Pencarian

Gerhana 8

Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer Bagian 8


Lagi-lagi Edward menciumku. "Apakah kau merasa segala sesuatunya terbalik?" ia
tertawa di telingaku. "Secara tradisional bukankah seharusnya kau yang ribut
minta dinikahi, sedangkan aku sebaliknya?"
"Tidak ada yang tradisional antara kau dan aku,"
"Benar." Edward menciumku lagi, dan terus menciumiku sampai jantungku berdebar keras dan
kulitku membara. "Begini. Edward," gumamku, suaraku bernada membujuk ketika Edward menghentikan
ciumannya sejenak untuk mengecup telapak tanganku. "Aku sudah berkata mau
menikah denganmu, dan itu akan kulakukan. Aku berjanji. Bersumpah. Kalau kau
mau, aku akan menandatangani kontraknya dengan darahku sendiri."
"Tidak lucu," tukas Edward, menjelajahi bagian dalam pergelangan tanganku.
"Maksudku... aku tidak akan mengelabuimu atau semacamnya. Kau tahu aku tidak
seperti itu. Jadi benar-benar tidak ada alasan untuk menunggu. Kita hanya
berdua,seberapa sering itu terjadi" dan kau sudah menyediakan ranjang yang
sangat besar dan nyaman ini... "
"Tidak malam ini," tegas Edward lagi. "Kau tidak percaya padaku?"
"Tentu saja aku percaya."
Menggunakan tangan yang masih diciuminya, aku menengadahkan wajah Edward
sehingga bisa melihat ekspresinya.
"Kalau begitu, apa masalahnya" Kau toh sudah tahu kau akan menang akhirnya." Aku
mengerutkan kening dan menggerutu, "Kau selalu menang."
"Hanya membatasi taruhanku," kata Edward kalem.
"Pasti ada yang lain," tebakku, mataku menyipit. Wajah Edward memancarkan
ekspresi defensif, secercah pertanda adanya motif rahasia yang coba ia
sembunyikan di balik sikapnya yang biasa-biasa saja. "Apakah kau berniat menarik
kembali janjimu?" "Tidak," Edward berjanji dengan sikap khidmat. "Aku bersumpah, kita akan
mencobanya. Setelah kau menikah denganku."
Aku menggeleng, tertawa muram. "Kau membuatku merasa seperti penjahat dalam
kisah melodrama, memuntir-muntir kumis saat sedang mencoba merenggut kehormatan
seorang gadis yang malang."
Mata Edward tampak pedih saat berkelebat menatap wajahku, lalu ia cepat-cepat
menunduk untuk menempelkan bibirnya ke tulang selangkaku.
"Memang begitu, kan?" Tawa pendek yang lolos dari bibirku lebih merupakan tawa
syok ketimbang geli. "Kau berusaha menjaga kehormatanmu!" Aku menutup mulut
dengan tangan untuk meredam tawa cekikikan yang
mengikutinya. Kata-kata itu sangat... kuno.
"Tidak, gadis konyol." gerutu Edward di bahuku. "aku berusaha menjaga
kehormatanmu. Tapi yang mengagetkan, kau membuatnya jadi SULIT sekali."
"Ini benar-benar konyol..."
"Begini saja, biar kutanya sesuatu." Edward buru-buru menyela. "Kita sudah
pernah mendiskusikan hal ini sebelumnya, tapi coba hibur hatiku. Berapa orang di
ruangan ini yang memiliki jiwa" Memiliki kesempatan masuk surga, atau apa pun
yang ada di sana setelah kehidupan ini?"
"Dua," aku menjawab langsung, suaraku tegas.
"Baiklah. Mungkin itu benar. Sekarang, banyak sekali perbedaan pendapat mengenai
hal ini, tapi mayoritas orang sepertinya berpikir ada beberapa aturan yang harus
diikuti." "Aturan-aturan vampir belum cukup bagimu" Kau juga masih memikirkan aturan-
aturan manusia?" "Tidak ada salahnya," Edward mengangkat bahu.
"Untuk berjaga-jaga."
Kupelototi ia dengan mata disipitkan.
"Sekarang, tentu saja, mungkin sudah terlambat bagiku,seandainya pendapatmu
tentang jiwaku memang benar."
"Tidak, belum terlambat bagimu." bantahku marah. "Jangan 'membunuh' sudah umum
diterima keyakinan agama mana pun. Padahal aku sudah membunuh banyak orang,
Bella." "Kau hanya membunuh orang-orang jahat."
Edward mengangkat bahu. "Mungkin itu berpengaruh, mungkin juga tidak. Tapi kau
belum pernah membunuh orang... "
"Yang kaukenal," gerutuku.
Edward tersenyum, tapi tidak menanggapi interupsiku tadi.
"Dan aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuatmu jatuh dalam pencobaan."
"Oke. Tapi kita kan tidak bertengkar soal melakukan pembunuhan," aku
mengingatkannya. "Tetap berlaku prinsip yang sama, satu-satunya perbedaan hanyalah, bahwa ini
satu-satunya area di mana aku sama bersihnya denganmu. Tidak bolehkah aku
mempertahankan satu aturan saja yang belum pernah kulanggar?"
"Satu?" "Kau sendiri tahu aku sudah pernah mencuri, berbohong, menginginkan milik orang
lain... hanya kehormatanku yang masih tersisa," Edward tersenyum miring.
"Aku juga sering bohong."
"Memang, tapi kau sangat tidak pandai berbohong, jadi itu tidak terlalu
berpengaruh. Tidak ada yang percaya padamu."
"Aku benar-benar berharap kau keliru mengenai hal itu, sebab kalau tidak, tak
lama lagi Charlie pasti akan mendobrak pintu itu sambil mengacungkan pistol
berisi peluru." "Charlie lebih bahagia berpura-pura menelan semua ceritamu. Dia lebih suka
membohongi diri sendiri daripada mengorek-ngorek lebih jauh," Edward nyengir
padaku. "Memangnya hak milik orang lain apa yang kauinginkan?" tanyaku ragu. "Kau kan
sudah memiliki semua."
"Aku menginginkanmu," Senyum Edward menggelap. "Aku tidak berhak menginginkanmu,
tapi aku tetap nekat. Dan coba lihat apa jadinya kau sekarang! Mencoba merayu vampir."
Edward menggeleng-gelengkan kepala, pura-pura ngeri.
"Kau boleh menginginkan apa yang sudah menjadi milikmu," aku memberitahunya-
"Lagi pula, kukira kau mengkhawatirkan kehormatanku."
"Memang. Kalau itu sudah terlambat bagiku... Well, celakalah aku, aku tidak
bermaksud melucu - kalau aku membiarkan itu menyebabkanmu tidak masuk surga
juga." "Kau tidak bisa memaksaku pergi ke tempat yang kau tidak ada," aku bersumpah.
"Itulah definisiku tentang neraka. Bagaimanapun, aku punya solusi mudah mengenai
hal itu, jangan pernah mati, bagaimana?"
"Kedengarannya cukup sederhana. Mengapa tak pernah terpikir olehku sebelumnya?"
Edward tersenyum sampai aku menyerah dan mendengus marah. "Jadi, begitu. Kau
tidak mau tidur denganku sampai kita menikah."
"Secara teknis, aku tidak akan pernah bisa tidur denganmu."
Aku memutar bola mataku. "Sangat dewasa, Edward."
"Tapi, selain detail itu, ya, kau benar."
"Menurutku, kau punya motif tersembunyi." Mata Edward membelalak sok lugu. "Ada
lagi?" "Kau tahu itu akan mempercepat proses," tuduhku. Edward berusaha tidak
tersenyum. "Hanya ada satu hal yang ingin kupercepat, dan yang lain-lain boleh
ditunda selamanya... tapi untuk yang satu ini, memang benar,
hormon-hormon manusiamu yang tidak sabaran adalah sekutuku yang paling kuat di
titik ini." "Aku tidak percaya mau saja menuruti kemauanmu. Kalau aku teringat Charlie dan
Renee! Bisakah kaubayangkan bagaimana pendapat Angela nanti" Atau Jessica" Ugh.
Sudah bisa kubayangkan bagaimana gosipnya nanti."
Edward mengangkat sebelah alisnya, dan aku tahu kenapa. Apa gunanya
mengkhawatirkan perkataan mereka tentangku, kalau sebentar lagi aku pergi dan
tidak akan kembali lagi" Benarkah aku sesensitif itu sampai-sampai tidak sanggup
menahan lirikan penuh arti dan pertanyaan-pertanyaan bernada menjurus selama
beberapa minggu saja"
Mungkin itu tidak akan terlalu mengusik pikiranku seandainya aku tak tahu bahwa
aku mungkin juga akan bergosip seperti mereka seandainya salah satu teman kami
menikah musim panas ini. Hah. Menikah musim panas ini! Aku bergidik.
Namun, mungkin itu tidak akan terlalu mengusik pikiranku seandainya aku tidak
dibesarkan untuk bergidik setiap kali memikirkan pernikahan.
Edward menginterupsi keresahanku. "Tidak perlu besar-besaran. Aku tidak butuh
perayaan. Kau tidak perlu memberitahu siapa-siapa atau membuat perubahan apa
pun. Kita pergi saja ke Vegas, kau bisa mengenakan jins belel dan kita pergi ke
kapel yang menyediakan layanan menikah secara drive through. Aku hanya ingin
menikah secara resmi, bahwa kau milikku dan bukan milik orang lain."
"Sekarang juga sudah resmi," gerutuku. Tapi gambaran yang diberikan Edward
kedengarannya lumayan juga.
Hanya saja Alice pasti akan kecewa.
"Kita lihat saja nanti," Edward tersenyum puas. "Kurasa kau tidak menginginkan
cincinmu sekarang?" Aku harus menelan ludah sebelum bisa bicara. "Dugaanmu benar."
Edward tertawa melihat ekspresiku. "Baiklah kalau begitu. Toh tidak lama lagi
aku bisa memasangkannya di jarimu."
Kutatap ia dengan jengkel. "Kau bicara seolah-olah kau sudah memiliki
cincinnya." "Memang sudah," jawab Edward, tanpa malu-malu. "Siap kupakaikan secara paksa
begitu terlihat tanda-tanda kelemahan pertama."
"Kau keterlaluan."
"Kau mau melihatnya?" tanya Edward. Mata topaz cairnya tiba -tiba berbinar,
penuh semangat. "Tidak!" Aku nyaris berteriak. reaksi refleks. Aku langsung menyesalinya. Wajah
Edward terlihat agak kecewa. "Kecuali kau benar-benar ingin menunjukkannya
padaku." koreksiku. Aku mengatupkan gigiku rapat-rapat agar ketakutanku yang
tidak logis tidak terlihat.
"Sudahlah," Edward mengangkat bahu. "Itu bisa menunggu."
Aku mendesah. "Tunjukkan cincin sialan itu padaku, Edward."
Edward menggeleng. "Tidak."
Kupandangi ekspresinya lama sekali.
"Please?" pintaku pelan, bereksperimen dengan senjata yang baru kutemukan.
Kusentuh wajahnya sekilas dengan
ujung-ujung jariku. "Kumohon, bolehkah aku melihatnya?"
Edward menyipitkan mata. "Kau makhluk paling berbahaya yang pernah kutemui,"
gerutunya. Tapi ia bangkit dan dengan gerakan luwes berlutut di samping nakas
kecil. Sebentar saja ia sudah duduk lagi di sampingku di tempat tidur, sebelah
tangan memeluk bahuku. Di tangan satunya ia memegang kotak hitam kecil. Di
letakkannya kotak itu di lutut kiriku.
"Silakan kalau mau melihat." katanya kasar.
Sulit rasanya meraih kotak hitam kecil itu, tapi karena tak ingin melukai
perasaannya lagi, aku berusaha agar tanganku tidak gemetaran. Permukaannya halus
berlapis satin hitam. Kusapukan jemariku di atasnya, ragu-ragu.
"Kau tidak mengeluarkan banyak uang, kan" Berbohonglah padaku kalau ya."
"Aku tidak mengeluarkan uang sama sekali," Edward meyakinkanku. "Itu juga benda
warisan. Cincin yang diberikan ayahku untuk ibuku."
"Oh." Keterkejutan mewarnai suaraku. Kuangkat sedikit penutup kotak dengan ibu
jari dan telunjuk, tapi tidak membukanya.
"Kurasa cincinnya sudah agak kuno." Nadanya pura-pura meminta maaf. "Kuno,
seperti aku. Aku bisa saja membelikan sesuatu yang lebih modem. Sesuatu dari
Tiffany's?" "Aku suka yang kuno-kuno," gumamku sambil ragu-ragu mengangkat penutup kotak.
Di atas hamparan satin hitam, cincin milik Elizabeth Masen gemerlapan di bawah
cahaya temaram. Permukaannya lonjong panjang. dikelilingi barisan memanjang
batu-batu bulat berkilauan. Cincinnya dibuat dari emas-halus dan mungil. Jaring
emas tipis merangkai berlian-berlian itu. Belum pernah aku melihat cincin seperti itu.
Tanpa berpikir, aku membelai-belai permata yang berkilauan itu.
"Cantik sekali," gumamku pada diri sendiri,
terperangah. "Kau suka?" "Cincinnya cantik," Aku mengangkat bahu.. berlagak kurang tertarik. "Mana
mungkin tidak suka?"
Edward terkekeh. "Coba lihat, apakah pas?"
Tangan kiriku mengepal. "Bella," desah Edward. "Aku bukan mau menyoldernya ke jarimu. Hanya mencoba,
untuk melihat apakah ukurannya perlu disesuaikan dengan jarimu. Setelah itu kau
bisa melepasnya lagi."
"Baiklah," gerutuku.
Kuraih cincin itu, tapi jari-jari Edward yang panjang bergerak lebih cepat. ia
meraih tangan kiriku, lalu menyelipkan cincin itu ke jari manisku. Ia
mengulurkan tanganku, dan kami berdua mengamati kilau oval itu di
kulitku. Ternyata tidak semengerikan yang kukira, mengenakan cincin itu di jari
manisku. "Benar-benar pas," kata Edward dengan lagak tak acuh. "Bagus, aku jadi tidak
perlu pergi ke toko emas."
Aku bisa mendengar secercah emosi di balik gaya bicaranya yang biasa-biasa saja,
dan aku mendongak memandangi wajahnya. Emosi itu juga terpancar dari matanya,
tampak nyata meskipun ekspresinya sengaja dibuat biasa-biasa saja.
"Kau menyukainya, kan?" tanyaku curiga, menggerakkan jari-jariku dan berpikir
sungguh sayang bukan tangan kiriku yang patah kemarin.
Edward mengangkat bahu. "Tentu," jawabnya, lagaknya masih biasa-biasa saja.
"Kelihatannya sangat manis di jarimu."
Kutatap matanya, berusaha menerka-nerka emosi apa yang membara tepat di balik
permukaannya. Edward membalas tatapanku, dan kepura-puraannya mendadak lenyap.
Ia berseri-seri, wajah malaikatnya cemerlang karena kegembiraan dan kemenangan.
Ia begitu rupawan hingga membuatku tersentak.
Sebelum aku sempat pulih dari kekagetanku.. Edward sudah menciumku, bibirnya
menunjukkan kegembiraannya.
Kepalaku ringan saat ia memindahkan bibirnya untuk berbisik di telingaku - tapi
napasnya sama memburunya dengan napasku.
"Ya, aku menyukainya. Kau tidak tahu bagaimana rasanya."
Aku tertawa, terkesiap sedikit. "Aku percaya padamu."
"Kau keberatan kalau aku melakukan sesuatu?" bisiknya, kedua lengannya memelukku
lebih erat. "Apa pun yang kauinginkan."
Tapi Edward melepas pelukannya dan bergeser menjauh.
"Apa pun kecuali itu," protesku.
Edward tak menggubris protesku, meraih tanganku, dan menarikku turun dari tempat
tidur. ia berdiri di depanku, kedua tangan memegang bahuku, wajahnya serius.
"Nah, aku ingin melakukannya dengan benar. Please, please, ingatlah bahwa kau
sudah setuju dengan hal ini, jadi jangan merusaknya."
"Oh, tidak," seruku tertahan ketika Edward berlutut dengan satu kaki.
"Bersikaplah yang manis," bisiknya. Aku menarik napas dalam-dalam.
"Isabella Swan?" Edward menengadah, menatapku dari balik bulu matanya yang
panjang. mata emasnya lembut tapi, entah bagaimana, tetap membara. "Aku berjanji
akan mencintaimu selamanya, setiap hari selamanya. Maukah kau menikah denganku?"
Banyak sekali yang ingin kukatakan, sebagian di antaranya sama sekali tidak
bagus, dan yang lainnya bahkan lebih cengeng dan romantis daripada yang mungkin
kubayangkan Edward bisa kukatakan. Daripada mempermalukan diri sendiri,aku
berbisik. "Ya."
"Terima kasih," hanya itu jawaban Edward. Ia meraih tangan kiriku dan mengecup
setiap ujung jari sebelum mengecup cincin yang kini menjadi milikku.
21. JEJAK-JEJAK AKU tidak suka menyia-nyiakan malam ini dengan tidur, tapi itu tak bisa
dihindari. Matahari terang benderang di luar dinding kaca waktu aku terbangun,
dengan awan-awan kecil berarak terlalu cepat melintasi langit. Angin
menggoyangkan puncak-puncak pohon hingga seluruh penjuru hutan terlihat seperti
terguncang. Edward meninggalkan aku sendirian untuk berganti baju, dan aku tidak menyia-
nyiakan kesempatan ini untuk berpikir. Entah bagaimana, rencanaku semalam
berantakan, dan aku butuh waktu untuk menerima seluruh konsekuensinya. Walaupun
aku sudah mengembalikan cincin warisan itu sesegera mungkin tanpa melukai
perasaannya, tangan kiriku teras lebih berat, seakan-akan
benda itu masih melekat di sana, hanya tidak kasatmata.
Seharusnya ini tidak membuatku merasa terganggu, aku beralasan. Ini toh bukan
hal besar,hanya naik mobil ke Vegas. Aku akan mengenakan pakaian yang lebih baik
daripada jeans belel, aku akan memakai kaos usang. Upacaranya pasti tidak bakal


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama, tidak mungkin lebih dari lima belas menit,bukan" Jadi aku pasti bisa
menghadapinya. Kemudian, kalau semua sudah selesai, Edward harus menepati bagian janjinya. Aku
akan berkonsentrasi pada hal itu, dan melupakan yang lain.
Kata Edward,aku tidak harus memberitahu siapa-siapa, dan aku berencana
membuatnya menepati hal itu. Tentu saja, sungguh bodoh aku sampai tidak teringat
kepada Alice. Keluarga Cullen sampai di rumah menjelang tengah hari. Mereka terkesan siap dan
serius, dan itu menyentakkan ingatanku kembali ke betapa seriusnya masalah yang
akan segera kami hadapi. Tidak seperti biasanya, suasana hati Alice sepertinya sedang buruk. Kupikir itu
gara-gara ia frustrasi karena merasa normal, menilik kata-kata pertamanya kepada
Edward yang berupa keluhan karena mereka bekerja sama dengan serigala.
"Kaupikir," Alice mengernyit saat menggunakan kata yang tidak pasti itu. "Ada
baiknya kau menyiapkan perbekalan untuk menghadapi cuaca dingin, Edward. Aku
tidak bisa melihat persisnya di mana kau berada nanti, karena kau akan pergi
bersama anjing itu siang nanti. Tapi badai sepertinya lumayan buruk di kawasan
sekitar sana." Edward mengangguk. "Akan turun salju di pegunungan," Alice mengingatkan.
"Waduh, salju." Aku menggerutu. Sekarang bulan Juni, demi Tuhan.
"Pakai jaket," Alice memberi tahuku. Nadanya tidak ramah dan itu membuatku
kaget. Aku mencoba membaca wajahnya, tapi ia membuang muka.
Kutatap Edward,dan ia tersenyum, apa pun yang membuat Alice kesal justru
membuatnya geli. Perlengkapan berkemah Edward sangat lengkap, properti untuk melengkapi sandiwara
mereka sebagai manusia, keluarga Cullen merupakan pelanggan setia toko milik keluarga Newton. Edward
menyambar kantong tidur, tenda
kecil, dan beberapa bungkus makanan kering - nyengir waktu aku mengernyit
melihat bungkusan-bungkusan makanan itu - dan menjejalkan semuanya ke dalam
ransel. Alice datang ke garasi ketika kami sedang di sana, memperhatikan Edward bersiap-
siap tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Edward sendiri tidak mengacuhkannya.
Setelah selesai berkemas-kemas Edward menyodorkan ponselnya kepadaku. "Bagaimana
kalau kau telepon Jacob dan katakan kita siap bertemu dengannya kira-kira satu
jam lagi. Dia tahu di mana harus menemui kita."
Jacob tidak ada di rumah, tapi Billy berjanji akan menelepon teman-temannya yang
lain sampai ada werewof yang bisa menyampaikan pesan itu padanya.
"Kau tidak usah khawatir tentang Charlie, Bella." Billy berkata. "Bagian itu
urusanku." "Yeah, aku tahu Charlie pasti akan baik-baik saja." Aku sendiri tidak yakin soal
keselamatan anak lelaki Billy. tapi tidak mengutarakannya kepada Billy.
"Kalau saja aku bisa ikut bersama mereka besok." Billy terkekeh penuh
penyesalan. "Susah juga jadi orang tua, Bella."
Dorongan untuk berperang pasti merupakan karakteristik yang paling menentukan
dalam kromosom Y. Mereka semua sama saja.
"Selamat bersenang-senang bersama Charlie."
"Semoga beruntung, Bella," sahut Billy. "Dan... sampaikan juga salamku kepada,
eh, keluarga Cullen."
"Baiklah," aku berjanji, kaget mendengarnya.
Waktu mengembalikan ponsel itu kepada Edward, aku melihat ia dan Alice seperti
sedang berdiskusi tanpa suara. Alice menatap Edward, memohon lewat sorot
matanya. Edward mengerutkan kening, tidak menyukai apa pun yang diinginkan
Alice. "Billy kirim salam."
"Dia baik sekali," kata Edward,memalingkan wajahnya dari Alice.
"Bella, boleh aku bicara berdua saja denganmu?" tanya Alice.
"Kau akan membuat hidupku lebih sulit daripada seharusnya, Alice." Edward
mengingatkan dengan gigi terkatup rapat. "Aku lebih suka kau tidak
melakukannya." "Ini tidak ada urusannya denganmu, Edward," Alice balas membentak.
Edward tertawa. Rupanya ia menganggap respons Alice tadi lucu.
"Memang tidak ada kok," Alice ngotot. "ini urusan perempuan."
Kening Edward berkerut. "Biarkan dia bicara denganku," kataku kepada Edward. Aku jadi penasaran.
"Kau sendiri yang setuju,ya." gerutunya. Dia tertawa lagi,setengah marah,
setengah geli, lalu menghambur ke luar garasi.
Aku menoleh kepada Alice, merasa cemas sekarang,tapi Alice tidak memandangku.
Suasana hatinya masih juga jelek.
Ia beranjak dan duduk di kap mesin Porschenya, wajahnya muram. Aku mengikuti,dan
bersandar di bumper mobil, di sebelahnya.
"Bella?" tanya Alice dengan nada sedih,bergeser ke sisiku. Suaranya terdengar
begitu merana hingga aku memeluk bahunya dengan sikap menghibur.
"Ada apa, Alice?"
"Apakah kau tidak sayang padaku?" tanyanya dengan nada sedih yang sama.
"Tentu saja sayang, kau tahu itu."
"Kalau begitu, kenapa aku melihatmu diam-diam pergi ke Vegas untuk menikah tanpa
mengundangku?" "Oh," gerutuku, pipiku berubah menjadi pink. Kentara sekali aku benar-benar
telah melukai perasaannya, maka aku pun cepat-cepat membela diri. "Kau tahu aku
tidak suka perayaan besar-besaran. Tapi itu ide Edward."
"Aku tidak peduli itu ide siapa. Tega-teganya kau berbuat begini padaku" Kalau
Edward yang melakukannya, aku tidak kaget, tapi bukan kau. Aku menyayangimu
seperti saudaraku sendiri."
"Bagiku, Alice, kau memang saudariku."
"Ah, omong kosong!" geramnya.
"Baiklah, kau boleh ikut. Toh tidak banyak yang bisa dilihat."
Alice masih terus meringis.
"Apa?" tuntutku.
"Seberapa besar rasa sayangmu padaku, Bella?"
"Kenapa?" Ia menatapku dengan sorot memohon, alis hitamnya yang panjang mencuat ke atas di
tengah dan berkerut menjadi satu, sudut-sudut bibirnya bergerak. Sungguh
ekspresi yang mengibakan.
"Please, please, please," bisiknya. "Please, Bella, please, kalau kau benar-
benar menyayangiku... Please, izinkan aku
mengurus acara pernikahanmu."
"Aduh, Alice!" erangku, melepaskan diri dan berdiri tegak. "Tidak! Jangan
lakukan ini padaku."
"Kalau kau benar-benar, sungguh-sungguh sayang padaku, Bella."
Aku bersedekap. "Itu sungguh tidak adil. Dan Edward juga memakai alasan yang
sama untuk membuatku menuruti kemauannya."
"Aku berani bertaruh Edward pasti lebih suka kau melakukannya secara
tradisional, walaupun dia takkan pernah mengatakannya padamu. Dan Esme,
bayangkan betapa akan sangat berartinya ini bagi dia!"
Aku mengerang. "Aku lebih suka menghadapi vampire-vampire baru sendirian."
"Aku akan berutang budi padamu selama satu dekade."
"Kau akan berutang budi padaku selama satu abad."
Mata Alice berbinar. "Jadi itu berarti, Ya?" "Tidak! Aku tidak mau
melakukannya." "Kau tidak melakukan apa-apa kecuali berjalan sejauh beberapa meter, kemudian
mengulangi apa yang diucapkan pendeta."
"Ugh! ugh,ugh!"
"Please?" Alice mulai melompat-lompat kecil. "Please, please, please, please,
please?" "Aku tidak pernah, tidak akan pernah memaafkanmu untuk perbuatanmu ini, Alice."
"Hore!"pekik Alice, bertepuk tangan.
"Itu bukan mengiyakan!"
"Tapi kau akan mengiyakannya," dendangnya.
"Edward!" teriakku, menghambur keluar garasi dengan mengentak-entak. "aku tahu
kau mendengarkan. Kemarilah,"
Alice menyusul tepat di belakangku, masih bertepuk tangan.
"Terima kasih banyak, Alice," tukas Edward masam, muncul dari belakangku. Aku
berbalik untuk menyemprotnya, tapi ekspresi Edward begitu waswas dan kalut
hingga aku tak mampu menyuarakan protesku. Aku malah memeluknya, menyembunyikan
wajahku, berjaga-jaga supaya mataku yang berair saking marahnya tidak dikira
sebagai tangisan. "Vegas," Edward berjanji di telingaku.
"Tidak mungkin." Alice menyombong. "Bella tidak mungkin tega melakukannya
padaku. Kau tahu, Edward, sebagai saudara, kadang-kadang kau membuatku kecewa."
"Jangan bersikap kejam," omelku pada Alice. "Dia berusaha membuatku bahagia,
tidak seperti kau." "Aku juga berusaha membuatmu bahagia, Bella. Tapi aku lebih tahu apa yang
membuatmu bahagia... suatu saat nanti. Kelak kau akan berterima kasih padaku.
Mungkin tidak selama lima puluh tahun pertama, tapi pasti suatu saat nanti."
"Aku tidak pernah mengira akan tiba suatu saat hari ketika aku bersedia bertaruh
melawanmu, Alice, tapi hari itu telah datang."
Alice mengumandangkan tawa merdunya. "Jadi bagaimana, mau menunjukkan cincinnya
padaku, tidak?" Aku meringis ngeri saat Alice menyambar tangan kiriku tapi dengan cepat
menjatuhkannya lagi. "Hah. Padahal aku melihat Edward memasukkannya ke jarimu... Apakah ada yang
terlewat?" tanyanya. Ia berkonsentrasi selama setengah detik, dahinya berkerut,
sebelum menjawab pertanyaannya sendiri. "Tidak. Rencana pernikahan tidak
berubah." "Bella hanya tidak suka memakai perhiasan," Edward menjelaskan.
"Apa bedanya sebutir berlian lagi" Well, cincin itu memang memiliki banyak
berlian, tapi maksudku dia kan sudah memberimu se... "
"Cukup Alice!" Edward tiba-tiba memotongnya. Caranya memelototi Alice... ia jadi
kelihatan seperti vampire. "Kami buru-buru."
"Aku tidak mengerti. Apa maksud Alice dengan berlian-berlian itu?" tanyaku.
"Nanti saja kita bicarakan," tukas Alice. "Edward benar, sebaiknya kalian segera
berangkat. Kalian harus menyiapkan perangkap dan mendirikan kemah sebelum
badai datang." Alice mengerutkan kening dan ekspresinya cemas, hampir-hampir
gugup. "Jangan lupa membawa mantel Bella. Sepertinya cuaca akan... sangat
dingin, di luar kebiasaan."
"Semuanya sudah siap," Edward meyakinkan Alice.
"Semoga sukses," kata Alice sebagai salam perpisahan.
Rute yang kami tempuh untuk mencapai lapangan dua kali lebih panjang daripada
biasa, Edward sengaja memutar jauh-jauh, memastikan bau badanku tidak berada di
dekat jejak yang akan disembunyikan Jacob nanti. Ia membopongku, ransel gembung
menjadi tempatku bertengger, seperti biasa.
Ia berhenti di bagian paling ujung lapangan, lalu menurunkan aku.
"Baiklah. Sekarang berjalanlah ke utara, sentuh sebanyak mungkin benda yang bisa
kausentuh. Alice memberiku gambaran jelas rentang rute yang akan mereka tempuh,
jadi tidak butuh waktu lama bagi kami untuk memotongnya."
"Utara?" Edward tersenyum dan menunjuk ke arah yang benar.
Aku berjalan memasuki hutan,meninggalkan sinar matahari kuning jernih yang
menerpa lapangan rumput di belakangku. Mungkin penglihatan Alice yang sedikit
kabur keliru mengenai salju itu. Mudah-mudahan saja begitu. Sebagian besar
langit jernih,walaupun angin bertiup kencang di tempat-tempat terbuka. Di antara
pepohonan angin bertiup lebih tenang, tapi hawa memang terlalu dingin untuk
bulan Juni,walaupun sudah mengenakan kemeja lengan panjang yang dilapisi sweter
tebal,bulu di lenganku masih saja meremang. Aku berjalan lambat, jari-jariku
menelusuri apa saja yang berada cukup dekat denganku, kulit pohon yang kasar,
pakis yang basah, bebatuan yang ditutupi lumut.
Edward mengikuti,berjalan lurus di belakang, kira-kira delapan belas meter
jauhnya. "Aku melakukannya dengan benar?" seruku.
"Sempurna." Aku mendapat ilham. "ini bisa membantu?" tanyaku sambil menyusupkan jari-jariku
ke rambut dan mengambil beberapa helai rambut yang terlepas. Kuletakkan semuanya
di atas tumbuhan pakis-pakisan.
"Ya itu membuat jejaknya semakin kuat. Tapi kau tidak perlu mencabuti rambutmu,
Bella. Ini saja sudah cukup."
"Ah, rambutku masih banyak kok."
Suasana gelap di bawah pepohonan, dan aku ingin bisa berjalan lebih dekat dengan
Edward dan menggandeng tangannya.
Kuselipkan sehelai rambut lagi ke ranting patah yang menghalangi jalan setapak
yang kulewati. "Sebenarnya kau tidak perlu menuruti kemauan Alice," kata Edward.
"Kau tidak usah mengkhawatirkan itu, Edward. Aku tidak akan meninggalkanmu di
altar karena itu." Dengan perasaan kecut aku sadar Alice tetap akan mendapatkan
apa yang la inginkan, terutama karena ia tak bisa digoyahkan bila menginginkan
sesuatu, dan juga karena aku tak pernah kuat menanggung perasaan bersalah.
"Bukan itu yang kukhawatirkan. Aku hanya ingin pernikahan ini berjalan sesuai
dengan keinginanmu."
Aku menahan diri untuk tidak mendesah. Aku hanya akan menyinggung perasaannya
kalau mengatakan yang sebenarnya, bahwa itu tidak penting, hanya beberapa
derajat lebih buruk daripada yang lainnya.
"Well, walaupun kemauannya dituruti, kita bisa tetap merayakannya secara
sederhana. Hanya kita, Emmet bisa mendapatkan izin untuk menikahkan orang dari
internet." Aku terkikik. "Kedengarannya boleh juga." Tidak akan terlalu resmi bila Emmet
yang membacakan janji pernikahan, dan justru itu merupakan kelebihan. Tapi aku
pasti susah menahan diri untuk tidak tertawa.
"Betul, kan," ucap Edward sambil tersenyum. "Semua pasti bisa dikompromikan."
Dibutuhkan beberapa saat untuk mencapai tempat pasukan vampir baru dipastikan
akan menemukan jejakku, tapi Edward tidak pernah merasa tidak sabar dengan
gerakanku yang lamban. Namun ia harus menunjukkan jalan padaku dalam perjalanan pulang. Supaya aku
tetap berada di jalur yang sama. Semuanya tampak sama saja di mataku.
Kami sudah hampir sampai di lapangan ketika aku terjatuh. Aku bisa melibat tanah
lapang di depan, dan mungkin karena itulah aku terlalu bersemangat dan tidak
memperhatikan Jalan. Tahu-tahu aku terjerembab dan kepalaku membentur pohon
terdekat, tapi sebatang ranting kecil patah di bawah tangan kiriku dan menusuk
telapak tanganku. "Aduh! Wah, benar-benar bagus," gerutuku.
"Kau tidak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja. Tetaplah di tempatmu. Aku berdarah. Sebentar lagi pasti
akan berhenti." Edward mengabaikan laranganku. Ia sudah mendekat sebelum aku sempat
menyelesaikan kata-kataku.
"Aku punya kotak P3K," katanya,mengeluarkan benda itu dari ranselnya. "Aku punya
firasat aku bakal membutuhkannya."
"Tidak parah kok. Aku bisa membereskannya sendiri, kau tidak perlu membuat
dirimu tidak nyaman."
"Siapa bilang aku tidak nyaman," tukas Edward kalem, "kemarilah, biar
kubersihkan." "Tunggu sebentar, aku punya ide lain."
Tanpa menatap darah dan bernapas lewat mulut, untuk berjaga-jaga siapa tahu
perutku mengamuk, aku menekankan tanganku ke batu di dekatku.
"Apa-apan kau?"
"Jasper pasti senang sekali," gumamku pada diri sendiri.
Aku kembali berjalan ke lapangan, menempelkan telapak tanganku ke semua benda
yang kutemui di sepanjang jalan setapak. "Taruhan, ini pasti akan benar-benar
membuat mereka kalap."
Edward menghembuskan napas.
"Tahan napasmu," kataku.
"Aku tidak apa-apa. Menurutku, sikapmu berlebihan." "Kan tugasku hanya ini. Aku
ingin melakukannya sebaik mungkin."
Kami keluar dari balik kerimbunan sementara aku berbicara. Kubiarkan tanganku
yang luka menyapu pakis-pakisan.
"Well, kau sudah melakukannya dengan baik," Edward meyakinkanku. "Para vampire
baru itu pasti akan kalap, dan Jasper akan sangat terkesan pada dedikasimu.
Sekarang izinkan aku merawat tanganmu, lukamu jadi kotor."
"Biar aku saja, please."


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edward meraih tanganku dan tersenyum saat mengamatinya. "ini tidak lagi
membuatku terusik." Kupandangi Edward lekat-lekat sementara ia membersihkan lukaku, mencari tanda-
tanda kekalutan. Ia tetap menarik napas dan menghembuskannya lagi dengan sikap
biasa-biasa saja, senyum kecil yang sama tersungging di bibirnya.
"Kenapa tidak?" akhirnya aku bertanya ketika Edward menempelkan plester di
telapak tanganku. Edward mengangkat bahu. "Aku sudah bisa mengatasinya."
"Kau... sudah mengatasinya" Kapan" Bagaimana?" Aku mencoba mengingat-ingat,
kapan terakhir kali Edward menahan napas saat berdekatan denganku. Seingatku itu
saat ulang tahunku yang terakhir, September silam.
Edward mengerucutkan bibir, seperti mencari kata-kata yang tepat. "Aku pernah
mengalami 24 jam yang mengerikan, mengira kau sudah mati, Bella. Itu mengubah
cara pandangku terhadap banyak hal."
"Apakah itu mengubah bauku bagi penciumanmu?"
"Sama sekali tidak. Tapi... setelah mengalami bagaimana rasanya mengira aku
telah kehilangan dirimu...reaksiku berubah. Seluruh keberadaanku menolak
melakukan apa pun yang dapat memicu timbulnya penderitaan seperti itu lagi."
Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Edward tersenyum melihat
ekspresiku. "Kurasa kau bisa menyebutnya pengalaman yang sangat mendidik."
Saat itulah angin berembus kencang menerpa lapangan, menerbangkan rambutku
hingga mengelilingi wajah dan membuat tubuhku bergetar.
"Baiklah," ujar Edward, merogoh ranselnya lagi. "Kau sudah selesai melakukan
tugasmu." Ia mengeluarkan jaket musim dinginku yang tebal dan menyodorkannya
supaya aku bisa memakainya. "Sekarang,beres sudah. Ayo kita pergi berkemah!"
Aku tertawa mendengar nada pura-pura antusias dalam suara Edward.
Edward meraih tanganku yang berplester - tanganku yang lain masih belum
sepenuhnya pulih, masih memakai penyangga, dan mulai berjalan ke sisi lain
lapangan. "Di mana kita akan bertemu Jacob?" tanyaku.
"Di sini," Edward melambai ke arah pepohonan di depan kami. Dan pada saat itu
juga Jacob melangkah keluar dengan sikap waswas dari balik bayang-bayang.
Seharusnya aku tidak perlu kaget melihatnya dalam wujud manusia. Tapi entah
kenapa aku mengira akan melihat serigala besar berbulu cokelat kemerahan.
Lagi-lagi Jacob tampak lebih besar, tak diragukan lagi itu karena aku memang
mengharapkannya; tanpa sadar, diam-
diam aku pasti berharap melihat Jacob kecil yang kuingat, temanku yang santai,
yang tidak membuat segala sesuatunya rumit seperti sekarang. Ia melipat kedua
lengannya di dadanya yang telanjang, mencengkeram jaket.
Wajahnya menatap kami tanpa ekspresi.
Sudut-sudut bibir Edward tertarik ke bawah. "Pasti ada cara lain yang lebih baik
untuk melakukan ini."
"Sekarang sudah terlambat," gerutuku muram. Edward mendesah.
"Hai, Jake," aku menyapanya saat kami sudah lebih dekat dengannya. "Hai, Bella."
"Halo, Jacob," sapa Edward.
Jacob tak peduli dengan basa basi, sikapnya resmi. "Aku harus membawanya ke
mana?" Edward mengeluarkan peta dari saku samping ransel dan menyerahkannya kepada
Jacob. Jacob membuka lipatannya.
"Sekarang kita di sini," kata Edward, mengulurkan tangan untuk menyentuh titik
yang dimaksud. Jacob otomatis berjengit untuk menghindar, tapi kemudian
menenangkan diri. Edward pura-pura tidak melihat.
"Dan kau harus membawa dia ke sini," lanjut Edward, menyusuri pola berkelok-
kelok di sekitar garis ketinggian di peta itu. "Perkiraan kasarnya empat belas
setengah kilometer."
Jacob mengangguk satu kali.
"kira-kira satu setengah kilometer dari sini, kau akan melintasi jalanku. Kau
bisa mengikutinya dari sana. Kau membutuhkan peta ini?"
"Tidak, terima kasih. Aku sangat mengenal kawasan ini. Kurasa aku tidak akan
tersesat." Jacob sepertinya harus berusaha lebih keras daripada Edward untuk bersikap lebih
sopan. "Aku akan mengambil rute lebih panjang," kata Edward. "Sampai jumpa beberapa jam
lagi." Edward menatapku dengan sikap tidak senang. Ia tidak menyukai bagian rencana
yang ini. "Sampai nanti," gumamku.
Edward lenyap ditelan pepohonan, menuju arah berlawanan.
Begitu tidak kelihatan lagi, sikap Jacob langsung berubah ceria.
"Bagaimana kabarmu,Bella?" tanyanya sambil nyengir lebar.
Aku memutar bola mataku. "Biasa-biasa saja."
"Yeah," Jacob sependapat. "Segerombolan vampir berusaha membunuhmu. Biasalah."
"Biasalah." "Well," ucapnya, mengenakan jaketnya supaya kedua tangannya bisa bergerak bebas.
"Ayo kita berangkat."
Sambil mengernyit, aku maju mendekatinya.
Jacob membungkuk dan menyapukan lengannya ke belakang lututku, meraupnya tiba-
tiba. Lengan satunya menangkap tubuhku sebelum kepalaku membentur tanah.
"Dasar," omelku.
Jacob terkekeh, sudah berlari menembus pepohonan. Ia berlari dengan langkah-
langkah mantap, cukup cepat untuk bisa diimbangi manusia yang segar bugar... di
tanah datar... tanpa membawa beban sekian puluh kilogram seperti yang dilakukannya sekarang.
"Kau tidak perlu berlari. Nanti kau capek."
"Berlari tidak membuatku capek," tukas Jacob. Napasnya datar, seperti tempo
teratur pelari maraton. "Lagi pula, hawa sebentar lagi mendingin. Mudah-mudahan
dia sudah selesai mendirikan tenda sebelum kita sampai di sana."
Aku mengetuk-ngetukkan jariku ke lapisan jaketnya yang tebal. "Kupikir kau sudah
tidak kedinginan lagi sekarang."
"Memang tidak. Aku membawanya untukmu, untuk berjaga-jaga siapa tahu kau tidak
siap." Dipandanginya jaketku, seolah-olah nyaris kecewa karena ternyata aku
sudah siap menghadapi hawa dingin. "Aku tidak suka melihat keadaan cuaca.
Membuatku gelisah. Kauperhatikan tidak kalau sejak tadi tidak tampak seekor
binatang pun?" "Eh, tidak juga."
"Sudah kukira kau tidak memperhatikan. Panca inderamu terlalu tumpul."
Aku tidak menanggapi komentarnya. "Alice juga mengkhawatirkan keadaan cuaca."
"Kalau hutan sampai sesunyi ini, pasti akan terjadi sesuatu. 'Hebat' juga kau,
memilih hari ini untuk berkemah."
"Itu kan bukan ideku sepenuhnya."
Rute tanpa jalan yang diambil Jacob mulai mendaki dan semakin lama semakin
curam, tapi itu tidak membuat larinya melambat. Dengan enteng ia melompat dari
satu batu ke batu lain, seperti tidak membutuhkan tangan sama sekali.
Keseimbangannya yang sempurna mengingatkanku pada kambing gunung.
"Benda tambahan apa itu di gelangmu?" tanyanya.
Aku menunduk, dan menyadari bandul berbentuk hati dari kristal itu menghadap ke
atas di pergelangan tanganku.
Aku mengangkat bahu dengan sikap bersalah. "Hadiah kelulusan juga."
Jacob mendengus."Batu. Pantas."
Batu" Tiba-tiba saja aku teringat perkataan Alice yang setengah selesai di luar
garasi tadi. Kupandangi kristal putih cemerlang itu dan berusaha mengingat-ingat
komentar Alice sebelumnya... tentang berlian. Mungkinkah ia hendak mengatakan dia sudah
memberimu sebutir berlian" seolah-
olah,aku sudah memakai sebutir berlian pemberian Edward" Tidak, itu tidak
mungkin. Kalau bandul hati ini berlian, ukurannya pasti lima karat atau
sebangsanya! Edward tidak mungkin... "Sudah lama sekali kau tidak pernah datang lagi ke La Push," Kata Jacob,
menginterupsi dugaan-dugaan yang mengusikku.
"Aku sibuk," dalihku. "Dan... mungkin aku memang sedang tidak ingin ke sana."
Jacob meringis. "Kupikir kaulah yang seharusnya mudah memaafkan orang, dan aku
yang mendendam." Aku mengangkat bahu. "Kau pasti sering memikirkan peristiwa waktu itu, kan?"
"Tidak." Jacob tertawa. "Kalau kau tidak bohong, berarti kau orang paling keras kepala
yang pernah hidup." "Entahlah kalau aku memang yang terakhir itu, tapi aku tidak berbohong." Aku
tidak suka membicarakan hal itu dalam situasi
seperti sekarang - ketika lengannya yang panas memelukku erat-erat, tapi aku
tidak bisa melakukan apa-apa mengenainya. Wajahnya terlalu dekat denganku. Kalau
saja aku bisa mundur selangkah untuk menjauhinya.
"Orang yang cerdas memandang keputusan dari segala sisi."
"Aku sudah melakukannya," dengusku.
"Kalau kaubilang sama sekali tidak pernah memikirkan... eh, pembicaraan kita
waktu terakhir kali kau datang, berarti itu tidak benar."
"Pembicaraan itu tak ada hubungannya sama sekali dengan keputusanku."
"Beberapa orang memang rela melakukan apa saja untuk menipu diri sendiri."
"Menurut pengamatanku, werewolf-lah yang cenderung melakukan kesalahan itu,
menurutmu itu ada kaitannya dengan masalah genetis atau tidak?"
"Apakah itu berarti ciumannya lebih dahsyat daripada ciumanku?" tanya Jacob,
mendadak muram. "Aku tak bisa menilainya, Jacob. Edward satu-satunya yang pernah menciumku."
"Selain aku." "Tapi bagiku itu tidak bisa dihitung sebagai ciuman, Jacob. Menurutku itu lebih
merupakan penyerangan."
"Aduh! Sinis sekali."
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak berniat menarik kembali ucapanku."
"Aku kan sudah meminta maaf padamu tentang hal itu."
Jacob mengingatkan. "Dan aku sudah memaafkanmu... sebagian besar. Tapi itu tidak mengubah caraku
mengingatnya." Jacob menggerutu panjang lebar.
Lalu suasana sunyi sebentar, yang terdengar hanya suara tarikan napas Jacob yang
terukur serta angin yang meraung-raung di pucuk-pucuk pepohonan di atas kami.
Tebing tinggi menjulang di sebelah kami, batu kelabu kasar telanjang. Kami
mengikuti dasarnya yang melengkung keluar dari hutan.
"Aku tetap berpendapat itu sangat tidak bertanggung jawab," kata Jacob tiba-
tiba. "Apa pun yang kaumaksud, kau salah."
"Pikirkan saja, Bella. Menurutmu, kau hanya pernah berciuman dengan satu orang -
yang sebenarnya bukan orang sungguhan - seumur hidupmu, tapi belum-belum kau
sudah mau menikah. Bagaimana kau tahu apa yang kau inginkan" Bukankah seharusnya
kau mencoba berhubungan dulu dengan beberapa orang?"
Aku berusaha agar nadaku tetap terdengar dingin. "Aku tahu persis apa yang
kuinginkan." "Kalau begitu, tidak ada salahnya mengecek ulang, mungkin sebaiknya kau coba
mencium orang lain dulu, hanya untuk membandingkan... karena apa yang terjadi
waktu itu tidak masuk perhitungan. Kau bisa menciumku, contohnya. Aku tidak
keberatan kalau kau ingin memakaiku untuk eksperimen."
Jacob mendekapku lebih erat ke dadanya,sehingga wajahku dekat sekali dengan
wajahnya. Ia tersenyum-senyum mendengar leluconnya sendiri, tapi aku tidak mau
mengambil resiko. "Jangan macam-macam denganku, Jake. Aku bersumpah tidak akan menghalangi Edward
kalau dia mau meremukkan rahangmu."
Sedikit nada panik dalam suaraku malah membuat senyumnya semakin lebar. "kalau
kau memintaku menciummu, dia tidak akan punya alasan untuk marah. Katanya itu
tidak apa-apa." "Jangan menahan napas dan berharap, Jake, tidak, tunggu, aku berubah pikiran.
Silakan saja. Tahan napasmu sampai aku memintamu menciumku."
"Suasana hatimu sedang jelek hari ini."
"Entah kenapa, ya?"
"Kadang-kadang aku berpikir kau lebih menyukaiku kalau kau berwujud serigala."
"Kadang-kadang memang begitu. Mungkin itu karena kau tidak bisa bicara."
Jacob mengerucutkan bibirnya yang tebal dengan sikap berpikir-pikir. "Tidak,
kurasa bukan karena itu. Kurasa mungkin lebih mudah bagimu berada di dekatku
kalau aku tidak sedang menjadi manusia, karena kau tidak perlu berpura-pura
tidak tertarik padaku."
Mulutku ternganga dengan suara tersentak kaget. Aku langsung mengatupkannya
lagi, menggertakkan gigi-gigiku.
Jacob mendengarnya. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke belakang, membentuk senyum
penuh kemenangan. Aku menghela napas lambat-lambat sebelum berbicara.
"Tidak,aku yakin itu karena kau tidak bisa bicara."
Jacob mendesah. "Pernahkah kau lelah membohongi diri sendiri" Kau pasti tahu
betapa kau menyadari keberadaanku. Secara fisik, maksudku."
"Bagaimana mungkin orang tidak menyadari keberadaanmu secara fisik,Jacob?"
tuntutku. "Kau monster raksasa yang tidak menghargai ruang pribadi orang lain."
"Aku membuatmu gugup. Tapi hanya saat aku berwujud manusia."
"Gugup tidak sama dengan jengkel."
Jacob menatapku beberapa saat, memperlambat larinya dan berjalan, sorot geli
surut dari wajahnya. Matanya menyipit, berubah hitam di bawah naungan bayang-
bayang alisnya. Tarikan napasnya, yang sangat teratur saat ia berlari, kini
mulai berpacu. Pelan-pelan ia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Kubalas tatapannya, tahu persis apa yang hendak ia lakukan.
"Wajahmulah penyebabnya," Aku mengingatkan dia.
Jacob tertawa keras sekali, lalu mulai berlari lagi. "Aku tidak benar-benar
ingin berkelahi dengan vampirmu malam ini, maksudku, kalau malam lain, boleh-
boleh saja. Tapi kami punya tugas besok, dan aku tidak ingin membuat kekuatan
keluarga Cullen berkurang satu."
Perasaan malu tiba-tiba menyergapku, membuat ekspresiku langsung berubah.
"Aku tahu, aku tahu," Sergah Jacob, tidak mengerti. "Menurutmu dia bisa
mengalahkan aku." Aku tak sanggup berkata apa-apa. Aku membuat kekuatan mereka berkurang satu.
Bagaimana kalau ada yang cedera hanya karena aku sangat lemah" Tapi bagaimana
kalau aku bersikap berani dan Edward... memikirkannya saja aku tak sanggup.
"Kenapa kau, Bella?" Sikap sok jagoan lenyap dari wajah Jacob, menampilkan Jacob
yang asli di baliknya, seperti membuka topeng. "Kalau perkataanku tadi
menyinggung perasaanmu, kau tahu aku hanya bergurau. Aku tadi cuma main-main.
Tidak ada maksud apa-apa - hei, kau baik-baik saja" Jangan menangis, Bella,"
Jacob memohon-mohon. Aku berusaha menguasai diri. "Aku bukan mau menangis."
"Memangnya aku bilang apa tadi?"
"Bukan gara-gara perkataanmu. Tapi karena, wdl, gara-gara aku sendiri. Aku
melakukan sesuatu yang... buruk."
Jacob menatapku, matanya membelalak bingung.
"Edward tidak akan bertempur besok," bisikku menjelaskan. "Aku memaksanya
tinggal bersamaku. Aku benar-benar pengecut."
Kening Jacob berkerut. "Kaupikir rencana kita tak akan berhasil" Bahwa mereka
akan menemukanmu di sini" Kau mengetahui sesuatu yang aku tidak tahu?"
"Tidak, tidak, bukan itu yang kutakutkan. Aku hanya... aku tidak sanggup
membiarkannya pergi. Kalau dia tidak kembali..." Aku bergidik, memejamkan mata
untuk mengenyahkan jauh-jauh pikiran itu. Jacob terdiam.
Aku terus berbisik-bisik, mataku terpejam. "Kalau ada yang celaka, itu akan
selalu jadi salahku. Tapi bahkan kalaupun tak ada yang celaka... aku jahat
sekali. Pasti begitu karena aku memaksanya tinggal bersamaku. Dia
tidak akan menyalahkan aku. Tapi aku akan selalu tahu betapa teganya aku berbuat
begini. " Aku merasa sedikit lega setelah mencurahkan semua unek-unek yang menyesaki
dadaku. Walaupun aku hanya bisa mengakuinya kepada Jacob.
Jacob mendengus. Mataku perlahan-lahan terbuka, dan aku sedih melihat topeng
kaku itu kembali terpasang di wajahnya.
"Sulit dipercaya dia membiarkanmu membujuknya untuk tidak ikut. Kalau aku, aku
tidak akan mau melewatkannya demi apa pun."
Aku mendesah. "Aku tahu."
"Tapi itu tidak berarti apa-apa," Jacob tiba-tiba mundur. '"Tapi itu tidak
berarti dia mencintaimu lebih daripada aku."
"Tapi kau tidak akan mau tinggal denganku, walaupun aku memohon-mohon."
Jacob mengerucutkan bibirnya sejenak, dan aku bertanya-tanya dalam hati apakah


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia akan mencoba menyangkalnya. Kami sama-sama tahu hal sebenarnya.
"Itu hanya karena aku mengenalmu lebih baik," jawab Jacob akhirnya. "Semua pasti
berjalan mulus tanpa halangan. Walaupun kau memintaku dan aku menolak, kau tidak
akan marah padaku sesudahnya."
"Kalau semuanya benar-benar berjalan mulus tanpa hambatan, mungkin kau benar.
Tapi selama kau tidak ada, aku pasti akan sangat khawatir, Jake. Bisa-bisa aku
gila." "Kenapa?" tanya Jacob parau. "Apa pedulimu bila sesuatu menimpaku?"
"Jangan berkata begitu. Kau tahu betapa berartinya kau bagiku. Aku menyesal
tidak bisa menyayangimu seperti yang kauinginkan, tapi memang begitulah adanya.
Kau sahabatku. Paling tidak, dulu kau pernah jadi sahabatku. Dan terkadang pun
masih... kalau kau bersikap apa adanya."
Jacob menyunggingkan senyumnya yang dulu sangat kusukai.
"Aku selalu menjadi sahabatmu." janji Jacob.
"Bahkan ketika aku tidak... bertingkah sebaik seharusnya. Di balik itu semua,
aku selalu ada di sini."
"Aku tahu untuk apa lagi aku tahan menghadapi semua omong kosongmu?"
Jacob tertawa bersamaku, tapi kemudian matanya sedih. "Kapan kau akhirnya akan
menyadari bahwa kau mencintaiku juga?"
"Dasar perusak suasana."
"Aku tidak berkata kau tidak mencintainya. Aku tidak bodoh. Tapi mungkin saja
lebih dari satu orang pada saat bersamaan, Bella. Aku pernah melihat hal semacam
itu." "Aku bukan werewolf aneh, Jacob."
Jacob mengernyitkan hidung, dan sebenarnya aku hendak meminta maaf untuk
komentar terakhirku itu, tapi ia langsung mengubah topik.
"Sebentar lagi kita sampai, aku bisa mencium baunya." Aku menghembuskan napas
lega. Jacob salah menginterpretasikan maksudku. "Dengan senang hati aku akan
memperlambat langkahku, Bella, tapi kau pasti ingin segera berlindung sebelum
itu melanda." Tembok awan hitam - ungu yang tebal berpacu dari arah barat, menghitamkan hutan
di bawahnya. "Wow," gumamku. "Sebaiknya kau bergegas, Jake. Kau harus sudah sampai di rumah
sebelum badai datang."
"Aku tidak pulang."
Kupandangi dia dengan garang, putus asa. "Kau tidak boleh berkemah dengan kami."
"Teknisnya tidak, maksudnya, tidak satu tenda dengan kalian atau apa. Aku lebih
suka kehujanan dalam badai daripada mencium baunya. Tapi aku yakin si penghisap
darahmu pasti ingin bisa tetap berhubungan dengan kawananku sehingga tetap bisi
berkoordinasi, jadi dengan murah hati aku akan menyediakan jasa itu."
"Lho, kupikir itu tugasnya Seth."
"Dia akan mengambil alih tugas itu besok, selama pertarungan."
Ingatan itu sempat membuatku terdiam sejenak.
Kupandangi dia, kekhawatiran kembali menghantamku dengan kekuatan penuh.
"Kurasa tidak mungkin kau bersedia tetap di sini karena kau toh kau sudah ada di
sini sekarang?" saranku. "Bagaimana kalau aku benar-benar memohon" atau
menggantinya dengan kesediaanku menjadi budakmu seumur hidup atau semacamnya?"
"Menggoda, tapi tidak. Bagaimanapun, mungkin menarik juga melihatmu memohon-
mohon. Kau boleh melakukannya sekarang kalau mau."
"Jadi benar-benar tidak ada, tidak ada sama sekali, yang bisa kulakukan untuk
membujukmu?" "Tidak, tidak kecuali kau bisa menjanjikan pertempuran lain yang lebih baik
untukku. Lagi pula Sam yang menentukan semuanya, bukan aku."
Perkataannya itu membuatku mendadak teringat. "Tempo hari Edward menceritakan
sesuatu... mengenai kau."
Jacob gelisah. "mungkin itu bohong."
"Oh,begitu ya" jadi kau bukan orang kedua dalam kawananmu?"
Jacob mengerjap,wajahnya mendadak kosong karena terkejut. "Oh, itu."
"Kenapa kau tidak pernah menceritakannya padaku?"
"Untuk apa" Itu bukan hal penting."
"Entahlah. Kenapa tidak" Itu menarik sekali. Jadi, bagaimana pengaruhnya"
Bagaimana ceritanya Sam bisa menjadi Alfa, sementara kau... eh, jadi Beta?"
Jacob terkekeh mendengar istilah rekaanku itu. "Sam yang pertama, yang tertua.
Jadi masuk akal bila dia yang memimpin."
Aku mengerutkan kening. "Tapi bukankah seharusnya Jared atau Paul menjadi yang
kedua, kalau begitu" Mereka berdualah yang berikutnya berubah."
"Well.. sulit menjelaskannya," kata Jacob dengan sikap menghindar.
"Coba saja." Jacob mengembuskan napas. "Alasannya lebih karena garis keturunan, kau mengerti"
Agak kuno, memang. Memangnya kenapa kalau kakekmu siapa, begitu kan?"
Aku teringat kisah yang pernah diceritakan Jacob padaku dulu sekali, sebelum
kami tahu tentang werewolf.
"Bukankah dulu kau pernah cerita Ephraim Black adalah kepala suku Quileute
terakhir?" "Yeah, itu benar. Karena dia si Alfa. Tahukah kau bahwa teknisnya, Sam adalah
kepala seluruh suku?" Jacob tertawa.
"Tradisi sinting."
Aku memikirkan itu sejenak, berusaha menyatukan berbagai kepingan yang terserak.
"Tapi kau pernah bercerita orang-orang lebih patuh kepada ayahmu ketimbang
orang-orang di dewan suku karena ayahmu cucu Ephraim?"
"Lantas kenapa?"
"Well, kalau masalahnya adalah garis keturunan... bukankah seharusnya menjadi
kepala suku, kalau begitu?"
Jacob tidak menjawab. Ia memandangi hutan yang semakin menggelap, seolah-olah
mendadak perlu berkonsentrasi menemukan jalan.
"Jake?" "Tidak, itu tugas Sam," matanya memandang lurus ke jalan, yang tak terlihat di
tengah kerimbunan semak. "Kenapa" kakek buyutnya Levi Uley, bukan" Apakah Levi juga seorang Alfa?"
"Hanya ada satu Alfa," Jacob otomatis menjawab.
"Jadi Levi itu apa?"
"Semacam Beta, begitulah," Jacob mendengus karena memakai istilahku, "seperti
aku." "Itu tidak masuk akal."
"Tidak masalah."
"Aku hanya ingin mengerti."
Jacob akhirnya balas menatap sorot mataku yang bingung, kemudian mendesah.
"Yeah. Seharusnya aku menjadi Alfa."
Alisku bertaut. "Sam tidak mau turun."
"Bukan begitu. Justru aku yang tidak mau naik."
"Kenapa tidak mau?"
Jacob mengerutkan kening, tidak suka mendengar pertanyaan-pertanyaanku. Well,
sekarang giliran Jacob merasa jengah.
"Aku tidak menginginkannya Bella. Aku tidak ingin ada yang berubah. Aku tidak
mau menjadi kepala suku legendaris. Aku tidak mau menjadi bagian dari sekawanan
werewolf, apa lagi menjadi pimpinan mereka. Aku tidak mau menerimanya waktu Sam
menawarkan." Aku memikirkan perkataannya itu beberapa saat Jacob tidak menyela. Matanya
kembali memandangi hutan.
"Tapi kupikir sekarang kau lebih bahagia. Bahwa kau bisa menerimanya dengan
baik," bisikku akhirnya.
Jacob menunduk menatapku sambil tersenyum menenangkan. "Yeah. Sebenarnya memang
lumayan. Terkadang mengasyikkan, seperti hal yang akan terjadi besok. Tapi
awalnya, rasanya seperti dipaksa ikut wajib militer dan diterjunkan ke medan
perang padahal sebelumnya kau tidak tahu perang itu ada. Tidak ada pilihan, kau
mengerti" Dan keputusannya sangat final,"
Jacob mengangkat bahu. "Bagaimanapun, kurasa aku senang sekarang. Itu memang
harus dilakukan, dan dapatkah aku memercayai orang lain untuk melakukannya
dengan benar" Lebih baik memastikannya sendiri."
Aku menatap Jacob, merasakan kekaguman yang tak terduga-duga terhadap temanku
ini. Ternyata ia lebih dewasa daripada yang kukira. Seperti Billy malam itu pada
acara api unggun, Jacob juga memiliki keagungan yang tidak pernah kusangka ada
pada dirinya. "Kepala Suku Jacob," bisikku, tersenyum mendengar julukan itu.
Jacob memutar bola matanya.
Saat itulah angin mengguncang pepohonan lebih keras di sekeliling kami, dan
rasanya seperti bertiup dari padang es. Bunyi pohon-pohon berderak bergema dari
gunung. Walaupun cahaya menghilang ditelan aWan-awan kelabu yang menutupi langit, aku
masih bisa melihat bercak-bercak kecil putih berkelebat melewati kami.
Jacob mempercepat langkah, matanya tertuju ke tanah sekarang saat ia berlari
secepat-cepatnya. Aku meringkuk pasrah di dadanya,berlindung dari salju yang
tidak diharapkan kedatangannya.
Beberapa menit kemudian, setelah melesat mengitari sisi teduh puncak berbatu,
barulah kami bisa melihat tenda kecil itu merapat di muka pegunungan. Semakin
banyak salju berjatuhan di sekeliling kami, tapi angin bertiup sangat kencang
hingga gumpalan salju tak bisa diam di satu tempat.
"Bella," seru Edward. nadanya amat lega. Kami mendapatinya sedang mondar-mandir
gelisah di sepanjang ruang terbuka kecil.
Ia melesat mendekatiku. nyaris terlihat kabur saking cepatnya ia bergerak. Jacob
mengernyit, lalu menurunkan aku dari gendongannya. Edward tidak menggubris
reaksinya dan langsung memelukku erat-erat.
"Terima kasih," kata Edward di atas kepalaku. Tak salah lagi, nadanya terdengar
tulus. "Ternyata lebih cepat daripada yang kuharapkan, dan aku benar-benar
menghargainya." Aku memutar badan untuk melihat respons Jacob.
Jacob hanya mengangkat bahu, semua keramahan tersapu lenyap dari wajahnya. "Bawa
dia masuk. Cuaca akan sangat buruk, bulu kudukku meremang semua. Apakah tenda
itu kuat?" "Aku menancapkan pasaknya kuat-kuat ke batu."
"Bagus." Jacob mendongak menatap langit yang sekarang gelap gulita karena amukan badai,
ditaburi pusaran-pusaran kecil salju. Cuping hidungnya kembang kempis.
"Aku mau berubah dulu," katanya. "Aku ingin tahu apa yang sedang terjadi di
rumah." Jacob menggantungkan jaketnya di dahan pohon pendek di dekat situ,lalu memasuki
hutan yang gelap gulita tanpa menoleh ke belakang lagi.
22. API DAN ES ANGIN kembali mengguncang tenda, dan aku ikut berguncang bersamanya.
Temperatur turun drastis. Aku bisa merasakannya menyusup ke dalam kantong
tidurku, menembus jaketku. Aku berpakaian lengkap, sepatu bot hikingku masih
terikat di kaki. Tapi itu tidak terlalu berpengaruh. Bagaimana mungkin bisa
sedingin ini" Bagaimana hawa bisa terus semakin dingin" Bagaimanapun, temperatur
harus mencapai titik terendah juga, bukan"
"J-j-j-j-jam b-b-b-berapa ini?" kupaksa kata-kata itu keluar dari gigiku yang
gemeletukkan. "Jam dua,"jawab Edward.
Edward duduk sejauh mungkin dalam ruangan sempit itu, bahkan takut untuk
menghembuskan napasnya ke tubuhku karena aku sudah sangat kedinginan. Hari sudah
sangat gelap hingga aku sudah tak bisa melihat wajahnya, tapi suaranya serat
kekhawatiran, keraguan dan perasaan frustrasi.
"Mungkin..." "Tidak, aku b_b_b-b-baik-b-b-b- baik s-s-saja, s-s-s-sungguh. Aku tidak mm-m-mau
pu-pu-pulang." Aku tahu Edward sudah lusinan kali berusaha membujukku untuk lari secepat
mungkin dan keluar dari tempat ini, tapi aku takut meninggalkan tempat
perlindunganku. Kalau di dalam sini saja sudah sedingin ini, padahal aku
terlindung dari amukan badai di luar, tak bisa kubayangkan bila kami lari
menembusnya. Dan itu berarti semua usaha kami sore tadi sia-sia belaka. Apakah kami punya
cukup waktu untuk mengulangi semua yang kami lakukan tadi setelah badai
berhenti" Bagaimana kalau badai tak kunjung berhenti" Tidak ada gunanya pulang
sekarang. Aku tahan kok menggigil semalaman.
Aku cemas semua jejak yang kutinggalkan bakal hilang. Tapi Edward memastikan
semuanya pasti masih cukup jelas bagi monster-monster yang akan datang nanti.
"Apa yang bisa kulakukan?" Edward nyaris memohon-mohon.
Aku hanya menggeleng. Di tengah salju di luar, Jacob mendengking tidak senang. "P-p-p-p-pergi d-d-d-
dari sini," perintahku, sekali lagi.
"Dia hanya mengkhawatirkanmu," Edward menerjemahkan.
"Dia baik-baik saja. Tubuhnya memang dirancang khusus untuk bisa menghadapi
badai semacam ini." "D-d-d-d-d." Sebenarnya aku ingin mengatakan seharusnya Jacob tetap pergi, tapi
tak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Lidahku bahkan nyaris tergigit waktu
mencoba bicara. Setidaknya Jacob sepertinya memang cukup tahan menghadapi salju,
bahkan jauh lebih baik daripada rekan-rekan sekawanannya dengan bulu cokelat
kemerahannya yang lebih tebal, lebih panjang. dan gondrong. Dalam hati aku
bertanya-tanya mengapa begitu.
Jacob mendengking, suaranya bernada protes yang kasar dan melengking tinggi.
"Memangnya kau harus bagaimana lagi?" geram Edward terlalu gelisah untuk tetap
bersikap sopan. "Membopongnya menembus badai ini?" kau sendiri juga tidak
melakukan apa pun yang berguna. Kenapa kau tidak pergi saja mengambilkan alat
pemanas atau semacamnya?"
"Aku t-t-t-tidak a-a-a-apa-apa," protesku. Menilik erangan Edward dan geraman
pelan di luar tenda, tak seorang pun di antara mereka mempercayai kata-kataku.
Angin mengguncang tenda dengan ganasnya, dan aku ikut bergetar.
Suara lolongan tiba-tiba mengoyak raungan angin, dan aku menutup telinga untuk
menghalau suara berisik itu. Edward merengut.
"Itu sebenarnya tidak perlu," gerutunya."Dan itu ide paling jelek yang pernah
kudengar," serunya lagi dengan suara lebih keras.
"Lebih baik daripada idemu," balas Jacob, suara manusianya membuatku kaget.
"Kenapa tidak pergi mengambilkan alat pemanas," gerutunya. "Aku bukan
St.Nennard." Aku mendengar suara ritsleting pintu tenda ditarik ke bawah.
Jacob menyusup masuk lewat bukaan terkecil yang bisa diusahakannya, sementara
hawa dingin berembus masuk, beberapa keping salju berjatuhan di lantai tenda.
Tubuhku gemetar begitu dahsyat hingga seperti kejang-kejang.
"Aku tidak suka ini," desis Edward saat Jake menutup kembali ristleting pintu
tenda. "Cepat berikan saja mantelmu dan segera keluar dari sini."
Mataku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kegelapan sehingga aku bisa melihat
bentuk-bentuk, bentuk Jacob menenteng jaketnya yang tadi digantung di pohon di
sebelah tenda. Aku mencoba bertanya apa yang mereka bicarakan. Tapi yang keluar dari mulutku
hanyalah, "A-a-a-a-a." Karena tubuhku berguncang hebat membuatku gagap tak
terkendali. "Jaketnya untuk besok - dia terlalu kedinginan sehingga akan bisa memanaskannya.
Jaket ini membeku. Jacob menjatuhkannya di dekat pintu.
"Kaubilang tadi dia butuh pemanas, jadi inilah aku," jawab Jacob membentangkan
kedua lengannya selebar yang bisa dilakukannya di tenda sempit itu. Seperti
biasa, kalau ia habis berlari-lari sebagai serigala, ia hanya berpakaian
seperlunya saja - celana panjang, tanpa baju, tanpa sepatu.
"J-J-J-J-Jake, kau akan m_m_m_membe-be-be-k-k-ku," aku berusaha protes.
"Aku tidak," bantahnya riang. "Belakangan ini suhu tubuhku bisa mencapai 42
derajar Celcius lebih. Dalam sekejap aku pasti bisa membuatmu berkeringat."
Edward menggeram, tapi Jacob bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Ia malah
merangkak mendekatiku dan mulai membuka ritsleting kantong tidurku.
Tangan Edward tiba-tiba mendarat keras di bahu Jacob, menahannya, seputih salju
di kulit Jacob yang gelap. Dagu Jacob langsung mengeras, cuping hidungnya
kembang kempis. Tubuhnya mengejang karena sentuhan dingin itu.
"Jangan sentuh aku," geramnya dan sela-sela gigi yang terkatup rapat.
"Jangan sentuh dia," balas Edward, sama garangnya.
"J-j-j-jangan b-b-b-bertengkar." aku memohon Sekujur tubuhku kembali berguncang
hebat. Sepertinya gigiku bakal rontok. karena bergemeletuk begitu kuat.
"Aku yakin dia akan berterima kasih padamu kalau nanti jari-jari kakinya berubah
warna jadi hitam dan putus," bentak Jacob.
Edward ragu-ragu, lalu menurunkan tangannya dan kembali bergeser ke posisinya di
pojok tenda. Suara Edward datar dan mengerikan. "Jangan macam-macam."
Jacob terkekeh. "Minggirlah sedikit Bella," perintah Jacob, membuka ristleting kantong tidur


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lebih lebar. Kupandangi dia dengan marah. Pantas saja Edward bereaksi begitu.
"T-t-tidak." aku berusaha memprotes.
"Jangan bodoh," tukas Jacob,gemas. "Kau tidak suka ya jari kakimu tetap lengkap
sepuluh?" Jacob menjejalkan tubuh ke ruang sisa yang sebenarnya tak ada,memaksa
menaikkan ritsleting sendiri.
Aku tak bisa menolak lagi, karena memang tidak mau menolak. Tubuhnya hangat
sekali. Kedua lengannya memelukku, mendekapku dengan erat-erat di dadanya yang
telanjang. Panas tubuhnya sangat nyaman,bagai udara setelah terlalu lama berada
di bawah air. Ia meringis waktu aku menempelkan jari-jariku sedingin es dengan
penuh semangat di kulitnya."
"Ya ampun, kau membeku Bella." protesnya. "m-m-maaf," ucapku terbata-bata.
"Cobalah untuk rileks," Jacob menyarankan saat tubuhku kembali bergetar hebat.
"Sebentar lagi kau akan merasa hangat. Tentu saja kau akan lebih cepat hangat
kalau membuka bajumu."
Edward menggeram tajam. "Memang faktanya begitu kok," Jacob membela diri.
"Ada di panduan keselamatan."
"Sudahlah Jake," sergahku marah, walaupun tubuhku menolak untuk bahkan
menjauhkan diri darinya."T-t-t-tidak ada o-o-o-orang y-y-y-yang benar-benar
memb-u-tuhkan s-s-s-sepuluh jari kaki."
"Jangan pedulikan Si pengisap darah itu," Jacob menyarankan, nadanya penuh
kemenangan. "Dia hanya cemburu."
"Tentu saja aku cemburu," suara Edward kembali selembut beledu, terkendali,
bagai bisikan merdu di kegelapan. "Kau tidak tahu sama sekali betapa aku
berharap bisa melakukan apa yang sekarang kaulakukan untuknya, anjing."
"Itulah untungnya," tukas Jacob enteng, tapi kemudian nadanya berubah masam.
"Setidaknya kau tahu dia berharap aku ini kau."
"Benar," Edward sependapat.
Guncangan tubuhku mulai berkurang, sedikit tertahankan sementara mereka cekcok
terus. "Nah," kata Jacob, senang. "Sudah merasa lebih enak?"
Akhirnya aku bisa juga berbicara dengan lancar. "Ya."
"Bibimu masih biru." Jacob mengamati. "Mau
kuhangatkan sekalian" Kau tinggal minta."
Edward mengembuskan napas berat.
"Jaga sikapmu," bisikku, menempelkan wajahku ke bahunya. Jacob terlonjak lagi
waktu kulitku yang dingin menyentuh kulitnya, dan aku tersenyum dengan sedikit
perasaan puas karena berhasil memberinya pelajaran.
Bagian dalam kantong tidur kini sudah hangat dan nyaman. Panas tubuh Jacob
seakan terpancar dari setiap sisi tubuhnya, mungkin itu karena tubuhnya sangat
besar. Kutendang sepatu botku hingga terlepas, dan kuselipkan jari-jari kakiku
ke kakinya. Jacob terlonjak sedikit, tapi kemudian merunduk dan menempelkan
pipinya yang panas ke telingaku yang kebas.
Kusadari kulit Jacob memancarkan aroma seperti kayu, sangat cocok dengan suasana
alam sekitarnya,di tengah hutan sini. Aku jadi penasaran apakah keluarga Cullen
dan para anggota suku Quileute hanya membesar-besarkan masalah bau itu karena
masing-masing menyimpan prasangka terhadap yang lain. Sebab bau mereka baik-baik
saja menurutku. Badai mengamuk seperti lengkingan binatang menyerang tenda, tapi itu tak lagi
membuatku khawatir. Jacob tidak lagi berada di luar di hawa yang dingin,begitu
pula aku. Tambahan lagi, aku terlalu lelah untuk khawatir tentang hal-hal lain,
capek karena sudah selarut ini belum juga tidur,dan sekujur tubuhku sakit-sakit
karena otot-ototku kejang. Tubuhku lambat laun menjadi rileks saat kebekuanku
mulai mencair, sedikit demi sedikit, kemudian berubah lemas.
"Jake?" gumamku dengan suara mengantuk. "Bolehkah aku menanyakan sesuatu" Bukan
maksudku ikut campur atau bagaimana, aku benar-benar ingin tahu," kata-kataku
persis sama seperti yang dikatakan Jacob di dapurku... berapa lama berselang"
"Tentu," Jawab Jacob terkekeh, teringat.
"Mengapa bulumu jauh lebih lebat daripada teman-temanmu" kau tidak perlu
menjawab kalau pertanyaanku itu kau rasa terlalu usil. "Aku tidak tahu bagaimana
aturan etiket dalam dunia werewolf."
"Karena rambutku lebih panjang." jawab Jacob, setidaknya pertanyaanku tidak
membuatnya tersinggung. Ia menggertakkan kepalanya sehingga rambutnya yang awut-
awutan, sekarang sudah sedagu, menggelitik pipiku.
"Oh," Aku terkejut, tapi jawabannya masuk akal. Jadi karena itulah mereka semua
memotong rambut pendek mereka pada awalnya,begitu bergabung dengan kawanan.
"Kalau begitu kenapa kau tidak memotongnya" kau suka berambut gondrong?"
Kali ini Jacob tidak langsung menjawab pertanyaanku, dan Edward tertawa pelan.
"Maaf," ucapku, berhenti sebentar untuk menguap. "Aku tidak bermaksud usil. Kau
tidak perlu menjawab pertanyaanku."
Jacob mengeluarkan suara bernada kesal. "Oh, dia toh akan tetap menceritakannya
padamu, jadi lebih baik aku sendiri yang mengatakannya... aku memanjangkan
rambutku karena... sepertinya kau lebih suka kalau rambutku panjang."
"Oh," Aku merasa kikuk. "Aku, eh, suka dua-duanya, Jake. Kau tidak perlu...
repot-repot menyesuaikannya dengan keinginanku."
Jacob mengangkat bahu. "Ternyata rambutku juga berguna malam ini, jadi tidak
usah pikirkan masalah itu lagi."
Aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Saat kesunyian semakin panjang, kelopak
mataku terasa berat dan akhirnya tertutup, tarikan napasku semakin lambat dan
teratur. "Ya benar, Sayang, tidurlah," bisik Jacob.
Aku mengembuskan napas, merasa senang, sudah separuh tidak sadar.
"Seth sudah datang," gumam Edward kepada Jacob, dan tiba-tiba aku menyadari
maksud lolongannya. "Sempurna. Sekarang kau bisa memperhatikan hal-hal lain, sementara aku menjaga
pacarmu untukmu." Edward tidak menyahut, tapi aku mengerang dengan lemah.
"Hentikan." omelku.
Suasana akhirnya sunyi, setidaknya di dalam tenda. Di luar, angin memekik-mekik
mengerikan di sela-sela pepohonan. Tenda yang bergoyang-goyang membuatku sulit
tidur. Tali pasak bisa tiba-tiba tersentak dan bergetar, menyentakkanku kembali
dari tepian ketidaksadaran sebelum sempat benar-benar tenggelam. Aku merasa
sangat tidak enak memikirkan si serigala, si anak lelaki yang harus berada di
tengah badai salju. Pikiranku berkelana saat aku menunggu diriku tertidur.
Ruangan kecil hangat ini membuat ingatanku melayang ke hari-hari awal
persahabatanku dengan Jacob, dan aku mengenang bagaimana dulu saat ia menjadi
matahari penggantiku, kehangatan yang membuat hidupku yang hampa jadi bermakna
lagi. Sejak dulu aku menganggap Jake seperti itu, dan sekarang itu terulang
lagi, Jacob menghangatkan aku lagi.
"Please!" desis Edward. "Kau keberatan tidak?"
"Apa!" Jacob balas berbisik, nadanya terkejut.
"Menurutmu, bisa tidak kau berusaha mengontrol pikiranmu!" Edward berbisik pelan
dengan nada marah. "Siapa suruh mendengarkan," gerutu Jacob, menantang namun tetap merasa malu.
"Enyahlah dari kepalaku."
"Kalau saja aku bisa. Kau tidak tahu berapa lantangnya fantasi-fantasimu itu
terdengar olehku. Seolah-olah kau meneriakkannya padaku."
"Aku akan berusaha memelankannya," bisik Jacob sinis.
Sejenak suasana sunyi. "Benar," Edward menjawab pikiran Jacob yang tidak disuarakan dalam bisikan
sangat pelan hingga aku nyaris tak bisa mendengarnya. "Aku juga cemburu pada hal
itu." "Sudah kukira memang seperti itu," bisik Jacob dengan nada menang. "Agak
menyamakan posisi, kan?"
Edward terkekeh. "Bermimpilah terus."
"Kau tahu, dia masih tetap bisa berubah pikiran," Jacob mengejek Edward.
"Apalagi kalau mengingat semua hal yang bisa kulakukan untuknya yang kau tidak
bisa. Setidaknya tanpa membunuhnya, begitulah."
"Tidurlah Jacob," gumam Edward. "Kau mulai membuatku jengkel."
"Kurasa aku memang akan tidur. Aku benar-benar merasa nyaman."
Edward tidak menanggapi. Aku sudah begitu dalam terhanyut dalam tidur hingga tak bisa meminta mereka
berhenti membicarakanku seolah-olah aku tidak ada di sana. Pembicaraan mereka
sudah terasa seperti mimpi bagiku, dan aku tidak yakin apakah aku benar-benar
terbangun. "Mungkin aku bisa melakukannya," kata Edward beberapa saat kemudian, menjawab
pertanyaan yang tidak kudengar.
"Tapi apakah kau akan jujur?"
"Tanya dan lihat saja sendiri." Nada Edward membuatku bertanya-tanya apakah ada
lelucon yang terlewat. "Well, kau kan bisa melihat isi kepalaku, biarkan aku melihat isi kepalamu malam
ini, itu baru adil namanya," kata Jacob
"Kepalamu penuh pertanyaan. Kau ingin aku menjawab yang mana?"
"Kecemburuan... itu pasti membuatku sangat tersiksa. Berarti sebenarnya kau
tidak terlalu yakin pada diri sendiri seperti yang selama ini kau tunjukkan.
Kecuali kau memang tidak punya emosi sama sekali."
"Tentu saja menyiksa," Edward sependapat, tak lagi terdengar geli. "Sekarang
ini, kecemburuan itu begitu hebatnya hingga aku nyaris tak bisa mengendalikan
suaraku. Tentu saja lebih parah lagi kalau dia jauh dariku,
bersamamu, dan aku tidak bisa melihatnya."
"Kau memikirkan hal itu setiap saat?" bisik Jacob. "Sulitkah bagimu
berkonsentrasi jika dia tidak sedang bersamamu?"
"Ya dan tidak," kata Edward, sepertinya bertekad menjawab sejujur-jujurnya.
"Cara berpikirku tidak sama dengan cara berpikirmu. Aku bisa memikirkan banyak
hal sekaligus. Tentu saja, itu berarti aku selalu bisa memikirkanmu, selalu bisa
bertanya-tanya apakah pikirannya sedang tertuju kepadamu, bila dia sedang
berdiam diri dan berpikir."
Mereka terdiam cukup lama.
"Ya, aku menduga dia pasti sering memikirkanmu," gumam Edward, merespon pikiran
Jacob. "Lebih sering daripada yang kuinginkan. Dia khawatir kau tidak bahagia.
Bukannya kau tidak tahu itu. Bukannya kau tidak memanfaatkan hal itu."
"Aku harus memanfaatkan apa saja yang bisa kumanfaatkan," tukas Jacob. "Kau
punya beberapa keuntungan yang tidak kumiliki, misalnya dia tahu bahwa dia
mencintaimu." "Itu memang membantu," Edward menyepakati dengan nada lunak.
Jacob menantang." Dia juga mencintaiku tahu."
Edward tidak menanggapi. Jacob mendesah. "Tapi dia tidak menyadarinya."
"Aku tidak bisa mengatakan kau benar."
"Apakah itu membuatmu merasa terganggu" Apakah kau berharap bisa melihat apa
yang dia pikirkan?" "Ya... dan tidak, lagi-lagi. Dia lebih suka keadaannya seperti ini, dan walaupun
kadang-kadang itu membuatku gila, aku lebih suka dia bahagia."
Angin menjerit-jerit di sekeliling tenda, mengguncangnya seperti gempa bumi.
Lengan Jacob memelukku lebih erat lagi dengan sikap protektif.
"Terima kasih," bisik Edward. "walaupun kedengarannya aneh, kurasa aku senang
kau ada di sini, Jacob."
"Maksudmu, walaupun aku sangat ingin membunuhmu. Aku sangat senang dia hangat,
benar begitu kan?" "Gencatan senjata yang tidak nyaman, bukan?"
Bisikan Jacob mendadak terdengar puas. "Aku sudah mengira kau sama pencemburunya
dengan aku." "Aku tidak cukup bodoh hingga mengumbarnya seperti kau. Itu tidak akan membantu,
kau tahu." "Ternyata kau lebih sabar daripada aku."
"Seharusnya begitu. Aku punya waktu seratus tahun untuk bisa mencapai tahap ini.
Seratus tahun menunggu dia."
"Jadi... pada titik apa kau memutuskan untuk memainkan peran sebagai lelaki
penyabar?" "Waktu aku melihat betapa sakitnya dia bila dia disuruh memilih. Biasanya tidak
sesulit ini mengendalikan perasaanku. Biasanya aku bisa meredam... perasaan-
perasaan tidak beradab yang kurasakan terhadapmu jauh lebih mudah daripada
sekarang. Kadang-kadang aku
merasa dia bisa membaca pikiranku, tapi aku tak yakin."
"Kurasa kau hanya khawatir, kalau kau benar-benar memaksanya memilih, dia
mungkin tidak akan memilihmu."
Edward tidak langsung menjawab. "Sebagian." Edward akhirnya mengakui. "Tapi
hanya sebagian kecil. Keraguan itu sewaktu-waktu memang muncul. Kebanyakan aku
khawatir dia akan celaka saat diam-diam menemuimu. Setelah aku bisa menerima
kenyataan bahwa dia kurang lebih akan aman bersamamu, seaman yang mungkin bisa
dialami Bella, sepertinya pilihan terbaik adalah berhenti memaksanya."
Jacob mendesah. "Kalau kuceritakan semua ini padanya, dia pasti tidak akan
percaya." "Aku tahu," Kedengarannya Edward tersenyum. "
Kaukira kau tahu segalanya," gerutu Jacob.
"Aku tidak tahu masa depan," bantah Edward.
Suaranya mendadak terdengar tidak yakin.
Suasana sunyi cukup lama.
"Apa yang akan kaulakukan seandainya dia berubah pikiran?" tanya Jacob.
"Aku juga tidak tahu jawabannya."
Jacob terkekeh pelan. "Apakah kau akan mencoba membunuhku?" Sikapnya kembali
sarkastis, seolah-olah meragukan kemampuan Edward untuk melakukan hal itu.
"Tidak." "Kenapa tidak?" Nada Jacob masih mengejek. "Menurutmu, hatinya tidak akan
terluka bila itu terjadi?"
Jacob ragu-ragu sejenak, kemudian mengembuskan napas.
"Yeah, kau benar. Aku tahu itu benar. Tapi terkadang.."
"Terkadang ide itu sangat menggoda."
Jacob menempelkan wajahnya ke kantong tidur untuk meredam tawanya.
"Tepat sekali." akhirnya ia sependapat.
Betapa anehnya mimpi ini. Aku penasaran apakah penyebabnya adalah angin yang tak
henti-hentinya bertiup hingga membuatku membayangkan bisikan-bisikan itu.
Tapi angin justru menjerit-jerit, bukannya berbisik-bisik...
"Bagaimana rasanya" Kehilangan dia?" tanya Jacob setelah terdiam sesaat, tak
terdengar sedikit pun nada bergurau dalam suaranya yang mendadak parau. "Waktu
kau mengira telah kehilangan dia selama-lamanya"
Bagaimana kau bisa...bertahan?"
"Sulit sekali bagiku membicarakan hal itu." Jacob menunggu.
"Ada dua masa yang berbeda, ketika aku berpikir kehilangan dia." Edward
mengucapkan setiap kata sedikit lebih lambat daripada biasanya. "Pertama kali,
waktu aku mengira aku bisa meninggalkannya... waktu itu... aku nyaris bisa
menahannya. Karena kupikir dia akan melupakan aku hingga seolah-olah aku tidak
pernah menyentuh hidupnya. Selama lebih dari enam bulan aku
bisa menjauh darinya, menepati janjiku untuk tidak akan ikut campur lagi. Sudah
hampir bisa, aku berjuang, tapi tahu aku tidak akan menang, aku harus kembali...
hanya untuk mengecek keadaannya. Setidaknya, itulah alasan yang kupakai untuk
membenarkan tindakanku. Dan seandainya aku menemukannya bahagia... pikirku, aku
pasti bisa pergi lagi."
"Tapi ternyata dia tidak bahagia. Dan aku pasti akan tinggal bersamanya.
Begitulah caranya meyakinkanku untuk tinggal di sini bersamanya besok, tentu
saja. Kau sendiri penasaran mengenai hal itu, apa kira-kira yang memotivasiku..
rasa bersalah apa yang tidak perlu dia rasakan. Dia mengingatkanku apa akibatnya
jika aku meninggalkannya. Dia merasa tidak enak hati telah mengungkit masalah
itu, tapi dia benar. Aku tidak akan pernah bisa memperbaiki kesalahan dulu, tapi
bagaimanapun juga, aku tidak pernah berhenti mencoba."
Sesaat Jacob tidak merespons, entah mendengarkan badai atau mencerna apa yang
barusan didengarnya. Aku tidak tahu yang mana.
"Dan waktu itu, ketika kau mengira dia sudah mati?" bisik Jacob pelan.
"Ya." Edward menjawab pertanyaan berbeda. "Mungkin akan terasa seperti itu
bagimu,ya" mengingat cara pandangmu terhadap kaum kami, kau mungkin tidak akan
bisa melihatnya sebagai Bella lagi. Tapi dia akan tetap menjadi Bella."
"Bukan itu yang kutanyakan."
Edward menjawabnya dengan cepat dan keras. "Aku tidak bisa menceritakan
bagaimana rasanya. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkannya."
Lengan Jacob yang memelukku mengejang.
"Tapi kau pergi karena kau tidak mau membuatnya menjadi penghisap darah. Kau
ingin dia tetap menjadi manusia."
Edward berbicara lambat-lambat. "Jacob, sejak detik pertama aku sadar bahwa aku


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencintainya, aku sudah tahu hanya akan ada empat kemungkinan. Alternatif
pertama, yang terbaik bagi Bella, adalah kalau cintanya padaku tidak terlalu
besar, kalau dia bisa melupakan aku dan melanjutkan hidupnya. Aku akan
menerimanya, walaupun itu takkan pernah merubah perasaan. Kau menganggapku...
batu hidup, keras dan dingin. Memang benar. Kami memang begini adanya, dan
sangat jarang kami mengalami perubahan yang sesungguhnya. Jika itu terjadi,
seperti ketika Bella memasuki duniaku, perubahan itu bersifat permanen. Tak ada
jalan kembali... "Alternatif kedua, yang tadinya kupilih, adalah tetap bersamanya seumur hidup
manusianya. Memang bukan pilihan yang bagus baginya, menyia-nyiakan hidup untuk
seseorang yang tak bisa menjadi manusia bersamanya, tapi itu altematif yang
paling bisa kuterima. Sejak awal aku mengetahui bahwa, jika dia meninggal nanti,
aku akan mencari jalan untuk mati juga. Enam puluh, tujuh puluh
tahun, akan terasa amat sangat singkat bagiku.. Tapi kemudian terbukti bahwa
terlalu berbahaya bagi Bella jika hidup terlalu dekat dengan duniaku. Sepertinya
semua kacau. Atau semuanya menunggu waktu untuk menjadi...kacau. Aku takut tidak
akan mendapatkan enam puluh tahun itu jika aku berada di dekatnya dan dia tetap
menjadi manusia. "Maka aku pun memilih opsi ketiga. Yang ternyata menjadi kesalahan terburuk
dalam hidupku yang sangat panjang ini, seperti sudah kauketahui. Aku memilih
keluar dari dunianya, berharap bisa memaksanya memilih opsi pertama. Itu tidak
berhasil, dan malah nyaris membunuh kami berdua."
"Pilihan apa lagi yang kumiliki selain Opsi keempat. Itulah yang dia inginkan,
setidaknya,dia mengira begitu. Selama ini aku berusaha mengulur-ulur waktu,
memberinya waktu agar bisa menemukan alasan untuk berubah pikiran, tapi dia
sangat.. keras kepala. Kau tahu itu. Aku sangat beruntung kalau bisa menundanya
hingga beberapa bulan lagi. Dia sangat takut menjadi tua, sementara ulang
tahunnya bulan September.. "
"Aku suka opsi pertama," gerutu Jacob. Edward diam saja.
"Kau tahu persis betapa bencinya aku menerima ini," Jacob berbisik lambat-
lambat, "tapi bisa kulihat kau benar-benar mencintainya... dengan caramu
sendiri. Aku tidak bisa mendebat hal itu lagi.
"Mempertimbangkan hal itu, kupikir kau tak seharusnya melupakan alternatif
pertama, belum. Menurutku, besar kemungkinan dia akan baik-baik saja. Setelah
beberapa waktu. Kau tahu, seandainya dia tidak terjun dari tebing bulan Maret
lalu... dan seandainya kau menunggu enam bulan lagi untuk datang mengeceknya...
Well, bisa jadi kau akan menemukannya dalam keadaan sangat bahagia. Aku sudah
punya rencana." Edward terkekeh. "Mungkin saja itu akan berhasil. Rencanamu telah dipikirkan
masak-masak." "Apa?" desak Jacob lagi.
"Tentu saja," Edward marah sekali. "tentu saja! aku lebih suka tetuamu menyimpan
saja cerita itu dan tidak mengungkapkannya, Jacob."
"Kau tidak senang para lintah digambarkan sebagai penjahat?" ejek Jacob. "Kau
tahu memang begitulah kenyataannya. Dulu maupun sekarang."
"Masa bodoh dengan bagian yang itu. Masa kau tidak bisa menebak Bella akan
mengidentifikasikan dirinya dengan karakter siapa?"
Jacob berpikir sebentar. "Oh,Ugh. Si istri ketiga. Oke, aku mengerti maksudmu."
"Dia ingin berada di sana di lapangan. Istilahnya membantu semampunya," Edward
mendesah. "Itu alasan kedua aku akan menemaninya besok. Dia sangat inventif jika
menginginkan sesuatu."
"Kau tahu, kakakmu yang tentara itu memberinya ide untuk melakukannya, bukan
hanya gara-gara kisah itu."
"Dua-duanya tidak bermaksud buruk," bisik Edward, mengajak berdamai.
"Dan kapan gencatan senjata kecil ini berakhir?" tanya Jacob. "Begitu hari
terang" atau kita harus menunggu sampai sesudah pertempuran?"
"Begitu hari terang," Keduanya sama-sama berbisik, kemudian tertawa pelan.
"Tidurlah yang nyenyak Jacob," Bisik Edward. "Nikmati momen ini."
Suasana kembali sunyi, dan tenda diam tak bergerak selama beberapa menit. Angin
tampaknya telah memutuskan untuk tidak menghancurkan kami, dan berhenti
menyerang. Edward mengerang pelan. "Maksudku, tidak sampai seperti itu."
"Maaf,"bisik Jacob. "Kau bisa pergi tahu, memberi kami sedikit privasi."
"Kau mau aku membantumu tidur, Jacob?" Edward menawarkan.
"Bisa saja kaucoba." Jawab Jacob, tak peduli. "Pasti menarik untuk melihat siapa
yang tidak tahan dan pergi, kan?"
"Jangan kelewatan menggodaku, serigala. Kesabaranku tidak sesempurna itu."
Jacob membisikkan tawa. "Aku lebih suka tidak bergerak sekarang, kalau kau tidak
keberatan." Edward mulai berdendang sendiri, lebih nyaring daripada biasanya, berusaha
menenggelamkan pikiran-pikiran Jacob, asumsiku. Tapi ternyata ia mendendangkan
lagu ninaboboku, dan, meskipun aku semakin tidak nyaman dengan mimpi yang penuh
bisikan ini, aku terbenam semakin dalam ke ketidaksadaran... masuk ke mimpi-
mimpi lain yang lebih masuk akal...
"Yeah," Jacob mendesah. "Tapi... " tiba-tiba Jacob berbisik cepat sekali
sehingga kata-katanya saling tumpang tindih. "Beri aku waktu satu tahun, Edward.
Aku sangat yakin bisa membuatnya bahagia. Dia memang keras kepala, aku tahu
benar itu, tapi dia punya kemampuan untuk pulih. Kemarin pun sebenarnya dia
pasti bakal pulih. Dan dia bisa menjadi manusia,bersama Charlie dan Renee, dan
dia bisa menjadi dewasa, punya anak dan.. menjadi Bella."
"Kau mencintainya cukup besar hingga kau pasti bisa melihat kelebihan rencana
itu. Dia menganggapmu sangat tidak egois... tapi apakah itu benar" bisakah kau
mempertimbangkan kemungkinan bahwa mungkin saja aku lebih baik baginya daripada
dirimu?" "Aku sudah mempertimbangkannya," Jawab Edward dengan suara tenang. "Dalam
beberapa hal kau lebih cocok dengannya daripada manusia lain. Bella harus
dijaga, dan kau cukup kuat sehingga mampu melindunginya dari dirinya sendiri,
dan dari segala sesuatu yang berkonspirasi melawannya. Kau sudah melakukan hal
itu, dan aku berhutang budi padamu selama aku hidup, selamanya...
"Aku bahkan sudah bertanya kepada Alice apakah dia bisa melihat hal itu, melihat
apakah Bella akan hidup lebih baik jika bersamamu. Dia tidak bisa melihatnya,
tentu saja. Dia tidak bisa melihatnya, dan sudah pasti Bella juga tidak akan
tidak terlihat." "Tapi aku tidak cukup bodoh sampai melakukan kesalahan yang sama seperti yang
kubuat sebelumnya, Jacob. Aku tidak akan berusaha memaksanya menerima opsi
pertama lagi. Selama ia menginginkanku, aku akan tetap di sini."
"Tapi bagaimana kalau dia memutuskan menginginkanku," tantang Jacob. "Oke,
kemungkinannya memang kecil. Aku tahu itu."
"Aku akan melepaskannya."
"Begitu saja?" "Dalam arti aku tidak akan pernah menunjukkan betapa beratnya itu bagiku, ya.
Tapi aku akan tetap mengawasi. Kau tahu, Jacob. Mungkin saja kau akan
meninggalkan dia suatu saat nanti. Seperti Sam dan Emily, kau tidak akan punya
pilihan. Aku akan selalu menunggu di dekat kalian. Berharap itu terjadi."
Jacob mendengus. "Well, ternyata kau jauh lebih jujur daripada yang berhak
kuharapkan... Edward. Terima kasih karena telah mengizinkanku mengetahui isi
kepalamu." "Seperti kataku tadi, anehnya aku justru bersyukur atas kehadiranmu dalam
hidupnya malam ini. Jadi hanya ini yang bisa kulakukan untukmu... Kau tahu,
Jacob, seandainya bukan karena fakta bahwa kita musuh bebuyutan, juga karena kau
berusaha merebut inti eksistensiku, mungkin sebenarnya aku bisa menyukaimu."
"Mungkin... seandainya kau bukan vampir menjijikkan yang berniat mengisap darah
gadis yang kucintai sampai mati... well, tidak, bahkan itu pun tidak mungkin."
Edward terkekeh. "Bolehkah aku bertanya?" tanya Edward sejurus kemudian.
"Kenapa harus bertanya?"
"Aku hanya bisa mendengar kalau kau memikirkannya Mengenai sebuah kisah yang
Bella seperti enggan menceritakannya padaku waktu itu. Cerita tentang istri
ketiga... " "Memangnya kenapa?"
Edward tidak menjawab, mendengarkan cerita di kepala Jacob. Aku mendengar
desisan pelannya dalam gelap.
23. MONSTER BEGITU aku terbangun paginya, cuaca sangat cerah, bahkan di dalam tenda, cahaya
matahari menyakiti mataku.
Dan tubuhku berkeringat, seperti telah diprediksi Jacob. Jacob sendiri
mendengkur pelan di telingaku, kedua lengannya masih memelukku.
Kuangkat kepalaku dari dadanya yang panas seperti orang demam dan langsung
merasakan sengatan hawa dingin pagi di pipiku yang lembab. Jacob mendesah lama
tidurnya, kedua lengannya tanpa sadar memeluk lebih erat.
Aku menggeliat, tak mampu mengendurkan pelukannya, susah payah mengangkat kepala
sampai bisa melihat... Edward membalas tatapanku dengan datar. Ekspresinya tenang, namun kepedihan di
matanya tak bisa disembunyikan.
"Sudah lebih hangat di luar sana?" bisikku.
"Ya. Menurutku pemanas ruangan tidak dibutuhkan lagi."
Aku menarik resleting, tapi tidak bisa membebaskan lenganku. Kukerahkan segenap
tenaga mendorong tubuh Jacob yang berat karena tertidur. Jacob menggumam, masih
tidur, kedua lengannya menarik lagi.
"Bisa membantu?" tanyaku pelan.
Edward tersenyum. "Kau mau aku menarik kedua lengannya sampai terlepas dari
tubuhnya sekalian?" "Tidak, terima kasih. Lepaskan saja aku. Bisa-bisa aku kena sengatan hawa panas
nanti." Edward membuka ritsleting kantong tidur hanya dengan sekali sentak. Jacob
terjatuh ke luar punggungnya yang telanjang membentur lantai tenda yang dingin.
"Hei!" protesnya. matanya langsung terbuka. Secara insting ia mengangkat tubuh
menghindari dingin, dan berguling menindihku. Aku terkesiap saat berat tubuhnya
membuatku tak bisa bernapas.
Lalu tubuhnya tak lagi menindihku. Aku merasakan efeknya saat tubuh Jacob
terbang dan menghantam salah satu tiang tenda hingga tenda berguncang keras.
Geraman meledak dari sekelilingku. Edward merunduk di hadapanku. dan aku tak
bisa melihat wajahnya, namun geraman buas menyeruak dari dalam dadanya. Jacob
juga separo merunduk, sekujur tubuhnya bergetar, sementara geraman bergemuruh
dari sela-sela giginya yang terkatup rapat. Di luar tenda, geraman buas Seth
Clearwater bergema, memantul di bebatuan.
"Hentikan. hentikan!" teriakku, cepat-cepat bangkit dan dengan canggung berdiri
di antara mereka. Ruang yang tersisa begitu sempit hingga aku tak perlu
mengulurkan tangan jauh-jauh untuk bisa menyentuh dada mereka. Edward memeluk
pinggangku, siap menyentakkan tubuhku menjauh.
"Hentikan, sekarang." kuperingatkan dia.
Setelah aku menyentuhnya, Jacob mulai tenang. Guncangan tubuhnya melambat, tapi
ia masih memamerkan giginya dan sorot matanya yang marah tertuju kepada Edward.
Seth tetap menggeram, lolongan panjang tanpa henti menjadi latar belakang
menyeramkan bagi keheningan mendadak di dalam tenda.
"Jacob?" tanyaku, menunggu sampai akhirnya menurunkan pandangan garangnya dan
memandangku. "Kau terluka?" "Tentu saja tidak," desisnya.
Aku menoleh kepada Edward. Ia menatapku, ekspresinya keras dan marah. "Itu tadi
tidak baik. Seharusnya kau meminta maaf."
Mata Edward melebar jijik. "Kau pasti bercanda, dia menindihmu tadi."
"Itu karena kau menjatuhkannya ke lantai. Dia tidak sengaja melakukannya, dan
dia tidak mencederaiku."
Edward mengerang, sebal. Pelan-pelan ia menengadah dan menatap Jacob dengan
sorot mata marah. "Aku minta maaf, anjing."
"Kau tidak mencederaiku," balas Jacob, nadanya sedikit menghina.
Hawa masih dingin, walaupun tidak sedingin
sebelumnya. Kudekap tubuhku sedikit erat.
"Ini," kata Edward, kembali tenang. Ia mengambil jaket yang tergeletak di
lantai, lalu menyelubungkannya di atas mantelku.
"Itu punya Jacob," tolakku.
"Jacob kan punya mantel bulu," tukas Edward dengan nada menyindir.
"Aku akan masuk lagi ke kantong tidur, kalau kau tidak keberatan," tanpa
memedulikan Edward, Jacob berjalan mengitari kami, lalu menyusup masuk ke
kantong tidur. "Aku belum kepingin bangun. Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak."
"Itukan idemu," tukas Edward impasif.
Jacob meringkuk, matanya sudah terpejam. Ia menguap. "Aku tidak bilang itu bukan
malam terbaik yang pernah kurasakan. Hanya saja, aku kurang tidur. Kusangka
Bella tidak bakal berhenti mengoceh."
Aku meringis, bertanya-tanya dalam hati, apa kira-kira yang keluar dari mulutku
sementara tertidur. Kemungkinannya mengerikan.
"Aku senang kau menikmatinya," gumam Edward.
Mata Jacob yang gelap menggeletar terbuka.
"Memangnya kau tidak?" tanyanya, nadanya puas.
"Itu bukan malam terburuk yang pernah kualami seumur hidupku."
"Apakah masuk dalam sepuluh besar?" tanya Jacob dengan perasaan senang bernada
menantang. "Mungkin." Jacob tersenyum dan memejamkan mata.
"Tapi," sambung Edward, "seandainya aku bisa berada dalam posisimu semalam, itu
tidak akan masuk sepuluh besar malam terbaik yang pernah kurasakan seumur
hidupku. Mimpikan itu."
Mata Jacob terbuka dengan garang. Ia duduk dengan kaku, bahunya mengejang.
"Tahukah kau" Kurasa di dalam sini terlalu sesak."
"Aku setuju sekali."
Kusikut Edward, bisa-bisa sikuku memar gara-gara itu.
"Nanti saja kulanjutkan tidurku, kalau begitu," Jacob mengernyit. "Aku toh
memang harus bicara dengan Sam."
Jacob berguling untuk berlutut dan menyambar ritsleting pintu.
Perasaan sedih menjalari tubuhku dan diam di daerah perut saat aku mendadak
menyadari bisa jadi inilah kali terakhir aku bisa melihatnya. Ia akan kembali
kepada Sam, kembali bertempur melawan segerombolan vampir baru yang haus darah.
"Jake, tunggu..!" Aku mengulurkan tangan
menggapainya, tanganku meluncur menuruni lengannya.
Jake menyentakkan lengannya sebelum jari-jariku sempat memegangnya.
"Kumohon Jake" maukah kau tetap tinggal di sini?"
"Tidak!" Kata itu keras dan dingin. Aku tahu wajahku memancarkan kesedihan, karena Jacob
menghembuskan napas dan senyum separuh melembutkan ekspresinya.
"Jangan khawatirkan aku Bells. Aku akan baik-baik saja, seperti biasa," Ia
memaksa dirinya tertawa. "lagi pula, kau kira aku akan membiarkan Seth pergi dan
menggantikan tempatku, menikmati segala keasyikan di sana dan mencuri semua
pujian" yang benar saja," Jacob mendengus.
"Berhati-hatilah.. "
Jacob merangsek ke luar tenda sebelum aku bisa menyelesaikan kata-kataku.
"Tenanglah Bella," aku mendengar gumamannya saat mengancingkan kembali
ristleting tenda. Aku mencoba mendengarkan suara langkah-langkah kakinya menjauh,namun suasana
tetap sunyi. Tak ada ada lagi angin. Aku bisa mendengar nyanyian burung pagi nun
jauh di gunung sana,tapi selain itu,tidak ada suara apa-apa.
Jacob sekarang bisa bergerak tanpa suara. Aku meringkuk di dalam mantelku,dan
bersandar di bahu Edward. Kami berdiam diri beberapa saat.
"Berapa lama lagi?" tanyaku.
"Kata Alice kepada Sam, kira-kira satu jam lagi," jawab Edward, lirih dan muram.
"Kita tetap bersama. Apa pun yang terjadi."
"Apa pun yang terjadi," Edward sependapat, matanya kaku.
"Aku tahu," ujarku "Aku juga takut memikirkan mereka."
"Mereka tahu bagaimana harus menjaga diri." Edward meyakinkan aku,sengaja
membuat nada suaranya terdengar enteng. "Aku hanya tidak suka tidak bisa ikut
dalam keasyikan." Lagi-lagi kata asyik. Cuping hidungku kembang kempis.
Edward memeluk bahuku. "Jangan khawatir," ia menyemangati, kemudian mengecup
keningku. Seolah-olah aku bisa tidak khawatir. "Tentu, tentu."
"Kau mau aku mengalihkan perhatianmu?" Edward mengembuskan napas, melarikan
jari-jarinya yang dingin di sepanjang tulang pipiku.
Aku bergidik tanpa sengaja; pagi masih dingin membeku.


Gerhana Eclipse Twilight Buku Ke 3 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin tidak sekarang," Edward menjawab pertanyaannya sendiri, menarik kembali
tangannya. "Banyak cara lain yang bisa mengalihkan perhatianku."
"Apa yang kauinginkan?"
"Kau bisa menceritakan padaku sepuluh malam terbaikmu," aku mengusulkan. "Aku
ingin tahu." Edward tertawa. "Coba tebak."
Aku menggeleng. "Ada terlalu banyak malam yang tidak kuketahui. Satu abad
penuh." "Akan kupersempit untukmu. pokoknya, semua malam terbaikku sejak bertemu
denganmu." "Sungguh?" "Ya, sungguh, dan marginnya pun cukup lebar."
Aku berpikir sebentar. "Aku hanya bisa berpikir tentang malam-malam terbaikku."
Aku mengakui. "Bisa jadi sama," Edward menyemangati. "Well, mungkin saat malam
pertama itu. Pertama kalinya kau menginap di rumahku."
"Ya, itu juga salah satu malam terbaikku. Tentu saja,bagian favoritku adalah
saat kau tertidur." "Ya benar," aku mengingat-ingat. "Malam itu juga aku berbicara dalam tidurku."
"Ya." Edward membenarkan.
Wajahku memanas saat aku bertanya-tanya dalam hati, apa saja yang kuocehkan saat
tertidur dalam pelukan Jacob semalam. Aku tidak ingat bermimpi tentang apa
semalam, atau apakah aku bermimpi, jadi tidak ada yang bisa membantu sama
sekali. "Aku ngomong apa saja semalam?" bisikku, lebih pelan daripada sebelumnya.
Bukannya menjawab,Edward malah mengangkat bahu dan aku meringis.
"Separah itukah?"
"Tidak ada yang terlalu parah." Edward mendesah. "Ayolah ceritakan padaku."
"Kebanyakan kau hanya menyebut namaku, seperti biasa."
"Itu kan tidak terlalu parah," aku setuju dengan sikap hati-hati.
"Tapi lama-lama kau mulai bergumam tidak jelas tentang "Jacob, Jacobku." Aku
bisa mendengar nada terluka dalam suara Edward, bahkan saat ia berbisik.
"Jacobmu girang bukan main mendengarnya."
Kujulurkan leherku, berusaha menempelkan bibirku ke tepi rahangnya. Aku tidak
bisa menatap matanya. Edward menengadah menatap langit-langit tenda.
"Maaf," gumamku."Itu hanya caraku membuat perbedaan."
"Membuat perbedaan?"
"Antara Dr.Jekyll dan Mr.Hyde. Antara Jacob yang kusukai dan yang membuatku
jengkel setengah mati," aku menjelaskan.
"Masuk akal," Kesedihan Edward terdengar sedikit mereda.
"Apa lagi malam terbaikmu?"
"Terbang pulang dari Italia."
Kening Edward berkerut. "Memangnya itu tidak termasuk malam terbaikmu?"
"Tidak, sebenarnya itu memang termasuk salah satu malam terbaikku, tapi aku
heran itu ada dalam daftarmu. Bukankah saat itu kau mengira aku hanya bersikap
seperti itu karena merasa bersalah padamu, dan bahwa aku akan kabur begitu pintu
pesawat dibuka?" "Benar," aku tersenyum. "Tapi, bagaimanapun, kau ada di sana."
Edward mengecup rambutku. "Kau mencintaiku lebih dari yang pantas kuterima."
Aku tertawa mendengar pernyataannya yang konyol itu.
"Berikutnya, adalah malam setelah kepulangan kita dari Italia," aku melanjutkan.
"Ya, itu juga masuk dalam daftarku. Kau lucu sekali waktu itu."
"Lucu?" sergahku.
"Aku tidak sadar mimpimu benar-benar nyata. Butuh waktu lama sekali bagiku untuk
meyakinkanmu bahwa kau sudah bangun."
"Aku masih belum yakin," gumamku. "Sejak dulu kau memang lebih menyerupai mimpi
ketimbang kenyataan. Sekarang ceritakan padaku salah satu malam terbaikmu. Apa
yang sudah kusebutkan tadi salah satunya menduduki tempat pertama?"
"Tidak, yang menduduki tempat pertama adalah pada malam lalu, waktu kau akhirnya
setuju menikah denganku."
Aku mengernyit. "Itu tidak masuk daftarmu?"
Aku mengenang lagi bagaimana Edward menciumku, konsesi yang kuperoleh, dan
berubah pikiran. "Ya... masuk. Tapi dengan beberapa syarat. Aku tidak mengerti
kenapa itu sangat penting bagimu. Kau toh sudah memilikiku selamanya."
"Seratus tahun dari sekarang, kalau cara berpikirmu sudah lebih matang sehingga
bisa menghargai jawabannya, aku akan menjelaskannya padamu."
"Aku akan mengingatkanmu untuk menjelaskan, seratus tahun lagi."
"Apakah kau sudah merasa cukup hangat?" Edward tiba-tiba bertanya.
"Aku baik-baik saja," jawabku meyakinkan Edward.
"Kenapa?" Sebelum Edward bisa menjawab,kesunyian di luar tenda terkoyak oleh lolongan
pedih yang memekakkan telinga. Suara itu memantul di permukaan tebing gunung
yang telanjang dan memenuhi udara hingga terasa seakan-akan
lolongan itu datang dari segala arah.
Lolongan itu mengoyak pikiranku seperti tornado, terdengar aneh sekaligus
familier. Aneh karena belum pernah mendengar lengkingan tersiksa sedahsyat itu.
Familier karena aku langsung mengenali suara itu, aku mengenali suara itu
memahami artinya, sama sempurnanya seperti kalau aku sendiri yang
mengucapkannya. Tidak ada bedanya jika Jacob tidak sedang dalam wujud manusia
saat melolongkannya. Aku tidak membutuhkan terjemahan.
Jacob berada di dekat sini. Jacob mendengar setiap kata yang kami ucapkan. Jacob
sangat menderita. Lolongan itu terputus dan berubah jadi isak tertahan dan sejurus kemudian sunyi
lagi. Aku tidak mendengar kepergiannya yang sunyi, tapi bisa merasakannya,aku bisa
merasakan kesunyian yang kukira
sudah kurasakan tadi, ruang kosong yang ia tinggalkan.
"Karena pemanas ruanganmu sudah tidak tahan lagi."
Edward menjawab pelan. "Gencatan senjata berakhir," imbuhnya, begitu pelan
hingga aku tak bisa meyakini apa yang sesungguhnya ia katakan.
"Jacob mendengarkan pembicaraan kita tadi," bisikku. Itu bukan pertanyaan.
"Benar." "Kau sudah tahu."
"Ya." Kupandangi dia, mataku nanar.
"Aku tidak pernah berjanji akan bertarung secara adil,"
Edward mengingatkanku dengan suara pelan. "Dan dia berhak tahu." Kepalaku
terkulai ke tangan. "Kau marah padaku?" tanyanya.
"Bukan padamu," bisikku. "Aku muak Pada diriku sediri."
"Jangan siksa dirimu," Edward memohon.
"Ya," aku membenarkan dengan getir. "Seharusnya aku menyimpan energiku untuk
semakin menyiksa Jacob. Jangan sampai ada bagian dirinya yang tidak tersakiti."
"Dia tahu risikonya melakukan hal itu."
"Memangnya kaupikir itu penting?" Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menahan agar
air mataku tidak tumpah walaupun mudah mendengarnya dalam suaraku. "apakah
kaupikir aku peduli adil atau tidak jika Jacob sudah mendapat cukup peringatan"
Aku menyakiti dia. Apa pun yang kulakukan, aku menyakitinya lagi." Suaraku
semakin keras,semakin histeris.
"Jahat sekali aku ini. "
Edward memelukku erat-erat. "Tidak, kau tidak jahat."
"Iya, aku jahat! Apa yang salah denganku?"
Aku memberontak dalam pelukannya, dan Edward mengendurkan pelukannya. "Aku harus
pergi mencarinya." "Bella, dia sudah berkilo-kilometer jauhnya dari sini, dan hawa dingin sekali."
"Aku tidak peduli. Aku tidak bisa hanya duduk-duduk saja di sini." Aku
mengguncangkan bahu, melepaskan jaket Jacob yang menyelubungiku, menjejalkan
kaki ke dalam sepatu bot, lalu merangkak kaku ke pintu; kakiku kebas. "Aku
harus... aku harus... " Aku tidak tahu bagaimana menyudahi kalimat itu, tidak
tahu harus melakukan apa, tapi aku tetap membuka ritsleting pintu, lalu
melangkah ke luar, ke pagi yang cemerlang dan dingin.
Tidak seperti perkiraanku, ternyata salju tidak terlalu banyak walaupun badai
mengamuk begitu hebat semalam. Mungkin itu karena salju tersapu angin, bukannya
meleleh karena cahaya matahari yang sekarang bersinar rendah di sebelah
tenggara, memantulkan cahayanya di salju yang masih bertahan dan menyilaukan
mataku yang belum terbiasa. Udara masih dingin menggigit, tapi diam tak bergerak, dan perlahan-
lahan mulai terasa lebih hangat seiring dengan semakin tingginya matahari.
Seth Clearwater meringkuk di atas onggokan daun cemara kering, di bawah naungan
pohon cemara berdaun lebar. Bulunya yang cokelat tanah nyaris tak terlihat di
atas gundukan daun-daun kering, tapi aku bisa melihat salju yang cemerlang
memantul di matanya yang terbuka. Seth memandangiku dengan sikap yang dalam
bayanganku merupakan ekspresi menuduh.
Aku tahu Edward mengikutiku ketika aku berjalan tersaruk-tersaruk menuju
pepohonan. Aku tidak bisa mendengarnya, tapi cahaya matahari terpantul di
kulitnya dalam warna-warna pelangi berkilauan yang menari-nari di depanku.
Budi Kesatria 17 Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Rajawali Lembah Huai 2
^