Dua Cinta 7
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 7
matahari yang mulai merekah di ufuk timur.
"Apa yang terjadi?" gumamku.
"Mereka sudah menolak permintaannya," kata Alice pelan. Aku langsung bisa
melihat antusiasme Alice lenyap sama sekali.
Suaraku tercekat di tenggorokkan karena panik. "Apa yang akan Edward lakukan?"
"Kacau sekali awalnya. Aku hanya bisa melihat sepotong-potong, rencananya
berubah-ubah sangat cepat."
"Apa saja rencananya?" desakku.
"Waktunya sangat tidak tepat," bisik Alice. "Awalnya dia memutuskan untuk
berburu." Alice menatapku, melihat mimik tak mengerti tergambar di wajahku.
"Di kota," ia menjelaskan. "Dia sudah hampir melakukannya. Tapi dia berubah
pikiran pada saat-saat terakhir."
"Dia tidak mau mengecewakan Carlisle," gumamku. Tidak pada akhirnya.
"Mungkin," Alice sependapat.
"Cukupkah waktunya?" Saat aku bicara, terasa ada perubahan tekanan udara dalam
kabin pesawat. Aku bisa merasakan pesawat mengurangi ketinggian.
"Mudah-mudahan cukup-kalau Edward tetap pada keputusan terakhirnya, mungkin."
"Apa itu?" "Mudah saja. Dia akan berdiri di bawah terik matahari."
Berdiri di bawah terik matahari. Hanya itu.
Itu saja sudah cukup. Bayangan Edward berdiri di tengah padang rumput-kulitnya
berkilauan dan berpendar-pendar seolah-olah terbuat dari jutaan berlian-terpatri
sangat jelas dalam ingatanku. Tak seorang manusia pun yang melihatnya akan
melupakannya. Keluarga Volturi tidak mungkin mengizinkan itu terjadi. Tidak bila
mereka ingin tetap merahasiakan keberadaan mereka di kota itu.
Kupandangi seberkas cahaya abu-abu yang menerobos masuk lewat jendela-jendela
terbuka. "Kita akan terlambat" bisikku, kerongkonganku tercekat oleh kepanikan.
Alice menggeleng. "Saat ini, dia cenderung ingin melakukan hal yang
melodramatis. Dia ingin dirinya ditonton sebanyak mungkin orang, jadi dia akan
memilih alun-alun utama, di bawah menara jam. Tembok-tembok di sana tinggi. Dia
akan menunggu sampai matahari tepat di atas kepala.
"Jadi kita punya waktu sampai tengah hari?"
"Kalau kita beruntung. Kalau dia tetap dengan keputusannya."
Suara pilot bergaung melalui interkom, mengumumkan, pertama dalam bahasa Prancis
lalu Inggris, bahwa kami akan segera mendarat. Lampu sabuk pengaman menyala
dengan suara berdenting. "Seberapa jauh perjalanan dari Florence ke Volterra?"
"Tergantung seberapa cepat kau menyetir... Bella?"
"Ya?" Alice menatapku dengan sikap spekulatif. "Bagaimana pendapatmu tentang pencurian
mobil mewah" Sebuah Porsche kuning terang berhenti dengan suara rem berdecit
nyaring beberapa meter di depanku yang berjalan mondar-mandir, tulisan TURBO
dengan huruf-huruf melengkung perak terpampang di bagian belakangnya. Semua
orang di trotoar bandara yang penuh sesak memerhatikan mobil itu.
"Cepat, Bella!" Alice berteriak tak sabar lewat jendela yang terbuka.
Aku berlari ke pintu dan melompat masuk, rasanya ingin sekali menutupi wajahku
dengan stoking hitam seperti pencuri.
"Ya ampun, Alice," keluhku. "Apa kau tidak bisa memilih mobil lain yang lebih
mencolok untuk dicuri?"
Interior mobil itu berlapis kulit hitam, dan jendela-jendelanya dilapisi kaca
film gelap. Rasanya lebih aman berada di dalam, seperti malam hari.
Alice meliuk-liukkan mobil, terlalu kencang, menerobos lalu lintas bandara yang
ramai- menyusup di antara ruang-ruang lowong tipis di antara mobil-mobil
sementara aku tegang ketakutan dan tanganku meraba-raba mencari sabuk pengaman.
"Pertanyaan yang lebih penting," Alice mengoreksi, "apakah aku tidak bisa
mencuri mobil lain yang bisa berlari lebih cepat, dan jawabannya tidak. Aku
beruntung." "Aku yakin akan sangat menenteramkan kalau jalan-jalan diblokir."
Alice tertawa keras. "Percayalah padaku, Bella. Kalaupun ada pemblokiran jalan,
itu terjadi di belakang kita." Diinjaknya pedal gas dalam-dalam, seolah ingin
membuktikan kata-katanya.
Mungkin seharusnya aku melihat-lihat pemandangan di luar jendela, ke kota
Florence kemudian Tuscan yang kulewati dengan sangat cepat hingga pemandangan
terlihat kabur. Ini perjalanan pertamaku ke mana pun, dan mungkin juga yang
terakhir. Tapi cara Alice menyetir membuatku ngeri, meskipun aku tahu aku bisa
memercayainya di balik kemudi. Dan aku terlalu tersiksa oleh perasaan gelisah
hingga tak ingin melihat perbukitan atau kota-kota berpagar tembok yang tampak
bagaikan kastil di kejauhan.
"Ada lagi yang kaulihat?"
"Ada sesuatu yang terjadi," gumam Alice.
"Semacam festival. Jalan-jalan dipenuhi orang dan bendera-bendera merah.
Sekarang tanggal berapa?"
Aku tidak yakin. "Tanggal sembilan belas, mungkin"'
"Well, ironis sekali. Ini hari Santo Marcus." "Berarti apa?"
Alice berdecak kesal. "Kota itu menyelenggarakan perayaan setiap tahun. Menurut
legenda, seorang misionaris Katolik, Pastor Marcus-Marcus dari Volturi,
begitulah-berhasil mengenyahkan semua vampir dari Voltetra 1500 tahun yang lalu.
Konon, sang pastor menjadi martir di Rumania, dalam upayanya menghilangkan
wabah. Tentu saja itu hanya omong kosong - vampir itu tidak pernah meninggalkan
kota. Tapi dari sanalah hal-hal takhayul seperti salib dan bawang putih berasal.
Pastor Marcus sukses menggunakannya. Dan vampir tak pernah mengganggu Volterra,
jadi pasti mujarab."
Alice sinis. "Itu lantas menjadi semacam perayaan di kota, dan penghargaan bagi
kepolisian - bagaimanapun, Volterra kota yang luar biasa aman. Polisilah yang
mendapat nama." Sadarlah aku apa yang dimaksud Alice dengan ironis. "Mereka
pasti tidak senang kalau Edward mengacaukan semuanya justru Pada Hari Santo
Marcus, kan?" Alice menggeleng, ekspresinya muram. Tidak. Mereka akan bertindak sangat cepat.
Aku membuang muka, berjuang melawan kegelisahan yang membuat gigiku ingin
menggigit bibir bawahku. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdarah.
Mengerikan, bagaimana matahari tampak sangat tinggi di langit yang biru pucat.
"Dia masih berencana menunggu sampai tengah hari?" tanyaku.
"Ya. Dia memutuskan untuk menunggu. Dan mereka menunggunya."
"Katakan padaku apa yang harus kulakukan."
Mata Alice tetap tertuju ke jalan yang berliku- jarum spidometer menyentuh angka
paling kanan pada piringan.
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Dia hanya harus melihatmu sebelum beranjak
ke tempat terang. Dan dia harus melihatmu sebelum melihatku."
"Bagaimana caranya?"
Mobil merah kecil tampak seperti ngebut dalam posisi mundur saat Alice melesat
menyalipnya. "Aku akan mengantarmu sedekat mungkin ke sana, kemudian kau harus berlari ke
arah yang kutunjukkan."
Aku mengangguk. "Usahakan agar tidak tersandung" Alice menambahkan. Tidak ada waktu untuk gegar
otak hari ini." Aku mengerang. Itu sangat khas aku- mengacaukan semuanya, menghancurkan dunia,
hanya gara-gara kikuk sesaat.
Matahari terus menanjak di langit sementara Alice berpacu menduluinya. Cahayanya
sangat terik, dan itu membuatku panik. Jangan-jangan Edward nanti merasa tak
perlu menunggu sampai tengah hari.
"Itu," kata Alice tiba-tiba, menuding kota kastil di puncak bukit terdekat.
Aku menatapnya, merasakan untuk pertama kalinya secercah ketakutan baru. Setiap
menit sejak kemarin pagi-rasanya seperti sudah seminggu yang lalu-saat Alice
mengucapkan namanya di kaki tangga, hanya ada satu ketakutan. Meski begitu,
sekarang, saat aku menatap tembok-tembok bata merah kuno serta menara-menara
yang menjulang di puncak bukit terjal, aku merasakan ketakutan lain yang lebih
egois merayapi hatiku. Menurutku kota itu sangat cantik. Namun kota itu benar-benar membuatku sangat
ketakutan. "Volterra," kata Alice dengan suara datar dan dingin.
20. VOLTERRA KAMI memulai pendakian yang terjal, dan jalanan makin lama makin sesak. Saat
jalan berkelok semakin tinggi, mobil-mobil berjajar berimpitan hingga sulit bagi
Alice untuk menyelip-nyelip di antara mereka. Laju mobil kami melambat dan mulai
merangkak di belakang Peugeot kecil cokelat.
"Alice," erangku. Jam di dasbor tampaknya bergerak semakin cepat.
"Hanya ini satu-satunya jalan masuk," Alice mencoba menenangkan. Tapi suaranya
terlalu tegang untuk bisa menenangkan
Mobil-mobil terus beringsut maju, setiap kali hanya mampu bergerak beberapa
puluh senti. Terik matahari begitu cemerlang, rasanya sudah berada tepat di atas
kepala. Mobil-mobil merayap satu per satu menuju kota. Setelah kami semakin dekat, aku
bisa melihat mobil-mobil diparkir di pinggir jalan dan orang-orang turun,
berjalan kaki. Mulanya kukira itu karena mereka tidak sabar-sesuatu yang bisa
kupahami. Tapi kemudian mobil melewati tikungan, dan aku bisa melihat lapangan
parkir di luar tembok kota, serta kerumunan orang berjalan melewati gerbang. Tak
ada yang diizinkan masuk dengan mengendarai mobil.
"Alice," bisikku mendesak.
"Aku tahu," jawabnya. Wajahnya seperti pahatan es.
Sekarang setelah aku menyadarinya, dan karena mobil merayap sangat lambat hingga
aku bisa melihat keadaan sekelilingku, ternyata hari sangat berangin. Orang-
orang yang berdesak-desakan menuju pintu gerbang mencengkeram topi erat-erat dan
menepis rambut dari wajah mereka. Pakaian mereka berkibaran. Aku juga melihat
warna merah di mana-mana. Baju merah, topi merah, bendera merah menjulur
bagaikan pita-pita panjang di samping gerbang, berkibar-kibar ditiup angin-
tepat di depan mataku, syal merah terang yang dililitkan seorang wanita di
rambutnya mendadak terbang tertiup angin. Syal itu terpilin ke udara,
menggeliat-geliat seperti makhluk hidup. Wanita itu meraih syalnya, melompat ke
udara, tapi syal itu berkibar lebih tinggi, seutas warna merah darah dengan
latar belakang dinding tembok kuno yang kusam.
"Bella" Alice berkata dengan nada rendah dan mendesak. "Aku tidak bisa melihat
apa yang akan diputuskan penjaga itu di sini-kalau aku tidak bisa masuk, kau
harus masuk sendiri. Kau harus berlari. Tanya saja jalan menuju Palazzo dei
Priori, dan berlarilah ke arah yang mereka tunjukkan. Jangan sampai tersesat."
"Palazzo dei Priori, Palazzo dei Priori," aku mengulang-ulang nama itu, berusaha
menghafalnya. "Atau 'menara jam', kalau mereka bisa berbahasa Inggris. Aku akan memutar dan
berusaha mencari tempat sepi di belakang kota supaya bisa memanjat tembok."
Aku mengangguk. "Palazzo dei Priori."
"Edward akan berada di bawah menara jam, di utara alun-alun. Di sebelah kanannya
ada gang sempit, dan dia menunggu di sana, di bawah bayang-bayang. Kau harus
menarik perhatiannya sebelum dia keluar ke bawah terik matahari."
Aku mengangguk-angguk cepat.
Alice sudah mendekati bagian depan barisan. Tampak seorang lelaki berserat biru
laut mengarahkan arus lalu lintas, membelokkan mobil-mobil menjauhi lapangan
parkir yang penuh. Mobil-mobil itu berputar arah dan kembali untuk mencari
tempat parkir di pinggir jalan. Lalu tibalah giliran Alice.
Lelaki berseragam itu menggerak-gerakkan tangannya dengan sikap ogah-ogahan,
tidak memerhatikan. Alice menekan pedal gas, menyusup di sampingnya, melaju
menuju gerbang. Lelaki itu meneriakkan sesuatu pada kami, tapi tetap berdiri di
tempat, melambai-lambaikan tangan kalang-kabut pada mobil berikut agar tidak
meniru kelakuan buruk kami.
Lelaki di pintu gerbang mengenakan seragam yang sama. Saat kami mendekat,
gerombolan turis melewati kami, memenuhi trotoar, memandang dengan sikap ingin
tahu Porsche mewah yang memaksa masuk itu.
Si penjaga berdiri tepat di tengah jalan.
Alice memiringkan mobil hati-hati sebelum berhenti. Sinar matahari menerpa
jendelaku, dan Alice terlindung oleh bayang-bayang. Dengan cekatan tangannya
terulur ke belakang kursi dan menyambar sesuatu dari dalam tasnya.
Penjaga itu menghampiri mobil dengan ekspresi kesal, lalu dengan marah mengetuk
kaca jendela Alice. Alice menurunkan kaca jendelanya separo, dan kulihat penjaga itu terperangah
sedikit begitu melihat wajah yang menyembul di balik kaca mobil yang gelap.
"Maaf hanya bus pariwisata yang diperkenankan masuk ke kota hari ini, Miss,"
kata penjaga itu dengan bahasa Inggris patah-patah yang berlogat kental. Nadanya
kini meminta maaf, seolah-olah menyesal harus menyampaikan kabar buruk pada
wanita yang sangat memesona.
"Ini tur pribadi," sahut Alice, menyunggingkan senyum memikat. Ia mengulurkan
tangan ke luar jendela, ke terik matahari. Aku menegang, sebelum kemudian sadar
bahwa ia mengenakan sarung tangan warna kulit sebatas siku. Alice meraih tangan
si penjaga yang masih terangkat sehabis mengetuk kaca jendelanya tadi, lalu
menariknya ke dalam mobil. Alice meletakkan sesuatu ke telapak tangan si
penjaga, lalu menutup jari-jarinya.
Wajah si penjaga tampak linglung waktu ia menarik kembali tangannya dan
memandangi gulungan tebal uang yang kini dipegangnya. Yang terluar adalah
lembaran seribu dolar. "Apakah ini lelucon?" gumam si penjaga.
Senyum Alice membutakan. "Hanya bila Anda menganggapnya lucu."
Penjaga itu menatap Alice, matanya membelalak lebar. Dengan gugup kulirik jam di
dasbor. Kalau Edward tetap dengan rencana semula, kami hanya punya waktu lima
menit. "Aku agak terburu-buru," ucap Alice, masih tersenyum.
Penjaga itu mengerjap dua kali, kemudian menyurukkan uang itu ke dalam rompinya.
Ia mundur selangkah menjauhi jendela dan melambaikan tangan, menyilakan kami
lewat. Tampaknya tak ada yang menyadari perpindahan uang secara diam-diam tadi,
Alice melaju memasuki kota, dan kami sama-sama mengembuskan napas lega.
Jalanan sangat sempit, dilapisi bebatuan yang warnanya sama dengan bangunan-
bangunan cokelat kayu manis pudar yang menutupi jalan dengan bayang-bayangnya.
Rasanya seperti yang menutupi berada di gang. Bendera-bendera merah menghiasi
dinding, satu sama lain hanya berjarak beberapa meter, berkibar-kibar ditiup
angin yang melengking di jalan sempit itu.
Jalanan penuh sesak, dan para pejalan kaki membuat laju kami terhambar.
"Tidak jauh lagi," Alice menyemangatiku;
tanganku mencengkeram pegangan pintu, siap meloncat ke jalan begitu mendapat
aba-aba dari Alice. Alice memacu mobil dengan cepat sambil sesekali mengerem mendadak, dan orang-
orang di jalan mengacungkan tinju mereka kepada kami dan meneriakkan kata-kata
bernada marah yang untungnya tidak kumengerti. Ia berbelok memasuki jalan kecil
yang tak mungkin diperuntukkan bagi mobil; orang-orang yang shock sampai harus
menempelkan tubuh rapat-rapat ke ambang pintu di pinggir jalan saat kami lewat.
Kami menemukan jalan lain di ujungnya. Bangunan-bangunan di sini lebih tinggi;
lantai teratas condong ke jalan dan bertemu di tengah sehingga tak ada sinar
matahari menyentuh trotoar-bendera-bendera merah yang berkibar di tiap-tiap sisi nyaris
bersentuhan. Kerumunan orang di sini bahkan lebih padat daripada di tempat lain.
Alice menghentikan mobil. Aku sudah membuka pintu sebelum mobil sepenuhnya
berhenti. Alice menuding ke jalan yang melebar ke sepetak ruang terbuka yang terang
benderang. "Di sana- kita sekarang di selatan alun-alun. Larilah menyeberangi
alun-alun, ke kanan menara jam. Aku akan mencari jalan memutar-"
Napas Alice mendadak terkesiap, dan saat ia bicara lagi; suaranya berupa
desisan. "Mereka ada di mana-mana!"
Aku langsung tegang, tapi Alice mendorongku keluar mobil. "Lupakan mereka.
Waktumu tinggal dua menit. Lari, Bella, lari!" teriaknya, turun dari mobil
sambil bicara. Aku tak sempat melihat Alice melebur dalam bayang-bayang. Aku juga tak sempat
menutup pintu mobil di belakangku. Kudorong seorang wanita yang menghalangi
jalanku dan berlari sekencang-kencangnya dengan kepala tertunduk, tidak
menggubris apa pun kecuali batu-batu tidak rata di bawah kakiku.
Keluar dari lorong yang gelap, mataku dibutakan cahaya matahari yang menyorot
tajam ke alun-alun utama. Angin menderu menerpaku, menerbangkan rambut hingga
menutupi mata dan semakin membutakan mataku. Tidak heran aku tidak melihat pagar
betis di depanku sampai aku menabraknya.
Tak ada ruang lowong, tak ada celah sedikit pun di antara tubuh-tubuh yang
saling berimpitan itu. Kudorong mereka dengan marah, melawan tangan-tangan yang
balas mendorongku. Kudengar seruan-seruan kesal dan bahkan jerit kesakitan saat
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku berjuang menerobos kerumunan, tapi tidak ada yang dilontarkan dalam bahasa
yang kukenal. Wajah-wajah kabur yang penuh amarah dan kekagetan, lagi-lagi
dikelilingi warna merah. Seorang wanita berambut pirang cemberut padaku, dan
syal merah yang melilit lehernya tampak seperti luka mengerikan. Seorang anak
yang dipanggul di atas bahu seorang laki-laki, menunduk dan nyengir padaku,
bibirnya terbuka, memamerkan taring vampir dari plastik.
Kerumunan itu mendesak-desakku, memutar badanku ke arah yang salah. Aku senang
ada menara jam yang bisa menjadi patokan, kalau tidak aku pasti sudah kehilangan
arah. Tapi kedua jarum jam yang terpampang di sana beringsut-ingsut mengarah ke
matahari yang tak kenal belas kasihan, dan walaupun aku mendorong kerumunan
sekuat tenaga, aku tahu aku terlambat. Aku balikan belum sampai setengah jalan.
Aku tidak akan berhasil. Aku tolol, lamban, dan aku manusia, dan kami semua akan
mati karenanya. Aku berharap Alice bisa keluar. Aku berharap Alice akan melihatku dari balik
bayang-bayang gelap dan tahu aku telah gagal, supaya ia bisa pulang ke Jasper.
Aku memasang telinga, berusaha mendengarkan di balik seruan-seruan bernada
marah, suara yang akan menjadi pertanda bahwa hal yang kutakutkan telah terjadi:
napas tertahan, mungkin teriakan, saat seseorang melihat Edward.
Namun saat itu ada celah di tengah kerumunan - aku bisa melihat ruang kosong di
depan. Cepat-cepat aku berlari menghampirinya, tidak menyadarinya sampai tulang
keringku memar menabrak bata. Rupanya ada kolam air mancur besar berbentuk
segiempat, tepat di tengah alun-alun.
Aku nyaris menangis lega saat mengayunkan kakiku ke pinggir kolam dan berlari
mengarungi air selutut. Air bercipratan di sekelilingku saat aku berlari
melintasi air kolam. Bahkan di bawah terik matahari, angin yang bertiup terasa
sangat dingin, dan basah membuat dingin itu menyakitkan. Tapi kolam air mancur
itu sangat lebar; aku jadi bisa menyeberangi pusat alun-alun hanya dalam
beberapa detik. Aku tidak berhenti saat mencapai sisi seberang-aku menggunakan
dinding kolam yang rendah sebagai tumpuan, dan melemparkan diri ke tengah
kerumunan. Kini orang-orang justru menghindariku, tak ingin terciprat air dingin yang
menetes-netes dari bajuku yang basah saat aku berlari. Aku menengadah, menatap
jam lagi. Dentang lonceng yang dalam dan menggemuruh bergaung ke segenap penjuru alun-
alun. Getarannya terasa hingga ke batu-batu di bawah kakiku. Anak-anak menangis,
menutup telinga. Dan aku mulai berteriak sambil berlari,
"Edward!" jeritku, tahu itu sia-sia. Kerumunan ini terlalu berisik, dan suaraku
terengah-engah karena lelah. Tapi aku tak bisa berhenti berteriak.
Jam kembali berdentang. Aku berlari melewati seorang anak dalam gendongan ibunya
- rambutnya nyaris putih di bawah cahaya matahari yang terik. Sekelompok lelaki
jangkung, semuanya mengenakan blazer merah, berteriak mengingatkan saat aku
menghambur menerobos mereka. Jam berdentang lagi.
Di balik para lelaki berblazer itu, tampak celah di tengah kerumunan, ruang
kosong di antara para pengunjung yang berdesak-desakan di sekelilingku. Mataku
menyapu lorong gelap di sebelah kanan alun-alun segiempat luas di bawah menara
jam. Aku tak bisa melihat jalan-terlalu banyak orang yang menghalangiku. Jam
kembali berdentang. Sulit melihat sekarang. Tanpa kerumunan yang menahan angin, angin menampar
wajahku dan membakar mataku. Entah itukah yang membuat air mataku merebak, atau
apakah aku menangis kalah saat jam kembali berdentang.
Sebuah keluarga kecil beranggotakan empat orang berdiri paling dekat dengan
mulut gang. Dua gadis mengenakan gaun merah, dengan pita senada menghiasi rambut
gelap mereka yang diikat ke belakang. Sang ayah tidak tinggi. Sepertinya aku
bisa melihat sesuatu yang benderang di keteduhan, tepat di atas bahunya. Aku
menghambur ke arah mereka, berusaha melihat dari balik air mataku yang pedih.
Jam berdentang, dan gadis terkecil menutup telinganya rapat-rapat.
Gadis yang lebih tua, tingginya hanya sepinggang ibunya, merangkul kaki sang ibu
dan memandang ke dalam bayang-bayang di belakang mereka. Kulihat gadis itu
menarik-narik siku ibunya dan menuding ke keteduhan. Jam berdentang, dan aku
sudah sangat dekat sekarang.
Aku sudah cukup dekat sehingga bisa mendengar suara si sadis kecil yang
melengking tinggi. Ayahnya menatapku terperanjat saat aku menghambur menghampiri
mereka, meneriakkan nama Edward berkali-kali dengan suara serak.
Si gadis yang lebih tua tertawa terkikik dan mengatakan sesuatu pada ibunya,
menuding lagi ke bayang-bayang dengan sikap tidak sabar.
Aku meliuk melewati sang ayah - ia buru-buru berkelit, mengamankan bayinya agar
tidak tertabrak olehku - dan berlari sekencang-kencangnya ke ruang gelap di
belakang mereka sementara jam berdentang nyaring di atas kepalaku.
"Edward, jangan!" jeritku, tapi suaraku hilang ditelan gemuruh lonceng yang
bergaung. Aku bisa melihatnya sekarang. Dan bisa kulihat bahwa ia tidak melihatku.
Itu benar-benar Edward, kali ini bukan halusinasi. Dan tahulah aku delusiku
ternyata lebih kacau daripada yang kusadari; bayanganku tentang Edward tak
seindah aslinya. Edward berdiri, tak bergerak seperti patung, hanya beberapa meter dari mulut
gang. Matanya terpejam, lingkaran di bawahnya berwarna ungu tua, kedua lengannya
terkulai rileks di sisi tubuhnya, telapak tangan mengarah ke atas. Ekspresinya
sangat damai, seolah sedang membayangkan hal-hal menyenangkan. Kulit dadanya
yang seperti marmer telanjang-sehelai kain putih teronggok dekat kakinya. Cahaya
yang memantul dari jalan alun-alun yang dilapisi batu gemerlap samar oleh kilau
yang terpantul dari kulitnya.
Belum pernah aku melihat pemandangan yang lebih indah daripada itu-bahkan saat
aku berlari, terengah-engah dan berteriak-teriak, tak urung aku terpesona. Dan
tujuh bulan terakhir tak berarti apa-apa. Kata-katanya di hutan dulu tak berarti
apa-apa. Bukan masalah bila ia tidak menginginkanku. Aku tidak akan pernah
menginginkan hai lain selain dirinya, tak peduli betapa pun lamanya aku hidup.
Jam berdentang, dan Edward melangkah lebar menuju cahaya.
"Tidak!" jeritku. "Edward, lihat aku!"
Edward tidak mendengarkan. Bibirnya tersenyum kecil. Ia mengangkat kakinya, siap
mengambil langkah yang akan membawanya langsung ke bawah sorotan matahari.
Aku menabraknya begitu keras hingga kekuatannya pasti akan membuatku tersungkur
ke tanah seandainya kedua lengannya tidak menangkap dan memegangiku. Benturan
itu membuatku kehabisan napas dan menyentakkan kepalaku ke belakang.
Mata Edward yang gelap perlahan-lahan terbuka sementara jam kembali berdentang.
Ia menunduk, menatapku dengan keterkejutan tanpa suara.
"Luar biasa," ucapnya, suaranya yang merdu itu terdengar takjub, sedikit geli.
"Carlisle benar."
"Edward," aku berusaha menarik napas, tapi tidak ada yang suara yang keluar.
"Kau harus kembali ke tempat teduh. Kau harus pindah!"
Edward tampak terpesona. Tangannya membelai pipiku lembut. Sepertinya ia tidak
sadar aku berusaha memaksanya kembali. Rasanya seperti mendorong tembok. Jam
berdentang tapi Edward tidak bereaksi.
Aneh sekali, padahal aku tahu saat itu kami berada dalam bahaya maut. Namun
detik itu aku merasa damai. Utuh. Aku bisa merasakan jantungku berpacu kencang
di dadaku, darah mendesir panas dan cepat mengisi pembuluh darahku lagi. Paru-
paruku dipenuhi aroma harum yang menguar dari kulitnya. Seakan-akan tak pernah
ada lubang di dadaku. Aku sempurna - bukan sembuh, karena seolah-olah memang tak
pernah ada luka di sana. "Aku tidak percaya prosesnya ternyata cepat sekali. Aku tidak merasa apa-apa,
hebat sekali mereka," renung Edward, memejamkan matanya lagi dan menempelkan
bibirnya ke rambutku. Suaranya bagaikan madu dan beledu. "Kematian, yang
mengisap madu dari desah napasmu, tak memiliki kuasa terhadir kecantikanmu,"
bisiknya, dan aku mengenali sebaris kalimat yang diucapkan Romeo di kuburan. Jam
berdentang untuk terakhir kali. "Aroma tubuhmu juga persis sama," sambung
Edward. "Jadi mungkin inilah neraka. Aku tidak peduli. Aku akan menerimanya."
"Aku belum mati," selaku. "Dan kau juga belum! Kumohon, Edward, kita harus
pindah. Mereka pasti tidak jauh dari sini!"
Aku memberontak dalam pelukannya, dan alis Edward bertaut bingung.
"Apa"' tanyanya sopan.
"Kita tidak mati, belum! Tapi kita harus pindah dari sini sebelum keluarga
Volturi..." Pemahaman berkelebat di wajahnya saat aku bicara. Belum lagi aku selesai bicara.
Edward tiba-tiba menarikku menjauhi tepi keteduhan, membalikkan badanku dengan
mudah hingga punggungku menempel di dinding bata, dan ia memunggungiku menghadap
ke gang. Kedua lengannya terbentang lebar, melindungi, di depanku.
Aku mengintip dari bawah lengannya dan melihat dua sosok hitam keluar dari balik
bayang-bayang. "Salam, Tuan-Tuan," suara Edward tenang dan ramah, di permukaan. "Kurasa aku
tidak membutuhkan layanan kalian hari ini. Aku akan sangat berterima kasih, bila
kalian bersedia menyampaikan ucapan terima kasihku kepada tuan-tuan kalian."
"Bagaimana kalau kita pindahkan pembicaraan ke tempat lain yang lebih memadai?"
suara halus berbisik dengan nada mengancam.
"Menurutku itu tidak perlu." Suara Edward lebih keras sekarang. "Aku tahu
instruksimu, Felix. Aku tidak melanggar aturan apa pun."
"Felix hanya bermaksud menegaskan keberadaan matahari," kata bayang-bayang lain
dengan nada menenangkan. Mereka tersembunyi di balik jubah abu-abu gelap yang
panjangnya mencapai tanah dan mengembang tertiup angin. "Mari kita cari tempat
yang lebih teduh." "Aku akan menyusul tepat di belakang kalian," ujar Edward kering. "Bella,
bagaimana kalau kau kembali ke alun-alun dan menikmati festival?"
"Tidak, bawa gadis itu," bayang-bayang pertama berkata entah bagaimana bisa
memperdengarkan nada mengerling dalam bisikannya.
"Kurasa tidak." Sikap pura-pura ramah yang ditunjukkan Edward langsung lenyap.
Suara Edward datar dan dingin. Ia sedikit mengubah posisi tubuhnya, dan bisa
kulihat ia siap-siap bertarung.
"Tidak." Aku hanya mampu menggerakkan mulut tanpa suara.
"Ssst," bisik Edward, ditujukan hanya padaku.
"Felix," bayang-bayang kedua, yang lebih bisa mengerti, mengingatkan. "Jangan di
sini." Ia berpaling kepada Edward. "Aro hanya ingin bicara lagi denganmu, kalau
kau sudah memutuskan untuk tidak lagi memaksa kami menuruti keinginanmu."
"Tentu saja," Edward setuju. "Tapi biarkan gadis ini pergi."
"Aku khawatir itu tidak mungkin," bayang-bayang sopan itu menyahut dengan sikap
menyesal. "Kami memiliki aturan yang harus ditaati."
"Kalau begitu aku khawatir tidak akan bisa menerima undangan Aro, Demetri."
"Baiklah kalau begitu," dengkur Felix. Mataku sudah bisa beradaptasi dengan
keadaan yang remang-remang, dan kulihat ternyata Felix bertubuh sangat besar,
tinggi dan tebal di bagian pundak. Ukuran tubuhnya mengingatkanku pada Emmett.
"Aro pasti kecewa," desah Demetri.
"Aku yakin dia pasti bisa mengatasi kekecewaannya," sahut Edward.
Felix dan Demetri beringsut semakin dekat ke mulut gang sedikit demi sedikit
memperlebar jarak di antara mereka sehingga bisa menyerang Edward dari dua sisi.
Mereka bermaksud memaksanya masuk lebih dalam ke lorong, untuk menghindari
keributan. Tak ada pantulan cahaya bisa menyentuh kulit mereka; keduanya aman di
balik jubah. Edward tidak bergerak sedikit pun. Ia menempatkan dirinya dalam bahaya karena
melindungiku. Tiba-tiba Edward menolehkan kepalanya dengan cepat, ke arah kegelapan lorong
yang berkelok-kelok. Demetri dan Felix melakukan hal yang sama, sebagai respons
atas suara atau gerakan yang terlalu halus untuk pancaindraku.
"Bagaimana bila kita menjaga sikap?" sebuah suara merdu mengalun menyarankan.
"Ada wanita di sini."
Alice melenggang ringan ke sisi Edward, pembawaannya tenang. Tak sedikit pun
tanda-tanda ketegangan dalam dirinya. Ia tampak begitu mungil, sangat rapuh.
Kedua lengannya yang kecil bergoyang-goyang seperti kanak-kanak.
Meski begitu, baik Demetri maupun Felix langsung menegakkan badan, jubah mereka
berputar pelan saat angin berembus sepanjang lorong. Wajah Felix berubah masam.
Rupanya mereka tidak suka bila keadaan berimbang.
"Kita tidak sendirian," Alice mengingatkan mereka.
Demetri menoleh ke belakang. Beberapa meter ke arah alun-alun, keluarga kecil
tadi, yang anak-anak perempuannya bergaun merah, memandangi kami. Si ibu
berbicara dengan nada mendesak pada suaminya, matanya tertuju pada kami berlima.
Ia membuang muka waktu Demetri melihat ke arahnya. Sang suami berjalan beberapa
langkah menuju alun-alun, dan menepuk bahu salah seorang lelaki berblazer merah.
Demetri menggeleng. "Kumohon, Edward, jangan mempersulit keadaan," ujarnya.
"Setuju," Edward menyetujui. "Dan kalau kita pergi dengan tenang sekarang, tidak
akan ada orang yang tahu."
Demetri mendesah frustrasi. "Setidaknya izinkan kami mendiskusikan masalah ini
secara lebih tertutup."
Enam lelaki berblazer merah sekarang bergabung dengan keluarga kecil tadi dan
memandangi kami dengan ekspresi waswas. Aku sangat khawatir dengan sikap
protektif Edward di depanku-pasti itulah yang memicu kecemasan orang-orang tadi.
Ingin rasanya aku berteriak pada mereka untuk lari.
Rahang Edward mengatup dengan suara keras. "Tidak."
Felix tersenyum. "Cukup." Suara itu tinggi, tajam dan datang dari belakang kami.
Aku mengintip dari bawah lengan Edward dan melihat sosok lain yang kecil dan
gelap, berjalan menghampiri kami. Menilik jubahnya yang mengembang, aku tahu itu
salah seorang dari mereka. Siapa lagi"
Awalnya kukira sosok itu bocah lelaki. Si pendatang baru itu semungil Alice,
dengan rambut cokelat pucat dan lemas yang dipangkas pendek. Tubuh di balik
jubahnya-yang berwarna lebih gelap, nyaris hitam-ramping dan memiliki
karakteristik feminin sekaligus maskulin. Tapi wajahnya terlalu cantik untuk
ukuran laki-laki. Wajahnya yang bermata lebar dan berbibir penuh itu bakal
membuat malaikat Botticelli terlihat bagaikan monster menyeramkan. Bahkan
walaupun iris matanya merah pucat.
Ukuran tubuhnya sangat tidak signifikan sehingga reaksi para vampir lain begitu
melihat kedatangannya membuatku bingung. Ketegangan Felix dan Demetri langsung
mencair, dan mereka mundur selangkah dari posisi mereka yang siap menyerang
melebur kembali dalam keremangan bayang-bayang bangunan yang bagian atasnya
menjorok ke jalan. Edward juga menurunkan kedua lengannya dan berubah rileks-tapi karena kalah.
"Jane," desahnya, nadanya mengenali
bercampur menyerah. Alice melipat kedua lengannya di dada, ekspresinya datar.
"Ikuti aku," kata Jane lagi, suaranya yang kekanak-kanakan terdengar monoton. Ia
berbalik dan melenggang tanpa suara memasuki kegelapan.
Felix melambaikan tangan pada kami, menyuruh kami berjalan duluan sambil
tersenyum mengejek. Alice langsung berjalan mengikuti Jane. Edward merangkul pinggangku dan
menarikku berjalan di sampingnya. Lorong yang kami lewati menikung sedikit ke
bawah dan semakin menyempit. Aku mendongak memandang Edward dengan berbagai
pertanyaan berkecamuk di mataku, tapi Edward hanya menggeleng. Meskipun aku tak
bisa mendengar yang lain-lain berjalan di belakang kami, aku yakin mereka ada di
sana. "Well, Alice," kata Edward dengan sikap seperti mengajak ngobrol sementara kami
berjalan. "Kurasa seharusnya aku tidak kaget melihatmu datang ke sini."
"Itu salahku," Alice menyahut dengan nada yang sama. "Jadi sudah kewajibanku
pula untuk meluruskannya."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Suara Edward sopan, seakan-akan tidak begitu
tertarik. Aku yakin pasti karena ada pihak-pihak lain yang ikut mendengarkan di
belakang kami. "Ceritanya panjang." Alice melirik sekilas ke arahku. "Singkatnya, dia memang
melompat dari tebing, tapi bukan karena mau bunuh diri. Belakangan ini Bella
menyukai olahraga ekstrem."
Wajahku memerah dan aku memandang lurus ke depan, menatap bayang-bayang gelap
yang tak bisa lagi kulihat. Bisa kubayangkan apa yang didengar Edward dalam
pikiran Alice sekarang. Nyaris tenggelam, diburu vampir-vampir, berteman dengan werewolf...
"Hm," ucap Edward pendek, dan nadanya tidak lagi terdengar biasa-biasa saja.
Lorong meliuk-liuk, masih terus menurun, jadi aku tidak melihat jalan itu buntu
hingga kami sampai di depan tembok bata yang datar dan tak berjendela. Vampir
mungil bernama Jane tadi tidak terlihat.
Tanpa ragu dan tanpa menghentikan langkah sedikit pun. Alice melenggang menuju
dinding. Kemudian dengan tangkas ia menyelinap masuk ke lubang yang menganga di
jalan. Kelihatan seperti saluran limbah, menjorok di titik terendah jalan yang berbatu.
Aku tidak menyadarinya sampai Alice mendadak lenyap, tapi kisi-kisi penutupnya
digeser separuh. Lubang itu kecil dan gelap gulita.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku langsung mogok. "Tidak apa-apa, Bella," kara Edward pelan. Alice akan menangkapmu."
Kupandangi lubang itu dengan sikap ragu. Kurasa Edward pasti akan turun lebih
dulu, kalau saja tidak ada Demetri dan Felix menunggu, sinis dan diam, di
belakang kami. Aku berlutut dan meringkuk, mengayunkan kedua kakiku ke lubang yang sempit.
"Alice?" bisikku, suaraku gemetar.
"Aku di sini, Bella," Alice meyakinkanku. Suaranya terdengar terlalu jauh di
bawah hingga tak berhasil menenangkan hatiku.
Edward memegangi pergelangan tanganku- tangannya terasa seperti batu di musim
dingin- lalu menurunkan aku ke kegelapan.
"Siap?" tanyanya.
"Lepaskan dia," seru Alice.
Aku memejamkan mata sehingga tidak bisa melihat kegelapan, menutupnya rapat-
rapat dengan penuh ketakutan, mengatupkan mulut agar tidak menjerit. Edward
menjatuhkanku. Aku jatuh tanpa suara, tak jauh dari atas lubang. Udara mendesir melewatiku
selama setengah detik, kemudian, tepat ketika aku mengembuskan napas keras-
keras, kedua lengan Alice yang sudah menunggu menangkapku.
Tubuhku pasti bakal memar-memar; lengan Alice sangat keras. Ia membantuku
berdiri tegak. Suasana di dasar lubang remang-remang, tapi tidak gelap gulita. Cahaya dari
lubang di atas membiaskan kilauan samar, terpancar basah dari batu-batu di bawah
kakiku. Cahaya sempat hilang sedetik, dan sejurus kemudian wajah Edward yang
putih samar-samar muncul di sampingku. Ia merangkul pundakku, memelukku rapat di
sisinya, dan mulai menggiringku maju dengan cepat. Aku melingkarkan kedua
lenganku di pinggangnya yang dingin, berjalan tersandung-sandung dan tersaruk-
saruk di permukaan batu yang tidak rata. Suara kisi-kisi berat digeser menutupi
saluran limbah di belakang kami, berdentang mantap dan keras.
Cahaya remang-remang dari jalan dengan cepat hilang ditelan kegelapan. Suara
langkah-langkah kakiku yang tersaruk-saruk bergaung di ruangan yang gelap
gulita; kedengarannya sangat lebar, tapi aku tak yakin. Tak ada suara apa-apa
selain debar jantungku yang berpacu cepat serta kakiku menginjak batu-batu
basah-kecuali satu kali, waktu aku mendengar desahan tidak sabar berbisik di
belakangku. Edward memelukku erat-erat. Dengan tangan satunya ia memegang wajahku, ibu
jarinya yang halus menyusuri bibirku. Sesekali aku merasa ia menempelkan
wajahnya ke rambutku. Aku sadar ini mungkin satu-satunya kesempatan kami, jadi
aku merapatkan diriku lebih dekat padanya.
Saat ini rasanya seakan-akan ia menginginkanku, dan itu sudah cukup untuk
menghalau kengerian yang kurasakan, berada di terowongan bawah tanah, bersama
para vampir di belakang kami. Mungkin itu tidak lebih daripada perasaan
bersalah-perasaan bersalah jugalah yang mendorong Edward datang ke sini untuk
mati karena ia yakin gara-gara dialah aku bunuh diri. Tapi aku merasakan
bibirnya diam-diam menempel di keningku, dan aku tak peduli apa motivasinya.
Setidaknya aku bisa bersamanya lagi sebelum aku mati. Itu lebih baik daripada
umur panjang. Seandainya saja aku bisa menanyakan apa persisnya yang terjadi sekarang. Aku
ingin sekali tahu bagaimana kami akan mati-seolah-olah keadaan bisa lebih baik
dengan tahu lebih dulu. Tapi aku tak bisa bersuara meskipun dengan berbisik
karena kami dikelilingi vampir lain. Yang lain-lain bisa mendengar semuanya-
setiap tarikan napasku, setiap detak jantungku.
Jalan setapak di bawah kaki kami terus menurun, membawa kami lebih dalam ke
perut bumi, dan itu membuatku merasa dicekam ketakutan pada ruang sempit. Untung
ada tangan Edward yang terasa menenangkan di wajahku, hingga aku tidak menjerit.
Aku tidak tahu dari mana cahaya itu berasal, tapi perlahan-lahan suasana di
sekelilingku mulai berwarna abu-abu gelap, tak lagi hitam pekat.
Kami berada di terowongan melengkung yang rendah. Cairan hitam pekat merembes
keluar dari batu-batu kelabu, seolah-olah mengeluarkan tinta.
Tubuhku gemetar, dan kurasa itu karena ketakutan. Baru setelah gigi-gigiku
gemeletuk aku menyadari itu karena aku kedinginan. Bajuku masih basah, dan suhu
di bawah kota dingin menusuk Begitu pula kulit Edward.
Edward menyadari hal itu pada saat yang bersamaan denganku, lalu ia melepaskan
pelukannya dan hanya menggandengku saja.
"T-t-tidak," kataku dengan gigi gemeletuk, merangkul pinggangnya lagi. Aku tak
peduli meskipun tubuhku membeku. Siapa yang tahu berapa lama lagi waktu yang tersisa"
Tangan dingin Edward menggosok-gosok lenganku, berusaha menghangatkanku.
Kami bergegas menyusuri terowongan, atau bagiku rasanya seperti bergegas.
Langkah-langkahku yang lamban membuat jengkel seseorang - kurasa pasti Felix -
dan aku mendengarnya mendesah jengkel sesekali.
Di ujung terowongan tampak kisi-kisi-batang-batang besinya sudah berkarat, tapi
setebal lenganku. Pintu kecil yang terbuat dari batang-batang besi yang lebih
tipis dan saling berkaitan terbuka lebar. Edward merunduk melewatinya dan
bergegas memasuki ruangan lain yang lebih besar dan terang. Pintu besi itu
terbanting menutup dengan suara berdentang nyaring, diikuti bunyi gerendel
dipasang. Aku terlalu takut untuk melihat ke belakang.
Di sisi lain ruangan terdapat pintu kayu rendah yang berat. Pintu itu sangat
tebal-aku bisa melihatnya karena pintu itu juga terbentang lebar.
Kami melangkah melewati pintu itu, dan aku memandang berkeliling dengan
terkejut, dan memiliki kulit sewarna zaitun-kelihatan aneh dikombinasikan dengan
raut wajah mereka yang pucat seperti kapur. Rambut hitam Felix dipangkas pendek,
sementara rambut Demetri tergerai lepas berombak-ombak ke bahunya. Mata mereka
merah tua di bagian pinggir, tapi semakin gelap hingga nyaris hitam di sekitar
pupil. Di balik jubah, baju mereka modern, pucat, dan biasa. Aku mengkeret di
sudut, menempel pada Edward. Tangannya masih menggosok-gosok lenganku. Matanya
tak pernah lepas memandangi Jane.
21. VONIS KAMI berada di aula yang terang benderang dan tidak mencolok. Dindingnya putih
kusam, lantainya dilapisi karpet abu-abu. Lampu-lampu neon persegi panjang
terpasang dalam jarak yang sama di sepanjang langit-langit. Hawa di sini lebih
hangat, dan aku bersyukur karenanya. Ruangan ini tampak sangat ramah
dibandingkan saluran pembuangan limbah berdinding batu yang gelap dan mengerikan
tadi. Sepertinya Edward tidak sependapat dengan penilaianku. Matanya memandang garang
ke lorong aula yang panjang, ke sosok kurus hitam yang berdiri di ujung sana,
dekat lift. Ia menarikku bersamanya, sementara Alice berjalan di sisiku yang lain. Pintu
yang berat menutup dengan suara berderit di belakang kami, kemudian terdengar
bunyi gerendel digeser. Jane menunggu di dekat lift, sebelah tangan memegangi pintu agar tetap terbuka
untuk kami. Ekspresinya apatis.
Begitu masuk ke lift, tiga vampir yang bekerja untuk keluarga Volturi terlihat
semakin rileks. Mereka menyingkapkan jubah mereka, membiarkan penutup kepala terbuka dan
terkulai di pundak. Baik Felix maupun Demetri sama-sama otomatis langsung
rileks. Di sampingku Edward menegang, dagunya mengeras kaku.
Perjalanan dengan lift singkat saja; kami
melangkah memasuki ruangan yang kelihatannya seperti ruang penerimaan tamu yang
mewah. Dinding-dindingnya berlapis panel kayu, lantainya ditutup karpet tebal
empuk berwarna hijau. Tak ada jendela, tapi lukisan-lukisan besar bergambar
pemandangan daerah pedesaan Tuscan yang diterangi cahaya lampu benderang
tergantung di mana-mana sebagai pengganti jendela. Sofa-sofa kulit berwarna
lembut ditata membentuk kelompok-kelompok yang nyaman, dan meja-meja mengilap
dihiasi vas-vas kristal penuh karangan bunga berwarna-warni meriah. Aroma bunga-
bunga itu mengingatkanku pada rumah duka.
Di tengah ruangan berdiri konter tinggi mengilap dari kayu mahoni. Aku ternganga
keheranan melihat seorang wanita berdiri di baliknya.
Wanita itu bertubuh tinggi, dengan kulit gelap dan mata hijau. Ia akan terlihat
sangat cantik di perusahaan lain-tapi tidak di sini. Karena ia juga manusia,
sama seperti aku. Aku tidak mengerti apa yang dikerjakan wanita manusia itu di
sini, sikapnya begitu rileks, dikelilingi para vampir.
Wanita itu tersenyum sopan menyambut kedatangan kami. "Selamat siang, Jane,"
sapanya. Tidak ada keterkejutan di wajahnya saat ia melirik rombongan Jane.
Tidak juga Edward yang dada telanjangnya berkilau samar tertimpa cahaya lampu
putih, atau bahkan aku, yang acak-acakan dan sangat jelek bila dibandingkan
dengannya. Jane menangguk. "Gianna." Ia terus berjalan
menuju sepasang pintu ganda di bagian belakang ruangan, dan kami semua
mengikuti. Saat Felix melewati meja. ia mengedipkan mata pada Gianna, dan wanita itu
tertawa. Di sisi dalam pintu kayu itu terdapat ruang penerimaan tamu lain yang berbeda
jenisnya. Bocah lelaki pucat bersetelan abu-abu mutiara bisa dikira kembaran Jane.
Rambutnya lebih gelap, dan bibirnya tidak sepenuh bibir Jane, namun sama
memikatnya. Ia maju menghampiri kami. Sambil tersenyum tangannya terulur pada
Jane. "Jane." "Alec," sahut Jane memeluk pemuda itu. Mereka berciuman pipi. Kemudian pemuda
itu menatap kami. "Mereka mengirimmu keluar untuk membawa satu tapi kau kembali dengan membawa
dua... setengah," kata pemuda itu, menatapku. "Bagus sekali."
Jane tertawa-suaranya ceria seperti celotehan bayi.
"Selamat datang kembali, Edward," Alec menyapanya. "Sepertinya suasana hatimu
sudah lebih baik." "Sedikit," Edward membenarkan dengan nada datar. Kulirik wajah Edward yang
keras, dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana mungkin suasana hatinya bisa
lebih buruk dari sekarang.
Alec terkekeh, dan memerhatikan aku yang menempel erat di sisi Edward. "Jadi,
inikah si pembuat heboh itu?" tanyanya, skeptis.
Edward hanya tersenyum, ekspresinya sinis. Kemudian tubuhnya mengejang.
"Bodoh," ucap Felix dengan nada biasa-biasa saja dari belakang.
Edward berbalik, geraman rendah terdengar dari dadanya. Felix tersenyum -
tangannya terangkat, telapak tangan mengarah ke atas; ia menekukkan jari-jarinya
dua kali, mengundang Edward untuk maju.
Alice menyentuh lengan Edward. "Sabar," ia mengingatkan.
Mereka bertukar pandang cukup lama, dan aku berharap bisa mendengar apa yang
dikatakan Alice padanya. Menurutku pasti ada hubungannya dengan tidak menyerang
Felix, karena Edward menarik napas dalam-dalam dan berpaling kembali pada Alec.
"Aro pasti sangat senang bisa bertemu lagi denganmu," kata Alec, seolah tidak
terjadi apa-apa. "Kalau begitu jangan biarkan dia menunggu terlalu lama," saran Jane.
Edward mengangguk satu kali.
Alec dan Jane, bergandengan tangan, berjalan mendului kami memasuki aula lain
yang luas dan sarat hiasan-apakah ruangan ini ada ujungnya"
Mereka mengabaikan pintu-pintu di ujung aula - pintu-pintu itu seluruhnya
dilapisi emas - berhenti di tengah jalan sebelum mencapai ujungnya, dan
menggeser panel yang menutupi pintu kayu polos. Pintu itu tidak terkunci. Alec
membukakannya untuk Jane.
Aku ingin mengerang saat Edward menarikku memasuki pintu itu. Kami memasuki
ruangan yang lagi-lagi terbuat dan batu tua seperti yang ada di alun-alun, di
lorong, dan di saluran pembuang limbah. Suasananya juga gelap dan dingin.
Ruang peralihan dari batu itu tidak besar. Di baliknya ada ruangan lain yang
lebih terang dan besar menyerupai gua, bentuknya bulat sempurna, seperti menara
kasti yang besar... mungkin benar ini menara. Dua lantai ke atas, tampak dua
jendela berbentuk celah memanjang, membuat cahaya matahari yang menerobos
melaluinya jatuh dalam bentuk persegi panjang di lantai batu di bawahnya. Tidak
ada cahaya buatan. Satu-satunya perabot di ruangan itu hanyalah beberapa kursi
kayu besar seperti singgasana, yang diletakkan tidak beraturan, rata dengan
dinding batu yang melengkung. Di pusat lingkaran, di cekungan pendek, terdapat
saluran pembuangan limbah lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah mereka
menggunakannya sebagai jalan keluar, seperti lubang di jalan.
Ruang itu tidak kosong. Segelintir orang berkumpul, tampaknya sedang mengobrol
santai. Gumaman suara-suara pelan dan halus terdengar bagai dengungan lembut di
udara. Saat aku melihat, sepasang wanita pucat bergaun musim panas berhenti di
bawah sepetak cahaya matahari, dan, seperti prisma, kulit mereka membiaskan
pendar cahaya pelangi ke dinding-dinding cokelat kusam.
Wajah-wajah memesona itu menoleh begitu rombongan kami memasuki ruangan.
Sebagian besar makhluk abadi itu mengenakan celana panjang dan kemeja biasa - pokoknya, pakaian yang
tidak akan terlihat mencolok di jalan-jalan di bawah sana. Namun lelaki yang
pertama kali berbicara mengenakan jubah panjang. Warnanya hitam pekat, dan
menyapu lantai. Aku sempat mengira rambut hitam kelamnya yang panjang adalah
tudung jubahnya. "Jane, Sayang, kau sudah kembali!" seru lelaki itu senang. Suaranya terdengar
seperti desahan lirih. Lelaki itu melenggang maju, dan gerakannya begitu luwes sampai-sampai aku
ternganga, mulutku terbuka lebar. Bahkan Alice, yang setiap gerakannya terlihat
seperti menari, tidak bisa menandinginya.
Aku lebih terperangah lagi saat lelaki itu melenggang lebih dekat dan aku bisa
melihat wajahnya. Tidak seperti wajah-wajah menarik tapi tidak natural yang
mengelilinginya (karena ia tidak menghampiri kami sendirian; seluruh rombongan
mengerubunginya dengan rapat, beberapa mengikuti di belakang, yang lain berjalan
mendahuluinya dengan sikap waspada khas pengawal). Aku tidak bisa menentukan
apakah wajahnya tampan atau tidak. Garis-garis wajahnya memang sempurna. Tapi ia
berbeda dari para vampir di sampingnya, sama seperti mereka
berbeda denganku. Kulitnya putih transparan, seperti mereka berbeda denganku.
Kulitnya putih transparan, seperti kulit bawang, dan tampak sama rapuh-kelihatan
sangat kontras dengan rambut hitam panjang yang membingkai wajahnya. Aku
merasakan dorongan aneh yang mengerikan untuk menyentuh pipinya, untuk merasakan
apakah kulitnya lebih lembut daripada kulit Edward atau Alice, dan bila diraba
apakah terasa halus, seperti kapur. Matanya merah, sama seperti makhluk-makhluk
lain di sekitarnya, tapi warnanya berselaput, keruh seperti susu; aku penasaran
apakah pandangannya terganggu oleh selaput itu.
Vampir itu melenggang menghampiri Jane, merengkuh wajah Jane dengan tangannya
yang berlapis kulit setipis kertas, mendaratkan kecupan ringan di bibir tebal
Jane, lalu melenggang mundur selangkah.
"Ya, tuan," Jane tersenyum; ekspresinya
membuatnya terlihat seperti bocah malaikat. "Aku membawanya kembali hidup-hidup
seperti yang Anda inginkan."
"Ah, Jane." Vampir itu tersenyum. "Kau sungguh menenteramkan hatiku."
Ia mengarahkan matanya yang berkabut ke arah kami, dan senyumnya semakin cerah-
menjadi girang. "Dan Alice dan Bella juga!'' soraknya, bertepuk tangan dengan tangannya yang
kurus. "Ini benar-benar kejutan yang menggembirakan! Hebat!
Kupandangi vampir itu, shock mendengarnya menyebut nama kami dengan sikap ramah,
seolah-olah kami teman lama yang mampir tanpa diduga-duga.
Vampir itu berpaling pada pendamping kami yang bertubuh besar. "Felix, tolong
sampaikan kepada saudara-saudaraku tentang kedatangan tamu-tamu kita. Aku yakin
mereka pasti tidak ingin melewatkan kesempatan ini"
"Baik, Tuan" Felix mengangguk dan lenyap di balik pintu tempat kami masuk tadi.
"Kaulihat, Edward?" Vampir aneh itu menoleh dan tersenyum pada Edward, seperti
kakek yang sayang tapi marah pada cucunya. "Apa kubilang" Kau senang kan, aku
tidak mengabulkan permintaanmu kemarin?"
"Ya, Aro, aku senang," Edward membenarkan, mempererat pelukannya di pinggangku.
"Aku suka akhir yang membahagiakan." Aro mendesah. "Itu sangat jarang terjadi.
Tapi aku ingin mendengar cerita selengkapnya. Bagaimana itu bisa terjadi"
Alice?" Ia berpaling kepada Alice, sorot ingin tahu terpancar dari matanya yang
berkabut. Saudaramu sepertinya menganggapmu tidak mungkin salah, tapi jelas ada
kesalahan." "Oh, aku masih jauh dari sempurna." Alice
menyunggingkan senyum memesona. Ia tampak sangat santai, hanya saja kedua
tangannya terkepal erat. "Seperti yang Anda lihat hari ini, aku menyebabkan
masalah sesering aku menyelesaikannya."
"Kau terlalu rendah hati," cela Aro. "Aku sudah sering melihat bakatmu yang luar
biasa, dan harus kuakui, bakatmu benar-benar unik. Hebat!"
Alice melirik sekilas kepada Edward. Itu tidak luput dari perhatian Aro.
"Maaf, kita belum berkenalan, bukan" Aku
hanya merasa seperti sudah mengenalmu, dan aku cenderung suka mendului.
Saudaramu memperkenalkan kita kemarin, dengan cara yang aneh. Begini, aku juga
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki sebagian bakat seperti yang dimiliki saudaramu, hanya saja aku memiliki
batasan, sedangkan dia tidak." Aro menggelengkan kepala; nadanya iri.
"Dan juga jauh lebih kuat," Edward menambahkan dengan nada kering. Ditatapnya
Alice sementara ia menjelaskan dengan cepat. "Aro membutuhkan kontak fisik untuk
bisa mendengarkan pikiranmu, tapi dia bisa mendengar lebih banyak daripada aku.
Kau tahu aku hanya bisa mendengarkan pikiran yang sedang melintas dalam
pikiranmu saat ini. Aro bisa mendengar semua pikiran yang pernah singgah di
kepalamu. Alice mengangkat alisnya yang indah, dan Edward menelengkan kepala.
Itu juga tak luput dari perhatian Aro.
"Tapi bisa mendengar dari jauh..." Aro mendesah, melambaikan tangan pada mereka
berdua, dan pertukaran pikiran yang baru saja terjadi. "Itu akan sangat
menyenangkan." Aro memandang ke balik bahu kami. Semua kepala ikut berpaling ke arah yang sama,
termasuk Jane, Alice dan Demetri, yang berdiri tanpa suara di sebelah kami.
Aku yang terakhir menoleh. Felix sudah kembali, dan di belakangnya melenggang
dua lelaki berjubah hitam. Keduanya sangat mirip dengan Aro, salah satunya
bahkan juga berambut hitam tergerai. Yang satunya bahkan juga berambut hitam
tergerai. Yang satunya lagi berambut putih terang seperti salju - seputih
wajahnya - yang tergerai lepas ke bahu. Kulit wajah mereka sama-sama setipis
kertas. Lengkap sudah trio yang tergambar pada lukisan Carlisle, tidak berubah
meski tiga ratus tahun telah berlalu semenjak lukisan itu dibuat.
"Marcus, Caius. lihat!" seru Aro. "Bella ternyata masih hidup, dan Alice datang
bersamanya! Hebat, bukan?"
Tak seorang pun di antara mereka tampak setuju dengan pemilihan kata hebat yang
digunakan Aro. Si vampir berambut hitam terlihat sangat bosan, seakan-akan sudah
terlalu sering menyaksikan antusiasme Aro yang meluap-luap selama berabad-abad.
Wajah vampir yang lain masam di bawah rambutnya yang seputih salju.
Ketidaktertarikan yang mereka tunjukkan tak mengurangi semangat Aro.
"Mari kita dengar ceritanya bersama-sama," Aro nyaris berdendang dengan suaranya
yang sehalus bulu. Si vampir tua berambut putih menjauh, melenggang menghampiri salah satu
singgasana kayu. Yang lain berhenti di sebelah Aro, dan ia mengulurkan tangan,
mulanya kukira hendak meraih tangan Aro. Tapi ia hanya menyentuh telapak tangan
Aro sekilas dan kemudian menjatuhkan tangannya kembali. Aro mengangkat sebelah
alisnya yang hitam. Aku jadi heran bagaimana kulitnya yang setipis kertas itu
tidak remuk oleh gerakan tersebut.
Edward mendengus sangat pelan, dan Alice memandanginya, ingin tahu.
"Terima kasih, Marcus," ujar Aro. "Itu sangat menarik,"
Sadarlah aku, sedetik terlambat, bahwa Marcus membiarkan Aro mengetahui
pikirannya. Marcus kelihatannya tidak tertarik. Ia melenggang menjauhi Aro, mendekati vampir
satunya yang pastilah bernama Caius, yang duduk menempel di dinding. Dua vampir
yang mendampinginya mengikuti tanpa suara di
belakangnya-pengawal, seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Aku bisa melihat dua
wanita bergaun musim panas yang berdiri mengapit Caius dengan sikap sama. Agak
konyol menurutku bila vampir membutuhkan pengawal, tapi mungkin para vampir tua
itu sama rapuhnya seperti yang ditunjukkan kulit mereka.
Aro menggelengkan kepala. "Luar biasa," ucapnya. "Benar-benar luar biasa."
Ekspresi Alice frustrasi. Edward berpaling padanya dan menjelaskan dengan
ringkas dan suara pelan. "Marcus bisa melihat hubungan. Dia terkejut melihat
betapa kuatnya hubungan kita."
Aro tersenyum. "Sangat menyenangkan," ulangnya lagi. Lalu ia berbicara pada
kami. "Agak sulit membuat Marcus terkejut, aku bisa memastikan."
Kutatap wajah Marcus yang datar seperti mayat, dan aku percaya.
"Sungguh sulit dimengerti, bahkan sekarang," renung Aro, menatap lengan Edward
yang melingkari pinggangku. Sulit bagiku mengikuti jalan pikiran Aro yang ruwet.
Aku berusaha mengikuti dengan susah payah. "Bagaimana kau bisa berdiri sedekat
itu dengannya?" "Bukan berarti mudah," jawab Edward tenang.
"Namun tetap saja - la tua cantante! Sungguh mubazir!"
Edward tertawa datar, "Aku menganggapnya lebih sebagai harga yang harus
dibayar." Aro merasa skeptis. "Harga yang sangat tinggi."
"Kesempatan memang berharga mahal."
Aro terbahak. "Kalau saja aku tidak bisa mencium aromanya melalui pikiranmu, aku
tidak mungkin percaya godaan terhadap darah seseorang bisa sekuat itu. Aku
sendiri belum pernah merasakan hal seperti itu. Kebanyakan kita rela menukar apa
saja untuk dapat memiliki anugerah sebesar itu, tapi kau malah... "
"Menyia-nyiakannya," Edward menyelesaikan kata-kata Aro, suaranya kini terdengar
sinis. Lagi-lagi Aro terbahak. "Ah, betapa kangennya aku pada sobatku, Carlisle! Kau
mengingatkan aku padanya - hanya saja dia tidak segalak kau."
"Carlisle jauh melebihi aku dalam banyak hal lain."
"Tak pernah terpikir olehku, aku akan pernah melihat Carlisle kehilangan kendali
diri, tapi kau membuatnya malu."
"Itu tidak benar." Edward terdengar tidak sabar. Seolah-olah ia muak dengan
basa-basi ini. Itu membuatku semakin takut; mau tak mau aku jadi berusaha
membayangkan apa yang ia harapkan bakal terjadi.
"Aku senang melihat kesuksesannya," renung Aro. "Kenanganmu mengenainya adalah
anugerah bagiku, meski itu membuatku sangat takjub. Aku heran karena ternyata
aku... justru senang melihat kesuksesannya di jalan tak lazim yang dipilihnya.
Kukira dia akan tersia-sia, melemah seiring berjalannya waktu. Aku sempat
mencela rencananya menemukan pihak-pihak lain yang setuju dengan pandangannya
yang aneh. Namun bagaimanapun aku senang karena ternyata aku keliru."
Edward tidak menanggapi. "Tapi pertahanan dirimu!" Aro mendesah. "Aku tidak tahu kekuatan sehebat itu
ternyata ada. Membiasakan diri mengabaikan godaan sedahsyat itu, bukan hanya
sekali melainkan berkali-kali- seandainya tidak merasakannya sendiri, aku pasti
tidak akan percaya."
Edward membalas pandangan kagum Aro tanpa ekspresi. Aku cukup mengenali wajahnya
- waktu tidak banyak mengubahnya - untuk mengetahui bahwa di balik ekspresinya
yang tenang, tersimpan amarah yang menggelora. Susah payah aku berusaha
mempertahankan napasku tetap tenang.
"Hanya mengingat bagaimana dia begitu menggairahkan bagimu... " Aro terkekeh.
"Membuatku haus."
Edward mengejang. "Jangan merasa terganggu," Aro meyakinkannya. "Aku tidak bermaksud
mencelakakannya. Tapi aku sangat ingin tahu, mengenai satu hal secara khusus."
Ia menatapku dengan sikap sangat tertarik. "Bolehkah?" tanyanya penuh semangat,
mengangkat sebelah tangan.
"Tanya saja padanya." Edward menyarankan
dengan nada datar. "Tentu saja, kurang ajar benar aku!" seru Aro. "Bella," ia berbicara sendiri
padaku sekarang. "Aku takjub karena kau satu-satunya yang merupakan pengecualian
terhadap bakat Edward yang mengagumkan itu-sungguh sangat menarik hal semacam
itu bisa terjadi! Dan aku jadi ingin tahu. Berhubung bakat kami serupa dalam
banyak hal, apakah kau mau berbaik hati mengizinkan aku untuk mencoba-melihat
apakah kau merupakan pengecualian bagiku juga?"
Mataku serta-merta melirik Edward dengan penuh ketakutan. Meski bertanya dengan
sikap sopan yang berlebihan, aku tak yakin aku punya pilihan. Ngeri rasanya
membayangkan mengizinka Aro menyentuhku, namun tak urung diam-diam aku tertarik
oleh kesempatan menyentuh kulitnya yang aneh ini.
Edward mengangguk menyemangati-apakah karena ia yakin Aro tidak akan
mencelakakanku, atau karena memang tak ada pilihan aku tidak tahu.
Aku berpaling kembali pada Aro dan mengangkat tanganku pelan-pelan di hadapanku.
Tanganku gemetar. Aro melenggang menghampiriku, dan aku yakin ia sengaja memasang mimik tenang
untuk meyakinkan aku. Namun garis-garis wajahnya kelewat aneh, terlalu asing dan
menakutkan, untuk dapat meyakinkan aku. Mimik wajahnya lebih percaya diri
daripada kata-katanya tadi.
Aro mengulurkan tangan, seperti hendak menjabat tanganku, dan menempelkan
kulitnya yang aneh ke kulitku. Kulitnya terasa keras sekaligus rapuh-lebih
menyerupai serpih daripada granit-dan lebih dingin daripada yang kukira.
Matanya yang berkabut tersenyum
memandangiku, dan mustahil bagiku untuk mengalihkan pandangan. Matanya memesona
dengan cara yang ganjil dan tidak menyenangkan.
Wajah Aro berubah di depan mataku. Rasa percaya diri itu goyah dan mula-mula
menjadi keraguan, baru kemudian tidak percaya sebelum akhirnya tenang kembali,
membentuk topeng ramah. "Sangat menarik," ucapnya sambil melepaskan tanganku dan kembali ke tempatnya.
Mataku berkelebat memandang Edward, dan, walaupun wajahnya tenang, ia tampak
sedikit puas pada diri sendiri.
Aro terus dalam ekspresi menerawang. Sesaat ia diam, matanya berkelebat menatap
kami bertiga. Kemudian tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya.
"Ini pertama kalinya," katanya pada diri sendiri. "Aku jadi penasaran apakah dia
juga imun terhadap bakat-bakat kita yang lain... Jane, Sayang?"
"Tidak!" Edward mengucapkan kata itu sambil menggeram Alice menyambar lengannya,
memeganginya. Edward menepiskannya.
Si mungil Jane tersenyum bahagia pada Aro.
"Ya, Tuan?" Edward benar-benar menggeram sekarang, suara itu terlontar dari dalam dirinya,
matanya menatap Aro garang dengan sorot berapi-api. Ruangan sunyi senyap, semua
memandanginya dengan tercengang dan tak percaya, seolah-olah ia melakukan
sesuatu yang sangat memalukan dan tak bisa diterima. Kulihat Felix menyeringai
penuh harap dan maju satu langkah. Aro meliriknya, dan Felix langsung menegang,
seringaiannya berubah jadi ekspresi merajuk.
Lalu ia berbicara kepada Jane. "Aku ingin tahu, sayangku, apakah Bella imun
terhadapmu." Aku nyaris tak bisa mendengar suara Aro karena geraman marah Edward. Edward
melepaskan aku, bergerak untuk menyembunyikanku dari pandangan mereka. Caius
melayang ke arah kami, bersama rombongannya, untuk menonton.
Jane berbalik menghadapi kami dengan senyum memesona tersungging di wajah.
"Jangan!" pekik Alice saat Edward menerjang gadis mungil itu.
Sebelum aku sempat bereaksi, sebelum semua orang lain bisa melompat ke tengah
mereka, sebelum para pengawal Aro sempat mengejang, Edward sudah terjatuh ke
lantai Tak ada yang menyentuhnya, tapi ia tergeletak di lantai baru, menggeliat-geliat
kesakitan, semenara aku menatapnya dengan penuh kengerian.
Jane hanya tersenyum padanya sekarang, dan mendadak aku mengerti. Inilah yang
dimaksud Alice mengenai bakat luar biasa, mengapa semua orang memperlakukan Jane
dengan hormat dan mengapa Edward melemparkan diri di depannya sebelum Jane bisa
melakukannya terhadapku. "Hentikan!" aku menjerit, suaraku bergema dalam kesunyian, melompat ke depan di
antara mereka. Tapi Alice merangkulku sekuat-kuatnya dengan kedua tangan, tak
peduli aku meronta-ronta. Tidak ada suara yang keluar dari bibir Edward saat ia
menggeliat-geliat di lantai batu. Kepalaku serasa mau pecah karena tidak tega
melihatnya. "Jane," Aro memanggilnya dengan suara tenang. Jane mendongak cepat masih
tersenyum senang, matanya bertanya-tanya. Begitu memalingkan wajah, Edward
berhenti menggeliat-geliat.
Aro menelengkan kepala ke arahku.
Jane mengarahkan senyumnya padaku.
Aku bahkan tidak membalas tatapannya. Aku memandangi Edward dari dekapan tangan
Alice, masih meronta-ronta tanpa hasil.
"Dia tidak apa-apa," bisik Alice padaku dengan suara kaku. Saat Alice berbicara
Edward duduk, lalu berdiri dengan tangkas. Matanya menatap mataku, sorot matanya
tampak ketakutan Awalnya kukira ketakutan itu karena apa yang batu saja
dialaminya. Tapi kemudian ia berpaling cepat ke arah Jane, lalu kembali padaku -
dan ketegangan di wajahnya mengendur, berubah lega.
Aku memandangi Jane juga dan ia tidak lagi tersenyum. Ia menatapku garang,
dagunya mengeras oleh kuatnya ia berkonsentrasi. Aku mengkeret, menunggu
datangnya rasa sakit. Tidak terjadi apa-apa. Edward sudah berdiri di sampingku lagi. Disentuhnya lengan Alice dan Alice
menyerahkanku padanya. Tawa Aro meledak. "Ha, ha, ha," tawanya. "Hebat sekali!"
Jane mendesis frustrasi, mencondongkan tubuh ke depan, seolah-olah bersiap
menerjang. "Jangan kecewa, Sayang," kata Aro dengan nada menenangkan, meletakkan tangannya
yang seringan bedak ke bahu Jane. "Dia mengacaukan kita semua"
Bibir atas Jane melengkung ke belakang, memamerkan giginya sementara ia terus
menatapku garang. "Ha, ha, ha," lagi-lagi Aro terbahak. "Kau sangat berani, Edward, menahan sakit
tanpa suara. Aku pernah meminta Jane melakukannya padaku satu kali - hanya
karena ingin tahu." Ia menggeleng kagum. Edward melotot, jijik.
"Jadi mau kita apakan kau sekarang?" Aro mendesah.
Edward dan Alice mengejang. Ini bagian yang mereka tunggu-tunggu sejak tadi. Aku
mulai gemetar. "Kurasa tidak ada kemungkinan kau berubah pikiran?" Aro bertanya pada Edward
dengan sikap penuh harap. "Bakatmu akan menjadi tambahan yang sangat baik untuk
kelompok kecil kami."
Edward ragu-ragu. Dari sudut mata kulihat Felix dan Jane meringis.
Edward seakan menimbang setiap kata dengan seksama, sebelum mengucapkannya.
"Kurasa... tidak... usah."
"Alice?" tanya Aro, masih berharap. "Mungkin kau tertarik bergabung dengan
kami?" "Tidak, terima kasih," jawab Alice.
"Dan kau, Bella?" Aro mengangkat alisnya.
Edward mendesis, rendah di telingaku, kutatap Aro dengan pandangan kosong.
Apakah ia bergurau" Atau ia benar-benar serius menanyakan apakah aku ingin
tinggal untuk makan malam"
Kesunyian itu dikoyakkan oleh suara Caius, si vampir berambut putih.
"Apa?" tuntutnya pada Aro; suaranya, meski tak lebih dari sekadar bisikan,
Terdengar datar. "Caius, masa kau tidak melihat potensi di sini?"
Aro mencelanya dengan sikap sayang. 'Aku belum pernah melihat bakat prospektif
lain yang sangat menjanjikan sejak kita menemukan Jane dan Alec. Dapatkah
kaubayangkan kemungkinannya bila dia menjadi salah seorang di antara kita?"
Caius membuang muka dengan ekspresi sengit. Mata Jane berapi-api karena
tersinggung dibanding-bandingkan.
Edward menahan marah di sampingku. Aku bisa mendengar gemuruh di dadanya, yang
nyaris menjadi geraman. Aku harus berusaha agar amarahnya tidak membuatnya
celaka. "Tidak, terima kasih," aku angkat bicara dengan suara yang tak lebih dari
bisikan, suaraku gemetar karena takut.
Aro mendesah. "Sayang sekali. Sungguh sia-sia."
Edward mendesis. "Bergabung atau mati, begitu" Aku sudah bisa menduganya waktu
kami dibawa ke ruangan ini. Hukummu tidak berarti apa-apa."
Nada suara Edward membuatku terkejut. Ia terdengar berang, tapi ada sesuatu yang
disengaja dalam cara penyampaiannya-seolah-olah ia memilih kata-kata yang akan
ia ucapkan dengan begitu saksama.
"Tentu saja tidak," Aro mengerjap, terperangah. "Kami memang sudah berkumpul di
sini, Edward, menunggu Heidi kembali. Bukan karena kau."
"Aro," Caius mendesis. "Hukum mengklaim mereka."
Edward menatap Caius garang, "Bagaimana bisa?" tuntutnya. Dia pasti bisa membaca
pikiran Caius, tapi sepertinya bertekad membuatnya mengutarakan pikiran itu
dengan suara keras. Caius mengacungkan telunjuknya yang panjang kurus padaku. "Dia terlalu banyak
tahu. Kau sudah mengekspos rahasia kita." Suaranya setipis kertas, sama seperti
kulitnya. "Di sini juga ada beberapa manusia dalam sandiwara kalian," Edward mengingatkan
Caius, dan ingatanku langsung melayang pada resepsionis cantik di bawah.
Wajah Caius terpilin membentuk ekspresi baru. Apakah itu dimaksudkan sebagai
senyuman" "Benar," ia sependapat. "Tapi kalau mereka sudah tidak kami butuhkan lagi,
mereka akan menjadi pemuas dahaga kami. Bukan begitu rencanamu untuk gadis yang
satu ini Kalau dia membocorkan rahasia kita, apakah kau siap menghabisinya"
Kurasa tidak," dengusnya.
"Aku tidak akan-" aku membuka mulut, masih berbisik. Caius membungkamku dengan
tatapan dingin.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau juga tidak berniat menjadikannya salah satu dari kita," lanjut Caius.
"Dengan begitu, dia ancaman bagi eksistensi kita. Meski ini benar, dalam hal ini
hanya hiduplah yang dikorbankan. Kau boleh pergi kalau memang mau."
Edward menyeringai, menunjukkan gigi-giginya.
"Sudah kukira," kata Caius, dengan ekspresi menyerupai kegembiraan. Felix
mencondongkan tubuh, bersemangat.
"Kecuali..." Aro menyela. Kelihatannya ia tidak senang dengan arah pembicaraan
ini. "Kecuali kau memang berniat memberinya keabadian?"
Edward mengerucutkan bibir, ragu-ragu sesaat sebelum menjawab. "Dan kalau itu
benar?" Aro tersenyum, kembali senang. "Yah, kalau begitu kau boleh pulang dan
menyampaikan salamku pada sobatku Carlisle." Ekspresinya berubah ragu. "Tapi aku
khawatir kau harus bersungguh-sungguh dengan ucapanmu."
Aro mengangkat tangan di hadapannya. Caius, yang awalnya memberengut marah,
berubah rileks. Bibir Edward mengejang membentuk garis marah. Ia menatap mataku, dan aku
membalas tatapannya. "Ucapkan dengan sungguh-sungguh," bisikku.
"Kumohon." Sebegitu menjijikkannyakah ide itu" Apakah Edward lebih suka mati daripada
mengubahku" Perutku seperti ditendang.
Edward menunduk menatapku dengan ekspresi tersiksa.
Kemudian Alice melangkah menjauhi kami, maju mendekati Aro. Kami menoleh dan
menatapnya. Tangannya terangkat seperti Aro.
Alice tidak mengatakan apa-apa, dan Aro melambaikan tangan kepada para
pengawalnya yang bergegas datang untuk menghalangi Alice. Aro menemui Alice di
tengah, dan meraih tangannya dengan mata memancarkan kilau tamak dan penuh
semangat. Aro menunduk ke atas tangan mereka yang saling menyentuh mata terpejam saat
berkonsentrasi. Alice diam tak bergerak, wajahnya kosong. Aku mendengar Edward
menggertakkan gigi. Semua diam tak bergerak. Aro seakan membeku di atas tangan Alice. Detik demi
detik berlalu dan semakin lama aku semakin tertekan, bertanya-tanya sampai kapan
ini akan terus berlangsung, apakah waktu sudah berlalu terlalu Uma Se belum itu
berarti sesuatu yang buruk telah terjadi-lebih buruk daripada keadaan sekarang.
Waktu terus berjalan dan terasa menyiksa, dan sejurus kemudian suara Aro
mengoyak keheningan. "Ha, ha, ha," ia tertawa, kepalanya masih tertunduk ke depan. Ia mendongak
perlahan-lahan, matanya cemerlang oleh kegembiraan. "Itu sangat menakjubkan!"
Alice tersenyum kering. "Aku senang Anda menikmatinya."
"Melihat berbagai hal yang telah kaulihat-
terutama peristiwa-peristiwa yang belum terjadi!" Aro menggeleng-geleng takjub.
"Tapi akan terjadi," Alice mengingatkan,
suaranya kalem. "Ya, ya, itu sudah ditentukan. Tentu tidak ada masalah." Caius
tampak sangat kecewa - perasaan yang tampaknya juga dirasakan Felix dan Jane.
"Aro," tegur Caius.
"Caius Sayang," Aro tersenyum. "Jangan cerewet. Coba pikirkan kemungkinan-
kemungkinannya! Mereka memang tidak bergabung dengan kita hari ini, tapi kita
selalu bisa berharap di masa mendatang. Coba bayangkan kegembiraan yang akan
dibawa hanya oleh Alice saja ke keluarga kecil kita... Lagi pula, aku juga
sangat ingin melihat bagaimana jadinya Bella nanti!"
Aro tampak yakin sekali. Apakah ia tidak sadar betapa subjektifnya penglihatan
Alice" Bahwa ia bisa memutuskan untuk mengubahku hari ini, kemudian mengubahnya
besok" Sejuta keputusan kecil, baik keputusannya maupun keputusan banyak pihak
lain - juga Edward - dapat saja
mengubah jalan hidupnya, sehingga dengan demikian, masa depan pun akan ikut
berubah. Dan apakah ada artinya bila Alice bersedia, apakah ada bedanya bila aku benar-
benar berubah menjadi vampir, bila itu justru menjijikkan bagi Edward" Bila
kematian, baginya, merupakan alternatif yang lebih baik daripada memilikiku di
sisinya selamanya, menjadi gangguan yang abadi" Meski sangat ketakutan, aku
merasa diriku terbenam dalam perasaan depresi, tenggelam di dalamnya...
"Kalau begitu kami boleh pergi sekarang?" tanya Edward datar.
"Ya, ya," jawab Aro riang. "Tapi datanglah lagi kapan-kapan. Ini benar-benar
mengasyikkan!" "Dan kami juga akan mengunjungi kalian," Caius berjanji, matanya tiba-tiba
separuh terpejam, seperti tatapan kadal yang kelopak matanya tebal. "Untuk
memastikan kalian menepati bagian kalian. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan
menunda terlalu lama. Kami tidak pernah menawarkan kesempatan kedua."
Rahang Edward mengeras, tapi ia mengangguk.
Caius tersenyum sinis dan melenggang kembali ke tempat Marcus masih duduk, tidak
bergerak dan tidak tertarik.
Felix mengerang. "Ah, Felix," Aro tersenyum geli. "Sebentar lagi Heidi datang. Sabarlah."
"Hmmm," Ada semacam kecemasan dalam suara Edward. "Kalau begitu, mungkin
sebaiknya kami pergi saja sekarang."
"Benar," Aro sependapat. "Itu ide bagus. Kecelakaan bisa saja terjadi Tapi
kumohon kau mau menunggu di bawah sampai hari gelap, kalau kau tidak keberatan."
"Tentu saja," Edward setuju, sementara aku meringis membayangkan harus menunggu
seharian sebelum bisa keluar dari sini.
"Dan ini," Aro menambahkan, memberi isyarat kepada Felix dengan satu jari. Felix
langsung datang menghampirinya, dan Aro membuka jubah abu-abu yang dikenakan
vampir bertubuh besar itu, melepasnya dari pundaknya. Dilemparkannya jubah itu
pada Edward. "Ambillah. Kau agak terlalu menarik perhatian."
Edward memakai jubah itu, menurunkan penutup kepalanya.
Aro mendesah. "Cocok untukmu."
Edward tertawa, tapi mendadak terdiam, menoleh ke belakang. "Terima kasih, Aro.
Kami akan menunggu di bawah."
"Selamat jalan, sobat-sobat muda," kata Aro, matanya cemerlang saat ia memandang
ke arah yang sama. "Ayo kita pergi," kata Edward, nadanya mendesak sekarang.
Demetri memberi isyarat agar kami mengikutinya, kemudian beranjak menuju pintu
tempat kami datang tadi. Tampaknya, itu satu-satunya jalan keluar.
Edward menarik tanganku dan berjalan cepat-cepat. Alice merapat di sisiku yang
lain, wajahnya keras. "Masih kurang cepat," gumamnya.
Aku mendongak padanya, ketakutan, tapi Alice hanya tampak sedih. Saat itulah
pertama kalinya aku mendengar celotehan orang-orang mengobrol- keras dan kasar-
terdengar dari arah ruang depan.
"Well, ini tidak biasa," dentum suara kasar seorang laki-laki.
"Sangat abad pertengahan," balas seorang wanita dengan suaranya yang melengking
tinggi dan tidak enak didengar.
Serombongan besar orang melewati pintu yang kecil, memenuhi ruangan berdinding
baru yang lebih kecil. Demitri memberi isyarat pada kami agar menepi. Kami
menempel rapat-rapat di dinding yang dingin untuk memberi jalan pada mereka.
Pasangan yang berjalan paling depan, orang-orang Amerika kalau mendengar
aksennya, memandang berkeliling dengan sikap menilai.
"Selamat datang, Tamu-Tamu! Selamat datang di Volterra!" Aku bisa mendengar Aro
berseru riang dari ruangan menara yang besar.
Anggota rombongan lain, jumlahnya mungkin empat puluh atau lebih, berbaris masuk
setelah pasangan tadi. Beberapa mengamati keadaan sekelilingnya seperti turis.
Beberapa bahkan memotret. Yang lain-lain tampak bingung, seolah-olah cerita yang
membawa mereka ke ruangan ini sekarang tak lagi masuk akal. Perhatianku tertarik
pada wanita mungil berkulit gelap. Di lehernya melingkar rosario, dan wanita itu
mencengkeram salib erat-erat dengan satu tangan. Ia berjalan lebih lambat daripada yang lain,
sesekali menyentuh anggota rombongan lain dan bertanya dalam bahasa yang tidak
kumengerti. Sepertinya tidak ada yang memahaminya, dan suara wanita itu
terdengar semakin panik. Edward menarik wajahku ke dadanya, tapi terlambat. Aku sudah mengerti.
Begitu ada celah yang memungkinkan untuk lewat, Edward cepat-cepat mendorongku
ke arah pintu. Aku bisa merasakan ekspresi ngeri tergurat di wajahku, dan air
mataku mulai menggenang. Aula emas penuh ukiran itu sunyi, kosong tanpa kehadiran siapa pun, kecuali
seorang wanita jelita yang tampak bagai patung. Ia memandangi kami dengan sikap
ingin tahu, utama aku. "Selamat datang kembali, Heidi," Demetri menyapa dari belakang kami.
Heidi tersenyum sambil lalu. Ia mengingatkanku pada Rosalie, meski tidak mirip
sama sekali- hanya karena kecantikannya juga begitu luar biasa, tak terlupakan.
Aku bagai tak mampu mengalihkan tatapan.
Wanita itu berpakaian begitu rupa untuk
semakin menonjolkan kecantikannya. Kakinya yang luar biasa panjang tampak lebih
gelap dalam balutan stoking, terpampang jelas di balik rok mininya yang
superpendek. Blusnya berlengan panjang dan berleher tinggi namun sangat ketat,
dan terbuat dari vinyl merah. Rambut panjangnya yang sewarna kayu mahoni itu
mengilap, dan bola matanya berwarna ungu aneh-warna yang hanya mungkin
dihasilkan lensa kontak biru yang menutupi iris berwarna merah.
"Demetri," wanita itu balas menyapa dengan
suara selembut sutra, matanya berkelebat dari wajahku ke jubah abu-abu yang
dikenakan Edward. "Boleh juga hasil pancingannya," puji Demetri padanya, dan mendadak aku memahami
dandanannya yang mencolok... ia bukan hanya pemancing, tapi sekaligus juga
umpan. "Trims." Heidi menyunggingkan senyum
memesona. "Kau tidak ikut?"
"Sebentar lagi. Sisakan beberapa untukku."
Heidi mengangguk dan merunduk melewati pintu sambil melayangkan pandangan ingin
tahu sekali lagi ke arahku.
22. PENERBANGAN DEMETRI meninggalkan kami di ruang penerimaan ramu yang mewah dan ceria itu,
tempat wanita bernama Gianna bertugas di balik konter yang mengilat. Musik yang
merdu dan ramah mengalun dari pengeras suara yang tersembunyi.
"Jangan keluar sebelum gelap," Demetri mengingatkan kami.
Edward mengangguk, dan Demetri bergegas pergi.
Gianna sama sekali tak terkejut mendengar perkataan itu, meski matanya mengawasi
jubah yang dipinjam Edward dengan mata menyipit, berspekulasi.
"Kau baik-baik saja.'' tanya Edward pelan,
terlalu pelan untuk bisa didengar oleh wanita manusia itu. Suaranya kasar-kalau
beledu bisa dibilang kasar - oleh perasaan cemas. Pasti karena masih tertekan
oleh situasi kami, pikirku.
"Sebaiknya segera dudukkan dia sebelum jatuh," kata Alice. Sepertinya dia akan
kehilangan kendali."
Edward berjalan sangat cepat hingga aku harus berlari-lari untuk bisa
mengimbanginya. Tapi belum lagi kami berhasil mencapai pintu berukir di ujung
aula, pekik jerit itu telah dimulai.
Saat itu barulah aku sadar tubuhku gemetar, bergetar kuat, sekujurku berguncang
sampai gigiku gemeletukan dan ruangan di sekelilingku berputar dan pandanganku
kabur. Selama sedetik sempat aku bertanya dalam hati, seperti inikah yang Jacob
rasakan sesaat sebelum meledak menjadi werewolf.
Aku mendengar suara yang tidak masuk akal, bunyi robekan aneh, meningkahi musik
merdu yang mengalun di latar belakang. Karena tubuhku terguncang hebat, aku tak
bisa memastikan dari mana suara itu berasal.
"Ssstt, Bella, ssstt, bisik Edward sambil
menarikku ke sofa paling jauh dari pandangan manusia yang ingin tahu di meja.
"Kurasa dia histeris. Mungkin sebaiknya
kautampar saja dia," Alice menyarankan. Edward memandangnya sekilas dengan
kalut. Kemudian aku mengerti. Oh. Itu suaraku. Bunyi robekan itu ternyata isak tangis
yang keluar dari dadaku. Itulah yang membuat tubuhku berguncang-guncang.
"Tidak apa-apa, kau aman, tidak apa-apa," bujuk Edward berkali-kali. Ia
mengangkatku ke pangkuannya dan menyelubungi tubuhku dengan jubah wolnya yang
tebal, melindungiku dari kulitnya yang dingin.
Aku tahu sungguh tolol bereaksi seperti ini. Siapa yang tahu sampai kapan aku
bisa melihat wajahnya" Ia selamat, aku selamat, dan ia bisa meninggalkan aku
begitu kami bebas. Dengan mata dipenuhi air mata seperti ini hingga aku tak bisa
melihat garis-garis wajahnya dengan jelas adalah kesia-siaan-kegilaan.
Namun di balik mataku, tempat air mata tak dapat menghapus bayangan itu, aku
masih dapat melihat wajah putih seorang wanita mungil yang mencengkeram rosario.
"Orang-orang itu," seduku.
"Aku tahu," bisik Edward.
"Sungguh mengerikan."
"Ya. memang. Seandainya kau tidak melihatnya tadi."
Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang dingin, menyeka maniku dengan jubah
yang tebal. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha menenangkan
diri. "Ada yang bisa kubantu?" sebuah suara bertanya sopan. Ternyata Gianna,
mencondongkan tubuh di balik bahu Edward dengan raut wajah prihatin namun tetap
profesional sekaligus menjaga jarak. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa risi
berada hanya beberapa sentimeter dari vampir yang galak. Entah ia benar-benar
tidak menyadarinya, atau sangat baik dalam menjalankan tugasnya.
'Tidak," Edward menjawab dingin.
Gianna mengangguk, tersenyum padaku, kemudian menghilang.
Aku menunggu sampai ia jauh. "Apakah dia tahu apa yang berlangsung di sini?"
tanyaku, suaraku pelan dan parau. Aku mulai bisa menguasai diri, tarikan napasku
mulai tenang. "Ya. Dia tahu semuanya," Edward menjawab pertanyaanku.
"Tahukah dia bahwa mereka akan membunuhnya suatu hari nanti?"
"Dia tahu kemungkinannya begitu," jawab Edward.
Jawabannya membuatku terkejut.
Wajah Edward sulit dibaca. "Dia berharap
mereka akan memutuskan untuk mempertahankannya."
Aku merasa darah surut dari wajahku. "Dia ingin menjadi salah satu dari mereka?"
Edward mengangguk, matanya tajam menatap wajahku, mengamati reaksiku.
Aku bergidik. "Bagaimana mungkin dia menginginkan hal itu?" bisikku, lebih
ditujukan pada diriku sendiri, bukan karena ingin mendapat jawaban. "Bagaimana
mungkin dia bisa setega itu, melihat orang-orang digelandang memasuki ruangan
mengerikan itu, dan ingin menjadi bagian dari semua itu?"
Edward tidak menjawab. Ekspresinya berkerut, merespons perkataanku barusan.
Saat aku menatap wajahnya yang begitu rupawan, berusaha memahami perubahannya,
mendadak terpikir olehku bahwa aku benar-benar berada di sini, dalam pelukan
Edward, betapapun singkatnya, dan bahwa kami tidak-saat ini - hendak dibunuh.
"Oh, Edward," isakku, dan aku menangis lagi. Reaksi yang benar-benar tolol. Air
mataku terlalu deras sehingga aku tak bisa melihat wajahnya lagi, dan itu tak
bisa dimaafkan. Padahal jelas aku hanya punya waktu sampai matahari terbenam.
Bagaikan kisah dongeng, dengan tenggat waktu yang akan mengakhiri keajaiban.
"Ada apa?" tanya Edward, masih cemas, membelai-belai punggungku dengan tepukan-
tepukan lembut. Aku merangkul lehernya - apa hal terburuk yang bisa ia lakukan" Paling-paling
mendorongku jauh-jauh-dan merapatkan tubuh lebih dekat lagi padanya. "Apakah aku
gila bila aku justru merasa bahagia sekarang?" tanyaku. Suaraku tercekat.
Edward tidak mendorongku. Ia malah mendekapku erat-erat di dadanya yang sekeras
es, begitu eratnya hingga aku sulit bernapas, bahkan dengan paru-paruku yang
telah utuh kembali. "Aku sangat mengerti maksudmu," bisiknya. "Tapi kita punya
banyak alasan untuk bahagia. Salah satunya, karena kita hidup."
"Ya." aku setuju. "Itu alasan yang bagus."
"Dan bersama-sama," desah Edward. Embusan napasnya begitu harum sehingga membuat
kepalaku melayang. Aku hanya mengangguk, yakin Edward tidak
terlalu bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu, seperti halnya aku.
"Dan kalau beruntung, kita akan tetap hidup besok."
"Mudah-mudahan," sahutku gelisah.
"Peluangnya cukup bagus." Alice meyakinkanku.
Selama ini ia lebih banyak diam, sampai-sampai aku nyaris melupakan
kehadirannya. "Aku akan bertemu lagi dengan Jasper dalam waktu kurang dari 24
jam," ia menambahkan dengan nada puas.
Betapa beruntungnya Alice. Ia bisa memercayai masa depannya.
Aku tidak mampu terlalu lama mengalihkan mata dari wajah Edward. Aku
memandanginya terus, sepenuh hati berharap masa depan tidak akan datang. Bahwa
momen ini akan berlangsung selamanya, atau, kalau tidak bisa, bahwa aku tidak
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan ada lagi bila masa depan itu tiba.
Edward membalas tatapanku, bola matanya yang gelap tampak lembut, dan mudah
bagiku berpura-pura ia merasakan hal yang sama denganku. Jadi itulah yang
kulakukan. Berpura-pura, untuk membuat momen ini semakin indah.
Ujung-ujung jari Edward menyusuri lingkaran di bawah mataku. "Kau kelihatan
capek sekali." "Dan kau kelihatan haus," aku balas berbisik, mengamati memar ungu di bawah mata
hitamnya. Edward mengangkat bahu. "Tidak apa-apa."
"Kau yakin" Aku bisa duduk dengan Alice," aku menawarkan diri, meski sebenarnya
tidak rela; aku lebih suka Edward membunuhku sekarang daripada beringsut satu
sentimeter saja dari tempatku berada sekarang.
"Jangan konyol." Edward mendesah; embusan napasnya yang wangi membelai-belai
wajahku. "Tidak pernah aku sekuat ini mengendalikan diri dalam hal itu dibanding
sekarang." Berjuta pertanyaan berkecamuk dalam benakku ingin kutanyakan padanya. Salah
satunya sudah berada di ujung bibirku sekarang, tapi kutelan kembali. Aku tidak
ingin merusak suasana, walaupun suasananya sangat tidak menyenangkan, di ruangan
yang membuatku mual, di bawah tatapan seorang calon monster.
Dalam pelukan Edward, sungguh mudah berkhayal bahwa ia menginginkanku. Aku tidak
mau memikirkan motivasinya sekarang-apakah ia bersikap begini untuk membuatku
tenang selama kami masih dalam bahaya, atau ia hanya merasa bersalah karena kami
berada di sini dan lega karena ia tidak harus bertanggung jawab atas kematianku.
Mungkin perpisahan kami sudah cukup lama sehingga aku tidak membuatnya bosan
sekarang ini. Tapi semua itu bukan masalah. Aku jauh lebih bahagia dengan
berpura-pura. Aku berbaring tenang dalam pelukannya, mengenang kembali wajahnya, berpura-
pura... Edward memandangi wajahku seolah-olah melakukan hal yang sama, sambil berdiskusi
dengan Alice bagaimana caranya pulang. Suara mereka begitu cepat dan rendah
hingga aku tahu Gianna tidak bisa memahaminya. Aku sendiri nyaris tak bisa
menangkapnya. Tapi kedengarannya seperti melibatkan pencurian mobil lagi. Malas-
malasan aku berpikir apakah Porsche kuning yang kami pakai sebelumnya sudah
kembali ke tangan pemiliknya atau belum.
"Apa maksudnya omongan tentang penyanyi
itu?" tanya Alice suatu saat.
"La tua cantante; jawab Edward. Suaranya
membuat kata-kata itu terdengar mengalun seperti musik.
"Ya, itu," kata Alice, dan aku berkonsentrasi sesaat. Aku sendiri juga penasaran
tadi. Aku merasakan bahu Edward terangkat. "Mereka mempunyai julukan bagi orang yang
aroma tubuhnya sama seperti aroma Bella di penciumanku. Mereka menyebutnya
menyanyiku -karena darahnya menyanyi untukku." Alice terbahak.
Aku lelah sekali dan ingin tidur, tapi aku mati-matian melawannya. Aku tidak mau
kehilangan satu detik pun bersamanya. Sesekali, sambil berbicara dengan Alice,
Edward tiba-tiba membungkuk dan menciumku - bibirnya yang sehalus kaca menyapu
rambut, dahi, juga ujung hidungku. Setiap kali itu terjadi, seolah-olah aliran
listrik menyengat hatiku yang lama tertidur. Suara degupnya seakan memenuhi
seluruh penjuru ruangan. Ini surga - berada persis di tengah neraka.
Aku benar-benar kehilangan orientasi waktu. Jadi ketika lengan Edward memeluk
lenganku lebih erat, dan baik ia maupun Alice memandang ke ujung ruangan dengan
ekspresi waswas, aku langsung panik. Aku mengkeret dalam pelukan Edward saat
Alec-matanya kini merah cemerlang, namun setelan jas abu-abu terangnya tetap
bersih tanpa noda meski habis makan sore-berjalan melewati pintu ganda.
Ternyata ia membawa kabar baik.
"Kalian boleh pergi sekarang," kata Alec pada kami, nadanya sangat hangat,
seperti kawan lama. "Kami harap kalian segera pergi dari kota ini."
Edward tidak mau berpura-pura ramah; suaranya sedingin es. "Itu bukan masalah."
Alec tersenyum, mengangguk, kemudian menghilang lagi.
"Ikuti lorong sebelah kanan di tikungan sana, sampai ke deretan lift pertama,"
Gianna memberitahu kami sementara Edward membantuku berdiri.
"Lobinya dua lantai di bawah, langsung keluar ke jalan. Selamat jalan," ia
menambahkan dengan nada riang. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah
kecakapannya dalam bekerja cukup untuk menyelamatkannya.
Alice melontarkan pandangan sengit ke arahnya.
Aku lega ada jalan keluar lain; aku tidak yakin akan sanggup berjalan menyusuri
lorong-lorong bawah tanah lagi.
Kami keluar melalui lobi yang ditata dengan sangat mewah dan berselera tinggi.
Akulah satu-satunya yang menoleh ke belakang, memandangi kastil abad pertengahan
yang menaungi facade bisnis mewah. Aku tidak bisa melihat menara itu dari sini,
dan aku sangat bersyukur.
Pesta masih berlangsung meriah di jalan-jalan. Lampu-lampu jalan baru mulai
menyala saat kami berjalan cepat menyusuri gang-gang sempit beralas batu. Langit
kelabu kusam semakin memudar di atas kepala, dan bangunan-bangunan begitu padat
menyesaki jalan hingga suasananya terasa lebih gelap.
Pestanya juga lebih gelap. Jubah panjang Edward yang menjuntai tidak tampak
mencolok seperti yang mungkin akan terjadi pada malam-malam normal lain di
Volterra. Beberapa orang juga mengenakan jubah satin hitam, dan taring plastik
seperti yang pernah kulihat dipakai seorang anak kecil di alun-alun siang tadi
tampaknya juga sangat populer di kalangan orang dewasa.
"Konyol," kecam Edward.
Aku tidak menyadari kapan Alice menghilang dari sampingku. Aku menoleh untuk
menanyakan sesuatu, tapi ia tidak ada.
"Mana Alice?" bisikku panik.
"Dia pergi mengambil tas kalian dari tempat dia meninggalkannya siang tadi."
Aku bahkan sudah lupa aku membawa sikat gigi. Informasi itu membuatku senang.
"Dia mencuri mobil juga, pasti?" tebakku.
Edward nyengir. "Tidak sampai kita berada di luar."
Rasanya jauh sekali baru kami sampai di pintu gerbang. Edward bisa melihat aku
kelelahan; ia merangkul pinggangku dan memapahku hampir sepanjang perjalanan.
Aku bergidik saat ia menarikku melewati gerbang batu hitam melengkung. Jeruji
besar kuno yang menggantung di atas tampak seperti pintu kerangkeng, mengancam
hendak menimpa kami, mengurung kami di dalam.
Edward membimbingku ke mobil berwarna gelap, yang menunggu dalam lingkaran
bayangan di kanan gerbang dengan mesin menyala. Aku terkejut waktu Edward
menyusup masuk ke jok belakang bersamaku, tidak bersikeras mengemudikannya.
Alice meminta maaf. "Maafkan aku." Ia
melambaikan tangan ke dasbor. "Tidak banyak pilihan."
"Tidak apa-apa, Alice." Edward nyengir. "Tidak bisa selalu memilih 911 Turbo."
Alice mendesah. "Aku harus memiliki salah satu mobil semacam itu secara legal.
Sungguh luar biasa."
"Nanti kubelikan satu untuk hadiah Natal," janji Edward.
Alice menoleh dan menatap Edward dengan senyum berseri-seri, dan itu membuatku
khawatir, karena saat itu ia sudah ngebut menuruni jalan perbukitan yang gelap
dan berkelok-kelok. "Kuning," katanya.
Edward tetap merangkulku erat-erat. Dalam selubung jubah abu-abunya, aku merasa
hangat dan nyaman. Lebih dari nyaman.
"Kau bisa tidur sekarang, Bella," bisiknya. "Sudah berakhir."
Aku tahu yang dimaksud Edward adalah bahaya, mimpi buruk di kota kuno, tapi aku
masih harus menelan ludah dengan susah payah sebelum bisa menjawab.
"Aku tidak mau tidur. Aku tidak capek." Kalimat terakhir itu tidak benar. Yang
benar adalah aku belum mau memejamkan mata. Mobil ini hanya diterangi samar-
samar oleh nyala lampu panel dasbor, tapi itu sudah cukup untuk bisa melihat
wajahnya. Edward menempelkan bibirnya di cekungan di bawah telingaku. "Cobalah," bujuknya.
Aku menggeleng. Edward mendesah. "Kau masih saja keras kepala."
Aku memang keras kepala; mati-matian aku melawan kelopak mataku yang berat, dan
aku menang. Bagian tersulit adalah melewati jalan yang gelap; lampu-lampu benderang di
bandara Florence sedikit melegakan hati, begitu juga kesempatan untuk menyikat
gigi dan ganti baju dengan pakaian bersih; Alice membelikan Edward baju baru
juga, dan Edward membuang jubah hitamnya ke tong sampah di sebuah gang.
Penerbangan ke Roma hanya sebentar hingga kelelahan tidak sempat membuatku
tertidur. Tapi aku tahu penerbangan dari Roma ke Atlanta akan sangat berbeda,
jadi kuminta pramugari membawakan segelas Coca-cola.
"Bella," tegur Edward tidak senang. Ia tahu biasanya aku tidak menolerir minuman
yang mengandung kafein. Alice duduk di belakang kami. Aku bisa mendengarnya berbisik-bisik dengan Jasper
di telepon. "Aku tidak mau tidur," aku mengingatkannya. Aku memberi alasan yang bisa
dipercaya karena itu memang benar. "Kalau aku memejamkan mata sekarang, aku akan
melihat hal-hal yang tidak ingin kulihat. Bisa-bisa aku malah bermimpi buruk."
Edward tidak membantahku lagi setelah itu.
Sebenarnya ini saat yang tepat sekali untuk mengobrol, untuk mendapat jawaban
yang kubutuhkan-dibutuhkan tapi tidak benar-benar diinginkan; belum-belum aku
sudah merasa sulit memikirkan apa yang bakal kudengar. Waktu yang panjang
membentang di hadapan kami tanpa gangguan apa pun, dan Edward tidak mungkin
melarikan diri dariku di atas pesawat- well, setidaknya, tidak semudah itu.
Tidak ada yang bisa mendengar kami kecuali Alice; hari sudah larut malam, dan
sebagian besar penumpang mematikan lampu dan meminta bantal dengan suara pelan.
Mengobrol bisa membantuku melawan kelelahan.
Namun, anehnya, aku malah menutup mulutku rapat-rapat dari banjir pertanyaan.
Pertimbanganku mungkin salah karena kelelahan, tapi aku berharap dengan menunda
pembicaraan, aku bisa meminta waktu beberapa jam dengannya nanti-memperpanjang
kebersamaan ini satu malam lagi, ala Scheherazade,
Jadilah aku minum bergelas-gelas soda, bahkan berkedip pun aku nyaris tak mau.
Edward tampaknya cukup senang bisa mendekapku dalam pelukannya, jari-jarinya
menelusuri wajahku lagi dan lagi. Aku juga menyentuh wajahnya. Aku tak sanggup
menghentikan diriku sendiri, meski takut itu akan menyakitiku nanti, kalau aku
sudah sendirian lagi. Edward terus saja menciumi rambutku, keningku, pergelangan
tanganku... tapi tak pernah bibirku, dan itu bagus. Soalnya, berapa kali hati
yang hancur lebur masih bisa diharapkan pulih kembali' Beberapa hari terakhir
ini, aku bertahan melewati berbagai peristiwa yang seharusnya mengakhiri
hidupku, tapi itu tidak membuatku merasa kuat. Malah aku merasa sangat rapuh,
seakan-akan satu kata saja sanggup menghancurkanku.
Edward juga diam saja. Mungkin ia berharap aku akan tidur. Mungkin memang tak
ada yang ingin ia katakan.
Aku memenangkan adu kekuatan melawan kelopak mataku yang berat. Mataku masih
terbuka lebar saat kami mencapai bandara di Atlanta, dan aku bahkan sempat
melihat matahari terbit di awan-awan di atas kota Seattle sebelum Edward menutup
jendela rapat-rapat. Aku bangga pada diriku sendiri. Tak satu menit pun
terlewatkan. Baik Alice maupun Edward sama sekali tidak terkejut melihat rombongan yang
menunggu kedatangan kami di Bandara Sea-Tac, tapi aku kaget luar biasa. Jasper
adalah yang pertama kulihat - tampaknya ia tidak melihatku sama sekali Matanya
hanya, tertuju pada Alice. Alice bergegas mendapatkannya; mereka tidak
berpelukan seperti pasangan-pasangan lain yang bertemu di sini.
Keduanya hanya saling memandang wajah masing-masing, namun, entah mengapa, momen
itu justru terasa sangat pribadi sampai-sampai aku merasa perlu membuang muka.
Carlisle dan Esme menunggu di sudut sepi jauh dan antrean di depan metal
detector. dalam naungan pilar besar. Esme mengulurkan tangan, memelukku erat-
erat dengan sikap canggung, karena Edward tidak melepaskan pelukannya dariku.
"Terima kasih banyak," bisiknya di telingaku. Kemudian Esme memeluk Edward, dan
ia terlihat seperti ingin menangis.
"Jangan pernah membuatku menderita seperti itu lagi," Esme nyaris menggeram.
Edward menyeringai, penuh penyesalan. "Maaf, Mom."
"Terima kasih Bella," kata Carlisle. "kami berutang budi padamu."
"Ah, tidak," gumamku. Tiba-tiba saja aku merasa letih sekali karena begadang
semalaman. Kepalaku terasa lepas dari tubuhku.
"Dia sangat kelelahan," Esme memarahi Edward. "Mari kita bawa dia pulang."
Tidak yakin apakah saat ini ingin pulang, aku tersaruk-saruk, separo buta,
melintasi bandara, Edward menyeretku di satu sisi, sementara Esme di sisi lain.
Aku tidak tahu apakah Alice dan Jasper mengikuti di belakang kami atau tidak,
dan aku terlalu lelah untuk melihat.
Kurasa aku tertidur, walaupun masih berjalan, saat kami sampai di mobil.
Keterkejutan melihat Emmett dan Rosalie bersandar pada sedan hitam di bawah
cahaya buram lampu-lampu garasi parkir membuatku tersentak. Edward mengejang.
"Jangan," bisik Esme. "Rosalie merasa bersalah."
"Memang seharusnya begitu," tukas Edward, tidak berusaha memelankan suara.
"Itu bukan salahnya." belaku, kata-kataku tidak terdengar jelas karena
kelelahan. "Beri kesempatan padanya untuk meminta maaf," pinta Esme. "Kami akan naik mobil
bersama Alice dan Jasper."
Edward memandang garang pasangan vampir berambut pirang yang sangat memesona
itu. "Kumohon, Edward," ujarku. Sebenarnya aku juga tidak mau semobil dengan Rosalie,
sama seperti Edward, tapi cukup sudah aku menyebabkan perpecahan dalam keluarga
ini. Edward mendesah, lalu menarikku ke mobil.
Emmett dan Rosalie naik ke kursi depan tanpa bicara, sementara Edward lagi-lagi
menarikku ke kursi belakang. Aku tahu aku tidak akan mampu melawan kelopak
mataku lagi, jadi kubaringkan kepalaku di dadanya dengan sikap kalah, membiarkan
mataku terpejam. Kurasakan mesin mobil menderum pelan.
"Edward," Rosalie memulai.
"Aku tahu." Nada kasar Edward terdengar tidak ramah.
"Bella?" Rosalie bertanya lirih.
Kelopak mataku menggeletar terbuka dengan shock Ini pertama kalinya ia berbicara
langsung padaku. "Ya, Rosalie?" sahutku, ragu-ragu.
"Aku sangat menyesal, Bella. Aku merasa sangat bersalah telah menyebabkan semua
ini, dan sangat bersyukur kau cukup berani untuk pergi dan menyelamatkan
saudaraku setelah apa yang kuperbuat. Kuharap kau mau memaafkanku."
Kata-katanya canggung, terbata-bata karena malu, tapi terdengar tulus.
"Tentu saja, Rosalie," gumamku, menyambar kesempatan apa saja untuk membuatnya
tidak membenciku lagi. "Ini bukan salahmu. Akulah yang melompat dari tebing
sialan itu. Tentu saja aku memaafkanmu."
Kata-kataku terdengar mengantuk.
"Itu tidak masuk hitungan sampai dia sadar, Rose," Emmet terkekeh.
"Aku sadar kok," tukasku; tapi suaraku terdengar seperti gumaman tidak jelas.
Kemudian suasana sunyi, kecuali derum pelan suara mesin. Aku pasti tertidur,
karena rasanya baru beberapa detik kemudian pintu terbuka dan Edward membopongku
turun dari mobil Mataku tidak mau membuka. Mulanya kukira kami masih di bandara.
Kemudian aku mendengar suara Charlie.
"Bella!" teriaknya dari jauh.
"Charlie," gumamku, berusaha menghalau kantuk yang melandaku.
"Ssstt" bisik Edward. "Semua beres; kau sudah sampai di rumah dan aman. Tidur
sajalah." "Berani-beraninya kau menunjukkan mukamu lagi di sini." Charlie memaki Edward.
suaranya terdengar jauh lebih dekat sekarang.
"Sudahlah, Dad." erangku. Charlie tidak
menggubrisku. "Kenapa dia," tuntut Charlie.
"Dia hanya sangat lelah, Charlie," Edward menenangkannya. "Biarkan dia
istirahat." "Jangan ajari aku!" teriak Charlie. "Berikan dia padaku. Jangan sentuh dia!'
Edward berusaha menyerahkanku kepada Charlie, tapi aku mencengkeram tubuhnya
kuat-kuat, tak mau melepaskannya. Aku bisa merasakan tangan ayahku menyentakkan
lenganku. "Hentikan, Dad," sergahku lebih keras lagi. Aku berhasil memaksa kelopak mataku
membuka untuk menatap Charlie nanar. "Marah saja padaku."
Saat itu kami berada di depan rumahku. Pintu depan terbuka lebar. Awan yang
menaungi di atas kepala terlalu tebal hingga aku tak bisa memperkirakan jam
berapa sekarang. "Itu sudah pasti," tegas Charlie. "Masuk ke dalam."
"Ke. Turunkan aku," desahku.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Edward menurunkan aku. Bisa kulihat bahwa aku berdiri, tapi aku tidak bisa
merasakan kakiku. Aku maju sempoyongan, sampai trotoar berputar ke arah wajahku.
Dengan tangkas Edward menyambarku sebelum wajahku mencium beton.
"Izinkan aku membawanya ke atas," kata
Edward. "Setelah itu aku akan pergi."
"Jangan," tangisku, panik. Aku belum mendapatkan penjelasan apa-apa. Ia tidak
boleh pergi dulu, setidaknya sampai ia menjelaskan semuanya, bukan begitu"
"Aku tidak akan jauh-jauh," Edward berjanji, berbisik sangat pelan di telingaku
sehingga Charlie tidak mungkin bisa mendengar.
Aku tidak mendengar Charlie menjawab, tapi Edward berjalan memasuki rumah.
Mataku hanya sanggup bertahan sampai tangga. Hal terakhir yang kurasakan adalah
tangan dingin Edward membuka cengkeraman jari-jariku dari kemejanya.
23. KEBENARAN RASANYA aku tidur lama sekali-sekujur tubuhku kaku, seolah-olah aku tidak
bergerak sama sekali selama itu. Pikiranku linglung dan lamban; berbagai mimpi
aneh-mimpi dan mimpi buruk-berpusar-pusar dalam benakku. Semua tampak sangat
jelas. Kengerian dan kebahagiaan, semua berbaur jadi kebingungan yang aneh. Ada
perasaan tak sabar bercampur ketakutan, keduanya bagian dari mimpi penuh
frustrasi saat kakiku tak bisa berlari cepat... Dan di mana-mana ada monster,
musuh-musuh bermata merah yang lebih menyeramkan daripada sesama mereka yang
lebih beradab. Mimpi itu masih terpatri kuat-aku bahkan masih ingat nama-
namanya. Tapi bagian yang paling kuat dan paling jelas dari mimpi itu bukanlah
kengeriannya. Melainkan kehadiran malaikat itulah yang paling jelas kuingat.
Sulit rasanya membiarkan malaikat itu pergi dan bangun. Mimpi ini tak mau
disingkirkan begitu saja ke gudang mimpi yang tak ingin kudatangi lagi. Aku
melawannya dengan susah payah saat pikiranku mulai lebih awas, terfokus pada
kenyataan. Aku tak ingat hari apa ini, tapi aku yakin ada yang menungguku, entah
itu Jacob, sekolah, pekerjaan, atau hal lain. Aku menarik napas dalam-dalam,
bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku sanggup menjalani satu hari lagi.
Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku lembut sekali.
Kupejamkan mataku lebih rapat. Rupanya aku masih bermimpi, tapi anehnya, rasanya
sungguh sangat nyata. Aku sudah hampir terbangun... beberapa detik lagi, dan
mimpi akan lenyap. Tapi aku sadar mimpi itu terasa kelewat nyata, kelewat nyata sehingga tak
mungkin terjadi. Lengan sekeras batu yang kubayangkan memeluk tubuhku amat terlalu kokoh. Kalau
kubiarkan lebih lama lagi, aku akan menyesal nanti. Dengan keluhan menyerah,
kubuka paksa kelopak mataku untuk menghalau ilusi itu.
"Oh!" aku terkesiap kaget, dan melemparkan tinjuku ke muka.
Well jelas, aku sudah kelewatan; salah besar membiarkan imajinasiku jadi tak
terkendali. Oke, mungkin "membiarkan" bukan istilah yang tepat. Aku memaksanya
menjadi tak terkendali - bisa dibilang aku dikuntit halusinasiku sendiri - dan
sekarang pikiranku meledak.
Dibutuhkan kurang dari setengah detik untuk menyadari bahwa, kepalang basah
sudah telanjur sinting, ada baiknya kunikmati saja delusiku, mumpung delusinya
menyenangkan. Aku membuka lagi mataku-dan Edward masih di sana, wajahnya yang sempurna hanya
beberapa sentimeter dari wajahku.
"Aku membuatmu takut, ya?" suaranya yang rendah bernada cemas.
Ini bagus sekali, sebagai delusi. Wajahnya,
suaranya, aroma tubuhnya, segalanya-semua jauh lebih baik daripada tenggelam.
Kilasan khayalanku yang rupawan itu mengawasi perubahan ekspresiku dengan
waswas. Matanya hitam pekat, dengan bayangan menyerupai memar di bawahnya. Itu
membuatku terkejut; Edward halusinasiku biasanya muncul dalam keadaan kenyang.
Aku mengerjap dua kali, susah payah berusaha mengingat hal terakhir yang aku
yakin nyata. Alice juga ada dalam mimpiku, dan bertanya-tanya apakah ia benar-
benar kembali, atau itu hanya khayalan. Kalau tidak salah, ia kembali pada hari
aku nyaris tenggelam waktu itu...
"Oh. brengsek" makiku parau. Tenggorokanku seperti tersumbat. "Ada apa, Bella?"
Aku mengerutkan kening pada Edward, tidak bahagia. Wajahnya bahkan jauh lebih
cemas daripada sebelumnya.
"Aku sudah mati, kan?" erangku. "Aku benar-benar tenggelam. Brengsek, brengsek,
brengsek! Charlie pasti sedih sekali."
Kening Edward berkerut. "Kau belum mati"
"Kalau begitu, mengapa aku tidak bangun-bangun juga?" tantangku, mengangkat
alis. "Kau sudah bangun, Bella."
Aku menggeleng. "Tentu, tentu. Kau memang ingin aku mengira begitu. Kemudian
keadaan akan lebih parah waktu aku terbangun nanti. Kalau aku masih bisa bangun,
dan itu tidak akan terjadi, karena aku sudah mati. Gawat. Kasihan Charlie. Juga
Renee dan Jake..." Suaraku menghilang, ngeri membayangkan apa yang telah
kulakukan. "Aku bisa mengerti kau salah mengartikan aku dengan mimpi buruk."
Senyum Edward yang berumur singkat terlihat muram. "Tapi aku tidak bisa
membayangkan apa yang telah kaulakukan sehingga kau masuk neraka. Memangnya kau
banyak membunuh orang selagi aku tidak ada?"
Aku meringis. "Jelas tidak. Kalau saat ini aku berada di neraka, kau tidak akan
ada di sini bersamaku."
Edward mendesah. Pikiranku semakin jernih. Mataku berkelebat sebentar dari wajahnya-meski
sebenarnya enggan - ke jendela yang gelap dan terbuka, lalu kembali padanya.
Kupandangi dia sambil mengingat-ingat... dan aku merasakan rona merah yang tidak
familier menjalari pipiku dengan hangat saat lambat laun aku menyadari bahwa
Edward sungguh-sungguh, benar-benar ada di sini bersamaku, tapi aku malah
membuang-buang waktu dengan menjadi idiot.
"Kalau begitu, semua itu benar-benar terjadi?" Nyaris sulit mengubah mimpiku
menjadi kenyataan. Rasanya aku belum bisa menerima konsep itu.
"Tergantung." Senyum Edward masih kaku.
"Kalau yang kaumaksud adalah kita hampir dibantai di Italia, ya, itu benar."
"Aneh sekali," renungku. "Aku benar-benar pergi ke Italia. Tahukah kau, aku
bahkan tak pernah pergi lebih jauh dari Alburquerque?"
Edward memutar bola matanya. "Mungkin sebaiknya kau tidur lagi. Kau masih
linglung." "Aku sudah tidak capek lagi." Pikiranku kembali jelas sekarang. "Jam berapa
sekarang" Sudah berapa lama aku tertidur?"
"Sekarang baru jam satu pagi lewat sedikit. Jadi, kira-kira empat belas jam."
Aku menggeliat saat Edward bicara. Tubuhku kaku sekali.
"Charlie?" tanyaku
Edward mengerutkan kening. "Tidur. Mungkin kau tahu saat ini aku melanggar
aturan. Well, teknisnya sih tidak, karena kata Charlie aku tidak boleh
menjejakkan kaki lagi melewati pintu, sementara aku masuk lewat jendela... Tapi
meski begitu, maksudnya sudah jelas."
"Charlie melarangmu datang ke sini?" tanyaku, perasaan tak percaya dengan cepat
melebur menjadi amarah. Sorot mara Edward sedih. "Memangnya apa yang kauharapkan?"
Sorot mataku marah. Aku harus bicara dengan ayahku-mungkin sekarang saat yang
tepat untuk mengingatkan ayahku bahwa secara hukum aku sudah dianggap dewasa.
Itu tidak berarti banyak tentu saja, kecuali dalam hal prinsip. Sebentar lagi
tidak ada lagi alasan untuk melarangku. Aku mengalihkan pikiran ke hal-hal lain
yang tidak terlalu menyakitkan.
"Ceritanya bagaimana?" tanyaku, benar-benar ingin tahu, sekaligus berusaha keras
menjaga agar obrolan terus berlangsung juga untuk menenangkan diriku sendiri,
supaya aku tidak membuat Edward kabur ketakutan oleh kerinduan menggebu-gebu
yang bergejolak dalam diriku.
"Apa maksudmu?"
"Aku harus menceritakan apa pada Charlie" Apa alasanku menghilang selama...
omong-omong berapa hari aku pergi?" Aku berusaha menghitung-hitung.
"Hanya tiga hari." Tatapan Edward mengeras, tapi kali ini senyumnya lebih alami.
"Sebenarnya, aku berharap kau punya penjelasan bagus. Soalnya aku tidak tahu
harus memberi alasan apa."
Aku mengerang. "Hebat."
"Well mungkin Alice bisa memberi alasan yang tepat," kata Edward, berusaha
menghibur hatiku. Dan aku merasa terhibur. Siapa yang peduli apa yang harus kuhadapi nanti" Setiap
detik ia di sini - begitu dekat, wajahnya yang sempurna berkilau dalam
keremangan cahaya yang dipantulkan angka-angka jam alarmku-sangatlah berharga
dan tidak patut disia-siakan.
"Jadi," aku memulai, memilih pertanyaan yang paling tidak penting-walaupun tetap
sangat menarik-sebagai permulaan. Aku sudah diantarkan dengan selamat sampai ke
rumah, jadi sebentar lagi Edward mungkin akan memutuskan untuk pergi, kapan
saja. Aku harus membuatnya terus bicara. Lagi pula, surga sementara ini tidak
sepenuhnya komplet tanpa suaranya. "Apa yang kaulakukan selama ini sampai tiga
hari yang lalu?" Wajah Edward langsung kecut. "Tidak ada yang menarik."
"Tentu saja tidak," gumamku.
"Mengapa kau mengernyitkan muka seperti itu?"
"Well.." aku mengerucutkan bibir, menimbang-nimbang. "Seandainya kau, misalnya,
hanya mimpi, jawaban seperti itulah yang pasti akan kauucapkan. Imajinasiku
pasti sudah mentok."
Edward mendesah. "Kalau aku menceritakannya padamu, apakah akhirnya kau akan
percaya bahwa kau tidak sedang bermimpi buruk?" ,
"Mimpi buruk!" ulangku sinis. Edward menunggu jawabanku.
"Mungkin," jawabku setelah berpikir sejenak. "Kalau menceritakannya padaku."
"Selama ini aku... berburu."
"Masa hanya itu yang kaulakukan?" kritikku.
"Itu jelas tidak membuktikan aku sudah terbangun."
Edward ragu-ragu, kemudian berbicara lambat-lambat, memilih kata-kata dengan
saksama. "Aku bukan berburu makanan... sebenarnya aku mencoba belajar... mencari
jejak. Aku kurang bagus dalam hal itu."
"Apa yang kaulacak?" tanyaku, tertarik.
"Bukan sesuatu yang penting." Kata-kata
Edward tidak sejalan dengan ekspresinya; ia tampak gelisah, tidak nyaman.
"Aku tidak mengerti."
Edward ragu-ragu; wajahnya, mengilat oleh bias hijau aneh lampu jam, tampak
terkoyak. "Aku-" Edward menarik napas dalam-dalam.
"Aku berutang maaf padamu. Tidak, tentu saja aku berutang banyak padamu, jauh
lebih banyak daripada itu. Tapi kau harus tahu-" kata-kata mulai mengalir sangat
cepat. Seingatku, beginilah cara Edward bicara bila sedang gelisah, sehingga aku
harus berkonsentrasi penuh untuk menangkap semuanya- "bahwa aku sama sekali
tidak tahu. Aku tidak menyadari kekacauan yang kutinggalkan. Kusangka kau aman
di sini. Sangat aman. Aku tidak mengira Victoria - " bibir Edward melengkung ke
belakang saat mengucapkan nama itu - "akan kembali. Harus kuakui, ketika
melihatnya waktu itu, aku lebih memerhatikan pikiran James. Tapi aku sama sekali
tidak melihat respons semacam ini dalam dirinya. Bahwa dia bahkan memiliki
hubungan dengan James. Kurasa aku mengerti sekarang - Victoria sangat yakin pada
James, jadi tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa James bisa gagal. Rasa
percaya diri yang terlalu berlebihanlah yang menutupi perasaannya terhadap James
- itu membuatku tidak melihat besarnya cinta Victoria kepada James, serta
hubungan batin yang terjalin di antara mereka.
"Bukan berarti tindakanku meninggalkanmu menghadapi bahaya semacam itu bisa
dimaafkan. Waktu aku mendengar apa yang kaukatakan pada Alice - apa yang
dilihatnya sendiri - waktu aku sadar ternyata kau sampai harus bergaul dengan
werewolf, werewolf yang tidak dewasa, kasar, makhluk terburuk lain selain
Victoria-" Edward bergidik dan serbuan kata-katanya terhenti sejenak.
"Ketahuilah, aku sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Aku merasa muak, muak
luar biasa, bahkan sampai sekarang, setiap kali aku bisa melihat dan merasakan
kau aman dalam pelukanku. Sungguh bodoh dan tolol aku ini-"
"Hentikan," aku memotong perkataannya. Edward menatapku sedih, dan aku berusaha
menemukan kata-kata yang tepat-yang akan membebaskan Edward dari kewajiban
rekaannya sendiri ini, yang membuatnya sangat menderita. Tidak mudah
mengutarakannya. Entah apakah aku bisa mengucapkannya tanpa menangis. Tapi aku
harus mencoba melakukannya dengan benar. Aku tidak mau menjadi sumber perasaan
bersalah dan kesedihan dalam hidupnya. Seharusnya Edward bahagia, tak peduli
bagaimana akibatnya bagiku.
Aku benar-benar berharap bisa menunda bagian terakhir pembicaraan kami ini.
Soalnya, ini hanya akan mengakhiri lebih cepat pertemuan kami.
Mengandalkan latihan selama berbulan-bulan untuk berusaha bersikap normal di
hadapan Charlie, aku memasang ekspresi datar.
"Edward," kataku. Mengucapkan namanya membuat tenggorokanku serasa terbakar. Aku
Pendekar Pemetik Harpa 3 Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 Sepasang Pedang Siluman 3
matahari yang mulai merekah di ufuk timur.
"Apa yang terjadi?" gumamku.
"Mereka sudah menolak permintaannya," kata Alice pelan. Aku langsung bisa
melihat antusiasme Alice lenyap sama sekali.
Suaraku tercekat di tenggorokkan karena panik. "Apa yang akan Edward lakukan?"
"Kacau sekali awalnya. Aku hanya bisa melihat sepotong-potong, rencananya
berubah-ubah sangat cepat."
"Apa saja rencananya?" desakku.
"Waktunya sangat tidak tepat," bisik Alice. "Awalnya dia memutuskan untuk
berburu." Alice menatapku, melihat mimik tak mengerti tergambar di wajahku.
"Di kota," ia menjelaskan. "Dia sudah hampir melakukannya. Tapi dia berubah
pikiran pada saat-saat terakhir."
"Dia tidak mau mengecewakan Carlisle," gumamku. Tidak pada akhirnya.
"Mungkin," Alice sependapat.
"Cukupkah waktunya?" Saat aku bicara, terasa ada perubahan tekanan udara dalam
kabin pesawat. Aku bisa merasakan pesawat mengurangi ketinggian.
"Mudah-mudahan cukup-kalau Edward tetap pada keputusan terakhirnya, mungkin."
"Apa itu?" "Mudah saja. Dia akan berdiri di bawah terik matahari."
Berdiri di bawah terik matahari. Hanya itu.
Itu saja sudah cukup. Bayangan Edward berdiri di tengah padang rumput-kulitnya
berkilauan dan berpendar-pendar seolah-olah terbuat dari jutaan berlian-terpatri
sangat jelas dalam ingatanku. Tak seorang manusia pun yang melihatnya akan
melupakannya. Keluarga Volturi tidak mungkin mengizinkan itu terjadi. Tidak bila
mereka ingin tetap merahasiakan keberadaan mereka di kota itu.
Kupandangi seberkas cahaya abu-abu yang menerobos masuk lewat jendela-jendela
terbuka. "Kita akan terlambat" bisikku, kerongkonganku tercekat oleh kepanikan.
Alice menggeleng. "Saat ini, dia cenderung ingin melakukan hal yang
melodramatis. Dia ingin dirinya ditonton sebanyak mungkin orang, jadi dia akan
memilih alun-alun utama, di bawah menara jam. Tembok-tembok di sana tinggi. Dia
akan menunggu sampai matahari tepat di atas kepala.
"Jadi kita punya waktu sampai tengah hari?"
"Kalau kita beruntung. Kalau dia tetap dengan keputusannya."
Suara pilot bergaung melalui interkom, mengumumkan, pertama dalam bahasa Prancis
lalu Inggris, bahwa kami akan segera mendarat. Lampu sabuk pengaman menyala
dengan suara berdenting. "Seberapa jauh perjalanan dari Florence ke Volterra?"
"Tergantung seberapa cepat kau menyetir... Bella?"
"Ya?" Alice menatapku dengan sikap spekulatif. "Bagaimana pendapatmu tentang pencurian
mobil mewah" Sebuah Porsche kuning terang berhenti dengan suara rem berdecit
nyaring beberapa meter di depanku yang berjalan mondar-mandir, tulisan TURBO
dengan huruf-huruf melengkung perak terpampang di bagian belakangnya. Semua
orang di trotoar bandara yang penuh sesak memerhatikan mobil itu.
"Cepat, Bella!" Alice berteriak tak sabar lewat jendela yang terbuka.
Aku berlari ke pintu dan melompat masuk, rasanya ingin sekali menutupi wajahku
dengan stoking hitam seperti pencuri.
"Ya ampun, Alice," keluhku. "Apa kau tidak bisa memilih mobil lain yang lebih
mencolok untuk dicuri?"
Interior mobil itu berlapis kulit hitam, dan jendela-jendelanya dilapisi kaca
film gelap. Rasanya lebih aman berada di dalam, seperti malam hari.
Alice meliuk-liukkan mobil, terlalu kencang, menerobos lalu lintas bandara yang
ramai- menyusup di antara ruang-ruang lowong tipis di antara mobil-mobil
sementara aku tegang ketakutan dan tanganku meraba-raba mencari sabuk pengaman.
"Pertanyaan yang lebih penting," Alice mengoreksi, "apakah aku tidak bisa
mencuri mobil lain yang bisa berlari lebih cepat, dan jawabannya tidak. Aku
beruntung." "Aku yakin akan sangat menenteramkan kalau jalan-jalan diblokir."
Alice tertawa keras. "Percayalah padaku, Bella. Kalaupun ada pemblokiran jalan,
itu terjadi di belakang kita." Diinjaknya pedal gas dalam-dalam, seolah ingin
membuktikan kata-katanya.
Mungkin seharusnya aku melihat-lihat pemandangan di luar jendela, ke kota
Florence kemudian Tuscan yang kulewati dengan sangat cepat hingga pemandangan
terlihat kabur. Ini perjalanan pertamaku ke mana pun, dan mungkin juga yang
terakhir. Tapi cara Alice menyetir membuatku ngeri, meskipun aku tahu aku bisa
memercayainya di balik kemudi. Dan aku terlalu tersiksa oleh perasaan gelisah
hingga tak ingin melihat perbukitan atau kota-kota berpagar tembok yang tampak
bagaikan kastil di kejauhan.
"Ada lagi yang kaulihat?"
"Ada sesuatu yang terjadi," gumam Alice.
"Semacam festival. Jalan-jalan dipenuhi orang dan bendera-bendera merah.
Sekarang tanggal berapa?"
Aku tidak yakin. "Tanggal sembilan belas, mungkin"'
"Well, ironis sekali. Ini hari Santo Marcus." "Berarti apa?"
Alice berdecak kesal. "Kota itu menyelenggarakan perayaan setiap tahun. Menurut
legenda, seorang misionaris Katolik, Pastor Marcus-Marcus dari Volturi,
begitulah-berhasil mengenyahkan semua vampir dari Voltetra 1500 tahun yang lalu.
Konon, sang pastor menjadi martir di Rumania, dalam upayanya menghilangkan
wabah. Tentu saja itu hanya omong kosong - vampir itu tidak pernah meninggalkan
kota. Tapi dari sanalah hal-hal takhayul seperti salib dan bawang putih berasal.
Pastor Marcus sukses menggunakannya. Dan vampir tak pernah mengganggu Volterra,
jadi pasti mujarab."
Alice sinis. "Itu lantas menjadi semacam perayaan di kota, dan penghargaan bagi
kepolisian - bagaimanapun, Volterra kota yang luar biasa aman. Polisilah yang
mendapat nama." Sadarlah aku apa yang dimaksud Alice dengan ironis. "Mereka
pasti tidak senang kalau Edward mengacaukan semuanya justru Pada Hari Santo
Marcus, kan?" Alice menggeleng, ekspresinya muram. Tidak. Mereka akan bertindak sangat cepat.
Aku membuang muka, berjuang melawan kegelisahan yang membuat gigiku ingin
menggigit bibir bawahku. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdarah.
Mengerikan, bagaimana matahari tampak sangat tinggi di langit yang biru pucat.
"Dia masih berencana menunggu sampai tengah hari?" tanyaku.
"Ya. Dia memutuskan untuk menunggu. Dan mereka menunggunya."
"Katakan padaku apa yang harus kulakukan."
Mata Alice tetap tertuju ke jalan yang berliku- jarum spidometer menyentuh angka
paling kanan pada piringan.
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Dia hanya harus melihatmu sebelum beranjak
ke tempat terang. Dan dia harus melihatmu sebelum melihatku."
"Bagaimana caranya?"
Mobil merah kecil tampak seperti ngebut dalam posisi mundur saat Alice melesat
menyalipnya. "Aku akan mengantarmu sedekat mungkin ke sana, kemudian kau harus berlari ke
arah yang kutunjukkan."
Aku mengangguk. "Usahakan agar tidak tersandung" Alice menambahkan. Tidak ada waktu untuk gegar
otak hari ini." Aku mengerang. Itu sangat khas aku- mengacaukan semuanya, menghancurkan dunia,
hanya gara-gara kikuk sesaat.
Matahari terus menanjak di langit sementara Alice berpacu menduluinya. Cahayanya
sangat terik, dan itu membuatku panik. Jangan-jangan Edward nanti merasa tak
perlu menunggu sampai tengah hari.
"Itu," kata Alice tiba-tiba, menuding kota kastil di puncak bukit terdekat.
Aku menatapnya, merasakan untuk pertama kalinya secercah ketakutan baru. Setiap
menit sejak kemarin pagi-rasanya seperti sudah seminggu yang lalu-saat Alice
mengucapkan namanya di kaki tangga, hanya ada satu ketakutan. Meski begitu,
sekarang, saat aku menatap tembok-tembok bata merah kuno serta menara-menara
yang menjulang di puncak bukit terjal, aku merasakan ketakutan lain yang lebih
egois merayapi hatiku. Menurutku kota itu sangat cantik. Namun kota itu benar-benar membuatku sangat
ketakutan. "Volterra," kata Alice dengan suara datar dan dingin.
20. VOLTERRA KAMI memulai pendakian yang terjal, dan jalanan makin lama makin sesak. Saat
jalan berkelok semakin tinggi, mobil-mobil berjajar berimpitan hingga sulit bagi
Alice untuk menyelip-nyelip di antara mereka. Laju mobil kami melambat dan mulai
merangkak di belakang Peugeot kecil cokelat.
"Alice," erangku. Jam di dasbor tampaknya bergerak semakin cepat.
"Hanya ini satu-satunya jalan masuk," Alice mencoba menenangkan. Tapi suaranya
terlalu tegang untuk bisa menenangkan
Mobil-mobil terus beringsut maju, setiap kali hanya mampu bergerak beberapa
puluh senti. Terik matahari begitu cemerlang, rasanya sudah berada tepat di atas
kepala. Mobil-mobil merayap satu per satu menuju kota. Setelah kami semakin dekat, aku
bisa melihat mobil-mobil diparkir di pinggir jalan dan orang-orang turun,
berjalan kaki. Mulanya kukira itu karena mereka tidak sabar-sesuatu yang bisa
kupahami. Tapi kemudian mobil melewati tikungan, dan aku bisa melihat lapangan
parkir di luar tembok kota, serta kerumunan orang berjalan melewati gerbang. Tak
ada yang diizinkan masuk dengan mengendarai mobil.
"Alice," bisikku mendesak.
"Aku tahu," jawabnya. Wajahnya seperti pahatan es.
Sekarang setelah aku menyadarinya, dan karena mobil merayap sangat lambat hingga
aku bisa melihat keadaan sekelilingku, ternyata hari sangat berangin. Orang-
orang yang berdesak-desakan menuju pintu gerbang mencengkeram topi erat-erat dan
menepis rambut dari wajah mereka. Pakaian mereka berkibaran. Aku juga melihat
warna merah di mana-mana. Baju merah, topi merah, bendera merah menjulur
bagaikan pita-pita panjang di samping gerbang, berkibar-kibar ditiup angin-
tepat di depan mataku, syal merah terang yang dililitkan seorang wanita di
rambutnya mendadak terbang tertiup angin. Syal itu terpilin ke udara,
menggeliat-geliat seperti makhluk hidup. Wanita itu meraih syalnya, melompat ke
udara, tapi syal itu berkibar lebih tinggi, seutas warna merah darah dengan
latar belakang dinding tembok kuno yang kusam.
"Bella" Alice berkata dengan nada rendah dan mendesak. "Aku tidak bisa melihat
apa yang akan diputuskan penjaga itu di sini-kalau aku tidak bisa masuk, kau
harus masuk sendiri. Kau harus berlari. Tanya saja jalan menuju Palazzo dei
Priori, dan berlarilah ke arah yang mereka tunjukkan. Jangan sampai tersesat."
"Palazzo dei Priori, Palazzo dei Priori," aku mengulang-ulang nama itu, berusaha
menghafalnya. "Atau 'menara jam', kalau mereka bisa berbahasa Inggris. Aku akan memutar dan
berusaha mencari tempat sepi di belakang kota supaya bisa memanjat tembok."
Aku mengangguk. "Palazzo dei Priori."
"Edward akan berada di bawah menara jam, di utara alun-alun. Di sebelah kanannya
ada gang sempit, dan dia menunggu di sana, di bawah bayang-bayang. Kau harus
menarik perhatiannya sebelum dia keluar ke bawah terik matahari."
Aku mengangguk-angguk cepat.
Alice sudah mendekati bagian depan barisan. Tampak seorang lelaki berserat biru
laut mengarahkan arus lalu lintas, membelokkan mobil-mobil menjauhi lapangan
parkir yang penuh. Mobil-mobil itu berputar arah dan kembali untuk mencari
tempat parkir di pinggir jalan. Lalu tibalah giliran Alice.
Lelaki berseragam itu menggerak-gerakkan tangannya dengan sikap ogah-ogahan,
tidak memerhatikan. Alice menekan pedal gas, menyusup di sampingnya, melaju
menuju gerbang. Lelaki itu meneriakkan sesuatu pada kami, tapi tetap berdiri di
tempat, melambai-lambaikan tangan kalang-kabut pada mobil berikut agar tidak
meniru kelakuan buruk kami.
Lelaki di pintu gerbang mengenakan seragam yang sama. Saat kami mendekat,
gerombolan turis melewati kami, memenuhi trotoar, memandang dengan sikap ingin
tahu Porsche mewah yang memaksa masuk itu.
Si penjaga berdiri tepat di tengah jalan.
Alice memiringkan mobil hati-hati sebelum berhenti. Sinar matahari menerpa
jendelaku, dan Alice terlindung oleh bayang-bayang. Dengan cekatan tangannya
terulur ke belakang kursi dan menyambar sesuatu dari dalam tasnya.
Penjaga itu menghampiri mobil dengan ekspresi kesal, lalu dengan marah mengetuk
kaca jendela Alice. Alice menurunkan kaca jendelanya separo, dan kulihat penjaga itu terperangah
sedikit begitu melihat wajah yang menyembul di balik kaca mobil yang gelap.
"Maaf hanya bus pariwisata yang diperkenankan masuk ke kota hari ini, Miss,"
kata penjaga itu dengan bahasa Inggris patah-patah yang berlogat kental. Nadanya
kini meminta maaf, seolah-olah menyesal harus menyampaikan kabar buruk pada
wanita yang sangat memesona.
"Ini tur pribadi," sahut Alice, menyunggingkan senyum memikat. Ia mengulurkan
tangan ke luar jendela, ke terik matahari. Aku menegang, sebelum kemudian sadar
bahwa ia mengenakan sarung tangan warna kulit sebatas siku. Alice meraih tangan
si penjaga yang masih terangkat sehabis mengetuk kaca jendelanya tadi, lalu
menariknya ke dalam mobil. Alice meletakkan sesuatu ke telapak tangan si
penjaga, lalu menutup jari-jarinya.
Wajah si penjaga tampak linglung waktu ia menarik kembali tangannya dan
memandangi gulungan tebal uang yang kini dipegangnya. Yang terluar adalah
lembaran seribu dolar. "Apakah ini lelucon?" gumam si penjaga.
Senyum Alice membutakan. "Hanya bila Anda menganggapnya lucu."
Penjaga itu menatap Alice, matanya membelalak lebar. Dengan gugup kulirik jam di
dasbor. Kalau Edward tetap dengan rencana semula, kami hanya punya waktu lima
menit. "Aku agak terburu-buru," ucap Alice, masih tersenyum.
Penjaga itu mengerjap dua kali, kemudian menyurukkan uang itu ke dalam rompinya.
Ia mundur selangkah menjauhi jendela dan melambaikan tangan, menyilakan kami
lewat. Tampaknya tak ada yang menyadari perpindahan uang secara diam-diam tadi,
Alice melaju memasuki kota, dan kami sama-sama mengembuskan napas lega.
Jalanan sangat sempit, dilapisi bebatuan yang warnanya sama dengan bangunan-
bangunan cokelat kayu manis pudar yang menutupi jalan dengan bayang-bayangnya.
Rasanya seperti yang menutupi berada di gang. Bendera-bendera merah menghiasi
dinding, satu sama lain hanya berjarak beberapa meter, berkibar-kibar ditiup
angin yang melengking di jalan sempit itu.
Jalanan penuh sesak, dan para pejalan kaki membuat laju kami terhambar.
"Tidak jauh lagi," Alice menyemangatiku;
tanganku mencengkeram pegangan pintu, siap meloncat ke jalan begitu mendapat
aba-aba dari Alice. Alice memacu mobil dengan cepat sambil sesekali mengerem mendadak, dan orang-
orang di jalan mengacungkan tinju mereka kepada kami dan meneriakkan kata-kata
bernada marah yang untungnya tidak kumengerti. Ia berbelok memasuki jalan kecil
yang tak mungkin diperuntukkan bagi mobil; orang-orang yang shock sampai harus
menempelkan tubuh rapat-rapat ke ambang pintu di pinggir jalan saat kami lewat.
Kami menemukan jalan lain di ujungnya. Bangunan-bangunan di sini lebih tinggi;
lantai teratas condong ke jalan dan bertemu di tengah sehingga tak ada sinar
matahari menyentuh trotoar-bendera-bendera merah yang berkibar di tiap-tiap sisi nyaris
bersentuhan. Kerumunan orang di sini bahkan lebih padat daripada di tempat lain.
Alice menghentikan mobil. Aku sudah membuka pintu sebelum mobil sepenuhnya
berhenti. Alice menuding ke jalan yang melebar ke sepetak ruang terbuka yang terang
benderang. "Di sana- kita sekarang di selatan alun-alun. Larilah menyeberangi
alun-alun, ke kanan menara jam. Aku akan mencari jalan memutar-"
Napas Alice mendadak terkesiap, dan saat ia bicara lagi; suaranya berupa
desisan. "Mereka ada di mana-mana!"
Aku langsung tegang, tapi Alice mendorongku keluar mobil. "Lupakan mereka.
Waktumu tinggal dua menit. Lari, Bella, lari!" teriaknya, turun dari mobil
sambil bicara. Aku tak sempat melihat Alice melebur dalam bayang-bayang. Aku juga tak sempat
menutup pintu mobil di belakangku. Kudorong seorang wanita yang menghalangi
jalanku dan berlari sekencang-kencangnya dengan kepala tertunduk, tidak
menggubris apa pun kecuali batu-batu tidak rata di bawah kakiku.
Keluar dari lorong yang gelap, mataku dibutakan cahaya matahari yang menyorot
tajam ke alun-alun utama. Angin menderu menerpaku, menerbangkan rambut hingga
menutupi mata dan semakin membutakan mataku. Tidak heran aku tidak melihat pagar
betis di depanku sampai aku menabraknya.
Tak ada ruang lowong, tak ada celah sedikit pun di antara tubuh-tubuh yang
saling berimpitan itu. Kudorong mereka dengan marah, melawan tangan-tangan yang
balas mendorongku. Kudengar seruan-seruan kesal dan bahkan jerit kesakitan saat
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku berjuang menerobos kerumunan, tapi tidak ada yang dilontarkan dalam bahasa
yang kukenal. Wajah-wajah kabur yang penuh amarah dan kekagetan, lagi-lagi
dikelilingi warna merah. Seorang wanita berambut pirang cemberut padaku, dan
syal merah yang melilit lehernya tampak seperti luka mengerikan. Seorang anak
yang dipanggul di atas bahu seorang laki-laki, menunduk dan nyengir padaku,
bibirnya terbuka, memamerkan taring vampir dari plastik.
Kerumunan itu mendesak-desakku, memutar badanku ke arah yang salah. Aku senang
ada menara jam yang bisa menjadi patokan, kalau tidak aku pasti sudah kehilangan
arah. Tapi kedua jarum jam yang terpampang di sana beringsut-ingsut mengarah ke
matahari yang tak kenal belas kasihan, dan walaupun aku mendorong kerumunan
sekuat tenaga, aku tahu aku terlambat. Aku balikan belum sampai setengah jalan.
Aku tidak akan berhasil. Aku tolol, lamban, dan aku manusia, dan kami semua akan
mati karenanya. Aku berharap Alice bisa keluar. Aku berharap Alice akan melihatku dari balik
bayang-bayang gelap dan tahu aku telah gagal, supaya ia bisa pulang ke Jasper.
Aku memasang telinga, berusaha mendengarkan di balik seruan-seruan bernada
marah, suara yang akan menjadi pertanda bahwa hal yang kutakutkan telah terjadi:
napas tertahan, mungkin teriakan, saat seseorang melihat Edward.
Namun saat itu ada celah di tengah kerumunan - aku bisa melihat ruang kosong di
depan. Cepat-cepat aku berlari menghampirinya, tidak menyadarinya sampai tulang
keringku memar menabrak bata. Rupanya ada kolam air mancur besar berbentuk
segiempat, tepat di tengah alun-alun.
Aku nyaris menangis lega saat mengayunkan kakiku ke pinggir kolam dan berlari
mengarungi air selutut. Air bercipratan di sekelilingku saat aku berlari
melintasi air kolam. Bahkan di bawah terik matahari, angin yang bertiup terasa
sangat dingin, dan basah membuat dingin itu menyakitkan. Tapi kolam air mancur
itu sangat lebar; aku jadi bisa menyeberangi pusat alun-alun hanya dalam
beberapa detik. Aku tidak berhenti saat mencapai sisi seberang-aku menggunakan
dinding kolam yang rendah sebagai tumpuan, dan melemparkan diri ke tengah
kerumunan. Kini orang-orang justru menghindariku, tak ingin terciprat air dingin yang
menetes-netes dari bajuku yang basah saat aku berlari. Aku menengadah, menatap
jam lagi. Dentang lonceng yang dalam dan menggemuruh bergaung ke segenap penjuru alun-
alun. Getarannya terasa hingga ke batu-batu di bawah kakiku. Anak-anak menangis,
menutup telinga. Dan aku mulai berteriak sambil berlari,
"Edward!" jeritku, tahu itu sia-sia. Kerumunan ini terlalu berisik, dan suaraku
terengah-engah karena lelah. Tapi aku tak bisa berhenti berteriak.
Jam kembali berdentang. Aku berlari melewati seorang anak dalam gendongan ibunya
- rambutnya nyaris putih di bawah cahaya matahari yang terik. Sekelompok lelaki
jangkung, semuanya mengenakan blazer merah, berteriak mengingatkan saat aku
menghambur menerobos mereka. Jam berdentang lagi.
Di balik para lelaki berblazer itu, tampak celah di tengah kerumunan, ruang
kosong di antara para pengunjung yang berdesak-desakan di sekelilingku. Mataku
menyapu lorong gelap di sebelah kanan alun-alun segiempat luas di bawah menara
jam. Aku tak bisa melihat jalan-terlalu banyak orang yang menghalangiku. Jam
kembali berdentang. Sulit melihat sekarang. Tanpa kerumunan yang menahan angin, angin menampar
wajahku dan membakar mataku. Entah itukah yang membuat air mataku merebak, atau
apakah aku menangis kalah saat jam kembali berdentang.
Sebuah keluarga kecil beranggotakan empat orang berdiri paling dekat dengan
mulut gang. Dua gadis mengenakan gaun merah, dengan pita senada menghiasi rambut
gelap mereka yang diikat ke belakang. Sang ayah tidak tinggi. Sepertinya aku
bisa melihat sesuatu yang benderang di keteduhan, tepat di atas bahunya. Aku
menghambur ke arah mereka, berusaha melihat dari balik air mataku yang pedih.
Jam berdentang, dan gadis terkecil menutup telinganya rapat-rapat.
Gadis yang lebih tua, tingginya hanya sepinggang ibunya, merangkul kaki sang ibu
dan memandang ke dalam bayang-bayang di belakang mereka. Kulihat gadis itu
menarik-narik siku ibunya dan menuding ke keteduhan. Jam berdentang, dan aku
sudah sangat dekat sekarang.
Aku sudah cukup dekat sehingga bisa mendengar suara si sadis kecil yang
melengking tinggi. Ayahnya menatapku terperanjat saat aku menghambur menghampiri
mereka, meneriakkan nama Edward berkali-kali dengan suara serak.
Si gadis yang lebih tua tertawa terkikik dan mengatakan sesuatu pada ibunya,
menuding lagi ke bayang-bayang dengan sikap tidak sabar.
Aku meliuk melewati sang ayah - ia buru-buru berkelit, mengamankan bayinya agar
tidak tertabrak olehku - dan berlari sekencang-kencangnya ke ruang gelap di
belakang mereka sementara jam berdentang nyaring di atas kepalaku.
"Edward, jangan!" jeritku, tapi suaraku hilang ditelan gemuruh lonceng yang
bergaung. Aku bisa melihatnya sekarang. Dan bisa kulihat bahwa ia tidak melihatku.
Itu benar-benar Edward, kali ini bukan halusinasi. Dan tahulah aku delusiku
ternyata lebih kacau daripada yang kusadari; bayanganku tentang Edward tak
seindah aslinya. Edward berdiri, tak bergerak seperti patung, hanya beberapa meter dari mulut
gang. Matanya terpejam, lingkaran di bawahnya berwarna ungu tua, kedua lengannya
terkulai rileks di sisi tubuhnya, telapak tangan mengarah ke atas. Ekspresinya
sangat damai, seolah sedang membayangkan hal-hal menyenangkan. Kulit dadanya
yang seperti marmer telanjang-sehelai kain putih teronggok dekat kakinya. Cahaya
yang memantul dari jalan alun-alun yang dilapisi batu gemerlap samar oleh kilau
yang terpantul dari kulitnya.
Belum pernah aku melihat pemandangan yang lebih indah daripada itu-bahkan saat
aku berlari, terengah-engah dan berteriak-teriak, tak urung aku terpesona. Dan
tujuh bulan terakhir tak berarti apa-apa. Kata-katanya di hutan dulu tak berarti
apa-apa. Bukan masalah bila ia tidak menginginkanku. Aku tidak akan pernah
menginginkan hai lain selain dirinya, tak peduli betapa pun lamanya aku hidup.
Jam berdentang, dan Edward melangkah lebar menuju cahaya.
"Tidak!" jeritku. "Edward, lihat aku!"
Edward tidak mendengarkan. Bibirnya tersenyum kecil. Ia mengangkat kakinya, siap
mengambil langkah yang akan membawanya langsung ke bawah sorotan matahari.
Aku menabraknya begitu keras hingga kekuatannya pasti akan membuatku tersungkur
ke tanah seandainya kedua lengannya tidak menangkap dan memegangiku. Benturan
itu membuatku kehabisan napas dan menyentakkan kepalaku ke belakang.
Mata Edward yang gelap perlahan-lahan terbuka sementara jam kembali berdentang.
Ia menunduk, menatapku dengan keterkejutan tanpa suara.
"Luar biasa," ucapnya, suaranya yang merdu itu terdengar takjub, sedikit geli.
"Carlisle benar."
"Edward," aku berusaha menarik napas, tapi tidak ada yang suara yang keluar.
"Kau harus kembali ke tempat teduh. Kau harus pindah!"
Edward tampak terpesona. Tangannya membelai pipiku lembut. Sepertinya ia tidak
sadar aku berusaha memaksanya kembali. Rasanya seperti mendorong tembok. Jam
berdentang tapi Edward tidak bereaksi.
Aneh sekali, padahal aku tahu saat itu kami berada dalam bahaya maut. Namun
detik itu aku merasa damai. Utuh. Aku bisa merasakan jantungku berpacu kencang
di dadaku, darah mendesir panas dan cepat mengisi pembuluh darahku lagi. Paru-
paruku dipenuhi aroma harum yang menguar dari kulitnya. Seakan-akan tak pernah
ada lubang di dadaku. Aku sempurna - bukan sembuh, karena seolah-olah memang tak
pernah ada luka di sana. "Aku tidak percaya prosesnya ternyata cepat sekali. Aku tidak merasa apa-apa,
hebat sekali mereka," renung Edward, memejamkan matanya lagi dan menempelkan
bibirnya ke rambutku. Suaranya bagaikan madu dan beledu. "Kematian, yang
mengisap madu dari desah napasmu, tak memiliki kuasa terhadir kecantikanmu,"
bisiknya, dan aku mengenali sebaris kalimat yang diucapkan Romeo di kuburan. Jam
berdentang untuk terakhir kali. "Aroma tubuhmu juga persis sama," sambung
Edward. "Jadi mungkin inilah neraka. Aku tidak peduli. Aku akan menerimanya."
"Aku belum mati," selaku. "Dan kau juga belum! Kumohon, Edward, kita harus
pindah. Mereka pasti tidak jauh dari sini!"
Aku memberontak dalam pelukannya, dan alis Edward bertaut bingung.
"Apa"' tanyanya sopan.
"Kita tidak mati, belum! Tapi kita harus pindah dari sini sebelum keluarga
Volturi..." Pemahaman berkelebat di wajahnya saat aku bicara. Belum lagi aku selesai bicara.
Edward tiba-tiba menarikku menjauhi tepi keteduhan, membalikkan badanku dengan
mudah hingga punggungku menempel di dinding bata, dan ia memunggungiku menghadap
ke gang. Kedua lengannya terbentang lebar, melindungi, di depanku.
Aku mengintip dari bawah lengannya dan melihat dua sosok hitam keluar dari balik
bayang-bayang. "Salam, Tuan-Tuan," suara Edward tenang dan ramah, di permukaan. "Kurasa aku
tidak membutuhkan layanan kalian hari ini. Aku akan sangat berterima kasih, bila
kalian bersedia menyampaikan ucapan terima kasihku kepada tuan-tuan kalian."
"Bagaimana kalau kita pindahkan pembicaraan ke tempat lain yang lebih memadai?"
suara halus berbisik dengan nada mengancam.
"Menurutku itu tidak perlu." Suara Edward lebih keras sekarang. "Aku tahu
instruksimu, Felix. Aku tidak melanggar aturan apa pun."
"Felix hanya bermaksud menegaskan keberadaan matahari," kata bayang-bayang lain
dengan nada menenangkan. Mereka tersembunyi di balik jubah abu-abu gelap yang
panjangnya mencapai tanah dan mengembang tertiup angin. "Mari kita cari tempat
yang lebih teduh." "Aku akan menyusul tepat di belakang kalian," ujar Edward kering. "Bella,
bagaimana kalau kau kembali ke alun-alun dan menikmati festival?"
"Tidak, bawa gadis itu," bayang-bayang pertama berkata entah bagaimana bisa
memperdengarkan nada mengerling dalam bisikannya.
"Kurasa tidak." Sikap pura-pura ramah yang ditunjukkan Edward langsung lenyap.
Suara Edward datar dan dingin. Ia sedikit mengubah posisi tubuhnya, dan bisa
kulihat ia siap-siap bertarung.
"Tidak." Aku hanya mampu menggerakkan mulut tanpa suara.
"Ssst," bisik Edward, ditujukan hanya padaku.
"Felix," bayang-bayang kedua, yang lebih bisa mengerti, mengingatkan. "Jangan di
sini." Ia berpaling kepada Edward. "Aro hanya ingin bicara lagi denganmu, kalau
kau sudah memutuskan untuk tidak lagi memaksa kami menuruti keinginanmu."
"Tentu saja," Edward setuju. "Tapi biarkan gadis ini pergi."
"Aku khawatir itu tidak mungkin," bayang-bayang sopan itu menyahut dengan sikap
menyesal. "Kami memiliki aturan yang harus ditaati."
"Kalau begitu aku khawatir tidak akan bisa menerima undangan Aro, Demetri."
"Baiklah kalau begitu," dengkur Felix. Mataku sudah bisa beradaptasi dengan
keadaan yang remang-remang, dan kulihat ternyata Felix bertubuh sangat besar,
tinggi dan tebal di bagian pundak. Ukuran tubuhnya mengingatkanku pada Emmett.
"Aro pasti kecewa," desah Demetri.
"Aku yakin dia pasti bisa mengatasi kekecewaannya," sahut Edward.
Felix dan Demetri beringsut semakin dekat ke mulut gang sedikit demi sedikit
memperlebar jarak di antara mereka sehingga bisa menyerang Edward dari dua sisi.
Mereka bermaksud memaksanya masuk lebih dalam ke lorong, untuk menghindari
keributan. Tak ada pantulan cahaya bisa menyentuh kulit mereka; keduanya aman di
balik jubah. Edward tidak bergerak sedikit pun. Ia menempatkan dirinya dalam bahaya karena
melindungiku. Tiba-tiba Edward menolehkan kepalanya dengan cepat, ke arah kegelapan lorong
yang berkelok-kelok. Demetri dan Felix melakukan hal yang sama, sebagai respons
atas suara atau gerakan yang terlalu halus untuk pancaindraku.
"Bagaimana bila kita menjaga sikap?" sebuah suara merdu mengalun menyarankan.
"Ada wanita di sini."
Alice melenggang ringan ke sisi Edward, pembawaannya tenang. Tak sedikit pun
tanda-tanda ketegangan dalam dirinya. Ia tampak begitu mungil, sangat rapuh.
Kedua lengannya yang kecil bergoyang-goyang seperti kanak-kanak.
Meski begitu, baik Demetri maupun Felix langsung menegakkan badan, jubah mereka
berputar pelan saat angin berembus sepanjang lorong. Wajah Felix berubah masam.
Rupanya mereka tidak suka bila keadaan berimbang.
"Kita tidak sendirian," Alice mengingatkan mereka.
Demetri menoleh ke belakang. Beberapa meter ke arah alun-alun, keluarga kecil
tadi, yang anak-anak perempuannya bergaun merah, memandangi kami. Si ibu
berbicara dengan nada mendesak pada suaminya, matanya tertuju pada kami berlima.
Ia membuang muka waktu Demetri melihat ke arahnya. Sang suami berjalan beberapa
langkah menuju alun-alun, dan menepuk bahu salah seorang lelaki berblazer merah.
Demetri menggeleng. "Kumohon, Edward, jangan mempersulit keadaan," ujarnya.
"Setuju," Edward menyetujui. "Dan kalau kita pergi dengan tenang sekarang, tidak
akan ada orang yang tahu."
Demetri mendesah frustrasi. "Setidaknya izinkan kami mendiskusikan masalah ini
secara lebih tertutup."
Enam lelaki berblazer merah sekarang bergabung dengan keluarga kecil tadi dan
memandangi kami dengan ekspresi waswas. Aku sangat khawatir dengan sikap
protektif Edward di depanku-pasti itulah yang memicu kecemasan orang-orang tadi.
Ingin rasanya aku berteriak pada mereka untuk lari.
Rahang Edward mengatup dengan suara keras. "Tidak."
Felix tersenyum. "Cukup." Suara itu tinggi, tajam dan datang dari belakang kami.
Aku mengintip dari bawah lengan Edward dan melihat sosok lain yang kecil dan
gelap, berjalan menghampiri kami. Menilik jubahnya yang mengembang, aku tahu itu
salah seorang dari mereka. Siapa lagi"
Awalnya kukira sosok itu bocah lelaki. Si pendatang baru itu semungil Alice,
dengan rambut cokelat pucat dan lemas yang dipangkas pendek. Tubuh di balik
jubahnya-yang berwarna lebih gelap, nyaris hitam-ramping dan memiliki
karakteristik feminin sekaligus maskulin. Tapi wajahnya terlalu cantik untuk
ukuran laki-laki. Wajahnya yang bermata lebar dan berbibir penuh itu bakal
membuat malaikat Botticelli terlihat bagaikan monster menyeramkan. Bahkan
walaupun iris matanya merah pucat.
Ukuran tubuhnya sangat tidak signifikan sehingga reaksi para vampir lain begitu
melihat kedatangannya membuatku bingung. Ketegangan Felix dan Demetri langsung
mencair, dan mereka mundur selangkah dari posisi mereka yang siap menyerang
melebur kembali dalam keremangan bayang-bayang bangunan yang bagian atasnya
menjorok ke jalan. Edward juga menurunkan kedua lengannya dan berubah rileks-tapi karena kalah.
"Jane," desahnya, nadanya mengenali
bercampur menyerah. Alice melipat kedua lengannya di dada, ekspresinya datar.
"Ikuti aku," kata Jane lagi, suaranya yang kekanak-kanakan terdengar monoton. Ia
berbalik dan melenggang tanpa suara memasuki kegelapan.
Felix melambaikan tangan pada kami, menyuruh kami berjalan duluan sambil
tersenyum mengejek. Alice langsung berjalan mengikuti Jane. Edward merangkul pinggangku dan
menarikku berjalan di sampingnya. Lorong yang kami lewati menikung sedikit ke
bawah dan semakin menyempit. Aku mendongak memandang Edward dengan berbagai
pertanyaan berkecamuk di mataku, tapi Edward hanya menggeleng. Meskipun aku tak
bisa mendengar yang lain-lain berjalan di belakang kami, aku yakin mereka ada di
sana. "Well, Alice," kata Edward dengan sikap seperti mengajak ngobrol sementara kami
berjalan. "Kurasa seharusnya aku tidak kaget melihatmu datang ke sini."
"Itu salahku," Alice menyahut dengan nada yang sama. "Jadi sudah kewajibanku
pula untuk meluruskannya."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Suara Edward sopan, seakan-akan tidak begitu
tertarik. Aku yakin pasti karena ada pihak-pihak lain yang ikut mendengarkan di
belakang kami. "Ceritanya panjang." Alice melirik sekilas ke arahku. "Singkatnya, dia memang
melompat dari tebing, tapi bukan karena mau bunuh diri. Belakangan ini Bella
menyukai olahraga ekstrem."
Wajahku memerah dan aku memandang lurus ke depan, menatap bayang-bayang gelap
yang tak bisa lagi kulihat. Bisa kubayangkan apa yang didengar Edward dalam
pikiran Alice sekarang. Nyaris tenggelam, diburu vampir-vampir, berteman dengan werewolf...
"Hm," ucap Edward pendek, dan nadanya tidak lagi terdengar biasa-biasa saja.
Lorong meliuk-liuk, masih terus menurun, jadi aku tidak melihat jalan itu buntu
hingga kami sampai di depan tembok bata yang datar dan tak berjendela. Vampir
mungil bernama Jane tadi tidak terlihat.
Tanpa ragu dan tanpa menghentikan langkah sedikit pun. Alice melenggang menuju
dinding. Kemudian dengan tangkas ia menyelinap masuk ke lubang yang menganga di
jalan. Kelihatan seperti saluran limbah, menjorok di titik terendah jalan yang berbatu.
Aku tidak menyadarinya sampai Alice mendadak lenyap, tapi kisi-kisi penutupnya
digeser separuh. Lubang itu kecil dan gelap gulita.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku langsung mogok. "Tidak apa-apa, Bella," kara Edward pelan. Alice akan menangkapmu."
Kupandangi lubang itu dengan sikap ragu. Kurasa Edward pasti akan turun lebih
dulu, kalau saja tidak ada Demetri dan Felix menunggu, sinis dan diam, di
belakang kami. Aku berlutut dan meringkuk, mengayunkan kedua kakiku ke lubang yang sempit.
"Alice?" bisikku, suaraku gemetar.
"Aku di sini, Bella," Alice meyakinkanku. Suaranya terdengar terlalu jauh di
bawah hingga tak berhasil menenangkan hatiku.
Edward memegangi pergelangan tanganku- tangannya terasa seperti batu di musim
dingin- lalu menurunkan aku ke kegelapan.
"Siap?" tanyanya.
"Lepaskan dia," seru Alice.
Aku memejamkan mata sehingga tidak bisa melihat kegelapan, menutupnya rapat-
rapat dengan penuh ketakutan, mengatupkan mulut agar tidak menjerit. Edward
menjatuhkanku. Aku jatuh tanpa suara, tak jauh dari atas lubang. Udara mendesir melewatiku
selama setengah detik, kemudian, tepat ketika aku mengembuskan napas keras-
keras, kedua lengan Alice yang sudah menunggu menangkapku.
Tubuhku pasti bakal memar-memar; lengan Alice sangat keras. Ia membantuku
berdiri tegak. Suasana di dasar lubang remang-remang, tapi tidak gelap gulita. Cahaya dari
lubang di atas membiaskan kilauan samar, terpancar basah dari batu-batu di bawah
kakiku. Cahaya sempat hilang sedetik, dan sejurus kemudian wajah Edward yang
putih samar-samar muncul di sampingku. Ia merangkul pundakku, memelukku rapat di
sisinya, dan mulai menggiringku maju dengan cepat. Aku melingkarkan kedua
lenganku di pinggangnya yang dingin, berjalan tersandung-sandung dan tersaruk-
saruk di permukaan batu yang tidak rata. Suara kisi-kisi berat digeser menutupi
saluran limbah di belakang kami, berdentang mantap dan keras.
Cahaya remang-remang dari jalan dengan cepat hilang ditelan kegelapan. Suara
langkah-langkah kakiku yang tersaruk-saruk bergaung di ruangan yang gelap
gulita; kedengarannya sangat lebar, tapi aku tak yakin. Tak ada suara apa-apa
selain debar jantungku yang berpacu cepat serta kakiku menginjak batu-batu
basah-kecuali satu kali, waktu aku mendengar desahan tidak sabar berbisik di
belakangku. Edward memelukku erat-erat. Dengan tangan satunya ia memegang wajahku, ibu
jarinya yang halus menyusuri bibirku. Sesekali aku merasa ia menempelkan
wajahnya ke rambutku. Aku sadar ini mungkin satu-satunya kesempatan kami, jadi
aku merapatkan diriku lebih dekat padanya.
Saat ini rasanya seakan-akan ia menginginkanku, dan itu sudah cukup untuk
menghalau kengerian yang kurasakan, berada di terowongan bawah tanah, bersama
para vampir di belakang kami. Mungkin itu tidak lebih daripada perasaan
bersalah-perasaan bersalah jugalah yang mendorong Edward datang ke sini untuk
mati karena ia yakin gara-gara dialah aku bunuh diri. Tapi aku merasakan
bibirnya diam-diam menempel di keningku, dan aku tak peduli apa motivasinya.
Setidaknya aku bisa bersamanya lagi sebelum aku mati. Itu lebih baik daripada
umur panjang. Seandainya saja aku bisa menanyakan apa persisnya yang terjadi sekarang. Aku
ingin sekali tahu bagaimana kami akan mati-seolah-olah keadaan bisa lebih baik
dengan tahu lebih dulu. Tapi aku tak bisa bersuara meskipun dengan berbisik
karena kami dikelilingi vampir lain. Yang lain-lain bisa mendengar semuanya-
setiap tarikan napasku, setiap detak jantungku.
Jalan setapak di bawah kaki kami terus menurun, membawa kami lebih dalam ke
perut bumi, dan itu membuatku merasa dicekam ketakutan pada ruang sempit. Untung
ada tangan Edward yang terasa menenangkan di wajahku, hingga aku tidak menjerit.
Aku tidak tahu dari mana cahaya itu berasal, tapi perlahan-lahan suasana di
sekelilingku mulai berwarna abu-abu gelap, tak lagi hitam pekat.
Kami berada di terowongan melengkung yang rendah. Cairan hitam pekat merembes
keluar dari batu-batu kelabu, seolah-olah mengeluarkan tinta.
Tubuhku gemetar, dan kurasa itu karena ketakutan. Baru setelah gigi-gigiku
gemeletuk aku menyadari itu karena aku kedinginan. Bajuku masih basah, dan suhu
di bawah kota dingin menusuk Begitu pula kulit Edward.
Edward menyadari hal itu pada saat yang bersamaan denganku, lalu ia melepaskan
pelukannya dan hanya menggandengku saja.
"T-t-tidak," kataku dengan gigi gemeletuk, merangkul pinggangnya lagi. Aku tak
peduli meskipun tubuhku membeku. Siapa yang tahu berapa lama lagi waktu yang tersisa"
Tangan dingin Edward menggosok-gosok lenganku, berusaha menghangatkanku.
Kami bergegas menyusuri terowongan, atau bagiku rasanya seperti bergegas.
Langkah-langkahku yang lamban membuat jengkel seseorang - kurasa pasti Felix -
dan aku mendengarnya mendesah jengkel sesekali.
Di ujung terowongan tampak kisi-kisi-batang-batang besinya sudah berkarat, tapi
setebal lenganku. Pintu kecil yang terbuat dari batang-batang besi yang lebih
tipis dan saling berkaitan terbuka lebar. Edward merunduk melewatinya dan
bergegas memasuki ruangan lain yang lebih besar dan terang. Pintu besi itu
terbanting menutup dengan suara berdentang nyaring, diikuti bunyi gerendel
dipasang. Aku terlalu takut untuk melihat ke belakang.
Di sisi lain ruangan terdapat pintu kayu rendah yang berat. Pintu itu sangat
tebal-aku bisa melihatnya karena pintu itu juga terbentang lebar.
Kami melangkah melewati pintu itu, dan aku memandang berkeliling dengan
terkejut, dan memiliki kulit sewarna zaitun-kelihatan aneh dikombinasikan dengan
raut wajah mereka yang pucat seperti kapur. Rambut hitam Felix dipangkas pendek,
sementara rambut Demetri tergerai lepas berombak-ombak ke bahunya. Mata mereka
merah tua di bagian pinggir, tapi semakin gelap hingga nyaris hitam di sekitar
pupil. Di balik jubah, baju mereka modern, pucat, dan biasa. Aku mengkeret di
sudut, menempel pada Edward. Tangannya masih menggosok-gosok lenganku. Matanya
tak pernah lepas memandangi Jane.
21. VONIS KAMI berada di aula yang terang benderang dan tidak mencolok. Dindingnya putih
kusam, lantainya dilapisi karpet abu-abu. Lampu-lampu neon persegi panjang
terpasang dalam jarak yang sama di sepanjang langit-langit. Hawa di sini lebih
hangat, dan aku bersyukur karenanya. Ruangan ini tampak sangat ramah
dibandingkan saluran pembuangan limbah berdinding batu yang gelap dan mengerikan
tadi. Sepertinya Edward tidak sependapat dengan penilaianku. Matanya memandang garang
ke lorong aula yang panjang, ke sosok kurus hitam yang berdiri di ujung sana,
dekat lift. Ia menarikku bersamanya, sementara Alice berjalan di sisiku yang lain. Pintu
yang berat menutup dengan suara berderit di belakang kami, kemudian terdengar
bunyi gerendel digeser. Jane menunggu di dekat lift, sebelah tangan memegangi pintu agar tetap terbuka
untuk kami. Ekspresinya apatis.
Begitu masuk ke lift, tiga vampir yang bekerja untuk keluarga Volturi terlihat
semakin rileks. Mereka menyingkapkan jubah mereka, membiarkan penutup kepala terbuka dan
terkulai di pundak. Baik Felix maupun Demetri sama-sama otomatis langsung
rileks. Di sampingku Edward menegang, dagunya mengeras kaku.
Perjalanan dengan lift singkat saja; kami
melangkah memasuki ruangan yang kelihatannya seperti ruang penerimaan tamu yang
mewah. Dinding-dindingnya berlapis panel kayu, lantainya ditutup karpet tebal
empuk berwarna hijau. Tak ada jendela, tapi lukisan-lukisan besar bergambar
pemandangan daerah pedesaan Tuscan yang diterangi cahaya lampu benderang
tergantung di mana-mana sebagai pengganti jendela. Sofa-sofa kulit berwarna
lembut ditata membentuk kelompok-kelompok yang nyaman, dan meja-meja mengilap
dihiasi vas-vas kristal penuh karangan bunga berwarna-warni meriah. Aroma bunga-
bunga itu mengingatkanku pada rumah duka.
Di tengah ruangan berdiri konter tinggi mengilap dari kayu mahoni. Aku ternganga
keheranan melihat seorang wanita berdiri di baliknya.
Wanita itu bertubuh tinggi, dengan kulit gelap dan mata hijau. Ia akan terlihat
sangat cantik di perusahaan lain-tapi tidak di sini. Karena ia juga manusia,
sama seperti aku. Aku tidak mengerti apa yang dikerjakan wanita manusia itu di
sini, sikapnya begitu rileks, dikelilingi para vampir.
Wanita itu tersenyum sopan menyambut kedatangan kami. "Selamat siang, Jane,"
sapanya. Tidak ada keterkejutan di wajahnya saat ia melirik rombongan Jane.
Tidak juga Edward yang dada telanjangnya berkilau samar tertimpa cahaya lampu
putih, atau bahkan aku, yang acak-acakan dan sangat jelek bila dibandingkan
dengannya. Jane menangguk. "Gianna." Ia terus berjalan
menuju sepasang pintu ganda di bagian belakang ruangan, dan kami semua
mengikuti. Saat Felix melewati meja. ia mengedipkan mata pada Gianna, dan wanita itu
tertawa. Di sisi dalam pintu kayu itu terdapat ruang penerimaan tamu lain yang berbeda
jenisnya. Bocah lelaki pucat bersetelan abu-abu mutiara bisa dikira kembaran Jane.
Rambutnya lebih gelap, dan bibirnya tidak sepenuh bibir Jane, namun sama
memikatnya. Ia maju menghampiri kami. Sambil tersenyum tangannya terulur pada
Jane. "Jane." "Alec," sahut Jane memeluk pemuda itu. Mereka berciuman pipi. Kemudian pemuda
itu menatap kami. "Mereka mengirimmu keluar untuk membawa satu tapi kau kembali dengan membawa
dua... setengah," kata pemuda itu, menatapku. "Bagus sekali."
Jane tertawa-suaranya ceria seperti celotehan bayi.
"Selamat datang kembali, Edward," Alec menyapanya. "Sepertinya suasana hatimu
sudah lebih baik." "Sedikit," Edward membenarkan dengan nada datar. Kulirik wajah Edward yang
keras, dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana mungkin suasana hatinya bisa
lebih buruk dari sekarang.
Alec terkekeh, dan memerhatikan aku yang menempel erat di sisi Edward. "Jadi,
inikah si pembuat heboh itu?" tanyanya, skeptis.
Edward hanya tersenyum, ekspresinya sinis. Kemudian tubuhnya mengejang.
"Bodoh," ucap Felix dengan nada biasa-biasa saja dari belakang.
Edward berbalik, geraman rendah terdengar dari dadanya. Felix tersenyum -
tangannya terangkat, telapak tangan mengarah ke atas; ia menekukkan jari-jarinya
dua kali, mengundang Edward untuk maju.
Alice menyentuh lengan Edward. "Sabar," ia mengingatkan.
Mereka bertukar pandang cukup lama, dan aku berharap bisa mendengar apa yang
dikatakan Alice padanya. Menurutku pasti ada hubungannya dengan tidak menyerang
Felix, karena Edward menarik napas dalam-dalam dan berpaling kembali pada Alec.
"Aro pasti sangat senang bisa bertemu lagi denganmu," kata Alec, seolah tidak
terjadi apa-apa. "Kalau begitu jangan biarkan dia menunggu terlalu lama," saran Jane.
Edward mengangguk satu kali.
Alec dan Jane, bergandengan tangan, berjalan mendului kami memasuki aula lain
yang luas dan sarat hiasan-apakah ruangan ini ada ujungnya"
Mereka mengabaikan pintu-pintu di ujung aula - pintu-pintu itu seluruhnya
dilapisi emas - berhenti di tengah jalan sebelum mencapai ujungnya, dan
menggeser panel yang menutupi pintu kayu polos. Pintu itu tidak terkunci. Alec
membukakannya untuk Jane.
Aku ingin mengerang saat Edward menarikku memasuki pintu itu. Kami memasuki
ruangan yang lagi-lagi terbuat dan batu tua seperti yang ada di alun-alun, di
lorong, dan di saluran pembuang limbah. Suasananya juga gelap dan dingin.
Ruang peralihan dari batu itu tidak besar. Di baliknya ada ruangan lain yang
lebih terang dan besar menyerupai gua, bentuknya bulat sempurna, seperti menara
kasti yang besar... mungkin benar ini menara. Dua lantai ke atas, tampak dua
jendela berbentuk celah memanjang, membuat cahaya matahari yang menerobos
melaluinya jatuh dalam bentuk persegi panjang di lantai batu di bawahnya. Tidak
ada cahaya buatan. Satu-satunya perabot di ruangan itu hanyalah beberapa kursi
kayu besar seperti singgasana, yang diletakkan tidak beraturan, rata dengan
dinding batu yang melengkung. Di pusat lingkaran, di cekungan pendek, terdapat
saluran pembuangan limbah lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati apakah mereka
menggunakannya sebagai jalan keluar, seperti lubang di jalan.
Ruang itu tidak kosong. Segelintir orang berkumpul, tampaknya sedang mengobrol
santai. Gumaman suara-suara pelan dan halus terdengar bagai dengungan lembut di
udara. Saat aku melihat, sepasang wanita pucat bergaun musim panas berhenti di
bawah sepetak cahaya matahari, dan, seperti prisma, kulit mereka membiaskan
pendar cahaya pelangi ke dinding-dinding cokelat kusam.
Wajah-wajah memesona itu menoleh begitu rombongan kami memasuki ruangan.
Sebagian besar makhluk abadi itu mengenakan celana panjang dan kemeja biasa - pokoknya, pakaian yang
tidak akan terlihat mencolok di jalan-jalan di bawah sana. Namun lelaki yang
pertama kali berbicara mengenakan jubah panjang. Warnanya hitam pekat, dan
menyapu lantai. Aku sempat mengira rambut hitam kelamnya yang panjang adalah
tudung jubahnya. "Jane, Sayang, kau sudah kembali!" seru lelaki itu senang. Suaranya terdengar
seperti desahan lirih. Lelaki itu melenggang maju, dan gerakannya begitu luwes sampai-sampai aku
ternganga, mulutku terbuka lebar. Bahkan Alice, yang setiap gerakannya terlihat
seperti menari, tidak bisa menandinginya.
Aku lebih terperangah lagi saat lelaki itu melenggang lebih dekat dan aku bisa
melihat wajahnya. Tidak seperti wajah-wajah menarik tapi tidak natural yang
mengelilinginya (karena ia tidak menghampiri kami sendirian; seluruh rombongan
mengerubunginya dengan rapat, beberapa mengikuti di belakang, yang lain berjalan
mendahuluinya dengan sikap waspada khas pengawal). Aku tidak bisa menentukan
apakah wajahnya tampan atau tidak. Garis-garis wajahnya memang sempurna. Tapi ia
berbeda dari para vampir di sampingnya, sama seperti mereka
berbeda denganku. Kulitnya putih transparan, seperti mereka berbeda denganku.
Kulitnya putih transparan, seperti kulit bawang, dan tampak sama rapuh-kelihatan
sangat kontras dengan rambut hitam panjang yang membingkai wajahnya. Aku
merasakan dorongan aneh yang mengerikan untuk menyentuh pipinya, untuk merasakan
apakah kulitnya lebih lembut daripada kulit Edward atau Alice, dan bila diraba
apakah terasa halus, seperti kapur. Matanya merah, sama seperti makhluk-makhluk
lain di sekitarnya, tapi warnanya berselaput, keruh seperti susu; aku penasaran
apakah pandangannya terganggu oleh selaput itu.
Vampir itu melenggang menghampiri Jane, merengkuh wajah Jane dengan tangannya
yang berlapis kulit setipis kertas, mendaratkan kecupan ringan di bibir tebal
Jane, lalu melenggang mundur selangkah.
"Ya, tuan," Jane tersenyum; ekspresinya
membuatnya terlihat seperti bocah malaikat. "Aku membawanya kembali hidup-hidup
seperti yang Anda inginkan."
"Ah, Jane." Vampir itu tersenyum. "Kau sungguh menenteramkan hatiku."
Ia mengarahkan matanya yang berkabut ke arah kami, dan senyumnya semakin cerah-
menjadi girang. "Dan Alice dan Bella juga!'' soraknya, bertepuk tangan dengan tangannya yang
kurus. "Ini benar-benar kejutan yang menggembirakan! Hebat!
Kupandangi vampir itu, shock mendengarnya menyebut nama kami dengan sikap ramah,
seolah-olah kami teman lama yang mampir tanpa diduga-duga.
Vampir itu berpaling pada pendamping kami yang bertubuh besar. "Felix, tolong
sampaikan kepada saudara-saudaraku tentang kedatangan tamu-tamu kita. Aku yakin
mereka pasti tidak ingin melewatkan kesempatan ini"
"Baik, Tuan" Felix mengangguk dan lenyap di balik pintu tempat kami masuk tadi.
"Kaulihat, Edward?" Vampir aneh itu menoleh dan tersenyum pada Edward, seperti
kakek yang sayang tapi marah pada cucunya. "Apa kubilang" Kau senang kan, aku
tidak mengabulkan permintaanmu kemarin?"
"Ya, Aro, aku senang," Edward membenarkan, mempererat pelukannya di pinggangku.
"Aku suka akhir yang membahagiakan." Aro mendesah. "Itu sangat jarang terjadi.
Tapi aku ingin mendengar cerita selengkapnya. Bagaimana itu bisa terjadi"
Alice?" Ia berpaling kepada Alice, sorot ingin tahu terpancar dari matanya yang
berkabut. Saudaramu sepertinya menganggapmu tidak mungkin salah, tapi jelas ada
kesalahan." "Oh, aku masih jauh dari sempurna." Alice
menyunggingkan senyum memesona. Ia tampak sangat santai, hanya saja kedua
tangannya terkepal erat. "Seperti yang Anda lihat hari ini, aku menyebabkan
masalah sesering aku menyelesaikannya."
"Kau terlalu rendah hati," cela Aro. "Aku sudah sering melihat bakatmu yang luar
biasa, dan harus kuakui, bakatmu benar-benar unik. Hebat!"
Alice melirik sekilas kepada Edward. Itu tidak luput dari perhatian Aro.
"Maaf, kita belum berkenalan, bukan" Aku
hanya merasa seperti sudah mengenalmu, dan aku cenderung suka mendului.
Saudaramu memperkenalkan kita kemarin, dengan cara yang aneh. Begini, aku juga
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki sebagian bakat seperti yang dimiliki saudaramu, hanya saja aku memiliki
batasan, sedangkan dia tidak." Aro menggelengkan kepala; nadanya iri.
"Dan juga jauh lebih kuat," Edward menambahkan dengan nada kering. Ditatapnya
Alice sementara ia menjelaskan dengan cepat. "Aro membutuhkan kontak fisik untuk
bisa mendengarkan pikiranmu, tapi dia bisa mendengar lebih banyak daripada aku.
Kau tahu aku hanya bisa mendengarkan pikiran yang sedang melintas dalam
pikiranmu saat ini. Aro bisa mendengar semua pikiran yang pernah singgah di
kepalamu. Alice mengangkat alisnya yang indah, dan Edward menelengkan kepala.
Itu juga tak luput dari perhatian Aro.
"Tapi bisa mendengar dari jauh..." Aro mendesah, melambaikan tangan pada mereka
berdua, dan pertukaran pikiran yang baru saja terjadi. "Itu akan sangat
menyenangkan." Aro memandang ke balik bahu kami. Semua kepala ikut berpaling ke arah yang sama,
termasuk Jane, Alice dan Demetri, yang berdiri tanpa suara di sebelah kami.
Aku yang terakhir menoleh. Felix sudah kembali, dan di belakangnya melenggang
dua lelaki berjubah hitam. Keduanya sangat mirip dengan Aro, salah satunya
bahkan juga berambut hitam tergerai. Yang satunya bahkan juga berambut hitam
tergerai. Yang satunya lagi berambut putih terang seperti salju - seputih
wajahnya - yang tergerai lepas ke bahu. Kulit wajah mereka sama-sama setipis
kertas. Lengkap sudah trio yang tergambar pada lukisan Carlisle, tidak berubah
meski tiga ratus tahun telah berlalu semenjak lukisan itu dibuat.
"Marcus, Caius. lihat!" seru Aro. "Bella ternyata masih hidup, dan Alice datang
bersamanya! Hebat, bukan?"
Tak seorang pun di antara mereka tampak setuju dengan pemilihan kata hebat yang
digunakan Aro. Si vampir berambut hitam terlihat sangat bosan, seakan-akan sudah
terlalu sering menyaksikan antusiasme Aro yang meluap-luap selama berabad-abad.
Wajah vampir yang lain masam di bawah rambutnya yang seputih salju.
Ketidaktertarikan yang mereka tunjukkan tak mengurangi semangat Aro.
"Mari kita dengar ceritanya bersama-sama," Aro nyaris berdendang dengan suaranya
yang sehalus bulu. Si vampir tua berambut putih menjauh, melenggang menghampiri salah satu
singgasana kayu. Yang lain berhenti di sebelah Aro, dan ia mengulurkan tangan,
mulanya kukira hendak meraih tangan Aro. Tapi ia hanya menyentuh telapak tangan
Aro sekilas dan kemudian menjatuhkan tangannya kembali. Aro mengangkat sebelah
alisnya yang hitam. Aku jadi heran bagaimana kulitnya yang setipis kertas itu
tidak remuk oleh gerakan tersebut.
Edward mendengus sangat pelan, dan Alice memandanginya, ingin tahu.
"Terima kasih, Marcus," ujar Aro. "Itu sangat menarik,"
Sadarlah aku, sedetik terlambat, bahwa Marcus membiarkan Aro mengetahui
pikirannya. Marcus kelihatannya tidak tertarik. Ia melenggang menjauhi Aro, mendekati vampir
satunya yang pastilah bernama Caius, yang duduk menempel di dinding. Dua vampir
yang mendampinginya mengikuti tanpa suara di
belakangnya-pengawal, seperti yang sudah kuduga sebelumnya. Aku bisa melihat dua
wanita bergaun musim panas yang berdiri mengapit Caius dengan sikap sama. Agak
konyol menurutku bila vampir membutuhkan pengawal, tapi mungkin para vampir tua
itu sama rapuhnya seperti yang ditunjukkan kulit mereka.
Aro menggelengkan kepala. "Luar biasa," ucapnya. "Benar-benar luar biasa."
Ekspresi Alice frustrasi. Edward berpaling padanya dan menjelaskan dengan
ringkas dan suara pelan. "Marcus bisa melihat hubungan. Dia terkejut melihat
betapa kuatnya hubungan kita."
Aro tersenyum. "Sangat menyenangkan," ulangnya lagi. Lalu ia berbicara pada
kami. "Agak sulit membuat Marcus terkejut, aku bisa memastikan."
Kutatap wajah Marcus yang datar seperti mayat, dan aku percaya.
"Sungguh sulit dimengerti, bahkan sekarang," renung Aro, menatap lengan Edward
yang melingkari pinggangku. Sulit bagiku mengikuti jalan pikiran Aro yang ruwet.
Aku berusaha mengikuti dengan susah payah. "Bagaimana kau bisa berdiri sedekat
itu dengannya?" "Bukan berarti mudah," jawab Edward tenang.
"Namun tetap saja - la tua cantante! Sungguh mubazir!"
Edward tertawa datar, "Aku menganggapnya lebih sebagai harga yang harus
dibayar." Aro merasa skeptis. "Harga yang sangat tinggi."
"Kesempatan memang berharga mahal."
Aro terbahak. "Kalau saja aku tidak bisa mencium aromanya melalui pikiranmu, aku
tidak mungkin percaya godaan terhadap darah seseorang bisa sekuat itu. Aku
sendiri belum pernah merasakan hal seperti itu. Kebanyakan kita rela menukar apa
saja untuk dapat memiliki anugerah sebesar itu, tapi kau malah... "
"Menyia-nyiakannya," Edward menyelesaikan kata-kata Aro, suaranya kini terdengar
sinis. Lagi-lagi Aro terbahak. "Ah, betapa kangennya aku pada sobatku, Carlisle! Kau
mengingatkan aku padanya - hanya saja dia tidak segalak kau."
"Carlisle jauh melebihi aku dalam banyak hal lain."
"Tak pernah terpikir olehku, aku akan pernah melihat Carlisle kehilangan kendali
diri, tapi kau membuatnya malu."
"Itu tidak benar." Edward terdengar tidak sabar. Seolah-olah ia muak dengan
basa-basi ini. Itu membuatku semakin takut; mau tak mau aku jadi berusaha
membayangkan apa yang ia harapkan bakal terjadi.
"Aku senang melihat kesuksesannya," renung Aro. "Kenanganmu mengenainya adalah
anugerah bagiku, meski itu membuatku sangat takjub. Aku heran karena ternyata
aku... justru senang melihat kesuksesannya di jalan tak lazim yang dipilihnya.
Kukira dia akan tersia-sia, melemah seiring berjalannya waktu. Aku sempat
mencela rencananya menemukan pihak-pihak lain yang setuju dengan pandangannya
yang aneh. Namun bagaimanapun aku senang karena ternyata aku keliru."
Edward tidak menanggapi. "Tapi pertahanan dirimu!" Aro mendesah. "Aku tidak tahu kekuatan sehebat itu
ternyata ada. Membiasakan diri mengabaikan godaan sedahsyat itu, bukan hanya
sekali melainkan berkali-kali- seandainya tidak merasakannya sendiri, aku pasti
tidak akan percaya."
Edward membalas pandangan kagum Aro tanpa ekspresi. Aku cukup mengenali wajahnya
- waktu tidak banyak mengubahnya - untuk mengetahui bahwa di balik ekspresinya
yang tenang, tersimpan amarah yang menggelora. Susah payah aku berusaha
mempertahankan napasku tetap tenang.
"Hanya mengingat bagaimana dia begitu menggairahkan bagimu... " Aro terkekeh.
"Membuatku haus."
Edward mengejang. "Jangan merasa terganggu," Aro meyakinkannya. "Aku tidak bermaksud
mencelakakannya. Tapi aku sangat ingin tahu, mengenai satu hal secara khusus."
Ia menatapku dengan sikap sangat tertarik. "Bolehkah?" tanyanya penuh semangat,
mengangkat sebelah tangan.
"Tanya saja padanya." Edward menyarankan
dengan nada datar. "Tentu saja, kurang ajar benar aku!" seru Aro. "Bella," ia berbicara sendiri
padaku sekarang. "Aku takjub karena kau satu-satunya yang merupakan pengecualian
terhadap bakat Edward yang mengagumkan itu-sungguh sangat menarik hal semacam
itu bisa terjadi! Dan aku jadi ingin tahu. Berhubung bakat kami serupa dalam
banyak hal, apakah kau mau berbaik hati mengizinkan aku untuk mencoba-melihat
apakah kau merupakan pengecualian bagiku juga?"
Mataku serta-merta melirik Edward dengan penuh ketakutan. Meski bertanya dengan
sikap sopan yang berlebihan, aku tak yakin aku punya pilihan. Ngeri rasanya
membayangkan mengizinka Aro menyentuhku, namun tak urung diam-diam aku tertarik
oleh kesempatan menyentuh kulitnya yang aneh ini.
Edward mengangguk menyemangati-apakah karena ia yakin Aro tidak akan
mencelakakanku, atau karena memang tak ada pilihan aku tidak tahu.
Aku berpaling kembali pada Aro dan mengangkat tanganku pelan-pelan di hadapanku.
Tanganku gemetar. Aro melenggang menghampiriku, dan aku yakin ia sengaja memasang mimik tenang
untuk meyakinkan aku. Namun garis-garis wajahnya kelewat aneh, terlalu asing dan
menakutkan, untuk dapat meyakinkan aku. Mimik wajahnya lebih percaya diri
daripada kata-katanya tadi.
Aro mengulurkan tangan, seperti hendak menjabat tanganku, dan menempelkan
kulitnya yang aneh ke kulitku. Kulitnya terasa keras sekaligus rapuh-lebih
menyerupai serpih daripada granit-dan lebih dingin daripada yang kukira.
Matanya yang berkabut tersenyum
memandangiku, dan mustahil bagiku untuk mengalihkan pandangan. Matanya memesona
dengan cara yang ganjil dan tidak menyenangkan.
Wajah Aro berubah di depan mataku. Rasa percaya diri itu goyah dan mula-mula
menjadi keraguan, baru kemudian tidak percaya sebelum akhirnya tenang kembali,
membentuk topeng ramah. "Sangat menarik," ucapnya sambil melepaskan tanganku dan kembali ke tempatnya.
Mataku berkelebat memandang Edward, dan, walaupun wajahnya tenang, ia tampak
sedikit puas pada diri sendiri.
Aro terus dalam ekspresi menerawang. Sesaat ia diam, matanya berkelebat menatap
kami bertiga. Kemudian tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya.
"Ini pertama kalinya," katanya pada diri sendiri. "Aku jadi penasaran apakah dia
juga imun terhadap bakat-bakat kita yang lain... Jane, Sayang?"
"Tidak!" Edward mengucapkan kata itu sambil menggeram Alice menyambar lengannya,
memeganginya. Edward menepiskannya.
Si mungil Jane tersenyum bahagia pada Aro.
"Ya, Tuan?" Edward benar-benar menggeram sekarang, suara itu terlontar dari dalam dirinya,
matanya menatap Aro garang dengan sorot berapi-api. Ruangan sunyi senyap, semua
memandanginya dengan tercengang dan tak percaya, seolah-olah ia melakukan
sesuatu yang sangat memalukan dan tak bisa diterima. Kulihat Felix menyeringai
penuh harap dan maju satu langkah. Aro meliriknya, dan Felix langsung menegang,
seringaiannya berubah jadi ekspresi merajuk.
Lalu ia berbicara kepada Jane. "Aku ingin tahu, sayangku, apakah Bella imun
terhadapmu." Aku nyaris tak bisa mendengar suara Aro karena geraman marah Edward. Edward
melepaskan aku, bergerak untuk menyembunyikanku dari pandangan mereka. Caius
melayang ke arah kami, bersama rombongannya, untuk menonton.
Jane berbalik menghadapi kami dengan senyum memesona tersungging di wajah.
"Jangan!" pekik Alice saat Edward menerjang gadis mungil itu.
Sebelum aku sempat bereaksi, sebelum semua orang lain bisa melompat ke tengah
mereka, sebelum para pengawal Aro sempat mengejang, Edward sudah terjatuh ke
lantai Tak ada yang menyentuhnya, tapi ia tergeletak di lantai baru, menggeliat-geliat
kesakitan, semenara aku menatapnya dengan penuh kengerian.
Jane hanya tersenyum padanya sekarang, dan mendadak aku mengerti. Inilah yang
dimaksud Alice mengenai bakat luar biasa, mengapa semua orang memperlakukan Jane
dengan hormat dan mengapa Edward melemparkan diri di depannya sebelum Jane bisa
melakukannya terhadapku. "Hentikan!" aku menjerit, suaraku bergema dalam kesunyian, melompat ke depan di
antara mereka. Tapi Alice merangkulku sekuat-kuatnya dengan kedua tangan, tak
peduli aku meronta-ronta. Tidak ada suara yang keluar dari bibir Edward saat ia
menggeliat-geliat di lantai batu. Kepalaku serasa mau pecah karena tidak tega
melihatnya. "Jane," Aro memanggilnya dengan suara tenang. Jane mendongak cepat masih
tersenyum senang, matanya bertanya-tanya. Begitu memalingkan wajah, Edward
berhenti menggeliat-geliat.
Aro menelengkan kepala ke arahku.
Jane mengarahkan senyumnya padaku.
Aku bahkan tidak membalas tatapannya. Aku memandangi Edward dari dekapan tangan
Alice, masih meronta-ronta tanpa hasil.
"Dia tidak apa-apa," bisik Alice padaku dengan suara kaku. Saat Alice berbicara
Edward duduk, lalu berdiri dengan tangkas. Matanya menatap mataku, sorot matanya
tampak ketakutan Awalnya kukira ketakutan itu karena apa yang batu saja
dialaminya. Tapi kemudian ia berpaling cepat ke arah Jane, lalu kembali padaku -
dan ketegangan di wajahnya mengendur, berubah lega.
Aku memandangi Jane juga dan ia tidak lagi tersenyum. Ia menatapku garang,
dagunya mengeras oleh kuatnya ia berkonsentrasi. Aku mengkeret, menunggu
datangnya rasa sakit. Tidak terjadi apa-apa. Edward sudah berdiri di sampingku lagi. Disentuhnya lengan Alice dan Alice
menyerahkanku padanya. Tawa Aro meledak. "Ha, ha, ha," tawanya. "Hebat sekali!"
Jane mendesis frustrasi, mencondongkan tubuh ke depan, seolah-olah bersiap
menerjang. "Jangan kecewa, Sayang," kata Aro dengan nada menenangkan, meletakkan tangannya
yang seringan bedak ke bahu Jane. "Dia mengacaukan kita semua"
Bibir atas Jane melengkung ke belakang, memamerkan giginya sementara ia terus
menatapku garang. "Ha, ha, ha," lagi-lagi Aro terbahak. "Kau sangat berani, Edward, menahan sakit
tanpa suara. Aku pernah meminta Jane melakukannya padaku satu kali - hanya
karena ingin tahu." Ia menggeleng kagum. Edward melotot, jijik.
"Jadi mau kita apakan kau sekarang?" Aro mendesah.
Edward dan Alice mengejang. Ini bagian yang mereka tunggu-tunggu sejak tadi. Aku
mulai gemetar. "Kurasa tidak ada kemungkinan kau berubah pikiran?" Aro bertanya pada Edward
dengan sikap penuh harap. "Bakatmu akan menjadi tambahan yang sangat baik untuk
kelompok kecil kami."
Edward ragu-ragu. Dari sudut mata kulihat Felix dan Jane meringis.
Edward seakan menimbang setiap kata dengan seksama, sebelum mengucapkannya.
"Kurasa... tidak... usah."
"Alice?" tanya Aro, masih berharap. "Mungkin kau tertarik bergabung dengan
kami?" "Tidak, terima kasih," jawab Alice.
"Dan kau, Bella?" Aro mengangkat alisnya.
Edward mendesis, rendah di telingaku, kutatap Aro dengan pandangan kosong.
Apakah ia bergurau" Atau ia benar-benar serius menanyakan apakah aku ingin
tinggal untuk makan malam"
Kesunyian itu dikoyakkan oleh suara Caius, si vampir berambut putih.
"Apa?" tuntutnya pada Aro; suaranya, meski tak lebih dari sekadar bisikan,
Terdengar datar. "Caius, masa kau tidak melihat potensi di sini?"
Aro mencelanya dengan sikap sayang. 'Aku belum pernah melihat bakat prospektif
lain yang sangat menjanjikan sejak kita menemukan Jane dan Alec. Dapatkah
kaubayangkan kemungkinannya bila dia menjadi salah seorang di antara kita?"
Caius membuang muka dengan ekspresi sengit. Mata Jane berapi-api karena
tersinggung dibanding-bandingkan.
Edward menahan marah di sampingku. Aku bisa mendengar gemuruh di dadanya, yang
nyaris menjadi geraman. Aku harus berusaha agar amarahnya tidak membuatnya
celaka. "Tidak, terima kasih," aku angkat bicara dengan suara yang tak lebih dari
bisikan, suaraku gemetar karena takut.
Aro mendesah. "Sayang sekali. Sungguh sia-sia."
Edward mendesis. "Bergabung atau mati, begitu" Aku sudah bisa menduganya waktu
kami dibawa ke ruangan ini. Hukummu tidak berarti apa-apa."
Nada suara Edward membuatku terkejut. Ia terdengar berang, tapi ada sesuatu yang
disengaja dalam cara penyampaiannya-seolah-olah ia memilih kata-kata yang akan
ia ucapkan dengan begitu saksama.
"Tentu saja tidak," Aro mengerjap, terperangah. "Kami memang sudah berkumpul di
sini, Edward, menunggu Heidi kembali. Bukan karena kau."
"Aro," Caius mendesis. "Hukum mengklaim mereka."
Edward menatap Caius garang, "Bagaimana bisa?" tuntutnya. Dia pasti bisa membaca
pikiran Caius, tapi sepertinya bertekad membuatnya mengutarakan pikiran itu
dengan suara keras. Caius mengacungkan telunjuknya yang panjang kurus padaku. "Dia terlalu banyak
tahu. Kau sudah mengekspos rahasia kita." Suaranya setipis kertas, sama seperti
kulitnya. "Di sini juga ada beberapa manusia dalam sandiwara kalian," Edward mengingatkan
Caius, dan ingatanku langsung melayang pada resepsionis cantik di bawah.
Wajah Caius terpilin membentuk ekspresi baru. Apakah itu dimaksudkan sebagai
senyuman" "Benar," ia sependapat. "Tapi kalau mereka sudah tidak kami butuhkan lagi,
mereka akan menjadi pemuas dahaga kami. Bukan begitu rencanamu untuk gadis yang
satu ini Kalau dia membocorkan rahasia kita, apakah kau siap menghabisinya"
Kurasa tidak," dengusnya.
"Aku tidak akan-" aku membuka mulut, masih berbisik. Caius membungkamku dengan
tatapan dingin.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau juga tidak berniat menjadikannya salah satu dari kita," lanjut Caius.
"Dengan begitu, dia ancaman bagi eksistensi kita. Meski ini benar, dalam hal ini
hanya hiduplah yang dikorbankan. Kau boleh pergi kalau memang mau."
Edward menyeringai, menunjukkan gigi-giginya.
"Sudah kukira," kata Caius, dengan ekspresi menyerupai kegembiraan. Felix
mencondongkan tubuh, bersemangat.
"Kecuali..." Aro menyela. Kelihatannya ia tidak senang dengan arah pembicaraan
ini. "Kecuali kau memang berniat memberinya keabadian?"
Edward mengerucutkan bibir, ragu-ragu sesaat sebelum menjawab. "Dan kalau itu
benar?" Aro tersenyum, kembali senang. "Yah, kalau begitu kau boleh pulang dan
menyampaikan salamku pada sobatku Carlisle." Ekspresinya berubah ragu. "Tapi aku
khawatir kau harus bersungguh-sungguh dengan ucapanmu."
Aro mengangkat tangan di hadapannya. Caius, yang awalnya memberengut marah,
berubah rileks. Bibir Edward mengejang membentuk garis marah. Ia menatap mataku, dan aku
membalas tatapannya. "Ucapkan dengan sungguh-sungguh," bisikku.
"Kumohon." Sebegitu menjijikkannyakah ide itu" Apakah Edward lebih suka mati daripada
mengubahku" Perutku seperti ditendang.
Edward menunduk menatapku dengan ekspresi tersiksa.
Kemudian Alice melangkah menjauhi kami, maju mendekati Aro. Kami menoleh dan
menatapnya. Tangannya terangkat seperti Aro.
Alice tidak mengatakan apa-apa, dan Aro melambaikan tangan kepada para
pengawalnya yang bergegas datang untuk menghalangi Alice. Aro menemui Alice di
tengah, dan meraih tangannya dengan mata memancarkan kilau tamak dan penuh
semangat. Aro menunduk ke atas tangan mereka yang saling menyentuh mata terpejam saat
berkonsentrasi. Alice diam tak bergerak, wajahnya kosong. Aku mendengar Edward
menggertakkan gigi. Semua diam tak bergerak. Aro seakan membeku di atas tangan Alice. Detik demi
detik berlalu dan semakin lama aku semakin tertekan, bertanya-tanya sampai kapan
ini akan terus berlangsung, apakah waktu sudah berlalu terlalu Uma Se belum itu
berarti sesuatu yang buruk telah terjadi-lebih buruk daripada keadaan sekarang.
Waktu terus berjalan dan terasa menyiksa, dan sejurus kemudian suara Aro
mengoyak keheningan. "Ha, ha, ha," ia tertawa, kepalanya masih tertunduk ke depan. Ia mendongak
perlahan-lahan, matanya cemerlang oleh kegembiraan. "Itu sangat menakjubkan!"
Alice tersenyum kering. "Aku senang Anda menikmatinya."
"Melihat berbagai hal yang telah kaulihat-
terutama peristiwa-peristiwa yang belum terjadi!" Aro menggeleng-geleng takjub.
"Tapi akan terjadi," Alice mengingatkan,
suaranya kalem. "Ya, ya, itu sudah ditentukan. Tentu tidak ada masalah." Caius
tampak sangat kecewa - perasaan yang tampaknya juga dirasakan Felix dan Jane.
"Aro," tegur Caius.
"Caius Sayang," Aro tersenyum. "Jangan cerewet. Coba pikirkan kemungkinan-
kemungkinannya! Mereka memang tidak bergabung dengan kita hari ini, tapi kita
selalu bisa berharap di masa mendatang. Coba bayangkan kegembiraan yang akan
dibawa hanya oleh Alice saja ke keluarga kecil kita... Lagi pula, aku juga
sangat ingin melihat bagaimana jadinya Bella nanti!"
Aro tampak yakin sekali. Apakah ia tidak sadar betapa subjektifnya penglihatan
Alice" Bahwa ia bisa memutuskan untuk mengubahku hari ini, kemudian mengubahnya
besok" Sejuta keputusan kecil, baik keputusannya maupun keputusan banyak pihak
lain - juga Edward - dapat saja
mengubah jalan hidupnya, sehingga dengan demikian, masa depan pun akan ikut
berubah. Dan apakah ada artinya bila Alice bersedia, apakah ada bedanya bila aku benar-
benar berubah menjadi vampir, bila itu justru menjijikkan bagi Edward" Bila
kematian, baginya, merupakan alternatif yang lebih baik daripada memilikiku di
sisinya selamanya, menjadi gangguan yang abadi" Meski sangat ketakutan, aku
merasa diriku terbenam dalam perasaan depresi, tenggelam di dalamnya...
"Kalau begitu kami boleh pergi sekarang?" tanya Edward datar.
"Ya, ya," jawab Aro riang. "Tapi datanglah lagi kapan-kapan. Ini benar-benar
mengasyikkan!" "Dan kami juga akan mengunjungi kalian," Caius berjanji, matanya tiba-tiba
separuh terpejam, seperti tatapan kadal yang kelopak matanya tebal. "Untuk
memastikan kalian menepati bagian kalian. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan
menunda terlalu lama. Kami tidak pernah menawarkan kesempatan kedua."
Rahang Edward mengeras, tapi ia mengangguk.
Caius tersenyum sinis dan melenggang kembali ke tempat Marcus masih duduk, tidak
bergerak dan tidak tertarik.
Felix mengerang. "Ah, Felix," Aro tersenyum geli. "Sebentar lagi Heidi datang. Sabarlah."
"Hmmm," Ada semacam kecemasan dalam suara Edward. "Kalau begitu, mungkin
sebaiknya kami pergi saja sekarang."
"Benar," Aro sependapat. "Itu ide bagus. Kecelakaan bisa saja terjadi Tapi
kumohon kau mau menunggu di bawah sampai hari gelap, kalau kau tidak keberatan."
"Tentu saja," Edward setuju, sementara aku meringis membayangkan harus menunggu
seharian sebelum bisa keluar dari sini.
"Dan ini," Aro menambahkan, memberi isyarat kepada Felix dengan satu jari. Felix
langsung datang menghampirinya, dan Aro membuka jubah abu-abu yang dikenakan
vampir bertubuh besar itu, melepasnya dari pundaknya. Dilemparkannya jubah itu
pada Edward. "Ambillah. Kau agak terlalu menarik perhatian."
Edward memakai jubah itu, menurunkan penutup kepalanya.
Aro mendesah. "Cocok untukmu."
Edward tertawa, tapi mendadak terdiam, menoleh ke belakang. "Terima kasih, Aro.
Kami akan menunggu di bawah."
"Selamat jalan, sobat-sobat muda," kata Aro, matanya cemerlang saat ia memandang
ke arah yang sama. "Ayo kita pergi," kata Edward, nadanya mendesak sekarang.
Demetri memberi isyarat agar kami mengikutinya, kemudian beranjak menuju pintu
tempat kami datang tadi. Tampaknya, itu satu-satunya jalan keluar.
Edward menarik tanganku dan berjalan cepat-cepat. Alice merapat di sisiku yang
lain, wajahnya keras. "Masih kurang cepat," gumamnya.
Aku mendongak padanya, ketakutan, tapi Alice hanya tampak sedih. Saat itulah
pertama kalinya aku mendengar celotehan orang-orang mengobrol- keras dan kasar-
terdengar dari arah ruang depan.
"Well, ini tidak biasa," dentum suara kasar seorang laki-laki.
"Sangat abad pertengahan," balas seorang wanita dengan suaranya yang melengking
tinggi dan tidak enak didengar.
Serombongan besar orang melewati pintu yang kecil, memenuhi ruangan berdinding
baru yang lebih kecil. Demitri memberi isyarat pada kami agar menepi. Kami
menempel rapat-rapat di dinding yang dingin untuk memberi jalan pada mereka.
Pasangan yang berjalan paling depan, orang-orang Amerika kalau mendengar
aksennya, memandang berkeliling dengan sikap menilai.
"Selamat datang, Tamu-Tamu! Selamat datang di Volterra!" Aku bisa mendengar Aro
berseru riang dari ruangan menara yang besar.
Anggota rombongan lain, jumlahnya mungkin empat puluh atau lebih, berbaris masuk
setelah pasangan tadi. Beberapa mengamati keadaan sekelilingnya seperti turis.
Beberapa bahkan memotret. Yang lain-lain tampak bingung, seolah-olah cerita yang
membawa mereka ke ruangan ini sekarang tak lagi masuk akal. Perhatianku tertarik
pada wanita mungil berkulit gelap. Di lehernya melingkar rosario, dan wanita itu
mencengkeram salib erat-erat dengan satu tangan. Ia berjalan lebih lambat daripada yang lain,
sesekali menyentuh anggota rombongan lain dan bertanya dalam bahasa yang tidak
kumengerti. Sepertinya tidak ada yang memahaminya, dan suara wanita itu
terdengar semakin panik. Edward menarik wajahku ke dadanya, tapi terlambat. Aku sudah mengerti.
Begitu ada celah yang memungkinkan untuk lewat, Edward cepat-cepat mendorongku
ke arah pintu. Aku bisa merasakan ekspresi ngeri tergurat di wajahku, dan air
mataku mulai menggenang. Aula emas penuh ukiran itu sunyi, kosong tanpa kehadiran siapa pun, kecuali
seorang wanita jelita yang tampak bagai patung. Ia memandangi kami dengan sikap
ingin tahu, utama aku. "Selamat datang kembali, Heidi," Demetri menyapa dari belakang kami.
Heidi tersenyum sambil lalu. Ia mengingatkanku pada Rosalie, meski tidak mirip
sama sekali- hanya karena kecantikannya juga begitu luar biasa, tak terlupakan.
Aku bagai tak mampu mengalihkan tatapan.
Wanita itu berpakaian begitu rupa untuk
semakin menonjolkan kecantikannya. Kakinya yang luar biasa panjang tampak lebih
gelap dalam balutan stoking, terpampang jelas di balik rok mininya yang
superpendek. Blusnya berlengan panjang dan berleher tinggi namun sangat ketat,
dan terbuat dari vinyl merah. Rambut panjangnya yang sewarna kayu mahoni itu
mengilap, dan bola matanya berwarna ungu aneh-warna yang hanya mungkin
dihasilkan lensa kontak biru yang menutupi iris berwarna merah.
"Demetri," wanita itu balas menyapa dengan
suara selembut sutra, matanya berkelebat dari wajahku ke jubah abu-abu yang
dikenakan Edward. "Boleh juga hasil pancingannya," puji Demetri padanya, dan mendadak aku memahami
dandanannya yang mencolok... ia bukan hanya pemancing, tapi sekaligus juga
umpan. "Trims." Heidi menyunggingkan senyum
memesona. "Kau tidak ikut?"
"Sebentar lagi. Sisakan beberapa untukku."
Heidi mengangguk dan merunduk melewati pintu sambil melayangkan pandangan ingin
tahu sekali lagi ke arahku.
22. PENERBANGAN DEMETRI meninggalkan kami di ruang penerimaan ramu yang mewah dan ceria itu,
tempat wanita bernama Gianna bertugas di balik konter yang mengilat. Musik yang
merdu dan ramah mengalun dari pengeras suara yang tersembunyi.
"Jangan keluar sebelum gelap," Demetri mengingatkan kami.
Edward mengangguk, dan Demetri bergegas pergi.
Gianna sama sekali tak terkejut mendengar perkataan itu, meski matanya mengawasi
jubah yang dipinjam Edward dengan mata menyipit, berspekulasi.
"Kau baik-baik saja.'' tanya Edward pelan,
terlalu pelan untuk bisa didengar oleh wanita manusia itu. Suaranya kasar-kalau
beledu bisa dibilang kasar - oleh perasaan cemas. Pasti karena masih tertekan
oleh situasi kami, pikirku.
"Sebaiknya segera dudukkan dia sebelum jatuh," kata Alice. Sepertinya dia akan
kehilangan kendali."
Edward berjalan sangat cepat hingga aku harus berlari-lari untuk bisa
mengimbanginya. Tapi belum lagi kami berhasil mencapai pintu berukir di ujung
aula, pekik jerit itu telah dimulai.
Saat itu barulah aku sadar tubuhku gemetar, bergetar kuat, sekujurku berguncang
sampai gigiku gemeletukan dan ruangan di sekelilingku berputar dan pandanganku
kabur. Selama sedetik sempat aku bertanya dalam hati, seperti inikah yang Jacob
rasakan sesaat sebelum meledak menjadi werewolf.
Aku mendengar suara yang tidak masuk akal, bunyi robekan aneh, meningkahi musik
merdu yang mengalun di latar belakang. Karena tubuhku terguncang hebat, aku tak
bisa memastikan dari mana suara itu berasal.
"Ssstt, Bella, ssstt, bisik Edward sambil
menarikku ke sofa paling jauh dari pandangan manusia yang ingin tahu di meja.
"Kurasa dia histeris. Mungkin sebaiknya
kautampar saja dia," Alice menyarankan. Edward memandangnya sekilas dengan
kalut. Kemudian aku mengerti. Oh. Itu suaraku. Bunyi robekan itu ternyata isak tangis
yang keluar dari dadaku. Itulah yang membuat tubuhku berguncang-guncang.
"Tidak apa-apa, kau aman, tidak apa-apa," bujuk Edward berkali-kali. Ia
mengangkatku ke pangkuannya dan menyelubungi tubuhku dengan jubah wolnya yang
tebal, melindungiku dari kulitnya yang dingin.
Aku tahu sungguh tolol bereaksi seperti ini. Siapa yang tahu sampai kapan aku
bisa melihat wajahnya" Ia selamat, aku selamat, dan ia bisa meninggalkan aku
begitu kami bebas. Dengan mata dipenuhi air mata seperti ini hingga aku tak bisa
melihat garis-garis wajahnya dengan jelas adalah kesia-siaan-kegilaan.
Namun di balik mataku, tempat air mata tak dapat menghapus bayangan itu, aku
masih dapat melihat wajah putih seorang wanita mungil yang mencengkeram rosario.
"Orang-orang itu," seduku.
"Aku tahu," bisik Edward.
"Sungguh mengerikan."
"Ya. memang. Seandainya kau tidak melihatnya tadi."
Aku membaringkan kepalaku di dadanya yang dingin, menyeka maniku dengan jubah
yang tebal. Aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali, berusaha menenangkan
diri. "Ada yang bisa kubantu?" sebuah suara bertanya sopan. Ternyata Gianna,
mencondongkan tubuh di balik bahu Edward dengan raut wajah prihatin namun tetap
profesional sekaligus menjaga jarak. Tampaknya ia sama sekali tidak merasa risi
berada hanya beberapa sentimeter dari vampir yang galak. Entah ia benar-benar
tidak menyadarinya, atau sangat baik dalam menjalankan tugasnya.
'Tidak," Edward menjawab dingin.
Gianna mengangguk, tersenyum padaku, kemudian menghilang.
Aku menunggu sampai ia jauh. "Apakah dia tahu apa yang berlangsung di sini?"
tanyaku, suaraku pelan dan parau. Aku mulai bisa menguasai diri, tarikan napasku
mulai tenang. "Ya. Dia tahu semuanya," Edward menjawab pertanyaanku.
"Tahukah dia bahwa mereka akan membunuhnya suatu hari nanti?"
"Dia tahu kemungkinannya begitu," jawab Edward.
Jawabannya membuatku terkejut.
Wajah Edward sulit dibaca. "Dia berharap
mereka akan memutuskan untuk mempertahankannya."
Aku merasa darah surut dari wajahku. "Dia ingin menjadi salah satu dari mereka?"
Edward mengangguk, matanya tajam menatap wajahku, mengamati reaksiku.
Aku bergidik. "Bagaimana mungkin dia menginginkan hal itu?" bisikku, lebih
ditujukan pada diriku sendiri, bukan karena ingin mendapat jawaban. "Bagaimana
mungkin dia bisa setega itu, melihat orang-orang digelandang memasuki ruangan
mengerikan itu, dan ingin menjadi bagian dari semua itu?"
Edward tidak menjawab. Ekspresinya berkerut, merespons perkataanku barusan.
Saat aku menatap wajahnya yang begitu rupawan, berusaha memahami perubahannya,
mendadak terpikir olehku bahwa aku benar-benar berada di sini, dalam pelukan
Edward, betapapun singkatnya, dan bahwa kami tidak-saat ini - hendak dibunuh.
"Oh, Edward," isakku, dan aku menangis lagi. Reaksi yang benar-benar tolol. Air
mataku terlalu deras sehingga aku tak bisa melihat wajahnya lagi, dan itu tak
bisa dimaafkan. Padahal jelas aku hanya punya waktu sampai matahari terbenam.
Bagaikan kisah dongeng, dengan tenggat waktu yang akan mengakhiri keajaiban.
"Ada apa?" tanya Edward, masih cemas, membelai-belai punggungku dengan tepukan-
tepukan lembut. Aku merangkul lehernya - apa hal terburuk yang bisa ia lakukan" Paling-paling
mendorongku jauh-jauh-dan merapatkan tubuh lebih dekat lagi padanya. "Apakah aku
gila bila aku justru merasa bahagia sekarang?" tanyaku. Suaraku tercekat.
Edward tidak mendorongku. Ia malah mendekapku erat-erat di dadanya yang sekeras
es, begitu eratnya hingga aku sulit bernapas, bahkan dengan paru-paruku yang
telah utuh kembali. "Aku sangat mengerti maksudmu," bisiknya. "Tapi kita punya
banyak alasan untuk bahagia. Salah satunya, karena kita hidup."
"Ya." aku setuju. "Itu alasan yang bagus."
"Dan bersama-sama," desah Edward. Embusan napasnya begitu harum sehingga membuat
kepalaku melayang. Aku hanya mengangguk, yakin Edward tidak
terlalu bersungguh-sungguh dengan perkataannya itu, seperti halnya aku.
"Dan kalau beruntung, kita akan tetap hidup besok."
"Mudah-mudahan," sahutku gelisah.
"Peluangnya cukup bagus." Alice meyakinkanku.
Selama ini ia lebih banyak diam, sampai-sampai aku nyaris melupakan
kehadirannya. "Aku akan bertemu lagi dengan Jasper dalam waktu kurang dari 24
jam," ia menambahkan dengan nada puas.
Betapa beruntungnya Alice. Ia bisa memercayai masa depannya.
Aku tidak mampu terlalu lama mengalihkan mata dari wajah Edward. Aku
memandanginya terus, sepenuh hati berharap masa depan tidak akan datang. Bahwa
momen ini akan berlangsung selamanya, atau, kalau tidak bisa, bahwa aku tidak
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan ada lagi bila masa depan itu tiba.
Edward membalas tatapanku, bola matanya yang gelap tampak lembut, dan mudah
bagiku berpura-pura ia merasakan hal yang sama denganku. Jadi itulah yang
kulakukan. Berpura-pura, untuk membuat momen ini semakin indah.
Ujung-ujung jari Edward menyusuri lingkaran di bawah mataku. "Kau kelihatan
capek sekali." "Dan kau kelihatan haus," aku balas berbisik, mengamati memar ungu di bawah mata
hitamnya. Edward mengangkat bahu. "Tidak apa-apa."
"Kau yakin" Aku bisa duduk dengan Alice," aku menawarkan diri, meski sebenarnya
tidak rela; aku lebih suka Edward membunuhku sekarang daripada beringsut satu
sentimeter saja dari tempatku berada sekarang.
"Jangan konyol." Edward mendesah; embusan napasnya yang wangi membelai-belai
wajahku. "Tidak pernah aku sekuat ini mengendalikan diri dalam hal itu dibanding
sekarang." Berjuta pertanyaan berkecamuk dalam benakku ingin kutanyakan padanya. Salah
satunya sudah berada di ujung bibirku sekarang, tapi kutelan kembali. Aku tidak
ingin merusak suasana, walaupun suasananya sangat tidak menyenangkan, di ruangan
yang membuatku mual, di bawah tatapan seorang calon monster.
Dalam pelukan Edward, sungguh mudah berkhayal bahwa ia menginginkanku. Aku tidak
mau memikirkan motivasinya sekarang-apakah ia bersikap begini untuk membuatku
tenang selama kami masih dalam bahaya, atau ia hanya merasa bersalah karena kami
berada di sini dan lega karena ia tidak harus bertanggung jawab atas kematianku.
Mungkin perpisahan kami sudah cukup lama sehingga aku tidak membuatnya bosan
sekarang ini. Tapi semua itu bukan masalah. Aku jauh lebih bahagia dengan
berpura-pura. Aku berbaring tenang dalam pelukannya, mengenang kembali wajahnya, berpura-
pura... Edward memandangi wajahku seolah-olah melakukan hal yang sama, sambil berdiskusi
dengan Alice bagaimana caranya pulang. Suara mereka begitu cepat dan rendah
hingga aku tahu Gianna tidak bisa memahaminya. Aku sendiri nyaris tak bisa
menangkapnya. Tapi kedengarannya seperti melibatkan pencurian mobil lagi. Malas-
malasan aku berpikir apakah Porsche kuning yang kami pakai sebelumnya sudah
kembali ke tangan pemiliknya atau belum.
"Apa maksudnya omongan tentang penyanyi
itu?" tanya Alice suatu saat.
"La tua cantante; jawab Edward. Suaranya
membuat kata-kata itu terdengar mengalun seperti musik.
"Ya, itu," kata Alice, dan aku berkonsentrasi sesaat. Aku sendiri juga penasaran
tadi. Aku merasakan bahu Edward terangkat. "Mereka mempunyai julukan bagi orang yang
aroma tubuhnya sama seperti aroma Bella di penciumanku. Mereka menyebutnya
menyanyiku -karena darahnya menyanyi untukku." Alice terbahak.
Aku lelah sekali dan ingin tidur, tapi aku mati-matian melawannya. Aku tidak mau
kehilangan satu detik pun bersamanya. Sesekali, sambil berbicara dengan Alice,
Edward tiba-tiba membungkuk dan menciumku - bibirnya yang sehalus kaca menyapu
rambut, dahi, juga ujung hidungku. Setiap kali itu terjadi, seolah-olah aliran
listrik menyengat hatiku yang lama tertidur. Suara degupnya seakan memenuhi
seluruh penjuru ruangan. Ini surga - berada persis di tengah neraka.
Aku benar-benar kehilangan orientasi waktu. Jadi ketika lengan Edward memeluk
lenganku lebih erat, dan baik ia maupun Alice memandang ke ujung ruangan dengan
ekspresi waswas, aku langsung panik. Aku mengkeret dalam pelukan Edward saat
Alec-matanya kini merah cemerlang, namun setelan jas abu-abu terangnya tetap
bersih tanpa noda meski habis makan sore-berjalan melewati pintu ganda.
Ternyata ia membawa kabar baik.
"Kalian boleh pergi sekarang," kata Alec pada kami, nadanya sangat hangat,
seperti kawan lama. "Kami harap kalian segera pergi dari kota ini."
Edward tidak mau berpura-pura ramah; suaranya sedingin es. "Itu bukan masalah."
Alec tersenyum, mengangguk, kemudian menghilang lagi.
"Ikuti lorong sebelah kanan di tikungan sana, sampai ke deretan lift pertama,"
Gianna memberitahu kami sementara Edward membantuku berdiri.
"Lobinya dua lantai di bawah, langsung keluar ke jalan. Selamat jalan," ia
menambahkan dengan nada riang. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah
kecakapannya dalam bekerja cukup untuk menyelamatkannya.
Alice melontarkan pandangan sengit ke arahnya.
Aku lega ada jalan keluar lain; aku tidak yakin akan sanggup berjalan menyusuri
lorong-lorong bawah tanah lagi.
Kami keluar melalui lobi yang ditata dengan sangat mewah dan berselera tinggi.
Akulah satu-satunya yang menoleh ke belakang, memandangi kastil abad pertengahan
yang menaungi facade bisnis mewah. Aku tidak bisa melihat menara itu dari sini,
dan aku sangat bersyukur.
Pesta masih berlangsung meriah di jalan-jalan. Lampu-lampu jalan baru mulai
menyala saat kami berjalan cepat menyusuri gang-gang sempit beralas batu. Langit
kelabu kusam semakin memudar di atas kepala, dan bangunan-bangunan begitu padat
menyesaki jalan hingga suasananya terasa lebih gelap.
Pestanya juga lebih gelap. Jubah panjang Edward yang menjuntai tidak tampak
mencolok seperti yang mungkin akan terjadi pada malam-malam normal lain di
Volterra. Beberapa orang juga mengenakan jubah satin hitam, dan taring plastik
seperti yang pernah kulihat dipakai seorang anak kecil di alun-alun siang tadi
tampaknya juga sangat populer di kalangan orang dewasa.
"Konyol," kecam Edward.
Aku tidak menyadari kapan Alice menghilang dari sampingku. Aku menoleh untuk
menanyakan sesuatu, tapi ia tidak ada.
"Mana Alice?" bisikku panik.
"Dia pergi mengambil tas kalian dari tempat dia meninggalkannya siang tadi."
Aku bahkan sudah lupa aku membawa sikat gigi. Informasi itu membuatku senang.
"Dia mencuri mobil juga, pasti?" tebakku.
Edward nyengir. "Tidak sampai kita berada di luar."
Rasanya jauh sekali baru kami sampai di pintu gerbang. Edward bisa melihat aku
kelelahan; ia merangkul pinggangku dan memapahku hampir sepanjang perjalanan.
Aku bergidik saat ia menarikku melewati gerbang batu hitam melengkung. Jeruji
besar kuno yang menggantung di atas tampak seperti pintu kerangkeng, mengancam
hendak menimpa kami, mengurung kami di dalam.
Edward membimbingku ke mobil berwarna gelap, yang menunggu dalam lingkaran
bayangan di kanan gerbang dengan mesin menyala. Aku terkejut waktu Edward
menyusup masuk ke jok belakang bersamaku, tidak bersikeras mengemudikannya.
Alice meminta maaf. "Maafkan aku." Ia
melambaikan tangan ke dasbor. "Tidak banyak pilihan."
"Tidak apa-apa, Alice." Edward nyengir. "Tidak bisa selalu memilih 911 Turbo."
Alice mendesah. "Aku harus memiliki salah satu mobil semacam itu secara legal.
Sungguh luar biasa."
"Nanti kubelikan satu untuk hadiah Natal," janji Edward.
Alice menoleh dan menatap Edward dengan senyum berseri-seri, dan itu membuatku
khawatir, karena saat itu ia sudah ngebut menuruni jalan perbukitan yang gelap
dan berkelok-kelok. "Kuning," katanya.
Edward tetap merangkulku erat-erat. Dalam selubung jubah abu-abunya, aku merasa
hangat dan nyaman. Lebih dari nyaman.
"Kau bisa tidur sekarang, Bella," bisiknya. "Sudah berakhir."
Aku tahu yang dimaksud Edward adalah bahaya, mimpi buruk di kota kuno, tapi aku
masih harus menelan ludah dengan susah payah sebelum bisa menjawab.
"Aku tidak mau tidur. Aku tidak capek." Kalimat terakhir itu tidak benar. Yang
benar adalah aku belum mau memejamkan mata. Mobil ini hanya diterangi samar-
samar oleh nyala lampu panel dasbor, tapi itu sudah cukup untuk bisa melihat
wajahnya. Edward menempelkan bibirnya di cekungan di bawah telingaku. "Cobalah," bujuknya.
Aku menggeleng. Edward mendesah. "Kau masih saja keras kepala."
Aku memang keras kepala; mati-matian aku melawan kelopak mataku yang berat, dan
aku menang. Bagian tersulit adalah melewati jalan yang gelap; lampu-lampu benderang di
bandara Florence sedikit melegakan hati, begitu juga kesempatan untuk menyikat
gigi dan ganti baju dengan pakaian bersih; Alice membelikan Edward baju baru
juga, dan Edward membuang jubah hitamnya ke tong sampah di sebuah gang.
Penerbangan ke Roma hanya sebentar hingga kelelahan tidak sempat membuatku
tertidur. Tapi aku tahu penerbangan dari Roma ke Atlanta akan sangat berbeda,
jadi kuminta pramugari membawakan segelas Coca-cola.
"Bella," tegur Edward tidak senang. Ia tahu biasanya aku tidak menolerir minuman
yang mengandung kafein. Alice duduk di belakang kami. Aku bisa mendengarnya berbisik-bisik dengan Jasper
di telepon. "Aku tidak mau tidur," aku mengingatkannya. Aku memberi alasan yang bisa
dipercaya karena itu memang benar. "Kalau aku memejamkan mata sekarang, aku akan
melihat hal-hal yang tidak ingin kulihat. Bisa-bisa aku malah bermimpi buruk."
Edward tidak membantahku lagi setelah itu.
Sebenarnya ini saat yang tepat sekali untuk mengobrol, untuk mendapat jawaban
yang kubutuhkan-dibutuhkan tapi tidak benar-benar diinginkan; belum-belum aku
sudah merasa sulit memikirkan apa yang bakal kudengar. Waktu yang panjang
membentang di hadapan kami tanpa gangguan apa pun, dan Edward tidak mungkin
melarikan diri dariku di atas pesawat- well, setidaknya, tidak semudah itu.
Tidak ada yang bisa mendengar kami kecuali Alice; hari sudah larut malam, dan
sebagian besar penumpang mematikan lampu dan meminta bantal dengan suara pelan.
Mengobrol bisa membantuku melawan kelelahan.
Namun, anehnya, aku malah menutup mulutku rapat-rapat dari banjir pertanyaan.
Pertimbanganku mungkin salah karena kelelahan, tapi aku berharap dengan menunda
pembicaraan, aku bisa meminta waktu beberapa jam dengannya nanti-memperpanjang
kebersamaan ini satu malam lagi, ala Scheherazade,
Jadilah aku minum bergelas-gelas soda, bahkan berkedip pun aku nyaris tak mau.
Edward tampaknya cukup senang bisa mendekapku dalam pelukannya, jari-jarinya
menelusuri wajahku lagi dan lagi. Aku juga menyentuh wajahnya. Aku tak sanggup
menghentikan diriku sendiri, meski takut itu akan menyakitiku nanti, kalau aku
sudah sendirian lagi. Edward terus saja menciumi rambutku, keningku, pergelangan
tanganku... tapi tak pernah bibirku, dan itu bagus. Soalnya, berapa kali hati
yang hancur lebur masih bisa diharapkan pulih kembali' Beberapa hari terakhir
ini, aku bertahan melewati berbagai peristiwa yang seharusnya mengakhiri
hidupku, tapi itu tidak membuatku merasa kuat. Malah aku merasa sangat rapuh,
seakan-akan satu kata saja sanggup menghancurkanku.
Edward juga diam saja. Mungkin ia berharap aku akan tidur. Mungkin memang tak
ada yang ingin ia katakan.
Aku memenangkan adu kekuatan melawan kelopak mataku yang berat. Mataku masih
terbuka lebar saat kami mencapai bandara di Atlanta, dan aku bahkan sempat
melihat matahari terbit di awan-awan di atas kota Seattle sebelum Edward menutup
jendela rapat-rapat. Aku bangga pada diriku sendiri. Tak satu menit pun
terlewatkan. Baik Alice maupun Edward sama sekali tidak terkejut melihat rombongan yang
menunggu kedatangan kami di Bandara Sea-Tac, tapi aku kaget luar biasa. Jasper
adalah yang pertama kulihat - tampaknya ia tidak melihatku sama sekali Matanya
hanya, tertuju pada Alice. Alice bergegas mendapatkannya; mereka tidak
berpelukan seperti pasangan-pasangan lain yang bertemu di sini.
Keduanya hanya saling memandang wajah masing-masing, namun, entah mengapa, momen
itu justru terasa sangat pribadi sampai-sampai aku merasa perlu membuang muka.
Carlisle dan Esme menunggu di sudut sepi jauh dan antrean di depan metal
detector. dalam naungan pilar besar. Esme mengulurkan tangan, memelukku erat-
erat dengan sikap canggung, karena Edward tidak melepaskan pelukannya dariku.
"Terima kasih banyak," bisiknya di telingaku. Kemudian Esme memeluk Edward, dan
ia terlihat seperti ingin menangis.
"Jangan pernah membuatku menderita seperti itu lagi," Esme nyaris menggeram.
Edward menyeringai, penuh penyesalan. "Maaf, Mom."
"Terima kasih Bella," kata Carlisle. "kami berutang budi padamu."
"Ah, tidak," gumamku. Tiba-tiba saja aku merasa letih sekali karena begadang
semalaman. Kepalaku terasa lepas dari tubuhku.
"Dia sangat kelelahan," Esme memarahi Edward. "Mari kita bawa dia pulang."
Tidak yakin apakah saat ini ingin pulang, aku tersaruk-saruk, separo buta,
melintasi bandara, Edward menyeretku di satu sisi, sementara Esme di sisi lain.
Aku tidak tahu apakah Alice dan Jasper mengikuti di belakang kami atau tidak,
dan aku terlalu lelah untuk melihat.
Kurasa aku tertidur, walaupun masih berjalan, saat kami sampai di mobil.
Keterkejutan melihat Emmett dan Rosalie bersandar pada sedan hitam di bawah
cahaya buram lampu-lampu garasi parkir membuatku tersentak. Edward mengejang.
"Jangan," bisik Esme. "Rosalie merasa bersalah."
"Memang seharusnya begitu," tukas Edward, tidak berusaha memelankan suara.
"Itu bukan salahnya." belaku, kata-kataku tidak terdengar jelas karena
kelelahan. "Beri kesempatan padanya untuk meminta maaf," pinta Esme. "Kami akan naik mobil
bersama Alice dan Jasper."
Edward memandang garang pasangan vampir berambut pirang yang sangat memesona
itu. "Kumohon, Edward," ujarku. Sebenarnya aku juga tidak mau semobil dengan Rosalie,
sama seperti Edward, tapi cukup sudah aku menyebabkan perpecahan dalam keluarga
ini. Edward mendesah, lalu menarikku ke mobil.
Emmett dan Rosalie naik ke kursi depan tanpa bicara, sementara Edward lagi-lagi
menarikku ke kursi belakang. Aku tahu aku tidak akan mampu melawan kelopak
mataku lagi, jadi kubaringkan kepalaku di dadanya dengan sikap kalah, membiarkan
mataku terpejam. Kurasakan mesin mobil menderum pelan.
"Edward," Rosalie memulai.
"Aku tahu." Nada kasar Edward terdengar tidak ramah.
"Bella?" Rosalie bertanya lirih.
Kelopak mataku menggeletar terbuka dengan shock Ini pertama kalinya ia berbicara
langsung padaku. "Ya, Rosalie?" sahutku, ragu-ragu.
"Aku sangat menyesal, Bella. Aku merasa sangat bersalah telah menyebabkan semua
ini, dan sangat bersyukur kau cukup berani untuk pergi dan menyelamatkan
saudaraku setelah apa yang kuperbuat. Kuharap kau mau memaafkanku."
Kata-katanya canggung, terbata-bata karena malu, tapi terdengar tulus.
"Tentu saja, Rosalie," gumamku, menyambar kesempatan apa saja untuk membuatnya
tidak membenciku lagi. "Ini bukan salahmu. Akulah yang melompat dari tebing
sialan itu. Tentu saja aku memaafkanmu."
Kata-kataku terdengar mengantuk.
"Itu tidak masuk hitungan sampai dia sadar, Rose," Emmet terkekeh.
"Aku sadar kok," tukasku; tapi suaraku terdengar seperti gumaman tidak jelas.
Kemudian suasana sunyi, kecuali derum pelan suara mesin. Aku pasti tertidur,
karena rasanya baru beberapa detik kemudian pintu terbuka dan Edward membopongku
turun dari mobil Mataku tidak mau membuka. Mulanya kukira kami masih di bandara.
Kemudian aku mendengar suara Charlie.
"Bella!" teriaknya dari jauh.
"Charlie," gumamku, berusaha menghalau kantuk yang melandaku.
"Ssstt" bisik Edward. "Semua beres; kau sudah sampai di rumah dan aman. Tidur
sajalah." "Berani-beraninya kau menunjukkan mukamu lagi di sini." Charlie memaki Edward.
suaranya terdengar jauh lebih dekat sekarang.
"Sudahlah, Dad." erangku. Charlie tidak
menggubrisku. "Kenapa dia," tuntut Charlie.
"Dia hanya sangat lelah, Charlie," Edward menenangkannya. "Biarkan dia
istirahat." "Jangan ajari aku!" teriak Charlie. "Berikan dia padaku. Jangan sentuh dia!'
Edward berusaha menyerahkanku kepada Charlie, tapi aku mencengkeram tubuhnya
kuat-kuat, tak mau melepaskannya. Aku bisa merasakan tangan ayahku menyentakkan
lenganku. "Hentikan, Dad," sergahku lebih keras lagi. Aku berhasil memaksa kelopak mataku
membuka untuk menatap Charlie nanar. "Marah saja padaku."
Saat itu kami berada di depan rumahku. Pintu depan terbuka lebar. Awan yang
menaungi di atas kepala terlalu tebal hingga aku tak bisa memperkirakan jam
berapa sekarang. "Itu sudah pasti," tegas Charlie. "Masuk ke dalam."
"Ke. Turunkan aku," desahku.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Edward menurunkan aku. Bisa kulihat bahwa aku berdiri, tapi aku tidak bisa
merasakan kakiku. Aku maju sempoyongan, sampai trotoar berputar ke arah wajahku.
Dengan tangkas Edward menyambarku sebelum wajahku mencium beton.
"Izinkan aku membawanya ke atas," kata
Edward. "Setelah itu aku akan pergi."
"Jangan," tangisku, panik. Aku belum mendapatkan penjelasan apa-apa. Ia tidak
boleh pergi dulu, setidaknya sampai ia menjelaskan semuanya, bukan begitu"
"Aku tidak akan jauh-jauh," Edward berjanji, berbisik sangat pelan di telingaku
sehingga Charlie tidak mungkin bisa mendengar.
Aku tidak mendengar Charlie menjawab, tapi Edward berjalan memasuki rumah.
Mataku hanya sanggup bertahan sampai tangga. Hal terakhir yang kurasakan adalah
tangan dingin Edward membuka cengkeraman jari-jariku dari kemejanya.
23. KEBENARAN RASANYA aku tidur lama sekali-sekujur tubuhku kaku, seolah-olah aku tidak
bergerak sama sekali selama itu. Pikiranku linglung dan lamban; berbagai mimpi
aneh-mimpi dan mimpi buruk-berpusar-pusar dalam benakku. Semua tampak sangat
jelas. Kengerian dan kebahagiaan, semua berbaur jadi kebingungan yang aneh. Ada
perasaan tak sabar bercampur ketakutan, keduanya bagian dari mimpi penuh
frustrasi saat kakiku tak bisa berlari cepat... Dan di mana-mana ada monster,
musuh-musuh bermata merah yang lebih menyeramkan daripada sesama mereka yang
lebih beradab. Mimpi itu masih terpatri kuat-aku bahkan masih ingat nama-
namanya. Tapi bagian yang paling kuat dan paling jelas dari mimpi itu bukanlah
kengeriannya. Melainkan kehadiran malaikat itulah yang paling jelas kuingat.
Sulit rasanya membiarkan malaikat itu pergi dan bangun. Mimpi ini tak mau
disingkirkan begitu saja ke gudang mimpi yang tak ingin kudatangi lagi. Aku
melawannya dengan susah payah saat pikiranku mulai lebih awas, terfokus pada
kenyataan. Aku tak ingat hari apa ini, tapi aku yakin ada yang menungguku, entah
itu Jacob, sekolah, pekerjaan, atau hal lain. Aku menarik napas dalam-dalam,
bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku sanggup menjalani satu hari lagi.
Sesuatu yang dingin menyentuh dahiku lembut sekali.
Kupejamkan mataku lebih rapat. Rupanya aku masih bermimpi, tapi anehnya, rasanya
sungguh sangat nyata. Aku sudah hampir terbangun... beberapa detik lagi, dan
mimpi akan lenyap. Tapi aku sadar mimpi itu terasa kelewat nyata, kelewat nyata sehingga tak
mungkin terjadi. Lengan sekeras batu yang kubayangkan memeluk tubuhku amat terlalu kokoh. Kalau
kubiarkan lebih lama lagi, aku akan menyesal nanti. Dengan keluhan menyerah,
kubuka paksa kelopak mataku untuk menghalau ilusi itu.
"Oh!" aku terkesiap kaget, dan melemparkan tinjuku ke muka.
Well jelas, aku sudah kelewatan; salah besar membiarkan imajinasiku jadi tak
terkendali. Oke, mungkin "membiarkan" bukan istilah yang tepat. Aku memaksanya
menjadi tak terkendali - bisa dibilang aku dikuntit halusinasiku sendiri - dan
sekarang pikiranku meledak.
Dibutuhkan kurang dari setengah detik untuk menyadari bahwa, kepalang basah
sudah telanjur sinting, ada baiknya kunikmati saja delusiku, mumpung delusinya
menyenangkan. Aku membuka lagi mataku-dan Edward masih di sana, wajahnya yang sempurna hanya
beberapa sentimeter dari wajahku.
"Aku membuatmu takut, ya?" suaranya yang rendah bernada cemas.
Ini bagus sekali, sebagai delusi. Wajahnya,
suaranya, aroma tubuhnya, segalanya-semua jauh lebih baik daripada tenggelam.
Kilasan khayalanku yang rupawan itu mengawasi perubahan ekspresiku dengan
waswas. Matanya hitam pekat, dengan bayangan menyerupai memar di bawahnya. Itu
membuatku terkejut; Edward halusinasiku biasanya muncul dalam keadaan kenyang.
Aku mengerjap dua kali, susah payah berusaha mengingat hal terakhir yang aku
yakin nyata. Alice juga ada dalam mimpiku, dan bertanya-tanya apakah ia benar-
benar kembali, atau itu hanya khayalan. Kalau tidak salah, ia kembali pada hari
aku nyaris tenggelam waktu itu...
"Oh. brengsek" makiku parau. Tenggorokanku seperti tersumbat. "Ada apa, Bella?"
Aku mengerutkan kening pada Edward, tidak bahagia. Wajahnya bahkan jauh lebih
cemas daripada sebelumnya.
"Aku sudah mati, kan?" erangku. "Aku benar-benar tenggelam. Brengsek, brengsek,
brengsek! Charlie pasti sedih sekali."
Kening Edward berkerut. "Kau belum mati"
"Kalau begitu, mengapa aku tidak bangun-bangun juga?" tantangku, mengangkat
alis. "Kau sudah bangun, Bella."
Aku menggeleng. "Tentu, tentu. Kau memang ingin aku mengira begitu. Kemudian
keadaan akan lebih parah waktu aku terbangun nanti. Kalau aku masih bisa bangun,
dan itu tidak akan terjadi, karena aku sudah mati. Gawat. Kasihan Charlie. Juga
Renee dan Jake..." Suaraku menghilang, ngeri membayangkan apa yang telah
kulakukan. "Aku bisa mengerti kau salah mengartikan aku dengan mimpi buruk."
Senyum Edward yang berumur singkat terlihat muram. "Tapi aku tidak bisa
membayangkan apa yang telah kaulakukan sehingga kau masuk neraka. Memangnya kau
banyak membunuh orang selagi aku tidak ada?"
Aku meringis. "Jelas tidak. Kalau saat ini aku berada di neraka, kau tidak akan
ada di sini bersamaku."
Edward mendesah. Pikiranku semakin jernih. Mataku berkelebat sebentar dari wajahnya-meski
sebenarnya enggan - ke jendela yang gelap dan terbuka, lalu kembali padanya.
Kupandangi dia sambil mengingat-ingat... dan aku merasakan rona merah yang tidak
familier menjalari pipiku dengan hangat saat lambat laun aku menyadari bahwa
Edward sungguh-sungguh, benar-benar ada di sini bersamaku, tapi aku malah
membuang-buang waktu dengan menjadi idiot.
"Kalau begitu, semua itu benar-benar terjadi?" Nyaris sulit mengubah mimpiku
menjadi kenyataan. Rasanya aku belum bisa menerima konsep itu.
"Tergantung." Senyum Edward masih kaku.
"Kalau yang kaumaksud adalah kita hampir dibantai di Italia, ya, itu benar."
"Aneh sekali," renungku. "Aku benar-benar pergi ke Italia. Tahukah kau, aku
bahkan tak pernah pergi lebih jauh dari Alburquerque?"
Edward memutar bola matanya. "Mungkin sebaiknya kau tidur lagi. Kau masih
linglung." "Aku sudah tidak capek lagi." Pikiranku kembali jelas sekarang. "Jam berapa
sekarang" Sudah berapa lama aku tertidur?"
"Sekarang baru jam satu pagi lewat sedikit. Jadi, kira-kira empat belas jam."
Aku menggeliat saat Edward bicara. Tubuhku kaku sekali.
"Charlie?" tanyaku
Edward mengerutkan kening. "Tidur. Mungkin kau tahu saat ini aku melanggar
aturan. Well, teknisnya sih tidak, karena kata Charlie aku tidak boleh
menjejakkan kaki lagi melewati pintu, sementara aku masuk lewat jendela... Tapi
meski begitu, maksudnya sudah jelas."
"Charlie melarangmu datang ke sini?" tanyaku, perasaan tak percaya dengan cepat
melebur menjadi amarah. Sorot mara Edward sedih. "Memangnya apa yang kauharapkan?"
Sorot mataku marah. Aku harus bicara dengan ayahku-mungkin sekarang saat yang
tepat untuk mengingatkan ayahku bahwa secara hukum aku sudah dianggap dewasa.
Itu tidak berarti banyak tentu saja, kecuali dalam hal prinsip. Sebentar lagi
tidak ada lagi alasan untuk melarangku. Aku mengalihkan pikiran ke hal-hal lain
yang tidak terlalu menyakitkan.
"Ceritanya bagaimana?" tanyaku, benar-benar ingin tahu, sekaligus berusaha keras
menjaga agar obrolan terus berlangsung juga untuk menenangkan diriku sendiri,
supaya aku tidak membuat Edward kabur ketakutan oleh kerinduan menggebu-gebu
yang bergejolak dalam diriku.
"Apa maksudmu?"
"Aku harus menceritakan apa pada Charlie" Apa alasanku menghilang selama...
omong-omong berapa hari aku pergi?" Aku berusaha menghitung-hitung.
"Hanya tiga hari." Tatapan Edward mengeras, tapi kali ini senyumnya lebih alami.
"Sebenarnya, aku berharap kau punya penjelasan bagus. Soalnya aku tidak tahu
harus memberi alasan apa."
Aku mengerang. "Hebat."
"Well mungkin Alice bisa memberi alasan yang tepat," kata Edward, berusaha
menghibur hatiku. Dan aku merasa terhibur. Siapa yang peduli apa yang harus kuhadapi nanti" Setiap
detik ia di sini - begitu dekat, wajahnya yang sempurna berkilau dalam
keremangan cahaya yang dipantulkan angka-angka jam alarmku-sangatlah berharga
dan tidak patut disia-siakan.
"Jadi," aku memulai, memilih pertanyaan yang paling tidak penting-walaupun tetap
sangat menarik-sebagai permulaan. Aku sudah diantarkan dengan selamat sampai ke
rumah, jadi sebentar lagi Edward mungkin akan memutuskan untuk pergi, kapan
saja. Aku harus membuatnya terus bicara. Lagi pula, surga sementara ini tidak
sepenuhnya komplet tanpa suaranya. "Apa yang kaulakukan selama ini sampai tiga
hari yang lalu?" Wajah Edward langsung kecut. "Tidak ada yang menarik."
"Tentu saja tidak," gumamku.
"Mengapa kau mengernyitkan muka seperti itu?"
"Well.." aku mengerucutkan bibir, menimbang-nimbang. "Seandainya kau, misalnya,
hanya mimpi, jawaban seperti itulah yang pasti akan kauucapkan. Imajinasiku
pasti sudah mentok."
Edward mendesah. "Kalau aku menceritakannya padamu, apakah akhirnya kau akan
percaya bahwa kau tidak sedang bermimpi buruk?" ,
"Mimpi buruk!" ulangku sinis. Edward menunggu jawabanku.
"Mungkin," jawabku setelah berpikir sejenak. "Kalau menceritakannya padaku."
"Selama ini aku... berburu."
"Masa hanya itu yang kaulakukan?" kritikku.
"Itu jelas tidak membuktikan aku sudah terbangun."
Edward ragu-ragu, kemudian berbicara lambat-lambat, memilih kata-kata dengan
saksama. "Aku bukan berburu makanan... sebenarnya aku mencoba belajar... mencari
jejak. Aku kurang bagus dalam hal itu."
"Apa yang kaulacak?" tanyaku, tertarik.
"Bukan sesuatu yang penting." Kata-kata
Edward tidak sejalan dengan ekspresinya; ia tampak gelisah, tidak nyaman.
"Aku tidak mengerti."
Edward ragu-ragu; wajahnya, mengilat oleh bias hijau aneh lampu jam, tampak
terkoyak. "Aku-" Edward menarik napas dalam-dalam.
"Aku berutang maaf padamu. Tidak, tentu saja aku berutang banyak padamu, jauh
lebih banyak daripada itu. Tapi kau harus tahu-" kata-kata mulai mengalir sangat
cepat. Seingatku, beginilah cara Edward bicara bila sedang gelisah, sehingga aku
harus berkonsentrasi penuh untuk menangkap semuanya- "bahwa aku sama sekali
tidak tahu. Aku tidak menyadari kekacauan yang kutinggalkan. Kusangka kau aman
di sini. Sangat aman. Aku tidak mengira Victoria - " bibir Edward melengkung ke
belakang saat mengucapkan nama itu - "akan kembali. Harus kuakui, ketika
melihatnya waktu itu, aku lebih memerhatikan pikiran James. Tapi aku sama sekali
tidak melihat respons semacam ini dalam dirinya. Bahwa dia bahkan memiliki
hubungan dengan James. Kurasa aku mengerti sekarang - Victoria sangat yakin pada
James, jadi tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa James bisa gagal. Rasa
percaya diri yang terlalu berlebihanlah yang menutupi perasaannya terhadap James
- itu membuatku tidak melihat besarnya cinta Victoria kepada James, serta
hubungan batin yang terjalin di antara mereka.
"Bukan berarti tindakanku meninggalkanmu menghadapi bahaya semacam itu bisa
dimaafkan. Waktu aku mendengar apa yang kaukatakan pada Alice - apa yang
dilihatnya sendiri - waktu aku sadar ternyata kau sampai harus bergaul dengan
werewolf, werewolf yang tidak dewasa, kasar, makhluk terburuk lain selain
Victoria-" Edward bergidik dan serbuan kata-katanya terhenti sejenak.
"Ketahuilah, aku sama sekali tidak tahu tentang hal ini. Aku merasa muak, muak
luar biasa, bahkan sampai sekarang, setiap kali aku bisa melihat dan merasakan
kau aman dalam pelukanku. Sungguh bodoh dan tolol aku ini-"
"Hentikan," aku memotong perkataannya. Edward menatapku sedih, dan aku berusaha
menemukan kata-kata yang tepat-yang akan membebaskan Edward dari kewajiban
rekaannya sendiri ini, yang membuatnya sangat menderita. Tidak mudah
mengutarakannya. Entah apakah aku bisa mengucapkannya tanpa menangis. Tapi aku
harus mencoba melakukannya dengan benar. Aku tidak mau menjadi sumber perasaan
bersalah dan kesedihan dalam hidupnya. Seharusnya Edward bahagia, tak peduli
bagaimana akibatnya bagiku.
Aku benar-benar berharap bisa menunda bagian terakhir pembicaraan kami ini.
Soalnya, ini hanya akan mengakhiri lebih cepat pertemuan kami.
Mengandalkan latihan selama berbulan-bulan untuk berusaha bersikap normal di
hadapan Charlie, aku memasang ekspresi datar.
"Edward," kataku. Mengucapkan namanya membuat tenggorokanku serasa terbakar. Aku
Pendekar Pemetik Harpa 3 Goosebumps - Bergaya Sebelum Mati 2 Sepasang Pedang Siluman 3