Pencarian

Gerhana 7

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 7


berhubungan dengan Victoria hingga mau membantunya melakukan sesuatu, kenapa dia
juga tidak menceritakan semua yang diketahuinya kepada Victoria?"
Kening Edward berkerut. "Tapi bukan Victoria yang masuk ke kamarmu."
"Memangnya dia tidak bisa menciptakan teman-teman baru" Pikirkan baik-baik.,
Edward. Kalau memang Victoria yang melakukan hal ini di Seattle, berarti dia
punya banyak teman baru. Dia yang menciptakan mereka."
Edward menimbang-nimbang, dahinya berkerut penuh konsentrasi.
"Hmmm," ujarnya akhirnya. "Mungkin saja. Aku masih menganggap keluarga Volturi-
lah yang paling mungkin... Tapi sebagian teorimu cocok. Kepribadian Victoria.
Teorimu sangat cocok dengan kepribadiannya. Sejak awal dia memang menunjukkan
kemampuan luar biasa untuk mempertahankan diri - mungkin memang itu bakatnya.
Bagaimanapun, plot ini tidak membahayakan posisinya di mata kami, kalau dia
hanya duduk berpangku tangan dan membiarkan para vampir baru berbuat onar di
sini. Dan mungkin itu juga tidak terlalu membahayakan posisinya di mata keluarga
Volturi. Mungkin dia berharap kita akan menang, pada akhirnya, meskipun tak
mungkin tanpa korban dalam jumlah besar di pihak kita. Tapi tak seorang pun dari
pasukan kecilnya yang akan selamat dan menjadi
saksi terhadap keterlibatannya. Faktanya," sambung Edward, memikirkannya secara
mendetail, "kalaupun ada yang selamat, aku berani bertaruh dia berniat
menghancurkan mereka... Hmm. Meskipun begitu, dia harus punya setidaknya satu
teman yang sedikit lebih matang. Tak mungkin seorang vampir baru sanggup
membiarkan ayahmu tetap hidup... "
Edward menerawang lama sekali, kemudian tiba-tiba tersenyum padaku, tergugah
dari lamunannya. "Jelas mungkin. Meski begitu kita harus bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan sampai kita tahu pasti. Kau sangat cerdik hari ini,"
imbuhnya. "Mengesankan."
Aku mendesah. "Mungkin aku hanya bereaksi terhadap tempat ini. Lapangan ini
membuatku merasa seolah-olah dia berada di dekat-dekat sini... seolah-olah dia
melihatku sekarang."
Otot-otot rahang Edward mengeras membayangkannya.
"Dia takkan pernah bisa menyentuhmu, Bella," sergahnya. Meski begitu mata Edward
tetap menyapu pepohonan yang gelap dengan saksama. Sementara mencari bayang-
bayang mereka, ekspresi yang sangat aneh melintasi wajahnya. Bibirnya tertarik
ke belakang dan matanya berkilat-kilat, memancarkan binar aneh - semacam harapan
liar dan garang. "Walaupun begitu, di lain pihak aku justru sangat ingin dia sedekat itu,"
gumamnya "Victoria, juga siapa pun yang berniat menyakitimu. Punya kesempatan
mengakhiri semua ini sendirian. Menuntaskannya dengan tanganku sendiri kali
ini." Aku bergidik mendengar kegeraman dalam suaranya, dan kuremas jemarinya kuat-
kuat, berharap aku cukup kuat untuk menyatukan tangan kami seperti ini
selamanya. Kami sudah nyaris mencapai keluarganya, dan untuk pertama kali baru kusadari
Alice tidak tampak seoptimis yang lain. Ia berdiri agak menjauh, mengawasi
Jasper meregangkan kedua lengannya seperti orang melakukan
pemanasan sebelum berolahraga, bibirnya sedikit mencebik.
"Alice kenapa?" bisikku.
Edward terkekeh, kembali menjadi dirinya. "Para werewolf sedang dalam perjalanan
ke sini, jadi sekarang dia tidak bisa melihat apa yang akan terjadi. Dia merasa
tidak nyaman, buta seperti itu."
Alice, walaupun berdiri paling jauh dari kami, bisa mendengar suara Edward yang
pelan. Ia mendongak dan menjulurkan lidahnya. Edward tertawa lagi.
"'Hai, Edward," sapa Emmett. "Hai, Bella. Dia
membolehkanmu ikut latihan juga?"
Edward mengerang."Please, Emmett, jangan buat dia berpikir yang tidak-tidak."
"Kapan tamu-tamu kita datang?" tanya Carlisle kepada Edward.
Edward berkonsentrasi sebentar, kemudian mendesah. "Satu setengah menit lagi.
Tapi aku terpaksa harus menerjemahkan perkataan mereka, Soalnya mereka tidak
cukup percaya kepada kita hingga mau datang dalam wujud manusia."
Carlisle mengangguk. "Ini sulit bagi mereka. Mereka mau datang saja aku sudah
bersyukur." Kutatap Edward dengan mata terbelalak. "Mereka datang sebagai serigala?"
Edward mengangguk, berhati-hati melihat reaksiku. Aku menelan ludah satu kali,
teringat dua kali kesempatan melihat Jacob dalam wujud serigala, pertama kali di
padang rumput bersama Laurent, kedua kalinya di jalanan hutan ketika Paul marah
padaku... keduanya kenangan yang diwarnai teror.
Kilatan aneh terpancar dari mata Edward, seolah-olah ada sesuatu yang baru
terpikirkan olehnya, sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan. Ia cepat-cepat
membuang muka, sebelum aku sempat melihat lebih banyak, lalu memandang Carlisle
dan yang lain-lain. "Bersiap-siaplah,mereka merahasiakan sesuatu dari kita."
"Apa maksudmu?" tuntut Alice.
"Ssstt," Edward mengingatkan, lalu memandang jauh ke kegelapan.
Lingkaran keluarga Cullen tiba-tiba melebar, dengan Jasper dan Emmett di bagian
paling ujung. Dari cara Edward mencondongkan tubuh ke depan di sebelahku,
kentara sekali ia berharap dirinya berdiri di samping mereka. Aku mempererat
cengkeramanku di tangannya.
Aku menyipitkan mata ke arah hutan, tidak melihat apa-apa.
"Astaga," gumam Emmett pelan. "Pernahkah kau melihat yang seperti itu?" Esme dan
Rosalie bertukar pandang dengan mata membelalak.
"Ada apa?" bisikku sepelan mungkin. "Aku tidak melihat apa-apa."
"Anggota kawanan itu bertambah," bisik Edward di telingaku.
Memangnya aku belum memberi tahu dia bahwa Quil sudah bergabung" Kujulurkan
leherku panjang-panjang, berusaha melihat enam serigala di kegelapan. Akhirnya
sesuatu yang berkilat-kilat terlihat dalam gelap - mata mereka, lebih tinggi
daripada seharusnya. Aku sudah lupa betapa sangat tingginya serigala-serigala
itu. Seperti kuda, tapi sangat berotot dan berbulu tebal - dengan gigi laksana
pisau, tak mungkin luput dari pandangan.
Aku hanya bisa melihat mata mereka. Dan waktu aku menyapukan pandanganku,
menjulurkan leher panjang-panjang untuk melihat lebih jelas lagi, terlintas
dalam benakku ada lebih dari enam pasang mata menatap kami.
Satu, dua, tiga... Dengan cepat aku menghitung jumlah pasangan mata itu dalam
hati. Dua kali. Ada sepuluh pasang mata.
"Menakjubkan," gumam Edward nyaris tanpa suara.
Carlisle sengaja maju satu langkah. Gerakannya hati-hati, dimaksudkan untuk
meyakinkan. "Selamat datang," sapanya pada serigala-serigala yang tak tampak itu.
"Terima kasih," Edward menjawab dengan nada datar yang aneh, dan aku pun
langsung tersadar kata-kata itu berasal dari Sam. Aku menatap mata yang
berkilat-kilat di tengah,sangat jangkung, yang tertinggi di antara mereka.
Sama sekali tak terlihat sosok serigala hitam di malam yang gelap pekat itu.
Edward berbicara lagi dengan suara asing yang sama, menyuarakan kata-kata Sam.
"Kami akan melihat dan mendengarkan, tapi tak lebih dari itu. Hanya itu yang
bisa kami lakukan sebatas kemampuan kami mengendalikan diri."
"Itu lebih dari cukup." jawab Carlisle. "Putraku Jasper," ia melambaikan tangan
ke arah Jasper yang berdiri dengan sikap tegang dan siaga. "berpengalaman dalam
bidang ini. Dia akan mengajari kami bagaimana mereka bertempur, bagaimana mereka
bisa dikalahkan. Aku yakin kalian bisa mengaplikasikannya pada gaya berburu
kalian sendiri." "Mereka berbeda dari kalian" Edward menyuarakan pertanyaan Sam.
Carlisle mengangguk. "Mereka masih sangat baru-baru beberapa bulan umurnya.
Masih kanak-kanak., bisa dibilang begitu. Mereka tidak memiliki keahlian atau
strategi, kekuatan semata. Malam ini jumlah mereka dua puluh. Sepuluh untuk
kami, sepuluh untuk kalian -mestinya tidak sulit. Jumlahnya bisa berkurang. Para
vampir baru ini berkelahi antar mereka sendiri."
Terdengar suara geraman menjalar di barisan serigala yang samar-samar itu,
geraman rendah yang entah bagaimana justru terdengar antusias.
"Kami bersedia menghadapi lebih daripada bagian kami, jika diperlukan," Edward
menerjemahkan, nadanya kini tak lagi terdengar tak acuh.
Carlisle tersenyum. "Kita lihat saja bagaimana jadinya nanti."
"Kau tahu kapan mereka datang?"
"Mereka akan datang melintasi pegunungan empat hari lagi, siang hari. Saat
mereka mendekat, Alice akan membantu kami mencegat mereka."
"Terima kasih informasinya. Kami akan menonton."
Dengan suara mendesah mata-mata itu merendah mendekati tanah, sepasang setiap
kali. Sejenak suasana sunyi senyap, kemudian Jasper maju selangkah ke ruang kosong di
antara para vampir dan serigala. Tidak sulit bagiku melihatnya - kulit Jasper
cemerlang dalam kegelapan, sama seperti mata serigala. Jasper melontarkan
pandangan waswas ke arah Edward, yang mengangguk, kemudian Jasper berdiri
memunggungi para serigala. Ia mendesah, kentara sekali merasa rikuh. "Carlisle
benar," Jasper berbicara hanya kepada kami; sepertinya ia berusaha mengabaikan
penonton di belakangnya. "Mereka berkelahi seperti kanak-kanak. Dua hal
terpenting yang perlu kalian ingat adalah, pertama, jangan biarkan mereka
memeluk kalian dan, kedua, jangan terang-terangan menunjukkan niat kalian untuk
membunuh. Karena hanya untuk itulah mereka dipersiapkan. Selama kalian bisa
mendekati mereka dari samping sambil terus bergerak, mereka akan sangat bingung
hingga tidak bisa merespons secara efektif, Emmett?"
Dengan senyum lebar Emmett maju meninggalkan barisan.
Jasper mundur ke ujung utara dekat para musuh sekutu.
Ia melambaikan tangan menyuruh Emmett maju.
"Oke, Emmett duluan. Dia contoh terbaik dari serangan vampir baru."
Mata Emmett menyipit. "Akan kucoba untuk tidak mematahkan apa pun," gerutunya.
Jasper nyengir. "Maksudku adalah, Emmett sangat mengandalkan kekuatan. Dia
sangat terang-terangan dalam menyerang. Demikian pula para vampir baru, mereka
tidak akan berusaha melakukannya dengan halus. Langsung serang saja, Emmett."
Jasper mundur lagi beberapa langkah, tubuhnya mengejang.
"Oke, Emmett-coba tangkap aku."
Dan aku tak bisa melihat Jasper lagi - sosoknya hanya tinggal kelebatan samar
saat Emmett menyerangnya bagai beruang, menyeringai sambil menggeram-geram.
Emmett juga luar biasa cepat, tapi tidak seperti Jasper. Jasper seperti tak
bertubuh, seperti hantu - setiap kali tangan Emmett yang besar meraihnya, jari-
jari Emmett hanya mencengkeram udara kosong. Di sampingku Edward mencondongkan
tubuh dengan sikap menyimak, matanya terpaku pada pertarungan itu. Lalu Emmett
membeku. Jasper menyergapnya dari belakang, giginya hanya dua setengah sentimeter dari
lehernya. Emmett memaki. Terdengar geraman kagum dari serigala-serigala yang menonton.
"Lagi," desak Emmett, senyumnya lenyap.
"Sekarang giliranku," protes Edward. Jari-jariku mencengkeramnya tegang.
"Sebentar lagi," Jasper menyeringai, mundur selangkah.
"Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada Bella dulu."
Aku menonton cemas saat Jasper melambaikan tangan kepada Alice, memintanya maju.
"Aku tahu kau mengkhawatirkan Alice," Jasper menjelaskan padaku waktu Alice
menandak-nandak lincah memasuki arena. "Aku ingin menunjukkan padamu mengapa itu
tidak perlu." Walaupun aku tahu Jasper takkan pernah membiarkan Alice cedera, namun tetap saja
sulit melihat Jasper merunduk dan mengambil sikap siap menyerang. Alice berdiri
tak bergerak, tampak semungil boneka di depan Emmett, tersenyum-senyum sendiri.
Jasper bergerak maju, lalu merayap ke kiri Alice.
Alice memejamkan mata. Jantungku berdebar-debar tidak keruan saat Jasper mengendap-endap ke tempat
Alice berdiri. Jasper menerjang, lenyap. Tiba-tiba saja ia sudah berada di kanan Alice.
Kelihatannya Alice tidak bergerak sama sekali.
Jasper berputar dan menerjang Alice lagi, kali ini mendarat dalam posisi
membungkuk di belakangnya seperti pertama tadi; sementara itu, Alice berdiri
tersenyum-senyum dengan mata tertutup.
Kali ini aku memandangi Alice lebih saksama.
Ternyata ia bergerak - aku tidak melihatnya tadi, karena perhatianku lebih
tertuju kepada serangan Jasper. Ia maju sedikit tepat ketika Jasper melayang
menuju tempat ia berdiri sebelumnya. Alice melangkah lagi, sementara tangan
Jasper yang menggapainya meraih udara kosong di tempat pinggangnya tadi berada.
Jasper merangsek maju, dan Alice mulai bergerak lebih cepat. Ia menari-nari -
berputar, berpusar, dan meliuk-liukkan tubuh. Jasper bagaikan patnernya,
menerjang, mengulurkan tangan berusaha mengimbangi gerakan-gerakannya yang
anggun, tak pernah menyentuhnya, seolah-olah setiap gerakan dikoreografi dengan
baik. Akhirnya, Alice tertawa. Tahu-tahu ia sudah bergelayutan di punggung Jasper, bibirnya menempel di leher.
"Kena kau," tukasnya, lalu mengecup leher Jasper.
Jasper terkekeh, menggeleng-gelengkan kepala. "Kau ini benar-benar monster kecil
mengerikan." Serigala-serigala itu menggeram lagi. Kali ini nadanya kecut.
"Ada bagusnya juga mereka belajar respek kepada kita," gumam Edward, geli. Lalu
ia berbicara lebih keras, "Giliranku."
Edward meremas tanganku sebelum melepasnya.
Alice datang dan berdiri di sampingku. "Keren kan, tadi?" tanyanya dengan nada
menang. "Sangat," aku sependapat, tak mengalihkan pandangan sedikit pun dari Edward saat
ia meluncur tanpa suara mendekati Jasper, gerakannya lentur dan waspada seperti
kucing hutan. "Aku mengawasimu, Bella," bisik Alice tiba-tiba, suaranya melengking sangat
rendah hingga aku nyaris tak bisa mendengar, meskipun bibirnya berada dekat di
telingaku. Aku melirik wajah Alice sekilas, kemudian kembali memandang Edward. Edward
menatap Jasper saksama, keduanya pura-pura saling memukul ketika Edward semakin
memperkecil jarak. Ekspresi Alice penuh celaan.
"Aku akan memperingatkan Edward jika rencanamu sudah semakin matang," ancam
Alice dengan gumaman rendah yang sama. "Tak ada gunanya membahayakan dirimu
sendiri. Kaupikir mereka berdua bakal menyerah kalau kau mati. Mereka akan tetap
bertarung, kami semua akan tetap bertarung. Kau tidak bisa mengubah apa pun,
jadi bersikap manislah, oke?"
Aku meringis, mencoba mengabaikannya. "Aku mengawasimu," ulangnya.
Sekarang Edward sudah dekat sekali dengan Jasper, dan pertarungan ini lebih
seimbang daripada dua pertarungan lainnya. Jasper berpengalaman selama satu
abad, dan sebisa mungkin ia berusaha hanya mengandalkan insting, tapi pikirannya
selalu membuat maksudnya diketahui sedetik sebelum ia bertindak. Edward sedikit
lebih cepat, tapi gerakan yang digunakan Jasper tidak familier baginya.
Mereka saling menyerang berkali-kali, tak ada yang bisa merebut posisi di atas
angin, geraman insting terus-menerus meledak. Sulit menontonnya, tapi lebih
sulit lagi mengabaikannya. Mereka bergerak kelewat cepat hingga aku tidak benar-
benar mengerti apa yang mereka lakukan. Sesekali mata-mata tajam para serigala
membetot perhatianku. Aku punya firasat serigala-serigala itu mendapat lebih
banyak pelajaran dalam hal ini dibandingkan aku - mungkin lebih dari yang
seharusnya. Akhirnya, Carlisle berdeham-deham.
Jasper tertawa, Lalu mundur selangkah. Edward menegakkan tubuh dan nyengir
padanya. "Kembali bekerja," Jasper mengizinkan. "Anggap saja seri."
Semua mendapat giliran, Carlisle, kemudian Rosalie, Esme, dan Emmett lagi. Aku
menyipitkan mata, berusaha melihat dari sela-sela bulu mataku, meringis ketika
Jasper menyerang Esme Itu pertarungan tersulit untuk ditonton.
Kemudian Jasper memperlambat gerakannya, meskipun tetap tidak cukup lambat
bagiku untuk memahami gerakan-gerakannya, dan memberi lebih banyak instruksi.
"Kalian mengertikan maksudku melakukan ini?" Jasper sesekali bertanya. "Ya,
persis seperti itu," ia membesarkan hati. "Konsentrasi pada sisi-sisi. Jangan
lupa di mana target mereka berada. Terus bergerak." Edward selalu fokus,
menonton sekaligus mendengarkan apa yang tak bisa dilihat yang lain-lain.
Semakin sulit bagiku untuk mengikuti jalannya latihan saat kelopak mataku mulai
berat. Belakangan ini aku memang jarang tidur nyenyak, dan sekarang sudah hampir
24 jam sejak aku terakhir tidur. Aku bersandar pada Edward, dan membiarkan
mataku terpejam. "Sebentar lagi kita selesai," bisik Edward.
Jasper membenarkan, menoleh kepada para serigala itu untuk pertama kali,
ekspresinya kembali terlihat tidak nyaman.
"Kami akan melakukan ini lagi besok. Silakan bila ingin mengobservasi lagi."


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik," jawab Edward dalam suara Sam yang dingin.
"Kami pasti datang."
Kemudian Edward mendesah, menepuk-nepuk lenganku, lalu meninggalkan aku. Ia
berpaling kepada keluarganya.
"Kawanan serigala berpendapat, akan sangat membantu bila mereka bisa mengenal
bau kita masing-masing, sehingga mereka tidak melakukan kesalahan nantinya.
Kalau kita bisa berdiri diam tak bergerak, itu akan lebih mudah bagi mereka."
"Tentu boleh," Carlisle menjawab pertanyaan Sam. "Apa pun yang kalian butuhkan."
Terdengar geraman rendah dan parau dari kawanan serigala saat mereka berdiri.
Mataku kembali membelalak, kelelahan pun enyah terlupakan.
Malam yang hitam pekat mulai memudar, matahari menerangi awan-awan, walaupun
belum muncul di batas cakrawala, jauh di seberang pegunungan sana. Ketika
serigala-serigala itu mendekat, mendadak bentuk mereka terlihat jelas... juga
warna bulunya. Sam memimpin di depan, tentu saja. Sangat besar, hitam pekat seperti tengah
malam. bagaikan monster yang muncul dari mimpi burukku - secara harfiah. Setelah
pertama kali melihat Sam dan yang lain-lain di padang rumput, mereka muncul
dalam mimpi burukku lebih dari sekali.
Sekarang setelah bisa melihat mereka semua, mencocokkan wujud raksasa mereka
dengan setiap pasang mata, kelihatannya jumlah mereka lebih dari sepuluh.
Sungguh kawanan yang sangat besar.
Dari sudut mata kulihat Edward memerhatikanku, dengan hati-hati menilai
reaksiku. Sam mendekati Carlisle di tempatnya berdiri di bagian depan, kawanan yang besar
itu membuntuti tepat di belakang ekornya. Jasper mengejang, tapi Emmett, yang
berdiri di sebelah Carlisle pada sisi yang lain, menyeringai dan rileks.
Sam mengendus Carlisle, sepertinya sedikit meringis saat melakukannya. Lalu ia
mendekati Jasper. Mataku menyusuri serigala-serigala lain yang berbaris dengan sikap waspada. Aku
yakin tahu mana serigala yang baru. Ada serigala berbulu abu-abu terang yang
tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan yang lain, bulu tengkuknya berdiri dengan
sikap tidak suka. Ada lagi serigala lain, bulunya berwarna cokelat padang pasir,
terkesan garang dan canggung dibandingkan yang lain-lain. Erangan pelan
mengguncang tubuh serigala coklat padang pasir itu saat
Sam maju dan meninggalkannya terisolasi di antara Carlisle dan Jasper.
Pandangan mataku tertumbuk pada serigala tepat di belakang Sam. Bulunya cokelat
kemerahan dan lebih panjang daripada yang lain-lain - gondrong. Tubuhnya nyaris
setinggi Sam, terbesar kedua di kawanannya. Gaya
berjalannya kasual, bahasa tubuhnya memancarkan sikap tidak peduli sementara
yang lain-lain kentara sekali menganggap ini siksaan.
Serigala besar berbulu cokelat kemerahan itu merasa aku memperhatikannya, dan ia
mendongak menatapku dengan mata hitam yang sangat kukenal.
Aku balas menatapnya, berusaha memercayai apa yang sudah kuketahui. Bisa
kurasakan ekspresi kagum dan takjub terlihat di wajahku.
Moncong serigala itu terbuka, tertarik ke belakang, menampakkan giginya.
Seharusnya itu ekspresi yang mengerikan, kalau bukan karena lidahnya yang
menjulur ke samping, membentuk seringaian khas serigala. Aku tertawa.
Seringaian Jacob bertambah lebar, menampakkan giginya yang tajam. Ia
meninggalkan barisan, tak memedulikan ratapan teman-teman sekawanannya yang
mengikutinya. Ia berlari-lari kecil melewati Edward dan Alice untuk berdiri
kira-kira setengah meter dariku. Ia berhenti di sana, melirik Edward sekilas.
Edward berdiri tak bergerak, seperti patung, matanya masih tetap menilai
reaksiku. Jacob membungkuk, melipat kaki depannya dan merunduk hingga wajahnya tidak lebih
tinggi dari wajahku, menatapku, mengukur responsku seperti yang dilakukan
Edward. "Jacob?" desahku.
Jawaban berupa geraman jauh dari dalam dadanya terdengar seperti tawa terkekeh.
Aku mengulurkan tangan, jari-jariku sedikit gemetar, dan menyentuh bulu merah-
cokelat di sisi wajahnya.
Mata hitam itu terpejam, dan Jacob menyandarkan kepalanya yang besar ke
tanganku. Geraman mendengung bergaung dari kerongkongannya.
Bulunya lembut sekaligus kasar, dan terasa hangat di kulitku. Aku menyusupkan
jari-jariku ke dalamnya dengan sikap ingin tahu, meraba teksturnya, membelai-
belai bagian leher yang warnanya lebih gelap. Aku tidak sadar berdiri dekat
sekali dengannya; sekonyong-konyong, tanpa peringatan lebih dulu, Jacob menjilat
wajahku dari dagu sampai ke batas rambut.
"Ihh! Jijik, Jake!" keluhku, melompat ke belakang dan memukulnya, bersikap
seolah-olah ia manusia. Jacob mengelakkan pukulanku, dan gonggongan terbatuk-
batuk yang keluar dari sela-sela giginya jelas merupakan tawa. Kuseka wajahku
dengan lengan baju, tak tahan untuk tidak ikut tertawa. Saat itulah baru aku
menyadari semua ternyata memerhatikan kami, keluarga Cullen dan para werewolf,
keluarga Cullen dengan ekspresi terperangah dan sedikit jijik. Sementara
ekspresi para serigala sulit dibaca. Tapi Sam tampak tidak senang.
Kemudian aku melihat Edward, gelisah dan jelas-jelas kecewa. Sadarlah aku ia
mengharapkan reaksi lain dariku.
Misalnya menjerit-jerit dan kabur ketakutan.
Lagi-lagi Jacob bersuara seperti tertawa.
Serigala-serigala lain sekarang mundur menjauh, tak melepaskan pandangan sedikit
pun dari keluarga Cullen saat mereka pergi. Jacob berdiri di sampingku,
mengawasi kepergian mereka. Tak lama kemudian mereka lenyap ditelan kegelapan
hutan. Hanya dua yang menunggu ragu di dekat pepohonan, mengawasi Jacob, postur
mereka memancarkan kegelisahan.
Edward mendesah, dan, mengabaikan Jacob, datang lalu berdiri di sampingku. di
sisi yang lain, meraih tanganku. "Siap pergi?" tanyanya.
Belum sempat aku menjawab, ia sudah mengarahkan pandangannya melewatiku, menatap
Jacob. "Aku belum sempat memikirkan semuanya secara mendetail," kata Edward, menjawab
pertanyaan dalam pikiran Jacob.
Si serigala Jacob menggerutu sebal.
"Ini lebih rumit daripada itu," kata Edward.. "Jangan khawatir; aku akan
memastikan semuanya aman."
"Kau bicara apa sih?" tuntutku.
"Hanya mendiskusikan strategi," kata Edward.
Kepala Jacob bergerak kian kemari, menatap wajah-wajah kami. Kemudian, tiba-
tiba, ia berlari menuju hutan. Saat ia melesat pergi, untuk pertama kalinya
barulah aku melihat sejumput kain hitam terikat di kaki belakangnya.
"Tunggu," seruku, otomatis mengulurkan sebelah tangan untuk meraihnya. Tapi
Jacob sudah lenyap di balik pepohonan hanya dalam hitungan detik, diikuti dua
serigala lain. "Kenapa dia pergi?" tanyaku, tersinggung.
"Nanti dia kembali," kata Edward. Lalu ia mengembuskan napas. "Dia ingin bisa
bicara sendiri." Kupandangi kawasan tepi hutan tempat Jacob menghilang tadi, kembali menyandarkan
diri ke sisi Edward. Aku sudah nyaris ambruk tapi berusaha keras melawan
kantukku. Jacob muncul lagi, kali ini dengan dua kaki. Dadanya yang bidang telanjang.
rambutnya awut-awutan dan gondrong. Ia hanya mengenakan celana hitam ketat,
kedua kakinya telanjang menginjak tanah yang dingin. Sekarang ia sendirian, tapi
aku curiga teman-temannya menunggu di balik pepohonan, tidak terlihat.
Tidak butuh waktu lama bagi Jacob untuk menyeberangi lapangan, walaupun ia
memutar sejauh mungkin dari keluarga Cullen, yang berdiri mengobrol dalam
lingkaran. "Oke, pengisap darah," sergah Jacob setelah ia berada berapa meter dari kami,
melanjutkan pembicaraan yang tidak bisa kuikuti tadi. "Memang apanya yang
rumit?" "Aku harus mempertimbangkan setiap kemungkinan," kata Edward, tetap tenang.
"Bagaimana kalau ada yang berhasil menyelinap melewati kalian?" Jacob mendengus
mendengarnya. "Oke, kalau begitu tinggalkan saja dia di reservasi. Kami memang
akan menyuruh Collin dan Brady tetap tinggal di reservasi. Dia
pasti aman di sana."
Aku merengut. "Kalian membicarakan aku, ya?"
"Aku hanya ingin tahu apa yang akan dia lakukan terhadapmu selama pertempuran,"
Jacob menjelaskan. "Apa yang dia lakukan terhadapku?"
"Kau tidak bisa tetap berada di Forks, Bella." Suara Edward menenangkan. "Mereka
tahu ke mana harus mencarimu di sana. Bagaimana kalau ada yang berhasil
menyelinap melewati kami?"
Perutku mulas dan darah surut dari wajahku. "Charlie?" aku terkesiap.
"Dia akan bersama Billy," Jacob cepat-cepat menenangkan aku. "Ibaratnya, kalau
ayahku sampai harus membunuh untuk membawanya ke sana, dia pasti akan
melakukannya. Mungkin tidak sampai seperti itu. Hari Sabtu ini, kan" Ada
pertandingan kok." "Sabtu ini?" tanyaku, kepalaku berputar. Kepalaku kelewat ringan hingga aku tak
bisa mengendalikan pikiran yang berputar-putar liar dalam benakku. Kutatap
Edward dengan kening berkerut. "Well, sial! Kau tak bisa menggunakan hadiah kelulusan
dariku." Edward tertawa. "Yang penting niatnya." Edward mengingatkan. "Berikan saja
tiketnya ke orang lain."
Mendadak aku mendapat ilham. "Angela dan Ben," aku langsung memutuskan.
"Setidaknya dengan begitu mereka akan berada di luar kota."
Edward menyentuh pipiku. "Kau tidak bisa mengevakuasi semua orang." ujarnya
lembut. "Menyembunyikanmu hanya tindakan pencegahan. Sudah kubilang, kami tidak akan
menghadapi masalah sekarang. Jumlah mereka tidak cukup banyak untuk mengimbangi
kami." "Tapi bagaimana kalau dia ditinggalkan di La Push saja?" sela Jacob, tidak
sabar. "Dia sudah terlalu sering bolak-balik ke sana," kata Edward.
"Jejaknya tertinggal di mana-mana. Alice hanya melihat vampir-vampir yang sangat
muda itu berburu, tapi jelas ada yang menciptakan mereka. Ada yang lebih
berpengalaman di balik semua ini. Siapa pun dia" - Edward terdiam menatapku -
"laki-laki ataupun perempuan, ini semua bisa jadi hanya untuk mengalihkan
perhatian. Alice akan melihat kalau orang itu memutuskan untuk mencari sendiri,
tapi kita pasti akan sangat sibuk saat keputusan itu diambil. Mungkin ada orang
yang memperhitungkan hal itu. Aku tak bisa meninggalkan dia di tempat yang sudah
sering didatanginya. Dia harus sulit ditemukan, hanya untuk berjaga-jaga. Memang
tepat, tapi aku tak mau mengambil risiko."
Aku menatap Edward saat ia menjelaskan, keningku berkerut. Ditepuk-tepuknya
lenganku. "Hanya untuk berhati-hati," janjinya.
Jacob melambaikan tangan ke hutan lebat di sebelah timur, ke Pegunungan Olympic
yang membentang sejauh mata memandang.
"Sembunyikan saja dia di sana," ia menyarankan. "Ada jutaan kemungkinan di sana
- di tempat-tempat salah seorang dari kita bisa mencapainya hanya dalam beberapa
menit bila memang dibutuhkan."
Edward menggeleng. "Baunya terlalu kuat dan, bercampur dengan bauku, menjadi
sangat kentara. Biarpun aku menggendongnya, tetap saja akan meninggalkan jejak.
Jejak kami memang tersebar di mana-mana, tapi bercampur dengan bau Bella, akan
menarik perhatian mereka. Kami tidak yakin jalan mana yang akan mereka lalui,
karena mereka belum tahu. Kalau mereka mencium baunya sebelum menemukan kita...
" Mereka sama-sama meringis, alis keduanya bertaut.
"Kau paham kan kesulitannya."
"Pasti ada jalan untuk mengakalinya," gerutu Jacob. Matanya memandang garang ke
hutan, mengerucutkan bibirnya.
Aku limbung. Edward memeluk pinggangku, menarikku lebih dekat dan menyangga
tubuhku. "Aku harus mengantarmu pulang, kau kelelahan. lagi pula sebentar lagi Charlie
bangun... " "Tunggu sebentar," sergah Jacob, memutar tubuhnya menghadap kami lagi, matanya
cemerlang. "Kalian jijik pada bauku, kan?"
"Hmm, lumayan." Edward maju dua langkah. "Itu mungkin." Ia menoleh ke
keluarganya. "Jasper?" serunya.
Jasper mendongak dengan sikap ingin tahu. Ia mendekat, bersama Alice setengah
langkah di belakangnya. Wajahnya kembali frustrasi.
"Oke, Jacob." Edward mengangguk padanya.
Jacob menoleh padaku, wajahnya menyiratkan campuran berbagai emosi. Kentara
sekali ia bersemangat dengan rencana barunya ini, tapi juga gelisah karena
berada begitu dekat dengan sekutu-sekutu musuhnya. Kemudian
giliranku yang merasa waswas waktu ia mengulurkan kedua lengannya kepadaku.
Edward menghela napas dalam-dalam.
"Akan kita lihat apakah aku bisa cukup mengecoh baumu untuk menyembunyikan
jejakmu," Jacob menjelaskan.
Kupandangi kedua lengannya yang terulur dengan sikap curiga.
"Kau harus membiarkannya menggendongmu, Bella," Edward menjelaskan kepadaku.
Suaranya tenang, tapi aku bisa mendengar perasaan tidak suka di baliknya.
Keningku berkerut. Jacob memutar bola matanya, tidak sabaran, lalu mengulurkan tangan dan
merenggutku ke dalam pelukannya.
"Jangan cengeng begitu," gerutunya.
Tapi matanya melirik Edward, sama seperti aku. Wajah Edward tetap kalem dan
tenang. Ia menujukan perkataannya kepada Jasper.
"Bau Bella jauh lebih tajam bagiku - jadi kupikir, akan lebih adil bila orang
lain yang mencoba." Jacob memunggungi mereka dan berjalan cepat ke hutan. Aku tidak mengatakan apa-
apa saat kegelapan melingkupi kami. Aku cemberut, tidak senang dipeluk Jacob.
Rasanya terlalu intim - sebenarnya dia tidak perlu memelukku seerat itu - dan
dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana rasanya ini bagi dia. Aku bersedekap,
kesal saat penyangga lenganku justru semakin membuatku teringat pada kenangan
buruk itu. Kami tidak pergi terlalu jauh; Jacob berjalan mengikuti pola melengkung yang
lebar dan kembali ke lapangan dari arah berbeda, mungkin setengah lapangan
jauhnya dari titik kami berangkat tadi. Edward berdiri sendirian dan Jacob
menghampirinya. "Kau bisa menurunkan aku sekarang."
"Aku tidak mau mengambil risiko mengacaukan eksperimen... " Jacob memelankan
langkah dan semakin mempererat pelukannya. "Kau benar-benar menjengkelkan," gerutuku.
"Trims." Entah dari mana tahu-tahu Jasper dan Alice sudah berdiri di samping Edward.
Jacob maju selangkah, kemudian menurunkan aku beberapa meter jauhnya dari
Edward. Tanpa menoleh lagi kepada Jacob, aku menghampiri Edward dan meraih
tangannya. "Well?" tanyaku.
"Asal kau tidak menyentuh apa-apa, Bella, aku tidak bisa membayangkan ada yang
mau repot mengendus-endus tanah untuk mencari baumu," kata Jasper, nyengir.
"Baumu hampir sepenuhnya tersamarkan."
"Sukses besar," Alice sependapat, mengernyitkan hidung.
"Dan aku mendapat ide."
"Yang pasti akan berhasil," imbuh Alice penuh percaya diri.
"Cerdik," Edward sependapat.
"Bagaimana kau bisa tahan dengan semua itu?" bisik Jacob padaku.
Edward tak memedulikan Jacob dan menatapku saat ia menjelaskan. "Kami, well,
kau, akan meninggalkan jejak-jejak palsu menuju lapangan. Bella. Para vampir
baru itu sedang berburu, jadi baumu akan membuat mereka bergairah, dan mereka
akan datang tepat ke tempat yang kami inginkan tanpa kami harus berhati-hati
mengenainya. Alice sudah bisa melihat rencana ini pasti berhasil. Saat mereka
menangkap bau kami, mereka akan berpencar dan berusaha menyerang kami dari dua
sisi. Setengah masuk ke hutan, tempat visi Alice tiba-tiba menghilang... "
"Yes!" desis Jacob.
Edward tersenyum pada Jacob, benar-benar senyum bersahabat.
Aku merasa muak. Bagaimana mereka bisa begitu bersemangat membicarakan ini"
Bagaimana aku bisa tahan bila dua-duanya berada dalam bahaya" Aku tidak sanggup.
Aku tidak mau. "Tidak bisa," sergah Edward tiba-tiba, nadanya marah. Aku terlonjak kaget,
khawatir Edward mendengar tekadku barusan, tapi matanya tertuju kepada Jasper.
"Aku tahu, aku tahu," Jasper buru-buru menyergah. "Aku bahkan tidak
mempertimbangkannya, sungguh."


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alice menginjak kakinya. "Kalau Bella benar-benar berada di lapangan." Jasper menjelaskan kepada Alice,
"para vampir baru itu bakal kesetanan. Mereka takkan bisa berkonsentrasi pada
hal lain selain dirinya. Mudah saja menghabisi mereka..."
Tatapan garang Edward membuat Jasper mundur.
"Tentu saja itu terlalu berbahaya bagi Bella. Itu pikiran ngawur," ujarnya buru-
buru. Tapi ia melirikku, dan sorot matanya berharap.
"Tidak," tolak Edward. Nadanya tegas, tak bisa ditawar-tawar.
"Kau benar." kata Jasper. Ia meraih tangan Alice dan menghampiri yang lain. "Dua
yang terbaik dari tiga?" Kudengar ia bertanya kepada Alice saat mereka beranjak
untuk latihan lagi. Jacob memandanginya dengan jijik.
"Jasper selalu memandang segala sesuatu dari perspektif militer," dengan tenang
Edward membela saudaranya. "Dia selalu melihat berbagai opsi,itu namanya teliti,
bukan tidak berperasaan."
Jacob mendengus. Tanpa sadar sejak tadi Jacob semakin beringsut mendekat, tertarik oleh keasyikannya menyimak perencanaan. Sekarang ia berdiri tidak sampai satu meter dari
Edward, dan, berdiri di antara mereka, bisa kurasakan udara sarat oleh
ketegangan fisik. Seperti arus listrik statis yang setiap saat bisa korslet.
Edward kembali bersikap resmi. "Aku akan membawanya ke sini Jumat siang untuk
menyebarkan jejak palsu. Kalian bisa menemui kami sesudahnya, dan membawanya ke
tempat yang kuketahui. Tempatnya terpencil, mudah dipertahankan, walaupun bukan
berarti pasti akan seperti itu. Aku akan mengambil rute lain menuju ke sana."
"Lalu bagaimana" Meninggalkannya dengan ponsel?" Tanya Jacob kritis.
"Kau punya ide yang lebih bagus?" Tiba-tiba Jacob tampak puas. "Ya, ada."
"Oh.. Baiklah, anjing, lumayan juga idemu."
Dengan cepat Jacob menoleh menatapku, seolah-olah bertekad menjadi pihak yang
baik dengan menginformasikan jalannya pembicaraan. "Kami berusaha membujuk Seth
untuk tinggal bersama dua serigala muda lainnya. Dia masih terlalu muda, tapi
keras kepala dan pemberontak. Jadi terpikir olehku untuk memberinya tugas lain -
ponsel." Aku berusaha menunjukkan sikap seolah-olah mengerti. Tapi semua tahu aku tidak
mengerti. "Selama Seth Clearwater menjadi serigala, dia bisa terus berhubungan dengan
kawanannya," Edward menjelaskan. "Jarak tidak masalah!" imbuhnya, menoleh kepada
Jacob. "Tidak." "Empat ratus delapan puluh kilometer?" Tanya Edward. "Mengesankan."
Jacob kembali berbaik hati. "Itu jarak terjauh yang pernah dieksperimenkan," ia
menjelaskan padaku. "Masih sangat jelas."
Aku mengangguk asal, dalam hati aku kaget karena si kecil Seth Clearwater sudah
menjadi manusia serigala juga, dan itu membuatku sulit berkonsentrasi. Dalam
benakku aku bisa melihat senyumnya yang cemerlang, sangat mirip Jacob waktu
masih kecil dulu; usianya tak mungkin lebih dari lima belas tahun, kalau Seth
memang itulah usianya. Tiba-tiba saja aku bisa memahami antusiasmenya yang
meluap-luap saat pertemuan api unggun waktu itu...
"Ide bagus," Edward sepertinya enggan mengakuinya. "Aku akan merasa lebih tenang
kalau ada Seth di sana, bahkan seandainya tanpa komunikasi instan. Entah apakah
aku sanggup meninggalkan Bella sendirian di sana. Tapi coba bayangkan betapa
anehnya situasi ini sekarang! Mempercayai werewolf. Bertarung bersama vampir,
bukannya melawan mereka!"
Jacob menirukan nada jijik seperti yang disuarakan Edward.
"Well", kau masih bisa bertarung melawan beberapa di antara mereka," tukas
Edward. Jacob tersenyum. "Karena itulah kami ada di sini."
19. EGOIS EDWARD menggendongku pulang dalam dekapannya, yakin aku pasti takkan mampu
berpegangan padanya. Aku pasti jatuh tertidur dalam perjalanan.
Waktu bangun aku sudah berada di tempat tidur dan cahaya suram menerobos masuk
melalui kaca-kaca jendela, miring dan datang dari sudut yang aneh. Hampir
seolah-olah hari sudah sore.
Aku menguap dan menggeliat, jari-jariku mencari-cari Edward tapi ia tak ada.
"Edward"' gumamku.
Jemariku yang meraba-raba menyentuh sesuatu yang dingin dan halus. Tangannya.
"Kau sudah benar-benar bangun sekarang," bisik Edward.
"Mmm," aku mendesah mengiyakan. "Memangnya banyak pertanda palsu?"
"Kau gelisah terus - mengoceh seharian."
"Seharian!" Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan menoleh lagi ke jendela.
"Kau habis begadang," kata Edward menenangkan."Jadi kau pantas tidur seharian."
Aku terduduk, kepalaku pening. Cahaya memang menerobos masuk ke jendelaku dari
arah barat. "Wow."
"Lapar?" tebak Edward." Mau sarapan di tempat tidur?"
"Aku bisa sendiri kok," erangku, menggeliat lagi. "Aku harus turun dan
bergerak." Edward menggandeng tanganku menuju dapur, mengamatiku dengan waswas, seolah-olah
takut aku akan ambruk. Atau mungkin dikiranya aku melindur.
Aku memilih sarapan yang sederhana, memasukkan dua keping Pop-Tart ke
panggangan. Aku melihat bayangan diriku sendiri di lapisan kromnya yang
memantulkan bayangan. "Ya ampun, aku benar-benar tampak berantakan."
"Semalam memang sangat melelahkan." kata Edward lagi. "Seharusnya kau tinggal
saja di sini dan tidur."
"Yang benar saja! Dan ketinggalan semuanya. Kau tahu, kau harus mulai bisa
menerima fakta sekarang aku sudah menjadi bagian keluargamu."
Edward tersenyum. "Mungkin lama-lama aku akan terbiasa juga."
Aku duduk menghadapi sarapanku, sementara Edward duduk di sampingku. Ketika
kuangkat Pop-Tart untuk gigitan pertama, kulihat Edward memandangi tanganku. Aku
menunduk, dan melihat aku masih mengenakan hadiah yang diberikan Jacob untukku
di pesta. "Boleh lihat?" tanyanya, meraih bandul serigala kecil dari kayu itu.
Aku menelan dengan suara berisik. "Eh tentu."
Edward menyeimbangkan patung mungil itu di telapak tangannya yang putih. Sesaat,
aku sempat takut. Hanya dengan sedikit remasan jari-jarinya, bandul itu bakal
remuk. Tapi tentu saja Edward takkan berbuat begitu. Punya pikiran seperti itu saja
sudah membuatku malu. Edward hanya menimang-nimang serigala kecil itu di telapak
tangannya berapa saat, lalu melepasnya. Bandul itu berayun pelan di pergelangan
tanganku. Aku mencoba membaca ekspresi di matanya. Yang kulihat hanya ekspresi berpikir,
semua yang lain dipendamnya, kalau memang ada yang lain.
"Jacob Black boleh memberimu hadiah."
Itu bukan pertanyaan, atau tuduhan. Hanya pernyataan fakta. Tapi aku tahu ia
merujuk pada hari ulang tahun terakhirku serta kekesalanku karena diberi
berbagai hadiah ,waktu itu aku tidak menginginkan apa-apa. Terutama tidak dari
Edward. Memang tidak sepenuhnya logis, dan, tentu saja, semua orang tetap
mengabaikan keinginanku...
"Kau sudah sering memberiku hadiah," aku mengingatkan dia. "Kau tahu aku suka
barang-barang buatan sendiri."
Edward mengerucutkan bibirnya sejenak. "Bagaimana kalau barang yang dulunya
milik orang lain. Apakah itu bisa diterima?"
"Maksudmu?" "Gelang ini." Telunjuk Edward menyusuri gelang yang melingkar di pergelangan
tanganku. "Kau akan sering memakainya?"
Aku mengangkat bahu. "Karena kau tidak ingin melukai perasaannya," Edward menduga dengan cerdik.
"Tentu, kurasa begitu."
"Adilkah menurutmu, kalau begitu?" tanya Edward, menunduk menatap tanganku
sambil bicara. Ia membalikkan tanganku hingga telapakku menghadap ke atas, lalu
ujung jarinya menyusuri urat-urat nadi di
pergelangan tanganku. "Kalau aku juga memberimu sesuatu yang bisa
merepresentasikan aku?"
"Merepresentasikanmu?"
"Sebuah bandul, sesuatu yang akan selalu membuatmu teringat padaku."
"Aku selalu mengingatmu. Tidak perlu pengingat lain."
"Kalau aku memberimu sesuatu, maukah kau memakainya" "desak Edward.
"Benda yang pernah dimiliki seseorang?" aku mengecek.
"Ya, sesuatu yang sudah lama kusimpan." Edward menyunggingkan senyum
malaikatnya. Kalau hanya ini reaksi Edward terhadap hadiah Jacob, aku akan menerimanya dengan
senang hati. "Apa saja asal kau bahagia."
"Kau menyadari ketidakseimbangannya, bukan?" tanyanya, nada suaranya berubah
menuduh. "Karena aku jelas menyadarinya."
"Ketidakseimbangan apa?"
Mata Edward menyipit. "Orang lain boleh memberimu hadiah sesuka mereka. Semua
kecuali aku. Aku ingin sekali memberimu hadiah kelulusan tapi itu tidak
kulakukan. Aku tahu itu akan membuatmu lebih marah daripada kalau orang lain
yang memberimu hadiah. Itu sangat tidak adil. Bagaimana kau menjelaskan
alasanmu?" "Gampang." Aku mengangkat bahu. "Kau lebih penting dari pada semua orang lain.
Dan kau sudah memberiku dirimu. Itu lebih daripada yang pantas kuterima, dan
hadiah lain, apa pun, yang kuterima darimu, hanya akan membuat posisi kita makin
tak seimbang." Edward mencerna penjelasanku sesaat, kemudian memutar bola matanya. "Caramu
menghargaiku benar-benar konyol."
Aku mengunyah sarapanku dengan tenang. Aku tahu Edward tidak akan mengerti bila
kukatakan padanya pikirannya itu terbalik.
Ponsel Edward mendengung.
Diperhatikannya dulu nomor yang tertera di sana sebelum menerimanya. "Ada apa,
Alice?" Edward mendengarkan, dan aku menunggu reaksinya, mendadak gugup. Tapi apa pun
yang dikatakan Alice tidak membuat Edward terkejut. Ia mendesah beberapa kali.
"Rasa-rasanya aku sudah menduga akan seperti itu," kata Edward kepada Alice,
menatap mataku. alisnya terangkat dengan sikap tidak setuju. "Dia bicara dalam
tidurnya." Pipiku merah padam. Memangnya apa lagi yang kuocehkan"
"Serahkan saja padaku," janjinya.
Edward menatapku garang sambil memutuskan hubungan.
"Apakah ada yang ingin kaubicarakan denganku?"
Aku menimbang-nimbang sesaat. Menilik peringatan Alice semalam, aku bisa menebak
maksud Alice menelepon Edward. Kemudian aku teringat mimpi-mimpi mengganggu yang
kualami waktu aku tidur seharian, dalam mimpi itu aku mengejar Jasper, berusaha
mengikutinya dan menemukan lapangan terbuka di tengah hutan yang berkelok-kelok
menyesatkan, tahu aku akan menemukan Edward di sana... Edward. serta para
monster yang ingin membunuhku, tapi aku tidak peduli pada mereka karena sudah
membuat keputusan, aku sudah bisa menebak apa yang didengar Edward sementara aku
tidur." Aku mengerucutkan bibir sesaat, tak sanggup membalas tatapannya. Edward
menunggu. "Aku suka ide Jasper," kataku akhirnya.
Edward mengerang. "Aku ingin membantu. Aku harus melakukan sesuatu," aku bersikeras.
"Tidak akan membantu kalau kau berada dalam bahaya."
"Menurut Jasper itu bisa membantu. Ini kan keahliannya."
Edward memelototiku. "Kau tidak bisa membuatku menyingkir," ancamku. "Aku tidak mau bersembunyi di
hutan sementara kalian mempertaruhkan nyawa demi aku."
Tiba-tiba Edward menahan senyumnya yang nyaris terkuak. "Alice tidak melihatmu
di lapangan, Bella. Dia melihatmu tersaruk-saruk di tengah hutan, tersesat. Kau
takkan bisa menemukan kami; kau hanya akan membuatku membuang banyak waktu untuk
mencarimu sesudahnya." Aku berusaha tetap bersikap setenang Edward. "Itu karena
Alice tidak memperhitungkan faktor Seth Clearwater," ujarku sopan. "Kalau dia
memperhitungkan hal itu, tentu saja dia tidak akan bisa melihat apa-apa sama
sekali. Tapi kedengarannya Seth juga ingin berada di medan pertempuran, sama
sepertiku. Jadi pasti tidak terlalu sulit membujuknya untuk menunjukkan jalan
padaku." Amarah melintas di wajah Edward, kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan
menenangkan diri. "Mungkin saja itu bisa berhasil... kalau kau tidak memberitahuku. Sekarang. aku
tinggal meminta Sam memberi perintah khusus kepada Seth. Biarpun ingin, Seth
tidak mungkin bisa mengabaikan perintah semacam itu."
Aku tetap menyunggingkan senyum ceria. "Tapi untuk apa Sam memberi perintah
semacam itu" Kalau aku bilang padanya kehadiranku di sana justru akan membantu"
Berani bertaruh, Sam pasti lebih suka meluluskan permintaanku daripada
permintaanmu." Edward berusaha keras menahan diri lagi. "Mungkin kau benar. Tapi aku yakin
Jacob pasti juga bersedia memberi perintah yang sama."
Keningku langsung berkerut. "Jacob?"
"Jacob orang kedua. Pernahkah dia memberitahumu hal itu" Perintahnya juga harus
ditaati." Edward berhasil membungkam perlawananku, dan melihat senyumannya, ia pun tahu
itu. Keningku berkerut. Jacob pasti bakal berpihak kepada Edward, dalam urusan
yang satu ini,aku betul-betul yakin. Dan Jacob tidak pernah memberi tahu hal itu
padaku. Edward memanfaatkan kebingungan sesatku dengan meneruskan kata-katanya dengan
nada kalem dan menenangkan yang mencurigakan itu.
"Aku mendapat kesempatan melihat ke dalam pikiran kawanan itu semalam. Ternyata
lebih seru daripada cerita sinetron. Aku sama sekali tidak mengira betapa
kompleksnya situasi dalam sebuah kawanan yang begitu besar. Bagaimana keinginan
individual harus berhadapan dengan keinginan kelompok... Menarik sekali."
Edward jelas-jelas berusaha mengalihkan pikiranku. Kupelototi ia dengan galak.
"Jacob menyimpan banyak rahasia." kata Edward sambil nyengir.
Aku tidak menyahut, aku terus saja memelototinya, mempertahankan argumenku dan
menunggu peluang. "Misalnya saja, kau lihat tidak serigala abu-abu kecil yang ada di sana
semalam?" Aku mengangguk kaku. Edward terkekeh. "Mereka sangat memercayai legenda. Tapi ternyata, terjadi
banyak hal baru yang dalam kisah-kisah itu justru tidak pernah ada."
Aku mengembuskan napas. "Oke, kumakan umpanmu. Apa maksudmu sebenarnya?"
"Mereka selalu menerima tanpa ragu bahwa hanya cucu lelaki langsung serigala
aslilah yang memiliki kemampuan untuk berubah."
"Jadi ada seseorang yang bukan cucu lelaki langsung yang berubah?"
"Ya. Tapi dia memang cucu perempuan langsung."
Aku berkedip, mataku membelalak, "Perempuan?"
Edward mengangguk. "Dia mengenalmu. Namanya Leah Clearwater."
"Jadi Leah juga werewolf?" pekikku. "Apa?" Sudah berapa lama" Kenapa Jacob tidak
memberitahuku?" "Ada hal-hal yang tidak boleh dia ceritakan kepada siapa pun, misalnya saja,
berapa jumlah mereka. Seperti kukatakan tadi, kalau Sam memberi perintah,
kawanan itu tidak bisa tidak mematuhi. Jacob sangat berhati-hati untuk
memikirkan hal-hal lain bila dia berada di dekatku. Tentu saja, setelah semalam,
semuanya terbuka lebar."
"Aku tidak percaya. Leah Clearwater!" Mendadak aku ingat Jacob pernah bercerita
tentang Leah dan Sam, serta bagaimana Jacob mendadak bersikap seolah-olah ia
sudah kelepasan omong, setelah berkata Sam harus menatap mata Leah setiap hari
dan tahu ia telah melanggar semua janjinya sendiri... Leah di tebing. setetes
air mata berkilau di pipinya ketika Quil Tua berbicara tentang beban dan
pengorbanan yang dipikul anak-anak lelaki suku Quileute... Dan Billy yang
mendadak jadi sering bertandang ke rumah Sue karena ia memiliki masalah dengan
anak-anaknya... dan masalah itu ternyata bahwa kedua anaknya sekarang menjadi
werewolf. Sebelumnya aku tidak begitu memikirkan Leah Clearwater, hanya ikut sedih karena
ayahnya, Harry, meninggal dunia, kemudian merasa kasihan padanya waktu Jacob
menceritakan padaku tentang kisah cintanya, betapa proses imprint aneh antara
Sam dan sepupunya Emily telah menghancurkan hati Leah.
Dan sekarang ia menjadi anggota kawanan Sam, mendengar pikiran-pikirannya... dan
tak bisa menyembunyikan pikirannya sendiri.
Aku paling tidak menyukai bagian yang itu. Jacob pernah berkata. Semua yang
membuatmu malu, terpampang jelas dan bisa diketahui semua orang.
"'Kasihan Leah." bisikku.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edward mendengus. "Dia membuat hidup jadi sangat tidak menyenangkan bagi yang
lain-lain. Aku tak yakin dia pantas mendapat simpatimu."
"Apa maksudmu?"
"Ini saja sudah sulit bagi mereka, saling mengetahui pikiran masing-masing.
Sebagian besar berusaha bekerja sama, untuk lebih memudahkan keadaan. Karena
jika satu orang saja sengaja bersikap jahat, semua ikut merasakan sakitnya."
"Leah punya alasan kuat untuk itu," gumamku, masih memihak Leah.
"Oh, aku tahu." ucap Edward. "Keharusan imprint adalah satu hal teraneh yang
pernah kusaksikan seumur hidupku. padahal aku sudah melihat hal-hal yang benar-
benar aneh." Edward menggeleng-geleng takjub. "Saat menggambarkan bagaimana Sam terikat
kepada Emily-nya - atau mungkin lebih tepat kukatakan Sam-nya Leah. Sam benar-
benar tidak punya pilihan. Itu mengingatkanku pada cerita A Midsummer Night's
Dream ketika semua kekacauan disebabkan mantra cinta para peri... seperti sihir
saja." "Kasihan Leah," ujarku lagi. "Tapi apa maksudmu. bersikap jahat?"
"Leah terus-menerus memikirkan hal-hal yang lebih suka mereka lupakan." Edward
menjelaskan. "Misalnya saja, soal Embry."
"Memangnya ada apa dengan Embry?" tanyaku, terkejut.
"Ibunya pindah dari reservasi Makah tujuh belas tahun lalu, saat Embry masih
dalam kandungan. Ibunya bukan suku Quileute. Semua orang berasumsi ibu Embry
meninggalkan ayahnya bersama suku Makah. Tapi kemudian Embry bergabung dengan
kawanan serigala." "Lantas?" "Jadi, kandidat utama ayah Embry adalah Quit Ateara, St Joshua Uley, atau Billy
Black, yang semuanya masih beristri saat itu, tentu saja."
"Ah, yang benar," aku terkesiap. Edward benar, persis seperti cerita sinetron.
"Sekarang Sam, Jacob, dan Quil bertanya-tanya siapa di antara mereka yang
memiliki saudara seayah. Mereka semua berharap Sam-lah saudara seayah Embry,
karena bisa dibilang ayah Sam memang tidak baik. Tapi keraguan itu selalu ada.
Jacob sendiri tidak berani bertanya kepada Billy tentang hal itu."
"Wow. Bagaimana kau bisa tahu sebanyak itu hanya dalam satu malam?"
"Pikiran kawanan itu menakjubkan. Semua berpikir bersama, sekaligus sendiri-
sendiri pada saat bersamaan. Banyak sekali yang bisa dibaca!"'
Nadanya terdengar sedikit menyesal seperti orang yang terpaksa berhenti membaca
buku yang bagus sebelum klimaks.
Aku tertawa. "Kawanan itu memang menakjubkan," aku sependapat. "Hampir sama menakjubkannya
denganmu saat berusaha mengalihkan pikiranku."
Ekspresi Edward kembali berubah sopan,wajah datar yang sempurna.
"Aku harus berada di sana, Edward."
"Tidak," tukas Edward dengan nada tegas yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Saat itulah sebuah ide muncul di benakku.
Sebenarnya aku tidak perlu berada di lapangan itu. Aku hanya perlu berada di
tempat yang sama dengan Edward.
Kejam, tuduhku pada diri sendiri. Egois. egois, egois! Jangan lakukan itu!
Aku tak memperdulikan akal sehatku. Namun aku juga tidak berani menatap mata
Edward saat bicara. Perasaan bersalah membuat mataku terpaku ke meja.
"Oke, begini. Edward," bisikku. "Masalahnya begini... aku dulu sudah pernah
gila. Aku tahu sampai di mana batas kemampuanku. Dan aku tak sanggup kalau kau
meninggalkan aku lagi."
Aku tidak mengangkat wajah untuk melihat reaksinya, takut mengetahui betapa
menyakitkannya kata-kataku itu baginya. Aku memang mendengarnya terkesiap kaget
dan sejurus kemudian terdiam. Kupandangi daun meja yang terbuat dari kayu
berwarna gelap, berharap bisa menarik lagi kata-kataku tadi. Tapi mungkin juga
tidak kalau itu bisa membuahkan hasil.
Tiba-tiba Edward memelukku, tangannya membelai wajah dan lenganku. Ia
menenangkan aku. Perasaan bersalahku semakin menjadi-jadi. Tapi naluri
menyelamatkan diri lebih kuat. Tidak diragukan lagi Edward merupakan faktor
penting keselamatanku. "Kau tahu tidak akan seperti itu. Bella." gumamnya.
"Aku tidak akan jauh-jauh darimu, dan sebentar saja aku pasti sudah selesai."
"Aku tidak sanggup," aku bersikeras, tetap menunduk. "Tidak tahu apakah kau akan
kembali atau tidak. Bagaimana aku bisa menjalaninya, tak peduli betapapun
cepatnya itu berakhir?"
Edward mendesah." Pasti akan berakhir dengan mudah, Bella. Tidak ada alasan
untuk takut." "Tidak ada sama sekali?"
"Sama sekali tidak."
"Dan semua akan baik-baik saja?"
"Semuanya," janji Edward.
"Jadi aku sama sekali tidak perlu berada di sana?"
"Tentu saja tidak. Alice baru saja memberi tahu jumlahnya berkurang jadi
sembilan belas. Kami pasti bisa menghadapi mereka dengan mudah."
"Benar,kau pernah bilang saking mudahnya, jangan-jangan ada di antara kalian
yang tinggal duduk-duduk santai," aku mengulangi perkataan Edward semalam.
"Apakah kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu."
"Ya." Rasanya terlalu mudah,Edward pasti sudah bisa menebak maksudku. "Begitu mudahnya
hingga kau bisa tidak ikut?"
Setelah lama tidak terdengar apa-apa, akhirnya aku menengadah untuk melihat
ekspresinya. Wajah Edward kembali datar.
Aku menghela napas dalam-dalam. "Jadi harus salah satu. Apakah situasinya lebih
berbahaya daripada yang kau ingin kuketahui, dan itu berarti aku berhak berada
di sana, melakukan sebisaku untuk membantu. Atau... ini akan sangat mudah
sehingga mereka bisa mengatasinya tanpa kau. Mana yang lebih tepat?"
Edward diam saja. Aku tahu apa yang ia pikirkan,hal yang sama seperti yang kupikirkan. Carlisle,
Esme, Emmett, Rosalie, Jasper. Dan.... aku memaksa diriku memikirkan nama
terakhir, dan Alice. Aku penasaran apakah aku ini monster. Bukan monster seperti anggapan Edward,
tapi monster sungguhan. Yang senang menyakiti orang. Yang tidak mempunyai
batasan jika itu berkaitan dengan apa yang mereka inginkan.
Yang kuinginkan hanyalah supaya Edward tetap aman, aman bersamaku. Apakah aku
memiliki batasan apa yang akan kulakukan, apa yang bersedia kukorbankan demi
meraihnya" Entahlah.
"Kau memintaku membiarkan mereka bertempur tanpa bantuanku?"' Tanya Edward
pelan. "Ya," Mengagetkan bagaimana aku bisa menjaga suaraku tetap tenang, padahal dalam
hati aku begitu kacau. "Atau membiarkanku ikut. Yang mana saja, asal kita bisa
bersama." Edward menghela napas dalam-dalam. kemudian mengembuskannya lambat-lambat. Ia
mengulurkan tangan dan merengkuh kedua pipiku, memaksaku menatapnya. Ditatapnya
mataku lama sekali. Aku bertanya-tanya dalam hati apa yang ia cari, dan apa yang
ia temukan. Apakah perasaan bersalah terlihat begitu jelas di wajahku seperti
halnya itu terasa di perutku - membuatku mual"
Matanya mengejang akibat emosi yang tak bisa kubaca, dan Edward. menurunkan satu
tangan untuk mengeluarkan ponselnya lagi.
"Alice." desahnya. "Bisakah kau datang sebentar untuk menjaga Bella?" Ia
mengangkat sebelah alis, menantangku
membantah ucapannya. "Aku perlu bicara dengan Jasper."
Alice pasti setuju. Edward menyimpan ponselnya dan kembali memandangi wajahku.
"Apa yang akan kaukatakan kepada Jasper?" bisikku. "Aku akan mendiskusikan
kemungkinan... aku tidak ikut bertempur."
Dari wajahnya kentara sekali sulit bagi Edward mengucapkan kata-kata itu.
"Maafkan aku." Aku memang menyesal. Aku tidak suka membuatnya melakukan hal ini. Namun sesalku
tak cukup besar hingga aku bisa menyunggingkan senyum palsu dan
mengizinkannya pergi tanpa aku. Jelas tidak sebesar itu.
"Jangan meminta maaf," kata Edward, tersenyum sedikit.
"Jangan pernah takut mengungkapkan perasaanmu, Bella. Kalau memang ini yang
kaubutuhkan.. " Edward mengangkat bahu. "Kau prioritas utamaku."
"Maksudku bukan begitu,seolah-olah kau harus memilih aku atau keluargamu."
"Aku tahu itu, lagi pula, bukan itu yang kauminta. Kau memberiku dua alternatif
yang bisa kauterima, dan aku memilih salah satu yang bisa kuterima. Itu namanya
berkompromi." Aku mencondongkan tubuh dan meletakkan keningku di dadanya. "Terima kasih,"
bisikku. "Tidak apa-apa," sahut Edward, mengecup rambutku.
"Tidak apa-apa."
Lama sekali kami tidak bergerak. Aku tetap
menyembunyikan wajahku, membenamkannya di bajunya. Dua suara berebut bicara
dalam hatiku. Yang satu ingin aku bersikap baik dan berani, yang lain menyuruh
sisi baikku untuk tidak banyak mulut.
"Siapa itu istri ketiga?" tahu-tahu Edward bertanya.
"Hah?" tukasku, sengaja mengulur-ulur. Aku tidak ingat pernah bermimpi tentang
hal itu lagi. "Kau menyebut-nyebut 'istri ketiga' semalam. Soal yang lain-lain memang tidak
begitu masuk akal, tapi yang satu itu benar-benar membuatku bingung."
Edward menjauhkan tubuhnya dariku dan menggelengkan kepala, mungkin bingung
mendengar nada tidak suka dalam suaraku.
"Oh. Eh, yeah. Itu hanya satu dari beberapa kisah yang kudengar di acara api
unggun waktu itu," Aku mengangkat bahu. "Ceritanya jadi menempel di kepalaku."
Belum sempat Edward bertanya, Alice sudah muncul di ambang pintu dapur dengan
ekspresi masam. "Kau akan melewatkan semua yang asyik-asyik." gerutunya.
"Halo, Alice," Edward menyapanya. Ia meletakkan satu jari di bawah daguku dan
menengadahkan wajahku, menciumku sebelum pergi.
"Aku akan kembali lagi nanti." janjinya padaku."Aku akan membicarakan masalah
ini dengan yang lain, membuat berapa pengaturan."
"Oke." "Tak banyak yang perlu diatur," tukas Alice. "Aku sudah memberi tahu mereka.
Emmett senang sekali."
Edward mendesah. "Tentu saja dia senang."
Edward berjalan ke luar, meninggalkanku untuk menghadapi Alice.
Alice memandangiku marah.
"Maafkan aku," lagi-lagi aku meminta maaf
"Menurutmu, hal ini akan semakin membahayakan kalian?"
Alice mendengus. "Kau terlalu khawatir, Bella. Bisa-bisa kau cepat ubanan."
"Kenapa kau kesal kalau begitu."
"Edward bersikap sangat menyebalkan jika kemauannya tidak dituruti. Aku hanya
mengantisipasi hidup bersamanya selama beberapa bulan ke depan." Alice
mengernyit. "Kurasa, kalau itu membuatmu tetap waras, tak ada salahnya
melakukannya. Tapi harapanku kau bisa mengatasi rasa pesimismu, Bella. Itu
sangat tidak perlu."
"Apa kau akan membiarkan Jasper pergi tanpa kau?" tuntutku.
Alice meringis, "Itu lain."
"Apanya yang lain."
"Cepat bersihkan dirimu," perintahnya. "lima belas menit lagi Charlie sampai di
rumah, dan kalau kau kelihatan seperti ini, dia pasti tidak akan mengizinkanmu
keluar lagi." Wow, aku benar-benar kehilangan sehari penuh Rasanya benar-benar rugi. Untung
nantinya aku tidak selalu harus membuang-buang waktuku dengan tidur.
Aku sudah rapi waktu Charlie sampai di rumah, berpakaian lengkap, baju rapi, dan
sibuk di dapur memasakkan makan malam untuknya. Alice duduk di tempat Edward
biasa duduk dan sepertinya itu langsung membuat Charlie bersikap ceria.
"Halo, Alice! Bagaimana kabarmu, Sayang?" "Aku baik-baik saja, Charlie, trims."
"Akhirnya bangun juga kau, tukang tidur," kata Charlie padaku waktu aku duduk di
sebelahnya, sebelum berpaling kembali kepada Alice. "Semua orang ramai
membicarakan pesta yang diadakan orangtuamu semalam. Wah, kalian pasti repot
sekali membereskan seisi rumah."
Alice mengangkat bahu. Karena sudah mengenal Alice dengan baik, itu pasti sudah
selesai dikerjakan. "Tidak percuma kok," ujarnya. "Pestanya meriah."
"Mana Edward?" tanya Charlie, sedikit enggan. "Apa dia sedang membantu beres-
beres?" Alice mengembuskan napas dan wajahnya berubah murung. Mungkin itu hanya
akting, tapi terlalu sempurna di mataku sehingga rasanya mengerikan. "Tidak. Dia
sedang sibuk merencanakan acara akhir pekan bersama Emmett dan Carlisle."
"Hiking lagi?" Alice mengangguk, wajahnya mendadak sendu. "Ya. Mereka semua pergi, kecuali aku.
Kami selalu pergi backpacking pada akhir tahun ajaran, semacam perayaan, tapi
tahun ini aku memutuskan lebih suka belanja daripada hiking, tapi tak seorang
pun mau tinggal untuk menemaniku. Aku sendirian."
Wajah Alice berkerut, ekspresinya begitu sedih sampai-sampai Charlie otomatis
mencondongkan tubuh ke arahnya, sebelah tangan terulur, seperti ingin menolong.
Kupelototi Alice dengan sikap curiga. Apa lagi yang dilakukannya sekarang"
"Alice, Sayang, kenapa kau tidak menginap saja di sini bersama kami?" Charlie
menawarkan. "Aku tidak suka membayangkan kau sendirian di rumah besar itu."
Alice mendesah. Sesuatu menginjak kakiku di bawah meja.
"Aduh!" protesku.
Charlie berpaling kepadaku. "Apa?"
Alice melayangkan pandangan frustrasi ke arahku. Kentara sekali ia menganggapku
sangat lamban malam ini. "Jari kakiku terantuk," gumamku.
"Oh," Charlie menoleh lagi kepada Alice. "Jadi.. bagaimana tawaranku tadi?"
Lagi-lagi Alice menginjak kakiku, kali ini tidak terlalu keras.
'"Eh, Dad, Dad kan tahu akomodasi di sini kurang memadai. Berani bertaruh, Alice
pasti tidak mau tidur di lantai kamarku.. "
Charlie mengerucutkan bibir. Alice menunjukkan ekspresi murung itu lagi.
'"Kalau begitu, mungkin sebaiknya Bella menemanimu di rumahmu," Charlie
menyarankan. "Hanya sampai orangtuamu kembali.'"
"Oh, kau mau, tidak, Bella?" Alice tersenyum berseri-seri padaku. "Kau tidak
keberatan shopping denganku, kan?"
"Tentu," aku setuju. "Shopping. Oke."
"Kapan mereka berangkat?" tanya Charlie.
Lagi-lagi Alice mengernyit. "Besok."
"Kapan kau mau aku datang?" tanyaku.
"Sehabis makan malam, kurasa," jawabnya, kemudian menempelkan telunjuknya di
dagu, berpikir-pikir. "Hari Sabtu kau tidak ada acara apa-apa, kan" Aku ingin
shopping ke luar kota, pergi seharian."
"Jangan ke Seattle," sela Charlie, alisnya bertaut.
"Tentu saja tidak," Alice langsung menyanggupi, walaupun kami tahu Seattle
justru akan sangat aman pada hari Sabtu.
"Maksudku ke Olympia, mungkin.."
"Kau pasti senang, Bella." Charlie riang karena lega. "Pergilah, sekali-sekali
menghirup udara kota."
"Yeah, Dad. Pasti asyik."
Dengan satu obrolan ringan, Alice berhasil mendapatkan izin bagiku untuk keluar
pada malam terjadinya pertempuran.
Edward kembali tak lama kemudian. Diterimanya saja ucapan selamat bersenang-
senang dari Charlie tanpa perasaan terkejut. Ia berkata mereka harus berangkat
pagi-pagi sekali besok, dan berpamitan sebelum waktu biasanya ia pulang.
Alice ikut pulang bersamanya.
Aku permisi hendak tidur tak lama setelah mereka pulang.
"Masa kau sudah capek lagi," protes Charlie.
"Sedikit," dustaku.
"Pantas kau sering mangkir menghadiri pesta," gerutu Charlie. "Kau butuh waktu
yang sangat lama untuk pulih."
Di lantai atas, Edward sudah berbaring melintang di tempat tidurku.
"Jam berapa kita akan bertemu dengan para serigala?" bisikku sambil
mendekatinya. "Satu jam lagi."
"Bagus. Jake dan teman-temannya butuh tidur."
"Mereka tidak butuh tidur sebanyak kau," tukasnya.
Aku beralih ke topik lain, berasumsi Edward berniat membujukku tinggal saja di
rumah. "Alice sudah cerita padamu, belum, kalau dia menculikku lagi?"
Edward nyengir. "Sebenarnya, bukan begitu."
Kutatap Edward, bingung, dan ia tertawa pelan melihat ekspresiku.
"Akulah satu-satunya yang diizinkan menyanderamu, ingat?" tanya Edward. "Alice


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan pergi berburu bersama mereka semua." Ia mendesah. "Kurasa aku tidak perlu
melakukan itu sekarang."
"Jadi kau yang akan menculikku?" Edward mengangguk.
Aku berpikir sebentar. Tidak ada Charlie yang mendengarkan di lantai bawah,
sesekali datang untuk mengecek. Dan di seantero rumah tidak ada vampir yang
tidak pernah tidur dengan pendengaran mereka yang luar
biasa sensitif. Hanya dia dan aku - benar-benar sendirian.
"Kau tidak keberatan, kan?" tanya Edward, cemas melihatku terdiam.
"Well.. tentu tidak. kecuali satu hal."
"Apa itu?" Mata Edward tampak gelisah. Membingungkan, tapi entah kenapa Edward
sepertinya masih merasa tidak yakin ia memilikiku. Mungkin aku perlu lebih
memperjelas maksudku. "Kenapa Alice tidak bilang saja kepada Charlie bahwa kau berangkat malam ini?"
tanyaku. Edward tertawa, lega. Aku menikmati perjalanan ke lapangan lebih daripada semalam. Aku masih merasa
bersalah, masih takut, tapi tidak ketakutan lagi. Aku bisa berfungsi. Aku bisa
melihat melewati apa yang akan terjadi, dan nyaris meyakini bahwa mungkin
keadaan akan baik-baik saja. Ternyata Edward bisa menerima usul untuk tidak ikut
berperang... dan karena itulah, sulit untuk tidak memercayainya waktu mengatakan
mereka bisa memenangkan peperangan ini dengan mudah. Edward tidak mungkin berani
meninggalkan keluarganya kalau ia sendiri tidak percaya. Mungkin Alice benar,
aku terlalu khawatir. Kami yang terakhir sampai di lapangan.
Jasper dan Emmett sudah bergulat, hanya pemanasan kalau mendengar tawa mereka,
Alice dan Rosalie duduk di tanah yang keras, menonton. Esme dan Carlisle
mengobrol berapa meter dari sana, kepala mereka berdekatan, jari-jari saling
bertautan, tak memedulikan sekeliling mereka.
Malam ini suasana jauh lebih benderang, cahaya bulan menerobos awan-awan tipis,
dan aku bisa dengan mudah melihat tiga serigala duduk mengitari arena latihan,
satu sama lain terpisah cukup jauh, supaya bisa menonton dari sudut berbeda.
Aku juga langsung bisa mengenali Jacob; aku pasti akan langsung mengenalinya,
walaupun seandainya ia tidak mendongak dan menengok begitu mendengar kami
datang. "Mana serigala-serigala yang lain?" tanyaku.
"Tidak semuanya perlu datang ke sini. Satu saja sudah cukup, tapi Sam tidak
terlalu percaya kepada kita sehingga berani mengirim Jacob sendirian, walaupun
Jacob bersedia. Quil dan Embry adalah... kurasa kau bisa menyebut mereka
pendamping Jacob." "Jacob percaya padamu."
Edward mengangguk. "Dia percaya kami tidak akan mencoba membunuhnya. Hanya itu,
tapi." "Apakah kau akan ikut berpartisipasi malam ini?" tanyaku, ragu-ragu. Aku tahu
hampir sama sulitnya bagi Edward ditinggal sendirian, sama seperti aku sulit
ditinggal olehnya. Mungkin malah lebih sulit.
"Aku akan membantu Jasper kalau dia membutuhkan. Dia ingin mencoba beberapa
pengelompokan yang tidak seimbang. mengajari mereka caranya menghadapi beberapa
penyerang sekaligus."
Edward mengangkat bahu. Gelombang kepanikan baru langsung menghancurkan rasa percaya diriku yang singkat
tadi. Mereka tetap kalah banyak. Aku malah semakin memperparah keadaan.
Mataku menatap lapangan, berusaha menyembunyikan kepanikanku.
Ternyata aku memandang ke tempat yang salah, sementara aku berusaha keras
membohongi diri sendiri, meyakinkan diriku segala sesuatu akan berjalan seperti
kemauanku. Karena ketika aku memaksa mataku berpaling dari keluarga
Cullen,mengalihkan pandangan dari latihan perang-perangan yang beberapa hari
lagi akan menjadi nyata dan mematikan, mataku tertumbuk kepada Jacob dan ia
tersenyum. Lagi-lagi seringaian khas serigala seperti yang ditunjukkannya kemarin, matanya
menyipit seperti yang biasa dilakukannya saat berwujud manusia.
Sulit dipercaya bahwa, belum lama berselang, aku menganggap serigala-serigala
itu mengerikan, sampai-sampai aku tidak bisa tidur karena terganggu mimpi buruk
mengenai mereka. Aku tahu, tanpa bertanya, yang mana Embry dan yang mana Quit. Karena Embry
jelas-jelas serigala kelabu kurus dengan bercak-bercak gelap di punggungnya,
yang duduk menonton dengan sabar, sementara Quil-bulunya cokelat tua, dengan
warna lebih terang di daerah sekitar wajah, bergerak-gerak terus, sepertinya
sangat ingin bergabung dengan perang-perangan itu. Mereka bukan monster, bahkan
dalam keadaan seperti ini. Mereka teman.
Teman yang tidak terlihat tak terkalahkan seperti Emmett dan Jasper, yang
bergerak lebih cepat daripada pagutan kobra, dengan cahaya bulan memantul
berkilauan di kulit mereka yang sekeras granit. Teman yang kelihatannya tidak
memahami bahaya yang mengancam di sini. Teman yang tidak abadi, yang bisa
berdarah, yang bisa tewas....
Rasa percaya diri Edward memang meyakinkan, karena kentara sekali ia tidak
terlalu mengkhawatirkan keselamatan keluarganya. Tapi apakah ia akan sedih jika
sesuatu terjadi pada serigala-serigala itu" Adakah alasan baginya untuk merasa
cemas, bila kemungkinan itu tidak mengganggunya sama sekali" Rasa percaya diri
Edward hanya berlaku untuk satu sisi ketakutanku.
Aku berusaha membalas senyum Jacob, menelan ludah dengan susah payah karena
tenggorokanku bagai tersumbat.
Sepertinya aku tidak berhasil menyunggingkan senyum yang wajar.
Jacob melompat ringan, kelincahannya tampak tak sepadan dengan tubuhnya yang
besar, dan ia berlari-lari kecil menghampiri Edward dan aku yang berdiri di
pinggir arena. "Jacob," Edward menyapanya sopan.
Jacob tidak menggubrisnya, mata hitamnya tertuju padaku, ia merendahkan
kepalanya hingga sejajar denganku, seperti yang dilakukannya kemarin.
menelengkannya ke satu sisi.
Dengkingan pelan keluar dari moncongnya.
"Aku baik-baik saja" jawabku. tanpa perlu diterjemahkan Edward. "Hanya
khawatir." Jacob terus memandangiku.
"Dia ingin tahu kenapa." gumam Edward.
Jacob menggeram - nadanya tidak mengancam, hanya kesal - dan bibir Edward
bergerak-gerak. "Apa?" tanyaku.
"Dia menganggap terjemahanku tidak tepat. Sebenarnya yang dia pikirkan adalah,
'itu benar-benar bodoh. Apa yang perlu dikhawatirkan"' Aku mengeditnya karena
menurutku itu kasar."
Aku tersenyum setengah hati, kelewat cemas untuk benar-benar merasa geli.
"Justru banyak sekali yang perlu dikhawatirkan," kataku kepada Jacob. "Seperti
misalnya, segerombolan serigala bodoh mencelakakan diri sendiri."
Jacob mengumandangkan tawanya yang menggonggong itu.
Edward mendesah. "Jasper minta bantuan. Kau bisa kan tanpa penerjemah?"
"Bisa." Sejenak Edward menatapku sendu, ekspresinya sulit dimengerti, lalu ia berbalik
dan berjalan ke tempat Jasper sudah menunggu.
Aku duduk di tempatku berdiri tadi. Tanah dingin dan tidak nyaman.
Jacob maju selangkah, lalu berpaling menatapku, dan dengkingan pelan keluar dari
tenggorokannya. Ia maju lagi setengah langkah.
"Tontonlah tanpa aku," kataku. "Aku tidak ingin menonton."
Jacob Mencondongkan kepalanya lagi ke satu sisi, kemudian melipat tubuhnya dan
duduk di tanah dengan embusan napas yang menggetarkan tubuhnya.
"Benar kok. kauperhatikan latihannya saja," aku meyakinkan dia. Jacob tidak
menyahut, hanya meletakkan kepalanya di kedua kaki depannya.
Aku menengadah, memandangi awan-awan yang perak cemerlang, tidak ingin menonton
pertempuran. Imajinasiku sudah cukup liar. Angin sepoi-sepoi bertiup ke
lapangan. dan aku menggigil.
Jacob beringsut lebih dekat kepadaku, mendesakkan bulu-bulunya yang hangat ke
sisi kiri tubuhku. "Eh, trims." gumamku.
Beberapa menit kemudian aku bersandar di bahunya yang lebar. Jauh lebih nyaman
seperti itu. Awan-awan bergerak lambat di langit, suasana berubah redup kemudian cerah
kembali saat gumpalan-gumpalan tebal melewati bulan dan terus melaju.
Tanpa berpikir aku mulai menyusupkan jari-jariku ke bulu lehernya. Suara
dengkuran aneh seperti kemarin menggeletar di kerongkongannya. Suaranya
terdengar akrab. Lebih kasar, lebih liar daripada dengkuran kucing, tapi sama-
sama menunjukkan suasana hati yang senang dan gembira.
"Kau tahu, aku tidak pernah punya anjing," renungku. "Sebenarnya aku ingin
memelihara anjing. tapi Renee alergi."
Jacob tertawa, tubuhnya bergetar di bawah tanganku.
"Kau sama sekali tidak khawatir mengenai hari Sabtu?" tanyaku.
Jacob memalingkan kepalanya yang besar ke arahku. sehingga aku bisa melihat satu
bola matanya berputar. "Kalau saja aku bisa seyakin itu."
Jacob menyandarkan kepalanya ke kakiku, dan mulai mendengkur lagi. Itu benar-
benar membuat perasaanku sedikit lebih enak.
"Jadi besok kita akan pergi hiking, kurasa."
Jacob menggeram; nadanya antusias.
"Mungkin akan jauh sekali," Aku mewanti-wanti Jacob. "Edward tidak menilai jarak
seperti manusia normal umumnya."
Lagi-lagi Jacob menggonggong tertawa.
Aku semakin merapat ke bulunya yang hangat, menyandarkan kepalaku ke lehernya.
Aneh. Meski Jacob sedang dalam wujud aneh seperti sekarang. tapi kami tetap
seperti Jake dan aku dulu -persahabatan yang damai dan tenteram, yang sama
alaminya dengan bernapas - dibandingkan dengan beberapa
saat terakhir aku bersama-sama Jacob saat ia dalam wujud manusia. Sungguh
ganjil, aku justru menemukan perasaan itu lagi di sini, padahal kukira wujud
serigala merupakan penyebab hilangnya perasaan itu.
Perang-perangan berlanjut di lapangan, dan mataku menerawang ke bulan yang
berkabut. 20. KOMPROMI SEMUA sudah siap. Aku sudah berkemas-kemas untuk menginap dua hari bersama Alice; dan tasku sudah
menunggu di truk. Aku sudah memberikan tiket konserku ke Angela, Ben, dan Mike.
Mike akan mengajak Jessica. persis seperti yang
kuharapkan. Billy meminjam kapal Quil Ateara Tua dan mengajak Charlie memancing
di laut lepas sebelum pertandingan sore dimulai. Collin dan Brady, dua werewolf
termuda, sengaja ditinggal untuk menjaga La Push, walaupun mereka masih kanak-
kanak usia keduanya baru tiga belas. Meski begitu Charlie lebih aman daripada
siapa pun yang tetap berada di Forks.
Aku sudah melakukan semua yang bisa kulakukan. Aku berusaha menerima hal itu,
dan melupakan hal-hal lain yang berada di luar kendaliku, setidaknya untuk malam
ini. Bagaimanapun hasilnya nanti, semua akan berakhir dalam 48 jam. Pikiran itu
nyaris terasa melegakan. Edward memintaku rileks, dan aku akan berusaha semampuku.
"Untuk malam ini saja, bisakah kita mencoba melupakan hal-hal lain kecuali kau
dan aku?" pinta Edward, mengeluarkan segenap pesona lewat sorot matanya yang
tertuju padaku. "Sepertinya aku tak pernah bisa punya cukup waktu seperti itu.
Aku perlu berduaan denganmu. Hanya denganmu."'
Itu bukan permintaan yang sulit untuk disetujui, walaupun aku tahu jauh lebih
mudah mengatakan akan melupakan ketakutanku daripada melakukannya. Ada banyak
hal yang kupikirkan sekarang, tapi mengetahui kami hanya memiliki malam ini saja
untuk berduaan sangatlah membantu.
Ada hal-hal yang sudah berubah.
Misalnya, aku sudah siap.
Aku sudah siap bergabung dengan keluarganya dan dunianya. Perasaan takut,
bersalah, dan gelisah yang kurasakan sekarang telah mengajariku hal itu. Aku
sudah mendapat kesempatan untuk berkonsentrasi memikirkan hal ini,saat aku
memandangi bulan di balik awan-awan sambil bersandar pada seekor werewolf,dan
aku tahu aku tidak akan panik lagi.
Lain kali, kalau terjadi sesuatu pada kami, aku akan siap. Aku akan menjadi
aset, bukan beban. Edward takkan pernah harus memilih antara aku dan keluarganya
lagi. Kami akan menjadi partner,seperti Alice dan Jasper. Lain kali,aku akan
melakukan bagianku. Aku akan menunggu bahaya itu dipindahkan dari atas kepalaku, supaya Edward puas.
Tapi itu tidak perlu. Aku sudah siap.
Tinggal satu bagian lagi yang masih hilang.
Satu bagian, karena ada beberapa hal yang tidak berubah, termasuk caraku
mencintainya. Aku punya banyak waktu memikirkan masak-masak dampak taruhan
Jasper dan Emmett - memikirkan hal-hal yang dengan rela akan kutinggalkan saat
aku menanggalkan kemanusiaanku, juga bagian yang tidak rela kutinggalkan. Aku
tahu pengalaman manusia mana yang harus ingin kurasakan sebelum aku berhenti
menjadi manusia. Jadi banyak sekali yang harus kami bereskan malam ini.
Dari apa yang telah kulihat selama dua tabun terakhir ini, bagiku tidak ada
istilah tidak mungkin. Dibutuhkan lebih dari itu untuk menghentikanku sekarang.
Oke, well, sejujurnya, ini mungkin akan jauh lebih rumit daripada itu. Tapi aku
akan mencobanya. Biarpun sudah mantap dengan keputusanku, aku tidak kaget waktu masih merasa
gugup saat mengemudi menyusuri jalan panjang menuju rumahnya,aku tidak tahu
bagaimana melakukan apa yang akan kulakukan, dan itu jelas membuatku sangat
gugup. Edward duduk di kursi penumpang. menahan senyum melihat aku menyetir
dengan lamban. Aku kaget ia tidak bersikeras ingin menyetir, malam ini
sepertinya ia cukup puas dengan kecepatanku.
Hari sudah gelap waktu kami sampai di rumahnya. Meski begitu padang rumput
terang benderang akibat cahaya lampu yang terpancar dari setiap jendela.
Begitu mesin dimatikan, Edward sudah berada di samping pintuku, membukakannya
untukku. Ia membopongku turun dengan satu tangan, menyambar tasku dari belakang
truk lalu menyampirkannya di pundak dengan tangannya yang lain. Bibirnya
menemukan bibirku sementara aku mendengarnya menendang pintu truk hingga
tertutup. Tanpa menghentikan ciumannya, Edward mengayunkan tubuhku. sehingga aku berada
dalam dekapannya dan menggendongku masuk ke rumah.
Apakah pintu depan sudah terbuka" Entahlah. Pokoknya kami langsung masuk, dan
kepalaku berputar. Aku sampai harus mengingatkan diriku untuk menarik napas.
Ciuman itu tidak membuatku takut. Tidak seperti sebelumnya saat aku bisa
merasakan ketakutan dan kepanikan menyusup di balik kendali Edward. Bibirnya
tidak cemas, melainkan antusias sekarang - sepertinya ia
sama bersemangatnya denganku karena malam ini kami bisa mencurahkan segenap
perhatian untuk berduaan. Ia terus menciumiku selama beberapa menit. berdiri di
depan pintu, tidak sehari-hari biasanya, bibirnya dingin dan melumat bibirku
dengan ganas. Aku mulai merasa agak optimis. Mungkin mendapatkan apa yang kuinginkan tidak
sesulit yang kukira sebelumnya. Tidak, tentu saja itu akan tetap sesulit
biasanya. Sambil terkekeh pelan Edward menjauhkan diriku darinya. menggendongku agak jauh
dari tubuhnya. "Selamat datang di rumah," ucapnya, matanya cair dan hangat.
"Kedengarannya menyenangkan," kataku, terengah-engah.
"Aku punya sesuatu untukmu," kata Edward nadanya santai.
"Oh?" "Barang yang dulu menjadi milik orang lain, ingat" Kau bilang itu boleh."
"Oh, benar. Kurasa aku memang pernah berkata begitu."
Edward terkekeh melihat keenggananku.
"Barangnya ada di kamarku. Bagaimana kalau kita mengambilnya?"
Kamar Edward" "Tentu," aku setuju, merasa sangat licik saat menautkan jari-jariku ke jari-
jarinya. "Ayo kita ke sana."
Edward pasti benar-benar ingin memberiku benda bukan hadiah ini, karena
kecepatan manusiaku tak cukup cepat baginya. Ia meraupku lagi ke dalam
gendongannya dan nyaris terbang menaiki tangga menuju kamarnya. Ia menurunkanku
di depan pintu, lalu melesat masuk ke lemari.
Ia sudah kembali sebelum aku sempat maju selangkah pun, tapi aku mengabaikannya
dan tetap berjalan menghampiri ranjang emas besar itu, mengempaskan tubuhku ke
pinggir tempat tidur dan bergeser ke tengah. Aku meringkuk seperti bola. kedua
lengan memeluk lutut.

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke." gerutuku. Sekarang setelah berada di tempat yang kuinginkan, aku bisa
berlagak sedikit enggan. "Mana barangnya?"
Edward tertawa. Ia naik ke tempat tidur dan duduk di sebelahku. Detak jantungku langsung
berantakan. Mudah-mudahan Edward mengira itu karena aku gugup hendak diberi
hadiah. "Barang yang pernah dimiliki orang lain," Edward mengingatkan dengan nada tegas.
Ditariknya pergelangan tangan kiriku, dan disentuhnya gelang perak itu sekilas.
Lalu ia melepaskan lenganku kembali.
Aku mengamatinya dengan hati-hati. Di sisi yang berseberangan dengan bandul
serigala, kini tergantung sebutir kristal cemerlang berbentuk hati. Kristal itu
memiliki jutaan segi. sehingga bahkan di bawah cahaya lampu yang temaram, benda
itu berkilau cemerlang. Aku terkesiap pelan.
"Dulu, itu milik ibuku," Edward mengangkat bahu dengan sikap seolah-olah itu
masalah sepele. "Aku mewarisi beberapa butir kristal seperti ini," Beberapa
kuberikan kepada Esme dan Alice. Jadi, jelas, ini bukan sesuatu yang terlalu
istimewa." Aku tersenyum sendu mendengarnya.
"Tapi kupikir, ini bisa mewakiliku dengan tepat," sambung Edward. "Karena keras
dan dingin." Ia tertawa. "Dan membiaskan warna-warna pelangi ketika tertimpa cahaya matahari."
"Kau lupa pada kemiripan yang terpenting," gumamku. "Ini cantik sekali."
"Hatiku juga bisa seperti kristal itu," renung Edward. "Dan hatiku juga
milikmu." Kuputar pergelangan tanganku agar hatinya berkilauan.
"Terima kasih. Untuk kristal ini dan untuk hatimu."
"Tidak, aku yang berterima kasih padamu. Aku benar-benar lega, kau bisa menerima
hadiah dengan mudah. Latihan yang bagus untukmu," Edward nyengir, memamerkan
gigi-giginya. Aku mencondongkan tubuh ke arahnya, menyusupkan kepalaku ke bawah lengannya dan
merapat di sisinya. Rasanya mungkin seperti bermanja-manja dengan patung David karya Michelangelo,
kecuali bahwa sosok marmer Edward yang sempurna merangkulku dan menarikku lebih
dekat. Sepertinya ini permulaan yang bagus.
"Bisakah kira mendiskusikan sesuatu" Aku akan sangat berterima kasih kalau kau
bisa memulai dengan pikiran terbuka."
Edward ragu-ragu sejenak. "Akan kuusahakan semampuku," ia setuju, berhati-hati
sekarang. "Aku tidak akan melanggar aturan apa pun," aku berjanji.
"Ini benar-benar soal kau dan aku," Aku berdeham-deham. "Begini... aku terkesan
melihat betapa baiknya kita berkompromi semalam. Jadi kupikir. aku ingin
mengaplikasikan prinsip yang sama pada situasi berbeda."Entah kenapa sikapku
formal sekali. Pasti karena gugup.
"Memangnya apa yang ingin kau negosiasikan?" tanya Edward, suaranya mengandung
senyum. Aku berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan.
"Dengar, jantungmu berdebar keras sekali," bisik Edward. "Mengepak-ngepak
seperti sayap burung hummingbird. Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja."
"Teruskan kalau begitu," Edward mendorongku.
"Well, kurasa, pertama-tama, aku ingin membicarakan syarat menikah yang konyol
itu."' "Yang menganggapnya konyol hanya kau. Memangnya kenapa?"
"Aku ingin tahu... apakah itu masih bisa
dinegosiasikan?" Edward mengerutkan kening. serius sekarang. "Aku sudah memberimu kelonggaran
terbesar,aku setuju menjadi yang mengambil hidupmu walaupun itu bertentangan
dengan akal sehatku. Dan seharusnya itu membuatku berhak mendapat sedikit
kompromi darimu." "Tidak," Aku menggeleng, berusaha keras menjaga wajahku tetap tenang. "Bagian
ini sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kita tidak sedang membicarakan...
perubahanku sekarang. Aku ingin membereskan beberapa detail lain."
Edward menatapku curiga. "Detail-detail mana yang kaumaksudkan persisnya?"
Aku ragu-ragu. "Mari kita perjelas dulu prasyarat-prasyaratmu."
"Kau tahu apa yang kuinginkan."
"Pernikahan," Aku membuatnya terdengar seperti kata yang kotor.
"Ya." Edward tersenyum lebar. "Sebagai permulaan."
Perasaan syok serta-merta merusak ekspresiku yang secara hati-hati kujaga agar
tetap tenang. "Jadi, masih ada lagi?"
"Well," ujar Edward, wajahnya menimbang-nimbang.
"Kalau kau jadi istriku, milikku adalah milikmu... misalnya saja uang kuliah.
Jadi tidak ada masalah kalau kau mau masuk Dartmouth."
"Ada lagi" Sekalian, mumpung kau sedang aneh-aneh?"
"Aku tidak keberatan meminta perpanjangan waktu."
"Tidak. tidak ada perpanjangan waktu. Itu namanya melanggar kesepakatan."
Edward mendesah. "Satu atau dua tahun saja?"
Aku menggeleng kuat-kuat, bibirku terkatup membentuk garis keras kepala.
"Lanjutkan ke prasyaratan berikutnya."
"Hanya itu. Kecuali kau mau membicarakan masalah mobil.. "
Edward nyengir lebar waktu melihatku meringis, lalu meraih tanganku dan mulai
memainkan jari-jariku. "Aku tidak sadar ternyata ada hal lain yang kauinginkan selain diubah menjadi
monster. Aku jadi penasaran." Suaranya rendah dan lembut. Secercah nada gelisah
dalam suara Edward pasti sulit dideteksi kalau saja aku tidak begitu
mengenalnya. Aku diam sejenak, memandangi tangannya yang menggenggam tanganku. Aku masih
belum tahu bagaimana harus memulai. Aku merasakan matanya menatapku dan aku
takut mengangkat wajah. Darah mulai membakar wajahku.
Jari-jarinya yang dingin membelai pipiku. "Kau tersipu?" tanyanya kaget.
Aku tetap menunduk. "Please, Bella, kau membuatku tegang."
Aku menggigit bibir. "Bella," Suaranya kini bernada memarahi,
mengingatkanku bahwa Edward tidak suka jika aku tidak mau mengutarakan
pikiranku. "Well, aku sedikit khawatir... tentang sesudahnya," aku mengakui, akhirnya
berani menatapnya. Kurasakan tubuh Edward mengejang. tapi suaranya lembut dan
sehalus beledu. "Apa yang kau khawatirkan?"
"Kalian sepertinya sangat yakin bahwa satu-satunya hal yang akan membuatku
tertarik, sesudahnya, adalah membantai semua orang di kota," aku mengakui,
sementara Edward meringis mendengar pilihan kata-kataku. "Dan aku tahu aku akan
sangat sibuk dengan kekacauan itu sehingga tidak akan menjadi diriku lagi... dan
bahwa aku tidak akan... aku tidak akan menginginkanmu seperti aku menginginkanmu
sekarang." "Bella, keadaan itu takkan berlangsung selamanya." Edward meyakinkan aku.
Ia tidak mengerti maksudku sama sekali.
"Edward," ujarku, gugup, memandangi setitik bercak di pergelangan tanganku. "Ada
sesuatu yang ingin kulakukan sebelum aku tidak lagi menjadi manusia."
Edward menungguku melanjutkan. Aku diam saja. Wajahku panas.
"Apa pun yang kauinginkan," dorong Edward. gelisah dan sama sekali tidak
mengerti. "Kau janji?" bisikku, tahu upayaku menjebaknya dengan kata-katanya sendiri tidak
akan berhasil, namun tak sanggup menolaknya.
"Ya," jawab Edward.
Aku mendongak dan melihat sorot matanya tulus bercampur bingung. "Katakan apa
yang kauinginkan, dan kau akan mendapatkannya."
Sulit dipercaya betapa aku merasa canggung dan seperti idiot. Aku terlalu
lugu,hal yang. tentu saja, merupakan inti diskusi ini. Aku sama sekali tidak
tahu bagaimana caranya merayu. Wajahku malah memerah dan sikapku kikuk.
"Kau," gumamku, nyaris kacau.
"Aku milikmu," Edward tersenyum, masih belum sadar berusaha membalas tatapanku
sementara aku malah memalingkan muka.
Aku menghela napas dalam-dalam dan beringsut hingga sekarang aku berlutut di
tempat tidur. Lalu aku memeluk lehernya dengan dua tangan dan menciumnya.
Edward membalas ciumanku, bingung tapi bersedia. Bibirnya lembut menempel di
bibirku, dan aku tahu pikirannya sedang berkelana ke tempat lain,berusaha
memikirkan apa yang ada dalam pikiranku. Menurutku ia butuh petunjuk.
Kedua tanganku sedikit gemetar saat aku melepas pelukanku. Jari-jariku merayap
menuruni lehernya sampai ke kerah kemeja. Tanganku yang gemetar menyulitkan
upayaku untuk bergegas membuka kancingnya sebelum ia menghentikanku.
Bibir Edward membeku, dan aku nyaris bisa mendengar bunyi 'klik" dalam benaknya
saat ia menyatukan potongan-potongan perkataan dan tindakanku.
Ia langsung mendorongku, wajahnya sangat tidak setuju.
"Bersikaplah yang masuk akal Bella."
"Kau sudah janji, apa pun yang kuinginkan," aku mengingatkan tanpa berharap.
"Kita tidak akan mendiskusikan masalah ini," Edward menatapku marah sambil
mengancingkan kembali dua kancing kemejanya yang berhasil kubuka.
Gigiku terkatup rapat. "Kita akan tetap mendiskusikannya," sergahku. Aku merenggut blusku dan
menyentakkan kancing paling atas.
Edward menyambar pergelangan tanganku dan menahannya di samping tubuhku.
"Kubilang tidak," tukasnya datar.
Kami saling melotot. "Kau sendiri yang ingin tahu tadi," aku beralasan.
"Kupikir kau menginginkan sesuatu yang agak realistis."
"Jadi kau bisa mengajukan permintaan bodoh dan konyol apa pun yang kauinginkan -
misalnya menikah,tapi aku bahkan tidak boleh mendiskusikan apa yang aku-"
"Tidak," Wajah Edward keras.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dan, saat amarahku mulai
mereda, aku merasakan sesuatu yang lain.
Butuh semenit untuk menyadari kenapa aku menunduk lagi, wajahku kembali
memerah,kenapa perutku terasa tidak nyaman, kenapa mataku basah, kenapa aku
tiba-tiba ingin lari meninggalkan ruangan.
Perasaan tertolak melandaku, naluriah dan kuat.
Aku tahu itu tidak rasional. Dalam kesempatan-kesempatan lain Edward sudah
sangat jelas mengungkapkan bahwa keselamatanku merupakan satu-satunya alasan.
Namun belum pernah aku serapuh ini. Aku merengut memandangi penutup tempat tidur
warna emas yang senada dengan matanya dan berusaha mengenyahkan reaksi refleks
yang mengatakan bahwa aku tidak diinginkan dan tidak bisa diinginkan.
Edward mengeluh. Tangan di atas mulutku bergerak ke bawah dagu dan ia
mendongakkan wajahku sehingga aku harus menatapnya.
"Apa lagi sekarang?"
"Tidak ada apa-apa," gumamku.
Edward mengamati wajahku lama sekali sementara aku berusaha berkelit dari
pandangannya, meski sia-sia. Alisnya berkerut, ekspresinya berubah ngeri.
"Apakah aku menyakiti perasaanmu?" tanya Edward, syok.
"Tidak," dustaku.
Begitu cepatnya sehingga aku bahkan tak yakin bagaimana itu bisa terjadi, tapi
tahu-tahu aku sudah berada dalam pelukannya, tangannya menopang wajahku dan ibu
jarinya mengelus-elus pipiku dengan sikap memastikan.
"Kau tahu kenapa aku harus menolak," bisiknya. "Kau tahu aku menginginkanmu
juga." "Benarkah?" bisikku, suaraku penuh keraguan.
"Tentu saja aku menginginkanmu, dasar gadis bodoh, cantik, dan kelewat
sensitif," Edward tertawa sekali, tapi kemudian suaranya berubah muram.
"Bukankah semua orang juga begitu" Aku merasa banyak yang antre di belakangku,
berebut posisi, menungguku membuat kesalahan cukup besar... Asal tahu saja, kau
terlalu menggairahkan."
"Sekarang siapa yang bodoh?" Aku ragu apakah canggung, minder, dan kikuk masuk
dalam kategori menggairahkan dalam anggapan orang lain.
"Apakah aku harus mengedarkan petisi supaya kau percaya" Haruskah kuberitahu
nama-nama yang berada dalam daftar teratas" Kau tahu beberapa di antaranya, tapi
beberapa lainnya mungkin bakal mengagetkanmu."
Aku menggeleng dalam dekapannya. meringis. "Kau hanya berusaha mengalihkan
perhatianku. Mari kembali ke topik tadi."
Edward mendesah. "Katakan padaku kalau ada yang salah kupahami."
Aku berusaha memperdengarkan nada datar. "Tuntutanmu adalah menikah" aku tak
mampu mengucapkan kata itu tanpa mengernyit "membayari uang kuliahku, lebih
banyak waktu, dan kau tidak. keberatan kalau mobilku bisa lari lebih cepat."
Kuangkat alisku. "Semuanya sudah, kan" Lumayan panjang juga daftarnya."
"Hanya yang pertama yang merupakan tuntutan." Tampaknya sulit bagi Edward
mempertahankan ekspresi datar. "Yang lain-lain hanya permohonan."
"Sedangkan satu-satunya tuntutanku adalah-" "Tuntutan?" sela Edward, mendadak
kembali serius. "Ya, tuntutan."
Matanya menyipit. "Menikah bukan perkara mudah bagiku. Aku tidak mau menurut begitu saja tanpa
mendapat kompensasi."
Edward membungkuk untuk berbisik di telingaku. "Tidak," bisiknya lembut. "Itu
tidak mungkin dilakukan sekarang. Nanti, kalau kau sudah tidak serapuh sekarang.
Bersabarlah, Bella."
Aku berusaha mempertahankan nada tenang dan bijak.
"Tapi di situlah masalahnya. Aku tidak akan sama lagi kalau sudah tidak serapuh
sekarang. Aku tidak akan menjadi orang yang sama! Entah akan menjadi siapa aku
nanti." "Kau akan tetap menjadi Bella," janji Edward.
Aku mengerutkan kening. "Kalau aku berubah sampai sejauh itu hingga mau membunuh
Charlie, bahwa aku takkan ragu minum darah Jacob atau Angela kalau saja ada
kesempatan, bagaimana mungkin itu benar?"
"Masa itu akan berlalu. Dan aku ragu kau mau minum darah anjing." Edward pura-
pura bergidik memikirkannya. "Bahkan sebagai vampire baru, seleramu akan lebih
bagus daripada itu."
Kuabaikan saja upayanya mengalihkan topik
pembicaraan. "Tapi itu akan selalu jadi sesuatu yang paling kuinginkan, bukan?"
tantangku. "Darah, darah, dan lagi-lagi darah!"
"Fakta kau masih hidup adalah bukti itu tidak benar," tukas Edward.
"Lebih dari delapan puluh tahun kemudian," kuingatkan dia. "Yang kumaksud adalah
secara fisik. Secara intelektual, aku tahu akan bisa menjadi diriku sendiri...
setelah sekian lama. Tapi mumi secara fisik - aku akan selalu haus, lebih dari
segalanya." Edward diam saja. "Kalau begitu aku memang akan menjadi berbeda," aku menyimpulkan tanpa bantahan
dari Edward. "Karena sekarang ini, secara fisik, tak ada hal - lain yang
kuinginkan lebih daripada dirimu. Lebih daripada makanan, air, atau oksigen.
Secara intelektual, prioritas-prioritasku sedikit lebih masuk akal. Namun secara
fisik..." Kuputar kepalaku untuk mengecup telapak tangannya.
Edward menghela napas dalam-dalam. Aku kaget juga karena kedengarannya ia
sedikit goyah. "Bella, bisa-bisa aku membunuhmu nanti," bisiknya.
"Kurasa itu tidak mungkin."
Mata Edward mengeras. Ia mengangkat tangannya dari wajahku dan dengan gerak
cepat menjangkau ke belakang punggungnya, meraih sesuatu yang tak bisa kulihat.
Terdengar seperti ada yang patah dengan suara teredam, dan ranjang berderit-
derit di bawah tubuh kami.
Edward memegang sesuatu yang berwarna gelap, ia menyodorkannya supaya aku bisa
melihatnya lebih jelas. Benda itu bunga logam. salah satu mawar besi yang
menghiasi tiang serta kanopi ranjangnya yang terbuat dari besi tempa. Edward
mengepalkan tangannya sedetik.. jari-jarinya meremas lembut, kemudian membuka
telapak tangannya lagi. Tanpa mengatakan apa-apa, ia menyodorkan onggokan logam hitam yang kini hancur.
Benda itu hanya seperti gips di tangannya, seperti lilin mainan yang diremas
tangan anak-anak. Hanya dalam setengah detik benda itu telah remuk bagai pasir
hitam di telapak tangannya.
Kupandangi dia. "Bukan itu maksudku. Aku sudah tahu berapa kuatnya kau. Tidak
perlu sampai merusak perabot."
"Jadi apa maksudmu sebenarnya?" tanya Edward muram, melemparkan onggokan pasir


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besi itu ke sudut kamar; benda itu membentur dinding dengan suara seperti hujan.
Matanya menatap wajahku lekat-lekat sementara aku susah payah berusaha
menjelaskan. "Aku tidak bermaksud mengatakan secara fisik kau tidak mampu mencelakakan aku
kalau mau... Tapi lebih bahwa kau tidak ingin mencelakakan aku... sebegitu besar
hingga menurutku kau tidak akan pernah sanggup mencelakakan aku."
Edward sudah menggeleng-gelengkan kepala sebelum aku selesai bicara.
"Mungkin tidak akan seperti itu, Bella."
"Mungkin," dengusku. "Kau sendiri tidak lebih tahu daripada aku dalam masalah
ini." "Tepat sekali. Apakah menurutmu aku mau mengambil risiko itu denganmu?"
Kutatap matanya lama sekali. Tidak ada tanda-tanda ia mau berkompromi, tidak ada
petunjuk ia tidak tegas dengan keputusannya.
"Please," bisikku akhirnya, tak punya harapan lagi. "Hanya itu yang kuinginkan.
Please," Aku memejamkan mata kalah, menunggu jawaban "tidak" yang final dan akan
segera terlontar. Tapi Edward tidak langsung menjawab. Aku ragu-ragu dengan sikap tak percaya,
terperangah mendengar tarikan napasnya yang kembali memburu.
Kubuka mataku, dan Edward tampak terkoyak. "Please?" bisikku lagi, debar
jantungku semakin kencang.
Kata-kata berhamburan dari mulutku saat aku terburu-buru mengambil kesempatan,
selagi aku melihat sorot tak yakin terpancar dari matanya. "Kau tidak perlu
memberiku jaminan apa-apa. Kalau memang tidak bisa, well tidak apa-apa. Tapi
biarkan kita mencoba... hanya mencoba. Dan aku
akan memberikan apa yang kauinginkan," janjiku tanpa berpikir. "Aku akan menikah
denganmu. Kau boleh membayari kuliahku di Dartmouth, dan aku tidak akan mengeluh
tentang sogokan yang kaukeluarkan supaya aku bisa masuk ke sana. Kau bahkan bisa
membelikan aku mobil mewah kalau itu bisa membuatmu senang! Tapi... please."
Lengan Edward yang dingin memelukku lebih erat, dan bibirnya menempel di
telingaku; embusan napasnya yang dingin membuat tubuhku gemetar. "Sungguh tak
tertahankan. Begitu banyak yang ingin kuberikan padamu -tapi justru ini yang
kautuntut dariku. Tahukah kau betapa sakitnya ini, menolakmu yang memohon-mohon
padaku seperti ini"'"
"Kalau begitu jangan menolak," usulku, napasku terengah-engah.
Edward tidak menjawab. "Please," aku mencoba lagi.
"Bella..." Edward menggeleng lambat-lambat, tapi rasanya itu bukan penolakan
karena wajahnya dan bibirnya menjelajahi tenggorokanku. Rasanya seperti menyerah
kalah. Jantungku, yang memang sudah berdebar keras, kini berpacu semakin cepat.
Lagi-lagi,aku berusaha memanfaatkan momentum itu sebisaku. Saat wajahnya
berpaling ke arahku dengan gerak lambat karena belum bisa memutuskan. aku cepat-
cepat menggeser kepala hingga bibirku menempel di bibirnya. Kedua tangan Edward
merengkuh wajahku, dan aku sempat mengira ia akan mendorongku lagi jauh-jauh.
Ternyata aku keliru. Bibirnya tidak menciumku dengan lembut; sekarang ada hal baru berupa konflik
bercampur perasaan putus asa dalam ciumannya. Kupeluk lehernya erat-erat, dan,
di kulitku yang tiba-tiba panas. tubuhnya kurasakan lebih dingin daripada
biasanya. Aku gemetar, tapi bukan karena kedinginan.
Edward tidak berhenti menciumiku. Justru akulah yang melepaskan diri darinya,
megap-megap kehabisan udara.
Bahkan saat itu pun bibirnya tidak beranjak dari kulitku, hanya beralih ke
kerongkongan. Gairah kemenangan melandaku, membuatku merasa berkuasa. Berani. Ia
terlalu rupawan. Istilah apa yang dipakainya barusan" Tak tertahankan, itu dia.
Ketampanannya sungguh tak tertahankan...
Kutarik bibir Edward kembali ke bibirku, dan sepertinya Edward sama bernafsunya
dengan aku. Satu tangannya masih merengkuh wajahku, tangan yang lain memeluk
pinggang, mendekap tubuhku erat-erat. Posisi Itu membuatku lebih sulit meraih
bagian depan kemejaku, tapi bukannya tidak mungkin.
Belenggu sedingin besi mencengkeram pergelangan tanganku, dan mengangkat kedua
tanganku tinggi-tinggi di atas kepala, yang tiba-tiba sudah berada di atas
bantal. Bibirnya lagi-lagi menempel di telingaku. "Bella," bisiknya, suaranya hangat dan
selembut beledu. "Bisa tidak, kau berhenti mencoba membuka bajumu, please."
"Kau ingin melakukannya sendiri?" tanyaku, bingung.
"Tidak malam ini," jawab Edward lembut. Bibirnya kini lebih lambat menyusuri
pipi dan daguku, semua ketergesa-gesaan itu lenyap.
"Edward, jangan -" aku mulai mendebatnya.
"Aku tidak mengatakan tidak," Edward meyakinkanku. "Aku hanya mengatakan 'tidak
malam ini'." Aku memikirkan perkataannya itu sementara deru napasku melambat.
"Beri aku satu alasan mengapa malam ini berbeda dengan malam-malam lain." Aku
masih terengah-engah, itu membuat perasaan frustrasi dalam suaraku terdengar
kurang meyakinkan. "Aku bukan baru dilahirkan kemarin," Edward terkekeh di telingaku. "Di antara
kita berdua, siapa menurutmu yang lebih tidak bersedia mengabulkan keinginan
pasangannya" Kau baru saja berjanji akan menikahiku sebelum melakukan perubahan
apa pun, tapi kalau aku menyerah malam ini, jaminan apa yang kumiliki bahwa kau
tidak akan meminta Carlisle mengubahmu besok pagi" Aku-
jelas-jauh lebih tidak enggan mengabulkan permintaanmu. Jadi... kau duluan."
Aku mengembuskan napas dengan suara keras. "Jadi aku harus menikah dulu
denganmu?" tanyaku dengan sikap tak percaya.
"Begitulah kesepakatannya - terima atau tidak. Kompromi, ingat?"
Kedua lengan Edward merangkulku, dan ia muai menciumiku lagi dengan penuh
gairah. Terlalu persuasif -sepertinya ini paksaan, pemaksaan. Aku berusaha
menjaga pikiranku tetap jernih... tapi langsung gagal.
"Menurutku itu sungguh-sungguh ide buruk," aku terkesiap setelah ia membiarkanku
menarik napas. "Aku tidak terkejut kau merasa begitu." Edward tersenyum menyeringai. "Pikiranmu
memang tak pernah bercabang."
"Bagaimana bisa begini?" gerutuku. "Kupikir aku berada di atas angin malam ini,
sekali ini, dan sekarang, tahu-tahu saja.. "
"Kau sudah bertunangan," Edward menyelesaikan kalimatku.
"Aduh! Kumohon, jangan mengucapkannya keras-keras."
"Memangnya, kau mau menarik lagi janjimu?" tuntutnya.
Edward melepas pelukannya dan menatap wajahku lekat-lekat. Ekspresinya terhibur,
ia senang bisa menggodaku.
Kupelototi dia, berusaha tidak menggubris senyumnya yang membuat jantungku
melompat liar. "Ya atau tidak?" desaknya.
"Ugh!" erangku. "Tidak. Aku tidak menarik kembali janjiku. Kau bahagia
sekarang?" Senyum Edward membutakan. "Sangat."
Lagi-lagi aku mengerang. "Kau tidak bahagia sama sekali?"
Edward menciumku lagi sebelum aku sempat menjawab.
Lagi-lagi ciuman yang terlalu persuasif.
"Sedikit," aku mengakui saat sudah bisa bicara. "Tapi bukan karena mau menikah."
Cula Naga Pendekar Sakti 6 Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak Kong Ciak Bi Siucai Karya Raja Kelana Pangeran Matahari Dari Puncak 2
^