Matahari Terbit 4
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Bagian 4
"Begini," katanya, "Off the record, oke?"
"Oke." "Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, Pete. Banyak
yang tidak kupahami."
"Kenapa kau tidak memberitahuku siapa wanita muda
itu, semalam?" "Sori. Semalam aku lagi banyak urusan."
"Ellen." Hening. Kemudian, "Pete, pergaulannya sangat luas. Dia
kenal banyak orang."
"Apakah dia kenal Pak Wali Kota"'"
Hening. "Seberapa akrab dia dengan Pak Wali Kota?"
"Begini saja," ujar Ellen, "dia cantik dan kenal. banyak
orang di kota ini. Menurutku, dia kurang seimbang. Tapi dia
cantik dan pengaruhnya terhadap kaum pria luar biasa. Kau
harus lihat sendiri supaya bisa percaya. Nah, sekarang
banyak orang mendadak sibuk. Kau sudah baca Times hari
ini." "Belum." "Coba baca dulu. Kalau aku boleh beri saran, selama
beberapa hari berikut ini, sikapmu harus baik-baik. Segala
tindak-tandukmu harus sesuai peraturan. Dan berhati-hatilah." "Oke. Thanks, Ellen."
"Jangan berterima kasih padaku. Aku tak pernah
meneleponmu." Kemudian nada suaranya menjadi lebih
lembut. "Jaga dirimu, Peter."
Aku mendengar nada kosong.
"Daddy?" "Sebentar, Shel."
"Aku boleh nonton film kartun?"
"Boleh, Sayang."
Aku mencari film kartun di TV, lalu masuk ke ruang
duduk. Aku membuka pintu depan dan memungut koran
Times dari keset. Baru setelah beberapa waktu aku
berhasil. menemukan artikel yang kucari, di halaman
terakhir bagian Metro. TUDUHAN RASIALISME POLISI MEMBAYANGI PESTA
JEPANG Paragraf pertama kubaca sepintas lalu. Pejabat-pejabat
Jepang dari perusahaan Nakamoto mengeluh mengenai
sikap polisi yang "tanpa perasaan dan tidak peka", yang
menurut mereka mencoreng malam peresmian gedung
pencakar langit mereka yang baru di Figueroa. Paling tidak
satu pejabat Nakamoto mengemukakan pandangan bahwa
tindakan polisi berlatar belakang rasial. Seorang juru bicara
berkata, "Kami tidak yakin L.A.P.D. akan bersikap dengan
cara ini seandainya bukan perusahaan Jepang yang terlibat.
Kami berpendapat bahwa tindakan polisi mencerminkan
standar ganda dalam perlakuan petugas-petugas Amerika
terhadap orang Jepang." Mr. Hiroshi Ogura, ketua dewan
direksi Nakamoto, hadir dalam pesta itu, yang antara lain
dihadiri oleh orang-orang terkenal seperti Madonna dan
Tom Cruise, tetapi tidak dapat dihubungi untuk dimintai
komentar atas kejadian tersebut. Seorang juru bicara
berkata, "Mr. Ogura sangat menyayangkan bahwa sikap
pihak berwenang sempat mencoreng pertemuan ini. Ia
menyesalkan segala kekisruhan yang telah terjadi."
Menurut sementara pengamat, Wali Kota Thomas
mengutus salah satu anggota stafnya untuk berunding
dengan polisi, namun hasiInya tidak menggembirakan.
Pihak polisi tidak mengubah sikap, meski telah didampingi
petugas penghubung khusus Jepang, Letnan Peter Smith,
yang bertugas meredam situasi-situasi yang peka dari segi
rasial... Dan sebagainya. Kita harus membaca empat paragraf sebelum mengetahui bahwa telah terjadi pembunuhan. Sepertinya
detail ini nyaris dianggap tidak relevan.
Perhatianku kembali ke judul artikel. Artikelnya berasal
dari City News Service, sehingga, nama wartawan yang
menulisnya tidak dicantumkan.
Aku begitu marah, sehingga aku menelepon kenalan
lamaku di Times, Kenny Shubik. Ken adalah wartawan
Metro yang paling senior. Sudah lama sekali ia bergabung
dengan koran itu, dan ia mengetahui segala sesuatu yang
sedang terjadi. Karena masih pukul delapan pagi, aku
meneleponnya di rumah. "Ken. Pete Smith."
"Oh, hai," katanya. "Syukurlah kau terima pesanku."
Di latar belakang, aku mendengar seseorang yang
rupanya seorang remaja putri, "Oh, ayolah, Dad. Kenapa
aku tidak boleh pergi?"
Ken berkata, "Jennifer, jangan ganggu aku dulu."
"Pesan yang mana?" tanyaku.
Ken berkata, "Semalam aku meneleponmu, sebab kupikir
kau tentu ingin tahu dengan segera. Dia pasti diberitahu
oleh seseorang. Kau bisa kira-kira apa yang ada di
baliknya?" "Di balik apa?" ujarku. Aku sama sekali tidak memahami
maksudnya. "Sori, Ken, pesanmu belum kuterima."
"Benar?" katanya. "Aku menelepon sekitar jam setengah
dua belas semalam. Operator DHD bilang kau sedang
menangani kasus, tapi kau punya telepon mobil. Kubilang
urusannya penting, dan minta agar kau meneleponku di
rumah kalau perlu. Sebab aku yakin kau memang ingin
tahu." Di latar belakang, gadis tadi berkata, "Dad, ayo, dong.
Aku masih harus pilih baju."
"Jennifer, diam dulu," Ken menghardik. Dan padaku ia
berkata, "Kau juga punya anak perempuan, bukan?"
"Yeah," kataku. "Tapi dia baru dua tahun."
"Tunggu saja," ujar Ken. "Begini, Pete. Kau benar-benar
tidak terima pesanku?"
"Tidak," jawabku. "Aku menelepon karena urusan lain.
Artikel di koran pagi ini."
"Artikel yang mana?"
"Liputan mengenai Nakamoto di halaman delapan.
Artikel mengenai 'polisi yang tanpa perasaan dan tidak
peka' pada malam peresmian gedung."
"Jeez, aku tidak tahu berita itu sudah dimuat. Aku tahu
Jodie meliput pesta mereka, tapi seharusnya baru besok
dimuat. Kau tahu sendirl, pesta-pesta Jepang selalu menarik
kaum jetset. Kemarin jadwal Metro di meja Jeff masih
kosong." Jeff adalah editor bagian Metro. Aku berkata, "Hari ini
ada artikel mengenai pembunuhan itu."
"Pembunuhan yang mana?" tanya Ken. Suaranya
bernada aneh. "Semalam terjadi pembunuhan di gedung. Nakamoto.
Sekitar jam setengah sembilan. Salah satu tamu tewas."
Ken terdiam. Merangkai-rangkai informasi. Akhirnya ia
bertanya, "Kau terlibat?"
"Seksi pembunuhan minta bantuanku sebagai petugas
penghubung Jepang." "Hmm," Ken bergumam. "Begini saja. Tunggu sampai aku
tiba di kantor untuk mencari informasi tambahan. Dalam
satu jam, kita bicara lagi. Dan tolong sebutkan
nomor-nomor telepon di mana kau bisa dihubungi, supaya
aku bisa langsung bicara denganmu."
"Oke." Ia berdehem. "Eh, Pete," katanya. "Ini antara kita saja.
Kau lagi ada masalah?"
"Seperti apa, misalnya?"
"Misalnya, masalah moral, masalah dengan rekening
bankmu. Penyimpangan mengenai penghasilan yang
dilaporkan... apa saja yang perlu kuketahui. Sebagai
temanmu." "Tidak," kataku.
"Aku tidak butuh detail-detailnya. Tapi kalau ada
sesuatu yang tidak beres ..."
"Tidak ada apa-apa, Ken."
"Soalnya begini, aku mau membantumu, tapi aku tidak
berminat beli kucing dalam karung."
"Ken. Ada apa sebenarnya?"
"Aku tidak bisa cerita banyak sekarang. Tapi sepintas
lalu kelihatannya ada yang mau menikammu dari
belakang," kata Ken. "Telepon aku satu jam lagi, oke?"
"Kau memang teman yang baik. Aku berutang budi
padamu." "Dan jangan lupa itu," Ken berkata. Ia meletakkan
gagang. Aku memandang berkeliling di apartemenku. Segala
sesuatu tetap seperti semula. Cahaya matahari pagi masuk
melalui jendela. Michelle duduk di kursi favoritnya,
menonton film kartun sambil mengisap jempol. Tapi entah
kenapa semuanya terasa lain. Aneh. Sepertinya seluruh
dunia mendadak miring. Tetapi masih banyak hal yang harus kukerjakan.
Hari semakin siang. Aku harus berpakaian sebelum
Elaine datang untuk membawa Michelle ke tempat
penitipan anak. Aku mengatakannya pada Michelle. Ia
mulai menangis. TV kumatikan dan Michelle berbaring di
lantai sambil menendang-nendang dan menjerit-jerit.
"Jangan, Daddy! Kartun, Daddy! "
Aku mengangkatnya dan menggendongnya ke kamar
tidur untuk mengganti pakaiannya. Ia berteriak-teriak
sekuat tenaga. Pesawat telepon kembali berdering. Kali ini
dari operator divisi. "Pagi, Letnan. Ada beberapa pesan untuk Anda."
"Sebentar, saya ambil pensil dulu," kataku. Aku
menurunkan Michelle. Tangisnya semakin keras. Aku
berkata, "Sekarang kamu pilih sepatu mana yang akan
kaupakai ke sekolah, ya?" "
"Kedengarannya seperti ada pembunuhan di tempat
Anda," si operator telepon berkomentar.
"Dia tidak mau bersiap-siap untuk pergi ke sekolah."
Michelle menarik-narik kakiku. "Tidak mau, Daddy. Aku
tidak mau sekolah, Daddy."
"Kau harus sekolah," aku berkata dengan tegas.
Michelle kembali menangis. "Silakan," aku berkata
kepada si operator. "Oke, pukul 23.41 semalam, ada telepon dari seseorang
bernama Ken Subotik atau Subotnik, dari LA Times. Dia
minta ditelepon lagi. Pesannya, 'Si Musang sedang
mengintai Anda.' Dia bilang, Anda tahu artinya. Anda bisa
menghubunginya di rumah. Anda punya nomornya?"
"Ya." "Oke. Pukul 01.42 dini hari, telepon dari Mr. Eddie Saka
kelihatannya seperti Sakamura. Dia bilang penting, harap
telepon ke rumahnya, 5558434. Mengenai kaset yang
hilang. Oke?" Sialan. Aku berkata, "Jam berapa dia menelepon?"
"Pukul 01.42 dini hari. Teleponnya disambungkan ke
County General, dan sepertinya operator di sana tak dapat
menemukan Anda. Anda berada di kamar mayat?"
"Yeah." "Sori, Letnan, tapi begitu Anda keluar mobil, kami
terpaksa melalui pihak ketiga."
"Oke. Ada lagi?"
"Kemudian pukul 06.43 tadi. Kapten Connor meninggalkan nomor pager yang dapat Anda hubungi. Dia
bilang dia mau main golf pagi ini."
"Oke." "Dan pukul 07.10, ada telepon dari Robert Woodson
yang bekerja di kantor Senator Morton. Senator Morton
ingin bertemu dengan Anda dan Kapten Connor pukul satu
siang nanti di Los Angeles Country Club. Dia minta agar
Anda meneleponnya untuk mengkonfirmasikan bahwa
Anda akan menemui Senator Morton. Saya sudah berusaha
menghubungi Anda, tetapi telepon Anda sedang dipakai.
Anda akan menelepon Senator Morton?"
Aku mengatakan bahwa aku akan meneleponnya.
Kemudian aku minta tolong pada operator itu untuk
menghubungi Connor di lapangan golf, dan berpesan agar
Connor meneleponku di mobil.
Aku mendengar kunci pintu diputar. Elaine melangkah
masuk. "Selamat pagi," katanya.
"Maaf, tapi Shelly belum berganti baju."
"Tidak apa-apa," ujar Elaine. "Jam berapa Mrs. Davis
akan menjemputnya?" "Kami masih menunggu kabar darinya."
Elaine sudah terbiasa menghadapi keadaan ini.
"Ayo, Michelle. Sekarang kita pilih bajumu untuk hari ini.
Sudah waktunya bersiap-siap berangkat sekolah."
Aku melirik jam tangan. Aku baru saja hendak mengisi
cangkirku dengan kopi ketika pesawat telepon berdering.
"Apakah saya bisa bicara dengan Letnan Peter Smith?"
Ternyata dari Wakil Komandan, Jim Olson.
"Hai, Jim." "Pagi, Pete." Nada suaranya ramah. Tapi Jim Olson tidak
pernah menelepon orang sebelum jam sepuluh pagi, kecuali
jika
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
situasinya memang genting. Olson berkata, "Kelihatannya kita menghadapi masalah besar. Kau sudah
baca koran pagi ini?"
"Yeah, sudah." "Dan kau sempat melihat siaran berita?"
"Sebagian." Pak Komandan meneleponku dan minta saran untuk
mengendalikan situasi ini. Aku butuh keteranganmu
sebelum memberikan rekomendasi. Oke?"
"Oke." "Aku baru saja bicara dengan Tom Graham lewat
telepon. Dia mengakui bahwa kejadian semalam memang
kacau-balau. Tak ada yang bisa dibanggakan."
"Sepertinya begitu."
"Dua cewek telanjang menghalang-halangi dua petugas
berbadan sehat dan menggagalkan penangkapan seorang
tersangka. Intinya begitu, bukan?"
Kedengarannya konyol sekali. Aku berkata, "Kau harus
ada di sana untuk memahami duduk perkaranya, Jim."
"He-eh," katanya. "Hmm, sejauh ini ada satu hal yang
menguntungkan bagi kita. Aku telah memeriksa apakah
prosedur pengejaran dijalankan secara benar. Rupanya
memang begitu. Kita punya rekaman dari komputer,
rekaman percakapan radio, dan semuanya sesuai
peraturan. Untung saja. Bahkan tak ada yang mengumpat.
Rekaman-rekaman ini bisa kita berikan kepada pihak
media, seandainya situasi bertambah parah. Jadi, dalam hal
ini posisi kita cukup aman. Tapi sayang sekali Sakamura
tewas." "Ya." "Graham sempat kembali untuk mencari kedua cewek
itu, tapi rumah Sakamura ternyata sudah kosong. Mereka
sudah lenyap." "Begitu." "Dan tentunya tidak ada yang sempat mencatat
nama-nama mereka?" "Tidak." "Berarti kita tidak punya saksi untuk kejadian di rumah
Sakamura. Ini agak berbahaya."
"He-eh." "Pagi ini mereka sedang mengeluarkan mayat Sakamura
dari mobil itu, untuk mengirim sisa-sisanya ke kamar
jenazah. Menurut Graham, kasus ini sudah selesai. Kalau
tidak salah, ada rekaman video yang memperlihatkan
bahwa Sakamura membunuh cewek itu, bukan" Graham
bilang, dia sudah siap membuat laporan lima-tujuh-sembilan. Menurutmu bagaimana" Kasus ini
sudah bisa ditutup?"
"Kelihatannya begitu."
'Kalau begitu, kita sudahi saja," ujar Olson. "Masyarakat
Jepang merasa jengkel dam tersinggung oleh penyelidikan
Nakamoto. Mereka ingin penyelidikan tersebut bisa
diakhiri secepat mungkin. Jadi, kalau kasus ini bisa
dianggap selesai, itu akan sangat membantu."
"Aku setuiu," kataku. "Kita akhiri saja di sini."
"Syukurlah kalau begitu, Pete," kata Olson.
"Aku akan bicara dengan Pak Komandan. Mogamoga kita
bisa mencegah tindakan disipliner."
"Thanks, Jim." "Usahakan agar kau jangan terialu khawatir.
Aku sendiri tidak melihat isu disipliner di sini. Asal saja
kita punya rekaman video yang memperlihatkan Sakamura
pelakunya." "Yeah." "Mengenai rekaman-rekaman ini," katanya, "aku sudah
minta agar Marty mengambil semuanya dari lemari barang
bukti. Tapi sepertinya dia tidak menemukannya."
Aku menarik napas panjang dan berkata, "Memang,
soalnya kubawa pulang."
"Kau tidak menyimpan kaset-kaset video itu di lemari
barang bukti semalam?"
"Tidak. Aku ingin membuat kopinya dulu."
Olson terbatuk-batuk. "Pete. Sebenarnya lebih baik kalau
kau mengikuti prosedur."
"Aku ingin membuat kopinya dulu," kataku sekali lagi.
"Begini saja," ujar Jim, "buat kopinya, lalu bawa semua
rekaman asli ke mejaku sebelum jam sepuluh. Oke?"
"Oke." "Kadang-kadang memang agak lama sebelum bahan
tertentu bisa ditemukan di lemari barang bukti."
Secara tak langsung ia mengatakan bahwa ia akan
melindungiku. "Thanks, Jim."
"Jangan berterima kasih padaku, sebab aku tidak
melakukan apa-apa," jawabnya. "Sepanjang penge-
tahuanku, semuanya sesuai prosedur standar."
"Betul." "Tapi kusarankan, selesaikan semuanya dengan segera.
Aku bisa mengulur-ulur waktu selama beberapa jam. Tapi
di sini sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tahu persis dari
mana asal-usulnya. Jadi jangan ambil risiko, oke?"
"Oke, Jim. Aku sudah mau berangkat."
Aku meletakkan gagang. Bab 24 PASADENA tampak seperti sebuah kota di dasar gelas
berisi susu asam. Laboratorium Tenaga Jet terletak di
perbukitan di kaki gunung di pinggir kota, tidak jauh dani
Rose Bowl. Tapi walaupun sudah pukul 08.30, pegunungan
tetap tak tampak, karena terhalang kabut berwarna putih
kekuning-kuningan. Aku menjepit kardus berisi kaset-kaset video di bawah
lengan, memperlihatkan lencanaku, mengisi daftar tamu di
gardu jaga, dan bersumpah bahwa aku warga negara
Amerika Serikat. Petugas jaga lalu menyuruhku ke gedung
utama, melintasi pekarangan dalam.
Selama beberapa dekade, Laboratorium Tenaga Jet
berfungsi sebagai pusat komando bagi wahana-wahana
ruang angkasa Amerika yang memotret planet Jupiter serta
cincin-cincin planet Saturnus, dan mengirim foto-fotonya
ke bumi dalam bentuk gambar video. LTJ merupakan
tempat peralatan video modern diciptakan. Jika ada yang
sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang kubawa, LTJ--
lah tempatnya. Mary Jane Kelleher, sekretaris pers LTJ, membawaku ke
lantai tiga. Kami menyusun sebuah selasar berwarna hijau,
melewati beberapa pintu yang menuju ruang-ruang kantor
yang kosong. Aku menyinggung hal itu.
"Memang benar," ia berkata sambil mengangguk.
"Belakangan ini kami kehilangan sejumlah tenaga ahli,
Peter." "Ke mana mereka pergi?" tanyaku.
"Sebagian besar ditampung oleh industri. Dari dulu
selalu ada beberapa orang yang pindah ke IBM di Armonk,
atau ke Bell Labs di New Jersey. Tapi lab-lab itu sudah tidak
lagi memiliki perlengkapan terbaik atau dana yang paling
besar. Posisi mereka digantikan oleh lab-lab penelitian
Jepang, misalnya Hitachi di Long Beach, Sanyo di Torrance,
Canon di Inglewood. Banyak peneliti Amerika bekerja
untuk mereka sekarang."
"LTJ tidak prihatin mengenai perkembangan ini?"
"Tentu saja kami prihatin," katanya. "Semua orang tahu
bahwa cara terbaik untuk mengalihkan teknologi adalah di
dalam kepala seseorang. Tapi kami tak dapat berbuat
apa-apa." Ia mengangkat bahu. "Para peneliti ingin
melakukan penelitian. Dan Amerika kini membatasi diri
dalam bidang riset dan pengembangan. Anggaran
diperketat. Jadi memang lebih baik bekerja untuk orang
Jepang. Mereka berani membayar, dan mereka benar-benar
menghargai penelitian. Kalau kita memerlukan per-
lengkapan tertentu, kita akan mendapatkannya. Paling
tidak, itulah yang dikatakan teman-temanku. Nah, kita
sudah sampai." Ia mengajakku ke sebuah laboratorium yang penuh
sesak dengan peralatan video. Kotak-kotak hitam
ditumpuk-tumpuk di rak-rak logam dan meja-meja logam;
kabel-kabel simpang siur di lantai; ada berbagai jenis
monitor dan layar peraga. Di tengah-tengah semuanya itu
berdiri pria berjanggut bernama Kevin Howzer. Usianya
sekitar 35 tahun. Pada monitor tampak mekanisme gigi,
dengan warna pelangi yang terus berubah-ubah. Mejanya
dipenuhi kaleng-kaleng Coke dan bekas bungkus permen.
Rupanya ia tidak tidur sepanjang malam, bekerja.
"Kevin, ini Letnan Smith dari L.A.P.D. Dia punya
beberapa kaset video yang perlu dikopi."
"Cuma dikopi?" tanya Howzer dengan nada kecewa.
"Kaset-kaset itu tidak perlu diotak-atik?"
"Tidak, Kevin," ujar Mary Jane. "Tidak perlu."
"Beres. " Aku menunjukkan salah satu kaset pada Howzer. Ia
memutar-mutarnya dan mengangkat bahu.
"Kelihatannya seperti kaset delapan mili standar. Apa
isinya?" "Rekaman video Jepang, definisi tinggi."
"Maksud Anda, sinyal HDT."
"Mungkin." "Mestinya tidak ada kesulitan. Anda punya alat putar
yang bisa saya pakai?"
"Ya." Aku mengeluarkan alat itu dari kotak dan
menyerahkannya. "Jeez, mereka memang hebat Alat ini benar-benar
bagus." Kevin mengamati tombol-tombol di bagian depan.
"Yeah, memang definisi tinggi. Jangan takut, kalau cuma
begini saja, saya masih sanggup." Ia membalikkan kotak itu
dan memperhatikan colokan-colokan di belakang. Tiba-tiba
ia mengerutkan kening. Ia memindahkan lampu meja dan
membuka tutup kaset, sehingga pitanya kelihatan.
Wamanya keperak-perakan. "Hmm. Apakah isi kaset-kaset
ini menyangkut masalah hukum?"
"Ya." Ia mengembalikan kasetnya padaku. "Sori, saya tidak
bisa membuat kopi." "Kenapa tidak?"
"Anda lihat warna perak ini" Itu pita logam yang sudah
menguap. Saya rasa formatnya mencakup kompresi dan
dekompresi real-time. Saya tidak bisa membuat kopi untuk
Anda, karena saya tidak bisa mencocokkan formatnya, yang
berarti saya tidak bisa merekam sinyal dengan cara yang
pasti terbaca. Saya bisa saja membuat kopi untuk Anda, tapi
saya tidak bisa menjamin bahwa hasilnya sempurna,
karena saya tidak bisa mencocokkan fonnatnya. Jadi, kalau
memang ada masalah hukum - dan saya kira ada - Anda
terpaksa membawa kaset-kaset ini ke tempat lain untuk
membuat kopi." "Ke mana, misalnya.?"
"Ini mungkin format D-empat yang baru. Kalau memang
itu, satu-satunya tempat untuk membuat kopi adalah
Hamaguchi." "Hamaguchi?" "Lab penelitian di Glendale, milik Kawakami Industries.
Setiap perlengkapan video yang ada di muka bumi ini ada
di sana." Aku berkata, "Menurut Anda, mereka akan membantu
saya?" "Sekadar membuat kopi" Tentu. Saya kenal salah satu
direktur lab, Jim Donaldson. Kalau perlu, saya bisa
meneleponnya untuk Anda."
"Itu akan sangat membantu."
"Beres." Bab 25 HAMAGUCHI RESEARCH INSTITUTE menempati sebuah
gedung kaca tanpa ciri khas di kawasan industri di sebelah
utara Glendale. Aku memasuki lobi sambil membawa
kotakku. Di balik meja penerima tamu yang bergaya
modern, aku melihat sebuah atrium di bagian tengah
gedung, dengan lab-lab berkaca gelap di semua sisinya.
Aku menanyakan Dr. Jim Donaldson, lalu duduk di lobi.
Sementara aku menunggu, dua pria berjas melangkah
masuk. Dengan gaya akrab mereka menganggukkan kepala
kepada petugas penerima tamu, lalu duduk di sofa di
dekatku. Tanpa memperhatikanku, mereka menggelar
brosur-brosur mengilap di meja.
"Nah, ini," ujar salah seorang dari mereka, "ini yang
kumaksud. Ini adegan terakhir. Adegan penutup."
Aku melirik ke arah mereka dan melihat pemandangan
bunga-bunga liar dan gunung-gunung berselubung salju.
Pria pertama tadi mengetuk-ngetuk foto-foto itu.
"Rocky Mountains. Americana sejati. Percayalah, inilah
daya tarik utamanya Dan lahannya benar-benar luas."
"Seberapa luas katamu tadi?"
"Seratus tiga puluh ribu ekar. Lahan paling luas yang
masih tersedia di Montana. Dua puluh kali sepuluh
kilometer tanah peternakan terbaik, menghadap ke
Rockies. Lahan seluas itu pantas disebut taman nasional.
Bayangkan kemegahannya. Dimensinya. Kualitas terbaik.
Cocok sekali untuk konsorsium Jepang."
"Dan mereka sudah menyinggung harga?"
"Belum. Tapi para peternak, kau tahu sendiri, situasi
mereka pelik. Orang asing kini boleh
mengekspor daging sapi ke Tokyo, dan harga daging sapi
di Jepang sekitar 20 sampai 22 dolar sekilo. Tapi tak
seorang pun di Jepang mau beli daging sapi asal Amerika.
Kalau orang Amerika mengirim daging, dagingnya akan
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membusuk di dermaga. Tapi kalau peternakan mereka
dijual kepada orang Jepang, dagingnya bisa diekspor. Sebab
orang Jepang mau beli dari peternakan milik orang Jepang.
Orang Jepang mau melakukan bisnis dengan sesama orang
Jepang. Di mana-mana di Montana dan Wyoming sudah
banyak peternakan yang dijual. Para. peternak yang masih
bertahan kini bisa melihat koboi-koboi Jepang berkuda di
padang rumput. Mereka melihat peternak-peternak lain
melakukan perbaikan, membangun gudang jerami,
menambahkan perlengkapan modern, dan sebagainya.
Sebab peternak-peternak lain itu memperoleh harga tinggi
di Jepang. Nah, para peternak Amerika, mereka tidak
bodoh. Mereka bisa membaca gelagat. Mereka sadar bahwa
mereka tak dapat bersaing. Jadi mereka pun menjual."
"Tapi setelah itu, apa yang dilakukan orang-orang
Amerika itu?" "Mereka tetap tinggal di tempat dan bekerja untuk orang
Jepang. Tak ada masalah. Orang Jepang membutuhkan
orang untuk mengajarkan cara beternak pada mereka. Dan
semua pekerja memperoleh kenaikan gaji. Orang Jepang
peka terhadap perasaan orang Amerika. Mereka bangsa
yang peka." "Aku tahu, tapi aku tetap tidak suka. Aku tidak suka
semuanya ini." "Boleh-boleh saja, Ted. Tapi apa yang akan kaulakukan"
Menulis surat protes kepada anggota Kongres" Mereka
semua bekerja untuk orang Jepang. Asal tahu saja, orang
Jepang menjalankan peternakan-peternakan itu dengan
subsidi dari pemerintah Amerika." Pria pertama memutar-mutar gelang emas di pergelangan tangannya. Ia
merapatkan badan ke rekannya. "Begini, Ted. Jangan sok
moralis. Kau dan aku, kita sama-sama butuh kontrak ini.
Ingat, kita bakal dapat lima persen dan pembayaran selama
lima tahun dari transaksi senilai 700 juta dolar. Jangan lupa
itu. Kau sendiri akan memperoleh 2,4 juta, dan itu baru
untuk tahun pertama. Masih ada empat tahun lagi."
"Memang. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal."
"Ted, aku yakin hati nuranimu takkan mengganggumu
lagi pada waktu kontrak ini ditandatangani. Tapi sekarang
masih ada beberapa detail yang perlu kita bahas..." Saat itu,
mereka rupanya baru sadar bahwa aku mendengarkan
percakapan mereka. Mereka langsung berdiri dan pindah
ke tempat yang agak jauh. Aku mendengar pria pertama
mengatakan sesuatu mengenai "jaminan bahwa Negara
Bagian Montana menyetujui dan mendukung..." Rekannya
mengangguk pelan-pelan. Pria pertama menonjok bahunya
berusaha menghiburnya. "Letnan Smith?"
Seorang wanita berdiri di samping tempat dudukku.
"Ya?" "Saya Kristen, asisten Dr. Donaldson. Kevin dari LTJ
sudah menelepon ke sini. Katanya Anda butuh bantuan
dengan beberapa kaset video?"
"Ya, saya ingin membuat kopi."
"Masalahnya, bukan saya yang menerima telepon dari
Kevin tadi. Dia bicara dengan salah satu sekretaris, dan
orang itu tidak memahami situasinya. "
"Maksud Anda?" "Dr. Donaldson sedang keluar. Dia memberikan ceramah
pagi ini." "Oh, begitu." "Dan ini agak menyulitkan bagi kami. Tanpa dia di lab..."
"Saya hanya ingin membuat kopi dari kaset-kaset ini.
Barangkali ada orang lain yang bisa membantu saya?"
ujarku. "Biasanya bisa, tapi sayang sekali hari ini tidak."
Aku menghadapi tembok Jepang. Sangat sopan, namun
tetap sebuah tembok. Aku menghela napas. Memang sudah
dapat diduga bahwa perusahaan riset Jepang takkan mau
membantuku. Biarpun sekadar membuat kopi dari
kaset-kaset video. "Saya mengerti."
"Pagi ini belum ada orang di lab. Semalam semuanya
bekerja lembur karena ada proyek yang harus segera
selesai, dan sepertinya mereka baru pulang menjelang dini
hari. Jadi sekarang semuanya masuk agak siang. Inilah yang
tidak diketahui oleh sekretaris tadi. Sayang sekali kami
tidak dapat membantu Anda."
Aku mencoba sekali lagi. "Anda tahu, bukan, saya bekerja
untuk Kepala Departemen Polisi. Ini tempat kedua yang
saya datangi. Saya sudah didesak-desak dari atas agar
kaset-kaset ini segera dikopi."
"Saya ingin sekali membantu Anda. Dan saya tahu Dr.
Donaldson juga begitu. Kami sudah pernah mengedakan
tugas khusus untuk kepolisian. Dan saya yakin, kami
sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang Anda bawa.
Mungkin nanti siang. Atau jika Anda bisa meninggalkan
kaset-kaset itu..." "Maaf, rasanya tak mungkin."
"Oke. Saya mengerti. Baiklah, saya sangat menyesal,
Letnan. Barangkali Anda bisa kembali nanti siang?"
Aku berkata, "Kelihatannya saya tidak ada waktu lagi.
Mungkin saya memang kurang beruntung, karena semua
orang terpaksa bekerja lembur semalam."
"Ya. Ini memang tidak biasa."
"Ada apa sebenarnya" Masalah mendadak" Masalah
riset?" "Saya kurang tahu. Peralatan video di sini begitu
lengkap, sehingga kami kadang-kadang menerima permintaan mendadak untuk mengerjakan tugas khusus.
Iklan TV yang memerlukan efek khusus, misalnya. Video
Michael Jackson yang baru untuk Sony. Atau jika seseorang
ingin memperbaiki rekaman yang sudah rusak. Tapi saya
kurang tahu apa yang mereka kerjakan semalam. Kecuali
bahwa banyak sekali yang harus dikerjakan. Ada sekitar
dua puluh kaset yang perlu ditangani. Dan semuanya harus
selesai cepat. Saya dengar mereka baru selesai setelah
tengah malam." Dalam hati aku berkata, "Jangan-jangan..."
Aku berusaha mereka-reka tindakan Connor dalam
situasi seperti ini, bagaimana ia akan menanganinya.
Akhirnya aku memutuskan bahwa tak ada salahnya
mencoba-coba. Aku berkata, "Hmm, saya yakin pihak
Nakamoto berterima kasih sekali atas segala jerih payah
Anda." "Oh, memang. Sebab hasilnya sangat memuaskan bagi
mereka. Mereka senang sekali."
Aku berkata, "Tadi Anda menyinggung bahwa Mr.
Donaldson sedang memberi ceramah..."
"Dr. Donaldson, ya..."
"Di mana dia memberikan ceramahnya?"
"Di sebuah seminar corporate-training di Bonaventure
Hotel. Teknik manajemen dalam riiset. Dia tentu letih sekali
pagi ini. Tapi dia memang penceramah yang hebat."
"Thanks." Kuserahkan kartu namaku. "Anda sangat
membantu, dan bila Anda tiba-tiba teringat sesuatu, atau
jika Anda ingin memberitahukan sesuatu, silakan telepon
saya." "Oke." Ia membaca kartu namaku. "Terima kasih."
Aku berbalik. Ketika aku hendak pergi, seorang pria
Amerika berusia menjelang tiga puluh, dengan jas Armani
dan penampilan rapi seorang MBA yang gemar membaca
majalah mode, turun dan berkata kepada kedua pria tadi,
"Gentlemen" Mr. Nakagawa sudah siap menerima Anda
sekarang." Kedua pria itu langsung berdiri, mengumpulkan
brosur-brosur dan foto-foto mereka, lalu mengikuti asisten
yang sedang menuju lift dengan langkah tenang dan
terukur. Aku melangkah keluar, ke udara yang penuh kabut dan
asap. Bab 26 PAPAN pengumuman di koridor itu bertulisan: BEKERJA
SAMA: MANAJEMEN GAYA JEPANG DAN AMERIKA. Di
dalam ruang konferensi, aku melihat sebuah seminar bisnis
yang diselenggarakan dalam suasana remang-remang. Pria
dan wanita duduk di meja-meja panjang yang ditutupi
taplak berwarna abu-abu, sibuk membuat catatan;
sementara sang Penceramah berkhotbah di podium.
Ketika aku berdiri di sana, di hadapan sebuah meja
dengan papan nama orang-orang yang datang terlambat,
seorang wanita berkacamata menghampiriku dan berkata,
"Anda sudah mendaftar" Bahan-bahan seminar sudah
diberikan kepada Anda?"
Aku setengah berbalik dan menunjukkan lencanaku. Aku
berkata, Saya ingin bicara dengan Dr. Donaldson."
"Dia pembicara berikut. Dalam tujuh atau delapan menit
dia sudah harus tampil d i depan. Barangkali ada orang lain
yang dapat membantu Anda?"
"Saya hanya perlu bicara sebentar."
Wanita itu tampak ragu-ragu. "Tapi waktunya tinggal
sedikit sebelum dia harus maju..."
"Kalau begitu, sebaiknya Anda segera bertindak."
Ia menatapku, seakan-akan aku baru saia menamparnya.
Aku tidak tahu apa yang diharapkannya. Aku petugas polisi
dan perlu menemui seseorang. Apakah ia mengira
permintaanku bisa ditawar-tawar" Aku merasa jengkel, lalu
teringat pada anak muda dengan jas Armani tadi. Berjalan
dengan langkah terukur, seperti orang penting, ketika
mengantar kedua salesmen real estate. Kenapa ia
menganggap dirinya penting" Barangkali ia memang
memegang gelar MBA, tapi ia tetap hanya petugas
penerima tamu bagi bosnya yang berasal dari Jepang.
Kini aku memperhatikan wanita itu berjalan mengelilingi ruang konferensi, menuju mimbar tempat
empat pria sedang menanti giliran bicara. Para peserta
seminar masih sibuk membuat catatan ketika pembicara
berambut kuning pasir di podium berkata, "Sebenarnya ada
tempat bagi orang asing dalam perusahaan Jepang. Bukan
di posisi puncak, tentu saja, mungkin juga bukan di
eselon-eselon atas. Tapi yang jelas, ada tempat. Anda perlu
menyadan bahwa sebagai orang asing, Anda menempati
posisi penting di dalam perusahaan Jepang, bahwa Anda
dihormati, dan bahwa ada tugas yang harus Anda kerjakan.
Sebagai orang asing, tentu ada rintangan khusus yang perlu
Anda atasi, tetapi Anda dapat melakukannya. Anda bisa
berhasil jika Anda berpegang pada konsep tahu diri."
Aku mengamati para peserta seminar yang duduk
dengan kepala merunduk, sibuk membuat catatan. Apa
yang sedang mereka tulis" Konsep tahu diri"
Pembicara itu melanjutkan, "Sering kali Anda mendengar para eksekutif berkata, 'Di perusahaan Jepang
tidak ada tempat bagi saya, dan saya terpaksa berhenti.'
Ada juga yang mengeluh, 'Mereka tidak mau mendengarkan
saya, tidak ada kesempatan untuk mewujudkan gagasan-gagasan saya, tidak ada peluang untuk maju.'
Orang-orang itu tidak memahami peranan orang asing
dalam masyarakat Jepang. Mereka tidak mampu menye-
suaikan diri, sehingga terpaksa mundur. Tapi itu masalah
mereka. Orang Jepang bersedia menerima orang Amerika
atau orang asing lainnya di dalam perusahaan-perusahaan
mereka. Anda pun akan diterima, asal Anda tahu diri."
Seorang wanita mengacungkan tangan dan berkata,
"Bagaimana dengan prasangka terhadap wanita di
perusahaan-perusahaan Jepang?"
"Tidak ada prasangka terhadap wanita," ujar si
Penceramah. "Saya mendengar bahwa wanita tidak bisa maju."
"Itu tidak benar."
"Lalu kenapa ada begitu banyak perkara hukum"
Sumitomo Corporation baru saja berdamai menghadapi
tuntutan antidiskriminasi. Saya pernah
missing Begitulah ia menjalankan tugasnya. Segala sesuatu siap
di hadapannya, dan ia bisa membuat catatan di
komputernya sambil berbicara. Ketika aku masih bertugas
di bagian pers, kantorku berada di markas polisi di Parker
Center, dua blok dari gedung Times. Namun seorang
wartawan seperti Ken tetap saja lebih suka bicara lewat
telepon daripada berhadapan langsung denganku.
"Kau saja yang mampir, Pete."
Itu sudah cukup jelas. Ken tidak ingin bicara lewat telepon.
"Oke, baiklah," kataku. "Sepuluh menit lagi aku sudah
sampai di sana." Bab 27
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
LOS ANGELES TIMES merupakan koran dengan laba
terbesar di Amerika. Ruang wartawannya menghabiskan
satu lantai di gedung Times, jadi luasnya satu blok.
Ruangan itu dibagi-bagi secara cermat, sehingga kita tidak
sadar akan dimensinya dan bahwa ada ratusan orang yang
bekerja di sana. Tapi rasanya kita bisa berjalan berhari-hari
melewati wartawan-wartawan yang duduk di meja
masing-masing, berhadapan dengan monitor komputer,
pesawat telepon, dan foto anak-anak yang mereka
tempelkan. Tempat kerja Ken berada di bagian Metro, di sisi timur
gedung. Ketika aku sampai, ia sedang berdiri di dekat
mejanya. Berjalan mondar-mandir. Menunggu. Ia langsung-
menarik sikutku. "Kopi," katanya. "Kita minum kopi dulu."
"Ada apa ini?" ujarku. "Kau keberatan kalau ada yang
melihatmu bersamaku?"
"Bukan itu. Aku mau menghindari si Musang. Dia lagi
mengganggu cewek baru di bagian Luar Negeri. Cewek itu
belum tahu siapa dia." Ken mengangguk ke ujung ruang
wartawan. Di sana, di dekat jendela, aku melihat sosok
Willy Wilhelm, yang dikenal semua orang sebagai Willy
Musang. Ia sedang bercanda dengan seorang wanita muda
yang duduk menghadapi komputer.
"Cantik juga." ,
"Yeah. Tapi agak keberatan pantat. Orang Belanda," ujar
Ken. "Baru seminggu di sini. Dia belum tahu reputasi si
Musang." Hampir semua organisasi mempunyai orang seperti si
Musang, seseorang yang dikuasai ambisi pribadi, seseorang
yang pintar mengambil hati orang-orang yang berkuasa,
sementara ia sendiri dibenci oleh semua orang lain. Itulah
Willy Musang. Seperti sebagian besar orang yang tidak
jujur, si Musang selalu berprasangka buruk terhadap orang
lain. Setiap kejadian selalu diceritakannya dari sudut yang
paling tidak menguntungkan, dengan berkeras bahwa ia
sekadar mengungkapkan fakta. Ia mempunyai penciuman
tajam untuk kelemahan manusia, dan cenderung bersikap
melodramatis. Ia tak peduli pada kebenaran, dan
pemberitaan yang seimbang dianggapnya sebagai tanda
kelemahan. Menurut si Musang, kebenaran hakiki selalu
salah. Inilah pedomannya dalam menjalankan profesi. Para
wartawan Times yang lain membencinya. Ken dan aku pergi
ke koridor utama. Aku mengikutinya ke arah otomat kopi,
tetapi ia mengajakku memasuki perpustakaan. Di
tengah-tengah lantai itu, harian Times memiliki perpustakaan yang lebih luas dan lebih lengkap
dibandingkan dengan perpustakaan di banyak perguruan
tinggi. "Jadi, ada apa dengan Wilhelm?" kataku.
"Dia ada di sini semalam," ujar Ken. "Aku mampir di sini
setelah nonton teater, untuk mengambil bebempa catatan
yang kuperlukan untuk wawancara jarak jauh yang
kulakukan dari rumah. Dan kulihat si Musang di
perpustakaan. Kira-kira jam sebelas malam. Kau tahu
sendiri betapa ambisius bajingan itu. Aku bisa melihatnya
di wajahnya. Dia telah mencium darah. Bagaimana, kau
ingin tahu lebih banyak mengenai ini?"
"Tentu saja," kataku. Si Musang terkenal pandai
menikam orang dari belakang. Setahun lalu, ia berhasil
mendongkel editor Sunday Calendar, dan baru pada saat
terakhir ia gagal menduduki posisi itu.
Ken berkata, "Jadi, aku berbisik pada Lily, petugas
perpustakaan yang dinas malam, 'Ada apa ini" Apa rencana
si Musang"' Dia berkata, 'Dia lagi memeriksa catatan polisi
mengenai seorang petugas polisi.' Aku langsung lega. Tapi
kemudian aku mulai heran. Sampai sekarang aku masih
wartawan Metro paling senior. Aku masih sering meliput
berita dari Parker Center. Mana mungkin dia mengetahui
sesuatu yang tidak kuketahui" Seharusnya aku yang
meliput berita itu. Jadi aku ber tanya pada Lily, siapa
petugas polisi itu."
"Biar kutebak saja," kataku.
"Betul," ujar Ken. "Peter J. Smith."
"Jam berapa itu?"
"Sekitar jam sebelas."
"Bagus," kataku.
"Kupikir kau ingin diberitahu mengenai ini," kata Ken.
"Memang." "Jadi aku bilang pada Lily - semalam - aku bilang, Lily,
bahan apa saja yang dia ambil" Dan ternyata dia mengambil
segala sesuatu, apa saja yang ada di dalam arsip.
Kelihatannya dia punya sumber di Parker Center yang
membocorkan informasi rahasia. Ada catatan mengenai
kasus penganiayaan anak kecil beberapa tahun lalu:"
"Ah, brengsek," kataku.
"Apa benar?" tanya Ken.
"Memang sempat ada pemeriksaan," ujarku.
"Tapi semuanya hanya omong kosong."
Ken menatapku. "Coba ceritakan."
"Kejadiannya tiga tahun lalu. Waktu aku masih bertugas
sebagai detektif. Partnerku dan aku menerima panggilan
kekerasan rumah tangga di Ladera Heights. Suami-istri
Latin, bertengkar. Kedua duanya mabuk berat. Wanita itu
mendesak agar aku menahan suaminya, dan waktu aku
menolak; dia bilang suaminya menganiaya bayi mereka se-
cara seksual. Lalu kuperiksa bayi mereka. Tampaknya
baik-baik saja. Aku tetap menolak untuk menahan si suami.
Wanita itu marah-marah. Besoknya dia datang ke markas
dan menuduh bahwa aku melakukan penganiayaan seksual.
Sempat ada pemeriksaan pendahuluan. Akhirnya tuduhan
dibatalkan karena dianggap tidak berdasar."
"Oke," kata Ken. "Sekarang ini, kau pernah melakukan
perjalanan yang tidak jelas tujuannya?"
Aku mengerutkan kening. "Perjalanan?"
"Semalam, si Musang berusaha mengumpulkan catatan
perjalananmu. Perjalanan naik pesawat, perjalanan dinas
sambil berfoya-foya, biaya ditanggung orang lain..."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak pernah."
"Yeah, aku memang sudah menduga bahwa dia keliru
mengenai ini. Kau orangtua tunggal, kau takkan
berpelesiran." "Tidak mungkin."
"Bagus." Kami menyusuri rak-rak buku. Kami sampai di salah satu
bagian perpustakaan tempat kami dapat melihat bagian
Metro melalui dinding kaca. Sl Musang ternyata masih
mengobrol dengan wanita muda tadi. Aku berkata, "Ada
satu hal yang tidak kumengerti, Ken. Kenapa aku" Aku tidak
punya masalah dengan siapa pun. Tidak ada kontroversi.
Sudah tiga tahun aku tidak bekerja sebagai detektif. Aku
bahkan bukan petugas pers lagi. Aku bekerja sebagai
penghubung. Pekerjaan ku bersifat politik. Jadi, kenapa aku
diincar wartawan Times?"
"Jam sebelas malam pada malam Jumat, maksudmu?"
ujar Ken. Ia menatapku, seakan-akan aku orang paling tolol
di seluruh dunia. Seakan-akan ada ludah yang menetes dari
daguku. Aku berkata, "Kaupikir ini ulah orang-orang Jepang?"
"Kupikir si Musang menawarkan jasanya kepada umum.
Dia bajingan yang bisa disewa. Dia bekerja untuk studio
film, perusahaan rekaman, perusahaan pialang, bahkan
untuk broker real estate. Dia bertindak sebagai konsultan.
Asal tahu saja, si Musang sekarang naik Mercedes 500SL."
"O, ya?" "Untuk ukuran wartawan, lumayan juga, bukan?"
"Yeah." "Nah. Kau pernah menyinggung perasaan seseorang"
Semalam, barangkali?"
"Mungkin." "Sebab ada yang menelepon si Musang untuk melacak
segala gerak-gerikmu."
Aku berkata, "Ini tidak masuk akal."
"Tapi ini kenyataan," ujar Ken. "Satu-satunya yang
membuatku khawatir adalah sumber informasi si Musang
di Parker Center. Seseorang di sana membocorkan
informasi rahasia. Kau punya musuh di markasmu?"
"Setahuku tidak ada."
"Syukurlah. Sebab si Musang sudah mulai menjalankan
siasatnya. Tadi pagi aku sempat bicara dengan Roger
Roscomb, penasihat kami di sini."
"Dan?" "Coba tebak siapa yang meneleponnya semalam, serba
genting" Si Musang. Dan kau mau tahu apa yang
ditanyakannya?" Aku diam saja. "Pertanyaannya, apakah petugas penghubung pers
termasuk orang yang menjadi milik umum" Orang yang
tidak bisa menuntut karena difitnah?"
Aku bergumam, "Astaga."
"Itulah." "Dan jawabannya?"
"Masa bodoh dengan jawabannya. Kau tahu sendiri
bagaimana cara kerjanya. Si Musang hanya perlu
menelepon beberapa orang dan berkata 'Halo, ini Bill
Wilhelm dari LA. Times. Besok kami akan memuat berita
bahwa Letnan Smith pernah menganiaya anak kecil.
Bagaimana komentar Anda"' Dengan beberapa kali
menelepon ke alamat yang tepat, artikel itu bahkan tidak
perlu dimuat. Para editor bisa saja membatalkannya, tapi
kau tetap akan kena getahnya."
Aku membisu. Aku tahu bahwa Ken benar.
Sudah lebih dari sekali aku melihat hal itu terjadi.
Aku berkata, "Apa yang bisa kulakukan?"
Ken tertawa. "Kau bisa mengatur insiden kekerasan
polisi L.A. yang terkenal."
"Itu tidak lucu."
"Sumpah, tak seorang pun di harian ini akan meliputnya.
Kalau perlu, kau malah bisa membunuhnya. Dan kalau ada
yang merekamnya dengan kamera video" Hei, orang-orang
di sini bersedia membayar untuk menontonnya."
"Ken." Ken menghela napas. "Mimpi yang indah. Oke. Ada satu
hal. Tahun lalu, setelah Wilhelm terlibat dalam... ehm...
perubahan manajemen di Calendar, aku terima surat
kaleng. Begitu juga beberapa orang lain. Waktu itu tidak
ada yang bereaksi. Permainannya agak jorok. Kau tertarik?"
"Yeah." Ken mengeluarkan sebuah amplop coklat dari kantong
jasnya. Amplop itu dilengkapi sepotong tali untuk
menutupnya. Di dalanrnya ada sejumlah foto, dicetak
berurutan. Willy Wilhelm terlihat sedang berhubungan
intim dengan pria berambut gelap. Wajahnya terbenam di
pangkuan orang itu. "Muka Willy kurang jelas," ujar Ken, "tapi ini memang
dia. Foto seorang wartawan yang sedang menjamu sumber
informasinya. Bisa dibilang, minum-minum bersama."
"Siapa orang itu?"
"Mencari identitasnya ternyata makan waktu agak lama.
Namanya Barry Borman. Dia kepala divisi penjualan Kaisei
Electronics untuk California bagian selatan."
"Apa yang bisa kulakukan dengan foto-foto ini?"
"Mana kartu namamu?" ujar Ken. "Biar kutempel ke
amplop ini. Nanti kusuruh orang mengantarnya kepada si
Musang." Aku menggelengkan kepala. "Sebaiknya jangan."
"Tapi dia pasti akan berpikir dua kali."
"Jangan," kataku. "Aku tidak suka cara seperti ini."
Ken mengangkat bahu. "Yeah. Mungkin memang tidak
ada gunanya. Biarpun kita tekan si
Musang, orang-orang Jepang itu pasti masih punya jalan
lain. Aku tetap belum tahu bagaimana artikel itu sampai
bisa dimuat semalam. Yang kudengar cuma, 'Perintah dari
atas, perintah dari atas.' Entah apa artinya."
"Tapi pasti ada yang menulisnya."
"Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak berhasil
menggali informasi lebih lanjut. Tapi orang Jepang punya
pengaruh besar di harian ini. Bukan hanya karena
iklan-iklan yang mereka pasang. Bukan hanya karena
mereka punya petugas humas yang hebat di Washington,
atau karena mereka jago lobi, atau karena sumbangan yang
mereka berikan kepada tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi politik. Keseluruhannya yang menentukan. Dan keadaan ini sudah mulai membahayakan.
Bayangkan saja, kadang-kadang kita sedang mengikuti
rapat staf untuk membahas beberapa artikel yang mungkin
akan dimuat, dan tiba-tiba kita sadar bahwa tak ada yang
mau membuat mereka tersinggung. Tak jadi masalah
apakah sebuah artikel benar atau salah, berita atau bukan.
Dan masalahnya juga lebih pelik dari 'Kita tidak bisa
memuat ini, sebab mereka akan membatalkan pemasangan
iklan.' Urusannya jauh lebih rumit. Kadang-kadang aku
memandang para editor di sini, dan aku tahu bahwa
mereka keberatan terhadap cerita-cerita tertentu karena
mereka takut. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka
takutkan. Mereka cuma takut."
"Tamatlah kebebasan pers."
"Hei,"
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Ken. "Ini bukan waktunya untuk mengumandangkan idealisme mahasiswa. Kau tahu sendiri
bagaimana situasinya. Pers Amerika memberitakan
pendapat umum. Pendapat umum adalah pendapat
kelompok yang sedang berkuasa. Dan sekarang ini orang
Jepang yang berkuasa. Pihak pers memberitakan pendapat
umum seperti biasa. Tak ada yang perlu dipertanyakan.
Pokoknya, berhati-hatilah."
"Oke. "Dan jangan ragu-ragu meneleponku jika kau memutuskan untuk menggunakan jasa pos."
Aku perlu berbicara dengan Connor. Aku mulai paham
kenapa Connor begitu cemas, dan kenapa ia ingin
merampungkan penyelidikan ini secepat mungkin. Sebab
fitnah yang dilontarkan secara cermat merupakan senjata
yang mengerikan. Seseorang yang terampil dalam hal ini -
dan si Musang termasuk terampil - akan mengatur agar se-
lalu ada berita baru, hari demi hari, biarpun tak ada
perkembangan sama sekali. Kita membaca judul berita
seperti JURI AGUNG BELUM SEPAKAT MENGENAI
KESALAHAN PETUGAS POLISI atau JAKSA WILAYAH TIDAK
BERSEDIA MENUNTUT POLISI YANG DITUDUH BERSALAH.
Akibat yang ditimbulkan judul berita seperti itu sama
buruknya dengan keputusan bersalah.
Dan tak ada cara untuk pulih dari pemberitaan negatif
selama berminggu-minggu. Semua orang mengingat
tuduhan yang dilontarkan. Tak seorang pun mengingat
bukti tak bersalah yang terungkap. Begitulah sifat manusia.
Sekali kita menjadi tertuduh, sulit sekali untuk kembali ke
kehidupan normal. Keadaannya mulai mengkhawatirkan, dan aku dihantui
firasat buruk. Aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri,
ketika aku memasuki lapangan parkir di sebelah
Departemen Fisika di U.S.C. dan telepon mobitku berdering.
Ternyata Jim Olson. "Peter." "Ya, Sir." "Sudah hampir jam sepuluh. Seharusnya kau sudah
datang ke sini untuk menyerahkan kaset-kaset video itu.
Kau sudah berjanji tadi."
"Aku mengalami kesulitan untuk membuat kopinya."
"Itu yang kaulakukan dari tadi?"
"Ya. Kenapa?" "Sebab berdasarkan telepon-telepon yang kuterima, aku
mendapat kesan bahwa kau belum menutup kasus ini," ujar
Jim Olson. "Dalam satu jam terakhir, kau mencari informasi
di sebuah lembaga riset Jepang. Setelah itu kau
menginterogasi seorang ilmuwan yang bekerja untuk
sebuah lembaga riset Jepang. Kau muncul di sebuah
seminar Jepang. Terus-terang saja, Peter. Penyidikan ini
sudah berakhir atau belum?"
"Sudah," kataku. "Aku hanya ingin membuat kopi dari
kaset-kaset ini." "Pastikan bahwa kau tidak melangkah lebih jauh dari
itu," ia berpesan. "Oke, Jim." "Demi kepentingan seluruh Departemen - dan semua
orang yang ada di sini - kuminta kasus ini ditutup."
"Oke, Jim." "Aku tak ingin situasi ini sampai lepas kendali."
"Aku mengerti."
"Mudah-mudahan saja," katanya. "Selesaikan urusanmu,
lalu datang ke sini. Segera." Ia meletakkan gagang telepon.
Aku memarkir mobil dan memasuki gedung fisika.
Bab 28 AKU menunggu di sudut ruang kuliah sementara Phillip
Sanders menyelesaikan kuliahnya. Ia berdiri di hadapan
papan tulis yang dipenuhi rumus-rumus rumit. Ada sekitar
tiga puluh mahasiswa di dalam ruang kuliah, sebagian
besar duduk di bagian depan. Hanya bagian belakang
kepala mereka yang terlihat dari tempatku menunggu.
Dr. Sanders berusia empat puluhan. Ia termasuk orang
yang penuh energi, tak bisa diam, selalu mondar-mandir,
menunjuk-nunjuk persamaan-persamaan di papan tulis
dengan sepotong kapur sambil membahas signal covariant
ratio detennination dan factorial delta bandwith noise. Aku
bahkan tak sanggup menebak apa yang diajarkannya.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa bidangnya adalah
teknik listrik. Ketika bel tanda kuliah telah usai berbunyi, seluruh
kelas berdiri dan meraih tas masing-masing. Aku
terperanjat; hampir semua peserta berasal dari Asia, baik
para pria maupun para wanita. Mereka yang bukan dari
Timur Jauh berasal dari India atau Pakistan. Dari tiga puluh
mahasiswa, hanya tiga yang berkulit putih.
"Memang benar," ujar Sanders kemudian, ketika kami
menyusuri selasar menuju laboratoriumnya. "Mahasiswa
Amerika tidak berminat pada mata kuliah seperti Fisika
101. Sudah bertahun-tahun begitu. Pihak industri pun
mengalami kesulitan serupa. Kita pasti akan kewalahan
seandainya tidak ada orang-orang Timur Jauh atau
orang-orang India yang datang untuk meraih gelar doktor
dalam bidang matematika atau bidang teknik, lalu bekerja
untuk perusahaan-perusahaan Amerika."
Kami menuruni sebuah tangga, kemudian membelok ke
kiri. Kami berada di selasar di basement. Sanders berjalan
dengan cepat. "Masalahnya, keadaannya mulai berubah," ia melanjutkan. "Para mahasiswa saya yang berasal dari Asia
mulai pulang ke tempat asal masing-masing. Orang-orang
Korea kembali ke Korea. Sama halnya dengan orang-orang
Taiwan. Orang-orang India pun mulai pulang ke sana. Taraf
hidup di negara-negara mereka semakin meningkat, dan di
sana sekarang lebih banyak peluang. Beberapa dari
negara-negara asing ini mempunyai tenaga terlatih dalam
jumah besar." Kami kembali menuruni tangga. "Anda tahu
kota mana yang menduduki peringkat pertama dalam
jumlah doktor per kapita?"
"Boston?" "Seoul, Korea. Ingat itu pada waktu kita lepas landas
menuju abad ke-21." Kini kami menyusuri selasar lain lagi. Kemudian keluar
sebentar, ke bawah cahaya matahari, melewati selasar
beratap, lalu masuk ke bangunan lain. Berulang kali
Sanders melirik ke belakang, seakan-akan takut aku
tertinggal. Tapi ia tak pernah berhenti berbicara.
"Dan berhubung mahasiswa-mahasiswa pulang ke
negara masing-masing, kini kita menghadapi kekurangan
tenaga untuk melakukan penelitian di Amerika. Jumlah
tenaga terlatih tidak memadai. Bahkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti IBM pun mulai
mengalami kesulitan. Tenaga terlatih benar-benar tidak
dapat ditemukan. Awas, pintu."
Pintu yang dimaksudnya mengayun ke arahku. Aku
melangkah masuk. Aku berkata, "Tapi kalau kesempatan
kerja di bidang high-tech begitu luas, bukankah para
mahasiswa akan tertarik?"
"Tetap kalah dengan bidang perbankan investasi. Atau
hukum." Sanders tertawa. "Amerika mungkin kekurangan
ahli teknik dan ilmuwan, tapi kita tetap nomor satu dalam
mencetak sarjana hukum. Setengah dari pengacara di
seluruh dunia berada di Amerika. Bayangkan itu." Ia
menggelengkan kepala. "Kita punya empat persen populasi dunia. Kita
menguasai delapan belas persen perekonomian dunia. Tapi
kita punya lima puluh persen - dari seluruh pengacara di
dunia. Dan setiap tahun - ada 35.000 sarjana hukum baru.
Ke sanalah arah produktivitas kita. Itulah fokus nasional
kita. Setengah dari acara TV kita menyangkut pengacara.
Amerika telah menjadi Negeri Pengacara. Semua orang
saling menuntut. Semua orang berselisih paham. Semua
orang lari ke pengadilan. Habis, tiga perempat juta
pengacara Amerika harus mempunyai sesuatu untuk
menyibukkan diri. Mereka harus memperoleh 300.000
setahun. Negara-negara lain pikir kita gila."
Ia membuka kunci pada sebuah pintu. Aku melihat
papan nama LABORATORIUM PENGOLAHAN GAMBAR
TINGKAT LANJUT yang ditulis dengan tangan, serta sebuah
anak panah. Sanders mengajakku menyusuri selasar
panjang di basement. "Anak-anak kita yang paling cerdas pun dididik secara
buruk. Anak-anak Amerika yang paling pintar kini
menduduki peringkat dua belas di dunia, setelah
negara-negara industri di Asia dan Eropa. Dan ini yang
paling pintar. Di bawah lebih buruk lagi. Sepertiga lulusan
high sehool tidak bisa membaca jadwal keberangkatan bus.
Mereka buta huruf." Kami tiba di ujung selasar dan membelok ke kanan.
"Dan anak-anak yang saya temui rata-rata malas. Tak
ada yang mau bekerja dengan giat. Saya mengajar fisika.
Untuk menguasai bidang ini diperlukan waktu bertahun-tahun. Tapi semua anak ingin berpakaian seperti
Charlie Sheen dan menghasilkan sejuta dolar sebelum usia
28. Satu satunya cara untuk mendapatkan uang sebanyak
itu adalah dengan terjun ke dunia hukum, perbankan, atau
Wall Street. Tempat-tempat yang menghasilkan keuntungan kertas. Tapi itulah cita-cita anak-anak
sekarang." "Mungkin di U.S.C."
"Percayalah. Di mana-mana. Semuanya nonton."
Ia membuka sebuah pintu. Lagi-lagi sebuah koridor.
Yang ini berbau apak, lembap.
"Saya tahu, saya tahu. Pandangan saya kuno," ujar
Sanders. "Saya masih percaya bahwa setiap manusia
mempunyai peran tertentu. Anda mempunyai peran
tertentu. Saya mempunyai peran tertentu. Hanya dengan
berada di planet ini, dengan mengenakan baju yang kita
pakai, kita semua mempunyai peran tertentu. Dan di sudut
terpencil ini," ia berkata, "kami berperan mengungkapkan
kebenaran. Kami menganalisis siaran berita untuk
menentukan bagian mana saja yang telah dimanipulasi.
Kami menganalisis iklan-iklan TV dan menunjukkan
trik-trik yang dipakai..."
Sanders berhenti mendadak
"Ada apa?" "Bukankah ada orang lain tadi?" ia bertanya. "Anda
ditemani orang lain, bukan?"
"Tidak. Saya sendirian."
"Oh, syukurlah." Sanders kembali berjalan dengan cepat.
"Saya selalu khawatir kehilangan orang di bawah sini. Ah,
oke. Kita sudah sampai. Lab saya. Bagus. Pintunya belum
pindah tempat " Penuh semangat ia membuka pintu itu. Aku menatap
ruangan di hadapanku, kaget.
"Saya tahu, tempatnya kurang mengesankan," ujar
Sanders. Dalam hati aku berkata, "Kurang mengesankan masih
terlalu bagus." Aku menghadapi ruang bawah tanah yang penuh
pipa-pipa berkarat dan kabel-kabel listrik yang tergantung
dari langit-langit. Di beberapa tempat, lapisan linoleum
berwarna hijau mulai terkupas di lantai, sehingga beton di
bawahnya kelihatan jelas. Di sekeliling ruangan terdapat
meja-meja reyot, masing-masing dengan peralatan
bertumpuk dan kabel-kabel bergelantungan di kiri-kanan.
Di setiap meja ada mahasiswa yang duduk di depan be-
berapa monitor. Di sana-sini air tampak menetes ke dalam
ember-ember. Sanders berkata, "Satu-satunya tempat yang
tersedia adalah di basement, dan kami tidak punya dana
untuk mengurus hal-hal sepele seperti langit-langit. Biar
saja, itu tidak penting. Tapi awas, jaga kepala Anda. "
Ia melangkah maju. Tinggi badanku sekitar 180 senti,
tidak sampai enam kaki, dan aku terpaksa merunduk agar
dapat memasuki ruangan itu. Dari suatu tempat di
langit-langit di atas, aku mendengar bunyi memarut yang
kasar. "Pemain ice skate," Sanders menjelaskan.
"Maaf?" "Kita di bawah gelanggang ice skate. Lama-lama Anda
akan terbiasa. Sebenarnya ini belum seberapa. Nanti sore,
pada waktu mereka berlatih hoki es, nah, itu baru agak
ribut." Kami masuk lebih jauh. Rasanya seperti berada di dalam
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kapal selam. Aku mengamati para mahasiswa di tempat
kerja mereka. Semuanya berkonsentrasi pada tugas
masing-masing; tak ada yang menoleh ketika kami lewat.
Sanders berkata, "Kaset video seperti apa yang hendak
Anda kopi?" "Delapan milimeter, buatan Jepang. Rekaman keamanan.
Mungkin agak sukar."
"Sukar" Saya rasa tidak," ujar Sanders. "Anda tentu tidak
tahu, dulu, waktu saya masih muda, saya yang menyusun
hampir semua algoritma dasar untuk mempertajam
gambar video. Misalnya menghilangkan titik-titik dan
inversi serta mempertajam garis tepi. Hal-hal seperti itulah.
Dulu semua orang memakai kumpulan algoritma Sanders.
Waktu itu saya masih mahasiswa pascasarjana di Cal Tech.
Dan waktu luang saya manfaatkan dengan bekerja di LTJ.
Jangan khawatir, kami pasti sanggup."
Aku menyerahkan sebuah kaset. Ia mengamatinya.
"Hmm, manis." Aku berkata, "Apa yang terjadi" Dengan kumpulan
algoritma Anda, maksud saya."
"Waktu itu belum ada kegunaan komersial," katanya.
"Dulu, di tahun delapan puluhan, perusahaan-perusahaan
Amerika seperti RCA dan GE angkat kaki dari industri
elektronik komersial. Program-program yang saya susun
tidak bermanfaat di Amerika." Ia mengangkat bahu. "Jadi
saya mencoba menjual semuanya kepada Sony, di Jepang."
"Dan?" "Orang-orang Jepang ternyata telah memegang hak
paten untuk produk-produk itu. Di Jepang."
"Maksud Anda, mereka telah memiliki algoritma yang
sama?" "Bukan. Mereka hanya memegang hak paten. Di Jepang,
urusan hak paten merupakan semacam perang. Orang
Jepang tergila-gila pada hak paten. Dan mereka punya
sistem yang aneh. Baru delapan tahun setelah permohonan
diajukan kita memperoleh hak paten di Jepang, tetapi
permohonan kita sudah diumumkan setelah delapan belas
bulan. Dan tentu saja mereka tidak mempunyai
kesepakatan lisensi timbal balik dengan Amerika. Ini salah
satu cara agar mereka tetap lebih maju dari kita."
"Pokoknya, ketika sampai di Jepang, saya menemukan
bahwa Sony dan Hitachi telah memegang hak paten serupa.
Mereka telah melakukan sesuatu yang dinamakan 'paten
borongan'. Artinya, mereka telah mengajukan permohonan
hak paten atas segala kegunaan yang dapat dihubung-
hubungkan. Mereka tidak memiliki hak untuk menggunakan kumpulan algoritma, tapi ternyata saya pun
tidak memiliki hak itu. Karena mereka telah memegang hak
paten atas penggunaan penemuan saya." Ia mengangkat
bahu. "Memang agak sukar dijelaskan. Tapi itu dulu.
Sekarang orang Jepang telah menciptakan perangkat lunak
video yang jauh lebih rumit, jauh melebihi apa yang kita
miliki. Kita tertinggal beberapa tahun dibandingkan dengan
mereka. Tapi kami masih terus berjuang di lab ini. Ah. Ini
orang yang kita perlukan. Dan. Kau sedang sibuk?"
Seorang wanita muda mengalihkan pandangan dari
monitor komputer. Mata besar, kacamata berbingkai tebal,
rambut gelap. Wajahnya tertutup sebagian oleh pipa-pipa
di langit-langit. "Kau bukan Dan," ujar Sanders dengan nada heran. "Di
mana Dan, Theresa?" "Ada ujian tengah semester," jawab Theresa. "Saya
hanya membantu menjalankan progresi realtime ini. Sudah
hampir selesai." Aku mendapat kesan bahwa ia lebih tua
dari mahasiswa-mahasiswa yang lain. Sukar untuk
mernastikan penyebabnya. Yang pasti bukan karena
pakaiannya; ia memakai ikat rambut berwarna cerah, dan
kaus U2 di bawah jaket jeans. Tetapi ia memiliki sikap
tenang yang membuatnya kelihatan lebih tua.
"Kau bisa pindah ke tempat lain?" ujar Sanders sambil
mengelilingi meja untuk menatap monitor. "Ada pekerjaan
mendesak. Kita harus membantu polisi." Aku mengikuti
Sanders, membungkuk agar tidak membentur pipa.
"Bisa saja," kata wanita itu. Ia mulai mernatikan
unit-unit di mejanya. Ia membelakangiku, dan kemudian
aku akhirnya bisa melihatnya. Kulitnya gelap, wajahnya
eksotis, hampir seperti orang Eurasia. Ia cantik, cantik
sekali. Ia tampak seperti gadis model dalam majalah-majalah. Dan sepintas lalu aku merasa bingung,
karena wanita ini terlalu cantik untuk bekerja di
laboratofiurn elektronik di sebuah basement. Rasanya tidak
masuk akal. "Ini Theresa Asakuma," kata Sanders. "Satu-satunya
mahasiswa pascasarjana Jepang yang bekerja di sini."
"Hai," kataku. Aku tersipu-sipu. Aku merasa diberondong oleh informasi baru. Dan pada dasarnya, aku
lebih suka kalau kaset-kaset itu tidak ditangani oleh orang
Jepang. Tapi nama depannya bukan nama Jepang, dan.
wajahnya pun bukan seperti orang Jepang. Ia tampak
seperti orang Eurasia atau mungkin keturunan Jepang,
begitu eksotik, mungkin ia malah...
"Selamat pagi, Letnan," katanya. Ia mengulurkan tangan
kiri, tangan yang salah, untuk bersalaman. Ia menyodorkannya secara menyamping, seperti seseorang
yang mengalami cedera pada tangan kanan.
Aku bersalaman dengannya. "Halo, Miss Asakuma."
"Theresa." "Oke." "Dia cantik sekali, bukan?" ujar Sanders dengan bangga.
"Luar biasa cantik."
"Ya," kataku. "Sebenarnya, saya heran bahwa Anda
bukan foto model." Sejenak suasananya serba kikuk. Aku tidak tahu kenapa.
Theresa langsung berbalik.
"Saya tidak pernah tertarik," katanya.
Sanders segera angkat bicara dan berkata,
"Theresa, Letnan Smith punya beberapa kaset video
yang perlu dikopi. Kaset-kaset ini."
Sanders menyerahkan salah satu kaset. Theresa
menerimanya dengan tangan kiri dan mengamatinya di
bawah larnpu. Lengan kanannya tetap tertekuk di sikut,
merapat ke pinggangnya. Kemudian aku melihat bahwa
lengan kanannya buntung. Kelihatannya seperti lengan bayi
thalidomide. "Hmm, menarik juga," katanya sambil mengamati kaset
itu. "Delapan milimeter high density. Barangkali ini format
digital baru yang belakangan sering dibicarakan. Format
yang langsung meningkatkan mutu gambar."
"Maaf, saya tidak tahu," kataku. Aku merasa seperti
orang tolol karena menyinggung soal foto model tadi. Aku
meraih ke dalam kotak yang kubawa dan mengeluarkan
alat playback. Theresa segera mengambil obeng dan melepaskan
tutupnya. Ia membungkuk dan mengamati bagian dalam.
Aku melihat circuit board berwarna hijau, motor berwarna
hitam, dan tiga silinder kristal berukuran kecil. "Ya. Ini
memang format yang baru. Benar-benar hebat. Dr. Sanders,
lihatl mereka hanya menggunakan tiga head. Alat ini pasti
menghasilkan sinyal RGB, soalnya di sebelah sini... Menurut
Anda, ini rangkaian kompresi?"
"Kemungkinan rangkaian konversi digital ke analog,"
ujar Sanders. "Bagus sekali. Serba kecil." Ia berpaling
padaku sambil mernegang kotak itu. "Anda tahu kenapa
orang Jepang bisa menghasilkan produk-produk seperti ini
sedangkan kita tidak" Mereka melakukan katzen. Sebuah
proses penyempurnaan yang berulang-ulang, terus-
menerus. Setiap tahun produk bersangkutan menjadi
sedikit lebih baik, sedikit lebih kecil, sedikit lebih murah.
Cara berpikir orang Amerika berbeda. Orang Amerika
selalu mencari terobosan yang gemilang, langkah maju
yang besar. Orang Amerika berusaha membuat home run -
memukul bola keluar dari arena - lalu duduk-duduk dengan
santai. Orang Jepang melakukan langkah-langkah kecil
sepanjang hari, dan tidak pernah merasa puas. Jadi, dengan
barang seperti ini, Anda sekaligus menghadapi perwujudan
sebuah falsafah hidup."
Selama beberapa waktu ia berbicara seperti itu,
memutar-mutar silinder-silinder tadi, terkagum-kagum.
Akhirnya aku berkata, "Anda dapat membuat kopi dari
kaset-kaset ini?" "Tentu," jawab Theresa. "Setelah melalui alat konversi,
kita bisa mengeluarkan sinyal dari mesin ini dan
merekamnya pada media apa saja yang Anda pilih. Anda
ingin tiga perempat" Opticalmaster" VHS?"
"VHS," kataku. "Itu mudah," ujarnya.
"Tapi, apakah hasilnya akurat" Orang-orang di LTJ tidak
bisa menjamin hasilnya akurat."
"Oh, persetan LTJ," kata Sanders. "Mereka cuma bilang
begitu karena mereka bekerja untuk pemerintah. Di sini,
kita memecahkan masalah. Betul, Theresa?"
Tapi Theresa tidak mendengarnya. Aku mem- perhatikannya menancapkan kabel-kabel, bergerak cekatan
dengan tangannya yang sehat, sementara tangannya yang
buntung menjepit alat playback. Seperti kebanyakan orang
cacat, gerak-geriknya demikian lancar, sehingga hampir
tidak ketahuan bahwa tangan kanannya tidak ada. Dalam
sekejap ia telah menyambung alat playback dengan alat
perekam lain, serta beberapa monitor.
"Untuk apa ini semua?"
"Untuk memantau sinyalnya."
"Maksud Anda, untuk memutar rekaman itu?"
"Bukan. Gambarnya akan terlihat pada monitor besar ini.
Yang lain akan saya pakai untuk memantau karakteristik
sinyal dan peta data: bagaimana gambar direkam pada
pita." Aku berkatal "Ini memang diperlukan untuk membuat
kopi?" "Tidak. Saya hanya ingin tahu bagaimana mereka
menyusun format high density ini."
Sanders berkata padaku, "Dari mana rekaman ini
berasal?" "Dari kamera keamanan sebuah gedung kantor."
"Dan kaset ini berisi rekaman asli?"
"Saya pikir begitu. Kenapa?"
"Kalau ini memang rekaman asli, kita harus lebih
berhati-hati," ujar Sanders. Ia berbicara dengan Theresa,
memberikan petunjuk. "Jangan sampai permukaan media
dikacaukan oleh umpan balik. Dan jangan sampai
kebocoran sinyal dari head mengganggu keutuhan aliran
data." "Jangan khawatir," ujar Theresa. "Saya takkan membuat
kesalahan." Ia menunjuk rangkaian alat yang telah
disiapkannya. "Anda lihat ini" Alat ini akan memberikan
peringatan kalau ada pergeseran impedansi. Dan saya juga
memantau prosesor utama."
"Oke," kata Sanders. Ia tampak berseri-seri, seperti
orangtua yang bangga akan anaknya.
"Berapa lama sampai semuanya selesai?" tanyaku.
"Tidak lama. Kita bisa merekam sinyal dengan kecepatan
sangat tinggi. Batas kecepatannya ditentukan oleh alat
playback ini, dan sepertinya ada fast-forward scan. Jadi, sekitar dua sampai
tiga menit per kaset."
Aku melirik jam tanganku. "Saya ada janji jam setengah
sebelas, dan saya tidak boleh terlambat. Tapi saya juga
tidak ingin meninggalkan kaset-kaset ini ......
"Semuanya perlu dikopi?"
"Sebenarnya hanya lima yang paling penting."
"Kalau begitu, kita kerjakan yang itu saja dulu."
Kami memutar lima detik pertama dari setiap kaset, satu
per satu, untuk mencari kelima kaset yang berisi rekaman
kamera di lantai 46. Pada waktu masing-masing kaset
mulai diputar, aku melihat gambar yang terekam oleh
kamera pada monitor utama di meja Theresa. Pada
monitor-monitor di samping, jejak-jejak s inyal tampak ber-
gerak naik-turun, melompat-lompat, seperti pada unit
perawatan intensif. "Memang benar," ujar Theresa. "Perawatan intensif
untuk rekaman video." Ia mengeluarkan sebuah kaset,
memasukkan kaset lain, lalu mulai memutarnya. "Oh, tadi
Anda mengatakan bahwa ini rekaman asli" Ternyata bukan.
Kaset-kaset ini merupakan kopi."
"Dari mana Anda tahu?"
"Sebab ada tanda ancang-ancang." Theresa mem-
bungkuk di atas peralatannya, mengamati jejak-jejak sinyal,
melakukan penyesuaian halus dengan beberapa tombol.
"Kelihatannya memang seperti hasil kopi," Sanders
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata padaku. "Begini, dengan rekaman video, sulit untuk
menentukan apakah suatu rekaman merupakan kopi atau
bukan berdasarkan gambar yang tampil di monitor. Pada
sistern analog dulu memang terjadi pengurangan mutu
gambar pada generasi-generasi berikut, tapi pada sistem
digital seperti ini sama sekali tidak ada perbedaan. Setiap
kopi boleh dibilang sama persis seperti aslinya."
"Kalau begitu, dari mana Anda tahu bahwa kaset-kaset
ini tidak berisi rekaman asli?"
"Perhatian Theresa tidak terarah pada gambar di
monitor," kata Sanders. "Dia memperhatikan sinyal yang
terbaca. Meskipun tidak ada perbedaan pada gambar yang
tampak, kadang-kadang kita dapat menentukan bahwa
gambarnya berasal dari alat playback yang lain, bukan dari
sebuah karnera." Aku menggelengkan kepala. "Bagaimana caranya?"
Theresa menjelaskan, "Ini berkaitan dengan cara
sinyalnya direkam selama setengah detik pertama. Jika
video perekam dinyalakan sebelum video playback,
kadang-kadang ada fluktuasi kecil dalam keluaran sinyal
pada waktu alat playback mulai berputar. Ini merupakan
keterbatasan mekanik: motor playback tidak b isa mencapai
kecepatan normal dengan seketika. Memang ada rangkaian
elektronik di dalam alat playback untuk memperkecil
pengaruhnya, tetapi tetap saja selalu ada jangka waktu
tertentu untuk mencapai kecepatan normal.."
"Dan ini yang terbaca oleh Anda?"
Ia mengangguk. "Itu yang disebut tanda ancang-ancang."
Sanders berkata, "Dan itu tidak pernah terjadi jika
sinyalnya berasal dari sebuah kamera, sebab kamera tidak
mempunyal bagian-bagian yang bergerak. Sebuah kamera
selalu bekerja pada kecepatan normal."
Aku mengemyitkan dahi. "Jadi kaset-kaset ini sudah
merupakan kopi." "Apakah ada pengaruhnya?" tanya Sanders.
"Entahlah. Kalau kaset-kaset ini memang sudah dikopi,
ada kemungkinan rekamannya sudah dimanipulasi,
bukan?" "Secara teori, ya," ujar Sanders. "Tapi dalam praktek kita
harus mengamatinya dengan cermat. Dan sukar sekali
untuk memastikannya. Kaset-kaset ini berasal dari
perusahaan Jepang?" "Ya." "Nakamoto?" Aku mengangguk. "Ya."
"Sebenarnya saya tidak heran bahwa mereka memberikan kopi rekaman asli kepada Anda," kata
Sanders. "Orang Jepang sangat berhati-hati. Mereka tidak
percaya pada orang luar. Dan perusahaan Jepang di
Amerika merasakan hal yang sama seperti jika kita
melakukan bisnis di Nigeria. Mereka menganggap bahwa
mereka dikelilingi oleh orang-orang liar."
"Hei," kata Theresa.
"Sori," ujar Sanders, "tapi kau tahu maksudnya. Orang
Jepang merasa bahwa mereka terpaksa bersabar terhadap
kita. Terhadap kebodohan kita, kelambanan kita,
ketidakmampuan kita. Ini menyebabkan mereka selalu
bersikap melindungi diri. Jadi, kalau isi kaset-kaset ini
menyangkut masalah hukum, sudah bisa dipastikan bahwa
mereka takkan menyerahkan rekaman asli kepada petugas
polisi barbar seperti Anda. Mereka pasti akan memberikan
kopi dan menyimpan yang asli, untuk berjaga-jaga kalau
diperlukan untuk membela diri. Dan mereka yakin
sepenuhnya bahwa dengan teknologi video Amerika yang
ketinggalan zaman, Anda takkan pernah tahu bahwa Anda
diberi rekaman kopi."
Aku mengerutkan kening. "Berapa lama diperlukan
untuk membuat kopi dari kaset-kaset ini?"
"Tidak lama," ujar Sanders sambil. gelenggeleng kepal.a.
"Kalau melihat cara kerja Theresa sekarang, sekitar lima
menit per kaset. Saya yakin orang Jepang sanggup
mengerjakannya lebih cepat lagi. Katakanlah, dua menit per
kaset." "Kalau begitu, mereka punya waktu cukup banyak untuk
membuat kopi semalam."
Sambil bicara, Theresa masih terus menukar-nukar
kaset, menyaksikan bagian awal masing-masing. Setiap kali
gambarnya muncul, ia melirik ke arahku. Aku menggelengkan kepala. Yang terlihat adalah rekaman dari
kamera-kamera lain. Akhirnya kaset pertama yang berisi
rekaman dari lantai 46 muncul, menampakkan ruang
kantor yang sudah pernah kulihat.
"Ini yang pertama."
"Oke. Langsung saja. Transfer ke VHS." Theresa memulai
kopi pertama. Ia memutar rekaman itu dengan kecepatan
tinggi. Adegan demi adegan silih berganti, cepat, kabur.
Pada monitor-monitor di samping, jejak-jejak sinyal
tampak melompat-lompat. Ia berkata, "Apakah rekaman ini
berkaitan dengan pembunuhan semalam?"
"Ya. Anda sudah mengetahuinya?"
Ia mengangkat bahu. "Saya melihatnya di siaran berita.
Pembunuhnya tewas dalam kecelakaan mobil?"
"Benar," kataku.
Ia memalingkan wajah. Profil tiga perempat dari
wajahnya benar-benar cantik, mempertegas lengkungan
tulang pipinya yang tinggi. Aku teringat reputasi Eddie
Sakamura sebagai playboy. "Anda mengenalnya?" tanyaku.
"Tidak," jawabnya. Sesaat kemudian ia menambahkan,
"Dia orang Jepang."
Sekali lagi suasana menjadi serba kikuk. Rupanya
Theresa dan Sanders mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui olehku. Tapi aku tidak tahu cara menanyakannya.
Karena itu aku kemball memperhatikan gambar di monitor.
Sekali lagi aku melihat sinar matahari menyapu lantai.
Kemudian lampu-lampu mulai menyala. Para pegawai
kantor semakin berkurang. Kini ruangannya kosong. Dan
kemudian, dengan kecepatan tinggi, Cheryl Austin muncul,
diikuti seorang pria. Mereka berciuman penuh gairah.
"Ah-ha," ujar Sanders. "Ini yang Anda cari?"
"Ya." Ia mengerutkan kening ketika menyaksikan per-
kembangan selanjutnya. "Maksud Anda, pembunuhannya
sempat terekam?" "Ya," kataku. "Lewat beberapa kamera."
"Anda main-main."
Sanders terdiam, menatap monitor. Dengan gambar
yang kabur, sukar untuk melihat lebih dari kejadian-kejadian dasar. Kedua orang melintas ke ruang
rapat. Pergulatan mendadak. Cheryl dipaksa berbaring di
meja. Si pria melangkah mundur. Meninggalkan ruangan
dengan tergesa-gesa. Tak ada yang berbicara. Kami semua memandang
monitor. Aku melirik Theresa. Wajahnya tidak berekspresi.
Gambar video terpantul di kacamatanya.
Eddie berjalan melewati cermin lalu masuk ke selasar
yang gelap. Pitanya masih diputar selama beberapa detik,
dan kemudian kasetnya meloncat keluar.
"Kaset pertama sudah selesai. Anda bilang ada beberapa
kamera" Berapa banyak?"
"Lima, kalau tidak salah," kataku.
Theresa menandai kaset pertama dengan sebuah stiker.
Ia memutar kaset kedua, dan kembali memulai proses kopi
kecepatan tinggi. Aku berkata, Apakah semua kopi ini persis sama dengan
aslinya?" "Oh, tentu." "Jadi sah menurut hukum?"
Sanders mengerutkan kening. "Sah dalam arti?"
"Sebagai barang bukti di pengadilan ...?"
"Oh, tidak," ujar Sanders. "Oleh pengadilan, rekaman ini
takkan diterima sebagai barang bukti."
"Tapi kalau isinya persis sama dengan aslinya..."
"Tidak ada hubungan dengan itu. Semua barang bukti
berupa foto, termasuk video, tidak lagi diterima oleh
pengadilan." "Ini belum pernah saya dengar," kataku.
"Memang belum pernah terjadl," balas Sanders.
"Undang-undangnya masih kurang jelas. Tapi kita tinggal
tunggu tanggal mainnya saja. Sekarang ini semua foto
dicurigai. Sebab sekarang, berkat sistem digital, semua foto
dapat dimanipulasi secara sempurna. Sempurna. Dan ini
sesuatu yang baru. Anda masih ingat, bertahun-tahun lalu,
ketika orang Rusia menghilangkan tokoh-tokoh politik
tertentu dari panggung kehormatan pada peringatai Hari
Mei" Mereka menggunakan cara gunting-tempel yang
kasar, dan kita selalu langsung melihat bahwa ada sesuatu
yang diubah. Selalu ada celah di antara bahu orang-orang
yang tetap kelihatan. Atau perbedaan warna pada dinding
di balik mereka. Atau bekas goresan kuas dari orang yang
berusaha menutup-nutupi kerusakannya. Tapi yang
penting, perubahannya segera kelihatan. Kita bisa melihat
bahwa fotonya telah dimanipulasi. Usaha mereka
benar-benar menggelikan."
"Saya ingat itu," kataku.
"Dari dulu foto-foto dipandang meyakinkan sebagai
barang bukti, karena tidak mungkin diotak-atik. Jadi, kita
sudah terbiasa menganggap foto sebagai cerminan realitas.
Tapi sejak beberapa tahun terakhir, komputer membuka
peluang untuk mengubah foto secara sempurna. Beberapa
tahun lalu, National Geographic memindahkan Piramida
Besar di Mesir pada gambar sampul mereka. Para editor
tidak suka letak piramida itu; menurut mereka, komposisi
gambar sampul akan lebih bagus kalau piramidanya
digeser. Jadi mereka melakukan manipulasi foto. Tak ada
yang tahu. Tapi kalau Anda pergi ke Mesir dengan
membawa kamera dan mencoba membuat foto yang sama,
Anda akan menemukan bahwa itu tidak mungkin. Sebab di
dunia nyata tidak ada sudut pandang di mana
piramida-piramida tersebut membentuk komposisi seperti
itu. Gambar sampul itu tidak lagi mewakili realitas. Tapi
kita tidak menyadarinya. Ini hanya contoh kecil."
"Dan kaset-kaset ini bisa dimanipulasi dengan cara yang
sama?" "Secara teori, setiap rekaman video bisa dimanipulasi."
Di layar monitor, aku menyaksikan adegan pembunuhan
untuk kedua kalinya. Kamera ini berada di seberang
ruangan. Adegan pembunuhannya sendirl tidak terialu
kelihatan, tetapi sesudahnya, Sakamura tampak jelas ketika
ia berjalan ke arah kamera.
Aku berkata, "Bagaimana gambar ini bisa diubah?"
Sanders tertawa. "Sekarang ini, Anda bisa mengubah apa
saja yang Anda inginkan."
"Apakah identitas pembunuhnya bisa diganti?"
"Secara teknis, ya," kata Sanders. "Anda bisa memetakan
wajah pada sebuah objek kompleks yang bergerak. Secara
teknis, kemungkinannya ada. Tapi dalam praktek, sukar
sekali." Aku diam saja. Mungkin memang lebih baik begitu.
Sakamura merupakan tersangka utama, dan ia telah tewas;
Komandan menginginkan kasus ini segera ditutup. Begitu
juga aku. "Di pihak lain," ujar Sanders, "orang Jepang mempunyai
segala macam algoritma canggih untuk pemetaan
permukaan dan transformasi tiga dimensi. Mereka mampu
melakukan hal-hal yang bahkan tak terbayang oleh kita." Ia
mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. 'Bagaimana urutan
kronologis kaset-kaset ini?"
Aku berkata, "Pembunuhannya terjadi pukul setengah
sembilan semalam, seperti yang terlihat pada jam dinding
di dalam rekaman. Kami diberitahu bahwa sekitar pukul
sembilan kurang seperempat, kaset-kaset ini diambil dari
ruang keamanan. Kami menuntut kaset-kaset ini sebagai
barang bukti, dan kemudian kami terlibat perdebatan
dengan pihak Jepang."
"Seperti biasa. Dan jam berapa Anda akhirnya
memperoleh kaset-kaset ini?"
"Semuanya diserahkan ke markas divisi sekitar pukul
setengah dua dini hari."
"Oke," ujar Sanders. Berarti dari jam 20.45 sampai jam
01.30 kaset-kaset ini berada di tangan mereka."
"Benar. Lima jam kurang sedikit. "
Sanders mengerutkan kening. "Lima kaset, dengan lima
sudut kamera yang berbeda, diubah dalam lima jam?" la
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin. Waktunya tidak
cukup, Letnan." Aku berkata, "Anda yakin?"
"Hmm," Theresa bergumam, "satu-satunya cara mereka
bisa mengerjakannya secepat itu adalah
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan menggunakan program otomatis, dan dengan program-program yang paling canggih pun tetap ada
detail-detail yang harus dipoles secara manual. Blur yang
buruk bisa membongkar semuanya."
"Blur buruk?" kataku. Aku mulai ketagihan mengajukan
pertanyaan padanya. Aku suka menatap wajahnya.
"Gambar yang kabur akibat gerakan," Sanders
menjelaskan. "Rekaman video dibuat dengan kecepatan
tiga puluh frame per detik. Setiap frame video bisa
dianggap sebagai foto yang diambil dengan kecepatan
sepertiga puluh detik. Dan ini lambat sekali - jauh lebih
lambat dibandingkan dengan kamera ukuran saku. Jika kita
merekam pelari dengan kecepatan sepertiga puluh detik,
kakinya kelihatan kabur. "Itu yang disebut blur akibat gerakan. Dan kalau kita
mengubahnya secara mekanis, gambarnya akan kelihatan
ganjil. Gambarnya terIalu tajam. Garis-garis tepi akan
tampak janggal. Kembali ke masalah yang dihadapi orang
Rusia tadi, kita bisa melihat bahwa ada sesuatu yang
diubah. Untuk gerakan yang realistis, kita memerlukan blur
dalam jumlah yang tepat."
"Oh, begitu." Theresa berkata, "Lalu masih ada masalah pergeseran
warna." "Betul," ujar Sanders. "Di dalam blur terjadi pergeseran
warna. Sebagai contoh, coba lihat ke monitor Pria itu
memakai jas biru, dan jasnya tampak mengembang pada
waktu dia berputar-putar sambil menggendong teman
kencannya. Nah. Jika kita ambil satu frame dari adegan itu,
kita akan melihat bahwa jasnya berwarna navy blue, tetapi
blur-nya semakin muda, sampai hampir transparan pada
tepinya - kita tidak bisa menentukan batas antara jas dan
dinding dengan mengamati satu frame saja."
Samar-samar aku dapat membayangkannya. "Oke..."
"Jika warna-warna tepi tidak berbaur secara sempurna,
kita langsung bisa melihatnya. Untuk membersihkan
rekaman sepanjang beberapa detik saja, misalnya untuk
iklan, dibutuhkan waktu berjam-jam. Tapi kalau tidak
dilakukan, manipulasinya akan ketahuan secepat ini." Ia
menjentikkan jari. "Jadi, kalaupun mereka sempat membuat kopi dari
kaset-kaset ini, mereka tak mungkin mengubah isinya?"
"Dalam lima jam, tidak, kata Sanders. "Waktunya tidak
cukup." "Kalau begitu, adegan itu memperlihatkan kejadian
sesungguhnya." "Betul," ujar Sanders. "Tapi kami akan terus meneliti
rekaman ini setelah Anda pulang. Theresa pasti ingin
mengotak-atiknya. Dan saya juga. Coba hubungi kami nanti
sore. Kami akan memberitahu Anda jika kami menemukan
kejanggalan. Tapi pada dasarnya, kaset-kaset ini tak
mungkin dimanipulasi secepat itu. Dan yang pasti, bukan di
sini." Bab 29 KETIKA aku memasuki pelataran parkir Sunset Hills
Country Dub, aku melihat Connor berdiri di depan
clubhouse yang besar. Ia membungkuk ke arah tiga pemain
golf Jepang yang menemaninya, dan mereka membalas
dengan cara yang sama. Kemudian ia bersalaman dengan
semuanya, lalu melemparkan stik-stik golf ke bangku
belakang dan masuk ke mobil.
"Anda terlambat, Kohai."
"Sori. Hanya beberapa menit. Saya tertahan di U.S.C."
"Keterlambatan Anda merepotkan banyak orang. Untuk
menjaga sopan santun, mereka merasa berkewajiban
menernani saya di depan, sementara saya menunggu Anda.
Orang-orang dengan posisi seperti mereka merasa tidak
nyaman kalau terpaksa berdiri menunggu. Mereka orang
sibuk. Tapi mereka merasa berkewajiban dan tidak bisa
meninggalkan saya. Anda sangat mempermalukan saya.
Anda juga menimbulkan citra buruk bagi seluruh
Departemen." "Maaf. Saya tidak tahu."
"Sudah waktunya Anda mulai sadar, Kohai. Anda tidak
sendirian di dunia."
Aku memasukkan gigi dan mulai menjalankan mobilku.
Aku memperhatikan orang-orang Jepang tadi melalui kaca
spion. Mereka melambaikan tangan. Mereka tidak kelihatan
kesal maupun terburu-buru. "Siapa teman main Anda tadi?"
"Aoki-san kepala Tokio Marine di Vancouver Hanada-san
wakil presiden Mitsui Bank di London. Dan Kenichi Asaka
membawahi semua pabrik Toyota di Asia Tenggara dari
K.L. ke Singapura. Kantornya di Bangkok."
"Sedang apa mereka di sini?"
"Mereka sedang berlibur," kata Connor. "Liburan singkat
di AS untuk bermain golf. Mereka suka bersantai di negara
yang berirama lebih lambat seperti di sini."
Aku menyusuri jalan berkelok-kelok yang menuju Sunset
Boulevard, dan berhenti untuk menunggu lampu hijau. "Ke
mana sekarang?" "Ke Four Seasons Hotel."
Aku membelok ke kanan, ke arah Beverly Hills. "Kenapa
orang-orang itu mau bermain golf dengan Anda?"
"Oh, kami sudah lama saling mengenal," katanya.
"Sekali-sekali membantu di sana-sini. Saya bukan orang
penting, tapi hubungan baik harus tetap dijaga. Menelepon,
memberi hadiah kecil, bermain golf bersama kalau
kebetulan berkunjung. Karena kita takkan pernah tahu
kapan kita memerlukan jaringan kita. Koneksi merupakan
sumber informasi, katup pengaman, sekaligus sistem per-
ingatan dini. Dalam falsafah hidup orang Jepang."
"Siapa yang mengajak bermain?"
"Hanada-san memang sudah punya rencana bermain.
Saya hanya bergabung. Permainan golf saya cukup baik."
"Kenapa Anda ingin bergabung dengannya?"
"Karena saya ingin tahu, lebih banyak mengenai
pertemuan Sabtu," kata Connor.
Aku masih ingat. Dalam rekaman video yang kami tonton
di ruang wartawan, Sakamura menangkap Cheryl Austin
dan berkata, "Kau tidak mengerti, ini semua menyangkut
pertemuan Sabtu." "Dan mereka memberitahu, Anda?"
Connor mengangguk. "Rupanya tradisi pertemuan Sabtu
sudah berlangsung lama," katanya. "Sejak sekitar tahun
delapan puluh. Mula-mula diadakan di Century Plaza,
kemudian di Sheraton, dan akhirnya pindah ke Biltmore."
Connor memandang ke luar jendela. Kami terguncang-guncang karena mobilku masuk ke sebuah
lubang di Sunset Boulevard.
"Selama beberapa tahun, pertemuan-pertemuan itu,
diselenggarakan secara rutin. Pengusaha-pengusaha terkemuka dari Jepang yang kebetulan berada di sini,
berkumpul untuk mengikuti diskusi mengenai apa yang
harus dilakukan dengan Amerika. Bagaimana perekonomian Amerika harus ditangani."
"Apa?" "Ya." "Keterlaluan!" "Kenapa?" tanya Connor.
"Kenapa" Karena ini negara kita. Masa sekelompok
orang asing melakukan pertemuan rahasia untuk
memutuskan bagaimana mereka akan mengelola Amerika!"
"Orang Jepang melihatnya dari sudut lain," ujar Connor.
"Oh, pasti! Saya yakin mereka malah merasa berhak."
Connor mengangkat bahu. "Memang begitu. Dan mereka
percaya bahwa sudah sewajarnya mereka memperoleh hak
untuk memutuskannya."
"Astaga!" "Karena mereka menopang perekonomian kita dengan
investasi besar-besaran yang telah mereka lakukan. Jumlah
uang yang mereka pinjamkan kepada kita sangat besar,
Peter. Sangat besar. Ratusan miliar dolar. Hampir
sepanjang lima belas tahun terakhir Amerika Serikat
mengalami defisit perdagangan dengan Jepang sebesar satu
miliar dolar per minggu. Artinya, setiap minggu Jepang
memperoleh satu miliar dolar, dan uang itu harus
digunakan untuk sesuatu Mereka kebanjiran uang. Padahal
mereka sebenarnya tidak menginginkan dolar dalam
jumlah sedemikian besar. Apa yang harus mereka lakukan
dengan uang yang berlimpah-limpah itu"
"Akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan
uang itu, kepada kita, dalam bentuk pinjaman. Tahun demi
tahun pemerintah kita mengalami defisit anggaran. Bukan
kita yang membayar program-program kita. Orang Jepang
yang membiayai semuanya. Mereka melakukan investasi.
Dan mereka memberikan pinjaman dana, atas jaminan-jaminan tertentu dari pemerintah kita. Washington berjanji kepada orang Jepang bahwa kita akan
membereskan urusan dalam negeri. Kita akan memotong
defisit. Kita akan meningkatkan mutu pendidikan,
memperbaiki prasarana-prasarana, bahkan menaikkan
pajak jika diperlukan. Singkat kata, kita akan membenahi
diri. Sebab hanya dengan demikian investasi di Amerika
dapat dipertanggungjawabkan."
"He-eh," gumamku.
"Tapi kita lalai. Kita membiarkan defisit semakin
membengkak, dan kita melakukan devaluasi dolar. Di tahun
1985, nilai dolar dipotong setengahnya. Anda tahu
bagaimana pengaruh kebijaksaan ini terhadap investasi-investasi Jepang" Rencana-rencana mereka
berantakan. Semua investasi di tahun 1984 hanya memberi
hasil setengah dari jumlah semula."
Samar-samar aku ingat kejadian itu. Aku berkata, "Saya
pikir, cara itu ditempuh untuk membantu defisit
perdagangan kita, untuk menggalakkan ekspor. "
"Memang, tapi ternyata tidak berhasil. Neraca
perdagangan kita dengan Jepang semakin memburuk.
Biasanya, jika nilai mata uang didevaluasi 50%, harga
barang-barang impor akan menjadi dua kali lipat. Tetapi
orang Jepang langsung memotong harga alat-alat video dan
mesin fotokopi, dan mempertahankan pangsa pasar yang
telah mereka kuasai. Ingat, bisnis adalah perang.
"Efek nyata yang akhirnya dicapai hanyalah bahwa tanah
Amerika dan perusahaan-perusahaan Amerika menjadi
lebih murah bagi orang Jepang, sebab yen kini dua kali
lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kepemilikan
bank-bank terbesar di dunia pindah ke tangan Jepang. Dan
kita membuat Amerika menjadi negara miskin."
"Apa hubungan semua ini dengan pertemuan Sabtu?"
"Begini," ujar Connor, "andaikata Anda punya paman
yang gemar minum-minum. Dia berjanji akan menghentikan kebiasaannya itu jika Anda meminjamkan
uang padanya. Tapi kemudian dia mengingkari janjinya.
Dan Anda ingin agar uang Anda kembali. Anda ingin
menyelamatkan sisa-sisa investasi Anda yang buruk. Selain
itu, Anda juga tahu bahwa paman Anda mungkin saja mi-
num sampai mabuk dan mencederai orang lain. Paman
Anda lepas kendali. Anda harus berbuat sesuatu. Dan
kemudian seluruh keluarga berkumpul untuk membahas
tindakan apa yang harus diambil. Itulah yang dilakukan
oleh orang-orang Jepang."
"He-eh." Connor rupanya menangkap nada sangsi dalam suaraku.
"Kelihatannya Anda curiga bahwa mereka melakukan
persekongkolan. Sebaiknya pikiran itu Anda buang
jauh-jauh. Anda berminat mengambil alih Jepang" Tentu
saja tidak. Negara berakal sehat takkan mengambil alih
negara lain. Melakukan bisnis, ya. Membina hubungan, ya.
Tapi bukan mengambil alih. Tak ada yang menginginkan
tanggung jawab sebesar itu. Tak ada yang mau repot. Sama
halnya dengan paman Anda yang pemabuk - Anda hanya
mengadakan rapat keluarga jika memang terpaksa. Kalau
tidak ada jalan lain."
"Begitukah pandangan orang Jepang?"
"Mereka melihat bermiliar-miliar dolar milik mereka,
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kohai. Ditanam di sebuah negeri yang dililit masalah.
Sebuah negeri yang penuh orang aneh yang individualistis
dan berbicara tanpa titik koma. Yang selalu bentrok. Saling
mendebat. Orang-orang tanpa pendidikan yang baik.
Orang-orang yang tidak tahu banyak mengenai dunia, dan
mengandalkan TV sebagai sumber informasi. Orang-orang
yang tidak bekera keras, yang membiarkan kekerasan dan
penggunaan narkotika merajalela, dan sepertinya tidak
terganggu. Orang Jepang menanam miliaran dolar di negeri
aneh ini, dan mereka ingin mendapat laba yang pantas. Dan
walaupun perekonomian Amerika sedang menuju kehancuran - sebentar lagi kita akan turun ke peringkat tiga
dunia setelah Jepang dan Eropa - tetap harus ada yang
mencoba bertahan. Dan peran inilah yang dijalankan oleh
orang Jepang." "Hanya itu?" aku bertanya. "Mereka sekadar membantu
menyelamatkan Amerika?"
"Harus ada yang melakukannya," ujar Connor. "Kita
tidak bisa terus seperti ini."
"Kita pasti berhasil."
"Ini yang dulu biasa dikatakan orang Inggris."
Ia menggelengkan kepala. "Tapi nyatanya sekarang
Inggris jatuh miskin. Dan tidak lama lagi Amerika akan
menyusul." "Kenapa kita harus jatuh miskin?" kataku. Tanpa
sengaja, suaraku menjadi keras.
"Sebab, menurut orang Jepang, Amerika telah menjadi
negeri tanpa isi. Kita telah melalaikan industri perakitan.
Kita tidak lagi menghasilkan barang-barang. Kalau kita
membuat produk-produk, kita memberi nilai tambah
kepada bahan-bahan baku, dan dengan demikian kita
menciptakan kemakmuran. Tapi Amerika sudah berhenti
melakukan itu. Kini orang Amerika menghasilkan dengan
manipulasi di atas kertas, yang menurut orang Jepang
merupakan senjata makan tuan, karena keuntungan di atas
kertas tidak mencerminkan kekayaan nyata. Mereka heran
sekali bahwa kita tergila-gila pada Wall Street dan
spekulasi saham." "Dan karena itu orang Jepang merasa berhak mengatur
kita?" "Mereka merasa harus ada yang mengatur kita. Mereka
lebih suka kalau kita melakukannya sendiri."
"Astaga." Connor bergeser sedikit. "Jangan marah dulu, Kohai.
Menurut keterangan Hanada-san, tradisi pertemuan Sabtu
berakhir pada tahun 1991."
"Oh. "Ya. Waktu itu orang Jepang memutuskan untuk tidak
ambil pusing apakah Amerika membenahi diri atau tidak.
Mereka melihat keuntungan dalam situasi sekarang:
Amerika sedang tidur lelap, dan semakin murah untuk
dibeli." "Berarti tidak ada pertemuan Sabtu lagi?"
"Sekaii-sekali masih. Karena nichibei kankei: hubungan
Jepang-Amerika yang terus berjalan. Perekonomian kedua
negara ini sudah saling terkait. Kedua-duanya tidak dapat
menarik diri, biarpun mereka menginginkannya. Tetapi
pertemuan-pertemuan itu tak lagi penting. Kini sifatnya
lebih sebagai acara ramah-tamah. Jadi, apa yang dikatakan
Sakamura kepada Cheryl Austin ternyata keliru. Dan
kematiannya tidak berhubungan dengan pertemuan Sabtu."
"Lalu, hubungannya dengan apa?"
"Menurut teman-teman saya tadi, kejadian itu bersifat
pribadi. Chijou no motsure, kejahatan bermotif nafsu.
Melibatkan wanita cantik, irokichigai, dan pria pencemburu." "Dan Anda percaya pada mereka?"
"Masalahnya, mereka semua sependapat. Ketiga-tiganya.
Memang, orang Jepang merasa canggung untuk memperlihatkan perbedaan pendapat di antara mereka,,
bahkan di lapangan golf di sebuah negara miskin. Tapi
berdasarkan pengalaman saya, jika mereka bersikap
seperti itu terhadap gaijin, mungkin ada yang ditutup-tutupi." "Maksud Anda, mereka bohong?"
"Tidak juga." COnnor menggelengkan kepala. "Tetapi
saya mendapat kesan bahwa mereka menceritakan sesuatu
kepada saya dengan tidak menceritakannya. Acara tadi pagi
adalah permainan hara no saguriai. Teman-teman saya
tidak membuka diri."
Connor menggambarkan acara main golf tadi. Sepanjang
pagi, semuanya lebih banyak membisu. Semuanya sopan,
tetapi jarang sekali ada yang memberi komentar, dan itu
pun singkat-singkat. Hampir sepanjang waktu mereka
berjalan mengelilingi lapangan golf dalam suasana hening.
"Padahal Anda pergi ke sana untuk mencari informasi?"
kataku. "Bagaimana Anda bisa tahan?"
"Oh, saya tetap memperoleh informasi." Tetapi ketika ia
menjelaskannya, ternyata semuanya dalam bentuk tidak
terucapkan. Karena mereka hidup dengan budaya yang
sama selama berabad-abad, di antara orang-orang Jepang
telah terjalin pengertian yang mendalam, dan mereka
mampu menyampaikan perasaan tanpa kata-kata. Di
Amerika, keakraban serupa dapat ditemui antara orangtua
dan anak-anak kecil sering kali memahami segala sesuatu
hanya dengan "membaca" tatapan orangtuanya. Tetapi
pada umumnya orang Amerika tidak mengandalkan
komunikasi bisu, berbeda dengan orang Jepang. Semua
orang Jepang seakan-akan merupakan anggota sebuah
keluarga, dan mereka sanggup berkomunikasi tanpa
kata-kata. Bagi orang Jepang, sikap membisu mengandung
makna "Tidak ada yang ajaib atau luar biasa," Connor
melanjutkan. "Pada dasarnya, orang Jepang begitu
terkekang oleh peraturan dan adat kebiasaan, sehingga
mereka akhirnya tak dapat mengucapkan apa-apa. Demi
menjaga sopan santun, untuk menyelamatkan muka, lawan
bicara mereka berkewajiban membaca situasi, membaca
konteks, memahami tanda-tanda yang diberikan melalui
sikap tubuh, dan menangkap hal-hal yang tak terucap.
Sebab orang pertama merasa bahwa ia tak dapat
menuangkan perasaannya ke dalam bentuk kata-kata.
Dalam situasi seperti itu, berbicara dianggap tidak pantas.
Jadi, mereka terpaksa menggunakan cara lain."
Aku berkata, "Dan Anda menghabiskan pagi ini seperti
itu" Dengan tidak berbicara?"
Connor menggelengkan kepala. Ia merasa telah menjalin
komunikasi lancar dengan para pemain golf Jepang itu, dan
sama sekali tidak terganggu oleh keheningan yang terjadi.
"Karena saya bertanya mengenai orang-orang Jepang
lain - sesama anggota keluarga mereka - saya terpaksa
merumuskan pertanyaan-pertanyaan saya dengan hati-hati. Sama seperti kalau saya bertanya apakah adik
perempuan Anda dipenjara, atau menanyakan hal lain yang
menyakitkan bagi Anda. Saya akan memperhatikan
seberapa lama Anda terdiam sebelum menjawab, nada
suara Anda, dan sebagainya. Hal-hal di balik komunikasi
verbal. Oke?" "Oke." "Artinya, kita memperoleh informasi melalui intuisi."
"Dan intuisi apa yang Anda peroleh?"
"Mereka bilang, 'Kami tidak lupa bahwa Anda pernah
berjasa bagi kami di masa lalu. Sekarang kami berkeinginan
membantu Anda. Tetapi pembunuhan ini merupakan
masalah orang Jepang, karena itu ada banyak hal yang tak
dapat kami ungkapkan. Berdasarkan sikap bungkam ini,
Anda dapat menarik kesimpulan yang berguna mengenai
masalah sesungguhnya.' Itulah yang mereka sampaikan
pada saya." "Dan apa masalah sesungguhnya yang mereka maksud?"
"Hmm," Connor bergumam, "nama MicroCon sempat
disinggung beberapa kali."
"Perusahaan high-tech itu?"
"Ya. Perusahaan yang akan dijual. MicroCon rupanya
sebuah perusahaan kecil di Silicon Valley yang
mengkhususkan diri di bidang peralatan komputer.
Rencana penjualan itu diliputi masalah-masalah politik.
Masalah-masalah itu juga sempat disinggung-singgung tadi
" "Jadi pembunuhan ini berkaitan dengan MicroCon?"
"Saya kira begitu." Sekall lagi ia bergeser di kursinya. "O,
ya, apa yang Anda peroleh di U.S.C. mengenai kaset-kaset
itu?" "Pertama-tama, semuanya berisi rekaman kopi."
Connor mengangguk. "Memang sudah saya duga,"
katanya. "O, ya?" "Ishiguro tak mungkin menyerahkan rekaman asli.
Orang Jepang menganggap semua orang yang bukan Jepang
sebagai barbar. Dalam arti harfiah: barbar. Bau, vulgar,
bodoh. Mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan, sebab mereka tahu bahwa bukan salah
kita tidak dilahirkan sebagai orang Jepang. Tapi mereka
tetap berpendapat begitu."
Aku mengangguk. Itu kurang lebih sama dengan apa
yang dikatakan Sanders. "Kecuali itu," ujar Connor, "orang Jepang memang sangat
berhasil, tapi mereka bukan pemberani. Mereka bersiasat
dan berkomplot. Jadi, mereka tak mungkin menyerahkan
rekaman asli, karena mereka tidak mau ambil risiko.
Informasi apa lagi yang Anda peroleh mengenai kaset-kaset
itu?" "Kenapa Anda menyangka bahwa masih ada hal lain?"
tanyaku. "Pada waktu menyaksikan rekaman itu," katanya, "Anda
tentu memperhatikan detail penting yang..."
Dan kemudian percakapan kami terputus oleh telepon
yang berdering. "Kapten Connor," sebuah suara bernada riang berkata
lewat speaker, "ini Jerry Orr. Di Sunset Hills Country Club.
Anda lupa membawa formulir Anda."
"Formulir?" "Formulir pendaftaran," kata Orr. "Anda harus
mengisinya, Kapten. Sebenarnya ini hanya formalitas
belaka Saya jamin takkan ada masalah, mengingat siapa
sponsor Anda." "Sponsor saya?" ujar Connor.
"Ya, Sir," balas Orr. "Saya mengucapkan selamat. Anda
tentu tahu, sekarang ini hampir mustahil untuk
memperoleh keanggotaan di Sunset. Tapi beberapa waktu
lalu perusahaan Mr. Hanada telah membeli keanggotan
corporate, dan mereka memutuskan untuk mencantumkan
nama Anda. Terus terang, teman-teman Anda sangat
berbaik hati." "Ya, saya Juga sependapat dengan Anda," kata Connor
sambil mengerutkan kening.
Aku menatapnya. "Mereka tahu Anda senang sekali bermain golf di sini,"
Orr meneruskan. "Anda sudah tahu syarat-syaratnya,
bukan" Hanada akan membeli keanggotaan untuk jangka
waktu lima tahun, tetapi setelah itu, keanggotaannya
menjadi atas nama Anda. Jadi, jika Anda memutuskan untuk
mengundurkan diri, Anda bebas menjualnya. Oke" Anda
akan mengambil formulirnya di sini, atau lebih baik kalau
saya kirim ke rumah Anda?"
Connor berkata, "Mr. Orr, tolong sampaikan ucapan
terima kasih saya kepada Mr. Hanada atas kebaikannya
yang luar biasa. Saya hampir kehilangan kata-kata. Tapi
saya belum bisa memutuskannya sekarang. Saya terpaksa
menghubungi Anda lagi nanti."
"Baiklah. Nanti tolong beritahu kami ke mana formulir
Anda harus kami kirim."
"Nanti saya akan menelepon Anda," jawab Connor.
Ia menekan tombol untuk mengakhiri percakapan, lalu
memandang lurus ke depan. Selama beberapa saat kami
berdua duduk membisu. Akhirnya aku berkata, "Berapa nilai keanggotaan di klub
itu?" "Tujuh ratus lima puluh. Mungkin satu juta."
Aku berkata, "Hadiah yang menarik dari teman-teman
Anda." Dan kemudian aku teringat pada Graham, dan
bagaimana Graham menyindir bahwa Connor sudah dibeli
oleh orang-orang Jepang. Kelihatannya kini kebenaran
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
desas-desus itu tak perlu diragukan lagi.
Connor geleng-geleng kepala. "Saya tak mengerti."
"Kenapa Anda bingung?" ujarku. "Ah, Kapten. Bagi saya
semuanya sudah jelas."
"Saya benar-benar tak mengerti," Connor berkata sekali
lagi. Dan kemudian telepon kembali berdering. Kali ini
untukku. "Letnan Smith" Di sini Louise Gerber. Saya lega sekall
karena bisa menghubungi Anda."
Aku tidak mengenali namanya. Aku berkata,
"Ya?" "Karena besok hari Sabtu, saya pikir Anda mungkin
punya waktu untuk melihat rumahnya."
Baru sekarang aku teringat siapa wanita itu. Sebulan
sebelumnya, aku sempat berkeliling kota dengan seorang
broker untuk melihat-lihat rumah. Michelle semakin besar,
dan aku lebih suka kalau ia tak perlu tinggal di apartemen.
Kalau bisa, aku ingin menyediakan halaman belakang
untuknya. Tapi harapannya tipis. Walaupun bisnis real
estate sedang lesu, harga rumah-rumah yang paling kecil
pun masih berkisar antara 400.000 sampai 500.000 dolar.
Dan aku tidak memenuhi syarat, dengan gaji yang kuterima.
"Ini situasi yang sangat tidak lazim," ia berkata, "dan
saya langsung teringat pada Anda dan putri Anda.
Rumahnya terietak di Palms, kecil - sangat kecil - tapi di
pojok jalan, dengan halaman belakang yang indah. Ada
bunga-bunga dan rumput yang bagus sekali. Harga yang
diminta 300.000. Tapi saya rasa masih bisa ditawar. Anda
berminat melihatnya'?"
Aku berkata, "Siapa pemiliknya?"
"Saya pun tidak mengenalnya. Situasinya memang tidak
lazim. Rumah itu milik wanita tua yang kini tinggal di panti
werda, dan putranya, yang tinggal di Topeka, ingin
menjualnya. Tapi dia lebih suka menerima sejumlah uang
setiap bulan daripada setumpuk uang sekaligus. Rumah itu
belum dipasarkan secara resmi, tapi saya tahu bahwa
penjualnya serius. Jika Anda ada waktu besok, mungkin
Anda dapat berbuat sesuatu. Dan halaman belakangnya
benar-benar indah. Putri Anda pasti senang sekali."
Kini giliran Connor menatapku. Aku berkata, "Miss
Gerber, saya butuh informasi lebih banyak. Siapa
penjualnya, dan sebagainya."
Wanita itu rupanya merasa heran. "Wah, saya sangka
Anda takkan berpikir dua kali. Situasi seperti ini tidak bisa
ditemui setiap hari. Anda tidak berminat melihat rumahnya
dulu?" Connor memandangku sambil mengangguk-angguk. Ia
menggerak-gerakkan mulut, katakan ya. "Saya akan
menghubungi Anda lagi mengenai ini," ujarku.
"Baiklah, Letnan," kata wanita itu. Nadanya ragu-ragu.
"Tolong hubungi saya kalau Anda sudah mengambil
keputusan." "Saya akan menelepon Anda."
Aku meletakkan gagang. "Persetan, ada apa ini?" tanyaku. Sebab aku tak bisa
menutup mata. Connor dan aku baru saja disodori uang
dalam jumlah banyak. Sangat banyak.
Connor menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu."
"Apakah ada hubungannya dengan MicroCon?"
"Saya tidak tahu. Saya kira MicroCon hanya perusahaan
kecil. Ini tidak masuk akal." Ia tampak gelisah sekali.
"Sebenarnya, ada apa di balik MicroCon?"
Aku berkata, "Saya tahu siapa yang harus kita tanyai."
Bab 30 "MICROCONT?" ujar Ron Levine sambil menyalakan
sebatang cerutu besar. "Tentu, aku bisa bercerita banyak
mengenai MicroCon. Kisahnya tidak menyenangkan."
Kami sedang duduk di ruang wartawan American
Financial Network, sebuah stasiun TV kabel khusus berita,
yang berlokasi di dekat bandara. Melalui jendela-jendela di
ruang kerja Ron, aku melihat sejumlah antena parabola
berwarna putih di atas gedung parkir di sebelah. Ron
mengisap cerutunya dan menatap kami sambil tersenyum.
Ia wartawan keuangan di Times sebelum menerima
pekerjaan di muka kamera di sini. AFN termasuk satu dari
sedikit stasiun TV yang para pembawa acaranya tidak
diberi naskah; mereka harus memahami permasalahannya,
dan Ron sangat memahaminya.
"MicroCon," ia berkata, "dibentuk lima tahun yang lalu
oleh konsorsium perusahaan-perusahaan komputer Amerika. Perusahaan ini diharapkan untuk mengembangkan mesin litografi sinar-X generasi berikut
untuk chips komputer. Pada waktu MicroCon didirikan, tak
ada perusahaan Amerika yang membuat mesin litograft -
semuanya terpaksa gulung tikar di tahun delapan puluhan,
karena tak sanggup menghadapi persaingan ketat dari
Jepang. MicroCon mengembangkan teknologi baru, dan
membuat mesin-mesin untuk perusahaan-perusahaan
Amerika. Oke?" "Oke," kataku. "Dua tahun lalu, MicroCon dijual kepada Darley-Higgins,
sebuah perusahaan manajemen yang berpusat di Georgia.
Kemudian anak-anak perusahaan mereka yang lain
mengalami masalah, sehingga Darley memutuskan menjual
MicroCon, untuk memperoleh dana baru. Calon pembelinya
Pertempuran Di Kutub Utara 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Kisah Tiga Kerajaan 23
"Begini," katanya, "Off the record, oke?"
"Oke." "Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, Pete. Banyak
yang tidak kupahami."
"Kenapa kau tidak memberitahuku siapa wanita muda
itu, semalam?" "Sori. Semalam aku lagi banyak urusan."
"Ellen." Hening. Kemudian, "Pete, pergaulannya sangat luas. Dia
kenal banyak orang."
"Apakah dia kenal Pak Wali Kota"'"
Hening. "Seberapa akrab dia dengan Pak Wali Kota?"
"Begini saja," ujar Ellen, "dia cantik dan kenal. banyak
orang di kota ini. Menurutku, dia kurang seimbang. Tapi dia
cantik dan pengaruhnya terhadap kaum pria luar biasa. Kau
harus lihat sendiri supaya bisa percaya. Nah, sekarang
banyak orang mendadak sibuk. Kau sudah baca Times hari
ini." "Belum." "Coba baca dulu. Kalau aku boleh beri saran, selama
beberapa hari berikut ini, sikapmu harus baik-baik. Segala
tindak-tandukmu harus sesuai peraturan. Dan berhati-hatilah." "Oke. Thanks, Ellen."
"Jangan berterima kasih padaku. Aku tak pernah
meneleponmu." Kemudian nada suaranya menjadi lebih
lembut. "Jaga dirimu, Peter."
Aku mendengar nada kosong.
"Daddy?" "Sebentar, Shel."
"Aku boleh nonton film kartun?"
"Boleh, Sayang."
Aku mencari film kartun di TV, lalu masuk ke ruang
duduk. Aku membuka pintu depan dan memungut koran
Times dari keset. Baru setelah beberapa waktu aku
berhasil. menemukan artikel yang kucari, di halaman
terakhir bagian Metro. TUDUHAN RASIALISME POLISI MEMBAYANGI PESTA
JEPANG Paragraf pertama kubaca sepintas lalu. Pejabat-pejabat
Jepang dari perusahaan Nakamoto mengeluh mengenai
sikap polisi yang "tanpa perasaan dan tidak peka", yang
menurut mereka mencoreng malam peresmian gedung
pencakar langit mereka yang baru di Figueroa. Paling tidak
satu pejabat Nakamoto mengemukakan pandangan bahwa
tindakan polisi berlatar belakang rasial. Seorang juru bicara
berkata, "Kami tidak yakin L.A.P.D. akan bersikap dengan
cara ini seandainya bukan perusahaan Jepang yang terlibat.
Kami berpendapat bahwa tindakan polisi mencerminkan
standar ganda dalam perlakuan petugas-petugas Amerika
terhadap orang Jepang." Mr. Hiroshi Ogura, ketua dewan
direksi Nakamoto, hadir dalam pesta itu, yang antara lain
dihadiri oleh orang-orang terkenal seperti Madonna dan
Tom Cruise, tetapi tidak dapat dihubungi untuk dimintai
komentar atas kejadian tersebut. Seorang juru bicara
berkata, "Mr. Ogura sangat menyayangkan bahwa sikap
pihak berwenang sempat mencoreng pertemuan ini. Ia
menyesalkan segala kekisruhan yang telah terjadi."
Menurut sementara pengamat, Wali Kota Thomas
mengutus salah satu anggota stafnya untuk berunding
dengan polisi, namun hasiInya tidak menggembirakan.
Pihak polisi tidak mengubah sikap, meski telah didampingi
petugas penghubung khusus Jepang, Letnan Peter Smith,
yang bertugas meredam situasi-situasi yang peka dari segi
rasial... Dan sebagainya. Kita harus membaca empat paragraf sebelum mengetahui bahwa telah terjadi pembunuhan. Sepertinya
detail ini nyaris dianggap tidak relevan.
Perhatianku kembali ke judul artikel. Artikelnya berasal
dari City News Service, sehingga, nama wartawan yang
menulisnya tidak dicantumkan.
Aku begitu marah, sehingga aku menelepon kenalan
lamaku di Times, Kenny Shubik. Ken adalah wartawan
Metro yang paling senior. Sudah lama sekali ia bergabung
dengan koran itu, dan ia mengetahui segala sesuatu yang
sedang terjadi. Karena masih pukul delapan pagi, aku
meneleponnya di rumah. "Ken. Pete Smith."
"Oh, hai," katanya. "Syukurlah kau terima pesanku."
Di latar belakang, aku mendengar seseorang yang
rupanya seorang remaja putri, "Oh, ayolah, Dad. Kenapa
aku tidak boleh pergi?"
Ken berkata, "Jennifer, jangan ganggu aku dulu."
"Pesan yang mana?" tanyaku.
Ken berkata, "Semalam aku meneleponmu, sebab kupikir
kau tentu ingin tahu dengan segera. Dia pasti diberitahu
oleh seseorang. Kau bisa kira-kira apa yang ada di
baliknya?" "Di balik apa?" ujarku. Aku sama sekali tidak memahami
maksudnya. "Sori, Ken, pesanmu belum kuterima."
"Benar?" katanya. "Aku menelepon sekitar jam setengah
dua belas semalam. Operator DHD bilang kau sedang
menangani kasus, tapi kau punya telepon mobil. Kubilang
urusannya penting, dan minta agar kau meneleponku di
rumah kalau perlu. Sebab aku yakin kau memang ingin
tahu." Di latar belakang, gadis tadi berkata, "Dad, ayo, dong.
Aku masih harus pilih baju."
"Jennifer, diam dulu," Ken menghardik. Dan padaku ia
berkata, "Kau juga punya anak perempuan, bukan?"
"Yeah," kataku. "Tapi dia baru dua tahun."
"Tunggu saja," ujar Ken. "Begini, Pete. Kau benar-benar
tidak terima pesanku?"
"Tidak," jawabku. "Aku menelepon karena urusan lain.
Artikel di koran pagi ini."
"Artikel yang mana?"
"Liputan mengenai Nakamoto di halaman delapan.
Artikel mengenai 'polisi yang tanpa perasaan dan tidak
peka' pada malam peresmian gedung."
"Jeez, aku tidak tahu berita itu sudah dimuat. Aku tahu
Jodie meliput pesta mereka, tapi seharusnya baru besok
dimuat. Kau tahu sendirl, pesta-pesta Jepang selalu menarik
kaum jetset. Kemarin jadwal Metro di meja Jeff masih
kosong." Jeff adalah editor bagian Metro. Aku berkata, "Hari ini
ada artikel mengenai pembunuhan itu."
"Pembunuhan yang mana?" tanya Ken. Suaranya
bernada aneh. "Semalam terjadi pembunuhan di gedung. Nakamoto.
Sekitar jam setengah sembilan. Salah satu tamu tewas."
Ken terdiam. Merangkai-rangkai informasi. Akhirnya ia
bertanya, "Kau terlibat?"
"Seksi pembunuhan minta bantuanku sebagai petugas
penghubung Jepang." "Hmm," Ken bergumam. "Begini saja. Tunggu sampai aku
tiba di kantor untuk mencari informasi tambahan. Dalam
satu jam, kita bicara lagi. Dan tolong sebutkan
nomor-nomor telepon di mana kau bisa dihubungi, supaya
aku bisa langsung bicara denganmu."
"Oke." Ia berdehem. "Eh, Pete," katanya. "Ini antara kita saja.
Kau lagi ada masalah?"
"Seperti apa, misalnya?"
"Misalnya, masalah moral, masalah dengan rekening
bankmu. Penyimpangan mengenai penghasilan yang
dilaporkan... apa saja yang perlu kuketahui. Sebagai
temanmu." "Tidak," kataku.
"Aku tidak butuh detail-detailnya. Tapi kalau ada
sesuatu yang tidak beres ..."
"Tidak ada apa-apa, Ken."
"Soalnya begini, aku mau membantumu, tapi aku tidak
berminat beli kucing dalam karung."
"Ken. Ada apa sebenarnya?"
"Aku tidak bisa cerita banyak sekarang. Tapi sepintas
lalu kelihatannya ada yang mau menikammu dari
belakang," kata Ken. "Telepon aku satu jam lagi, oke?"
"Kau memang teman yang baik. Aku berutang budi
padamu." "Dan jangan lupa itu," Ken berkata. Ia meletakkan
gagang. Aku memandang berkeliling di apartemenku. Segala
sesuatu tetap seperti semula. Cahaya matahari pagi masuk
melalui jendela. Michelle duduk di kursi favoritnya,
menonton film kartun sambil mengisap jempol. Tapi entah
kenapa semuanya terasa lain. Aneh. Sepertinya seluruh
dunia mendadak miring. Tetapi masih banyak hal yang harus kukerjakan.
Hari semakin siang. Aku harus berpakaian sebelum
Elaine datang untuk membawa Michelle ke tempat
penitipan anak. Aku mengatakannya pada Michelle. Ia
mulai menangis. TV kumatikan dan Michelle berbaring di
lantai sambil menendang-nendang dan menjerit-jerit.
"Jangan, Daddy! Kartun, Daddy! "
Aku mengangkatnya dan menggendongnya ke kamar
tidur untuk mengganti pakaiannya. Ia berteriak-teriak
sekuat tenaga. Pesawat telepon kembali berdering. Kali ini
dari operator divisi. "Pagi, Letnan. Ada beberapa pesan untuk Anda."
"Sebentar, saya ambil pensil dulu," kataku. Aku
menurunkan Michelle. Tangisnya semakin keras. Aku
berkata, "Sekarang kamu pilih sepatu mana yang akan
kaupakai ke sekolah, ya?" "
"Kedengarannya seperti ada pembunuhan di tempat
Anda," si operator telepon berkomentar.
"Dia tidak mau bersiap-siap untuk pergi ke sekolah."
Michelle menarik-narik kakiku. "Tidak mau, Daddy. Aku
tidak mau sekolah, Daddy."
"Kau harus sekolah," aku berkata dengan tegas.
Michelle kembali menangis. "Silakan," aku berkata
kepada si operator. "Oke, pukul 23.41 semalam, ada telepon dari seseorang
bernama Ken Subotik atau Subotnik, dari LA Times. Dia
minta ditelepon lagi. Pesannya, 'Si Musang sedang
mengintai Anda.' Dia bilang, Anda tahu artinya. Anda bisa
menghubunginya di rumah. Anda punya nomornya?"
"Ya." "Oke. Pukul 01.42 dini hari, telepon dari Mr. Eddie Saka
kelihatannya seperti Sakamura. Dia bilang penting, harap
telepon ke rumahnya, 5558434. Mengenai kaset yang
hilang. Oke?" Sialan. Aku berkata, "Jam berapa dia menelepon?"
"Pukul 01.42 dini hari. Teleponnya disambungkan ke
County General, dan sepertinya operator di sana tak dapat
menemukan Anda. Anda berada di kamar mayat?"
"Yeah." "Sori, Letnan, tapi begitu Anda keluar mobil, kami
terpaksa melalui pihak ketiga."
"Oke. Ada lagi?"
"Kemudian pukul 06.43 tadi. Kapten Connor meninggalkan nomor pager yang dapat Anda hubungi. Dia
bilang dia mau main golf pagi ini."
"Oke." "Dan pukul 07.10, ada telepon dari Robert Woodson
yang bekerja di kantor Senator Morton. Senator Morton
ingin bertemu dengan Anda dan Kapten Connor pukul satu
siang nanti di Los Angeles Country Club. Dia minta agar
Anda meneleponnya untuk mengkonfirmasikan bahwa
Anda akan menemui Senator Morton. Saya sudah berusaha
menghubungi Anda, tetapi telepon Anda sedang dipakai.
Anda akan menelepon Senator Morton?"
Aku mengatakan bahwa aku akan meneleponnya.
Kemudian aku minta tolong pada operator itu untuk
menghubungi Connor di lapangan golf, dan berpesan agar
Connor meneleponku di mobil.
Aku mendengar kunci pintu diputar. Elaine melangkah
masuk. "Selamat pagi," katanya.
"Maaf, tapi Shelly belum berganti baju."
"Tidak apa-apa," ujar Elaine. "Jam berapa Mrs. Davis
akan menjemputnya?" "Kami masih menunggu kabar darinya."
Elaine sudah terbiasa menghadapi keadaan ini.
"Ayo, Michelle. Sekarang kita pilih bajumu untuk hari ini.
Sudah waktunya bersiap-siap berangkat sekolah."
Aku melirik jam tangan. Aku baru saja hendak mengisi
cangkirku dengan kopi ketika pesawat telepon berdering.
"Apakah saya bisa bicara dengan Letnan Peter Smith?"
Ternyata dari Wakil Komandan, Jim Olson.
"Hai, Jim." "Pagi, Pete." Nada suaranya ramah. Tapi Jim Olson tidak
pernah menelepon orang sebelum jam sepuluh pagi, kecuali
jika
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
situasinya memang genting. Olson berkata, "Kelihatannya kita menghadapi masalah besar. Kau sudah
baca koran pagi ini?"
"Yeah, sudah." "Dan kau sempat melihat siaran berita?"
"Sebagian." Pak Komandan meneleponku dan minta saran untuk
mengendalikan situasi ini. Aku butuh keteranganmu
sebelum memberikan rekomendasi. Oke?"
"Oke." "Aku baru saja bicara dengan Tom Graham lewat
telepon. Dia mengakui bahwa kejadian semalam memang
kacau-balau. Tak ada yang bisa dibanggakan."
"Sepertinya begitu."
"Dua cewek telanjang menghalang-halangi dua petugas
berbadan sehat dan menggagalkan penangkapan seorang
tersangka. Intinya begitu, bukan?"
Kedengarannya konyol sekali. Aku berkata, "Kau harus
ada di sana untuk memahami duduk perkaranya, Jim."
"He-eh," katanya. "Hmm, sejauh ini ada satu hal yang
menguntungkan bagi kita. Aku telah memeriksa apakah
prosedur pengejaran dijalankan secara benar. Rupanya
memang begitu. Kita punya rekaman dari komputer,
rekaman percakapan radio, dan semuanya sesuai
peraturan. Untung saja. Bahkan tak ada yang mengumpat.
Rekaman-rekaman ini bisa kita berikan kepada pihak
media, seandainya situasi bertambah parah. Jadi, dalam hal
ini posisi kita cukup aman. Tapi sayang sekali Sakamura
tewas." "Ya." "Graham sempat kembali untuk mencari kedua cewek
itu, tapi rumah Sakamura ternyata sudah kosong. Mereka
sudah lenyap." "Begitu." "Dan tentunya tidak ada yang sempat mencatat
nama-nama mereka?" "Tidak." "Berarti kita tidak punya saksi untuk kejadian di rumah
Sakamura. Ini agak berbahaya."
"He-eh." "Pagi ini mereka sedang mengeluarkan mayat Sakamura
dari mobil itu, untuk mengirim sisa-sisanya ke kamar
jenazah. Menurut Graham, kasus ini sudah selesai. Kalau
tidak salah, ada rekaman video yang memperlihatkan
bahwa Sakamura membunuh cewek itu, bukan" Graham
bilang, dia sudah siap membuat laporan lima-tujuh-sembilan. Menurutmu bagaimana" Kasus ini
sudah bisa ditutup?"
"Kelihatannya begitu."
'Kalau begitu, kita sudahi saja," ujar Olson. "Masyarakat
Jepang merasa jengkel dam tersinggung oleh penyelidikan
Nakamoto. Mereka ingin penyelidikan tersebut bisa
diakhiri secepat mungkin. Jadi, kalau kasus ini bisa
dianggap selesai, itu akan sangat membantu."
"Aku setuiu," kataku. "Kita akhiri saja di sini."
"Syukurlah kalau begitu, Pete," kata Olson.
"Aku akan bicara dengan Pak Komandan. Mogamoga kita
bisa mencegah tindakan disipliner."
"Thanks, Jim." "Usahakan agar kau jangan terialu khawatir.
Aku sendiri tidak melihat isu disipliner di sini. Asal saja
kita punya rekaman video yang memperlihatkan Sakamura
pelakunya." "Yeah." "Mengenai rekaman-rekaman ini," katanya, "aku sudah
minta agar Marty mengambil semuanya dari lemari barang
bukti. Tapi sepertinya dia tidak menemukannya."
Aku menarik napas panjang dan berkata, "Memang,
soalnya kubawa pulang."
"Kau tidak menyimpan kaset-kaset video itu di lemari
barang bukti semalam?"
"Tidak. Aku ingin membuat kopinya dulu."
Olson terbatuk-batuk. "Pete. Sebenarnya lebih baik kalau
kau mengikuti prosedur."
"Aku ingin membuat kopinya dulu," kataku sekali lagi.
"Begini saja," ujar Jim, "buat kopinya, lalu bawa semua
rekaman asli ke mejaku sebelum jam sepuluh. Oke?"
"Oke." "Kadang-kadang memang agak lama sebelum bahan
tertentu bisa ditemukan di lemari barang bukti."
Secara tak langsung ia mengatakan bahwa ia akan
melindungiku. "Thanks, Jim."
"Jangan berterima kasih padaku, sebab aku tidak
melakukan apa-apa," jawabnya. "Sepanjang penge-
tahuanku, semuanya sesuai prosedur standar."
"Betul." "Tapi kusarankan, selesaikan semuanya dengan segera.
Aku bisa mengulur-ulur waktu selama beberapa jam. Tapi
di sini sedang terjadi sesuatu. Aku tidak tahu persis dari
mana asal-usulnya. Jadi jangan ambil risiko, oke?"
"Oke, Jim. Aku sudah mau berangkat."
Aku meletakkan gagang. Bab 24 PASADENA tampak seperti sebuah kota di dasar gelas
berisi susu asam. Laboratorium Tenaga Jet terletak di
perbukitan di kaki gunung di pinggir kota, tidak jauh dani
Rose Bowl. Tapi walaupun sudah pukul 08.30, pegunungan
tetap tak tampak, karena terhalang kabut berwarna putih
kekuning-kuningan. Aku menjepit kardus berisi kaset-kaset video di bawah
lengan, memperlihatkan lencanaku, mengisi daftar tamu di
gardu jaga, dan bersumpah bahwa aku warga negara
Amerika Serikat. Petugas jaga lalu menyuruhku ke gedung
utama, melintasi pekarangan dalam.
Selama beberapa dekade, Laboratorium Tenaga Jet
berfungsi sebagai pusat komando bagi wahana-wahana
ruang angkasa Amerika yang memotret planet Jupiter serta
cincin-cincin planet Saturnus, dan mengirim foto-fotonya
ke bumi dalam bentuk gambar video. LTJ merupakan
tempat peralatan video modern diciptakan. Jika ada yang
sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang kubawa, LTJ--
lah tempatnya. Mary Jane Kelleher, sekretaris pers LTJ, membawaku ke
lantai tiga. Kami menyusun sebuah selasar berwarna hijau,
melewati beberapa pintu yang menuju ruang-ruang kantor
yang kosong. Aku menyinggung hal itu.
"Memang benar," ia berkata sambil mengangguk.
"Belakangan ini kami kehilangan sejumlah tenaga ahli,
Peter." "Ke mana mereka pergi?" tanyaku.
"Sebagian besar ditampung oleh industri. Dari dulu
selalu ada beberapa orang yang pindah ke IBM di Armonk,
atau ke Bell Labs di New Jersey. Tapi lab-lab itu sudah tidak
lagi memiliki perlengkapan terbaik atau dana yang paling
besar. Posisi mereka digantikan oleh lab-lab penelitian
Jepang, misalnya Hitachi di Long Beach, Sanyo di Torrance,
Canon di Inglewood. Banyak peneliti Amerika bekerja
untuk mereka sekarang."
"LTJ tidak prihatin mengenai perkembangan ini?"
"Tentu saja kami prihatin," katanya. "Semua orang tahu
bahwa cara terbaik untuk mengalihkan teknologi adalah di
dalam kepala seseorang. Tapi kami tak dapat berbuat
apa-apa." Ia mengangkat bahu. "Para peneliti ingin
melakukan penelitian. Dan Amerika kini membatasi diri
dalam bidang riset dan pengembangan. Anggaran
diperketat. Jadi memang lebih baik bekerja untuk orang
Jepang. Mereka berani membayar, dan mereka benar-benar
menghargai penelitian. Kalau kita memerlukan per-
lengkapan tertentu, kita akan mendapatkannya. Paling
tidak, itulah yang dikatakan teman-temanku. Nah, kita
sudah sampai." Ia mengajakku ke sebuah laboratorium yang penuh
sesak dengan peralatan video. Kotak-kotak hitam
ditumpuk-tumpuk di rak-rak logam dan meja-meja logam;
kabel-kabel simpang siur di lantai; ada berbagai jenis
monitor dan layar peraga. Di tengah-tengah semuanya itu
berdiri pria berjanggut bernama Kevin Howzer. Usianya
sekitar 35 tahun. Pada monitor tampak mekanisme gigi,
dengan warna pelangi yang terus berubah-ubah. Mejanya
dipenuhi kaleng-kaleng Coke dan bekas bungkus permen.
Rupanya ia tidak tidur sepanjang malam, bekerja.
"Kevin, ini Letnan Smith dari L.A.P.D. Dia punya
beberapa kaset video yang perlu dikopi."
"Cuma dikopi?" tanya Howzer dengan nada kecewa.
"Kaset-kaset itu tidak perlu diotak-atik?"
"Tidak, Kevin," ujar Mary Jane. "Tidak perlu."
"Beres. " Aku menunjukkan salah satu kaset pada Howzer. Ia
memutar-mutarnya dan mengangkat bahu.
"Kelihatannya seperti kaset delapan mili standar. Apa
isinya?" "Rekaman video Jepang, definisi tinggi."
"Maksud Anda, sinyal HDT."
"Mungkin." "Mestinya tidak ada kesulitan. Anda punya alat putar
yang bisa saya pakai?"
"Ya." Aku mengeluarkan alat itu dari kotak dan
menyerahkannya. "Jeez, mereka memang hebat Alat ini benar-benar
bagus." Kevin mengamati tombol-tombol di bagian depan.
"Yeah, memang definisi tinggi. Jangan takut, kalau cuma
begini saja, saya masih sanggup." Ia membalikkan kotak itu
dan memperhatikan colokan-colokan di belakang. Tiba-tiba
ia mengerutkan kening. Ia memindahkan lampu meja dan
membuka tutup kaset, sehingga pitanya kelihatan.
Wamanya keperak-perakan. "Hmm. Apakah isi kaset-kaset
ini menyangkut masalah hukum?"
"Ya." Ia mengembalikan kasetnya padaku. "Sori, saya tidak
bisa membuat kopi." "Kenapa tidak?"
"Anda lihat warna perak ini" Itu pita logam yang sudah
menguap. Saya rasa formatnya mencakup kompresi dan
dekompresi real-time. Saya tidak bisa membuat kopi untuk
Anda, karena saya tidak bisa mencocokkan formatnya, yang
berarti saya tidak bisa merekam sinyal dengan cara yang
pasti terbaca. Saya bisa saja membuat kopi untuk Anda, tapi
saya tidak bisa menjamin bahwa hasilnya sempurna,
karena saya tidak bisa mencocokkan fonnatnya. Jadi, kalau
memang ada masalah hukum - dan saya kira ada - Anda
terpaksa membawa kaset-kaset ini ke tempat lain untuk
membuat kopi." "Ke mana, misalnya.?"
"Ini mungkin format D-empat yang baru. Kalau memang
itu, satu-satunya tempat untuk membuat kopi adalah
Hamaguchi." "Hamaguchi?" "Lab penelitian di Glendale, milik Kawakami Industries.
Setiap perlengkapan video yang ada di muka bumi ini ada
di sana." Aku berkata, "Menurut Anda, mereka akan membantu
saya?" "Sekadar membuat kopi" Tentu. Saya kenal salah satu
direktur lab, Jim Donaldson. Kalau perlu, saya bisa
meneleponnya untuk Anda."
"Itu akan sangat membantu."
"Beres." Bab 25 HAMAGUCHI RESEARCH INSTITUTE menempati sebuah
gedung kaca tanpa ciri khas di kawasan industri di sebelah
utara Glendale. Aku memasuki lobi sambil membawa
kotakku. Di balik meja penerima tamu yang bergaya
modern, aku melihat sebuah atrium di bagian tengah
gedung, dengan lab-lab berkaca gelap di semua sisinya.
Aku menanyakan Dr. Jim Donaldson, lalu duduk di lobi.
Sementara aku menunggu, dua pria berjas melangkah
masuk. Dengan gaya akrab mereka menganggukkan kepala
kepada petugas penerima tamu, lalu duduk di sofa di
dekatku. Tanpa memperhatikanku, mereka menggelar
brosur-brosur mengilap di meja.
"Nah, ini," ujar salah seorang dari mereka, "ini yang
kumaksud. Ini adegan terakhir. Adegan penutup."
Aku melirik ke arah mereka dan melihat pemandangan
bunga-bunga liar dan gunung-gunung berselubung salju.
Pria pertama tadi mengetuk-ngetuk foto-foto itu.
"Rocky Mountains. Americana sejati. Percayalah, inilah
daya tarik utamanya Dan lahannya benar-benar luas."
"Seberapa luas katamu tadi?"
"Seratus tiga puluh ribu ekar. Lahan paling luas yang
masih tersedia di Montana. Dua puluh kali sepuluh
kilometer tanah peternakan terbaik, menghadap ke
Rockies. Lahan seluas itu pantas disebut taman nasional.
Bayangkan kemegahannya. Dimensinya. Kualitas terbaik.
Cocok sekali untuk konsorsium Jepang."
"Dan mereka sudah menyinggung harga?"
"Belum. Tapi para peternak, kau tahu sendiri, situasi
mereka pelik. Orang asing kini boleh
mengekspor daging sapi ke Tokyo, dan harga daging sapi
di Jepang sekitar 20 sampai 22 dolar sekilo. Tapi tak
seorang pun di Jepang mau beli daging sapi asal Amerika.
Kalau orang Amerika mengirim daging, dagingnya akan
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membusuk di dermaga. Tapi kalau peternakan mereka
dijual kepada orang Jepang, dagingnya bisa diekspor. Sebab
orang Jepang mau beli dari peternakan milik orang Jepang.
Orang Jepang mau melakukan bisnis dengan sesama orang
Jepang. Di mana-mana di Montana dan Wyoming sudah
banyak peternakan yang dijual. Para. peternak yang masih
bertahan kini bisa melihat koboi-koboi Jepang berkuda di
padang rumput. Mereka melihat peternak-peternak lain
melakukan perbaikan, membangun gudang jerami,
menambahkan perlengkapan modern, dan sebagainya.
Sebab peternak-peternak lain itu memperoleh harga tinggi
di Jepang. Nah, para peternak Amerika, mereka tidak
bodoh. Mereka bisa membaca gelagat. Mereka sadar bahwa
mereka tak dapat bersaing. Jadi mereka pun menjual."
"Tapi setelah itu, apa yang dilakukan orang-orang
Amerika itu?" "Mereka tetap tinggal di tempat dan bekerja untuk orang
Jepang. Tak ada masalah. Orang Jepang membutuhkan
orang untuk mengajarkan cara beternak pada mereka. Dan
semua pekerja memperoleh kenaikan gaji. Orang Jepang
peka terhadap perasaan orang Amerika. Mereka bangsa
yang peka." "Aku tahu, tapi aku tetap tidak suka. Aku tidak suka
semuanya ini." "Boleh-boleh saja, Ted. Tapi apa yang akan kaulakukan"
Menulis surat protes kepada anggota Kongres" Mereka
semua bekerja untuk orang Jepang. Asal tahu saja, orang
Jepang menjalankan peternakan-peternakan itu dengan
subsidi dari pemerintah Amerika." Pria pertama memutar-mutar gelang emas di pergelangan tangannya. Ia
merapatkan badan ke rekannya. "Begini, Ted. Jangan sok
moralis. Kau dan aku, kita sama-sama butuh kontrak ini.
Ingat, kita bakal dapat lima persen dan pembayaran selama
lima tahun dari transaksi senilai 700 juta dolar. Jangan lupa
itu. Kau sendiri akan memperoleh 2,4 juta, dan itu baru
untuk tahun pertama. Masih ada empat tahun lagi."
"Memang. Tapi tetap saja ada yang terasa mengganjal."
"Ted, aku yakin hati nuranimu takkan mengganggumu
lagi pada waktu kontrak ini ditandatangani. Tapi sekarang
masih ada beberapa detail yang perlu kita bahas..." Saat itu,
mereka rupanya baru sadar bahwa aku mendengarkan
percakapan mereka. Mereka langsung berdiri dan pindah
ke tempat yang agak jauh. Aku mendengar pria pertama
mengatakan sesuatu mengenai "jaminan bahwa Negara
Bagian Montana menyetujui dan mendukung..." Rekannya
mengangguk pelan-pelan. Pria pertama menonjok bahunya
berusaha menghiburnya. "Letnan Smith?"
Seorang wanita berdiri di samping tempat dudukku.
"Ya?" "Saya Kristen, asisten Dr. Donaldson. Kevin dari LTJ
sudah menelepon ke sini. Katanya Anda butuh bantuan
dengan beberapa kaset video?"
"Ya, saya ingin membuat kopi."
"Masalahnya, bukan saya yang menerima telepon dari
Kevin tadi. Dia bicara dengan salah satu sekretaris, dan
orang itu tidak memahami situasinya. "
"Maksud Anda?" "Dr. Donaldson sedang keluar. Dia memberikan ceramah
pagi ini." "Oh, begitu." "Dan ini agak menyulitkan bagi kami. Tanpa dia di lab..."
"Saya hanya ingin membuat kopi dari kaset-kaset ini.
Barangkali ada orang lain yang bisa membantu saya?"
ujarku. "Biasanya bisa, tapi sayang sekali hari ini tidak."
Aku menghadapi tembok Jepang. Sangat sopan, namun
tetap sebuah tembok. Aku menghela napas. Memang sudah
dapat diduga bahwa perusahaan riset Jepang takkan mau
membantuku. Biarpun sekadar membuat kopi dari
kaset-kaset video. "Saya mengerti."
"Pagi ini belum ada orang di lab. Semalam semuanya
bekerja lembur karena ada proyek yang harus segera
selesai, dan sepertinya mereka baru pulang menjelang dini
hari. Jadi sekarang semuanya masuk agak siang. Inilah yang
tidak diketahui oleh sekretaris tadi. Sayang sekali kami
tidak dapat membantu Anda."
Aku mencoba sekali lagi. "Anda tahu, bukan, saya bekerja
untuk Kepala Departemen Polisi. Ini tempat kedua yang
saya datangi. Saya sudah didesak-desak dari atas agar
kaset-kaset ini segera dikopi."
"Saya ingin sekali membantu Anda. Dan saya tahu Dr.
Donaldson juga begitu. Kami sudah pernah mengedakan
tugas khusus untuk kepolisian. Dan saya yakin, kami
sanggup membuat kopi dari kaset-kaset yang Anda bawa.
Mungkin nanti siang. Atau jika Anda bisa meninggalkan
kaset-kaset itu..." "Maaf, rasanya tak mungkin."
"Oke. Saya mengerti. Baiklah, saya sangat menyesal,
Letnan. Barangkali Anda bisa kembali nanti siang?"
Aku berkata, "Kelihatannya saya tidak ada waktu lagi.
Mungkin saya memang kurang beruntung, karena semua
orang terpaksa bekerja lembur semalam."
"Ya. Ini memang tidak biasa."
"Ada apa sebenarnya" Masalah mendadak" Masalah
riset?" "Saya kurang tahu. Peralatan video di sini begitu
lengkap, sehingga kami kadang-kadang menerima permintaan mendadak untuk mengerjakan tugas khusus.
Iklan TV yang memerlukan efek khusus, misalnya. Video
Michael Jackson yang baru untuk Sony. Atau jika seseorang
ingin memperbaiki rekaman yang sudah rusak. Tapi saya
kurang tahu apa yang mereka kerjakan semalam. Kecuali
bahwa banyak sekali yang harus dikerjakan. Ada sekitar
dua puluh kaset yang perlu ditangani. Dan semuanya harus
selesai cepat. Saya dengar mereka baru selesai setelah
tengah malam." Dalam hati aku berkata, "Jangan-jangan..."
Aku berusaha mereka-reka tindakan Connor dalam
situasi seperti ini, bagaimana ia akan menanganinya.
Akhirnya aku memutuskan bahwa tak ada salahnya
mencoba-coba. Aku berkata, "Hmm, saya yakin pihak
Nakamoto berterima kasih sekali atas segala jerih payah
Anda." "Oh, memang. Sebab hasilnya sangat memuaskan bagi
mereka. Mereka senang sekali."
Aku berkata, "Tadi Anda menyinggung bahwa Mr.
Donaldson sedang memberi ceramah..."
"Dr. Donaldson, ya..."
"Di mana dia memberikan ceramahnya?"
"Di sebuah seminar corporate-training di Bonaventure
Hotel. Teknik manajemen dalam riiset. Dia tentu letih sekali
pagi ini. Tapi dia memang penceramah yang hebat."
"Thanks." Kuserahkan kartu namaku. "Anda sangat
membantu, dan bila Anda tiba-tiba teringat sesuatu, atau
jika Anda ingin memberitahukan sesuatu, silakan telepon
saya." "Oke." Ia membaca kartu namaku. "Terima kasih."
Aku berbalik. Ketika aku hendak pergi, seorang pria
Amerika berusia menjelang tiga puluh, dengan jas Armani
dan penampilan rapi seorang MBA yang gemar membaca
majalah mode, turun dan berkata kepada kedua pria tadi,
"Gentlemen" Mr. Nakagawa sudah siap menerima Anda
sekarang." Kedua pria itu langsung berdiri, mengumpulkan
brosur-brosur dan foto-foto mereka, lalu mengikuti asisten
yang sedang menuju lift dengan langkah tenang dan
terukur. Aku melangkah keluar, ke udara yang penuh kabut dan
asap. Bab 26 PAPAN pengumuman di koridor itu bertulisan: BEKERJA
SAMA: MANAJEMEN GAYA JEPANG DAN AMERIKA. Di
dalam ruang konferensi, aku melihat sebuah seminar bisnis
yang diselenggarakan dalam suasana remang-remang. Pria
dan wanita duduk di meja-meja panjang yang ditutupi
taplak berwarna abu-abu, sibuk membuat catatan;
sementara sang Penceramah berkhotbah di podium.
Ketika aku berdiri di sana, di hadapan sebuah meja
dengan papan nama orang-orang yang datang terlambat,
seorang wanita berkacamata menghampiriku dan berkata,
"Anda sudah mendaftar" Bahan-bahan seminar sudah
diberikan kepada Anda?"
Aku setengah berbalik dan menunjukkan lencanaku. Aku
berkata, Saya ingin bicara dengan Dr. Donaldson."
"Dia pembicara berikut. Dalam tujuh atau delapan menit
dia sudah harus tampil d i depan. Barangkali ada orang lain
yang dapat membantu Anda?"
"Saya hanya perlu bicara sebentar."
Wanita itu tampak ragu-ragu. "Tapi waktunya tinggal
sedikit sebelum dia harus maju..."
"Kalau begitu, sebaiknya Anda segera bertindak."
Ia menatapku, seakan-akan aku baru saia menamparnya.
Aku tidak tahu apa yang diharapkannya. Aku petugas polisi
dan perlu menemui seseorang. Apakah ia mengira
permintaanku bisa ditawar-tawar" Aku merasa jengkel, lalu
teringat pada anak muda dengan jas Armani tadi. Berjalan
dengan langkah terukur, seperti orang penting, ketika
mengantar kedua salesmen real estate. Kenapa ia
menganggap dirinya penting" Barangkali ia memang
memegang gelar MBA, tapi ia tetap hanya petugas
penerima tamu bagi bosnya yang berasal dari Jepang.
Kini aku memperhatikan wanita itu berjalan mengelilingi ruang konferensi, menuju mimbar tempat
empat pria sedang menanti giliran bicara. Para peserta
seminar masih sibuk membuat catatan ketika pembicara
berambut kuning pasir di podium berkata, "Sebenarnya ada
tempat bagi orang asing dalam perusahaan Jepang. Bukan
di posisi puncak, tentu saja, mungkin juga bukan di
eselon-eselon atas. Tapi yang jelas, ada tempat. Anda perlu
menyadan bahwa sebagai orang asing, Anda menempati
posisi penting di dalam perusahaan Jepang, bahwa Anda
dihormati, dan bahwa ada tugas yang harus Anda kerjakan.
Sebagai orang asing, tentu ada rintangan khusus yang perlu
Anda atasi, tetapi Anda dapat melakukannya. Anda bisa
berhasil jika Anda berpegang pada konsep tahu diri."
Aku mengamati para peserta seminar yang duduk
dengan kepala merunduk, sibuk membuat catatan. Apa
yang sedang mereka tulis" Konsep tahu diri"
Pembicara itu melanjutkan, "Sering kali Anda mendengar para eksekutif berkata, 'Di perusahaan Jepang
tidak ada tempat bagi saya, dan saya terpaksa berhenti.'
Ada juga yang mengeluh, 'Mereka tidak mau mendengarkan
saya, tidak ada kesempatan untuk mewujudkan gagasan-gagasan saya, tidak ada peluang untuk maju.'
Orang-orang itu tidak memahami peranan orang asing
dalam masyarakat Jepang. Mereka tidak mampu menye-
suaikan diri, sehingga terpaksa mundur. Tapi itu masalah
mereka. Orang Jepang bersedia menerima orang Amerika
atau orang asing lainnya di dalam perusahaan-perusahaan
mereka. Anda pun akan diterima, asal Anda tahu diri."
Seorang wanita mengacungkan tangan dan berkata,
"Bagaimana dengan prasangka terhadap wanita di
perusahaan-perusahaan Jepang?"
"Tidak ada prasangka terhadap wanita," ujar si
Penceramah. "Saya mendengar bahwa wanita tidak bisa maju."
"Itu tidak benar."
"Lalu kenapa ada begitu banyak perkara hukum"
Sumitomo Corporation baru saja berdamai menghadapi
tuntutan antidiskriminasi. Saya pernah
missing Begitulah ia menjalankan tugasnya. Segala sesuatu siap
di hadapannya, dan ia bisa membuat catatan di
komputernya sambil berbicara. Ketika aku masih bertugas
di bagian pers, kantorku berada di markas polisi di Parker
Center, dua blok dari gedung Times. Namun seorang
wartawan seperti Ken tetap saja lebih suka bicara lewat
telepon daripada berhadapan langsung denganku.
"Kau saja yang mampir, Pete."
Itu sudah cukup jelas. Ken tidak ingin bicara lewat telepon.
"Oke, baiklah," kataku. "Sepuluh menit lagi aku sudah
sampai di sana." Bab 27
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
LOS ANGELES TIMES merupakan koran dengan laba
terbesar di Amerika. Ruang wartawannya menghabiskan
satu lantai di gedung Times, jadi luasnya satu blok.
Ruangan itu dibagi-bagi secara cermat, sehingga kita tidak
sadar akan dimensinya dan bahwa ada ratusan orang yang
bekerja di sana. Tapi rasanya kita bisa berjalan berhari-hari
melewati wartawan-wartawan yang duduk di meja
masing-masing, berhadapan dengan monitor komputer,
pesawat telepon, dan foto anak-anak yang mereka
tempelkan. Tempat kerja Ken berada di bagian Metro, di sisi timur
gedung. Ketika aku sampai, ia sedang berdiri di dekat
mejanya. Berjalan mondar-mandir. Menunggu. Ia langsung-
menarik sikutku. "Kopi," katanya. "Kita minum kopi dulu."
"Ada apa ini?" ujarku. "Kau keberatan kalau ada yang
melihatmu bersamaku?"
"Bukan itu. Aku mau menghindari si Musang. Dia lagi
mengganggu cewek baru di bagian Luar Negeri. Cewek itu
belum tahu siapa dia." Ken mengangguk ke ujung ruang
wartawan. Di sana, di dekat jendela, aku melihat sosok
Willy Wilhelm, yang dikenal semua orang sebagai Willy
Musang. Ia sedang bercanda dengan seorang wanita muda
yang duduk menghadapi komputer.
"Cantik juga." ,
"Yeah. Tapi agak keberatan pantat. Orang Belanda," ujar
Ken. "Baru seminggu di sini. Dia belum tahu reputasi si
Musang." Hampir semua organisasi mempunyai orang seperti si
Musang, seseorang yang dikuasai ambisi pribadi, seseorang
yang pintar mengambil hati orang-orang yang berkuasa,
sementara ia sendiri dibenci oleh semua orang lain. Itulah
Willy Musang. Seperti sebagian besar orang yang tidak
jujur, si Musang selalu berprasangka buruk terhadap orang
lain. Setiap kejadian selalu diceritakannya dari sudut yang
paling tidak menguntungkan, dengan berkeras bahwa ia
sekadar mengungkapkan fakta. Ia mempunyai penciuman
tajam untuk kelemahan manusia, dan cenderung bersikap
melodramatis. Ia tak peduli pada kebenaran, dan
pemberitaan yang seimbang dianggapnya sebagai tanda
kelemahan. Menurut si Musang, kebenaran hakiki selalu
salah. Inilah pedomannya dalam menjalankan profesi. Para
wartawan Times yang lain membencinya. Ken dan aku pergi
ke koridor utama. Aku mengikutinya ke arah otomat kopi,
tetapi ia mengajakku memasuki perpustakaan. Di
tengah-tengah lantai itu, harian Times memiliki perpustakaan yang lebih luas dan lebih lengkap
dibandingkan dengan perpustakaan di banyak perguruan
tinggi. "Jadi, ada apa dengan Wilhelm?" kataku.
"Dia ada di sini semalam," ujar Ken. "Aku mampir di sini
setelah nonton teater, untuk mengambil bebempa catatan
yang kuperlukan untuk wawancara jarak jauh yang
kulakukan dari rumah. Dan kulihat si Musang di
perpustakaan. Kira-kira jam sebelas malam. Kau tahu
sendiri betapa ambisius bajingan itu. Aku bisa melihatnya
di wajahnya. Dia telah mencium darah. Bagaimana, kau
ingin tahu lebih banyak mengenai ini?"
"Tentu saja," kataku. Si Musang terkenal pandai
menikam orang dari belakang. Setahun lalu, ia berhasil
mendongkel editor Sunday Calendar, dan baru pada saat
terakhir ia gagal menduduki posisi itu.
Ken berkata, "Jadi, aku berbisik pada Lily, petugas
perpustakaan yang dinas malam, 'Ada apa ini" Apa rencana
si Musang"' Dia berkata, 'Dia lagi memeriksa catatan polisi
mengenai seorang petugas polisi.' Aku langsung lega. Tapi
kemudian aku mulai heran. Sampai sekarang aku masih
wartawan Metro paling senior. Aku masih sering meliput
berita dari Parker Center. Mana mungkin dia mengetahui
sesuatu yang tidak kuketahui" Seharusnya aku yang
meliput berita itu. Jadi aku ber tanya pada Lily, siapa
petugas polisi itu."
"Biar kutebak saja," kataku.
"Betul," ujar Ken. "Peter J. Smith."
"Jam berapa itu?"
"Sekitar jam sebelas."
"Bagus," kataku.
"Kupikir kau ingin diberitahu mengenai ini," kata Ken.
"Memang." "Jadi aku bilang pada Lily - semalam - aku bilang, Lily,
bahan apa saja yang dia ambil" Dan ternyata dia mengambil
segala sesuatu, apa saja yang ada di dalam arsip.
Kelihatannya dia punya sumber di Parker Center yang
membocorkan informasi rahasia. Ada catatan mengenai
kasus penganiayaan anak kecil beberapa tahun lalu:"
"Ah, brengsek," kataku.
"Apa benar?" tanya Ken.
"Memang sempat ada pemeriksaan," ujarku.
"Tapi semuanya hanya omong kosong."
Ken menatapku. "Coba ceritakan."
"Kejadiannya tiga tahun lalu. Waktu aku masih bertugas
sebagai detektif. Partnerku dan aku menerima panggilan
kekerasan rumah tangga di Ladera Heights. Suami-istri
Latin, bertengkar. Kedua duanya mabuk berat. Wanita itu
mendesak agar aku menahan suaminya, dan waktu aku
menolak; dia bilang suaminya menganiaya bayi mereka se-
cara seksual. Lalu kuperiksa bayi mereka. Tampaknya
baik-baik saja. Aku tetap menolak untuk menahan si suami.
Wanita itu marah-marah. Besoknya dia datang ke markas
dan menuduh bahwa aku melakukan penganiayaan seksual.
Sempat ada pemeriksaan pendahuluan. Akhirnya tuduhan
dibatalkan karena dianggap tidak berdasar."
"Oke," kata Ken. "Sekarang ini, kau pernah melakukan
perjalanan yang tidak jelas tujuannya?"
Aku mengerutkan kening. "Perjalanan?"
"Semalam, si Musang berusaha mengumpulkan catatan
perjalananmu. Perjalanan naik pesawat, perjalanan dinas
sambil berfoya-foya, biaya ditanggung orang lain..."
Aku menggelengkan kepala. "Tidak pernah."
"Yeah, aku memang sudah menduga bahwa dia keliru
mengenai ini. Kau orangtua tunggal, kau takkan
berpelesiran." "Tidak mungkin."
"Bagus." Kami menyusuri rak-rak buku. Kami sampai di salah satu
bagian perpustakaan tempat kami dapat melihat bagian
Metro melalui dinding kaca. Sl Musang ternyata masih
mengobrol dengan wanita muda tadi. Aku berkata, "Ada
satu hal yang tidak kumengerti, Ken. Kenapa aku" Aku tidak
punya masalah dengan siapa pun. Tidak ada kontroversi.
Sudah tiga tahun aku tidak bekerja sebagai detektif. Aku
bahkan bukan petugas pers lagi. Aku bekerja sebagai
penghubung. Pekerjaan ku bersifat politik. Jadi, kenapa aku
diincar wartawan Times?"
"Jam sebelas malam pada malam Jumat, maksudmu?"
ujar Ken. Ia menatapku, seakan-akan aku orang paling tolol
di seluruh dunia. Seakan-akan ada ludah yang menetes dari
daguku. Aku berkata, "Kaupikir ini ulah orang-orang Jepang?"
"Kupikir si Musang menawarkan jasanya kepada umum.
Dia bajingan yang bisa disewa. Dia bekerja untuk studio
film, perusahaan rekaman, perusahaan pialang, bahkan
untuk broker real estate. Dia bertindak sebagai konsultan.
Asal tahu saja, si Musang sekarang naik Mercedes 500SL."
"O, ya?" "Untuk ukuran wartawan, lumayan juga, bukan?"
"Yeah." "Nah. Kau pernah menyinggung perasaan seseorang"
Semalam, barangkali?"
"Mungkin." "Sebab ada yang menelepon si Musang untuk melacak
segala gerak-gerikmu."
Aku berkata, "Ini tidak masuk akal."
"Tapi ini kenyataan," ujar Ken. "Satu-satunya yang
membuatku khawatir adalah sumber informasi si Musang
di Parker Center. Seseorang di sana membocorkan
informasi rahasia. Kau punya musuh di markasmu?"
"Setahuku tidak ada."
"Syukurlah. Sebab si Musang sudah mulai menjalankan
siasatnya. Tadi pagi aku sempat bicara dengan Roger
Roscomb, penasihat kami di sini."
"Dan?" "Coba tebak siapa yang meneleponnya semalam, serba
genting" Si Musang. Dan kau mau tahu apa yang
ditanyakannya?" Aku diam saja. "Pertanyaannya, apakah petugas penghubung pers
termasuk orang yang menjadi milik umum" Orang yang
tidak bisa menuntut karena difitnah?"
Aku bergumam, "Astaga."
"Itulah." "Dan jawabannya?"
"Masa bodoh dengan jawabannya. Kau tahu sendiri
bagaimana cara kerjanya. Si Musang hanya perlu
menelepon beberapa orang dan berkata 'Halo, ini Bill
Wilhelm dari LA. Times. Besok kami akan memuat berita
bahwa Letnan Smith pernah menganiaya anak kecil.
Bagaimana komentar Anda"' Dengan beberapa kali
menelepon ke alamat yang tepat, artikel itu bahkan tidak
perlu dimuat. Para editor bisa saja membatalkannya, tapi
kau tetap akan kena getahnya."
Aku membisu. Aku tahu bahwa Ken benar.
Sudah lebih dari sekali aku melihat hal itu terjadi.
Aku berkata, "Apa yang bisa kulakukan?"
Ken tertawa. "Kau bisa mengatur insiden kekerasan
polisi L.A. yang terkenal."
"Itu tidak lucu."
"Sumpah, tak seorang pun di harian ini akan meliputnya.
Kalau perlu, kau malah bisa membunuhnya. Dan kalau ada
yang merekamnya dengan kamera video" Hei, orang-orang
di sini bersedia membayar untuk menontonnya."
"Ken." Ken menghela napas. "Mimpi yang indah. Oke. Ada satu
hal. Tahun lalu, setelah Wilhelm terlibat dalam... ehm...
perubahan manajemen di Calendar, aku terima surat
kaleng. Begitu juga beberapa orang lain. Waktu itu tidak
ada yang bereaksi. Permainannya agak jorok. Kau tertarik?"
"Yeah." Ken mengeluarkan sebuah amplop coklat dari kantong
jasnya. Amplop itu dilengkapi sepotong tali untuk
menutupnya. Di dalanrnya ada sejumlah foto, dicetak
berurutan. Willy Wilhelm terlihat sedang berhubungan
intim dengan pria berambut gelap. Wajahnya terbenam di
pangkuan orang itu. "Muka Willy kurang jelas," ujar Ken, "tapi ini memang
dia. Foto seorang wartawan yang sedang menjamu sumber
informasinya. Bisa dibilang, minum-minum bersama."
"Siapa orang itu?"
"Mencari identitasnya ternyata makan waktu agak lama.
Namanya Barry Borman. Dia kepala divisi penjualan Kaisei
Electronics untuk California bagian selatan."
"Apa yang bisa kulakukan dengan foto-foto ini?"
"Mana kartu namamu?" ujar Ken. "Biar kutempel ke
amplop ini. Nanti kusuruh orang mengantarnya kepada si
Musang." Aku menggelengkan kepala. "Sebaiknya jangan."
"Tapi dia pasti akan berpikir dua kali."
"Jangan," kataku. "Aku tidak suka cara seperti ini."
Ken mengangkat bahu. "Yeah. Mungkin memang tidak
ada gunanya. Biarpun kita tekan si
Musang, orang-orang Jepang itu pasti masih punya jalan
lain. Aku tetap belum tahu bagaimana artikel itu sampai
bisa dimuat semalam. Yang kudengar cuma, 'Perintah dari
atas, perintah dari atas.' Entah apa artinya."
"Tapi pasti ada yang menulisnya."
"Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak berhasil
menggali informasi lebih lanjut. Tapi orang Jepang punya
pengaruh besar di harian ini. Bukan hanya karena
iklan-iklan yang mereka pasang. Bukan hanya karena
mereka punya petugas humas yang hebat di Washington,
atau karena mereka jago lobi, atau karena sumbangan yang
mereka berikan kepada tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi politik. Keseluruhannya yang menentukan. Dan keadaan ini sudah mulai membahayakan.
Bayangkan saja, kadang-kadang kita sedang mengikuti
rapat staf untuk membahas beberapa artikel yang mungkin
akan dimuat, dan tiba-tiba kita sadar bahwa tak ada yang
mau membuat mereka tersinggung. Tak jadi masalah
apakah sebuah artikel benar atau salah, berita atau bukan.
Dan masalahnya juga lebih pelik dari 'Kita tidak bisa
memuat ini, sebab mereka akan membatalkan pemasangan
iklan.' Urusannya jauh lebih rumit. Kadang-kadang aku
memandang para editor di sini, dan aku tahu bahwa
mereka keberatan terhadap cerita-cerita tertentu karena
mereka takut. Mereka bahkan tidak tahu apa yang mereka
takutkan. Mereka cuma takut."
"Tamatlah kebebasan pers."
"Hei,"
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Ken. "Ini bukan waktunya untuk mengumandangkan idealisme mahasiswa. Kau tahu sendiri
bagaimana situasinya. Pers Amerika memberitakan
pendapat umum. Pendapat umum adalah pendapat
kelompok yang sedang berkuasa. Dan sekarang ini orang
Jepang yang berkuasa. Pihak pers memberitakan pendapat
umum seperti biasa. Tak ada yang perlu dipertanyakan.
Pokoknya, berhati-hatilah."
"Oke. "Dan jangan ragu-ragu meneleponku jika kau memutuskan untuk menggunakan jasa pos."
Aku perlu berbicara dengan Connor. Aku mulai paham
kenapa Connor begitu cemas, dan kenapa ia ingin
merampungkan penyelidikan ini secepat mungkin. Sebab
fitnah yang dilontarkan secara cermat merupakan senjata
yang mengerikan. Seseorang yang terampil dalam hal ini -
dan si Musang termasuk terampil - akan mengatur agar se-
lalu ada berita baru, hari demi hari, biarpun tak ada
perkembangan sama sekali. Kita membaca judul berita
seperti JURI AGUNG BELUM SEPAKAT MENGENAI
KESALAHAN PETUGAS POLISI atau JAKSA WILAYAH TIDAK
BERSEDIA MENUNTUT POLISI YANG DITUDUH BERSALAH.
Akibat yang ditimbulkan judul berita seperti itu sama
buruknya dengan keputusan bersalah.
Dan tak ada cara untuk pulih dari pemberitaan negatif
selama berminggu-minggu. Semua orang mengingat
tuduhan yang dilontarkan. Tak seorang pun mengingat
bukti tak bersalah yang terungkap. Begitulah sifat manusia.
Sekali kita menjadi tertuduh, sulit sekali untuk kembali ke
kehidupan normal. Keadaannya mulai mengkhawatirkan, dan aku dihantui
firasat buruk. Aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri,
ketika aku memasuki lapangan parkir di sebelah
Departemen Fisika di U.S.C. dan telepon mobitku berdering.
Ternyata Jim Olson. "Peter." "Ya, Sir." "Sudah hampir jam sepuluh. Seharusnya kau sudah
datang ke sini untuk menyerahkan kaset-kaset video itu.
Kau sudah berjanji tadi."
"Aku mengalami kesulitan untuk membuat kopinya."
"Itu yang kaulakukan dari tadi?"
"Ya. Kenapa?" "Sebab berdasarkan telepon-telepon yang kuterima, aku
mendapat kesan bahwa kau belum menutup kasus ini," ujar
Jim Olson. "Dalam satu jam terakhir, kau mencari informasi
di sebuah lembaga riset Jepang. Setelah itu kau
menginterogasi seorang ilmuwan yang bekerja untuk
sebuah lembaga riset Jepang. Kau muncul di sebuah
seminar Jepang. Terus-terang saja, Peter. Penyidikan ini
sudah berakhir atau belum?"
"Sudah," kataku. "Aku hanya ingin membuat kopi dari
kaset-kaset ini." "Pastikan bahwa kau tidak melangkah lebih jauh dari
itu," ia berpesan. "Oke, Jim." "Demi kepentingan seluruh Departemen - dan semua
orang yang ada di sini - kuminta kasus ini ditutup."
"Oke, Jim." "Aku tak ingin situasi ini sampai lepas kendali."
"Aku mengerti."
"Mudah-mudahan saja," katanya. "Selesaikan urusanmu,
lalu datang ke sini. Segera." Ia meletakkan gagang telepon.
Aku memarkir mobil dan memasuki gedung fisika.
Bab 28 AKU menunggu di sudut ruang kuliah sementara Phillip
Sanders menyelesaikan kuliahnya. Ia berdiri di hadapan
papan tulis yang dipenuhi rumus-rumus rumit. Ada sekitar
tiga puluh mahasiswa di dalam ruang kuliah, sebagian
besar duduk di bagian depan. Hanya bagian belakang
kepala mereka yang terlihat dari tempatku menunggu.
Dr. Sanders berusia empat puluhan. Ia termasuk orang
yang penuh energi, tak bisa diam, selalu mondar-mandir,
menunjuk-nunjuk persamaan-persamaan di papan tulis
dengan sepotong kapur sambil membahas signal covariant
ratio detennination dan factorial delta bandwith noise. Aku
bahkan tak sanggup menebak apa yang diajarkannya.
Akhirnya aku menyimpulkan bahwa bidangnya adalah
teknik listrik. Ketika bel tanda kuliah telah usai berbunyi, seluruh
kelas berdiri dan meraih tas masing-masing. Aku
terperanjat; hampir semua peserta berasal dari Asia, baik
para pria maupun para wanita. Mereka yang bukan dari
Timur Jauh berasal dari India atau Pakistan. Dari tiga puluh
mahasiswa, hanya tiga yang berkulit putih.
"Memang benar," ujar Sanders kemudian, ketika kami
menyusuri selasar menuju laboratoriumnya. "Mahasiswa
Amerika tidak berminat pada mata kuliah seperti Fisika
101. Sudah bertahun-tahun begitu. Pihak industri pun
mengalami kesulitan serupa. Kita pasti akan kewalahan
seandainya tidak ada orang-orang Timur Jauh atau
orang-orang India yang datang untuk meraih gelar doktor
dalam bidang matematika atau bidang teknik, lalu bekerja
untuk perusahaan-perusahaan Amerika."
Kami menuruni sebuah tangga, kemudian membelok ke
kiri. Kami berada di selasar di basement. Sanders berjalan
dengan cepat. "Masalahnya, keadaannya mulai berubah," ia melanjutkan. "Para mahasiswa saya yang berasal dari Asia
mulai pulang ke tempat asal masing-masing. Orang-orang
Korea kembali ke Korea. Sama halnya dengan orang-orang
Taiwan. Orang-orang India pun mulai pulang ke sana. Taraf
hidup di negara-negara mereka semakin meningkat, dan di
sana sekarang lebih banyak peluang. Beberapa dari
negara-negara asing ini mempunyai tenaga terlatih dalam
jumah besar." Kami kembali menuruni tangga. "Anda tahu
kota mana yang menduduki peringkat pertama dalam
jumlah doktor per kapita?"
"Boston?" "Seoul, Korea. Ingat itu pada waktu kita lepas landas
menuju abad ke-21." Kini kami menyusuri selasar lain lagi. Kemudian keluar
sebentar, ke bawah cahaya matahari, melewati selasar
beratap, lalu masuk ke bangunan lain. Berulang kali
Sanders melirik ke belakang, seakan-akan takut aku
tertinggal. Tapi ia tak pernah berhenti berbicara.
"Dan berhubung mahasiswa-mahasiswa pulang ke
negara masing-masing, kini kita menghadapi kekurangan
tenaga untuk melakukan penelitian di Amerika. Jumlah
tenaga terlatih tidak memadai. Bahkan perusahaan-perusahaan raksasa seperti IBM pun mulai
mengalami kesulitan. Tenaga terlatih benar-benar tidak
dapat ditemukan. Awas, pintu."
Pintu yang dimaksudnya mengayun ke arahku. Aku
melangkah masuk. Aku berkata, "Tapi kalau kesempatan
kerja di bidang high-tech begitu luas, bukankah para
mahasiswa akan tertarik?"
"Tetap kalah dengan bidang perbankan investasi. Atau
hukum." Sanders tertawa. "Amerika mungkin kekurangan
ahli teknik dan ilmuwan, tapi kita tetap nomor satu dalam
mencetak sarjana hukum. Setengah dari pengacara di
seluruh dunia berada di Amerika. Bayangkan itu." Ia
menggelengkan kepala. "Kita punya empat persen populasi dunia. Kita
menguasai delapan belas persen perekonomian dunia. Tapi
kita punya lima puluh persen - dari seluruh pengacara di
dunia. Dan setiap tahun - ada 35.000 sarjana hukum baru.
Ke sanalah arah produktivitas kita. Itulah fokus nasional
kita. Setengah dari acara TV kita menyangkut pengacara.
Amerika telah menjadi Negeri Pengacara. Semua orang
saling menuntut. Semua orang berselisih paham. Semua
orang lari ke pengadilan. Habis, tiga perempat juta
pengacara Amerika harus mempunyai sesuatu untuk
menyibukkan diri. Mereka harus memperoleh 300.000
setahun. Negara-negara lain pikir kita gila."
Ia membuka kunci pada sebuah pintu. Aku melihat
papan nama LABORATORIUM PENGOLAHAN GAMBAR
TINGKAT LANJUT yang ditulis dengan tangan, serta sebuah
anak panah. Sanders mengajakku menyusuri selasar
panjang di basement. "Anak-anak kita yang paling cerdas pun dididik secara
buruk. Anak-anak Amerika yang paling pintar kini
menduduki peringkat dua belas di dunia, setelah
negara-negara industri di Asia dan Eropa. Dan ini yang
paling pintar. Di bawah lebih buruk lagi. Sepertiga lulusan
high sehool tidak bisa membaca jadwal keberangkatan bus.
Mereka buta huruf." Kami tiba di ujung selasar dan membelok ke kanan.
"Dan anak-anak yang saya temui rata-rata malas. Tak
ada yang mau bekerja dengan giat. Saya mengajar fisika.
Untuk menguasai bidang ini diperlukan waktu bertahun-tahun. Tapi semua anak ingin berpakaian seperti
Charlie Sheen dan menghasilkan sejuta dolar sebelum usia
28. Satu satunya cara untuk mendapatkan uang sebanyak
itu adalah dengan terjun ke dunia hukum, perbankan, atau
Wall Street. Tempat-tempat yang menghasilkan keuntungan kertas. Tapi itulah cita-cita anak-anak
sekarang." "Mungkin di U.S.C."
"Percayalah. Di mana-mana. Semuanya nonton."
Ia membuka sebuah pintu. Lagi-lagi sebuah koridor.
Yang ini berbau apak, lembap.
"Saya tahu, saya tahu. Pandangan saya kuno," ujar
Sanders. "Saya masih percaya bahwa setiap manusia
mempunyai peran tertentu. Anda mempunyai peran
tertentu. Saya mempunyai peran tertentu. Hanya dengan
berada di planet ini, dengan mengenakan baju yang kita
pakai, kita semua mempunyai peran tertentu. Dan di sudut
terpencil ini," ia berkata, "kami berperan mengungkapkan
kebenaran. Kami menganalisis siaran berita untuk
menentukan bagian mana saja yang telah dimanipulasi.
Kami menganalisis iklan-iklan TV dan menunjukkan
trik-trik yang dipakai..."
Sanders berhenti mendadak
"Ada apa?" "Bukankah ada orang lain tadi?" ia bertanya. "Anda
ditemani orang lain, bukan?"
"Tidak. Saya sendirian."
"Oh, syukurlah." Sanders kembali berjalan dengan cepat.
"Saya selalu khawatir kehilangan orang di bawah sini. Ah,
oke. Kita sudah sampai. Lab saya. Bagus. Pintunya belum
pindah tempat " Penuh semangat ia membuka pintu itu. Aku menatap
ruangan di hadapanku, kaget.
"Saya tahu, tempatnya kurang mengesankan," ujar
Sanders. Dalam hati aku berkata, "Kurang mengesankan masih
terlalu bagus." Aku menghadapi ruang bawah tanah yang penuh
pipa-pipa berkarat dan kabel-kabel listrik yang tergantung
dari langit-langit. Di beberapa tempat, lapisan linoleum
berwarna hijau mulai terkupas di lantai, sehingga beton di
bawahnya kelihatan jelas. Di sekeliling ruangan terdapat
meja-meja reyot, masing-masing dengan peralatan
bertumpuk dan kabel-kabel bergelantungan di kiri-kanan.
Di setiap meja ada mahasiswa yang duduk di depan be-
berapa monitor. Di sana-sini air tampak menetes ke dalam
ember-ember. Sanders berkata, "Satu-satunya tempat yang
tersedia adalah di basement, dan kami tidak punya dana
untuk mengurus hal-hal sepele seperti langit-langit. Biar
saja, itu tidak penting. Tapi awas, jaga kepala Anda. "
Ia melangkah maju. Tinggi badanku sekitar 180 senti,
tidak sampai enam kaki, dan aku terpaksa merunduk agar
dapat memasuki ruangan itu. Dari suatu tempat di
langit-langit di atas, aku mendengar bunyi memarut yang
kasar. "Pemain ice skate," Sanders menjelaskan.
"Maaf?" "Kita di bawah gelanggang ice skate. Lama-lama Anda
akan terbiasa. Sebenarnya ini belum seberapa. Nanti sore,
pada waktu mereka berlatih hoki es, nah, itu baru agak
ribut." Kami masuk lebih jauh. Rasanya seperti berada di dalam
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kapal selam. Aku mengamati para mahasiswa di tempat
kerja mereka. Semuanya berkonsentrasi pada tugas
masing-masing; tak ada yang menoleh ketika kami lewat.
Sanders berkata, "Kaset video seperti apa yang hendak
Anda kopi?" "Delapan milimeter, buatan Jepang. Rekaman keamanan.
Mungkin agak sukar."
"Sukar" Saya rasa tidak," ujar Sanders. "Anda tentu tidak
tahu, dulu, waktu saya masih muda, saya yang menyusun
hampir semua algoritma dasar untuk mempertajam
gambar video. Misalnya menghilangkan titik-titik dan
inversi serta mempertajam garis tepi. Hal-hal seperti itulah.
Dulu semua orang memakai kumpulan algoritma Sanders.
Waktu itu saya masih mahasiswa pascasarjana di Cal Tech.
Dan waktu luang saya manfaatkan dengan bekerja di LTJ.
Jangan khawatir, kami pasti sanggup."
Aku menyerahkan sebuah kaset. Ia mengamatinya.
"Hmm, manis." Aku berkata, "Apa yang terjadi" Dengan kumpulan
algoritma Anda, maksud saya."
"Waktu itu belum ada kegunaan komersial," katanya.
"Dulu, di tahun delapan puluhan, perusahaan-perusahaan
Amerika seperti RCA dan GE angkat kaki dari industri
elektronik komersial. Program-program yang saya susun
tidak bermanfaat di Amerika." Ia mengangkat bahu. "Jadi
saya mencoba menjual semuanya kepada Sony, di Jepang."
"Dan?" "Orang-orang Jepang ternyata telah memegang hak
paten untuk produk-produk itu. Di Jepang."
"Maksud Anda, mereka telah memiliki algoritma yang
sama?" "Bukan. Mereka hanya memegang hak paten. Di Jepang,
urusan hak paten merupakan semacam perang. Orang
Jepang tergila-gila pada hak paten. Dan mereka punya
sistem yang aneh. Baru delapan tahun setelah permohonan
diajukan kita memperoleh hak paten di Jepang, tetapi
permohonan kita sudah diumumkan setelah delapan belas
bulan. Dan tentu saja mereka tidak mempunyai
kesepakatan lisensi timbal balik dengan Amerika. Ini salah
satu cara agar mereka tetap lebih maju dari kita."
"Pokoknya, ketika sampai di Jepang, saya menemukan
bahwa Sony dan Hitachi telah memegang hak paten serupa.
Mereka telah melakukan sesuatu yang dinamakan 'paten
borongan'. Artinya, mereka telah mengajukan permohonan
hak paten atas segala kegunaan yang dapat dihubung-
hubungkan. Mereka tidak memiliki hak untuk menggunakan kumpulan algoritma, tapi ternyata saya pun
tidak memiliki hak itu. Karena mereka telah memegang hak
paten atas penggunaan penemuan saya." Ia mengangkat
bahu. "Memang agak sukar dijelaskan. Tapi itu dulu.
Sekarang orang Jepang telah menciptakan perangkat lunak
video yang jauh lebih rumit, jauh melebihi apa yang kita
miliki. Kita tertinggal beberapa tahun dibandingkan dengan
mereka. Tapi kami masih terus berjuang di lab ini. Ah. Ini
orang yang kita perlukan. Dan. Kau sedang sibuk?"
Seorang wanita muda mengalihkan pandangan dari
monitor komputer. Mata besar, kacamata berbingkai tebal,
rambut gelap. Wajahnya tertutup sebagian oleh pipa-pipa
di langit-langit. "Kau bukan Dan," ujar Sanders dengan nada heran. "Di
mana Dan, Theresa?" "Ada ujian tengah semester," jawab Theresa. "Saya
hanya membantu menjalankan progresi realtime ini. Sudah
hampir selesai." Aku mendapat kesan bahwa ia lebih tua
dari mahasiswa-mahasiswa yang lain. Sukar untuk
mernastikan penyebabnya. Yang pasti bukan karena
pakaiannya; ia memakai ikat rambut berwarna cerah, dan
kaus U2 di bawah jaket jeans. Tetapi ia memiliki sikap
tenang yang membuatnya kelihatan lebih tua.
"Kau bisa pindah ke tempat lain?" ujar Sanders sambil
mengelilingi meja untuk menatap monitor. "Ada pekerjaan
mendesak. Kita harus membantu polisi." Aku mengikuti
Sanders, membungkuk agar tidak membentur pipa.
"Bisa saja," kata wanita itu. Ia mulai mernatikan
unit-unit di mejanya. Ia membelakangiku, dan kemudian
aku akhirnya bisa melihatnya. Kulitnya gelap, wajahnya
eksotis, hampir seperti orang Eurasia. Ia cantik, cantik
sekali. Ia tampak seperti gadis model dalam majalah-majalah. Dan sepintas lalu aku merasa bingung,
karena wanita ini terlalu cantik untuk bekerja di
laboratofiurn elektronik di sebuah basement. Rasanya tidak
masuk akal. "Ini Theresa Asakuma," kata Sanders. "Satu-satunya
mahasiswa pascasarjana Jepang yang bekerja di sini."
"Hai," kataku. Aku tersipu-sipu. Aku merasa diberondong oleh informasi baru. Dan pada dasarnya, aku
lebih suka kalau kaset-kaset itu tidak ditangani oleh orang
Jepang. Tapi nama depannya bukan nama Jepang, dan.
wajahnya pun bukan seperti orang Jepang. Ia tampak
seperti orang Eurasia atau mungkin keturunan Jepang,
begitu eksotik, mungkin ia malah...
"Selamat pagi, Letnan," katanya. Ia mengulurkan tangan
kiri, tangan yang salah, untuk bersalaman. Ia menyodorkannya secara menyamping, seperti seseorang
yang mengalami cedera pada tangan kanan.
Aku bersalaman dengannya. "Halo, Miss Asakuma."
"Theresa." "Oke." "Dia cantik sekali, bukan?" ujar Sanders dengan bangga.
"Luar biasa cantik."
"Ya," kataku. "Sebenarnya, saya heran bahwa Anda
bukan foto model." Sejenak suasananya serba kikuk. Aku tidak tahu kenapa.
Theresa langsung berbalik.
"Saya tidak pernah tertarik," katanya.
Sanders segera angkat bicara dan berkata,
"Theresa, Letnan Smith punya beberapa kaset video
yang perlu dikopi. Kaset-kaset ini."
Sanders menyerahkan salah satu kaset. Theresa
menerimanya dengan tangan kiri dan mengamatinya di
bawah larnpu. Lengan kanannya tetap tertekuk di sikut,
merapat ke pinggangnya. Kemudian aku melihat bahwa
lengan kanannya buntung. Kelihatannya seperti lengan bayi
thalidomide. "Hmm, menarik juga," katanya sambil mengamati kaset
itu. "Delapan milimeter high density. Barangkali ini format
digital baru yang belakangan sering dibicarakan. Format
yang langsung meningkatkan mutu gambar."
"Maaf, saya tidak tahu," kataku. Aku merasa seperti
orang tolol karena menyinggung soal foto model tadi. Aku
meraih ke dalam kotak yang kubawa dan mengeluarkan
alat playback. Theresa segera mengambil obeng dan melepaskan
tutupnya. Ia membungkuk dan mengamati bagian dalam.
Aku melihat circuit board berwarna hijau, motor berwarna
hitam, dan tiga silinder kristal berukuran kecil. "Ya. Ini
memang format yang baru. Benar-benar hebat. Dr. Sanders,
lihatl mereka hanya menggunakan tiga head. Alat ini pasti
menghasilkan sinyal RGB, soalnya di sebelah sini... Menurut
Anda, ini rangkaian kompresi?"
"Kemungkinan rangkaian konversi digital ke analog,"
ujar Sanders. "Bagus sekali. Serba kecil." Ia berpaling
padaku sambil mernegang kotak itu. "Anda tahu kenapa
orang Jepang bisa menghasilkan produk-produk seperti ini
sedangkan kita tidak" Mereka melakukan katzen. Sebuah
proses penyempurnaan yang berulang-ulang, terus-
menerus. Setiap tahun produk bersangkutan menjadi
sedikit lebih baik, sedikit lebih kecil, sedikit lebih murah.
Cara berpikir orang Amerika berbeda. Orang Amerika
selalu mencari terobosan yang gemilang, langkah maju
yang besar. Orang Amerika berusaha membuat home run -
memukul bola keluar dari arena - lalu duduk-duduk dengan
santai. Orang Jepang melakukan langkah-langkah kecil
sepanjang hari, dan tidak pernah merasa puas. Jadi, dengan
barang seperti ini, Anda sekaligus menghadapi perwujudan
sebuah falsafah hidup."
Selama beberapa waktu ia berbicara seperti itu,
memutar-mutar silinder-silinder tadi, terkagum-kagum.
Akhirnya aku berkata, "Anda dapat membuat kopi dari
kaset-kaset ini?" "Tentu," jawab Theresa. "Setelah melalui alat konversi,
kita bisa mengeluarkan sinyal dari mesin ini dan
merekamnya pada media apa saja yang Anda pilih. Anda
ingin tiga perempat" Opticalmaster" VHS?"
"VHS," kataku. "Itu mudah," ujarnya.
"Tapi, apakah hasilnya akurat" Orang-orang di LTJ tidak
bisa menjamin hasilnya akurat."
"Oh, persetan LTJ," kata Sanders. "Mereka cuma bilang
begitu karena mereka bekerja untuk pemerintah. Di sini,
kita memecahkan masalah. Betul, Theresa?"
Tapi Theresa tidak mendengarnya. Aku mem- perhatikannya menancapkan kabel-kabel, bergerak cekatan
dengan tangannya yang sehat, sementara tangannya yang
buntung menjepit alat playback. Seperti kebanyakan orang
cacat, gerak-geriknya demikian lancar, sehingga hampir
tidak ketahuan bahwa tangan kanannya tidak ada. Dalam
sekejap ia telah menyambung alat playback dengan alat
perekam lain, serta beberapa monitor.
"Untuk apa ini semua?"
"Untuk memantau sinyalnya."
"Maksud Anda, untuk memutar rekaman itu?"
"Bukan. Gambarnya akan terlihat pada monitor besar ini.
Yang lain akan saya pakai untuk memantau karakteristik
sinyal dan peta data: bagaimana gambar direkam pada
pita." Aku berkatal "Ini memang diperlukan untuk membuat
kopi?" "Tidak. Saya hanya ingin tahu bagaimana mereka
menyusun format high density ini."
Sanders berkata padaku, "Dari mana rekaman ini
berasal?" "Dari kamera keamanan sebuah gedung kantor."
"Dan kaset ini berisi rekaman asli?"
"Saya pikir begitu. Kenapa?"
"Kalau ini memang rekaman asli, kita harus lebih
berhati-hati," ujar Sanders. Ia berbicara dengan Theresa,
memberikan petunjuk. "Jangan sampai permukaan media
dikacaukan oleh umpan balik. Dan jangan sampai
kebocoran sinyal dari head mengganggu keutuhan aliran
data." "Jangan khawatir," ujar Theresa. "Saya takkan membuat
kesalahan." Ia menunjuk rangkaian alat yang telah
disiapkannya. "Anda lihat ini" Alat ini akan memberikan
peringatan kalau ada pergeseran impedansi. Dan saya juga
memantau prosesor utama."
"Oke," kata Sanders. Ia tampak berseri-seri, seperti
orangtua yang bangga akan anaknya.
"Berapa lama sampai semuanya selesai?" tanyaku.
"Tidak lama. Kita bisa merekam sinyal dengan kecepatan
sangat tinggi. Batas kecepatannya ditentukan oleh alat
playback ini, dan sepertinya ada fast-forward scan. Jadi, sekitar dua sampai
tiga menit per kaset."
Aku melirik jam tanganku. "Saya ada janji jam setengah
sebelas, dan saya tidak boleh terlambat. Tapi saya juga
tidak ingin meninggalkan kaset-kaset ini ......
"Semuanya perlu dikopi?"
"Sebenarnya hanya lima yang paling penting."
"Kalau begitu, kita kerjakan yang itu saja dulu."
Kami memutar lima detik pertama dari setiap kaset, satu
per satu, untuk mencari kelima kaset yang berisi rekaman
kamera di lantai 46. Pada waktu masing-masing kaset
mulai diputar, aku melihat gambar yang terekam oleh
kamera pada monitor utama di meja Theresa. Pada
monitor-monitor di samping, jejak-jejak s inyal tampak ber-
gerak naik-turun, melompat-lompat, seperti pada unit
perawatan intensif. "Memang benar," ujar Theresa. "Perawatan intensif
untuk rekaman video." Ia mengeluarkan sebuah kaset,
memasukkan kaset lain, lalu mulai memutarnya. "Oh, tadi
Anda mengatakan bahwa ini rekaman asli" Ternyata bukan.
Kaset-kaset ini merupakan kopi."
"Dari mana Anda tahu?"
"Sebab ada tanda ancang-ancang." Theresa mem-
bungkuk di atas peralatannya, mengamati jejak-jejak sinyal,
melakukan penyesuaian halus dengan beberapa tombol.
"Kelihatannya memang seperti hasil kopi," Sanders
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata padaku. "Begini, dengan rekaman video, sulit untuk
menentukan apakah suatu rekaman merupakan kopi atau
bukan berdasarkan gambar yang tampil di monitor. Pada
sistern analog dulu memang terjadi pengurangan mutu
gambar pada generasi-generasi berikut, tapi pada sistem
digital seperti ini sama sekali tidak ada perbedaan. Setiap
kopi boleh dibilang sama persis seperti aslinya."
"Kalau begitu, dari mana Anda tahu bahwa kaset-kaset
ini tidak berisi rekaman asli?"
"Perhatian Theresa tidak terarah pada gambar di
monitor," kata Sanders. "Dia memperhatikan sinyal yang
terbaca. Meskipun tidak ada perbedaan pada gambar yang
tampak, kadang-kadang kita dapat menentukan bahwa
gambarnya berasal dari alat playback yang lain, bukan dari
sebuah karnera." Aku menggelengkan kepala. "Bagaimana caranya?"
Theresa menjelaskan, "Ini berkaitan dengan cara
sinyalnya direkam selama setengah detik pertama. Jika
video perekam dinyalakan sebelum video playback,
kadang-kadang ada fluktuasi kecil dalam keluaran sinyal
pada waktu alat playback mulai berputar. Ini merupakan
keterbatasan mekanik: motor playback tidak b isa mencapai
kecepatan normal dengan seketika. Memang ada rangkaian
elektronik di dalam alat playback untuk memperkecil
pengaruhnya, tetapi tetap saja selalu ada jangka waktu
tertentu untuk mencapai kecepatan normal.."
"Dan ini yang terbaca oleh Anda?"
Ia mengangguk. "Itu yang disebut tanda ancang-ancang."
Sanders berkata, "Dan itu tidak pernah terjadi jika
sinyalnya berasal dari sebuah kamera, sebab kamera tidak
mempunyal bagian-bagian yang bergerak. Sebuah kamera
selalu bekerja pada kecepatan normal."
Aku mengemyitkan dahi. "Jadi kaset-kaset ini sudah
merupakan kopi." "Apakah ada pengaruhnya?" tanya Sanders.
"Entahlah. Kalau kaset-kaset ini memang sudah dikopi,
ada kemungkinan rekamannya sudah dimanipulasi,
bukan?" "Secara teori, ya," ujar Sanders. "Tapi dalam praktek kita
harus mengamatinya dengan cermat. Dan sukar sekali
untuk memastikannya. Kaset-kaset ini berasal dari
perusahaan Jepang?" "Ya." "Nakamoto?" Aku mengangguk. "Ya."
"Sebenarnya saya tidak heran bahwa mereka memberikan kopi rekaman asli kepada Anda," kata
Sanders. "Orang Jepang sangat berhati-hati. Mereka tidak
percaya pada orang luar. Dan perusahaan Jepang di
Amerika merasakan hal yang sama seperti jika kita
melakukan bisnis di Nigeria. Mereka menganggap bahwa
mereka dikelilingi oleh orang-orang liar."
"Hei," kata Theresa.
"Sori," ujar Sanders, "tapi kau tahu maksudnya. Orang
Jepang merasa bahwa mereka terpaksa bersabar terhadap
kita. Terhadap kebodohan kita, kelambanan kita,
ketidakmampuan kita. Ini menyebabkan mereka selalu
bersikap melindungi diri. Jadi, kalau isi kaset-kaset ini
menyangkut masalah hukum, sudah bisa dipastikan bahwa
mereka takkan menyerahkan rekaman asli kepada petugas
polisi barbar seperti Anda. Mereka pasti akan memberikan
kopi dan menyimpan yang asli, untuk berjaga-jaga kalau
diperlukan untuk membela diri. Dan mereka yakin
sepenuhnya bahwa dengan teknologi video Amerika yang
ketinggalan zaman, Anda takkan pernah tahu bahwa Anda
diberi rekaman kopi."
Aku mengerutkan kening. "Berapa lama diperlukan
untuk membuat kopi dari kaset-kaset ini?"
"Tidak lama," ujar Sanders sambil. gelenggeleng kepal.a.
"Kalau melihat cara kerja Theresa sekarang, sekitar lima
menit per kaset. Saya yakin orang Jepang sanggup
mengerjakannya lebih cepat lagi. Katakanlah, dua menit per
kaset." "Kalau begitu, mereka punya waktu cukup banyak untuk
membuat kopi semalam."
Sambil bicara, Theresa masih terus menukar-nukar
kaset, menyaksikan bagian awal masing-masing. Setiap kali
gambarnya muncul, ia melirik ke arahku. Aku menggelengkan kepala. Yang terlihat adalah rekaman dari
kamera-kamera lain. Akhirnya kaset pertama yang berisi
rekaman dari lantai 46 muncul, menampakkan ruang
kantor yang sudah pernah kulihat.
"Ini yang pertama."
"Oke. Langsung saja. Transfer ke VHS." Theresa memulai
kopi pertama. Ia memutar rekaman itu dengan kecepatan
tinggi. Adegan demi adegan silih berganti, cepat, kabur.
Pada monitor-monitor di samping, jejak-jejak sinyal
tampak melompat-lompat. Ia berkata, "Apakah rekaman ini
berkaitan dengan pembunuhan semalam?"
"Ya. Anda sudah mengetahuinya?"
Ia mengangkat bahu. "Saya melihatnya di siaran berita.
Pembunuhnya tewas dalam kecelakaan mobil?"
"Benar," kataku.
Ia memalingkan wajah. Profil tiga perempat dari
wajahnya benar-benar cantik, mempertegas lengkungan
tulang pipinya yang tinggi. Aku teringat reputasi Eddie
Sakamura sebagai playboy. "Anda mengenalnya?" tanyaku.
"Tidak," jawabnya. Sesaat kemudian ia menambahkan,
"Dia orang Jepang."
Sekali lagi suasana menjadi serba kikuk. Rupanya
Theresa dan Sanders mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui olehku. Tapi aku tidak tahu cara menanyakannya.
Karena itu aku kemball memperhatikan gambar di monitor.
Sekali lagi aku melihat sinar matahari menyapu lantai.
Kemudian lampu-lampu mulai menyala. Para pegawai
kantor semakin berkurang. Kini ruangannya kosong. Dan
kemudian, dengan kecepatan tinggi, Cheryl Austin muncul,
diikuti seorang pria. Mereka berciuman penuh gairah.
"Ah-ha," ujar Sanders. "Ini yang Anda cari?"
"Ya." Ia mengerutkan kening ketika menyaksikan per-
kembangan selanjutnya. "Maksud Anda, pembunuhannya
sempat terekam?" "Ya," kataku. "Lewat beberapa kamera."
"Anda main-main."
Sanders terdiam, menatap monitor. Dengan gambar
yang kabur, sukar untuk melihat lebih dari kejadian-kejadian dasar. Kedua orang melintas ke ruang
rapat. Pergulatan mendadak. Cheryl dipaksa berbaring di
meja. Si pria melangkah mundur. Meninggalkan ruangan
dengan tergesa-gesa. Tak ada yang berbicara. Kami semua memandang
monitor. Aku melirik Theresa. Wajahnya tidak berekspresi.
Gambar video terpantul di kacamatanya.
Eddie berjalan melewati cermin lalu masuk ke selasar
yang gelap. Pitanya masih diputar selama beberapa detik,
dan kemudian kasetnya meloncat keluar.
"Kaset pertama sudah selesai. Anda bilang ada beberapa
kamera" Berapa banyak?"
"Lima, kalau tidak salah," kataku.
Theresa menandai kaset pertama dengan sebuah stiker.
Ia memutar kaset kedua, dan kembali memulai proses kopi
kecepatan tinggi. Aku berkata, Apakah semua kopi ini persis sama dengan
aslinya?" "Oh, tentu." "Jadi sah menurut hukum?"
Sanders mengerutkan kening. "Sah dalam arti?"
"Sebagai barang bukti di pengadilan ...?"
"Oh, tidak," ujar Sanders. "Oleh pengadilan, rekaman ini
takkan diterima sebagai barang bukti."
"Tapi kalau isinya persis sama dengan aslinya..."
"Tidak ada hubungan dengan itu. Semua barang bukti
berupa foto, termasuk video, tidak lagi diterima oleh
pengadilan." "Ini belum pernah saya dengar," kataku.
"Memang belum pernah terjadl," balas Sanders.
"Undang-undangnya masih kurang jelas. Tapi kita tinggal
tunggu tanggal mainnya saja. Sekarang ini semua foto
dicurigai. Sebab sekarang, berkat sistem digital, semua foto
dapat dimanipulasi secara sempurna. Sempurna. Dan ini
sesuatu yang baru. Anda masih ingat, bertahun-tahun lalu,
ketika orang Rusia menghilangkan tokoh-tokoh politik
tertentu dari panggung kehormatan pada peringatai Hari
Mei" Mereka menggunakan cara gunting-tempel yang
kasar, dan kita selalu langsung melihat bahwa ada sesuatu
yang diubah. Selalu ada celah di antara bahu orang-orang
yang tetap kelihatan. Atau perbedaan warna pada dinding
di balik mereka. Atau bekas goresan kuas dari orang yang
berusaha menutup-nutupi kerusakannya. Tapi yang
penting, perubahannya segera kelihatan. Kita bisa melihat
bahwa fotonya telah dimanipulasi. Usaha mereka
benar-benar menggelikan."
"Saya ingat itu," kataku.
"Dari dulu foto-foto dipandang meyakinkan sebagai
barang bukti, karena tidak mungkin diotak-atik. Jadi, kita
sudah terbiasa menganggap foto sebagai cerminan realitas.
Tapi sejak beberapa tahun terakhir, komputer membuka
peluang untuk mengubah foto secara sempurna. Beberapa
tahun lalu, National Geographic memindahkan Piramida
Besar di Mesir pada gambar sampul mereka. Para editor
tidak suka letak piramida itu; menurut mereka, komposisi
gambar sampul akan lebih bagus kalau piramidanya
digeser. Jadi mereka melakukan manipulasi foto. Tak ada
yang tahu. Tapi kalau Anda pergi ke Mesir dengan
membawa kamera dan mencoba membuat foto yang sama,
Anda akan menemukan bahwa itu tidak mungkin. Sebab di
dunia nyata tidak ada sudut pandang di mana
piramida-piramida tersebut membentuk komposisi seperti
itu. Gambar sampul itu tidak lagi mewakili realitas. Tapi
kita tidak menyadarinya. Ini hanya contoh kecil."
"Dan kaset-kaset ini bisa dimanipulasi dengan cara yang
sama?" "Secara teori, setiap rekaman video bisa dimanipulasi."
Di layar monitor, aku menyaksikan adegan pembunuhan
untuk kedua kalinya. Kamera ini berada di seberang
ruangan. Adegan pembunuhannya sendirl tidak terialu
kelihatan, tetapi sesudahnya, Sakamura tampak jelas ketika
ia berjalan ke arah kamera.
Aku berkata, "Bagaimana gambar ini bisa diubah?"
Sanders tertawa. "Sekarang ini, Anda bisa mengubah apa
saja yang Anda inginkan."
"Apakah identitas pembunuhnya bisa diganti?"
"Secara teknis, ya," kata Sanders. "Anda bisa memetakan
wajah pada sebuah objek kompleks yang bergerak. Secara
teknis, kemungkinannya ada. Tapi dalam praktek, sukar
sekali." Aku diam saja. Mungkin memang lebih baik begitu.
Sakamura merupakan tersangka utama, dan ia telah tewas;
Komandan menginginkan kasus ini segera ditutup. Begitu
juga aku. "Di pihak lain," ujar Sanders, "orang Jepang mempunyai
segala macam algoritma canggih untuk pemetaan
permukaan dan transformasi tiga dimensi. Mereka mampu
melakukan hal-hal yang bahkan tak terbayang oleh kita." Ia
mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. 'Bagaimana urutan
kronologis kaset-kaset ini?"
Aku berkata, "Pembunuhannya terjadi pukul setengah
sembilan semalam, seperti yang terlihat pada jam dinding
di dalam rekaman. Kami diberitahu bahwa sekitar pukul
sembilan kurang seperempat, kaset-kaset ini diambil dari
ruang keamanan. Kami menuntut kaset-kaset ini sebagai
barang bukti, dan kemudian kami terlibat perdebatan
dengan pihak Jepang."
"Seperti biasa. Dan jam berapa Anda akhirnya
memperoleh kaset-kaset ini?"
"Semuanya diserahkan ke markas divisi sekitar pukul
setengah dua dini hari."
"Oke," ujar Sanders. Berarti dari jam 20.45 sampai jam
01.30 kaset-kaset ini berada di tangan mereka."
"Benar. Lima jam kurang sedikit. "
Sanders mengerutkan kening. "Lima kaset, dengan lima
sudut kamera yang berbeda, diubah dalam lima jam?" la
menggelengkan kepala. "Tidak mungkin. Waktunya tidak
cukup, Letnan." Aku berkata, "Anda yakin?"
"Hmm," Theresa bergumam, "satu-satunya cara mereka
bisa mengerjakannya secepat itu adalah
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan menggunakan program otomatis, dan dengan program-program yang paling canggih pun tetap ada
detail-detail yang harus dipoles secara manual. Blur yang
buruk bisa membongkar semuanya."
"Blur buruk?" kataku. Aku mulai ketagihan mengajukan
pertanyaan padanya. Aku suka menatap wajahnya.
"Gambar yang kabur akibat gerakan," Sanders
menjelaskan. "Rekaman video dibuat dengan kecepatan
tiga puluh frame per detik. Setiap frame video bisa
dianggap sebagai foto yang diambil dengan kecepatan
sepertiga puluh detik. Dan ini lambat sekali - jauh lebih
lambat dibandingkan dengan kamera ukuran saku. Jika kita
merekam pelari dengan kecepatan sepertiga puluh detik,
kakinya kelihatan kabur. "Itu yang disebut blur akibat gerakan. Dan kalau kita
mengubahnya secara mekanis, gambarnya akan kelihatan
ganjil. Gambarnya terIalu tajam. Garis-garis tepi akan
tampak janggal. Kembali ke masalah yang dihadapi orang
Rusia tadi, kita bisa melihat bahwa ada sesuatu yang
diubah. Untuk gerakan yang realistis, kita memerlukan blur
dalam jumlah yang tepat."
"Oh, begitu." Theresa berkata, "Lalu masih ada masalah pergeseran
warna." "Betul," ujar Sanders. "Di dalam blur terjadi pergeseran
warna. Sebagai contoh, coba lihat ke monitor Pria itu
memakai jas biru, dan jasnya tampak mengembang pada
waktu dia berputar-putar sambil menggendong teman
kencannya. Nah. Jika kita ambil satu frame dari adegan itu,
kita akan melihat bahwa jasnya berwarna navy blue, tetapi
blur-nya semakin muda, sampai hampir transparan pada
tepinya - kita tidak bisa menentukan batas antara jas dan
dinding dengan mengamati satu frame saja."
Samar-samar aku dapat membayangkannya. "Oke..."
"Jika warna-warna tepi tidak berbaur secara sempurna,
kita langsung bisa melihatnya. Untuk membersihkan
rekaman sepanjang beberapa detik saja, misalnya untuk
iklan, dibutuhkan waktu berjam-jam. Tapi kalau tidak
dilakukan, manipulasinya akan ketahuan secepat ini." Ia
menjentikkan jari. "Jadi, kalaupun mereka sempat membuat kopi dari
kaset-kaset ini, mereka tak mungkin mengubah isinya?"
"Dalam lima jam, tidak, kata Sanders. "Waktunya tidak
cukup." "Kalau begitu, adegan itu memperlihatkan kejadian
sesungguhnya." "Betul," ujar Sanders. "Tapi kami akan terus meneliti
rekaman ini setelah Anda pulang. Theresa pasti ingin
mengotak-atiknya. Dan saya juga. Coba hubungi kami nanti
sore. Kami akan memberitahu Anda jika kami menemukan
kejanggalan. Tapi pada dasarnya, kaset-kaset ini tak
mungkin dimanipulasi secepat itu. Dan yang pasti, bukan di
sini." Bab 29 KETIKA aku memasuki pelataran parkir Sunset Hills
Country Dub, aku melihat Connor berdiri di depan
clubhouse yang besar. Ia membungkuk ke arah tiga pemain
golf Jepang yang menemaninya, dan mereka membalas
dengan cara yang sama. Kemudian ia bersalaman dengan
semuanya, lalu melemparkan stik-stik golf ke bangku
belakang dan masuk ke mobil.
"Anda terlambat, Kohai."
"Sori. Hanya beberapa menit. Saya tertahan di U.S.C."
"Keterlambatan Anda merepotkan banyak orang. Untuk
menjaga sopan santun, mereka merasa berkewajiban
menernani saya di depan, sementara saya menunggu Anda.
Orang-orang dengan posisi seperti mereka merasa tidak
nyaman kalau terpaksa berdiri menunggu. Mereka orang
sibuk. Tapi mereka merasa berkewajiban dan tidak bisa
meninggalkan saya. Anda sangat mempermalukan saya.
Anda juga menimbulkan citra buruk bagi seluruh
Departemen." "Maaf. Saya tidak tahu."
"Sudah waktunya Anda mulai sadar, Kohai. Anda tidak
sendirian di dunia."
Aku memasukkan gigi dan mulai menjalankan mobilku.
Aku memperhatikan orang-orang Jepang tadi melalui kaca
spion. Mereka melambaikan tangan. Mereka tidak kelihatan
kesal maupun terburu-buru. "Siapa teman main Anda tadi?"
"Aoki-san kepala Tokio Marine di Vancouver Hanada-san
wakil presiden Mitsui Bank di London. Dan Kenichi Asaka
membawahi semua pabrik Toyota di Asia Tenggara dari
K.L. ke Singapura. Kantornya di Bangkok."
"Sedang apa mereka di sini?"
"Mereka sedang berlibur," kata Connor. "Liburan singkat
di AS untuk bermain golf. Mereka suka bersantai di negara
yang berirama lebih lambat seperti di sini."
Aku menyusuri jalan berkelok-kelok yang menuju Sunset
Boulevard, dan berhenti untuk menunggu lampu hijau. "Ke
mana sekarang?" "Ke Four Seasons Hotel."
Aku membelok ke kanan, ke arah Beverly Hills. "Kenapa
orang-orang itu mau bermain golf dengan Anda?"
"Oh, kami sudah lama saling mengenal," katanya.
"Sekali-sekali membantu di sana-sini. Saya bukan orang
penting, tapi hubungan baik harus tetap dijaga. Menelepon,
memberi hadiah kecil, bermain golf bersama kalau
kebetulan berkunjung. Karena kita takkan pernah tahu
kapan kita memerlukan jaringan kita. Koneksi merupakan
sumber informasi, katup pengaman, sekaligus sistem per-
ingatan dini. Dalam falsafah hidup orang Jepang."
"Siapa yang mengajak bermain?"
"Hanada-san memang sudah punya rencana bermain.
Saya hanya bergabung. Permainan golf saya cukup baik."
"Kenapa Anda ingin bergabung dengannya?"
"Karena saya ingin tahu, lebih banyak mengenai
pertemuan Sabtu," kata Connor.
Aku masih ingat. Dalam rekaman video yang kami tonton
di ruang wartawan, Sakamura menangkap Cheryl Austin
dan berkata, "Kau tidak mengerti, ini semua menyangkut
pertemuan Sabtu." "Dan mereka memberitahu, Anda?"
Connor mengangguk. "Rupanya tradisi pertemuan Sabtu
sudah berlangsung lama," katanya. "Sejak sekitar tahun
delapan puluh. Mula-mula diadakan di Century Plaza,
kemudian di Sheraton, dan akhirnya pindah ke Biltmore."
Connor memandang ke luar jendela. Kami terguncang-guncang karena mobilku masuk ke sebuah
lubang di Sunset Boulevard.
"Selama beberapa tahun, pertemuan-pertemuan itu,
diselenggarakan secara rutin. Pengusaha-pengusaha terkemuka dari Jepang yang kebetulan berada di sini,
berkumpul untuk mengikuti diskusi mengenai apa yang
harus dilakukan dengan Amerika. Bagaimana perekonomian Amerika harus ditangani."
"Apa?" "Ya." "Keterlaluan!" "Kenapa?" tanya Connor.
"Kenapa" Karena ini negara kita. Masa sekelompok
orang asing melakukan pertemuan rahasia untuk
memutuskan bagaimana mereka akan mengelola Amerika!"
"Orang Jepang melihatnya dari sudut lain," ujar Connor.
"Oh, pasti! Saya yakin mereka malah merasa berhak."
Connor mengangkat bahu. "Memang begitu. Dan mereka
percaya bahwa sudah sewajarnya mereka memperoleh hak
untuk memutuskannya."
"Astaga!" "Karena mereka menopang perekonomian kita dengan
investasi besar-besaran yang telah mereka lakukan. Jumlah
uang yang mereka pinjamkan kepada kita sangat besar,
Peter. Sangat besar. Ratusan miliar dolar. Hampir
sepanjang lima belas tahun terakhir Amerika Serikat
mengalami defisit perdagangan dengan Jepang sebesar satu
miliar dolar per minggu. Artinya, setiap minggu Jepang
memperoleh satu miliar dolar, dan uang itu harus
digunakan untuk sesuatu Mereka kebanjiran uang. Padahal
mereka sebenarnya tidak menginginkan dolar dalam
jumlah sedemikian besar. Apa yang harus mereka lakukan
dengan uang yang berlimpah-limpah itu"
"Akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan
uang itu, kepada kita, dalam bentuk pinjaman. Tahun demi
tahun pemerintah kita mengalami defisit anggaran. Bukan
kita yang membayar program-program kita. Orang Jepang
yang membiayai semuanya. Mereka melakukan investasi.
Dan mereka memberikan pinjaman dana, atas jaminan-jaminan tertentu dari pemerintah kita. Washington berjanji kepada orang Jepang bahwa kita akan
membereskan urusan dalam negeri. Kita akan memotong
defisit. Kita akan meningkatkan mutu pendidikan,
memperbaiki prasarana-prasarana, bahkan menaikkan
pajak jika diperlukan. Singkat kata, kita akan membenahi
diri. Sebab hanya dengan demikian investasi di Amerika
dapat dipertanggungjawabkan."
"He-eh," gumamku.
"Tapi kita lalai. Kita membiarkan defisit semakin
membengkak, dan kita melakukan devaluasi dolar. Di tahun
1985, nilai dolar dipotong setengahnya. Anda tahu
bagaimana pengaruh kebijaksaan ini terhadap investasi-investasi Jepang" Rencana-rencana mereka
berantakan. Semua investasi di tahun 1984 hanya memberi
hasil setengah dari jumlah semula."
Samar-samar aku ingat kejadian itu. Aku berkata, "Saya
pikir, cara itu ditempuh untuk membantu defisit
perdagangan kita, untuk menggalakkan ekspor. "
"Memang, tapi ternyata tidak berhasil. Neraca
perdagangan kita dengan Jepang semakin memburuk.
Biasanya, jika nilai mata uang didevaluasi 50%, harga
barang-barang impor akan menjadi dua kali lipat. Tetapi
orang Jepang langsung memotong harga alat-alat video dan
mesin fotokopi, dan mempertahankan pangsa pasar yang
telah mereka kuasai. Ingat, bisnis adalah perang.
"Efek nyata yang akhirnya dicapai hanyalah bahwa tanah
Amerika dan perusahaan-perusahaan Amerika menjadi
lebih murah bagi orang Jepang, sebab yen kini dua kali
lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kepemilikan
bank-bank terbesar di dunia pindah ke tangan Jepang. Dan
kita membuat Amerika menjadi negara miskin."
"Apa hubungan semua ini dengan pertemuan Sabtu?"
"Begini," ujar Connor, "andaikata Anda punya paman
yang gemar minum-minum. Dia berjanji akan menghentikan kebiasaannya itu jika Anda meminjamkan
uang padanya. Tapi kemudian dia mengingkari janjinya.
Dan Anda ingin agar uang Anda kembali. Anda ingin
menyelamatkan sisa-sisa investasi Anda yang buruk. Selain
itu, Anda juga tahu bahwa paman Anda mungkin saja mi-
num sampai mabuk dan mencederai orang lain. Paman
Anda lepas kendali. Anda harus berbuat sesuatu. Dan
kemudian seluruh keluarga berkumpul untuk membahas
tindakan apa yang harus diambil. Itulah yang dilakukan
oleh orang-orang Jepang."
"He-eh." Connor rupanya menangkap nada sangsi dalam suaraku.
"Kelihatannya Anda curiga bahwa mereka melakukan
persekongkolan. Sebaiknya pikiran itu Anda buang
jauh-jauh. Anda berminat mengambil alih Jepang" Tentu
saja tidak. Negara berakal sehat takkan mengambil alih
negara lain. Melakukan bisnis, ya. Membina hubungan, ya.
Tapi bukan mengambil alih. Tak ada yang menginginkan
tanggung jawab sebesar itu. Tak ada yang mau repot. Sama
halnya dengan paman Anda yang pemabuk - Anda hanya
mengadakan rapat keluarga jika memang terpaksa. Kalau
tidak ada jalan lain."
"Begitukah pandangan orang Jepang?"
"Mereka melihat bermiliar-miliar dolar milik mereka,
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kohai. Ditanam di sebuah negeri yang dililit masalah.
Sebuah negeri yang penuh orang aneh yang individualistis
dan berbicara tanpa titik koma. Yang selalu bentrok. Saling
mendebat. Orang-orang tanpa pendidikan yang baik.
Orang-orang yang tidak tahu banyak mengenai dunia, dan
mengandalkan TV sebagai sumber informasi. Orang-orang
yang tidak bekera keras, yang membiarkan kekerasan dan
penggunaan narkotika merajalela, dan sepertinya tidak
terganggu. Orang Jepang menanam miliaran dolar di negeri
aneh ini, dan mereka ingin mendapat laba yang pantas. Dan
walaupun perekonomian Amerika sedang menuju kehancuran - sebentar lagi kita akan turun ke peringkat tiga
dunia setelah Jepang dan Eropa - tetap harus ada yang
mencoba bertahan. Dan peran inilah yang dijalankan oleh
orang Jepang." "Hanya itu?" aku bertanya. "Mereka sekadar membantu
menyelamatkan Amerika?"
"Harus ada yang melakukannya," ujar Connor. "Kita
tidak bisa terus seperti ini."
"Kita pasti berhasil."
"Ini yang dulu biasa dikatakan orang Inggris."
Ia menggelengkan kepala. "Tapi nyatanya sekarang
Inggris jatuh miskin. Dan tidak lama lagi Amerika akan
menyusul." "Kenapa kita harus jatuh miskin?" kataku. Tanpa
sengaja, suaraku menjadi keras.
"Sebab, menurut orang Jepang, Amerika telah menjadi
negeri tanpa isi. Kita telah melalaikan industri perakitan.
Kita tidak lagi menghasilkan barang-barang. Kalau kita
membuat produk-produk, kita memberi nilai tambah
kepada bahan-bahan baku, dan dengan demikian kita
menciptakan kemakmuran. Tapi Amerika sudah berhenti
melakukan itu. Kini orang Amerika menghasilkan dengan
manipulasi di atas kertas, yang menurut orang Jepang
merupakan senjata makan tuan, karena keuntungan di atas
kertas tidak mencerminkan kekayaan nyata. Mereka heran
sekali bahwa kita tergila-gila pada Wall Street dan
spekulasi saham." "Dan karena itu orang Jepang merasa berhak mengatur
kita?" "Mereka merasa harus ada yang mengatur kita. Mereka
lebih suka kalau kita melakukannya sendiri."
"Astaga." Connor bergeser sedikit. "Jangan marah dulu, Kohai.
Menurut keterangan Hanada-san, tradisi pertemuan Sabtu
berakhir pada tahun 1991."
"Oh. "Ya. Waktu itu orang Jepang memutuskan untuk tidak
ambil pusing apakah Amerika membenahi diri atau tidak.
Mereka melihat keuntungan dalam situasi sekarang:
Amerika sedang tidur lelap, dan semakin murah untuk
dibeli." "Berarti tidak ada pertemuan Sabtu lagi?"
"Sekaii-sekali masih. Karena nichibei kankei: hubungan
Jepang-Amerika yang terus berjalan. Perekonomian kedua
negara ini sudah saling terkait. Kedua-duanya tidak dapat
menarik diri, biarpun mereka menginginkannya. Tetapi
pertemuan-pertemuan itu tak lagi penting. Kini sifatnya
lebih sebagai acara ramah-tamah. Jadi, apa yang dikatakan
Sakamura kepada Cheryl Austin ternyata keliru. Dan
kematiannya tidak berhubungan dengan pertemuan Sabtu."
"Lalu, hubungannya dengan apa?"
"Menurut teman-teman saya tadi, kejadian itu bersifat
pribadi. Chijou no motsure, kejahatan bermotif nafsu.
Melibatkan wanita cantik, irokichigai, dan pria pencemburu." "Dan Anda percaya pada mereka?"
"Masalahnya, mereka semua sependapat. Ketiga-tiganya.
Memang, orang Jepang merasa canggung untuk memperlihatkan perbedaan pendapat di antara mereka,,
bahkan di lapangan golf di sebuah negara miskin. Tapi
berdasarkan pengalaman saya, jika mereka bersikap
seperti itu terhadap gaijin, mungkin ada yang ditutup-tutupi." "Maksud Anda, mereka bohong?"
"Tidak juga." COnnor menggelengkan kepala. "Tetapi
saya mendapat kesan bahwa mereka menceritakan sesuatu
kepada saya dengan tidak menceritakannya. Acara tadi pagi
adalah permainan hara no saguriai. Teman-teman saya
tidak membuka diri."
Connor menggambarkan acara main golf tadi. Sepanjang
pagi, semuanya lebih banyak membisu. Semuanya sopan,
tetapi jarang sekali ada yang memberi komentar, dan itu
pun singkat-singkat. Hampir sepanjang waktu mereka
berjalan mengelilingi lapangan golf dalam suasana hening.
"Padahal Anda pergi ke sana untuk mencari informasi?"
kataku. "Bagaimana Anda bisa tahan?"
"Oh, saya tetap memperoleh informasi." Tetapi ketika ia
menjelaskannya, ternyata semuanya dalam bentuk tidak
terucapkan. Karena mereka hidup dengan budaya yang
sama selama berabad-abad, di antara orang-orang Jepang
telah terjalin pengertian yang mendalam, dan mereka
mampu menyampaikan perasaan tanpa kata-kata. Di
Amerika, keakraban serupa dapat ditemui antara orangtua
dan anak-anak kecil sering kali memahami segala sesuatu
hanya dengan "membaca" tatapan orangtuanya. Tetapi
pada umumnya orang Amerika tidak mengandalkan
komunikasi bisu, berbeda dengan orang Jepang. Semua
orang Jepang seakan-akan merupakan anggota sebuah
keluarga, dan mereka sanggup berkomunikasi tanpa
kata-kata. Bagi orang Jepang, sikap membisu mengandung
makna "Tidak ada yang ajaib atau luar biasa," Connor
melanjutkan. "Pada dasarnya, orang Jepang begitu
terkekang oleh peraturan dan adat kebiasaan, sehingga
mereka akhirnya tak dapat mengucapkan apa-apa. Demi
menjaga sopan santun, untuk menyelamatkan muka, lawan
bicara mereka berkewajiban membaca situasi, membaca
konteks, memahami tanda-tanda yang diberikan melalui
sikap tubuh, dan menangkap hal-hal yang tak terucap.
Sebab orang pertama merasa bahwa ia tak dapat
menuangkan perasaannya ke dalam bentuk kata-kata.
Dalam situasi seperti itu, berbicara dianggap tidak pantas.
Jadi, mereka terpaksa menggunakan cara lain."
Aku berkata, "Dan Anda menghabiskan pagi ini seperti
itu" Dengan tidak berbicara?"
Connor menggelengkan kepala. Ia merasa telah menjalin
komunikasi lancar dengan para pemain golf Jepang itu, dan
sama sekali tidak terganggu oleh keheningan yang terjadi.
"Karena saya bertanya mengenai orang-orang Jepang
lain - sesama anggota keluarga mereka - saya terpaksa
merumuskan pertanyaan-pertanyaan saya dengan hati-hati. Sama seperti kalau saya bertanya apakah adik
perempuan Anda dipenjara, atau menanyakan hal lain yang
menyakitkan bagi Anda. Saya akan memperhatikan
seberapa lama Anda terdiam sebelum menjawab, nada
suara Anda, dan sebagainya. Hal-hal di balik komunikasi
verbal. Oke?" "Oke." "Artinya, kita memperoleh informasi melalui intuisi."
"Dan intuisi apa yang Anda peroleh?"
"Mereka bilang, 'Kami tidak lupa bahwa Anda pernah
berjasa bagi kami di masa lalu. Sekarang kami berkeinginan
membantu Anda. Tetapi pembunuhan ini merupakan
masalah orang Jepang, karena itu ada banyak hal yang tak
dapat kami ungkapkan. Berdasarkan sikap bungkam ini,
Anda dapat menarik kesimpulan yang berguna mengenai
masalah sesungguhnya.' Itulah yang mereka sampaikan
pada saya." "Dan apa masalah sesungguhnya yang mereka maksud?"
"Hmm," Connor bergumam, "nama MicroCon sempat
disinggung beberapa kali."
"Perusahaan high-tech itu?"
"Ya. Perusahaan yang akan dijual. MicroCon rupanya
sebuah perusahaan kecil di Silicon Valley yang
mengkhususkan diri di bidang peralatan komputer.
Rencana penjualan itu diliputi masalah-masalah politik.
Masalah-masalah itu juga sempat disinggung-singgung tadi
" "Jadi pembunuhan ini berkaitan dengan MicroCon?"
"Saya kira begitu." Sekall lagi ia bergeser di kursinya. "O,
ya, apa yang Anda peroleh di U.S.C. mengenai kaset-kaset
itu?" "Pertama-tama, semuanya berisi rekaman kopi."
Connor mengangguk. "Memang sudah saya duga,"
katanya. "O, ya?" "Ishiguro tak mungkin menyerahkan rekaman asli.
Orang Jepang menganggap semua orang yang bukan Jepang
sebagai barbar. Dalam arti harfiah: barbar. Bau, vulgar,
bodoh. Mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan, sebab mereka tahu bahwa bukan salah
kita tidak dilahirkan sebagai orang Jepang. Tapi mereka
tetap berpendapat begitu."
Aku mengangguk. Itu kurang lebih sama dengan apa
yang dikatakan Sanders. "Kecuali itu," ujar Connor, "orang Jepang memang sangat
berhasil, tapi mereka bukan pemberani. Mereka bersiasat
dan berkomplot. Jadi, mereka tak mungkin menyerahkan
rekaman asli, karena mereka tidak mau ambil risiko.
Informasi apa lagi yang Anda peroleh mengenai kaset-kaset
itu?" "Kenapa Anda menyangka bahwa masih ada hal lain?"
tanyaku. "Pada waktu menyaksikan rekaman itu," katanya, "Anda
tentu memperhatikan detail penting yang..."
Dan kemudian percakapan kami terputus oleh telepon
yang berdering. "Kapten Connor," sebuah suara bernada riang berkata
lewat speaker, "ini Jerry Orr. Di Sunset Hills Country Club.
Anda lupa membawa formulir Anda."
"Formulir?" "Formulir pendaftaran," kata Orr. "Anda harus
mengisinya, Kapten. Sebenarnya ini hanya formalitas
belaka Saya jamin takkan ada masalah, mengingat siapa
sponsor Anda." "Sponsor saya?" ujar Connor.
"Ya, Sir," balas Orr. "Saya mengucapkan selamat. Anda
tentu tahu, sekarang ini hampir mustahil untuk
memperoleh keanggotaan di Sunset. Tapi beberapa waktu
lalu perusahaan Mr. Hanada telah membeli keanggotan
corporate, dan mereka memutuskan untuk mencantumkan
nama Anda. Terus terang, teman-teman Anda sangat
berbaik hati." "Ya, saya Juga sependapat dengan Anda," kata Connor
sambil mengerutkan kening.
Aku menatapnya. "Mereka tahu Anda senang sekali bermain golf di sini,"
Orr meneruskan. "Anda sudah tahu syarat-syaratnya,
bukan" Hanada akan membeli keanggotaan untuk jangka
waktu lima tahun, tetapi setelah itu, keanggotaannya
menjadi atas nama Anda. Jadi, jika Anda memutuskan untuk
mengundurkan diri, Anda bebas menjualnya. Oke" Anda
akan mengambil formulirnya di sini, atau lebih baik kalau
saya kirim ke rumah Anda?"
Connor berkata, "Mr. Orr, tolong sampaikan ucapan
terima kasih saya kepada Mr. Hanada atas kebaikannya
yang luar biasa. Saya hampir kehilangan kata-kata. Tapi
saya belum bisa memutuskannya sekarang. Saya terpaksa
menghubungi Anda lagi nanti."
"Baiklah. Nanti tolong beritahu kami ke mana formulir
Anda harus kami kirim."
"Nanti saya akan menelepon Anda," jawab Connor.
Ia menekan tombol untuk mengakhiri percakapan, lalu
memandang lurus ke depan. Selama beberapa saat kami
berdua duduk membisu. Akhirnya aku berkata, "Berapa nilai keanggotaan di klub
itu?" "Tujuh ratus lima puluh. Mungkin satu juta."
Aku berkata, "Hadiah yang menarik dari teman-teman
Anda." Dan kemudian aku teringat pada Graham, dan
bagaimana Graham menyindir bahwa Connor sudah dibeli
oleh orang-orang Jepang. Kelihatannya kini kebenaran
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
desas-desus itu tak perlu diragukan lagi.
Connor geleng-geleng kepala. "Saya tak mengerti."
"Kenapa Anda bingung?" ujarku. "Ah, Kapten. Bagi saya
semuanya sudah jelas."
"Saya benar-benar tak mengerti," Connor berkata sekali
lagi. Dan kemudian telepon kembali berdering. Kali ini
untukku. "Letnan Smith" Di sini Louise Gerber. Saya lega sekall
karena bisa menghubungi Anda."
Aku tidak mengenali namanya. Aku berkata,
"Ya?" "Karena besok hari Sabtu, saya pikir Anda mungkin
punya waktu untuk melihat rumahnya."
Baru sekarang aku teringat siapa wanita itu. Sebulan
sebelumnya, aku sempat berkeliling kota dengan seorang
broker untuk melihat-lihat rumah. Michelle semakin besar,
dan aku lebih suka kalau ia tak perlu tinggal di apartemen.
Kalau bisa, aku ingin menyediakan halaman belakang
untuknya. Tapi harapannya tipis. Walaupun bisnis real
estate sedang lesu, harga rumah-rumah yang paling kecil
pun masih berkisar antara 400.000 sampai 500.000 dolar.
Dan aku tidak memenuhi syarat, dengan gaji yang kuterima.
"Ini situasi yang sangat tidak lazim," ia berkata, "dan
saya langsung teringat pada Anda dan putri Anda.
Rumahnya terietak di Palms, kecil - sangat kecil - tapi di
pojok jalan, dengan halaman belakang yang indah. Ada
bunga-bunga dan rumput yang bagus sekali. Harga yang
diminta 300.000. Tapi saya rasa masih bisa ditawar. Anda
berminat melihatnya'?"
Aku berkata, "Siapa pemiliknya?"
"Saya pun tidak mengenalnya. Situasinya memang tidak
lazim. Rumah itu milik wanita tua yang kini tinggal di panti
werda, dan putranya, yang tinggal di Topeka, ingin
menjualnya. Tapi dia lebih suka menerima sejumlah uang
setiap bulan daripada setumpuk uang sekaligus. Rumah itu
belum dipasarkan secara resmi, tapi saya tahu bahwa
penjualnya serius. Jika Anda ada waktu besok, mungkin
Anda dapat berbuat sesuatu. Dan halaman belakangnya
benar-benar indah. Putri Anda pasti senang sekali."
Kini giliran Connor menatapku. Aku berkata, "Miss
Gerber, saya butuh informasi lebih banyak. Siapa
penjualnya, dan sebagainya."
Wanita itu rupanya merasa heran. "Wah, saya sangka
Anda takkan berpikir dua kali. Situasi seperti ini tidak bisa
ditemui setiap hari. Anda tidak berminat melihat rumahnya
dulu?" Connor memandangku sambil mengangguk-angguk. Ia
menggerak-gerakkan mulut, katakan ya. "Saya akan
menghubungi Anda lagi mengenai ini," ujarku.
"Baiklah, Letnan," kata wanita itu. Nadanya ragu-ragu.
"Tolong hubungi saya kalau Anda sudah mengambil
keputusan." "Saya akan menelepon Anda."
Aku meletakkan gagang. "Persetan, ada apa ini?" tanyaku. Sebab aku tak bisa
menutup mata. Connor dan aku baru saja disodori uang
dalam jumlah banyak. Sangat banyak.
Connor menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu."
"Apakah ada hubungannya dengan MicroCon?"
"Saya tidak tahu. Saya kira MicroCon hanya perusahaan
kecil. Ini tidak masuk akal." Ia tampak gelisah sekali.
"Sebenarnya, ada apa di balik MicroCon?"
Aku berkata, "Saya tahu siapa yang harus kita tanyai."
Bab 30 "MICROCONT?" ujar Ron Levine sambil menyalakan
sebatang cerutu besar. "Tentu, aku bisa bercerita banyak
mengenai MicroCon. Kisahnya tidak menyenangkan."
Kami sedang duduk di ruang wartawan American
Financial Network, sebuah stasiun TV kabel khusus berita,
yang berlokasi di dekat bandara. Melalui jendela-jendela di
ruang kerja Ron, aku melihat sejumlah antena parabola
berwarna putih di atas gedung parkir di sebelah. Ron
mengisap cerutunya dan menatap kami sambil tersenyum.
Ia wartawan keuangan di Times sebelum menerima
pekerjaan di muka kamera di sini. AFN termasuk satu dari
sedikit stasiun TV yang para pembawa acaranya tidak
diberi naskah; mereka harus memahami permasalahannya,
dan Ron sangat memahaminya.
"MicroCon," ia berkata, "dibentuk lima tahun yang lalu
oleh konsorsium perusahaan-perusahaan komputer Amerika. Perusahaan ini diharapkan untuk mengembangkan mesin litografi sinar-X generasi berikut
untuk chips komputer. Pada waktu MicroCon didirikan, tak
ada perusahaan Amerika yang membuat mesin litograft -
semuanya terpaksa gulung tikar di tahun delapan puluhan,
karena tak sanggup menghadapi persaingan ketat dari
Jepang. MicroCon mengembangkan teknologi baru, dan
membuat mesin-mesin untuk perusahaan-perusahaan
Amerika. Oke?" "Oke," kataku. "Dua tahun lalu, MicroCon dijual kepada Darley-Higgins,
sebuah perusahaan manajemen yang berpusat di Georgia.
Kemudian anak-anak perusahaan mereka yang lain
mengalami masalah, sehingga Darley memutuskan menjual
MicroCon, untuk memperoleh dana baru. Calon pembelinya
Pertempuran Di Kutub Utara 1 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Kisah Tiga Kerajaan 23