Pencarian

Gerhana 4

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 4


Di konter dapur, notes khusus untuk menulis pesan telepon disandarkan secara
mencolok pada wajan. Jacob menelepon, tulis Charlie.
Katanya dia tidak sungguh-sungguh dan dia minta maaf. Kau diminta meneleponnya.
Baik-baiklah dengannya, kedengarannya dia kalut.
Aku meringis. Tidak biasanya Charlie mengedit pesan-pesanku.
Masa bodoh kalau Jacob kalut. Aku tidak ingin bicara dengannya. Terakhir kali
kudengar, mereka tidak mengizinkan telepon dari pihak lawan. Kalau Jacob lebih
suka aku mati, mungkin sebaiknya ia membiasakan diri aku
tak ada. Selera makanku hilang. Aku berbalik dan pergi untuk menyimpan barang-barangku.
"Kau tidak akan menelepon Jacob?" tanya Charlie. Ia bersandar di dinding ruang
tamu, mengawasiku mengambil barang-barang.
"Tidak." Aku mulai melangkah menaiki tangga.
"Itu bukan sikap yang baik, Bella," tegur Charlie. "Memaafkan itu perintah
Tuhan." "Urus saja urusanmu sendiri." gerutuku pelan, saking pelannya hingga pasti tidak
terdengar Charlie, Aku tahu cucian pasti menumpuk, jadi setelah menyimpan pasta gigi dan melempar
baju-baju kotorku ke keranjang cucian kotor, aku pergi ke kamar Charlie untuk
melepas seprai. Kutaruh seprainya di onggokan dekat
puncak tangga, lalu pergi untuk melepas sepraiku sendiri,
Aku berhenti sebentar di samping tempat tidur, menelengkan kepala ke satu sisi.
Mana bantalku" Aku berjalan berkeliling, menyapukan pandangan ke seisi kamar.
Tidak ada bantal. Aneh, kamarku terkesan sangat rapi. Bukankah kemarin ada kaus
abu-abu disampirkan di tiang ranjang bagian bawah" Dan berani sumpah, seingatku
ada kaus kaki kotor di sandaran kursi goyang, juga blus merah yang kujajal dua
hari lalu, tapi tidak jadi kupakai karena kuanggap terlalu resmi untuk dipakai
ke sekolah, tersampir di lengan kursi goyang... Dengan cepat aku berbalik lagi.
Keranjang cucianku tidak kosong, tapi isinya juga tidak menggunung, seperti
perkiraanku tadi. Apakah Charlie mencuci pakaianku" Tidak biasanya ia berbuat begitu.
"Dad, kemarin Dad mencuci, ya?" teriakku dari ambang pintu.
"Ehm, tidak." Charlie balas berteriak, terdengar bersalah. "Kau mau aku
mencuci?" "Tidak, aku saja. Kemarin Dad masuk ke kamarku untuk mencari sesuatu?"
"Tidak. Kenapa?"
"Mmm... blusku ada yang hilang."
"Aku tidak masuk ke sana."
Kemudian aku ingat Alice datang ke sini untuk mengambil piamaku. Aku tidak sadar
ia juga meminjam bantalku-mungkin karena selama di sana aku menolak tidur di
tempat tidur. Kelihatannya ia sekalian berbenah, mumpung sedang di sini. Aku
jadi malu karena kamarku begitu berantakan.
Tapi blus merah itu sebenarnya belum kotor, jadi aku beranjak ke keranjang
cucian untuk mengambilnya lagi.
Aku mengira akan menemukan blus itu di tumpukan paling atas, tapi ternyata tidak
ada. Aku tahu mungkin aku mulai paranoid, tapi sepertinya ada barang lain yang
hilang, atau mungkin lebih dari satu barang. Soalnya pakaian kotor yang ada di sini
sedikit sekali. Kurenggut seprai dari tempat tidur lalu bergegas menuju ruang cuci, menyambar
pakaian kotor Charlie dalam perjalanan ke sana. Mesin cuci juga kosong. Aku juga
mengecek mesin pengering, separuh berharap bakal menemukan pakaian yang sudah
dicuci di sana, setelah Alice mencucinya. Nihil. Aku mengerutkan kening,bingung.
"Sudah ketemu yang dicari"' teriak Charlie.
"Belum." Aku kembali ke lantai atas untuk mencari di kolong tempat tidur. Tidak ada apa-
apa kecuali sandal kamar. Aku mulai mengaduk-aduk laci lemari. Mungkin aku lupa
telah menyimpan blus merah itu.
Aku menyerah ketika bel pintu berbunyi. Itu pasti Edward.
"Pintu," seru Charlie dari sofa waktu aku melesat melewatinya.
"Jangan sewot begitu, Dad."
Kubuka pintu depan dengan senyum lebar tersungging di wajah.
Mata emas Edward membelalak lebar, cuping hidungnya kembang-kempis, mulutnya
menyeringai, menampakkan giginya.
"Edward?" Suaraku tajam karena syok begitu membaca ekspresinya. "Apa-?"
Edward meletakkan telunjuknya ke bibirku. "Beri aku waktu dua detik." bisiknya.
"Jangan bergerak."
Aku berdiri terpaku di ambang pintu dan Edward... menghilang. Ia bergerak begitu
cepat hingga Charlie takkan mungkin melihatnya lewat.
Belum sempat pulih dari kekagetanku untuk menghitung sampai dua, Edward sudah
kembali. Ia memeluk pinggangku dan menarikku dengan gesit ke dapur. Matanya
menyapu cepat seisi ruangan, dan ia merapatkan tubuhku ke tubuhnya seolah-olah
melindungiku dari sesuatu. Aku melirik Charlie yang duduk di sofa, tapi ayahku
sengaja mengabaikan kami.
"Barusan ada yang datang ke sini." bisik Edward di telingaku setelah menarikku
ke ujung dapur. Nadanya tegang; sulit mendengarnya di tengah berisiknya suara
mesin cuci. "Berani sumpah, tidak ada werewolf..." kataku.
"Bukan mereka," Edward buru-buru menyela, menggelengkan kepala. "Salah seorang
dari kami." Dari nadanya kentara sekali yang ia maksud bukanlah salah seorang anggota
keluarganya. Aku merasa darah surut dari wajahku, "Victoria?" tanyaku, suaraku tercekat.
"Aku tidak mengenali baunya."
"Salah seorang keluarga Volturi," aku menduga.
"Mungkin." "Kapan?" "Itulah sebabnya menurutku ini salah seorang dari mereka - karena kejadiannya
belum lama, pagi-pagi sekali, waktu Charlie masih tidur. Dan siapa pun itu, dia
tidak menyentuh Charlie, jadi pasti ada tujuan lain."
"Mencariku." Edward tidak menyahut. Tubuhnya membeku, seperti patung.
"Kenapa kalian bisik-bisik begitu?" tanya Charlie curiga, mendadak muncul dengan
membawa mangkuk popcorn yang sudah kosong.
Aku merasa mual. Ada vampir datang ke rumah mencariku saat Charlie sedang tidur.
Panik melandaku, membuat kerongkonganku bagai tercekik. Aku tak mampu menjawab,
hanya memandangi Charlie dengan sangat ketakutan.
Ekspresi Charlie berubah. Mendadak ia nyengir. "Kalau kalian sedang
bertengkar... well, aku tidak mau mengganggu."
Masih nyengir, Charlie meletakkan mangkuknya di bak cuci, lalu melenggang keluar
ruangan. "Ayo kita pergi." ajak Edward dengan suara pelan yang kaku.
"Tapi Charlie!" Perasaan takut itu meremas dadaku, membuatku sulit bernapas,
Edward menimbang-nimbang sejenak, dan sejurus kemudian tangannya sudah memegang
ponsel. "Emmett," gumam Edward di corong telepon. Ia mulai berbicara cepat sekali hingga
aku tidak memahami kata-katanya. Pembicaraan selesai dalam setengah menit. Lalu
ia kembali menarikku ke pintu.
"Emmett dan Jasper sedang dalam perjalanan ke sini," bisiknya saat merasakan
penolakanku, "Mereka akan menyisir hutan. Charlie aman."
Lalu kubiarkan Edward menyeretku, terlalu panik untuk bisa berpikir jernih.
Charlie masih memandangku dengan cengiran puas, namun ketika ia melihat mataku
yang memancarkan sorot ketakutan, tatapannya serta-merta berubah jadi bingung.
Edward sudah berhasil menyeretku ke luar pintu sebelum Charlie sempat mengatakan
apa-apa. "Kita mau ke mana?" Aku masih terus berbisik-bisik, bahkan setelah kami berada
di mobil. "Kita akan bicara dengan Alice," kata Edward, volumenya normal tapi nadanya
muram. "Menurutmu mungkin dia melihat sesuatu?"
Edward memandang lurus ke jalan dengan mata menyipit. "Mungkin."
Mereka menunggu kami, karena sudah diperingatkan
Edward melalui telepon. Rasanya seperti berjalan memasuki museum, semua berdiri
diam seperti patung dalam berbagai variasi pose stres.
"Apa yang terjadi?" tuntut Edward begitu kami masuk melewati pintu. Aku syok
melihatnya memelototi Alice, kedua tangan terkepal marah.
Alice berdiri dengan kedua lengan terlipat erat di dada.
Hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak. "Aku sama sekali tidak tahu. Aku tidak
melihat apa-apa." "Bagaimana bisa?" desis Edward.
"Edward," sergahku, menegurnya secara halus, Aku tidak suka ia berbicara sekasar
itu pada Alice. Carlisle menyela dengan nada menenangkan. "Ini bukan ilmu pasti, Edward."
"Orang itu masuk ke kamarnya, Alice. Bisa saja dia ada di sana-menunggu Bella."
"Aku pasti akan melihatnya."
Edward melontarkan kedua tangannya dengan sikap putus asa. "Betulkah" Kau
yakin?" Suara Alice dingin waktu menjawab. "Kau sudah menyuruhku berjaga-jaga, melihat
kalau-kalau keluarga Volturi sudah mengambil keputusan, melihat apakah Victoria
kembali, mengawasi setiap langkah Bella. Mau menambahkan tugas lain" Apakah aku
juga harus mengawasi Charlie, atau kamar Bella, atau rumahnya, atau seantero
jalannya sekalian" Edward, kalau terlalu banyak yang harus kulakukan. selalu ada
kemungkinan ada yang luput dari perhatian."
"Kelihatannya memang sudah ada yang luput dari perhatian," bentak Edward.
"Keselamatan Bella tidak pernah terancam. Tidak ada yang perlu dilihat." .
"Kalau kau memang mengawasi Italia, kenapa kau tidak melihat mereka mengirim...
" "Kurasa pelakunya bukan orang suruhan mereka." bantah Alice bersikeras. "Kalau
suruhan mereka, aku pasti bisa melihatnya."
"Siapa lagi yang akan membiarkan Charlie hidup?" Aku bergidik.
"Entahlah," jawab Alice.
"Membantu sekali."
"Hentikan, Edward," bisikku.
Edward berpaling padaku, wajahnya masih terlihat garang, rahangnya terkatup
rapat. Ia menatapku galak selama setengah detik, kemudian, tiba-tiba,
mengembuskan napas. Matanya membelalak dan rahangnya mengendur. "Kau benar,
Bella. Maafkan aku." Dipandanginya Alice. "Maafkan aku, Alice. Seharusnya aku
tidak melampiaskannya padamu. Ini sungguh keterlaluan."
"Aku mengerti." Alice meyakinkan Edward. "Aku juga bingung memikirkannya."
Edward menarik napas dalam-dalam. "Oke, mari kita telaah dengan pikiran logis.
Apa saja kemungkinannya?"
Seketika itu juga ketegangan yang dirasakan semua orang tampak mencair. Alice
rileks dan bersandar ke punggung sofa. Carlisle berjalan pelan-pelan menghampiri
Alice, matanya menerawang jauh. Esme duduk di sofa di depan Alice, melipat
kakinya ke kursi. Hanya Rosalie yang tetap tak bergerak, berdiri memunggungi
kami, memandang ke dinding kaca.
Edward mendudukkan aku di sofa dan aku duduk di sebelah Esme, yang mengubah
posisi dan merangkul bahuku. Edward menggenggam sebelah tanganku erat-erat
dengan kedua tangan. "Victoria?" tanya Carlisle.
Edward menggeleng. "Bukan, Aku tidak mengenali baunya. Mungkin salah seorang
anak buah Volturi, yang belum pernah kutemui."
Alice menggeleng. "Aro belum menyuruh siapa pun mencari Bella. Aku pasti akan
melihatnya. Aku sedang menunggu hal itu."
Edward tersentak. "Kau mengawasi datangnya perintah resmi."
"Jadi menurutmu ada yang bertindak sendiri" Kenapa?"
"Ide Cains," duga Edward, wajahnya kembali menegang.
"Atau Jane ," kata Alice. "Mereka sama-sama memiliki kemampuan untuk mengirimkan
vampir yang tidak dikenal."
Edward memberengut. "Dan sama-sama punya motivasi"
"Tapi itu tidak masuk akal," tukas Esme. "Siapa pun itu, kalau dia bermaksud
menunggu Bella, Alice pasti akan melihatnya. Dia tidak bermaksud mencelakakan
Bella. Atau Charlie, dalam hal ini."
Aku mengkeret mendengar nama ayahku disebut.
"Tenanglah, Bella," bisik Esme, mengelus-elus rambutku.
"Tapi apa tujuannya, kalau begitu?" Carlisle merenung.
"Mengecek apakah aku masih manusia?" aku menduga.
"Mungkin," Carlisle membenarkan.
Rosalie mengembuskan napas, cukup keras untuk terdengar olehku. Ia sudah mencair
dari kebekuannya, dan wajahnya kini berpaling ke dapur dengan sikap penuh harap.
Edward, di lain pihak, terlihat kecewa.
Emmett menerjang masuk melalui pintu dapur, Jasper tepat di belakangnya.
"Sudah pergi, berjam-jam yang lalu." Emmett mengumumkan, kecewa. "Jejaknya
mengarah ke Timur, kemudian selatan, dan menghilang ke jalan kecil. Ada mobil
yang menunggu di sana."
"Sial," gerutu Edward. "Padahal kalau dia pergi ke barat... well, akhirnya
anjing-anjing itu akan berguna."
Aku meringis, dan Esme mengusap bahuku.
Jasper menatap Carlisle. "Kami tidak mengenalinya. Tapi ini."
Jasper mengulurkan sesuatu yang berwarna hijau dan kisut. Carlisle menerimanya
dan mendekatkan benda itu ke wajahnya. Kulihat, saat benda itu berpindah tangan,
ternyata itu ranting pakis yang patah. "Mungkin kau mengenali baunya."
"Tidak." jawab Carlisle. "Tidak kenal. Bukan seseorang yang pernah bertemu
denganku." "Mungkin kita semua salah duga. Mungkin ini hanya kebetulan... ," Esme mulai
menyampaikan pemikirannya, tapi terhenti saat melihat semua mata memandangnya
dengan sorot tak percaya. "Maksudku, bukan kebetulan ada orang asing memilih
datang ke rumah Bella secara acak. Maksudku, mungkin saja orang itu hanya ingin
tahu. Bau kita menempel kuat di tubuh Bella. Mungkinkah dia penasaran apa yang
menarik kita ke sana?"
"Kalau begitu, kenapa dia tidak langsung datang ke sini" Kalau dia memang hanya
ingin tahu?" tuntut Emmett.
"Kalau kau pasti akan berbuat begitu," kata Esme dengan senyum sayang yang tiba-
tiba merekah. "Tapi vampir lain belum tentu melakukan hal yang sama. Keluarga
kira sangat besar-bisa jadi dia takut. Tapi Charlie
tidak diapa-apakan. Jadi belum tentu dia musuh."
Hanya penasaran. Seperti James dan Victoria dulu juga penasaran, pada awalnya"
Membayangkan Victoria saja sudah membuatku gemetar, walaupun satu hal yang
sangat mereka yakini adalah, tamu tak diundang ini bukan Victoria. Kali ini
bukan. Victoria akan tetap pada pola obsesifnya. Ini pasti vampir lain, vampir
asing. Pelan tapi pasti, aku akhirnya menyadari jumlah vampir di dunia ini ternyata
lebih banyak daripada yang awalnya kukira. Seberapa sering sebenarnya manusia
berpapasan dengan mereka, tapi tidak menyadarinya" Berapa banyak kematian, yang
dilaporkan sebagai korban kejahatan dan kecelakaan, yang sebenarnya diakibatkan
para vampir kehausan" Sesesak apa sebenarnya dunia baru ini nanti saat aku
akhirnya bergabung" Masa depan yang masih terbungkus rapat itu membuat sekujur tubuhku bergidik.
Keluarga Cullen memikirkan perkataan Esme barusan dengan ekspresi berbeda-beda.
Kentara sekali Edward tidak menerima teori itu, sementara Carlisle sangat ingin
menerimanya. Alice mengerucutkan bibir, "Menurutku tidak begitu. Waktunya terlalu tepat...
Tamu tak diundang itu sangat berhati-hati untuk tidak melakukan kontak. Seolah-
olah dia tahu kalau dia menyentuh sesuatu, aku akan melihatnya."
"Mungkin dia punya alasan lain untuk tidak menyentuh sesuatu." Esme mengingatkan
Alice. "Apakah penting mengetahui siapa tamu tak diundang itu?" tanyaku. "Yang jelas,
memang ada yang mencariku... apakah itu bukan alasan yang cukup kuat" Sebaiknya
kita tidak menunggu sampai kelulusan."
"Tidak, Bella," sergah Edward cepat. "Masalahnya tidak segawat itu. Kalau kau
benar-benar dalam bahaya, kami pasti akan tahu."
"Pikirkan Charlie," Carlisle mengingatkanku. "Pikirkan betapa sedihnya dia kalau
kau tiba-tiba menghilang."
"Aku justru memikirkan Charlie! Justru karena aku mengkhawatirkan dia! Bagaimana
kalau tamu tak diundang itu kebetulan haus semalam" Selama aku berada di dekat
Charlie, dia juga akan menjadi target. Kalau terjadi apa-apa padanya, itu semua
salahku!" "Itu tidak benar, Bella," kata Esme, menepuk-nepuk kepalaku. "Dan Charlie akan


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik-baik saja. Kita hanya harus lebih berhati-hati."
"Lebih berhati-hati," ulangku dengan nada tidak percaya.
"Semua pasti beres, Bella," janji Alice.
Edward meremas tanganku. Dan jelaslah bagiku, saat melihat wajah-wajah rupawan mereka satu demi satu,
bahwa apa pun yang kukatakan, takkan bisa mengubah pendirian mereka.
Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak diam. Aku frustrasi. Meski sudah
menyampaikan alasan yang kedengarannya masuk akal, aku masih tetap manusia.
"Kau tidak akan sendirian sedetik pun." Edward berjanji saat mengantarku pulang
ke rumah Charlie. "Akan selalu ada yang menjagamu. Emmett, Alice, Jasper... "
Aku mendesah. "Konyol, Mereka pasti akan bosan setengah mati. Jangan-jangan
mereka sendiri yang akan membunuhku nanti, hanya supaya ada kerjaan."
Edward memandangiku masam. "Lucu sekali, Bella."
Suasana hati Charlie sedang bagus waktu kami sampai di rumah. Ia melihat
ketegangan di antara aku dan Edward, dan salah mengartikannya. Diawasinya
kesibukanku memasak makan malam dengan senyum kemenangan tersungging di
wajahnya. Edward pergi sebentar, untuk melihat-lihat keadaan, asumsiku, tapi
Charlie menunggu sampai Edward kembali untuk menyampaikan pesan yang ia terima.
"Jacob menelepon lagi." kata Charlie begitu Edward datang.
Kubiarkan wajahku datar tanpa ekspresi saat meletakkan piring di hadapannya.
"Benarkah?" Charlie mengernyit. "Jangan picik begitu, Bella. Kedengarannya dia merana
sekali." "Jacob membayar Dad jadi humasnya, atau Dad membantunya secara sukarela?"
Charlie menggerutu panjang-pendek tidak jelas padaku sampai makanan tiba dan
membungkam omelannya. Meski tidak menyadarinya, teguran Charlie tadi tepat mengenal sasaran.
Hidupku memang bagaikan permainan ular tangga sekarang ini-apakah aku akan dapat
ular saat dadu berikutnya dilemparkan" Bagaimana kalau benar-benar terjadi
sesuatu pada diriku nanti" Rasanya aku lebih dari
sekadar picik jika aku membiarkan Jacob merasa bersalah atas apa yang dia
katakan tadi. Tapi aku tidak mau bicara dengannya saat Charlie ada, karena aku harus sangat
berhati-hati agar tidak salah omong. Memikirkan ini membuatku iri pada hubungan
Jacob dan Billy. Betapa mudahnya hidup kalau tak ada yang perlu kaurahasiakan
dari orang yang tinggal serumah denganmu.
Kuputuskan untuk menunggu sampai esok pagi, Besar kemungkinan aku tidak akan
mati malam ini, jadi tak ada salahnya membuat Jacob merasa bersalah hingga dua
belas jam lagi. Bahkan mungkin itu bagus Untuk memberinya pelajaran.
Setelah Edward berpamitan malam ini, aku bertanya-tanya dalam hati siapa
gerangan yang akan bertugas di tengah hujan deras malam ini, menjaga Charlie dan
aku, Aku merasa tak enak hati pada Alice atau siapa pun orangnya, meski tak
urung merasa tenang juga. Harus kuakui itu melegakan, tahu aku tidak sendirian.
Dan Edward kembali secepat kilat.
Lagi,lagi Edward meninabobokan aku sampai tertidur dan-menyadari bahwa dia ada
meskipun aku sedang tidur-tidurku nyenyak sekali, bebas dari mimpi buruk.
Esok paginya, Charlie sudah berangkat memancing bersama Deputi Mark sebelum aku
bangun. Kuputuskan untuk memanfaatkan waktu kosong tanpa pengawasan ini untuk
berbuat baik. "Aku akan membebaskan Jacob dari perasaan bersalahnya." aku mewanti-wanti Edward
begitu selesai sarapan. "Sudah kuduga kau pasti akan memaafkan dia." Edward menanggapi sambil tersenyum
enteng. "Kau memang tidak berbakat mendendam."
Aku memutar bola mata, tapi senang mendengarnya. Kelihatannya Edward benar-benar
sudah tidak mempermasalahkan pergaulanku dengan werewolf.
Aku tidak melihat jam sampai setelah menghubungi nomor telepon rumah Jacob.
Ternyata masih agak terlalu pagi untuk menelepon, dan aku sempat khawatir akan
membangunkan Billy dan Jake, tapi teleponku langsung diangkat pada deringan
kedua, jadi dia pasti tidak sedang jauh-jauh dari pesawat telepon.
"Halo?" sebuah suara muram menyahut.
"Jacob." "Bella!" pekiknya. "Oh, Bella, aku benar-benar minta maaf!" Kata-kata itu
berhamburan susul-menyusul dari mulut Jacob, begitu terburu-buru ingin
mengungkapkan semuanya. "Sumpah, aku tidak bermaksud berkata begitu. Aku memang
bodoh. Aku marah - tapi itu bukan alasan, Itu hal paling bodoh yang pernah
kuucapkan seumur hidup dan aku minta maaf. jangan marah padaku, please" Please.
Seumur hidup jadi budakmu pun aku mau - asal kau mau memaafkanku."
"Aku tidak marah, Kau sudah dimaafkan."
"Terima kasih." Jacob mengembuskan napas keras-keras. "Aku tak percaya aku bisa
sebodoh itu." "Jangan khawatir soal itu-aku sudah terbiasa."
Jacob tertawa, lega bukan main. "Datanglah ke sini." pintanya. "Aku ingin
membayar kelakuan burukku kemarin."
Aku mengerutkan kening. "Bagaimana caranya?"
"Apa saja yang kau mau. Terjun dari tebing." Jacob mengusulkan, tertawa lagi.
"Oh, itu baru ide brilian."
"Aku akan menjagamu." janji Jacob. "Apa pun yang ingin kaulakukan."
Kulirik Edward. Wajahnya sangat tenang, tapi aku yakin sekarang bukan saat yang
tepat. "Tidak sekarang."
"Dia tidak suka padaku, kan" Sekali ini suara Jacob lebih terdengar malu
ketimbang getir. "Bukan itu masalahnya. Ada... well, ada masalah lain yang sedikit lebih
mengkhawatirkan daripada werewolf remaja yang bandel... " Aku berusaha
memperdengarkan nada bergurau, tapi ternyata tak berhasil mengelabui Jacob.
"Ada apa?" tuntutnya.
"Ehm." Aku tak yakin apakah sebaiknya memberitahu dia.
Edward mengulurkan tangan padaku, meminta untuk bicara pada Jacob. Kupandangi
wajahnya dengan saksama. Sepertinya Edward cukup tenang.
"Bella?" tanya Jacob.
Edward mendesah, tangannya terulur semakin dekat.
"Apa kau keberatan bicara dengan Edward?" tanyaku, was-was. "Dia ingin bicara
denganmu." Jacob terdiam lama sekali.
"Oke." Jacob akhirnya setuju, "Ini pasti menarik."
Kuserahkan gagang telepon kepada Edward; mudah-mudahan ia membaca sorot
peringatan di mataku. "Halo, Jacob," sapa Edward, sopan sekali.
Sunyi. Aku menggigit bibir, berusaha menebak bagaimana Jacob menanggapi sapaan
Edward. "Ada yang datang ke sini... baunya tidak kukenal." Edward menjelaskan. "Apakah
kawananmu menemukan sesuatu yang baru?"
Diam lagi, sementara Edward mengangguk-angguk, tidak terkejut.
"Jadi begini, Jacob. Aku tidak akan melepaskan pengawasanku terhadap Bella
sampai masalah ini beres. Harap jangan tersinggung."
Jacob memotong kata-kata Edward, dan aku bisa mendengar dengung suaranya dari
corong telepon, Apa pun yang ia katakan, kedengarannya lebih bersungguh-sungguh
daripada sebelumnya. Aku tidak bisa mendengar kata-kata Jacob.
"Mungkin kau benar...," Edward mulai berbicara, tapi Jacob mendebatnya lagi.
Setidaknya, kedengarannya mereka tidak marah.
"Usul yang menarik. Kami sangat bersedia melakukan negosiasi ulang. Jika Sam
setuju." Suara Jacob kini lebih pelan. Aku mulai menggigit-gigit ibu jariku saat berusaha
membaca ekspresi Edward. "Terima kasih." sahut Edward.
Lalu Jacob mengatakan sesuatu yang membuat ekspresi kaget melintas di wajah
Edward. "Sebenarnya, aku berencana pergi sendiri." kata Edward, menjawab pertanyaan yang
tidak disangka-sangka itu, "Supaya yang lainnya bisa menjaga Bella."
Suara Jacob naik satu oktaf dan kedengarannya ia berusaha meyakinkan Edward.
"Aku akan berusaha mempertimbangkannya secara objektif," Edward berjanji.
"Seobjektif yang mampu kulakukan."
Kali ini diamnya lebih pendek.
"Idemu tidak buruk, Kapan" ...Tidak, tidak apa-apa. Sebenarnya aku sendiri juga
ingin mengikuti jejaknya. Sepuluh menit... tentu." kata Edward. Ia menyodorkan
telepon padaku. "Bella?"
Pelan-pelan aku menerimanya, bingung.
"Apa yang kalian bicarakan tadi?" aku bertanya pada Jacob, suaraku jengkel. Aku
tahu ini kekanak-kanakan, tapi aku merasa tersisih.
"Gencatan senjata, kurasa. Hei, kau bisa membantuku." Jacob menyarankan.
"Cobalah meyakinkan si pengisap darah bahwa tempat teraman untukmu - terutama
saat dia tidak ada - adalah di reservasi. Kami mampu mengatasi masalah apa pun."
"Jadi itukah yang tadi kauusulkan padanya?"
"Ya. Masuk akal, kan" Mungkin sebaiknya Charlie berada di sini juga. Sesering
mungkin." "Minta Billy membujuknya." aku setuju. Aku tidak suka membayangkan Charlie
berada dalam jangkauan sasaran tembak yang sepertinya selalu terarah padaku.
"Apa lagi?" "Hanya mengatur ulang beberapa perbatasan, supaya kami bisa menangkap siapa pun
yang berada terlalu dekat dengan Forks. Aku tidak yakin apakah Sam mau
melakukannya, tapi sampai dia bisa diyakinkan, aku akan terus berjaga-jaga."
"Apa maksudmu "berjaga-jaga'?"
"Maksudku, kalau kau melihat serigala berlari-lari di sekitar rumahmu, jangan
ditembak." "Tentu saja tidak. Tapi tidak seharusnya kau
melakukan... hal-hal riskan."
Jacob mendengus. "Jangan bodoh, Aku bisa menjaga diri."
Aku mendesah. "Aku juga berusaha meyakinkan dia untuk membiarkanmu datang berkunjung. Dia
tidak suka pada kami, jadi jangan termakan ocehannya tentang keselamatan. Dia
sama tahunya dengan aku, bahwa kau pasti aman di sini."
"Akan kuingat baik-baik."
"Sampai ketemu sebentar lagi." kata Jacob.
"Kau akan ke sini?"
"Yeah. Aku akan mengendus bau si tamu tak diundang supaya kami bisa melacaknya
kalau dia kembali nanti."
"Jake, aku benar-benar tidak suka membayangkan kau melacak... "
"Oh please, Bella," selanya. Jacob tertawa, kemudian menutup telepon.
10. BAU SUNGGUH kekanak-kanakan. Kenapa Edward harus pergi sebelum Jacob datang"
Bukankah kami sudah melupakan hal-hal kekanakan seperti ini"
"Bukan berarti aku memiliki antagonisme pribadi terhadapnya, Bella, tapi itu
lebih mudah bagi kami berdua." Edward berkata di ambang pintu. "Aku tidak akan
berada jauh dari sini. Kau akan aman."
"Bukan itu yang kukhawatirkan."
Edward tersenyum, kemudian secercah ekspresi licik terpancar dari matanya. Ia
menarikku ke dekatnya, mengubur wajahnya di rambutku. Bisa kurasakan embusan
napasnya yang dingin membasahi helai-helai rambutku saat ia mengembuskan napas;
bulu kuduk di tengkukku langsung meremang.
"Aku akan segera kembali," ucapnya, kemudian tertawa keras-keras, seolah-olah
baru saja melontarkan lelucon yang lucu sekali.
"Apanya yang lucu?"
Tapi Edward hanya nyengir, lalu melesat ke arah pepohonan tanpa menjawab.
Menggerutu sendiri, aku beranjak untuk membersihkan dapur. Sebelum sempat
mengisi bak cuci sampai penuh, bel pintu sudah berbunyi, Sulit membiasakan diri
dengan kenyataan bahwa Jacob justru bisa datang jauh lebih cepat tanpa naik
mobil. Sebal juga rasanya, bagaimana semua orang sepertinya bisa bergerak jauh
lebih cepat daripada aku...
"Masuklah, Jake!" teriakku.
Aku sedang berkonsentrasi pada tumpukan piring dalam air bersabun hingga lupa
kalau belakangan ini Jacob bisa berjalan tanpa suara. Maka aku pun terlonjak
kaget waktu suaranya tiba-tiba terdengar di belakangku.
"Kenapa kau membiarkan pintumu tidak dikunci seperti itu" Oh, maaf."
Aku terciprat air cucian piring ketika kehadiran Jacob membuatku terlonjak
kaget. "Aku tidak mencemaskan orang yang bisa dihalangi dengan pintu terkunci," tukasku
sambil menyeka bagian depan bajuku dengan lap.
"Memang benar," Jacob sependapat.
Aku berpaling untuk memandanginya, menatapnya dengan pandangan kritis.
"Memangnya kau benar-benar tidak bisa mengenakan baju, ya, Jacob?" tanyaku.
Lagi-lagi Jacob bertelanjang dada, tidak memakai apa-apa kecuali jins usang yang
dipotong pendek, Diam-diam aku curiga apakah Jacob memang sengaja ingin
memamerkan otot-otot barunya yang kekar. Harus kuakui, otot-ototnya memang
mengesankan - tapi menurutku Jacob bukan tukang pamer. "Aku tahu kau tidak
pernah kedinginan lagi, tapi tetap saja."
Jacob melarikan jemarinya di rambutnya yang basah; rambut itu menjuntai ke
matanya. "Begini lebih mudah." ia menjelaskan.
"Apanya yang lebih mudah?"
Jacob tersenyum sinis, "Membawa-bawa celana pendek saja sudah cukup merepotkan,
apalagi baju dan celana lengkap. Memangnya aku keledai pengangkut?"
Keningku berkerut. "Kau ini bicara apa sih, Jacob?"
Ekspresi Jacob menyiratkan kemenangan, seolah-olah aku luput memerhatikan
sesuatu yang sudah sangat jelas. "Bajuku tidak ikut menghilang dan muncul lagi
setiap kali aku berubah bentuk - jadi aku harus membawanya sambil berlari. Maaf
kalau aku tidak ingin membawa beban terlalu banyak."
Wajahku merah padam. "Itu sama sekali tidak terpikir olehku." gumamku.
Jacob tertawa dan menunjuk tali kulit hitam setipis benang rajut yang dililitkan
tiga kali di tungkai kirinya, menyerupai gelang. Barulah aku sadar ia juga
bertelanjang kaki. "Itu kupakai bukan untuk bergaya-tidak enak rasanya membawa-
bawa jins di mulut."
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Jacob nyengir, "Apakah keadaanku yang setengah telanjang ini membuatmu risi?"
"Tidak." Jacob tertawa lagi, dan aku memunggunginya untuk berkonsentrasi pada piring-
piring yang sedang kucuci. Mudah-mudahan ia menyadari wajahku merah padam karena
malu oleh kebodohanku sendiri, bukan karena pertanyaannya barusan.
"Well, sebaiknya aku langsung saja mulai." Jacob mendesah.
"Aku tidak mau memberinya alasan untuk mengatakan bahwa aku tidak melakukan
bagianku dengan benar." "Jacob, kau tak perlu..."
Jacob mengangkat tangan, menghentikan perkataanku.
"Aku melakukannya atas dasar sukarela. Sekarang, di mana bau si tamu tak
diundang itu paling kuat tercium?"
"Di kamarku, mungkin."
Mata Jacob menyipit. Ia tidak menyukai kenyataan itu, sama seperti Edward.
"Tunggu sebentar."
Dengan tekun aku menyikat piring yang kupegang. Satu-satunya suara yang
terdengar hanyalah bunyi sikat plastik menggesek-gesek permukaan keramik, Aku
memasang telinga, berusaha mendengarkan suara dari atas, derit lantai papan,
bunyi pintu ditutup. Tapi tidak terdengar apa-apa.
Sadarlah aku bahwa aku sudah menyikat piring yang sama lebih lama daripada
seharusnya, jadi aku berusaha memusatkan perhatian pada apa yang sedang
kukerjakan. "Fiuuh!" seru Jacob, beberapa sentimeter di belakangku, lagi-lagi membuatku
melompat kaget. "Aduh, Jake, jangan mengagetkanku terus!"
"Maaf. Ayo... " Jacob meraih lap dan mengeringkan tumpahan air. "Aku akan
'menebus' dosa-dosaku. Kau mencuci, aku yang membilas dan mengeringkan."
"Baiklah." Kusodorkan piring itu padanya,
"Well, baunya cukup kuat, Omong-omong, kamarmu bau sekali."
"Nanti aku beli pengharum ruangan."
Jacob tertawa. Selama beberapa menit berikutnya, aku mencuci dan Jacob mengeringkan sambil
berdiam diri. "Boleh aku tanya sesuatu?"
Aku mengulurkan piring lagi padanya. "Tergantung pada apa yang ingin kauketahui"
"Bukan maksudku ikut campur atau bagaimana - aku benar-benar ingin tahu." Jacob


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha meyakinkanku. "Baik. Silakan, tanya saja."
Jacob terdiam sebentar, "Bagaimana rasanya-punya pacar vampir?"
Aku memutar bola mataku. "Asyik sekali."
"Aku serius. Apakah itu tidak pernah membuatmu merasa terganggu - tidak pernah
membuatmu ngeri?" "Tidak pernah."
Jacob terdiam saat mengambil mangkuk dari tanganku. Kulirik wajahnya-kening
Jacob berkerut, bibir bawahnya mencebik.
"Ada lagi?" tanyaku.
Jacob mengernyitkan hidungnya lagi. "Well, aku hanya ingin tahu ... apakah ...
ehh, kau berciuman dengannya?"
Aku tertawa. "Ya."
Jacob bergidik. "Ugh."
"Orang kan beda-beda." gumamku.
"Memangnya kau tidak takut pada taringnya?"
Kutinju lengan Jacob, tubuhnya terciprat air cucian piring. "Tutup mulutmu,
Jacob! Kau tahu dia tidak punya taring!"
"Cukup mirip dengan taring!" gerutu Jacob.
Aku menggertakkan gigi dan dengan gemas menyikat pisau dapur.
"Boleh aku bertanya lagi?" tanya Jacob lirih waktu aku menyerahkan pisau itu
padanya. "Hanya ingin tahu."
"Baiklah," bentakku.
Jacob membolak-balik pisau di tangannya di bawah kucuran air. Saat berbicara,
suaranya hanya berupa bisikan. "Katamu kemarin beberapa minggu lagi.... Kapan,
persisnya...?" Ia tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.
"Kelulusan," aku balas berbisik, menatap wajahnya waswas. Apakah ini akan
membuatnya mengamuk lagi"
"Cepat sekali," desah Jacob, matanya terpejam.
Kedengarannya bukan pertanyaan. Melainkan ratapan.
Otot-otot lengan Jacob mengeras dan bahunya mengejang.
"ADUH!" teriak Jacob; suasana di dapur begitu sunyi sampai-sampai aku melompat
kaget mendengar teriakannya.
Tangan kanan Jacob menggenggam erat mata pisau - ia membuka genggaman dan pisau
itu jatuh berdenting di konter, Di telapak tangannya tampak segaris luka panjang
dan dalam. Darah mengalir ke jari-jarinya dan menetes ke lantai,
"Brengsek! Aduh!" maki Jacob.
Segera saja kepalaku pusing dan perutku berontak. Aku berpegangan erat-erat ke
konter dengan satu tangan, menarik napas dalam-dalam lewat mulut, dan memaksa
diri untuk tenang supaya bisa menolongnya.
"Oh, tidak, Jacob! Oh, brengsek! Ini, belitkan di tanganmu!"
Aku menyodorkan lap piring itu padanya, meraih tangannya. Jacob menepis
tanganku. "Tidak apa-apa, Bella, jangan khawatir."
Seisi ruangan mulai tampak berpendar-pendar dan kabur di sisi-sisinya.
Aku kembali menarik napas dalam-dalam. "Jangan khawatir"! Tanganmu teriris
pisau!" Jacob tak menggubris lap yang kusodorkan padanya. Ia meletakkan tangannya di
bawah keran dan membiarkan air mengalir membersihkan lukanya. Air yang mengucur
berubah warna menjadi merah. Kepalaku berputar.
"Bella." kata Jacob.
Aku memalingkan muka, tak mau melihat lukanya, dan mendongak menatap wajah
Jacob. Kening Jacob berkerut, tapi ekspresinya tenang.
"Apa?" "Kau kelihatan seperti mau pingsan, dan bibirmu kaugigiti. Hentikan. Rileks.
Tarik napas panjang. Aku tidak apa-apa."
Aku menghirup udara melalui mulut dan berhenti menggigit bibit bawahku. "Jangan
sok kuat." Jacob memutar bola matanya.
"Ayo. Kuantar kau ke UGD," Aku yakin sekali masih mampu menyetir. Dinding-
dinding tidak tampak bergoyang-goyang lagi, setidaknya.
"Tidak perlu," Jake mematikan air dan mengambil lap dari tanganku. Ia melilitkan
lap itu dengan longgar ke telapak tangan.
"Tunggu." protesku. "Coba kulihat." Tanganku semakin erat mencengkeram konter,
berjaga-jaga agar tidak jatuh kalau nanti luka itu membuatku pusing lagi.
"Memangnya kau punya gelar dokter tapi tidak pernah memberitahuku, ya?"
"Pokoknya beri aku kesempatan untuk memutuskan apakah aku perlu mengamuk atau
tidak untuk membawamu ke rumah sakit."
Jacob mengernyitkan wajah dengan sikap pura-pura ngeri.
"Please, jangan mengamuk!"
"Kalau aku tidak boleh melihat tanganmu, dijamin aku pasti mengamuk."
Jacob menghela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan suara keras,
"Baiklah." Dibukanya belitan lap itu dan, waktu aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya,
Jacob meletakkan tangannya di tanganku.
Dibutuhkan waktu beberapa detik. Aku bahkan sampai membalikkan tangannya,
walaupun aku yakin telapak tangannya tadi terluka. Kubalikkan lagi tangan itu,
akhirnya menyadari yang tersisa dari lukanya hanyalah goresan berwarna pink tua.
"Tapi... tadi kau berdarah... banyak sekali."
Jacob menarik tangannya, matanya menatap mataku, tenang dan kalem.
"Lukaku sembuh dengan cepat."
"Betul sekali." sahutku tanpa suara.
Padahal aku tadi melihat luka yang panjang itu dengan jelas, melihat darah yang
mengalir ke bak cuci. Bau darah yang seperti karat bercampur garam bahkan nyaris
membuatku pingsan. Luka seperti itu seharusnya dijahit.
Seharusnya dibutuhkan waktu berhari-hari agar luka itu mengering, dan baru
berminggu-minggu kemudian menjadi segores bekas luka warna pink mengilat seperti
yang kini menghiasi kulit Jacob.
Mulut Jacob berkerut, membentuk senyum separo, lalu menepukkan tinjunya ke dada.
"Werewolf, ingat?" Matanya menatapku lama sekali.
"Benar," ujarku akhirnya.
Jacob tertawa melihat ekspresiku. "Aku kan sudah pernah menceritakannya padamu.
Kau juga pernah melihat bekas luka Paul."
Aku menggeleng untuk menjernihkan pikiran, "Tapi sedikit lain kalau melihat
urutan kejadiannya dengan mata kepala sendiri."
Aku berlutut dan mengeluarkan botol berisi cairan pemutih dari rak di bawah bak
cuci. Kemudian aku menuangkan sedikit ke lap dan mulai menggosok-gosok lantai.
Bau cairan pemutih yang membakar melenyapkan
sisa-sisa pusing dari kepalaku.
"Biar aku saja yang membersihkan." kata Jacob.
"Tidak usah. Tolong masukkan saja lap ini ke mesin cuci."
Setelah aku yakin lantai tidak berbau apa-apa lagi kecuali bau cairan pemutih,
aku bangkit dan membilas bak cuci sebelah kanan dengan cairan pemutih, Kemudian
aku pergi ke ruang cuci di sebelah pantry, dan menuangkan satu tutup botol penuh
cairan pemutih ke mesin cuci sebelum menyalakannya. Jacob mengamati kesibukanku
dengan ekspresi tidak setuju tergambar di wajahnya.
"Kau mengidap kelainan jiwa obsesif-kompulsif ya?" tanyanya begitu aku selesai.
Hah. Mungkin. Tapi paling tidak kali ini alasanku tepat. "Di sini kami agak
sensitif dengan darah. Aku yakin kau bisa memahami hal itu."
"Oh." Jacob mengernyitkan hidungnya lagi.
"Kenapa tidak membuat keadaan menjadi semudah mungkin baginya" Apa yang dia
lakukan sekarang sudah cukup berat."
"Tentu, tentu. Kenapa tidak?"
Kutarik sumbat bak, dan membiarkan air kotor terisap masuk ke saluran
pembuangan. "Boleh aku tanya sesuatu, Bella?"
Aku mendesah. "Bagaimana rasanya-punya sahabat werewolf?"
Pertanyaan itu membuatku kaget. Aku tertawa keras-keras.
"Menakutkan tidak bagimu?" desak Jacob sebelum aku bisa menjawab.
"Tidak. Kalau werewolf-nya sedang bersikap baik, rasanya menyenangkan sekali,"
kataku. Jacob nyengir lebar, giginya cemerlang berlatar belakang kulitnya yang cokelat
kemerahan. "Trims, Bella." katanya, kemudian menyambar tanganku dan memelukku erat sekali
sampai nyaris meremukkan tulang-tulangku.
Belum sempat aku bereaksi, ia sudah melepas pelukannya dan mundur menjauh.
"Ugh," omelnya, hidungnya mengernyit. "Rambutmu lebih bau daripada kamarmu."
"Maaf" gumamku. Mendadak aku sadar apa yang ditertawakan Edward tadi, setelah
bernapas begitu dekat di rambutku.
"Satu dari sekian banyak risiko bergaul dengan vampir," tukas Jacob, mengangkat
bahu. "Baumu jadi tidak keruan.
Risiko kecil tapi, kalau dibandingkan risiko-risiko lain."
Kupelototi dia. "Aku hanya berbau tidak enak bagimu, Jake."
Jake menyeringai. "Sampai ketemu lagi, Bells." "Kau sudah mau pulang?"
"Dia menungguku pergi. Aku bisa mendengarnya di luar."
"Oh." "Aku akan keluar lewat pintu belakang." kata Jacob, kemudian berhenti. "Tunggu
sebentar-hei, menurutmu bisa tidak kau datang ke La Push nanti malam" Ada pesta
api unggun. Emily akan datang, dan kau juga bisa berkenalan dengan Kim... Dan
aku tahu Quil ingin bertemu denganmu juga. Dia agak kesal karena kau tahu lebih
dulu daripada dia." Aku nyengir membayangkannya. Bisa kubayangkan bagaimana jengkelnya Quil
mengetahui hal itu - teman perempuan manusia Jacob bergaul dengan werewolf
sementara ia malah belum tahu apa-apa. Kemudian aku mendesah. "Yeah, Jake, aku
tidak bisa memastikan. Begini, keadaan agak tegang sekarang ini..."
"Ayolah, mungkinkah ada yang bisa menerobos pertahanan semua-kami berenam?"
Ada jeda aneh setelah Jacob terbata-bata di akhir pertanyaan. Aku bertanya-tanya
dalam hari, apakah ia kesulitan mengucapkan kata werewolf dengan suara keras,
seperti aku sering mengalami kesulitan mengucapkan kata vampir.
Mata hitamnya yang besar tanpa malu-malu dipenuhi sorot memohon.
"Akan kutanyakan." kataku ragu.
Jacob mengeluarkan suara yang kedengarannya seperti geraman pelan. "Jadi dia
sekarang sipirmu juga" Tahu tidak, minggu lalu aku melihat berita tentang gaya
pacaran remaja yang terlalu menguasai dan senang menyiksa-"
"Oke!" kupotong kata-katanya, kemudian kudorong lengannya. "Saatnya bagi
werewolf untuk pulang!"
Jacob nyengir. "Bye, Bells. Pastikan kau minta izin padanya."
Ia sudah kabur lewat pintu belakang sebelum aku bisa menemukan sesuatu untuk
dilempar. Aku mengomel panjang lebar di ruangan yang kosong.
Beberapa detik setelah Jacob pergi, Edward berjalan lambat-lambat memasuki
dapur, butiran-butiran air hujan berkilau bagaikan berlian di rambutnya yang
berwarna perunggu. Sorot matanya kecut.
"Apakah kalian berkelahi?" tanyanya.
"Edward!" seruku, menubruknya.
"Halo." Ia tertawa dan memelukku. "Kau berusaha mengalihkan perhatianku, ya"
Caramu berhasil." "Tidak, aku tidak berkelahi dengan Jacob. Tidak terlalu. Kenapa?"
"Aku hanya penasaran kenapa kau menusuknya. Bukan berarti aku keberatan." Dengan
dagunya, Edward menuding pisau di konter.
"Astaga! Kukira aku sudah membersihkan semuanya." Aku melepaskan diri darinya
dan berlari untuk meletakkan pisau di bak cuci sebelum mengucurinya dengan
cairan pemutih, "Aku tidak menusuknya." jelasku sambil terus bekerja. "Dia lupa sedang memegang
pisau." Edward terkekeh. "Ternyata tidak seseru yang kubayangkan."
"Jangan begitu."
Edward mengeluarkan amplop besar dari saku jaketnya dan melemparnya ke konter,
"Ada surat untukmu."
"Kabar baik?" "Aku pikir begitu."
Mataku menyipit curiga mendengar nadanya. Aku beranjak untuk memeriksa.
Edward melipat amplop besar itu menjadi dua. Aku melicinkannya, terkejut saat
merasakan kertasnya yang tebal dan mahal, lalu membaca alamat pengirimnya.
"Dartmouth" Apa ini leluconmu?"
"Aku yakin ini surat pernyataan diterima. Bentuknya mirip sekali dengan
punyaku." "Ya ampun, Edward-apa yang kaulakukan?" "Aku mengirimkan aplikasimu, itu saja."
"Mungkin aku memang bukan calon yang tepat untuk Dartmouth, tapi aku tidak
sebodoh itu hingga percaya hal ini."
"Sepertinya Dartmouth menganggapmu calon yang tepat."
Aku menghela napas dalam-dalam dan menghitung pelan-pelan sampai sepuluh. "Baik
hati benar mereka." ujarku akhirnya. "Namun, diterima atau tidak, tetap ada
masalah uang kuliah. Aku tidak sanggup membayarnya, dan aku tidak mau kau
menghambur-hamburkan uang yang jumlahnya cukup untuk membeli mobil sport lagi
hanya supaya aku bisa pura-pura masuk Dartmouth tahun depan."
"Aku tidak butuh mobil sport lagi. Dan kau tidak perlu berpura-pura," ujar
Edward. "Setahun kuliah kan bukan masalah besar. Mungkin kau bahkan akan
menyukainya. Pikirkan baik-baik, Bella. Bayangkan betapa senangnya Charlie dan
Renee nanti..." Suara Edward yang selembut beledu melukiskan gambaran itu di kepalaku sebelum
aku sempat mencegahnya. Sudah pasti Charlie akan bangga bukan kepalang - tidak
ada seorang warga Forks pun yang bakal luput mendengar, cerita bangga Charlie.
Dan Renee pasti histeris saking girangnya mendengar keberhasilanku - walaupun
dia pasti akan bersumpah sama sekali tidak terkejut....
Aku berusaha menepis bayangan itu dari kepalaku. "Edward. Membayangkan menjalani
hidup sampai kelulusan saja aku sudah tidak sanggup, apalagi sampai musim panas
atau musim gugur yang akan datang."
Lengan Edward memelukku lagi. "Tidak ada yang akan mencelakakanmu. Kau masih
punya banyak waktu."
Aku mendesah. "Aku akan mengirimkan seluruh isi rekeningku ke Alaska besok,
Hanya itu alibi yang kubutuhkan. Jaraknya cukup jauh hingga Charlie paling cepat
baru akan mengharapkan kepulanganku saat Natal nanti. Dan aku yakin pasti bisa
memikirkan alasan untuk tidak datang saat itu. Kau tahu." godaku setengah hati,
"hidup menyimpan rahasia dan selalu membohongi orang rasanya sedikit
menyusahkan." Ekspresi Edward mengeras. "Semakin lama akan semakin mudah. Beberapa dekade
mendatang, semua orang yang kaukenal akan mati. Jadi masalahmu beres."
Aku tersentak. "Maaf, ucapanku tadi kasar."
Aku menunduk, menatap amplop putih besar itu tanpa benar-benar melihatnya. "Tapi
benar." "Kalau aku berhasil menyelesaikan masalah ini, apa pun yang kita hadapi ini,
maukah kau mempertimbangkan untuk menunggu?"
"Tidak." "Selalu saja keras kepala."
"Yep." Mesin cuci berguncang keras dan mesinnya terbatuk-batuk lalu mati.
"Dasar barang rongsokan," gerutuku sambil melepaskan diri dari pelukan Edward.
Kupindahkan lap piring kecil yang membuat mesin cuciku yang kosong-melompong itu
mogok, lalu kunyalakan lagi.
"Aku jadi ingat," kataku. "Bisakah kautanyakan pada Alice di mana dia menyimpan
barang-barangku yang diambilnya waktu membersihkan kamarku" Sudah kucari ke
mana-mana, tapi tidak ketemu."
Edward menatapku bingung. "Alice membersihkan kamarmu?"
" Yeah, kurasa itulah yang dia lakukan. Waktu dia datang untuk mengambil piama,
bantal, dan barang-barang untuk keperluan menyanderaku." Kupelototi Edward
sejenak. "Dia mengambil semua barang yang berserakan, baju-baju, kaus kaki, dan
aku tidak tahu di mana dia menyimpannya."
Wajah Edward tetap terlihat bingung beberapa saat lagi, tapi kemudian, mendadak,
tubuhnya mengejang kaku. "Kapan kau menyadari barang-barangmu hilang?"
"Sepulang dari pesta piama gadungan itu, Kenapa?"
"Menurutku bukan Alice yang mengambil barang-barangmu. Baik baju maupun bantal,
Barang-barang yang diambil itu, apakah itu benda-benda yang sudah kaupakai...
kausentuh.. dan kau tiduri?"
"Ya. Ada apa sebenarnya, Edward?"
Ekspresi Edward mengeras. "Benda-benda dengan bau tubuhmu."
"Oh!" Kami berpandangan lama sekali.
"Tamu tak diundang itu." gumamku.
"Dia mengumpulkan jejak-jejak... bukti. Untuk membuktikan dia sudah
menemukanmu?"

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" bisikku.
"Entahlah, Tapi, Bella, aku bersumpah akan mencari tahu. Pasti."
"Aku tahu kau pasti bisa," kataku, meletakkan kepalaku di dadanya. Saat
bersandar di sana, aku bisa merasakan ponsel di sakunya bergetar.
Edward mengeluarkan ponselnya dan memandangi nomor yang tertera di layar.
"Kebetulan." gumamnya, kemudian membuka ponselnya. "Carlisle, aku... Ia terdiam
dan mendengarkan, raut wajahnya penuh konsentrasi selama beberapa menit. "Akan
kuperiksa. Dengar..."
Edward menjelaskan tentang barang-barangku yang hilang, tapi dari sisi yang bisa
kudengar, kelihatannya Carlisle juga tidak bisa memberi masukan.
"Mungkin aku akan pergi..," kata Edward, suaranya menghilang saat matanya
melirik ke arahku. "Mungkin tidak. Jangan biarkan Emmett pergi sendirian, kau
tahu bagaimana dia. Paling tidak minta Alice untuk terus berjaga-jaga. Kita
bereskan persoalan ini nanti."
Edward menutup kembali ponselnya. "Mana surat kabarmu?" tanyanya.
"Eh, entahlah. Kenapa?"
"Ada yang perlu kulihat. Apa Charlie sudah membuangnya?"
"Mungkin." Edward menghilang. Setengah detik kemudian ia kembali, rambutnya lagi-lagi dihiasi butiran air
hujan yang menyerupai berlian, tangannya memegang koran yang basah. Ia
membentangkan koran itu di meja, matanya menyapu judul-judul beritanya dengan
cepat. Ia membungkukkan badan, perhatiannya terfokus pada berita yang sedang
dibacanya, satu jari menyusuri baris-baris yang paling menarik perhatiannya.
"Carlisle benar... ya... ceroboh sekali. Muda dan sinting" Atau memang ingin
mati?" Edward bergumam sendiri.
Aku mencoba melongok dari balik bahunya.
Judul berita surat kabar Seattle Times itu berbunyi:
"Epidemi Pembunuhan Berlanjut-Polisi Tak Punya Petunjuk Baru".
Beritanya nyaris mirip dengan yang dikeluhkan Charlie beberapa minggu lalu-
kejahatan kota besar yang mendongkrak Seattle ke puncak tangga daftar kota yang
tingkat pembunuhannya paling tinggi.
"Makin gawat," gumamku.
Kening Edward berkerut. "Benar-benar tak terkendali. Tidak mungkin ini hasil
perbuatan satu vampir baru. Apa yang terjadi sebenarnya" Seolah-olah mereka
belum pernah mendengar tentang keluarga Volturi. Itu mungkin saja, kurasa. Tidak
ada yang pernah menjelaskan aturan-aturannya pada mereka... jadi siapa yang
menciptakan mereka?"
"Keluarga Volturi?" ulangku, bergidik.
"Hal seperti inilah yang secara rutin mereka tangani-kaum imortal yang membuat
keberadaan kami terancam diketahui. Keluarga Volturi baru saja membereskan
kekacauan seperti ini beberapa tahun yang lalu di Atlanta. padahal keadaan waktu
itu tidak separah sekarang. Tak lama lagi mereka pasti akan mengintervensi,
sebentar lagi, kecuali kita bisa mencari cara untuk menenangkan situasi, Aku
benar-benar lebih suka mereka tidak datang ke Seattle sekarang. Kalau mereka
berada sedekat ini... mereka mungkin akan mengecek keadaanmu."
Lagi-lagi aku bergidik. "Apa yang bisa kita lakukan?"
"Kita harus mengetahui lebih banyak sebelum bisa memutuskan, Mungkin kalau kita
bisa bicara dengan anak-anak muda ini, menjelaskan peraturan-peraturannya,
keadaan bisa kembali tenang," Kening Edward berkerut, seolah pesimis itu bakal
berhasil. "Akan kita tunggu sampai Alice mengetahui apa yang terjadi .. Jangan
sampai kita ikut campur sebelum betul-betul perlu. Bagaimanapun, itu bukan
tanggung jawab kita. Untunglah kita punya Jasper," imbuh Edward, seolah pada
dirinya sendiri. "Saat menghadapi vampir muda, dia bisa sangat membantu."
"Jasper" Kenapa?"
Edward tersenyum misterius. "Bisa dibilang Jasper itu ahlinya vampir muda."
"Apa maksudmu, ahlinya?"
"Kau harus tanya sendiri padanya-ceritanya rumit"
"Benar-benar kacau." gerutuku.
"Rasanya memang seperti itu, ya" Seolah-olah masalah datang bertubi-tubi dari
segala penjuru." Edward mendesah. "Apa menurutmu kehidupanmu akan lebih mudah
kalau kau tidak jatuh cinta padaku?"
"Mungkin. Bukan kehidupan yang menyenangkan, tapi."
"Bagiku," Edward mengoreksi pelan. "Dan sekarang," sambungnya dengan senyum
kecut, "kurasa kau pasti ingin meminta sesuatu dariku?"
Kupandangi Edward dengan tatapan kosong. "Minta apa?"
"Atau mungkin tidak" Edward nyengir. "Kalau tidak salah, sepertinya kau tadi
berjanji akan minta izinku untuk menghadiri semacam acara kumpul-kumpul dengan
para werewolf malam ini."
"Menguping lagi, ya?"
Edward nyengir. "Hanya sedikit, di bagian akhir."
"Well, sebenarnya aku tidak berniat minta izin darimu. Kupikir kau sudah cukup
banyak pikiran." Edward meletakkan tangannya di bawah daguku, memeganginya sehingga ia bisa
membaca mataku. "Kau ingin pergi?"
"Itu bukan hal besar. Tidak perlu dikhawatirkan."
"Kau tidak perlu meminta izinku, Bella. Aku bukan ayahmu - syukurlah. Tapi
mungkin seharusnya kau bertanya pada Charlie."
"Tapi kau tahu Charlie pasti akan mengizinkan."
"Aku memang lebih bisa melihat jawaban yang mungkin dia lontarkan daripada
kebanyakan orang, itu benar."
Aku hanya menatap Edward, berusaha memahami jalan pikirannya, dan mencoba
menepis kerinduan untuk pergi ke La Push dari pikiranku agar aku tidak.
digoyahkan keinginan-keinginanku sendiri, Rasanya bodoh kepingin nongkrong
dengan segerombolan cowok-serigala besar padahal saat ini begitu banyak hal
mengerikan dan tidak bisa dijelaskan sedang terjadi. Tentu saja, justru karena
itulah aku ingin pergi. Aku ingin melepaskan diri sejenak dari ancaman kematian,
meskipun hanya untuk beberapa jam... menjadi Bella yang kekanak-kanakan dan
ceroboh, yang bisa menertawakan semua masalah dengan Jacob, meski hanya sesaat.
Tapi itu bukan masalah. "Bella," kata Edward. "Sudah kubilang, aku akan berusaha bersikap lebih
bijaksana dan memercayai penilaianmu. Aku tidak main-main. Kalau kau memercayai
para werewolf itu, aku pun tidak akan khawatir soal mereka."
"Wow," ucapku, sama seperti semalam.
"Dan Jacob benar - mengenai satu hal setidaknya - sekawanan werewolf seharusnya
bisa melindungi, bahkan dirimu, untuk satu malam."
"Kau yakin?" "Tentu saja. Tapi..."
Aku bersiap-siap mendengar kabar buruk.
"Kuharap kau tidak keberatan kuminta berhari-hari" Membolehkan aku mengantarmu
sampai ke perbatasan, pertama. Dan kedua, membawa ponsel, supaya aku tahu kapan
harus menjemputmu?" "Kedengarannya... sangat masuk akal."
"Bagus sekali."
Edward tersenyum padaku, dan aku tidak melihat setitik pun kecemasan di matanya
yang bagaikan permata itu.
Tepat seperti yang sudah diduga, Charlie sama sekali tidak keberatan aku pergi
ke La Push untuk pesta api unggun. Jacob berseru-seru kegirangan waktu aku
meneleponnya untuk mengabarkan berita itu, dan sepertinya ia cukup bersemangat
hingga mau menerima syarat-syarat pengamanan yang diajukan Edward. Ia berjanji
akan menemui kami di garis perbatasan tepat pukul enam.
Aku sudah memutuskan, setelah berdebat dengan diriku sendiri sebentar, bahwa aku
tidak akan menjual motorku. Aku akan membawanya kembali ke La Push, ke tempat
seharusnya dan, kalau aku sudah tidak membutuhkannya lagi... well, kelak, aku
akan mendesak Jacob untuk mengambil keuntungan dari basil jerih payahnya. Ia
bisa menjual motor itu atau memberikannya kepada seorang teman. Tidak masalah
bagiku. Malam ini sepertinya merupakan kesempatan baik untuk mengembalikan motor itu ke
garasi Jacob. Dengan perasaan yang selalu muram belakangan ini, setiap hari
sepertinya bisa saja jadi kesempatan terakhir, Aku tak punya waktu untuk
menunda-nunda melakukan tugas apa pun, tak peduli betapa sepelenya tugas itu.
Edward hanya mengangguk ketika aku menjelaskan keinginanku, tapi kalau tak salah
aku sempat melihat secercah sorot muram di matanya. Aku tahu, seperti halnya
Charlie, ia juga tidak suka membayangkan aku mengendarai motor.
Kuikuti Edward kembali ke rumahnya, ke garasi tempat aku meninggalkan motorku.
Setelah memasukkan trukku dan turun, aku baru sadar kemuraman kali ini mungkin
tidak sepenuhnya berkaitan dengan keselamatanku.
Di sebelah motor antik kecilku, membuatnya terlihat minder, tampak kendaraan
lain. Menyebut kendaraan lain ini sebagai sepeda motor rasanya kurang tepat,
karena kendaraan itu sepertinya tidak masuk dalam rumpun yang sama dengan
motorku yang tiba-tiba saja terlihat bobrok.
Kendaraan itu besar, mulus, berwarna perak, dan-bahkan saat sedang tidak
bergerak-tampak sangat cepat.
"Apa itu?" "Bukan apa-apa." gumam Edward. "Kelihatannya tidak seperti itu."
Ekspresi Edward biasa-biasa saja; sepertinya ia bertekad untuk tidak membesar-
besarkan hal itu. "Well, aku tak yakin apakah kau akan memaafkan temanmu, atau
apakah dia akan memaafkanmu, dan aku bertanya-tanya apakah kau tetap ingin
mengendarai motormu, Kedengarannya kau sangat menikmati naik motor. Jadi kupikir
aku bisa pergi bersamamu, kalau kau mau." Edward mengangkat bahu.
Kupandangi sepeda motor mewah itu, Di sampingnya, motorku terlihat seperti
sepeda roda tiga bobrok. Gelombang kesedihan tiba-tiba melandaku saat aku menyadari mungkin ini analogi
yang tepat untuk menggambarkan bagaimana aku terlihat di samping Edward.
"Aku takkan sanggup mengimbangi kecepatanmu." bisikku.
Edward mengangkat daguku supaya bisa menatap wajahku. Dengan satu jari ia
mencoba mendorong sudut mulutku ke atas.
"Aku yang akan mengimbangimu, Bella."
"Tapi rasanya takkan menyenangkan bagimu." "Tentu menyenangkan, kalau kita
bersama-sama." Aku menggigit bibir dan membayangkannya sejenak.
"Edward, kalau menurutmu aku mengendarai motor terlalu cepat atau kehilangan
kendali atau semacamnya, apa yang akan kaulakukan?"
Edward ragu-ragu sejenak, kentara sekali berusaha menemukan jawaban yang tepat.
Aku tahu jawabannya: ia akan menemukan cara untuk menyelamatkanku sebelum aku
celaka. Kemudian Edward tersenyum. Senyumnya tulus, kecuali sorot matanya yang mendadak
berubah defensif. "Ini sesuatu yang kaulakukan bersama Jacob. Aku mengerti sekarang."
"Masalahnya, well, Jacob tak perlu terlalu memelankan laju motornya. Aku bisa
mencoba, mungkin..."
Kupandangi sepeda motor perak itu dengan sikap ragu.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan." kata Edward, kemudian tertawa renyah. ''Aku
melihat Jasper mengagumi motor ini. Mungkin sudah saatnya dia memakai cara baru
untuk bepergian. Lagi pula, Alice sudah punya Porsche sekarang."
"Edward, aku... "
Edward memotong perkataanku dengan ciuman cepat. "Sudah kubuang tidak usah
dipikirkan. Tapi maukah kau melakukan sesuatu untukku?"
"Apa pun yang kaubutuhkan," aku buru-buru berjanji.
Edward melepas wajahku dan mencondongkan tubuh ke bagian samping sepeda motor
besarnya, mengeluarkan sesuatu yang disimpannya di sana.
Ia kembali sambil membawa benda berwarna hitam tak berbentuk, dan benda lain
berwarna merah yang mudah dikenali.
"Please?" pinta Edward, memamerkan senyum miring yang selalu mampu mengenyahkan
penolakanku. Kuambil helm merah itu, menimang-nimangnya. "Aku pasti kelihatan konyol."
"Tidak, justru akan terlihat pintar. Cukup pintar untuk tidak mencelakakan diri
sendiri." Disampirkannya benda hitam itu, apa pun itu, ke lengannya, kemudian
merengkuh wajahku dengan tangannya. "Aku tak bisa hidup tanpa wajah yang berada
dalam genggamanku ini. Tolong jaga dirimu baik-baik."
"Oke, baik. Yang satu itu apa?" tanyaku curiga.
Edward tertawa dan menunjukkan sejenis jaket berlapis busa yang tebal. "Ini
jaket khusus untuk naik motor. Kudengar terpaan angin di jalan sangat keras,
walaupun aku belum pernah merasakannya sendiri."
Edward mengulurkan jaket itu padaku. Sambil menghela napas dalam-dalam,
kusibakkan rambutku ke belakang dan kujejalkan kepalaku ke dalam helm. Lalu aku
menyurukkan kedua tangan ke lengan jaket. Edward mengancingkannya untukku,
sudut-sudut mulutnya terangkat membentuk senyum, lalu mundur selangkah.
Aku merasa sangat gendut. "Jujur saja, aku jelek sekali, ya?"
Edward mundur selangkah lagi dan mengerucutkan bibir.
"Sejelek itu?" gerutuku.
"Tidak, tidak, Bella. Sebenarnya..." Edward sepertinya berusaha keras mencari
kata yang tepat. "Kau terlihat... seksi"
Aku tertawa keras-keras. "Yang benar saja." "Seksi sekali, sungguh."
"Kau bicara begitu hanya supaya aku mau memakainya," tukasku. "Tapi tidak apa-
apa. Kau benar, begini memang lebih bijaksana."
Edward memelukku dan menarikku ke dalam pelukannya. "Kau benar-benar konyol.
Kurasa itu bagian dari pesonamu. Walaupun, harus kuakui, ada ruginya juga
memakai helm ini." Kemudian Edward melepas helm itu agar bisa menciumku.
Saat Edward mengantarku ke La Push tak lama kemudian, aku tersadar situasi yang
belum pernah terjadi sebelumnya ini anehnya terasa familier. Butuh waktu
beberapa saat untuk menentukan sumber perasaan deja vu
ini. "Tahukah kau ini mengingatkanku pada apa?" tanyaku.
"Rasanya seperti waktu aku masih kecil dan Renee mengantarku pada Charlie selama
musim panas. Aku merasa seperti anak-anak yang berumur tujuh tahun."
Edward tertawa. Aku tidak terang-terangan mengatakannya, tapi perbedaan terbesar antara dua
situasi ini adalah bahwa hubungan Renee dan Charlie lebih baik daripada Edward
dan Jacob. Kira-kira setengah perjalanan menuju La Push, kami mengitari tikungan jalan dan
mendapati Jacob bersandar di Volkswagen merah yang direparasi sendiri olehnya.
Ekspresi netral Jacob mencair membentuk senyum waktu aku melambai dari kursi
depan. Edward memarkir Volvo-nya hampir tiga puluh meter jauhnya.
"Telepon aku kapan pun kau siap pulang." pesannya. "Dan aku akan menjemputmu di
sini." "Aku tidak akan pulang terlalu malam," janjiku.
Edward mengeluarkan motor dan perlengkapan baruku dari bagasi mobilnya-aku kagum
semua itu bisa muat di dalamnya. Tapi mungkin tidak terlalu sulit kalau kau
cukup kuat untuk mengangkat mobil van, apalagi hanya sepeda motor kecil begini.
Jacob mengawasi, tak bergerak sedikit pun untuk mendekat, senyumnya lenyap dan
sorot mata gelapnya tidak bisa dibaca.
Kukepit helm itu di bawah ketiak dan kulemparkan jaket itu ke atas jok motor.
"Bisa?" tanya Edward.
"Tenang saja." aku meyakinkannya.
Edward mendesah dan membungkuk ke arahku. Aku menengadahkan wajah untuk
memberinya ciuman kecil perpisahan, tapi Edward membuatku kaget, ia mendekapku
erat-erat ke dadanya dan menciumku dengan sangat antusias seperti yang
dilakukannya di garasi tadi-dalam sekejap, aku sudah megap-megap kehabisan
napas. Edward tertawa pelan, menertawakan sesuatu, kemudian melepasku.
"Selamat tinggal," ucapnya. "Aku suka sekali jaketmu."
Saat berbalik memunggunginya, aku sempat melihat kilatan di matanya yang tak
seharusnya kulihat. Khawatir, mungkin. Sesaat aku sempat mengira itu kepanikan.
Tapi mungkin aku melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, seperti biasa.
Bisa kurasakan mata Edward mengawasi punggungku saat aku mendorong sepeda
motorku ke garis perbatasan vampir-werewolf untuk menemui Jacob.
"Apa-apaan ini?" Jacob berseru kepadaku, nadanya kecut, memerhatikan motorku
dengan ekspresi membingungkan.
"Menurutku sebaiknya motor ini kukembalikan ke tempat seharusnya." kataku.
Jacob memikirkan perkataanku sejenak, kemudian senyum lebarnya merekah, membelah
wajahnya. Aku tahu di titik mana tepatnya wilayah kekuasaan werewolf karena Jacob
mendorong tubuhnya menjauhi mobil dan berlari dengan melompat-lompat cepat ke
arahku. Dalam tiga langkah saja ia sudah sampai ke tempatku. Ia mengambil motor itu
dariku, menyeimbangkannya pada sandaran, dan menyambar tubuhku, mengangkat dan
memelukku erat-erat.

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mendengar mesin Volvo menggeram, dan berjuang susah payah melepaskan diri.
"Hentikan, Jake!" aku terengah-engah kehabisan napas.
Jacob tertawa dan menurunkanku, Aku berbalik untuk melambai, tapi mobil perak
itu sudah lenyap di balik tikungan jalan.
"Bagus." komentarku, sengaja membiarkan nada jengkel menyusup dalam suaraku.
Mata Jacob membelalak, berpura-pura lugu. "Apa?"
"Sikapnya sangat baik mengenai hal ini; jangan memaksakan keberuntunganmu."
Lagi-lagi Jacob tertawa, lebih keras daripada sebelumnya - ia menganggap
perkataanku lucu sekali, Aku berusaha mengira-ngira apa yang lucu sementara
Jacob berjalan mengitari mobil Rabbit untuk membukakan pintu bagiku.
"Bella," kata Jacob akhirnya - masih terkekeh-kekeh -sambil menutup pintu
setelah aku masuk, "kau tidak bisa memaksakan apa yang tidak kaumiliki."
11. LEGENDA "Kau mau makan hot dog itu tidak?" Paul bertanya kepada Jacob, matanya terpaku
pada makanan terakhir yang masih tersisa dari begitu banyaknya hidangan yang
telah dihabiskan para werewolf.
Jacob bersandar di lututku dan memainkan hot dog yang ditusukkan ke gantungan
baju logam yang diluruskan; api di ujung api unggun menjilat-jilat kulit sosis
yang gosong. Ia mengembuskan napas dan menepuk-nepuk perutnya. Entah bagaimana
perutnya masih datar, meskipun sudah tak bisa kuhitung lagi berapa banyak hot
dog yang dimakannya setelah yang kesepuluh,
"Kurasa begitu." jawab Jacob lambat-lambat. "Perutku penuh sekali hingga rasanya
kepingin muntah, tapi kalau kupaksa, sepertinya masih bisa, Tapi aku tidak akan
menikmatinya sama sekali." Jacob mengembuskan napas lagi dengan sedih.
Walaupun Paul sudah makan setidaknya sebanyak yang dimakan Jacob, ia memelototi
Jacob dan mengepalkan kedua tinju.
"Waduh," Jacob tertawa. "Bercanda, Paul. Ini." Dilemparnya tusukan buatan
sendiri itu ke seberang lingkaran. Kupikir hot dog-nya bakal jatuh mencium
pasir, tapi dengan cekatan Paul menangkap ujungnya tanpa kesulitan.
Bergaul dengan orang-orang yang luar biasa cekatan setiap saat, lama-lama bakal
membuatku minder. "Trims, man," seru Paul, sudah melupakan kemarahan singkatnya tadi.
Api berderak, semakin mendekat ke pasir. Bunga api meledak, tiba-tiba
menyemburkan seberkas warna jingga terang di langit yang hitam. Lucu, aku tidak
sadar matahari telah terbenam. Untuk pertama kalinya aku ingin tahu sudah selarut apa sekarang.
Aku benar-benar lupa waktu. Ternyata lebih mudah nongkrong dengan teman-teman
Quileute-ku daripada yang kuduga.
Waktu Jacob dan aku mengantar sepeda motorku ke garasi - dan ia dengan muram
mengakui helm itu ide bagus yang seharusnya terpikir olehnya - aku mulai
khawatir memikirkan reaksi yang akan kuterima saat muncul di acara api unggun
itu, Dalam hari aku bertanya-tanya apakah para werewolf akan menganggapku
pengkhianat sekarang. Apakah mereka akan marah pada Jacob karena mengajakku"
Apakah aku akan merusak suasana pesta" Tapi ketika Jacob menarikku keluar dari
hutan ke tempat pertemuan di puncak tebing-tempat api unggun sudah menyala lebih
terang daripada matahari yang tertutup awan - suasana begitu santai dan ceria.
"Hai, cewek vampir!" Embry menyapaku dengan suara keras.
Quil melompat untuk tos dan mencium pipiku.
Emily meremas tanganku waktu kami duduk di tanah berbatu yang dingin di
sampingnya dan Sam. Selain beberapa keluhan bernada menyindir-kebanyakan dilontarkan Paul - tentang
membuat bau pengisap darah tercium karena aku duduk searah dengan arah angin,
aku diperlakukan sebagai bagian dari kelompok ini.
Ternyata yang hadir bukan hanya anak-anak, Ada Billy, yang kursi radanya
ditempatkan di posisi kepala lingkaran. Di sebelahnya, di kursi lipat, tampak
sangat rapuh, duduk kakek Quil yang sudah tua dan berambut putih, Quil Tua.
Sue Clearwater, janda teman Charlie, Harry, duduk di kursi di sebelah sang
kakek: kedua anaknya, Leah dan Seth, juga ada di sana, duduk di tanah seperti
kami-kami yang lain. Ini membuatku terkejut, tapi sekarang mereka bertiga jelas
sudah mengetahui rahasia ini. Menilik cara Billy dan Quil Tua berbicara kepada
Sue, kedengarannya Sue menggantikan tempat Harry di dewan. Apakah itu lantas
membuat anak-anaknya otomatis menjadi anggota kelompok paling rahasia di La
Push" Dalam hati aku bertanya-tanya, sulitkah bagi Leah duduk berseberangan dengan Sam
dan Emily" Wajah cantiknya tak menunjukkan emosi apa pun, tapi ia tidak pernah
mengalihkan pandangan dari lidah api. Menatap garis-garis wajah Leah yang
sempurna, aku tidak bisa tidak membandingkannya dengan wajah Emily yang hancur,
Apa pendapat Leah tentang bekas luka Emily, setelah sekarang ia tahu hal
sebenarnya di batik bekas-bekas luka itu"
Si kecil Seth Clearwater sekarang tidak kecil lagi.
Dengan seringaian lebarnya yang ceria serta perawakannya yang jangkung dan
sangar, ia sangat mengingatkanku pada Jacob dulu. Kemiripan itu membuatku
tersenyum, kemudian mendesah. Apakah Seth juga akan mengalami nasib yang sama,
hidupnya berubah drastis sebagaimana halnya cowok-cowok lain itu" Apakah karena
masa depan itu maka ia dan keluarganya diizinkan berada di sini"
Seluruh anggota kawanan ada di sana: Sam dengan Emily-nya, Paul, Embry, dan
Jared. dengan Kim, gadis yang diimprint-nya.
Kesan pertamaku terhadap Kim adalah bahwa ia gadis yang baik, sedikit pemalu,
dan agak biasa. Wajahnya lebar, dengan tulang pipi menonjol dan mata yang
kelewat kecil untuk mengimbanginya. Hidung dan mulutnya terlalu lebar untuk
standar kecantikan tradisional, Rambut hitam lurusnya tipis dan lemas ditiup
angin yang rasanya tak pernah mau berhenti bertiup di puncak tebing seperti ini.
Itu kesan pertamaku. Tapi setelah beberapa jam memerhatikan Jared memandangi
Kim, aku tak lagi menganggap gadis itu biasa-biasa saja.
Cara Jared menatapnya! Seperti orang buta melihat matahari untuk pertama
kalinya. Seperti kolektor menemukan lukisan Da Vinci yang belum ditemukan,
seperti ibu menatap wajah anak yang baru dilahirkannya.
Sorot mata Jared yang penuh kekaguman membuatku melihat hal-hal baru mengenai
Kim - bagaimana kulitnya tampak bagaikan sutra cokelat kemerahan dalam nyala
api, bagaimana bentuk bibirnya merupakan kurva ganda yang sempurna, bagaimana
gigi putihnya tampak sangat indah mengintip di sela bibir itu, betapa panjang
bulu matanya, menyapu pipinya saat ia memandang ke bawah.
Kulit Kim terkadang berubah gelap saat matanya bertemu tatapan takjub Jared, dan
ia kemudian cepat-cepat menunduk seolah malu, tapi ia sendiri tak bisa
mengalihkan pandangannya dan Jared untuk waktu cukup lama.
Memandangi mereka, aku merasa seolah-olah bisa lebih memahami apa yang
diceritakan Jacob padaku tentang imprint sebelumnya-sulit menolak komitmen dan
pemujaan dalam tingkat seperti itu.
Kim kini duduk bersandar di dada Jared dengan kepala mengangguk-angguk, kedua
lengan Jared merangkulnya. Aku membayangkan Kim pasti merasa hangat sekali di
sana. "Sekarang sudah malam sekali," bisikku pada Jacob.
"Jangan bicara begitu dulu." Jacob balas berbisik- walaupun jelas bahwa setengah
anggota kelompok di sini memiliki pendengaran yang cukup sensitif untuk
mendengar pembicaraan kami. "Bagian terbaik justru belum dimulai."
"Bagian terbaik apa" Kau menelan sapi bulat-bulat?"
Jacob mengumandangkan tawanya yang serak dan rendah. "Tidak. Itu penutupnya.
Tujuan pertemuan itu bukan sekadar melahap makanan yang jumlahnya cukup untuk
seminggu. Teknisnya, ini pertemuan dewan. Ini pertemuan pertama Quil dan dia
belum mendengar ceritanya. Well, dia sudah mendengarnya, tapi ini pertama
kalinya dia tahu cerita-cerita itu benar, Itu cenderung membuat seseorang jadi
lebih memerhatikan. Kim, Seth, dan Leah juga baru pertama kali datang."
"Cerita-cerita?"
Jacob cepat-cepat beringsut kembali ke sampingku, tempat aku bersandar di tebing
baru yang rendah. Ia merangkul bahuku dan berbisik pelan di telingaku.
"Sejarah yang selama ini kami pikir hanyalah legenda," kata Jacob. "Kisah-kisah
keberadaan kami. Yang pertama adalah kisah tentang para pejuang roh."
Hampir seolah-olah bisikan lirih Jacob merupakan kata pengantar pembuka cerita.
Atmosfer mendadak berubah di sekeliling api unggun yang berkobar rendah. Paul
dan Embry duduk lebih tegak. Jared menyenggol Kim dan dengan lembut menarik
tubuhnya agar duduk lebih tegak.
Emily mengeluarkan buku tulis berjilid spiral serta bolpoin, lagaknya mirip
pelajar yang siap mendengarkan kuliah penting. Sam menggeser tubuhnya sedikit di
sampingnya-sehingga Sam kini menghadap ke arah yang sama dengan Quil Tua, yang
duduk di samping Sam - dan mendadak aku sadar para tua-tua dewan di sini
jumlahnya bukan tiga, melainkan empat.
Leah Clearwater, wajahnya masih berupa topeng cantik tanpa emosi, memejamkan
mata-bukan seperti sedang lelah, tapi seperti mencoba berkonsentrasi. Adik
lelakinya mencondongkan tubuh ke arah para tua-tua dengan penuh semangat.
Api berkeretak, percikan bunga api kembali terlontar, gemerlap di malam yang
gelap. Billy berdeham-deham membersihkan tenggorokan, dan, tanpa merasa perlu memberi
kata pengantar lagi, mulai mengisahkan ceritanya dengan suara yang dalam dan
berwibawa, Kata-katanya mengalir mantap, seolah-olah ia sudah menghafalnya luar
kepala, tapi juga dengan penuh perasaan dan irama yang halus. Seperti puisi yang
dibacakan sendiri oleh penulisnya.
"Sejak awal suku Quileute merupakan suku kecil," cerita Billy. "Dan walaupun
sampai sekarang jumlah kita masih sedikit, namun kita tidak pernah punah. Ini
karena sejak dulu ada suatu kekuatan magis dalam darah kita. Bukan kemampuan
berubah wujud - itu baru dimiliki belakangan. Awalnya, kita adalah pejuang roh."
Sebelumnya aku tak pernah mengenali wibawa dalam suara Billy Black, walaupun
sekarang kusadari, kewibawaan itu sejak dulu memang sudah ada.
Bolpoin Emily meluncur cepat menggores-gores permukaan kertas, berusaha
mengimbangi penuturan Billy.
"Pada awalnya, suku kita berdiam di pantai ini dan menjadi pembuat kapal serta
nelayan yang ahli. Tapi suku ini kecil, sementara pantai ini kaya ikan. Ada
beberapa suku lain yang menginginkan tanah kita, dan jumlah kira terlalu sedikit
untuk mempertahankannya. Suku lain yang lebih besar datang menyerang kita, dan
kita menaiki kapal-kapal untuk melarikan diri dari mereka.
"Kaheleha bukanlah pejuang roh pertama, tapi kami tidak ingat kisah-kisah lain
sebelum kisahnya. Kami tidak ingat siapa yang pertama kali menemukan kekuatan
ini, atau bagaimana kekuatan itu digunakan sebelum krisis ini.
Kaheleha adalah Kepala Suku Roh agung pertama dalam sejarah kita. Dalam situasi
yang genting ini, Kaheleha menggunakan kemampuan itu untuk mempertahankan tanah
kita. "Dia dan semua pejuangnya meninggalkan kapal - bukan raga, melainkan roh mereka.
Kaum wanita menjaga raga mereka dan mengawasi ombak, sementara kaum pria kembali
ke pantai kita dalam wujud roh.
"Mereka tidak bisa menyentuh suku musuh secara fisik, tapi mereka punya cara
lain. Konon mereka bisa meniupkan angin kencang ke perkemahan musuh; mereka bisa
meniupkan angin dahsyat yang melengking tinggi, membuat musuh-musuh mereka
takut. Konon, menurut cerita, hewan-hewan bisa melihat para pejuang roh dan
memahami mereka; hewan-hewan itu bersedia melaksanakan perintah mereka.
"Kaheleha membawa pasukan rohnya dan mengacau-balaukan para pendatang tak
diundang itu, Suku penjajah itu memiliki banyak kawanan anjing besar berbulu
tebal yang mereka gunakan untuk menarik kereta luncur di daerah utara yang
membeku. Para pejuang roh membuat anjing-anjing itu melawan tuan mereka,
kemudian mendatangkan ribuan kelelawar dari gua-gua di tebing. Mereka
menggunakan angin yang melengking untuk membantu anjing-anjing itu membuat
bingung tuan mereka. Anjing dan kelelawar menang. Mereka yang selamat tercerai-berai, menyebut pantai
kita tempat terkutuk. Anjing-anjing itu berlari liar ketika para pejuang roh
melepaskan mereka. Kaum lelaki suku Quileute kembali ke
tubuh dan istri mereka, penuh kemenangan.
"Suku-suku lain yang tinggal berdekatan, suku Hoh dan Makah, membuat perjanjian
dengan suku Quileute. Mereka tidak mau terkena kekuatan magis kita. Kita hidup
damai berdampingan dengan mereka. Setiap musuh yang datang akan dihalau oleh
para pejuang roh. "Beberapa generasi berlalu. Dan sampailah kita pada Kepala Suku Roh agung
terakhir, Taha Aki. Dia dikenal bijaksana dan cinta damai. Rakyat hidup makmur
dan bahagia di bawah pemerintahannya.
"Tapi ada satu orang, Utlapa, yang merasa tidak puas."
Desisan rendah terdengar dari sekitar api unggun. Aku tidak sempat melihat dari
mana suara itu berasal. Billy tidak menggubrisnya dan melanjutkan penuturannya.
"Utlapa adalah salah seorang pejuang roh paling kuat yang dimiliki Kepala Suku
Taha Aki-berilmu tinggi, tapi juga serakah. Dia berpendapat, rakyat seharusnya
menggunakan kemampuan magis mereka untuk menambah luas wilayah kekuasaan,
memperbudak suku Hoh dan Makah, dan membangun kerajaan.
"Perlu diketahui, saat para pejuang berada dalam bentuk roh, mereka saling
mengetahui pikiran yang lain. Taha Aki melihat apa yang diimpikan Utlapa, dan
marah padanya. Utlapa diperintahkan meninggalkan sukunya, dan tidak boleh lagi
menggunakan wujud rohnya. Utlapa lelaki kuat, tapi para pejuang yang setia
kepada Kepala Suku jauh lebih banyak. Dia tidak punya pilihan lain selain pergi.
Orang terbuang yang marah itu bersembunyi di dalam hutan di dekat situ, menunggu
kesempatan membalas dendam kepada Kepala Suku.
"Bahkan pada masa-masa damai, Kepala Suku Roh selalu waspada melindungi
rakyatnya. Sering kali dia pergi ke tempat suci rahasia di pegunungan. Dia akan
meninggalkan raganya dan terbang melintasi hutan, menyusuri tepi pantai,
memastikan tidak ada ancaman yang mendekat.
"Suatu hari, saat Taha Aki pergi untuk melaksanakan tugasnya mi, Utlapa
membuntuti. Awalnya, Utlapa banyak berencana membunuh Si Kepala Suku, tapi
rencana ini berbahaya. Jelas, para pejuang roh akan mencarinya untuk
menghabisinya, dan mereka bisa membuntutinya lebih cepat daripada kemampuannya
meloloskan diri, Ketika dia bersembunyi di balik bebatuan dan melihat Kepala
Suku bersiap-siap meninggalkan rubuhnya, rencana lain muncul dalam benaknya.
"Taha Aki meninggalkan tubuhnya di tempat rahasia dan terbang bersama angin agar
tetap bisa mengawasi rakyatnya. Utlapa menunggu sampai dia yakin wujud roh
Kepala Suku sudah berada cukup jauh.
"Taha Aki langsung tahu Urlapa bergabung dengannya dalam dunia roh, dan dia juga
tahu rencana kejam Utlapa. Dia bergegas kembali ke tempat rahasianya, tapi
bahkan angin pun tidak cukup cepat untuk menyelamatkannya.
Waktu Taha Aki sampai lagi di tempat rahasianya, tubuhnya sudah tidak ada. Tubuh
Urlapa tergeletak begitu saja di sana, tapi Utlapa tidak memberi kesempatan pada
Taha Aki untuk kembali ke dunia nyata-dia sudah
menggorok lehernya sendiri dengan tangan Taha Aki.
"Taha Aki mengikuti tubuhnya turun gunung. Dia berteriak pada Urlapa, tapi
Utlapa mengabaikannya, seolah- olah dia hanya angin biasa.
"Taha Aki melihat dengan putus asa bagaimana Urlapa mengambil tempatnya sebagai
kepala suku Quileute. Selama beberapa minggu, Utlapa tidak melakukan apa-apa
kecuali memastikan semua orang percaya dia adalah Taha Aki. Lalu perubahan-
perubahan pun dimulai-perintah pertama Urlapa adalah melarang pejuang mana pun
memasuki dunia roh. Dia mengklaim telah mendapat visi akan terjadinya bahaya,
padahal sebenarnya dia takut. Dia tahu Taha Aki menunggu kesempatan untuk
menceritakan hal sebenarnya pada pejuang roh lain. Utlapa juga takut memasuki
dunia roh, tahu Taha Aki pasti bisa dengan cepat merebut kembali tubuhnya. Jadi
impian Utlapa menguasai dunia dengan para pejuang roh mustahil diwujudkan, dan
dia menghibur diri dengan bersikap sewenang-wenang terhadap sukunya. Dia menjadi
beban-meminta perlakuan khusus yang tidak pernah dilakukan Taha Aki, mengambil
istri kedua yang masih muda dan kemudian ketiga, padahal istri pertama Taha Aki
masih hidup-sesuatu yang tak pernah dilakukan kaum lelaki suku kita. Taha Aki
melihat itu semua dengan kemarahan yang tidak berdaya.
"Akhirnya, Taha Aki berusaha membunuh tubuhnya untuk menyelamatkan sukunya dari
kesewenang-wenangan Utlapa. Dia membawa seekor serigala buas dari pegunungan,
tapi Utlapa bersembunyi di balik para pejuangnya. Waktu serigala itu membunuh
seorang pemuda yang melindungi kepala suku palsu, Taha Aki merasa sangat berduka
dan bersalah. Diperintahkannya serigala itu pergi.
"Semua kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak mudah menjadi pejuang roh,
Lebih mengerikan daripada menyenangkan saat terbebas dari raga kita, Inilah
sebabnya mereka hanya menggunakan kemampuan mereka saat benar-benar dibutuhkan.
Perjalanan seorang diri sang Kepala Suku untuk terus mengawasi rakyatnya menjadi
beban sekaligus pengorbanan. Tidak memiliki raga adalah hal yang membingungkan,
tidak nyaman, dan mengerikan. Taha Aki sudah begitu lama terpisah dengan
tubuhnya hingga pada titik ini dia merasa sangat menderita. Dia merasa
terperangkap-tidak akan pernah bisa menyeberang ke tanah akhir tempat para
leluhurnya menunggu, terperangkap dalam ketiadaan yang menyiksa selama-lamanya.
"Serigala besar itu mengikuti roh Taha Aki yang menggeliat-geliat dan mengaduh-
aduh penuh penderitaan menembus hutan. Tubuh serigala itu sangat besar untuk
jenisnya, dan rupawan. Taha Aki tiba-tiba merasa iri kepada hewan bodoh itu.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setidaknya hewan itu masih memiliki raga. Setidaknya hewan itu masih memiliki
kehidupan. Bahkan kehidupan sebagai binatang pun masih lebih baik daripada
kesadaran hampa yang mengerikan ini.
"Kemudian Taha Aki mendapat ilham yang mengubah kita semua. Dia meminta kepada
serigala besar itu untuk memberi ruang bagi rohnya, untuk berbagi raga. Serigala
itu setuju. Taha Aki memasuki tubuh serigala itu dengan lega dan bersyukur.
Memang bukan tubuh manusianya. tapi ini lebih baik daripada kehampaan dunia roh.
"Sebagai satu tubuh, manusia dan serigala itu kembali ke perkampungan di tepi
pantai. Orang-orang berlarian ketakutan, berteriak-teriak memanggil para
pejuang. Para pejuang berhamburan keluar, menyongsong serigala itu dengan tombak
mereka, Utlapa, tentu saja, bersembunyi dengan aman di dalam.
"Taha Aki tidak menyerang para pejuang. Perlahan-lahan dia mundur dari mereka,
berbicara dengan matanya dan berusaha melolongkan lagu-lagu rakyatnya. Para
pejuang mulai menyadari serigala itu bukan hewan sembarangan, bahwa ada roh yang
menguasainya. Salah seorang pejuang yang sudah tua, lelaki bernama Yut,
memutuskan untuk melanggar perintah sang kepala suku palsu dan mencoba
berkomunikasi dengan serigala itu. "Begitu Yut menyeberang ke dunia roh, Taha
Aki keluar dari tubuh serigala-binatang itu menunggu dia kembali dengan sikap
jinak-untuk bicara dengannya. Yut langsung mengetahui hal yang sebenarnya, dan
menyambut kedatangan kembali si kepala suku yang asli.
"Kemudian Urlapa datang untuk melihat apakah serigala itu telah berhasil
dikalahkan. Ketika dilihatnya Yut tergeletak tanpa roh di tanah, dikelilingi
para pejuang yang protektif Utlapa menyadari apa yang terjadi. Utlapa langsung
mencabut pisaunya dan menghambur untuk membunuh Yut sebelum dia bisa kembali ke
tubuhnya, "'Pengkhianat!" seru Udapa, dan para pejuang itu tidak tahu harus berbuat apa.
Kepala Suku sudah melarang mereka berkelana ke dunia roh, jadi kepala Suku
berhak memutuskan bagaimana menghukum mereka yang melanggar perintahnya.
"Yut melompat kembali memasuki tubuhnya, tapi Utlapa menghunus pisaunya ke leher
Yut dan menutup mulutnya dengan tangan. Tubuh Taha Aki kuat, sementara Yut sudah
lemah karena usia. Yut tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun untuk
mengingatkan para pejuang lain sebelum Utlapa membungkamnya selama-lamanya.
"Taha Aki melihat bagaimana roh Yut melayang ke negeri akhir yang tidak boleh
dimasuki Taha Aki untuk selama-lamanya. Dia merasa sangat marah, kemarahannya
jauh lebih dahsyat daripada yang pernah dirasakannya sebelumnya. Dia memasuki
tubuh serigala besar itu lagi, bermaksud mengoyak-ngoyak leher Utlapa. Tapi saat
dia menyatu dengan serigala itu, keajaiban besar terjadi.
"Kemarahan Taha Aki adalah kemarahan seorang lelaki. Cintanya terhadap rakyat
dan kebenciannya terhadap orang yang menjajah mereka terlalu besar untuk tubuh
si serigala, terlalu manusia. Serigala itu bergetar, dan-di depan mata kepala
para pejuang dan Utlapa yang syok bukan kepalang berubah menjadi manusia,
"Lelaki baru itu tidak terlihat seperti tubuh Taha Aki, Dia jauh lebih agung.
Dia adalah perwujudan daging dari roh Taha Aki. Tapi para pejuang langsung
mengenalinya, karena mereka pernah berkelana bersama roh Taha Aki.
"Utlapa mencoba lari, tapi Taha Aki memiliki kekuatan serigala dalam tubuh
barunya. Dia langsung menangkap si penjahat dan meremukkan rohnya sebelum dia
sempat melompat keluar dari tubuh curiannya.
"Rakyat bersorak-sorai begitu menyadari apa yang terjadi. Taha Aki dengan cepat
membenahi semuanya, bekerja lagi bersama rakyatnya dan mengembalikan para istri
muda ke keluarga masing-masing. Satu-satunya perubahan yang tetap dia
pertahankan adalah berakhirnya perjalanan roh. Dia tahu perjalanan roh terlalu
berbahaya, karena bisa membuat seseorang mencuri kehidupan orang lain. Dan
pejuang roh pun menghilang.
"Mulai saat itu, Taha Aki bukan serigala, bukan pula manusia. Mereka menyebutnya
Taha Aki si Serigala Besar, atau Taha Aki si Manusia Roh. Dia memimpin sukunya
selama bertahun-tahun, karena dia tidak pernah menua, Bila bahaya mengancam, dia
akan mengubah diri menjadi serigala untuk melawan atau menakut-nakuti musuh.
Rakyat hidup dalam damai. Taha Aki memiliki banyak anak laki-laki, dan sebagian
dari mereka mendapati bahwa, setelah mencapai usia dewasa, mereka juga bisa
berubah bentuk menjadi serigala. Setiap serigala berbeda, karena mereka serigala
roh dan merefleksikan manusia yang berada dalam diri mereka."
"Pantas bulu Sam seluruhnya berwarna hitam." gumam Quil pelan, nyengir. "Hatinya
hitam, bulunya hitam."
Aku begitu terhanyut dalam kisah itu, hingga syok rasanya kembali ke masa kini,
ke kelompok yang duduk mengitari api unggun yang mulai redup, Lagi-lagi dengan
perasaan syok, sadarlah aku bahwa orang-orang yang duduk mengitari api unggun
ini adalah cucu-cucu Taha Aki - entah keturunan keberapa mereka.
Api melontarkan serentetan bunga api ke langit, lidahnya bergetar dan menari-
nari, memunculkan berbagai bentuk yang nyaris tak bisa dikenali.
"Kalau begitu bulumu yang cokelat melambangkan apa?" Sam balas berbisik kepada
Quil. "Berapa manisnya dirimu?"
Billy tak menggubris olok-olok mereka. "Sebagian anak-anak lelaki itu menjadi
pejuang bersama Taha Aki, dan mereka tidak lagi bertambah tua. Yang lain-lain,
yang tidak menyukai transformasi, menolak bergabung dengan kawanan werewolf.
Mereka mulai bertambah tua lagi, dan penduduk suku mendapati bahwa werewolf bisa
bertambah tua seperti yang lain bila mereka melepaskan roh serigala mereka. Usia
Taha Aki tiga kali lipat usia rata-rata manusia umumnya. Dia menikahi istri
ketiga setelah kematian dua istri pertamanya, dan menemukan istri rohnya yang
sejati dalam diri istri ketiganya ini. Walaupun dia juga mencintai istri-
istrinya yang lain, tapi ini berbeda. Dia memutuskan untuk melepaskan serigala
rohnya supaya bisa mati saat istrinya mati.
"Begitulah caranya kemampuan magis itu menurun pada kita, tapi ceritanya belum
berakhir sampai di sini.... "
Ia memandangi Quil Ateara Tua yang bergerak di kursinya, menegakkan bahunya yang
ringkih. Billy minum dari sebuah botol berisi air dan menyeka dahinya, Bolpoin
Emily tidak pernah ragu saat ia menulis dengan cepat di atas kertas.
"Itulah cerita tentang para pejuang roh." Quil Tua memulai dengan suara
tenornya. "Dan inilah cerita mengenai pengorbanan sang istri ketiga."
"Beberapa tahun setelah Taha Aki melepaskan serigala rohnya, ketika dia sudah
tua, timbul kekacauan di utara, dengan suku Makah. Beberapa wanita muda suku
Makah lenyap, dan orang-orang Makah menyalahkan para serigala tetangga mereka,
yang ditakuti sekaligus tidak dipercaya. Para werewolf masih bisa saling membaca
pikiran saat sedang menjadi serigala, sama seperti leluhur mereka saat dalam
wujud roh. Mereka tahu tak seorang pun di antara mereka bersalah. Taha Aki
berusaha menenangkan kepala suku Makah, rapi ketakutan terasa begitu kuar. Taha
Aki tidak menginginkan terjadinya perang. Dia bukan lagi pejuang yang memimpin
pasukannya terjun ke medan perang. Disuruhnya putra serigala tertuanya, Taha Wi,
mencari si pembuat onar sebelum timbul kerusuhan.
"Taha Wi memimpin lima serigala lain dalam kawanannya menyisiri seluruh wilayah
pegunungan, mencari bukti hilangnya orang-orang Makah. Mereka menemukan sesuatu
yang tidak pernah mereka temukan sebelumnya - aroma wangi manis yang aneh di
hutan yang membakar hidung mereka hingga terasa sangat menyakitkan."
Aku beringsut lebih rapat lagi ke samping Jacob. Kulihat sudut mulutnya
berkedut-kedut senang, dan lengannya memelukku semakin erat.
"Mereka tidak tahu makhluk apa yang bisa meninggalkan bau seharum itu, tapi
mereka mengikutinya." lanjut Quil Tua. Suaranya yang bergetar tidak sewibawa
suara Billy, namun memiliki secercah nada garang mendesak yang aneh di dalamnya.
Jantungku melompat ketika kata-katanya berhamburan semakin cepat.
"Mereka menemukan samar-samar sisa bau manusia, juga bau darah manusia, di
sepanjang jalan. Mereka yakin inilah musuh yang mereka cari-cari.
"Perjalanan itu membawa mereka sangat jauh ke utara sehingga Taha Wi mengirim
pulang setengah anggota kawanan, serigala-serigala muda, kembali ke tepi pantai
untuk melapor kepada Taha Aki.
"Taha Wi dan kedua saudaranya tidak pernah kembali. "Serigala-serigala muda itu
mencari kakak-kakak mereka, tapi hanya menemukan kesunyian. Taha Aki menangisi
anak-anak Lelakinya yang hilang. Dia pergi menemui kepala suku Makah dalam
pakaian berkabung dan menceritakan semua yang terjadi. Kepala suku Makah percaya
melihat duka cita Taha Aki, dan ketegangan di antara kedua suku mereda.
"Setahun kemudian, dua gadis Makah lenyap dari rumah mereka pada malam yang
sama. Suku Makah langsung memanggil para werewclf, yang menemukan bau harum yang
sama di seluruh penjuru perkampungan Makah. Serigala-serigala itu kembali
melakukan perburuan. "Hanya satu yang kembali. Dia adalah Yaha Uta, anak sulung dari istri ketiga
Taha Aki, sekaligus yang termuda dalam kawanan. Dia membawa sesuatu yang belum
pernah dilihat suku Quileute sepanjang sejarah - mayat aneh yang dingin dan
keras seperti batu, yang dibawanya dalam bentuk potongan-potongan. Semua
keturunan Taha Aki, bahkan yang tidak pernah menjadi serigala, bisa mencium bau
menyengat dari makhluk mati itu. Inilah musuh suku Makah.
"Yaha Uta melukiskan apa yang terjadi: dia dan kakak-kakaknya menemukan makhluk
itu, yang mirip manusia tapi tubuhnya sekeras batu granit, bersama dua perempuan
Makah. Satu dari kedua gadis itu sudah mati, pucat pasi kehabisan darah,
tergeletak di tanah. Gadis yang satu lagi berada dalam dekapan makhluk itu,
giginya menancap di leher si gadis. Mungkin gadis itu masih hidup waktu mereka
melihat pemandangan mengerikan itu, tapi makhluk itu dengan cepat mematahkan
leher si gadis dan mencampakkan tubuhnya yang sudah tak bernyawa ke tanah waktu
mereka mendekat, Bibir putihnya berlumuran darah si gadis, dan matanya berkilau
merah. "Yaha Uta menggambarkan kekuatan serta kecepatan makhluk itu, Salah seorang
kakaknya langsung menjadi korban ketika meremehkan kekuatannya. Makhluk itu
mencabik-cabik tubuh kakaknya seperti boneka, Yaha Uta dan saudaranya yang lain
lebih berhati-hati. Mereka bekerja sama, menyerang makhluk itu dari berbagai
sisi, mengakalinya. Mereka harus mengerahkan segala daya dan kekuatan mereka
sebagai serigala, sesuatu yang tidak pernah teruji sebelumnya. Makhluk itu keras
seperti batu dan dingin seperti es. Mereka mendapati hanya gigi merekalah yang
bisa menghancurkan makhluk itu. Mereka mulai mencabik sedikit demi sedikit
anggota tubuh makhluk itu sementara makhluk itu melawan.
"Tapi makhluk itu cepat tanggap, dan tak lama kemudian mulai mengimbangi manuver
mereka. Dia berhasil menangkap saudara Yaha Uta. Yaha Uta melihat celah di leher
makhluk itu, lalu menerkamnya. Giginya merobek kepala makhluk itu dari tubuhnya,
tapi tangan-tangan makhluk itu tetap mencoba meremukkan tubuh kakaknya.
"Yaha Uta mengoyak-ngoyak makhluk itu hingga tak bisa dikenali lagi, mencabik-
cabik tubuh makhluk itu dalam upayanya menyelamatkan kakaknya. Dia terlambat,
tapi, akhirnya, makhluk itu berhasil dihancurkan.
"Atau begitulah perkiraan mereka. Yaha Uta meletakkan potongan-potongan tubuh
makhluk itu untuk diteliti para tua-tua. Potongan tangan tergeletak di samping
potongan lengan si makhluk yang sekeras granit. Dua bagian tubuh itu saling
menyentuh saat para tua-tua menusuk-nusuknya dengan tongkat, dan potongan tangan
menggapai potongan lengan, berusaha menyatu kembali.
"Dengan penuh kengerian para tua-tua membakar sisa-sisa potongan tubuh itu. Awan
besar berbau harum mengepul, mencemari udara. Setelah tidak tersisa apa-apa lagi
kecuali abu, mereka membagi-bagi abu itu ke kantong-kantong kecil dan
membuangnya ke berbagai tempat terpisah-sebagian ke laut, sebagian ke hutan,
sebagian lagi ke gua-gua tebing. Taha Aki mengalungkan sebuah kantong di
lehernya, agar dia tahu bila makhluk itu berusaha menyatukan diri kembali."
Quil Tua berhenti sebentar dan berpaling kepada Billy. Billy melepas kalung
kulit yang melingkari lehernya. Di ujungnya tergantung kantong kecil, menghitam
dimakan usia. Beberapa orang terkesiap. Bisa jadi itu salah satu kantong-kantong
tersebut. "Mereka menyebutnya Makhluk Dingin, Peminum Darah, dan mereka hidup dalam
ketakutan bahwa makhluk itu tidak sendirian. Padahal hanya satu serigala
pelindung yang tersisa, si muda Yaha Uta.
"Mereka tidak perlu menunggu lama. Makhluk itu memiliki pasangan, juga peminum
darah, yang datang ke perkampungan Quileute untuk membalas dendam.
"Konon Wanita Dingin itu makhluk paling cantik yang pernah dilihat mata manusia.
Dia bagaikan dewi fajar saat memasuki perkampungan pagi itu; sekali itu matahari
bersinar, dan cahayanya berkilauan menerpa kulitnya yang putih dan membakar
rambut emasnya yang tergerai hingga ke lutut. Wajahnya sangat rupawan, matanya
hitam di wajahnya yang putih. Beberapa orang berlutut untuk memujanya.
"Dia menanyakan sesuatu dengan suara tinggi melengking, dalam bahasa yang tak
pernah didengar manusia. Orang-orang bingung, tidak tahu bagaimana menjawabnya.
Tidak ada keturunan Taha Aki di antara para saksi mata kecuali seorang anak
lelaki kecil. Dia mencengkeram baju ibunya dan berteriak, mengatakan bau wanita
itu menyengat hidungnya. Salah seorang tua-tua, yang saat itu sedang dalam
perjalanan ke tempat pertemuan, mendengar perkataan bocah itu dan menyadari
siapa yang berada di antara mereka. Dia berteriak, menyuruh orang-orang lari.
Wanita itu membunuhnya pertama kali.
"Ada dua puluh saksi mata yang melihat kedatangan si Wanita Dingin. Dua selamat,
hanya karena perhatian wanita itu teralih oleh darah, dan berhenti sebentar
untuk memuaskan dahaganya. Mereka berlari ke Taha Aki, yang duduk di ruang rapat
bersama para tua-tua lain, anak-anak lelakinya, dan istri ketiganya. .
"Yaha Uta langsung berubah menjadi serigala begitu mendengar kabar itu. Dia
pergi untuk menghancurkan si peminum darah sendirian. Taha Aki, istri ketiganya,
anak-anak lelakinya, serta para tua-tua mengikuti di belakangnya.
"Awalnya mereka tidak bisa menemukan makhluk itu, hanya bukti serangannya.
Mayat-mayat bergelimpangan, beberapa kering tanpa darah lagi, beberapa
berceceran di jalan tempatnya menghilang. Kemudian mereka mendengar jeritan dan
bergegas menuju tepi pantai.
"Beberapa gelintir orang suku Quileute berlari ke kapal-kapal untuk
menyelamatkan diri. Wanita itu mengejar seperti hiu, dan mematahkan haluan kapal
dengan kekuatannya yang luar biasa. Ketika kapal tenggelam, dia menangkap orang-
orang yang berusaha melarikan diri dengan berenang menjauh dan menghabisi mereka
juga. "Begitu melihat serigala besar di tepi pantai, wanita itu langsung melupakan
orang-orang yang berenang menjauh. Secepat kilat dia berenang lagi ke pantai,
saking cepatnya hingga gerakannya tampak kabur, tubuhnya menetes-neteskan air,
berdiri anggun di depan Yaha Uta. Wanita itu menudingnya dengan telunjuknya yang
putih dan mengajukan pertanyaan yang lagi-lagi tidak bisa dimengerti. Yaha Uta
menunggu. "Pertarungan berlangsung sengit. Wanita itu tidak sekuat pasangannya. Tapi Yaha
Uta sendirian - tidak ada yang bisa
membantunya mengalihkan kemarahan makhluk itu.
"Waktu Yaha Uta kalah, Taha Aki menjerit tidak terima. Terpincang-pincang, ia
berjalan maju dan berubah menjadi serigala tua bermoncong putih. Serigala itu
sudah tua, tapi ini Taha Aki si Manusia Roh, dan amarah membuatnya kuat,
Pertarungan dimulai lagi.
"Istri ketiga Taha Aki baru saja melihat putranya tewas di depan mata kepalanya
sendiri. Sekarang suaminya bertarung, dan dia tidak punya harapan suaminya bisa
menang. Dia mendengar setiap kata yang diceritakan si saksi di hadapan dewan
desa. Dia juga mendengar cerita tentang kemenangan pertama Yaha Uta, dan tahu
bahwa Yaha Uta selamat karena saudara lelakinya mengalihkan perhatian makhluk
itu darinya. "Si istri ketiga menyambar pisau dari sabuk salah seorang putra yang berdiri di
sampingnya. Mereka semua masih muda, belum dewasa, dan si istri tahu mereka
pasti mati bila ayah mereka gagal.
"Si istri ketiga menghambur ke arah si Wanita Dingin dengan pisau terangkat
tinggi-tinggi. Si Wanita Dingin tersenyum, perhatiannya nyaris tidak teralihkan
dari pertarungannya dengan si serigala tua. Dia tidak takut pada manusia wanita
yang lemah atau pisau yang bahkan tidak akan menggores kulitnya, dan dia sudah
bersiap-siap melayangkan pukulan kematian ke arah Taha Aki.
"Kemudian si istri ketiga melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangka sama
sekali oleh si Wanita Dingin. Dia berlutut di kaki si peminum darah dan
menusukkan pisau itu ke jantungnya sendiri.
"Darah muncrat dari sela-sela jari si istri ketiga dan mengenai si Wanita
Dingin. Si peminum darah tak mampu menahan godaan darah segar yang mengalir dari
tubuh istri ketiga. Secara instingtif dia berpaling ke wanita yang sekarat itu, sesaat
terhanyut dahaganya sendiri.
"Gigi Taha Aki langsung menjepit lehernya.
"Itu bukan akhir pertarungan, tapi Taha Aki sekarang tidak sendirian.
Menyaksikan ibu mereka sekarat, dua anak lelaki yang masih muda merasakan
kemarahan yang meluap-luap hingga mereka menerjang maju sebagai serigala roh,
meskipun mereka belum dewasa. Bersama ayah mereka, mereka menghabisi makhluk
itu. "Taha Aki tidak pernah bergabung kembali dengan sukunya. Dia tidak pernah
berubah menjadi manusia lagi. Dia berbaring selama satu hari di samping jenazah
istri ketiganya, menggeram setiap kali ada yang berusaha menyentuh jenazah
istrinya, kemudian Taha Aki pergi ke hutan dan tidak pernah kembali.
"Sejak saat itu, masalah dengan makhluk-makhluk dingin jarang terjadi. Para
putra Taha Aki menjaga suku sampai anak-anak lelaki mereka cukup tua untuk
menggantikan. Tidak pernah ada lebih dari tiga serigala pada saat bersamaan. Itu
sudah cukup. Sesekali peminum darah melewati wilayah ini, tapi mereka terkejut


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena tidak mengira sama sekali akan berhadapan dengan serigala-serigala.
Kadang-kadang ada serigala yang tewas, tapi tidak pernah sampai habis total
seperti waktu pertama kali. Mereka sudah belajar bagaimana bertarung dengan para
makhluk dingin, dan mereka mewariskan pengetahuan itu turun-temurun, dari
pikiran serigala ke pikiran serigala lain, dari roh ke roh, dari ayah ke anak
lelaki. "Waktu berlalu, dan keturunan Taha Aki tidak lagi menjadi serigala saat
mereka mencapai usia dewasa. Hanya sesekali, bila ada makhluk dingin di sekitar
mereka, barulah serigala-serigala itu muncul lagi. Makhluk-makhluk dingin selalu
datang sendiri atau berpasangan, dan kelompok mereka tetap kecil,
"Kelompok yang lebih besar datang, dan kakek buyut kalian bersiap-siap bertarung
untuk mengusir mereka. Tapi pemimpin mereka berbicara dengan Ephraim Black
seolah-olah dia manusia, dan berjanji tidak akan mencelakakan suku Quileute.
Mata kuningnya yang aneh menjadi bukti ucapannya bahwa mereka tidak sama dengan
para peminum darah lain. Jumlah serigala kalah banyak dibanding jumlah mereka;
makhluk-makhluk dingin itu tidak perlu menawarkan kesepakatan karena mereka
sebenarnya bisa memenangkan pertarungan. Ephraim setuju. Mereka menepati janji
mereka, walaupun kehadiran mereka cenderung menarik yang lain-lain untuk datang.
"Dan jumlah mereka memaksa munculnya kawanan yang lebih besar daripada yang
pernah dilihat suku ini." lanjut Quil Tua, dan sejenak, mata hitamnya yang
tersembunyi di balik lipatan-lipatan keriput, seolah tertuju
padaku. "Kecuali, tentu saja, pada masa Taha Aki," ujarnya. kemudian mendesah. "Karena
itu, anak-anak lelaki suku kita lagi-lagi harus menanggung beban dan harus
berkorban sebagaimana halnya ayah-ayah mereka dulu."
Semua terdiam untuk waktu yang lama. Para keturunan hidup dari kemampuan magis
dan legenda berpandangan satu sama lain di sekeliling api unggun, kesedihan
membayang di mata mereka. Semua kecuali satu.
"Beban," dengus orang itu dengan suara rendah.
"Menurutku ini justru keren" Bibir bawah Quil yang tebal sedikit mencebik.
Di seberang api unggun yang mulai meredup, Seth Clearwater - matanya membelalak
karena kekaguman terhadap para pelindung suku - mengangguk setuju.
Billy terkekeh, tawanya rendah dan panjang, dan suasana magis seakan memudar
seiring dengan bara api yang semakin meredup. Tiba-tiba kelompok ini kembali
menjadi lingkaran teman, Jared melemparkan kerikil ke arah Quil, dan semua
tertawa saat batu itu membuatnya melompat kaget. Obrolan pelan berdengung di
sekeliling kami, menggoda dan santai.
Mata Leah Clearwater terap terpejam. Rasanya aku melihat sesuatu berkilau di
pipinya seperti air mata, tapi waktu aku menoleh kembali sejurus kemudian,
kilauan itu sudah lenyap.
Baik aku maupun Jacob tidak berbicara. Tubuhnya diam tak bergerak di sampingku,
tarikan napasnya dalam dan teratur, dan kupikir dia pasti sudah hampir tertidur,
Pikiranku berkelana jauh sekali. Aku tidak memikirkan Yaha Uta atau serigala-
serigala lain, atau si Wanita Dingin yang cantik jelita-mudah sekali
membayangkannya. Tidak, aku memikirkan seseorang di luar lingkaran magis itu. Aku sedang berusaha
membayangkan wajah wanita tak bernama yang telah menyelamatkan seluruh suku, si
Rahasia Pedang Naga Langit 3 Pendekar Rajawali Sakti 45 Satria Baja Hitam Pedang Pelangi 25
^