Pencarian

Matahari Terbit 5

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Bagian 5


adalah Akai Ceramics, sebuah perusahaan dari Osaka yang
sudah membuat mesin-mesin litografi di Jepang. Akai
mempunyai uang tunai berlebih, dan bersedia membeli
perusahaan Amerika itu dengan harga tinggi. Kemudian
pihak Kongres mengambil langkah untuk menghentikan
penjualan tersebut."
"Kenapa?" "Kongres pun sudah mulai terusik oleh kemerosotan
bisnis Amerika. Sudah terlalu banyak industri dasar yang
jatuh ke tangan Jepang - baja dan perkapalan di tahun enam
puluhan, pesawat TV dan chips komputer di tahun tujuh
puluhan, perkakas mesin di tahun delapan puluhan. Suatu
hari, seseorang terbangun dan menyadari bahwa
industri-industri itu sangat penting bagi pertahanan
Amerika. Kita telah kehilangan kemampuan untuk
membuat komponen-komponen vital untuk keamanan
nasional kita. Kita sepenuhnya tergantung kepada Jepang
sebagai pemasok barang-barang tersebut. Jadi, Kongres
mulai resah. Tapi kabarnya rencana penjualan itu tetap
dilanjutkan. Kenapa" Kalian terilbat dalam penjualan ini?"
"Secara tidak langsung," ujar Connor.
"Beruntunglah kalian," kata Ron sambil menyedot
cerutunya. "Kalau kalian terlibat dalam suatu penjualan
kepada orang Jepang, itu sama saja de ngan menemukan
sumber minyak. Semua pihal menjadi kaya. Kurasa kalian
disodori hadiah hadiah menggiurkan."
Connor mengangguk. "Sangat menggiurkan."
"Pasti," kata Ron. "Mereka akan mengurus kalian dengan
baik, membelikan rumah atau mobil, mengusahakan kredit
dengan bunga ringan, hal-hal seperti itulah."
Aku berkata, "Kenapa mereka berbuat begitu?"
Ron tertawa. "Kenapa mereka makan sushi" Beginilah
mereka menjalankan bisnis."
Connor berkata, "Tapi nilai penjualan MicroCon tidak
seberapa, bukan?" "Yeah, memang kecil. Perusahaan itu bernilai sekitar
seratus juta dolar. Akai membelinya seharga 150 juta.
Selain itu, mereka mungkin masih menambahkan dua
puluh juta sebagai insentif untuk para eksekutif, sekitar
sepuluh juta untuk urusan hukum, sepuluh juta untuk
dibagi-bagi sebagai fee konsultan di Washington, dan
sepuluh juta lagi untuk berbagai hadiah untuk orang-orang
seperti kalian. Totalnya katakanlah dua ratus juta."
Aku berkata, "Dua ratus juta untuk perusahaan bernilai
seratus juta" Kenapa mereka membayar lebih dari nilai
sesungguhnya?" "Mereka tidak membayar lebih," kata Ron. "Dari sudut
pandang mereka, harga itu malah masih miring."
"Kenapa begitu?"
"Sebab," ujar Ron, "jika kita menguasai barang-barang
yang digunakan untuk membuat barang lain, chips
komputer, misalnya, kita menguasai industri hilir yang
tergantung pada barang-barang itu. Dengan membeli
MicroCon, mereka akan menguasai industri komputer
Amerika. Dan seperti biasa, kita membiarkan hal itu terjadi.
Sama seperti ketika kita kehilangan industri pesawat TV
dan industri perkakas mesin."
"Apa yang terjadi dengan industri TV?" tanyaku.
Ron melirik jam tangannya. "Seusai Perang Dunia II,
Amerika merupakan produsen TV terbesar di dunia. Dua
puluh tujuh perusahaan Amerika seperti Zenith, RCA, GE,
dan Emerson mempunyai keunggulan teknologi dibandingkan dengan pesaing-pesaing mereka dari luar
negeri. Perusahaan-perusahaan Amerika menikmati sukses
besar di seluruh dunia, kecuali di Jepang. Mereka tak
sanggup menembus pasar Jepang yang tertutup. Mereka
diberitahu bahwa jika mereka hendak menjual produk-produk mereka di Jepang, mereka wajib mernberikan lisensi atas teknologi mereka kepada
perusahaan-perusahaan Jepang. Dan mereka melakukannya dengan enggan, di bawah tekanan
Pemerintah Amerika yang ingin mempertahankan Jepang
sebagai sekutu terhadap Rusia. Oke?"
"Oke. "Nah, pemberian lisensi merupakan gagasan buruk. Ini
berarti Jepang bisa menggunakan teknologi kita untuk
kepentingan mereka sendiri, dan kita kehilangan Jepang
sebagai sasaran ekspor. Tak lama kemudian Jepang mulai
membuat TV hitam-putih yang murah, dan melakukan
ekspor ke Amerika - sesuatu yang tak bisa kita lakukan di
Jepang. Tahun 1972, enam puluh persen TV hitam-putih
yang dijual di Amerika rnerupakan TV impor dari Jepang.
Tahun 1976, angkanya meningkat menjadi seratus persen.
Kita kehilangan pasar TV hitam-putih. Pekerja-pPekerja
Amerika tidak lagi merakit TV hitam-putih. Lapangan kerja
itu telah hilang dari Amerika.
"Kita bilang, tak jadi soal. Perusahaan-perusahaan kita
sudah beralih ke TV warna. Tapi Pemerintah Jepang lalu
memprakarsai program intensif untuk mengembangkan
industri TV warna. Sekali lagi Jepang membeli lisensi atas
teknologi Amerika, menyempumakannya di pasar tertutup
mereka, dan membanjiri kita dengan TV ekspor. Sekali lagi
perusahaan-perusahaan terpaksa gulung tikar. Ceritanya
persis sama. Tahun 1980 tinggal tiga Perusahaan Amerika
yang'masih merakit TV warna. Tahun 1987 tinggal satu,
Zenith." "Tapi TV buatan Jepang memang lebih baik dan lebih
murah," kataku. "TV mereka mungkin lebih baik," ujar Ron, "tetapi
harganya bisa lebih murah karena dijual di bawah biaya
produksi, untuk menyapu bersih pesaing-pesaing di
Amerika. Ini disebut dumping. Dan praktek ini dinyatakan
dilarang, baik di bawah hukum Amerika maupun di bawah
hukum internasional."
"Kalau begitu, kenapa kita tidak menghentikannya?"
"Pertanyaan yang bagus. Terutama karena dumping
hanya salah satu di antara sekian banyak teknik pemasaran
Jepang yang ilegal. Mereka juga mengatur harga; mereka
membentuk kelompok bernama Grup Sepuluh Hari. Setiap
sepuluh hari manajer-manajer Jepang berkumpul di sebuah
hotel di Tokyo untuk menentukan harga-harga yang akan
diberlakukan di Amerika. Kita mengajukan protes, tapi
pertemuan-pertemuan itu terus berlanjut. Mereka juga
mendongkrak distribusi produk-produk mereka melalui
cara-cara yang berbau kongkalikong. Kabarnya orang-orang Jepang memberi komisi berjumlah jutaan
dolar kepada distributor-distributor Amerika seperti Sears.
Mereka melakukan penipuan bea masuk dalam skala besar.
Dan mereka menghancurkan industri Amerika yang tak
mampu bersaing. "Perusahaan-perusahaan kita tentu saja memprotes, dan
menuntut lewat jalur hukum-puluhan kasus dumping,
penipuan, dan penggabungan industri yang melibatkan
perusahaan-perusahaan diajukan ke meja hijau. Kasus-kasus dumping biasanya selesai dalam satu tahun.
Tetapi pemerinta kita tidak memberi dukungan, dan orang
Jepang pandai mengulur-ulur waktu. Mereka membayar
jutaan dolar kepada perunding-perunding Amerika untuk
memperjuangkan kepentingan mereka. Pada waktu
kasus-kasus itu disidangkan dua belas tahun kemudian,
pertempuran di pasar telah berakhir Dan selama itu,
perusahaan-perusahaan Amerik tidak dapat menyerang
balik di Jepang. Mereka bahkan tak dapat menjejakkan kaki
di Jepang. " "Maksud Anda, industri TV diambil alih secara ilegal oleh
orang Jepang?" "Mereka takkan berhasil tanpa bantuan kita," kata Ron.
"Pemerintah kita memanjakan Jepang, yang dianggap
sebagai negara kecil yang sedang berkembang. Dan industri
Amerika dianggap tidak butuh uluran tangan Pemerintah;
Dari dulu selalu ada perasaan antibisnis di Amerika. Tapi
pemerintah kita rupanya tak pernah sadar bahwa keadaan-
nya berbeda di sini. Waktu Sony mengembangkan
walkman, kita tidak bilang, 'Produk bagus. Sekarang kalian
harus memberikan lisensi kepada GE dan menjualnya lewat
perusahaan Amerika.' Kalau mereka mencari distributor,
kita tidak bilang, 'Maaf, toko-toko di Amerika sudah terikat
perjanjian dengan pemasok-pemasok Amerika. Produk
kalian harus didistribusi melalui perusahaan Amerika'
Kalau mereka minta hak paten, kita tidak bilang, 'Proses
pemberian bak paten makan waktu delapan tahun, dan
selama itu permohonan kalian akan diumumkan secara
terbuka, agar perusahaan-perusahaan kami dapat meneliti
ciptaan kalian dan menjiplaknya tanpa perlu membayar,
sehingga pada waktu kami mengeluarkan hak paten,
perusahaan-perusahaan kami telah memiliki versi sendiri
dari teknologi kalian.' "Kita tidak melakukan hal-hal seperti itu. Jepang
melakukan semuanya. Pasar mereka tertutup. Pasar kita
terbuka lebar. Medan tempurnya menguntungkan mereka.
Sebenarnya malah tidak ada medan tempur. Ini lebih
pantas disebut jalan satu arah.
"Dan sekarang kita menghadapi iklim usaha yang serba
lesu di negeri ini. Perusahaan-perusahaan Amerika dipaksa
gigit jari dalam kasus TV hitam-putih. Juga dalam kasus TV
warna. Dan Pemerintah AS menolak membantu perusahaan-perusahaan kita melawan praktek-praktek
perdagangan ilegal yang dilakukan oleh Jepang. Jadi, ketika
Ampex menciptakan video, mereka tidak berusaha
mengembangkannya sebagai produk komersial. Lisensi
atas teknologi tersebut mereka jual ke Jepang, lalu mereka
mengerjakan proyek berikutnya. Dan tidak lama kemudian
kita menemukan bahwa perusahaan-perusahaan Amerika
tidak melakukan riset. Untuk apa repot-repot mengembangkan teknologi baru jika pemerintah kita sen-
diri menghalang-halangi usaha kita, sehingga kita tak dapat
memasarkannya?" "Tapi bisnis Amerika memang lemah dan di kelola secara
buruk, bukan?" "Itu alasan standar," ujar Ron. "Seperti yang selalu
digembar-gemborkan oleh orang-orang Jepang dan para
juru bicara mereka di sini. Hanya dalam beberapa
kesempatan terungkap bagaimana orang Jepang sesungguhnya. Dalam kasus Houdaille misalnya. Kalian
tahu kasus itu" Houdaillt merupakan perusahaan perkakas
mesin yang mengaku bahwa paten-paten dan lisensi-lisensi
mereka dilanggar oleh sejumlah perusahaan di Jepang.
Seorang hakim federal mengirim pengacara Houdaille ke
Jepang untuk mengumpulkan bukti. Tetapi orang-orang
Jepang menolak memberikan visa padanya."
"Yang benar?" "Peduli apa mereka?" kata Ron. "Mereka tahu bahwa kita
takkan membalas. Ketika kasus
Houdaille sampai ke hadapan pemerintahan Reagan,
mereka tidak berbuat apa-apa. Akhirnya Houdaille mundur
dari industri perkakas mesin. Sebab tak ada yang dapat
bersaing melawan produk-produk dumping - dan itulah
tujuan yang hendak dicapai."
"Bukankah kita kehilangan uang kalau kita melakukan
dumping?" "Untuk sementara waktu, ya. Tapi kita menjual jutaan
unit, sehingga kita bisa menyempurnakan proses produksi
dan memotong biaya. Beberapa tahun kemudian, kita
benar-benar sanggup menghasilkan produk kita dengan
biaya yang lebih rendah. Sementara itu, saingan-saingan
kita telah terpaksa gulung tikar dan kita menguasai pasar.
Masalahnya begini, orang Jepang berpikir secara strategis -
mereka membuat rencana jangka panjang, lima puluh
tahun ke

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan Perusahaan Amerika harus memperlihatkan keuntungan setiap tiga bulan; kalau tidak,
para eksekutifnya akan ditendang. Tapi orang Jepang sama
sekali tidak peduli pada keuntungan jangka pendek. Mereka
ingin merebut pangsa pasar. Bagi mereka, bisnis sama
dengan peperangan. Merebut wilayah musuh. Menghan-
curkan lawan. Menguasai pasar. Itulah yang mereka
lakukan selama tiga puluh tahun terakhir.
"Jadi, orang Jepang melakukan praktek dumping
terhadap baja, pesawat TV, barang elektronik rumah
tangga, chips komputer, perkakas mesin - dan tak seorang
pun mencegah mereka. Dan kita kehilangan industri-industri tersebut. Perusahaan-perusahaan Jepang
bersama Pemerintah Jepang mengincar industri-industri
tertentu, yang kemudian diambil alih oleh mereka. Industri
demi industri, tahun demi tahun. Sementara kita
duduk-duduk dan sibuk membicarakan perdagangan bebas.
Padahal perdagangan bebas tak ada artinya tanpa
perdagangan adil. Sedangkan orang Jepang tidak berminat
pada perdagangan adil. Kalian tahu, ada alasan kenapa
orang Jepang begitu menyukai Reagan. Di masa
pemerintahannya, mereka melakukan gerakan sapu bersih.
Atas nama perdagangan bebas, dia merentangkan kaki kita
lebar-lebar." "Kenapa orang Amerika tidak memahami hal ini?"
tanyaku. Connor tertawa. "Kenapa mereka makan hamburger"
Memang begitu sifat mereka, Kohai."
Dari ruang wartawan, seorang wanita berseru, "Ada
yang bernama Connor di sini" Ada telepon dari Four
Seasons Hotel." Connor melirik jam tangannya dan berdiri. "Permisi
sebentar." Ia meninggalkan ruang wartawan. Melalui
dinding kaca, aku melihatnya berbicara lewat telepon dan
membuat catatan. "Anda harus menyadari," ujar Ron, "bahwa hal itu masih
berlanjut sampai sekarang. Kenapa kamera buatan Jepang
lebih murah di New York dibandingkan dengan di Tokyo"
Kamera itu diangkut keliling dunia, ada bea masuk dan
biaya distribusi yang harus dibayar, namun harganya tetap
lebih rendah. Bagaimana mungkin" Turis-turis Jepang
membeli barang-barang buatan Jepang di sini, karena lebih
murah. Sementara itu, produk-produk Amerika di Jepang
tujuh puluh persen lebih mahal dibandingkan dengan di
sini. Kenapa Pemerintah Amerika tidak mengambil sikap
tegas" Saya juga tidak tahu. Sebagian jawabannya ada di
atas sana." Ia menunjuk monitor di ruang kerjanya. Seorang pria
berpenampilan penuh wibawa tampak berbicara di atas
mesin teleks yang sedang bekerja. Suaranya dipelankan.
"Kalian lihat orang itu" Dia David Rawlings. Profesor bidang
bisnis di Stanford. Spesialis Pacific Rim. Dia contoh khas -
tolong keraskan suaranya. Barangkali dia sedang
membahas rencana penjualan MicroCon."
Aku memutar tombol pada monitor, dan mendengar
Rawlings berkata, "...berpikir sikap Amerika sangat
irasional. Bagaimanapun juga, perusahaan-perusahaan
Jepang membuka lapangan kerja bagi orang-orang
Amerika, sementara perusahaan-perusahaan Amerika
justru hijrah ke luar negeri, menjauhi masyarakat mereka
sendiri. Orang Jepang tidak memahami kenapa kita
berkeluh kesah." Ron menghela napas. "Omong kosong, seperti biasa,"
katanya. Di layar monitor, Profesor Rawlin berkata, "Saya
berpendapat bahwa orang-orang Amerika seharusnya
berterima kasih atas bantuan yang diperoleh negeri kita
dari para investor asing."
Ron tertawa. "Rawlings termasuk kelompok yang kami
juluki Pencinta Bunga Krisan. Pakar-pakar akademis yang
menyerukan propaganda Jepang. Mereka tidak punya
pilihan, sebab mereka butuh akses ke Jepang untuk
berkarya, dan kalau ucapan mereka mulai terlalu kritis,
kontak-kontak mereka di Jepang akan terputus. Pintu-pintu
mendadak tertutup. Dan di Amerika, orang Jepang akan
berbisik ke telinga pihak-pihak tertentu bahwa orang yang
bersangkutan tak dapat dipercaya, atau bahwa pandangannya 'sudah ketinggalan zaman'. Atau lebih parah
lagi, bahwa ia penganut rasialisme. Setiap orang yang
mengkritik Jepang otomatis seorang rasialis. Dalam waktu
singkat pakar-pakar tersebut tidak lagi diundang untuk
memberi ceramah, dan mereka pun kehilangan pekerjaan
sebagai konsultan. Mereka tahu bahwa nasib ini menimpa
rekan-rekan mereka yang melanggar aturan main. Dan
mereka takkan membuat kesalahan yang sama."
Connor kembali memasuki ruangan. Ia berkata, "Apakah
ada segi ilegal pada rencana penjualan MicroCon?"
"Tentu," ujar Ron. "Tergantung pada sikap yang diambil
Washington. Akai Ceramics sudah menguasai enam puluh
persen pasar Amerika. Dengan membeli MicroCon, mereka
akan memegang monopoli. Seandainya Akai perusahaan
Amerika, Pemerintah pasti akan melarang penjualan itu,
dalam rangka mencegah penggabungan industri. Tapi
berhubung Akai bukan perusahaan Amerika, penjualan itu
tidak diawasi secara ketat. Akhirnya takkan ada hambatan
apa pun." "Maksudnya, perusahaan Jepang bisa memegang
monopoli di Amerika, tapi perusahaan Amerika tidak?"
"Itulah yang biasanya terjadi," kata Ron. "Tapi sistem
hukum Amerika sering kali. mendukung penjualan
perusahaan-perusahaan kita kepada pihak asing. Seperti
waktu Matsushita membeli Universal Studios. Sudah
bertahun-tahun Universal hendak dijual. Beberapa
perusahaan Amerika ingin membelinya, tetapi tidak
diizinkan. Westinghouse mencobanya di tahun 1980. Gagal,
melanggar undangundang anti penggabungan industri. RCA
mencobanya. Juga gagal, pertentangan kepentingan. Tapi
waktu Matsushita muncul sebagai calon pembeli, ternyata
tidak ada undang-undang yang menghalanginya. Baru
kemudian undang-undang kita diubah. Di bawah
undang-undang yang berlaku sekarang, RCA boleh membeli
Universal. Tapi dulu tidak. MicroCon hanya contoh terakhir
dari peraturan-peraturan aneh yang berlaku di Amerika."
Aku berkata, "Bagaimana pandangan perusaha- an-perusahaan komputer Amerika mengenai penjualan
MicroCon?" Ron menjawab, "Perusahaan-perusahaan Amerika tidak
suka rencana itu. Tapi mereka juga tidak menentangnya."
"Kenapa tidak?"
"Karena perusahaan-perusahaan Amerika merasa bahwa sekarang pun gerak-gerik mereka terialu dibatasi
oleh Pemerintah. Empat puluh persen ekspor Amerika
dibatasi oleh peraturan-peraturan keamanan. Pemerintah
kita tidak mengizinkan penjualan komputer ke negara-negara Eropa Timur. Perang Dingin telah berakhir,
tapi peraturannya masih ada. Sementara itu, orang Jepang
dan orang Jerman melakukan penjualan besar-besaran. Jadi
orang Amerika menginginkan deregulasi. Dan mereka
memandang setiap usaha untuk mencegah penjualan
MicroCon sebagai campur tangan Pemerintah."
Aku berkata, "Tapi itu tidak masuk akal."
"Aku sependapat," ujar Ron. "Dalam beberapa tahun
mendatang, perusahaan-perusahaan Amerik akan dibantai.
Sebab kalau Jepang menjadi produsen tunggal mesin-mesin
pembuat chips, mereka bisa saja memutuskan untuk tidak
menjual mesin-mesin itu kepada perusahaan-perusahaan
Amerika. "Mungkinkah mereka berbuat begitu?"
"Contohnya sudah ada," kata Ron. "Ion implanters dan mesin-mesin lain.
Masalahnya, perusahaan-perusahaan
Amerika tak dapat bersatu Mereka malah cekeok di antara
mereka sendiri Sementara itu, orang Jepang terus saja
memborong perusahaan-perusahaan high-tech. Setiap
sepuluh hari ada satu yang berpindah tangan. Dan ini
berlangsung selama enam tahun terakhir. Kita dicincang
habis-habisan. Tapi pemerintah kita tidak menaruh
perhatian, sebab kita punya lembaga bernama CFIUS -
Commitee on Foreign Investment in the United States,
semacam badan koordinasi penanaman modal asing di AS -
yang memantau penjualan perusahaan-perusahaan high-tech. Dari lima ratus penjualan terakhir, hanya satu
yang dihentikan. Perusahaan demi perusahaan dijual, dan
tak seorang pun di Washington angkat bicara. Akhirnya
Senator Morton merasa perlu bertindak, dan berkata,
'Tunggu dulu.' Tapi tak ada yang mendengarkannya."
"Jadi, MicroCon tetap dijual."
"Itulah yang saya dengar hari ini. Mesin humas Jepang
sedang bekerja keras, menampilkan pemberitaan yang
menguntungkan bagi mereka. Dan mereka ulet sekali.
Segala sesuatu telah dikuasai oleh mereka..."
Mendadak pintu diketuk dari luar, dan seorang wanita
berambut pirang menyembulkan kepala. "Maaf mengganggu, Ron," katanya, "tapi Keith baru saja terima
telepon dari perwakilan stasiun TV nasional Jepang, NHK,
untuk Los Angeles. Mereka ingin tahu kenapa wartawan
kita menjelek-jelekkan Jepang."
Ron mengerutkan kening. "Menjelek-jelekkan Jepang"
Apa maksud-mereka?" "Menurut mereka, wartawan kita berkata on air,
'Jepang-Jepang keparat itu mengambil alih negeri ini."
"Yang benar saja," ujar Ron. "Mana mungkin ada yang
berkata begitu - on air. Siapa wartawan yang mereka
maksud?" "Lenny. Di New York. Lewat backhaul," wanita itu
menjelaskan. Ron bergeser di kursinya. "Oh-oh," katanya. "Rekamannya sudah diperiksa?"
"Mereka sedang melacaknya di ruang kendali utama.
Tapi kurasa memang benar."
"Brengsek." Aku berkata, "Apa itu, backhaul?"
"Sinyal awal yang dikirim lewat satelit. Setiap hari kami
menerima segmen-segmen dari New York dan Washington,
untuk diputar ulang. Selalu ada waktu satu menit sebelum
dan sesudah bahan yang ditayangkan. Kami memotong
bagian-bagian itu, tapi transmisi kasarnya bisa ditangkap
oleh semua orang yang punya antena parabola, asal mereka
mau melacak sinyal kami. Dan hanya yang melakukannya.
Kami selalu memperingatkan para wartawan untuk
berhati-hati di depan kamera Tapi tahun lalu, Louise
membuka kancing blusnya untuk memasang mikrofon, dan
kami ditelepon dari seluruh pelosok negeri."
Telepon Ron berdering. Sejenak ia mendengarkan lawan
bicaranya, lalu berkata, "Oke, aku mengerti," dan
meletakkan gagang. "Mereka sudah selesai memeriksa
rekaman. Lenny bicara di depan kamera sebelum sinyal dan
berkata pada Louise, 'Jepang-Jepang keparat itu bakal jadi
pemilik negeri ini kalau kita tidak segera bertindak.' Dia
memang mengatakannya, meskipun tidak disiarkan." Ron
menggelengkan kepala dengan lesu. "Orang NHK itu sudah
tahu bahwa kita tidak menyiarkannya?"
"Sudah. Tapi dia berdalih bahwa sinyalnya bisa
ditangkap, dan atas dasar itulah dia mengajukan protes."
"Sialan. Jadi mereka juga memantau sinyal awal kita.
Astaga! Apa kata Keith?"
"Keith bilang, dia sudah bosan memperingatkan
orang-orang di New York. Dia minta agar kau yang
menanganinya." "Dia ingin agar aku menelepon orang NHK itu?"
"Terserah kau, katanya. Tapi kita punya kontrak dengan
NHK untuk acara setengah jam yang kita kirim setiap hari,
dan Keith tidak mau ambil risiko. Dia menyarankan agar
kau minta maaf."

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ron mendesah. "Sekarang aku harus tninta maaf untuk
sesuatu yang bahkan tidak ditayangkan. Persetan." Ia
menatap kami. "Sori, aku harus pergi. Masih ada
pertanyaan lagi?" "Tidak," kataku. "Selamat berjuang."
"Hei," ujar Ron. "Kita semua harus berjuang. Soalnya
NHK akan membentuk Global News Network dengan modal
awal satu miliar dolar. Mereka akan menyaingi CNN-nya
Ted Turner di seluruh dunia. Dan kalau kita mengamati
sejarah..." Ia mengangkat bahu. "Selamat tinggal, media
Amerika." Ketika kami meninggalkan ruang kerjanya, aku
mendengar Ron berkata lewat telepon, "Mr. Akasaka" Ini
Ron Levine, dari AFN. Ya, Sir. Ya, Mr. Akasaka. Sir, saya
ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf
yang sebesar-besarnya mengenai ucapan wartawan kami
melalui satelit..." Kami menutup pintu dan pergi.
"Sekarang ke mana?" tanyaku.
Bab 31 FOUR SEASONS HOTEL biasa dikunjungi oleh para
bintang dan tokoh-tokoh politik, dan mempunyai pintu
masuk yang elegan, tapi kami parkir di bagian belakang, di
dekat pintu untuk mengantar barang. Sebuah truk besar
berhenti di tempat bongkar-muat, dan pegawai-pegawai
dapur sedang menurunkan kardus-kardus susu. Sudah lima
menit kami menunggu di sana. Connor melirik jam ta-
ngannya. Aku berkata, "Kenapa kita berhenti di sini?"
"Kita harus menaati keputusan Mahkamah Agung,
Kohai." Seorang wanita dengan setelan jas muncul di tempat
bongkar-muat, memandang berkeliling, dan melambaikan
tangan. Connor membalas lambaiannya. Wanita itu
menghilang lagi. Connor mengeluarkan dompet dan
mengambil beberapa lembar dua puluh dolar.
"Salah satu hal yang paling dulu saya ketahui ketika
mulai bertugas sebagai detektif," ujar Connor, "adalah
bahwa dalam keadaan tertentu, pegawai hotel sangat
memudahkan tugas kita. Terutama karena polisi kini diatur
oleh demikian banyak peraturan. Kita tidak boleh
memasuki kamar hotel tanpa surat perintah. Kalau kita
nekat masuk, segala sesuatu yang kita temukan dalam
penggeledahan itu dianggap tidak sah sebagai barang bukti.
Begitu, bukan?" "Yeah." "Tapi para pelayan boleh masuk. Para petugas
kebersihan boleh masuk."
"Hmm." "Jadi, saya membiasakan diri untuk memelihara
hubungan baik di semua hotel besar." Ia membuka pintu.
"Ini hanya makan waktu sebentar."
Ia berjalan menyusuni tempat bongkar-muat dan
menunggu. Aku mengetuk-ngetuk kemudi. Lirik sebuah
lagu timbul dalam benakku:
I changed my mind, this love is fine.
Goodness, gracious, great balls of fire.
Di tempat bongkar-muat barang, aku melihat seorang
pelayan wanita berseragam berbicara sebentar dengan
Connor. Connor membuat catatan. Wanita itu menggenggam sesuatu berwarna emas di tangannya.
Connor tidak menyentuhnya, ia hanya mengamatinya dan
mengangguk. Pelayan itu menyelipkannya kembali ke
dalam kantong. Kemudian Connor menyerahkan sejumlah
uang. Wanita itu pergi. You shake my nerves and you rattle my brain.
Too much love drives a man insane.
You broke my will, but what a thrill...
Seorang pelayan pria keluar ke tempat bongkar muat,
membawa setelan jas pria berwarna biru yang tergantung
pada gantungan baju. Connor mengajukan sebuah
pertanyaan, dan pelayan itu menatap arlojinya sebelum
menjawab. Kemudian Connor membungkuk dan mengamati ujung bawah jas. Ia membuka jas itu dan
memeriksa celana pada gantungan baju.
Si pelayan keluar sambil membawa setelan jas itu, lalu
masuk lagi dengan setelan jas lain. Yang ini berwarna biru
dengan motif garis-garis. Sekali lagi Connor melakukan
pemeriksaan. Dan rupanya ia berhasil menemukan sesuatu,
yang kemudian dimasukkannya ke dalam suatu kantong
plastik bening berukuran kecil. Ia memberi sejumlah uang
kepada si pelayan dan kembali ke mobil.
Aku berkata, "Cari petunjuk mengenai Senator Rowe?"
"Saya mencari petunjuk mengenai beberapa hal,"
jawabnya, "termasuk Senator Rowe."
"Semalam, asisten Rowe membawa celana dalam wanita
berwarna putih. Tapi Cheryl memakai celana dalam
berwarna hitam " "Itu benar," ujar Connor. "Tapi sepertinya kita sudah
mulai memperoleh kemajuan."
"Apa yang Anda temukan?"
Ia mengeluarkan kantong plastik tadi. Aku melihat
sejumlah serat berwarna gelap "Saya rasa serat karpet.
Berwarna gelap, seperti karpet di ruang rapat Nakamoto.
Tapi harus dibawa ke lab untuk memastikannya. Sementara
itu, ada masalah lain yang harus kita pecahkan. Nyalakan
mesin." "Ke mana kita?"
"Darley-Higgins. Pemilik MicroCon."
Bab 32 DI lobi di samping petugas penerima tamu, seorang
tukang sedang memasang huruf-huruf emas berukuran
besar di dinding: DARLEY-HIGGINS INC. Di bawahnya
terbaca KEUNGGULAN MANAJEMEN. Beberapa tukang lain
sedang memasang karpet di selasar.
Kami memperlihatkan lencana masing-masing dan minta
bertemu dengan pimpinan Darley-Higgins, Arthur Greiman.
Lafal si petugas penerima tamu berlogat daerah Selatan.
"Mr. Greiman ada rapat sepanjang hari. Anda sudah
membuat janji?" "Kedatangan kami menyangkut penjualan MicroCon."
"Kalau begitu, Anda bicara dengan Mr. Enders saja, wakil
presiden kami untuk urusan humas."
"Oke," kata Connor.
Kami duduk di sofa, di dekat meja resepsionis. Di sofa di
seberang ruangan ada wanita cantik dengan rok ketat. Ia
membawa segulungan blueprint. Para tukang terus
memalu. Aku berkata, "Saya pikir perusahaan ini sedang
menghadapi masalah keuangan. Kenapa mereka malah
mengubah interior?" Connor mengangkat bahu. Si sekretaris menerima telepon-telepon. "Darley-Higgins,
tunggu sebentar. Darley-Higgins... Oh, mohon ditunggu
sejenak, Senator... Darley-Higgins, ya, terima kasih."
Aku meraih sebuah brosur dari meja. Ternyata laporan
tahunan Darley-Higgins Management Group, dengan
kantor-kantor cabang di Atlanta, Dallas, Seattle, San
Francisco, dan Los Angeles. Aku menemukan foto Arthur
Greiman. Ia tampak bahagia dan puas dengan diri sendiri.
Laporan itu memuat sebuah esai karya Greiman, berjudul
Komitmen terhadap Keunggulan.
Si sekretaris berkata kepada kami, "Mr. Enders akan
segera menerima Anda."
"Terima kasih," ujar Connor.
Sesaat kemudian, dua pria dengan setelan jas melangkah
ke selasar. Wanita dengan gulungan blueprint tadi langsung
berdiri. Ia berkata, "Halo, Mr. Greiman."
"Halo, Beverly," balas pria yang lebih tua. "Tunggu
sebentar, ya." Connor ikut berdiri. Si sekretaris segera berkata, "Mr.
Greiman, tuan-tuan ini..."
"Sebentar," Greiman memotong. Ia berpaling pada pria
yang menyertainya. Pria itu lebih muda, sekitar tiga
puluhan. "Pastikan agar Roger memahami situasinya."
Pria yang lebih muda menggelengkan kepala. "Dia
takkan suka." "Aku tahu. Pokoknya, beritahu dia. Enam koma empat
juta sebagai kompensasi langsung bagi EO, tidak kurang
dari itu." "Tapi, Arthur..."
"Pokoknya, beritahu dia."
"Oke, Arthur," ujar pria yang lebih muda sambil
meluruskan dasi. Ia merendahkan suara. "Tapi Dewan
Komisaris pasti marah-marah karena kauminta kenaikan di
atas enam pada waktu pendapatan perusahaan lagi anjlok
...... "Kita tidak bicara mengenai pendapatan," kata Weiman.
"Kita bicara mengenai kompensasi. Tak ada sangkut
pautnya dengan pendapatan. Dewan harus mengimbangi
tarif kompensasi bagi CEO yang berlaku sekarang. Kalau
Roger tidak bisa meyakinkan Dewan, aku akan
membatalkan pertlemuan Maret dan menuntut perubahan.
Katakan ini padanya."
"Oke, Arthur, aku akan memberitahunya, tapi..."
"Pokoknya, kerjakan saja. Telepon aku nanti malam."
"Oke, Arthur." Mereka bersalaman. Pria yang lebih muda pergi. Si
penerima tamu berkata, "Mr. Greiman, tuan-tuan ini..."
Greiman berpaling pada kami. Connor berkata, "Mr.
Greiman, kami ingin bicara sebentar mengenai MicroCon."
Kemudian ia berputar sedikit dan memperlihatkan
lencananya. Greiman meledak. "Oh, demi Tuhan. Lagi" Rupanya
kalian tidak bosan-bosannya menteror saya."
"Menteror?" "Saya sudah didatangi anggota staf Kongres, saya sudah
didatangi FBI. Dan sekarang polisi L.A." Kami bukan
penjahat. Kami pemilik sebuah perusahaan dan kami
berhak menjualnya. Mana Louis?"
Si resepsionis berkata, "Mr. Enders sedang menuju ke
sini." Connor berkata dengan tenang, "Mr. Greiman, maaf
kalau kami terpaksa mengganggu Anda. Kami hanya ingin
mengajukan satu pertanyaan. Takkan makan waktu lama."
Greiman melotot. "Apa pertanyaan Anda?"
"Berapa banyak penawaran yang Anda terima untuk
MicroCon?" "Itu bukan urusan Anda," balas Greiman. "Lagi pula,
kesepakatan kami dengan Akai menetapkan bahwa
penjualan itu tidak boleh dibahas dengan pihak luar."
Connor berkata, "Apakah calon pembelinya lebih dari
satu?" "Begini, kalau Anda mau bertanya, bertanyalah pada
Enders. Saya sibuk." Ia berpaling pada wanita dengan
gulungan blueprint tadi. "Beverly" Coba lihat apa yang
kaubawa." "Saya membawa revisi denah ruang rapat, Mr. Greiman,
dan contoh-contoh tegel untuk kamar kecil. Ada warna
abu-abu yang bagus sekali. Saya pikir Anda akan suka."
"Bagus, bagus." Greiman dan wanita itu menyusuri
selasar, menjauhi kami. Connor memperhatikan mereka pergi, lalu tiba-tiba
berbalik ke arah elevator. "Ayo, Kohai. Lebih baik kita cari
udara segar saja." Bab 33 "KENAPA Anda menanyakan apakah ada peminat lain?"
ujarku, ketika kami kembali ke mobil. "Apakah ada
pengaruhnya?" "Ini berkaitan dengan pertanyaan awal," kata Connor.
"Siapa berniat mempermalukan Nakamoto" Kita tahu
bahwa penjualan MicroCon punya arti strategis. Itulah
sebabnya Kongres keberatan. Tapi itu hampir pasti berarti
bahwa masih ada pihak-pihak lain yang juga keberatan."
"Di Jepang?" "Persis." "Tapi siapa yang bisa memberi informasi mengenai ini."
"Akai." Resepsionis Jepang itu tertawa gelisah ketika melihat
lencana Connor. Connor berkata, "Kami ingin bertemu
dengan Mr. Yoshida." Yoshida merupakan pimpinan
perusahaan. "Mohon tunggu sebentar." Ia berdiri dan bergegas,
nyaris berlari, pergi. Akai Ceramics menempati lantai lima sebuah gedung
perkantoran yang tidak mencolok di El Segundo. Penataan
interiornya sederhana bergaya industri. Dari meja
resepsionis, kami melihat sebuah ruangan besar yang tidak
disekat-sekat: banyak meja logam dan orang yang sedang
menelepon. Sayup-sayup terdengar suara keyboard
komputer. Aku mengamati ruangan itu, "Kosong sekali."
"Seperlunya saja," ujar Connor. "Di Jepang, sifat suka
pamer tidak disukai. Anda akan dianggap tidak serius.
Waktu Mr. Matsushita masih menjabat sebagai pimpinan
perusahaan ketiga terbesar di Jepang, dia tetap
menggunakan pesawat komersial biasa untuk mondar-mandir antara kantor-kantor pusatnya di Osaka


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Tokyo. Padahal dia pimpinan perusahaan bernilai 50
miliar dolar. Tapi dia tidak memakai jet pribadi."
Sambil menunggu, aku mengamati orang-orang yang
sedang bekerja. Hanya segelintir orang Jepang, sebagian
besar orang kulit putih. Semuanya mengenakan setelan jas
warna biru. Dan hampir tidak ada wanita.
"Di Jepang," Connor melanjutkan, "jika sebuah
perusahaan mengalami kesulitan, tindakan pertama yang
diambil oleh para eksekutif adalah memotong gaji mereka
sendiri. Mereka merasa bertanggung jawab atas sukses
perusahaan, dan mereka menganggap waJar bahwa
keberuntungan mereka mengikuti keberhasilan atau
kegagalan perusahaan."
Resepsionis tadi kembali, dan duduk di balik mejanya
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hampir seketika, seorang pria Jepang dengan setelan jas
biru berjalan ke arah kami. Ia berambut kelabu, memakai
kacamata berbingkai tebal, dan bersikap serius. Ia berkata,
"Selamat pagi. Saya Mr. Yoshida."
Connor memperkenalkan kami. Kami semua membungkuk dan saling menukar kartu nama. Mr. Yoshida
menerima kartu nama kami dengan kedua tangannya, dan
setiap kali ia kembali membungkuk. Kami melakukan hal
yang sama. Aku memperhatikan bahwa Connor tidak
berbahasa Jepang ketika berbicara dengannya.
Yoshida mengajak kami ke ruang kerjanya. Jendelanya
menghadap ke bandara. Perabotnya seadanya saja.
"Anda ingin minum kopi atau teh?"
"Tidak, terima kasih," kata Connor. "Kedatangan kami
untuk urusan resmi."
"Begitu." Yoshida mempersilakan kami duduk.
"Kami ingin membicarakan pembelian MicroCon dengan
Anda." "Ah, ya. Masalah yang menyusahkan. Tapi saya baru tahu
bahwa hal ini juga melibatkan polisi."
"Mungkin tidak perlu," ujar Connor. "Apakah Anda dapat
memberi keterangan mengenai penjualan itu, atau
kesepakatannya bersifat tertutup?"
Mr. Yoshida tampak terkejut. "Tertutup" Sama sekali
tidak. Semuanya sangat terbuka, sejak awal. Kami
dihubungi oleh Mr. Kobayashi, wakil Darley-Higgins di
Tokyo, bulan September tahun lalu. Waktu itu kami
mula-mula mengetahui bahwa perusahaan tersebut hendak
dijual. Terus terang, kami tidak menyangkanya. Proses
negosiasi dimulai bulan Oktober. Sekitar pertengahan
November, kedua tim perunding berhasil mencapai
kesepakatan secara garis besar. Kami berlanjut ke tahap
akhir negosiasi. Tetapi kemudian Kongres menyatakan
keberatan pada tanggal enam belas November."
Connor berkata, "Anda terkejut bahwa perusahaan itu
hendak dijual'?" "Ya. Tentu." "Kenapa begitu?"
Mr. Yoshida meletakkan kedua tangannya di atas meja
dan berkata pelan-pelan, "Kami mengetahui bahwa
MicroCon merupakan perusahaan milik Pemerintah, yang
dibiayai sebagian dengan dana dari Pemerintah Amerika.
Tiga belas persen dari modal keseluruhan, kalau saya tidak
salah. Di Jepang, ini berarti perusahaan tersebut
merupakan perusahaan milik Pemerintah. Jadi, dengan sen-
dirinya kami bersikap hati-hati ketika memasuki
perundingan. Kami tidak ingin menyinggung perasaan
pihak lain. Tetapi kami memperoleh jaminan dari
wakil-wakil kami di Washington bahwa takkan ada masalah
dengan pembelian ini."
Connor mengangguk-angguk.
"Tapi sekarang timbul kesulitan, seperti yang kami
khawatirkan sejak semula. Rupanya ada pihak-pihak di
Washington yang merasa keberatan. Kami tak ingin hal ini
terjadi." "Anda tidak menduga bahwa Washington akan
menyatakan keberatan?"
Mr. Yoshida mengangkat bahu dengan malu-malu.
"Kedua negara kita berbeda. Di Jepang, kami dapat
menduga apa yang akan terjadi. Di sini, selalu ada
seseorang yang mempunyai pandangan lain, dan
membeberkannya kepada umum. Tapi Akai Ceramics tidak
ingin mencolok. Situasinya serba salah sekarang."
Connor kembali mengangguk-angguk. "Sepertinya Anda
ingin menarik diri."
"Banyak orang di kantor pusat mengkritik saya karena
saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi saya berkata
kepada mereka, memang tidak mungkin mengetahuinya.
Washington tidak mempunyai kebijaksanaan yang tegas.
Setiap hari ada perubahan, tergantung situasi politik." Ia
tersenyum dan menambahkan, "Atau, lebih tepatnya,
begitulah kesan yang kami peroleh."
"Tapi menurut Anda, penjualan ini akan berjalan terus?"
"Ini tidak bisa saya katakan. Barangkali kritik-kritik dari
Washington terlalu gencar. Dan Anda tahu bahwa
pemerintah di Tokyo ingin bersahabat dengan Amerika.
Mereka menekankan pada dunia bisnis, jangan melakukan
pembelian yang akan memancing kemarahan Amerika.
Rockefeller Center dan Universal Studios, pembelian-pembelian itu menimbulkan kritik pedas. Kami
disuruh bersikap yojinbukai. Artinya..."
"Bijaksana." "Berhati-hati. Ya. Waspada," Ia menatap Connor. "Anda
bisa berbahasa Jepang?"
"Sedikit." Yoshida mengangguk. Sejenak ia seakan-akan mempertimbangkan untuk beralih ke bahasa Jepang, tapi
kemudian ja membatalkan niatnya. "Kami ingin membina
hubungan baik," katanya. "Kritik yang ditujukan kepada
kami, kami anggap kritik itu tidak adil. Perusahaan
Darley-Higgins mengalami banyak masalah keuangan.
Mungkin karena manajemen yang buruk, mungkin karena
alasan lain. Saya tidak tahu. Tapi itu bukan kesalahan kami.
Bukan kami yang bertanggung jawab atas itu. Dan kami
tidak mengejar MicroCon. Kami memperoleh tawaran
Sekarang kami dicela karena ingin membantu." Ia
mendesah. Di luar, sebuah pesawat besar lepas landas dari bandara.
Jendela-jendela bergetar.
Connor berkata, "Bagaimana dengan pihak-pihak lain
yang berminat pada MicroCon" Kapan mereka mengundurkan diri?" Mr. Yoshida mengerutkan kening. "Tidak ada peminat
lain. Perusahaan itu ditawarkan hanya kepada kami.
Darley-Higgins tidak ingin kesulitan keuangan mereka
diketahui umum. Jadi, kami bekerja sama dengan mereka.
Tapi sekarang... pihak pers banyak memutarbalikkan fakta
mengenai kami. Kami merasa sangat... kizutsuita. Sakit
hati?" "Ya." Ia mengangkat bahu. "Begitulah perasaan saya.
Moga-moga Anda memaklumi bahasa Inggris saya yang
buruk." Semuanya terdiam. Selama satu menit berikutnya tak
ada yang angkat bicara. Connor duduk menghadapi
Yoshida. Aku duduk di samping Connor. Sekali lagi ada
pesawat yang lepas landas, dan jendela-jendela kembali
bergetar. Belum juga ada yang memecahkan keheningan.
Yoshida menarik napas panjang. Connor mengangguk. Yos-
hida bergeser di kursinya, melipat tangan di depan perut.
Connor mendesah, dan berdehem. Yoshida mendesah.
Kedua-duanya tampak sedang memusatkan pikiran.
Sesuatu tengah terjadi, tapi aku tidak tahu apa. Aku
menyimpulkan bahwa inilah komunikasi tanpa kata-kata
yang dimaksud Connor. Akhirnya Yoshida berkata, "Kapten, saya ingin mencegah
salah paham. Akai Ceramics perusahaan terhormat. Kami
tidak terlibat dalam... komplikasi apa pun yang terjadi.
Kami berada dalam posisi sulit. Tapi saya akan membantu
Anda semampu saya." Connor berkata, "Saya berterima kasih."
"Tidak apa-apa."
Kemudian Yoshida berdiri. Connor berdiri. Aku berdiri.
Kami semua membungkuk, dan setelah itu bersalaman.
"Saya harap Anda tidak segan-segan menghubungi saya,
bila ada yang dapat saya bantu."
"Terima kasih," ujar Connor.
Yoshida mengantar kami sampai ke pintu ruang
kerjanya. Kami membungkuk sekali lagi, dan ia
membukakan pintu. Di luar berdiri pria Amerika berwajah segar, berusia
empat puluhan. Aku segera mengenalinya. Pria pirang yang
berada di mobil bersama Senator Rowe semalam. Pria yang
tidak memperkenalkan diri.
"Ah, Richmond-san," kata Yoshida. "Beruntung sekali
Anda ada di sini. Tuan-tuan ini mencari informasi mengenai
baisha MicroCon." Ia berpaling kepada kami. "Barangkali
Anda ingin bicara dengan Mr. Richmond. Bahasa
Inggris-nya jauh lebih baik dibandingkan saya. Dia bisa
memberikan lebih banyak detail yang mungkin ingin Anda
ketahui." "Bob Richmond. Myers, Lawson, dan Richmond." Jabatan
tangannya mantap. Kulitnya kecoklat-coklatan akibat
matahari, dan sepertinya ia sering bermain tenis. Ia
tersenyum cerah. "Dunia memang kecil, bukan?"
Connor dan aku memperkenalkan diri. Aku berkata,
"Apakah Senator Rowe selamat sampai di hotelnya
semalam?" "Oh, ya," jawab Richmond. "Terima kasih atas bantuan
Anda." Ia tersenyum. "Saya tidak mau membayangkan
perasaannya pagi ini. Tapi saya rasa ini bukan pertama
kali." Ia berayun maju mundur, seperti pemain tenis yang
sedang bersiap-siap menerima servis. Ia tampak agak
cemas. "Terus terang, saya tak menyangka akan bertemu
Anda berdua di sini. Apakah ada sesuatu yang perlu saya
ketahui" Saya mewakili Akai dalam negosiasi MicroCon "
"Tidak ada," jawab Connor. "Kami hanya mencari
informasi latar belakang."
"Apakah ada hubungan dengan kejadian di Nakamoto
semalam?" Connor berkata, "Tidak juga. Sekadar latar belakang
saja." "Kalau Anda mau, kita bisa bicara di ruang rapat."
"Sayangnya," ujar Connor, "kami sudah terlambat untuk
janji lain. Tapi barangkali nanti."
"Boleh saja," kata Richmond. "Dengan senang hati. Satu
jam lagi saya sudah kembali ke kantor." Ia menyerahkan
kartu namanya. "Baiklah," balas Connor.
Tapi Richmond masih tampak cemas. Ia menemani kami
ke lift. "Mr. Yoshida pengusaha gaya lama," ia menjelaskan.
"Saya percaya bahwa dia bersikap ramah. Tapi sebenarnya
dia marah sekali karena urusan MicroCon ini. Sekarang dia
dicecar oleh Akai Tokyo. Padahal ini bukan kesalahannya
Dia benar-benar dikerjai oleh Washington. Dia sudah
memperoleh jaminan bahwa takkan ada masalah dengan
penjualan itu, dan kemudian Morton menjegalnya."
Connor berkata, "Begitukah kejadiannya?"
Richmond mengangguk. "Saya tidak tahu kenapa Johnny
Morton begitu gencar menyerang kami. Kami telah
mengikuti prosedur permohonan izin. CFIUS tidak
menyatakan keberatan sampai lama setelah negosiasi
selesai. Kita tidak bisa menjalankan bisnis seperti ini. Saya
hanya bisa berharap agar Johnny menyadarinya, dan
mengakhiri kontroversi ini. Sebab sekarang ini masalahnya
sangat berbau rasial."
"Rasial" Masa?"
"Tentu. Persis seperti kasus Fairchild. Anda masih ingat"
Fujitsu ingin membeli Fairchild Semiconductor pada tahun
86, tapi Kongres mencegah penjualan itu dengan alasan
keamanan nasional. Pihak Kongres keberatan Fairchild
dijual kepada perusahaan asing. Beberapa tahun kemudian,
Fairchild hendak dijual kepada perusahaan Prancis, dan
kali ini Kongres diam saja. Rupanya tidak apa-apa menjual
kepada perusahaan asing-asal bukan perusahaan Jepang.
Menurut saya, ini prakiek rasialisme." Kami tiba di lift.
"Pokoknya, silakan hubungi saya. Saya akan menyediakan
waktu." "Terima kasih," ujar Connor.
Kami masuk ke lift. Pintu menutup. "Dasar bajingan,"
kata Connor. Bab 34 KAMI sedang mengarah ke utara, menuju pintu keluar
Wilshire, untuk menemui Senator Morton. Aku berkata,
"Kenapa Anda menyebutnya bajingan?"
"Bob Richmond bertugas sebagai asisten juru runding
perdagangan untuk Jepang di bawah Amanda Marden
sampai tahun lalu. Satu tahun kemudian, dia berbalik dan


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulai bekerja untuk orang-orang Jepang. Sekarang dia
dibayar 500.000 setahun, ditambah bonus untuk menutup
transaksi ini. Dan dia pantas dibayar setinggi itu, sebab dia
mengetahui segala sesuatu yang bisa diketahui."
"Apakah itu diperbolehkan oleh undang-undang?"
"Tentu. Itu sudah menjadi prosedur standar. Semua
orang berbuat begitu. Seandainya Richmond bekerja untuk
perusahaan high-tech seperti MIcroCon, dia wajib
menandatangani surat pernyataan bahwa dia takkan
bekerja untuk perusahaan saingan selama lima tahun.
Sebab tidak seharusnya kita membeberkan rahasia
perusahaan kepada para pesaing. Tapi pemerintah kita
punya aturan main yang lebih longgar."
"Kenapa Anda menyebutnya bajingan?"
"Masalah rasialisme itu," balas Connor. "Dia tahu itu
tidak benar. Richmond tahu persis apa yang terjadi dalam
penjualan Fairchild. Itu tidak ada hubungannya dengan
rasialisme." "Tidak?" "Dan ada satu hal lagi yang diketahui Richmond. Orang
Jepang orang paling rasialis di seluruh dunia."
"Masa?" "Benar. Bahkan kalau diplomat-diplomat Jepang ..."
Telepon mobil berdering. Aku menekan tombol pengeras
suara. "Letnan Smith."
Lewat pengeras suara, seseorang berkata, "Oh, akhirnya.
Kemana saja kalian" Kalau begini caranya, kapan aku bisa
tidur?" Aku mengenali suara itu: Fred Hoffmann. Petlugas piket
semalam. Connor berkata, "Terima kasih kau mau menelepon
kami, Fred." "Kalian ada perlu apa?"
"Ehm, aku masih penasaran," ujar Connor, "mengenai
telepon-telepon dari Nakamoto yang kauterima semalam."
"Kau dan semua orang di kota ini," balas Hoffmann. "Aku
diuber-uber separo Departemen gara-gara ini. Jim Olson
sampai berkemah di mejaku. Dia sibuk memeriksa semua
catatan. Padahal waktu itu semuanya cuma tugas rutin."
"Barangkali kau bisa mengulangi apa yang terjadi?"
"Tentu Mula-mula aku dihubungi Metro, mengenai
telepon yang pertama. Mereka kurang paham apa yang
dimaksud si penelepon, karena dia berlogat Asia dan
sepertinya sedang bingung. Atau di bawah pengaruh obat
bius. Dia terus bicara tentang 'mayat yang harus diurus'.
Kukirim mobil patroli ke sana, sekitar jam setengah
sembilan. Lalu, setelah pasti bahwa ada pembunuhan, ku-
tugaskan Tom Graham dan Roddy Merino - dan gara-gara
ini, aku dapat segala macam masalah."
"He-eh." "Habis, bagaimana lagi. Aku sudah mengamati jadwal
tugas, dan memang mereka yang mendapat giliran berikut.
Kalian tahu, kami wajib memakai sistem rotasi untuk
penugasan detektif. Untuk mencegah kesan pilih kasih.
Perintah dari atas. Aku cuma menjalankannya."
"He-eh." "Oke. Lalu Graham menelepon sekitar jam sembilan,
untuk melaporkan bahwa ada masalah di tempat kejadian.
Dia minta bantuan petugas penghubung dari Special
Services. Sekali lagi kupelajari jadwal tugas. Ternyata Pete
yang lagi standby. Kuberikan nomor telepon rumahnya
kepada Graham. Dan kurasa dia lalu meneleponmu, Pete."
"Ya," kataku. "Dia memang meneleponku."
"Oke," ujar Connor. "Apa yang terjadi sesudah itu?"
"Kira-kira dua menit setelah Graham menelepon,
mungkin jam sembilan lewat lima, aku terima telepon dari
seseorang berlogat kental. Seperti logat Asia, tapi aku tidak
pasti. Dan orang itu bilang bahwa atas nama Nakamoto, dia
minta agar Kapten Connor ditugaskan untuk menangani
kasus itu." "Dia tidak menyebutkan namanya?"
"Tentu. Kupaksa dia. Dan aku sempat mencatat
namanya. Koichi Nishi."
"Dan dia bekerja di Nakamoto?"
"Itu yang dikatakannya," ujar Hoffmann. "Aku cuma
duduk di sana, menerima telepon, jadi mana kutahu. Nah,
tadi pagi Nakamoto menyampaikan protes resmi tentang
penugasan Connor dan mengaku bahwa mereka tidak
punya pegawai bernama Koichi Nishi. Menurut mereka,
semuanya itu hanya akal-akalan saja. Tapi percayalah, aku
ditelepon seseorang. Aku tidak mengada-ada."
"Aku percaya," kata Connor. "Kaubilang si penelepon
berlogat kental?" "Yeah. Bahasa Inggrisnya cukup baik, tapi dengan logat
asing. Satu-satunya hal yang kuanggap aneh adalah bahwa
dia rupanya tahu banyak mengenaimu."
"Oh?" "Yeah. Hal pertama yang dikatakannya padaku adalah
apakah aku tahu nomor teleponmu, ataukah dia perlu
menyebutkannya. Aku bilang bahwa aku tahu nomormu.
Dalam hati aku berkata, aku tidak butuh bantuan orang
Jepang untuk mendapatkan nomor telepon sesama anggota
kepolisian. Lalu dia bilang, 'Anda perlu tahu, Kapten Connor
tidak selalu mengangkat telepon. Sebaiknya Anda kirim
orang ke sana untuk menjemputnya."'
"Menarik," Connor berkomentar.
"Jadi kutelepon Pete Smith, dan minta agar dia ke
rumahmu untuk menjemputmu. Cuma itu yang kuketahui.
Ini semua pasti berkaitan dengan masalah politik di
Nakamoto. Aku tahu bahwa Graham kesal. Aku menduga
bahwa ada orang lain yang juga kesal. Dan semua orang
tahu bahwa Connor punya hubungan khusus dengan orang-
orang Jepang, jadi permintaan itu kusampaikan saja. Dan
sekarang aku yang menghadapi masalah. Aku benar-benar
tidak mengerti." "Masalah apa?" tanya Connor.
"Kira-kira jam sebelas semalam, aku ditelepon
Komandan. Kenapa aku menugaskan Graham. Aku
memberitahunya kenapa. Tapi dia tetap marah-marah. Lalu
menjelang akhir shift, munkin sekitar jam lima pagi, timbul
pertanyaan bagaimana sampai Connor dilibatkan. Kapan,
dan kenapa. Dan sekarang ada artikel di Times, mengenai
rasialisme di dinas kepolisian. Aku tidak tahu ke mana
harus berpaling. Aku sudah capek menjelaskan bahwa aku
cuma mengikuti prosedur standar. Sesuai peraturan. Tak
ada yang percaya. Tapi itu memang benar."
"Aku percaya," kata Connor. "Satu hal lagi, Fred. Kau
sempat mendengar telepon pertama yang diterima oleh
Metro?" "Yeah, tentu. Sejam lalu. Kenapa?"
"Apakah suara si penelepon mirip suara Mr. Nishi?"
Hoffmann tertawa. "Astaga. Mana kutahu, Kapten"
Mungkin. Kalau aku ditanya apakah suara orang Asia mirip
suara orang Asia yang kudengar sebelumnya, terus terang
aku tidak tahu. Suara si penelepon pertama bernada
gelisah. Barangkali karena bingung. Barangkali karena obat
bius. Aku tidak bisa memastikannya. Aku cuma tahu bahwa
siapa pun Mr. Nishi, dia tahu cukup banyak mengenaimu."
"Oke, informasi ini sangat membantu. Beristirahatlah
dulu." Connor mengucapkan terima kasih, dan aku
memutuskan hubungan. Aku keluar dari freeway dan
menyusuri Wilshire, untuk pertemuan kami dengan
Senator Morton. Bab 35 "OKE, Senator, tolong lihat ke sini... sedikit lagi... ya,
tahan, sangat kuat, sangat jantan, saya suka sekali. Ya, bagus sekali. Sekarang
saya butuh tiga menit lagi." Si
sutradara, seorang pria tegang dengan jaket penerbang dan
topi baseball, menjauhi kamera dan menyerukan
perintah-perintah. Lafalnya berlogat Inggris. "Jerry, bawa
penghalang matahari ke sini. Cahayanya terlalu terang. Dan
tolong tangani matanya. Tambahkan sedikit cahaya ke
matanya. Ellen" Kaulihat pantulan di pundaknya itu"
Hilangkan. Rapikan kerahnya. Mikrofon di dasinya
kelihatan. Dan warna kelabu di rambutnya kurang
mencolok. Tambahkan sedikit. Dan tarik karpet di lantai,
supaya dia jangan tersandung waktu jalan nanti. Ayo,
semuanya, cepat sedikit. Kita bisa kehilangan cahaya yang
indah ini." Connor dan aku berdiri di pinggir, bersama asisten
produksi yang cantik bernama Debbie, yang membawa
papan catatan dan berkata dengan bangga, "Sutradara itu
Edgar Lynn." "Siapa itu?" tanya Connor.
"Dia sutradara iklan paling mahal dan paling dicari di dunia. Dia seniman luar
biasa. Edgar membuat iklan Apple
tahun 1984 yang fantastis, dan... oh, masih banyak lagi. Dan
dia juga menyutradarai film-film terkenal. Edgar sutradara
terbaik." Ia terdiam sejenak. "Dan tidak terlalu sintling.
Sungguh." Di seberang kamera, Senator Morton berdiri dengan
sabar sementara empat orang mengotak-atik dasi, jas,
rambut, serta rias wajahnya. Morton mengenakan setelan
jas. Ia berdiri di bawah pohon, dengan lapangan golf yang
berbukit-bukit dan gedung-gedung pencakar langit Beverly
Hills di latar belakang. Kru produksi telah menggelar
sepotong karpet, tempat ia akan berjalan menuju kamera.
Aku berkata, "Dan bagaimana Senator Morton?"
Debbie mengangguk. "Lumayan. Kelihatannya dia punya
peluang." Connor berkata, "Maksud Anda, untuk memenangkan
pemilihan presiden?"
"Yeah. Terutama kalau Edgar mengerahkan seluruh
kemampuannya. Senator Morton bukan Mel Gibson, Anda
tahu maksud saya, bukan" Hidungnya besar, rambutnya
sudah menipis, dan dia punya masalah dengan bintik-bintik
di wajahnya, karena kelihatan jelas di kamera. Bintik-bintik
itu mengalihkan perhatian pemirsa dari matanya. Padahal
mata merupakan senjata utama untuk menjual seorang
calon." "Mata," Connor mengulangi.
"Oh, ya. Orang dipilih berkat matanya." Debbie
mengangkat bahu, seakan-akan hal itu diketahui semua
orang. "Tapi jika Senator Morton mempercayakan
kampanye TV-nya kepada Edgar... Edgar seniman hebat. Dia
bisa mengusahakannya."
Edgar Lynn berjalan melewati kami, berdua dengan juru
kamera. "Ya ampun, bereskan daerah di bawah matanya,"
ujar Lynn. "Dan tonjolkan dagunya. Tambahkan makeup
agar dagunya kelihatan lebih tegas. "
Si asisten produksi berpamitan, dan kami menunggu
sambil menonton. Senator Morton masih berdiri agak jauh
dari kami. Ia sedang ditangani oleh para juru rias dan
penata busana. "Mr. Connor" Mr. Smith?" Aku berbalik. Seorang pria
muda dengan jas biru bermotif garis-garis berdiri di
samping kami. Ia tampak seperti anggota staf Senat:
berpendidikan, penuh perhatian, sopan. "Saya Bob
Woodson. Dari kantor Senator Morton. Terima kasih atas
kedatangan Anda." "Sama-sama," ujar Connor.
"Saya tahu bahwa Senator Morton ingin sekali bicara
dengan Anda," kata Woodson. "Tapi saya minta maaf,
kelihatannya kami agak terlambat dari jadwal. Seharusnya
pengambilan gambar sudah selesai pukul satu." Ia melirik
jam tangannya. "Mungkin masih makan waktu agak lama.
Tapi saya tahu Senator Morton ingin bicara dengan Anda."
Connor berkata, "Anda tahu mengenai apa?"
Seseorang berseru, "Tes! Tes suara dan kamera.
Semuanya harap tenang!"
Kerumunan orang di sekeliling Senator Morto bubar, dan
perhatian Woodson beralih ke kamera.
Edgar Lynn kembali mengintip melalui kamera. "Warna
kelabunya tetap kurang menonjol. Ellen Tambahkan warna
kelabu ke rambutnya. Masih kurang kelihatan."
Woodson berkata, "Mudah,mudahan dia tidak kelihatan
tua nanti." Debbie, si asisten produksi, menjelaskan, "Ini hanya
untuk pengambilan gambar. Warna kelabunya kurang
kelihatan lewat kamera, jadi kami tambahkan sedikit. Lihat.
Ellen hanya menambahkan warna kelabu di sekitar pelipis.
Senator Morton akan tampak lebih berwibawa."
"Saya tidak mau dia tampak tua. Terutama kalfau lagi
lelah, dia kadang-kadang tampak tua."
"Jangan khawatir," ujar si asisten.
"Oke," kata Lynn. "Cukup sekian. Senator" Bagaimana
kalau kita melakukan uji coba sekarang?"
Senator Morton bertanya, "Dari mana saya harus
mulai'?" "Naskah?" Petugas naskah menjawab, "Anda tentu sependapat
dengan saya..." Morton berkata, "Kalau begitu, bagian pertama sudah
selesai?" "Sudah," ujar Lynn. "Kita mulai dari sini: Anda berpaling
ke arah kamera, tatapan Anda lurus ke arah kamera,
mantap, jantan. Lalu Anda berkata, 'Anda tentu sependapat
dengan saya.' Oke?" "Oke," kata Morton.
"Ingat. Jantan. Mantap. Memegang kendali."
Morton bertanya, "Apakah bisa direkam?"
"Lynn bakal marah-marah," bisik Woodson.
Edgar Lynn berkata, "Oke. Kamera, siap! Kita mulai."
Senator Morton berjalan ke arah kamera. "Anda tentu
sependapat dengan saya," katanya, "bahwa erosi posisi
nasional dalam tahun-tahun terakhir ini telah mencapai
tingkat yang memprihatinkan. Amerika masih merupakan
kekuatan militer nomor satu, tetapi keamanan kita
tergantung pada kemampuan membela diri secara militer


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan ekonomi. Dan justru dari segi ekonomi, Amerika kini
telah tertinggal. Seberapa jauh" Well, selama dua masa
pemerintahan terakhir, posisi Amerika telah merosot dari
negara pemberi kredit terbesar menjadi negara pengutang
terbesar di dunia. Industri kita tertinggal jauh. Tingkat
pendidikan para pekerja kita lebih rendah dibandingkan
dengan para pekerja di negara-negara lain. Para penanam
modal kita menginginkan laba jangka pendek, dan mereka
menghancurkan kemampuan industri kita untuk menyusun
rencana jangka panjang. Akibatnya taraf hidup kita
menurun dengan cepat. Masa depan anak-anak kita tampak
suram." Connor bergumam, "Akhirnya ada juga yang mau
mengakuinya." "Dan di tengah krisis nasional ini," Morton melanjutkan,
"banyak warga Amerika mulai menyadari ancaman lain.
Seiring dengan semakin berkurangnya kekuatan ekonomi
kita, kita menjadi sasaran invasi model baru. Banyak warga
Amerika cemas bahwa kita akan menjadi koloni ekonomi
Jepang, atau Eropa. Tapi terutama Jepang. Banyak warga
Amerika berpendapat bahwa orang Jepang mengambil alih
industri, lahan rekreasi, bahkan kota-kota kita." Ia
menunjuk ke lapangan golf dengan gedung-gedung
pencakar langit di latar belakang.
"Akibat praktek ini, banyak warga khawatir bahwa
Jepang kini memiliki kemampuan untuk membentuk serta
menentukan masa depan Amerika. "
Morton berhenti sejenak di bawah pohon. Ia memberi
kesan seolah-olah sedang berpikir.
"Berdasarkah kekhawatiran akan masa depan Amerika
ini" Haruskah kita merasa prihatin" Sementara pihak
berkilah bahwa penanaman modal asing merupakan
berkah yang membantu kita. Pihak-pihak lain mengambil
sikap berlawanan, dan merasa bahwa kita sedang menjual
hak asasi yang sangat berharga. Pandangan mana yang
benar" Pandangan mana yang harus... yang sebaiknya...
yang... oh, sialan! Bagaimana kelanjutannya?" .
" Cut, cut!" seru Edgar Lynn. "Istirahat dulu, semuanya.
Saya perlu membereskan beberapa hal. Setelah itu kita
mulai dengan pengambilan gambar sesungguhnya. Bagus
sekali, Senator. Saya suka sekali."
Si petugas naskah berkata, "'Pandangan mana yang
harus kita yakini demi masa depan Amerika,' Senator."
Senator Morton mengulangi, "Pandangan mana yang
harus kita yakini demi masa depan..." Ia menggelengkan
kepala. "Pantas saja saya tidak b isa mengingatnya. Baris itu
diubah saja. Margie" Tolong ubah baris itu. Ah, sudahlah.
Tolong ambilkan naskah. Biar saya saja yang mengubahnya." Dan ia kembali dikerumuni para juru rias dan penata
busana. Woodson berkata, "Tunggu di sini, barangkali dia bisa
meluangkan beberapa menit untuk Anda."
Kami berdiri di samping trailer generator yang
berdengung-dengung. Begitu Morton menghampiri kami,
dua pembantunya mengejarnya sambil menyodorkan
printout komputer yang tebal. "John, ini ada yang perlu
dipelajari." "John, ada baiknya kalau kau memperhatikan angka-angka ini." Morton berkata, "Apa itu?"
"John, ini hasil pengumpulan pendapat Gallup dan
Fielding yang terakhir." "John, ini analisis referensi silang
berdasarkan kelompok umur pemilih."
"Lantas?" "Kesimpulannya, Presiden benar."
"Aku tidak mau dengar itu. Aku mencalonkan diri untuk
menantang dia." "Tapi, John, dia benar mengenai kata-K itu. Kau tidak
bisa mengucapkan kata-K dalam iklan televisi."
"Aku tidak bisa bilang 'konservasi'?"
"Jangan, John."
"Jangan cari perkara
"Angka-angka ini membuktikannya."
"Kau ingin melihat angka-angkanya?"
"Tidak," ujar Morton. Ia melirik kepada Connor dan aku.
"Sebentar," katanya sambil tersenyum.
"Coba perhatikan ini duiu, John."
"Semuanya sudah jelas, John. Konservasi berarti
kemerosotan gaya hidup. Sekarang saja orang-orang sudah
mengalami kemerosotan. Mereka tidak menginginkannya."
"Tapi itu salah," kata Morton. "Bukan begitu duduk
perkaranya." "John, itulah yang ada dalam pikiran para pemilih."
"Tapi mereka keliru."
"John, kalau kau berniat menggurui, silakan."
"Ya, aku berniat mendidik mereka. Konservasi tidak
sama dengan kemerosotan gaya hidup. Konservasi berarti
peningkatan kesejahteraan, kekuasa an, dan kebebasan.
Intinya, kita mencapai hasil yang lebih besar dengan modal
yang lebih kecil. Kita tetap melakukan hal-hal yang kita
lakukan sekarang - menghangatkan rumah, mengemudi
kendaraan - dengan menggunakan lebih sedikit bahan
bakar minyak. Kita butuh alat-alat pemanas yang lebih
efisien di rumah-rumah kita, dan mobil-mobil yang lebih
efisien di jalanan. Kita butuh udara yang lebih bersih,
kesehatan yang lebih baik. Dan kita bisa berhasil.
Negara-negara lain telah melakukannya. Jepang telah
melakukannya." "John, yang benar saja."
"Jangan sebut-sebut Jepang."
"Dalam dua puluh tahun terakhir," kata Morton, "Jepang
telah memotong biaya energi untuk barang-barang jadi
sebanyak enam puluh persen. Jepang kini sanggup
membuat barang-barang dengan biaya lebih rendah
dibandingkan kita, karena Jepang telah mengarahkan
penanaman modal untuk pengembangan teknologi hemat
energi. Konservasi meningkatkan daya saing. Dan kalau kita
tidak mampu bersaing..."
"Bagus, John. Konservasi dan statist. Benar-benar
menjemukan." "Tak ada yang peduli, John."
"Para warga Amerika peduli," balas Morton.
"John, mereka sama sekali tidak peduli."
"Dan mereka takkan mendengarkanmu. Begini, John.
Coba perhatikan pendapat rata-rata untuk berbagai
kelompok umur ini, terutama untuk kelompok di atas 55
tahun, yang merupakan kelompok pemilih yang paling
berpengaruh. Semuanya sependapat: mereka tidak
menginginkan pengurangan. Mereka tidak menginginkan
konservasi. Orang-orang Amerika berusia lanjut tidak
menginginkannya." "Tapi orang-orang itu punya anak dan cucu. Mereka
pasti peduli pada masa depan."
"Mereka tidak peduli sedikit pun, John. Lihat ini, hitam
atas putih. Mereka beranggapan bahwa anak-anak mereka
tidak peduli pada mereka, dan mereka benar. Jadi mereka
juga tidak peduli pada anak-anak mereka. Sederhana saja."
"Tapi tentunya anak-anak itu..."
"Anak-anak tidak ikut memilih, John."
"Percayalah, John. Ikuti saran kami."
"Jangan singgung isu konservasi. Daya saing, oke.
Menatap masa depan, oke. Menghadapi masalah, oke.
Semangat baru, oke. Tapi jangan bawa-bawa konservasi.
Perhatikan saja angka-angka ini. Jangan lakukan itu."
Morton berkata, "Nanti kupertimbangkan lagi."
Kedua pembantunya rupanya menyadari bahwa mereka
takkan berhasil meyakinkan Morton. Mereka langsung
menutup laporan-laporan yang mereka bawa.
"Apa Margie perlu ke sini untuk menyesuaikan naskah?"
"Tidak. Biar kupikirkan dulu."
"Barangkali Margie bisa menyusun beberapa baris."
Tidak." "Oke, John. Oke."
"Suatu hari," Morton berkata kepada kami, "politisi
Amerika akan mengatakan apa yang dianggapnya benar,
bukan apa yang disarankan oleh pengumpulan pendapat.
Dan dia akan tampil sebagai pendobrak."
Kedua pembantu tadi kembali lagi. "Ayo, John. Kau pasti
lelah." "Perjalanannya panjang. Kami mengerti."
"John. Percayalah pada kami, angka-angkanya sudah ada
di tangan kami. Kami bisa membaca perasaan para pemilih
dengan tingkat kepastian sebesar 95 persen."
"Aku tahu perasaan mereka. Mereka merasa frustrasi.
Dan aku tahu kenapa. Sudah lima betas tahun mereka tidak
mempunyai pemimpin."
"John. Kita sudah pernah membahas ini. Kita berada di
abad kedua puluh. Kepemimpinan adalah kemampuan
untuk berbicara sesuai dengan keinginan rakyat."
Mereka pergi. Seketika Woodson mendekat, membawa handphone. Ia
baru hendak membuka mulut, tetapi Morton keburu
mengangkat tangan. "Jangan sekarang, Bob."
"Senator, saya pikir Anda perlu menjawab..."
"Jangan sekarang."
Woodson mundur. Morton melirik jam tangannya. "Anda
Mr. Connor dan Mr. Smith?"
"Ya," ujar Connor.
I'Mari kita jalan-jalan," kata Morton. Ia mulai menjauhi
rombongan film, menuju bukit di samping lapangan golf.
Hari itu hari Jumat. Hanya segelintir orang sedang bermain.
Kami berdiri sekitar lima puluh meter dari lokasi
pengambilan gambar. "Saya minta Anda datang," kata Morton, "karena saya
tahu bahwa Anda menangani masalah Nakamoto itu."
Aku baru hendak memprotes bahwa itu tidak benar,
bahwa Graham yang ditugaskan, tetapi Connor keburu
angkat bicara, "Betul, kami yang menanganinya."
"Saya punya beberapa pertanyaan menyangkut kasus
itu. Anda sudah berhasil memecahkannya?"
"Kelihatannya begitu."
"Penyelidikan Anda sudah selesai?"
"Secara praktis, ya," jawab Connor. "Penyelidikan sudah
selesai." Morton mengangguk. "Saya diberitahu bahwa Anda
berdua memiliki pengetahuan khusus mengenai masyarakat Jepang. Benar itu" Salah satu dari Anda pernah
tinggal di Jepang?" Connor membungkuk sedikit.
"Anda yang bermain golf dengan Hanada dan Asaka pagi
ini?" tanya Morton. "Informasi Anda cukup lengkap."
"Saya sempat bicara dengan Mr. Hanada tadi. Sebelum
ini, kami sudah pernah berhubungan unluk urusan lain."
Morton mendadak berbalik dan berkata, "Pertanyaan saya,
apakah masalah Nakamoto ini berkaitan dengan
MicroCon?" "Bagaimana maksud Anda?" ujar Connor.
"Masalah penjualan MicroCon kepada orang Jepang telah
diajukan ke hadapan Komite Keuangan Senat yang diketuai
oleh saya. Kami diminta memberi rekomendasi oleh staf
Komite Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang nantinya
harus mengesahkan penjualan tersebut. Anda tentu tahu,
penjualan MicroCon telah menimbulkan kontroversi. Di
masa lalu, saya secara terbuka menentang rencana itu.
Karena berbagai alasan. Anda mengetahui permasalahannya?" "Ya," jawab Connor.
"Sampai sekarang pun saya masih keberatan. Teknologi
canggih yang dikembangkan MicroCon antara lain dibiayai
dengan dana yang berasal dari para wajib pajak Amerika.
Saya keberatan bahwa para wajib pajak membayar untuk
riset yang akhirnya dijual kepada orang Jepang - yang
kemudian akan memanfaatkannya untuk menyaingi
perusahaan-perusahaan kita sendiri. Saya berpendapat
bahwa kita harus melindungi kapasitas Amerika dalam
bidang high-tech. Saya berpendapat bahwa kita harus
melindungi sumber daya intelektual yang kita miliki. Saya
berpendapat bahwa kita harus membatasi penanam modal
asing ke dalam perusahaan-perusahaan dan universitas-universitas kita. Tapi rupanya hanya saya
sendiri yang berpendapat demikian. Saya tidak memperokh
dukungan, baik di Senat maupun di kalangan industri.
Pihak perdagangan juga tidak mau membantu saya. Mereka
tahu bahwa itu akan mengganggu negosiasi beras. Beras.
Bahkan Pentagon pun menentang saya dalam urusan ini.
Dan saya sekadar ingin tahu, mengingat Nakamoto


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merupakan perusahaan induk Akai Ceramics, apakah
kejadian semalam berhubungan dengan rencana penjualan
itu." Ia terdiam dan menatap kami dengan tajam. Sepertinya
ia berharap kami mengetahui sesuatu.
Connor berkata, "Setahu saya tidak ada hubungan
apa-apa." "Apakah Nakamoto melakukan tindakan curang atau
tidak pantas untuk mensukseskan penjualan itu?"
"Setahu saya tidak."
"Dan penyidikan Anda telah ditutup secara resmi?"
"Ya. " "Saya ingin menjernihkan permasalahannya. Sebab bila
saya menarik keberatan saya atas penjualan ini, saya tidak
ingin kena getahnya di kemudian hari. Orang mungkin saja
berdalih bahwa pesta di Nakamoto merupakan usaha untuk
membujuk para penentang rencana itu. Perubahan posisi
seperti ini kadang-kadang merisaukan. Gara-gara hal
seperti ini, kita bisa naik daun atau malah tenggelam di
Kongres." Connor berkata, "Anda hendak menarik keberatan Anda
atas penjualan itu?"
"Hmm." Morton mengangkat bahu. "Saya berjuang
seorang diri. Tak ada yang mendukung sikap saya
mengenai MicroCon. Secara pribadi, saya kira ini ulangan
kasus Fairchild. Tapi kalau pertempuran tak dapat
dimenangkan, lebih baik jangan bertempur. Lagi pula masih
banyak pertempuran lain." Ia menegakkan badan,
merapikan jas. "Senator" Kalau Anda sudah siap, kita mulai saja. Mereka
cemas mengenai cahayanya."
"Mereka cemas mengenai cahayanya," ujar Morton
sambil geleng-geleng. "Kami tak ingin menyita waktu Anda lebih banyak," kata
Connor. "Pokoknya," Morton berkata, "saya memang membutuhkan masukan dari Anda. Jadi, menurut Anda,
kejadian semalam tidak berkaitan dengan MicroCon.
Orang-orang yang terlibat juga tidak mempunyai hubungan
apa pun. Jangan sampai bulan depan saya membaca bahwa
seseorang kasak-kusuk di belakang layar, untuk mensukseskan atau menghalangi penjualan tersebut.
Takkan ada hal seperti itu."
"Setahu saya, tidak," jawab Connor.
"Gentlemen, terima kasih atas kedatangan Anda," kata
Morton. Ia bersalaman dengan kami, lalu menuju lokasi
pengambilan gambar. Kemudian ia berbalik sekali lagi.
"Saya akan berterima kasih sekali jika Anda menangani
urusan ini secara rahasia. Sebab, Anda tahu sendiri, kita
harus waspada. Kita sedang berperang melawan Jepang." Ia
tersenyum dengan masam. "Loose lips sink ships."
"Ya," kata Connor. "Dan ingat Pearl Harbor."
"Astaga, itu juga." Ia menggelengkan kepala, lalu
merendahkan suara dan berkata, "Anda tahu, beberapa
rekan saya berpendapat bahwa cepat atau lambat kita
harus menjatuhkan bom lagi." Ia tersenyum. "Tapi saya
tidak sepaham dengan mereka. Biasanya."
Sambil tetap tersenyum, ia menuju ke arah rombongan
film. Orang-orang kembali berkerumun di sekelilingnya.
Mula-mula seorang wanita yang membawa perubahan
naskah, lalu seorang penata busana, lalu seorang pria yang
mengotak-atik mikrofon serta tempat baterai di pinggangnya, lalu juru rias, sampai akhirnya Senator
Morton menghilang dari pandangan, dan yang terlihat
hanyalah sekelompok orang yang berjalan melintasi
rumput. Bab 36 AKU berkata, "Saya suka orang itu."
Kami sedang meluncur kembali ke Hollywood. Semua
gedung terselubung asap dan kabut.
"Tentu saia Anda suka dia," ujar Connor. "Dia politisi.
Tugasnya memang membuat Anda suka padanya."
"Kalau begitu, dia berhasil."
"Sangat berhasil."
Sambil membisu Connor menatap keluar jendela. Aku
mendapat kesan bahwa ada sesuatu yang mengganggunya.
Aku berkata, "Anda tidak setuju dengan apa yang
dikatakannya dalam iklan TV tadi" Kedengarannya sama
seperti ucapan-ucapan Anda."
"Ya. Memang." "Lalu, apa masalahnya?"
"Tidak ada," Ujar Connor. "Saya hanya memikirkan apa
sesungguhnya yang dikatakannya."
"Dia menyinggung Fairchild."
"Tentu saja," kata Connor. "Morton tahu persis apa yang
terjadi dengan Fairchild."
Aku baru hendak bertanya, tapi Connor sudah mulai
menceritakannya. "Anda pernah mendengar nama Seymour Cray" Selama
bertahun-tahun dia perancang komputer super terbaik di
seluruh dunia. Cray Research menciptakan komputer
tercepat di dunia. Orang Jepang berusaha mengejar
ketinggalan mereka, tapi sia-sia. Cray terlalu gemilang. Tapi
pada pertengahan delapan puluhan, praktek dumping yang
dilakukan orang Jepang dalam bidang chips telah
menyebabkan sebagian besar pemasok Cray di dalam
negeri gulung tikar. Cray terpaksa memesan chips dengan
desain khusus dari perusahaan-perusahaan Jepang. Tak
seorang pun di Amerika sanggup membuatnya. Dan
kemudian para pemasok Jepang itu mengalami penundaan-penundaan misterius. Pada suatu ketika,
mereka memerlukan satu tahun untuk menyerahkan chips
tertentu yang dipesan oleh Cray - dan selama itu, para
pesaingnya di Jepang mengalami kemajuan pesat. Timbul
pertanyaan, apakah mereka mencuri teknologinya yang
baru. Cray marah sekali. Dia sadar bahwa mereka
mempermainkannya. Dia memutusk.m bahwa dia harus
membentuk persekutuan dengan pabrik Amerika, dan
karena itu dia memilih Fairchild Semiconductor, walaupun
perusahaan tersebut lemah dari segi keuangan. Tapi Cray
tidak lagi bisa mempercayai orang Jepang. Dia terpaksa
bekerja sama dengan Fairchild. Jadi, sejak saat itu Fairchild
membuat chips khusus generasi berikut untuknya, dan
kemudian dia mendapat kabar bahwa Fairchild akan dijual
kepada Fujitsu. Saingannya yang paling besar. Keprihatinan
mengenai situasi seperti inilah, serta implikasinya terhadap
keamanan nasional, yang mendorong Kongres untuk
mencegah penjualan tersebut.
"Dan kemudian?"
"Larangan terhadap penjualan itu tetap tidak mengatasi
masalah keuangan yang menimpa Fairchild. Perusahaan itu
tetap mengalami kesulitan. Tidak ada jalan keluar selain
menjualnya. Menurut desas-desus, Fairchild akan dibeli
oleh Bull, sebuah perusahaan Prancis yang tidak bergerak
dalam bidang komputer super. Rencana itu mungkin saja
disetujui oleh Kongres. Tapi akhirnya Fairchild dibeli oleh
perusahaan Amerika lain."
"Dan MicroCon merupakan ulangan kasus Fairchild?"
"Ya, dalam arti bahwa dengan membeli MicroCon, orang
Jepang akan memegang monopoli atas mesin-mesin
pembuat chips. Begitu mereka memegang monopoli,
mereka bisa menghentikan pengiriman kepada perusahaan-perusahaan Amerika. Tapi sekarang saya
berpendapat..." Ketika itulah pesawat telepon berdering.
Ternyata Lauren. Bekas istriku.
"Peter?" Aku berkata, "Halo, Lauren."
"Peter, aku menelepon untuk memberitahumu bahwa
aku akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini."
Suaranya bernama tegang, formal.
"O, ya" Aku tidak tahu bahwa kau mau menjemputnya."
"Aku tidak pernah bilang begitu, Peter," ia menyahut
cepat-cepat. "Tentu saja aku akan menjemputnya."
Aku berkata, "Oke, baiklah. Ngomong-ngomong, siapa itu
Rick?" Ia terdiam sejenak. "Kau keterlaluan, Peter."
"Kenapa?" kataku. "Aku cuma ingin tahu. Michelle
menyinggungnya tadi pagi. Dia bilang Rick punya Mercedes
hitam. Pacarmu yang baru?"
"Peter. Masalahnya berbeda."
Aku berkata, "Berbeda dengan apa?"
"Jangan main-main," ujar Lauren. "Ini sudah cukup sulit
bagiku. Aku menelepon untuk memberitahumu bahwa aku
akan menjemput Michelle lebih cepat hari ini, karena aku
akan membawanya ke dokter."
"Kenapa" Dia sudah sembuh dari pilek."
"Aku membawanya untuk pemeriksaan, Peter."
"Untuk apa?" "Pemeriksaan." "Aku tidak tuli," balasku, "tapi..."
"Dokter yang akan memeriksanya bernama Robert
Strauss. Kata orang, dia paling ahli dalam bidangnya. Aku
sudah tanya pada orang-orang di kantor, siapa yang
sebaiknya kuhubungi. Aku tidak tahu bagaimana hasilnya
nanti, Peter, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku prihatin,
terutama mengingat masa lalumu "
"Lauren, apa maksudmu?"
"Penganiayaan,"
katanya. "Penganiayaan seksual terhadap anak-anak."
"Apa?" "Tak ada jalan lain. Kau tahu bahwa kau pernah
dituduh." Aku mulai mual. Setiap perkawinan yang gagal selalu
meninggalkan sisa-sisa kebencian, kantong-kantong kegetiran dan amarah, serta banyak hal pribadi yang kita
ketahui mengenai orang yang satu lagi, yang dapat
digunakan sebagai senjata terhadapnya, jika kita memilih
untuk berbuat demikian. Lauren belum pernah melakukannya. "Lauren, kau tahu bahwa tuduhan itu terbukti tak
berdasar. Kau tahu semuanya. Kita sudah menikah waktu
itu." "Aku hanya tahu yang kauceritakan padaku."
Sepertinya ia sengaja menjaga jarak. Suaranya bernada
moralistik, sedikit sarkastik. Suara sang penuntut umum.
"Lauren, demi Tuhan. Ini benar-benar konyol. Ada apa
sebenarnya?" "Ini sama sekali tidak konyol. Aku punya tanggung jawab
sebagai ibu." "Hmm, selama ini kau tidak pernah memikirkan
tanggung jawabmu sebagai itu. Dan sekarang kau ..."
"Memang benar, karierku banyak menyita waktu,,"
katanya dengan nada dingin, "tapi tak pernah ada keraguan
bahwa yang paling penting adalah anakku. Dan aku sangat
sangat menyesal jika tingkah lakuku di masa lalu ikut
mendorong terciptanya situasi yang tidak menyenangkan
ini." Aku mendapat kesan bahwa ia tidak berbicara padaku.
Ia sedang berlatih. Menggunakan kata-kata untuk
mengetahui bagaimana pengaruhnya di hadapan hakim.
"Tentunya, Peter, jika terdapat bukti mengenai penganiayaan, Michelle tidak bisa tinggal bersamamu lagi.
Atau bahkan menemuimu."
Dadaku serasa ditusuk. "Apa maksudmu" Siapa yang memberitahumu bahwa
ada penganiayaan?" "Peter, kurasa tidak sepatutnya aku berkomentar pada
saat ini." "Apakah Wilhelm" Siapa yang meneleponmu, Lauren?"
"Peter, tak ada gunanya kita melanjutkan pembicaraan
ini. Aku secara resmi memberitahumu bahwa aku akan


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjemput Michelle pukul empat. Kuminta dia sudah siap
jam empat sore nanti."
"Lauren..." "Aku telah minta sekretarisku, Miss Wilson, agar ikut
mendengarkan pembicaraan kita dan membuat catatan
steno. Aku menyampaikan pemberitahuan resmi mengenai
niatku untuk menjemput putriku untuk pemeriksaan fisik.
Ada pertanyaan mengenai keputusanku ini?"
"Tidak." "Kalau begitu, jam empat. Terima kasih atas kerja
samamu. Dan sebagai catatan pribadi, Peter, aku sungguh
menyesal bahwa ini harus terjadi."
Dan dengan itu ia meletakkan gagang.
Aku pernah terlibat dalam kasus penganiayaan seksual
ketika aku masih bertugas sebagai detektif.
Aku tahu permasalahannya. Pada umumnya, pemeriksaan fisik tidak mengungkapkan apa-apa. Hasilnya
selalu meragukan. Jika seorang anak dihadapkan pada
psikolog yang memberondongnya dengan pertanyaan, anak
itu akhirnya akan memberikan jawaban yang menurutnya
sesuai dengan apa yang diharapkan. Si psikolog wajib
membuat rekaman video untuk membuktikan bahwa per-
tanyaannya tidak mengarah. Namun situasinya hampir
selalu tetap tidak jelas pada waktu diajukan ke meja hijau.
Karena itu, hakim terpaksa mengambil keputusan secara
hati-hati. Artinya, jika ada kemungkinan bahwa telah
terjadi penganiayaan, anak yang bersangkutan harus
dipisahkan dari orangtua yang dituduh. Atau paling tidak,
tidak diberi izin berkunjung tanpa pengawasan. Tidak
boleh menginap. Atau bahkan tidak...
"Cukup," ujar Connor, yang duduk di sampingku di
dalam mobil. "Sudah waktunya Anda kembali ke dunia
nyata." "Sori," kataku. "Tapi masalahnya sangat mengganggu."
"Saya percaya. Sekarang, apa yang belum Anda ceritakan
pada saya?" "Mengenai apa?"
"Tuduhan penganiayaan itu."
"Tidak ada. Tidak ada apa-apa.
" Kohai," ia berkata dengan tenang. "Saya tidak bisa membantu Anda jika Anda
tidak mau berterus terang."
"Saya tidak pernah terlibat penganiayatan seksual,"
kataku. "Bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah uang."
Connor tidak menanggapinya. Ia hanya menunggu.
Menatapku. "Ah, persetan," kataku.
Lalu aku membeberkan semuanya
Ada saat-saat dalam hidup kita, ketika kita merasa yakin
bahwa kita tahu apa yang kita lakukan. Tapi kemudian, jika
kita pikirkan kembali, kita sadar bahwa tindakan kita sama
sekali tidak benar. Anda terbentur pada suatu masalah, dan
mengambil langkah yang keliru. Tapi pada saat itu Anda
yakin bahwa semuanya beres.
Masalahku adalah, aku sedang jatuh cinta. Lauren
termasuk gadis yang bersikap ningrat, langsing, dan
anggun. Sepertinya ia dibesarkan dalam lingkungan elite. Ia
lebih muda dariku, dan cantik.
Sejak pertama aku sudah tahu bahwa hubungan kami
takkan langgeng, tapi aku tetap berusaha mempertahankannya. Kami menikah dan tinggal bersama-sama, dan ia mulai merasa tidak puas. Tidak puas
dengan apartemenku, dengan lokasinya, dengan uang yang
kami miliki. Semuanya. Dan ia terus diganggu mual-mual
dan muntah, yang tidak membantu memperbaiki keadaan.
Ia menyimpan crackers di mobil, di samping tempat tidur,
di mana-mana. Ia begitu menderita dan tidak hahagia,
sehingga aku berusaha menghiburnya dengan hal-hal kecil.
Membelikan hadiah. Membawa oleh-oleh. Memasak.
Melakukan pekerjaan rumah tangga yang ringan. Biasanya
aku tidak begitu, tapi aku sedang jatuh cinta. Aku mulai
terbiasa melakukan hal-hal untuk menyenangkan hati
Lauren. Lalu masih ada tekanan yang tak reda-reda. Ini harus
lebih banyak, itu harus lebih banyak. Lebih banyak uang.
Lebih banyak, lebih banyak.
Kami juga menghadapi masalah khusus. Polis asuransi
kesehatan Lauren sebagai pegawai kejaksaan tidak
mencakup kehamilannya, sama seperti polis asuransiku.
Pada waktu menikah, kami tidak sempat mengurus polis
yang mencakup bayi kami. Biaya untuk si Kecil mencapai
delapan ribu dolar, dan kami harus mendapatkannya. Kami
sama-sama tidak mempunyai uang. Ayah Lauren dokter di
Virginia, tetapi Lauren tidak ingin meminjam uang dari
ayahnya, yang sejak semula tidak menyetujui hubungan
kami. Keluargaku tidak mempunyai uang. Nah. Tidak ada
uang. Lauren bekerja untuk kejaksaan. Aku bekerja untuk
kepolisian. Ia berutang banyak pada MasterCard, dan
cicilan mobilnya pun belum lunas. Kami harus
mendapatkan delapan ribu dolar. Masalah itu terus
menghantui kami. Bagaimana kami akan mengatasinya"
Dan akhirnya terbentuk kesepakatan tak terucap, paling
tidak dari pihak Lauren, bahwa akulah yang bertanggung
jawab. Jadi, suatu malam di bulan Agustus, aku mendapat
panggilan untuk menangani kasus pertengkaran rumah
tangga di Ladera Heights. Suami-istri Latin. Mereka
sama-sama mabuk dan bertengkar hebat. Bibir si istri
pecah, mata suaminya bengkak dan anak mereka
menjerit-jerit di kamar sebelah. Tapi tak lama kemudian
kami berhasil menenangkan mereka, dan ternyata tak ada
yang mengalam cedera serius. Si istri melihat bahwa kami
sudah hendak pergi. Ketika itulah dia mulai berteriak-
teriak bahwa suaminya telah melakukan penginiayaan fisik
terhadap anak perempuan mereka. Waktu si suami
mendengar ini, ia tampak marah sekali. Aku juga tidak
percaya. Si istri pasti hanya ingin membalas dendam. Tapi
ia berkeras agar kami memeriksa anak perempuannya, jadi
aku masuk ke kamar anak itu. Umurnya sekitar sembilan
bulan, dan ia menjerit-jerit sampai mukanya merah padam.
Aku menyingkap selimutnya untuk mencari luka memar,
dan kemudian aku melihat sebongkah kokain. Di bawah
selimut, di samping anak itu.
Nah. Situasinya agak pelik. Mereka suami-istri, jadi si istri
harus memberi kesaksian yang memberatkan suaminya,
penggeledahan yang kami lakukan tidak sah, dan
sebagainya. Suaminya tidak memerlukan bantuan pengacara hebat agar lolos dari hukuman. Jadi aku keluar
dan memanggil orang itu. Aku sadar bahwa aku tak dapat
berbuat apaapa. Aku hanya membayangkan bahwa kalau
bongkahan tadi sampai digigit-gigit oleh anak perempuan
itu, ia pasti mati. Aku ingin membicarakan hal tersebut.
Sedikit menggertak, menakut-nakutinya.
Laki-laki itu berdua denganku di kamar anaknya.
Istrinya masih di ruang duduk, bersama rekanku. Tiba-tiba
laki-laki itu mengeluarkan amplop setebal dua senti. Ia
membukanya. Aku melihat lembaran-lembaran seratus
dolar. Tumpukan lembaran seratus dolar setebal satu inci.
Dan ia berkata, "Terima kasih atas bantuan Anda."
Amplop itu berisi sekitar sepuluh ribu dolar.
Mungkin lebih. Aku tidak tahu persis. Ia menyodorkan
amplop itu dan menatapku, sambil berharap agar aku
mengambilnya. Aku memperingatkannya akan bahaya menaruh kokain
di tempat tidur anaknya. Langsung saja ia meraih
bongkahan itu, meletakkannya di lantai, dan menendangnya ke bawah tempat tidur. "Anda benar.
Terima kasih." Lalu ia kembali menyodorkan amplop itu.
Nah. Suasananya kacau balau. Di luar, istrinya membentak-bentak rekanku. Di dalam kamar, anak mereka
masih terus menjerit-jerit. Laki-laki itu memegang amplop.
Ia tersenyum dan mengangguk. Ayo, ambil saja. Dan
kupikir... aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu.
Tahu-tahu aku sudah di ruang duduk. Aku berkata
bahwa anak perempuan itu baik-baik saja, dan sekarang si
istri mulai berteriak-teriak bahwa aku yang menganiaya
anaknya - sekarang aku yang dijadikan kambing hitam,
bukan suaminya - bahwa aku bersekongkol dengan
suaminya, bahwa kami sama-sama menganiaya anak
perempuannya. Rekanku sadar bahwa perempuan itu
mabuk berat, dan kami pergi. Titik. Rekanku berkata, "Kau
lama sekali di ruangan itu." Dan aku menjawab, "Aku harus
memeriksa anak itu." Selesai. Tapi keesokan harinya
perempuan itu muncul di markas dan membuat pengaduan
resmi bahwa aku menganiaya putrinya. Pengaruh alkohol
belum hilang benar, dan ia sudah pernah berurusan dengan
polisi, tapi tuduhannya cukup serius, sehingga diposes
sesuai peraturan, sampai ke pemeriksaan pendahuluan,
sebelum akhirnya dibatalkan dengan alasan tidak berdasar.
Hanya itu. Begitulah kejadiannya. "Dan uangnya?" tanya Connor.
"Saya pergi ke Vegas untuk berakhir pekan. Saya menang
banyak. Tahun itu saya membayar pajak untuk penghasilan
tambahan sejumlah 13.000."
"Ide siapa itu?"
"Lauren. Dia bilang, dia tahu cara untuk menanganinya."
"Jadi, dia tahu apa yang terjadi?"
"Tentu." "Dan pemeriksaan pendahuluan itu" Apakah pibak
Departemen sempat membuat laporan?"
"Saya kira tidak sampai sejauh itu Tuduhan ituhanya
didengar secara verbal, lalu dibatalkan. Mungkin ada
catatan dalam arsip, tapi pasti bukan laporan resmi."
"Oke," ujar Connor. "Sekarang ceritakan sisanya."
Kemudian aku bercerita mengenai Ken Shubik, harian
Times, dan si Musang. Connor mendengarkanku sambil
mengerutkan kening, tanpa berkata apa-apa. Ia mulai
mengisap udara lewat sela-sela gigi, yang merupakan cara
Jepang untuk menyatakan rasa tidak setuju.
" Kohai," katanya, ketika aku akhirnya selesai, "Anda
sangat merepotkan saya. Anda membuat saya kelihatan
seperti orang bodoh. Kenapa Anda tidak menceritakan ini
sejak awal?" "Karena ini tidak ada hubungannya dengan Anda."
"Kohai." Ia menggelengkan kepala. "Kohai..."
Aku kembali memikirkan anak perempuanku. Aku
memikirkan kemungkinan baru - kemungkinan bahwa aku
takkan pernah melihatnya lagi - bahwa aku takkan dapat...
"Begini," kata Connor. "Aku sudah memperingatkan
Anda bahwa urusan ini mungkin tidak menyenangkan.
Percayalah, keadaan masih bisa bertambah buruk.
Benar-benar parah. Kita harus bergerak cepat dan mencoba
menuntaskan semuanya."
"Saya pikir semuanya sudah tuntas."
Connor menghela napas dan menggelengkan kepala.
"Belum," katanya. "Dan sekarang kita harus menyelesaikan
semuanya sebelum Anda menemui istri Anda pukul empat
nanti. Kita tak bisa memhuang-buang waktu lagi."
Bab 37 "HMM, kelihatannya tugas kita sudah selesai," ujar
Graham. Ia berjalan mengelilingi rumah Sakamura di
perbukitan Hollywood. Tim SID yang terakhir sedang
bersiap-siap meninggalkan tempat itu.
"Aku tidak mengerti kenapa Komandan begitu sewot
tentang ini," kata Graham. "Anak-anak SID sampai terpaksa
bekerja di sini, karena dia terus mendesak-desak. Tapi
untung saja semuanya saling memperkuat. Sakamura-lah
orang yang kita cari. Tempat tidurnya diperiksa untuk
mencari bulu pubic, dan ternyata cocok dengan bulu yang
ditemukan pada cewek itu. Kami mendapatkan ludah
kering dari sikat giginya. Golongan darah dan penanda
genetiknya sama dengan sperma yang ditemukan pada
cewek yang mati itu. Tingkat kepastiannya 95 persen.
Anak-anak SID menemukan sperma dan bulu pubic
Sakamura pada cewek itu. Sakamura berhubungan seks
dengannya, lalu membunuhnya. Dan waktu kita datang
untuk menangkapnya, Sakamura panik,

Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha melarikan diri, dan akhirnya tewas. Di mana Connor?"
"Di luar," kataku.
Melalui jendela, aku melihat Connor berdiri di depan
garasi, berbicara dengan dua petugas polisi yang duduk di
dalam mobil patroli. Connor menunjuk ke jalanan; mereka
menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
"Sedang apa dia di sana?" tanya Graham.
Aku berkata bahwa aku tidak tahu.
"Brengsek, aku tidak mengerti orang itu. Berilahu dia
bahwa jawaban atas pertanyaannya adalah 'tidak ada'."
"Pertanyaan apa?"
"Sejam yang lalu dia meneleponku," ujar Graham. "Dia
ingin tahu berapa banyak kacamata baca yang kami
temukan di sini. Kami langsung memeriksanya. Ternyata
tidak ada kacamata baca. Kalau kacamata hitam, banyak.
Beberapa kacamata hitam untuk perempuan. Cuma itu. Aku
tidak tahu apa rencananya. Orangnya aneh. Persetan, apa
lagi yang dikerjakannya sekarang?"
Kami memperhatikan Connor berjalan mondar-mandir
di sekitar mobil patroli, lalu kembali meninjuk ke jalanan.
Satu petugas patroli duduk di d dam mobil, berbicara
melalui radio. "Kau bisa mengikuti jalan pikirannya?" tanya
Graham. "Tidak." "Barangkali dia mencoba melacak cewek-cewek tadi,"
ujar Graham. "Hmm, coba kalau kita sempat memeriksa
identitas si Rambut Merah. Kujamin dia juga bersanggama
dengan Sakamura. Seharusnya kita bisa dapat contoh
sperma darinya, untuk membandingkan semua faktor. Dan
aku seperti otrang tolol, membiarkan cewek-cewek itu
lolos. Dasar sial, siapa yang menyangka perkembangannya
bakal seperti ini" Semuanya terjadi begitu cepat.
Cewek-cewek telanjang, berlari ke sana kemari. Laki-laki
normal pasti sempat bingung. Itu wajar. Brengsek, mereka
cantik-cantik, ya?" Aku membenarkannya. "Dan tak ada yang tersisa dari Sakamura," Graham
melanjutkan. "Kira-kira sejam yang lalu aku bicara dengan
anak-anak PEO. Mereka ada di markas, mencoba
mengeluarkan mayat itu dari mobil, tapi kurasa dia takkan
bisa diidentifikasi. Petugas-petugas pemeriksa mayat akan
mencoba, tapi selamat berjuang." Ia menatap ke luar
jendela. "Kau tahu" Kita sudah berupaya maksimal dalam
kasus keparat ini," katanya. "Dan kita cukup sukses. Kita
berhasil mendapatkan pelakunya. Dengan cepat, tanpa
buang-buang waktu. Tapi yang kudengar sekarang cuma
keluhan bahwa kita sengaja menjelek-jelekkan orang
Jepang. Sial. Kita selalu di pihak yang salah."
"He-eh," gumamku.
"Astaga, pengaruh mereka semakin kuat saja," kata
Graham. "Aku didesak-desak dari segala arah. Aku
ditelepon Komandan. Dia minta kasus ini segera ditutup.
Ada wartawan Times yang menyelidiki masa laluku. Dia
mengungkit-ungkit tuduhan penggunaan kekerasan tanpa
alasan terhadap pemuda Latin di tahun 1978. Pemuda itu
Cuma mengada-ada. Tapi wartawan ini, dia berusaha
memperlihatkan bahwa aku seorang rasialis, dari dulu.
Coba tebak, apa latar belakang artikelnya, Kejadian
semalam disebutnya sebagai contol rasialisme di kalangan
pollsi. Aku dijadikan contoh buruk. Hah, orang-orang
Jepang itu memang jago bermain kotor."
"Aku tahu," kataku.
"Jadi kau juga sudah mulai dikerjai?"
Aku mengangguk. "Apa tuduhan mereka?"
"Penganiayaan terhadap anak kecil."
"Astaga," ujar Graham. "Padahal kau punya anak
perempuan." "Ya." "Memuakkan. Fitnah dan pencemaran nama baik,
Petey-san. Tak ada hubungannya dengan kenyataan. Tapi
coba saja kaujelaskan ini kepada wartawan."
"Siapa orangnya?" tanyaku. "Siapa wartawan yang
menghubungimu?" "Namanya Linda Jensen, kalau tidak salah."
Aku mengangguk. Linda Jensen adalah anak didik si
Musang. Pernah ada yang berkata bahwa Linda tidak perlu
membuka baju untuk memacu kariernya. Ia tinggal
membuka rahasia-rahasia orang lain dan merusak reputasi
mereka untuk mencapai tujuannya. Ia bekerja sebagai
pengasuh kolom gosip di Washington sebelum pindah ke
Los Angeles. "Entahlah," ujar Graham sambil menggeser tubuhnya
yang gempal. "Aku sendiri tak habis pikir. Mereka
mengubah negeri ini menjadi Jepang ke dua. Sekarang saja
sudah ada orang yang takut buka mulut. Takut mengatakan
sesuatu yang membuat mereka tersinggung. Orang-orang
tidak mau berterus terang mengenai masalah ini."
"Seharusnya Pemerintah mengeluarkan undang-undang
baru." Graham tertawa. " Pemerintah. Pemerintah sudah jadi
milik mereka. Kau tahu berapa jumlah uang yang mereka
habiskan di Washington setiap tahun" Empat ratus juta
dolar setahun. Cukup untuk menutup biaya kampanye
semua anggota Senat dan Kongres. Jumlah yang besar. Nah,
sekarang coba jawab. Mungkinkah mereka mengeluarkan
uang sebanyak itu, tahun demi tahun, kalau tidak ada
manfaatnya bagi mereka" Tentu saja tidak. Brengsek.
Amerika sudah di ambang kehancuran. Hei, sepertinya kau
dicari bosmu." Aku memandang ke luar jendela. Connor sedang
memanggilku dengan isyarat tangan.
Aku berkata, "Aku pergi dulu."
"Selamat berjuang," ujar Graham. "O, ya, aku mungkin
mau ambil cuti beberapa minggu."
"Yeah" Mulai kapan?"
"Mungkin nanti," kata Graham. "Saran dari Komandan.
Katanya, barangkali ada baiknya, mengingat aku masih
diincar wartawan Times keparat itu. Aku ingin berlibur
seminggu di Phoenix. Ada saudaraku di sana. Aku cuma
ingin kau tahu bahwa aku mungkin akan pergi."
"Oke," kataku. Connor masih melambaikan tangan padaku. Ia tampak
tidak sabar. Aku bergegas keluar. Ketika menuruni tangga,
aku melihat Mercedes hitam berhenti. Sebuah sosok yang
sangat kukenal turun dari mobil itu.
Ternyata Wilhelm si Musang.
Bab 38 KETiKA aku sampai di bawah, si Musang telah
mengeluarkan buku catatan dan alat perekam. Sebatang
rokok terselip di sudut mulutnya. "Letnan Smith," katanya,
"apakah saya bisa bicara sebentar dengan Anda?"
"Saya sedang sibuk," jawabku.
"Ayo," Connor berseru padaku. "Waktu kita tinggal
sedikit." Ia membuka pintu mobil. untukku.
Aku berjalan ke arah Connor. Si Musang mengikutiku. Ia
menyodorkan sebuah mikrofon kecil berwarna hitam ke
wajahku. "Mudah-mudahan Anda tidak keberatan saya
merekam percakapan kita. Setelah kasus Malcolm, kami
harus lebih berhati-hati. Apakah Anda dapat memberikan
komentar mengenai ejekan bernada rasial yang kabarnya di
lontarkan rekan Anda, Detektif Graham, dalam penyidikan
Nakamoto semalam?" "Tidak," kataku. Aku terus berjalan.
"Kami mendapat informasi bahwa Detektif Graham
menyebut mereka sebagai 'Jepang-Jepang keparat'".
"Tidak ada komentar," kataku.
"Dia juga menyebut mereka 'mata sipit'. Menurut Anda,
pantaskah ucapan seperti ini bagi polisi yang sedang
bertugas?" "Sori, tak ada komentar, Willy."
Ia terus menyodorkan mikrofonnya ke wajahku.
Menjengkelkan sekali. Aku ingin menepisnya, tapi aku
menahan diri. "Letnan Smith, kami sedang mempersiapkan
cerita mengenai Anda, dan kami punya beberapa
pertanyaan mengenai kasus Martinez. Anda ingat kasus itu"
Beberapa tahun lalu."
Aku terus melangkah. "Saya sedang sibuk, Willy," kataku.
"Kasus Martinez menimbulkan tuduhan penganiayaan
anak di bawah umur, yang diajukan oleh Sylvia Morelia, ibu
dari Maria Martinez. Departemen Kepolisian sempat
mengadakan pemeriksaan pendahuluan. Saya ingin tahu,
apakah Anda dapat memberikan komentar?"
"Tidak ada komentar."
"Saya sudah bicara dengan rekan Anda saat Itu, Fed
Anderson. Barangkali Anda dapat memberikan komentar
mengenai ini?" "Sori. Tidak bisa."
"Kalau begitu, Anda tidak akan menanggapi tuduhan-tuduhan serius yang dilontarkan terhadap Anda?"
"Setahu saya, satu-satunya orang yang melonfarkan
tuduhan adalah Anda."
"Sebenarnya itu kurang tepat," katanya, sambil
tersenyum padaku. "Saya dengar pihak kejaksaan sudah
mulai mengadakan penyelidikan."
Aku diam saja. Dalam hati aku bertanya-tanya apakah itu
benar. "Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda
tidak sependapat bahwa pengadilan telah membuat
kekeliruan dengan memberikan hak asuh atas putri Anda
kepada Anda?" Aku hanya berkata, "Sori. Tidak ada komentar, Willy."
Aku berusaha agar jawabanku bernada yakin. Aku mulal
berkeringat. Connor berkata, "Ayo, ayo. Tidak ada waktu."
Aku masuk ke mobil. Connor berkata kepada Wilhelm,
"Maaf, Bung, tapi kami sedang terburu-buru." Ia menutup
pintu. Aku menghidupkan mesin. "Mari kita berangkat,"
ujar Connor. Willy mengintip darl jendela. "Apakah Anda berpendapat
bahwa penugasan Kapten Connor yang dikenal anti-Jepang
merupakan contoh kecerobohan Departemen Kepolisian
dalam menangani kasus-kasus yang berbau rasial?"
"Sampai jumpa, Willy." Aku menutup jendela, dan mulai
menuruni bukit. "Saya takkan keberatan kalau kita melaju sedikit lebih
kencang," ujar Connor.
"Oke," kataku. Aku menginjak pedal gas.
Di kaca spion, aku melihat si Musang bergegas ke
Mercedes-nya. Aku membelok tanpa mengurangi kecepatan. Ban mobilku berdecit-decit. "Bagaimana
bajingan itu bisa menemukan kita" Dengan memantau
gelombang polisi?" "Sejak awal, kita tidak menggunakan radio," kata
Connor. "Anda tahu, saya selalu berhati-hati.
"Tapi barangkali mobil patroli tadi melaporkan sesuatu
ketika kita tiba. Mungkin ada alat penyadap di mobil ini.
Mungkin juga dia sudah menduga bahwa kita akan muncul.
Dan jangan lupa, bajingan itu menjalin hubungan dengan
orang Jepang. Ia kaki tangan mereka di Times. Biasanya
orang Jepang lebih cermat memilih orang. Tapi saya kira
dia mau melaksanakan semua permintaan mereka.
Mobilnya cukup bagus, bukan?"
"Tapi bukan mobil Jepang."
"Itu terlalu mencolok," ujar Connor. "Dia masih
mengikuti kita?" "Tidak. Kelihatannya kita berhasil mengecohnya. Ke
mana kita sekarang?"
"Ke U.S.C. Seharusnya Sanders sudah selesai sekarang."
Kami menyusuri jalanan, menuruni bukit, menuju
freeway 101. "O, ya," kataku, "kenapa Anda menanyakan
kacamata baca tadi?"
"Hanya soal kecil yang perlu ditegaskan. Mereka tidak
menemukan kacamata baca di rumah Sakamura?"
"Tidak. Hanya kacamata hitam."
"Sudah saya duga," ujar Connor.
"Dan Graham bilang dia akan ke luar kota. Hari ini. Dia
mau pergi ke Phoenix."
"Hmm." Ia menatapku. "Anda tidak berminat ke luar kota
juga?" "Tidak," jawabku.
"Oke." Aku sampai di kaki bukit dan memasuki arah selatan.
Dulu, perjalanan ke U.S.C. hanya makan waktu sepuluh
menit. Kini hampir setengah jam. Terutama sekarang,
menjelang jam makan siang. Tapi aku sudah terbiasa. Lalu
lintas selalu padat, dan kota selalu diselubungi kabut asap.
"Menurut Anda, saya membuat kesalahan?" tanyaku.
"Anda pikir lebih baik kalau saya bawa anak saya dan ikut
kabur?" "Itu salah satu alternatif," Ia menghela napas. "Orang
Jepang sangat ahli dalam bertindak secara tidak langsung.
Itu sudah menjadi naluri mereka. Di Jepang, jika seseorang
tidak senang kepada Anda, dia takkan mengatakannya
secara terus terang. Mereka memberitahu teman Anda,
rekan Anda, bos Anda. Dan cepat atau lambat beritanya
akan sampai di telinga Anda. Orang Jepang tergantung pada
komunikasi tidak langsung. Itulah sebabnya mereka
demikian getol bersosialisasi, bermain golf, minum-minum
di bar karaoke. Mereka memerlukan jalur-jalur komunikasl


Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

khusus itu, karena mereka tidak bisa berterus terang. Kalau
dipikir, cara mereka sangat tidak efisien. Boros waktu,
tenaga, dan uang. Tapi karena mereka tidak bisa
berkonfrontasi langsung-mereka bisa berkeringat dingin
kalau harus berhadapan langsung - mereka tidak punya
pilihan lain. Jepang adalah negeri jalan memutar. Mereka
tak pernah lewat di tengah-tengah."
"Yeah, tapi..."
"Jadi, tingkah laku yang berkesan licik dan pengecut bagi
orang Amerika merupakan prosedur standar di Jepang.
Tidak ada tujuan khusus. Mereka sekadar ingin
memberitahu Anda bahwa orang-orang dengan kekuasaan
besar merasa tidak senang."
"Sekadar memberitahu saya" Bahwa saya mungkin
harus maju ke pengadilan untuk memperjuangkan putri
saya" Bahwa hubungan saya dengan anak saya mungkin
putus untuk selama-lamanya" Bahwa nama baik saya
mungkin hancur?" "Ehm, ya. Itulah sanksi yang umum. Ancaman
dipermalukan merupakan cara yang biasa dipakai untuk
menyampaikan pesan mereka."
"Rasanya saya mulai mengerti," kataku.
"Tidak ada dendam pribadi," ujar Connor. "Memang
beginilah cara mereka."
"Yeah. Dengan menyebarkan fitnah."
"Secara tidak langsung."
"Tidak, bukan secara tidak langsung. Mereka memfitnah
saya." Connor mendesah. "Saya memerlukan waktu banyak
untuk memahami bahwa perilaku orang Jepang didasarkan
atas tata nilai desa petani. Kita sering mendengar cerita
mengenai samurai dan feodalisme, tapi pada dasarnya,
orang Jepang bangsa petani. Dan jika kita hidup di desa
petani dan membuat petani-petani yang lain tidak senang,
kita akan dibuang. Dan itu berarti kita akan mati, sebab tak
ada desa lain yang mau menerima pembuat onar. Nah.
Kalau kita menyinggung perasaan kelompok, kita akan
mati. Demikianlah pandangan mereka."
"Artinya, orang Jepang sangat mengutamakan kelompok.
Mereka terbiasa tunduk pada keinginan kelompok. Tidak
ada yang menonjolkan diri, tidak ada yang mengambil
risiko, tidak ada yang bersikap terlalu individualistis. Dan
juga tidak ada yang berkeras pada kebenaran. Orang Jepang
tidak meyakini konsep kebenaran. Mereka menganggapnya
dingin dan abstrak. Seperti ibu dari laki-laki yang dituduh
melakukan kejahatan. Dia tak peduli pada kebenaran. Dia
lebih peduli pada anaknya. Sama halnya dengan orang
Jepang. Bagi orang Jepang, hal terpenting adalah hubungan
antara manusia. Itulah kebenaran sejati. Kebenaran faktual
tidak relevan bagi mereka."
"Yeah, boleh-boleh saja," kataku. "Tapi kenapa mereka
masih terus mendesak-desak sekarang" Apa pengaruhnya"
Pembunuhan itu sudah diusut sampai tuntas, bukan?"
"Belum," ujar Connor.
"Belum?" "Belum. Karena itulah kita diserang dari segala arah.
Rupanya ada seseorang yang ingin agar kasus ini segera
ditutup. Mereka ingin kita lepas tangan."
"Saya dan Graham sudah diserang oleh mereka, kenapa
Anda tidak?" "Saya pun mengalami hal yang sama dengan Anda," kata
Connor. "Dalam bentuk apa?"
"Mereka membuat saya bertanggung jawab atas kejadian
yang menimpa Anda." Bagaimana caranya" Saya tidak melihat gelagat ke arah
itu." "Saya tahu. Tapi percayalah, mereka juga mengincar
saya." Aku menatap barisan mobil yang merayap maju,
menyusup ke kabut yang menyelubungi pusat kota. Kami
melewati billboard elektronik untuk Hitachi (#1 COMPUTERS IN AMERICA!), untuk Canon (AMERICA'S
COPY LEADER), dan Honda (NUMBER ONE RATED CAR IN
AMERICA!). Seperti pada umumnya iklan-iklan Jepang yang
baru, semua billboard itu cukup terang terbaca pada siang
hari. Harga sewanya 30.000 dolar per hari; di luar
jangkauan sebagian besar perusahaan Amerika.
Connor berkata, "Intinya, orang Jepang sadar bahwa
mereka sanggup membuat suasana tidak menyenangkan.
Dengan menyerang Anda, mereka memberitahu saya,
'Tangani urusan ini.' Sebab mereka pikir saya bisa
mengakhirinya." "Anda mampu?" "Tentu. Anda mau mengakhirinya" Setelah itu, kita bisa
minum bir dan menikmati kebenaran ala Jepang. Atau Anda
ingin mengusut sampai tuntas kenapa Cheryl Austin
dibunuh?" "Saya ingin mengusutnya sampai tuntas."
"Saya juga," kata Connor. "Mari, Kohai. Saya rasa Sanders punya informasi
menarik untuk kita. Kaset-kaset itu
merupakan kunci sekarang."
Bab 39 PHILLIP SANDERS berjalan mondar-mandir. "Lab saya
ditutup," katanya. Ia mengayunkan tangan untuk
melampiaskan frustrasinya. "Dan tidak ada yang bisa saya
lakukan." Connor berkata, "Kapan kejadiannya?"
"Sejam yang lalu. Petugas pengelola kampus datang dan
memberitahu semua orang di lab untuk segera angkat kaki.
Begitu saja. Sekarang ada gembok besar di pintu."
Malam Mencekam 1 Bentrok Rimba Persilatan Karya Khu Lung Seruling Perak Sepasang Walet 12
^