Dua Cinta 8
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer Bagian 8
bisa merasakan bayangan lubang itu,, siap menganga kembali dan mengoyak dadaku
begitu Edward pergi nanti. Entah bagaimana aku bisa bertahan nanti. "Ini harus
dihentikan sekarang. Kau tidak boleh berpikir begitu. Kau tidak bisa
membiarkan... rasa bersalah ini menguasai hidupmu. Kau tidak bisa bertanggung
jawab atas hal-hal yang terjadi padaku di sini. Itu bukan salahmu, itu hanyalah
bagian dari bagaimana kehidupan sebenarnya bagiku. Jadi, kalau aku tersandung di
depan bus atau hal lain suatu saat nanti, kau harus sadar bukan tugasmu untuk
menyalahkan dirimu. Kau tidak boleh langsung kabur ke Italia hanya karena kau
merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan aku. Bahkan seandainya aku terjun dari
tebing itu untuk mati, itu pilihanku sendiri, bukan
kesalahanmu. Aku tahu sudah menjadi... sifatmu menanggung rasa bersalah untuk
segala sesuatunya, tapi kau benar-benar tidak bisa membiarkan hal itu membuatmu
melakukan hal-hal ekstrem! Itu sangat tidak bertanggung jawab - pikirkan Esme
dan Carlisle dan-" Aku nyaris tak bisa menahan tangis. Aku berhenti untuk menarik napas dalam-
dalam, berharap bisa menenangkan diri. Aku harus membebaskannya. Aku harus
memastikan ini tidak akan pernah terjadi lagi.
"Isabella Marie Swan," bisik Edward, ekspresi ganjil melintasi wajahnya. Ia
nyaris tampak marah. "Jadi kau yakin aku meminta Volturi membunuhku karena
merasa bersalah?" Aku bisa merasakan wajahku memancarkan sikap tidak mengerti. "Memangnya bukan
karena itu?" "Merasa bersalah" Memang sangat. Lebih daripada yang bisa kaupahami."
"Jadi... apa maksudmu" Aku tidak mengerti."
"Bella, aku datang ke keluarga Volturi karena kukira kau sudah mati," ujarnya,
suaranya lembut, matanya berapi-api. "Bahkan seandainya aku tidak punya andil
dalam kematianmu" - Edward bergidik saat membisikkan kata terakhir itu -
"seandainya pun itu bukan salahku, aku akan tetap pergi ke Italia. Jelas,
seharusnya aku lebih berhati-hati- seharusnya aku langsung bicara pada Alice,
bukan menerima begitu saja perkataan Rosalie. Tapi, bayangkan saja, aku harus
berpikir bagaimana waktu pemuda itu berkata Charlie sedang menghadiri pemakaman"
Apa kemungkinannya" "Kemungkinannya... " lalu Edward menggerutu, terusik. Suaranya pelan sekali
hingga aku tidak yakin mendengar perkataannya dengan benar. "Kemungkinannya
selalu berlawanan dengan keinginan kita. Kesalahan demi kesalahan. Aku tidak
akan pernah mengkritik Romeo lagi."
"Tapi aku masih belum mengerti," kataku. "Justru itulah intinya. Memangnya
kenapa?" "Maaf?" "Memangnya kenapa kalau aku sudah mati?"
Edward menatapku ragu beberapa saat sebelum menjawab. "Kau tidak ingat apa yang
pernah kukatakan padamu sebelumnya?"
"Aku ingat semua yang pernah kaukatakan
padaku." Termasuk kata-kata yang menegaskan semuanya.
Edward membelai bibir bawahku dengan ujung-ujung jarinya yang dingin. "Bella,
sepertinya kau salah mengerti." Ia memejamkan mata, menggerakkan kepala ke depan
dan ke belakang dengan senyum miring menghiasi wajahnya yang rupawan. Bukan
senyum bahagia. "Kukira aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas sebelumnya.
Bella, aku tak sanggup hidup di dunia kalau kau tidak ada."
"Aku..." Kepalaku berputar sementara aku
mencari-cari kara yang tepat. "Bingung." Benar.
Penjelasannya sungguh tidak masuk akal bagiku.
Edward menatap mataku dalam-dalam dengan tatapannya Kang tulus dan bersungguh-
sungguh. "Aku pembohong besar, Bella, aku harus jadi pembohong besar begitu."
Aku mengejang, otot-ototku mengunci seolahbersiap menahan benturan. Otot dadaku
mengejang, sakitnya luar biasa. Edward mengguncang bahuku, berusaha
melenturkan posturku yang kaku. "Dengarkan kata-kataku sampai selesai! Aku ini
pembohong besar, tapi kau juga terlalu cepat percaya padaku." Edward meringis.
"Itu... sangat menyakitkan."
Aku menunggu, masih kaku.
"Saat kita di hutan, waktu aku mengucapkan selamat tinggal-"
Aku tidak mengizinkan diriku mengingat kenangan buruk itu. Aku berusaha keras
tetap berada di masa sekarang saja.
"Waktu itu kau tidak mau melepaskan aku," bisiknya. "Aku bisa melihatnya. Aku
tidak ingin melakukannya - sungguh sangat menyakitkan bagiku melakukannya - tapi
aku tahu kalau aku tidak bisa meyakinkanmu bahwa aku tidak mencintaimu lagi,
pasti baru lama sekali kau bisa kembali menjalani hidup. Aku berharap, bila kau
mengira aku sudah tidak mencintaimu lagi, maka kau pun akan melakukan hal yang
sama." "Perpisahan seketika," bisikku dari sela-sela bibir yang tak bergerak.
"Tepat sekali. Tapi aku tak pernah membayangkan ternyata mudah saja
membohongimu! Kusangka itu mustahil dilakukan bahwa kau akan sangat meyakini hal
yang sebenarnya sehingga aku harus berbohong dulu mati-matian sebelum aku bisa
menanamkan sedikit saja benih keraguan dalam pikiranmu. Aku bohong, dan aku
sangat menyesal-menyesal karena menyakitimu, menyesal karena itu upaya yang sia-
sia. Menyesal karena aku tidak bisa melindungimu dari diriku yang sebenarnya.
Aku berbohong untuk menyelamatkanmu, tapi ternyata tidak berhasil. Maafkan aku.
"Tapi bagaimana bisa kau malah percaya padaku" Padahal sudah ribuan kali aku
menyatakan cintaku padamu, bagaimana kau bisa membiarkan satu kata saja
menghancurkan kepercayaanmu padaku?"
Aku tidak menjawab. Aku terlalu shock untuk bisa membentuk respons yang
rasional. "Aku bisa melihatnya di matamu, kau sejujurnya percaya aku tidak menginginkanmu
lagi. Konsep yang paling absurd dan konyol-seolah-olah aku bisa bertahan tanpa
membutuhkanmu!" Aku masih kaku. Kata-katanya tidak kumengerti, karena tidak masuk akal.
Edward mengguncang bahuku lagi, tidak keras-keras, tapi cukup membuat gigiku
gemeletuk sedikit. "Bella," desahnya. "Sungguh, apa yang ada dalam pikiranmu waktu itu!"
Dan tangisku pun pecah. Air mata menggenang dan kemudian mengalir deras di kedua
pipiku. "Sudah kukira," isakku. "Sudah kukira aku pasti bermimpi."
"Keterlaluan benar kau ini," sergah Edward, lalu tertawa-tawanya keras dan
frustrasi. "Bagaimana caranya aku menjelaskan supaya kau mau percaya padaku" Kau
tidak sedang tidur, dan kau belum mati. Aku ada di sini, dan aku cinta padamu.
Aku selalu mencintaimu, dan akari selalu mencintaimu. Aku memikirkanmu, melihat
wajahmu dalam pikiranku, setiap detik selama kita berpisah.
Waktu kubilang aku tidak menginginkanmu lagi, bisa dibilang itu semacam sumpah
palsu yang paling konyol."
Aku menggeleng sementara air mata terus menetes dari sudut-sudut mataku.
''Kau tidak percaya padaku, kan?" bisiknya,
wajahnya yang pucat sekarang lebih pucat
daripada biasanya-aku bisa melihatnya bahkan di bawah cahaya lampu remang-
remang. "Mengapa kau malah percaya pada kebohongan, dan bukan kebenaran?"
"Memang tidak pernah masuk akal bahwa kau mencintaiku," aku menjelaskan suaraku
tercekat. "Sejak dulu aku tahu itu."
Mata Edward menyipit, dagunya mengeras.
"Akan kubuktikan bahwa kau sudah bangun," janjinya.
Ia merengkuh wajahku di antara kedua tangannya yang sekeras besi, tak menggubris
pemberontakanku saat aku berusaha memalingkan wajah.
"Kumohon, jangan," bisikku.
Edward berhenti, bibirnya hanya beberapa sentimeter dari bibirku.
"Mengapa tidak?" tuntutnya. Napasnya
berembus di wajahku, membuat kepalaku berputar.
"Kalau nanti aku terbangun"-Edward membuka mulut untuk protes, maka aku pun
buru-buru mengoreksi-"oke, lupakan itu-kalau kau pergi lagi nanti, tanpa ini pun
keadaan sudah cukup sulit."
Edward mundur sedikit, menatap wajahku.
"Kemarin, ketika aku hendak menyentuhmu, kau sangat... ragu-ragu, begitu hati-
hati, tapi tetap sama. Aku ingin tahu mengapa. Apakah karena aku terlambat"
Karena aku terlalu menyakiti hatimu" Karena kau sudah mencintai orang lain,
seperti yang kumaksudkan bagimu" Kalau memang begitu, itu... cukup adil. Aku
tidak akan mencela keputusanmu. Jadi, tidak usah mencoba menjaga perasaanku,
please-ceritakan saja padaku sekarang apakah kau masih mencintaiku atau tidak
setelah semua yang kulakukan padamu. Bisakah kau?" bisik Edward.
"Pertanyaan idiot macam apa itu?"
"Jawab saja. Please."
Lama sekali kutatap Edward dengan tajam. "Perasaanku terhadapmu takkan pernah
berubah. Tentu saja aku cinta padamu-dan itu tak bisa diganggu gugat lagi!"
"Hanya itu yang perlu kudengar."
Lalu bibir Edward menempel di bibirku, dan aku tak mampu melawannya. Bukan
karena ia ribuan kali lebih kuat daripada aku, tapi karena pertahanan diriku
langsung ambruk begitu bibir kami bertemu. Ciuman kali ini tidak sehati-hati
ciuman lain yang bisa kuingat, tapi itu bukan masalah. Kalau memang aku akan
menghancurkan diriku lebih jauh lagi, maka lebih baik sekalian saja.
Maka aku pun membalas ciumannya, jantungku berdebar-debar tidak berirama saat
napasku memburu dan jari-jariku membelai wajahnya dengan rakus. Aku bisa
merasakan tubuhnya yang sekeras marmer menempel di setiap lekuk tubuhku, dan aku
sangat gembira ia tidak mendengarkan aku - tak ada kepedihan di dunia yang dapat
membenarkan kehilangan cinta ini. Tangan Edward meraba wajahku, sama seperti
tanganku meraba wajahnya, dan saat bibir kami terpisah sejenak beberapa detik,
ia membisikkan namaku. Ketika kepalaku mulai terasa pusing, Edward menarik tubuhnya, tapi menempelkan
telinganya di dadaku. Aku berbaring di sana, nanar, menunggu napasku tenang kembali.
"Omong-omong; kata Edward dengan nada
biasa-biasa saja. "Aku tidak akan meninggalkanmu."
Aku tidak mengatakan apa-apa, dan Edward sepertinya bisa mendengar nada skeptis
dalam diamku. Ia mengangkat wajahnya dan menatapku lekat-lekat. "Aku tidak akan pergi ke mana-
mana. Tidak tanpa kau," ia menambahkan dengan nada lebih serius. "Dulu aku
meninggalkanmu karena ingin kau punya kesempatan untuk menjalani hidup yang
normal dan bahagia sebagai manusia. Aku bisa melihat akibatnya bila kau terus
bersamaku - membuatmu terus-menerus dalam bahaya, merenggutmu dari duniamu,
mempertaruhkan nyawamu setiap kali aku bersamamu. Jadi aku harus berusaha. Aku
harus melakukan sesuatu, dan tampaknya, pergi adalah satu-satunya jalan. Kalau
aku tidak beranggapan kau akan lebih baik, aku tidak akan pernah pergi. Aku
terlalu egois. Hanya kau yang lebih penting daripada apa yang kuinginkan... yang
kubutuhkan. Apa yang kuinginkan dan kubutuhkan adalah bersamamu, dan aku tahu
aku tidak akan pernah cukup kuat meninggalkanmu lagi. Terlalu banyak alasan
untuk tinggal - syukurlah! Sepertinya kau tidak bisa
aman, tak peduli betapa pun jauhnya jarak di antara kita."
"Jangan janjikan apa-apa," bisikku. Kalau aku membiarkan diriku berharap, tapi
ternyata harapanku kosong... itu akan membunuhku.
Seandainya semua vampir yang tak kenal belas kasihan itu tak sanggup
menghabisiku, kehilangan harapan pasti bisa melakukannya.
Bola mata Edward yang hitam berkilat marah.
"Jadi kau-pikir aku bohong sekarang?"
"Tidak-tidak bohong." Aku menggeleng, berusaha berpikir jernih. Mempelajari
hipotesis bahwa ia memang mencintaiku, namun tetap berpikir objektif dan klinis,
sehingga aku tidak akan jatuh dalam perangkap harapan. "Kau memang bersungguh-
sungguh... sekarang. Tapi bagaimana dengan besok, kalau kau memikirkan kembali
semua alasan mengapa kau meninggalkanku dulu" Atau bulan depan, kalau Jasper
lepas kendali lagi terhadapku?"
Edward tersentak. Ingatanku melayang ke hari-hari terakhir hidupku sebelum Edward meninggalkanku,
berusaha melihatnya melalui saringan apa yang dikatakannya padaku sekarang. Dari
sudut pandang itu, membayangkan bahwa ia meninggalkanku saat masih mencintaiku,
meninggalkanku demi aku, aku jadi mengerti sikapnya yang dingin dan menjauhiku.
"Kau toh tidak melakukannya tanpa memikirkannya masak-masak lebih dulu, kan?"
tebakku. "Nanti pun kau akan melakukan apa yang kauanggap benar."
"Aku tidak setegar yang kaukira," sergah Edward. "Benar atau salah tidak lagi
berarti banyak buatku; aku akan tetap kembali. Sebelum Rosalie mengabarkan
berita itu padaku, aku sudah tidak lagi berusaha menjalani hidup seminggu demi
seminggu, atau bahkan sehari demi sehari. Aku berjuang untuk bisa bertahan hidup
dari satu jam ke satu jam berikutnya. Hanya soal waktu saja-dan tidak lama lagi
sebenarnya - aku akan muncul lagi di depan jendelamu dan memohon agar kau mau
menerimaku kembali. Aku tidak keberatan memohon sekarang, kalau memang itu
maumu." Aku meringis. "Kumohon, seriuslah."
"Oh, aku serius kok," tegas Edward, sikapnya garang sekarang. "Bisakah kau
mencoba mendengarkan apa yang akan kukatakan padamu" Maukah kau memberiku
kesempatan menjelaskan apa artinya kau bagiku?"
Edward menunggu, mengamati wajahku saat ia berbicara untuk memastikan aku benar-
benar mendengarkan. "Sebelum kau. Bella, hidupku bagaikan malam tanpa bulan. Gelap pekat, tapi
bintang-bintang-titik-titik cahaya dan alasan... Kemudian kau melintasi langitku
bagaikan meteor. Tiba-tiba saja semua seperti terbakar; ada kegemerlapan, ada
keindahan. Setelah kau tidak ada, setelah meteor tadi lenyap di batas cakrawala,
semuanya hitam kembali. Tidak ada yang berubah, tapi mataku sudah dibutakan oleh
cahaya terang tadi. Aku tidak bisa lagi melihat bintang-bintang. Jadi tidak ada
alasan lagi untuk apa pun juga."
Aku ingin memercayainya. Tapi ini hidupku tanpa dia yang Edward lukiskan, bukan
sebaliknya. "Matamu akan menyesuaikan diri lagi," gumamku.
"Itulah masalahnya - tidak bisa."
"Bagaimana dengan hal-hal yang bisa mengalihkan pikiranmu?"
Edward tertawa tanpa emosi. "Itu hanya bagian dari kebohonganku, Sayang. Tidak
ada yang bisa mengalihkan pikiran dari... dari penderitaan. Jantungku sudah
hampir sembilan puluh tahun tak lagi berdetak, tapi ini berbeda. Rasanya seakan-
akan jantung hatiku hilang-seolah-olah rongga dadaku kosong. Seakan-akan, segala
sesuatu dalam diriku bersamamu."
"Lucu," gumamku.
Edward mengangkat sempurna itu. "Lucu?"
kutinggalkan di sini sebelah alisnya yang
Maksudku aneh-kukira hanya aku yang merasa seperti itu. Banyak sekali bagian
diriku yang hilang juga. Sudah lama sekali aku tak pernah benar-benar bisa
bernapas." Kuisi paru-paruku dengan udara, menikmati sensasinya. "Dan jantungku. Jelas-jelas sudah
hilang." Edward memejamkan mata dan menempelkan telinganya dadaku lagi. Kubiarkan pipiku
menempel di rambutnya, merasakan teksturnya di kulitku, menghirup aroma wangi
tubuhnya. "Kalau begitu, melacak tidak bisa mengalihkan pikiran?" tanyaku, ingin tahu,
sekaligus ingin mengalihkan pikiranku sendiri. Aku sudah nyaris berharap lagi.
Aku tidak akan mampu menghentikan diri terlalu lama. Jantungku berdetak,
menyanyi di dadaku. "Tidak." Edward mendesah. "Itu tidak pernah menjadi sesuatu yang dilakukan untuk
mengalihkan pikiran. Itu kewajiban."
"Apa maksudmu?"
"Maksudnya, walaupun aku tidak pernah
mengharapkan akan muncul bahaya dari Victoria, aku tidak akan membiarkannya
lolos begitu saja setelah... Well, seperti kataku tadi, aku payah dalam hal itu.
Aku berhasil melacaknya sampai jauh ke Texas, tapi kemudian aku mengikuti
petunjuk palsu sampai ke Brazil - padahal sebenarnya dia malah datang ke sini."
Edward mengerang. "Aku bahkan tidak berada di benua yang benar! Dan sementara
itu, lebih buruk daripada ketakutanku yang paling buruk-"
"Kau memburu Victoria?" aku setengah memekik begitu bisa menemukan suaraku,
melesat naik dua oktaf. Dengkur Charlie di kejauhan terhenti, dan sejurus kemudian mulai lagi dengan
berirama. "Tidak berhasil," jawab Edward, mengamati ekspresi garangku dengan mimik
bingung. "Tapi pasti bisa lebih baik lain kali. Dia tidak akan menodai udara
yang segar ini dengan menarik napas dan mengembuskannya lebih lama lagi."
"Itu... tidak bisa," akhirnya aku bisa juga bersuara. Gila. Walaupun dibantu
Emmett atauJasper sekalipun. Ini lebih buruk daripada bayanganku yang lain:
Jacob Black berdiri berhadap-hadapan dengan sosok Victoria yang kejam dan buas.
Aku tak sanggup membayangkan Edward di sana, walaupun ia jauh lebih bisa
bertahan daripada sahabatku yang setengah manusia itu.
"Sudah terlambat baginya. Aku mungkin masih bisa mengabaikan kejadian waktu itu,
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi tidak sekarang, setelah-"
Aku menyelanya lagi, berusaha memperdengarkan nada tenang. "Bukankah kau baru
saja berjanji tidak akan meninggalkan aku?" tanyaku, melawan kata-kata yang
kuucapkan, tidak mengizinkannya tertanam di hatiku. "Janji itu tidak sejalan
dengan ekspedisi pelacakan yang
memakan waktu lama, bukan?"
Kening Edward berkerut. Geraman pelan terdengar dari dadanya. "Aku akan menepati
janjiku, Bella. Tapi Victoria-" geraman itu semakin jelas terdengar-"harus mati.
Segera." "Tak usah tergesa-gesa," ujarku, berusaha menyembunyikan kepanikanku. "Mungkin
dia tidak akan kembali. Gerombolan Jake mungkin berhasil membuatnya kabur
ketakutan. Sungguh tidak ada alasan untuk tetap mencarinya. Selain itu, aku
punya masalah lain yang lebih besar ketimbang Victoria."
Mata Edward menyipit, tapi ia mengangguk.
"Memang benar. Masalah werewolf memang masalah besar."
Aku mendengus. "Yang kumaksud bukan Jacob. Masalahku jauh lebih parah daripada
segerombolan serigala remaja yang berbuat onar."
Kelihatannya Edward ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkannya.
Giginya terkatup dengan suara berdetak, dan ia berbicara di sela-selanya.
"Benarkah?" tanyanya. "Kalau begitu, apa masalah terbesarmu" Masalah yang
membuat kembalinya Victoria mencarimu terasa bagaikan persoalan sepele bila
dibandingkan dengannya?"
"Bagaimana kalau yang kedua terberat?" elakku.
"Baiklah," Edward setuju, curiga.
Aku terdiam. Aku tidak yakin bisa menyebutkan namanya. "Ada pihak-pihak lain
yang akan datang mencariku," aku mengingatkannya dengan bisikan pelan.
Edward mendesah, tapi reaksinya tidak sekuat yang kubayangkan, apalagi bila
dibandingkan dengan responsnya terhadap Victoria tadi.
"Jadi keluarga Volturi hanya yang kedua terberat?"
"Sepertinya kau tidak kalut mendengarnya," komentarku.
"Well, kita punya banyak waktu untuk memikirkannya masak-masak. Bagi mereka
waktu artinya sangat jauh berbeda denganmu, atau bahkan aku. Mereka menghitung
tahun seperti kau menghitung hari. Aku tidak heran bila kau sudah berumur tiga
puluh tahun baru mereka teringat lagi padamu," imbuh Edward enteng.
Kengerian melandaku. Tiga puluh tahun. Kalau begitu, janji-janji Edward tidak berarti apa-apa, pada akhirnya. Bila
suatu hari nanti aku akan mencapai umur tiga puluh tahun, berarti Edward tidak
mungkin berencana tinggal lama. Kepedihan mengetahui hal itu membuatku sadar
bahwa aku mulai berharap, tanpa mengizinkan diriku melakukannya.
"Kau tidak perlu takut," ujar Edward, cemas saat melihat air mataku mulai
merebak lagi. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu."
"Selama kau ada di sini." Bukan berarti aku peduli apa yang terjadi pada diriku
setelah ia pergi. Edward merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang sekeras batu, memegangnya
erat-erat sementara matanya yang sekelam malam menatap mataku lekat-lekat dengan
daya gravitasi yang menyerupai lubang hitam.
"Tapi kaubilang tadi tiga puluh!" bisikku. Air mata merembes keluar dari sudut
mata. "Jadi apa" Kau akan tinggal, tapi membiarkan aku menjadi tua" Yang benar
saja." Sorot mata Edward melembut, sementara mulutnya mengeras. "Tepat seperti itulah
yang akan kulakukan. Pilihan apa lagi yang kupunya" Aku tidak bisa hidup tanpa
kau, tapi aku tidak mau menghancurkan jiwamu."
"Apakah itu sungguh-sungguh karena... " Aku berusaha menjaga suaraku tetap
datar, tapi pertanyaan ini terlalu sulit untuk dilontarkan. Aku ingat bagaimana
ekspresi Edward waktu Aro nyaris memohon padanya untuk mempertimbangkan ide
membuatku abadi. Ekspresi muak itu. Apakah kengototan Edward untuk tetap
mempertahankan aku sebagai manusia sungguh-sungguh karena jiwaku, atau karena ia
tak yakin dirinya menginginkan aku bersamanya sebegitu lama"
"Ya?" tanya Edward, menunggu pertanyaanku.
Aku malah mengajukan pertanyaan lain. Hampir - tapi tidak persis - sama
susahnya. "Tapi bagaimana kalau nanti aku sudah tua sekali dan orang-orang mengira aku
ibumu" Nenekmu?" Suaraku pucat oleh perasaan jijik-aku bisa melihat wajah Gran lagi
dalam mimpiku tentang bayangan dalam cermin waktu itu.
Seluruh wajah Edward melembut sekarang. Ia mengusap air mata dari pipiku dengan
bibirnya. "Itu tidak penting bagiku," embusan napasnya menerpa kulitku. "Kau
akan selalu menjadi orang yang paling cantik bagiku. Tentu saja... " Edward
ragu-ragu, sedikit tersentak. "Kalau kau menjadi lebih tua daripada aku - kalau
kau menginginkan sesuatu yang lebih-aku bisa memahaminya,
Bella. Aku berjanji tidak akan menghalangimu kalau kau ingin meninggalkan aku."
Mata Edward tampak bagaikan batu akik cair dan benar-benar tulus. Ia berbicara
seolah-olah telah memikirkan rencana tolol ini masak-masak.
"Kau tentunya sadar suatu saat nanti aku akan mati, bukan?" desakku.
Edward juga sudah memikirkan hal itu. "Aku akan menyusulmu secepat aku bisa."
"Ini benar-benar..." Aku mencari kata yang tepat. "Gila."
"Bella, hanya itu satu-satunya cara yang tertinggal-"
"Mari kita mundur dulu sejenak," tukasku;
merasa marah membuatku jauh lebih mudah untuk berpikir jernih dan tegas. "Kau
pasti masih ingat pada keluarga Volturi, kan" Aku tidak bisa tetap menjadi
manusia selamanya. Mereka akan membunuhku. Walaupun seandainya mereka tidak
memikirkan aku sampai aku berumur tiga puluh tahun"-aku mendesiskan kalimat
itu-"apa kau benar-benar mengira mereka bakal lupa?"
"Tidak," jawab Edward lambat-lambat, menggelengkan kepala. "Mereka tidak akan
lupa. Tapi... " "Tapi?" Edward menyeringai sementara aku menatapnya kecut. Mungkin bukan aku satu-
satunya yang sinting di sini. "Aku punya beberapa rencana."
"Dan rencana-rencana itu," tukasku, suaraku semakin masam dalam setiap katanya.
"Rencana-rencana itu pasti berpusat padaku yang tetap menjadi manusia."
Sikapku membuat ekspresi Edward mengeras.
"Itu sudah jelas." Nadanya kasar, wajahnya yang bak malaikat itu arogan.
Kami bertatapan garang beberapa saat.
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahu, dan mendorong lengan
Edward jauh-jauh supaya bisa duduk tegak.
"Kau ingin aku pergi?" tanya Edward, dan hatiku terasa nyeri melihat bagaimana
pemikiran itu menyakiti hatinya, meski ia berusaha tidak menunjukkannya.
"Tidak." jawabku. "Aku yang akan pergi."
"Boleh aku bertanya kau akan ke mana?" tanyanya.
"Aku akan pergi ke rumahmu," jawabku, masih menggapai-gapai tanpa melihat.
Edward berdiri dan menghampiriku. "Ini sepatumu. Kau akan naik apa ke sana?"
"Trukku." "Suaranya mungkin akan membuat Charlie
terbangun," kata Edward sebagai upaya untuk membuatku mengurungkan niat.
Aku mendesah. "Aku tahu. Tapi jujur saja, sekarang pun aku pasti akan dihukum
tidak boleh keluar rumah beberapa minggu. Jadi mumpung sudah basah, kecebur saja
sekalian." "Itu tidak benar Charlie pasti akan menyalahkan aku, bukan kau."
"Kalau punya ide lain yang lebih baik, katakan saja."
"Tetaplah di sini." Edward menyarankan, tapi ekspresinya tidak berharap.
"Jangan harap. Tapi silakan saja kalau kau mau tetap di sini. Anggap saja di
rumah sendiri," dorongku, kaget sendiri mendengar betapa wajarnya caraku
menyindir, lalu bergegas menuju pintu.
Tiba-tiba saja Edward sudah berdiri di hadapanku, menghalangi jalan.
Aku mengerutkan kening, dan berbalik menuju jendela. Tidak terlalu tinggi kok
dari tanah, dan di bawah sebagian besar berupa rerumputan...
"Oke," desah Edward. "Aku akan
membopongmu." Aku mengangkat bahu. "Terserah. Tapi mungkin sebaiknya kau juga berada di sana."
"Mengapa begitu?"
"Karena kalau kau sudah punya pendapat, sulit sekali mengubah pendapatmu. Jadi
aku yakin kau pasti ingin mendapat kesempatan mengutarakan pandangan-
pandanganmu." "Pandangan-pandanganku mengenai apa?" tanya Edward dari sela-sela rahangnya yang
terkatup rapat. "Ini bukan lagi hanya mengenai kau. Kau bukan pusat semesta alam, tahu." Kalau
pusat semesta alam pribadiku, tentu saja, adalah cerita lain. "Kalau kau akan
membuat keluarga Volturi mendatangi kita hanya gara-gara hal tolol seperti
mempertahankan aku sebagai manusia, maka keluargamu perlu didengar juga
pendapatnya." "Pendapat mereka mengenai apa?" tanya Edward, setiap kata diucapkan dengan
jelas. "Ketidakabadianku. Aku akan melakukan voting untuk menentukannya."
24. PEMUNGUTAN SUARA EDWARD tidak senang, perasaan itu dengan
mudah bisa dibaca dari ekspresinya. Namun tanpa berargumen lebih jauh lagi, ia
membopongku dan melompat lincah dari jendelaku, mendarat tanpa entakan sedikit
pun, seperti kucing. Ternyata lumayan tinggi juga jarak dari jendela ke tanah,
tidak seperti dugaanku. "Baiklah kalau begitu," kata Edward, suaranya sinis oleh sikap tidak setuju.
"Naiklah." Ia membantuku naik ke punggungnya, lalu melesat secepat kilat. Bahkan setelah
sekian lama tidak menaiki punggungnya lagi, rasanya itu seperti sesuatu yang
rutin. Mudah. Terbukti ini sesuatu yang tak pernah dilupakan, seperti naik
sepeda. Sunyi senyap dan gelap saat Edward berlari menembus hutan, embusan napasnya
lambat dan teratur-saking gelapnya, pepohonan yang terbang melewati kami nyaris
tak terlihat, dan hanya embusan kuat angin menerpa wajah yang menunjukkan betapa
cepat Edward berlari. Udara lembab; tidak membakar mataku seperti angin di alun-
alun besar waktu itu, dan rasanya nyaman. Malam juga terasa menenangkan, setelah
siang benderang yang menakutkan itu. Seperti waktu aku masih kecil, bermain di
balik selubung selimut tebal, kegelapan ini terasa familier dan melindungi.
Aku ingat bagaimana berlari menembus hutan seperti ini dulu membuatku ngeri,
bagaimana dulu aku selalu memejamkan mata. Rasanya itu reaksi yang tolol
sekarang. Kubuka mataku lebar-lebar, dagu menempel di bahunya, dan pipiku di
lehernya. Kecepatannya sungguh menggairahkan. Seratus kali lebih asyik daripada
naik motor. Aku memalingkan wajah menghadap wajah Edward dan menempelkan bibirku ke kulit
lehernya yang dingin dan keras.
"Terima kasih," ucapnya, sementara bayangan-bayangan hitam samar pepohonan
melesat di samping kami. "Apakah itu berarti kau memutuskan bahwa kau sudah
bangun?" Aku tertawa. Suara tawaku terdengar ringan, alami, renyah. Pas. "Tidak juga.
Bagaimanapun, lebih dari itu aku tidak mau bangun. Tidak malam ini."
"Aku akan mengembalikan lagi kepercayaanmu padaku, bagaimanapun caranya," gumam
Edward, lebih ditujukan pada dirinya sendiri. "Walaupun itu jadi hal terakhir
yang kulakukan." "Aku percaya padamu kok," aku meyakinkan dia. "Aku justru tidak percaya pada
diriku sendiri." "Tolong jelaskan."
Edward memperlambat larinya dan berjalan- aku tahu itu karena terpaan angin
mereda-dan dugaanku, kami tak jauh dari rumahnya. Malah, kalau tidak salah aku
bisa mendengar suara air sungai mengalir dalam gelap, di suatu tempat tak jauh
dari sini. "Well-" aku memeras otak, berusaha
menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan maksudku. "Aku tidak... cukup
percaya pada diriku sendiri. Bahwa aku pantas mendapatkanmu. Aku tidak punya
apa-apa yang bisa mempertahankanmu."
Edward berhenti dan mengulurkan tangan ke belakang, menurunkan aku dari
punggungnya. Tangannya yang lembut tidak melepaskanku; bahkan sesudah ia
membantuku menjejakkan kaki ke tanah, ia merangkulku erat-erat, mendekapku di
dadanya. "Aku milikmu selamanya, ikatan itu tak bisa
dipatahkan," bisiknya. "Jangan pernah ragukan itu.'
Tapi bagaimana bisa aku tidak meragukannya"
"Kau belum memberi tahu...," gumamnya. "Apa?"
"Apa masalah terbesarmu."
"Tebak saja sendiri." Aku mendesah, kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh
ujung hidungnya dengan telunjuk.
Edward mengangguk. "Aku memang lebih buruk daripada keluarga Volturi," ucapnya
muram. "Kurasa aku pantas mendapatkannya."
Aku memutar bola mataku. "Hal terburuk yang bisa dilakukan keluarga Volturi
adalah membunuhku." Edward menunggu dengan sorot mata tegang.
"Kau bisa meninggalkan aku,'' aku menjelaskan.
"Keluarga Volturi, Victoria... mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kau
meninggalkan aku." Bahkan dalam gelap aku bisa melihat kepedihan memilin wajahnya - mengingatkanku
pada ekspresinya di bawah tatapan Jane yang menyiksa; aku merasa muak, dan
menyesal telah mengatakan hal yang sebenarnya.
"Jangan; bisikku, menyentuh wajahnya. "Jangan sedih"
Edward mengangkat salah satu sudut mulutnya setengah hati, tapi ekspresi itu
tidak menyentuh matanya. "Kalau saja ada jalan untuk membuatmu percaya bahwa aku
tak sanggup meninggalkanmu," bisiknya. "Hanya waktu, kurasa, yang bisa
meyakinkanmu. Aku menyukai pikiran itu. "Oke," aku setuju.
Wajah Edward masih tampak tersiksa. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan
hal-hal lain yang sepele.
"Jadi-karena kau sudah memutuskan akan tinggal di sini. Boleh aku mendapatkan
kembali barang-barangku?" tanyaku, sengaja membuat nada suaraku seringan
mungkin. Usahaku berhasil, sampai batas tertentu:
Edward tertawa. Namun sorot matanya masih sedih. "Barang-barangmu tak pernah
kubawa," jawabnya. "Aku tahu itu salah, karena aku pernah berjanji akan
meninggalkanmu tanpa hal-hal yang bisa mengingatkanmu padaku. Memang tolol dan
kekanak-kanakan, tapi aku ingin meninggalkan sesuatu dari diriku untukmu. CD,
foto-foto, tiket- semua tersimpan di bawah lantai papan kamarmu."
"Sungguh?" Edward mengangguk, tampak sedikit terhibur melihat reaksiku yang jelas-jelas
gembira mendengar fakta sepele itu. Namun belum cukup untuk menghapus kepedihan
di wajahnya. "Kurasa," ujarku lambat-lambat. "Aku tidak yakin, tapi kurasa... kurasa mungkin
aku sudah mengetahuinya sejak dulu."
"Apa yang kauketahui?"
Aku hanya ingin mengenyahkan sorot sedih ini dan mata Edward, namun saat aku
mengucapkan kata-kata itu, kedengarannya justru sangat benar, lebih daripada
yang kuduga. "Sebagian diriku, mungkin alam bawah sadarku tidak pernah berhenti meyakini
bahwa kau tetap peduli padaku, apakah aku hidup atau sudah mati. Mungkin itulah
sebabnya aku mendengar suara-suara."
Sejenak, suasana sunyi senyap.
"Suara-suara?" tanya Edward datar.
"Well, hanya satu suara. Suaramu. Ceritanya
panjang." Ekspresi kecut di wajah Edward membuatku berharap aku tidak
mengungkit-ungkit masalah itu. Akankah ia mengira aku sinting, seperti orang-
orang lain" Apakah perkiraan orang-orang itu benar" Tapi paling tidak ekspresi
itu- yang membuat Edward terlihat seolah-olah terbakar-mereda.
"Aku punya waktu kok." Suara Edward terdengar kaku dan datar.
"Ceritanya menyedihkan."
Edward menunggu. Aku tak yakin bagaimana menjelaskannya.
"Ingatkah kau waktu Alice menyebut tentang olahraga ekstrem?"
Edward mengucapkan kata-kata itu tanpa perubahan nada maupun penekanan. "Kau
terjun dari tebing untuk bersenang-senang."
"Eh, benar. Dan sebelum itu, dengan sepeda motor-"
"Sepeda motor?" sergah Edward. Aku cukup mengenali suaranya untuk mengetahui ada
sesuatu yang mulai bergolak di balik ketenangan sikapnya.
"Kurasa bagian yang itu tidak kuceritakan pada Alice."
"Memang tidak."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Well tentang itu... Begini, aku menemukan bahwa... saat aku melakukan sesuatu
yang tolol atau berbahaya... aku bisa mengingatmu lebih jelas," aku mengaku,
merasa diriku benar-benar sinting. "Aku jadi bisa mengingat bagaimana suaramu
bila sedang marah. Aku bisa mendengarnya, seolah-olah kau berdiri tepat di
sebelahku. Kebanyakan aku mencoba untuk tidak memikirkanmu, tapi ini tidak
begitu menyakitkan-rasanya seolah-olah kau melindungiku lagi. Seakan-akan kau
tidak ingin aku terluka. "Dan, Well, aku jadi penasaran sendiri apakah alasan mengapa aku bisa
mendengarmu begitu jelas adalah karena, di balik itu semua, aku selalu tahu kau
tidak pernah berhenti mencintaiku."
Lagi, saat aku bicara, kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar sangat
meyakinkan. Bahwa itu memang benar. Lubuk hatiku yang terdalam mengenali
kebenarannya. Edward mengucapkan kata-kata itu dengan suara separo tercekik. "Kau...
sengaja... membahayakan nyawamu... hanya agar bisa mendengar-"
"Ssstt," aku memotong kata-katanya. "Tunggu sebentar. Kurasa aku mendapat
pencerahan." Ingatanku melayang ke malam di Port Angeles ketika aku mengalami delusi pertama.
Ada dua opsi. Sinting atau pemenuhan harapan. Aku tidak melihat opsi ketiga.
Tapi bagaimana kalau... Bagaimana kalau kau sungguh-sungguh percaya sesuatu itu benar, tapi ternyata kau
salah" Bagaimana kalau kau begitu keras kepala meyakini kau benar, bahwa kau
bahkan tidak mau mempertimbangkan kebenaran" Apakah kebenaran itu akan
dibungkam, atau kebenaran itu akan berusaha menerobos keluar"
Opsi ketiga: Edward mencintaiku. Ikatan yang terbentuk di antara kami bukanlah
ikatan yang bisa dihancurkan oleh ketidakhadiran, jarak, atau waktu Dan tak
peduli apakah ia lebih istimewa, lebih rupawan, lebih pintar, atau lebih
sempurna daripada aku, bagaimanapun ia sudah berubah, tak bisa diperbaiki lagi,
sama seperti aku. Sama halnya aku akan selalu menjadi miliknya, demikian juga ia
akan selalu menjadi milikku.
Itukah yang selama ini coba kukatakan pada diriku sendiri"
"Oh!" "Bella?" "Oh. Oke. Aku mengerti."
"Pencerahanmu?" tanya Edward, suaranya bergetar dan tegang.
"Kau mencintaiku," ujarku kagum. Keyakinan dan kebenaran itu melanda diriku
lagi. Walaupun matanya masih waswas, senyum
separo yang sangat kucintai itu melintasi wajahnya. "Benar, aku memang
mencintaimu." Hatiku menggelembung hingga rasanya seperti nyaris meremukkan tulang-tulang
rusukku. Memenuhi rongga dada dan menyumbat kerongkongan hingga aku tak bisa
bicara. Edward benar-benar menginginkanku seperti aku menginginkan dia - selamanya.
Hanya karena ia takut aku akan kehilangan jiwaku, karena ia tak ingin merenggut
hal-hal manusiawi dari diriku, yang membuat Edward begitu ngotot ingin tetap
mempertahankan aku sebagai manusia. Dibandingkan dengan ketakutan bahwa ia tidak
menginginkan aku, halangan ini - jiwaku - nyaris terasa tidak signifikan.
Edward merengkuh wajahku erat-erat dengan tangannya yang dingin dan menciumku
sampai kepalaku pening dan hutan seperti berputar. Lalu ia menempelkan dahinya
ke keningku, dan napas kami memburu, lebih cepat daripada biasanya.
"Kau masih lebih baik daripada aku," kata Edward.
"Lebih baik dalam hal apa?"
"Bertahan. Kau, setidaknya, masih mau berusaha. Bangun pagi-pagi, berusaha
bersikap normal demi Charlie, menjalani rutinitas hidupmu. Kalau tidak sedang
aktif melacak, aku.. , benar-benar tidak berguna. Aku tidak bisa berada di
sekitar keluargaku-aku tidak bisa berada di sekitar siapa pun. Aku malu mengakui
bahwa kurang lebih aku hanya terpuruk dan membiarkan diriku dilanda kesedihan."
Edward menyeringai, malu-malu. "Jauh lebih menyedihkan daripada mendengar suara-
suara. Dan, tentu saja, kau tahu aku juga begitu."
Aku sangat lega karena Edward tampaknya benar-benar mengerti-senang karena ini
semua masuk akal baginya. Pokoknya, ia tidak menatapku seakan-akan aku sudah
gila. Ia menatapku seakan-akan... ia mencintaiku.
"Aku hanya mendengar satu suara," koreksiku.
Ia tertawa dan menarikku erat di sebelah kanan tubuhnya, lalu mulai membimbingku
maju. "Aku hanya menuruti maumu," Edward melambaikan tangan ke kegelapan di depan kami
saat kami berjalan. Tampak sesuatu yang pucat dan megah di sana-rumahnya, aku
tersadar. "Pendapat mereka tak ada pengaruhnya sedikit pun."
"Ini memengaruhi mereka juga sekarang."
Edward mengangkat bahu tak acuh.
Ia berjalan mendahuluiku melalui pintu depan yang terbuka, memasuki rumah yang
gelap, dan menyalakan lampu-lampu. Ruangan itu masih sama seperti yang kuingat
dulu piano dan sofa-sofa putih serta tangga megah berwarna pucat itu. Tak ada
debu, tak ada kain-kain putih.
Edward memanggil nama-nama anggota keluarganya dengan volume suara yang biasa
kugunakan bila berbicara dalam keadaan biasa. "Carlisle" Esme" Rosalie" Emmett"
Jasper" Alice?" Mereka mendengarnya.
Carlisle tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, seakan-akan sudah sejak tadi
berada di sana. "Selamat datang kembali, Bella." Ia tersenyum.
"Apa yang bisa kami lakukan untukmu pagi ini" Dalam bayanganku, mengingat jamnya
yang tidak lazim, aku yakin ini bukan sekadar kunjungan ramah-tamah?"
Aku mengangguk. "Aku ingin berbicara dengan semuanya sekaligus, kalau boleh.
Mengenai sesuatu yang penting."
Aku tak tahan untuk tidak melirik wajah Edward sambil bicara. Ekspresinya tidak
setuju namun pasrah. Waktu aku melihat kembali pada Carlisle, ia juga sedang
memandang Edward. "Tentu saja," jawab Carlisle. "Bagaimana kalau kita bicara di ruangan lain?"
Carlisle mendului melintasi ruang duduk yang terang benderang, berbelok memasuki
ruang makan, menyalakan lampu-lampu sambil berjalan. Dinding-dindingnya berwarna
putih, langit-langitnya tinggi, seperti ruang duduk. Di tengah ruangan, di bawah
lampu kristal yang menggantung rendah, tampak meja besar mengilat berbentuk oval
yang dikelilingi delapan kursi. Carlisle menarik keluar kursi di kepala meja
untukku. Aku belum pernah melihat keluarga Cullen menggunakan meja ruang makan sebelumnya
- itu hanya perabot. Mereka tidak makan di rumah.
Begitu aku berbalik untuk duduk di kursi, aku melihat kami tidak sendirian. Esme
berjalan mengikuti Edward, dan di belakangnya, anggota keluarga lainnya
menyusul. Carlisle duduk di kananku, sementara Edward di kiri. Tanpa bersuara yang lain-
lain duduk di kursi masing-masing. Alice nyengir padaku, belum-belum sudah
memahami plotnya. Emmett dan Jasper terlihat ingin tahu, sementara Rosalie
tersenyum ragu-ragu padaku. Malu-malu aku membalas senyumnya. Masih butuh waktu
untuk membiasakan diri. Carlisle mengangguk padaku. "Silakan dimulai."
Aku menelan ludah. Tatapan mereka membuatku gugup. Edward meraih tanganku di
bawah meja. Aku melirik padanya, tapi ia memandangi anggota keluarganya yang
lain, wajahnya tiba-tiba garang.
"Well" aku terdiam sejenak. "Kuharap Alice sudah menceritakan pada kalian semua
yang terjadi di Volterra?"
"Semuanya sudah," Alice meyakinkanku.
Aku melayangkan pandangan penuh arti
padanya. "Dan saat dalam perjalanan?"
"Itu juga sudah," angguknya.
"Bagus," aku mengembuskan napas lega. "Kalau begitu, kita semua sudah sama-sama
mengerti." Mereka menunggu dengan sabar sementara aku mencoba menata pikiranku.
"Jadi begini, aku punya masalah," aku memulai. "Alice berjanji pada keluarga
Volturi bahwa aku akan menjadi seperti kalian. Mereka akan mengirim seseorang ke
sini untuk mengecek, dan aku yakin itu sesuatu yang harus dihindari.
"Jadi, sekarang, ini melibatkan kalian semua. Itu sangat kusesali." Kutatap
wajah rupawan mereka satu demi satu, meninggalkan yang paling rupawan sebagai
yang terakhir. Sudut-sudut mulut Edward tertekuk ke bawah, membentuk seringaian.
"Tapi kalau kalian tidak menginginkan aku, aku tidak akan memaksa kalian,
terlepas dari apakah Alice setuju melakukannya atau tidak."
Esme membuka mulut untuk bicara, tapi kuangkat jariku untuk menghentikannya.
"Please, izinkan aku menyelesaikan penjelasanku dulu. Kalian tahu apa yang
kuinginkan. Dan aku yakin kalian tahu bagaimana pendapat Edward. Jadi,
menurutku, satu-satunya cara yang adil untuk memutuskannya adalah dengan
melakukan pemungutan suara. Kalau kalian memutuskan tidak menginginkanku,
maka... kurasa aku akan kembali ke Italia sendirian. Aku tidak mau mereka datang
ke sini!' Memikirkannya saja sudah membuat keningku berkerut.
Terdengar geraman samar dari dalam dada Edward. Aku mengabaikannya.
"Dengan mempertimbangkan keselamatan kalian, aku ingin kalian memilih ya atau
tidak tentang apakah aku akan menjadi vampir."
Aku separo tersenyum saat mengucapkan kata terakhir itu, dan memberi isyarat
pada Carlisle untuk mulai.
"Tunggu sebentar," sela Edward.
Kutatap dia garang lewat mata yang disipitkan. Edward mengangkat alisnya padaku,
meremas tanganku. "Ada yang ingin kutambahkan sebelum kita memulai pemungutan suara."
Aku mendesah. "Tentang bahaya yang dimaksud Bella," lanjutnya. "Menurutku, kita tidak perlu
kelewat khawatir." Ekspresi Edward semakin bersemangat. Ia meletakkan sebelah tangannya di
permukaan meja yang mengilap dan mencondongkan tubuh.
"Begini," ia menjelaskan, memandang sekeliling meja sambil bicara, "ada lebih
dari satu alasan mengapa aku tak ingin menjabat tangan Aro di sana, pada
akhirnya. Ada sesuatu yang tak terpikirkan oleh mereka, dan aku tak ingin
memunculkan pikiran itu dalam benak mereka." Edward nyengir.
"Apa itu?" desak Alice. Aku yakin ekspresiku juga sama skeptisnya dengan mimik
Alice. "Keluarga Volturi terlalu percaya diri, dan alasannya kuat. Saat memutuskan
menemukan seseorang, mereka bisa menemukannya dengan mudah. Ingatkah kau pada
Demetri?" Edward menoleh padaku.
Aku bergidik. Bagi Edward itu berarti "ya".
"Dia bisa menemukan orang-orang-itu memang bakatnya, karena itulah mereka
mempekerjakannya. "Nah, selama kita bersama mereka, aku
menyadap otak mereka untuk mencari tahu hal apa saja yang bisa menyelamatkan
kita, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Jadi aku melihat bagaimana bakat
Demetri bekerja. Dia pelacak-pelacak yang seribu kali lebih hebat daripada
James. Kemampuannya secara longgar terhubung dengan apa yang kulakukan, atau apa
yang Aro lakukan. Dia menangkap... bau" Aku tidak tahu bagaimana
menggambarkannya... getaran... pikiran seseorang, dan kemudian mengikutinya. Dia
bisa melacak dari jarak sangat jauh.
"Tapi setelah eksperimen kecil yang dilakukan Aro, well..."
Edward mengangkat bahu. "Kaupikir dia takkan bisa menemukan aku," sergahku datar.
Edward tersenyum puas. "Aku yakin sekali. Demetri bergantung sepenuhnya pada
indra lain itu. Kalau itu tidak mempan dilakukan terhadapmu, mereka semua bakal
buta. "Lantas, bagaimana itu bisa menyelesaikan
persoalan?" "Jelas sekali, Alice akan bisa memberi tahukan kapan mereka berencana datang,
kemudian aku akan menyembunyikanmu Mereka takkan bisa berbuat apa-apa," kata
Edward dengan sikap senang. "Itu akan sama sulitnya dengan mencari jarum dalam
tumpukan jerami!" Edward dan Emmert bertukar pandang dan tersenyum menyeringai.
Ini tak masuk akal. "Tapi mereka bisa menemukanmu," aku mengingatkannya.
"Dan aku bisa menjaga diriku sendiri."
Emmett tertawa, dan mengulurkan tangan ke seberang meja pada saudaranya,
mengacungkan tinjunya. "Rencana yang bagus sekali, saudaraku," ucapnya antusias.
Edward mengulurkan tangan dan membenturkan tinjunya dengan tinju Emmett.
"Tidak," desis Rosalie.
"Sama sekali tidak" aku sependapat.
"Bagus," ucap Jasper kagum.
"Dasar idiot," omel Alice.
Esme hanya memandang garang kepada Edward. Aku menegakkan posisi dudukku,
kembali fokus. Ini kan rapatku.
"Baiklah kalau begitu. Edward telah menawarkan alternatif lain pada kalian
sebagai bahan pertimbangan," ujarku dingin. "Mari kita melakukan pemungutan
suara." Kali ini aku menatap Edward; lebih baik aku
segera mengetahui pendapatnya. "Kau ingin aku bergabung dengan keluargamu?"
Mata Edward sekeras dan sehitam batu api. "Tidak dengan cara itu. Kau harus
tetap menjadi manusia."
Aku mengangguk sekali, menjaga ekspresiku tetap tenang, dan berlanjut ke yang
lain. "Alice?" "Ya." "Jasper?" "Ya," jawab Jasper, suaranya muram. Aku sedikit terkejut- aku sama sekali tidak
yakin pada pilihannya-tapi aku menekan reaksiku dan melanjutkan.
"Rosalie?" Rosalie ragu-ragu sejenak, menggigit bibir bawahnya yang penuh dan sempurna itu.
"Tidak." Aku tetap memasang wajah tenang dan memalingkan wajahku sedikit untuk
melanjutkan ke anggota keluarga lain, tapi Rosalie mengangkat kedua tangannya,
telapak tangannya mengarah ke depan.
"Izinkan aku memberi penjelasan," Rosalie
memohon. "Bukan berarti aku tidak suka kau menjadi saudaraku. Hanya saja... ini
bukan kehidupan yang akan kupilih untuk diriku sendiri. Kalau saja dulu ada
orang yang memilih tidak untukku."
Aku mengangguk lambat-lambat, kemudian berpaling kepada Emmett.
"Ya, tentu saja!" Ia nyengir. "Kita bisa mencari jalan lain untuk mencari gara-
gara dengan si Demetri ini."
Aku masih meringis mendengar perkataannya saat berpaling kepada Esme.
"Ya, tentu saja, Bella. Aku sudah menganggapmu bagian dari keluargaku."
"Terima kasih, Esme," bisikku sambil berpaling kepada Carlisle.
Tiba-tiba saja aku merasa gugup, berharap aku tadi meminta suaranya lebih dulu.
Aku yakin ini suara yang paling berarti, suara yang dianggap lebih dari suara
mayoritas. Carlisle tidak melihat ke arahku.
"Edward," ujarnya.
"Tidak," geram Edward. Rahangnya mengeras, bibirnya menyeringai, memperlihatkan
gigi-giginya. "Ini satu-satunya jalan yang masuk akal,"
Carlisle berkeras. "Kau sudah memilih untuk tidak hidup tanpa dia, jadi
menurutku tak ada pilihan lain."
Edward menjatuhkan tanganku, keluar dari meja. Ia menghambur meninggalkan
ruangan, menggeram-geram marah.
"Kurasa kau sudah tahu jawabanku." Carlisle mendesah.
Aku masih memandangi kepergian Edward. "Trims," gumamku.
Suara benda pecah yang mengoyak gendang
telinga terdengar dari ruang sebelah
Aku tersentak, lalu cepat-cepat bicara. "Hanya itu yang kuperlukan. Terima kasih
semuanya. Untuk kesediaan kalian menerimaku. Begitu
jugalah yang kurasakan terhadap kalian semua." Suaraku tercekat oleh emosi di
akhir kalimat. Dalam sekejap Esme sudah berdiri di sampingku, lengannya yang dingin memelukku.
"Bella tersayang," desahnya.
Aku membalas pelukannya. Dari sudut mata kulihat Rosalie menunduk memandangi
meja, dan sadarlah aku kata-kataku tadi dapat ditafsirkan berbeda.
"Well, Alice," ujarku setelah Esme melepas
pelukannya. "Di mana kau ingin melakukannya?" Alice menatapku, matanya
membelalak ngeri. "Tidak! Tidak! TIDAK!" raung Edward, menghambur kembali ke dalam ruangan. Ia
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah sampai di hadapanku sebelum aku sempat berkedip, membungkuk di atasku,
wajahnya berkerut-kerut marah.
"Kau gila, ya?" teriaknya. "Apa kau benar-benar sudah tidak waras lagi?"
Aku mengkeret menjauhinya, kedua tangan menutupi telinga.
"Eh, Bella," Alice menyela dengan nada gelisah. "Sepertinya aku belum siap
melakukan itu. Aku harus menyiapkan diri dulu... "
"Kau sudah berjanji," aku mengingatkannya, memandang garang dari bawah lengan
Edward. "Aku tahu, tapi... Yang benar saja, Bella! Aku tidak tahu bagaimana melakukannya
tanpa membunuhmu." "Kau bisa melakukannya," aku menyemangati. "Aku percaya padamu."
Edward menggeram marah. Alice menggeleng cepat-cepat, terlihat panik.
"Carlisle?" Aku menoleh dan memandanginya.
Edward merenggut wajahku dengan tangannya, memaksaku menatapnya. Sebelah
tangannya yang lain terulur, telapak tangannya mengarah pada Carlisle.
Carlisle tak menggubrisnya. "Aku bisa melakukannya," ia menjawab pertanyaanku.
Kalau saja aku bisa melihat ekspresinya. "Kau tak perlu takut aku akan
kehilangan kendali."
"Kedengarannya bagus." Aku berharap ia bisa memahaminya; sulit berbicara dengan
jelas bila Edward mencengkeram daguku seperti ini.
"Tunggu," sergah Edward dari sela-sela giginya "Tidak perlu melakukannya
sekarang." "Tidak ada alasan untuk tidak melakukannya sekarang," balasku, kata-kataku tidak
terdengar jelas. "Aku bisa memikirkan beberapa alasan."
"Tentu saja bisa," tukasku masam. "Sekarang lepaskan aku."
Edward melepaskan wajahku, dan melipat kedua lengannya di dada. "Kira-kira dua
jam lagi, Charlie akan datang ke sini mencarimu. Dan aku tak ragu dia akan
melibatkan polisi." "Ketiga polisi yang ada di sini." Tapi aku mengerutkan kening.
Ini selalu menjadi bagian tersulit. Charlie, Renee.
Sekarang ada Jacob juga. Orang-orang yang akan kutinggalkan, orang-orang yang
akan kusakiti. Kalau saja hanya aku orang yang menderita, tapi aku tahu itu
tidak mungkin. Di saat yang sama, aku lebih menyakiti mereka lagi dengan tetap menjadi manusia.
Membahayakan nyawa Charlie dengan berada di dekatnya. Membahayakan Jake lebih
lagi dengan menarik musuh-musuhnya datang ke wilayah yang wajib dijaganya. Dan
Renee - aku bahkan tak berani mengambil risiko mengunjungi ibuku sendiri karena
takut bakal membawa masalah-masalahku yang mematikan ke sana!
Aku magnet yang menarik bahaya; aku menerima kenyataan itu.
Dengan menerimanya, aku tahu aku harus bisa menjaga diri dan melindungi orang-
orang yang kucintai, meskipun itu berarti aku tidak bisa bersama mereka. Aku
harus kuat. "Dengan maksud untuk tetap tidak menarik
perhatian orang!' tukas Edward, masih berbicara lewat gigi terkatup rapat, tapi
memandang Carlisle sekarang, "kusarankan kita mengakhiri pembicaraan ini
sekarang, setidaknya sampai Bella lulus SMU, dan pindah dari rumah Charlie."
"Itu permintaan yang masuk akal, Bella," ujar Carlisle.
Aku memikirkan reaksi Charlie bila ia bangun pagi ini, bila - setelah ia
mengalami kehilangan besar dengan meninggalnya Harry, kemudian aku membuatnya
kalang-kabut dengan kepergianku yang tanpa penjelasan-ia menemukan tempat
tidurku kosong. Charlie pantas mendapatkan yang lebih baik daripada itu. Toh
tidak lama lagi; kelulusanku sudah di depan mata...
Aku mengerucutkan bibir. 'Akan kupertimbangkan."
Edward langsung rileks. Rahangnya mengendur.
"Mungkin sebaiknya kuantar kau pulang,"
katanya, lebih tenang sekarang, tapi jelas ingin buru-buru membawaku pergi dari
sini. "Siapa tahu Charlie bangun lebih pagi."
Kupandangi Carlisle. "Setelah kelulusan?"
"Aku janji." Aku menarik napas dalam-dalam, tersenyum, dan berpaling kembali ke Edward. "Oke.
Kau boleh membawaku pulang."
Edward membawaku melesat keluar dari rumah sebelum Carlisle bisa menjanjikan hal
lain. Ia membawaku keluar lewat pintu belakang, jadi aku tidak melihat barang
apa yang pecah di ruang tamu.
Perjalanan pulang sangat hening. Aku merasa menang dan sedikit puas pada diri
sendiri. Sangat ketakutan juga, tentu saja, tapi aku berusaha tidak memikirkan
bagian itu. Tak ada gunanya mengkhawatirkan rasa sakit-baik fisik maupun
emosional-jadi itu tidak kulakukan. Tidak sampai benar-benar harus.
Sesampainya di rumahku, Edward tidak berhenti. Ia langsung berlari menaiki
dinding dan masuk lewat jendela kamarku dalam tempo setengah detik. Lalu ia
melepaskan kedua lenganku yang melingkari lehernya dan membaringkanku di tempat
tidur. Kusangka aku punya gambaran cukup jelas tentang apa yang ia pikirkan, tapi
ekspresinya membuatku terkejut. Bukannya marah, ia malah terlihat seperti
menimbang-nimbang Ia berjalan mondar-mandir tanpa suara di kamarku yang gelap
sementara aku memerhatikan dengan kecurigaan yang semakin menjadi-jadi.
"Apa pun yang kaurencanakan, itu tidak akan berhasil," kataku.
"Ssstt. Aku sedang berpikir."
"Ugh," erangku, mengempaskan diri ke tempat tidur dan menyelubungi kepalaku
dengan selimut. Tidak terdengar suara apa-apa, tapi mendadak Edward sudah di sana. Ia
menyibakkan selimut supaya bisa melihatku. Ia berbaring di sebelahku. Tangannya
terangkat, menyibakkan rambutku yang jatuh di pipi.
"Kalau kau tidak keberatan, aku lebih suka kau tidak menyembunyikan wajahmu. Aku
sudah pernah merasakan hidup tanpa kau selama yang bisa kutahan. Sekarang...
jawab pertanyaanku."
"Apa?" tanyaku, enggan.
"Seandainya kau bisa memiliki segalanya yang ada di dunia ini, apa saja, apa
yang kauinginkan?" Aku bisa merasakan skeptisme di mataku. "Kau."
Edward menggeleng tidak sabar. "Sesuatu yang belum kaumiliki."
Aku tidak yakin ke mana ia berusaha mengarahkanku, jadi aku berpikir dengan
hati-hati sebelum menjawab. Aku menemukan jawaban yang memang benar, tapi
mungkin juga mustahil. Aku ingin... bukan Carlisle yang melakukannya. Aku ingin kaulah yang
mengubahku." Kuamati reaksi Edward dengan kecut, mengira ia akan marah lagi seperti yang
kulihat di rumahnya tadi. Kaget juga aku waktu kulihat ekspresinya tidak
berubah. Ia masih terlihat menimbang-nimbang, berpikir keras.
"Kau rela menukar itu dengan apa?"
Aku tidak memercayai pendengaranku. Dengan mulut ternganga lebar, kupandangi
wajahnya yang tenang dan langsung melontarkan jawaban sebelum otakku sempat
berpikir. "Apa saja." Edward tersenyum tipis, kemudian mengerucutkan bibir. "Lima tahun?"
Wajahku berkerut membentuk ekspresi antara kecewa dan ngeri.
"Kaubilang tadi apa saja," Edward mengingatkanku.
"Ya, tapi... kau akan memanfaatkan waktu lima tahun itu untuk berkelit. Aku
harus menyambar kesempatan ini, mumpung masih 'panas'. Lagi pula, terlalu
berbahaya menjadi manusia - bagiku, setidaknya. Jadi, apa saja kecuali itu."
Edward mengerutkan kening. "Tiga tahun?"
"Tidak!" "Itu tidak berarti apa-apa sama sekali bagimu?"
Aku berpikir betapa aku sangat menginginkan hal ini. Lebih baik memasang wajah
sok tenang, aku memutuskan, dan tidak membiarkan Edward tahu betapa aku sangat
menginginkannya. Itu akan membuat posisiku berada di atas angin. "Enam bulan?"
Edward memutar bola matanya. "Masih kurang."
"Satu tahun, kalau begitu," tawarku. "Itu batasanku."
"Paling tidak beri aku dua tahun."
"Enak saja. Sembilan belas aku masih mau. Tapi jangan harap aku mau mendekati
usia dua puluh. Kalau selamanya kau akan berusia belasan, aku juga mau seperti
itu. Edward berpikir sebentar. "Baiklah. Lupakan soal batasan waktu. Kau boleh
menjadi seperti aku - tapi ada syaratnya."
"Syarat?" Suaraku berubah datar. "Syarat apa?"
Sorot mata Edward tampak hati-hati-ia berbicara lambat-lambat. "Menikahlah dulu
denganku." Kupandangi dia, menunggu... "Oke. Di mana lucunya?"
Edward mendesah. "Kau melukai egoku, Bella. Aku baru saja melamarmu, tapi kau
malah menganggapnya gurauan."
"Edward, kumohon, seriuslah."
"Aku seratus persen serius." Edward menatapku tanpa sedikit pun sorot humor di
wajahnya. "Oh, ayolah," tukasku, ada secercah nada histeris dalam suaraku. "Aku kan baru
delapan belas." "Well, aku hampir seratus sepuluh. Sudah waktunya aku menikah."
Aku membuang muka, memandang ke luar jendela yang gelap, berusaha mengendalikan
kepanikan sebelum telanjur meledak.
"Begini, menikah tidak masuk dalam daftar prioritasku saat ini, kau mengerti"
Ini ibarat ciuman kematian bagi Renee dan Charlie."
"Pilihan katamu menarik."
"Kau tahu maksudku."
Edward menghela napas dalam-dalam. "Tolong jangan katakan kau takut pada
komitmen," kata Edward dengan nada tidak percaya, dan aku mengerti maksudnya.
"Sama sekali bukan itu," elakku. "Aku... takut pada reaksi Renee. Dia sangat
menentang pernikahan sebelum aku berumur tiga puluh."
"Karena dia lebih suka kau menjadi salah satu dari kaum yang terkutuk
selamanya." Edward tertawa sinis. "Kurasa kau bercanda."
"Bella, kalau kau membandingkan tingkat komitmen antara Penyatuan dalam ikatan
pernikahan dengan menukar jiwamu sebagai ganti hidup selamanya sebagai vampir...
" Edward menggelengkan kepala. "Kalau kau tidak cukup berani untuk menikah
denganku, maka-" "Well," aku menyela. "Bagaimana kalau aku berani" Bagaimana kalau kuminta kau
membawaku ke Vegas sekarang juga" Apakah tiga hari lagi aku bisa menjadi
vampir?" Edward tersenyum, giginya berkilau dalam gelap. "Tentu; jawabnya, menerima
gertakanku. "Kuambil dulu mobilku."
"Brengsek," gerutuku. "Kuberi kau waktu delapan belas bulan."
"Tidak ada kesepakatan lain," sergah Edward, nyengir. "Aku suka syarat ini"
"Baiklah. Biar Carlisle saja yang melakukannya setelah aku lulus nanti."
"Kalau memang itu maumu." Edward mengangkat bahu, dan senyumnya benar-benar
seperti senyum malaikat. "Kau benar-benar keterlaluan," erangku. "Benar-benar monster."
Edward terkekeh. "Jadi karena itu kau tidak mau menikah denganku?"
Lagi-lagi aku mengerang. Edward mencondongkan tubuh ke arahku; bola matanya yang hitam pekat melebur dan
berapi-api, membuyarkan konsentrasiku. "Please, Bella?" desahnya.
Sejenak aku sampai lupa bernapas. Begitu pulih kembali, aku buru-buru
menggeleng, berusaha menjernihkan pikiranku yang mendadak buntu.
"Apakah akan lebih baik jika aku punya waktu untuk membelikanmu cincin?"
"Tidak! Tidak usah ada cincin segala!" Bisa dibilang aku benar-benar berteriak.
"Uups." "Charlie bangun; sebaiknya aku pulang," kata Edward dengan sikap menyerah.
Jantungku berhenti berdetak.
Edward mengamati ekspresiku sesaat. "Kekanak-kanakan tidak, kalau aku
bersembunyi di lemarimu?"
"Tidak," bisikku penuh semangat. "Tinggallah. Please."
Edward tersenyum dan menghilang.
Aku gelisah seperti cacing kepanasan dalam gelap, menunggu Charlie datang
mengecekku. Edward tahu persis apa yang ia lakukan, dan aku berani bertaruh,
membuatku kaget adalah bagian dari rencananya. Tentu saja aku masih punya
pilihan membiarkan Carlisle melakukannya, tapi sekarang setelah aku tahu ada
kesempatan Edward mau mengubahku sendiri, aku sangat menginginkan kesempatan
itu. Curang benar Edward.
Pintu kamarku membuka secelah. "Pagi, Dad."
"Oh, hai, Bella." Charlie terdengar malu karena kepergok mengecek. "Sudah bangun
rupanya." "Yeah. Sejak tadi aku menunggu Dad bangun supaya bisa mandi." Aku beranjak
bangun. "Tunggu dulu," tukas Charlie, menyalakan lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata,
silau oleh nyala terang yang tiba-tiba, dan sehati-hati mungkin menjaga agar
mataku tidak melirik terus ke lemari. "Kita bicara dulu sebentar."
Aku tak mampu tidak meringis. Aku lupa minta dicarikan alasan yang bagus oleh
Alice. "Kau tahu kau dalam masalah besar."
"Yeah, aku tahu."
"Aku sudah seperti orang gila tiga hari terakhir ini. Pulang dari pemakaman
Harry, aku mendapati kau sudah pergi. Jacob hanya bisa mengatakan kau kabur
bersama Alice Cullen, dan menurut dia, kau dalam kesulitan. Kau tidak
meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi, dan kau juga tidak menelepon.
Aku tidak tahu di mana kau berada atau kapan- atau apakah-kau akan pulang. Tidak
tahukah kau betapa... betapa... " Charlie tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Ia menarik napas tajam dan melanjutkan kata-katanya. "Bisakah kau memberiku satu
saja alasan mengapa aku tidak perlu mengirimmu ke Jacksonville saat ini juga?"
Mataku menyipit. Jadi mau main ancam nih"
Aku juga bisa kalau begitu. Aku duduk tegak-tegak, menarik selimut yang
menyelubungi tubuhku. "Karena aku tidak mau pergi."
"Tunggu sebentar, young lady-"
"Begini, Dad, aku menerima tanggung jawab penuh atas ulahku kemarin, dan Dad
berhak menghukumku selama yang Dad inginkan. Aku juga akan mengerjakan semua
tugas rumah, termasuk mencuci pakaian dan piring, sampai Dad menganggapku kapok.
Dan menurutku, Dad juga berhak mengusirku dari sini-tapi itu tidak akan
membuatku pindah ke Florida."
Wajah Charlie langsung merah padam. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali
sebelum menjawab. "Kau mau menjelaskan pergi ke mana kau kemarin?"
Oh, brengsek. "Ada... masalah gawat."
Charlie mengangkat alis, sudah menduga aku bakal memberi penjelasan yang brilian
seperti itu. Aku menggelembungkan pipi lalu mengembuskannya dengan suara keras. "Entah
bagaimana aku bisa menamakannya, Dad. Intinya hanya salah paham. Yang ini bilang
begitu, yang itu bilang begini. Akhirnya jadi tak terkendali."
Charlie menunggu dengan ekspres, tak percaya.
"Begini, Alice mengatakan pada Rosalie tentang aku melompat dari tebing..."
Dengan panik aku berusaha memberikan penjelasan masuk akal, sebisa mungkin tetap
menyatakan hal yang benar sehingga ketidakmampuanku berbohong dengan meyakinkan
takkan terlalu kentara, tapi belum lagi aku sempat melanjutkan ceritaku,
ekspresi Charlie mengingatkanku bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang masalah
lompat tebing itu. Ya ampun. Kayak aku belum kena masalah saja.
"Kurasa aku belum menceritakan itu pada Dad," sergahku tercekat. "Bukan apa-apa
kok. Hanya iseng, berenang bersama Jake. Pokoknya begini, Rosalie lantas memberi
tahu Edward, dan Edward langsung kalap. Rosalie tanpa sengaja membuat ceritanya
terdengar seolah-olah aku mencoba bunuh diri atau semacamnya. Edward tidak mau
menjawab teleponnya, jadi Alice menyeretku ke... LA, untuk menjelaskan secara
langsung." Aku mengangkat bahu, sepenuh hati berharap semoga Charlie tidak
terlalu memerhatikan kekagokanku barusan sehingga tidak menyimak penjelasan
brilian yang kuberikan padanya.
Wajah Charlie langsung membeku. "Memangnya kau benar-benar berniat bunuh diri,
Bella?" "Tidak, tentu saja tidak. Hanya bersenang-senang dengan Jake. Terjun dari
tebing. Anak-anak La Push sering melakukannya kok. Seperti kataku tadi, itu
bukan apa-apa." Wajah Charlie memanas-dari membeku ke panas oleh amarah. "Lantas, maksudnya
Edward Cullen itu apa?" raungnya. "Selama ini, dia meninggalkanmu begitu saja
tanpa penjelasan-" Aku buru-buru memotongnya. "Lagi-lagi salah paham."
Wajah Charlie memerah lagi. "Jadi sekarang dia kembali?"
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku belum tahu rencana pastinya bagaimana. Kalau tidak salah, mereka semua
kembali." Charlie menggeleng-gelengkan kepala, urat-urat nadi di keningnya menyembul. "Aku
ingin kau menjauhi dia, Bella. Aku tidak percaya padanya. Dia tidak baik
untukmu. Aku tidak akan membiarkannya merusakmu seperti itu lagi."
"Baiklah," sergahku judes.
Charlie bertumpu pada tumitnya dan bergoyang maju-mundur. "Oh." Ia tergagap
sesaat, mengembuskan napas dengan suara keras karena terkejut. "Kusangka kau
akan bersikap sulit."
"Memang." Aku memandang lurus-lurus ke mata Charlie. "Maksudku, 'Baiklah, aku
akan keluar dari rumah ini.'"
Mata Charlie melotot; wajahnya pucat pasi. Tekadku luntur saat aku mulai
mengkhawatirkan kesehatannya. Charlie kan tidak lebih muda daripada Harry...
"Dad, aku tidak ingin keluar dari rumah ini," kataku lebih lembut. "Aku sayang
pada Dad. Aku tahu Dad khawatir, tapi Dad harus percaya padaku dalam hal ini.
Dan Dad harus melunakkan sikap terhadap Edward kalau Dad ingin aku tetap tinggal
di sini. Dad ingin aku tinggal di sini atau tidak?"
"Itu tidak adil, Bella. Kau tahu aku ingin kau tinggal di sini."
"Kalau begitu bersikaplah baik pada Edward, karena di mana ada aku, di situ ada
dia." Aku mengucapkannya dengan sikap yakin. Keyakinan yang kudapat dari
pencerahan itu masih kuat.
"Tidak di rumahku," Charlie mengamuk.
Aku mengembuskan napas berat. "Begini, aku memberi ultimatum lagi pada Dad malam
ini-atau lebih tepatnya pagi ini. Pikirkan saja dulu selama beberapa hari, oke"
Tapi tolong diingat bahwa Edward dan aku ibaratnya sudah satu paket."
"Bella-" "Pikirkan dulu," aku bersikeras. "Dan sementara Dad memikirkannya, bisa tolong
beri aku privasi" Aku benar-benar harus mandi."
Wajah Charlie berubah warna menjadi ungu aneh, tapi ia keluar juga, membanting
pintu keras-keras. Kudengar ia berjalan mengentak-entakkan kaki menuruni tangga.
Kulempar selimutku, dan tahu-tahu saja Edward sudah di sana, duduk di kursi
goyang, seakan-akan sudah di sana selama pembicaraanku dengan Charlie
berlangsung. "Maaf soal tadi," bisikku.
"Bukan berarti aku tidak pantas mendapatkan yang jauh lebih buruk," Edward balas
berbisik. "Jangan bertengkar dengan Charlie gara-gara aku, please."
"Sudahlah, jangan khawatir," desahku sambil mengemasi peralatan mandi dan satu
setel pakaian bersih. "Aku akan bertengkar dengannya kalau memang perlu, tapi
tak lebih dari itu. Atau kau berusaha memberi tahuku bahwa kalau aku keluar dari
rumah ini, aku tidak diterima di tempatmu?" Aku membelalakkan mata, pura-pura
kaget. "Memangnya kau mau pindah ke rumah penuh vampir?"
"Mungkin itu tempat paling aman untuk orang seperti aku. Lagi pula... " aku
menyeringai. "Kalau Charlie mengusirku, berarti tidak perlu menunggu sampai
lulus, kan?" Rahang Edward mengeras. "Begitu bersemangat ingin terkutuk selamanya,"
gerutunya. "Kau tahu kau tidak benar-benar meyakini itu."
"Oh, begitu ya?" gerutunya.
"Tidak. Kau tidak percaya."
Edward menatapku tajam dan membuka mulut hendak bicara, tapi aku memotongnya.
"Kalau kau benar-benar percaya kau telah kehilangan jiwamu, maka waktu aku
menemukanmu di Volterra, kau pasti langsung menyadari apa yang terjadi, bukannya
mengira kita berdua sudah sama-sama mati. Tapi kau tidak begitu-kau malah
berkata 'Luar biasa. Carlisle benar,'" aku mengingatkannya, merasa menang.
"Ternyata, kau masih berharap."
Sekali ini, Edward tak mampu mengatakan apa-apa.
"Jadi marilah kita sama-sama berharap, oke?" saranku. "Bukan berarti itu
penting. Kalau ada kau, aku tidak butuh surga."
Pelan-pelan Edward bangkit, lalu merengkuh wajahku dengan kedua tangan sambil
menatap mataku lekat-lekat. "Selamanya," ia bersumpah, masih sedikit
terperangah. "Hanya itu yang kuminta," kataku, lalu berjinjit agar bisa menempelkan bibirku
ke bibirnya. EPILOG-KESEPAKATAN HAMPIR semuanya kembali normal-normal seperti sebelum masa ini, ketika aku
berkeliaran laksana mayat hidup - dalam tempo sangat cepat, lebih daripada yang
kuyakini bisa terjadi. Rumah sakit menerima Carlisle kembali dengan tangan
terbuka, bahkan tidak merasa perlu menutupi kegembiraan mereka bahwa Esme tidak
terlalu suka tinggal di LA. Gara-gara aku tidak ikut ulangan Kalkulus karena
harus pergi ke luar negeri waktu itu, nilai Alice dan Edward saat ini lebih
bagus daripada aku untuk bisa lulus SMA. Tiba-tiba kuliah menjadi prioritas
(kuliah masih tetap merupakan rencana B, untuk jaga-jaga siapa tahu tawaran
Edward membuatku batal mengambil pilihan melakukannya dengan Carlisle sesudah
lulus). Sudah banyak tenggat waktu pendaftaran yang kulewatkan, tapi Edward
menyodorkan setumpuk formulir baru untuk kuisi setiap hari. Ia sudah
mengembalikan berkas pendaftarannya ke Harvard, jadi tidak masalah baginya bila,
gara-gara aku terlalu banyak berleha-leha, kami terdampar di Peninsula Community
College tahun depan. Charlie agak marah padaku, dan ia juga mendiamkan Edward. Tapi setidaknya Edward
diizinkan - selama jam berkunjung yang sudah ditentukan - masuk ke rumah lagi.
Tapi aku tidak diizinkan keluar dari sana.
Aku hanya boleh keluar untuk bersekolah dan bekerja, jadi dinding-dinding
kelasku yang berwarna kuning kusam mendadak terasa begitu mengundang bagiku. Itu
berhubungan erat dengan orang yang duduk di meja di sebelahku.
Edward mengambil jadwalnya yang lama, jadi ia sekelas denganku di hampir semua
pelajaran. Kelakuanku begitu aneh, sejak keluarga Cullen "pindah" ke LA,
sehingga tak ada yang mau duduk di sampingku. Bahkan Mike, yang dulu selalu
bersemangat memanfaatkan setiap kesempatan, sekarang pun seperti menjaga jarak.
Dengan kembalinya Edward, delapan bulan terakhir nyaris bagaikan mimpi buruk
yang mengganggu. Nyaris, meski tidak persis seperti itu. Salah satunya, karena sekarang aku
dihukum tidak boleh keluar rumah. Dan alasan lain, sebelum musim gugur waktu
itu, aku tidak bersahabat dengan Jacob Black. Jadi, tentu saja, waktu itu aku
belum merasa kehilangan dia.
Aku tidak bisa pergi ke La Push, dan Jacob tidak mau datang menemuiku. Ia bahkan
tidak mau menerima teleponku.
Kebanyakan aku menelepon ke sana malam-malam, setelah Edward diusir - jam
sembilan tepat oleh Charlie yang meski muram tapi tampaknya sangat senang bisa
mengusir Edward - dan sebelum Edward menyusup kembali ke kamarku lewat jendela
setelah Charlie tidur. Aku sengaja memilih waktu itu untuk melakukan panggilan
yang sia-sia ini karena kulihat Edward selalu mengernyitkan muka setiap menyebut
nama Jacob. Seperti tidak suka dan waswas... mungkin bahkan marah. Kurasa itu
karena Edward juga punya prasangka buruk terhadap werewolf, walaupun tidak sevokal Jacob terhdap
"para pengisap darah".
Jadi. aku jarang menyebut-nyebut nama Jacob.
Dengan Edward di dekatku, sulit memikirkan hal-hal yang tidak membahagiakan-
bahkan memikirkan mantan sahabatku, yang saat ini mungkin sedang sangat tidak
bahagia, gara-gara aku. Kalaupun aku memikirkan Jake, aku selalu merasa bersalah
karena tidak sering memikirkan dia.
Dongeng itu sudah kembali. Sang pangeran sudah kembali, dan kutukan jahat
dilenyapkan. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap karakter lain yang
tertinggal dan tidak ikut bahagia. Apakah kisah ini juga akan berakhir bahagia
selamanya untuk dia"
Minggu-minggu berlalu, dan Jacob masih tidak mau menjawab teleponku. Hal ini
mulai membuatku terus-menerus khawatir. Seperti keran bocor di belakang kepalaku
yang tidak bisa kumatikan atau kuabaikan. Tes, tes, tes. Jacob, Jacob, Jacob.
Jadi, meski jarang menyebut-nyebut nama Jacob, terkadang perasaan frustrasi dan
gelisahku meluap juga. "Benar-benar brengsek!" aku mengomel panjang-pendek pada Sabtu siang saat Edward
menjemputku dari tempat kerja. Lebih mudah melampiaskan amarah daripada merasa
bersalah. "Ini sama saja dengan menghina!"
Aku sudah mencoba segala cara, dengan harapan mendapat respons berbeda. Kali ini
aku mencoba menelepon Jake dari tempat kerja, tapi teleponku dijawab Billy yang
sama sekali tidak bisa membantu. Lagi-lagi.
"Kata Billy, Jacob tidak mau bicara denganku," aku meradang, memelototi hujan
yang mengalir membasahi jendela mobil. "Masa dia ada di sana, tapi tidak mau
berjalan tiga langkah saja untuk menerima telepon! Biasanya Billy hanya
mengatakan Jacob keluar, sibuk, tidur, atau semacamnya. Maksudku, bukan berarti
aku tidak tahu dia bohong padaku tapi paling tidak cara itu masih lebih sopan.
Kurasa Billy juga benci padaku sekarang. Tidak adil!"
"Bukan begitu, Bella," ucap Edward tenang. "Tidak ada yang benci padamu."
"Rasanya seperti itu," gerutuku, melipat kedua lengan di dada. Sekarang itu
hanya kebiasaan yang sulit diubah. Tidak ada lagi lubang di dadaku kini-aku
bahkan sudah nyaris tidak ingat perasaan hampa yang pernah kurasakan.
"Jacob tahu kami sudah kembali, dan aku yakin dia tahu pasti aku bersamamu,"
jelas Edward. "Dia tidak mau dekat-dekat denganku. Permusuhan itu sudah berurat
akar dalam dirinya."
"Itu kan konyol. Dia tahu kau tidak... seperti vampir-vampir lain."
"Bukan berarti tidak ada alasan untuk menjaga jarak."
Aku memandang garang melalui kaca depan mobil. Yang kulihat hanya wajah Jacob,
terpasung dalam topeng getir yang kubenci itu.
"Bella, memang beginilah keadaannya," kata
Edward kalem. "Aku bisa mengendalikan diri, tapi aku ragu dia bisa. Dia masih
sangat muda. Besar kemungkinan akan terjadi perkelahian, dan aku tidak tahu
apakah bisa menghentikannya sebelum aku membu-" Edward mendadak berhenti bicara,
kemudian cepat-cepat melanjutkan. "Sebelum aku
menyakitinya. Kau tidak akan senang. Aku tidak ingin itu terjadi."
Aku ingat apa yang dikatakan Jacob di dapur waktu itu, mendengar kata-kata yang
ia ucapkan sambil mengenang suaranya yang parau. Aku tidak yakin akan cukup bisa
mengendalikan diri untuk menghadapinya... Mungkin kau juga tidak suka kalau aku
membunuh temanmu. Tapi, Jacob
ternyata mampu mengendalikan diri, waktu itu...
"Edward Cullen," bisikku. "Tadi kau mau mengatakan membunuhnya, kan" Iya, kan?"
Edward membuang muka, memandang ke hujan di luar. Di depan kami, lampu merah
yang tadi tidak kusadari keberadaannya berubah menjadi hijau dan Edward
menjalankan mobilnya kembali, mengemudikannya sangat lamban. Tidak biasanya ia
menyetir sepelan ini. "Aku akan berusaha... sekuat tenaga... untuk tidak melakukannya," kata Edward
akhirnya. Kutatap ia dengan mulut ternganga lebar, tapi Edward tetap memandang lurus ke
depan. Kami berhenti sebentar di depan tanda stop di pojok jalan.
Mendadak, aku ingat apa yang terjadi pada Paris ketika Romeo kembali. Pengarahan
adegannya sederhana: Mereka bertarung. Paris kalah. Tapi ini konyol. Mustahil.
"Well" ujarku, menarik napas dalam-dalam, menggeleng untuk mengenyahkan kata-
kata itu dari benakku. "Hal seperti itu takkan pernah terjadi, jadi tidak ada
alasan untuk mengkhawatirkannya. Dan kau tahu Charlie sedang memelototi jam
sekarang. Sebaiknya cepat antar aku pulang sebelum aku dapat masalah lagi gara-
gara pulang terlambat."
Aku menengadah padanya, tersenyum setengah hati.
Setiap kali menatap wajah Edward, wajah yang luar biasa sempurna itu, jantungku
berdebar keras, kencang, dan sangat terasa dalam dadaku. Kali ini debaran itu
berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Aku mengenali ekspresinya yang membeku
seperti patung itu. "Kau memang akan dapat masalah lagi, Bella," bisiknya dari sela-sela bibirnya
yang tidak bergerak. Aku bergeser lebih dekat, mencengkeram lengan Edward sambil mengikuti arah
pandangnya. Entah apa yang kukira bakal kulihat - mungkin Victoria berdiri di
tengah jalan, rambut merah menyalanya berkibar-kibar ditiup angin, atau sederet
makhluk tinggi berjubah hitam... atau sekawanan werewolf yang marah. Tapi aku tidak
melihat apa-apa. "Apa" Ada apa?"
Edward menghela napas dalam-dalam.
"Charlie..." "Ayahku?" pekikku.
Lalu Edward menunduk menatapku, dan ekspresinya cukup tenang hingga mampu
meredakan sedikit kepanikanku.
"Charlie... mungkin tidak akan membunuhmu, tapi dia sedang berpikir-pikir untuk
melakukannya," Edward memberitahu. Ia mulai menjalankan mobilnya, memasuki jalan
rumahku, tapi melewati rumahku dan memarkir mobilnya di pinggir pepohonan.
"Memangnya aku melakukan kesalahan apa?" tanyaku terkesiap.
Edward menoleh ke belakang, ke arah rumah Charlie. Aku mengikuti arah
pandangnya, dan melihat untuk pertama kalinya benda yang terparkir di jalan
masuk, persis di sebelah mobil patroli ayahku. Mengilat, warnanya merah terang,
mustahil terlewatkan. Motorku, berdiri gagah di sana.
Kata Edward tadi, Charlie sudah siap membunuhku, jadi ia pasti sudah tahu-bahwa
sepeda motor itu milikku. Hanya ada satu orang di balik pengkhianatan ini.
"Tidak!" seruku kaget. "Mengapa" Mengapa Jacob tega melakukan ini padaku?"
Perasaan sakit karena dikhianati melanda hatiku. Padahal aku sangat percaya pada
Jacob-saking percayanya sampai aku menceritakan semua rahasiaku padanya.
Seharusnya ia menjadi pelabuhan yang aman bagiku-orang yang selalu bisa
kuandalkan. Tentu saja hubungan kami saat ini sedang renggang rapi aku tidak
mengira fondasi dasar hubungan kami telah berubah. Kusangka itu tidak bisa
berubah! Kesalahan apa yang kulakukan sehingga pantas diganjar seperti ini" Charlie bakal
sangat marah- dan lebih daripada itu, ia akan merasa sakit hati dan cemas.
Apakah bebannya selama ini masih belum cukup" Tak pernah terbayang olehku Jake
bisa begitu licik dan keju. Air mataku merebak, terasa perih di mataku, tapi itu
bukan air mata kesedihan. Aku telah dikhianati. Tiba-tiba saja aku sangat marah
sampai kepalaku berdenyut-denyut seperti mau meledak.
"Dia masih di sini?" desisku.
"Ya. Dia menunggu kita di sana," Edward memberi tahuku, mengangguk ke jalan
setapak yang membelah pepohonan hutan yang rapat menjadi dua.
Aku melompat turun dari mobil, menghambur ke arah pepohonan dengan kedua tangan
sudah mengepal, siap meninju.
Mengapa Edward harus lebih cepat daripada aku"
Ia sudah menyambar pinggangku sebelum aku sampai di jalan setapak itu.
"Lepaskan aku! Biar kubunuh dia! Dasar pengkhianat!' Aku meneriakkan makian itu
ke arah pepohonan. "Nanti Charlie dengar," Edward mengingatkanku.
"Dan kalau dia sudah menyuruhmu masuk, dia bakal membeton pintunya, mencegahku
masuk." Aku melirik ke arah rumah, dan sepertinya hanya sepeda motor merah mengilap itu
saja yang tampak olehku. Aku marah sekali. Kepalaku berdenyut-denyut lagi.
"Beri aku kesempatan bicara sekali saja dengan Jacob kemudian aku akan menemui
Charlie." Sia-sia saja aku memberontak minta dilepaskan.
"Jacob Black ingin bertemu denganku. Karena itulah dia masih di sini."
Aku langsung kaget - aku serta-merta berhenti meronta-ronta. Kedua tanganku
terkulai lemas. Mereka bertarung; Paris kalah.
Aku memang marah, tapi tidak semarah itu.
"Bicara?" tanyaku.
"Kurang-lebih begitu."
"Lebihnya bagaimana?" Suaraku bergetar.
Edward merapikan rambutku yang jatuh di sekitar wajah. "Jangan khawatir,
kedatangannya ke sini bukan untuk berkelahi denganku. Dia bertindak sebagai...
juru bicara bagi kawanannya."
"Oh." Edward menengok lagi ke arah rumah, mempererat rangkulannya di pinggangku, lalu
menarikku ke arah hutan. "Kita harus bergegas. Charlie sudah mulai tidak sabar."
Kami tidak perlu pergi terlalu jauh; Jacob sudah menunggu tak jauh dari situ. Ia
menunggu sambil bersandar di pohon berlumut, wajahnya keras dan getir, persis
yang kubayangkan. Ia menatapku, kemudian Edward. Mulut Jacob menyeringai
membentuk seringaian sinis, dan ia bergeser menjauh dari tempatnya bersandar. Ia
berdiri bertumpu pada bagian belakang kakinya yang telanjang, agak condong ke
depan, mengepalkan kedua tangannya yang gemetar. Ia tampak lebih besar
dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Entah bagaimana, meski rasanya
mustahil, ia masih terus bertumbuh. Tubuhnya akan menjulang melebihi Edward,
kalau mereka berdiri bersisian.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Edward langsung berhenti berjalan begitu kami melihat Jacob, menyisakan
jarak yang cukup lebar di antara kami dan Jacob. Edward sengaja memosisikan
tubuhnya begitu rupa sehingga aku berada di belakangnya. Aku menjulurkan badan
melewati rubuhnya supaya bisa menatap Jacob- menuduhnya dengan mataku.
Tadinya aku mengira dengan melihat ekspresi Jacob yang sinis dan penuh kebencian
akan membuatku semakin marah. Tapi ternyata aku malah teringat saat terakhir
kali melihatnya, dengan air mata berlinang. Amarahku melemah, menggeletar,
sementara aku menatap Jacob. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya- aku
tidak suka reuni kami harus terjadi seperti ini
"Bella," kata Jacob sebagai salam, mengangguk satu kali ke arahku tanpa
mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Edward.
"Kenapa?" bisikku, berusaha menyembunyikan suara tercekat di kerongkonganku.
"Tega-teganya kau berbuat begini padaku, Jacob?"
Seringaian sinis itu lenyap, namun wajahnya tetap keras dan kaku. "Ini yang
terbaik." "Apa maksud perkataanmu itu" Memangnya kau ingin Charlie mencekikku" Atau kau
ingin dia kena serangan jantung, seperti Harry" Tak peduli betapapun marahnya
kau padaku, tega-teganya kau melakukan ini padanya?"
Jacob meringis, alisnya bertaut, tapi ia tidak menjawab.
"Dia tidak ingin menyakiti siapa pun-dia hanya ingin kau dihukum, sehingga kau
tidak diizinkan menghabiskan waktu denganku," gumam Edward, menjelaskan pikiran
yang tak ingin diutarakan Jacob.
Mata Jacob menyala-nyala oleh kebencian saat ia memberengut marah pada Edward.
"Aduh, Jake!" erangku. "Aku memang sudah dihukum! Memangnya kaukira kenapa aku
tidak ke La Push dan menendang bokongmu karena kau tidak mau menerima
teleponku?" Mata Jacob berkelebat ke arahku, untuk pertama kalinya tampak bingung.
"Jadi karena itu?" tanyanya, kemudian ia mengunci mulut rapat-rapat, seperti
menyesal telah kelepasan bicara.
"Dia kira akulah yang tidak mengizinkan, bukan Charlie," Edward menjelaskan
lagi. "Hentikan," bentak Jacob.
Edward tidak menanggapi. Jacob bergetar hebat, kemudian ia menggertakkan giginya sekeras kepalan
tangannya. "Ternyata Bella tidak melebih-lebihkan waktu dia bercerita tentang...
kemampuanmu," katanya dari
sela-sela giginya. "Jadi kau pasti sudah tahu kenapa aku datang ke sini"
"Benar," jawab Edward lirih. "Tapi, sebelum kau mulai, aku perlu mengatakan
sesuatu." Jacob menunggu, membuka dan menutup
telapak tangannya sementara berusaha
mengendalikan getaran tubuhnya yang merayapi kedua lengan.
"Terima kasih," ucap Edward, dan suaranya bergetar karena ketulusan hatinya.
"Aku tidak akan pernah bisa mengungkapkan betapa besarnya rasa terima kasihku
padamu. Aku berutang budi padamu sepanjang sisa... eksistensiku.
Jacob menatapnya dengan pandangan kosong getaran tubuhnya langsung berhenti. Ia
melirik cepat ke arahku, tapi raut wajahku sama bingungnya.
"Karena kau telah menjaga Bella," Edward mengklarifikasi, suaranya parau dan
bersungguh-sungguh. "Saat aku... tidak ada untuk menjaganya."
"Edward-" aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Edward mengangkat
sebelah tangan, matanya tertuju kepada Jacob.
Ekspresi mengerti menyapu wajah Jacob sesaat sebelum topeng keras itu kembali.
"Aku tidak melakukannya untukmu."
"Aku tahu. Tapi itu tidak menghapus perasaan terima kasih yang kurasakan. Kurasa
kau perlu tahu. Seandainya ada yang bisa kulakukan untukmu, selama itu masih
dalam kekuasaanku... "
Jacob mengangkat sebelah alisnya yang hitam.
Edward menggeleng. "Aku tidak punya kuasa dalam hal itu."
"Kuasa siapa, kalau begitu?" geram Jacob.
Edward menunduk menatapku. "Kuasanya. Aku cepat belajar, Jacob Black, jadi aku
tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Aku akan tetap di sini sampai
dia menyuruhku pergi."
Sejenak aku terhanyut dalam tatapan mata emasnya. Tidak sulit memahami bagian
percakapan yang tak bisa kudengar itu. Satu-satunya yang diinginkan Jacob dari
Edward adalah pergi dari sini.
"Tidak akan," bisikku, mataku masih terpaku pada mata Edward.
Jacob membuat suara seperti mau muntah.
Dengan enggan kualihkan tatapanku dari mata Edward, memandang Jacob dengan
kening berkerut. "Ada hal lain yang kubutuhkan, Jacob" Kau ingin aku kena
masalah-misimu sudah tercapai. Bisa jadi Charlie akan mengirimku ke sekolah
militer. Tapi itu tidak akan bisa membuatku menjauhi Edward. Tidak ada yang bisa
melakukan hal itu. Jadi, apa lagi yang kauinginkan?"
Jacob tak mengalihkan tatapannya dari Edward. "Aku hanya perlu mengingatkan
teman-temanmu yang suka mengisap darah itu tentang beberapa poin penting dalam
kesepakatan yang telah mereka sepakati. Hanya karena perjanjian itulah aku tidak
mengoyak-ngoyak leher mereka saat ini juga."
"Kami belum lupa," sergah Edward, dan pada saat yang bersamaan aku menuntut,
"Poin-poin penting apa?"
Jacob masih memandang Edward garang, tapi ia menjawab pertanyaanku. "Kesepakatan
itu sangat spesifik. Kalau salah seorang di antara mereka menggigit manusia,
gencatan senjata berakhir. Menggigit, bukan membunuh," ia menekankan. Akhirnya,
ia menatapku. Sorot matanya dingin.
Detik ini juga aku menangkap maksudnya, kemudian wajahku berubah sedingin
wajahnya. "Itu sama sekali bukan urusanmu."
"Enak saja-" hanya itu yang sanggup dilontarkan Jacob.
Aku tidak mengira jawabanku yang terburu-buru akan mendatangkan respons sekeras
itu. Meski datang untuk menyampaikan peringatan itu, Jacob pasti tidak tahu. Ia pasti
mengira peringatan itu hanya sebagai tindakan pencegahan. Ia tidak
sadar-atau tidak mau percaya-bahwa aku telah menentukan pilihan. Bahwa aku
benar-benar berniat menjadi anggota keluarga Cullen.
Jawabanku membuat Jacob nyaris kejang-kejang. Ia menempelkan tinjunya kuat-kuat
ke pelipis, memejamkan mata rapat-rapat dan membungkuk seperti berusaha
mengendalikan entakan-entakan tubuhnya. Wajahnya berubah hijau kekuningan di
balik kulitnya yang cokelat kemerahan.
"Jake" Kau baik-baik saja?" tanyaku cemas.
Aku maju setengah langkah menghampirinya, tapi Edward menyambar tubuhku dan
menarikku dengan kasar ke belakangnya. "Hati-hati! Dia tidak bisa menguasai
diri," ia mengingatkanku.
Tapi entah bagaimana Jacob sudah bisa menguasai diri; hanya kedua lengannya yang
gemetar sekarang. Ia merengut menatap Edward dengan kebencian menyala-nyala.
"Ugh, Aku takkan mungkin menyakitinya."
Perubahan tekanan dalam kalimat Jacob barusan tidak luput dari perhatian Edward
maupun aku, begitu juga dengan tuduhan yang tersirat di dalamnya. Desisan pelan
terlontar dari bibir Edward. Refleks Jacob mengepalkan tinjunya.
"BELLA!" raungan Charlie membahana dari arah rumah. "MASUK KE RUMAH SEKARANG
JUGA!" Kami langsung membeku, mendengarkan kesunyian yang mengikutinya.
Aku yang pertama bersuara; suaraku gemetar.
"Sialan." Ekspresi marah Jacob sedikit melunak. "Aku benar-benar minta maaf soal itu,"
gumamnya. "Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan-aku harus berusaha... "
"Trims." Suaraku yang bergetar menghancurkan kesinisanku. Aku melayangkan
pandang ke ujung jalan setapak, setengah berharap Charlie menghambur menerobos
semak-semak basah seperti banteng mengamuk. Aku akan menjadi bendera merahnya di
skenario itu. "Satu hal lagi," kata Edward padaku, kemudian ia berpaling kepada Jacob. "Kami
tidak menemukan jejak Victoria di wilayah kami-kalian sendiri bagaimana?"
Edward langsung tahu jawabannya begitu Jacob memikirkannya, tapi Jacob tetap
menyuarakannya. "Terakhir kalinya adalah waktu Bella... pergi. Kami biarkan saja
dia mengira dia berhasil menerobos pertahanan kami - lalu kami mempersempit
lingkaran, bersiap-siap menyerangnya... "
Punggungku bagaikan disiram air es.
"Tapi kemudian dia melesat pergi seperti kelelawar melesat keluar dari neraka.
Sepanjang yang bisa kami duga, dia cium bau adik perempuanmu dan langsung kabur.
Sejak itu dia belum kembali mendekati tanah kami."
Edward mengangguk. "Kalau dia kembali, dia bukan masalah kalian lagi. Kami
akan-" "Dia membunuh di wilayah kami," desis Jacob. "Dia milik kami!"
"Tidak-," aku mulai memprotes pernyataan mereka.
"BELLA! AKU MELIHAT MOBILNYA JADI AKU TAHU KAU ADA DI SANA! KALAU KAU TIDAK
MASUK KE RUMAH DALAM SATU MENIT..!" Charlie tidak menyelesaikan ancamannya.
"Ayo," ajak Edward.
Aku menoleh kepada Jacob, terbagi-bagi. Apakah aku akan melihatnya lagi"
"Maaf," bisik Jacob pelan sekali sehingga aku baru mengerti setelah membaca
gerak bibirnya. "Bye, Bells.
"Kau sudah berjanji," aku mengingatkannya dengan sedih. "Masih berteman, kan?"
Jacob menggeleng lambat-lambat, dan gumpalan di tenggorokanku nyaris mencekikku.
"Kau tahu betapa sulitnya aku sudah berusaha menepati janji itu, tapi... aku
tidak tahu bagaimana aku bisa terus mencobanya. Tidak sekarang... " Jacob
berusaha keras mempertahankan mimik wajahnya yang seperti topeng, tapi mimik itu
goyah kemudian lenyap. "Aku kehilangan kau, mulutnya bergerak-gerak tanpa suara.
Sebelah tangannya terulur padaku, jari-jarinya membentang, seolah berharap jari-
jari itu cukup panjang untuk menjembatani jarak yang membentang di antara kami.
"Aku juga," ujarku tercekat. Tanganku terulur ke arahnya melintasi jarak yang
lebar. Seolah terhubung, gema kepedihan hati Jacob memilin hatiku. Kesedihannya adalah
kesedihanku juga. "Jake..." Aku maju selangkah menghampirinya.
Ingin rasanya aku memeluk pinggangnya dan menghapus ekspresi sedih di wajahnya.
Edward menarikku lagi, lengannya menahan, bukan melindungi.
"Tidak apa-apa," aku meyakinkan Edward, mendongak untuk membaca wajahnya dengan
sorot percaya di mataku. Ia pasti mengerti.
Mata Edward tak bisa dibaca, wajahnya tanpa ekspresi. Dingin. "Tidak, itu tidak
benar." "Lepaskan dia," geram Jacob, kembali marah. "Dia ingin lepas! Jacob maju dua
langkah lebar-lebar. Kilatan antisipasi terpancar dari matanya. Dadanya seolah
menggelembung saat ia bergetar.
Edward mendorongku ke belakang punggungnya, berputar menghadapi Jacob.
"Tidak! Edward-!"
"ISABELLA SWAN!"
"Ayolah! Charlie marah!" Suaraku panik, tapi bukan karena Charlie sekarang.
"Cepatlah!" Kutarik-tarik tangan Edward dan ia sedikit rileks. Ditariknya aku kembali pelan-
pelan, matanya terus tertuju kepada Jacob sementara kami mundur.
Jacob mengawasi kami dengan seringaian marah menghiasi wajahnya yang getir.
Sorot antisipasi tadi surut dari wajahnya, kemudian, tepat sebelum hutan
memisahkan kami, wajahnya tiba-tiba berkerut menahan sakit.
Aku tahu pemandangan wajahnya yang terakhir itu akan terus menghantuiku sampai
aku melihatnya tersenyum lagi.
Dan saat itulah aku bersumpah bahwa aku akan melihatnya tersenyum, dan itu tidak
lama lagi. Aku akan mencari jalan untuk mempertahankan temanku.
Edward tetap merangkul pinggangku, mendekapku erat-erat. Hanya itu yang membuat
air mataku tidak tumpah. Aku punya banyak persoalan serius.
Sahabatku menganggapku musuh.
Victoria masih berkeliaran, membahayakan semua orang yang kusayangi.
Kalau aku tidak segera menjadi vampir, keluarga Volturi akan membunuhku. Dan
kini, sepertinya bila aku berubah, para werewolf Quileute juga akan melakukan
hal yang sama-selain berusaha membunuh keluarga masa depanku juga. Sebenarnya menurutku
mereka tidak bakal berhasil, tapi apakah sahabatku akan tewas dalam usahanya
melakukan hal itu" Benar-benar persoalan yang sangat serius. Jadi kenapa semua masalah itu mendadak
terasa sangat tidak signifikan saat kami menerobos keluar dari pepohonan dan aku
melihat ekspresi di wajah Charlie yang ungu"
Edward meremasku lembut. "Tenang, ada aku."
Aku menarik napas dalam-dalam.
Itu benar. Ada Edward di sini, dengan kedua lengannya memelukku.
Aku sanggup menghadapi apa pun juga, selama ada dia. Kutegakkan bahuku dan
berjalan maju menyongsong nasib, takdirku berjalan mantap mengiringiku.
Selesai Djvu oleh otoy Edit teks oleh Raynold (pojokbaca.multiply.com) Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Convert dan Pdf, epub oleh DewiKZ
(kangzusi.com) Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Misteri Listerdale 3 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bara Diatas Singgasana 19
bisa merasakan bayangan lubang itu,, siap menganga kembali dan mengoyak dadaku
begitu Edward pergi nanti. Entah bagaimana aku bisa bertahan nanti. "Ini harus
dihentikan sekarang. Kau tidak boleh berpikir begitu. Kau tidak bisa
membiarkan... rasa bersalah ini menguasai hidupmu. Kau tidak bisa bertanggung
jawab atas hal-hal yang terjadi padaku di sini. Itu bukan salahmu, itu hanyalah
bagian dari bagaimana kehidupan sebenarnya bagiku. Jadi, kalau aku tersandung di
depan bus atau hal lain suatu saat nanti, kau harus sadar bukan tugasmu untuk
menyalahkan dirimu. Kau tidak boleh langsung kabur ke Italia hanya karena kau
merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan aku. Bahkan seandainya aku terjun dari
tebing itu untuk mati, itu pilihanku sendiri, bukan
kesalahanmu. Aku tahu sudah menjadi... sifatmu menanggung rasa bersalah untuk
segala sesuatunya, tapi kau benar-benar tidak bisa membiarkan hal itu membuatmu
melakukan hal-hal ekstrem! Itu sangat tidak bertanggung jawab - pikirkan Esme
dan Carlisle dan-" Aku nyaris tak bisa menahan tangis. Aku berhenti untuk menarik napas dalam-
dalam, berharap bisa menenangkan diri. Aku harus membebaskannya. Aku harus
memastikan ini tidak akan pernah terjadi lagi.
"Isabella Marie Swan," bisik Edward, ekspresi ganjil melintasi wajahnya. Ia
nyaris tampak marah. "Jadi kau yakin aku meminta Volturi membunuhku karena
merasa bersalah?" Aku bisa merasakan wajahku memancarkan sikap tidak mengerti. "Memangnya bukan
karena itu?" "Merasa bersalah" Memang sangat. Lebih daripada yang bisa kaupahami."
"Jadi... apa maksudmu" Aku tidak mengerti."
"Bella, aku datang ke keluarga Volturi karena kukira kau sudah mati," ujarnya,
suaranya lembut, matanya berapi-api. "Bahkan seandainya aku tidak punya andil
dalam kematianmu" - Edward bergidik saat membisikkan kata terakhir itu -
"seandainya pun itu bukan salahku, aku akan tetap pergi ke Italia. Jelas,
seharusnya aku lebih berhati-hati- seharusnya aku langsung bicara pada Alice,
bukan menerima begitu saja perkataan Rosalie. Tapi, bayangkan saja, aku harus
berpikir bagaimana waktu pemuda itu berkata Charlie sedang menghadiri pemakaman"
Apa kemungkinannya" "Kemungkinannya... " lalu Edward menggerutu, terusik. Suaranya pelan sekali
hingga aku tidak yakin mendengar perkataannya dengan benar. "Kemungkinannya
selalu berlawanan dengan keinginan kita. Kesalahan demi kesalahan. Aku tidak
akan pernah mengkritik Romeo lagi."
"Tapi aku masih belum mengerti," kataku. "Justru itulah intinya. Memangnya
kenapa?" "Maaf?" "Memangnya kenapa kalau aku sudah mati?"
Edward menatapku ragu beberapa saat sebelum menjawab. "Kau tidak ingat apa yang
pernah kukatakan padamu sebelumnya?"
"Aku ingat semua yang pernah kaukatakan
padaku." Termasuk kata-kata yang menegaskan semuanya.
Edward membelai bibir bawahku dengan ujung-ujung jarinya yang dingin. "Bella,
sepertinya kau salah mengerti." Ia memejamkan mata, menggerakkan kepala ke depan
dan ke belakang dengan senyum miring menghiasi wajahnya yang rupawan. Bukan
senyum bahagia. "Kukira aku sudah menjelaskan dengan sangat jelas sebelumnya.
Bella, aku tak sanggup hidup di dunia kalau kau tidak ada."
"Aku..." Kepalaku berputar sementara aku
mencari-cari kara yang tepat. "Bingung." Benar.
Penjelasannya sungguh tidak masuk akal bagiku.
Edward menatap mataku dalam-dalam dengan tatapannya Kang tulus dan bersungguh-
sungguh. "Aku pembohong besar, Bella, aku harus jadi pembohong besar begitu."
Aku mengejang, otot-ototku mengunci seolahbersiap menahan benturan. Otot dadaku
mengejang, sakitnya luar biasa. Edward mengguncang bahuku, berusaha
melenturkan posturku yang kaku. "Dengarkan kata-kataku sampai selesai! Aku ini
pembohong besar, tapi kau juga terlalu cepat percaya padaku." Edward meringis.
"Itu... sangat menyakitkan."
Aku menunggu, masih kaku.
"Saat kita di hutan, waktu aku mengucapkan selamat tinggal-"
Aku tidak mengizinkan diriku mengingat kenangan buruk itu. Aku berusaha keras
tetap berada di masa sekarang saja.
"Waktu itu kau tidak mau melepaskan aku," bisiknya. "Aku bisa melihatnya. Aku
tidak ingin melakukannya - sungguh sangat menyakitkan bagiku melakukannya - tapi
aku tahu kalau aku tidak bisa meyakinkanmu bahwa aku tidak mencintaimu lagi,
pasti baru lama sekali kau bisa kembali menjalani hidup. Aku berharap, bila kau
mengira aku sudah tidak mencintaimu lagi, maka kau pun akan melakukan hal yang
sama." "Perpisahan seketika," bisikku dari sela-sela bibir yang tak bergerak.
"Tepat sekali. Tapi aku tak pernah membayangkan ternyata mudah saja
membohongimu! Kusangka itu mustahil dilakukan bahwa kau akan sangat meyakini hal
yang sebenarnya sehingga aku harus berbohong dulu mati-matian sebelum aku bisa
menanamkan sedikit saja benih keraguan dalam pikiranmu. Aku bohong, dan aku
sangat menyesal-menyesal karena menyakitimu, menyesal karena itu upaya yang sia-
sia. Menyesal karena aku tidak bisa melindungimu dari diriku yang sebenarnya.
Aku berbohong untuk menyelamatkanmu, tapi ternyata tidak berhasil. Maafkan aku.
"Tapi bagaimana bisa kau malah percaya padaku" Padahal sudah ribuan kali aku
menyatakan cintaku padamu, bagaimana kau bisa membiarkan satu kata saja
menghancurkan kepercayaanmu padaku?"
Aku tidak menjawab. Aku terlalu shock untuk bisa membentuk respons yang
rasional. "Aku bisa melihatnya di matamu, kau sejujurnya percaya aku tidak menginginkanmu
lagi. Konsep yang paling absurd dan konyol-seolah-olah aku bisa bertahan tanpa
membutuhkanmu!" Aku masih kaku. Kata-katanya tidak kumengerti, karena tidak masuk akal.
Edward mengguncang bahuku lagi, tidak keras-keras, tapi cukup membuat gigiku
gemeletuk sedikit. "Bella," desahnya. "Sungguh, apa yang ada dalam pikiranmu waktu itu!"
Dan tangisku pun pecah. Air mata menggenang dan kemudian mengalir deras di kedua
pipiku. "Sudah kukira," isakku. "Sudah kukira aku pasti bermimpi."
"Keterlaluan benar kau ini," sergah Edward, lalu tertawa-tawanya keras dan
frustrasi. "Bagaimana caranya aku menjelaskan supaya kau mau percaya padaku" Kau
tidak sedang tidur, dan kau belum mati. Aku ada di sini, dan aku cinta padamu.
Aku selalu mencintaimu, dan akari selalu mencintaimu. Aku memikirkanmu, melihat
wajahmu dalam pikiranku, setiap detik selama kita berpisah.
Waktu kubilang aku tidak menginginkanmu lagi, bisa dibilang itu semacam sumpah
palsu yang paling konyol."
Aku menggeleng sementara air mata terus menetes dari sudut-sudut mataku.
''Kau tidak percaya padaku, kan?" bisiknya,
wajahnya yang pucat sekarang lebih pucat
daripada biasanya-aku bisa melihatnya bahkan di bawah cahaya lampu remang-
remang. "Mengapa kau malah percaya pada kebohongan, dan bukan kebenaran?"
"Memang tidak pernah masuk akal bahwa kau mencintaiku," aku menjelaskan suaraku
tercekat. "Sejak dulu aku tahu itu."
Mata Edward menyipit, dagunya mengeras.
"Akan kubuktikan bahwa kau sudah bangun," janjinya.
Ia merengkuh wajahku di antara kedua tangannya yang sekeras besi, tak menggubris
pemberontakanku saat aku berusaha memalingkan wajah.
"Kumohon, jangan," bisikku.
Edward berhenti, bibirnya hanya beberapa sentimeter dari bibirku.
"Mengapa tidak?" tuntutnya. Napasnya
berembus di wajahku, membuat kepalaku berputar.
"Kalau nanti aku terbangun"-Edward membuka mulut untuk protes, maka aku pun
buru-buru mengoreksi-"oke, lupakan itu-kalau kau pergi lagi nanti, tanpa ini pun
keadaan sudah cukup sulit."
Edward mundur sedikit, menatap wajahku.
"Kemarin, ketika aku hendak menyentuhmu, kau sangat... ragu-ragu, begitu hati-
hati, tapi tetap sama. Aku ingin tahu mengapa. Apakah karena aku terlambat"
Karena aku terlalu menyakiti hatimu" Karena kau sudah mencintai orang lain,
seperti yang kumaksudkan bagimu" Kalau memang begitu, itu... cukup adil. Aku
tidak akan mencela keputusanmu. Jadi, tidak usah mencoba menjaga perasaanku,
please-ceritakan saja padaku sekarang apakah kau masih mencintaiku atau tidak
setelah semua yang kulakukan padamu. Bisakah kau?" bisik Edward.
"Pertanyaan idiot macam apa itu?"
"Jawab saja. Please."
Lama sekali kutatap Edward dengan tajam. "Perasaanku terhadapmu takkan pernah
berubah. Tentu saja aku cinta padamu-dan itu tak bisa diganggu gugat lagi!"
"Hanya itu yang perlu kudengar."
Lalu bibir Edward menempel di bibirku, dan aku tak mampu melawannya. Bukan
karena ia ribuan kali lebih kuat daripada aku, tapi karena pertahanan diriku
langsung ambruk begitu bibir kami bertemu. Ciuman kali ini tidak sehati-hati
ciuman lain yang bisa kuingat, tapi itu bukan masalah. Kalau memang aku akan
menghancurkan diriku lebih jauh lagi, maka lebih baik sekalian saja.
Maka aku pun membalas ciumannya, jantungku berdebar-debar tidak berirama saat
napasku memburu dan jari-jariku membelai wajahnya dengan rakus. Aku bisa
merasakan tubuhnya yang sekeras marmer menempel di setiap lekuk tubuhku, dan aku
sangat gembira ia tidak mendengarkan aku - tak ada kepedihan di dunia yang dapat
membenarkan kehilangan cinta ini. Tangan Edward meraba wajahku, sama seperti
tanganku meraba wajahnya, dan saat bibir kami terpisah sejenak beberapa detik,
ia membisikkan namaku. Ketika kepalaku mulai terasa pusing, Edward menarik tubuhnya, tapi menempelkan
telinganya di dadaku. Aku berbaring di sana, nanar, menunggu napasku tenang kembali.
"Omong-omong; kata Edward dengan nada
biasa-biasa saja. "Aku tidak akan meninggalkanmu."
Aku tidak mengatakan apa-apa, dan Edward sepertinya bisa mendengar nada skeptis
dalam diamku. Ia mengangkat wajahnya dan menatapku lekat-lekat. "Aku tidak akan pergi ke mana-
mana. Tidak tanpa kau," ia menambahkan dengan nada lebih serius. "Dulu aku
meninggalkanmu karena ingin kau punya kesempatan untuk menjalani hidup yang
normal dan bahagia sebagai manusia. Aku bisa melihat akibatnya bila kau terus
bersamaku - membuatmu terus-menerus dalam bahaya, merenggutmu dari duniamu,
mempertaruhkan nyawamu setiap kali aku bersamamu. Jadi aku harus berusaha. Aku
harus melakukan sesuatu, dan tampaknya, pergi adalah satu-satunya jalan. Kalau
aku tidak beranggapan kau akan lebih baik, aku tidak akan pernah pergi. Aku
terlalu egois. Hanya kau yang lebih penting daripada apa yang kuinginkan... yang
kubutuhkan. Apa yang kuinginkan dan kubutuhkan adalah bersamamu, dan aku tahu
aku tidak akan pernah cukup kuat meninggalkanmu lagi. Terlalu banyak alasan
untuk tinggal - syukurlah! Sepertinya kau tidak bisa
aman, tak peduli betapa pun jauhnya jarak di antara kita."
"Jangan janjikan apa-apa," bisikku. Kalau aku membiarkan diriku berharap, tapi
ternyata harapanku kosong... itu akan membunuhku.
Seandainya semua vampir yang tak kenal belas kasihan itu tak sanggup
menghabisiku, kehilangan harapan pasti bisa melakukannya.
Bola mata Edward yang hitam berkilat marah.
"Jadi kau-pikir aku bohong sekarang?"
"Tidak-tidak bohong." Aku menggeleng, berusaha berpikir jernih. Mempelajari
hipotesis bahwa ia memang mencintaiku, namun tetap berpikir objektif dan klinis,
sehingga aku tidak akan jatuh dalam perangkap harapan. "Kau memang bersungguh-
sungguh... sekarang. Tapi bagaimana dengan besok, kalau kau memikirkan kembali
semua alasan mengapa kau meninggalkanku dulu" Atau bulan depan, kalau Jasper
lepas kendali lagi terhadapku?"
Edward tersentak. Ingatanku melayang ke hari-hari terakhir hidupku sebelum Edward meninggalkanku,
berusaha melihatnya melalui saringan apa yang dikatakannya padaku sekarang. Dari
sudut pandang itu, membayangkan bahwa ia meninggalkanku saat masih mencintaiku,
meninggalkanku demi aku, aku jadi mengerti sikapnya yang dingin dan menjauhiku.
"Kau toh tidak melakukannya tanpa memikirkannya masak-masak lebih dulu, kan?"
tebakku. "Nanti pun kau akan melakukan apa yang kauanggap benar."
"Aku tidak setegar yang kaukira," sergah Edward. "Benar atau salah tidak lagi
berarti banyak buatku; aku akan tetap kembali. Sebelum Rosalie mengabarkan
berita itu padaku, aku sudah tidak lagi berusaha menjalani hidup seminggu demi
seminggu, atau bahkan sehari demi sehari. Aku berjuang untuk bisa bertahan hidup
dari satu jam ke satu jam berikutnya. Hanya soal waktu saja-dan tidak lama lagi
sebenarnya - aku akan muncul lagi di depan jendelamu dan memohon agar kau mau
menerimaku kembali. Aku tidak keberatan memohon sekarang, kalau memang itu
maumu." Aku meringis. "Kumohon, seriuslah."
"Oh, aku serius kok," tegas Edward, sikapnya garang sekarang. "Bisakah kau
mencoba mendengarkan apa yang akan kukatakan padamu" Maukah kau memberiku
kesempatan menjelaskan apa artinya kau bagiku?"
Edward menunggu, mengamati wajahku saat ia berbicara untuk memastikan aku benar-
benar mendengarkan. "Sebelum kau. Bella, hidupku bagaikan malam tanpa bulan. Gelap pekat, tapi
bintang-bintang-titik-titik cahaya dan alasan... Kemudian kau melintasi langitku
bagaikan meteor. Tiba-tiba saja semua seperti terbakar; ada kegemerlapan, ada
keindahan. Setelah kau tidak ada, setelah meteor tadi lenyap di batas cakrawala,
semuanya hitam kembali. Tidak ada yang berubah, tapi mataku sudah dibutakan oleh
cahaya terang tadi. Aku tidak bisa lagi melihat bintang-bintang. Jadi tidak ada
alasan lagi untuk apa pun juga."
Aku ingin memercayainya. Tapi ini hidupku tanpa dia yang Edward lukiskan, bukan
sebaliknya. "Matamu akan menyesuaikan diri lagi," gumamku.
"Itulah masalahnya - tidak bisa."
"Bagaimana dengan hal-hal yang bisa mengalihkan pikiranmu?"
Edward tertawa tanpa emosi. "Itu hanya bagian dari kebohonganku, Sayang. Tidak
ada yang bisa mengalihkan pikiran dari... dari penderitaan. Jantungku sudah
hampir sembilan puluh tahun tak lagi berdetak, tapi ini berbeda. Rasanya seakan-
akan jantung hatiku hilang-seolah-olah rongga dadaku kosong. Seakan-akan, segala
sesuatu dalam diriku bersamamu."
"Lucu," gumamku.
Edward mengangkat sempurna itu. "Lucu?"
kutinggalkan di sini sebelah alisnya yang
Maksudku aneh-kukira hanya aku yang merasa seperti itu. Banyak sekali bagian
diriku yang hilang juga. Sudah lama sekali aku tak pernah benar-benar bisa
bernapas." Kuisi paru-paruku dengan udara, menikmati sensasinya. "Dan jantungku. Jelas-jelas sudah
hilang." Edward memejamkan mata dan menempelkan telinganya dadaku lagi. Kubiarkan pipiku
menempel di rambutnya, merasakan teksturnya di kulitku, menghirup aroma wangi
tubuhnya. "Kalau begitu, melacak tidak bisa mengalihkan pikiran?" tanyaku, ingin tahu,
sekaligus ingin mengalihkan pikiranku sendiri. Aku sudah nyaris berharap lagi.
Aku tidak akan mampu menghentikan diri terlalu lama. Jantungku berdetak,
menyanyi di dadaku. "Tidak." Edward mendesah. "Itu tidak pernah menjadi sesuatu yang dilakukan untuk
mengalihkan pikiran. Itu kewajiban."
"Apa maksudmu?"
"Maksudnya, walaupun aku tidak pernah
mengharapkan akan muncul bahaya dari Victoria, aku tidak akan membiarkannya
lolos begitu saja setelah... Well, seperti kataku tadi, aku payah dalam hal itu.
Aku berhasil melacaknya sampai jauh ke Texas, tapi kemudian aku mengikuti
petunjuk palsu sampai ke Brazil - padahal sebenarnya dia malah datang ke sini."
Edward mengerang. "Aku bahkan tidak berada di benua yang benar! Dan sementara
itu, lebih buruk daripada ketakutanku yang paling buruk-"
"Kau memburu Victoria?" aku setengah memekik begitu bisa menemukan suaraku,
melesat naik dua oktaf. Dengkur Charlie di kejauhan terhenti, dan sejurus kemudian mulai lagi dengan
berirama. "Tidak berhasil," jawab Edward, mengamati ekspresi garangku dengan mimik
bingung. "Tapi pasti bisa lebih baik lain kali. Dia tidak akan menodai udara
yang segar ini dengan menarik napas dan mengembuskannya lebih lama lagi."
"Itu... tidak bisa," akhirnya aku bisa juga bersuara. Gila. Walaupun dibantu
Emmett atauJasper sekalipun. Ini lebih buruk daripada bayanganku yang lain:
Jacob Black berdiri berhadap-hadapan dengan sosok Victoria yang kejam dan buas.
Aku tak sanggup membayangkan Edward di sana, walaupun ia jauh lebih bisa
bertahan daripada sahabatku yang setengah manusia itu.
"Sudah terlambat baginya. Aku mungkin masih bisa mengabaikan kejadian waktu itu,
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tapi tidak sekarang, setelah-"
Aku menyelanya lagi, berusaha memperdengarkan nada tenang. "Bukankah kau baru
saja berjanji tidak akan meninggalkan aku?" tanyaku, melawan kata-kata yang
kuucapkan, tidak mengizinkannya tertanam di hatiku. "Janji itu tidak sejalan
dengan ekspedisi pelacakan yang
memakan waktu lama, bukan?"
Kening Edward berkerut. Geraman pelan terdengar dari dadanya. "Aku akan menepati
janjiku, Bella. Tapi Victoria-" geraman itu semakin jelas terdengar-"harus mati.
Segera." "Tak usah tergesa-gesa," ujarku, berusaha menyembunyikan kepanikanku. "Mungkin
dia tidak akan kembali. Gerombolan Jake mungkin berhasil membuatnya kabur
ketakutan. Sungguh tidak ada alasan untuk tetap mencarinya. Selain itu, aku
punya masalah lain yang lebih besar ketimbang Victoria."
Mata Edward menyipit, tapi ia mengangguk.
"Memang benar. Masalah werewolf memang masalah besar."
Aku mendengus. "Yang kumaksud bukan Jacob. Masalahku jauh lebih parah daripada
segerombolan serigala remaja yang berbuat onar."
Kelihatannya Edward ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengurungkannya.
Giginya terkatup dengan suara berdetak, dan ia berbicara di sela-selanya.
"Benarkah?" tanyanya. "Kalau begitu, apa masalah terbesarmu" Masalah yang
membuat kembalinya Victoria mencarimu terasa bagaikan persoalan sepele bila
dibandingkan dengannya?"
"Bagaimana kalau yang kedua terberat?" elakku.
"Baiklah," Edward setuju, curiga.
Aku terdiam. Aku tidak yakin bisa menyebutkan namanya. "Ada pihak-pihak lain
yang akan datang mencariku," aku mengingatkannya dengan bisikan pelan.
Edward mendesah, tapi reaksinya tidak sekuat yang kubayangkan, apalagi bila
dibandingkan dengan responsnya terhadap Victoria tadi.
"Jadi keluarga Volturi hanya yang kedua terberat?"
"Sepertinya kau tidak kalut mendengarnya," komentarku.
"Well, kita punya banyak waktu untuk memikirkannya masak-masak. Bagi mereka
waktu artinya sangat jauh berbeda denganmu, atau bahkan aku. Mereka menghitung
tahun seperti kau menghitung hari. Aku tidak heran bila kau sudah berumur tiga
puluh tahun baru mereka teringat lagi padamu," imbuh Edward enteng.
Kengerian melandaku. Tiga puluh tahun. Kalau begitu, janji-janji Edward tidak berarti apa-apa, pada akhirnya. Bila
suatu hari nanti aku akan mencapai umur tiga puluh tahun, berarti Edward tidak
mungkin berencana tinggal lama. Kepedihan mengetahui hal itu membuatku sadar
bahwa aku mulai berharap, tanpa mengizinkan diriku melakukannya.
"Kau tidak perlu takut," ujar Edward, cemas saat melihat air mataku mulai
merebak lagi. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyakitimu."
"Selama kau ada di sini." Bukan berarti aku peduli apa yang terjadi pada diriku
setelah ia pergi. Edward merengkuh wajahku dengan kedua tangannya yang sekeras batu, memegangnya
erat-erat sementara matanya yang sekelam malam menatap mataku lekat-lekat dengan
daya gravitasi yang menyerupai lubang hitam.
"Tapi kaubilang tadi tiga puluh!" bisikku. Air mata merembes keluar dari sudut
mata. "Jadi apa" Kau akan tinggal, tapi membiarkan aku menjadi tua" Yang benar
saja." Sorot mata Edward melembut, sementara mulutnya mengeras. "Tepat seperti itulah
yang akan kulakukan. Pilihan apa lagi yang kupunya" Aku tidak bisa hidup tanpa
kau, tapi aku tidak mau menghancurkan jiwamu."
"Apakah itu sungguh-sungguh karena... " Aku berusaha menjaga suaraku tetap
datar, tapi pertanyaan ini terlalu sulit untuk dilontarkan. Aku ingat bagaimana
ekspresi Edward waktu Aro nyaris memohon padanya untuk mempertimbangkan ide
membuatku abadi. Ekspresi muak itu. Apakah kengototan Edward untuk tetap
mempertahankan aku sebagai manusia sungguh-sungguh karena jiwaku, atau karena ia
tak yakin dirinya menginginkan aku bersamanya sebegitu lama"
"Ya?" tanya Edward, menunggu pertanyaanku.
Aku malah mengajukan pertanyaan lain. Hampir - tapi tidak persis - sama
susahnya. "Tapi bagaimana kalau nanti aku sudah tua sekali dan orang-orang mengira aku
ibumu" Nenekmu?" Suaraku pucat oleh perasaan jijik-aku bisa melihat wajah Gran lagi
dalam mimpiku tentang bayangan dalam cermin waktu itu.
Seluruh wajah Edward melembut sekarang. Ia mengusap air mata dari pipiku dengan
bibirnya. "Itu tidak penting bagiku," embusan napasnya menerpa kulitku. "Kau
akan selalu menjadi orang yang paling cantik bagiku. Tentu saja... " Edward
ragu-ragu, sedikit tersentak. "Kalau kau menjadi lebih tua daripada aku - kalau
kau menginginkan sesuatu yang lebih-aku bisa memahaminya,
Bella. Aku berjanji tidak akan menghalangimu kalau kau ingin meninggalkan aku."
Mata Edward tampak bagaikan batu akik cair dan benar-benar tulus. Ia berbicara
seolah-olah telah memikirkan rencana tolol ini masak-masak.
"Kau tentunya sadar suatu saat nanti aku akan mati, bukan?" desakku.
Edward juga sudah memikirkan hal itu. "Aku akan menyusulmu secepat aku bisa."
"Ini benar-benar..." Aku mencari kata yang tepat. "Gila."
"Bella, hanya itu satu-satunya cara yang tertinggal-"
"Mari kita mundur dulu sejenak," tukasku;
merasa marah membuatku jauh lebih mudah untuk berpikir jernih dan tegas. "Kau
pasti masih ingat pada keluarga Volturi, kan" Aku tidak bisa tetap menjadi
manusia selamanya. Mereka akan membunuhku. Walaupun seandainya mereka tidak
memikirkan aku sampai aku berumur tiga puluh tahun"-aku mendesiskan kalimat
itu-"apa kau benar-benar mengira mereka bakal lupa?"
"Tidak," jawab Edward lambat-lambat, menggelengkan kepala. "Mereka tidak akan
lupa. Tapi... " "Tapi?" Edward menyeringai sementara aku menatapnya kecut. Mungkin bukan aku satu-
satunya yang sinting di sini. "Aku punya beberapa rencana."
"Dan rencana-rencana itu," tukasku, suaraku semakin masam dalam setiap katanya.
"Rencana-rencana itu pasti berpusat padaku yang tetap menjadi manusia."
Sikapku membuat ekspresi Edward mengeras.
"Itu sudah jelas." Nadanya kasar, wajahnya yang bak malaikat itu arogan.
Kami bertatapan garang beberapa saat.
Kemudian aku menarik napas dalam-dalam, menegakkan bahu, dan mendorong lengan
Edward jauh-jauh supaya bisa duduk tegak.
"Kau ingin aku pergi?" tanya Edward, dan hatiku terasa nyeri melihat bagaimana
pemikiran itu menyakiti hatinya, meski ia berusaha tidak menunjukkannya.
"Tidak." jawabku. "Aku yang akan pergi."
"Boleh aku bertanya kau akan ke mana?" tanyanya.
"Aku akan pergi ke rumahmu," jawabku, masih menggapai-gapai tanpa melihat.
Edward berdiri dan menghampiriku. "Ini sepatumu. Kau akan naik apa ke sana?"
"Trukku." "Suaranya mungkin akan membuat Charlie
terbangun," kata Edward sebagai upaya untuk membuatku mengurungkan niat.
Aku mendesah. "Aku tahu. Tapi jujur saja, sekarang pun aku pasti akan dihukum
tidak boleh keluar rumah beberapa minggu. Jadi mumpung sudah basah, kecebur saja
sekalian." "Itu tidak benar Charlie pasti akan menyalahkan aku, bukan kau."
"Kalau punya ide lain yang lebih baik, katakan saja."
"Tetaplah di sini." Edward menyarankan, tapi ekspresinya tidak berharap.
"Jangan harap. Tapi silakan saja kalau kau mau tetap di sini. Anggap saja di
rumah sendiri," dorongku, kaget sendiri mendengar betapa wajarnya caraku
menyindir, lalu bergegas menuju pintu.
Tiba-tiba saja Edward sudah berdiri di hadapanku, menghalangi jalan.
Aku mengerutkan kening, dan berbalik menuju jendela. Tidak terlalu tinggi kok
dari tanah, dan di bawah sebagian besar berupa rerumputan...
"Oke," desah Edward. "Aku akan
membopongmu." Aku mengangkat bahu. "Terserah. Tapi mungkin sebaiknya kau juga berada di sana."
"Mengapa begitu?"
"Karena kalau kau sudah punya pendapat, sulit sekali mengubah pendapatmu. Jadi
aku yakin kau pasti ingin mendapat kesempatan mengutarakan pandangan-
pandanganmu." "Pandangan-pandanganku mengenai apa?" tanya Edward dari sela-sela rahangnya yang
terkatup rapat. "Ini bukan lagi hanya mengenai kau. Kau bukan pusat semesta alam, tahu." Kalau
pusat semesta alam pribadiku, tentu saja, adalah cerita lain. "Kalau kau akan
membuat keluarga Volturi mendatangi kita hanya gara-gara hal tolol seperti
mempertahankan aku sebagai manusia, maka keluargamu perlu didengar juga
pendapatnya." "Pendapat mereka mengenai apa?" tanya Edward, setiap kata diucapkan dengan
jelas. "Ketidakabadianku. Aku akan melakukan voting untuk menentukannya."
24. PEMUNGUTAN SUARA EDWARD tidak senang, perasaan itu dengan
mudah bisa dibaca dari ekspresinya. Namun tanpa berargumen lebih jauh lagi, ia
membopongku dan melompat lincah dari jendelaku, mendarat tanpa entakan sedikit
pun, seperti kucing. Ternyata lumayan tinggi juga jarak dari jendela ke tanah,
tidak seperti dugaanku. "Baiklah kalau begitu," kata Edward, suaranya sinis oleh sikap tidak setuju.
"Naiklah." Ia membantuku naik ke punggungnya, lalu melesat secepat kilat. Bahkan setelah
sekian lama tidak menaiki punggungnya lagi, rasanya itu seperti sesuatu yang
rutin. Mudah. Terbukti ini sesuatu yang tak pernah dilupakan, seperti naik
sepeda. Sunyi senyap dan gelap saat Edward berlari menembus hutan, embusan napasnya
lambat dan teratur-saking gelapnya, pepohonan yang terbang melewati kami nyaris
tak terlihat, dan hanya embusan kuat angin menerpa wajah yang menunjukkan betapa
cepat Edward berlari. Udara lembab; tidak membakar mataku seperti angin di alun-
alun besar waktu itu, dan rasanya nyaman. Malam juga terasa menenangkan, setelah
siang benderang yang menakutkan itu. Seperti waktu aku masih kecil, bermain di
balik selubung selimut tebal, kegelapan ini terasa familier dan melindungi.
Aku ingat bagaimana berlari menembus hutan seperti ini dulu membuatku ngeri,
bagaimana dulu aku selalu memejamkan mata. Rasanya itu reaksi yang tolol
sekarang. Kubuka mataku lebar-lebar, dagu menempel di bahunya, dan pipiku di
lehernya. Kecepatannya sungguh menggairahkan. Seratus kali lebih asyik daripada
naik motor. Aku memalingkan wajah menghadap wajah Edward dan menempelkan bibirku ke kulit
lehernya yang dingin dan keras.
"Terima kasih," ucapnya, sementara bayangan-bayangan hitam samar pepohonan
melesat di samping kami. "Apakah itu berarti kau memutuskan bahwa kau sudah
bangun?" Aku tertawa. Suara tawaku terdengar ringan, alami, renyah. Pas. "Tidak juga.
Bagaimanapun, lebih dari itu aku tidak mau bangun. Tidak malam ini."
"Aku akan mengembalikan lagi kepercayaanmu padaku, bagaimanapun caranya," gumam
Edward, lebih ditujukan pada dirinya sendiri. "Walaupun itu jadi hal terakhir
yang kulakukan." "Aku percaya padamu kok," aku meyakinkan dia. "Aku justru tidak percaya pada
diriku sendiri." "Tolong jelaskan."
Edward memperlambat larinya dan berjalan- aku tahu itu karena terpaan angin
mereda-dan dugaanku, kami tak jauh dari rumahnya. Malah, kalau tidak salah aku
bisa mendengar suara air sungai mengalir dalam gelap, di suatu tempat tak jauh
dari sini. "Well-" aku memeras otak, berusaha
menemukan cara yang tepat untuk menjelaskan maksudku. "Aku tidak... cukup
percaya pada diriku sendiri. Bahwa aku pantas mendapatkanmu. Aku tidak punya
apa-apa yang bisa mempertahankanmu."
Edward berhenti dan mengulurkan tangan ke belakang, menurunkan aku dari
punggungnya. Tangannya yang lembut tidak melepaskanku; bahkan sesudah ia
membantuku menjejakkan kaki ke tanah, ia merangkulku erat-erat, mendekapku di
dadanya. "Aku milikmu selamanya, ikatan itu tak bisa
dipatahkan," bisiknya. "Jangan pernah ragukan itu.'
Tapi bagaimana bisa aku tidak meragukannya"
"Kau belum memberi tahu...," gumamnya. "Apa?"
"Apa masalah terbesarmu."
"Tebak saja sendiri." Aku mendesah, kemudian mengulurkan tangan untuk menyentuh
ujung hidungnya dengan telunjuk.
Edward mengangguk. "Aku memang lebih buruk daripada keluarga Volturi," ucapnya
muram. "Kurasa aku pantas mendapatkannya."
Aku memutar bola mataku. "Hal terburuk yang bisa dilakukan keluarga Volturi
adalah membunuhku." Edward menunggu dengan sorot mata tegang.
"Kau bisa meninggalkan aku,'' aku menjelaskan.
"Keluarga Volturi, Victoria... mereka bukan apa-apa dibandingkan dengan kau
meninggalkan aku." Bahkan dalam gelap aku bisa melihat kepedihan memilin wajahnya - mengingatkanku
pada ekspresinya di bawah tatapan Jane yang menyiksa; aku merasa muak, dan
menyesal telah mengatakan hal yang sebenarnya.
"Jangan; bisikku, menyentuh wajahnya. "Jangan sedih"
Edward mengangkat salah satu sudut mulutnya setengah hati, tapi ekspresi itu
tidak menyentuh matanya. "Kalau saja ada jalan untuk membuatmu percaya bahwa aku
tak sanggup meninggalkanmu," bisiknya. "Hanya waktu, kurasa, yang bisa
meyakinkanmu. Aku menyukai pikiran itu. "Oke," aku setuju.
Wajah Edward masih tampak tersiksa. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya dengan
hal-hal lain yang sepele.
"Jadi-karena kau sudah memutuskan akan tinggal di sini. Boleh aku mendapatkan
kembali barang-barangku?" tanyaku, sengaja membuat nada suaraku seringan
mungkin. Usahaku berhasil, sampai batas tertentu:
Edward tertawa. Namun sorot matanya masih sedih. "Barang-barangmu tak pernah
kubawa," jawabnya. "Aku tahu itu salah, karena aku pernah berjanji akan
meninggalkanmu tanpa hal-hal yang bisa mengingatkanmu padaku. Memang tolol dan
kekanak-kanakan, tapi aku ingin meninggalkan sesuatu dari diriku untukmu. CD,
foto-foto, tiket- semua tersimpan di bawah lantai papan kamarmu."
"Sungguh?" Edward mengangguk, tampak sedikit terhibur melihat reaksiku yang jelas-jelas
gembira mendengar fakta sepele itu. Namun belum cukup untuk menghapus kepedihan
di wajahnya. "Kurasa," ujarku lambat-lambat. "Aku tidak yakin, tapi kurasa... kurasa mungkin
aku sudah mengetahuinya sejak dulu."
"Apa yang kauketahui?"
Aku hanya ingin mengenyahkan sorot sedih ini dan mata Edward, namun saat aku
mengucapkan kata-kata itu, kedengarannya justru sangat benar, lebih daripada
yang kuduga. "Sebagian diriku, mungkin alam bawah sadarku tidak pernah berhenti meyakini
bahwa kau tetap peduli padaku, apakah aku hidup atau sudah mati. Mungkin itulah
sebabnya aku mendengar suara-suara."
Sejenak, suasana sunyi senyap.
"Suara-suara?" tanya Edward datar.
"Well, hanya satu suara. Suaramu. Ceritanya
panjang." Ekspresi kecut di wajah Edward membuatku berharap aku tidak
mengungkit-ungkit masalah itu. Akankah ia mengira aku sinting, seperti orang-
orang lain" Apakah perkiraan orang-orang itu benar" Tapi paling tidak ekspresi
itu- yang membuat Edward terlihat seolah-olah terbakar-mereda.
"Aku punya waktu kok." Suara Edward terdengar kaku dan datar.
"Ceritanya menyedihkan."
Edward menunggu. Aku tak yakin bagaimana menjelaskannya.
"Ingatkah kau waktu Alice menyebut tentang olahraga ekstrem?"
Edward mengucapkan kata-kata itu tanpa perubahan nada maupun penekanan. "Kau
terjun dari tebing untuk bersenang-senang."
"Eh, benar. Dan sebelum itu, dengan sepeda motor-"
"Sepeda motor?" sergah Edward. Aku cukup mengenali suaranya untuk mengetahui ada
sesuatu yang mulai bergolak di balik ketenangan sikapnya.
"Kurasa bagian yang itu tidak kuceritakan pada Alice."
"Memang tidak."
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Well tentang itu... Begini, aku menemukan bahwa... saat aku melakukan sesuatu
yang tolol atau berbahaya... aku bisa mengingatmu lebih jelas," aku mengaku,
merasa diriku benar-benar sinting. "Aku jadi bisa mengingat bagaimana suaramu
bila sedang marah. Aku bisa mendengarnya, seolah-olah kau berdiri tepat di
sebelahku. Kebanyakan aku mencoba untuk tidak memikirkanmu, tapi ini tidak
begitu menyakitkan-rasanya seolah-olah kau melindungiku lagi. Seakan-akan kau
tidak ingin aku terluka. "Dan, Well, aku jadi penasaran sendiri apakah alasan mengapa aku bisa
mendengarmu begitu jelas adalah karena, di balik itu semua, aku selalu tahu kau
tidak pernah berhenti mencintaiku."
Lagi, saat aku bicara, kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar sangat
meyakinkan. Bahwa itu memang benar. Lubuk hatiku yang terdalam mengenali
kebenarannya. Edward mengucapkan kata-kata itu dengan suara separo tercekik. "Kau...
sengaja... membahayakan nyawamu... hanya agar bisa mendengar-"
"Ssstt," aku memotong kata-katanya. "Tunggu sebentar. Kurasa aku mendapat
pencerahan." Ingatanku melayang ke malam di Port Angeles ketika aku mengalami delusi pertama.
Ada dua opsi. Sinting atau pemenuhan harapan. Aku tidak melihat opsi ketiga.
Tapi bagaimana kalau... Bagaimana kalau kau sungguh-sungguh percaya sesuatu itu benar, tapi ternyata kau
salah" Bagaimana kalau kau begitu keras kepala meyakini kau benar, bahwa kau
bahkan tidak mau mempertimbangkan kebenaran" Apakah kebenaran itu akan
dibungkam, atau kebenaran itu akan berusaha menerobos keluar"
Opsi ketiga: Edward mencintaiku. Ikatan yang terbentuk di antara kami bukanlah
ikatan yang bisa dihancurkan oleh ketidakhadiran, jarak, atau waktu Dan tak
peduli apakah ia lebih istimewa, lebih rupawan, lebih pintar, atau lebih
sempurna daripada aku, bagaimanapun ia sudah berubah, tak bisa diperbaiki lagi,
sama seperti aku. Sama halnya aku akan selalu menjadi miliknya, demikian juga ia
akan selalu menjadi milikku.
Itukah yang selama ini coba kukatakan pada diriku sendiri"
"Oh!" "Bella?" "Oh. Oke. Aku mengerti."
"Pencerahanmu?" tanya Edward, suaranya bergetar dan tegang.
"Kau mencintaiku," ujarku kagum. Keyakinan dan kebenaran itu melanda diriku
lagi. Walaupun matanya masih waswas, senyum
separo yang sangat kucintai itu melintasi wajahnya. "Benar, aku memang
mencintaimu." Hatiku menggelembung hingga rasanya seperti nyaris meremukkan tulang-tulang
rusukku. Memenuhi rongga dada dan menyumbat kerongkongan hingga aku tak bisa
bicara. Edward benar-benar menginginkanku seperti aku menginginkan dia - selamanya.
Hanya karena ia takut aku akan kehilangan jiwaku, karena ia tak ingin merenggut
hal-hal manusiawi dari diriku, yang membuat Edward begitu ngotot ingin tetap
mempertahankan aku sebagai manusia. Dibandingkan dengan ketakutan bahwa ia tidak
menginginkan aku, halangan ini - jiwaku - nyaris terasa tidak signifikan.
Edward merengkuh wajahku erat-erat dengan tangannya yang dingin dan menciumku
sampai kepalaku pening dan hutan seperti berputar. Lalu ia menempelkan dahinya
ke keningku, dan napas kami memburu, lebih cepat daripada biasanya.
"Kau masih lebih baik daripada aku," kata Edward.
"Lebih baik dalam hal apa?"
"Bertahan. Kau, setidaknya, masih mau berusaha. Bangun pagi-pagi, berusaha
bersikap normal demi Charlie, menjalani rutinitas hidupmu. Kalau tidak sedang
aktif melacak, aku.. , benar-benar tidak berguna. Aku tidak bisa berada di
sekitar keluargaku-aku tidak bisa berada di sekitar siapa pun. Aku malu mengakui
bahwa kurang lebih aku hanya terpuruk dan membiarkan diriku dilanda kesedihan."
Edward menyeringai, malu-malu. "Jauh lebih menyedihkan daripada mendengar suara-
suara. Dan, tentu saja, kau tahu aku juga begitu."
Aku sangat lega karena Edward tampaknya benar-benar mengerti-senang karena ini
semua masuk akal baginya. Pokoknya, ia tidak menatapku seakan-akan aku sudah
gila. Ia menatapku seakan-akan... ia mencintaiku.
"Aku hanya mendengar satu suara," koreksiku.
Ia tertawa dan menarikku erat di sebelah kanan tubuhnya, lalu mulai membimbingku
maju. "Aku hanya menuruti maumu," Edward melambaikan tangan ke kegelapan di depan kami
saat kami berjalan. Tampak sesuatu yang pucat dan megah di sana-rumahnya, aku
tersadar. "Pendapat mereka tak ada pengaruhnya sedikit pun."
"Ini memengaruhi mereka juga sekarang."
Edward mengangkat bahu tak acuh.
Ia berjalan mendahuluiku melalui pintu depan yang terbuka, memasuki rumah yang
gelap, dan menyalakan lampu-lampu. Ruangan itu masih sama seperti yang kuingat
dulu piano dan sofa-sofa putih serta tangga megah berwarna pucat itu. Tak ada
debu, tak ada kain-kain putih.
Edward memanggil nama-nama anggota keluarganya dengan volume suara yang biasa
kugunakan bila berbicara dalam keadaan biasa. "Carlisle" Esme" Rosalie" Emmett"
Jasper" Alice?" Mereka mendengarnya.
Carlisle tiba-tiba sudah berdiri di sampingku, seakan-akan sudah sejak tadi
berada di sana. "Selamat datang kembali, Bella." Ia tersenyum.
"Apa yang bisa kami lakukan untukmu pagi ini" Dalam bayanganku, mengingat jamnya
yang tidak lazim, aku yakin ini bukan sekadar kunjungan ramah-tamah?"
Aku mengangguk. "Aku ingin berbicara dengan semuanya sekaligus, kalau boleh.
Mengenai sesuatu yang penting."
Aku tak tahan untuk tidak melirik wajah Edward sambil bicara. Ekspresinya tidak
setuju namun pasrah. Waktu aku melihat kembali pada Carlisle, ia juga sedang
memandang Edward. "Tentu saja," jawab Carlisle. "Bagaimana kalau kita bicara di ruangan lain?"
Carlisle mendului melintasi ruang duduk yang terang benderang, berbelok memasuki
ruang makan, menyalakan lampu-lampu sambil berjalan. Dinding-dindingnya berwarna
putih, langit-langitnya tinggi, seperti ruang duduk. Di tengah ruangan, di bawah
lampu kristal yang menggantung rendah, tampak meja besar mengilat berbentuk oval
yang dikelilingi delapan kursi. Carlisle menarik keluar kursi di kepala meja
untukku. Aku belum pernah melihat keluarga Cullen menggunakan meja ruang makan sebelumnya
- itu hanya perabot. Mereka tidak makan di rumah.
Begitu aku berbalik untuk duduk di kursi, aku melihat kami tidak sendirian. Esme
berjalan mengikuti Edward, dan di belakangnya, anggota keluarga lainnya
menyusul. Carlisle duduk di kananku, sementara Edward di kiri. Tanpa bersuara yang lain-
lain duduk di kursi masing-masing. Alice nyengir padaku, belum-belum sudah
memahami plotnya. Emmett dan Jasper terlihat ingin tahu, sementara Rosalie
tersenyum ragu-ragu padaku. Malu-malu aku membalas senyumnya. Masih butuh waktu
untuk membiasakan diri. Carlisle mengangguk padaku. "Silakan dimulai."
Aku menelan ludah. Tatapan mereka membuatku gugup. Edward meraih tanganku di
bawah meja. Aku melirik padanya, tapi ia memandangi anggota keluarganya yang
lain, wajahnya tiba-tiba garang.
"Well" aku terdiam sejenak. "Kuharap Alice sudah menceritakan pada kalian semua
yang terjadi di Volterra?"
"Semuanya sudah," Alice meyakinkanku.
Aku melayangkan pandangan penuh arti
padanya. "Dan saat dalam perjalanan?"
"Itu juga sudah," angguknya.
"Bagus," aku mengembuskan napas lega. "Kalau begitu, kita semua sudah sama-sama
mengerti." Mereka menunggu dengan sabar sementara aku mencoba menata pikiranku.
"Jadi begini, aku punya masalah," aku memulai. "Alice berjanji pada keluarga
Volturi bahwa aku akan menjadi seperti kalian. Mereka akan mengirim seseorang ke
sini untuk mengecek, dan aku yakin itu sesuatu yang harus dihindari.
"Jadi, sekarang, ini melibatkan kalian semua. Itu sangat kusesali." Kutatap
wajah rupawan mereka satu demi satu, meninggalkan yang paling rupawan sebagai
yang terakhir. Sudut-sudut mulut Edward tertekuk ke bawah, membentuk seringaian.
"Tapi kalau kalian tidak menginginkan aku, aku tidak akan memaksa kalian,
terlepas dari apakah Alice setuju melakukannya atau tidak."
Esme membuka mulut untuk bicara, tapi kuangkat jariku untuk menghentikannya.
"Please, izinkan aku menyelesaikan penjelasanku dulu. Kalian tahu apa yang
kuinginkan. Dan aku yakin kalian tahu bagaimana pendapat Edward. Jadi,
menurutku, satu-satunya cara yang adil untuk memutuskannya adalah dengan
melakukan pemungutan suara. Kalau kalian memutuskan tidak menginginkanku,
maka... kurasa aku akan kembali ke Italia sendirian. Aku tidak mau mereka datang
ke sini!' Memikirkannya saja sudah membuat keningku berkerut.
Terdengar geraman samar dari dalam dada Edward. Aku mengabaikannya.
"Dengan mempertimbangkan keselamatan kalian, aku ingin kalian memilih ya atau
tidak tentang apakah aku akan menjadi vampir."
Aku separo tersenyum saat mengucapkan kata terakhir itu, dan memberi isyarat
pada Carlisle untuk mulai.
"Tunggu sebentar," sela Edward.
Kutatap dia garang lewat mata yang disipitkan. Edward mengangkat alisnya padaku,
meremas tanganku. "Ada yang ingin kutambahkan sebelum kita memulai pemungutan suara."
Aku mendesah. "Tentang bahaya yang dimaksud Bella," lanjutnya. "Menurutku, kita tidak perlu
kelewat khawatir." Ekspresi Edward semakin bersemangat. Ia meletakkan sebelah tangannya di
permukaan meja yang mengilap dan mencondongkan tubuh.
"Begini," ia menjelaskan, memandang sekeliling meja sambil bicara, "ada lebih
dari satu alasan mengapa aku tak ingin menjabat tangan Aro di sana, pada
akhirnya. Ada sesuatu yang tak terpikirkan oleh mereka, dan aku tak ingin
memunculkan pikiran itu dalam benak mereka." Edward nyengir.
"Apa itu?" desak Alice. Aku yakin ekspresiku juga sama skeptisnya dengan mimik
Alice. "Keluarga Volturi terlalu percaya diri, dan alasannya kuat. Saat memutuskan
menemukan seseorang, mereka bisa menemukannya dengan mudah. Ingatkah kau pada
Demetri?" Edward menoleh padaku.
Aku bergidik. Bagi Edward itu berarti "ya".
"Dia bisa menemukan orang-orang-itu memang bakatnya, karena itulah mereka
mempekerjakannya. "Nah, selama kita bersama mereka, aku
menyadap otak mereka untuk mencari tahu hal apa saja yang bisa menyelamatkan
kita, mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Jadi aku melihat bagaimana bakat
Demetri bekerja. Dia pelacak-pelacak yang seribu kali lebih hebat daripada
James. Kemampuannya secara longgar terhubung dengan apa yang kulakukan, atau apa
yang Aro lakukan. Dia menangkap... bau" Aku tidak tahu bagaimana
menggambarkannya... getaran... pikiran seseorang, dan kemudian mengikutinya. Dia
bisa melacak dari jarak sangat jauh.
"Tapi setelah eksperimen kecil yang dilakukan Aro, well..."
Edward mengangkat bahu. "Kaupikir dia takkan bisa menemukan aku," sergahku datar.
Edward tersenyum puas. "Aku yakin sekali. Demetri bergantung sepenuhnya pada
indra lain itu. Kalau itu tidak mempan dilakukan terhadapmu, mereka semua bakal
buta. "Lantas, bagaimana itu bisa menyelesaikan
persoalan?" "Jelas sekali, Alice akan bisa memberi tahukan kapan mereka berencana datang,
kemudian aku akan menyembunyikanmu Mereka takkan bisa berbuat apa-apa," kata
Edward dengan sikap senang. "Itu akan sama sulitnya dengan mencari jarum dalam
tumpukan jerami!" Edward dan Emmert bertukar pandang dan tersenyum menyeringai.
Ini tak masuk akal. "Tapi mereka bisa menemukanmu," aku mengingatkannya.
"Dan aku bisa menjaga diriku sendiri."
Emmett tertawa, dan mengulurkan tangan ke seberang meja pada saudaranya,
mengacungkan tinjunya. "Rencana yang bagus sekali, saudaraku," ucapnya antusias.
Edward mengulurkan tangan dan membenturkan tinjunya dengan tinju Emmett.
"Tidak," desis Rosalie.
"Sama sekali tidak" aku sependapat.
"Bagus," ucap Jasper kagum.
"Dasar idiot," omel Alice.
Esme hanya memandang garang kepada Edward. Aku menegakkan posisi dudukku,
kembali fokus. Ini kan rapatku.
"Baiklah kalau begitu. Edward telah menawarkan alternatif lain pada kalian
sebagai bahan pertimbangan," ujarku dingin. "Mari kita melakukan pemungutan
suara." Kali ini aku menatap Edward; lebih baik aku
segera mengetahui pendapatnya. "Kau ingin aku bergabung dengan keluargamu?"
Mata Edward sekeras dan sehitam batu api. "Tidak dengan cara itu. Kau harus
tetap menjadi manusia."
Aku mengangguk sekali, menjaga ekspresiku tetap tenang, dan berlanjut ke yang
lain. "Alice?" "Ya." "Jasper?" "Ya," jawab Jasper, suaranya muram. Aku sedikit terkejut- aku sama sekali tidak
yakin pada pilihannya-tapi aku menekan reaksiku dan melanjutkan.
"Rosalie?" Rosalie ragu-ragu sejenak, menggigit bibir bawahnya yang penuh dan sempurna itu.
"Tidak." Aku tetap memasang wajah tenang dan memalingkan wajahku sedikit untuk
melanjutkan ke anggota keluarga lain, tapi Rosalie mengangkat kedua tangannya,
telapak tangannya mengarah ke depan.
"Izinkan aku memberi penjelasan," Rosalie
memohon. "Bukan berarti aku tidak suka kau menjadi saudaraku. Hanya saja... ini
bukan kehidupan yang akan kupilih untuk diriku sendiri. Kalau saja dulu ada
orang yang memilih tidak untukku."
Aku mengangguk lambat-lambat, kemudian berpaling kepada Emmett.
"Ya, tentu saja!" Ia nyengir. "Kita bisa mencari jalan lain untuk mencari gara-
gara dengan si Demetri ini."
Aku masih meringis mendengar perkataannya saat berpaling kepada Esme.
"Ya, tentu saja, Bella. Aku sudah menganggapmu bagian dari keluargaku."
"Terima kasih, Esme," bisikku sambil berpaling kepada Carlisle.
Tiba-tiba saja aku merasa gugup, berharap aku tadi meminta suaranya lebih dulu.
Aku yakin ini suara yang paling berarti, suara yang dianggap lebih dari suara
mayoritas. Carlisle tidak melihat ke arahku.
"Edward," ujarnya.
"Tidak," geram Edward. Rahangnya mengeras, bibirnya menyeringai, memperlihatkan
gigi-giginya. "Ini satu-satunya jalan yang masuk akal,"
Carlisle berkeras. "Kau sudah memilih untuk tidak hidup tanpa dia, jadi
menurutku tak ada pilihan lain."
Edward menjatuhkan tanganku, keluar dari meja. Ia menghambur meninggalkan
ruangan, menggeram-geram marah.
"Kurasa kau sudah tahu jawabanku." Carlisle mendesah.
Aku masih memandangi kepergian Edward. "Trims," gumamku.
Suara benda pecah yang mengoyak gendang
telinga terdengar dari ruang sebelah
Aku tersentak, lalu cepat-cepat bicara. "Hanya itu yang kuperlukan. Terima kasih
semuanya. Untuk kesediaan kalian menerimaku. Begitu
jugalah yang kurasakan terhadap kalian semua." Suaraku tercekat oleh emosi di
akhir kalimat. Dalam sekejap Esme sudah berdiri di sampingku, lengannya yang dingin memelukku.
"Bella tersayang," desahnya.
Aku membalas pelukannya. Dari sudut mata kulihat Rosalie menunduk memandangi
meja, dan sadarlah aku kata-kataku tadi dapat ditafsirkan berbeda.
"Well, Alice," ujarku setelah Esme melepas
pelukannya. "Di mana kau ingin melakukannya?" Alice menatapku, matanya
membelalak ngeri. "Tidak! Tidak! TIDAK!" raung Edward, menghambur kembali ke dalam ruangan. Ia
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah sampai di hadapanku sebelum aku sempat berkedip, membungkuk di atasku,
wajahnya berkerut-kerut marah.
"Kau gila, ya?" teriaknya. "Apa kau benar-benar sudah tidak waras lagi?"
Aku mengkeret menjauhinya, kedua tangan menutupi telinga.
"Eh, Bella," Alice menyela dengan nada gelisah. "Sepertinya aku belum siap
melakukan itu. Aku harus menyiapkan diri dulu... "
"Kau sudah berjanji," aku mengingatkannya, memandang garang dari bawah lengan
Edward. "Aku tahu, tapi... Yang benar saja, Bella! Aku tidak tahu bagaimana melakukannya
tanpa membunuhmu." "Kau bisa melakukannya," aku menyemangati. "Aku percaya padamu."
Edward menggeram marah. Alice menggeleng cepat-cepat, terlihat panik.
"Carlisle?" Aku menoleh dan memandanginya.
Edward merenggut wajahku dengan tangannya, memaksaku menatapnya. Sebelah
tangannya yang lain terulur, telapak tangannya mengarah pada Carlisle.
Carlisle tak menggubrisnya. "Aku bisa melakukannya," ia menjawab pertanyaanku.
Kalau saja aku bisa melihat ekspresinya. "Kau tak perlu takut aku akan
kehilangan kendali."
"Kedengarannya bagus." Aku berharap ia bisa memahaminya; sulit berbicara dengan
jelas bila Edward mencengkeram daguku seperti ini.
"Tunggu," sergah Edward dari sela-sela giginya "Tidak perlu melakukannya
sekarang." "Tidak ada alasan untuk tidak melakukannya sekarang," balasku, kata-kataku tidak
terdengar jelas. "Aku bisa memikirkan beberapa alasan."
"Tentu saja bisa," tukasku masam. "Sekarang lepaskan aku."
Edward melepaskan wajahku, dan melipat kedua lengannya di dada. "Kira-kira dua
jam lagi, Charlie akan datang ke sini mencarimu. Dan aku tak ragu dia akan
melibatkan polisi." "Ketiga polisi yang ada di sini." Tapi aku mengerutkan kening.
Ini selalu menjadi bagian tersulit. Charlie, Renee.
Sekarang ada Jacob juga. Orang-orang yang akan kutinggalkan, orang-orang yang
akan kusakiti. Kalau saja hanya aku orang yang menderita, tapi aku tahu itu
tidak mungkin. Di saat yang sama, aku lebih menyakiti mereka lagi dengan tetap menjadi manusia.
Membahayakan nyawa Charlie dengan berada di dekatnya. Membahayakan Jake lebih
lagi dengan menarik musuh-musuhnya datang ke wilayah yang wajib dijaganya. Dan
Renee - aku bahkan tak berani mengambil risiko mengunjungi ibuku sendiri karena
takut bakal membawa masalah-masalahku yang mematikan ke sana!
Aku magnet yang menarik bahaya; aku menerima kenyataan itu.
Dengan menerimanya, aku tahu aku harus bisa menjaga diri dan melindungi orang-
orang yang kucintai, meskipun itu berarti aku tidak bisa bersama mereka. Aku
harus kuat. "Dengan maksud untuk tetap tidak menarik
perhatian orang!' tukas Edward, masih berbicara lewat gigi terkatup rapat, tapi
memandang Carlisle sekarang, "kusarankan kita mengakhiri pembicaraan ini
sekarang, setidaknya sampai Bella lulus SMU, dan pindah dari rumah Charlie."
"Itu permintaan yang masuk akal, Bella," ujar Carlisle.
Aku memikirkan reaksi Charlie bila ia bangun pagi ini, bila - setelah ia
mengalami kehilangan besar dengan meninggalnya Harry, kemudian aku membuatnya
kalang-kabut dengan kepergianku yang tanpa penjelasan-ia menemukan tempat
tidurku kosong. Charlie pantas mendapatkan yang lebih baik daripada itu. Toh
tidak lama lagi; kelulusanku sudah di depan mata...
Aku mengerucutkan bibir. 'Akan kupertimbangkan."
Edward langsung rileks. Rahangnya mengendur.
"Mungkin sebaiknya kuantar kau pulang,"
katanya, lebih tenang sekarang, tapi jelas ingin buru-buru membawaku pergi dari
sini. "Siapa tahu Charlie bangun lebih pagi."
Kupandangi Carlisle. "Setelah kelulusan?"
"Aku janji." Aku menarik napas dalam-dalam, tersenyum, dan berpaling kembali ke Edward. "Oke.
Kau boleh membawaku pulang."
Edward membawaku melesat keluar dari rumah sebelum Carlisle bisa menjanjikan hal
lain. Ia membawaku keluar lewat pintu belakang, jadi aku tidak melihat barang
apa yang pecah di ruang tamu.
Perjalanan pulang sangat hening. Aku merasa menang dan sedikit puas pada diri
sendiri. Sangat ketakutan juga, tentu saja, tapi aku berusaha tidak memikirkan
bagian itu. Tak ada gunanya mengkhawatirkan rasa sakit-baik fisik maupun
emosional-jadi itu tidak kulakukan. Tidak sampai benar-benar harus.
Sesampainya di rumahku, Edward tidak berhenti. Ia langsung berlari menaiki
dinding dan masuk lewat jendela kamarku dalam tempo setengah detik. Lalu ia
melepaskan kedua lenganku yang melingkari lehernya dan membaringkanku di tempat
tidur. Kusangka aku punya gambaran cukup jelas tentang apa yang ia pikirkan, tapi
ekspresinya membuatku terkejut. Bukannya marah, ia malah terlihat seperti
menimbang-nimbang Ia berjalan mondar-mandir tanpa suara di kamarku yang gelap
sementara aku memerhatikan dengan kecurigaan yang semakin menjadi-jadi.
"Apa pun yang kaurencanakan, itu tidak akan berhasil," kataku.
"Ssstt. Aku sedang berpikir."
"Ugh," erangku, mengempaskan diri ke tempat tidur dan menyelubungi kepalaku
dengan selimut. Tidak terdengar suara apa-apa, tapi mendadak Edward sudah di sana. Ia
menyibakkan selimut supaya bisa melihatku. Ia berbaring di sebelahku. Tangannya
terangkat, menyibakkan rambutku yang jatuh di pipi.
"Kalau kau tidak keberatan, aku lebih suka kau tidak menyembunyikan wajahmu. Aku
sudah pernah merasakan hidup tanpa kau selama yang bisa kutahan. Sekarang...
jawab pertanyaanku."
"Apa?" tanyaku, enggan.
"Seandainya kau bisa memiliki segalanya yang ada di dunia ini, apa saja, apa
yang kauinginkan?" Aku bisa merasakan skeptisme di mataku. "Kau."
Edward menggeleng tidak sabar. "Sesuatu yang belum kaumiliki."
Aku tidak yakin ke mana ia berusaha mengarahkanku, jadi aku berpikir dengan
hati-hati sebelum menjawab. Aku menemukan jawaban yang memang benar, tapi
mungkin juga mustahil. Aku ingin... bukan Carlisle yang melakukannya. Aku ingin kaulah yang
mengubahku." Kuamati reaksi Edward dengan kecut, mengira ia akan marah lagi seperti yang
kulihat di rumahnya tadi. Kaget juga aku waktu kulihat ekspresinya tidak
berubah. Ia masih terlihat menimbang-nimbang, berpikir keras.
"Kau rela menukar itu dengan apa?"
Aku tidak memercayai pendengaranku. Dengan mulut ternganga lebar, kupandangi
wajahnya yang tenang dan langsung melontarkan jawaban sebelum otakku sempat
berpikir. "Apa saja." Edward tersenyum tipis, kemudian mengerucutkan bibir. "Lima tahun?"
Wajahku berkerut membentuk ekspresi antara kecewa dan ngeri.
"Kaubilang tadi apa saja," Edward mengingatkanku.
"Ya, tapi... kau akan memanfaatkan waktu lima tahun itu untuk berkelit. Aku
harus menyambar kesempatan ini, mumpung masih 'panas'. Lagi pula, terlalu
berbahaya menjadi manusia - bagiku, setidaknya. Jadi, apa saja kecuali itu."
Edward mengerutkan kening. "Tiga tahun?"
"Tidak!" "Itu tidak berarti apa-apa sama sekali bagimu?"
Aku berpikir betapa aku sangat menginginkan hal ini. Lebih baik memasang wajah
sok tenang, aku memutuskan, dan tidak membiarkan Edward tahu betapa aku sangat
menginginkannya. Itu akan membuat posisiku berada di atas angin. "Enam bulan?"
Edward memutar bola matanya. "Masih kurang."
"Satu tahun, kalau begitu," tawarku. "Itu batasanku."
"Paling tidak beri aku dua tahun."
"Enak saja. Sembilan belas aku masih mau. Tapi jangan harap aku mau mendekati
usia dua puluh. Kalau selamanya kau akan berusia belasan, aku juga mau seperti
itu. Edward berpikir sebentar. "Baiklah. Lupakan soal batasan waktu. Kau boleh
menjadi seperti aku - tapi ada syaratnya."
"Syarat?" Suaraku berubah datar. "Syarat apa?"
Sorot mata Edward tampak hati-hati-ia berbicara lambat-lambat. "Menikahlah dulu
denganku." Kupandangi dia, menunggu... "Oke. Di mana lucunya?"
Edward mendesah. "Kau melukai egoku, Bella. Aku baru saja melamarmu, tapi kau
malah menganggapnya gurauan."
"Edward, kumohon, seriuslah."
"Aku seratus persen serius." Edward menatapku tanpa sedikit pun sorot humor di
wajahnya. "Oh, ayolah," tukasku, ada secercah nada histeris dalam suaraku. "Aku kan baru
delapan belas." "Well, aku hampir seratus sepuluh. Sudah waktunya aku menikah."
Aku membuang muka, memandang ke luar jendela yang gelap, berusaha mengendalikan
kepanikan sebelum telanjur meledak.
"Begini, menikah tidak masuk dalam daftar prioritasku saat ini, kau mengerti"
Ini ibarat ciuman kematian bagi Renee dan Charlie."
"Pilihan katamu menarik."
"Kau tahu maksudku."
Edward menghela napas dalam-dalam. "Tolong jangan katakan kau takut pada
komitmen," kata Edward dengan nada tidak percaya, dan aku mengerti maksudnya.
"Sama sekali bukan itu," elakku. "Aku... takut pada reaksi Renee. Dia sangat
menentang pernikahan sebelum aku berumur tiga puluh."
"Karena dia lebih suka kau menjadi salah satu dari kaum yang terkutuk
selamanya." Edward tertawa sinis. "Kurasa kau bercanda."
"Bella, kalau kau membandingkan tingkat komitmen antara Penyatuan dalam ikatan
pernikahan dengan menukar jiwamu sebagai ganti hidup selamanya sebagai vampir...
" Edward menggelengkan kepala. "Kalau kau tidak cukup berani untuk menikah
denganku, maka-" "Well," aku menyela. "Bagaimana kalau aku berani" Bagaimana kalau kuminta kau
membawaku ke Vegas sekarang juga" Apakah tiga hari lagi aku bisa menjadi
vampir?" Edward tersenyum, giginya berkilau dalam gelap. "Tentu; jawabnya, menerima
gertakanku. "Kuambil dulu mobilku."
"Brengsek," gerutuku. "Kuberi kau waktu delapan belas bulan."
"Tidak ada kesepakatan lain," sergah Edward, nyengir. "Aku suka syarat ini"
"Baiklah. Biar Carlisle saja yang melakukannya setelah aku lulus nanti."
"Kalau memang itu maumu." Edward mengangkat bahu, dan senyumnya benar-benar
seperti senyum malaikat. "Kau benar-benar keterlaluan," erangku. "Benar-benar monster."
Edward terkekeh. "Jadi karena itu kau tidak mau menikah denganku?"
Lagi-lagi aku mengerang. Edward mencondongkan tubuh ke arahku; bola matanya yang hitam pekat melebur dan
berapi-api, membuyarkan konsentrasiku. "Please, Bella?" desahnya.
Sejenak aku sampai lupa bernapas. Begitu pulih kembali, aku buru-buru
menggeleng, berusaha menjernihkan pikiranku yang mendadak buntu.
"Apakah akan lebih baik jika aku punya waktu untuk membelikanmu cincin?"
"Tidak! Tidak usah ada cincin segala!" Bisa dibilang aku benar-benar berteriak.
"Uups." "Charlie bangun; sebaiknya aku pulang," kata Edward dengan sikap menyerah.
Jantungku berhenti berdetak.
Edward mengamati ekspresiku sesaat. "Kekanak-kanakan tidak, kalau aku
bersembunyi di lemarimu?"
"Tidak," bisikku penuh semangat. "Tinggallah. Please."
Edward tersenyum dan menghilang.
Aku gelisah seperti cacing kepanasan dalam gelap, menunggu Charlie datang
mengecekku. Edward tahu persis apa yang ia lakukan, dan aku berani bertaruh,
membuatku kaget adalah bagian dari rencananya. Tentu saja aku masih punya
pilihan membiarkan Carlisle melakukannya, tapi sekarang setelah aku tahu ada
kesempatan Edward mau mengubahku sendiri, aku sangat menginginkan kesempatan
itu. Curang benar Edward.
Pintu kamarku membuka secelah. "Pagi, Dad."
"Oh, hai, Bella." Charlie terdengar malu karena kepergok mengecek. "Sudah bangun
rupanya." "Yeah. Sejak tadi aku menunggu Dad bangun supaya bisa mandi." Aku beranjak
bangun. "Tunggu dulu," tukas Charlie, menyalakan lampu. Aku mengerjap-ngerjapkan mata,
silau oleh nyala terang yang tiba-tiba, dan sehati-hati mungkin menjaga agar
mataku tidak melirik terus ke lemari. "Kita bicara dulu sebentar."
Aku tak mampu tidak meringis. Aku lupa minta dicarikan alasan yang bagus oleh
Alice. "Kau tahu kau dalam masalah besar."
"Yeah, aku tahu."
"Aku sudah seperti orang gila tiga hari terakhir ini. Pulang dari pemakaman
Harry, aku mendapati kau sudah pergi. Jacob hanya bisa mengatakan kau kabur
bersama Alice Cullen, dan menurut dia, kau dalam kesulitan. Kau tidak
meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi, dan kau juga tidak menelepon.
Aku tidak tahu di mana kau berada atau kapan- atau apakah-kau akan pulang. Tidak
tahukah kau betapa... betapa... " Charlie tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Ia menarik napas tajam dan melanjutkan kata-katanya. "Bisakah kau memberiku satu
saja alasan mengapa aku tidak perlu mengirimmu ke Jacksonville saat ini juga?"
Mataku menyipit. Jadi mau main ancam nih"
Aku juga bisa kalau begitu. Aku duduk tegak-tegak, menarik selimut yang
menyelubungi tubuhku. "Karena aku tidak mau pergi."
"Tunggu sebentar, young lady-"
"Begini, Dad, aku menerima tanggung jawab penuh atas ulahku kemarin, dan Dad
berhak menghukumku selama yang Dad inginkan. Aku juga akan mengerjakan semua
tugas rumah, termasuk mencuci pakaian dan piring, sampai Dad menganggapku kapok.
Dan menurutku, Dad juga berhak mengusirku dari sini-tapi itu tidak akan
membuatku pindah ke Florida."
Wajah Charlie langsung merah padam. Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali
sebelum menjawab. "Kau mau menjelaskan pergi ke mana kau kemarin?"
Oh, brengsek. "Ada... masalah gawat."
Charlie mengangkat alis, sudah menduga aku bakal memberi penjelasan yang brilian
seperti itu. Aku menggelembungkan pipi lalu mengembuskannya dengan suara keras. "Entah
bagaimana aku bisa menamakannya, Dad. Intinya hanya salah paham. Yang ini bilang
begitu, yang itu bilang begini. Akhirnya jadi tak terkendali."
Charlie menunggu dengan ekspres, tak percaya.
"Begini, Alice mengatakan pada Rosalie tentang aku melompat dari tebing..."
Dengan panik aku berusaha memberikan penjelasan masuk akal, sebisa mungkin tetap
menyatakan hal yang benar sehingga ketidakmampuanku berbohong dengan meyakinkan
takkan terlalu kentara, tapi belum lagi aku sempat melanjutkan ceritaku,
ekspresi Charlie mengingatkanku bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang masalah
lompat tebing itu. Ya ampun. Kayak aku belum kena masalah saja.
"Kurasa aku belum menceritakan itu pada Dad," sergahku tercekat. "Bukan apa-apa
kok. Hanya iseng, berenang bersama Jake. Pokoknya begini, Rosalie lantas memberi
tahu Edward, dan Edward langsung kalap. Rosalie tanpa sengaja membuat ceritanya
terdengar seolah-olah aku mencoba bunuh diri atau semacamnya. Edward tidak mau
menjawab teleponnya, jadi Alice menyeretku ke... LA, untuk menjelaskan secara
langsung." Aku mengangkat bahu, sepenuh hati berharap semoga Charlie tidak
terlalu memerhatikan kekagokanku barusan sehingga tidak menyimak penjelasan
brilian yang kuberikan padanya.
Wajah Charlie langsung membeku. "Memangnya kau benar-benar berniat bunuh diri,
Bella?" "Tidak, tentu saja tidak. Hanya bersenang-senang dengan Jake. Terjun dari
tebing. Anak-anak La Push sering melakukannya kok. Seperti kataku tadi, itu
bukan apa-apa." Wajah Charlie memanas-dari membeku ke panas oleh amarah. "Lantas, maksudnya
Edward Cullen itu apa?" raungnya. "Selama ini, dia meninggalkanmu begitu saja
tanpa penjelasan-" Aku buru-buru memotongnya. "Lagi-lagi salah paham."
Wajah Charlie memerah lagi. "Jadi sekarang dia kembali?"
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku belum tahu rencana pastinya bagaimana. Kalau tidak salah, mereka semua
kembali." Charlie menggeleng-gelengkan kepala, urat-urat nadi di keningnya menyembul. "Aku
ingin kau menjauhi dia, Bella. Aku tidak percaya padanya. Dia tidak baik
untukmu. Aku tidak akan membiarkannya merusakmu seperti itu lagi."
"Baiklah," sergahku judes.
Charlie bertumpu pada tumitnya dan bergoyang maju-mundur. "Oh." Ia tergagap
sesaat, mengembuskan napas dengan suara keras karena terkejut. "Kusangka kau
akan bersikap sulit."
"Memang." Aku memandang lurus-lurus ke mata Charlie. "Maksudku, 'Baiklah, aku
akan keluar dari rumah ini.'"
Mata Charlie melotot; wajahnya pucat pasi. Tekadku luntur saat aku mulai
mengkhawatirkan kesehatannya. Charlie kan tidak lebih muda daripada Harry...
"Dad, aku tidak ingin keluar dari rumah ini," kataku lebih lembut. "Aku sayang
pada Dad. Aku tahu Dad khawatir, tapi Dad harus percaya padaku dalam hal ini.
Dan Dad harus melunakkan sikap terhadap Edward kalau Dad ingin aku tetap tinggal
di sini. Dad ingin aku tinggal di sini atau tidak?"
"Itu tidak adil, Bella. Kau tahu aku ingin kau tinggal di sini."
"Kalau begitu bersikaplah baik pada Edward, karena di mana ada aku, di situ ada
dia." Aku mengucapkannya dengan sikap yakin. Keyakinan yang kudapat dari
pencerahan itu masih kuat.
"Tidak di rumahku," Charlie mengamuk.
Aku mengembuskan napas berat. "Begini, aku memberi ultimatum lagi pada Dad malam
ini-atau lebih tepatnya pagi ini. Pikirkan saja dulu selama beberapa hari, oke"
Tapi tolong diingat bahwa Edward dan aku ibaratnya sudah satu paket."
"Bella-" "Pikirkan dulu," aku bersikeras. "Dan sementara Dad memikirkannya, bisa tolong
beri aku privasi" Aku benar-benar harus mandi."
Wajah Charlie berubah warna menjadi ungu aneh, tapi ia keluar juga, membanting
pintu keras-keras. Kudengar ia berjalan mengentak-entakkan kaki menuruni tangga.
Kulempar selimutku, dan tahu-tahu saja Edward sudah di sana, duduk di kursi
goyang, seakan-akan sudah di sana selama pembicaraanku dengan Charlie
berlangsung. "Maaf soal tadi," bisikku.
"Bukan berarti aku tidak pantas mendapatkan yang jauh lebih buruk," Edward balas
berbisik. "Jangan bertengkar dengan Charlie gara-gara aku, please."
"Sudahlah, jangan khawatir," desahku sambil mengemasi peralatan mandi dan satu
setel pakaian bersih. "Aku akan bertengkar dengannya kalau memang perlu, tapi
tak lebih dari itu. Atau kau berusaha memberi tahuku bahwa kalau aku keluar dari
rumah ini, aku tidak diterima di tempatmu?" Aku membelalakkan mata, pura-pura
kaget. "Memangnya kau mau pindah ke rumah penuh vampir?"
"Mungkin itu tempat paling aman untuk orang seperti aku. Lagi pula... " aku
menyeringai. "Kalau Charlie mengusirku, berarti tidak perlu menunggu sampai
lulus, kan?" Rahang Edward mengeras. "Begitu bersemangat ingin terkutuk selamanya,"
gerutunya. "Kau tahu kau tidak benar-benar meyakini itu."
"Oh, begitu ya?" gerutunya.
"Tidak. Kau tidak percaya."
Edward menatapku tajam dan membuka mulut hendak bicara, tapi aku memotongnya.
"Kalau kau benar-benar percaya kau telah kehilangan jiwamu, maka waktu aku
menemukanmu di Volterra, kau pasti langsung menyadari apa yang terjadi, bukannya
mengira kita berdua sudah sama-sama mati. Tapi kau tidak begitu-kau malah
berkata 'Luar biasa. Carlisle benar,'" aku mengingatkannya, merasa menang.
"Ternyata, kau masih berharap."
Sekali ini, Edward tak mampu mengatakan apa-apa.
"Jadi marilah kita sama-sama berharap, oke?" saranku. "Bukan berarti itu
penting. Kalau ada kau, aku tidak butuh surga."
Pelan-pelan Edward bangkit, lalu merengkuh wajahku dengan kedua tangan sambil
menatap mataku lekat-lekat. "Selamanya," ia bersumpah, masih sedikit
terperangah. "Hanya itu yang kuminta," kataku, lalu berjinjit agar bisa menempelkan bibirku
ke bibirnya. EPILOG-KESEPAKATAN HAMPIR semuanya kembali normal-normal seperti sebelum masa ini, ketika aku
berkeliaran laksana mayat hidup - dalam tempo sangat cepat, lebih daripada yang
kuyakini bisa terjadi. Rumah sakit menerima Carlisle kembali dengan tangan
terbuka, bahkan tidak merasa perlu menutupi kegembiraan mereka bahwa Esme tidak
terlalu suka tinggal di LA. Gara-gara aku tidak ikut ulangan Kalkulus karena
harus pergi ke luar negeri waktu itu, nilai Alice dan Edward saat ini lebih
bagus daripada aku untuk bisa lulus SMA. Tiba-tiba kuliah menjadi prioritas
(kuliah masih tetap merupakan rencana B, untuk jaga-jaga siapa tahu tawaran
Edward membuatku batal mengambil pilihan melakukannya dengan Carlisle sesudah
lulus). Sudah banyak tenggat waktu pendaftaran yang kulewatkan, tapi Edward
menyodorkan setumpuk formulir baru untuk kuisi setiap hari. Ia sudah
mengembalikan berkas pendaftarannya ke Harvard, jadi tidak masalah baginya bila,
gara-gara aku terlalu banyak berleha-leha, kami terdampar di Peninsula Community
College tahun depan. Charlie agak marah padaku, dan ia juga mendiamkan Edward. Tapi setidaknya Edward
diizinkan - selama jam berkunjung yang sudah ditentukan - masuk ke rumah lagi.
Tapi aku tidak diizinkan keluar dari sana.
Aku hanya boleh keluar untuk bersekolah dan bekerja, jadi dinding-dinding
kelasku yang berwarna kuning kusam mendadak terasa begitu mengundang bagiku. Itu
berhubungan erat dengan orang yang duduk di meja di sebelahku.
Edward mengambil jadwalnya yang lama, jadi ia sekelas denganku di hampir semua
pelajaran. Kelakuanku begitu aneh, sejak keluarga Cullen "pindah" ke LA,
sehingga tak ada yang mau duduk di sampingku. Bahkan Mike, yang dulu selalu
bersemangat memanfaatkan setiap kesempatan, sekarang pun seperti menjaga jarak.
Dengan kembalinya Edward, delapan bulan terakhir nyaris bagaikan mimpi buruk
yang mengganggu. Nyaris, meski tidak persis seperti itu. Salah satunya, karena sekarang aku
dihukum tidak boleh keluar rumah. Dan alasan lain, sebelum musim gugur waktu
itu, aku tidak bersahabat dengan Jacob Black. Jadi, tentu saja, waktu itu aku
belum merasa kehilangan dia.
Aku tidak bisa pergi ke La Push, dan Jacob tidak mau datang menemuiku. Ia bahkan
tidak mau menerima teleponku.
Kebanyakan aku menelepon ke sana malam-malam, setelah Edward diusir - jam
sembilan tepat oleh Charlie yang meski muram tapi tampaknya sangat senang bisa
mengusir Edward - dan sebelum Edward menyusup kembali ke kamarku lewat jendela
setelah Charlie tidur. Aku sengaja memilih waktu itu untuk melakukan panggilan
yang sia-sia ini karena kulihat Edward selalu mengernyitkan muka setiap menyebut
nama Jacob. Seperti tidak suka dan waswas... mungkin bahkan marah. Kurasa itu
karena Edward juga punya prasangka buruk terhadap werewolf, walaupun tidak sevokal Jacob terhdap
"para pengisap darah".
Jadi. aku jarang menyebut-nyebut nama Jacob.
Dengan Edward di dekatku, sulit memikirkan hal-hal yang tidak membahagiakan-
bahkan memikirkan mantan sahabatku, yang saat ini mungkin sedang sangat tidak
bahagia, gara-gara aku. Kalaupun aku memikirkan Jake, aku selalu merasa bersalah
karena tidak sering memikirkan dia.
Dongeng itu sudah kembali. Sang pangeran sudah kembali, dan kutukan jahat
dilenyapkan. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap karakter lain yang
tertinggal dan tidak ikut bahagia. Apakah kisah ini juga akan berakhir bahagia
selamanya untuk dia"
Minggu-minggu berlalu, dan Jacob masih tidak mau menjawab teleponku. Hal ini
mulai membuatku terus-menerus khawatir. Seperti keran bocor di belakang kepalaku
yang tidak bisa kumatikan atau kuabaikan. Tes, tes, tes. Jacob, Jacob, Jacob.
Jadi, meski jarang menyebut-nyebut nama Jacob, terkadang perasaan frustrasi dan
gelisahku meluap juga. "Benar-benar brengsek!" aku mengomel panjang-pendek pada Sabtu siang saat Edward
menjemputku dari tempat kerja. Lebih mudah melampiaskan amarah daripada merasa
bersalah. "Ini sama saja dengan menghina!"
Aku sudah mencoba segala cara, dengan harapan mendapat respons berbeda. Kali ini
aku mencoba menelepon Jake dari tempat kerja, tapi teleponku dijawab Billy yang
sama sekali tidak bisa membantu. Lagi-lagi.
"Kata Billy, Jacob tidak mau bicara denganku," aku meradang, memelototi hujan
yang mengalir membasahi jendela mobil. "Masa dia ada di sana, tapi tidak mau
berjalan tiga langkah saja untuk menerima telepon! Biasanya Billy hanya
mengatakan Jacob keluar, sibuk, tidur, atau semacamnya. Maksudku, bukan berarti
aku tidak tahu dia bohong padaku tapi paling tidak cara itu masih lebih sopan.
Kurasa Billy juga benci padaku sekarang. Tidak adil!"
"Bukan begitu, Bella," ucap Edward tenang. "Tidak ada yang benci padamu."
"Rasanya seperti itu," gerutuku, melipat kedua lengan di dada. Sekarang itu
hanya kebiasaan yang sulit diubah. Tidak ada lagi lubang di dadaku kini-aku
bahkan sudah nyaris tidak ingat perasaan hampa yang pernah kurasakan.
"Jacob tahu kami sudah kembali, dan aku yakin dia tahu pasti aku bersamamu,"
jelas Edward. "Dia tidak mau dekat-dekat denganku. Permusuhan itu sudah berurat
akar dalam dirinya."
"Itu kan konyol. Dia tahu kau tidak... seperti vampir-vampir lain."
"Bukan berarti tidak ada alasan untuk menjaga jarak."
Aku memandang garang melalui kaca depan mobil. Yang kulihat hanya wajah Jacob,
terpasung dalam topeng getir yang kubenci itu.
"Bella, memang beginilah keadaannya," kata
Edward kalem. "Aku bisa mengendalikan diri, tapi aku ragu dia bisa. Dia masih
sangat muda. Besar kemungkinan akan terjadi perkelahian, dan aku tidak tahu
apakah bisa menghentikannya sebelum aku membu-" Edward mendadak berhenti bicara,
kemudian cepat-cepat melanjutkan. "Sebelum aku
menyakitinya. Kau tidak akan senang. Aku tidak ingin itu terjadi."
Aku ingat apa yang dikatakan Jacob di dapur waktu itu, mendengar kata-kata yang
ia ucapkan sambil mengenang suaranya yang parau. Aku tidak yakin akan cukup bisa
mengendalikan diri untuk menghadapinya... Mungkin kau juga tidak suka kalau aku
membunuh temanmu. Tapi, Jacob
ternyata mampu mengendalikan diri, waktu itu...
"Edward Cullen," bisikku. "Tadi kau mau mengatakan membunuhnya, kan" Iya, kan?"
Edward membuang muka, memandang ke hujan di luar. Di depan kami, lampu merah
yang tadi tidak kusadari keberadaannya berubah menjadi hijau dan Edward
menjalankan mobilnya kembali, mengemudikannya sangat lamban. Tidak biasanya ia
menyetir sepelan ini. "Aku akan berusaha... sekuat tenaga... untuk tidak melakukannya," kata Edward
akhirnya. Kutatap ia dengan mulut ternganga lebar, tapi Edward tetap memandang lurus ke
depan. Kami berhenti sebentar di depan tanda stop di pojok jalan.
Mendadak, aku ingat apa yang terjadi pada Paris ketika Romeo kembali. Pengarahan
adegannya sederhana: Mereka bertarung. Paris kalah. Tapi ini konyol. Mustahil.
"Well" ujarku, menarik napas dalam-dalam, menggeleng untuk mengenyahkan kata-
kata itu dari benakku. "Hal seperti itu takkan pernah terjadi, jadi tidak ada
alasan untuk mengkhawatirkannya. Dan kau tahu Charlie sedang memelototi jam
sekarang. Sebaiknya cepat antar aku pulang sebelum aku dapat masalah lagi gara-
gara pulang terlambat."
Aku menengadah padanya, tersenyum setengah hati.
Setiap kali menatap wajah Edward, wajah yang luar biasa sempurna itu, jantungku
berdebar keras, kencang, dan sangat terasa dalam dadaku. Kali ini debaran itu
berpacu lebih cepat dari pada biasanya. Aku mengenali ekspresinya yang membeku
seperti patung itu. "Kau memang akan dapat masalah lagi, Bella," bisiknya dari sela-sela bibirnya
yang tidak bergerak. Aku bergeser lebih dekat, mencengkeram lengan Edward sambil mengikuti arah
pandangnya. Entah apa yang kukira bakal kulihat - mungkin Victoria berdiri di
tengah jalan, rambut merah menyalanya berkibar-kibar ditiup angin, atau sederet
makhluk tinggi berjubah hitam... atau sekawanan werewolf yang marah. Tapi aku tidak
melihat apa-apa. "Apa" Ada apa?"
Edward menghela napas dalam-dalam.
"Charlie..." "Ayahku?" pekikku.
Lalu Edward menunduk menatapku, dan ekspresinya cukup tenang hingga mampu
meredakan sedikit kepanikanku.
"Charlie... mungkin tidak akan membunuhmu, tapi dia sedang berpikir-pikir untuk
melakukannya," Edward memberitahu. Ia mulai menjalankan mobilnya, memasuki jalan
rumahku, tapi melewati rumahku dan memarkir mobilnya di pinggir pepohonan.
"Memangnya aku melakukan kesalahan apa?" tanyaku terkesiap.
Edward menoleh ke belakang, ke arah rumah Charlie. Aku mengikuti arah
pandangnya, dan melihat untuk pertama kalinya benda yang terparkir di jalan
masuk, persis di sebelah mobil patroli ayahku. Mengilat, warnanya merah terang,
mustahil terlewatkan. Motorku, berdiri gagah di sana.
Kata Edward tadi, Charlie sudah siap membunuhku, jadi ia pasti sudah tahu-bahwa
sepeda motor itu milikku. Hanya ada satu orang di balik pengkhianatan ini.
"Tidak!" seruku kaget. "Mengapa" Mengapa Jacob tega melakukan ini padaku?"
Perasaan sakit karena dikhianati melanda hatiku. Padahal aku sangat percaya pada
Jacob-saking percayanya sampai aku menceritakan semua rahasiaku padanya.
Seharusnya ia menjadi pelabuhan yang aman bagiku-orang yang selalu bisa
kuandalkan. Tentu saja hubungan kami saat ini sedang renggang rapi aku tidak
mengira fondasi dasar hubungan kami telah berubah. Kusangka itu tidak bisa
berubah! Kesalahan apa yang kulakukan sehingga pantas diganjar seperti ini" Charlie bakal
sangat marah- dan lebih daripada itu, ia akan merasa sakit hati dan cemas.
Apakah bebannya selama ini masih belum cukup" Tak pernah terbayang olehku Jake
bisa begitu licik dan keju. Air mataku merebak, terasa perih di mataku, tapi itu
bukan air mata kesedihan. Aku telah dikhianati. Tiba-tiba saja aku sangat marah
sampai kepalaku berdenyut-denyut seperti mau meledak.
"Dia masih di sini?" desisku.
"Ya. Dia menunggu kita di sana," Edward memberi tahuku, mengangguk ke jalan
setapak yang membelah pepohonan hutan yang rapat menjadi dua.
Aku melompat turun dari mobil, menghambur ke arah pepohonan dengan kedua tangan
sudah mengepal, siap meninju.
Mengapa Edward harus lebih cepat daripada aku"
Ia sudah menyambar pinggangku sebelum aku sampai di jalan setapak itu.
"Lepaskan aku! Biar kubunuh dia! Dasar pengkhianat!' Aku meneriakkan makian itu
ke arah pepohonan. "Nanti Charlie dengar," Edward mengingatkanku.
"Dan kalau dia sudah menyuruhmu masuk, dia bakal membeton pintunya, mencegahku
masuk." Aku melirik ke arah rumah, dan sepertinya hanya sepeda motor merah mengilap itu
saja yang tampak olehku. Aku marah sekali. Kepalaku berdenyut-denyut lagi.
"Beri aku kesempatan bicara sekali saja dengan Jacob kemudian aku akan menemui
Charlie." Sia-sia saja aku memberontak minta dilepaskan.
"Jacob Black ingin bertemu denganku. Karena itulah dia masih di sini."
Aku langsung kaget - aku serta-merta berhenti meronta-ronta. Kedua tanganku
terkulai lemas. Mereka bertarung; Paris kalah.
Aku memang marah, tapi tidak semarah itu.
"Bicara?" tanyaku.
"Kurang-lebih begitu."
"Lebihnya bagaimana?" Suaraku bergetar.
Edward merapikan rambutku yang jatuh di sekitar wajah. "Jangan khawatir,
kedatangannya ke sini bukan untuk berkelahi denganku. Dia bertindak sebagai...
juru bicara bagi kawanannya."
"Oh." Edward menengok lagi ke arah rumah, mempererat rangkulannya di pinggangku, lalu
menarikku ke arah hutan. "Kita harus bergegas. Charlie sudah mulai tidak sabar."
Kami tidak perlu pergi terlalu jauh; Jacob sudah menunggu tak jauh dari situ. Ia
menunggu sambil bersandar di pohon berlumut, wajahnya keras dan getir, persis
yang kubayangkan. Ia menatapku, kemudian Edward. Mulut Jacob menyeringai
membentuk seringaian sinis, dan ia bergeser menjauh dari tempatnya bersandar. Ia
berdiri bertumpu pada bagian belakang kakinya yang telanjang, agak condong ke
depan, mengepalkan kedua tangannya yang gemetar. Ia tampak lebih besar
dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Entah bagaimana, meski rasanya
mustahil, ia masih terus bertumbuh. Tubuhnya akan menjulang melebihi Edward,
kalau mereka berdiri bersisian.
Dua Cinta New Moon Twilight Buku Ke 2 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi Edward langsung berhenti berjalan begitu kami melihat Jacob, menyisakan
jarak yang cukup lebar di antara kami dan Jacob. Edward sengaja memosisikan
tubuhnya begitu rupa sehingga aku berada di belakangnya. Aku menjulurkan badan
melewati rubuhnya supaya bisa menatap Jacob- menuduhnya dengan mataku.
Tadinya aku mengira dengan melihat ekspresi Jacob yang sinis dan penuh kebencian
akan membuatku semakin marah. Tapi ternyata aku malah teringat saat terakhir
kali melihatnya, dengan air mata berlinang. Amarahku melemah, menggeletar,
sementara aku menatap Jacob. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya- aku
tidak suka reuni kami harus terjadi seperti ini
"Bella," kata Jacob sebagai salam, mengangguk satu kali ke arahku tanpa
mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Edward.
"Kenapa?" bisikku, berusaha menyembunyikan suara tercekat di kerongkonganku.
"Tega-teganya kau berbuat begini padaku, Jacob?"
Seringaian sinis itu lenyap, namun wajahnya tetap keras dan kaku. "Ini yang
terbaik." "Apa maksud perkataanmu itu" Memangnya kau ingin Charlie mencekikku" Atau kau
ingin dia kena serangan jantung, seperti Harry" Tak peduli betapapun marahnya
kau padaku, tega-teganya kau melakukan ini padanya?"
Jacob meringis, alisnya bertaut, tapi ia tidak menjawab.
"Dia tidak ingin menyakiti siapa pun-dia hanya ingin kau dihukum, sehingga kau
tidak diizinkan menghabiskan waktu denganku," gumam Edward, menjelaskan pikiran
yang tak ingin diutarakan Jacob.
Mata Jacob menyala-nyala oleh kebencian saat ia memberengut marah pada Edward.
"Aduh, Jake!" erangku. "Aku memang sudah dihukum! Memangnya kaukira kenapa aku
tidak ke La Push dan menendang bokongmu karena kau tidak mau menerima
teleponku?" Mata Jacob berkelebat ke arahku, untuk pertama kalinya tampak bingung.
"Jadi karena itu?" tanyanya, kemudian ia mengunci mulut rapat-rapat, seperti
menyesal telah kelepasan bicara.
"Dia kira akulah yang tidak mengizinkan, bukan Charlie," Edward menjelaskan
lagi. "Hentikan," bentak Jacob.
Edward tidak menanggapi. Jacob bergetar hebat, kemudian ia menggertakkan giginya sekeras kepalan
tangannya. "Ternyata Bella tidak melebih-lebihkan waktu dia bercerita tentang...
kemampuanmu," katanya dari
sela-sela giginya. "Jadi kau pasti sudah tahu kenapa aku datang ke sini"
"Benar," jawab Edward lirih. "Tapi, sebelum kau mulai, aku perlu mengatakan
sesuatu." Jacob menunggu, membuka dan menutup
telapak tangannya sementara berusaha
mengendalikan getaran tubuhnya yang merayapi kedua lengan.
"Terima kasih," ucap Edward, dan suaranya bergetar karena ketulusan hatinya.
"Aku tidak akan pernah bisa mengungkapkan betapa besarnya rasa terima kasihku
padamu. Aku berutang budi padamu sepanjang sisa... eksistensiku.
Jacob menatapnya dengan pandangan kosong getaran tubuhnya langsung berhenti. Ia
melirik cepat ke arahku, tapi raut wajahku sama bingungnya.
"Karena kau telah menjaga Bella," Edward mengklarifikasi, suaranya parau dan
bersungguh-sungguh. "Saat aku... tidak ada untuk menjaganya."
"Edward-" aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Edward mengangkat
sebelah tangan, matanya tertuju kepada Jacob.
Ekspresi mengerti menyapu wajah Jacob sesaat sebelum topeng keras itu kembali.
"Aku tidak melakukannya untukmu."
"Aku tahu. Tapi itu tidak menghapus perasaan terima kasih yang kurasakan. Kurasa
kau perlu tahu. Seandainya ada yang bisa kulakukan untukmu, selama itu masih
dalam kekuasaanku... "
Jacob mengangkat sebelah alisnya yang hitam.
Edward menggeleng. "Aku tidak punya kuasa dalam hal itu."
"Kuasa siapa, kalau begitu?" geram Jacob.
Edward menunduk menatapku. "Kuasanya. Aku cepat belajar, Jacob Black, jadi aku
tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Aku akan tetap di sini sampai
dia menyuruhku pergi."
Sejenak aku terhanyut dalam tatapan mata emasnya. Tidak sulit memahami bagian
percakapan yang tak bisa kudengar itu. Satu-satunya yang diinginkan Jacob dari
Edward adalah pergi dari sini.
"Tidak akan," bisikku, mataku masih terpaku pada mata Edward.
Jacob membuat suara seperti mau muntah.
Dengan enggan kualihkan tatapanku dari mata Edward, memandang Jacob dengan
kening berkerut. "Ada hal lain yang kubutuhkan, Jacob" Kau ingin aku kena
masalah-misimu sudah tercapai. Bisa jadi Charlie akan mengirimku ke sekolah
militer. Tapi itu tidak akan bisa membuatku menjauhi Edward. Tidak ada yang bisa
melakukan hal itu. Jadi, apa lagi yang kauinginkan?"
Jacob tak mengalihkan tatapannya dari Edward. "Aku hanya perlu mengingatkan
teman-temanmu yang suka mengisap darah itu tentang beberapa poin penting dalam
kesepakatan yang telah mereka sepakati. Hanya karena perjanjian itulah aku tidak
mengoyak-ngoyak leher mereka saat ini juga."
"Kami belum lupa," sergah Edward, dan pada saat yang bersamaan aku menuntut,
"Poin-poin penting apa?"
Jacob masih memandang Edward garang, tapi ia menjawab pertanyaanku. "Kesepakatan
itu sangat spesifik. Kalau salah seorang di antara mereka menggigit manusia,
gencatan senjata berakhir. Menggigit, bukan membunuh," ia menekankan. Akhirnya,
ia menatapku. Sorot matanya dingin.
Detik ini juga aku menangkap maksudnya, kemudian wajahku berubah sedingin
wajahnya. "Itu sama sekali bukan urusanmu."
"Enak saja-" hanya itu yang sanggup dilontarkan Jacob.
Aku tidak mengira jawabanku yang terburu-buru akan mendatangkan respons sekeras
itu. Meski datang untuk menyampaikan peringatan itu, Jacob pasti tidak tahu. Ia pasti
mengira peringatan itu hanya sebagai tindakan pencegahan. Ia tidak
sadar-atau tidak mau percaya-bahwa aku telah menentukan pilihan. Bahwa aku
benar-benar berniat menjadi anggota keluarga Cullen.
Jawabanku membuat Jacob nyaris kejang-kejang. Ia menempelkan tinjunya kuat-kuat
ke pelipis, memejamkan mata rapat-rapat dan membungkuk seperti berusaha
mengendalikan entakan-entakan tubuhnya. Wajahnya berubah hijau kekuningan di
balik kulitnya yang cokelat kemerahan.
"Jake" Kau baik-baik saja?" tanyaku cemas.
Aku maju setengah langkah menghampirinya, tapi Edward menyambar tubuhku dan
menarikku dengan kasar ke belakangnya. "Hati-hati! Dia tidak bisa menguasai
diri," ia mengingatkanku.
Tapi entah bagaimana Jacob sudah bisa menguasai diri; hanya kedua lengannya yang
gemetar sekarang. Ia merengut menatap Edward dengan kebencian menyala-nyala.
"Ugh, Aku takkan mungkin menyakitinya."
Perubahan tekanan dalam kalimat Jacob barusan tidak luput dari perhatian Edward
maupun aku, begitu juga dengan tuduhan yang tersirat di dalamnya. Desisan pelan
terlontar dari bibir Edward. Refleks Jacob mengepalkan tinjunya.
"BELLA!" raungan Charlie membahana dari arah rumah. "MASUK KE RUMAH SEKARANG
JUGA!" Kami langsung membeku, mendengarkan kesunyian yang mengikutinya.
Aku yang pertama bersuara; suaraku gemetar.
"Sialan." Ekspresi marah Jacob sedikit melunak. "Aku benar-benar minta maaf soal itu,"
gumamnya. "Aku harus melakukan apa yang bisa kulakukan-aku harus berusaha... "
"Trims." Suaraku yang bergetar menghancurkan kesinisanku. Aku melayangkan
pandang ke ujung jalan setapak, setengah berharap Charlie menghambur menerobos
semak-semak basah seperti banteng mengamuk. Aku akan menjadi bendera merahnya di
skenario itu. "Satu hal lagi," kata Edward padaku, kemudian ia berpaling kepada Jacob. "Kami
tidak menemukan jejak Victoria di wilayah kami-kalian sendiri bagaimana?"
Edward langsung tahu jawabannya begitu Jacob memikirkannya, tapi Jacob tetap
menyuarakannya. "Terakhir kalinya adalah waktu Bella... pergi. Kami biarkan saja
dia mengira dia berhasil menerobos pertahanan kami - lalu kami mempersempit
lingkaran, bersiap-siap menyerangnya... "
Punggungku bagaikan disiram air es.
"Tapi kemudian dia melesat pergi seperti kelelawar melesat keluar dari neraka.
Sepanjang yang bisa kami duga, dia cium bau adik perempuanmu dan langsung kabur.
Sejak itu dia belum kembali mendekati tanah kami."
Edward mengangguk. "Kalau dia kembali, dia bukan masalah kalian lagi. Kami
akan-" "Dia membunuh di wilayah kami," desis Jacob. "Dia milik kami!"
"Tidak-," aku mulai memprotes pernyataan mereka.
"BELLA! AKU MELIHAT MOBILNYA JADI AKU TAHU KAU ADA DI SANA! KALAU KAU TIDAK
MASUK KE RUMAH DALAM SATU MENIT..!" Charlie tidak menyelesaikan ancamannya.
"Ayo," ajak Edward.
Aku menoleh kepada Jacob, terbagi-bagi. Apakah aku akan melihatnya lagi"
"Maaf," bisik Jacob pelan sekali sehingga aku baru mengerti setelah membaca
gerak bibirnya. "Bye, Bells.
"Kau sudah berjanji," aku mengingatkannya dengan sedih. "Masih berteman, kan?"
Jacob menggeleng lambat-lambat, dan gumpalan di tenggorokanku nyaris mencekikku.
"Kau tahu betapa sulitnya aku sudah berusaha menepati janji itu, tapi... aku
tidak tahu bagaimana aku bisa terus mencobanya. Tidak sekarang... " Jacob
berusaha keras mempertahankan mimik wajahnya yang seperti topeng, tapi mimik itu
goyah kemudian lenyap. "Aku kehilangan kau, mulutnya bergerak-gerak tanpa suara.
Sebelah tangannya terulur padaku, jari-jarinya membentang, seolah berharap jari-
jari itu cukup panjang untuk menjembatani jarak yang membentang di antara kami.
"Aku juga," ujarku tercekat. Tanganku terulur ke arahnya melintasi jarak yang
lebar. Seolah terhubung, gema kepedihan hati Jacob memilin hatiku. Kesedihannya adalah
kesedihanku juga. "Jake..." Aku maju selangkah menghampirinya.
Ingin rasanya aku memeluk pinggangnya dan menghapus ekspresi sedih di wajahnya.
Edward menarikku lagi, lengannya menahan, bukan melindungi.
"Tidak apa-apa," aku meyakinkan Edward, mendongak untuk membaca wajahnya dengan
sorot percaya di mataku. Ia pasti mengerti.
Mata Edward tak bisa dibaca, wajahnya tanpa ekspresi. Dingin. "Tidak, itu tidak
benar." "Lepaskan dia," geram Jacob, kembali marah. "Dia ingin lepas! Jacob maju dua
langkah lebar-lebar. Kilatan antisipasi terpancar dari matanya. Dadanya seolah
menggelembung saat ia bergetar.
Edward mendorongku ke belakang punggungnya, berputar menghadapi Jacob.
"Tidak! Edward-!"
"ISABELLA SWAN!"
"Ayolah! Charlie marah!" Suaraku panik, tapi bukan karena Charlie sekarang.
"Cepatlah!" Kutarik-tarik tangan Edward dan ia sedikit rileks. Ditariknya aku kembali pelan-
pelan, matanya terus tertuju kepada Jacob sementara kami mundur.
Jacob mengawasi kami dengan seringaian marah menghiasi wajahnya yang getir.
Sorot antisipasi tadi surut dari wajahnya, kemudian, tepat sebelum hutan
memisahkan kami, wajahnya tiba-tiba berkerut menahan sakit.
Aku tahu pemandangan wajahnya yang terakhir itu akan terus menghantuiku sampai
aku melihatnya tersenyum lagi.
Dan saat itulah aku bersumpah bahwa aku akan melihatnya tersenyum, dan itu tidak
lama lagi. Aku akan mencari jalan untuk mempertahankan temanku.
Edward tetap merangkul pinggangku, mendekapku erat-erat. Hanya itu yang membuat
air mataku tidak tumpah. Aku punya banyak persoalan serius.
Sahabatku menganggapku musuh.
Victoria masih berkeliaran, membahayakan semua orang yang kusayangi.
Kalau aku tidak segera menjadi vampir, keluarga Volturi akan membunuhku. Dan
kini, sepertinya bila aku berubah, para werewolf Quileute juga akan melakukan
hal yang sama-selain berusaha membunuh keluarga masa depanku juga. Sebenarnya menurutku
mereka tidak bakal berhasil, tapi apakah sahabatku akan tewas dalam usahanya
melakukan hal itu" Benar-benar persoalan yang sangat serius. Jadi kenapa semua masalah itu mendadak
terasa sangat tidak signifikan saat kami menerobos keluar dari pepohonan dan aku
melihat ekspresi di wajah Charlie yang ungu"
Edward meremasku lembut. "Tenang, ada aku."
Aku menarik napas dalam-dalam.
Itu benar. Ada Edward di sini, dengan kedua lengannya memelukku.
Aku sanggup menghadapi apa pun juga, selama ada dia. Kutegakkan bahuku dan
berjalan maju menyongsong nasib, takdirku berjalan mantap mengiringiku.
Selesai Djvu oleh otoy Edit teks oleh Raynold (pojokbaca.multiply.com) Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Convert dan Pdf, epub oleh DewiKZ
(kangzusi.com) Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Misteri Listerdale 3 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bara Diatas Singgasana 19