Carry Me Down 2
Carry Me Down Karya M.j. Hyland Bagian 2
Tak ada jawaban. Aku mengetuk sekali lagi. "Mam?"
"Masuklah," jawabnya.
Ia berbaring di bawah selimut tebal, satu tangan memeluk bantal.
"Apa yang kaulakukan?" aku bertanya.
"Beristirahat," katanya.
"Mengapa?" "Karena aku membutuhkannya." Ia memejamkan mata. "Tutup pintunya," pintanya.
"Anginnya dingin."
Aku menghampiri ranjang dan berbaring di atas selimutnya. Aku memeluknya dari
belakang, dengan tangan kuletakkan di perutnya. "Seperti apa?" aku bertanya.
"Kuda beban, atau gambar dan permainan gambar?"
"Aku sedang tak ingin bermain," katanya.
Mungkin ia sakit. "Bolehkah aku masuk ke dalam selimut?" pintaku.
"Ya." Saat aku menyusup ke dalam selimut, ia berguling dan merangkulkan lengannya ke
tubuhku, lalu memejamkan mata dan tak lama kemudian tertidur.
Napasnya beraroma telur. Napas yang hangat panas dan saat aku telah terbiasa,
aku tak begitu memikirkannya. Tapi sepuluh menit kemudian napasnya mulai berbau
seperti air kubangan di parit yang tersumbat.
Tubuhnya sangat hangat. Aku kepanasan, dan melepaskan lenganku darinya. Aku
pindah ke sisi lain ranjang. Aku menatapnya lagi dari tempatku berbaring, hingga
akhirnya aku pun tertidur.
---oOo--- Ia membangunkanku. Hari sudah gelap dan untuk beberapa lama aku tak sadar berada
di mana. "Pukul berapa ini?" aku bertanya.
"Waktunya minum teh," katanya seraya menyalakan lampu meja.
"Ayahmu sudah pulang. Sebaiknya kau bangun."
Aku tak ingin turun. "Kau sedingin biskuit," ujarku.
"Sedingin mentimun," katanya tanpa tersenyum.
"Kau yakin" Bukan biskuit?"
"Aku sedang tak ingin bermain, John," katanya. "Kita tak dapat bermain setiap
saat." Aku bergegas keluar ruangan, tak mengacuhkan panggilannya.
---oOo--- Aku berpapasan dengan ayahku di tangga sempit. Ia melihatku tapi tak berkata apa
pun. Salah satu dari kami harus memberi jalan. Ia berjalan di tengah dan aku
terdorong ke samping agar ia dapat lewat. Aku menekan punggungku ke pegangan
tangga. Lengannya menekanku dan tubuhnya terasa seakan membenci tubuhku. Ia
berlalu tanpa menyapaku, tanpa menoleh kepadaku, seakan ia adalah orang buta.
Aku berdiri diam dan menunggu. Ketika ia tiba di atas, ia berhenti dan
menatapku. "Apa ia di dalam?" ia bertanya.
Seharusnya ia tak memanggil ibuku "ia" dan seharusnya ia tahu Ibu ada di atas
karena Ibu baru saja memanggil namaku.
"Ya," jawabku, tapi ia tak tertarik dengan jawabanku. Ia bertanya hanya demi
berbasa-basi. "Apakah kau bersimpangan denganku?" aku bertanya. "Dapatkah seorang pria hanya
menaiki tangga sialannya?"
Ia tak menatapku. Aku dapat merasakan amarahnya bahkan sebelum ia berkata-kata.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Mam masih tidur,"
sahutku. "Jika aku mengatakan apa yang ingin kukatakan sekarang, kupikir aku akan
menyesalinya seumur hidup."
"Apa yang ingin kaukatakan?" aku bertanya.
"Jangan menghalangi jalanku," katanya.
Perutku terasa seperti ketika aku jatuh dari tembok tinggi atau sebuah pohon:
gelombang panas naik hingga ke hidungku. Saat ia berbalik, aku berkata dengan
nada lembut. "Aku tak membutuhkanmu," bisikku, tapi ia tak mendengar.
---oOo--- Aku menonton televisi beberapa lama, kemudian menuliskan beberapa catatan dalam
"The Gol of Seil". Aku melukiskan kebohongan yang dikatakan orang-orang di
televisi (terutama pada acara warta berita) dan meski aku menemui lebih banyak
kesulitan dalam mendeteksi kebohongan, karena tanda-tandanya tak terlalu jelas,
aku masih dapat mengetahuinya.
Aku memperhatikan ketika orang bergerak tak nyaman (seperti ketika mereka menipu
seseorang), mereka sering meraih sesuatu, atau menyentuh sesuatu di dekatnya:
cangkir, buku, atau kerah kemeja mereka. Dalam "The Gol of Seil" aku menyebutnya
tindakan memegang demi kenyamanan dan memegang demi pengalihan perhatian.[]
9 Salju telah reda dan jalan aman bagi kendaraan. Kami kembali ke sekolah.
Aku berharap hari ini saatnya aku memberitahu Brendan soal bakat deteksi
kebohonganku. Aku berencana mengatakan kepadanya dalam perjalanan pulang. Tapi
tepat sebelum bel berdering, Pak Donnelly, si kepala sekolah, masuk ke ruang
kelas dan memanggilku. "John Egan, majulah ke depan."
Ruangan dipenuhi bisikan dan tawa tertahan. Jika saja mereka menertawakan suara
keras Pak Donnelly yang konyol, bukan diriku.
"Sekarang, berdiri tegak."
"Ya, Pak." "Ikut ke kantorku."
---oOo--- Dalam perjalanan menuju ke kantor, Pak Donnelly tidak berkata apa pun.
Tapi setelah masuk, ia mulai berbicara dengan suara keras terburu-buru. Ia duduk
di belakang mejanya dan aku duduk di kursi dekat jendela agar aku dapat menengok
ke luar. Aku tak ingin melihat wajah merah besarnya dan jemarinya yang panjang
gemuk hingga seakan tak mungkin masuk ke lubang pemutar nomor di pesawat
telepon. "Cuaca buruk yang menyebalkan," katanya.
"Ya," sahutku seraya menoleh ke luar jendela.
Aku tak ingin berbicara dengannya. Aku hanya ingin tahu alasan ia memanggilku.
Ia menggeser kursinya lebih dekat ke meja.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik. Tak ada masalah, Pak."
"Berapa usiamu sekarang, John?"
"Dua belas, bulan Juli nanti."
"Apakah ada yang kauperlukan?"
Ia membuka laci meja dan merogoh tumpukan persediaan alat tulisnya.
"Apa kau memiliki cukup pena dan pensil?"
"Banyak, Pak." Ia menghela napas. "Duduklah yang tegak."
Aku melirik arloji di pergelangan tangannya.
"Jangan duduk di pinggir kursi seperti itu. Bergeserlah agak ke belakang dan
duduk tegak. Ya, itu lebih baik. Benar."
Aku tahu apa yang sebenarnya akan ia bahas. Ia ingin membicarakan keadaan
tubuhku. Ia melakukannya tahun lalu. Ini hanya masalah waktu.
Aku berharap memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Lagi pula, ia hanyalah
pria buruk rupa berambut dan berjenggot merah yang tak berharga. Tapi, aku
mengubah posisi dudukku sesuai dengan perintahnya.
"Dengarkan aku, Anak Muda. Kau bermasalah dengan pelajaran bahasa Irlandia
semester kemarin. Mengapa" Kau terlalu cerdas untuk tinggal kelas."
Aku menatap rambut merah Pak Donnelly dan aku tak ingin mengatakan yang
sesungguhnya, bahwa aku selalu membaca Guiness Book.
saat pelajaran bahasa Irlandia. Aku mengatakan bahwa aku tak menyukai pelajaran
bahasa Irlandia karena terlalu sulit mengerjakan sesuatu yang tak kausukai. Aku
merasa sedikit pening dan menggenggam erat tempat dudukku agar tubuhku tak
melayang. "Lalu," kata Pak Donnelly, "itu seperti perumpamaan ayam dan telur.
Tak jelas mana yang ada lebih dulu. Itu tidak menjelaskan apa yang sesungguhnya
terjadi, tapi kita dapat melanjutkan dan kau dapat mengatakan kepadaku pelajaran
apa yang kausuka." "Aku menyukai sejarah," jawabku, seraya bertanya-tanya apa yang menyebabkan
rambut berwarna merah dan apakah Pak Donnelly yang menyebabkan aku kesal jika
berdekatan dengan orang berambut merah.
"Kenapa kau menyukai sejarah?" tanya Pak Donnelly. Tangannya terlipat di dada.
Aku duduk jauh ke belakang dan setegak mungkin di kursi kayu itu lalu teringat
saat musim panas tahun lalu, ketika aku menonton sebuah film di bioskop di
Wexford. Seorang anak laki-laki berambut merah duduk seorang diri di depanku.
Aku melepas sepatuku dan menyandarkan kakiku di sandaran kursi tepat di samping
wajahnya. Saat si anak lelaki berbalik dan memintaku menurunkan kaki, aku tak
menanggapinya atau menatapnya. Aku tetap menyandarkan kakiku di sandaran kursi
dekat wajah si anak lelaki. Saat ia berbalik lagi dan mengatakan bahwa kakiku
bau dan memintaku menurunkannya, aku tak menjawab dan tetap menyandarkan kakiku.
"Aku menyukai sejarah," sahutku kepada Pak Donnelly, membuat-buat jawaban seraya
berpikir, "karena sejarah membahas fakta dan kisah-kisah.
Seperti kisah Raja Charles Pertama yang dipancung kepalanya."
Pak Donnelly menatapku dan menggelengkan kepala. "Seperti mendengar suara dari
dasar sumur," katanya.
"Ya," jawabku, "seperti itu."
Namun, kemudian aku menyadari telah membuat kesalahan: Pak Donnelly sedang
membicarakan diriku. Maksudnya adalah suaraku terdengar terlalu dalam bagi
seorang anak kecil. Seperti orang yang berteriak ke lubang dalam.
"Kau sangat tinggi, John," Pak Donnelly melanjutkan. "Kau telah sama tinggi
dengan anak-anak senior. Jika kau bertindak lebih dewasa, kau dapat dipindahkan
ke kelas yang lebih tinggi agar kau tak mencuat sendiri seperti ibu jari yang
bengkak. Kau berhasil di semua pelajaran, beberapa sangat baik, tapi sangat
buruk dalam pelajaran bahasa Irlandia. Jadi kau sebenarnya tidak siap, kecuali
tinggi tubuhmu. Kau mengerti maksudku?"
Aku tak ingin membahas tinggi tubuhku. "Aku cukup nyaman di kelas, Pak, lagi
pula ada Brendan bersamaku. Aku tak ingin naik ke kelas yang lebih tinggi."
"Baiklah, itu bukan pilihan, aku telah menegaskan. Tidak mungkin naik kecuali
kau memperbaiki pelajaran bahasa Irlandiamu."
"Baik, Pak." Aku bangkit dari tempat dudukku.
"Duduklah, John. Aku punya sedikit pertanyaan yang harus kuajukan kepadamu.
Duduklah seperti anak yang baik dan berkonsentrasilah pada bahasan kita kali
ini." Aku duduk dan ia menatapku sangat tajam seakan ia berhak melakukan apa pun yang
ia inginkan terhadapku. "Sekarang," ia melanjutkan, melihat sekujur tubuhku sekali lagi, dan atas ke
bawah, atas ke bawah, atas ke bawah, "apakah kau merasa baik-baik saja"
Bagaimana keadaan tubuhmu?"
Aku membuka mulut tapi semuanya tercekat di kerongkongan.
"Jangan malu, katakanlah."
Aku mengangkat bahu, merasa dikalahkan. Aku bukan apa-apa.
Bahkan seekor binatang pun dapat bergerak bila ingin melepaskan diri dari
perangkap. "Apakah kau merasakan hal aneh atau gerakan tanpa dikehendaki di bagian bawah
perutmu?" Aku menggelengkan kepala, sangat cepat. Pasti aku tampak bodoh.
Tapi, aku tak peduli tampangku di hadapannya.
"Apakah kau ingin menanyakan soal reaksi-reaksi tubuhmu?"
"Tidak!" jawabku dengan suara bergetar.
"Apakah kau telah menemui dokter baru-baru ini?"
"Ya." "Sampai seberapa jauh kau akan tumbuh jangkung kata dokter?"
Aku pening karena malu. "Aku harus ke toilet, Pak. Bolehkah aku kembali setelah
ke toilet?" "Saat kau kembali, aku akan memberimu sebuah penghapus baru dan beberapa buku
latihan. Tak ada yang tak menginginkan alat tulis di awal musim ajaran. Kau
mau?" Aku tak menjawab. Aku membuka pintu dan berlari sepanjang koridor ke arah toilet
anak laki-laki seraya berpikir apa yang salah dengan pria seperti Pak Donnelly.
Ia senang menyiksaku dengan pertanyaan-pertanyaan, tapi ia tak memberiku alasan
untuk membencinya. Dan akhirnya, saat selesai menyiksaku dengan opini-opininya,
ia selalu menawarkan semacam hadiah atau kata-kata bijak, sesuatu yang baik
bagiku; seperti sebuah permintaan maaf atas kelakuan buruknya.
Aku tak kembali ke kantornya.
---oOo--- Tiba di rumah, aku masuk ke dapur dan menemui ibuku di sana. Ia sedang membaca
buku, sedangkan Crito berbaring di kakinya.
"Mami, Pak Donnelly memanggilku ke kantornya dan menanyakan soal tinggi tubuhku
dan semuanya." Ia mengangguk dan menggeser kursi menjauh dan meja. "Maaf, John.
Sebenarnya aku berniat memberitahu kau."
"Berniat memberitahu aku apa?"
Aku berdiri di sampingnya dan melipat tangan di dadaku.
"Aku meminta ia berbicara denganmu. Ia menelepon menanyakan keadaanmu dan
akhirnya kami membuat kesepakatan."
"Kenapa kau melakukan itu" Aku tak membutuhkan pertolongan, dan itu bukan
urusanmu!" Tanpa maksud, tanpa kusadari, dan tanpa kurencanakan, aku melangkah maju. Kakiku
merapat ke kursi tempat ibuku duduk dan menantangnya. Ia menengadah ke wajahku
dan aku dapat melihat pantulan diriku di matanya.
"Tak perlu menekanku," katanya, suaranya lemah dan kecil.
Aku mundur dan berdiri di samping kursi tempat aku biasa duduk. Aku mencengkeram
sandaran kursi. Gigiku gemetar dan bergemeletuk.
"Maaf," sahutku. "Tapi, aku tak mengerti kenapa kau membuatnya memanggilku. Ia
menyerangku, memperlakukanku seperti orang aneh di sirkus, dan menatapku dari
atas ke bawah." Ibu tersenyum. "Ia juga melakukan hal yang sama terhadap diriku dan kadang ia
menjilat bibirnya. Aku salah. Seharusnya aku tidak mengusulkannya. Maafkan aku."
"Tapi, kenapa kau berpikir ia harus berbicara denganku" Apakah kaupikir ada yang
salah pada diriku?" "Pada saat itu, sepertinya tidak berbahaya. Kupikir kau senang bila berbicara
dan hati ke hati dengan seorang pria dewasa tentang keadaanmu.
Kedewasaan yang terlalu dini memang menyulitkan."
"Apakah itu yang dilakukan Pa?"
"Ya, ia di sini untuk membicarakannya. Tapi, aku takut kau tak ingin berbicara
dengan ayahmu jika kau perlu."
"Aku akan berbicara dengannya jika aku mau." Aku pergi ke kamarku dan setengah
jam kemudian ia menyusulku, menanyakan apakah aku senang bila ia memainkan
pertunjukan boneka sebelum minum teh. Ia mengenakan boneka-boneka jarinya dan
memainkan pertunjukan kecil. Lalu ia menari dan bernyanyi, berkeliling di
kamarku seakan ia sedang sendiri, tak ada yang memperhatikan. Tapi, aku
memperhatikan dan gerakannya mengingatkanku pada sesuatu yang kulihat dalam
sebuah film: seorang wanita cantik sendirian di malam hari di kolam renang yang
airnya diterangi cahaya biru.
---oOo--- Seminggu kemudian, dalam perjalanan pulang dan sekolah, aku berhenti di tengah
jalan, sekitar dua ratus kaki sebelum boneka di atas pohon.
Terbaring seekor sapi, tertidur atau sekarat, menghalangi jalanku. Aku berlutut
dan memeriksanya. Ia masih bernapas tapi matanya tertutup.
Aku mendengar lenguhan di kejauhan. Di tengah ladang, seekor sapi lain,
sendirian, sedang berlari. Ia berlari cepat sekali dari yang pernah aku lihat.
Lalu ia berhenti dekat pagar pembatas. Aku melihat ke arah sapi yang sekarat dan
aku mendengar lenguhan lagi; sapi yang tadi berlari kembali ke tempat ia
berangkat dan ketika berhenti, ia menoleh ke arahku.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dengan sapi yang sakit.
Sekarang sapi itu bernapas pendek-pendek dan kesakitan. Aku berdiri dan
mengelilinginya untuk melihat lebih jelas seluruh tubuhnya. Memeriksa apakah ada
luka atau sedang bunting. Aku menekan-nekan perutnya dengan sepatu botku. Si
sapi yang berlari tak lagi melihatku dan aku merasa lebih bebas. Aku dapat
melakukan yang terbaik yang kupikirkan. Tapi, aku tak tahu harus bagaimana.
Aku berlutut kembali dan melihatnya. Jika ia sekarat dan jika ia kesakitan,
dokter hewan pasti akan menidurkannya. Aku tak ingin meninggalkannya di sini, di
jalanku, untuk mati. Aku melepaskan jaketku dan menutupi wajahnya. Ia tak
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bereaksi. Aku harus duduk untuk menidurkannya. Tapi aku tak dapat melakukannya.
Aku memindahkan jaketnya menutupi wajahnya dan memastikan kainnya, yang terbuat
dan wol, tak menyentuh matanya. Aku takut jaketku menempel ke matanya.
Aku duduk menghadap ke arah sapi yang berlari yang malah mengunyah rumput alih-
alih menatap balik ke arahku. Aku duduk beberapa saat dari si sapi yang sekarat
sama sekali tak bergerak. Aku berkata,
"Semuanya akan baik-baik saja. Kau akan segera tidur." Aku tidak tahu harus
berkata apa, tapi berbicara dengannya terdengar kejam.
Sekarang aku akan pergi. Aku kedinginan dan angin dingin menyelusup ke balik
baju hangatku. Aku juga kelaparan. Nanti si petani akan menemukannya dan ia
dapat menyingkirkannya dari jalanku serta menguburkannya, jika ia mati. Aku
mengambil jaketku dari wajahnya dan berkata, "Selamat tinggal."
---oOo--- Aku berangkat lebih pagi keesokan harinya dan berjalan cepat. Aku takut sapi itu
masih terbaring di jalanku. Tapi, ketika aku tiba, ia telah menghilang, dan tak
ada tanda-tanda keberadaannya. Seharusnya aku menghitung kawanan tersebut
kemarin malam agar aku tahu mana yang kehilangan anggotanya. Aku memandang ke
balik pagar pembatas ke arah sapi-sapi yang berdesak-desakan. Tapi, tak ada yang
menatap balik ke arahku. Seakan tidak ada yang terjadi sebelumnya. Tapi, sesuatu
telah terjadi. Aku merasa perutku sakit, bagian bawah, dan sakitnya hampir
seperti emosi tapi aku tak yakin perasaan apa itu.
Di kelas aku duduk membungkuk di tempat dudukku, bersandar ke meja, dan
bertopang dagu. Saluran kencingku penuh dan aku menahannya sejak sarapan.
Sekarang hampir tengah hari. Aku ingin tahu berapa lama aku dapat menahannya,
berapa tahan tubuhku mengikuti perintahku. Aku suka sensasinya, rasa tersengat
dan tekanannya. Aku ingin tahu berapa lama aku dapat bertahan. Aku bertahan
hingga lima menit sebelum bel dan baru menyadari aku telah menunggu terlalu
lama. Aku menggerakkan kakiku naik-turun secepat mungkin tapi air kencingku
mendesak keluar meski aku memerintahkan jangan, meski aku memintanya menunggu.
Aku akan mengacungkan tangan, tapi ada sesuatu yang salah. Saluran kemihku
membuka tanpa kuperintah. Rasanya lega, saat melepaskannya, dan aku sendiri
menyadari tengah mengeluarkan air kencingku, tapi aku tal mampu menahannya lagi.
Namun, aku tak dapat lagi menahan alirannya. Air kencing hangat membasahi
celanaku dan menyebar ke bagian belakang. Bagian paha belakangku pun terasa
basah. Sekarang aku duduk di genangan hangat.
Aku ingin mengacungkan tangan meminta izin ke toilet, tapi sulit sekali
mengucapkannya dalam bahasa Irlandia. Aku menunggu hingga mendapatkan kalimat
yang tepat. "An bhfuil cead agam dul amach, mas e do thoil e?"
"Dapatkah kau menunggu?" jawab Nona Collins, yang sedang menghadap ke papan
tulis, sedangkan punggungnya mengarah ke kelas dan tak menyadari siapa yang
memohon. "Tidak bisa, Nona," kataku. "Aku harus ke toilet sekarang." Ia berpura-pura tak
mendengarku karena kali ini aku menggunakan bahasa Inggris.
Aku harus menahan air kencingku, tapi tak tahu bagaimana, karena terus mengalir
menuruni kakiku, membasahi kaus kaki dan sepatuku.
"Tolong, Nona," pintaku. "Apakah aku diizinkan?"
Nona Collins berpaling dari papan tulis. "John, dapatkah kau menunggu hingga
waktu makan siang?" Aku berdiri dan air kencing membanjir ke bawah kakiku. Aromanya mulai tercium
oleh hidungku. "Tidak, Nona. Aku harus pergi sekarang."
Bagian lantai yang menurun membuat air kencingku mengalir ke depan ruangan
kelas. Nona Collins tidak menyadari air kencingku mengarah ke papan tulis.
Ia pun tak mencium baunya. Tapi Jimmy, si anak laki-laki berambut merah yang
duduk di depanku, melihatnya.
"Oh, Nona!" Ia menjerit. "John kencing di celana." Semua orang menoleh untuk
melihat apa yang telah kulakukan.
Tanganku masih melambai pelan di udara, seperti melambai pada bus yang berlalu
cepat meninggalkan aku. Nona Collins berjalan menghampiriku dengan mulut
ternganga, memperlihatkan bagian dalam bawah mulutnya dan geligi tak beraturan
yang bernoda seperti geligi anjing tua.
"Ya, Tuhan," katanya. "Kau harus menemui Suster Bernadette untuk membersihkan
diri." Suster Bernadette akan membawaku ke ruangan perawatan yang ada di biara sebelah
gedung sekolah. Aku tak ingin pergi ke sana.
Aku berlari dari ruangan kelas, menyusuri koridor, melewati rak mantel, melewati
ruangan-ruangan kelas lain, dan keluar dari pintu depan.
Aku terus berlari hingga mencapai jalan di bawah naungan kegelapan, kesendirian,
dan ketenangan pohon-pohon cemara. Kemudian kulitku mulai terasa tersengat
karena celana basahku menempel pada kulit pahaku.
Aku ingin berganti dengan piyama dan menyusup ke ranjang serta membunuh waktu.
Aku ingin tidur, lalu bangun menghirup aroma teh dan sosis, serta segala yang
telah terjadi telah terhapus.
Rasanya aku tak akan pernah kembali ke sekolah.
---oOo--- Aku menyelinap lewat pintu belakang dan berjingkat menuju kamarku. Aku
melepaskan celana basahku dan berganti dengan yang kering. Aku pergi ke kamar
mandi, mengisi bak dengan air panas, dan mengosok celanaku hingga bersih.
Ibuku turun dari lantai atas. "Halo?" sapanya.
"Halo," jawabku.
Ia masuk ke kamar mandi. "Apa yang kaulakukan di rumah?"
Aku merasa mual, aku menceritakan kepadanya bahwa Nona Collins memulangkan aku.
Ia bertanya mengapa sekolah tidak menelepon. "Aku dapat menjemputmu di sekolah."
Saat aku berbohong, aku merasa memikul beban yang berat dan ketika aku mencoba
bergerak, kakiku seakan terisi air panas. Kebohongan bergerak ke sekujur
tubuhku, seperti demam. Mereka memanggil dua kali, tapi aku tak menjawab. Aku menggunakan kata-kata yang
lebih sederhana, hanya agar tak tersangkut di kerongkonganku. Lagi pula, suaraku
terdengar lebih kecil dan melengking.
Ia bertanya mengapa aku mencuci pakaianku dan kukatakan bahwa aku muntah
mengotori pakaianku. "Lagi?" ia bertanya. "Ada yang berbohong lagi?"
"Aku tidak berbohong."
"Aku tidak mengatakan itu kau. Kau menyimpulkannya sendiri."
Sekarang ia tersenyum dan kukira aku telah tertangkap basah.
"Oh," desahku. Ia meraih tanganku dan merasakan telapak tanganku. Aku tidak berkeringat, jika
memang itu yang ingin ia lihat. Orang sering kali berkeringat saat mereka
berbohong. Tapi aku tidak.
"Senyum menghilangkan kegugupan," katanya. "Kau tahu itu?"
"Pa sudah pernah mengatakannya kepadaku."
"Oke, dia benar. Dan sebaiknya kau berbaring di ranjang bila memang merasa tak
enak badan." ---oOo--- Aku duduk di ranjang menunggu Ibu menyusulku untuk sedikit berbincang.
Tapi, ia tak kunjung datang. Aku berharap ia ke dapur dan membuatkan aku roti
panggang isi ham atau mengambilkan biskuit dan secangkir cokelat, tapi ia tak
datang. Aku mendengarnya naik ke kamarnya, kemudian aku mendengar ayahku.
Mereka berbicara dengan suara keras. Sesuatu jatuh ke lantai kemudian tak ada
suara lagi. Aku berbaring di balik selimut seraya berpikir sesuatu yang lucu untuk
diceritakan kepada ibuku. Kuharap ia datang menjengukku.
Ayo datanglah, datanglah, datanglah.
Tapi, ia tak kunjung datang.
Aku berbaring di ranjang, tapi tak bisa membaca ataupun tidur.
Aku berbicara dengan diriku sendiri selama kira-kira satu jam. Aku berbicara
dengan diriku sendiri dalam dua suara, seakan ada dua orang yang sedang
berbincang. Aku membicarakan semua yang telah terjadi. Aku menanyakan kepada diriku sendiri
dalam suara lain, dan menjawab dengan suara yang berbeda. Aku membicarakan apa
yang akan kulakukan besok.
Lebih baik aku mati daripada ayahku mengetahui yang telah terjadi.
Lebih baik aku mati daripada kembali ke sekolah.
Aku pergi ke kamar mandi dan menggosok kakiku dengan sikat.
Kemudian aku menggantungkan celanaku di gantungan pakaian di ruang keluarga, di
depan perapian, dan berharap seseorang akan datang berbicara kepadaku.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua dan tak ada yang mengunjungiku. Aku
berhenti berharap, ayo datanglah.[]
10 Keesokan paginya aku mengatakan kepada ibuku bahwa aku tak enak badan untuk
berangkat ke sekolah, tapi telepon berdering saat kami sarapan dan aku yakin
semua telah mengetahui kejadiannya. Ibu menghampiriku di kamar dan memberitahu
bahwa yang menelepon tadi adalah Nona Collins.
"Ia ingin aku datang ke sekolah hari ini. Perawat distrik ada di sekolah,
bersama Nona Collins dan Pak Donnelly. Mereka ingin kau bertemu dengannya."
"Kenapa?" "Aku telah diberitahu kejadian kemarin."
"Oh." "Kau pergilah ke sekolah sekarang. Aku akan menemuimu di kantor perawat pukul
sebelas nanti." "Kenapa?" "Karena ke sanalah mereka memintaku membawamu."
"Aku tak mau pergi ke sekolah."
"Kau harus pergi."
"Tolong jangan beritahu Pa."
"Tidak, aku tidak akan memberitahu dia. Tapi aku tak dapat berjanji ia tak akan
mengetahuinya sendiri."
Aku berpakaian dan mengambil sarapan di dapur. Tapi, ketika aku melihat telur
rebus yang telah setengahnya disantap, terbuka, dan bertengger di mangkuk
telurnya, aku tak ingin lagi memasukkan roti panggang ke dalam kuning telurnya.
Aku beranjak dari meja dan berjalan ke sekolah tapi aku tak masuk ke kelas. Aku
menunggu di bawah atap teras, berjalan naik-turun mencoba menghangatkan diri.
---oOo--- Pukul sebelas kurang lima menit aku pergi ke pintu depan dan menekan bel.
Suster Ursula membolehkan aku masuk dan kembali ke tempatnya di balik kaca dan
terali. Ruangan itu gelap dan hangat. Dua wanita tua dipersilakan duduk di pojok
dan menunggu pastor. Aku berdiri di pintu depan dan mereka melihatku seakan aku
telah merebut antrean mereka.
Ibuku masuk dan kami langsung menuju kantor perawat.
"Jangan cemas," kata ibuku. "Akan segera berakhir dalam sesaat."
Suster Bernadette menunggu di luar pintu kantor perawat. Ketika ia melihat kami,
ia menggosok kalung rosarionya seakan mengusir debu yang menempel. Kemudian ia
mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya lewat celah pintu.
"Perawat, John Egan, dan ibunya datang menemuimu."
"Persilakan mereka masuk," kata si perawat, dan Suster Bernadette pun beranjak.
---oOo--- Dalam ruangan kecil beraroma sabun cuci terdapat sebuah meja, lemari arsip, dan
dipan beroda yang ditutupi seprai putih. Aku memperhatikan dipan beroda itu
sementara ibuku berbicara dengan si perawat. Aku mencoba mencari tahu cara
menaikinya, jika aku diminta berbaring di atasnya.
Aku senang membayangkan berbaring di atas seprai putih seraya perawat mengukur
suhu tubuhku. Kaki-kaki dipan beroda yang dapat dilipat itu seperti pisau Swiss
Army milikku, yang dapat keluar-masuk dengan mudah dan rapi dan gagangnya. Aku
merencanakan berpura-pura sakit; mencengkeram perutku dan mengerang, agar si
perawat memintaku berbaring dan menyelimutiku dengan selimut biru lembut yang
terlipat di ujung dipan beroda.
"Aku sangat terkejut," kata ibuku. "Ia belum pernah melakukan hal seperti itu
sebelumnya." Si perawat menatapku seakan aku sengaja buang air di celana. Aku ingin
memberitahu dia bahwa aku sedang melakukan percobaan; bahwa mengompol bukanlah
ketidaksengajaan seorang bayi.
"Apakah anak Anda menderita enuresis?" tanya si perawat. "Apakah ia sering
mengompol, Nyonya Egan?"
"Tidak," kata ibuku.
Aku pernah satu kali berada di ruang perawat ini. Ketika aku pertama kalinya
menginjak sekolah ini, beberapa hari setelah pindah dari Wexford, hidungku
mengeluarkan darah setiap hari selama seminggu. Saat itu aku berusia delapan
tahun dan si perawat mendudukkan aku serta memerintahkan aku menengadahkan
kepalaku sementara ia memijit pangkal hidungku untuk menghentikan perdarahan.
Karena aku menelan banyak darah, aku merasa mual dan ketika aku
memberitahukannya, ia memberiku pispot berwarna cokelat agar aku muntah di
dalamnya. Aku mencoba muntah tapi tak ada yang keluar.
Setelah gagal, ia berkata, "Hati-hati, jangan terlalu sering mimisan, Bocah
Kecil." Sekarang, seperti saat itu, ia tersenyum lemah dan mengguncang kepalanya
dari kiri ke kanan, seakan ia baru saja mandi dan sedang berusaha mengeluarkan
air dari telinganya. Aku ingin segera pergi. Aku ingin pulang. "Saluran kencingku penuh,"
sahutku. "Itu tak akan terjadi lagi."
"Aku tak mengerti," ujar ibuku.
Si perawat menguraikan beberapa alasan, kegugupan, kecemasan, serta masalah di
rumah, dan ibuku menyangkal semua itu. Aku mulai merasa malu.
Akhirnya si perawat menebak bahwa aku anak tunggal. Ia bertanya kepada ibuku apa
mungkin aku kesepian. "Ia tidak kesepian," jawab ibuku. "Ia ditemani orangtua dan neneknya yang sangat
mencintainya." "Dan kucingku," aku menambahkan.
Si perawat tidak mempedulikanku dan menyodorkan selembar kertas kepada ibuku.
Ibuku menatap lembar kertas itu tapi tak menyambutnya.
"Kau harus membaca ini," kata si perawat. "Dan mungkin John harus cuti dulu hari
ini. Ia dapat masuk sekolah lagi Senin."
Namun, kemudian terpikir olehku: cuti sekolah adalah gagasan buruk.
Itu akan memberikan kesempatan bagi teman-teman kelasku untuk merencanakan
cemoohan. Aku harus kembali masuk dan bersikap seakan tak pernah terjadi
sesuatu, atau tidak peduli. Bahkan lebih baik bila aku bersikap kejadian itu tak
pernah terjadi. Aku akan bertindak. Itu tak akan pernah terjadi.
"Aku ingin masuk kelas hari ini," kataku.
Si perawat menjatuhkan dagunya ke lipatan lemak di lehernya. Aku menatap
melampauinya ke luar jendela. Joseph dan Tinker sedang menjalankan kuda belang
mereka melintasi ladang. Aku ingin melambai tapi ia mungkin tak akan melihatku.
"Terserah Anda, Nyonya Egan. Ia putra Anda."
Bel tanda istirahat berbunyi dan ibuku meraih tanganku tapi aku tak
membiarkannya memegang tanganku.
"Apakah kau yakin mau mau masuk hari ini?"
"Ya. Aku yakin."
Kami meninggalkan ruangan dan si perawat mengikuti di belakang.
"Nyonya Egan," kata si perawat, masih memegang lembar kertas yang sama, "kau
melupakan ini." Ibuku menggelengkan kepala. "Ia tidak memerlukannya," kata ibuku,
"Suster... aku minta maaf. Aku lupa namamu."
Ibuku telah bertemu dengan si perawat sebelumnya dan ia tak mungkin lupa
namanya. Itu adalah caranya membuat orang yang tidak disukainya merasa rendah.
Si perawat menatapku seakan semua adalah salahku. "Namaku Suster Carmel,"
katanya. Ibuku meraih tanganku dan kami berjalan menyusun koridor menuju ruangan kelas
5G. Aku menatapnya ketika kami tiba di depan pintu kelas. Teman-temanku sedang
berdiri di belakang meja mereka masing-masing. Pasti sedang ujian mengeja, dan
aku ingin memenanginya. "Kenapa aku menjadi anak tunggal?" aku bertanya.
"Kau selalu menanyakan itu setiap kali ada orang mengatakannya."
"Aku ingin tahu sekali lagi."
"Kau menjadi anak tunggal karena aku ingin kau menjadi satu-satunya. Apakah itu
jelas bagimu?" Aku menunggu ia berkata lebih lanjut, tapi ia berbalik dan menyusuri koridor
tanpa mengucapkan selamat tinggal, tanpa mengecupku terlebih dulu.
---oOo--- Segera setelah aku duduk di bangkuku, terdengar bisikan dan tawa cekikikan.
Mandy, anak perempuan di sebelah kananku, bernyanyi, "Pipis, pipis, pipis,
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepanjang jalan pulang," dan anak laki-laki di sebelah kiriku turut bergabung.
Aku menatap Mandy hingga ia berhenti, dan si anak laki-laki pun segera
menghentikan nyanyiannya. Jimmy, si rambut merah, mengacungkan penggaris di
selangkangannya dan membuat suara kencing.
Aku menatapnya. Nona Collins tak memanggilku selama pelajaran dan Brendan tak
menoleh dari bangkunya untuk membuat wajah jenaka atau memberi isyarat.
Saat teman-teman sekelasku mencemooh dan berbisik di belakangku, aku melancarkan
sebuah taktik baru. Ketika Nona Collins berbicara, aku mengulang perkataannya
tiga kali dalam hati. Ketika ia mengatakan, "Batu Tuskar adalah batu berbahaya
yang berada enam mil laut ke arah timur laut Carnsore Point di sebelah tenggara
Irlandia dan mercusuar dinyalakan pertama kali pada 4 Juni 1815," aku
mengucapkannya dalam hati tiga kali dan berjanji tak akan melupakannya.
Aku tahu aku tak memiliki otak seorang sarjana atau, jika memang memiliki,
ingatan yang baik akan datang dengan sendirinya. Tapi, aku dapat membuat diriku
cerdas. Tak ada alasan tak melakukannya. Maka aku berlatih. Saat membaca buku,
aku membaca setiap kalimat tiga kali, menutup mataku setiap akhir kalimat, dan
mengulangnya tiga kali dalam hati. Cara ini tidak hanya baik bagi otakku tapi
juga membantuku melupakan bisikan dan cemoohan, dan juga membantuku agar tidak
membayangkan pikiran buruk. Semakin lama melakukannya, semakin aku mulai melihat
kegunaannya untuk hal lain. Jika aku akan melakukan pekerjaan penting, dan
menjadi orang besar, ingatan yang bagus akan sangat berguna.
---oOo--- Aku menelusuri Guiness Book. dan menemukan pada 14 Oktober 1967
seorang pria menghafal 6.666 ayat Al-Quran dalam waktu enam jam. Pria ini,
Mehmed Ah Halicii, memiliki ingatan eidetik dan ia dapat mengingat semua yang ia
baca. Saat bel waktu makan siang berbunyi, aku telah melewati berjam-jam tanpa merasa
cemas dan menemukan cara berpikir baru. Aku meraih makan siangku dan menghampiri
Brendan di bangkunya. "Ayo kita keluar," ajakku.
"Aku ingin tinggal di dalam," jawabnya.
"Baiklah," sahutku. "Kita tinggal di dalam."
Ia menatapku dan bangkunya. "Maksudku, aku ingin tinggal di dalam seorang diri."
"Ayolah. Kita duduk di pondok," ajakku sekali lagi.
Di hari yang dingin, dan ini hari yang cukup dingin, aku dan Brendan biasanya
duduk di depan tungku di pondok penjaga sekolah dan membaca semua komik Beano
kesukaanku. Si penjaga sekolah menyukai aku dan Brendan, dan kami berbincang
dengannya. Ia senang kami mengunjungi pondoknya, dan ia datang dan pergi, serta
bekerja di sekeliling kami.
"Terlalu dingin untuk pergi ke pondok," kata Brendan.
"Lalu?" aku bertanya. "Kita dapat duduk di depan tungku dan tak akan merasa
dingin." "Aku mual duduk di pondok penjaga sekolah," sahut Brendan. "Baunya busuk."
"Baunya tidak busuk," sahutku.
"Baunya busuk."
"Lalu?" "Lalu aku hanya tidak ingin pergi ke sana hari ini," katanya. "Aku ingin tinggal
di dalam kelas hari ini."
"Terserah." Amarah membuatku tegang dan aku tak tahu harus bagaimana. Maka aku
meninggalkan Brendan tanpa menoleh lagi kepadanya.
Selama pelajaran, aku menunggunya menoleh ke arahku, tapi ia tidak melakukannya.
Kadang aku menatap bagian belakang kepalanya, tapi lebih sering membaca dan
menghafal, atau menatap ke luar jendela mencoba menghentikan amarah yang membuat
gigiku sakit. ---oOo--- Dalam perjalanan pulang, aku menyebutkan kembali semua yang telah kuhafalkan.
Saat aku lupa, aku berhenti melangkah dan memejamkan mata hingga dapat
mengingatnya. Ketika tiba di pohon boneka, aku berhenti dan memperhatikannya.
Rambutnya menghilang. Kupikir ia memiliki rambut pirang. Hanya itu yang tak
berubah atau terurai darinya. Tapi ia tak berambut. Hanya ada tempurung kepala
menghitam. Mungkin orang yang meletakkannya di sana telah datang dan mengambil
rambutnya. Mungkin rambutnya jatuh helai demi helai dan aku tak
memperhatikannya. Aku merasa marah kepada orang-orang dan berlari pulang.
Tiba di ladang terakhir sebelum pondok, aku berhenti dan menatap ke seberang, ke
arah jendela dapur yang temaram. Aku dapat melihat bayangan ibuku, ayahku, dan
nenekku. Mereka berdiri mengelilingi meja.
Ayahku berdiri dekat tungku, bayangan gelap mereka bergerak cepat.
Tangan ayahku mengangkat, lalu turun. Tangan ibuku meraih rambut panjangnya dan
menyibaknya dan pundaknya. Aku ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Aku
ingin tahu apa yang terjadi. Tapi bahkan bila aku melesat secepat kilat
menyeberangi jalan, melompati gerbang, dan lintasan kerikil menuju pintu depan,
aku tak akan tahu apa yang mereka katakan. Bagian itu akan selalu terlewat. Dan
mereka akan berhenti bicara dan mengganti pokok pembicaraan saat melihat-ku.
Namun, aku senang melihat lampu menyala, mengetahui mereka ada di rumah, dan
tersedia tempat hangat bagiku di meja.
---oOo--- "Kau terlambat," kata ayahku. "Ini sudah lewat pukul lima."
"Aku melalui jalan yang panjang," jawabku.
Ia menghampiri tungku dan mengambil piring. "Ini. Makanlah ini,"
katanya. "Ikan jari besar."
Aku duduk di meja bersama ibuku. Nenek berdiri di depan tungku, mengaduk sepanci
puding. "Bagaimana sekolahmu?" tanya ibuku, dan aku memperhatikan matanya merah dan
rambutnya acak-acakan. "Baik," jawabku.
"Apakah kau ingin telurmu digoreng dengan ikan jarimu?" ia bertanya.
"Tidak," jawabku. "Kenapa rambutmu acak-acakan?"
Ayahku berdiri di depan meja secara tiba-tiba hingga kursinya terlempar ke
belakang. Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Kami menunggu apa yang akan ia
lakukan. Ia meninggalkan dapur dan saat ia kembali, ia langsung berdiri di
belakang ibuku dan menyisir rambutnya.
"Nanti rambutku akan rontok ke atas kacang panggang," ia tertawa.
Aku memperhatikan ayahku menyisir rambut ibuku dan dapat melihat simpul-
simpulnya tertarik dan ia pasti kesakitan.
Aku berkata, "Bila ada rambut di kacang, kita dapat berkata, "Rambut kacang
siapa?" Tangannya menjulur ke bawah meja dan mengetuk lututku. "Mau menambah makananmu?"
"Tidak," jawabku seraya mendorong kacang di piringku mengelilingi ikan jari
besar. "Makanlah ikan jarimu," perintah ayahku.
"Ya." "Karena itu akan meleleh bila terlalu hangat."
"Mungkin sebelum film dimulai, kau dan Mami dapat mengajariku mengerjakan teka-
teki silang." "Kami harus melakukannya di sore hari yang baik. Ingatkan aku Sabtu nanti."
"Apakah kau ingat hadiahku?" aku bertanya.
"Hadiah apa?" "Hadiah yang kaujanjikan."
"Cokelat-cokelat ini adalah hadiahmu dan aku akan memberimu yang lebih besar
lagi nanti." ---oOo--- Buku dari perpustakaan Wexford, The Truth about Lie Detection, adalah buku
terbaik yang kudapatkan dan aku telah menyalin tiga puluh lima halamannya ke
dalam "The Gol of Seil".
Aku akan menghafal sebanyak mungkin dari buku ini. Sekarang aku telah menghafal
beberapa bagian penting, seperti yang satu ini, yang kuucapkan keras-keras
sepanjang perjalanan ke sekolah.
"Banyak orang salah mengira bahwa jika seseorang berbohong, mereka tak mau
melakukan kontak mata dan akan mengosok bagian bawah hidung mereka. Tapi, tak
melakukan kontak mata ataupun menggosok hidung bukan tanda kebohongan yang
pasti. Lebih penting memperhatikan tanda-tanda yang tersebar. Penting juga
membandingkan sikap seseorang dengan kebiasaannya sehari-hari.
Ketika seseorang berbohong, ia perlu berkonsentrasi untuk menjaga agar ceritanya
tetap lurus dan kadang melambatkan bicaranya atau tampak ragu-ragu. Sementara
orang mencoba mengendalikan ekspresi wajah mereka, tapi banyak orang tak mampu
menyembunyikan perasaan mereka.
Sebab, beberapa otot wajah terkait dengan ekspresi tidak dapat dikendalikan
secara sadar, terutama orang-orang dengan emosi yang kuat."
Pengarang The Truth about Lie Detection juga mengatakan bahwa emosi yang kuat
sering disebut emosi primer dan tampak sebagai fraksi dan emosi sekundernya,
yaitu ekspresi mikro. Aku juga membaca dalam buku ini bahwa hanya sedikit orang yang dapat mengetahui
kebohongan dan orang-orang ini kadang disebut penyihir.
Orang semacam ini dapat melihat tanda-tanda sikap yang terlewat oleh orang lain.
---oOo--- Aku menyalin lebih banyak lagi halaman The Truth about Lie Detection ke dalam
bukuku kemudian menulis secarik surat kepada Guinness Book of Records :
Guinness Book of Records yang terhormat,
Nama saya John Egan dan saya memiliki bakat unik. Saya rasa Anda akan tertarik
dengan bakat saya dan Anda harus membolehkan saya membuktikannya.
Saya dapat mengenali seseorang yang berbohong dengan ketepatan 100 persen.
Saya harap Anda segera membalas surat saya dan mengizinkan saya menunjukkannya
kepada Anda. Hormat saya, John Egan ---oOo--- Setelah menulis surat, aku melamunkan diriku muncul di televisi. Aku
diwawancarai oleh Gay Byrne, pemandu acara The Late, Late Show. Dalam lamunanku
aku telah terkenal dan berkeliling dunia menunjukkan bakatku.
Aku menceritakan pekerjaan yang kulakukan untuk FBI, membantu menangkap mata-
mata Rusia. Gay Byrne mengangguk-anggukkan kepala seraya berkata, "Luar biasa.
Sungguh luar biasa. Bolehkah kami menguji bakatmu di depan pemirsa" Dapatkah
kita mengadakan semacam ujian langsung" Sebuah percobaan?"
Aku duduk di kursi putarku yang berbalut kulit dan berkata, "Ya, tentu saja."
Gay Byrne memanggil empat sukarelawan dan ia meminta mereka menceritakan apa
pun. Orang pertama mengatakan, "Namaku Bernadette dan aku memiliki tiga putri,
seorang putra, dan tinggal di Galway."
Aku menggaruk sisi wajahku sebelum menjawab. "Itu bohong,"
sahutku. "Tapi tidak semua. Kau mengatakan sejujurnya kecuali bahwa kau tinggal
di Galway." Dalam lamunanku aku tak merasa mual saat mendeteksi kebohongan,
bahkan tidak merasa cemas sedikit pun.
Gay Byrne dan para sukarelawan saling melihat, senang dan terpukau.
"Benar," kata si wanita. "Aku memang memiliki tiga putri dan seorang putra tapi
tidak tinggal di Galway. Aku tinggal di Doolin."
Saat aku selesai melamun, aku kembali membaca The Great Train Robbery. Pada 8
Agustus 1963, antara pukul 3.10 dan 3.45 pagi, sebuah kereta Perusahaan Pos dari
Glasgow disergap oleh gerombolan pencuri yang melarikan 120 kantong pos berisi
lebih dari empat puluh dua juta pound.
Salah seorang pencuri belum tertangkap. Namanya adalah Ronald Biggs.
Aku membayangkan rasanya mencuri uang sedemikian banyak.
Kemarin aku merasa seakan jantung ingin keluar lewat telingaku saat mencuri
sembilan puluh pound dan dompet Nenek. Ronald Biggs pasti merasa kaki dan
tangannya berjatuhan karena dorongan ketegangan yang sangat kuat. Bahkan ketika
aku melihat ke bawah kasurku untuk memeriksa apakah uang hasil cunanku masih
berada di sana, tanganku bergetar hingga satu jam kemudian. Dan bagaimana Ronald
Biggs tahu apa yang harus dilakukan dengan uang tersebut bila aku saja tak dapat
memutuskan harus bagaimana dengan setumpuk uang kecilku"
Kemudian ayahku berteriak memanggilku dan aku tahu itu waktunya menonton film
Hitchcock.[] 11 Selama dua hari berturut-turut seluruh kelas mencemooh aku. Beberapa malah telah
membuat rencana untuk menyergapku saat akan masuk kelas.
Kemarin si rambut merah menyiramkan air ke kakiku saat aku duduk di bangkuku.
Dan saat Nona Collins memunggungi kelas, gadis di sebelahku berkata, "Pipis,
pipis, pipis, sepanjang jalan pulang." Dan, dengan pengecualian, Brendan tidak
berbicara denganku sejak kejadian itu.
---oOo--- Pukul setengah tiga. Aku duduk dan menunggu semua orang keluar sebelum akhirnya
aku keluar menyusuri koridor. Brendan berjalan melewati rak mantel. Sesungguhnya
aku tak perlu menanyakan alasan ia berjalan hilir mudik di koridor seperti itu.
Aku tahu ia tak dapat menemukan jaketnya. Ia tak dapat menemukannya karena saat
makan siang tadi aku melepaskannya dari gantungan dan menyembunyikannya di dalam
tas sekolahku. Aku bertanya mengapa ia masih di sini.
"Aku tak dapat menemukan jaketku."
"Aku bantu kau mencarinya," sahutku.
Aku mencoba bersikap tenang, tapi tanganku berkeringat dalam saku bajuku. Kami
mencari jaketnya dan kami tak dapat menemukannya. Aku mengusulkan kami berjalan
pulang bersama-sama. Aku meminjamkan jaketku untuknya. Ia tak bertanya mengapa
aku tak mengenakan jaketku, atau mengapa aku mengenakan dua lapis baju hangat
hari ini. Akhirnya, kami hanya berdua dan aku dapat menceritakan alasan kenapa aku kencing
di celana. Aku berbohong agar ia tetap menjadi temanku dan aku tak merasa mual.
Aku mengatakan kepadanya bahwa itu hanyalah usaha memecahkan rekor.
"Itu sebuah rekor yang sangat bodoh," katanya.
"Aku hampir saja memecahkannya. Aku telah bertahan selama dua puluh enam jam."
"Kau bertahan selama dua puluh enam jam!"
"Dua puluh lima jam lima puluh lima menit."
"Kau harus menceritakannya kepada semua orang."
"Mungkin," jawabku, "tapi mereka mungkin tak akan memercayaiku.
Rekornya adalah tiga puluh jam. Aku hampir saja memecahkannya."
Ia memandang ke arah lain.
"Apakah kau mau mampir ke rumah hari Senin" Kita dapat bermain bola atau apa
pun?" aku bertanya. Brendan terbatuk, seperti ayahku saat ia tak yakin harus bagaimana.
"Aku belum tahu. Sepertinya aku harus menghadiri misa pembabtisan."
"Oke," jawabku.
---oOo--- Jumat pagi, seusai sarapan, aku menunggu hingga tak ada seorang pun di dapur
agar aku dapat memanggil Brendan dan memberitahukan rencana percobaan
istimewaku. "Seperti percobaan menahan kencing?"
"Yang ini sangat berbeda. Dapatkah kau menginap di rumahku malam ini?" "Kurasa
aku tak akan diizinkan," katanya.
"Ini penting." "Mungkin. Aku harus pergi sekarang. Bubur sarapanku pasti sudah dingin."
"Aku akan memberimu lima pound," desakku.
"Pembohong." "Aku akan membawa uangnya hari ini dan menunjukkannya kepadamu."
"Dan mana kau mendapatkan lima pound?"
"Aku menabung."
"Bohong. Butuh waktu seratus tahun mengumpulkan sebanyak itu."
"Nenekku memenangi banyak uang di balapan dan ia memberiku sedikit bagian. Tapi
kau tak boleh memberitahu siapa pun. Jika kau melakukannya, aku akan mengambil
kembali uang itu darimu."
"Oke." "Dan bawa juga kantong tidurmu."
"Kenapa?" "Karena." ---oOo--- Aku memberitahu ibuku bahwa aku akan menginap di rumah Brendan malam ini dan aku
langsung ke rumahnya sepulang sekolah. Ia tak akan bertanya-tanya; ia tak punya
alasan untuk curiga. Pukul setengah tiga. Aku meminta Brendan datang ke bangsal penjaga sekolah.
"Kenapa" Bukankah kita akan menginap di rumahmu?"
"Ikuti saja aku. Kau akan lihat nanti."
Kami pergi ke bangsal. Si penjaga sekolah sedang membersihkan sebuah bangku
dengan kain kawat. "Halo," sapanya. "Apakah coret-coretan ini ulah kalian?"
"Bukan" jawabku. "Kami memerlukan kunci ke bangsal untuk semalam saja."
Si penjaga sekolah menunduk menatap lantai kemudian perlahan menoleh ke arahku.
"Dan jika kau tertangkap, kau akan mengatakan telah mencuri kunci-kunci itu dan
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kantor?" "Tepat," jawabku.
"Dan kau tidak akan melakukan hal-hal buruk di bangsalku?"
Aku menunduk menatap lantai, kemudian perlahan menatapnya, seperti yang tadi
dilakukan si penjaga sekolah. Orang yang percaya diri tampak mampu mengendalikan
kesunyian dan jeda waktu.
Aku berpikir tentang bagaimana aku harus bertindak dan kukira aku harus percaya
diri saat bertemu untuk pertama kalinya dengan orang-orang dan Guinness Book.
Pertama aku akan mengendalikan tanganku, kemudian suaraku, lalu cara berjalanku.
"Semacam itulah," jawabku. "Panjang ceritanya."
"Bersihkan toilet. Saat kau kembali, bangsalku siap digunakan."
Si penjaga sekolah memberikan kunci-kuncinya kepadaku. Aku mencamkan sikapnya
yang tak memerlukan banyak kata saat memerintahkan kepadaku apa yang ia
inginkan. ---oOo--- Saat berjalan menuju ke toilet, Brendan meraih lenganku. "Apa yang terjadi"
Kukira kita akan menginap di rumahmu?"
"Kita membutuhkan bangsal untuk percobaanku malam ini. Tapi aku belum dapat
memberitahu kau sekarang."
"Kau harus memberitahu aku. Aku akan pergi bila kau tak memberitahu aku."
Aku membuka pintu toilet. "Baiklah. Ini adalah percobaan deteksi kebohongan. Aku
akan membuktikan bahwa aku adalah manusia pendeteksi kebohongan."
"Itu konyol." "Bagaimana kau tahu itu konyol" Aku belum menunjukkannya kepadamu. Aku seperti
poligraf, hanya aku tak membutuhkan mesin."
"Apa itu poligraf?"
"Sebuah mesin yang ditempelkan ke tubuh seorang penjahat untuk melihat apakah ia
berbohong, tapi aku mungkin detektor kebohongan yang lebih baik daripada mesin
mana pun." "Apa yang kaubicarakan?"
"Poligraf mengukur pernapasan dan tekanan darah serta berapa banyak si tersangka
berkeringat. Tapi, beberapa orang tak merasa bersalah saat berbohong dan jarum-
jarum poligraf tak dapat membacanya. Orang-orang ini adalah pembohong super. Dan
beberapa tersangka yang tak bersalah justru sangat tegang hingga poligraf
mengira mereka sedang berbohong. Tapi, saat aku mendeteksi kebohongan, aku
melihat dalam kilasan detik apa yang tidak dapat dibaca oleh mesin. Dan aku
mendeteksi banyak sinyal serta hal-hal yang disebut ekspresi mikro. Aku merasa
mual dan telingaku terasa terbakar, tapi tak separah seperti saat pertama kali.
Matanya membelalak dan mulutnya ternganga. "Apa yang kaubicarakan?"
"Aku memiliki bakat mendeteksi kebohongan."
"Kau mengada-ada."
"Tidak." "Ya." "Tidak." "Bagaimana kau mempelajarinya" Siapa yang mengajarimu?"
"Aku tidak mempelajarinya. Aku hanya mampu melakukannya, begitu saja. Seperti
sesuatu yang dapat kulakukan. Tapi, aku membaca semua buku sekarang dan itu
membantuku mengetahui apa yang terjadi. Buku-buku itu mengatakan bahwa otakku
bekerja saat aku melihat kebohongan."
"Tak dapatkah kita melakukan percobaan di rumahmu?"
Aku langsung berpikir untuk menggunakan sedikit kata. "Tak ada privasi di sana,"
sahutku. Aku berpaling darinya dan menggunakan kain pel serta ember untuk menyiram semua
air kotor di lantai. Brendan menyandar ke dinding dan menontonku bekerja tanpa
menawarkan bantuan sama sekali. Ia menguasai keadaan sekarang; tapi aku akan
segera merebutnya. "Bagaimana kau mengetahui seseorang sedang berbohong?" ia bertanya.
"Pada awalnya aku sering merasa mual dan muntah, tapi sekarang telingaku panas
dan aku langsung tahu dan apa yang ditunjukkan wajah dan tangan seseorang."
"Itu konyol." "Tidak, itu tidak konyol. Tunggu dan lihat saja."
"Berikan aku uangnya dan aku akan menunggu."
Aku memberikan lima pound dan ia mengarahkan lembaran uang itu ke arah cahaya,
seakan ia memeriksa keaslian uang tersebut.
Aku tertawa setelah ia pun tertawa, meski aku harus membayarnya untuk melakukan
sesuatu yang seharusnya ia lakukan sebagai seorang sahabat.
---oOo--- Dalam perjalanan balik ke bangsal kami berhenti di ruang kelas dan mengambil
kantong-kantong tidur kami berikut makanan yang kuambil dari lemari penyimpanan
di rumah tadi pagi: dua potong kue cokelat, segumpal ham, dan beberapa lembar
roti. Aku juga membawa selimut tambahan dan bantal.
Kabut turun menyelimuti malam saat kami berjalan ke bangsal, membasahi mantel-
mantel kami. Saat kami masuk ke bangsal, kami langsung menyusun kantong-kantong
tidur kami di lantai. Aku kedinginan dan tak tahu cara menyalakan tungkunya.
"Kita akan mati kedinginan,"
ujarku memecah kesunyian.
"Jangan sinis begitu," sahut Brendan. "Aku akan mengambil kayu bakar dan
menyalakan api." "Bagus," jawabku.
Tungku telah menyala dan dipenuhi kayu bakar. Ruangan itu agak hangat sekarang,
dan kami merasa nyaman seraya menyantap kue sambil berselonjor dalam kantong
tidur. Tapi, aku cemas jika kami tidak segera memulai percobaan, kami tidak akan
melakukannya sama sekali.
"Si penjaga sekolah meninggalkan pesan," kata Brendan.
Anak-anak, Kuharap kalian bersenang-senang malam ini. Ada beberapa komik baru di rak buku!
Penjaga sekolah Brendan mencari komik-komik baru dan perutku langsung melilit; ia lebih tertarik
pada komik alih-alih percobaanku.
"Tapi kita tidak membutuhkan komik," kataku. "Kita bahkan belum mulai."
"Hanya melihat," jawabnya.
Kami membolak-balik buku-buku si penjaga sekolah dan di antara komik-komik itu
Brendan menemukan majalah porno. Sepertinya Brendan tahu majalah-majalah itu
memang berada di sana, tapi ia berkata, "Aku mempunyai perasaan ia meninggalkan
sesuatu yang aneh untuk kita. Aku hanya merasakannya."
Brendan kembali ke kantong tidurnya dan membolak-balik halaman majalah tersebut.
Ia terus saja berceloteh "Gila", "Wuih!", dan "Lihat ukurannya!" Suaranya
terdengar bodoh dan dibuat-buat. "Ayo lihat ini!"
teriaknya. Aku menarik kantong tidurku merapat kepadanya dan duduk di sampingnya melihat
gambar-gambar di majalah. Beberapa gambar memuat tiga hingga empat orang. Posisi
mereka tidak masuk akal. Aku merasa seperti mabuk laut. Isi perutku seakan
tertekan dan berpusing. Kuharap Brendan tak melihatku, tapi ia sibuk menyumpah dan mengeluarkan
keributan dari mulutnya. Aku tak mengeluarkan suara. Yang kurasakan adalah
tekanan keras di saluran pembuanganku, seperti ingin buang air.
Tanpa peringatan, Brendan mendorong lenganku keras sekali seraya berseru, "Kau
tak perlu duduk serapat itu dengan aku! Kau membuatku merinding."
Sebelum aku sempat menjawab, ia melompat keluar dari kantong tidurnya dan
mengembalikan majalahnya ke rak buku. Ia berdiri sejenak, menatapku, seraya
berulang kali memindahkan tumpuan berat badannya pada satu kaki ke kaki yang
lain. "Aku akan buang air kecil, setelah itu kita pulang," katanya.
Ia tak menatapku dan aku pun tidak. Ia keluar dan aku menunggu selama sepuluh
menit hingga ia kembali. Saat ia kembali, ia berkata, "Aku akan pulang
sekarang." "Bagaimana percobaannya?" aku bertanya.
Ia mengangkat bahu. "Katakan saja kita tak jadi menginap,"
jawabnya. Aku berdiri dan membereskan barang-barang tanpa bicara. Aku ingin bicara. Aku
ingin tahu pendapat Brendan tentang gambar-gambar tadi.
"Tapi, bagaimana dengan percobaannya?" aku bertanya kembali.
"Apanya yang bagaimana?" sahut Brendan.
"Baiklah," aku membalas. "Lakukan saja apa maumu."
Aku ingin sesuatu yang lebih besar terjadi malam ini, tapi aku tak tahu apa itu.
Keinginannya untuk pergi membuatku kesal. Aku ingin sesuatu terjadi di bangsal
penjaga sekolah, malam ini, antara aku dan Brendan. Aku ingin sesuatu antara
kami, dalam kegelapan malam. Aku tak ingin kami berpisah, tidak sekarang, tidak
begitu tiba-tiba. "Tinggallah dan kita lakukan percobaannya," ajakku.
"Lupakan saja," sahut Brendan. "Lagi pula, itu gagasan yang bodoh."
"Kalau begitu kau pun bodoh, karena kau mau melakukannya."
"Lalu?" Dan kami berdiri saling mengatakan "lalu?". Brendan berpura-pura marah tapi aku
tahu ia kesepian dan merasa aneh seperti yang sedang kurasakan.
"Ayolah matikan saja lampunya dan kita tidur, tanpa bicara," aku berkata
perlahan dengan semua yang tertinggal dalam suaraku. "Kita pulang saat fajar
tiba." Brendan tidak menjawab. "Tolonglah," pintaku. "Ayo kita tidur."
Brendan mematikan lampu dan kami masuk ke dalam kantong tidur kami. Brendan
telah masuk ke dalam kantong tidurnya dan berhenti bergerak. Aku merapatkan
kantong tidurku ke sampingnya hingga bersentuhan dengannya.
"Malam," katanya.
"Malam, Brendan," aku membalas.
---oOo--- Aku berbalik ke posisi tidur yang biasa kulakukan, sisi keningku bersandar pada
tanganku, tapi aku tak dapat tidur. Aku berbalik di lantai yang keras dan
merasakan beton dingin di bawah lengan dan kakiku. Aku tak dapat berhenti
memikirkan keinginan menyentuh Brendan, atau disentuh olehnya, dan aku ingin
melihat tubuhnya. Aku tak pernah berpikir seperti ini sebelumnya, dan aku belum
pernah merasa seperti ini sebelumnya. Bukan menyukai Brendan; tidak seperti itu.
Aku menatap Brendan yang terlelap dalam kantong tidurnya dan ingin
membangunkannya. Tidak. Aku tak akan memikirkan itu.
Aku hanya akan membayangkan membangunkannya. Aku membayangkan: aku membangunkannya dan memintanya tidur di sisiku dan ia berkata
ya dan kami berbaring telanjang bersama dan saling melihat tubuh masing-masing.
Tapi ini salah; ini dosa. Aku duduk dan menggelengkan kepalaku. Aku membuka mata
dan bayangan itu hilang. Aku berbaring terjaga untuk beberapa lama dalam
kebingungan. Semakin lama aku semakin merasa seperti tahanan, terjebak dalam
keadaan terjaga. Aku berguling dan berguling serta waktu berjalan terus dan
terus. Waktu yang berjalan lambat.
Rasanya kepalaku penuh berisi helium. Tak ada yang mampu membuatku istirahat,
dalam kegelapan, tertidur. Semuanya hitam tanpa ada kegelapan dalam kepalaku.
Muncul cahaya menyilaukan pada saat seharusnya gelap. Pikiran-pikiran buruk tak
henti-hentinya bermunculan.
Dosa yang sangat besar. Inilah sebabnya ibuku tak ingin berbaring bersamaku.
Aku ingin pikiran-pikiran ini berhenti berdatangan, tapi aku juga ingin melihat
apa yang terjadi pada pikiran-pikiran itu. Kisah tentang tubuhku dan tubuh
Brendan serta semua kisah yang kukarang dalam kepalaku.
Kuhantamkan tanganku ke kepalaku hingga sakit rasanya. Aku memukul dada dan
lenganku sendiri kemudian wajahku.
Aku tak akan berpikir seperti ini lagi.
---oOo--- Aku bangun dan menyalakan lampu kemudian duduk di kursi di bawah jendela dengan
kantong tidur masih membungkus tubuhku. Aku menatap Brendan, yang berbaring
menyamping. Mulutnya terbuka dan lidahnya bersandar di deretan gigi bawah. Aku
suka melihatnya seperti ini dan ia tak mampu menghentikan aku. Aku menatap
lubang hidungnya yang kembang-kempis. Kuharap ia terbangun dan berbincang
denganku, menemaniku. Tapi, jika ia bangun, mungkin ia ingin pulang dan jika ia pulang, aku tak akan
dapat melihatnya. Aku berhenti menatap dan mulai bosan. Aku membaca sebuah komik tapi tak ada
cerita yang lucu. Aku menendang kantong tidurku. Kau bukan kantong tidur, kau
kantong bangun. Setelah satu jam lebih aku duduk dengan lampu menyala, di bawah jendela yang
gelap dan dingin, aku memutuskan untuk kembali tidur. Aku menyusup ke dalam
kantong tidurku yang teronggok di bawah kursi.
Kantong tidur itu sudah dingin sekarang, dan aku dapat merasakan beton seperti
es di bawah kantong. Lengan dan kakiku rasanya beku.
Terus begitu rasanya hingga burung-burung mulai berkicau. Saat mereka mulai
berkicau, aku mengantuk, dan tertidur sejenak, kemudian terbangun.
Si penjaga sekolah berdiri di ambang pintu. "Bangun," katanya seakan kami berdua
adalah dua orang asing, "Aku memerlukan bangsal ini."[]
12 Sabtu pagi, hari pertama liburan Paskah. Ayahku datang ke dapur saat kami sedang
sarapan. "Halo," aku menyapanya.
"Pagi," sahutnya.
Ia mengenakan kemeja putih dan jaket biru serta menebarkan aroma busuk dan
losion habis cukur. Jenggotnya menghilang lagi dan kuharap ia tak menumbuhkannya
kembali. Ia mengambil piringku dari meja dan menghampiri tempatku berdiri, dekat
kompor, lalu memegangnya tepat di hadapanku. "Apakah kau memakan kulit rotimu
sekarang?" ia bertanya dalam bisikan, seakan tak ingin yang lain mencuri dengar.
"Aku tak menyukainya," jawabku.
"Jangan bodoh," katanya. "Kulit roti sama dengan bagian roti lainnya."
Ia mengatakannya dalam nada marah hingga piring berguncang di tangannya. Kulit
roti sisa sarapanku terdorong ke pinggir, hampir jatuh dari piring. "Tidak,"
jawabku. "Kulit roti lebih kenyal dan keras."
Ia memberikan piringku dan berbicara dengan suara rendah yang normal "Makan
kulit rotimu," perintahnya."Roti tidak tumbuh dari pohon.
Membuang makanan adalah dosa."
"Kulit roti membuat gigiku sakit," sahutku. Aku mengambil piringku dan
meletakkan di meja, tapi ia mendorong piringku kembali ke tanganku.
"Makan, kau idiot berbadan besar, atau aku akan mendorongnya masuk ke
kerongkonganmu." Aku memakan kulit rotiku di bawah tatapannya. Ia berdiri di depan kompor dengan
tangan terlipat di dada. Aku menatapnya saat selesai menghabiskan kulit rotiku.
Ia tersenyum memamerkan giginya, senyum lelah dan dingin.
"Kaulihat," katanya. "Kulit roti tidak membunuhmu kan."
Ibuku datang mengambil tasnya: ia bersiap pergi ke toko pangan di Kota Gorey,
tempat ia sekarang bekerja tiga kali dalam seminggu. Ia mengenakan mantel merah
muda di atas celemek berwarna kuning.
"Mengapa kau tidak ikut saja denganku?" ajaknya. "Kau dapat menghabiskan pagi
hari di toko dan membawa pulang sekantong permen."
"Aku ingin tinggal di rumah," jawabku. Aku ingin membaca buku baruku tentang
kebohongan. "Pergilah bersama ibumu," kata ayahku. "Kau tak pernah meninggalkan rumah akhir-
akhir ini." ---oOo--- Saat kami tiba di persimpangan, dan seharusnya membelok ke kanan, ibuku membelok
ke kiri seraya berkata, "Kita harus menemui dr Ryan. Sebentar saja."
"Kenapa?" "Kau harus diperiksa."
"Untuk apa?" "Karena kau tumbuh terlalu besar."
"Karena itukah kau tak mau menyentuhku lagi?"
"Aku menyentuhmu."
"Tidak sesering dulu."
Ia mengusap wajahnya dan menggaruk keningnya dengan jemarinya.
"Kau bukan anak kecil lagi sekarang."
"Lalu" Kau tinggi dan Pa juga tinggi. Aku seperti kalian."
"Kau baru berumur sebelas tahun dan hampir setinggi enam kaki serta suaramu pun
semakin berat." "Aku berumur dua belas tahun pada Juli nanti," aku membalas.
"Kita tanya saja dr Ryan dan lihat apa katanya nanti?"
"Kecuali
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku memerlukan operasi untuk menghentikan pertumbuhanku, aku tak mau menemui dokter."
"Tidak perlu operasi."
"Maka aku tak perlu menemui dokter. Aku tidak sakit."
"Aku tidak mengatakan kau sakit."
Aku memukul dasbor dengan telapak tanganku. Aku tak mengerti kenapa aku tak
merasakan kebohongannya saat di rumah tadi. Kenapa aku tak mengetahui ia
berbohong saat mengatakan akan mengajakku berbelanja"
"Jika ada yang sakit, itu adalah kau," kataku.
Ia menatapku, menunggu tindakanku berikutnya. Aku meletakkan kembali tanganku di
samping pahaku dan ia kembali melihat ke jalan. Tapi, aku dapat merasakan ia
cemas: ia menyentuh wajahnya dan sering menelan ludah.
"Apa maksudnya itu?" ia bertanya akhirnya.
"Kau mengatakan bahwa aku akan berbelanja denganmu. Kau berbohong. Kau menipuku
agar ikut bersamamu."
"Kita memang akan ke toko, aku tidak berbohong. Tapi, kita bertemu dengan dr
Ryan dulu." "Jika kau memaksaku menemui dr Ryan sekarang, aku tak akan memercayaimu lagi."
Aku mengucapkannya dengan nada yang belum pernah kugunakan sebelumnya, nada yang
hanya berjarak sedikit dari tinju dan tendangan.
Tanganku terkepal saat mengucapkannya, dan aku merasa kuat. Aku benar-benar
mengancam. "Aku tak melihat alasan kekesalanmu," katanya hampir menangis.
"Penting untuk selalu jujur," ujarku dalam bisikan dan kehabisan napas. "Kau
seorang ibu. Seorang ibu tidak boleh berbohong. Aku tak ingin kau berbohong."
Ia tak berkata-kata lagi.
"Orang lain dapat berbohong jika mereka mau," aku melanjutkan.
"Tapi tidak kau."
Ia mengernyit dan menatapku tapi kali ini tidak berkaca-kaca. Aku heran mengapa
ia berhenti menangis padahal aku dapat membuatnya menangis jika aku mau. "Lagi
pula," kataku, "berbohong itu dosa."
Ia menatapku tenang seakan aku tak mengatakan apa pun dan ia memutar arah
mobilnya. Kami kembali ke persimpangan dan ia berbelok ke arah Kota Gorey. Kami
akan berbelanja di toko. "Apakah kau sudah selesai sekarang?" ia bertanya dengan nada datar yang biasa ia
gunakan untuk berbicara dengan paman-pamanku.
"Ya." ---oOo--- Aku duduk di kursi di belakang meja etalase, mendengarkan ibuku menjelaskan soal
panen, penyakit, dan bayi kepada pelanggan.
Seorang wanita datang dan berkata, "Helen, kami pikir kau akan ikut Legio Maria
tahun ini!" Dan ibuku menjawab, "Sebenarnya aku ingin sekali, tapi aku tak punya
waktu." Saat si wanita itu pergi, ibuku membisikkan kepadaku bahwa Legio Maria adalah
pembuangan waktu: segerombolan ibu rumah tangga yang pekerjaannya hanya
mengeluh, bergosip, dan menjelek-jelekkan suami mereka.
Sebentar lagi aku akan makan dan di atas rak telah tersusun kaleng serta kotak
makanan. Lusinan permen berbagai jenis berderet di etalase kaca. Lalu sesuatu
terjadi yang membuat perasaanku berbunga-bunga.
Tepat sebelum waktu tutup, seorang penjual barang datang mengenakan pakaian
serba hitam. Ibuku mengatakan kepadanya bahwa ia tak membutuhkan biskuit lagi.
"Apa kau yakin" Kau tak ingin membicarakannya dengan manajermu?"
ia bertanya. "Aku manajernya," kata ibuku. "Dan aku yakin."
Ia menengok ke arah rak, menuliskan beberapa catatan di papannya dan berkata,
"Kurasa kau kehabisan biskuit di sini. Ada beberapa barang baru yang bagus yang
baru saja dikeluarkan."
Ibuku mengangkat meja pemisah dan keluar dari belakang meja etalase. Ia berdiri
dekat dengan si pedagang. "Aku menghargai waktu yang Anda luangkan," katanya,
"tapi kami tak memerlukan biskuit lagi."
"Baiklah," kata si pedagang.
Ibuku menepuk punggung si pedagang. Tangannya berlumuran tepung dan meninggalkan
tapak tangan sebesar telapak anak kecil di pakaian hitam si pedagang.
Ia mengawasi si pedagang meninggalkan toko. Kemudian ia membuka pintu dan
berdiri di teras melihatnya menghilang di keramaian jalan.
"Selamat tinggal!" katanya.
Pintu menutup membunyikan sebuah lonceng kecil. Aku melompat.
"Kau meninggalkan tapak tangan di punggungnya," ucapku.
"Aku tahu," kata ibuku. "Dan aku tak akan pernah melupakan kegembiraanku
melakukannya." Aku memeluknya seakan mendengar berita gembira. Ia tertawa dan memelukku erat.
Saat melepaskan pelukan, ia mencium pipiku dan tersenyum.
---oOo--- Ia berdendang saat perjalanan pulang. Ketika tiba di persimpangan ia menanyakan
apakah aku ingin berjalan-jalan ke pantai Courtown dan aku setuju. Ini artinya
setengah jam lagi di mobil bersamanya dan beberapa jam lagi pulang ke rumah.
Aku memakan permen-permenku seraya berjalan ke pantai. Di musim panas pasirnya
berwarna kuning dan airnya biru. Hari ini pasirnya tidak begitu kuning tapi
tetap cerah, dan airnya tidak biru tapi ombaknya tetap memecah dan menimbulkan
buih putih. Tercium aroma garam dan rumput laut. Di belakang kami bukit-bukit
pasir tertutup semak-semak hijau seperti kain wol.
Kemudian turun hujan. Hujan deras. Tapi kami terus berjalan seakan tak menyadari
turunnya hujan. "Mam! Hujan!" teriakku terpesona oleh perubahan udara, ringan dan mengeluarkan
aroma besi yang aneh. "Jangan pedulikan hujannya," katanya.
Ia mendongakkan wajahnya dan menyambut air hujan dengan mulutnya. Aku melakukan
hal yang sama dan kami tertawa. Ia meraih tanganku dan kami berjalan di tengah
hujan dengan kepala menengadah, sementara orang-orang berlarian menuju tempat
berteduh. Tidak terasa dingin padahal aku basah kuyup. Air hujan terasa hangat
seperti selembar selimut.
---oOo--- Kami tiba di rumah dengan pakaian, sepatu, dan kaus kaki yang basah.
Ayahku duduk di meja dapur menyantap sup. Ibuku langsung menghampiri dan berdiri
di sampingnya. "Lihatlah istrimu ini," katanya. "Basah kuyup dan kepala hingga kaki."
Ayahku tersenyum tanpa memperlihatkan giginya. "Seperti tikus tenggelam,"
katanya. "Berapa banyak tikus yang kaukenal yang mengumpulkan kerang?"
tanya ibuku seraya menumpahkan kerang-kerang dari saku mantelnya ke atas meja
dapur. Ayahku tersenyum lagi dan memegang sebuah kerang di telinganya.
"Halo?" katanya. "Ini Michael Egan. Tidak, si kelelawar tua itu tidak di sini.
Ia sedang bermain bingo."
Ibuku tertawa dan tampak bahagia. Ia menceritakan si pedagang berpakaian hitam
yang punggungnya ia kotori dengan tapak tangan bertepung.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal hingga ibuku harus bersandar ke bak cuci dan
menyeka air mata dan matanya yang memerah.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal dan lama. Lelucon itu pasti jauh dari yang
dapat kupahami, dan aku ingin sekali tahu apa itu. Jika aku bertanya apa yang
membuat mereka tertawa terbahak-bahak, ayahku mungkin akan berbohong agar aku
tak tahu terlalu banyak tentang dirinya, tentang seperti apa sebenarnya dia.
Ibuku mungkin akan memberitahukan alasan sekadarnya tanpa menyebutkan bagian
yang rumit. Kurasa ia akan berbohong demi membuat perbincangan lebih mudah dan
menyenangkan. Agar bahan obrolan tidak terlalu serius.
"Tidak begitu lucu," kataku. "Kenapa kalian tertawa terpingkal-pingkal?"
Akhirnya ibuku berhenti tertawa dan mampu berbicara. "Kami tertawa karena dulu,
sebelum kau lahir, aku melakukan hal yang sama kepada Paman Tonymu, sebelum kami
semua berangkat ke upacara pernikahan."
Ayahku menggelengkan kepala. Matanya masih dipenuhi air mata karena tertawa.
"Dan ia memang pantas mendapatkannya."
"Kenapa?" aku bertanya.
Mereka saling memandang sebelum ibuku menjawab. "Sebab, ia bersikap buruk
kepadaku dan aku membalas. Kau dapat menanyakan apa yang telah ia katakan hingga
wajahmu membiru, tapi aku tak akan pernah menceritakannya kepadamu."
Aku tak perlu mengetahuinya. Yang terpenting adalah mereka telah berkata jujur;
mereka berdua jujur. "Aku akan menonton TV," kataku dan meninggalkan dapur membawa dua selai dan
biskuit kering. ---oOo--- Satu jam kemudian aku kembali ke dapur. Hari telah gelap dan kami baru saja
menyalakan semua lampu saat nenekku pulang.
Ia melepaskan mantelnya dan menggantungkannya di punggung kursi dekat kompor.
Itu mantel bulu baru, berwarna cokelat dengan corak hitam di pinggirannya.
Ayahku menatapnya, menggelengkan kepala, dan beranjak pergi. Nenek duduk dan
menyantap supnya menggunakan sepotong roti sebagai sendok. Kepalanya tertunduk
sangat dekat dengan mangkuk hingga rambutnya tercelup ke dalam sup.
Aku tak tahan menyaksikan kelakuannya.
"Aku sakit gigi," ucapku, dan meninggalkan dapur. Kebohongan ini tak berakibat
apa pun karena aku mengatakannya seraya berlalu. Aku akan mencatat ini dalam
"The Gol of Seil". []
13 Ini hari Minggu Paskah. Seusai misa kami berkumpul di ruang keluarga. Aku duduk
dekat kaki Nenek dan tertawa saat ia tertidur serta mulai mendengkur. Ibuku
memegang lenganku lalu tersenyum seraya membuka hadiah Paskahku dan telur
Paskah. Aku sangat penasaran, seperti hari raya lainnya, karena kebiasaan ayahku
menjanjikan hadiah dan melupakannya.
Tak peduli apa yang ia berikan, aku tak pernah mendapatkannya. Aku menyimpan
kartu ucapan Paskah dan Ayah untuk dibuka pada kesempatan terakhir; di dalamnya
terdapat perekat selotip seharga satu pound. "Terima kasih, Pa," kataku.
Aku tersenyum kepada ibuku. "Bolehkah kita menyantap kue cokelatnya sekarang?"
pintaku. "Tentu saja, aku akan menyelesaikan dulu lapisan luarnya."
Ia pergi dan karena Nenek tertidur, aku hanya berdua di ruangan itu dengan
ayahku. ---oOo--- Aku membolak-balik kartu di tanganku. Memastikan ayahku melihat perbuatanku.
Kartu ini, seperti yang lainnya yang kuingat, kumal dan buram. Gambarnya selalu
sama, seorang anak laki-laki bermain dengan anak anjingnya, dibubuhi tulisan
"Untuk Putra yang Mengagumkan, Selamat Paskah". Kartu ulang tahun dan Natal yang
kuterima hampir semuanya sama: "Untuk Putra yang Mengagumkan, Selamat Ulang
Tahun" atau "Selamat Merayakan Komuni Kudus" atau "Selamat Natal". Debu menempel
mengelilingi kotak kecil di sudut, tempat label harga menempel sebelumnya.
Sepertinya semua kartu untukku berasal dan kotak penjualan yang sama; mungkin
dari sebuah kotak berisi ratusan kartu, yang dibeli saat aku baru lahir. Mungkin
juga ia memberiku kartu yang sama setiap tahun, memintanya kembali, dan
menggunakannya lagi. Aku menatap Ayah yang duduk di kursi bersandaran lengan dengan kaki menyilang.
Baju tidurnya tergantung jatuh terikat tali yang menggelantung di antara
betisnya yang tak berbulu. Aku berdiri tepat di hadapannya sehingga ia pasti
melihatku. "Ketika aku berumur enam tahun," ujarku dengan suara setegas mungkin, "kau pasti
telah membeli satu kotak berisi kartu yang semuanya bergambar bodoh yang sama!"
Ia menatap kosong; sama sekali tak tergugah. Tapi aku bergeming dan tak
mengeluarkan suara. "Tunjukkan kartu itu," pintaku.
Ia meraih kartu di tanganku, kemudian mengembalikannya. "Tidak ada yang salah
dengan kartu ini," katanya. "Ini kartu baru."
Aku membuang kartunya ke dalam perapian.
Ia melihat kartu itu terbakar dalam api oranye bersemu merah muda tapi tak
mengeluarkan kata-kata. Tangan dan wajahnya mengeras: ia tegang. Aku bertanya-tanya kemungkinan ibuku
telah mengingatkannya soal hadiahku. Aku akan mengetahuinya.
"Kau tak berperasaan dan egois," ucapku. "Dan aku berumur sebelas tahun
sekarang. Bukan dua."
Ia bangkit dan kami berdiri saling berhadapan, tapi aku tetap bergeming.
"Beraninya kau!" salaknya tanpa bergerak. "Aku membeli kartu itu kemarin sore.
Itu kartu baru." "Benarkah" Benarkah kau membeli kartu itu kemarin?"
"Apa maksudmu bertanya benarkah?"
"Kartu itu sama seperti kartu-kartu yang telah kauberikan kepadaku.
Kumal dan buram. Bagaimana, Pa?"
Ia berjalan ke arah pintu, meraih gagangnya tapi meleset. "Aku tak mau mengurusi
omong kosong seperti ini."
"Tapi benarkah, Pa" Benarkah kau membeli kartu itu kemarin?"
Akhirnya, ia berhasil meraih gagang pintu. "Tentu saja."
"Kapan kau meninggalkan rumah" Di toko mana kau membelinya?"
"Berapa kali kau ingin aku mengulang kata-kataku" Aku membeli kartu itu di Gorey
kemarin." Ini dia: ia tak mungkin pergi ke Gorey kemarin kecuali ia menggunakan mobil
Nenek. Tapi aku tak perlu menginterogasinya lagi. Ia berbohong. Daun telingaku
panas dan perutku mual. "Tapi toko mana?" tanyaku. "Dan bagaimana kau pergi ke sana"
Dengan permadani terbang?"
"Kau bajingan kecil penuh curiga," salaknya. "Pergi ke kamarmu!"
Nenekku terbangun dan seperti mendengar keributan tersebut. Aku menatap ayahku
dan tetap berdiri di tempatku. Aku tahu ia akan memukulku jika aku tidak
bertubuh sebesar ini. Tapi, aku tak tahu bagaimana menyelesaikan masalah yang
kumulai sendiri ini. Aku pergi ke kamarku.
Pintu kamar kubiarkan terbuka dan mendengar semua suara dan luar.
Aku berharap ayahku memberitahukan yang baru saja terjadi kepada ibuku, tapi
yang ada hanyalah kesunyian diselingi suara nyanyian: ibuku, ayahku, dan nenekku
menyanyikan bersama salah satu lagu kesukaan ayahku, dan mungkin sambil
menyantap potongan kue milikku. Tak ada yang datang menjengukku dan aku
berbicara sendiri sambil membaca "The Gol of Seil"
untuk mengusir kesepianku. Aku berbaring di ranjang selama beberapa saat tapi
aku harus kembali atau kehilangan Minggu Paskah ini selamanya.
---oOo--- Aku kembali ke ruang keluarga dan duduk di karpet di depan perapian. Aku menatap
ayahku. Ia duduk bersilang kaki di kursi bersandaran lengan memegang secangkir
teh di satu tangan dan sepotong kue di tangan lainnya.
"Watutsi dan Afrika itu dapat melompat sangat tinggi," kataku.
"Kenapa mereka tidak bertanding lompat tinggi saja di limpics?"
Ia tak melirikku. "Olimpics," katanya ke arah ibuku, dengan seringai lebar. "O-
limpics. Bukan limpics. Limpics itu untuk menggerakkan otot."
Kesalahanku sangat dibuat-buat, tapi ia tertawa dan melemparkan lelucon
kepadaku. "Limp-ics'. Kau paham!"
Ia menjejak-jejakkan kakinya dan mereka semua tertawa. Aku pun ikut tertawa
karena sulit sekali menahan tawa bila semua orang di ruangan itu tertawa.[]
14 "Selamat pagi, Anak-anak," sapa Nona Collins. "Aku ingin memperkenalkan seorang
murid baru." Si gadis baru berdiri tegap, dengan kaki rapat dan tangan di sisi tubuhnya.
"Halo, semuanya. Namaku Kate Breslin. Aku anak tunggal, dan kami baru saja
pindah dari Dublin."
Ia berambut panjang, hingga melewati pinggangnya, bermata hijau dengan tubuh
tegap. "Ayahku baru saja membeli sebuah lahan mati di Gorey," katanya. "Tempat
tinggal kami berjarak empat mil dari sekolah."
Ia berbicara seakan membaca. Aku bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan lahan
mati. Aku ingin mengacungkan jari dan bertanya, tapi tiba-tiba kehilangan
keberanian. Aku membuka laci mejaku dan bersembunyi.
"Dulu kami tinggal di dekat Hotel Shellbourne," katanya. "Tempat orang-orang
terkenal menginap." ---oOo---
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nona Collins memberikan bangku cadangan di barisan depan untuk Kate.
Tepat di samping Brendan, dan menunjuknya, serta Mandy untuk membantu Kate. Aku
memperhatikan dengan saksama. Selama pelajaran, Kate memiringkan badannya dan
menanyakan sesuatu kepada Brendan. Brendan tersenyum saat menjawab seraya
menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya.
Pada pelajaran kedua dan ketiga, Kate kembali memiringkan badannya dan berbicara
dengan Brendan. Aku berharap dapat mendengarnya. Saat waktu istirahat tiba aku
menghampiri Brendan dan mereka berdua menatapku, kemudian saling menatap.
Brendan memberikan kesan ia telah lama mengenal Kate.
Aku meninggalkan ruang kelas dan berjalan ke arah jendela agar aku dapat melihat
Brendan berkali-kali menyisir rambutnya dan memberikan salah satu buku
latihannya kepada Kate. "Oh, terima kasih," katanya seraya menyentuh lengan
Brendan. Aku juga ingin disentuh seperti itu. Aku senang merasakannya. Dan meski
Brendan yang disentuh olehnya, aku dapat merasakannya di perutku. Aku terus
melihat mereka berdua. ---oOo--- Dalam perjalanan pulang dari sekolah aku melempar sebongkah batu ke arah boneka
pohon, tapi meleset dan mengenai cabangnya. Aku mengubur batu itu di tanah dekat
tunggul pohonnya. Saat tiba di rumah, ibu dan ayahku duduk di meja dapur
menghadapi setumpuk surat dan tagihan.
Ayahku mengumpulkan surat-surat itu saat aku duduk. "Hari yang baik di sekolah?"
ia bertanya. "Baik," sahutku. "Seorang gadis baru masuk tadi pagi."
Aku menceritakan kepadanya soal Kate Breslin. Ia terkejut mengetahui ada seorang
murid baru memulai kelas di tengah tahun ajaran.
"Itu karena sebuah lahan sakit," kataku. "Mereka pindah ke sana."
Ayahku tertawa keras dan mengerikan seperti yang sering dilakukan paman-pamanku
bersamanya atau ketika seseorang bertindak bodoh di televisi. Ibuku menundukkan
kepalanya. "Lahan mati," katanya masih menertawaiku. "Bukan lahan sakit."
"Aku tahu," jawabku. "Tapi itulah yang dikatakannya."
"Bukan," katanya. "Kau mengatakan lahan sakit."
"Tidak, aku tidak mengatakan begitu," sahutku.
Crito melompat ke meja dapur. Alih-alih mendorongnya turun, ayahku menepuk
kepalanya. "Crito" Kaudengar. Bukankah tadi John mengatakan lahan sakit?"
"Michael," sahut ibuku, "ia hanya salah mengucapkan. Biarkan saja."
Kami bertiga duduk tanpa suara. Tak ada teh di kompor, atau makanan di meja, dan
tak ada yang dapat dilakukan. Ibuku mengambil lembaran kertas dan tumpukan surat
dan menatap mereka. Ayahku mendorong Crito turun dan meja begitu keras hingga ia
menjerit. Aku menatap ibuku, berharap ia menceritakan surat dan tagihan apa saja yang
mereka dapat. Aku ingin ayahku pergi agar kami dapat berbincang. Tapi kemudian
tebersit olehku: mereka menunggu aku pergi.
Mereka ingin aku pergi. Aku tak akan pergi. Aku menatap ibuku dan terus menatap hingga ia melirik dari balik surat yang ia
baca. "Berhenti menatapku," katanya.
"Aku hanya melihat," jawabku. "Tidak ada salahnya melihat."
"Kau menatap. Aku ingin kau menghentikannya."
"Kau tak pernah melarangku bila kita hanya berdua."
Ayahku meletakkan bukunya, tiba-tiba masuk dalam pembicaraan.
"Pergi ke kamarmu dan tinggalkan kami dalam damai," katanya. "Ada hal-hal yang
harus kami bicarakan."
Ibuku berlaku panas dan dingin, sama seperti Ayah. Seperti ayahku, ia menjadi
dua orang yang berbeda. Sekarang mereka menjadi empat orang.
Empat orang yang berbeda, bukan dua orang.
---oOo--- Aku langsung pergi ke kamarku dan meringkuk di bawah selimut. Aku mendengar
mereka makan, berbincang, dan tertawa. Aku berbaring menyamping, menyandarkan
seluruh beban tubuhku pada lengan. Aku berbalik ke sisi tubuhku yang lain. Aku
ingin tidur dan berhenti berpikir.
Darahku mengalir sangat cepat dan deras hingga seluruh tubuhku bergetar.
Darahku menghantam, bergerak cepat ke lenganku; terlalu banyak darah, seperti
bendungan yang akan bobol, dan membuatku tak dapat tidur.
Pukul setengah delapan ibuku memanggilku. "John," katanya.
"Keluarlah dan makan sesuatu. Kau tak bisa tidur tanpa makanan."
"Bisa saja," jawabku. "Memang apa bedanya?"
"Kau terlalu besar untuk merajuk. Keluarlah dan buat sendiri roti lapis."
Ia menutup pintu dan semenit kemudian ayahku masuk. Ia tak mengetuk pintu. "Aku
membuatkanmu roti lapis isi selai kismis. Ini."
Ia meletakkan roti lapis itu di ranjang, dekat kakiku. Aku ingin menendang
piringnya ke lantai, tapi aku melihat olesan tebal mentega di roti yang segar
dan aku sangat lapar. "Terima kasih," ucapku. Aku ingin berkata lebih tapi aku ingin ia yang memulai.
Aku ingin ia yang pertama membuka pembicaraan agar tampak bahwa ia yang ingin
berbincang. Aku menatap roti lapisnya dan menunggu.
"John" Apakah ada yang salah?"
"Tidak, tidak juga. Tapi ada yang salah pada dirimu dan Mami. Kalian tampak
berbeda." "Berbeda dari apa?"
"Berbeda dari diri kalian sendiri."
"Seperti apa?" "Aku tidak tahu. Kalian berlaku aneh saat berada di dekatku."
"Mungkin kau pun aneh." Ia tertawa tapi saat aku tidak ikut tertawa, ia menarik
kembali seringainya. Ia terus menarik seringainya hingga akhirnya wajahnya
memperlihatkan tampang serius.
"Maafkan aku, Nak. Aku tidak mengerti maksudmu. Satu-satunya hal yang
terpikirkan olehku adalah kami sangat mencemaskan keadaanmu.
Kami ingin kau baik-baik saja."
"Apa kau yakin" Apa kau yakin tidak ada yang salah?"
"Tidak, satu-satunya yang salah dari kami adalah karena mencemaskanmu.
Mencemaskan keadaanmu."
"Sekarang aku baik-baik saja. Aku lebih baik daripada yang kalian kira." "Itu
bagus. Apakah kami harus berhenti mencemaskanmu?"
"Ya. Berhentilah mencemaskanku."
"Apakah kau akan menyantap roti lapis yang kubuatkan khusus untukmu?"
"Mungkin tidak."
"Haruskah aku memberikannya pada Crito?"
"Tidak. Tinggalkan saja. Aku akan memberikannya sendiri. Nanti."
"Haruskah kubawa ia kepadamu sekarang" Haruskah kukatakan kepadanya bahwa ia
diperlukan di kamar tuannya?"
Sekarang ia tersenyum dan aku tak dapat menahannya. Aku balas tersenyum dan baru
sekarang aku merasa bahagia. Kebahagiaan menghangatkan tubuhku, perutku, dan
semuanya. Ia tertawa dan aku pun tertawa.
"Tunggu di sini. Aku akan membawa mesin penyantap selai itu."
Aku ingin mengeluarkan kebahagiaanku, bangkit, melompat-lompat sambil bertepuk
tangan. Aku ingin turun dari ranjang dan berlari mengejarnya dan tak segan untuk
lebih lama bersamanya, seperti sekarang, tepat seperti sekarang, hanya kami
berdua, dan ia tersenyum kepadaku seperti tadi.
Aku menunggunya. Tapi ia tak kembali. Aku tak akan keluar ke koridor ataupun ke
ruang keluarga. Aku melepaskan arlojiku dan menunggu jarum menitnya menunjuk
angka dua belas kemudian aku mulai menghitung mundur hingga enam puluh detik.
Jika ia tidak muncul setelah satu menit, aku tak akan menunggunya lagi. Jarum
menit telah mencapai angka sembilan dan ia kembali, bersama Crito yang
terbungkus selimut. Wajah hitam-putihnya melongok keluar.
"Kiriman istimewa untuk Tuan Egan," katanya. "Seekor kawan berkaki empat yang
membutuhkan selai." Tidak, pikiranku berkecamuk, satu-satunya yang salah adalah kami mencemaskanmu.
"Terima kasih, Pa." Dan ia pun berlalu. Aku membiarkan Crito tetap dalam
selimutnya, sedangkan aku menyantap roti lapis isi kismis.
---oOo--- Keesokan harinya di sekolah aku sendirian saat istirahat, membaca buku tentang
Harry Houdini di ruang kelas yang kosong sambil menyantap kue cokelat, biskuit,
dan sepotong roti lapis isi ham. Aku senang membaca soal usaha Houdini
meloloskan diri dari peti terkunci di dalam air sementara tangan dan kakinya
terikat rantai dan borgol. Tapi aku menyesalkan usahanya yang "hampir kehabisan
waktu dan menyakitkan" serta waktu tercepat meloloskan diri dari jaket pengekang
138 detik. Aku tahu dari Guinness Book bahwa itu jauh dari rekor dunia yang
dipecahkan Jack Gently. Pada 26 Juli 1971, di hadapan 600 orang penonton, Gently
berhasil meloloskan diri dari jaket pengekang dalam waktu empat puluh lima
detik. Beberapa menit sebelum bel tanda masuk berdering, si bocah mongoloid datang.
Namanya Osmond dan ia menghabiskan satu hari setiap minggu di sini dan hari
lainnya di sekolah luar biasa di Enniscorthy. Setiap Selasa ia beristirahat dan
makan siang sendiri, berjalan mengelilingi taman bermain, berbicara, serta
bernyanyi sumbang. Aku tak pernah begitu dekat dengan wajah sendunya dan tak
pernah berbicara dengannya.
Ia berdiri di ambang pintu dengan mulut ternganga dan menumpukan berat badannya
bergantian di satu kaki, tersenyum ke arahku, menggumam, menungguku berbicara.
Aku berpaling, tapi ia mendekatiku. Saat aku menatapnya, ia berdiri di samping
bangkuku, hanya satu inci dari lenganku.
Ia tak berkata-kata, tapi tersenyum kepadaku, masih bergoyang-goyang dari satu
kaki ke kaki lainnya. Aku tak ingin ia berada di dekatku.
"Buku bagus," katanya.
Tubuhnya beraroma muntahan. Aku tak ingin berbicara dengannya.
Jika aku terlihat berbicara dengannya, semua akan menyangka aku berteman
dengannya dan aku sama dengannya: dua bocah kesepian. "Buku bagus," katanya.
"Gambar bagus."
Ludahnya menyembur saat berbicara dan sebutir gelembung liur menempel di lengan
baju hangatku. Tapi ia menatap kakiku. "Biskuit bagus.
Kue bagus. Roti lapis bagus."
Apakah ia lapar" Aku melirik arlojiku: lima menit lagi sebelum bel tanda
istirahat usai. "Apakah kau lapar" Kau ingin kue" Kau dapat membawanya ke kelasmu" Ambillah dan
pergilah ke ruang 3G" Bukankah itu bagus?"
Ia menengadahkan tangan gemuknya dan aku menaruh sisa kue cokelatku di telapak
tangannya. Ia mendorong masuk potongan kue itu ke mulutnya, seperti traktor yang
menggaruk tanah, lalu ia menutup mulutnya, menggerakkan bibir terkatupnya dari
sisi ke sisi, dan akhirnya menelannya.
Ia menghabiskan kue di mulutnya tanpa mengunyah. Aku senang dapat melihatnya
seperti itu; ia membiarkanku menatapnya dan ia tak peduli.
"Kue warna cokelat yang bagus," katanya. Suaranya melengking lemah, tapi sangat
keras seperti tercekik, seakan ada seseorang duduk di lehernya.
"Ssst," desisku. "Jangan ribut." Kakiku berlompatan naik-turun hingga aku harus
memegang lututku agar berhenti bergerak.
"Biskuit bagus."
"Ini," kataku. Ia memakan biskuit dengan cara yang sama - tanpa mengunyah, kemudian berkata,
"Buku bagus." "Kau tak dapat memakan buku," ucapku.
Aku membuatnya tertawa dan ia berlompatan. "Monster Cookie!
Monster Cookie!" Ia tidak bodoh. Ia dapat mengatakan apa yang ia inginkan dan ia hanya ingin
seseorang mengatakan sesuatu. Hanya itu. Tapi aku menempelkan telunjukku di
bibir memintanya tak bersuara. Ia tampak sedih dan beranjak pergi. Aku melirik
arlojiku: kurang satu menit sebelum bel berbunyi.
"Lihat," kataku. Aku membuka halaman bergambar Harry Houdini dalam sangkar kaca.
Tubuhnya terbelit rantai hitam. "Harry Houdini,"
ucapku pelan. "Ia dapat melakukan sulap."
"Sulap! Sulap membuat kelinci."
"Dapatkah kau berbisik?"
"Ya," bisiknya. "Sulap membuat kelinci."
"Ya," aku membalas.
"Sulap membuat topi dan kartu ret serta tidak ada kelinci menjadi ada kelinci."
"Ya," sahutku. Aku tak tahu ia mengenal begitu banyak kata. Jika saja ia
memiliki wajah normal, aku mungkin mau berbincang dengannya. Aku tetap berbisik
dan berharap ia pun tetap berbisik. "Kau tahu trik meloloskan diri?" "Meloloskan
diri." "Ya. Keluar dari masalah. Meloloskan diri dari kotak atau sangkar kaca." Ia
menunjuk ke gambar Houdini. "Ia meloloskan diri dan tabung kaca!"
Suaranya meninggi kembali, tapi aku tak peduli. Ia benar. Ia paham.
Aku tersenyum kepadanya. Meski wajahnya tampak aneh, ia lebih baik daripada
perkiraanku dan ia lebih baik ketika kau dekat dengannya. Ia memperhatikan.
Kukira mereka semua mirip, tapi sekarang baru kusadari mereka masing-masing
berbeda. Osmond memiliki hidungnya sendiri, bibirnya sendiri, matanya sendiri,
dan ekspresi wajahnya sendiri.
Bel berdering, dan saat berhenti berbunyi kemudian terdengar suara orang-orang
berdatangan melalui koridor, ia berkata, "Buku bagus."
Suaranya lebih keras daripada waktu pertama ia muncul tadi, seakan ia pikir bel
itu masih berdering dan ia harus berteriak agar terdengar.
"Ssst," desisku.
"Buku bagus, kue bagus, biskuit bagus, anak lelaki besar bagus. John bagus." Ia
mengangkat tangan hendak menyentuh mataku.
"Jangan!" kataku. "Jangan sentuh! Pergi sana."
Aku tak ingin ia mengetahui namaku. Tidak, itu tidak benar. Aku memang ingin ia
mengenal namaku, tapi jangan sampai menyebutkannya.
Ia berhenti tersenyum dan melangkah mundur. Air mata menggenang di matanya.
"Aku pergi," ucapnya.
"Dah," kataku. "Aku pergi. Aku akan meloloskan diri ke belakang. Pergi dari John."
"Baiklah," sahutku, kemudian tanpa kurencanakan dan meski kupikir tidak
kulakukan, aku tersenyum dan berkata, "Sampai jumpa minggu depan."
Ia balas tersenyum. "Biskuit raksasa meloloskan diri ke belakang dari toples
kue." Aku tertawa. Saat Brendan berjalan ke bangkunya bersama Kate, mereka menatapku.
Melihatku tertawa, mereka tampak bertanya-tanya apa yang mereka lewatkan. Aku
menatap mereka hingga mereka berpaling dan saat mereka saling melempar senyum
sinis, aku tak peduli. []
15 Saat aku akan sarapan, tak ada orang di dapur. Ibuku meninggalkan pesan.
John sayang, Aku pergi ke gereja hari ini. Membantu membangun panggung untuk pemilihan raja
dan ratu sekolah. Ayahmu pergi ke kota dengan bus pertama. Kami berdua akan
pulang menemuimu waktu minum teh. Makan siangmu ada di lemari penyimpanan.
Bersenang-senanglah di sekolah.
Penuh cinta, Mami Aku memutuskan tidak pergi ke sekolah. Saat mereka pulang nanti akan kukatakan
tidak enak badan. Aku menyantap sereal dan roti panggang isi telur mata sapi di
ruang keluarga di depan perapian sambil menonton TV
kemudian menyantap beberapa potong cokelat dan dua buah pisang. Crito duduk di
pangkuanku dan kami menonton film seri Carry On. Pukul setengah sebelas, aku
pergi ke kamar tidur nenekku.
"Halo," sapaku.
Ia duduk di kursi santai dekat perapian menghadap ke pintu. Kakinya naik ke atas
kursi bersandaran lengan di depannya. Ia tak sedang membaca atau menjahit atau
merajut; hanya duduk diam. Di kakinya tergeletak sebuah buku nyanyian. Mungkin
ia baru saja mempelajari beberapa lagu baru untuk dinyanyikan di kamar mandi.
"Halo, John. Kenapa kau tidak sekolah?"
"Aku sakit," jawabku.
"Kau tidak tampak sedang sakit."
"Aku memang sakit."
"Lalu kenapa kau tidak berbaring di ranjang."
"Aku tak merasa sakit saat berdiri atau duduk."
Berbohong membuat jantungku seperti diremas seakan ada tali yang dibelitkan di
dadaku. "Sama saja, jika kau sakit, kau harus berbaring di ranjang."
"Baiklah," jawabku. "Aku hanya ingin berbincang denganmu."
"Mungkin kau dapat mengambil termometer dari lemari kamar mandi dan kita ukur
suhu tubuhmu."
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebentar. Aku harus membicarakan sesuatu yang penting."
"Baiklah, masuk dan tutup pintunya."
Di dalam dingin, tapi ia tak menyalakan perapian. "Biar aku melepaskan
kacamataku," katanya, "agar aku dapat mendengar dengan baik." Aku ingin duduk di
kursi bersandaran lengan tempat ia menyandarkan kakinya karena aku memilih tidak
duduk di kasur busuk penuh bulu kuda dan baunya seperti binatang basah itu. Aku
berdiri di samping kursi hingga akhirnya ia menyingkirkan kakinya. Aku duduk.
"Apa yang baru dan menarik?" ia bertanya.
"Sebenarnya tidak ada," jawabku.
"Wah, kau memang teman yang menyenangkan. Kupikir kau datang ingin berbincang."
Aku melapangkan kerongkonganku. "Apakah ada orang yang berkata tentang diriku
dan berbohong?" "Apakah kau ketahuan berbohong?"
"Tidak. Tapi apakah pernah ada yang berbicara tentang deteksi kebohongan?"
"Tidak. Memang kenapa?"
"Tidak. Hanya aku baru membaca banyak buku tentang deteksi kebohongan dan aku
bertanya-tanya apa ada orang lain yang membahasnya."
"Tidak." "Dapatkah aku menanyakan hal lain?"
"Ya." "Apakah Mam telah menyinggung soal uang untuk perjalanan kami ke Niagara?"
"Tidak." "Apakah kau tahu berapa biaya yang diperlukan untuk pergi ke Kanada?"
"Apa yang sebenarnya ingin kauketahui?" ia bertanya.
"Baik, ia selalu bilang akan mengajakku ke Niagara setelah kelulusanku, tapi aku
ingin lebih cepat. Ia bilang kita tak memiliki uang sekarang, tapi kupikir kau
dapat membantu kami."
Ia tertawa. "Dia memang induk kucing."
"Maaf. Maksudku Mami. Yang aku ingin tahu apakah kau dapat membantu biaya
perjalanan kami." "Itu tidak mungkin."
"Mungkin kau dapat ikut bersama kami."
"Kaupikir dari mana uangku berasal?" ia bertanya.
Ia tertawa lagi dan aku menunduk, menatap pusaran benang merah di karpet, tapi
kemudian membuatku pening. Aku menengadah kembali. "Kau mendapat banyak uang
setelah Kakek meninggal, kan" Dan semua perhiasan yang kaujual serta dan toko
dan semacamnya." "Dan kaupikir berapa lama uang itu akan bertahan?" Ia menyondongkan tubuhnya di
kursi malas. "Sangat lama," jawabku.
"Mungkin lebih baik menunggu hingga kau selesai sekolah dan...."
Tiba-tiba ia berhenti berbicara. Ia menatap ke belakangku, melewati bahuku, ke
arah pintu di belakangku, seakan aku tak ada di hadapannya.
"Nenek?" "Ya." "Aku benar-benar berharap...."
"Dan aku pun sangat berharap kau tak menjadi seperti ayahmu. Kau tahu bahwa ia
berpikir ia memiliki hak atas uangku" Ya. Ia pikir jika aku tak menghabiskannya
sendiri, ia dapat hidup dengan nyaman."
Suaranya meninggi tapi tetap tak menatapku. Ia menatap siku lenganku.
"Tapi membesarkan anak tidak menjadikan seorang wanita martir.
Dan semua pengorbanan yang terlalu banyak untuk anak-anak mereka itu sering kali
disesalkan." Ia berbicara seakan aku tak ada di ruangan bersamanya.
"Tahun depan mungkin aku akan berkeliling dunia. Mungkin dua kali.
Hingga kepalaku pusing!"
"Tapi mengapa Pa harus bekerja saat ia harus belajar demi menghadapi ujian di
Trinity?" Ia menatapku seakan aku baru saja memukulnya. "Ia telah belajar selama tiga
tahun. Jika ia memang serius, ia seharusnya mengikuti ujian tahun ini. Jika aku
percaya ayahmu akan belajar untuk meraih gelarnya, aku tak akan mendesaknya
bekerja, tapi aku tak memercayainya."
Sekarang ia nyaris berteriak. "Dan aku hanya punya sembilan hari lagi hingga
kesabaranku habis. Ya, hanya itu. Sembilan hari lagi aku bersabar kemudian aku
akan memadamkan semua lampu!"
"Itu tidak adil," sahutku.
Ia menunjuk ke belakangku dan tertawa. "Kau tak selalu secepat seperti yang
kaukira, John Egan Muda."
Aku menengok ke belakang, ke arah pintu, dan aku melihat apa yang selama ini ia
tatap. Di sela pintu selebar dua inci tampak dua pasang sepatu hitam. Seseorang
berdiri di luar; seseorang berdiri di luar selama itu.
Kupikir Pa pergi ke kota naik bus, dan aku tak mendengar ia pulang.
Aku bangkit dari kursi bersandaran lengan dan bergegas ke arah pintu, tapi
nenekku berdiri dan menarik kemejaku.
"Biarkan saja, John. Tak ada gunanya mengejar si penguping itu. Tak ada gunanya
sama sekali mengejar dia."
Tapi aku tak tega. Aku membuka pintu dan mencari. Ia telah pergi.
"Duduk," kata Nenek. "Tidak ada lagi yang harus dikatakan." Aku duduk dan ia
meraih tanganku. Ia duduk jauh sekali di depanku, tapi aku tak berniat
menyondongkan tubuhku agar ia mudah menggapaiku.
"Apakah kami harus pergi sekarang?" aku bertanya. "Apakah kau akan mengusir
kami?" "Tentu saja tidak. Aku tak pernah memintamu pergi dari sini."
"Apakah kau berjanji?"
"Aku bersumpah demi Alkitab, hanya Alkitabku tergeletak di meja rias," katanya.
"Mungkin jika aku berteriak, Alkitab itu akan mendengarku."
Ia bercanda, tapi tak ada yang lucu dan perkataannya dan aku tak ingin tertawa.
Lagi pula, ia berbohong. Suaranya melengking. Ia tak mengerjap dan tidak melambaikan tangannya seperti
yang biasa ia lakukan. Tangannya diam di pangkuannya.
"Baiklah," jawabku. "Itu bagus."
"Dan untuk masalah Niagara," katanya, "jika ibumu telah berjanji mengajakmu ke
sana saat kau lulus nanti, aku percaya ia akan melakukannya. Ibumu tak pernah
ingkar janji." Mungkin Mami lupa, tapi aku tahu ia belum menanyakan soal Niagara kepada Nenek.
"Aku akan pergi menonton TV," ucapku.
---oOo--- Namun, aku tidak pergi menonton TV. Aku mencari ayahku ke sekeliling rumah. Aku
keluar dan menunggunya di gerbang depan. Udara di luar sangat dingin dan sapi-
sapi yang berada di dalam pagar kayu di seberang jalan mendenguskan uap dan
hidung mereka. Aku menggosok tanganku dan berlari-lari kecil di tempat. Beberapa
sapi menatap ke arahku. Biasanya aku melambai dan menyapa mereka atau balas
menatap. Hewan sangat baik dalam menatap dan aku tak berkeberatan.
Setelah kurang-lebih satu jam menunggu di gerbang, akhirnya aku masuk ke dapur.
Aku menyantap roti lapis selai dan pergi ke ruang keluarga menonton televisi di
dekat perapian hingga pukul setengah lima. Pukul setengah enam aku mendengar
ibuku masuk dan pintu depan. Aku keluar menyambutnya di koridor. Aku
memperhatikannya dengan saksama saat ia melepaskan mantelnya. Ia berdiri
sejenak, melihat ke sekeliling. "Ayo minum teh," katanya.
Aku mengikutinya ke dapur dan melihatnya meletakkan cerek air di atas kompor dan
mencuci dua buah cangkir. Ketika teh telah siap, ia menutup pintu. Ia membuka
bungkusan obat pencernaan dan meletakkan enam butir di atas piring. Aku tak
ingin memberitahu bahwa aku tak pergi sekolah hari ini.
"Hanya itu yang kita punya untuk teman minum teh?"
"Aku baru saja makan malam jam dua belas tadi di gereja. Tapi aku akan
membuatkan sup untukmu jika kau mau."
"Di mana Pa?" aku bertanya. "Apakah kau melihatnya dalam perjalanan pulang?"
"Mungkin ia mengunjungi Paman Jack di Gorey."
"Kenapa Paman Jack ada di Gorey" Di mana ia menginap" Di hotel"
Apa yang ia bicarakan dengan Pa?"
"Pamanmu datang dari Dublin untuk sebuah urusan."
"Urusan macam apa?"
"Urusan yang membosankan."
"Seperti apa?" "Urusan semacam urus-saja-urusanmu-sendiri."
Aku tertawa. Aku berdiri dan mengitari meja. Aku mengitarinya dua kali. Aku tak
tahu mengapa melakukannya hingga ia berkata, "Duduklah!"
Aku duduk dan menggaruk kepalaku. "Kau seperti hantu kebingungan," katanya. "Ada
apa?" Aku memang menunggunya bertanya tapi sekarang setelah ia bertanya, bukan itu
pertanyaan yang kuharapkan. "Kenapa aku seperti hantu?" aku bertanya.
Ia meraih tanganku. Ibu tampak lelah. Kantong matanya menggantung kehitaman dan
muncul uban di rambutnya. Aku tak tahu sejak kapan. Tapi rambutnya yang tampak
acak-acakan hari ini membuat rambut-rambut putih itu terlihat.
"Maafkan aku, John. Aku hanya bermaksud mengatakan kau selalu berkeliaran di
dalam rumah. Kau muncul di berbagai tempat."
"Tempat seperti apa?"
"Kau masuk ke kamarku dan tak menghormati privasiku atau ayahmu."
"Itu tidak benar."
Ia mengacak rambutku dan berpura-pura tertawa. Aku menarik kepalaku. Ia tak
memiliki pilihan selain berbicara denganku dengan nada yang berbeda. "Oh, tapi
kau melakukannya, John. Saat aku berbaring tidur siang, tiba-tiba kau muncul.
Aku sampai berpikir untuk mengambil tanda
'Mohon Jangan Mengganggu' dari sebuah hotel."
Ia mencoba memancingku tertawa untuk menutupi apa yang ia katakan.
"Baiklah," jawabku, "aku akan membiarkanmu sendirian." Aku berdiri.
"John, Sayang. Tolong duduklah. Aku tak ingin kau meninggalkanku sendiri. Aku
hanya ingin kau mengatakan apa masalahmu. Apakah kau mau memberitahu aku?" Ia
menarik lenganku hingga aku duduk kembali.
"Semuanya berbeda," ujarku. "Kau berbeda, Pa berbeda, Nenek berbeda, dan bahkan
Brendan pun berbeda."
"Oke, aku tidak tahu mengenai Brendan, tapi orang yang saling mencintai kadang
terlibat dalam pertengkaran."
"Bukan itu," jawabku. "Semua orang bersikap berbeda terhadapku.
Tak ada yang memperlakukan aku seperti dulu."
Ia menjauhkan tangannya dari tanganku dan memegang cangkir tehnya. "Kau sudah
dewasa, John. Banyak yang berubah ketika kau tumbuh dewasa dan perlu waktu untuk
menyesuaikan diri." "Seperti apa?" "Seperti orang-orang tidak memanjakan dirimu lagi. Mereka tidak bersikap terlalu
melindungimu. Kau harus bangga karena orang melihatmu berdiri sendiri, dan
mereka tak akan membiarkan kau bersandar kepada mereka lagi. Kau harus berdiri
tegak karena itulah yang mereka inginkan.
Semakin tegar dan kuat dirimu, mereka semakin kurang mengurusimu."
Kata-katanya terdengar aneh dan kepalanya mengangguk-angguk seakan berusaha
mengusir seekor lalat dan wajahnya. Ini bukan kebohongan seperti yang sering
dilontarkan ayahku; ini kebohongan putih, sebuah kebohongan demi menutupi
perasaannya; sebuah kebohongan demi membuatku lebih baik. Tapi tetap saja itu
sebuah kebohongan. Aku berdiri dan berkata dengan suara tinggi melengking. "Kaupikir aku aneh. Jika
aku lebih kecil, semuanya akan berbeda. Semuanya akan berjalan seperti dulu."
Ia menelan ludah dan berpaling, takut menghadapiku. "Bukan, John, bukan itu
maksudnya." Aku melangkah ke arah pintu.
"John, Sayang. Tenanglah dulu. Ayo kita habiskan teh dan biskuitnya.
Setelah itu, kau dapat membantuku mencuci rambutku."
Aku berhenti dekat pintu.
"Kau adalah milikku yang paling kusayangi, John. Paling kusayangi."
Aku tak menggubrisnya dan pergi ke kamarku. Beberapa menit kemudian ia
menyusulku, membawa handuk di tangannya. "Ayolah. Bantu aku mencuci rambut. Aku
sungguh memerlukan bantuan. Kau tak ingin membantuku?"
Ia menggerai rambut panjang cokelatnya ke depan hingga menutupi wajahnya.
Tangannya menggapai-gapai seperti mayat hidup dan berjalan sempoyongan membentur
semua benda di kamar. Aku bangun dan kami menuju kamar mandi. Aku membantunya mencuci rambut cokelat
panjangnya di wastafel. Aku suka melihat ia menundukkan kepalanya, rambutnya
memenuhi bak wastafel dan mengambang ke permukaan air seperti rumput laut.
Aku menceritakan soal Brendan dan Kate.
Ia menegakkan diri dan membungkus kepalanya dengan handuk kemudian merangkul
pundakku. "Jika seorang teman tidak menyambut tanganmu dan memanggilmu, ia bukan seorang
teman. Seorang teman selalu membutuhkan dan menyayangimu. Tunggu saja apakah ia
akan datang dan menyambut tanganmu."
"Seperti yang kaulakukan sebelumnya," jawabku.
"Oh, ya?" ia bertanya.
"Ya. Dua kali."
"Oke, aku selalu melatih perkataanku."
Aku akan menuliskan ini di "The Gol of Seil". Aku akan menulis bahwa seseorang
dapat berubah saat sedang dalam percakapan. Ia dapat berkata jujur, kemudian
berkata bohong; berubah demi bersikap baik, tiba-tiba, tanpa peringatan sama
sekali.[] 16 Keesokan harinya di sekolah. Tepat setelah pelajaran terakhir usai, Kate
menabrakku saat aku sedang mengambil mantel dan rak di koridor di luar ruang
kelas. "Ups," katanya. "Maaf sekali."
"Tidak apa-apa," jawabku.
"Aku telah mendengar semua tentangmu," katanya. "Brendan menceritakannya
kepadaku." Aku mencoba mengenakan mantelku, tapi terlepas dari jemariku yang mendadak kaku.
"Bau urine membuatku mual," katanya. "Membuatku tak dapat meminum susu. Dari
dulu aku selalu jijik pada susu dan kau membuatku lebih jijik lagi pada susu."
Hatiku sakit sekaligus penasaran. Aku belum pernah mendengar kata
"jijik" sebelumnya, dan kata itu terngiang dalam kepalaku.
"Apa kau tahu apa arti kata rahasia?" aku bertanya.
"Tidak, tapi aku yakin kau pun tidak tahu artinya," jawabnya.
"Aku tahu," sahutku. "Artinya diam-diam. Saat aku kencing di celana, aku sedang
mencoba memecahkan rekor tidak pergi ke toilet. Aku melakukannya secara
rahasia." Aku merasa gatal di belakang kerongkonganku. Rasa gatal yang tak tertahankan
hingga aku terbatuk. Mungkin karena aku berbohong. Ada baiknya bila aku belajar
berbohong tanpa harus mendapat reaksi aneh dari tubuhku.
"Kau?" ia tertawa. "Kau sungguh konyol."
"Tak perlu mengkhawatirkan itu," jawabku. Aku berlalu.
Tapi aku nyaris tak mampu berjalan. Kakiku, jemariku, semuanya terasa kaku.
Suara derap sepatuku aneh. Satu sepatu bersuara lebih keras daripada yang
satunya. Langkahku tidak beraturan; langkah kaki kananku lebih jauh daripada
kaki kiriku. Aku menahan napas dan mengira akan terjatuh. Aku ingin bersandar pada sesuatu.
Aku tak mampu lagi berjalan. Aku menahan napas hingga keluar dari halaman
sekolah. Hingga mencapai pohon pertama dari deretan pohon di jalan. Dadaku
sakit. Aku berjalan cepat, kemudian berhenti.
Di hari yang cerah itu burung-burung sepertinya mengetahui keadaanku. Aku
melihat ke sekeliling dan memperhatikan pepohonan. Aku memperhatikan awan di
balik pepohonan. Aku berputar tiga kali seperti pelempar cakram dan melontarkan
sebongkah batu sekuat tenagaku ke arah langit. Lemparan yang bagus dan kuat.
Aku menunggu suara batu itu mendarat, tapi tak terdengar apa pun, setidaknya aku
tak mendengar suara jatuh, dan aku berdiri di tengah jalan, bertanya-tanya ke
mana kira-kira batu itu mendarat. Dan tetap saja batu itu tidak terdengar. Aku
tersenyum ke arah langit.
Saat aku tiba di rumah, aku tak sesedih seperti yang kusangka. Aku pergi ke
ruang keluarga; tak ada orang di sana. Aku pergi ke dapur; tak ada orang di
sana. Nenek tidak berada di kamarnya, tapi ia menyalakan sebatang lilin putih
besar di meja riasnya. Ia pasti sedang melakukan doa novena. Ternyata itu yang
ia maksud hanya memiliki sembilan hari lagi. Doa novena memerlukan waktu
sembilan hari. Tapi untuk siapa ia berdoa" Untuk ayahku, mendoakan agar ia
mendapat pekerjaan" Aku akan mengatakan kepada Ayah saat ia pulang nanti. Aku
duduk di dapur dan menunggu.
Ketika ibuku pulang, ia langsung naik ke kamarnya. Hari sudah malam dan saat
kulihat ayahku berdiri di ambang pintu dapur, aku baru menyadari bahwa selama
ini aku duduk di tempat yang gelap.
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menghampiriku dan mengelus kepalaku. "Aku akan membuatkanmu sosis untuk teman
minum teh," katanya.
"Ayah ke mana saja seharian?" aku bertanya.
"Bekerja," jawabnya seraya menyalakan lampu.
"Di mana" Pekerjaan apa?"
"Biarkan aku membuatkan sosis lalu kita dapat menonton kotak idiot itu sambil
mengobrol. Bagaimana?"
"Nenek melakukan doa novena agar kau mendapat pekerjaan. Pasti doanya telah
terkabul." Ia menengadah dan membuka mulutnya lalu menahan posisi kepalanya seperti itu.
Itulah caranya tertawa tanpa bersuara.
"Kenapa kau tertawa seperti itu?" aku bertanya. "Apakah tertawa menjadi sebuah
kejahatan sekarang "Tidak." "Itu karena aku sedang senang."
Ia membelai rambutku dan tersenyum.
"Di mana Mam?" aku bertanya.
"Di atas. Di kamar. Biarkan ia beristirahat."
"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya," kataku.
"Sesuatu yang penting."
"Apakah telah terjadi sesuatu?"
"Tidak ada yang salah denganku. Tapi bukankah ada yang salah antara kau dan
Nenek?" Ia menarik keras rambut di depan dahinya, menepikan rambut tebalnya dengan jari-
jarinya mengarahkan ke bawah, lurus, tepat di atas mata kanannya. "Kami telah
sedikit berbincang dan tidak menemui kesepakatan dalam beberapa hal, tapi kami
telah berbaikan kembali. Lagi pula, tidak ada yang perlu kaucemaskan."
"Aku akan ke atas," ucapku.
"Kubilang biarkan ia beristirahat."
"Aku harus membicarakan sesuatu dengannya."
"John, dapatkah kau membiarkan ibumu beristirahat" Kau akan segera menemuinya."
Kami terdiam sementara ia membuatkan sosis kemudian meninggalkan dapur dengan
piringnya menuju ruang keluarga. Aku mengikutinya. Ia duduk di bangku panjang
dan aku duduk bersamanya.
Kami memegang piring kami masing-masing; empat batang sosis di setiap piring.
"Jika ada yang ingin kauceritakan, kau selalu dapat mengatakannya kepadaku,"
katanya. Aku mengambil sepotong sosis dan meletakkannya kembali. "Brendan tidak mau
berbicara denganku," ujarku.
"Kenapa?" "Aku tidak tahu."
Ia menyantap sebatang sosis bulat-bulat tanpa mengunyah, menelannya dalam tiga
potongan. Potongan sosis-sosis itu sangat besar hingga aku dapat melihatnya
turun melalui kerongkongannya.
"Apa kau telah menanyakan kepadanya?"
"Belum," jawabku, memandangi piringku.
"Baiklah, jika kau tidak bertanya kepadanya, kau tak akan tahu alasannya, kan?"
Aku tak mau menceritakan kejadian kencing di celana. "Ia berteman dengan seorang
anak perempuan baru."
"Oh. Kalau begitu kau pun seharusnya berteman dengan si anak perempuan itu."
"Tapi kupikir ia tak ingin berteman denganku lagi."
Ayahku telah menghabiskan sosisnya. "Apakah kau akan memakan sosismu?" ia
bertanya. "Ya," jawabku. "Kupikir kau harus membicarakannya dengan Brendan." Ia menggaruk dagunya.
"Kupikir kau harus berbicara dengan temanmu, bukan mengadu kepada ibumu."
Orang Orang Lapar 2 Dewa Arak 91 Sapu Jagad Raja Silat 7
Tak ada jawaban. Aku mengetuk sekali lagi. "Mam?"
"Masuklah," jawabnya.
Ia berbaring di bawah selimut tebal, satu tangan memeluk bantal.
"Apa yang kaulakukan?" aku bertanya.
"Beristirahat," katanya.
"Mengapa?" "Karena aku membutuhkannya." Ia memejamkan mata. "Tutup pintunya," pintanya.
"Anginnya dingin."
Aku menghampiri ranjang dan berbaring di atas selimutnya. Aku memeluknya dari
belakang, dengan tangan kuletakkan di perutnya. "Seperti apa?" aku bertanya.
"Kuda beban, atau gambar dan permainan gambar?"
"Aku sedang tak ingin bermain," katanya.
Mungkin ia sakit. "Bolehkah aku masuk ke dalam selimut?" pintaku.
"Ya." Saat aku menyusup ke dalam selimut, ia berguling dan merangkulkan lengannya ke
tubuhku, lalu memejamkan mata dan tak lama kemudian tertidur.
Napasnya beraroma telur. Napas yang hangat panas dan saat aku telah terbiasa,
aku tak begitu memikirkannya. Tapi sepuluh menit kemudian napasnya mulai berbau
seperti air kubangan di parit yang tersumbat.
Tubuhnya sangat hangat. Aku kepanasan, dan melepaskan lenganku darinya. Aku
pindah ke sisi lain ranjang. Aku menatapnya lagi dari tempatku berbaring, hingga
akhirnya aku pun tertidur.
---oOo--- Ia membangunkanku. Hari sudah gelap dan untuk beberapa lama aku tak sadar berada
di mana. "Pukul berapa ini?" aku bertanya.
"Waktunya minum teh," katanya seraya menyalakan lampu meja.
"Ayahmu sudah pulang. Sebaiknya kau bangun."
Aku tak ingin turun. "Kau sedingin biskuit," ujarku.
"Sedingin mentimun," katanya tanpa tersenyum.
"Kau yakin" Bukan biskuit?"
"Aku sedang tak ingin bermain, John," katanya. "Kita tak dapat bermain setiap
saat." Aku bergegas keluar ruangan, tak mengacuhkan panggilannya.
---oOo--- Aku berpapasan dengan ayahku di tangga sempit. Ia melihatku tapi tak berkata apa
pun. Salah satu dari kami harus memberi jalan. Ia berjalan di tengah dan aku
terdorong ke samping agar ia dapat lewat. Aku menekan punggungku ke pegangan
tangga. Lengannya menekanku dan tubuhnya terasa seakan membenci tubuhku. Ia
berlalu tanpa menyapaku, tanpa menoleh kepadaku, seakan ia adalah orang buta.
Aku berdiri diam dan menunggu. Ketika ia tiba di atas, ia berhenti dan
menatapku. "Apa ia di dalam?" ia bertanya.
Seharusnya ia tak memanggil ibuku "ia" dan seharusnya ia tahu Ibu ada di atas
karena Ibu baru saja memanggil namaku.
"Ya," jawabku, tapi ia tak tertarik dengan jawabanku. Ia bertanya hanya demi
berbasa-basi. "Apakah kau bersimpangan denganku?" aku bertanya. "Dapatkah seorang pria hanya
menaiki tangga sialannya?"
Ia tak menatapku. Aku dapat merasakan amarahnya bahkan sebelum ia berkata-kata.
Aku menarik napas dalam-dalam. "Mam masih tidur,"
sahutku. "Jika aku mengatakan apa yang ingin kukatakan sekarang, kupikir aku akan
menyesalinya seumur hidup."
"Apa yang ingin kaukatakan?" aku bertanya.
"Jangan menghalangi jalanku," katanya.
Perutku terasa seperti ketika aku jatuh dari tembok tinggi atau sebuah pohon:
gelombang panas naik hingga ke hidungku. Saat ia berbalik, aku berkata dengan
nada lembut. "Aku tak membutuhkanmu," bisikku, tapi ia tak mendengar.
---oOo--- Aku menonton televisi beberapa lama, kemudian menuliskan beberapa catatan dalam
"The Gol of Seil". Aku melukiskan kebohongan yang dikatakan orang-orang di
televisi (terutama pada acara warta berita) dan meski aku menemui lebih banyak
kesulitan dalam mendeteksi kebohongan, karena tanda-tandanya tak terlalu jelas,
aku masih dapat mengetahuinya.
Aku memperhatikan ketika orang bergerak tak nyaman (seperti ketika mereka menipu
seseorang), mereka sering meraih sesuatu, atau menyentuh sesuatu di dekatnya:
cangkir, buku, atau kerah kemeja mereka. Dalam "The Gol of Seil" aku menyebutnya
tindakan memegang demi kenyamanan dan memegang demi pengalihan perhatian.[]
9 Salju telah reda dan jalan aman bagi kendaraan. Kami kembali ke sekolah.
Aku berharap hari ini saatnya aku memberitahu Brendan soal bakat deteksi
kebohonganku. Aku berencana mengatakan kepadanya dalam perjalanan pulang. Tapi
tepat sebelum bel berdering, Pak Donnelly, si kepala sekolah, masuk ke ruang
kelas dan memanggilku. "John Egan, majulah ke depan."
Ruangan dipenuhi bisikan dan tawa tertahan. Jika saja mereka menertawakan suara
keras Pak Donnelly yang konyol, bukan diriku.
"Sekarang, berdiri tegak."
"Ya, Pak." "Ikut ke kantorku."
---oOo--- Dalam perjalanan menuju ke kantor, Pak Donnelly tidak berkata apa pun.
Tapi setelah masuk, ia mulai berbicara dengan suara keras terburu-buru. Ia duduk
di belakang mejanya dan aku duduk di kursi dekat jendela agar aku dapat menengok
ke luar. Aku tak ingin melihat wajah merah besarnya dan jemarinya yang panjang
gemuk hingga seakan tak mungkin masuk ke lubang pemutar nomor di pesawat
telepon. "Cuaca buruk yang menyebalkan," katanya.
"Ya," sahutku seraya menoleh ke luar jendela.
Aku tak ingin berbicara dengannya. Aku hanya ingin tahu alasan ia memanggilku.
Ia menggeser kursinya lebih dekat ke meja.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Baik. Tak ada masalah, Pak."
"Berapa usiamu sekarang, John?"
"Dua belas, bulan Juli nanti."
"Apakah ada yang kauperlukan?"
Ia membuka laci meja dan merogoh tumpukan persediaan alat tulisnya.
"Apa kau memiliki cukup pena dan pensil?"
"Banyak, Pak." Ia menghela napas. "Duduklah yang tegak."
Aku melirik arloji di pergelangan tangannya.
"Jangan duduk di pinggir kursi seperti itu. Bergeserlah agak ke belakang dan
duduk tegak. Ya, itu lebih baik. Benar."
Aku tahu apa yang sebenarnya akan ia bahas. Ia ingin membicarakan keadaan
tubuhku. Ia melakukannya tahun lalu. Ini hanya masalah waktu.
Aku berharap memiliki kekuatan untuk menghentikannya. Lagi pula, ia hanyalah
pria buruk rupa berambut dan berjenggot merah yang tak berharga. Tapi, aku
mengubah posisi dudukku sesuai dengan perintahnya.
"Dengarkan aku, Anak Muda. Kau bermasalah dengan pelajaran bahasa Irlandia
semester kemarin. Mengapa" Kau terlalu cerdas untuk tinggal kelas."
Aku menatap rambut merah Pak Donnelly dan aku tak ingin mengatakan yang
sesungguhnya, bahwa aku selalu membaca Guiness Book.
saat pelajaran bahasa Irlandia. Aku mengatakan bahwa aku tak menyukai pelajaran
bahasa Irlandia karena terlalu sulit mengerjakan sesuatu yang tak kausukai. Aku
merasa sedikit pening dan menggenggam erat tempat dudukku agar tubuhku tak
melayang. "Lalu," kata Pak Donnelly, "itu seperti perumpamaan ayam dan telur.
Tak jelas mana yang ada lebih dulu. Itu tidak menjelaskan apa yang sesungguhnya
terjadi, tapi kita dapat melanjutkan dan kau dapat mengatakan kepadaku pelajaran
apa yang kausuka." "Aku menyukai sejarah," jawabku, seraya bertanya-tanya apa yang menyebabkan
rambut berwarna merah dan apakah Pak Donnelly yang menyebabkan aku kesal jika
berdekatan dengan orang berambut merah.
"Kenapa kau menyukai sejarah?" tanya Pak Donnelly. Tangannya terlipat di dada.
Aku duduk jauh ke belakang dan setegak mungkin di kursi kayu itu lalu teringat
saat musim panas tahun lalu, ketika aku menonton sebuah film di bioskop di
Wexford. Seorang anak laki-laki berambut merah duduk seorang diri di depanku.
Aku melepas sepatuku dan menyandarkan kakiku di sandaran kursi tepat di samping
wajahnya. Saat si anak lelaki berbalik dan memintaku menurunkan kaki, aku tak
menanggapinya atau menatapnya. Aku tetap menyandarkan kakiku di sandaran kursi
dekat wajah si anak lelaki. Saat ia berbalik lagi dan mengatakan bahwa kakiku
bau dan memintaku menurunkannya, aku tak menjawab dan tetap menyandarkan kakiku.
"Aku menyukai sejarah," sahutku kepada Pak Donnelly, membuat-buat jawaban seraya
berpikir, "karena sejarah membahas fakta dan kisah-kisah.
Seperti kisah Raja Charles Pertama yang dipancung kepalanya."
Pak Donnelly menatapku dan menggelengkan kepala. "Seperti mendengar suara dari
dasar sumur," katanya.
"Ya," jawabku, "seperti itu."
Namun, kemudian aku menyadari telah membuat kesalahan: Pak Donnelly sedang
membicarakan diriku. Maksudnya adalah suaraku terdengar terlalu dalam bagi
seorang anak kecil. Seperti orang yang berteriak ke lubang dalam.
"Kau sangat tinggi, John," Pak Donnelly melanjutkan. "Kau telah sama tinggi
dengan anak-anak senior. Jika kau bertindak lebih dewasa, kau dapat dipindahkan
ke kelas yang lebih tinggi agar kau tak mencuat sendiri seperti ibu jari yang
bengkak. Kau berhasil di semua pelajaran, beberapa sangat baik, tapi sangat
buruk dalam pelajaran bahasa Irlandia. Jadi kau sebenarnya tidak siap, kecuali
tinggi tubuhmu. Kau mengerti maksudku?"
Aku tak ingin membahas tinggi tubuhku. "Aku cukup nyaman di kelas, Pak, lagi
pula ada Brendan bersamaku. Aku tak ingin naik ke kelas yang lebih tinggi."
"Baiklah, itu bukan pilihan, aku telah menegaskan. Tidak mungkin naik kecuali
kau memperbaiki pelajaran bahasa Irlandiamu."
"Baik, Pak." Aku bangkit dari tempat dudukku.
"Duduklah, John. Aku punya sedikit pertanyaan yang harus kuajukan kepadamu.
Duduklah seperti anak yang baik dan berkonsentrasilah pada bahasan kita kali
ini." Aku duduk dan ia menatapku sangat tajam seakan ia berhak melakukan apa pun yang
ia inginkan terhadapku. "Sekarang," ia melanjutkan, melihat sekujur tubuhku sekali lagi, dan atas ke
bawah, atas ke bawah, atas ke bawah, "apakah kau merasa baik-baik saja"
Bagaimana keadaan tubuhmu?"
Aku membuka mulut tapi semuanya tercekat di kerongkongan.
"Jangan malu, katakanlah."
Aku mengangkat bahu, merasa dikalahkan. Aku bukan apa-apa.
Bahkan seekor binatang pun dapat bergerak bila ingin melepaskan diri dari
perangkap. "Apakah kau merasakan hal aneh atau gerakan tanpa dikehendaki di bagian bawah
perutmu?" Aku menggelengkan kepala, sangat cepat. Pasti aku tampak bodoh.
Tapi, aku tak peduli tampangku di hadapannya.
"Apakah kau ingin menanyakan soal reaksi-reaksi tubuhmu?"
"Tidak!" jawabku dengan suara bergetar.
"Apakah kau telah menemui dokter baru-baru ini?"
"Ya." "Sampai seberapa jauh kau akan tumbuh jangkung kata dokter?"
Aku pening karena malu. "Aku harus ke toilet, Pak. Bolehkah aku kembali setelah
ke toilet?" "Saat kau kembali, aku akan memberimu sebuah penghapus baru dan beberapa buku
latihan. Tak ada yang tak menginginkan alat tulis di awal musim ajaran. Kau
mau?" Aku tak menjawab. Aku membuka pintu dan berlari sepanjang koridor ke arah toilet
anak laki-laki seraya berpikir apa yang salah dengan pria seperti Pak Donnelly.
Ia senang menyiksaku dengan pertanyaan-pertanyaan, tapi ia tak memberiku alasan
untuk membencinya. Dan akhirnya, saat selesai menyiksaku dengan opini-opininya,
ia selalu menawarkan semacam hadiah atau kata-kata bijak, sesuatu yang baik
bagiku; seperti sebuah permintaan maaf atas kelakuan buruknya.
Aku tak kembali ke kantornya.
---oOo--- Tiba di rumah, aku masuk ke dapur dan menemui ibuku di sana. Ia sedang membaca
buku, sedangkan Crito berbaring di kakinya.
"Mami, Pak Donnelly memanggilku ke kantornya dan menanyakan soal tinggi tubuhku
dan semuanya." Ia mengangguk dan menggeser kursi menjauh dan meja. "Maaf, John.
Sebenarnya aku berniat memberitahu kau."
"Berniat memberitahu aku apa?"
Aku berdiri di sampingnya dan melipat tangan di dadaku.
"Aku meminta ia berbicara denganmu. Ia menelepon menanyakan keadaanmu dan
akhirnya kami membuat kesepakatan."
"Kenapa kau melakukan itu" Aku tak membutuhkan pertolongan, dan itu bukan
urusanmu!" Tanpa maksud, tanpa kusadari, dan tanpa kurencanakan, aku melangkah maju. Kakiku
merapat ke kursi tempat ibuku duduk dan menantangnya. Ia menengadah ke wajahku
dan aku dapat melihat pantulan diriku di matanya.
"Tak perlu menekanku," katanya, suaranya lemah dan kecil.
Aku mundur dan berdiri di samping kursi tempat aku biasa duduk. Aku mencengkeram
sandaran kursi. Gigiku gemetar dan bergemeletuk.
"Maaf," sahutku. "Tapi, aku tak mengerti kenapa kau membuatnya memanggilku. Ia
menyerangku, memperlakukanku seperti orang aneh di sirkus, dan menatapku dari
atas ke bawah." Ibu tersenyum. "Ia juga melakukan hal yang sama terhadap diriku dan kadang ia
menjilat bibirnya. Aku salah. Seharusnya aku tidak mengusulkannya. Maafkan aku."
"Tapi, kenapa kau berpikir ia harus berbicara denganku" Apakah kaupikir ada yang
salah pada diriku?" "Pada saat itu, sepertinya tidak berbahaya. Kupikir kau senang bila berbicara
dan hati ke hati dengan seorang pria dewasa tentang keadaanmu.
Kedewasaan yang terlalu dini memang menyulitkan."
"Apakah itu yang dilakukan Pa?"
"Ya, ia di sini untuk membicarakannya. Tapi, aku takut kau tak ingin berbicara
dengan ayahmu jika kau perlu."
"Aku akan berbicara dengannya jika aku mau." Aku pergi ke kamarku dan setengah
jam kemudian ia menyusulku, menanyakan apakah aku senang bila ia memainkan
pertunjukan boneka sebelum minum teh. Ia mengenakan boneka-boneka jarinya dan
memainkan pertunjukan kecil. Lalu ia menari dan bernyanyi, berkeliling di
kamarku seakan ia sedang sendiri, tak ada yang memperhatikan. Tapi, aku
memperhatikan dan gerakannya mengingatkanku pada sesuatu yang kulihat dalam
sebuah film: seorang wanita cantik sendirian di malam hari di kolam renang yang
airnya diterangi cahaya biru.
---oOo--- Seminggu kemudian, dalam perjalanan pulang dan sekolah, aku berhenti di tengah
jalan, sekitar dua ratus kaki sebelum boneka di atas pohon.
Terbaring seekor sapi, tertidur atau sekarat, menghalangi jalanku. Aku berlutut
dan memeriksanya. Ia masih bernapas tapi matanya tertutup.
Aku mendengar lenguhan di kejauhan. Di tengah ladang, seekor sapi lain,
sendirian, sedang berlari. Ia berlari cepat sekali dari yang pernah aku lihat.
Lalu ia berhenti dekat pagar pembatas. Aku melihat ke arah sapi yang sekarat dan
aku mendengar lenguhan lagi; sapi yang tadi berlari kembali ke tempat ia
berangkat dan ketika berhenti, ia menoleh ke arahku.
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan dengan sapi yang sakit.
Sekarang sapi itu bernapas pendek-pendek dan kesakitan. Aku berdiri dan
mengelilinginya untuk melihat lebih jelas seluruh tubuhnya. Memeriksa apakah ada
luka atau sedang bunting. Aku menekan-nekan perutnya dengan sepatu botku. Si
sapi yang berlari tak lagi melihatku dan aku merasa lebih bebas. Aku dapat
melakukan yang terbaik yang kupikirkan. Tapi, aku tak tahu harus bagaimana.
Aku berlutut kembali dan melihatnya. Jika ia sekarat dan jika ia kesakitan,
dokter hewan pasti akan menidurkannya. Aku tak ingin meninggalkannya di sini, di
jalanku, untuk mati. Aku melepaskan jaketku dan menutupi wajahnya. Ia tak
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bereaksi. Aku harus duduk untuk menidurkannya. Tapi aku tak dapat melakukannya.
Aku memindahkan jaketnya menutupi wajahnya dan memastikan kainnya, yang terbuat
dan wol, tak menyentuh matanya. Aku takut jaketku menempel ke matanya.
Aku duduk menghadap ke arah sapi yang berlari yang malah mengunyah rumput alih-
alih menatap balik ke arahku. Aku duduk beberapa saat dari si sapi yang sekarat
sama sekali tak bergerak. Aku berkata,
"Semuanya akan baik-baik saja. Kau akan segera tidur." Aku tidak tahu harus
berkata apa, tapi berbicara dengannya terdengar kejam.
Sekarang aku akan pergi. Aku kedinginan dan angin dingin menyelusup ke balik
baju hangatku. Aku juga kelaparan. Nanti si petani akan menemukannya dan ia
dapat menyingkirkannya dari jalanku serta menguburkannya, jika ia mati. Aku
mengambil jaketku dari wajahnya dan berkata, "Selamat tinggal."
---oOo--- Aku berangkat lebih pagi keesokan harinya dan berjalan cepat. Aku takut sapi itu
masih terbaring di jalanku. Tapi, ketika aku tiba, ia telah menghilang, dan tak
ada tanda-tanda keberadaannya. Seharusnya aku menghitung kawanan tersebut
kemarin malam agar aku tahu mana yang kehilangan anggotanya. Aku memandang ke
balik pagar pembatas ke arah sapi-sapi yang berdesak-desakan. Tapi, tak ada yang
menatap balik ke arahku. Seakan tidak ada yang terjadi sebelumnya. Tapi, sesuatu
telah terjadi. Aku merasa perutku sakit, bagian bawah, dan sakitnya hampir
seperti emosi tapi aku tak yakin perasaan apa itu.
Di kelas aku duduk membungkuk di tempat dudukku, bersandar ke meja, dan
bertopang dagu. Saluran kencingku penuh dan aku menahannya sejak sarapan.
Sekarang hampir tengah hari. Aku ingin tahu berapa lama aku dapat menahannya,
berapa tahan tubuhku mengikuti perintahku. Aku suka sensasinya, rasa tersengat
dan tekanannya. Aku ingin tahu berapa lama aku dapat bertahan. Aku bertahan
hingga lima menit sebelum bel dan baru menyadari aku telah menunggu terlalu
lama. Aku menggerakkan kakiku naik-turun secepat mungkin tapi air kencingku
mendesak keluar meski aku memerintahkan jangan, meski aku memintanya menunggu.
Aku akan mengacungkan tangan, tapi ada sesuatu yang salah. Saluran kemihku
membuka tanpa kuperintah. Rasanya lega, saat melepaskannya, dan aku sendiri
menyadari tengah mengeluarkan air kencingku, tapi aku tal mampu menahannya lagi.
Namun, aku tak dapat lagi menahan alirannya. Air kencing hangat membasahi
celanaku dan menyebar ke bagian belakang. Bagian paha belakangku pun terasa
basah. Sekarang aku duduk di genangan hangat.
Aku ingin mengacungkan tangan meminta izin ke toilet, tapi sulit sekali
mengucapkannya dalam bahasa Irlandia. Aku menunggu hingga mendapatkan kalimat
yang tepat. "An bhfuil cead agam dul amach, mas e do thoil e?"
"Dapatkah kau menunggu?" jawab Nona Collins, yang sedang menghadap ke papan
tulis, sedangkan punggungnya mengarah ke kelas dan tak menyadari siapa yang
memohon. "Tidak bisa, Nona," kataku. "Aku harus ke toilet sekarang." Ia berpura-pura tak
mendengarku karena kali ini aku menggunakan bahasa Inggris.
Aku harus menahan air kencingku, tapi tak tahu bagaimana, karena terus mengalir
menuruni kakiku, membasahi kaus kaki dan sepatuku.
"Tolong, Nona," pintaku. "Apakah aku diizinkan?"
Nona Collins berpaling dari papan tulis. "John, dapatkah kau menunggu hingga
waktu makan siang?" Aku berdiri dan air kencing membanjir ke bawah kakiku. Aromanya mulai tercium
oleh hidungku. "Tidak, Nona. Aku harus pergi sekarang."
Bagian lantai yang menurun membuat air kencingku mengalir ke depan ruangan
kelas. Nona Collins tidak menyadari air kencingku mengarah ke papan tulis.
Ia pun tak mencium baunya. Tapi Jimmy, si anak laki-laki berambut merah yang
duduk di depanku, melihatnya.
"Oh, Nona!" Ia menjerit. "John kencing di celana." Semua orang menoleh untuk
melihat apa yang telah kulakukan.
Tanganku masih melambai pelan di udara, seperti melambai pada bus yang berlalu
cepat meninggalkan aku. Nona Collins berjalan menghampiriku dengan mulut
ternganga, memperlihatkan bagian dalam bawah mulutnya dan geligi tak beraturan
yang bernoda seperti geligi anjing tua.
"Ya, Tuhan," katanya. "Kau harus menemui Suster Bernadette untuk membersihkan
diri." Suster Bernadette akan membawaku ke ruangan perawatan yang ada di biara sebelah
gedung sekolah. Aku tak ingin pergi ke sana.
Aku berlari dari ruangan kelas, menyusuri koridor, melewati rak mantel, melewati
ruangan-ruangan kelas lain, dan keluar dari pintu depan.
Aku terus berlari hingga mencapai jalan di bawah naungan kegelapan, kesendirian,
dan ketenangan pohon-pohon cemara. Kemudian kulitku mulai terasa tersengat
karena celana basahku menempel pada kulit pahaku.
Aku ingin berganti dengan piyama dan menyusup ke ranjang serta membunuh waktu.
Aku ingin tidur, lalu bangun menghirup aroma teh dan sosis, serta segala yang
telah terjadi telah terhapus.
Rasanya aku tak akan pernah kembali ke sekolah.
---oOo--- Aku menyelinap lewat pintu belakang dan berjingkat menuju kamarku. Aku
melepaskan celana basahku dan berganti dengan yang kering. Aku pergi ke kamar
mandi, mengisi bak dengan air panas, dan mengosok celanaku hingga bersih.
Ibuku turun dari lantai atas. "Halo?" sapanya.
"Halo," jawabku.
Ia masuk ke kamar mandi. "Apa yang kaulakukan di rumah?"
Aku merasa mual, aku menceritakan kepadanya bahwa Nona Collins memulangkan aku.
Ia bertanya mengapa sekolah tidak menelepon. "Aku dapat menjemputmu di sekolah."
Saat aku berbohong, aku merasa memikul beban yang berat dan ketika aku mencoba
bergerak, kakiku seakan terisi air panas. Kebohongan bergerak ke sekujur
tubuhku, seperti demam. Mereka memanggil dua kali, tapi aku tak menjawab. Aku menggunakan kata-kata yang
lebih sederhana, hanya agar tak tersangkut di kerongkonganku. Lagi pula, suaraku
terdengar lebih kecil dan melengking.
Ia bertanya mengapa aku mencuci pakaianku dan kukatakan bahwa aku muntah
mengotori pakaianku. "Lagi?" ia bertanya. "Ada yang berbohong lagi?"
"Aku tidak berbohong."
"Aku tidak mengatakan itu kau. Kau menyimpulkannya sendiri."
Sekarang ia tersenyum dan kukira aku telah tertangkap basah.
"Oh," desahku. Ia meraih tanganku dan merasakan telapak tanganku. Aku tidak berkeringat, jika
memang itu yang ingin ia lihat. Orang sering kali berkeringat saat mereka
berbohong. Tapi aku tidak.
"Senyum menghilangkan kegugupan," katanya. "Kau tahu itu?"
"Pa sudah pernah mengatakannya kepadaku."
"Oke, dia benar. Dan sebaiknya kau berbaring di ranjang bila memang merasa tak
enak badan." ---oOo--- Aku duduk di ranjang menunggu Ibu menyusulku untuk sedikit berbincang.
Tapi, ia tak kunjung datang. Aku berharap ia ke dapur dan membuatkan aku roti
panggang isi ham atau mengambilkan biskuit dan secangkir cokelat, tapi ia tak
datang. Aku mendengarnya naik ke kamarnya, kemudian aku mendengar ayahku.
Mereka berbicara dengan suara keras. Sesuatu jatuh ke lantai kemudian tak ada
suara lagi. Aku berbaring di balik selimut seraya berpikir sesuatu yang lucu untuk
diceritakan kepada ibuku. Kuharap ia datang menjengukku.
Ayo datanglah, datanglah, datanglah.
Tapi, ia tak kunjung datang.
Aku berbaring di ranjang, tapi tak bisa membaca ataupun tidur.
Aku berbicara dengan diriku sendiri selama kira-kira satu jam. Aku berbicara
dengan diriku sendiri dalam dua suara, seakan ada dua orang yang sedang
berbincang. Aku membicarakan semua yang telah terjadi. Aku menanyakan kepada diriku sendiri
dalam suara lain, dan menjawab dengan suara yang berbeda. Aku membicarakan apa
yang akan kulakukan besok.
Lebih baik aku mati daripada ayahku mengetahui yang telah terjadi.
Lebih baik aku mati daripada kembali ke sekolah.
Aku pergi ke kamar mandi dan menggosok kakiku dengan sikat.
Kemudian aku menggantungkan celanaku di gantungan pakaian di ruang keluarga, di
depan perapian, dan berharap seseorang akan datang berbicara kepadaku.
Waktu menunjukkan pukul setengah dua dan tak ada yang mengunjungiku. Aku
berhenti berharap, ayo datanglah.[]
10 Keesokan paginya aku mengatakan kepada ibuku bahwa aku tak enak badan untuk
berangkat ke sekolah, tapi telepon berdering saat kami sarapan dan aku yakin
semua telah mengetahui kejadiannya. Ibu menghampiriku di kamar dan memberitahu
bahwa yang menelepon tadi adalah Nona Collins.
"Ia ingin aku datang ke sekolah hari ini. Perawat distrik ada di sekolah,
bersama Nona Collins dan Pak Donnelly. Mereka ingin kau bertemu dengannya."
"Kenapa?" "Aku telah diberitahu kejadian kemarin."
"Oh." "Kau pergilah ke sekolah sekarang. Aku akan menemuimu di kantor perawat pukul
sebelas nanti." "Kenapa?" "Karena ke sanalah mereka memintaku membawamu."
"Aku tak mau pergi ke sekolah."
"Kau harus pergi."
"Tolong jangan beritahu Pa."
"Tidak, aku tidak akan memberitahu dia. Tapi aku tak dapat berjanji ia tak akan
mengetahuinya sendiri."
Aku berpakaian dan mengambil sarapan di dapur. Tapi, ketika aku melihat telur
rebus yang telah setengahnya disantap, terbuka, dan bertengger di mangkuk
telurnya, aku tak ingin lagi memasukkan roti panggang ke dalam kuning telurnya.
Aku beranjak dari meja dan berjalan ke sekolah tapi aku tak masuk ke kelas. Aku
menunggu di bawah atap teras, berjalan naik-turun mencoba menghangatkan diri.
---oOo--- Pukul sebelas kurang lima menit aku pergi ke pintu depan dan menekan bel.
Suster Ursula membolehkan aku masuk dan kembali ke tempatnya di balik kaca dan
terali. Ruangan itu gelap dan hangat. Dua wanita tua dipersilakan duduk di pojok
dan menunggu pastor. Aku berdiri di pintu depan dan mereka melihatku seakan aku
telah merebut antrean mereka.
Ibuku masuk dan kami langsung menuju kantor perawat.
"Jangan cemas," kata ibuku. "Akan segera berakhir dalam sesaat."
Suster Bernadette menunggu di luar pintu kantor perawat. Ketika ia melihat kami,
ia menggosok kalung rosarionya seakan mengusir debu yang menempel. Kemudian ia
mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya lewat celah pintu.
"Perawat, John Egan, dan ibunya datang menemuimu."
"Persilakan mereka masuk," kata si perawat, dan Suster Bernadette pun beranjak.
---oOo--- Dalam ruangan kecil beraroma sabun cuci terdapat sebuah meja, lemari arsip, dan
dipan beroda yang ditutupi seprai putih. Aku memperhatikan dipan beroda itu
sementara ibuku berbicara dengan si perawat. Aku mencoba mencari tahu cara
menaikinya, jika aku diminta berbaring di atasnya.
Aku senang membayangkan berbaring di atas seprai putih seraya perawat mengukur
suhu tubuhku. Kaki-kaki dipan beroda yang dapat dilipat itu seperti pisau Swiss
Army milikku, yang dapat keluar-masuk dengan mudah dan rapi dan gagangnya. Aku
merencanakan berpura-pura sakit; mencengkeram perutku dan mengerang, agar si
perawat memintaku berbaring dan menyelimutiku dengan selimut biru lembut yang
terlipat di ujung dipan beroda.
"Aku sangat terkejut," kata ibuku. "Ia belum pernah melakukan hal seperti itu
sebelumnya." Si perawat menatapku seakan aku sengaja buang air di celana. Aku ingin
memberitahu dia bahwa aku sedang melakukan percobaan; bahwa mengompol bukanlah
ketidaksengajaan seorang bayi.
"Apakah anak Anda menderita enuresis?" tanya si perawat. "Apakah ia sering
mengompol, Nyonya Egan?"
"Tidak," kata ibuku.
Aku pernah satu kali berada di ruang perawat ini. Ketika aku pertama kalinya
menginjak sekolah ini, beberapa hari setelah pindah dari Wexford, hidungku
mengeluarkan darah setiap hari selama seminggu. Saat itu aku berusia delapan
tahun dan si perawat mendudukkan aku serta memerintahkan aku menengadahkan
kepalaku sementara ia memijit pangkal hidungku untuk menghentikan perdarahan.
Karena aku menelan banyak darah, aku merasa mual dan ketika aku
memberitahukannya, ia memberiku pispot berwarna cokelat agar aku muntah di
dalamnya. Aku mencoba muntah tapi tak ada yang keluar.
Setelah gagal, ia berkata, "Hati-hati, jangan terlalu sering mimisan, Bocah
Kecil." Sekarang, seperti saat itu, ia tersenyum lemah dan mengguncang kepalanya
dari kiri ke kanan, seakan ia baru saja mandi dan sedang berusaha mengeluarkan
air dari telinganya. Aku ingin segera pergi. Aku ingin pulang. "Saluran kencingku penuh,"
sahutku. "Itu tak akan terjadi lagi."
"Aku tak mengerti," ujar ibuku.
Si perawat menguraikan beberapa alasan, kegugupan, kecemasan, serta masalah di
rumah, dan ibuku menyangkal semua itu. Aku mulai merasa malu.
Akhirnya si perawat menebak bahwa aku anak tunggal. Ia bertanya kepada ibuku apa
mungkin aku kesepian. "Ia tidak kesepian," jawab ibuku. "Ia ditemani orangtua dan neneknya yang sangat
mencintainya." "Dan kucingku," aku menambahkan.
Si perawat tidak mempedulikanku dan menyodorkan selembar kertas kepada ibuku.
Ibuku menatap lembar kertas itu tapi tak menyambutnya.
"Kau harus membaca ini," kata si perawat. "Dan mungkin John harus cuti dulu hari
ini. Ia dapat masuk sekolah lagi Senin."
Namun, kemudian terpikir olehku: cuti sekolah adalah gagasan buruk.
Itu akan memberikan kesempatan bagi teman-teman kelasku untuk merencanakan
cemoohan. Aku harus kembali masuk dan bersikap seakan tak pernah terjadi
sesuatu, atau tidak peduli. Bahkan lebih baik bila aku bersikap kejadian itu tak
pernah terjadi. Aku akan bertindak. Itu tak akan pernah terjadi.
"Aku ingin masuk kelas hari ini," kataku.
Si perawat menjatuhkan dagunya ke lipatan lemak di lehernya. Aku menatap
melampauinya ke luar jendela. Joseph dan Tinker sedang menjalankan kuda belang
mereka melintasi ladang. Aku ingin melambai tapi ia mungkin tak akan melihatku.
"Terserah Anda, Nyonya Egan. Ia putra Anda."
Bel tanda istirahat berbunyi dan ibuku meraih tanganku tapi aku tak
membiarkannya memegang tanganku.
"Apakah kau yakin mau mau masuk hari ini?"
"Ya. Aku yakin."
Kami meninggalkan ruangan dan si perawat mengikuti di belakang.
"Nyonya Egan," kata si perawat, masih memegang lembar kertas yang sama, "kau
melupakan ini." Ibuku menggelengkan kepala. "Ia tidak memerlukannya," kata ibuku,
"Suster... aku minta maaf. Aku lupa namamu."
Ibuku telah bertemu dengan si perawat sebelumnya dan ia tak mungkin lupa
namanya. Itu adalah caranya membuat orang yang tidak disukainya merasa rendah.
Si perawat menatapku seakan semua adalah salahku. "Namaku Suster Carmel,"
katanya. Ibuku meraih tanganku dan kami berjalan menyusun koridor menuju ruangan kelas
5G. Aku menatapnya ketika kami tiba di depan pintu kelas. Teman-temanku sedang
berdiri di belakang meja mereka masing-masing. Pasti sedang ujian mengeja, dan
aku ingin memenanginya. "Kenapa aku menjadi anak tunggal?" aku bertanya.
"Kau selalu menanyakan itu setiap kali ada orang mengatakannya."
"Aku ingin tahu sekali lagi."
"Kau menjadi anak tunggal karena aku ingin kau menjadi satu-satunya. Apakah itu
jelas bagimu?" Aku menunggu ia berkata lebih lanjut, tapi ia berbalik dan menyusuri koridor
tanpa mengucapkan selamat tinggal, tanpa mengecupku terlebih dulu.
---oOo--- Segera setelah aku duduk di bangkuku, terdengar bisikan dan tawa cekikikan.
Mandy, anak perempuan di sebelah kananku, bernyanyi, "Pipis, pipis, pipis,
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sepanjang jalan pulang," dan anak laki-laki di sebelah kiriku turut bergabung.
Aku menatap Mandy hingga ia berhenti, dan si anak laki-laki pun segera
menghentikan nyanyiannya. Jimmy, si rambut merah, mengacungkan penggaris di
selangkangannya dan membuat suara kencing.
Aku menatapnya. Nona Collins tak memanggilku selama pelajaran dan Brendan tak
menoleh dari bangkunya untuk membuat wajah jenaka atau memberi isyarat.
Saat teman-teman sekelasku mencemooh dan berbisik di belakangku, aku melancarkan
sebuah taktik baru. Ketika Nona Collins berbicara, aku mengulang perkataannya
tiga kali dalam hati. Ketika ia mengatakan, "Batu Tuskar adalah batu berbahaya
yang berada enam mil laut ke arah timur laut Carnsore Point di sebelah tenggara
Irlandia dan mercusuar dinyalakan pertama kali pada 4 Juni 1815," aku
mengucapkannya dalam hati tiga kali dan berjanji tak akan melupakannya.
Aku tahu aku tak memiliki otak seorang sarjana atau, jika memang memiliki,
ingatan yang baik akan datang dengan sendirinya. Tapi, aku dapat membuat diriku
cerdas. Tak ada alasan tak melakukannya. Maka aku berlatih. Saat membaca buku,
aku membaca setiap kalimat tiga kali, menutup mataku setiap akhir kalimat, dan
mengulangnya tiga kali dalam hati. Cara ini tidak hanya baik bagi otakku tapi
juga membantuku melupakan bisikan dan cemoohan, dan juga membantuku agar tidak
membayangkan pikiran buruk. Semakin lama melakukannya, semakin aku mulai melihat
kegunaannya untuk hal lain. Jika aku akan melakukan pekerjaan penting, dan
menjadi orang besar, ingatan yang bagus akan sangat berguna.
---oOo--- Aku menelusuri Guiness Book. dan menemukan pada 14 Oktober 1967
seorang pria menghafal 6.666 ayat Al-Quran dalam waktu enam jam. Pria ini,
Mehmed Ah Halicii, memiliki ingatan eidetik dan ia dapat mengingat semua yang ia
baca. Saat bel waktu makan siang berbunyi, aku telah melewati berjam-jam tanpa merasa
cemas dan menemukan cara berpikir baru. Aku meraih makan siangku dan menghampiri
Brendan di bangkunya. "Ayo kita keluar," ajakku.
"Aku ingin tinggal di dalam," jawabnya.
"Baiklah," sahutku. "Kita tinggal di dalam."
Ia menatapku dan bangkunya. "Maksudku, aku ingin tinggal di dalam seorang diri."
"Ayolah. Kita duduk di pondok," ajakku sekali lagi.
Di hari yang dingin, dan ini hari yang cukup dingin, aku dan Brendan biasanya
duduk di depan tungku di pondok penjaga sekolah dan membaca semua komik Beano
kesukaanku. Si penjaga sekolah menyukai aku dan Brendan, dan kami berbincang
dengannya. Ia senang kami mengunjungi pondoknya, dan ia datang dan pergi, serta
bekerja di sekeliling kami.
"Terlalu dingin untuk pergi ke pondok," kata Brendan.
"Lalu?" aku bertanya. "Kita dapat duduk di depan tungku dan tak akan merasa
dingin." "Aku mual duduk di pondok penjaga sekolah," sahut Brendan. "Baunya busuk."
"Baunya tidak busuk," sahutku.
"Baunya busuk."
"Lalu?" "Lalu aku hanya tidak ingin pergi ke sana hari ini," katanya. "Aku ingin tinggal
di dalam kelas hari ini."
"Terserah." Amarah membuatku tegang dan aku tak tahu harus bagaimana. Maka aku
meninggalkan Brendan tanpa menoleh lagi kepadanya.
Selama pelajaran, aku menunggunya menoleh ke arahku, tapi ia tidak melakukannya.
Kadang aku menatap bagian belakang kepalanya, tapi lebih sering membaca dan
menghafal, atau menatap ke luar jendela mencoba menghentikan amarah yang membuat
gigiku sakit. ---oOo--- Dalam perjalanan pulang, aku menyebutkan kembali semua yang telah kuhafalkan.
Saat aku lupa, aku berhenti melangkah dan memejamkan mata hingga dapat
mengingatnya. Ketika tiba di pohon boneka, aku berhenti dan memperhatikannya.
Rambutnya menghilang. Kupikir ia memiliki rambut pirang. Hanya itu yang tak
berubah atau terurai darinya. Tapi ia tak berambut. Hanya ada tempurung kepala
menghitam. Mungkin orang yang meletakkannya di sana telah datang dan mengambil
rambutnya. Mungkin rambutnya jatuh helai demi helai dan aku tak
memperhatikannya. Aku merasa marah kepada orang-orang dan berlari pulang.
Tiba di ladang terakhir sebelum pondok, aku berhenti dan menatap ke seberang, ke
arah jendela dapur yang temaram. Aku dapat melihat bayangan ibuku, ayahku, dan
nenekku. Mereka berdiri mengelilingi meja.
Ayahku berdiri dekat tungku, bayangan gelap mereka bergerak cepat.
Tangan ayahku mengangkat, lalu turun. Tangan ibuku meraih rambut panjangnya dan
menyibaknya dan pundaknya. Aku ingin mengetahui apa yang mereka bicarakan. Aku
ingin tahu apa yang terjadi. Tapi bahkan bila aku melesat secepat kilat
menyeberangi jalan, melompati gerbang, dan lintasan kerikil menuju pintu depan,
aku tak akan tahu apa yang mereka katakan. Bagian itu akan selalu terlewat. Dan
mereka akan berhenti bicara dan mengganti pokok pembicaraan saat melihat-ku.
Namun, aku senang melihat lampu menyala, mengetahui mereka ada di rumah, dan
tersedia tempat hangat bagiku di meja.
---oOo--- "Kau terlambat," kata ayahku. "Ini sudah lewat pukul lima."
"Aku melalui jalan yang panjang," jawabku.
Ia menghampiri tungku dan mengambil piring. "Ini. Makanlah ini,"
katanya. "Ikan jari besar."
Aku duduk di meja bersama ibuku. Nenek berdiri di depan tungku, mengaduk sepanci
puding. "Bagaimana sekolahmu?" tanya ibuku, dan aku memperhatikan matanya merah dan
rambutnya acak-acakan. "Baik," jawabku.
"Apakah kau ingin telurmu digoreng dengan ikan jarimu?" ia bertanya.
"Tidak," jawabku. "Kenapa rambutmu acak-acakan?"
Ayahku berdiri di depan meja secara tiba-tiba hingga kursinya terlempar ke
belakang. Tak ada yang berani mengeluarkan suara. Kami menunggu apa yang akan ia
lakukan. Ia meninggalkan dapur dan saat ia kembali, ia langsung berdiri di
belakang ibuku dan menyisir rambutnya.
"Nanti rambutku akan rontok ke atas kacang panggang," ia tertawa.
Aku memperhatikan ayahku menyisir rambut ibuku dan dapat melihat simpul-
simpulnya tertarik dan ia pasti kesakitan.
Aku berkata, "Bila ada rambut di kacang, kita dapat berkata, "Rambut kacang
siapa?" Tangannya menjulur ke bawah meja dan mengetuk lututku. "Mau menambah makananmu?"
"Tidak," jawabku seraya mendorong kacang di piringku mengelilingi ikan jari
besar. "Makanlah ikan jarimu," perintah ayahku.
"Ya." "Karena itu akan meleleh bila terlalu hangat."
"Mungkin sebelum film dimulai, kau dan Mami dapat mengajariku mengerjakan teka-
teki silang." "Kami harus melakukannya di sore hari yang baik. Ingatkan aku Sabtu nanti."
"Apakah kau ingat hadiahku?" aku bertanya.
"Hadiah apa?" "Hadiah yang kaujanjikan."
"Cokelat-cokelat ini adalah hadiahmu dan aku akan memberimu yang lebih besar
lagi nanti." ---oOo--- Buku dari perpustakaan Wexford, The Truth about Lie Detection, adalah buku
terbaik yang kudapatkan dan aku telah menyalin tiga puluh lima halamannya ke
dalam "The Gol of Seil".
Aku akan menghafal sebanyak mungkin dari buku ini. Sekarang aku telah menghafal
beberapa bagian penting, seperti yang satu ini, yang kuucapkan keras-keras
sepanjang perjalanan ke sekolah.
"Banyak orang salah mengira bahwa jika seseorang berbohong, mereka tak mau
melakukan kontak mata dan akan mengosok bagian bawah hidung mereka. Tapi, tak
melakukan kontak mata ataupun menggosok hidung bukan tanda kebohongan yang
pasti. Lebih penting memperhatikan tanda-tanda yang tersebar. Penting juga
membandingkan sikap seseorang dengan kebiasaannya sehari-hari.
Ketika seseorang berbohong, ia perlu berkonsentrasi untuk menjaga agar ceritanya
tetap lurus dan kadang melambatkan bicaranya atau tampak ragu-ragu. Sementara
orang mencoba mengendalikan ekspresi wajah mereka, tapi banyak orang tak mampu
menyembunyikan perasaan mereka.
Sebab, beberapa otot wajah terkait dengan ekspresi tidak dapat dikendalikan
secara sadar, terutama orang-orang dengan emosi yang kuat."
Pengarang The Truth about Lie Detection juga mengatakan bahwa emosi yang kuat
sering disebut emosi primer dan tampak sebagai fraksi dan emosi sekundernya,
yaitu ekspresi mikro. Aku juga membaca dalam buku ini bahwa hanya sedikit orang yang dapat mengetahui
kebohongan dan orang-orang ini kadang disebut penyihir.
Orang semacam ini dapat melihat tanda-tanda sikap yang terlewat oleh orang lain.
---oOo--- Aku menyalin lebih banyak lagi halaman The Truth about Lie Detection ke dalam
bukuku kemudian menulis secarik surat kepada Guinness Book of Records :
Guinness Book of Records yang terhormat,
Nama saya John Egan dan saya memiliki bakat unik. Saya rasa Anda akan tertarik
dengan bakat saya dan Anda harus membolehkan saya membuktikannya.
Saya dapat mengenali seseorang yang berbohong dengan ketepatan 100 persen.
Saya harap Anda segera membalas surat saya dan mengizinkan saya menunjukkannya
kepada Anda. Hormat saya, John Egan ---oOo--- Setelah menulis surat, aku melamunkan diriku muncul di televisi. Aku
diwawancarai oleh Gay Byrne, pemandu acara The Late, Late Show. Dalam lamunanku
aku telah terkenal dan berkeliling dunia menunjukkan bakatku.
Aku menceritakan pekerjaan yang kulakukan untuk FBI, membantu menangkap mata-
mata Rusia. Gay Byrne mengangguk-anggukkan kepala seraya berkata, "Luar biasa.
Sungguh luar biasa. Bolehkah kami menguji bakatmu di depan pemirsa" Dapatkah
kita mengadakan semacam ujian langsung" Sebuah percobaan?"
Aku duduk di kursi putarku yang berbalut kulit dan berkata, "Ya, tentu saja."
Gay Byrne memanggil empat sukarelawan dan ia meminta mereka menceritakan apa
pun. Orang pertama mengatakan, "Namaku Bernadette dan aku memiliki tiga putri,
seorang putra, dan tinggal di Galway."
Aku menggaruk sisi wajahku sebelum menjawab. "Itu bohong,"
sahutku. "Tapi tidak semua. Kau mengatakan sejujurnya kecuali bahwa kau tinggal
di Galway." Dalam lamunanku aku tak merasa mual saat mendeteksi kebohongan,
bahkan tidak merasa cemas sedikit pun.
Gay Byrne dan para sukarelawan saling melihat, senang dan terpukau.
"Benar," kata si wanita. "Aku memang memiliki tiga putri dan seorang putra tapi
tidak tinggal di Galway. Aku tinggal di Doolin."
Saat aku selesai melamun, aku kembali membaca The Great Train Robbery. Pada 8
Agustus 1963, antara pukul 3.10 dan 3.45 pagi, sebuah kereta Perusahaan Pos dari
Glasgow disergap oleh gerombolan pencuri yang melarikan 120 kantong pos berisi
lebih dari empat puluh dua juta pound.
Salah seorang pencuri belum tertangkap. Namanya adalah Ronald Biggs.
Aku membayangkan rasanya mencuri uang sedemikian banyak.
Kemarin aku merasa seakan jantung ingin keluar lewat telingaku saat mencuri
sembilan puluh pound dan dompet Nenek. Ronald Biggs pasti merasa kaki dan
tangannya berjatuhan karena dorongan ketegangan yang sangat kuat. Bahkan ketika
aku melihat ke bawah kasurku untuk memeriksa apakah uang hasil cunanku masih
berada di sana, tanganku bergetar hingga satu jam kemudian. Dan bagaimana Ronald
Biggs tahu apa yang harus dilakukan dengan uang tersebut bila aku saja tak dapat
memutuskan harus bagaimana dengan setumpuk uang kecilku"
Kemudian ayahku berteriak memanggilku dan aku tahu itu waktunya menonton film
Hitchcock.[] 11 Selama dua hari berturut-turut seluruh kelas mencemooh aku. Beberapa malah telah
membuat rencana untuk menyergapku saat akan masuk kelas.
Kemarin si rambut merah menyiramkan air ke kakiku saat aku duduk di bangkuku.
Dan saat Nona Collins memunggungi kelas, gadis di sebelahku berkata, "Pipis,
pipis, pipis, sepanjang jalan pulang." Dan, dengan pengecualian, Brendan tidak
berbicara denganku sejak kejadian itu.
---oOo--- Pukul setengah tiga. Aku duduk dan menunggu semua orang keluar sebelum akhirnya
aku keluar menyusuri koridor. Brendan berjalan melewati rak mantel. Sesungguhnya
aku tak perlu menanyakan alasan ia berjalan hilir mudik di koridor seperti itu.
Aku tahu ia tak dapat menemukan jaketnya. Ia tak dapat menemukannya karena saat
makan siang tadi aku melepaskannya dari gantungan dan menyembunyikannya di dalam
tas sekolahku. Aku bertanya mengapa ia masih di sini.
"Aku tak dapat menemukan jaketku."
"Aku bantu kau mencarinya," sahutku.
Aku mencoba bersikap tenang, tapi tanganku berkeringat dalam saku bajuku. Kami
mencari jaketnya dan kami tak dapat menemukannya. Aku mengusulkan kami berjalan
pulang bersama-sama. Aku meminjamkan jaketku untuknya. Ia tak bertanya mengapa
aku tak mengenakan jaketku, atau mengapa aku mengenakan dua lapis baju hangat
hari ini. Akhirnya, kami hanya berdua dan aku dapat menceritakan alasan kenapa aku kencing
di celana. Aku berbohong agar ia tetap menjadi temanku dan aku tak merasa mual.
Aku mengatakan kepadanya bahwa itu hanyalah usaha memecahkan rekor.
"Itu sebuah rekor yang sangat bodoh," katanya.
"Aku hampir saja memecahkannya. Aku telah bertahan selama dua puluh enam jam."
"Kau bertahan selama dua puluh enam jam!"
"Dua puluh lima jam lima puluh lima menit."
"Kau harus menceritakannya kepada semua orang."
"Mungkin," jawabku, "tapi mereka mungkin tak akan memercayaiku.
Rekornya adalah tiga puluh jam. Aku hampir saja memecahkannya."
Ia memandang ke arah lain.
"Apakah kau mau mampir ke rumah hari Senin" Kita dapat bermain bola atau apa
pun?" aku bertanya. Brendan terbatuk, seperti ayahku saat ia tak yakin harus bagaimana.
"Aku belum tahu. Sepertinya aku harus menghadiri misa pembabtisan."
"Oke," jawabku.
---oOo--- Jumat pagi, seusai sarapan, aku menunggu hingga tak ada seorang pun di dapur
agar aku dapat memanggil Brendan dan memberitahukan rencana percobaan
istimewaku. "Seperti percobaan menahan kencing?"
"Yang ini sangat berbeda. Dapatkah kau menginap di rumahku malam ini?" "Kurasa
aku tak akan diizinkan," katanya.
"Ini penting." "Mungkin. Aku harus pergi sekarang. Bubur sarapanku pasti sudah dingin."
"Aku akan memberimu lima pound," desakku.
"Pembohong." "Aku akan membawa uangnya hari ini dan menunjukkannya kepadamu."
"Dan mana kau mendapatkan lima pound?"
"Aku menabung."
"Bohong. Butuh waktu seratus tahun mengumpulkan sebanyak itu."
"Nenekku memenangi banyak uang di balapan dan ia memberiku sedikit bagian. Tapi
kau tak boleh memberitahu siapa pun. Jika kau melakukannya, aku akan mengambil
kembali uang itu darimu."
"Oke." "Dan bawa juga kantong tidurmu."
"Kenapa?" "Karena." ---oOo--- Aku memberitahu ibuku bahwa aku akan menginap di rumah Brendan malam ini dan aku
langsung ke rumahnya sepulang sekolah. Ia tak akan bertanya-tanya; ia tak punya
alasan untuk curiga. Pukul setengah tiga. Aku meminta Brendan datang ke bangsal penjaga sekolah.
"Kenapa" Bukankah kita akan menginap di rumahmu?"
"Ikuti saja aku. Kau akan lihat nanti."
Kami pergi ke bangsal. Si penjaga sekolah sedang membersihkan sebuah bangku
dengan kain kawat. "Halo," sapanya. "Apakah coret-coretan ini ulah kalian?"
"Bukan" jawabku. "Kami memerlukan kunci ke bangsal untuk semalam saja."
Si penjaga sekolah menunduk menatap lantai kemudian perlahan menoleh ke arahku.
"Dan jika kau tertangkap, kau akan mengatakan telah mencuri kunci-kunci itu dan
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kantor?" "Tepat," jawabku.
"Dan kau tidak akan melakukan hal-hal buruk di bangsalku?"
Aku menunduk menatap lantai, kemudian perlahan menatapnya, seperti yang tadi
dilakukan si penjaga sekolah. Orang yang percaya diri tampak mampu mengendalikan
kesunyian dan jeda waktu.
Aku berpikir tentang bagaimana aku harus bertindak dan kukira aku harus percaya
diri saat bertemu untuk pertama kalinya dengan orang-orang dan Guinness Book.
Pertama aku akan mengendalikan tanganku, kemudian suaraku, lalu cara berjalanku.
"Semacam itulah," jawabku. "Panjang ceritanya."
"Bersihkan toilet. Saat kau kembali, bangsalku siap digunakan."
Si penjaga sekolah memberikan kunci-kuncinya kepadaku. Aku mencamkan sikapnya
yang tak memerlukan banyak kata saat memerintahkan kepadaku apa yang ia
inginkan. ---oOo--- Saat berjalan menuju ke toilet, Brendan meraih lenganku. "Apa yang terjadi"
Kukira kita akan menginap di rumahmu?"
"Kita membutuhkan bangsal untuk percobaanku malam ini. Tapi aku belum dapat
memberitahu kau sekarang."
"Kau harus memberitahu aku. Aku akan pergi bila kau tak memberitahu aku."
Aku membuka pintu toilet. "Baiklah. Ini adalah percobaan deteksi kebohongan. Aku
akan membuktikan bahwa aku adalah manusia pendeteksi kebohongan."
"Itu konyol." "Bagaimana kau tahu itu konyol" Aku belum menunjukkannya kepadamu. Aku seperti
poligraf, hanya aku tak membutuhkan mesin."
"Apa itu poligraf?"
"Sebuah mesin yang ditempelkan ke tubuh seorang penjahat untuk melihat apakah ia
berbohong, tapi aku mungkin detektor kebohongan yang lebih baik daripada mesin
mana pun." "Apa yang kaubicarakan?"
"Poligraf mengukur pernapasan dan tekanan darah serta berapa banyak si tersangka
berkeringat. Tapi, beberapa orang tak merasa bersalah saat berbohong dan jarum-
jarum poligraf tak dapat membacanya. Orang-orang ini adalah pembohong super. Dan
beberapa tersangka yang tak bersalah justru sangat tegang hingga poligraf
mengira mereka sedang berbohong. Tapi, saat aku mendeteksi kebohongan, aku
melihat dalam kilasan detik apa yang tidak dapat dibaca oleh mesin. Dan aku
mendeteksi banyak sinyal serta hal-hal yang disebut ekspresi mikro. Aku merasa
mual dan telingaku terasa terbakar, tapi tak separah seperti saat pertama kali.
Matanya membelalak dan mulutnya ternganga. "Apa yang kaubicarakan?"
"Aku memiliki bakat mendeteksi kebohongan."
"Kau mengada-ada."
"Tidak." "Ya." "Tidak." "Bagaimana kau mempelajarinya" Siapa yang mengajarimu?"
"Aku tidak mempelajarinya. Aku hanya mampu melakukannya, begitu saja. Seperti
sesuatu yang dapat kulakukan. Tapi, aku membaca semua buku sekarang dan itu
membantuku mengetahui apa yang terjadi. Buku-buku itu mengatakan bahwa otakku
bekerja saat aku melihat kebohongan."
"Tak dapatkah kita melakukan percobaan di rumahmu?"
Aku langsung berpikir untuk menggunakan sedikit kata. "Tak ada privasi di sana,"
sahutku. Aku berpaling darinya dan menggunakan kain pel serta ember untuk menyiram semua
air kotor di lantai. Brendan menyandar ke dinding dan menontonku bekerja tanpa
menawarkan bantuan sama sekali. Ia menguasai keadaan sekarang; tapi aku akan
segera merebutnya. "Bagaimana kau mengetahui seseorang sedang berbohong?" ia bertanya.
"Pada awalnya aku sering merasa mual dan muntah, tapi sekarang telingaku panas
dan aku langsung tahu dan apa yang ditunjukkan wajah dan tangan seseorang."
"Itu konyol." "Tidak, itu tidak konyol. Tunggu dan lihat saja."
"Berikan aku uangnya dan aku akan menunggu."
Aku memberikan lima pound dan ia mengarahkan lembaran uang itu ke arah cahaya,
seakan ia memeriksa keaslian uang tersebut.
Aku tertawa setelah ia pun tertawa, meski aku harus membayarnya untuk melakukan
sesuatu yang seharusnya ia lakukan sebagai seorang sahabat.
---oOo--- Dalam perjalanan balik ke bangsal kami berhenti di ruang kelas dan mengambil
kantong-kantong tidur kami berikut makanan yang kuambil dari lemari penyimpanan
di rumah tadi pagi: dua potong kue cokelat, segumpal ham, dan beberapa lembar
roti. Aku juga membawa selimut tambahan dan bantal.
Kabut turun menyelimuti malam saat kami berjalan ke bangsal, membasahi mantel-
mantel kami. Saat kami masuk ke bangsal, kami langsung menyusun kantong-kantong
tidur kami di lantai. Aku kedinginan dan tak tahu cara menyalakan tungkunya.
"Kita akan mati kedinginan,"
ujarku memecah kesunyian.
"Jangan sinis begitu," sahut Brendan. "Aku akan mengambil kayu bakar dan
menyalakan api." "Bagus," jawabku.
Tungku telah menyala dan dipenuhi kayu bakar. Ruangan itu agak hangat sekarang,
dan kami merasa nyaman seraya menyantap kue sambil berselonjor dalam kantong
tidur. Tapi, aku cemas jika kami tidak segera memulai percobaan, kami tidak akan
melakukannya sama sekali.
"Si penjaga sekolah meninggalkan pesan," kata Brendan.
Anak-anak, Kuharap kalian bersenang-senang malam ini. Ada beberapa komik baru di rak buku!
Penjaga sekolah Brendan mencari komik-komik baru dan perutku langsung melilit; ia lebih tertarik
pada komik alih-alih percobaanku.
"Tapi kita tidak membutuhkan komik," kataku. "Kita bahkan belum mulai."
"Hanya melihat," jawabnya.
Kami membolak-balik buku-buku si penjaga sekolah dan di antara komik-komik itu
Brendan menemukan majalah porno. Sepertinya Brendan tahu majalah-majalah itu
memang berada di sana, tapi ia berkata, "Aku mempunyai perasaan ia meninggalkan
sesuatu yang aneh untuk kita. Aku hanya merasakannya."
Brendan kembali ke kantong tidurnya dan membolak-balik halaman majalah tersebut.
Ia terus saja berceloteh "Gila", "Wuih!", dan "Lihat ukurannya!" Suaranya
terdengar bodoh dan dibuat-buat. "Ayo lihat ini!"
teriaknya. Aku menarik kantong tidurku merapat kepadanya dan duduk di sampingnya melihat
gambar-gambar di majalah. Beberapa gambar memuat tiga hingga empat orang. Posisi
mereka tidak masuk akal. Aku merasa seperti mabuk laut. Isi perutku seakan
tertekan dan berpusing. Kuharap Brendan tak melihatku, tapi ia sibuk menyumpah dan mengeluarkan
keributan dari mulutnya. Aku tak mengeluarkan suara. Yang kurasakan adalah
tekanan keras di saluran pembuanganku, seperti ingin buang air.
Tanpa peringatan, Brendan mendorong lenganku keras sekali seraya berseru, "Kau
tak perlu duduk serapat itu dengan aku! Kau membuatku merinding."
Sebelum aku sempat menjawab, ia melompat keluar dari kantong tidurnya dan
mengembalikan majalahnya ke rak buku. Ia berdiri sejenak, menatapku, seraya
berulang kali memindahkan tumpuan berat badannya pada satu kaki ke kaki yang
lain. "Aku akan buang air kecil, setelah itu kita pulang," katanya.
Ia tak menatapku dan aku pun tidak. Ia keluar dan aku menunggu selama sepuluh
menit hingga ia kembali. Saat ia kembali, ia berkata, "Aku akan pulang
sekarang." "Bagaimana percobaannya?" aku bertanya.
Ia mengangkat bahu. "Katakan saja kita tak jadi menginap,"
jawabnya. Aku berdiri dan membereskan barang-barang tanpa bicara. Aku ingin bicara. Aku
ingin tahu pendapat Brendan tentang gambar-gambar tadi.
"Tapi, bagaimana dengan percobaannya?" aku bertanya kembali.
"Apanya yang bagaimana?" sahut Brendan.
"Baiklah," aku membalas. "Lakukan saja apa maumu."
Aku ingin sesuatu yang lebih besar terjadi malam ini, tapi aku tak tahu apa itu.
Keinginannya untuk pergi membuatku kesal. Aku ingin sesuatu terjadi di bangsal
penjaga sekolah, malam ini, antara aku dan Brendan. Aku ingin sesuatu antara
kami, dalam kegelapan malam. Aku tak ingin kami berpisah, tidak sekarang, tidak
begitu tiba-tiba. "Tinggallah dan kita lakukan percobaannya," ajakku.
"Lupakan saja," sahut Brendan. "Lagi pula, itu gagasan yang bodoh."
"Kalau begitu kau pun bodoh, karena kau mau melakukannya."
"Lalu?" Dan kami berdiri saling mengatakan "lalu?". Brendan berpura-pura marah tapi aku
tahu ia kesepian dan merasa aneh seperti yang sedang kurasakan.
"Ayolah matikan saja lampunya dan kita tidur, tanpa bicara," aku berkata
perlahan dengan semua yang tertinggal dalam suaraku. "Kita pulang saat fajar
tiba." Brendan tidak menjawab. "Tolonglah," pintaku. "Ayo kita tidur."
Brendan mematikan lampu dan kami masuk ke dalam kantong tidur kami. Brendan
telah masuk ke dalam kantong tidurnya dan berhenti bergerak. Aku merapatkan
kantong tidurku ke sampingnya hingga bersentuhan dengannya.
"Malam," katanya.
"Malam, Brendan," aku membalas.
---oOo--- Aku berbalik ke posisi tidur yang biasa kulakukan, sisi keningku bersandar pada
tanganku, tapi aku tak dapat tidur. Aku berbalik di lantai yang keras dan
merasakan beton dingin di bawah lengan dan kakiku. Aku tak dapat berhenti
memikirkan keinginan menyentuh Brendan, atau disentuh olehnya, dan aku ingin
melihat tubuhnya. Aku tak pernah berpikir seperti ini sebelumnya, dan aku belum
pernah merasa seperti ini sebelumnya. Bukan menyukai Brendan; tidak seperti itu.
Aku menatap Brendan yang terlelap dalam kantong tidurnya dan ingin
membangunkannya. Tidak. Aku tak akan memikirkan itu.
Aku hanya akan membayangkan membangunkannya. Aku membayangkan: aku membangunkannya dan memintanya tidur di sisiku dan ia berkata
ya dan kami berbaring telanjang bersama dan saling melihat tubuh masing-masing.
Tapi ini salah; ini dosa. Aku duduk dan menggelengkan kepalaku. Aku membuka mata
dan bayangan itu hilang. Aku berbaring terjaga untuk beberapa lama dalam
kebingungan. Semakin lama aku semakin merasa seperti tahanan, terjebak dalam
keadaan terjaga. Aku berguling dan berguling serta waktu berjalan terus dan
terus. Waktu yang berjalan lambat.
Rasanya kepalaku penuh berisi helium. Tak ada yang mampu membuatku istirahat,
dalam kegelapan, tertidur. Semuanya hitam tanpa ada kegelapan dalam kepalaku.
Muncul cahaya menyilaukan pada saat seharusnya gelap. Pikiran-pikiran buruk tak
henti-hentinya bermunculan.
Dosa yang sangat besar. Inilah sebabnya ibuku tak ingin berbaring bersamaku.
Aku ingin pikiran-pikiran ini berhenti berdatangan, tapi aku juga ingin melihat
apa yang terjadi pada pikiran-pikiran itu. Kisah tentang tubuhku dan tubuh
Brendan serta semua kisah yang kukarang dalam kepalaku.
Kuhantamkan tanganku ke kepalaku hingga sakit rasanya. Aku memukul dada dan
lenganku sendiri kemudian wajahku.
Aku tak akan berpikir seperti ini lagi.
---oOo--- Aku bangun dan menyalakan lampu kemudian duduk di kursi di bawah jendela dengan
kantong tidur masih membungkus tubuhku. Aku menatap Brendan, yang berbaring
menyamping. Mulutnya terbuka dan lidahnya bersandar di deretan gigi bawah. Aku
suka melihatnya seperti ini dan ia tak mampu menghentikan aku. Aku menatap
lubang hidungnya yang kembang-kempis. Kuharap ia terbangun dan berbincang
denganku, menemaniku. Tapi, jika ia bangun, mungkin ia ingin pulang dan jika ia pulang, aku tak akan
dapat melihatnya. Aku berhenti menatap dan mulai bosan. Aku membaca sebuah komik tapi tak ada
cerita yang lucu. Aku menendang kantong tidurku. Kau bukan kantong tidur, kau
kantong bangun. Setelah satu jam lebih aku duduk dengan lampu menyala, di bawah jendela yang
gelap dan dingin, aku memutuskan untuk kembali tidur. Aku menyusup ke dalam
kantong tidurku yang teronggok di bawah kursi.
Kantong tidur itu sudah dingin sekarang, dan aku dapat merasakan beton seperti
es di bawah kantong. Lengan dan kakiku rasanya beku.
Terus begitu rasanya hingga burung-burung mulai berkicau. Saat mereka mulai
berkicau, aku mengantuk, dan tertidur sejenak, kemudian terbangun.
Si penjaga sekolah berdiri di ambang pintu. "Bangun," katanya seakan kami berdua
adalah dua orang asing, "Aku memerlukan bangsal ini."[]
12 Sabtu pagi, hari pertama liburan Paskah. Ayahku datang ke dapur saat kami sedang
sarapan. "Halo," aku menyapanya.
"Pagi," sahutnya.
Ia mengenakan kemeja putih dan jaket biru serta menebarkan aroma busuk dan
losion habis cukur. Jenggotnya menghilang lagi dan kuharap ia tak menumbuhkannya
kembali. Ia mengambil piringku dari meja dan menghampiri tempatku berdiri, dekat
kompor, lalu memegangnya tepat di hadapanku. "Apakah kau memakan kulit rotimu
sekarang?" ia bertanya dalam bisikan, seakan tak ingin yang lain mencuri dengar.
"Aku tak menyukainya," jawabku.
"Jangan bodoh," katanya. "Kulit roti sama dengan bagian roti lainnya."
Ia mengatakannya dalam nada marah hingga piring berguncang di tangannya. Kulit
roti sisa sarapanku terdorong ke pinggir, hampir jatuh dari piring. "Tidak,"
jawabku. "Kulit roti lebih kenyal dan keras."
Ia memberikan piringku dan berbicara dengan suara rendah yang normal "Makan
kulit rotimu," perintahnya."Roti tidak tumbuh dari pohon.
Membuang makanan adalah dosa."
"Kulit roti membuat gigiku sakit," sahutku. Aku mengambil piringku dan
meletakkan di meja, tapi ia mendorong piringku kembali ke tanganku.
"Makan, kau idiot berbadan besar, atau aku akan mendorongnya masuk ke
kerongkonganmu." Aku memakan kulit rotiku di bawah tatapannya. Ia berdiri di depan kompor dengan
tangan terlipat di dada. Aku menatapnya saat selesai menghabiskan kulit rotiku.
Ia tersenyum memamerkan giginya, senyum lelah dan dingin.
"Kaulihat," katanya. "Kulit roti tidak membunuhmu kan."
Ibuku datang mengambil tasnya: ia bersiap pergi ke toko pangan di Kota Gorey,
tempat ia sekarang bekerja tiga kali dalam seminggu. Ia mengenakan mantel merah
muda di atas celemek berwarna kuning.
"Mengapa kau tidak ikut saja denganku?" ajaknya. "Kau dapat menghabiskan pagi
hari di toko dan membawa pulang sekantong permen."
"Aku ingin tinggal di rumah," jawabku. Aku ingin membaca buku baruku tentang
kebohongan. "Pergilah bersama ibumu," kata ayahku. "Kau tak pernah meninggalkan rumah akhir-
akhir ini." ---oOo--- Saat kami tiba di persimpangan, dan seharusnya membelok ke kanan, ibuku membelok
ke kiri seraya berkata, "Kita harus menemui dr Ryan. Sebentar saja."
"Kenapa?" "Kau harus diperiksa."
"Untuk apa?" "Karena kau tumbuh terlalu besar."
"Karena itukah kau tak mau menyentuhku lagi?"
"Aku menyentuhmu."
"Tidak sesering dulu."
Ia mengusap wajahnya dan menggaruk keningnya dengan jemarinya.
"Kau bukan anak kecil lagi sekarang."
"Lalu" Kau tinggi dan Pa juga tinggi. Aku seperti kalian."
"Kau baru berumur sebelas tahun dan hampir setinggi enam kaki serta suaramu pun
semakin berat." "Aku berumur dua belas tahun pada Juli nanti," aku membalas.
"Kita tanya saja dr Ryan dan lihat apa katanya nanti?"
"Kecuali
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku memerlukan operasi untuk menghentikan pertumbuhanku, aku tak mau menemui dokter."
"Tidak perlu operasi."
"Maka aku tak perlu menemui dokter. Aku tidak sakit."
"Aku tidak mengatakan kau sakit."
Aku memukul dasbor dengan telapak tanganku. Aku tak mengerti kenapa aku tak
merasakan kebohongannya saat di rumah tadi. Kenapa aku tak mengetahui ia
berbohong saat mengatakan akan mengajakku berbelanja"
"Jika ada yang sakit, itu adalah kau," kataku.
Ia menatapku, menunggu tindakanku berikutnya. Aku meletakkan kembali tanganku di
samping pahaku dan ia kembali melihat ke jalan. Tapi, aku dapat merasakan ia
cemas: ia menyentuh wajahnya dan sering menelan ludah.
"Apa maksudnya itu?" ia bertanya akhirnya.
"Kau mengatakan bahwa aku akan berbelanja denganmu. Kau berbohong. Kau menipuku
agar ikut bersamamu."
"Kita memang akan ke toko, aku tidak berbohong. Tapi, kita bertemu dengan dr
Ryan dulu." "Jika kau memaksaku menemui dr Ryan sekarang, aku tak akan memercayaimu lagi."
Aku mengucapkannya dengan nada yang belum pernah kugunakan sebelumnya, nada yang
hanya berjarak sedikit dari tinju dan tendangan.
Tanganku terkepal saat mengucapkannya, dan aku merasa kuat. Aku benar-benar
mengancam. "Aku tak melihat alasan kekesalanmu," katanya hampir menangis.
"Penting untuk selalu jujur," ujarku dalam bisikan dan kehabisan napas. "Kau
seorang ibu. Seorang ibu tidak boleh berbohong. Aku tak ingin kau berbohong."
Ia tak berkata-kata lagi.
"Orang lain dapat berbohong jika mereka mau," aku melanjutkan.
"Tapi tidak kau."
Ia mengernyit dan menatapku tapi kali ini tidak berkaca-kaca. Aku heran mengapa
ia berhenti menangis padahal aku dapat membuatnya menangis jika aku mau. "Lagi
pula," kataku, "berbohong itu dosa."
Ia menatapku tenang seakan aku tak mengatakan apa pun dan ia memutar arah
mobilnya. Kami kembali ke persimpangan dan ia berbelok ke arah Kota Gorey. Kami
akan berbelanja di toko. "Apakah kau sudah selesai sekarang?" ia bertanya dengan nada datar yang biasa ia
gunakan untuk berbicara dengan paman-pamanku.
"Ya." ---oOo--- Aku duduk di kursi di belakang meja etalase, mendengarkan ibuku menjelaskan soal
panen, penyakit, dan bayi kepada pelanggan.
Seorang wanita datang dan berkata, "Helen, kami pikir kau akan ikut Legio Maria
tahun ini!" Dan ibuku menjawab, "Sebenarnya aku ingin sekali, tapi aku tak punya
waktu." Saat si wanita itu pergi, ibuku membisikkan kepadaku bahwa Legio Maria adalah
pembuangan waktu: segerombolan ibu rumah tangga yang pekerjaannya hanya
mengeluh, bergosip, dan menjelek-jelekkan suami mereka.
Sebentar lagi aku akan makan dan di atas rak telah tersusun kaleng serta kotak
makanan. Lusinan permen berbagai jenis berderet di etalase kaca. Lalu sesuatu
terjadi yang membuat perasaanku berbunga-bunga.
Tepat sebelum waktu tutup, seorang penjual barang datang mengenakan pakaian
serba hitam. Ibuku mengatakan kepadanya bahwa ia tak membutuhkan biskuit lagi.
"Apa kau yakin" Kau tak ingin membicarakannya dengan manajermu?"
ia bertanya. "Aku manajernya," kata ibuku. "Dan aku yakin."
Ia menengok ke arah rak, menuliskan beberapa catatan di papannya dan berkata,
"Kurasa kau kehabisan biskuit di sini. Ada beberapa barang baru yang bagus yang
baru saja dikeluarkan."
Ibuku mengangkat meja pemisah dan keluar dari belakang meja etalase. Ia berdiri
dekat dengan si pedagang. "Aku menghargai waktu yang Anda luangkan," katanya,
"tapi kami tak memerlukan biskuit lagi."
"Baiklah," kata si pedagang.
Ibuku menepuk punggung si pedagang. Tangannya berlumuran tepung dan meninggalkan
tapak tangan sebesar telapak anak kecil di pakaian hitam si pedagang.
Ia mengawasi si pedagang meninggalkan toko. Kemudian ia membuka pintu dan
berdiri di teras melihatnya menghilang di keramaian jalan.
"Selamat tinggal!" katanya.
Pintu menutup membunyikan sebuah lonceng kecil. Aku melompat.
"Kau meninggalkan tapak tangan di punggungnya," ucapku.
"Aku tahu," kata ibuku. "Dan aku tak akan pernah melupakan kegembiraanku
melakukannya." Aku memeluknya seakan mendengar berita gembira. Ia tertawa dan memelukku erat.
Saat melepaskan pelukan, ia mencium pipiku dan tersenyum.
---oOo--- Ia berdendang saat perjalanan pulang. Ketika tiba di persimpangan ia menanyakan
apakah aku ingin berjalan-jalan ke pantai Courtown dan aku setuju. Ini artinya
setengah jam lagi di mobil bersamanya dan beberapa jam lagi pulang ke rumah.
Aku memakan permen-permenku seraya berjalan ke pantai. Di musim panas pasirnya
berwarna kuning dan airnya biru. Hari ini pasirnya tidak begitu kuning tapi
tetap cerah, dan airnya tidak biru tapi ombaknya tetap memecah dan menimbulkan
buih putih. Tercium aroma garam dan rumput laut. Di belakang kami bukit-bukit
pasir tertutup semak-semak hijau seperti kain wol.
Kemudian turun hujan. Hujan deras. Tapi kami terus berjalan seakan tak menyadari
turunnya hujan. "Mam! Hujan!" teriakku terpesona oleh perubahan udara, ringan dan mengeluarkan
aroma besi yang aneh. "Jangan pedulikan hujannya," katanya.
Ia mendongakkan wajahnya dan menyambut air hujan dengan mulutnya. Aku melakukan
hal yang sama dan kami tertawa. Ia meraih tanganku dan kami berjalan di tengah
hujan dengan kepala menengadah, sementara orang-orang berlarian menuju tempat
berteduh. Tidak terasa dingin padahal aku basah kuyup. Air hujan terasa hangat
seperti selembar selimut.
---oOo--- Kami tiba di rumah dengan pakaian, sepatu, dan kaus kaki yang basah.
Ayahku duduk di meja dapur menyantap sup. Ibuku langsung menghampiri dan berdiri
di sampingnya. "Lihatlah istrimu ini," katanya. "Basah kuyup dan kepala hingga kaki."
Ayahku tersenyum tanpa memperlihatkan giginya. "Seperti tikus tenggelam,"
katanya. "Berapa banyak tikus yang kaukenal yang mengumpulkan kerang?"
tanya ibuku seraya menumpahkan kerang-kerang dari saku mantelnya ke atas meja
dapur. Ayahku tersenyum lagi dan memegang sebuah kerang di telinganya.
"Halo?" katanya. "Ini Michael Egan. Tidak, si kelelawar tua itu tidak di sini.
Ia sedang bermain bingo."
Ibuku tertawa dan tampak bahagia. Ia menceritakan si pedagang berpakaian hitam
yang punggungnya ia kotori dengan tapak tangan bertepung.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal hingga ibuku harus bersandar ke bak cuci dan
menyeka air mata dan matanya yang memerah.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal dan lama. Lelucon itu pasti jauh dari yang
dapat kupahami, dan aku ingin sekali tahu apa itu. Jika aku bertanya apa yang
membuat mereka tertawa terbahak-bahak, ayahku mungkin akan berbohong agar aku
tak tahu terlalu banyak tentang dirinya, tentang seperti apa sebenarnya dia.
Ibuku mungkin akan memberitahukan alasan sekadarnya tanpa menyebutkan bagian
yang rumit. Kurasa ia akan berbohong demi membuat perbincangan lebih mudah dan
menyenangkan. Agar bahan obrolan tidak terlalu serius.
"Tidak begitu lucu," kataku. "Kenapa kalian tertawa terpingkal-pingkal?"
Akhirnya ibuku berhenti tertawa dan mampu berbicara. "Kami tertawa karena dulu,
sebelum kau lahir, aku melakukan hal yang sama kepada Paman Tonymu, sebelum kami
semua berangkat ke upacara pernikahan."
Ayahku menggelengkan kepala. Matanya masih dipenuhi air mata karena tertawa.
"Dan ia memang pantas mendapatkannya."
"Kenapa?" aku bertanya.
Mereka saling memandang sebelum ibuku menjawab. "Sebab, ia bersikap buruk
kepadaku dan aku membalas. Kau dapat menanyakan apa yang telah ia katakan hingga
wajahmu membiru, tapi aku tak akan pernah menceritakannya kepadamu."
Aku tak perlu mengetahuinya. Yang terpenting adalah mereka telah berkata jujur;
mereka berdua jujur. "Aku akan menonton TV," kataku dan meninggalkan dapur membawa dua selai dan
biskuit kering. ---oOo--- Satu jam kemudian aku kembali ke dapur. Hari telah gelap dan kami baru saja
menyalakan semua lampu saat nenekku pulang.
Ia melepaskan mantelnya dan menggantungkannya di punggung kursi dekat kompor.
Itu mantel bulu baru, berwarna cokelat dengan corak hitam di pinggirannya.
Ayahku menatapnya, menggelengkan kepala, dan beranjak pergi. Nenek duduk dan
menyantap supnya menggunakan sepotong roti sebagai sendok. Kepalanya tertunduk
sangat dekat dengan mangkuk hingga rambutnya tercelup ke dalam sup.
Aku tak tahan menyaksikan kelakuannya.
"Aku sakit gigi," ucapku, dan meninggalkan dapur. Kebohongan ini tak berakibat
apa pun karena aku mengatakannya seraya berlalu. Aku akan mencatat ini dalam
"The Gol of Seil". []
13 Ini hari Minggu Paskah. Seusai misa kami berkumpul di ruang keluarga. Aku duduk
dekat kaki Nenek dan tertawa saat ia tertidur serta mulai mendengkur. Ibuku
memegang lenganku lalu tersenyum seraya membuka hadiah Paskahku dan telur
Paskah. Aku sangat penasaran, seperti hari raya lainnya, karena kebiasaan ayahku
menjanjikan hadiah dan melupakannya.
Tak peduli apa yang ia berikan, aku tak pernah mendapatkannya. Aku menyimpan
kartu ucapan Paskah dan Ayah untuk dibuka pada kesempatan terakhir; di dalamnya
terdapat perekat selotip seharga satu pound. "Terima kasih, Pa," kataku.
Aku tersenyum kepada ibuku. "Bolehkah kita menyantap kue cokelatnya sekarang?"
pintaku. "Tentu saja, aku akan menyelesaikan dulu lapisan luarnya."
Ia pergi dan karena Nenek tertidur, aku hanya berdua di ruangan itu dengan
ayahku. ---oOo--- Aku membolak-balik kartu di tanganku. Memastikan ayahku melihat perbuatanku.
Kartu ini, seperti yang lainnya yang kuingat, kumal dan buram. Gambarnya selalu
sama, seorang anak laki-laki bermain dengan anak anjingnya, dibubuhi tulisan
"Untuk Putra yang Mengagumkan, Selamat Paskah". Kartu ulang tahun dan Natal yang
kuterima hampir semuanya sama: "Untuk Putra yang Mengagumkan, Selamat Ulang
Tahun" atau "Selamat Merayakan Komuni Kudus" atau "Selamat Natal". Debu menempel
mengelilingi kotak kecil di sudut, tempat label harga menempel sebelumnya.
Sepertinya semua kartu untukku berasal dan kotak penjualan yang sama; mungkin
dari sebuah kotak berisi ratusan kartu, yang dibeli saat aku baru lahir. Mungkin
juga ia memberiku kartu yang sama setiap tahun, memintanya kembali, dan
menggunakannya lagi. Aku menatap Ayah yang duduk di kursi bersandaran lengan dengan kaki menyilang.
Baju tidurnya tergantung jatuh terikat tali yang menggelantung di antara
betisnya yang tak berbulu. Aku berdiri tepat di hadapannya sehingga ia pasti
melihatku. "Ketika aku berumur enam tahun," ujarku dengan suara setegas mungkin, "kau pasti
telah membeli satu kotak berisi kartu yang semuanya bergambar bodoh yang sama!"
Ia menatap kosong; sama sekali tak tergugah. Tapi aku bergeming dan tak
mengeluarkan suara. "Tunjukkan kartu itu," pintaku.
Ia meraih kartu di tanganku, kemudian mengembalikannya. "Tidak ada yang salah
dengan kartu ini," katanya. "Ini kartu baru."
Aku membuang kartunya ke dalam perapian.
Ia melihat kartu itu terbakar dalam api oranye bersemu merah muda tapi tak
mengeluarkan kata-kata. Tangan dan wajahnya mengeras: ia tegang. Aku bertanya-tanya kemungkinan ibuku
telah mengingatkannya soal hadiahku. Aku akan mengetahuinya.
"Kau tak berperasaan dan egois," ucapku. "Dan aku berumur sebelas tahun
sekarang. Bukan dua."
Ia bangkit dan kami berdiri saling berhadapan, tapi aku tetap bergeming.
"Beraninya kau!" salaknya tanpa bergerak. "Aku membeli kartu itu kemarin sore.
Itu kartu baru." "Benarkah" Benarkah kau membeli kartu itu kemarin?"
"Apa maksudmu bertanya benarkah?"
"Kartu itu sama seperti kartu-kartu yang telah kauberikan kepadaku.
Kumal dan buram. Bagaimana, Pa?"
Ia berjalan ke arah pintu, meraih gagangnya tapi meleset. "Aku tak mau mengurusi
omong kosong seperti ini."
"Tapi benarkah, Pa" Benarkah kau membeli kartu itu kemarin?"
Akhirnya, ia berhasil meraih gagang pintu. "Tentu saja."
"Kapan kau meninggalkan rumah" Di toko mana kau membelinya?"
"Berapa kali kau ingin aku mengulang kata-kataku" Aku membeli kartu itu di Gorey
kemarin." Ini dia: ia tak mungkin pergi ke Gorey kemarin kecuali ia menggunakan mobil
Nenek. Tapi aku tak perlu menginterogasinya lagi. Ia berbohong. Daun telingaku
panas dan perutku mual. "Tapi toko mana?" tanyaku. "Dan bagaimana kau pergi ke sana"
Dengan permadani terbang?"
"Kau bajingan kecil penuh curiga," salaknya. "Pergi ke kamarmu!"
Nenekku terbangun dan seperti mendengar keributan tersebut. Aku menatap ayahku
dan tetap berdiri di tempatku. Aku tahu ia akan memukulku jika aku tidak
bertubuh sebesar ini. Tapi, aku tak tahu bagaimana menyelesaikan masalah yang
kumulai sendiri ini. Aku pergi ke kamarku.
Pintu kamar kubiarkan terbuka dan mendengar semua suara dan luar.
Aku berharap ayahku memberitahukan yang baru saja terjadi kepada ibuku, tapi
yang ada hanyalah kesunyian diselingi suara nyanyian: ibuku, ayahku, dan nenekku
menyanyikan bersama salah satu lagu kesukaan ayahku, dan mungkin sambil
menyantap potongan kue milikku. Tak ada yang datang menjengukku dan aku
berbicara sendiri sambil membaca "The Gol of Seil"
untuk mengusir kesepianku. Aku berbaring di ranjang selama beberapa saat tapi
aku harus kembali atau kehilangan Minggu Paskah ini selamanya.
---oOo--- Aku kembali ke ruang keluarga dan duduk di karpet di depan perapian. Aku menatap
ayahku. Ia duduk bersilang kaki di kursi bersandaran lengan memegang secangkir
teh di satu tangan dan sepotong kue di tangan lainnya.
"Watutsi dan Afrika itu dapat melompat sangat tinggi," kataku.
"Kenapa mereka tidak bertanding lompat tinggi saja di limpics?"
Ia tak melirikku. "Olimpics," katanya ke arah ibuku, dengan seringai lebar. "O-
limpics. Bukan limpics. Limpics itu untuk menggerakkan otot."
Kesalahanku sangat dibuat-buat, tapi ia tertawa dan melemparkan lelucon
kepadaku. "Limp-ics'. Kau paham!"
Ia menjejak-jejakkan kakinya dan mereka semua tertawa. Aku pun ikut tertawa
karena sulit sekali menahan tawa bila semua orang di ruangan itu tertawa.[]
14 "Selamat pagi, Anak-anak," sapa Nona Collins. "Aku ingin memperkenalkan seorang
murid baru." Si gadis baru berdiri tegap, dengan kaki rapat dan tangan di sisi tubuhnya.
"Halo, semuanya. Namaku Kate Breslin. Aku anak tunggal, dan kami baru saja
pindah dari Dublin."
Ia berambut panjang, hingga melewati pinggangnya, bermata hijau dengan tubuh
tegap. "Ayahku baru saja membeli sebuah lahan mati di Gorey," katanya. "Tempat
tinggal kami berjarak empat mil dari sekolah."
Ia berbicara seakan membaca. Aku bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan lahan
mati. Aku ingin mengacungkan jari dan bertanya, tapi tiba-tiba kehilangan
keberanian. Aku membuka laci mejaku dan bersembunyi.
"Dulu kami tinggal di dekat Hotel Shellbourne," katanya. "Tempat orang-orang
terkenal menginap." ---oOo---
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nona Collins memberikan bangku cadangan di barisan depan untuk Kate.
Tepat di samping Brendan, dan menunjuknya, serta Mandy untuk membantu Kate. Aku
memperhatikan dengan saksama. Selama pelajaran, Kate memiringkan badannya dan
menanyakan sesuatu kepada Brendan. Brendan tersenyum saat menjawab seraya
menyisir rambutnya ke belakang dengan tangannya.
Pada pelajaran kedua dan ketiga, Kate kembali memiringkan badannya dan berbicara
dengan Brendan. Aku berharap dapat mendengarnya. Saat waktu istirahat tiba aku
menghampiri Brendan dan mereka berdua menatapku, kemudian saling menatap.
Brendan memberikan kesan ia telah lama mengenal Kate.
Aku meninggalkan ruang kelas dan berjalan ke arah jendela agar aku dapat melihat
Brendan berkali-kali menyisir rambutnya dan memberikan salah satu buku
latihannya kepada Kate. "Oh, terima kasih," katanya seraya menyentuh lengan
Brendan. Aku juga ingin disentuh seperti itu. Aku senang merasakannya. Dan meski
Brendan yang disentuh olehnya, aku dapat merasakannya di perutku. Aku terus
melihat mereka berdua. ---oOo--- Dalam perjalanan pulang dari sekolah aku melempar sebongkah batu ke arah boneka
pohon, tapi meleset dan mengenai cabangnya. Aku mengubur batu itu di tanah dekat
tunggul pohonnya. Saat tiba di rumah, ibu dan ayahku duduk di meja dapur
menghadapi setumpuk surat dan tagihan.
Ayahku mengumpulkan surat-surat itu saat aku duduk. "Hari yang baik di sekolah?"
ia bertanya. "Baik," sahutku. "Seorang gadis baru masuk tadi pagi."
Aku menceritakan kepadanya soal Kate Breslin. Ia terkejut mengetahui ada seorang
murid baru memulai kelas di tengah tahun ajaran.
"Itu karena sebuah lahan sakit," kataku. "Mereka pindah ke sana."
Ayahku tertawa keras dan mengerikan seperti yang sering dilakukan paman-pamanku
bersamanya atau ketika seseorang bertindak bodoh di televisi. Ibuku menundukkan
kepalanya. "Lahan mati," katanya masih menertawaiku. "Bukan lahan sakit."
"Aku tahu," jawabku. "Tapi itulah yang dikatakannya."
"Bukan," katanya. "Kau mengatakan lahan sakit."
"Tidak, aku tidak mengatakan begitu," sahutku.
Crito melompat ke meja dapur. Alih-alih mendorongnya turun, ayahku menepuk
kepalanya. "Crito" Kaudengar. Bukankah tadi John mengatakan lahan sakit?"
"Michael," sahut ibuku, "ia hanya salah mengucapkan. Biarkan saja."
Kami bertiga duduk tanpa suara. Tak ada teh di kompor, atau makanan di meja, dan
tak ada yang dapat dilakukan. Ibuku mengambil lembaran kertas dan tumpukan surat
dan menatap mereka. Ayahku mendorong Crito turun dan meja begitu keras hingga ia
menjerit. Aku menatap ibuku, berharap ia menceritakan surat dan tagihan apa saja yang
mereka dapat. Aku ingin ayahku pergi agar kami dapat berbincang. Tapi kemudian
tebersit olehku: mereka menunggu aku pergi.
Mereka ingin aku pergi. Aku tak akan pergi. Aku menatap ibuku dan terus menatap hingga ia melirik dari balik surat yang ia
baca. "Berhenti menatapku," katanya.
"Aku hanya melihat," jawabku. "Tidak ada salahnya melihat."
"Kau menatap. Aku ingin kau menghentikannya."
"Kau tak pernah melarangku bila kita hanya berdua."
Ayahku meletakkan bukunya, tiba-tiba masuk dalam pembicaraan.
"Pergi ke kamarmu dan tinggalkan kami dalam damai," katanya. "Ada hal-hal yang
harus kami bicarakan."
Ibuku berlaku panas dan dingin, sama seperti Ayah. Seperti ayahku, ia menjadi
dua orang yang berbeda. Sekarang mereka menjadi empat orang.
Empat orang yang berbeda, bukan dua orang.
---oOo--- Aku langsung pergi ke kamarku dan meringkuk di bawah selimut. Aku mendengar
mereka makan, berbincang, dan tertawa. Aku berbaring menyamping, menyandarkan
seluruh beban tubuhku pada lengan. Aku berbalik ke sisi tubuhku yang lain. Aku
ingin tidur dan berhenti berpikir.
Darahku mengalir sangat cepat dan deras hingga seluruh tubuhku bergetar.
Darahku menghantam, bergerak cepat ke lenganku; terlalu banyak darah, seperti
bendungan yang akan bobol, dan membuatku tak dapat tidur.
Pukul setengah delapan ibuku memanggilku. "John," katanya.
"Keluarlah dan makan sesuatu. Kau tak bisa tidur tanpa makanan."
"Bisa saja," jawabku. "Memang apa bedanya?"
"Kau terlalu besar untuk merajuk. Keluarlah dan buat sendiri roti lapis."
Ia menutup pintu dan semenit kemudian ayahku masuk. Ia tak mengetuk pintu. "Aku
membuatkanmu roti lapis isi selai kismis. Ini."
Ia meletakkan roti lapis itu di ranjang, dekat kakiku. Aku ingin menendang
piringnya ke lantai, tapi aku melihat olesan tebal mentega di roti yang segar
dan aku sangat lapar. "Terima kasih," ucapku. Aku ingin berkata lebih tapi aku ingin ia yang memulai.
Aku ingin ia yang pertama membuka pembicaraan agar tampak bahwa ia yang ingin
berbincang. Aku menatap roti lapisnya dan menunggu.
"John" Apakah ada yang salah?"
"Tidak, tidak juga. Tapi ada yang salah pada dirimu dan Mami. Kalian tampak
berbeda." "Berbeda dari apa?"
"Berbeda dari diri kalian sendiri."
"Seperti apa?" "Aku tidak tahu. Kalian berlaku aneh saat berada di dekatku."
"Mungkin kau pun aneh." Ia tertawa tapi saat aku tidak ikut tertawa, ia menarik
kembali seringainya. Ia terus menarik seringainya hingga akhirnya wajahnya
memperlihatkan tampang serius.
"Maafkan aku, Nak. Aku tidak mengerti maksudmu. Satu-satunya hal yang
terpikirkan olehku adalah kami sangat mencemaskan keadaanmu.
Kami ingin kau baik-baik saja."
"Apa kau yakin" Apa kau yakin tidak ada yang salah?"
"Tidak, satu-satunya yang salah dari kami adalah karena mencemaskanmu.
Mencemaskan keadaanmu."
"Sekarang aku baik-baik saja. Aku lebih baik daripada yang kalian kira." "Itu
bagus. Apakah kami harus berhenti mencemaskanmu?"
"Ya. Berhentilah mencemaskanku."
"Apakah kau akan menyantap roti lapis yang kubuatkan khusus untukmu?"
"Mungkin tidak."
"Haruskah aku memberikannya pada Crito?"
"Tidak. Tinggalkan saja. Aku akan memberikannya sendiri. Nanti."
"Haruskah kubawa ia kepadamu sekarang" Haruskah kukatakan kepadanya bahwa ia
diperlukan di kamar tuannya?"
Sekarang ia tersenyum dan aku tak dapat menahannya. Aku balas tersenyum dan baru
sekarang aku merasa bahagia. Kebahagiaan menghangatkan tubuhku, perutku, dan
semuanya. Ia tertawa dan aku pun tertawa.
"Tunggu di sini. Aku akan membawa mesin penyantap selai itu."
Aku ingin mengeluarkan kebahagiaanku, bangkit, melompat-lompat sambil bertepuk
tangan. Aku ingin turun dari ranjang dan berlari mengejarnya dan tak segan untuk
lebih lama bersamanya, seperti sekarang, tepat seperti sekarang, hanya kami
berdua, dan ia tersenyum kepadaku seperti tadi.
Aku menunggunya. Tapi ia tak kembali. Aku tak akan keluar ke koridor ataupun ke
ruang keluarga. Aku melepaskan arlojiku dan menunggu jarum menitnya menunjuk
angka dua belas kemudian aku mulai menghitung mundur hingga enam puluh detik.
Jika ia tidak muncul setelah satu menit, aku tak akan menunggunya lagi. Jarum
menit telah mencapai angka sembilan dan ia kembali, bersama Crito yang
terbungkus selimut. Wajah hitam-putihnya melongok keluar.
"Kiriman istimewa untuk Tuan Egan," katanya. "Seekor kawan berkaki empat yang
membutuhkan selai." Tidak, pikiranku berkecamuk, satu-satunya yang salah adalah kami mencemaskanmu.
"Terima kasih, Pa." Dan ia pun berlalu. Aku membiarkan Crito tetap dalam
selimutnya, sedangkan aku menyantap roti lapis isi kismis.
---oOo--- Keesokan harinya di sekolah aku sendirian saat istirahat, membaca buku tentang
Harry Houdini di ruang kelas yang kosong sambil menyantap kue cokelat, biskuit,
dan sepotong roti lapis isi ham. Aku senang membaca soal usaha Houdini
meloloskan diri dari peti terkunci di dalam air sementara tangan dan kakinya
terikat rantai dan borgol. Tapi aku menyesalkan usahanya yang "hampir kehabisan
waktu dan menyakitkan" serta waktu tercepat meloloskan diri dari jaket pengekang
138 detik. Aku tahu dari Guinness Book bahwa itu jauh dari rekor dunia yang
dipecahkan Jack Gently. Pada 26 Juli 1971, di hadapan 600 orang penonton, Gently
berhasil meloloskan diri dari jaket pengekang dalam waktu empat puluh lima
detik. Beberapa menit sebelum bel tanda masuk berdering, si bocah mongoloid datang.
Namanya Osmond dan ia menghabiskan satu hari setiap minggu di sini dan hari
lainnya di sekolah luar biasa di Enniscorthy. Setiap Selasa ia beristirahat dan
makan siang sendiri, berjalan mengelilingi taman bermain, berbicara, serta
bernyanyi sumbang. Aku tak pernah begitu dekat dengan wajah sendunya dan tak
pernah berbicara dengannya.
Ia berdiri di ambang pintu dengan mulut ternganga dan menumpukan berat badannya
bergantian di satu kaki, tersenyum ke arahku, menggumam, menungguku berbicara.
Aku berpaling, tapi ia mendekatiku. Saat aku menatapnya, ia berdiri di samping
bangkuku, hanya satu inci dari lenganku.
Ia tak berkata-kata, tapi tersenyum kepadaku, masih bergoyang-goyang dari satu
kaki ke kaki lainnya. Aku tak ingin ia berada di dekatku.
"Buku bagus," katanya.
Tubuhnya beraroma muntahan. Aku tak ingin berbicara dengannya.
Jika aku terlihat berbicara dengannya, semua akan menyangka aku berteman
dengannya dan aku sama dengannya: dua bocah kesepian. "Buku bagus," katanya.
"Gambar bagus."
Ludahnya menyembur saat berbicara dan sebutir gelembung liur menempel di lengan
baju hangatku. Tapi ia menatap kakiku. "Biskuit bagus.
Kue bagus. Roti lapis bagus."
Apakah ia lapar" Aku melirik arlojiku: lima menit lagi sebelum bel tanda
istirahat usai. "Apakah kau lapar" Kau ingin kue" Kau dapat membawanya ke kelasmu" Ambillah dan
pergilah ke ruang 3G" Bukankah itu bagus?"
Ia menengadahkan tangan gemuknya dan aku menaruh sisa kue cokelatku di telapak
tangannya. Ia mendorong masuk potongan kue itu ke mulutnya, seperti traktor yang
menggaruk tanah, lalu ia menutup mulutnya, menggerakkan bibir terkatupnya dari
sisi ke sisi, dan akhirnya menelannya.
Ia menghabiskan kue di mulutnya tanpa mengunyah. Aku senang dapat melihatnya
seperti itu; ia membiarkanku menatapnya dan ia tak peduli.
"Kue warna cokelat yang bagus," katanya. Suaranya melengking lemah, tapi sangat
keras seperti tercekik, seakan ada seseorang duduk di lehernya.
"Ssst," desisku. "Jangan ribut." Kakiku berlompatan naik-turun hingga aku harus
memegang lututku agar berhenti bergerak.
"Biskuit bagus."
"Ini," kataku. Ia memakan biskuit dengan cara yang sama - tanpa mengunyah, kemudian berkata,
"Buku bagus." "Kau tak dapat memakan buku," ucapku.
Aku membuatnya tertawa dan ia berlompatan. "Monster Cookie!
Monster Cookie!" Ia tidak bodoh. Ia dapat mengatakan apa yang ia inginkan dan ia hanya ingin
seseorang mengatakan sesuatu. Hanya itu. Tapi aku menempelkan telunjukku di
bibir memintanya tak bersuara. Ia tampak sedih dan beranjak pergi. Aku melirik
arlojiku: kurang satu menit sebelum bel berbunyi.
"Lihat," kataku. Aku membuka halaman bergambar Harry Houdini dalam sangkar kaca.
Tubuhnya terbelit rantai hitam. "Harry Houdini,"
ucapku pelan. "Ia dapat melakukan sulap."
"Sulap! Sulap membuat kelinci."
"Dapatkah kau berbisik?"
"Ya," bisiknya. "Sulap membuat kelinci."
"Ya," aku membalas.
"Sulap membuat topi dan kartu ret serta tidak ada kelinci menjadi ada kelinci."
"Ya," sahutku. Aku tak tahu ia mengenal begitu banyak kata. Jika saja ia
memiliki wajah normal, aku mungkin mau berbincang dengannya. Aku tetap berbisik
dan berharap ia pun tetap berbisik. "Kau tahu trik meloloskan diri?" "Meloloskan
diri." "Ya. Keluar dari masalah. Meloloskan diri dari kotak atau sangkar kaca." Ia
menunjuk ke gambar Houdini. "Ia meloloskan diri dan tabung kaca!"
Suaranya meninggi kembali, tapi aku tak peduli. Ia benar. Ia paham.
Aku tersenyum kepadanya. Meski wajahnya tampak aneh, ia lebih baik daripada
perkiraanku dan ia lebih baik ketika kau dekat dengannya. Ia memperhatikan.
Kukira mereka semua mirip, tapi sekarang baru kusadari mereka masing-masing
berbeda. Osmond memiliki hidungnya sendiri, bibirnya sendiri, matanya sendiri,
dan ekspresi wajahnya sendiri.
Bel berdering, dan saat berhenti berbunyi kemudian terdengar suara orang-orang
berdatangan melalui koridor, ia berkata, "Buku bagus."
Suaranya lebih keras daripada waktu pertama ia muncul tadi, seakan ia pikir bel
itu masih berdering dan ia harus berteriak agar terdengar.
"Ssst," desisku.
"Buku bagus, kue bagus, biskuit bagus, anak lelaki besar bagus. John bagus." Ia
mengangkat tangan hendak menyentuh mataku.
"Jangan!" kataku. "Jangan sentuh! Pergi sana."
Aku tak ingin ia mengetahui namaku. Tidak, itu tidak benar. Aku memang ingin ia
mengenal namaku, tapi jangan sampai menyebutkannya.
Ia berhenti tersenyum dan melangkah mundur. Air mata menggenang di matanya.
"Aku pergi," ucapnya.
"Dah," kataku. "Aku pergi. Aku akan meloloskan diri ke belakang. Pergi dari John."
"Baiklah," sahutku, kemudian tanpa kurencanakan dan meski kupikir tidak
kulakukan, aku tersenyum dan berkata, "Sampai jumpa minggu depan."
Ia balas tersenyum. "Biskuit raksasa meloloskan diri ke belakang dari toples
kue." Aku tertawa. Saat Brendan berjalan ke bangkunya bersama Kate, mereka menatapku.
Melihatku tertawa, mereka tampak bertanya-tanya apa yang mereka lewatkan. Aku
menatap mereka hingga mereka berpaling dan saat mereka saling melempar senyum
sinis, aku tak peduli. []
15 Saat aku akan sarapan, tak ada orang di dapur. Ibuku meninggalkan pesan.
John sayang, Aku pergi ke gereja hari ini. Membantu membangun panggung untuk pemilihan raja
dan ratu sekolah. Ayahmu pergi ke kota dengan bus pertama. Kami berdua akan
pulang menemuimu waktu minum teh. Makan siangmu ada di lemari penyimpanan.
Bersenang-senanglah di sekolah.
Penuh cinta, Mami Aku memutuskan tidak pergi ke sekolah. Saat mereka pulang nanti akan kukatakan
tidak enak badan. Aku menyantap sereal dan roti panggang isi telur mata sapi di
ruang keluarga di depan perapian sambil menonton TV
kemudian menyantap beberapa potong cokelat dan dua buah pisang. Crito duduk di
pangkuanku dan kami menonton film seri Carry On. Pukul setengah sebelas, aku
pergi ke kamar tidur nenekku.
"Halo," sapaku.
Ia duduk di kursi santai dekat perapian menghadap ke pintu. Kakinya naik ke atas
kursi bersandaran lengan di depannya. Ia tak sedang membaca atau menjahit atau
merajut; hanya duduk diam. Di kakinya tergeletak sebuah buku nyanyian. Mungkin
ia baru saja mempelajari beberapa lagu baru untuk dinyanyikan di kamar mandi.
"Halo, John. Kenapa kau tidak sekolah?"
"Aku sakit," jawabku.
"Kau tidak tampak sedang sakit."
"Aku memang sakit."
"Lalu kenapa kau tidak berbaring di ranjang."
"Aku tak merasa sakit saat berdiri atau duduk."
Berbohong membuat jantungku seperti diremas seakan ada tali yang dibelitkan di
dadaku. "Sama saja, jika kau sakit, kau harus berbaring di ranjang."
"Baiklah," jawabku. "Aku hanya ingin berbincang denganmu."
"Mungkin kau dapat mengambil termometer dari lemari kamar mandi dan kita ukur
suhu tubuhmu."
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sebentar. Aku harus membicarakan sesuatu yang penting."
"Baiklah, masuk dan tutup pintunya."
Di dalam dingin, tapi ia tak menyalakan perapian. "Biar aku melepaskan
kacamataku," katanya, "agar aku dapat mendengar dengan baik." Aku ingin duduk di
kursi bersandaran lengan tempat ia menyandarkan kakinya karena aku memilih tidak
duduk di kasur busuk penuh bulu kuda dan baunya seperti binatang basah itu. Aku
berdiri di samping kursi hingga akhirnya ia menyingkirkan kakinya. Aku duduk.
"Apa yang baru dan menarik?" ia bertanya.
"Sebenarnya tidak ada," jawabku.
"Wah, kau memang teman yang menyenangkan. Kupikir kau datang ingin berbincang."
Aku melapangkan kerongkonganku. "Apakah ada orang yang berkata tentang diriku
dan berbohong?" "Apakah kau ketahuan berbohong?"
"Tidak. Tapi apakah pernah ada yang berbicara tentang deteksi kebohongan?"
"Tidak. Memang kenapa?"
"Tidak. Hanya aku baru membaca banyak buku tentang deteksi kebohongan dan aku
bertanya-tanya apa ada orang lain yang membahasnya."
"Tidak." "Dapatkah aku menanyakan hal lain?"
"Ya." "Apakah Mam telah menyinggung soal uang untuk perjalanan kami ke Niagara?"
"Tidak." "Apakah kau tahu berapa biaya yang diperlukan untuk pergi ke Kanada?"
"Apa yang sebenarnya ingin kauketahui?" ia bertanya.
"Baik, ia selalu bilang akan mengajakku ke Niagara setelah kelulusanku, tapi aku
ingin lebih cepat. Ia bilang kita tak memiliki uang sekarang, tapi kupikir kau
dapat membantu kami."
Ia tertawa. "Dia memang induk kucing."
"Maaf. Maksudku Mami. Yang aku ingin tahu apakah kau dapat membantu biaya
perjalanan kami." "Itu tidak mungkin."
"Mungkin kau dapat ikut bersama kami."
"Kaupikir dari mana uangku berasal?" ia bertanya.
Ia tertawa lagi dan aku menunduk, menatap pusaran benang merah di karpet, tapi
kemudian membuatku pening. Aku menengadah kembali. "Kau mendapat banyak uang
setelah Kakek meninggal, kan" Dan semua perhiasan yang kaujual serta dan toko
dan semacamnya." "Dan kaupikir berapa lama uang itu akan bertahan?" Ia menyondongkan tubuhnya di
kursi malas. "Sangat lama," jawabku.
"Mungkin lebih baik menunggu hingga kau selesai sekolah dan...."
Tiba-tiba ia berhenti berbicara. Ia menatap ke belakangku, melewati bahuku, ke
arah pintu di belakangku, seakan aku tak ada di hadapannya.
"Nenek?" "Ya." "Aku benar-benar berharap...."
"Dan aku pun sangat berharap kau tak menjadi seperti ayahmu. Kau tahu bahwa ia
berpikir ia memiliki hak atas uangku" Ya. Ia pikir jika aku tak menghabiskannya
sendiri, ia dapat hidup dengan nyaman."
Suaranya meninggi tapi tetap tak menatapku. Ia menatap siku lenganku.
"Tapi membesarkan anak tidak menjadikan seorang wanita martir.
Dan semua pengorbanan yang terlalu banyak untuk anak-anak mereka itu sering kali
disesalkan." Ia berbicara seakan aku tak ada di ruangan bersamanya.
"Tahun depan mungkin aku akan berkeliling dunia. Mungkin dua kali.
Hingga kepalaku pusing!"
"Tapi mengapa Pa harus bekerja saat ia harus belajar demi menghadapi ujian di
Trinity?" Ia menatapku seakan aku baru saja memukulnya. "Ia telah belajar selama tiga
tahun. Jika ia memang serius, ia seharusnya mengikuti ujian tahun ini. Jika aku
percaya ayahmu akan belajar untuk meraih gelarnya, aku tak akan mendesaknya
bekerja, tapi aku tak memercayainya."
Sekarang ia nyaris berteriak. "Dan aku hanya punya sembilan hari lagi hingga
kesabaranku habis. Ya, hanya itu. Sembilan hari lagi aku bersabar kemudian aku
akan memadamkan semua lampu!"
"Itu tidak adil," sahutku.
Ia menunjuk ke belakangku dan tertawa. "Kau tak selalu secepat seperti yang
kaukira, John Egan Muda."
Aku menengok ke belakang, ke arah pintu, dan aku melihat apa yang selama ini ia
tatap. Di sela pintu selebar dua inci tampak dua pasang sepatu hitam. Seseorang
berdiri di luar; seseorang berdiri di luar selama itu.
Kupikir Pa pergi ke kota naik bus, dan aku tak mendengar ia pulang.
Aku bangkit dari kursi bersandaran lengan dan bergegas ke arah pintu, tapi
nenekku berdiri dan menarik kemejaku.
"Biarkan saja, John. Tak ada gunanya mengejar si penguping itu. Tak ada gunanya
sama sekali mengejar dia."
Tapi aku tak tega. Aku membuka pintu dan mencari. Ia telah pergi.
"Duduk," kata Nenek. "Tidak ada lagi yang harus dikatakan." Aku duduk dan ia
meraih tanganku. Ia duduk jauh sekali di depanku, tapi aku tak berniat
menyondongkan tubuhku agar ia mudah menggapaiku.
"Apakah kami harus pergi sekarang?" aku bertanya. "Apakah kau akan mengusir
kami?" "Tentu saja tidak. Aku tak pernah memintamu pergi dari sini."
"Apakah kau berjanji?"
"Aku bersumpah demi Alkitab, hanya Alkitabku tergeletak di meja rias," katanya.
"Mungkin jika aku berteriak, Alkitab itu akan mendengarku."
Ia bercanda, tapi tak ada yang lucu dan perkataannya dan aku tak ingin tertawa.
Lagi pula, ia berbohong. Suaranya melengking. Ia tak mengerjap dan tidak melambaikan tangannya seperti
yang biasa ia lakukan. Tangannya diam di pangkuannya.
"Baiklah," jawabku. "Itu bagus."
"Dan untuk masalah Niagara," katanya, "jika ibumu telah berjanji mengajakmu ke
sana saat kau lulus nanti, aku percaya ia akan melakukannya. Ibumu tak pernah
ingkar janji." Mungkin Mami lupa, tapi aku tahu ia belum menanyakan soal Niagara kepada Nenek.
"Aku akan pergi menonton TV," ucapku.
---oOo--- Namun, aku tidak pergi menonton TV. Aku mencari ayahku ke sekeliling rumah. Aku
keluar dan menunggunya di gerbang depan. Udara di luar sangat dingin dan sapi-
sapi yang berada di dalam pagar kayu di seberang jalan mendenguskan uap dan
hidung mereka. Aku menggosok tanganku dan berlari-lari kecil di tempat. Beberapa
sapi menatap ke arahku. Biasanya aku melambai dan menyapa mereka atau balas
menatap. Hewan sangat baik dalam menatap dan aku tak berkeberatan.
Setelah kurang-lebih satu jam menunggu di gerbang, akhirnya aku masuk ke dapur.
Aku menyantap roti lapis selai dan pergi ke ruang keluarga menonton televisi di
dekat perapian hingga pukul setengah lima. Pukul setengah enam aku mendengar
ibuku masuk dan pintu depan. Aku keluar menyambutnya di koridor. Aku
memperhatikannya dengan saksama saat ia melepaskan mantelnya. Ia berdiri
sejenak, melihat ke sekeliling. "Ayo minum teh," katanya.
Aku mengikutinya ke dapur dan melihatnya meletakkan cerek air di atas kompor dan
mencuci dua buah cangkir. Ketika teh telah siap, ia menutup pintu. Ia membuka
bungkusan obat pencernaan dan meletakkan enam butir di atas piring. Aku tak
ingin memberitahu bahwa aku tak pergi sekolah hari ini.
"Hanya itu yang kita punya untuk teman minum teh?"
"Aku baru saja makan malam jam dua belas tadi di gereja. Tapi aku akan
membuatkan sup untukmu jika kau mau."
"Di mana Pa?" aku bertanya. "Apakah kau melihatnya dalam perjalanan pulang?"
"Mungkin ia mengunjungi Paman Jack di Gorey."
"Kenapa Paman Jack ada di Gorey" Di mana ia menginap" Di hotel"
Apa yang ia bicarakan dengan Pa?"
"Pamanmu datang dari Dublin untuk sebuah urusan."
"Urusan macam apa?"
"Urusan yang membosankan."
"Seperti apa?" "Urusan semacam urus-saja-urusanmu-sendiri."
Aku tertawa. Aku berdiri dan mengitari meja. Aku mengitarinya dua kali. Aku tak
tahu mengapa melakukannya hingga ia berkata, "Duduklah!"
Aku duduk dan menggaruk kepalaku. "Kau seperti hantu kebingungan," katanya. "Ada
apa?" Aku memang menunggunya bertanya tapi sekarang setelah ia bertanya, bukan itu
pertanyaan yang kuharapkan. "Kenapa aku seperti hantu?" aku bertanya.
Ia meraih tanganku. Ibu tampak lelah. Kantong matanya menggantung kehitaman dan
muncul uban di rambutnya. Aku tak tahu sejak kapan. Tapi rambutnya yang tampak
acak-acakan hari ini membuat rambut-rambut putih itu terlihat.
"Maafkan aku, John. Aku hanya bermaksud mengatakan kau selalu berkeliaran di
dalam rumah. Kau muncul di berbagai tempat."
"Tempat seperti apa?"
"Kau masuk ke kamarku dan tak menghormati privasiku atau ayahmu."
"Itu tidak benar."
Ia mengacak rambutku dan berpura-pura tertawa. Aku menarik kepalaku. Ia tak
memiliki pilihan selain berbicara denganku dengan nada yang berbeda. "Oh, tapi
kau melakukannya, John. Saat aku berbaring tidur siang, tiba-tiba kau muncul.
Aku sampai berpikir untuk mengambil tanda
'Mohon Jangan Mengganggu' dari sebuah hotel."
Ia mencoba memancingku tertawa untuk menutupi apa yang ia katakan.
"Baiklah," jawabku, "aku akan membiarkanmu sendirian." Aku berdiri.
"John, Sayang. Tolong duduklah. Aku tak ingin kau meninggalkanku sendiri. Aku
hanya ingin kau mengatakan apa masalahmu. Apakah kau mau memberitahu aku?" Ia
menarik lenganku hingga aku duduk kembali.
"Semuanya berbeda," ujarku. "Kau berbeda, Pa berbeda, Nenek berbeda, dan bahkan
Brendan pun berbeda."
"Oke, aku tidak tahu mengenai Brendan, tapi orang yang saling mencintai kadang
terlibat dalam pertengkaran."
"Bukan itu," jawabku. "Semua orang bersikap berbeda terhadapku.
Tak ada yang memperlakukan aku seperti dulu."
Ia menjauhkan tangannya dari tanganku dan memegang cangkir tehnya. "Kau sudah
dewasa, John. Banyak yang berubah ketika kau tumbuh dewasa dan perlu waktu untuk
menyesuaikan diri." "Seperti apa?" "Seperti orang-orang tidak memanjakan dirimu lagi. Mereka tidak bersikap terlalu
melindungimu. Kau harus bangga karena orang melihatmu berdiri sendiri, dan
mereka tak akan membiarkan kau bersandar kepada mereka lagi. Kau harus berdiri
tegak karena itulah yang mereka inginkan.
Semakin tegar dan kuat dirimu, mereka semakin kurang mengurusimu."
Kata-katanya terdengar aneh dan kepalanya mengangguk-angguk seakan berusaha
mengusir seekor lalat dan wajahnya. Ini bukan kebohongan seperti yang sering
dilontarkan ayahku; ini kebohongan putih, sebuah kebohongan demi menutupi
perasaannya; sebuah kebohongan demi membuatku lebih baik. Tapi tetap saja itu
sebuah kebohongan. Aku berdiri dan berkata dengan suara tinggi melengking. "Kaupikir aku aneh. Jika
aku lebih kecil, semuanya akan berbeda. Semuanya akan berjalan seperti dulu."
Ia menelan ludah dan berpaling, takut menghadapiku. "Bukan, John, bukan itu
maksudnya." Aku melangkah ke arah pintu.
"John, Sayang. Tenanglah dulu. Ayo kita habiskan teh dan biskuitnya.
Setelah itu, kau dapat membantuku mencuci rambutku."
Aku berhenti dekat pintu.
"Kau adalah milikku yang paling kusayangi, John. Paling kusayangi."
Aku tak menggubrisnya dan pergi ke kamarku. Beberapa menit kemudian ia
menyusulku, membawa handuk di tangannya. "Ayolah. Bantu aku mencuci rambut. Aku
sungguh memerlukan bantuan. Kau tak ingin membantuku?"
Ia menggerai rambut panjang cokelatnya ke depan hingga menutupi wajahnya.
Tangannya menggapai-gapai seperti mayat hidup dan berjalan sempoyongan membentur
semua benda di kamar. Aku bangun dan kami menuju kamar mandi. Aku membantunya mencuci rambut cokelat
panjangnya di wastafel. Aku suka melihat ia menundukkan kepalanya, rambutnya
memenuhi bak wastafel dan mengambang ke permukaan air seperti rumput laut.
Aku menceritakan soal Brendan dan Kate.
Ia menegakkan diri dan membungkus kepalanya dengan handuk kemudian merangkul
pundakku. "Jika seorang teman tidak menyambut tanganmu dan memanggilmu, ia bukan seorang
teman. Seorang teman selalu membutuhkan dan menyayangimu. Tunggu saja apakah ia
akan datang dan menyambut tanganmu."
"Seperti yang kaulakukan sebelumnya," jawabku.
"Oh, ya?" ia bertanya.
"Ya. Dua kali."
"Oke, aku selalu melatih perkataanku."
Aku akan menuliskan ini di "The Gol of Seil". Aku akan menulis bahwa seseorang
dapat berubah saat sedang dalam percakapan. Ia dapat berkata jujur, kemudian
berkata bohong; berubah demi bersikap baik, tiba-tiba, tanpa peringatan sama
sekali.[] 16 Keesokan harinya di sekolah. Tepat setelah pelajaran terakhir usai, Kate
menabrakku saat aku sedang mengambil mantel dan rak di koridor di luar ruang
kelas. "Ups," katanya. "Maaf sekali."
"Tidak apa-apa," jawabku.
"Aku telah mendengar semua tentangmu," katanya. "Brendan menceritakannya
kepadaku." Aku mencoba mengenakan mantelku, tapi terlepas dari jemariku yang mendadak kaku.
"Bau urine membuatku mual," katanya. "Membuatku tak dapat meminum susu. Dari
dulu aku selalu jijik pada susu dan kau membuatku lebih jijik lagi pada susu."
Hatiku sakit sekaligus penasaran. Aku belum pernah mendengar kata
"jijik" sebelumnya, dan kata itu terngiang dalam kepalaku.
"Apa kau tahu apa arti kata rahasia?" aku bertanya.
"Tidak, tapi aku yakin kau pun tidak tahu artinya," jawabnya.
"Aku tahu," sahutku. "Artinya diam-diam. Saat aku kencing di celana, aku sedang
mencoba memecahkan rekor tidak pergi ke toilet. Aku melakukannya secara
rahasia." Aku merasa gatal di belakang kerongkonganku. Rasa gatal yang tak tertahankan
hingga aku terbatuk. Mungkin karena aku berbohong. Ada baiknya bila aku belajar
berbohong tanpa harus mendapat reaksi aneh dari tubuhku.
"Kau?" ia tertawa. "Kau sungguh konyol."
"Tak perlu mengkhawatirkan itu," jawabku. Aku berlalu.
Tapi aku nyaris tak mampu berjalan. Kakiku, jemariku, semuanya terasa kaku.
Suara derap sepatuku aneh. Satu sepatu bersuara lebih keras daripada yang
satunya. Langkahku tidak beraturan; langkah kaki kananku lebih jauh daripada
kaki kiriku. Aku menahan napas dan mengira akan terjatuh. Aku ingin bersandar pada sesuatu.
Aku tak mampu lagi berjalan. Aku menahan napas hingga keluar dari halaman
sekolah. Hingga mencapai pohon pertama dari deretan pohon di jalan. Dadaku
sakit. Aku berjalan cepat, kemudian berhenti.
Di hari yang cerah itu burung-burung sepertinya mengetahui keadaanku. Aku
melihat ke sekeliling dan memperhatikan pepohonan. Aku memperhatikan awan di
balik pepohonan. Aku berputar tiga kali seperti pelempar cakram dan melontarkan
sebongkah batu sekuat tenagaku ke arah langit. Lemparan yang bagus dan kuat.
Aku menunggu suara batu itu mendarat, tapi tak terdengar apa pun, setidaknya aku
tak mendengar suara jatuh, dan aku berdiri di tengah jalan, bertanya-tanya ke
mana kira-kira batu itu mendarat. Dan tetap saja batu itu tidak terdengar. Aku
tersenyum ke arah langit.
Saat aku tiba di rumah, aku tak sesedih seperti yang kusangka. Aku pergi ke
ruang keluarga; tak ada orang di sana. Aku pergi ke dapur; tak ada orang di
sana. Nenek tidak berada di kamarnya, tapi ia menyalakan sebatang lilin putih
besar di meja riasnya. Ia pasti sedang melakukan doa novena. Ternyata itu yang
ia maksud hanya memiliki sembilan hari lagi. Doa novena memerlukan waktu
sembilan hari. Tapi untuk siapa ia berdoa" Untuk ayahku, mendoakan agar ia
mendapat pekerjaan" Aku akan mengatakan kepada Ayah saat ia pulang nanti. Aku
duduk di dapur dan menunggu.
Ketika ibuku pulang, ia langsung naik ke kamarnya. Hari sudah malam dan saat
kulihat ayahku berdiri di ambang pintu dapur, aku baru menyadari bahwa selama
ini aku duduk di tempat yang gelap.
Carry Me Down Karya M.j. Hyland di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menghampiriku dan mengelus kepalaku. "Aku akan membuatkanmu sosis untuk teman
minum teh," katanya.
"Ayah ke mana saja seharian?" aku bertanya.
"Bekerja," jawabnya seraya menyalakan lampu.
"Di mana" Pekerjaan apa?"
"Biarkan aku membuatkan sosis lalu kita dapat menonton kotak idiot itu sambil
mengobrol. Bagaimana?"
"Nenek melakukan doa novena agar kau mendapat pekerjaan. Pasti doanya telah
terkabul." Ia menengadah dan membuka mulutnya lalu menahan posisi kepalanya seperti itu.
Itulah caranya tertawa tanpa bersuara.
"Kenapa kau tertawa seperti itu?" aku bertanya. "Apakah tertawa menjadi sebuah
kejahatan sekarang "Tidak." "Itu karena aku sedang senang."
Ia membelai rambutku dan tersenyum.
"Di mana Mam?" aku bertanya.
"Di atas. Di kamar. Biarkan ia beristirahat."
"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya," kataku.
"Sesuatu yang penting."
"Apakah telah terjadi sesuatu?"
"Tidak ada yang salah denganku. Tapi bukankah ada yang salah antara kau dan
Nenek?" Ia menarik keras rambut di depan dahinya, menepikan rambut tebalnya dengan jari-
jarinya mengarahkan ke bawah, lurus, tepat di atas mata kanannya. "Kami telah
sedikit berbincang dan tidak menemui kesepakatan dalam beberapa hal, tapi kami
telah berbaikan kembali. Lagi pula, tidak ada yang perlu kaucemaskan."
"Aku akan ke atas," ucapku.
"Kubilang biarkan ia beristirahat."
"Aku harus membicarakan sesuatu dengannya."
"John, dapatkah kau membiarkan ibumu beristirahat" Kau akan segera menemuinya."
Kami terdiam sementara ia membuatkan sosis kemudian meninggalkan dapur dengan
piringnya menuju ruang keluarga. Aku mengikutinya. Ia duduk di bangku panjang
dan aku duduk bersamanya.
Kami memegang piring kami masing-masing; empat batang sosis di setiap piring.
"Jika ada yang ingin kauceritakan, kau selalu dapat mengatakannya kepadaku,"
katanya. Aku mengambil sepotong sosis dan meletakkannya kembali. "Brendan tidak mau
berbicara denganku," ujarku.
"Kenapa?" "Aku tidak tahu."
Ia menyantap sebatang sosis bulat-bulat tanpa mengunyah, menelannya dalam tiga
potongan. Potongan sosis-sosis itu sangat besar hingga aku dapat melihatnya
turun melalui kerongkongannya.
"Apa kau telah menanyakan kepadanya?"
"Belum," jawabku, memandangi piringku.
"Baiklah, jika kau tidak bertanya kepadanya, kau tak akan tahu alasannya, kan?"
Aku tak mau menceritakan kejadian kencing di celana. "Ia berteman dengan seorang
anak perempuan baru."
"Oh. Kalau begitu kau pun seharusnya berteman dengan si anak perempuan itu."
"Tapi kupikir ia tak ingin berteman denganku lagi."
Ayahku telah menghabiskan sosisnya. "Apakah kau akan memakan sosismu?" ia
bertanya. "Ya," jawabku. "Kupikir kau harus membicarakannya dengan Brendan." Ia menggaruk dagunya.
"Kupikir kau harus berbicara dengan temanmu, bukan mengadu kepada ibumu."
Orang Orang Lapar 2 Dewa Arak 91 Sapu Jagad Raja Silat 7