padang rumput,
Tidak cukup besar untuk melukai vampir, tapi mudah-mudahan cukup untuk
mengalihkan perhatian. Para saksi bergerombol di samping kiri dan kanan kami, beberapa berdiri lebih
dekat mereka yang telah mendeklarasikan diri kepada kami adalah yang berdiri
paling dekat. Kulihat Siobhan mengurut pelipisnya, matanya terpejam penuh
konsentrasi; apakah ia berusaha menyenangkan hati Carlislei. Berusaha
memvisualisasikan resolusi diplomatik"
Di hutan di belakang kami, serigala-serigala yang tidak kelihatan berdiri diam
dan siap; kami hanya bisa mendengar napas mereka yang berat, serta jantung
mereka yang berdetak. Awan bergulung-gulung, menyebarkan cahaya hingga tak jelas apakah sekarang pagi
atau sore. Mata Edward mengeras saat mengamati pemandangan itu, dan aku yakin ia
juga melihat pemandangan yang sama persis detik ini juga pertama kalinya adalah
dalam penglihatan Alice, Pemandangannya akan sama ketika keluarga Volturi tiba.
Berarti waktunya hanya tinggal beberapa menit atau detik sekarang.
Seluruh anggota keluarga dan sekutu kami mengejang, bersiap-siap.
Dari dalam hutan, serigala besar berbulu cokelat kemerahan maju dan berdiri di
sampingku; pasti sulit sekali baginya berjauhan dengan Renesmee ketika Renesmee
sedang dalam bahaya besar.
Renesmee mengulurkan tangan untuk menyusupkan jari-jarinya ke pundak si serigala
besar, dan tubuhnya sedikit merileks. Ia lebih tenang kalau ada Jacob di
dekatnya. Aku juga ikut merasa sedikit lebih tenang. Selama ada Jacob
bersamanya, Renesmee akan baik-baik saja.
Tanpa mengambil risiko melirik ke belakang, Edward mengulurkan tangannya ke
belakang, kepadaku. Aku mengulurkan tangan ke depan sehingga bisa menggenggam
tangannya. Edward meremas jari-jariku.
Satu menit lagi berlalu, dan aku mendapati diriku membuka telinga lebar-lebar,
berusaha keras mendengar suara orang datang.
Kemudian Edward menegang dan mendesis pelan dari sela-sela giginya yang terkatup
rapat. Matanya menatap tajam ke hutan di sebelah utara tempat kami berdiri.
Kami memandang ke arah yang dilihatnya, dan menunggu sementara detik demi detik
berlalu. 36. HAUS DARAH Mereka datang berarak-arak, begitu anggun.
Formasi mereka kaku dan formal. Mereka bergerak bersama-sama, tapi tidak seperti
sedang berbaris; melainkan mengambang dalam gerakan sinkron dan sempurna dari
balik pepohonan-kesatuan sosok gelap yang tiada putus, seolah mengambang
beberapa sentimeter di atas salju putih, gerakan mereka sangat halus.
Perimeter terluar berwarna abu-abu; semakin ke dalam barisannya semakin gelap,
sampai akhirnya ke jantung formasi yang berwarna paling kelam. Setiap wajah
terlihat tirus, tersaput bayang-bayang. Gesekan pelan kaki mereka begitu teratur
bagaikan musik, ketukan rumit yang tak pernah goyah sedikit pun.
Lewat isyarat yang tak bisa kulihat-atau mungkin memang tak ada isyarat, hanya
hasil latihan berabad-abad-konfigurasi itu melipat ke arah luar. Gerakannya
masih terlalu kaku, kelewat persegi untuk menjadi seperti bunga merekah,
walaupun warnanya memperlihatkan hal itu seperti kipas
terbuka, anggun namun bersegi tajam. Sosok-sosok berjubah abu-abu menyebar ke
sisi kiri dan kanan, sementara sosok-sosok berjubah lebih gelap maju persis di
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tengah, setiap gerakannya terkendali sangat rapi.
Gerakan mereka lamban tapi pasti, tidak tergesa-gesa, tidak ada ketegangan,
tidak ada kecemasan. Derap langkah pasukan yang tak terkalahkan.
Ini hampir menyerupai mimpi burukku dulu. Satu-satunya yang kurang hanya
ekspresi mengejek penuh kemenangan yang kulihat di wajah-wajah dalam mimpiku-
senyum senang penuh nafsu membalas dendam. Sejauh ini, keluarga Volturi terlalu
disiplin untuk menunjukkan emosi apa pun. Mereka juga tidak menunjukkan ekspresi
kaget ataupun kecewa melihat kumpulan vampir yang menunggu mereka di sini -
kumpulan yang tiba-tiba saja terlihat berantakan dan tidak siap bila
dibandingkan rombongan mereka. Mereka juga tidak menunjukkan tanda-tanda kaget
melihat serigala raksasa berdiri di tengah-tengah kami.
Aku tak tahan untuk tidak menghitung. Mereka berjumlah 32. Meski tidak
menghitung dua sosok berjubah hitam yang berdiri agak jauh dan menyendiri di
barisan paling belakang, yang dugaanku adalah para istri-posisi mereka yang
terlindungi mengisyaratkan mereka takkan terlibat dalam penyerangan -jumlah kami
tetap kalah banyak. Hanya bersembilan belas dari kami yang akan bertempur, dan
tujuh yang akaN menonton saat kami dihancurkan. Bahkan dengan tambahan sepuluh
serigala, kami tetap kalah.
"Pasukan berjubah merah datang, pasukan berjubah merah datang," gumam Garrett
misterius pada dirinya sendiri, kemudian terkekeh. Ia bergeser selangkah lebih
dekat pada Kate. "Mereka benar-benar datang," bisik Vladimir pada Stefan.
"Istri-istri juga," Stefan balas mendesis. "Seluruh pengawal. Mereka semua bersama-sama. Bagus
juga kita tidak mencoba menyerang ke Volterra."
Kemudian, seakan-akan jumlah mereka belum cukup, sementara keluarga Volturi
perlahan-lahan maju dengan anggun, lebih banyak lagi vampir memasuki lapangan di
belakang mereka. Wajah-wajah dalam barisan panjang vampir yang terus berdatangan dan seolah tak
putus-putus itu merupakan antitesis kedisiplinan keluarga Volturi yang tanpa
ekspresi'-wajah mereka merupakan kaleidoskop emosi yang bermacam-macam. Awalnya
mereka terlihat shock dan beberapa bahkan cemas begitu melihat kekuatan tak
terduga yang menunggu. Tapi kecemasan itu dengan cepat langsung lenyap; mereka
merasa aman karena jumlah mereka yang sangat besar, aman dalam posisi mereka di
belakang pasukan Volturi yang tak terhentikan. Air muka mereka kembali ke
ekspresi yang mereka tunjukkan ketika kami membuat mereka terkejut tadi.
Cukup mudah memahami jalan pikiran mereka-wajah-wajah itu cukup eksplisit. Ini
rombongan yang marah, dilecut nafsu untuk menuntut keadilan. Aku tak sepenuhnya
menyadari perasaan dunia vampir terhadap anak-anak imortal sebelum aku membaca
wajah mereka. Jelas sekali rombongan yang tak beraturan ini-jumlahnya lebih dari empat puluh
vampir-adalah para saksi dari pihak keluarga Volturi. Kalau kami sudah mati
nanti, mereka akan menyebarkan berita bahwa para kriminal telah dilenyapkan,
bahwa keluarga Volturi telah bertindak tegas, tanpa memihak sama sekali.
Sebagian besar terlihat seperti mengharapkan lebih dari sekadar kesempatan
menyaksikan -mereka ingin membantu mencabik-cabik dan membakar.
Kami tak punya doa apa pun. Walaupun kami berhasil menetralisir serangan
keluarga Volturi, entah bagaimana caranya, saksi-saksi itu masih bisa mengubur
kami. Walaupun seandainya kami bisa membunuh Demetri, Jacob pasti takkan mampu
lari dari kejaran mereka.
Aku bisa merasakannya saat pemahaman yang sama meresap dalam pikiran semua
vampir di sekelilingku. Perasaan putus asa menggayut di udara, mendorongku ke
bawah dengan tekanan yang lebih besar daripada sebelumnya.
Satu vampir di pasukan lawan sepertinya tidak tergabung dalam pasukan mana pun;
aku mengenali Irina ketika ia berdiri ragu di antara kedua pasukan, ekspresinya
unik. Sorot ngerinya tertuju pada posisi Tanya di barisan depan. Edward
menggeram, suaranya sangat pelan tapi garang.
"Alistair benar," bisik Edward pada Carlisle.
Kulihat Carlisle melirik Edward dengan sikap bertanya.
"Alistair benar?" bisik Tanya.
"Mereka Caius dan Aro datang untuk menghancurkan dan menguasai," Edward
mengembuskan napas hampir tanpa suara; hanya bagian kami yang bisa mendengar.
"Mereka sudah menyiapkan banyak sekali strategi. Bila tuduhan Irina ternyata
tidak benar, mereka sudah bertekad mencari alasan lain untuk menyerang. Tapi
mereka bisa melihat Renesmee sekarang, jadi mereka sangat optimis tentang tujuan
mereka. Kita masih bisa berusaha membela diri dari tuduhan-tuduhan lain yang
sudah mereka rencanakan, tapi pertama-tama mereka harus berhenti dulu,
mendengarkan yang sebenarnya tentang Renesmee." Kemudian, suaranya semakin
pelan. "Mereka sebenarnya tidak berniat melakukan itu."
Jacob mengeluarkan dengusan kecil yang aneh.
Kemudian, tanpa diduga-duga, dua detik kemudian, prosesi itu benar-benar
berhenti. Alunan pelan musik yang mengiringi gerakan yang tertata tapi itu
mendadak berhenti. Barisan sangat disiplin itu tetap tak terpatahkan; keluarga
Volturi membeku dalam keheningan sebagai satu kesatuan. Mereka berdiri kira-kira
sembilan puluh meter dari kami.
Di belakangku, di semua sisi, aku mendengar degup jantung, lebih dekat daripada
sebelumnya. Aku mencuri pandang ke kiri dan ke kanan, melirik dari sudut mataku
untuk melihat apa yang membuat keluarga Volturi berhenti bergerak.
Serigala-serigala itu datang bergabung.
Di kedua sisi barisan kami yang tidak beraturan, serigala-serigala itu terbagi
dua, membentuk lengan yang panjang dan memagari. Sekilas aku sempat memerhatikan
jumlahnya lebih dari sepuluh, mengenali beberapa yang kukenal dan beberapa yang
tidak pernah kulihat sebelumnya. Seluruhnya ada enam belas serigala, berdiri
dalam jarak yang sama mengitari kami-totalnya tujuh belas, termasuk Jacob.
Kentara sekali dari tinggi badan dan ukuran telapak kaki mereka yang sangat
besar bahwa para pendatang baru itu masih amat sangat muda. Kurasa seharusnya
aku sudah bisa menduga hal ini. Dengan begitu banyaknya vampir berkemah di
sekitar kawasan ini, ledakan populasi werewolf tentu tak dapat dihindari.
Lebih banyak anak yang mati. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa Sam
mengizinkan ini terjadi, kemudian sadarlah aku bahwa ia tidak punya pilihan
lain. Bila satu saja serigala membela kami, keluarga Volturi pasti akan mencari
sisanya. Mereka mempertaruhkan seluruh spesies mereka dalam pertarungan ini.
Padahal kami akan kalah. Tiba-tiba aku marah sekali. Lebih dari marah, aku murka.
Perasaan putus asa dan tak berdaya yang kurasakan lenyap seluruhnya. Kilau
kemerahan samar terpancar dari sosok-sosok gelap di depanku, dan yang kuinginkan
saat itu hanya kesempatan untuk membenamkan gigi-gigiku ke sosok-sosok itu,
mengoyak tangan dan kaki mereka, lalu menumpuknya untuk dibakar. Begitu marahnya
aku hingga sanggup rasanya aku menari-nari mengitari api unggun sementara mereka
terpanggang hidup-hidup; aku akan tertawa sementara abu mereka membara. Bibirku
tertarik ke belakang, dan geraman rendah yang buas terlontar dari
kerongkonganku, keluar jauh dari dasar perut. Sadarlah aku sudut-sudut mulutku
terangkat, membentuk senyuman.
Di sebelahku, Zafrina dan Senna menggemakan geraman pelanku. Edward meremas
tangan yang masih digenggamnya, mengingatkanku.
Wajah-wajah berbayang keluarga Volturi sebagian besar masih tanpa ekspresi.
Hanya dua pasang mata yang menunjukkan emosi. Di bagian tengah, Aro dan Caius
berhenti unruk mengevaluasi, dan seluruh pengawal ikut berhenti bersama mereka,
menunggu perintah untuk membunuh. Mereka tidak saling melirik, namun jelas
keduanya saling berkomunikasi. Marcus, meski menyentuh tangan Aro yang lain,
sepertinya tidak terlibat dalam perbincangan itu. Ekspresinya tidak segarang
para pengawal, tapi nyaris sama kosongnya. Seperti ketika aku bertemu dengannya
waktu itu, ia terlihat sangat bosan.
Sosok para saksi keluarga Volturi condong ke arah kami, mata mereka tertuju
garang pada Renesmee dan aku, tapi mereka bertahan di tepi hutan, memberi jarak
yang cukup lebar antara mereka dan para pengawal Volturi. Hanya Irina yang
berada dekat di belakang keluarga Volturi, hanya beberapa langkah dari para
wanita kuno keduanya berambut pirang dengan kulit transparan dan mata berkabut
serta dua pengawalnya yang berbadan besar.
Ada seorang wanita di belakang Aro yang mengenakan jubah abu-abu gelap. Meski
tak bisa memastikan, tapi kelihatannya ia menyentuh bahu Aro. Inikah Renata, si
perisai lain itu" Aku penasaran, seperti halnya Eleazar, apakah ia bisa menolak
aku. Tapi aku takkan menyia-nyiakan hidup dengan berusaha menyerang Caius dan Aro.
Aku punya target-target vital lain.
Aku mencari-cari di antara barisan itu dan tidak kesulitan menemukan dua sosok
mungil berjubah abu-abu gelap yang berdiri agak ke tengah. Alec dan Jane,
anggota pengawal terkecil, berdiri tepat di samping Marcus, dan diapit Demetri
di sisi lain. Wajah mereka yang cantik tak menunjukkan ekspresi apa pun; mereka
mengenakan jubah tergelap setelah jubah hitam pekat yang dikenakan para tetua.
Si penyihir kembar, begitu Vladimir menyebut mereka. Kekuatan mereka merupakan
senjata pamungkas keluarga Volturi. Permata dalam koleksi Aro.
Otot-ototku menegang, dan racun terkumpul dalam mulutku.
Mata Aro dan Caius yang merah dan berkabut berkelebat menyapu barisan kami. Aku
membaca kekecewaan di wajah Aro saat tatapannya menyapu wajah kami berulang
kali, mencari vampir yang hilang. Kekecewaan membuat bibirnya menegang.
Saat itulah, aku merasa sangat bersyukur Alice telah kabur. Saat suasana sunyi
terus berlanjut, kudengar desah napas Edward memburu.
"Edward?" tanya Carlisle, pelan dan cemas.
"Mereka tidak tahu bagaimana memulainya. Mereka sedang menimbang-nimbang
berbagai opsi, memilih target-target kunci aku tentu saja, kau, Eleazar, Tanya.
Marcus membaca kekuatan hubungan kita satu sama lain, mencari titik-titik lemah.
Kehadiran kalompok Rumania membuat mereka kesal. Mereka juga khawatir melihat
wajah-wajah yang tidak mereka kenal Zafrina dan Senna terutama, serta para
serigala sudah pasti. Sebelumnya mereka tak pernah kalah jumlah."
"Kalah jumlah?" bisik Tanya dengan sikap tak percaya.
"Mereka tidak menghitung saksi-saksi mereka," desah Edward. "Mereka bukan siapa-
siapa, tidak berarti apa-apa bagi para pengawal, Aro hanya senang kalau ada yang
menonton." "Apakah sebaiknya aku berbicara?" tanya Carlisle,
Edward ragu-ragu, kemudian mengangguk. "Ini satu-satunya kesempatan yang akan
kauperoleh," Carlisle menegakkan bahu dan maju beberapa langkah ke depan garis pertahanan
kami. Aku tidak suka melihatnya sendirian, tak terlindung.
Carlisle membentangkan kedua lengannya, telapak tangan mengarah ke atas seperti
menyapa. "Aro, teman lamaku. Sudah berabad-abad kita tidak bertemu."
Lapangan putih itu sunyi senyap beberapa saat. Aku bisa merasakan ketegangan
bergulung-gulung keluar dari tubuh Edward sementara ia mendengarkan penilaian
Aro terhadap kata-kata Carlisle, Ketegangan semakin memuncak sementara detik
demi detik terus berjalan.
Kemudian Aro melangkah maju dari tengah-tengah formasi keluarga Volturi.
Perisainya, Renata, ikut bergerak bersamanya, seakan-akan ujung-ujung jari
Renata terjahit ke jubah Aro.
Untuk pertama kali barisan Volturi bereaksi. Geraman pelan bergaung di Seantero
barisan, alis-alis bertaut membentuk seringaian, bibir tertarik ke belakang,
memunculkan sederet gigi. Beberapa pengawal membungkuk, siap menerjang.
Aro mengangkat satu tangan ke arah mereka. "Damai."
Ia berjalan beberapa langkah lagi, kemudian menelengkan kepala. Matanya yang
berkabut berkilau penuh rasa ingin tahu,
"Kata-kata yang manis, Carlisle," desahnya, suaranya tipis dan lemah. "Walaupun
tidak pada tempatnya, mengingat pasukan yang kauhimpun untuk membunuhku, dan
membunuh orang-orang kesayanganku."
Carlisle menggeleng dan mengulurkan tangan kanannya, seolah-olah mereka tak
terpisahkan oleh jarak yang kira-kira masih sembilan puluh meter lagi. "Kau
tinggal menyentuh tanganku untuk tahu bahwa aku tak pernah bermaksud seperti
itu" Mata licik Aro menyipit. "Tapi apa gunanya niatmu itu, dear Carlisle, mengingat
apa yang telah kaulakukan?" Ia mengerutkan kening, dan bayang kesedihan melintas
di wajahnya entah itu tulus atau tidak, aku tak tahu.
"Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa yang bisa menyebabkan kau datang
menghukumku." "Kalau begitu menyingkirlah dan biarkan kami menghukum mereka yang bertanggung
jawab. Sungguh, Carlisle, tak ada yang lebih menyenangkanku selain menyelamatkan
hidupmu hari ini," "Tak ada yang melanggar hukum, Aro. Izinkan aku menjelaskan." Lagi-lagi,
Carlisle mengulurkan tangan.
Belum lagi Aro bisa menjawab, Caius maju dengan cepat ke sisi Aro.
"Begitu banyak aturan tak berguna, begitu banyak bukum tidak perlu yang
kauciptakan untuk dirimu sendiri, Carlisle," desis vampir kuno berambut putih
itu. "Bagaimana mungkin kau membela pelanggaran SATU hukum yang benar-benar
penting?" "Tidak ada hukum yang dilanggar. Kalau kalian mau mendengarkan... "
"Kami melihat anak itu, Carlisle," geram Caius. "Jangan perlakukan kami seperti
orang-orang tolol." "Dia bukan anak imortal. Dia bukan vampir. Aku bisa dengan mudah membuktikan hal
ini dalam beberapa saat... "
Caius langsung memotongnya. "Kalau benar dia bukan bocah terlarang, lantas
mengapa kau menghimpun satu batalion untuk melindunginya?"
"Saksi-saksi, Caius, seperti yang kalian bawa," Carlisle melambaikan tangan ke
gerombolan beringas di pinggir hutan; sebagian di antara mereka merespons dengan
menggeram. "Siapa pun di antara teman-teman ini bisa menjelaskan hal sebenarnya
tentang anak ini. Atau lihat saja anak itu, Caius. Lihat semburat merah darah di
pipinya" "Tipuan!" bentak Caius. "Mana informannya" Suruh dia maju!" Ia menjulurkan leher
panjang-panjang sampai melihat Irina berdiri di belakang para istri. "Kau!
Kemari!" Irina memandangi Caius dengan sikap tak mengerti, wajahnya seperti orang yang
belum sepenuhnya terbangun dari mimpi buruk yang mengerikan. Tidak sabar, Caius
menjentikkan jari-jarinya. Salah seorang pengawal para istri yang bertubuh besar
mendekati Irina dan menyenggol punggungnya dengan kasar. Irina mengerjapkan mata
dua kali, kemudian berjalan lambat-lambat menghampiri Caius dengan sikap
linglung. Ia berhenti beberapa meter jauhnya, matanya masih tertuju pada
saudari-saudarinya. Caius mendekati Irina dan menampar wajahnya.
Tamparan itu pasti tidak sakit, namun tindakan itu sangat merendahkan. Seperti
melihat orang menendang anjing. Tanya dan Kate mendesis berbarengan.
Tubuh Irina mengejang kaku dan matanya akhirnya terfokus pada Caius. Ia
menudingkan jarinya yang berkuku tajam pada Renesmee, yang bergayut di
punggungku, jari-jarinya masih mencengkeram bulu Jacob, Caius berubah warna
menjadi merah sepenuhnya dalam pandangan mataku yang penuh amarah. Geraman
menyeruak dari dada Jacob.
"Inikah anak yang waktu itu kaulihat?" tuntut Caius, "Anak yang jelas-jelas
lebih dari manusia?"
Irina menyipitkan mata pada kami, mengamati Renesmee untuk pertama kali sejak
memasuki lapangan. Kepalanya ditelengkan ke satu sisi, ekspresi bingung menghias
wajahnya. "Well" geram Caius.
"Aku.. aku tidak yakin," jawab Irina, nadanya terperangah.
Tangan Caius bergerak-gerak seolah gatal ingin menampar Irina lagi, "Apa
maksudmu?" tanyanya, suaranya berbisik dingin.
"Dia tidak sama, tapi kurasa dialah anak itu. Maksudku, dia sudah berubah. Anak
ini lebih besar daripada yang waktu itu kulihat, tapi,.. "
Sentakan marah Caius terlontar dari sela-sela giginya yang mendadak menyeringai,
dan Irina langsung berhenti bicara tanpa menyelesaikan kalimatnya. Aro buru-buru
mendatangi Caius dan meletakkan tangan di pundaknya dengan sikap menahan.
"Tenanglah, brother, Kita punya waktu untuk membereskannya. Tak perlu buru-
buru." Dengan ekspresi masam, Caius memunggungi Irina.
"Sekarang, Manis" kata Aro dengan suara bergumam hangat dan semanis madu.
"Tunjukkan padaku apa yang ingin kausampaikan." Ia mengulurkan tangannya pada
vampir yang kebingungan itu.
Ragu-ragu, Irina meraih tangan Aro. Aro memegangi tangannya selama lima
detik. "Kaulihat kan, Caius?" ujar Aro. "Sederhana saja mendapatkan apa yang kita
butuhkan." Caius tidak menyahut. Dari sudut mata Aro melirik para penontonnya,
gerombolannya, kemudian berbalik menghadapi Carlisle.
"Kalau begitu sepertinya kita menghadapi sedikit misteri. Kelihatannya anak itu
sudah bertumbuh. Namun ingatan pertama Irina jelas tentang anak imortal. Membuat
penasaran." "Itulah yang berusaha kujelaskan," kata Carlisle, dan dari perubahan suaranya,
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku bisa menebak kelegaannya. Inilah jeda yang menjadi tumpuan harapan kami
semua. Aku sama sekali tidak merasa lega. Aku menunggu, nyaris lumpuh oleh amarah,
menunggu berbagai strategi yang dikatakan Edward tadi.
Lagi-lagi Carlisle mengulurkan tangan.
Aro ragu-ragu sesaat. "Aku lebih suka mendapat penjelasan dari seseorang yang
memegang peranan lebih sentral dalam cerita ini, sobatku. Kelirukah aku
berasumsi bahwa pelanggaran ini bukan hasil perbuatanmu?"
"Tidak ada pelanggaran apa-apa."
"Terserah bagaimana kau menyebutnya, pokoknya aku akan mendapatkan setiap sisi
kebenaran" Suara tipis Aro mengeras.
"Dan cara terbaik mendapatkannya adalah mendapat buktinya langsung dari putramu
yang berbakat." Ia menelengkan kepala ke arah Edward. "Dan karena anak itu
bergayut di punggung pasangannya, aku berasumsi Edward terlibat dalam hal ini."
Tentu saja ia menginginkan Edward. Begitu ia bisa melihat isi kepala Edward, ia
akan mengetahui semua pikiran kami. Kecuali pikiranku.
Edward menoleh cepat untuk mencium keningku dan kening Renesmee, tanpa menatap
mataku. Lalu ia berjalan melintasi lapangan bersalju, meremas bahu Carlisle
waktu lewat. Aku mendengar rintihan pelan dari belakangku-ketakutan Esme tak
tertahankan lagi. Kabut merah yang kulihat di sekeliling pasukan Volturi berkobar lebih terang
daripada sebelumnya. Aku tak sanggup menyaksikan Edward berjalan melintasi ruang
putih kosong itu sendirian tapi aku juga tak sanggup membawa Renesmee selangkah
lebih dekat ke musuh-musuh kami. Kebutuhan yang saling bertentangan itu seakan
membelah hatiku; aku membeku begitu kaku hingga rasanya tulang-tulangku bakal
remuk saking kuatnya tekanan yang kurasakan.
Aku melihat Jane tersenyum saat Edward berjalan melintasi batas tengah di antara
kami. Kini ia lebih dekat kepada mereka dibandingkan kepada kami.
Senyum kecil penuh kemenangan itulah pemicunya. Amarahku memuncak, bahkan lebih
besar daripada kemurkaan yang kurasakan saat para serigala berkomitmen membela
kami dalam pertempuran celaka ini. Aku bisa merasakan amarah itu di lidahku aku
merasakannya mengalir ke sekujur tubuhku bagaikan gelombang pasang kekuatan
murni. Otot-ototku mengejang, dan aku langsung bertindak. Dengan segenap
kekuatan pikiran, kulemparkan perisaiku, kulontarkan ke tengah padang luas
sepuluh kali jarak terjauhku bagaikan lembing. Napasku menghambur keluar dengan
suara mendesis saking kuatnya lontaran yang kulakukan.
Perisai itu melejit dariku dalam naungan energi yang sangat kuat, baja cair yang
bentuknya menyerupai awan jamur. Kekuatan itu berdenyut-denyut seperti makhluk
hidup aku bisa merasakannya, dari puncak hingga ke pinggir.
Bahan elastis itu kini tidak tertarik kembali; dalam serbuan kekuatan instan
tadi, kulihat bahwa tarikan kembali yang kurasakan sebelumnya adalah hasil
perbuatanku sendiri ternyata selama ini aku berpegang erat pada bagian diriku
yang tidak terlihat itu sebagai bentuk pertahanan diri, secara tak sadar tidak
rela melepaskannya. Sekarang aku membebaskannya, dan perisaiku meledak dengan
mudahnya sejauh 45 meter dariku, dengan hanya menyita sedikit konsentrasiku. Aku
bisa merasakannya meregang seperti orot, patuh pada kemauanku. Aku mendorongnya,
membentuknya menjadi panjang dan oval yang lancip. Segala sesuatu di bawah
perisai elastis itu tiba-tiba menjadi bagian diriku aku bisa merasakan kekuatan
hidup segala sesuatu yang dilingkupinya bagaikan titik-titik panas cemerlang,
percikan bunga api terang benderang yang mengelilingiku. Kudorong perisai itu
lebih maju lagi di sepanjang lapangan, dan mengembuskan napas lega waktu
merasakan cahaya terang Edward dalam perlindunganku. Aku menahannya di sana,
meregangkan otot baru ini sehingga ia melingkupi Edward, lapisan tipis tapi tak
bisa ditembus yang membatasi tubuhnya dengan musuh-musuh kami.
Satu detik belum lagi berlalu. Edward masih berjalan menghampiri Aro. Segalanya
telah berubah, tapi tak ada yang menyadari ledakan itu kecuali aku. Tawa
terkejut berkumandang dari bibirku. Aku merasa yang lain melirikku dan melihat
mata hitam Jacob yang besar bergulir memandangiku seolah-olah aku sudah sinting,
Edward berhenti beberapa langkah dari Aro, dan dengan kecewa aku sadar bahwa
walaupun bisa, aku seharusnya tidak menghalangi ini terjadi. Inilah inti semua
persiapan kami: membuat Aro mau mendengar cerita dari sisi kami. Nyaris
menyakitkan rasanya melakukan hal itu, tapi dengan enggan kutarik kembali
perisaiku dan kubiarkan Edward terekspos lagi. Keinginan untuk tertawa itu
lenyap. Aku fokus sepenuhnya pada Edward, siap menamenginya begitu terjadi
sesuatu. Dagu Edward terangkat dengan sikap arogan, dan ia mengulurkan tangan pada Aro
seolah-olah itu kehormatan besar. Aro tampak sangat senang melihat sikapnya,
tapi tidak semuanya ikut merasa senang. Renata bergerak-gerak gugup dalam
bayang-bayang Aro, Caius begitu cemberut hingga kulitnya yang setipis kertas dan
transparan terlihat seperti berkerut permanen. Si kecil Jane memamerkan giginya,
dan di sampingnya mata Alec menyipit penuh konsentrasi. Kurasa ia sudah siap,
seperti aku, untuk bertindak dalam tempo sedetik.
Aro langsung mendatangi Edward tanpa berpikir dua kali dan memang, apa yang
perlu ia takutkan" Bayang-bayang besar sosok berselubung jubah abu-abu para
petarung berperawakan tegap seperti Felix berdiri hanya beberapa meter darinya,
Jane dan kemampuannya yang bisa membakar sanggup melempar Edward ke tanah,
menggeliat-geliat kesakitan. Alec mampu membutakan dan menulikan Edward sebelum
ia sempat maju satu langkah saja menghampiri Aro. Tak ada yang tahu aku memiliki
kemampuan menghentikan mereka, bahkan Edward sendiri pun tidak.
Sambil tersenyum tenang, Aro meraih tangan Edwatd.
Matanya langsung terpejam, kemudian bahunya tertekuk ke depan, menahan gempuran
informasi. Setiap pikiran rahasia, setiap strategi, setiap pandangan segala sesuatu yang
didengar Edward dalam pikiran-pikiran di sekelilingnya selama satu bulan
terakhir sekarang jadi milik Aro. Dan jauh lebih ke belakang lagi setiap visi
Alice, setiap momen tenang bersama keluarga kami, setiap gambar dalam pikiran
Renesmee, setiap ciuman, setiap sentuhan antara Edward dan aku... semua itu juga
menjadi milik Aro. Aku mendesis frustrasi, dan perisai itu bergolak karena ke-jengkelanku, berubah
bentuk dan berkontraksi di sekeliling kami.
"Tenang, Bella," bisik Zafrina. Aku mengatupkan gigi rapat-rapat.
Aro terus berkonsentrasi pada pikiran-pikiran Edward. Kepala Edward tertunduk,
otot-otot lehernya mengunci rapat sementara ia membaca kembali semua yang
diambil Aro darinya, dan respons Aro terhadap semua itu.
Pembicaraan dua arah tapi tak seimbang ini berlangsung cukup lama hingga para
pengawal mulai gelisah. Gumaman rendah menjalar sepanjang barisan sampai Caius
menyerukan perintah tajam untuk diam. Jane beringsut maju seperti tak sanggup
menahan diri, dan wajah Renata kaku oleh perasaan tegang. Sesaat aku mengamati
perisai kuat yang sepertinya nyaris panik dan lemah itu; walaupun ia berguna
bagi Aro, kentara sekali ia bukan prajurit. Tugasnya bukan bertempur, tapi
melindungi. Tak ada nafsu haus darah dalam dirinya. Meski masih hijau, aku tahu
bila berhadapan dengannya, aku pasti sanggup mengenyahkannya.
Aku kembali fokus ketika Aro menegakkan badan, matanya terbuka, sorot matanya
takjub bercampur kecut. Ia tidak melepaskan tangan Edward.
Otot-otot Edward sedikit mengendur.
"Kaulihat sendiri, kan?" tanya Edward, suara beledunya kalem.
"Ya, aku melihatnya, benar," Aro sependapat, dan yang menakjubkan, ia nyaris
terdengar geli. "Aku ragu apakah ada di antara dewa ataupun kaum fana pernah
melihat dengan begitu jelasnya."
Wajah-wajah disiplin para pengawal menunjukkan sikap tak percaya yang sama
seperti yang kurasakan. "Kau memberiku banyak hal untuk dipikirkan, Sobat Muda," sambung Aro. "Jauh
lebih banyak dari yang kuduga." Meski begitu ia tidak melepaskan tangan Edward,
dan sikap Edward yang tegang menunjukkan ia mendengarkan.
Edward tidak menjawab. "Bolehkah aku bertemu dengannya?" tanya Aro hampir memohon dengan semangat
ketertarikan yang tiba-tiba muncul. "Tak pernah terbayangkan olehku keberadaan
makhluk semacam itu selama sekian abad hidupku. Sungguh merupakan tambahan yang
hebat bagi sejarah kita!"
"Apa-apaan ini, Aro?" bentak Caius sebelum Edward bisa menjawab. Pertanyaan itu
saja sudah membuatku menarik Renesmee ke dalam dekapanku, menggendongnya dengan
sikap protektif di dadaku.
"Sesuatu yang tak pernah terbayangkan olehmu, sobatku yang praktis. Ambil waktu
sebentar untuk mempertimbangkan, karena keadilan yang tadinya ingin kita
tegakkan ternyata tak berlaku lagi."
Caius mendesis kaget mendengar kata-kata Aro.
"Damai, brother" Aro mewanti-wanti dengan nada menenangkan.
Seharusnya ini kabar baik kata-kata yang selama ini kami harapkan, penangguhan
hukuman yang tidak pernah benar-benar kami duga mungkin terjadi. Aro
mendengarkan kebenaran. Aro mengakui tidak terjadi pelanggaran hukum.
Tapi mataku terpaku pada Edward, dan kulihat otot-otot punggungnya menegang. Aku
memutar kembali dalam ingatanku instruksi Aro kepada Caius untuk
mempertimbangkan, dan mendengar makna ganda di dalamnya.
"Maukah kau memperkenalkanku pada putrimu?" tanya Aro lagi kepada Edward.
Caius bukan satu-satunya yang mendesis mendengar istilah baru itu.
Edward mengangguk enggan. Namun Renesmee sudah berhasil merebut hati banyak
orang. Aro sepertinya selalu menjadi pemimpin dari para tetua. Bila ia berpihak
pada kami, bisakah yang lain-lain melawan kami"
Aro masih mencengkeram tangan Edward, dan sekarang ia menjawab pertanyaan yang
tak bisa didengar kami semua,
"Kurasa kompromi pada titik ini jelas bisa diterima, mengingat situasinya. Kita
akan bertemu di tengah-tengah."
Aro melepas tangan Edward. Edward berbalik ke arah kami, dan Aro bergabung
dengannya, melingkarkan sebelah tangan dengan santai ke bahu Edward, seolah-olah
mereka bersahabat karib selama itu tetap bersentuhan dengan kulit Edward. Mereka
mulai berjalan melintasi lapangan menuju sisi kami.
Seluruh pengawal ikut bergerak di belakangnya. Aro mengangkat tangan dengan
sikap sembrono tanpa memandang mereka.
"Tahan, teman-teman kesayanganku. Sungguh, mereka tidak akan mencederai kita
bila kita bermaksud baik pada mereka,"
Pengawal merespons perintah itu secara lebih terbuka daripada sebelumnya, dengan
geraman dan desisan protes, tapi tetap bertahan pada posisi masing-masing.
Renata, yang semakin merapat pada Aro daripada yang sudah-sudah, merintih-rintih
cemas. "Tuan," bisiknya.
"Jangan cemas, sayangku," sahut Aro. "Semua beres"
"Mungkin sebaiknya kaubawa saja beberapa pengawalmu bersama kita," Edward
menyarankan. "Itu akan membuat mereka merasa lebih nyaman."
Aro mengangguk, seolah-olah ini pandangan bijak yang seharusnya terpikirkan
sendiri olehnya. Ia menjentikkan jarinya dua kali. "Felix, Demetri."
Kedua vampir itu langsung berada di sampingnya, terlihat sama persis seperti
waktu aku terakhir kali bertemu mereka. Keduanya bertubuh tinggi dan berambut
gelap, Demetri keras dan langsing seperti pedang, Felix gempal dan menyeramkan
seperti gada berpaku besi.
Mereka berlima berhenti tepat di tengah-tengah lapangan bersalju.
"Bella," seru Edward. "Bawa Renesmee... dan beberapa teman."
Aku menarik napas dalam-dalam. Tubuhku mengejang akibat sikap melawan. Bayangan
membawa Renesmee ke tengah medan konflik... Tapi aku percaya pada Edward. Ia
pasti tahu bila Aro merencanakan pengkhianatan pada tahap ini.
Aro memiliki tiga pelindung di sisinya untuk pertemuan puncak ini, jadi aku akan
membawa dua pelindung. Hanya butuh waktu satu detik bagiku untuk memutuskan.
"Jacob" Emmett?" pintaku pelan. Emmett, karena ia gatal ingin ikut. Jacob,
karena ia takkan tahan ditinggal.
Keduanya mengangguk. Emmett menyeringai.
Aku berjalan melintasi lapangan dengan mereka mengapitku. Aku mendengar geraman
para pengawal begitu mereka melihat pilihanku-jelas, mereka tidak percaya pada
werewolf. Aro mengangkat tangan, mengabaikan protes mereka lagi.
"Menarik juga teman-temanmu," gumam Demetri pada Edward.
Edward tidak menyahut, tapi geraman pelan terlontar dari sela-sela gigi Jacob.
Kami berhenti beberapa meter dari Aro. Edward merunduk di bawah lengan Aro dan
dengan cepat bergabung dengan kami, meraih tanganku.
Sesaat kami berhadapan sambil berdiam diti. Kemudian Felix menyapaku dengan
suara pelan. "Halo lagi, Bella." Ia menyeringai angkuh sambil terus menilai gerak-gerik Jacob
dari sudut matanya. Aku tersenyum kecut pada vampir raksasa itu. "Hei, Felix."
Felix terkekeh. "Kau kelihatan cantik. Ternyata kau pantas jadi imortal."
"Terima kasih banyak."
"Terima kasih kembali. Sayang... "
Felix tidak menyelesaikan komentarnya, tapi aku tidak butuh kemampuan seperti
Edward untuk bisa membayangkan akhirnya. Sayang sebentar lagi kami harus
membunuhmu. "Ya, sayang sekali, bukan?"
Felix mengedipkan mata. Aro tidak menggubris percakapan kami. Ia menelengkan kepala, terpesona. "Aku
mendengar jantungnya yang aneh," gumamnya dengan suara yang nyaris seperti
mengalun. "Aku mencium baunya yang aneh." Lalu matanya yang berkabut beralih
memandangiku. "Sejujurnya, Bella, kau benar-benar terlihat luar biasa menawan
sebagai imortal," ia memuji. "Seolah-olah kau memang dirancang untuk kehidupan
ini." Aku mengangguk, menanggapi pujiannya.
"Kau suka hadiahku?" tanyanya, mengamati bandul yang kukenakan.
"Hadiah yang cantik, dan Anda sangat, sangat murah hati. Terima kasih. Mungkin
seharusnya aku mengirim ucapan terima kasih."
Aro tertawa senang. "Ah, itu hanya benda kecil yang selama ini tetgeletak begitu
saja. Kupikir mungkin itu cocok dengan wajah barumu, dan ternyata benar."
Aku mendengar desisan kecil dari tengah-tengah barisan Volturi. Aku melihat ke
balik bahu Aro, Hmmm. Sepertinya Jane tidak suka mendengar fakta bahwa Aro memberiku hadiah.
Aro berdeham-deham untuk menarik perhatianku lagi. "Bolehkah aku menyapa
putrimu, Bella cantik?" tanyanya dengan nada manis.
Inilah yang kami harapkan, aku mengingatkan diriku sendiri. Sekuat tenaga
melawan dorongan untuk merenggut Renesmee dan kabur dari sini, aku maju dua
langkah. Perisaiku mengepak-ngepak seperti sayap di belakangku, melindungi
seluruh anggota keluargaku sementara Renesmee tidak terlindungi. Rasanya keliru
besar, mengerikan. Aro menghampiri kami, wajahnya berseri-seri.
"Luar biasa cantiknya dia," puji Aro. "Sangat mirip kau dan Edward." Kemudian
dengan suara lebih keras, ia berseru, "Halo, Renesmee."
Renesmee cepat-cepat berpaling padaku. Aku mengangguk.
"Halo, Aro," sahutnya dengan sikap formal, suaranya melengking tinggi.
Sorot mata Aro tampak kaget.
"Apa itu?" desis Caius dari belakang. Sepertinya ia marah sekali karena harus
bertanya. "Setengah mortal, setengah imortal," Aro memberitahu dia dan para pengawal lain
tanpa mengalihkan pandangan takjubnya pada Renesmee. "Dibenihkan, dan dikandung
oleh vampir baru ini ketika dia masih menjadi manusia."
"Mustahil," dengus Caius.
"Jadi menurutmu mereka membohongiku, begitu, brother?" Ekspresi Aro terlihat
sangat geli, tapi Caius tersentak. "Apakah detak jantung yang kaudengar juga
tipuan?" Caius merengut, tampak kecewa, seolah-olah pertanyaan-pertanyaan lembut Aro tadi
merupakan pukulan. "Tenang dan berhati-hatilah, brother" Aro mengingatkan, tetap tersenyum kepada
Renesmee. "Aku tahu benar betapa kau sangat mencintai keadilanmu, tapi tidak ada
keadilan bila kita bertindak melawan makhluk kecil unik ini hanya karena proses
kelahirannya. Dan begitu banyak yang bisa dipelajari, begitu banyak yang bisa
dipelajari! Aku tahu kau tidak memiliki antusiasme sepertiku dalam mengoleksi
sejarah, tapi bertoleranlah padaku, sementara aku menambahkan bab baru yang
membuatku terperangah oleh kemungkinannya. Kita datang, mengira akan menegakkan
keadilan dan sedih karena menyangka teman-teman ini palsu, tapi lihatlah apa
yang kita dapatkan! Pengetahuan baru tentang diri kita, kemungkinan-kemungkinan
yang bisa kita lakukan."
Aro mengulurkan tangan pada Renesmee dengan sikap mengundang. Tapi bukan itu
yang Renesmee inginkan. Renesmee justru mencondongkan tubuh menjauhiku,
menjulurkan tubuhnya untuk menempelkan ujung-ujung jarinya ke wajah Aro.
Aro tidak bereaksi shock seperti nyaris semua orang saat pertama kali melihat
Renesmee beraksi; ia sudah terbiasa melihat aliran pikiran dan kenangan dari
pikiran orang-orang lain, sama seperti Edward.
Senyumnya melebar, dan ia mendesah puas. "Brilian," bisiknya.
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Renesmee rileks kembali dalam pelukanku, wajah mungilnya terlihat sangat serius.
"Please?" pinta Renesmee pada Aro.
Senyum Aro berubah lembut. "Tentu saja aku tidak berniat mencelakakan orang-
orang yang kaucintai, Renesmee sayang."
Suara Aro begitu menenangkan dan penuh kasih sayang hingga membuatku yakin. Tapi
kemudian aku mendengar Edward mengertakkan gigi dan, jauh di belakang kami,
desisan marah Maggie mendengar kebohongannya.
"Aku ingin tahu," kata Aro dengan sikap merenung seolah tidak menyadari reaksi
yang timbul dari kata-katanya barusan. Tanpa terduga matanya beralih kepada
Jacob, dan bukannya memandang Jacob dengan sorot jijik seperti anggota keluarga
Volturi lain memandang serigala raksasa itu, mata Aro justru dipenuhi semacam
kerinduan yang tidak kumengerti.
"Tidak bisa seperti itu," tukas Edward, nadanya yang selama ini selalu netral
mendadak berubah kasar. "Hanya pikiran selintas," kata Aro, terang-terangan menilai Jacob, kemudian
matanya bergerak lambat ke dua baris werewolf di belakang kami. Apa pun yang
ditunjukkan Renesmee padanya membuat Aro tiba-tiba tertarik pada para serigala.
"Mereka bukan milik kami, Aro. Mereka tidak mengikuti perintah kami seperti itu.
Mereka ada di sini karena mereka mau."
Jacob menggeram galak. "Tapi sepertinya mereka sangat dekat denganmu" kata Aro. "Dan pada pasanganmu
yang muda serta pada... keluargamu. Setia" Suaranya membelai kata itu lembut.
"Mereka berkomitmen melindungi nyawa manusia, Aro. Itulah yang membuat mereka
bisa hidup berdampingan dengan kami, tapi tidak dengan kalian. Kecuali kalian
mau berpikir ulang tentang gaya hidup kalian."
Aro tertawa riang. "Hanya pikiran selintas," ulangnya. "Kau tahu benar bagaimana
itu. Tak seorang pun di antara kami bisa mengendalikan keinginan bawah sadar
kami." Edward meringis. "Aku tahu benar bagaimana itu. Dan aku juga tahu perbedaan
antara pikiran semacam itu dengan pikiran yang memiliki tujuan di baliknya. Itu
takkan pernah berhasil, Aro."
Kepala Jacob yang besar berpaling ke arah Edward, dan dengkingan pelan terlontar
dari sela-sela giginya. "Dia tertarik pada ide tentang... anjing-anjing penjaga," Edward balas berbisik.
Selama satu detik suasana sunyi senyap, tapi sejurus kemudian terdengar geraman
marah dari moncong seluruh kawanan, memenuhi lapangan besar itu.
Terdengar gonggongan tajam bernada memerintah -dari Sam, dugaanku, walaupun aku
tidak berpaling untuk melihat-dan protes-protes itu terdiam menjadi kesunyian
yang menakutkan. "Kurasa itu sudah menjawab pertanyaanku" kata Aro, tertawa lagi. "Kawanan ini
sudah memilih kepada siapa mereka mau berpihak."
Edward mendesis dan mencondongkan tubuh ke depan. Aku mencengkeram lengannya,
bertanya-tanya apa gerangan yang ada dalam pikiran Aro yang membuat Edward
bereaksi begitu garang, sementara Felix dan Demetri serentak memasang kuda-kuda.
Aro melambaikan tangan lagi kepada mereka. Mereka kembali ke postur awal,
termasuk Edward. "Begitu banyak yang harus didiskusikan," ujar Aro, mendadak nadanya berubah
seperti pengusaha yang kewalahan memikirkan terlalu banyak hal. "Begitu banyak
yang harus diputuskan. Kalau kalian dan para pelindung kalian yang berbulu itu
mengizinkan, sobat-sobatku keluarga Cullen, aku akan berbicara dulu dengan
saudara-saudaraku." 37. PENEMUAN ARO tidak bergabung dengan para pengawalnya yang menunggu gelisah di sisi utara
lapangan; malah, ia melambai menyuruh mereka maju.
Edward langsung mundur, menarik lenganku dan Emmett. Kami bergegas mundur, mata
kami tetap tertuju pada ancaman yang bergerak maju. Jacob mundur paling akhir,
bulu bahunya meremang sementara ia menyeringai memamerkan taringnya pada Aro.
Renesmee menyambar ujung ekornya sementara kami bergerak mundur; ia memegangnya
seolah-olah itu tali kekang, memaksa Jacob tetap bersama kami. Kami sampai ke
tengah keluarga tepat ketika jubah-jubah hitam itu mengelilingi Aro lagi.
Kini hanya terbentang jarak 45 meter antara mereka dan kami siapapun dari kami
bisa menerjang melewati jarak tersebut hanya dalam sepersekian detik.
Caius langsung berdebat dengan Aro.
"Bagaimana kau bisa tunduk pada kekejian ini" Mengapa kita berdiri tanpa daya
begini padahal kejahatan besar diLakukan di depan mata kepala kita, tertutup
tipuan yang begini konyol?" Lengannya kaku di kedua sisi tubuhnya, tangannya
melengkung membentuk cakar. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa ia tidak
menyentuh Aro saja untuk mengungkapkan pendapatnya. Apakah kami menyaksikan
perpecahan di antara mereka!" Mungkinkah kami seberuntung itu"
"Karena semua itu benar," sahut Aro tenang. "Setiap katanya benar. Lihat betapa
banyak saksi yang siap membuktikan bahwa mereka telah melihat anak ajaib ini
tumbuh dan berkembang hanya dalam waktu singkat selama mereka mengenalnya. Bahwa
mereka merasakan hangatnya darah yang berdenyut dalam pembuluh darah anak itu."
Aro melambaikan tangan ke Amun di satu sisi, sampai kepada Siobhan di sisi yang
lain. Caius bereaksi aneh terhadap kata-kata Aro yang menenangkan, sedikit tersentak
mendengar kata saksi. Amarah lenyap dari wajahnya, digantikan ekspresi dingin
penuh perhitungan. Diliriknya saksi-saksi Volturi dengan ekspresi yang samar-
samar terlihat... gugup. Aku melirik gerombolan yang marah itu dan seketika melihat bahwa deskripsi itu
tak berlaku lagi. Nafsu bertempur telah berubah menjadi kebingungan. Bisik-bisik
menjalar di Seantero kerumunan saat mereka berusaha memahami apa yang terjadi,
Caius mengerutkan kening, berpikir keras. Ekspresi spekulatifnya menyulut api
amarahku yang masih membara meski pada saat bersamaan membuatku khawatir juga.
Bagaimana kalau para pengawal kembali bertindak mengikuti isyarat yang tak
kelihatan, seperti waktu berbaris tadi" Dengan cemas kuperiksa perisaiku;
rasanya tetap tak bisa ditembus, sama seperti tadi. Aku mengulurkannya menjadi
semacam kubah rendah dan lebar yang menaungi kelompok kami.
Aku bisa merasakan berkas-berkas tajam cahaya tempat keluarga dan teman-temanku
berdiri masing-masing memiliki rasa individual yang kupikir pasti akan bisa
kukenali bila aku rajin berlatih. Aku sudah bisa mengenali rasa Edward cahayanya
paling terang dibandingkan mereka semua. Ruang kosong ekstra di sekeliling
titik-titik bercahaya itu mengusikku, tak ada penghalang fisik yang ditamengi,
sehingga kalau salah seorang anggota keluarga Volturi yang berbakat masuk di
bawahnya, perisai itu takkan melindungi siapa pun kecuali aku. Aku merasakan
keningku berkerut saat menarik tameng elastis itu dengan sangat hati-hati, makin
lama makin dekat. Carlisle berada paling jauh di depan; kuisap perisaiku kembali
sedikit demi sedikit, berusaha melilitkannya ke tubuh Carlisle serapat yang
kubisa. Perisaiku sepertinya ingin bekerja sama. Tameng itu membungkus tubuh Carlisle;
kalau ia bergeser agar berdiri lebih dekat pada Tanya, tameng elastis itu ikut
meregang bersamanya, tertarik cahayanya.
Terpesona, aku menarik tameng itu lebih jauh lagi, membungkus setiap sosok
berkilauan yang merupakan teman atau sekutuku. Perisai itu membungkus tubuh
mereka dengan mudah, ikut bergerak bila mereka bergerak.
Baru satu detik berlalu, Caius masih menimbang-nimbang.
"Werewolf-werewolf itu," gumam Caius akhirnya.
Tiba-tiba panik, sadarlah aku sebagian besar werewolf tidak terlindungi. Aku
baru mau mengulurkan perisaiku pada mereka waktu menyadari, anehnya, bahwa aku
masih bisa merasakan bunga api mereka. Penasaran, kurapatkan kembali perisaiku,
sampai Amun dan Kebi yang berdiri paling jauh dari kelompok kami berada di luar
bersama para serigala. Begitu mereka berada di luar perisai, cahaya mereka
lenyap. Mereka tak lagi berada dalam indra baruku. Tapi para serigala masih
bercahaya cemerlang atau lebih tepatnya, sebagian dari mereka masih. Hmm,. aku
beringsut keluar lagi, dan begitu Sam berada di bawah naungan perisai, semua
serigala kembali memunculkan bunga api cemerlang.
Pikiran mereka pasti saling terhubung, lebih daripada yang kubayangkan selama
ini. Kalau sang Alfa berada di dalam naungan perisaiku, maka pikiran para
anggota yang lain juga terlindungi.
"Ah, brother.. " Aro menanggapi pernyataan Caius dengan ekspresi pedih.
"Apakah kau juga akan membela persekutuan itu, Aro?" tuntut Caius. "Anak-anak
Bulan sudah sejak permulaan zaman menjadi musuh bebuyutan kita. Kita sudah
memburu mereka hingga mereka nyaris punah di Eropa dan Asia. Tapi Carlisle malah
menjalin hubungan akrab dengan hama besar ini tak diragukan lagi sebagai upaya
menggulingkan kita. Supaya makin bisa melindungi gaya hidupnya yang tidak
lazim." Edward berdeham-deham keras sekali dan Caius memandang garang pada Edward. Aro
menempelkan tangan yang kurus dan rapuh ke wajahnya sendiri, seperti malu atas
sikap saudaranya. "Caius, sekarang ini tengah hari," Edward menunjukkan. Ia melambaikan tangan ke
arah Jacob. "Mereka bukan Anak-Anak Bulan, itu jelas. Mereka tidak memiliki
hubungan sama sekali dengan musuh-musuhmu di bagian dunia lain."
"Telah terjadi mutasi genetis di sini," sembur Caius.
Rahang Edward membuka dan mengatup, lalu ia menjawab dengan nada datar, "Mereka
bahkan bukan werewolf, Aro bisa menjelaskannya padamu kalau kau tak percaya''
Bukan werewolf. Kulayangkan pandangan bingung pada Jacob. Ia mengangkat bahunya
yang besar kemudian menjatuhkannya lagi. Ia juga tidak mengerti maksud Edward,
"Dear Caius, aku akan memperingatkanmu untuk tidak mengungkit masalah ini
seandainya kau mau memberitahuku pikiran-pikiranmu," gumam Aro. "Walaupun
makhluk-makhluk itu menganggap diri mereka werewolf, sebenarnya mereka bukan
werewolf. Nama yang lebih tepat untuk mereka adalah shape-shifter. Pilihan wujud
serigala adalah murni kebetulan. Bisa saja mereka mengambil wujud beruang, atau
elang, atau macan tutul ketika pilihan pertama dibuat. Makhluk-makhluk ini
benar-benar tak ada hubungannya dengan Anak-Anak Bulan. Mereka hanya sekadar
mewarisi bakat ini dari ayah mereka. Ini masalah genetis mereka tidak meneruskan
spesies mereka dengan menulari orang lain seperti yang dilakukan werewolf
sejati," Caius memandang Aro garang dengan sikap jengkel dan sesuatu yang lain tuduhan
berkhianat, mungkin. "Tapi mereka tahu rahasia kita," sergah Caius datar.
Edward terlihat seperti hendak menjawab tuduhan itu, tapi Aro berbicara lebih
cepat. "Mereka makhluk-makhluk dari dunia supranatural kita, brother. Mungkin
mereka bahkan lebih berkepentingan merahasiakan keberadaan mereka daripada kita,
jadi mereka tak mungkin membocorkan rahasia kita. Berhati-hatilah, Caius. Tak
ada gunanya menuduh yang bukan-bukan,"
Caius menarik napas dalam-dalam dan mengangguk. Mereka saling melirik lama
sekali, pandangan mereka penuh arti.
Kurasa aku memahami instruksi di balik perkataan Aro yang hati-hati. Tuduhan
palsu takkan membantu meyakinkan para saksi kedua pihak, Aro mewanti-wanti Caius
agar beralih ke strategi berikut. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah alasan di
balik ketegangan yang jelas terlihat antara dua tetua itu keengganan Caius
membagi pikirannya dengan sentuhan adalah karena Caius tidak peduli pada
pertunjukan ini sebagaimana halnya Aro. Bahwa pembantaian yang bakal terjadi
jauh lebih esensial bagi Caius daripada reputasi tak bercela.
"Aku ingin bicara dengan si informan" Caius tiba-tiba berseru, dan mengarahkan
tatapan garangnya pada Irina.
Irina tidak menyimak pembicaraan Caius dan Aro, wajahnya berkerut-kerut merana,
matanya terpaku pada saudari-saudarinya yang berbaris untuk mati. Kentara sekali
di wajahnya bahwa ia sekarang menyadari tuduhannya ternyata salah besar.
"Irina" bentak Caius, tidak senang karena harus memanggilnya.
Irina mendongak, terkejut dan nyalinya langsung ciut. Caius menjentikkan jari-
jarinya. Ragu-ragu, Irina bergerak dari formasi pinggir Volturi untuk berdiri di depan
Caius lagi, "Jadi kelihatannya kau keliru besar dalam tuduhanmu," Caius memulai.
Tanya dan Kate mencondongkan tubuh dengan sikap waswas.
"Maafkan aku," bisik Irina. "Seharusnya aku memastikan dulu apa yang kulihat.
Tapi aku sama sekali tidak tahu... " Ia melambaikan tangan dengan sikap tak
berdaya ke arah kami. "Dear Caius, masa kau mengharapkan dia bisa menebak seketika itu juga sesuatu
yang begitu aneh dan mustahil" tanya Aro. "Siapa pun dari kita pasti akan
berasumsi sama." Caius menjentikkan jari-jarinya pada Aro untuk menyuruhnya diam.
"Kita semua tahu kau melakukan kesalahan," ujar Caius kasar. "Aku ingin tahu apa
motivasimu." Dengan cemas Irina menunggu Caius melanjutkan kata-katanya, kemudian
mengulangi," Motivasiku?"
"Ya, datang dan memata-matai mereka pada awalnya"
Irina tersentak mendengar kata memata-matai
"Kau tidak menyukai keluarga Cullen, benar begitu?"
Irina mengarahkan matanya yang merana ke wajah Carlisle,
"Ya, benar" ia mengakui.
"Karena...?" desak Caius.
"Karena para werewolf itu membunuh temanku," bisiknya. "Dan keluarga Cullen
tidak mau menyingkir untuk memberiku kesempatan membalas dendam atas
kematiannya." "Para shape-shifter" Aro mengoreksi pelan.
"Jadi keluarga Cullen berpihak pada para shape-shifter untuk melawan jenis kita
sendiri melawan teman dari seorang teman, bahkan." Caius menyimpulkan.
Aku mendengar Edward mengeluarkan suara bernada jijik. Caius mulai mencoret satu
demi satu "pelanggaran" dalam catatannya, mencari tuduhan yang bisa dijadikan
alasan. Bahu Irina mengejang. "Aku melihatnya seperti itu."
Caius menunggu lagi, kemudian mendorong, "Kalau kau mau mengajukan keluhan
secara resmi terhadap para shape-shifter itu dan terhadap keluarga Cullen karena
mendukung aksi mereka sekaranglah saat yang tepat" Ia menyunggingkan senyum
kecil yang kejam, menunggu Irina memberinya alasan berikutnya.
Mungkin Caius tidak mengerti seperti apa keluarga yang sesungguhnya hubungan
yang didasarkan pada cinta, bukan hanya keinginan untuk berkuasa. Mungkin ia
kelewat menilai tinggi potensi untuk membalas dendam.
Dagu Irina terangkat, bahunya ditegakkan.
"Tidak, aku takkan mengajukan keluhan terhadap para serigala, maupun keluarga
Cullen. Kedatangan kalian ke sini hari ini adalah untuk menghancurkan anak
imortal, Ternyata anak imortal itu tidak ada. Itu salahku, dan aku bertanggung
jawab penuh atasnya. Tapi keluarga Cullen tidak bersalah, dan kalian tak punya
alasan untuk tetap berada di sini. Aku benar-benar menyesal," kata Irina,
kemudian memalingkan wajah ke para saksi keluarga Volturi. "Tidak ada kejahatan.
Jadi tak ada alasan kuat bagi kalian untuk tetap berada di sini."
Caius mengangkat tangan selagi Irina bicara, dan di tangannya terdapat benda
aneh dari logam, dipahat dan penuh ukiran.
Itu isyarat. Responsnya begitu cepat hingga kami memandang dengan sikap
terperangah tak percaya sementara itu terjadi. Sebelum kami sempat bereaksi,
semuanya sudah berakhir. Tiga prajurit Volturi melompat maju, dan Irina tertutup sepenuhnya oleh jubah
abu-abu mereka. Pada detik yang sama suara logam terkoyak yang mengerikan
merobek keheningan di lapangan. Caius menyelinap ke pusat pergulatan abu-abu
itu, dan suara memekik shock meledak menjadi hujan bunga dan lidah api yang
melesat ke atas. Para prajurit melompat mundur, menghindari api yang tiba-tiba
berkobar, langsung menempati kembali posisi masing-masing dalam barisan para
pengawal yang lurus sempurna.
Caius berdiri sendirian di samping kobaran api yang melahap sisa-sisa tubuh
Irina, benda logam di tangannya masih menyembutkan lidah api tebal ke api unggun
itu. Dengan suara berdenting kecil, api yang melesat dari tangan Caius lenyap. Suara
terkesiap terdengar dari kerumunan saksi di belakang pasukan Volturi.
Kami terlalu terpana untuk mengeluarkan suara apa pun. Bukan hal aneh mengetahui
kematian datang begitu cepat dan tak terhentikan; tapi melihat itu terjadi
dengan mata kepala sendiri adalah soal lain,
Caius tersenyum dingin. "Sekarang dia sudah bertanggung jawab penuh atas
perbuatannya." Matanya berkelebat ke barisan depan kami, memandang sekilas sosok Tanya dan Kate
yang membeku kaku. Detik itu juga aku mengerti Caius tak pernah salah mengartikan kuatnya ikatan
keluarga yang sesungguhnya. Ini memang disengaja. Ia tidak menginginkan keluhan
Irina, ia justru ingin Irina menentangnya. Alasannya menghancurkan Irina adalah
untuk memicu kekerasan yang kini memenuhi udara bagai kabut tebal yang padat. Ia
telah melempar api. Kedamaian yang dipaksakan dalam pertemuan ini kini semakin terancam, seperti
gajah yang berdiri goyah di atas tali yang membentang tegang. Begitu pertempuran
Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terjadi, tak ada yang bisa menghentikannya. Pertempuran hanya akan semakin
menjadi-jadi sampai satu pihak musnah. Pihak kami. Caius tahu itu.
Begitu juga Edward, "Hentikan mereka!" pekik Edward, melompat untuk menyambar lengan Tanya ketika ia
maju ke arah Caius yang tersenyum dengan jeritan buas penuh amarah. Tanya tak
sanggup menepis cengkeraman Edward sebelum Carlisle memeluk pinggangnya dan
menguncinya. "Sudah terlambat untuk membantu Irina," Carlisle buru-buru membujuknya sementara
Tanya meronta-ronta. "Jangan beri apa yang Caius inginkan!"
Kate lebih sulit ditahan. Berteriak-teriak dengan kata-kata yang tidak jelas
seperti Tanya, ia menghambur untuk menyerang tindakan yang pasti akan berakhir
dengan kematian semua orang. Rosalie berada paling dekat dengannya, tapi sebelum
Rose sempat memitingnya, Kate menyetrumnya begitu kuat hingga Rose langsung
terkulai ke tanah, Emmett menyambar lengan Kate dan menjatuhkannya, lalu
terhuyung-huyung mundur, lututnya goyah. Kate berguling berdiri, kelihatannya
tak seorang pun bisa menghentikannya.
Garrett melompat dan menabraknya, menjatuhkannya ke tanah lagi. Ia melingkarkan
kedua lengannya ke tubuh Kate, mengunci tangannya sendiri. Kulihat tubuh Garrert
kejang-kejang ketika Kate menyetrumnya. Bola matanya berputar, tapi ia tidak
mengendurkan pitingan, "Zafrina," teriak Edward.
Mata Kate berubah kosong dan jeritannya berubah jadi erangan. Tanya berhenti
meronta-ronta. "Kembalikan penglihatanku," desis Tanya.
Susah payah, tapi dengan segenap kemampuan yang aku bisa, aku mengulur perisaiku
semakin kuat menutupi percikan bunga api teman-temanku, menariknya dengan hati-
hati dari Kate sambil berusaha menjaganya tetap melingkupi Garrett,
menjadikannya semacam lapisan tipis di antara mereka.
Kemudian Garrett bisa menguasai diri lagi, masih memegangi Kate di salju.
"Kalau aku melepaskanmu, apakah kau akan melumpuhkanku lagi, Kate?" bisiknya.
Kate menggeram sebagai respons, masih meronta-ronta tanpa bisa melihat.
"Dengarkan aku, Tanya, Kate," kata Carlisle dengan suara berbisik pelan namun
tegas. "Tak ada gunanya membalas dendam. Irina tak ingin kalian menyia-nyiakan
hidup kalian seperti ini. Pikirkan baik-baik apa yang kalian lakukan. Kalau
kalian menyerang mereka, kita semua mati."
Bahu Tanya membungkuk berduka, dan ia menyandarkan tubuhnya pada Carlisle,
meminta dukungan. Kate akhirnya terdiam. Carlisle dan Garrett terus menghibur
dua bersaudara itu dengan kata-kata yang terlalu mendesak untuk bisa menghibur.
Perhatianku kembali ke tatapan puluhan pasang mata yang memandangi kekacauan
yang sempat terjadi dalam kelompok kami. Dari sudut mata bisa kulihat Edward dan
yang lain, selain Carlisle dan Garrett, kembali bersiaga penuh.
Tatapan paling tajam berasal dari Caius, memandang dengan sikap marah bercampur
tak percaya pada Kate dan Garrett yang terduduk di salju. Aro juga menatap
mereka berdua, tidak percaya adalah emosi paling kuat yang terpancar dari
wajahnya. Ia tahu apa yang bisa dilakukan Kate. Ia telah merasakan kemampuannya
melalui ingatan Edward. Apakah ia mengerti apa yang sedang terjadi sekarang apakah ia melihat perisaiku
telah bertumbuh semakin kuat dan semakin halus, lebih daripada yang Edward
ketahui" Atau apakah ia mengira Garrett memiliki kemampuan imunitasnya sendiri"
Para pengawal Volturi tak lagi berdiri dengan sikap penuh disiplin mereka kini
membungkuk ke depan, siap menerjang.
Di belakang mereka, 43 saksi menonton dengan ekspresi yang sangat berbeda
daripada yang mereka perlihatkan tadi saat memasuki lapangan. Kebingungan
berubah menjadi kecurigaan. Penghancuran Irina yang secepat kilat tadi
mengguncangkan mereka semua. Apa sebenarnya kesalahan Irina"
Tanpa serangan langsung yang diandalkan Caius untuk mengalihkan perhatian para
Sepasang Garuda Putih 2 Gento Guyon 6 Tumbal Ratan Segara Pendekar Sakti Suling Pualam 9