Dua Cinta 6
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 6
"Maaf," gumamku. "Itu tadi memang tolol."
"Yeah, itu tadi benar-benar tolol," Jacob
sependapat, tetesan air hujan berjatuhan dari rambutnya saat ia mengangguk.
"Dengar, bisa tidak kausimpan dulu hal-hal tolol itu sampai ada aku" Aku takkan
bisa berkonsentrasi kalau kukira kau bakal terjun dari tebing tanpa
sepengetahuanku." "Tentu," sahutku setuju. "Bukan masalah." Aku terdengar seperti perokok berat.
Aku berusaha membersihkan tenggorokkan - kemudian meringis; saat membersihkan
tenggorokkan, rasanya seperti ditusuk pisau di sana. "Apa yang terjadi hari ini"
Kau berhasil... menemukannya?" Sekarang ganti aku yang bergidik, walaupun aku
tidak begitu kedinginan, menempel di tubuh Jacob yang panasnya tidak normal itu.
Jacob menggeleng. Ia masih terus berlari-lari kecil menyusuri jalan menuju ke
rumahnya. "Tidak. Dia kabur ke arah laut - lebih menguntungkan bagi para
pengisap darah itu di sana. Itulah sebabnya aku langsung bergegas pulang - aku
takut dia akan menduluiku berenang ke sini. Kau begitu sering berada di
pantai... " Suara Jacob menghilang, terkesiap.
"Sam kembali bersamamu... jadi semua juga sudah pulang?" Aku berharap mereka
sudah tidak lagi berada di luar dan mencarinya.
"Yeah. Semacam itulah."
Aku mencoba membaca ekspresinya, menyapitkan mata melawan hujan yang menderas.
Sorot matanya tegang oleh kecemasan atau kesedihan.
Kata-kata yang tadi tak bisa kucerna mendadak langsung kupahami. "Kau tadi
mengatakan... rumah sakit. Sebelum ini, pada Sam. Apakah ada yang terluka"
Apakah dia melawan kalian?" Suaraku melompat satu oktaf, terdengar aneh karena
parau. "Tidak, tidak. Waktu kami kembali, Em sudah menunggu hendak menyampaikan kabar.
Tentang Harry Clearwater. Tadi pagi Harry terkena serangan jantung."
"Harry?" Aku menggeleng, berusaha mencerna perkataannya. "Oh, tidak! Charlie
sudah tahu?" "Yeah. Dia juga di sana, bersama ayahku."
"Apakah Harry akan bertahan?"
Mata Jacob kembali mengejang. "Sekarang ini kondisinya tidak begitu bagus."
Seketika itu juga aku merasa sangat bersalah- merasa benar-benar tidak enak
telah dengan sembrono terjun dari tebing. Tak seharusnya semua orang
mengkhawatirkanku sekarang. Sungguh waktu yang sangat tidak tepat untuk
melakukan hal ceroboh. "Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Saat itulah hujan berhenti. Aku tidak sadar kami sudah sampai di rumah Jacob
sampai ia berjalan melewati pintu. Badai menghantam atap.
"Kau bisa menunggu di sini" jawab Jacob sambil menurunkanku ke sofa pendek. "Aku
bersungguh-sungguh, Bella - tepat di sini. Akan kuambilkan pakaian kering."
Kubiarkan mataku menyesuaikan diri dengan ruangan yang gelap sementara Jacob
sibuk mencari-cari di kamarnya. Ruang depan yang sempit terasa sangat kosong
tanpa Billy, nyaris menyedihkan. Anehnya, suasana terasa mengerikan - mungkin
itu hanya karena aku tahu ia sedang di mana.
Sebentar Jacob sudah kembali. Ia melemparkan setumpuk baju katun berwarna abu-
abu. "Pasti kebesaran untukmu, tapi itu yang terbaik yang kupunya. Aku akan, eh,
keluar sebentar supaya kau bisa berganti baju."
"Jangan ke mana-mana. Aku masih terlalu lelah untuk bergerak. Temani saja aku."
Jacob duduk di lantai di sebelahku, punggungnya bersandar di sofa. Aku penasaran
kapan terakhir kali ia tidur. Ia tampak letih yang kurasakan.
Jacob membaringkan kepalanya di bantal di sebelahku dan menguap. "Kurasa aku
bisa istirahat sebentar... "
Matanya terpejam. Kubiarkan mataku terpejam juga.
Kasihan Harry. Kasihan Sue. Aku tahu Charlie pasti sangat kalut. Harry
sahabatnya. Meskipun Jake tadi merasa sangsi, aku justru sangat berharap Harry
bisa sembuh kembali. Demi Charlie. Demi Sue, Leah, dan Seth...
Sofa Billy letaknya persis di sebelah radiator, jadi aku merasa hangat sekarang,
meskipun pakaianku basah kuyup. Paru-paruku yang sakit mendorongku ke keadaan
tidak sadar, bukan malah membuatku terus terjaga. Samar-samar aku sempat
berpikir apakah aku boleh tidur... atau aku mencampuradukkan tenggelam dengan
gegar otak... " Jacob mulai mendengkur pelan, dan dengkurannya menenangkanku
seperti ninabobo. Dengan cepat aku tertidur.
Untuk pertama kali dalam kurun waktu sangat lama, mimpiku sama seperti mimpi-
mimpi normal lainnya. Hanya berkeliaran dalam ingatan samar ke kenangan-kenangan
lama- melihat matahari kota Phoenix yang teriknya membutakan, wajah ibuku, rumah
pohon bobrok, selimut quilt kusam, dinding kaca, api di air yang gelap... aku
langsung lupa pada gambaran yang satu begitu gambaran yang lain muncul.
Gambaran terakhir adalah satu-satunya yang bertahan dalam ingatanku. Tidak
berarti apa-apa- hanya dekorasi di sebuah panggung. Sebuah balkon di waktu
malam, dengan lukisan bulan purnama menggantung di langit. Kulihat seorang gadis
bergaun tidur mencondongkan tubuh di birai balkon dan berbicara sendiri.
Tidak berarti apa-apa... tapi ketika lambat laun kesadaranku pulih, nama Juliet
muncul dalam benakku. Jacob masih tidur; ia merosot ke lantai, tarikan napasnya dalam dan teratur.
Suasana rumah lebih gelap daripada sebelumnya, di luar jendela gelap gulita.
Tubuhku kaku, tapi hangat dan hampir kering. Bagian dalam tenggorokanku bagai
dibakar setiap kali aku menarik napas.
Aku harus bangkit - setidaknya untuk minum. Tapi tubuhku ingin terus berbaring
di sini, tidak pernah bergerak lagi.
Alih-alih bergerak, aku malah memikirkan Juliet lagi.
Aku bertanya-tanya dalam hari, apa yang akan ia lakukan seandainya Romeo
meninggalkannya, bukan karena dilarang menemuinya, tapi karena kehilangan minat"
Bagaimana seandainya Rosalind memberinya kesempatan, dan Romeo berubah pikiran"
Bagaimana seandainya, alih-alih menikahi Juliet, Romeo justru menghilang"
Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Juliet.
Juliet pasti takkan kembali ke kehidupan lamanya, tidak terlalu. Ia tidak
mungkin melanjutkan hidup, aku yakin itu. Bahkan seandainya ia hidup sampai tua
dan keriput, setiap kali memejamkan mata, wajah Romeo-lah yang akan selalu
terbayang. Ia akan menerima kenyataan itu, pada akhirnya.
Aku bertanya-tanya apakah akhirnya Juliet akan menikah dengan Paris, hanya untuk
membahagiakan orangtuanya, demi menjaga ketenangan. Tidak, mungkin tidak, aku
memutuskan. Tapi kisah itu memang tak banyak bercerita tentang Paris. Ia hanya
peran pembantu-tempelan, ancaman, tenggat waktu untuk memaksa Juliet.
Bagaimana seandainya peran Paris lebih dari itu"
Bagaimana seandainya Paris teman Juliet" Sahabatnya" Bagaimana seandainya Paris
satu-satunya orang kepada siapa Juliet bisa mencurahkan keluh kesahnya tentang
hubungan cintanya yang gagal dengan Romeo" Satu-satunya orang yang benar-benar
memahami Juliet dan membuatnya merasa seperti manusia normal lagi" Bagaimana
seandainya Paris itu sabar dan baik"
Menjaganya baik-baik" Bagaimana seandainya
Juliet tahu ia tak mungkin bisa bertahan tanpa Paris" Bagaimana kalau Paris
benar-benar mencintai Juliet dan ingin agar ia bahagia"
Dan... bagaimana bila Juliet mencintai Paris"
Tidak sebesar cintanya pada Romeo. Sama sekali tidak seperti itu. tentu saja.
Tapi cukup sampai Juliet ingin agar Paris bahagia juga"
Desah napas Jacob yang lambat dan dalam adalah satu-satunya suara di ruangan
itu-seperti ninabobo yang digumamkan pada seorang anak, seperti desir suara
kursi goyang, seperti detak jarum jam tua di saat kau tidak perlu pergi ke mana-
mana... Pendek kata, suara yang membawa kedamaian.
Seandainya Romeo benar-benar pergi, tak pernah kembali lagi, adakah bedanya
seandainya Juliet menerima tawaran Paris atau tidak" Mungkin seharusnya Juliet
mencoba mengais kembali kepingan-kepingan hidupnya yang masih tersisa. Mungkin
itulah hal yang paling mendekati kebahagiaan yang bisa diraihnya.
Aku mendesah, lalu mengerang saat desahan itu menggesek tenggorokanku. Aku
terlalu jauh menghayati kisah itu. Romeo takkan mungkin berubah pikiran. Itulah
sebabnya orang-orang masih mengenang namanya, selalu dikaitkan dengan nama
kekasihnya: Romeo dan Juliet. Itulah sebabnya kisah itu indah. "Juliet
dicampakkan dan akhirnya bersanding dengan Paris" tidak akan
pernah menjadi hit. Aku memejamkan mata dan kembali terlena, membiarkan pikiranku berkelana
meninggalkan drama tolol yang tak ingin kupikirkan lagi. Aku malah memikirkan
kenyataan - bagaimana aku terjun dari tebing serta bagaimana itu merupakan
kesalahan yang sangat tolol. Dan bukan hanya lompat tebing, tapi juga sepeda
motor dan ulahku yang tidak bertanggung jawab, yang ingin menjadi seperti Evel
Knievel. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpaku" Apa akibatnya bagi
Charlie" Serangan jantung yang menimpa Harry mendadak menempatkan segala sesuatu
ke dalam perspektif yang benar. Perspektif yang tak ingin kulihat,
karena - bila aku mengakui kebenarannya - itu berarti aku harus mengubah cara-
caraku. Bisakah aku hidup seperti itu"
Mungkin. Itu takkan mudah; faktanya, justru akan sangat menyedihkan jika aku
harus mengenyahkan halusinasiku dan berusaha bersikap dewasa. Tapi mungkin
sebaiknya aku melakukannya. Dan mungkin aku bisa. Kalau ada Jacob.
Aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Itu terlalu menyakitkan. Lebih baik aku
memikirkan hal lain saja.
Bayangan-bayangan dari ulah cerobohku sore tadi berkecamuk dalam pikiranku
sementara aku mencoba membayangkan hal yang menyenangkan untuk dipikirkan...
desir angin saat aku jatuh, air yang hitam pekat, tarikan arus... wajah
Edward... aku memikirkannya lama sekali. Tangan Jacob yang hangat memukul-mukul
punggungku, berusaha membuatku kembali bernapas... tetesan hujan yang tajam yang
dicurahkan awan-awan ungu... api aneh di antara ombak...
Ada sesuatu yang familier tentang secercah warna di air itu. Tentu saja itu tak
mungkin api- Pikiranku terputus oleh suara ban mobil melindas lumpur dijalan di luar Kudengar
mobil itu berhenti di depan rumah, disusul kemudian dengan suara pintu-pintu
dibuka dan ditutup. Terpikir olehku untuk bangkit dan duduk, tapi kemudian
mengurungkan niatku. Mudah saja mengenali suara Billy. namun tidak seperti biasa, ia berbicara dengan
nada sangat rendah, hingga hanya terdengar seperti gumaman serak.
Pintu terbuka, lampu menyala. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, buta sesaat. Jake
tersentak bangun, terkesiap dan melompat berdiri.
"Maaf," geram Billy. "Kami membangunkan kalian, ya?"
Pelan-pelan mataku terfokus pada wajahnya, kemudian, begitu bisa membaca
ekspresinya, air mataku langsung merebak.
"Oh, tidak, Billy!" erangku.
Billy mengangguk pelan, ekspresinya keras oleh dukacita. Jake bergegas
menghampiri ayahnya dan meraih satu tangannya. Kesedihan membuat wajahnya tiba-
tiba terlihat seperti anak kecil- tampak aneh di tubuhnya yang dewasa.
Sam berdiri tepat di belakang Billy, mendorong kursi rodanya melewati pintu.
Pembawaan normalnya yang tenang tak terlihat di wajahnya yang pilu.
"Aku ikut sedih," bisikku.
Billy mengangguk. "Semua merasa kehilangan."
"Mana Charlie?"
"Ayahmu masih di rumah sakit bersama Sue.
Banyak... yang harus diurus."
Aku menelan ludah susah payah.
"Sebaiknya aku segera kembali ke sana," gumam Sam, lalu cepat-cepat merunduk
keluar dari pintu. Billy menarik tangannya dari genggaman Jacob, lalu menggelindingkan kursi
rodanya melintasi dapur menuju kamarnya.
Jake mengawasi kepergiannya sebentar, lalu duduk lagi di lantai di sampingku. Ia
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kugosok-gosok bahunya, berharap tahu harus
bilang apa. Lama kemudian baru Jacob meraih tanganku dan menempelkannya di wajah.
"Bagaimana perasaanmu" Kau baik-baik saja" Mungkin seharusnya aku membawamu ke
dokter atau sebangsanya." Jacob mendesah.
"Tak perlu mencemaskan aku," kataku parau. Ia berpaling menatapku. Ada lingkaran
merah di matanya. "Kau kelihatan payah."
"Aku memang agak kepayahan."
"Aku akan mengambil trukmu kemudian mengantarmu pulang-mungkin sebaiknya kau
sudah di rumah kalau Charlie pulang nanti."
"Benar." Aku berbaring lunglai di sofa sambil menunggu. Billy tinggal di dalam kamar. Aku
risi karena keberadaanku mengganggu tuan rumah yang ingin menyendiri dalam
dukacitanya. Tak lama kemudian Jake kembali. Raungan mesin trukku memecah keheningan sebelum
aku mengharapkannya. Tanpa berkata apa-apa Jacob membantuku berdiri dari sofa,
merangkul pundakku ketika hawa dingin di luar membuat tubuhku menggigil Tanpa
bertanya lagi ia langsung duduk di balik kemudi, kemudian mendekapku rapat-rapat
di sampingnya. Aku membaringkan kepalaku di dadanya.
"Bagaimana caramu pulang nanti?" tanyaku.
"Aku tidak akan pulang. Kami kan belum berhasil menangkap si pengisap darah itu,
ingat?" Tubuhku bergidik, bukan karena kedinginan.
Sesudah itu kami lebih banyak berdiam diri. Hawa dingin membuatku terjaga.
Pikiranku awas, dan otakku bekerja sangat keras dan sangat cepat.
Bagaimana seandainya" Tindakan tepat apa yang harus kulakukan"
Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa Jacob sekarang - berusaha
membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Bagaimanapun, ia telah menjadi
bagian esensial yang membuatku bertahan hidup. Tapi membiarkan keadaan seperti
apa adanya... apakah itu kejam, seperti yang dituduhkan Mike"
Aku ingat pernah berharap Jacob itu saudara lelakiku. Aku sadar sekarang, yang
kuinginkan sebenarnya adalah mengklaimnya sebagai milikku. Rasanya seperti bukan
saudara bila ia memelukku seperti ini. Pelukannya menyenangkan-hangat, nyaman,
dan familier. Aman. Jacob adalah pelabuhan yang aman.
Aku bisa mengklaimnya. Hal itu ada dalam jangkauanku.
Aku harus menceritakan semua padanya, aku tahu itu. Hanya itu satu-satunya cara
bersikap adil. Aku harus menjelaskannya dengan benar, supaya ia tahu aku
bukannya membuka lembaran baru, bahwa ia terlalu baik bagiku. Ia sudah tahu aku
hancur, bagian itu tidak akan membuatnya terkejut, tapi ia harus tahu seberapa
parah kerusakannya. Aku bahkan harus mengakui bahwa aku gila - menjelaskan
tentang suara-suara yang kudengar. Ia perlu mengetahui segalanya sebelum
mengambil keputusan. Tapi, bahkan saat aku menyadari pentingnya kejujuran itu, aku tahu Jacob akan
menerimaku apa adanya. Ia bahkan tidak akan berpikir-pikir lagi.
Aku harus berkomitmen dalam hal ini- berkomitmen sebanyak yang masih tersisa
dalam diriku, memberikan setiap kepingan yang tersisa. Itu satu-satunya cara
bersikap adil padanya. Maukah aku" Bisakah"
Salahkah berusaha membuat Jacob bahagia" Bahkan seandainya cinta yang kurasakan
padanya tak lebih dari gema lemah dari apa yang dulu bisa kulakukan, walaupun
hatiku jauh dari sini, berkelana dan menangisi Romeo-ku yang phin-plan, apakah
itu salah" Jacob menghentikan trukku di depan rumahku yang gelap gulita, mematikan mesin
hingga kesunyian tiba-tiba menyergap. Seperti yang sudah-sudah, tampaknya ia
bisa memahami jalan pikiranku sekarang.
Jacob mengulurkan lengannya yang lain untuk memelukku, meremukkanku ke dadanya,
mendekapku erat-erat. Lagi-lagi, rasanya menyenangkan. Nyaris seperti manusia
utuh lagi. Kukira Jacob pasti memikirkan Harry, tapi kemudian saat berbicara, nadanya
meminta maaf. "Maaf. Aku tahu kau tidak merasa seperti yang kurasakan, Bells.
Sumpah aku tidak keberatan. Aku hanya senang kau tidak keberatan aku bisa
bernyanyi - padahal itu bukan nyanyian yang ingin didengar orang." Jacob
mengumandangkan tawa sengaunya di telingaku.
Napasku melejit satu tingkat, mengamplas dinding-dinding tenggorokanku.
Tidak mungkinkah Edward, meski terkesan tidak peduli, ingin agar aku bahagia"
Tidakkah masih tersisa sedikit perasaan sayang sebagai teman dalam dirinya untuk
menginginkan itu bagiku" Kurasa pasti masih. Edward tidak mungkin marah padaku
karena hal ini: memberikan secuil cinta yang tidak ia inginkan pada temanku
Jacob. Lagi pula, itu bukan cinta yang sama.
Jake menempelkan pipinya yang hangat ke puncak kepalaku.
Jika aku memalingkan wajahku ke samping- jika aku menempelkan bibirku ke bahunya
yang telanjang... aku tahu benar apa yang akan terjadi selanjutnya. Mudah
sekali. Tidak perlu ada penjelasan apa-apa malam ini.
Tapi bisakah aku melakukannya" Mampukah aku mengkhianati hatiku yang hampa demi
menyelamatkan hidupku yang menyedihkan"
Kupu-kupu menggelepar dalam perutku saat aku berpikir untuk memalingkan kepala.
Kemudian, sama jelasnya seperti bila aku berada dalam bahaya besar, suara Edward
yang sehalus beledu berbisik di telingaku. "Berbahagialah," katanya. Aku
langsung membeku. Jacob merasakan tubuhku mengejang dan
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
otomatis melepaskan pelukannya, menggapai ke pintu.
Tunggu, aku ingin berseru. Tunggu sebentar.
Tapi aku masih terpaku di tempat, mendengarkan gema suara Edward dalam kepalaku.
Udara yang dingin oleh badai berembus masuk ke truk.
"OH!" Napas Jacob tersentak keluar, seolah-olah seseorang meninju perutnya.
"Sialan!" Jacob membanting pintu dan memutar kunci mobil pada saat bersamaan. Kedua
tangannya gemetar sangat hebat hingga aku tak tahu bagaimana ia bisa
melakukannya. "Ada apa?" Jacob meraungkan mesin terlalu cepat; mesin terbatuk-batuk dan mati.
"Vampir," semburnya.
Darah surut dan kepalaku dan membuatku pening. "Bagaimana kau tahu"'
"Karena aku bisa menciumnya! Sialan!"
Mata Jacob liar, jelalatan menjelajahi jalanan yang gelap. Tampaknya ia tidak
terlalu menyadari getaran yang menjalari sekujur tubuhnya.
"Berubah atau membawanya pergi dari sini?" desisnya pada diri sendiri.
Ia menunduk menatapku sekilas, melihat sorot mataku yang ketakutan dan wajahku
yang pucat, kemudian matanya menyapu jalanan lagi. "Baiklah. Kubawa kau pergi
dari sini." Mesin menyala dengan suara meraung. Ban-ban berdecit saat ia memutar truk ke
arah berlawanan, berbalik menuju satu-satunya tempat kami bisa meloloskan diri.
Lampu truk menyapu trotoar, menerangi bagian depan hutan yang gelap, dan
akhirnya memantul pada mobil yang diparkir di seberang jalan depan rumahku.
"Berhenti!" aku terkesiap kaget.
Itu mobil hitam-mobil yang kukenal. Aku memang paling tidak tahu apa-apa soal
mobil, tapi kalau mobil yang satu itu, aku hafal benar. Itu Mercedez S55 AMG.
Aku tahu berapa tenaga kuda daya mesinnya serta warna interiornya. Aku tahu
bagaimana rasanya mesin yang bertenaga itu menderum dari bagian dalamnya. Aku
tahu bagaimana aroma jok kulitnya yang mewah serta bagaimana lapisan kaca
filmnya yang ekstra gelap membuat tengah hari terasa seperti senja dari balik
jendela-jendelanya. Itu mobil Carlisle. "Berhenti!" pekikku lagi, kali ini lebih keras, karena Jacob memacu trukku
secepat-cepatnya menjauhi jalan.
"Apa"!" "Itu bukan Victoria. Berhenti, berhenti! Aku ingin kembali."
Jacob menginjak rem begitu dalam hingga aku terpaksa menahan tubuhku di dasbor
agar tidak terbentur. "Itu mobil Carlisle! Itu milik keluarga Cullen. Aku kenal mobil itu.
Jacob melihat fajar merekah di wajahku, dan sekujur tubuhnya berguncang hebat.
"Hei, tenanglah, Jake. Tidak apa-apa. Tidak ada bahaya, kaulihat" Rileks."
"Yeah, tenang," sahut Jacob dengan napas terengah-engah, menundukkan kepala dan
memejamkan mata. Sementara ia berkonsentrasi agar tidak meledak menjadi
serigala, aku menoleh ke belakang dan memandangi mobil hitam itu.
Itu hanya Carlisle, kataku pada diri sendiri. Jangan berharap lebih. Mungkin
juga Esme... Hentikan sekarang juga, kataku pada diri sendiri. Hanya Carlisle.
Itu saja sudah luar biasa. Lebih dari yang kuharapkan akan pernah terjadi lagi.
"Ada vampir di rumahmu," desis Jacob. "Tapi kau malah ingin kembali?"
Aku meliriknya, dengan enggan mengalihkan mataku dari Mercedes itu-takut mobil
itu bakal menghilang begitu aku melirik ke tempat lain.
"Tentu saja," kataku, suaraku hampa karena terkejut mendengar pertanyaannya.
Tentu saja aku ingin kembali.
Wajah Jacob mengeras saat aku memandanginya, membentuk topeng getir yang
kusangka sudah lenyap untuk selamanya. Tepat sebelum topeng iu menutupi
wajahnya, aku sempat menangkap kejang pengkhianatan berkelebat dari
matanya. Kedua tangannya masih gemetar. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua
daripadaku. Ia menarik napas dalam-dalam. "Kau yakin itu bukan tipuan?"
"Itu bukan tipuan. Itu Carlisle. Antar aku kembali!"
Guncangan hebat melanda bahunya yang lebar, tapi matanya datar dan tanpa emosi.
"Tidak." "Jake, tidak apa-apa-"
"Tidak. Pulanglah sendiri, Bella." Suara Jacob terdengar bagai tamparan-aku
tersentak saat suaranya menghantamku. Dagunya mengejang dan mengendur.
"Begini, Bella," sambungnya dengan suara sama kerasnya. "Aku tidak bisa kembali
ke sana. Ada kesepakatan atau tidak, itu musuhku yang ada di dalam sana."
"Tidak seperti itu-"
"Aku harus segera memberi tahu Sam. Ini mengubah semuanya. Kami tidak boleh
tertangkap saat ada dalam teritorial mereka."
"Jake, ini bukan perang!"
Jacob tak menggubris kata-kataku. Dia memasukkan gigi netral lalu melompat
keluar dari pintu, membiarkan mesin tetap menyala.
"Bye, Bella," serunya sambil menoleh sebentar. "Aku benar-benar berharap kau
tidak mati." Ia berlari kencang menembus kegelapan, tubuhnya bergetar sangat
hebat hingga sosoknya terlihat kabur; ia sudah lenyap sebelum aku sempat membuka
mulut untuk memanggilnya kembali.
Rasa bersalah membuatku terhenyak sebentar. Apa yang kulakukan pada Jacob"
Tapi rasa bersalah tak mampu menahanku terlalu lama.
Aku bergeser ke kursi sebelah dan memasukkan gigi. Kedua tanganku getaran, sama
seperti tangan Jake tadi, dan aku harus berkonsentrasi penuh. Lalu dengan hati-
hati aku memutar truk dan membawanya lagi ke rumahku.
Gelap gulita setelah aku mematikan lampu mobil. Charlie begitu tergesa-gesa
berangkat hingga lupa menyalakan lampu teras. Sejenak aku sempat ragu,
memandangi rumah itu, muram disaput bayang-bayang. Bagaimana kalau ternyata
memang tipuan" Kupandangi lagi mobil hitam itu, nyaris tak terlihat di gelap malam. Tidak. Aku
kenal mobil itu. Meski begitu, tetap saja tanganku gemetar, bahkan lebih hebat daripada
sebelumnya, saat aku meraih kunci di atas pintu. Saat memegang kenop pintu untuk
membuka kuncinya, kenop terputar dengan mudah dalam genggamanku. Kubiarkan pintu
terbentang lebar. Ruang depan gelap pekat.
Aku ingin menyerukan sapaan, tapi tenggorokanku kelewat kering. Sepertinya aku
tak mampu menarik napas. Aku maju selangkah memasuki rumah dan meraba-raba mencari tombol lampu. Hitam
pekat-seperti air hitam tadi... Mana sih tombol lampu"
Sama seperti air yang hitam tadi, dengan api Jingga menyala menjilat-jilat di
atasnya, meski itu tidak mungkin. Tidak mungkin itu kobaran api, tapi kalau
begitu apa..." Jari-jariku menyusuri dinding, masih mencari-cari, masih
gemetar... Tiba-tiba sesuatu yang dikatakan Jacob sore tadi bergema dalam pikiranku,
akhirnya otakku bisa juga mencernanya... Dia kabur ke arah laut-lebih
menguntungkan bagi para pengisap darah itu di sana. Itulah sebabnya aku langsung
bergegas pulang-aku takut dia akan menduluiku berenang ke sini.
Tanganku mengejang saat masih mencari tombol lampu, sekujur tubuhku membeku
kaku, saat aku sadar mengapa aku mengenali warna Jingga aneh di air itu.
Rambut Victoria, berkibar-kibar liar tertiup angin, warnanya seperti api...
bersamaku dan Jacob. Apa jadinya kalau tidak ada Sam, kalau kami hanya berdua...
" Aku tak mampu bernapas ataupun bergerak.
Lampu menyala, meski tanganku yang membeku tidak juga berhasil menemukan tombol
lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, silau Oleh lampu yang tiba-tiba menyala, dan
melihat seseorang disana menungguku.
17. TAMU DIAM tak bergerak dan putih, dengan mata hitam besar terpaku di wajahku, tamuku
menunggu, bergeming di tengah ruang depan, cantik luar biasa.
Sesaat lututku gemetar, dan aku nyaris rubuh. Detik berikutnya aku menghambur
menghampirinya. "Alice, oh, Alice!" pekikku, menubruknya.
Aku lupa betapa kerasnya tubuh Alice; rasanya seperti menabrak dinding semen.
"Bella?" Suara Alice lega bercampur bingung.
Aku memeluknya erat-erat, terengah-engah karena berusaha menghirup sebanyak
mungkin aroma kulitnya. Baunya lain dari yang lain-bukan beraroma bunga ataupun
rempah-rempah, juga bukan wangi jeruk ataupun musk. Tak satu parfum pun di dunia
ini yang bisa menandinginya. Ingatanku tidak bisa mengingatnya dengan tepat.
Aku tidak sadar saat napasku yang terengah-engah berubah menjadi sesuatu yang
lain-aku baru sadar bahwa aku menangis tersedu-sedu ketika Alice menyeretku ke
sofa ruang tamu dan menarikku ke pangkuannya. Rasanya seperti meringkuk dalam
pelukan patung baru, tapi lekukan tubuh patung batu itu pas benar dengan bentuk
tubuhku. Alice mengusap-usap punggungku dengan lembut, menungguku menguasai diri
kembali. "Aku... maafkan aku," isakku. "Aku hanya... sangat bahagia... bertemu denganmu!"
"Sudahlah, Bella. Semua baik-baik saja."
"Ya," isakku. Dan, kali ini, sepertinya memang begitu.
Alice mendesah. "Aku sudah lupa betapa emosionalnya kau," katanya, nadanya
terdengar tidak suka. Aku mendongak dan memandangnya dari sela-sela air mataku. Leher Alice tegang,
menjauhiku, bibirnya terkatup rapat. Matanya hitam kelam.
"Oh" aku mengembuskan napas, menyadari masalahnya. Alice haus. Dan aromaku
menggoda. Sudah lama sekali aku tak pernah lagi memikirkan hal semacam itu.
"Maaf." "Ini salahku sendiri. Sudah lama sekali aku tidak berburu. Seharusnya aku tidak
membiarkan diriku sehaus itu. Tapi aku terburu-buru hari ini." Tatapannya yang
diarahkan padaku sangat garang. "Omong-omong, maukah kau menjelaskan padaku
bagaimana caranya sampai kau masih hidup?"
Pertanyaan ini membuatku kaget dan langsung menghentikan sedu-sedanku. Aku
langsung menyadari apa yang terjadi, dan mengapa Alice datang ke sini.
Aku menelan ludah dengan suara keras. "Kau melihatku jatuh."
"Tidak," sergah Alice, matanya menyipit. "Aku melihatmu melompat."
Aku mengerucutkan bibir sambil berusaha memikirkan penjelasan yang tidak
terdengar sinting. Alice menggelengkan kepala. "Sudah kubilang padanya ini bakal terjadi, tapi dia
tidak percaya padaku. 'Bella sudah berjanji,'" Alice menirukan suara Edward
dengan sangat sempurna hingga membuatku membeku shock saat kepedihan merobek
tubuhku. '"Jangan mencoba melihat masa depannya juga,'" sambung Alice, masih
mengutip kata-kata Edward. "'Kita sudah cukup membuatnya menderita.'
"Tapi meski tidak mencari, bukan berarti aku tidak melihat," lanjut Alice. "Aku
bukannya mengawasimu, sumpah, Bella. Hanya saja sudah terjalin hubungan batin
denganmu, jadi... waktu aku melihatmu melompat, tanpa pikir panjang aku langsung
naik pesawat. Aku tahu pasti sudah terlambat, tapi aku tidak bisa tidak
melakukan apa-apa. Kemudian aku sampai di sini, berpikir mungkin aku bisa
membantu Charlie, dan tahu-tahu kau datang." Alice menggeleng-gelengkan kepala,
kali ini karena bingung. Suaranya tegang. "Aku melihatmu tercebur ke air dan aku
menunggu dan menunggumu muncul kembali, tapi kau tidak keluar-keluar juga. Apa
yang terjadi" Dan tega benar kau berbuat begitu kepada Charlie" Pernahkah kau
berhenti sejenak untuk memikirkan dampaknya bagi dia" Dan bagi kakakku" Apa kau
pernah berpikir apa yang Edward-"
Aku langsung memotongnya saat itu juga, begitu mendengarnya menyebut nama
Edward. Tadi kubiarkan saja dia nyerocos, bahkan setelah aku sadar dia salah
paham, hanya untuk mendengar suaranya yang bagaikan denting lonceng merdu itu.
Tapi sekarang sudah saatnya menyela.
"Alice, aku bukan mau bunuh diri."
Alice menatapku ragu. "Jadi maksudmu, kau tidak terjun dari tebing?"
"Bukan, tapi... " aku meringis. "Itu kulakukan hanya untuk bersenang-senang."
Ekspresinya mengeras. "Aku pernah melihat teman-teman Jacob terjun dari tebing," sergahku.
"Kelihatannya... asyik, dan aku sedang bosan... "
Ia menunggu. "Aku tidak mengira badai akan memengaruhi arus air. Sebenarnya, aku bahkan tidak
memikirkan air sama sekali."
Alice tidak percaya begitu saja. Kentara sekali ia masih mengira aku mencoba
bunuh diri. Kuputuskan untuk mengalihkan pikirannya. "Jadi kalau kau melihatku terjun,
mengapa kau tidak melihat Jacob?"
Alice menelengkan kepalanya ke satu sisi, perhatiannya terusik.
Aku melanjutkan. "Memang benar aku mungkin sudah tenggelam seandainya Jacob
tidak melompat menyusulku. Well, oke, bukan mungkin lagi. Tapi untunglah dia
menyusulku, dan dia menarikku ke permukaan, dan kurasa dia menyeretku ke pantai,
walaupun saat itu aku pingsan jadi tidak tahu apa-apa. Aku tidak mungkin
tenggelam lebih dari satu menit sebelum dia menyambarku. Bagaimana kau bisa
tidak melihatnya?" Kening Alice berkerut bingung. "Ada orang yang menarikmu keluar?"
"Ya. Jacob menyelamatkan aku."
Kutatap Alice dengan sikap ingin tahu sementara berbagai emosi berkecamuk di
wajahnya. Ia merasa terganggu oleh sesuatu-visinya yang tidak sempurna" Tapi aku
tak yakin. Kemudian ia mencondongkan tubuh dan mengendus bahuku.
Aku langsung mengejang. "Jangan konyol," kecamnya, mengendusiku lagi.
"Kau sedang apa?"
Alice mengabaikan pertanyaanku. "Siapa yang bersamamu barusan" Kedengarannya
kalian tadi bertengkar."
"Jacob Black. Dia... sahabatku, begitulah. Setidaknya, dulu... " Ingatanku
melayang pada wajah Jacob yang marah dan merasa dikhianati, bertanya-tanya dalam
hati apa statusnya bagiku sekarang.
Alice mengangguk, sepertinya sibuk memikirkan hal lain.
"Apa?" "Entahlah," tukasnya. "Aku tak yakin itu berarti apa."
"Well, aku tidak tewas, setidaknya."
Alice memutar bola matanya. "Sungguh tolol Edward, mengira kau bisa bertahan
hidup sendirian. Belum pernah kulihat orang yang begitu mudah tersangkut pada
hal-hal tolol yang mengancam nyawa."
"Aku bertahan kok," tegasku.
Alice memikirkan hal lain. "Jadi, kalau arus air terlalu kuat bagimu, bagaimana
Jacob ini bisa menolongmu?"
"Jacob itu... kuat"
Alice mendengar keengganan dalam suaraku, dan alisnya terangkat.
Aku menggigit bibir sejenak. Ini rahasia atau bukan" Dan kalau ini rahasia,
kepada siapa aku lebih berpihak" Jacob, atau Alice"
Terlalu sulit menyimpan rahasia, aku memutuskan. Jacob tahu semuanya, jadi
mengapa Alice tidak"
"Begini, Well dia itu... werewolf," aku mengakui dengan sikap buru-buru. "Suku
Quileute berubah menjadi serigala bila ada vampir di sekitar mereka. Mereka
sudah kenal Carlisle sejak dulu sekali. Apakah saat itu kau sudah bersama
Carlisle?" Alice ternganga sejenak, tapi sejurus kemudian pulih dari kekagetannya, matanya
mengerjap cepat. "Well, kalau begitu pantas ada bau itu," gerutunya. "Tapi
apakah itu menjelaskan apa yang tidak kulihat?" Ia berpikir, kening porselennya
berkerut. "Bau?" ulangku.
"Baumu tidak enak," cetus Alice sambil lalu, keningnya masih berkerut.
"Werewolf" Kau yakin soal itu?"
"Yakin sekali," aku memastikan, meringis saat teringat bagaimana Paul dan Jacob
bertarung di jalan. "Kalau begitu kau masih belum bersama Carlisle waktu
terakhir kali ada werewolf di Forks?"
"Belum. Aku belum menemukannya." Alice masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tiba-tiba matanya membelalak, dan ia berpaling, menatapku dengan ekspresi shock.
"Sahabatmu werewolf?"
Aku mengangguk malu-malu. "Ini sudah berlangsung berapa lama?"
"Belum lama," jawabku, suaraku terdengar defensif. "Dia baru beberapa minggu
menjadi werewolf." Alice membelalak memandangiku. "Werewolf yang masih muda" Itu bahkan lebih
parah. Edward benar - kau magnet yang menarik bahaya. Bukankah kau seharusnya
menghindari bahaya?"
"Tidak ada yang salah dengan werewolf." gerutuku, tersinggung mendengar nadanya
yang mengkritik. "Sampai amarah mereka meledak." Alice menggeleng kuat-kuat. "Dasar kau, Bella.
Orang lain pasti bakal hidup lebih baik setelah para vampir meninggalkan kota.
Tapi kau langsung bergaul dengan monster-monster pertama yang bisa kautemukan."
Aku tidak ingin berdebat dengan Alice - aku masih gemetaran saking gembira
karena ia benar-benar, sungguh-sungguh ada di sini, hingga aku bisa menyentuh
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulit marmernya dan mendengar suaranya yang seperti genta angin - tapi ia sangat
keliru. "Tidak, Alice, para vampir tidak sepenuhnya pergi - tidak semuanya, paling
tidak. Justru itulah masalahnya. Kalau bukan karena para werewolf itu, Victoria
pasti sudah berhasil menemukanku sekarang. Well kalau bukan karena Jake dan
teman-temannya, Laurent pasti berhasil membunuhku sebelum Victoria, kurasa,
jadi-" "Victoria?" desis Alice. "Laurent?"
Aku mengangguk, sedikit waswas melihat ekspresi yang terpancar dari mata
hitamnya. Kutuding dadaku sendiri. "Magnet yang menarik bahaya, ingat?"
Alice menggeleng-geleng lagi. "Ceritakan semua padaku- dari awal."
Aku memoles awal kisahku, sengaja melewatkan cerita tentang motor dan suara-
suara itu, tapi membeberkan semua yang terjadi sampai hari ini. Alice tidak
menyukai penjelasan singkatku tentang kebosanan dan lompat tebing, jadi aku
buru-buru menceritakan tentang api aneh yang kulihat di air dan apa perkiraanku
mengenainya. Matanya menyipit hingga nyaris segaris di bagian itu. Aneh juga
melihatnya begitu... begitu berbahaya - seperti vampir. Aku menelan ludah dengan
susah payah dan melanjutkan kisahku tentang Harry.
Alice mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Sesekali, ia menggeleng, dan kerutan
di keningnya semakin dalam hingga tampak seperti terpahat secara permanen di
kulit marmernya. Ia tidak berbicara dan, akhirnya, aku terdiam, dicekam
kesedihan karena kematian Harry. Pikiranku melayang pada Charlie; sebentar lagi
ia pulang. Bagaimana kira-kira kondisinya"
"Kepergian kami sama sekali tidak membawa kebaikan bagimu, ya?" gumam Alice.
Aku tertawa satu kali - kedengarannya agak histeris. "Memang tujuannya bukan
itu, kan" Kalian pergi bukan demi kebaikanku."
Alice merengut memandangi lantai beberapa saat. "Well, kurasa aku bertindak
impulsif hari ini tadi. Mungkin seharusnya aku tidak ikut campur."
Bisa kurasakan darah surut dari wajahku. Perutku langsung mulas. "Jangan pergi,
Alice," bisikku. Jari-jariku mencengkeram kerah kemeja putihnya dan aku mulai
tak bisa bernapas. "Kumohon, jangan tinggalkan aku."
Mata Alice membelalak semakin lebar, "Baiklah," ia memberi penekanan pada setiap
katanya. "Aku tidak akan ke mana-mana malam ini. Tarik napas dalam-dalam."
Aku berusaha menuruti, meski rasanya itu mustahil.
Alice memandangi wajahku sementara aku berkonsentrasi menarik napas. Ia menunggu
sampai aku lebih tenang untuk berkomentar.
"Kau kelihatan kacau sekali, Bella."
"Aku kan tadi tenggelam," aku mengingatkannya.
"Bukan itu maksudku. Kau berantakan."
Aku tersentak. "Dengar, aku sudah berusaha semampuku."
"Apa maksudmu?"
"Ini tidak mudah. Aku sedang berjuang mengatasinya."
Kening Alice berkerut. "Sudah kubilang pada Edward," katanya pada diri sendiri.
"Alice," aku mendesah. "Kaukira kau bakal menemukan apa tadi" Maksudku, selain
aku mati" Apakah kau berharap akan menemukanku dalam keadaan ceria dan
bernyanyi-nyanyi gembira" Kau kan tahu bagaimana aku."
"Memang. Tapi harapanku begitu."
"Kalau begitu berarti aku bukan orang paling tolol di dunia."
Telepon berdering. "Itu pasti Charlie," kataku, berdiri dengan susah payah. Kusambar tangan Alice
yang sekeras batu dan kuseret ia bersamaku ke dapur. Aku takkan melepaskannya
dari pandanganku. "Charlie?" seruku di corong telepon.
"Bukan, ini aku," sahut Jacob. "Jake!"
Alice mengamati ekspresiku.
"Hanya ingin memastikan kau masih hidup," kata Jacob masam.
"Aku baik-baik saja. Sudah kubilang itu bukan-
"Yeah. Aku mengerti. Bye," Jacob langsung menutup telepon. Aku mendesah dan
menengadahkan kepala, menatap langit-langit. "Gawat."
Alice meremas tanganku. "Mereka tidak suka aku datang."
"Memang tidak. Tapi itu toh bukan urusan mereka."
Alice merangkul bahuku. "Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanyanya. Sesaat
ia seperti bicara pada dirinya sendiri. "Banyak yang harus dilakukan.
Membereskan yang belum selesai."
"Melakukan apa?"
Wajah Alice mendadak terlihat hati-hati. "Aku tidak begitu yakin... aku harus
menemui Carlisle." Apakah dia harus pergi secepat ini" Perutku langsung mulas.
"Tidak bisakah kau tinggal dulu di sini?" pintaku. "Please" Sebentar saja. Aku
sangat rindu padamu." Suaraku pecah.
"Kalau menurutmu itu ide bagus" Matanya terlihat tidak senang. .
"Menurutku itu ide bagus. Kau bisa menginap di sini - Charlie pasti senang
sekali." "Aku kan punya rumah, Bella"
Aku mengangguk, kecewa tapi tidak menyerah. Alice ragu-ragu, mengamatiku.
"Well aku kan perlu mengambil baju ganti, paling tidak."
Aku memeluknya. "Alice, kau baik sekali!"
"Dan kurasa aku harus berburu. Segera," imbuhnya kaku.
"Uups" Aku langsung mundur selangkah.
"Kau bisa kan, menghindari masalah satu jam saja?" tanyanya skeptis. Kemudian,
sebelum aku sempat menjawab, Alice mengacungkan satu jari dan memejamkan mata.
Wajahnya datar dan kosong selama beberapa detik.
Kemudian matanya terbuka dan ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Ya, kau akan
baik-baik saja. Setidaknya malam ini." Ia meringis. Bahkan saat mengernyit
seperti itu, ia masih terlihat seperti malaikat.
"Nanti kau kembali, kan?" tanyaku, suaraku kecil. "Aku janji-satu jam."
Kulirik jam di meja dapur. Alice tertawa dan mencondongkan tubuh cepat-cepat
untuk mengecup pipiku. Detik berikutnya ia sudah pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam. Alice akan kembali. Tiba-tiba aku merasa jauh
lebih enak. Banyak sekali yang harus kulakukan untuk menyibukkan diri sambil menunggu. Mandi
jelas jadi prioritas pertama. Sambil menanggalkan pakaian, aku mengendusi
bahuku, tapi tidak bisa mencium bau apa pun kecuali bau garam dan rumput laut.
Aku jadi penasaran apa maksud Alice mengatakan tubuhku bau sekali.
Setelah tubuhku bersih, aku kembali ke dapur. Tidak terlihat tanda-tanda Charlie
sudah makan, jadi mungkin ia lapar jika pulang nanti. Aku bergumam tanpa nada
sambil menyibukkan diri di dapur.
Sementara kaserol hari Kamis kemarin sedang dipanaskan di microwave, aku
memasang seprai di sofa dan meletakkan bantal tua. Alice tidak membutuhkannya,
tapi Charlie perlu melihatnya. Aku berhati-hati untuk tidak mengawasi jam
dinding. Tak ada alasan untuk panik; Alice sudah berjanji.
Aku tergesa-gesa menghabiskan makananku tanpa merasakannya-yang kurasakan hanya
perih saat makanan meluncur di tenggorokanku yang luka. Kebanyakan aku haus;
pasti ada setengah galon air laut yang terminum olehku. Tingginya kadar garam
dalam tubuhku membuatku dehidrasi.
Aku beranjak untuk mencoba nonton TV sambil menunggu.
Ternyata Alice sudah di sana, duduk di tempat tidurnya yang telah kusiapkan.
Matanya bagaikan butterscotch cair. Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bantal.
"Trims." "Kau datang lebih awal," seruku, gembira.
Aku duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia melingkarkan
lengannya yang dingin di bahuku dan mendesah.
"Bella. Harus kami apakan kau?"
"Entahlah," aku mengakui. "Aku benar-benar sudah berusaha sekuat tenaga."
"Aku percaya padamu."
Lalu kami terdiam "Apakah-apakah dia... " Aku menghela napas dalam-dalam. Lebih sulit menyebut
namanya dengan suara keras, walaupun aku bisa memikirkannya sekarang. "Apakah
Edward tahu kau di sini?" Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Bagaimanapun,
itu kepedihanku. Aku akan membereskannya setelah Alice pergi nanti, aku berjanji
pada diriku sendiri, dan merasa mual memikirkannya.
"Tidak." Hanya ada satu kemungkinan bahwa itu benar.
"Dia tidak sedang bersama Carlisle dan Esme?"
"Dia datang beberapa bulan sekali."
"Oh." Kalau begitu ia pasti masih sibuk menikmati hal-hal lain yang bisa
mengalihkan pikirannya. Aku memfokuskan rasa ingin tahuku pada topik lain yang
lebih aman. "Kaubilang tadi kau terbang ke sini... Kau datang dari mana?"
"Aku sedang di Denali. Mengunjungi keluarga Tanya."
"Apakah Jasper ada di sini" Dia datang bersamamu?"
Alice menggeleng. "Dia tidak suka aku ikut campur. Kami sudah berjanji... "
Suaranya menghilang, kemudian nadanya berubah. "Menurutmu Charlie tidak
keberatan aku datang ke sini?" tanyanya, terdengar waswas.
"Charlie menganggapmu baik sekali, Alice"
"Well, sebentar lagi kita akan tahu."
Benar saja, beberapa detik kemudian aku mendengar suara mobil memasuki halaman.
Aku melompat dan bergegas membukakan pintu.
Charlie tersaruk-saruk pelan meniti jalan, matanya tertuju ke tanah dan bahunya
terkulai. Aku menghampirinya; ia bahkan tidak melihatku sampai aku memeluk
pinggangnya. Ia membalas pelukanku dengan sepenuh hati.
"Aku ikut sedih mendengar tentang Harry, Dad"
"Aku akan sangat kehilangan dia," gumam Charlie.
"Bagaimana keadaan Sue?"
"Dia seperti orang linglung, seperti belum bisa mencernanya. Sam menemaninya
sekarang... " Volume suaranya hilang-timbul. "Kasihan anak-anak itu. Leah hanya setahun lebih
tua daripada kau, sementara Seth baru empat belas... " Charlie menggeleng-
gelengkan kepala. Sambil tetap merangkulku, Charlie berjalan lagi menuju pintu.
"Em, Dad?" Kupikir lebih baik aku mengingatkannya dulu. "Dad pasti tidak akan
menyangka siapa yang sedang di sini sekarang."
Charlie menatapku kosong. Kepalanya menoleh dan melihat Mercedez yang diparkir
di seberang jalan, cahaya lampu teras terpantul di bodinya yang dicat hitam
mengilat. Sebelum ia sempat bereaksi, Alice sudah berdiri di ambang pintu.
"Hai, Charlie," sapanya pelan. "Maaf aku datang pada saat yang sangat tidak
tepat." "Alice Cullen?" Charlie memicingkan mata, memandangi sosok mungil di depannya,
seolah-olah meragukan matanya sendiri. "Alice, benarkah itu kau?"
"Ini memang aku," Alice membenarkan. "Kebetulan aku sedang berada di sekitar
sini." "Apakah Carlisle...?"
"Tidak, aku sendirian."
Baik Alice maupun aku tahu bukan Carlisle sebenarnya yang ingin ditanyakan
Charlie. Lengannya mencengkeram bahuku lebih erat.
"Dia boleh menginap di sini, kan?" pintaku. "Aku sudah memintanya."
"Tentu saja," jawab Charlie datar. "Kami senang menerimamu di sini, Alice."
"Terima kasih, Charlie. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat."
"Tidak, tidak apa-apa, sungguh. Aku akan sangat sibuk melakukan apa yang bisa
kulakukan untuk keluarga Harry; aku senang ada yang menemani Bella."
"Makan malam sudah siap di meja, Dad," aku memberi tahu ayahku.
"Trims, Bell" Ia meremas bahuku sekali lagi sebelum tersaruk-saruk ke dapur.
Alice kembali ke sofa, dan aku mengikutinya. Kali ini dialah yang merangkul
bahuku. "Kau kelihatan capek."
"Yeah," aku sependapat, dan mengangkat bahu. "Begitulah kalau habis mengalami
peristiwa yang nyaris menyebabkan kematian... Jadi, apa pendapat Carlisle
mengenai kedatanganmu ke sini?"
"Dia tidak tahu. Dia dan Esme sedang pergi berburu. Beberapa hari lagi dia
kembali." "Kau tidak akan memberi tahu dia, kan... kalau dia datang lagi nanti"'' tanyaku.
Alice tahu yang kumaksud kali ini bukan Carlisle.
"Tidak. Bisa-bisa dia ngamuk nanti," jawab Alice muram. Aku tertawa, kemudian
mendesah. Aku tidak kepingin tidur. Aku ingin berjaga sepanjang malam, mengobrol dengan
Alice. Lagi pula, tidak masuk akal bila aku lelah, karena seharian tadi aku
tidur di sofa Jacob. Tapi tenggelam benar-benar menguras habis tenagaku, tapi
mataku tak mau diajak kompromi. Kuletakkan kepalaku bahunya yang sekeras batu,
dan terhanyut dalam tidur yang lebih tenang daripada yang bisa kuharapkan.
Aku bangun pagi-pagi sekali, dari tidur nyenyak tanpa mimpi, merasa segar bugar
tapi kaku. Aku terbaring di sofa, di bawah selimut yang kusiapkan untuk Alice,
dan aku bisa mendengarnya mengobrol dengan Charlie di dapur.
Kedengarannya Charlie sedang membuatkan sarapan untuknya.
"Seberapa parah keadaannya, Charlie?" tanya Alice lirih, dan awalnya kukira
mereka sedang membicarakan keluarga Clearwater.
Charlie mendesah. "Parah sekali."
"Ceritakan semua padaku. Aku ingin tahu persis apa yang terjadi setelah kami
pergi." Sejenak tidak terdengar apa-apa kecuali pintu rak dapur ditutup dan pemantik api
di kompor dinyalakan. Aku menunggu, tegang.
"Aku tidak pernah merasa begitu tak berdaya," Charlie memulai lambat-lambat.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Minggu pertama itu - aku sampai
mengira mungkin dia perlu dirawat di rumah sakit. Dia tidak mau makan atau
minum, juga tidak mau bergerak. Dr. Gerandy bolak-balik menyebut istilah
'katatonik', tapi aku tidak mengizinkannya menemui Bella. Aku takut itu akan
membuatnya ketakutan."
"Tapi akhirnya dia normal lagi?"
"Aku meminta Renee datang dan membawanya ke Florida. Pokoknya aku tidak mau
menjadi orang yang... seandainya dia harus dirawat di rumah sakit atau
sebangsanya. Aku berharap tinggal dengan ibunya bisa membantu. Tapi waktu kami
mulai mengemasi pakaiannya, tiba-tiba saja dia bangun. Aku pernah melihat Bella
mengamuk seperti itu. Dia bukan anak pemarah, tapi, ya ampun, saat itu dia
mengamuk habis-habisan. Dia menghamburkan pakaiannya ke mana-mana dan berteriak-
teriak, tidak mau disuruh pergi- kemudian akhirnya dia mulai menangis.
Menurutku, itulah titik baliknya. Aku tidak membantah waktu dia bersikeras ingin
tetap tinggal di sini... dan awalnya dia benar-benar seperti sudah membaik... "
Suara Charlie menghilang. Sulit mendengarnya mencurahkan isi hati seperti ini,
tahu betapa aku sudah sangat menyusahkannya.
"Tapi?" desak Alice.
"Dia kembali bersekolah dan bekerja, makan, tidur, dan mengerjakan PR. Dia
menjawab bila ditanya. Tapi dia... kosong. Matanya hampa. Banyak hal kecil yang
hilang - dia tidak mau mendengarkan musik lagi; aku bahkan pernah menemukan
setumpuk CD rusak di tong sampah. Dia tidak membaca; dia tidak mau berada di
ruangan yang sama bila TV menyala, meskipun sejak dulu dia memang jarang nonton
TV. Akhirnya aku mengerti-Bella sengaja menghindar dari segala sesuatu yang
mengingatkannya pada... dia.
"Kami nyaris tak bisa berbicara; aku sangat khawatir akan mengatakan hal-hal
yang bisa membuatnya sedih-hal-hal kecil saja bisa membuatnya kalut - dan dia
tidak pernah memulai pembicaraan. Dia baru menjawab bila kutanya.
"Dia sendirian terus sepanjang waktu. Tidak pernah membalas telepon teman-
temannya, dan setelah beberapa saat, mereka berhenti menelepon.
"Pendek kata, rasanya seperti tinggal dengan mayat hidup. Aku masih mendengar
dia menjerit dalam tidurnya... "
Aku nyaris bisa melihatnya bergidik. Aku sendiri juga bergidik waktu ingat.
Kemudian aku mendesah. Ternyata aku tidak berhasil memperdaya Charlie dengan
berpura-pura terlihat baik-baik saja. Sedikit pun dia tidak terperdaya.
"Aku sangat menyesal mendengarnya, Charlie," ucap Alice, nadanya muram.
"Itu bukan salahmu." Cara Charlie mengucapkan hal itu menunjukkan dengan jelas
bahwa ia menganggap ada orang yang bertanggung jawab dalam hal itu. "Sejak dulu
kau selalu baik padanya."
"Sepertinya dia sudah lebih baik sekarang"
"Yeah. Sejak dia bergaul dengan Jacob Black, aku melihat banyak kemajuan.
Pipinya mulai merona lagi bila dia pulang, matanya juga kembali bercahaya. Dia
lebih bahagia." Charlie terdiam sejenak, dan suaranya berbeda waktu berbicara
lagi. "Jacob satu atau dua tahun lebih muda daripada Bella, dan aku tahu dia
dulu menganggap Jacob sebagai teman, tapi kurasa mungkin hubungan mereka
sekarang lebih daripada itu, atau mengarah ke sana paling tidak." Charlie
mengucapkannya dengan nada yang nyaris seperti mengajak perang. Itu peringatan,
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan bagi Alice, tapi agar Alice meneruskannya ke pihak lain.
"Walaupun lebih muda, Jake sangat dewasa," sambung Charlie, nadanya masih
defensif. "Dia mengurus ayahnya secara fisik seperti Bella mengurus ibunya
secara emosional. Itu mendewasakan dia. Anaknya juga tampan-mirip ibunya. Dia
cocok dengan Bella," Charlie menandaskan.
"Kalau begitu, untunglah Bella memiliki dia," Alice sependapat.
Charlie mengembuskan napas panjang, merasa tidak punya lawan lagi. "Oke, kurasa
itu terlalu melebih-lebihkan. Entahlah... bahkan meskipun sudah ada Jacob,
sesekali aku masih melihat sesuatu di matanya, dan aku bertanya-tanya apakah
bisa memahami betapa sakit hatinya sesungguhnya. Itu tidak normal, Alice, dan
itu... itu membuatku takut. Sama sekali tidak normal. Tidak seperti... ditinggal
seseorang, tapi seolah-olah seperti ada yang meninggal." Suara Charlie pecah.
Memang seperti ada yang meninggal-seolah-olah akulah yang meninggal. Karena
rasanya lebih dari sekadar kehilangan seseorang yang merupakan cinta paling
sejati dalam hidupku. Tapi juga kehilangan seluruh masa depan, seluruh keluarga-
seluruh hidup yang telah kupilih...
Charlie melanjutkan ceritanya dengan nada tak berdaya. "Aku tidak tahu apakah
Bella akan bisa melupakannya - aku tak yakin apakah dia bisa pulih dari sesuatu
seperti ini. Sejak dulu dia selalu konstan dalam segala hal. Dia bukan tipe
orang yang melupakan masa lalu, atau yang bisa berubah pikiran."
"Dia memang berbeda dari yang lain," Alice membenarkan dengan suara kering.
"Dan Alice..." Charlie ragu-ragu sejenak. "Kau tahu aku sayang padamu, dan bisa
kulihat dia senang bisa bertemu lagi denganmu, tapi... aku agak khawatir
bagaimana kunjunganmu ini akan berakibat padanya."
"Aku juga begitu, Charlie, aku juga begitu. Aku tidak akan datang seandainya
tahu keadaannya seperti ini. Maafkan aku."
"Jangan meminta maaf, Sayang. Siapa yang tahu" Mungkin ini akan berdampak baik
baginya." "Mudah-mudahan kau benar."
Lama tidak terdengar suara apa-apa kecuali bunyi garpu menggesek piring dan
suara Charlie mengunyah. Aku bertanya-tanya dalam hati di mana Alice
menyembunyikan makanannya.
"Alice, aku harus menanyakan sesuatu padamu," kata Charlie canggung.
Alice tetap tenang. "Silakan."
"Dia tidak bermaksud kembali ke sini untuk berkunjung, bukan?" Aku bisa
mendengar amarah tertahan dalam suara Charlie.
Alice menjawab dengan nada lembut dan menenangkan. "Dia bahkan tidak tahu aku
kemari. Terakhir kali aku bicara dengannya, dia sedang di Amerika Selatan."
Tubuhku langsung tegang mendengar informasi baru ini, dan membuka telingaku
lebar-lebar. "Baguslah kalau begitu," dengus Charlie. "Well, kuharap dia senang di sana."
Untuk pertama kali terdengar secercah nada kaku dalam suara Alice. "Aku tidak
akan berasumsi apa-apa, Charlie." Aku tahu bagaimana matanya berkilat bila ia
menggunakan nada itu. Terdengar suara kursi didorong menjauhi meja, menggesek lantai dengan suara
keras. Aku membayangkan Charlie berdiri; tak mungkin Alice menghasilkan suara
seberisik itu. Keran diputar, airnya menciprat membasahi piring.
Sepertinya mereka tidak akan membicarakan Edward lagi, maka kuputuskan
sekaranglah waktunya bangun.
Aku berbalik, sengaja membuat pegas sofa berderit. Lalu aku menguap dengan suara
keras. Suara-suara di dapur langsung terdiam. Aku menggeliat dan mengerang.
"Alice?" panggilku pura-pura lugu; suaraku yang parau karena tenggorokanku sakit
membuat sandiwaraku semakin meyakinkan.
"Aku di dapur, Bella," seru Alice, tak ada tanda-tanda dalam suaranya bahwa ia
curiga aku menguping pembicaraan mereka tadi. Tapi ia memang pandai
menyembunyikan hal-hal semacam itu.
Charlie harus berangkat saat itu-ia akan membantu Sue Clearwater mengurus segala
sesuatu berkaitan dengan pemakaman Harry. Ini pasti akan jadi hari yang sangat
panjang dan membosankan seandainya tidak ada Alice. Ia belum mengatakan kapan
akan pergi, dan aku juga tidak bertanya. Aku tahu itu takkan bisa dihindari,
tapi aku sengaja tidak mau memikirkannya.
Kami malah mengobrol tentang keluarganya- semua kecuali satu.
Carlisle bekerja shift malam di Ithaca dan mengajar paruh waktu di Cornell. Esme
merestorasi sebuah rumah yang didirikan pada abad ketujuh belas, sebuah monumen
bersejarah, di hutan di utara kota. Emmett dan Rosalie sempat pergi berbulan
madu lagi ke Eropa selama beberapa bulan, tapi sekarang sudah kembali. Jasper
juga berada di Cornell, kali ini belajar filosofi. Sementara Alice melakukan
beberapa riset pribadi, berkaitan dengan informasi yang tanpa sengaja kutemukan
untuknya musim semi lalu. Ia berhasil melacak keberadaan rumah sakit jiwa
tempatnya menghabiskan tahun-tahun terakhirnya sebagai manusia. Kehidupan yang
tidak diingatnya sama sekali.
"Namaku dulu Mary Alice Brandon," Alice bercerita padaku dengan suara pelan.
"Aku punya adik perempuan bernama Cynthia. Anak perempuannya - keponakanku -
masih hidup dan tinggal di Biloxi."
Kau berhasil mengetahui alasan mereka memasukkanmu ke... tempat itu?" Apa yang
membuat orangtua sanggup melakukan hal seekstrem itu" Walaupun putri mereka bisa
melihat hal-hal yang akan terjadi di masa depan...
Alice menggeleng, mata topaz-nya berpikir. "Tak banyak yang bisa kutemukan
mengenai mereka. Aku meneliti semua koran lama yang disimpan di mikrofilm.
Keluargaku tidak sering disebut-sebut; mereka bukan bagian dari lingkaran sosial
yang diberitakan di koran-koran. Yang ada hanya berita pertunangan kedua
orangtuaku, juga pertunangan Cynthia," Nama itu diucapkan dengan sikap canggung.
"Kelahiranku juga diumumkan... begitu juga kematianku. Aku menemukan hiburanku.
Aku juga mencuri formulir pendaftaranku ke rumah sakit jiwa dari arsip lama
rumah sakit. Tanggal aku masuk ke sana dan tanggal di nisanku sama."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, dan, setelah terdiam sejenak, Alice beralih
ke topik-topik lain yang lebih ringan.
Keluarga Cullen telah berkumpul lagi sekarang, kecuali satu orang, menghabiskan
liburan musim semi di Denali bersama Tanya dan keluarganya.
Aku mendengarkan dengan penuh semangat, bahkan kabar-kabar yang paling remeh
sekalipun. Alice tak pernah menyinggung orang yang paling menarik hatiku, dan
aku mensyukurinya. Cukuplah mendengar cerita-cerita tentang keluarga yang dulu
aku pernah bermimpi ingin menjadi bagian darinya.
Charlie baru kembali setelah hari gelap, dan ia tampak lebih lelah daripada
malam sebelumnya. Ia akan kembali ke reservasi besok pagi-pagi sekali untuk
menghadiri pemakaman Harry, jadi ia tidur lebih cepat. Aku tidur di sofa lagi
bersama Alice. Charlie nyaris terlihat seperti orang asing saat berjalan menuruni tangga
sebelum matahari terbit, mengenakan setelan jas tua yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Jasnya dibiarkan tak dikancing; kurasa pasti karena terlalu sesak
sehingga tidak bisa dikancing. Dasinya agak terlalu lebar untuk mode saat ini.
Ia berjingkat-jingkat ke pintu, berusaha tidak membangunkan kami.
Kubiarkan ia pergi. Pura-Pura tidur, seperti yang dilakukan Alice di kursi
malas. Begitu Charlie keluar, Alice langsung duduk tegak. Di bawah selimut, ia
berpakaian lengkap. "Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanyanya.
"'Entahlah-kau melihat hal menarik yang bakal terjadi?"
Alice tersenyum dan menggeleng. "Tapi sekarang kan masih pagi sekali."
Sekian lama menghabiskan waktu di La Push berarti mengabaikan setumpuk pekerjaan
di rumah, jadi aku memutuskan untuk membereskannya sekarang. Aku ingin melakukan
sesuatu, apa saja, agar hidup Charlie lebih mudah - mungkin membuatnya senang
bila pulang dan menemukan rumah bersih dan rapi. Aku memulainya dari kamar mandi
- ruangan itulah yang paling menunjukkan tanda-tanda tidak terurus.
Sementara aku bekerja, Alice bersandar di ambang pintu dan mengajukan pertanyaan
remeh tentang, Well, teman-teman SMA kami seru apa saja yang mereka kerjakan
semenjak ia pergi. Wajahnya tetap tenang dan tanpa emosi, tapi aku bisa
merasakan ketidaksukaannya waktu ia sadar betapa sedikitnya yang bisa
kuceritakan padanya. Atau mungkin itu hanya perasaan bersalahku setelah
menguping pembicaraannya dengan Charlie kemarin pagi.
Aku sedang sibuk berkutat dengan cairan pembersih, menggosok dasar bak mandi,
waktu bel pintu berbunyi.
Aku langsung menoleh pada Alice, dan ekspresinya terperangah, nyaris waswas, hal
yang aneh; Alice tidak pernah terkejut.
"Sebentar!" seruku ke pintu depan, berdiri, lalu bergegas ke wastafel untuk
membasuh kedua lenganku. "Bella," kata Alice dengan secercah nada frustrasi dalam suaranya, "kurasa aku
bisa menebak siapa yang datang itu, jadi kupikir ada baiknya kalau aku pergi."
"Menebak?" aku menirukan. Sejak kapan Alice harus menebak sesuatu"
"Bila ini pengulangan dari ketidakmampuanku melihat masa depan seperti yang
terjadi kemarin, maka besar kemungkinan yang datang itu Jacob Black atau salah
seorang... temannya."
Aku menatap Alice, mulai paham. "Jadi kau tidak bisa melihat werewolf?"
Alice meringis. "Sepertinya begitu." Jelas ia jengkel oleh fakta ini - sangat
jengkel. Bel pintu berdering lagi - berbunyi untuk kedua kalinya, cepat dan tidak sabar.
"Kau tidak perlu pergi ke mana-mana, Alice. Kau yang lebih dulu berada di sini."
Alice mengumandangkan tawa kecilnya yang merdu itu- ada nada sinis di sana.
"Percayalah padaku - bukan ide bagus membiarkan aku berada dalam ruangan yang
sama dengan Jacob Black."
Alice mengecup pipiku sekilas sebelum lenyap di balik pintu kamar Charlie - dan
keluar dari jendela kamar bagian belakang, tak diragukan lagi.
Bel pintu kembali berdering.
18. PEMAKAMAN AKU berlari cepat menuruni tangga dan menyentakkan pintu, membukanya.
Yang datang Jacob, tentu saja. Walaupun "buta", Alice tidak bodoh.
Ia berdiri nyaris dua meter dari pintu, hidungnya mengernyit tidak suka, tapi
wajahnya tenang- seperti topeng. Meski begitu aku tidak termakan oleh sikapnya
yang sok tenang; aku bisa melihat kedua tangannya gemetar pelan.
Amarah menjalari tubuhnya. Hal itu membuatku teringat pada siang tak
menyenangkan ketika ia lebih memilih Sam ketimbang aku, dan aku merasakan daguku
terangkat dengan sikap defensif sebagai respons.
Rabbit milik Jacob menunggu dengan mesin menyala di pinggir jalan, bersama Jared
di balik kemudi dan Embry di kursi penumpang. Aku paham maksudnya: mereka takut
membiarkan Jacob datang ke sini sendirian. Itu membuatku sedih, sekaligus agak
jengkel. Keluarga Cullen tidak seperti itu.
"Hai," sapaku akhirnya ketika Jacob tak juga bicara.
Jake mengerucutkan bibir, masih berdiri agak jauh dari pintu. Matanya menyapu
bagian depan rumah. Aku menggertakkan gigi.
"Dia tidak di sini. Kau membutuhkan sesuatu?"
Jacob ragu-ragu. "Kau sendirian?"
"Ya." Aku mendesah.
"Boleh aku bicara sebentar denganmu?"
"Tentu saja boleh, Jacob. Silakan masuk."
Jacob menoleh memandangi teman-temannya di mobil. Kulihat Embry menggeleng
sedikit. Entah mengapa, itu membuatku jengkel bukan main.
Rahangku kembali terkatup rapat. "Pengecut," gumamku pelan.
Mata Jacob beralih lagi padaku, alisnya yang hitam tebal berkerut marah di atas
matanya yang menjorok masuk. Rahangnya mengeras, dan ia berjalan mengentak-
entakkan kaki-tidak ada istilah lain untuk melukiskan caranya berjalan-
menghampiriku dan merangsek melewatiku masuk ke rumah.
Aku menatap Jared dan kemudian Embry dulu- aku tidak suka cara mereka menatapku
tajam seperti itu; apakah mereka benar-benar mengira aku akan membiarkan Jacob
dilukai"-sebelum menutup pintu di depan hidung mereka.
Jacob berdiri di ruang depan di belakangku, memandangi onggokan selimut di ruang
tamu. "Pesta menginap nih?" tanyanya, nadanya sinis.
"Yeah," jawabku, sama ketusnya. Aku tidak suka melihat Jacob bertingkah seperti
ini. "Memangnya kenapa?"
Jacob mengernyitkan hidungnya lagi, seperti mencium suatu yang tidak
menyenangkan. "Mana 'teman'-mu?" Aku bisa mendengar tanda kutip dalam suaranya.
"Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Dengar, Jacob, apa maumu?"
Ada sesuatu di ruangan ini yang kelihatannya membuat Jacob gelisah-kedua
lengannya yang panjang bergetar. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah
beranjak ke dapur, matanya jelalatan.
Aku mengikutinya. Ia mondar-mandir di depan konter dapur yang pendek.
"Hei." seruku, menghalanginya. Jacob berhenti mondar-mandir dan menunduk
memandangiku. "Apa masalahmu?"
"Aku tidak suka harus datang ke sini"
Ucapannya menyinggung perasaanku. Aku meringis, dan mata Jacob terpejam.
"Kalau begitu sayang sekali kau harus datang," gerutuku. "Mengapa tidak langsung
saja kausampaikan apa yang perlu kausampaikan supaya kau bisa pergi?"
"Aku hanya perlu mengajukan beberapa pertanyaan padamu. Tidak butuh waktu lama.
Kami harus segera kembali untuk menghadiri pemakaman."
"Oke. Tanyakan saja" Aku mungkin terlalu berlebihan dalam menunjukkan sikap
bermusuhan, tapi aku tidak mau Jacob melihat betapa menyakitkannya ini bagiku.
Aku tahu aku tidak bersikap adil. Bagaimanapun, aku lebih memilih si pengisap
darah ketimbang dia semalam. Aku menyakitinya lebih dulu.
Jacob menghela napas dalam-dalam, dan jari-jarinya yang gemetar mendadak diam.
Wajahnya mulai tenang seperti topeng.
"Salah satu anggota keluarga Cullen menginap di sini bersamamu," ujarnya.
"Benar. Alice Cullen."
Jacob mengangguk khidmat. "Berapa lama dia akan berada di sini?"
"Selama yang dia inginkan." Nadaku masih menantang. "Rumah ini terbuka baginya."
"Menurutmu bisakah kau... tolong... menjelaskan padanya tentang yang lain itu-
Victoria?" Wajahku memucat. "Aku sudah bercerita padanya."
Jacob mengangguk. "Kau perlu tahu bahwa kami hanya bisa mengawasi wilayah kami
sendiri dengan adanya seorang anggota keluarga Cullen di sini. Kau baru akan
aman bila berada di La Push. Aku tidak bisa lagi melindungimu di sini."
"Oke," sahutku, suara nyaris tak terdengar.
Jacob memalingkan wajah, memandang ke luar jendela. Ia tidak melanjutkan kata-
katanya. "Itu saja?" Dengan mata tetap tertuju ke jendela, Jacob menjawab, "Satu pertanyaan lagi."
Aku menunggu, tapi ia tidak bicara juga. "Ya?" desakku akhirnya.
"Apakah yang lain-lain juga akan kembali ke sini sekarang?" tanyanya, suaranya
pelan dan tenang. Mengingatkanku pada pembawaan Sam yang selalu tenang. Semakin
hari Jacob semakin mirip Sam... aku heran sendiri mengapa itu membuatku merasa
sangat terganggu. Sekarang akulah yang diam saja. Jacob menoleh dan memandangi wajahku dengan mata
menyelidik. "Well?" tanyanya. Susah payah ia berusaha menutupi ketegangan di balik
ekspresinya yang tenang. "Tidak," jawabku akhirnya. Dengan enggan. "Mereka tidak akan kembali."
Ekspresinya tidak berubah. "Oke. Itu saja. "
Kutatap dia dengan garang, kejengkelanku kembali membara."Well, sekarang kau
bisa pergi. Katakan pada Sam monster-monster mengerikan itu tidak kembali untuk
menyerang kalian." "Oke," ulang Jacob, tetap tenang.
Sepertinya perkataanku itu menyinggung perasaannya. Jacob cepat keluar dari
dapur. Aku menunggu mendengar bunyi pintu depan dibuka, tapi tidak terdengar
apa-apa. aku bisa mendengar detak jarum jam di atas kompor, dan dalam hati aku
mengagumi kemampuan Jacob bergerak tanpa suara.
Benar-benar kacau. Bagaimana mungkin aku bisa membuatnya menjauh dariku dalam
waktu begitu singkat"
Apakah ia akan memaafkanku bila Alice sudah pergi nanti" Bagaimana kalau ia
tidak memaafkanku" Aku bersandar lemas ke konter dan mengubur wajahku dengan kedua tangan.
Bagaimana aku bisa mengacaukan semuanya" Tapi apa lagi yang bisa kulakukan yang
mungkin membuahkan hasil berbeda" Bahkan saat menoleh ke belakang, aku tak bisa
memikirkan cara lain yang lebih baik, tindakan lain yang sempurna.
"Bella...?" tanya Jacob, suaranya gelisah. Aku
mengeluarkan wajahku dari balik tangan dan melihat Jacob ragu-ragu di ambang
pintu dapur; ternyata ia belum pergi seperti yang kukira. Setelah melihat tetes-
tetes bening berkilauan di tanganku, barulah aku sadar bahwa aku menangis.
Ekspresi tenang Jacob kini lenyap; wajahnya cemas dan tak yakin. Ia bergegas
kembali dan berdiri di depanku, menunduk sehingga matanya dekat sekali dengan
mataku.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku melakukannya lagi, ya?"
"Melakukan apa?" tanyaku, suaraku pecah,
"Melanggar janjiku. Maaf."
"Tidak apa-apa," gumamku. "Kali ini penyebabnya aku sendiri."
Wajah Jake berkerut-kerut. "Aku tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka.
Seharusnya aku tidak kaget lagi."
Aku bisa melihat perubahan di matanya. Ingin rasanya aku menjelaskan bagaimana
Alice sesungguhnya, untuk melindunginya dari penghakiman Jacob, tapi seolah-olah
ada yang mengingatkanku bahwa sekarang belum waktunya menjelaskan hal itu.
Maka aku hanya bisa berkata, "Maaf," sekali lagi.
"Bagaimana kalau kita tidak usah mempermasalahkannya lagi, oke" Dia hanya
berkunjung, kan" Dia akan pergi, dan keadaan akan kembali normal."
"Tidak bisakah aku berteman dengan kalian berdua sekaligus?" tanyaku, suaraku
tak mampu menyembunyikan kepedihan yang kurasakan.
Jacob menggeleng lambat-lambat. "Tidak, kurasa tidak bisa."
Aku mengisap ingus dan memandangi kakinya yang besar. "Tapi kau mau menungguku,
kan" Kau akan tetap menjadi temanku, walaupun aku juga menyayangi Alice?"
Aku tidak mendongak, takut melihat pikiran Jacob berkaitan dengan kalimat
terakhirku tadi. Jacob tidak langsung menjawab, jadi mungkin ada benarnya aku
tidak melihat tadi. "Yeah, aku akan selalu menjadi temanmu," katanya parau. "Tak peduli siapa pun
yang kausayangi." "Janji?" "Janji." Aku bisa merasakan lengan Jacob meliukku, dan aku bersandar di dadanya, masih
terisak-isak. "Menyebalkan."
"Yeah." Kemudian Jacob mengendusi rambutku dan berseru, "Hueek."
"Apa!" sergahku. Aku mendongak dan melihat hidung Jacob mengernyit lagi.
"Mengapa semua orang bersikap begitu padaku" Aku kan tidak bau!"
Jacob tersenyum sedikit. "Ya. kau bau - baumu seperti mereka. Hah. Terlalu
manis-manis memuakkan. Dan... dingin. Membakar hidungku."
"Sungguh?" Aneh. Bau Alice wangi sekali. Bagi manusia, setidaknya. "Tapi kalau
begitu, mengapa Alice juga menganggapku bau sekali?"
Senyum Jacob langsung lenyap. "Hah. Mungkin baginya bauku juga tidak terlalu
enak. Hah." "Well, bau kalian baik-baik saja menurutku." Aku meletakkan kepalaku di dadanya
lagi. Aku akan sangat kehilangan Jacob kalau dia pergi meninggalkanku nanti.
Seperti makan buah simalakama saja-di satu sisi aku ingin Alice tetap di sini
selamanya. Aku bisa mati-secara metaforis-bila dia meninggalkanku. Tapi
bagaimana aku bisa tahan hidup tanpa bertemu Jacob" Benar-benar kacau, pikirku
lagi. "Aku pasti akan merindukanmu," bisik Jacob, menyuarakan pikiranku. "Setiap
menit. Mudah-mudahan sebentar lagi dia pergi."
"Tidak harus seperti itu, Jake."
Jacob mendesah. "Tidak, memang harus begitu, Bella. Kau... sayang padanya. Jadi
lebih baik bila aku tidak dekat-dekat dengannya. Aku tidak yakin akan cukup bisa
mengendalikan diri untuk menghadapinya. Sam pasti marah kalau aku melanggar
kesepakatan, dan-" nadanya berubah
sarkastis-"mungkin kau juga tidak suka kalau aku membunuh temanmu."
Aku terkejut mendengar perkataannya, tapi Jacob justru semakin mempererat
lengannya, menolak melepaskanku. "Tidak ada gunanya menghindari kebenaran.
Memang begitulah keadaannya, Bella."
"Aku tidak suka keadaannya seperti itu."
Jacob membebaskan satu tangan sehingga bisa mengangkat daguku dengan tangan
cokelatnya yang besar dan memaksaku menatapnya. "Yeah. Lebih mudah dulu, ketika
kita masih sama-sama manusia, ya?"
Aku mendesah. Kami saling memandang lama sekali. Tangannya panas membara di kulitku. Di
wajahku, aku tahu tidak tergambar emosi apa pun kecuali kesedihan sendu-aku
tidak ingin mengucapkan selamat berpisah sekarang, meski hanya sebentar. Mulanya
wajah Jacob merefleksikan wajahku, namun ketika kami sama-sama tak mengalihkan
pandangan, ekspresinya berubah.
Ia melepaskanku, mengangkat tangannya yang lain untuk membelai pipiku dengan
ujung-ujung jari, terus hingga ke dagu. Aku bisa merasakan jari-jarinya
bergetar-kali ini bukan karena marah. Ia menaruh telapak tangannya ke pipiku,
sehingga wajahku terperangkap oleh kedua tangannya yang panas membara.
"Bella," bisiknya. Aku membeku.
Tidak! Aku belum mengambil keputusan tentang ini. Entah apakah aku mampu
melakukannya, dan sekarang aku sedang tak bisa berpikir. Tapi sungguh tolol jika
aku mengira menolaknya sekarang takkan menghasilkan konsekuensi apa-apa.
Aku membalas tatapannya. Ia bukan Jacob-ku. tapi ia bisa menjadi milikku.
Wajahnya sangat kukenal dan kusayang. Dalam begitu banyak hal, aku memang
mencintainya. Ia penghiburku, pelabuhanku yang aman. Sekarang ini, aku bisa
memilih untuk menjadikannya milikku.
Alice memang sekarang kembali, tapi itu tidak mengubah apa-apa. Cinta sejati
telah hilang selama-lamanya. Sang pangeran takkan pernah kembali untuk
mengecupku dan membangunkanku dari tidur yang panjang. Lagi pula, aku juga bukan
seorang putri. Jadi apa protokol cerita dongeng untuk ciuman-ciuman lain"
Ciuman sepele yang tidak memusnahkan mantra"
Mungkin akan mudah-seperti menggenggam tangannya atau dirangkul olehnya. Mungkin
akan terasa menyenangkan. Mungkin tidak akan terasa seperti pengkhianatan. Lagi
pula, memangnya aku mengkhianati siapa" Hanya diriku.
Sambil tetap menatap mataku, Jacob mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tapi
aku masih belum bisa memutuskan.
Dering telepon membuat kami sama-sama melompat kaget, namun tidak membuyarkan
konsentrasi Jacob. Ia menarik tangannya dari bawah daguku dan menyambar gagang
telepon, tapi sambil tetap memegang pipiku dengan tangannya yang lain. Matanya
yang gelap tak beralih sedikit pun dari mataku. Pikiranku terlalu kacau untuk
bisa bereaksi, bahkan mengambil kesempatan dari gangguan yang mendadak itu.
"Kediaman keluarga Swan," jawab Jacob, suara seraknya rendah dan dalam
Seseorang menyahut, dan sikap Jacob serta-merta berubah. Ia menegakkan badan,
dan tangannya terjatuh dari wajahku. Matanya langsung berubah datar, wajahnya
kosong, dan aku berani mempertaruhkan sisa dana kuliahku yang tidak seberapa
bahwa yang menelepon itu pasti Alice.
Kesadaranku pulih dan tanganku terulur, meminta telepon. Jacob tak menggubrisku.
"Dia tidak ada di sini," jawab Jacob, dan kata-katanya bernada garang.
Orang yang menelepon itu mengatakan sesuatu, sepertinya meminta tambahan
informasi, karena Jacob menambahkan dengan sikap enggan, "Dia sedang menghadiri
pemakaman." Lalu Jacob menutup telepon. "Dasar pengisap darah kurang ajar," gerutunya pelan.
Ia kembali menunjukkan wajah yang seperti topeng getir itu.
"Siapa itu, kenapa kau menutup telepon begitu saja?" aku terkesiap, marah. "Ini
rumahku, dan itu teleponku!"
"Tenang! Justru dia yang menutup telepon duluan!"
"Dia" Dia siapa?"
Jacob menyemburkan gelar itu dengan nada mengejek. "Dr. Carlisle Cullen."
"Mengapa kau tidak memberikan teleponnya padaku"!"
"Dia tidak minta bicara denganmu kok," jawab Jacob dingin. Wajahnya tenang,
tanpa ekspresi, tapi kedua tangannya gemetar. "Dia bertanya di mana Charlie dan
kujawab. Kurasa aku tidak melanggar etika apa pun."
"Dengar aku, Jacob Black-"
Tapi Jacob jelas tidak mendengarkan kata-kataku. Ia menoleh ke belakang dengan
cepat, seolah-olah ada orang yang memanggilnya dari ruangan lain. Matanya
membelalak lebar dan tubuhnya mengejang, lalu mulai bergetar. Otomatis aku ikut
mendengarkan juga, tapi tidak terdengar suara apa-apa.
"Bye, Bells." semburnya, lalu tergesa-gesa menuju pintu depan.
Aku berlari mengejarnya. "Ada apa?"
Kemudian aku menabraknya, saat ia berhenti, menggoyang-goyangkan badan dengan
bertumpu pada tumit, memaki pelan. Tiba-tiba ia berbalik lagi, menyenggolku
keras. Aku goyah dan rubuh ke lantai, kedua kakiku tersangkut di kakinya.
"Sialan, aduh!" protesku saat Jacob buru-buru menyentakkan kakinya,
membebaskannya dari belitan kakiku.
Susah payah aku bangkit kembali sementara Jacob berlari menuju pintu belakang;
mendadak ia kembali membeku. Alice berdiri tak bergerak di kaki tangga.
"Bella," panggilnya dengan suara tercekat. Aku cepat-cepat berdiri dan
menghambur mendapatinya. Mata Alice nanar dan menerawang jauh, wajahnya tegang
dan pucat pasi seperti mayat. Tubuhnya yang langsing bergetar karena pergolakan
di dalam dirinya. "Alice, ada apa?" pekikku. Aku merengkuh wajahnya dengan kedua tangan, berusaha
menenangkannya. Matanya mendadak terfokus ke mataku, membelalak oleh kesedihan.
"Edward," hanya itu yang ia bisikkan.
Tubuhku bereaksi lebih cepat daripada yang sanggup ditangkap oleh otakku begitu
mendengar jawabannya. Awalnya aku tak mengerti mengapa ruangan berputar atau
dari mana raungan hampa di telingaku ini berasal. Pikiranku bergerak sangat
lambat, tak mampu mencerna wajah Alice yang muram dan apa hubungan hal itu
dengan Edward, sementara tubuhku saat itu sudah goyah, mencari kelegaan dalam
ketidaksadaran sebelum kenyataan dapat menghantamku telak-telak.
Tangga terlihat miring dalam sudut yang sangat tidak lazim.
Suara Jacob yang marah tiba-tiba terdengar di telingaku, mendesis menghamburkan
kata-kata makian. Samar-samar aku merasa tidak senang. Teman-teman barunya jelas
memberi pengaruh yang tidak baik.
Aku terbaring di sofa tanpa mengerti mengapa aku bisa berada di sana, dan Jacob
masih terus mengumpat-umpat. Rasanya seperti ada gempa bumi-sofa berguncang-
guncang di bawah tubuhku.
"Kauapakan dia?" tuntut Jacob.
Alice tak menggubrisnya. "Bella" Bella, sadarlah. Kita harus bergegas."
"Jangan mendekat," tegur Jacob.
"Tenanglah, Jacob Black," Alice memerintahkan. "Jangan sampai kau berubah dalam
jarak sedekat itu dengannya."
"Kurasa aku tidak punya masalah dalam mengendalikan diri," sergah Jacob, tapi
suaranya terdengar sedikit lebih dingin.
"Alice?" Suaraku lemah. "Apa yang terjadi?" tanyaku, walaupun aku tidak ingin
mendengarnya. "Aku tidak tahu," Alice tiba-tiba meraung. "Apa yang dia pikirkan"!"
Susah payah aku berusaha mengangkat tubuhku, meski kepalaku pusing. Sadarlah aku
bahwa aku mencengkeram tangan Jacob untuk menyeimbangkan diri. Dialah yang
berguncang-guncang, bukan sofanya.
Alice mengeluarkan ponsel perak kecil dari
dalam tas sementara mataku memandanginya. Jari-jarinya menekan cepat serangkaian
tombol, begitu cepatnya hingga tampak kabur.
"Rose, aku harus bicara dengan Carlisle sekarang." Suaranya tajam saat
melontarkan kata-kata itu. "Baiklah, pokoknya segera setelah dia kembali. Tidak,
aku akan naik pesawat. Dengar, kau sudah dapat kabar dari Edward?"
Alice terdiam sekarang, mendengarkan dengan ekspresi yang semakin lama semakin
ngeri. Mulutnya ternganga, membentuk huruf O penuh kengerian, dan ponsel di
tangannya bergetar hebat.
"Mengapa?" ia terkesiap. "Mengapa kau berbuat begitu, Rosalie?"
Apa pun jawabannya, itu membuat dagu Alice mengeras karena marah. Matanya
berkilat-kilat dan menyipit.
"Well kau salah besar dua kali, Rosalie, jadi itu pasti akan jadi masalah,
bukan?" tanyanya tajam.
"Ya, benar. Dia baik-baik saja-ternyata aku salah... Ceritanya panjang... Tapi
kau juga salah dalam hal itu, karena itulah aku menelepon... Ya, memang itulah
yang kulihat." Suara Alice sangat kaku dan bibirnya tertarik ke belakang. "Sudah agak terlambat
untuk itu, Rose. Simpan saja penyesalanmu untuk orang yang memercayainya." Alice
menutup ponsel lipatnya keras-keras.
Ia tampak tersiksa saat berpaling menatapku.
"Alice," semburku cepat-cepat. Aku belum sanggup membiarkannya bicara. Aku butuh
beberapa detik lagi sebelum ia berbicara dan kata-katanya menghancurkan apa yang
tersisa dalam hidupku. "Alice, Carlisle sudah kembali. Dia baru saja
menelepon... " Alice menatapku kosong. "Kapan?" tanyanya dengan suara bergaung hampa.
"Setengah menit sebelum kau muncul."
"Apa katanya?" Ia benar-benar fokus sekarang, menunggu jawabanku.
"Aku tidak sempat bicara dengannya." Mataku melirik Jacob.
Alice mengalihkan tatapannya yang tajam menusuk pada Jacob. Jacob tersentak,
tapi bergeming di dekatku. Ia duduk dengan sikap canggung, hampir seperti
berusaha menamengiku dengan tubuhnya.
"Dia minta bicara dengan Charlie, dan kukatakan Charlie tidak ada," sergah Jacob
dengan nada tidak senang.
"Hanya itu?" tuntut Alice, suaranya sedingin es.
"Lalu dia langsung menutup telepon," bentak Jacob. Sekujur tubuhnya bergetar,
membuatku ikut terguncang.
Alice menyentakkan kepalanya kembali ke arahku. "Bagaimana persisnya kata-
katanya?" "Dia bilang, 'Dia tidak ada di sini,' dan waktu Carlisle bertanya Charlie ke
mana, Jacob menjawab, 'Dia sedang menghadiri pemakaman.'"
Alice mengerang dan merosot lemas.
"Katakan padaku, Alice," bisikku.
"Itu tadi bukan Carlisle," katanya dengan sikap tak berdaya.
"Jadi menurutmu aku pembohong?" raung Jacob dari sampingku.
Alice mengabaikannya, memfokuskan diri pada wajahku yang kebingungan.
"Itu tadi Edward." Alice mengucapkannya sambil berbisik dengan suara tercekat.
"Dia mengira kau sudah mati."
Pikiranku mulai bekerja lagi. Kata-kata itu bukanlah yang kutakutkan, dan
kelegaan menjernihkan pikiranku.
"Rosalie memberi tahu dia bahwa aku bunuh diri, benar, kan?" tanyaku, mendesah
saat tubuhku mulai rileks kembali.
"Benar," Alice mengakui, matanya berkilat marah. "Dalam pembelaannya, dia memang
benar-benar memercayainya. Mereka terlalu mengandalkan penglihatanku meskipun
penglihatanku tidak sempurna. Tapi Rosalie sampai melacak keberadaan Edward
hanya untuk menyampaikan hal itu! Apakah dia tidak sadar... atau peduli...?" Suara Alice menghilang dalam kengerian.
"Dan waktu Edward menelepon ke sini, dia mengira yang dimaksud Jacob adalah
pemakamanku," aku tersadar. Sakit rasanya mengetahui aku tadi sudah sangat dekat
dengannya, hanya beberapa sentimeter saja dari suaranya. Kuku-kukuku terbenam di
kulit lengan Jacob, tapi ia bergeming.
Alice menatapku aneh. "Kau tidak kalut," bisiknya.
"Well, waktunya memang sangat tidak tepat, tapi semua bisa diluruskan kembali.
Kalau dia menelepon lagi nanti, dia bisa diberitahu tentang...kejadian...
sebenarnya..." Suaraku menghilang.
Tatapan Alice membuat kata-kataku tersangkut di tenggorokkan.
Mengapa Alice sepanik ini" Mengapa wajahnya berkerut-kerut oleh sikap kasihan
bercampur ngeri" Apa yang dikatakannya pada Rosalie di telepon barusan" Sesuatu
tentang penglihatannya... dan penyesalan Rosalie; Rosalie takkan pernah
menyesali apa pun yang terjadi padaku. Tapi bila dia menyakiti keluarganya,
saudara lelakinya... "Bella," bisik Alice. "Edward tidak akan menelepon lagi. Dia percaya pada
Rosalie." "Aku. Tidak. Mengerti." Mulutku membentuk setiap kata tanpa suara. Aku tidak
sanggup mendorong udara keluar dari mulutku untuk mengucapkan kata-kata yang
akan membuat Alice menjelaskan maksudnya.
"Dia pergi ke Italia."
Seketika aku langsung mengerti.
Ketika suara Edward terngiang kembali dalam ingatanku, suaranya bukan lagi
imitasi sempurna dari delusiku. Hanya nada datar dan lemah seperti yang terekam
dalam ingatanku. Tapi kata-katanya saja sudah cukup mengoyak dadaku dan
membuatnya menganga lebar. Kata-kata itu berasal dari saat ketika aku berani
mempertaruhkan segala yang kumiliki pada fakta bahwa ia mencintaiku.
Well aku tidak mau hidup tanpa kau, kata Edward waktu itu ketika kami menonton
Romeo dan Juliet meninggal, persis di ruangan ini. Tapi aku tidak tahu bagaimana
melakukannya... aku tahu Emmett dan Jasper tidak akan mau membantu... jadi
kupikir mungkin aku akan pergi ke Italia dan melakukan sesuatu untuk
memprovokasi Volturi... Kau tidak boleh membuat kesal keluarga Volturi. Kecuali
kau memang ingin mati. Kecuali kau memang ingin mati.
"TIDAK!" Penyangkalan setengah berteriak itu terdengar sangat nyaring setelah
kata-kata yang diucapkan sambil berbisik, hingga membuat kami semua terlonjak
kaget. Aku merasa darah menyembur ke wajahku saat aku menyadari apa yang telah
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilihat Alice. "Tidak! Tidak, tidak, tidak! Tidak boleh! Dia tidak boleh
melakukan hal itu!" "Dia langsung membulatkan tekad begitu temanmu mengonfirmasi bahwa sudah
terlambat untuk menyelamatkanmu."
"Tapi dia... dia yang pergi! Dia tidak menginginkanku lagi! Apa bedanya itu
sekarang" Dia toh sudah tahu aku bakal meninggal suatu saat nanti!"
"Menurutku dia memang tidak berniat hidup lagi setelah kau tidak ada," ujar
Alice pelan. "Berani betul dia!" jeritku. Aku berdiri sekarang, dan Jacob bangkit dengan
sikap ragu, lagi-lagi menempatkan dirinya di antara Alice dan aku.
"Oh, minggirlah, Jacob!" Kusikut tubuhnya yang gemetar itu dengan sikap tidak
sabar. "Apa yang bisa kita lakukan?" tanyaku pada Alice. Pasti ada yang bisa
kami lakukan. "Apakah kita tidak bisa meneleponnya" Bisakah Carlisle
menghubunginya?" Alice menggeleng-geleng. "Itu hal pertama yang kucoba. Dia membuang ponselnya ke
tong sampah di Rio-teleponku dijawab orang lain...," bisiknya.
"Kaubilang tadi kita harus bergegas. Bergegas bagaimana" Ayo kita lakukan, apa
pun itu!" "Bella, aku-aku tidak bisa memintamu untuk... " Suaranya menghilang dalam
kebimbangan. "Minta saja!" perintahku.
Alice memegang bahuku dengan kedua tangan, memegangiku jari-jarinya membuka dan
menutup secara sporadis untuk memberi penekanan pada kata-katanya. "Mungkin saja
kita sudah terlambat. Aku melihatnya mendatangi keluarga Volturi... dan minta
mati." Kami sama-sama bergidik, dan mataku tiba-tiba buta. Aku mengerjap-ngerjapkan
mata, mengusir air mata yang merebak. "Sekarang tergantung pada pilihan mereka.
Aku tidak bisa melihatnya sampai mereka mengambil keputusan. Tapi kalau mereka
mengatakan tidak, dan itu mungkin saja terjadi-Aro kan, menyayangi Carlisle, dan
tidak mau membuatnya sedih -
Edward punya rencana cadangan. Keluarga Volturi sangat protektif terhadap kota
mereka. Kalau Edward melakukan sesuatu yang mengoyakkan kedamaian tempat itu,
menurut perkiraannya, mereka pasti akan bertindak untuk menghentikannya. Dan dia
benar. Mereka memang akan bertindak."
Kutatap Alice dengan dagu mengejang frustrasi. Aku belum mendengar alasan apa
pun yang bisa menjelaskan mengapa kami masih berdiri di sini.
"Jadi kalau mereka setuju mengabulkan permintaannya, berarti kita terlambat.
Kalau mereka menolak, dan Edward menjalankan rencananya untuk membuat mereka
marah, kita juga terlambat. Kalau dia melakukan kecenderungan teatrikal-nya...
mungkin kita masih punya waktu."
"Ayo kita pergi!"
"Dengar, Bella! Terlepas dari apakah kita nanti terlambat atau tidak, kita akan
berada di jantung kota Volturi. Aku akan dianggap kaki tangan Edward bila dia
berhasil. Kau akan menjadi manusia yang bukan hanya terlalu banyak tahu, tapi
juga membangkitkan selera. Besar kemungkinan mereka akan menghabisi kita -
walaupun dalam kasusmu hukumannya mungkin menjadikanmu menu makan malam."
"Jadi itukah sebabnya kita tidak kunjung berangkat juga?" tanyaku dengan sikap
tak percaya. "Aku akan pergi sendirian kalau kau takut." Dalam hati aku
menghitung jumlah uang di rekeningku, dan bertanya-tanya apakah Alice bersedia
meminjamkan kekurangannya padaku.
"Aku hanya takut membuatmu terbunuh."
Aku mendengus sebal. "Setiap hari juga aku hampir terbunuh kok! Katakan padaku
apa yang perlu kulakukan!"
"Tulis pesan untuk Charlie. Aku akan menelepon perusahaan penerbangan."
"Charlie," aku terkesiap.
Bukan berarti keberadaanku di sini bisa melindunginya, tapi sanggupkah aku
meninggalkannya sendirian di sini untuk menghadapi... .
"Aku tidak akan membiarkan apa pun menimpa Charlie." Suara pelan Jacob terdengar
parau bercampur marah. "Masa bodoh dengan kesepakatan."
Aku mendongak dan menatapnya, tapi Jacob merengut melihat ekspresiku yang panik.
"Cepatlah. Bella," sela Alice dengan nada mendesak. Aku berlari ke dapur,
menyentakkan laci-laci hingga terbuka dan membuang semua isinya ke lantai,
kalang-kabut mencari bolpoin.
Sebuah tangan cokelat halus mengulurkan bolpoin padaku.
"Trims," gumamku, menarik tutupnya dengan gigi. Tanpa bersuara Jacob mengulurkan
notes tempat kami biasa menuliskan pesan-pesan telepon. Kurobek lembaran paling
atas dan kulempar begitu saja ke balik bahuku.
Dad, tulisku. Aku bersama Alice. Edward sedang ada masalah. Dad boleh
menghukumku kalau aku pulang nanti. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat.
Maafkan aku. Sangat sayang padamu. Bella.
"Jangan pergi," bisik Jacob. Amarahnya lenyap karena sekarang Alice sudah tak
ada lagi di ruangan itu. Aku tidak mau membuang-buang waktu berdebat dengannya. "Kumohon, kumohon,
kumohon jaga Charlie baik-baik," pintaku sambil melesat kembali ke ruang depan.
Alice menunggu di ambang pintu dengan tas disampirkan ke pundak.
"Ambil dompetmu-kau harus membawa KTP. Please, kuharap kau punya paspor. Tak ada
waktu untuk membuat paspor palsu."
Aku mengangguk dan berlari menaiki tangga, lututku lemas oleh perasaan bersyukur
karena ibuku sempat ingin menikah dengan Phil di pantai di Meksiko. Tentu saja,
seperti semua rencananya yang lain, rencana itu gagal total. Tapi aku sudah
telanjur melakukan segala persiapan berkenaan dengan rencananya itu.
Aku menghambur memasuki kamar. Kujejalkan dompet tuaku, T-shirt bersih, dan
celana panjang ke dalam ransel, dan cak ketinggalan sikat gigi.
Lalu aku melesat lagi menuruni tangga. Perasaan deja vu nyaris terasa mencekik
saat ini. Setidaknya, tidak seperti waktu itu-ketika aku harus melarikan diri dari Forks
untuk lolos dari kejaran para vampir haus darah, bukan malah menemui mereka-aku
tidak perlu berpamitan dengan Charlie secara langsung.
Jacob dan Alice tampak bersitegang di depan pintu yang terbuka, berdiri
berjauhan satu sama lain hingga awalnya orang pasti takkan mengira mereka sedang
berbicara. Tampaknya mereka tak menggubris kemunculanku kembali yang berisik.
"Mungkin saja kau bisa mengendalikan diri sesekali, tapi kau membawanya ke
hadapan lintah-lintah yang-" tuduh Jacob dengan nada marah.
"Ya. Kau benar, anjing." Alice tak kalah garang.
"Keluarga Volturi itu inti utama jenis kami - merekalah alasan mengapa bulu
kudukmu meremang saat kau mencium bauku. Mereka hakikat mimpi-mimpi burukmu,
kengerian di balik instingmu. Aku bukannya tidak menyadari hal itu."
"Dan kau membawa Bella ke mereka, seperti membawa sebotol anggur ke pesta!"
teriak Jacob. "Kaupikir dia lebih aman bila aku meninggalkannya sendirian di sini, bersama
Victoria yang mengincarnya?"
"Kami bisa mengatasi si rambut merah."
"Kalau benar begitu, mengapa dia masih berburu?"
Jacob menggeram, dan getaran hebat mengguncang tubuhnya.
"Hentikan!" teriakku pada mereka berdua, kalut oleh perasaan tidak sabar. "Nanti
saja berdebatnya, kalau kita sudah kembali. Ayo berangkat!'
Alice berbalik menuju mobilnya, menghilang saking buru-burunya. Aku bergegas
menyusulnya, otomatis berhenti sebentar untuk berbalik dan mengunci pintu.
Jacob menyambar lenganku dengan tangannya yang gemetar. "Please, Bella.
Kumohon." Bola matanya yang gelap berkaca-kaca oleh air mata. Tenggorokanku tercekat.
"Jake, aku harus-"
"Tapi kau tidak harus pergi. Sungguh. Kau bisa tinggal di sini bersamaku. Kau
bisa tetap hidup. Demi Charlie. Demi aku."
Mesin Mercedes Carlisle menderum; meraung-raung semakin keras saat Alice
menginjak pedal gas dengan tidak sabar.
Aku menggeleng, air mataku mengalir turun. Kutarik lenganku dari pegangannya,
dan Jacob tidak menahanku.
"Jangan mati, Bella," katanya dengan suara tercekik. "Jangan pergi. Jangan."
Bagaimana kalau aku tidak pernah melihatnya lagi"
Pikiran itu menyeruak keluar dari benakku di sela-sela air mata tanpa suara;
sedu sedan terlontar dari dadaku. Aku meraih pinggang Jacob dan memeluknya
sebentar, mengubur wajahku yang bersimbah air mata di dadanya. Jacob menempelkan
tangannya yang besar ke belakang kepalaku, seolah-olah ingin menahanku di sana.
"Selamat tinggal, Jake." Kutarik tangannya dari rambutku, dan kucium telapaknya.
Aku tak sanggup menatap wajahnya. "Maaf," bisikku.
Kemudian aku berbalik dan berlari ke mobil. Pintu penumpang sudah terbuka,
menunggu. Kulempar ranselku ke belakang dan masuk, membanting pintu di
belakangku. "Jaga Charlie baik-baik!" aku menoleh dan berteriak ke luar jendela, tapi Jacob
sudah tidak tampak lagi. Saat Alice menginjak pedal gas kuat-kuat dan-ban mobil
berderit keras bagaikan lengkingan suara manusia-memutar mobil dengan cepat ke
arah jalan, mataku tertumpu pada cabikan sesuatu berwarna putih, dekat pinggir
pepohonan. Cabikan sepatu.
19. BERPACU KAMI berhasil naik pesawat hanya beberapa detik sebelum jadwal keberangkatan,
dan siksaan sesungguhnya dimulai. Pesawat bertengger di apron dengan mesin
menyala sementara para pramugari melenggang-begitu santainya-di sepanjang lorong
pesawat, menepuk-nepuk tas yang disimpan di kompartemen di atas tempat duduk,
memastikan semuanya beres. Pilot-pilot mencondongkan tubuh dari kokpit,
mengobrol dengan pramugari-pramugari ketika mereka lewat. Tangan Alice terasa
keras di pundakku, menahanku tetap di kursi sementara aku bergerak-gerak
gelisah. "Ini lebih cepat daripada berlari," Alice mengingatkanku dengan suara pelan.
Aku hanya mengangguk sambil terus bergerak-gerak.
Akhirnya pesawat bergulir pelan, sedikit demi sedikit menambah kecepatan dan itu
semakin menyiksaku. Kusangka aku bakal lega setelah pesawat akhirnya lepas
landas, tapi ketidaksabaran yang kurasakan ternyata tak berkurang juga.
Alice sudah mengangkat telepon dari punggung kursi di depannya sebelum pesawat
berhenti menanjak, sengaja memunggungi pramugari yang menatapnya tidak setuju.
Namun sesuatu di ekspresiku membuat pramugari itu mengurungkan niatnya untuk
menghampiri dan menegur kami.
Aku berusaha menulikan telinga dari bisik-bisik Alice dengan Jasper; aku tak
ingin mendengar kata-katanya lagi, tapi ada juga beberapa yang tanpa sengaja
terdengar olehku. "Aku tidak yakin, aku bolak-balik melihatnya melakukan berbagai hal berbeda,
berkali-kali berubah pikiran... Pembunuhan massal di kota, menyerang penjaga,
mengangkat mobil di atas kepala di alun-alun kota... kebanyakan hal-hal yang
akan mengekspos mereka - dia tahu itu cara paling cepat memaksa mereka
bereaksi... "Tidak, tidak bisa." Suara Alice semakin pelan hingga nyaris tak terdengar,
walaupun aku duduk hanya beberapa sentimeter di sebelahnya. Aku menajamkan
pendengaran. "Katakan pada Emmett, jangan... Well, susul Emmett dan Rosalie dan
bawa mereka kembali... Pikirkan baik-baik, Jasper. Kalau dia melihat salah
seorang di antara kita, menurutmu, apa yang akan dia lakukan?"
Alice mengangguk. "Tepat sekali. Menurutku Bella-lah satu-satunya kesempatan-
kalau masih ada kesempatan... aku akan melakukan apa pun yang masih bisa
dilakukan, tapi siapkan Carlisle; kemungkinannya kecil."
Lalu ia tertawa, kemudian suaranya tercekat. "Aku juga sudah memikirkan hal
itu... Ya, aku janji." Suaranya berubah memohon. "Jangan ikuti aku. Aku janji,
Jasper. Bagaimanapun caranya, aku akan keluar... Dan aku cinta padamu."
Alice menutup telepon, dan bersandar di kursinya dengan mata terpejam. "Aku
benci harus berbohong padanya."
"Ceritakan semua padaku, Alice," pintaku. "Aku tidak mengerti. Menapa kau
menyuruh Jasper menghentikan Emmett, menapa mereka tidak boleh datang menolong
kita?" "Dua alasan," bisik Alice, matunya masih terpejam. "Yang pertama sudah kukatakan
padanya. Kami bisa saja berusaha menghentikan Edward sendiri-kalau Emmett bisa
menemukannya, mungkin kami bisa meyakinkan dia bahwa kau masih hidup. Tapi kami
takkan berhasil mendekati Edward diam-diam. Dan kalau dia melihat kami datang
mencarinya, dia justru akan bertindak lebih cepat. Dia akan melemparkan Buick ke
tembok batu atau semacamnya, dan keluarga Volturi akan melumpuhkannya.
"Ada alasan kedua tentu saja, alasan yang tidak bisa kuungkapkan pada Jasper.
Karena bila mereka ada di sana dan keluarga Volturi membunuh Edward, mereka
pasti akan melawan keluarga Volturi, Bella." Alice membuka matanya dan
menatapku, memohon. "Kalau saja ada kesempatan kami bisa menang... kalau saja
ada kesempatan kami berempat bisa menyelamatkan saudara kami dengan bertempur
untuknya, mungkin ceritanya akan lain. Tapi kami tidak bisa, dan, Bella, aku
tidak sanggup kehilangan Jasper seperti itu."
Sadarlah aku mengapa mata Alice memohon pengertianku. Ia melindungi Jasper,
dengan mempertaruhkan nyawa kami sendiri, dan mungkin nyawa Edward juga. Aku
mengerti, dan aku tidak berpikir buruk tentangnya. Aku mengangguk.
"Apakah Edward tidak bisa mendengarmu?" tanyaku. "Tidak bisakah dia tahu, begitu
mendengar pikiranmu, bahwa aku masih hidup, bahwa tidak ada gunanya melakukan
hal ini?" Bukan berarti kalau aku sudah mati ia bisa dibenarkan melakukannya. Aku masih
tidak percaya ia sanggup bereaksi seperti ini. Sungguh tak masuk akal! Aku ingat
sangat jelas kata-katanya hari itu di sofa, ketika kami nonton Romeo dan Juliet
bunuh diri, yang satu menyusul yang lain. Aku tidak mau hidup tanpa kau, begitu
kata Edward waktu itu, seolah-olah itu kesimpulan yang sangat jelas. Tapi kata-
kata yang diucapkannya di hutan saat ia meninggalkanku telah membuyarkan semua
itu-secara paksa. "Kalau dia mendengarkan," Alice menjelaskan. "Tapi percaya atau tidak, mungkin
saja untuk membohongi pikiranmu. Seandainya kau sudah meninggal, aku akan tetap
berusaha menghentikannya. Dan aku akan berpikir 'Bella masih hidup, Bella masih
hidup' sekuat tenaga. Dia tahu itu "
Kukertakkan gigiku dengan perasaan frustrasi.
"Kalau kami bisa melakukan ini tanpa kau, Bella, aku tidak akan membahayakan
keselamatanmu seperti ini. Tindakanku ini sangat tidak bisa dibenarkan."
"Jangan tolol. Itu hal terakhir yang seharusnya kaukhawatirkan" Aku menggeleng
dengan sikap tak sabar. "Ceritakan apa yang kaumaksud waktu bilang kau tidak
suka harus membohongi Jasper."
Alice menyunggingkan senyum muram. "Aku berjanji padanya akan keluar sebelum
mereka membunuhku juga. Padahal aku tidak bisa menjamin - itu sangat tidak
mungkin." Alice mengangkat alis, seolah-olah berusaha meyakinkanku untuk lebih
serius lagi menanggapi bahaya itu.
"Siapa sebenarnya keluarga Volturi ini?" tanyaku berbisik. "Apa yang membuat
mereka jauh lebih berbahaya dari pada Emmett, Jasper, Rosalie, dan kau?" Sulit
membayangkan hal lain yang lebih mengerikan daripada itu.
Alice menarik napas dalam-dalam, sekonyong-konyong melayangkan pandangan tidak
suka ke balik bahuku. Aku menoleh dan masih sempat melihat lelaki yang duduk di
seberang gang membuang muka. seakan-akan tidak sedang menguping pembicaraan
kami. Kelihatannya ia pengusaha, bersetelan jas lengkap dengan dasi dan laptop
di pangkuan. Ketika aku menatapnya kesal, lelaki itu membuka komputer dan dengan
lagak terang-terangan memasang headphone di telinganya.
Aku mencondongkan tubuh lebih dekat kepada Alice. Bibirnya tepat di telingaku
saat ia membisikkan ceritanya.
"Aku kaget waktu kau mengenali nama itu," katanya. "Bahwa kau langsung mengerti
maksudku - waktu kukatakan Edward pergi ke Italia. Awalnya kukira aku harus
menjelaskan. Seberapa banyak yang sudah diceritakan Edward padamu?"
"Dia hanya mengatakan mereka keluarga tua yang berkuasa, seperti bangsawan.
Bahwa kau tidak boleh membuat mereka kesal kecuali kau ingin... mati," bisikku.
Kata terakhir itu sangat sulit diucapkan.
"Kau harus mengerti," ujar Alice, suaranya lebih lambat, lebih terukur. "Kami
keluarga Cullen unik dalam banyak hal, lebih daripada yang kauketahui.
Sebenarnya... justru tidak normal kalau begitu banyak di antara kami bisa hidup
bersama dalam damai. Sama halnya dengan keluarga Tanya di utara, dan Carlisle
berspekulasi bahwa dengan tidak mengisap darah manusia, akan lebih mudah bagi
kami untuk bisa hidup beradab, membentuk ikatan yang didasarkan pada kasih,
bukan semata-mata untuk bertahan hidup atau perasaan nyaman. Bahkan kelompok
kecil James yang terdiri atas tiga vampir itu bisa dikatakan besar - dan
kaulihat sendiri betapa mudahnya Laurent meninggalkan mereka. Biasanya jenis
kami bepergian sendirian, atau berpasang-pasangan. Keluarga Carlisle yang
terbesar saat ini, sepanjang pengetahuanku, kecuali satu keluarga lain. Keluarga
Volturi. "Aslinya, mereka bertiga, Aro, Caius, dan Marcus."
"Aku pernah melihat mereka," gumamku. "Di lukisan di ruang kerja Carlisle."
Alice mengangguk. "Dua wanita bergabung dengan mereka kemudian, dan mereka
berlima membentuk keluarga. Entahlah, tapi menurutku usia merekalah yang memberi
mereka kemampuan untuk hidup bersama dengan damai. Usia mereka tiga ribu tahun
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih. Atau mungkin bakat khusus mereka yang membuat mereka sengaja
bertoleransi. Seperti Edward dan aku, Aro dan Marcus juga... berbakat."
Alice melanjutkan ceritanya sebelum aku sempat bertanya. "Atau mungkin juga
kecintaan mereka pada kekuasaan yang menyatukan mereka. Menyebut mereka dengan
istilah bangsawan adalah sangat tepat."
"Tapi kalau hanya lima-"
"Lima yang membentuk keluarga," Alice mengoreksi. "Itu belum termasuk pengawal
mereka." Aku menghela napas dalam-dalam. "Kedengarannya... serius."
"Oh, memang," Alice meyakinkan aku. "Ada sembilan pengawal tetap, begitulah yang
terakhir kami dengar. Yang lain-lain... tidak tetap. Gonta-ganti. Dan banyak di
antara mereka juga berbakat - dengan bakat-bakat luar biasa, membuat apa yang
bisa kulakukan terlihat seperti tipuan murahan. Mereka dipilih keluarga Volruri
karena kemampuan mereka, baik cara fisik maupun yang lain."
Aku membuka mulut, tapi lalu menutupnya lagi. Kurasa aku tak ingin tahu seberapa
kecil peluang menang dari mereka.
Alice mengangguk lagi, seolah-olah mengerti apa yang kupikirkan. "Mereka jarang
terlibat konfrontasi. Tak ada yang setolol itu hingga mau mencari gara-gara
dengan mereka. Mereka tetap tinggal di kota dan hanya pergi untuk melaksanakan
kewajiban." "Kewajiban?" aku keheranan.
"Edward tidak menceritakan padamu apa yang mereka lakukan?"
"Tidak," jawabku, merasa wajahku kosong tanpa ekspresi.
Alice melongok lagi ke balik bahuku, ke arah si lelaki pengusaha, lalu
mendekatkan bibirnya yang sedingin es ke telingaku.
"Ada alasan mengapa Edward menyebut mereka bangsawan... kelas penguasa. Selama
beribu-ribu tahun, mereka menjadi pihak yang menegakkan peraturan kami - itu
berarti menghukum para pelanggarnya. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan
tegas." Mataku terbelalak shock. "Jadi ada peraturan?" tanyaku, suaraku kelewat keras.
"Ssstt!" "Kenapa tak ada yang memberi tahuku sebelumnya?" bisikku marah. "Maksudku, aku
ingin menjadi... salah satu dari kalian! Kenapa tidak ada yang menjelaskan
aturan-aturannya padaku?"
Alice berdecak melihat reaksiku. "Peraturannya tidak terlalu rumit, Bella. Hanya
ada satu larangan - dan kalau kaupikir benar-benar, kau mungkin bisa menebaknya
sendiri." Aku berpikir sebentar. "Tidak, aku tidak tahu."
Alice menggeleng, kecewa. "Mungkin aturannya terlalu jelas. Kami - hanya harus
merahasiakan eksistensi kami."
"Oh," gumamku. Memang jelas sekali.
"Itu masuk akal, dan kebanyakan kami tidak butuh diawasi," lanjut Alice. "Tapi
setelah beberapa abad, terkadang salah seorang di antara kami ada yang bosan.
Atau gila. Entahlah. Dan saat itulah keluarga Volturi menengahi sebelum
perbuatan para vampir itu bisa mengakibatkan hal buruk bagi mereka, atau bagi
kami semua." "Jadi Edward... "
"Berencana melecehkan peraturan itu di kota mereka sendiri - kota yang diam-diam
telah mereka kuasai selama tiga ribu tahun, sejak Zaman Etruria. Saking
protektifnya terhadap kota mereka, mereka tidak mengizinkan perburuan di dalam
tembok kota. Bisa jadi Volterra kota teraman di dunia - setidaknya dari serangan
vampir." "Tapi katamu tadi mereka tidak pernah meninggalkan kota. Lantas bagaimana mereka
makan?" "Mereka tidak pergi. Mereka membawa makanan mereka dari luar, terkadang dari
tempat-tempat sangat jauh. Dengan begitu para pengawal punya kegiatan lain bila
tidak sedang menghabisi para vampir yang membelot. Atau melindungi Volterra dari
hal-hal yang tak diinginkan... "
"Dari situasi seperti ini, seperti Edward," aku menyelesaikan kalimatnya.
Menakjubkan betapa mudahnya mengucapkan nama Edward sekarang. Aku tak yakin apa
perbedaannya. Mungkin karena aku tak berniat hidup lebih lama lagi kalau tak
bisa bertemu dengannya. Atau tidak hidup sama sekali, kalau kami terlambat.
Tenang rasanya karena tahu aku bisa mengakhirinya dengan mudah.
"Aku ragu mereka pernah menghadapi situasi seperti ini," gumam Alice, kesal.
"Tak banyak vampir yang ingin bunuh diri."
Suara yang keluar dari mulutku sangat pelan, tetapi Alice sepertinya mengerti
itu jerit kesedihan. Ia dengan lengannya yang kurus dan kokoh.
"Kita akan berusaha semampu kita, Bella. Ini belum berakhir."
"Memang belum." Aku membiarkan Alice menghiburku, meski tahu ia menganggap
peluang kami sangat kecil. "Dan keluarga Volturi akan menghabisi kita kalau kita
gagal." Alice menegang. "Sepertinya kau malah senang."
Aku mengangkat bahu. "Hentikan, Bella, atau kita berbalik di New York dan kembali ke Forks."
"Apa?" "Kau tahu maksudku. Kalau kita terlambat menyelamatkan Edward, aku akan berusaha
sekuat tenaga mengembalikanmu ke Charlie, dan aku tak mau kau berulah macam-
macam. Mengerti?" "Tentu, Alice."
Alice mundur sedikit agar bisa memelototiku. "Jangan macam-macam."
"Sumpah pramuka " tukasku.
Alice memutar bola matanya.
"Biarkan aku berkonsentrasi sekarang. Aku akan mencoba melihat apa yang
direncanakannya." Sebelah tangan Alice tetap merangkulku, tapi ia menyandarkan kepalanya ke kursi
dan memejamkan mata. Ia menempelkan tangan satunya ke sisi wajah, mengusap-
usapkan ujung jarinya ke pelipis.
Aku mengawasinya dengan takjub. Akhirnya ia diam, tak bergerak sama sekali.
Menit-menit berlalu, dan kalau aku tidak mengenalnya, aku mungkin mengira Alice
tertidur. Aku tidak berani mengganggunya untuk bertanya.
Aku tidak mengizinkan diriku membayangkan kengerian yang akan kami hadapi, atau,
yang lebih mengerikan, kemungkinan bahwa kami bakal gagal-tidak kalau aku tak
ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Aku juga tak bisa mengantisipasi apa-apa. Mungkin kalau aku sangat, sangat,
sangat beruntung, aku bisa menyelamatkan Edward, bagaimanapun caranya. Tapi aku
tidak setolol itu, mengira dengan menyelamatkannya, aku bisa tinggal bersamanya.
Aku tidak berbeda, tidak lebih istimewa daripada sebelumnya. Tak ada alasan baru
mengapa ia menginginkanku sekarang. Bertemu dengannya dan kemudian kehilangan
dia lagi... Kulawan rasa sedih itu. Ini harga yang harus kubayar untuk menyelamatkan
hidupnya. Aku akan membayarnya.
Film diputar, dan penumpang di sebelahku memasang headphone. Terkadang aku
melihat juga sosok-sosok yang berkelebat di layar monitor yang kecil, tapi tidak
tahu apakah itu film roman atau horor.
Rasanya seperti berabad-abad baru pesawat mulai mengurangi ketinggian untuk
mendarat di New York City. Alice bergeming dalam trance-nya. Aku bingung harus
bagaimana. Kuulurkan tanganku untuk menyentuhnya, tapi lalu kutarik lagi. Ini
terjadi belasan kali sebelum pesawat terguncang menyentuh landasan.
"Alice," kataku akhirnya. "Alice, kita harus turun."
Aku menyentuh lengannya. Pelan-pelan sekali mata Alice terbuka. Ia menggeleng sebentar.
"Ada yang baru?" tanyaku pelan, takut terdengar lelaki di sebelahku.
"Tidak juga," jawab Alice sambil mengembuskan napas, nyaris tak bisa kutangkap.
"Dia semakin dekat. Dia sedang memutuskan bagaimana dia akan memintanya."
"Kami harus berlari mengejar pesawat yang akan membawa kami ke Italia, tapi itu
bagus-lebih baik begitu daripada harus menunggu. Alice memejamkan mata dan
kembali hanyut ke trance seperti sebelumnya. Aku menunggu sesabar mungkin.
Ketika hari kembali gelap aku membuka penutup jendela untuk memandang ke luar,
ke kegelapan yang menghampar tak ada bedanya dengan memandangi penutup jendela.
Aku bersyukur selama beberapa bulan ini aku banyak berlatih mengendalikan
pikiran. Jadi, alih-alih memikirkan berbagai kemungkinan mengerikan, tak peduli
apa pun kata Alice, aku tidak berniat tetap hidup, aku berkonsentrasi memikirkan
masalah-masalah lain yang lebih ringan. Misalnya saja, apa yang akan kukatakan
pada Charlie sepulangnya aku nanti" Itu masalah pelik yang cukup menyita pikiran
selama beberapa jam. Dan Jacob" Ia berjanji akan menunggu, tapi apakah janji itu
masih berlaku" Apakah aku akan sendirian di Forks nanti, tanpa siapa-siapa sama
sekali" Mungkin aku tidak ingin bertahan hidup, tak peduli apa pun yang terjadi.
Rasanya baru beberapa detik kemudian Alice mengguncang bahuku-ternyata aku
ketiduran. "Bella," desisnya, suaranya agak terlalu keras di kabin gelap yang dipenuhi
orang-orang yang sedang tidur.
Aku tidak mengalami disorientasi-tidurku belum cukup lama.
"Ada apa?" Mata Alice berkilat di bawah lampu baca remang-remang dari barisan di belakang
kami. "Tidak ada apa-apa." Alice tersenyum senang. "Kabar baik. Mereka berunding, tapi
sudah memutuskan untuk menolak permintaannya."
"Keluarga Volturi?" gumamku, masih mengantuk.
"Tentu saja, Bella, perhatikan. Aku bisa melihat apa yang akan mereka katakan."
"Beritahu aku."
Seorang pramugara berjingkat-jingkat menyusuri lorong, menghampiri kami. "Boleh
saya ambilkan bantal untuk Anda?" Bisikan pelannya seperti menegur kami karena
kami bercakap-cakap cukup keras.
"Tidak, terima kasih." Alice menengadah dan tersenyum lebar padanya, senyumnya
luar biasa manis. Pramugara itu tampak keheranan saat berbalik dan tersaruk-
saruk kembali ke tempatnya.
"Beritahu aku," bisikku, nyaris tak terdengar. Alice berbisik-bisik di
telingaku. "Mereka tertarik padanya - menurut mereka, bakat Edward bisa sangat
berguna. Mereka akan menawarinya tinggal bersama mereka."
"Apa yang akan dikatakan Edward?"
"Aku belum bisa melihatnya, tapi berani taruhan pasti seru" Alice nyengir lagi.
"Ini kabar baik pertama - titik terang pertama. Mereka tertarik; mereka benar-
benar tak ingin menghancurkan dia - mubazir, begitulah istilah yang akan
digunakan Aro - dan mungkin itu cukup membuat Edward menjadi kreatif. Semakin
banyak waktu yang dia habiskan untuk memikirkan rencananya, semakin baik bagi
kita." Penjelasan itu tak cukup membuatku berharap, membuatku merasakan kelegaan yang
jelas sekali dirasakan Alice. Masih begitu banyak kemungkinan kami bisa
terlambat. Dan kalau aku tidak bisa melewati tembok kota Volturi, aku tidak akan
mampu menghentikan Alice menyeretku kembali ke rumah.
"Alice?" "Apa?" "Aku bingung. Bagaimana kau bisa melihat sejelas itu" Sementara di lain waktu,
kau melihat kejadian-kejadian yang sangat jauh-peristiwa-peristiwa yang tidak
terjadi"' Mata Alice berubah kaku. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa menebak
isi pikiranku. "Aku bisa melihatnya dengan jelas karena peristiwanya langsung dan dekat, dan
karena aku benar-benar berkonsentrasi. Kejadian-kejadian yang sangat jauh datang
sendiri-itu hanya pencuatan sekelebat, kemungkinan-kemungkinan samar. Tambahan
lagi, aku melihat jenisku lebih jelas daripada aku melihat jenismu. Edward
bahkan lebih mudah lagi, karena hubunganku sangat dekat dengannya."
"Kau bisa melihatku kadang-kadang," aku mengingatkannya.
Alice menggeleng. "Tidak sejelas aku melihat Edward."
Aku mendesah. "Kalau saja kau benar-benar bisa melihat masa depanku dengan
tepat. Awalnya, waktu kau pertama kali melihat hal-hal tentang aku, bahkan
sebelum kita bertemu... "
"Apa maksudmu?"
"Kau melihatku menjadi seperti kalian." Aku mengatakannya nyaris tanpa suara.
Alice mendesah. "Itu merupakan kemungkinan pada waktu itu."
"Pada waktu itu," aku mengulangi.
"Sebenarnya, Bella..." Alice ragu-ragu sejenak, kemudian sepertinya mengambil
pilihan. "Jujur saja, rasanya ini jadi semakin konyol. Aku berdebat dengan
diriku, apakah aku harus mengubahmu sendiri."
Kutatap Alice, membeku oleh perasaan shock.
Serta-merta pikiranku menolak kata-katanya. Aku tidak boleh terlalu berharap,
takut ia berubah pikiran.
"Apakah aku membuatmu takut?" tanya Alice. "Kusangka memang itulah yang
kauinginkan." "Memang!" aku terkesiap. "Oh, Alice, lakukan sekarang! Aku bisa membantumu - dan
aku tidak akan memperlambat larimu. Gigit aku!"
"Ssstt," Alice memperingatkan. Si pramugara lagi-lagi melihat ke arah kami.
"Cobalah berpikir jernih," bisiknya. "Waktunya tidak cukup. Kita harus sampai di
Volterra besok. Padahal kalau aku menggigitmu, kau akan menggeliat-geliat
kesakitan berhari-hari." Alice mengernyitkan muka. "Dan bayangkan saja bagaimana
reaksi para penumpang lain."
Aku menggigit bibir. "Kalau kau tidak melakukannya sekarang, kau akan berubah
pikiran." "Tidak" Alice mengerutkan kening, ekspresinya tidak senang. "Kurasa aku tidak
akan berubah pikiran. Edward pasti akan marah, tapi apa lagi yang bisa dia
lakukan?" Jantungku berdegup semakin kencang. "Tidak ada."
Alice tertawa pelan, kemudian mendesah. "Kau terlalu percaya padaku, Bella. Aku
tidak yakin apakah aku bisa. Bisa-bisa kau malah terbunuh nanti."
"Aku berani mengambil risiko itu."
"Kau ini sangat aneh, bahkan untuk ukuran manusia."
"Trims." "Oh Well, saat ini, ini kan hanya hipotesis.
Pertama-tama, kita harus bisa melewati hari esok lebih dulu."
"Benar sekali," Tapi setidaknya aku punya sesuatu yang bisa diharapkan
seandainya kami selamat melewati hari esok. Kalau Alice benar-benar menepati
janjinya-dan kalau dia tidak membunuhku-maka Edward boleh mengejar apa saja yang
dia inginkan untuk mengalihkan pikirannya, dan aku bisa mengikutinya. Aku tidak
akan membiarkannya memikirkan hal lain. Mungkin, kalau aku cantik dan kuat, dia
tidak ingin memikirkan hal lain.
"Tidurlah lagi," Alice menyuruhku. Aku akan membangunkanmu kalau ada
perkembangan baru." "Baiklah," gerutuku, yakin aku takkan bisa tidur lagi. Alice mengangkat kedua
kakinya ke kursi, merangkulnya dengan kedua tangan dan meletakkan dahinya ke
lutut. Ia bergoyang maju-mundur sambil berkonsentrasi.
Aku meletakkan kepalaku ke kursi, menatapnya, dan tahu-tahu waktu aku sadar,
kulihat Alice menurunkan penutup jendela dengan keras, menghalangi cahaya
Pendekar Satu Jurus 6 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Peristiwa Merah Salju 1
"Maaf," gumamku. "Itu tadi memang tolol."
"Yeah, itu tadi benar-benar tolol," Jacob
sependapat, tetesan air hujan berjatuhan dari rambutnya saat ia mengangguk.
"Dengar, bisa tidak kausimpan dulu hal-hal tolol itu sampai ada aku" Aku takkan
bisa berkonsentrasi kalau kukira kau bakal terjun dari tebing tanpa
sepengetahuanku." "Tentu," sahutku setuju. "Bukan masalah." Aku terdengar seperti perokok berat.
Aku berusaha membersihkan tenggorokkan - kemudian meringis; saat membersihkan
tenggorokkan, rasanya seperti ditusuk pisau di sana. "Apa yang terjadi hari ini"
Kau berhasil... menemukannya?" Sekarang ganti aku yang bergidik, walaupun aku
tidak begitu kedinginan, menempel di tubuh Jacob yang panasnya tidak normal itu.
Jacob menggeleng. Ia masih terus berlari-lari kecil menyusuri jalan menuju ke
rumahnya. "Tidak. Dia kabur ke arah laut - lebih menguntungkan bagi para
pengisap darah itu di sana. Itulah sebabnya aku langsung bergegas pulang - aku
takut dia akan menduluiku berenang ke sini. Kau begitu sering berada di
pantai... " Suara Jacob menghilang, terkesiap.
"Sam kembali bersamamu... jadi semua juga sudah pulang?" Aku berharap mereka
sudah tidak lagi berada di luar dan mencarinya.
"Yeah. Semacam itulah."
Aku mencoba membaca ekspresinya, menyapitkan mata melawan hujan yang menderas.
Sorot matanya tegang oleh kecemasan atau kesedihan.
Kata-kata yang tadi tak bisa kucerna mendadak langsung kupahami. "Kau tadi
mengatakan... rumah sakit. Sebelum ini, pada Sam. Apakah ada yang terluka"
Apakah dia melawan kalian?" Suaraku melompat satu oktaf, terdengar aneh karena
parau. "Tidak, tidak. Waktu kami kembali, Em sudah menunggu hendak menyampaikan kabar.
Tentang Harry Clearwater. Tadi pagi Harry terkena serangan jantung."
"Harry?" Aku menggeleng, berusaha mencerna perkataannya. "Oh, tidak! Charlie
sudah tahu?" "Yeah. Dia juga di sana, bersama ayahku."
"Apakah Harry akan bertahan?"
Mata Jacob kembali mengejang. "Sekarang ini kondisinya tidak begitu bagus."
Seketika itu juga aku merasa sangat bersalah- merasa benar-benar tidak enak
telah dengan sembrono terjun dari tebing. Tak seharusnya semua orang
mengkhawatirkanku sekarang. Sungguh waktu yang sangat tidak tepat untuk
melakukan hal ceroboh. "Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku.
Saat itulah hujan berhenti. Aku tidak sadar kami sudah sampai di rumah Jacob
sampai ia berjalan melewati pintu. Badai menghantam atap.
"Kau bisa menunggu di sini" jawab Jacob sambil menurunkanku ke sofa pendek. "Aku
bersungguh-sungguh, Bella - tepat di sini. Akan kuambilkan pakaian kering."
Kubiarkan mataku menyesuaikan diri dengan ruangan yang gelap sementara Jacob
sibuk mencari-cari di kamarnya. Ruang depan yang sempit terasa sangat kosong
tanpa Billy, nyaris menyedihkan. Anehnya, suasana terasa mengerikan - mungkin
itu hanya karena aku tahu ia sedang di mana.
Sebentar Jacob sudah kembali. Ia melemparkan setumpuk baju katun berwarna abu-
abu. "Pasti kebesaran untukmu, tapi itu yang terbaik yang kupunya. Aku akan, eh,
keluar sebentar supaya kau bisa berganti baju."
"Jangan ke mana-mana. Aku masih terlalu lelah untuk bergerak. Temani saja aku."
Jacob duduk di lantai di sebelahku, punggungnya bersandar di sofa. Aku penasaran
kapan terakhir kali ia tidur. Ia tampak letih yang kurasakan.
Jacob membaringkan kepalanya di bantal di sebelahku dan menguap. "Kurasa aku
bisa istirahat sebentar... "
Matanya terpejam. Kubiarkan mataku terpejam juga.
Kasihan Harry. Kasihan Sue. Aku tahu Charlie pasti sangat kalut. Harry
sahabatnya. Meskipun Jake tadi merasa sangsi, aku justru sangat berharap Harry
bisa sembuh kembali. Demi Charlie. Demi Sue, Leah, dan Seth...
Sofa Billy letaknya persis di sebelah radiator, jadi aku merasa hangat sekarang,
meskipun pakaianku basah kuyup. Paru-paruku yang sakit mendorongku ke keadaan
tidak sadar, bukan malah membuatku terus terjaga. Samar-samar aku sempat
berpikir apakah aku boleh tidur... atau aku mencampuradukkan tenggelam dengan
gegar otak... " Jacob mulai mendengkur pelan, dan dengkurannya menenangkanku
seperti ninabobo. Dengan cepat aku tertidur.
Untuk pertama kali dalam kurun waktu sangat lama, mimpiku sama seperti mimpi-
mimpi normal lainnya. Hanya berkeliaran dalam ingatan samar ke kenangan-kenangan
lama- melihat matahari kota Phoenix yang teriknya membutakan, wajah ibuku, rumah
pohon bobrok, selimut quilt kusam, dinding kaca, api di air yang gelap... aku
langsung lupa pada gambaran yang satu begitu gambaran yang lain muncul.
Gambaran terakhir adalah satu-satunya yang bertahan dalam ingatanku. Tidak
berarti apa-apa- hanya dekorasi di sebuah panggung. Sebuah balkon di waktu
malam, dengan lukisan bulan purnama menggantung di langit. Kulihat seorang gadis
bergaun tidur mencondongkan tubuh di birai balkon dan berbicara sendiri.
Tidak berarti apa-apa... tapi ketika lambat laun kesadaranku pulih, nama Juliet
muncul dalam benakku. Jacob masih tidur; ia merosot ke lantai, tarikan napasnya dalam dan teratur.
Suasana rumah lebih gelap daripada sebelumnya, di luar jendela gelap gulita.
Tubuhku kaku, tapi hangat dan hampir kering. Bagian dalam tenggorokanku bagai
dibakar setiap kali aku menarik napas.
Aku harus bangkit - setidaknya untuk minum. Tapi tubuhku ingin terus berbaring
di sini, tidak pernah bergerak lagi.
Alih-alih bergerak, aku malah memikirkan Juliet lagi.
Aku bertanya-tanya dalam hari, apa yang akan ia lakukan seandainya Romeo
meninggalkannya, bukan karena dilarang menemuinya, tapi karena kehilangan minat"
Bagaimana seandainya Rosalind memberinya kesempatan, dan Romeo berubah pikiran"
Bagaimana seandainya, alih-alih menikahi Juliet, Romeo justru menghilang"
Kurasa aku tahu bagaimana perasaan Juliet.
Juliet pasti takkan kembali ke kehidupan lamanya, tidak terlalu. Ia tidak
mungkin melanjutkan hidup, aku yakin itu. Bahkan seandainya ia hidup sampai tua
dan keriput, setiap kali memejamkan mata, wajah Romeo-lah yang akan selalu
terbayang. Ia akan menerima kenyataan itu, pada akhirnya.
Aku bertanya-tanya apakah akhirnya Juliet akan menikah dengan Paris, hanya untuk
membahagiakan orangtuanya, demi menjaga ketenangan. Tidak, mungkin tidak, aku
memutuskan. Tapi kisah itu memang tak banyak bercerita tentang Paris. Ia hanya
peran pembantu-tempelan, ancaman, tenggat waktu untuk memaksa Juliet.
Bagaimana seandainya peran Paris lebih dari itu"
Bagaimana seandainya Paris teman Juliet" Sahabatnya" Bagaimana seandainya Paris
satu-satunya orang kepada siapa Juliet bisa mencurahkan keluh kesahnya tentang
hubungan cintanya yang gagal dengan Romeo" Satu-satunya orang yang benar-benar
memahami Juliet dan membuatnya merasa seperti manusia normal lagi" Bagaimana
seandainya Paris itu sabar dan baik"
Menjaganya baik-baik" Bagaimana seandainya
Juliet tahu ia tak mungkin bisa bertahan tanpa Paris" Bagaimana kalau Paris
benar-benar mencintai Juliet dan ingin agar ia bahagia"
Dan... bagaimana bila Juliet mencintai Paris"
Tidak sebesar cintanya pada Romeo. Sama sekali tidak seperti itu. tentu saja.
Tapi cukup sampai Juliet ingin agar Paris bahagia juga"
Desah napas Jacob yang lambat dan dalam adalah satu-satunya suara di ruangan
itu-seperti ninabobo yang digumamkan pada seorang anak, seperti desir suara
kursi goyang, seperti detak jarum jam tua di saat kau tidak perlu pergi ke mana-
mana... Pendek kata, suara yang membawa kedamaian.
Seandainya Romeo benar-benar pergi, tak pernah kembali lagi, adakah bedanya
seandainya Juliet menerima tawaran Paris atau tidak" Mungkin seharusnya Juliet
mencoba mengais kembali kepingan-kepingan hidupnya yang masih tersisa. Mungkin
itulah hal yang paling mendekati kebahagiaan yang bisa diraihnya.
Aku mendesah, lalu mengerang saat desahan itu menggesek tenggorokanku. Aku
terlalu jauh menghayati kisah itu. Romeo takkan mungkin berubah pikiran. Itulah
sebabnya orang-orang masih mengenang namanya, selalu dikaitkan dengan nama
kekasihnya: Romeo dan Juliet. Itulah sebabnya kisah itu indah. "Juliet
dicampakkan dan akhirnya bersanding dengan Paris" tidak akan
pernah menjadi hit. Aku memejamkan mata dan kembali terlena, membiarkan pikiranku berkelana
meninggalkan drama tolol yang tak ingin kupikirkan lagi. Aku malah memikirkan
kenyataan - bagaimana aku terjun dari tebing serta bagaimana itu merupakan
kesalahan yang sangat tolol. Dan bukan hanya lompat tebing, tapi juga sepeda
motor dan ulahku yang tidak bertanggung jawab, yang ingin menjadi seperti Evel
Knievel. Bagaimana kalau sesuatu yang buruk menimpaku" Apa akibatnya bagi
Charlie" Serangan jantung yang menimpa Harry mendadak menempatkan segala sesuatu
ke dalam perspektif yang benar. Perspektif yang tak ingin kulihat,
karena - bila aku mengakui kebenarannya - itu berarti aku harus mengubah cara-
caraku. Bisakah aku hidup seperti itu"
Mungkin. Itu takkan mudah; faktanya, justru akan sangat menyedihkan jika aku
harus mengenyahkan halusinasiku dan berusaha bersikap dewasa. Tapi mungkin
sebaiknya aku melakukannya. Dan mungkin aku bisa. Kalau ada Jacob.
Aku tidak bisa memutuskannya sekarang. Itu terlalu menyakitkan. Lebih baik aku
memikirkan hal lain saja.
Bayangan-bayangan dari ulah cerobohku sore tadi berkecamuk dalam pikiranku
sementara aku mencoba membayangkan hal yang menyenangkan untuk dipikirkan...
desir angin saat aku jatuh, air yang hitam pekat, tarikan arus... wajah
Edward... aku memikirkannya lama sekali. Tangan Jacob yang hangat memukul-mukul
punggungku, berusaha membuatku kembali bernapas... tetesan hujan yang tajam yang
dicurahkan awan-awan ungu... api aneh di antara ombak...
Ada sesuatu yang familier tentang secercah warna di air itu. Tentu saja itu tak
mungkin api- Pikiranku terputus oleh suara ban mobil melindas lumpur dijalan di luar Kudengar
mobil itu berhenti di depan rumah, disusul kemudian dengan suara pintu-pintu
dibuka dan ditutup. Terpikir olehku untuk bangkit dan duduk, tapi kemudian
mengurungkan niatku. Mudah saja mengenali suara Billy. namun tidak seperti biasa, ia berbicara dengan
nada sangat rendah, hingga hanya terdengar seperti gumaman serak.
Pintu terbuka, lampu menyala. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, buta sesaat. Jake
tersentak bangun, terkesiap dan melompat berdiri.
"Maaf," geram Billy. "Kami membangunkan kalian, ya?"
Pelan-pelan mataku terfokus pada wajahnya, kemudian, begitu bisa membaca
ekspresinya, air mataku langsung merebak.
"Oh, tidak, Billy!" erangku.
Billy mengangguk pelan, ekspresinya keras oleh dukacita. Jake bergegas
menghampiri ayahnya dan meraih satu tangannya. Kesedihan membuat wajahnya tiba-
tiba terlihat seperti anak kecil- tampak aneh di tubuhnya yang dewasa.
Sam berdiri tepat di belakang Billy, mendorong kursi rodanya melewati pintu.
Pembawaan normalnya yang tenang tak terlihat di wajahnya yang pilu.
"Aku ikut sedih," bisikku.
Billy mengangguk. "Semua merasa kehilangan."
"Mana Charlie?"
"Ayahmu masih di rumah sakit bersama Sue.
Banyak... yang harus diurus."
Aku menelan ludah susah payah.
"Sebaiknya aku segera kembali ke sana," gumam Sam, lalu cepat-cepat merunduk
keluar dari pintu. Billy menarik tangannya dari genggaman Jacob, lalu menggelindingkan kursi
rodanya melintasi dapur menuju kamarnya.
Jake mengawasi kepergiannya sebentar, lalu duduk lagi di lantai di sampingku. Ia
menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kugosok-gosok bahunya, berharap tahu harus
bilang apa. Lama kemudian baru Jacob meraih tanganku dan menempelkannya di wajah.
"Bagaimana perasaanmu" Kau baik-baik saja" Mungkin seharusnya aku membawamu ke
dokter atau sebangsanya." Jacob mendesah.
"Tak perlu mencemaskan aku," kataku parau. Ia berpaling menatapku. Ada lingkaran
merah di matanya. "Kau kelihatan payah."
"Aku memang agak kepayahan."
"Aku akan mengambil trukmu kemudian mengantarmu pulang-mungkin sebaiknya kau
sudah di rumah kalau Charlie pulang nanti."
"Benar." Aku berbaring lunglai di sofa sambil menunggu. Billy tinggal di dalam kamar. Aku
risi karena keberadaanku mengganggu tuan rumah yang ingin menyendiri dalam
dukacitanya. Tak lama kemudian Jake kembali. Raungan mesin trukku memecah keheningan sebelum
aku mengharapkannya. Tanpa berkata apa-apa Jacob membantuku berdiri dari sofa,
merangkul pundakku ketika hawa dingin di luar membuat tubuhku menggigil Tanpa
bertanya lagi ia langsung duduk di balik kemudi, kemudian mendekapku rapat-rapat
di sampingnya. Aku membaringkan kepalaku di dadanya.
"Bagaimana caramu pulang nanti?" tanyaku.
"Aku tidak akan pulang. Kami kan belum berhasil menangkap si pengisap darah itu,
ingat?" Tubuhku bergidik, bukan karena kedinginan.
Sesudah itu kami lebih banyak berdiam diri. Hawa dingin membuatku terjaga.
Pikiranku awas, dan otakku bekerja sangat keras dan sangat cepat.
Bagaimana seandainya" Tindakan tepat apa yang harus kulakukan"
Aku tak bisa membayangkan hidupku tanpa Jacob sekarang - berusaha
membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Bagaimanapun, ia telah menjadi
bagian esensial yang membuatku bertahan hidup. Tapi membiarkan keadaan seperti
apa adanya... apakah itu kejam, seperti yang dituduhkan Mike"
Aku ingat pernah berharap Jacob itu saudara lelakiku. Aku sadar sekarang, yang
kuinginkan sebenarnya adalah mengklaimnya sebagai milikku. Rasanya seperti bukan
saudara bila ia memelukku seperti ini. Pelukannya menyenangkan-hangat, nyaman,
dan familier. Aman. Jacob adalah pelabuhan yang aman.
Aku bisa mengklaimnya. Hal itu ada dalam jangkauanku.
Aku harus menceritakan semua padanya, aku tahu itu. Hanya itu satu-satunya cara
bersikap adil. Aku harus menjelaskannya dengan benar, supaya ia tahu aku
bukannya membuka lembaran baru, bahwa ia terlalu baik bagiku. Ia sudah tahu aku
hancur, bagian itu tidak akan membuatnya terkejut, tapi ia harus tahu seberapa
parah kerusakannya. Aku bahkan harus mengakui bahwa aku gila - menjelaskan
tentang suara-suara yang kudengar. Ia perlu mengetahui segalanya sebelum
mengambil keputusan. Tapi, bahkan saat aku menyadari pentingnya kejujuran itu, aku tahu Jacob akan
menerimaku apa adanya. Ia bahkan tidak akan berpikir-pikir lagi.
Aku harus berkomitmen dalam hal ini- berkomitmen sebanyak yang masih tersisa
dalam diriku, memberikan setiap kepingan yang tersisa. Itu satu-satunya cara
bersikap adil padanya. Maukah aku" Bisakah"
Salahkah berusaha membuat Jacob bahagia" Bahkan seandainya cinta yang kurasakan
padanya tak lebih dari gema lemah dari apa yang dulu bisa kulakukan, walaupun
hatiku jauh dari sini, berkelana dan menangisi Romeo-ku yang phin-plan, apakah
itu salah" Jacob menghentikan trukku di depan rumahku yang gelap gulita, mematikan mesin
hingga kesunyian tiba-tiba menyergap. Seperti yang sudah-sudah, tampaknya ia
bisa memahami jalan pikiranku sekarang.
Jacob mengulurkan lengannya yang lain untuk memelukku, meremukkanku ke dadanya,
mendekapku erat-erat. Lagi-lagi, rasanya menyenangkan. Nyaris seperti manusia
utuh lagi. Kukira Jacob pasti memikirkan Harry, tapi kemudian saat berbicara, nadanya
meminta maaf. "Maaf. Aku tahu kau tidak merasa seperti yang kurasakan, Bells.
Sumpah aku tidak keberatan. Aku hanya senang kau tidak keberatan aku bisa
bernyanyi - padahal itu bukan nyanyian yang ingin didengar orang." Jacob
mengumandangkan tawa sengaunya di telingaku.
Napasku melejit satu tingkat, mengamplas dinding-dinding tenggorokanku.
Tidak mungkinkah Edward, meski terkesan tidak peduli, ingin agar aku bahagia"
Tidakkah masih tersisa sedikit perasaan sayang sebagai teman dalam dirinya untuk
menginginkan itu bagiku" Kurasa pasti masih. Edward tidak mungkin marah padaku
karena hal ini: memberikan secuil cinta yang tidak ia inginkan pada temanku
Jacob. Lagi pula, itu bukan cinta yang sama.
Jake menempelkan pipinya yang hangat ke puncak kepalaku.
Jika aku memalingkan wajahku ke samping- jika aku menempelkan bibirku ke bahunya
yang telanjang... aku tahu benar apa yang akan terjadi selanjutnya. Mudah
sekali. Tidak perlu ada penjelasan apa-apa malam ini.
Tapi bisakah aku melakukannya" Mampukah aku mengkhianati hatiku yang hampa demi
menyelamatkan hidupku yang menyedihkan"
Kupu-kupu menggelepar dalam perutku saat aku berpikir untuk memalingkan kepala.
Kemudian, sama jelasnya seperti bila aku berada dalam bahaya besar, suara Edward
yang sehalus beledu berbisik di telingaku. "Berbahagialah," katanya. Aku
langsung membeku. Jacob merasakan tubuhku mengejang dan
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
otomatis melepaskan pelukannya, menggapai ke pintu.
Tunggu, aku ingin berseru. Tunggu sebentar.
Tapi aku masih terpaku di tempat, mendengarkan gema suara Edward dalam kepalaku.
Udara yang dingin oleh badai berembus masuk ke truk.
"OH!" Napas Jacob tersentak keluar, seolah-olah seseorang meninju perutnya.
"Sialan!" Jacob membanting pintu dan memutar kunci mobil pada saat bersamaan. Kedua
tangannya gemetar sangat hebat hingga aku tak tahu bagaimana ia bisa
melakukannya. "Ada apa?" Jacob meraungkan mesin terlalu cepat; mesin terbatuk-batuk dan mati.
"Vampir," semburnya.
Darah surut dan kepalaku dan membuatku pening. "Bagaimana kau tahu"'
"Karena aku bisa menciumnya! Sialan!"
Mata Jacob liar, jelalatan menjelajahi jalanan yang gelap. Tampaknya ia tidak
terlalu menyadari getaran yang menjalari sekujur tubuhnya.
"Berubah atau membawanya pergi dari sini?" desisnya pada diri sendiri.
Ia menunduk menatapku sekilas, melihat sorot mataku yang ketakutan dan wajahku
yang pucat, kemudian matanya menyapu jalanan lagi. "Baiklah. Kubawa kau pergi
dari sini." Mesin menyala dengan suara meraung. Ban-ban berdecit saat ia memutar truk ke
arah berlawanan, berbalik menuju satu-satunya tempat kami bisa meloloskan diri.
Lampu truk menyapu trotoar, menerangi bagian depan hutan yang gelap, dan
akhirnya memantul pada mobil yang diparkir di seberang jalan depan rumahku.
"Berhenti!" aku terkesiap kaget.
Itu mobil hitam-mobil yang kukenal. Aku memang paling tidak tahu apa-apa soal
mobil, tapi kalau mobil yang satu itu, aku hafal benar. Itu Mercedez S55 AMG.
Aku tahu berapa tenaga kuda daya mesinnya serta warna interiornya. Aku tahu
bagaimana rasanya mesin yang bertenaga itu menderum dari bagian dalamnya. Aku
tahu bagaimana aroma jok kulitnya yang mewah serta bagaimana lapisan kaca
filmnya yang ekstra gelap membuat tengah hari terasa seperti senja dari balik
jendela-jendelanya. Itu mobil Carlisle. "Berhenti!" pekikku lagi, kali ini lebih keras, karena Jacob memacu trukku
secepat-cepatnya menjauhi jalan.
"Apa"!" "Itu bukan Victoria. Berhenti, berhenti! Aku ingin kembali."
Jacob menginjak rem begitu dalam hingga aku terpaksa menahan tubuhku di dasbor
agar tidak terbentur. "Itu mobil Carlisle! Itu milik keluarga Cullen. Aku kenal mobil itu.
Jacob melihat fajar merekah di wajahku, dan sekujur tubuhnya berguncang hebat.
"Hei, tenanglah, Jake. Tidak apa-apa. Tidak ada bahaya, kaulihat" Rileks."
"Yeah, tenang," sahut Jacob dengan napas terengah-engah, menundukkan kepala dan
memejamkan mata. Sementara ia berkonsentrasi agar tidak meledak menjadi
serigala, aku menoleh ke belakang dan memandangi mobil hitam itu.
Itu hanya Carlisle, kataku pada diri sendiri. Jangan berharap lebih. Mungkin
juga Esme... Hentikan sekarang juga, kataku pada diri sendiri. Hanya Carlisle.
Itu saja sudah luar biasa. Lebih dari yang kuharapkan akan pernah terjadi lagi.
"Ada vampir di rumahmu," desis Jacob. "Tapi kau malah ingin kembali?"
Aku meliriknya, dengan enggan mengalihkan mataku dari Mercedes itu-takut mobil
itu bakal menghilang begitu aku melirik ke tempat lain.
"Tentu saja," kataku, suaraku hampa karena terkejut mendengar pertanyaannya.
Tentu saja aku ingin kembali.
Wajah Jacob mengeras saat aku memandanginya, membentuk topeng getir yang
kusangka sudah lenyap untuk selamanya. Tepat sebelum topeng iu menutupi
wajahnya, aku sempat menangkap kejang pengkhianatan berkelebat dari
matanya. Kedua tangannya masih gemetar. Ia tampak sepuluh tahun lebih tua
daripadaku. Ia menarik napas dalam-dalam. "Kau yakin itu bukan tipuan?"
"Itu bukan tipuan. Itu Carlisle. Antar aku kembali!"
Guncangan hebat melanda bahunya yang lebar, tapi matanya datar dan tanpa emosi.
"Tidak." "Jake, tidak apa-apa-"
"Tidak. Pulanglah sendiri, Bella." Suara Jacob terdengar bagai tamparan-aku
tersentak saat suaranya menghantamku. Dagunya mengejang dan mengendur.
"Begini, Bella," sambungnya dengan suara sama kerasnya. "Aku tidak bisa kembali
ke sana. Ada kesepakatan atau tidak, itu musuhku yang ada di dalam sana."
"Tidak seperti itu-"
"Aku harus segera memberi tahu Sam. Ini mengubah semuanya. Kami tidak boleh
tertangkap saat ada dalam teritorial mereka."
"Jake, ini bukan perang!"
Jacob tak menggubris kata-kataku. Dia memasukkan gigi netral lalu melompat
keluar dari pintu, membiarkan mesin tetap menyala.
"Bye, Bella," serunya sambil menoleh sebentar. "Aku benar-benar berharap kau
tidak mati." Ia berlari kencang menembus kegelapan, tubuhnya bergetar sangat
hebat hingga sosoknya terlihat kabur; ia sudah lenyap sebelum aku sempat membuka
mulut untuk memanggilnya kembali.
Rasa bersalah membuatku terhenyak sebentar. Apa yang kulakukan pada Jacob"
Tapi rasa bersalah tak mampu menahanku terlalu lama.
Aku bergeser ke kursi sebelah dan memasukkan gigi. Kedua tanganku getaran, sama
seperti tangan Jake tadi, dan aku harus berkonsentrasi penuh. Lalu dengan hati-
hati aku memutar truk dan membawanya lagi ke rumahku.
Gelap gulita setelah aku mematikan lampu mobil. Charlie begitu tergesa-gesa
berangkat hingga lupa menyalakan lampu teras. Sejenak aku sempat ragu,
memandangi rumah itu, muram disaput bayang-bayang. Bagaimana kalau ternyata
memang tipuan" Kupandangi lagi mobil hitam itu, nyaris tak terlihat di gelap malam. Tidak. Aku
kenal mobil itu. Meski begitu, tetap saja tanganku gemetar, bahkan lebih hebat daripada
sebelumnya, saat aku meraih kunci di atas pintu. Saat memegang kenop pintu untuk
membuka kuncinya, kenop terputar dengan mudah dalam genggamanku. Kubiarkan pintu
terbentang lebar. Ruang depan gelap pekat.
Aku ingin menyerukan sapaan, tapi tenggorokanku kelewat kering. Sepertinya aku
tak mampu menarik napas. Aku maju selangkah memasuki rumah dan meraba-raba mencari tombol lampu. Hitam
pekat-seperti air hitam tadi... Mana sih tombol lampu"
Sama seperti air yang hitam tadi, dengan api Jingga menyala menjilat-jilat di
atasnya, meski itu tidak mungkin. Tidak mungkin itu kobaran api, tapi kalau
begitu apa..." Jari-jariku menyusuri dinding, masih mencari-cari, masih
gemetar... Tiba-tiba sesuatu yang dikatakan Jacob sore tadi bergema dalam pikiranku,
akhirnya otakku bisa juga mencernanya... Dia kabur ke arah laut-lebih
menguntungkan bagi para pengisap darah itu di sana. Itulah sebabnya aku langsung
bergegas pulang-aku takut dia akan menduluiku berenang ke sini.
Tanganku mengejang saat masih mencari tombol lampu, sekujur tubuhku membeku
kaku, saat aku sadar mengapa aku mengenali warna Jingga aneh di air itu.
Rambut Victoria, berkibar-kibar liar tertiup angin, warnanya seperti api...
bersamaku dan Jacob. Apa jadinya kalau tidak ada Sam, kalau kami hanya berdua...
" Aku tak mampu bernapas ataupun bergerak.
Lampu menyala, meski tanganku yang membeku tidak juga berhasil menemukan tombol
lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, silau Oleh lampu yang tiba-tiba menyala, dan
melihat seseorang disana menungguku.
17. TAMU DIAM tak bergerak dan putih, dengan mata hitam besar terpaku di wajahku, tamuku
menunggu, bergeming di tengah ruang depan, cantik luar biasa.
Sesaat lututku gemetar, dan aku nyaris rubuh. Detik berikutnya aku menghambur
menghampirinya. "Alice, oh, Alice!" pekikku, menubruknya.
Aku lupa betapa kerasnya tubuh Alice; rasanya seperti menabrak dinding semen.
"Bella?" Suara Alice lega bercampur bingung.
Aku memeluknya erat-erat, terengah-engah karena berusaha menghirup sebanyak
mungkin aroma kulitnya. Baunya lain dari yang lain-bukan beraroma bunga ataupun
rempah-rempah, juga bukan wangi jeruk ataupun musk. Tak satu parfum pun di dunia
ini yang bisa menandinginya. Ingatanku tidak bisa mengingatnya dengan tepat.
Aku tidak sadar saat napasku yang terengah-engah berubah menjadi sesuatu yang
lain-aku baru sadar bahwa aku menangis tersedu-sedu ketika Alice menyeretku ke
sofa ruang tamu dan menarikku ke pangkuannya. Rasanya seperti meringkuk dalam
pelukan patung baru, tapi lekukan tubuh patung batu itu pas benar dengan bentuk
tubuhku. Alice mengusap-usap punggungku dengan lembut, menungguku menguasai diri
kembali. "Aku... maafkan aku," isakku. "Aku hanya... sangat bahagia... bertemu denganmu!"
"Sudahlah, Bella. Semua baik-baik saja."
"Ya," isakku. Dan, kali ini, sepertinya memang begitu.
Alice mendesah. "Aku sudah lupa betapa emosionalnya kau," katanya, nadanya
terdengar tidak suka. Aku mendongak dan memandangnya dari sela-sela air mataku. Leher Alice tegang,
menjauhiku, bibirnya terkatup rapat. Matanya hitam kelam.
"Oh" aku mengembuskan napas, menyadari masalahnya. Alice haus. Dan aromaku
menggoda. Sudah lama sekali aku tak pernah lagi memikirkan hal semacam itu.
"Maaf." "Ini salahku sendiri. Sudah lama sekali aku tidak berburu. Seharusnya aku tidak
membiarkan diriku sehaus itu. Tapi aku terburu-buru hari ini." Tatapannya yang
diarahkan padaku sangat garang. "Omong-omong, maukah kau menjelaskan padaku
bagaimana caranya sampai kau masih hidup?"
Pertanyaan ini membuatku kaget dan langsung menghentikan sedu-sedanku. Aku
langsung menyadari apa yang terjadi, dan mengapa Alice datang ke sini.
Aku menelan ludah dengan suara keras. "Kau melihatku jatuh."
"Tidak," sergah Alice, matanya menyipit. "Aku melihatmu melompat."
Aku mengerucutkan bibir sambil berusaha memikirkan penjelasan yang tidak
terdengar sinting. Alice menggelengkan kepala. "Sudah kubilang padanya ini bakal terjadi, tapi dia
tidak percaya padaku. 'Bella sudah berjanji,'" Alice menirukan suara Edward
dengan sangat sempurna hingga membuatku membeku shock saat kepedihan merobek
tubuhku. '"Jangan mencoba melihat masa depannya juga,'" sambung Alice, masih
mengutip kata-kata Edward. "'Kita sudah cukup membuatnya menderita.'
"Tapi meski tidak mencari, bukan berarti aku tidak melihat," lanjut Alice. "Aku
bukannya mengawasimu, sumpah, Bella. Hanya saja sudah terjalin hubungan batin
denganmu, jadi... waktu aku melihatmu melompat, tanpa pikir panjang aku langsung
naik pesawat. Aku tahu pasti sudah terlambat, tapi aku tidak bisa tidak
melakukan apa-apa. Kemudian aku sampai di sini, berpikir mungkin aku bisa
membantu Charlie, dan tahu-tahu kau datang." Alice menggeleng-gelengkan kepala,
kali ini karena bingung. Suaranya tegang. "Aku melihatmu tercebur ke air dan aku
menunggu dan menunggumu muncul kembali, tapi kau tidak keluar-keluar juga. Apa
yang terjadi" Dan tega benar kau berbuat begitu kepada Charlie" Pernahkah kau
berhenti sejenak untuk memikirkan dampaknya bagi dia" Dan bagi kakakku" Apa kau
pernah berpikir apa yang Edward-"
Aku langsung memotongnya saat itu juga, begitu mendengarnya menyebut nama
Edward. Tadi kubiarkan saja dia nyerocos, bahkan setelah aku sadar dia salah
paham, hanya untuk mendengar suaranya yang bagaikan denting lonceng merdu itu.
Tapi sekarang sudah saatnya menyela.
"Alice, aku bukan mau bunuh diri."
Alice menatapku ragu. "Jadi maksudmu, kau tidak terjun dari tebing?"
"Bukan, tapi... " aku meringis. "Itu kulakukan hanya untuk bersenang-senang."
Ekspresinya mengeras. "Aku pernah melihat teman-teman Jacob terjun dari tebing," sergahku.
"Kelihatannya... asyik, dan aku sedang bosan... "
Ia menunggu. "Aku tidak mengira badai akan memengaruhi arus air. Sebenarnya, aku bahkan tidak
memikirkan air sama sekali."
Alice tidak percaya begitu saja. Kentara sekali ia masih mengira aku mencoba
bunuh diri. Kuputuskan untuk mengalihkan pikirannya. "Jadi kalau kau melihatku terjun,
mengapa kau tidak melihat Jacob?"
Alice menelengkan kepalanya ke satu sisi, perhatiannya terusik.
Aku melanjutkan. "Memang benar aku mungkin sudah tenggelam seandainya Jacob
tidak melompat menyusulku. Well, oke, bukan mungkin lagi. Tapi untunglah dia
menyusulku, dan dia menarikku ke permukaan, dan kurasa dia menyeretku ke pantai,
walaupun saat itu aku pingsan jadi tidak tahu apa-apa. Aku tidak mungkin
tenggelam lebih dari satu menit sebelum dia menyambarku. Bagaimana kau bisa
tidak melihatnya?" Kening Alice berkerut bingung. "Ada orang yang menarikmu keluar?"
"Ya. Jacob menyelamatkan aku."
Kutatap Alice dengan sikap ingin tahu sementara berbagai emosi berkecamuk di
wajahnya. Ia merasa terganggu oleh sesuatu-visinya yang tidak sempurna" Tapi aku
tak yakin. Kemudian ia mencondongkan tubuh dan mengendus bahuku.
Aku langsung mengejang. "Jangan konyol," kecamnya, mengendusiku lagi.
"Kau sedang apa?"
Alice mengabaikan pertanyaanku. "Siapa yang bersamamu barusan" Kedengarannya
kalian tadi bertengkar."
"Jacob Black. Dia... sahabatku, begitulah. Setidaknya, dulu... " Ingatanku
melayang pada wajah Jacob yang marah dan merasa dikhianati, bertanya-tanya dalam
hati apa statusnya bagiku sekarang.
Alice mengangguk, sepertinya sibuk memikirkan hal lain.
"Apa?" "Entahlah," tukasnya. "Aku tak yakin itu berarti apa."
"Well, aku tidak tewas, setidaknya."
Alice memutar bola matanya. "Sungguh tolol Edward, mengira kau bisa bertahan
hidup sendirian. Belum pernah kulihat orang yang begitu mudah tersangkut pada
hal-hal tolol yang mengancam nyawa."
"Aku bertahan kok," tegasku.
Alice memikirkan hal lain. "Jadi, kalau arus air terlalu kuat bagimu, bagaimana
Jacob ini bisa menolongmu?"
"Jacob itu... kuat"
Alice mendengar keengganan dalam suaraku, dan alisnya terangkat.
Aku menggigit bibir sejenak. Ini rahasia atau bukan" Dan kalau ini rahasia,
kepada siapa aku lebih berpihak" Jacob, atau Alice"
Terlalu sulit menyimpan rahasia, aku memutuskan. Jacob tahu semuanya, jadi
mengapa Alice tidak"
"Begini, Well dia itu... werewolf," aku mengakui dengan sikap buru-buru. "Suku
Quileute berubah menjadi serigala bila ada vampir di sekitar mereka. Mereka
sudah kenal Carlisle sejak dulu sekali. Apakah saat itu kau sudah bersama
Carlisle?" Alice ternganga sejenak, tapi sejurus kemudian pulih dari kekagetannya, matanya
mengerjap cepat. "Well, kalau begitu pantas ada bau itu," gerutunya. "Tapi
apakah itu menjelaskan apa yang tidak kulihat?" Ia berpikir, kening porselennya
berkerut. "Bau?" ulangku.
"Baumu tidak enak," cetus Alice sambil lalu, keningnya masih berkerut.
"Werewolf" Kau yakin soal itu?"
"Yakin sekali," aku memastikan, meringis saat teringat bagaimana Paul dan Jacob
bertarung di jalan. "Kalau begitu kau masih belum bersama Carlisle waktu
terakhir kali ada werewolf di Forks?"
"Belum. Aku belum menemukannya." Alice masih tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Tiba-tiba matanya membelalak, dan ia berpaling, menatapku dengan ekspresi shock.
"Sahabatmu werewolf?"
Aku mengangguk malu-malu. "Ini sudah berlangsung berapa lama?"
"Belum lama," jawabku, suaraku terdengar defensif. "Dia baru beberapa minggu
menjadi werewolf." Alice membelalak memandangiku. "Werewolf yang masih muda" Itu bahkan lebih
parah. Edward benar - kau magnet yang menarik bahaya. Bukankah kau seharusnya
menghindari bahaya?"
"Tidak ada yang salah dengan werewolf." gerutuku, tersinggung mendengar nadanya
yang mengkritik. "Sampai amarah mereka meledak." Alice menggeleng kuat-kuat. "Dasar kau, Bella.
Orang lain pasti bakal hidup lebih baik setelah para vampir meninggalkan kota.
Tapi kau langsung bergaul dengan monster-monster pertama yang bisa kautemukan."
Aku tidak ingin berdebat dengan Alice - aku masih gemetaran saking gembira
karena ia benar-benar, sungguh-sungguh ada di sini, hingga aku bisa menyentuh
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kulit marmernya dan mendengar suaranya yang seperti genta angin - tapi ia sangat
keliru. "Tidak, Alice, para vampir tidak sepenuhnya pergi - tidak semuanya, paling
tidak. Justru itulah masalahnya. Kalau bukan karena para werewolf itu, Victoria
pasti sudah berhasil menemukanku sekarang. Well kalau bukan karena Jake dan
teman-temannya, Laurent pasti berhasil membunuhku sebelum Victoria, kurasa,
jadi-" "Victoria?" desis Alice. "Laurent?"
Aku mengangguk, sedikit waswas melihat ekspresi yang terpancar dari mata
hitamnya. Kutuding dadaku sendiri. "Magnet yang menarik bahaya, ingat?"
Alice menggeleng-geleng lagi. "Ceritakan semua padaku- dari awal."
Aku memoles awal kisahku, sengaja melewatkan cerita tentang motor dan suara-
suara itu, tapi membeberkan semua yang terjadi sampai hari ini. Alice tidak
menyukai penjelasan singkatku tentang kebosanan dan lompat tebing, jadi aku
buru-buru menceritakan tentang api aneh yang kulihat di air dan apa perkiraanku
mengenainya. Matanya menyipit hingga nyaris segaris di bagian itu. Aneh juga
melihatnya begitu... begitu berbahaya - seperti vampir. Aku menelan ludah dengan
susah payah dan melanjutkan kisahku tentang Harry.
Alice mendengarkan ceritaku tanpa menyela. Sesekali, ia menggeleng, dan kerutan
di keningnya semakin dalam hingga tampak seperti terpahat secara permanen di
kulit marmernya. Ia tidak berbicara dan, akhirnya, aku terdiam, dicekam
kesedihan karena kematian Harry. Pikiranku melayang pada Charlie; sebentar lagi
ia pulang. Bagaimana kira-kira kondisinya"
"Kepergian kami sama sekali tidak membawa kebaikan bagimu, ya?" gumam Alice.
Aku tertawa satu kali - kedengarannya agak histeris. "Memang tujuannya bukan
itu, kan" Kalian pergi bukan demi kebaikanku."
Alice merengut memandangi lantai beberapa saat. "Well, kurasa aku bertindak
impulsif hari ini tadi. Mungkin seharusnya aku tidak ikut campur."
Bisa kurasakan darah surut dari wajahku. Perutku langsung mulas. "Jangan pergi,
Alice," bisikku. Jari-jariku mencengkeram kerah kemeja putihnya dan aku mulai
tak bisa bernapas. "Kumohon, jangan tinggalkan aku."
Mata Alice membelalak semakin lebar, "Baiklah," ia memberi penekanan pada setiap
katanya. "Aku tidak akan ke mana-mana malam ini. Tarik napas dalam-dalam."
Aku berusaha menuruti, meski rasanya itu mustahil.
Alice memandangi wajahku sementara aku berkonsentrasi menarik napas. Ia menunggu
sampai aku lebih tenang untuk berkomentar.
"Kau kelihatan kacau sekali, Bella."
"Aku kan tadi tenggelam," aku mengingatkannya.
"Bukan itu maksudku. Kau berantakan."
Aku tersentak. "Dengar, aku sudah berusaha semampuku."
"Apa maksudmu?"
"Ini tidak mudah. Aku sedang berjuang mengatasinya."
Kening Alice berkerut. "Sudah kubilang pada Edward," katanya pada diri sendiri.
"Alice," aku mendesah. "Kaukira kau bakal menemukan apa tadi" Maksudku, selain
aku mati" Apakah kau berharap akan menemukanku dalam keadaan ceria dan
bernyanyi-nyanyi gembira" Kau kan tahu bagaimana aku."
"Memang. Tapi harapanku begitu."
"Kalau begitu berarti aku bukan orang paling tolol di dunia."
Telepon berdering. "Itu pasti Charlie," kataku, berdiri dengan susah payah. Kusambar tangan Alice
yang sekeras batu dan kuseret ia bersamaku ke dapur. Aku takkan melepaskannya
dari pandanganku. "Charlie?" seruku di corong telepon.
"Bukan, ini aku," sahut Jacob. "Jake!"
Alice mengamati ekspresiku.
"Hanya ingin memastikan kau masih hidup," kata Jacob masam.
"Aku baik-baik saja. Sudah kubilang itu bukan-
"Yeah. Aku mengerti. Bye," Jacob langsung menutup telepon. Aku mendesah dan
menengadahkan kepala, menatap langit-langit. "Gawat."
Alice meremas tanganku. "Mereka tidak suka aku datang."
"Memang tidak. Tapi itu toh bukan urusan mereka."
Alice merangkul bahuku. "Jadi apa yang kita lakukan sekarang?" tanyanya. Sesaat
ia seperti bicara pada dirinya sendiri. "Banyak yang harus dilakukan.
Membereskan yang belum selesai."
"Melakukan apa?"
Wajah Alice mendadak terlihat hati-hati. "Aku tidak begitu yakin... aku harus
menemui Carlisle." Apakah dia harus pergi secepat ini" Perutku langsung mulas.
"Tidak bisakah kau tinggal dulu di sini?" pintaku. "Please" Sebentar saja. Aku
sangat rindu padamu." Suaraku pecah.
"Kalau menurutmu itu ide bagus" Matanya terlihat tidak senang. .
"Menurutku itu ide bagus. Kau bisa menginap di sini - Charlie pasti senang
sekali." "Aku kan punya rumah, Bella"
Aku mengangguk, kecewa tapi tidak menyerah. Alice ragu-ragu, mengamatiku.
"Well aku kan perlu mengambil baju ganti, paling tidak."
Aku memeluknya. "Alice, kau baik sekali!"
"Dan kurasa aku harus berburu. Segera," imbuhnya kaku.
"Uups" Aku langsung mundur selangkah.
"Kau bisa kan, menghindari masalah satu jam saja?" tanyanya skeptis. Kemudian,
sebelum aku sempat menjawab, Alice mengacungkan satu jari dan memejamkan mata.
Wajahnya datar dan kosong selama beberapa detik.
Kemudian matanya terbuka dan ia menjawab pertanyaannya sendiri. "Ya, kau akan
baik-baik saja. Setidaknya malam ini." Ia meringis. Bahkan saat mengernyit
seperti itu, ia masih terlihat seperti malaikat.
"Nanti kau kembali, kan?" tanyaku, suaraku kecil. "Aku janji-satu jam."
Kulirik jam di meja dapur. Alice tertawa dan mencondongkan tubuh cepat-cepat
untuk mengecup pipiku. Detik berikutnya ia sudah pergi.
Aku menarik napas dalam-dalam. Alice akan kembali. Tiba-tiba aku merasa jauh
lebih enak. Banyak sekali yang harus kulakukan untuk menyibukkan diri sambil menunggu. Mandi
jelas jadi prioritas pertama. Sambil menanggalkan pakaian, aku mengendusi
bahuku, tapi tidak bisa mencium bau apa pun kecuali bau garam dan rumput laut.
Aku jadi penasaran apa maksud Alice mengatakan tubuhku bau sekali.
Setelah tubuhku bersih, aku kembali ke dapur. Tidak terlihat tanda-tanda Charlie
sudah makan, jadi mungkin ia lapar jika pulang nanti. Aku bergumam tanpa nada
sambil menyibukkan diri di dapur.
Sementara kaserol hari Kamis kemarin sedang dipanaskan di microwave, aku
memasang seprai di sofa dan meletakkan bantal tua. Alice tidak membutuhkannya,
tapi Charlie perlu melihatnya. Aku berhati-hati untuk tidak mengawasi jam
dinding. Tak ada alasan untuk panik; Alice sudah berjanji.
Aku tergesa-gesa menghabiskan makananku tanpa merasakannya-yang kurasakan hanya
perih saat makanan meluncur di tenggorokanku yang luka. Kebanyakan aku haus;
pasti ada setengah galon air laut yang terminum olehku. Tingginya kadar garam
dalam tubuhku membuatku dehidrasi.
Aku beranjak untuk mencoba nonton TV sambil menunggu.
Ternyata Alice sudah di sana, duduk di tempat tidurnya yang telah kusiapkan.
Matanya bagaikan butterscotch cair. Ia tersenyum dan menepuk-nepuk bantal.
"Trims." "Kau datang lebih awal," seruku, gembira.
Aku duduk di sebelahnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Ia melingkarkan
lengannya yang dingin di bahuku dan mendesah.
"Bella. Harus kami apakan kau?"
"Entahlah," aku mengakui. "Aku benar-benar sudah berusaha sekuat tenaga."
"Aku percaya padamu."
Lalu kami terdiam "Apakah-apakah dia... " Aku menghela napas dalam-dalam. Lebih sulit menyebut
namanya dengan suara keras, walaupun aku bisa memikirkannya sekarang. "Apakah
Edward tahu kau di sini?" Aku tidak tahan untuk tidak bertanya. Bagaimanapun,
itu kepedihanku. Aku akan membereskannya setelah Alice pergi nanti, aku berjanji
pada diriku sendiri, dan merasa mual memikirkannya.
"Tidak." Hanya ada satu kemungkinan bahwa itu benar.
"Dia tidak sedang bersama Carlisle dan Esme?"
"Dia datang beberapa bulan sekali."
"Oh." Kalau begitu ia pasti masih sibuk menikmati hal-hal lain yang bisa
mengalihkan pikirannya. Aku memfokuskan rasa ingin tahuku pada topik lain yang
lebih aman. "Kaubilang tadi kau terbang ke sini... Kau datang dari mana?"
"Aku sedang di Denali. Mengunjungi keluarga Tanya."
"Apakah Jasper ada di sini" Dia datang bersamamu?"
Alice menggeleng. "Dia tidak suka aku ikut campur. Kami sudah berjanji... "
Suaranya menghilang, kemudian nadanya berubah. "Menurutmu Charlie tidak
keberatan aku datang ke sini?" tanyanya, terdengar waswas.
"Charlie menganggapmu baik sekali, Alice"
"Well, sebentar lagi kita akan tahu."
Benar saja, beberapa detik kemudian aku mendengar suara mobil memasuki halaman.
Aku melompat dan bergegas membukakan pintu.
Charlie tersaruk-saruk pelan meniti jalan, matanya tertuju ke tanah dan bahunya
terkulai. Aku menghampirinya; ia bahkan tidak melihatku sampai aku memeluk
pinggangnya. Ia membalas pelukanku dengan sepenuh hati.
"Aku ikut sedih mendengar tentang Harry, Dad"
"Aku akan sangat kehilangan dia," gumam Charlie.
"Bagaimana keadaan Sue?"
"Dia seperti orang linglung, seperti belum bisa mencernanya. Sam menemaninya
sekarang... " Volume suaranya hilang-timbul. "Kasihan anak-anak itu. Leah hanya setahun lebih
tua daripada kau, sementara Seth baru empat belas... " Charlie menggeleng-
gelengkan kepala. Sambil tetap merangkulku, Charlie berjalan lagi menuju pintu.
"Em, Dad?" Kupikir lebih baik aku mengingatkannya dulu. "Dad pasti tidak akan
menyangka siapa yang sedang di sini sekarang."
Charlie menatapku kosong. Kepalanya menoleh dan melihat Mercedez yang diparkir
di seberang jalan, cahaya lampu teras terpantul di bodinya yang dicat hitam
mengilat. Sebelum ia sempat bereaksi, Alice sudah berdiri di ambang pintu.
"Hai, Charlie," sapanya pelan. "Maaf aku datang pada saat yang sangat tidak
tepat." "Alice Cullen?" Charlie memicingkan mata, memandangi sosok mungil di depannya,
seolah-olah meragukan matanya sendiri. "Alice, benarkah itu kau?"
"Ini memang aku," Alice membenarkan. "Kebetulan aku sedang berada di sekitar
sini." "Apakah Carlisle...?"
"Tidak, aku sendirian."
Baik Alice maupun aku tahu bukan Carlisle sebenarnya yang ingin ditanyakan
Charlie. Lengannya mencengkeram bahuku lebih erat.
"Dia boleh menginap di sini, kan?" pintaku. "Aku sudah memintanya."
"Tentu saja," jawab Charlie datar. "Kami senang menerimamu di sini, Alice."
"Terima kasih, Charlie. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat."
"Tidak, tidak apa-apa, sungguh. Aku akan sangat sibuk melakukan apa yang bisa
kulakukan untuk keluarga Harry; aku senang ada yang menemani Bella."
"Makan malam sudah siap di meja, Dad," aku memberi tahu ayahku.
"Trims, Bell" Ia meremas bahuku sekali lagi sebelum tersaruk-saruk ke dapur.
Alice kembali ke sofa, dan aku mengikutinya. Kali ini dialah yang merangkul
bahuku. "Kau kelihatan capek."
"Yeah," aku sependapat, dan mengangkat bahu. "Begitulah kalau habis mengalami
peristiwa yang nyaris menyebabkan kematian... Jadi, apa pendapat Carlisle
mengenai kedatanganmu ke sini?"
"Dia tidak tahu. Dia dan Esme sedang pergi berburu. Beberapa hari lagi dia
kembali." "Kau tidak akan memberi tahu dia, kan... kalau dia datang lagi nanti"'' tanyaku.
Alice tahu yang kumaksud kali ini bukan Carlisle.
"Tidak. Bisa-bisa dia ngamuk nanti," jawab Alice muram. Aku tertawa, kemudian
mendesah. Aku tidak kepingin tidur. Aku ingin berjaga sepanjang malam, mengobrol dengan
Alice. Lagi pula, tidak masuk akal bila aku lelah, karena seharian tadi aku
tidur di sofa Jacob. Tapi tenggelam benar-benar menguras habis tenagaku, tapi
mataku tak mau diajak kompromi. Kuletakkan kepalaku bahunya yang sekeras batu,
dan terhanyut dalam tidur yang lebih tenang daripada yang bisa kuharapkan.
Aku bangun pagi-pagi sekali, dari tidur nyenyak tanpa mimpi, merasa segar bugar
tapi kaku. Aku terbaring di sofa, di bawah selimut yang kusiapkan untuk Alice,
dan aku bisa mendengarnya mengobrol dengan Charlie di dapur.
Kedengarannya Charlie sedang membuatkan sarapan untuknya.
"Seberapa parah keadaannya, Charlie?" tanya Alice lirih, dan awalnya kukira
mereka sedang membicarakan keluarga Clearwater.
Charlie mendesah. "Parah sekali."
"Ceritakan semua padaku. Aku ingin tahu persis apa yang terjadi setelah kami
pergi." Sejenak tidak terdengar apa-apa kecuali pintu rak dapur ditutup dan pemantik api
di kompor dinyalakan. Aku menunggu, tegang.
"Aku tidak pernah merasa begitu tak berdaya," Charlie memulai lambat-lambat.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Minggu pertama itu - aku sampai
mengira mungkin dia perlu dirawat di rumah sakit. Dia tidak mau makan atau
minum, juga tidak mau bergerak. Dr. Gerandy bolak-balik menyebut istilah
'katatonik', tapi aku tidak mengizinkannya menemui Bella. Aku takut itu akan
membuatnya ketakutan."
"Tapi akhirnya dia normal lagi?"
"Aku meminta Renee datang dan membawanya ke Florida. Pokoknya aku tidak mau
menjadi orang yang... seandainya dia harus dirawat di rumah sakit atau
sebangsanya. Aku berharap tinggal dengan ibunya bisa membantu. Tapi waktu kami
mulai mengemasi pakaiannya, tiba-tiba saja dia bangun. Aku pernah melihat Bella
mengamuk seperti itu. Dia bukan anak pemarah, tapi, ya ampun, saat itu dia
mengamuk habis-habisan. Dia menghamburkan pakaiannya ke mana-mana dan berteriak-
teriak, tidak mau disuruh pergi- kemudian akhirnya dia mulai menangis.
Menurutku, itulah titik baliknya. Aku tidak membantah waktu dia bersikeras ingin
tetap tinggal di sini... dan awalnya dia benar-benar seperti sudah membaik... "
Suara Charlie menghilang. Sulit mendengarnya mencurahkan isi hati seperti ini,
tahu betapa aku sudah sangat menyusahkannya.
"Tapi?" desak Alice.
"Dia kembali bersekolah dan bekerja, makan, tidur, dan mengerjakan PR. Dia
menjawab bila ditanya. Tapi dia... kosong. Matanya hampa. Banyak hal kecil yang
hilang - dia tidak mau mendengarkan musik lagi; aku bahkan pernah menemukan
setumpuk CD rusak di tong sampah. Dia tidak membaca; dia tidak mau berada di
ruangan yang sama bila TV menyala, meskipun sejak dulu dia memang jarang nonton
TV. Akhirnya aku mengerti-Bella sengaja menghindar dari segala sesuatu yang
mengingatkannya pada... dia.
"Kami nyaris tak bisa berbicara; aku sangat khawatir akan mengatakan hal-hal
yang bisa membuatnya sedih-hal-hal kecil saja bisa membuatnya kalut - dan dia
tidak pernah memulai pembicaraan. Dia baru menjawab bila kutanya.
"Dia sendirian terus sepanjang waktu. Tidak pernah membalas telepon teman-
temannya, dan setelah beberapa saat, mereka berhenti menelepon.
"Pendek kata, rasanya seperti tinggal dengan mayat hidup. Aku masih mendengar
dia menjerit dalam tidurnya... "
Aku nyaris bisa melihatnya bergidik. Aku sendiri juga bergidik waktu ingat.
Kemudian aku mendesah. Ternyata aku tidak berhasil memperdaya Charlie dengan
berpura-pura terlihat baik-baik saja. Sedikit pun dia tidak terperdaya.
"Aku sangat menyesal mendengarnya, Charlie," ucap Alice, nadanya muram.
"Itu bukan salahmu." Cara Charlie mengucapkan hal itu menunjukkan dengan jelas
bahwa ia menganggap ada orang yang bertanggung jawab dalam hal itu. "Sejak dulu
kau selalu baik padanya."
"Sepertinya dia sudah lebih baik sekarang"
"Yeah. Sejak dia bergaul dengan Jacob Black, aku melihat banyak kemajuan.
Pipinya mulai merona lagi bila dia pulang, matanya juga kembali bercahaya. Dia
lebih bahagia." Charlie terdiam sejenak, dan suaranya berbeda waktu berbicara
lagi. "Jacob satu atau dua tahun lebih muda daripada Bella, dan aku tahu dia
dulu menganggap Jacob sebagai teman, tapi kurasa mungkin hubungan mereka
sekarang lebih daripada itu, atau mengarah ke sana paling tidak." Charlie
mengucapkannya dengan nada yang nyaris seperti mengajak perang. Itu peringatan,
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukan bagi Alice, tapi agar Alice meneruskannya ke pihak lain.
"Walaupun lebih muda, Jake sangat dewasa," sambung Charlie, nadanya masih
defensif. "Dia mengurus ayahnya secara fisik seperti Bella mengurus ibunya
secara emosional. Itu mendewasakan dia. Anaknya juga tampan-mirip ibunya. Dia
cocok dengan Bella," Charlie menandaskan.
"Kalau begitu, untunglah Bella memiliki dia," Alice sependapat.
Charlie mengembuskan napas panjang, merasa tidak punya lawan lagi. "Oke, kurasa
itu terlalu melebih-lebihkan. Entahlah... bahkan meskipun sudah ada Jacob,
sesekali aku masih melihat sesuatu di matanya, dan aku bertanya-tanya apakah
bisa memahami betapa sakit hatinya sesungguhnya. Itu tidak normal, Alice, dan
itu... itu membuatku takut. Sama sekali tidak normal. Tidak seperti... ditinggal
seseorang, tapi seolah-olah seperti ada yang meninggal." Suara Charlie pecah.
Memang seperti ada yang meninggal-seolah-olah akulah yang meninggal. Karena
rasanya lebih dari sekadar kehilangan seseorang yang merupakan cinta paling
sejati dalam hidupku. Tapi juga kehilangan seluruh masa depan, seluruh keluarga-
seluruh hidup yang telah kupilih...
Charlie melanjutkan ceritanya dengan nada tak berdaya. "Aku tidak tahu apakah
Bella akan bisa melupakannya - aku tak yakin apakah dia bisa pulih dari sesuatu
seperti ini. Sejak dulu dia selalu konstan dalam segala hal. Dia bukan tipe
orang yang melupakan masa lalu, atau yang bisa berubah pikiran."
"Dia memang berbeda dari yang lain," Alice membenarkan dengan suara kering.
"Dan Alice..." Charlie ragu-ragu sejenak. "Kau tahu aku sayang padamu, dan bisa
kulihat dia senang bisa bertemu lagi denganmu, tapi... aku agak khawatir
bagaimana kunjunganmu ini akan berakibat padanya."
"Aku juga begitu, Charlie, aku juga begitu. Aku tidak akan datang seandainya
tahu keadaannya seperti ini. Maafkan aku."
"Jangan meminta maaf, Sayang. Siapa yang tahu" Mungkin ini akan berdampak baik
baginya." "Mudah-mudahan kau benar."
Lama tidak terdengar suara apa-apa kecuali bunyi garpu menggesek piring dan
suara Charlie mengunyah. Aku bertanya-tanya dalam hati di mana Alice
menyembunyikan makanannya.
"Alice, aku harus menanyakan sesuatu padamu," kata Charlie canggung.
Alice tetap tenang. "Silakan."
"Dia tidak bermaksud kembali ke sini untuk berkunjung, bukan?" Aku bisa
mendengar amarah tertahan dalam suara Charlie.
Alice menjawab dengan nada lembut dan menenangkan. "Dia bahkan tidak tahu aku
kemari. Terakhir kali aku bicara dengannya, dia sedang di Amerika Selatan."
Tubuhku langsung tegang mendengar informasi baru ini, dan membuka telingaku
lebar-lebar. "Baguslah kalau begitu," dengus Charlie. "Well, kuharap dia senang di sana."
Untuk pertama kali terdengar secercah nada kaku dalam suara Alice. "Aku tidak
akan berasumsi apa-apa, Charlie." Aku tahu bagaimana matanya berkilat bila ia
menggunakan nada itu. Terdengar suara kursi didorong menjauhi meja, menggesek lantai dengan suara
keras. Aku membayangkan Charlie berdiri; tak mungkin Alice menghasilkan suara
seberisik itu. Keran diputar, airnya menciprat membasahi piring.
Sepertinya mereka tidak akan membicarakan Edward lagi, maka kuputuskan
sekaranglah waktunya bangun.
Aku berbalik, sengaja membuat pegas sofa berderit. Lalu aku menguap dengan suara
keras. Suara-suara di dapur langsung terdiam. Aku menggeliat dan mengerang.
"Alice?" panggilku pura-pura lugu; suaraku yang parau karena tenggorokanku sakit
membuat sandiwaraku semakin meyakinkan.
"Aku di dapur, Bella," seru Alice, tak ada tanda-tanda dalam suaranya bahwa ia
curiga aku menguping pembicaraan mereka tadi. Tapi ia memang pandai
menyembunyikan hal-hal semacam itu.
Charlie harus berangkat saat itu-ia akan membantu Sue Clearwater mengurus segala
sesuatu berkaitan dengan pemakaman Harry. Ini pasti akan jadi hari yang sangat
panjang dan membosankan seandainya tidak ada Alice. Ia belum mengatakan kapan
akan pergi, dan aku juga tidak bertanya. Aku tahu itu takkan bisa dihindari,
tapi aku sengaja tidak mau memikirkannya.
Kami malah mengobrol tentang keluarganya- semua kecuali satu.
Carlisle bekerja shift malam di Ithaca dan mengajar paruh waktu di Cornell. Esme
merestorasi sebuah rumah yang didirikan pada abad ketujuh belas, sebuah monumen
bersejarah, di hutan di utara kota. Emmett dan Rosalie sempat pergi berbulan
madu lagi ke Eropa selama beberapa bulan, tapi sekarang sudah kembali. Jasper
juga berada di Cornell, kali ini belajar filosofi. Sementara Alice melakukan
beberapa riset pribadi, berkaitan dengan informasi yang tanpa sengaja kutemukan
untuknya musim semi lalu. Ia berhasil melacak keberadaan rumah sakit jiwa
tempatnya menghabiskan tahun-tahun terakhirnya sebagai manusia. Kehidupan yang
tidak diingatnya sama sekali.
"Namaku dulu Mary Alice Brandon," Alice bercerita padaku dengan suara pelan.
"Aku punya adik perempuan bernama Cynthia. Anak perempuannya - keponakanku -
masih hidup dan tinggal di Biloxi."
Kau berhasil mengetahui alasan mereka memasukkanmu ke... tempat itu?" Apa yang
membuat orangtua sanggup melakukan hal seekstrem itu" Walaupun putri mereka bisa
melihat hal-hal yang akan terjadi di masa depan...
Alice menggeleng, mata topaz-nya berpikir. "Tak banyak yang bisa kutemukan
mengenai mereka. Aku meneliti semua koran lama yang disimpan di mikrofilm.
Keluargaku tidak sering disebut-sebut; mereka bukan bagian dari lingkaran sosial
yang diberitakan di koran-koran. Yang ada hanya berita pertunangan kedua
orangtuaku, juga pertunangan Cynthia," Nama itu diucapkan dengan sikap canggung.
"Kelahiranku juga diumumkan... begitu juga kematianku. Aku menemukan hiburanku.
Aku juga mencuri formulir pendaftaranku ke rumah sakit jiwa dari arsip lama
rumah sakit. Tanggal aku masuk ke sana dan tanggal di nisanku sama."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, dan, setelah terdiam sejenak, Alice beralih
ke topik-topik lain yang lebih ringan.
Keluarga Cullen telah berkumpul lagi sekarang, kecuali satu orang, menghabiskan
liburan musim semi di Denali bersama Tanya dan keluarganya.
Aku mendengarkan dengan penuh semangat, bahkan kabar-kabar yang paling remeh
sekalipun. Alice tak pernah menyinggung orang yang paling menarik hatiku, dan
aku mensyukurinya. Cukuplah mendengar cerita-cerita tentang keluarga yang dulu
aku pernah bermimpi ingin menjadi bagian darinya.
Charlie baru kembali setelah hari gelap, dan ia tampak lebih lelah daripada
malam sebelumnya. Ia akan kembali ke reservasi besok pagi-pagi sekali untuk
menghadiri pemakaman Harry, jadi ia tidur lebih cepat. Aku tidur di sofa lagi
bersama Alice. Charlie nyaris terlihat seperti orang asing saat berjalan menuruni tangga
sebelum matahari terbit, mengenakan setelan jas tua yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Jasnya dibiarkan tak dikancing; kurasa pasti karena terlalu sesak
sehingga tidak bisa dikancing. Dasinya agak terlalu lebar untuk mode saat ini.
Ia berjingkat-jingkat ke pintu, berusaha tidak membangunkan kami.
Kubiarkan ia pergi. Pura-Pura tidur, seperti yang dilakukan Alice di kursi
malas. Begitu Charlie keluar, Alice langsung duduk tegak. Di bawah selimut, ia
berpakaian lengkap. "Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanyanya.
"'Entahlah-kau melihat hal menarik yang bakal terjadi?"
Alice tersenyum dan menggeleng. "Tapi sekarang kan masih pagi sekali."
Sekian lama menghabiskan waktu di La Push berarti mengabaikan setumpuk pekerjaan
di rumah, jadi aku memutuskan untuk membereskannya sekarang. Aku ingin melakukan
sesuatu, apa saja, agar hidup Charlie lebih mudah - mungkin membuatnya senang
bila pulang dan menemukan rumah bersih dan rapi. Aku memulainya dari kamar mandi
- ruangan itulah yang paling menunjukkan tanda-tanda tidak terurus.
Sementara aku bekerja, Alice bersandar di ambang pintu dan mengajukan pertanyaan
remeh tentang, Well, teman-teman SMA kami seru apa saja yang mereka kerjakan
semenjak ia pergi. Wajahnya tetap tenang dan tanpa emosi, tapi aku bisa
merasakan ketidaksukaannya waktu ia sadar betapa sedikitnya yang bisa
kuceritakan padanya. Atau mungkin itu hanya perasaan bersalahku setelah
menguping pembicaraannya dengan Charlie kemarin pagi.
Aku sedang sibuk berkutat dengan cairan pembersih, menggosok dasar bak mandi,
waktu bel pintu berbunyi.
Aku langsung menoleh pada Alice, dan ekspresinya terperangah, nyaris waswas, hal
yang aneh; Alice tidak pernah terkejut.
"Sebentar!" seruku ke pintu depan, berdiri, lalu bergegas ke wastafel untuk
membasuh kedua lenganku. "Bella," kata Alice dengan secercah nada frustrasi dalam suaranya, "kurasa aku
bisa menebak siapa yang datang itu, jadi kupikir ada baiknya kalau aku pergi."
"Menebak?" aku menirukan. Sejak kapan Alice harus menebak sesuatu"
"Bila ini pengulangan dari ketidakmampuanku melihat masa depan seperti yang
terjadi kemarin, maka besar kemungkinan yang datang itu Jacob Black atau salah
seorang... temannya."
Aku menatap Alice, mulai paham. "Jadi kau tidak bisa melihat werewolf?"
Alice meringis. "Sepertinya begitu." Jelas ia jengkel oleh fakta ini - sangat
jengkel. Bel pintu berdering lagi - berbunyi untuk kedua kalinya, cepat dan tidak sabar.
"Kau tidak perlu pergi ke mana-mana, Alice. Kau yang lebih dulu berada di sini."
Alice mengumandangkan tawa kecilnya yang merdu itu- ada nada sinis di sana.
"Percayalah padaku - bukan ide bagus membiarkan aku berada dalam ruangan yang
sama dengan Jacob Black."
Alice mengecup pipiku sekilas sebelum lenyap di balik pintu kamar Charlie - dan
keluar dari jendela kamar bagian belakang, tak diragukan lagi.
Bel pintu kembali berdering.
18. PEMAKAMAN AKU berlari cepat menuruni tangga dan menyentakkan pintu, membukanya.
Yang datang Jacob, tentu saja. Walaupun "buta", Alice tidak bodoh.
Ia berdiri nyaris dua meter dari pintu, hidungnya mengernyit tidak suka, tapi
wajahnya tenang- seperti topeng. Meski begitu aku tidak termakan oleh sikapnya
yang sok tenang; aku bisa melihat kedua tangannya gemetar pelan.
Amarah menjalari tubuhnya. Hal itu membuatku teringat pada siang tak
menyenangkan ketika ia lebih memilih Sam ketimbang aku, dan aku merasakan daguku
terangkat dengan sikap defensif sebagai respons.
Rabbit milik Jacob menunggu dengan mesin menyala di pinggir jalan, bersama Jared
di balik kemudi dan Embry di kursi penumpang. Aku paham maksudnya: mereka takut
membiarkan Jacob datang ke sini sendirian. Itu membuatku sedih, sekaligus agak
jengkel. Keluarga Cullen tidak seperti itu.
"Hai," sapaku akhirnya ketika Jacob tak juga bicara.
Jake mengerucutkan bibir, masih berdiri agak jauh dari pintu. Matanya menyapu
bagian depan rumah. Aku menggertakkan gigi.
"Dia tidak di sini. Kau membutuhkan sesuatu?"
Jacob ragu-ragu. "Kau sendirian?"
"Ya." Aku mendesah.
"Boleh aku bicara sebentar denganmu?"
"Tentu saja boleh, Jacob. Silakan masuk."
Jacob menoleh memandangi teman-temannya di mobil. Kulihat Embry menggeleng
sedikit. Entah mengapa, itu membuatku jengkel bukan main.
Rahangku kembali terkatup rapat. "Pengecut," gumamku pelan.
Mata Jacob beralih lagi padaku, alisnya yang hitam tebal berkerut marah di atas
matanya yang menjorok masuk. Rahangnya mengeras, dan ia berjalan mengentak-
entakkan kaki-tidak ada istilah lain untuk melukiskan caranya berjalan-
menghampiriku dan merangsek melewatiku masuk ke rumah.
Aku menatap Jared dan kemudian Embry dulu- aku tidak suka cara mereka menatapku
tajam seperti itu; apakah mereka benar-benar mengira aku akan membiarkan Jacob
dilukai"-sebelum menutup pintu di depan hidung mereka.
Jacob berdiri di ruang depan di belakangku, memandangi onggokan selimut di ruang
tamu. "Pesta menginap nih?" tanyanya, nadanya sinis.
"Yeah," jawabku, sama ketusnya. Aku tidak suka melihat Jacob bertingkah seperti
ini. "Memangnya kenapa?"
Jacob mengernyitkan hidungnya lagi, seperti mencium suatu yang tidak
menyenangkan. "Mana 'teman'-mu?" Aku bisa mendengar tanda kutip dalam suaranya.
"Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan. Dengar, Jacob, apa maumu?"
Ada sesuatu di ruangan ini yang kelihatannya membuat Jacob gelisah-kedua
lengannya yang panjang bergetar. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah
beranjak ke dapur, matanya jelalatan.
Aku mengikutinya. Ia mondar-mandir di depan konter dapur yang pendek.
"Hei." seruku, menghalanginya. Jacob berhenti mondar-mandir dan menunduk
memandangiku. "Apa masalahmu?"
"Aku tidak suka harus datang ke sini"
Ucapannya menyinggung perasaanku. Aku meringis, dan mata Jacob terpejam.
"Kalau begitu sayang sekali kau harus datang," gerutuku. "Mengapa tidak langsung
saja kausampaikan apa yang perlu kausampaikan supaya kau bisa pergi?"
"Aku hanya perlu mengajukan beberapa pertanyaan padamu. Tidak butuh waktu lama.
Kami harus segera kembali untuk menghadiri pemakaman."
"Oke. Tanyakan saja" Aku mungkin terlalu berlebihan dalam menunjukkan sikap
bermusuhan, tapi aku tidak mau Jacob melihat betapa menyakitkannya ini bagiku.
Aku tahu aku tidak bersikap adil. Bagaimanapun, aku lebih memilih si pengisap
darah ketimbang dia semalam. Aku menyakitinya lebih dulu.
Jacob menghela napas dalam-dalam, dan jari-jarinya yang gemetar mendadak diam.
Wajahnya mulai tenang seperti topeng.
"Salah satu anggota keluarga Cullen menginap di sini bersamamu," ujarnya.
"Benar. Alice Cullen."
Jacob mengangguk khidmat. "Berapa lama dia akan berada di sini?"
"Selama yang dia inginkan." Nadaku masih menantang. "Rumah ini terbuka baginya."
"Menurutmu bisakah kau... tolong... menjelaskan padanya tentang yang lain itu-
Victoria?" Wajahku memucat. "Aku sudah bercerita padanya."
Jacob mengangguk. "Kau perlu tahu bahwa kami hanya bisa mengawasi wilayah kami
sendiri dengan adanya seorang anggota keluarga Cullen di sini. Kau baru akan
aman bila berada di La Push. Aku tidak bisa lagi melindungimu di sini."
"Oke," sahutku, suara nyaris tak terdengar.
Jacob memalingkan wajah, memandang ke luar jendela. Ia tidak melanjutkan kata-
katanya. "Itu saja?" Dengan mata tetap tertuju ke jendela, Jacob menjawab, "Satu pertanyaan lagi."
Aku menunggu, tapi ia tidak bicara juga. "Ya?" desakku akhirnya.
"Apakah yang lain-lain juga akan kembali ke sini sekarang?" tanyanya, suaranya
pelan dan tenang. Mengingatkanku pada pembawaan Sam yang selalu tenang. Semakin
hari Jacob semakin mirip Sam... aku heran sendiri mengapa itu membuatku merasa
sangat terganggu. Sekarang akulah yang diam saja. Jacob menoleh dan memandangi wajahku dengan mata
menyelidik. "Well?" tanyanya. Susah payah ia berusaha menutupi ketegangan di balik
ekspresinya yang tenang. "Tidak," jawabku akhirnya. Dengan enggan. "Mereka tidak akan kembali."
Ekspresinya tidak berubah. "Oke. Itu saja. "
Kutatap dia dengan garang, kejengkelanku kembali membara."Well, sekarang kau
bisa pergi. Katakan pada Sam monster-monster mengerikan itu tidak kembali untuk
menyerang kalian." "Oke," ulang Jacob, tetap tenang.
Sepertinya perkataanku itu menyinggung perasaannya. Jacob cepat keluar dari
dapur. Aku menunggu mendengar bunyi pintu depan dibuka, tapi tidak terdengar
apa-apa. aku bisa mendengar detak jarum jam di atas kompor, dan dalam hati aku
mengagumi kemampuan Jacob bergerak tanpa suara.
Benar-benar kacau. Bagaimana mungkin aku bisa membuatnya menjauh dariku dalam
waktu begitu singkat"
Apakah ia akan memaafkanku bila Alice sudah pergi nanti" Bagaimana kalau ia
tidak memaafkanku" Aku bersandar lemas ke konter dan mengubur wajahku dengan kedua tangan.
Bagaimana aku bisa mengacaukan semuanya" Tapi apa lagi yang bisa kulakukan yang
mungkin membuahkan hasil berbeda" Bahkan saat menoleh ke belakang, aku tak bisa
memikirkan cara lain yang lebih baik, tindakan lain yang sempurna.
"Bella...?" tanya Jacob, suaranya gelisah. Aku
mengeluarkan wajahku dari balik tangan dan melihat Jacob ragu-ragu di ambang
pintu dapur; ternyata ia belum pergi seperti yang kukira. Setelah melihat tetes-
tetes bening berkilauan di tanganku, barulah aku sadar bahwa aku menangis.
Ekspresi tenang Jacob kini lenyap; wajahnya cemas dan tak yakin. Ia bergegas
kembali dan berdiri di depanku, menunduk sehingga matanya dekat sekali dengan
mataku.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku melakukannya lagi, ya?"
"Melakukan apa?" tanyaku, suaraku pecah,
"Melanggar janjiku. Maaf."
"Tidak apa-apa," gumamku. "Kali ini penyebabnya aku sendiri."
Wajah Jake berkerut-kerut. "Aku tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka.
Seharusnya aku tidak kaget lagi."
Aku bisa melihat perubahan di matanya. Ingin rasanya aku menjelaskan bagaimana
Alice sesungguhnya, untuk melindunginya dari penghakiman Jacob, tapi seolah-olah
ada yang mengingatkanku bahwa sekarang belum waktunya menjelaskan hal itu.
Maka aku hanya bisa berkata, "Maaf," sekali lagi.
"Bagaimana kalau kita tidak usah mempermasalahkannya lagi, oke" Dia hanya
berkunjung, kan" Dia akan pergi, dan keadaan akan kembali normal."
"Tidak bisakah aku berteman dengan kalian berdua sekaligus?" tanyaku, suaraku
tak mampu menyembunyikan kepedihan yang kurasakan.
Jacob menggeleng lambat-lambat. "Tidak, kurasa tidak bisa."
Aku mengisap ingus dan memandangi kakinya yang besar. "Tapi kau mau menungguku,
kan" Kau akan tetap menjadi temanku, walaupun aku juga menyayangi Alice?"
Aku tidak mendongak, takut melihat pikiran Jacob berkaitan dengan kalimat
terakhirku tadi. Jacob tidak langsung menjawab, jadi mungkin ada benarnya aku
tidak melihat tadi. "Yeah, aku akan selalu menjadi temanmu," katanya parau. "Tak peduli siapa pun
yang kausayangi." "Janji?" "Janji." Aku bisa merasakan lengan Jacob meliukku, dan aku bersandar di dadanya, masih
terisak-isak. "Menyebalkan."
"Yeah." Kemudian Jacob mengendusi rambutku dan berseru, "Hueek."
"Apa!" sergahku. Aku mendongak dan melihat hidung Jacob mengernyit lagi.
"Mengapa semua orang bersikap begitu padaku" Aku kan tidak bau!"
Jacob tersenyum sedikit. "Ya. kau bau - baumu seperti mereka. Hah. Terlalu
manis-manis memuakkan. Dan... dingin. Membakar hidungku."
"Sungguh?" Aneh. Bau Alice wangi sekali. Bagi manusia, setidaknya. "Tapi kalau
begitu, mengapa Alice juga menganggapku bau sekali?"
Senyum Jacob langsung lenyap. "Hah. Mungkin baginya bauku juga tidak terlalu
enak. Hah." "Well, bau kalian baik-baik saja menurutku." Aku meletakkan kepalaku di dadanya
lagi. Aku akan sangat kehilangan Jacob kalau dia pergi meninggalkanku nanti.
Seperti makan buah simalakama saja-di satu sisi aku ingin Alice tetap di sini
selamanya. Aku bisa mati-secara metaforis-bila dia meninggalkanku. Tapi
bagaimana aku bisa tahan hidup tanpa bertemu Jacob" Benar-benar kacau, pikirku
lagi. "Aku pasti akan merindukanmu," bisik Jacob, menyuarakan pikiranku. "Setiap
menit. Mudah-mudahan sebentar lagi dia pergi."
"Tidak harus seperti itu, Jake."
Jacob mendesah. "Tidak, memang harus begitu, Bella. Kau... sayang padanya. Jadi
lebih baik bila aku tidak dekat-dekat dengannya. Aku tidak yakin akan cukup bisa
mengendalikan diri untuk menghadapinya. Sam pasti marah kalau aku melanggar
kesepakatan, dan-" nadanya berubah
sarkastis-"mungkin kau juga tidak suka kalau aku membunuh temanmu."
Aku terkejut mendengar perkataannya, tapi Jacob justru semakin mempererat
lengannya, menolak melepaskanku. "Tidak ada gunanya menghindari kebenaran.
Memang begitulah keadaannya, Bella."
"Aku tidak suka keadaannya seperti itu."
Jacob membebaskan satu tangan sehingga bisa mengangkat daguku dengan tangan
cokelatnya yang besar dan memaksaku menatapnya. "Yeah. Lebih mudah dulu, ketika
kita masih sama-sama manusia, ya?"
Aku mendesah. Kami saling memandang lama sekali. Tangannya panas membara di kulitku. Di
wajahku, aku tahu tidak tergambar emosi apa pun kecuali kesedihan sendu-aku
tidak ingin mengucapkan selamat berpisah sekarang, meski hanya sebentar. Mulanya
wajah Jacob merefleksikan wajahku, namun ketika kami sama-sama tak mengalihkan
pandangan, ekspresinya berubah.
Ia melepaskanku, mengangkat tangannya yang lain untuk membelai pipiku dengan
ujung-ujung jari, terus hingga ke dagu. Aku bisa merasakan jari-jarinya
bergetar-kali ini bukan karena marah. Ia menaruh telapak tangannya ke pipiku,
sehingga wajahku terperangkap oleh kedua tangannya yang panas membara.
"Bella," bisiknya. Aku membeku.
Tidak! Aku belum mengambil keputusan tentang ini. Entah apakah aku mampu
melakukannya, dan sekarang aku sedang tak bisa berpikir. Tapi sungguh tolol jika
aku mengira menolaknya sekarang takkan menghasilkan konsekuensi apa-apa.
Aku membalas tatapannya. Ia bukan Jacob-ku. tapi ia bisa menjadi milikku.
Wajahnya sangat kukenal dan kusayang. Dalam begitu banyak hal, aku memang
mencintainya. Ia penghiburku, pelabuhanku yang aman. Sekarang ini, aku bisa
memilih untuk menjadikannya milikku.
Alice memang sekarang kembali, tapi itu tidak mengubah apa-apa. Cinta sejati
telah hilang selama-lamanya. Sang pangeran takkan pernah kembali untuk
mengecupku dan membangunkanku dari tidur yang panjang. Lagi pula, aku juga bukan
seorang putri. Jadi apa protokol cerita dongeng untuk ciuman-ciuman lain"
Ciuman sepele yang tidak memusnahkan mantra"
Mungkin akan mudah-seperti menggenggam tangannya atau dirangkul olehnya. Mungkin
akan terasa menyenangkan. Mungkin tidak akan terasa seperti pengkhianatan. Lagi
pula, memangnya aku mengkhianati siapa" Hanya diriku.
Sambil tetap menatap mataku, Jacob mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tapi
aku masih belum bisa memutuskan.
Dering telepon membuat kami sama-sama melompat kaget, namun tidak membuyarkan
konsentrasi Jacob. Ia menarik tangannya dari bawah daguku dan menyambar gagang
telepon, tapi sambil tetap memegang pipiku dengan tangannya yang lain. Matanya
yang gelap tak beralih sedikit pun dari mataku. Pikiranku terlalu kacau untuk
bisa bereaksi, bahkan mengambil kesempatan dari gangguan yang mendadak itu.
"Kediaman keluarga Swan," jawab Jacob, suara seraknya rendah dan dalam
Seseorang menyahut, dan sikap Jacob serta-merta berubah. Ia menegakkan badan,
dan tangannya terjatuh dari wajahku. Matanya langsung berubah datar, wajahnya
kosong, dan aku berani mempertaruhkan sisa dana kuliahku yang tidak seberapa
bahwa yang menelepon itu pasti Alice.
Kesadaranku pulih dan tanganku terulur, meminta telepon. Jacob tak menggubrisku.
"Dia tidak ada di sini," jawab Jacob, dan kata-katanya bernada garang.
Orang yang menelepon itu mengatakan sesuatu, sepertinya meminta tambahan
informasi, karena Jacob menambahkan dengan sikap enggan, "Dia sedang menghadiri
pemakaman." Lalu Jacob menutup telepon. "Dasar pengisap darah kurang ajar," gerutunya pelan.
Ia kembali menunjukkan wajah yang seperti topeng getir itu.
"Siapa itu, kenapa kau menutup telepon begitu saja?" aku terkesiap, marah. "Ini
rumahku, dan itu teleponku!"
"Tenang! Justru dia yang menutup telepon duluan!"
"Dia" Dia siapa?"
Jacob menyemburkan gelar itu dengan nada mengejek. "Dr. Carlisle Cullen."
"Mengapa kau tidak memberikan teleponnya padaku"!"
"Dia tidak minta bicara denganmu kok," jawab Jacob dingin. Wajahnya tenang,
tanpa ekspresi, tapi kedua tangannya gemetar. "Dia bertanya di mana Charlie dan
kujawab. Kurasa aku tidak melanggar etika apa pun."
"Dengar aku, Jacob Black-"
Tapi Jacob jelas tidak mendengarkan kata-kataku. Ia menoleh ke belakang dengan
cepat, seolah-olah ada orang yang memanggilnya dari ruangan lain. Matanya
membelalak lebar dan tubuhnya mengejang, lalu mulai bergetar. Otomatis aku ikut
mendengarkan juga, tapi tidak terdengar suara apa-apa.
"Bye, Bells." semburnya, lalu tergesa-gesa menuju pintu depan.
Aku berlari mengejarnya. "Ada apa?"
Kemudian aku menabraknya, saat ia berhenti, menggoyang-goyangkan badan dengan
bertumpu pada tumit, memaki pelan. Tiba-tiba ia berbalik lagi, menyenggolku
keras. Aku goyah dan rubuh ke lantai, kedua kakiku tersangkut di kakinya.
"Sialan, aduh!" protesku saat Jacob buru-buru menyentakkan kakinya,
membebaskannya dari belitan kakiku.
Susah payah aku bangkit kembali sementara Jacob berlari menuju pintu belakang;
mendadak ia kembali membeku. Alice berdiri tak bergerak di kaki tangga.
"Bella," panggilnya dengan suara tercekat. Aku cepat-cepat berdiri dan
menghambur mendapatinya. Mata Alice nanar dan menerawang jauh, wajahnya tegang
dan pucat pasi seperti mayat. Tubuhnya yang langsing bergetar karena pergolakan
di dalam dirinya. "Alice, ada apa?" pekikku. Aku merengkuh wajahnya dengan kedua tangan, berusaha
menenangkannya. Matanya mendadak terfokus ke mataku, membelalak oleh kesedihan.
"Edward," hanya itu yang ia bisikkan.
Tubuhku bereaksi lebih cepat daripada yang sanggup ditangkap oleh otakku begitu
mendengar jawabannya. Awalnya aku tak mengerti mengapa ruangan berputar atau
dari mana raungan hampa di telingaku ini berasal. Pikiranku bergerak sangat
lambat, tak mampu mencerna wajah Alice yang muram dan apa hubungan hal itu
dengan Edward, sementara tubuhku saat itu sudah goyah, mencari kelegaan dalam
ketidaksadaran sebelum kenyataan dapat menghantamku telak-telak.
Tangga terlihat miring dalam sudut yang sangat tidak lazim.
Suara Jacob yang marah tiba-tiba terdengar di telingaku, mendesis menghamburkan
kata-kata makian. Samar-samar aku merasa tidak senang. Teman-teman barunya jelas
memberi pengaruh yang tidak baik.
Aku terbaring di sofa tanpa mengerti mengapa aku bisa berada di sana, dan Jacob
masih terus mengumpat-umpat. Rasanya seperti ada gempa bumi-sofa berguncang-
guncang di bawah tubuhku.
"Kauapakan dia?" tuntut Jacob.
Alice tak menggubrisnya. "Bella" Bella, sadarlah. Kita harus bergegas."
"Jangan mendekat," tegur Jacob.
"Tenanglah, Jacob Black," Alice memerintahkan. "Jangan sampai kau berubah dalam
jarak sedekat itu dengannya."
"Kurasa aku tidak punya masalah dalam mengendalikan diri," sergah Jacob, tapi
suaranya terdengar sedikit lebih dingin.
"Alice?" Suaraku lemah. "Apa yang terjadi?" tanyaku, walaupun aku tidak ingin
mendengarnya. "Aku tidak tahu," Alice tiba-tiba meraung. "Apa yang dia pikirkan"!"
Susah payah aku berusaha mengangkat tubuhku, meski kepalaku pusing. Sadarlah aku
bahwa aku mencengkeram tangan Jacob untuk menyeimbangkan diri. Dialah yang
berguncang-guncang, bukan sofanya.
Alice mengeluarkan ponsel perak kecil dari
dalam tas sementara mataku memandanginya. Jari-jarinya menekan cepat serangkaian
tombol, begitu cepatnya hingga tampak kabur.
"Rose, aku harus bicara dengan Carlisle sekarang." Suaranya tajam saat
melontarkan kata-kata itu. "Baiklah, pokoknya segera setelah dia kembali. Tidak,
aku akan naik pesawat. Dengar, kau sudah dapat kabar dari Edward?"
Alice terdiam sekarang, mendengarkan dengan ekspresi yang semakin lama semakin
ngeri. Mulutnya ternganga, membentuk huruf O penuh kengerian, dan ponsel di
tangannya bergetar hebat.
"Mengapa?" ia terkesiap. "Mengapa kau berbuat begitu, Rosalie?"
Apa pun jawabannya, itu membuat dagu Alice mengeras karena marah. Matanya
berkilat-kilat dan menyipit.
"Well kau salah besar dua kali, Rosalie, jadi itu pasti akan jadi masalah,
bukan?" tanyanya tajam.
"Ya, benar. Dia baik-baik saja-ternyata aku salah... Ceritanya panjang... Tapi
kau juga salah dalam hal itu, karena itulah aku menelepon... Ya, memang itulah
yang kulihat." Suara Alice sangat kaku dan bibirnya tertarik ke belakang. "Sudah agak terlambat
untuk itu, Rose. Simpan saja penyesalanmu untuk orang yang memercayainya." Alice
menutup ponsel lipatnya keras-keras.
Ia tampak tersiksa saat berpaling menatapku.
"Alice," semburku cepat-cepat. Aku belum sanggup membiarkannya bicara. Aku butuh
beberapa detik lagi sebelum ia berbicara dan kata-katanya menghancurkan apa yang
tersisa dalam hidupku. "Alice, Carlisle sudah kembali. Dia baru saja
menelepon... " Alice menatapku kosong. "Kapan?" tanyanya dengan suara bergaung hampa.
"Setengah menit sebelum kau muncul."
"Apa katanya?" Ia benar-benar fokus sekarang, menunggu jawabanku.
"Aku tidak sempat bicara dengannya." Mataku melirik Jacob.
Alice mengalihkan tatapannya yang tajam menusuk pada Jacob. Jacob tersentak,
tapi bergeming di dekatku. Ia duduk dengan sikap canggung, hampir seperti
berusaha menamengiku dengan tubuhnya.
"Dia minta bicara dengan Charlie, dan kukatakan Charlie tidak ada," sergah Jacob
dengan nada tidak senang.
"Hanya itu?" tuntut Alice, suaranya sedingin es.
"Lalu dia langsung menutup telepon," bentak Jacob. Sekujur tubuhnya bergetar,
membuatku ikut terguncang.
Alice menyentakkan kepalanya kembali ke arahku. "Bagaimana persisnya kata-
katanya?" "Dia bilang, 'Dia tidak ada di sini,' dan waktu Carlisle bertanya Charlie ke
mana, Jacob menjawab, 'Dia sedang menghadiri pemakaman.'"
Alice mengerang dan merosot lemas.
"Katakan padaku, Alice," bisikku.
"Itu tadi bukan Carlisle," katanya dengan sikap tak berdaya.
"Jadi menurutmu aku pembohong?" raung Jacob dari sampingku.
Alice mengabaikannya, memfokuskan diri pada wajahku yang kebingungan.
"Itu tadi Edward." Alice mengucapkannya sambil berbisik dengan suara tercekat.
"Dia mengira kau sudah mati."
Pikiranku mulai bekerja lagi. Kata-kata itu bukanlah yang kutakutkan, dan
kelegaan menjernihkan pikiranku.
"Rosalie memberi tahu dia bahwa aku bunuh diri, benar, kan?" tanyaku, mendesah
saat tubuhku mulai rileks kembali.
"Benar," Alice mengakui, matanya berkilat marah. "Dalam pembelaannya, dia memang
benar-benar memercayainya. Mereka terlalu mengandalkan penglihatanku meskipun
penglihatanku tidak sempurna. Tapi Rosalie sampai melacak keberadaan Edward
hanya untuk menyampaikan hal itu! Apakah dia tidak sadar... atau peduli...?" Suara Alice menghilang dalam kengerian.
"Dan waktu Edward menelepon ke sini, dia mengira yang dimaksud Jacob adalah
pemakamanku," aku tersadar. Sakit rasanya mengetahui aku tadi sudah sangat dekat
dengannya, hanya beberapa sentimeter saja dari suaranya. Kuku-kukuku terbenam di
kulit lengan Jacob, tapi ia bergeming.
Alice menatapku aneh. "Kau tidak kalut," bisiknya.
"Well, waktunya memang sangat tidak tepat, tapi semua bisa diluruskan kembali.
Kalau dia menelepon lagi nanti, dia bisa diberitahu tentang...kejadian...
sebenarnya..." Suaraku menghilang.
Tatapan Alice membuat kata-kataku tersangkut di tenggorokkan.
Mengapa Alice sepanik ini" Mengapa wajahnya berkerut-kerut oleh sikap kasihan
bercampur ngeri" Apa yang dikatakannya pada Rosalie di telepon barusan" Sesuatu
tentang penglihatannya... dan penyesalan Rosalie; Rosalie takkan pernah
menyesali apa pun yang terjadi padaku. Tapi bila dia menyakiti keluarganya,
saudara lelakinya... "Bella," bisik Alice. "Edward tidak akan menelepon lagi. Dia percaya pada
Rosalie." "Aku. Tidak. Mengerti." Mulutku membentuk setiap kata tanpa suara. Aku tidak
sanggup mendorong udara keluar dari mulutku untuk mengucapkan kata-kata yang
akan membuat Alice menjelaskan maksudnya.
"Dia pergi ke Italia."
Seketika aku langsung mengerti.
Ketika suara Edward terngiang kembali dalam ingatanku, suaranya bukan lagi
imitasi sempurna dari delusiku. Hanya nada datar dan lemah seperti yang terekam
dalam ingatanku. Tapi kata-katanya saja sudah cukup mengoyak dadaku dan
membuatnya menganga lebar. Kata-kata itu berasal dari saat ketika aku berani
mempertaruhkan segala yang kumiliki pada fakta bahwa ia mencintaiku.
Well aku tidak mau hidup tanpa kau, kata Edward waktu itu ketika kami menonton
Romeo dan Juliet meninggal, persis di ruangan ini. Tapi aku tidak tahu bagaimana
melakukannya... aku tahu Emmett dan Jasper tidak akan mau membantu... jadi
kupikir mungkin aku akan pergi ke Italia dan melakukan sesuatu untuk
memprovokasi Volturi... Kau tidak boleh membuat kesal keluarga Volturi. Kecuali
kau memang ingin mati. Kecuali kau memang ingin mati.
"TIDAK!" Penyangkalan setengah berteriak itu terdengar sangat nyaring setelah
kata-kata yang diucapkan sambil berbisik, hingga membuat kami semua terlonjak
kaget. Aku merasa darah menyembur ke wajahku saat aku menyadari apa yang telah
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilihat Alice. "Tidak! Tidak, tidak, tidak! Tidak boleh! Dia tidak boleh
melakukan hal itu!" "Dia langsung membulatkan tekad begitu temanmu mengonfirmasi bahwa sudah
terlambat untuk menyelamatkanmu."
"Tapi dia... dia yang pergi! Dia tidak menginginkanku lagi! Apa bedanya itu
sekarang" Dia toh sudah tahu aku bakal meninggal suatu saat nanti!"
"Menurutku dia memang tidak berniat hidup lagi setelah kau tidak ada," ujar
Alice pelan. "Berani betul dia!" jeritku. Aku berdiri sekarang, dan Jacob bangkit dengan
sikap ragu, lagi-lagi menempatkan dirinya di antara Alice dan aku.
"Oh, minggirlah, Jacob!" Kusikut tubuhnya yang gemetar itu dengan sikap tidak
sabar. "Apa yang bisa kita lakukan?" tanyaku pada Alice. Pasti ada yang bisa
kami lakukan. "Apakah kita tidak bisa meneleponnya" Bisakah Carlisle
menghubunginya?" Alice menggeleng-geleng. "Itu hal pertama yang kucoba. Dia membuang ponselnya ke
tong sampah di Rio-teleponku dijawab orang lain...," bisiknya.
"Kaubilang tadi kita harus bergegas. Bergegas bagaimana" Ayo kita lakukan, apa
pun itu!" "Bella, aku-aku tidak bisa memintamu untuk... " Suaranya menghilang dalam
kebimbangan. "Minta saja!" perintahku.
Alice memegang bahuku dengan kedua tangan, memegangiku jari-jarinya membuka dan
menutup secara sporadis untuk memberi penekanan pada kata-katanya. "Mungkin saja
kita sudah terlambat. Aku melihatnya mendatangi keluarga Volturi... dan minta
mati." Kami sama-sama bergidik, dan mataku tiba-tiba buta. Aku mengerjap-ngerjapkan
mata, mengusir air mata yang merebak. "Sekarang tergantung pada pilihan mereka.
Aku tidak bisa melihatnya sampai mereka mengambil keputusan. Tapi kalau mereka
mengatakan tidak, dan itu mungkin saja terjadi-Aro kan, menyayangi Carlisle, dan
tidak mau membuatnya sedih -
Edward punya rencana cadangan. Keluarga Volturi sangat protektif terhadap kota
mereka. Kalau Edward melakukan sesuatu yang mengoyakkan kedamaian tempat itu,
menurut perkiraannya, mereka pasti akan bertindak untuk menghentikannya. Dan dia
benar. Mereka memang akan bertindak."
Kutatap Alice dengan dagu mengejang frustrasi. Aku belum mendengar alasan apa
pun yang bisa menjelaskan mengapa kami masih berdiri di sini.
"Jadi kalau mereka setuju mengabulkan permintaannya, berarti kita terlambat.
Kalau mereka menolak, dan Edward menjalankan rencananya untuk membuat mereka
marah, kita juga terlambat. Kalau dia melakukan kecenderungan teatrikal-nya...
mungkin kita masih punya waktu."
"Ayo kita pergi!"
"Dengar, Bella! Terlepas dari apakah kita nanti terlambat atau tidak, kita akan
berada di jantung kota Volturi. Aku akan dianggap kaki tangan Edward bila dia
berhasil. Kau akan menjadi manusia yang bukan hanya terlalu banyak tahu, tapi
juga membangkitkan selera. Besar kemungkinan mereka akan menghabisi kita -
walaupun dalam kasusmu hukumannya mungkin menjadikanmu menu makan malam."
"Jadi itukah sebabnya kita tidak kunjung berangkat juga?" tanyaku dengan sikap
tak percaya. "Aku akan pergi sendirian kalau kau takut." Dalam hati aku
menghitung jumlah uang di rekeningku, dan bertanya-tanya apakah Alice bersedia
meminjamkan kekurangannya padaku.
"Aku hanya takut membuatmu terbunuh."
Aku mendengus sebal. "Setiap hari juga aku hampir terbunuh kok! Katakan padaku
apa yang perlu kulakukan!"
"Tulis pesan untuk Charlie. Aku akan menelepon perusahaan penerbangan."
"Charlie," aku terkesiap.
Bukan berarti keberadaanku di sini bisa melindunginya, tapi sanggupkah aku
meninggalkannya sendirian di sini untuk menghadapi... .
"Aku tidak akan membiarkan apa pun menimpa Charlie." Suara pelan Jacob terdengar
parau bercampur marah. "Masa bodoh dengan kesepakatan."
Aku mendongak dan menatapnya, tapi Jacob merengut melihat ekspresiku yang panik.
"Cepatlah. Bella," sela Alice dengan nada mendesak. Aku berlari ke dapur,
menyentakkan laci-laci hingga terbuka dan membuang semua isinya ke lantai,
kalang-kabut mencari bolpoin.
Sebuah tangan cokelat halus mengulurkan bolpoin padaku.
"Trims," gumamku, menarik tutupnya dengan gigi. Tanpa bersuara Jacob mengulurkan
notes tempat kami biasa menuliskan pesan-pesan telepon. Kurobek lembaran paling
atas dan kulempar begitu saja ke balik bahuku.
Dad, tulisku. Aku bersama Alice. Edward sedang ada masalah. Dad boleh
menghukumku kalau aku pulang nanti. Aku tahu waktunya sangat tidak tepat.
Maafkan aku. Sangat sayang padamu. Bella.
"Jangan pergi," bisik Jacob. Amarahnya lenyap karena sekarang Alice sudah tak
ada lagi di ruangan itu. Aku tidak mau membuang-buang waktu berdebat dengannya. "Kumohon, kumohon,
kumohon jaga Charlie baik-baik," pintaku sambil melesat kembali ke ruang depan.
Alice menunggu di ambang pintu dengan tas disampirkan ke pundak.
"Ambil dompetmu-kau harus membawa KTP. Please, kuharap kau punya paspor. Tak ada
waktu untuk membuat paspor palsu."
Aku mengangguk dan berlari menaiki tangga, lututku lemas oleh perasaan bersyukur
karena ibuku sempat ingin menikah dengan Phil di pantai di Meksiko. Tentu saja,
seperti semua rencananya yang lain, rencana itu gagal total. Tapi aku sudah
telanjur melakukan segala persiapan berkenaan dengan rencananya itu.
Aku menghambur memasuki kamar. Kujejalkan dompet tuaku, T-shirt bersih, dan
celana panjang ke dalam ransel, dan cak ketinggalan sikat gigi.
Lalu aku melesat lagi menuruni tangga. Perasaan deja vu nyaris terasa mencekik
saat ini. Setidaknya, tidak seperti waktu itu-ketika aku harus melarikan diri dari Forks
untuk lolos dari kejaran para vampir haus darah, bukan malah menemui mereka-aku
tidak perlu berpamitan dengan Charlie secara langsung.
Jacob dan Alice tampak bersitegang di depan pintu yang terbuka, berdiri
berjauhan satu sama lain hingga awalnya orang pasti takkan mengira mereka sedang
berbicara. Tampaknya mereka tak menggubris kemunculanku kembali yang berisik.
"Mungkin saja kau bisa mengendalikan diri sesekali, tapi kau membawanya ke
hadapan lintah-lintah yang-" tuduh Jacob dengan nada marah.
"Ya. Kau benar, anjing." Alice tak kalah garang.
"Keluarga Volturi itu inti utama jenis kami - merekalah alasan mengapa bulu
kudukmu meremang saat kau mencium bauku. Mereka hakikat mimpi-mimpi burukmu,
kengerian di balik instingmu. Aku bukannya tidak menyadari hal itu."
"Dan kau membawa Bella ke mereka, seperti membawa sebotol anggur ke pesta!"
teriak Jacob. "Kaupikir dia lebih aman bila aku meninggalkannya sendirian di sini, bersama
Victoria yang mengincarnya?"
"Kami bisa mengatasi si rambut merah."
"Kalau benar begitu, mengapa dia masih berburu?"
Jacob menggeram, dan getaran hebat mengguncang tubuhnya.
"Hentikan!" teriakku pada mereka berdua, kalut oleh perasaan tidak sabar. "Nanti
saja berdebatnya, kalau kita sudah kembali. Ayo berangkat!'
Alice berbalik menuju mobilnya, menghilang saking buru-burunya. Aku bergegas
menyusulnya, otomatis berhenti sebentar untuk berbalik dan mengunci pintu.
Jacob menyambar lenganku dengan tangannya yang gemetar. "Please, Bella.
Kumohon." Bola matanya yang gelap berkaca-kaca oleh air mata. Tenggorokanku tercekat.
"Jake, aku harus-"
"Tapi kau tidak harus pergi. Sungguh. Kau bisa tinggal di sini bersamaku. Kau
bisa tetap hidup. Demi Charlie. Demi aku."
Mesin Mercedes Carlisle menderum; meraung-raung semakin keras saat Alice
menginjak pedal gas dengan tidak sabar.
Aku menggeleng, air mataku mengalir turun. Kutarik lenganku dari pegangannya,
dan Jacob tidak menahanku.
"Jangan mati, Bella," katanya dengan suara tercekik. "Jangan pergi. Jangan."
Bagaimana kalau aku tidak pernah melihatnya lagi"
Pikiran itu menyeruak keluar dari benakku di sela-sela air mata tanpa suara;
sedu sedan terlontar dari dadaku. Aku meraih pinggang Jacob dan memeluknya
sebentar, mengubur wajahku yang bersimbah air mata di dadanya. Jacob menempelkan
tangannya yang besar ke belakang kepalaku, seolah-olah ingin menahanku di sana.
"Selamat tinggal, Jake." Kutarik tangannya dari rambutku, dan kucium telapaknya.
Aku tak sanggup menatap wajahnya. "Maaf," bisikku.
Kemudian aku berbalik dan berlari ke mobil. Pintu penumpang sudah terbuka,
menunggu. Kulempar ranselku ke belakang dan masuk, membanting pintu di
belakangku. "Jaga Charlie baik-baik!" aku menoleh dan berteriak ke luar jendela, tapi Jacob
sudah tidak tampak lagi. Saat Alice menginjak pedal gas kuat-kuat dan-ban mobil
berderit keras bagaikan lengkingan suara manusia-memutar mobil dengan cepat ke
arah jalan, mataku tertumpu pada cabikan sesuatu berwarna putih, dekat pinggir
pepohonan. Cabikan sepatu.
19. BERPACU KAMI berhasil naik pesawat hanya beberapa detik sebelum jadwal keberangkatan,
dan siksaan sesungguhnya dimulai. Pesawat bertengger di apron dengan mesin
menyala sementara para pramugari melenggang-begitu santainya-di sepanjang lorong
pesawat, menepuk-nepuk tas yang disimpan di kompartemen di atas tempat duduk,
memastikan semuanya beres. Pilot-pilot mencondongkan tubuh dari kokpit,
mengobrol dengan pramugari-pramugari ketika mereka lewat. Tangan Alice terasa
keras di pundakku, menahanku tetap di kursi sementara aku bergerak-gerak
gelisah. "Ini lebih cepat daripada berlari," Alice mengingatkanku dengan suara pelan.
Aku hanya mengangguk sambil terus bergerak-gerak.
Akhirnya pesawat bergulir pelan, sedikit demi sedikit menambah kecepatan dan itu
semakin menyiksaku. Kusangka aku bakal lega setelah pesawat akhirnya lepas
landas, tapi ketidaksabaran yang kurasakan ternyata tak berkurang juga.
Alice sudah mengangkat telepon dari punggung kursi di depannya sebelum pesawat
berhenti menanjak, sengaja memunggungi pramugari yang menatapnya tidak setuju.
Namun sesuatu di ekspresiku membuat pramugari itu mengurungkan niatnya untuk
menghampiri dan menegur kami.
Aku berusaha menulikan telinga dari bisik-bisik Alice dengan Jasper; aku tak
ingin mendengar kata-katanya lagi, tapi ada juga beberapa yang tanpa sengaja
terdengar olehku. "Aku tidak yakin, aku bolak-balik melihatnya melakukan berbagai hal berbeda,
berkali-kali berubah pikiran... Pembunuhan massal di kota, menyerang penjaga,
mengangkat mobil di atas kepala di alun-alun kota... kebanyakan hal-hal yang
akan mengekspos mereka - dia tahu itu cara paling cepat memaksa mereka
bereaksi... "Tidak, tidak bisa." Suara Alice semakin pelan hingga nyaris tak terdengar,
walaupun aku duduk hanya beberapa sentimeter di sebelahnya. Aku menajamkan
pendengaran. "Katakan pada Emmett, jangan... Well, susul Emmett dan Rosalie dan
bawa mereka kembali... Pikirkan baik-baik, Jasper. Kalau dia melihat salah
seorang di antara kita, menurutmu, apa yang akan dia lakukan?"
Alice mengangguk. "Tepat sekali. Menurutku Bella-lah satu-satunya kesempatan-
kalau masih ada kesempatan... aku akan melakukan apa pun yang masih bisa
dilakukan, tapi siapkan Carlisle; kemungkinannya kecil."
Lalu ia tertawa, kemudian suaranya tercekat. "Aku juga sudah memikirkan hal
itu... Ya, aku janji." Suaranya berubah memohon. "Jangan ikuti aku. Aku janji,
Jasper. Bagaimanapun caranya, aku akan keluar... Dan aku cinta padamu."
Alice menutup telepon, dan bersandar di kursinya dengan mata terpejam. "Aku
benci harus berbohong padanya."
"Ceritakan semua padaku, Alice," pintaku. "Aku tidak mengerti. Menapa kau
menyuruh Jasper menghentikan Emmett, menapa mereka tidak boleh datang menolong
kita?" "Dua alasan," bisik Alice, matunya masih terpejam. "Yang pertama sudah kukatakan
padanya. Kami bisa saja berusaha menghentikan Edward sendiri-kalau Emmett bisa
menemukannya, mungkin kami bisa meyakinkan dia bahwa kau masih hidup. Tapi kami
takkan berhasil mendekati Edward diam-diam. Dan kalau dia melihat kami datang
mencarinya, dia justru akan bertindak lebih cepat. Dia akan melemparkan Buick ke
tembok batu atau semacamnya, dan keluarga Volturi akan melumpuhkannya.
"Ada alasan kedua tentu saja, alasan yang tidak bisa kuungkapkan pada Jasper.
Karena bila mereka ada di sana dan keluarga Volturi membunuh Edward, mereka
pasti akan melawan keluarga Volturi, Bella." Alice membuka matanya dan
menatapku, memohon. "Kalau saja ada kesempatan kami bisa menang... kalau saja
ada kesempatan kami berempat bisa menyelamatkan saudara kami dengan bertempur
untuknya, mungkin ceritanya akan lain. Tapi kami tidak bisa, dan, Bella, aku
tidak sanggup kehilangan Jasper seperti itu."
Sadarlah aku mengapa mata Alice memohon pengertianku. Ia melindungi Jasper,
dengan mempertaruhkan nyawa kami sendiri, dan mungkin nyawa Edward juga. Aku
mengerti, dan aku tidak berpikir buruk tentangnya. Aku mengangguk.
"Apakah Edward tidak bisa mendengarmu?" tanyaku. "Tidak bisakah dia tahu, begitu
mendengar pikiranmu, bahwa aku masih hidup, bahwa tidak ada gunanya melakukan
hal ini?" Bukan berarti kalau aku sudah mati ia bisa dibenarkan melakukannya. Aku masih
tidak percaya ia sanggup bereaksi seperti ini. Sungguh tak masuk akal! Aku ingat
sangat jelas kata-katanya hari itu di sofa, ketika kami nonton Romeo dan Juliet
bunuh diri, yang satu menyusul yang lain. Aku tidak mau hidup tanpa kau, begitu
kata Edward waktu itu, seolah-olah itu kesimpulan yang sangat jelas. Tapi kata-
kata yang diucapkannya di hutan saat ia meninggalkanku telah membuyarkan semua
itu-secara paksa. "Kalau dia mendengarkan," Alice menjelaskan. "Tapi percaya atau tidak, mungkin
saja untuk membohongi pikiranmu. Seandainya kau sudah meninggal, aku akan tetap
berusaha menghentikannya. Dan aku akan berpikir 'Bella masih hidup, Bella masih
hidup' sekuat tenaga. Dia tahu itu "
Kukertakkan gigiku dengan perasaan frustrasi.
"Kalau kami bisa melakukan ini tanpa kau, Bella, aku tidak akan membahayakan
keselamatanmu seperti ini. Tindakanku ini sangat tidak bisa dibenarkan."
"Jangan tolol. Itu hal terakhir yang seharusnya kaukhawatirkan" Aku menggeleng
dengan sikap tak sabar. "Ceritakan apa yang kaumaksud waktu bilang kau tidak
suka harus membohongi Jasper."
Alice menyunggingkan senyum muram. "Aku berjanji padanya akan keluar sebelum
mereka membunuhku juga. Padahal aku tidak bisa menjamin - itu sangat tidak
mungkin." Alice mengangkat alis, seolah-olah berusaha meyakinkanku untuk lebih
serius lagi menanggapi bahaya itu.
"Siapa sebenarnya keluarga Volturi ini?" tanyaku berbisik. "Apa yang membuat
mereka jauh lebih berbahaya dari pada Emmett, Jasper, Rosalie, dan kau?" Sulit
membayangkan hal lain yang lebih mengerikan daripada itu.
Alice menarik napas dalam-dalam, sekonyong-konyong melayangkan pandangan tidak
suka ke balik bahuku. Aku menoleh dan masih sempat melihat lelaki yang duduk di
seberang gang membuang muka. seakan-akan tidak sedang menguping pembicaraan
kami. Kelihatannya ia pengusaha, bersetelan jas lengkap dengan dasi dan laptop
di pangkuan. Ketika aku menatapnya kesal, lelaki itu membuka komputer dan dengan
lagak terang-terangan memasang headphone di telinganya.
Aku mencondongkan tubuh lebih dekat kepada Alice. Bibirnya tepat di telingaku
saat ia membisikkan ceritanya.
"Aku kaget waktu kau mengenali nama itu," katanya. "Bahwa kau langsung mengerti
maksudku - waktu kukatakan Edward pergi ke Italia. Awalnya kukira aku harus
menjelaskan. Seberapa banyak yang sudah diceritakan Edward padamu?"
"Dia hanya mengatakan mereka keluarga tua yang berkuasa, seperti bangsawan.
Bahwa kau tidak boleh membuat mereka kesal kecuali kau ingin... mati," bisikku.
Kata terakhir itu sangat sulit diucapkan.
"Kau harus mengerti," ujar Alice, suaranya lebih lambat, lebih terukur. "Kami
keluarga Cullen unik dalam banyak hal, lebih daripada yang kauketahui.
Sebenarnya... justru tidak normal kalau begitu banyak di antara kami bisa hidup
bersama dalam damai. Sama halnya dengan keluarga Tanya di utara, dan Carlisle
berspekulasi bahwa dengan tidak mengisap darah manusia, akan lebih mudah bagi
kami untuk bisa hidup beradab, membentuk ikatan yang didasarkan pada kasih,
bukan semata-mata untuk bertahan hidup atau perasaan nyaman. Bahkan kelompok
kecil James yang terdiri atas tiga vampir itu bisa dikatakan besar - dan
kaulihat sendiri betapa mudahnya Laurent meninggalkan mereka. Biasanya jenis
kami bepergian sendirian, atau berpasang-pasangan. Keluarga Carlisle yang
terbesar saat ini, sepanjang pengetahuanku, kecuali satu keluarga lain. Keluarga
Volturi. "Aslinya, mereka bertiga, Aro, Caius, dan Marcus."
"Aku pernah melihat mereka," gumamku. "Di lukisan di ruang kerja Carlisle."
Alice mengangguk. "Dua wanita bergabung dengan mereka kemudian, dan mereka
berlima membentuk keluarga. Entahlah, tapi menurutku usia merekalah yang memberi
mereka kemampuan untuk hidup bersama dengan damai. Usia mereka tiga ribu tahun
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih. Atau mungkin bakat khusus mereka yang membuat mereka sengaja
bertoleransi. Seperti Edward dan aku, Aro dan Marcus juga... berbakat."
Alice melanjutkan ceritanya sebelum aku sempat bertanya. "Atau mungkin juga
kecintaan mereka pada kekuasaan yang menyatukan mereka. Menyebut mereka dengan
istilah bangsawan adalah sangat tepat."
"Tapi kalau hanya lima-"
"Lima yang membentuk keluarga," Alice mengoreksi. "Itu belum termasuk pengawal
mereka." Aku menghela napas dalam-dalam. "Kedengarannya... serius."
"Oh, memang," Alice meyakinkan aku. "Ada sembilan pengawal tetap, begitulah yang
terakhir kami dengar. Yang lain-lain... tidak tetap. Gonta-ganti. Dan banyak di
antara mereka juga berbakat - dengan bakat-bakat luar biasa, membuat apa yang
bisa kulakukan terlihat seperti tipuan murahan. Mereka dipilih keluarga Volruri
karena kemampuan mereka, baik cara fisik maupun yang lain."
Aku membuka mulut, tapi lalu menutupnya lagi. Kurasa aku tak ingin tahu seberapa
kecil peluang menang dari mereka.
Alice mengangguk lagi, seolah-olah mengerti apa yang kupikirkan. "Mereka jarang
terlibat konfrontasi. Tak ada yang setolol itu hingga mau mencari gara-gara
dengan mereka. Mereka tetap tinggal di kota dan hanya pergi untuk melaksanakan
kewajiban." "Kewajiban?" aku keheranan.
"Edward tidak menceritakan padamu apa yang mereka lakukan?"
"Tidak," jawabku, merasa wajahku kosong tanpa ekspresi.
Alice melongok lagi ke balik bahuku, ke arah si lelaki pengusaha, lalu
mendekatkan bibirnya yang sedingin es ke telingaku.
"Ada alasan mengapa Edward menyebut mereka bangsawan... kelas penguasa. Selama
beribu-ribu tahun, mereka menjadi pihak yang menegakkan peraturan kami - itu
berarti menghukum para pelanggarnya. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan
tegas." Mataku terbelalak shock. "Jadi ada peraturan?" tanyaku, suaraku kelewat keras.
"Ssstt!" "Kenapa tak ada yang memberi tahuku sebelumnya?" bisikku marah. "Maksudku, aku
ingin menjadi... salah satu dari kalian! Kenapa tidak ada yang menjelaskan
aturan-aturannya padaku?"
Alice berdecak melihat reaksiku. "Peraturannya tidak terlalu rumit, Bella. Hanya
ada satu larangan - dan kalau kaupikir benar-benar, kau mungkin bisa menebaknya
sendiri." Aku berpikir sebentar. "Tidak, aku tidak tahu."
Alice menggeleng, kecewa. "Mungkin aturannya terlalu jelas. Kami - hanya harus
merahasiakan eksistensi kami."
"Oh," gumamku. Memang jelas sekali.
"Itu masuk akal, dan kebanyakan kami tidak butuh diawasi," lanjut Alice. "Tapi
setelah beberapa abad, terkadang salah seorang di antara kami ada yang bosan.
Atau gila. Entahlah. Dan saat itulah keluarga Volturi menengahi sebelum
perbuatan para vampir itu bisa mengakibatkan hal buruk bagi mereka, atau bagi
kami semua." "Jadi Edward... "
"Berencana melecehkan peraturan itu di kota mereka sendiri - kota yang diam-diam
telah mereka kuasai selama tiga ribu tahun, sejak Zaman Etruria. Saking
protektifnya terhadap kota mereka, mereka tidak mengizinkan perburuan di dalam
tembok kota. Bisa jadi Volterra kota teraman di dunia - setidaknya dari serangan
vampir." "Tapi katamu tadi mereka tidak pernah meninggalkan kota. Lantas bagaimana mereka
makan?" "Mereka tidak pergi. Mereka membawa makanan mereka dari luar, terkadang dari
tempat-tempat sangat jauh. Dengan begitu para pengawal punya kegiatan lain bila
tidak sedang menghabisi para vampir yang membelot. Atau melindungi Volterra dari
hal-hal yang tak diinginkan... "
"Dari situasi seperti ini, seperti Edward," aku menyelesaikan kalimatnya.
Menakjubkan betapa mudahnya mengucapkan nama Edward sekarang. Aku tak yakin apa
perbedaannya. Mungkin karena aku tak berniat hidup lebih lama lagi kalau tak
bisa bertemu dengannya. Atau tidak hidup sama sekali, kalau kami terlambat.
Tenang rasanya karena tahu aku bisa mengakhirinya dengan mudah.
"Aku ragu mereka pernah menghadapi situasi seperti ini," gumam Alice, kesal.
"Tak banyak vampir yang ingin bunuh diri."
Suara yang keluar dari mulutku sangat pelan, tetapi Alice sepertinya mengerti
itu jerit kesedihan. Ia dengan lengannya yang kurus dan kokoh.
"Kita akan berusaha semampu kita, Bella. Ini belum berakhir."
"Memang belum." Aku membiarkan Alice menghiburku, meski tahu ia menganggap
peluang kami sangat kecil. "Dan keluarga Volturi akan menghabisi kita kalau kita
gagal." Alice menegang. "Sepertinya kau malah senang."
Aku mengangkat bahu. "Hentikan, Bella, atau kita berbalik di New York dan kembali ke Forks."
"Apa?" "Kau tahu maksudku. Kalau kita terlambat menyelamatkan Edward, aku akan berusaha
sekuat tenaga mengembalikanmu ke Charlie, dan aku tak mau kau berulah macam-
macam. Mengerti?" "Tentu, Alice."
Alice mundur sedikit agar bisa memelototiku. "Jangan macam-macam."
"Sumpah pramuka " tukasku.
Alice memutar bola matanya.
"Biarkan aku berkonsentrasi sekarang. Aku akan mencoba melihat apa yang
direncanakannya." Sebelah tangan Alice tetap merangkulku, tapi ia menyandarkan kepalanya ke kursi
dan memejamkan mata. Ia menempelkan tangan satunya ke sisi wajah, mengusap-
usapkan ujung jarinya ke pelipis.
Aku mengawasinya dengan takjub. Akhirnya ia diam, tak bergerak sama sekali.
Menit-menit berlalu, dan kalau aku tidak mengenalnya, aku mungkin mengira Alice
tertidur. Aku tidak berani mengganggunya untuk bertanya.
Aku tidak mengizinkan diriku membayangkan kengerian yang akan kami hadapi, atau,
yang lebih mengerikan, kemungkinan bahwa kami bakal gagal-tidak kalau aku tak
ingin menjerit sekeras-kerasnya.
Aku juga tak bisa mengantisipasi apa-apa. Mungkin kalau aku sangat, sangat,
sangat beruntung, aku bisa menyelamatkan Edward, bagaimanapun caranya. Tapi aku
tidak setolol itu, mengira dengan menyelamatkannya, aku bisa tinggal bersamanya.
Aku tidak berbeda, tidak lebih istimewa daripada sebelumnya. Tak ada alasan baru
mengapa ia menginginkanku sekarang. Bertemu dengannya dan kemudian kehilangan
dia lagi... Kulawan rasa sedih itu. Ini harga yang harus kubayar untuk menyelamatkan
hidupnya. Aku akan membayarnya.
Film diputar, dan penumpang di sebelahku memasang headphone. Terkadang aku
melihat juga sosok-sosok yang berkelebat di layar monitor yang kecil, tapi tidak
tahu apakah itu film roman atau horor.
Rasanya seperti berabad-abad baru pesawat mulai mengurangi ketinggian untuk
mendarat di New York City. Alice bergeming dalam trance-nya. Aku bingung harus
bagaimana. Kuulurkan tanganku untuk menyentuhnya, tapi lalu kutarik lagi. Ini
terjadi belasan kali sebelum pesawat terguncang menyentuh landasan.
"Alice," kataku akhirnya. "Alice, kita harus turun."
Aku menyentuh lengannya. Pelan-pelan sekali mata Alice terbuka. Ia menggeleng sebentar.
"Ada yang baru?" tanyaku pelan, takut terdengar lelaki di sebelahku.
"Tidak juga," jawab Alice sambil mengembuskan napas, nyaris tak bisa kutangkap.
"Dia semakin dekat. Dia sedang memutuskan bagaimana dia akan memintanya."
"Kami harus berlari mengejar pesawat yang akan membawa kami ke Italia, tapi itu
bagus-lebih baik begitu daripada harus menunggu. Alice memejamkan mata dan
kembali hanyut ke trance seperti sebelumnya. Aku menunggu sesabar mungkin.
Ketika hari kembali gelap aku membuka penutup jendela untuk memandang ke luar,
ke kegelapan yang menghampar tak ada bedanya dengan memandangi penutup jendela.
Aku bersyukur selama beberapa bulan ini aku banyak berlatih mengendalikan
pikiran. Jadi, alih-alih memikirkan berbagai kemungkinan mengerikan, tak peduli
apa pun kata Alice, aku tidak berniat tetap hidup, aku berkonsentrasi memikirkan
masalah-masalah lain yang lebih ringan. Misalnya saja, apa yang akan kukatakan
pada Charlie sepulangnya aku nanti" Itu masalah pelik yang cukup menyita pikiran
selama beberapa jam. Dan Jacob" Ia berjanji akan menunggu, tapi apakah janji itu
masih berlaku" Apakah aku akan sendirian di Forks nanti, tanpa siapa-siapa sama
sekali" Mungkin aku tidak ingin bertahan hidup, tak peduli apa pun yang terjadi.
Rasanya baru beberapa detik kemudian Alice mengguncang bahuku-ternyata aku
ketiduran. "Bella," desisnya, suaranya agak terlalu keras di kabin gelap yang dipenuhi
orang-orang yang sedang tidur.
Aku tidak mengalami disorientasi-tidurku belum cukup lama.
"Ada apa?" Mata Alice berkilat di bawah lampu baca remang-remang dari barisan di belakang
kami. "Tidak ada apa-apa." Alice tersenyum senang. "Kabar baik. Mereka berunding, tapi
sudah memutuskan untuk menolak permintaannya."
"Keluarga Volturi?" gumamku, masih mengantuk.
"Tentu saja, Bella, perhatikan. Aku bisa melihat apa yang akan mereka katakan."
"Beritahu aku."
Seorang pramugara berjingkat-jingkat menyusuri lorong, menghampiri kami. "Boleh
saya ambilkan bantal untuk Anda?" Bisikan pelannya seperti menegur kami karena
kami bercakap-cakap cukup keras.
"Tidak, terima kasih." Alice menengadah dan tersenyum lebar padanya, senyumnya
luar biasa manis. Pramugara itu tampak keheranan saat berbalik dan tersaruk-
saruk kembali ke tempatnya.
"Beritahu aku," bisikku, nyaris tak terdengar. Alice berbisik-bisik di
telingaku. "Mereka tertarik padanya - menurut mereka, bakat Edward bisa sangat
berguna. Mereka akan menawarinya tinggal bersama mereka."
"Apa yang akan dikatakan Edward?"
"Aku belum bisa melihatnya, tapi berani taruhan pasti seru" Alice nyengir lagi.
"Ini kabar baik pertama - titik terang pertama. Mereka tertarik; mereka benar-
benar tak ingin menghancurkan dia - mubazir, begitulah istilah yang akan
digunakan Aro - dan mungkin itu cukup membuat Edward menjadi kreatif. Semakin
banyak waktu yang dia habiskan untuk memikirkan rencananya, semakin baik bagi
kita." Penjelasan itu tak cukup membuatku berharap, membuatku merasakan kelegaan yang
jelas sekali dirasakan Alice. Masih begitu banyak kemungkinan kami bisa
terlambat. Dan kalau aku tidak bisa melewati tembok kota Volturi, aku tidak akan
mampu menghentikan Alice menyeretku kembali ke rumah.
"Alice?" "Apa?" "Aku bingung. Bagaimana kau bisa melihat sejelas itu" Sementara di lain waktu,
kau melihat kejadian-kejadian yang sangat jauh-peristiwa-peristiwa yang tidak
terjadi"' Mata Alice berubah kaku. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah ia bisa menebak
isi pikiranku. "Aku bisa melihatnya dengan jelas karena peristiwanya langsung dan dekat, dan
karena aku benar-benar berkonsentrasi. Kejadian-kejadian yang sangat jauh datang
sendiri-itu hanya pencuatan sekelebat, kemungkinan-kemungkinan samar. Tambahan
lagi, aku melihat jenisku lebih jelas daripada aku melihat jenismu. Edward
bahkan lebih mudah lagi, karena hubunganku sangat dekat dengannya."
"Kau bisa melihatku kadang-kadang," aku mengingatkannya.
Alice menggeleng. "Tidak sejelas aku melihat Edward."
Aku mendesah. "Kalau saja kau benar-benar bisa melihat masa depanku dengan
tepat. Awalnya, waktu kau pertama kali melihat hal-hal tentang aku, bahkan
sebelum kita bertemu... "
"Apa maksudmu?"
"Kau melihatku menjadi seperti kalian." Aku mengatakannya nyaris tanpa suara.
Alice mendesah. "Itu merupakan kemungkinan pada waktu itu."
"Pada waktu itu," aku mengulangi.
"Sebenarnya, Bella..." Alice ragu-ragu sejenak, kemudian sepertinya mengambil
pilihan. "Jujur saja, rasanya ini jadi semakin konyol. Aku berdebat dengan
diriku, apakah aku harus mengubahmu sendiri."
Kutatap Alice, membeku oleh perasaan shock.
Serta-merta pikiranku menolak kata-katanya. Aku tidak boleh terlalu berharap,
takut ia berubah pikiran.
"Apakah aku membuatmu takut?" tanya Alice. "Kusangka memang itulah yang
kauinginkan." "Memang!" aku terkesiap. "Oh, Alice, lakukan sekarang! Aku bisa membantumu - dan
aku tidak akan memperlambat larimu. Gigit aku!"
"Ssstt," Alice memperingatkan. Si pramugara lagi-lagi melihat ke arah kami.
"Cobalah berpikir jernih," bisiknya. "Waktunya tidak cukup. Kita harus sampai di
Volterra besok. Padahal kalau aku menggigitmu, kau akan menggeliat-geliat
kesakitan berhari-hari." Alice mengernyitkan muka. "Dan bayangkan saja bagaimana
reaksi para penumpang lain."
Aku menggigit bibir. "Kalau kau tidak melakukannya sekarang, kau akan berubah
pikiran." "Tidak" Alice mengerutkan kening, ekspresinya tidak senang. "Kurasa aku tidak
akan berubah pikiran. Edward pasti akan marah, tapi apa lagi yang bisa dia
lakukan?" Jantungku berdegup semakin kencang. "Tidak ada."
Alice tertawa pelan, kemudian mendesah. "Kau terlalu percaya padaku, Bella. Aku
tidak yakin apakah aku bisa. Bisa-bisa kau malah terbunuh nanti."
"Aku berani mengambil risiko itu."
"Kau ini sangat aneh, bahkan untuk ukuran manusia."
"Trims." "Oh Well, saat ini, ini kan hanya hipotesis.
Pertama-tama, kita harus bisa melewati hari esok lebih dulu."
"Benar sekali," Tapi setidaknya aku punya sesuatu yang bisa diharapkan
seandainya kami selamat melewati hari esok. Kalau Alice benar-benar menepati
janjinya-dan kalau dia tidak membunuhku-maka Edward boleh mengejar apa saja yang
dia inginkan untuk mengalihkan pikirannya, dan aku bisa mengikutinya. Aku tidak
akan membiarkannya memikirkan hal lain. Mungkin, kalau aku cantik dan kuat, dia
tidak ingin memikirkan hal lain.
"Tidurlah lagi," Alice menyuruhku. Aku akan membangunkanmu kalau ada
perkembangan baru." "Baiklah," gerutuku, yakin aku takkan bisa tidur lagi. Alice mengangkat kedua
kakinya ke kursi, merangkulnya dengan kedua tangan dan meletakkan dahinya ke
lutut. Ia bergoyang maju-mundur sambil berkonsentrasi.
Aku meletakkan kepalaku ke kursi, menatapnya, dan tahu-tahu waktu aku sadar,
kulihat Alice menurunkan penutup jendela dengan keras, menghalangi cahaya
Pendekar Satu Jurus 6 Jangan Ganggu Aku Karya Wen Rui An Peristiwa Merah Salju 1