Pencarian

Macan Tutul Di Salju 5

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 5


Langdon kembali menerjemahkan halaman folio di hadapannya dengan kesulitan yang
semakin bertambah. Penguasaan bahasa Italianya tidak bagus, dan tulisan tangan
serta bahasa kuno itu membuatnya semakin lambat. Vittoria berhasil menyelesaikan
halaman terakhirnya sebelum Langdon dan tampak berkecil hati ketika dia
merapikan kembali tumpukan folio itu. Vittoria terdiam sambil mengamati lagi
dengan lebih seksama. Ketika Langdon selesai dengan halaman terakhirnya, dia mengumpat perlahan dan
menatap Vittoria. Perempuan di hadapannya cemberut, dia kemudian menyipitkan
matanya ketika melihat sesuatu di lembaran folionya. "Apa itu?" tanya Langdon.
Vittoria tidak menatapnya. "Apakah kamu menemukan catatan kaki di halaman-
halaman yang kamu periksa?" "Aku tidak melihatnya. Kenapa?" "Halaman ini
mempunyai catatan kaki. Tidak jelas karena
berada dalam lipatan." Langdon mencoba melihat apa yang sedang dilihat Vittoria,
tetapi apa yang dapat dilihatnya hanyalah nomor halaman di sudut atas sebelah
kanan di kertas itu. Folio halaman 5. Perlu waktu sesaat saja untuk mencerna
sesuatu yang terjadi secara kebetulan itu. Bahkan ketika memerhatikan nomor
halaman itu, Langdon tidak langsung menemukan hubungannya. Folio lima,
Phytagoras, pentagrams, Illuminati. Langdon bertanya-tanya apakah Illuminati
memilih halaman lima untuk menyembunyikan petunjuk mereka. Melalui kabut
kemerahan di sekitar mereka, Langdon merasakan adanya sinar harapan yang tipis.
"Apakah catatan kaki itu berupa perhitungan matematika?"
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Teks. Satu baris. Tercetak sangat kecil.
Hampir tidak dapat dibaca."
Harapan Langdon menguap. "Seharusnya berupa perhitungan matematika. Lingua
pura." Ya, aku tahu." Vittoria ragu. "Tapi mungkin kamu mau mendengarkan ini." Langdon
mendengar kesan gembira dalam suara Vittoria. "Bacalah." Sambil menyipitkan
matanya, Vittoria menatap folio di hadapannya. "The path of light is laid, the
sacred test." (Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu.)
Kata-kata itu sama sekali tidak seperti yang dibayangkan Langdon. "Maaf?"
Vittoria mengulanginya. " The path of light is laid, the sacred test." "Jalan
cahaya?" Langdon merasa tubuhnya menjadi tegak. "Begitulah katanya. Jalan
cahaya." Ketika kata-kata itu masuk ke dalam otaknya, Langdon menyadari
kebingungan yang dirasakannya selama ini dengan cepat berubah menjadi kejelasan.
Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu. Langdon tidak tahu bagaimana
kalimat itu bisa berguna bagi mereka, tetapi itu jelas merupakan petunjuk
langsung ke arah Jalan Pencerahan seperti yang dibayangkannya. Jalan cahaya.
Ujian suci. Kepalanya terasa seperti mesin yang sudah berkarat. "Kamu yakin
dengan terjemahannya?"
Vittoria ragu. "Sebenarnya ...," dia menatap Langdon dengan tatapan aneh. "Itu
bukanlah terjemahan. Baris itu tertulis dalam bahasa Inggris."
Sekilas Langdon mengira tata suara di ruangan ini sudah memengaruhi
pendengarannya. "Bahasa Inggris?"
Vittoria menyorongkan dokumen itu ke hadapan Langdon, dan Langdon membaca teks
yang tertulis dalam ukuran kecil di dasar halaman itu. "The path of light is
laid, the sacred test. Bahasa Inggris" Kenapa ada bahasa Inggris di dalam buku
Italia?" Vittoria menggerakkan bahunya. Dia juga tampak bingung. "Mungkin Bahasa Inggris
yang mereka maksud dengan lingua pura" Bahasa Inggris dianggap bahasa
internasional dalam ilmu pengetahuan. Kami berbicara dengan Bahasa Inggris di
CERN. "Tetapi ini tahun 1603," kata Langdon. "Tidak seorang pun berbicara bahasa
Inggris di Italia, bahkan tidak - " Tiba-tiba Langdon berhenti, sadar pada apa
yang akan dikatakanya, "Tidak ada satu ... pastor pun yang berbahasa Inggris."
Otak akademis Langdon bergerak dengan cepat. "Pada tahun 1600an," lanjutnya
dengan lebih cepat sekarang. "Bahasa Inggris adalah bahasa yang tidak digunakan
di Vatican. Mereka melakukan perjanjian dalam bahasa Italia, Latin, Jerman dan
bahkan Spanyol atau Perancis. Bahasa Inggris adalah bahasa yang betul-betul
asing di Vatican. Mereka menganggap bahasa Inggris adalah bahasa kotor yang
digunakan orang-orang yang berpikiran bebas, orang-orang yang memuja kehidupan
duniawi seperti Chaucer dan Shakespeare." Tiba-tiba Langdon teringat pada cap-
cap Illuminati seperti Bumi, Udara, Api, dan Air. Legenda yang mengatakan bahwa
cap-cap tersebut diukir dalam Bahasa Inggris sekarang mulai masuk akal walau
tetap terdengar aneh. "Jadi maksudmu, mungkin Galileo menganggap Bahasa Inggris sebagai la lingua pura
karena itu adalah bahasa yang tidak dikendalikan oleh Vatican?"
"Ya. Atau mungkin dengan meletakkan petunjuk dalam Bahasa Inggris, Galileo
secara tidak langsung menyingkirkan pembaca yang berasal dari Vatican."
"Tetapi itu sama sekali bukan petunjuk," desak Vittoria. "Jalan cahaya sudah
terbentang, ujian suci itu"Apa artinya itu?"
Dia benar, pikir Langdon. Baris itu tidak ada gunanya. Tetapi ketika dia
menyebutkan lagi kalimat itu di dalam hati, sebuah kenyataan yang aneh tiba-tiba
menyadarkannya. Nah, itu aneh, pikirnya. Apa maksudnya ini semua"
"Kita harus keluar dari sini," kata Vittoria dengan suara
serak. Langdon tidak mendengarnya. The path of light is laid, the sacred test.
"Itu adalah baris iambic pentameter" kata Langdon tiba-tiba sambil menghitung
suku katanya lagi. "Lima couplet dengan suku kata yang ditekan dan tidak ditekan
secara bergantian." Vittoria tampak bingung. "Iambic itu siapa?" Saat itu juga
ingatan Langdon kembali ke Phillips Exeter Academy. Ketika itu dia sedang duduk
di kelas bahasa Inggris pada hari Sabtu pagi. Hari yang sial. Bintang baseball
sekolah, Peter Greer, mendapat kesulitan dalam mengingat jumlah bait yang
dibutuhkan untuk sebuah iambic pentameter dalam karya Shakespeare. Guru mereka,
orang yang dicalonkan menjadi kepala sekolah bernama Bissell, berjalan ke arah
mejanya dan berteriak. "Penta-meter, Greer! Ingat jumlah hong dalam permainan
baseball. Pentagon! Lima sisi! Penta! Penta! Penta! Ya ampun!"
Lima couplet, pikir Langdon. Menurut definisinya, setiap couplet memiliki dua
suku kata. Dia tidak percaya kalau selama ini dia tidak pernah menghubungkan
pemikiran itu. Iambic pentameter adalah ukuran simetris yang berdasarkan pada
nomor suci Illuminati, 5 dan 2! Kamu mulai berhasil! kata Langdon pada dirinya
sambil mencoba mengusir gagasan itu dari benaknya. Ketidaksengajaan yang tidak
ada artinya! Tetapi pikirannya tetap terpaku di situ. Lima ... untuk Pythagoras
dan pentagram. Dua ... untuk dualitas pada semua hal.
Sesaat kemudian, sebuah kenyataan yang lainnya mengirimkan sensasi yang membuat
lututnya seperti mati rasa. Iambic pentameter, karena kesederhanaannya, sering
disebut "sajak murni" atau "ukuran murni". La lingua pura". Mungkinkah ini
bahasa murni yang dimaksudkan oleh Illuminati" The path of light is laid, the
sacred test ... "Uh oh," kata Vittoria. Langdon berpaling dan melihat Vittoria
memutar folio itu hingga terbalik. Langdon merasa perutnya tegang. Jangan lagi.
"Tidak mungkin baris itu merupakan ambigram!"
"Bukan. Bukan ambigram ... tetapi ..." Vittoria terus memutar dokumen itu
sebesar 90 derajat searah jarum jam. "Tetapi apa?" Vittoria mendongak. "Ini
bukan satu-satunya baris yang
ada.' "Ada yang lain?" "Ada sebuah baris yang berbeda di setiap pinggirannya. Di
atas, di bawah, di kiri dan kanan. Kukira ini adalah puisi." "Empat baris?"
Langdon merinding karena gembira.
Galileo adalah seorang penyair! "Coba kulihat!" Vittoria tidak memberikan
halaman itu. Dia terus memutarnya sebesar 90 derajat. "Tadi aku tidak melihat
baris itu karena tulisan itu berada di pinggiran." Dia memiringkan kepalanya
pada baris terakhir. "Hah. Kamu tahu" Galileo bukan orang yang menulis ini.
Bukan dia penulisnya." "Apa?" "Puisi itu ditandatangani oleh John Milton." "John
Milton?" Seorang penyair Inggris berpengaruh yang menulis Paradise Lost adalah
seorang penyair yang hidup semasa dengan Galileo. Milton adalah seorang
akademisi yang ditempatkan di posisi teratas dalam daftar tersangka Illuminati
oleh kelompok penggemar konspirasi. Pernyataan kalau Milton terkait dengan
Illuminati Galileo merupakan satu legenda yang diduga Langdon benar. Tidak saja
karena Milton pernah pergi ke Roma yang didokumentasikan dengan baik pada tahun
1638 untuk "bergabung dengan orang-orang yang mendapat pencerahan," tetapi dia
juga telah bertemu dengan Galileo selama ilmuwan itu ditahan di rumah.
Pertemuan-pertemuan itu diabadikan pada banyak lukisan Renaisans, termasuk dalam
lukisan karya Annibale Gatti yang terkenal itu, Galileo and Milton, yang
sekarang tergantung pada Museum IMSS di Florence.
"Milton mengenal Galileo, bukan?" tanya Vittoria ketika akhirnya dia menyodorkan
halaman folio itu pada Langdon. "Mungkin dia menulis puisi untuk penghormatan?"
Langdon mengeraskan rahangnya ketika dia mengambil lembaran dokumen itu. Dia
tetap membiarkannya terletak di atas meja, lalu membaca baris yang ada di bagian
atas halaman itu. Kemudian dia memutar halaman itu 90 derajat, lalu membaca
baris di sisi kanan. Satu putaran lagi, dan dia membaca di bagian bawah. Satu
putaran berikutnya, yang sebelah kiri. Langdon lalu memutar 90 derajat lagi
untuk menyelesaikan satu putaran. Semua ada empat baris. Baris pertama yang
ditemukan Vittoria itu seharusnya merupakan baris ketiga. Sambil terperangah,
Langdon membaca keempat baris itu sekali lagi searah jarum jam, dari atas, lalu
kanan, kemudian bawah, dan akhirnya kiri. Ketika dia sudah selesai, dia menarik
napas panjang. Tidak ada lagi keraguan dalam benaknya. "Kamu telah menemukannya,
Nona Vetra." Vittoria tersenyum tegang. "Bagus, sekarang kita bisa keluar dari sini?"
"Aku harus mencatat baris-baris itu. Aku perlu pensil dan kertas."
Vittoria menggelengkan kepalanya. "Lupakan, profesor. Tidak ada waktu untuk
menulis. Si Mickey berdetik." Vittoria kemudian mengambil halaman itu dari
tangan Langdon dan menuju pintu.
Langdon berdiri. "Kamu tidak boleh membawanya keluar! Itu sebuah - " Tetapi
Vittoria sudah menghilang.
55 LANGDON DAN VITTORIA meloncat ke halaman di luar ruang Arsip Rahasia. Udara
segar terasa seperti candu ketika mengalir ke dalam paru-paru Langdon. Titik
ungu dalam penglihatannya segera menghilang. Tapi tidak dengan rasa berdosa yang
kini dirasakannya. Dia baru saja menjadi antek pencurian sebuah peninggalan
sejarah yang sangat berharga yang terdapat di ruang penyimpanan arsip yang
paling tertutup di dunia. Langdon seperti mendengar suara sang camerlegno
berkata, Aku memberikan kepercayaanku kepadamu.
"Cepat," kata Vittoria sambil masih memegang lembaran folio itu di tangannya dan
berjalan dengan setengah berlari menyeberangi Via Borgia menuju ke arah kantor
Olivetti. "Kalau ada air mengenai papirus itu - " "Tenang saja. Begitu kita bisa
memecahkan kode ini, kita
dapat mengembalikan folio halaman 5 mereka yang suci itu." Langdon mempercepat
jalannya untuk mengejar Vittoria. Selain merasa seperti seorang penjahat, dia
juga masih takjub dengan pesona dokumen itu. John Milton adalah seorang anggota
Illuminati. Dia menciptakan puisi untuk Galileo dan dipublikasikan dalam folio
halaman 5 ... jauh dari pengetahuan Vatican.
Ketika mereka meninggalkan halaman depan gedung arsip, Vittoria mengeluarkan
lembaran folio itu dan memberikannya kepada Langdon. "Kamu pikir kamu dapat
memecahkan sandi yang tertulis di sini" Atau kita tadi hanya memeras otak untuk
sesuatu yang sia-sia saja?"
Langdon menerima lembaran itu dengan hati-hati. Tanpa ragu dia menyelipkannya ke
dalam salah satu saku di balik jas wolnya agar terhindar dari sinar matahari dan
bahaya kelembaban. "Aku sudah memecahkan sandinya." Vittoria berhenti mendadak.
"Apa?" Langdon terus berjalan. Vittoria mengejarnya. "Kamu baru membacanya
sekali! Kupikir sandi itu akan sulit untuk dipecahkan!" Langdon tahu Vittoria benar,
tapi dia telah berhasil memecahkan segno itu dengan satu kali baca saja. Sebuah
stanza yang sempurna yang memiliki iambic pentameter, dan altar ilmu pengetahuan
yang pertama terlihat dengan sangat jelas. Diakuinya, penemuan yang terlalu
mudah itu membuatnya merasa gelisah. Dia dibesarkan oleh etika kerja kaum
puritan. Dia masih dapat mendengar ayahnya mengucapkan sebuah pepatah Inggris
kuno: Kalau tidak sulit, berarti kamu salah mengerjakannya. Langdon berharap
pepatah itu salah. "Aku telah memecahkannya," katanya sambil berjalan lebih
cepat sekarang. "Aku tahu di mana pembunuhan pertama akan dilakukan. Kita harus
memperingatkan Olivetti."
Vittoria mengejar langkahnya. "Bagaimana kamu bisa tahu" Coba kulihat kertas itu
lagi." Dengan ketangkasan seorang petinju, Vittoria merogoh saku jas Langdon dan
menarik keluar lembaran folio itu lagi.
"Hati-hati!" seru Langdon. "Kamu tidak dapat - " Vittoria mengabaikannya. Sambil
memegang lembaran itu di tangannya, Vittoria berjalan di samping Langdon, dan
membaca dokumen tersebut di bawah lampu malam serta memeriksa pinggirannya.
Ketika Vittoria mulai membacanya dengan keras Langdon berniat untuk mengambil
kembali folio itu, tetapi dia terpesona pada suara alto dan aksen perempuan itu
ketika membaca suku kata puisi itu dalam irama yang sempurna dengan gayanya
sendiri. Untuk sesaat, ketika mendengarkan bait-bait yang dibaca dengan suara keras oleh
Vittoria, Langdon merasa seperti dipindahkan ke masa yang lain ... seolah dia
berada di masa ketika Galileo masih hidup dan sedang mendengarkan pembacaan
puisi untuk pertama kalinya ... Langdon tahu puisi itu adalah ujian, sebuah
peta, sebuah petunjuk untuk menemukan keempat altar ilmu pengetahuan ...
sekaligus keempat petunjuk yang mengungkap sebuah jalan rahasia di Roma. Bait-
bait itu mengalir dari bibir Vittoria seperti sebuah lagu.
From Santi's earthly tomb with demons hole, 'Cross Rome the mystic elements
unfold. The path of light is laid, the sacred test, Let angels guide you on your
lofty quest. (Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis, Seberangi Roma untuk
membuka elemen-elemen mistis. Jalan cahaya sudah terbentang, ujian suci itu,
Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian muliamu.)
Vittoria membacanya dua kali kemudian terdiam, seolah
membiarkan kata-kata kuno itu bergema sendiri. Dari makam duniawi Santi, ulang
Langdon dalam benaknya. Puisi itu sangat jelas tentang hal itu. Jalan Pencerahan
dimulai dari makam Santi. Dari situ, seberangi Roma untuk menemukan berbagai
petunjuk yang menerangi jejak itu.
Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis,
Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis.
Elemen-elemen mistis. Ini juga jelas. Tanah, Udara, Api, Air. Elemen-elemen ilmu
pengetahuan, keempat petunjuk Illuminati tersebut disamarkan sebagai patung yang
terlihat religius. "Petunjuk pertama," kata Vittoria, "sepertinya berada di makam Santi."
Langdon tersenyum. "'Kan aku sudah bilang. Ini tidak terlalu sulit."
"Jadi, siapa Santi itu?" tanyanya, nada suaranya tiba-tiba terdengar gembira.
"Dan di mana makamnya?"
Langdon tertawa sendiri. Dia kagum karena hanya segelintir orang saja yang tahu
siapa Santi itu, padahal nama itu adalah nama belakang seorang seniman zaman
Renaisans ternama. Nama depannya sangat dikenal dunia ... seorang anak berbakat
yang pada usia 25 tahun mendapatkan jabatan penting pada masa Paus Julius II.
Dan ketika dia meninggal pada usia 38 tahun, dia meninggalkan koleksi lukisan
dinding yang paling hebat di dunia. Santi adalah raksasa seni dunia, dan hanya
dikenal dengan nama depannya saja. Itu adalah pencapaian kesuksesan yang hanya
diperoleh oleh segelintir orang saja ... orang-orang seperti Napoleon, Galileo,
Yesus ... dan, tentu saja, orang-orang setengah dewa yang sekarang dikenal
Langdon. Mereka itu sering terdengar berteriak-teriak dari kamar mahasiswa di
asrama kampus Harvard - Sting, Madonna, Jewel, dan seniman yang dulu dikenal
sebagai Prince, yang sekarang telah mengganti namanya dengan simbol
, dan membuat Langdon menjulukinya sebagai "The Tau Cross With Intersecting
Hermaphroditic Ankh." (Salib Tau yang bersinggungan dengan tanda Ankh
hermaprodit). "Santi," kata Langdon, "adalah nama belakang seorang seniman hebat zaman
Renaisans, Raphael."
Vittoria tampak terkejut. "Raphael" Maksudmu Raphael yang...?"
"Satu-satunya Raphael." Langdon terus berjalan dengan cepat untuk segera sampai
ke kantor Olivetti. "Jadi jalan itu bermula dari makam Raphael?" "Sebenarnya itu
sangat masuk akal," kata Langdon sambil bergegas. "Illuminati sering menganggap
seniman dan pematung besar sebagai saudara kehormatan kelompok mereka. Kelompok
Illuminati mungkin memilih makam Raphael sebagai tanda penghormatan mereka."
Langdon juga tahu bahwa Raphael, seperti juga banyak seniman religius lainnya,
diduga diam-diam adalah seorang ateis.
Vittoria menyelipkan lembaran folio itu kembali ke dalam saku jas Langdon dengan
hati-hati. "Jadi, di mana dia dimakamkan?"
Langdon menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Vittoria. "Percaya atau
tidak. Raphael dimakamkan di Pantheon." Vittoria tampak ragu. "Pantheon yang
itu?" "Sang Raphael di Pantheon yang itu." Langdon harus mengakui, dia tidak
pernah menduga Pantheon sebagai petunjuk pertama. Selama ini dia mengira altar
ilmu pengetahuan pertama berada di tempat yang tenang, jauh dari gereja, suatu
tempat yang tidak menyolok. Walau pada tahun 1600-an, Pantheon, dengan kubah
besarnya yang berlubang, adalah salah satu situs Roma yang terkenal. "Apakah
Pantheon itu sebuah gereja?" tanya Vittoria. "Gereja Katolik tertua di Roma."


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Vittoria menggelengkan kepalanya. "Tetapi apakah kamu benar-benar yakin kardinal
pertama akan dibunuh di Pantheon" Tempat itu pasti menjadi tempat yang paling
ramai dikunjungi turis di Roma."
Langdon mengangkat bahunya. "Si pembunuh yang menelepon sang camerlegno tadi
berkata dia ingin seluruh dunia melihatnya. Membunuh seorang kardinal di
Pantheon tentu akan membuka banyak mata."
"Tetapi bagaimana orang itu bisa berharap dapat membunuh seseorang di Pantheon
dan kabur begitu saja tanpa diketahui" Itu tidak mungkin."
"Sama tidak mungkinnya dengan menculik empat orang kardinal dari Vatican City"
Puisi itu tepat sekali."
"Kamu yakin bahwa Raphael dimakamkan di dalam Pantheon?"
"Aku sudah pernah melihat makam itu beberapa kali." Vittoria mengangguk walau
masih terlihat cemas. "Jam berapa sekarang?" Langdon melihat jam tangannya.
"Tujuh tiga puluh." "Apakah Pantheon itu jauh letaknya?" "Satu mil mungkin. Kita
masih punya waktu." "Puisi itu mengatakan makam duniawi Santi yang memiliki
lubang iblis. Apakah itu punya arti tertentu bagimu?" Langdon bergegas melintasi
Halaman Sentinel secara diagonal. "Duniawi" Sebenarnya mungkin tidak ada tempat
paling duniawi di Roma selain Pantheon. Nama itu berasal dari agama asli yang
dipraktikkan di sana ketika itu - Pantheisme, keyakinan yang memuja semua dewa,
terutama dewa yang bernama Ibu Bumi."
Sebagai mahasiswa arsitektur, Langdon merasa kagum ketika mempelajari bahwa
dimensi ruang utama Pantheon merupakan penghormatan bagi Gaea - dewi Bumi.
Proporsinya begitu tepat sehingga sebuah bola dunia raksasa dapat masuk dengan
sempurna ke dalam bangunan itu.
"Oke," kata Vittoria, sekarang terdengar lebih yakin. "Dan lubang iblis" Dari
makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis?"
Langdon tidak terlalu yakin tentang hal itu. "Lubang iblis pasti maksudnya
lubang di puncak kubah," sahut Langdon sambil menerka-nerka. "Bagian terbuka
berbentuk bulat yang terkenal yang berada di atap Pantheon."
"Tetapi itu sebuah gereja," sanggah Vittoria sambil bergerak sesuai langkah kaki
Langdon yang cepat tanpa harus bersusah payah. "Kenapa mereka menamakan bagian
terbuka itu lubang iblis?"
Langdon sebenarnya juga heran. Dia belum pernah mendengar istilah "lubang iblis"
sebelumnya, tetapi dia ingat sebuah kritik tentang Pantheon yang terkenal dari
abad ke enam yang kata-katanya terdengar sangat masuk akal sekarang. Venerable
Bede seorang akademisi, sejarawan dan ahli teologi asal Inggris, pernah menulis
lubang di langit-langit Pantheon dibuat oleh setan yang mencoba melarikan diri
dari gedung itu ketika tempat itu disucikan oleh Boniface IV.
Vittoria menambahkan ketika mereka memasuki halaman yane lebih kecil, "Tapi
kenapa Illuminati menggunakan nama Santi kalau dia seharusnya terkenal dengan
nama Raphael?" "Kamu banyak bertanya." "Ayahku pernah mengatakan itu padaku."
"Ada dua alasan yang masuk akal. Satu, kata Raphael memiliki terlalu banyak suku
kata sehingga akan merusak iambic pentameter yang terdapat dalam puisi itu."
"Terlalu panjang dibanding kata Santi." Langdon setuju. "Selain itu, dengan
menggunakan nama 'Santi' petunjuk itu jadi tersamar, sehingga hanya orang yang
sangat tercerahkan yang dapat mengenali petunjuk ke makam Raphael itu."
Tampaknya Vittoria tidak percaya dengan alasan itu. "Aku yakin nama belakang
Raphael sangat terkenal ketika dia masih hidup."
"Anehnya, ternyata tidak begitu. Pengakuan dengan nama tunggal adalah simbol
status. Raphael menghindari penggunaan nama belakang seperti juga banyak bintang
terkenal masa kini. Misalnya Madonna. Dia tidak pernah menggunakan nama
keluarganya, Ciccone."
Vittoria tampak tertarik. "Kamu tahu nama belakang Madonna"
Langdon menyesali pilihan contohnya itu. Tapi itu tidak aneh kalau mengingat dia
terlalu banyak bergaul dengan anakanak muda di kampus.
Ketika dia dan Vittoria melintasi gerbang terakhir menuju ke Kantor Garda Swiss,
langkah mereka tiba-tiba dihentikan. "Para!" sebuah suara berteriak di belakang
mereka. Langdon dan Vittoria berputar dan melihat sepucuk laras
senjata mengarah kepada mereka. "Attento!" Vittoria berteriak sambil terloncat
mundur. "Hatihati dengan - " "Non sportarti!" bentak penjaga itu sambil mengokang
senjatanya. "Soldato!" sebuah suara dengan nada memerintah terdengar dari
seberang halaman. Olivetti keluar dari Markas Garda Swiss. "Biarkan mereka
pergi!" Penjaga itu tampak bingung. "Ma, signore, e una donna - " "Masuk!"
Olivetti berteriak lagi pada penjaga itu. "Signore, non posso - " "Sekarang! Kamu
punya perintah baru. Kapten Rocher akan memberikan pengarahan dalam waktu dua
menit lagi. Kita akan mengatur pencarian."
Dengan wajah bingung, penjaga itu bergegas memasuki Markas Garda Swiss. Olivetti
berjalan ke arah Langdon dan Vittoria dengan kaku dan terlihat kesal. "Arsip
kami yang paling rahasia" Aku minta sebuah penjelasan." "Kami mempunyai berita
bagus," kata Langdon. Mata Olivetti menyipit. "Harus sangat-sangat bagus."
56 EMPAT BUAH MOBIL Alfa Romeo 155 T-Spark tanpa nomor menderu di jalan Via del
Coronari seperti jet tempur meluncur di landasan pacu. Kendaraan itu membawa dua
belas orang Garda Jwiss dengan baju preman dan bersenjata semi otomatis Cherchi-
Pardini, sejenis senjata yang dilengkapi tabung gas syaraf jarak pendek dan
pistol pelumpuh jarak jauh. Tiga penembak jitu membawa senapan dengan pembidik
yang dilengkapi oleh sinar laser.
Olivetti berada di mobil terdepan dan duduk di samping supir. Ketika dia menoleh
ke belakang ke arah Langdon dan Vittoria, matanya bersinar marah. "Jadi ini yang
kamu maksud dengan penjelasan yang masuk akal?"
Langdon merasa kaku setiap kali duduk di dalam mobil yang sempit. "Aku bisa
mengerti kalau kamu - "
"Tidak. Aku tidak mengerti!" Olivetti tidak pernah meninggikan suaranya, tapi
ketegangannya meningkat tiga kali lipat saat ini. "Aku baru saja memindahkan dua
belas penjaga terbaikku dari Vatican City di tengah-tengah acara pemilihan paus
yang sedang berlangsung. Dan aku melakukannya untuk mengintai Pantheon
berdasarkan keterangan orang Amerika yang tidak aku kenal yang baru saja
menerjemahkan puisi berusia empat ratus tahun. Sementara itu, aku malah
menyerahkan pencarian senjata antimateri itu kepada petugas kelas dua."
Langdon menahan diri untuk tidak mengeluarkan folio halaman 5 dari saku jasnya
dan melambai-lambaikannya di depan wajah Olivetti. Dia hanya berkata, "Setahuku,
informasi yang kami temukan menunjuk ke makam Raphael, dan makan Raphael itu
berada di dalam Pantheon."
Penjaga di belakang kemudi mengangguk. "Dia benar, Komandan. Istriku dan aku - "
"Kamu mengemudi saja," bentak Olivetti. Lalu dia berpaling lagi pada Langdon.
"Bagaimana seseorang bisa melakukan pembunuhan di tempat yang dipenuhi oleh
pengunjung dan melarikan diri tanpa dilihat orang?"
"Aku tidak tahu," jawab Langdon. "Tetapi jelas Illuminati itu adalah kelompok
yang sangat cerdik. Mereka berhasil memasuki CERN dan Vatican City tanpa
ketahuan. Kita cukup beruntung dapat mengetahui di mana tempat pembunuhan
pertama akan dilakukan. Pantheon adalah satu kesempatan bagimu untuk menangkap
orang itu." "Apa?" tanya Olivetti. "Satu kesempatan" Kukira kamu tadi mengatakan ada semacam
jejak. Serangkaian petunjuk. Kalau Pantheon adalah tempat yang tepat, kita dapat
mengikuti jalur itu ke petunjuk berikutnya. Kita memiliki empat kesempatan untuk
menangkap orang itu."
"Kuharap juga begitu," kata Langdon. "Seharusnya kita melakukan ini ... seabad
yang lalu." Penemuan bahwa Pantheon adalah altar ilmu pengetahuan yang pertama ternyata
menjadi momen yang menyenangkan sekaligus menyedihkan bagi Langdon. Sejarah
diwarnai oleh kekejaman terhadap siapa pun yang berusaha untuk mengetahui jejak
Illuminati. Kemungkinan bahwa Jalan Pencerahan masih utuh dengan keempat
patungnya sangatlah kecil. Walaupun selama ini Langdon sering berangan-angan
untuk menelusuri jejak tersebut sampai bertemu dengan markas Illuminati, dia
menyadari hal itu tidak mungkin terwujud. "Vatican telah memindahkan dan
menghancurkan semua patung di Pantheon pada akhir tahun 1800-an." Vittoria
tampak terkejut. "Kenapa demikian?" "Patung-patung itu dianggap sebagai patung
dewa-dewa Pagan Olympia. Jadi itu artinya petunjuk pertama sudah hilang ...
bersama-sama dengan - "
"Harapan untuk menemukan Jalan Pencerahan dan petunjuk-petunjuk lainnya?" tanya
Vittoria memotong kalimat Langdon.
Langdon menggelengkan kepalanya. "Kita hanya punya satu kesempatan. Pantheon.
Setelah itu, tidak ada petunjuk lainnya."
Olivetti menatap Langdon dan Vittoria. Setelah beberapa saat kemudian dia
berpaling menghadap, ke depan. "Menepi," katanya tegas pada si pengemudi.
Pengemudi itu menepikan mobilnya ke arah pinggiran jalan dan menghentikan
mobilnya. Tiga mobil Alfa Romeo di belakang mereka mengerem kendaraannya hingga
mengeluarkan suara berdecit. Konvoy Garda Swiss berhenti. "Apa yang kamu
lakukan?" tanya Vittoria sambil berseru. "Pekerjaanku," sahut Olivetti sambil
menoleh ke belakang, suaranya terdengar keras seperti batu. "Pak Langdon, ketika
kamu mengatakan akan menjelaskan semuanya dalam perjalanan, aku mengira akan
mendekati Pantheon dengan alasan yang jelas kenapa anak buahku harus berada di
sini. Kami tidak punya alasan di sini. Kita tidak bisa meneruskan pengejaran ini
karena saya mengabaikan tugas yang lebih penting dengan pergi ke sini, dan
karena teori Anda tentang pengorbanan perjaka dan puisi kuno itu tidak masuk
akal. Saya membatalkan misi ini sekarang juga." Dia lalu mengeluarkan walkie-
talkienya. dan menyalakannya.
Vittoria mengulurkan tangannya ke depan dan mencengkeram tangan Olivetti. "Kamu
tidak bisa begitu!" Olivetti membanting walkie-talkienya dan melotot kepada Vittoria dengan matanya
yang merah. "Kamu pernah ke Pantheon, Nona Vetra?" "Belum, tetapi aku - " "Biarkan
aku menjelaskannya padamu. Pantheon adalah sebuah ruangan. Sebuah ruangan bulat
terbuat dari batu dan semen. Gedung itu hanya mempunyai satu jalan masuk. Tidak
ada jendela. Hanya satu jalan masuk yang sempit. Jalan masuk itu selalu dijaga
oleh tidak kurang dari empat polisi Roma bersenjata yang melindungi tempat suci
itu dari perusak seni, teroris anti-Kristen, dan turis-turis gipsi yang
ceroboh," "Maksudmu?" tanya Vittoria dingin. "Maksudku?" tangan Olivetti
mencengkeram tempat duduknya dengan kesal. "Maksudku adalah, apa yang baru saja
kalian katakan kepadaku tentang apa yang akan terjadi, bagiku itu sangat tidak
mungkin! Dapatkah kalian memberiku skenario yang masuk akal bagaimana orang
dapat membunuh seorang kardinal di dalam Pantheon" Pertama-tama, bagaimana
seseorang dapat membawa seorang sandera melewati para penjaga untuk memasuki
Pantheon" Apalagi benar-benar membunuhnya dan melarikan diri dari situ" Olivetti
mencondongkan tubuhnya dan Langdon dapat mencium napasnya yang beraroma kopi.
"Bagaimana, Pak Langdon" Beri aku satu skenario yang masuk akal."
Langdon merasa mobil kecil itu menyusut di sekitarnya. Aku tidak tahu! Aku bukan
seorang pembunuh! Aku tidak tahu bagaimana dia akan melakukannya! Aku hanya tahu
- "Satu skenario?" sahut Vittoria dengan suara yang mantap. "Coba dengar ini,
pembunuh itu terbang dengan helikopter dan menjatuhkan seorang kardinal yang
sudah dicap tubuhnya melalui lubang di atap Pantheon. Tubuh kardinal itu
menghantam lantai pualam dan mati."
Semua orang yang berada di dalam mobil itu berpaling dan menatap Vittoria.
Langdon tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Kamu mempunyai khayalan yang
mengerikan, nona, tetapi kamu sangat cepat.
Olivetti mengerutkan keningnya. "Aku akui itu mungkin saja ... tetapi - "
"Atau si pembunuh membius kardinal yang malang itu," kata Vittoria lagi, "lalu
membawanya dengan kursi roda memasuki Pantheon seperti seorang turis tua
lainnya. Dia mendorongnya ke dalam, diam-diam memotong lehernya, kemudian
berjalan keluar." Yang ini tampak sedikit membawa pengaruh bagi Olivetti. Tidak
buruk! pikir Langdon. "Atau," Vittoria masih melanjutkan, "pembunuh itu dapat -
" "Aku sudah mendengarkanmu," kata Olivetti. "Cukup." Dia menghela napas panjang
dan menghembuskannya. Seseorang mengetuk jendela mobil dengan keras sehingga
semua orang di dalam mobil itu terlonjak. Dia seorang serdadu dari mobil yang
lain. Olivetti menurunkan kaca jendelanya.
"Semua beres, Komandan?" Serdadu itu juga berpakaian preman. Dia kemudian
menarik lengan bajunya ke atas dan menampakkan sebuah jam tangan chronograph
tentara berwarna hitam. "Jam tujuh lewat empat puluh, Komandan. Kita harus
segera berada di tempat."
Olivetti mengangguk kecil tetapi tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat.
Dia menggosok-gosokkan jarinya di atas dasbor sambil berpikir. Dia mengamati
Langdon yang duduk di bangku belakang dari kaca spion. Langdon merasa dirinya
sedang diukur dan ditimbang. Akhirnya Olivetti berpaling lagi pada penjaga itu.
Ada nada enggan dalam suaranya. "Kita akan mendekati sasaran dengan berpencar.
Masing-masing ke Piazza della Rotunda, Via degli Orfani, Piazza Sant'Ignacio,
dan Sant'Eustachio. Jangan lebih dekat dari dua blok. Begitu kalian memarkir
mobil, tetap siagakan mobil dan tunggu perintahku. Tiga menit." "Baik, Pak."
Lalu serdadu itu kembali ke mobilnya. Komandan itu berpaling ke belakang dari
tempat duduknya dan menatap tajam pada Langdon. "Pak Langdon, ini sebaiknya
tidak membuat kita malu."
Langdon tersenyum dengan perasaan tidak tenang. Bagaimana bisa memalukan"
57 DIREKTUR CERN, Maximilian Kohler, membuka matanya dan merasakan aliran deras
cromolyn dan leukotriene yang dingin di dalam tubuhnya untuk memperbesar saluran
tenggorokan dan kapiler paru-parunya. Dia sekarang sudah bisa bernapas dengan
normal lagi. Kohler sadar, dirinya terbaring di dalam ruang pribadi di bagian
perawatan CERN. Kursi rodanya berada di samping tempat tidur.
Dia memerhatikan sekelilingnya, lalu ditelitinya pakaian kertas yang dipakaikan
suster untuknya. Pakaiannya sendiri terlipat dan diletakkan di atas kursi di
samping tempat tidur. Dari luar, dia dapat mendengar seorang perawat berjalan
untuk melakukan pemeriksaan rutin. Kohler terbaring di sana dan mendengarkan
suara-suara di sekelilingnya untuk beberapa saat. Kemudian, diam-diam dia
bangkit dan duduk di tepi tempat tidur lalu meraih pakaiannya. Kedua kakinya
yang lumpuh membuatnya harus berjuang ketika mengenakan pakaiannya sendiri.
Setelah itu dia menyeret tubuhnya hingga duduk di atas kursi rodanya.
Sambil menutup mulutnya ketika terbatuk, Kohler menggelinding di atas kursi
rodanya ke arah pintu. Dia menggerakkan kursi rodanya secara manual dan dengan
berhatihati supaya motor kursi rodanya tidak menyala. Ketika dia tiba di pintu,
dia mengintai ke luar. Gang itu kosong.
Tanpa suara, Maximilian Kohler menyelinap keluar dari ruang perawatan.
58 "JAM 7 LEWAT 46 ... bersiaplah." Bahkan ketika berbicara pada walkie-talkienya,
suara Olivetti sepertinya tidak pernah lebih keras daripada sebuah bisikan.
Langdon merasa tubuhnya mulai berkeringat di balik jas wol Harris-nya ketika
duduk di bangku belakang Alfa Romeo yang diparkir di Piazza de la Concorde yang
berjarak hanya tiga blok dari Pantheon. Vittoria duduk di sampingnya dan tampak
terpesona dengan Olivetti yang sedang memberikan perintah terakhirnya.
"Pasukan akan ditempatkan di delapan titik," kata sang komandan. "Kepung
Pantheon dengan kemiringan di pintu masuk. Target mungkin bisa mengenali kita,
jadi usahakan untuk tidak terlihat. Ini operasi untuk melumpuhkan sasaran. Kita
membutuhkan orang yang bisa mengamati atap. Target yang utama. Tawanannya nomor
dua." Ya ampun, pikir Langdon dan merasa merinding karena keefisienan Olivetti ketika
mengatur operasinya. Sang komandan baru saja mengatakan bahwa kardinal yang
menjadi tawanan adalah sesuatu yang dapat diurus nanti. Tawanannya nomor dua.
"Kuulangi. Operasi ini hanya untuk melumpuhkan. Tangkap target hidup-hidup.
Ayo." Olivetti kemudian mematikan walkie-talkienya.
Vittoria tampak hampir meledak kemarahannya. "Komandan apa ada orang yang akan
masuk?" Olivetti memutar tubuhnya. "Masuk?" "Masuk ke Pantheon! Tempat di mana
kejadian ini diperkirakan terjadi." "Attento," kata Olivetti, matanya menatap tajam. "Kalau
anak buahku sudah disusupi oleh Illuminati, si pembunuh pasti dapat mengenali
mereka. Temanmu itu baru saja mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya
kesempatan untuk menangkap sasaran kita. Aku tidak berniat untuk menakut-nakuti
siapa pun dengan menyuruh orang-orangku menyerbu ke dalam."
"Tetapi bagaimana kalau si pembunuh sudah berada di dalam?"
Olivetti melihat jam tangannya. "Sasaran kita itu bukan sejenis orang yang suka
main-main. Pukul delapan tepat. Kita masih punya waktu lima belas menit."
"Dia bilang dia akan membunuh sang kardinal jam delapan tepat. Tapi mungkin dia
sudah membawa korban ke dalam Pantheon. Bagaimana kalau anak buahmu melihat si
pembunuh berjalan keluar tetapi tidak dapat mengenalinya" Harus ada orang yang
memastikan bahwa di dalam memang bersih." "Terlalu berisiko untuk saat ini."
"Tidak berisiko kalau orang yang masuk ke dalam adalah
orang yang tidak dikenalinya." "Operasi penyamaran memakan banyak waktu dan - "
"Maksudku, aku yang masuk," kata Vittoria. Langdon berpaling dan menatap
Vittoria. Olivetti menggelengkan kepalanya. "Aku sama sekali tidak
setuju." "Dia membunuh ayahku." "Betul sekali, jadi mungkin saja dia tahu siapa
dirimu." "Kamu mendengarnya ketika berkata di telepon tadi. Dia tidak tahu
Leonardo Vetra mempunyai anak perempuan. Aku sangat yakin, dia tidak akan
mengenali wajahku. Aku dapat berjalan masuk seperti turis. Kalau aku melihat apa


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja yang mencurigakan, aku dapat berjalan ke lapangan dan memberi tanda, lalu
orang-orangmu masuk." "Maaf, tetapi aku tidak dapat mengizinkan itu."
"Comandante?" alat penerima Olivetti berbunyi. "Kami menemukan situasi sulit di
titik utara. Ada air mancur yang menghalangi pandangan kami. Kami tidak dapat
melihat ke dalam kecuali kalau kami bergerak ke tempat terbuka di piazza. Apa
pilihan Anda" Anda mau kami tidak bisa melihat sasaran atau berada di tempat
terbuka sehingga mudah tertembak?"
Tampaknya Vittoria telah menahan diri cukup lama, "Cukup. Aku masuk." Dia lalu
membuka pintu dan keluar.
Olivetti menjatuhkan walkie-talkienya dan meloncat keluar mobil, dan berdiri di
depan Vittoria. Langdon juga keluar. Dia pikir apa yang bisa dilakukannya"
Olivetti menghalangi jalan Vittoria. "Nona Vetra, nalurimu memang bagus, tetapi
aku tidak boleh melibatkan orang sipil."
"Melibatkan" Pandangan anak buahmu terhalang. Biarkan aku membantu."
"Aku semestinya senang kalau memiliki seorang pengintai di dalam, tetapi ...."
"Tetapi apa?" tanya Vittoria. "Tetapi aku seorang perempuan?" Olivetti tidak
mengatakan apa-apa. "Sebaiknya kamu tidak mengucapkan itu, Komandan. Kita tahu
pasti ini adalah gagasan yang sangat bagus. Dan kalau kamu membiarkan omong
kosong tentang sifat macho yang kuno itu - " "Kita kerjakan saja pekerjaan kita."
Biarkan aku membantu." "Terlalu berbahaya. Kami tidak mempunyai jalur komunikasi denganmu.
Aku tidak akan membiarkanmu membawa walkie-talkie. Itu akan menarik perhatian."
Vittoria merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan ponselnya. "Banyak turis
membawa telepon." Olivetti mengerutkan keningnya. Vittoria membuka ponselnya dan
berpura-pura menelepon "Hai, sayang, aku sedang berdiri di Pantheon. Kamu harus
melihat tempat ini!" Setelah itu dia menutup ponselnya lagi dan melotot ke arah
Olivetti. "Siapa yang akan tahu" Ini bukan keadaan yang berbahaya. Biarkan aku
menjadi matamu!" Dia menunjuk ponsel di ikat pinggang Olivetti. "Berapa
nomormu?" Olivetti tidak menjawab. Petugas yang bertugas sebagai supir mobil
yang membawa mereka memerhatikan situasi ini sejak tadi dan sekarang tampaknya
dia memiliki gagasan sendiri. Dia lalu keluar dari mobilnya dan menggandeng sang
komandan agar menyingkir sedikit. Mereka kemudian berbisik-bisik selama sepuluh
detik. Akhirnya Olivetti mengangguk dan kembali. "Catat nomor ini." Lalu dia
mulai mendiktekan beberapa angka. Vittoria memasukkan nomor tersebut ke dalam
ponselnya. "Sekarang telepon nomor itu." Vittoria menekan tombol sambungan
otomatis. Ponsel di ikat pinggang Olivetti berdering. Dia mengambilnya dan
berbicara dengan ponselnya. "Masuklah ke gedung itu, Nona Vetra, lihat ke
sekelilingmu. Keluar dari gedung, lalu telepon dan katakan padaku apa yang kamu
lihat." Vittoria menutup teleponnya. "Terima kasih, Pak." Tiba-tiba Langdon
merasa terdorong untuk melindungi Vittoria. "Tunggu sebentar," katanya pada
Olivetti. "Kamu mengirimnya ke dalam sana sendirian?"
Vittoria memandang Langdon dengan cemberut. "Robert, aku akan baik-baik saja."
Si pengemudi kemudian berbicara lagi dengan Olivetti. "Itu berbahaya," kata Langdon kepada Vittoria. "Dia benar, Nona Vetra," kata
Olivetti. "Bahkan orang terbaikku pun tidak akan bekerja sendirian. Letnanku
baru saja mengatakan, penyamaran itu akan lebih bagus jika kalian berdua masuk."
Kami berdua" Langdon ragu-ragu. Sesungguhnya, maksudku adalah -
"Kalian berdua masuk ke sana bersama-sama," kata Olivetti, "Kalian akan terlihat
seperti pasangan yang sedang berlibur. Kalian juga dapat saling menjaga. Dengan
begitu aku akan merasa lebih senang."
Vittoria mengangkat bahunya. "Baiklah, tetapi kami harus segera pergi."
Langdon menggerutu pada dirinya sendiri. Rasakan ulahmu, koboi.
Olivetti menunjuk ke arah jalan di depan mereka. "Jalan pertama yang akan kamu
temui adalah Via degli Orfani. Belok kiri. Kamu akan langsung tiba di Pantheon.
Ini hanya akan memakan waktu dua menit. Aku akan di sini, mengatur orangorangku
dan menunggu teleponmu. Aku ingin kalian membawa pelindung." Dia lalu
mengeluarkan pistolnya. "Kalian tahu bagaimana menggunakan senjata?"
Jantung Langdon berdebar keras. Kami tidak memerlukan senjata! Vittoria
mengangkat tangannya. "Aku dapat menembakkan label ke arah seekor lumba-lumba
dari jarak empat puluh meter dari haluan kapal yang bergoyang-goyang."
"Bagus." Kemudian Olivetti memberikan pistolnya kepada Vittoria. "Kamu harus
menyembunyikannya." Vittoria melihat ke bawah ke arah celana pendeknya. Kemudian dia melihat
Langdon. Oh, kamu tidak boleh! pikir Langdon, tetapi Vittoria bergerak terlalu cepat. Dia
membuka jas Langdon, dan memasukkan senjata itu ke dalam salah satu saku
dadanya. Rasanya seperti ada sebongkah batu dijatuhkan ke dalam jasnya, tapi
Langdon merasa lega karena lembaran Diagramma berada di saku yang lainnya.
"Kita tampak tidak berbahaya," kata Vittoria. "Kami berangkat." Dia menarik
tangan Langdon dan berjalan menuju jalan yang ditunjukkan Olivetti.
Pengemudi itu berseru, "Saling berpegangan tangan itu bagus juga. Ingat, kalian
adalah wisatawan. Pengantin baru. Jadi, kalian harus bergandengan tangan."
Ketika mereka membelok, Langdon yakin dia melihat ada senyum tersembunyi di
wajah Vittoria. 59 "RUANG PERSIAPAN" Garda Swiss berdampingan dengan barak Corpo di Vigilanza.
Ruangan itu biasanya digunakan untuk merencanakan keamanan sekitar pemunculan
Paus di depan umum dan kegiatan umum Vatican lainnya. Tapi hari ini, ruangan itu
digunakan untuk hal yang berbeda.
Lelaki yang sedang berbicara dengan satuan gugus tugas gabungan itu adalah wakil
komandan Garda Swiss, Kapten Elias Rocher. Rocher adalah seorang lelaki berdada
lebar dan berwajah lembut. Dia mengenakan seragam tradisional kapten berwarna
biru dengan ciri khasnya tersendiri - sebuah baret merah yang dikenakan agak
miring di kepalanya. Anehnya, suaranya terdengar sangat bening untuk ukuran
seorang lelaki sebesar itu. Ketika dia berbicara, nadanya memiliki kejernihan
sebuah alat musik. Walau penampilannya begitu sempurna, mata Rocher tampak
berselaput seperti mata binatang malam. Anak buahnya menyebutnya "orso" atau
beruang grizly. Mereka kadang-kadang bergurau Rocher adalah seekor beruang yang
bergerak di balik bayangan seekor ular berbisa. Komandan Olivetti-lah ular
berbisanya. Walau demikian, Rocher sama berbahayanya dengan si ular berbisa.
Tetapi paling tidak, kedatangannya dapat terdengar.
Anak buah Rocher berdiri tegak dan penuh perhatian. Mereka tidak ada yang berani
bergerak, meskipun informasi yang sedang mereka dengarkan itu menaikkan tekanan
darah mereka beberapa puluh kali lipat.
Chartrand, seorang letnan yang masih muda, berdiri di bagian belakang ruangan
itu sambil berharap dia termasuk 99 persen pelamar yang tidak terpilih untuk
bertugas di sini. Pada usia dua puluh tahun, Chartrand adalah serdadu termuda
dalam kesatuan itu. Dia baru tiga bulan bertugas di Vatican City. Seperti juga
orang-orang di dalam ruangan ini, Chartrand adalah anggota Tentara Swiss yang
terlatih. Dia juga telah menjalani latihan tambahan Ausbilding selama dua tahun
di Bern sebelum memenuhi syarat untuk mengikuti prmva Vatican yang melelahkan
yang berlangsung di sebuah barak rahasia di luar Roma. Dalam pelatihan yang
dijalaninya itu, dia sama sekali tidak dipersiapkan untuk menghadapi keadaan
krisis seperti ini. Pada awalnya Chartrand mengira pengarahan ini hanyalah semacam latihan yang
aneh. Senjata masa depan" Kelompok persaudaraan kuno" Para kardinal diculik"
Tapi kemudian Rocher memperlihatkan tayangan langsung dari video yang
menayangkan gambar senjata yang mereka cari. Tampaknya ini bukan latihan main-
main. "Kita akan memadamkan listrik di beberapa daerah tertentu," kata Rocher, "untuk
menghilangkan pengaruh magnetis. Kita akan bergerak dalam regu yang terdiri atas
empat orang. Kita akan mengenakan kacamata infra merah untuk melihat. Pelacakan
ini sama dengan operasi penyapuan penyadap biasa tetapi disesuaikan dengan medan
fluks di bawah tiga ohm. Ada pertanyaan?" Tidak ada. Benak Chartrand terasa
terlalu penuh. "Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukannya tepat waktu?"
tanyanya, tapi tiba-tiba dia menyesali kelancangannya itu.
Beruang grizly itu hanya menatapnya dari balik baret merahnya. Kemudian dia
membubarkan kelompok itu dengan kalimat penutup yang muram. "Semoga Tuhan
melindungi kita." 60 DUA BLOK DARI PANTHEON, Langdon dan Vittoria mendekati gedung itu dengan
berjalan kaki, dan melewati sederetan taksi dengan supir-supir yang sedang
tertidur di bangku supir. Kebiasaan istirahat siang singkat memang tidak pernah
hilang di kota ini. Pemandangan orang yang tertidur di mana-mana adalah
kebiasaan yang berasal dari Spanyol kuno.
Langdon berusaha keras untuk memusatkan pikirannya, tapi situasinya terlalu
sulit untuk ditanggapi dengan akal sehat. Enam jam yang lalu, dia masih tertidur
nyenyak di Cambridge. Sekarang dia berada di Eropa, terperangkap dalam
pertempuran surealistis antara dua raksasa kuno, mengantongi pistol semi
otomatis di dalam saku jas wol Harrisnya, dan bergandengan tangan dengan seorang
perempuan yang baru saja dikenalnya.
Dia menatap Vittoria. Perempuan itu memusatkan pandangannya lurus ke depan.
Genggamannya kuat, ciri khas seorang perempuan yang mandiri dan berkemauan
keras. Jemari Vittoria menggenggam tangannya dengan kenyamanan dan penerimaan
yang lembut. Tidak bisa disanggah lagi kalau Langdon merasa semakin tertarik
dengan perempuan ini. Tampaknya Vittoria merasakan ketidaknyamanan Langdon. "Tenang saja," katanya
tanpa memalingkan wajahnya. "Kita harus tampak seperti sepasang pengantin baru."
"Aku tenang." "Kamu meremas tanganku terlalu keras." Langdon merasa malu dan
segera melonggarkan genggamannya. "Bernapaslah dengan matamu," kata Vittoria. "Maaf?" "Itu artinya
mengendurkan otot-ototmu. Teknik itu disebut
pranayama." "Piranha?" "Bukan ikan itu. Pranayama. Ah, sudahlah." Ketika mereka
membelok di sudut dan memasuki Piazza della Rotunda, Pantheon tampak menjulang
di depan mereka. Seperti biasa, Langdon mengaguminya dengan perasaan terpesona.
Pantheon. Kuil segala dewa. Dewa-dewa Pagan. Dewa-dewa Alam dan Bumi. Struktur
gedung ini terlihat lebih kotak dari luar. Pilarpilar vertikalnya dan pronaus-
nya yang berbentuk segitiga menyamarkan kubah bulat di belakangnya. Walau
demikian, prasastinya yang angkuh yang terdapat di pintu masuk seperti
menegaskan Langdon kalau mereka tidak salah alamat. M AGRIPA L F COS TERTIUM
FECIT. Seperti biasanya, Langdon menerjemahkannya dengan gembira. Marcus Agripa
yang menjabat sebagai konsul untuk ketiga kalinya, membangun bangunan ini.
Terlalu besar untuk disebut kerendahan hati, pikir Langdon sambil mengedarkan
matanya ke sekeliling kawasan itu. Para wisatawan yang bertebaran membawa kamera
video sambil berjalan-jalan di sekitar situs sejarah ini. Sementara itu, yang
lainnya duduk-duduk menikmati kopi es terenak di Roma di sebuah kafe terbuka
bernama La Tazza di Oro. Di luar pintu masuk Pantheon, terdapat empat orang
polisi Roma yang dilengkapi dengan senjata, berdiri dengan waspada, persis
seperti yang diduga Olivetti. "Kelihatannya cukup tenang," kata Vittoria.
Langdon mengangguk, tetapi dia merasa bingung. Sekarang, setelah dia berdiri di
sini, keseluruhan skenario yang ada di otaknya terlihat tidak nyata. Walau
Vittoria sangat percaya kalau Langdon benar, Langdon sadar kalau dia sudah
membuat sepasukan Garda Swiss mengepung tempat ini. Puisi Illuminati terbayang
di benaknya. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. YA, serunya di
dalam hati. Ini memang tempat itu. Makam Santi. Dia sudah beberapa kali berada
di sini, di bawah lubang besar Pantheon dan berdiri di depan makam Raphael yang
agung. "Pukul berapa sekarang?" tanya Vittoria. Langdon memeriksa jam tangannya.
"Jam tujuh lewat lima
puluh. Sepuluh menit lagi pertunjukan akan dimulai." "Kuharap anak buah Olivetti
dapat diandalkan," kata Vittoria sambil melihat para wisatawan yang sedang
memasuki Pantheon. "Kalau ada sesuatu terjadi di dalam kubah itu, kita akan
berada di tengah-tengah baku tembak."
Langdon hanya menghela napas. Senjata itu juga terasa berat di dalam sakunya.
Dia bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau para polisi menggeledahnya dan
menemukan senjata itu. Tetapi ternyata polisi itu sama sekali tidak
mencurigainya. Tampaknya penyamaran mereka cukup meyakinkan.
Langdon berbisik pada Vittoria, "Pernah menembakkan sesuatu selain senjata obat
bius?" "Kamu tidak memercayaiku?" "Memercayaimu" Aku baru saja mengenalmu."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Kukira di sini kita adalah sepasang pengantin
baru." 61 UDARA DI DALAM PANTHEON terasa dingin dan pengap karena terbebani oleh sejarah.
Langit-langit yang melintang tinggi di atas seolah tidak berbobot. Kubah
berdiameter 141 kaki ini memiliki ukuran yang lebih besar daripada kubah
Basilika Santo Petrus. Langdon merinding ketika memasuki ruangan besar itu.
Bangunan ini adalah percampuran yang mengagumkan antara seni dan teknik. Di atas
mereka, lubang bundar yang terkenal itu memancarkan seberkas sinar matahari
sore. Oculus, pikir Langdon. Lubang Iblis. Mereka sampai ke sana. Mata Langdon
menelusuri lengkungan langit-langit, lalu memandang ke pilar-pilar dan akhirnya
turun ke lantai dari pualam yang mengkilat di bawah kaki mereka. Gema samar dari
langkah kaki dan gumam wisatawan bergaung di sekitar kubah. Langdon melihat
belasan wisatawan berjalan-jalan tanpa tujuan dalam keremangan. Kamu benar-benar
berada di sini" "Sepi sekali," kata Vittoria, tangannya masih menggandeng tangan Langdon.
Langdon mengangguk. "Di mana makam Raphael"'" Langdon berpikir sejenak, mencoba
mengingat-ingat. Dia memeriksa sekeliling ruangan itu. Makam-makam. Altar-altar.
Pilar-pilar. Ceruk-ceruk. Dia lalu menunjuk sebuah makam berhias di seberang
kubah yang terletak di sebelah kiri. "Sepertinya di sanalah makam Raphael."
Vittoria mengamati seluruh ruangan. "Aku tidak melihat seorang pun yang mirip
dengan seorang pembunuh yang akan membunuh seorang kardinal. Ayo kita melihat ke
sekeliling." Langdon mengangguk. "Hanya ada satu titik di sini yang dapat dijadikan tempat
bersembunyi. Kita sebaiknya memeriksa rientranza." "Ceruk-ceruk?" "Ya," kata
Langdon. "Ceruk di dinding." Di sekitar pinggir ruangan, diselingi makam-makam
yang terdapat di sana, terdapat serangkaian ceruk-ceruk berbentuk setengah
lingkaran yang menempel di dinding. Ceruk-ceruk itu, walau tidak besar sekali,
cukup besar untuk bersembunyi di dalam keremangan. Langdon merasa sedih karena
dia tahu ceruk-ceruk itu pernah menjadi tempat berdiri patung dewadewa Pagan
yang dihancurkan ketika Vatican mengubah Pantheon itu menjadi gereja Kristen.
Dia merasa kecewa ketika tahu dirinya sedang berdiri di altar pertama tapi
petunjuk yang akan membawa ke tempat selanjutnya telah hilang. Dia bertanya-
tanya patung yang mana yang pernah menjadi penunjuk yang akan membawa mereka ke
gereja selanjutnya. Langdon bisa membayangkan dirinya pasti akan sangat tergetar
kalau dapat menemukan petunjuk Illuminati - sebuah patung yang secara tersamar
menunjuk ke arah Jalan Pencerahan. Kemudian dia bertanya-tanya, siapakah
pematung Illuminati yang tidak pernah dikenal namanya itu.
"Aku akan melihat ke lengkungan sebelah kiri," kata Vittoria sambil menunjuk
bagian kiri ruangan itu. "Kamu ke sebelah kanan. Kita bertemu lagi setelah
berjalan setengah lingkaran." Langdon tersenyum muram. Ketika Vittoria berjalan,
Langdon meresa ngeri karena situasi ini mulai merasuki benaknya. Saat dia
membelok dan berjalan ke sebelah kanan, suara pembunuh itu seperti berbisik di
ruangan sepi di sekitarnya. Pukul delapan tepat. Pengorbanan di atas altar ilmu
pengetahuan. Deret matematika tentang kematian. Delapan, sembilan, sepuluh,
sebelas ... dan tepat pada tengah malam. Langdon melihat jam tangannya, jam
menunjukkan pukul 7 lewat 52 menit. Delapan menit lagi.
Ketika Langdon bergerak ke ceruk pertama, dia melewati makam salah satu dari
raja Katolik. Sarkofagusnya, seperti yang biasa ditemukan di Roma, diletakkan
miring dari dinding, sebuah posisi yang aneh. Sekelompok wisatawan tampak
bingung karenanya. Langdon tidak berhenti untuk menjelaskan kepada mereka.
Makam-makam Kristen yang resmi memang sering tidak sejajar dengan arsitektur
gedung karena makammakam itu ingin menghadap ke timur. Itu merupakan takhayul
kuno yang pernah didiskusikan Langdon di dalam kuliah Simbologi 212 sebulan yang
lalu. "Itu betul-betul tidak pantas!" seorang mahasiswi yang duduk di deretan depan
berseru ketika Langdon menjelaskan alasan mengapa makam-makam itu menghadap ke
timur. "Mengapa orang Kristen ingin makam mereka menghadap ke arah matahari
terbit" Kita sedang berbicara tentang Kristen ... bukan pemuja matahari!"
Langdon tersenyum. Dia berjalan hilir-mudik di depan papan tulis sambil
mengunyah apel. "Pak Hitzrot!" dia berseru.
Seorang pemuda yang mengantuk di deretan belakang, segera menegakkan duduknya
karena terkejut. "Apa! Aku?"
Langdon menunjuk poster Renaisans yang menempel di dinding. "Siapa lelaki yang
berlutut di depan Tuhan?" "Mmm ... seorang santo?" "Pandai. Dan bagaimana kamu
tahu dia adalah santo?" "Dia mempunyai lingkaran keemasan di atas kepalanya?"
"Bagus sekali, dan apakah lingkaran keemasan itu
mengingatkanmu pada sesuatu?" Hitzrot tersenyum. "Ya! Benda Mesir yang kita
pelajari semester lalu itu. Itu ... mm ... cakram matahari!" "Terima kasih, Hitzrot.
Tidurlah kembali." Langdon kemudian memerhatikan mahasiswa lainnya. "Lingkaran
keemasan, seperti juga simbol Kristen lainnya, dipinjam dari agama Mesir kuno


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyembah matahari. Agama Kristen dipenuhi dengan contoh pemujaan
matahari." "Maaf?" gadis yang duduk di deretan depan itu berkata lagi. Aku selalu pergi ke
gereja, tapi aku tidak pernah memuja matahari!" "Betulkah" Apa yang kamu rayakan
pada 25 Desember?" "Natal. Hari lahir Yesus Kristus." "Tapi, menurut Alkitab,
Kristus lahir pada bulan Maret.
Jadi kenapa kita merayakannya pada akhir Desember?" Diam. Langdon tersenyum.
"Tanggal 25 Desember adalah hari libur kaum Pagan kuno, hari sol invictus - hari
Matahari yang tak terkalahkan dan bertepatan dengan titik balik matahari pada
musim salju. Itu merupakan saat yang luar biasa ketika matahari kembali
bersinar, dan hari mulai bertambah panjang." Langdon menggigit apelnya lagi.
"Penyebaran agama Kristen," dia melanjutkan, "sering mengadopsi hari-hari suci
yang ada supaya penyebaran itu tidak terlalu mengejutkan. Hal itu disebut
transmutasi. Itu membantu orang untuk menyesuaikan diri dengan agama baru
mereka. Para mualaf itu masih terus mempertahankan tanggal-tanggal suci mereka
berdoa di tempat-tempat suci yang sama, menggunakan simbologi yang sama ... dan
mereka dengan mudah mengganti Tuhan yang lain."
Sekarang gadis di depan itu tampak marah. "Kamu menyindir kalau agama Kristen
hanyalah ... pemujaan matahari dengan selubung yang lain?"
"Sama sekali tidak. Agama Kristen tidak hanya meminjam dari para pemuja
matahari. Ritual dalam agama Kristen untuk menyucikan seseorang diambil dari
ritual 'pengangkatan dewa' milik Euhemerus. Sementara ritual "Tuhan makan" atau
Perjamuan Suci adalah ritual yang diadopsi dari dari Aztec. Bahkan konsep
Kristus mati untuk menebus dosa diperdebatkan sebagai sesuatu yang bukan hanya
milik Kristen; pengorbanan diri seorang pemuda untuk menebus dosa-dosa rakyatnya
tampaknya merupakan tradisi Quetzalcoatl." Gadis itu melotot. "Jadi, apa yang
asli dari agama Kristen?" "Dalam setiap agama yang terorganisir hanya sedikit
ritual yang asli. Agama-agama tidak terlahir begitu saja. Agama itu berkembang
dari agama lainnya. Agama modern merupakan sebuah susunan ... sebuah percampuran
catatan sejarah mengenai pencanan manusia untuk mengerti Tuhan."
"Mmm ... tunggu dulu," Hitzrot mencoba-coba, tampaknya dia sudah terbangun
sekarang. "Aku tahu sesuatu yang asli dari Kristen. Bagaimana dengan gambaran
kita akan Tuhan" Kristen tidak pernah menggambarkan Tuhan sebagai dewa matahari,
elang, atau seperti orang Aztec, atau apa saja yang aneh. Gambaran itu selalu
merupakan seorang lelaki tua dengan janggut putih. Jadi gambaran kita tentang
Tuhan adalah hal yang asli, bukan demikian?"
Langdon tersenyum. "Ketika orang-orang Kristen pertama beralih meninggalkan
tuhan mereka yang terdahulu - dewadewa Pagan, dewa-dewa Romawi, Yunani, matahari,
Mithraic, apa pun itu mereka bertanya kepada gereja, bagaimana rupa Tuhan
Kristen mereka yang baru. Dengan bijaksana, gereja memilih wajah yang paling
kuat, paling ditakuti ... dan paling terkenal dari seluruh catatan sejarah yang
ada." Hitzrot tampak ragu, "Seorang lelaki tua dengan janggut putih yang melambai-
lambai?" Langdon menunjuk poster yang berisi hirarki dewa-dewa kuno yang tergantung di
dinding. Di puncaknya duduk seorang lelaki tua dengan janggut putih yang
melambai-lambai. "Apakah Zeus terlihat sebagai tokoh yang cukup kalian kenal?"
Kuliah itu berakhir tepat pada petunjuk itu.
"Selamat malam," kata seorang lelaki. Langdon terlompat. Dia menemukan dirinya
kembali berada di dalam Pantheon dan tergugah dari lamunannya. Dia berpaling dan
melihat seorang lelaki tua mengenakan topi biru dengan sebuah palang merah di
dadanya. Lelaki itu tersenyum dan memperlihatkan giginya yang berwarna kelabu.
"Anda orang Inggris, bukan?" Aksen lelaki itu terdengar kental dari Tuscan.
Langdon berkedip bingung. "Sebenarnya, bukan. Saya orang Amerika."
Lelaki itu tampak malu, "Ya ampun, maafkan saya. Anda berpakaian sangat rapi,
saya mengira ... maafkan saya."
"Bisa saya bantu?" tanya Langdon. Sementara itu jantungnya terasa berdebar-
debar. Sebenarnya, saya kira saya dapat menolong Anda. Saya adalah Cicerone di sini."
Lelaki itu menunjuk dengan bangga ke arah emblem yang dikenakannya. "Pekerjaan
saya adalah membuat kunjungan Anda ke Roma menjadi lebih menarik."
Lebih menarik" Langdon yakin kunjungannya ke Roma kali
ini sangat menarik. "Anda tampak seperti seseorang yang terpelajar," puji si
pemandu wisata. "Pasti Anda lebih tertarik dengan kebudayaan dibandingkan dengan
orang-orang kebanyakan. Mungkin saya dapat memberi informasi sejarah dari gedung
mengagumkan ini kepada Anda."
Langdon tersenyum sopan. "Anda baik sekali, tetapi saya sebenarnya adalah
seorang ahi sejarah seni, dan - "
"Hebat!" mata lelaki itu langsung berbinar-binar seperti dia baru saja
memenangkan jackpot. "Kalau begitu Anda pasti sangat senang di sini!" "Saya
kira, saya lebih senang untuk - " "Pantheon," seru orang itu, lalu segera
mengatakan semua yang sudah dihapalnya, "didirikan oleh Marcus Agrippa pada
tahun 27 SM." "Ya," Langdon menyela, "dan dibangun kembali oleh Hadrian pada tahun 119
masehi." "Gedung in memiliki kubah terbesar di dunia sampai tahun 1960 dan hanya bisa
disaingi oleh Superdome di New Orleans!" Langdon menggerutu. Lelaki itu tidak
dapat dihentikan. "Dan pada abad kelima para ahli teologi pernah menyebut
Pantheon sebagai Rumah Setan dan mengatakan bahwa lubang di langit-langit itu
merupakan jalan masuk iblis!"
Langdon memunggungi lelaki itu. Matanya mengarah ke atas, ke arah lubang besar
di langit-langit gedung. Kisah yang diceritakan Vittoria melintas dalam benaknya
sehingga dia merasa kaku ... seorang kardinal dengan cap di tubuhnya, jatuh dari
lubang itu dan menghempas lantai pualam. Sekarang hal itu akan menjadi kejadian
yang menarik perhatian media. Langdon melihat ke sekitarnya untuk mencari
wartawan. Tidak ada. Dia menarik napas dalam. Itu sebuah gagasan yang aneh. Aksi
ala pemeran pengganti itu sekarang mulai terlihat konyol.
Ketika Langdon berjalan lagi dan melanjutkan pemeriksaannya, pemandu cerewet itu
terus mengikutinya seperti seekor anak anjing yang minta disayang. Ingatkan aku,
pikir Langdon pada dirinya sendiri, tidak ada yang lebih buruk dari seorang ahli
sejarah seni yang terlalu fanatik.
Di seberangnya, Vittoria merasa asyik sendiri. Ketika berdiri sendirian untuk
pertama kalinya sejak dia mendengar berita tentang kematian ayahnya, dia mulai
menerima kenyataan kejam yang menyelimutinya selama delapan jam terakhir ini.
Ayahnya telah dibunuh dengan brutal dan tiba-tiba. Yang paling menyakitkan
adalah penemuan terhebat ayahnya dicuri dan digunakan sebagai senjata kelompok
teroris. Vittoria merasa sangat bersalah karena idenyalah antimateri itu dapat
dipindahkan ... tabung hasil ciptaannya itulah yang kini berdetak mundur di
dalam Vatican. Karena ingin membantu keinginan ayahnya untuk memahami
kesederhanaan dari kebenaran ... dia sekarang menjadi penyebab kekacauan ini.
Anehnya, satu-satunya yang terasa benar bagi Vittoria saat ini adalah kehadiran
seseorang yang benar-benar asing baginya, Robert Langdon. Dia dapat merasakan
sesuatu yang dapat menimbulkan rasa aman yang ditemukannya di dalam mata lelaki
itu ... seperti harmoni lautan yang ditinggalkannya pagi hari ini. Dia senang
Langdon bersamanya. Tidak saja Langdon menjadi sumber kekuatan dan harapan
baginya, tapi Langdon juga membantunya dengan menggunakan kecerdasannya untuk
membantunya menangkap pembunuh ayahnya.
Vittoria menarik napas dalam ketika dia melanjutkan pencanannya. Dia terus
menyusuri pinggiran ruangan itu. Pikirannya dihputi oleh berbagai gambaran
tentang keinginan untuk balas dendam yang sudah menguasainya sepanjang hari ini.
Dengan perasaan sayang seorang anak kepada orang tuanya ... dia ingin agar
pembunuh ayahnya itu mati. Tidak ada karma baik yang bisa mengubah pendiriannya
saat ini. Dengan perasaan geram Vittoria merasakan sesuatu yang mengalir di
dalam darah Italianya ... sesuatu yang belum pernah dirasakannya sebelumnya ...
suara-suara yang dibisikkan oleh nenek moyang Sisilia-nya yang mempertahankan
kehormatan keluarga dengan keadilan yang brutal. Vendetta, pikir Vittoria dan
untuk pertama kalinya dia memahami maknanya.
Bayangan akan pembalasan itu terus melingkupinya. Vittoria kemudian mendekati
makam Raphael Santi. Walau dari kejauhan, dia dapat merasakan kalau lelaki ini
adalah orang yang istimewa. Peti matinya, tidak seperti peti mati lainnya,
dilindungi dengan kaca plexi. Dari sisi pembatas, dia dapat melihat bagian depan
dari peti mati batu itu. RAPHAEL SANTI, 1483 - 1520
Vittoria mengamati makam itu dan membaca satu kalimat
yang tertempel di samping makam Raphael. Kemudian dia membacanya lagi.
Kemudian ... dia membacanya lagi. Sesaat kemudian, dia berlari ketakutan menuju
Langdon. "Robert! Robert!"
62 USAHA LANGDON UNTUK menyusuri pinggiran Pantheon terhalang oleh seorang pemandu
wisata yang terus mengikutinya. Sekarang lelaki itu melanjutkan ceritanya tanpa
lelah ketika Langdon bersiap untuk memeriksa ceruk terakhir.
"Anda tampak sangat menyukai ceruk-ceruk itu!" kata si pemandu wisata dengan
wajah senang. "Tahukah Anda, ketebalan dinding yang berbentuk lonjong itulah
yang membuat kubah itu terlihat ringan."
Langdon mengangguk, dia sesungguhnya tidak mendengar kata-kata yang dilontarkan
oleh si pemandu karena dia sudah bersiap untuk memeriksa ceruk lainnya. Tiba-
tiba seseorang mencengkeramnya dari belakang. Vittoria. Dia terengah-engah dan
mengeuncang-guncang lengannya. Dari kesan ketakutan pada wajahnya, Langdon hanya
dapat membayangkan satu hal. Vittoria telah menemukan mayat. Langdon merasa
ketakutan juga. "Ah, istri Anda!" seru si pemandu wisata. Jelas dia sangat senang karena
mendapatkan satu tamu lagi. Dia menunjuk celana pendek Vittoria dan sepatu
mendaki yang dipakainya. "Sekarang, dengan melihat Anda berdua, saya tahu kalau
Anda orang Amerika." Mata Vittoria menyipit. "Saya orang Italia." Senyum pemandu
wisata itu meredup. "Ya ampun." "Robert," bisik Vittoria sambil mencoba
membelakangi pemandu wisata itu. "Diagramma Galileo itu. Aku ingin melihatnya."
"Diagramma?" tanya si pemandu wisata sambil ikut-ikutan bergabung dengan mereka.
"Ya ampun! Kalian berdua benarbenar mengerti sejarah yang kalian pelajari!
Sayangnya, dokumen itu tidak dapat diperlihatkan. Dokumen itu disimpan di Arsip
Vatican - " "Tolong, biarkan kami sendirian dulu," kata Langdon. Dia bingung karena
kepanikan Vittoria. Dia lalu mengajaknya menepi dan merogoh sakunya, kemudian
dengan berhati-hati dikeluarkannya folio Diagramma itu. "Ada apa?"
"Tanggal berapa yang tertulis pada dokumen itu?" tanya Vittoria sambil mengamati
lembaran di tangan Langdon.
Si pemandu wisata mendekati mereka lagi, dan ketika melihat lembaran folio di
hadapannya, mulutnya ternganga. "Itu bukan yang sesungguhnya ...."
"Reproduksi untuk wisatawan," sahut Langdon sambil memotong kalimat si pemandu
wisata. "Terima kasih atas pertolongan Anda. Tetapi tolong, istri saya dan saya
ingin sendirian." Si pemandu wisata mundur, namun matanya tidak lepas dari lembaran itu.
"Tanggal," Vittoria mengulanginya lagi. "Kapan Galileo menerbitkan ...."
Langdon menunjuk angka-angka Romawi terdapat di bagian bawah folio itu. "Itu
tanggal terbitnya. Ada apa?" Vittoria membaca angka-angka itu. "1639?" "Ya. Ada
yang salah?" Mata Vittoria penuh dengan kecemasan. "Kita dalam
masalah, Robert. Masalah besar. Tanggalnya tidak sesuai" "Apanya yang tidak
sesuai?" "Makam Raphael. Dia baru dimakamkan di sini pada tahun
1759. Satu abad setelah Diagramma diterbitkan." Langdon menatapnya sambil
mencoba mencerna katakatanya itu. "Tidak," sahut Langdon. "Raphael meninggal
pada tahun 1520, lama sebelum Diagramma."
"Ya, tetapi dia tidak segera dimakamkan di sini, tetapi lama setelah dia
meninggal." Langdon bingung. "Apa maksudmu?" "Aku baru saja membacanya. Jenazah
Raphael dipindahkan ke Pantheon pada tahun 1758. Itu merupakan peristiwa
penghormatan bersejarah bagi seorang besar Italia."
Ketika akhirnya Langdon memahami perkataan Vittoria, dia merasa seperti berdiri
di atas sebuah permadani yang tiba-tiba ditarik sehingga dia jatuh terjengkang.
"Ketika puisi itu ditulis," jelas Vittoria, "makam Raphael berada di suatu
tempat lain. Sebelum itu, Pantheon sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Raphael!" Langdon tidak dapat bernapas. "Tetapi itu ... artinya ...." "Ya! Itu
artinya kita berada di tempat yang salah!" Langdon merasa terhuyung-huyung.
Tidak mungkin ... Aku tadi begitu yakin .... Vittoria berlari dan menangkap lengan si pemandu wisata,
lalu menariknya kembali. "Signore, maafkan kami. Di mana jenazah Raphael pada
tahun 1600-an?" "Urb ... Urbino," dia tergagap. Sekarang dia tampak bingung. "Tempat
kelahirannya." "Tidak mungkin!" seru Langdon. "Altar ilmu pengetahuan Illuminati semua ada di
sini, di Roma. Aku yakin itu!"
"Illuminati?" Si pemandu wisata terkesiap. Dia melihat lagi ke arah dokumen di
tangan Langdon. "Siapa kalian sebenarnya?"
Vittoria mengambil alih. "Kami sedang mencari sesuatu yang disebut makam duniawi
Santi di Roma. Kira-kira apa itu?"
Pemandu wisata itu tampak ragu. "Ini adalah satu-satunya makam Raphael di Roma."
Langdon berusaha berpikir, tetapi pikirannya sulit untuk terfokus. Kalau makam
Raphael tidak ada di Roma pada tahun 1655, lalu puisi itu menunjuk pada apa"
Makan duniawi Santi yang memiliki lubang iblis" Apa itu maksudnya" Berpikirlah
Robert!. "Apakah ada seniman lainnya yang bernama Santi?" tanya Vittoria.
Si pemandu wisata itu mengangkat bahunya. "Setahuku hanya ini.
"Bagaimana dengan seniman terkenal lainnya" Mungkin seorang ilmuwan atau
pujangga atau ahli astronomi yang bernama Santi?"
Si pemandu wisata itu sekarang tampak ingin beranjak pergi. Tidak ada, Bu. Satu-
satunya Santi yang pernah kudengar adalah Raphael, sang arsitek." "Arsitek?"
tanya Vittoria. "Saya kira dia pelukis!" "Tentu saja dua-duanya. Mereka semuanya
begitu. Michelangelo, da Vinci, Raphael." Langdon tidak tahu apakah kata-kata si pemandu
wisata atau makam-makam berhias yang mengingatkan dirinya, tetapi itu tidak
penting. Sebuah pemikiran muncul. Santi memang seorang arsitek Dari situlah
pengembangan pikirannya bergerak seperti kartu domino yang berjatuhan. Para
arsitek pada zaman Renaisans hidup hanya karena dua alasan - memuliakan Tuhan
dengan membangun gereja-gereja besar, dan mengagungkan harga dirinya dengan
makam-makam yang mewah. Makam Santi. Mungkinkah itu" Gambaran itu muncul dengan
cepat sekarang .... Mona Lisa karya da Vinci. Bunga-bunga Lili Air karya Monet.
David, karya Michelangelo Makan duniawi, karya Santi ... "Santi merancang
makam," kata Langdon. Vittoria berpaling. "Apa?" "Puisi itu tidak mengacu pada
tempat di mana Raphael dimakamkan, tetapi makam yang dirancangnya." "Apa maksudmu?" "Aku salah memahami
petunjuk itu. Seharusnya kita tidak mencari makamnya, tetapi makam yang
dirancang Raphael untuk orang lain. Aku tidak percaya, aku bisa salah seperti
itu. Separuh dari patung yang dibuat pada zaman Renaisans dan Barok di Roma
adalah untuk makam." Langdon tersenyum lega. "Raphael pasti pernah merancang
ratusan makam!" Vittoria tampak tidak senang. "Ratusan?" Senyuman Langdon
memudar. "Oh." "Apakah di antaranya ada yang berkaitan dengan
keduniawian , profesor?" Tiba-tiba Langdon merasa tidak cukup mengerti. Dengan
rasa malu dia mengakui kalau pengetahuannya tentang karyakarya Raphael sangat
terbatas. Kalau tentang karya Michelangelo, dia tahu cukup banyak, tetapi karya
Raphael tidak pernah menarik perhatiannya. Langdon hanya dapat menyebutkan
beberapa makam karya Raphael yang terkenal saja, tetapi dia tidak yakin seperti
apa bentuknya. Vittoria tampaknya dapat merasakan masalah Langdon, dia lalu berpaling pada si
pemandu wisata yang sekarang sudah beraniak pergi. Vittoria meraih lengannya dan
menariknya lagi. "Saya ingin tahu sebuah makam. Dirancang oleh Raphael. Sebuah
makam yang dapat digolongkan bersifat duniawi."
Si pemandu wisata itu sekarang tampak kesal. "Sebuah makam karya Raphael" Saya
tidak tahu. Dia merancang banyak sekali. Dan mungkin yang Anda maksudkan adalah
sebuah kapel karya Raphael, bukan sebuah makam. Arsitek selalu merancang kapel
yang berhubungan dengan makam." Langdon sadar, lelaki itu benar. "Apakah ada
makam atau kapel karya Raphael yang bersifat
duniawi ?" Lelaki itu menggerakkan bahunya. "Maafkan saya. Saya tidak mengerti
apa maksud Anda. Saya sungguh-sungguh tidak tahu makam duniawi. Saya harus
pergi." Vittoria memegangi tangannya dan membaca tulisan di bagian atas folio itu. "Dari
makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Apa itu berarti sesuatu bagi
Anda?" "Sama sekali tidak." Tiba-tiba Langdon mendongak. Sesaat yang lalu dia
lupa pada bagian kedua dari baris itu. Lalu dia ingat, lubang iblis" "Ya!" Dia
berkata kepada si pemandu wisata. "Itu dia! Apakah setiap kapel karya Raphael
memiliki lubang di langitlangitnya?"
Si pemandu wisata itu menggelengkan kepalanya. "Setahuku, hanya Pantheon." Dia
berhenti sesaat. "Tetapi ...." "Tetapi apa!" Vittoria dan Langdon berseru
bersama-sama. Sekarang pemandu wisata itu menegakkan kepalanya dan melangkah ke


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat mereka lagi. "Sebuah lubang iblis?" Dia bergumam pada dirinya sendiri dan
berdecak. "Lubang iblis ... itu adalah ... buco diavolo?" Vittoria mengangguk.
"Secara harfiah, ya." Pemandu wisata itu tersenyum samar. "Ada istilah yang
sudah lama tidak aku dengar. Kalau saya tidak salah, sebuah buco dihvolo mengacu
ke sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja."
"Sebuah ruang bawah tanah di dalam gereja?" tanya Langdon "Seperti pemakaman di
bawah tanah?" "Ya. Tetapi ini yang istimewa. Aku yakin lubang iblis adalah istilah kuno untuk
tempat pemakaman besar yang terletak di sebuah kapel ... di bawah makam
lainnya." "Sebuah ossuary annex, ruang tambahan untuk penyimpanan tulang belulang
jenazah?" Pemandu wisata itu tampak terkesan. "Ya! Itu istilah yang saya maksudkan tadi!"
Langdon memikirkannya sekali lagi. Ossuary annex adalah penyelesaian sederhana
untuk masalah pelik yang dihadapi gereja pada zaman itu. Ketika gereja
menghormati anggota mereka yang paling terpandang dengan membuat makam mewah di
dalam gereja, para anggota keluarga lainnya yang masih hidup sering meminta
untuk dimakamkan bersama dengan mereka kelak ... mereka juga ingin mendapatkan
makam seperti salah satu anggota keluarga yang terhormat itu. Tapi, kalau gereja
tidak mempunyai tempat lagi atau tidak memiliki dana untuk membuat makam lagi
untuk seluruh keluarga, mereka kadang-kadang membuat ossuary annex - sebuah lubang
di lantai di dekat makam di mana mereka memakamkan anggota keluarga yang tidak
terlalu penting kedudukannya. Lubang itu kemudian ditutup dengan tutup got di
zaman Renaisans. Tetapi, ossuary annex dengan cepat tidak populer lagi karena
bau busuk dari jenazah yang dimakamkan di situ sering tercium hingga ke
katedral. Lubang iblis, pikir Langdon. Dia tidak pernah mendengar istilah itu,
tapi terdengar mengerikan.
Sekarang jantung Langdon berdebar dengan cepat. Dan makam duniawi Santi yang
memiliki lubang iblis. Tampaknya hanya ada satu pertanyaan lagi untuk
ditanyakan. "Apakah Raphael merancang makam yang mempunyai lubang iblis?"
Pemandu wisata itu menggaruk kepalanya. "Sebenarnya. Maafkan saya ... Saya hanya
dapat ingat satu saja."
Hanya satu" Langdon berharap jawaban sang pemandu wisata bisa lebih baik dari
itu. "Di mana itu?" tanya Vittoria hampir berteriak. Pemandu wisata itu menatap
mereka dengan aneh. "Disebut Kapel Chigi. Makam Agostino Chigi dan saudara
lelakinya, mereka adalah pemuka seni dan ilmu pengetahuan yang kaya."
" Ilmu pengetahuan?" tanya Langdon sambil bertukar pandang dengan Vittoria. "Di
mana itu?" tanya Vittoria lagi. Si pemandu wisata mengabaikan pertanyaan itu,
tapi tampaknya dia menjadi bersemangat lagi karena dapat berguna. "Tapi apakah
makam itu bersifat keduniawian atau tidak, itu saya tidak tahu, tetapi ... yang
pasti adalah ... kita sebut saja differente." "Berbeda?" kata Langdon. "Berbeda
seperti apa?" "Tidak selaras dengan arsitekturnya. Raphael adalah arsitek satu-
satunya. Sementara itu, pematung lainnya yang membuat hiasan di bagian dalamnya.
Saya tidak ingat siapa namanya."
Langdon sekarang mendengarkan dengan lebih seksama. Master seni Illuminati tanpa
nama, mungkin" "Siapa pun yang mengerjakan bagian dalamnya memiliki selera yang
tidak bagus," lanjut pemandu wisata itu. "Dio mio! Atrocitas! Siapa yang mau
dimakamkan di bawah piramida?"
Langdon hampir tidak dapat memercayai telinganya. "Piramida" Kapel itu ada
piramidanya?" "Begitulah," si pemandu wisata itu terlihat mengejek. "Mengerikan, bukan?"
Vittoria mencengkeram lengan pemandu wisata itu. "Signore, di mana kapel Chigi
itu?" "Kira-kira satu mil ke utara. Di dalam gereja Santa Maria del Popolo." Vittoria
menghembuskan napas. "Terima kasih. Ayo - " "Hey," seru pemandu wisata itu lagi.
"Saya baru saja ingat
sesuatu. Betapa bodohnya saya!" Vittoria segera berhenti. "Tolong jangan bilang
kalau Anda salah." Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Tetapi seharusnya saya ingat tadi.
Kapel itu tidak saja dikenal sebagai Kapel Chigi. Kapel itu juga pernah disebut
Capella della Terra." "Kapel Dunia?" tanya Langdon. "Bukan," kata Vittoria
sambil berjalan menuju pintu. "Kapel Tanah." Vittoria Vetra mengeluarkan
ponselnya ketika dia berlari keluar ke arah Piazza della Rotunda. "Komandan
Olivetti," katanya. "Ini kapel yang salah." Suara Olivetti terdengar bingung.
"Salah" Apa maksudmu?" "Altar Ilmu pengetahuan yang pertama berada di Kapel
Chigi!" "Di mana?" Sekarang Olivetti terdengar marah. "Tetapi Pak Langdon bilang
- " "Santa Maria del Popolo! Satu mil ke utara. Perintahkan orang-orangmu ke sana
sekarang! Kita hanya punya empat menit!"
"Tetapi mereka sudah berada di posisinya masing-masing. Aku tidak mungkin - "
"Cepatlah!" seru Vittoria sambil menutup ponselnya. Di belakangnya, Langdon
berlari keluar dari Pantheon. Vittoria meraih tangan Langdon dan menyeretnya ke
arah deretan taksi yang terparkir di pinggir jalan. Dia menggedor atap taksi
paling depan. Pengemudi yang sedang tidur itu terlonjak dari mimpinya. Vittoria
segera membuka pintu dan mendorong Langdon masuk. Kemudian dia melompat masuk
juga. "Santa Maria del Popolo," perintahnya. "Presto!" Terlihat masih setengah
terbangun dan setengah ketakutan, supir taksi itu menekan pedal gas dalam-dalam
dan melesat di jalan. 63 GUNTHER GLICK MENGAMBIL komputer dari tangan Chinita Macri yang sekarang berdiri
membungkuk di bagian belakang van BBC yang sempit sambil menatap dengan bingung
melalui bahu Glick. "Kan aku sudah bilang," kata Glick sambil mengetik beberapa huruf. "British
Tattler bukanlah satu-satunya media yang meliput tentang orang-orang ini."
Macri mendekat. Glick benar. Database BBC memperlihatkan hasil yang istimewa
kepada mereka. Jaringan itu masih menyimpan enam berita tentang persaudaraan
yang disebut Illuminati, walau sudah berusia sepuluh tahun. Oke, aku mungkin
salah, pikir Macri. "Siapa wartawan yang menulis berita itu?" tanya Macri,
"wartawan gosip?" "BBC tidak pernah mempekerjakan wartawan gosip." "Mereka
mempekerjakanmu." Glick menggerutu. "Aku heran kenapa kamu begitu tidak percaya.
Kisah tentang kelompok Illuminati terdokumentasi dengan baik sepanjang sejarah."
"Seperti juga UFO dan Monster Loch Ness." Glick membaca daftar berita itu. "Kamu
pernah mendengar seorang lelaki yang bernama Winston Churchill?" "Ingat
sedikit." "Beberapa waktu yang lalu, BBC pernah menulis tulisan tentang
kehidupan Churchill. Dia penganut Katolik yang taat. Tahukah kamu bahwa
Churchill pada tahun 1920, pernah memberikan pernyataan yang mengutuk Illuminati
dan memperingatkan orang-orang Inggris tentang adanya konspirasi global untuk
menentang moralitas?"
Macri ragu-ragu. "Di mana diterbitkannya" Di British Tattler!"
Glick tersenyum. "London Herald, tanggal 8 Februari 1920." "Tidak mungkin."
"Lihat saja sendiri." Macri melihat lebih dekat pada potongan berita yang
terlihat di layar komputer. London Herald, 8 Februari 1920. Aneh sekali. "Yah,
mungkin saja Chuchill ketakutan tanpa alasan."
"Dia tidak sendirian," kata Glick sambil terus membaca. "Sepertinya Woodrow
Wilson juga memberikan pidato sebanyak tiga kali yang disiarkan melalui radio
pada tahun 1921 untuk memperingatkan tentang perkembangan pengaruh Illuminati
pada sistem perbankan di Amerika Serikat. Kamu mau mendengar kutipan tertulis
dari radio itu?" "Tidak." Walau begitu, Glick tetap membacakannya juga. "Dia
berkata, ada suatu kekuatan yang sangat terorganisir, begitu samar-samar, tapi
begitu lengkap, dan begitu merasuk, sehingga tidak seorang pun yang berani
mengutuk kelompok itu secara terang-terangan." "Aku tidak pernah mendengar
tentang itu." "Mungkin pada tahun 1921 kamu masih kecil." "Hebat sekali." Macri
tidak menghiraukan sindiran itu. Dia tahu usianya sudah terlihat. Pada usia 43
tahun, rambut keriting hitam lebatnya sudah mulai beruban. Tapi dia terlalu
sombong untuk mengecatnya. Ibunya, seorang penganut Southern Baptist, mengajari
Chinita untuk menerima dirinya apa adanya. Kamu adalah seorang perempuan kulit
hitam, kata ibunya, jangan sembunyikan siapa dirimu. Begitu kamu mencobanya,
hari itu juga kamu sudah tidak berarti. Berdirilah dengan tegap, tersenyumlah
dengan lebar, dan biarkan mereka bertanya-tanya rahasia apa yang membuatmu
tertawa. "Pernah mendengar tentang Cecil Rhodes?" tanya Gick. Macri mendongak.
"Ahli keuangan asal Inggris?" "Ya. Dia mendirikan Rhodes Scholarship." "Jangan
katakan padaku - " "Dia anggota Illuminati." "Omong kosong." "Sebenarnya BBC yang
menyiarkannya, pada tanggal 16
November 1984." "Kita pernah menulis kalau Cecil Rhodes adalah seorang
Illuminati?" "Betul sekali. Dan menurut jaringan kita, Rhodes Scholarships
adalah dana yang dibentuk beberapa abad lalu untuk merekrut orang-orang muda
paling berbakat agar bergabung dengan Illuminati. "Itu keterlaluan! Pamanku
lulusan Rhodes!" Glick mengedipkan matanya. "Bill Clinton juga." Macri menjadi
marah sekarang. Dia tidak pernah memaafkan tulisan berita yang kasar dan
menggelisahkan. Tapi dia tahu kalau BBC selalu melakukan penelitian dan
memastikan setiap berita yang mereka tulis dengan hati-hati sekali.
"Yang ini kamu pasti ingat," kata Glick. "BBC, tanggal 5 Maret 1998. Ketua
Komisi Parlemen, Chris Mullin, meminta semua anggota Parlemen Inggris yang
menjadi anggota kelompok Mason, agar melaporkan keanggotaan mereka." Macri ingat
itu. Perintah itu akhirnya melibatkan anggota
kepolisian dan juga para hakim. "Kenapa begitu?" Glick membaca, "...
memerhatikan bahwa faksi-faksi rahasia di dalam kelompok Mason memiliki kontrol
yang luar biasa terhadap sistem politik dan keuangan." "Itu betul," "Hasilnya
adalah kehebohan. Kaum Mason yang duduk di parlemen menjadi marah. Mereka punya
hak untuk marah. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang tidak
bersalah yang bergabung dengan kelompok Mason karena terkait dengan jaringan dan
kegiatan amal yang dilakukannya. Mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang
keanggotaan persaudaraan itu di masa lalu." "Keanggotaan yang diduga ada."
"Terserah kamu saja." Glick mengamati artikel-artikel lainnya. Lihat yang ini.
Illuminati ternyata terkait dengan Galileo, Guerenets dari Perancis, Alumbrado
dari Spanyol. Bahkan Karl Marx dan Revolusi Rusia."
"Sejarah memiliki kemampuan untuk menuliskan dirinya sendiri."
"Baiklah, kamu mau sesuatu yang baru" Lihat ini. Ini referensi tentang
Illuminati dari Wall Street Journal yang baru." Yang ini menarik perhatian
Macri. "Wall Street Journal"." "Coba tebak, apa permainan komputer online
terbaru yang paling digemari di Amerika sekarang?" "Memasang ekor di bokong Pamela Anderson."
"Hampir benar. Tetapi yang kumaksud adalah, Illuminati:
Tata Dunia Baru." Macri melihat uraian singkat itu melalui bahu Glick.
"Permainan karya Steve Jackson mencetak sukses besar ... sebuah petualangan semi
historis yang menceritakan tentang persaudaraan setan kuno dari Bavaria yang
sedang bersiapsiap untuk menguasai dunia. Anda dapat menemukannya di internet di
alamat ..." Macri mendongak dan merasa mual. "Apa yang dimiliki orang-orang Illuminati itu
untuk melawan Kristen?"
"Bukan hanya Kristen," kata Glick. "Agama pada umumnya." Glick memiringkan
kepalanya dan tersenyum. "Dari telepon yang baru saja kita terima, tampaknya
mereka punya sentimen tertentu pada Vatican."
"Oh, ayolah. Kamu tidak benar-benar percaya kalau orang itu memang kaki tangan
Illuminati, bukan?" "Seorang utusan dari Illuminati" Bersiap-siap untuk membunuh empat orang
kardinal?" Glick tersenyum. "Kuharap begitu."
64 TAKSI YANG DITUMPANGI Langdon dan Vittoria melesat sejauh satu mil dengan
kecepatan tinggi dan tiba di Via della Scrofa dalam waktu satu menit saja. Taksi
tersebut mengeluarkan suara berdecit ketika direm dan berhenti di sebelah
selatan Piazza del Popolo sebelum pukul delapan. Karena tidak memiliki uang
lira, Langdon membayarnya dengan dolar Amerika yang tentu saja terlalu banyak.
Kemudian mereka berdua meloncat keluar. Piazza itu sunyi walau masih terdengar
suara tawa dari sejumlah penduduk setempat yang duduk-duduk di luar sebuah kafe
terkenal bernama Rosati Cafe yang merupakan tempat favorit bagi orang-orang
terpelajar di Italia untuk berkumpul. Udara di sana beraroma espreso dan kue-
kue. Langdon masih merasa terguncang karena kesalahan tafsir yang dilakukannya di
Pantheon. Tapi ketika dia memandang sekilas lapangan yang berada di hadapannya,
firasatnya seperti tergelitik. Piazza itu samar-samar dihiasi dengan simbol-
simbol Illuminati. Tidak saja piazza itu berbentuk elips, tetapi tepat di
tengah-tengahnya berdiri sebuah obelisk Mesir - sebuah pilar persegi dari batu
dengan ujung yang berbentuk sangat mirip dengan piramida. Berbagai sisa
peninggalan kekaisaran Romawi seperti beberapa obelisk, tersebar di Roma dan
para ahli simbologi menyebutnya "Piramida yang agung" - perpanjangan bentuk
piramida suci yang menjulang ke angkasa.
Ketika mata Langdon bergerak ke atas menara batu itu, tiba-tiba matanya tertarik
pada sesuatu yang berada di belakang menara itu. Sesuatu yang lebih menarik.
"Kita berada di tempat yang benar," katanya perlahan, tapi tiba-tiba
kewaspadaannya muncul. "Lihat itu," kata Langdon sambil menunjuk Porta del
Popolo yang mencolok - sebuah pintu tinggi dari batu berbentuk melengkung yang
terletak di ujung piazza. Bangunan kubah itu menjulang tinggi di depan piazza
selama berabad-abad. Di tengah-tengah bagian tertinggi dari pintu masuk yang
melengkung itu ada ukiran simbol. "Ingat gambar itu?"
Vittoria melihat ke atas, ke arah ukiran besar itu. "Bintang yang bersinar di
atas tumpukan batu berbentuk segitiga?"
Langdon menggelengkan kepalanya. "Sebuah sumber pencerahan di atas sebuah
piramida." Vittoria berpaling, tiba-tiba matanya membelalak. "Seperti Great Seal yang
terdapat di uang dolar Amerika?"
"Tepat. Simbol dari kelompok Mason di atas uang kertas satu dolar."
Vittoria menarik napas dan mengamati piazza itu. "Jadi, di mana gereja itu?"
Gereja Santa Maria del Popolo berdiri di sana seperti sebuah kapal perang yang
diparkir tidak pada tempatnya. Gedung itu menyerong di kaki bukit dan terletak
di sisi tenggara piazza. Bangunan dari batu berusia sebelas abad itu semakin
terlihat eksentrik karena menara perancah yang menutupi bagian depannya.
Pikiran Langdon menjadi kabur ketika mereka berlari ke arah bangunan besar itu.
Langdon memandang gereja itu sambil bertanya-tanya. Apakah si pembunuh akan
membunuh seorang kardinal di tempat ini" Dia berharap Olivetti segera sampai ke
sini. Senjata itu terasa aneh di dalam sakunya.
Tangga yang terletak di depan gereja itu berbentuk ventaglio atau seperti kipas
yang terbuka. Keramah-tamahan seperti ini menjadi ironis karena mereka terhalang
oleh menara perancah, peralatan konstruksi dan papan peringatan yang berbunyi:
CONSTRUZIONE, NON ENTRARE - sedang dalam perbaikan, dilarang masuk.
Langdon baru menyadari kalau gereja itu ditutup karena sedang direnovasi. Jadi
itu artinya si pembunuh dapat menikmati waktunya tanpa ada gangguan. Tidak
seperti di Pantheon, dia tidak membutuhkan taktik canggih di sini. Dia hanya
membutuhkan cara untuk masuk ke dalam gereja.
Vittoria menyelinap tanpa ragu di antara kuda-kuda dari kayu lalu berjalan
menuju ke tangga. "Vittoria," seru Langdon dengan khawatir. "Kalau dia masih di dalam sana ...."
Tampaknya Vittoria tidak mendengarnya. Dia sudah menaiki serambi utama dan
menuju ke satu-satunya pintu depan gereja yang terbuat dari kayu. Langdon
bergegas menyusulnya. Sebelum dia dapat mengatakan apa pun, Vittoria sudah
meraih pegangan pintu dan membukanya. Langdon menahan napasnya. Pintu itu tidak
bisa dibuka. "Pasti ada pintu masuk yang lainnya," kata Vittoria. "Mungkin,"
sahut Langdon sambil menghembuskan napasnya, "tetapi Olivetti akan segera tiba
di sini. Terlalu berbahaya untuk masuk. Kita harus mengamati gereja ini dari
luar sini sampai - "
Vittoria berpaling, matanya berkilat-kilat. "Kalau memang ada jalan masuk yang
lain, pasti ada jalan keluar yang lain juga. Kalau orang ini berhasil kabur ...
fungito. Kita berada dalam masalah besar."
Langdon cukup mengerti beberapa kata dalam Bahasa Italia dan dia tahu kalau
Vittoria benar. Gang di sebelah kanan gereja itu sangat gelap dan sempit, dan memiliki dinding
yang tinggi di kedua sisinya. Tercium aroma air seni - aroma yang biasa tercium di
kota yang jumlah barnya jauh lebih banyak daripada jumlah toilet umum dengan
perbandingan dua puluh banding satu.
Langdon dan Vittoria bergegas memasuki gang remang remang dengan bau menyengat
tersebut. Mereka telah berjalan kira-kira lima belas yard ketika Vittoria
menarik lengan Langdon dan menunjuk ke suatu arah.
Langdon juga melihatnya. Mereka melihat sebuah pintu kayu sederhana dengan
engsel yang berat. Langdon tahu kalau itu adalah porta sacre biasa - pintu masuk
pribadi bagi para pastor. Sebagian besar pintu jenis ini sudah tidak digunakan
lagi sejak lama ketika dianggap menganggu bangunan di sekitarnya dan terbatasnya
lahan membuat pintu masuk di samping gang menjadi hal yang tidak nyaman.
Vittoria bergegas menuju ke pintu itu. Ketika sampai, dia memandang ke arah
kenop pintu dan tampak terpaku. Langdon tiba di belakangnya dan menatap
lingkaran berbentuk donat yang berada di tempat di mana kenop pintu terpasang.


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebuah cincin pembuka," Langdon berbisik. Dia lalu meraihnya dan dengan
perlahan diangkatnya cincin pembuka itu lalu dia menariknya. Alat itu berbunyi
klik. Vittoria bergeser tiba-tiba merasa tidak tenang. Langdon memutarnya searah
jarum jam. Cincin itu berputar 360 derajat dengan mudah, tapi pintu tidak bisa
dibuka. Langdon mengerutkan keningnya dan mencoba ke arah sebaliknya dan
menemukan hasil yang sama. Vittoria melihat ke gang di depannya. "Kamu pikir ada
jalan masuk lainnya?" Langdon meragukannya. Umumnya katedral-katedral di zaman
Renaisans dirancang sebagai pengganti benteng ketika kota itu diserbu. Kalau
bisa jumlah pintu dikurangi sesedikit mungkin. "Kalaupun ada jalan masuk lain,"
kata Langdon, "pintu itu mungkin terletak di belakang gedung - lebih merupakan
jalan untuk melarikan diri daripada sebuah pintu masuk." Vittoria sudah
bergerak. Langdon mengikutinya dan berjalan lebih dalam memasuki gang itu. Kedua
dindingnya menjulang tinggi di sampingnya. Dari suatu tempat terdengar suara
lonceng berdentang delapan kali .... Robert Langdon tidak mendengar ketika
Vittoria memanggilnya pertama kali. Langdon bergerak lambat di sekitar jendela
kaca berwarna yang tertutup oleh jeruji. Dia mencoba mengintip ke dalam gereja.
"Robert!" Suara Vittoria terdengar seperti bisikan yang keras.
Langdon mendongak. Vittoria sudah berada di ujung gang. Dia menunjuk ke bagian
belakang gereja dan melambai padanya. Dengan enggan Langdon berlari kecil ke
arahnya. Di lantai di dekat dinding belakang, terlihat sebuah batu yang menjorok
ke luar untuk menyembunyikan sebuah gua sempit - semacam jalan sempit yang
langsung mengarah ke pondasi gereja. "Sebuah jalan masuk?" tanya Vittoria.
Langdon mengangguk. Sebenarnya sebuah jalan keluar, tetapi kita tidak usah
terlalu teknis sekarang. Vittoria berlutut dan mengintai ke dalam terowongan
itu. "Ayo kita periksa pintu itu dan lihat kalau pintunya tidak dikunci."
Langdon baru ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya, tetapi Vittoria menggandeng
tangannya dan menariknya ke arah pintu gua. "Tunggu," kata Langdon. Dengan tidak
sabar Vittoria berpaling ke arahnya. Langdon mendesah. "Aku akan berjalan di
depanmu." Vittoria tertawa kecil. "Lagi-lagi kesopanan ala lelaki
Amerika." "Yang tua mendahului yang cantik." "Apakah itu sebuah pujian?" Langdon
hanya tersenyum. Dia kemudian bergerak
melewatinya dan masuk ke kegelapan. "Hati-hati ada tangga." Dia bergerak
perlahan-lahan di dalam kegelapan sambil meraba dinding di sebelahnya. Dinding
batu itu terasa tajam di ujung jarinya. Tiba-tiba Langdon ingat tentang kisah
Daedalus dan bagaimana anak lelaki itu terus meletakkan tangannya di dinding
ketika berjalan menelusuri labirin Minotaur dengan keyakinan dia akan menemukan
ujung labirin kalau dia tidak pernah melepaskan tangannya dari dinding. Langdon
terus maju tanpa sepenuhnya yakin ingin menemukan ujung gua di hadapannya itu.
Terowongan itu semakin menyempit sedikit demi sedikit, dan Langdon memperlambat
langkahnya. Dia merasa Vittoria berada dekat di belakangnya. Ketika dinding itu
membelok ke kiri, terowongan itu membawa mereka ke sebuah ruangan kecil
berbentuk setengah lingkaran. Anehnya, ada sedikit cahaya di sini. Dalam
keremangan Langdon melihat pintu kayu yang berat. "Uh oh," katanya. "Terkunci?"
"Tadinya." "Tadinya?" Vittoria kemudian berdiri di sampingnya. Langdon menunjuk.
Diterangi oleh cahaya yang menyorot dari dalam, mereka melihat pintu tersebut
sedikit terbuka engselnya dirusak oleh sebuah jeruji yang masih menyangkut di
papan pintu. Mereka berdiri diam tanpa bicara. Kemudian, berdiri dalam kegelapan seperti itu,
Langdon merasa tangan Vittoria berada di dadanya, meraba-raba, dan bergerak ke
balik jasnya. "Santai saja, Profesor," kata Vittoria. "Aku hanya ingin mengambil pistol." Pada
saat itu, di dalam Museum Vatican, satu gugus tugas Garda Swiss menyebar ke
segala penjuru. Museum itu gelap dan para serdadu itu mengenakan kacamata infra
merah yang biasa digunakan oleh Marinir Amerika Serikat. Kacamata itu membuat
sekelilingnya terlihat berwarna kehijauan. Semua serdadu mengenakan headphone
yang terhubung dengan detektor seperti antena yang melambai-lambai berirama di
depan mereka - alat yang sama yang mereka gunakan setiap dua kali seminggu untuk
menyapu alat penyadap elektronik di dalam Vatican. Mereka bergerak teratur,
memeriksa di belakang patung-patung, di dalam ceruk-ceruk, tempat penyimpanan,
dan perabotan. Antena itu akan berbunyi kalau mereka mendeteksi apa saja yang
memiliki medan magnet sekecil apa pun.
Tapi entah bagaimana, malam itu mereka tidak akan mendeteksi apa-apa.
65 BAGIAN DALAM GEREJA Santa Maria Popolo tampak seperti sebuah gua suram di balik
sinar remang-remang. Ruangan itu lebih mirip sebuah stasiun kereta api bawah
tanah yang belum jadi daripada sebuah katedral. Ruang suci utama tampak seperti
lapangan rusak karena dipenuhi oleh pecahan lantai yang berserakan, batu bata,
setumpukan tanah, beberapa gerobak sorong, dan bahkan cangkul yang berkarat.
Pilar-pilar berukuran raksasa menjulang ke langit-langit untuk menyangga kubah.
Di udara, terlihat debu bertebaran di antara kaca berwarna yang berkilauan.
Langdon berdiri bersama Vittoria di bawah lukisan dinding Pinturicchio dan
mengamati tempat suci yang berantakan itu. Tidak ada yang bergerak. Benar-benar
sunyi. Vittoria memegang senjata itu dengan kedua tangannya dan diarahkan ke
depan. Langdon melihat jam tangannya: jam 8:04 malam. Kita gila berada di sini,
pikirnya. Ini terlalu berbahaya. Kalau pembunuh itu masih berada di dalam, orang
itu dapat pergi melalui pintu mana saja yang diinginkannya. Jadi, satu orang
dengan senjata teracung seperti ini tidak akan ada gunanya. Menangkapnya di
dalam adalah satu-satunya jalan ... itu juga kalau pembunuh itu masih berada di
dalam. Langdon masih merasa bersalah. Karena keliru menafsirkan baris puisi itu,
dia sudah membuat repot anak buah Olivetti dan melepaskan kesempatan untuk
menangkap sang pembunuh tepat pada waktunya. Sekarang dia tidak bisa memaksa
mereka untuk mengikuti kemauannya.
Vittoria tampak ngeri ketika dia mengamati gereja itu. "Jadi," dia berbisik. "Di
mana Kapel Chigi itu?"
Langdon menatap ke arah bagian bekakang katedral yang diliputi keremangan yang
mengerikan dan mengamati dinding di sekelilingnya. Tidak seperti persepsi umum,
katedral-katedral zaman Renaisans memiliki banyak kapel. Bahkan katedral besar
seperti Notre Dame pun memiliki belasan kapel. Kapel-kapel itu tidak seperti
ruangan, mereka hanyalah berbentuk lubang - ceruk berbentuk setengah lingkaran
yang digunakan sebagai makam di sekitar dinding pinggir gereja.
Kabar buruk, pikir Langdon sambil melihat empat ruangan kecil yang terdapat di
setiap dinding samping. Jadi semuanya ada delapan kapel. Walau delapan bukanlah
jumlah yang terlalu banyak, tapi semua kapel itu terhalang oleh lembaran plastik
tembus pandang karena gedung itu masih dalam petnbangunan. Tirai tembus pandang
itu tampaknya dimaksudkan untuk menjaga makam-makam di dalam ceruk itu dari
debu. "Dia bisa saja berada di dalam salah satu ceruk bertirai itu " kata Langdon.
"Kita tidak mungkin mengetahui di mana makam Chigi tanpa melongok ke dalam
setiap ceruk. Sebaiknya kita menunggu Oli - " "Yang mana apse kedua di sisi kiri
itu?" Langdon menatap Vittoria, terkejut karena dia baru saja
menyebutkan istilah arsitektur. "Apse kedua di sisi kiri?" Vittoria menunjuk
dinding di belakang Langdon. Sebuah hiasan keramik terpasang di dinding batu.
Hiasan itu terukir dengan simbol yang sama dengan yang mereka lihat di luar -
sebuah piramida di bawah bintang bersinar. Plakat suram itu bertuliskan: LAMBANG
DARI ALEXANDER CHIGI YANG MAKAMNYA TERLETAK DI APSE KEDUA DI SISI KIRI KATEDRAL
INI Langdon mengangguk. Lambang Chigi adalah sebuah piramida dan bintang" Tiba-
tiba dia bertanya-tanya apakah Chigi, seorang tuan tanah yang kaya itu, juga
anggota Illuminati. Dia mengangguk ke arah Vittoria. "Kerja bagus, Nancy Drew."
"Apa?" "Lupakan, aku - " Terdengar seperti ada logam yang jatuh beberapa yard dari
tempat mereka berdiri. Suaranya bergema ke seluruh gereja. Langdon menarik
Vittoria ke belakang sebuah pilar dan perempuan itu mengarahkan senjatanya ke
arah suara berisik tersebut. Sunyi. Mereka menunggu. Lalu ada suara lagi, kali
ini bergemerisik. Langdon menahan napasnya. Seharusnya aku tidak boleh
membiarkan Vittoria masuk ke sini! Suara itu bergerak mendekat.
Sebentar-sebentar terdengar suara seretan, seperti suara orang lumpuh yang
sedang menyeret kakinya. Tiba-tiba di sekitar dasar pilar, sebuah benda muncul.
"Figlio di puttana!" Vittoria menyumpah perlahan sambil terloncat ke belakang.
Langdon juga terdorong ke belakang bersamanya.
Di samping pilar itu, terlihat seekor tikus besar sedang menyeret roti lapis
yang telah dimakan separuh. Makhluk itu berhenti ketika melihat mereka, menatap
lama ke arah laras senjata yang dipegang Vittoria. Ketika tikus itu merasa aman,
hewan itu melanjutkan usahanya dengan menyeret makanannya ke ceruk gereja.
"Sialan ...." Langdon terkesiap, jantungnya masih berdebar
dengan kencang. Vittoria menurunkan senjatanya dan dengan cepat dia memperoleh
ketenangan kembali. Langdon mengintai dari sisi pilar dan melihat sebuah kotak
makan siang seorang pekerja yang terbuka di atas lantai. Tampaknya kotak itu
dijatuhkan dari atas kuda-kuda kayu oleh tikus besar yang cerdik itu.
Langdon mengamati ruangan gereja itu untuk mencari adanya gerakan lainnya dan
berbisik, "Kalau orang itu masih ada di sini, dia pasti juga mendengar kegaduhan
itu. Kamu yakin tidak mau menunggu Olivetti?"
"Apse kedua di sisi kiri," Vittoria mengulangi. "Di mana itu?"
Dengan enggan Langdon berpaling dan berusaha untuk mengingat-ingat. Istilah
dalam katedral seperti papan petunjuk di panggung - sangat mudah untuk ditebak.
Langdon menghadap ke altar utama. Anggap itu sebagai panggung utama. Lalu dia
menunjuk dengan ibu jarinya ke belakang melalui bahunya.
Mereka berdua berputar dan melihat ke arah yang ditunjuk Langdon tadi.
Tampaknya Kapel Chigi terletak di ceruk ketiga dari empat ceruk di sebelah kanan
mereka. Kabar baiknya adalah Langdon dan Vittoria berada di sisi yang tepat dari
gereja itu. Kabar buruknya, mereka berada di ujung yang salah. Mereka harus
menyeberangi gereja itu dan melewati tiga kapel lainnya. Setiap kapel, seperti
juga Kapel Chigi, tertutup dengan plastik tembus pandang. "Tunggu," kata
Langdon. "Aku jalan di depan." "Lupakan." "Akulah yang mengacaukan keadaan
dengan menyuruh orang untuk mengepung Pantheon." Vittoria berpaling, "Tetapi akulah yang membawa
pistol." Di mata Vittoria, Langdon dapat melihat apa yang sesungguhnya
dipikirkan oleh perempuan itu .... Akulah yang kehilangan ayahku. Akulah yang
membantunya membuat senjata pemusnah masal itu. Nasib orang ini milikku ....
Langdon merasa usahanya akan sia-sia saja, jadi dia mengikuti keinginan
perempuan itu. Dia berjalan di samping Vittoria dengan berhati-hati ke arah
timur serambi itu. Ketika mereka melewati ceruk bertirai plastik yang pertama,
Langdon merasa tegang, seperti seorang peserta dalam sebuah permainan khayalan.
Aku akan membuka tirai nomor tiga, pikirnya.
Gereja itu sunyi karena dinding batu yang tebal itu menghalangi suara-suara dan
pemandangan dari dunia luar. Ketika mereka bergegas melewati satu kapel dan yang
lainnya, sebentuk benda pucat seperti manusia bergoyang-goyang seperti hantu di
balik gemerisik tirai plastik. Pualam yang diukir, kata Langdon pada dirinya
sendiri sambil berharap dia benar. Saat itu pukul 8:06 malam. Apakah pembunuh
itu tepat waktu saat melakukan rencananya sehingga sekarang dia sudah menyelinap
keluar sebelum Langdon dan Vittoria masuk" Atau apakah dia masih di dalam"
Langdon tidak yakin skenario mana yang dia sukai.
Mereka melewati apse kedua, Langdon merasa tidak nyaman berjalan seperti itu di
dalam katedral yang gelap. Malam bergulir dengan cepat sekarang dan suasananya
diperjelas oleh warna suram dari jendela-jendela kaca berwarna di sekitar
mereka. Ketika mereka bergegas, tirai plastik di samping mereka tiba-tiba
bergerak seolah tertiup angin. Langdon bertanya-tanya, apakah ada seseorang
telah membuka pintu. Vittoria memperlambat langkahnya ketika mereka tiba di depan ceruk ketiga. Dia
mengacungkan senjatanya sambil menunjuk dengan kepalanya ke sebuah pilar dengan
tulisan di samping apse. Terukir dua kata pada batu granit:
CAPELLA CHIGI Langdon mengangguk. Tanpa menimbulkan suara, mereka bergerak ke sudut pintu,
lalu menempatkan diri mereka di belakang pilar. Vittoria mengarahkan senjatanya
ke arah sebuah sudut yang ditutupi oleh tirai plastik. Kemudian dia memberi
isyarat pada Langdon untuk menyingkap tirai itu.
Waktu yang tepat untuk mulai berdoa, pikir Langdon. Dengan enggan dia
mengulurkan tangannya melalui bahu Vittoria. Dengan sehati-hati mungkin, dia
mulai menyingkap tirai plastik itu ke samping. Plastik itu terkuak satu inci
kemudian berderik keras. Mereka berdua membeku. Sunyi. Setelah sesaat, mereka
bergerak lagi dengan sangat lambat. Vittoria mencondongkan tubuhnya ke depan dan
mengintai melalui celah sempit. Langdon melihat dari belakang bahu Vittoria.
Untuk sesaat napas mereka seperti tercekat. "Kosong," akhirnya Vittoria berkata
sambil menurunkan senjatanya. "Kita terlambat." Langdon tidak mendengarnya. Dia sedang terpaku dan
dengan sekejap beralih ke dunia lain. Seumur hidupnya dia tidak pernah
membayangkan sebuah kapel akan tampak seperti ini. Dengan semua bagian dilapisi
oleh pualam berwarna kecokelatan, Kapel Chigi terlihat sangat mengagumkan.
Langdon langsung menyusuri kapel itu dengan matanya. Warna kecokelatan dari
kapel itu mengingatkannya akan warna tanah. Seolah ini memang sebuah kapel yang
telah dirancang oleh Galileo dan Illuminati sendiri.
Di atas, kubahnya bersinar karena dipasangi bintang dengan sinarnya yang terang
dan tujuh planet astronomi. Di bawahnya terdapat lambang dua belas zodiak - simbol
Pagan yang bersifat duniawi dan berasal dari astronomi. Zodiak itu terikat
langsune pada Bumi, Udara, Api, dan Air ... kuadran yang mewakili kekuatan,
kecerdasan, semangat dan perasaan. Bumi mewakili kekuatan, kata Langdon dalam
hati. Sementara itu di dinding, Langdon melihat penghormatan kepada empat musim -
primavera, estate, autunno, inverno. Tetapi yang jauh lebih hebat dari itu
adalah dua struktur besar yang mendominasi ruangan tersebut. Langdon menatap
mereka dalam diam karena kagum. Tidak mungkin, pikirnya. Betul-betul tidak
mungkinl Tetapi itu mungkin saja. Di sisi lain dari kapel itu, terlihat dua buah
piramida pualam setinggi sepuluh kaki yang berdiri dengan sangat simetris.
"Aku tidak melihat seorang kardinal pun," bisik Vittoria. "Atau seorang
pembunuh." Lalu dia menyibakkan plastik itu dan masuk.
Mata Langdon seperti terpaku pada kedua piramida itu. Untuk apa ada dua buah
piramida di dalam kapel Kristen" Tapi ternyata masih ada lagi yang lebih hebat.
Tepat di tengah-tengah kedua piramida, di sisi depannya, terdapat medali
emas ... medali yang jarang sekali dilihat Langdon ... berbentuk elips sempurna.
Cakram yang dipelitur berkilauan di bawah matahari sore yang memancar dari kubah
kapel. Elips Galileo" Piramidapiramida" Kubah berbintang" Ruangan itu memiliki
simbol simbol Illuminati lebih banyak daripada yang dapat dibayangkan Langdon dalam
benaknya. "Robert," seru Vittoria, suaranya serak. "Lihat!" Langdon terkejut,
dunia nyata menariknya kembali ketika matanya melihat ke arah apa yang ditunjuk
Vittoria. "Sialan!" seru Langdon sambil terlonjak ke belakang.
Sebuah mosaik dari pualam bergambar kerangka manusia seolah tersenyum pada
mereka. Gambar itu menceritakan perjalanan arwah ke alam baka. Kerangka manusia
itu membawa sebuah lempengan berisi piramida dan bintang seperti yang sudah
mereka lihat sebelumnya. Tapi bukan gambar itu yang membuat Langdon merinding,
tapi kenyataan bahwa mosaik yang terletak di atas lempengan batu yang berbentuk
bundar - sebuah cupermento - sudah diangkat dari lantai seperti tutup got. Kini
lempengan itu meninggalkan sebuah lubang menganga di lantai.
"Lubang iblis," kata Langdon terkesiap. Dia tadi begitu terpesona pada langit-
langit ruangan ini sehingga tidak melihat ke bawah. Langdon lalu bergerak ke
arah lubang itu. Aroma yang keluar tidak tertahankan. Vittoria meletakkan
tangannya di mulutnya. "Che puzza." "Effluvium," kata Langdon, "aroma dari
tulang-belulang yang membusuk." Langdon bernapas dengan lengan menutupi
hidungnya ketika dia melongok ke lubang hitam di bawah sana. "Aku tidak dapat
melihat apa pun." "Kamu pikir ada orang di bawah" "Bagaimana aku tahu?" Vittoria
menunjuk ke sisi lain dari lubang itu di mana terdapat sebuah tangga kayu yang
sudah lapuk yang akan membawa mereka ke dalam. Langdon memandang Vittoria dengan
lekat. "Jangan bercanda." "Mungkin ada senter di dalam kotak peralatan para tukang yang
Meraba Matahari 10 Pendekar Naga Putih 77 Altar Setan Misteri Penculik Asmara 1
^