Dua Cinta 5
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 5
berkeliaran di sepanjang perbatasan kota-kota kecil, berhadapan dengan monster-
monster mistis" Apakah itu berarti setiap kisah dongeng didasarkan pada sesuatu
yang benar-benar nyata" Adakah hal yang waras atau normal sama sekak, atau
semuanya hanya magis dan kisah-kisah hantu"
Kucengkeram kepalaku kuat-kuat, menjaganya agar tidak meledak.
Sebuah suara kecil garing dalam benakku bertanya mengapa aku begitu kalut.
Bukankah aku sudah menerima keberadaan vampir sejak dulu - dan tanpa histeris
sama sekali" Benar sekali, aku ingin balas meneriaki suara itu. Tidakkah satu mitos sudah
cukup untuk siapa pun, cukup untuk seumur hidup"
Lagi pula, sebelumnya tidak ada satu momenpun di mana aku tak sepenuhnya
menyadari bahwa Edward Cullen bukan manusia biasa. Jadi bukan hal mengagetkan
waktu aku tahu siapa ia sebenarnya - karena jelas sekali ia itu berbeda.
Tapi Jacob" Jacob, yang hanyalah Jacob, dan tidak lebih daripada itu" Jacob,
temanku" Jacob, satu-satunya manusia yang bisa memahamiku...
Dan ia bahkan bukan manusia.
Kulawan dorongan untuk menjerit lagi.
Jadi, apa arti semua itu bagiku"
Aku tahu jawaban pertanyaan itu. Berarti ada yang benar-benar tidak beres
denganku. Bagaimana bisa hidupku dipenuhi karakter-karakter dari film horor"
Bagaimana mungkin aku bisa begitu peduli pada mereka sehingga hatiku terasa
seperti direnggutkan dan dadaku setiap kali mereka pergi mengikuti jalan hidup
mistis mereka" Di kepalaku segalanya berputar dan bergerak, berubah posisi sehingga hal-hal
yang tadinya berarti sesuatu, sekarang memiliki arti berbeda.
Berarti tidak ada sekte. Tidak pernah ada sekte, tidak pernah ada geng. Tidak,
ternyata bahkan lebih buruk daripada itu. Yang ada ternyata adalah kawanan.
Kawanan yang terdiri atas lima werewolf raksasa aneka warna yang waktu itu
berjalan melewatiku di padang rumput Edward...
Mendadak, aku merasa harus bergegas. Mataku melirik jam-masih terlalu pagi, tapi
aku tak peduli. Aku harus pergi ke La Push sekarang. Aku harus menemui Jacob
supaya ia bisa memberi tahuku bahwa aku tidak hilang ingatan.
Kusambar baju bersih pertama yang bisa kutemukan, tak peduli apakah serasi atau
tidak, lalu berlari menuruni tangga, melompati dua anak tangga sekaligus. Nyaris
saja aku bertabrakan dengan Charlie saat menghambur di lorong, menuju ke pintu.
"Mau ke mana kau?" tanyanya, terkejut melihatku, sama seperti aku terkejut
melihatnya. "Kau tahu sekarang jam berapa?"
"Yeah. Aku harus menemui Jacob."
"Kusangka urusan dengan Sam-"
"Itu tidak penting, aku harus bicara dengannya sekarang juga."
"Sekarang masih terlalu pagi." Kening Charlie berkerut ketika ekspresiku tidak
berubah. "Tidak mau sarapan dulu?"
"Tidak lapar." Kata-kata meluncur cepat dari bibirku. Charlie menghalangi jalanku. Aku
menimbang-nimbang untuk merunduk mengitarinya dan kabur secepat-cepatnya, tapi
aku tahu aku harus memberi penjelasan nanti. "Sebentar lagi aku kembali, oke?"
Charlie mengerutkan kening. "Langsung ke rumah Jacob, kan" Tidak mampir-mampir
dulu?" Tentu saja tidak, mau mampir ke mana" Kata-kataku berkejaran, karena aku begitu
terburu-buru. "Entahlah," Charlie mengakui. "Hanya saja... Well, terjadi penyerangan lagi-
serigala-serigala itu lagi. Dekat sekali dengan pemukiman penduduk di sumber air
panas sana - kali ini ada saksi mata yang menyaksikan. Korban hanya beberapa
meter dari jalan saat menghilang. Istrinya melihat serigala abu-abu besar
beberapa menit kemudian, waktu dia sedang mencari suaminya, lalu lari mencari
bantuan." Perutku langsung mulas mendengarnya. "Orang itu diterkam serigala?"
"Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang itu- yang ada hanya bercak darah" Wajah
Charlie tampak galau. "Para polisi hutan menyisir hutan dengan bersenjata
lengkap, membawa sukarelawan yang juga bersenjata. Banyak pemburu yang ingin
terlibat - tersedia hadiah bagi yang bisa menembak mati serigala. Itu berarti
akan banyak tembak-menembak di hutan, dan itu membuatku khawatir." Charlie
menggeleng. "Kalau orang-orang terlalu bersemangat, bisa terjadi banyak
kecelakaan... " "Mereka akan menembaki serigala-serigala itu?" Suaraku naik tiga oktaf.
"Apa lagi yang bisa kita lakukan" Ada apa?" tanya Charlie, matanya yang tegang
menelisik wajahku. Rasanya aku seperti mau pingsan;
wajahku pasti lebih pucat daripada biasanya,
"Kau toh bukan aktivis lingkungan hidup, kan?"
Aku tak mampu menjawab. Seandainya Charlie tidak sedang memandangiku, aku pasti sudah menyurukkan
kepalaku antara lutut. Aku lupa pada para hiker yang hilang itu, juga jejak-
jejak berdarah... aku tidak menghubungkan fakta-fakta itu dengan kesadaran
pertamaku. "Dengar, Sayang, ini tidak perlu membuatmu ketakutan. Asalkan kau tetap di kota
atau dijalan raya-tidak berhenti-berhenti-oke?"
"Oke," sahutku lemah.
"Pergi dulu ya."
Kutatap Charlie lekat-lekat untuk pertama kali, dan kulihat ia melilitkan sarung
pistolnya ke pinggang dan memakai sepatu hiking.
"Kau tidak akan ikut terjun mencari serigala-serigala itu kan, Dad?"
"Aku harus membantu, Bella. Banyak orang menghilang."
Suaraku naik lagi, nyaris histeris sekarang.
"Jangan! Jangan, jangan pergi. Terlalu berbahaya!"
"Aku harus melakukan tugasku, Nak. Jangan pesimis begitu-aku akan baik-baik
saja" Charlie berbalik ke pintu, membukanya dan memeganginya. "Kau mau pergi?"
Aku ragu-ragu, perutku masih seperti diaduk-aduk. Apa yang bisa kukatakan untuk
menghentikannya" Kepalaku pusing sekali, tak mampu berpikir apa-apa.
"Bella?" "Mungkin sekarang memang masih terlalu pagi untuk pergi ke La Push," bisikku.
"Aku setuju," kata Charlie, lalu melangkah keluar ke tengah hujan, menutup pintu
di belakangnya. Begitu Charlie lenyap dari pandangan, aku merosot lemas ke lantai dan
menyurukkan kepalaku di antara lutut.
Haruskah aku menyusul Charlie" Apa yang bisa kukatakan"
Dan bagaimana dengan Jacob" Jacob sahabatku; aku harus memperingatkan dia. Kalau
dia benar-benar-aku meringis dan memaksa diriku memikirkan istilah itu-werewolf
(dan aku tahu itu benar, aku bisa merasakannya), itu berarti orang-orang akan
menembaki dia! Aku harus memberitahu Jacob dan teman-temannya bahwa orang-orang
akan berusaha membunuh mereka bila mereka berkeliaran sebagai serigala raksasa.
Aku harus memberitahu mereka supaya berhenti.
Mereka harus berhenti! Charlie ada di hutan. Pedulikah mereka pada hal itu" Aku
penasaran... Hingga saat ini, hanya orang-orang asing yang hilang. Apakah itu
berarti sesuatu, atau hanya kebetulan"
Aku harus percaya bahwa Jacob, paling tidak, peduli pada hal itu.
Bagaimanapun, aku harus mengingatkan dia.
Atau... perlukah aku"
Jacob sahabatku, tapi benarkah ia juga monster" Monster sungguhan" Monster
jahat" Haruskah aku mengingatkan dia, padahal dia dan teman-temannya...
pembunuh" Padahal mereka begitu tega membantai para hiker yang tidak berdosa"
Seandainya mereka benar-benar makhluk jahat seperti yang ada di film-film horor,
salahkah bila aku melindungi mereka"
Mau tak mau aku jadi membandingkan Jacob dan teman-temannya dengan keluarga
Cullen. Kudekap tubuhku erat-erat. melawan lubang itu, saat aku memikirkan mereka.
Aku tidak tahu apa-apa tentang werewolf, itu sudah jelas. Paling-paling aku
membayangkan mereka mendekati sosok seperti yang sering digambarkan di film-
film-makhluk setengah manusia berbadan besar dan berbulu lebat atau semacam itu
- itu pun kalau aku membayangkan mereka. Jadi aku tak tahu apa yang membuat
mereka berburu, apakah karena kelaparan atau kehausan atau hanya dorongan untuk
membunuh. Sulit menilainya, karena aku tidak tahu apa-apa.
13. PEMBUNUH KALAU saja itu orang lain dan bukan Jacob, pikirku pada diri sendiri,
menggeleng-gelengkan kepala saat melaju melintasi jalan raya yang membelah hutan
menuju La Push. Tapi pasti tidak lebih sulit daripada yang dialami keluarga Cullen dalam upaya
mereka menjadi makhluk yang baik. Ingatanku melayang kepada Esme - air mataku
merebak saat membayangkan wajahnya yang teduh dan baik - serta bagaimana, meski
sikapnya begitu keibuan dan penuh kasih sayang, ia terpaksa menahan napas,
merasa malu sekali, dan lari menjauhiku waktu aku berdarah. Tak mungkin lebih
sulit daripada itu. Aku juga teringat pada Carlisle, yang selama berabad-abad
berjuang mengajari dirinya sendiri untuk mengabaikan darah, sehingga ia bisa
menyelamatkan nyawa manusia sebagai dokter. Tidak ada yang lebih sulit daripada
itu. Para werewolf memilih jalan berbeda.
Sekarang, apa yang seharusnya aku pilih.
Aku masih belum yakin aku melakukan hal yang benar, tapi aku sudah berkompromi
dengan diriku sendiri. Aku tak bisa memaafkan apa yang Jacob dan teman-temannya, kawanannya, lakukan.
Sekarang aku mengerti maksud perkataannya semalam- bahwa aku mungkin tidak ingin
menemuinya lagi- dan bahwa aku bisa meneleponnya seperti yang ia usulkan, tapi
rasanya itu pengecut. Setidaknya, aku harus bicara empat mata dengannya. Akan
kukatakan dengan tegas padanya bahwa aku tak mungkin mengabaikan apa yang sedang
terjadi. Aku tak mungkin berteman dengan pembunuh tanpa mengatakan apa-apa,
membiarkan pembunuhan itu terus berlanjut... Itu berarti aku sama jahatnya
dengan mereka. Tapi aku tak bisa tidak mengingatkan dia juga. Aku harus berbuat sebisaku untuk
melindunginya. Kuhentikan trukku di depan rumah keluarga
Black dengan bibir terkatup rapat. Cukup sudah keterkejutanku menghadapi
kenyataan sahabatku werewolf. Haruskah ia menjadi monster juga"
Rumah itu gelap gulita, tak tampak cahaya lampu di jendela-jendelanya, tapi aku
tak peduli kalaupun aku membangunkan mereka. Tinjuku menggedor-gedor pintu depan
dengan marah; gedorannya mengguncang dinding-dinding.
"Silakan masuk," kudengar Billy berseru sejurus kemudian, dan sebuah lampu
menyala. Kuputar kenop pintu; ternyata tidak terkunci. Billy bersandar di pintu dekat
dapur yang kecil, di bahunya tersampir mantel mandi, ia belum duduk di kursi
rodanya. Begitu melihat siapa yang datang matanya melebar sedikit, kemudian
wajahnya berubah kaku. "Well, selamat pagi, Bella. Mengapa kau datang pagi-pagi buta begini?"
"Hai, Billy. Aku perlu bicara dengan Jake-di mana dia?"
"Ehm... kurang tahu ya," dusta Billy, wajahnya tetap datar.
"Tahukah kau apa yang dilakukan Charlie pagi ini?" tuntutku, muak melihatnya
mengulur-ulur waktu. "Haruskah aku tahu?"
"Dia dan setengah isi kota turun ke hutan membawa senapan, memburu serigala-
serigala raksasa." Ekspresi Billy berubah, tapi kemudian datar lagi.
"Jadi aku ingin bicara dengan Jake mengenai hal itu. kalau kau tidak keberatan,"
lanjutku. Billy mengerucutkan bibirnya yang tebal. "Aku berani bertaruh Jake pasti masih
tidur," kata Billy akhirnya, mengangguk ke lorong kecil di sebelah kamar depan.
"Belakangan dia sering pulang larut malam. Anak itu buruh istirahat-mungkin
sebaiknya kau tidak membangunkan dia."
"Sekarang giliranku," gumamku pelan sambil berjalan menuju lorong. Billy
mendesah. Kamar Jacob yang kecil, yang sebenarnya lebih mirip ruang penyimpanan baju,
adalah satu-satunya pintu di lorong yang panjangnya tak sampai satu meter. Aku
tidak repot-repot mengetuk. Aku langsung membuka pintunya; pintu itu membentur
dinding dengan suara keras.
Jacob - masih mengenakan celana olahraga hitam yang dipotong pendek seperti
semalam - berbaring diagonal di ranjang dobel yang mengisi seluruh ruangan dan
hanya menyisakan beberapa sentimeter saja di sisi-sisinya. Bahkan dalam posisi
miring tempat tidur itu masih kurang panjang; kaki Jacob tergantung di satu sisi
dan kepalanya di sisi lain. Ia tidur nyenyak, mendengkur pelan dengan mulut terbuka. Bahkan suara
pintu membentur dinding tidak membuatnya tersentak.
Wajahnya damai dalam tidur yang nyenyak, semua garis-garis amarah lenyap. Ada
lingkaran di bawah mata yang tidak kusadari sebelumnya. Meski ukuran tubuhnya
sangat besar, ia kini tampak sangat muda, dan sangat letih. Perasaan iba
mengguncang hatiku. Aku keluar lagi dan menutup pintu dengan suara pelan.
Billy memandangiku dengan sorot ingin tahu dan waspada saat aku berjalan lambat-
lambat kembali ke ruang depan.
"Sebaiknya kubiarkan saja dia tidur sebentar."
Billy mengangguk, kemudian kami berpandangan beberapa saat. Aku ingin sekali
menanyakan apa pendapat Billy tentang hal ini.
Apa pendapatnya tentang perubahan yang dialami putranya" Tapi aku tahu ia
mendukung Sam sejak awal, jadi Kupikir pembunuhan-pembunuhan itu pasti tidak
berarti apa-apa baginya. Bagaimana ia membenarkan hal ku pada dirinya sendiri,
aku tak bisa membayangkan.
Aku juga melihat banyak pertanyaan berkecamuk di matanya yang gelap, tapi ia
juga tidak menyuarakannya.
"Begini saja," kataku, memecah keheningan yang sangat terasa. "Aku akan pergi ke
pantai sebentar. Kalau dia bangun, tolong katakan padanya aku menunggunya, oke?"
"Tentu, tentu," Billy menyanggupi.
Aku ragu apakah Billy benar-benar akan menyampaikan pesanku. Well, kalaupun
tidak, aku sudah berusaha, kan"
Aku mengendarai trukku ke First Beach dan memarkirnya di lapangan tanah yang
kosong. Hari masih gelap - subuh muram menjelang pagi yang berawan - dan waktu
mematikan lampu truk aku nyaris tak bisa melihat apa-apa. Aku harus membiasakan
mataku dulu sebelum bisa menemukan jalan setapak yang membelah ilalang tinggi.
Udara di sini lebih dingin, angin bertiup menerpa air yang hitam, dan kujejalkan
kedua tanganku dalam-dalam ke saku jaket musim dinginku. Setidaknya hujan sudah
berhenti. Aku berjalan menyusuri tepi pantai ke arah tembok laut sebelah utara. Tidak
tampak Pulau St. James maupun pulau-pulau lain, hanya bentuk-bentuk samar nun
jauh di sana. Aku berjalan hati-hati meniti karang, mewaspadai driftwood yang
mungkin bisa membuatku tersandung.
Aku menemukan apa yang kucari sebelum menyadari aku mencarinya. Benda itu muncul
dari kegelapan setelah jaraknya hanya tinggal beberapa meter: sebatang driftwood
panjang seputih tulang yang terdampar jauh ke karang. Akar-akarnya terpilin ke
atas dan mengarah ke lautan, bagaikan ratusan tentakel rapuh. Aku tak yakin
apakah itu pohon yang sama tempat Jacob dan aku mengobrol untuk pertama kalinya
- obrolan yang mengawali begitu banyak benang kusut dalam hidupku - tapi
sepertinya lokasinya sama. Aku duduk di tempatku duduk dulu, dan memandang
lautan yang tak kelihatan.
Melihat Jacob seperti itu - lugu dan rapuh dalam tidurnya - telah mengenyahkan
semua perasaan jijikku, melenyapkan semua amarahku. Aku masih tetap tak bisa
menutup mata pada apa yang terjadi, seperti yang tampaknya dilakukan Billy tapi
aku juga tak bisa menghakimi Jacob atas perbuatannya itu. Itulah yang namanya
sayang. Saat kau menyayangi seseorang mustahil bersikap logis mengenai mereka.
Jacob tetap temanku, terlepas dari apakah ia membunuh orang atau tidak. Dan aku
tak tahu harus bagaimana menghadapi hal itu.
Saat membayangkan Jacob tidur begitu damai, aku merasakan dorongan yang sangat
kuat untuk melindunginya. Sungguh tidak logis.
Logis atau tidak aku terus saja membayangkan wajahnya yang damai, berusaha
menemukan jawaban, mencari cara untuk melindunginya, sementara langit perlahan-
lahan berubah warna menjadi kelabu.
"Hai, Bella." Suara Jacob datang dari kegelapan dan membuatku kaget. Suaranya lirih, nyaris
malu-malu, tapi karena aku mengira bakal mendengar kedatangannya dari suara
batu-batu yang terinjak, tetap saja suara itu membuatku kaget. Tampak olehku
siluetnya membelakangi matahari terbit- kelihatannya besar sekali.
"Jake?" Jacob berdiri beberapa langkah jauhnya, bergerak-gerak gelisah.
"Kata Billy kau datang mencariku - tidak butuh waktu lama, kan" Sudah kukira kau
pasti bisa menebaknya."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yeah, aku ingat ceritanya sekarang," bisikku.
Lama tidak terdengar apa-apa dan, walaupun masih terlalu gelap untuk bisa
melihat jelas, kulitku bagai tergelitik seolah-olah mata Jacob mengamati wajahku
lekat-lekat. Pastilah sudah cukup terang bagi Jacob untuk melihat ekspresiku,
karena waktu ia bicara lagi, suaranya mendadak berubah sinis.
"Kau toh bisa menelepon saja," sergahnya kasar.
Aku mengangguk. "Memang."
Jacob mulai mondar-mandir di atas bebatuan. Kalau kubuka telingaku lebar-lebar,
aku bisa mendengar suara langkah kakinya menginjak bebatuan di balik debur
ombak. Batu-batu berderak seperti kastanyet di telingaku.
"Mengapa kau datang?" tuntutnya, tak menghentikan langkah-langkahnya yang marah.
"Kupikir lebih baik kita bertemu langsung."
Jacob mendengus. "Oh, jauh lebih baik."
"Jacob, aku harus memperingatkanmu-"
"Tentang para polisi hutan dan pemburu" Jangan khawatir. Kami sudah tahu."
"Jangan khawatir?" tuntutku tak percaya. "Jake, mereka membawa senapan! Mereka
juga memasang perangkap dan menawarkan hadiah uang dan-"
"Kami bisa menjaga diri," geramnya, masih terus mondar-mandir. "Mereka takkan
bisa menangkap apa-apa. Mereka hanya membuat keadaan lebih sulit - sebentar lagi
mereka juga akan menghilang."
"Jake!" desisku.
"Apa" Memang kenyataannya begitu kok."
Wajahku pucat saking jijiknya. "Bisa-bisanya kau... merasa seperti itu" Kau
kenal orang-orang ini. Charlie juga ikut!" Pikiran itu membuat perutku mulas.
Langkah Jacob langsung berhenti. "Apa lagi yang bisa kami lakukan?" semburnya.
Matahari mengubah awan-awan menjadi merah muda keperakan di atas kami. Aku bisa
melihat ekspresinya sekarang; wajahnya marah, frustrasi, merasa dikhianati.
"Bisakah kau... , Well berusaha untuk tidak menjadi... werewolf?" aku
menyarankan sambil berbisik.
Jacob melontarkan kedua tangannya ke udara. "Kayak aku punya pilihan saja!"
teriaknya. "Dan apa gunanya itu, kalau kau justru khawatir orang-orang akan
menghilang?" "Aku tidak mengerti."
Jacob menatapku garang, matanya menyipit dan mulutnya terpilin membentuk
seringai. "Tahukah kau apa yang membuatku sangat marah?"
Aku terkejut melihat ekspresinya yang garang. Jacob sepertinya menunggu jawaban,
maka aku pun menggeleng. "Kau ini benar-benar munafik, Bella - lihat saja, kau duduk di sana, takut
padaku! Apakah itu adil?" Kedua tangannya gemetar oleh amarah.
"Munafik" Mengapa takut pada monster berarti aku munafik?"
"Ugh!" erang Jacob, menekankan tinjunya yang gemetar ke pelipis dan memejamkan
mata rapat-rapat. "Coba dengar omonganmu sendiri!"
"Apa?" Jacob berjalan dua langkah mendekatiku, mencondongkan tubuh di atasku dan
menatapku berapi-api. "Well, aku menyesal aku tidak bisa menjadi monster yang
tepat untukmu, Bella. Kurasa aku tidak sehebat si pengisap darah itu, bukan"''
Aku melompat berdiri dan balas memandangnya dengan sorot berapi-api juga.
"Tidak, memang tidak!" teriakku. "Masalahnya bukan siapa kau, tolol, tapi apa
yang kaulakukan!" "Apa artinya itu?" raung Jacob, sekujur tubuhnya gemetar menahan marah.
Aku kaget bukan kepalang waktu mendadak terdengar suara Edward mewanti-wantiku.
"Berhati-hatilah, Bella," suaranya yang selembut beledu mengingatkan. "Jangan
paksa dia. Kau harus menenangkannya."
Bahkan suara di kepalaku bersikap tidak masuk akal hari ini.
Tapi aku tetap menurutinya. Aku rela melakukan apa saja demi suara itu.
"Jacob," aku memohon, mengubah nada suaraku jadi lembut dan datar. "Apakah
benar-benar perlu membunuh orang, Jacob" Apakah tidak ada cara lain" Maksudku,
kalau vampir bisa mencari jalan lain untuk bertahan tanpa membunuh orang, masa
kalian tidak bisa mencobanya juga?"
Jacob tertegak kaget, seolah-olah kata-kataku tadi menyetrum sekujur tubuhnya.
Alisnya terangkat dan matanya membelalak lebar.
"Membunuh orang?" tuntutnya.
"Memangnya kaupikir kita sedang membicarakan apa?"
Tubuh Jacob sudah tidak gemetar lagi. Kini ia menatapku dengan sikap tak percaya
bercampur harap-harap cemas. "Kusangka kita sedang berbicara tentang perasaan
jijikmu terhadap werewolf!"
"Tidak, Jake, bukan. Masalahnya bukan karena kau... werewolf. Itu bukan
masalah," aku berjanji padanya, dan aku tahu saat mengucapkan kata-kata itu
bahwa aku bersungguh-sungguh. Aku benar-benar tak peduli bila ia berubah menjadi
werewolf-dia tetap Jacob. "Kalau kau bisa mencari jalan untuk tidak melukai
orang-orang... hanya itu yang aku tidak suka. Mereka tidak berdosa Jake, orang-
orang seperti Charlie, dan aku tak mungkin menutup mata sementara kau-"
"Hanya itu" Sungguh?" Jacob menyela kata-kataku, senyumnya merekah. "Kau takut
karena aku ini pembunuh" Hanya itu alasanmu?"
"Apakah itu belum cukup?"
Tawa Jacob meledak. "Jacob Black, ini sangat tidak lucu!"
"Memang, memang," Jacob sependapat, masih terus terbahak bahak. Ia melangkah
lebar-lebar dan meraup tubuhku, memelukku erat-erat.
"Kau benar-benar sungguh-sungguh, tidak keberatan kalau aku bermetamorfosis
menjadi anjing raksasa?" tanyanya, suaranya terdengar bahagia di telingaku.
"Tidak," aku terkesiap. "Tidak - bisa - napas - Jake!"
Jacob melepaskan pelukannya, tapi meraih kedua tanganku. "Aku bukan pembunuh,
Bella." Kutatap wajahnya dengan saksama, dan tampak jelas itu benar. Perasaan lega
meliputiku. "Sungguh?" tanyaku.
"Sungguh," janji Jacob dengan sikap khidmat.
Kuangkat kedua lenganku dan kupeluk dia. Mengingatkanku pada hari pertama kami
menjajal motor-tapi tubuhnya lebih besar sekarang, dan aku merasa lebih seperti
kanak-kanak. Seperti waktu itu juga, ia membelai rambutku.
"Maaf aku mengataimu munafik," Jacob meminta maaf.
"Maaf aku mengataimu pembunuh."
Jacob tertawa. Sesuatu melintas dalam pikiranku saat itu, dan aku melepas pelukanku supaya bisa
menatap wajahnya. Alisku bertaut cemas. "Bagaimana dengan Sam" Dan yang lain-
lain?" Jacob menggeleng, tersenyum seakan-akan beban berat terangkat dari bahunya.
"Tentu saja tidak. Tidak ingatkah kau bagaimana kami menyebut diri kami?"
Ingatan itu sangat jelas-itu baru terpikir olehku hari ini, "Pelindung?"
"Tepat." "Tapi aku tidak mengerti. Apa yang terjadi di hutan" Para hiker yang hilang,
bercak darah?" Wajah Jacob langsung berubah serius dan
khawatir. "Kami berusaha melakukan tugas kami, Bella. Kami berusaha melindungi
mereka, tapi kami selalu sedikit terlambat."
"Melindungi mereka dari apa" Jadi benar-benar ada beruang di luar sana?"
"Bella, Sayang, kami hanya melindungi orang-orang dari satu hal - dari satu-
satunya musuh kami. Itu sebabnya kami ada - karena mereka juga ada."
Kutatap Jacob dengan pandangan kosong selama satu detik sebelum akhirnya
mengerti. Darah langsung surut dari wajahku dan pekikan pelan tanpa kata
terlontar dari bibirku. Jacob mengangguk. "Sudah kuduga kau pasti bisa menyadari apa yang sebenarnya
terjadi." "Laurent," bisikku. "Dia masih di sana."
Jacob mengerjapkan mata dua kali, dan menelengkan kepala ke satu sisi. "Siapa
Laurent?" Aku berusaha menyortir berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalaku agar bisa
menjawab. "Kau tahu - kau melihatnya di padang rumput. Kau kan ada di sana... "
Kata-kata itu terlontar dengan nada takjub saat semuanya jadi jelas. "Kau ada di
sana, karena itu dia tidak jadi membunuhku... "
"Oh si lintah berambut hitam itu?" Jacob menyeringai, Seringaiannya kaku dan
garang. "Jadi itukah namanya?"
Aku bergidik. "Nekat benar kau?" bisikku. "Dia bisa membunuhmu! Jake, tidak sadarkah kau
betapa berbahaya-" Lagi-lagi Jacob memotong perkataanku dengan tertawa. "Bella, satu vampir bukan
masalah besar bagi sekawanan werewolf sebesar kami. Begitu mudahnya sampai malah
tidak terasa asyik lagi!"
"Apanya yang mudah?"
"Membunuh si pengisap darah yang akan membunuhmu. Tapi itu bukan berarti kami
bisa digolongkan sebagai pembunuh," Jacob buru-buru menambahkan. "Vampir kan
bukan manusia." Aku hanya dapat menggerak-gerakkan mulut tanpa suara. "Kau... membunuh...
Laurent?" Jacob mengangguk. "Well, kami melakukannya bersama-sama," ia membenarkan.
"Jadi Laurent sudah mati?" bisikku.
Ekspresinya berubah. "Kau tidak marah, kan" Dia kan akan membunuhmu - dia memang
berniat membunuh, Bella, kami yakin itu sebelum kami menyerang. Kau juga tahu
itu, kan?" "Aku tahu itu. Tidak, aku tidak marah-aku... " Aku merasa harus duduk. Aku
mundur goyah selangkah sampai tungkaiku menyentuh driftwood, lalu mengenyakkan tubuhku di
sana. "Laurent sudah mati. Dia tidak akan kembali mencariku."
"Kau tidak marah, kan" Dia bukan temanmu atau bagaimana, kan?"
"Temanku?" Aku mendongak menatapnya, bingung dan pusing saking leganya. Aku
mulai mengoceh, mataku basah. "Tidak, Jake. Aku malah sangat... sangat lega.
Kusangka dia akan menemukanku - setiap malam aku ketakutan menunggunya datang,
berharap dia cukup puas denganku dan tidak mengganggu Charlie. Aku sangat
ketakutan, Jacob... Tapi bagaimana" Dia kan vampir! Bagaimana kalian bisa
membunuhnya" Dia kan sangat kuat, sangat keras, seperti marmer... "
Jacob duduk di sebelahku, lengannya yang besar merengkuhku dengan sikap
menenangkan. "Karena itulah kami diciptakan, Bella. Kami juga kuat. Kalau saja
kau memberi tahuku bahwa kau sangat ketakutan. Kau tak perlu takut."
"Kau kan tidak ada," gumamku, pikiranku menerawang.
"Oh, benar." "Tunggu, Jake - tapi kusangka kau sudah tahu. Semalam katamu tidak aman jika kau
berada di kamarku. Kusangka itu karena kau tahu ada vampir yang akan datang. Itu
kan yang maksudmu?" Jacob tampak bingung sebentar, kemudian menunduk. "Tidak, bukan itu maksudku."
"Kalau begitu kenapa menurutmu tidak aman bila kau berada di kamarku?"
Jacob menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Maksudku bukannya tidak aman
bagiku. Aku justru memikirkan keselamatanmu."
"Apa maksudmu?"
Jacob menunduk dan menendang sebutir batu. "Ada lebih dari satu alasan kenapa
aku tak seharusnya berada di dekatmu, Bella. Aku tidak boleh membocorkan rahasia
kami padamu, itu salah satunya, tapi alasan lain adalah karena ini tidak aman
bagimu. Kalau aku sangat marah... dan emosiku tersulut... bisa-bisa kau
terluka." Aku memikirkan penjelasannya baik-baik. "Waktu kau marah sebelumnya... waktu aku
meneriakimu... dan tubuhmu gemetar...?"
"Yeah." Jacob tertunduk semakin dalam. "Tolol benar aku. Aku harus lebih bisa
menahan diri. Aku sudah bersumpah untuk tidak marah, apa pun yang kaukatakan
padaku. Tapi... aku sangat marah karena kupikir aku akan kehilangan kau... bahwa
kau tak bisa menerima keadaanku yang sebenarnya... "
"Apa yang akan terjadi... bila kau sangat marah?" bisikku.
"Aku akan berubah menjadi serigala." Jacob balas berbisik.
"Tidak perlu menunggu bulan purnama?"
Jacob memutar bola matanya. "Versi Hollywood itu tak sepenuhnya benar." Lalu ia
mendesah, dan kembali serius. "Kau tidak perlu merasa terlalu takut. Bells. Kami
akan membereskan masalah ini. Dan kami akan menjaga Charlie serta yang lain-lain
secara khusus - kami tidak akan membiarkannya celaka. Percayalah padaku."
Sesuatu yang amat sangat jelas, yang seharusnya langsung bisa kutangkap - tapi
karena selama ini pikiranku sibuk membayangkan Jacob dan teman-temannya
berkelahi melawan Laurent, hal itu benar-benar tak terpikir olehku-baru muncul
dalam pikiranku saat itu, ketika Jacob mulai berbicara dalam konteks sekarang.
Kami akan membereskan masalah ini.
Jadi ini belum berakhir. "Laurent sudah tewas," aku terkesiap, sekujur tubuhku dingin seperti es.
"Bella?" tanya Jacob waswas, menyentuh pipiku yang kelabu
"Kalau Laurent sudah tewas... seminggu yang lalu... berarti ada orang lain yang
membunuh orang-orang itu sekarang."
Jacob mengangguk; rahangnya terkatup rapat, dan ia berbicara dari sela-selanya.
"Mereka berdua. Kami menyangka pasangannya pasti ingin melawan kami - dalam
kisah-kisah kami, mereka biasanya sangat marah kalau kau membunuh pasangan
mereka - tapi dia terus-menerus lari menjauh, tapi lalu kembali lagi. Kalau saja
kami tahu apa yang diincarnya, akan lebih mudah melumpuhkannya. Tapi sikapnya
tak masuk akal. Dia terus saja menari-nari di pinggir, seperti menguji
pertahanan kami, mencari jalan masuk- tapi masuk ke mana" Dia ingin pergi ke
mana" Menurut Sam, dia berusaha memisahkan kami, supaya kesempatannya lebih
besar... " Suara Jacob berangsur-angsur menghilang sampai kedengarannya seperti berasal
dari ujung terowongan yang panjang; aku tak lagi bisa menangkap kata demi kata.
Dahiku berkeringat dan perutku seperti diaduk-aduk, seperti waktu aku flu perut
dulu. Persis seperti waktu aku flu perut.
Aku cepat-cepat berpaling darinya, dan membungkuk di atas driftwood. Tubuhku
terguncang, perutku yang kosong sangat mual, walaupun tak ada apa-apa di
dalamnya yang bisa dimuntahkan.
Victoria ada di sini. Mencariku. Membunuhi orang-orang asing di hutan. Hutan
tempat Charlie melakukan pencarian...
Kepalaku berputar cepat. Jacob menyambar bahuku-mencegahku ambruk dan mencium bebatuan. Aku bisa
merasakan embusan napasnya yang panas di pipiku. "Bella! Ada apa?"
"Victoria," aku terkesiap segera setelah bisa menarik napas di sela-sela
serangan mual yang melandaku.
Di kepalaku, Edward menggeram marah mendengar nama itu.
Kubiarkan Jacob menarikku dari posisi dudukku yang terkulai, ia meletakkanku
dengan canggung di pangkuannya, membaringkan kepalaku yang lunglai ke bahunya.
Ia berusaha keras menyeimbangkanku, menjagaku agar tidak terkulai lemas dan
jatuh dari pangkuannya. Disingkirkannya rambutku yang berkeringat dan wajahku.
"Siapa?" tanya Jacob. "Kau bisa mendengarku, Bella" Bella?"
"Dia bukan pasangan Laurent," erangku di bahu Jacob. "Mereka hanya teman
lama..." "Kau mau minum" Perlu dokter" Katakan padaku aku harus bagaimana," tuntut Jacob,
bertubi-tubi. "Aku bukan sakit - aku takut," aku menjelaskan sambil berbisik. Istilah takut
kedengarannya tidak mencakup semua yang kurasakan.
Jacob menepuk-nepuk punggungku. "Takut pada si Victoria ini?"
Aku mengangguk, bergidik.
"Victoria itu vampir wanita berambut merah?"
Aku gemetar lagi, dan merintih, "Ya."
"Bagaimana kau bisa tahu dia bukan pasangannya?"
"Laurent memberi tahuku bahwa James-lah pasangannya," aku menjelaskan, otomatis
melemaskan tanganku yang dihiasi bekas luka.
Jacob memalingkan wajahku, merengkuhnya kuat-kuat dengan tangannya yang besar.
Ditatapnya mataku lekat-lekat. "Ada hal lain yang dia ceritakan, Bella" Ini
penting. Kau tahu vampir wanita itu menginginkan apa?"
"Tentu saja," bisikku. "Victoria menginginkan aku."
Mata Jacob membelalak lebar, lalu menyipit. "Mengapa?" tuntutnya.
"Edward membunuh James,'' bisikku. Jacob memegangiku sangat erat hingga aku tak
perlu mencengkeram lubang itu-pelukannya membuatku tetap utuh. "Victoria
memang... marah. Tapi kata Laurent, Victoria menganggap lebih adil membunuhku
daripada Edward. Pasangan sebagai ganti pasangan. Dia tidak tahu - masih belum
tahu, kurasa - bahwa... bahwa... " Aku menelan ludah dengan susah payah. "Bahwa
hubungan kami sudah tidak seperti itu lagi. Tidak bagi Edward, setidaknya."
Perhatian Jacob sempat beralih sebentar mendengar perkataanku itu, ekspresinya
campur aduk. "Jadi itu yang terjadi" Mengapa keluarga Cullen pindah?"
"Bagaimanapun, aku hanya manusia biasa. Tidak ada yang istimewa," aku
menjelaskan, mengangkat bahu lemah.
Sesuatu yang kedengarannya seperti geraman - bukan geraman sesungguhnya, hanya
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara manusia yang mencoba meniru - bergemuruh di dada Jacob di bawah telingaku.
"Kalau si pengisap darah idiot itu benar-benar cukup tolol untuk-"
"Please" erangku. "Please. Jangan."
Jacob ragu-ragu, lalu mengangguk satu kali.
"Ini penting," katanya lagi, wajahnya kembali serius sekarang. "Inilah tepatnya
yang perlu kami ketahui. Kita harus segera memberi tahu yang lain."
Jacob berdiri, menarikku hingga ikut berdiri. Kedua tangannya tetap memegangi
pinggangku sampai ia yakin aku tidak akan jatuh.
"Aku tidak apa-apa," dustaku.
Ia melepaskan sebelah tangannya dari pinggangku dan ganti memegang tanganku.
"Ayo kita pergi."
Jacob menarikku kembali ke truk.
"Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Aku belum yakin," Jacob mengakui. "Aku akan minta diadakan pertemuan. Hei,
tunggu dulu di sini sebentar, oke?" Jacob menyandarkanku ke sisi truk dan
melepaskan tanganku. "Kau mau ke mana?"
"Sebentar lagi aku kembali." janjinya. Lalu ia berbalik dan berlari cepat
melintasi lapangan parkir, menyeberang jalan, dan masuk ke balik hutan yang
memagari tepi jalan. Ia lenyap di balik pepohonan gesit dan cekatan bagai rusa.
"Jacob!' aku berteriak memanggilnya dengan suara serak, tapi ia sudah lenyap.
Ini bukan saat yang tepat untuk ditinggal sendirian. Beberapa detik setelah
Jacob tidak terlihat, aku sudah megap-megap kehabisan napas. Kuseret kakiku ke
dalam truk, dan langsung mengunci pintu rapat-rapat. Namun aku belum sepenuhnya
merasa tenang. Victoria sudah memburuku. Hanya keberuntungan yang membuatnya belum menemukanku
sekarang - hanya keberuntungan dan lima werewolf remaja. Aku mengembuskan napas
tajam. Tak peduli apa yang dikatakan Jacob, membayangkan ia berada di dekat
Victoria sungguh mengerikan. Aku tak peduli ia bisa berubah menjadi apa bila
marah. Aku bisa melihat Victoria dalam pikiranku, wajahnya liar, rambutnya
seperti api, mematikan, tak terkalahkan...
Tapi, menurut cerita Jacob, Laurent sudah mati. Apakah itu mungkin" Edward -
otomatis aku mencengkeram dadaku - pernah menjelaskan padaku betapa sulitnya
membunuh vampir. Hanya vampir lain yang bisa melakukannya. Tapi kata Jacob tadi
karena itulah werewolf diciptakan...
Katanya ia akan mengawasi Charlie secara khusus - bahwa sebaiknya aku
memercayakan keselamatan ayahku pada para werewolf Bagaimana aku bisa
memercayainya" Tak seorang pun dari kami aman! Apalagi Jacob, bila ia berusaha
menempatkan diri di antara Victoria dan Charlie... di antara Victoria dan aku.
Rasanya aku ingin muntah lagi.
Ketukan tajam di jendela membuatku memekik ketakutan - tapi ternyata hanya
Jacob, yang sudah kembali. Kubuka kunci pintu dengan jari-jari gemetar sekaligus
bersyukur. "Kau benar-benar ketakutan, ya?" tanyanya sambil memanjat naik.
Aku mengangguk. "Tidak perlu. Kami akan menjagamu - Charlie juga. Aku janji."
"Rasanya lebih mengerikan membayangkan kau menemukan Victoria daripada Victoria
menemukan aku," bisikku.
Jacob tertawa. "Kau harus lebih memercayai kami. Kalau tidak, itu sama saja
menghina." Aku hanya menggeleng. Aku sudah terlalu sering melihat vampir beraksi.
"Kau tadi ke mana?" tanyaku.
Jacob mengerucutkan bibir, dan tidak mengatakan apa-apa.
"Apa" Apa itu rahasia?"
Jacob mengerutkan kening. "Tidak juga. Agak aneh saja, tapi. Aku tidak ingin
membuatmu ngeri." "Aku sudah agak terbiasa dengan hal-hal yang aneh sekarang ini." Aku mencoba
tersenyum meski tak berhasil.
Jacob balas nyengir dengan enteng. "Kurasa mau tidak mau kau harus terbiasa
juga. Oke. Begini, saat kami menjadi serigala, kami bisa... saling mendengar."
Alisku bertaut bingung. "Bukan mendengar suara-suara," sambung Jacob, "tapi kami bisa mendengar...
pikiran- setidaknya pikiran masing-masing - tak peduli betapa pun jauhnya kami.
Itu sangat membantu bila kami berburu, namun di luar itu, justru terasa
mengganggu. Memalukan-membuat kita jadi tidak punya rahasia. Aneh, ya?"
"Jadi itu yang kaumaksud semalam, waktu kaubilang kau akan memberitahu mereka
bahwa kau datang menemuiku, walaupun sebenarnya tak ingin?"
"Cerdas juga kau."
"Kau juga pandai sekali menghadapi hal-hal aneh. Kusangka itu akan membuatmu
merasa terganggu." "Itu tidak... kau bukan orang pertama yang kukenal yang bisa melakukan hal
seperti itu. Jadi rasanya tidak aneh bagiku."
"Benarkah"... Tunggu-maksudmu para pengisap darah itu?"
"Kuharap kau tidak menyebut mereka begitu." Jacob tertawa.
"Terserah. Keluarga Cullen, kalau begitu?"
"Hanya... hanya Edward." Diam-diam kulingkarkan sebelah tanganku ke tubuh.
Jacob tampak terkejut - terkejut yang tidak senang. "Kusangka itu hanya dongeng.
Aku memang pernah mendengar legenda tentang vampir yang bisa melakukan... hal-
hal istimewa, tapi kusangka itu hanya mitos."
"Apakah masih ada yang hanya mitos?" tanyaku kecut.
Jacob merengut. "Kurasa tidak. Oke, kita akan bertemu Sam dan yang lain-lain di
tempat kita naik motor dulu."
Aku menyalakan mesin dan menjalankan trukku kembali di jalan.
"Jadi kau berubah jadi serigala tadi, agar bisa berbicara pada Sam?" tanyaku,
penasaran. Jacob mengangguk, tampak malu-malu. "Hanya sebentar-aku mencoba untuk tidak
memikirkanmu agar mereka tidak tahu apa yang terjadi. Aku takut Sam akan
menyuruhku untuk tidak mengajakmu."
"Itu tidak akan menghentikanku." Aku tidak dapat mengenyahkan persepsiku bahwa
Sam jahat. Aku selalu mengatupkan gigiku rapat-rapat setiap kali mendengar
namanya. "Well, tapi itu akan menghentikan aku" kata Jacob, berubah muram. "Ingat
bagaimana aku tak bisa menyelesaikan kalimatku semalam" Bagaimana aku tak bisa
menyampaikan ceritaku secara utuh?"
"Yeah. Kau kelihatan seperti tercekik sesuatu."
Jacob berdecak garang. "Nyaris. Sam bilang, aku tidak boleh memberi tahumu. Dia
itu... ketua kawanan, begitulah. Dia itu Alpha-nya. Bila dia menyuruh kami
melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu - bila dia bersungguh-sungguh
dengan ucapannya, Well, kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja."
"Aneh," gerutuku.
"Sangat," Jacob sependapat. "Itu semacam kekhasan werewolf."
"Hah" adalah respons terbaik yang terpikirkan olehku.
"Yeah, hal semacam itu banyak sekali-hal-hal yang khas werewolf. Aku tak bisa
membayangkan keadaan Sam, berusaha menghadapinya sendirian. Bersama-sama sebagai
kawanan saja sudah cukup buruk, apalagi sendirian.
"Sam pernah sendirian?"
"Yeah," Jacob merendahkan suaranya. "Waktu aku... berubah, itu peristiwa
paling... buruk peristiwa paling mengerikan yang pernah kualami - lebih buruk
daripada yang bisa ku bayangkan. Tapi aku tidak sendirian - ada suara-suara di
sana. Dalam kepalaku, menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang harus kulakukan.
Dengan begitu aku bisa tetap mempertahankan kewarasanku. kurasa. Tapi Sam..."
Jacob menggeleng-gelengkan kepala. "Sam tidak dapat bantuan dari siapa pun."
Butuh waktu cukup lama untuk bisa menerima semua ini. Saat Jacob menjelaskan
seperti itu. sulit untuk tidak merasa kasihan pada Sam. Aku berulang kali harus
mengingatkan diri sendiri bahwa tak ada alasan untuk membencinya lagi.
"Apakah mereka akan marah melihatku datang bersamamu?" tanyaku.
Jacob mengernyitkan muka.
"Mungkin. Mungkin sebaiknya aku-"
"Tidak, tidak apa-apa." Jacob menenangkanku. "Kau tahu banyak hal yang bisa
membantu kami. Kau kan bukannya tidak tahu apa-apa. Kau seperti... entahlah,
mata-mata atau apa. Kau pernah berada di belakang garis lawan."
Aku mengerutkan kening. Itukah yang diinginkan Jacob dariku" Informasi dari
"orang dalam" yang bisa membantu mereka menghancurkan musuh" Tapi aku bukan
mata-mata. Selama ini aku tidak mengumpulkan informasi apa-apa. Belum-belum,
perkataannya tadi membuatku merasa seperti pengkhianat.
Tapi aku ingin ia menghentikan Victoria, kan"
Tidak. Aku memang ingin Victoria dihentikan, kalau bisa sebelum ia menyiksaku sampai
mati atau bertemu Charlie atau membunuh orang asing lagi. Aku hanya tidak ingin
Jacob menjadi orang yang menghentikannya, atau yang mencoba menghentikannya. Aku
tidak ingin Jacob dekat-dekat dengannya.
"Seperti soal pengisap darah yang bisa membaca pikiran," sambung Jacob, tak
menyadari kebisuanku. "Itu salah satu hal yang perlu kami ketahui. Sungguh
menyebalkan bahwa ternyata cerita-cerita itu benar. Semuanya jadi lebih rumit
Hei. menurutmu si Victoria ini juga punya kemampuan khusus?"
"Kurasa tidak," jawabku ragu, kemudian mendesah. "Kalau ada, dia pasti sudah
menceritakannya." "Dia" Oh, maksudmu Edward-uupps, maaf. Aku lupa. Kau tidak suka menyebut
namanya. Atau mendengarnya."
Kuremas perutku, berusaha mengabaikan perasaan berdenyut-denyut di sekitar
dadaku. "Tidak juga, tidak."
"Maaf." "Bagaimana kau bisa begitu mengenalku, Jacob" Terkadang seolah-olah kau bisa
membaca pikiranku." "Ah, tidak. Aku hanya memerhatikan."
Kami sampai di jalan tanah kecil tempat Jacob pertama kali mengajarku naik
motor. "Ini tidak apa-apa?" tanyaku.
"Tentu, tentu."
Aku menepi dan mematikan mesin.
"Kau masih merasa tidak bahagia, ya?"
gumamnya. Aku mengangguk, mataku menerawang ke hutan yang muram.
"Apa menurutmu... mungkin... sekarang ini kau jadi lebih baik tanpanya?"
Aku menghela napas lambat-lambat, kemudian mengembuskannya. "Tidak."
"Karena dia bukan yang terbaik-"
"Please, Jacob," selaku, memohon sambil
berbisik. "Bisakah kita tidak membicarakan
masalah ini" Aku tidak tahan!"
"Oke." Jacob menarik napas dalam-dalam. "Maaf kalau aku mengungkit soal itu."
"Jangan merasa tidak enak. Kalau saja situasinya berbeda, justru menyenangkan
akhirnya bisa membicarakan hal ini dengan orang lain.
Jacob mengangguk. "Yeah, menyimpan rahasia dirimu selama dua minggu saja rasanya
sulit. Pastilah berat sekali, tidak bisa membicarakannya dengan siapa pun."
"Berat sekali." aku membenarkan.
Jacob terkesiap. "Mereka datang. Ayo turun."
"Kau yakin" tanyaku sementara Jacob membuka pintu truk. "Mungkin sebaiknya aku
tidak berada di sini."
"Mereka harus bisa menerimanya," kata Jacob, kemudian nyengir. "Siapa sih yang
takut pada serigala besar yang jahat?"
"Ha ha," sergahku. Tapi aku turun juga dari truk, bergegas mengitari bagian
depan untuk berdiri di samping Jacob. Aku masih ingat jelas monster-monster
raksasa yang kulihat di padang rumput itu.
Kedua tanganku gemetar, seperti tangan Jacob tadi, tapi lebih karena takut
ketimbang marah. Jacob meraih tanganku da meremasnya "Itu mereka."
14. KELUARGA AKU mengkeret di samping Jacob, mataku menyapu hutan, mencari werewolf lain.
Ketika mereka muncul, melangkah keluar dari sela-sela pepohonan, penampilan
mereka tak seperti yang kuharapkan. Sejak tadi, yang ada dalam pikiranku
hanyalah bayangan para serigala. Tapi yang kulihat ini adalah empat cowok
setengah telanjang bertubuh sangat besar.
Sekali lagi, mereka mengingatkanku pada kakak-beradik, kembar empat. Dari cara
mereka berjalan yang nyaris sinkron satu sama lain, berdiri di seberang jalan di
depan kami, bagaimana mereka semua memiliki otot-otot yang panjang dan liat di
bawah kulit yang sama-sama cokelat kemerahan, rambut hitam mereka sama-sama
dipangkas pendek, serta bagaimana ekspresi mereka mendadak berubah pada saat
yang tepat sama. Awalnya mereka datang dengan sikap ingin tahu dan hati-hati. Tapi begitu
melihatku di sana, separo tersembunyi di samping Jacob, amarah mereka langsung
meledak pada detik yang sama.
Sam masih yang paling besar, walaupun Jacob sebentar lagi bakal menyainginya.
Sam sudah tidak bisa lagi disebut remaja. Wajahnya sudah lebih tua - bukan
berarti sudah keriput atau ada tanda-tanda penuaan, tapi dalam hal kematangan,
serta ekspresi sabarnya. "Apa yang kaulakukan, Jacob?" tuntutnya.
Salah seorang di antara mereka, yang tidak kukenal - Jared atau Paul - merangsek
melewati Sam dan langsung menyemprot Jacob sebelum ia bisa membela diri.
"Mengapa kau tidak bisa mengikuti aturan, Jacob?" teriaknya, mengangkat kedua
tangannya ke udara. "Apa sih yang kaupikirkan" Apakah dia lebih penting daripada
segalanya - daripada seluruh suku" Daripada orang-orang yang bakal terbunuh?"
"Dia bisa membantu," jawab Jacob pelan.
"Membantu!" teriak cowok yang marah itu.
Kedua lengannya mulai gemetar. "Oh, mana mungkin! Aku yakin si pencinta lintah
itu setengah mati ingin membantu kita!"
"Jangan bicara tentang dia seperti itu!" Jacob balas berteriak, tersinggung
mendengar sindiran itu. Sekujur tubuh cowok itu bergetar hebat, mulai dari bahu hingga ke punggung.
"Paul! Tenang!" Sam memerintahkan.
Paul menggerakkan kepala ke belakang dan ke depan, bukan membantah, tapi seolah-
olah seperti berusaha berkonsentrasi.
"Ya ampun, Paul," gerutu salah seorang di antara mereka - mungkin Jared.
"Kendalikan dirimu."
Paul memuntir kepalanya ke arah Jared, bibirnya menekuk ke belakang dengan sikap
kesal. Lalu ia beralih menatapku garang.
Jacob maju selangkah untuk menamengiku.
Tindakannya itu justru membuat amarah Paul semakin menjadi-jadi.
"Betul sekali, lindungi dia!" raung Paul marah.
Tubuhnya kembali bergetar, berguncang hebat, dan kepala sampai kaki Ia
mengedikkan kepalanya, geraman terlontar dari sela-sela giginya.
"Paul!" Sam dan Jacob berteriak berbarengan.
Paul seperti terjungkal ke depan, tubuhnya bergetar dahsyat. Sebelum tubuhnya
mencium tanah, terdengar suara robekan keras, dan tubuh cowok itu meledak.
Bulu-bulu perak gelap menyembur keluar dari tubuhnya, mengubahnya menjadi
makhluk yang lima kali lebih besar daripada ukuran sebenarnya-makhluk itu sangat
besar dan berdiri dengan sikap membungkuk, siap menerkam.
Moncong serigala itu tertarik ke belakang, menampakkan gigi-giginya, dan sebuah
geraman lagi menggemuruh dari dadanya yang besar. Bola matanya yang gelap dan
berapi-api terpaku padaku.
Detik itu juga Jacob berlari menyeberang jalan, langsung menghampiri monster
itu. "Jacob!" jeritku.
Setengah jalan, sekujur tubuh Jacob bergetar hebat. Ia melompat maju, menerjang
dalam posisi kepala lebih dulu ke udara yang kosong.
Diiringi suara robekan nyaring, Jacob juga meledak. Ia meledak keluar dari
kulitnya-cabikan-cabikan kain hitam dan putih terpental ke udara. Kejadiannya
begitu cepat hingga seandainya aku berkedip, seluruh proses transformasi itu
pasti akan luput dari penglihatanku. Sedetik sebelumnya Jacob melompat tinggi ke
udara, derik berikutnya ia sudah berubah menjadi serigala cokelat kemerahan-
sangat besar hingga rasanya tak masuk akal bagiku bagaimana makhluk sebesar itu
bisa berada di dalam diri Jacob- menerkam monster berbulu perak yang merunduk.
Jacob membungkam serangan si werewolf dengan langsung menerkam kepalanya.
Geraman-geraman marah bergema seperti halilintar memantul di pepohonan.
Cabikan-cabikan kain hitam dan putih sisa-sisa pakaian Jacob jatuh ke tanah
tempat ia menghilang tadi.
"Jacob!" jeritku lagi, terhuyung-huyung maju.
"Tetaplah di tempatmu, Bella," Sam memerintahkan. Sulit mendengar suaranya di
antara raungan dua serigala yang sedang bertarung. Keduanya saling menggigit dan
merobek, gigi mereka yang tajam saling mengarah ke tenggorokkan masing-masing.
Serigala Jacob tampaknya berada di atas angin - tubuhnya jelas lebih besar
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daripada serigala yang lain, dan kelihatannya juga lebih kuat. Ia memukulkan
bahunya berkali-kali ke tubuh si serigala abu-abu, memukul mundur ke arah hutan.
"Bawa Bella ke rumah Emily," teriak Sam pada yang lain, yang menonton
pertarungan itu dengan asyik. Jacob berhasil mendorong serigala kelabu itu
keluar dari jalan, dan mereka lenyap ke balik hutan, walaupun geraman-geraman
mereka masih terdengar nyaring. Sam lari mengejar mereka, menendang sepatunya
hingga terlepas sambil berlari. Saat melesat memasuki pepohonan, sekujur
tubuhnya bergetar dari kepala sampai kaki.
Geraman dan suara moncong dikatupkan dengan keras berangsur-angsur lenyap. Tiba-
tiba suara itu hilang sama sekali dan jalanan langsung lengang.
Salah satu cowok itu tertawa.
Aku menoleh dan menatapnya - mataku yang membelalak terasa membeku, seakan-akan
aku tak bisa mengerjapkan mata.
Cowok itu sepertinya menertawakan ekspresiku.
" Well, jarang-jarang kan, kau melihat yang seperti itu," tawanya terkekeh-
kekeh. Samar-samar aku mengenali wajahnya - lebih kurus daripada yang lain...
Embry Call. "Kalau aku sih sudah sering," sergah cowok yang lain, Jared, menggerutu. "Setiap
hari, malah." "Ah, Paul kan tidak setiap hari lepas kendali seperti tadi," sergah Embry tak
setuju, sambil terus nyengir. "Mungkin dua dalam tiga kali kesempatan."
Jared berhenti untuk memungut sesuatu yang berwarna putih dari tanah. Ia
mengacungkannya pada Embry; benda ini menggelantung lemas di tangannya.
"Hancur sama sekali," kata Jared. "Padahal kata Billy, ini sepatu terakhir yang
bisa dibelinya - kurasa mulai sekarang Jacob harus bertelanjang kaki."
"Yang satu ini selamat," kata Embry, mengacungkan kets putih. "Jadi Jake bisa
melompat-lompat," imbuhnya sambil tertawa.
Jared mulai mengumpulkan cabikan-cabikan kain dari tanah. "Bisa tolong ambilkan
sepatu Sam" Yang lain-lain akan langsung dibuang ke tong sampah."
Embry menyambar sepatu-sepatu itu, lalu berlari-lari kecil ke tempat Sam
menghilang tadi. Sejurus kemudian ia muncul lagi dengan jins dipotong pendek
tersampir di lengan. Jared mengumpulkan cabikan-cabikan pakaian Jacob dan Paul.
Mendadak ia seperti teringat padaku.
Ia memandangiku dengan saksama, menilai.
"Hei, kau tidak mau pingsan atau muntah atau sebangsanya, kan?" desaknya.
"Rasanya tidak," jawabku terkesiap.
"Kau kelihatan agak pucat. Mungkin sebaiknya kau duduk."
"Oke," gumamku. Untuk kedua kalinya pagi itu, aku menyurukkan kepalaku di antara
lutut. "Jake seharusnya memperingatkan kami," keluh Embry.
"Seharusnya dia tidak mengajak ceweknya. Memangnya apa yang dia harapkan bakal
terjadi?" "Well, ketahuan deh kalau kita serigala," desah Embry. "Hebat, Jake."
Aku menengadahkan wajah dan memelototi kedua cowok yang sepertinya menganggap
semua ini masalah kecil. "Kalian sama sekali tidak khawatir memikirkan
keselamatan mereka?" tuntutku.
Embry mengerjapkan mata satu kali, terkejut. "Khawatir" Mengapa?"
"Bisa-bisa mereka saling melukai!"
Embry dan Jared tertawa terbahak-bahak. "Aku justru berharap Paul berhasil
menggigitnya," sergah Jared. "Biar tahu rasa dia."
Aku langsung pucat. "Hah, yang benar saja!" Embry tidak sependapat.
"Kau lihat tidak Jake tadi" Begitu dilihatnya Paul lepas kendali, dia hanya
butuh waktu, berapa, setengah detik untuk menyerang" Anak itu benar-benar
berbakat." "Paul sudah lebih lama bertarung. Taruhan sepuluh dolar, dia pasti berhasil
meninggalkan bekas luka di tubuh Jake."
"Taruhan diterima. Jake sangat alami. Paul tidak bakal punya kesempatan."
Mereka bersalaman, nyengir.
Aku berusaha menghibur diri melihat sikap mereka yang seolah tak peduli, tapi
aku tak sanggup mengenyahkan bayangan brutal serigala-serigala yang bertarung
itu dari kepala ku. Perutku mulas, perih dan kosong, kepalaku berdenyut-denyut
karena khawatir. "Ayo kita ke rumah Emily. Dia pasti sudah menyiapkan makanan." Embry menunduk
memandangiku. "Keberatan tidak mengantar kami ke sana?"
"Tidak masalah," jawabku dengan suara tercekik.
Jared mengangkat sebelah alis. "Mungkin sebaiknya kau saja yang nyetir, Embry.
Dia masih kelihatan seperti mau muntah."
"Ide bagus. Mana kuncinya?" Embry bertanya padaku.
"Masih di lubangnya."
Embry membuka pintu penumpang. "Naiklah," katanya dengan nada riang,
mengangkatku dengan sebelah tangan dan mendudukkanku di jok mobil. Diamatinya
ruang kosong yang tersisa di kabin depan. "Kau terpaksa duduk di bak belakang"
katanya pada Jared. "Tidak apa-apa. Soalnya aku gampang jijik. Aku tidak mau berada di dalam sana
kalau dia muntah nanti."
"Aku berani bertaruh dia lebih kuat daripada itu. Dia kan bergaul dengan
vampir." "Lima dolar?" tanya Jared.
"Beres. Aku jadi merasa tidak enak, mengambil uangmu seperti ini."
Embry naik dan menyalakan mesin sementara Jared melompat cekatan ke bak
belakang. Begitu pintu ditutup, Embry bergumam padaku, "Jangan muntah, oke" Aku
cuma punya sepuluh dolar, dan kalau Paul menggigit Jacob... "
"Oke." bisikku Embry menjalankan truk. mengantar kami kembali ke perkampungan.
"Hei. bagaimana cara Jake mengakali aturan itu?"
"'Mengakali... apa?"
"Eh, perintah itu. Kau tahu, untuk tidak
membocorkan rahasia. Bagaimana cara dia memberi tahu hal ini padamu?"
"Oh, itu," kataku, ingat bagaimana Jacob berusaha keras menahan keinginan untuk
membeberkan hal sebenarnya padaku semalam. "Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku
bisa menebak dengan benar."
Embry mengerucutkan bibir, tampak terkejut. "Hmm. Kurasa boleh juga kalau
begitu." "Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Ke rumah Emily. Dia pacar Sam... bukan, sekarang sudah tunangannya, kurasa.
Mereka akan menemui kami di sana setelah Sam berhasil melerai mereka. Dan
setelah Paul dan Jake berhasil mendapat baju lagi, kalau masih ada baju Paul
yang tersisa." "Apakah Emily tahu tentang...?"
"Yeah. Dan hei, jangan memandangi dia terus, ya" Sam bakal marah."
Aku mengerutkan kening padanya. "Kenapa aku ingin memandanginya terus?"
Embry tampak tidak enak hati. "Seperti yang kaulihat barusan tadi, ada risikonya
bergaul dengan werewolf. Ia buru-buru mengubah topik. "Hei, kau tidak marah kan,
soal si pengisap darah berambut hitam yang di padang rumput itu" Kelihatannya
dia bukan temanmu, tapi... " Embry mengangkat bahu.
"Tidak, dia bukan temanku."
"Baguslah. Kami tidak mau memulai sesuatu, melanggar kesepakatan, kau tahu."
"Oh ya, Jake pernah bercerita tentang kesepakatan itu, dulu sekali. Kenapa
membunuh Laurent berarti melanggar kesepakatan?"
"Laurent," Embry mengulangi, mendengus, seolah-olah geli vampir itu memiliki
nama. "Well, teknisnya sih, kami membuat kesepakatan itu dengan keluarga Cullen.
Kami tidak boleh menyerang salah seorang di antara mereka, keluarga Cullen,
setidaknya, di luar tanah kami - kecuali mereka lebih dulu melanggar
kesepakatan. Kami tidak tahu si pengisap darah berambut hitam itu kerabat mereka
atau bukan. Kelihatannya kau mengenalnya."
"Mereka melanggar kesepakatan kalau melakukan apa?"
"Kalau mereka menggigit manusia. Jake tidak mau menunggu sampai sejauh itu."
"Oh. Eh, trims. Aku senang kalian tidak menunggu sampai dia menggigitku."
"Sama-sama." Embry terdengar seperti bersungguh-sungguh.
Embry mengemudikan truk hingga melewati rumah yang terletak paling timur di sisi
jalan raya sebelum berbelok memasuki sepotong jalan tanah yang sempit, "Trukmu
lamban," komentarnya.
"Maaf." Di ujung jalan tampak rumah mungil yang dulu berwarna abu-abu. Hanya ada satu
jendela sempit di samping pintu biru yang sudah kusam dimakan cuaca, tapi kotak
jendela bawahnya penuh bunga marigold jingga dan kuning cerah, memberi kesan
ceria pada rumah itu. Embry membuka pintu mobil dan menghirup udara dalam-dalam. "Mmmm, Emily sedang
memasak." Jared melompat turun dan bak belakang dan langsung menuju pintu, tapi Embry
menghentikannya dengan meletakkan tangan di dadanya. Ia menatapku dengan penuh
arti dan berdeham-deham. "Aku tidak bawa dompet," dalih Jared.
"Tidak apa-apa. Aku tidak akan lupa."
Mereka menaiki satu undakan dan masuk ke rumah tanpa mengetuk pintu. Aku
mengikuti dengan malu-malu.
Ruang depan, seperti halnya rumah Billy, sebagian besar berupa dapur. Seorang
wanita muda, berkulit sehalus satin berwarna tembaga dan rambut lurus panjang
berwarna hitam seperti bulu gagak, berdiri di konter dekat bak cuci piring,
mengeluarkan kue-kue muffin dari loyang dan menaruhnya di piring kertas. Sesaat
aku sempat mengira alasan Embry mengatakan padaku untuk tidak memandanginya
adalah karena gadis itu sangat cantik.
Kemudian gadis itu bertanya, "Kalian lapar?" dengan suara merdu mengalun, dan
memalingkan wajah sepenuhnya menghadap kami, senyum tersungging di separuh
bagian wajahnya. Sisi kanan wajahnya dipenuhi bekas luka yang memanjang dari batas rambut hingga
ke dagu, tiga garis merah panjang dan tebal, berwarna terang meski luka itu
sudah lama sembuh. Satu garis menarik sisi bawah sudut matanya yang hitam dan
berbentuk kenan, garis yang lain memilin sisi kanan mulutnya menjadi seringaian
permanen. Bersyukur karena sudah diperingatkan Embry, aku buru-buru mengalihkan pandangan
ke kue-kue muffin di tangannya. Baunya sangat lezat -seperti blueberry segar.
"Oh," seru Emily, terkejut. "Siapa ini?"
Aku menengadah, berusaha memfokuskan pandangan pada sisi kiri wajahnya.
"Bella Swan," Jared menjawab pertanyaannya sambil mengangkat bahu. Rupanya, aku
pernah menjadi topik pembicaraan sebelum ini. "Siapa lagi?"
"Bukan Jacob namanya kalau tidak bisa mengakali perintah," gumam Emily. Ia
memandangiku, dan tak satu pun dari dua bagian wajah yang dulu cantik itu
terlihat ramah. "Jadi, kau ini si cewek vampir."
Aku mengejang. "Ya. Kalau kau cewek serigala?"
Emily tertawa, begitu pula Embry dan Jared. Sisi kiri wajahnya berubah hangat.
"Kurasa begitu." Ia berpaling kepada Jared. "Mana Sam?"
"Bella, eh, membuat Paul kaget tadi pagi."
Emily memutar bola matanya yang tidak cacat. "Ah, Paul," desahnya. "Kira-kira
lama atau tidak" Aku baru mau mulai memasak telur."
"Jangan khawatir," Embry menenangkan. "Kalau mereka terlambat, kami tidak akan
membiarkan makanannya mubazir."
Emily terkekeh, lalu membuka lemari es. "Tidak diragukan lagi," ujarnya
sependapat. "Bella, kau lapar" Silakan ambil muffin-nya."
"Trims." Aku mengambil satu dari piring dan mulai menggigiti pinggirnya. Rasanya
lezat, dan terasa nyaman di perutku yang mual. Embry meraih kue ketiga dan
menjejalkannya ke mulut. "Sisakan untuk saudara-saudaramu," tegur Emily memukul kepalanya dengan sendok
kayu. Istilah itu membuatku terkejut, tapi yang lain-lain sepertinya tidak
menganggapnya aneh. "Dasar rakus," komentar Jared.
Aku bersandar di konter dan menonton mereka bertiga saling mengejek seperti
keluarga. Dapur Emily menyenangkan, cemerlang dengan rak-rak dapur berwarna
putih dan lantai papan dan kayu berwarna pucat. Di atas meja bulat kecil, sebuah
teko porselen biru-putih yang sudah retak penuh berisi bunga-bunga liar. Embry
dan Jared terlihat seperti di rumah sendiri di sini.
Emily mengocok telur dalam porsi sangat besar, beberapa lusin sekaligus, di
mangkuk kuning besar. Ia menyingsingkan lengan bajunya yang berwarna lembayung
muda, dan aku bisa melihat bekas-bekas luka membentang sepanjang lengan hingga
ke punggung tangan kanan. Bergaul dengan
werewolf memang benar-benar berisiko, tepat seperti yang dikatakan Embry tadi.
Pintu depan terbuka, dan Sam melangkah masuk.
"Emily," sapanya, nadanya penuh cinta hingga aku merasa malu, seperti
pengganggu, saat kulihat Sam berjalan melintasi ruangan hanya dalam satu langkah
lebar dan merengkuh wajah Emily dengan telapak tangannya yang lebar. Ia
membungkuk dan mengecup bekas luka gelap di pipi kanan Emily sebelum mengecup
bibirnya. "Hei, jangan begitu dong," Jared protes. "Aku sedang makan."
"Kalau begitu tutup mulut dan makan sajalah," usul Sam, mencium bibir Emily yang
hancur itu sekali lagi. "Ugh," erang Embry.
Ini lebih parah daripada film romantis mana pun; adegan itu begitu nyata
mendendangkan kebahagiaan, kehidupan, dan cinta sejati. Kuletakkan muffin-ku dan
kulipat kedua lenganku di dadaku yang kosong. Kupandangi bunga-bunga itu,
berusaha mengabaikan momen intim mereka, serta luka hatiku sendiri yang
berdenyut-denyut nyeri. Aku bersyukur karena perhatianku kemudian beralih pada Jacob dan Paul yang
menerobos masuk melalui pintu, shock berat karena mereka tertawa-tawa. Kulihat
Paul meninju bahu Jacob dan Jacob membalas dengan menyikut pinggangnya. Mereka
tertawa lagi. Kelihatannya mereka tidak kurang sesuatu apa pun.
Jacob memandang sekeliling ruangan, berhenti begitu melihatku bersandar,
canggung dan rikuh, di konter di pojok dapur.
"Hei, Bella," ia menyapaku riang. Disambarnya dua muffin ketika berjalan
melewati meja lalu berdiri di sampingku. "Maaf soal tadi," gumamnya pelan.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Muffin-nya enak" Kuambil lagi muffinya dan
mulai menggigitinya lagi. Dadaku langsung terasa lebih enak begitu Jacob ada di
sampingku. "Oh, ya ampun!" raung Jared, menyela kami.
Aku menengadah, dan melihat Jared serta Embry mengamati garis merah muda samar
di lengan atas Paul. Embry nyengir, girang.
"Lima belas dolar," soraknya.
"Itu gara-gara kau?" bisikku pada Jacob, teringat taruhan mereka.
"Aku nyaris tidak menyentuhnya kok. Saat matahari terbenam nanti lukanya pasti
sudah sembuh." "Saat matahari terbenam?" Kupandangi garis di lengan Paul. Aneh, tapi
kelihatannya luka itu seperti sudah berumur beberapa minggu.
"Khas werewolf," bisik Jacob.
Aku mengangguk, berusaha untuk tidak terlihat bingung.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku pada Jacob
dengan suara pelan. "Tergores pun tidak," Ekspresinya puas.
"Hei, guys," seru Sam dengan suara nyaring, menyela obroli dalam ruangan kecil
itu. Emily sedang menghadap kompor mengaduk-aduk adonan telur dalam wajan besar,
tapi sebelah tangan Sam masih memegang bagian atas punggung Emily gerakan yang
tidak disadarinya. "Jacob punya informasi untuk kita."
Paul tidak tampak terkejut. Jacob pasti sudah menjelaskan tentang ini padanya
dan Sam. Atau... mereka mendengar pikiran Jacob.
"Aku tahu apa yang diinginkan si rambut merah itu." Jacob menujukan perkataannya
pada Jared dan Embry. "Itulah yang ingin kusampaikan pada kalian sebelumnya."
Ditendangnya kaki kursi yang diduduki Paul.
"Lalu?" tanya Jared.
Wajah Jacob berubah serius. "Dia memang berusaha membalas dendam atas kematian
pasangannya - tapi ternyata pasangannya bukanlah si pengisap darah berambut
hitam yang kita bunuh. Keluarga Cullen membunuh pasangannya tahun lalu, jadi
sekarang dia mengincar Bella."
Itu bukan berita baru bagiku, tapi tetap saja aku bergidik ngeri mendengarnya.
Jared, Embry, dan Emily menatapku dengan mulut ternganga kaget.
"Dia kan hanya gadis biasa," protes Embry.
"Aku tidak berkata itu masuk akal. Tapi itulah sebabnya si pengisap darah
berusaha menerobos pertahanan kita. Dia berniat pergi ke Forks."
Mereka terus menatapku dengan mulut masih terbuka lebar selama beberapa saat.
Kutundukkan kepalaku. "Bagus sekali," kata Jared akhirnya, senyuman mulai bermain di bibirnya. "Kita
punya umpan."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kecepatan mengagumkan Jacob menyambar pembuka kaleng dari konter dan
melemparkannya ke kepala Jared. Tangan Jared terangkat lebih cepat daripada yang
kupikir mungkin terjadi, dan menangkapnya tepat sebelum alat itu menghantam
wajahnya. "Bella bukan umpan."
"Kau tahu maksudku," tukas Jared, tidak merasa malu.
"Jadi kita akan mengubah pola kita," kata Sam, mengabaikan pertengkaran mereka.
"Kita akan mencoba meninggalkan beberapa lubang, dan melihat apakah dia akan
terperangkap di dalamnya. Kita harus berpencar, dan aku tidak suka itu. Tapi
kalau dia memang benar-benar mengincar Bella, dia mungkin tidak akan berusaha
memanfaatkan kekuatan kita yang terpecah."
"Quil harus segera bergabung dengan kita,"gumam Embry. "Dengan begitu kita bisa
berpencar dalam jumlah sama besar."
Semua menunduk. Aku melirik wajah Jacob, dan ekspresinya tampak tak berdaya,
seperti kemarin sore, di depan rumahnya. Walaupun sekarang mereka kelihatannya
sudah bisa menerima takdir mereka, di sini di dapur yang ceria ini. Tak seorang
werewolf pun menginginkan nasib yang sama menimpa teman mereka.
"Well, kita tidak boleh mengandalkan hal ini." kata Sam pelan, kemudian
melanjutkan kata-katanya dengan suara biasa. "Paul, Jared, dan Embry akan
bertugas di perimeter luar sementara Jacob dan aku bertugas di bagian dalam.
Kita akan bersatu lagi setelah berhasil menjebaknya."
Kulihat Emily tidak terlalu suka mendengar Sam akan berada di kelompok yang
lebih kecil. Kekhawatirannya membuatku menengadah dan menatap Jacob, ikut
khawatir juga. Sam menatap mataku. "Menurut Jacob, sebaiknya kau lebih banyak menghabiskan
waktu di sini. Di La Push. Dia takkan bisa menemukanmu semudah itu. untuk
berjaga-jaga." "Bagaimana dengan Charlie?" tuntutku.
"March Madness masih berlangsung," kata Jacob. "Kurasa Billy dan Harry bisa
mengajak Charlie ke sini bila tidak sedang bekerja."
"Tunggu." sergah Sam. mengangkat sebelah tangan. Ia melirik Emily sebentar, lalu
melirikku. "Menurut Jacob itulah yang terbaik, tapi kau harus memutuskannya sendiri.
Sebaiknya kau pertimbangkan benar-benar risiko kedua pilihan itu dengan sangat
serius. Kaulihat sendiri tadi pagi betapa mudahnya keadaan berubah menjadi
berbahaya di sini, betapa cepatnya situasi menjadi tak terkendali. Jika kau
memutuskan untuk tinggal bersama kami, aku tak bisa menjamin keselamatanmu."
"Aku tidak akan melukainya," gumam Jacob, menunduk.
"Sam berlagak seolah-olah tidak mendengar perkataannya. "Kalau ada tempat lain
di mana kau merasa aman... "
Aku menggigit bibir. Ke mana aku bisa pergi yang tidak akan membahayakan
keselamatan orang lain" Aku bergidik ngeri membayangkan diriku menyeret Renee ke
dalam persoalan ini - menariknya ke tengah lingkaran sasaran tembak yang
kukenakan... "Aku tidak ingin membawa Victoria ke tempat lain," bisikku.
Sam mengangguk. "Itu benar. Lebih baik membawanya ke sini, tempat kita bisa
menghabisinya." Aku tersentak. Aku tidak ingin Jacob ataupun yang lain berusaha menghabisi
Victoria. Kulirik wajah Jacob; ekspresinya tenang, nyaris sama seperti yang
kuingat sebelum masalah serigala ini mengemuka, dan tampak benar-benar tidak
peduli bila harus memburu vampir.
"Kau akan berhati-hati, kan?" tanyaku, menelan ludah dengan suara keras.
Cowok-cowok terpekik karena geli. Semua menertawakanku - kecuali Emily. Ia
menatap mataku, dan tiba-tiba aku bisa melihat kesimetrisan di balik wajahnya
yang cacat. Wajahnya masih cantik, dan terlihat hidup dengan keprihatinan yang
bahkan lebih besar daripada yang kurasakan. Aku terpaksa membuang muka, sebelum
cinta di balik keprihatinan itu bisa membuat hatiku nyeri lagi.
"Makanan sudah siap," serunya kemudian, dan pembicaraan strategis itu langsung
berhenti. Cowok-cowok itu bergegas mengitari meja-yang tampak kecil dan terancam
hancur berantakan oleh ulah mereka - dan langsung menyikat habis wajan ukuran
prasmanan berisi telur yang diletakkan Emily di tengah mereka dengan kecepatan
yang mampu memecahkan rekor. Emily makan sambil bersandar di konter seperti aku
- menghindari hiruk-pikuk di meja makan - dan mengawasi mereka dengan sorot
sayang. Ekspresinya jelas menyatakan bahwa inilah keluarganya.
Intinya, bukan ini yang kuharapkan dari sekawanan werewolf.
Aku menghabiskan hari itu di La Push, kebanyakan di rumah Billy. Ia meninggalkan
pesan di telepon Charlie dan di kantor polisi, dan saat makan malam, Charta
datang membawa dua pizza. Untung juga ia membawa dua pizza ukuran besar; satu
dihabiskan sendiri oleh Jacob.
Kulihat Charlie mengawasi kami dengan sikap curiga sepanjang malam, terutama
Jacob yang banyak berubah. Ia menanyakan rambutnya; Jacob hanya mengangkat bahu
dan menjawab bahwa begini lebih nyaman.
Aku tahu begitu Charlie dan aku pulang nanti, Jacob akan langsung berangkat -
berlari-lari sebagai serigala, seperti yang dilakukannya tanpa henti sepanjang
hari tadi. Ia dan saudara-saudaranya melakukan semacam pengawasan terus-menerus,
mencari tanda-tanda kembalinya Victoria. Tapi karena mereka mengejarnya dari
sumber air panas semalam - mengejarnya hingga setengah perjalanan menuju Canada,
menurut Jacob - ia belum lagi menampakkan batang hidungnya.
Aku sama sekali tak berharap ia bakal menyerah. Aku tidak seberuntung itu.
Jacob mengantarku ke truk sehabis makan malam dan berdiri terus dekat jendela,
menunggu Charlie menjalankan mobilnya lebih dulu.
"Jangan takut malam ini," pesan Jacob, sementara Charlie pura-pura mengalami
kesulitan dengan sabuk pengamannya. "Kami ada di luar sana, berjaga-jaga."
"Aku tidak akan mengkhawatirkan diriku sendiri," janjiku.
"Konyol. Memburu vampir kan menyenangkan. Ini justru bagian terbaik dari semua
kekacauan ini." Aku menggeleng. "Kalau aku konyol, berarti kau sinting."
Jacob terkekeh. "Istirahatlah, Bella, Sayang. Kau kelihatan capek sekali."
"Akan kucoba." Charlie menekan klakson dengan sikap tidak sabar.
"Sampai besok," seru Jacob. "Datanglah pagi-pagi sekali."
"Pasti." Charlie mengikutiku pulang ke rumah. Aku tak begitu memerhatikan lampu-lampu di
kaca spionku. Aku malah sibuk memikirkan di mana Sam, Jared, Embry, dan Paul
berada sekarang, berlari-lari di kegelapan malam. Aku bertanya-tanya dalam hati
apakah Jacob sudah bergabung dengan mereka.
Sesampai di rumah, aku bergegas menuju tangga, tapi Charlie membuntuti tepat di
belakangku. "Sebenarnya ada apa, Bella?" tuntutnya sebelum aku sempat meloloskan diri.
"Kusangka Jacob bergabung dengan geng dan kalian berselisih paham."
"Kami sudah baikan."
"Dan gengnya?" "Entahlah - siapa sih yang bisa mengerti cowok-cowok remaja" Mereka itu
misterius. Tapi aku sudah berkenalan dengan Sam Uley dan tunangannya, Emily.
Kelihatannya mereka ramah kok." Aku mengangkat bahu. "Mungkin semua hanya salah
paham." Wajah Charlie berubah. "Aku malah belum dengar dia dan Emily sudah resmi
bertunangan. Baguslah kalau begitu. Gadis malang."
"Dad tahu apa yang terjadi padanya?"
"Diserang beruang, di kawasan utara sana, saat musim salmon bertelur -
kecelakaan tragis. Sudah lebih dari setahun berlalu sejak saat itu. Dengar-
dengar, Sam sangat terpukul oleh kejadian itu."
"Sungguh tragis," aku menirukan. Lebih dari setahun lalu. Aku berani bertaruh
peristiwa itu terjadi ketika baru ada satu werewolf di La Push.
Aku bergidik membayangkan perasaan Sam setiap kali memandang wajah Emily.
Malam itu, lama sekali aku berbaring dengan mata nyalang, mencoba memilah-milah
kembali berbagai peristiwa yang kualami seharian tadi. Kuulangi lagi saat makan
malam bersama Billy, Jacob dan Charlie. hingga ke siang yang panjang di rumah
keluarga Black, harap-harap cemas menunggu kabar dari Jacob, ke dapur Emily,
hingga ke kengerian yang kurasakan saat para werewolf itu bertarung, juga saat
berbicara dengan Jacob di tepi pantai.
Aku memikirkan perkataan Jacob tadi pagi, tentang kemunafikan. Lama sekali aku
memikirkan hal itu. Aku tidak suka menganggap diriku munafik, tapi apa gunanya
membohongi diri sendiri"
Aku meringkuk rapat-rapat. Tidak, Edward bukan pembunuh. Bahkan di masa lalunya
yang kelam, ia tidak pernah membunuh orang yang tidak bersalah, paling tidak.
Tapi bagaimana kalau ia dulu pembunuh" Bagaimana kalau, selama aku mengenalnya,
ia tidak berbeda dengan vampir-vampir lain" Bagaimana bila saat itu banyak orang
menghilang dari hutan, seperti yang terjadi sekarang" Apakah itu akan membuatku
menjauhinya" Aku menggeleng sedih. Cinta itu tak masuk akal, aku mengingatkan diri sendiri.
Semakin kau mencintai seseorang semakin pikiranmu menjadi tidak rasional.
15. TEKANAN LIBURAN musim semi lagi di Forks. Saat terbangun Senin pagi, aku berbaring di
tempat tidur beberapa detik, mencerna hal itu. Pada liburan musim semi tahun
lalu, aku juga diburu vampir. Mudah-mudahan ini tak lantas menjadi semacam
tradisi. Sebentar saja aku sudah terbiasa dengan pola kehidupan di La Push. Kebanyakan
aku melewatkan hari Minggu di pantai, sementara Charlie nongkrong dengan Billy
di rumah keluarga Black. Aku dikira sedang bersama Jacob, tapi berhubung banyak
yang harus dilakukan Jacob, jadilah aku berkeliaran sendirian, merahasiakannya
dari Charlie. Aku berguling dan berusaha memikirkan hal lain - lantas memikirkan Jacob serta
saudara-saudaranya, berlari-lari di luar sana dalam gelap. Aku tertidur dengan
benak dipenuhi bayangan serigala, tak terlihat di malam hari, menjagaku dari
bahaya. Waktu bermimpi, aku berdiri lagi di hutan, tapi aku tidak berkeliaran.
Aku memegangi tangan Emily yang cacat sementara kami menghadap ke arah bayang-
bayang dan dengan cemas menunggu para werewolf kami kembali ke rumah.
Saat mampir untuk mengecek keadaanku, Jacob meminta maaf karena sering
meninggalkanku. Menurutnya, jadwalnya tidak selalu segila ini. tapi sampai Victoria bisa
dihentikan, serigala-serigala itu harus tetap waspada penuh.
Saat kami berjalan-jalan menyusur tepi pantai sekarang, Jacob selalu menggandeng
tanganku. Ini membuatku berpikir tentang komentar Jared tempo hari, tentang Jacob yang
melibatkan "ceweknya". Kurasa memang begitulah yang tampak dari luar. Selama
Jake dan aku tahu bagaimana status sebenarnya hubungan kami, tak seharusnya aku
membiarkan asumsi-asumsi semacam itu mengganggu pikiranku. Dan mungkin memang
tidak akan mengganggu, kalau saja aku tidak tahu Jacob akan sangat senang bila
hubungan kami menjadi seperti yang disangka orang. Tapi berhubung gandengan
tangannya terasa menyenangkan karena membuat tanganku hangat, aku pun tidak
memprotes. Aku bekerja pada hari Selasa sore - Jacob mengikutiku dengan motornya untuk
memastikan aku sampai di sana dengan selamat - dan itu tak luput dari perhatian
Mike. "Kau berkencan dengan cowok dari La Push itu, ya" Yang kelas dua itu?" tanya
Mike, tak mampu menyembunyikan perasaan tak suka dalam nada suaranya.
Aku mengangkat bahu. "Tidak dalam arti teknis. Tapi aku memang menghabiskan
sebagian besar waktuku dengan Jacob. Dia sahabatku."
Mata Mike menyipit licik. "Jangan tipu dirimu sendiri, Bella. Cowok itu tergila-
gila padamu." "Memang," aku mendesah. "Hidup memang rumit."
"Dan cewek-cewek itu kejam," geram Mike pelan. Kurasa mudah saja berasumsi
demikian. Malam itu Sam dan Emily bergabung dengan
Charlie dan aku, menikmati hidangan pencuci mulut di rumah Billy. Emily membawa
kue yang sanggup meluluhkan hati lelaki mana pun yang bahkan lebih keras
daripada Charlie. Bisa kulihat, melalui obrolan yang mengalir lancar mengenai
berbagai topik, bahwa kekhawatiran Charlie tentang geng di La Push mulai
mencair. Jake dan aku menyingkir ke luar, agar lebih leluasa mengobrol. Kami pergi ke
garasinya dan duduk di dalam Rabbit. Jacob menyandarkan kepala, wajahnya lesu
karena lelah. "Kau butuh tidur, Jake."
"Nanti juga bisa."
Jacob mengulurkan tangan dan meraih tanganku. Kulitnya terasa sangat panas di
kulitku. "Apakah itu juga salah satu kekhasanmu
sebagai werewolf"' tanyaku. "Tubuh yang panas, maksudku."
"Yeah. Suhu tubuh kami memang sedikit lebih panas daripada manusia normal.
Sekitar 42-43 derajat. Aku tidak pernah kedinginan lagi. Aku bisa tahan dalam
kondisi begini"-ia mengibaskan tangan, menunjukkan kondisinya yang bertelanjang
dada-"di tengah badai salju dan tidak merasa apa-apa. Kepingan es langsung
mencair begitu mengenai tubuhku."
"Dan kalian semua pulih dengan cepat - itu juga kekhasan kalian sebagai
werewolf?" "Yeah, mau lihat" Keren sekali lho." Mata Jacob terbuka dan ia nyengir.
Tangannya merogoh-rogoh ke dalam laci mobil. Sejurus kemudian tangannya keluar
lagi, menggenggam pisau lipat.
"Tidak, aku tidak mau melihat!" teriakku begitu menyadari apa yang ada di benak
Jacob. "Singkirkan benda itu!"
Jacob terkekeh, tapi mengembalikan pisau itu ke tempat semula. "Baiklah. Untung
juga kami cepat pulih. Kau kan tidak bisa menemui dokter bila suhu tubuhmu
setinggi kami, karena manusia normal pasti sudah mati."
"Ya, benar juga." Aku memikirkan hal itu sebentar. "Dan bertubuh sangat besar -
itu juga salah satu kekhasan kalian" Apakah karena itu kalian semua
mengkhawatirkan Quil?"
"Itu dan fakta bahwa kakek Quil mengatakan anak itu bisa mengoreng telur di
dahinya." Wajah Jacob memperlihatkan ekspresi tak berdaya. Takkan lama lagi.
Tidak ada batasan umur yang tepat... pokoknya seseorang akan semakin besar dan
semakin besar lalu tiba-tiba-" Jacob menghentikan kata-katanya dan sejurus
kemudian baru bisa bicara lagi. "Terkadang, kalau kau merasa sangat marah atau
sebangsanya, itu bisa memicu perubahan lebih cepat. Padahal aku tidak sedang
marah mengenai sesuatu - aku malah sedang bahagia!" Jacob tertawa getir. "Karena
kau, sebagian besar. Itulah sebabnya ini tidak terjadi lebih cepat padaku. Malah
semakin membesar dalam diriku - membuatku jadi seperti bom waktu. Tahukah kau
apa yang memicuku jadi berubah" Aku pulang dari nonton film dan kata Billy aku
terlihat aneh. Hanya itu, tapi aku langsung emosi. Kemudian aku-aku meledak. Aku
sampai nyaris mengoyak-ngoyak wajahnya - ayahku sendiri!" Jacob bergidik,
wajahnya memucat. "Separah itukah, Jake?" tanyaku waswas, berharap aku bisa membantunya. "Apakah
kau merana?" "Tidak, aku tidak merana," jawabnya. "Tidak lagi. Tidak karena sekarang kau
sudah tahu. Rasanya berat sekali, sebelum ini," Ia mencondongkan tubuhnya
sehingga pipinya menempel di puncak kepalaku.
Sejenak ia terdiam, dan aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang ia
pikirkan. Mungkin aku tak ingin mengetahuinya.
"Apa bagian yang paling sulit?" bisikku, masih berharap bisa membantu.
"Bagian tersulit adalah merasa... tidak memiliki kendali," jawabnya lambat-
lambat. "Merasa seolah-olah aku tak yakin pada diri sendiri-seperti misalnya kau
tidak seharusnya berdekatan denganku, bahwa tak seorang pun seharusnya
berdekatan denganku. Seolah-olah aku ini monster yang akan mencederai orang
lain. Lihat saja Emily. Sam tak bisa menguasai amarahnya satu detik saja... dan
saat itu Emily terlalu dekat dengannya. Dan sekarang, tak ada yang bisa ia
lakukan untuk memperbaikinya. Aku bisa mendengar pikiran-pikiran Sam-aku tahu
bagaimana rasanya... "Siapa sih yang ingin menjadi mimpi buruk, menjadi monster"
"Kemudian, melihat betapa mudahnya aku melakukan semua itu, bahwa aku lebih
hebat daripada mereka semua - apakah itu berarti aku kurang manusia dibandingkan
Embry atau Sam" Kadang-kadang aku takut kehilangan diri sendiri."
"Apakah itu sulit" Menemukan dirimu lagi?"
"Awalnya," jawab Jacob. "Butuh latihan untuk bisa berubah-ubah. Tapi lebih mudah
bagiku." "Mengapa?" tanyaku heran.
"Karena Ephraim Black kakek ayahku, dan Quil Ateara kakek ibuku."
"Quil?" tanyaku bingung.
"Kakek buyut Billy," Jacob menjelaskan. "Quil yang kaukenal itu sepupu jauhku."
"Tapi mengapa penting sekali siapa kakek buyutmu?"
"Karena Ephraim dan Quil tergabung dalam kawanan terakhir. Levi Uley anggota
ketiga. Jadi aku mewarisinya dari kedua pihak. Aku tidak mungkin bisa berkelit.
Begitu juga Quil."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ekspresi Jacob muram. "Bagian apa yang terbaik?" tanyaku, berharap bisa membuatnya gembira.
"Bagian terbaik." ujarnya, tiba tiba tersenyum lagi, "adalah kecepatannya."
"Lebih cepat daripada naik motor?"
Jacob mengangguk, antusias. "Tak ada tandingannya."
"Seberapa cepat kau bisa...?"
"Berlari?" Jacob menyelesaikan pertanyaanku. "Lumayan cepat. Aku bisa
mengukurnya dengan apa, ya" Kami berhasil menangkap... siapa namanya" Laurent"
Aku yakin kau pasti bisa lebih memahami hal itu dibandingkan orang lain."
Itu benar. Aku tidak bisa membayangkan hal itu-serigala berlari lebih cepat
daripada vampir. Kalau keluarga Cullen berlari, mereka semua jadi tak terlihat saking cepatnya.
"Nah, sekarang giliranmu menjelaskan sesuatu yang tidak aku ketahui," kata
Jacob. "Sesuatu tentang vampir. Bagaimana kau bisa tahan, berdekatan dengan
mereka" Apakah kau tidak takut?"
"Tidak," jawabku tajam.
Nadaku membuatnya berpikir sebentar.
"Katakan, mengapa pengisap darahmu membunuh si James itu?" tanyanya tiba-tiba.
"James mencoba membunuhku - dia menganggapnya permainan. Dia kalah. Ingatkah kau
musim semi lalu waktu aku masuk rumah sakit di Phoenix?"
Jacob terkesiap kaget. "Dia sudah sedekat itu?"
"Amat, sangat dekat." Kuelus bekas lukaku. Jacob melihatnya, karena ia memegangi
tangan yang kugerakkan. "Apa itu?" Ia mengganti tangan, mengamati tangan kananku. "Ini bekas lukamu yang
aneh itu, yang dingin." Diamatinya bekas itu lebih dekat, dengan pemahaman baru,
dan terkesiap. "Ya, dugaanmu tepat," kataku. "James menggigitku."
Mata Jacob membelalak, dan wajahnya berubah jadi kekuningan di balik
permukaannya yang cokelat kemerahan. Tampaknya ia nyaris muntah.
"Tapi kalau dia menggigitmu... " Bukankah seharusnya kau menjadi...?" Ia
tersedak. "Edward menyelamatkanku dua kali," bisikku. "Dia mengisap racun itu dari dalam
tubuhku-kau tahu kan, seperti mengisap bisa ular." Aku mengejang saat kepedihan
itu melesat menjalari pinggir lubang.
Tapi bukan aku satu-satunya yang mengejang. Aku bisa merasakan tubuh Jacob
bergetar di sampingku. Bahkan mobil pun sampai berguncang-guncang.
"Hati-hati, Jake. Tenang. Tenangkan dirimu."
"Yeah," ia terengah-engah. "Tenang." Ia menggoyangkan kepalanya ke depan dan ke
belakang dengan gerak cepat. Sejurus kemudian, hanya tangannya yang bergoyang.
"Kau baik-baik saja?"
"Yeah, hampir. Ceritakan hal lain. Beri sesuatu yang berbeda untuk dipikirkan."
"Apa yang ingin kauketahui?"
"Entahlah." Jacob memejamkan mata,
berkonsentrasi, "Tentang kelebihan-kelebihan mereka. Apakah ada anggota keluarga
Cullen lain yang memiliki... bakat khusus" Misalnya membaca pikiran?"
Sejenak aku ragu. Rasanya ini pertanyaan yang akan ditanyakan Jacob pada mata-
mata, bukan temannya. Tapi apa gunanya menyembunyikan apa yang kuketahui" Itu
toh tidak berarti apa-apa lagi sekarang, lagi pula itu bisa membantunya
mengendalikan diri. Maka aku pun cepat-cepat berbicara, dengan bayangan wajah rusak Emily menghantui
pikiran, dan bulu kudukku meremang di kedua lenganku. Tak terbayangkan olehku
bagaimana bila serigala berbulu merah-cokelat itu mendadak muncul di dalam
Rabbit ini-bisa-bisa seluruh garasi ini porak-poranda bila Jacob berubah wujud
sekarang. "Jasper bisa... sedikit mengendalikan emosi orang-orang di sekitarnya. Bukan
dalam arti negatif, hanya menenangkan orang, semacam itu. Mungkin itu akan
sangat membantu Paul," aku menambahkan, sedikit menyindir. "Sementara Alice bisa
melihat hal-hal yang akan terjadi. Masa depan, begitulah, meski tidak persis
benar. Hal-hal yang dia lihat bisa berubah bila seseorang mengubah jalan yang
sedang mereka lalui... Seperti waktu dia melihatku sekarat... dan dia melihatku
menjadi seperti mereka. Dua hal yang ternyata tidak terjadi. Dan tidak akan
pernah terjadi." Kepalaku mulai pening-rasanya aku tak bisa mengisap cukup
banyak oksigen dari udara. Tidak ada paru-paru.
Jacob sudah bisa menguasai diri sepenuhnya, tubuhnya diam tak bergerak di
sampingku. "Mengapa kau selalu melakukan itu?" tanyanya.
Ia menarik pelan satu lenganku, yang mendekap dada, kemudian menyerah waktu aku
bersikeras tak mau melepaskannya. Aku bahkan tak sadar tanganku telah mendekap
dada. "Kau selalu berbuat begitu setiap kali kau merasa sedih. Mengapa?"
"Sakit rasanya memikirkan mereka," bisikku. "Rasanya aku tak bisa bernapas...
seolah-olah aku pecah berkeping-keping... " Sungguh aneh betapa banyaknya yang
bisa kuungkapkan pada Jacob sekarang. Tak ada lagi rahasia di antara kami.
Jacob mengelus-elus rambutku. "Sudahlah, Bella, sudahlah. Aku tidak akan
mengungkitnya lagi. Maafkan aku."
"Aku tidak apa-apa." Aku terkesiap. "Itu sudah biasa. Bukan salahmu."
"Benar-benar pasangan yang kacau ya, kita ini?" sergah Jacob. "Tak seorang pun
di antara kita bisa mempertahankan kondisi normal."
"Menyedihkan," aku sependapat, masih belum bisa bernapas.
"Setidaknya kita masih memiliki satu sama lain," kata Jacob, jelas-jelas merasa
terhibur oleh pemikiran itu.
Aku juga merasa terhibur. "Setidaknya masih ada itu," aku sependapat.
Dan saat kami bersama, semua baik-baik saja.
Tapi ada tugas berat dan berbahaya yang wajib dilakukan Jacob, jadi aku lebih
sering sendirian, terkungkung di La Push demi keamananku sendiri, tanpa kegiatan
yang bisa mengalihkan pikiran dari semua kekhawatiranku.
Aku merasa canggung karena harus selalu berada di rumah Billy. Aku belajar untuk
mempersiapkan diri menghadapi ujian Kalkulus minggu depan, tapi baru sebentar
saja aku sudah bosan. Kalau tidak ada hal pasti yang bisa dikerjakan, aku merasa
harus berbasa-basi dengan Billy - tekanan melakukan etika yang benar dalam
bermasyarakat. Masalahnya, Billy bukan orang yang enak diajak ngobrol, dan
jadilah kecanggungan itu terus berlanjut.
Aku mencoba main ke rumah Emily pada hari Rabu siang, untuk berganti suasana.
Awalnya cukup menyenangkan. Emily periang dan tidak pernah bisa duduk diam. Aku
membuntutinya sementara ia mondar-mandir ke sana kemari di sekeliling rumah dan
halamannya yang kecil mengosek lantai yang bersih tanpa noda, mencabuti rumput-
rumput liar, membetulkan engsel rusak, menenun benang wol dengan alat tenun
kuno, dan selalu saja memasak. Ia mengeluh sedikit tentang selera makan cowok-
cowok itu yang kian hari kian besar saja, tapi mudah dilihat bahwa ia sama
sekali tidak keberatan mengurus mereka. Bukan hal sulit bergaul dengannya-
bagaimanapun, kami sama-sama cewek serigala sekarang.
Tapi Sam datang setelah aku berada di sana beberapa jam. Aku hanya bertahan
sampai aku memastikan Jacob baik-baik saja dan bahwa tidak ada kabar apa-apa,
dan sesudahnya aku bergegas pergi. Sulit rasanya menelan aura cinta dan
kebahagiaan yang melingkupi mereka dalam dosis begitu besar, tanpa kehadiran
orang lain yang bisa mengencerkannya.
Jadilah aku berkeliaran di pantai, bolak-balik menyusuri tepi pantai yang
berbatu-batu, berulang kali.
Menghabiskan waktu sendirian berdampak buruk bagiku. Setelah bisa bersikap jujur
pada Jacob, aku jadi terlalu banyak membicarakan dan memikirkan keluarga Cullen.
Tak peduli betapa pun kerasnya aku mencoba mengalihkan pikiran - padahal banyak
yang harus kupikirkan: aku benar-benar sangat khawatir memikirkan Jacob dan
saudara-saudara serigalanya, aku takut memikirkan keselamatan Charlie dan orang-
orang lain yang mengira mereka memburu binatang aku semakin lama semakin dekat
dengan Jacob tanpa pernah secara sadar memutuskan untuk maju ke arah itu dan aku
tak tahu bagaimana menyikapinya-namun tak satu pun dari semua masalah yang
sangat nyata dan sangat layak untuk dipikirkan itu sanggup mengalihkan pikiranku
dari kepedihan di dadaku untuk waktu yang lama. Akhirnya, aku bahkan tidak
sanggup berjalan lagi, karena tak bisa bernapas. Aku duduk di sepetak bebatuan
yang agak kering dan meringkuk seperti bola.
Jacob menemukanku dalam keadaan seperti itu, dan kentara sekali dan ekspresinya
bahwa ia mengerti. "Maaf," ucapnya langsung. Ia menarikku dari tanah dan melingkarkan kedua
lengannya di pundakku. Baru saat itulah aku sadar betapa dingin tubuhku.
Kehangatannya membuatku bergetar, tapi setidaknya aku bisa bernapas dengan dia
di sana. "Aku mengacaukan liburan musim semimu," Jacob menyalahkan diri sendiri sementara
kami berjalan lagi menyusuri pantai.
"Tidak, itu tidak benar. Aku toh tidak punya rencana apa-apa. Lagi pula, rasanya
aku tidak suka liburan musim semi."
"Besok pagi aku bisa libur. Yang lain-lain bisa berpatroli tanpa aku. Kita akan
melakukan sesuatu yang menyenangkan."
Kata itu terasa asing dalam kehidupanku sekarang, nyaris tidak bisa dimengerti.
Aneh. "Menyenangkan?"
"Kau butuh bersenang-senang. Hmm... " Mata Jacob menerawang ke ombak kelabu yang
bergulung-gulung, menimbang-nimbang. Saat matanya menyapu cakrawala, mendadak ia
mendapat ilham. "Aku tahu!" serunya. "Ada lagi satu janji yang harus kutepati."
"Kau ini ngomong apa?"
Jacob melepaskan tanganku dan menuding ke arah selatan pantai, tempat pantai
yang berbentuk bulan sabit itu berakhir di tebing-tebing laut yang tinggi
menjulang. Aku mengikuti arah pandangnya, tak mengerti.
"Bukankah aku sudah berjanji akan mengajakmu terjun dari tebing?"
Aku bergidik. "Yeah, memang akan sangat dingin - tapi tidak sedingin hari ini. Bisa kaurasakan
cuaca berubah" Tekanan udaranya" Besok pasti cuaca akan lebih hangat. Bagaimana,
kau mau?" Air yang gelap kelihatannya tidak mengundang, dan dilihat dari sini. Tebing-
tebing itu bahkan terlihat lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tapi sudah berhari-hari aku tak lagi mendengar suara Edward. Mungkin itu juga
bagian dari masalah. Aku kecanduan suara dari delusiku. Keadaan jadi memburuk
bila aku terlalu lama tidak mendengar suara itu. Terjun dari tebing pasti bisa
memulihkan keadaan. "Jelas tentu aku mau. Asyik."
"Kalau begitu kita kencan," kata Jacob, menyampirkan lengannya di pundakku.
"Oke - sekarang kau harus tidur." Aku tidak suka melihat lingkaran hitam di
bawah matanya mulai tampak terukir permanen di kulitnya.
Aku bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya dan menyelundupkan baju ganti ke
mobil. Firasatku mengatakan Charlie tidak bakal menyetujui rencana hari ini, sama
seperti ia tidak akan menyetujui rencana sepeda motor itu.
Gagasan melupakan sejenak semua
kekhawatiranku membuatku nyaris merasa bersemangat. Mungkin memang akan
menyenangkan. Kencan dengan Jacob, kencan dengan Edward... Aku tertawa pahit.
Boleh saja Jake berkata kami pasangan yang kacau-tapi akulah sesungguhnya yang
benar-benar kacau. Aku membuat werewolf terkesan sangat normal.
Aku mengira Jacob bakal menungguku di depan rumah, seperti yang biasa ia lakukan
setiap kali suara mesin trukku yang berisik mengabarkan kedatanganku. Ketika dia
tidak muncul aku mengira dia masih tidur. Aku akan menunggu -memberinya
kesempatan beristirahat sebanyak mungkin. Dia butuh istirahat, sekaligus
menunggu cuaca sedikit lebih menghangat. Perkiraan Jake ternyata benar; cuaca
berubah semalam. Gumpalan awan tebal kini menggelantung di atmosfer, membuat udara nyaris lembab;
di bawah "selimut" kelabu itu, hawa panas dan pengap. Kutinggalkan sweterku di
truk. Kuketuk pintu pelan-pelan.
"Masuklah, Bella," seru Billy.
Billy duduk di meja dapur, makan sereal dingin.
"Jake tidur?" "Eh, tidak." Billy meletakkan sendoknya, dan
alisnya bertaut. "Ada apa?" desakku. Kentara sekali dari ekspresi Billy bahwa sesuatu telah
terjadi. "Embry, Jared, dan Paul menemukan jejak baru pagi-pagi sekali tadi. Sam dan Jake
berangkat untuk membantu. Sam optimis-vampir perempuan itu terpojok di sisi
pegunungan. Menurut Sam, mereka punya peluang besar untuk mengakhirinya."
"Oh, tidak, Billy," bisikku. "Oh, tidak."
Billy tertawa, dalam dan rendah. "Sebegitu sukanya kau pada La Push hingga ingin
memperpanjang masa tahananmu di sini?"
"Jangan bercanda, Billy. Ini terlalu mengerikan untuk dijadikan lelucon."
"Kau benar," Billy sependapat, masih tersenyum.
Mata tuanya mustahil dibaca.
"Yang satu ini sulit ditaklukkan."
Aku menggigit bibir. "Bagi mereka, ini tidak seberbahaya yang kaukira. Sam tahu apa yang harus
dilakukan. Kau hanya perlu mengkhawatirkan dirimu sendiri. Vampir itu tidak
berniat melawan mereka. Dia hanya berusaha menghindari mereka... dan
menemukanmu." "Bagaimana Sam tahu apa yang harus dia lakukan?" aku, menepiskan kekhawatiran
Billv terhadap keselamatanku. "Mereka baru membunuh satu vampir bisa jadi itu
hanya keberuntungan."
"Kami melaksanakan tugas kami dengan sangat serius, Bella. Tak ada yang terlupa.
Semua yang perlu mereka ketahui sudah diwariskan secara turun-temurun selama
beberapa generasi." Keterangan itu tidak lantas membuatku merasa lega seperti yang mungkin
dimaksudkan Billy. Ingatan tentang Victoria yang liar, garang, dan mematikan,
terlalu kuat bercokol dalam kepalaku. Kalau ia tidak bisa menghindari para
werewolf, akhirnya ia akan berusaha menerobos pertahanan mereka.
Billy kembali menekuni sarapannya; aku duduk di sofa dan memindah-mindahkan
saluran televisi tanpa berniat menonton. Tapi itu tidak lama. Aku mulai merasa
terperangkap di ruangan kecil itu, sesak, gelisah karena tak bisa melihat ke
luar jendela-jendela yang tertutup tirai.
"Aku akan ke pantai," kataku tiba-tiba kepada Billy, lalu bergegas ke pintu.
Berada di luar ternyata tak banyak membantu. Awan-awan didorong ke bawah oleh
beban yang tak kasatmata hingga tidak membuat perasaan terperangkapku mereda.
Anehnya, hutan terkesan kosong saat aku berjalan menuju pantai. Tak terlihat
olehku satu hewan pun-tidak ada burung, tidak ada tupai. Telingaku juga tidak
mendengar kicauan burung. Keheningan itu terasa mengerikan; bahkan desiran angin
menerpa pepohonan pun tidak ada.
Aku tahu semua itu hanya karena cuaca, namun tetap saja aku gelisah Tekanan
atmosfer yang berat dan panas bisa dirasakan bahkan oleh pancaindra manusiaku
yang lemah, dan hal itu menandakan bakal terjadinya badai besar. Kondisi langit
semakin menguatkan dugaanku; awan bergulung-gulung hebat padahal di daratan tak
ada angin. Awan terdekat berwarna abu-abu gelap, tapi di sela-selanya aku bisa
melihat lapisan awan lain yang berwarna ungu gelap. Langit memiliki rencana yang
sangat dahsyat hari ini. Semua hewan di hutan pasti sudah berlindung.
Begitu sampai di pantai, aku menyesal telah
datang ke sini - aku muak pada tempat ini. Hampir setiap hari aku datang ke
sini, berkeliaran sendirian. Apa bedanya dengan mimpi-mimpi burukku" Tapi mau ke
mana lagi" Aku terseok-seok menghampiri driftwood, lalu duduk di ujungnya supaya
bisa bersandar di akarnya yang saling membelit. Dengan muram aku menengadah ke
langit yang murka, menunggu tetesan hujan pertama memecah keheningan.
Aku berusaha tidak memikirkan bahaya yang dihadapi Jacob dan teman-temannya.
Karena tidak ada apa-apa yang bisa menimpa Jacob. Aku tak tahan memikirkannya.
Aku sudah terlalu banyak kehilangan - apakah takdir akan merenggut sedikit
kedamaian yang masih tersisa" Sepertinya itu tidak adil, tidak seimbang. Tapi
mungkin aku telah melanggar suatu aturan tak dikenal, melanggar batas yang
membuatku jadi terkutuk. Mungkin salah melibatkan diri dengan mitos dan legenda,
memunggungi dunia manusia. Mungkin...
Tidak. Tidak ada apa-apa yang akan menimpa Jacob. Aku harus meyakini hal itu
atau aku takkan bisa berfungsi.
"Argh!" Aku mengerang, lalu melompat turun dari batang kayu. Aku tak sanggup
duduk diam; itu lebih parah daripada berjalan mondar-mandir.
Sebenarnya aku sudah berharap akan mendengar suara Edward pagi ini. Sepertinya
itu satu-satunya hal yang membuatku bisa bertahan melewati hari ini. Lubang di
dadaku belakangan ini mulai bernanah, seolah-olah membalas dendam untuk waktu-
waktu ketika kehadiran Jacob menjinakkannya. Bagian pinggirnya panas membara.
Ombak semakin menggelora saat aku berjalan, mulai mengempas bebatuan, tapi tetap
belum ada angin. Aku merasa ditekan oleh tekanan badai. Segalanya berpusar-pusar
di sekelilingku, tapi di tempatku berdiri, udara diam tak bergerak. Udara
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghantar gelombang listrik ringan - aku bisa merasakan rambutku bergemerisik.
Di tengah laut, ombak lebih ganas daripada di sepanjang tepi pantai. Kulihat
gelombang menghantam garis tebing, menyemburkan awan putih buih laut tinggi ke
angkasa. Tak ada gerakan di udara, meski awan bergolak semakin cepat sekarang.
Kelihatannya mengerikan-seolah-olah awan-awan itu bergerak sendiri. Aku
menggigil, walaupun tahu itu hanya karena tekanan udara yang sangat besar.
Tebing-tebing itu menjulang bagaikan pisau hitam di langit yang murka. Saat
memandanginya, ingatanku melayang ke hari ketika Jacob bercerita tentang Sam dan
"geng'-nya. Aku ingat bagaimana cowok-cowok itu-para werewolf-melontarkan diri
ke angkasa. Bagaimana tubuh-tubuh itu jatuh dan berputar-putar ke bawah masih
tergambar jelas dalam ingatanku. Aku membayangkan perasaan bebas merdeka saat
jatuh... Aku membayangkan bagaimana suara Edward dalam pikiranku -marah, sehalus beledu,
sempurna... Panas di dadaku semakin menjadi-jadi.
Pasti ada cara untuk memuaskan dahaga itu. Kepedihan di dadaku semakin lama
semakin tak bisa ditolerir lagi. Kupandangi tebing-tebing serta gelombang yang
menghempas bebatuan. Well mengapa tidak" Mengapa tidak memuaskannya saja sekarang"
Jacob sudah berjanji akan mengajakku melompat dan tebing, bukan" Hanya karena ia
tidak bisa menemaniku, bukan berarti aku harus melupakan kegiatan untuk
mengalihkan pikiran yang sangat kubutuhkan ini-semakin membutuhkannya karena
saat ini Jacob sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri" Mempertaruhkannya. pada
intinya, demi aku. Kalau bukan karena aku, Victoria tidak akan membunuhi orang-
orang di sini... melainkan di tempat lain, jauh dari sini. Kalau sampai terjadi
apa-apa pada Jacob, akulah yang bersalah.
Kesadaran itu menikam hatiku dalam-dalam dan membuatku berlari-lari kecil
kembali ke jalan menuju rumah Billy, tempat trukku berada.
Aku tahu jalan terdekat ke tebing-tebing, tapi aku harus mencari jalan kecil
yang akan membawaku sampai ke bibir tebing. Saat menyusuri jalan itu, aku
mencari belokan atau percabangan, karena aku tahu Jake berniat mengajakku
melompat dari pinggir tebing yang lebih rendah, bukan dari puncaknya. Tapi jalan
kecil itu hanya berupa satu garis yang berkelok-kelok menuju bibir tebing tanpa
memberikan pilihan lain. Aku tak sempat lagi mencari jalan lain yang mengarah ke
bawah-badai bergerak semakin cepat sekarang. Angin akhirnya mulai menyentuhku,
awan-awan menekan semakin dekat ke tanah. Begitu sampai di tempat jalan tanah
itu melebar menuju ngarai batu, tetesan hujan pertama jatuh dan membasahi
wajahku. Tidak sulit meyakinkan diriku bahwa aku tidak sempat lagi mencari jalan lain-aku
memang ingin melompat dari puncak tebing. Bayangan inilah yang bertahan di
kepalaku. Aku ingin terjun bebas yang akan terasa seperti terbang.
Aku tahu ini hal paling tolol dan paling sembrono yang pernah kulakukan. Pikiran
itu membuatku tersenyum. Kepedihan itu mulai mereda, seakan-akan tubuhku tahu
suara Edward beberapa detik lagi akan terdengar...
Laut terdengar sangat jauh, bahkan lebih jauh daripada sebelumnya, waktu aku
berada di jalan setapak di tengah pepohonan. Aku meringis membayangkan suhu air
yang pasti sangat dingin. Tapi aku takkan membiarkannya menghentikanku.
Angin bertiup semakin kencang sekarang, membuat hujan berpusar-pusar di
sekelilingku. Aku melangkah ke pinggir tebing, mengarahkan mata ke ruang kosong di hadapanku.
Jari-jari kakiku meraba-raba ke depan tanpa melihat, mengusap-usap pinggir batu
begitu menemukannya. Aku menghela napas dalam-dalam dan menahannya... menunggu.
"Bella." Aku tersenyum dan mengembuskan napas.
Ya" Aku tidak menjawab dengan suara keras, takut suaraku akan menghancurkan
ilusi indah itu. Edward terdengar sangat nyata, sangat dekat. Hanya bila ia
merasa tidak suka seperti ini aku bisa mendengar kenangan nyata suaranya-
teksturnya yang selembut beledu dan intonasi musikalnya yang menjadikannya suara
paling sempurna di antara segala suara.
"Jangan lakukan ini," pintanya.
Kau yang menginginkan aku menjadi manusia, aku mengingatkan dia. Well lihat aku
sekarang. "Please. Demi aku."
Tapi kau tidak mau tinggal bersamaku selain dengan cara ini.
"Please." Itu hanyalah bisikan di tengah hujan yang tersapu angin, yang
menerbangkan rambutku dan membasah, bajuku membuat rubuhku basah kuyup seolah-
olah ini lompatan keduaku.
Aku membungkuk dan bertumpu pada jantung kakiku.
"Jangan, Bella!" Ia marah sekarang, dan amarah itu terasa sangat indah.
Aku tersenyum dan mengangkat kedua lenganku lurus-lurus ke muka, seakan-akan
hendak terjun, menengadahkan wajahku ke hujan. Tapi karena terbiasa berenang di
kolam umum selama bertahun-tahun-kaki lebih dulu, pertama kali.
Aku mencondongkan tubuh ke depan, membungkuk agar bisa meloncat lebih jauh...
Dan aku melemparkan tubuhku dari tepi tebing.
Aku menjerit saat tubuhku melayang di udara terbuka seperti meteor, tapi
jeritanku adalah jeritan kegembiraan, bukan takut. Angin melawan, sia-sia
berusaha melawan gravitasi yang tak bisa dikalahkan, mendorongku dan memutar-
mutar tubuhku dalam gaya spiral bagai roket menghunjam bumi.
Yes! Kata itu bergema di benakku begitu tubuhku membelah permukaan air. Air
terasa seperti es, lebih dingin daripada yang kutakutkan, namun kedinginan itu
justru menambah kenikmatan yang kurasakan.
Aku bangga pada diriku sendiri saat menghunjam semakin dalam ke air hitam yang
membekukan. Tak sedikit pun aku merasa takut- hanya murni adrenalin. Sungguh,
terjun bebas sama sekali tidak menakutkan. Mana tantangannya"
Saat itulah arus air menangkapku.
Pikiranku begitu terpusat pada ukuran tebing, pada bahaya nyata ketinggiannya
yang curam, hingga sama sekali tak memikirkan air gelap yang menanti. Tak pernah
terbayangkan olehku bahwa bahaya sesungguhnya mengintai jauh di bawahku, di
bawah ombak yang bergulung-gulung.
Rasanya ombak seperti melawanku, melempar-lemparkan aku bolak-balik di antara
mereka seolah-olah mereka bertekad membagiku dengan mencabik-cabik tubuhku. Aku
tahu cara yang benar menghindari air pasang-surut yang saling bertabrakan:
berenang paralel dengan garis pantai,
bukan berjuang sekuat tenaga menuju pantai. Tapi pengetahuan itu tak banyak
berguna karena aku tidak tahu di mana letak pantai.
Aku bahkan tak tahu arah menuju permukaan.
Air yang bergolak itu hitam pekat di segala arah; tak ada cahaya setitik pun
yang bisa membimbingku ke atas. Gravitasi sangat kuat bila dibandingkan udara,
tapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan arus ombak-aku tak bisa
merasakan tarikan ke bawah, tarikan ke arah mana pun. Yang kurasakan hanya arus
yang begitu kuat membuatku berputar-putar terus seperti boneka kain.
Aku berusaha keras menahan napas, mengunci bibir rapat-rapat untuk
mempertahankan persediaan oksigen terakhir yang masih tersisa.
Tak mengherankan bila delusiku menghadirkan Edward di sana. Sudah sepantasnya,
mengingat sebentar lagi aku bakal mati. Aku justru heran menyadari betapa
pastinya pengetahuan itu. Aku akan tenggelam. Aku sedang tenggelam.
"Berenanglah terus!" Edward memohon dengan panik dalam pikiranku.
Ke mana" Tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.
Tidak ada tempat ke mana aku bisa berenang.
"Hentikan itu!" perintahnya. "Jangan berani-berani menyerah!"
Air yang dingin membuat lengan dan kakiku mati rasa. Aku tak lagi merasakan
pukulan bertubi-tubi seperti tadi. Yang kurasakan sekarang hanya pusing,
berpusar-pusar tak berdaya di dalam air.
Tapi aku mendengarkan kata-katanya. Kupaksa kedua lenganku untuk terus
menggapai-gapai, kakiku untuk menendang lebih kuat, meski setiap detik aku
dihadapkan pada arah yang baru. Gawat. Apa gunanya"
"Berjuang!" teriaknya. "Sialan, Bella, berjuanglah terus."
Kenapa" Aku tidak ingin berjuang lagi. Dan bukan karena kepalaku terasa ringan, atau
karena kedinginan, atau karena otot-otot lenganku gagal berfungsi karena
kelelahan, yang membuatku merasa cukup senang berada di tempatku sekarang. Aku
nyaris bahagia karena semua akan berakhir. Ini kematian yang lebih mudah
daripada kematian-kematian lain yang pernah kuhadapi. Kedamaian yang ganjil.
Aku sempat berpikir tentang hal-hal klise, tentang bagaimana kau seharusnya
melihat kembali sekilas perjalanan hidupmu. Ternyata aku jauh lebih beruntung.
Siapa pula yang ingin melihat pemutaran ulang"
Aku melihat dia, dan aku tidak ingin lagi berjuang. Begitu jelas, jauh lebih
nyata daripada kenangan mana pun. Alam bawah sadarku menyimpan kenangan akan
Edward dalam detail sempurna, menyimpannya untuk momen terakhir ini. Aku bisa
melihat wajahnya yang sempurna seolah-olah ia benar-benar di sana; kulitnya yang
sedingin es dalam nuansa warna yang tepat, bentuk bibirnya, garis dagunya,
kilatan emas di matanya yang berapi-api. Wajar saja ia marah, karena aku menyerah. Rahangnya
terkatup rapat dan cuping hidungnya kembang-kempis oleh amarah.
"Tidak! Bella, tidak!"
Telingaku dibanjiri air yang membekukan, tapi suaranya terdengar lebih jelas
daripada biasa. Aku mengabaikan kata-katanya dan berkonsentrasi mendengarkan
suaranya. Untuk apa berjuang jika aku sudah merasa sangat bahagia dalam
keadaanku sekarang ini" Bahkan saat paru-paruku seperti dibakar karena
membutuhkan asupan udara dan kakiku kejang karena air yang sedingin es, aku
justru merasa bahagia. Aku sudah lupa bagaimana rasanya kebahagiaan yang
sesungguhnya. Kebahagiaan. Itu membuat kematian jadi bisa dihadapi dengan lapang dada.
Arus menang saat itu, mendorongku dengan kasar membentur sesuatu yang keras,
batu yang tak kelihatan dalam gelap. Benda itu menghantamku dengan keras di
bagian dada, membenturku seperti batang besi, dan udara melesat keluar dari
paru-paruku, meledak dalam bentuk gumpalan gelembung perak tebal. Batang besi
itu seperti menyeretku, menarikku menjauhi Edward, semakin dalam ke dasar
samudra yang gelap. Selamat tinggal, aku cinta padamu, adalah hal terakhir yang kupikirkan.
16. PARIS SAAT itulah kepalaku menyembul ke permukaan.
Sungguh membingungkan. Padahal aku yakin aku tenggelam.
Arus tak mau menyerah begitu saja. Gelombang menghantamku lagi ke bebatuan;
batu-batu itu memukul bagian tengah punggungku dengan keras, berirama, mendorong
air keluar dari paru-paruku. Air menggerojok keluar dalam volume mengagumkan,
mengucur deras dari mulut dan hidungku. Garam terasa panas membakar dan paru-
paruku terbakar, dan kerongkonganku dipenuhi air hingga aku tak bisa menarik
napas dan batu-batu itu menyakiti punggungku. Entah bagaimana aku bisa bertahan
di satu tempat, padahal ombak masih menggelora di sekelilingku. Aku tak bisa
melihat apa-apa kecuali air di mana-mana, menggapai wajahku.
"Bernapaslah!" sebuah suara, penuh kepanikan, memerintahkan, dan aku merasa
hariku bagai tertusuk pedih waktu mengenali suara itu - karena itu bukan suara
Edward. Aku tak bisa mematuhinya. Air terjun yang menggerojok deras dari mulutku tidak
memberiku kesempatan untuk menarik napas. Air hitam sedingin es memenuhi dadaku,
membuatnya seperti terbakar.
Batu itu kembali menghantam punggungku,
tepat di antara tulang bahu, dan air kembali terdorong keluar dari paru, paruku.
"Bernapaslah, Bella! Ayolah!" Jacob memohon-mohon. Bintik-bintik hitam
bermunculan dalam pandanganku, semakin lebar dan semakin lebar, menghalangi
cahaya. Batu itu menghantamku lagi.
Batu itu tidak dingin seperti air; rasanya justru panas di kulitku. Sadarlah aku
bahwa itu tangan Jacob, berusaha mengeluarkan air dari paru-paruku. Batang besi
yang menyeretku dari laut juga... hangat... Kepalaku berputar, bintik-bintik
hitam tadi menutupi segalanya...
Apakah itu berarti aku sekarat lagi" Aku tidak suka - rasanya tidak seindah
tadi. Sekarang hanya ada kegelapan, tidak ada yang bisa dilihat di sini.
Deburan ombak mereda dalam kegelapan dan hilang sama sekali, bahkan suara wuss
yang mirip ombak justru datang dari bagian dalam telingaku...
"Bella?" panggil Jacob, suaranya masih tegang, tapi tak sepanik sebelumnya.
"Bella, Sayang, kau bisa mendengarku?"
Isi kepalaku berputar dan berguling memualkan, seolah-olah bergabung dengan air
yang bergolak... "Sudah berapa lama dia tidak sadar?" Tanya seseorang.
Suara yang bukan suara Jacob membuatku terguncang, menyentakkanku ke kesadaran
yang lebih terfokus. Sadarlah aku bahwa aku diam tak bergerak. Tak ada arus yang menarik-narik
tubuhku - pergolakan itu hanya ada dalam kepalaku.
Permukaan di bawahku datar dan tak bergerak.
Rasanya kasar di bawah lenganku yang telanjang.
"Entahlah," jawab Jacob, masih terdengar kalut. Suaranya sangat dekat. Tangan-
tangan itu - begitu hangat hingga itu pasti tangannya-menyingkirkan rambut-
rambut basah dari pipiku. "Beberapa menit" Tidak butuh waktu lama menariknya ke
pantai." Suara wuss pelan di dalam telingaku bukanlah suara ombak-melainkan udara yang
keluar-masuk paru-paruku lagi. Setiap tarikan napas terasa panas-saluran napasku
lecet, seperti habis disikat dengan wol baja. Tapi aku bernapas.
Dan aku membeku kedinginan. Ribuan butiran tajam sedingin es menghunjam wajah
dan lenganku, membuat perasaan kedinginan itu semakin menjadi-jadi.
"Dia masih bernapas. Sebentar lagi dia pasti
siuman. Tapi usahakan agar dia tidak kedinginan. Aku tidak suka melihat warna
wajahnya..." Kali ini aku mengenali suara Sam.
"Menurutmu tidak apa-apa bila kita
memindahkannya?" "Punggungnya tidak cedera kan, waktu dia jatuh?"
"Entahlah." Mereka ragu-ragu. Aku berusaha membuka mata. Butuh waktu
cukup lama, tapi kemudian aku bisa melihat awan-awan ungu gelap yang menghujamku
dengan hujan yang dingin membekukan. "Jake?" panggilku dengan suara serak.
Wajah Jacob menghalangi langit. "Oh!" serunya, ekspresi lega menyaput wajahnya.
Matanya basah oleh hujan. "Oh, Bella! Kau baik-baik saja" Kau bisa mendengarku,
tidak" Ada yang sakit?"
"H-hanya t-tenggorokanku," jawabku terbata-bata, bibirku gemetar kedinginan.
"Ayo, kami akan membawamu pergi dari sini," kata Jacob. Ia menyelipkan kedua
lengannya di bawah tubuhku dan mengangkatku dengan mudah sekali - seperti
mengangkat kardus kosong saja. Dadanya telanjang dan hangat; ia merundukkan bahu
untuk melindungiku dari hujan. Kepalaku terkulai di atas lengannya. Aku
memandang kosong ke laut yang menggelora, memukuli pasir di belakangnya.
"Bisa?" kudengar Sam bertanya.
"Ya, akan kuurus sendiri mulai sekarang.
Kembalilah ke rumah sakit. Aku akan menyusulmu nanti. Trims, Sam."
Kepalaku masih berputar-putar. Tak satu pun perkataan Jacob yang bisa kucerna
pada awalnya. Sam tidak menyahut. Tidak ada suara, dan aku bertanya-tanya dalam
hati apakah ia sudah pergi.
Air menjilat dan menjulur jauh memasuki pantai, mengejar kami sementara Jacob
membopongku pergi, seolah-olah marah karena aku lolos. Saat aku memandang dengan
letih, mataku yang tidak fokus menangkap secercah warna - seberkas api kecil
menari di air yang gelap, nun jauh di teluk. Gambaran itu tak masuk akal, dan
aku bertanya-tanya seberapa sadar diriku sesungguhnya. Kepalaku berputar-putar
mengenang air hitam yang bergolak-kehilangan orientasi hingga tak tahu mana arah
naik dan mana turun. Begitu tersesat... tapi entah bagaimana Jacob...
"Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku parau.
"Aku memang mencarimu," jawabnya. Ia separo berlari menembus hujan, menjauhi
pantai menuju ke jalan. "Aku mengikuti jejak ban mobilmu, kemudian aku
mendengarmu menjerit... " Jacob bergidik. "Mengapa kau nekat terjun, Bella"
Apakah tidak kaulihat sebentar lagi bakal badai" Apakah kau tidak bisa
menungguku?" Nadanya dipenuhi amarah setelah kelegaan kini memudar.
Racun Darah 1 Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan Hati Seorang Pemburu 2
berkeliaran di sepanjang perbatasan kota-kota kecil, berhadapan dengan monster-
monster mistis" Apakah itu berarti setiap kisah dongeng didasarkan pada sesuatu
yang benar-benar nyata" Adakah hal yang waras atau normal sama sekak, atau
semuanya hanya magis dan kisah-kisah hantu"
Kucengkeram kepalaku kuat-kuat, menjaganya agar tidak meledak.
Sebuah suara kecil garing dalam benakku bertanya mengapa aku begitu kalut.
Bukankah aku sudah menerima keberadaan vampir sejak dulu - dan tanpa histeris
sama sekali" Benar sekali, aku ingin balas meneriaki suara itu. Tidakkah satu mitos sudah
cukup untuk siapa pun, cukup untuk seumur hidup"
Lagi pula, sebelumnya tidak ada satu momenpun di mana aku tak sepenuhnya
menyadari bahwa Edward Cullen bukan manusia biasa. Jadi bukan hal mengagetkan
waktu aku tahu siapa ia sebenarnya - karena jelas sekali ia itu berbeda.
Tapi Jacob" Jacob, yang hanyalah Jacob, dan tidak lebih daripada itu" Jacob,
temanku" Jacob, satu-satunya manusia yang bisa memahamiku...
Dan ia bahkan bukan manusia.
Kulawan dorongan untuk menjerit lagi.
Jadi, apa arti semua itu bagiku"
Aku tahu jawaban pertanyaan itu. Berarti ada yang benar-benar tidak beres
denganku. Bagaimana bisa hidupku dipenuhi karakter-karakter dari film horor"
Bagaimana mungkin aku bisa begitu peduli pada mereka sehingga hatiku terasa
seperti direnggutkan dan dadaku setiap kali mereka pergi mengikuti jalan hidup
mistis mereka" Di kepalaku segalanya berputar dan bergerak, berubah posisi sehingga hal-hal
yang tadinya berarti sesuatu, sekarang memiliki arti berbeda.
Berarti tidak ada sekte. Tidak pernah ada sekte, tidak pernah ada geng. Tidak,
ternyata bahkan lebih buruk daripada itu. Yang ada ternyata adalah kawanan.
Kawanan yang terdiri atas lima werewolf raksasa aneka warna yang waktu itu
berjalan melewatiku di padang rumput Edward...
Mendadak, aku merasa harus bergegas. Mataku melirik jam-masih terlalu pagi, tapi
aku tak peduli. Aku harus pergi ke La Push sekarang. Aku harus menemui Jacob
supaya ia bisa memberi tahuku bahwa aku tidak hilang ingatan.
Kusambar baju bersih pertama yang bisa kutemukan, tak peduli apakah serasi atau
tidak, lalu berlari menuruni tangga, melompati dua anak tangga sekaligus. Nyaris
saja aku bertabrakan dengan Charlie saat menghambur di lorong, menuju ke pintu.
"Mau ke mana kau?" tanyanya, terkejut melihatku, sama seperti aku terkejut
melihatnya. "Kau tahu sekarang jam berapa?"
"Yeah. Aku harus menemui Jacob."
"Kusangka urusan dengan Sam-"
"Itu tidak penting, aku harus bicara dengannya sekarang juga."
"Sekarang masih terlalu pagi." Kening Charlie berkerut ketika ekspresiku tidak
berubah. "Tidak mau sarapan dulu?"
"Tidak lapar." Kata-kata meluncur cepat dari bibirku. Charlie menghalangi jalanku. Aku
menimbang-nimbang untuk merunduk mengitarinya dan kabur secepat-cepatnya, tapi
aku tahu aku harus memberi penjelasan nanti. "Sebentar lagi aku kembali, oke?"
Charlie mengerutkan kening. "Langsung ke rumah Jacob, kan" Tidak mampir-mampir
dulu?" Tentu saja tidak, mau mampir ke mana" Kata-kataku berkejaran, karena aku begitu
terburu-buru. "Entahlah," Charlie mengakui. "Hanya saja... Well, terjadi penyerangan lagi-
serigala-serigala itu lagi. Dekat sekali dengan pemukiman penduduk di sumber air
panas sana - kali ini ada saksi mata yang menyaksikan. Korban hanya beberapa
meter dari jalan saat menghilang. Istrinya melihat serigala abu-abu besar
beberapa menit kemudian, waktu dia sedang mencari suaminya, lalu lari mencari
bantuan." Perutku langsung mulas mendengarnya. "Orang itu diterkam serigala?"
"Tidak ada tanda-tanda keberadaan orang itu- yang ada hanya bercak darah" Wajah
Charlie tampak galau. "Para polisi hutan menyisir hutan dengan bersenjata
lengkap, membawa sukarelawan yang juga bersenjata. Banyak pemburu yang ingin
terlibat - tersedia hadiah bagi yang bisa menembak mati serigala. Itu berarti
akan banyak tembak-menembak di hutan, dan itu membuatku khawatir." Charlie
menggeleng. "Kalau orang-orang terlalu bersemangat, bisa terjadi banyak
kecelakaan... " "Mereka akan menembaki serigala-serigala itu?" Suaraku naik tiga oktaf.
"Apa lagi yang bisa kita lakukan" Ada apa?" tanya Charlie, matanya yang tegang
menelisik wajahku. Rasanya aku seperti mau pingsan;
wajahku pasti lebih pucat daripada biasanya,
"Kau toh bukan aktivis lingkungan hidup, kan?"
Aku tak mampu menjawab. Seandainya Charlie tidak sedang memandangiku, aku pasti sudah menyurukkan
kepalaku antara lutut. Aku lupa pada para hiker yang hilang itu, juga jejak-
jejak berdarah... aku tidak menghubungkan fakta-fakta itu dengan kesadaran
pertamaku. "Dengar, Sayang, ini tidak perlu membuatmu ketakutan. Asalkan kau tetap di kota
atau dijalan raya-tidak berhenti-berhenti-oke?"
"Oke," sahutku lemah.
"Pergi dulu ya."
Kutatap Charlie lekat-lekat untuk pertama kali, dan kulihat ia melilitkan sarung
pistolnya ke pinggang dan memakai sepatu hiking.
"Kau tidak akan ikut terjun mencari serigala-serigala itu kan, Dad?"
"Aku harus membantu, Bella. Banyak orang menghilang."
Suaraku naik lagi, nyaris histeris sekarang.
"Jangan! Jangan, jangan pergi. Terlalu berbahaya!"
"Aku harus melakukan tugasku, Nak. Jangan pesimis begitu-aku akan baik-baik
saja" Charlie berbalik ke pintu, membukanya dan memeganginya. "Kau mau pergi?"
Aku ragu-ragu, perutku masih seperti diaduk-aduk. Apa yang bisa kukatakan untuk
menghentikannya" Kepalaku pusing sekali, tak mampu berpikir apa-apa.
"Bella?" "Mungkin sekarang memang masih terlalu pagi untuk pergi ke La Push," bisikku.
"Aku setuju," kata Charlie, lalu melangkah keluar ke tengah hujan, menutup pintu
di belakangnya. Begitu Charlie lenyap dari pandangan, aku merosot lemas ke lantai dan
menyurukkan kepalaku di antara lutut.
Haruskah aku menyusul Charlie" Apa yang bisa kukatakan"
Dan bagaimana dengan Jacob" Jacob sahabatku; aku harus memperingatkan dia. Kalau
dia benar-benar-aku meringis dan memaksa diriku memikirkan istilah itu-werewolf
(dan aku tahu itu benar, aku bisa merasakannya), itu berarti orang-orang akan
menembaki dia! Aku harus memberitahu Jacob dan teman-temannya bahwa orang-orang
akan berusaha membunuh mereka bila mereka berkeliaran sebagai serigala raksasa.
Aku harus memberitahu mereka supaya berhenti.
Mereka harus berhenti! Charlie ada di hutan. Pedulikah mereka pada hal itu" Aku
penasaran... Hingga saat ini, hanya orang-orang asing yang hilang. Apakah itu
berarti sesuatu, atau hanya kebetulan"
Aku harus percaya bahwa Jacob, paling tidak, peduli pada hal itu.
Bagaimanapun, aku harus mengingatkan dia.
Atau... perlukah aku"
Jacob sahabatku, tapi benarkah ia juga monster" Monster sungguhan" Monster
jahat" Haruskah aku mengingatkan dia, padahal dia dan teman-temannya...
pembunuh" Padahal mereka begitu tega membantai para hiker yang tidak berdosa"
Seandainya mereka benar-benar makhluk jahat seperti yang ada di film-film horor,
salahkah bila aku melindungi mereka"
Mau tak mau aku jadi membandingkan Jacob dan teman-temannya dengan keluarga
Cullen. Kudekap tubuhku erat-erat. melawan lubang itu, saat aku memikirkan mereka.
Aku tidak tahu apa-apa tentang werewolf, itu sudah jelas. Paling-paling aku
membayangkan mereka mendekati sosok seperti yang sering digambarkan di film-
film-makhluk setengah manusia berbadan besar dan berbulu lebat atau semacam itu
- itu pun kalau aku membayangkan mereka. Jadi aku tak tahu apa yang membuat
mereka berburu, apakah karena kelaparan atau kehausan atau hanya dorongan untuk
membunuh. Sulit menilainya, karena aku tidak tahu apa-apa.
13. PEMBUNUH KALAU saja itu orang lain dan bukan Jacob, pikirku pada diri sendiri,
menggeleng-gelengkan kepala saat melaju melintasi jalan raya yang membelah hutan
menuju La Push. Tapi pasti tidak lebih sulit daripada yang dialami keluarga Cullen dalam upaya
mereka menjadi makhluk yang baik. Ingatanku melayang kepada Esme - air mataku
merebak saat membayangkan wajahnya yang teduh dan baik - serta bagaimana, meski
sikapnya begitu keibuan dan penuh kasih sayang, ia terpaksa menahan napas,
merasa malu sekali, dan lari menjauhiku waktu aku berdarah. Tak mungkin lebih
sulit daripada itu. Aku juga teringat pada Carlisle, yang selama berabad-abad
berjuang mengajari dirinya sendiri untuk mengabaikan darah, sehingga ia bisa
menyelamatkan nyawa manusia sebagai dokter. Tidak ada yang lebih sulit daripada
itu. Para werewolf memilih jalan berbeda.
Sekarang, apa yang seharusnya aku pilih.
Aku masih belum yakin aku melakukan hal yang benar, tapi aku sudah berkompromi
dengan diriku sendiri. Aku tak bisa memaafkan apa yang Jacob dan teman-temannya, kawanannya, lakukan.
Sekarang aku mengerti maksud perkataannya semalam- bahwa aku mungkin tidak ingin
menemuinya lagi- dan bahwa aku bisa meneleponnya seperti yang ia usulkan, tapi
rasanya itu pengecut. Setidaknya, aku harus bicara empat mata dengannya. Akan
kukatakan dengan tegas padanya bahwa aku tak mungkin mengabaikan apa yang sedang
terjadi. Aku tak mungkin berteman dengan pembunuh tanpa mengatakan apa-apa,
membiarkan pembunuhan itu terus berlanjut... Itu berarti aku sama jahatnya
dengan mereka. Tapi aku tak bisa tidak mengingatkan dia juga. Aku harus berbuat sebisaku untuk
melindunginya. Kuhentikan trukku di depan rumah keluarga
Black dengan bibir terkatup rapat. Cukup sudah keterkejutanku menghadapi
kenyataan sahabatku werewolf. Haruskah ia menjadi monster juga"
Rumah itu gelap gulita, tak tampak cahaya lampu di jendela-jendelanya, tapi aku
tak peduli kalaupun aku membangunkan mereka. Tinjuku menggedor-gedor pintu depan
dengan marah; gedorannya mengguncang dinding-dinding.
"Silakan masuk," kudengar Billy berseru sejurus kemudian, dan sebuah lampu
menyala. Kuputar kenop pintu; ternyata tidak terkunci. Billy bersandar di pintu dekat
dapur yang kecil, di bahunya tersampir mantel mandi, ia belum duduk di kursi
rodanya. Begitu melihat siapa yang datang matanya melebar sedikit, kemudian
wajahnya berubah kaku. "Well, selamat pagi, Bella. Mengapa kau datang pagi-pagi buta begini?"
"Hai, Billy. Aku perlu bicara dengan Jake-di mana dia?"
"Ehm... kurang tahu ya," dusta Billy, wajahnya tetap datar.
"Tahukah kau apa yang dilakukan Charlie pagi ini?" tuntutku, muak melihatnya
mengulur-ulur waktu. "Haruskah aku tahu?"
"Dia dan setengah isi kota turun ke hutan membawa senapan, memburu serigala-
serigala raksasa." Ekspresi Billy berubah, tapi kemudian datar lagi.
"Jadi aku ingin bicara dengan Jake mengenai hal itu. kalau kau tidak keberatan,"
lanjutku. Billy mengerucutkan bibirnya yang tebal. "Aku berani bertaruh Jake pasti masih
tidur," kata Billy akhirnya, mengangguk ke lorong kecil di sebelah kamar depan.
"Belakangan dia sering pulang larut malam. Anak itu buruh istirahat-mungkin
sebaiknya kau tidak membangunkan dia."
"Sekarang giliranku," gumamku pelan sambil berjalan menuju lorong. Billy
mendesah. Kamar Jacob yang kecil, yang sebenarnya lebih mirip ruang penyimpanan baju,
adalah satu-satunya pintu di lorong yang panjangnya tak sampai satu meter. Aku
tidak repot-repot mengetuk. Aku langsung membuka pintunya; pintu itu membentur
dinding dengan suara keras.
Jacob - masih mengenakan celana olahraga hitam yang dipotong pendek seperti
semalam - berbaring diagonal di ranjang dobel yang mengisi seluruh ruangan dan
hanya menyisakan beberapa sentimeter saja di sisi-sisinya. Bahkan dalam posisi
miring tempat tidur itu masih kurang panjang; kaki Jacob tergantung di satu sisi
dan kepalanya di sisi lain. Ia tidur nyenyak, mendengkur pelan dengan mulut terbuka. Bahkan suara
pintu membentur dinding tidak membuatnya tersentak.
Wajahnya damai dalam tidur yang nyenyak, semua garis-garis amarah lenyap. Ada
lingkaran di bawah mata yang tidak kusadari sebelumnya. Meski ukuran tubuhnya
sangat besar, ia kini tampak sangat muda, dan sangat letih. Perasaan iba
mengguncang hatiku. Aku keluar lagi dan menutup pintu dengan suara pelan.
Billy memandangiku dengan sorot ingin tahu dan waspada saat aku berjalan lambat-
lambat kembali ke ruang depan.
"Sebaiknya kubiarkan saja dia tidur sebentar."
Billy mengangguk, kemudian kami berpandangan beberapa saat. Aku ingin sekali
menanyakan apa pendapat Billy tentang hal ini.
Apa pendapatnya tentang perubahan yang dialami putranya" Tapi aku tahu ia
mendukung Sam sejak awal, jadi Kupikir pembunuhan-pembunuhan itu pasti tidak
berarti apa-apa baginya. Bagaimana ia membenarkan hal ku pada dirinya sendiri,
aku tak bisa membayangkan.
Aku juga melihat banyak pertanyaan berkecamuk di matanya yang gelap, tapi ia
juga tidak menyuarakannya.
"Begini saja," kataku, memecah keheningan yang sangat terasa. "Aku akan pergi ke
pantai sebentar. Kalau dia bangun, tolong katakan padanya aku menunggunya, oke?"
"Tentu, tentu," Billy menyanggupi.
Aku ragu apakah Billy benar-benar akan menyampaikan pesanku. Well, kalaupun
tidak, aku sudah berusaha, kan"
Aku mengendarai trukku ke First Beach dan memarkirnya di lapangan tanah yang
kosong. Hari masih gelap - subuh muram menjelang pagi yang berawan - dan waktu
mematikan lampu truk aku nyaris tak bisa melihat apa-apa. Aku harus membiasakan
mataku dulu sebelum bisa menemukan jalan setapak yang membelah ilalang tinggi.
Udara di sini lebih dingin, angin bertiup menerpa air yang hitam, dan kujejalkan
kedua tanganku dalam-dalam ke saku jaket musim dinginku. Setidaknya hujan sudah
berhenti. Aku berjalan menyusuri tepi pantai ke arah tembok laut sebelah utara. Tidak
tampak Pulau St. James maupun pulau-pulau lain, hanya bentuk-bentuk samar nun
jauh di sana. Aku berjalan hati-hati meniti karang, mewaspadai driftwood yang
mungkin bisa membuatku tersandung.
Aku menemukan apa yang kucari sebelum menyadari aku mencarinya. Benda itu muncul
dari kegelapan setelah jaraknya hanya tinggal beberapa meter: sebatang driftwood
panjang seputih tulang yang terdampar jauh ke karang. Akar-akarnya terpilin ke
atas dan mengarah ke lautan, bagaikan ratusan tentakel rapuh. Aku tak yakin
apakah itu pohon yang sama tempat Jacob dan aku mengobrol untuk pertama kalinya
- obrolan yang mengawali begitu banyak benang kusut dalam hidupku - tapi
sepertinya lokasinya sama. Aku duduk di tempatku duduk dulu, dan memandang
lautan yang tak kelihatan.
Melihat Jacob seperti itu - lugu dan rapuh dalam tidurnya - telah mengenyahkan
semua perasaan jijikku, melenyapkan semua amarahku. Aku masih tetap tak bisa
menutup mata pada apa yang terjadi, seperti yang tampaknya dilakukan Billy tapi
aku juga tak bisa menghakimi Jacob atas perbuatannya itu. Itulah yang namanya
sayang. Saat kau menyayangi seseorang mustahil bersikap logis mengenai mereka.
Jacob tetap temanku, terlepas dari apakah ia membunuh orang atau tidak. Dan aku
tak tahu harus bagaimana menghadapi hal itu.
Saat membayangkan Jacob tidur begitu damai, aku merasakan dorongan yang sangat
kuat untuk melindunginya. Sungguh tidak logis.
Logis atau tidak aku terus saja membayangkan wajahnya yang damai, berusaha
menemukan jawaban, mencari cara untuk melindunginya, sementara langit perlahan-
lahan berubah warna menjadi kelabu.
"Hai, Bella." Suara Jacob datang dari kegelapan dan membuatku kaget. Suaranya lirih, nyaris
malu-malu, tapi karena aku mengira bakal mendengar kedatangannya dari suara
batu-batu yang terinjak, tetap saja suara itu membuatku kaget. Tampak olehku
siluetnya membelakangi matahari terbit- kelihatannya besar sekali.
"Jake?" Jacob berdiri beberapa langkah jauhnya, bergerak-gerak gelisah.
"Kata Billy kau datang mencariku - tidak butuh waktu lama, kan" Sudah kukira kau
pasti bisa menebaknya."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yeah, aku ingat ceritanya sekarang," bisikku.
Lama tidak terdengar apa-apa dan, walaupun masih terlalu gelap untuk bisa
melihat jelas, kulitku bagai tergelitik seolah-olah mata Jacob mengamati wajahku
lekat-lekat. Pastilah sudah cukup terang bagi Jacob untuk melihat ekspresiku,
karena waktu ia bicara lagi, suaranya mendadak berubah sinis.
"Kau toh bisa menelepon saja," sergahnya kasar.
Aku mengangguk. "Memang."
Jacob mulai mondar-mandir di atas bebatuan. Kalau kubuka telingaku lebar-lebar,
aku bisa mendengar suara langkah kakinya menginjak bebatuan di balik debur
ombak. Batu-batu berderak seperti kastanyet di telingaku.
"Mengapa kau datang?" tuntutnya, tak menghentikan langkah-langkahnya yang marah.
"Kupikir lebih baik kita bertemu langsung."
Jacob mendengus. "Oh, jauh lebih baik."
"Jacob, aku harus memperingatkanmu-"
"Tentang para polisi hutan dan pemburu" Jangan khawatir. Kami sudah tahu."
"Jangan khawatir?" tuntutku tak percaya. "Jake, mereka membawa senapan! Mereka
juga memasang perangkap dan menawarkan hadiah uang dan-"
"Kami bisa menjaga diri," geramnya, masih terus mondar-mandir. "Mereka takkan
bisa menangkap apa-apa. Mereka hanya membuat keadaan lebih sulit - sebentar lagi
mereka juga akan menghilang."
"Jake!" desisku.
"Apa" Memang kenyataannya begitu kok."
Wajahku pucat saking jijiknya. "Bisa-bisanya kau... merasa seperti itu" Kau
kenal orang-orang ini. Charlie juga ikut!" Pikiran itu membuat perutku mulas.
Langkah Jacob langsung berhenti. "Apa lagi yang bisa kami lakukan?" semburnya.
Matahari mengubah awan-awan menjadi merah muda keperakan di atas kami. Aku bisa
melihat ekspresinya sekarang; wajahnya marah, frustrasi, merasa dikhianati.
"Bisakah kau... , Well berusaha untuk tidak menjadi... werewolf?" aku
menyarankan sambil berbisik.
Jacob melontarkan kedua tangannya ke udara. "Kayak aku punya pilihan saja!"
teriaknya. "Dan apa gunanya itu, kalau kau justru khawatir orang-orang akan
menghilang?" "Aku tidak mengerti."
Jacob menatapku garang, matanya menyipit dan mulutnya terpilin membentuk
seringai. "Tahukah kau apa yang membuatku sangat marah?"
Aku terkejut melihat ekspresinya yang garang. Jacob sepertinya menunggu jawaban,
maka aku pun menggeleng. "Kau ini benar-benar munafik, Bella - lihat saja, kau duduk di sana, takut
padaku! Apakah itu adil?" Kedua tangannya gemetar oleh amarah.
"Munafik" Mengapa takut pada monster berarti aku munafik?"
"Ugh!" erang Jacob, menekankan tinjunya yang gemetar ke pelipis dan memejamkan
mata rapat-rapat. "Coba dengar omonganmu sendiri!"
"Apa?" Jacob berjalan dua langkah mendekatiku, mencondongkan tubuh di atasku dan
menatapku berapi-api. "Well, aku menyesal aku tidak bisa menjadi monster yang
tepat untukmu, Bella. Kurasa aku tidak sehebat si pengisap darah itu, bukan"''
Aku melompat berdiri dan balas memandangnya dengan sorot berapi-api juga.
"Tidak, memang tidak!" teriakku. "Masalahnya bukan siapa kau, tolol, tapi apa
yang kaulakukan!" "Apa artinya itu?" raung Jacob, sekujur tubuhnya gemetar menahan marah.
Aku kaget bukan kepalang waktu mendadak terdengar suara Edward mewanti-wantiku.
"Berhati-hatilah, Bella," suaranya yang selembut beledu mengingatkan. "Jangan
paksa dia. Kau harus menenangkannya."
Bahkan suara di kepalaku bersikap tidak masuk akal hari ini.
Tapi aku tetap menurutinya. Aku rela melakukan apa saja demi suara itu.
"Jacob," aku memohon, mengubah nada suaraku jadi lembut dan datar. "Apakah
benar-benar perlu membunuh orang, Jacob" Apakah tidak ada cara lain" Maksudku,
kalau vampir bisa mencari jalan lain untuk bertahan tanpa membunuh orang, masa
kalian tidak bisa mencobanya juga?"
Jacob tertegak kaget, seolah-olah kata-kataku tadi menyetrum sekujur tubuhnya.
Alisnya terangkat dan matanya membelalak lebar.
"Membunuh orang?" tuntutnya.
"Memangnya kaupikir kita sedang membicarakan apa?"
Tubuh Jacob sudah tidak gemetar lagi. Kini ia menatapku dengan sikap tak percaya
bercampur harap-harap cemas. "Kusangka kita sedang berbicara tentang perasaan
jijikmu terhadap werewolf!"
"Tidak, Jake, bukan. Masalahnya bukan karena kau... werewolf. Itu bukan
masalah," aku berjanji padanya, dan aku tahu saat mengucapkan kata-kata itu
bahwa aku bersungguh-sungguh. Aku benar-benar tak peduli bila ia berubah menjadi
werewolf-dia tetap Jacob. "Kalau kau bisa mencari jalan untuk tidak melukai
orang-orang... hanya itu yang aku tidak suka. Mereka tidak berdosa Jake, orang-
orang seperti Charlie, dan aku tak mungkin menutup mata sementara kau-"
"Hanya itu" Sungguh?" Jacob menyela kata-kataku, senyumnya merekah. "Kau takut
karena aku ini pembunuh" Hanya itu alasanmu?"
"Apakah itu belum cukup?"
Tawa Jacob meledak. "Jacob Black, ini sangat tidak lucu!"
"Memang, memang," Jacob sependapat, masih terus terbahak bahak. Ia melangkah
lebar-lebar dan meraup tubuhku, memelukku erat-erat.
"Kau benar-benar sungguh-sungguh, tidak keberatan kalau aku bermetamorfosis
menjadi anjing raksasa?" tanyanya, suaranya terdengar bahagia di telingaku.
"Tidak," aku terkesiap. "Tidak - bisa - napas - Jake!"
Jacob melepaskan pelukannya, tapi meraih kedua tanganku. "Aku bukan pembunuh,
Bella." Kutatap wajahnya dengan saksama, dan tampak jelas itu benar. Perasaan lega
meliputiku. "Sungguh?" tanyaku.
"Sungguh," janji Jacob dengan sikap khidmat.
Kuangkat kedua lenganku dan kupeluk dia. Mengingatkanku pada hari pertama kami
menjajal motor-tapi tubuhnya lebih besar sekarang, dan aku merasa lebih seperti
kanak-kanak. Seperti waktu itu juga, ia membelai rambutku.
"Maaf aku mengataimu munafik," Jacob meminta maaf.
"Maaf aku mengataimu pembunuh."
Jacob tertawa. Sesuatu melintas dalam pikiranku saat itu, dan aku melepas pelukanku supaya bisa
menatap wajahnya. Alisku bertaut cemas. "Bagaimana dengan Sam" Dan yang lain-
lain?" Jacob menggeleng, tersenyum seakan-akan beban berat terangkat dari bahunya.
"Tentu saja tidak. Tidak ingatkah kau bagaimana kami menyebut diri kami?"
Ingatan itu sangat jelas-itu baru terpikir olehku hari ini, "Pelindung?"
"Tepat." "Tapi aku tidak mengerti. Apa yang terjadi di hutan" Para hiker yang hilang,
bercak darah?" Wajah Jacob langsung berubah serius dan
khawatir. "Kami berusaha melakukan tugas kami, Bella. Kami berusaha melindungi
mereka, tapi kami selalu sedikit terlambat."
"Melindungi mereka dari apa" Jadi benar-benar ada beruang di luar sana?"
"Bella, Sayang, kami hanya melindungi orang-orang dari satu hal - dari satu-
satunya musuh kami. Itu sebabnya kami ada - karena mereka juga ada."
Kutatap Jacob dengan pandangan kosong selama satu detik sebelum akhirnya
mengerti. Darah langsung surut dari wajahku dan pekikan pelan tanpa kata
terlontar dari bibirku. Jacob mengangguk. "Sudah kuduga kau pasti bisa menyadari apa yang sebenarnya
terjadi." "Laurent," bisikku. "Dia masih di sana."
Jacob mengerjapkan mata dua kali, dan menelengkan kepala ke satu sisi. "Siapa
Laurent?" Aku berusaha menyortir berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalaku agar bisa
menjawab. "Kau tahu - kau melihatnya di padang rumput. Kau kan ada di sana... "
Kata-kata itu terlontar dengan nada takjub saat semuanya jadi jelas. "Kau ada di
sana, karena itu dia tidak jadi membunuhku... "
"Oh si lintah berambut hitam itu?" Jacob menyeringai, Seringaiannya kaku dan
garang. "Jadi itukah namanya?"
Aku bergidik. "Nekat benar kau?" bisikku. "Dia bisa membunuhmu! Jake, tidak sadarkah kau
betapa berbahaya-" Lagi-lagi Jacob memotong perkataanku dengan tertawa. "Bella, satu vampir bukan
masalah besar bagi sekawanan werewolf sebesar kami. Begitu mudahnya sampai malah
tidak terasa asyik lagi!"
"Apanya yang mudah?"
"Membunuh si pengisap darah yang akan membunuhmu. Tapi itu bukan berarti kami
bisa digolongkan sebagai pembunuh," Jacob buru-buru menambahkan. "Vampir kan
bukan manusia." Aku hanya dapat menggerak-gerakkan mulut tanpa suara. "Kau... membunuh...
Laurent?" Jacob mengangguk. "Well, kami melakukannya bersama-sama," ia membenarkan.
"Jadi Laurent sudah mati?" bisikku.
Ekspresinya berubah. "Kau tidak marah, kan" Dia kan akan membunuhmu - dia memang
berniat membunuh, Bella, kami yakin itu sebelum kami menyerang. Kau juga tahu
itu, kan?" "Aku tahu itu. Tidak, aku tidak marah-aku... " Aku merasa harus duduk. Aku
mundur goyah selangkah sampai tungkaiku menyentuh driftwood, lalu mengenyakkan tubuhku di
sana. "Laurent sudah mati. Dia tidak akan kembali mencariku."
"Kau tidak marah, kan" Dia bukan temanmu atau bagaimana, kan?"
"Temanku?" Aku mendongak menatapnya, bingung dan pusing saking leganya. Aku
mulai mengoceh, mataku basah. "Tidak, Jake. Aku malah sangat... sangat lega.
Kusangka dia akan menemukanku - setiap malam aku ketakutan menunggunya datang,
berharap dia cukup puas denganku dan tidak mengganggu Charlie. Aku sangat
ketakutan, Jacob... Tapi bagaimana" Dia kan vampir! Bagaimana kalian bisa
membunuhnya" Dia kan sangat kuat, sangat keras, seperti marmer... "
Jacob duduk di sebelahku, lengannya yang besar merengkuhku dengan sikap
menenangkan. "Karena itulah kami diciptakan, Bella. Kami juga kuat. Kalau saja
kau memberi tahuku bahwa kau sangat ketakutan. Kau tak perlu takut."
"Kau kan tidak ada," gumamku, pikiranku menerawang.
"Oh, benar." "Tunggu, Jake - tapi kusangka kau sudah tahu. Semalam katamu tidak aman jika kau
berada di kamarku. Kusangka itu karena kau tahu ada vampir yang akan datang. Itu
kan yang maksudmu?" Jacob tampak bingung sebentar, kemudian menunduk. "Tidak, bukan itu maksudku."
"Kalau begitu kenapa menurutmu tidak aman bila kau berada di kamarku?"
Jacob menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Maksudku bukannya tidak aman
bagiku. Aku justru memikirkan keselamatanmu."
"Apa maksudmu?"
Jacob menunduk dan menendang sebutir batu. "Ada lebih dari satu alasan kenapa
aku tak seharusnya berada di dekatmu, Bella. Aku tidak boleh membocorkan rahasia
kami padamu, itu salah satunya, tapi alasan lain adalah karena ini tidak aman
bagimu. Kalau aku sangat marah... dan emosiku tersulut... bisa-bisa kau
terluka." Aku memikirkan penjelasannya baik-baik. "Waktu kau marah sebelumnya... waktu aku
meneriakimu... dan tubuhmu gemetar...?"
"Yeah." Jacob tertunduk semakin dalam. "Tolol benar aku. Aku harus lebih bisa
menahan diri. Aku sudah bersumpah untuk tidak marah, apa pun yang kaukatakan
padaku. Tapi... aku sangat marah karena kupikir aku akan kehilangan kau... bahwa
kau tak bisa menerima keadaanku yang sebenarnya... "
"Apa yang akan terjadi... bila kau sangat marah?" bisikku.
"Aku akan berubah menjadi serigala." Jacob balas berbisik.
"Tidak perlu menunggu bulan purnama?"
Jacob memutar bola matanya. "Versi Hollywood itu tak sepenuhnya benar." Lalu ia
mendesah, dan kembali serius. "Kau tidak perlu merasa terlalu takut. Bells. Kami
akan membereskan masalah ini. Dan kami akan menjaga Charlie serta yang lain-lain
secara khusus - kami tidak akan membiarkannya celaka. Percayalah padaku."
Sesuatu yang amat sangat jelas, yang seharusnya langsung bisa kutangkap - tapi
karena selama ini pikiranku sibuk membayangkan Jacob dan teman-temannya
berkelahi melawan Laurent, hal itu benar-benar tak terpikir olehku-baru muncul
dalam pikiranku saat itu, ketika Jacob mulai berbicara dalam konteks sekarang.
Kami akan membereskan masalah ini.
Jadi ini belum berakhir. "Laurent sudah tewas," aku terkesiap, sekujur tubuhku dingin seperti es.
"Bella?" tanya Jacob waswas, menyentuh pipiku yang kelabu
"Kalau Laurent sudah tewas... seminggu yang lalu... berarti ada orang lain yang
membunuh orang-orang itu sekarang."
Jacob mengangguk; rahangnya terkatup rapat, dan ia berbicara dari sela-selanya.
"Mereka berdua. Kami menyangka pasangannya pasti ingin melawan kami - dalam
kisah-kisah kami, mereka biasanya sangat marah kalau kau membunuh pasangan
mereka - tapi dia terus-menerus lari menjauh, tapi lalu kembali lagi. Kalau saja
kami tahu apa yang diincarnya, akan lebih mudah melumpuhkannya. Tapi sikapnya
tak masuk akal. Dia terus saja menari-nari di pinggir, seperti menguji
pertahanan kami, mencari jalan masuk- tapi masuk ke mana" Dia ingin pergi ke
mana" Menurut Sam, dia berusaha memisahkan kami, supaya kesempatannya lebih
besar... " Suara Jacob berangsur-angsur menghilang sampai kedengarannya seperti berasal
dari ujung terowongan yang panjang; aku tak lagi bisa menangkap kata demi kata.
Dahiku berkeringat dan perutku seperti diaduk-aduk, seperti waktu aku flu perut
dulu. Persis seperti waktu aku flu perut.
Aku cepat-cepat berpaling darinya, dan membungkuk di atas driftwood. Tubuhku
terguncang, perutku yang kosong sangat mual, walaupun tak ada apa-apa di
dalamnya yang bisa dimuntahkan.
Victoria ada di sini. Mencariku. Membunuhi orang-orang asing di hutan. Hutan
tempat Charlie melakukan pencarian...
Kepalaku berputar cepat. Jacob menyambar bahuku-mencegahku ambruk dan mencium bebatuan. Aku bisa
merasakan embusan napasnya yang panas di pipiku. "Bella! Ada apa?"
"Victoria," aku terkesiap segera setelah bisa menarik napas di sela-sela
serangan mual yang melandaku.
Di kepalaku, Edward menggeram marah mendengar nama itu.
Kubiarkan Jacob menarikku dari posisi dudukku yang terkulai, ia meletakkanku
dengan canggung di pangkuannya, membaringkan kepalaku yang lunglai ke bahunya.
Ia berusaha keras menyeimbangkanku, menjagaku agar tidak terkulai lemas dan
jatuh dari pangkuannya. Disingkirkannya rambutku yang berkeringat dan wajahku.
"Siapa?" tanya Jacob. "Kau bisa mendengarku, Bella" Bella?"
"Dia bukan pasangan Laurent," erangku di bahu Jacob. "Mereka hanya teman
lama..." "Kau mau minum" Perlu dokter" Katakan padaku aku harus bagaimana," tuntut Jacob,
bertubi-tubi. "Aku bukan sakit - aku takut," aku menjelaskan sambil berbisik. Istilah takut
kedengarannya tidak mencakup semua yang kurasakan.
Jacob menepuk-nepuk punggungku. "Takut pada si Victoria ini?"
Aku mengangguk, bergidik.
"Victoria itu vampir wanita berambut merah?"
Aku gemetar lagi, dan merintih, "Ya."
"Bagaimana kau bisa tahu dia bukan pasangannya?"
"Laurent memberi tahuku bahwa James-lah pasangannya," aku menjelaskan, otomatis
melemaskan tanganku yang dihiasi bekas luka.
Jacob memalingkan wajahku, merengkuhnya kuat-kuat dengan tangannya yang besar.
Ditatapnya mataku lekat-lekat. "Ada hal lain yang dia ceritakan, Bella" Ini
penting. Kau tahu vampir wanita itu menginginkan apa?"
"Tentu saja," bisikku. "Victoria menginginkan aku."
Mata Jacob membelalak lebar, lalu menyipit. "Mengapa?" tuntutnya.
"Edward membunuh James,'' bisikku. Jacob memegangiku sangat erat hingga aku tak
perlu mencengkeram lubang itu-pelukannya membuatku tetap utuh. "Victoria
memang... marah. Tapi kata Laurent, Victoria menganggap lebih adil membunuhku
daripada Edward. Pasangan sebagai ganti pasangan. Dia tidak tahu - masih belum
tahu, kurasa - bahwa... bahwa... " Aku menelan ludah dengan susah payah. "Bahwa
hubungan kami sudah tidak seperti itu lagi. Tidak bagi Edward, setidaknya."
Perhatian Jacob sempat beralih sebentar mendengar perkataanku itu, ekspresinya
campur aduk. "Jadi itu yang terjadi" Mengapa keluarga Cullen pindah?"
"Bagaimanapun, aku hanya manusia biasa. Tidak ada yang istimewa," aku
menjelaskan, mengangkat bahu lemah.
Sesuatu yang kedengarannya seperti geraman - bukan geraman sesungguhnya, hanya
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara manusia yang mencoba meniru - bergemuruh di dada Jacob di bawah telingaku.
"Kalau si pengisap darah idiot itu benar-benar cukup tolol untuk-"
"Please" erangku. "Please. Jangan."
Jacob ragu-ragu, lalu mengangguk satu kali.
"Ini penting," katanya lagi, wajahnya kembali serius sekarang. "Inilah tepatnya
yang perlu kami ketahui. Kita harus segera memberi tahu yang lain."
Jacob berdiri, menarikku hingga ikut berdiri. Kedua tangannya tetap memegangi
pinggangku sampai ia yakin aku tidak akan jatuh.
"Aku tidak apa-apa," dustaku.
Ia melepaskan sebelah tangannya dari pinggangku dan ganti memegang tanganku.
"Ayo kita pergi."
Jacob menarikku kembali ke truk.
"Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Aku belum yakin," Jacob mengakui. "Aku akan minta diadakan pertemuan. Hei,
tunggu dulu di sini sebentar, oke?" Jacob menyandarkanku ke sisi truk dan
melepaskan tanganku. "Kau mau ke mana?"
"Sebentar lagi aku kembali." janjinya. Lalu ia berbalik dan berlari cepat
melintasi lapangan parkir, menyeberang jalan, dan masuk ke balik hutan yang
memagari tepi jalan. Ia lenyap di balik pepohonan gesit dan cekatan bagai rusa.
"Jacob!' aku berteriak memanggilnya dengan suara serak, tapi ia sudah lenyap.
Ini bukan saat yang tepat untuk ditinggal sendirian. Beberapa detik setelah
Jacob tidak terlihat, aku sudah megap-megap kehabisan napas. Kuseret kakiku ke
dalam truk, dan langsung mengunci pintu rapat-rapat. Namun aku belum sepenuhnya
merasa tenang. Victoria sudah memburuku. Hanya keberuntungan yang membuatnya belum menemukanku
sekarang - hanya keberuntungan dan lima werewolf remaja. Aku mengembuskan napas
tajam. Tak peduli apa yang dikatakan Jacob, membayangkan ia berada di dekat
Victoria sungguh mengerikan. Aku tak peduli ia bisa berubah menjadi apa bila
marah. Aku bisa melihat Victoria dalam pikiranku, wajahnya liar, rambutnya
seperti api, mematikan, tak terkalahkan...
Tapi, menurut cerita Jacob, Laurent sudah mati. Apakah itu mungkin" Edward -
otomatis aku mencengkeram dadaku - pernah menjelaskan padaku betapa sulitnya
membunuh vampir. Hanya vampir lain yang bisa melakukannya. Tapi kata Jacob tadi
karena itulah werewolf diciptakan...
Katanya ia akan mengawasi Charlie secara khusus - bahwa sebaiknya aku
memercayakan keselamatan ayahku pada para werewolf Bagaimana aku bisa
memercayainya" Tak seorang pun dari kami aman! Apalagi Jacob, bila ia berusaha
menempatkan diri di antara Victoria dan Charlie... di antara Victoria dan aku.
Rasanya aku ingin muntah lagi.
Ketukan tajam di jendela membuatku memekik ketakutan - tapi ternyata hanya
Jacob, yang sudah kembali. Kubuka kunci pintu dengan jari-jari gemetar sekaligus
bersyukur. "Kau benar-benar ketakutan, ya?" tanyanya sambil memanjat naik.
Aku mengangguk. "Tidak perlu. Kami akan menjagamu - Charlie juga. Aku janji."
"Rasanya lebih mengerikan membayangkan kau menemukan Victoria daripada Victoria
menemukan aku," bisikku.
Jacob tertawa. "Kau harus lebih memercayai kami. Kalau tidak, itu sama saja
menghina." Aku hanya menggeleng. Aku sudah terlalu sering melihat vampir beraksi.
"Kau tadi ke mana?" tanyaku.
Jacob mengerucutkan bibir, dan tidak mengatakan apa-apa.
"Apa" Apa itu rahasia?"
Jacob mengerutkan kening. "Tidak juga. Agak aneh saja, tapi. Aku tidak ingin
membuatmu ngeri." "Aku sudah agak terbiasa dengan hal-hal yang aneh sekarang ini." Aku mencoba
tersenyum meski tak berhasil.
Jacob balas nyengir dengan enteng. "Kurasa mau tidak mau kau harus terbiasa
juga. Oke. Begini, saat kami menjadi serigala, kami bisa... saling mendengar."
Alisku bertaut bingung. "Bukan mendengar suara-suara," sambung Jacob, "tapi kami bisa mendengar...
pikiran- setidaknya pikiran masing-masing - tak peduli betapa pun jauhnya kami.
Itu sangat membantu bila kami berburu, namun di luar itu, justru terasa
mengganggu. Memalukan-membuat kita jadi tidak punya rahasia. Aneh, ya?"
"Jadi itu yang kaumaksud semalam, waktu kaubilang kau akan memberitahu mereka
bahwa kau datang menemuiku, walaupun sebenarnya tak ingin?"
"Cerdas juga kau."
"Kau juga pandai sekali menghadapi hal-hal aneh. Kusangka itu akan membuatmu
merasa terganggu." "Itu tidak... kau bukan orang pertama yang kukenal yang bisa melakukan hal
seperti itu. Jadi rasanya tidak aneh bagiku."
"Benarkah"... Tunggu-maksudmu para pengisap darah itu?"
"Kuharap kau tidak menyebut mereka begitu." Jacob tertawa.
"Terserah. Keluarga Cullen, kalau begitu?"
"Hanya... hanya Edward." Diam-diam kulingkarkan sebelah tanganku ke tubuh.
Jacob tampak terkejut - terkejut yang tidak senang. "Kusangka itu hanya dongeng.
Aku memang pernah mendengar legenda tentang vampir yang bisa melakukan... hal-
hal istimewa, tapi kusangka itu hanya mitos."
"Apakah masih ada yang hanya mitos?" tanyaku kecut.
Jacob merengut. "Kurasa tidak. Oke, kita akan bertemu Sam dan yang lain-lain di
tempat kita naik motor dulu."
Aku menyalakan mesin dan menjalankan trukku kembali di jalan.
"Jadi kau berubah jadi serigala tadi, agar bisa berbicara pada Sam?" tanyaku,
penasaran. Jacob mengangguk, tampak malu-malu. "Hanya sebentar-aku mencoba untuk tidak
memikirkanmu agar mereka tidak tahu apa yang terjadi. Aku takut Sam akan
menyuruhku untuk tidak mengajakmu."
"Itu tidak akan menghentikanku." Aku tidak dapat mengenyahkan persepsiku bahwa
Sam jahat. Aku selalu mengatupkan gigiku rapat-rapat setiap kali mendengar
namanya. "Well, tapi itu akan menghentikan aku" kata Jacob, berubah muram. "Ingat
bagaimana aku tak bisa menyelesaikan kalimatku semalam" Bagaimana aku tak bisa
menyampaikan ceritaku secara utuh?"
"Yeah. Kau kelihatan seperti tercekik sesuatu."
Jacob berdecak garang. "Nyaris. Sam bilang, aku tidak boleh memberi tahumu. Dia
itu... ketua kawanan, begitulah. Dia itu Alpha-nya. Bila dia menyuruh kami
melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu - bila dia bersungguh-sungguh
dengan ucapannya, Well, kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja."
"Aneh," gerutuku.
"Sangat," Jacob sependapat. "Itu semacam kekhasan werewolf."
"Hah" adalah respons terbaik yang terpikirkan olehku.
"Yeah, hal semacam itu banyak sekali-hal-hal yang khas werewolf. Aku tak bisa
membayangkan keadaan Sam, berusaha menghadapinya sendirian. Bersama-sama sebagai
kawanan saja sudah cukup buruk, apalagi sendirian.
"Sam pernah sendirian?"
"Yeah," Jacob merendahkan suaranya. "Waktu aku... berubah, itu peristiwa
paling... buruk peristiwa paling mengerikan yang pernah kualami - lebih buruk
daripada yang bisa ku bayangkan. Tapi aku tidak sendirian - ada suara-suara di
sana. Dalam kepalaku, menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang harus kulakukan.
Dengan begitu aku bisa tetap mempertahankan kewarasanku. kurasa. Tapi Sam..."
Jacob menggeleng-gelengkan kepala. "Sam tidak dapat bantuan dari siapa pun."
Butuh waktu cukup lama untuk bisa menerima semua ini. Saat Jacob menjelaskan
seperti itu. sulit untuk tidak merasa kasihan pada Sam. Aku berulang kali harus
mengingatkan diri sendiri bahwa tak ada alasan untuk membencinya lagi.
"Apakah mereka akan marah melihatku datang bersamamu?" tanyaku.
Jacob mengernyitkan muka.
"Mungkin. Mungkin sebaiknya aku-"
"Tidak, tidak apa-apa." Jacob menenangkanku. "Kau tahu banyak hal yang bisa
membantu kami. Kau kan bukannya tidak tahu apa-apa. Kau seperti... entahlah,
mata-mata atau apa. Kau pernah berada di belakang garis lawan."
Aku mengerutkan kening. Itukah yang diinginkan Jacob dariku" Informasi dari
"orang dalam" yang bisa membantu mereka menghancurkan musuh" Tapi aku bukan
mata-mata. Selama ini aku tidak mengumpulkan informasi apa-apa. Belum-belum,
perkataannya tadi membuatku merasa seperti pengkhianat.
Tapi aku ingin ia menghentikan Victoria, kan"
Tidak. Aku memang ingin Victoria dihentikan, kalau bisa sebelum ia menyiksaku sampai
mati atau bertemu Charlie atau membunuh orang asing lagi. Aku hanya tidak ingin
Jacob menjadi orang yang menghentikannya, atau yang mencoba menghentikannya. Aku
tidak ingin Jacob dekat-dekat dengannya.
"Seperti soal pengisap darah yang bisa membaca pikiran," sambung Jacob, tak
menyadari kebisuanku. "Itu salah satu hal yang perlu kami ketahui. Sungguh
menyebalkan bahwa ternyata cerita-cerita itu benar. Semuanya jadi lebih rumit
Hei. menurutmu si Victoria ini juga punya kemampuan khusus?"
"Kurasa tidak," jawabku ragu, kemudian mendesah. "Kalau ada, dia pasti sudah
menceritakannya." "Dia" Oh, maksudmu Edward-uupps, maaf. Aku lupa. Kau tidak suka menyebut
namanya. Atau mendengarnya."
Kuremas perutku, berusaha mengabaikan perasaan berdenyut-denyut di sekitar
dadaku. "Tidak juga, tidak."
"Maaf." "Bagaimana kau bisa begitu mengenalku, Jacob" Terkadang seolah-olah kau bisa
membaca pikiranku." "Ah, tidak. Aku hanya memerhatikan."
Kami sampai di jalan tanah kecil tempat Jacob pertama kali mengajarku naik
motor. "Ini tidak apa-apa?" tanyaku.
"Tentu, tentu."
Aku menepi dan mematikan mesin.
"Kau masih merasa tidak bahagia, ya?"
gumamnya. Aku mengangguk, mataku menerawang ke hutan yang muram.
"Apa menurutmu... mungkin... sekarang ini kau jadi lebih baik tanpanya?"
Aku menghela napas lambat-lambat, kemudian mengembuskannya. "Tidak."
"Karena dia bukan yang terbaik-"
"Please, Jacob," selaku, memohon sambil
berbisik. "Bisakah kita tidak membicarakan
masalah ini" Aku tidak tahan!"
"Oke." Jacob menarik napas dalam-dalam. "Maaf kalau aku mengungkit soal itu."
"Jangan merasa tidak enak. Kalau saja situasinya berbeda, justru menyenangkan
akhirnya bisa membicarakan hal ini dengan orang lain.
Jacob mengangguk. "Yeah, menyimpan rahasia dirimu selama dua minggu saja rasanya
sulit. Pastilah berat sekali, tidak bisa membicarakannya dengan siapa pun."
"Berat sekali." aku membenarkan.
Jacob terkesiap. "Mereka datang. Ayo turun."
"Kau yakin" tanyaku sementara Jacob membuka pintu truk. "Mungkin sebaiknya aku
tidak berada di sini."
"Mereka harus bisa menerimanya," kata Jacob, kemudian nyengir. "Siapa sih yang
takut pada serigala besar yang jahat?"
"Ha ha," sergahku. Tapi aku turun juga dari truk, bergegas mengitari bagian
depan untuk berdiri di samping Jacob. Aku masih ingat jelas monster-monster
raksasa yang kulihat di padang rumput itu.
Kedua tanganku gemetar, seperti tangan Jacob tadi, tapi lebih karena takut
ketimbang marah. Jacob meraih tanganku da meremasnya "Itu mereka."
14. KELUARGA AKU mengkeret di samping Jacob, mataku menyapu hutan, mencari werewolf lain.
Ketika mereka muncul, melangkah keluar dari sela-sela pepohonan, penampilan
mereka tak seperti yang kuharapkan. Sejak tadi, yang ada dalam pikiranku
hanyalah bayangan para serigala. Tapi yang kulihat ini adalah empat cowok
setengah telanjang bertubuh sangat besar.
Sekali lagi, mereka mengingatkanku pada kakak-beradik, kembar empat. Dari cara
mereka berjalan yang nyaris sinkron satu sama lain, berdiri di seberang jalan di
depan kami, bagaimana mereka semua memiliki otot-otot yang panjang dan liat di
bawah kulit yang sama-sama cokelat kemerahan, rambut hitam mereka sama-sama
dipangkas pendek, serta bagaimana ekspresi mereka mendadak berubah pada saat
yang tepat sama. Awalnya mereka datang dengan sikap ingin tahu dan hati-hati. Tapi begitu
melihatku di sana, separo tersembunyi di samping Jacob, amarah mereka langsung
meledak pada detik yang sama.
Sam masih yang paling besar, walaupun Jacob sebentar lagi bakal menyainginya.
Sam sudah tidak bisa lagi disebut remaja. Wajahnya sudah lebih tua - bukan
berarti sudah keriput atau ada tanda-tanda penuaan, tapi dalam hal kematangan,
serta ekspresi sabarnya. "Apa yang kaulakukan, Jacob?" tuntutnya.
Salah seorang di antara mereka, yang tidak kukenal - Jared atau Paul - merangsek
melewati Sam dan langsung menyemprot Jacob sebelum ia bisa membela diri.
"Mengapa kau tidak bisa mengikuti aturan, Jacob?" teriaknya, mengangkat kedua
tangannya ke udara. "Apa sih yang kaupikirkan" Apakah dia lebih penting daripada
segalanya - daripada seluruh suku" Daripada orang-orang yang bakal terbunuh?"
"Dia bisa membantu," jawab Jacob pelan.
"Membantu!" teriak cowok yang marah itu.
Kedua lengannya mulai gemetar. "Oh, mana mungkin! Aku yakin si pencinta lintah
itu setengah mati ingin membantu kita!"
"Jangan bicara tentang dia seperti itu!" Jacob balas berteriak, tersinggung
mendengar sindiran itu. Sekujur tubuh cowok itu bergetar hebat, mulai dari bahu hingga ke punggung.
"Paul! Tenang!" Sam memerintahkan.
Paul menggerakkan kepala ke belakang dan ke depan, bukan membantah, tapi seolah-
olah seperti berusaha berkonsentrasi.
"Ya ampun, Paul," gerutu salah seorang di antara mereka - mungkin Jared.
"Kendalikan dirimu."
Paul memuntir kepalanya ke arah Jared, bibirnya menekuk ke belakang dengan sikap
kesal. Lalu ia beralih menatapku garang.
Jacob maju selangkah untuk menamengiku.
Tindakannya itu justru membuat amarah Paul semakin menjadi-jadi.
"Betul sekali, lindungi dia!" raung Paul marah.
Tubuhnya kembali bergetar, berguncang hebat, dan kepala sampai kaki Ia
mengedikkan kepalanya, geraman terlontar dari sela-sela giginya.
"Paul!" Sam dan Jacob berteriak berbarengan.
Paul seperti terjungkal ke depan, tubuhnya bergetar dahsyat. Sebelum tubuhnya
mencium tanah, terdengar suara robekan keras, dan tubuh cowok itu meledak.
Bulu-bulu perak gelap menyembur keluar dari tubuhnya, mengubahnya menjadi
makhluk yang lima kali lebih besar daripada ukuran sebenarnya-makhluk itu sangat
besar dan berdiri dengan sikap membungkuk, siap menerkam.
Moncong serigala itu tertarik ke belakang, menampakkan gigi-giginya, dan sebuah
geraman lagi menggemuruh dari dadanya yang besar. Bola matanya yang gelap dan
berapi-api terpaku padaku.
Detik itu juga Jacob berlari menyeberang jalan, langsung menghampiri monster
itu. "Jacob!" jeritku.
Setengah jalan, sekujur tubuh Jacob bergetar hebat. Ia melompat maju, menerjang
dalam posisi kepala lebih dulu ke udara yang kosong.
Diiringi suara robekan nyaring, Jacob juga meledak. Ia meledak keluar dari
kulitnya-cabikan-cabikan kain hitam dan putih terpental ke udara. Kejadiannya
begitu cepat hingga seandainya aku berkedip, seluruh proses transformasi itu
pasti akan luput dari penglihatanku. Sedetik sebelumnya Jacob melompat tinggi ke
udara, derik berikutnya ia sudah berubah menjadi serigala cokelat kemerahan-
sangat besar hingga rasanya tak masuk akal bagiku bagaimana makhluk sebesar itu
bisa berada di dalam diri Jacob- menerkam monster berbulu perak yang merunduk.
Jacob membungkam serangan si werewolf dengan langsung menerkam kepalanya.
Geraman-geraman marah bergema seperti halilintar memantul di pepohonan.
Cabikan-cabikan kain hitam dan putih sisa-sisa pakaian Jacob jatuh ke tanah
tempat ia menghilang tadi.
"Jacob!" jeritku lagi, terhuyung-huyung maju.
"Tetaplah di tempatmu, Bella," Sam memerintahkan. Sulit mendengar suaranya di
antara raungan dua serigala yang sedang bertarung. Keduanya saling menggigit dan
merobek, gigi mereka yang tajam saling mengarah ke tenggorokkan masing-masing.
Serigala Jacob tampaknya berada di atas angin - tubuhnya jelas lebih besar
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daripada serigala yang lain, dan kelihatannya juga lebih kuat. Ia memukulkan
bahunya berkali-kali ke tubuh si serigala abu-abu, memukul mundur ke arah hutan.
"Bawa Bella ke rumah Emily," teriak Sam pada yang lain, yang menonton
pertarungan itu dengan asyik. Jacob berhasil mendorong serigala kelabu itu
keluar dari jalan, dan mereka lenyap ke balik hutan, walaupun geraman-geraman
mereka masih terdengar nyaring. Sam lari mengejar mereka, menendang sepatunya
hingga terlepas sambil berlari. Saat melesat memasuki pepohonan, sekujur
tubuhnya bergetar dari kepala sampai kaki.
Geraman dan suara moncong dikatupkan dengan keras berangsur-angsur lenyap. Tiba-
tiba suara itu hilang sama sekali dan jalanan langsung lengang.
Salah satu cowok itu tertawa.
Aku menoleh dan menatapnya - mataku yang membelalak terasa membeku, seakan-akan
aku tak bisa mengerjapkan mata.
Cowok itu sepertinya menertawakan ekspresiku.
" Well, jarang-jarang kan, kau melihat yang seperti itu," tawanya terkekeh-
kekeh. Samar-samar aku mengenali wajahnya - lebih kurus daripada yang lain...
Embry Call. "Kalau aku sih sudah sering," sergah cowok yang lain, Jared, menggerutu. "Setiap
hari, malah." "Ah, Paul kan tidak setiap hari lepas kendali seperti tadi," sergah Embry tak
setuju, sambil terus nyengir. "Mungkin dua dalam tiga kali kesempatan."
Jared berhenti untuk memungut sesuatu yang berwarna putih dari tanah. Ia
mengacungkannya pada Embry; benda ini menggelantung lemas di tangannya.
"Hancur sama sekali," kata Jared. "Padahal kata Billy, ini sepatu terakhir yang
bisa dibelinya - kurasa mulai sekarang Jacob harus bertelanjang kaki."
"Yang satu ini selamat," kata Embry, mengacungkan kets putih. "Jadi Jake bisa
melompat-lompat," imbuhnya sambil tertawa.
Jared mulai mengumpulkan cabikan-cabikan kain dari tanah. "Bisa tolong ambilkan
sepatu Sam" Yang lain-lain akan langsung dibuang ke tong sampah."
Embry menyambar sepatu-sepatu itu, lalu berlari-lari kecil ke tempat Sam
menghilang tadi. Sejurus kemudian ia muncul lagi dengan jins dipotong pendek
tersampir di lengan. Jared mengumpulkan cabikan-cabikan pakaian Jacob dan Paul.
Mendadak ia seperti teringat padaku.
Ia memandangiku dengan saksama, menilai.
"Hei, kau tidak mau pingsan atau muntah atau sebangsanya, kan?" desaknya.
"Rasanya tidak," jawabku terkesiap.
"Kau kelihatan agak pucat. Mungkin sebaiknya kau duduk."
"Oke," gumamku. Untuk kedua kalinya pagi itu, aku menyurukkan kepalaku di antara
lutut. "Jake seharusnya memperingatkan kami," keluh Embry.
"Seharusnya dia tidak mengajak ceweknya. Memangnya apa yang dia harapkan bakal
terjadi?" "Well, ketahuan deh kalau kita serigala," desah Embry. "Hebat, Jake."
Aku menengadahkan wajah dan memelototi kedua cowok yang sepertinya menganggap
semua ini masalah kecil. "Kalian sama sekali tidak khawatir memikirkan
keselamatan mereka?" tuntutku.
Embry mengerjapkan mata satu kali, terkejut. "Khawatir" Mengapa?"
"Bisa-bisa mereka saling melukai!"
Embry dan Jared tertawa terbahak-bahak. "Aku justru berharap Paul berhasil
menggigitnya," sergah Jared. "Biar tahu rasa dia."
Aku langsung pucat. "Hah, yang benar saja!" Embry tidak sependapat.
"Kau lihat tidak Jake tadi" Begitu dilihatnya Paul lepas kendali, dia hanya
butuh waktu, berapa, setengah detik untuk menyerang" Anak itu benar-benar
berbakat." "Paul sudah lebih lama bertarung. Taruhan sepuluh dolar, dia pasti berhasil
meninggalkan bekas luka di tubuh Jake."
"Taruhan diterima. Jake sangat alami. Paul tidak bakal punya kesempatan."
Mereka bersalaman, nyengir.
Aku berusaha menghibur diri melihat sikap mereka yang seolah tak peduli, tapi
aku tak sanggup mengenyahkan bayangan brutal serigala-serigala yang bertarung
itu dari kepala ku. Perutku mulas, perih dan kosong, kepalaku berdenyut-denyut
karena khawatir. "Ayo kita ke rumah Emily. Dia pasti sudah menyiapkan makanan." Embry menunduk
memandangiku. "Keberatan tidak mengantar kami ke sana?"
"Tidak masalah," jawabku dengan suara tercekik.
Jared mengangkat sebelah alis. "Mungkin sebaiknya kau saja yang nyetir, Embry.
Dia masih kelihatan seperti mau muntah."
"Ide bagus. Mana kuncinya?" Embry bertanya padaku.
"Masih di lubangnya."
Embry membuka pintu penumpang. "Naiklah," katanya dengan nada riang,
mengangkatku dengan sebelah tangan dan mendudukkanku di jok mobil. Diamatinya
ruang kosong yang tersisa di kabin depan. "Kau terpaksa duduk di bak belakang"
katanya pada Jared. "Tidak apa-apa. Soalnya aku gampang jijik. Aku tidak mau berada di dalam sana
kalau dia muntah nanti."
"Aku berani bertaruh dia lebih kuat daripada itu. Dia kan bergaul dengan
vampir." "Lima dolar?" tanya Jared.
"Beres. Aku jadi merasa tidak enak, mengambil uangmu seperti ini."
Embry naik dan menyalakan mesin sementara Jared melompat cekatan ke bak
belakang. Begitu pintu ditutup, Embry bergumam padaku, "Jangan muntah, oke" Aku
cuma punya sepuluh dolar, dan kalau Paul menggigit Jacob... "
"Oke." bisikku Embry menjalankan truk. mengantar kami kembali ke perkampungan.
"Hei. bagaimana cara Jake mengakali aturan itu?"
"'Mengakali... apa?"
"Eh, perintah itu. Kau tahu, untuk tidak
membocorkan rahasia. Bagaimana cara dia memberi tahu hal ini padamu?"
"Oh, itu," kataku, ingat bagaimana Jacob berusaha keras menahan keinginan untuk
membeberkan hal sebenarnya padaku semalam. "Dia tidak mengatakan apa-apa. Aku
bisa menebak dengan benar."
Embry mengerucutkan bibir, tampak terkejut. "Hmm. Kurasa boleh juga kalau
begitu." "Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Ke rumah Emily. Dia pacar Sam... bukan, sekarang sudah tunangannya, kurasa.
Mereka akan menemui kami di sana setelah Sam berhasil melerai mereka. Dan
setelah Paul dan Jake berhasil mendapat baju lagi, kalau masih ada baju Paul
yang tersisa." "Apakah Emily tahu tentang...?"
"Yeah. Dan hei, jangan memandangi dia terus, ya" Sam bakal marah."
Aku mengerutkan kening padanya. "Kenapa aku ingin memandanginya terus?"
Embry tampak tidak enak hati. "Seperti yang kaulihat barusan tadi, ada risikonya
bergaul dengan werewolf. Ia buru-buru mengubah topik. "Hei, kau tidak marah kan,
soal si pengisap darah berambut hitam yang di padang rumput itu" Kelihatannya
dia bukan temanmu, tapi... " Embry mengangkat bahu.
"Tidak, dia bukan temanku."
"Baguslah. Kami tidak mau memulai sesuatu, melanggar kesepakatan, kau tahu."
"Oh ya, Jake pernah bercerita tentang kesepakatan itu, dulu sekali. Kenapa
membunuh Laurent berarti melanggar kesepakatan?"
"Laurent," Embry mengulangi, mendengus, seolah-olah geli vampir itu memiliki
nama. "Well, teknisnya sih, kami membuat kesepakatan itu dengan keluarga Cullen.
Kami tidak boleh menyerang salah seorang di antara mereka, keluarga Cullen,
setidaknya, di luar tanah kami - kecuali mereka lebih dulu melanggar
kesepakatan. Kami tidak tahu si pengisap darah berambut hitam itu kerabat mereka
atau bukan. Kelihatannya kau mengenalnya."
"Mereka melanggar kesepakatan kalau melakukan apa?"
"Kalau mereka menggigit manusia. Jake tidak mau menunggu sampai sejauh itu."
"Oh. Eh, trims. Aku senang kalian tidak menunggu sampai dia menggigitku."
"Sama-sama." Embry terdengar seperti bersungguh-sungguh.
Embry mengemudikan truk hingga melewati rumah yang terletak paling timur di sisi
jalan raya sebelum berbelok memasuki sepotong jalan tanah yang sempit, "Trukmu
lamban," komentarnya.
"Maaf." Di ujung jalan tampak rumah mungil yang dulu berwarna abu-abu. Hanya ada satu
jendela sempit di samping pintu biru yang sudah kusam dimakan cuaca, tapi kotak
jendela bawahnya penuh bunga marigold jingga dan kuning cerah, memberi kesan
ceria pada rumah itu. Embry membuka pintu mobil dan menghirup udara dalam-dalam. "Mmmm, Emily sedang
memasak." Jared melompat turun dan bak belakang dan langsung menuju pintu, tapi Embry
menghentikannya dengan meletakkan tangan di dadanya. Ia menatapku dengan penuh
arti dan berdeham-deham. "Aku tidak bawa dompet," dalih Jared.
"Tidak apa-apa. Aku tidak akan lupa."
Mereka menaiki satu undakan dan masuk ke rumah tanpa mengetuk pintu. Aku
mengikuti dengan malu-malu.
Ruang depan, seperti halnya rumah Billy, sebagian besar berupa dapur. Seorang
wanita muda, berkulit sehalus satin berwarna tembaga dan rambut lurus panjang
berwarna hitam seperti bulu gagak, berdiri di konter dekat bak cuci piring,
mengeluarkan kue-kue muffin dari loyang dan menaruhnya di piring kertas. Sesaat
aku sempat mengira alasan Embry mengatakan padaku untuk tidak memandanginya
adalah karena gadis itu sangat cantik.
Kemudian gadis itu bertanya, "Kalian lapar?" dengan suara merdu mengalun, dan
memalingkan wajah sepenuhnya menghadap kami, senyum tersungging di separuh
bagian wajahnya. Sisi kanan wajahnya dipenuhi bekas luka yang memanjang dari batas rambut hingga
ke dagu, tiga garis merah panjang dan tebal, berwarna terang meski luka itu
sudah lama sembuh. Satu garis menarik sisi bawah sudut matanya yang hitam dan
berbentuk kenan, garis yang lain memilin sisi kanan mulutnya menjadi seringaian
permanen. Bersyukur karena sudah diperingatkan Embry, aku buru-buru mengalihkan pandangan
ke kue-kue muffin di tangannya. Baunya sangat lezat -seperti blueberry segar.
"Oh," seru Emily, terkejut. "Siapa ini?"
Aku menengadah, berusaha memfokuskan pandangan pada sisi kiri wajahnya.
"Bella Swan," Jared menjawab pertanyaannya sambil mengangkat bahu. Rupanya, aku
pernah menjadi topik pembicaraan sebelum ini. "Siapa lagi?"
"Bukan Jacob namanya kalau tidak bisa mengakali perintah," gumam Emily. Ia
memandangiku, dan tak satu pun dari dua bagian wajah yang dulu cantik itu
terlihat ramah. "Jadi, kau ini si cewek vampir."
Aku mengejang. "Ya. Kalau kau cewek serigala?"
Emily tertawa, begitu pula Embry dan Jared. Sisi kiri wajahnya berubah hangat.
"Kurasa begitu." Ia berpaling kepada Jared. "Mana Sam?"
"Bella, eh, membuat Paul kaget tadi pagi."
Emily memutar bola matanya yang tidak cacat. "Ah, Paul," desahnya. "Kira-kira
lama atau tidak" Aku baru mau mulai memasak telur."
"Jangan khawatir," Embry menenangkan. "Kalau mereka terlambat, kami tidak akan
membiarkan makanannya mubazir."
Emily terkekeh, lalu membuka lemari es. "Tidak diragukan lagi," ujarnya
sependapat. "Bella, kau lapar" Silakan ambil muffin-nya."
"Trims." Aku mengambil satu dari piring dan mulai menggigiti pinggirnya. Rasanya
lezat, dan terasa nyaman di perutku yang mual. Embry meraih kue ketiga dan
menjejalkannya ke mulut. "Sisakan untuk saudara-saudaramu," tegur Emily memukul kepalanya dengan sendok
kayu. Istilah itu membuatku terkejut, tapi yang lain-lain sepertinya tidak
menganggapnya aneh. "Dasar rakus," komentar Jared.
Aku bersandar di konter dan menonton mereka bertiga saling mengejek seperti
keluarga. Dapur Emily menyenangkan, cemerlang dengan rak-rak dapur berwarna
putih dan lantai papan dan kayu berwarna pucat. Di atas meja bulat kecil, sebuah
teko porselen biru-putih yang sudah retak penuh berisi bunga-bunga liar. Embry
dan Jared terlihat seperti di rumah sendiri di sini.
Emily mengocok telur dalam porsi sangat besar, beberapa lusin sekaligus, di
mangkuk kuning besar. Ia menyingsingkan lengan bajunya yang berwarna lembayung
muda, dan aku bisa melihat bekas-bekas luka membentang sepanjang lengan hingga
ke punggung tangan kanan. Bergaul dengan
werewolf memang benar-benar berisiko, tepat seperti yang dikatakan Embry tadi.
Pintu depan terbuka, dan Sam melangkah masuk.
"Emily," sapanya, nadanya penuh cinta hingga aku merasa malu, seperti
pengganggu, saat kulihat Sam berjalan melintasi ruangan hanya dalam satu langkah
lebar dan merengkuh wajah Emily dengan telapak tangannya yang lebar. Ia
membungkuk dan mengecup bekas luka gelap di pipi kanan Emily sebelum mengecup
bibirnya. "Hei, jangan begitu dong," Jared protes. "Aku sedang makan."
"Kalau begitu tutup mulut dan makan sajalah," usul Sam, mencium bibir Emily yang
hancur itu sekali lagi. "Ugh," erang Embry.
Ini lebih parah daripada film romantis mana pun; adegan itu begitu nyata
mendendangkan kebahagiaan, kehidupan, dan cinta sejati. Kuletakkan muffin-ku dan
kulipat kedua lenganku di dadaku yang kosong. Kupandangi bunga-bunga itu,
berusaha mengabaikan momen intim mereka, serta luka hatiku sendiri yang
berdenyut-denyut nyeri. Aku bersyukur karena perhatianku kemudian beralih pada Jacob dan Paul yang
menerobos masuk melalui pintu, shock berat karena mereka tertawa-tawa. Kulihat
Paul meninju bahu Jacob dan Jacob membalas dengan menyikut pinggangnya. Mereka
tertawa lagi. Kelihatannya mereka tidak kurang sesuatu apa pun.
Jacob memandang sekeliling ruangan, berhenti begitu melihatku bersandar,
canggung dan rikuh, di konter di pojok dapur.
"Hei, Bella," ia menyapaku riang. Disambarnya dua muffin ketika berjalan
melewati meja lalu berdiri di sampingku. "Maaf soal tadi," gumamnya pelan.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Muffin-nya enak" Kuambil lagi muffinya dan
mulai menggigitinya lagi. Dadaku langsung terasa lebih enak begitu Jacob ada di
sampingku. "Oh, ya ampun!" raung Jared, menyela kami.
Aku menengadah, dan melihat Jared serta Embry mengamati garis merah muda samar
di lengan atas Paul. Embry nyengir, girang.
"Lima belas dolar," soraknya.
"Itu gara-gara kau?" bisikku pada Jacob, teringat taruhan mereka.
"Aku nyaris tidak menyentuhnya kok. Saat matahari terbenam nanti lukanya pasti
sudah sembuh." "Saat matahari terbenam?" Kupandangi garis di lengan Paul. Aneh, tapi
kelihatannya luka itu seperti sudah berumur beberapa minggu.
"Khas werewolf," bisik Jacob.
Aku mengangguk, berusaha untuk tidak terlihat bingung.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku pada Jacob
dengan suara pelan. "Tergores pun tidak," Ekspresinya puas.
"Hei, guys," seru Sam dengan suara nyaring, menyela obroli dalam ruangan kecil
itu. Emily sedang menghadap kompor mengaduk-aduk adonan telur dalam wajan besar,
tapi sebelah tangan Sam masih memegang bagian atas punggung Emily gerakan yang
tidak disadarinya. "Jacob punya informasi untuk kita."
Paul tidak tampak terkejut. Jacob pasti sudah menjelaskan tentang ini padanya
dan Sam. Atau... mereka mendengar pikiran Jacob.
"Aku tahu apa yang diinginkan si rambut merah itu." Jacob menujukan perkataannya
pada Jared dan Embry. "Itulah yang ingin kusampaikan pada kalian sebelumnya."
Ditendangnya kaki kursi yang diduduki Paul.
"Lalu?" tanya Jared.
Wajah Jacob berubah serius. "Dia memang berusaha membalas dendam atas kematian
pasangannya - tapi ternyata pasangannya bukanlah si pengisap darah berambut
hitam yang kita bunuh. Keluarga Cullen membunuh pasangannya tahun lalu, jadi
sekarang dia mengincar Bella."
Itu bukan berita baru bagiku, tapi tetap saja aku bergidik ngeri mendengarnya.
Jared, Embry, dan Emily menatapku dengan mulut ternganga kaget.
"Dia kan hanya gadis biasa," protes Embry.
"Aku tidak berkata itu masuk akal. Tapi itulah sebabnya si pengisap darah
berusaha menerobos pertahanan kita. Dia berniat pergi ke Forks."
Mereka terus menatapku dengan mulut masih terbuka lebar selama beberapa saat.
Kutundukkan kepalaku. "Bagus sekali," kata Jared akhirnya, senyuman mulai bermain di bibirnya. "Kita
punya umpan."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan kecepatan mengagumkan Jacob menyambar pembuka kaleng dari konter dan
melemparkannya ke kepala Jared. Tangan Jared terangkat lebih cepat daripada yang
kupikir mungkin terjadi, dan menangkapnya tepat sebelum alat itu menghantam
wajahnya. "Bella bukan umpan."
"Kau tahu maksudku," tukas Jared, tidak merasa malu.
"Jadi kita akan mengubah pola kita," kata Sam, mengabaikan pertengkaran mereka.
"Kita akan mencoba meninggalkan beberapa lubang, dan melihat apakah dia akan
terperangkap di dalamnya. Kita harus berpencar, dan aku tidak suka itu. Tapi
kalau dia memang benar-benar mengincar Bella, dia mungkin tidak akan berusaha
memanfaatkan kekuatan kita yang terpecah."
"Quil harus segera bergabung dengan kita,"gumam Embry. "Dengan begitu kita bisa
berpencar dalam jumlah sama besar."
Semua menunduk. Aku melirik wajah Jacob, dan ekspresinya tampak tak berdaya,
seperti kemarin sore, di depan rumahnya. Walaupun sekarang mereka kelihatannya
sudah bisa menerima takdir mereka, di sini di dapur yang ceria ini. Tak seorang
werewolf pun menginginkan nasib yang sama menimpa teman mereka.
"Well, kita tidak boleh mengandalkan hal ini." kata Sam pelan, kemudian
melanjutkan kata-katanya dengan suara biasa. "Paul, Jared, dan Embry akan
bertugas di perimeter luar sementara Jacob dan aku bertugas di bagian dalam.
Kita akan bersatu lagi setelah berhasil menjebaknya."
Kulihat Emily tidak terlalu suka mendengar Sam akan berada di kelompok yang
lebih kecil. Kekhawatirannya membuatku menengadah dan menatap Jacob, ikut
khawatir juga. Sam menatap mataku. "Menurut Jacob, sebaiknya kau lebih banyak menghabiskan
waktu di sini. Di La Push. Dia takkan bisa menemukanmu semudah itu. untuk
berjaga-jaga." "Bagaimana dengan Charlie?" tuntutku.
"March Madness masih berlangsung," kata Jacob. "Kurasa Billy dan Harry bisa
mengajak Charlie ke sini bila tidak sedang bekerja."
"Tunggu." sergah Sam. mengangkat sebelah tangan. Ia melirik Emily sebentar, lalu
melirikku. "Menurut Jacob itulah yang terbaik, tapi kau harus memutuskannya sendiri.
Sebaiknya kau pertimbangkan benar-benar risiko kedua pilihan itu dengan sangat
serius. Kaulihat sendiri tadi pagi betapa mudahnya keadaan berubah menjadi
berbahaya di sini, betapa cepatnya situasi menjadi tak terkendali. Jika kau
memutuskan untuk tinggal bersama kami, aku tak bisa menjamin keselamatanmu."
"Aku tidak akan melukainya," gumam Jacob, menunduk.
"Sam berlagak seolah-olah tidak mendengar perkataannya. "Kalau ada tempat lain
di mana kau merasa aman... "
Aku menggigit bibir. Ke mana aku bisa pergi yang tidak akan membahayakan
keselamatan orang lain" Aku bergidik ngeri membayangkan diriku menyeret Renee ke
dalam persoalan ini - menariknya ke tengah lingkaran sasaran tembak yang
kukenakan... "Aku tidak ingin membawa Victoria ke tempat lain," bisikku.
Sam mengangguk. "Itu benar. Lebih baik membawanya ke sini, tempat kita bisa
menghabisinya." Aku tersentak. Aku tidak ingin Jacob ataupun yang lain berusaha menghabisi
Victoria. Kulirik wajah Jacob; ekspresinya tenang, nyaris sama seperti yang
kuingat sebelum masalah serigala ini mengemuka, dan tampak benar-benar tidak
peduli bila harus memburu vampir.
"Kau akan berhati-hati, kan?" tanyaku, menelan ludah dengan suara keras.
Cowok-cowok terpekik karena geli. Semua menertawakanku - kecuali Emily. Ia
menatap mataku, dan tiba-tiba aku bisa melihat kesimetrisan di balik wajahnya
yang cacat. Wajahnya masih cantik, dan terlihat hidup dengan keprihatinan yang
bahkan lebih besar daripada yang kurasakan. Aku terpaksa membuang muka, sebelum
cinta di balik keprihatinan itu bisa membuat hatiku nyeri lagi.
"Makanan sudah siap," serunya kemudian, dan pembicaraan strategis itu langsung
berhenti. Cowok-cowok itu bergegas mengitari meja-yang tampak kecil dan terancam
hancur berantakan oleh ulah mereka - dan langsung menyikat habis wajan ukuran
prasmanan berisi telur yang diletakkan Emily di tengah mereka dengan kecepatan
yang mampu memecahkan rekor. Emily makan sambil bersandar di konter seperti aku
- menghindari hiruk-pikuk di meja makan - dan mengawasi mereka dengan sorot
sayang. Ekspresinya jelas menyatakan bahwa inilah keluarganya.
Intinya, bukan ini yang kuharapkan dari sekawanan werewolf.
Aku menghabiskan hari itu di La Push, kebanyakan di rumah Billy. Ia meninggalkan
pesan di telepon Charlie dan di kantor polisi, dan saat makan malam, Charta
datang membawa dua pizza. Untung juga ia membawa dua pizza ukuran besar; satu
dihabiskan sendiri oleh Jacob.
Kulihat Charlie mengawasi kami dengan sikap curiga sepanjang malam, terutama
Jacob yang banyak berubah. Ia menanyakan rambutnya; Jacob hanya mengangkat bahu
dan menjawab bahwa begini lebih nyaman.
Aku tahu begitu Charlie dan aku pulang nanti, Jacob akan langsung berangkat -
berlari-lari sebagai serigala, seperti yang dilakukannya tanpa henti sepanjang
hari tadi. Ia dan saudara-saudaranya melakukan semacam pengawasan terus-menerus,
mencari tanda-tanda kembalinya Victoria. Tapi karena mereka mengejarnya dari
sumber air panas semalam - mengejarnya hingga setengah perjalanan menuju Canada,
menurut Jacob - ia belum lagi menampakkan batang hidungnya.
Aku sama sekali tak berharap ia bakal menyerah. Aku tidak seberuntung itu.
Jacob mengantarku ke truk sehabis makan malam dan berdiri terus dekat jendela,
menunggu Charlie menjalankan mobilnya lebih dulu.
"Jangan takut malam ini," pesan Jacob, sementara Charlie pura-pura mengalami
kesulitan dengan sabuk pengamannya. "Kami ada di luar sana, berjaga-jaga."
"Aku tidak akan mengkhawatirkan diriku sendiri," janjiku.
"Konyol. Memburu vampir kan menyenangkan. Ini justru bagian terbaik dari semua
kekacauan ini." Aku menggeleng. "Kalau aku konyol, berarti kau sinting."
Jacob terkekeh. "Istirahatlah, Bella, Sayang. Kau kelihatan capek sekali."
"Akan kucoba." Charlie menekan klakson dengan sikap tidak sabar.
"Sampai besok," seru Jacob. "Datanglah pagi-pagi sekali."
"Pasti." Charlie mengikutiku pulang ke rumah. Aku tak begitu memerhatikan lampu-lampu di
kaca spionku. Aku malah sibuk memikirkan di mana Sam, Jared, Embry, dan Paul
berada sekarang, berlari-lari di kegelapan malam. Aku bertanya-tanya dalam hati
apakah Jacob sudah bergabung dengan mereka.
Sesampai di rumah, aku bergegas menuju tangga, tapi Charlie membuntuti tepat di
belakangku. "Sebenarnya ada apa, Bella?" tuntutnya sebelum aku sempat meloloskan diri.
"Kusangka Jacob bergabung dengan geng dan kalian berselisih paham."
"Kami sudah baikan."
"Dan gengnya?" "Entahlah - siapa sih yang bisa mengerti cowok-cowok remaja" Mereka itu
misterius. Tapi aku sudah berkenalan dengan Sam Uley dan tunangannya, Emily.
Kelihatannya mereka ramah kok." Aku mengangkat bahu. "Mungkin semua hanya salah
paham." Wajah Charlie berubah. "Aku malah belum dengar dia dan Emily sudah resmi
bertunangan. Baguslah kalau begitu. Gadis malang."
"Dad tahu apa yang terjadi padanya?"
"Diserang beruang, di kawasan utara sana, saat musim salmon bertelur -
kecelakaan tragis. Sudah lebih dari setahun berlalu sejak saat itu. Dengar-
dengar, Sam sangat terpukul oleh kejadian itu."
"Sungguh tragis," aku menirukan. Lebih dari setahun lalu. Aku berani bertaruh
peristiwa itu terjadi ketika baru ada satu werewolf di La Push.
Aku bergidik membayangkan perasaan Sam setiap kali memandang wajah Emily.
Malam itu, lama sekali aku berbaring dengan mata nyalang, mencoba memilah-milah
kembali berbagai peristiwa yang kualami seharian tadi. Kuulangi lagi saat makan
malam bersama Billy, Jacob dan Charlie. hingga ke siang yang panjang di rumah
keluarga Black, harap-harap cemas menunggu kabar dari Jacob, ke dapur Emily,
hingga ke kengerian yang kurasakan saat para werewolf itu bertarung, juga saat
berbicara dengan Jacob di tepi pantai.
Aku memikirkan perkataan Jacob tadi pagi, tentang kemunafikan. Lama sekali aku
memikirkan hal itu. Aku tidak suka menganggap diriku munafik, tapi apa gunanya
membohongi diri sendiri"
Aku meringkuk rapat-rapat. Tidak, Edward bukan pembunuh. Bahkan di masa lalunya
yang kelam, ia tidak pernah membunuh orang yang tidak bersalah, paling tidak.
Tapi bagaimana kalau ia dulu pembunuh" Bagaimana kalau, selama aku mengenalnya,
ia tidak berbeda dengan vampir-vampir lain" Bagaimana bila saat itu banyak orang
menghilang dari hutan, seperti yang terjadi sekarang" Apakah itu akan membuatku
menjauhinya" Aku menggeleng sedih. Cinta itu tak masuk akal, aku mengingatkan diri sendiri.
Semakin kau mencintai seseorang semakin pikiranmu menjadi tidak rasional.
15. TEKANAN LIBURAN musim semi lagi di Forks. Saat terbangun Senin pagi, aku berbaring di
tempat tidur beberapa detik, mencerna hal itu. Pada liburan musim semi tahun
lalu, aku juga diburu vampir. Mudah-mudahan ini tak lantas menjadi semacam
tradisi. Sebentar saja aku sudah terbiasa dengan pola kehidupan di La Push. Kebanyakan
aku melewatkan hari Minggu di pantai, sementara Charlie nongkrong dengan Billy
di rumah keluarga Black. Aku dikira sedang bersama Jacob, tapi berhubung banyak
yang harus dilakukan Jacob, jadilah aku berkeliaran sendirian, merahasiakannya
dari Charlie. Aku berguling dan berusaha memikirkan hal lain - lantas memikirkan Jacob serta
saudara-saudaranya, berlari-lari di luar sana dalam gelap. Aku tertidur dengan
benak dipenuhi bayangan serigala, tak terlihat di malam hari, menjagaku dari
bahaya. Waktu bermimpi, aku berdiri lagi di hutan, tapi aku tidak berkeliaran.
Aku memegangi tangan Emily yang cacat sementara kami menghadap ke arah bayang-
bayang dan dengan cemas menunggu para werewolf kami kembali ke rumah.
Saat mampir untuk mengecek keadaanku, Jacob meminta maaf karena sering
meninggalkanku. Menurutnya, jadwalnya tidak selalu segila ini. tapi sampai Victoria bisa
dihentikan, serigala-serigala itu harus tetap waspada penuh.
Saat kami berjalan-jalan menyusur tepi pantai sekarang, Jacob selalu menggandeng
tanganku. Ini membuatku berpikir tentang komentar Jared tempo hari, tentang Jacob yang
melibatkan "ceweknya". Kurasa memang begitulah yang tampak dari luar. Selama
Jake dan aku tahu bagaimana status sebenarnya hubungan kami, tak seharusnya aku
membiarkan asumsi-asumsi semacam itu mengganggu pikiranku. Dan mungkin memang
tidak akan mengganggu, kalau saja aku tidak tahu Jacob akan sangat senang bila
hubungan kami menjadi seperti yang disangka orang. Tapi berhubung gandengan
tangannya terasa menyenangkan karena membuat tanganku hangat, aku pun tidak
memprotes. Aku bekerja pada hari Selasa sore - Jacob mengikutiku dengan motornya untuk
memastikan aku sampai di sana dengan selamat - dan itu tak luput dari perhatian
Mike. "Kau berkencan dengan cowok dari La Push itu, ya" Yang kelas dua itu?" tanya
Mike, tak mampu menyembunyikan perasaan tak suka dalam nada suaranya.
Aku mengangkat bahu. "Tidak dalam arti teknis. Tapi aku memang menghabiskan
sebagian besar waktuku dengan Jacob. Dia sahabatku."
Mata Mike menyipit licik. "Jangan tipu dirimu sendiri, Bella. Cowok itu tergila-
gila padamu." "Memang," aku mendesah. "Hidup memang rumit."
"Dan cewek-cewek itu kejam," geram Mike pelan. Kurasa mudah saja berasumsi
demikian. Malam itu Sam dan Emily bergabung dengan
Charlie dan aku, menikmati hidangan pencuci mulut di rumah Billy. Emily membawa
kue yang sanggup meluluhkan hati lelaki mana pun yang bahkan lebih keras
daripada Charlie. Bisa kulihat, melalui obrolan yang mengalir lancar mengenai
berbagai topik, bahwa kekhawatiran Charlie tentang geng di La Push mulai
mencair. Jake dan aku menyingkir ke luar, agar lebih leluasa mengobrol. Kami pergi ke
garasinya dan duduk di dalam Rabbit. Jacob menyandarkan kepala, wajahnya lesu
karena lelah. "Kau butuh tidur, Jake."
"Nanti juga bisa."
Jacob mengulurkan tangan dan meraih tanganku. Kulitnya terasa sangat panas di
kulitku. "Apakah itu juga salah satu kekhasanmu
sebagai werewolf"' tanyaku. "Tubuh yang panas, maksudku."
"Yeah. Suhu tubuh kami memang sedikit lebih panas daripada manusia normal.
Sekitar 42-43 derajat. Aku tidak pernah kedinginan lagi. Aku bisa tahan dalam
kondisi begini"-ia mengibaskan tangan, menunjukkan kondisinya yang bertelanjang
dada-"di tengah badai salju dan tidak merasa apa-apa. Kepingan es langsung
mencair begitu mengenai tubuhku."
"Dan kalian semua pulih dengan cepat - itu juga kekhasan kalian sebagai
werewolf?" "Yeah, mau lihat" Keren sekali lho." Mata Jacob terbuka dan ia nyengir.
Tangannya merogoh-rogoh ke dalam laci mobil. Sejurus kemudian tangannya keluar
lagi, menggenggam pisau lipat.
"Tidak, aku tidak mau melihat!" teriakku begitu menyadari apa yang ada di benak
Jacob. "Singkirkan benda itu!"
Jacob terkekeh, tapi mengembalikan pisau itu ke tempat semula. "Baiklah. Untung
juga kami cepat pulih. Kau kan tidak bisa menemui dokter bila suhu tubuhmu
setinggi kami, karena manusia normal pasti sudah mati."
"Ya, benar juga." Aku memikirkan hal itu sebentar. "Dan bertubuh sangat besar -
itu juga salah satu kekhasan kalian" Apakah karena itu kalian semua
mengkhawatirkan Quil?"
"Itu dan fakta bahwa kakek Quil mengatakan anak itu bisa mengoreng telur di
dahinya." Wajah Jacob memperlihatkan ekspresi tak berdaya. Takkan lama lagi.
Tidak ada batasan umur yang tepat... pokoknya seseorang akan semakin besar dan
semakin besar lalu tiba-tiba-" Jacob menghentikan kata-katanya dan sejurus
kemudian baru bisa bicara lagi. "Terkadang, kalau kau merasa sangat marah atau
sebangsanya, itu bisa memicu perubahan lebih cepat. Padahal aku tidak sedang
marah mengenai sesuatu - aku malah sedang bahagia!" Jacob tertawa getir. "Karena
kau, sebagian besar. Itulah sebabnya ini tidak terjadi lebih cepat padaku. Malah
semakin membesar dalam diriku - membuatku jadi seperti bom waktu. Tahukah kau
apa yang memicuku jadi berubah" Aku pulang dari nonton film dan kata Billy aku
terlihat aneh. Hanya itu, tapi aku langsung emosi. Kemudian aku-aku meledak. Aku
sampai nyaris mengoyak-ngoyak wajahnya - ayahku sendiri!" Jacob bergidik,
wajahnya memucat. "Separah itukah, Jake?" tanyaku waswas, berharap aku bisa membantunya. "Apakah
kau merana?" "Tidak, aku tidak merana," jawabnya. "Tidak lagi. Tidak karena sekarang kau
sudah tahu. Rasanya berat sekali, sebelum ini," Ia mencondongkan tubuhnya
sehingga pipinya menempel di puncak kepalaku.
Sejenak ia terdiam, dan aku bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang ia
pikirkan. Mungkin aku tak ingin mengetahuinya.
"Apa bagian yang paling sulit?" bisikku, masih berharap bisa membantu.
"Bagian tersulit adalah merasa... tidak memiliki kendali," jawabnya lambat-
lambat. "Merasa seolah-olah aku tak yakin pada diri sendiri-seperti misalnya kau
tidak seharusnya berdekatan denganku, bahwa tak seorang pun seharusnya
berdekatan denganku. Seolah-olah aku ini monster yang akan mencederai orang
lain. Lihat saja Emily. Sam tak bisa menguasai amarahnya satu detik saja... dan
saat itu Emily terlalu dekat dengannya. Dan sekarang, tak ada yang bisa ia
lakukan untuk memperbaikinya. Aku bisa mendengar pikiran-pikiran Sam-aku tahu
bagaimana rasanya... "Siapa sih yang ingin menjadi mimpi buruk, menjadi monster"
"Kemudian, melihat betapa mudahnya aku melakukan semua itu, bahwa aku lebih
hebat daripada mereka semua - apakah itu berarti aku kurang manusia dibandingkan
Embry atau Sam" Kadang-kadang aku takut kehilangan diri sendiri."
"Apakah itu sulit" Menemukan dirimu lagi?"
"Awalnya," jawab Jacob. "Butuh latihan untuk bisa berubah-ubah. Tapi lebih mudah
bagiku." "Mengapa?" tanyaku heran.
"Karena Ephraim Black kakek ayahku, dan Quil Ateara kakek ibuku."
"Quil?" tanyaku bingung.
"Kakek buyut Billy," Jacob menjelaskan. "Quil yang kaukenal itu sepupu jauhku."
"Tapi mengapa penting sekali siapa kakek buyutmu?"
"Karena Ephraim dan Quil tergabung dalam kawanan terakhir. Levi Uley anggota
ketiga. Jadi aku mewarisinya dari kedua pihak. Aku tidak mungkin bisa berkelit.
Begitu juga Quil."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ekspresi Jacob muram. "Bagian apa yang terbaik?" tanyaku, berharap bisa membuatnya gembira.
"Bagian terbaik." ujarnya, tiba tiba tersenyum lagi, "adalah kecepatannya."
"Lebih cepat daripada naik motor?"
Jacob mengangguk, antusias. "Tak ada tandingannya."
"Seberapa cepat kau bisa...?"
"Berlari?" Jacob menyelesaikan pertanyaanku. "Lumayan cepat. Aku bisa
mengukurnya dengan apa, ya" Kami berhasil menangkap... siapa namanya" Laurent"
Aku yakin kau pasti bisa lebih memahami hal itu dibandingkan orang lain."
Itu benar. Aku tidak bisa membayangkan hal itu-serigala berlari lebih cepat
daripada vampir. Kalau keluarga Cullen berlari, mereka semua jadi tak terlihat saking cepatnya.
"Nah, sekarang giliranmu menjelaskan sesuatu yang tidak aku ketahui," kata
Jacob. "Sesuatu tentang vampir. Bagaimana kau bisa tahan, berdekatan dengan
mereka" Apakah kau tidak takut?"
"Tidak," jawabku tajam.
Nadaku membuatnya berpikir sebentar.
"Katakan, mengapa pengisap darahmu membunuh si James itu?" tanyanya tiba-tiba.
"James mencoba membunuhku - dia menganggapnya permainan. Dia kalah. Ingatkah kau
musim semi lalu waktu aku masuk rumah sakit di Phoenix?"
Jacob terkesiap kaget. "Dia sudah sedekat itu?"
"Amat, sangat dekat." Kuelus bekas lukaku. Jacob melihatnya, karena ia memegangi
tangan yang kugerakkan. "Apa itu?" Ia mengganti tangan, mengamati tangan kananku. "Ini bekas lukamu yang
aneh itu, yang dingin." Diamatinya bekas itu lebih dekat, dengan pemahaman baru,
dan terkesiap. "Ya, dugaanmu tepat," kataku. "James menggigitku."
Mata Jacob membelalak, dan wajahnya berubah jadi kekuningan di balik
permukaannya yang cokelat kemerahan. Tampaknya ia nyaris muntah.
"Tapi kalau dia menggigitmu... " Bukankah seharusnya kau menjadi...?" Ia
tersedak. "Edward menyelamatkanku dua kali," bisikku. "Dia mengisap racun itu dari dalam
tubuhku-kau tahu kan, seperti mengisap bisa ular." Aku mengejang saat kepedihan
itu melesat menjalari pinggir lubang.
Tapi bukan aku satu-satunya yang mengejang. Aku bisa merasakan tubuh Jacob
bergetar di sampingku. Bahkan mobil pun sampai berguncang-guncang.
"Hati-hati, Jake. Tenang. Tenangkan dirimu."
"Yeah," ia terengah-engah. "Tenang." Ia menggoyangkan kepalanya ke depan dan ke
belakang dengan gerak cepat. Sejurus kemudian, hanya tangannya yang bergoyang.
"Kau baik-baik saja?"
"Yeah, hampir. Ceritakan hal lain. Beri sesuatu yang berbeda untuk dipikirkan."
"Apa yang ingin kauketahui?"
"Entahlah." Jacob memejamkan mata,
berkonsentrasi, "Tentang kelebihan-kelebihan mereka. Apakah ada anggota keluarga
Cullen lain yang memiliki... bakat khusus" Misalnya membaca pikiran?"
Sejenak aku ragu. Rasanya ini pertanyaan yang akan ditanyakan Jacob pada mata-
mata, bukan temannya. Tapi apa gunanya menyembunyikan apa yang kuketahui" Itu
toh tidak berarti apa-apa lagi sekarang, lagi pula itu bisa membantunya
mengendalikan diri. Maka aku pun cepat-cepat berbicara, dengan bayangan wajah rusak Emily menghantui
pikiran, dan bulu kudukku meremang di kedua lenganku. Tak terbayangkan olehku
bagaimana bila serigala berbulu merah-cokelat itu mendadak muncul di dalam
Rabbit ini-bisa-bisa seluruh garasi ini porak-poranda bila Jacob berubah wujud
sekarang. "Jasper bisa... sedikit mengendalikan emosi orang-orang di sekitarnya. Bukan
dalam arti negatif, hanya menenangkan orang, semacam itu. Mungkin itu akan
sangat membantu Paul," aku menambahkan, sedikit menyindir. "Sementara Alice bisa
melihat hal-hal yang akan terjadi. Masa depan, begitulah, meski tidak persis
benar. Hal-hal yang dia lihat bisa berubah bila seseorang mengubah jalan yang
sedang mereka lalui... Seperti waktu dia melihatku sekarat... dan dia melihatku
menjadi seperti mereka. Dua hal yang ternyata tidak terjadi. Dan tidak akan
pernah terjadi." Kepalaku mulai pening-rasanya aku tak bisa mengisap cukup
banyak oksigen dari udara. Tidak ada paru-paru.
Jacob sudah bisa menguasai diri sepenuhnya, tubuhnya diam tak bergerak di
sampingku. "Mengapa kau selalu melakukan itu?" tanyanya.
Ia menarik pelan satu lenganku, yang mendekap dada, kemudian menyerah waktu aku
bersikeras tak mau melepaskannya. Aku bahkan tak sadar tanganku telah mendekap
dada. "Kau selalu berbuat begitu setiap kali kau merasa sedih. Mengapa?"
"Sakit rasanya memikirkan mereka," bisikku. "Rasanya aku tak bisa bernapas...
seolah-olah aku pecah berkeping-keping... " Sungguh aneh betapa banyaknya yang
bisa kuungkapkan pada Jacob sekarang. Tak ada lagi rahasia di antara kami.
Jacob mengelus-elus rambutku. "Sudahlah, Bella, sudahlah. Aku tidak akan
mengungkitnya lagi. Maafkan aku."
"Aku tidak apa-apa." Aku terkesiap. "Itu sudah biasa. Bukan salahmu."
"Benar-benar pasangan yang kacau ya, kita ini?" sergah Jacob. "Tak seorang pun
di antara kita bisa mempertahankan kondisi normal."
"Menyedihkan," aku sependapat, masih belum bisa bernapas.
"Setidaknya kita masih memiliki satu sama lain," kata Jacob, jelas-jelas merasa
terhibur oleh pemikiran itu.
Aku juga merasa terhibur. "Setidaknya masih ada itu," aku sependapat.
Dan saat kami bersama, semua baik-baik saja.
Tapi ada tugas berat dan berbahaya yang wajib dilakukan Jacob, jadi aku lebih
sering sendirian, terkungkung di La Push demi keamananku sendiri, tanpa kegiatan
yang bisa mengalihkan pikiran dari semua kekhawatiranku.
Aku merasa canggung karena harus selalu berada di rumah Billy. Aku belajar untuk
mempersiapkan diri menghadapi ujian Kalkulus minggu depan, tapi baru sebentar
saja aku sudah bosan. Kalau tidak ada hal pasti yang bisa dikerjakan, aku merasa
harus berbasa-basi dengan Billy - tekanan melakukan etika yang benar dalam
bermasyarakat. Masalahnya, Billy bukan orang yang enak diajak ngobrol, dan
jadilah kecanggungan itu terus berlanjut.
Aku mencoba main ke rumah Emily pada hari Rabu siang, untuk berganti suasana.
Awalnya cukup menyenangkan. Emily periang dan tidak pernah bisa duduk diam. Aku
membuntutinya sementara ia mondar-mandir ke sana kemari di sekeliling rumah dan
halamannya yang kecil mengosek lantai yang bersih tanpa noda, mencabuti rumput-
rumput liar, membetulkan engsel rusak, menenun benang wol dengan alat tenun
kuno, dan selalu saja memasak. Ia mengeluh sedikit tentang selera makan cowok-
cowok itu yang kian hari kian besar saja, tapi mudah dilihat bahwa ia sama
sekali tidak keberatan mengurus mereka. Bukan hal sulit bergaul dengannya-
bagaimanapun, kami sama-sama cewek serigala sekarang.
Tapi Sam datang setelah aku berada di sana beberapa jam. Aku hanya bertahan
sampai aku memastikan Jacob baik-baik saja dan bahwa tidak ada kabar apa-apa,
dan sesudahnya aku bergegas pergi. Sulit rasanya menelan aura cinta dan
kebahagiaan yang melingkupi mereka dalam dosis begitu besar, tanpa kehadiran
orang lain yang bisa mengencerkannya.
Jadilah aku berkeliaran di pantai, bolak-balik menyusuri tepi pantai yang
berbatu-batu, berulang kali.
Menghabiskan waktu sendirian berdampak buruk bagiku. Setelah bisa bersikap jujur
pada Jacob, aku jadi terlalu banyak membicarakan dan memikirkan keluarga Cullen.
Tak peduli betapa pun kerasnya aku mencoba mengalihkan pikiran - padahal banyak
yang harus kupikirkan: aku benar-benar sangat khawatir memikirkan Jacob dan
saudara-saudara serigalanya, aku takut memikirkan keselamatan Charlie dan orang-
orang lain yang mengira mereka memburu binatang aku semakin lama semakin dekat
dengan Jacob tanpa pernah secara sadar memutuskan untuk maju ke arah itu dan aku
tak tahu bagaimana menyikapinya-namun tak satu pun dari semua masalah yang
sangat nyata dan sangat layak untuk dipikirkan itu sanggup mengalihkan pikiranku
dari kepedihan di dadaku untuk waktu yang lama. Akhirnya, aku bahkan tidak
sanggup berjalan lagi, karena tak bisa bernapas. Aku duduk di sepetak bebatuan
yang agak kering dan meringkuk seperti bola.
Jacob menemukanku dalam keadaan seperti itu, dan kentara sekali dan ekspresinya
bahwa ia mengerti. "Maaf," ucapnya langsung. Ia menarikku dari tanah dan melingkarkan kedua
lengannya di pundakku. Baru saat itulah aku sadar betapa dingin tubuhku.
Kehangatannya membuatku bergetar, tapi setidaknya aku bisa bernapas dengan dia
di sana. "Aku mengacaukan liburan musim semimu," Jacob menyalahkan diri sendiri sementara
kami berjalan lagi menyusuri pantai.
"Tidak, itu tidak benar. Aku toh tidak punya rencana apa-apa. Lagi pula, rasanya
aku tidak suka liburan musim semi."
"Besok pagi aku bisa libur. Yang lain-lain bisa berpatroli tanpa aku. Kita akan
melakukan sesuatu yang menyenangkan."
Kata itu terasa asing dalam kehidupanku sekarang, nyaris tidak bisa dimengerti.
Aneh. "Menyenangkan?"
"Kau butuh bersenang-senang. Hmm... " Mata Jacob menerawang ke ombak kelabu yang
bergulung-gulung, menimbang-nimbang. Saat matanya menyapu cakrawala, mendadak ia
mendapat ilham. "Aku tahu!" serunya. "Ada lagi satu janji yang harus kutepati."
"Kau ini ngomong apa?"
Jacob melepaskan tanganku dan menuding ke arah selatan pantai, tempat pantai
yang berbentuk bulan sabit itu berakhir di tebing-tebing laut yang tinggi
menjulang. Aku mengikuti arah pandangnya, tak mengerti.
"Bukankah aku sudah berjanji akan mengajakmu terjun dari tebing?"
Aku bergidik. "Yeah, memang akan sangat dingin - tapi tidak sedingin hari ini. Bisa kaurasakan
cuaca berubah" Tekanan udaranya" Besok pasti cuaca akan lebih hangat. Bagaimana,
kau mau?" Air yang gelap kelihatannya tidak mengundang, dan dilihat dari sini. Tebing-
tebing itu bahkan terlihat lebih tinggi daripada sebelumnya.
Tapi sudah berhari-hari aku tak lagi mendengar suara Edward. Mungkin itu juga
bagian dari masalah. Aku kecanduan suara dari delusiku. Keadaan jadi memburuk
bila aku terlalu lama tidak mendengar suara itu. Terjun dari tebing pasti bisa
memulihkan keadaan. "Jelas tentu aku mau. Asyik."
"Kalau begitu kita kencan," kata Jacob, menyampirkan lengannya di pundakku.
"Oke - sekarang kau harus tidur." Aku tidak suka melihat lingkaran hitam di
bawah matanya mulai tampak terukir permanen di kulitnya.
Aku bangun pagi-pagi sekali keesokan harinya dan menyelundupkan baju ganti ke
mobil. Firasatku mengatakan Charlie tidak bakal menyetujui rencana hari ini, sama
seperti ia tidak akan menyetujui rencana sepeda motor itu.
Gagasan melupakan sejenak semua
kekhawatiranku membuatku nyaris merasa bersemangat. Mungkin memang akan
menyenangkan. Kencan dengan Jacob, kencan dengan Edward... Aku tertawa pahit.
Boleh saja Jake berkata kami pasangan yang kacau-tapi akulah sesungguhnya yang
benar-benar kacau. Aku membuat werewolf terkesan sangat normal.
Aku mengira Jacob bakal menungguku di depan rumah, seperti yang biasa ia lakukan
setiap kali suara mesin trukku yang berisik mengabarkan kedatanganku. Ketika dia
tidak muncul aku mengira dia masih tidur. Aku akan menunggu -memberinya
kesempatan beristirahat sebanyak mungkin. Dia butuh istirahat, sekaligus
menunggu cuaca sedikit lebih menghangat. Perkiraan Jake ternyata benar; cuaca
berubah semalam. Gumpalan awan tebal kini menggelantung di atmosfer, membuat udara nyaris lembab;
di bawah "selimut" kelabu itu, hawa panas dan pengap. Kutinggalkan sweterku di
truk. Kuketuk pintu pelan-pelan.
"Masuklah, Bella," seru Billy.
Billy duduk di meja dapur, makan sereal dingin.
"Jake tidur?" "Eh, tidak." Billy meletakkan sendoknya, dan
alisnya bertaut. "Ada apa?" desakku. Kentara sekali dari ekspresi Billy bahwa sesuatu telah
terjadi. "Embry, Jared, dan Paul menemukan jejak baru pagi-pagi sekali tadi. Sam dan Jake
berangkat untuk membantu. Sam optimis-vampir perempuan itu terpojok di sisi
pegunungan. Menurut Sam, mereka punya peluang besar untuk mengakhirinya."
"Oh, tidak, Billy," bisikku. "Oh, tidak."
Billy tertawa, dalam dan rendah. "Sebegitu sukanya kau pada La Push hingga ingin
memperpanjang masa tahananmu di sini?"
"Jangan bercanda, Billy. Ini terlalu mengerikan untuk dijadikan lelucon."
"Kau benar," Billy sependapat, masih tersenyum.
Mata tuanya mustahil dibaca.
"Yang satu ini sulit ditaklukkan."
Aku menggigit bibir. "Bagi mereka, ini tidak seberbahaya yang kaukira. Sam tahu apa yang harus
dilakukan. Kau hanya perlu mengkhawatirkan dirimu sendiri. Vampir itu tidak
berniat melawan mereka. Dia hanya berusaha menghindari mereka... dan
menemukanmu." "Bagaimana Sam tahu apa yang harus dia lakukan?" aku, menepiskan kekhawatiran
Billv terhadap keselamatanku. "Mereka baru membunuh satu vampir bisa jadi itu
hanya keberuntungan."
"Kami melaksanakan tugas kami dengan sangat serius, Bella. Tak ada yang terlupa.
Semua yang perlu mereka ketahui sudah diwariskan secara turun-temurun selama
beberapa generasi." Keterangan itu tidak lantas membuatku merasa lega seperti yang mungkin
dimaksudkan Billy. Ingatan tentang Victoria yang liar, garang, dan mematikan,
terlalu kuat bercokol dalam kepalaku. Kalau ia tidak bisa menghindari para
werewolf, akhirnya ia akan berusaha menerobos pertahanan mereka.
Billy kembali menekuni sarapannya; aku duduk di sofa dan memindah-mindahkan
saluran televisi tanpa berniat menonton. Tapi itu tidak lama. Aku mulai merasa
terperangkap di ruangan kecil itu, sesak, gelisah karena tak bisa melihat ke
luar jendela-jendela yang tertutup tirai.
"Aku akan ke pantai," kataku tiba-tiba kepada Billy, lalu bergegas ke pintu.
Berada di luar ternyata tak banyak membantu. Awan-awan didorong ke bawah oleh
beban yang tak kasatmata hingga tidak membuat perasaan terperangkapku mereda.
Anehnya, hutan terkesan kosong saat aku berjalan menuju pantai. Tak terlihat
olehku satu hewan pun-tidak ada burung, tidak ada tupai. Telingaku juga tidak
mendengar kicauan burung. Keheningan itu terasa mengerikan; bahkan desiran angin
menerpa pepohonan pun tidak ada.
Aku tahu semua itu hanya karena cuaca, namun tetap saja aku gelisah Tekanan
atmosfer yang berat dan panas bisa dirasakan bahkan oleh pancaindra manusiaku
yang lemah, dan hal itu menandakan bakal terjadinya badai besar. Kondisi langit
semakin menguatkan dugaanku; awan bergulung-gulung hebat padahal di daratan tak
ada angin. Awan terdekat berwarna abu-abu gelap, tapi di sela-selanya aku bisa
melihat lapisan awan lain yang berwarna ungu gelap. Langit memiliki rencana yang
sangat dahsyat hari ini. Semua hewan di hutan pasti sudah berlindung.
Begitu sampai di pantai, aku menyesal telah
datang ke sini - aku muak pada tempat ini. Hampir setiap hari aku datang ke
sini, berkeliaran sendirian. Apa bedanya dengan mimpi-mimpi burukku" Tapi mau ke
mana lagi" Aku terseok-seok menghampiri driftwood, lalu duduk di ujungnya supaya
bisa bersandar di akarnya yang saling membelit. Dengan muram aku menengadah ke
langit yang murka, menunggu tetesan hujan pertama memecah keheningan.
Aku berusaha tidak memikirkan bahaya yang dihadapi Jacob dan teman-temannya.
Karena tidak ada apa-apa yang bisa menimpa Jacob. Aku tak tahan memikirkannya.
Aku sudah terlalu banyak kehilangan - apakah takdir akan merenggut sedikit
kedamaian yang masih tersisa" Sepertinya itu tidak adil, tidak seimbang. Tapi
mungkin aku telah melanggar suatu aturan tak dikenal, melanggar batas yang
membuatku jadi terkutuk. Mungkin salah melibatkan diri dengan mitos dan legenda,
memunggungi dunia manusia. Mungkin...
Tidak. Tidak ada apa-apa yang akan menimpa Jacob. Aku harus meyakini hal itu
atau aku takkan bisa berfungsi.
"Argh!" Aku mengerang, lalu melompat turun dari batang kayu. Aku tak sanggup
duduk diam; itu lebih parah daripada berjalan mondar-mandir.
Sebenarnya aku sudah berharap akan mendengar suara Edward pagi ini. Sepertinya
itu satu-satunya hal yang membuatku bisa bertahan melewati hari ini. Lubang di
dadaku belakangan ini mulai bernanah, seolah-olah membalas dendam untuk waktu-
waktu ketika kehadiran Jacob menjinakkannya. Bagian pinggirnya panas membara.
Ombak semakin menggelora saat aku berjalan, mulai mengempas bebatuan, tapi tetap
belum ada angin. Aku merasa ditekan oleh tekanan badai. Segalanya berpusar-pusar
di sekelilingku, tapi di tempatku berdiri, udara diam tak bergerak. Udara
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghantar gelombang listrik ringan - aku bisa merasakan rambutku bergemerisik.
Di tengah laut, ombak lebih ganas daripada di sepanjang tepi pantai. Kulihat
gelombang menghantam garis tebing, menyemburkan awan putih buih laut tinggi ke
angkasa. Tak ada gerakan di udara, meski awan bergolak semakin cepat sekarang.
Kelihatannya mengerikan-seolah-olah awan-awan itu bergerak sendiri. Aku
menggigil, walaupun tahu itu hanya karena tekanan udara yang sangat besar.
Tebing-tebing itu menjulang bagaikan pisau hitam di langit yang murka. Saat
memandanginya, ingatanku melayang ke hari ketika Jacob bercerita tentang Sam dan
"geng'-nya. Aku ingat bagaimana cowok-cowok itu-para werewolf-melontarkan diri
ke angkasa. Bagaimana tubuh-tubuh itu jatuh dan berputar-putar ke bawah masih
tergambar jelas dalam ingatanku. Aku membayangkan perasaan bebas merdeka saat
jatuh... Aku membayangkan bagaimana suara Edward dalam pikiranku -marah, sehalus beledu,
sempurna... Panas di dadaku semakin menjadi-jadi.
Pasti ada cara untuk memuaskan dahaga itu. Kepedihan di dadaku semakin lama
semakin tak bisa ditolerir lagi. Kupandangi tebing-tebing serta gelombang yang
menghempas bebatuan. Well mengapa tidak" Mengapa tidak memuaskannya saja sekarang"
Jacob sudah berjanji akan mengajakku melompat dan tebing, bukan" Hanya karena ia
tidak bisa menemaniku, bukan berarti aku harus melupakan kegiatan untuk
mengalihkan pikiran yang sangat kubutuhkan ini-semakin membutuhkannya karena
saat ini Jacob sedang mempertaruhkan nyawanya sendiri" Mempertaruhkannya. pada
intinya, demi aku. Kalau bukan karena aku, Victoria tidak akan membunuhi orang-
orang di sini... melainkan di tempat lain, jauh dari sini. Kalau sampai terjadi
apa-apa pada Jacob, akulah yang bersalah.
Kesadaran itu menikam hatiku dalam-dalam dan membuatku berlari-lari kecil
kembali ke jalan menuju rumah Billy, tempat trukku berada.
Aku tahu jalan terdekat ke tebing-tebing, tapi aku harus mencari jalan kecil
yang akan membawaku sampai ke bibir tebing. Saat menyusuri jalan itu, aku
mencari belokan atau percabangan, karena aku tahu Jake berniat mengajakku
melompat dari pinggir tebing yang lebih rendah, bukan dari puncaknya. Tapi jalan
kecil itu hanya berupa satu garis yang berkelok-kelok menuju bibir tebing tanpa
memberikan pilihan lain. Aku tak sempat lagi mencari jalan lain yang mengarah ke
bawah-badai bergerak semakin cepat sekarang. Angin akhirnya mulai menyentuhku,
awan-awan menekan semakin dekat ke tanah. Begitu sampai di tempat jalan tanah
itu melebar menuju ngarai batu, tetesan hujan pertama jatuh dan membasahi
wajahku. Tidak sulit meyakinkan diriku bahwa aku tidak sempat lagi mencari jalan lain-aku
memang ingin melompat dari puncak tebing. Bayangan inilah yang bertahan di
kepalaku. Aku ingin terjun bebas yang akan terasa seperti terbang.
Aku tahu ini hal paling tolol dan paling sembrono yang pernah kulakukan. Pikiran
itu membuatku tersenyum. Kepedihan itu mulai mereda, seakan-akan tubuhku tahu
suara Edward beberapa detik lagi akan terdengar...
Laut terdengar sangat jauh, bahkan lebih jauh daripada sebelumnya, waktu aku
berada di jalan setapak di tengah pepohonan. Aku meringis membayangkan suhu air
yang pasti sangat dingin. Tapi aku takkan membiarkannya menghentikanku.
Angin bertiup semakin kencang sekarang, membuat hujan berpusar-pusar di
sekelilingku. Aku melangkah ke pinggir tebing, mengarahkan mata ke ruang kosong di hadapanku.
Jari-jari kakiku meraba-raba ke depan tanpa melihat, mengusap-usap pinggir batu
begitu menemukannya. Aku menghela napas dalam-dalam dan menahannya... menunggu.
"Bella." Aku tersenyum dan mengembuskan napas.
Ya" Aku tidak menjawab dengan suara keras, takut suaraku akan menghancurkan
ilusi indah itu. Edward terdengar sangat nyata, sangat dekat. Hanya bila ia
merasa tidak suka seperti ini aku bisa mendengar kenangan nyata suaranya-
teksturnya yang selembut beledu dan intonasi musikalnya yang menjadikannya suara
paling sempurna di antara segala suara.
"Jangan lakukan ini," pintanya.
Kau yang menginginkan aku menjadi manusia, aku mengingatkan dia. Well lihat aku
sekarang. "Please. Demi aku."
Tapi kau tidak mau tinggal bersamaku selain dengan cara ini.
"Please." Itu hanyalah bisikan di tengah hujan yang tersapu angin, yang
menerbangkan rambutku dan membasah, bajuku membuat rubuhku basah kuyup seolah-
olah ini lompatan keduaku.
Aku membungkuk dan bertumpu pada jantung kakiku.
"Jangan, Bella!" Ia marah sekarang, dan amarah itu terasa sangat indah.
Aku tersenyum dan mengangkat kedua lenganku lurus-lurus ke muka, seakan-akan
hendak terjun, menengadahkan wajahku ke hujan. Tapi karena terbiasa berenang di
kolam umum selama bertahun-tahun-kaki lebih dulu, pertama kali.
Aku mencondongkan tubuh ke depan, membungkuk agar bisa meloncat lebih jauh...
Dan aku melemparkan tubuhku dari tepi tebing.
Aku menjerit saat tubuhku melayang di udara terbuka seperti meteor, tapi
jeritanku adalah jeritan kegembiraan, bukan takut. Angin melawan, sia-sia
berusaha melawan gravitasi yang tak bisa dikalahkan, mendorongku dan memutar-
mutar tubuhku dalam gaya spiral bagai roket menghunjam bumi.
Yes! Kata itu bergema di benakku begitu tubuhku membelah permukaan air. Air
terasa seperti es, lebih dingin daripada yang kutakutkan, namun kedinginan itu
justru menambah kenikmatan yang kurasakan.
Aku bangga pada diriku sendiri saat menghunjam semakin dalam ke air hitam yang
membekukan. Tak sedikit pun aku merasa takut- hanya murni adrenalin. Sungguh,
terjun bebas sama sekali tidak menakutkan. Mana tantangannya"
Saat itulah arus air menangkapku.
Pikiranku begitu terpusat pada ukuran tebing, pada bahaya nyata ketinggiannya
yang curam, hingga sama sekali tak memikirkan air gelap yang menanti. Tak pernah
terbayangkan olehku bahwa bahaya sesungguhnya mengintai jauh di bawahku, di
bawah ombak yang bergulung-gulung.
Rasanya ombak seperti melawanku, melempar-lemparkan aku bolak-balik di antara
mereka seolah-olah mereka bertekad membagiku dengan mencabik-cabik tubuhku. Aku
tahu cara yang benar menghindari air pasang-surut yang saling bertabrakan:
berenang paralel dengan garis pantai,
bukan berjuang sekuat tenaga menuju pantai. Tapi pengetahuan itu tak banyak
berguna karena aku tidak tahu di mana letak pantai.
Aku bahkan tak tahu arah menuju permukaan.
Air yang bergolak itu hitam pekat di segala arah; tak ada cahaya setitik pun
yang bisa membimbingku ke atas. Gravitasi sangat kuat bila dibandingkan udara,
tapi itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan arus ombak-aku tak bisa
merasakan tarikan ke bawah, tarikan ke arah mana pun. Yang kurasakan hanya arus
yang begitu kuat membuatku berputar-putar terus seperti boneka kain.
Aku berusaha keras menahan napas, mengunci bibir rapat-rapat untuk
mempertahankan persediaan oksigen terakhir yang masih tersisa.
Tak mengherankan bila delusiku menghadirkan Edward di sana. Sudah sepantasnya,
mengingat sebentar lagi aku bakal mati. Aku justru heran menyadari betapa
pastinya pengetahuan itu. Aku akan tenggelam. Aku sedang tenggelam.
"Berenanglah terus!" Edward memohon dengan panik dalam pikiranku.
Ke mana" Tidak ada apa-apa kecuali kegelapan.
Tidak ada tempat ke mana aku bisa berenang.
"Hentikan itu!" perintahnya. "Jangan berani-berani menyerah!"
Air yang dingin membuat lengan dan kakiku mati rasa. Aku tak lagi merasakan
pukulan bertubi-tubi seperti tadi. Yang kurasakan sekarang hanya pusing,
berpusar-pusar tak berdaya di dalam air.
Tapi aku mendengarkan kata-katanya. Kupaksa kedua lenganku untuk terus
menggapai-gapai, kakiku untuk menendang lebih kuat, meski setiap detik aku
dihadapkan pada arah yang baru. Gawat. Apa gunanya"
"Berjuang!" teriaknya. "Sialan, Bella, berjuanglah terus."
Kenapa" Aku tidak ingin berjuang lagi. Dan bukan karena kepalaku terasa ringan, atau
karena kedinginan, atau karena otot-otot lenganku gagal berfungsi karena
kelelahan, yang membuatku merasa cukup senang berada di tempatku sekarang. Aku
nyaris bahagia karena semua akan berakhir. Ini kematian yang lebih mudah
daripada kematian-kematian lain yang pernah kuhadapi. Kedamaian yang ganjil.
Aku sempat berpikir tentang hal-hal klise, tentang bagaimana kau seharusnya
melihat kembali sekilas perjalanan hidupmu. Ternyata aku jauh lebih beruntung.
Siapa pula yang ingin melihat pemutaran ulang"
Aku melihat dia, dan aku tidak ingin lagi berjuang. Begitu jelas, jauh lebih
nyata daripada kenangan mana pun. Alam bawah sadarku menyimpan kenangan akan
Edward dalam detail sempurna, menyimpannya untuk momen terakhir ini. Aku bisa
melihat wajahnya yang sempurna seolah-olah ia benar-benar di sana; kulitnya yang
sedingin es dalam nuansa warna yang tepat, bentuk bibirnya, garis dagunya,
kilatan emas di matanya yang berapi-api. Wajar saja ia marah, karena aku menyerah. Rahangnya
terkatup rapat dan cuping hidungnya kembang-kempis oleh amarah.
"Tidak! Bella, tidak!"
Telingaku dibanjiri air yang membekukan, tapi suaranya terdengar lebih jelas
daripada biasa. Aku mengabaikan kata-katanya dan berkonsentrasi mendengarkan
suaranya. Untuk apa berjuang jika aku sudah merasa sangat bahagia dalam
keadaanku sekarang ini" Bahkan saat paru-paruku seperti dibakar karena
membutuhkan asupan udara dan kakiku kejang karena air yang sedingin es, aku
justru merasa bahagia. Aku sudah lupa bagaimana rasanya kebahagiaan yang
sesungguhnya. Kebahagiaan. Itu membuat kematian jadi bisa dihadapi dengan lapang dada.
Arus menang saat itu, mendorongku dengan kasar membentur sesuatu yang keras,
batu yang tak kelihatan dalam gelap. Benda itu menghantamku dengan keras di
bagian dada, membenturku seperti batang besi, dan udara melesat keluar dari
paru-paruku, meledak dalam bentuk gumpalan gelembung perak tebal. Batang besi
itu seperti menyeretku, menarikku menjauhi Edward, semakin dalam ke dasar
samudra yang gelap. Selamat tinggal, aku cinta padamu, adalah hal terakhir yang kupikirkan.
16. PARIS SAAT itulah kepalaku menyembul ke permukaan.
Sungguh membingungkan. Padahal aku yakin aku tenggelam.
Arus tak mau menyerah begitu saja. Gelombang menghantamku lagi ke bebatuan;
batu-batu itu memukul bagian tengah punggungku dengan keras, berirama, mendorong
air keluar dari paru-paruku. Air menggerojok keluar dalam volume mengagumkan,
mengucur deras dari mulut dan hidungku. Garam terasa panas membakar dan paru-
paruku terbakar, dan kerongkonganku dipenuhi air hingga aku tak bisa menarik
napas dan batu-batu itu menyakiti punggungku. Entah bagaimana aku bisa bertahan
di satu tempat, padahal ombak masih menggelora di sekelilingku. Aku tak bisa
melihat apa-apa kecuali air di mana-mana, menggapai wajahku.
"Bernapaslah!" sebuah suara, penuh kepanikan, memerintahkan, dan aku merasa
hariku bagai tertusuk pedih waktu mengenali suara itu - karena itu bukan suara
Edward. Aku tak bisa mematuhinya. Air terjun yang menggerojok deras dari mulutku tidak
memberiku kesempatan untuk menarik napas. Air hitam sedingin es memenuhi dadaku,
membuatnya seperti terbakar.
Batu itu kembali menghantam punggungku,
tepat di antara tulang bahu, dan air kembali terdorong keluar dari paru, paruku.
"Bernapaslah, Bella! Ayolah!" Jacob memohon-mohon. Bintik-bintik hitam
bermunculan dalam pandanganku, semakin lebar dan semakin lebar, menghalangi
cahaya. Batu itu menghantamku lagi.
Batu itu tidak dingin seperti air; rasanya justru panas di kulitku. Sadarlah aku
bahwa itu tangan Jacob, berusaha mengeluarkan air dari paru-paruku. Batang besi
yang menyeretku dari laut juga... hangat... Kepalaku berputar, bintik-bintik
hitam tadi menutupi segalanya...
Apakah itu berarti aku sekarat lagi" Aku tidak suka - rasanya tidak seindah
tadi. Sekarang hanya ada kegelapan, tidak ada yang bisa dilihat di sini.
Deburan ombak mereda dalam kegelapan dan hilang sama sekali, bahkan suara wuss
yang mirip ombak justru datang dari bagian dalam telingaku...
"Bella?" panggil Jacob, suaranya masih tegang, tapi tak sepanik sebelumnya.
"Bella, Sayang, kau bisa mendengarku?"
Isi kepalaku berputar dan berguling memualkan, seolah-olah bergabung dengan air
yang bergolak... "Sudah berapa lama dia tidak sadar?" Tanya seseorang.
Suara yang bukan suara Jacob membuatku terguncang, menyentakkanku ke kesadaran
yang lebih terfokus. Sadarlah aku bahwa aku diam tak bergerak. Tak ada arus yang menarik-narik
tubuhku - pergolakan itu hanya ada dalam kepalaku.
Permukaan di bawahku datar dan tak bergerak.
Rasanya kasar di bawah lenganku yang telanjang.
"Entahlah," jawab Jacob, masih terdengar kalut. Suaranya sangat dekat. Tangan-
tangan itu - begitu hangat hingga itu pasti tangannya-menyingkirkan rambut-
rambut basah dari pipiku. "Beberapa menit" Tidak butuh waktu lama menariknya ke
pantai." Suara wuss pelan di dalam telingaku bukanlah suara ombak-melainkan udara yang
keluar-masuk paru-paruku lagi. Setiap tarikan napas terasa panas-saluran napasku
lecet, seperti habis disikat dengan wol baja. Tapi aku bernapas.
Dan aku membeku kedinginan. Ribuan butiran tajam sedingin es menghunjam wajah
dan lenganku, membuat perasaan kedinginan itu semakin menjadi-jadi.
"Dia masih bernapas. Sebentar lagi dia pasti
siuman. Tapi usahakan agar dia tidak kedinginan. Aku tidak suka melihat warna
wajahnya..." Kali ini aku mengenali suara Sam.
"Menurutmu tidak apa-apa bila kita
memindahkannya?" "Punggungnya tidak cedera kan, waktu dia jatuh?"
"Entahlah." Mereka ragu-ragu. Aku berusaha membuka mata. Butuh waktu
cukup lama, tapi kemudian aku bisa melihat awan-awan ungu gelap yang menghujamku
dengan hujan yang dingin membekukan. "Jake?" panggilku dengan suara serak.
Wajah Jacob menghalangi langit. "Oh!" serunya, ekspresi lega menyaput wajahnya.
Matanya basah oleh hujan. "Oh, Bella! Kau baik-baik saja" Kau bisa mendengarku,
tidak" Ada yang sakit?"
"H-hanya t-tenggorokanku," jawabku terbata-bata, bibirku gemetar kedinginan.
"Ayo, kami akan membawamu pergi dari sini," kata Jacob. Ia menyelipkan kedua
lengannya di bawah tubuhku dan mengangkatku dengan mudah sekali - seperti
mengangkat kardus kosong saja. Dadanya telanjang dan hangat; ia merundukkan bahu
untuk melindungiku dari hujan. Kepalaku terkulai di atas lengannya. Aku
memandang kosong ke laut yang menggelora, memukuli pasir di belakangnya.
"Bisa?" kudengar Sam bertanya.
"Ya, akan kuurus sendiri mulai sekarang.
Kembalilah ke rumah sakit. Aku akan menyusulmu nanti. Trims, Sam."
Kepalaku masih berputar-putar. Tak satu pun perkataan Jacob yang bisa kucerna
pada awalnya. Sam tidak menyahut. Tidak ada suara, dan aku bertanya-tanya dalam
hati apakah ia sudah pergi.
Air menjilat dan menjulur jauh memasuki pantai, mengejar kami sementara Jacob
membopongku pergi, seolah-olah marah karena aku lolos. Saat aku memandang dengan
letih, mataku yang tidak fokus menangkap secercah warna - seberkas api kecil
menari di air yang gelap, nun jauh di teluk. Gambaran itu tak masuk akal, dan
aku bertanya-tanya seberapa sadar diriku sesungguhnya. Kepalaku berputar-putar
mengenang air hitam yang bergolak-kehilangan orientasi hingga tak tahu mana arah
naik dan mana turun. Begitu tersesat... tapi entah bagaimana Jacob...
"Bagaimana kau bisa menemukanku?" tanyaku parau.
"Aku memang mencarimu," jawabnya. Ia separo berlari menembus hujan, menjauhi
pantai menuju ke jalan. "Aku mengikuti jejak ban mobilmu, kemudian aku
mendengarmu menjerit... " Jacob bergidik. "Mengapa kau nekat terjun, Bella"
Apakah tidak kaulihat sebentar lagi bakal badai" Apakah kau tidak bisa
menungguku?" Nadanya dipenuhi amarah setelah kelegaan kini memudar.
Racun Darah 1 Dewa Arak 34 Runtuhnya Sebuah Kerajaan Hati Seorang Pemburu 2