Pencarian

Meraba Matahari 10

Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Bagian 10


"Tegasnya, kita tidak boleh berhenti dan merampok di sepanjang jalan meskipun
kita akan melewati rumah orang-orang kaya serta ada kesempatan terbuka. Kita
juga tidak boleh berhenti untuk menyamun meskipun kita berpapasan dengan
pejalan-pejalan di malam hari. Bahkan seandainya mereka membawa harta benda yang
seberapapun banyaknya, Ebook by Dewi Kangzusi 703 Kang Zusi http://kangzusi.com/
karena langkah yang demikian akan dapat mengganggu
tugas-tugas pokok yang harus kita lakukan di Paranganom."
Para gegedug yang telah menyatakan kesediaan mereka
untuk bekerjasama dengan Sura Branggah itupun
mengangguk- angguk. Demikianlah setelah beberapa pesan terakhir di berikan
oleh Ki Tumenggung Reksadrana, maka sekelompok orang
yang sepakat untuk membantu Ki Tumenggung itupun segera
berangkat. Mereka telah mendapat beberapa petunjuk, rumah
yang manakah yang harus mereka datangi di Paranganom.
"Jangan menempuh perjalanan dalam kelompok-kelompok
yang dapat menarik perhatian. Kalian akan menempuh
perjalanan masing-masing berdua saja. Akupun akan
menempuh perjalanan ini juga berdua dengan Ki Tumenggung
Reksadrana." Malam itu, Ki Tumenggung Reksadrana, Sura Branggah
dan orang-orangnyapun telah menempuh perjalanan panjang.
Mereka harus sampai di Paranganom di dini hari sebelum
terang tanah. Sejak orang-orang upahan Ki Tumenggung Reksadrana itu
keluar dari pintu gerbang.kota, maka merekapun telah
melarikan kuda mereka. Semakin jauh, derap kaki kuda
mereka menjadi semakin cepat. Hanya kadang-kadang, jika
jalan pintas yang mereka tempuh terlalu rumit, maka kuda-
kuda itupun berlari lebih lambat. dan bahkan kadang-kadang
kuda itu harus berjalan tidak lebih cepat dari seorang anak
kecil yang sedang bermain kejar-kejaran.
Namun bagaimanapun juga mereka tidak dapat melarikan
kuda mereka tanpa berhenti. Kuda-kuda itu juga memerlukan
waktu untuk beristirahat barang sejenak.
Ebook by Dewi Kangzusi 704 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sebenarnyalah bahwa pesan yang diberikan oleh Sura
Branggah bagi mereka, terasa sangat menekan. Ketika dua
orang gegedug berhenti di pinggir jalan untuk memberi
kesempatan kuda mereka beristirahat sedikit lewat tengah
malam, mereka melihat dua orang yang juga berkuda dari
arah yang berlawanan. "Dua orang berkuda" desis seorang dianiara mereka..
"Ya. Kenapa?" bertanya kawannya.
"Apakah kita tidak dapat menghentikan mereka.?"
"Untuk apa " Menyamun?"
"Ya." "Kita dilarang untuk melakukannya menjelang tugas kita
ini." " Tidak ada orang yang melihatnya."
" Setidak-tidaknya kedua orang itu."
"Kita bunuh mereka. Tidak akan ada saksi, bahwa kita
telah melakukannya."
"Itu hanyalah satu kemungkinan yang bakal terjadi. Tetapi
masih ada kemungkinan lain."
"Apa?" "Kita berdua dapat mereka kalahkan. Mereka menangkap
kita dan membawa kami ke Paranganom."
"Kita tidak dapat dikalahkan."
Ebook by Dewi Kangzusi 705 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Jika mereka orang-orang berilmu tinggi."
"Kenapa tiba-tiba saja kau menjadi pengecut?"
"Jika kita tidak sedang dalam ikatan dengan seseorang,
maka aku tidak akan terlalu banyak membuat pertimbangan.
Tetapi sekarang kita sedang membuat janji."
"Kita tidak akan melanggar janji itu."
"Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak mau Sura Branggah
kehilangan kepercayaan kepadaku."
Kawannya terdiam. Bagaimanapun juga nama Sura
Branggah memaksanya untuk membuat pertimbangan dua
tiga kali lagi. Namun ketika kedua orang berkuda itu lewat, mereka tidak
berbuat apa-apa. Sebenarnyalah kedua orang berkuda itupun menjadi
berdebar-debar ketika mereka melihal dua orang yang duduk
diatas tanggul parit di pinggir jalan di malam yang gelap itu.
Tetapi kedua orang itu berjalan terus. Bahkan keduanyapun
telah menyiagakan diri untuk jika perlu bertempur.
Namun kedua orang yang duduk di tanggul parit itu tidak
berbuat apa-apa. Bahkan ketika kedua orang berkuda itu
lewat, kedua orang yang duduk di tanggul parit itupun telah
bangkit pula untuk melanjutkan perjalanan mereka ke.arah
yang berlawanan. Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka di dini hari,
sebelum terang tanah, Sura Branggah dan Ki Tumenggung
Reksadrana telah berada di Paranganom. Demikian pula
Ebook by Dewi Kangzusi 706 Kang Zusi http://kangzusi.com/
delapan orang yang lain. Mereka langsung pergi ke sebuah
rumah yang berada di ujung sebuah padukuhan, agak terpisah
dari para penghuni yang lain.
Di rumah itulah mereka akan beristirahat sehari. Namun
pesan Sura Branggah kepada kedelapan orang itu "Kalian
jangan keluar dari rumah ini."
Kedelapan orang itu menyadari, selain mereka berada di
tempat asing, merekapun akan melakukan pekerjaan yang
gawat. Dengan demikian, maka yang mereka lakukan sehari itu
adalah makan dan tidur. Mereka yang tidak dapat tidur karena
udara yang terasa panas, menggelar tikar di kebun belakang,
dibawah pepohonari yang berdaun lebat.
*** Dalam pada itu, Wismaya dan Madyasta yang berada di
rumah Raden Ayu Prawirayuda sama sekali tidak menyadari
bahwa bahaya yang besar sedang merunduk mereka. Mereka
memang tidak menjadi lengah. Tetapi mereka merasa musuh
yang mereka hadapi adalah hanya satu atau dua orang yang
dengan licik menikam dari belakang. Mereka tidak
memperhitungkan kemungkinan, sepuluh orang yang
berpengalaman hidup di dunia yang hitam sedang bersiap-siap
untuk memasuki rumah Raden Ayu Prawirayuda.
Ketika malam turun, kedua orang prajurit muda yang
berada di rumah Raden Ayu Prawirayuda itu sudah mulai
bersiap-siap. Seperti malam-malam terakhir, mereka tidak
berpencar. Berdua mereka setiap kali meronda mengelilingi
rumah Raden Ayu Prawirayuda itu. Kadang-kadang mereka
berdua berhenti di kebun belakang beberapa saat.
Ebook by Dewi Kangzusi 707 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Pada kesempatan lain mereka berada di belakang gandok atau di tempat-tempat
lain. Dengan demikian, maka kesempatan untuk menyerang dari belakang menjadi
sulit. Justru karena mereka berdua.
Bab 28 - Pertempuran Di Rumah Raden Ayu Ketika malam menjadi semakin dalam, maka
Ki Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggahpun telah mempersiapkan diri. Mereka
memberikan beberapa petunjuk dan perintah kepada orang-orang upahan mereka.
"Kita akan berkumpul di belakang lumbung di sebelah dapur rumah yang besar itu."
"Baik Ki Tumenggung" jawab mereka hampir berbareng.
Demikianlah, maka merekapun segera berangkat menuiu ke rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Tetapi seperti pada saat mereka memasuki Kadipaten Paranganom, maka
mereka telah membagi diri.
Sebelum tengah malam, seperti yang mereka rencanakan, mereka telah berloncatan
memasuki dinding halaman samping rumah Raden Ayu Prawirayuda. Halaman samping
yang gelap dan ditumbuhi oleh berbagai pepohonan buah-buahan dan pohon-pohon
perdu yang tertata rapi. Dalam kegelapan, sepuluh orang telah berkumpul, Dengan hati-hati mereka merayap
mendekati pintu seketeng. Seorang diantara mereka meloncat masuk ke longkangan
dan membuka pintu seketeng yang di selarak dari dalam.
"Sekarang, apa yang akan kita lakukan, Ki Tumenggung."
Ebook by Dewi Kangzusi 708 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Dimana kedua orang Senapati muda itu" desis Sura Branggah.
"Mereka tidak ada di gandok. Jika ada mereka tentu berada didalam bilik mereka."
"Mungkin mereka berada di dalam. Mereka tidak ingin ditikam dari belakang
seperti yang pernah terjadi."
"Lalu apa artinya keberadaan mereka disini?"
"Nampaknya mereka mencurigai Wicitra. Dengan demikian, mereka berdua justru
berada di dalam rumah. Jika Wicitra berniat mengambil anak perempuan Raden Ayu
Prawirayuda, barulah kedua orang Senapati itu bertindak."
"Sekarang apa yang akan kita lakukan, Ki Lurah?"
bertanya-seorang diantara orang-orang upahan itu.
"Kita masuk ke dalam" jawab Sura Branggah.
"Kita mengetuk pintu. Jika kedua orang Senapati itu berada didalam, maka
merekalah yang akan membukakan pintunya. Kita akan membunuh Wismaya dan
menangkap Madyasta" sahut Ki Tumenggung Reksadrana.
"Kita tidak usah mengetuk pintu Ki Tumenggung."
"Kita rusakkan pintu butulan itu?"
"Tidak. Seorang dari anak buahku itu mempunyai kepandaian khusus. Ia akan dapat
masuk ke dalam lewat tutup keyong bangunan belakang. Biarlah nanti ia membuka
pintu butulan ini dari dalam.
"Baiklah. Perintahkan orang itu segera melakukannya."
Ebook by Dewi Kangzusi 709 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sura Branggah itupun kemudian memanggil seorang anak
buahnya yang bertubuh agak tinggi ke kuras-kurusan.
"Cemeng. Masuklah lewat tutup keyong itu. Buka pin-tunya
dari dalam " "Baik, Ki Lurah. Tetapi nampaknya tutup keyongnya
terbuat dari papan, sehingga aku memerlukan waktu untuk
membukanya." "Lakukan. Cepat atau aku gantung kau di dahan pohon
jambu itu." Ternyata orang yang dipanggil Cemeng itu memang
mampu memanjat seperti kucing. Dalam waktu yang pendek
orang itu sudah melekat pada tutup keyong di bangunan
bagian belakang. "Potong saja tali ijuk kayu yang menghimpit papan tutup
keyong itu" berkata seorang kawannya yang berada di
bawahnya. "Sst. Jangan keras-keras" desis yang lain. .
"Kenapa ?" "Nanti penghuninya terbangun."
"Kalau mereka terbangun mau apa. Bukankah hanya dua
orang perempuan.?" "Dua orang prajurit itu?"
"Justru mereka yang kita cari. Biarlah mereka keluar
menyongsong kita." Ebook by Dewi Kangzusi 710 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Kawannya tidak menyahut lagi. Sementara itu, Cemeng
telah hilang ditelan bangunan.belakang rumah yang besar itu.
Beberapa saat kemudian, maka Cemeng itu sudah
mengangkat selarak pintu butulan dari dalam.
Sambil menengadahkan dadanya karena keberhasilannya,
iapun berkata "Marilah, silahkan masuk."
"Edan kau. Kau kira kau sudah menjadi pahlawan?"
berkata seorang kawannya.
"Apapun namanya, tetapi aku sudah berhasil membuka
pintu ini dan mempersilahkan kalian masuk"
Ki Tumenggung Reksadrana melangkah maju sambil
berkata "Minggir. Aku akan memasuki rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Besok menjelang pagi, rumah ini akan menjadi
sepi. Yang ada hanyalah mayat-mayat yang terbujur lintang.
Sedangkan Madyasta tidak akan dapat diketemukan mayatnya
disini." Namun ketika Ki Tumenggung Reksadrana akan
menginjakkan kakinya ke tlundak pintu butulan, terdengar
suara seseorang "Selamat malam, paman Tumenggung."
Bukan hanya Ki Tumenggung. Tetapi semua orang telah
berpaling. Mereka melihat Madyasta dan Wismaya berdiri se-
langkah dari pintu seketeng yang terbuka.
"Raden Madyasta" geram Ki Tumenggung Reksadrana.
"Ya, paman. Bukankah paman tidak lupa kepadaku."
Ebook by Dewi Kangzusi 711 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tidak. Aku tidak dapat lupa dengan wajah iblismu yang licik itu."
"Paman masih saja suka bergurau. Ketika aku masih remaja, aku sering mengunjungi
kangmas Yudapati yang juga masih remaja. Aku tidak pernah melupakan paman yang
pandai melucu." "Cukup" bentak Ki Tumenggung Reksadrana.
"Kenapa tiba-tiba saja paman marah?"
"Jangan banyak bicara, Raden. Malam ini aku datang untuk menangkapmu."
"Menangkap aku " Apa salahku?"
"Kau adalah seorang pembunuh yang bengis. Kau pantas mendapat hukuman yang lebih
berat dari hukuman mati."
"Paman. Kenapa paman menuduh aku seorang pembunuh"
Siapakah yang pernah aku bunuh. Jika aku mem-bunuh musuh-musuhku di medan
pertempuran, aku tidak dapat disebut sebagai pembunuh. Didalam perang,
kemungkinan untuk dibunuh dan membunuh sama besarnya paman."
"Cukup, menyerahlah. Aku akan mengikat tangan dan kakimu."
"Bagaimana mungkin aku melakukannya. Bagaimana mungkin aku menyerah."
"Kau tidak dapat memilih. Kau harus menyerah kepadaku.
Sedangkan orang-orangku akan membunuh Senapati pengecut itu."
Ebook by Dewi Kangzusi 712 Kang Zusi http://kangzusi.com/


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman. Bukan paman yang akan. menangkap aku. Tetapi keberadaan paman di wilayah
Paranganom, apalagi di rumah bibi Prawirayuda pada waktu yang tidak sewajarnya,
memaksa aku untuk menangkap paman dan kawan-kawan paman.
Menurut dugaanku, paman yang datang tidak pada waktu yang wajar dengan membawa
banyak orang, tentu. menyimpan maksud-maksud yang jahat."
Ki Tumenggung Reksadrana itupun tertawa. Katanya "Kau kira kau ini siapa Raden.
Kau kira aku ini siapa. Meskipun kau mempunyai ilmu simpanan rangkap tujuh,
tetapi kedudukanmu sekarang sangat lemah. Karena itu, daripada kau mengalami
perlakuan yang buruk, sebaiknya kau menyerah saja."
"Sudah aku katakan. Paman akan aku tangkap. Disini aku bertugas untuk menjaga
keselamatan bibi Prawirayuda.
Paman juga akan dituduh membunuh dua orang Senapati Paranganom di rumah ini."
Ki Tumenggung Prawirayuda masih saja tertawa.
Kemudian iapun berkata kepada Sura Branggah "Tangkap Raden Madyasta. Bunuh saja
Wismaya. Aku tidak memerlukannya."
Sura Branggah itupun segera memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk
menangkap Madyasta hidup-hidup serta membunuh Wismaya.
Pertempuranpun segera terjadi. Madyasta dan Wismaya harus berhadapan dengan
delapan orang upahan Ki Tumenggung Reksadrana, sementara Ki Tumenggung dan Sura
Branggah berdiri saja menonton.
Betapapun tinggi ilmu Raden Madyasta dan Wismaya, namun menghadapi delapan orang
brandal yang Ebook by Dewi Kangzusi
713 Kang Zusi http://kangzusi.com/
berpengalaman, keduanyapun segera terdesak. Bahkan sekali-
sekali Wismaya dan Raden Madyasta harus berloncatan surut
mengambil jarak pada saat-sat yang gawat.
Wismaya dan Raden Madyasta yang sudah mengerahkan
segenap kemampuannya itupun masih saja mengalami
kesulitan. Serangan-serangan lawannya sekali-sekali mulai
menyentuh tubuh mereka. "Nah, ingat" suara Ki Tumenggung terdengar bagaikan
guntur "Madyasta harus ditangkap hidup-hidup. Sedangkan
Wismaya tidak aku perlukan lagi. Bunuh saja dan buang
mayatnya di kebun belakang. Atau biarkan saja di longkangan
ini. Aku akan masuk dan mengambil Raden Ayu Prawirayuda
dan anak perempuannya."
Namun sebelum Ki Tumenggung itu beranjak dari tem-
patnya, terdengar seseorang bertanya "Kaukah itu Ki Tu-
menggung Reksadrana?"
Ki Tumenggung Reksadrana terkejut. Ketika ia berpaling,
dilihatnya dipintu seketeng dua orang yang melangkah
mendekati arena pertempuran. Dalam cahaya lampu minyak
yang lemah di serambi yang menghadap longkangan itu, Ki
Tumenggung Reksadrana melihat, bahwa yang datang itu
adalah Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung
Sanggayuda. Jantung Ki Tumenggung Reksadrana itupun menjadi
berdebaran. Ki Reksadrana tidak mengira, bahwa kedua orang
Tumenggung andalan Paranganom itu berada pula di rumah
Raden Ayu Prawirayuda. Namun sebenamyalah bahwa yang terkejut bukan hanya Ki
Tumenggung Reksadrana dan Sura Branggah. Tetapi Raden
Madyasta dan Wismayapun terkejut pula.
Ebook by Dewi Kangzusi 714 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Paman berada disini?" bertanya Raden Madyasta yang meloncat surut mengambil
jarak dari lawan-lawannya.
"Ya, ngger. Setiap malam aku menunggu di tempat ini.
Bergantian kami berdua berjaga-jaga menunggu kedatangan agul-agul dari Kateguhan
ini. Akhirnya orang ini datang pula."
"Setan kau kakang Sanggayuda dan kakang Wiradapa.
Darimana kalian tahu bahwa pada suatu saat aku akan datang ke rumah ini."
"Tentu kau yang sudah membujuk Kangjeng Adipati Yudapati agar, mengusir Raderi
Ayu Prawirayuda. Tetapi itu belum cukup bagimu. Kau datang memburunya kemari"
sahut Ki Tumenggung Sanggayuda.
"Aku memang datang kemari. Tetapi alasan yang kau sebutkan itu salah.
Sebenarnyaaku tidak mempunyai urusan dengan Raden Ayu Prawirayuda."
"Lalu untuk apa kau datang kemari?"
"Aku memerlukan Madyasta dan Wismaya."
"Kenapa?" "Bukan urusanmu. Sekarang serahkan saja Madyasta dan Wismaya kepadaku. Aku akan
segera pergi tanpa mengganggu seisi rumah ini."
"Apa kata Kangjeng Adipati Prangkusuma seandainya kau benar-benar membawa Raden
Madyasta ?" "Aku tidak peduli."
Ebook by Dewi Kangzusi 715 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Dapatkah kau membayangkan, jika perang terjadi antara Paranganom dan
Kateguhan?" Wajah Ki Tumenggung Reksadrana menjadi tegang.
Namun kemudian Ki Tumenggung itupun menjawab "Jika demikian, maka aku akan
melenyapkan saksi atas apa yang terjadi malam ini."
"Kau akan membunuh kami berdua, Raden Madyasta dan Wismaya sekaligus ?"
"Termasuk Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari. Bahkan para
pembantu, sehingga tidak seorangpun yang akan dapat mengatakan apa yang
sebenamya telah terjadi malam ini di rumah ini."
"Kau kira begitu mudahnya kau membunuh?"
"Kenapa tidak" Aku datang bersama sembilan orang. Kami semuanya sepuluh orang.
Kalian hanya berempat. Sementara itu diantara kami ada aku, ada Sura Branggah,
ada Cemeng Kebang Telon dan yang lain-lain, yang namanya telah mengumandang
diseluruh kadipaten Kateguhan."
"Mungkin nama mereka telah dikenal oleh orang-orang Kateguhan, tetapi tidak oleh
orang-orang Paranganom. Sebenanyalah ukuran kita tentang tingkat kelebihan seseorang memang berbeda. Apa
yang kalian anggap emas, ternyata tidak lebih dari loyang saja bagi kami."
"Kesombonganmu menyakitkan hatiku, kakang. Sebaiknya sekarang kakang menundukkan
kepala untuk menerima hukuman dari kami."
"Siapa yang akan menghukum kami " Kau dan para perigikutmu itu ?"
Ebook by Dewi Kangzusi 716 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya. Aku dan para pengikutku."
"Adi Tumenggung Reksadrana" berkata Ki Tumenggung
Wiradapa "sebaiknya adi menghentikan pokal adi yang jahat
ini. Adi harus menyadari, bahwa apa yang adi lakukan ini
dapat menyeret dua kadipaten yang pernah diperintah oleh
dua orang bersaudara, kakak beradik, kedalam kancah
peperangan." Wajah Ki Tumenggung Reksadrana menjadi semakin
tegang. Namun kemudian sekali lagi iapun berkata "Aku akan
membunuh semua orang. Perang itu tidak akan terjadi karena
tidak akan ada orang yang dapat menyebut namaku."
"Jangan terlalu yakin."
"Aku yakin akan kemampuanku dan aku yakin akan
kemampuan orang-orangku."
"Kaulah yang akan menjadi mayat disini, Reksadrana. Atau
aku akan menangkapmu dan menyeretmu ke hadapan
Kangjeng Adipati Prangkusuma. Jika perang itu kemudian
harus terjadi, maka kau akan menjadi pengewan-ewan tidak
hanya di Paranganom. Tetapi kau akan diikat.di alun-alun
Tegal angkap, karena kau telah mengobarkan permusuhan di
Tegal angkap dan bahkan menimbulkan perang antara dua
kadipaten terbaik di Tegal angkap."
"Persetan dengan celotehmu, Sanggayuda, aku akan
memotong lidahmu." "Bagus. Kita akan mencoba mengadu kemampuan. Sudah
sejak di hadapan Kangjeng Adipati Yudapati di Kateguhan aku
ingin memilin lehermu"
Ebook by Dewi Kangzusi 717 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku akan melayanimu Sanggayuda"
Ki Tumenggung Sanggayuda tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Iapun dengan
serta-merta telah menyerang Ki Tumenggung Reksadrana.
Serangan Ki Tumenggung Sanggayuda itu merupakan aba-aba bagi orang-orang upahan
Ki Tumenggung Reksadrana.
Merekapun serentak telah bergerak pula menyerang Raden Madyasta, Wismaya dan Ki
Tumenggung Wiradapa. Pertempuranpun segera telah berkobar kembali di longkangan itu. Wismaya dan
Raden Madyasta harus bertempur menghadapi beberapa orang lawan lagi. Tetapi
kehadiran Ki Tumenggung Wiradapa telah mengurangi beban yang harus di usung oleh
Wismaya dan Raden Madyasta.
Sementara itu Ki Tumenggung Reksadrana terikat dalam pertempuran melawan Ki
Tumenggung Sanggayada. Ternyata keduanya adalah prajurit linuwih. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi
serta pengalaman yang luas.
Paranganom dan Kateguhan yang pernah diperintah oleh dua orang bersaudara itu
masing-masing mempunyai Senapati pilihan yang sulit dicari imbangannya.
Keduanya saling menyerang dan bertahan. Selapis demi selapis keduanyapun
meningkatkan kemampuan mereka.
Di sisi yang lain, Wismaya dan Raden Madyasta berloncatan menghadapi lawan-
lawannya. Namun keduanyapun kemudian bergeser keluar dari pintu seketheng dan
bertempur di halaman. Wismaya harus menghadapi dua orang gegedug yang bertempur dengan keras dan
bahkan kasar. Raden Madyasta Ebook by Dewi Kangzusi
718 Kang Zusi http://kangzusi.com/
menghadapi tiga orang sekaligus. Demikian pula Ki Tumeng-
gung Wiradapa yang masih bertempur di longkangan. Ki Tu-
menggung itu juga menghadapi tiga orang benggol perampok
yang garang. Namun ketiganya adalah prajurit pilihan. Wismaya de-ngan
langkah-langkah panjang berloncatan di halaman, se-hingga
kedua orang lawannya telah dipaksa untuk menyesuaikan
dirinya. Keduanya yang berusaha untuk bertempur di arah
kedua sisinya, ternyata tidak pernah berhasil. Wismaya selalu
saja dapat keluar dari garis serangan yang dibangun oleh
kedua orang lawannya. Bahkan sekali-sekali Wismaya mampu
mengejutkan mereka. Geraknya yang sulit diduga itu,
membuat kedua orang lawannya harus memeras
kemampuannya. Tetapi serangan-serangan Wismayalah yang sekali-sekali
justru mulai menyentuh tubuh lawannya.
"Edan tenan orang ini" geram salah seorang dari kedua
gegedug yang bertempur melawan Wismaya
"Peras tenaganya, kang" berkata yang lain "ia akan
menjadi lumpuh dan tidak berdaya. Kita akan menangkapnya.
Kau pegang kepalanya aku pegang kakinya. Tubuhnya kita
pelintir seperti tampan"
Gegedug yang seorang tidak menjawab lagi. Tetapi di-
tingkatkannya serangan-serangannya. Seperti kawannya ia
mencoba memancing agar Senapati muda itu memeras
tenaganya sehingga akhirnya ia akan menjadi kelelahan atau
bahkan nafasnya akan terputus dengan sendirinya.
Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kedua orang
gegedug itulah yang harus memeras tenaga mereka. Senapati
muda itu mampu bergerak cepat sekali, sehingga hampir
Ebook by Dewi Kangzusi 719 Kang Zusi http://kangzusi.com/
bersamaan waktunya, serangannya mampu mengenai kedua
orang lawannya sekaligus.
Namun serangan-serangan kedua orang gegedug itu ada
juga yang berhasil menyusup disela-sela pertahanan Wismaya.
Seorang diantara kedua orang lawannya berhasil mengenai
punggung Wismaya dengan tendangan kakinya. Wismaya ter-
dorong kedepan. Dengan sigapnya lawannya yang seorang
lagi mengayunkan kakinya melingkar, tepat mengenai dada
Wismaya. Tetapi Wismaya tidak terdorong surut karena ia tahu
bahwa lawannya yang seorang lagi menunggu. Wismaya
justru menjatuhkan dirinya, berguling sambil menyapu kaki
lawannya yang seorang. Demikian kerasnya sehingga orang
itu terbanting ditanah. Ternyata Wismaya lebih cepat melenting berdiri. Ketika
orang itu juga bangkit, Wismaya sempat meloncat sambil
menjulurkan kakinya. Kaki Wismaya yang mengenai dada lawannya itu telah
melemparkan lawannya sehingga terpelanting di tanah.
Di dekat pendapa, Raden Madyasta bertempur melawan
ketika orang lawannya. Dengan gagangnya, seperti seekor
sikatan berburu bilalang di padang rumput yang luas, Raden
Madyasta berloncatan menyambar-nyambar. Namun kemudi-
an Raden Madaysta itu berdiri tegak di tengah-tengah
kepungan ketiga orang lawannya. Ia tidak berloncatan sama
sekali. Kedua kakinya rasa-rasanya menjadi lekat dengan bumi
yang diinjaknya. Sekali-sekali Raden Madyasta itu bergerak setapak
kesamping. Bergeser sedikit atau berputar seperempat
Ebook by Dewi Kangzusi 720 Kang Zusi http://kangzusi.com/
lingkaran. Sikapnya mencerminkan ketangguhannya. Tangguh
seperti seekor banteng menghadapi harimau yang garang.
Dengan demikian maka ketiga orang yang sudah terbiasa
hidup dalam suasana yang keras dan bengis itu justru menjadi
berdebar-debar menghadapi lawannya yang masih muda itu.
"Apakah anak seorang Adipati dengan sendirinya menjadi
seorang yang berilmu tinggi?" bertanya salah seorang
lawannya di dalam hatinya.
Sebenarnyalah ketiga orang lawannya itu benar-benar
mengalami kesulitan. Dalam pada itu, ketiga orang yang bertempur melawan Ki
Tumenggung Wiradapa adalah seorang yang bernasib buruk.
Sejak mereka mulai bertempur, mereka sudah terdesak.
Mereka segera merasakan tekanan yang sangat berat dari
seorang Tumenggung yang sudah separo baya.
Ketiga orang itu telah berusaha untuk memeras tenaga Ki
Tumenggung. Mereka bertempur sambil berloncatan. Sekali
menyerang, kemudian meloncat menjauh bergantian. Mereka
berharap bahwa Ki Tumenggung Wiradapa akan berlari-larian
memburu mereka. Tetapi yang terjadi sama sekali tidak seperti yang mereka
harapkan. Ki Tumenggung itu hanya sedikit sekali bergerak.
Jika seorang lawannya berloncatan menjauh, ia sama sekali
tidak memburunya. Ki Tumenggung itu dengan mapan


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menunggu lawannya datang menyerang.
Tetapi demikian serangan itu datang, maka orang yang
menyerang itulah yang terpelanting jatuh.
Ebook by Dewi Kangzusi 721 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun agaknya Ki Tumenggung sengaja tidak ingin segera menyelesaikan lawan-
lawannya. Ki Tumenggung itu bertempur sambil menonton pertempuran yang semakin
sengit antara Ki Tumenggung Sanggayuda melawan Ki Tumenggung Reksadrana.
Dalam pada itu, di dalam rumah itu telah terjadi ketegangan yang mencengkam.
Rantamsari yang terbangun oleh keributan itu telah memeluk ibunya yang telah
terbangun lebih dahulu. "Ibu. Apa yang terjadi?"
"Tenanglah Rantamsari."
"Apakah telah terjadi pertempuran ibu?"
"Ya. Agaknya memang telah terjadi pertempuran."
"Aku takut ibu."
"Jangan takut, Rantamsari. Di luar ada adikmu Madyasta.
Ia adalah seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi."
"Bukankah kakang Wismaya juga ada?"-
"Ya. Wismaya juga menyertainya. Tetapi sudah tentu bahwa kemampuan ilmu
Madyastalah yang jauh lebih tinggi."
Rantamsari terdiam. Namun tangannya yang memeluk tubuh ibunya terasa menjadi
gemetar. "Jangan takut Rantamsari. Tidak akan terjadi apa-apa denganmu. Raden Madyasta
akan segara dapat menyelesaikannya."
Ebook by Dewi Kangzusi 722 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tetapi yang terdengar itu sorak dan teriakan banyak
orang ibu. Bukankah dimas Madyasta hanya berdua saja
dengan kakang Wismaya."
"Dalam pertempuran, bukanlah yang terbanyak yang akan
menang. Tetapi yang akan menang adalah yang terbaik,"
Rantamsari terdiam lagi. Namun degup jantungnya justru
menjadi semakin cepat. Dalam pada itu, ketika di longkangan dan di halaman
terjadi pertempuran, maka Sura Branggah yang licik telah
berhasil menghindar dari perhatian para prajurit Paranganom.
Ia justru menyelinap masuk ke dalam rumah.
Dengan hati-hati Sura Branggah menyelusuri ruang demi
ruang. Ia berniat menemukan bilik tidur Raden Ayu
Prawirayuda atau Raden Ajeng Rantamsari. Kebetulan jika
mereka berdua berada di dalam satu bilik.
Ternyata suasana didalam rumah itu sepi. Diruang tengah,
lampu minyak menyala redup.
Sura Branggah menjadi ragu-ragu ketika ia melihat
beberapa buah pintu yang tertutup. Tetapi Sura Branggah
menduga, bahwa bilik tidur Raden Ayu Prawirayuda berada di
sisi sebelah kanan. Ketika ia melangkah mendekati pintu, Rantamsari yang
berada didalam bersama ibunya menjadi semakin ketakutan.
Dengan memeluk ibunya semakin erat, terdengar isaknya
yang tertahan. "Sst." desis ibunya.
Ebook by Dewi Kangzusi 723 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun isak tertahan Raden Ajeng Rantamsari itu terdengar oleh Sura Branggah.
Sura Branggah itu tersenyum. Ia akan menyeret kedua orang perempuan itu keluar
turun ke longkangan. Dengan mengancam untuk membunuh keduanya, ia akan dapat
memaksa kedua orang Tumenggung dan dua orang Senapati itu menyerah dan
membiarkan tangan dan kaki mereka diikat.
"Alangkah mudahnya membunuh mereka. Ki Tumenggung Reksadranapun akan dapat
memenuhi keinginannya, menumpahkan dendamnya kepada Wismaya dan Madyasta"
berkata Sura Branggah didalam hatinya.
Karena itu, dengan harapan untuk mendapat pujian dan upah lebih dari Ki
Tumenggung Reksadrana, Sura Branggah itu mengetuk pintu bilik Raden Ayu
Prawirayuda. Demikian terdengar pintu diketuk, maka Raden Ajeng Rantamsaripun memeluk ibunya
semakin erat sambil berdesis dengan suara yang bergetar "Ibu. Ibu. Aku takut."
"Jangan takut, Rantamsari."
"Siapa yang mengetuk pintu itu ibu?"
Ternyata Sura Branggah yang berada di luar pintu mendengar suara Rantamsari.
Dengan nada berat Sura Branggah itupun menyahut " Aku."
" Aku siapa?" bertanya Raden Ayu Prawirayuda.
"Silahkan membuka pintunya, Raden Ayu. Aku ingin berbicara sedikit."
"Kau siapa. Kau belum menyebut namamu."
Ebook by Dewi Kangzusi 724 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku Sura Branggah."
"Sura Branggah?"
"Ya." "Aku belum pernah mengenalmu. Pergilah. Jangan ganggu
kami." Tetapi Sura Branggah itu menggeram. Katanya "Raden
Ayu. Aku minta Raden Ayu membuka pintu."
"Tidak. Aku belum mengenalmu."
"Aku bukan seorang penyabar Raden Ayu. Aku dapat
menjadi garang. Karena itu, sebelum darahku menjadi panas,
bukalah." "Tidak" jawab Raden Ayu Prawirayuda. Namun terdengar
bentakkan diluar "Raden Ayu mau membuka pintu atu tidak.
Kalau tidak aku akan memecahkan pintunya."
Raden Ayu termangu-mangu sejenak. Namun Rantamsari
menjadi semakin ketakutan.
Sura Branggah yang hampir saja kehilangan kesabaran
mengetuk pintu itu semakin keras sambil membentak "Buka
pintunya. Jika Raden Ayu tidak mau membuka pintu, maka
aku akan merusak pintu itu. Tidak ada yang dapat
menghalangi Sura Branggah."
Raden Ayu Prawirayuda tidak mempunyai pilihan. Agaknya
Sura Branggah benar-benar akan merusak pintu biliknya jika ia
tidak membukanya. Ebook by Dewi Kangzusi 725 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Tetapi ketika ia melangkah ke pintu, Rantamsari menahannya sambil berdesis
"Jangan ibu. Pintunya jangan dibuka. Aku takut sekali."
"Jangan takut, Rantamsari. Tidak akan terjadi apa-apa."
"Jangan ibu." Namun Raden Ayu itu berkata "Percayalah kepadaku, Rantamsari. Adikmu akan segera
datang menolong. Seandainya aku tidak membuka pintu itu, maka pintu itupun akan terbuka setelah
dirusak oleh orang yang berada di luar pintu itu."
"Tetapi........."
"Sudahlah. Percayalah kepada ibu." Rantamsari tidak dapat menahannya lagi.
Dengan tubuh gemetar Rantamsari melihat ibunya mengangkat selarak kemudian
membuka pintu bilik itu. Rantamsari menjadi semakin ketakutan ketika ia melihat wajah orang yang berdiri
di belakang pintu itu. "Ibu" Suaranya menjadi semakin bergetar. Tetapi Raden Ayu Prawirayuda melangkah
mendekati Sura Branggah. "Apa yang kau maui, Sura Branggah."
"Aku minta Raden Ayu Prawirayuda dan Raden Ajeng Rantamsari keluar dari rumah
ini untuk turun ke longkangan."
"Untuk apa?" "Raden Ayu tidak usah terlalu banyak bertanya. Jika Raden Ayu tidak segera
turun, maka Raden Madyasta dan Wismaya akan segera dibantai oleh kawan-kawanku."
Ebook by Dewi Kangzusi 726 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kau tidak dapat menipuku, Sura Branggah. Pertempuran
itu masih berlangsung. Itu berarti bahwa kawan-kawanmu
masih belum menguasai Raden Madyasta dan Wismaya."
"Tinggal soal waktu, Raden Ayu. Betapapun tinggi ilmu
mereka berdua, tetapi mereka tidak akan mampu melawan
kawan-kawanku yang jumlahnya belasan orang. Satu hal yang
perlu Raden Ayu ketahui, bahwa Ki Tumenggung Reksadrana
sekarang ada disini."
Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang. Dengan
nada suara yang berat, Raden Ayu itu berkata "Kau akan
menakut-nakuti aku?"
"Tidak. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung ada
disini. Karena itu, jangan bertanya lagi. Marilah kita pergi ke
longkangan." "Tidak. Kami tidak akan pergi ke longkangan."
"Raden Ayu tidak dapat menolak. Aku akan dapat
memaksa Raden Ayu untuk pergi ke longkangan bersama
dengan Raden Ajei g Rantamsari."
"Kami tidak akan pergi."
"Sudah aku katakan, Raden Ayu tidak dapat menolak.
Raden Ayu harus pergi ke longkangan. Jika Raden Ayu tetap
tidak mau, aku akan menyeret Raden Ayu dan Raden Ajeng
Rantamsari." Jantung Rantamsari terasa telah berhenti. Namun Raden
Ayu Prawirayuda itupun berkata "Sura Branggah. Apakah kau
belum pernah mendengar bahwa pada saat aku berada di
Ebook by Dewi Kangzusi 727 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Kateguhan, terutama pada masa pemerintahan kangmas
Adipati Prawirayuda, aku adalah seorang prajurit?"
"Sudah Raden Ayu. Bahkan Raden Ayu mendapat julukan
Srikandi dari Kateguhan."
"Jadi kau sudah tahu bahwa aku seorang prajurit."
"Tetapi prajurit perempuan di Kateguhan itu sekedar
sebagai hiasan saja. Prajurit perempuan bukan prajurit yang
sebenarnya. Seperti kuntum-kuntum bunga yang berserakkan
diantara semak-semak berduri. Bahwa nama Raden Ayu waktu
itu menjadi semerbak, karena Raden Ayu adalah isteri
Kangjeng Adipati. Bukan karena kemampuan ilmu Raden Ayu."
"Sura Branggah" berkata Raden Ayu itu kemudian "sudah
lama aku meletakkan senjataku. Tetapi untuk melindungi
anakku perempuan, maka aku telah mengenakan kembali
keris pusakaku ini."
"Jadi tegasnya, Raden Ayu akan melawan?"
"Ya. Aku akan melawanmu Sura Branggah."
Sura Branggah itu tertawa berkepanjangan. Katanya
"Bagaimana mungkin Raden Ayu berniat melawanku. Aku
adalah pemimpin Brandal yang sangat ditakuti. Gegedug-
gegedug yang menjadi nama besar di Kateguhan semua
tunduk kepadaku. Sementara itu, Raden Ayu yang mabuk
dengan gelar Srikandi Kateguhan yang tidak lebih dari sekedar
hiasan saja, akan mencoba melawanku."
"Kita akan membuktikannya, Sura Branggah."
"Bagus. Jika Raden Ayu benar-benar ingin melawan, serta
kesabaranku sudah lewat dari batas, maka aku akan menyeret
Ebook by Dewi Kangzusi 728 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Raden Ayu seperti menyeret sebatang pohon pisang ke
longkangan." Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Tetapi di-
singsingkannya kain panjangnya. Ternyata bahwa dibawah
kain panjangnya Raden Ayu Prawirayuda telah mengenakan
pakaian khususnya. Pakaiannya pada saat ia masih disebut
Srikandi Kateguhan. Pakaian seperti itu pulalah yang
dikenakan oleh sepasukan kecil prajurit perempuan di
Kateguhan pada masa pemerintahan Kangjeng Adipati
Prawirayuda, namun yang kemudian dihapuskan sejak
Kangjeng Adipati Yudapati menduduki jabatannya
menggantikan ayahandanya.
"Ibu" Rantamsari menjadi semakin berdebar-debar. Ia
sadar, bahwa ibunya siap untuk bertempur melawan orang
yang menakutkan itu. Jantung Sura Branggah tergetar. Namun bagaimanapun
juga ujudnya, ia adalah seorang perempuan.
Sejenak kemudian, maka Raden Ayu Prawirayuda itu sudah
bergerak kepintu. Ketika Sura Branggah bergetar surut, maka
Raden Ayu Prawirayuda itupun sudah berdiri di luar biliknya.
Keduanya bergeser sejenak. Sementara Sura Branggah
masih menggeram "Justru karena kau melawan, Raden Ayu,
maka nasibmu akan menjadi lebih buruk lagi."
Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab lagi. Tetapi ia
sudah siap untuk bertempur
Beberapa saat kemudian, maka Sura Branggahpun mulai
menyerang. Dengan tangkasnya Raden Ayu Prawirayuda itu
menghindar. Bahkan Raden Ayu itupun bergeser mendekati
pintu butulan yang akan sampai ke longkangan yang satu lagi.
Ebook by Dewi Kangzusi 729 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Demikian mereka berada di longkangan, maka Raden Ayu
itupun berkata "Kita mempunyai arena yarig luas Sura
Branggah. Disini tidak akan ada yang mengganggu.
Sementara yang lain bertempur di longkangan sebelah."
Jantung Sura Branggah berdesis. Agaknya Raden Ayu
Prawirayuda itu mempunyai kepercayaan diri yang tinggi pula,
sehingga seakan-akan ia yakin akan dapat memenangkan
pertempuran itu. "Apakah namaku sama sekali tidak berpengaruh terhadap
Raden Ayu Prawirayuda itu?",
Namun agaknya Raden Ayu Prawirayuda itu sama sekali
tidak gentar menghadapi Sura Branggah, seorang pemimpin
brandal yang ditakuti oleh para gegedug di Kateguhan.
Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam
pertempuran. Ketika Sura Branggah meloncat menyerang,
dengan cepat Raden Ayu Prawirayuda itupun menghindar.
Demikianlah, maka pertempuran antara keduanyapun
semakin lama menjadi semakin sengit. Sura Branggah sama
sekali tidak menduga, bahwa Raden Ayu Prawirayuda benar-
benar perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.
Dengan demikian, maka Sura Branggah yang semula
menganggap remeh kemampuan Raden Ayu Prawirayuda,
harus meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Sura Branggah
itu sempat terkejut ketika tiba-tiba saja kaki Raden Ayu
Prawirayuda itu menghantam dadanya, sehingga Sura
Branggah itupun terhuyung-huyung beberapa langkah surut.


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau terkejut, Sura Branggah"
Ebook by Dewi Kangzusi 730 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku memang terkejut Raden Ayu. Tetapi aku segera menemukan keseimbanganku
kembali menghadapi ilmumu yang harus aku akui, termasuk ilmu yang tinggi. Tetapi
sekarang Raden Ayu berhadapan dengan Sura Branggah.
Dengan Lurah gegedug yang tinggi terkalahkan."
"Tentu gegedug-gegedug itu tidak dapat mengalahkanmu, karena sebenarnya mereka
tidak lebih dari kecoak-kecoak yang tidak berharga."
"Jika tidak mendengar langsung, aku tidak percaya bahwa kata-kata itu kau
ucapkan Raden Ayu. Bukankah sehari-hari kau seorang puteri bangsawan yang luruh
seperti Sembadra?" "Tidak. Aku bukan Sembadra. Tetapi aku adalah Srikandi."
Sura Branggah tidak sempat berbicara lagi. Serangan-serangan Raden Ayu
Prawirayuda datang seperti badai.
Dalam pada itu, pertempuran di longkangan yang lainpun masih berlangsung. Ki
Tumenggung Reksadrana dan Ki Tumenggung Sanggayuda masih bertempur dengan
sengitnya. Keduanya memiliki kelebihannya masing-masing.
Sementara itu kebencian telah membakar jantung mereka sehingga keduanya menjadi
tidak terkekang lagi. Di lingkaran pertempuran yang lain,ketiga orang lawan Ki Tumenggung Wiradapa
seakan-akan telah kehabisan nafas.
Tetapi mereka masih terus bertempur.
Mereka merasa bahwa mereka adalah gegedug yang selama ini namanya mampu membuat
orang yang mendengarnya menjadi pingsan. Namun tiba-tiba mereka bertiga
mengalami kesulitan menghadapi seorang Tumenggung tua.
Ebook by Dewi Kangzusi 731 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Di halaman Wismaya dan Madyasta masih juga bertempur dengan sengitnya. Madyasta
harus bertempur melawan tiga orang brandal. Meskipun tidak segera mampu mendesak
lawannya, namun Madyasta juga tidak terdesak. Bahkan sekali-sekali Madyasta
berhasil menguak pertahanan lawan.
Serangan-serangannya mampu mengenai tubuh lawan-lawannya.
Namun agaknya lawan-lawannya tidak ingin bertempur terlalu lama. Merekapun
segera menggenggam senjata-senjata mereka.
Raden Madyasta meloncat mengambil jarak. Kilatan cahaya lampu minyak yang redup
di pendapa telah mem-peringatkan agar Madyasta tidak menjadi lengah.
Dengan demikian, maka Madyastapun telah menarik pedangnya pula.
Dengan pedang di tangan, maka Madyasta menjadi semakin garang. Ternyata bahwa
putera Kangjeng Adipati Prangkusuma itu benar-benar memiliki ilmu pedang yang
mumpuni. Di lingkaran pertempuran yang lain, Wismayapun telah memutar pedangnya pula.
Sementara itu kedua orang lawannyapun telah menggenggam golok di tangan mereka.
Di ruang dalam, Rantamsari menjadi kebingungan. Ketika ia menjenguk longkangan,
dilihatnya ibunya sedang bertempur melawan Sura Branggah.
Dalam ketakutan dan kebingungan itulah, tiba-tiba tangan yang kuat telah
melingkar diwajahnya dan menutup mulutnya rapat-rapat sehingga Rantamsari tidak
sempat menjerit. Tiba-Ebook by Dewi Kangzusi
732 Kang Zusi http://kangzusi.com/
tiba saja tangan yang kasar dan kuat menyeretnya, menjauh
daripintu butulan. "Kau tidak dapat mencari perlindungan sekarang
Rantamsari." Jantung Rantamsari bergejolak. Suara itu adalah suara
pamannya, Wicitra. "Mau atau tidak mau, kau sekarang harus ikut aku."
Rantamsari meronta. Tetapi yang terdengar suara tertawa
Wicitra. Tidak begitu keras, tetapi terasa menusuk telinganya,
menembus sampai ke jantung.
Rantamsari tidak berdaya ketika Wicitra menyeretnya ke
ruang tengah melewati sambil ke belakang.
Ketakutan yang sangat telah mencengkam jantung
Rantamsari. Bahkan Rantamsari itu membayangkan wajah
pamannya itu justru lebih garang dari wajah Sura Branggah
yang berdiri di belakang pintu bilik ibunya ketika pintu itu
terbuka. Ketakutan yang sangat itu telah membuat Rantamsari
kehilangan akal dan menjadi putus asa. Justru karena itu,
maka yang dilakukannya, tidak lagi berdasarkan atas nalarnya
yang bening. Adalah diluar pertimbangan nalarnya jika tiba-tiba saja
Raden Ajeng Rantamsari itu menggigit tangan Raden Wicitra
yang sedang menutup mulutnya.
Raden Wicitra terkejut. Ia tidak menyangka, bahwa tiba-
tiba saja Raden Ajeng Rantamsari itu menggigitnya.
Ebook by Dewi Kangzusi 733 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Karena itu, diluar sadarnya, Raden Wicitra itu telah menghentakkan tangannya.
Namun demikian kerasnya Raden Ajeng Rantamsari menggigitnya, maka tangan Raden
Wicitra itu telah terluka dan bahkan berdarah.
Ternyata Raden Ajeng Rantamsari tidak sekedar menggigit tangan Wicitra. Demikian
tangan itu terlepas karena kesakitan, maka Raden Ajeng Rantamsari itupun segera
melarikan diri. Raden Wicitra memang terlambat sesaat ketika ia mengaduh kesakitan karena
tangannya yang berdarah. Sementara itu, Raden Ajeng Rantamsari sempat melarikan diri lewat serambi
samping, menyusup ke longkangan di belakang.
Raden Wicitra tidak mau melepaskannya. Karena itu, maka iapun segera berlari
menyusulnya. "Kau tidak akan dapat lari, Rantamsari. Jika kau. berani keluar lewat pintu
butulan, maka kau akan jatuh ketangan brandal-brandal itu. Kau akan menjadi
seperti anak ayam di sarang segerombolan musang yang kelaparan. Kau akan
dikoyak-koyakan tanpa belas kasihan. Nasibmu akan menjadi lebih buruk dari
mati." Raden Ajeng Rantamsari masih mendengar suara pamannya. Namun ia tidak
menghiraukannya. Melewati longkangan di belakang, Raden Ajeng Rantamsari berlari
masuk ke dapur. Tetapi baru saja kakinya melangkahi tlundak pintu, maka sekali lagi tangan yang
kuat telah menutup mulutnya. Ia merasa seseorang telah mendekapnya dari
belakang. Dari mulut orang yang mendekapnya itu Raden Ajeng Rantamsari mendengar suara
berdesis "Jangan berteriak kangmbok. Mungkin aku mengejutkan kangmbok. Tetapi
aku Ebook by Dewi Kangzusi 734 Kang Zusi http://kangzusi.com/
tidak berniat buruk. Jika kangmbok berjanji tidak berteriak,
aku akan melepaskannya."
Raden Ajeng Rantamsari mencoba untuk mengangguk.
Bab 29 - Terbakar Matahari Tamat
Tangan yang kuat itu benar-benar melepaskannya. Ketika
Raden Ajeng Rantamsari berpaling, ia melihat di keremangan
cahaya lampu minyak yang redup seorang anak muda yang
berdiri tegak di sebelah pintu."
"Dimas Wignyana."
"Ya. Aku akan menyelamatkan kangmbok. Silahkan
bersembunyi di tempat yang agak gelap. Aku tahu, paman
Wicitra ada disini."
"Ya. Aku telah dikejar-kejar paman Wicitra." Dalam pada
itu terdengar suara Wicitra yang meskipun tidak begitu keras,
tetapi jelas "Rantamsari. Kau tidak akan lepas dari tanganku,
Tetapi semakin sulit aku menemukanmu, maka akan semakin
keras aku mencengkammu. Karena itu, kau tidak perlu
melarikan diri." Raden Ajeng Rantamsari berdiri membeku. Bahkan
bernafaspun ia menjadi sangat berhati-hati.
Raden Wicitra yang melihat pintu dapur yang terbuka,
segera menduga, bahwa Rantamsari telah bersembunyi ke
dapur. Karena itu, maka Raden Wicitrapun telah masuk kedapur
pula. Ebook by Dewi Kangzusi 735 Kang Zusi http://kangzusi.com/
" Rantamsari. Kau dengar suaraku. Bagimu tentu lebih baik menyingkir bersamaku
daripada jatuh ke tangan para perampok itu. Kau akan menjadi seorang isteri yang
bahagia. Aku akan memenuhi semua keinginanmu."
Namun Raden Wicitra itu terkejut ketika ia mendengar seseorang menyapanya dari
dalam bayangan kegelapan "Selamat malam, paman."
"Kau siapa" "
"Paman lupa kepadaku " Tetapi itu wajar-wajar saja, paman. Kita memang jarang
sekali bertemu." "Kau siapa" "
"Aku wignyana, paman."
"Wignyana " Adik Madyasta, putera Kangjeng Adipati Prangkusuma?"
"Ya, paman" "O" Wicitra mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya "Apa yang kau
lakukan disini" "
"Aku terbiasa berada di rumah ini, paman."
"Untuk apa " Bukankah kau tidak bertugas disini?"
"Memang tidak, paman. Tetapi aku datang kemari untuk mengunjungi kangmbok
Rantamsari." "Mengunjungi Rantamsari."
Ebook by Dewi Kangzusi 736 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya. Kami sudah berjanji untuk mengikat tali hubungan yang lebih erat daripada
sekedar saudara sepupu."
"Maksudmu?" "Kami berjanji untuk menikah."
"Itu pikiran gila. Bukankah menurut urutan abunya, Rantamsari lebih tua darimu."
"Ya. Apa salahnya?"
"Tidak. Itu tidak mungkin."
"Kenapa?" "Tidak ada orang yang akan menjadi suami Rantamsari kecuali aku sendiri."
"Paman Wicitra " Apakah pikiran itu tidak lebih gila lagi".
Bukankah paman Wicitra itu paman Rantamsari sendiri. Adik ibunya dan bahkan adik
kandung?" "Kita sama-sama gila, Wignyana. Karena itu, tinggalkan Rantamsari."
"Tidak, paman. Aku tidak akan meninggalkannya..
Rantamsari aku menjadi isteriku."
"Sekali lagi aku peringatkan. Tinggalkan Rantamsari."
"Sekali lagi aku tegaskan. Aku tidak akan meninggalkan kangbok Rantamsari."
"Jika demikian, aku harus membunuhmu. Kau akan mati muda malam ini."
Ebook by Dewi Kangzusi 737 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Caeingpun akan menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi aku
paman." "Aku bunuh kau, Wignyana." "
Wignyanapun segera bersiap. Sementara itu Wicitra justru
melangkah surut. Iapun kemudian turun ke longkangan
belakang. Wignyana tahu, bahwa Wicitra memilih tempat yang
lapang dan lebih terang karena sinar lampu minyak di.
longkangan meskipun cahayanya redup.
"Kau masih mempunyai kesempatan, Wignyana."-
"Terima kasih, paman. Tetapi karena aku tidak akan
mempergunakan kesempatan yang paman berikan, karena
aku akan dapat mengambil kesempatanku sendiri. Jauh lebih
baik dari kesempatan yang paman berikan."
Keduanyapun kemudian telah terlibat dalam pertempuran
Wicitra dengan geram telah menyerang anak muda yang
berani mengganggu niatnya untuk mengambil Rantamsari
pada saat yang sangat menguntungkan itu.
Tetapi Wignyanapun telah siap menghadapinya. Dengan
tangkasnya Wignyana itu bergerak dengan cepat menghindari
serangan-serangan Wicitra. Namun pada setiap kesempatan,
Wignyanalah yang meloncat menyerang.
Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin sengit
Kedua belah pihak meningkatkan ilmu mereka masing-masing.
Keduanya saling menyerang dengan garangnya.
Ebook by Dewi Kangzusi 738 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wicitra yang kepalanya telah dipenuhi dengan nafsunya itu, bertempur dengan
kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. dikerahkannya ilmunya untuk
mengakhiri pertempuran dengan cepat. Wicitra ingin menyelesaikan lawannya lebih cepat dari pertempuran yang
terjadi di longkangan, siapapun pemenangnya. Karena kedua belah pihak yang
bertempur di longkangan itu tentu akan memusuhinya.
Semakin lama, pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Apalagi ketika Wicitra
dan Madyasta telah menarik keris mereka masing-masing.
Namun, seperti Madyasta, Wignyanapun telah ditempat sampai tuntas dalam olah
kanuragan. Karena itu, maka menghadapi Wicitra ternyata Wignyana tidak dapat
segera ditundukkan. Bahkan semakin lama mereka bertempur, maka Wicitralah yang justru mengalami
kesulitan. "Anak iblis" geram Wicitra "aku akan benar-benar membunuhmu."
Tetapi Wignyana itupun menjawab "Paman. Aku minta paman segera menyerah. Paman
akan aku tangkap dan aku bawa menghadap ayahanda. Paman telah membuat keributan
di Paranganom meskipun barangkali paman masih tetap orang Kateguhan."
"Persetan dengan kekuasaan di Paranganom."
"Masih ada kesempatan paman. Menyerahlah." Tetapi Wicitra tidak mendengarkannya.
Bahkan dengan serta-merta Wicitra menjulurkan kerisnya menggapai dada Wignyana.
Ebook by Dewi Kangzusi 739 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wignyana bergeser setapak sambil memiringkan tubuhnya.
Namun. ujung keris Wicitra sempat menyentuh bahu Wignyana.
Darah Wignyanalah yang serasa telah mendidih. Luka di bahunya terasa sangat
pedih. Karena itu, maka Wignyanapun telah kehilangan kendali dirinya. Darah
mudanya telah bergejolak dengan dahsyatnya.
Karena itu, serang-serangan Wignyana yang telah terluka itupun datang membadai.
Namun Wicitra masih juga sempat berkata "Kau sudah terluka Wignyana. Darah akan
terperas dari tubuhmu. Kau akan menjadi lemah dan tidak berdaya. Akhirnya kau
akan mati disini." Wignyana tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin sengit.
Wicitra benar-benar telah terdesak. Ketika keris Wicitra terayun menyambar ke
arah kening, Wignyana sempat merendahkan dirinya, sehingga ujung keris itu tidak
menyentuhnya. Namun justru Wignyanalah yang selangkah maju, seakan-akan melekat
di tubuh Wicitra. Terdengar Wicitra mengaduh tertahan. Ketika Wignyana bergeser surut sambil
menarik kerisnya, maka Wicitrapun terhuyung-huyung sambil mendesah menahan


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sakit. "Iblis kau Wignyana" geram Wicitra. Namun suaranyapun terputus. Wicitra itupun
jatuh tersuruk di tanah. Lambungnya koyak oleh keris Wignyana. Sementara itu
darah bagaikan dituangkan dari lukanya itu.
Ebook by Dewi Kangzusi 740 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wignyana bergeser surut. Sementara itu, Rantamsari yang bersembunyi di dapur
sempat melihat tubuh Wicitra yang terbaring diam itu.
Mula-mula Rantamsari agak ragu. Namun iapun kemudian melangkah mendekat sambil
bertanya "Bagaimana dengan paman, dimas."
"Aku tidak berniat membunuhnya kangmbok. Tetapi dalam pertempuran itu aku tidak
dapat mengendalikan diri lagi."
"Jadi paman sudah mati?"
"Ya." . Paman tidak akan menggangguku lagi?"
"Ya, kangmbok."
Tiba-tiba saja Rantamsari itupun berlari mendekap Wignyana sambil berdesis
"Terima kasih dimas. Dimas sudah menyelamatkan nyawaku. Bahkan lebih dari itu.
Jika aku jatuh ketangan paman Wicitra, maka nasibku tentu lebih buruk daripada
mati." Wignyana menjadi berdebar-debar. Namun kemudian iapun berkata "Kangmbok,
bagaimana dengan bibi."
Rantamsari bagaikan tersadar. Dengan nada tinggi iapun berkata "Ibu sedang
bertempur dengan orang yang mengaku bernama Sura Branggah."
"Marilah, kita melihatnya."
Keduanyapun kemudian berlari-lari masuk ke ruang dalam, langsung ke pintu
samping. Sambil menggandeng tangan
Ebook by Dewi Kangzusi 741 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Rantamsari yang masih gemetar, keduanya turun ke
longkangan. Raden Ayu Prawirayuda masih bertempur melawan Sura
Branggah. Namun ternyata bahwa Sura Branggah salah duga
terhadap kemampuan Raden Ayu Prawirayuda. Srikandi
Kateguhan itu bukan hanya sekedar namanya. Bukan pula
sekedar hiasan agar di Kateguhan terdapat sekelompok
prajurit yang cantik-cantik. Tetapi Raden Ayu Prawirayuda
memang berilmu tinggi. Karena itu, maka akhirnya, Sura Branggah tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa ia tidak mampu mengatasi
kemampuan ilmu Raden Ayu Prawirayuda.
Sura Branggah itu berteriak nyaring ketika ujung keris
Raden Ayu Prawirayuda menembus dadanya, langsung
mengoyak jantung. Kemarahan yang meledak justru pada saat maut sedang
datang menjemput. Tubuh Sura Branggah itupun kemudian terkapar di tanah.
Darah mengalir dari lukanya. Sementara Raden Ayu
Prawirayuda berdiri termangu-mangu.
Raden Wignyana yang masih menggandeng Raden Ajeng
Rantamsari itupun melangkah mendekati dengan ragu-ragu.
Sementara jantung Wignyana berdesir ketika ia melihat keris
bibinya berada di tangan kirinya.
"Ibu " desis Raden Ajeng Rantamsari.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Raden Wignyana
menggandeng Raden Ajeng Rantamsari. yang masih gemetar.
Ebook by Dewi Kangzusi 742 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dengan serta-merta Raden Ajeng Rantamsaripun segera berlari memeluk ibunya.
Raden Ayu Prawirayuda menarik nafas panjang. Iapun memeluk anak perempuannya
erat-erat. "Kau tidak apa-apa Rantamsari?"
"Tidak ibu. Dimas Wignyana telah menolong aku."
Ibunya termangu-mangu. Namun terasa titik-titik air mata Raden Ajeng Rantamsari
di bahunya. "Apa yang terjadi, Rantamsari?" bertanya ibunya.
"Paman Wicitra ibu."
"Dimas Wicitra " Kenapa dengan dimas Wicitra?"
"Pada saat ibu bertempur, aku telah diseret oleh paman Wicitra. Aku tidak sempat
berteriak, karena mulutku ditutup dengan tangannya. Untunglah bahwa dimas
Wignyana melihatnya dan bahkan menolong aku."
"Dimana pamanmu sekarang ?"
"Paman sudah mati, ibu."
"Mati " Angger Wignyana telah membunuhnya?"
"Mereka bertempur ibu. Masing-masing membawa sebilah keris. Paman Wicitra
tertusuk keris dan meninggal seketika."
Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang. Dengan suara yang berat iapun
berkata "Tunjukkan kepadaku, dimana tubuh pamanmu itu, Rantamsari."
Ebook by Dewi Kangzusi 743 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Rantamsari yang sudah melepaskan pelukannya
mengangguk sambil menjawab "Tubuh paman ada di
longkangan belakang."
Raden Ayu Prawirayuda segera beranjak dari tempatnya
sambil berkata "Marilah angger Wignyana. Kita lihat keadaan
Wicitra." "Mari bibi." Bertiga mereka pergi ke longkangan belakang. Namun ada
berbagai pertanyaan di dada Wignyana. Ia melihat ada
sesuatu yang kurang mapan di hati bibinya.
"Mungkin perasaan bibi masih bergejolak. Ia baru saja
selesai bertempur." Sementara itu, pertempuran antara Ki Tumenggung
Sanggayuda dengan Ki Tumenggung Reksadrana masih
berlangsung. Keduanya telah mengerahkan kemampuan
mereka. Namun perlahan-lahan Ki Tumenggung Sanggayuda
mulai mendesak lawannya. Meskipun demikian, sekali-sekali dengan menghentakkan
sisa tenaganya, Ki Tumenggung Reksadrana masih mampu
mengejutkan Ki Tumenggung Sanggayuda.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung Wiradapa yang
masih bertempur melawan ketiga orang lawannya mulai yakin,
bahwa ia tidak perlu mencemaskan Ki Tumenggung
Sanggayuda. Karena itu maka Ki Tumenggung Wiradapa itupun segera
mengakhiri perlawanan ketiga orang gegedug yang sudah
semakin tidak berdaya. Seorang diantara mereka menjadi
Ebook by Dewi Kangzusi 744 Kang Zusi http://kangzusi.com/
pingsan karena pukulan sisi telapak tangan di tengkuknya.
Seorang lagi terlempar menimpa dinding, sehingga tulang
punggungnya serasa menjadi patah. Meskipun orang itu tidak
pingsan, tetapi ia tidak mampu untuk segera bangkit.
Sedangkan seorang yang lain terbaring diam setelah kaki Ki
Tumenggung Wiradapa mengenai dadanya.
Demikian ketiga lawannya tidak berdaya, maka Ki
Tumenggung itupun segera turun ke halaman. Di halaman
Wismaya dan Raden Madyasta masih bertempur dengan
sengitnya. Namun kehadiran Ki Tumenggung Wiradapa telah
mempercepat pertempuran itu.
Lawan-lawan Wismaya dan Raden Madyasta itupun
menjadi tidak berdaya karenanya. Adalah diluar kemauannya,
ketika ujung pedang Wismaya menghunjam ke dada seorang
lawannya langsung menyentuh jantung, sehingga lawannya
itupun tidak akan pernah bangkit lagi. Sedangkan seorang
yang lain, langsung melemparkan senjatanya dan menyerah.
Sedangkan seorang lawan Raden Madyasta yang tersentuh
tangan Ki Tumenggung Wiradapa telah terkapar pula ditanah,
sementara kedua orang yang lain telah terluka. Bahkan
seorang diantaranya parah.
Demikian lawan-lawan mereka tidak berdaya, maka
Madyastapun bertanya "Bagaimana dengan paman
Tumenggung Sanggayuda, paman?"
"Pamanmu masih bertempur di longkangan, ngger."
Madyasta mengerutkan dahinya. Iapun kemudian berkata
kepada Wismaya "Kakang. Ikat mereka dahulu, setelah itu
pergilah ke longkangan."
"Baik, Raden." Ebook by Dewi Kangzusi 745 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Paman, marilah kita pergi ke longkangan terlebih dahulu."
berkata Raden Madyasta pula. Demikianlah, maka Raden
Madyasta dan Ki Tumenggung Wiradapa telah memasuki
longkangan, sementara Wismaya mengikat para brandal yang
sudah tidak berdaya. Tetapi mereka tidak boleh terlepas.
Baru kemudian Wismayapun telah menyusul ke
longkangan pula. Di longkangan Ki Tumenggung Sanggayuda dan Ki
Tumenggung Reksadrana masih bertempur dengan sengitnya.
Kedua-duanya telah menggenggam keris di tangan mereka.
"Ayo Wiradapa" berkata Ki Tumenggung Reksadrana "jika
kau sayang kepada kawanmu ini, turun ke arena. Aku akan
membunuh kalian berdua bersama-sama. Bahkan biarlah anak
Adipati itu melibatkan dirinya pula bersama Senapatinya."
"Kau tidak usah terlalu banyak sesumbar Reksadrana "
sahut Ki Tumenggung Sanggayuda "aku sendiri akan dapat
melumatkanmu." Namun hampir di luar sadarnya Ki Tumenggung
Reksadrana itu bergumam "Dimana Sura Branggah itu."
"Kau mencari kawan?" bertanya Ki Tumenggung
Sanggayuda. "Bukan aku. Tetapi seharusnya Sura Branggah mengurusi
orang-orangnya yang rapuh itu. Mereka tidak pantas untuk
turun ke medan pertempuran bersama Ki Tumenggung
Reksadrana." "Kau kira kau sendiri pantas untuk berada di medan
melawan aku." Ebook by Dewi Kangzusi 746 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Setan kau Sanggayuda." Pertempuranpun menjadi
semakin sengit. Ki Tumenggung Reksadrana telah
mengerahkan kemampuan ilmunya. Kerisnya bergerak
menyambar-nyambar. Namun keris di tangan Ki Tumenggung Sanggayudapun
tidak kalah mendebarkan. Kerisnya itu berputaran dengan
cepat. Pantulan cahaya lampu minyak yang redup pada pamor
kerisnya, bagaikan cahaya bintang yang berkeredipan kebiru-
biruan. Sementara itu keris Ki Tumenggung Reksadrana
seakan-akan memancarkan bara yang kemerah-merahan.
Ki Tumenggung Wiradapa, Raden Madyasta dan Wismaya
memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang
berdebaran. Namun semakin lama merekapun menjadi
semakin yakin, bahwa Ki Tumenggung Sanggayuda akan
dapat menguasai lawannya.
Meskipun demikian, ujung keris Ki Tumenggung
Reksadrana itupun telah menggores lengan Ki Tumenggung
Sanggayuda, sementara ujung keris Ki Tumenggung
Sanggayuda telah melukai bahu Ki Tumenggung Reksadrana.
Luka di tubuh kedua orang yang sedang bertempur itu
telah memanasi darah mereka, sehingga merekapun
bertempur semakin garang.
Tetapi akhirnya Ki Tumenggung Reksadrana tidak dapat
mengingkari kenyataan. Ketika tenaga Ki Tumenggung
Reksadrana mulai menyusut, sementara Ki Tumenggung
Sanggayuda masih tetap bertempur dengan garangnya, maka
Ki Tumenggung Reksadrana menjadi semakin terdesak.
Namun Ki Tumenggung Reksadrana masih mencoba
menghentakkan kemampuannya. Dengan sisa-sisa tenaga dan
Ebook by Dewi Kangzusi 747 Kang Zusi http://kangzusi.com/
kemampuannya, Ki Tumenggung Reksadrana mencoba untuk
menyelesaikan pertempuran. Pada saat ia melihat kesempatan
yang terbuka, maka Ki Tumenggung Reksadrana itupun
segera meloncat dan menikam dada Ki Tumenggung
Sanggayuda di arah jantung.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Sanggayuda
tidak pernah lengah. Karena itu, ketika Ki Tumenggung itu
melihat serangan lawannya yang datang dengan cepat
mengarah ke dadanya, maka Ki Tumenggung itupun masih
sempat mengelak dengan bergeser kesamping sambil
memiringkan tubuhnya. Justru pada saat itu, Ki Tumenggung Sanggayuda telah
memukul pergelangan tangan Ki Tumenggung Reksadrana
dengan hulu kerisnya. Pukulan itu sedemikian kerasnya, sehingga Ki Tumenggung
Reksadrana merasa pergelangan tangannya seakan-akan telah
retak. Bahkan Ki Tumenggung Reksadrana tidak mampu
mempertahankan keris di tangannya, sehingga kerisnya telah
terlempar beberapa langkah daripadanya.
Ki Tumenggung Reksadrana itu segera meloncat surut.
Namun Ki Tumenggung Sanggayuda tidak melepaskannya. Ki
Tumenggung Sanggayudapun meloncat pula sambil
melekatkan ujung kerisnya di dada Ki Tumenggung
Reksadrana. "Bukan aku, tetapi kaulah yang akan mati, Reksadrana."
"Bunuh aku" geram Ki Tumenggung Reksadrana yang
terdesak. Ia sudah kehilangan kerisnya, sementara keris
lawannya telah lekat didadanya.
Ebook by Dewi Kangzusi 748 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku memang akan membunuhmu" geram Ki Tumenggung Sanggayuda "sekarang katakan
pesanmu .yang terakhir sebelum aku menghujamkan kerisku."
"Persetan dengan pesan itu" Ki Tumenggung Reksadrana justru membentak "bunuh
aku." "Bagus. Aku akan membunuh tanpa pesan terakhir yang akan kau ucapkan lewat
mulutmu." Namun Ki Tumenggung Wiradapa bergeser maju selangkah sambil berkata "Sudahlah
adi Sanggayuda. Adi tidak perlu membunuh orang itu."
"Aku sangat membencinya kakang. Sejak kita menghadap Kangjeng Adipati Yudapati,
orang ini sangat menjengkelkan."
"Bunuh aku. Jangan banyak bicara" teriak Ki Tumenggung Reksadrana "anakku laki-


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki memang sudah menunggu aku"
"Bagus. Tengadahkan dadamu. Aku akan menusuk sampai ke jantung."
"Tidak " Ki Tumenggung Wiradapa menggeleng "jalan pintas itu terlalu sederhana
bagi Ki Tumenggung Reksadrana.
Tetapi ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap Kangjeng Adipati di
Paranganom dan Kangjeng Adipati di Kateguhan."
"Setan kau Wiradapa. Bunuh aku. Bunuh aku."
"Berikan tanganmu. Kau harus diikat tangan dan kakimu dengan ikat kepalamu
sendiri." "Tidak. Aku tidak akan menyerah. Aku akan bertempur sampai mati."
Ebook by Dewi Kangzusi 749 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kakang" berkata Ki Tumenggung Sanggayuda dengan geram "ijinkan aku membunuhnya.
Aku menjadi muak melihat wajahnya serta mendengar suaranya."
"Bagus. Bunuh aku jika kamu berani."
"Adi Sanggayuda. Bukankah kau tidak sendiri" Jika Ki Tumenggung Reksadrana tidak
mau menyerah, maka kita berempat akan menangkapnya beramai-ramai. Mengikatnya,
seperti mengikat kaki lembu atau kerbau yang akan disembelih, Kemudian kita akan
mengikatnya pada sebatang bambu. Kita usung orang ini ke dalem kadipaten.
Sementara itu, biarlah orang-orang terbangun yang menyaksikannya."
"Setan kau, iblis, genderuwo. Apakah kau akan menghinakan aku ?"
"Jika kau tidak mau menyerah, maka kau akan kami hinakan sepanjang jalan. Tetapi
jika kau menyerah, maka kau akan dibawa sebagai seorang tawanan."
Ki Tumenggung Reksadrana menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ia harus
memilih. Tetapi Ki Tumenggung Reksadrana tidak mau dihinakan sepanjang jalan.
Seandainya ia dengan nekad melawan, maka keempat orang Paranganom itu tentu akan
dapat menangkapnya. Mereka akan benar-benar menyeretnya sepanjang jalan ke
Kadipaten seperti menyeret seekor kerbau yang telah dieoeok hidungnya.
Karena itu, maka dengan nada berat iapun berkata "Baik.
Aku menyerah." Ki Reksadrana itu tidak dapat mengelak lagi ketika kemudian tangannya diikat
pada sebatang pohon di longkangan dengan ikat kepalanya sendiri.
Ebook by Dewi Kangzusi 750 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kau harus menunggu kami disini, Ki Tumenggung"
berkata Raden Madyasta "kami masih akan mencari bibi
Prawirayuda." Ki Tumenggung Reksadrana yang terikat itu tidak
menjawab. "Kakang Wismaya" berkata Raden Madyasta "jaga paman
Tumenggung, kau tahu apa yang harus kau lakukan jika
paman Reksadrana mencoba untuk berbuat macam-macam.
Tetapi satu hal yang harus kau perhatikan, jangan bunuh
paman Reksadrana. Semakin buruk sikapnya, maka akan
semakin buruk pula perlakukan atas dirinya."
"Baik, Raden." "Paman Tumenggung berdua" berkata Raden Madyasta
"marilah kita cari bibi Prawirayuda serta kangmbok
Rantamsari." "Marilah Raden."
"Kita juga masih harus menemukan Sura Branggah jika ia
tidak melarikan diri."
"Jangan-jangan Sura Branggah itu telah mengganggu
Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng Rantamsari "desis
Ki Tumenggung Wiradapa. "Jika Sura Branggah itu mengganggu Raden Ayu
Prawirayuda dan Raden Ajeng Rantamsari, maka
Reksadranalah yang akan memikul akibatnya, karena ialah
yang harus bertanggung jawab atas kejadian-kejadian di
rumah ini. Tentu juga kematian Rembana dan Sasangka.
Ebook by Dewi Kangzusi 751 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tidak. Bukan aku yang. membunuh Rembana dan Sasangka."
"Siapa " bertanya Wismaya.
"Wicitra." "Jika kau berbohong, maka kau akan diarak setelah dipotong rambutmu sampai
kelihatan batok kepalamu."
Reksadrana itu menggeram.
Dalam pada itu, Raden Madyasta, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung
Sanggayudapun segera masuk ke ruang dalam untuk mencari Raden Ayu Prawirayuda
serta Raden Ajeng Rantamsari.
Sementara itu, Raden Ayu Prawirayuda telah pergi ke longkangan belakang. Raden
Ajeng Rantamsari yang masih saja gemetar itu berpegangan lengan Wignyana yang
mengikuti ibunya urttuk melihat Wicitra yang terbaring diam.
Sejenak kemudian, mereka telah berada di longkangan belakang. Perlahan-lahan
Raden Ayu Prawirayuda mendekati tubuh adiknya yang sudah tidak bernyawa lagi.
"Kau bunuh Wicitra angger Wignyana?" desis Raden Ayu Prawirayuda sambil
berjongkok di sisi tubuh adiknya yang menelungkup.
"Sudah aku katakan, bibi. Aku tidak sengaja membunuhnya."
"Mereka bertempur ibu. Jika diam Wignyana tidak membunuhnya, maka tentu dimas
Wignyanalah yang akan dibunuhnya."
Ebook by Dewi Kangzusi 752 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Raden Ayu Prawirayuda itu menarik nafas panjang.
Perlahan-lahan Raden Ayu itupun telah menelentangkan tubuh adiknya yang mulai
membeku. "Dimas" suaranya dalam sekali.
Raden Wignyana masih saja termangu-mangu. Ia tidak tahu, apa yang sedang
berkecamuk di dada bibinya. Apakah ia akan mengucapkan terima kasih, karena ia
sudah menyelamatkan Rantamsari atau justru akan marah karena adiknya telah
terbunuh. "ibu" berkata Rantamsari dengan nada dalam "dimas Wignyana telah menolong aku."
Raden Ayu Prawirayuda itu mengangguk-angguk. Namun nampak wajahnya menjadi
sangat muram. Sementara itu, Raden Wignyana ternyata tidak sekedar menebak apa yang bergejolak
didalam hati bibinya, tetapi ia mulai mengurai peristiwa demi peristiwa yang
telah terjadi di rumah itu.
Wignyana dan Rantamsari terkejut ketika ia melihat Raden Ayu Prawirayuda itu
bangkit berdiri. Dipandanginya Raden Wignyana dengan tatapan mata yang tajam.
Seakan-akan sorot matanya menghunjam menusuk langsung ke jantung.
"Angger Wignyana" Suara Raden Ayu Prawirayuda itu bernada berat "Kau telah
membunuh adikku, Wicitra"
Dada Wignyana bergejolak. Yang pernah terjadi itu seakan-akan membayang semakin
jelas diangan-angannya. Ebook by Dewi Kangzusi 753 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Bibi" berkata Wignyana kemudian "sudah aku katakan, aku tidak sengaja
membunuhnya. Aku hanya ingin menyelamatkan kangmbok Rantamsari."
"Apapun alasannya, aku tidak ingin saudaraku satu-satunya ini terbunuh."
"Ibu" "Menyingkirlah Rantamsari. Aku akan membuat perhitungan dengan orang yang telah
membunuh adikku. Dimasa kecil aku selalu mendukungnya Menenangkannya jika ia menangis. Ketika
Wicitra mulai dapat merangkak, aku sudah kuat mendukungnya dan aku pula yang
selalu menjaganya. Aku tidak merelakan kematiannya."
"Tetapi paman itu berniat buruk kepadaku ibu."
"Aku sependapat bahwa niatnya harus dicegah. Tetapi tidak dengan membunuhnya."
"Dimas Wignyana tidak sengaja membunuh ibu."
"Diamlah Rantamsari. Kau juga harus mawas diri.
Pamanmu tidak akan mengganggumu jika ia tidak melihat tingkah lakumu."
"Kenapa aku ibu?"
"Sebagai seorang gadis, maka hatimu terlalu rapuh. Kau dengan mudah tertarik
kepada Rembana. Sepeninggal Rembana, pada waktu yang terhitung pendek, kau sudah
melekat pada Sasangka. Sekarang kau sudah berpegangan tangan angger Wignyana."
"Dimas Wignyana sudah menolongku."
Ebook by Dewi Kangzusi 754 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak peduli. Aku akan menuntut balas kematian
adiku." "Ibu." "Menyingkirlah Rantamsari."
"Bibi" tiba-tiba saja Wignyana memotong " persoalannya
tentu bukan karena aku telah membunuh paman Wicitra."
"Persoalannya apa saja menurut kau ngger?"
"Mimpi bibi yang ingin meraba matahari di langit. Bibi.
Bagaimana menurut bibi, jika aku menginginkan kangmbok
Rantamsari untuk menjadi isteriku ?"
"Tidak. Tidak ada seorang laki-lakipun. yang akan menjadi
suaminya selain. laki-laki yang sesuai dengan keinginanku...."
"Aku sudah bertekad untuk menikahi kangmbok
Rantamsari." "Karena itu, kau bunuh Rembana dan kemudian
Sasangka?" "Bibi yakin akan hal itu?"
"Ya. Kau tidak mau terhalang oleh keduanya pada saat-
saat Rantamsari dekat sekali dengan mereka."
"Seandainya demikian, maka apa yang akan bibi lakukan"
Aku adalah putera Kangjeng Aduipati Prangkusuma: Penguasa
tunggal di Kadipaten ini. Apakah bibi akan berani melawan
ayahanda" Bukankah ayahanda justru telah menolong bibi
ketika. bibi harus pergi dari Kateguhan."
Ebook by Dewi Kangzusi 755 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Cukup. Aku memang menginginkan menantu putera
Adipati Paranganom, ngger. Tetapi bukan kau. Aku
menginginkan angger Madyasta karena angger Madyastalah
yang akan menggantikan kedudukan dimas Adipati
Prangkusuma." " Setelah bibi gagal membujuk kangmas Adipati Yudapati."
"Wignyana" "Bukankah memang begitu bibi?"
"Cukup. Sekarang aku akan membunuhmu. Kau juga akan
menjadi penghalang hubungan Rantamsari dengan angger
Madyasta yang memang aku inginkan."
"Nah, jika demikian, siapakah yang telah membunuh
Rembana dan Sasangka " Bibi, kenapa bibi menggenggam
hulu keris bibi dengan tangan kiri" Dan kenapa Rembana dan
Sasangka luka di lambung sebelah kiri pula. Seseorang yang
menusuk dari belakang dengan licik, tentu menggenggam
pisau belatinya dengan tangan kiri pula "
"Cukup. Cukup."
"Bukankah bibi yang telah membunuh Rembana dan
Sasangka?" I"Baik. Baik. Aku tidak akan ingkar. Aku telah me-
nyingkirkan kedua orang Senapati kerdil yang tidak tahu diri
itu. Aku bunuh mereka agar mereka tidak lagi berani
mendekati Rantamsari, calon permaisuri seorang Adipati."
"Ibu. Apakah benar ibu yang melakukannya?"
Ebook by Dewi Kangzusi 756 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya. Rantamsari. Aku melakukannya bagi kebahagiaanmu.
Kau tidak boleh terhina oleh sikap kangmasmu Yudapati.
Karena itu kau harus menjadi isleri angger Madyasta yang kelak akan menggantikan
pamanmu Kangjeng Adipati Prangkusuma."
"Jadi, itulah yang sudah ibu lakukan?"
"Ya. Sekarang aku akan menyingkirkan Wignyana yang gila ini."
"Tidak. Ibu tidak dapat melakukannya."
"Bibi akan membunuhku dihadapan saksi?"
"Tidak akan ada saksi."
"Kangmbok Rantamsari."
"Tidak. Kami berdua akan menangisi mayatmu, ngger. Kau dan Wicitra telah
bertempur karena kau ngin menyelamatkan Rantamsari. Tetapi kalian telah sampyuh,
mati bersama. Rantamsari tidak akan pernah-menceriterakan apa yang telah terjadi di longkangan
ini." "Ibu. Aku tidak mau."
"Jangan menyesali nasibmu yang buruk, ngger. Aku berterima kasih karena kau
sudah menyelamatkan Rantamsari dari tangan Wicitra. Tetapi sayang, bahwa aku
harus membunuhmu." Wignyana tidak sempat menjawab. Dengan cepat Raden Ayu Prawirayuda mengayunkan
kerisnya ke tubuh Wignyana.
Ebook by Dewi Kangzusi 757 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun adalah diluar dugaan, bukan saja Wignyana berusaha menghindar, tetapi
justru Rantamsari telah meloncat menghalangi ibunya.
Namun, malangnya gadis itu. Keris di tangan kiri ibunya itu justru telah
tertusuk di lambung anak gadisnya.
Rantamsari berdesah kesakitan. Sementara itu, Raden Ayu Prawirayudalah yang
menjerit tinggi " Rantamsari."
Rantamsari terhuyung. Iapun kemudian jatuh ketangan ibunya.
Perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda meletakkan kepala anak gadisnya itu
dipangkuannya. Titik-titik air matanya telah meleleh dan jatuh di wajah anaknya.
"Rantamsari. Kenapa kau melakukannya, ngger." Raden Ayu Prawirayuda benar-benar
menangis. Ia tidak sekedar berpura-pura seperti yang dilakukannya pada saat
Rembana dan Sasangka mati.
"Ibu" "Bertahanlah ngger. Kau akan sembuh."
"Tidak ibu. Aku akan mati. Jangan tangisi kematianku.
Banyak cacat dan cela didalam hidupku. Semoga yang Maha Agung mengampuni aku."
"Rantamsari" ibunya menjerit tinggi ketika Rantamsari itu memejamkan matanya.
Sejenak Raden Ayu Prawirayuda menangisi anak gadisnya yang telah
diperjuangkannya untuk menggapai tempat terbaik
Ebook by Dewi Kangzusi 758 Kang Zusi http://kangzusi.com/
baginya. Namun tiba-tiba anak gadisnya itu terbunuh, justru
karena tangannya. Raden Wignyanapun kemudian berjongkok pula
disampingnya. Kepalanya menunduk memandangi wajah
Raden Ajeng Rantamsari. Gadis itu memang cantik. Sayang,
bahwa sebelumnya ia tidak terlalu menghiraukannya, sehingga
ia tidak pernah merasa tertarik kepadanya.
Namun tiba-tiba Raden Ayu Prawirayuda itu meletakkan
tubuh Rantamsari. Dengan serta-merta iapun bangkit berdiri.
Raden Wignyana terkejut. Seakan-akan diluar sadarnya,
iapun bangkit berdiri pula.
"Kau telah membunuh anakku, ngger. Sekarang, kaupun
harus mati. Bagiku kau ternyata lebih buruk dari Rembana dan
Sasangka. Karena itu, maka aku akan membunuhmu
sekarang. Justru tanpa saksi."


Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bibi. Aku tidak ingin bertempur melawan bibi."
"Melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu.
Tetapi seandainya kau berusaha melawanpun, tentu akan sia-
sia. Aku adalah Srikandi Kateguhan. Aku adalah seorang yang
berilmu sangat tinggi."
"Bibi memaksaku untuk bertempur?"
"Ya." "Baiklah bibi. Tetapi aku mohon maaf. Aku terpaksa
melakukannya." Ebook by Dewi Kangzusi 759 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku maafkan kau Wignyana. Tetapi aku tidak dapat memaafkanmu, bahwa kau sudah
menyebabkan Rantamsari terbunuh."
Wignyana tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia tahu bahwa bibinya mempunyai
ilmu yang sangat tinggi, tetapi ia tidak dapat membiarkan bibinya itu menikam
jantungnya. Karena itu, bagi Wignyana seandainya ia harus mati, maka biarlah ia mati dengan
menggenggam senjata di tangannya, Wignyanapun telah menggenggam kerisnya pula
ketika Raden Ayu Rantamsari mulai bergeser.
Namun tiba-tiba saja terdengar suara dari pintu longkangan "Sudah bibi. Sudah
cukup. Rembana, Sasangka dan sekarang kangmbok Rantamsari."
Raden Ayu Prawirayuda terkejut. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Raden
Madyasta, Ki Tumenggung Wiradapa dan Ki Tumenggung Sanggayuda."
Sejenak Raden Ayu Prawirayuda itu bagaikan membeku.
Perlahan-lahan Raden Madyasta melangkah mendekatinya.
"Apakah bibi masih akan membunuh lagi" Mungkin bibi memang berniat membunuh
dimas Wignyana. Tetapi setelah kangmbok Rantamsari terbunuh, mungkin bibi juga
berniat membunuh aku."
Raden Ayu Prawirayuda itu memandang Raden Madyasta dengan mata yang menjadi
redup. Tiba-tiba saja Raden Ayu Prawirayuda itu menyarungkan kerisnya dan
berlutut di hadapan Madyasta. Sambil menyerahkan kerisnya terdengar suara Raden
Ayu Prawirayuda yang tersendat di-sela-sela
isaknya "Ampunkan aku ngger, Aku telah melakukan
Ebook by Dewi Kangzusi 760 Kang Zusi http://kangzusi.com/
kesalahan yang sangat besar. Aku menyerah kepadamu untuk
menerima hukuman apa saja yang akan angger timpakan
kepadaku." "Bukan aku yang akan menghukum bibi. Tetapi bibi akan
kami bawa menghadap ayahanda Adipati di Paranganom.
Justru bersama dengan Ki Tumenggung Reksadrana."
"Ki Tumenggung Reksadrana?"
"Ya. Ki Tumenggung Reksadrana telah datang ke rumah
bibi. Persoalan yang sesungguhnya tentu akan terungkap
kelak." Raden Ayu Prawirayuda tidak dapat membendung air
matanya. Iapun kemudian berpaling kepada Wignyana sambil
berkata "Ampunkan bibi, ngger. Bibilah yang bersalah. Bukan
angger; " "Sudalah, bibi. Sebaiknya serahkan segala-galanya kepada
kebijaksanaan ayahanda."
"Ya, bibi. Ayahanda tentu akan bersikap adil. Aku
mendengar semua percakapan bibi dengan dimas Wignyana
dari belakang pintu. Sayang bahwa aku tidak segera mendekat
sehingga nasib kangmbok Rantamsari mungkin akan berbeda.
Tetapi agaknya Yang Maha Agung telah menghendakinya
sehingga yang terjadi itu memang harus terjadi."
Malam itu, Wismaya telah memanggil sekelompok prajurit
dari baraknya untuk memasuki rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Raden Madyasta kemudian memerintahkan para
prajurit itu untuk berjaga-jaga, sementara sekelompok yang
lain membawa Ki Tumenggung Reksadrana dan Raden Ayu
Prawirayuda ke bilik tahanan mereka masing-masing.
Ebook by Dewi Kangzusi 761 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Menunggu saatnya mereka akan dihadapkan kepada Kangjeng
Adipadi Prangkusuma. Agaknya mendung di Kadipaten Pranganom telah terkuak.
Raden Ayu Prawirayuda telah terbakar oleh keinginannya
untuk meraba matahari yang menyala diatas langit
Paranganom. Malam berikutnya, Madyasta dipanggil menghadap oleh
ayahandanya bersama Wignyana. Dengan nada berat
Kangjeng Adipati itupun berkata Madyasta. Aku telah
mendapat pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa ini,
bagaimana aku harus menilai seseorang."
"Maksud ayahanda?" bertanya Raden Madyasta.
"Bibimu adalah seorang yang berdarah bangsawan.
Meskipun demikian sifat dan kelakuannya tidak dapat menjadi
tauladan. Demikian pula Rantamsari. Ia bukan seorang gadis
yang berhati teguh. Hatinya dengan cepat merunduk jika
angin bertiup. "Ya, ayahanda."
"Karena itu, aku dapat mengerti jalan pikiranmu. Bahwa
bobot dan nilai seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh
darah keturunannya."
Jantung Raden Madyasta menjadi berdebar-debar.
Sementara itu ayahandanya berkata pula "Karena itu,
Madyasta. Aku tidak akan mencegah niatmu untuk
mengangkat derajat anak Demang Panjer itu kelak di
kadipaten Paranganom ini."
"Ayahanda." Ebook by Dewi Kangzusi 762 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Pergilah ke Panjer. Katakan, bahwa jalan kalian berdua akan terbuka."
"Terima kasih ayahanda."
"Selamat, kangmas."
Madyasta berpaling, Sambil tersenyum iapun berkata kau akan mempunyai saudara
yang lahir dan dibesarkan di pedesaan dimas."
"Bukankah kita adalah anak-anak padepokan."
Madyasta mengangguk. Sementara itu sambil tersenyum. Kangjeng Adipati berkata
"Tetapi jauh sebelum peristiwa besar dalam hidupmu terjadi, gadis itu harus
sudah berada di sini. Ia harus diperkenalkan dengan segala macam upacara dan
adat yang berlaku. Ia harus diajarkan untuk menjadi seorang gadis yang mapan
untuk menjadi sisihan seorang Adipati."
Raden Madyastapun mengangguk dalam-dalam sambil menyembah, terdengar suaranya
yang bergetar "Terima kasih ayahanda."
Dalam pada itu, beberapa hari kemudian, Kangjeng Adipati duduk dihadap oleh
beberapa orang pemimpin Paranganom.
Pemimpin pemerintahan dan pemimpin keprajuritan.
Dihadapkan kepada Kangjeng Adipati dalam pertemuan itu, Raden Ayu Prawirayuda
dan KI Tumenggung Reksadrana.
Namun tidak hanya Kangjeng Adipati Prangkusuma dari Paranganom yang duduk
dihadap oleh para pemimpin itu.
Tetapi juga Kangjeng Adipati Yudapati dari Kateguhan.
Ebook by Dewi Kangzusi 763 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Mereka berdualah yang akan menentukan, hukuman apa yahg akan ditrapkan kepada
Raden Ayu Prawirayuda serta Ki Tumenggung Reksadrana dari Kateguhan itu setelah
segala tingkah laku mereka terungkap.
Langit di Paranganom terasa menjadi semakin cerah.
Anginpun bertiup membaurkan udara yang segar. Perlahan-lahan hubungan baik
antara Paranganom dan Kateguhan telah dibina kembali.
TAMAT. PENGUMUMAN Jilid ini adalah jilid terakhir dari ceritera S.H. Mintardja yang berjudul
MERABA MATAHARI". Pada bulan mendatang akan dibabar ceritera baru karya S.H. Mintardja, yang
seperti ceritera yang baru berakhir ini, maka ceritera tersebut juga disusun
berdasarkan cerita "Ketoprak Sayembara" yang pernah disiarkan oleh TVRI Yogyakarta dan mendapat
sambutan yang baik dari para pemirsanya.
Ceritera tersebut juga berbicara tentang tingkah laku anak manusia yang silau
memandang gebyar kehidupan keduniawiaan, sehingga melupakan masa baka yang pasti
akan dijalaninya. Jika semua cara dibenarkan untuk mencapai tujuan, maka segala macam tatanan dan
paugeran akan terinjak-injak.
Bahkan wajah-wajah yang hitam itu akan berpaling dari cahaya terang Yang Maha
Agung, yang telah menciptakan-nya.
Ebook by Dewi Kangzusi 764 Gerbang Siluman 2 Pendekar Rajawali Sakti 213 Gadis Serigala Manusia Penyebar Kutuk 2
^