Pencarian

Empress Orchid 3

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 3


sudah diwariskan turun-temurun dari nenek moyang Yang Mulia Kaisar, dan
dikenakan pada upacara-upacara penting. Juru nujum Istana punya spesifikasi
khusus tentang bagaimana Yang Mulia harus mengenakan benda seperti ini. Biasanya
Kaisar juga akan mengenakan tabung gading berisi tusuk gigi, sebilah pisau
dengan bungkus cula badak, dan dua kantung parfum bersulam mutiara kecil.
Aslinya benda ini terbuat dari linen kuat yang digunakan untuk mengganti tali
kekang yang rusak." Aku tersenyum, menghargai usaha si kasim. An-te-hai selalu tahu bagaimana
memancing rasa hausku terhadap pengetahuan.
"Apakah Nuharoo tahu apa yang kau tahu?"
"Ya, Putri, beliau tahu."
"Apakah itu salah satu alasan mengapa dia terpilih?"
An-te-hai terdiam. Aku tahu dia tak ingin membuatku marah.
Aku tak jadi mengungkit hal itu dan berkata, "An-te-hai, mulai sekarang kau
bertanggung jawab untuk menyegarkan pengetahuanku tentang kehidupan Istana." Aku
menghindari menyebutkan kata-kata
"ajari aku". Aku melihat bahwa An-te-hai lebih nyaman dan bisa memberikan
informasi yang lebih baik bila aku bersikap seperti majikannya, daripada sebagai
murid. "Aku ingin kau menyarankan apa yang sebaiknya kukenakan untuk perayaan Malam
Tahun Baru Cina nanti."
"Hmm, pertama-tama Anda harus yakin bahwa Anda tidak berdandan melebihi
kedudukan Anda. Tetapi Anda juga tak boleh kelihatan tidak imajinatif. Dengan
kata lain, Anda harus bisa meramalkan apa yang akan dikenakan oleh Ibu Suri dan
Permaisuri Nuharoo."
"Ya, itu masuk akal."
"Saya perkirakan bahwa liontin giok mereka berdua akan berbentuk daun lotus, dan
hiasan lainnya dari mutiara dan turmalin merah jambu. Mereka akan sangat
berhati-hati agar tak melebihi Kaisar. Liontin beliau adalah pahatan dari tiga
ekor kambing, tanda khusus yang hanya beliau kenakan pada malam Tahun Baru
Cina." "Sebaiknya liontinku apa?"
"Simbol apa pun yang Anda sukai, selama Anda tidak melebihi kedua nyonya itu.
Seperti yang sudah saya sampaikan tadi, Gusti juga tak boleh terlihat terlalu
sederhana sebab Anda tak ingin memadamkan perhatian Yang Mulia Kaisar. Anda
harus berbuat apa saja yang Anda mampu untuk terlihat cemerlang di antara ribuan
selir. Anda bisa saja takkan pernah melihat suami Anda kecuali dalam saat-saat seperti
itu." Aku benar-benar berharap bisa mengundang An-te-hai untuk bergabung makan pagi
denganku, daripada sekadar melayaniku, menontonku makan, kemudian pergi ke
ruangannya untuk makan sepotong ubi dingin.
Dia menghargai perasaanku dan amat senang bisa menjadi budakku. Aku tahu dia
merajut masa depannya di sekitarku. Kalau aku menjadi kesayangan Hsien Feng,
posisi dirinya juga akan ikut terangkat. Tetapi aku tak mendapatkan perhatian
dari Yang Mulia. Berapa lama aku harus menunggu" Apakah aku akan mendapatkan kesempatan" Mengapa
aku tak mendapatkan kabar apa pun dari Kepala Kasim Shim"
Sudah berlalu tujuh pekan sejak aku memasuki Istana Kecantikan Tak Terlarai. Aku
tak lagi melihat pada atap yang diglasir kuning itu. Kecemerlangannya sudah
memudar di mataku. Tugas memilih gaun pada pagi hari membuatku bosan hingga
menangis. Aku sadar sekarang bahwa aku berdandan bukan untuk siapa-siapa, takkan
ada orang lain yang akan melihat. Bahkan, orang-orang kasim serta dayang-
dayangku takkan ada di situ untuk menyaksikan kesempurnaan
kecantikanku. Mereka diperintahkan untuk bersembunyi bila tak dipanggil. Biasanya aku tinggal sendirian setelah selesai
berdandan. Setiap hari kutemukan diriku berdiri di tengah puri yang megah tetapi kosong,
leherku menegang hebat dari pagi hingga petang.
Sudah tak terhitung banyaknya aku bermimpi tentang kunjungan Kaisar. Dalam
khayalanku dia datang, meraih tanganku, dan memelukku dengan penuh gairah.
Akhir-akhir ini aku kerap duduk di tepi kolamku. Berdandan habis-habisan seperti
orang tolol, aku mengawasi kodok-kodok dan kura-kura. Pada pagi hari sinar
matahari akan memenuhi taman, dan dua ekor kura-kura akan berenang dengan
malasnya. Mereka mengambang di permukaan air untuk beberapa saat, kemudian
merayap naik ke atas sebuah batu yang datar permukaannya untuk beristirahat.
Perlahan-lahan yang seekor akan naik ke atas punggung yang lain. Mereka akan
tetap dalam posisi begini berjam-jam lamanya, dan aku akan duduk di situ bersama
mereka. Mata yang indah dan terbuka lebar itu tampak mati, walau tubuhnya tegak dan
gaunnya indah menakjubkan- baris-baris opera tua muncul berulang-ulang dalam
kepalaku. An-te-hai muncul dari antara semak menating sebuah baki berisi cangkir.
"Apakah Putri senang?" diletakkannya cangkir teh itu di hadapanku.
Aku mendesah, kukatakan bahwa aku sedang tak ingin minum teh.
An-te-hai tersenyum. Dia mencondongkan badan dan perlahan mendorong kedua kura-
kura itu kembali ke dalam air. "Anda terlalu gelisah, Putri. Jangan begitu."
"Hidup di Kota Terlarang ini terlalu panjang, An-te-hai," kataku.
"Bahkan detik demi detik pun sulit untuk dilalui."
"Harinya akan datang," kata An-te-hai. Air mukanya menunjukkan keyakinan penuh.
"Yang Mulia akan memanggil Anda, Putri."
"Akankah?" "Anda harus percaya bahwa beliau akan melakukannya."
"Mengapa dia harus berbuat begitu?"
"Mengapa tidak?" An-te-hai bangkit.
"Jangan bicara lagi tentang harapan kosong, An-te-hai!"
"Anda tak boleh sampai kehilangan kepercayaan diri, Putri.
Apalagi yang Anda miliki selain harapan" Yang Mulia Kaisar telah menempatkan
Anda di sisi Barat dari istananya. Saya yakin bahwa itu adalah pertanda dari
ketertarikan yang besar. Semua ahli ramal yang saya datangi meramalkan bahwa
beliau akan memanggil Anda."
Perasaanku membaik, kuangkat cangkir teh itu.
"Bolehkah saya bertanya"- si kasim tersenyum, seakan dia sendiri merasa jauh
lebih baik, "apakah Putri sudah siap, kalau-kalau panggilan itu datang malam
ini" Dengan kata lain, apakah Putri sudah memiliki pengetahuan tentang ritual
persenggamaan?" Malu sangat, aku menjawab, "Tentu saja."
"Apabila Anda menghendaki penjelasan, saya ada di sini untuk membantu Anda."
"Kau?" aku tak tahan untuk tak tertawa. "Hati-hati dengan kelakuanmu, An-te-
hai." "Hanya Anda yang tahu apakah saya bersikap sopan atau tidak, Putri."
Aku terdiam. "Saya akan dengan senang hati meminum racun yang Anda berikan," ujar An-te-hai
pelan. "Kerjakan tugasmu dan jangan menghamburkan kata-kata," aku tersenyum.
"Tunggu sebentar, Putri, saya akan menunjukkan sesuatu."
Dengan cepat An-te-hai mengumpulkan segala peralatan minum teh tadi, dan pergi.
Beberapa saat kemudian dia kembali, sebuah kotak kertas di tangannya. Di
dalamnya ada sepasang ngengat ulat sutra.
"Saya mendapatkan ini dari taman Istana Kebijakan nan Tenteram," kata An-te-hai.
"Di sanalah para selir senior tinggal- dua puluh delapan selir, ditinggalkan
oleh kakek dan ayah Kaisar Hsien Feng. Ngengat-ngengat ini adalah peliharaan
mereka." "Apa yang mereka lakukan dengan ngengat-ngengat ini?"
tanyaku. "Tadinya kupikir mereka menghabiskan hari dengan menyulam."
"Yah, mereka menonton dan bermain dengan ngengat-ngengat ini," ujar An-te-hai.
"Sama seperti para Kaisar dan pangeran bersenang-senang dengan jangkrik. Satu-
satunya perbedaan adalah, tak ada persaingan antar ngengat ulat sutra."
"Apa asyiknya menonton ngengat?"
"Anda takkan percaya, Putri," seolah tengah menceritakan sebuah misteri, An-te-
hai jadi penuh semangat. "Mereka senang melihat ngengat-ngengat ini kawin, lalu
mereka merobek ngengat-ngengat itu di tengah-tengah ritual kawin mereka. Anda
mau saya perlihatkan pada Anda?"
Membayangkan apa yang akan dilakukan Ante-hai, kuangkat tanganku ke udara.
"Tidak! Ambil kembali kotak ini. Aku tidak tertarik."
"Baiklah, Putri, saya takkan memperlihatkannya sekarang.
Tetapi suatu hari nanti Anda akan ingin melihat ini. Lambat laun Anda akan
mengerti di mana asyiknya, seperti para selir lainnya."
"Apa yang terjadi kalau kau merobek ngengat-ngengat itu?"
"Mereka berdarah sampai mati."
"Dan itu yang kau bilang 'asyik' tadi?"
"Tepat." An-te-hai tersenyum, untuk kali pertamanya salah membaca pikiranku.
"Siapa pun yang melakukan itu pasti sakit jiwa," kataku, berpaling ke gunung-
gemunung di kejauhan. "Yah .. bagi mereka yang berada dalam keputusasaan, ini bisa membantu," kasimku
berujar tenang. Aku menoleh, melihat ke arah kotak yang terbuka tadi.
Dua ngengat itu menjadi satu. Separuh dari tubuh si jantan berada di dalam tubuh
si betina. "Anda ingin saya menyingkirkan kotak ini, Putri?"
"Pergilah, An-te-hai, tinggalkan ngengat-ngengat ini padaku."
"Baik, Putri. Ngengat-ngengat ini mudah diberi makan. Kalau-kalau Anda
memerlukan lebih dari sepasang, penjualnya datang ke istana pada hari keempat
setiap bulannya." Sepasang ngengat itu beristirahat dengan damai di atas semacam tikar jerami. Di
dekat mereka ada dua buah kepompong yang sudah pecah. Kedua tubuh putih kecil
itu memiliki sayap-sayap yang dilapisi semacam serbuk tebal berwarna abu.
Sesekali sayap mereka bergetar. Apakah mereka sedang menikmati saat yang
mengasyikkan" Matahari bergeser. Batu yang rata itu kini ternaungi bayang-bayang. Taman ini
hangat dan nyaman. Kulihat pantulan diriku di air.
Pipiku sewarna dengan bunga persik, dan rambutku memantulkan cahaya matahari.
Kucoba mencegah pikiranku untuk berkelana lebih jauh. Aku tak ingin merusak saat
ini dengan membayangkan masa depanku. Tetapi aku tahu bahwa aku iri pada
sepasang kura-kura dan ngengat itu.
Kemudaanku mengatakan kepadaku bahwa aku tak bisa memadamkan hasratku, seperti juga aku tak mampu memaksa matahari untuk tidak
bersinar atau angin untuk tidak bertiup.
Sore tiba. Sebuah kereta reyot yang ditarik seekor keledai masuk dalam ruang
pandangku. Itu adalah kereta air yang sudah penuh karat. Seorang lelaki tua
membawa cambuk berjalan di belakangnya. Ada sehelai bendera kuning kecil di atas
gentong-gentong kayu raksasa tersebut. Lelaki tua itu datang untuk mengisi
tempayan-tempayan air di puriku. Menurut An-te-hai, kereta air itu sudah berusia
lebih dari lima puluh tahun, sudah melayani Istana semenjak masa Kaisar Chien
Lung. Untuk mendapatkan air sumber terbaik, Kaisar memerintahkan beberapa ahli
datang ke Peking untuk mempelajari serta membandingkan contoh-contoh air dari
mata air di seluruh negeri. Kaisar sendiri yang mengatur pengukuran dan
penimbangan sampel ini, dan beliau juga menganalisis kandungan mineral dari
setiap contoh. Air yang diambil dan mata air Gunung Kumala mendapatkan nilai tertinggi. Sejak
saat itu, mata air ini diperuntukkan khusus bagi para penghuni Kota Terlarang.
Gerbang-gerbang Peking ditutup pada pukul sepuluh malam, dan tak ada lagi yang
boleh lewat kecuali kereta air dengan bendera kuning kecilnya. Si keledai punya
hak untuk berjalan di tengah-tengah jalan. Konon, bahkan kuda atau seorang
Pangeran sekalipun harus menyingkir memberi jalan pada keledai ini.
Kuawasi tukang air itu menyelesaikan tugasnya dan kemudian menghilang di balik
gerbang. Aku mendengar-dengarkan suara teracak keledai yang kian lama kian
lemah. Aku merasa kembali terisap ke dalam kegelapan. Kesengsaraan pun
menghinggapi, seperti basahnya musim hujan.
Kali berikutnya saat aku membuka kotak kertas itu, kedua ngengat tersebut sudah
tak ada. Mereka digantikan oleh ratusan bintik cokelat yang tersebar di atas
jerami. "Bayi-bayinya! Bayi-bayi ngengat!" pekikku seperti orang gila.
---oOo--- Sepekan lagi lewat, dan tetap tak ada kabar. Tak seorang pun mengunjungiku.
Kesunyian di sekitar puriku menghebat. Saat Salju menyusup ke dalam lengan-
lenganku, aku begitu terharu sampai menangis. Hari-hari berlalu, aku memberinya
makan, mandi, dan bermain dengannya sampai aku bosan. Aku membaca banyak buku
dan menyalin sajak-sajak dari zaman kuno. Aku juga mulai melukis.
Lukisan-lukisanku memantulkan perasaanku. Selalu menggambarkan sebatang pohon di
tengah padang, atau sekuntum bunga di tengah padang salju luas.
Akhirnya, pada hari kelima puluh delapan setelah kedatanganku di Kota Terlarang,
Kaisar Hsien Feng memanggilku. Aku nyaris tak bisa memercayai telingaku saat An-
te-hai membawa undangan Yang Mulia, yang memintaku bergabung dengan beliau
menonton opera. Aku mempelajari undangan itu. Tanda tangan dan stempel Hsien Feng di situ tampak
agung dan indah. Kusimpan kartu itu di bawah bantal dan menyentuhnya lagi dan
lagi sampai aku terlelap. Pagi berikutnya aku bangun sebelum fajar. Aku duduk
untuk didandani, merasa hidup dan penuh semangat. Kubayangkan diriku mendapatkan
perhatian dan penghargaan dari Kaisar. Saat mentari terbit, semua sudah siap.
Aku berdoa semoga kecantikanku membawakan keberuntungan bagiku.
An-te-hai bilang bahwa Kaisar akan mengirimkan sebuah tandu.
Aku menunggu, terbakar semangat dan kegelisahan. An-te-hai menggambarkan ke mana
aku akan pergi dan siapa saja yang akan kutemui. Menurutnya, pertunjukan teater
sudah menjadi pengisi waktu luang yang amat digemari kalangan Istana dan
generasi ke generasi. Teater sangat populer pada masa dinasti Ch'ing, pada
tahun-tahun 1600-an. Panggung-panggung megah dibangun di vila-vila Kekaisaran.
Di Istana Musim Panas saja, tempat yang akan kukunjungi sekarang ini, ada empat
buah panggung. Panggung paling megah tingginya sekitar tiga lantai, dan disebut
Panggung Suara Merdu Changyi Agung.
Menurut An-te-hai, pertunjukan diadakan setiap Tahun Baru Imlek dan pada setiap
hari jadi Kaisar dan Permaisuri. Semua pertunjukan itu tak pernah tidak luar
biasa, biasanya berlangsung sejak pagi buta hingga larut malam. Kaisar
mengundang para pangeran serta pejabat tinggi, dan mereka semua menganggap
undangan ini sebagai suatu kehormatan. Sepuluh opera sekaligus digelar pada
ulang tahun kedelapan puluh Kaisar Chien Lung.
Pertunjukan yang paling disukai adalah Raja Kera Sakti. Tokoh Raja Kera
diadaptasi dan novel klasik wangsa Ming. Sang Kaisar amat menyukai opera ini
sampai beliau menyelesaikan seluruh variasinya.
Itu adalah opera terpanjang yang pernah dimainkan, berlangsung hingga sepuluh
hari. Penyajian kehidupan Kayangan khayali sebagai pantulan dari kehidupan
manusia di Bumi memesona para pemirsa, dan terus bertahan hingga akhir
pertunjukan. Bahkan setelah berakhir pun, konon ada banyak penonton yang meminta
rombongan teater itu untuk langsung menampilkan ulang beberapa adegan.
Kutanya An-te-hai apakah keluarga Kekaisaran memang paham benar tentang seluk-
beluk opera, atau sekadar penggemar berat saja.
"Menurut pendapat saya, sebagian besar cuma berlagak ahli,"
jawab An-te-hai. "Kecuali Kaisar Kang Hsi, kakek buyut Kaisar Hsien Feng.
Menurut buku catatan Kekaisaran, Kang Hsi memeriksa naskah sandiwara dan musik,
sedangkan Chien Lung mengawasi penulisan beberapa syair lagu. Tetapi kebanyakan
orang datang hanya untuk menikmati hidangan dan kehormatan duduk bersama Yang
Mulia Kaisar. Tentu saja, memang penting untuk menampilkan kemampuan apresiasi
yang tinggi, dan memamerkan selera kita dalam sebuah budaya yang halus."
"Apakah ada yang berani pamer pengetahuan di hadapan Kaisar?" aku bertanya.
"Selalu ada saja yang tak mengerti bahwa orang lain akan menganggap dia merpati
sirkus yang sedang jungkir balik-memperlihatkan bagian terburuknya pada semua
orang." Lalu An-te-hai menceritakan sebuah contoh. Kejadiannya di Kota Terlarang, pada
masa pemerintahan Kaisar Yuan Cheng. Sang Kaisar tengah menikmati sebuah
pertunjukan tentang seorang gubernur kota kecil yang berhasil mengatasi
kelemahannya dan berusaha untuk memperbaiki sifat manja putranya dengan


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghukumnya. Aktor yang berperan sebagai gubernur itu memainkan perannya dengan
sangat baik sehingga Kaisar menganugerahinya dengan audiensi pribadi setelah
pertunjukan. Orang itu diganjar dengan uang tael serta berbagai hadiah, dan Yang
Mulia melimpahinya dengan pujian. Si aktor agak terbawa suasana dan bertanya
apakah Kaisar mengetahui nama asli gubernur itu dalam sejarah.
"Berani-beraninya kau bertanya!" An-te-hai menirukan sang Kaisar, tangan
kanannya menyibakkan jubah naga imajiner. "Kau lupa siapa dirimu" Kalau aku
biarkan diriku ditantang pengemis seperti dirimu, bagaimana aku bisa memerintah
negeri ini?" Sebuah maklumat dikeluarkan, aktor itu diseret keluar dan digebuki
sampai mati dengan masih mengenakan kostumnya.
Cerita itu membuatku melihat wajah sejati di balik kemegahan Kota Terlarang. Aku
tak yakin bahwa hukuman mati aktor malang tadi bisa memberi kesan positif pada
citra Kaisar Yuan Cheng. Hukuman seperti itu hanya akan menghasilkan rasa takut,
dan rasa takut memperlebar jarak antara Kaisar dan kalbu rakyatnya. Pada
akhirnya, rasa takut akan membawakan kehilangan terbesar bagi Kaisar. Siapa yang
kelak sudi mendampingimu, bila kau hanya dikenal bisa menanamkan rasa takut"
Setelah kuingat-ingat lagi, cerita itu mungkin telah memengaruhi tindakanku dalam sebuah peristiwa kecil yang terjadi selama masa
pemerintahanku, kejadian kecil yang membuatku bangga. Aku tengah duduk di teater
Panggung Suara Merdu Changyi Agung, merayakan ulang tahunku keenam puluh. Judul
operanya Balairung Yu Tang. Aktor terkenal Chen Yi-chew memerankan tokoh Nona
Shoo. Dia tengah bernyanyi," Memasuki balairung hakim, aku mendongak / Di kedua
sisi berdiri algojo dengan pisau sepanjang lengan / Aku layaknya seekor domba di
mulut singa. Tetapi pada kata
"domba" Chen mendadak berhenti. Dia tersadar bahwa shioku adalah domba, dan bila
dia meneruskan menyanyi, orang akan menganggap bahwa dia sedang mengutukku. Chen
berusaha untuk menelan kembali kata itu, tetapi sudah terlambat semua orang
sudah mendengarnya, apalagi karena opera itu adalah opera yang termasyhur dan
liriknya sangat dikenal. Orang yang malang itu berusaha menolong dirinya dengan
menyamarkan kata "domba."
Diseretnya suaranya, mempertahankan bunyi terakhir hingga benar-benar kehabisan
napas. Orkestra kebingungan, para pemain genderang menabuh alat mereka untuk
menutupi kesalahan itu. Lantas Chen Yi-chew membuktikan bahwa dia memang veteran panggung- dia membuat
sebuah kalimat di situ juga, menggantikan
"domba di mulut singa" menjadi "ikan dijala nelayan".
Sebelum Istana punya kesempatan untuk melaporkan bahwa ada "kecelakaan" dan
menghukum si aktor, kupuji Chen karena kecemerlangannya. Tentu saja, tak ada
yang menyinggung tentang lirik yang diganti itu. Untuk mengenang kebaikan hatiku, sang seniman memutuskan untuk mempertahankan kalimat baru
itu dalam naskahnya. Dalam lakon Balairung Yu Tang yang sekarang, akan kau
dengar kalimat "ikan di jala nelayan", bukannya "domba di mulut singa".
---oOo--- Selagi kami menanti tandu kiriman Yang Mulia Kaisar, aku bertanya kepada An-te-
hai opera seperti apa yang populer di Kota Terlarang.
"Opera Peking," mata An-te-hai berbinar. "Melodi-melodi utamanya diambil dari
opera Kun dan Yiyang. Setiap Kaisar atau Permaisuri memiliki lakon kesayangan
masing-masing. Gaya opera berubah-ubah seiring waktu, tetapi liriknya sebagian
besar tetap Kun." Kutanyakan lakon opera apa yang paling disukai oleh keluarga Kekaisaran,
berharap ada yang kukenal.
"Romansa Musim Semi dan Musim Gugur," An-te-hai menghitung dengan jari-jarinya.
"Si Cantik dari Dinasti Shang, Kesusastraan Masa Damai, Anak Ajaib yang Lulus
dari Ujian Kekaisaran, Peperangan Kaum Prajurit Pengembara Tangguh .." Dia
menyebutkan hampir tiga puluh judul opera.
Aku tanyakan juga yang mana kira-kira yang akan dipertunjukkan hari ini. Tebakan
An-te-hai adalah Peperangan Kaum Prajurit Pengembara Tangguh. "Itu lakon
kesukaan Kaisar Hsien Feng," jelasnya. "Susuhunan tidak begitu suka lakon
klasik, menurutnya membosankan. Beliau lebih menyukai lakon yang banyak adegan
ilmu bela diri serta kemampuan akrobat."
"Apakah Ibu Suri juga menyukai lakon yang sama?"
"Wah, tidak. Yang Mulia Ibu Suri lebih menyukai suara yang dipoles dan aktor-
aktor ternama. Beliau mengambil kursus tentang opera dan boleh dibilang ahli.
Ada kemungkinan bahwa saat ini Kaisar Hsien Feng sedang ingin menyenangkan
ibundanya. Saya dengar Nuharoo berhasil memengaruhinya agar lebih taat. Yang
Mulia Kaisar mungkin saja menyuruh grup opera ini untuk memainkan lakon
kesayangan Ibu Suri, Sepuluh Ribu Tahun Kebahagiaan."
Rasa cemburuku terusik mendengar An-te-hai menyebutkan nama Nuharoo dengan nama
Hsien Feng. Aku tak suka hatiku begitu kerdilnya, tetapi aku tak mampu menahan
perasaanku ini. Aku penasaran bagaimana cara selir-selir lain mengatasi
kecemburuan mereka. Apakah mereka sudah berbagi ranjang dengan Hsien Feng"
"Ceritakan kepadaku tentang mimpimu, Ante-hai," aku duduk.
Tiba-tiba aku merasa bahwa jalan mencapai keselamatan tak mungkin ditempuh.
Rasa putus asa merembes masuk ke dalam hatiku. Aku merasa bagai didorong masuk
ke dalam sebuah ruangan yang disegel tempat napasku menjadi amat sulit. Tak
benar bahwa aku akan bahagia begitu perut penuh. Aku tak dapat mengingkari siapa
diriku, seorang perempuan yang merasa bahwa dirinya hidup untuk mencintai.
Menjadi istri Kaisar memberiku segalanya kecuali itu.
Kasimku melemparkan diri ke lantai dan mengemis minta ampun. "Anda jengkel,
Putri, saya tahu. Apakah saya telah mengatakan sesuatu yang salah" Hukumlah saya
karena kemarahan akan menggerogoti kesehatan Paduka."
Rasa tak berdaya orang yang terkalahkan menguasaiku.
Frustrasi berubah menjadi kesedihan. Ke mana aku akan pergi dan sini" Tetapi aku
masih tetap ingin mencoba menanam tomat pada Agustus, meskipun sudah terlambat,
sebuah suara di dalam kepalaku bersenandung riang.
"Tidak ada yang salah dalam perkataanmu," kataku pada An-tehai. "Sekarang, mari
kita dengarkan impianmu."
Setelah yakin bahwa aku tidak kesal kepadanya, si kasim memulai. "Saya memiliki
dua impian, Putri. Namun, kemungkinan untuk mewujudkannya seperti menangkap ikan
hidup dari dalam air mendidih."
"Ceritakan impianmu."
"Impian pertama saya adalah mendapatkan anggota saya kembali."
"Anggota?" "Saya tahu persis siapa yang memiliki penis saya dan di mana dia menyimpannya,"
kata An-te-hai. Saat berbicara, dia berubah menjadi seorang pemuda yang belum
pernah kulihat. Matanya dipenuhi cahaya terang dan pipinya kemerah-merahan. Ada
sesuatu yang aneh dalam suaranya. Dipenuhi harapan dan kebulatan tekad.
"Orang yang menjagal saya mengoleksi banyak sekali penis, yang
disimpannya dalam stoples berisi pengawet, dan disembunyikannya. Dia menunggu kami mencapai sukses supaya dia bisa menjual
kembali penis-penis itu kepada kami dengan harga gila-gilaan. Saya ingin dikubur
dengan jasad utuh, Putri. Semua kasim begitu. Bila saya tak dikubur utuh, saya
akan lahir cacat di kehidupan berikutnya."
"Kau benar-benar percaya itu?"
"Ya, Yang Mulia."
"Apa impianmu yang kedua?"
"Impian saya yang lain adalah menghormati kedua orangtua saya. Saya ingin
memperlihatkan kepada mereka bahwa saya sudah berhasil. Orangtua saya memiliki
empat belas orang anak. Delapan meninggal karena kelaparan. Nenek saya, yang
membesarkan saya, tak pernah makan kenyang seumur hidupnya. Saya tak tahu apakah
saya akan bisa melihatnya lagi ... Dia sangat sakit, saya sangat merindukannya."
An-te-hai berusaha keras untuk tersenyum sementara dia menahan tangis. "Saya ini
bajing kecil dengan ambisi seekor naga, Putri."
"Justru itu yang kusukai darimu, An-te-hai. Kuharap saja adikku Kuei Hsiang
punya ambisi sepertirnu."
"Saya tersanjung, Putri."
"Kurasa saat ini kau sudah tahu impianku," ujarku.
"Sedikit, Putri. Saya berani mengakuinya."
"Sepertinya sama mustahilnya seperti impianmu, ya"
"Kesabaran dan keyakinan, Putri."
"Tetapi Kaisar Hsien Feng belum juga memanggilku ke ranjangnya. Aku benar-benar
malu dan sakit hati." Aku bahkan tak berusaha menyeka air mataku, yang mengalir
turun di pipi. "Aku sudah berhasil masuk ke Kota Terlarang, tetapi belum pernah
ada jarak yang begitu lebar antara ranjangku dan ranjang Yang Mulia. Aku tak
tahu apa yang harus kulakukan."
"Anda semakin hari semakin kurus, Putri. Pedih hati saya setiap kali Anda
mendorong piring makan malam Anda."
"Katakan padaku, An-te-hai, berubah menjadi apa aku di matamu?"
"Peoni yang mekar, bukankah begitu, Putri?"
"Dulu, ya. Tetapi kini aku melayu, musim semi akan segera berlalu dan bunga
peoni itu akan mati."
"Ada cara lain untuk melihatnya, Putri."
"Tunjukkan kepadaku."
"Yah, bagi saya, Anda bukan bunga mati, melainkan seekor unta."
"Unta?" "Apakah Anda belum pernah mendengar tentang peribahasa,
'Unta yang mati lebih besar daripada kuda yang hidup'?"
"Maksudnya?" "Maksudnya, Anda tetap punya kesempatan yang lebih besar daripada rakyat biasa."
"Tapi kenyataannya adalah, aku tak punya apa-apa."
"Anda memiliki saya," sembari berlutut, An-tehai mendekat. Dia mengangkat
matanya dan menatapku lekat-lekat.
"Kau" Apa yang bisa kaulakukan?"
"Aku bisa mencari tahu, selir mana yang telah seranjang dengan Yang Mulia, dan
bagaimana caranya mereka sampai ke sana."[]
Delapan HAL PERTAMA YANG TERTANGKAP OLEH MATAKU di Panggung Suara Merdu Changyi Agung
bukanlah Kaisar Hsien Feng atau tamu-tamunya, atau tata panggung opera yang luar
biasa, atau para aktor dalam kostum mereka. Yang kulihat adalah mahkota di
kepala Nuharoo, yang terbuat dari mutiara, koral dan bulu burung burung pekakak,
tersusun dalam bentuk huruf shou, panjang umur. Aku harus membuang pandang
supaya bisa tetap tersenyum.
Aku dibawa melalui gerbang yang dijaga ketat dari sebuah lorong, kemudian
memasuki teater terbuka itu, yang terletak di sebuah pekarangan tertutup.
Bangku-bangku sudah terisi. Para penonton berpakaian indah. Orang kasim dan
dayang-dayang mondar-mandir di gang di antara bangku-bangku menating poci teh,
cangkir, dan kudapan. Opera sudah mulai, gong dan genta berbunyi, tetapi para
penonton belum menghentikan percakapan mereka. Belakangan aku baru tahu bahwa
memang sudah biasa para penonton tetap mengobrol di tengah-tengah pertunjukan.
Aku merasa hal ini benar-benar mengganggu, tetapi itu adalah kebiasaan di
Istana. Aku melihat berkeliling. Kaisar Hsien Feng duduk di samping Nuharoo, di tengah-
tengah barisan terdepan. Keduanya mengenakan jubah satin kuning resmi Kekaisaran
bersulam motif naga dan phoenix.
Mahkota Kaisar yang memiliki hiasan berupa pita dan rumbai-rumbai berwarna perak
itu bagian puncaknya dihiasi dengan sebuah mutiara Manchu besar. Tali dagunya
terbuat dari kulit musang kecil.
Hsien Feng menonton pertunjukan dengan penuh minat.
Nuharoo duduk dengan anggun, tetapi perhatiannya tidak pada panggung. Dia
melirik ke sekitar tanpa menggerakkan leher. Di sebelah kanannya duduklah mertua
kami, Ibu Suri. Jubahnya yang berwarna merah terang bersulam kupu-kupu ungu dan
biru. Tata rias Ibu Suri jauh lebih dramatis daripada para aktor di panggung.
Alisnya dicat begitu hitam dan tebal sehingga tampak seperti dua potong
batubara. Rahangnya bergerak dari satu sisi ke sisi lain, mengunyah kacang.
Bibirnya yang bergincu merah mengingatkanku akan buah kesemek busuk. Matanya
berkali-kali menyapu para penonton. Di belakangnya duduklah para menantu
Kekaisaran, Gusti Putri Yun, Li, Mei dan Hui, semuanya berdandan cantik, dan
duduk dengan wajah membatu. Di sebelah kanan-kiri serta belakang mereka adalah
kursi para pangeran beserta keluarga dan tamu-tamu lainnya.
Kepala Kasim Shim datang menyambutku. Aku minta maaf karena terlambat, meskipun
itu sama sekali bukan salahku - tandu jemputan tak tiba tepat waktu. Menurutnya,
selama aku bisa mencapai kursiku tanpa mengganggu suami dan mertuaku, aku akan
baik-baik saja. "Yang Mulia Kaisar tak pernah benar-benar menuntut para selirnya
untuk hadir," kata Shim. Kalimat ini membuatku sadar, dengan kekecewaan yang
sungguh menghancurkan, bahwa kehadiranku di situ semata-mata karena formalitas
belaka. Kepala Kasim Shim menolongku menuju tempat dudukku di antara putri Li dan putri
Mei. Aku meminta maaf karena sudah mengganggu, dan keduanya membalas bungkukanku
dengan sopan, tanpa berkata apa pun.
Kami mengalihkan perhatian pada opera. Judulnya Tiga Pertempuran antara Raja
Kera Sakti dan Siluman Rubah Putih. Aku terpesona akan bakat para aktornya, yang
menurut putri Mei adalah orang-orang kasim. Yang paling menarik perhatianku
adalah si Siluman Rubah Putih. Suaranya unik dan indah, tariannya begitu sensual
sehingga aku lupa sama sekali bahwa sebetulnya "wanita"
memesona ini adalah seorang lelaki. Guna mencapai tingkat keahlian dan
kelenturan seperti ini aktor-aktor itu mestinya telah berlatih semenjak usia
mereka masih amat muda. Pertunjukan mencapai bagian yang penuh aksi. Para monyet mempertunjukkan
keahlian akrobat mereka. Berjungkir balik dan berputar-putar, si Raja Kera Sakti
bersalto di atas bahu monyet-monyet lain yang lebih kecil, kemudian melompat
tinggi ke udara sebelum mendarat dengan mulus di sebuah dahan pohon,
perlengkapan panggung yang terbuat dari kayu yang dicat.
Para penonton bersorak. Si Raja Kera melompat ke atas segumpal awan, sepotong papan yang digantungkan
dari langit-langit dengan beberapa utas tambang.
Sehelai kain putih lebar yang berfungsi sebagai ganti Air Terjun Kayangan,
dilemparkan ke bawah, awan tadi diangkat perlahan, dan si aktor pun keluar dari
panggung. " Shang! Beri dia hadiah!. Shang! " Kaisar Hsien Feng bertepuk tangan dan
berseru-seru. Penonton yang lain turut bertepuk, berteriak, " Shang! Shang!!
Shang!!! " Kepala Hsien Feng bergoyang seperti gendang pedagang. Pada setiap dentaman gong
dia menendangkan kaki, tertawa. "Bagus sekali!" teriaknya, menunjuk kepada para
aktor. "Kalian pemberani!
Sangat pemberani!!" Piring-piring berisi kacang-kacangan dan hidangan lain yang tengah musim
diedarkan melalui Ibu Suri. Karena belum makan sejak malam tadi, aku mengambil
bakpao isi buah beri, kurma, kacang manis, dan kacang biasa. Selain Ibu Suri,
agaknya hanya aku sendirilah perempuan yang benar-benar menikmati opera ini.
Para wanita lain jelas tampak bosan. Nuharoo berjuang mati-matian agar tampak
tertarik. Putri Li menguap dan Putri Mei mengobrol dengan Putri Hui.
Seolah ingin menyegarkan menantu-menantunya, Ibu Suri membagikan kipas kertas.
Kami bangkit, membungkuk ke arah beliau kemudian duduk kembali dan membuka kipas
kami. Waktunya untuk adegan aksi. Pasukan monyet dipimpin Raja mereka merangkak dengan
tangan dan kaki mengepung musuh mereka, Siluman Rubah Putih, yang, meski tengah
sekarat, menyanyi ke arah penonton:
Dengar nasihatku, sahabat
Jangan pedulikan harta kekayaan berpeti
Tetapi saat kesegaran masa muda masih
kau ada dalam diri Nikmati setiap detik, dengan sungguh hati.
Ketika bunga mekar, siap dipetik.
Kumpulkan mereka semampumu
Ah! Jangan menanti hingga kembang tiada
Meninggalkan ranting merana
Penonton bertepuk tangan mendengar nyanyian ini, dan Putri Yun berdiri. Kurasa
dia ingin ke kamar mandi, tetapi sesuatu pada gerakannya menarik perhatianku.
Sang putri agak melenggokkan bokongnya, dan perutnya terlihat sedikit membusung.
Dia mengandung! Nuharoo, Li, Mei, Hui dan yang lain semua menggumamkan kalimat


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sama. Setelah menatap tanpa berkedip selama beberapa saat, Nuharoo membuang muka. Dia
mengambil kipasnya dan mulai menggerakkan pergelangan tangan dengan ganas. Semua
istri Kaisar yang lain juga turut melakukan hal yang sama.
Suasana hatiku seketika berubah gelap. Mahkota Nuharoo dan perut buncit Putri
Yun laksana dua tongkat membara yang ditancapkan ke kulitku.
Kaisar Hsien Feng bahkan tak menyapaku. Dia bangkit dan pergi pada saat
istirahat. Kuawasi dia keluar, diikuti para kasim dan dayang-dayang yang membawa
waskom, tempolong, kipas, piring kue asin, mangkuk sup dan baki-baki.
Kepala Kasim Shim bilang suami kami itu akan segera kembali.
Kami menunggu, tetapi Yang Mulia Kaisar tak juga kembali. Perhatian semua orang
kembali dipusatkan pada opera. Otakku rasanya seperti panci yang mendidih, penuh
dengan pikiran-pikiran muram. Aku duduk hingga akhir opera, kupingku mendengung
mendengar dentuman gendang.
Ibu Suri sangat puas menonton opera ini. "Jauh lebih baik daripada Raja Kera
yang asli!" Katanya kepada pemimpin kelompok opera itu. "Versi yang lama
membuatku mengantuk. Yang ini membuatku menangis dan tertawa." Dipujinya akting
semua aktor dan menyuruh Shim melonggarkan kantung uangnya.
Yang Mulia Ibu Suri ingin bertemu dengan para bintang utama, lelaki muda yang
memerankan Raja Kera Sakti dan Siluman Rubah Putih. Mereka segera muncul dari
belakang panggung, masih dalam tata rias mereka. Wajah mereka tampak seolah baru
saja dicelupkan ke dalam kecap.
Ibu Suri mengabaikan si Raja Kera dan bicara dengan Siluman Rubah dengan penuh
semangat. "Aku sangat menyukai suaramu." Dia mengeluarkan sekantung uang tael
dan meletakkannya di telapak tangan si aktor. "Membuatku mabuk kegembiraan."
Digenggamnya tangan lelaki muda itu, dan lama sekali tak dilepaskannya. "Benar-
benar seperti burung penyanyi. Burung penyanyiku!" dipandanginya aktor itu
dengan mata seorang gadis muda yang jatuh cinta, mendesah, "Pemuda yang tampan!
Makhluk yang memesona!"
Menurut pendapatku wajah aktor itu biasa-biasa saja, meski pun aku benar-benar
mengagumi suara dan tariannya. Peran Siluman Rubah yang dia tampilkan memiliki
intisari kecantikan feminin. Tak pernah aku melihat seorang lelaki dapat
memerankan wanita dengan begitu puitis. Sangat menakjubkan, melihat apa yang
bisa diperbuat oleh seni, karena Ibu Suri dikenal sebagai pribadi yang membenci
orang kasim. Ibu Suri berpaling kepada kami semua. "Apakah kalian semua menikmati pertunjukan
tadi?" Kami langsung paham: sudah waktunya membuka dompet.
Semua istri Kaisar dan selirnya, termasuk aku, mengambil kantung kecil bertali
yang kami bawa. Para aktor itu menyembah, dan mundur.
Ibu Suri bangkit dari kursinya, dan kami mengerti bahwa waktu pulang sudah tiba.
Kami berlutut, berkata, "Sampai lain kali, kami haturkan segala musim penuh
kedamaian untuk Paduka!"
Ibu mertua kami berjalan tegap keluar ruangan, mengangguk pun tidak.
"Tandu Kekaisaran bergerak!" Kepala Kasim Shim berseru, dan para penandu tiba
bersama kursi-kursi kami.
Kami membungkuk kepada Nuharoo dan satu sama lain dalam diam.
Tirai tanduku diturunkan. Aku berusaha keras melawan kegetiran perasaanku, dan
malu sendiri menyadari kelemahanku. Tak ada gunanya aku mengatakan pada diriku
sendiri bahwa aku sendirilah yang memilih untuk memasuki Kota Terlarang, dan
bahwa aku tak berhak untuk mengeluh, atau untuk merasa sengsara.
Bayangan An-te-hai muncul di cermin saat aku menghapus riasan, dia bertanya
apakah aku memerlukan para juru riasku untuk membantuku berganti baju, dan
sebelum aku sempat menyahut, dikatakannya bahwa dia bersedia membantuku - kalau
aku tak berkeberatan. Aku mengizinkan dia membantu.
An-te-hai mengambil sisir dan dengan hati-hati mulai melepaskan semua hiasan
dari rambutku. "Anda mau ke Taman Timur besok, Gusti Putri?" Tanyanya.
"Saya menemukan beberapa tanaman yang menarik..."
Buru-buru kuhentikan dia, karena bisa kurasakan amarahku sedang mencari jalan
keluar. An-te-hai menutup mulut. Jari-jemarinya bekerja perlahan dan yakin di antara
rambutku. Ditariknya sebuah kembang kumala dari rambutku, melepaskan kalung
berlian dari leherku. Diletakkannya benda-benda itu satu persatu di atas meja
rias. Tak bisa lagi menahan perasaan, aku mulai menangis.
"Jiwa yang berpengetahuan cukup kuat untuk menyelamatkan seseorang dari
bencana," suara An-te-hai lirih, seakan bicara dengan dirinya sendiri.
Bendungan dalam hatiku bobol, dan air yang bergejolak membanjir keluar. "Tapi
untukku, pengetahuan itu menyakitkan!"
"Kesakitan adalah awal dari kesembuhan, Gusti Putri."
"Teruskan saja, An-te-hai, buat lukaku lebih dalam lagi!
Kenyataannya adalah aku telah gagal sama sekali."
"Tak seorang wanita pun di tempat ini yang bisa membuat sesuatu jadi kenyataan
tanpa harus membayar harga yang pantas."
"Nuharoo bisa, dan Putri Yun juga!"
"Tapi itu bukan keseluruhan kebenaran, Gusti Putri. Cara pandang Paduka perlu
disesuaikan sedikit."
"Cara pandang apa" Hidupku dicabut hingga ke akar oleh sebuah tornado,
dilemparkan ke udara, dan sekarang aku terbanting hancur.
Apa yang bisa kulakukan selain menyerah?"
An-te-hai menatap lekat kepadaku melalui cermin. "Tak ada - tak ada yang lebih
mengerikan daripada menyerah, Gusti Putri."
"Jadi, apa yang harus kulakukan kalau begitu?"
"Mempelajari bagaimana pola tornado tadi bergerak." Dia mengambil sebuah sikat
dan meneruskan menyisiri rambutku.
"Pola apa?" "Kekuatan tornado terletak di bagian tepinya." Si kasim memegangi rambutku ke
atas dengan satu tangan, tangan satunya menyikatnya dengan gerakan cepat. "Angin
ribut ini punya kekuatan mengangkat sapi dan kereta, lalu melemparkan mereka
kembali ke tanah. Tetapi, bagian tengah sebuah tornado justru tenang..." Dia
berhenti, matanya menyusuri rambutku hingga ke ujung. "Rambut Anda sangat indah,
Gusti Putri. Hitam lembut seperti sutra, tanda kesehatan yang baik. Ini harapan
dalam pengertiannya yang paling mendasar."
"Lalu bagaimana dengan angin ribut tadi?"
"Oh, tornado, ya, bagian tengahnya yang aman. Bagian itu relatif tenang. Di
sinilah Anda harus berada, Gusti Putri. Hindari jalan-jalan yang Anda tahu tak
banyak menawarkan kesempatan, pusatkan pikiran pada cara membuat jalan-jalan
baru yang belum pernah dicoba orang lain, dan yang di situ duri tampak tebal."
"Kau sudah berpikir keras, ya, An-te-hai," komentarku.
"Terima kasih, Gusti Putri. Saya sudah memikirkan cara bagi Anda untuk membuat
opera dalam kehidupan nyata, dengan diri Anda sendiri sebagai bintang utama."
"Coba kudengar, An-te-hai."
Layaknya seorang penasihat yang tengah membeberkan suatu strategi pada seorang
jenderal, An-te-hai menceritakan rencananya.
Ternyata sederhana saja, tetapi terdengar menjanjikan. Aku akan melaksanakan
suatu upacara korban Kekaisaran - sebuah tugas yang sebenarnya adalah kewajiban
Kaisar Hsien Feng. "Kurasa Anda sebaiknya melaksanakannya atas nama Kaisar, Gusti Putri." An-te-hai
menutup peti perhiasanku, lantas duduk menghadap padaku. "Upacara korban itu
akan menambah nilai kesalehan Yang Mulia Kaisar dan akan menjadi amal baik
untuknya di Surga kelak."
"Kau yakin ini yang diinginkan Yang Mulia Kaisar?"
"Pasti," sahut si kasim. "Bukan hanya Yang Mulia Kaisar, tetapi juga Ibu Suri."
An-te-hai menjelaskan bahwa tanggal penghormatan bagi para nenek moyang
Kekaisaran ada banyak sekali, dan keluarga Istana sudah terlambat dari jadwal.
"Yang Mulia Kaisar sering kali tak punya cukup tenaga untuk menghadiri upacara-
upacara ini." "Apakah Ibu Suri dan selir-selir lain pernah melakukannya?"
"Pernah, tetapi mereka tak punya minat melakukannya setiap tahun. Kaisar Hsien
Feng takut mengecewakan nenek moyangnya, maka beliau menyuruh Kepala Kasim Shim
meminta Nuharoo dan Putri Yun. Tetapi mereka menolak permintaan Yang Mulia
Kaisar dengan alasan kesehatan mereka tak begitu baik."
"Lantas kenapa Kepala Shim tak memintaku?"
"Yah, kurasa dia tak mau memberi Anda kesempatan guna menyenangkan hati Yang
Mulia." "Aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan hatinya!"
"Yah, sudah menjadi hak Anda untuk menyelenggarakan upacara itu untuk
kepentingan suami Anda."
"Segera siapkan tanduku untuk besok pagi."
"Baik, Gusti Putri."
"Tunggu, An-te-hai. Bagaimana caranya agar Kaisar mengetahui apa yang
kulakukan?" "Kasim yang bertugas di Kuil akan mencatat nama Anda.
Tugasnyalah untuk memberitahu Yang Mulia Kaisar setiap kali ada seseorang
menyatakan hormat pada nenek moyang Kaisar, atas namanya."
Aku sama sekali tak punya pengetahuan tentang bagaimana menghormati nenek moyang
Kekaisaran. Menurut An-te-hai, aku tinggal berlutut di lantai dan membungkuk
pada beragam potret dan arca batu. Kedengarannya tak terlalu sulit.
Subuh berikutnya aku menaiki tanduku dengan An-te-hai berjalan di sampingku.
Kami melalui Pondok Wewangian yang Segar, dan kemudian Gerbang Keberanian Jiwa.
Dalam waktu satu jam kami telah tiba di Kuil Kedamaian Abadi. Di hadapanku
berdirilah sebuah gedung besar, ratusan burung bersarang di bawah ujung-ujung
atapnya. Aku diterima oleh seorang rahib muda yang sekaligus seorang kasim berpipi merah
dengan tahi lalat di antara kedua alisnya. An-tehai memberitahukan nama serta
gelarku, dan si rahib mengeluarkan sebuah buku catatan besar, mengambil kuas,
mencelupkannya ke dalam tinta dan menuliskan namaku dengan huruf-huruf bergaya
balok. Aku dikawal menuju kuil. Setelah melalui beberapa gerbang lengkung, si rahib
berkata bahwa dia harus mengurus sesuatu dulu dan segera menghilang di balik
sebarisan tiang. An-te-hai membuntuntinya.
Aku memandang berkeliling. Aula raksasa ini, beberapa tingkat tingginya,
dipenuhi arca berwarna keemasan. Semuanya dicat dalam gradasi keemasan. Ada
kuil-kuil lagi di dalam kuil ini, yang desainnya serupa dengan kuil utama.
Seorang biksu senior muncul dari sebuah pintu samping.
Janggutnya yang seputih salju nyaris mencapai lututnya. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, dia memberiku sebuah botol penuh batang-batang dupa. Kuikuti
dia menuju ke sederetan meja altar.
Aku menyalakan dupa, berlutut dan membungkuk ke arah patung-patung yang beraneka
ragam itu. Aku tak tahu persis nenek moyang yang mana yang sedang kusembah.
Berkeliling kuil, aku mengulangi sembahku tadi, lagi dan lagi. Setelah menyembah
kurang lebih selusin nenek moyang, aku kelelahan. Sementara itu si rahib duduk
di sudut dengan mata terpejam, menyanyikan mantra seraya mengetuk alat
mantranya, sebuah mooyu, atau ikan kayu, sementara tangan satunya menghitung
biji tasbih. Nada datar nyanyian mantranya mengingatkanku pada para peratap
bayaran1 yang dulu kami sewa di kampung untuk ikut dalam upacara penguburan.
Di dalam kuil itu sangat hangat. Karena tak seorang pun melihat, aku biarkan
bungkukanku semakin lama semakin kurang dalam. Terakhir, bungkukan malah
menghilang, digantikan sekedar anggukan. Mataku berusaha menjaga agar sang rahib
tidak menangkap kenakalanku. Aku terus memperhatikan pak tua itu hingga suara
ketukan mooyu-nya lenyap ke dalam kesunyian. Mestinya rahib itu tertidur. Kuseka
keringatku, tetapi tetap mempertahankan posisi membungkuk, untuk berjaga-jaga
saja. Mataku mondar mandir dan sudut ke sudut. Kuil itu penuh dengan segala
jenis dewa. Di samping dewa-dewa resmi Manchu, yang disebut Shaman, ada juga
dewa-dewa Tao, Buddha dan Kuan Kong, dewa rakyat kebanyakan Cina.
"Dulu ada seorang Pangeran yang di tengah-tengah sembahyangnya melihat bahwa
kuda tanah liat Dewa Cina itu berkeringat." Si rahib tiba-tiba berkata, seolah
sejak tadi dia mengawasi gerak-gerikku. "Pangeran itu berkesimpulan bahwa
mestinya sang Dewa telah bekerja keras menaiki kudanya, patroli berkeliling
Istana. Sejak saat itu Kuan Kong menjadi sosok utama yang disembah di Kota
Terlarang." "Mengapa setiap dewa duduk dalam relungnya sendiri?"
tanyaku. "Karena mereka berhak menerima perhatian sebagai dewa,"
sahut si rahib. "Misalnya, Tsongkapa Yang Dihormati adalah pendiri Sekte Kuning
dalam agama Buddha. Itu dia, yang duduk di kursi keemasan di sana, dengan
patung-patung diri yang lebih kecil mengelilinginya. Di bawah kakinya ada kitab
Sutra dalam bahasa Manchu."
Mataku bergulir ke arah ujung terjauh dan aula ini, ke tempat sebuah lukisan
sutra besar digantungkan. Lukisan itu menggambarkan Kaisar Chien Lung mengenakan
jubah Buddha. Kutanyakan pada rahib tadi apakah Chien Lung, kakek mertuaku itu,
adalah seorang penganut agama yang saleh. Menurut sang rahib, Chien Lung bukan
hanya sekedar penganut Buddha yang taat, tetapi juga ahli dalam agama Mee Tsung,
yang aslinya adalah satu cabang dari Buddha. "Beliau bisa berbicara bahasa
Tibet, dan membaca sutra dalam bahasa Tibet juga,"
kata si rahib, lantas melanjutkan mengetukkan mooyu-nya.
Aku kecapekan. Aku mengerti sekarang mengapa para selir yang lain enggan datang.
Si biksu bangkit dari tikar sembahyangnya, katanya sudah waktunya untuk
meneruskan upacara di lain tempat. Kuikuti dia ke 1 Sekelompok orang bayaran
yang pekerjaannya menangis dan meratap pada acara kematian. Semakin banyak
mereka, gengsi si mati akan semakin tinggi - penerj hadapan sebuah altar di
suatu lapangan terbuka. Diajaknya aku berlutut di hadapan setumpuk pualam, dan
mulai membaca mantra lagi.
Sudah tengah hari, dan matahari mendera langsung punggungku. Aku berdoa setengah
mati agar upacara ini lekas berakhir.
Menurut An-te-hai, mestinya ini adalah yang penghabisan. Sang rahib berlutut di
sampingku, janggutnya terjela-jela ke tanah. Setelah tiga bungkukan dalam, dia
bangkit, membuka sebuah manuskrip tentang perbuatan baik para leluhur, dan mulai
membaca, dalam bahasa Mandarin, nama-nama leluhur itu dan gambaran tentang masa
hidupnya. Deskripsinya nyaris seragam, semua berisi pujian, tak satu pun
mengandung kritik. Kata-kata seperti 'kebajikan' dan
'kehormatan' ada dalam setiap alinea. Si rahib menyuruhku bersujud lima kali ke
tanah setiap dia menyebutkan satu nama baru. Aku mengikuti perintahnya.
Nama-nama yang ada dalam daftarnya rasanya tak ada habis-habisnya, dan keningku
mulai lecet. Kekuatan untuk tetap melanjutkan ritual ini datang dari pengetahuan
bahwa semua ini akan segera berakhir.
Tetapi ternyata aku salah.
Si biksu terus saja membaca. Hidungku hanya berjarak beberapa inci dari kakinya,
sehingga aku bisa melihat semua kulit kapalan di situ. Mestinya keningku sudah
berdarah sekarang, pikirku.
Kugigit bibir. Akhirnya si rahib selesai dengan daftarnya, tetapi lalu dia
mengatakan bahwa aku harus mendengarkan ulangannya dalam bahasa Manchu!
Aku berdoa agar An-te-hai datang menyelamatkanku. Di mana dia"
Sang rahib sudah mengulang membaca, dalam bahasa Manchu.
Dia terus saja mendengung, dan aku tak mengerti sepatah kata pun kecuali nama-
nama para Kaisar. Aku sudah nyaris pingsan ketika aku melihat An-te-hai, yang
berlari ke arahku dan menolongku untuk berdiri.
"Maaf, maaf, Gusti Putri. Aku tak tahu bahwa rahib ini akan terus saja membaca
sampai korbannya pingsan. Kupikir tadinya saudara-saudaraku hanya bercanda saja
ketika mereka bercerita tentang dia kepadaku."
"Bisakah kita pergi sekarang?" Tanyaku.
"Sayangnya belum, Gusti Putri. Perbuatan baik Anda takkan dicatat kecuali kalau
sudah selesai semuanya."
"Aku tak tahan lagi!"
"Jangan khawatir." bisik An-te-hai. "Aku sudah menyogok mereka dengan jumlah
yang lumayan. Pak rahib ini meyakinkanku bahwa sisa upacara hanya akan memakan
waktu singkat." Dewa-dewi batu berjejer pada sisi-sisi tempat itu, sebuah tempat terbuka dengan
sebuah dinding di bagian Barat. Sebatang tiang bendera setinggi limapuluh kaki
berdiri di Tenggara. Di atas tonggak itu ada sebuah tempat makan burung. Konon,
burung-burung membawa pesan Kaisar kepada roh leluhur. Ada sebuah benda aneh
tergantung di dinding. Saat berjalan mendekat, aku melihat bahwa ternyata benda
itu adalah sebuah kantung kain berwarna bagaikan debu.
"Tas kain itu milik pendiri dinasti ini, Raja Nurhachi," rahib senior tadi
menjelaskan. "Di dalamnya terdapat tulang belulang ayah dari kakek sang Raja.
Nurhachi membawa mereka kembali ke suku mereka setelah musuh membantai
keduanya." Rahib itu bertepuk tangan. Dua wanita yang wajahnya dilapisi lumpur muncul.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Para tukang sihir dari suku Shaman. " Si rahib memperkenalkan. Jubah kedua
wanita itu tebal dilapisi pola sulaman laba-laba hitam. Topi mereka dilapisi
sisik ikan dan tembaga. Manik-manik dan biji buah bergantungan di kepala,
telinga, dan leher mereka. Keduanya memiliki "ekor" coklat panjang dari kepangan
kulit yang bergantung di bagian belakang mereka. Mereka mulai menari
mengelilingiku. Mulut mereka berbau bawang putih. Mereka menyanyi dengan
menirukan suara binatang.
Belum pernah kulihat tarian yang semenakutkan itu. Selama menari kedua wanita
itu lebih sering berjongkok, dan "ekor" mereka kelihatan lebih mirip kotoran
yang amat panjang. "Jangan bergerak!" Teriak si rahib saat dilihatnya aku mencoba meluruskan kaki.
Para penari tadi melompat pergi dan mulai mengelilingi tiang bendera. Mereka
berputar-putar di sekitarnya seperti ayam tanpa kepala, lengan melambai-lambai
ke arah langit. Mereka menjerit,
"Babi! Babi!" Seekor babi yang dibebat kencang dibawa masuk oleh empat orang kasim. Hewan itu
menguik-nguik terus. Para penari melompat bolak-balik di atasnya. Lalu babi itu
dibawa keluar. Giliran sebuah piring keemasan dengan seekor ikan yang meletik-
letik di atasnya dibawa masuk. Rahib tadi memberitahuku bahwa ikan itu ditangkap
di kolam terdekat. Rahib yang lebih muda kembali dan dengan keahlian yang
mengagumkan mengikat ikan itu dengan pita merah.
"Berlutut!" Si biksu senior menyeretku dan menyambar tangan kananku. Sebelum aku
sadar apa yang terjadi, sebilah pisau dijejalkan ke tanganku dan aku dipaksa
untuk menyembelih ikan itu.
An-te-hai dan si biksu muda menopangku dengan lutut serta lengan mereka supaya
aku tak pingsan. Sebongkah kepala babi putih dibawa di atas sebuah baki. Itu adalah babi yang
tadi kulihat menguik, begitu kata rahib yang tua.
"Hanya babi yang baru disembelih dan direbuslah yang bisa menjamin sihirnya akan
bekerja." Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang. Seseorang mencengkeram tangan
kiriku dan berusaha melemaskan jari-jariku yang kaku. Kubuka mataku, dan kulihat
para penari itu, yang menyodorkan sebuah mangkuk keeemasan kepadaku.
"Pegang!" Perintah si rahib senior.
Aku sudah terlalu lemah untuk membantah.
Seekor ayam jantan dibawa ke hadapanku. Sekali lagi aku diberi sebilah pisau.
Pisau itu terus menerus meluncur jatuh dari jari jemariku. Si rahib memegang
mangkuk dengan tangannya sendiri, dan menyuruhku memegang ayam itu. "Sembelih
lehernya dan tuangkan darahnya ke mangkuk!"
"Aku.. .tidak. ..bi..." aku merasa seolah akan pingsan.
"Tabahlah, Gusti Putri," kata An-te-hai. "Ini yang terakhir!"
Hal terakhir yang kuingat adalah menyiramkan anggur ke atas batu-batu lantai
tempat ikan, kepala babi dan si ayam jantan tergeletak berlumuran darah mereka
sendiri. Dalam perjalanan pulang, di tandu, aku muntah. An-te-hai bercerita bahwa setiap
hari seekor babi dibawa melalui Gerbang Guruh dan Badai, dan dikorbankan pada
tengah hari. Babi tanpa kepala itu seharusnya dibuang sesudah upacara, tetapi
para kasim di kuil itu menyembunyikannya, memotong-motongnya dan menjualnya
dengan harga mahal. "Selama lebih dari duaratus tahun, kaldu di dalam wajan
raksasa tempat babi-babi itu direbus tak pernah diganti," kata An-tehai. "Api di
bawah wajan tak boleh mati. Para kasim itu menjajakan daging babi tadi: 'Ini
bukan daging biasa. Daging ini sudah dicelupkan ke dalam sup surgawi! Ini akan
membawa nasib baik bagi Anda dan bagi keluarga!' "
---oOo--- Tak ada yang berubah setelah kunjunganku ke Kuil. Di akhir musim gugur harapanku
untuk mendapatkan perhatian Kaisar Hsien Feng sudah hancur sama sekali.
Sepanjang malam aku mendengarkan jangkrik menyanyi. Jangkrik di halaman
Kekaisaran tidak sama bunyinya dengan Jangkrik di Wuhu. Jangkrik Wuhu berbunyi
dengan nada pendek, dengan tiga ketukan pada setiap interval. Jangkrik Istana
menyanyi terus tanpa jeda.
An-te-hai memberitahuku bahwa para selir senior yang tinggal di Istana
Ketentraman Kebajikan memelihara serangga-serangga itu.
Saat udara hangat, jangkrik-jangkrik itu mulai berbunyi begitu hari gelap.
Ribuan jangkrik hidup di dalam yoo-hoo-loo, labu berbentuk botol dan berkulit
keras yang dibuat oleh para selir itu.
Musim badai mulai dini tahun ini, dan semua bunga rusak karenanya. Kelopak putih
gugur memenuhi tanah, keharumannya begitu kuat hingga mengisi ruanganku. Akar
semak peoniku terendam air hujan yang turun terus-menerus, dan mulai membusuk.
Semua semak tampak sakit-sakitan dipenuhi bintik-bintik coklat. Genangan air ada
di mana-mana. Aku berhenti jalan-jalan di luar setelah An-tehai menginjak seekor
kalajengking air, menyebabkan tumitnya membengkak sebesar bawang bombay.
Setiap hari aku masih tetap melakukan rutinitas yang sama.
Berdandan dan berias di pagi hari, serta melepaskan semuanya di sore hari.
Kerjaku menunggu Yang Mulia Kaisar, lain tidak. Suara nyanyian jangkrik kian
lama kian terdengar pilu di telingaku. Kucoba untuk tak berpikir tentang
keluargaku. An-te-hai pergi ke Istana Ketentraman Penuh Kebajikan dan kembali membawa
sekeranjang penuh yoo-hoo-loo yang diukir indah.
Dia ingin menunjukkan kepadaku bagaimana caranya menanam dan mengukir semua labu
itu. Dia berjanji hal itu bisa membantu menghilangkan rasa sepiku, seperti yang
sudah terjadi pada sekian banyak selir lainnya. Labu, jelasnya, adalah simbol
yang menguntungkan, bermakna harapan akan "keturunan yang banyak".
"Ini benih dari tahun lalu." An-te-hai memberikan segenggam benih, yang tampak
seperti wijen hitam. "Ditanam pada musim semi.
Setelah berbunga, labu-labu itu akan mulai terbentuk. Anda bisa mendesain sebuah
kurungan yang akan memaksa labu itu tumbuh dengan bentuk yang Anda inginkan -
bulat, persegi panjang, bujur sangkar atau asimetris. Ketika labu matang,
kulitnya menjadi keras. Anda tinggal memetiknya dan batangnya, mengeluarkan biji-bijinya dan mengukirnya
menjadi karya seni."
Kupelajari buah labu yang dibawa An-te-hai. Desain dan warnanya begitu rumit dan
kaya. Motif musim semi digunakan berulang kali. Aku sangat tertarik terutama
pada satu labu yang menampilkan bayi-bayi bermain di sebatang pohon.
---oOo--- Setelah makan malam An-te-hai mengajakku untuk mengunjungi Istana Ketentraman
Penuh Kebijakan. Kami berdua membawa sebuah labu. Aku tak menggunakan tandu dan
memilih untuk berjalan, menyeberangi beberapa pekarangan tertutup. Saat makin
mendekati istana tersebut, hidungku mencium bau asap dupa yang sangat kuat.
Kami memasuki gumpalan-gumpalan asap. Terdengar paduan suara murung menggema,
kutebak mestinya itu para pendeta yang sedang membaca doa.
An-te-hai menganjurkan agar kami lebih dahulu berhenti di Paviliun Arus Sungai
guna mengembalikan labu-labu tadi. Ketika kami melalui gerbang dan memasuki
taman, aku terpana melihat kuil-kuil megah memenuhi bukit-bukit di situ. Arca
Buddha tersebar di mana-mana. Yang paling kecil berukuran sebesar telur,
sedangkan yang besar sedemikian besarnya hingga aku dapat duduk di kakinya. Nama
kuil-kuil tersebut diukir pada papan keemasan: Istana Kesehatan yang Baik,
Istana Kedamaian Abadi, Balairung Pengampunan, Wisma Awan Keberuntungan, Wisma
Ketenangan Abadi. Beberapa dibangun dan paviliun-paviliun yang telah ada
sebelumnya, lainnya dibangun dari ruangan dan taman-taman yang telah ada. Setiap
celah yang ada dipenuhi pagoda dan altar.
"Para selir senior sudah mengubah tempat tinggal mereka menjadi kuil," bisik An-
te-hai. "Mereka menghabiskan hidup mereka dengan berdoa. Setiap selir memiliki
ranjang kecil di belakang patung Buddha."
Aku ingin tahu seperti apa tampang para selir itu, jadi kuikuti suara doa tadi.
Aku melalui sebuah jalan menuju ke Balairung Kemudaan yang Berlimpah. Menurut
An-te-hai ini adalah kuil yang terbesar. Ketika aku masuk, kulihat bahwa lantai
nyaris tertutup oleh tubuh-tubuh yang tengah sembahyang. Asap dupa di situ amat
tebal. Umat yang tengah beribadah itu bangkit dan berlutut bagaikan gelombang samudera.
Tanpa nada mereka mengucapkan doa, tangan-tangan mereka sibuk menggerakkan
manik-manik yang dirangkai dengan benang yang diberi lilin.
Tiba-tiba aku sadar bahwa An-te-hai tak ada di dekatku. Aku lupa bahwa orang
Kasim tidak diperkenankan untuk berada di tempat-tempat suci.
Suara doa semakin keras. Buddha raksasa di tengah kuil tersenyum penuh rahasia.
Untuk sesaat aku merasa seperti berada di alam khayal. Aku menjadi salah satu
dari selir yang ada di lantai. Bisa kulihat diriku sendiri mengukir labu. Bisa
kulihat kulitku mengerut, menggelambir menjadi lipatan-lipatan. Rambutku berubah
menjadi putih dan kurasakan gigi-gigiku rontok satu persatu.
"Tidak!" Aku menjerit.
Yoo-hoo-loo yang kubawa berjatuhan dari tanganku.
Suara doa berhenti. Ratusan kepala menoleh ke arahku.
Aku tak dapat bergerak. Selir-selir itu mendelik ke arahku. Rahang mereka yang ompong membuka. Rambut
mereka sedemikian tipisnya hingga mereka tampak gundul.
Tak pernah kulihat wanita-wanita yang begitu menakutkan.
Punggung mereka bungkuk dan kaki tangan mereka bagaikan pepohonan yang
berbonggol-bonggol di pegunungan tinggi. Tak ada sisa kecantikan sedikit pun
pada wajah mereka. Tak dapat kubayangkan satu pun dari mereka sebagai subjek
gairah seorang Kaisar. Wanita-wanita itu mengangkat lengan mereka yang sekurus tongkat ke angkasa.
Tangan-tangan bagaikan cakar membuat gerakan menggaruk.
Kurasakan iba yang amat sangat terhadap mereka. "Aku Anggrek," kudengar diriku
sendiri berkata. "Apa kabar?"
Mereka bangkit, menyipitkan mata. Air muka mereka bagaikan hewan pemangsa.
"Ada penyusup!" Terdengar sebuah suara tua, gemetaran. "Apa yang akan kita
lakukan terhadapnya?"
"Cubiti dia sampai mati!" demikian sahutan melengking dari lautan manusia itu.
Kulemparkan diriku ke tanah dan bersujud beberapa kali. Aku telah berbuat salah
karena menyusup, dan karenanya aku minta maaf, serta berjanji bahwa mereka
takkan melihatku lagi. Tetapi semua wanita itu sudah bertekad untuk menangkap dan mencabik-cabikku.
Seorang menjambak rambutku, yang lain meninju daguku. Aku memohon agar diampuni,
seraya berusaha mundur kembali ke gerbang.
Para selir itu tertawa histeris, menendang, mendorong, melemparku ke depan dan
ke belakang. Aku terpojok ke sebuah dinding. Beberapa tangan yang kuat menyambar
tenggorokanku, kuku-kuku yang tajam menekan menghalangi napasku. Wajah-wajah
yang penuh kerut itu merubung di sekitar, seperti awan hitam bergulung-gulung di
langit. "Pelacur!"
Kutuk mereka. "Sekarang berdoalah pada Buddha sebelum kau mati!"
Tiba-tiba gerombolan itu memecah. An-te-hai memanjat ke atas gerbang dan kini
melempari mereka dengan labu yang diisi batu.
"Setan-setan ompong!" Teriaknya. "Pergi! Kembalilah ke peti matimu!!"-
Sembilan KUSURUH AN-TE-HAI untuk memanggil Kepala Kasim Shim. Saat Shim tiba, kutemui dia
dengan jubah resmiku, tata rias lengkap dan mahkota. Orang itu kaget betul.
"Putri Yehonala." Shim berlutut dan menancapkan pandangan ke lantai. "Anda tidak
perlu seresmi itu. Sebagai budakmu, Shim tak pantas menerima kehormatan seperti
ini." Dia berhenti sejenak, mengangkat tatapnya. Pupil matanya yang hanya
terlihat separuh membuat dia terlihat seperti kadal. "Saya tak bermaksud
mengkritik, Putri Yehonala, tetapi Anda harus berhati-hati. Anda bisa membuat
kita berdua terseret ke dalam bahaya."
"Aku putus asa, Kepala Shim," kataku. "Bangun dan duduklah."
Sambil bicara aku memberi isyarat kepada Ante-hai, yang membawa sebuah kotak
keemasan berukir. "Kepala Shim, aku punya sebuah hadiah sederhana untukmu."
Kubuka kotak itu dan mengeluarkan ruyi yang diberikan Kaisar Hsien Feng
kepadaku. Ketika melihat ruyi itu Shim terlonjak kaget. Matanya membeliak begitu lebar
hingga kukira bola matanya akan lepas dari tempatnya.
"Ini ... ini hadiah pertunangan dari Yang Mulia Kaisar untuk Anda, Putri
Yehonala! Ini adalah benda asli, selempeng janji! Jika anda tak paham betapa
berharganya benda ini, izinkan saya untuk - "
"Aku senang kau menyadari nilainya." Aku tersenyum. "Betapa pun, aku tetap ingin
memberikannya padamu."
"Mengapa, Putri Yehonala" Mengapa?"
"Aku ingin menukarnya dengan sebuah pertolongan, Kepala Shim," kubuat agar dia
menatapku tepat di mata. "Sejujurnya, ruyi ini adalah
benda bernilai terakhir yang kumiliki. Aku ingin
memberikannya kepadamu karena aku tahu betapa berharganya pertolonganmu."
"Putri Yehonala, tolonglah...Saya...saya tak bisa menerimanya."
Dia bangkit, hanya untuk terjatuh berlutut lagi.
"Bangkit, Kepala Shim."
"Saya tak berani!"
"Aku memaksa." "Tetapi, Putri Yehonala!"
Kutunggu sampai orang itu berdiri di atas kakinya lagi. "Ruyi itu" - aku
mengucapkan setiap kata dengan perlahan- "akan lebih berharga ketika aku menjadi
ibu dari putra Kaisar Hsien Feng."
Air muka Kepala Kasim Shim membeku. Agaknya dia terpesona oleh kemungkinan itu.
"Ya, Putri Yehonala." Dia bersujud menyentuhkan kening ke lantai.
Aku biarkan dia begitu selama beberapa saat, lantas berkata,
"Terima kasih karena telah bersedia membantuku."
Kepala Kasim Shim perlahan bangkit. Dia mengibaskan kedua lengan bajunya dan
mengambil napas dalam. Beberapa saat kemudian dia sudah kembali biasa lagi. Dia
terlihat senang dan takut sekaligus.
Diambilnya ruyi itu dari tanganku dan didekapnya ke dada.
"Tanggal berapa, Gusti Putri, paduka ingin saya mengatur pertemuan Anda dengan
Yang Mulia Kaisar?" Tanyanya, menyimpan ruyi tadi dalam kantong di bagian dalam
jubahnya. "Apakah tanggal akan membuat perbedaan?" Aku tak bersiap untuk reaksi secepat
ini. "Sangat besar, Gusti Putri. Gusti ingin seketiduran dengan Yang Mulia Kaisar
pada masa subur Anda, bukan?"
"Benar." Cepat-cepat aku memperhitungkan hari dan tanggal.
"Dan tanggalnya adalah?"
"Hari keempatbelas dari purnama berikut."
"Sempurna, Gusti Putri. Akan segera saya tandai tanggal tersebut di buku saya.
Kalau Anda tak mendengar berita apa pun dan saya, itu artinya kita siap. Kalau
segalanya beres dengan Yang Mulia Kaisar, Anda akan dipanggil pada hari
keempatbelas setelah purnama berikut. Sampai nanti, Gusti Putri." Dia mengambil
satu langkah ke belakang dan bergerak ke arah pintu.
"Tunggu." Aku tak percaya padanya. Bagaimana mungkin satu kencan dengan Kaisar
Hsien Feng bisa begitu mudahnya diatur"
"Kepala Shim, tolong jawab pertanyaanku. Bagaimana kalau Susuhunan ingin bertemu
dengan selir lain malam itu" Bagaimana kau yakin bahwa kau bisa membuatnya
menginginkanku?" "Jangan khawatir, Gusti Putri." Dia tersenyum. "Saya punya cara untuk
membelokkan angin di Kota Terlarang."
"Dan itu artinya..."
"Itu artinya, kalau Kaisar Hsien Feng ingin menemui selir yang lain - katakanlah,
Putri Yi - maka saya akan berkata, "Yang Mulia, Putri Yi sedang tidak bersih.' "
"Hmm, bagaimana dengan Putri Mei?"
"Maaf, Yang Mulia, Putri Mei juga sedang kotor."
"Jadi setiap orang akan sedang menstruasi kecuali orang yang kauinginkan untuk
tidur dengan Kaisar?"
"Ya. Saya sudah berhasil berkali-kali."
"Aku bergantung kepadamu guna membuatnya berhasil untukku, Kepala Shim."
"Anda tak perlu khawatir, Gusti Putri. Saya akan mengasah selera Yang Mulia
dengan menceritakan betapa lezatnya Anda."
Tapi aku memang khawatir, dan sekarang aku hanya punya duabelas hari untuk
mempersiapkan diri. Aku sama sekali tak tahu bagaimana cara menyenangkan seorang
lelaki di tempat tidur. Aku harus segera mendapat pelajaran soal ini. Aku
memikirkan Encik Fann, berharap aku bisa mengobrol dengannya, tetapi aku tak
punya jalan untuk keluar dari Kota Terlarang. Untuk meminta izin pergi, aku
harus berbohong. Kukirim An-te-hai ke bagian Kerumahtanggaan Kerajaan untuk
melapor bahwa ibuku sakit dan aku harus pulang. Dua hari kemudian izin itu
keluar, untuk cuti selama sepuluh hari. An-te-hai bilang aku beruntung. Baru
beberapa minggu yang lalu Putri Li mengajukan permohonan yang sama - ibunya


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang benar-benar sakit - dan ditolak. Kaisar Hsien Feng sedang senang-senangnya
dan tak mau melepaskan Putri Li. Kini ibunda Putri Li sudah meninggal.
"Itu menunjukkan betapa tak pentingnya aku bagi Yang Mulia,"
kataku getir. Aku tiba di rumah pada tengah hari dan segera mengirim An-tehai untuk menjemput
Encik Fann. Ibu, Rong dan Kuei Hsiang girang sekali melihatku. Ibu berencana
untuk mengajakku berbelanja, tetapi aku mohon padanya untuk tinggal di rumah dan
tak bangun dari tempat tidur sampai kunjunganku berakhir. Kujelaskan bahwa aku
harus berbohong kepada Kaisar, dan kalau kebohongan itu sampai terbongkar aku
bisa dipancung. Ibu kaget setengah mati dan mengecam kelakuanku sebagai tak termaafkan. Akan
tetapi setelah kujelaskan situasiku, beliau sama sekali tak kesulitan untuk
tetap berbaring di ranjang. Ibu berkata dia merasa tak enak badan dan meminta
Rong untuk meletakkan beberapa helai handuk di sisi ranjangnya. Rong menaruh
sepanci obat herbal yang baunya keras di tungku, kalau-kalau Kota Terlarang
mengirimkan mata-matanya.
Encik Fann datang. "Mengesankan, Anggrek! Mengesankan! Kau seperti cabai di
musim gugur - makin merah dan makin pedas panas setiap hari!" Dia tak punya waktu
untuk menyatakan rasa rindunya kepadaku. "Aku tahu tempat kau bisa mempelajari
apa yang dibutuhkan, tetapi kau harus menyamar." Aku bertukar pakaian dengan
Rong. Encik Fann memberikan satu set pakaian wanita kepada An-te-hai.
"Aku mau mengajak Anggrek menjenguk seorang teman," kata Encik Fann kepada Ibu.
Kami sudah berada di jalan ketika Encik Fann mengatakan bahwa kami akan ke Wisma
Lotus. "Encik Fann!" Aku tahu rumah macam apa itu, dan seketika merasa ragu.
"Aku harap kita punya pilihan lain, Anggrek,." kata Encik Fann dengan nada
meminta maaf. Aku berdiri di tengah jalan, tak bisa mengambil keputusan.
"Apa yang kaupikirkan, Anggrek?"
"Cara memenangkan hati Yang Mulia," kalimat itulah yang terlontar dari mulutku.
"Kalau begitu ayo, Anggrek. Kita akan memanfaatkan rumah itu hanya untuk apa
yang mereka bisa ajarkan kepada kita - cara memuaskan lelaki."
Kami menyewa sebuah kereta keledai. Setelah setengah jam kami tiba di sudut
sebelah Barat Peking. Jalan-jalan menyempit dan udara berbau masam. Kami turun
di sebuah jalan sibuk tempat para pemilik toko menumpuk buah-buahan busuk mereka
dan keranjang-keranjang sayur. Kusembunyikan wajahku di balik sehelai selendang
dan berjalan cepat bersama Encik Fann dan An-te-hai.
Kami berhenti di depan sebuah gedung tua. Sebuah tanda dari lampion yang
digantungkan dari lantai dua bertuliskan Wisma Lotus.
Kami bertiga memasuki sebuah lorong remang-remang. Bagian dalamnya ditutupi
lukisan dinding yang menggambarkan kamar-kamar tidur mewah tempat orang-orang
berpakaian bagus menyibukkan diri dengan berbagai cara yang bisa dipikirkan.
Tokoh-tokohnya digambar dengan penuh gaya. Setelah mataku terbiasa dengan
pencahayaan yang minim aku mulai bisa melihat kekumuhannya - cat terkelupas dan
lapisan tembok yang rontok di mana-mana. Tempat itu baunya aneh, campuran antara
parfum dan tembakau basi.
Seorang wanita berwajah kodok muncul dari balik sebuah meja layan. Sebuah pipa
rokok mencuat keluar dari mulutnya. Disambutnya Encik Fann dengan senyum lebar.
"Angin apa yang membawamu kemari, kawan?"
"Angin selatan, Nyonya,"sahut Fann. "Aku ke sini untuk meminta tolong."
"Jangan malu-malu tentang tujuanmu." Si Nyonya menepuk bahu Encik Fann dengan
sebelah tangan. "Aku tahu bahwa kau di sini membawa roh Dewa Uang, atau kau
takkan ada di sini. Kuilku ini terlalu kecil untuk pemuja sebesar kau."
"Anda juga jangan malu-malu, Nyonya," ujar Encik Fann. "Kuil kecilmu kebetulan
punya dewa yang sangat perlu kuajak bicara.
Kemarilah." Ditariknya aku dan diperkenalkan sebagai keponakannya dari desa,
sedangkan An-te-hai sebagai adik perempuanku.
Si Nyonya memandangiku dari atas sampai bawah. Kemudian dia berbalik pada Encik
Fann. "Aku takut tak bisa menawarkan banyak.
Gadis ini terlalu kurus. Bagaimana kau bisa mengharapkan laba-laba untuk
menjalin sarang kalau dia tak punya pantat" Aku akan perlu mengeluarkan terlalu
banyak uang hanya untuk membuatnya gemuk."
"Oh, jangan khawatir." Encik Fann mencenderungkan badan ke arah Si Nyonya. Dia
menarik telinganya, berbisik, "Keponakanku hanya ingin berkonsultasi."
"Aku sudah tak melakukan bisnis kecil lagi, maaf." Si Nyonya mengambil sebatang
tusuk gigi dari rak di belakang meja layan dan mulai mencungkil giginya dengan
itu. "Maklumlah, pasar sedang buruk."
Encik Fann mengedip padaku.
Aku mendeham. An-te-hai maju dan memberikan sebuah tas padaku.
Aku menghampiri meja layan dan mengeluarkan benda yang tadinya berada di dasar
tas. Jepit capungku, ditaburi permata dan mutiara, berkilauan tertimpa cahaya.
Kuletakkan perhiasan itu di atas meja layan.
"Oh, demi surga!" Si Nyonya menarik nafas dan mencoba untuk tak menunjukkan
keterkejutan. Menutupi mulut dengan kedua tangan, dipelajarinya jepit rambut
itu. Mengangkat dagu, dia menatapku dengan curiga. "Kau mencuri ini."
"Tidak," sahutku tenang. "Itu warisan."
"Betul."Encik Fann membeo. "Keluarganya sudah menjadi pembuat perhiasan
sejak...berabad-abad."
"Aku bukan meragukan keasliannya," kata Si Nyonya sementara matanya terus
memeriksaku. "Aku hanya bertanya-tanya mengapa harta karun selangka ini ada di
luar Kota Terlarang."
Untuk menghindari tatapan Si Nyonya, aku berpaling memandangi lukisan dinding.
"Apakah itu cukup untuk konsultasi?" Tanya Encik Fann.
"Kau terlalu baik." Si Nyonya mengambil pipanya dan menjejalkan segumpal daun
kering ke dalamnya. "Keraguanku cuma
... aku tidak yakin benda ini cukup aman untuk kusimpan. Kalau ini adalah hasil
curian..." Dia berhenti. Tangannya menggambar tali gantungan di udara.
"Ayo kita pergi ke rumah lain, Bi." Aku menjangkau jepit itu.
"Tunggu!" Si Nyonya meletakkan tangannya di atas tanganku.
Dengan lembut tetapi tegas diambilnya jepit itu. Wajahnya berubah menjadi
sekuntum mawar yang tersenyum. "Oh, anakku sayang, jangan berani-beraninya
mempermainkan bibimu. Aku tidak berkata aku tidak menginginkannya, bukan"
Baguslah kau dibawa kepadaku, karena akulah satu-satunya wanita di kota ini yang
bisa memberikan apa yang kau inginkan. Anakku, aku akan memberimu pelajaran yang
paling berharga dalam hidup. Kau tak akan rugi memberikan jepit ini kepadaku."
Kami duduk di kamar tidur utama. Di situ ada tempat tidur besar dengan tiang-
tiang dekoratif yang menjulang hingga ke langit-langit.
Terbuat dari kayu merah, ranjang itu diukir dengan motif cabai, terong, tomat,
pisang dan buah ceri, yang melambangkan organ-organ seksual lelaki dan
perempuan. Tira-tirainya diwarnai putih dan diberi wewangian. Dinding-dinding di
sisinya memiliki rak-rak permanen yang menampilkan patung-patung kecil.
Kebanyakan adalah Dewa-dewa Buddha yang tengah bersenggama. Semuanya ditampilkan
secara cerdas, posenya anggun. Perempuan di atas lelaki dalam posisi
bermeditasi. Mata pasangan-pasangan kekasih itu terpejam atau separuh terpejam.
Di antara setiap pasangan ada piringan yang dilukisi peoni merah muda dan
terong. Peoni-peoni itu memiliki putik serupa rambut berwarna gelap, dan terong-
terongnya mempunyai bagian atas yang mirip topi, dicat ungu muda.
"Intinya adalah merangsang pikiran," komentar Si Nyonya seraya menyuguhkan teh.
"Ketika gadis-gadis datang ke rumahku untuk pertama kali, aku mengajari mereka
satu keahlian khusus yang disebut tari kipas." Si Nyonya membuka sebuah laci dan
menarik keluar sejumlah barang: sebuah bantal bundar kecil, setumpuk uang
kertas, dan selusin telur di atas sebuah nampan bambu.
"Aku letakkan ini semua tersusun, satu di atas yang lain, uang paling bawah,
bantal di tengah, dan telur paling atas. Si gadis duduk di atasnya. Dia diberi
waktu satu menit untuk mengubah tumpukan uang itu ke bentuk kipas. Aturannya
adalah, telurnya tak boleh sampai pecah."
Bagaimana mungkin" Si Nyonya menjentikkan jari.
Dua gadis masuk dari sebuah pintu samping. Umur mereka kira-kira akhir usia
belasan dan mengenakan jubah tipis dari brokat.
Meskipun mereka cukup cantik, tetapi perilaku mereka tak ada sopan santunnya
sama sekali. Mereka meludahkan biji bunga matahari, membuka selop dengan cara
menendangnya, dan naik ke atas ranjang. Seraya membuka paha, mereka berjongkok
di atas telur itu, seperti ayam betina.
Si Nyonya sekali lagi menjentikkan jari, dan gadis-gadis itu mulai menggerakkan
pantat mereka. Pemandangan itu konyol sekali dan aku tak berhasil menahan diri untuk tak
terkikik. Encik Fann menyodokku dengan sikutnya.
Aku meminta maaf, namun tetap kesulitan mengontrol diriku.
"Kau takkan tertawa lagi saat mencoba latihan sendiri, percayalah," kata Si
Nyonya. "Perlu usaha keras untuk menguasai trik ini."
Aku tanyakan untuk apa gerakan itu.
"Untuk membantumu mendapatkan tenaga dan kontrol terhadap tubuhmu," si Nyonya
menjawab. "Juga untuk meningkatkan kepekaan bibir bawahmu."
Bibir bawah" "Ikuti nasihatku dan berlatihlah, maka engkau akan mengerti untuk apa semua ini.
Saat kau sudah menguasai keahlian ini, kau akan menenggelamkan lelaki itu di
dalam kenikmatan, dan dia akan mengingat namamu."
Kata-kata itu kena sekali. Ya, aku ingin Kaisar Hsien Feng mengingat namaku. Aku
ingin Yang Mulia mengingat kenikmatan itu sekaligus si pemberi.
Aku menatap ke arah gadis yang tengah bergoyang itu, mencoba membayangkan gadis-
gadis itu di tempat tidur bersama lelaki. Pipiku mulai terasa panas. Bukan
karena malu, melainkan karena aku tahu bahwa aku akan segera mencobanya sendiri.
"Kami sudah lama bermain di bisnis ini," kata Si Nyonya, mencoba menghapuskan
kekhawatiranku. "Lelaki terus datang tak peduli berapa banyak yang harus mereka
bayar. Kami kembalikan napas kehidupan pada mereka. Kami lepaskan hewan liar di
dalam lelaki muda, dan membuat lelaki tua mencicipi masa muda mereka sekali
lagi." Mataku terpancang pada gadis-gadis itu, yang kini menyeimbangkan diri pada tungkai mereka.
"Ini posisi yang sudah dibuktikan oleh waktu," Si Nyonya tersenyum misterius.
"Begini...gadis dari keluarga baik-baik diajari untuk membenci rumah-rumah
semacam milikku ini. Mereka tak tahu sama sekali bahwa sebetulnya gara-gara
merekalah bisnisku ini ada.
Gadis baik-baik tak pernah tahu apa yang diketahui oleh gadis-gadisku; jadi
akhirnya, mereka mendapat rumah, sedangkan gadis-gadisku mengambil suami-suami
mereka beserta uangnya sekaligus!"
"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menguasai ......
tarian itu?" tanyaku, dalam hati ingin segera keluar dari tempat ini secepat
mungkin. "Tiga bulan." Si Nyonya menarik sebuah kursi dan duduk.
Aku cuma punya sepuluh hari!
"Setiap hari berjongkoklah di atas telur-telur itu dan goyangkan pinggulmu." Si
Nyonya menyalakan pipanya dan menghirup panjang-panjang. "Setelah tiga bulan,
bibir bawahmu akan menjadi sedikit lebih tebal, lebih gemuk daripada wanita
normal. Saat seorang lelaki mencicipi bibir itu, kau akan membuatnya sinting.
Dia akan bersedia mati untukmu, dan kau akan dengan mudah bisa mengosongkan
kantongnya." Kucoba melupakan aku sedang ada di mana, tetapi sulit sekali.
Encik Fann menatapku dengan air muka yang seolah mengatakan " aku-tak-mendengar-
apa-apa". An-te-hai menatap tanpa berkedip, terpesona dengan apa yang tengah dilihatnya.
Akhirnya gadis-gadis itu bangkit. Tubuh mereka berkilauan oleh keringat.
"Lihatlah apa yang sudah mereka kerjakan." Si Nyonya melambai kepadaku.
Aku menghampirinya. Si Nyonya menyingkirkan baki telur dan bantal kecil itu. Sebuah kipas yang
sempurna muncul - tumpukan uang kertas itu sudah berubah menjadi bentuk yang
diinginkan. "Sekarang kau coba sendiri," kata Si Nyonya, menyusun kembali baki dan bantal.
Aku tak bisa bergerak. "Lebih baik kau menghadapinya," kata Si Nyonya. "Inilah dunia lelaki."
Gadis-gadis tadi menawarkan untuk membantuku melepaskan baju.
Aku merasa tolol. Tubuhku menegang.
"Masa depanmu tergantung pada pencapaianmu." Suara Si Nyonya datar tanpa emosi.
"Kau harus membuat lelaki itu berpikir bahwa kau adalah sebuah keajaiban atau
dia takkan pernah menemuimu lagi."
"Ya,"sahutku lemah.
"Kalau begitu, jangan melawan terus, santailah. Hidup enak itu tidak gratis." Si
Nyonya menuntunku ke pembaringan dan menyuruhku duduk pada dua tumit dengan
tungkai terbuka. "Kenyataannya, hidup ini sulit bagi semua orang."
Kemalu-maluan, kuminta An-te-hai dan Encik Fan untuk keluar.
Keduanya keluar tanpa mengatakan apa pun.
Aku duduk berjongkok, seperti ayam betina. Posisi ini demikian janggalnya
sehingga tungkaiku pegal, hampir seketika itu juga. Aku mulai menggerakkan
pinggul secara melingkar. Sentuhan telur-telur itu di sana membawa sensasi yang
aneh. Setengah mati aku berusaha mempertahankan posisi lutut dan pergelangan
kakiku. "Terus." Si Nyonya mengulurkan tangan, membetulkan letak baki telur di bawahku.
"Kesempurnaan memerlukan waktu."
"Aku tak punya waktu. Sepuluh hari, cuma itu waktu yang kumiliki."
"Kau gila ya, kau pikir kau bisa menguasai teknik ini hanya dalam sepuluh
hari"!" "Aku takkan ada di sini kalau aku tak gila."
"Cuma orang tolol yang mengira bisa menelan bubur panas dalam satu hirupan!"
"Aku tahu, tetapi aku harus bisa menguasainya sebelum..."
Sebelum kalimatku rampung, terdengar suara retakan dari bagian bawahku.
Ternyata telur-telur itu. Aku menghancurkan mereka.
Si Nyonya menyambar sehelai handuk untuk mencegah merah telurnya tumpah. Dengan
cepat ditukarnya telur-telur itu dengan yang baru. Kembali ke posisi tadi,
kuseimbangkan tubuh dengan dibantu dua tangan. Tubuhku terasa seperti objek yang
aneh. Aku mulai bergoyang, menahankan rasa sakit yang semakin mendera otot-
ototku. "Sepuluh hari itu siksaan namanya." Sekarang Si Nyonya mengagumi kekuatanku.
"Kau harus istirahat sesekali. Kau tidak mau memecahkan telur-telur itu lagi
kan?" "Memang tidak. Tetapi aku harus terus."
"Ada jalan lain untuk memikat lelaki." Si Nyonya bangkit dan kursinya. Dia
mengeluarkan pipa dan mulutnya, mengetukkannya di sol sepatunya untuk
mengeluarkan abunya. "Mau mendengarkan?"
Aku mengangguk. Gadis-gadis tadi datang, mengangsurkan handuk panas.
Aku merangkak turun dari ranjang dan menyeka pantatku.
"Aku tak bisa mengajarimu untuk mengalahkan takdir." Si Nyonya memadati pipanya
dengan daun kering, lalu menyalakannya.
Dia mengeluarkan suara mengisap yang keras saat menghirup asap yang keluar.
"Karena itu tidak mungkin. Akan tetapi akan sangat menolong kalau kau punya
pemahaman tentang lelaki sebagai binatang. Kau harus mengerti mengapa 'mawar di
pekarangan sendiri tak. seharum mawar yang tumbuh liar'."
"Teruskan, Nyonya, kumohon," kataku.
"Kau cantik, memang, tetapi saat lampu mati, cantik atau jelek seperti memedi -
tak ada bedanya bagi lelaki. Selama bertahun-tahun sudah kusaksikan lelaki-
lelaki meninggalkan istrinya yang jelita untuk selir yang jelek, lalu selir-
selir itu ditinggalkan juga demi pelacur yang bahkan lebih jelek lagi."
"Jadi bagaimana caranya seorang perempuan bisa membuat perbedaan?"
"Sudah kukatakan tadi, ini permainan pikiran. Rahasianya adalah, semua lelaki
perlu dukungan, tak peduli betapapun kuatnya citra diri yang mereka tampilkan,"
ujar Si Nyonya. Seraya melihat pada

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah lukisan erotik yang menggambarkan seorang lelaki tengah menatap payudara seorang perempuan tanpa
berkedip, Si Nyonya melanjutkan. "Kau harus buta terhadap tampangnya, dan
kebiasaannya. Cobalah mengabaikan juga sikapnya. Bersiaplah: dia mungkin
bertubuh panda, baunya seperti kandang, peralatan mentarinya semungil kenari,
atau terlalu gemuk seperti daikon1, bukannya wortel... Dia mungkin harus
dilayani berjam-jam dulu sebelum puas. Kau harus berkonsentrasi pada musik di
dalam kepalanya. Kau harus menjaga agar isi panci tetap mendidih.
Ingat-ingatlah lukisan-lukisan di rumahku ini. Mereka akan menolongmu
menciptakan keajaiban itu. Lihat lelaki ini, menangkup payudara kekasihnya
seolah buah persik yang manis. Sanjung mereka dengan
suara-suaramu, eranganmu. Tak usah benar-benar mengeluarkan kata-kata. Hanya suara. Balurkan kepadanya seolah-olah melaburkan
madu. Buatlah pelbagai rasa. Ubah 'nghh' menjadi
'wuu', lalu kembali lagi. Biarkan dia tahu bahwa dia mengagumkan."
"Bukannya dia sudah tahu itu" Bukankah kesediaanku bercinta dengannya sudah
mengatakan hal seperti itu" Aku tentu sudah mengatakannya seribu kali apabila
aku bersedia tidur dengannya, bukan?"
"Kau akan terkejut, nona muda."
"Bagaimana bisa begitu?"
"Kau belum pernah bicara dengan bibir bawahmu, bukan?"
"Oh, itu benar."
"Gunakan keahlianmu sebaik-baiknya!"
"Ya, tentu saja." Rasa jengahku berubah menjadi rasa geli.
"Kalau sudah begitu, kau mungkin juga akan bisa memuaskan dirimu sendiri."
Senyum Si Nyonya. "Bagaimana kalau..." aku berhenti, karena aku tak tahu apakah aku dapat membuat
pertanyaan berikut ini bisa dimengerti.
Kuputuskan untuk tetap bertanya. "Bagaimana kalau dia tak menyukai apa yang
kulakukan?" "Tidak mungkin, tak ada yang begitu. Semua lelaki menyukainya," ujar Si Nyonya
penuh percaya diri. "Tapi pengaturan waktu juga berpengaruh, dan, tentu saja,
kesehatan si lelaki."
"Bagaimana kalau aku tak menyukai dia?"
"Bukankah sudah kukatakan tadi" Pusatkan perhatian hanya pada kegiatannya. Kau
tidak mengejar dia, tetapi kantongnya'."
"Bagaimana kalau dia menghinaku dan mengusirku dari ranjangnya" Bagaimana kalau
aku tak berhasil menyembunyikan rasa jijikku?"
"Dengar. Ini bukan urusan perasaan - tidak dulu, tidak sekarang, dan juga tidak
nanti. Itulah nasib perempuan. Kau harus bisa memasak makanan lezat dan apa pun
yang disediakan di dapur. Kau tak bisa cuma bermimpi tentang sayuran segar di
pasar!" "Bagaimana aku bisa berpura-pura untuk tertarik, padahal tidak sama sekali?"
1 Lobak Jepang - penerj. "Pura-pura saja! Pura-pura! Itu mudah. Bagian terburuknya adalah, ketika kau
sudah menguasai semuanya, kau akan sudah terlalu tua. Kemudaan menguap bagai
embun, lahir di pagi hari untuk mati di siang hari."
Si Nyonya membanting diri di sebuah kursi. Dadanya turun naik seolah baru saja
diangkat ke darat setelah nyaris tenggelam.
Dua gadis tadi duduk diam, wajah mereka tetap tak berekspresi.
Aku kembali mengenakan pakaianku, bersiap pergi.
"Satu hal lagi, yang terakhir," gumam Si Nyonya dari kursinya.
"Jangan pernah utarakan rasa kecewamu, tak peduli betapa terluka atau marahnya
engkau. Jangan mencoba mendebatnya."
"Aku malahan tak tahu apakah kami akan bercakap-cakap atau tidak."
"Beberapa lelaki suka mengobrol sesudah - itu."
"Yah, selama dia masih tetap tertarik, aku memang bermaksud meneruskan apa yang
sudah kumulai." "Bagus." "Aku juga ingin - maksudku, kalau situasinya mengizinkan - untuk bertanya kepadanya.
Bolehkah?" "Selama kau menanyakan pertanyaan bodoh, ya, boleh."
"Pertanyaan bodoh" Kenapa?"
"Perempuan yang berusaha menunjukkan bahwa dia punya otak akan segera
ditinggalkan. Tanpa kecuali."
"Mengapa?" "Mengapa" Lelaki tak suka ditantang. Itu sama saja dengan merendahkan mereka."
"Jadi aku harus belagak dungu?"
"Dengan begitu kau akan menyelamatkan dirimu sendiri."
"Tetapi..." aku tak bisa membayangkan diriku sengaja berpura-pura tolol. "Itu
bukan sifatku!" "Kalau begitu jadikan sifatmu!" Si Nyonya menatapku dengan mata membelalak
lebar. Kulitnya terputihkan oleh cahaya, menjadi pucat, nyaris kebiruan.
"Terima kasih, Nyonya," ujarku.
Setelah mengeluarkan jepit capung dari kantong dalam bajunya, Si Nyonya menyeka
benda itu dengan lengan bajunya. "Kita ini tengah bicara soal kemampuan bertahan
hidup. Seperti kataku, aku ingin agar jepitmu ini tak sia-sia diberikan
kepadaku." "Pelajaran yang Anda berikan sangat bagus," aku membungkuk ringan. "Selamat
tinggal, dan terima kasih."
Si Nyonya menjilat jepit itu. "Lelaki macam apa yang akan kau temui, kalau aku
boleh tahu?" "Andai aku sendiri tahu..." Aku melangkah ke arah pintu dan mengangkat tirainya.
Sepuluh WISTERIA UNGU melimpah turun bagai air terjun dari ketinggian atap.
Burung, jangkrik, dan serangga lain berderik di semak. Saatnya telah tiba.
Kaisar Hsien Feng memanggilku.
Untuk meredakan ketegangan, aku keluar untuk duduk di taman peoni. Teras-teras
di sini adalah ornamen arsitektur paling indah di istanaku. Bunga-bunga dalam
ulasan warna biru yang lebih gelap ditanam dekat tepi kolam. Semakin ke atas,
seperti juga taman mawar di lereng bukit, bunga-bunga ini berwarna semakin muda,
menciptakan ilusi lanskap yang semakin mengabur di kejauhan.
Pemandangan ini mengilhamiku sebagai contoh apa yang bisa dicapai seseorang
dengan apa yang ditawarkan hidup ini.
Saat makan siang, aku minta dimasakkan makanan kesukaanku, mi Yang-chou. An-te-
hai dan aku merayakan nasib baikku. Kutulis sebuah sajak berjudul 'Mi Yang-
chou'. Sehelai daun mendarat dalam wajan, lainnya menari di udara Dedaunan tumbuh pada
ujung pisau juru masak Satu saat kulihat ikan-ikan keperakan meletik di ombak putih Saat lainnya daun
willow mengendarai angin Timur.
Persiapan resmiku memakan waktu beberapa jam. Para kasim dikirim dari Istana
untuk membantuku. Bersama-sama, orang-orang kasim dan dayang-dayangku memandikan
dan mewangikan seluruh tubuhku.
Aku dibungkus dalam sehelai kain sutra putih tipis, tanpa apa-apa lagi di
baliknya, dan dibawa oleh empat orang kasim di atas tandu. Aku dalam perjalanan
ke kamar Yang Mulia Kaisar Hsien Feng, di Balairung Kesejahteraan Jiwa, tiga
istana di sebelah Selatan Istana Kecantikan Yang Tak Terlarai, tempatku tinggal.
Kami melewati Istana Keselarasan Agung dan Istana Kebijakan Yang Bercahaya,
bergerak melalui koridor-koridor Istana Kedamaian dan Panjang Umur. Suhu udara
turun seiring melarutnya malam, dan aku menggigil di bawah kain tipis ini.
Untung An-te-hai cukup berakal sehat untuk membawa sehelai selimut tambahan.
Diselubunginya aku dengan itu.
Begitu kami tiba di ruang dalam kediaman Yang Mulia, An-te-hai diperintahkan
untuk mundur. Kepala Kasim Shim menerimaku, dalam diam memimpin para penandu
untuk masuk. Setelah beberapa belokan aku memasuki sebuah ruangan yang
dicerahkan dengan lilin - lilin merah besar dan tirai sutra kuning yang merentang
dari dinding ke dinding. Di tengah-tengah ruangan tampak peraduan Yang Mulia
Kaisar. Para kasim yang membawaku segera pergi, digantikan oleh beberapa orang kasim
Hsien Feng, semua mengenakan jubah sutra kuning. Dengan cepat mereka menarik
hingga terbuka beberapa lembar seprai bersulam, selimut dan selimut isi kapas.
Setelah tempat tidur siap, dengan lembut mereka mengangkatku ke salah satu sudut
dari pembaringan yang besar itu, lantas meninggalkan ruangan.
Sekelompok kasim yang lain lagi masuk. Masing-masing membawa di tangan mereka
panci tembaga yang telah dipanaskan.
Mereka menghangatkan semua seprai dan selimut dengan panci-panci itu, lalu
mereka membuka selimut yang membungkusku. Saat membaringkanku pada satu sisi
pembaringan yang terdekat ke dinding, mereka menyelimutiku dengan seprai yang
sudah hangat. Sejak awal hingga akhir wajah mereka tak menunjukkan ekspresi apa pun. Tangan-
tangan mereka yang menyentuh dan mengatur letak baringku membuatku merasa
seperti sebuah bantal saja. Ketika semuanya sudah siap, mereka menurunkan tirai
kelambu dan pergi. Ruangan itu amat sepi. Harum dupa menguat. Dari balik tirai aku mengamati isi
ruangan, yang dipenuhi kaligrafi dan lukisan.
Lukisan terbesar adalah lukisan Buddha yang tengah menyeberangi sungai, dilukis
dengan emas. Buddha itu bertubuh raksasa, dengan perut gendut, menaiki sehelai
daun lotus tipis. Tampaknya dia tak khawatir pada kemungkinan tenggelam, karena
matanya terpejam dan bibirnya tersenyum tipis. Pada kedua tangannya tampak
bejana kebijaksanaan yang terkenal. Di sebelah kanan lukisan ini ada sebuah rak
biru dipenuhi buku. Lampion sepanjang dua kaki yang dihiasi dengan kaligrafi
tergantung dari langit-langit. Segalanya di sini dipahat dari emas, atau
dilapisi dengannya. Bentuk-bentuk naga dan bangau berulang di segala tempat.
Panel-panel di kedua sisi dari salah satu jendela bertuliskan: 'Keberuntungan di
tahun baru sampai akhir tahun, dan Kedamaian dalam segala hal. Sebuah qin,
semacam kecapi dengan tujuh senar dari kayu yang dipoles licin, terletak di
sebuah rak di belakang ranjang.
Aku haus sekali dan baru teringat bahwa hari itu aku nyaris tak makan sama
sekali. Aku agak sulit tidur dan makan akhir-akhir ini.
Seluruh energiku tercurah pada usaha membayangkan seperti apa rasanya tidur
dengan Yang Mulia. Aku ingin tahu bagaimana dia akan memulainya dan apakah semua
yang kupunya akan cukup menyenangkan hatinya. Aku bertanya-tanya, apakah dia
akan membanding-bandingkan diriku dengan para wanita lainnya. Apa yang akan
terjadi bila ternyata menurut beliau aku tak sesuai dengan seleranya" Apakah dia
akan mengusirku" Atau apakah dia akan meninggalkanku"
Kepala Kasim Shim menjelaskan benar bahwa sekiranya aku ternyata tak cocok
dengan selera Yang Mulia, penolakan yang akan kualami adalah sepenuhnya tanggung
jawabku. Akhir-akhir ini konon cuaca hati Yang Mulia sangat mudah berubah. An-
te-hai mendengar dan kasim lain bahwa pernah pada suatu malam Kaisar memanggil
enam selir sekaligus, satu demi satu, dan semuanya ternyata mengecewakan. Kaisar
mengusir mereka dan mengatakan kepada Kepala Kasim Shim bahwa dia tak mau
melihat wanita-wanita itu lagi - selamanya. Kata 'selamanya' dari Putra Surga
jatuh bagai kutukan - para selir itu dikeluarkan dari Istana ke tempat terjauh di
Kota Terlarang, tempat mereka akan menanam dan mengukir yoo-hoo-loo sepanjang
sisa hidup mereka. Apakah hal yang sama akan terjadi padaku malam ini" Apa yang akan atau dapat
kulakukan bila itu benar-benar terjadi" Aku ingat, Encik Fann pernah mengatakan
bahwa bagi Kaisar, selir adalah sepiring penganan yang dipaksakan orang untuk
masuk ke dalam kerongkongannya. Pikiran ini sangat menggangguku sehingga aku
lupa untuk berdoa meminta perlindungan Langit. Aku berbaring miring di ranjang,
menghadap tembok, tubuhku dingin dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Lilin - lilin merah itu mengeluarkan wangi melati. Rasa letih mengambang di atas
tubuhku seperti sebuah tutup panci yang berat.
Mengapa aku menimpakan bobot tambahan pada suatu beban yang sudah berat"
Semangat mudaku bangkit, menyebut diriku sendiri
"tongkat es." Kucela diriku karena telah menciptakan perasaan semuram musim
dingin untuk diri sendiri. Rasakan sinar matahari itu!
Pikiran mudaku berteriak. Mengapa mengkhianati keberamanmu sendiri, Anggrek"
Sejak Ayah meninggal, tak pernah ada jalan sampai kau berjalan di atas gulma!
Terdengar suara seorang pria, datang dari sisi kanan koridor yang berhubungan
dengan ruang ini. Pasti itu Yang Mulia Kaisar Hsien Feng.
Rasa takutku bertambah. Suara itu terdengar tak menyenangkan, seolah Kaisar sedang bertengkar dengan seseorang.
Kata-katanya tertekan dan nadanya muram. Sunyi sesaat, lantas suara itu memaki,
"Kerak pispot semua!"
Suara langkah mendekat. Kututupi tubuh dengan selimut dan bantal, mencoba
mengumpulkan keberanian guna menyambut suamiku untuk pertama kali. Sudah
berminggu-minggu lewat sejak aku melihat dia terakhir kali. Sejujurnya aku tak
ingat lagi bagaimana wajahnya. Ketelanjanganku makin menambah kegugupanku. Gaun
tidurku tergeletak di atas sebuah bangku dekat pembaringan. Di sampingnya adalah
jas kamar sutra biru milik Yang Mulia, yang akan dikenakannya nanti bila hendak
tidur. "Tidak! Memangnya mereka pikir aku siapa" Pergilah ke neraka!
Aku takkan mengizinkan!" suara yang kini kuyakin adalah milik Kaisar terdengar
berteriak dari ruang satunya."...Yah--kalau mereka datang tidak dengan semua
pasukan itu. Apa yang dilakukan orang Inggris dan Prancis" Mereka sudah
memaksaku membayar 800 ribu tael lebih banyak ketimbang jumlah yang sudah
kusepakati. Sekarang mereka mau aku membuka Tientsin. Demi Langit, Tientsin itu
gerbangnya Peking! Mereka mencekikku dengan seutas tali ... Apa maksudnya
mengamandemen traktat" Itu cuma alasan orang tak beradab! Aku sudah membuka
pelabuhan-pelabuhan di Kanton, Shanghai, Foochow, Taiwan. Tak ada lagi yang bisa
kubuka..." Perlahan suaranya melemah, putus asa. Dia menangis. "Aku sangat malu ... Harga
diri Cina sudah dikorbankan. Mau kukemanakan mukaku - aku tak bisa menghadap
altar leluhur lagi. Tak bisakah kau berbuat sesuatu" Tidur sudah menjadi sesuatu
yang mustahil! Ya, ya, aku memang minum-minum akhir-akhir ini, bagaimana lagi
caranya supaya aku tak mimpi buruk"! Apa maksudmu itu tergantung padaku?""
Sepi sejenak. Menyusul suara porselen pecah.
Angin Utara bersiul di luar jendela. Setelah lama sekali, kudengar Hsien Feng
membersihkan hidung. Lalu suara kaki melangkah bergegas. Bayang-bayang Yang
Mulia jatuh pada tirai pembaringan dan menarik selimut tebal yang ada di atas
kepalaku. Kaisar duduk di tepi tempat tidur dan menghela napas dalam seraya melepaskan
jubahnya. "Teh, Paduka?" Suara Kepala Kasim Shim terdengar dan lorong.
"Aku akan minum air kencingku sendiri!" itu sahutan Yang Mulia.
Suara langkah di pekarangan menghilang.
Aku tak yakin apakah Kaisar Hsien Feng tahu bahwa aku ada di tempat tidurnya.
Yang jelas aku tak ingin mengagetkannya. Apakah aku harus bersuara sedikit,
hanya supaya dia tahu bahwa dia tak sendirian"
Kaisar menendang lepas sepatu botnya, melempar ikat pinggangnya yang dipenuhi
manik-manik dan jimat gantung. Dia mengenakan sehelai kemeja putih. Rambut
kepangnya yang hitam dilingkarkan di seputar leher seperti seekor ular. Tanpa
berganti baju lagi dia naik ke tempat tidur, bersandar ke sebuah bantal.
Dia menoleh - dan mata kami bertemu.
Tak ada sedikit pun tanda-tanda keterkejutan pada dirinya.
Kehadiran seorang gadis di ranjangnya tampaknya tak berbeda dengan keberadaan
sehelai selimut baru. Aku tak melihat cahaya ketertarikan di dalam mata besarnya
yang ujungnya menyipit ke pelipis itu. Dia masih tetap setampan bayangan yang
sekarang mulai kuingat dan pertemuan pertama kami - dagu yang tercukur bersih,
hidung Manchu yang lurus, mulut berbentuk sampan dengan bibir yang penuh.
Sebelumnya tak pernah aku bertemu lelaki dengan raut sesempurna dan kulit
sehalus ini. Kami terus bertatapan, darah menyembur kencang dalam pembuluh darahku.
"Semoga Yang Mulia panjang umur dan diberi keturunan yang banyak." Ujarku,
mengikuti kalimat yang telah diajarkan kepadaku.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lagi-lagi seekor beo." Dia berbalik, menggosok wajahnya dengan kedua belah
tangan. "Beo yang dilatih orang kasim yang sama. Kalian semua membuatku bosan
setengah mati." "Paduka..." "Jangan berani mendekat!"
Apa yang harus kulakukan" Kesempatanku sudah hancur bahkan sebelum aku memulai.
Air mataku mengembang. Aku takut untuk bergerak.
Lelaki yang berbaring di sampingku tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, dan
aku tak dapat mendeteksi apa pun dan dirinya kecuali rasa sakit dan kemarahan.
Kuputuskan untuk berhenti berpikir tentang memikatnya. Kalau sudah kalah
bermain, apa lagi yang bisa dilakukan sepotong pion catur" Selama sembilan hari
belakangan aku berjaga tiap malam, melatih tari kipasku. Aku juga belajar pada
An-te-hai cara memainkan qin. Aku berhasil mempelajari beberapa teknik, cukup
untuk menemaniku menyanyikan beberapa lagu. Suaraku memang bukan suara bulbul,
tetapi cukup manis dan menyenangkan. Aku cukup yakin dengan suaraku. Kalau saja
orangtuaku mengizinkan, mungkin aku akan mengejar karier dalam opera. Saat
umurku sepuluh tahun, seorang penyanyi yang sempat tampil di rumah kami
mengatakan bahwa aku memiliki potensi yang baik, asal saja aku bersedia untuk
bekerja keras. Apa yang harus kukatakan pada Ayah" Berapa seringnya beliau mengatakan bahwa,
"untuk mendapat anak macan, orang harus berani masuk ke liang macan?" Aku sudah
berada di dalam liang, tetapi anak macannya tak ada. Aku ingat dongeng lain yang
pernah diceritakan Ayah kepadaku. Ceritanya tentang sekeluarga monyet yang
berusaha menangkap bayang-bayang bulan pada permukaan air.
Monyet-monyet itu berkumpul di sebatang pohon besar, saling berpegangan menjadi
semacam rantai panjang yang merentang dan pohon ke air. Monyet yang paling bawah
mencoba menciduk bulan dengan sebuah keranjang. Rencana itu sangat bagus, tetapi
maksud dari cerita Ayah adalah, ada hal-hal tertentu yang mustahil untuk
dilaksanakan, dan orang musti belajar menerima keterbatasan kemampuannya.
Apakah saat ini semuanya tergantung kepadaku" Bantal sutra ini terasa lembut dan
sejuk di pipiku. Aku tak dapat lagi menyeret pikiranku di jalur ini. Kudengar
sebuah aria dalam kepalaku: Laksana batu sungai yang menggelinding ke atas
bukit, Laksana ayam tumbuh gigi untuk, menggigit .
Sebuah sentuhan di bahuku membangunkanku.
"Berani-beraninya kau tertidur saat Padukamu masih bangun!"
Aku terduduk. Tak tahu pasti aku berada di mana.
"Dari mana kau tadi?" Lelaki di hadapanku mengejek. "Soochow atau Hangchow?"
Aku amat terkejut. "Ampuni saya, Paduka, saya agak lupa diri.
Saya tak bermaksud membuat Paduka jengkel. Saya letih dan tanpa pikir panjang
jatuh tertidur." "Tak masuk akal!"
Kucubit pahaku, mencoba memaksa otakku kembali bekerja.
"Bagaimana mungkin kau bisa letih?" Hsien Feng menyeringai mencemooh. "Apa lagi
yang kau kerjakan selain menyulam?"
Aku diam saja, tetapi otakku terus bekerja.
"Jawab pertanyaanku." Yang Mulia bangkit dari tempat tidur dan mulai mondar
mandir, kemejanya terbuka di bagian depan. "Kalau kau sedang mengerjakan
sulaman, ceritakan kepadaku. Aku perlu pengalih pikiran."
Aku bisa merasakan bahwa dia tak ingin mendengarkanku bicara tentang sulaman,
atau bahkan tentang apa saja. Apa pun yang kukatakan akan tetap menjerumuskanku
dalam kesulitan. Lelaki ini bagai gubuk terbakar. Aku ingin memberi tahu dia
bahwa aku mengharapkan penyatuan raga kami, bukan percakapan.
Yang Mulia menatapku. Menyadari bahwa aku telanjang, aku mengulurkan tangan ke arah bangku dekat
ranjang untuk mengambil gaunku.
Dia menendang bangku itu, membuat gaunku jatuh ke lantai.
"Apa kau tak ingin lepas dan kostummu sesekali?"
Aku menatapnya, terheran-heran mendengar kata-katanya.
Suaranya mengingatkanku pada anak-anak lelaki desa yang pernah kukenal, anak-
anak lelaki yang suaranya masih seperti ayam jantan muda.
"Aku ingin." Sang Putra Surga menjawab sendiri pertanyaannya.
"Bahkan aku mungkin bisa merasa bahagia sejenak."
Rasa penasaran menguasaiku. Kuputuskan untuk mengambil risiko. "Yang Mulia,
bolehkah saya meminta izin untuk mengajukan pertanyaan?"
"Ya, kau boleh minta apa pun - kecuali benihku."
Aku mengerti maksudnya dan merasa amat terhina. Akibatnya aku kehilangan minat
untuk bertanya lebih lanjut.
"Teruskan, budak, aku sudah memberimu izin."
Suaraku hilang. Keputusasaan melanda hatiku. Aku memikirkan tentang apa yang
sudah kulakukan untuk satu kesempatan ini. Bisa kudengar jam berdetik dan suara
Kepala Shim berkata: "Waktu Anda sudah habis, Putri Yehonala!"
Aku berusaha meyakinkan diri untuk menerima kehilangan ini, tetapi jiwaku tak
bersedia tunduk. Setiap serabut saraf di tubuhku melawan keinginanku untuk
melaksanakan apa yang telah diajarkan kepadaku.
"Aku akan memanggil seseorang untuk menggantikanmu." Yang Mulia mencenderungkan
badan ke arahku. Aroma kulit jeruk tercium dari tubuhnya. "Aku sedang ingin
dibuat senang." Napasnya menyentuh pipiku dan tampaknya dia menikmati ancaman
ini. "Aku ingin seekor beo. Kukuk! Kukuk! berkicau atau enyah'. Ayo! Kukuk!"
Aku semakin putus harapan, dan tetap belum juga menemukan satu kata pun.
"Kepala Kasim Shim sedang menunggu di belakang pintu." Yang Mulia meneruskan.
"Akan kupanggil dia untuk membawamu pergi."
Dia membuat gerakan ke arah pintu.
Akhirnya kubiarkan sifat asliku keluar. Rasa putus asa telah membangkitkan
semangatku untuk melawan, dan mendadak rasa takutku hilang seluruhnya. Di ruang
mataku terbayang seutas tambang bunuh diri tergantung dari palang atap Istana
Kekaisaran, melambai layaknya lengan baju Dewi Bulan. Kebahagiaan karena merasa
bahwa kendali kini ada di tanganku benar-benar tak terduga, tetapi amat nyata.
Aku turun dari ranjang dan mengenakan gaun tidurku. "Semoga malam Anda
menyenangkan, Yang Mulia." kataku, lalu melangkah ke pintu.
Aku pasti akan menyesal melakukan ini bila saja aku sedikit lebih tua, tetapi
aku masih muda dan darahku bergolak panas seperti mata air panas. Situasi ini
Rahasia Hiolo Kumala 10 Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India Petualangan Manusia Harimau 7
^