Pencarian

Carry Me Down 1

Carry Me Down Karya M.j. Hyland Bagian 1


Carry Me Down CARRY ME DOWN Diterjemahkan dari Carry Me Down Karya M.J. Hyland ? 2006, M.J. Hyland Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh
maupun sebagian dan buku ini dalam bentuk atau cara
apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit
All rights reserved Penerjemah: Alpha Febrianto
Penyunting: Dewi Kartika Teguh
Pewajah Sampul: Expertoha Studio
Pewajah Isi: mps creativa
Cetakan I: November 2006 ISBN: 979-333-01-5-5 UFUK PRESS PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12510, Indonesia
Homepage: www.ufukpress.com
Blog: http://ufukpress.blogspot.com
Email: info@ufukpress.com
Untuk Stewart Andrew Muir (andai banyak orang seperti dirimu)
1 Ini bulan Januari, Minggu yang mendung di musim dingin. Aku duduk bersama ibu
dan ayahku di meja dapur. Ayahku duduk dengan punggung bersandar pada meja,
kakinya bertopang pada dinding, dan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Ibuku
duduk di sisi kananku dan membaca buku yang diletakkan di atas meja. Aku duduk
merapat ke sisinya di atas kursiku yang menghadap ke jendela, dekat sekali
dengan kehangatan tungku tempat memasak.
Di tengah meja tersedia sepoci teh panas dan masing-masing telah mendapat satu
cangkir dan piring. Ada ham dan roti lapis isi daging kalkun di piring kami, dan
jika kami ingin menambah makanan atau minuman, masih tersedia banyak sekali.
Lemari makanan kami penuh.
Sesekali kami berhenti membaca untuk mengobrol. Percakapan yang menyenangkan,
seakan kami adalah satu orang yang membaca sebuah buku, bukan tiga orang yang
masing-masing membaca buku yang berbeda.
Inilah salah satu hari yang sempurna.
Dari jendela kecil aku dapat melihat jalan desa yang sempit menuju Kota Gorey,
dan di seberang jalan, hamparan ladang bersalju. Di seberang ladang bersalju,
meski aku tak dapat melihatnya sekarang, adalah pohon yang selalu kulewati
setiap pagi. Dua mil dari pohon tersebut berdiri Gorey National School, tempat
aku akan kembali bersekolah seusai liburan Natal.
Di kelokan jalan, sebelah kiri gerbang depan, berdiri sebuah pos dengan rambu
penunjuk arah menuju ke Dublin dan satu rambu lagi di belakangnya, menunjuk ke
arah pekuburan. Dua hari lagi kesempatan kami berkumpul bersama, kami bertiga,
dan itulah yang kuinginkan. Aku tak ingin yang lain.
---oOo--- Saat aku melihat ibuku hampir menyelesaikan halaman terakhir bukunya, aku
mengambil setumpuk kartu permainan dan meletakkannya di dekat sikunya. Sesaat
lagi ia akan meletakkan bukunya dan mengajakku bermain kartu. Aku menatap
wajahnya dan menunggu. Tapi, ia tidak mengajakku bermain.
Tiba-tiba ia menutup bukunya dan berdiri.
"John," katanya, "tolong ikut bersamaku." Ia membawaku ke lorong antar ruang,
jauh dari Ayah. Ia menyingkirkan aku dari penglihatan ayahku seakan aku ini
sekantong sampah. "Ayo lekas dan tinggalkan bukumu,"
serunya. Kami berdiri di dasar tangga sempit dan curam yang menuju ke kamar loteng
orangtuaku, satu-satunya ruangan yang ada di lantai atas, dan ia mendorongku
hingga tersandar ke pegangan tangga. Ia berdiri dengan tangan terlipat di depan
dada, kulit lengannya begitu putih dan pucat seperti kapur.
"Apakah aku terlihat berbeda hari ini?" ia bertanya.
"Tidak. Kenapa?"
"Kau menatap lagi. Kau menatapku."
"Aku hanya melihat," jawabku.
Ia menjauhi pegangan tangga dan memegang pundakku. Tingginya hanya 5 kaki 10
inci, dan meski aku hanya lebih pendek satu setengah inci, ia menekanku hingga
sangat rendah. Tubuhnya membungkuk dan bokongnya terangkat.
"Kau menatapku, John. Kau tak boleh menatapku seperti itu."
"Mengapa aku tak boleh menatapmu?"
"Karena kau berusia sebelas tahun sekarang. Kau bukan anak kecil lagi."
Perhatianku teralih pada jeritan kucing kami, Crito, yang terkunci di lemari di
bawah tangga bersama anakanak kucing barunya. Aku ingin menghampirinya, tapi
ibuku semakin keras menekanku.
"Aku hanya melihat," aku balas menjawab.
Aku ingin mengatakan bahwa tidak ada yang kekanak-kanakan bila melihat sesuatu.
Tapi tubuhku bergetar dibebani tangannya dan menggigil hingga tak mampu
berbicara. "Mengapa?" ia bertanya. "Mengapa kau harus menatapku seperti itu?"
Ia menyakiti pundakku dan tenaganya sungguh mengejutkan. Ia tampak lebih ringan
dan lebih kecil serta lebih cantik ketika ia duduk di meja makan atau di ujung
tempat tidurku, berbicara kepadaku, dan membuatku tertawa. Aku marah kepadanya
sekarang karena menjadi tinggi, lebih besar, lebih berat, dan membuatku merasa
tua, terlalu tua dibanding usiaku.
"Aku tidak tahu kenapa. Aku hanya senang melakukannya," jawabku.
"Mungkin kau harus meninggalkan kebiasaan itu."
"Mengapa?" "Karena itu membuatku gugup. Tak ada yang merasa nyaman bila kau menatap mereka
seperti itu." "Maaf," sahutku.
Ia menegakkan diri dan membebaskan aku. Aku mencondongkan tubuhku ke depan dan
mengecup pipi dekat bibirnya.
"Baiklah," katanya.
Aku mengecupnya untuk kedua kali. Tapi, ketika aku melingkarkan tanganku ke
lehernya untuk memeluknya, ia menarik diri. "Tidak sekarang,"
katanya. "Dingin sekali di luar sini."
Ia kembali ke dapur dan aku mengikuti.
---oOo--- Rambut ayahku yang ikal gelap tampak acak-acakan dan bagian depan-nya dibiarkan
terjatuh menutupi matanya. "Tutup pintunya," ia berkata tanpa mengalihkan
pandangan dari bukunya. "Sudah tertutup," jawabku.
"Bagus," katanya. "Pintunya harus selalu tertutup."
Ia tersenyum ke arah bukunya: Phrenology and the Criminal Cranium.
Ayahku telah menganggur selama tiga tahun, selama kami tinggal di sini, di
pondok milik ibunya. Sebelum kami pindah ke rumah nenekku, ia bekerja sebagai
petugas kelistrikan di Wexford. Tapi, ia membenci pekerjaannya dan berkata
demikian setiap malam sepulang bekerja.
Sekarang, alih-alih pergi bekerja, ia membaca. Katanya ia bersiap mengikuti
ujian masuk Trinity College dan seharusnya tak terlalu sulit baginya karena
tahun sebelumnya ia pun mengikuti ujian masuk di Mensa dan lolos dengan nilai
yang baik. "Lihat ke jendela," aku berkata kepada ibuku. "Saljunya turun ke samping."
"Ya, benar," katanya. "Tampak seperti tepung yang keluar dari saringan bukan?"
"Tepung tidak turun menyamping ketika keluar dari saringan,"
sahutku. Lidahnya keluar menjilat sudut mulutnya dan tetap berada di luar. Aku
mencondongkan tubuh menyeberangi meja dan menyentuhnya.
"Lidahmu dingin," ujarku.
Ayahku melihat kami dan ibuku menarik lidahnya ke dalam.
"Aku seperti kadal," katanya.
Ia tersenyum kepadaku, dan aku membalasnya.
"Pasangan yang aneh," kata ayahku.
Crito sekarang berhenti mengeong. Mungkin ia lega mendengar kami kembali
berbicara dan berada dekat dengannya.
---oOo--- Aku kembali membaca Guiness Book of Records, buku kesukaanku. Aku memiliki semua
edisi kecuali tahun 1959 dan merupakan salah satu hadiah Natalku setiap tahun.
Tinggal sedikit lagi halaman yang tersisa dari edisi terbaru 1972, dan aku
hampir selesai membaca bagian Dunia Manusia untuk keempat kalinya.
Guiness Book of Records penuh dengan keajaiban, seperti pendeta Cina yang meraih
rekor kuku jari terpanjang. Perlu dua puluh tujuh tahun untuk menumbuhkan kuku
sepanjang dua puluh dua inci. Dalam foto yang terpampang, tampak kuku-kuku itu
berwarna hitam, meliuk-liuk, seperti tanduk kambing gunung.
Yang terbaik dari semuanya adalah para seniman yang melarikan diri dari orang-
orang seperti Blondin, yang menyeberangi Air Terjun Niagara dengan meniti seutas
tali kawat, serta Johann Hurlinger, yang berjalan dengan tangannya selama lebih
dari lima puluh hari. Ia berjalan selama 871
mil menggunakan tangannya.
Suatu hari nanti aku akan masuk Guiness Book of Records, bersama orang lain yang
tak ingin dilupakan atau dianggap tidak penting. Aku akan memecahkan rekor
penting atau melakukan sesuatu yang luar biasa. Aku tak melihat tujuan hidup
lain kecuali aku dapat melakukan sesuatu yang lebih baik daripada orang lain
atau melakukan sesuatu yang tak dapat dilakukan orang lain.
Aku melipat gambar wanita terpendek di dunia hingga ia bersisian dengan pria
tertinggi. Namanya Robert Pershing Wadlow dan tingginya S
kaki 11,1 inci. Pada usia sebelas tahun tinggi tubuhnya telah mencapai 6
kaki 7 inci. Aku sering membayangkan apakah suaranya berubah lebih cepat daripada usianya
seperti yang kualami. Aku sering membayangkan akan menjadi seorang raksasa
nantinya. Aku masih mencemaskan hal-hal seperti ini tapi setidaknya sekarang aku
telah menentukan bahwa aku tidak akan berakhir di Guiness Book of Records
sebagai seorang yang aneh. Aku akan masuk dengan alasan yang lebih baik.
Si wanita terpendek adalah Pauline Musters, dengan tinggi tubuh 11,2
inci. Ketika aku melipat gambarnya bersisian dengan si pria tertinggi, ia tampak
seperti terjatuh dari saku baju si pria. Sama sekali tidak tampak seperti
manusia: seorang manusia tidak berdiri di sisi orang lain dan hanya mampu
mencapai bagian bawah lutut orang itu.
"Lihat," sahutku kepada ibuku. "Orang kecil ini terlihat seperti ormamint "
Aku sudah mengetahui apa yang akan ia katakan.
"Ornamen," jawabnya.
"Jangan melipat bukumu," kata ayahku.
"Oke," sahutku.
"Dan kau sama sekali belum menyentuh roti lapismu," katanya lagi.
"Aku tidak mau menyentuhnya," jawabku.
Ibu menepuk tanganku. "Apakah kau menyisakan setengah roti lapismu hanya untuk
mengatakan itu?" "Tidak." "Kalau begitu makanlah."
Namun, rotinya telah mengeras dan sekarang sudah pukul enam, waktunya minum teh.
Ibu berdiri dan melihat ke luar jendela. Salju telah berhenti turun. Ia
membersihkan tangan dengan cara menggosokkan ke baju hangatnya dan meletakkan
sepanci air di atas tungku. Ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebuah
bungkusan. "Apakah kau ingin ini?" ia bertanya kepada ayahku.
Ayah mengusap dagu, tak menjawab. Ia telah mencukur habis jenggotnya kemarin dan
hasilnya memperlihatkan belahan dagu; celah tipis gelap vertikal di dagunya. Ia
telah mengusap-usapnya seharian seakan berharap dapat menghapusnya.
"Michael, apakah kau menginginkan ini untuk teman minum teh atau tidak?"
Ayah menatap bungkusan yang dipegang Ibu. "Tidak," katanya. "Aku lebih suka ikan
asap." "Kita tidak punya," sahut ibuku."Kita tidak punya ikan asap."
Ibuku tidak suka memasak.
"Kalau begitu aku pilih ikan dalam kantong," kata ayahku.
"Dan kau akan mendapatkannya," ibuku membalas. Mereka saling melempar senyum.
Senyuman yang berbeda dan yang sering mereka lemparkan kepadaku. Yang dimaksud
dengan ikan dalam kantong adalah daging yang dimasak dalam air mendidih:
sepotong daging ikan dalam sebuah kantong plastik berisi saus putih.
"Bolehkah aku memegangnya?" pintaku.
"Kalau kau mau," ujar ibuku.
Aku mengambil kantong tersebut dari tangannya dan meremas plastik yang kenyal,
terasa basah. "Rasanya seperti memegang ikan mas yang kita dapatkan di Butlins,"
ujarku. "Kemarilah," kata ayahku, dan ia merangkulku, tapi tangannya menekan erat
leherku dan cengkeramannya sungguh kuat.
"Berhenti merangkul leherku," desakku. "Sakit."
"Berikan kantong ikan itu," katanya.
Aku memberikan ikan dalam kantongnya dan ia meremasnya dengan lembut.
"Sepertinya aku tidak sependapat denganmu," katanya. "Kantong ini lebih terasa
seperti sekantong ingus daripada seekor ikan mas."
Ayah tertawa, dan aku pun tertawa, meski aku tidak suka makananku disamakan
dengan ingus. Ibu mengambil kembali ikan tersebut dan memasukkannya ke dalam sepanci air. Aku
menghadap ayahku. "Pa, maukah kau menceritakan sebuah kisah untukku?"
"Kisah seperti apa?"
"Apa saja." ---oOo--- Ayahku mendeham dan menegakkan posisi duduknya sebelum mulai bercerita.
"Baiklah. Ini kisah Tantalus, yang dihukum oleh dewa-dewa untuk berdiri di air
setinggi pinggangnya. Di musim dingin, airnya sangat dingin dan di musim panas
airnya terlalu hangat. Ketika Tantalus kehausan dan mulutnya kering, ia
membungkuk meminum air dan airnya menguap. Ketika ia lapar dan meraih dahan yang
dipenuhi buah-buahan lezat, dahan itu mengangkat buahnya. Makanan dan air
menjauh dari jangkauannya. Dan ini terjadi selama...."
"Beberapa hari," potong ibuku, "sebagai hukuman karena tidak mencuci tangannya
terlebih dulu sebelum minum teh, kemudian ia duduk menyantap ayam panggang serta
es krim cokelat hingga ia tidak pernah lagi kelaparan atau kehausan."
Aku tersenyum kepada ayahku dan ia membalas.
"Cucilah tanganmu," katanya.
Aku mencuci tangan dan melihat Tantalus membasahi bibirnya seraya meraih air.
Dalam perjalanan kembali ke dapur aku menghampiri rak buku besar di ruang
keluarga, tempat ayahku menyimpan buku-bukunya. Aku membolak-balik ensiklopedia
hingga menemukan halaman yang kuinginkan.
Di sana tertulis kisah Sisyphus dengan tanda seru merah di akhir namanya.
Aku membubuhkan tanda seru itu tahun kemarin. Aku kembali ke dapur.
"Tantalus itu mirip Sisyphus," aku berkata. "Mereka berdua mengalami penderitaan
yang sama." Ayahku tertawa. "Apakah kau teringat Sisyphus ketika kau sedang duduk di
toilet?" "Aku tidak ke toilet. Aku hanya mencuci tanganku dan aku teringat."
Aku menatap wajahnya penuh perhatian. Ia tidak tertawa lagi, maka aku pun diam.
"Ya," sahutku. "Aku dapat melihat dengan jelas Sisyphus mendorong batu besar ke
atas bukit dan batu itu bergulir turun lagi melewati Sisyphus.
Aku dapat melihat Sisyphus berdiri di sana, menatap batu itu bergulir turun,
dalam kesedihan dan kesunyian. Lalu ia mendorong kembali batu itu ke atas bukit
dan batu tersebut bergulir kembali ke bawah, terus berulang dan berulang lagi.
Kupikir ia pasti merasakan penderitaan yang sama seperti Tantalus."
"Selalu berusaha keras hingga mencapai apa yang kau inginkan, ya?"
kata ayahku seraya tertawa hingga matanya berkaca-kaca.
Sekarang ibuku yang tertawa. "Ya, Tuhan," katanya, "tolong berikan segelas air
untuk pria malang ini."
Aku melompat dan mengambil segelas air untuk ayahku dan ketika aku duduk kembali
ibuku mengecup hidungku sebagai tanda terima kasih.
"Kau baik sekali ada di sini," katanya. "Kurasa kami akan tetap memeliharamu."


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus," sahutku.
Saat ayahku telah meminum airnya, aku melihat kancing jaketnya salah pasang. Ia
sengaja melakukannya dan itulah caranya melucu. Aku mencondongkan tubuh dan
meraih kancing teratas. "Bolehkah aku membetulkan posisi kancing-kancingmu?" pintaku.
"Tidak, tidak!" katanya tertawa. "Kau mengacaukan tampang lugu dan tak
berbahayaku." Ia sedang ingin bermain membenarkan kancing, maka aku mengitari meja dan meraih
kancing kedua. Ia berteriak dan tertawa.
"Lepaskan aku, kau muka ikan! Lepaskan aku!"
"Tinggal empat kancing lagi!" aku membalas seruannya.
Aku tengah berusaha memperbaiki sisa kancingnya ketika ia tiba-tiba berdiri dan
berjalan ke jendela. Ia berdiri dan melongok ke luar. Wajahnya berubah serius;
tak ada lagi main-main. "Demi Tuhan. Sepertinya ia akan pulang lebih cepat."
"Benarkah?" aku bertanya.
Ayah membicarakan nenekku, ibunya, yang akan kembali dan balapan di Leopard's
Town pada Selasa nanti. Aku hanya memiliki dua hari lagi bersama mereka.
"Tidak," katanya kemudian. "Tanda peringatan yang salah."
Kami kembali duduk dan membaca.
---oOo--- Aku duduk menghadap ke lemari pajangan hingga aku dapat melihat potret hitam-
putih yang diambil pada hari pernikahan tahun 1960. Saat itu ayahku masih
berusia dua puluh tujuh tahun, dan lebih tampan daripada sekarang karena
rambutnya lebih panjang. Ibuku berusia dua puluh enam. Ia tampak cantik sama
seperti sekarang. Hampir semua orang di Wexford mengetahui kisah percintaan orangtuaku dan
bagaimana mereka berdua memutuskan pertunangan dengan pasangan mereka
sebelumnya. Kudengar tidak ada orang yang tak berhenti untuk menatap bila mereka
berjalan di jalan: orangtuaku seperti bintang film.
Mereka tampak bahagia di foto tersebut. Ayahku berdiri di belakang ibuku, lebih
tinggi empat inci daripada Ibu, dan itu membuat ibuku tampak lebih mungil. Aku
menyukai cara mereka memotong kue bersama. Tangan Ibu dan tangan Ayah bersama-
sama menggenggam pisau panjang bergagang putih.
Aku tidak tampan, terlalu kurus, dan hidungku tumbuh terlalu besar dibanding
wajahku. Pasti berat bagi orangtuaku saat melihatku, membayangkan apakah ada
harapan aku tumbuh berpenampilan menarik seperti mereka.
Aku kembali ke Guinness Book dan membaca halaman 398: rekor terkubur hidup-hidup
dalam sebuah peti mati standar dipegang oleh seorang Irlandia bernama Tim Hayes.
Ia terkubur selama 240 jam 18 menit 50 detik.
Ia kembali menghirup udara bebas pada 2 September 1970. Aku terkejut baru
mendengar soal dirinya. Mungkin aku dapat bertemu dengan dia suatu hari nanti.
---oOo--- Saat itu hampir pukul tujuh dan aku mulai bosan. Aku meletakkan kakiku di atas
kaki Ibu dan ia menarik kakinya dari bawah kakiku lalu meletakkannya di atas
kakiku. Kami terus melakukan itu hingga ayahku menatap kami dan menggelengkan
kepala. Aku pura-pura tidak memperhatikan ketika gelengan perlahan itu membuat
ibuku segera menghentikan permainan dan berdiri seraya melirik arlojinya.
"Sebaiknya kau melakukannya segera," katanya kepada ayahku.
Ia membicarakan anak-anak Crito, yang harus dibunuh sebelum nenekku pulang.
"Sebentar lagi," jawab ayahku.
"Tolong lakukan sekarang sebelum ada yang mulai memberi mereka nama," kata
ibuku. "Dan, John. Kau diam di sini bersamaku."
"Aku tidak peduli," jawabku. "Kali ini aku akan membantu."
"Aku juga tidak peduli," katanya. Sekarang ia menatap ayahku.
"Pokoknya, singkirkan saja anak-anak kucing itu sebelum ibumu kembali atau kita
akan terus mendengar tangisan mereka."
Ayahku menamakan kucing kami Crito dari nama teman dekat Socrates, yang menangis
saat Socrates terbaring mati. Aku menyukai wajah hitam-putih Crito dan warna
putih seperti kaus kaki panjang di empat kakinya.
Ibuku menggelengkan kepala dan ayahku pun berdiri. "Baiklah,"
katanya. "Kita lihat dari apa anak laki-laki ini terbuat."
---oOo--- Aku mengikutinya berjalan menuju ke lemari di bawah tangga. Ia membungkuk meraih
ke dalam kegelapan, di antara tumpukan penyedot debu merek Hoover dan sekop.
Ayah memerintahkan aku untuk menyalakan lampunya. Kemudian ia menarik enam ekor
anak kucing dengan cara memegang ekor-ekor mereka agar terlepas dari puting-
puting susu Crito. Ia meletakkan mereka di sebuah kantong yang ia buat dengan
memasukkan jaketnya ke dalam celananya.
"Tidak apa-apa," kataku pada Crito, "kami hanya mengajak mereka berjalan-jalan."
"Apa kau yakin siap melakukan ini?" tanya ayahku.
"Ya," jawabku. "Kalau begitu ambilkan karung dari tempat arang dan bawa ke kamar mandi. Temui
aku di sana." Ia mengucapkannya dengan nada seakan kami hendak pergi ke tempat yang sangat
jauh. Tapi, pondok itu tempat yang kecil dan tak mungkin ada seorang pun yang
akan tersasar di dalamnya: jika kau berjalan dari pintu depan dan berdiri di
lorong, kemudian berbelok ke kanan, kau akan masuk ke dapur. Dari dapur kau
dapat kembali ke lorong atau masuk ke ruang keluarga. Ruang keluarga memiliki
dua pintu dan kau dapat keluar kembali ke lorong serta menemukan pintu ke kamar
mandi. Beberapa langkah dari kamar mandi kau dapat melihat pintu kamarku dan di
bagian belakang pondok kau akan menemukan kamar nenekku. Di ujung lorong adalah
pintu belakang yang menuju ke sebuah taman mungil. Satu-satunya petualangan
adalah mendaki tangga kayu sempit menuju kamar orangtuaku.
---oOo--- Aku meletakkan karung di dekat kaki Ayah.
"Ya. Masukkan mereka ke dalamnya."
"Aku mengambili anak-anak kucing, semuanya berbulu hitam-putih seperti Crito,
dari kantong jaket ayahku dan memasukkan mereka ke dalam karung, sedangkan Ayah
mengisi bak mandi dengan air panas. Uap membuat wajahku berkeringat.
"Mereka tidak terlalu banyak bergerak," sahutku. "Pasti terasa nyaman di dalam
karung." "Jangan bersikap lembut," kata ayahku. "Ambilkan kursi agar aku dapat duduk, dan
ambil satu untukmu sendiri."
"Ia menarik kursinya mendekat ke bak mandi dan aku duduk di sebuah bangku dekat
keran, berjaga bila ia membutuhkan tambahan air. Ia memasukkan karung tersebut
ke dalam air panas. Karung itu menggembung untuk sesaat, kemudian tenggelam ke
dasar. Ketika anak-anak kucing itu bergerak, karungnya ikut bergerak bersama
mereka. "Berapa lama waktu yang biasa diperlukan?" aku bertanya.
Ayah mengangkat bahu. "Tergantung."
Kami tidak berbicara lagi. Kaki Ayah bergerak naik-turun dan gelembung udara
naik ke permukaan. Aku merasa goyah di atas bangku dan tak ada apa pun yang
dapat menjadi pegangan. Aku akan jatuh dan ingin turun tapi tak berani
mengatakannya. "Ya, Tuhan, Pa," aku membuka suara. "Mereka bergerak terus.
Mungkin kita harus memberi suntikan atau semacamnya."
Ia tak menjawab. Ia menatap ke arah air seraya menggigit bibir bagian dalamnya.
Wajah anak-anak kucing itu samar-samar terbentuk di kain karung yang basah.
Sekarang gelembung udara mulai berkurang.
"Lama sekali rasanya," ujarku.
Ia berpaling kepadaku. "Kau sanggup melakukannya atau tidak" Jika tidak, pergi
dan bantu ibumu di dapur."
Ibuku tidak sedang berada di dapur; ia di dalam kamarku di ruang sebelah. Aku
dapat mendengar nyanyiannya.
"Aku sanggup melakukannya," jawabku. Ada beberapa hal yang dikatakan ayahku,
ketika kami hanya berdua, yang membuatku merasa senang bercampur mual.
"Sial," katanya. "Airnya pasti kurang panas."
Ia bangkit dari kursinya dan mengangkat karung itu keluar dari air.
Aku turun dari bangku dan menontonnya berjuang melepaskan tali pengikat karung.
Anak-anak kucing di dalamnya masih bergerak.
"Lekaslah," aku berseru. "Keluarkan mereka."
Ikatan itu sangat sulit dilepas, tapi akhirnya karungnya terbuka.
Wajah dan leher Ayah memerah. Ia mengeluarkan empat anak kucing ke lantai.
Mereka menggeliat dan saling bertumpuk. Dada mungil mereka megap-megap di bawah
balutan kulit tipis basah dan bulu yang berwarna gelap. Jika tidak mengeong,
makhluk-makhluk itu sama sekali tak tampak seperti anak kucing.
"Aku tahu kau pasti akan mengeluarkan mereka," aku berseru, "aku tahu kau tak
tega membunuh mereka."
Ayahku berpaling kepadaku, memungut seekor anak kucing, mengayunkannya melewati
bahu, dan membenturkan kepala si anak kucing ke pingiran bak mandi. Suara
tengkorak yang pecah terdengar keras dan tajam, seperti penggaris yang
dipatahkan menjadi dua. "Dasar bodoh, makhluk kecil yang bodoh," katanya.
Ia memegang ekor anak kucing malang itu di atas bak mandi. Aku ingin makhluk itu
tetap hidup dan masih berharap ia hidup. Tapi, darah menetes dan kepala serta
kupingnya, dan ia tidak bergerak. Aku tahu anak kucing itu telah mati.
Tidak banyak darah yang menetes ke dalam bak mandi, tapi cukup untuk membuat air
berwarna merah muda ketika butirannya menyentuh permukaan. Tetesan darah itu
tenggelam kemudian perlahan menyebar hilang. Aku tidak memperhatikan ayahku,
kemudian tiba-tiba ia mengangkat seekor lainnya dan lantai dan menghantamkan
kepalanya ke pinggiran bak mandi. Wajah Ayah terlihat lebih merah daripada yang
pernah kulihat, dan saat ia memungut anak kucing berikutnya, tangannya bergetar.
"Hentikan!" aku berseru. "Tolong hentikan."
Ayah menatap ke bawah. Anak-anak kucing yang masih berada dalam karung telah
berhenti bergerak. "Begitulah hidup," kata Ayah, dadanya naik-turun. "Kau harus belajar bahwa
begitulah hidup." Aku menatapnya. "Apakah kau tak merasa sedih?" tanyaku.
"Mengapa aku harus merasa sedih?" Ia bangkit berdiri. "Inilah yang harus
dilakukan para petani setiap hari agar tersedia makanan di meja makanmu."
Aku menatapnya dengan lebih sungguh-sungguh, kemudian sesuatu terjadi. Aku tahu,
aku yakin, ia berbohong. Ada sesuatu di wajahnya, kilasan, sebuah senyuman
melecehkan sesaat, lalu berubah menjadi seringai. Juga ada sesuatu yang salah
dan perkataannya, "inilah yang dilakukan para petani setiap harinya" (sesuatu
yang tak pernah ia katakan sebelumnya). Ia berbohong tidak merasa sedih.
"Apakah kau sungguh-sungguh tidak merasa sedih?"
Ia menatapku dan aku balik menatapnya. Warna cokelat matanya berubah menjadi
hitam. "Tidak, tidak sedikit pun. Mereka bahkan belum memiliki jiwa. Inilah saatnya kau
menegarkan diri." "Tapi, kau meremukkan kepala mereka. Apakah kau tak merasa kasihan kepada
mereka?" "Tidak, kupastikan. Tidak ada kesedihan sama sekali. Mereka hanya gumpalan
bulu." "Kau memang pemberani," sahutku. Segera setelah aku berucap, perutku mual.
Aku muntah, tanpa peringatan, di lantai kamar mandi, beberapa inci dari kepala
seekor anak kucing dan hanya satu inci dari kaki ayahku.
Setidaknya satu ember cairan kuning keluar dari mulutku. Ia berbohong kepadaku
dan itu membuatku mual. Ayah melonjak mundur dan berteriak memanggil ibuku.
"Helen, kemarilah dan bantu kami membereskan kekacauan ini."
Aku menarik sepatuku dari genangan kuning dan kembali muntah untuk kedua
kalinya. Aku menatap ke bawah agar Ayah tidak melihat wajahku.
"Ya, Tuhan," katanya. "Kau bocah lemah yang malang."
Ibuku datang membawa kain lap piring di tangannya dan menatap muntahanku di
lantai kamar mandi. "Michael" Apa yang terjadi?"
"Ia muntah," jawab ayahku.
Aku melihat ke arah sepatu Ibu. Itu sepatu ayahku. Seharusnya ia tidak
mengenakan sepatu itu. Aku ingin ia mengatakan sesuatu, tapi ia sedang menatap muntahanku dan tidak
berkata apa pun. "Mereka semua mati," aku berkata lemas, seraya menerobos celah sempit di antara
Ayah dan Ibu serta berjalan keluar.
---oOo--- Ibu masuk ke kamarku pukul setengah sembilan dan duduk di ujung ranjangku.
"John, ayo keluar dan ucapkan selamat malam kepada ayahmu."
"Bagaimana bila kau memainkan pertunjukan boneka dulu?" pintaku.
Biasanya, sebelum aku pergi tidur, ibuku memainkan boneka jari untukku. Ia
menggunakan sebuah kotak bekas dus apel berhias lukisan tirai dan lubang di
sisinya agar tangan dapat masuk ke dalam. Kotak itu ada di kamarku, dekat kaki
ranjang, dan boneka-bonekanya disimpan di lemari.
"Kurasa tidak. Tidak malam ini, John." Ia bangkit. "Ayo. Kau harus mengucapkan
selamat malam." Ayahku duduk di kursi baca di dekat perapian. Biasanya ketika aku menghampirinya
untuk mengucapkan selamat malam, ia akan membuka kakinya, atau meluruskannya.
Dan bahkan saat aku terlalu besar, aku duduk di lututnya, hanya untuk
memainkannya, dan ia bertanya apakah aku telah menyisir gigiku. Lelucon yang
sama setiap malam dan kami tertawa.
Namun, malam itu, saat melihatku memasuki ruang keluarga, ia tetap menyilangkan
kakinya dan menatapku seakan ia tak pernah melihatku berdiri di dekat sana
sebelumnya. Ia menepiskan rambut yang menutupi matanya dan tampaklah pembuluh
nadi yang berdenyut seirama dengan detak jam bandul besar; terlihat seperti
gelembung udara yang mendesak ingin keluar dari balik kulit sosis goreng, jelek
dan panas. "Selamat malam, Pa," sapaku.
"Selamat malam," ia membalas.
"Selamat malam," sapaku lagi, tapi ia berpura-pura tak mendengar.
Aku kembali ke ranjang dan membaca untuk beberapa lama
---oOo--- Ibuku masuk. "Oke?" ia bertanya.
"Oke," jawabku.
"Membacalah lebih lama lagi malam ini, jika kau ingin," katanya.
Ia mengenakan piyama ayahku, dan bagian lipatan kakinya yang terlalu panjang
terseret di lantai. "Mengapa semuanya berbeda hari ini?" tanyaku.
"Tidak ada yang berbeda hari ini, John."
"Oh," sahutku. "Apa kau yakin?"
"Ya, Sayang. Aku yakin."
Ia mendekat ke ranjang. Aku duduk dan bersandar. Alih-alih mengecupku, ia
menyentuh kerah piyamaku.
"Tidur yang nyenyak," katanya ke arah dinding di belakangku. Tapi suaranya
terdengar ramah. Setelah ia pergi, aku merasa bahagia sejenak, hingga aku
menyadari ada sesuatu yang tersangkut di kerongkonganku dan rasanya semakin
buruk. Aku dapat mendengar salju meleleh menetes ke selokan di luar dan aku takut pada
sesuatu, meski tak tahu apa itu. Aku membayangkan apa maksud sesungguhnya jika
seseorang berbohong. Aku akan melihat Guiness Book of Record esok hari, mencari
sesuatu tentang deteksi kebohongan.
2 Ibu menungguku di luar, di mobil. Ia mengajakku berjalan-jalan ke kota untuk
membeli beberapa potong celana baru. Celana-celana lamaku sudah tidak muat lagi.
Ketika berjalan keluar melewati dapur, aku melihat Ayah yang sedang membaca di
meja. Semalam ia telah menguburkan anak-anak kucing di kebun belakang dan
meletakkan sebongkah batu di atas kuburan mereka.
Jendela kamarku menghadap ke arah sisi rumah. Ketika aku berdiri, aku dapat
melihat melampaui jalan kecil yang mengarah ke pekuburan. Dan meski aku tak
melihat ke luar tadi malam (aku meringkuk di bawah selimut, menghangatkan diri),
aku mendengar suara-suara tendangan Ayah tanda ia sedang mencari sebongkah batu.
"Halo," sapaku.
Di hadapannya tergeletak sepiring puding hitam yang baru disantap setengahnya.
Aku melangkah mendekatinya dan bertanya, "Buku apa itu?"
Ia menatapku. "Buku yang sama dengan yang terakhir kali kau tanyakan."
"Oh," jawabku. "Para pelaku kriminal dan kriminologi," katanya, seraya mengusap lutut. "Pelaku
kriminal seperti apa?"
"Pelaku kriminal Lombroso. Pelaku kriminal yang tak mampu menahan dorongan diri
untuk melawan hukum."
Baju tidurnya terlalu pendek hingga lutut dan betis putih berbulunya terlihat di
bawah meja. "Seperti perampok dan pembunuh?" aku bertanya.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibumu menunggu. Kita bertemu lagi nanti. Sekarang aku mempunyai hadiah
untukmu." "Hadiah yang dulu lupa kauberikan."
Embusan angin membanting daun pintu dan ia menatapku seakan akulah yang
membanting pintu tersebut. "Aku tidak lupa," katanya. "Tapi, hadiah ini akan
menjadi yang terbaik. Lihat saja nanti."
Ia mengalihkan pandangan kembali ke bukunya dan aku menatapnya dengan mulut
ternganga. Aku membayangkan apa yang akan terjadi jika aku menghampiri ujung
meja dan memberinya kecupan selamat tinggal. Ia mungkin menyukainya, atau ia
mungkin akan merasa terganggu. Biasanya aku dapat mengetahui bila ia sedang
senang diberi kecupan, tapi hari ini ia tampak ingin dan tak ingin aku berada di
dekatnya. Aku memperhatikannya dengan saksama.
Ia mengusap lututnya lagi, lalu mengangkat wajahnya. "Apa yang kau lihat?"
"Tidak ada." "Selamat tinggal, Nak. Bersenang-senanglah dengan ibumu."
Aku beranjak pergi. ---oOo--- Ibu sedang membersihkan sisi bagian dalam kaca depan mobil dengan tangan
jaketnya. Aku masuk. "Apa yang membuatmu begitu lama?"
"Aku mengobrol dengan Pa."
Hari itu dingin sekali dan bahkan sangat dingin di dalam mobil. Aku menyatukan
jari-jariku di kepalan tangan dan membayangkan kepalanku dapat menghangatkan
janjan yang sudah hampir mati rasa itu. Aku melipat lengan di dada dan
menegangkan tubuhku. Aku ingin menanyakan kepada ibuku apakah ia pikir Ayah akan masuk universitas
dan, jika ya, apakah kami akan pindah ke Dublin. Aku menyukai kota ini, tapi aku
pun menyukai Dublin. Lagi pula, hanya berjarak dua jam perjalanan. Aku dapat
lebih mudah bertemu dengan orang-orang dalam Guiness Book of Records di Dublin.
"Apakah kau memikirkan saat-saat kembali sekolah minggu depan?"
"Tidak juga." Ia menggunakan tangan jaket yang tadi dipakai membersihkan kaca mobil untuk
menyeka bagian bawah hidungnya.
"Apakah kau ingin saputangan?" aku bertanya. "Aku punya satu di kantongku."
Aku menyeka hidungnya dengan saputanganku sementara ia menyetir. Dalam hati aku
bertanya-tanya di manakah saputangan pink yang kuberikan kepadanya Natal
kemarin. Ujung hidungnya memerah dan pembuluh-pembuluh kebiruan tampak di ujung
lubang hidungnya. Aku tak ingat pernah melihat pembuluh-pembuluh itu atau tahi
lalat hitam dekat buku-buku jarinya yang ditumbuhi tiga helai rambut hitam.
"Kapan terakhir mereka mengukur tinggimu di sekolah?" ia bertanya.
"Kupikir sebaiknya kita bicarakan lagi dengan dokter."
"Tinggi tubuhku hanya satu setengah inci lebih rendah danrnu,"
sahutku. "Lima kaki delapan setengah inci tepatnya."
"Kita harus memperhatikan masalah ini. Itu saja. Bukankah kau akan merasa lebih
senang jika kita membicarakan masalah ini dengan dokter?"
"Tidak ada yang harus dibicarakan. Aku hanya tinggi. Hanya itu."
"Bagaimana dengan hal lainnya?"
"Tidak ada hal lainnya! Aku hanya tinggi."
Ia berdeham dan memperlambat laju mobilnya. "Apakah kau sedang mengalami
pubertas" Mungkin kau mengalaminya lebih cepat."
"Baiklah, aku belum puber. Jadi, apa yang harus dibicarakan?"
"Tapi lihat kakimu," katanya. "Hampir tidak cukup ruang di mobil ini untuk
kakimu. Dan lihat tanganmu! Sudah selebar sepatu bot karet."
"Aku telah berukuran seperti ini sejak berminggu-minggu yang lalu.
Setidaknya sudah tiga minggu."
"Baik. Kau menjadi lekas marah. Mungkin kita memang harus pergi ke dokter"
Bagaimana menurut kamu?"
---oOo--- Tak lama setelah ulang tahunku yang kesepuluh, suaraku mulai pecah seperti suara
anak-anak lelaki kelas enam. Tapi kelas enam masih satu tingkat lagi di atasku,
dan suara serta tinggi badanku tak terasa mengganggu seperti yang mereka alami.
Lagi pula, aku selalu merasa menjadi anak aneh di sekolah. Aku merasa lebih
cemas dan, meski aku tak menyukainya, aku telah terbiasa.
Aku hanya memiliki seorang teman di sekolah. Namanya Brendan dan aku berteman
dengannya sejak hari pertama sekolah di Gorey. Saat itu ia bertanya kepadaku
apakah aku mampu membuat helikopter kertas. Pada jeda istirahat kami duduk di
lantai kelas, mencoba membuat helikopter kertas. Hampir semua anak lain tidak
menyukaiku karena aku tak banyak bicara serta tak bermain olahraga atau
permainan lain bersama mereka.
Wali kelasku, Nona Collins, tidak terlalu menyukaiku karena bahasa Irlandiaku
sangat buruk. Ia tidak tahu bahwa jika aku ingin, aku dapat berbahasa Irlandia
dengan baik. Aku bukan murid yang pintar; peringkat ketiga, keempat, dan kadang
lebih rendah dari peringkat kelima dalam setiap ujian, tapi aku tidak bodoh.
Kuakui aku ingin menjadi lebih pintar daripada diriku yang sekarang dan selalu
lulus ujian dengan mudah. Tapi aku tahu akan menemukan jalan keluar dari memukau
dunia, dengan cara yang lebih dan sekadar pintar.
---oOo--- Ibuku tak ingin mengalihkan bahan pembicaraan. "John, tolong dengarkan bila aku
bertanya. Apakah kau merasa terganggu dengan tinggi badanmu"
Apakah anak-anak lain mengganggumu?"
"Tidak," jawabku. "Mereka bahkan tidak memperhatikan."
Sesungguhnya mereka memperhatikan. Kadang mereka menyebutku Troll, monster
negeri dongeng yang tinggal di bawah jembatan dalam cerita Three Billy Goats
Gruff. Dan menjelang Natal, ketika Paman Jack dan Paman Tony datang menginap
beberapa malam di rumah, serta bermain kartu dengan Ayah, Paman Jack masuk ke
kamar mandi saat aku mencuci muka sebelum pergi tidur.
Paman Jack memiliki sedikit cambang di pipinya dan ia pemalu serta kadang keluar
suara seperti katak dari kerongkongannya; kata-kata terhenti dan kadang ia tak
mampu berbicara sama sekali. Tapi, ia pasti telah minum-minum malam itu karena
ia tampak senang. Ia memberiku satu pound, dan menanyakan kabar sekolahku.
Aku berbicara dengannya sejenak dan katanya, "Ngobrol denganmu seperti menonton
boneka yang bisa menirukan suara tanpa terlihat si peniru suaranya."
Kemudian, ketika aku memasukkan koin yang ia beri ke dalam celengan babiku, aku
berharap tak pernah berbicara dengannya. Berbicara dengan orang yang sedang
mabuk sama seperti berbicara dengan hewan.
---oOo--- Ibuku menyeka kaca mobil sementara kami menunggu beberapa anak menyeberang
jalan. Saat ia selesai menyeka, ia berpaling kepadaku. "Jika kau ingin berbicara
dengan dr.Ryan atau Nona Collins, beritahu aku. Aku dan ayahmu sangat
mencintaimu, kau tahu itu."
"Oke," jawabku, seraya bertanya-tanya apakah ada di antara penyeberang jalan itu
yang mampu membaca gerak bibir.
"Anakku, Sayang. Maukah kau berbicara dengan Nona Collins jika kau perlu" Jika
ada masalah?" "Aku telah melakukannya," jawabku. "Semuanya baik-baik saja."
Aku belum berbicara dengan Nona Collins tentang tinggi badanku ataupun suaraku.
Aku hanya ingin semuanya berlanjut; hanya itu yang kuinginkan.
Kami berkendara melewati genangan air dijalan dan memasuki sebuah kota kecil
yang sibuk tempat kami akan membeli celana baruku. Ketika kami selesai
berbelanja di toko, aku pergi ke perpustakaan di sudut jalan, sedangkan ibuku
pergi ke toko kimia. Aku meminjam sebuah buku tentang deteksi kebohongan dan si
pustakawan membantuku memesan buku lain dari perpustakaan Wexford. Buku yang
lebih tebal. Kukatakan kepadanya bahwa aku akan mengambilnya sepulang sekolah
minggu depan.[] 3 Ini hari Selasa, lewat tengah hari, dan aku duduk di ranjangku menyantap sebuah
pisang sambil membaca buku ketika terdengar suara ban mobil melindas kerikil di
depan rumah. Nenek pulang dari Dublin.
Aku beranjak dari ranjang dan mendengarkan dari celah pintu. Ia naik ke beranda,
berbicara dengan Joseph, yang karavannya terparkir bersama lima lainnya di
seberang jalan, dua mil dari sini. Ia pasti menunggu Nenek kembali. Nenek
memberinya uang dan Joseph berkata, "Terima kasih, Nyonya Egan. Kau memang teman
terbaikku. Apakah kau memiliki sebutir apel untuk Neddy?"
Neddy adalah kuda bercorak dua warna milik Joseph, yang menatapku dan mendengus
setiap kali aku menatapnya. Nenek masuk ke dapur, mengambil sebutir apel dan
memberikannya kepada Neddy.
"Kau kuda yang baik," katanya.
Ia menutup pintu depan dan aku kembali ke ranjang mendengarkan langkah kakinya
memasuki kamarnya, lalu ke dapur sebelum kemudian melangkah ke kamarku. Aku
berharap ia meninggalkanku sendiri. Saat ia tiba di kamarku, biasanya aku
menarik selimut menutupi kepalaku, berharap tak membuatku pingsan dan terbangun
saat ia telah pergi. "Aku kembali," katanya seraya menerobos ke dalam kamarku dan menatapku dan atas
ke bawah dengan dua matanya yang masing-masing terpisah sangat jauh, seperti
mata ikan perairan dalam.
"Halo," sapaku.
"Apakah kau merindukanku?"
"Ya," jawabku. "Apakah kau bersenang-senang di balapan?"
"Oh, ya. Aku juga bertemu dengan Bibi Evelynmu di Dublin."
"Itu menyenangkan."
"Apakah aku boleh menceritakan sebuah kisah, tentang seekor tikus di Gorey"
Apakah aku harus memulainya sekarang" Hanya itu oleh-olehnya."
Aku benci teka-teki ini. "Pergilah," aku ingin berkata, tapi tak mampu.
Ini pondoknya dan aku memilih tinggal di sini. Ketika ia duduk di ranjangku dan
meraih tanganku, aku tak menghentikannya.
Dulu kami tinggal di sebuah flat berkamar dua berdinding hijau pucat berbalur
dan beraroma air kencing tikus. Tapi, ketika ayahku kehilangan pekerjaan, gaji
ibuku tak cukup untuk membayar sewa. Beberapa bulan kemudian, Nenek mengundang
kami untuk tinggal bersamanya.
Kakekku memiliki sebuah toko perhiasan dan meninggalkannya sebagai warisan untuk
Nenek. Ia meninggal ketika aku berusia tujuh tahun dan Nenek menjual toko
beserta seluruh perhiasan di dalamnya.
Sepengetahuan ayahku, sebagian uang hasil penjualan toko tersebut adalah hak
miliknya. ---oOo--- "Kitik, kitik, kitik," katanya, seraya menyerbu ke arahku, menyorongkan jemari
dinginnya ke bawah ketiakku, menghunjamkan kukunya.
"Aku tahu tempat gelimu," katanya. "Aku tahu! Di bawah sini!"
Aku berusaha menjauh. Aku ingin ia menggelitikku tapi aku juga tahu itu akan
berawal menyenangkan dan berakhir buruk.
Semakin aku menjauh, semakin dalam ia menggelitik ketiakku. Kami tidak berbicara
dan aku berpura-pura tertawa. Berpura-pura menikmati candanya. Keheningan
membuat keadaan terasa aneh, seakan kami berdua sama-sama tahu bahwa aku
berpura-pura. Ia berhenti. "Bolehkah aku dapatkan permen sekarang?" pintaku.
"Mungkin," katanya. "Mungkin juga tidak."
"Ayolah?" rengekku. Sebelum Nenek sempat menjawab, Ibu mendorong pintu kamar
dengan kerasnya hingga membentur dinding.
Mungkin ia tak bermaksud melakukan itu.
Wajahnya memerah, hingga ke lehernya, dan mata birunya membelalak. Ia tampak
lebih ramah saat pulang dari pertunjukan boneka, dan aku tahu ia tak akan pernah
menjadi tua serta jelek seperti Nenek.
Ketika Ibu berbicara aku menatap mulutnya yang memang cantik.
Ketika seorang buruk rupa berbicara, bibir mereka bergerak seperti belahan
daging luka yang membungkus sebuah lubang gelap. Aku sering menatap wajah orang
untuk melihat apakah mulutnya indah seperti mulut yang sewajarnya, atau jelek
dan terlihat seperti belahan tak sempurna yang membuka dan menutup.
"John, waktunya minum teh," kata ibuku.
Aku meletakkan pisang yang tinggal separuh di bawah bantal. Aku tak suka
menyantap pisang di depan orang.
"Kau dapat membawa pisangmu jika kau mau."
Ibuku membicarakan pisangku seakan itu adalah seekor hewan peliharaan.
"Tidak apa-apa," jawabku. "Aku akan memakannya nanti."
"Terserah kau," katanya.
---oOo--- Kami duduk di meja dapur menyantap sup ayam. Tas tangan Nenek tergeletak di
lantai dapur dan mantelnya tergantung di punggung kursinya.
Sepulang dari Dublin, biasanya ia memintaku meletakkan mantel dan tasnya di
kamarnya dan memberiku sebatang permen bila kembali membawa sandalnya. Hari ini
ada yang berbeda. Ia melepaskan sepatunya di lantai dan menghirup aroma nilon dari keringatnya
kemudian perlahan mengarah ke atas meja hingga berakhir di sup ayamku. Aku
memperhatikan ia makan dan caranya menyantap makanan sungguh membuatku mual.
Ayahku hampir sama buruknya.
Dibanding ibuku, mereka seperti anjing liar. Suara yang mereka timbulkan
memenuhi ruangan dapur, seperti suara kencing yang bergema di kamar mandi. Ingin
rasanya aku menutup telingaku. Sendok mereka berdenting beradu dengan mangkuk,
lidah mereka berdecap di dalam mulut. Aku tak mampu mengalihkan pikiran dari
kelakuan menjijikkan mereka.
Saat kami selesai menyantap sup, nenekku beranjak ke lemari penyimpanan dan
kembali membawa enam roti krim serta sepotong kue pernikahan. Kue itu berbalur
krim putih yang baunya tidak sedap, seperti aroma cat basah. Aku mengambil dua
roti krim dan meletakkannya di piringku kemudian berdiri. Aku ingin menyantapnya
di kamarku. Tapi, ayahku memalangkan kakinya di depanku hingga aku tak dapat
beranjak. "Kau pikir ke mana kau akan pergi?" katanya dengan nada marah yang tiba-tiba,
terlalu siap; seakan ia telah menyimpannya sejak Minggu kemarin.
Sekilas rasa sakit, tak terlalu tajam, tapi tetap menyakitkan, naik dari perutku
dan mendesak ke kerongkongan. "Tidak ke mana-mana," jawabku, dan duduk kembali.
"Kalau begitu," kata ayahku kepada nenekku, "apakah kau bersenang-senang di
Dublin?" Lipstik Nenek mengotori potongan roti yang disantapnya dan ada krim menempel di
hidungnya. Mulutnya penuh dengan kunyahan roti, selai, dan krim, tapi ia tak
berkeinginan menelan terlebih dulu semua benda itu sebelum ia berbicara.
"Sangat menyenangkan. Setelah balapan aku pergi ke toko Evelyn dan menghangatkan
diri di perapiannya untuk beberapa lama."
Evelyn adalah kakak perempuan ibuku.
Ayah dan Nenek berbincang selama beberapa saat, sedangkan ibuku memperhatikan
mereka, menunggu sesuatu terjadi. Biasanya terjadi sesuatu bila ayahku dan
nenekku berkumpul di satu meja.
---oOo--- Setelah minum teh nenekku mengambil segelas anggur dan pundaknya melemas di
bawah pengaruh minuman itu. Kepalanya bersandar malas, matanya tertutup, dan
akhirnya, kepalanya tertunduk. Ayah memindahkan kursinya lalu mengguncang tubuh
Nenek. Ia menatap Ayah, kaget.
"Apa yang terjadi dengan cambangmu?" katanya seakan baru terbangun dari mimpi.
Aku dan ibuku tertawa. "Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan wajah anakku," katanya. "Ia menjadi
tampak lembut dan telanjang."
Ia hampir selesai berkata ketika matanya tertutup dan kepalanya tertunduk hingga
menyentuh dada. "Bangun!" teriak ayahku. "Meja makan bukan tempat untuk tidur."
Ia membuka matanya. "Ini rumahku dan aku akan tidur di lemari di bawah tangga
jika aku mau." Aku teringat Crito dan memanggilnya. "Pus, pus, pus. Sini Crito! Sini Crito!"
Ayah cemberut menatapku. Ia bangkit dan meninggalkan dapur tanpa berbicara.
---oOo--- Ketika nenekku memenangi lebih dari lima puluh pound di balapan, ia membawaku ke
perkemahan liburan Butlins atau ke sirkus terdekat. Di Butlins tahun kemarin
diselenggarakan sebuah pameran bertajuk Amazing Wonders of the World.
Di sana terpampang gambar para raksasa dan orang-orang kerdil, seorang pria
tanpa tangan yang memainkan piano dengan kakinya, serta kembar siam yang saling
menolehkan wajah ketika mereka mengecup kekasih mereka.
Aku dan Nenek duduk di baris terdepan menonton sebuah film tentang seorang pria
yang mengarungi Air Terjun Niagara dalam sebuah tong dan aksi Harry Houdini
meloloskan diri dan jaket pengekang dan rantai. Nama asli Houdini adalah Ehrich
Weiss. Ia lahir pada 1874 dan meninggal pada 1926.
Bibi Evelyn pernah mengunjungi Air Terjun Niagara. Sepulang dari sana ia
berkata, "Kulitku menjadi cokelat terpanggang." Tapi ia lebih gemuk daripada
sebelum ia pergi dan tak ada yang memperhatikan kulit cokelatnya. Ibuku bilang


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bibi Evelyn menggali kubur dengan giginya.
Aku ingin sekali bertemu dengan Bibi Evelyn karena ia sering menceritakan kisah
perjalanannya. Ia bercerita tentang kota, dengan bukit besarnya yang dinamakan
Cliffton Hill, berderet museum dan tempat hiburan; rumah-rumah pertunjukan
keanehan, keajaiban, lampu-lampu neon, serta hiburan-hiburan mengagumkan. Ia
bilang kota dekat Air Terjun Niagara itu adalah cara kita berlomba melawan alam.
"Keanehan alam air terjun dan pertunjukan manusia-manusia aneh. Di sana, di
Niagara." Tampaknya aku dapat mengunjungi Niagara lebih cepat dengan bantuan Nenek.
"Apakah kau menang?" aku bertanya seraya menepuk lengannya. Ia terbangun.
"Bagaimana" Apakah kau memenangi sesuatu di balapan?"
"Tidak kali ini," katanya. "Tapi, menang bukanlah segalanya."
"Jadi kau tidak memenangi satu balapan pun?" katanya.
"Tidak," katanya. "Tapi aku menikmatinya."
Tiba-tiba aku merasa pusing seakan kehilangan keseimbangan.
"Apakah kau sungguh tidak memenangi uang sepeser pun?" tanyaku.
"Ya, bukankah baru saja kukatakan?" katanya. "Aku tidak memenangi satu sen pun."
Aku tertunduk menatap meja.
"Aku akan membuat teh lagi," kata ibuku. "Bawa mantel dan tas Nenek, letakkan di
kamarnya." ---oOo--- Aku membawa mantel dan tas Nenek ke kamarnya. Memasuki kamar tidurnya seperti
memasuki rumah atau pondok lain, seperti yang kami tinggali saat di Butlins. Aku
meletakkan tasnya di ranjang dan membukanya.
Dompetnya dipenuhi setumpuk uang. Aku melirik ke pintu dan mulai menghitung uang
dan kertas-kertas catatan. Lima puluh, dua puluh, dan lima kertas catatan
senilai lima pound. Beberapa lembar telah diremas, lainnya tercabik-cabik. Aku
menghitungnya sekali lagi, dan lagi, hatiku berdebar, menggetarkan dadaku.
Aku merasa mual dan berlari ke kamar mandi. Kubuka keran air dingin dan
menundukkan kepala di toilet. Seperti sebelumnya, aku memuntahkan cairan kuning.
Aku menumpahkan sebagian besar muntahanku ke toilet dan menyeka sisanya dengan
kertas toilet. Aku merasakan pahit jus jeruk di mulutku.
Aku kembali melewati dapur dan mengintip. Nenek sedang minum teh seraya
berbicara kepada ibuku. Aku kembali ke kamarnya dan menatap uang itu: tujuh
ratus lima puluh lima pound! Aku berdoa semoga Nenek tetap di dapur agar aku tak
tertangkap basah. Tanganku gemetar saat mengambil beberapa lembar uang tersebut
untuk diriku. Aku menaruhnya ke dalam saku bajuku. Tapi, aku bukan seorang
pencuri. Ini adalah bukti bahwa aku tak mengira kekayaan ini dan tak mengira
kebohongannya. Aku pergi ke kamarku dan tak keluar hingga hari menjelang senja.
Aku tak ingin seorang pun melihat tanganku yang gemetar. Aku menyandarkan dadaku
di lemari di depan pintu kamarku dan menghitung kembali uang tersebut. Aku
mengambil sembilan puluh pound. Kugulung lembaran-lembaran tersebut menjadi
gumpalan-gumpalan kecil. Tiga lembar dua puluhan, dua lembar sepuluhan, dan dua
lembar lima pound. Aku meletakkan uang tersebut di bawah kasur dan seraya
memikirkan apa yang akan kulakukan dengan uang tersebut.
---oOo--- Pukul sembilan, ibuku mendatangi kamarku untuk mengucapkan selamat malam.
"Bagaimana kabar Lord Muck?" ia bertanya.
"Baik." "Apa yang sedang kaulakukan?"
"Berpikir." "Jangan terlalu sering berpikir. Nanti kau bisa berubah menjadi petapa."
Aku tidak tahu mengapa ada orang yang menghabiskan waktu berpikir untuk
mengejutkan orang lain. Ada ribuan hal yang dapat dipikirkan. Jika kita
berpikir, hidup itu seperti taman hiburan mahaluas. Saat kau berjalan di taman
tersebut, kau dapat pergi ke semua wahana permainan.
Aku ingin mengatakan hal tersebut kepada Ibu. Tapi, ia akan berpikir aku melucu
dan ia tertawa, sedangkan aku sedang tak ingin tertawa.
"Baiklah," jawabku. "Aku akan berhenti berpikir sekarang. Maukah kau menemaniku
untuk beberapa lama?"
Ia menutup pintu dan duduk di ranjangku.
"Maukah kau memijat kakiku?" pintaku.
"Kau harus mengeluarkannya dari balik selimut."
Ia memijat kakiku dan aku menatapnya.
"Kau terlihat sedih," katanya.
"Karena Pa pembohong," aku mengucapkannya dengan tegas. "Itulah sebabnya, aku
muntah di lantai." "Maaf, apa maksudmu?" ia melepaskan kakiku.
"Kukatakan Pa adalah pembohong."
"Apa maksudmu mengatakan ayahmu pembohong?"
Aku ingin memberitahu bahwa Nenek juga pembohong, tapi ia akan mengetahui bahwa
aku mengintip dompetnya dan ia akan mencurigai aku.
"Ayah pembohong dan aku memiliki bukti. Aku muntah karena ia berbohong kepadaku.
Ia berbohong tidak merasa sedih."
"Kau muntah karena melihat anak kucing yang mati."
Aku bangkit duduk. "Tidak," jawabku. "Aku muntah karena aku mengetahui ia
berbohong. Jika kukatakan ini kepadamu, apakah kau berjanji tidak memberitahu
Pa?" "Katakan saja."
"Kau berjanji?"
"Aku berjanji. Ayo katakan."
"Kau bersumpah tak akan memberitahunya?"
"Aku bersumpah. Sekarang katakanlah."
"Aku telah curiga bahwa Pa pembohong sebelumnya. Kadang ia menjanjikan sesuatu
dan aku tahu ia akan mengingkari janjinya. Kadang ia mengatakan akan pulang saat
minum teh dan aku tahu ia tidak akan pulang.
Aku mencurigainya selama bertahun-tahun. Aku hanya memerlukan bukti.
Sekarang aku memiliki bukti karena aku muntah. Aku tahu Ayah pembohong."
"Itu omong kosong. Kau mual karena kau merasa kesal. Ayahmu bukan pembohong."
"Itu lebih daripada sekadar rasa mual. Aku melihat ekspresi wajahnya berubah
ketika ia mengatakan kebohongan itu, nada suaranya berbeda, dan aku pun melihat
tangannya gemetar." Ibu berdiri dan melangkah ke pintu tanpa menoleh kembali ke arahku.
"Kau terlalu lelah dan kesal," katanya. "Tidurlah. Aku akan menemuimu besok
pagi." "Tapi...." Ia telah keluar. ---oOo--- Aku membuka-buka Guiness Book of Records untuk menemukan apakah ada orang yang
berbakat mendeteksi kebohongan. Tak ada seorang pun. Aku akan menulis surat dan
memberitahukan kepada mereka bahwa aku dapat mendeteksi kebohongan. Jika mereka
memutuskan untuk mengujiku dan aku berhasil lulus, aku akan masuk dalam buku,
bukan karena memecahkan rekor (terbanyak menyantap telur rebus atau memelihara
kumis terpanjang), tapi karena melakukan sesuatu yang mengagumkan.
Mungkin, aku juga akan mengirim surat ke Museum Ripley Believe It or Not!.
Mereka mungkin tertarik kepadaku. Di dinding di atas ranjangku, tepat di atas
kepalaku, terpampang foto Robert Leroy Ripley. Ia berdiri merangkulkan lengannya
di pundak seorang pria bernama El Fusilado, "Yang Terhukum". Orang yang
dihadapkan kepada regu tembak tapi tetap hidup.
Wajah El Fusilado dipenuhi lubang peluru, tapi ia tetap tersenyum, bahagia dapat
berdiri bersama Ripley. Pada akhirnya nanti, aku akan mendapat banyak uang atas
bakatku dan membiayai perjalananku ke Air Terjun Niagara.
Aku menguping ayahku. Bersiap bila ia akan datang ke kamarku membawa hadiah saat
ia pulang nanti. Aku mengambil kotak sepatuku dari kolong ranjang dan melihat
kartu-kartu pos serta brosur yang dikirimkan Bibi Evelyn dari Niagara.
Aku tahu pasti bagaimana kisah perjalananku nanti. Pertama, aku akan pergi hanya
dengan Mami, dan aku ingin duduk bersama di sebuah jumbo jet, melihat Air Terjun
Tapal Kuda, air terjun terbesar, dan jendela pesawat sebelum mendarat di bandara
Niagara. Aku juga ingin kami berdua berfoto di kokpit bersama pilot dan
kopilotnya. Aku ingin kami basah bermandikan siraman air terjun kemudian mengeringkan diri,
karena itu musim panas, seraya berjalan di Clifton Hill melihat festival. Di
sana banyak wahana permainan dan yang terpenting, Museum Ripley Believe It or
Not! Aku melirik arlojiku. Pukul setengah sembilan dan ayahku belum pulang. Aku pergi
ke ruang keluarga dan bertanya kepada nenekku di mana Ayah. Ia mengatakan Ayah
menginap di Wexford. Ia harus menemui bos lamanya untuk suatu keperluan. Aku
tertidur dengan sebuah brosur Museum Ripley tersimpan di bawah bantalku. []
4 Temanku Brendan datang ke pondok di pagi hari. Satu jam lebih awal daripada
jadwal. Ia selalu datang lebih awal, seakan ia hendak menangkap basah orang-
orang sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Ia datang mengetuk jendela
kamarku saat aku sedang mengenakan pakaian.
"Halooo," katanya dengan logat petaninya. "Aku berhasil menjual sembilan sapi
pagi ini." "Halooo," sahutku berteriak. "Kata orang, sembilan lebih baik daripada delapan."
"Depan atau belakang?" ia bertanya.
"Lewat cerobong asap saja."
Pintu depan dan pintu belakang pondok ini selalu terbuka.
"Baiklah," katanya.
Ia menempelkan mulut dan hidungnya rata dengan jendela dan menjilat kacanya.
Brendan lebih pendek daripada aku, tapi lebih besar dan lebar. Juga lebih kuat.
Ia memiliki kebiasaan membungkuk. Kepala dan lehernya mengarah rendah ke depan,
hingga ia selalu terlihat seakan sedang menjaga sesuatu di punggungnya agar
tidak jatuh. Ia masuk ke kamarku dan kami duduk berbincang di lantai untuk beberapa lama. Aku
tidak duduk di ranjang bersamanya. Aku hanya duduk di ranjang bila mengobrol
dengan Ibu. Aku berpikir apakah aku harus menunjukkan uang Nenek kepada Brendan,
tapi aku memutuskan tidak menunjukkannya. Bagaimana jika ia ingin menggunakan
uang tersebut" Bagaimana jika ia menceritakannya kepada salah satu saudara perempuannya"
Kami sedang melangkah keluar menuju lapangan di seberang pondok, ketika Nenek
memanggil dan dapur. "Brendan!" katanya. "Kau harus berhenti dan beramah-tamah
sejenak." "Oke, Nyonya Egan," jawabnya.
---oOo--- Nenekku sering mengenakan pakaian dengan warna yang serupa dari atas hingga ke
bawah. Hari ini ia mengenakan kemeja kuning, rok kuning, dan sepatu hak tinggi
berwarna kuning. Bahkan mata besarnya tampak kuning.
Ia menawarkan telur rebus kepada Brendan. Dan seraya memasak telur serta
membuatkan roti panggang, Brendan menceritakan dua gadis kembar berisik yang
bermain bersama adik-adik perempuannya sebelum ia meninggalkan rumah tadi pagi.
Betapa ia tak sabar untuk melepaskan diri dari mereka.
"Gadis kembar yang mana?" tanya Nenek.
"Bernice Boyd dan kembarannya, Bernadette," kata Brendan. "Mereka membawa
secarik kartu ucapan ulang tahun dan kue untuk adik perempuanku."
"Katakan kepada adikmu agar berhati-hati dengan kartu itu. Mungkin sebaiknya lap
dulu kartu itu dengan kain basah sebelum ia memegangnya."
"Kau tak dapat menangkap kuman dari secarik kartu ulang tahun,"
sahutku. "Rabies," kata nenekku, suaranya pelan, seberkas air liur memuncrat dari
mulutnya. "Kau dapat terkena rabies. Seluruh keluarga berbusa mulutnya karena
rabies." Aku ingin meninggalkan ruangan ketika nenekku mengatakan itu, tapi telurnya
telah matang. "Ini telurnya," katanya.
Telurnya tidak cukup lama direbus sehingga masih terlalu encer untuk dimakan.
Bagian putih telurnya adalah yang terburuk: cairan bening yang mentah. Kuning
telurnya tidak seberapa buruk dibanding putih telur yang mentah itu.
"Kau makanlah," ujarku kepadanya. "Aku tidak terlalu lapar."
Nenek menggunakan pisau untuk memecahkan cangkang telurnya dan cairan putih
telur tumpah ke sisi-sisi cangkang hingga ke piring. Alih-alih menggunakan
sendok atau sebongkah roti untuk menyeka tumpahan tersebut, ia mengangkat
telurnya ke wajah dan menjilat sisi-sisi cangkang yang remuk. Ia juga mengangkat
piringnya dan meja, dan menjilatnya. Ia membersihkan piring dengan lidahnya
hingga tak tersisa cairan telur. Ia bersantap seakan makanan itu akan terkunyah
dengan sendirinya, seakan ia ingin seluruh makanan terpeleset ke dalam
kerongkongannya. Jika seekor ikan datang ke meja, seperti itulah ia akan
disantap. ---oOo--- Aku tidak mengerti mengapa seorang yang sangat rapi dan apik makan dengan cara
seperti itu, selalu terlihat sisa makanan dan cairan di sudut bibirnya. Aku
kesal melihat kelakuannya yang menjijikkan dan kekesalan membuatku kehabisan
napas. Tapi, ia telah menerima kami saat kami tak memiliki uang dan mengatakan
bahwa ini adalah pondok kami; rumah kami.
Ia menyanyikan irama perang saat ia mandi dan bermain Scrabble bersamaku. Ia
mengajariku bermain permainan dadu dan poker meski tak pernah membiarkanku
menang. Aku merenggut jaket Brendan dan menariknya keluar dari dapur.
"Kita harus pergi," ucapku.
"Oh," kata Nenek, "jika memang harus pergi," dan tak ada yang dapat kulakukan
untuk membuatnya lebih sedih ditinggal sendirian lagi.
---oOo--- Kami menendang bola sepak selama berjam-jam dan berakhir di lapangan sekitar
satu mil dari pondok, setengah jalan antara pondok dan sekolah kami. Hari hampir
gelap dan sekarang sulit sekali melihat bolanya. Aku duduk berselonjor,
sedangkan Brendan duduk di atas bola.
"Kau tahu," katanya, "ketika kita masuk kelas enam, delapan bulan dari sekarang,
beberapa gadis akan mulai mengenakan bra."
Ia melompat-lompat menggunakan bola sepaknya sebagai pegas.
Aku berdiri dan menendang keras bola di bawahnya. "Aku akan masuk Guiness Book
of Records saat itu."
"Apa?" "Aku mengirim surat kepada mereka dalam beberapa hari lagi, sebelum sekolah
mulai." "Mengapa Guinness Book of Records memasukkanmu?"
"Aku tak dapat mengatakannya sekarang, tapi akan kuberitahu kau setelah aku
mendapat balasan dan mereka. Saat ini semuanya harus tetap rahasia."
"Berhentilah menendang bola! Memangnya siapa aku?"
"Masalahnya aku akan masuk dengan cara yang tidak biasa."
Ia berdiri dan bolanya dan membusungkan dadanya. Aku pun balas membusungkan
dada. Itulah cara kami bila sedang bertengkar. Aku katakan
"lalu" dan ia katakan "lalu" dan kami saling dorong selama beberapa saat.
"Lalu?" "Lalu?" "Lalu?" Ia jatuh terjengkang dan aku menyerbu ke arahnya.
"Lalu?" Ia menyerbu ke arahku. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Sambil berbaring di tanah aku berkata, "Lalu?"
Dan ia tertawa. "Sudah pukul lima. Aku harus pergi."
"Bagaimana kau tahu sudah pukul lima" Kau kan tak punya arloji?"
aku bertanya. "Kulihat arlojimu tadi dan itu telah lewat pukul tiga." Aku melirik arlojiku dan
memang hanya kurang semenit dari pukul lima. "Belum pukul lima," ujarku.
"Aku berani bertaruh."
Biasanya aku akan memulai pertengkaran baru, hanya demi bersenang-senang, tapi
aku ingin kembali ke kamarku.
"Sampai jumpa di sekolah yang mengerikan Senin nanti."
"Sampai jumpa," kata Brendan seraya meraih bolanya. "Dan di perjalanan pulang
nanti jangan lupa katakan pada sapi-sapi bahwa rumput itu buruk bagi kesehatan
mereka." "Dah," aku membalas.
Ia mulai melangkah menjauh dan aku pun demikian. Kami saling menatap dari jauh;
tak jelas apakah itu anggukan atau senyuman. Akhirnya, kami menampilkan raut
wajah jelek hingga mempermalukan kami berdua.
Aku berbalik dan berjalan pulang secepat mungkin.
---oOo--- Aku mengambil jalan yang biasa kutempuh. Menyusuri jalanan pohon cemara dan


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyeberangi ladang menuju pondok Nenek. Di ladang terakhir terdapat jalan
setapak sempit yang kususuri setiap pulang sekolah. Di jalan setapak tersebut
tanah diperkeras dan rumput tidak tumbuh. Inilah jalan yang kutempuh dan
berkelok tiga kali di tengahnya, seperti seekor ular.
Di ujung ladang, ke arah utara tampak pondok kami dan tidak jauh dari jalan,
berdiri sebuah boneka tertancap di sebatang pohon dan aku tak pernah melaluinya
tanpa memandangnya. Boneka itu terikat erat di antara dua cabang, setinggi kira-kira sepuluh kaki
dan tak dapat diraih; ia telah terikat di sana selama bertahun-tahun.
Sejak aku mulai bersekolah di Gorey National School. Warna pakaiannya telah
pudar dan di beberapa tempat, kulit tangan dan lengannya menghitam seakan
terkena serangan udara beku.
Di musim dingin aku segera meninggalkannya setelah memeriksa apakah ia masih
tergantung di sana. Tapi, di musim panas yang tak terlalu gelap pada siang hari,
aku merasa kasihan dan ingin menariknya turun.
Beberapa kali di malam musim panas, dalam perjalanan pulang dan sekolah, aku
berjanji akan memanjat pohon itu dan menurunkannya. Tapi kemudian, setelah aku
makan dan minum, aku melupakannya.
---oOo--- Jika bukan karena Crito duduk di atas meja dapur seraya mendengkur, pondok ini
akan terasa sepi dan sunyi. Tak ada cahaya. Radio pun dimatikan. Mungkin nenekku
pergi main bingo atau berbelanja dan Ayah masih di Wexford. Mungkin ibuku sedang
berlatih pantomim musim panas.
Aku duduk di meja dan meletakkan Crito di pangkuanku. Aku akan berpikir sejenak
seraya menunggu seseorang pulang.
Ibuku membuat boneka-boneka tapi ia bilang ia tak cukup baik menjadi seorang
pemain boneka. "Biarlah itu untuk mereka yang ahli,"
katanya. "Aku bukan seniman pertunjukan."
Namun, aku tahu ia salah. Setelah pertunjukan pantomim tahun lalu, ketika
sebagian besar orang telah meninggalkan gedung teater dan lampu-lampu
dipadamkan, seorang gadis kecil menangis meminta boneka-boneka bermain kembali.
Ibu si gadis kecil kehilangan kesabaran dan berkata, "Aku akan pergi sekarang,"
dan meninggalkan si gadis kecil meraung sendirian,
"Di mana si Serigala" Di mana si Anak Ayam?"
Ibuku menunjukkan kepada si gadis bahwa boneka-boneka itu bukan sungguhan dengan
cara membuat si Anak Ayam bersuara seperti si Serigala dan si Serigala bersuara
seperti Anak Ayam. Ketika si gadis malah menangis menjadi-jadi, ibuku berlutut
di depannya dan meletakkan tangannya di dada si gadis kecil. "Berhentilah
menangis," katanya. "Boneka-boneka telah tertidur."
Si gadis terus menangis hingga ibuku mengecup keningnya. Aku berjalan mendekati
mereka dan ibuku menarik tangannya dan dada si gadis.
"Tinggalkan kami, John. Tunggulah di dalam mobil," katanya. Ia memberiku kunci
mobilnya, tapi aku tak pergi ke mobil. Aku pergi ke dapur gereja dan melihat
dari balik jendela memastikan tidak terjadi apa-apa.
Dan saat itulah aku tahu ia adalah pemain boneka yang lebih baik daripada yang
ia akui. ---oOo--- Aku membuat sendiri roti panggang isi selai beri hitam dan pergi ke ruang
keluarga. Dan aku mengetahui ternyata ayahku ada di rumah selama ini. Ia duduk
dalam kesunyian, di ujung bangku panjang dekat perapian, membaca buku Five Great
Philosophers since Plato. Ia mengenakan celana panjang dan baju hangat warna
hijau dengan lubang dekat lehernya. Bulu-bulu tajam pendek tak tercukur
menghiasi dagunya. "Halo, Pa," sapaku.
"Halo, Nak," ia membalas.
"Apa kau membawa hadiah itu untukku?" aku bertanya.
"Hadiah apa?" "Hadiah yang telah kaujanjikan."
"Oh, ya. Aku belum mendapatkannya. Aku akan membawanya besok.
Itu akan menjadi kejutan besar."
"Tapi katamu." "Penyimpangan yang tak jelas bentuknya," kata ayahku "itulah yang kaulakukan:
kanak-kanak yang percaya bahwa kau dapat memiliki, dan harus memiliki,
segalanya." Aku menyalakan televisi dan duduk di ujung lain bangku panjang sambil menyantap
roti panggangku. Setelah kira-kira sepuluh menit menonton Doctor Who, aku merasa
kedinginan. Aku beranjak untuk mendorong arang di perapian menggunakan batangan
besi. Ketika aku duduk kembali, Ayah berkata, "Halo, Nak," seakan ia lupa telah
mengucapkannya tadi. "Bersenang-senang bersama Brendan?"
"Ya," jawabku. "Semuanya baik."
Aku menggigit sedikit roti panggangku tapi lidahku terasa kelu. "Pa"
Saat kau mendapat gelar di bidang kriminologimu, apakah kau mau menangkap para
penjahat?" Ia menarik napas dalam-dalam dan meletakkan bukunya di pangkuannya. Aku yakin ia
sedang ingin berbincang hari ini. Aku menarik kakiku ke atas bangku dan bergerak
mendekatinya hingga lututku menyentuh kakinya.
"Sesungguhnya tidak," ia berkata. "Aku hanya ingin memahami mereka. Kau pasti
pernah mendengar kalimat 'mencegah lebih baik daripada mengobati'?"
"Tapi kau, Paman Jack, dan Paman Tony mengatakan bahwa penjahat pantas mendapat
hukuman. Kau bilang mereka seharusnya digantung."
Ayahku merasa bahwa aku telah berhasil menjebaknya. Ia menutup mata sejenak,
kemudian membuka dan memulai lagi.
"Kadang hampir tidak mungkin mengetahui apa yang sesungguhnya dipikirkan
seseorang dari perkataan mereka. Orang terlalu sulit ditebak. Apa yang
kupikirkan lebih rumit. Apa yang sesungguhnya kupikirkan adalah hanya monster
yang dapat menggantung manusia. Dan manusia yang menghentikan hukuman mati di
Amerika akan menjadi orang terbesar yang pernah ada."
Ia menatapku untuk melihat apakah aku memahami perkataannya.
Aku memahami lebih dari yang ia kira.
"Dan berbicara," dia melanjutkan, "dan kata-kata yang digunakan dalam
pembicaraan, ketika orang mencoba menghibur orang lain dan menghabiskan waktu
serta mengusir kejenuhan atau kesepian.... Baiklah, kata-kata tersebut mungkin
adalah cara terburuk dalam menilai seseorang dari jenis pembicaraan yang
kaudengar hampir setiap saat antara aku dan paman-pamanmu, baik, itu hanya
semacam refleks, seperti ketika aku mengetuk lututmu dan kakimu akan menendang."
Lalu tanpa berkata lagi, ia kembali membaca bukunya. Aku ingin terus berbincang
dengannya dan seharusnya ia tak menghentikan pembicaraan seperti itu.
"Tapi, apakah maksudmu kau tak ingin menghukum para penjahat.
Bahkan yang paling jahat sekalipun" Bagaimana jika salah satu dari mereka
membunuh Mam?" "Maka mereka harus dihukum," katanya seraya mengusap wajah,
"dengan alasan. Mungkin kita harus tahu mengapa mereka melakukan kejahatan."
Aku bergerak mendekatinya di bangku. Aku dapat merasakan kehangatan tubuhnya.
"Tapi, bagaimana jika orang tahu penjahat itu berbohong" Bagaimana jika ada
orang yang menjadi detektor kebohongan?"
"Itu adalah pertanyaan bodoh."
Tiba-tiba aku merasa sakit, seperti tali terbakar dalam perutku. Aku memutar-
mutar potongan roti panggang di atas piring dan menatapnya lagi.
"Tapi," sahutku, "aku ingin tahu apa yang akan terjadi jika kau mengetahui bahwa
seorang penjahat berbohong."
"Apakah kau membicarakan poligraf" Alat pendeteksi kebohongan?" ia bertanya.
"Ya." "Tapi, ada orang-orang yang sangat pandai berbohong."
"Bagaimana jika ada orang yang menjadi detektor kebohongan, yang dapat
mengetahui seseorang sedang berbohong?"
Dahinya berkerut. "Kupikir tak ada orang semacam itu."
Aku menegakkan posisi dudukku dan tersenyum. Tampaknya ibuku menepati janjinya
dan Ayah tidak tahu apa pun.
"Bagaimana jika memang ada?"
"Baiklah, ia harus membuktikannya terlebih dulu kepadaku. Tapi, mungkin ia hanya
seorang aneh, seperti orang-orang aneh yang ada di bukumu."
Aku menguliti bagian kering roti panggangku serta melemparnya ke dalam perapian
dan tak berkata apa-apa lagi. Satu per satu aku mencabik sisa rotiku dan
melemparnya ke perapian. "Jangan membuang roti bagus seperti itu. Kebiasaan yang buruk."
Aku berdiri. "Aku tidak terlalu lapar," kataku. "Aku akan pergi ke kamarku."
Namun, aku tidak pergi ke kamarku. Aku keluar lewat pintu depan.
Meski dingin, gelap, dan basah, aku duduk mengenakan jaketku di halaman rumput
sempit dekat jalan masuk berkerikil. Kutarik segenggam rumput dan rumpunnya. Aku
memperhatikan mobil-mobil lalu-lalang, dan sapi-sapi di ladang di seberang
jalan; sapi-sapi itu mendekati pagar dalam kelompok berdua atau lebih, seakan
mereka berpikir seseorang akan membebaskan mereka.
Kadang aku melambai pada sapi-sapi itu. Menghampiri mereka dan memberikan rumput
yang kucabut dari halaman. Aku suka mencabuti rumput. Aku suka mendengar suara
saat rumput-rumput itu tercerabut.
---oOo--- Aku mendengar Ibu dan Nenek tiba di rumah, tapi aku tak menyambut mereka. Aku
tetap di kamarku dan membaca.
Malam telah larut, tapi ibuku masih belum juga mendatangi kamarku mengucapkan
selamat malam. Aku pergi ke kamar mandi dan melihatnya di sana. Ia mengenakan
pakaian tidurnya. Membungkuk di atas westafel, menggosok gigi. Aku berdiri di
ambang pintu menatapnya. Ia menegakkan posisi berdirinya saat menyadari aku
memperhatikan. "Mmmm?" katanya, busa pasta gigi memenuhi bibir dan dagunya,
"apa yang kauinginkan?"
"Tidak ada," jawabku.
Ibuku selesai menggosok gigi dan meninggalkan kamar mandi. Ia lupa memberikan
sikat gigi biruku. "Bolehkah aku bicara sepatah kata denganmu?" aku bertanya.
"Sepatah kata?" katanya, kemudian tersenyum; senyum yang hangat akhirnya.
"Ya," jawabku. "Sekarang."
Kami pergi ke kamarku. Aku menyelinap ke bawah selimut, dan Ibu juga. Kami
berbaring telentang, berdekatan. Tangannya lembut menyentuh tanganku, dan tak
lama kemudian tarikan napas kami terdengar berbarengan. Rambut panjangnya
menggelitik pundakku dan tangannya menyentuh pahaku. Aku ingin berpaling
kepadanya, mendekati wajahnya, tapi aku harus mengatakan kepadanya terlebih
dulu. "Nenek juga berbohong."
Ia menyangga kepala dengan lengannya, dan berpaling ke arahku.
"Itu hal serius untuk diucapkan," katanya.
"Mami, aku tahu bila orang berbohong. Aku selalu merasa mual dan aku
mengetahuinya." Ia menatapku tajam untuk beberapa lama dan aku mencoba tak
berkedip. "Kebohongan apa yang dilakukan Nenek?" Aku menjelaskan soal uang itu, tapi aku
tak bilang bahwa aku mengambil sebagian uang tersebut untuk diriku sendiri.
Sekarang ia bangkit duduk dan tak menyentuhku lagi. Aku menutup mata dan
menunggu ia berbicara. "Apakah kau mengambil uang dari dompet Nenek?"
"Tidak, Mami. Tentu saja tidak." Aku berhenti bernapas. Jantungku berdegup
sangat kencang hingga terdengar di telingaku. Meski sangat cemas, aku harus
tetap memperhatikan apa yang kurasakan. Penting bagiku mengetahui perasaan dan
mencatat reaksi tubuhku. Aku tak ingin berbohong, tapi jika kami membicarakan
uang tersebut, kami tak akan berbicara tentang hadiahku. Jika aku mengatakan
yang sebenarnya, kebenaran yang lebih penting tak akan terungkap.
"Apakah kau yakin?" ia bertanya.
"Tentu saja aku yakin."
Aku tak sanggup menatapnya saat mengatakan kebohongan. Aku memberengutkan
wajahku agar tampak terganggu dan terbebani.
"Kedengarannya bagus," katanya.
Kedengarannya bagus. Itu sama saja dengan berkata bahwa kau mengetahui seseorang
berbohong tapi kau ingin mendengar kebohongan itu karena membuatmu lebih baik
daripada mendapati kenyataan.
"Bagus," sahutku.
"Apa yang terjadi ketika seseorang mengatakan kebohongan?" ia bertanya.
"Aku merasa mual dan telinga serta leherku terasa terbakar. Aku memperhatikan
semua yang kurasakan."
Ia menatap kosong ke arah karpet sebelum akhirnya berkata. "Aku ingin kau
berjanji tidak mengatakan apa pun kepada Pa atau Nenek soal kebohongan ini."
Meski ia tak berbohong, aku tahu ia tak memercayaiku. Lebih dari itu, ia tak
ingin aku mempermalukan diriku sendiri. Ia tak banyak bertanya dan, jika ia
percaya, seharusnya ia akan lebih ingin tahu. Ia seorang normal yang bertanya,
satu per satu, dan aku menjawab pertanyaannya.
"Oke," aku menjawab. "Ini akan menjadi rahasia kita."
"Sebaiknya jangan menyebutnya rahasia. Kita sebut saja... anjing tidur."
"Anjing macam apa?"
"Pendengkur-merah dengan kaki-kaki berbulu panjang yang mengejang saat ia
tidur." Ia kembali berbaring. Kami tersenyum tapi aku ingin lebih banyak lagi: aku ingin
ia memelukku. Aku mengangkat lenganku dan merangkul pundaknya. Ia meletakkan
lengannya melingkari pinggangku. Ini berlangsung agak lama.
"Tutup matamu," katanya. Saat aku menutup mata, ia mengecup bibirku.
"Tetap tutup matamu," ucapnya.
"Oke," jawabku.
Ia menggerakkan tangannya sepanjang sisi tubuhku dan pahaku, tapi tiba-tiba ia
berhenti, menepukku dua kali lalu menarik tangannya kembali.
Ia beranjak, sangat cepat, bangun dari ranjangku yang hangat.
"Selamat malam," katanya.
"Tapi...." "Selamat malam."
---oOo--- Aku duduk hingga larut malam membaca buku dan perpustakaan, The Truth about Lie
Detection. Memegang pena baru dan sebuah buku latihan, aku mulai menulis soal
kebohongan dan tingkah orang saat mereka berbohong.
Aku memberi judul "The Gol of Seil". Aku menulis soal kebohongan ayahku,
kebohongan nenekku, dan reaksi aneh ibuku terhadap kebohongan.
Aku memikirkan apa yang terjadi ketika orang mengetahui bahwa aku memiliki
kemampuan yang unik" Atau ketika orang menyadari mereka tak dapat menipuku" Aku
harus berhati-hati. Aku akan sangat berhati-hati.[]
5 Aku bangun pagi-pagi sekali dan mendaki tangga sempit ke kamar orangtuaku.
Kakekku membangun loteng ini karena ia menginginkan sebuah ruangan yang terpisah
dari ruangan lain di pondok. Ia dapat memperbaiki perhiasan di atas sana. Loteng
itu memiliki dua jendela besar dan langit-langit yang rendah. Nenek adalah satu-
satunya orang yang tak perlu membungkuk saat melewati pintu loteng.
Pintu terbuka cukup bagiku untuk mengintip ke dalam. Ibuku tidur menyamping.
Kakinya tersembul keluar dari selimut tebal.
Ayahku tidak berada di ranjang. Ia tidur di kasur yang dihamparkan di lantai,
berbaring di bawah selimut cokelat. Ia terjaga, menatap langit-langit, atau
mungkin ia tidur dengan mata terbuka. Aku tidak yakin.
Aku berdiri menjinjit dan memperhatikan apakah ia melihatku. Ia pasti melihatku,
matanya bertemu dengan mataku, tapi bagian lain wajahnya tak bergerak. Ia tak
berkata-kata atau terlihat akan berkata-kata. Ia menatapku, lama dan kosong. Aku
masih tidak yakin ia terjaga atau tidur.
"Mengapa kau tidur di lantai?" Aku ingin bertanya, dan aku telah menanyakan hal
itu minggu lalu, tapi sekarang, entah kenapa, aku kehilangan kesadaran, seperti
saat aku di sekolah. Aku berbalik, berjalan merapat ke dinding hingga tak
terlihat dari pandangannya.
Tangga itu sempit dan aku turun berpegangan erat pada pegangan tangga.
Di dapur aku membuat suara yang lebih berisik daripada biasanya.
Berharap Nenek mendengarku dari kamarnya di ujung lain pondok. Tak lama
kemudian, ia berseru. "John!" serunya. "Ini baru setengah enam pagi."
"Aku lapar." "Setan kecil. Kukira ada pencuri yang masuk ke rumah. Ayo kemari."
"Maaf," sahutku, tapi aku tak beranjak menghampirinya.
"Baiklah, aku terbangun sekarang. Bagaimana bila kau membawakan secangkir teh
dan duduk bersama?" ---oOo--- Aku membuat roti panggang dan teh lalu membawanya ke kamar Nenek.


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika kau kedinginan," katanya, "masuklah ke dalam selimut."
"Tidak," jawabku. "Aku tidak kedinginan."
Aku duduk di ujung ranjang, sedangkan ia melahap roti panggangnya dengan mulut
terbuka lebar. Ia melahap semuanya seakan sedang terkena flu dan tak mampu
bernapas dengan hidungnya.
"Lucu, bukan," ujarku, "ketika kau terkena flu kau tak memiliki flue-saluran
udara, untuk bernapas."
Ia mengangkat dagunya. "Seperti flue di cerobong asap...."
"Oh. Aku mengerti sekarang. Aku harus bangun pagi dan bersikap baik agar dapat
berteman denganmu." "Tapi," kataku, "ini memang pagi!"
Ia tersenyum tapi langsung terhapus dan mulut jeleknya kembali merengut. "Kau
senang tinggal bersamaku di sini, kan?" ia bertanya.
"Tentu saja," jawabku. "Lebih baik daripada sebelumnya. Aku dapat berjalan
menyusuri jalan setapak melintasi ladang-ladang menuju sekolah dan tak perlu
repot mengejar bus."
"Itu bagus," katanya.
Kami duduk menyantap roti panggang tanpa berkata-kata lagi.
Aku selesai menyantap rotiku. Begitu pula Nenek. "Secangkir teh lagi akan lebih
baik," katanya. Aku mengambilkan secangkir teh dan membawanya masuk.
Kutinggalkan bakinya di tempat tidur dan tetap berdiri.
"Jangan pernah berdiri bila ada tempat untuk duduk," katanya.
Aku duduk. "Mana cangkirmu?"
"Aku tak membawa cangkir."
Aku duduk dan memperhatikan.
Ia menyeruput tehnya dan tersenyum kepadaku. Ia menempelkan lidahnya ke
pinggiran cangkir sebelum menyeruput, dan setelah menyeruput, ia tersenyum
kepadaku. Hanya terdengar bunyi seruputannya, sisanya keheningan. Ketika sebuah kereta
kuda lewat, aku bersyukur atas suara dan gangguan itu. Aku beranjak ke jendela
dan memperhatikan kereta kuda itu berjalan perlahan menyusuri jalan kecil dekat
pondok. Nenek menghabiskan cangkir keduanya dan bau tak sedap kotoran hewan memenuhi
ruangan. "Apa yang kaulihat di loteng tadi?" ia bertanya.
"Aku tak melihat apa pun."
"Apakah kau melihat orangtuamu di ranjang?"
Aroma pupuk kandang yang membusuk atau jerami yang terfermentasi seakan telah
lama tinggal dalam kamar Nenek dan pertanyaannya seakan diselimuti kotoran.
"Ya. Aku melihat mereka tidur."
"Apakah mereka berdua tidur" Tidur bersama?" Rasanya ada lendir menyumbat
kerongkonganku, tepat di bagian belakang mulutku. "Aku melihat Ayah tidur di
lantai," jawabku. "Ya," katanya. "Punggungnya terasa sakit lagi. Seperti tahun kemarin ketika ia
tidur di ruang keluarga selama seminggu. Tapi biarkan saja. Ia tak ingin
dikasihani. Kau paham" Jangan berbicara tentang sakit di punggungnya, atau
tentang tidur di lantai. Kau mengerti?"
"Ya," jawabku. Ia berbohong. Ada sesuatu yang terjadi antara Ayah dan ibuku dan aku tak tahu
apa itu. ---oOo--- Aku pergi ke kamar dan membaca buku kedua yang kupinjam dari perpustakaan
Wexford tentang deteksi kebohongan. Dan buku itu aku mengetahui bahwa orang Cina
kuno yang disangka berbohong diminta meludahkan beberapa butir beras. Beras yang
kering menunjukkan mulut kering seorang pembohong. Aku membayangkan penggunaan
teknik ini suatu saat nanti. Aku membuat catatan dalam "The Gol of Seil", yang
selama ini kusimpan di bawah kasur, bersama uang yang kuambil dari dompet Nenek.
Sekarang aku memiliki tiga judul: "Kebohongan Besar" ("Rojam Seil") dan
"Kebohongan Kecil" ("Ronim Seil") serta "Kebohongan Putih" ("Etihw Seil"). Tapi
kebohongan putih bila dibalik demikian tidak menjadi kata yang bagus, maka
kuganti dengan "Etuh Seil".
Aku menaruh "The Gol of Seil" di bawah kasur, dan dengan ekstra hati-hati aku
pun menggunakan nama sandi untuk keluargaku: Ibu dengan nama sandi Romtha, Ayah
dengan Hafta, Nenek dengan Mogra, Paman Tony dengan Tolac, dan Paman Jack dengan
Jatal. Meski belum kumasukkan, Bibi Evelyn kusebut sebagai Lonev, dan telah
tersedia sebuah halaman berjudul namanya, Lonev, menunggu kebohongan yang akan
diucapkannya.[] 6 Ini hari Minggu, satu minggu sejak ayahku berbohong tentang anak-anak kucing,
dan aku sedang membaca buku tentang Sherlock Holmes yang menyelidiki kasus Jack
the Ripper. Ayah dan ibuku duduk bersamaku di bangku panjang dan aku membacakan bagian buku
milikku dengan keras kepada mereka. Ayahku berkata, "Sungguh aneh dan
anakronistis menceritakan Sherlock Holmes dan Jack the Ripper di tempat yang
sama." "Bagaimana itu menjadi anakronistis," sahut ibuku, "Sherlock Holmes adalah tokoh
fiksi dan yang satunya sungguh-sungguh ada. Tokoh fiksi dapat hidup kapan pun ia
mau. Lagi pula, kupikir mereka memang hidup di waktu yang hampir bersamaan."
"Apa artinya anakronistis?" aku bertanya.
"Artinya tidak sesuai dengan waktu secara sejarah," jawab ayahku.
"Seperti bila Yesus Kristus menyeruput Coca-Cola sebelum ia disalibkan."
Ibuku menambahkan, "Aku akan mengambil kamus. Ayo kita lihat apa kata kamus."
Ia beranjak. Ayahku berdiri membenahi arang di perapian, kemudian pergi tiba-
tiba tanpa berkata apa pun.
Ibuku pun tak kembali membawa kamusnya. Aku membaca sendirian.
---oOo--- Selesai membaca, aku pergi ke dapur. Ayahku ada di dapur bersama Nenek.
Aku tak masuk ke dapur. Alih-alih, aku berdiri di sudut pintu agar mereka tak
dapat melihatku. Nenekku sedang membaca secarik surat dan, saat ia selesai, ia menatap ayahku.
"Kau ingin aku melakukan apa dengan ini?" ia bertanya.
"Aku tidak mengusahakan ini hanya demi keuntunganmu."
Ayahku berbicara dengan suara pelan. "Bagaimana dengan John"
Bagaimana dengan cucumu?"
Nenekku mengerutkan bibir sebelum berbicara.
"Kau mungkin Yahudi di keluarga ini," ujarnya. "Tapi kau tak berhak menasihatiku
soal keuangan. Dan contoh seperti apa dirimu bagi anakmu"
Seorang pria seharusnya mengumpulkan hartanya."
"Baiklah. Aku akan mencari pekerjaan, jika itu membuatmu senang.
Melihatku menderita."
Nenekku berpegangan pada meja. "Aku dalam perahu yang tenggelam dengan cepat,"
ia berkata. "Sepanjang hari aku seakan menciduk berusaha mengeluarkan airnya.
Kau tak tahu rasanya menghadapi kematian. Aku ingin hidup, tapi hidupku hampir
berakhir. Jika aku ingin menghabiskan uang peninggalan suamiku karena itulah
hakku. Kau tak perlu memberitahu aku bagaimana cara menghabiskan sisa hidupku."
"Kau yang mengundang kami tinggal di sini."
"Aku mengundang kau tinggal di sini hingga kau mendapat pekerjaan, bukannya
menghuni rumah ini seperti benalu," jawabnya sangat marah hingga butiran air
liur menyembur ke wajah Ayah.
Ayahku menundukkan kepala dan mengepalkan tinjunya.
"Kapan aku mengatakan kepadamu dapat tinggal di sini selamanya?"
Nenek melanjutkan. "Kau tidak bekerja selama tiga tahun. Oh, ya, kau dapat
mengerjakan semua ujian dan teka-teki. Untuk apa" Dan semua studi itu, untuk
apa" Kau menghabiskan seluruh waktumu membuktikan dirimu pintar dan tak ada satu
pun yang berguna!" Sebelum ayahku sempat menjawab, Nenek beranjak dari meja dan berjalan ke arah
pintu. Aku berusaha menyelinap pergi, tapi ia telah melihatku.
"Halo, John," sapanya. "Kukira kau sedang menonton televisi."
"Aku lapar," jawabku.
"Baik. Menyingkirlah dan biarkan si anjing mencari si kelinci."
Ia merengkuh lenganku dan menarikku ke pinggir seakan aku perabotan yang
menghalangi jalannya. ---oOo--- Aku pergi keluar. Ibuku sedang memasuki mobilnya.
"Mau ke mana kau?" ia bertanya.
"Tidak tahu." "Baik, aku akan membeli tepung dan gula dan toko Keating tapi terlalu malas
berjalan kaki." "Bolehkah aku ikut" Dan kita membeli ikan dalam kantong di kota?"
Ia mengernyit. "Kita dapat melakukan itu," jawabnya. "Kita tak memiliki banyak
waktu. Aku harus menjahit boneka-boneka sore ini."
"Kalau begitu aku hanya ikut ke toko." Aku masuk ke dalam mobil dan kami
berkendara menuju toko Keating. Lenganku terasa panas dan jantung berdebar.
"Kau tak ingin melakukan apa pun bersamaku sekarang," sahutku.
"Sikapmu terhadapku telah berubah."
"Kupikir bukan diriku yang berubah. Ada sesuatu dari dirimu yang mengubahnya."
"Tak ada yang aneh dan diriku," jawabku.
Aku ingin ia tetap menatapku tapi aku berkata, "Jangan menatapku."
"Ia tersenyum. "Apa yang salah" Katakanlah. Kita tidak punya rahasia."
"Aku mendengar Nenek dan Pa bertengkar masalah uang dan tentang kita tinggal di
pondoknya." Ibu menghela napas. "Jangan khawatirkan itu. Itu bukan hal yang harus
kaucemaskan." "Tapi kedengarannya serius. Ia akan mengusir kita."
Jantungku berdegup semakin keras dan aku menghirup udara sebanyak mungkin untuk
menghentikannya, tapi jantungku terus berdegup kencang.
"Nenekmu tak pernah berniat melakukannya. Orang sering mengeluarkan perkataan
yang bukan maksudnya ketika mereka bertengkar."
"Tidak," sahutku. "Mereka mengatakannya dengan sungguh-sungguh."
Aku tidak berniat melontarkan kata-kata tersebut.
Terlintas pemikiran apakah menjadi kebohongan jika kata-kata keluar sebelum
dipikirkan. "Itu masalah yang pelik untuk dikatakan," sahut Ibu.
"Mereka sungguh mengatakannya," jawabku.
"Kadang memang ya, kadang tidak. Dalam hal ini, mereka tidak punya maksud apa-
apa atas perkataan mereka. Tidak ada yang berbahaya dari perkataan seperti itu.
Nenek menyayangimu lebih dari yang terlihat dan mereka akan segera berbaikan."
Ia tidak berbohong, dan aku menjadi tenang. Dadaku berhenti berdegup kencang dan
telapak tanganku mengering. Ibu mengemudi perlahan sambil bernyanyi-nyanyi.
"Apakah jantungmu pernah berdegup kencang dan telapak tanganmu berkeringat?" aku
bertanya. "Kadang. Bila aku tegang."
"Kenapa kau cemas?"
"Ketika aku ketakutan, misalnya, atau merasa seseorang mengawasiku seperti
seekor elang mengintai mangsa."
"Kadang aku cemas karena diriku sendiri. Apakah itu pernah terjadi padamu?"
"Biasanya tidak," jawabnya.
"Apakah karena orang seharusnya tidak takut kepada dirinya sendiri?"
tanyaku lagi. "Karena harus ada dua orang untuk membuat salah satunya merasa
sakit?" "Kukira begitu."
Kami berhenti di persimpangan jalan, menunggu sebuah kereta kuda dan sebuah
traktor melintas perlahan-lahan. Aku menengok keluar jendela, pada seekor anjing
yang sedang menggaruk-garukkan tubuhnya ke tiang pagar. "Anjing itu akan melukai
tubuhnya sendiri," sahutku. "Tidak apa-apa.
Bulunya cukup tebal." Kami tak berkata-kata lagi selama sekitar satu menit dan
menatap si anjing hingga ia berhenti menggaruk dan menatap balik ke arah kami.
Aku menurunkan kaca jendela.
"Guk," sapaku. "Guk, guk," ibuku menimpali. Si anjing tampak bingung dan berlalu.
"Sekarang," kata Ibu, "aku dapat meninggalkan boneka-boneka itu.
Katakan apa yang ingin kaulakukan. Kita tak dapat berdiam di perempatan jalan
sepanjang hari. Kita dapat pergi ke tempat yang kausuka sepanjang sore. Asalkan
kita pulang saat minum teh."
"Apakah kita masih bisa pergi ke Air Terjun Niagara?"
"Tentu saja. Kita akan pergi setelah kau menyelesaikan tugas-tugasmu."
"Aku ingin kita berangkat saat ulang tahunku yang ketiga belas,"
jawabku. "Saat aku lebih dewasa, kita dapat berpikir untuk pergi."
"Itu bukan seperti yang kita rencanakan. Itu hanya dua tahun dari sekarang.
Sementara itu, perjalanan kita cukup mahal."
Aku bertanya-tanya apakah sembilan puluh pound cukup untuk membeli satu tiket.
Aku tahu itu hampir sama dengan pendapatan dua minggu bekerja di pabrik.
"Berapa biaya yang dibutuhkan?"
"Lebih dari yang kita miliki."
"Bagaimana jika Nenek membantu?"
"Terlalu banyak untuk meminta bantuannya."
Mobil di belakang kami menunggu kami bergerak.
"Bagaimana jika ia mau" Bagaimana jika ia memberi kita uang sekarang sebelum
semuanya habis?" "Kupikir tidak...."
Pengemudi di belakang membunyikan klakson. "Kau belum menanyakan kepadanya.
Bagaimana jika kau berjanji menanyakan kepadanya"
"Aku dapat menanyakan kepadanya," jawab Ibu, "tapi kau tidak boleh memaksa aku
ataupun Nenek. Apa pun yang akan ia katakan adalah keputusannya, dan aku akan
mengatakan kepadamu bila ia bersedia atau tidak. Itu perjanjiannya. Setuju?"
Ibu melambaikan tangan mempersilakan pengemudi di belakang mendahului mereka. Si
pengemudi melewati kami seraya menggelengkan kepala.
"Dapatkah kaubayangkan?" ujarku. "Dapatkah kau membayangkan air terjun, hiburan-
hiburan, pekan raya, Museum Ripley, dan naik pesawat 747?"
"Cobalah jangan terlalu berharap," katanya, tapi justru ia yang terlihat sangat
senang dan mengharapkannya; pipinya merona dan tangannya tak mau diam memegang
kemudi. Ia berbelok di persimpangan dan memacu mobilnya lebih kencang.
Saat kami mendekati sebuah rumah besar, sebuah mansion, dekat jalan yang
mengarah ke Gorey, ia melambat dan mengarahkan mobil ke jalan masuk menuju rumah
besar itu. "Kenapa kita berhenti?" aku bertanya keheranan.
"Aku punya gagasan," katanya. "Aku selalu ingin melihat-lihat ke dalam rumah
ini. Mengapa tidak selagi kita sempat?"
Rumah itu sangat dikenal oleh penduduk Gorey. Turis datang melihat-lihat ke
dalam hutan gelap yang mengelilingi rumah, kebun mawar, dan danau di belakang
bangunan tersebut. Pemilik rumah besar tersebut tinggal di Dublin dan hanya datang sekali atau dua
kali setiap tahun; untuk membayar gaji para pekerja pemeliharaan, tukang kebun,
petugas pembersih, para pelayan, dan penjaga rumah agar bangunan itu tetap
terawat. "Aku ingin masuk ke dalam," kata Ibu. "Aku ingin masuk ke dalam dan melihat
semua ruangan." Ia melirik arlojinya. "Kita coba," katanya.
Saat ibuku berkata, "Kita coba," aku langsung teringat jawaban yang biasanya
terlontar. Ini adalah permainan kami; sebuah permainan yang hanya dimainkan oleh
aku dan ibuku. "Dan aku tak ingin menjadi orang lagi," sahutku. "Aku ingin menjadi berang-
berang yang dapat terbang melintasi pegunungan dan menyantap es krim setiap
hari." "Kita coba," katanya dan kami tersenyum.
---oOo--- Kami memarkirkan mobil di gerbang dan berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Si
tukang kebun berdiri dekat pintu masuk, mengenakan jaket panjang hijau dan
sepatu bot Welhngton. Kami berjalan menghampirinya dan ia mengawasi kami datang
tanpa berkata apa pun hingga kami berdiri beberapa kaki darinya. "Ini adalah
tanah pribadi," katanya.
"Ya, tapi putraku ingin melihat ke dalam," kata ibuku. "Bolehkah kami melihat-
lihat barang sejenak?"
Si tukang kebun menyeka wajahnya menggunakan punggung tangannya. Selain itu, ia
tak bergerak lagi. Ekspresi kosong wajahnya lebih membuatnya tampak seperti
tidur daripada terjaga. "Ini tanah pribadi,"


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya lagi. Ibuku tidak membuang-buang waktu. "Putraku sedang sakit parah,"
katanya. "Hanya sebentar kami melihat ke dalam."
Ia berbohong tapi aku tak bereaksi. Inilah yang disebut sebagai kebohongan
putih. Tapi, tetap saja sebuah kebohongan yang dilakukan demi keuntungan
seseorang dan menipu orang lain. Mungkin kebohongan putih tidak bekerja dalam
cara yang sama karena si pelaku tidak merasa cemas atau kesulitan. Tapi, tetap
saja kebohongan putih memiliki konsekuensi sama seperti kebohongan hitam.
"Dan tidak ada lumpur di sepatu kami," aku menambahkan. Si tukang kebun menengok
ke arah rumah dan menyeka wajahnya dengan punggung tangannya yang bertato
setangkai bunga mawar. Ia meraih kunci di dalam saku bajunya.
"Lagi pula, rumah itu memang perlu udara segar," katanya.
Dalam perjalanan masuk, aku batuk beberapa kali, berpura-pura sakit, dan wajah
Ibu merona. Wajahnya lebih merah daripada yang pernah aku lihat. Aku menanti
wajahnya kembali pucat dan kemudian aku menggandeng tangannya saat memasuki
ruangan-ruangan dalam rumah besar itu. Ruangan di dalamnya gelap dan dingin
beraroma seperti Pak Sheen.
Si tukang kebun menceritakan usia perabot yang ada di dalam rumah besar itu.
Ibu, yang biasanya tidak mudah bosan, melontarkan pertanyaan-pertanyaan kaku
dengan nada tegang. "Apakah itu tempat lilin Waterford?" ia bertanya.
Ketika kami memasuki dapur di bagian belakang rumah besar tersebut, aku tahu
kunjungan kami akan segera berakhir. Maka aku memutuskan untuk memisahkan diri.
Aku berbalik ke ruangan depan. Aku melihat sekeliling kemudian berlari meniti
anak-anak tangga lebar tak berkarpet.
Ketika ibuku memanggilku, aku berdiri merapat ke dinding di lantai satu. "John!"
teriaknya. "John!" Kemudian aku mendengar ia berbicara dengan si tukang kebun
dan kukira si tukang kebun akan naik mengejarku.
Aku tak punya banyak waktu. Aku berlari tiga anak tangga lagi dan ketika aku
tiba di lantai atas, aku kehabisan napas dan cemas, tapi aku terus maju.
Aku membuka pintu-pintu dan menengok ke dalam ruangan-ruangan hingga aku
menemukan sebuah ruangan penuh mainan. Aku masuk dan menutup pintu di
belakangku. Terdapat sebuah kuda goyang dan kotak-kotak penuh mainan serta dua buah ranjang
ditutupi beruang-beruang Teddy dan boneka-boneka. Di depan perapian tersusun
deretan botol susu berisi pasir.
Di atas meja, dekat jendela yang terbuka, terhampar sebuah model kawasan
pedesaan lengkap dengan stasiun kereta api, kantor pos, dan toko pangan. Aku
berdiri dan melihat pusaran angin kecil berembus dari jendela ke arah toko
pangan. Sebuah embusan angin, seperti napas Crito, menyentuh punggung tanganku.
Aku takut seseorang akan melihatku lewat jendela-jendela tinggi tersebut. Aku
mengangkat model pedesaan itu dari meja dan membawanya ke sudut di balik sebuah
ranjang, merapat ke dinding belakang. Saat aku menurunkan model tersebut ke
lantai, alasnya tertekuk dan dua pohon kecil terlepas. Aku menurunkan desa
tersebut ke lantai lebih hati-hati dan meletakkan pohon-pohon itu kembali ke
tempatnya. Kemudian aku duduk bersilang kaki di atas karpet.
Ada kereta api, deretan toko, orang-orangan plastik, semak-semakan, dan anjing-
anjing. Aku meraih gerbong kereta dan relnya dan meletakkannya di luar barisan
kereta. Ini bukan model pedesaan Irlandia. Ini model desa di Prancis; ada sebuah kereta
dengan tujuan Pigalle. Aku bermain dengan kereta tersebut beberapa lama. Ada
sebuah balkon di bagian belakang gerbong. Tempat para penumpang berdiri melihat
pemandangan. Aku bertanya-tanya mengapa kereta di tempat kami tidak memiliki
balkon. Sesungguhnya aku ingin mengambil satu model kereta untukku sendiri, tapi aku
bahkan tak dapat menyembunyikan sebuah gerbong.
Akhirnya aku mengambil si kepala stasiun dan memasukkannya ke dalam saku
jaketku. Si kepala stasiun memiliki kumis, mengenakan topi merah berpelindung
mata, dan berdiri di alas plastik datar berwarna hijau, seperti alas prajurit-
prajurit mainanku. Ibuku mendaki tangga, memanggil-manggil namaku. Aku mengembalikan model desa ke atas meja dan menuruni tangga menghampirinya.
Ia sendirian. "Kenapa kau menghilang?" Aku mengangkat bahu.
"Ayolah," katanya. "Aku tidak ingin si tukang kebun mendapat masalah."
Saat menuruni tangga, aku meraih lengannya. "Terima kasih," bisikku.
"Kau baik-baik saja," katanya.
---oOo--- Si tukang kebun mengantar kami ke gerbang.
"Seharusnya kau tidak menghilang seperti itu," katanya. "Kau bisa membuatku
mendapat banyak masalah."
"Maaf," aku berkata. "Aku hanya ingin berlari naik-turun tangga.
Hanya bersenang-senang."
"Baiklah," sahutnya. "Tapi tidak baik berlarian di rumah yang bukan milikmu."
"Maaf," ucapku sekali lagi.
Di mobil, Ibu berpaling kepadaku. "Oke, bagaimana menurut kau?"
"Hebat," kataku. "Aku akan tinggal di rumah besar seperti itu suatu saat nanti.
Mungkin aku akan tinggal di rumah besar ini."
"Mungkin saja," katanya, tapi aku yakin ia tak memercayai kata-kataku.
Aku serius. Tak lama setelah aku mengeluarkan kata-kata itu, aku tahu mereka
akan membantu perkataanku menjadi kenyataan. Maka, aku mengatakannya sekali
lagi. "Aku akan tinggal di sebuah rumah besar," kataku. "Aku yakin. Aku akan terkenal
dan kaya raya. Aku tidak akan menjadi orang biasa. Aku akan melakukan sesuatu
yang hebat. Aku yakin."
---oOo--- Kami memasuki halaman toko Keating dan ibuku mematikan mesin. Aku menengok
keluar dan kaca depan. "Aku menyayangimu," ucapku.
Ibu meraih tanganku dan kata-katanya mengejutkan aku. "Kata-kata bukanlah
perbuatan, Anakku. Kadang ibumu perlu menahannya."
Kami berpelukan lebih lama daripada biasanya, dan saat kami saling melepaskan
diri, ia menangis. "Sungguh menyenangkan," katanya dengan nada lebih lembut di sela isak tangisnya.
Lama baru aku dapat berbicara kembali dengannya tapi kemudian ia tertawa dan
menunjuk ke arah mobil yang memasuki halaman toko. Kukira ia menangis karena
bahagia. "Lihat, pria yang mengendarai cardiac itu," katanya.
Aku tahu dari tawanya Ibu sengaja salah mengucapkan nama mobil itu, dan bagianku
adalah menebak apa nama sebenarnya. Itu adalah permainan lain yang sering kami
mainkan. "Itu Cadillac," sahutku. "Bukan cardiac!"
"Kau benar," katanya.
---oOo--- Saat kami pulang, Nenek sedang membuat kue cokelat yang baru saja dikeluarkan
dari pemanggang. Aku mengambil potongan besar dan pergi ke kamarku untuk
menyantapnya. Ketika aku selesai, aku memutuskan mencari nenekku dan
membawakannya sepotong kue dan secangkir teh.
Aku mengetuk pintu kamarnya, tapi ia tak menjawab. Aku tetap berusaha masuk ke
kamarnya. Ia tertidur di ranjang, telentang, dengan hanya mengenakan celana dalam.
Batangan pemanas mencuat di kakinya. Pakaiannya menumpuk di lantai. Ini pertama
kalinya aku melihat tubuh telanjang dan tubuhnya sama sekali tidak tampak
seperti manusia. Tangannya menyandar di atas perut yang lebih lebar dan lebih bulat daripada yang
kukira. Payudaranya menggantung hingga ke ketiaknya seperti dua kantong air
berhias garis-garis pembuluh darah berwarna biru dan merah. Benjolan-benjolan
cokelat gelap mencuat di tengahnya.
Di meja samping ranjangnya tersedia semangkuk teh susu dan piring putih kecil
dengan dua irisan roti cokelat berlapis selai.
Aku menatap tubuhnya untuk beberapa saat. Lalu aku menutup pintu dan kembali ke
dapur. Ayahku sedang membuat sepoci teh.
"Tadi aku pergi ke rumah besar," aku bercerita.
"Oh, ya?" sahutnya. "Baguskah?"
"Lebih dari bagus," kataku. "Kamarnya ratusan."
Aku ingin menunjukkan si kepala stasiun tapi aku tak tahu bagaimana ia
menanggapi tindakan pencurian.
"Aku melihat sebuah model desa," aku melanjutkan.
"Oh, ya?" sahutnya.
Ia berjalan melewatiku menuju ke lemari pendingin dan meletakkan tangannya di
punggungku. Aku tak yakin apakah itu tanda perhatian atau ia menyingkirkan aku
agar tak menghalangi jalan.
"Tukang kebun mengizinkan kami masuk," ceritaku.
"Baik sekali dia," sahut ayahku seraya mengambil sebotol susu dari lemari
pendingin. "Ya," kataku ke arah punggungnya. "Dia baik sekali."
"Ada lagi yang ingin kaulaporkan?"
"Aku melihat sebuah model kota kecil Prancis, dengan sebuah kereta api berbalkon
dengan tujuan Pigalle."
"Anak bodoh. Tidak ada kereta atas-tanah menuju Pigalle. Kereta Metro Bawah
Tanah, ya. Tapi atas-tanah, tidak."
Tanganku mengepal dan kakiku gemetar karena kebencianku terhadapnya sekarang.
Meski ia memegang sebotol susu, dan aku tak memegang apa pun di tanganku, aku
merasa seperti memegang sebuah botol. Aku membuka tanganku dan merasakan
botolnya: permukaan dingin gelas, beratnya, dan aku merasa peganganku terlepas.
Aku merasakan botol itu terlepas dari jemariku.
Aku mendengar suara botol pecah membentur lantai dan susu membasahi ubin hingga
celah-celah di antaranya. Tapi saat aku melihat ayahku, ia masih memegang botol
itu dengan erat. Ia menuangkan susu ke dalam sebuah teko.
Aku menatapnya, ia berdiri agak jauh dariku. Aku menatap punggungnya dan dengan
gerakan tanganku seakan aku meninju kepalanya.
Ia tidak bergerak. Ia pasti tahu apa yang kulakukan, tapi ia tak menoleh ke
arahku. Aku menghentikan gerakan meninju.
Tangannya tenang; tanganku gemetar.
---oOo--- Aku pergi ke kamarku dan menghabiskan malam untuk mencari semua prajurit
plastikku. Aku tahu aku memiliki sekitar dua ratus buah dan terselip di dalam
kaus kaki atau di bawah bangku panjang. Aku tak bermain lagi dengan mereka, tapi
aku ingin tahu di mana saja mereka.
Kupikir ayahku sengaja memencarkan mereka, memukul-mukul mereka, menghancurkan
alas plastiknya. Ketika aku bertanya apakah ia melihat mereka, ia mengatakan
bahwa mereka hilang dalam tugas, atau AWOL. Aku berpikir AWOL berarti prajuritku
telah pergi melintasi sebuah tembok.
Ketika mereka menghilang, menghilang dalam perang, aku berpikir mereka terkubur
hidup-hidup dalam parit-parit pertahanan dan kadang aku terjaga hingga larut
malam mencemaskan mereka.
Aku tak ingin prajurit-prajuritku dihancurkan di bawah bangku panjang atau jatuh
dan jendela, sama seperti aku ingin boneka di pohon merasa nyaman saat ia duduk
di antara cabang; wajah menghadap ke depan, kaki menggantung rapi, dan lengan
bersandar santai. Seharusnya aku menyimpan prajurit-prajuritku dalam kotak agar mereka lebih
hangat dan senang: kotak-kotak seperti peti ranjang.[]
7 Pagi ini hujan turun deras sekali. Aku berlari dengan sepatu Wellingtonku dan
tudung jaketku menutup rapat kepala. Nenek menawarkan mengantarkanku ke sekolah
tapi aku ingin pergi sendiri dan aku tak ingin terlihat dicium olehnya di
gerbang sekolah. Aku melintasi empat ladang dan dua jalan. Kutemui Brendan di
kelokan jalan dekat sekolah kami dan bersama-sama kami menyeberang jalan memulai
hari kami di kelas lima. "Hai," sapa Brendan dalam logat Amerika yang dibuat-buat.
"Apa kabar," aku membalas dalam logat Utara.
"Hari buruk yang akan sangat membosankan."
"Aku jadi membayangkan apa yang didapat Nona Collins sebagai hadiah Natal?" aku
bertanya. "Kaleng yang terbuat dari busa atau karet, kuharap," kata Brendan.
"Tapi kuperhatikan ia tak sering menggunakannya seperti biasanya?"
"Terhadapmu, mungkin. Ia takut kepadamu karena tinggi badanmu dua kali tinggi
badannya." Bel berbunyi dan kami masuk. Aku membuka tas sekolahku dan mengeluarkan edisi
Guiness Book terbaru di mejaku, bersama dengan sebuah kamus.
---oOo--- Sekolah kami adalah sebuah sekolah kecil yang dijalankan oleh biarawati: sebuah
sekolah biara yang memiliki empat ruang kelas dengan tak lebih dari dua belas
murid di setiap kelas. Kelas satu, dua, tiga, dan empat harus berbagi ruangan.
Tapi para murid di kelas lima dan enam memiliki ruangan masing-masing.
Aku duduk di belakang. Mejaku berada dekat dua jendela kecil merapat ke dinding
di sisi kiri kelas. Aku dapat melihat lapangan bermain, jalan, dan para
biarawati yang bergegas menghadiri misa. Suster Ursula, yang mengajar kelas satu
dan dua, selalu menoleh kepada kami saat berjalan ke kapel dan melambaikan
Alkitab yang dibawanya. Tak ada biarawati lain yang menoleh kepada kami.
Selama jam pelajaran pertama, Brendan mengeluarkan kaca-mata bifokal berbingkai
tebal dan tasnya. Ia mengenakannya dan mengaku akan menderita kebutaan. Nona
Collins memindahkannya dari tengah ruangan ke barisan depan. Aku yakin kacamata
itu plastik. Brendan ingin duduk di baris depan karena lebih dekat dengan
pemanas di ruangan berlantai beton dingin seperti kelas kami. Aku tak tahu
mengapa ia tak memberitahu aku soal bualan kebutaannya. Aku akan memberinya
kesempatan untuk memberitahu aku dan jika tidak... oke, aku akan mencari cara
untuk mengetahuinya. ---oOo--- Waktunya istirahat dan hujan masih mengguyur deras. Aku dan Brendan duduk di
bangku yang memanjang di koridor di bawah naungan rak mantel di luar ruangan
kelas kami. Mantel-mantel bergelantungan di kait-kait di atas kepala kami
meneteskan air siraman hujan pagi tadi.
Brendan mencabut darah kering dari luka yang baru sembuh di lututnya dan
memasukkannya ke dalam saku celana.
"Untuk apa kau menyimpannya?" aku bertanya.
"Untuk memakannya nanti."
"Kau memakan darah kering dari luka?"
"Jika kau tak memakan darah keringmu," kata Brendan, "kau akan mati kehabisan
darah bila kau terluka lagi."
Aku menyodorkan tangan dan Brendan memberiku darah keringnya.
Aku ingin memberitahu soal darah kering di kepalaku, hasil garukan lubang kecil
di tempurung kepalaku. Tapi, jika aku mengatakannya, ia pasti ingin melihatnya.
"Apakah kau sungguh-sungguh memiliki gangguan penglihatan?" aku bertanya.
Saat Brendan berbicara, remahan biskuit basah rontok ke celananya dan ia
memungutinya lagi dengan jemarinya yang basah. Aku berpikir apa yang akan
terjadi jika aku bermain detektif dengan Brendan. Apa yang akan terjadi bila aku
menginterogasinya" Mungkin cara-cara deteksi akan dapat diterapkan meski kupikir
aku mengetahui kenyataan tanpa harus memeriksa kacamatanya. Mungkin aku bisa
mendapatkan bukti kebohongannya dari tangan, wajah, dan suaranya, atau dan
reaksi tubuhku. "Apa yang sebenarnya salah pada matamu?"
"Aku hampir buta!" katanya. "Jika aku tak mengenakan kacamata itu, aku akan
menderita tumor otak."
"Kau tidak buta saat kulihat minggu lalu."
"Itu terjadi di hari berikutnya. Mam bilang aku terkena virus atau semacamnya
yang menyebabkan kebutaan."
Ia berbohong. Aku mengetahuinya berkat bantuan satu-satunya reaksi tubuh yang
kurasakan: rasa panas di telingaku. Dan aku tahu Brendan berbohong karena ia
menatap jauh ke arah dinding menghindari tatapan mataku. Salah satu buku
mengatakan bahwa seseorang melirik ke kanan atau ke samping saat berpikir,
jarang sekali melirik ke kiri. Brendan juga mengangkat bahu dan berbicara dengan
nada lebih rendah daripada biasanya.
Bel berdering dan kami kembali ke dalam kelas.
Aku biasanya berjalan bersamanya hingga ke mejanya, lalu mengucapkan selamat


Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggal atau melontarkan lelucon, apa pun yang tetap membuat kami bersama hingga
waktu makan siang. Tapi aku kehabisan napas dan merasa cemas. Aku tak pernah
merasa cemas berada di sisi Brendan dan kali ini rasanya sama seperti ketika aku
mengetahui ayahku berbohong. Bukan mual: aku tahu ini berbeda. []
8 Sekolah diliburkan karena salju turun sangat pekat. Aku berbaring berbalut
selimut di bangku panjang. Ibuku duduk di kursi bersandaran lengan di samping
bangku panjang, membaca buku. Sepanjang hari aku bertanyatanya di mana Ayah.
"Di mana Pa?" tanyaku akhirnya. "Apakah ia berbaring sakit di ranjang?"
"Tidak," jawab Ibu. "Ia keluar bersama temannya tengah malam tadi dan memutuskan
untuk menginap di hotel."
"Mengapa?" "Karena keadaan jalan sangat buruk."
Ayahku bukan seorang pemabuk. Paman-pamanku, Jack dan Tony, berkata ketidak-
sukaannya minum adalah tidak alami. Ayahku mengatakan kepada mereka bahwa saat
ia berjanji, ia tegas, dan ia tak melihat alasan apa pun untuk melakukan hal
yang tak ia sukai. Ia pergi ke pub sekali atau dua kali dalam setahun. Sehabis minum banyak,
keesokan harinya ia menghabiskan waktu duduk di meja dapur, menatap botol saus
Worcestershire dan telur-telur mentah yang tak mampu ia minum sendiri.
"Mam?" kataku. Aku beranjak duduk di dekat kakinya dengan masih mengenakan
selimut. "Apa?" dia membalas. "Lepaskan kakiku."
Aku duduk kembali di bangku panjang. "Bolehkah kita memanggang marshmallow di
perapian?" "Kita tidak punya itu."
"Bagaimana dengan roti panggang?" aku bertanya.
"Jika kau suka," jawabnya.
Ia berdiri tanpa berkata-kata, menaiki tangga menuju kamarnya dan tidak turun
lagi. Aku menunggu lama, menonton televisi tanpa konsentrasi.
---oOo--- Aku menyusul ke atas dan mengetuk pintu kamarnya. "Mam?"
Candi Murca 1 Pengemis Binal 16 Pemberontakan Subandria Neraka Keraton Barat 3
^