Pencarian

Macan Tutul Di Salju 6

Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather Bagian 6


ditinggalkan di sini." Nada suara Vittoria terdengar seperti alasan untuk
melarikan diri dari bau busuk yang menyengat itu. "Aku akan melihatnya." "Hati-
hati!" Langdon memperingatkan. "Kita tidak tahu
pasti apakah si Hassassin itu - " Tetapi Vittoria sudah menghilang. Perempuan yang
keras kepala, pikir Langdon. Ketika dia menoleh kembali ke arah sumur itu, dan
merasa pusing karena bau menyengat yang keluar dari sana. Sambil menahan
napasnya, Langdon meletakkan kepalanya ke dekat tepian lubang dan melongok ke
dalam kegelapan di bawahnya. Perlahan, matanya menyesuaikan diri dengan
kegelapan. Lalu dia mulai dapat melihat ada bentuk samar-samar di bawah. Lubang
itu ternyata memiliki ruang kecil. Lubang iblis. Dia bertanya-tanya, berapa
generasi keluaga Chigi yang telah dimakamkan tanpa upacara pemakaman di sini.
Langdon memejamkan matanya, menunggu, sambil memaksa bola matanya untuk membesar
sehingga dia dapat melihat dengan lebih baik ke dalam kegelapan. Ketika dia
membuka matanya lagi, dia melihat sesosok pucat tanpa bersuara melayang-layang
dalam kegelapan. Langdon bergidik, tapi dia melawan instingnya untuk
mengeluarkan kepalanya dari lubang itu. Apakah aku sedang melihat sesuatu"
Apakah itu mayat" Sosok itu memudar. Langdon memejamkan matanya lagi dan
menunggu, kali ini lebih lama sehingga matanya dapat menangkap sinar yang paling
samar sekali pun. Dia mulai merasa pusing, dan pikirannya melayang-layang dalam kegelapan.
Beberapa detik lagi saja. Langdon tidak yakin apakah karena dia mencium bau yang
menyengat dari dalam lubang itu atau karena posisi kepalanya yang terjulur ke
bawah yang membuatnya pusing. Tetapi yang pasti, dia mulai merasa mual. Ketika
akhirnya dia membuka matanya lagi, sosok di depannya menjadi sulit untuk
dilihat. Sekarang dia menatap ke ruang bawah tanah yang tiba-tiba bermandikan cahaya
kebiruan. Samar-samar terdengar suara mendesis yang menggema di dalam
telinganya. Sinar itu memantul di dinding terowongan di bawahnya. Tiba-tiba
sebuah bayangan panjang muncul membayanginya. Dengan sangat terkejut Langdon
berdiri. "Awas!" seseorang berteriak di belakangnya. Sebelum Langdon dapat
memutar tubuhnya, leher belakangnya terasa sakit. Dia berputar dan melihat
Vittoria membawa sebuah obor las. Sinar kebiruan yang mengeluarkan suara
mendesis itu, menyinari seluruh kapel. Langdon memegang lehernya. "Apa yang kamu
lakukan?" "Aku tadi menerangimu," katanya, "tapi langsung kamu
berdiri tanpa melihat ke belakang." Langdon melihat obor las di tangan Vittoria
sambil melotot. "Hanya ini yang dapat kutemukan," kata Vittoria. "Tidak
ada senter." Langdon menggosok lehernya yang masih terasa sakit.
"Aku tidak mendengarmu datang." Vittoria memberikan obor itu kepadanya sambil
meringis ke arah lubang yang bau itu. "Kamu pikir aroma itu dapat terbakar?"
"Mudah-mudahan tidak." Langdon mengambil obor dari tangan Vittoria dan bergerak
perlahan ke arah lubang itu lagi. Dengan berhati-hati dia maju ke bibir lubang
dan mengarahkan api yang dipegangnya ke dalam lubang untuk menerangi dinding di
dalamnya. Ketika dia mengarahkan sinar itu, matanya menyusuri dinding ruang
bawah tanah itu. Ruangan itu berbentuk bundar dan berdiameter kirakira dua puluh
kaki dengan kedalaman tiga puluh kaki. Sinar obornya menerangi lantai ruangan
tersebut. Dasarnya gelap dan berantakan. Tanah. Kemudian Langdon melihat tubuh
itu. Instingnya mengatakan untuk pergi dari situ tapi nalarnya yang menahannya. "Dia
di sini," kata Langdon sambil memaksa dirinya untuk tidak lari dari situ. Sosok
itu terlihat pucat di atas lantai tanah di bawahnya. "Sepertinya dia
ditelanjangi." Tibatiba teringat dengan mayat Leonardo Vetra yang ditelanjangi.
"Apakah itu salah satu dari kardinal itu?" Langdon tidak tahu, tetapi dia tidak
dapat membayangkan siapa lagi yang mungkin terbaring di tempat seperti ini. Dia
menatap ke bawah ke arah sesosok tubuh yang pucat itu. Dia terlihat tidak
bergerak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tapi ... Langdon ragu-ragu. Ada yang
sangat aneh pada posisi sosok itu. Dia tampak .... Langdon berseru. "Halo?"
"Kamu pikir dia masih hidup?" Tidak ada jawaban dari bawah. "Dia tidak
bergerak," kata Langdon. "Tetapi dia tampak ...."
Tidak, tidak mungkin. "Dia tampak apa?" sekarang Vittoria juga ikut melongok ke
bawah. Langdon menyipitkan matanya untuk melihat ke dalam
kegelapan. "Dia seperti berdiri." Vittoria menahan napasnya dan menurunkan
wajahnya ke arah bibir lubang agar dapat melihat dengan lebih jelas. Setelah
sesaat, dia menarik diri. "Kamu benar. Dia berdiri. Mungkin dia masih hidup dan
memerlukan pertolongan!" Dia berseru ke dalam lubang. "Halo" Mi pu" sentire?"
Tidak ada gema dari bagian dalam ruangan yang berlumut
itu. Hanya kesunyian. Vittoria menuju ke tangga yang sudah reyot itu. "Aku mau
turun." Langdon menangkap lengannya. "Tidak. Itu berbahaya.
Aku saja." Kali ini Vittoria tidak membantah.
66 CHINITA MACRI MARAH sekali. Dia duduk di bangku penumpang di van BBC ketika
mobil itu berhenti di sudut jalan Via Tomacelli. Gunther Glick sedang memeriksa
peta Roma ditangannya. Nampaknya mereka tersesat. Seperti yang ditakutkan oleh
Macri, beberapa saat yang lalu penelepon misterius itu menelepon Glick kembali.
Kali ini dia memberikan informasi baru.
"Piazza del Popolo," Glick berkeras. "Tempat itulah yang kita cari. Ada gereja
di sana. Dan di dalamnya ada bukti."
"Bukti." Chinita berhenti menggosok lensa kameranya yang berada di tangannya dan
berpaling ke arahnya. "Bukti bahwa seorang kardinal telah dibunuh?" "Itu yang
dikatakannya." "Kamu percaya semua yang kamu dengar?" Chinita selalu herharap
kalau dirinyalah yang memimpin tugas ini. Bagaimanapun juga seorang videografer
harus mengikuti tingkah gila para reporter ketika mereka mengejar berita. Kalau
Gunther Glick ingin mengikuti petunjuk meragukan yang diberikan oleh penelepon
misterius itu, Macri harus mengikutinya seperti anjing yang dibawa berjalan-
jalan oleh majikannya. Kini, Macri menatap Glick yang duduk di bangku pengemudi sambil mengeraskan
rahangnya. Macri menyimpulkan orang tua lelaki itu pasti pelawak yang putus asa.
Tidak ada orang tua normal yang memberi nama anak mereka Gunther Glick. Tidak
heran kalau lelaki itu selalu merasa harus membuktikan sesuatu. Walau
keberuntungannya biasa-biasa saja dan semangatnya untuk mendapat pengakuan
kadang mengganggu orang lain, Glick sebetulnya lelaki yang manis ... memesona
walau sedikit lembek. "Kita kembali saja ke Basilika Santo Petrus, ya?" kata Macri sesabar mungkin.
"Kita bisa memeriksa gereja misterius itu lain waktu. Rapat pemilihan paus sudah
dimulai satu jam yang lalu. Bagaimana kalau para kardinal itu sudah menetapkan
paus yang baru sementara kita tidak berada di sana?"
Tampaknya Glick tidak mendengarnya. "Kukira kita harus belok ke kanan dari
sini." Dia mengangkat peta itu dan mempelajarinya lagi. "Ya, kalau aku membelok
ke kanan ... dan kemudian langsung ke kiri." Dia mulai menjalankan mobil menuju
ke jalan sempit di depan mereka.
"Awas!" teriak Macri. Dia adalah juru kamera dan tidak heran kalau matanya
tajam. Untunglah, Glick juga tak kalah sigap. Dia menginjak pedal rem dan tidak
jadi berbelok di perempatan itu tepat ketika empat buah mobil Alfa Romeo muncul
dari kegelapan dan membelah jalanan dengan cepat. Begitu mobil-mobil itu
berlalu, terdengar bunyi rem yang mendecit, mereka terlihat mengurangi kecepatan
lalu berhenti satu blok di depannya. Mereka mengambil jalan yang sama dengan
yang akan dilalui oleh Glick. "Dasar orang gila!" teriak Macri. Glick tampak
gemetar. "Kamu lihat itu tadi?" "Ya, aku melihatnya! Mereka hampir membunuh
kita!" "Bukan itu. Maksudku, mobil-mobil itu," kata Glick. Suaranya tiba-tiba
terdengar sangat bersemangat. "Mereka semua sama." "Mereka adalah orang-orang
gila yang tidak punya imajinasi." "Mobil-mobil itu juga penuh." "Lalu memangnya kenapa?" "Empat mobil
yang sama dan semuanya berisi empat
penumpang." "Kamu pernah mendengar arak-arakan mobil?" "Di Italia?" kata Glick
sambil memeriksa perempatan di hadapan mereka. "Mereka bahkan belum pernah
mendengar ada bensin tanpa timbal." Dia lalu menginjak pedal gas dan melesat
mengikuti mobil-mobil itu.
Macri tersentak ke belakang di atas bangkunya. "Apa yang kamu lakukan?"
Glick memacu mobilnya dan membuntuti keempat Alfa Romeo itu. "Aku punya perasaan
kalau kita berdua bukan satusatunya orang yang pergi ke gereja sekarang."
67 LANGDON TURUN PERLAHAN-LAHAN.
Dia menjejakkan kakinya satu per satu di atas anak tangga yang reyot ... ke
dalam dan lebih dalam lagi ke ruang bawah tanah di Kapel Chigi. Masuk ke lubang
iblis, pikirnya. Badannya menghadap ke dinding sementara punggungnya menghadap
ke ruangan itu. Langdon bertanya-tanya berapa banyak ruangan gelap dan sempit
yang bisa muncul dalam satu hari untuk penderita claustophobia seperti dirinya.
Tangga itu berderit setiap kali kaki Langdon menginjaknya. Sementara itu aroma
menyengat dari bau daging yang membusuk dan udara pengap hampir membuat Langdon
sesak. Lelaki itu bertanya-tanya di mana gerangan Olivetti.
Tubuh Vittoria masih terlihat di atas, memegangi obor gas, menerangi jalan
Langdon. Ketika Langdon turun semakin dalam di ruang gelap itu, sinar kebiruan
di atas menjadi semakin samar. Satu-satunya yang bertambah tajam adalah bau
menusuk itu. Dua belas anak tangga ke bawah sudah terlalui. Sekarang kaki Langdon menyentuh
bagian yang licin karena lapuk sehingga membuatnya limbung. Secara refleks,
Langdon menangkap tangga dengan lengan bawahnya agar tidak tersungkur ke dasar
ruangan. Sambil menyumpahi lengannya yang terasa sakit, Langdon berusaha
menyeret tubuhnya ke tangga dan mulai bergerak turun kembali.
Tiga anak tangga membawanya lebih dalam dan Langdon hampir terjatuh lagi. Kali
ini bukan karena anak tangganya, tetapi karena ledakan ketakutannya. Dia turun
melewati sebuah ceruk yang terdapat di dinding di depannya dan tiba-tiba dia
berhadapan dengan sekumpulan tengkorak. Ketika dia dapat bernapas lagi, dia
sadar kalau pada kedalaman ini terdapat ceruk berlubang-lubang seperti rak - rak-
rak pemakaman, dan semuanya berisi kerangka manusia. Dalam sinar kebiruan yang
menyinarinya dari atas, kumpulan tulang-tulang iga yang menakutkan dan membusuk
itu tampak berkelip-kelip di sekitarnya.
Kerangka yang bersinar dalam gelap, dia tersenyum masam ketika menyadari kalau
dia pernah mengalami hal yang sama bulan lalu. Ketika itu dia hadir dalam acara
Semalam Bersama Tulang Belulang dan Pendar Api. Acara tersebut adalah sebuah
acara makan malam yang diterangi nyala lilin, yang diselenggarakan oleh Museum
Arkeologi New York, dan diadakan untuk pengumpulan dana. Hidangan malam itu
adalah ikan salmon flambe yang disajikan dalam bayangan kerangka brontosaurus.
Langdon menghadirinya karena undangan dari Rebecca Strauss, seorang model fesyen
yang sekarang menjadi kritikus seni di majalah Times. Malam itu Nona Strauss
mengenakan gaun beledu hitam yang memesona, ketat, dan memamerkan buah dadanya
dengan agak berani. Setelah malam itu, Nona Strauss meneleponnya dua kali Tapi
Langdon tidak membalasnya. Sangat tidak sopan bagi seorang lelaki, caci Langdon
pada dirinya sendiri sambil bertanya-tanya berapa lama Rebecca Strauss dapat
bertahan di dalam sumur berbau busuk seperti ini.
Langdon merasa lega ketika anak tangga terakhir membawanya ke tanah yang lunak.
Tanah di bawah sepatunya terasa lembab. Setelah meyakinkan diri kalau dinding di
sekitarnya tidak akan menguburnya, dia memutar tubuhnya ke arah ruangan bawah
tanah itu. Ruangan tersebut berbentuk bundar, dan memiliki garis tengah sebesar
dua puluh kaki. Sambil menutupi hidungnya dengan lengannya, Langdon mengarahkan
matanya pada sosok itu. Dalam keremangan, sosok itu tampak kabur. Kulitnya yang
berwarna putih terlihat jelas. Sosok itu menghadap ke arah yang lain. Tidak
bergerak. Tidak bersuara.
Langdon melangkah maju di dalam ruang bawah tanah yang suram itu, dan mencoba
untuk mengerti apa yang sedang dilihatnya sekarang. Punggung orang itu menghadap
ke arahnya sehingga Langdon tidak dapat melihat wajahnya. Tetapi jelas, lelaki
itu berdiri. "Halo?" kata Langdon dengan suara seperti tercekik dari balik lengan yang
menutupi hidungnya. Tidak ada jawaban. Ketika dia melangkah mendekat, dia sadar
kalau lelaki itu sangat pendek. Terlalu pendek ....
"Apa yang terjadi?" tanya Vittoria sambil berseru dari atas dan menggerak-
gerakkan obor gasnya. Langdon tidak menjawabnya. Dia sekarang sudah cukup dekat untuk dapat melihat
semuanya. Dengan gemetar karena jijik, dia sekarang mengerti apa yang
dilihatnya. Ruangan itu terasa menciut di sekitarnya. Lalu Langdon melihat tubuh
seorang lelaki tua tersembul dari tanah seperti iblis, ... atau setidaknya
setengah dari tubuhnya. Lelaki itu ditanam hingga sebatas pinggangnya. Orang tua
itu berdiri tegak dengan separuh badannya terkubur di dalam tanah. Dia
ditelanjangi. Tangannya terikat di belakang punggungnya dengan ikat pinggang
kardinal yang terbuat dari kain merah. Tubuh lelaki tua itu tersembul ke atas
dengan lunglai. Punggungnya melengkung ke belakang seperti karung tinju yang
mengerikan. Kepalanya terkulai ke belakang, matanya mengarah ke langit seolah
memohon pertolongan dari Tuhan. "Apakah dia sudah mati?" seru Vittoria bertanya.
Langdon bergerak ke arah tubuh itu. Kuharap begitu, demi kebaikan orang itu
sendiri. Ketika dia mendekat lagi, Langdon melihat mata orang itu menengadah ke
atas. Kedua bola matanya membelalak. Mata orang itu berwarna biru dan agak
kemerahan. Langdon membungkuk untuk memastikan kemungkinan orang itu masih
bernapas, tetapi tiba-tiba dia menarik dirinya. "Ya, Tuhan!" "Apa?" Langdon
hampir saja muntah. "Dia memang sudah meninggal. Aku baru saja melihat penyebab
kematiannya." Pemandangan itu sangat mengerikan. Mulut lelaki itu dibuka paksa
dan tersumbat dengan lumpur padat. "Seseorang telah mengisi mulutnya dengan
segenggam penuh lumpur dan menjejalkannya ke dalam tenggorokannya. Dia pasti
mati tercekik." "Lumpur?" tanya Vittoria. "Maksudnya ... tanah?" Langdon heran
sekali. Tanah" Dia hampir lupa. Cap-cap itu. Tanah, Udara, Api, Air. Pembunuh
itu mengancam akan memberikan cap yang berbeda pada setiap korbannya. Cap yang
menggambarkan berbagai elemen ilmu pengetahuan. Elemen pertama adalah tanah.
Dari makam duniawi Santi. Duniawi ... bumi ... tanah ... Langdon merasa pusing
karena aroma dalam ruangan itu, tapi dia memaksakan diri untuk melihat bagian
depan si korban. Dia melakukannya karena dorongan simbologi di dalam jiwanya
berteriak dan menuntut untuk melihat perwujudan ambigram yang mistis itu. Tanah"
Bagaimana mungkin mereka visa membuat cap seperti itu" Lalu dengan
sekejap, simbol itu sudah ada di depan matanya. Legenda Illuminati yang sudah
berabad-abad itu berputar-putar di dalam otaknya. Cap di dada kardinal itu
gosong dan memperlihatkan ambigram yang simetris. Dagingnya terlihat kehitaman.
La lingua pura ... Langdon sedang menatap cap tersebut dan merasa ruangan itu seperti mulai
berputar. "Earth, tanah" Langdon berbisik, sambil memiringkan
kepalanya untuk melihat simbol itu secara terbalik. "Earth." Kemudian, dengan
ketakutan luar biasa yang tiba-tiba muncul, Langdon sadar. Masih ada tiga cap
lainnya lagi. 68 WALAU LILIN MEMANCARKAN sinar lembut di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati
tetap saja merasa tegang. Rapat pemilihan paus sudah dimulai satu jam yang lalu.
Dan acara itu dimulai dengan cara yang paling tidak lazim.
Setengah jam yang lalu, pada jam yang sudah ditentukan, Camerlegno Carlo
Ventresca memasuki kapel. Dia berjalan menuju altar dan memimpin doa pembukaan.
Kemudian dia membuka tangannya dan berbicara kepada para kardinal lainnya dengan
ketegasan yang belum pernah didengar Mortati dari altar Kapel Sistina itu.
"Anda sekalian pasti menyadari," kata sang camerlegno, "bahwa empat preferiti
kita tidak hadir dalam rapat pemilihan paus saat ini. Saya memohon, atas nama
mendiang Paus, kepada Anda sekalian untuk melanjutkan acara ini ... dengan
keyakinan dan tujuan. Semoga hanya Tuhan yang ada di depan mata Anda sekalian."
Lalu dia berpaling untuk beranjak pergi. "Tetapi," salah satu kardinal berseru,
"di mana mereka?" Sang Camerlegno berhenti. "Itu tidak dapat saya katakan
dengan terus terang." "Kapan mereka akan kembali?" "Saya tidak dapat
mengatakannya dengan terus terang." "Apakah mereka baik-baik saja?" "Saya tidak
dapat mengatakannya dengan terus terang." "Apakah mereka akan kembali?" Ada
sunyi yang panjang. "Doakan agar mereka kembali," kata sang camerlegno. Kemudian
dia berjalan keluar ruangan. Seperti tradisi yang sudah berlangsung selama
beratus-ratus tahun, pintu-pintu yang menuju Kapel Sistina sudah dikunci dengan
dua rantai berat dari luar. Empat orang Garda Swiss berjaga-jaga di koridor.
Mortati tahu satu-satunya yang dapat membuat pintu itu terbuka sebelum paus yang
baru terpilih adalah ada kardinal yang jatuh sakit, atau ketika sang preferiti
tiba. Mortati berdoa agar yang terakhirlah yang akan terjadi, walau ketegangan
yang dirasakannya membuatnya menjadi tidak yakin kalau harapannya akan terkabul.
Lanjutkan seperti seharusnya, Mortati memutuskan kemudian mengambil alih acara
tanpa mampu menghilangkan nada tegas dan sang camerlegno tadi dari benaknya.
Sang camerlegno sudah meminta kami untuk melakukan pemilihan itu sekarang. Apa
lagi yang dapat kami lakukan"
Membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk menyelesaikan ritual persiapan sebelum
pemungutan suara dilakukan. Mortati menunggu dengan sabar di altar utama ketika
setiap kardinal, sesuai dengan urutan kesenioran mereka, datang mendekat dan
melakukan prosedur pemilihan khusus.
Sekarang, akhirnya kardinal terakhir telah tiba di depan altar dan berlutut di


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan Mortati. "Saksiku adalah," kata kardinal itu, persis sama dengan para kardinal
sebelumnya, "Yesus Kristus yang akan menjadi hakimku sehingga suara yang
kuberikan adalah bagi seorang yang pantas di hadapan Tuhan."
Kardinal itu berdiri. Kemudian dia memegang surat suaranya tinggi di atas
kepalanya agar semua orang dapat melihatnya. Setelah itu dia menurunkan surat
suaranya ke altar di mana sebuah piring diletakkan di atas sebuah piala yang
biasa digunakan dalam misa suci. Dia meletakkan surat suaranya itu di atas
piring tersebut. Lalu dia mengambil piring tersebut dan menggunakannya untuk
menjatuhkan surat suaranya ke dalam piala. Penggunaan piring itu adalah untuk
memastikan agar tidak ada seorang pun yang meletakkan lebih dari satu surat
suara. Setelah kardinal tadi memasukkan surat suaranya, dia kemudian meletakkan piring
itu kembali di atas piala, lalu membungkuk di depan salib dan kembali ke tempat
duduknya. Surat suara terakhir telah diberikan.
Sekarang waktunya bagi Mortati untuk melakukan kewajibannya.
Dengan membiarkan piring itu tetap berada di atas piala, Mortati mengocok surat
suara itu sehingga teraduk. Kemudian dia membuka piring itu dan mengeluarkan
satu surat suara yang diambilnya secara acak. Dia membuka lipatannya. Surat
suara itu lebarnya dua inci. Dia membaca dengan keras sehingga semua kardinal
dalam ruangan itu dapat mendengarnya.
"Eligo in summum pontificem ..." dia berkata, lalu membaca teks yang tertulis
pada bagian atas setiap surat suara. Paus ouct pilihanku adalah ... Kemudian dia
mengumumkan nama calon yang tertulis di bawahnya. Setelah Mortati menyebutkan
nama calon tersebut, dia meraih sebuah jarum jahit dan menusuk surat suara itu
menembus kata Eligo, lalu dengan berhati-hati dia meluncurkan surat suara itu
pada benang. Setelah itu dia mencatat suara di sebuah buku catatan.
Kemudian dia mengulangi seluruh prosedur itu. Dia memilih satu surat suara dari
piala, membacanya dengan keras, lalu menjahitnya seperti tadi dan mencatatnya
dalam buku catatan. Mortati segera dapat merasakan bahwa pemilihan ini akan
gagal. Tidak ada konsensus. Dia baru membuka tujuh surat suara, dan ketujuh
surat suara tersebut menyatakan nama kardinal yang berbeda. Seperti yang biasa
terjadi, tulisan tangan di setiap surat suara disamarkan dengan huruf cetak atau
tulisan indah. Dalam hal ini, penyamaran itu ironis karena para kardinal
menuliskan namanya sendiri. Mortati tahu, keangkuhan ini tidak ada hubungannya
dengan ambisi pribadi. Ini hanyalah pola untuk mengulur waktu. Sebuah manuver
pertahanan. Sebuah taktik untuk meyakinkan bahwa tidak ada seorang kardinal pun
yang bisa mendapatkan suara yang cukup banyak untuk menang ... sehingga terpaksa
diadakan pemilihan lagi. Kardinal-kardinal itu sedang menanti preferiti mereka...
Ketika surat suara terakhir dihitung, Mortati menyatakan
kalau pemilihan ini gagal menentukan paus yang baru. Dia kemudian mengambil
benang yang merangkai semua surat suara itu dan mengikat kedua ujungnya sehingga
menjadi sebuah kalung. Kemudian dia meletakkan kalung tersebut di atas sebuah
nampan perak. Dia menambahkan zat kimia khusus lalu membawa nampan itu ke
cerobong asap kecil di belakangnya. Di situ dia membakar surat-surat suara
tersebut. Ketika surat-surat suara itu terbakar, zat kimia yang tadi
ditambahkannya membuat asap hitam. Asap itu naik melalui sebuah pipa lalu masuk
ke cerobong asap yang terletak di atap kapel. Dari situ asapnya akan keluar dan
semua orang dapat melihatnya. Kardinal Mortati baru saja mengirimkan komunikasi
pertamanya ke dunia luar. Satu kali pemungutan suara. Tidak ada paus yang
terpilih. 69 LANGDON HAMPIR SESAK napas karena aroma menyengat di sekitarnya sementara dia
berjuang untuk menaiki tangga menuju ke arah cahaya di atas sumur. Di atas, dia
mendengar suara-suara, tetapi tidak ada yang terdengar masuk akal. Kepalanya
dipenuhi dengan gambaran kardinal yang dicap. Tanah ... Tanah ... Ketika dia
terus memanjat, pandangan matanya mengabur dan dia takut akan pingsan dan jatuh.
Dua anak tangga lagi dari atas dan keseimbangannya pun goyah. Dia menggapai ke
atas, mencoba untuk meraih bibir sumur, tetapi masih terlalu jauh. Dia
kehilangan pegangannya di tangga dan hampir terjatuh lagi ke dalam kegelapan.
Langdon merasa sakit di lengan bawahnya, dan tiba-tiba dia melayang, kakinya
terayun bebas di atas lubang.
Ternyata tangan dua orang Garda Swiss yang kuat meraih lengan bawahnya dan
menariknya ke luar. Sesaat kemudian kepala Langdon muncul dari Lubang Iblis.
Dirinya tersedak dan megap-megap. Kedua Garda Swiss itu menariknya menjauh dari
bibir lubang, kemudian membaringkannya di atas lantai pualam yang dingin.
Untuk sesaat, Langdon tidak yakin dia berada di mana. Di atasnya dia melihat
bintang-bintang ... planet-planet yang mengorbit. Sosok-sosok samar yang
berkejaran. Orang-orang berteriak. Dia terbaring di dasar sebuah piramida batu
dan mencoba untuk duduk. Suara galak yang sudah akrab di telinganya menggema di
dalam kapel itu dan kemudian Langdon ingat dia sedang berada di mana.
Olivetti berteriak pada Vittoria. "Kenapa kalian tidak mengetahuinya dari awal?"
Vittoria mencoba menjelaskan situasinya. Olivetti menyelanya di tengah kalimat
dan kemudian meneriakkan perintah kepada anak buahnya. "Keluarkan mayat itu!
Geledah seluruh gedung ini!"
Langdon berusaha lagi untuk duduk. Kapel Chigi yang dipenuhi oleh Garda Swiss.
Tirai plastik di depan kapel telah disobek dan udara segar mulai mengisi paru-
parunya. Ketika akal sehatnya kembali muncul, Langdon melihat Vittoria berjalan
mendekatinya. Vittoria berlutut, wajahnya terlihat seperti malaikat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Vittoria sambil memegang tangan Langdon dan meraba
denyut nadinya. Tangan Vittoria terasa lembut di kulitnya.
"Terima kasih," kata Langdon setelah benar-benar duduk. "Olivetti marah."
Vittoria mengangguk. "Sudah sepantasnya dia marah. Kita menggagalkannya."
"Maksudmu, aku menggagalkannya." "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita
akan menangkapnya lain waktu." Lain waktu" Langdon berpendapat itu adalah komentar
yang jahat. Tidak ada lain waktu! Kita sudah gagal menembak sasaran kita!
Vittoria memeriksa jam tangan Langdon. "Mickey mengatakan kita masih punya waktu
empat puluh menit lagi. Kumpulkan tenagamu dan bantu aku untuk menemukan
petunjuk berikutnya."
"Sudah kukatakan padamu, Vittoria, patung-patung itu sudah hilang. Jalan
Pencerahan sudah - " Suara Langdon tertahan. Vittoria tersenyum lembut. Tiba-tiba
dengan susah payah Langdon berdiri. Dia berjalan mengelilingi ruangan itu dan
mengamati karya seni di sekelilingnya. Piramida-piramida, planet-planet, elips-
elips. Tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Inilah altar ilmu pengetahuan yang
pertama itu! Bukan Pantheon! Langdon sekarang menyadari betapa sempurnanya kapel
ini sebagai kapel Illuminati. Jauh lebih tersamar dan daripada Pantheon yang
terkenal di dunia itu. Kapel Chigi adalah ceruk yang berbeda, benar-benar sebuah
lubang di dalam dinding sebuah tanda penghormatan bagi seorang pemuka ilmu
pengetahuan, dan didekor dengan simbologi duniawi yang menggambarkan unsur
tanah. Sempurna. Langdon bersandar di dinding supaya tidak limbung dan menatap patung piramida
besar itu. Vittoria sangat benar. Kalau kapel ini adalah altar ilmu pengetahuan
yang pertama, berarti ada patung yang menjadi petunjuk berikutnya. Langdon
merasakan hadirnya aliran harapan. Kalau petunjuk itu ada di sini, dan mereka
dapat mengikutinya ke altar ilmu pengetahuan yang berikutnya, mereka mungkin
memiliki kesempatan sekali lagi untuk menangkap pembunuh itu.
Vittoria bergerak mendekatinya. "Aku tahu siapa pematung Illuminati misterius
itu." Kepala Langdon berputar. "Apa?" "Sekarang kita hanya harus mengetahui
patung yang mana yang merupakan - " "Tunggu sebentar! Kamu tahu siapa pematung Illuminati itu?"
Langdon sudah bertahun-tahun mencari informasi itu. Vittoria tersenyum.
"Pematung itu adalah Bernini." Dia
berhenti. "Bernini yang itu." Langdon langsung tahu kalau Vittoria salah. Tidak
mungkin Bernini. Gianlorenzo Bernini adalah pematung paling terkenal sepanjang
masa. Ketenarannya hanya dapat dikalahkan oleh Michelangelo sendiri. Selama
tahun 1600-an, Bernini menciptakan patung lebih banyak daripada pematung
lainnya. Sayangnya, pematung yang mereka cari adalah seorang pematung yang tidak
terkenal, bukan siapa-siapa.
Vittoria mengerutkan dahinya. "Kamu tidak tampak bersemangat." "Tidak mungkin
Bernini." "Kenapa tidak" Bernini adalah pematung yang sezaman
dengan Galileo. Dia pematung yang brilian." "Dia adalah pematung yang sangat
terkenal dan seorang Katolik yang taat." "Ya," sahut Vittoria. "Betul-betul seperti Galileo."
"Tidak," bantah Langdon. "Sama sekali tidak seperti Galileo. Galileo adalah duri
dalam daging bagi Vatican. Sementara Bernini adalah anak kesayangan mereka.
Gereja mencintai Bernini. Dia terpilih sebagai pemegang otoritas artistik di
Vatican. Dia bahkan tinggal di dalam Vatican City sepanjang hidupnya!"
"Sebuah penyamaran yang sempurna. Penyusupan Illuminati."
Langdon merasa putus asa. "Vittoria, anggota Illuminati menyebut seniman rahasia
mereka itu sebagai il maestro ignoto - maestro tak dikenal."
"Ya, tidak dikenal oleh mereka. Ingat kerahasiaan kelompok Mason - hanya anggota
tingkat atas saja yang tahu semua rahasia. Bisa saja Galileo menyembunyikan jati
diri Bernini yang sesungguhnya dari anggota-anggota lainnya ... untuk keamanan
Bernini sendiri. Dengan begitu Vatican tidak pernah tahu."
Langdon tidak yakin, tetapi dia mengakui jalan pikiran Vittoria masuk akal juga
walau terdengar aneh. Kelompok Illuminati terkenal dengan kemampuan mereka dalam
menyimpan informasi rahasia secara tertutup, dan hanya membuka rahasia kepada
para anggota tingkat atas. Karena itulah kerahasiaan mereka terjaga ... hanya
sedikit orang yang tahu keseluruhan cerita tentang kelompok mereka itu.
"Dan keterlibatan Bernini dengan Illuminati," tambah Vittoria sambil tersenyum,
"menjelaskan kenapa dia merancang kedua piramida itu."
Langdon berpaling pada kedua patung piramida besar itu dan menggelengkan
kepalanya. "Bernini adalah seorang pematung religius. Tidak mungkin dia membuat
piramidapiramida itu."
Vittoria mengangkat bahunya. "Katakan itu kepada tanda di belakangmu." Langdon
berputar dan melihat sebuah plakat.
SENI KAPEL CHIGI Raphael adalah arsitek bangunan ini sementara seluruh dekorasi
interior dibuat oleh Gianlorenzo Bernini Langdon membaca plakat itu dua kali,
dan masih tetap tidak percaya. Gianlorenzo Bernini terkenal karena kerumitan
karyanya, seperti patung-patung suci Bunda Maria, malaikatmalaikat, nabi-nabi,
paus-paus. Kenapa dia harus membuat piramida"
Langdon menatap monumen yang menjulang tinggi dan merasa sangat bingung. Dua
buah piramida, masing-masing dengan dua medali berbentuk elips. Keduanya adalah
patung yang sama sekali tidak bersifat Kristen. Piramida-piramida itu memiliki
bintang di atasnya yang merupakan lambang zodiak. Seluruh dekorasi interior
dibuat oleh Gianlorenzo Bernini. Langdon baru sadar, kalau itu benar berarti
Vittoria pasti tidak keliru. Jadi, Bernini adalah maestro Illuminati yang tak
dikenal; tidak ada seniman lain yang menyumbangkan karya seni di kapel ini.
Pemikiran itu datang terlalu cepat untuk dicerna oleh Langdon. Bernini adalah
anggota Illuminati. Bernini merancang ambigram Illuminati. Bernini yang
meletakkan Jalan Pencerahan. Langdon hampir tidak dapat berbicara. Mungkinkah di
sini, di dalam Kapel Chigi yang kecil ini, Bernini yang terkenal itu menempatkan
sebuah patung yang mengarahkan kita ke arah altar ilmu pengetahuan yang
berikutnya" "Bernini," kata Langdon. "Aku tidak pernah mengira." "Siapa lagi
selain seorang seniman Vatican terkenal yang mempunyai kekuasaan untuk
meletakkan karya seninya di kapel Katolik tertentu di sekitar Roma dan
menciptakan Jalan Pencerahan. Pasti bukan seniman kacangan."
Langdon mempertimbangkan perkataan Vittoria tadi. Dia menatap kedua piramida itu
sambil bertanya-tanya apakah salah satu dari mereka menjadi petunjuk ke altar
ilmu pengetahuan selanjutnya. Mungkin juga keduanya" "Kedua piramida itu
menghadap ke sisi yang berlawanan," kata Langdon, tidak yakin apa artinya itu.
"Mereka juga sama persis, jadi aku tidak tahu yang mana ...." "Kukira kedua
piramida itu bukan petunjuk yang kita cari." "Tetapi mereka adalah satu-satunya
patung di sini." Vittoria menyelanya dengan menunjuk Olivetti dan beberapa
penjaga yang masih berkerumun di dekat Lubang Iblis itu.
Langdon mengikuti arah yang ditunjuk oleh Vittoria. Pada awalnya dia tidak
melihat apa-apa. Lalu seseorang bergerak, dan Langdon melihat sesuatu. Pualam
putih. Sebuah lengan. Sebuah patung dada. Dan pahatan wajah. Sebagian
tersembunyi di dalam ceruknya. Dua buah patung manusia dengan ukuran yang
sesungguhnya, saling terjalin. Denyut nadi Langdon menjadi cepat. Dia tadi
begitu tercengang oleh dua piramida dan lubang iblis sehingga dia tidak melihat
patung itu. Dia menyeberangi ruangan tersebut dan melewati kerumunan Garda
Swiss. Ketika dia semakin dekat, Langdon mengenali karya itu sebagai karya
Bernini yang asli - komposisi artistik yang kuat, kerumitan wajah dan pakaian yang
melambai, semuanya terbuat dari pulam putih murni yang hanya bisa dibeli oleh
uang Vatican. Baru ketika Langdon berada hampir di depan patung itu, dia mampu
mengenali patung tersebut. Dia memandang wajah kedua patung itu dan terkesiap.
"Siapa mereka?" tanya Vittoria ketika dia tiba di belakang Langdon.
Langdon berdiri dan memandangnya dengan tatapan terpesona. "Habakkuk dan
malaikat," sahut Langdon dengan suara yang hampir tidak terdengar. Karya seni
itu dikenal sebagai karya Bernini walau tidak terlalu banyak dibicarakan dalam
buku-buku sejarah seni. Langdon lupa kalau karya itu ditempatkan di sini.
"Habakkuk?" "Ya. Nabi yang meramalkan penghancuran bumi." Vittoria tampak tidak
tenang. "Kamu kira ini juga sebuah
petunjuk?" Langdon mengangguk dengan kagum. Selama hidupnya dia belum pernah
merasa seyakin ini. Ini adalah petunjuk pertama Illuminati. Tidak diragukan
lagi. Langdon memang berharap patung itu akan menunjukkan altar ilmu pengetahuan
selanjutnya, tapi dia tidak mengira kalau patung tersebut akan menunjukkannya
sejelas ini. Tangan malaikat dan tangan Habakkuk terulur dan menunjuk ke suatu
arah yang jauh. Langdon tiba-tiba tersenyum. "Tidak terlalu tersamar, bukan?"
Vittoria tampak gembira sekaligus bingung. "Aku memang melihat mereka menunjuk,
tetapi mereka menunjukkan arah yang berlawanan. Sang malaikat menunjuk ke satu
arah, dan sang nabi ke arah yang lain."
Langdon tertawa. Apa yang dikatakan Vittoria memang benar. Walau kedua sosok itu
menunjuk ke arah yang jauh, mereka menunjuk ke arah yang berlawanan. Tapi
tampaknya Langdon sudah mendapatkan jawabannya. Dengan bersemangat Langdon
berjalan menuju ke pintu. "Mau ke mana kamu?" tanya Vittoria sambil beseru.
"Keluar gedung ini!" Kaki Langdon terasa ringan ketika dia berlari ke arah
pintu. "Aku harus melihat ke arah mana patung itu menunjuk!"
"Tunggu! Bagaimana kamu tahu jari siapa yang harus kamu ikuti?"
"Puisi itu," seru Langdon tanpa berhenti bergerak. "Baris terakhir!"
"'Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencanan muliamu'?" Vittoria melihat
ke jari sang malaikat. Tiba-tiba tatapannya kabur. "Kita sial kalau membuat
kesalahan lagi." 70 GUNTHER GLICK DAN CHINITA Macri duduk di dalam van BBC yang diparkir di dalam
kegelapan di ujung Piazza del Popolo. Mereka sampai tidak lama setelah keempat
mobil Alfa Romeo itu tiba. Gunther merasa beruntung karena tepat waktu untuk
menyaksikan rangkaian peristiwa yang tak dapat terbayangkan olehnya. Chinita
masih tidak tahu apa arti semua itu, tetapi dia tetap merekamnya.
Begitu mereka tiba. Chinita dan Glick melihat sepasukan orang muda menghambur
dari dalam mobil Alfa Romeo lalu mengepung gereja. Beberapa dari mereka
mengeluarkan senjatanya. Salah satu dari mereka, yang tampak tua dan kaku,
memimpin regu itu untuk menaiki tangga depan gereja. Para serdadu mengeluarkan
senjatanya dan menembak kunci pintu depan gereja itu. Macri tidak mendengar
suara apa pun. Dia tahu mereka pasti menggunakan peredam suara. Kemudian
serdaduserdadu itu masuk.
Chinita memutuskan untuk duduk tenang di dalam mobil dan merekam dari kegelapan.
Lagi pula, senjata tetaplah senjata, dan mereka berhasil mendapatkan gambar aksi
tersebut dengan jelas dari dalam mobil. Sekarang mereka melihat orang-orang
bergerak keluar-masuk gereja. Mereka berteriak satu sama lain. Chinita mengatur
kameranya untuk mengikuti mereka ketika regu itu menggeledah sekeliling area
itu. Walau semuanya mengenakan pakaian preman, tapi mereka bergerak dengan
ketepatan militer. "Menurutmu mereka itu siapa?" tanya Macri pada Glick.
"Mana aku tahu." Glick tampak terpaku. "Kamu merekam semuanya?" "Setiap
gerakan." Kemudian suara Glick terdengar puas. "Masih ingin
kembali untuk menunggu Paus?" Chinita tidak yakin harus mengatakan apa. Yang
pasti di sini sedang terjadi sesuatu. Dia sudah cukup lama makan asam garam
dunia jurnalisme sehingga tahu pasti ada penjelasan membosankan untuk berbagai
peristiwa menarik seperti yang satu ini. "Mungkin ini tidak berarti apa-apa,"
katanya. "Mungkin saja orang-orang itu juga mendapatkan petunjuk yang sama
denganmu dan sekarang mereka hanya memeriksa tempat itu. Bisa juga itu hanya
peringatan palsu." Glick mencengkeram lengan Chinita. "Di sana! Fokus." Glick menunjuk lagi ke arah
gereja itu. Chinita mengarahkan kameranya kembali ke puncak tangga gereja. "Halo!" katanya
sambil terus mengarahkan kameranya ke arah seorang lelaki yang keluar dari
gereja. "Siapa lelaki gaya itu?" Chinita mengatur lensanya untuk mengambil


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gambar closeup. "Belum pernah melihatnya." Dia terus mengarah ke wajah lelaki
itu dan tersenyum. "Tetapi aku tidak keberatan untuk bertemu dengannya lagi."
Robert Langdon berlari menuruni tangga di luar gereja dan berlari ke tengah
piazza. Sekarang hari sudah mulai gelap. Matahari musim semi terbenam agak
lambat di Roma sebelah selatan. Matahari telah surut di sekitar gedung-gedung di
kota ini dan bayangan mulai tampak di lapangan itu. "Baik, Bernini," katanya
keras pada dirinya sendiri.
"Katakan padaku ke mana malaikatmu menunjuk?" Dia berputar dan memeriksa
sekeliling gereja dari arah dia keluar tadi. Dia membayangkan Kapel Chigi di
dalam gereja beserta patung malaikat yang ada di sana. Tanpa ragu-ragu dia
berpaling ke arah barat, ke arah kilau matahari yang akan terbenam. Waktu
berjalan sangat cepat. "Barat Daya," katanya sambil cemberut ke arah gedung gedung pertokoan dan
apartemen yang menghalangi pandangan. "Petunjuk berikutnya ke arah sana."
Sambil memeras otaknya, Langdon membayangkan halaman demi halaman dari sejarah
seni Roma. Walau dia sangat akrab dengan karya-karya Bernini, dia tahu pematung
itu memiliki karya patung yang terlalu banyak sehingga tidak seorang ahli pun
yang dapat mengenali semua karyanya. Walau demikian, dengan menimbang petunjuk
pertama yang cukup terkenal itu - Habakkuk dan sang malaikat - Langdon berharap
petunjuk kedua adalah karya yang dapat diingatnya.
Tanah, Udara, Api, Air, pikirnya. Tanah. Di dalam Kapel Tanah mereka sudah
menemukannya Habakkuk, seorang nabi yang meramalkan penghancuran bumi.
Udara adalah petunjuk berikutnya. Langdon memaksa dirinya untuk berpikir. Sebuah
karya Bernini yang berhubungan dengan Udara! Langdon sama sekali tidak dapat
mengingatnya. Tapi dia merasa sangat bersemangat. Aku berada di Jalan
Pencerahan! Semua petunjuknya masih lengkap!
Sambil menatap ke arah barat daya, Langdon berusaha untuk mencari sebuah menara
atau puncak katedral yang tersembul melebihi gedung-gedung yang menghalanginya.
Tapi dia tidak melihat apa-apa. Dia membutuhkan peta. Kalau peta tersebut
menunjukkan ada gereja yang terletak di barat daya dari tempat ini, mungkin
salah satunya dapat membangkitkan ingatan Langdon. Udara, dia memaksa dirinya
untuk berpikir. Udara. Bernini. Patung. Udara. Berpikirlah!
Langdon berpaling dan berlari menuju ke tangga katedral itu kembali. Di bawah
menara perancah dia bertemu dengan Vittoria dan Olivetti.
"Barat Daya," kata Langdon sambil terengah-engah. "Gereja berikutnya berada di
sebelah barat daya dari sini."
Kata-kata Olivetti terucap seperti bisikan dingin. "Kamu yakin kali ini?"
Langdon tidak menanggapinya. "Kita membutuhkan peta. Peta yang memperlihatkan
semua gereja di Roma."
Sang komandan menatapnya sesaat, air mukanya tidak pernah berubah.
Langdon melihat jam tanganya. "Kita hanya mempunyai waktu setengah jam."
Olivetti bergerak melewati Langdon dan menuruni tangga menuju ke arah mobilnya
yang diparkir tepat di depan katedral. Langdon berharap Olivetti akan mengambil
sebuah peta. Vittoria tampak bersemangat. "Jadi sang malaikat menunjuk ke arah barat daya"
Kamu tidak tahu gereja apa yang ada di barat daya?"
"Aku tidak dapat melihat melewati gedung-gedung sialan itu," kata Langdon sambil
berpaling dan menghadap ke lapangan itu lagi. "Dan aku tidak terlalu tahu
tentang gerejagereja di Roma - " Dia berhenti. Vittoria tampak heran. "Apa?"
Langdon menatap piazza itu lagi. Setelah menaiki tangga, sekarang dia berdiri
lebih tinggi sehingga pandangannya lebih baik. Dia masih tetap tidak dapat
melihat apa pun, tetapi dia tahu dia sedang bergerak ke arah yang benar. Matanya
mendaki menara perancah yang tinggi namun tampak reyot itu. Menara itu setinggi
enam tingkat, hampir setinggi jendela gereja itu, jauh lebih tinggi daripada
gedung-gedung di sekitar lapangan. Dia segera tahu ke mana dia harus pergi. Di
seberang lapangan, Chinita Macri dan Gunther Glick duduk dan seperti terpaku
ketika menatap keluar melalui kaca depan van BBC itu. "Kamu mengambil yang ini?"
tanya Gunther. Bidikan Macri sekarang mengikuti lelaki yang sedang memanjat
menara perancah di hadapan mereka. "Dia berpakaian agak terlalu rapi untuk pura-
pura menjadi Spiderman kalau kamu bertanya pendapatku."
"Lalu siapa Spidey, si laba-laba merah itu?" Chinita melihat sekilas ke arah
seorang perempuan cantik di bawah menara perancah itu. "Aku bertaruh, kamu pasti
ingin mengetahuinya." "Kamu pikir aku harus menelepon redaksi?" "Belum. Kita
lihat saja dulu. Lebih baik kita tahu apa yang kita dapatkan di sini sebelum
melapor kalau kita sudah meninggalkan peliputan rapat pemilihan paus."
"Kamu pikir seseorang betul-betul sudah membunuh salah satu kakek-kakek itu di
sana?" Chinita tergelak. "Kamu benar-benar akan masuk neraka." "Dan aku akan
membawa Pulitzer bersamaku."
71 MENARA PERANCAH ITU tampaknya semakin tidak stabil ketika Langdon bergerak
semakin tinggi. Tapi pandangan Langdon akan kota Roma menjadi lebih baik setiap
kali dia memanjat semakin tinggi. Dia terus memanjat.
Langdon mulai sulit bernapas ketika mencapai tingkat yang lebih tinggi. Dia
akhirnya tiba di landasan, lalu membersihkan dirinya dari serpihan semen yang
menempel di tubuhnya, kemudian dia berdiri tegak. Ketinggian itu sama sekali
tidak membuatnya takut. Itu malah membuatnya segar.
Pemandangan di bawahnya mengejutkannya. Terbentang di depan mata
Langdon, terlihat atap gedung-gedung yang terbuat dari genteng berwarna merah,
dan berkilau tertimpa cahaya matahari yang mulai terbenam. Untuk pertama kali
dalam hidupnya, Langdon melihat Roma sebagai Citta di Dio - Kota Tuhan, di antara
polusi dan lalu-lintas kota Roma.
Sambil menyipitkan matanya ke arah matahari terbenam, Langdon mengamati atap
gedung-gedung itu untuk mencari atap gereja atau menara lonceng. Tetapi saat dia
melihat ke kejauhan menuju cakrawala, dia tidak menemukan apa pun. Ada ratusan
gereja di Roma, pikirnya. Pasti ada satu gereja yang terletak di sebelah barat
daya ini! Kalau saja gereja itu terlihat. Dia kemudian mengingatkan dirinya
sendiri. Sialan, itu juga kalau gereja itu masih berdiri! Ketika memaksakan
matanya untuk menelusuri pemandangan itu dengan perlahan-lahan, dia berusaha
untuk mencari lagi. Tentu saja dia tahu kalau tidak semua gereja mempunyai
menara yang terlihat, terutama gereja kecil yang tidak seperti rumah suci biasa.
Apalagi Roma telah berubah secara dramatis sejak tahun 1600an, ketika hukum
mengharuskan gereja menjadi gedung tertinggi di Roma. Tapi sekarang, Langdon
melihat gedung-gedung apartemen, gedunggedung pencakar langit, dan menara-menara
TV menjulang lebih tinggi daripada gereja.
Untuk kedua kalinya, mata Langdon menyentuh cakrawala tanpa menemukan apa yang
dicarinya. Tidak ada satu menara pun. Dari kejauhan, di sisi lain kota Roma,
kubah karya Michelangelo yang besar menutupi pemandangan matahari yang sedang
tenggelam. Itu Basilika Santo Petrus. Vatican City. Langdon bertanya-tanya
bagaimana para kardinal melanjutkan rapat pemilihan paus, dan apakah Garda Swiss
berhasil menemukan antimateri yang berbahaya itu. Firasatnya mengatakan kalau
mereka belum dan tidak akan menemukannya.
Puisi itu berdengung lagi di dalam kepalanya. Dia memikirkannya dengan seksama,
baris demi baris. Dari makam duniawi Santi yang memiliki lubang iblis. Mereka
telah menemukan makam Santi. Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis.
Elemen-elemen mistis adalah Tanah, Udara, Api, Air. Jalan cahaya sudah
terbentang, ujian suci. Jalan Pencerahan ditunjukkan oleh patung-patung karya
Bernini. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu.. Malaikat
itu menunjuk ke arah barat daya .... "Tangga depan!" seru Glick sambil menunjuk
dengan tidak sabar di balik kaca depan mobil van BBC. "Ada yang terjadi!" Macri mengalihkan
bidikannya kembali ke jalan masuk utama. Memang ada yang sedang terjadi di sana.
Di dasar tangga, lelaki yang bertampang seperti seorang militer itu menuju ke
salah satu dari Alfa Romeo di dekat tangga dan membuka bagasinya. Kini dia
mengamati lapangan seolah memeriksa apakah ada orang yang melihatnya. Sesaat,
Macri mengira lelaki itu akan melihat mereka, tetapi mata lelaki itu terus
bergerak. Tampaknya lelaki itu merasa puas, lalu dia mengeluarkan walkie-
talkienya. dan berbicara dengan menggunakan alat itu.
Nyaris saat itu juga, sekelompok serdadu keluar dari gereja. Serdadu-serdadu itu
berbaris dengan rapi di bagian teratas tangga gereja. Lalu mereka bergerak
seperti tembok manusia untuk menuruni tangga. Di belakang mereka, hampir
tertutup oleh tembok bergerak itu, empat orang serdadu tampak membawa sesuatu.
Sesuatu yang berat dan kaku.
Glick mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apakah mereka mencuri sesuatu dari
gereja?" Chinita lebih mempertajam bidikannya dengan menggunakan telefoto untuk menembus
tembok manusia itu dan mencari celah. Celah satu detik saja, serunya dalam hati.
Satu frame saja. Hanya itu yang kubutuhkan. Tetapi orang-orang itu bergerak
dengan serempak. Ayolah! Macri terus membidik, dan dia akhirnya mendapatkan
hasilnya. Ketika para serdadu itu berusaha mengangkat benda itu ke dalam bagasi,
Macri mendapatkan celah yang dicari-carinya. Ironisnya, benda berat itu ternyata
seorang lelaki tua. Kejadian itu hanya sekejap, tapi berlangsung cukup lama.
Marcri mendapatkan gambar yang dicarinya. Sebetulnya, dia mendapatkan gambar
lebih dari sepuluh frame. "Telepon redaksi," kata Chinita. "Kita menemukan
mayat." Jauh sekali dari tempat itu, di CERN, Maximilian Kohler menggerakkan kursi
rodanya ke dalam ruang kerja Leonardo Vetra.
Dengan kegesitannya, dia mulai memilah-milah dokumen Vetra. Tidak menemukan apa
yang dicarinya, Kohler kemudian bergerak ke kamar tidur staf seniornya itu. Laci
teratas meja yang terdapat di sisi tempat tidur Vetra terkunci. Kohler berusaha
membukanya dengan menggunakan pisau dapur. Di dalam laci itulah Kohler menemukan
apa yang dicarinya. 72 LANGDON MENURUNI MENARA perancah dan akhirnya meloncat turun ke tanah. Dia
mengibaskan semen yang menempel di pakaiannya. Vittoria masih di sana dan
menyambutnya. "Berhasil?" tanya Vittoria. Langdon menggelengkan kepalanya.
"Mereka sudah meletakkan kardinal malang itu di dalam
bagasi." Langdon melihat ke arah Olivetti dan teman-temannya. Sekarang mereka
tampak sedang memegang peta yang terbentang di atas kap mobil. "Apakah mereka
mencari gereja di sebelah barat daya?"
Vittoria mengangguk. "Tidak ada gereja. Dari sini, gereja pertama adalah
Basilika Santo Petrus."
Langdon menggerutu. Setidaknya mereka sependapat. Kemudian dia berjalan
mendekati Olivetti. Para serdadu memberinya jalan.
Olivetti mendongak. "Tidak ada apa-apa. Tetapi peta ini tidak memperlihatkan
semua gereja yang ada. Hanya gerejagereja besar saja. Kira-kira ada lima puluh
gereja." "Kita di mana?" tanya Langdon. Olivetti menunjuk di atas peta itu, di
titik Piazza del Popolo dan menarik garis lurus ke arah barat daya. Garis itu
sama sekali tidak menyentuh tanda penting berupa sekumpulan persegi berwarna
hitam yang menunjukkan beberapa gereja besar di Roma. Sayangnya, gereja-gereja
besar itu juga merupakan gereja-gereja yang berusia lebih tua ... yang sudah ada
sejak tahun 1600-an. "Aku harus memutuskan sesuatu," kata Olivetti. "Apakah kamu yakin dengan arah
itu?" Langdon membayangkan patung malaikat yang sedang menunjukkan jarinya. Perasaan
yakin itu datang lagi. "Ya, Pak. Aku yakin."
Olivetti mengangkat bahunya dan menelusuri garis lurus itu lagi. Jalan itu
memotong Jembatan Margherita, Via Cola di Riezo, dan melewati Piazza del
Risorgimento, sama sekali tidak menyentuh satu gereja pun hingga tiba-tiba
sampai di tengahtengah Lapangan Santo Petrus.
"Memangnya kenapa dengan Basilika Santo Petrus?" salah satu serdadu itu berkata.
Lelaki itu memiliki bekas luka yang dalam di bawah mata kirinya. "Itu juga
sebuah gereja." Langdon menggelengkan kepalanya. "Harus merupakan tempat umum. Sulit untuk
mengatakan itu sebagai tempat umum pada saat ini."
"Tetapi garis itu melewati Lapangan Santo Petrus," tambah Vittoria yang sedang
memerhatikan melalui bahu Langdon. "Lapangan itu adalah tempat umum."
Langdon telah mempertimbangkannya. "Tidak ada patung di sana." "Bukankah di sana
ada monolit di tengah-tengahnya?" Vittoria benar. Ada monolit Mesir di Lapangan
Santo Petrus. Langdon menatap monolit di piazza yang berada di hadapan mereka.
The lofty pyramid, piramida mulia. Kebetulan yang aneh, pikirnya. Dia mengusir
bayangan itu. "Monolit yang ada di Vatican bukan karya Bernini. Benda itu dibawa
ke sana oleh Kaisar Caligula. Lagi pula itu tidak ada hubungannya dengan Udara."
Itu satu masalah lagi. "Lagipula, puisi itu mengatakan elemen-elemen itu
tersebar di seluruh Roma. Lapangan Santo Petrus ada di Vatican City. Bukan di
Roma." "Tergantung siapa yang kamu tanya," seorang serdadu menyela. Langdon mendongak.
"Apa?" "Hal itu selalu menjadi perdebatan. Sebagian besar peta memang
memperlihatkan Lapangan Santo Petrus sebagai bagian dari Vatican City, tetapi
karena lapangan tersebut berada di luar tembok kota suci itu, para pejabat kota
Roma menganggapnya sebagai bagian dari kota ini selama berabad-abad."
"Kamu bercanda," kata Langdon. Dia tidak pernah tahu tentang hal ini.
"Aku hanya mengatakannya," penjaga itu melanjutkan, "karena Komandan Olivetti
dan Nona Vetra bertanya-tanya tentang sebuah patung yang ada hubungannya dengan
Udara." Mata Langdon terbelalak. "Dan kamu tahu patung itu ada di Lapangan Santo
Petrus?" "Tidak begitu tepatnya. Yang kutahu itu bukan benar-benar sebuah patung. Mungkin
juga tidak ada hubungannya." "Jelaskan," desak Olivetti. Penjaga itu mengangkat
bahunya. "Satu-satunya penyebab aku tahu tentang hal itu adalah karena aku
selalu bertugas di piazza itu. Aku tahu setiap sudut Lapangan Santo Petrus."
"Patung itu," desak Langdon. "Seperti apa bentuknya?" Langdon mulai bertanya-
tanya apakah Illuminati cukup berani untuk meletakkan petunjuk kedua mereka di
luar Basilika Santo Petrus.
"Aku berpatroli dan melewatinya setiap hari," kata penjaga itu. "Patung itu
berada di tengah-tengah, tepat di tempat garis ini menujuk. Karena itulah aku
ingat. Seperti yang tadi kukatakan, itu bukan benar-benar patung. Lebih
seperti ... sebuah balok." Olivetti tampak marah sekali. "Sebuah balok?" "Ya,
Pak. Balok dari pualam itu diletakkan di lapangan itu. Balok itu dapat kita
temukan di dasar monolit. Tapi balok itu tidak berbentuk persegi, melainkan
berbentuk elips. Dan di permukaan balok itu terukir sebuah gambar menyerupai
gelombang tiupan angin." Dia berhenti. "Udara, kukira, kalau kamu ingin lebih
ilmiah tentang hal itu."
Langdon menatap serdadu muda itu dengan kagum. "Sebuah relief!" serunya tiba-
tiba. Semua orang melihat ke arahnya. "Relief," kata Langdon, "adalah sisi lain
dari patung!" Seni pahat adalah seni membentuk sosok dalam bentuk patung tiga
dimensi atau dalam bentuk relief dua dimensi. Langdon sudah menulis definisi itu
di atas papan tulis selama bertahun-tahun. Relief pada dasarnya adalah patung
dua dimensi. Seperti profil Abraham Lincoln di uang logam. Medali karya Bernini
di Kapel Chigi adalah contoh lain yang sempurna.
"Bassorelievo?" tanya penjaga itu dengan menggunakan istilah seni dalam bahasa
Italia. "Ya! Bas-relief." Langdon mengetuk-ngetuk atap mobil dengan buku jarinya. "Aku
tidak memikirkan istilah itu! Lantai yang kamu ceritakan di Lapangan Santo
Petrus tadi disebut West Ponente - Angin Barat. Juga dikenal sebagai Respiro di
Dio." "Napas Tuhan?" "Ya. Udara. Dan itu diukir dan diletakkan di sana oleh
arsiteknya yang asli." Vittoria tampak bingung. "Tetapi kukira Michelangelo yang
merancang Lapangan Santo Petrus."
"Ya, gerejanya!" Langdon berseru, ada nada kemenangan dalam suaranya. "Tetapi
Lapangan Santo Petrus dirancang oleh Bernini!"
Ketika iring-iringan Alfa Romeo itu bergerak meninggalkan Piazza del Popolo,
semua orang terlalu terburu-buru sehingga tidak menyadari ada van BBC yang
membuntuti mereka. 73 GUNTHER GLICK MENEKAN pedal gas van BBC dalam dalam dan meluncur menembus lalu
lintas ketika mengikuti empat mobil Alfa Romeo yang melesat melintasi Sungai
Tiber di Ponte Margherita. Biasanya Glick berusaha untuk menjaga jarak supaya
tidak mencurigakan, tetapi hari ini dia hampir tidak dapat mengejar mereka.
Orang-orang itu melesat seperti terbang.
Macri duduk di tempat kerjanya di bagian belakang van sambil menyelesaikan
sambungan telepon ke London. Setelah dia meletakkan teleponnya, dia berteriak
pada Glick untuk mengalahkan suara riuh lalu lintas di sekeliling mereka. "Kamu
mau dengar berita baik atau berita buruk?"
Glick mengerutkan keningnya. Tidak ada yang mudah ketika berhubungan dengan
kantor pusat. "Berita buruk."
"Redaksi marah sekali ketika tahu kalau kita meninggalkan pos kita."' "Kejutan,"
sahut Glick yang sama sekali tidak terkejut. "Mereka juga berpikir kalau
informan-mu itu penipu." "Tentu saja." "Dan bos mengatakan kepadaku kalau kamu
payah dan tidak dapat diandalkan." Glick cemberut. "Bagus sekali. Dan berita baiknya?"
"Mereka setuju untuk melihat rekaman yang baru saja kita ambil." Glick merasa


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemberutnya berubah menjadi senyuman.
Akan kita lihat siapa orang payah itu. "Jadi, ayo kita lakukan." "Aku tidak
dapat mengirimkannya kalau kita tidak berhenti. Glick mengarahkan van itu ke Via
Cola di Rienzo. "Kita tidak dapat berhenti sekarang." Dia membuntuti keempat
Alfa Romeo yang sedang membelok tajam di sekitar Piazza Risorgimento.
Macri memegangi komputernya ketika semua peralatan di sekelilingnya berjatuhan.
"Kalau transmiter-ku patah," ancamnya, "kita harus mengirim gambar ini dengan
berjalan kaki ke London."
"Duduk sajalah, Sayang. Aku punya firasat sebentar lagi kita tiba di sana."
Macri menatapnya. "Di mana?" Glick menatap ke kubah yang sudah sangat dikenalnya
yang sekarang menjulang tinggi di depan mereka. Dia tersenyum. "Kita kembali ke
tempat kita memulainya tadi."
Keempat mobil Alfa Romeo itu menyelinap dengan tangkas di sela-sela lalu lintas
di sekitar Lapangan Santo Petrus. Mereka berpencar dan menyebar di sekeliling
piazza, dan mengeluarkan penumpangnya pada titik-titik tertentu tanpa bersuara.
Para serdadu yang diturunkan itu segera bergerak masuk ke dalam kerumunan
wisatawan dan mobil-mobil van pers di tepi lapangan, lalu segera menghilang.
Beberapa penjaga melewati pilar-pilar yang menopang atap bangunan itu. Ketika
Langdon melihat ke luar melalui kaca depan mobil, dia merasa ada ketegangan di
sekitar Lapangan Santo Petrus.
Untuk menambah jumlah orang, Olivetti telah meminta bantuan tambahan penjaga
yang menyamar ke tengah lapangan tempat di mana West Ponente karya Bernini
terletak. Saat Langdon mengamati Lapangan Santo Petrus, pertanyaan yang biasa
muncul mulai menggoda Langdon. Bagaimana pembunuh itu bisa meloloskan diri dari
ini semua" Bagaimana dia membawa kardinal itu melewati orang-orang ini dan
membunuhnya di tempat terbuka" Langdon melihat jam tangan Mickey Mouse-nya.
Pukul 8:54 malam. Enam menit lagi.
Di bangku depan, Olivetti menoleh dan menatap Langdon dan Vittoria. "Aku ingin
kalian berada di atas batu bata Bernini atau balok atau apa sajalah itu. Peran
yang sama. Kalian wisatawan. Gunakan ponsel jika kalian melihat sesuatu."
Sebelum Langdon dapat menjawab, Vittoria sudah memegang tangannya dan menariknya
keluar mobil. Matahari musim semi mulai terbenam di balik Basilika Santo Petrus, dan bayangan
besar gereja tersebut membentang dan menelan piazza di hadapannya. Langdon
merinding ketika mereka berdua bergerak memasuki bayangan yang dingin dan gelap
itu. Ketika menyelinap di antara kerumunan, Langdon mengamati setiap wajah yang
mereka lewati sambil bertanyatanya apakah pembunuh itu ada di antara mereka.
Tangan Vittoria terasa hangat. Ketika mereka melintasi tempat terbuka yang luas
di Lapangan Santo Petrus, Langdon merasa kalau piazza karya Bernini ini
menimbulkan perasaan yang sesuai seperti pesan yang disampaikan seniman itu
kepada semua orang - "membuat perasaan siapa saja yang memasuki lapangan ini
menjadi rendah hati." Langdon memang merasa rendah hati saat itu. Rendah hati
dan lapar. Dia baru menyadarinya dan juga heran karena pikiran yang sepele
seperti itu dapat muncul dalam situasi seperti saat ini. "Ke obelisk itu?" tanya
Vittoria. Langdon mengangguk sambil membelok ke kiri untuk
menyeberangi piazza itu. "Jam?" tanya Vittoria sambil berjalan cepat tetapi
tetap santai. "Lima menit lagi." Vittoria tidak mengatakan apa-apa, tetapi Langdon
merasakan genggaman tangan perempuan itu mengeras. Langdon masih membawa pistol.
Dia berharap Vittoria memutuskan untuk tidak membutuhkannya. Dia tidak dapat
membayangkan Vittoria mengacungkan senjata di Lapangan Santo Petrus dan menembak
seorang pembunuh ketika pers dari seluruh dunia meliput di lapangan ini. Tapi,
kejadian seperti itu tidak akan sebanding dengan pembunuhan seorang kardinal
dengan cap di dada yang akan terjadi di sini.
Udara, pikir Langdon. Elemen kedua dari ilmu pengetahuan. Dia mencoba
membayangkan cap itu. Lalu metode pembunuhannya. Sekali lagi, Langdon menyusuri
lantai granit yang terbentang luas di sekitarnya - Lapangan Santo Petrus - sebuah
tempat terbuka yang sudah dikepung oleh Garda Swiss. Kalau si Hassassin benar-
benar berani melakukan ini, Langdon tidak dapat membayangkan bagaimana pembunuh
itu dapat lolos. Di tengah-tengah piazza, terdapat obelisk Mesir yang merupakan persembahan
Kaisar Caligula seberat 350 ton. Tingginya 81 kaki dengan ujung berbentuk
piramida yang dipasangi sebuah salib besi yang berongga. Cukup tinggi untuk
menangkap sinar matahari yang kian redup, salib itu bersinar seperti
keajaiban ... konon berisi salib yang digunakan untuk menyalib Yesus.
Dua air mancur mengapit obelisk dengan kesimetrisan yang sempurna. Para ahli
sejarah seni tahu kedua air mancur itu menandai dua titik pusat piazza berbentuk
elips karya Bernini ini, tetapi itu adalah keanehan arsitektur yang sebelumnya
tidak pernah diperhatikan Langdon. Dia merasa tiba-tiba Roma dipenuhi dengan
elips, piramida dan bentuk-bentuk geometri yang mengejutkan.
Ketika mereka mendekati obelisk tersebut, Vittoria memperlambat langkahnya. Dia
bernapas dengan terengahengah seperti membujuk Langdon agar berjalan dengan
perlahan. Langdon berusaha untuk berjalan lebih lambat, menurunkan bahunya dan
melemaskan rahangnya yang terkatup rapat.
Di suatu tempat di sekitar obelisk, diletakkan dengan berani di luar gereja
terbesar di dunia, berdiri altar ilmu pengetahuan yang kedua - West Ponente karya
Bernini - sebuah balok berbentuk elips di Lapangan Santo Petrus. Gunther Glick
mengamati dari balik pilar-pilar yang berada di sekitar Lapangan Santo Petrus.
Pada kesempatan lain, seorang lelaki mengenakan jas wol dan seorang perempuan
bercelana pendek dan bahan khaki tidak akan menarik perhatiannya sama sekali.
Mereka tampak seperti wisatawan biasa yang menikmati suasana di lapangan itu.
Tetapi hari ini bukanlah hari biasa. Hari ini adalah hari yang berisi petunjuk
lewat telepon, mayat, mobilmobil tanpa pelat nomor yang berlomba melintasi Roma,
dan seorang lelaki mengenakan jas wol memanjat menara perancah untuk mencari
sesuatu yang hanya Tuhan yang tahu. Glick terus mengamati mereka.
Dia memandang lapangan itu dan melihat Macri. Perempuan berkulit hitam itu
berada tepat di tempat yang disuruhkan kepadanya, agak jauh dari pasangan itu
dan membayangi mereka. Macri membawa kamera videonya dengan santai. Tapi
walaupun dia pura-pura terlihat seperti seorang wartawan yang sedang bosan, juru
kamera itu terlihat begitu mencolok. Tidak ada wartawan yang berada di sisi
lapangan itu, dan singkatan "BBC" yang terpasang di kameranya menarik perhatian
turis-turis yang lewat. Rekaman gambar yang telah diambil Macri sebelumnya yang berisi mayat tanpa
busana yang disimpan di dalam bagasi mobil, saat ini sedang dikirimkan melalui
pemancar VCR di vannya. Glick tahu gambar itu sekarang sedang melayang di atas
kepalanya menuju London. Dia bertanya-tanya apa yang akan dikatakan oleh redaksi
di kantor pusat. Glick berharap mereka berdua dapat tiba di tempat mayat itu sebelum tentara
berpakaian preman itu ikut campur. Dia tahu tentara yang sama sekarang telah
menyebar dan mengepung piazza itu. Ada sesuatu yang besar akan terjadi.
Media pers adalah senjata terampuh bagi anarki, kata si pembunuh. Glick
bertanya-tanya apakah dia sudah kehilangan kesempatan untuk meliput berita besar
ini. Dia melihat ke arah van-van dari media lainnya di kejauhan dan melihat
Macri mengikuti pasangan misterius itu melintasi piazza. Dia punya firasat kalau
dirinya masih punya kesempatan ....
74 LANGDON SUDAH BISA menemukan apa yang dicarinya dari jarak sepuluh yard, bahkan
sebelum mereka sampai di sana. Di antara para wisatawan yang berlalu-lalang,
balok pualam berbentuk elips karya Bernini yang disebut West Ponente itu tampak
menonjol di atas lantai piazza yang terbuat dari batu granit. Sepertinya
Vittoria juga sudah melihatnya. Genggaman tangannya terasa tegang. "Tenang,"
bisik Langdon. "Lakukan saja piranha-mu itu." Vittoria merenggangkan
genggamannya. Ketika mereka berjalan semakin dekat dengan balok pualam itu,
semuanya masih tampak sangat normal. Para wisatawan berjalan hilir-mudik,
beberapa biarawati mengobrol di tepi piazza, dan seorang gadis memberi makan
burung-burung dara di dasar obelisk itu.
Langdon mengurungkan niatnya untuk melihat jam tangannya. Dia tahu, waktunya
hampir tiba. Mereka tiba di dekat balok elips itu, dan memperlambat langkah mereka, lalu
berhenti. Mereka terlihat santai dan tampak seperti dua orang wisatawan yang
memang harus berhenti sejenak di tempat yang agak menarik.
"West Ponente," kata Vittoria sambil membaca tulisan di atas batu itu.
Langdon melihat ke atas relief yang terukir di batu pualam itu dan tiba-tiba
merasa agak naif. Dalam buku-buku seni yang pernah dibacanya, dalam kunjungannya
yang sudah dilakukannya beberapa kali ke Roma, tidak sekalipun West Ponente
dianggap penting olehnya. Tidak sampai sekarang. Relief itu berbentuk elips,
kira-kira panjangnya tiga kaki, dan terlihatlah ukiran kasar yang menggambarkan
West Wind, Angin Barat, seperti seraut wajah malaikat. Berhembus dari mulut sang
malaikat, Bernini menggambarkan desahan napas yang berhembus keras ke luar
Vatican ... napas Tuhan. Ini adalah penghormatan Bernini terhadap elemen
kedua ... Udara hembusan angin yang keluar dari mulut malaikat. Ketika Langdon
memerhatikan relief itu, dia baru menyadari kalau makna dari relief itu sangat
dalam. Bernini mengukir udara itu dalam lima hembusan yang terlihat jelas ...
lima! Terlebih lagi, ada dua bintang berkilauan yang mengapit batu pualam itu.
Langdon ingat pada Galileo. Dua bintang, lima hembusan udara, elips,
kesimetrisan Langdon merasa kosong. Kepalanya terasa sakit.
Tiba-tiba, Vittoria mulai berjalan lagi, dan menggandeng Langdon menjauh dari
relief itu. "Sepertinya ada orang yang mengikuti kita," bisiknya. Langdon
menatapnya. "Di mana?" Vittoria bergerak menjauh kira-kira tiga puluh yard
sebelum berbicara. Dia berpura-pura menunjuk ke arah Vatican seolah
memperlihatkan sesuatu di atas kubah gereja kepada Langdon. "Orang yang sama.
Dia sudah mengekor di belakang kita sejak menyeberangi lapangan tadi." Lalu
dengan santai Vittoria melihat sekilas melewati bahunya. "Dia masih di belakang
kita." "Kamu pikir dia itu si Hassassin?" Vittoria menggelengkan kepalanya.
"Bukan, kecuali Illuminati menyewa seorang perempuan yang membawa kamera BBC."
Ketika lonceng Basilika Santo Petrus berdentang keras, Langdon dan Vittoria
terlonjak. Ini waktunya. Mereka tadi berjalan menjauhi West Ponente untuk
menghindari wartawan yang membuntuti mereka, tetapi sekarang mereka bergerak
mendekati relief itu lagi.
Walau dentangan lonceng terdengar sangat keras, lapangan itu tampak sangat
tenang. Wisatawan masih berlalu-lalang. Seorang gelandangan mabuk, tertidur
dengan posisi aneh di dasar obelisk. Seorang gadis kecil memberi makan
burungburung dara. Langdon bertanya-tanya apakah wartawan itu sudah membuat si
pembunuh takut. Tidak mungkin, katanya dalam hati ketika ingat dengan janji si
pembunuh. Aku akan membuat kardinal-kardinal kalian menjadi pencerah media.
Ketika gema yang berasal dari dentangan kesembilan mulai memudar, lapangan itu
terasa sangat sunyi dan damai. Hingga kemudian ... gadis kecil itu mulai
berteriak. 75 LANGDONLAH YANG PERTAMA tiba di dekat gadis
kecil itu. Anak kecil yang ketakutan itu berdiri seperti membeku sambil menunjuk
ke dasar obelisk di mana gelandangan mabuk yang terlihat kumal itu terpuruk di
tangga obelisk. Lelaki itu tampak kacau sekali ... kemungkinan dia adalah
gelandangan Roma. Rambut kelabunya terurai di sekitar wajahnya, dan tubuhnya
terbungkus pakaian kotor. Gadis kecil itu terus berteriak sambil berlari menjauh
dan menerobos kerumunan orang.
Perasaan takut yang dirasakan Langdon meningkat ketika mendekati lelaki itu.
Terlihat ada noda gelap yang menyebar ke seluruh pakaian rombengnya. Ternyata
itu adalah darah segar yang mengalir. Kemudian, semuanya seperti terjadi
bersamaan. Lelaki tua itu tampak semakin lemas, dan terbungkuk ke depan. Langdon
bergerak maju dengan cepat, tetapi terlambat. Lelaki tua itu terguling ke depan,
dan menggelinding di tangga, lalu jatuh tersungkur di lantai dengan wajah
mencium bumi. Setelah itu dia tidak bergerak lagi.
Langdon berlutut. Vittoria tiba di sampingnya. Kerumunan mulai terbentuk.
Vittoria meletakkan jemarinya di tenggorokan orang itu dari belakang kepalanya.
"Masih ada denyutan," katanya. "Balikkan tubuhnya."
Langdon langsung bergerak. Dengan memegang bahu lelaki itu, dia membalikkan
tubuhnya. Ketika itu, pakaian kumal longgar yang dikenakannya tampak meluncur
dari tubuhnya. Lalu lelaki itu tergeletak terlentang. Di dadanya yang telanjang
terlihat luka bakar yang cukup besar. Vittoria terkesiap dan mundur. Langdon
merasa lumpuh, terpaku di antara perasaan mual dan ngeri. Simbol itu tertulis
sederhana namun menakutkan.
"Udara," Vittoria seperti tersedak. "Itu ... dia." Beberapa orang Garda Swiss
muncul entah dari mana, sambil meneriakkan perintah, kemudian berlari mengejar
si pembunuh yang tidak terlihat.
Di dekat tempat kejadian, seorang wisatawan berkata, sekitar beberapa menit yang
lalu, seorang lelaki berkulit gelap berbaik hati dengan menolong gelandangan
malang yang sedang mendesah-desah itu untuk menyeberangi lapangan ... lelaki itu
bahkan sempat duduk sebentar di tangga dan menemani gelandangan cacat itu
sebelum akhirnya menghilang di dalam kerumunan.
Vittoria merobek sisa pakaian kumal itu di bagian perutnya. Di sana terdapat dua
luka tusukan yang dalam, masing-masing berada di sisi cap itu, tepat di bawah
tulang iganya. Vittoria mengangkat kepala lelaki itu dan segera memberikan
pernapasan buatan dari mulut ke mulut. Langdon tidak siap untuk melihat apa yang
terjadi setelah itu. Ketika Vittoria meniupkan napasnya, kedua luka di pinggang
orang itu berdesis dan menyemburkan darah ke udara seperti seekor paus
menyemburkan udara. Cairan asin itu menyembur ke wajah Langdon.
Vittoria langsung menghentikan usahanya, dan tampak sangat ketakutan. "Paru-
parunya ...," katanya. "Kedua paruparunya ... ditusuk."
Langdon mengusap matanya dan memandang dua luka yang menganga di tubuh orang
itu. Lubang itu mengeluarkan suara menggelegak. Paru-paru kardinal itu hancur.
Dia kemudian meninggal. Vittoria menutup mayat itu ketika beberapa orang Garda Swiss mendekat.
Langdon berdiri dengan perasaan bingung. Lalu dia melihat perempuan itu.
Perempuan yang sudah mengikuti mereka sejak tadi sekarang berjongkok di dekat
kejadian tersebut. Kamera video BBC-nya terpanggul di bahunya, mengarah ke mayat
itu dan merekamnya. Pandangannya bertemu dengan mata Langdon, dan Langdon tahu
kalau perempuan itu merekam semua kejadian tadi. Lalu, seperti seekor kucing,
dia menyelinap pergi. 76 CHINITA MACRI MELARIKAN DIRI. Dia sudah mendapatkan cerita yang sangat penting
dan bernilai dalam hidupnya.
Kamera videonya terasa seperti sebuah jangkar yang memberati langkahnya ketika
dia berlari menyeberangi Lapangan Santo Petrus sambil menguak kerumunan orang.
Sepertinya semua orang bergerak berlawanan arah dengannya ... Mereka menuju ke
arah kegemparan terjadi. Macri mencoba untuk berada sejauh mungkin dari tempat
itu. Lelaki yang mengenakan jas wol itu telah melihatnya. Sekarang dia merasa
beberapa orang lelaki lainnya mengejarnya, lelaki yang tidak dapat dilihatnya,
yang mendekatinya dari segala penjuru.
Macri masih terguncang oleh pemandangan yang baru saja direkamnya tadi. Dia
bertanya-tanya apakah lelaki yang mati tadi adalah seseorang yang
dikhawatirkannya. Penelepon misterius yang berbicara dengan Glick tiba-tiba saja
terkesan tidak terlalu gila lagi baginya.
Ketika Macri bergegas menuju van BBC-nya, seorang lelaki muda dengan wajah tegas
seperti anggota militer, muncul dari balik kerumunan di depannya. Mata mereka
saling tatap, dan keduanya berhenti. Seperti kilat, lelaki muda itu mengangkat
walkie-talkie-nya kemudian berbicara. Lalu dia bergerak mendekati Macri. Macri
berbalik dan kembali menembus kerumunan, jantungnya berdebar cepat.
Sambil menyeruak kerumunan orang yang berdesak desakan, Macri berusaha
mengeluarkan kaset video yang sudah digunakannya tadi dari kameranya. Pita emas,
pikirnya sambil menyelipkan kaset itu di balik ikat pinggangnya, kemudian
mendorongnya lagi hingga sampai ke bagian belakang tubuhnya dan membiarkan
bagian belakang jaketnya menutupi harta karunnya itu. Saat itu dia merasa
beruntung karena bertubuh agak gemuk. Glick, di mana kamu!
Seorang serdadu lainnya muncul dari sebelah kirinya, dan bergerak mendekat.
Macri tahu dia hanya punya waktu sedikit. Dia bergerak menembus kerumunan itu
lagi. Dia sempat mengeluarkan kaset kosong dari kantungnya dan memasukkannya ke
dalam kamera. Kemudian dia berdoa.
Dia berada tiga puluh yard dari van BBC ketika dua orang lelaki mendekatinya
dari depan. Lengan mereka terlipat. Macri kali ini tidak dapat menghindar lagi.
"Film," salah satunya membentak. "Sekarang." Macri mundur sambil memeluk
kameranya erat-erat. "Tidak." Salah satu dari mereka membuka jasnya dan
memperlihatkan pistolnya. "Tembak saja aku," kata Macri sambil merasa kagum akan
keberanian dalam suaranya sendiri. "Film," kata serdadu pertama tadi mengulangi.
Glick, di mana kamu" Macri menghentakkan kakinya dan berteriak sekuat tenaga.
"Aku seorang videografer profesional yang bekerja untuk BBC! Menurut pasal 12
Undang-undang Kebebasan Pers, film ini adalah milik British Broadcasting
Corporation!" Orang-orang itu tidak takut. Orang yang bersenjata itu melangkah ke depannya.


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku seorang letnan Garda Swiss dan menurut Doktrin Suci kami menguasai tanah
yang kamu injak sekarang. Kamu adalah orang yang harus kami selidiki dan kami
tangkap." Kerumunan orang mulai terbentuk di sekitar mereka. Macri berteriak.
"Aku tidak akan memberikan film ini dengan alasan apa pun tanpa berbicara dengan
editorku di London. Aku sarankan agar kalian - "
Serdadu itu memotong kalimat Macri dan menjambret kamera itu dari tangan Macri.
Sementara itu, yang lainnya menarik lengan Macri dengan kasar dan memutarnya
menghadap ke Vatican. "Grazie," serdadu itu berkata sambil membawanya ke arah
kerumunan yang berdesakan di sekitar mereka.
Macri berdoa agar mereka tidak menggeledahnya dan menemukan kaset itu. Kalau
saja dia dapat melindungi kaset itu cukup lama sampai -
Tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Seseorang dari kerumunan itu
merogoh ke bawah jaketnya. Macri merasa kaset itu ditarik dari bawah jaketnya.
Dia berputar dan nyaris menjerit. Di belakangnya, Gunther Glick dengan napas
terengah-engah, mengedipkan matanya pada Macri dan menghilang di antara
kerumunan itu. 77 ROBERT LANGDON DENGAN langkah terhuyung-huyung memasuki kamar mandi pribadi yang
terletak di sebelah Kantor Paus. Dia membasuh darah dari wajah dan bibirnya.
Darah itu bukan darahnya, tetapi darah Kardinal Lamasse yang baru saja meninggal
dengan cara mengerikan di lapangan yang penuh sesak di luar Vatican. Pengorbanan
para perjaka di altar ilmu pengetahuan. Sejauh ini si Hassassin benar-benar
melaksanakan ancamannya. Langdon merasa tidak berdaya ketika menatap cermin di hadapannya. Matanya
terlihat letih. Pipi dan dagunya terlihat gelap karena belum bercukur pagi ini.
Ruangan di sekitarnya sangat bersih dan mewah, terdiri atas pualam hitam,
perlengkapan mandi berwarna keemasan, handuk katun, dan sabun wangi untuk cuci
tangan. Langdon mencoba untuk menghilangkan bayangan cap berdarah yang baru saja
dilihatnya dari benaknya. Tetapi bayangan itu tidak mau pergi. Dia sudah melihat
tiga ambigram sejak dia bangun tidur pagi ini ... dan dia tahu masih ada dua
lagi yang akan muncul. Di luar pintu, terdengar Olivetti, sang camerlegno dan Kapten Rocher sedang
berdebat tentang apa yang harus dilakukan kemudian. Tampaknya pencarian
antimateri yang mereka lakukan sejauh ini belum memberikan hasil yang memuaskan.
Entah para penjaga yang tidak mampu menemukan tabung itu atau si penyusup yang
terlalu lihai menyembunyikannya di dalam Vatican, tapi kedua-duanya bukan
sejenis hiburan yang diinginkan oleh Komandan Olivetti.
Langdon mengeringkan tangan dan wajahnya. Lalu dia berpaling untuk mencari
tempat buang air kecil untuk laki-laki. Ternyata yang ada hanya WC duduk biasa.
Dia kemudian mengangkat tutupnya.
Ketika berdiri di sana, Langdon merasa begitu tegang dan rasa letih mulai
meliputinya. Berbagai emosi yang berkecamuk di dadanya begitu campur aduk dan
sulit untuk dijabarkan. Dia kelelahan, berlari-lari tanpa makan dan tidur,
berkeliaran untuk mencari Jalan Pencerahan dan merasa trauma akibat dua
pembunuhan yang dilihatnya tadi. Langdon merasa semakin ketakutan ketika
memikirkan akhir dari drama ini.
Berpikirlah, katanya pada diri sendiri. Tapi benaknya terasa kosong.
Ketika dia menyiram WC, tiba-tiba dia menyadari sesuatu. Ini kamar mandi paus,
pikirnya. Aku baru saja buang air kecil di kamar mandi paus. Dia ingin tertawa.
Singgasana Suci. 78 DI LONDON, seorang teknisi BBC mengeluarkan sebuah kaset video dari unit
penerima satelit, kemudian dia berlari menyeberangi ruang kendali. Perempuan itu
menghambur masuk ke kantor pemimpin redaksi, memasukkan kaset video itu ke dalam
pemutarnya dan menekan tombol play.
Ketika rekaman video itu ditayangkan, dia menceritakan percakapannya tadi dengan
Gunther Glick yang masih berada di Vatican City. Selain itu, bagian arsip foto
BBC juga baru saja memastikan identitas korban di Lapangan Santo Petrus.
Ketika sang pemimpin redaksi akhirnya muncul dari ruangannya, dia membunyikan
sebuah lonceng besar dan semua orang di bagian redaksi berhenti bekerja.
"Siaran langsung dalam lima menit!" lelaki itu berseru mengejutkan. "Km di
studio, cepat bersiap-siap. Kordinator media, aku ingin kalian menghubungi
teman-teman di media. Kita punya sebuah berita yang bisa kita jual! Dan kita
punya filmnya!" Para kordinator penjualan segera meraih Rolodex mereka.
"Spesifikasi film?" seru salah seorang dari mereka. "Liputan berdurasi tiga
puluh detik dengan kualitas prima,"
sahut sang pemimpin redaksi. "Isi?" "Pembunuhan, direkam langsung." Para
kordinator itu tampak gembira. "Penggunaan dan
harga lisensi?" "Satu juta dolar Amerika Serikat per detik." Semua kepala
mendongak. "Apa?" "Kalian dengar aku tadi! Aku ingin kita berada di posisi
puncak. CNN, MSNBC, lalu tiga stasiun besar lainnya! Tawarkan tayangan awal
dial-in. Beri mereka waktu lima menit untuk menumpang sebelum BBC
menyiarkannya." "Apa yang sedang terjadi?" seseorang bertanya. "Perdana Menteri kita dikuliti
hidup-hidup?" Sang pemimpin redaksi menggelengkan kepalanya. "Lebih baik dari itu." Pada saat
yang bersamaan, di suatu tempat di Roma, si Hassassin menikmati saat istirahat
pendeknya di atas sebuah kursi yang nyaman. Dia mengagumi ruang legendaris di
sekitarnya. Aku sedang duduk di Gereja Pencerahan, pikirnya. Markas Illuminati.
Dia masih tidak percaya kalau gereja itu masih berdiri di sini setelah berabad-
abad tidak digunakan. Dia kemudian menelepon wartawan BBC yang tadi diteleponnya. Sudah waktunya.
Dunia sudah harus mendengar berita yang mengguncangkan itu.
79 VITTORIA VETRA MENEGUK air dari gelas dan mengunyah beberapa kue scone yang baru
saja disajikan oleh salah satu dari Garda Swiss sambil melamun. Dia tahu dia
harus makan, tetapi dia tidak berselera. Kantor Paus sekarang begitu ramai
karena percakapan tegang antara Kapten Rocher, Komandan Olivetti dan setengah
lusin penjaga yang sedang memperhitungkan kerusakan dan memperdebatkan tindakan
berikutnya. Robert Langdon berdiri di dekat mereka sambil menatap ke Lapangan Santo Petrus.
Dia tampak murung. Vittoria mendekatinya. "Ada ide?" Langdon menggelengkan
kepalanya. "Mau scone?" Perasaan Langdon tampak menjadi lebih baik ketika
melihat makanan. "Wah, tentu saja. Terima kasih." Lalu dia makan dengan lahap.
Percakapan di belakang mereka tiba-tiba terhenti ketika dua orang Garda Swiss
yang mengawal Camerlegno Ventresca berjalan masuk. Kalau sebelumnya sang
camerlegno sudah tampak sangat letih, kini dia terlihat kosong, pikir Vittoria.
"Apa yang terjadi?" tanya sang camerlegno kepada Olivetti. Dari kesan di
wajahnya, sepertinya dia sudah diberi tahu berita terburuk yang menimpa lembaga
yang dipimpinnya. Laporan terkini Olivetti terdengar seperti laporan korban di medan pertempuran.
Dia memberikan faktanya dengan apa adanya. "Kardinal Ebner ditemukan meninggal
di gereja Santa Maria del Popolo beberapa menit setelah pukul delapan. Beliau
dicekik dan dicap tubuhnya dengan tulisan ambigram 'Tanah'. Kardinal Lamasse
dibunuh di Lapangan Santo Petrus sepuluh menit yang lalu. Beliau meninggal
karena ditusuk hingga berlubang di dadanya. Beliau dicap dengan tulisan 'Udara',
juga dalam bentuk ambigram. Pembunuhnya lolos."
Sang camerlegno melintasi ruangan dan menjatuhkan diri di atas kursi Paus. Dia
menundukkan kepalanya. "Kardinal Guidera dan Baggia, masih hidup." Kepala sang
camerlegno mendongak cepat, sorot matanya tampak terluka. "Itukah penghiburan
kita" Dua orang cardinal telah dibunuh, Komandan. Dan dua kardinal lainnya jelas
tidak akan hidup lebih lama lagi kecuali kita dapat menemukan mereka." "Kita
akan menemukan mereka," kata Olivetti meyakinkan baya jamin. "Jamin" Kita tidak
mempunyai apa pun kecuali kegagalan." "Tidak benar. Kita memang telah kalah
dalam dua pertempuran, signore, tetapi kita akan memenangkan peperangan ini.
Illuminati bermaksud menjadikan malam ini sebagai pertunjukan menarik bagi
media. Sejauh ini kita telah menggagalkan rencana mereka. Kedua jasad kardinal
itu telah ditemukan tanpa keributan dengan media. Lagipula," Olivetti
melanjutkan, "Kapten Rocher melaporkan kalau dia mendapatkan kemajuan dalam
operasi pencarian antimateri."
Kapten Rocher melangkah ke depan dengan mengenakan baret merahnya. Vittoria
berpikir, lelaki ini mmpak lebih manusiawi dibandingkan dengan anggota Garda
Swiss lainnya - tegas tetapi tidak terlalu kaku. Suara Rocher terdengar memiliki
emosi dan bening seperti biola. "Mudah-mudahan kami akan menemukan tabung itu
dalam satu jam untuk Anda, signore." "Kapten," kata sang camerlegno, "maafkan
saya kalau saya kurang berharap, tetapi saya mendapat kesan kalau pencarian di
dalam Vatican City akan membutuhkan waktu lebih lama daripada yang kita punya."
"Kalau mencari di seluruh Vatican City, memang begitu. Tapi, setelah
memperkirakan keadaannya, saya percaya kalau tabung antimateri itu diletakkan
pada salah satu zona putih kami - tempat-tempat yang hanya bisa dimasuki publik
seperti museum dan Basilika Santo Petrus. Kami telah memadamkan listrik di zona-
zona tersebut dan melakukan pencarian."
"Jadi Anda hanya mencari di sebagian kecil tempat dan seluruh wilayah Vatican
City?" "Ya, signore. Sangat tidak mungkin kalau si penyusup itu mempunyai akses hingga
ke zona dalam di Vatican City. Fakta bahwa kamera yang hilang itu dicuri dari
kawasan yang bisa dikunjungi publik - dari tangga di salah satu museum - jelas
menyatakan bahwa si penyusup memiliki akses terbatas. Jadi menurut asumsi saya,
dia hanya mampu memindahkan kamera dan antimateri itu ke kawasan publik lainnya.
Kawasan inilah yang menjadi sasaran dalam pencarian kami."
"Tetapi penyusup itu berhasil menculik empat kardinal. Itu jelas menyatakan
bahwa mereka mampu menyusup lebih dalam dari yang kita duga."
"Tidak perlu begitu. Kita harus ingat kalau hari ini para kardinal banyak
meluangkan waktunya di Museum Vatican dan Basilika Santo Petrus dan menikmati
suasana tenang di sana. Kemungkinan keempat kardinal tersebut diculik dari salah
satu tempat itu." "Tetapi bagaimana mereka dibawa keluar dari tembok kita?" "Kami masih
memperkirakannya." "Oh, begitu." Sang camerlegno menarik napas, lalu berdiri.
Dia berjalan mendekati Olivetti. "Komandan, saya ingin mendengar rencana Anda
tentang kemungkinan untuk evakuasi para kardinal."
"Kami masih merencanakannya, signore. Sementara itu, saya percaya Kapten Rocher
dapat menemukan tabung itu."
Rocher menegakkan tubuhnya seolah menghargai kepercayaan yang diterimanya. "Anak
buah saya sudah memeriksa dua pertiga bagian dari zona putih. Saya sangat yakin
kami akan segera menemukannya."
Sang camerlegno tampaknya tidak ikut merasa begitu yakin.
Pada saat itu penjaga yang mempunyai bekas luka di bawah matanya masuk sambil
membawa sebuah papan dengan penjepit dan sebuah peta. Dia berjalan ke arah
Langdon. "Pak Langdon" Saya mempunyai informasi yang Anda minta tentang West
Ponente." Langdon menelan kue sconenya... "Bagus. Mari kita lihat."
Yang lainnya melanjutkan pembicaraan mereka. Sementara itu Vittoria bergabung
dengan Robert dan penjaga itu dan mereka mulai membentangkan peta di atas meja
paus. Serdadu itu menunjuk Lapangan Santo Petrus. "Kita berada di sini. Garis arah
angin West Ponente menuju ke timur, menjauh dari Vatican City." Si penjaga
menelusuri garis dengan menggunakan jarinya dari Lapangan Santo Petrus
menyeberangi Sungai Tiber dan berhenti di jantung kota Roma kuno. "Seperti yang
Anda lihat, garis ini melewati hampir seluruh bagian dari Roma. Di sana ada
sekitar dua puluh Gereja Katolik yang berada di dekat garis ini. Langdon merasa
tidak bersemangat. "Dua puluh?" "Mungkin lebih." "Adakah gereja yang betul-betul
langsung terlintasi oleh garis itu?" "Beberapa gereja tampak lebih dekat dibandingkan dengan yang
lainnya," sahut penjaga itu, "tetapi pemindahan garis West Ponente ke lembaran
peta bisa mengalami kesalahan."
Langdon menatap keluar ke Lapangan Santo Petrus sejenak. Kemudian dia menggerutu
sambil mengusap dagunya. "Bagaimana dengan Api" Apakah ada gereja yang memiliki
karya seni Bernini yang berhubungan dengan Api?" Sunyi. "Bagaimana dengan
obelisk?" Langdon bertanya lagi.
"Apakah ada gereja yang berdiri di dekat obelisk?" Penjaga itu mulai memeriksa
petanya lagi. Vittoria melihat kilauan harapan di mata Langdon dan tahu apa yang
dipikirkannya. Dia benar! Dua petunjuk pertama terletak di dekat piazza yang
memiliki obelisk! Mungkin obelisk merupakan sebuah tema" Piramida tinggi adalah
petunjuk yang menandai Jalan Pencerahan" Semakin banyak Vittoria berpikir,
semuanya mulai masuk akal ... empat menara berdiri di Roma untuk menandai altar
ilmu pengetahuan. "Ini sulit," kata Langdon, "tapi aku tahu banyak obelisk di Roma dibangun atau
dipindahkan ketika Bernini hidup. Tidak diragukan lagi kalau Bernini juga punya
pengaruh dalam penempatan obelisk-obelisk itu."
"Atau," tambah Vittoria. "Bernini mungkin saja telah meletakkan petunjuk-
petunjuk itu di dekat obelisk-obelisk yang ada." Langdon mengangguk. "Benar."
"Berita buruk," kata penjaga itu. "Tidak ada obelisk yang berada di garis ini."
Jarinya menyusuri garis di peta. "Bahkan yang berada di dekat garis pun tidak
ada. Tidak ada sama sekali." Langdon mendesah. Bahu Vittoria lunglai. Dia
mengira itu adalah gagasan yang hebat. Tampaknya, ini tidak akan semudah yang
mereka harapkan. Tetapi dia berusaha untuk tetap yakin. "Robert, berpikirlah.
Kamu pasti tahu patung Bernini yang berhubungan dengan api. Apa saja."
"Percayalah, aku juga sedang berpikir saat ini. Bernini adalah seniman yang
produktif. Dia menciptakan ratusan karya. Aku berharap West Ponente akan
menunjukkan satu gereja. Sesuatu yang dapat mengingatkan kita pada sesuatu."
"Fuoco," Vittoria berseru. "Api. Tidak ada karya Bernini yang berhubungan dengan
api yang bisa kamu ingat?"
Langdon mengangkat bahunya. "Ada sketsa terkenal berjudul Kembang api, tetapi
itu bukan patung, dan ada di Leipzig, Jerman."
Vittoria mengerutkan keningnya. "Dan kamu yakin napas itu adalah petunjuk arah?"
"Kamu melihat relief itu, Vittoria. Rancangan itu betul betul simetris. Satu-
satunya indikasi petunjuk adalah pada napas itu." Vittoria tahu Langdon benar.
"Terlebih lagi," Langdon menambahkan, "karena West Ponente menandakan Udara,
mengikuti arah napas secara simbolis tampak masuk akal."
Vittoria mengangguk. Jadi kita sekarang mengikuti arah napas itu. Tetapi ke
mana" Olivetti mendekat. "Apa yang kalian dapatkan?" "Terlalu banyak gereja,"
kata serdadu itu. "Kira-kira dua lusin atau lebih. Saya kira kita bisa
menempatkan empat orang dalam satu gereja - "
"Lupakan," kata Olivetti. "Kita sudah gagal menangkap orang itu dua kali ketika
kita tahu dengan pasti ke mana dia akan menuju. Pengawasan besar-besaran berarti
meninggalkan Vatican City tanpa penjagaan dan menunda pencarian tabung."
"Kita membutuhkan sebuah buku referensi," kata Vittoria. "Sebuah indeks tentang
karya-karya Bernini. Kalau kita dapat melihat judul karya-karyanya, mungkin ada
yang dapat kita ketahui."
"Aku tidak tahu," kata Langdon. "Kalau memang Bernini menciptakannya khusus
untuk Illuminati, pasti bentuknya akan sangat tersamar, dan tidak akan terdaftar
dalam sebuah buku." Vittoria tidak mau memercayai itu. "Dua patung yang sudah kita temukan
sebelumnya, keduanya terkenal. Kamu pernah mendengar tentang keduanya." Langdon
menggerakkan bahunya. "Ya." "Kalau kita dapat membaca referensi judul yang
mengacu pada kata 'api', mungkin kita akan menemukan patung yang tepat dan
menjadi petunjuk ke arah yang benar."
Kini Langdon tampak percaya dan ingin memeriksanya. Dia lalu berpaling pada Olivetti. "Aku memerlukan sebuah daftar berisi karya-karya Bernini.
Kalian pasti memiliki sebuah buku edisi khusus tentang Bernini, bukan?"
"Buku edisi khusus?" Olivetti tampak tidak akrab dengan istilah itu.
"Sudahlah, lupakan. Daftar apa saja. Bagaimana dengan Museum Vatican" Mereka
pasti memiliki referensi tentang Bernini.
Penjaga yang memiliki bekas luka itu mengerutkan keningnya. "Listrik di museum
dipadamkan, dan ruangan penyimpan catatan itu besar sekali. Tanpa petugas yang
membantu di sana - "
"Karya Bernini yang kita cari itu," Olivetti menyela. "Mungkinkah diciptakan
ketika masih bekerja di sini, di Vatican?"
"Hampir pasti," sahut Langdon. "Dia berada di sini hampir sepanjang karirnya.
Dan yang pasti selama masa pertentangan antara gereja dengan Galileo."
Olivetti mengangguk. "Kalau begitu ada referensi yang lainnya." Vittoria merasa
optimismenya menyala. "Di mana?" Komandan itu tidak menjawab. Dia mengajak
penjaganya menepi dan berbicara dengan suara perlahan sekali. Penjaga itu tampak
tidak yakin tetapi mengangguk patuh. Ketika Olivetti selesai berbisik, penjaga
itu berpaling pada Langdon.
"Kemari, Pak Langdon. Sekarang jam sembilan lewat lima belas. Kita harus cepat."
Langdon dan penjaga itu menuju pintu. Vittoria bergerak untuk mengikuti mereka.
"Aku ikut." Olivetti menangkap lengannya. "Tidak, Nona Vetra. Aku harus
berbicara denganmu." Kata-kata sang komandan adalah perintah.
Langdon dan penjaga itu keluar. Wajah Olivetti terlihat sangat muram ketika


Macan Tutul Di Salju Leopard In The Snow Karya Anne Mather di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membawa Vittoria ke tepi. Tapi apa pun yang ingin disampaikan Olivetti kepada
Vittoria, dia tidak punya kesempatan untuk membicarakannya. Walkie-talkie-nya
bergemersik keras. "Commandante?" Semua orang di dalam ruangan itu menoleh.
Suara dari walkie-talkie itu terdengar muram. "Sebaiknya Anda menyalakan
televisi, Komandan."
80 KETIKA LANGDON MENINGGALKAN ruang Arsip Rahasia Vatican dua jam yang lalu, dia
tidak pernah membayangkan akan masuk ke sana lagi. Sekarang, dengan terengah-
engah karena berlari-lari kecil sepanjang jalan bersama seorang Garda Swiss, dia
sudah berada di depan ruangan itu lagi.
Pengawalnya, penjaga yang memiliki bekas luka itu, sekarang membawa Langdon
melewati deretan ruangan-ruangan tembus pandang yang sudah tidak asing lagi
baginya. Kesunyian di dalam ruangan arsip itu sekarang menjadi bertambah
mencekam, dan Langdon merasa sangat lega ketika penjaga itu memecahkan
kesunyian. "Sepertinya ke sebelah sini," katanya sambil mengajak Langdon ke bagian belakang
ruangan di mana sederet ruang kedap udara yang lebih kecil berbaris di dinding.
Penjaga itu memeriksa judul yang terdapat di ruangan-ruangan itu, kemudian
menunjuk pada salah satunya. "Ya, ini dia. Tepat di tempat yang dikatakan
Komandan." Langdon membaca judul itu. ATTIVI VATICANI. Aset Vatican" Langdon memeriksa
daftar isinya. Lahan yasa ... mata uang ... Bank Vatican ... benda-benda
antik ... Daftar itu hanya sampai di situ.
"Itu adalah catatan dari semua aset Vatican," kata penjaga itu.
Langdon melihat beberapa ruangan kedap udara berukuran kecil di hadapannya. Ya
ampun. Bahkan dalam kegelapan sekali pun, Langdon dapat melihat kalau catatan
itu banyak sekali. "Komandan saya mengatakan apa pun yang dibuat oleh Bernini ketika bekerja di
Vatican akan tercatat di sini sebagai aset."
Langdon mengangguk, dan tahu kalau naluri komandan itu benar. Menurut hukum yang
berlaku pada masa Bernini, apa pun yang dibuat oleh seorang seniman selama
mengabdi kepada paus akan menjadi milik Vatican. Peraturan itu lebih merupakan
feodalisme daripada patronase. Namun kehidupan para seniman kelas atas sangat
baik, jadi mereka tidak mengeluh. "Termasuk karya-karyanya yang ditempatkan di
gereja-gereja di luar Vatican City?"
Serdadu itu menatapnya dengan aneh. "Tentu saja. Semua gereja Katolik di Roma
adalah milik Vatican."
Langdon melihat daftar di tangannya. Daftar itu berisi kurang lebih dua puluh
gereja yang terletak tepat di arah angin West Ponente. Altar ilmu pengetahuan
ketiga berada di salah satu dari gereja-gereja itu, dan Langdon berharap dia
punya waktu untuk mengetahui gereja mana yang berisi altar yang mereka cari.
Dalam situasi yang berbeda, Langdon akan senang sekali memeriksa setiap gereja
itu sendirian. Tapi hari ini, dia hanya memiliki kira-kira dua puluh menit untuk
menemukan apa yang mereka cari - satu gereja yang berisi karya penghormatan
Bernini pada api. Langdon berjalan ke arah pintu putar elektronik yang akan membawanya masuk ke
dalam salah satu ruangan kedap udara itu. Penjaga itu tidak mengikutinya.
Langdon merasa ragu-ragu. Dia tersenyum. "Udaranya tidak apa-apa. Tipis, tetapi
masih cukup untuk bernapas." "Saya hanya diperintahkan untuk mengawal Anda ke
sini dan kembali ke markas dengan segera." "Kamu pergi?" "Ya. Garda Swiss tidak
diizinkan masuk ke ruang arsip. Saya sudah melanggar protokol dengan mengantar
Anda sampai di sini. Komandan mengingatkan saya tentang itu."
"Melanggar protokol?" Sadarkah kamu apa yang sedang terjadi di sini malam ini"
"Komandanmu itu berpihak pada siapa?"
Keramahan hilang dari wajah penjaga itu. Bekas luka di bawah matanya berdenyut.
Penjaga itu menatapnya, dan tibatiba menjadi sangat mirip dengan Olivetti.
"Maafkan aku," kata Langdon sambil menyesali kata katanya. "Hanya saja ...
mungkin kamu dapat membantuku."
Penjaga itu tidak berkedip. "Saya terlatih untuk mematuhi perintah. Bukan untuk
mendebatnya. Kalau Anda sudah menemukan apa yang Anda cari, hubungi Komandan
segera." Langdon bingung. "Tetapi dia berada di mana?" Penjaga itu melepaskan
walkie-talkie-nya. dan meletakkannya di meja terdekat. "Saluran satu." Lalu dia
menghilang dalam kegelapan.
81 PESAWAT TELEVISI DI KANTOR Paus adalah televisi bermerek Hitachi berukuran besar
sekali yang tersembunyi di dalam lemari yang masuk ke dalam dinding di depan
meja kerja Paus. Pintu lemari itu sekarang terbuka, dan semua orang berkumpul di
sekitarnya. Vittoria bergerak mendekatinya. Ketika layarnya menyala, seorang
wartawati muda muncul. Perempuan itu berambut cokelat dengan wajah lugu.
"Laporan dari MSNBC," dia melaporkan, "saya Kelly Horan-Jones, langsung dari
Vatican City," Gambar di belakangnya adalah rekaman keadaan malam hari di
Basilika Santo Petrus dengan semua lampu menyala terang.
"Kamu tidak sedang siaran langsung," bentak Rocher. "Itu hanya siaran tunda!
Lampu di gereja sudah dipadamkan." Olivetti menyuruhnya diam.
Wartawati itu melanjutkan, suaranya terdengar tegang. "Ada perkembangan
mengejutkan dalam pemilihan paus di Vatican malam ini. Kami mendapatkan laporan
bahwa dua anggota Dewan Kardinal telah dibunuh dengan kejam di Roma." Olivetti
menyumpah perlahan. Ketika wartawati itu melanjutkan, seorang penjaga muncul di pintu ruangan itu
dengan napas terengah-engah. "Komandan, operator pusat melaporkan bahwa semua
jalur telepon menyala. Mereka meminta penjelasan resmi dari kita tentang - "
"Matikan saja," kata Olivetti tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi.
Penjaga itu tampak ragu. "Tetapi Komandan - " "Pergilah!" Penjaga itu berlari
pergi. Vittoria merasakan sang camerlegno ingin mengatakan sesuatu, namun dia
kemudian menahan diri. Sebaliknya, lelaki itu hanya menatap Olivetti dengan
tajam dan lama sebelum dia mengalihkan tatapannya ke arah televisi lagi.
MSNBC sekarang memutar rekaman itu. Beberapa Garda Swiss membawa jasad Kardinal
Ebner menuruni tangga di luar gereja Santa Maria del Popolo dan menaikkannya ke
sebuah mobil Alfa Romeo. Rekaman itu berhenti dan di-zoowz sehingga jasad
kardinal yang tanpa busana itu menjadi tampak jelas sebelum mereka memasukkannya
ke dalam bagasi mobil. "Siapa yang mengambil gambar itu?" tanya Olivetti berang.
Wartawati MSNBC itu terus berbicara. "Diyakini ini adalah jasad Kardinal Ebner
dari Frankfurt, Jerman. Orang-orang yang memindahkan jasad itu dari gereja
diyakini adalah Garda Swiss." Wartawan itu tampak berusaha untuk tampil alamiah.
Mereka lalu menyorot wajahnya dari dekat untuk menunjukkan kemuraman yang
dirasakannya. "Pada saat ini, MSNBC ingin memperingatkan para pemirsa kami.
Gambar yang akan kami perlihatkan ini sangat gamblang dan mungkin tidak pantas
untuk dilihat oleh semua pemirsa."
Vittoria mendengus melihat kepura-puraan stasiun TV itu seolah mereka peduli
dengan perasaan para pemirsanya. Dia tahu peringatan itu hanyalah untuk menarik
perhatian saja agar pemirsa tetap menonton mereka. Tidak ada seorang pun yang
akan memindahkan saluran setelah mendengar kata-kata penuh janji seperti itu.
Wartawati itu kembali. "Sekali lagi, gambar ini mungkin akan mengguncang hati
beberapa orang pemirsa." "Gambar apa?" Olivetti bertanya. "Kalian baru saja
memperlihatkan - " Gambar yang memenuhi layar adalah sepasang lelaki dan perempuan
di Lapangan Santo Petrus yang sedang berjalan-jalan di tengah kerumunan.
Vittoria segera mengenali kedua orang itu: Robert dan dirinya sendiri. Di sudut
layar tertera tulisan: ATAS IZIN BBC. Vittoria segera ingat singkatan itu, BBC.
"Oh, tidak," seru Vittoria keras. "Oh ... jangan." Sang camerlegno menatapnya
bingung. Dia lalu berpaling pada Olivetti. "Kukira kamu tadi mengatakan bahwa
kamu sudah menyita rekaman itu!"
Tiba-tiba, di layar televisi tampak seorang gadis kecil menjerit. Gambar itu
bergerak lalu menemukan seorang gadis kecil yang sedang menunjuk pada seorang
gelandangan yang bersimbah darah. Robert Langdon tiba-tiba masuk ke dalam gambar
itu, dan berusaha menolong gadis kecil itu. Kamera tersebut terus mengarah pada
Robert dan gadis kecil itu.
Semua orang di dalam Kantor Paus menatap layar televisi dengan diam karena
merasa ngeri ketika drama itu disajikan di depan mereka. Jasad kardinal itu
jatuh tersungkur dengan wajah mencium lantai. Vittoria muncul dan meneriakkan
perintah. Ada darah. Ada cap. Lalu usaha pemberian bantuan pernapasan yang
sangat mengerikan. "Liputan yang mengejutkan itu," kata sang wartawati, "diambil beberapa menit
yang lalu di luar Vatican. Sumber kami mengatakan bahwa jasad itu adalah jasad
Kardinal Lamasse dari Perancis. Bagaimana dia dapat berpakaian seperti itu dan
kenapa dia meninggalkan acara pemilihan paus masih menjadi misteri. Sejauh ini,
Vatican masih menolak untuk berkomentar." Lalu rekaman itu mulai berputar lagi.
"Menolak untuk berkomentar?" tanya Rocher. "Yang benar
saja!" Wartawati itu masih berbicara, alis matanya mengerut untuk menunjukkan
keseriusannya. "Walau MSNBC masih harus mengonfirmasikan motif dari pembunuhan
ini, tapi sumber kami melaporkan bahwa sudah ada yang mengaku bertanggung jawab
atas kejadian itu, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka sebagai
Illuminati." Olivetti meledak kemarahannya. "Apa"!" " ... dapatkan informasi
lebih lanjut tentang Illuminati
dengan cara membuka situs kami di alamat - " "Non " posibile!" seru Olivetti. Dia
memindahkan saluran. Stasiun televisi yang ini menayangkan reporter berdarah
Hispanik. " - sebuah kelompok setan yang dikenal dengan nama Illuminati, yang
diyakini oleh beberapa orang sejarawan - "
Olivetti mulai menekan-nekan alat pengendali jarak jauh di tangannya dengan
cepat. Semua saluran sedang menyiarkan siaran langsung. Pada umumnya dalam
bahasa Inggris. " - Garda Swiss memindahkan jasad dari gereja sesaat yang lalu. Jasad itu
dipercaya sebagai Kardinal - "
" - lampu-lampu di Basilika Santo Petrus dan museum museum dipadamkan sehingga
menimbulkan spekulasi - "
" - akan berbicara dengan ahli teori konspirasi Tyler Tingley, tentang berita
menghebohkan ini - "
" - kabar angin tentang akan adanya dua pembunuhan berikutnya yang direncanakan
akan terjadi malam ini - "
" - kini dipertanyakan apakah Kardinal Baggia yang merupakan calon paus unggulan
berada di antara para paus yang hilang itu - "
Vittoria berpaling. Segalanya terjadi begitu cepat. Di luar jendela, dalam
kegelapan, daya magnet tragedi manusia seolah menghisap perhatian semua orang ke
arah Vatican City. Kerumunan di lapangan mulai membesar, nyaris dalam sesaat
saja. Para pejalan kaki mengalir ke arah mereka sementara sekelompok kru media
yang baru datang mulai mengeluarkan barang-barang dari van mereka dan
mengharapkan keberuntungan di Lapangan Santo Petrus.
Olivetti meletakkan remote control dan berpaling pada sang camerlegno. "Signore,
saya tidak dapat membayangkan bagaimana ini dapat terjadi. Kami telah mengambil
kaset rekaman yang ada di dalam kameranya."
Sang camerlegno menatapnya sesaat, terlalu terkejut untuk berbicara.
Tidak seorang pun yang berbicara. Para pasukan Garda Swiss berdiri kaku penuh
perhatian. "Tampaknya," kata sang camerlegno akhirnya, suaranya terdengar terlalu sedih
daripada marah, "kita belum mampu mengatasi krisis ini sebaik yang kalian
katakan padaku." Dia melihat keluar jendela ke arah massa yang berkerumun. "Aku
harus membuat pernyataan."
Olivetti menggelengkan kepalanya. "Jangan, signore. Itulah yang sebenarnya
dikehendaki Illuminati - mengkonfirmasikan keberadaan mereka, memberikan mereka
kekuatan. Kita harus tetap diam."
"Dan orang-orang itu?" sang camerlegno menunjuk ke luar jendela. "Dalam sekejap
saja jumlah mereka akan bertambah banyak. Melanjutkan permainan ini hanya akan
membahayakan mereka. Aku harus memperingatkan mereka. Lalu kita harus
mengevakuasi Dewan Kardinal." "Masih ada waktu. Biarkan Kapten Rocher menemukan
antimateri itu ." Sang camerlegno berpaling. "Apakah kamu berniat
memberiku perintah?" "Tidak. Saya hanya memberi Anda nasihat. Kalau Anda
mengkhawatirkan orang-orang di luar itu, kita dapat mengumumkan adanya kebocoran
gas dan mengosongkan kawasan itu, tetapi mengakui kalau kita sedang disandera
oleh sebuah kelompok tertentu adalah hal yang berbahaya."
"Komandan. Aku hanya akan mengatakan ini satu kali saja. Aku tidak akan
menggunakan lembaga ini untuk membohongi semua orang. Kalau aku mengumumkan apa
pun, pengumuman itu pasti merupakan sebuah kebenaran."
"Kebenaran" Bahwa Vatican terancam akan dihancurkan oleh teroris setan" Itu
hanya akan memperlemah kedudukan kita."
Sang camerlegno melotot. "Seberapa lemah posisi kita semestinya?"
Tiba-tiba Rocher berteriak sambil meraih remote control dan mengeraskan suara
televisi. Semua orang berpaling.
Di layar TV, tampak seorang wartawati dari MSNBC yang sekarang tampak benar-
benar merasa ngeri. Foto mendiang Paus terpampang dengan sangat besar di
sampingnya. "... berita terkini. Ini baru tiba dari BBC ...." Lalu wartawati itu
mengalihkan tatapannya dari kamera seolah ingin meyakinkan dirinya apakah dia
memang harus menyampaikan berita itu. Tampaknya dia mendapatkan konfirmasi, lalu
menatap pemirsa kembali dengan wajah muram. "Illuminati baru saja mengaku
bertanggung jawab atas ...." Dia ragu-ragu. "Mereka mengaku bertanggung jawab
atas kematian mendiang Paus lima belas hari yang lalu," lanjutnya. Sang
camerlegno melongo. Rocher menjatuhkan remote control. Vittoria hampir tidak
dapat mencerna informasi itu. "Menurut hukum Vatican," wartawati itu
melanjutkan, "tidak ada otopsi resmi yang dilakukan pada paus, sehingga
pengakuan Illuminati ini tidak dapat dibuktikan. Walau begitu, Illuminati
mengatakan bahwa kematian Paus bukan karena stroke seperti yang dilaporkan
Vatican, tapi karena keracunan." Ruangan itu menjadi sunyi lagi. Olivetti
meledak kemarahannya. "Gila! Kebohongan
besar!!" Rocher mulai mengganti-ganti saluran lagi. Berita itu tampaknya
tersebar seperti wabah dari stasiun televisi yang satu ke stasiun yang lainnya.
Semua orang memiliki laporan yang sama. Pokok berita yang ditayangkan semua
stasiun TV seperti bersaing untuk menyajikan sensasi.
PEMBUNUHAN DI VATICAN PAUS DIRACUN SETAN MENJAMAH RUMAH TUHAN
Sang camerlegno memalingkan wajahnya. "Tuhan, tolong
kami." Ketika Rocher mengganti-ganti saluran, dia melewati stasiun TV BBC " -
ceritakan tentang pembunuhan di Santa Maria del Popolo - "
"Tunggu!" sang camerlegno berkata. "Kembali ke saluran itu."
Rocher kembali ke BBC. Di layar, seorang lelaki dengan setelan rapi duduk di
belakang meja berita BBC. Di atas bahunya, terlihat foto seorang lelaki aneh
dengan janggut berwarna merah. Di bawah foto tersebut tertulis: GUNTHER GLICK -
LANGSUNG DARI VATICAN CITY. Glick sepertinya melaporkan melalui telepon dan
sambungannya tidak cukup baik. "... juru kamera saya mendapatkan gambar seorang
kardinal yang sedang dievakuasi dari Kapel Chigi."
"Biarkan saya mengulangi pernyataan Anda untuk pemirsa," pembaca berita di
London itu berkata. "Wartawan BBC, Gunther Glick adalah orang pertama yang
mengungkap berita ini. Dia sudah dihubungi dua kali melalui telepon oleh
seseorang yang diduga sebagai pembunuh dari kelompok Illuminati. Gunther, Anda
tadi mengatakan si pembunuh itu baru saja menelepon Anda untuk memberi tahu
sebuah pesan dari Illuminati?" "Betul." "Dan pesan mereka adalah kelompok
Illuminati bertanggung jawab atas kematian Paus?" Suara pembaca berita itu
terdengar meragukannya. "Betul. Si pembunuh itu mengatakan padaku penyebab kematian Paus bukan karena
stroke seperti yang diduga Vatican. Tetapi dia mengatakan bahwa Paus telah
diracuni oleh kelompok Illuminati."
Semua orang yang ada di ruang kerja paus seperti membeku.
"Diracuni?" Pembaca berita itu bertanya. "Tetapi ... tetapi ... bagaimana?"
"Mereka tidak memberikan rinciannya kepadaku," sahut Glick, "selain mengatakan
bahwa mereka membunuhnya dengan obat yang dikenal sebagai ...," ada bunyi
gemersik kertas di saluran telepon itu, "sesuatu yang dikenal sebagai Heparin."
Sang camerlegno, Olivetti dan Rocher saling bertatapan. "Heparin?" tanya Rocher
tampak ngeri. "Tetapi bukankah
itu ....?" Wajah sang camerlegno menjadi pucat pasi. "Obat Paus." Vittoria
terpaku. "Paus meminum obat Heparin?" "Beliau mengidap thrombophlebitis," sahut
sang camerlegno. "Beliau harus disuntik sekali sehari." Rocher tampak tidak mengerti.
"Tetapi Heparin bukan
racun. Kenapa Illuminati mengakui - " "Heparin bisa menjadi pembunuh kalau
diberikan dengan dosis yang salah," sahut Vittoria. "Obat itu adalah zat anti
pembekuan darah yang kuat. Kalau diberikan dengan dosis yang berlebihan akan
menimbulkan pendarahan hebat di bagian dalam dan juga pendarahan otak."
Olivetti menatap Vittoria dengan curiga. "Bagaimana kamu tahu itu?"
"Para ahli biologi laut menggunakannya pada mamalia laut untuk mencegah adanya
penggumpalan darah karena pengurangan aktivitas. Beberapa hewan ada yang mati
Kisah Membunuh Naga 28 Roro Centil 24 Geger Tombak Pusaka Ratu Shima Senopati Pamungkas I 14
^