Pencarian

Empress Orchid 4

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 4


membuatmu sangat marah. Aku tahu bahwa aku akan dipancung karena perilakuku,
jadi aku ingin mengakhiri semua ini dengan caraku.
"Berhenti!" Kaisar memanggil dari belakang. "Kau baru saja menghina Putra
Surga." Aku berbalik, dan melihat seulas seringai lebar di wajahnya.
"Kalau Anda mau menghukumku," ujarku, berdiri tegak, "aku hanya berharap bahwa
Anda akan cukup baik hati untuk membuat hukuman itu berlangsung cepat."
Sambil bicara aku mengeratkan ikatan gaunku. Apa lagi yang bisa kuraih" Semenjak
pindah ke Kota Terlarang aku sudah berhenti jadi manusia biasa. Apa reaksi Encik
Fann kira-kira, kalau dia tahu bahwa aku bicara dengan Putra Surga seolah-olah
beliau sederajat denganku" Aku tersenyum, memikirkan wajah Encik Fann. Dia pasti
akan menyebarkan cerita tentang "si Anggrek yang legendaris" sampai bibirnya
melepuh. Nyaris dengan rasa puas kukatakan kepada Yang Mulia bahwa aku siap dibawa pergi
oleh para kasim. Hsien Feng tak bergerak. Dia tampak terkejut. Tetapi aku tak peduli lagi pada
apa pun yang dirasakannya. Aku sudah tidak lagi menunggu keberuntungan esok
hari. Jiwaku bebas, merdeka.
"Kau menarik," ujar Kaisar. Seulas senyum melintas di bibir yang terkatup itu.
Agaknya ini semacam gaya Kekaisaran untuk menyiksa.
"Katakan bahwa kau menyesali perbuatanmu." Dia berjalan mendekat, begitu dekat
hingga wajahnya tinggal beberapa inci dari wajahku. Ada kelembutan dalam
tatapannya. "Sudah terlambat meskipun kau menyesal. Tak ada gunanya memohon. Aku
sedang tak ingin memberi ampun. Tak satu ons pun. Aku sudah tak punya ampunan
lagi untuk dibagikan."
Untuk alasan itu saja aku merasa kasihan kepadamu.
Kutembakkan kalimat itu padanya melalui mataku. Aku senang karena tak berada
pada posisinya. Dia bisa memerintahkan kematianku, tetapi tak bisa memerintahkan
kematian yang sama untuk dirinya sendiri. Kekuasaan macam apa itu" Dia adalah
tawanan dirinya sendiri. Yang Mulia mendesak ingin tahu apa yang kupikirkan. Setelah ragu sejenak
kuputuskan untuk menceritakan semuanya. Kukatakan bahwa aku kasihan kepadanya
meskipun dia tampak seolah berkuasa.
Kataku, sama sekali tak mengesankan bahwa dia memilihku, budak tak berdaya dan
bukan orang yang sederajat dengannya, untuk dihukum. Aku tak menyesal
dihukumnya, karena aku tahu bahwa dia harus menemukan orang untuk menjadi tempat
sampah dan rasa frustrasinya, dan tak ada yang lebih mudah daripada memenggal
seorang selir. Selama berbicara, aku benar-benar berharap bahwa dia akan mengamuk, memanggil
para kasim untuk menyeretku keluar dan para pengawal untuk menusukku dengan
pedang mereka. Namun Yang Mulia justru berbuat sebaliknya. Bukannya meledak
marah, dia malah menjadi tenang. Tampaknya dia benar-benar terpengaruh oleh
kata-kataku. Air mukanya berubah menjadi hasil karya seorang pemahat tak terlalu
terampil yang berusaha menampilkan wajah riang, tetapi yang muncul malah wajah
pahit getir. Perlahan Yang Mulia mendudukkan diri di tepi pembaringan, lantas melambai padaku
untuk duduk di sisinya. Aku menurut. Suara yoo-hoo-loo di luar jendela nyaring,
tetapi bukannya tak menyenangkan. Cahaya bulan melemparkan bayang-bayang bunga
magnolia ke atas lantai. Anehnya, aku merasa damai..
"Bagaimana kalau kita bercakap-cakap sedikit?" tanyanya.
Aku tak merasa ingin menanggapi, maka aku tetap diam.
"Kau tak ingin mengatakan sesuatu lagi?"
"Sudah kukatakan semua, Yang Mulia."
"Kau... tersenyum!"
"Anda tersinggung?"
"Tidak. Aku suka. Tetap tersenyum...Kau dengar kata-kataku?"
Kurasakan ekspresiku membeku mendengar perintahnya.
"Ada apa" Senyummu hilang. Kembalikan! Aku ingin melihat senyum itu kembali di
wajahmu. Kembalikan. Sekarang!"
"Aku sedang berusaha, Yang Mulia."
"Tak ada di situ. Kau sudah mengambil senyumku! Berani-beraninya..."
"Kalau begini, Yang Mulia?"
"Tidak, itu bukan senyuman - itu seringai. Seringai yang jelek.
Kau perlu bantuan?" "Ya." "Katakan padaku bagaimana."
"Paduka bisa menyebutkan namaku."
"Namamu?" "Yang Mulia tahu namaku?"
"Pertanyaan apa itu! Tidak, tentu saja aku tak tahu."
"Aku istrimu. Aku selirmu dari tingkatan keempat."
"Benarkah?" "Namaku, Yang Mulia?"
"Maukah kau mengingatkanku?"
"Maukah..." Apakah ada orang lain di jagat kecil ini yang pernah begitu
beruntung mendengar Sang Putra Surga berkata 'maukah'...?"
"Siapa namamu" Ayolah!"
"Mengapa repot-repot?"
"Yang Mulia Kaisar ingin repot-repot!"
"Lebih baik jangan. Nanti Kaisar diganggu mimpi buruk."
"Bagaimana bisa?"
"Aku tak tahu apakah aku bisa jadi hantu yang baik. Dan hantu yang jahat
mengejar-ngejar manusia hidup. Aku yakin Anda tahu itu."
"Oh, begitu." Dia bangkit, berjalan telanjang kaki ke sebuah baki keemasan di
mejanya. Di atas baki itu ada sepotong kepingan bambu dengan namaku tertulis di
permukaannya. "Putri Yehonala."
Diambilnya keping bambu itu dan digenggamnya. "Keluargamu memanggilmu apa,
Yehonala?" "Anggrek." "Anggrek." Dia mengangguk, menggumamkan namaku beberapa kali sembari meletakkan
kembali keping itu ke baki. "Nah - Anggrek, mungkin kau ingin meminta sesuatu -
sebagai permintaan terakhir."
"Tidak. Aku ingin hidupku diakhiri secepat mungkin."
"Akan aku hormati itu. Ada lagi?"
"Tidak." "Kalau begitu," kata Kaisar, "Barangkali sebelum mati kau ingin tahu bagaimana
caranya hingga kau berada di sini malam ini." Upaya Yang Mulia untuk tampak
keras dan serius gagal menyembunyikan seulas senyum tipis.
"Boleh juga. Baiklah," akhirnya aku berhasil berkata.
"Yah - mulanya Kepala Kasim Shim menceritakan sesuatu ...
Sini, Anggrek, berbaring sini denganku. Tak ada ruginya, 'kan"
Mungkin ini bisa membuatmu berubah menjadi hantu yang baik nanti."
Saat naik ke ranjang, gaunku terbelit kusut.
"Lepas, lepaskan gaunmu." Kaisar menunjuk gaunku.
Kubuka gaunku dengan perasaan malu. Permainan yang kuikuti ini aneh sekali.
"Cerita itu adalah cerita tentang Kaisar Yuan Ti dan Dinasti Han."
Nada suara Yang Mulia hangat dan penuh energi." Seperti aku, dia memiliki ribuan
selir yang bahkan belum pernah dilihatnya. Dia cuma punya waktu untuk memilih
mereka melalui lukisan potret mereka, yang dilukis oleh seniman Istana, Mao Yen-
shou. Para selir menimbuni Mao Yen-shou dengan hadiah agar si seniman melukis
mereka semeriank mungkin. Yang tercantik dari antara semua selir itu adalah
seorang gadis berumur delapan belas tahun, Wang Ch'ao-chun.
Kepribadian gadis itu kuat dan dia benci sogok-menyogok. Dia pikir biar sajalah
seniman Istana itu melukisnya seadanya. Akan tetapi tentu saja Mao Yen-shou
melukis potret yang keterlaluan jeleknya.
Lukisan itu sama sekali tak mewakili kecantikan Wang Ch'ao-chun.
Akibatnya, Kaisar Yuan Ti tak mengetahui keberadaannya.
"Di masa itu, banyak Kepala Negara dan pemimpin datang ke Istana untuk
menyatakan hormat, termasuk Shang Yu, Sang Khan Agung, yang memerintah bangsa
Hun di Turkoman. Berharap dapat mempererat persahabatan dengan tetangga yang
kuat perkasa ini, Yuan Ti menawarkan salah satu selirnya untuk menjadi istri
Shang Yu. Kaisar Yuan Ti memberikan Wang Ch'ao-chang, yang belum pernah dilihatnya.
"Saat si mempelai wanita, yang datang untuk berpamitan muncul di hadapan Yuan
Ti, sang Kaisar terpana melihat kecantikannya. Dia tak tahu sama sekali bahwa
haremnya memiliki gadis dengan kecantikan surgawi seperti itu. Detik itu juga
Yuan Ti menghasrati gadis itu, tetapi terlambat sudah - Wang Ch'ao-chun bukan lagi
miliknya. "Begitu pasangan pengantin baru itu pergi, Yuan Ti memerintahkan agar Mao Yen-
shou dipenggal. Meskipun demikian, sang Kaisar tetap dihantui oleh kenangan
tentang si gadis, serta rasa sesal kehilangan kebahagiaan yang bisa saja menjadi
miliknya." Kaisar Hsien Feng menatapku. "Aku memanggilmu karena aku tak ingin menyesal
seperti Yuan Ti. Engkau secantik yang digambarkan Kepala Shim. Kau adalah
reinkarnasi Wang Ch'ao-chun.
Tetapi Shim tidak mengatakan bahwa kau memiliki kepribadian yang kuat. Kau jauh
lebih baik daripada teh kulit jeruk yang mereka buatkan untukku. Lezat memang,
tetapi aku tak menemukan kenikmatan apa pun di dalam rasanya.
"Sama saja seperti segala hal akhir-akhir ini. Aku takkan bisa menikmati Wang
Ch'ao-chun, kalau pun dia benar-benar ada. Dan aku ingin tahu tentang kau. Aku
khawatir, yang bisa kupikirkan cuma peta Cina yang semakin menyempit. Musuh
datang dari segala arah, mencekal kerongkonganku dan meludahi mukaku. Aku
dikalahkan, dipermalukan. Mengapa aku harus - bagaimana mungkin aku bisa - tidur
denganmu atau selir mana pun" Cuma untuk melupakan mimpi terburuk seorang
lelaki" Aku tak bisa punya anak. Aku tak ada bedanya dengan seorang kasim."
Dia mulai tertawa. Ada segulung kesedihan yang menekan dalam suara dan tingkah
lakunya, yang membuatku tersentuh. Aku tahu peta apa yang dia bicarakan. Peta
yang sama yang diperlihatkan Ayah kepadaku dulu. Lelaki di depanku ini
mengingatkanku akan Ayah. Ayah juga berjuang setengah mati guna mengembalikan
kehormatan bangsa Manchu, tetapi berakhir dengan dipaksa meninggalkan posnya.
Aku bisa merasakan aib yang ditanggung Yang Mulia. Itu adalah aib yang sama
dengan yang telah membunuh ayahku.
Kutatap Hsien Feng, berpikir bahwa dia memang seorang suku prajurit pengembara
sejati. Dia bisa saja duduk nyaman, menikmati taman, dan berpesta-pora selir,
tetapi dia memilih untuk membuat cemas dirinya sendiri hingga impoten.
Suatu desakan untuk menghiburnya menghilangkan rasa takutku. Aku menggerakkan
badan untuk bersimpuh. Kukembangkan lengan untuk memeluknya, mendekapnya ke
dadaku seperti seorang ibu mendekap bayinya. Dia tidak melawan, dan kupeluk dia
seperti itu lama sekali. Dia mendesah dan menjauh agar dapat memandangiku.
"Hukuman matiku?"
Dia meringis. "Kau akan punya kesempatan hidup kalau kau bisa membuatku tertidur
nyenyak." Sinar matahari menembus memasuki relung hatiku yang tergelap, dan aku tersenyum.
"Senyum itu telah kembali!" Dia berseru dengan gembira, seperti seorang anak
kecil yang melihat bintang jatuh.
"Apakah sudah waktunya bagi Yang Mulia untuk tidur?"
"Itu bukan lagi tugas yang mudah." Dia mendesah.
"Akan membantu bila Paduka melupakan pikiran-pikiran yang berat."
"Mustahil, Anggrek."
"Yang Mulia senang permainan?"
"Tak lagi menarik buatku."
"Apakah Tuanku mengenal lagu 'Kebahagiaan Pertemuan'?"
"Itu lagu tua. Gubahan Chu Tun-ju dan Wangsa Sung?"
"Ingatan Yang Mulia bagus sekali!"
"Kuperingatkan kau, Anggrek...tak satu tabib pun berhasil membantuku dalam
persoalan tidur ini."
"Boleh kupinjam qin Anda?"
Dia mengambil alat musik itu dan memberikannya kepadaku.
Aku menjentik dawai-dawainya, mulai menyanyi.
Aku bersandar pada jeruji tembok kota bagian Barat Ching-ling, di musim gugur
yang hebat Membagikan cahayanya ke atas bumi, matahari menggantung rendah Ingin melihat
sungai mengalir megah Bagian tengah negeri tengah berentakan
Para pejabat bercerai-berai karena tertekan
Bilakah saatnya memulihkan perbatasan kita"
Angin Yang-chou datang, mengembus air mataku tanpa sisa Kaisar Hsien Feng
mendengarkan tanpa suara, dan mulai menangis. Dimintanya aku menyanyikan satu
lagu lagi. "Kalau saja kau ini aktor opera Kekaisaran, pasti sudah kuhadiahi 300
tael," ujarnya, sembari menggenggam tanganku.
Aku pun bernyanyi. Aku tak lagi ingin memikirkan tentang betapa anehnya semua
ini. Setelah aku menyelesaikan "Selamat tinggal, Sungai Hitam" serta "Selir yang
Mabuk," Yang Mulia ingin mendengarkan satu lagu lagi. Aku memohon maaf,
menjelaskan bahwa aku belum bersiap.
"Satu lagi saja, satu lagu terakhir." Didekapnya aku erat-erat.
"Apa saja yang terpikir dalam benakmu."
Jemariku meraba dawai. Sesaat kemudian sebuah nada muncul.
"Lagu ini berjudul 'Bidadari di Jembatan Magpie,; digubah oleh Ch'in Kuan." Aku
berdeham dan memulai. "Sebentar, sebentar, Anggrek. 'Bidadari di Jembatan Magpie'"
Mengapa aku belum pernah mendengarnya" Apakah lagu ini terkenal?"
"Dulu." "Itu tidak adil, Putri Yehonala. Kaisar Cina harus diberi tahu tentang
segalanya!" "Yah, karena itulah aku di sini, Yang Mulia. Bagiku, lirik lagu ini
menenggelamkan semua puisi cinta. Bercerita tentang si Gembala Sapi dan si Gadis
- atau si Penenun - dua bintang yang dipisahkan oleh Bima Sakti. Mereka senantiasa
bertemu di Jembatan Magpie1, sekali dalam setahun, pada hari ketujuh dari bulan
ketujuh tahun penanggalan bulan, ketika angin musim gugur memeluk embun.2"
"Sakitnya perpisahan dirasakan oleh banyak orang," ujar Kaisar pelan. "Cerita
itu mengingatkanku pada Ibuku. Beliau gantung diri saat aku masih kecil. Beliau
seorang wanita yang sangat cantik, dan kini kami berdua dipisahkan oleh Bima
Sakti." Aku sangat terharu mendengar dia mengatakan ini, tetapi aku berhasil berdiam
diri. Lalu aku mulai menyanyi.
Awan melayang laksana benda hasil seni
Bintang gemintang tersaput kesedihan hati
Menyeberangi Bima Sakti, Sang Gembala bersua sang Gadis
Ketika angin keemasan musim gugur mendekap embun kumala Seluruh kisah asmara di
bumi, betapa pun banyak, berangsur jadi tiada
Gairah mereka mengalir laksana arus sungai
Saat bahagia mi tampak, seolah mimpi
Dapatkah mereka bertahan dalam pahitnya perpisahan "
Andai cinta kedua pihak dapat bertahan Mengapa mereka perlu tetap bersama, siang
dan malam" Sebelum nada terakhir nyanyianku usai, Yang Mulia sudah tertidur.
Kuletakkan alat musik tadi di sisi tempat tidur, diam-diam berharap bahwa saat
ini dapat berlangsung selama-lamanya. Tetapi sudah tiba waktunya bagiku untuk
pergi. Menurut kebiasaan, aku harus dikembalikan ke istanaku sendiri pada tengah
malam nanti. Para kasim akan segera datang membawaku pergi. Apakah aku akan
dipanggil lagi" Kemungkinan besar, Kaisar Hsien Feng akan lupa padaku begitu dia
bangun nanti. 1 Nama sejenis burung, agak mirip gagak - penerj 2 Kedua bintang ini berada pada
gugus bintang Vega di Bima Sakti Di Jepang, pertemuan kembali Pemuda Gembala
dengan kekasihnya Gadis Penenun dirayakan dalam Perayaan Tanabata - penerj
Sejumput perasaan melankolis mulai muncul. Nasibku tak memberi kesempatan bagi
sebuah hubungan yang lebih intim. Kucoba untuk tak berpikir tentang ruyi dan
jepit rambut capungku, segala energi dan harapan yang tercurah untuk persiapanku
menghadapi malam ini. Aku tak berkesempatan untuk membawakan tari kipasku.
Kalau saja Kaisar tadi menginginkanku, aku yakin aku akan dapat memuaskannya.
Berbaring di sampingnya, aku mengawasi lilin di dalam lampion-lampion merah satu
persatu padam. Aku mencoba untuk tak merasa kalah. Apa gunanya merasa sedih"
Hanya akan membuat Kaisar sebal.
Kepiluan menenggelamkanku dalam kesunyian. Hatiku terasa bagai mengambang di
lautan yang penuh tercekik oleh ganggang. Lilin dalam lentera terakhir bergetar,
kemudian padam. Kegelapan menguasai ruangan. Sekarang aku baru sadar bahwa


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata di langit awan telah menutupi bulan sama sekali. Nyanyian dari yoo-hoo-
loo disahuti oleh bunyi serangga lain. Simfoni malam ini sangat indah. Aku
berbaring dalam gelap, mengamati Yang Mulia bernapas damai dalam tidurnya.
Mataku menyusuri garis-garis tubuhnya, layaknya sebuah pena. Sejalur sinar bulan
memotong lantai. Putih bercampur kuning.
Warna ini menyerupai warna kulit Ibu ketika dia menunggui Ayah di saat-saat
terakhirnya. Setiap hari segurat keriput menggerogoti secuil diri Ibu, menggigit
semakin dalam pada kulitnya. Lalu suatu hari garis-garis itu mengubah sama
sekali wajah Ibu. Kulit Ibu menggelambir seakan ditarik oleh Bumi. Ibu sudah
meninggalkan masa mudanya.
Perlahan dan hati-hati aku turun dari ranjang. Kuambil qin dari lantai dan
kuletakkan di atas meja dekat dinding. Setelah mengenakan gaun, aku memandang ke
luar jendela, menatap bulan berlayar di langit. Seakan kulihat pantulan diriku
di sana - sebuah wajah basah berlinang air mata.
Hsien Feng tidur meringkuk, seorang lelaki, bermimpi dengan mimpi-mimpi seorang
lelaki pula. Seperti juga setiap orang di Cina, dulu aku selalu berpikir bahwa
Putra Surga adalah sosok separuh dewa, sang naga yang menembus merasuk jagat.
Malam ini aku melihat seorang lelaki, bahunya terlalu ringkih untuk
menanggungkan beban sebuah bangsa; kulihat seorang lelaki yang tersedu
mendengarkan laguku, seorang lelaki yang tumbuh tanpa siraman kasih seorang ibu.
Apa gerangan kesialan itu, kalau semua yang kulihat tadi bukan termasuk ke
dalamnya" Pasti sangat mengerikan baginya saat ibunda tercintanya menggantung
diri dalam aib yang besar, dan setiap orang berbohong kepadanya, padahal dia
tahu persis apa yang telah terjadi. Ironisnya, dia takkan pernah bisa menjadi
lelaki biasa yang begitu dia inginkan. Besok pagi, di hadapan orang-
orang yang datang menghadap, dia harus berpura-pura menjadi sosok yang lain.
Ruyi dan jepit rambutku terbayar lunas oleh malam ini. Aku bahagia akan apa yang
telah kucapai. Bila Yang Mulia melupakanku besok, dia tetap tak bisa mengambil
kenangan malam ini dariku.
Malam ini, kenangannya, adalah milikku. Kalau aku harus melihat kuburanku besok,
akan kubawa malam ini bersamaku.
Cahaya bulan bergeser sedikit, kini bersinar melalui bingkai jendela yang
berukir. Bayang-bayangnya di lantai bagai sulaman halus tersebar merata.
Kutempelkan pipiku pada alas sutra halus lembut dari ranjang Kekaisaran, dan
kulitku pada tubuh Putra Surga. Aku ingin berterima kasih kepadanya karena telah
mencopot semua gelar dan status kami, membiarkan kami saling menyentuh seperti
yang dilakukan manusia biasa.
Pikiran ini membuatku agak tenang, meskipun rasa takut masih tetap tinggal.
Kusiapkan diriku untuk meninggalkan Balairung Pemeliharaan Jiwa dan tak pernah
kembali lagi. Kaisar Hsien Feng berbalik. Lengan kirinya tampak. Dalam cahaya bulan lengan itu
terlihat seramping lengan seorang anak lelaki.
Akan kubiarkan dia tidur. Wajahnya menghadap ke arahku. Alisnya tak lagi
berkerut. Mestinya dia mimpi indah, syukurlah.
Nyanyian yang keluar dari yoo-hoo-loo menjadi sumbang. Itu adalah tanda bahwa
(setidaknya itulah yang dikatakan An-te-hai) jangkrik-jangkrik itu telah selesai
berkopulasi dan kini yang jantan tengah berusaha memisahkan diri dari tubuh si
betina. Suara si betina yang tinggi melengking itu sangat mengganggu. Semakin
lama aku duduk semakin suara itu tak tertahankan rasanya. Aku terpaksa mengakui
bahwa aku jatuh cinta pada momen ini dan tak ingin ini berakhir. Semacam rasa
sakit mulai menguasaiku. Aku semakin putus asa dalam setiap detik yang berlalu
cepat. Aku bisa menciumnya, pikirku. Bisa kucium dia seperti yang telah kupelajari di
Wisma Lotus. Kuharap Yang Mulia sama seperti para pelanggan yang datang ke rumah
itu, karena mereka mengetahui apa itu kenikmatan dan berusaha mencarinya pada
setiap kesempatan. Aku ingin tahu apakah Kaisar Hsien Feng pernah benar-benar mengalami kenikmatan
sejati. Aku meragukannya. Lelaki ini tampak tak akrab dengan kasih sayang. Dia
harus memerintah negeri yang besar ini, dan setiap malam tugasnya adalah
menanamkan benihnya dalam satu rahim ke rahim lainnya. Bila aku berada pada
posisinya, tidakkah aku akan menjadi impoten pula"
Kudengar langkah-langkah halus. Para kasim datang untuk menjemputku.
Kaisar Hsien Feng berbaring tak bergerak. Kuucapkan selamat tinggal tanpa kata.
Ada ketukan halus di pintu.
Aku berdiri dalam cahaya bulan.
Daun pintu didorong membuka dengan halus. Sosok Kepala Kasim Shim menghalangi
sinar bulan. Dia berlutut dan membungkuk ke arah Kaisar yang terlelap. "Waktunya
saya menjemput Putri Yehonala, Yang Mulia." Tak ada sahutan dan arah ranjang.
Kepala Kasim Shim mengulangi kata-katanya.
Sahutannya hanya dengkur halus.
Tanpa ragu-ragu Shim memberi tanda, dan empat kasim masuk ke dalam kamar. Mereka
menghampiriku sembari membawa sebuah tandu kecil. Mereka memegang lenganku dan
meletakkanku di atas tandu tersebut, lantas membawaku keluar.
Shim baru saja akan menutup pintu saat mendadak terdengar pekikan "Jangan!" dari
dalam kamar. Memberi tanda pada anak buahnya agar berhenti, Shim kembali, menyelipkan kepala
di antara celah pintu. "Yang Mulia?"
Tak ada sahutan. Shim ragu sesaat, lalu memberi tanda kepada anak buahnya untuk menurunkanku.
Aku turun dari tandu dan menyelinap kembali, telanjang kaki, ke dalam kamar Yang
Mulia. Kepala Kasim Shim menutup pintu.
Akal sehatku terbang sudah.
Yang Mulia meringkuk di belakangku. Sentuhan kulitnya pada kulitku amat
menggairahkan. Dia masih terlelap. Aku tetap membuka mata selama satu jam
berikutnya sebelum akhirnya tertidur. Aku bermimpi. Aku bermimpi ditelan oleh
seekor naga bermulut hiu, awan gemawan bergulung-gulung di sekitarku. Aku
berjuang untuk melepaskan diri dan monster itu. Tetapi bahuku ditangkap dan
dadaku ditekan. Naga itu mencengkeramku dalam cakarnya. "Aku mampu,"
bisiknya. Aku terbangun. Yang Mulia tengah menyentuhku. Aku merasakan sensasi ganjil itu,
sensasi yang kurasakan saat duduk di atas telur. Tangannya dingin tetapi
tubuhnya hangat, gerakannya lembut. Menjelajah.
Aku berusaha mengingat-ingat apa yang kupelajari di Rumah Lotus, tetapi kepalaku
mendidih, otakku tak lebih dari bubur kacang belaka.
"Ambillah," bisiknya. "Kau siap?"
"Siap...untuk apa, Tuanku?"
"Jangan membuatku jengkel. Kau mengincar benihku, bukan?"
"Apa yang Paduka ingin aku katakan?"
"Katakan kalimat itu."
"Kalimat" Kalimat apa" Aku...aku lupa kalimat apa. Anda takkan mau dibosankan
oleh kalimat yang sudah Anda dengar ratusan kali."
"Diamlah, demi para leluhur!" Hsien Feng menjauh.
Aku menatapnya, menyadari daya tariknya. Lebih baik kunikmati ini, pikirku,
karena aku tak dibolehkan melihat lelaki lain dalam suasana seperti ini seumur
hidupku. Dia menanyakan tentang pikiranku, dan kujawab dengan jujur.
"Dasar bandel!" ujarnya perlahan. "Kau tenang dan tak takut, menatap sang Putra
Surga seolah-olah dia cuma sebatang pohon."
Aku memutuskan untuk tak menyela.
"Begini ya - aku diwajibkan untuk memperlihatkan seprai bernoda darah itu. Shim
menunggu untuk mengambilnya, supaya bisa diberikannya kepada pejabat
Kerumahtanggaan, diperiksa, dan dicatat di Buku Catatan. Lalu mereka akan
menunggu tanda-tanda kehadiran seorang pewaris takhta, menghitung hari demi hari
dengan jemari mereka. Dokter-dokter dipanggil untuk siaga, siang dan malam,
menunggu tanda-tanda kehamilan."
Penjelasannya yang membosankan itu entah mengapa merangsangku, dan rasa takutku
hilang. "Kalian datang dalam jumlah besar," dia melanjutkan. "Kalian tak peduli pada apa
yang kurasakan. Kalian datang untuk menyesaki ruang tidurku dan merampok
benihku. Kalian serigala-serigala betina rakus, egois, pengisap darah!"
"Aku akan menikmati hubungan kita," kata-kata itu meluncur keluar begitu saja,
seakan ditarik oleh suatu kekuatan ganjil.
Dia tercengang. "Kau ... akan menikmatinya?"
"Aku tidak takut." Suaraku menuntut untuk dikeluarkan. "Aku di sini untuk
menjadi kekasih Paduka. Aku sudah membayar sangat mahal untuk kesempatan ini.
Bukan saja ini telah membuatku harus merelakan ruyi dan jepit rambutku, tetapi
juga telah merenggutku dari keluargaku." Air mataku menitik, dan aku tak
berhasrat untuk menahannya. "Selama ini aku tak pernah mengizinkan diriku
sendiri untuk merindukan Ibu dan adik-adikku, tetapi sekarang, aku benar-benar
merindukan mereka, teramat sangat! Aku tak pernah menangis walaupun aku harus
menghabiskan hari-hariku dalam kesunyian, tetapi kini aku menangis. Barangkali
benar, aku egois, tetapi aku bukan serigala pengisap darah yang rakus! Aku tak
mengincar benih siapa pun, tetapi aku memang merindukan kasih sayang!"
"Kau ..." Dia mendekat dan dengan lembut menarikku ke dekatnya. "Itu bukan
kalimat resmi Istana. Siapa yang menyiapkan kalimat-kalimat itu untukmu" Kau
sendiri" Masih ada lagikah...?"
Dorongan untuk segera menciptakan kenikmatan itu muncul dari dalam diriku. "Yang
Mulia ... jangan paksa aku menjawab pertanyaan itu. Aku ... sedang berpikir ...
kalau Paduka bersedia, ada beberapa tarian yang kuketahui."
Tanpa kukehendaki, dalam pikiranku muncul gambaran sepasang ngengat ulat sutra
yang tengah kawin, saat separuh dari tubuh ngengat jantan terbenam dalam tubuh
ngengat betina. Hsien Feng di atasku, seperti sehelai selimut. Aku merasa begitu nyaman dan
bahagia hingga air mataku menitik. Kata-kata dari sebuah opera masuk ke dalam
benakku: berhentilah mengejar masa depan, kasihku, karena sang mentari takkan
pernah menjadi lebih cerah dan hari-hari takkan menjadi lebih bahagia...
Kenikmatan itu muncul, perlahan merengkuhku.
Sebelum subuh dia menginginkanku lagi. Baru saat itulah aku bisa mencoba tarian
kipasku. Aku ingin tahu efeknya. Ternyata berhasil. Yang Mulia memujiku sebagai
'keajaiban.' Terutama dihargainya benar betapa aku memanggilnya "cintaku", dan
bukan "Yang Mulia." Untuk beberapa malam selanjutnya aku terus-menerus dipanggil. Kekasihku takjub
saat menyadari bahwa dia berkali-kali berhasil menanamkan benihnya. Dibiarkannya
dirinya terhanyut, memintaku untuk terus menjelajahi setiap kemungkinan. Aku
khawatir soal Ibu Suri. Dia akan menuduhku telah menyandera Kaisar untuk diriku
sendiri, dan merampoknya dan kemungkinan memiliki banyak cucu.
Kenikmatan cinta membuat kami terjaga sepanjang malam.
Yang Mulia mendekapku erat. Energiku bagai tanpa batas, kubiarkan diriku
terhanyut lagi dan lagi. Di pagi hari kami bertatapan seakan telah berkasih-kasihan selama bertahun-
tahun. "Jembatan Magpie." gumam Yang Mulia suatu hari. "Cerita terindah yang pernah
kudengar. Guru-guru Kekaisaran takkan pernah mengajarkannya kepadaku. Kepalaku
cuma dipadati sampah. Pelajaran-pelajaranku dipenuhi gambaran tentang sebuah Kekaisaran yang akan
runtuh. Pelajaran-pelajaran itu tak pernah masuk akal untukku! Bagaimana mungkin
semuanya hancur kalau Kaisar yang dulu-dulu itu begitu bijaksana" Guru-guruku
tak pernah bisa menjelaskan bagaimana kita bisa berutang sekian banyak pada
maling-maling yang merampok kita itu."
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Para guru bilang misi hidupku adalah pembalasan," dia melanjutkan. "Oleh sebab
itu, aku diajari tentang kebencian. Mereka mengancam bahwa aku takkan diberi
tempat di Kuil Para Leluhur kalau aku tak melaksanakan kewajibanku - dan itu
adalah memulihkan peta Cina.Tetapi bagaimana mungkin aku bisa melakukannya" Cina
sudah tercabik-cabik, dan aku harus berperang tanpa memiliki senjata! Begini
inilah hidupku: dipermalukan oleh bangsa barbar."
Dia membuatku merasa bahwa aku adalah sahabatnya. Lantas pada suatu malam dia
bertanya, "Kau ingin aku menganugerahimu apa?"
"Aku tak ingin meminta "diperbolehkan menemuimu lagi," tetapi aku takut diriku
mulai menginginkan itu." Aku mencoba mengendalikan diri, tetapi air mataku
mengkhianatiku. "Anggrek, jangan sedih. Aku memiliki kekuasaan untuk memberimu apa saja."
Hatiku ditenangkan janjinya ini, tetapi otakku memperingatkanku agar jangan memercayai kata-katanya, yang terucap pada saat-
saat dia dikuasai gairah. Kukatakan pada diriku sendiri bahwa besok selir yang
lain akan dipanggil. Selir lain yang seputus asa aku; selir lain, yang juga
memberikan tabungan seumur hidupnya kepada Kepala Kasim Shim.
---oOo--- Pada saat matahari terbit, aku telah kembali berada di Istana Kecantikan yang
Tak Terlarai. Setelah mandi aku keluar ke taman.
Udara cerah dan matahari bersinar terang. Mawar dan magnolia tengah mulai
berbunga. Di pekarangan tertutup, lusinan sangkar burung tergantung dan dahan-
dahan pohon. Pada jam-jam begini para kasim datang untuk melatih burung-burung
Istana, yang didatangkan dari seluruh pelosok negeri. Setelah dilatih selama
beberapa waktu, burung yang terbaik akan dipersembahkan kepada Kaisar, yang pada
gilirannya akan membagi-bagikannya sebagai hadiah, untuk para selir mendiang
ayahnya di istana mereka.
Para kasim mengajari burung-burung itu untuk menyanyi, bicara, dan melakukan
beberapa kemahiran tertentu. Kebanyakan burung itu burung langka dan memiliki
nama yang lucu, misalnya Pelajar, Penyair, Dokter, dan Pendeta Tang. Burung-
burung yang menampilkan kepandaiannya dihadiahi jangkrik dan cacing, sedangkan
yang tidak, dibiarkan kelaparan. Ada pula burung merpati, semuanya putih bersih
dan dibiarkan terbang bebas. Hobi favorit An-te-hai adalah melatih merpati. Dia
mengikatkan lonceng dan peluit ke kaki burung-burung itu, lantas melepaskan
mereka. Mereka terbang berputar di atas istanaku, seraya mengeluarkan bunyi yang
amat merdu. Saat angin kencang, suara mereka mengingatkanku pada musik kuno.
Ada seekor nuri yang luar biasa pandai yang dinamai An-te-hai Konfusius. Burung
itu sanggup mengulangi frasa tiga huruf dari kitab San Tzu Ching. Misalnya,
"Saat lahir, semua manusia fitrahnya baik."
An-te-hai memberikan Konfusius kepada Kepala Kasim Shim sebagai hadiah ulang
tahun, yang pada gilirannya dipersembahkan kepada Kaisar oleh Kepala Shim
sebagai hadiah ulang tahun juga. Lantas Kaisar menghadiahkannya kepadaku! Sampai
di tanganku, si burung sudah tak tahu lagi apa yang ia ucapkan. Dia memelintir
sebuah kata, yang mengacaukan semua artinya. Konfusius sekarang mengatakan
"Saat lahir, semua manusia fitrahnya jahat." Aku punya perasaan bahwa kekeliruan
ini adalah hasil kejahilan Kaisar3. Kukatakan pada An-te-hai untuk membiarkan
saja burung itu, tidak usah dibetulkan.
Aku juga mencintai merak-merak yang dipelihara An-te-hai.
Merak berkeliaran di mana-mana di istanaku. An-te-hai melatih mereka untuk
mengikutiku. An-te-hai menyebut merak-merak itu
'putri-putri Istanaku.' Mereka tinggal dan berkembang biak di tamanku. Kalau An-
te-hai melihatku keluar, dia akan meniup sebuah peluit, dan semua merak itu akan
berkumpul menyambutku. Sangat menyenangkan. Burung-burung ini mengeluarkan
semacam kotekan yang terdengar seolah mereka tengah bercakap-cakap. Kalau sedang
senang hati, merak-merak ini akan membuka 'gaun' hijau dan biru mereka, bersaing
memamerkan keindahan mereka.
"Semoga keberuntungan selalu menyertai Anda, Gusti Putri."
An-te-hai menyambutku dengan bungkukan dalam pagi ini.
"Semoga keberuntungan selalu menyertai Anda!" Semua kasim, dayang, pembantu, dan
bahkan para koki turut mengucapkan hal yang sama dari setiap sudut Puri -
sekarang semua orang sudah tahu bahwa aku adalah selir kesayangan Kaisar.
"Apa perahu pagi sudah keluar dari kanal sekarang?" Tanyaku kepada An-te-hai.
"Aku ingin mengunjungi kuil di Bukit Kekayaan."
"Anda bisa pergi ke mana saja dan kapan saja, Gusti Putri," kata An-te-hai.
"Pagi ini Kaisar memberi titah bahwa Anda harus datang ke peraduannya setiap
malam. Sekarang Anda ada di puncak Kota Terlarang, Gusti Putri! Jika Anda
menginginkan, Istana akan membuat pohon mati untuk berbunga, dan sulur busuk
menjalar naik lagi."
---oOo--- Dan atas Bukit Kekayaan-lah, Ibukota Kekaisaran, Peking, yang penuh rahasia,
damai, dan anggun terlihat paling indah. Bukit ini sesungguhnya sebuah gundukan
tanah raksasa buatan manusia, yang dimaksudkan untuk merintangi roh-roh jahat


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan berbahaya dari Utara memasuki Kota Terlarang. Dari atas puncaknya Kota
Terlarang terlihat seperti hutan ajaib yang dipenuhi pohon-pohon dan semak yang
berbunga, lebih penuh pepohonan ketimbang di pedesaan. Dan antara dedaunan
terlihat atap glasir kuning yang berkilauan, juga atap cerah 3 Cara membaca
huruf Cina tergantung dari panjang-pendek serta naik-turunnya nada suara. Satu
huruf bisa berarti banyak hanya dengan membedakan nadanya.
Huruf yang berarti 'baik' dan 'jahat' hanya berbeda pada satu tanda serta nada
pengucapannya saja - penerj
berenamel dan kuil-kuil, gerbang-gerbang dan puri-puri.. Paviliun-paviliun merah
tua dan hijau zamrud memamerkan tepian atap mereka yang berhias indah dan
melengkung ke atas. Berdiri di atas bukit ini, aku terpana oleh gagasan bahwa aku telah diberkati
oleh suatu energi surgawi. Aku telah memadu cinta dengan Sang Putra Surga. Yang
lebih penting lagi, hal itu terus terjadi.
Ketika menghirup dalam-dalam udara yang segar, mataku tertumbuk pada atap
keemasan dari Istana Ketentraman yang Penuh Kebijakan.
Aku teringat kepada selir-selir tua yang cemburu itu, cara mereka menatapku yang
serupa dengan burung hering lapar. Satu cerita yang disampaikan An-te-hai tak
jua meninggalkan benakku: nasib seorang selir kesayangan dari Wangsa Ming
setelah Kaisar wafat. Dia terjebak dalam konspirasi keraton yang dirancang oleh
sesama selir, dan sang selir kesayangan akhirnya dikuburkan hidup-hidup.
---oOo--- Aku menerima tamu yang tak disangka-sangka: Nuharoo. Sebelumnya dia tak pernah
berkunjung. Aku yakin sekali bahwa kunjungan ini pasti gara-gara Hsien Feng
menghabiskan malam-malamnya bersamaku.
Aku tak ragu bahwa para kasimnya mematai-matai buatnya, seperti juga An-te-hai
memata-matai buatku. Gugup, tetapi tidak panik, aku menyambutnya. Berdiri seperti sekuntum bunga
magnolia yang indah, dia memberi salam dengan menekuk lututnya sedikit. Aku tak
bisa tidak mengagumi kecantikannya. Andai aku lelaki, aku pasti sudah akan jatuh
cinta tergila-gila padanya. Bergaun satin warna persik, Nuharoo seanggun dewi
yang tengah turun dari awan. Keanggunan ini tampaknya memang bawaan sejak lahir.
Rambutnya yang halus, hitam pekat, ditata ke belakang dalam bentuk ekor angsa.
Sebuah jepit emas dengan serenceng mutiara terjulai-julai beberapa inci dari
keningnya. Di dekatnya, aku kehilangan kepercayaan diri tentang kecantikanku sendiri. Mau
tak mau aku berpikir bahwa aku akan kehilangan kasih sayang Hsien Feng jika
kekasihku itu memandang Nuharoo sekali lagi.
Menurut kebiasaan, seharusnya aku berlutut dan kowtow untuk menyambutnya. Tetapi
dia buru-buru berjalan menghampiri dan memegangi lenganku sebelum aku punya
kesempatan melakukannya. "Adikku sayang," ucapnya, sesuai dengan kedudukannya.
Sebenarnya dia lebih muda setahun daripadaku. "Aku membawakan teh herbal dan
jamur liar untukmu, dikirim dari Manchuria. Kau akan memerlukannya sekarang."
Dia melambaikan tangan, dan para kasimnya datang mempersembahkan sebuah kotak
kuning yang terbungkus indah.
Aku tak menangkap tanda-tanda kecemburuan. Suaranya tidak terganggu sedikit pun.
"Ini jenis tang kuei yang paling bagus," jelas Nuharoo, mengangkat sejumput akar
kering. "Dipetik dari tebing-tebing tinggi yang menjulang di atas awan, tumbuh
dari udara dan hujan yang paling segar. Masing-masing berusia tiga puluh tahun
atau lebih." Nuharoo duduk dan mengambil cangkir teh yang disuguhkan An-tehai.
"Kau sudah bertambah tinggi sejak aku melihatmu terakhir kali."
Senyumnya kepada An-te-hai. "Aku juga punya hadiah untukmu."
Nuharoo melambai lagi, dan kasimnya datang membawakan sebuah kotak sutra biru
kecil. An-te-hai berlutut di lantai dan bersujud sebelum mengambil kotak itu. Nuharoo
menyuruh An-te-hai untuk membukanya. Di dalamnya terdapat satu karung tael. Aku
yakin An-te-hai tak pernah punya uang sebanyak itu sekaligus. Dia memegang kotak
itu dan berjalan pada kedua lututnya menghampiri Nuharoo. "An-te-hai tak pantas
menerima ini, Gusti Ratu!"
"Tak apa-apa. Pergi dan nikmatilah hadiahmu." Senyum Nuharoo.
Aku menunggu dia berbicara tentang suami yang kami miliki bersama, menunggu
kata-kata yang akan menyatakan rasa frustrasinya. Aku nyaris berharap bahwa dia
akan mengatakan sesuatu untuk menghinaku. Tetapi tidak. Dia duduk dengan tenang,
menghirup tehnya. Aku bertanya-tanya apa gerangan yang membuatnya begitu tenang dan yakin. Andai
aku adalah dirinya, aku pasti akan merasa kesulitan. Aku akan sangat mencemburui
sainganku dan berharap aku berada di posisinya. Apakah dia tengah membangun
pertahanan" Atau apakah dia malah sudah membuat sebuah rencana untuk
menghancurkanku dan kini sedang berpura-pura berdamai, hanya untuk menipuku"
Diamnya Nuharoo amat menggangguku. Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku mulai
mengaku. Aku melapor bahwa Kaisar telah beberapa kali menghabiskan malam
bersamaku. Aku memohon ampunan darinya, dan aku khawatir suaraku tidak terdengar
tulus. "Engkau sama sekali tidak berbuat salah," katanya, dengan nada biasa.
Kebingungan, aku bicara terus. "Tetapi - tetapi aku sudah berbuat salah. Aku tak
meminta nasihatmu." Aku kesulitan untuk melanjutkan. Aku tak biasa memalsukan
perasaanku. "Aku ... aku takut. Aku tak yakin bagaimana caranya melapor
kepadamu. Aku tak punya pengalaman dalam hal tata krama Istana. Seharusnya aku
terus memberi kabar kepadamu. Aku siap untuk menerima kemarahanmu." Mulutku
kering. Kuambil tehku dan menyiramkannya ke kerongkonganku.
"Yehonala." Nuharoo meletakkan cangkirnya dan mengusap mulut dengan ringan,
menggunakan ujung saputangannya. "Kau khawatir untuk alasan yang salah. Aku
datang bukan untuk menuntut agar Kaisar dikembalikan kepadaku." Dia bangkit dan
mengambil tanganku. "Aku datang untuk dua hal. Satu, tentu saja, untuk memberimu
selamat." Sebuah suara kecil berucap dalam kepalaku: Nuharoo, mustahil kau datang untuk
berterima kasih karena aku telah mengambil Hsien Feng. Aku tak percaya bahwa kau
tulus. Seolah membaca pikiranku, Nuharoo mengangguk. "Aku bahagia untukmu, dan untuk
diriku sendiri." Sesuai sopan santun, aku mengucapkan terima kasih. Akan tetapi
air mukaku mengkhianatiku.
Aku takut ekspresiku mengatakan, Aku tak percaya padamu, satu perasaan yang
mungkin saja sudah dideteksinya, tetapi sengaja diabaikannya.
"Begini, adikku," suara Nuharoo halus dan lembut, "pada posisiku sebagai
Permaisuri, tanggung jawabku lebih luas daripada yang mungkin kau bayangkan. Aku
diajari bahwa sekali aku memasuki Istana, aku bukan hanya menikah dengan Yang
Mulia, tetapi dengan seluruh masyarakat Kekaisaran. Kepentingan Wangsa ini
adalah satu-satunya perhatianku. Tugaskulah untuk menjaga suamiku tetap hidup
guna memenuhi kewajibannya. Dan salah satu dari kewajiban itu adalah untuk
menghasilkan keturunan, pewaris takhta, sebanyak yang dia bisa." Nuharoo
berhenti sejenak dan berkata-kata dengan sepasang matanya, Yehonala, mengertikah
kau sekarang bahwa aku datang untuk berterima kasih"
Aku membungkuk padanya. Aku percaya bahwa dia berbuat begini karena rasa sakit
hati. Paling tidak aku harus mengatakan sesuatu, sesuatu yang menunjukkan
pengertian. Seolah tahu apa yang hendak kukatakan, Nuharoo mengangkat tangan kanannya. "Hal
kedua dari kunjunganku adalah, aku ingin memberitahumu bahwa Putri Yun sudah
melahirkan." "Sudah" Betapa ... senangnya!"
"Bayinya perempuan." Nuharoo mendesah. "Seluruh Istana kecewa. Demikian juga Ibu
Suri. Aku kasihan pada Putri Yun, tetapi lebih kasihan lagi pada diriku sendiri.
Aku belum diberkahi Langit keberuntungan untuk mengandung seorang anak." Air
matanya mengembang, dia mengeluarkan sapu tangan dan mulai menyeka wajahnya.
"Yah, masih ada waktu." Aku menghibur, mengambil tangannya.
"Lagipula, Kaisar baru menikah satu tahun lamanya."
"Itu tak berarti bahwa dia tak disuguhi wanita sejak dia remaja.
Saat seumur Hsien Feng, dua puluh dua, Kaisar Tao Kuang sudah memiliki 17 orang
anak. Yang membuatku khawatir" - dia melihat berkeliling dan membuat isyarat untuk
menyuruh keluar semua kasim-
"adalah bahwa Yang Mulia impoten. Ini bukan hanya pengalamanku sendiri, tetapi
pengalaman Putri Li, Mei, dan Hui juga. Aku tak tahu bagaimana denganmu. Maukah
kau menceritakan kepadaku?" Dia menatapku dengan penuh rasa ingin tahu, dan aku
merasa bahwa dia takkan menarik pertanyaannya sebelum rasa ingin tahunya
terpuaskan. Aku tak berminat berbagi cerita tentang apa yang telah terjadi, maka aku
mengangguk saja, dalam diam menegaskan kondisi menyedihkan Kaisar.
Lega, Nuharoo bersandar di kursinya. "Kalau Kaisar tetap tak berputra, maka itu
adalah tanggung jawab serta kesialanku. Aku tak bisa membayangkan Takhta harus
diwariskan kepada klan lain karena itu. Hal itu akan menjadi bencana bagi kita
berdua." Dia melepaskan tanganku, dan berdiri. "Aku ingin mengandalkanmu untuk
melahirkan seorang pewaris bagi Yang Mulia, Yehonala."
Aku mendapati diriku tidak bersedia memercayai kata-katanya.
Di satu sisi, dia ingin menjadi sosok yang diinginkannya - seorang permaisuri yang
dicatat dalam sejarah sebagai perempuan yang bijaksana. Di sisi lain, dia tak
dapat menyembunyikan kelegaanya bahwa Kaisar Hsien Feng ternyata impoten juga
saat bersama denganku. Apa yang akan terjadi kalau aku menceritakan yang
sebenarnya" Di malam setelah kunjungan Nuharoo, aku diganggu oleh serangkaian
mimpi buruk. Pada pagi harinya An-te-hai membangunkanku dengan sebuah berita buruk. "Salju, Gusti Putri - kucing Anda
hilang!"[] Sebelas KUCERITAKAN KEPADA KAISAR tentang menghilangnya si Salju dan bahwa aku tak bisa
memecahkan rahasia di balik kejadian ini.
Jawabnya hanya "cari saja gantinya." Aku baru menceritakan kejadian ini
kepadanya setelah menyadari bahwa diriku terlalu gelisah untuk bisa menyanyi di
hadapannya. "Tak mungkin Nuharoo," ujarnya. "Mungkin saja dia memang tidak terlalu cerdas,
tetapi dia bukan tipe kejam."
Aku setuju ini. Lebih dari sekali Nuharoo mengejutkanku dengan perbuatan atau
perkataannya. Setelah sebuah audiensi minggu lalu, Kaisar mengatakan kepada kami
bahwa satu bagian besar dari negeri ini tengah mengalami kekeringan. Rakyat di
Provinsi Hupeh, Hunan dan Anhwei menderita dan sekarat karena kelaparan.
"Empat ribu kematian sejak musim dingin lalu. "Yang Mulia mondar mandir di
antara meja basuh dan singgasananya. "Empat ribu!
Apa lagi yang bisa kulakukan di samping memenggal kepala para gubernurnya" Para
petani itu sudah mulai merampas dan merampok.
Sebentar lagi segera akan terjadi pemberontakan di seluruh penjuru negeri."
Nuharoo melepaskan kalung dan gelang-gelangnya, juga jepit-jepit rambutnya.
"Yang Mulia, ini semua milik Paduka sekarang.
Juallah ini agar para petani itu bisa makan." Nuharoo berbicara dengan kilau
kemuliaan meliputi wajahnya.
Aku tahu Hsien Feng tak mau menyakiti hatinya. Dimintanya Nuharoo untuk
mengambil kembali barang-barangnya. Lalu dia berbalik kepadaku. "Apa yang akan
kaulakukan kalau kau jadi aku?"
Aku teringat sebuah gagasan yang dulu didiskusikan Ayah bersama teman-temannya.
"Aku akan menaikkan pajak bagi para tuan tanah yang kaya, pedagang, dan pejabat
pemerintah. Akan kukatakan bahwa ini darurat dan negara memerlukan dukungan
mereka." Walaupun Kaisar tidak memuji gagasanku di hadapan Nuharoo, setelah itu dia
memberiku hadiah. Malam itu kami bercakap-cakap panjang dan lama. Yang Mulia
bilang dia merasa diberkahi oleh leluhurnya karena memiliki seorang selir yang
bukan cuma cantik tetapi juga cerdas. Aku benar-benar senang, walaupun agak
malu. Aku memutuskan bahwa aku harus berusaha menjadi apa yang dipujikan Kaisar
tentangku. Malam itu adalah malam pertama aku tidak harus menampilkan tari kipasku.
Kami duduk di pembaringan, bercakap-cakap. Yang Mulia bercerita tentang ibunya,
aku bercerita tentang Ayah. Kami menangis bersama-sama. Dia menanyakan apa yang
paling kuingat dari masa kecilku di pedesaan. Kuceritakan kepadanya tentang
suatu peristiwa yang mengubah pandanganku tentang para petani. Saat aku berusia
sebelas tahun, aku turut serta dalam suatu usaha besar yang digagas Ayahku, sang
taotai, untuk menyelamatkan panen dari serbuan belalang.
"Musim panas ketika itu sangat panas dan lembap," kenangku.
"Hijaunya tumbuhan terbentang hingga sejauh mata memandang.
Panenan tumbuh hingga setinggi pinggang. Beras, gandum, dan jewawut kian bernas
setiap hari. Hari panen tinggal sebentar lagi.
Ayah sangat bahagia, karena kalau segalanya berjalan lancar sampai panen,
artinya para petani yang tinggal di hampir 500 desa akan bisa bertahan hidup
tahun itu. Lalu datanglah suara derik gerombolan belalang. Mereka muncul saat tanaman sudah
mulai masak. Dalam waktu semalam seluruh daerah telah diserbu, seolah-olah
mereka datang begitu saja dari atas awan, atau dan dalam perut bumi. Sepupu
jangkrik yang berwarna coklat ini memiliki semacam gendang kecil serupa kerang
dekat sayap mereka. Ketika sayap-sayap belalang mengepak mengenai 'gendang'
ini, suaranya seperti jari manusia yang diketukkan di atas kaleng.
Hama belalang datang dalam bentuk gumpalan awan gelap yang menghalangi matahari.
Mereka menyerbu panenan dan mengunyah semua daun dengan gigi yang menyerupai
gergaji. Dalam beberapa hari saja ladang-ladang yang hijau itu lenyap.
Ayah mengumpulkan semua anak buahnya untuk membantu penduduk desa melawan hama
belalang. Orang-orang mencopot sepatu mereka dan memukuli belalang dengannya.
Ayah segera melihat bahwa ini sia-sia, dan langsung mengganti taktik.
Dia mengumumkan keadaan darurat dan menyuruh para petani untuk menggali parit-
parit. Dia menempatkan orang-orang di jalur yang ditempuh belalang saat bergerak
memakan panen. Ketika sebuah parit selesai, Ayah menyuruh sekelompok petani
untuk menghalau belalang-belalang itu. "Lepas baju kalian dan lambaikan,"
katanya. Idenya adalah menggiring belalang ke arah parit, sementara sekelompok
petani lain berbaris di belakang parit tersebut, yang diisi dengan tumpukan
tinggi jerami kering. Ribuan orang melambaikan baju dan berteriak sekuat tenaga mereka - termasuk aku.
Kami menghalau belalang-belalang itu ke dalam parit, dan begitu mereka ada di
dalam, Ayah menyerukan agar jerami dalam parit dibakar, sehingga semua belalang
itu terpanggang. Kami bertempur lima hari lima malam, dan berhasil menyelamatkan setengah dari
hasil panen. Ketika akhirnya Ayah mengumumkan keberhasilan ini, dari kepala
hingga kaki dia belepotan bangkai belalang dan serpihan kerangka mereka. Aku
bahkan mengeluarkan belalang dari saku-saku Ayah.
Kaisar mendengarkan ceritaku dengan takjub. Katanya dia bisa membayangkan
ayahku, dan berharap sempat mengenalnya.
Hari berikutnya aku dititahkan untuk pindah ke Istana Yang Mulia. Aku akan
tinggal dengannya sepanjang tahun ini. Dia menempatkanku di sayap Istana yang
berhubungan dengan Balairung audiesi, dan dia datang kepadaku setiap saat
istirahat, bahkan juga di antara audiensi.
---oOo--- Aku tak berani berharap nasib baikku ini berlangsung terus. Kucoba sekuat tenaga
agar tak mengharapkan apa pun. Namun jauh di dasar hati aku sangat ingin
mempertahankan apa yang telah kusemikan ini.
Saat Kaisar meninggalkanku untuk bekerja, aku langsung merindukannya. Aku jadi
cepat bosan, tak sabar menunggu dia kembali. Sewaktu berjalan-jalan di sekitar
taman, aku tak bisa memikirkan hal lain kecuali apa yang telah terjadi malam
sebelumnya. Aku terus saja menikmati detail-detail saat kami bersama.
Setiap hari aku memeriksa kalender untuk mengingatkan diriku bahwa aku sudah
mendapatkan satu lagi hari penuh keberuntungan.
Bulan Mei 1854 adalah waktu terbaik sepanjang hidupku. Segalanya berlangsung
terlalu indah bagi gadis dengan latar belakang seperti aku. Namun begitu, aku
tak pernah membiarkan kasih sayang Kaisar membutakan akal sehatku. Setiap kali
aku terlena, aku cepat mendapatkan keseimbanganku kembali saat melihat Nuharoo
dan selir-selir lainnya. Kukatakan kepada diriku sendiri bahwa nasib baikku bisa
berakhir dalam sekejap. Kucoba untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
Ketika musim berganti, Yang Mulia pindah ke Yuan Ming Yuan, Taman Bundar Agung,
dan membawaku serta. Yuan Ming Yuan adalah istana musim panasnya yang terindah.
Kaisar dan beberapa generasi telah datang ke situ untuk tetirah. Keindahannya
bagai dongeng.

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terletak sekitar 18 mil di sebelah Barat Laut Peking, di sana terhampar taman
dalam taman, danau-danau, padang rumput, lembah berkabut, pagoda yang sangat
elok, kuil - kuil, dan tentu saja, istana-istana. Kita dapat berjalan kaki sejak
fajar hingga matahari terbenam tanpa melihat pemandangan yang sama dua kali. Aku
baru sadar setelah beberapa saat bahwa Yuang Ming Yuan membentang sejauh dua
puluh mil! Taman-taman utamanya dibangun oleh Kaisar Kang Hsi pada tahun 1709. Ada sebuah
cerita tentang bagaimana Kang Hsi menemukan tempat ini. Suatu kali saat tengah
berkuda, dia menemukan sebuah reruntuhan misterius. Kaisar terpesona oleh
keliaran serta keluasannya, dan yakin bahwa ini bukan tempat biasa.
Dia benar. Reruntuhan itu adalah sisa sebuah taman kuno yang terkubur di bawah
pasir yang bertiup dari Gurun Gobi. Taman itu milik seorang Pangeran dari Wangsa
Ming, dan dulunya berfungsi sebagai tempat perburuan sang pangeran.
Sangat senang akan temuannya, Kaisar Kang Hsi memutuskan untuk membangun sebuah
Istana di atas reruntuhan itu. Belakangan tempat itu menjadi Istana tetirah
kesayangannya, tempat dia tinggal hingga akhir hayatnya. Sejak saat itu para
penggantinya telah memugar dan menambahkan banyak hal untuk menambah
keluarbiasaan tempat tersebut. Banyak paviliun, puri, kuil, dan taman sudah
ditambahkan pada tahun-tahun sesudahnya.
Yang membuatku terpesona adalah tak satu puri pun menyerupai yang lain, tetapi
secara keseluruhan terdapat suatu harmoni yang utuh. Menghasilkan sesuatu yang
sedemikian sempurna sampai-sampai tampak seperti kebetulan belaka adalah tujuan
utama seni dan arsitektur Cina. Yuan Min Yuan mereflesikan cinta Tao terhadap
spontanitas alamiah serta keyakinan Konfusius tentang kemampuan manusia untuk
mengungguli alam. Semakin aku mempelajari arsitektur dan seni kriya, semakin aku tertarik pada
masing-masing karya seni. Segera saja ruang dudukku berubah menjadi galeri seni,
yang dipenuhi benda-benda indah, mulai dari jambangan-jambangan besar yang harus
diletakkan di lantai hingga ukiran beras - arca yang dipahat dari sebutir beras.
Di kamarku juga ada baskom-baskom berkaki panjang yang dihiasi berlian. Lemari
dinding menjadi lemari pajangan, dipenuhi jimat rambut keberuntungan, jam-jam unik, tempat pensil, dan botol minyak wangi yang
dekoratif. An-te-hai memberi bingkai pada setiap benda itu untuk menyenangkan
mataku. Benda yang paling kusukai adalah sebuah meja teh yang ditaburi mutiara-
mutiara sebesar kelereng.
Kaisar Hsien Feng jatuh sakit akibat beban pemerintahan.
Setelah audiensi dia pulang kepadaku dengan wajah sedih. Cuaca hatinya telah
kembali mendung. Dia benci harus bangun di pagi hari, dan berharap bisa
menghindar dari tugas menerima orang menghadap. Dia terutama enggan manakala
tandatangannya diperlukan pada dekrit dan keputusan.
Saat persik mulai berbunga, keinginan Yang Mulia untuk bermesraan mulai
berkurang. Para petani mulai terang-terangan memberontak,
katanya kepadaku. Dia amat malu pada ketidakmampuannya untuk membalikkan situasi. Mimpi buruknya yang paling
mengerikan telah menjadi kenyataan - petani telah bergabung dengan para
pemberontak Taiping. Laporan tentang penjarahan dan penghancuran datang dan
setiap penjuru. Di atas semuanya ini, dan barangkali yang paling menggelisahkan
dan semuanya, kekuatan asing terus mendesak agar Kaisar membuka lebih banyak
pelabuhan untuk perdagangan. Cina telah terlambat dalam pembayaran ganti rugi
Perang Candu, dan kini diancam oleh serbuan lebih lanjut.
Tak lama, Kaisar menjadi terlalu tertekan bahkan untuk meninggalkan kamar tidur.
Satu-satunya saat dia datang menemuiku adalah untuk mengajakku menemaninya
berziarah ke tempat-tempat keramat Kekaisaran. Pada hari-hari cerah kami
mengadakan perjalanan ke luar Peking. Kuhabiskan jam demi jam di dalam tanduku,
tak boleh makan apa pun kecuali daun yang pahit - upacara-upacara penghormatan
leluhur itu memerlukan "tubuh yang bersih tak ternoda." Saat tiba di tempat-
tempat itu, kami memohon pertolongan pada leluhur Kekaisaran. Kuikuti suamiku,
berlutut di tanah dan membungkuk hingga lututku luka-luka.
Yang Mulia selalu merasa lebih baik dalam perjalanan kembali ke Istana. Dia
percaya bahwa doanya akan didengar dan dia segera akan mendapat berita baik.
Akan tetapi ternyata para leluhur tak bisa menolongnya - kapal-kapal
orang barbar dilaporkan semakin mendekat ke kota-kota pelabuhan Cina, dengan persenjataan yang mampu menyapu
seluruh pasukan kami dalam waktu sesingkat yang diperlukan untuk menyantap
sepiring makanan. Khawatir akan kesehatan Hsien Feng, Ibu Suri menyuruhnya untuk beristirahat.
"Tinggalkan dulu kantormu, Nak. Akar-akar sakit dari jiwamu itu harus
diremajakan dulu." "Maukah kau menemaniku di tempat tidur, Anggrek?" Yang Mulia membiarkan jubah
naganya yang berat jatuh ke lantai lalu membawaku ke ranjang. Tetapi dia bukan
dirinya yang dulu lagi. Kemampuannya merasakan kenikmatan telah lenyap. Aku tak bisa membangkitkan
hasratnya. "Sudah tak ada lagi elemen yang dalam diriku." Dia mendesah, menunjuk dirinya
sendiri. "Ini cuma kantong kulit. Lihat, betapa menyedihkannya kantong kulit ini
terentang dari leherku."
Aku mencoba segalanya. Setiap malam aku menciptakan seorang Dewi baru. Tak ada
satu pun yang kulakukan yang berhasil.
Yang Mulia menyerah. Raut wajahnya menghancurkan hatiku. "Aku ini orang kasim."
Senyumnya lebih buruk daripada air matanya.
Setelah dia tertidur, aku pergi mengurus sesuatu dengan juru masak istana. Aku
ingin Yang Mulia mendapat makanan yang lebih sehat, penuh gizi. Aku menuntut
sayur mayur segar dan daging segar ala pedesaan, bukan makanan yang digoreng
dengan banyak minyak atau yang diawetkan. Aku meyakinkan Kaisar bahwa hal
termudah untuk membuatku senang adalah mengangkat sumpitnya. Namun dia tak punya
selera makan. Dia mengeluh bahwa segala hal dalam dirinya terasa sakit. Para
dokter mengatakan padanya, "Api di dalam tubuh Paduka menyala sangat hebatnya
sehingga banyak sariawan timbul pada kerongkongan Anda."
Yang Mulia tinggal di tempat tidur sepanjang hari. "Aku takkan bertahan lama,
Anggrek, aku yakin," katanya dengan mata terpaku ke langit-langit. "Mungkin
inilah yang terbaik."
Aku ingat Ayah juga dulu begitu setelah dipecat. Aku ingin sekali bisa
mengatakan kepada Kaisar Hsien Feng betapa egois dan jahatnya dia pada
rakyatnya. "Sekarat itu hina, hidup itu mulia." Aku mengerang seperti wanita
mabuk. Dalam upaya membuatnya gembira, aku memanggil opera favoritnya. Mereka tampil di
ruang duduk kami. Pedang dan tongkat juga kuda khayalan para aktor itu hanya
beberapa inci saja jaraknya dari hidung Kaisar. Opera ini cukup berhasil
mendapat perhatiannya. Untuk beberapa hari dia agak terhibur. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Suatu
hari dia keluar ruangan tepat di tengah-tengah pertunjukan. Setelah itu tak ada
lagi opera. Kaisar tergantung pada sup ginseng. Dia lesu dan tak punya semangat, seringkali
tertidur lelap di kursinya. Dia bangun di tengah malam, dan duduk sendiri di
tengah kegelapan, tak lagi ingin tidur karena takut akan datangnya mimpi buruk.
Dia takut memejamkan mata. Saat hal itu tak tertahankan lagi, dia pergi ke
hadapan tumpukan dokumen Kerajaan, yang dibawa setiap sore oleh kasim-kasimnya,
bekerja hingga keletihan. Malam demi malam kudengar dia menangis karena
keputusasaan yang sangat.
Seekor ayam jantan yang rupawan dibawa ke pekarangan Yang Mulia untuk
membangunkannya di pagi hari. Hsien Feng lebih menyukai kokok ayam jantan
dibandingkan bunyi lonceng jam. Ayam jantan itu memiliki jengger merah tua yang
besar, bulu hitam, dan ekor hijau zamrud. Tampangnya seperti jagoan pasar,
dengan mata yang melirik galak dan paruh bengkok. Cakarnya sama besar dengan
cakar burung nasar. Ayam jantan Istana itu membangunkan kami dengan kokok
nyaring, seringkali sebelum fajar. Kokoknya mengingatkanku akan seseorang yang
tengah bersorak: Ooow, ooow, oow...Oh! Ooow, oow, ooow, oow! Memang, kokok itu
berhasil membangunkan Yang Mulia, tetapi tetap saja dia tak punya cukup tenaga
untuk bangkit. Suatu malam Hsien Feng melemparkan setumpuk dokumen ke atas tempat tidur dan
memintaku membacanya. Dipukulinya dadanya, berteriak, "Pohon mana saja tak akan
menolak digantungi tambang untukku. Kenapa aku mesti ragu-ragu?"
Aku mulai membaca. Pendidikanku yang terbatas hanya bisa mengantarku untuk
memahami kata-kata dasarnya saja. Meskipun begitu, sama sekali tak sulit untuk
mengerti masalahnya. Seluruh dokumen itu berisi hal-hal yang sudah dibicarakan
orang semenjak aku memasuki Kota Terlarang.
Aku tak ingat kapan tepatnya Kaisar Hsien Feng mulai secara teratur memintaku
untuk membaca dokumen-dokumennya. Aku demikian terbawa oleh keinginan untuk
membantu sehingga kuabaikan saja peraturan yang mengatakan bahwa selir dilarang
keras untuk ikut mengetahui urusan Kerajaan. Yang Mulia terlalu letih dan sakit
untuk peduli pada segala tetek bengek peraturan.
"Aku baru saja menyuruh penggal selusin kasim yang ketagihan opium," suatu malam
Yang Mulia memberitahuku.
"Apa yang telah mereka lakukan?" tanyaku.
"Orang-orang kasim itu memerlukan uang untuk membeli candu itu, jadi mereka
mencuri dari kas Kerajaan. Aku tak percaya bahwa
'penyakit' terkutuk ini ternyata telah merambah hingga ke pekarangan belakangku
sendiri. Bayangkan apa yang tengah dilakukan penyakit itu pada negeri ini!"
Dia memaksa diri bangkit dari ranjang, pergi ke mejanya.
Dibolak-baliknya halaman-halaman sebuah dokumen tebal dan berkata, "Aku sedang
mempelajari sebuah traktat yang dipaksakan Inggris kepada kita, dan terus
menerus teralihkan oleh hal-hal yang muncul secara tak terduga."
Dengan lembut aku bertanya apakah aku dapat menolong.
Dilemparnya traktat tadi kepadaku. "Kau bakal muak setengah mati juga kalau
membacanya terlalu banyak."
Kupelajari dokumen itu tanpa beristirahat. Aku selalu ingin tahu apa yang
membuat orang-orang asing itu punya kekuatan untuk memaksa Cina melakukan apa
yang mereka inginkan, seperti membuka pelabuhan-pelabuhan serta menjual opium.
Mengapa, tanyaku pada diri sendiri, kita tak bisa mengatakan "tidak" dengan
tegas, lantas mengusir mereka semua" Kini aku mulai mengerti.
Mereka sama sekali tak menghormati Kaisar Cina. Agaknya sudah merupakan fakta
yang pasti bagi mereka bahwa Hsien Feng lemah dan tak berdaya. Namun demikian,
yang menurutku benar-benar tak masuk akal adalah cara pejabat Kerajaan
menanganinya. Mereka yang seharusnya adalah para pemikir kerajaan hanya sekedar
bersikeras bahwa peradaban lima-ribu-tahun-Cina adalah kekuatan itu sendiri.
Mereka percaya bahwa Cina tak dapat dijatuhkan. Berkali-kali kudengar mereka
berseru dalam tulisan mereka: "Cina tak mungkin kalah, karena Cina mewakili
moral dan nilai-nilai Langit!"
Tetapi kenyataannya begitu jelas, hingga bahkan aku dapat melihatnya: Cina
diserang berulang kali dan Kaisarnya dipermalukan.
Aku ingin berteriak kepada mereka. Sudahkah Kaisar Hsien Feng mendekritkan
kekuatan untuk menghentikan serbuan asing atau mempersatukan para petani"
Bukankah Yang Mulia sudah memberi waktu yang cukup bagi rencana-rencana gaib
para penasihatnya itu agar bisa berhasil"
Aku memerhatikan suamiku, siang dan malam, saat dia mempelajari traktat-traktat
itu. Setiap kalimat menyiksanya. Otot-otot wajahnya mengejang, begitu juga
jemarinya, dan dia menekan perutnya dengan dua tangan seolah ingin mencabut
keluar ususnya. Dimintanya aku memanaskan tehnya hingga betul-betul mendidih, dan menuangkan
air yang jelas membuat melepuh itu ke kerongkongannya. "Paduka merebus diri sendiri!" jeritku.
"Ini bisa membantu," katanya dengan mata letih.
Aku bersembunyi di WC dan menangis setiap kali merebus teh Hsien Feng. Kulihat
rasa sakitnya datang lagi, setiap dia kembali bekerja.
"Harus kuapakan semua kekacauan ini?" ujarnya setiap malam sebelum tidur.
"Esok hari si ayam jantan akan berkokok lagi dan sinar matahari akan membawa
perubahan," kubantu dia masuk ke dalam lapisan seprai.
"Aku sudah tak tahan lagi mendengar kokok ayam itu," katanya.
"Sebenarnya, sudah beberapa lama aku tak mendengar suaranya. Aku mendengar
tubuhku mulai padam perlahan. Kudengar leherku berderik setiap kali menengok.
Jari-jari tangan dan kakiku terasa seperti kayu.
Lubang-lubang di paru-paruku agaknya bertambah besar. Rasanya seperti ada
bekicot parkir di sana."
Tetap saja kami harus menampilkan peran terhormat itu.
Selama Kaisar Hsien Feng masih hidup, dia harus tetap menghadiri audiensi. Aku
tak makan dan tidur supaya bisa membaca dokumen-dokumen itu dan memberikan
ringkasannya pada Kaisar. Aku ingin menjadi leher, jantung, dan paru-parunya.
Aku ingin dia bisa mendengar lagi kokok ayam di pagi hari dan merasakan
hangatnya sinar matahari. Saat aku bersama dengan Yang Mulia, dan ketika dia
sudah mendapat cukup istirahat, aku akan bertanya macam-macam hal. Aku
menanyakan asal-usul candu. Sebab menurut penglihatanku kehancuran Dinasti Ching
dimulai pada detik dimulainya impor candu.
Aku mengetahui sebagian ceritanya, sebagian lagi tidak.
Yang Mulia menjelaskan bahwa penyerangan itu dimulai pada tahun keenam belas
dari pemerintahan ayahnya, Kaisar Tao Kuang.
"Meskipun Ayah melarang opium, tetapi menteri-menteri yang korup dan para
pedagang berhasil menjalankan bisnis rahasia. Pada tahun 1840, keadaan sudah
menjadi demikian tak terkendali sehingga setengah dari Istana adalah pecandu
atau pendukung kebijakan yang melegalkan candu, atau keduanya. Dalam kemurkaan,
Ayah menyuruh habisi opium sekali dan selamanya. Beliau memanggil menterinya
yang paling terpercaya untuk menangani hal tersebut..." Berhenti sejenak, Yang
Mulia melihat padaku. "Kau tahu namanya?"
"Komisaris Lin?"
Yang Mulia menatapku dengan penuh sayang ketika aku menceritakan bagian
kesukaanku dan cerita Lin Tse-shu, yaitu ketika dia menangkap ratusan pedagang
opium dan menyita lebih dari seratus ribu pon opium selundupan. Yang Mulia bukan
tak tahu detail-detail itu. Aku hanya merasa bahwa dia akan senang mendengarkan
momen itu kembali hidup lewat penuturanku. "Atas nama Kaisar, Lin menetapkan
sebuah tanggal tenggat dan memerintahkan agar semua pedagang asing menyerahkan
candu mereka." Suaraku sejernih juru dongeng profesional. "Tetapi dia tak
diacuhkan. Tak mau menyerah, Komisaris Lin mengumpulkan semua candu itu dengan
paksa. Pada 22 April 1840 Lin membakar dua puluh ribu peti opium. Dia mengumumkan bahwa Cina
akan berhenti berdagang dengan Kerajaan Inggris."
Kaisar Hsien Feng mengangguk. "Menurut Ayah, sumur pembakaran itu ukurannya
sebesar sebuah danau. Lin benar-benar seorang pahlawan!"
Tiba-tiba kehabisan napas, Yang Mulia memukuli dadanya, terbatuk dan jatuh ke
atas bantal. Matanya terkatup. Ketika dia membukanya lagi, dia bertanya, "Apa
ada sesuatu yang terjadi dengan si ayam jantan" Kemarin Shim bilang penjaga
melihat musang." Aku memanggil An-te-hai dan kaget setengah mati saat diberi tahu bahwa ayam
jantan itu menghilang. "Seekor musang menerkamnya, Gusti Putri. Aku melihatnya sendiri tadi pagi.
Musang gemuk sebesar bayi babi!"
Kukatakan pada Yang Mulia tentang ayam jantan itu, dan air mukanya berubah
menggelap. "Pertanda dari Langit sudah muncul semua. Hanya dengan satu sentuhan
jari, dinasti ini akan musnah."
Dia menggigit bibir bawahnya dengan sedemikian keras hingga berdarah. Paru-
parunya mengeluarkan suara mendesis.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemarilah, Anggrek," katanya. "Aku ingin mengatakan sesuatu."
Aku duduk di dekatnya, perlahan.
"Kau harus mengingat hal-hal yang sudah kukatakan kepadamu," ujarnya. "Kalau
kita punya anak lelaki, aku ingin kau mewariskan kata-kataku kepadanya."
"Ya, akan kulakukan." kuambil kaki Yang Mulia dan kucium.
"Kalau kita punya anak lelaki."
"Katakan ini kepadanya." Dia berjuang untuk mengeluarkan kata-kata itu dari
dadanya. "Setelah apa yang dilakukan Komisaris Lin, orang-orang barbar itu
mengumumkan perang terhadap Cina. Mereka mengarungi samudra dengan enam belas
armada kapal bersenjata dan empat ribu prajurit."
Aku tak ingin dia terus bicara, maka kukatakan kepadanya bahwa aku tahu tentang
itu semua. Sewaktu dia tak memercayaiku, kuputuskan untuk membuktikannya.
"Kapal-kapal asing itu memasuki mulut sungai Mutiara dan menembaki pasukan pengawal
kita di Kanton," ujarku, mengingat-ingat apa yang pernah diceritakan Ayah.
Mata Yang Mulia menatap kosong. Biji matanya terpaku pada pahatan kepala naga
yang tergantung dan langit-langit. "Dua puluh tujuh Juli ... hari paling
menyedihkan dalam hidup Ayahku,"
gumamnya. "Itulah hari ... ketika orang-orang barbar menghancurkan angkatan laut
kita dan merampas Kowloon." Kaisar meringkuk dan batuk tanpa terkendali.
"Saya mohon berstirahatlah, Paduka."
"Biarkan aku menyelesaikannya, Anggrek. Anak kita harus tahu ini ... Dalam
beberapa bulan berikutnya orang-orang barbar itu merebut pelabuhan Amoy, Chou
Shan, Ningpo, dan Tianghai... Tanpa henti ..."
Aku menyelesaikannya untuknya. "Tanpa henti, orang-orang barbar itu terus menuju
Tientsin dan merebut kota itu."
Kaisar Hsien Feng mengangguk.
"Kau sudah mengingat semua fakta itu dengan sangat baik, Anggrek, tetapi aku
ingin menceritakan sedikit tentang Ayah. Saat itu usianya enam puluhan.
Sebelumnya dia selalu sehat, tetapi berita buruk itu menghancurkannya, lebih
parah daripada yang bisa dilakukan penyakit apa pun. Air matanya tak punya
kesempatan untuk mengering ... Mata Ayah tak tertutup saat beliau wafat. Aku
anak tak berguna dan tak bisa melakukan apa pun untuknya kecuali menambahi
aibnya ..." "Sudah larut, Yang Mulia." Aku bangkit dari pembaringan, mencoba
menghentikannya. "Anggrek, aku khawatir kita takkan punya kesempatan lagi." Dia menyambar kedua
tanganku dan meletakkannya di atas dadanya.
"Kau harus percaya kepadaku saat kukatakan bahwa aku sudah setengah jalan menuju
kuburku. Aku kerap melihat Ayah akhir-akhir ini ... jauh lebih kerap ketimbang
biasanya. Matanya bengkak dan merah, sama besarnya dengan biji persik. Dia
datang guna mengingatkanku pada kewajibanku ... Semenjak aku kecil, Ayah selalu
mengajakku bila dia tengah mengadakan audiensi. Aku ingat betapa pembawa berita
masuk dengan jubah mereka basah oleh keringat.
Kuda-kuda yang mereka naiki mati kelelahan. Begitu banyak berita buruk. Aku
ingat suara menggema yang ditimbulkan oleh para pembawa pesan. Mereka memekikkan
pesan-pesan tersebut seolah itu adalah pesan terakhir dalam hidup mereka: 'Pao
Shan jatuh!' 'Shanghai jatuh!' 'Chiang Nin jatuh!' 'Hangchow jatuh!'
"Sebagai bocah, aku menggubah sebuah sajak yang berima dengan kata 'jatuh.' Ayah
hanya bisa tersenyum pahit. Saat dia sudah tak mampu menahankannya lagi, dia
akan mendadak mundur di tengah suatu audiensi. Berhari-hari dan berjam-jam Ayah
berlutut di hadapan potret Kakek. Dikumpulkannya kami semua, semua anak, istri,
dan selirnya, di Balairung Pemeliharaan Jiwa. Lantas diakuinya tentang
kegagalannya. Saat itu adalah momen setelah Cina menandatangani traktat itu,
yang memuat tentang pembayaran ganti rugi perang pertama Cina terhadap Inggris.
Jumlahnya 21 juta tael. Inggris juga menuntut kepemilikan atas Hong Kong selama 100 tahun.
Sejak saat itu, para pedagang asing leluasa datang dan pergi sesukanya. Ayah
meninggal di pagi hari tanggal 5 Januari 1850. Gusti Putri Jin kesulitan
mengatupkan kelopak mata Ayah. Seorang rahib memberi tahu aku bahwa ketenangan
jiwa Ayah terganggu, dan sebelum aku membalaskan dendam terhadap musuhnya beliau
takkan pernah bisa beristirahat dengan tenang."
Setengah tertidur, suamiku melanjutkan cerita sedihnya. Dia bicara tentang
pemberontakan Taiping, yang pecah sebulan setelah dia naik takhta. Dia
menggambarkannya sebagai rentetan peledak yang mencelat dari satu provinsi ke
provinsi lainnya, melintasi negeri hingga bahkan sampai ke Chihli.
"Sebuah luka menganga yang takkan sembuh. Inilah yang kuwarisi dari Ayah. Luka
menganga. Aku tak ingat lagi berapa banyak perang yang sudah kuumumkan dan
berapa jenderal yang kupancung karena tak bisa membawakan kemenangan untukku."
Sepanjang malam suamiku tidur gelisah, berteriak, "Langit, tolong aku!"
Aku hanya tidur sedikit dan takut disuruh pergi. Aku sudah tinggal dengan Yang
Mulia selama berbulan-bulan, menjadi satu-satunya temannya. Dia membuat kamar
tidur kami menjadi kantornya, mengonsep surat-surat dan keputusan selama berjam-
jam. Aku menghancurkan tinta untuknya dan menjaga agar tehnya tetap panas. Dia begitu
lemah sehingga akan tertidur saat tengah menulis.
Saat kulihat dagunya tertunduk, kuambil kuas dan tangannya agar dia tak
merusakkan dokumen itu. Sesekali aku terlambat, dan akan ada noda
tinta yang lebar pada kertas jerami itu. Untuk menyelamatkannya aku akan mengambil sehelai kertas yang masih bersih dan
menyalin kata-katanya, meniru gaya kaligrafinya - dan lama-lama menjadi ahli.
Ketika Kaisar terbangun, dia takkan sadar bahwa kertas di mejanya itu bukan yang
asli, dan tak mau percaya kepadaku sampai kuperlihatkan surat asli yang telah
rusak. Kami berhasil berbagi keintiman, dan dia bersikap penuh perhatian serta
keterlibatan. Akan tetapi setelah selesai dia akan kembali merasa frustrasi.
Katanya tak satu kabar baik pun datang dari anak buahnya selama setahun penuh.
Sikapnya jadi getir. Tak peduli betapa pun kerasnya dia bekerja, dia yakin Cina
takkan bisa diselamatkan lagi. "Dikutuk oleh nasib," katanya. Dia mulai
membatalkan audiensi-audiensi. Menarik diri, dia menghabiskan makin banyak waktu
berkhayal bahwa dia adalah Kaisar di masa yang berbeda. Seulas sorot kerinduan
sayu menyapu matanya saat dia menggambarkan lamunannya.
Aku jadi gugup setengah mati saat melihat dokumen yang datang semakin menumpuk.
Aku tak bisa menikmati perhatiannya saat aku tahu persis bahwa ada sederetan
Menteri dan jenderal yang menunggu perintah. Aku ngeri akan dituding sebagai
orang yang bertanggung jawab - si selir yang Kaisar. Aku memohon pada Hsien Feng
agar mau melanjutkan tugasnya.
Saat usahaku gagal, kuambil dokumen-dokumen itu dan mulai membacakan untuknya.
Kubacakan pertanyaan demi pertanyaan dari surat-surat itu keras-keras. Hsien
Feng hanya harus memikirkan jawabannya, dan aku akan menuliskannya dengan
sebatang kuas merah. Lan dalam nada ketiga1 berarti "Sudah kuperiksa." Chi-tao-
le berarti "Sudah jelas bagiku." Kai-pu-chih-tao artinya "Bagian ini sudah jelas
bagiku". Dan Yi-yi berarti "Kau mendapat izinku untuk melanjutkannya." Hsien
Feng akan memeriksa apa yang kutulis lantas menandatanganinya.
Dia mulai menikmati ini. Dipujinya kemampuanku dan kecepatanku berpikir. Dalam
waktu beberapa minggu saja aku menjadi sekretaris tak resmi Kaisar Hsien Feng.
Aku memeriksa semua yang datang di mejanya. Aku jadi amat mengenal cara berpikir
dan gaya berdebatnya. Akhirnya aku dapat menyusun surat yang sangat serupa
dengan gayanya sehingga bahkan Hsien Feng sendiri pun tak dapat melihat
perbedaannya. Selama hari-hari musim panas sangat sulit bagiku untuk menghindari menteri-
menteri yang berseliweran masuk ke kamar Kaisar, karena kami sengaja membiarkan
pintu terbuka untuk memasukkan udara sejuk. Guna menghindari kecurigaan, Yang
Mulia menyuruhku menyamar menjadi 'petugas tinta'.
Kusembunyikan rambutku yang panjang di bawah sebuah topi dan mengenakan jubah
yang sederhana, berpura-pura menjadi orang kasim yang menghancurkan tinta untuk
Kaisar. Benar saja, tak ada 1 Bahasa Cina dalam dialek Beijing (Peking) memiliki
lima nada yang akan membedakan arti sebuah huruf yang sama cara membacanya Lima
nada ini membuat dialek Beijing lebih canggih dan kaya daripada dialek lain -
penerj yang memerhatikanku, pikiran para menteri itu begitu penuhnya sehingga
mereka mengabaikanku begitu saja.
Sebelum musim panas berakhir, kami meninggalkan Yuan Ming Yuan dan kembali ke
Kota Terlarang. Dengan kegigihanku akhirnya Hsien Feng bisa bangun tidur sebelum
fajar lagi. Setelah mandi dan berdandan kami akan minum teh dan semangkuk bubur
kacang merah dengan wijen dan biji lotus. Kemudian kami naik tandu yang terpisah
ke Balairung Pemeliharaan Jiwa. Istana sudah menyadari gawatnya sakit Hsien Feng
- mereka tahu bahwa jantung serta paru-parunya lemah, dan suasana hatinya yang
suram menguras semua tenaganya - serta menerima usulnya agar aku boleh
menemaninya bekerja. Hanya perlu setengah menit saja berjalan kaki dari kamar kami ke kantor, tetapi
tata krama mesti tetap diikuti - seorang Kaisar tak pernah berjalan di atas
kakinya sendiri. Untukku ini benar-benar pemborosan waktu, tetapi segera aku
mengerti betapa pentingnya arti ritual bagi para Menteri dan rakyat. Berdasarkan
gagasan bahwa jarak menciptakan mitos, dan mitos membangkitkan kekuasaan,
efeknya adalah memisahkan para bangsawan dan rakyat jelata.
Seperti ayahnya, Hsien Feng sangat keras dalam hal ketepatan waktu Menteri-
menterinya, tetapi untuk dirinya sendiri tidak begitu adanya. Pikiran bahwa
setiap orang di Kota Terlarang hidup untuk melayani kebutuhannya terus-menerus
diperkuat sejak dia masih bocah. Hsien Feng menuntut kesetiaan, dan hanya punya
sedikit kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Dia akan mengatur jadwal
kehadirannya pada pagi buta, tak peduli bahwa orang yang dipanggil akan terpaksa
berangkat tengah malam. Tak pernah ada waktu yang jelas disebutkan untuk rapat
dan pertemuan serupa ini. Kenyataanya, tak semua janji pertemuan bisa
dipenuhinya. Ketika situasi menjadi rumit dan jadwal semula ditunda atau malah
dibatalkan, para pejabat tertinggal kebingungan, dan harus menunggu nyaris
selamanya. Ada yang menunggu selama berminggu-minggu, hanya untuk pada akhirnya
diberitahu agar pulang ke rumah.
Saat Yang Mulia menyadari bahwa dia membatalkan terlalu banyak janji, dia
membujuk orang-orang yang kecewa itu dengan hadiah dan tandatangannya. Satu
kali, ketika hujan turun deras dan pakaian semua orang yang dipanggil itu
menjadi basah kuyup setelah menempuh perjalanan semalaman, Hsien Feng
menghadiahi mereka dengan dua bal satin dan sutra untuk membuat pakaian baru.
---oOo--- Aku duduk di samping Yang Mulia selama dia bekerja. Ruangan yang digunakan
adalah ruang istirahat yang berada di belakang ruang singgasana. Sekarang tempat
itu disebut Perpustakaan karena kehadiran rak-rak buku yang merentang dari
dinding ke dinding serta menjulang dari lantai ke langit-langit. Di atas
kepalaku ada sebuah piringan berukir huruf Cina sangat besar, Jujur dan Tulus.
Dari luar agak sulit untuk menentukan besar gedung ini, yang jauh lebih besar
daripada yang pernah kubayangkan. Dibangun pada abad kelima belas, tempat ini
cukup dekat dengan Istana Ketentraman Penuh Kebajikan, tetapi masih dalam
wilayah Gerbang Keadilan Kekaisaran, Gerbang Kemuliaan Penuh Kebajikan dan
Gerbang Kekayaan yang Terpelihara. Yang terakhir ini membuka menuju sekelompok
area tinggal yang besar serta gedung-gedung samping tempat tinggal para pejabat
kekaisaran. Tempat ini juga dekat dengan Dewan Agung, yang fungsinya semakin penting akhir-
akhir ini. Dari sini Kaisar bisa memanggil para penasihatnya untuk mendiskusikan
pekerjaan kapan saja. Yang Mulia biasanya lebih senang menerima menteri-
menterinya di ruang utama Balairung Pemeliharaan Jiwa. Untuk membaca, menulis,
atau menerima teman-teman terpercaya dia akan menggunakan sayap Barat. Sayap
Timur telah ditata ulang selama musim panas dan telah menjadi kamar tidur kami
yang baru. Bagi banyak orang, diizinkan beraudiensi dengan Kaisar adalah kehormatan seumur
hidup. Hsien Feng harus tetap mempertahankan ini. Detail upacara tak ada habis-
habisnya. Semalam sebelum audiensi para kasim harus membersihkan istana sebaik-
baiknya. Seekor lalat yang terbang mendengung bisa menjadi sebab sebuah
pemancungan! Ruang singgasana diharumkan dengan dupa dan wangi-wangian.
Tikar-tikar tempat berlutut harus dibentangkan dengan benar.
Sebelum tengah malam, para pengawal datang dan memeriksa setiap inci ruangan.
Pukul dua pagi, menteri-menteri atau jenderal yang dipanggil akan dikawal
melalui Gerbang Kemurnian Langit. Mereka harus berjalan cukup jauh untuk
mencapai Balairung Pemeliharaan Jiwa. Sebelum dibawa ke ruang singgasana, mereka
diterima di ruang tamu sayap Barat. Pejabat Istana urusan pendaftaran akan
melayani mereka. Yang disuguhkan hanya teh. Pada saat Kaisar naik tandunya,
mereka akan diberi tahu dan disuruh berdiri menghadap ke Timur sampai Yang Mulia
tiba. Sebelum Kaisar turun dari tandu, akan ada tiga kali detar cambuk - tanda untuk
tenang. Pada saat cambuk berbunyi, semua orang harus segera berlutut. Orang-
orang berbaris sesuai kedudukan mereka. Para penasihat agung, Pangeran, dan
bangsawan lain menempati barisan pertama. Saat Kaisar duduk, semua orang harus
kowtow sembilan kali, kening menyentuh lantai.
Hsien Feng tak suka bekerja di ruang singgasana karena singgasananya tak nyaman
diduduki. Singgasana itu merupakan sebuah karya ukir kayu yang menakjubkan,
terdiri dari banyak sekali kelompok naga. Audiensi bisa berlangsung berjam-jam,
dan saat berakhir Hsien Feng sering kali jadi sakit punggung.
Ruang singgasana ini mirip galeri, setiap benda dipajang.
Singgasana terletak di atas sebuah panggung tinggi dengan tangga berderet di
kedua sisinya. Di belakang singgasana terdapat tiga set panel kayu ukir, masing-
masing dihiasi dengan naga-naga keemasan.
Panggung ini memungkinkan Kaisar untuk menatap mata lebih dari 100 pejabat.
Audiensi dimulai dengan naiknya pelapor pertama yang dipanggil melalui tangga
Timur, dan mempersembahkan sebuah buku penuh berisi catatan.
Kaisar Hsien Feng takkan menyentuh buku itu. Sekertarisnyalah yang akan
mengambil dan meletakkannya di kotak kuning dekat singgasana. Kaisar akan
mengacu pada buku itu sekiranya diperlukan nanti. Orang yang menghadap tadi akan
turun dari panggung melalui tangga Barat, kembali ke tikarnya, dan diizinkan
untuk menyampaikan urusannya. Setelah dia selesai dengan petisinya, Kaisar akan
memberikan komentar. Biasanya Hsien Feng akan mengadakan diskusi di antara para penasihat agung,
Pangeran dan para pejabat bangsawan. Mereka akan memberikan pandangan, berusaha
mengajukan pilihan terbaik.
Kadang-kadang pilihan kata mereka menjadi tajam dan temperamen mereka meninggi.
Satu kali seorang Menteri bahkan meninggal mendadak karena serangan jantung di
tengah-tengah argumen. Si pelapor tak boleh bicara apa pun sebelum ditanya. Baru
setelah itu dia akan menjawab sesuai yang ditanyakan, selalu dengan sikap penuh
hormat dan menjaga jarak. Setelah kesimpulan diambil, Kaisar Hsien Feng siap
mengeluarkan dekrit. Seorang sarjana Istana berkedudukan tertinggi akan
diperintahkan menulis draf dekrit itu dalam dua bahasa, Cina dan Manchu. Lalu
pelapor berikutnya akan dipanggil. Hal ini akan berlangsung terus hingga tengah
hari. Aku lebih tertarik mendengar apa yang terjadi di pedesaan daripada mendengarkan
omongan para Menteri yang tak pernah menjejakkan kaki di luar Peking. Aku selalu
merasa bahwa sebagian besar diskusi tersebut membosankan dan pemecahannya
seringkali tak menggunakan akal sehat. Aku takjub melihat perbedaan antara para
Pangeran Kekaisaran, pejabat bangsawan Manchu dan para gubernur serta jenderal,
terutama orang Cina Han, yang menebarkan bau mesiu. Aku terkesan akan orang-
orang Cina itu, karena mereka menyuntikkan seulas warna realitas. Para pejabat
Manchu senang berdebat tentang ideologi. Mereka meneriakkan slogan-slogan
patriotik layaknya anak sekolah. Para pejabat Han memilih diam ketika ada
konflik di Istana Manchu ini. Apabila mereka ingin menyatakan suatu pendapat,
mereka menekankannya tanpa emosi berapi-api, memberikan semata-mata fakta untuk
Kaisar dan para pejabatnya.
Setelah mengikuti beberapa audiensi, aku melihat bahwa orang Cina tidak berusaha
untuk menentang Kaisar. Kalau permohonan mereka ditolak, mereka akan menerimanya
dengan rendah hati. Seringkali mereka akan tetap melaksanakan perintah Kaisar walaupun mereka tahu
bahwa itu tidak akan ada gunanya. Setelah ribuan nyawa hilang, orang-orang Han
itu akan kembali dengan membawa data jumlah korban, berharap Kaisar akan
mempertimbangkan kembali usul mereka. Ketika Kaisar akhirnya mengizinkan, mereka
akan sedemikian leganya sampai menangis. Aku amat terharu melihat kesetiaan
mereka, berharap Hsien Feng akan lebih mendengarkan para pejabat Cina Han ini
ketimbang para bangsawan Manchu.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapapun, aku mulai mengerti mengapa Kaisar bersikap seperti itu. Lebih dari
sekali dia mengatakan kepadaku bahwa hanya seorang Manchu yang bisa setia
sepenuhnya kepada Dinasti Ch'ing. Dia selalu berpihak kepada pejabat Manchu bila
ada perbedaan pendapat. Dia menghargai hak khusus ras yang tengah berkuasa itu,
dan menunjukkan dengan jelas pada seluruh Kekaisaran bahwa seorang Menteri
berdarah Manchulah yang akan pertama-tama dia percayai.
Selama berabad-abad para Menteri Cina telah berhasil bertahan dalam keadaan yang
memalukan ini. Aku kagum pada kekuatan batin serta kesabaran mereka.[]
Dua belas DALAM MEMBANTU KAISAR HSIEN FENG, aku jadi sangat mengenal dua orang yang sangat
berpengaruh di Istana, namun memiliki pandangan yang berseberangan dengan itu.
Yang seorang adalah Su Shun, Ketua Dewan Agung. Yang lain adalah Pangeran Kung,
saudara tiri Kaisar. Su Shun adalah seorang Manchu yang angkuh dan ambisius berusia empat puluhan.
Tinggi besar, mata lebar dan hidung tipisnya yang agak melengkung mengingatkanku
pada seekor burung hantu.
Alisnya yang lebat itu tak rata, yang satu lebih tinggi dari yang lain.
Dia terkenal akan kecerdasannya serta sifatnya yang gampang meledak. Dia
mewakili golongan konservatif di istana. Suamiku menyebutnya "pedagang yang
menjual gagasan-gagasan fantastis."
Aku mengagumi keahlian Su Shun menyampaikan pidato-pidato yang penuh semangat.
Dia mengambil contoh dari sejarah, filsafat, bahkan opera klasik. Aku sering
berpikir, Adakah yang tak diketahui orang ini"
Detail adalah spesialisasi Su Shun, dan dia adalah juru dongeng yang hebat.
Keahlian dramatisnya semakin menambah hal ini. Hanya dengan mendengarkan
suaranya, saat duduk di belakang tirai, aku kerap terpengaruh oleh kata-katanya,
meskipun saat aku tak setuju dengan pandangan politiknya. Untuk kalangan istana,
Su Shun adalah semacam kamus hidup dari 5000 tahun peradaban Cina. Luasnya
pengetahuannya tak tersaingi, dan dia adalah satu-satunya menteri yang sanggup
berbicara Manchu, Mandarin, serta Cina kuno dengan fasih. Su Shun memiliki
popularitas tinggi di antara klan-klan Manchu, tempat pandangan anti-orang
barbarnya mendapat dukungan luas.
Sebagai cucu ketujuh dari seorang bangsawan dan keturunan pendiri Wangsa Ch'ing,
Nurhachi, Su Shun punya koneksi dengan orang-orang kelas atas. Kekuasaannya juga
terletak pada pertemanannya dengan orang-orang yang berpengaruh, banyak di
antaranya adalah bangsa Cina Han yang kaya raya. Sejak muda, dia sudah banyak
mengadakan perjalanan. Seleranya yang luas memungkinkannya untuk berkomunikasi
secara efektif di banyak kalangan. Dia juga terkenal memiliki ketertarikan
khusus pada seni antik. Su Shun adalah pemilik beberapa kuburan kuno di Hsian,
tempat Kaisar pertama Cina konon dikuburkan.
Su Shun dikenal sebagai orang yang murah hati dan setia pada negara. Ada sebuah
cerita tentang sepak terjangnya saat dia baru pertama kali bekerja di istana
sebagai asisten pegawai rendahan: dia menjual perhiasan ibunya agar bisa
mengadakan pesta untuk teman-temannya. Belakangan aku tahu bahwa Su Shun
memanfaatkan pesta-pesta royal ini untuk mengumpulkan informasi tentang segala
aspek kehidupan - mulai dari gosip tentang aktor paling populer di Peking hingga
siapa saja yang menyembunyikkan emas terbanyak di pekarangan belakangnya, dari
reformasi militer sampai perkawinan politik.
Promosi Su Shun menjadi tangan kanan Kaisar Hsien Feng dewasa ini berasal dari
kejengkelan Yang Mulia pada birokasi Istana.
Para pejabat Istana demikian korupnya sehingga yang mereka lakukan hanyalah
duduk-duduk mengandalkan gelar dan makan gaji buta.
Banyak dari antara mereka merupakan keturunan para bangsawan yang telah
bertempur di bawah pimpinan pangeran-pangeran yang memiliki kekuasaan besar;
yang lain adalah orang-orang kaya bangsa Manchu yang berasal dari kalangan bawah
tetapi berhasil mendapatkan posisi mereka karena rajin memberi 'sumbangan' pada
gubernur-gubernur Provinsi. Bersama-sama mereka membentuk kaum elite yang
menjalankan Istana, dan selama bertahun-tahun menggerogoti kas Negara. Saat
Negara tengah sengasara secara ekonomi, orang-orang ini terus saja bertambah
makmur. Ketika Kaisar Hsien Feng menyadari dalamnya masalah, dia menaikkan
jabatan Su Shun untuk "membersihkan reruntuhan."
Su Shun sangat efektif dan tak kenal ampun. Dia berkonsentrasi pada satu kasus
korupsi yang amat jelas yang menyangkut ujian pegawai Kekaisaran. Ujian ini
diadakan setahun sekali dan diikuti ribuan orang dari seluruh penjuru negeri.
Dalam laporannya pada Kaisar, Su Shun mendakwa lima hakim tinggi menerima uang
suap. Masih dalam laporannya, dia menampilkan 91 kasus penyelewengan hasil tes yang di
antaranya membuat keabsahan juara pertama tahun lalu dipertanyakan. Untuk
memperbaiki reputasi para pegawai negeri, Kaisar memerintahkan agar kelima hakim
serta juara tahun lalu itu dipenggal. Rakyat amat bergembira akan keputusan ini,
dan Su Shun menjadi buah bibir masyarakat.
Hal lain yang dilakukan Su Shun membuat dia makin dihormati.
Dia membawa para bankir yang membuat uang palsu ke pengadilan.
Salah satu dari para pesakitan itu kebetulan adalah sahabatnya sendiri, Huang
Shan-li. Huang pernah menyelamatkan Su Shun dari dibunuh seorang lintah darat
kejam, dan setiap orang meramalkan bahwa Su Shun pasti akan mencari jalan untuk
membebaskan temannya. Akan tetapi Su Shun menunjukkan bahwa kesetiaan
tertingginya hanyalah untuk Kaisar.
Orang lain yang pendapatnya dihargai oleh Kaisar adalah Pangeran Kung. Satu kali
dengan pahit Kaisar pernah mengakui padaku bahwa kemampuannya sama sekali tak
bisa sebanding dengan Pangeran Kung. Saudara tirinya yang lain, Pangeran Ts-eng
dan Pangeran Ch'un, juga tak ada apa-apanya dibandingkan Kung. Ts'eng dikenal
sebagai "pecundang yang selalu mengira dirinya adalah pemenang," sedangkan Ch'un
"jujur, tetapi tak terlalu cerdas".
Awalnya aku tidak setuju dengan suamiku. Keseriusan Pangeran Kung serta sifatnya
yang suka membantah bisa menjauhkan orang.
Tetapi semakin aku mengenal Kung, pendapatku tentangnya perlahan berubah. Lelaki
ini sangat menyukai tantangan. Kaisar Hsien Feng terlalu rapuh, sensitif, dan di
atas segalanya, sangat tak percaya diri.
Memang tak semua orang bisa melihat ini, karena dia biasanya menyembunyikan rasa
takutnya di bawah lapisan keangkuhan dan ketegasan. Kalau harus menghadapi
kekalahan, Hsien Feng adalah fatalis - menyerah total pada nasib. Adiknya melihat
dunia dengan lebih optimistis.
Aneh rasanya menghabiskan waktu dengan kedua lelaki ini.
Seperti juga jutaan gadis lain di Cina, aku tumbuh dengan mendengarkan cerita
tentang kehidupan pribadi mereka. Sebelum Encik Fann menceritakan detailnya, aku
sudah tahu garis besar kisah kematian
tragis Permaisuri Chu An. Ketika Hsien Feng menggambarkannya padaku dalam kata-katanya sendiri, semuanya terasa datar,
bahkan dibuat-buat. Dia tidak memiliki kenangan tentang ucapan selamat tinggal
antara dia dan ibunya. "Tak ada kasim yang memegang tambang sutra, meminta Ibu
cepat-cepat." Nada suara Yang Mulia datar dan tak terganggu sama sekali. "Ibu
menidurkanku, dan saat aku bangun dia sudah meninggal. Aku tak pernah melihatnya
lagi." Untuk Kaisar Hsien Feng, tragedi tersebut adalah jalan hidup, sedangkan untukku
tragedi itu adalah opera yang sedih. Bocah kecil Hsien Feng pasti telah
mengalami penderitaan luar biasa, dan sebagai lelaki dewasa pun dia masih terus
menderita, tetapi dia tak pernah membiarkan dirinya untuk benar-benar merasakan
hal ini; Barangkali karena dia tak bisa lagi merasakannya.
Suatu kali Kaisar pernah mengatakan kepadaku bahwa Kota Terlarang tak lebih dari
sebuah gubuk jerami yang terbakar di tengah padang nan luas.
---oOo--- Para penandu perlahan mendaki bukit-bukit itu. Di belakang kami, orang-orang
kasim membawa sapi, seekor kambing, dan kijang yang diikat dengan tambang. Jalan
setapak itu terjal. Sesekali kami harus turun dari kursi dan berjalan. Setelah
tiba di situs leluhur, para kasim mendirikan altar dan meletakkan dupa, makanan,
serta anggur. Kaisar Hsien Feng membungkuk ke arah langit dan mengulangi monolog
yang sama yang sudah pernah diucapkannya berkali-kali.
Berlutut di sampingnya, kusentuhkan kening berkali-kali ke tanah, berdoa semoga
ayah Kaisar akan memperlihatkan rasa iba.
Belum berapa lama berselang, Hsien Feng ingin menggunakan merpati An-te-hai
untuk mengirimkan pesan kepada ayahnya di Surga.
Disuruhnya kasimnya untuk mengganti peluit di kaki burung dengan surat kepada
ayahnya, yang secara cermat ditulis olehnya sendiri.
Tentu saja, semua ini tak membuahkan hasil.
Aku berharap Kaisar akan bisa memusatkan tenaganya pada cara-cara yang lebih
praktis. Kembali dari Kuil, dikatakannya padaku bahwa dia ingin mengunjungi
adiknya, Pangeran Kung, di rumahnya, Taman Kecerdasan, sekitar dua mil jauhnya
dari jalur yang kami lalui.
Hal ini nyaris membuatku berpikir bahwa arwah ayahnya tengah bekerja. Aku
bertanya apakah aku boleh ikut, dan ketika dia mengizinkan, aku sangat gembira.
Aku sudah sering melihat Pangeran Kung tetapi belum pernah berbicara dengannya.
---oOo--- Tandu Hsien Feng sama besarnya dengan sebuah kamar. Sisi-sisinya terbuat dari
satin berwarna matahari. Di dalam situ kami bagaikan bermandi cahaya kuning
lembut. Aku senang karena perjalanan kami mengangkat Kaisar dari rasa tertekannya. Yang
Mulia memujiku atas tingkah lakuku yang menyenangkan. Tetapi segala sesuatu
mengenaiku tidak seperti yang terlihat. Di luar aku menyenangkan, kuat, dan
percaya diri, tetapi di balik topeng ini aku merasa terkucil, tegang, dan - dengan
cara yang tak jelas tetapi sangat nyata - aku amat tak puas. Rasa takut selalu
mencengkeramku, dan aku selalu berpikir tentang para sainganku.
Berapa lama lagi, tanyaku sendiri, sebelum orang lain merebut tempatku" Wajah-
wajah mereka yang diasamkan rasa cemburu menggantung di sekitarku laksana kabut
musim dingin. Aku yakin sekali bahwa saingan-sainganku mengirimkan mata-mata untuk
mengawasiku. Mata-mata itu mungkin saja adalah salah seorang dari pelayan Kaisar
sendiri. Sebuah skandal kecil bisa berakibat panjang. Untuk 3000 orang perempuan
di Kota Terlarang, aku adalah maling yang mencuri satu-satunya kuda jantan.
Akulah yang telah merampok mereka dari satu-satunya kemungkinan menjadi ibu dan
berbahagia. Hilangnya Salju, kucingku, adalah sebuah peringatan. An-te-hai menemukan si
Salju di sebuah sumur tak jauh dari puriku. Bulu-bulu putihnya yang indah itu
sudah dicabuti semua. Tak ada yang datang dan memberikan nama pembunuh si Salju,
dan tak seorang pun menunjukkan rasa simpati. Suatu kebetulan yang aneh bahwa
setelah itu ada tiga opera dipertunjukkan di Balairung Changyi yang Agung.
Apakah itu sebuah ungkapan kemenangan" Perayaan dan balas dendam" Aku adalah
satu-satunya selir yang tak diundang. Aku duduk sendirian di tamanku dan
mendengarkan musik yang melayang masuk di atas tembokku.
An-te-hai juga melaporkan suatu desas-desus lain. Seorang peramal mengunjungi
Istana dan meramalkan bahwa sesuatu yang amat mengerikan akan terjadi atas
diriku sebelum akhir musim dingin: saat tidur, aku akan dicekik sampai mati oleh
tangan-tangan hantu. Setiap kali berpapasan, ekspresi di wajah para wanita lain itu mengungkapkan
pikiran mereka. Mata mereka bertanya, "Kapan ya?"
Meskipun aku tak bermaksud buruk, aku ada pada posisi untuk mencelakai orang.
Aku terpojok, hanya punya pilihan antara menghancurkan hidup orang lain atau
membiarkan mereka menghancurkan hidupku.
Aku tahu persis apa yang diinginkan dariku. Tetapi maukah aku dengan suka rela
mengundurkan diri dari dekapan kasih sayang Yang Mulia" Sebelum aku menyogok
Kepala Kasim Shim, kasurku dingin beku selama berbulan-bulan. Aku menolak untuk
dengan ikhlas merayap masuk ke bawah selimut itu lagi.
---oOo--- Pada pelbagai audiensi, kutemukan bahwa pemecahan terbaik seringkali terdapat
pada kata-kata mereka yang datang untuk melaporkan kesulitan. Mereka telah
menghabiskan waktu mempelajari persoalan itu dan dapat mengemukakan beberapa
saran. Yang membuatku sebal adalah seringkali para Menteri menyembunyikan
pendapat asli mereka. Mereka mempercayakan pada Putra Surga untuk "melihat
masalah ini melalui mata seorang dewa".
Aku takjub karena Kaisar Hsien Feng percaya bahwa dirinya memang mata dewa.
Jarang sekali meragukan kebijaksanaannya sendiri, dia mencari berbagai pertanda
untuk membuktikan bahwa dirinya benar. Pertanda itu bisa berupa pohon yang
terbelah disambar kilat, atau bintang jatuh melintas di langit malam. Su Shun
mendukung keterpesonaan Hsien Feng pada dirinya sendiri ini, meyakinkan Kaisar
bahwa dia memang dilindungi Langit. Namun ketika hal-hal di luar Kota Terlarang
tidak berlangsung seperti harapan Hsien Feng, dia bertingkah seperti kantung air
yang bocor - rasa percaya dirinya tumpah keluar.
Kaisar goncang. Saat kebenaran dan pengertian dijauhkan dari dirinya, suasana
hatinya berganti-ganti lebih hebat. Satu menit dia bisa sangat tegas tentang
mengalahkan orang-orang barbar dan memerintahkan deportasi seorang duta besar
asing; menit berikutnya dia akan putus asa, setuju untuk menandatangani sebuah
traktat yang hanya akan membawa Cina lebih jauh terjerumus ke dalam bencana
ekonomi. Di hadapan publik aku mencoba mempertahankan ilusi tentang kekuasaan
suamiku. Tetapi aku tak bisa menipu diriku sendiri.
Di bawah gaun keemasanku aku adalah si Anggrek dari Wuhu. Aku tahu bahwa panenan
akan hancur saat hama belalang menyerbu.
Ketika audiensi-audiensi berlangsung mulus, Kaisar Hsien Feng akan mengatakan
kepadaku bahwa aku telah membantunya mendapatkan kembali kekuatan adikodratinya.
Padahal yang kulakukan hanyalah mendengarkan orang-orang seperti Su Shun dan
Pangeran Kung. Kalau saja aku seorang lelaki, dan bisa menjejakkan kaki di luar
Istana, aku akan pergi ke perbatasan, dan kembali membawa strategiku sendiri.
---oOo--- Di luar tandu kami tak ada yang terlihat kecuali bukit-bukit tandus.
Seraya menurunkan tirai, Yang Mulia bersandar pada bantalnya dan meneruskan
bicara tentang hidupnya. "Pemberontakan Taiping menyebabkan kerusakan di mana-
mana. Tak ada yang bisa kuandalkan, kecuali adikku. Kalau Pangeran Kung tak
dapat melakukannya, takkan ada orang lain yang bisa, itu aku tahu persis.
Di masa silam aku mempermalukan dia, sadar atau tidak; sekarang aku mengambil
setiap kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami. Ayah tidak memenuhi janjinya,
dan aku merasa ikut bersalah.
Kuanugerahi Pangeran Kung gelar tertinggi pada saat aku dinobatkan menjadi
kaisar. "Lalu aku menghadiahinya tempat yang paling baik di luar Kota Terlarang, seperti
yang nanti bisa kau lihat sendiri." Dia mengangguk.
"Kuberikan banyak sekali tael padanya, dan dia menggunakannya untuk memperbaiki
Istana itu. Aku menelantarkan adik-adikku yang lain, juga sepupu-sepupuku. Taman
Kecerdasan sama sekali tak kalah indah dengan istana mana pun yang ada dalam
lingkungan Kota Terlarang."
Aku bukan tak tahu apa saja yang sudah dilakukan Kaisar Hsien Feng untuk
adiknya. Agar Pangeran Kung merasa diterima, Hsien Feng mengabaikan tradisi
bahwa seorang Pangeran Manchu tak diperbolehkan memangku jabatan militer. Dia
menunjuk Kung sebagai Kepala Penasihat kabinet militer Kekaisaran. Kekuasan
Pangeran Kung sama besarnya dengan Su Shun. Mengabaikan segala protes Su Shun,
Yang Mulia juga membebaskan Pangeran Kung untuk memilih siapa saja yang
diinginkannya untuk bekerja bersamanya, termasuk ayah mertuanya sendiri,
Sekretaris Agung Kuei Liang, yang merupakan musuh besar Su Shun.
---oOo--- Kami mencapai Taman Kecerdasan tepat sebelum tengah hari.
Pangeran Kung dan fujinnya - bahasa Manchu untuk istri - sudah diberi tahu dan
menunggu kami di pintu gerbang. Kung tampak gembira bertemu abangnya. Dengan
usia dua puluh dua tahun, dia lebih muda dua tahun daripada Hsien Feng. Tinggi
keduanya kurang lebih sama.
Aku mendeteksi kecergasan Pangeran Kung saat dia melirik cepat ke arahku. Itu
lirikan mempelajari, tanpa disertai perasaan. Kurasakan kecurigaan dan
kesangsiannya. Tak salah lagi, dia pasti bertanya-tanya mengapa abangnya tak mau
melepaskanku, apalagi dengan serunya desas desus yang beredar.
Sesuai tradisi, Pangeran Kung melaksanakan serangkaian ritual penyambutan.
Bagiku hal itu terkesan kurang akrab. Mereka tak bersikap layaknya abang-adik
yang telah tumbuh bersama, tetapi lebih seperti pelayan yang tengah menghaturkan
sembah pada majikannya. Kaisar Hsien Feng menerima penyambutan adiknya. Dia tak sabaran dengan segala
formalitas itu dan segera memberikan tanggapannya. Sebelum Fujin menyelesaikan
salam "Semoga Yang Mulia dikaruniai sepuluh ribu tahun usia" nya dengan
membungkuk, Hsien Feng sudah memegangi lengan adiknya.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku melakukan kowtow dan bungkukan, lalu berdiri di tepian untuk mendengar dan
memerhatikan. Aku menemukan persamaan pada cara-cara kedua bersaudara itu
membawakan diri: anggun dan angkuh sekaligus. Keduanya memiliki wajah khas
Manchu: mata dengan kelopak tunggal yang menyipit ke pelipis, hidung lurus dan
garis mulut yang tegas. Bedanya ini, putusku cepat: Pangeran Kung memiliki
postur seorang pengendara kuda bangsa Mongol. Dia berjalan dengan punggung
tegak, namun kakinya agak melengkung.
Sedangkan gerak-gerik Kaisar Hsien Feng lebih mirip dengan sarjana zaman kuno.
Kami bertukar hadiah. Aku memberi Fujin sepasang sepatu yang baru saja An-te-hai
bawa beberapa saat lalu. Sepatu itu dihiasi mutiara dan manik-manik giok hijau
yang dijahit dalam pola bunga.
Fujin sangat gembira. Sebagai balasan dia memberiku pipa rokok tembaga. Aku
belum pernah melihat sesuatu seperti itu sebelumnya.
Pipa kecil itu digambari adegan pertempuran tentara asing yang sangat mendetail,
dengan kapal-kapal layar, serdadu, dan gelombang lautan. Semua figur kecil itu
digambarkan sangat persis, permukaannya dipoles semulus porselen. Fujin berkata
bahwa pipa itu dibuat dengan menggunakan sebuah mesin yang ditemukan seorang
Inggris. Ini adalah hadiah dari salah seorang karyawan Pangeran Kung, seorang
bangsa Inggris bernama Robert Hart.
Setelah semua salam itu, para pelayan masuk membawa tikar dan meletakkannya di
kaki kami. Pangeran Kung segera bersujud, berkali-kali kowtow pada abangnya.
Istrinya mengikuti. Setelah dia diminta berdiri, dipanggilnya semua anak dan
selirnya, yang sedari tadi sudah menunggu, dalam keadaan berdandan rapi, untuk
dipanggil. Fujin memastikan bahwa semua salam dilakukan oleh anak-anaknya dengan
sempurna. Aku lega sekali saat akhirnya ritual itu berakhir dan kami dipersilakan masuk ke
ruang duduk. Fujin meminta diri dan keluar.
Sebelum aku duduk, Pangeran Kung bertanya apakah aku ingin Fujin mengantarkanku
melihat-lihat taman. Kukatakan bahwa aku lebih suka tetap di situ, jika dia tidak berkeberatan.
Pangeran Kung tampak kaget, tetapi dia tak mengatakan apa pun.
Atas izin Kaisar aku tetap duduk di kursiku. Kakak beradik itu mulai bercakap-
cakap. Pangeran Kung memusatkan perhatian pada abangnya sepenuhnya, seolah aku
tak ada di situ. Tak pernah kulihat sebelumnya sesorang bicara dengan begitu terus terang serta
penuh semangat seperti Pangeran Kung. Kata-katanya mengandung nada sangat
mendesak, seakan rumahnya akan terbakar bila dia tak cukup cepat berbicara.
Sebelum Kaisar sempat menghirup tehnya, Pangeran Kung meletakkan sehelai surat
di hadapannya. "Berita ini sampai padaku kemarin dengan perangko kelas satu
untuk 600 mil. Ini dari Gubernur provinsi Shantung. Seperti yang kau lihat,
surat ini dialamatkan padaku dan Su Shun - isinya sangat mencemaskan."
Kidung Senja Di Mataram 2 Pendekar Mabuk 083 Bocah Titisan Iblis Bende Mataram 13
^