Pencarian

Midnight Sun 3

Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Bagian 3


baik pula. Aku ingin menertawakan diriku sendiri - atau menendang sekalian. Semua gagasanku
jadi tidak ada artinya jika ternyata dia tidak tertarik padaku. Mimpinya tadi
malam bisa tentang sesuatu yang lain. Aku benar-benar bodoh dan tidak tahu diri.
Well, jauh lebih baik buat dia jika dia tidak tertarik padaku. Itu tidak akan
menghentikanku mengejar dia, tapi aku akan memberinya peringatan bahaya. Aku
berhutang itu padanya. Aku berjalan tanpa suara, memikirkan cara yang paling baik buat mendekatinya.
Dia membuatnya jadi mudah. Kunci truknya terlepas dari genggaman saat ia keluar,
dan terjatuh ke dalam kubangan.
Dia membungkuk, tapi aku duluan, mengambilnya sebelum tangannya harus menyentuh
air dingin. Aku bersandar ke truknya sementara dia terkejut dan berdiri.
"Bagaimana kau melakukan itu?" tanyanya sebal.
Iya, dia masih marah. Aku menyerahkan kuncinya. "Melakukan apa?"
Dia mengulurkan tangan, dan aku menaruh kuncinya di telapak tangannya. Aku
mengambil napas panjang, menghirup aromanya. "Muncul tiba-tiba."
"Bella, bukan salahku jika kau tidak pernah memperhatikan sekelilingmu." aku
sedikit bergurau. Apa ada yang dia tidak lihat"
Apa dia mendengar bagaimana aku mengucapkan namanya dengan penuh perasaan"
Dia mendelik padaku, tidak menghargai gurauanku. Jantungnya berdetak lebih
cepat- karena marah" Takut"
Setelah beberapa saat ia menunduk.
"Kenapa kemarin kau membuat kemacetan?" dia bertanya tanpa melihat mataku.
"Kupikir kau seharusnya berpura-pura aku tidak ada, bukannya membuatku kesal
setengah mati." Masih sangat marah. Butuh sedikit kerja keras agar bisa berbaikan dengannya. Aku
ingat dengan niatku untuk jujur...
"Itu demi Tyler, bukan aku. Aku harus memberi dia kesempatan."
Kemudian aku tertawa. Aku tidak bisa menahannya, memikirkan ekspresi Bella
kemarin. "Kau-" dia terengah, terlalu marah untuk meneruskan kata-katanya. Itu dia -
ekspresi yang sama. Aku menahan tawaku. Dia sudah cukup marah.
"Dan aku tidak pura-pura kau tidak ada," aku melanjutkan perkataanku tadi. Lebih
baik menggodanya dengan santai seperti ini. Dia tidak akan mengerti jika
kutunjukan perasaanku yang sebenarnya. Aku akan menakuti dia. Aku harus meredam
perasaanku, menjaga agar tetap kelihatan cuek...
"Jadi kau memang berusaha membuatku kesal setengah mati" Mengingat van Tyler
tidak melakukan tugasnya?"
Luapan marah langsung melandaku seketika itu juga. Apa dia sungguh-sungguh
mempercayai itu" Tidak rasional bagiku untuk merasa terhina-dia tidak tahu transformasi yang
terjadi tadi malam. Tapi tetap saja aku marah.
"Bella, kau benar-benar sinting," Tukasku marah.
Mukanya merah. Kemudian ia berbalik dan pergi. Aku langsung menyesal. Aku tidak
berhak marah. "Tunggu," aku memohon. Dia tidak berhenti, jadi aku mengejarnya.
"Maafkan aku, sikapku tadi itu kasar. Aku tidak bilang itu tidak benar," -tidak
masuk akal membayangkan akan menyakiti dia-"tapi tetap saja itu kasar."
"Kenapa kau tidak meninggalkanku sendirian?"
Percayalah, aku ingin mengatakannya. Aku sudah mencobanya. Oiya, dan juga, aku
benar-benar jatuh cinta padamu. Santai.
"Aku ingin menanyakan sesuatu, tapi kau menghalangiku" sebuah kejadian terlintas
di benakku dan aku tertawa.
"Apa kau berpkepribadian ganda?" Dia bertanya.
Pasti kelihatannya seperti itu. Moodku tidak jelas, begitu banyak emosi
melandaku. "Kau melakukannya lagi,"
Dia mendesah. "Baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Aku bertanya-tanya, jika seminggu setelah sabtu depan..." aku mendapati
ekspresi syok di wajahnya, dan harus menahan tawa lagi. "Kau tahu, hari pesta
dansa musim semi-" Dia memotongku, akhirnya kembali menatapku. "Apa kau mencoba
melucu?" Ya. "Biarkan aku menyelesaikannya."
Dia menunggu diam. Giginya menggigit bibir bawahnya yang lembut.
Pemandangan itu mengalihkan aku selama sedetik. Aneh, reaksi yang ganjil
menggeliat dari inti kemanusiaanku yang terlupakan. Aku mengusirnya agar dapat
terus memainkan peranku. "Kudengar kau akan pergi ke Seattle hari itu, dan aku bertanya-tanya kalau-kalau
kau butuh tumpangan?" Aku menawarkan. Aku menyadari, daripada hanya menanyakan
rencananya, lebih baik ikut sekalian.
Dia menatapku kosong. "Apa?"
"Apa kau butuh tumpangan ke Seattle?" berdua dalam mobil bersamanya-
tenggorokanku terbakar hanya dengan memikirkannya. Aku mengambil napas dalam-
dalam. Biasakan. "Dengan siapa?" matanya melebar dan penuh tanya lagi.
"Denganku tentu saja," aku menjawab pelan.
"Kenapa?" Apa sebegitu mengejutkannya bahwa aku ingin menemani dia" Pasti dia mengartikan
yang terburuk dari tindakanku yang lalu.
"Well," aku menjawab sesantai mungkin, "Aku berencana pergi ke Seattle dalam
beberapa minggu kedepan, dan jujur saja, aku tidak yakin apa trukmu sanggup
kesana." kelihatannya lebih aman menggodanya daripada menjawab serius.
"Trukku baik-baik saja, terima kasih banyak atas perhatianmu," dia menyahut
dengan keterkejutan yang sama. Dia mulai jalan lagi. Aku menyamakan langkahku.
Dia tidak menjawab tidak, jadi kumanfaatkan celah itu.
Apa dia akan berkata tidak" Apa yang akan kulakukan jika begitu"
"Tapi apa trukmu bisa sampai dengan satu kali isi bensin?"
"Kupikir itu bukan urusanmu," Dia menggerutu.
Itu masih bukan tidak. Dan jantungnya berdetak lebih cepat lagi, napasnya bahkan
lebih cepat. "Penyia-nyian sumber daya yang tidak dapat diperbaharui adalah urusan semua
orang." "Jujur saja, Edward, aku tidak mengerti denganmu. Kupikir kau tidak mau
berteman denganku." Hatiku bergetar ketika ia mengucapkan namaku.
Bagaimana bisa bersikap cuek dan jujur sekaligus" Well, jauh lebih penting untuk
jujur. Terutama pada saat ini.
"Aku bilang akan lebih baik jika kita tidak berteman, bukannya aku tidak mau
jadi temanmu." "Oh, terima kasih, itu menjelaskan segalanya," dia berkata sinis.
Dia berhenti, dibawah atap kafetaria, dan bertemu pandang denganku lagi. Detak
jantungnya tidak beraturan. Apa dia takut"
Aku memilih kalimatku hati-hati. Tidak, aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi
mungkin dia cukup cerdas untuk meninggalkan aku, sebelum terlambat.
"Akan lebih...bijaksana jika kau tidak berteman denganku." melihat kedalam mata
coklat-mudanya yang dalam, aku tidak mampu mempertahankan sikap cuekku. "Tapi
aku lelah berusaha menjauh darimu, Bella." kalimat itu terucap dengan terlalu
banyak perasaan. Napasnya terhenti, dan sedetik kemudian kembali. Itu membuatku cemas. Seberapa
besar aku menakuti dia" Well, aku akan segera tahu.
"Maukah kau pergi ke Seattle denganku?" aku bertanya apa adanya.
Dia mengangguk. Jantungnya berdebar-debar sangat keras. Ya. Dia berkata ya
padaku. Kemudian kesadaran menghantamku. Seberapa besar dia harus membayar ini"
"Kau benar-benar harus menjauhi aku," aku memperingatkan dia. Apa dia
mendengarku" Apa dia akan berhasil melarikan diri dari ancamanku" Apa aku bisa
melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya dariku"
Santai... aku meneriaki diriku sendiri. "Sampai ketemu di kelas."
Aku harus berkonsentrasi menahan diri agar jangan sampai lari dan terbang.
6. Golongan Darah Aku mengikuti Bella seharian melalui pikiran orang-orang disekitarnya, aku
hampir tidak sadar dengan sekelilingku sendiri.
Tapi aku menghindari Mike Newton, aku sudah tidak tahan lagi dengan khayalannya.
Dan juga tidak lewat Jessica Stanley, kesinisannya pada Bella membuatku marah,
dan itu berbahaya bagi gadis picik itu. Angela Weber pilihan yang bagus ketika
matanya tersedia; dia bersahabat - kepalanya tempat yang nyaman. Tapi seringnya,
para guru. Mereka menyediakan pandangan yang paling baik.
Aku terkejut, melihat betapa seringnya dia tersandung-tersandung pada rekahan di
trotoar, stray books, dan, paling sering, kakinya sendiri. Teman-temannya
menilai Bella orang yang kikuk.
Aku mempertimbangkan hal itu. Memang benar, dia sering kesulitan berdiri dengan
baik. Aku ingat ia tersandung meja pada hari pertama dulu, terpleset-pleset
diatas es, tersandung ujung pintu kemarin... aneh sekali, mereka betul. Dia
orang yang kikuk. Entah kenapa ini begitu lucu untukku, tapi aku tergelak selama perjalanan dari
kelas sejarah ke kelas Inggris. Orang-orang melihatku khawatir. Bagaimana bisa
aku tidak menyadari ini sebelumnya" Mungkin karena ada sesuatu yang anggun
ketika ia sedang diam, caranya memegang kepala, bentuk lengkung lehernya...
Tapi, tidak ada yang anggun darinya sekarang. Mr. Varner melihat bagaimana ujung
sepatunya tersandung karpet hingga dia jatuh ke kursinya.
Aku tergelak lagi. Waktu berjalan lamban selama menunggu untuk bisa melihat dia langsung. Dan
akhirnya, bel berbunyi. Aku cepat-cepat menuju kafetaria untuk menempati
tempatku. Aku yang pertama kali sampai. Aku memilih meja yang biasanya kosong,
dan akan tetap begitu dengan aku disini.
Saat keluargaku melihat aku duduk sendirian di tempat yang baru, mereka tidak
kaget. Alice pasti telah memberitahu mereka. Rosalie lewat tanpa menoleh.
Idiot. Hubunganku dengan Rosalie tidak pernah baik - aku sudah membuatnya kesal dari
pertama dulu dia mendengarku bicara, dan selanjutnya makin parah - tapi beberapa
hari ini kelihatannya dia jadi jauh lebih sensitif. Aku menghela napas. Rosalie
selalu menganggap segalanya tentang dia.
Jasper setengah senyum padaku saat lewat.
Semoga sukses, pikirnya setengah hati.
Emmet memutar bola matanya dan menggeleng-geleng.
Dia sudah gila, kasihan kau nak.
Alice berseri-seri, giginya berkilauan terlalu terang.
Boleh aku bicara dengan Bella sekarang?"
"Jangan ikut campur," dengusku dari balik napas.
Wajahnya meredup, tapi kemudian berseri lagi.
Baik. Semaumu saja. Toh, saatnya akan tiba juga.
Aku menghela napas lagi. Jangan lupa tentang eksperimen biologi hari ini, dia mengingatkan. Aku
mengangguk. Tidak, aku tidak lupa itu.
Sambil menunggu Bella datang, aku mengikuti dia lewat mata seorang murid yang
ada di belakang dia dan Jessica. Jessica sedang sibuk berceloteh tentang pesta
dansa yang akan datang, tapi Bella sama sekali tidak menanggapi. Bukan berarti
Jessica memberinya kesempatan.
Tepat saat Bella masuk, matanya langsung tertuju ke meja tempat keluargaku
duduk. Dia memperhatikan sebentar, kemudian keningnya berkerut dan matanya jatuh
memandang ke lantai. Dia tidak menyadari aku ada disini.
Dia terlihat sangat...sedih. Seketika muncul dorongan kuat untuk bangun dan
pergi ke sisinya, untuk menenangkan dia. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang
bisa membuatnya nyaman. Karena, aku sama sekali tidak tidak tahu apa yang
membuatnya sedih begitu. Jessica terus mengoceh tentang pesta dansa. Apa dia
sedih karena tidak bisa ikut" Kelihatannya bukan karena itu...
Tapi, itu bisa diatasi, jika memang itu maunya.
Dia membeli sebotol limun untuk makan siang, tidak lebih. Apa itu baik" Bukannya
dia butuh lebih banyak nutrisi dari sekedar itu" Aku tidak terlalu paham pola
diet manusia. Manusia betul-betul sangat rapuh! Ada jutaan macam hal yang mesti
dikhawatirkan... "Edward Cullen sedang menatapmu lagi," aku mendengar Jessica bicara. "Kira-kira
kenapa dia duduk sendirian hari ini?"
Aku berterima kasih pada Jessica - meskipun dia jauh lebih sewot sekarang -
karena Bella langsung mendongak dan pandangannya mencari-cari hingga akhirnya
bertemu denganku. Sekarang tidak ada lagi jejak kesedihan di wajahnya. Aku membiarkan diriku
berharap bahwa dia sedih karena dipikirnya aku sudah pulang, dan harapan itu
membuatku tersenyum. Aku memberi isyarat dengan jariku untuk mengajaknya bergabung denganku. Dia
terlihat kaget sekali, dan itu membuatku tambah ingin menggodanya.
Jadi, aku mengedip. Dan dia terlongo.
"Apa yang dia maksud kau?" tanya Jessica kasar.
"Mungkin dia butuh bantuan dengan PR biologinya," jawabnya pelan dan ragu-ragu.
"Mmm, aku sebaiknya kesana untuk mencari tahu apa maunya."
Itu satu lagi jawaban ya.
Meski lantainya rata, dia tersandung dua kali sebelum sampai ke mejaku. Sungguh,
bagaimana bisa aku melewati hal ini sebelumnya" Sepertinya aku terlalu
memperhatikan pikirannya yang tak bersuara... Apa lagi yang kulewatkan"
Tetap jujur, tetap santai, aku mengulang-ulang dalam hati.
Dia berhenti di belakang kursi di seberangku, ragu-ragu. Aku mengambil napas
dalam-dalam, kali ini melalui hidung, bukan lewat mulut. Rasakan apinya, pikirku
kering. "Kenapa kau tidak duduk denganku hari ini?" pintaku padanya.
Dia menarik kursi dan duduk, menatapku beberapa saat. Dia terlihat gugup, tapi
dari sikapnya, lagi-lagi itu jawaban ya. Aku menunggu dia bicara.
Butuh beberapa saat, tapi akhirnya dia berkata, "Ini tidak seperti biasanya."
"Well..." Aku bimbang. "Mengingat aku toh bakal ke neraka juga, jadi kenapa
tidak sekalian saja." Ugh, kenapa aku mesti mengatakan itu" Tapi sudahlah, paling tidak aku jujur. Dan
siapa tahu dia mendengar peringatan tersembunyiku. Mungkin ia akan sadar harus
bangun dan pergi secepatnya...
Dia tidak berdiri. Dia menatapku, menunggu, seakan kalimatku belum selesai.
"Kau tahu, aku sama sekali tidak mengerti apa maksudmu," ujarnya akhirnya..
Itu sangat melegakan. Aku tersenyum.
"Aku tahu." Sangat sulit mengabaikan pikiran-pikiran yang meneriakiku dari balik
punggungnya- dan lagipula aku juga ingin mengganti topik.
"Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah menculikmu."
Nampaknya itu tidak membuatnya risau. "Mereka akan baik-baik saja."
"Aku mungkin saja tidak akan mengembalikanmu." Aku sama sekali tidak tahu apa
sedang berusaha jujur, atau sedang menggodanya. Berada di dekatnya membuatku
sulit menggunakan akal sehat.
Bella menelan ludah. Aku tertawa melihat ekspresinya. "Kau tampak cemas." harusnya ini tidak lucu...
Harusnya dia khawatir. "Tidak." dia tidak pandai berbohong; sama sekali tidak menolong saat suaranya
bergetar. "Terkejut, sebetulnya... apa yang menyebabkan ini semua?"
"Sudah kubilang," aku mengingatkan dia. "Aku lelah berusaha menjauh darimu. Jadi
aku menyerah." aku menjaga senyumku dengan susah payah. Tidak mungkin bisa
berjalan seperti ini-bersikap jujur sekaligus santai di waktu bersamaan.
"Menyerah?" dia mengulangi, heran.
"Iya - menyerah berusaha bersikap baik." Dan, tampaknya, menyerah untuk bersikap
santai. "Sekarang aku akan melakukan apa yang kumau, dan membiarkan semuanya
terjadi sebagaimana mestinya."
Itu cukup jujur. Biarkan dia melihat keegoisanku. Biarkan itu memperingatkan dia
juga. "Lagi-lagi kau membuatku bingung."
Aku cukup egois untuk merasa lega atas hal itu.
"Aku selalu berkata terlalu banyak kalau sedang bicara denganmu - itu salah satu
masalahnya." Masalah yang jauh lebih sederhana dibanding masalah lainnya.
"Jangan khawatir," dia meyakinkan aku. "Aku tak mengerti satupun ucapanmu."
Bagus. Maka dia akan tinggal. "Aku mengandalkan itu."
"Jadi, terus terang, apakah sekarang kita berteman?"
Aku mempertimbangkan itu sebentar. "Teman... " aku mengulangi. Aku tidak terlalu
menyukai kedengarannya. Itu belum cukup. "Atau tidak," gumamnya malu. Apa dia
pikir aku tidak menyukai dia sebesar itu"


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tersenyum. "Well, kurasa kita bisa mencobanya. Tapi kuperingatkan kau, aku
bukan teman yang baik untukmu."
Aku menunggu responnya-berharap akhirnya dia mendengar peringatanku dan
mengerti, tapi membayangkan kalau mungkin saja aku mati jika dia pergi. Betapa
dramatisnya. Aku jadi berubah seperti kebanyakan manusia lainnya.
Jantungnya berdebar lebih cepat. "Kau sering bilang begitu."
"Ya, karena kau tidak mendengarkan." Aku mengatakannya dengan bersungguh-
sungguh. "Aku masih menunggu kau mempercayainya. Kalau pintar, kau akan
menghindariku." Ah, tapi apa aku akan tetap tinggal diam, jika dia mencobanya"
Matanya menyipit. "Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup jelas."
Aku kurang yakin apa maksudnya, tapi aku tersenyum minta maaf, menebak mungkin
aku telah menyinggungnya secara tidak sengaja.
"Jadi," katanya pelan. "Selama aku adalah...orang yang tidak pintar, kita akan
berteman?" "Kedengarannya masuk akal."
Dia menunduk, menatap lekat-lekat botol limun di tangannya. Rasa penasaran itu
kembali menyiksaku. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Rasanya lega akhirnya bisa mengucapkan
pertanyaan itu keras-keras.
Kami bertemu pandang, dan napasnya bertambah cepat sementara pipinya merona
merah muda. Aku menarik napas, merasakannya di udara.
"Aku sedang mencoba menebak siapa sebenarnya kau ini."
Aku menahan senyum di wajahku, mengunci mimikku seperti itu, sementara panik
merayapi tubuhku. Tentu saja ia sedang memikirkan hal itu. Dia tidak bodoh. Tidak mungkin berharap
dia tidak menyadari sesuatu yang ada di depan matanya.
"Sudah menemukan sesuatu?" Aku bertanya sesantai mungkin.
"Tidak terlalu." akunya.
Aku terkekeh lega, "Apa teorimu?"
Tidak mungkin lebih buruk dari yang sebenarnya, tidak perduli apapun dugaannya.
Pipinya jadi merah terang, dan ia tidak mengatakan apa-apa. Aku bisa merasakan
kehangatan dari rona pipinya di udara.
Aku coba menggunakan nada membujuk. Itu selalu berhasil dengan manusia normal.
"Maukah kau memberitahuku?" Aku tersenyum menyemangati. Dia menggeleng. "Terlalu
memalukan." Ugh... Tidak tahu adalah yang paling buruk dari apapun. Kenapa tebakannya
membuat dia malu" Aku tidak tahan tidak tahu begini. "Itu sangat memusingkan,
kau tahu." Keluhanku sepertinya berefek sesuatu padanya. Matanya berkilat dan kata-katanya
mengalir lebih cepat dari biasanya.
"Tidak, aku tidak bisa membayangkan kenapa itu harus memusingkan - hanya karena
seseorang menolak menceritakan apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka terus
menerus melontarkan komentar misterius untuk membuatmu terjaga semalaman dan
memikirkan apa sebenarnya maksudnya...nah, kenapa itu memusingkan?"
Aku mengerutkan dahi, kesal karena menyadari dia betul. Aku tidak adil.
Dia melanjutkan. "Terlebih lagi, katakan saja orang itu juga melakukan hal-hal
aneh- mulai dari menyelamatkan nyawamu dari keadaan mustahil pada suatu hari,
sampai memperlakukanmu seperti orang asing keesokan harinya, dan dia tak pernah
menjelaskan apa-apa, bahkan setelah berjanji akan melakukannya. Itu, juga, akan
sangat tidak memusingkan."
Itu ucapan dia yang paling panjang yang pernah kudengar. Dan itu menambah daftar
kepribadiannya yang kubuat. "Kau ini pemarah, ya?"
"Aku tidak suka standar ganda." Tentu saja ia punya cukup alasan untuk marah.
Aku menatap Bella, bertanya-tanya bagaimana mungkin aku bisa melakukan sesuatu
yang benar buat dia, sampai kemudian teriakan pikiran Mike mengalihkan
perhatianku. Dia sangat marah hingga membuatku tertawa geli.
"Apa?" Tanyanya.
"Pacarmu sepertinya mengira aku bersikap tidak sopan padamu-dia sedang
mempertimbangkan untuk melerai pertengkaran kita atau tidak."
Aku sangat ingin melihatnya melakukan itu. Aku tertawa lagi.
"Aku tidak tahu siapa yang kau maksud," tukasnya dengan suara dingin. "Lagi
pula, aku yakin kau salah."
Aku sangat menikmati mendengar dia menyangkal Mike.
"Tidak. Aku pernah bilang, kebanyakan orang mudah ditebak."
"Kecuali aku, tentu saja."
"Ya. Kecuali kau."
Apa dia harus menjadi pengecualian atas segalanya" Bukannya lebih adil -
mengingat segala yang mesti kuhadapi saat ini - jika paling tidak aku bisa
mendengar isi pikirannya" Apa permintaan itu terlalu banyak" "
"Aku bertanya-tanya, kenapa bisa begitu?"
Aku menatap kedalam matanya, mencoba lagi...
Dia membuang muka. Dia membuka botol limunnya dan meminumnya. Pandangannya ke
meja. "Apa kau tidak lapar?" Tanyaku.
"Tidak." Dia melihat ke meja kosong diantara kami. "Kau?"
"Tidak, aku tidak lapar," aku jelas tidak lapar. Dia menatap ke meja. Bibirnya
merengut. Aku menunggu. "Boleh minta tolong?" Matanya menatapku lagi.
Apa yang ia inginkan dariku" Apa ia akan menuntut kebenaran yang tidak bisa
kuberikan-kebenaran yang kuharap tidak akan pernah dia ketahui"
"Tergantung apa yang kau inginkan?"
"Tidak susah kok," Dia berjanji.
Aku menunggu, lagi-lagi penasaran.
"Kira-kira... " Dia menatap ke botol limun, mengitari mulut botolnya dengan
jarinya, "Maukah kau memberitahuku dulu sebelum lain kali memutuskan untuk
mengabaikan aku, demi kebaikanku sendiri" Jadi aku bisa siap-siap."
Dia ingin diperingatkan dulu" Berarti, diabaikan olehku adalah sesuatu yang tidak menyenangkan... Aku
tersenyum. "Kedengarannya adil."
"Terima kasih," jawabnya sambil mendongak menatapku. Wajahnya begitu lega hingga
aku ingin tertawa karena kelegaanku sendiri.
"Lalu apa aku juga boleh minta satu jawaban sebagai gantinya?" tanyaku penuh
harap. "Satu," dia mengijinkan.
"Ceritakan padaku satu teori."
Wajahnya merona lagi. "Jangan yang itu."
"Kau tidak memberi syarat, kau sudah janji untuk menjawab satu."
"Sedang kau sendiri melanggar janjimu." Dia mendebat balik. Dan itu tepat
mengenaiku. "Satu teori saja-aku tidak akan tertawa."
"Pasti kau bakal tertawa." Dia kelihatannya sangat yakin, meski aku tidak bisa
membayangkan sesuatu yang lucu tentang itu.
Sekali lagi aku mencoba membujuknya. Aku menatap lekat-lekat kedalam matanya-
sesuatu yang mudah dilakukan, dengan matanya yang begitu dalam-dan berbisik,
"Please?""
Dia mengedip, dan wajahnya berubah kosong.
Well, itu bukan reaksi yang kuharapkan.
"Mmm, apa?" tanyanya, terlihat pusing.
Ada apa dengan dia" Tapi aku tidak akan menyerah.
"Ceritakan satu teori, sedikit saja." Aku memohon dengan suara halus,
memperhatankan matanya dalam tatapanku.
Terkejut dan puas, ternyata berhasil...
"Ehh, well, digigit laba-laba yang mengandung radioaktif?"
Cerita komik" Pantas saja dia pikir aku bakal tertawa.
"Itu tidak terlalu kreatif." Aku mencibirnya, berusaha menyembunyikan
kelegaanku. "Ya maaf, cuma itu yang kupunya."
Dia agak tersinggung. Dan itu membuatku lebih senang. Aku bisa menggodanya lagi.
"Mendekatipun tidak."
"Tidak ada laba-laba?"
"Tidak ada." "Tidak ada radioaktif?"
"Tidak." "Sial," keluhnya.
Aku cepat-cepat mengalihkan-sebelum dia bertanya tentang gigitan.
"Kryptonite juga tidak melemahkanku." Kemudian aku tertawa, karena dia pikir aku
adalah superhero. "Kau seharusnya tidak boleh ketawa, ingat?" Aku tersenyum dan menutup mulut.
"Nanti juga aku tahu."
Dan ketika dia tahu, ia akan lari.
"Kuharap kau tidak mencobanya."Nnada menggodaku sepenuhnya lenyap.
"Karena...?" Aku behutang kejujuran padanya. Tetap saja, aku berusaha tersenyum, agar tidak
tidak kedengaran mengancam. "Bagaimana kalau aku bukan seorang superhero"
Bagaimana kalau aku orang jahatnya?"
Matanya melebar dan bibirnya sedikit membuka.
"Oh," ujarnya. Dan sedetik kemudian, "Aku mengerti."
Dia akhirnya mendengar peringatanku.
"Benarkah?" tanyaku, menyembunyikan penderitaanku.
"Kau berbahaya?" Napasnya memburu, dan jantungnya berdetak kian cepat.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Apa ini kesempatan terakhirku bersamanya" Apa
dia akan segera lari" Masih sempatkah untuk mengatakan bahwa aku mencintai dia
sebelum ia pergi" Atau itu akan lebih membikin dia takut"
"Tapi tidak jahat," bisiknya sambil menggeleng. Tidak terpancar ketakutan dari
matanya yang jernih. "Tidak, aku tidak percaya kau jahat."
Aku menarik napas. "Kau salah."
Tentu saja aku jahat. Bukannya sekarang aku sedang bersorak gembira, karena dia
salah menilaiku" Jika aku orang baik, aku akan menjauh darinya.
Aku mengulurkan tangan ke meja, menjangkau tutup botol limunnya sebagai alasan.
Dia tidak bereaksi dengan gerakan tiba-tiba ini. Dia benar-benar tidak takut
padaku. Belum. Aku memutar tutup botolnya seperti gasing, memperhatikan itu, bukannya dia.
Pikiranku buntu. Lari, Bella, lari. Aku tidak sanggup mengucapkannya keras-keras. Namun tiba-tiba
dia terloncat. "Kita bakal terlambat," ujarnya saat aku mulai khawatir -entah bagaimana-ia bisa
mendengar peringatan di kepalaku.
"Aku tidak ikut pelajaran hari ini."
"Kenapa?" Karena aku tidak mau membunuhmu. "Sekali-kali membolos itu menyehatkan."
Lebih tepatnya, jauh lebih baik bagi manusia jika seorang vampir membolos di
hari ketika darah manusia tumpah. Hari ini Mr. Banner akan menguji golongan
darah. Tadi pagi Alice sudah membolos duluan.
"Well, aku akan masuk,"
Itu tidak mengejutkan. Dia orang yang bertanggung jawab-selalu melakukan sesuatu
yang benar. Aku, kebalikannya. "Kalau begitu sampai ketemu lagi." jawabku sesantai mungkin sambil melihat ke
bawah, ke tutup botol yang kuputar. Dan, ngomong-ngomong, aku memujamu...dalam
cara yang menakutkan dan membahayakan.
Dia ragu-ragu, dan aku sempat berharap ia akan memilih untuk tetap tinggal
bersamaku. Tapi bel berbunyi dan ia cepat-cepat pergi.
Kutunggu dia sampai keluar, kemudian kusimpan tutup botol tadi ke saku-sebuah
kenang-kenangan dari pembicaraan yang sangat menyenangkan ini-dan berjalan
menembus hujan ke mobil. Aku menyalakan CD musik kesukaanku, Debussy-CD yang sama dengan yang kudengarkan
di hari pertama itu. Tapi aku tidak mendengarkannya terlalu lama. Alunan nada
yang lain mengalir di kepalaku, penggalan lagu yang menyenangkan dan
menggugahku. Jadi, kumatikan CDnya dan ganti mendengarkan musik di kepalaku,
memainkan penggalannya sampai berhasil mengembangkannya jadi satu harmonisasi
lengkap. Secara naluri, jari-jariku menari di udara memainkan tuts-tuts piano
kasat mata. Komposisi lagunya hampir lengkap ketika aku menangkap gelombang kerisauan-batin
yang mendalam. Aku mencari sumber suaranya.
Apa dia akan pingsan" Apa yang mesti kulakukan" Mike membatin panik. Beberapa
ratus meter dari tempatku, Mike Newton meletakan tubuh lunglai Bella ke trotoar.
Dia merosot tak berdaya ke semen dingin. Matanya tertutup, kulitnya sepucat
mayat. Aku hampir menendang pintu mobilku.
"Bella"!" Teriakku.
Tidak ada perubahan di wajah pucatnya saat aku meneriakan namanya. Sekujur
tubuhku mendingin melebihi es.
Dengan marah aku menyelidiki pikiran Mike, yang terkejut sekaligus jengkel
melihatku. Dan dia hanya memikirkan kemarahannya hingga aku tidak tahu apa yang
terjadi pada Bella. Jika dia sampai menyakiti Bella, aku akan membinasakannya.
"Apa yang terjadi-apa dia sakit?" Aku menuntut jawaban sambil berusaha fokus
pada pikiran si bocah. Rasanya menjengkelkan harus berjalan dengan langkah
manusia. Harusnya tadi aku datang diam-diam.
Kemudian, aku mendengar detak jantung dan napasnya yang datar. Saat aku
mendekat, dia memejamkan matanya lebih rapat. Itu meringankan kepanikanku.
Aku melihat sekelebatan ingatan di pikiran Mike, sekelumit gambaran dari kelas
Biologi. Kepala Bella terkulai di meja kami berdua, kulit gadingnya berubah
hijau. Setetes cairan kental merah di kertas putih...
Tes golongan darah. Aku langsung berhenti di tempat, menahan napasku. Aromanya aku sudah biasa, tapi
darah segar adalah sama sekali lain.
"Kurasa dia pingsan," ujar Mike dengan cemas sekaligus marah. "Aku tidak tahu
apa yang terjadi, dia bahkan tidak menusuk jarinya."
Kelegaan langsung melandaku, aku bernapas lagi, merasakan udara disekelilingku.
Ah, aku bisa mencium setitik darah dari bekas tusukan Mike Newton. Di waktu
lalu, mungkin itu akan mengundang seleraku.
Aku berlutut disamping Bella sementara Mike menunggu di dekatku, marah karena
campur tanganku. "Bella. Kau bisa mendengarku?"
"Tidak," erangnya. "Pergi sana."
Kelegaan itu begitu luar biasa hingga aku tertawa. Dia baik-baik saja.
"Aku mau membawanya ke UKS," sergah Mike. "Tapi dia tak bisa berjalan lebih jauh
lagi." "Aku yang akan mengantarnya. Kau bisa kembali ke kelas," kataku mengusirnya.
Mike menggertakan gigi. "Tidak. Aku yang seharusnya melakukannya."
Aku malas berdebat dengan bocah satu ini.
Berdebar-debar dan takut, setengah bersyukur dan cemas, mengingat bahayanya jika
menyentuh dia, dengan lembut aku mengangkat Bella dan membopongnya di lenganku.
Aku menyentuh hanya bajunya, menjaga jarak tubuhnya sejauh mungkin. Aku
melangkah cepat-cepat untuk menyelamatkan dia-menjauh dariku, dengan kata lain.
Matanya terbuka, bingung.
"Turunkan aku," tuntutnya dengan suara lemah-malu, ditebak dari ekspresinya. Dia
tidak suka menunjukan kelemahannya.
Aku hampir tidak mendengar protes Mike di belakangku.
"Kau tampak kacau," kataku sambil menyeringai karena tidak ada yang salah
padanya selain kepala pusing dan perut yang lemah.
"Turunkan aku," ujarnya. Bibirnya putih.
"Jadi kau pingsan karena melihat darah?" Bisakah lebih ironis lagi" Dia menutup
mata dan mengatupkan bibirnya.
"Dan bahkan bukan darahmu sendiri," aku menambahkan. Seringaiku makin lebar.
Kami sampai di depan TU. Pintunya sedikit terbuka. Aku membukanya dengan kaki
agar bisa lewat. Ms. Cope terloncat kaget.
"Oh, ya ampun," dia terengah saat memeriksa gadis kelabu di tanganku ini.
"Dia pingsan di kelas biologi," aku menerangkan, sebelum imajinasinya terlalu
jauh. Ms. Cope buru-buru membuka pintu ke ruang UKS. Mata Bella terbuka lagi,
mengawasinya. Aku mendengar pikiran takjub Mrs. Hammond, juru rawat keibuan yang
ada di UKS, saat aku masuk dan membaringkan Bella ke sebuah tempat tidur yang
sudah lusuh. Begitu Bella tidak lagi di tanganku, aku langsung menjauh ke
tembok. Tubuhku terlalu bersemangat, terlalu berhasrat. Otot-ototku tegang. Dan
liurku mengalir deras. Dia sangat hangat dan harum.
"Di hanya sedikit lemah," aku meyakinkan Mrs. Hammond. "Mereka sedang mengetes
golongan darah di kelas Biologi."
Dia mengangguk mengerti sekarang. "Selalu saja ada yang pingsan."


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku menahan tawa. Pastilah Bella yang satu itu.
"Berbaringlah sebentar, sayang." Mrs. Hammond berkata menenangkan. "Nanti juga
sembuh." "Aku tahu," jawab Bella.
"Apa ini sering terjadi?" sang perawat bertanya.
"Kadang-kadang," Bella mengakui.
Aku berusaha menyamarkan tawaku dengan batuk.
Itu mengalihkan perhatian Mrs. Hammond padaku. "Kau boleh kembali ke kelas
sekarang." Aku menatap langsung ke matanya dan berbohong dengan keyakinan sempurna. "Aku
disuruh menemaninya."
Hmmm... Apa iya... Ah sudahlah. Mrs. Hammond mengangguk.
Itu berhasil dengan baik padanya. Kenapa kalau dengan Bella jadi sulit"
"Aku akan mengambilkan kompres untukmu, sayang." Mrs. Hammond merasa tidak
nyaman setelah menatap mataku-sebagaimana manusia seharusnya-dan pergi keluar
ruangan. "Kau betul." Bella mengerang, menutup matanya.
Yang dia maksud apa" Dan pikiranku langsung mengarah ke kesimpulan yang
terburuk: dia menerima peringatanku.
"Biasanya begitu." Aku berusaha kedengaran bangga; sepertinya tidak terlalu
meyakinkan. "Tapi kali ini tentang apa?"
"Membolos itu sehat," desahnya.
Ah, lega lagi. Kemudian dia terdiam, hanya bernapas pelan-pelan. Bibirnya mulai berubah merah
muda. Komposisi bibirnya terlihat tidak imbang, bibir bawahnya sedikit lebih
penuh dibanding bibir atasnya. Dan memandangi bibirnya membuatku merasa aneh.
Membuatku ingin mendekat, yang mana bukan ide yang bagus.
"Tadi kau sempat membuatku takut." Aku coba memulai pembicaraan agar bisa
mendengar suaranya lagi. "Kukira Newton sedang menyeret mayatmu untuk dikubur di
hutan." "Ha ha," ucapnya tidak terhibur.
"Jujur saja-aku pernah melihat mayat dengan kondisi lebih baik." Itu betul.
"Hampir saja aku membalas pembunuhmu." Dan aku memang hampir begitu.
"Kasihan Mike," desahnya. "Berani taruhan dia pasti marah."
Aku langsung berang mendengarnya, namun cepat-cepat kutahan. Kepeduliannya pasti
lebih karena kasihan. Dia baik hati. Cuma itu.
"Dia sangat membenciku." Aku senang jika Mike memang begitu. "Kau tidak mungkin
tahu pasti." "Aku lihat wajahnya, makanya aku tahu." Itu mungkin ada benarnya, dengan membaca
wajahnya cukup untuk menarik kesimpulan seperti itu. Segala latihan selama ini
dengan Bella menajamkan kemampuanku membaca ekspresi manusia.
"Bagaimana kau bisa menemukanku" Kukira kau membolos." Wajahnya terlihat lebih
baik-warna kehijauan telah lenyap dari balik kulitnya yang bening.
"Aku sedang di dalam mobil, mendengarkan CD."
Ekspresinya sedikit berubah, seakan entah bagaimana jawaban biasaku membuatnya
terkejut. Dia menutup matanya lagi ketika Mrs. Hammond kembali dengan membawa kompresan
es. "Pakai ini, sayang," perawat itu menaruh kompresnya di kening Bella. "Kau
kelihatan jauh lebih baik."
"Kurasa aku baik-baik saja," jawab Bella. Ia bangkit duduk sembari menyingkirkan
kompresannya. Bukan kejutan. Dia tidak suka dapat perhatian.
Tangan keriput Mrs. Hammond menahan Bella agar kembali berbaring, tapi kemudian
Ms. Cope membuka pintu dan masuk. Bersama kedatangannya tercium juga bau darah
segar, cuma bau ringan. Di belakang Ms. Cope, Mike Newton masih marah sekali, berharap bocah yang baru
saja ia tuntun adalah gadis yang ada disini bersamaku.
"Kita kedatangan satu lagi," ujar Ms. Cope.
Bella buru-buru melompat turun dari tempat tidur, ingin cepat-cepat menyingkir.
"Ini," katanya cepat, mengembalikan kompresnya ke Mrs. Hammond. "Aku tidak
memerlukannya." Mike menggerutu saat dia setengah menyeret Lee Stevens melewati pintu. Darah
masih menetes dari tangan Lee yang sedang memegangi wajahnya, menetes turun ke
lengannya. "Oh, tidak." Ini tandaku untuk pergi-dan kelihatannya buat Bella juga. "Ayo keluar dari sini,
Bella." Dia menatapku dengan pandangan bingung.
"Percayalah-ayo."
Dia memutar dan menangkap pintunya sebelum tertutup, buru-buru keluar dari UKS.
Aku mengikuti tepat di belakangnya. Kibasan rambutnya sempat membelai
tanganku... Dia menoleh melihatku, masih dengan mata lebarnya.
"Kau benar-benar menuruti perkataanku."
Ini yang pertama. Hidung mungilnya mengerut. "Aku mencium bau darah."
Aku menatapnya heran. "Manusia tidak bisa mencium darah."
"Well, aku bisa - itulah yang membuatku mual. Baunya seperti karat...dan garam."
Wajahku membeku, melongo.
Apa dia betul-betul manusia" Dia terlihat seperti manusia. Dia terasa lembut
bagi manusia. Baunya seperti manusia-well, jauh lebih baik sebetulnya.
Tingkahnya seperti manusia...kira-kira begitu. Tapi dia tidak berpikir layaknya
manusia, atau bereaksi seperti itu.
Memang, apa lagi pilihannya selain manusia"
"Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Bukan apa-apa."
Kemudian Mike Newton datang menyela, masuk dengan pikiran marah besar.
"Kau kelihatan lebih baik," ujarnya kasar pada Bella.
Tanganku mengejang, ingin memberinya pelajaran. Aku harus hati-hati, atau aku
akan betul-betul membunuh bocah menjengkelkan ini.
"Jauhkan tanganmu," katanya. Sesaat kupikir dia sedang bicara padaku.
"Sudah tidak berdarah lagi," jawab Mike sambil menahan marah. "Apa kau akan
kembali ke kelas?" "Apa kau bercanda" Aku hanya akan kembali kesini lagi."
Itu bagus sekali. Kupikir aku akan kehilangan satu jam penuh bersamanya, tapi
justru dapat tambahan waktu. Aku jadi merasa tamak, orang kikir yang mendambakan
setiap tambahan waktu. "Kurasa betul..." gumam Mike. "Jadi kau akan pergi pekan ini" Ke pantai?"
Ah, mereka punya rencana. Aku membeku ditempat karena marah. Tenang, itu cuma
tamasya bersama. Aku sudah melihat rencana ini di pikiran murid-murid lainnya.
Bukan cuma mereka berdua. Tapi aku masih juga geram. Aku menyandar ke komputer,
tidak bergerak, berusaha mengendalikan diriku.
"Tentu saja, aku kan sudah bilang akan ikut," jawabnya pada Mike.
Jadi dia berkata ya padanya juga.
Cemburu langsung membakarku, lebih menyakitkan daripada haus. Bukan, itu cuma
tamasya bersama, aku berusaha meyakinkan diriku. Dia hanya menghabiskan waktu
bersama teman-temannya. Tidak lebih.
"Kita akan kumpul di toko ayahku jam sepuluh." Dan si Cullen TIDAK diundang.
"Aku akan datang."
"Kalau begitu sampai ketemu lagi di gimnasium."
"Sampai nanti," balasnya.
Mike berjalan ogah-ogahan kembali ke kelas. Pikirannya penuh kemarahan. Apa yang
Bella lihat dari orang aneh itu" Tentu saja dia memang kaya. Menurut perempuan-
perempuan dia itu keren, tapi menurutku tidak. Terlalu...terlalu sempurna.
Berani taruhan ayahnya pasti melakukan eksperimen operasi plastik pada mereka
semua. Itulah kenapa semuanya putih sekali dan cantik. Itu tidak wajar. Dan
tatapannya agak...menakutkan. Kadang, saat dia menatapku, berani sumpah ia
seperti ingin membunuhku... dasar orang aneh...
Mike tidak sepenuhnya keliru.
"Gimnasium," Bella mengulang pelan. Mengerang.
Aku menatapnya, dan ia terlihat sedih akan suatu lagi. Aku tidak yakin apa
penyebabnya, tapi jelas dia tidak ingin pergi ke kelas berikutnya bersama Mike.
Dan aku sangat setuju pada hal itu.
Aku mendekat ke sisinya, lalu menunduk ke wajahnya, merasakan hangat kulitnya
menjalar ke bibirku. Aku tidak berani untuk bernapas.
"Aku bisa mengaturnya," bisikku pada dia. "Duduklah dan perlihatkan wajah
pucatmu." Dia melakukan apa yang kuminta, duduk di salah satu kursi lipat dan menyandarkan
badannya ke tembok, sementara, di belakangku, Ms. Cope keluar dari dalam UKS
menuju mejanya. Dengan mata yang tertutup, Bella kelihatan seperti pingsan lagi.
Rona wajahnya belum kembali seperti semula.
Aku menoleh ke Ms. Cope. Semoga Bella memperhatikan, pikirku sinis. Seperti
inilah manusia semestinya bereaksi.
"Ms. Cope?" kataku dengan menggunakan suara membujuk lagi.
Bulu matanya mengedip-ngedip tak sadar, dan jantungnya berdetak cepat. Terlalu
muda, kendalikan dirimu! "Ya?"
Ini menarik. Ketika detak jantung Shelly Cope bertambah cepat, itu karena dia
mendapati diriku menarik secara fisik, bukan karena takut. Aku sudah terbiasa
menghadapi reaksi seperti itu dari para manusia-perempuan...tapi aku tidak
pernah mempertimbangkan penjelasan itu ketika detak jantung Bella memburu.
Aku cukup suka itu. Terlalu suka, sebetulnya. Aku tersenyum, dan napas Ms. Cope
makin memburu. "Setelah ini Bella ada pelajaran olahraga, dan sepertinya kondisinya belum pulih
benar. Sebetulnya saya berpikir untuk mengantarnya pulang sekarang. Apa saya
bisa minta tolong dimintakan ijin buatnya?" Aku menatap kedalam matanya yang
dangkal, menikmati bagaimana hal ini mengalutkan pikirannya. Jangan-jangan,
mungkinkah Bella... "
Mrs. Cope harus menelan ludah dulu sebelum menjawab. "Apa kau butuh ijin juga,
Edward?" "Tidak, Mrs. Goff tidak akan keberatan."
Aku tidak terlalu memperhatikannya sekarang. Aku sedang mempertimbangkan
kemungkinan terbaru ini. Hmmm...Aku ingin percaya bahwa Bella mendapatiku menarik seperti menurut manusia
lainnya, tapi kapan Bella pernah berpikiran sama seperti manusia lainnya" Aku
tidak boleh terlalu berharap.
"Oke, kalau begitu semuanya beres. Kau merasa lebih baik, Bella?"
Bella mengangguk lemah - sedikit dilebih-lebihkan.
"Apa kau bisa berjalan, atau perlu kugendong lagi?" tanyaku geli melihat
aktingnya. Dia pasti lebih memilih jalan - dia tidak mau terlihat lemah.
"Aku jalan saja," jawabnya. Betul lagi. Aku mulai lebih baik dalam hal ini.
Dia bangkit berdiri, ragu-ragu sebentar seperti sedang mengecek keseimbangannya.
Aku menahan pintu untuknya, dan kami berjalan menembus hujan.
Aku memperhatikan bagaimana dia menengadahkan wajahnya menghadap rintik-rintik
hujan dengan mata tertutup, sebaris senyum di bibirnya. Apa yang sedang ia
pikirkan" Tindakannya terlihat ganjil, dan aku langsung menyadari penyebabnya.
Perempuan normal tidak akan menentang hujan seperti itu; mereka biasanya memakai
makeup, bahkan disini di kota hujan seperti Forks.
Bella tidak pernah memakai makeup, dan memang sebaiknya tidak. Industri kosmetik
memperoleh jutaan dolar tiap tahunnya dari para wanita yang berusaha mendapatkan
kulit seperti dia. "Terima kasih." Dia tersenyum padaku. "Lumayan juga bisa bolos kelas olahraga."
Aku memandang ke seberang kampus, bertanya-tanya bagaimana caranya memperpanjang
waktu bersamanya. "Dengan senang hati," jawabku.
"Jadi apa kau ikut" Maksudku, sabtu ini?" Dia terdengar berharap.
Ah, harapannya menyenangkan. Dia ingin aku yang bersamanya, bukan Mike Newton.
Dan aku ingin berkata ya. Tapi ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan. Salah
satunya, matahari akan bersinar cerah sabtu ini...
"Sebenarnya kalian akan pergi kemana?" Aku berusaha terdengar acuh, seakan tidak
terlalu berarti. Mike sempat menyebut pantai. Tidak mungkin menghindari sinar
matahari disana. "La Push, ke First Beach."
Sial. Well, kalau begitu mustahil.
Bagaimanapun, Emmet bakal marah jika aku membatalkan rencana kami.
Aku meliriknya, tersenyum kecut. "Aku rasa aku tidak diundang."
Dia mendesah, lebih dulu menyerah. "Aku baru saja mengundangmu."
"Sudahlah, sebaiknya kita jangan terlalu mendesak Mike lagi minggu ini. Kita
tidak ingin membuat dia marah, kan?" Aku sebetulnya memikirkan diriku sendiri
yang lepas kendali pada Mike yang malang, dan sangat menikmati bayangannya.
"Mike-schmike," katanya lagi-lagi dengan nada penolakan. Aku tersenyum lebar.
Kemudian dia berjalan menjauh.
Tanpa memikirkan tindakanku, aku menangkap belakang mantelnya. Dia tersentak
berhenti. "Memangnya kau mau pergi kemana?" Aku hampir marah karena dia meninggalkanku.
Aku masih belum puas bersama dengannya. Dia tidak bisa pergi, jangan dulu.
"Pulang," jawabnya bingung, tidak mengerti kenapa itu membuatku kesal.
"Apa tadi kau tidak dengar aku berjanji mengantarmu pulang dengan selamat"
Pikirmu aku akan membiarkanmu mengemudi dengan kondisi seperti ini?" Aku tahu
dia tidak akan suka itu-pandanganku yang menilai dia lemah. Tapi aku juga butuh
latihan untuk perjalanan ke Seattle. Untuk melihat, apa aku sanggup menahan diri
saat berdua saja dengannya di ruang tertutup. Perjalanan yang ini cukup singkat
untuk latihan. "Kondisi seperti apa?" protesnya. "Lalu trukku bagaimana?"
"Akan kuminta Alice mengantarnya sepulang sekolah nanti." Dengan hati-hati aku
menariknya mundur ke mobilku. Aku mesti hati-hati karena berjalan maju saja
sudah cukup sulit buatnya.
"Lepaskan!" Protesnya sambil memutar badan dan hampir tersandung. Aku
mengulurkan satu tangan, tapi dia sudah berhasil menyeimbangkan diri sebelum
pertolonganku dibutuhkan. Tidak seharusnya aku mencari-cari alasan untuk
menyentuhnya. Itu membuatku teringat pada reaksi Ms. Cope, tapi aku menundanya untuk
kupikirkan nanti. Ada banyak hal yang mesti dipertimbangkan menyangkut soal itu.
Kulepaskan dia sesampainya di samping mobil, dan ia tersandung pintunya. Aku
harusnya lebih hati-hati lagi melihat keseimbangannya yang seperti itu...
"Kau kasar sekali!"
"Pintunya tidak dikunci."
Aku masuk ke sisi pengemudi dan menyalakan mesinnya. Dia tetap ngotot berdiri
diluar meski hujan mulai deras dan aku tahu dia tidak suka dingin dan basah.
Rambut tebalnya nya mulai basah kuyup, lebih gelap hingga nyaris hitam.
"Aku sangat mampu menyetir sendiri ke rumah!"
Tentu saja dia bisa - hanya saja aku yang tidak sanggup membiarkannya pergi. Aku
menurunkan jendela dan mencondongkan badan kearahnya. "Masuklah, Bella."
Matanya menyipit, dan tebakanku dia sedang menimbang-nimbang apa akan lari saja
atau tidak. "Aku tinggal menyeretmu lagi," kataku sungguh-sungguh, menikmati ekspresi
tersiksa di wajahnya saat ia menyadari aku serius.
Sesaat dia berdiri kaku, tapi kemudian membuka pintu dan masuk. Air menetes-
netes dari rambutnya, sepatu bootsnya mendecit basah.
"Ini benar-benar tidak perlu," ucapnya dingin. Sepertinya ada nada malu dibalik
kejengkelannya. Aku menyalakan penghangat agar dia merasa lebih nyaman, dan menyetel musik
dengan suara pelan sebagai background. Aku mengemudikan mobilku keluar parkiran,
sambil memperhatikan dia dari ujung mataku. Bibir bawahnya sedikit maju dengan
ekspresi keras kepala. Aku memperhatikannya baik-baik, mempelajari bagaimana
dampaknya pada perasaanku... mengingat kembali reaksi Ms. Cope...
Tahu-tahu dia melihat ke arah tapeku dan tersenyum, matanya melebar. "Clair de
Lune?" Tanyanya. Pecinta musik klasik"
"Kau tahu Debussy"'"
"Tidak terlalu," jawabnya. "Ibuku sering menyetel musik klasik - aku cuma tahu
yang kusuka." "Ini juga salah satu kesukaanku." Aku memperhatikan hujan di luar,
mempertimbangkan hal itu. Ternyata aku punya kesamaan dengan gadis ini.
Sebelumnya aku berpikir bahwa kami berdua bertolak belakang dalam segala hal.
Dia terlihat lebih santai, memperhatikan hujan di luar sepertiku. Aku
menggunakan kesempatan ini untuk bereksperimen dengan bernapas.
Aku menarik napas hati-hati lewat hidung.
Pekat. Kucengkram roda kemudi lebih kencang. Hujan membuat aromanya lebih harum. Aku
tidak pernah berpikir bisa seperti itu. Sial, tiba-tiba jadi membayangkan
bagaimana rasanya. Aku berusaha menelan rasa terbakar di tenggorokanku,


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memikirkan hal lain. "Ibumu seperti apa?" Aku bertanya untuk mengalihkan perhatian. Bella tersenyum.
"Dia sangat mirip denganku, tapi lebih cantik." Aku ragu itu.
"Terlalu banyak Charlie dalam diriku," dia melanjutkan. "Ibuku punya sifat lebih
terbuka, dan lebih berani."
Aku juga ragu itu. "Dia tidak terlalu bertanggung jawab dan agak eksentrik, dan dia juru masak yang
sangat payah. Dia teman baikku." Suaranya berubah sayu; keningnya mengerut.
Lagi, dia terdengar lebih seperti orangtua ketimbang anak.
Aku berhenti di depan rumahnya, terlambat untuk khawatir darimana mana aku bisa
tahu rumahnya. Tidak, ini tidak akan terlalu mencurigakan di kota kecil seperti
ini, apalagi dengan ayahnya yang kepala polisi...
"Berapa umurmu, Bella?" Dia pasti lebih tua dari penampilannya. Mungkin dia
terlambat masuk sekolah, atau pernah tinggal kelas...kalau itu sepertinya tidak.
"Tujuh belas." "Kau tidak kelihatan seperti berumur tujuh belas."
Dia tertawa. "Kenapa?" "Ibuku selalu bilang aku terlahir dengan umur 35 tahun dan makin mendekati paruh
baya tiap tahunnya." Dia tertawa lagi, dan mendesah. "Well, harus ada yang
menjadi orang dewasanya."
Itu menjelaskan beberapa hal. Aku bisa melihatnya sekarang...bagaimana seorang
ibu yang tidak terlalu bertanggung jawab menjelaskan kedewasaannya Bella. Dia
harus dewasa lebih cepat, untuk menjadi pengawas. Itulah kenapa dia tidak suka
diurus - dia merasa itu tugasnya.
"Kau sendiri tidak kelihatan seperti murid SMA," katanya, membuyarkan lamunanku.
Aku menyeringai. Dari segala yang kutangkap tentang dia, dia menangkap lebih
banyak tentang diriku. Aku buru-buru mengganti topik. "Jadi kenapa ibumu menikah
dengan Phil?" Dia ragu sejenak sebelum menjawab. "Ibuku...dia sangat muda untuk umurnya.
Kurasa Phil membuatnya merasa lebih muda lagi. Dalam beberapa hal, ibuku
tergila-gila padanya."
Dia menggeleng dengan tatapan senyum.
"Apa kau setuju?"
"Apa itu penting" Aku ingin dia bahagia...dan Phill lah yang ia mau."
Ketidak egoisan tanggapannya mungkin akan mengejutkan aku, kecuali bahwa hal itu
sangat cocok dengan kepribadiannya yang telah kupelajari. "Kau baik sekali, aku
jadi berpikir..." "Apa?" "Apa dia juga akan bersikap sama denganmu" Tidak perduli siapapun pilihanmu?"
Itu pertanyaan konyol, dan aku tidak bisa membuat suaraku tetap santai saat
menanyakannya. Sungguh bodoh mempertimbangkan ada orang tua yang akan merestui
anaknya denganku. Lebih bodoh lagi berpikir bahwa Bella mau memilihku.
"Aku...aku rasa begitu," jawabnya terbata-bata, mungkin karena tatapanku.
Takut... Atau tertarik"
"Tapi dia lah yang jadi orangtua. Jadi agak beda," lanjutnya. Aku tersenyum
kecut. "Berarti dilarang jika orangnya terlalu menyeramkan."
Dia menyeringai padaku. "Apa maksudmu menyeramkan" Banyak tindikan di wajah dan
tatoo di sekujur badan?"
"Kurasa itu salah satu definisinya." Definisi yang jauh dari mengerikan kalau
buatku. "Lantas apa definnisimu?"
Dia selalu menanyakan pertanyaan yang keliru. Atau lebih bisa dibilang
pertanyaan yang tepat. Sesuatu yang tidak ingin kujawab, dalam kondisi apapun.
"Menurutmu apa aku bisa menyeramkan?" tanyaku padanya sambil berusaha tersenyum.
Dia mempertimbangkan dulu sebelum menjawabnya dengan nada serius.
"Hmmm...kupikir kau bisa, kalau mau."
Aku juga serius. "Apa sekarang kau takut padaku?"
Dia langsung menjawab, kali ini tanpa dipikir. "Tidak."
Aku jadi lebih mudah tersenyum. Aku tidak berpikir dia sepenuhnya jujur, tapi
dia juga tidak sepenuhnya bohong. Paling tidak dia tidak terlalu takut hingga
ingin pergi. Aku bertanya-tanya bagaimana perasaannya jika kuberitahu bahwa dia
sedang bicara dengan seorang vampir. Aku buru-buru membuang bayangan itu.
"Jadi, apakah sekarang kau mau cerita tentang keluargamu" Pasti jauh lebih
menarik daripada ceritaku."
Lebih menakutkan, paling tidak.
"Apa yang ingin kau ketahui?" Aku bertanya waspada.
"Keluarga Cullen mengadopsimu?"
"Ya." Dia bimbang sebentar, kemudian bicara dengan suara pelan. "Apa yang terjadi
dengan orangtuamu?" Ini tidak terlalu sulit; bahkan aku tidak perlu berbohong. "Mereka sudah lama
meninggal." "Oh, maaf," gumamnya, jelas khawatir telah melukaiku. Dia mengkhawatirkan aku.
"Aku tidak terlalu ingat mereka," aku meyakinkannya. "Sejak lama Carlisle dan
Esme sudah jadi orangtuaku."
"Dan kau menyayangi mereka?"
Aku tersenyum. "Ya. Aku tidak bisa membayangkan dua orang yang lebih baik." "Kau
sangat beruntung." "Aku tahu." Dalam kondisi itu, soal orangtuaku, keberuntunganku tidak bisa
diingkari. "Dan saudara-saudaramu?"
Jika aku membiarkannya bertanya lebih jauh, aku terpaksa berbohong. Aku melirik
ke jam, kecewa karena karena waktuku dengan dia hampir habis.
"Saudara-saudaraku, Jasper dan Rosalie, akan kesal jika harus berdiri di tengah
hujan menungguku." "Oh, iya, sori, sepertinya kau harus pergi."
Dia tidak bergerak. Dia tidak ingin cepat-cepat berakhir juga. Aku sangat,
sangat suka itu. "Dan kau mungkin juga ingin trukmu kembali sebelum ayahmu pulang, jadi kau tidak
perlu cerita tentang insiden di kelas biologi tadi." Aku menyeringai teringat
bagaimana dia merasa malu tadi dalam gendonganku.
"Aku yakin dia sudah dengar. Tidak ada rahasia di Forks." Dia menyebut nama kota
Forks dengan nada sebal yang kentara.
Aku tertawa mendengar ungkapannya. Tidak ada rahasia, tentu saja. "Selamat
bersenang-senang di pantai."
Aku melihat ke hujan yang turun deras, tahu cuaca seperti ini tidak akan
berlangsung lama, dan berharap - lebih dari biasanya - bahwa cuaca akan seperti
ini terus. "Cuacanya bagus untuk berjemur." Paling tidak akan begitu pada hari
sabtu. Dia akan menikmati itu.
"Apa aku akan bertemu dengamu besok?"
Perasaan khawatir di nadanya membuatku senang.
"Tidak. Emmet dan aku memulai akhir pekan lebih awal." Sekarang aku marah pada
diriku sendiri karena telah membuat rencana itu. Aku bisa membatalkannya...tapi
dengan kondisi seperti ini, tidak ada lagi istilah terlalu banyak berburu. Dan
keluargaku sudah cukup khawatir dengan tingkahku tanpa perlu kutunjukan betapa
obsesifnya aku sekarang. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya, kedengarannya tidak terlalu senang dengan
rencanaku. Itu juga bagus. "Kami mau hiking ke Goat Rocks Wilderness, sebelah selatan Rainier." Emmet
sangat bernafsu dengan musim beruang.
"Oh. Kalau begitu selamat besenang-senang." Dia mengatakannya setengah hati.
Ketidak semangatannya lagi-lagi membuatku senang.
Saat memandangnya, aku merasa menderita pada pikiran akan berpisah dengannya
walau hanya untuk sebentar. Dia terlalu lembut dan rapuh. Rasanya terlalu
ceroboh untuk melepasnya dari pengawasanku. Apapun bisa terjadi padanya. Dan
tetap saja, hal yang paling buruk yang mungkin terjadi, adalah hal yang
diakibatkan jika bersama denganku.
"Maukah kau melakukan sesuatu untukku akhir pekan ini?" Tanyaku serius.
Dia mengangguk, matanya melebar dan bertanya-tanya pada kesungguhanku.
Buat tetap santai. "Jangan tersinggung, tapi kau sepertinya tipe orang yang menarik bahaya seperti
magnet. Jadicobalah untuk tidak jatuh ke laut atau terlindas apapun, oke?"
Aku tersenyum sebentar, berharap dia tidak melihat kesedihan di mataku. Kuharap
keadaan dia jauh lebih baik saat jauh dariku, tidak perduli apa yang akan
terjadi padanya disana. Lari, Bella, lari. Aku terlalu mencintaimu, demi kebaikanmu dan aku.
Dia tersinggung dengan ucapanku. "Akan kuusahakan," ucapnya ketus sambil
mendelik marah kemudian meloncat keluar kebawah guyuran hujan dan membanting
pintunya keras-keras. Mirip kucing marah yang berpikir dirinya adalah seekor macan.
Aku membuka telapak tanganku, melirik kunci yang ada di genggamanku, yang baru
saja kuambil dari kantong jaketnya, kemudian sambil tersenyum melihat dia
berjalan menjauh. 7. Melody Aku masih harus menunggu dulu setelah sampai di sekolah. Jam pelajaran terakhir
belum selesai. Itu bagus, karena ada yang mesti kupikirkan, dan aku butuh waktu
sendirian. Aromanya masih tertinggal di dalam mobil. Aku membiarkan jendelanya tetap
tertutup, membiarkan aromanya menyerangku, berusaha membiasakan diri dengan
kuatnya api yang membakar tenggorokanku.
Daya tarik. Itu hal yang rumit untuk direnungkan. Ada begitu banyak sisi. Ada begitu banyak
arti dan tingkatan. Tidak sama dengan cinta, tapi berhubungan erat dengan itu.
Aku sama sekali tidak tahu jika Bella tertarik padaku. (Mungkinkah kesunyian
pikirannya akan terus membuatku makin frustasi sampai akhirnya membuatku gila"
Atau, apa ada batasannya yang pada akhirnya akan kucapai")
Aku coba membandingkan respon fisiknya Bella dengan respon fisiknya orang-orang
lain, seperti Ms. Cope dan Jessica Stanley. Tapi, pebandingannya tidak
meyakinkan. Ciri-ciri yang sama - perubahan detak jantung dan irama napas - juga
bisa merupakan ciri dari rasa takut, syok, atau cemas. Lagipula, juga tidak
cocok jika Bella sampai membayangkan jenis-jenis imajinasi yang biasa dipikirkan
Jessica. Bagaimanapun, Bella sangat tahu ada sesuatu yang salah dengan diriku,
walau tidak tahu apa tepatnya. Dia pernah menyentuh kulitku yang dingin,
kemudian menarik tangannya begitu merasakan dinginnya.
Tapi tetap saja... Aku mengingat lagi segala fantasi yang biasanya menjengkelkanku, tapi kini
menggantinya dengan membayangkan Bella di posisi Jessica...
Napasku makin memburu, api merayap membakar tenggorokanku.
Bagaimana jika Bellalah yang sedang membayangkan bagaimana tanganku memeluk
tubuh rapuhnya" Merasakan dirinya ditarik lebih rapat ke pelukanku, dan kemudian
bagaimana aku memegang dagunya dengan jari-jariku" Menyingkap rambut gelapnya
yang menutupi wajah meronanya dengan tanganku, menyelipkannya ke balik telinga"
Menelusuri bibirnya yang penuh dengan ujung jariku" Mendekatkan wajahku padanya,
dimana aku bisa merasakan kehangatan napasnya di mulutku" Lebih dekat lagi...
Tapi kemudian aku menyentakkan diri dari bayangan itu, mengetahui, seperti yang
kuketahui ketika Jessica membayangkan hal ini, apa yang akan terjadi jika aku
sedekat itu dengannya. Ketertarikan itu bagai buah simalakama, karena aku sudah terlanjur terlalu
tertarik pada Bella dengan cara yang paling buruk.
Apa aku menginginkan Bella tertarik padaku, seperti seorang perempuan pada pria"
Itu pertanyaan yang salah. Pertanyaan yang benar adalah: apa sebaiknya aku
menginginkan Bella untuk tertarik padaku seperti itu" Dan jawabannya adalah
tidak. Karena aku bukan pria-manusia, itu tidak adil buatnya.
Dengan segenap raga, aku mendambakan bisa menjadi manusia, supaya bisa
merengkuhnya dalam pelukanku tanpa harus membahayakan nyawanya. Supaya aku bebas
membayangkan apa saja dalam fantasiku. Fantasi yang tidak perlu berakhir dengan
darahnya di tanganku, dan mataku yang menyala merah oleh darahnya.
Pengejaranku padanya tidak masuk akal. Hubungan seperti apa yang bisa kutawarkan
ke dia jika aku tidak bisa menanggung resiko menyentuhnya"
Aku menunduk dan menutup mukaku dengan tangan.
Lebih membingungkan lagi karena aku belum pernah merasa semanusia ini seumur
hidupku-bahkan tidak ketika masih manusia, selama yang bisa kuingat. Ketika itu,
pikiranku dipenuhi dengan kebanggaan seorang prajurit. Perang besar menghiasai
seluruh masa remajaku. Dan aku baru jalan sembilan bulan dari ulang tahunku yang
ke-18 ketika wabah influensa merebak... Ingatan yang kumiliki selama menjadi
manusia sangat kabur, ingatan suram yang makin kabur tiap dekadenya. Yang paling
kuingat adalah ibuku, dan kurasakan kepedihan purba ketika mengingat wajahnya.
Samar-samar aku ingat bagaimana dia sangat membenci keinginanku menjadi
prajurit. Dia berdoa setiap malam agar 'perang yang mengerikan' itu cepat
berakhir... Selain hal itu, tidak ada lagi kenangan indah yang bisa kuingat. Selain cinta
ibuku, tidak ada lagi cinta yang membuatku ingin tetap tinggal...
Ini sama sekali baru untukku. Aku tidak punya pengalaman yang bisa kubandingkan.
Cintaku pada Bella awalnya murni, tapi kini mulai keruh. Aku sangat ingin bisa
menyentuhnya. Apa dia merasakan hal yang sama"
Itu tidak penting, aku berusaha meyakinkan diriku sendiri.
Aku memandangi tanganku yang putih, membenci kekerasannya, dinginnya,
kekuatannya yang tidak normal...
Kemudian aku terloncat ketika tiba-tiba pintu belakang terbuka.
Wah, kau tidak sadar aku datang. Ini pertama kalinya, batin Emmet ketika ia
menyelinap masuk ke mobil. "Berani taruhan Mrs. Goff pasti mengira kau pakai
narkoba, kau kelihatan aneh belakangan ini. Darimana saja kau tadi?"
"Aku tadi...memberi pertolongan."
Hah" Aku terkekeh. "Menggotong orang sakit, pokoknya begitulah."
Itu membuatnya makin bingung, tapi kemudian ia mengambil napas dan mendapati
aromanya di mobil. "Oh... gadis itu lagi?"
Aku menyeringai. Perkembangannya makin aneh. "Kau tahu sendiri... "
Dia menghirup lagi. "Hmmm, baunya memang lumayan, iya kan?" Suara geraman
langsung keluar dari mulutku sebelum kata-katanya berakhir. Respon spontan.
"Tenang, Edward, aku cuma komentar."
Yang lain kemudian datang. Rosalie langsung menyadari aromanya dan memelototiku.
Marahnya masih belum reda. Entah apa masalahnya, yang bisa kudengar cuma
celaannya. Aku juga tidak suka dengan reaksi Jasper. Seperti Emmet, dia menyadari aroma
Bella cukup mengundang selera. Tapi efeknya bagi mereka tidak sampai sepersekian
dari yang kurasakan. Tetap saja, aku kesal darahnya terasa manis untuk mereka.
Jasper masih sulit mengendalikan diri...
Alice menyelinap ke sisiku dengan tangan terbuka meminta kunci truk Bella.
"Aku cuma melihat aku melakukannya," katanya samar-samar seperti kebiasaannya.
"Kau harus menerangkan alasannya."
"Ini bukan berarti-"
"Aku tahu, aku tahu. Aku akan menunggu. Tidak akan lama lagi."
Aku mendesah dan menyerahkan kuncinya.
Aku mengikuti dia ke rumah Bella. Hujan turun sangat deras, begitu lebat hingga
mungkin Bella tidak akan mendengar raungan mesin truknya. Aku melihat ke
jendelanya, tapi dia tidak melihat keluar. Mungkin dia tidak disitu. Tidak ada
pikiran yang bisa didengar.
Membuatku murung tidak bisa mendengar apa-apa untuk mengecek keadaanya-untuk
memastikan dia senang, atau paling tidak aman.
Alice masuk ke kursi belakang dan kami kembali ke rumah. Jalanan kosong, jadi
cuma butuh beberapa menit. Kami sama-sama masuk ke rumah, lalu sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Emmet dan Jasper meneruskan permainan caturnya yang rumit, menggabungkan empat
papan catur jadi satu-memanjang sepanjang tembok belakang-dengan aturan rumit
yang mereka buat sendiri. Mereka tidak mengijinkan aku ikut main; cuma tinggal
Alice yang mau bermain denganku.
Dia kini sibuk dengan komputernya, dekat Emmet dan Jasper. Aku bisa mendengar
monitornya menyala. Alice sedang mengerjakan proyek fashionnya untuk pakaian
Rosalie. Tapi Rosalie tidak menemaninya hari ini. Padahal biasanya dia berdiri
di belakang Alice, memberi saran potongan dan warna sembari jari Alice menari di
layar sentuhnya yang sangat sensitif (Carlisle dan aku mesti mengutak-atik
sistemnya, agar layarnya bisa merespon temperatur dingin kami). Sebagai
gantinya, Rosalie meringkuk dengan marah yang terpendam di sofa, mengganti-ganti
chanel TV layar datar di depannya denga kecepatan dua puluh chanel pedetik tanpa
henti. Bisa kudengar dia sedang berusaha memutuskan, apa sebaiknya ke garasi
saja, untuk menyetel mesin BMWnya lagi.


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Esme di lantai atas, sedang bersenandung di depan rencana bangunan yang baru ia
rancang. Alice menjulurkan kepalanya ke balik tembok sebentar untuk memberitahu Jasper
langkah Emmet berikutnya-Emmet duduk di lantai memunggunginya. Sementara itu
Jasper menjaga ekspresinya tetap datar saat ia memakan Ratu andalan Emmet.
Dan aku, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hingga membuatku malu, duduk
di depan grand piano indah yang ada di seberang pintu masuk.
Jari-jariku mengalir lembut mencoba nadanya. Setelannya masih sempurna.
Diatas, Esme menghentikan pekerjaannya, menelengkan kepalanya ke samping.
Aku mulai memainkan baris pertama dari alunan nada yang tadi mendatangiku
sewaktu di mobil, merasa senang karena terdengar jauh lebih baik dari yang
kubayangkan. Edward bermain lagi, pikir Esme gembira. Senyum lebar muncul di wajahnya. Dia
bangkit dari meja dan berjalan tanpa suara menuju tangga.
Aku menambahkan harmonisasi baru, membiarkan melodi utamanya mengalir.
Esme mendesah bahagia, duduk di anak tangga paling atas, dan menyandarkan
kepalanya pada pegangan tangga. Lagu baru. Sudah lama sekali. Alunan yang indah.
Kubiarkan melodinya mengalir ke arah yang baru, mengikutinya dengan alunan bass.
Edward menciptakan lagu lagi" Batin Rosalie, dan dia menggertakan giginya dengan
sengit. Tepat pada saat itu, dia kelepasan, dan aku bisa membaca alasan utama
kemarahannya. Aku bisa melihat kenapa belakangan ini ia memusuhiku, kenapa
membunuh Isabella Swan tidak mengganggunya sama sekali. Pada Rosalie, selalu
tentang kesombongan. Musikku terhenti, dan aku sudah tertawa sebelum bisa kutahan, gelak tawa yang
sudah pecah sebelum tanganku sempat menutup mulut.
Rosalie memelotiku, matanya nyalang marah besar.
Emmet dan Jasper ikut menoleh, dan bisa kudengar kebingungan Esme. Dia secepat
kilat turun, menatap aku dan Rosalie bergantian.
"Jangan berhenti, Edward." Esme menyemangati setelah suasana sempet tegang.
Aku mulai main lagi, kembali memunggungi Rosalie sembari berusaha keras menahan
seringaiku. Rosalie sendiri sudah bangkit berdiri dan berjalan keluar, lebih
pada marah daripada malu. Tapi, tentu saja cukup malu.
Kalau kau sampai buka mulut, aku akan memburumu seperti anjing.
Aku tertawa lagi. "Ada apa, Rose?" Emmet memanggilnya. Rosalie tidak menengok. Dia terus saja
berjalan kesal ke garasi, kemudian menggeliat masuk ke bawah mobilnya seakan mau
mengubur diri dibawah situ.
"Tentang apa itu tadi?" Emmet bertanya padaku.
"Aku sama sekali tidak tahu." .
Aku berbohong. Emmet menggerutu frustasi.
"Teruskan lagunya," Esme mendesak lagi. Tanganku baru saja terhenti. Aku
mengabulkan permintaannya. Esme pindah ke belakangku, meletakan tangannya keatas
pundakku. Lagunya mulai terbentuk, tapi belum lengkap. Aku mencoba-coba bridgenya, tapi
entah kenapa tidak pas. "Lagu yang cantik. Apa sudah ada judulnya?" tanya Esme.
"Belum." "Apa cerita dibaliknya?" tanyanya dengan senyum. Ini membuatnya sangat senang,
dan aku jadi merasa bersalah telah menelantarkan musikku begitu lama. Itu sangat
egois. "Ini lagu...nina bobo, kukira." Akhirnya aku bisa menemukan bridgenya. Dengan
mudah lalu menghantar ke bait selanjutnya, hidup begitu saja.
"Lagu nina bobo," Esme mengulangi pada dirinya sendiri.
Ada cerita dibalik melodi ini, dan saat melihatnya, alunan berikutnya muncul
begitu saja. Ceritanya tentang seorang gadis yang terlelap di sebuah ranjang
sempit; berambut gelap, tebal, dan acak-acakan bagai ganggang laut terhampar di
atas bantal... Alice beranjak duduk di sebelahku. Dengan suara ringan bagai tiupan genta, ia
menyenandungkan alunan nada dua oktaf lebih tinggi dari melodiku.
"Aku suka," bisiknya. "Tapi bagaimana jika begini."
Aku menambahkan baitnya ke dalam harmoni-jari-jariku kini menari di sepanjang
tutsnya untuk menyatukan potongan-potongan itu jadi satu-menggubahnya sedikit,
membawanya ke melodi yang lain...
Dia menangkap suasananya, dan ikut bernyanyi.
"Ya, sempurna," kataku mengomentari.
Esme meremas bahuku. Tapi aku bisa melihat bagian akhirnya. Dengan suara Alice meliuk tinggi dan
membawanya ke tempat lain, aku bisa melihat bagaimana seharusnya akhir lagu ini.
Karena sang gadis-tidur telah sempurna sebagaimana adanya, perubahan apapun akan
salah. Alunan nadanya kemudian melayang menuju kenyataan itu, melambat dan semakin
lambat. Suara Alice pun ikut turun, berubah khidmat, seperti alunan nada yang
dikumandangkan di bawah gema lengkung katedral.
Kumainkan nada terakhir, dan kemudian aku menundukkan kepala ke atas tuts piano.
Esme mengelus rambutku. Semua akan baik-baik saja, Edward. Akan ada jalan keluar
yang terbaik. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan, anakku. Takdir berhutang
padamu. "Terima kasih," bisikku, berharap bisa mempercayainya.
Cinta tidak selalu datang dalam kemasan yang umum.
Aku tertawa ironis. Kau, diantara siapapun di dunia ini, barangkali adalah yang paling siap
menghadapi kesulitan ini. Kau adalah yang terbaik dan paling cemerlang diantara
kami semuanya. Aku mendesah. Setiap ibu punya pikiran yang sama tentang anak mereka.
Esme masih sangat gembira karena setelah sekian lama akhirnya ada yang bisa
menyentuh hatiku, tak perduli betapa besar kemungkinannya akan berakhir tragis.
Sebelum ini dia mengira aku akan selamanya sendirian...
Dia pasti mencintaimu, pikirnya tiba-tiba, mengejutkan aku dengan arah
pikirannya. Jika dia gadis yang cemerlang. Dia tersenyum. Tapi tidak bisa
kubayangkan ada orang yang begitu lambannya hingga tidak menyadari betapa
menariknya dirimu. "Hentikan, Mom, kau membuatku tersipu," godaku dengan canda. Perkataannya, meski
terdengar mustahil, ternyata menghiburku.
Alice tertawa dan memainkan sepenggal lagu "Heart and Soul." aku tersenyum dan
menyelesaikan melodinya yang sederhana bersamanya. Kemudian aku menyenangkan
hatinya dengan memainkan "Chopsticks."
Dia tertawa geli, kemudian menghela napas. "Kuharap kau mau memberitahu apa yang
tadi kau tertawakan pada Rose," ujarnya. "Tapi aku bisa melihat kau tidak
bakalan cerita." "Tidak." Dia menggelitik telingaku dengan jarinya.
"Jaga sikapmu, Alice," Esme mengingatkan. "Edward hanya bersikap sopan." "Tapi
aku ingin tahu." Aku tertawa mendengar rengekannya. Kemudian aku berkata, "Ini, Esme," dan mulai
memainkan lagu kesukaannya, sebuah lagu yang kudedikasikan untuk rasa cinta yang
kutangkap diantara Esme dan Carlisle selama ini.
"Terima kasih, sayang." Dia meremas pundakku lagi.
Aku tidak perlu berkonsentrasi untuk memainkan lagu yang sudah sering kumainkan
ini. Sebagai gantinya, aku memikirkan Rosalie, yang masih menderita memikirkan
aibnya di garasi, dan aku menyeringai sendiri.
Karena aku baru saja bisa merasakan cemburu itu seperti apa, aku jadi sedikit
merasa kasihan padanya. Rasanya sangat tidak mengenakan. Tentu saja,
kecemburuannya beribu-ribu kali lebih dangkal dibanding kecemburuanku.
Kecemburuan dia lebih mirip dengan kisah serigala dan tiga babi.
Aku membayangkan, mungkinkah kehidupan dan kepribadian Rosalie akan berbeda
seandainya dia tidak selalu menjadi yang paling cantik. Apa dia akan lebih
bahagia jika kecantikan tidak selalu menjadi andalannya" Tidak terlalu
egosentris" Lebih murah hati"
Well, sepertinya sia-sia. Yang terjadi, sudah terjadi, dan dia selalu menjadi
yang paling cantik. Bahkan ketika masih manusia, dia selalu jadi pusat
perhatian. Bukannya dia keberatan, sebaliknya, dia justru menyukai perhatian itu
lebih dari segalanya. Dan itu tidak berubah seiring transformasinya jadi seperti
sekarang. Maka tidak terlalu mengejutkan - mengingat kebutuhannya itu bisa dianggap
sebagai sifat bawaan - dia merasa tersinggung ketika aku, sejak pertama kali
bertemu, tidak memuja kecantikannya seperti yang ia harap semua pria memujanya.
Tapi itu bukan berarti dia mendambakan aku dalam konteks romansa-jauh dari itu.
Walau bagaimanapun, baginya itu tetap menjengkelkan bahwa aku tidak menginginkan
dirinya. Dia terbiasa diinginkan.
Kasusnya berbeda dengan Jasper dan Carlisle - mereka berdua sudah lebih dulu
jatuh cinta. Sedang aku, tidak berhubungan dengan siapapun, dan tetap saja
bergeming. Kupikir kebencian lama itu telah terkubur, bahwa dia telah lama melewatinya.
Dan, dia memang sudah lupa...sampai hari ketika akhirnya aku menemukan seseorang
yang kecantikannya menyentuhku dengan cara yang tidak ia dapatkan.
Rosalie beranggapan bahwa jika aku tidak menganggap kecantikannya pantas dipuja,
maka jelas tidak ada kecantikan di bumi ini yang akan sanggup menjangkauku. Dia
sudah mulai uring-uringan sejak saat aku menyelamatkan Bella. Dia sudah menebak,
dengan ketajaman intuisi perempuannya, pada ketertarikanku yang tidak kusadari.
Rosalie sangat-sangat tersinggung bahwa aku bisa menemukan seorang manusia biasa
yang kuanggap lebih menarik dibanding dirinya.
Aku menahan dorongan untuk tertawa lagi.
Meskipun sebetulnya sedikit mengesalkan juga, melihat bagaimana penilaiannya
tentang Bella. Rosalie sungguh-sungguh berpikir gadis itu biasa-biasa saja.
Bagaimana mungkin dia bisa mempercayai itu" Itu sangat tidak masuk akal buatku.
Buah dari cemburu, pasti itu.
"Oh!" Alice tiba-tiba berkata. "Jasper, coba tebak?"
Aku melihat apa yang barusan ia lihat, dan tanganku langsung membeku di satu
nada. "Apa, Alice?" tanya Jasper.
"Minggu depan Peter dan Charlotte akan datang mengunjungi kita! Mereka akan
lewat di sekitaran sini, bukankah itu menyenangkan?"
"Ada apa, Edward?" tanya Esme saat merasakan ketegangan di bahuku.
"Peter dan Charlotte akan datang ke Forks?" Aku mendesis pada Alice.
Dia memutar bola matanya ke aku. "Tenanglah, Edward. Ini bukan kunjungan
pertamanya." Gigiku langsung menggertak. Ini kunjungan pertamanya sejak Bella datang, dan
darahnya yang manis bukan cuma mengundang seleraku.
Alice mengerutkan dahi melihat ekspresiku. "Mereka tidak pernah berburu disini.
Kau tahu itu." Tapi vampir yang bisa dibilang saudara Jasper dan vampir kecil pasangannya
berbeda dengan kami; mereka berburu seperti vampir kebanyakan. Mereka tidak bisa
dipercaya dengan adanya Bella.
"Kapan?" tanyaku.
Alice cemberut tidak suka, tapi memberitahu apa yang kubutuhkan. Senin pagi.
Tidak akan ada yang akan menyakiti Bella.
"Itu betul," aku sependapat, dan kemudian bangkit berdiri. "Kau siap, Emmet?"
"Kupikir kita akan pergi besok pagi?"
"Kita akan kembali minggu malam. Terserah padamu kapan perginya."
"Oke. Aku pamit dulu dengan Rosalie."
"Tentu." Dengan suasana hati Rosalie sekarang, itu akan singkat.
Otakmu benar-benar terganggu, Edward, batinnya ketika berjalan menuju pintu
belakang. "Sepertinya aku memang begitu."
"Mainkan lagu baru itu untuk ku, sekali lagi," pinta Esme.
"Kalau kau memang suka," aku setuju, meski sedikit bimbang mengikuti alunannya
menuju akhir yang tak terelakan-akhir yang membuatku sakit dengan cara yang
tidak lazim. Aku merenung sejenak, kemudian mengeluarkan tutup botol dari
kantongku dan meletakannya diatas piano. Itu agak menolong-sedikit kenang-
kenangan dari jawaban 'ya' darinya.
Aku mengangguk pada diriku dan memulai lagunya.
Esme dan Alice bertukar pandang, tapi tidak satupun bertanya.
*** "Bukankah pernah ada yang bilang, jangan bermain-main dengan makananmu?" Aku
meneriaki Emmet. "Oh, hei Edward!" Dia berteriak balik, menyeringai dan melambai. Beruang itu
memanfaatkan kelengahannya dengan menyapukan cakar besarnya ke dada Emmet. Cakar
tajamnya merobek baju Emmet, dan mendecit menggaruk kulit Emmet.
Beruang itu melenguh keras.
Oh sial, Rose yang memberikan baju ini!
Emmet mengaum balik pada beruang marah itu.
Aku menghela napas dan duduk dengan nyaman diatas sebuah batu besar. Ini tidak
akan makan waktu lama. Emmet sudah hampir selesai. Dia memberi kesempatan pada beruang itu untuk
menyambar kepalanya dengan ayunan cakarnya lagi, tertawa saat sambaran itu
terpental dan membuat beruang itu mundur kaget. Beruang itu meraung dan juga
Emmet meraung dari balik tawanya. Kemudian ia melontarkan dirinya ke arah
beruang itu, yang menjulang jauh lebih tinggi dari Emmet saat beruang itu
berdiri, dan mereka berdua jatuh ke tanah saling bergumul, membuat pohon cemara
besar tumbang bersama mereka. Geraman beruang itu terhenti seiring bunyi
tegukan. Beberapa menit kemudian, Emmet sudah berjalan ke arahku. Bajunya rusak, robek-
robek dan belepotan darah, lengket oleh getah, dan tertutup bulu-bulu. Rambut
ikal gelapnya tidak lebih baik. Ada seringai lebar di wajahnya.
"Yang satu ini lumayan kuat. Saat dia mencakar, aku hampir bisa merasakannya."
"Kau seperti anak kecil, Emmet."
Dia memperhatikan kemejaku yang rapih dan bersih. "Bukannya tadi kau sedang
mengikuti seekor singa gunung?"
"Memang iya. Hanya saja aku tidak makan seperti orang barbar."
Emmet tertawa dengan tawanya yang menggelegar. "Kuharap mereka lebih kuat. Akan
lebih menyenangkan."
"Tidak ada yang pernah bilang kau harus berkelahi dengan makananmu."
"Ya, tapi dengan siapa lagi aku harus berkelahi" Kau dan Alice curang, Rose
tidak akan pernah mau rambutnya berantakan, dan Esme selalu marah jika Jasper
dan aku mulai serius."
"Hidup itu memang sulit, iya kan?"
Emmet menyeringai padaku, agak merubah tumpuan badannya hingga mendadak ia sudah
dalam posisi siap menyerang.
"Ayolah Edward. Matikan itu sebentar dan bertarunglah secara adil."
"Ini tidak bisa dimatikan," aku mengingatkan dia.
"Kira-kira apa yang telah dilakukan gadis itu untuk menangkalmu?" renung Emmet.
"Barangkali dia bisa memberiku sedikit petunjuk."
Humorku langsung lenyap. "Jangan dekati dia."
Aku menggeram lewat sela gigiku. "Huu...sensitif..."
Aku mendesah. Emmet datang duduk disampingku.
"Sori. Aku tahu kau sedang melalaui masa sulit. Aku benar-benar berusaha untuk
tidak terlalu kurang ajar, tapi itu pembawaan alamiku sama seperti bakatmu... "
Dia menunggu aku menertawakan leluconnya, dan kemudian mengerutkan muka. Selalu
saja serius. Apa yang mengganggumu sekarang"
"Memikirkan tentang dia. Well, mencemaskan lebih tepatnya."
"Apa yang perlu dicemaskan" Kau ada disini." Dia tertawa keras-keras.
Aku mengacuhkan leluconnya lagi, tapi menjawab pertanyaannya. "Apa kau pernah
memikirkan bagaimana rapuhnya mereka itu" Betapa banyaknya hal buruk yang
mungkin terjadi pada manusia?"
"Tidak terlalu. Tapi aku bisa menangkap maksudmu. Dulu aku sama sekali bukan
tandingan beruang itu, ya kan?"
"Beruang," aku memberungut, menambahkan lagi satu ketakutan di daftarku. "Benar-
benar kebetulan, bukan, seandainya ada beruang kesasar ke kota. Dan tentu saja
akan langsung menuju Bella."
Emmet terkekeh. "Kau kedengaran seperti orang gila."
"Coba bayangkan sebentar bahwa Rosalie adalah manusia, Emmet. Dan mungkin saja
ia bertemu beruang...atau tersambar petir...atau jatuh dari tangga...atau jatuh
sakit-kena wabah!" kata-kata itu berhamburan tidak karuan. Rasanya lega sudah
mengeluarkannya-hal itu membusuk dalam diriku sepanjang akhir pekan ini.
"Banjir, gempa, dan badai! Ugh! Kapan terakhir kau menonton berita" Apa kau
pernah melihat hal-hal seperti itu menimpa mereka" Perampokan dan pembunuhan...
" Gigi-gigiku langsung menggertak, mendadak sangat murka hingga tidak bisa
bernapas, memikirkan bagaimana ada manusia lain yang akan melukainya.


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Woo...woo...! Tahan disitu, boy. Dia hidup di Forks, ingat" Paling banter dia
akan kehujanan." Dia mengangkat bahu.
"Aku rasa dia punya masalah serius dengan kesialan, Emmet. Sungguh. Coba lihat
bukti-buktinya. Dari segala tempat yang bisa ia datangi, dia berakhir di kota
dimana populasi vampirnya cukup besar."
"Ya, tapi kita vegetarian. Jadi bukannya itu beruntung?"
"Dengan aroma seperti dia" Jelas itu sial. Dan kemudian, lebih sial lagi,
bagaimana baunya bagiku."
Aku mendelik pada tanganku, membencinya lagi.
"Kecuali bahwa kau memiliki kontrol diri melebihi siapapun kecuali Carlisle.
Lagi-lagi beruntung."
"Mobil van waktu itu?"
"Itu tidak sengaja."
"Kau harusnya melihat bagaimana van itu mengejarnya, Em, lagi dan lagi. Berani
sumpah, seakan dia punya daya tarik seperti magnet."
"Tapi kau ada disana. Itu beruntung."
"Betul begitu" Bukankah itu hal paling sial yang mungkin manusia terima -
mendapati seorang vampir jatuh cinta padanya?"
Emmet mempertimbangkan hal itu sejenak. Dia membayangkan gadis itu di kepalanya,
dan menemukan sosoknya tidak menarik. Jujur saja, aku tidak mengerti bagaimana
kau bisa tertarik padanya.
"Well, aku juga tidak bisa meliat ada yang menarik dari Rosalie," kataku kasar.
"Jujur saja, dia terlalu menganggap dirinya yang paling cantik dan tidak bisa
melihat ada perempuan cantik lain."
Emmet terkekeh. "Apa kau akan bilang bahwa dia itu... "
"Aku tidak tahu apa masalah dia, Emmet." Aku berbohong dengan seringai lebar.
Kemudian aku melihat niatnya tepat pada waktunya untuk bereaksi. Dia coba
menjatuhkan aku dari atas batu, dan terdengar suara pecahan keras saat batu
besar itu retak. "Curang." Emmet menggerundel.
Aku menunggu dia mencoba lagi, tapi pikirannya beralih ke hal lain. Dia sedang
membayangkan wajah Bella lagi, tapi kini wajahnya jauh lebih putih dan matanya
merah terang... "Tidak," kataku dengan suara tercekik.
"Itu menyelesaikan segala kecemasanmu, kan" Kau juga tidak akan tergoda untuk
membunuhnya lagi. Bukankah itu solusi yang paling baik?"
"Untukku" Atau untuknya?"
"Untukmu," jawabnya mudah. Nada suaranya menambahkan tentu saja.
Aku tertawa datar. "Jawaban yang salah." "Aku sama sekali tidak keberatan."
"Rosalie iya." Dia mendesah. Kami berdua tahu Rosalie akan melakukan apa saja, menyerahkan apa
saja, jika itu bisa membuatnya menjadi manusia lagi. Bahkan menyerahkan Emmet.
"Ya, Rosalie pasti keberatan."
"Aku tidak bisa... Aku tidak boleh... Aku tidak ingin menghancurkan hidup Bella.
Bukankah kau juga akan merasa begitu, jika itu adalah Rosalie?"
Emmet merenungkan itu sebentar. Kau betul-betul...mencintai dia"
"Aku bahkan tidak bisa menggambarkannya, Emmet. Tiba-tiba saja, Gadis ini
segala-galanya bagiku. Bagiku tidak ada artinya lagi seisi dunia ini jika tanpa
dia." Tapi kau tidak mau merubahnya" Dia tidak akan hidup selamanya, Edward.
"Aku tahu itu," erangku.
Dan, seperti yang kau bilang, dia kedengarannya terlalu rapuh. "Percayalah-itu
juga aku tahu." Emmet bukan orang yang bijaksana, dan pembicaraan serius bukan keahliannya. Dia
berjuang keras sekarang, sangat ingin untuk tidak kurang ajar.
Apa kau bahkan bisa menyentuhnya" Maksudku, jika kau mencintainya...bukankah kau
ingin, well menyentuhnya..."
Emmet dan Rosalie mengungkapkan cinta mereka lewat kedekatan fisik yang intens.
Dia tidak bisa mengerti bagaimana seseorang bisa mencintai tanpa aspek itu.
Aku menghela napas. "Aku bahkan tidak berani memikirkan hal itu, Emmet."
Wow, lantas apa pilihanmu, dong"
"Aku tidak tahu," bisikku. "Aku sedang mencari cara untuk...untuk meninggalkan
dia. Hanya saja aku tidak mengerti bagaimana caranya untuk menjauh... "
Dengan kepuasan mendalam, mendadak aku sadar, keputusanku untuk tinggal adalah
tepat - paling tidak untuk sekarang, dengan berkunjungnya Peter dan Charlotte.
Bella lebih aman dengan adanya aku di dekat dia, dari pada jika aku pergi. Untuk
sementara, aku bisa jadi pelindungnya, dengan tanda kutip.
Pikiran itu membuatku gelisah; aku tidak sabar ingin segera kembali agar bisa
cepat-cepat memainkan peran itu selama mungkin.
Emmet menyadari perubahan ekspresiku. Kau sedang memikirkan apa"
"Sekarang ini," aku mengakuinya agak malu-malu, "Aku ingin cepat-cepat kembali
ke Forks dan melihat keadaannya. Aku tidak tahu apa sanggup bertahan sampai
minggu malam." "Waduh-waduh! Kau tidak boleh pulang lebih cepat. Biarkan Rosalie tenang dulu.
Tolonglah! Demi aku."
"Iya, akan kucoba," kataku ragu.
Emmet menepuk handphone di sakuku. "Alice akan menelepon jika ada tanda-tanda
yang akan membuatmu kena serangan jantung. Dia sama tergila-gilanya pada gadis
ini seperti kau." Aku meringis pada hal itu.
"Baiklah. Tapi aku tidak akan tinggal sampai lewat hari minggu."
"Lagi pula, tidak ada gunanya cepat-cepat pulang-matahari akan cerah. Alice
bilang kita akan libur sampai hari rabu."
Aku menggeleng tegas. "Peter dan Charlotte bisa menjaga sikap mereka."
"Aku tidak perduli, Emmet. Dengan keberuntungan seperti Bella, dia akan
berkeliaran di hutan di waktu yang salah dan-" aku langsung membuang jauh-jauh
pikiran itu. "Peter tidak terlalu baik dengan pengendalian dirinya. Aku akan
pulang hari minggu."
Emmet mendesah. Betul-betul mirip orang gila
*** Bella sedang tidur pulas saat aku memanjat jendela kamarnya pada senin dini
hari. Kali ini aku ingat untuk membawa pelumas, dan jendelanya bisa terbuka
lancar tanpa suara. Bisa kulihat dari rambutnya yang tergerai halus di atas bantalnya, tidurnya
lebih tenang dari terakhir aku kesini. Tangannya terlipat disamping pipi seperti
anak kecil, dan mulutnya sedikit terbuka. Aku bisa mendengar napasnya bergerak
pelan keluar dan masuk diantara bibirnya.
Sungguh sangat lega bisa berada disini lagi, bisa melihatnya lagi. Aku sadar
bahwa aku tidak akan benar-benar tenang kecuali kalau itu masalahnya. Tidak ada
yang terasa betul saat jauh darinya. Meski begitu, juga bukan berarti segalanya
benar saat aku bersamanya.
Aku menghela napas, membiarkan rasa haus membakar tenggorokanku. Aku sudah lama
tidak merasakannya. Waktu yang terbuang tanpa merasakan itu, termasuk godaannya,
membuat sensasinya jadi lebih kuat lagi sekarang. Sangat lebih buruk, sampai-
sampai aku takut untuk jongkok di samping tempat tidurnya agar bisa membaca
judul buku-bukunya. Aku ingin tahu cerita-cerita di kepalanya. Tapi aku lebih
takut untuk melakukan itu ketimbang takut dengan hausku. Aku takut jika sedekat
itu, aku akan tergoda untuk lebih mendekat lagi...
Bibirnya terlihat sangat lembut dan hangat. Aku bisa membayangkan menyentuhnya
dengan ujung jariku. Menyentuhnya lembut... Jelas itu kesalahan yang harus
dihindari. Mataku terus memandangi wajahnya, memperhatikan jika ada yang berubah. Manusia
selalu berubah tiap waktu-aku sedih memikirkan telah melewatkan sesuatu...
Dia kelihatan...lelah. Seakan tidak cukup tidur selama akhir pekan ini. Apa tadi
malam dia punya janji dengan seseorang"
Aku tersenyum kecut, merasakan bagaimana hal itu membuatku kesal. Memang kenapa
kalau dia punya janji" Aku tidak memiliki dia. Dia bukan milikku.
Tidak, dia bukan milikku-dan aku murung lagi.
Salah satu tangannya bergerak, dan aku menyadari ada bekas lecet di telapak
tangannya. Dia terluka" Walau sadar lukanya cuma lecet kecil, itu tetap
menggangguku. Kuperhatikan lokasinya, dia pasti jatuh. Itu alasan yang paling
masuk akal. Aku merasa jauh lebih tenang karena tidak mesti selamanya bertanya-tanya tentang
misteri kecil ini. Kami teman sekarang-atau, paling tidak, berusaha menjadi
teman. Aku bisa menanyakan akhir pekannya-tentang perjalanannya ke pantai, dan
apapun yang ia kerjakan malamnya hingga membuatnya kelihatan letih. Aku bisa
bertanya apa yang terjadi pada tangannya. Dan aku bisa sedikit tertawa saat
tebakanku betul. Aku tersenyum saat bertanya-tanya apakah kemarin ia terjatuh ke laut atau tidak.
Kira-kira apa dia menikmati tamasyanya. Apakah dia sempat memikirkan aku. Apakah
dia merindukan aku, bahkan jika itu cuma sepersekian persen dari kerinduanku
padanya. Aku berusaha membayangkan dia dibawah sinar matahari di pantai. Gambaran itu
tidak lengkap karena aku sendiri belum pernah ke pantai La Push. Aku cuma tahu
dari foto... Aku merasa agak gelisah saat mengingat alasanku tidak pernah ke pantai indah
itu, yang lokasinya cuma beberapa menit jika berlari dari rumahku. Bella
menghabiskan waktu di La Push-tempat terlarang bagiku, sesuai dengan perjanjian.
Sebuah tempat dimana beberapa tetua masih ingat dengan cerita tentang keluarga
Cullen. Ingat dan mempercayainya. Sebuah tempat dimana rahasia kami diketahui...
Aku menggeleng. Tidak ada yang perlu dicemaskan tentang itu. Suku Quileutes juga
sama terikatnya dengan perjanjian itu. Bahkan jika Bella secara tidak sengaja
berjumpa dengan para tetua itu, mereka tidak akan bilang apa-apa. Dan kenapa
juga topik itu disinggung" Kenapa juga Bella mau mengutarakan rasa penasarannya
disana" Tidak-suku Quileutes mungkin satu-satunya hal yang tidak perlu
dikhawatirkan. Aku marah pada matahari saat sudah mulai terbit. Itu mengingatkan bahwa aku
tidak bisa memuaskan rasa penasaranku sampai beberapa hari kedepan. Kenapa
matahari harus bersinar sekarang"
Dengan menghela napas aku keluar lewat jendela sebelum terlalu terang. Aku
berniat untuk menunggu di kerimbunan hutan dekat rumahnya untuk melihatnya
berangkat sekolah. Tapi, sesampainya di pepohonan, aku terkejut menemukan jejak
aromanya di jalan setapak di dalam hutan.
Aku cepat-cepat mengikutinya, penasaran, dan berubah jadi cemas saat jejaknya
masuk lebih dalam ke tengah hutan. Apa yang Bella lakukan diluar sini"
Jejaknya tiba-tiba berhenti begitu saja. Sepertinya dia berjalan keluar dari
jalan setapak, menuju ke semak pakis-pakisan, dimana dia menyentuh sebatang
pohon tumbang. Barangkali duduk disitu...
Aku duduk di tempat ia duduk, dan memandang ke sekeliling. Yang bisa ia lihat
hanya rerimbunan pakis dan pohon-pohon besar. Saat itu mungkin hujan-aromanya
agak tersapu, tidak terlalu menempel di pohon.
Kenapa Bella datang kesini dan duduk sendirian-dan dia sendirian, tidak salah
lagi- di tengah-tengah hutan kelam yang basah"
Itu tidak masuk akal, dan, berbeda dengan penasaranku yang tadi, aku tidak
mungkin menyinggungnya saat bertemu dengan dia.
Jadi, Bella, tadi aku mengikuti baumu kedalam hutan setelah sebelumnya keluar
dari kamarmu dimana aku memperhatikanmu tidur... Ya, hal itu bisa memecahkan
suasana. Selamanya aku tidak akan pernah tahu apa yang dia pikir dan lakukan disini.
Selamanya. Dan itu membuat gigiku gemertak frustasi. Lebih parahnya, ini jauh
lebih mirip dengan skenario yang kubahas dengan Emmet - Bella berkeliaran
sendirian di tengah hutan, dimana baunya akan mengundang siapapun yang punya
kemampuan melacak seperti...
Aku mengerang. Bukan cuma nasibnya yang sial, dia juga mengundang kesialan
menghampiri dirinyanya. Well, untuk sementara waktu dia punya pelindung. Aku akan menjaganya, selama
yang bisa benarkan. Tiba-tiba aku berharap Peter dan Charlotte bisa tinggal lebih lama lagi.
8. Hantu Aku tidak terlalu sering menemui tamu Jasper di dua hari kedatangannya ke Forks.
Aku hanya pulang semata-mata agar Esme tidak khawatir.
Sudah begitu, keberadaanku sekarang lebih mirip seperti hantu daripada vampir.
Aku menunggu, tersembunyi dibalik bayangan, dan membuntuti obyek obsesiku. Aku
mengawasi dan mendengarkan dia dari pikiran orang-orang yang begitu beruntung
karena bisa berjalan bersamanya dibawah sinar matahari, yang sesekali secara
tidak sengaja menyentuh tangannya saat berjalan. Dia tidak pernah bereaksi
dengan sentuhan seperti itu; tangan mereka sama hangatnya dengan tangan dia.
Keterpaksaan membolos begini tidak pernah semenyiksa ini sebelumnya. Tapi
matahari kelihatannya membuat dia bahagia, jadi aku tidak terlalu kesal. Apapun
yang membuatnya senang aku ikut senang.
Senin pagi, aku menguping pembicaraan yang berpotensi merusak kepercayaan diriku
dan membuat hariku jadi lebih parah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,
berita baiklah yang kudapat.
Aku sedikit menaruh hormat pada Mike Newton; dia tidak menyerah begitu saja dan
terpuruk. Dia jauh lebih berani dari yang kukira. Dia akan mencobanya lagi.
Bella tiba di sekolah lebih awal. Dia terlihat sangat menikmati pancaran
matahari, duduk di salah satu kursi piknik yang jarang dipakai sembari menunggu
bel pertama berbunyi. Sinar matahari membuat rambutnya kelihatan berbeda,
memancarkan semburat merah yang tidak kulihat sebelumnya.
Mike menemukan dia di sana, dan merasa senang pada keberuntungannya.
Rasanya menyakitkan hanya bisa menonton, tak berdaya, terpenjara dibalik bayang-
bayang hutan. Bella menyapanya dengan semangat yang cukup membuat Mike girang, dan yang
sebaliknya terjadi padaku.
Betul kan, dia menyukaiku. Dia tidak akan tersenyum seperti itu jika dia tidak
suka. Berani taruhan, Sebetulnya dia ingin pergi ke pesta dansa bersamaku. Kira-
kira apa yang begitu penting di Seattle...
Mike menyadari perubahan di rambut Bella. "Aku tidak pernah menyadari sebelumnya
-rambutmu ada semburat merahnya."
Aku secara tidak sengaja mencabut batang pohon palem muda disampingku saat
melihat Mike meraih sejumput rambut Bella dengan tangannya.
"Hanya dibawah sinar matahari," katanya.
Dengan puas aku melihat bagaimana Bella agak menarik diri menjauh ketika Mike
mengembalikan rambutnya ke belakang telinga.
Butuh beberapa saat bagi Mike untuk mengembalikan keberaniannya lagi,
menghabiskan beberapa saat dengan obrolan ringan.
Bella mengingatkan tentang esay yang mesti dikumpulkan pada hari rabu. Dari
ekspresi puas samar di wajahnya, sepertinya tugasnya sudah selesai. Sedang Mike
sama sekali lupa. Dasar esai sialan! Akhirnya ia sampai ke pokok pembicaraan-gigiku terkatup sangat rapat hingga bisa
mengikis batu granit. Tapi kemudian dia tidak sanggup menanyakannya begitu saja.
"Kurasa aku harus mengerjakan esaiku malam ini. Padahal aku ingin mengajakmu
kencan." "Oh," ujar Bella.
Sejenak hening. Oh" Apa itu artinya" Apa dia akan berkata ya" Tunggu-sepertinya aku belum benar-
benar bertanya. Mike menelan ludah. "Well, kita bisa pergi makan malam atau apa...dan aku bisa mengerjakan esaiku
nanti." Geblek-itu juga bukan pertanyaan.
"Mike... " Pedih dan marah akibat cemburu, terasa berkali-kali lipat lebih besar dari
minggu lalu. Aku mematahkan satu batang pohon lagi. Aku sangat ingin terbang
kesana, secepat kilat hingga tak ada yang bisa melihat, dan merenggutnya - untuk
menculik Bella dari bocah yang saat ini begitu kubenci hingga bisa saja aku
membunuhnya detik ini juga dan menikmatinya.
Apa dia akan menjawab ya padanya"
"Aku pikir itu bukan ide yang bagus."
Aku bernapas lagi. tubuhku bisa kembali rileks.
Sepertinya Seattle memang cuma alasan. Aku seharusnya tidak bertanya. Apa yang
kupikirkan" Berani taruhan pasti gara-gara si aneh Cullen itu...
"Kenapa?" tanya Mike dengan marah terpendam.
"Kurasa..." Bella bimbang. "Kalau kau sampai cerita-cerita apa yang akan
kuberitahu ini ke orang lain, dengan senang hati aku akan memukulimu sampai
mati-" Aku tergelak mendengar ancaman kematian keluar dari mulutnya. Seekor burung
cericit terhenyak kaget dan langsung terbang kabur.
"Tapi kurasa itu akan membuat Jessica patah hati."
"Jessica?" Apa" Tapi... Oh. Oke. Sepertinya... Jadi... Hmm.


Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pikirannya kini saling tumpang tindih.
"Yang benar saja, Mike, kau ini buta ya?"
Tidak seharusnya Bella berharap orang lain sepeka dia. Tapi, memang, hal itu
sebetulnya sangat kentara. Dengan segala kerepotan yang Mike persiapkan untuk
mengajak Bella kencan, apa dia pernah membayangkan bahwa tidak akan sesulit itu
jika menghadapi Jessica" Pasti karena egois, yang membuat dia buta dengan
sekelilingnya. Sedang Bella begitu tidak egois, dia melihat segalanya.
Jessica. Hmm. Wow. Hmm. "Oh," Dia tidak bisa berkata-kata.
Bella memanfaatkan kebingungan itu untuk menghindar.
"Waktunya masuk kelas, dan aku tidak boleh terlambat lagi."
Sejak itu pikiran Mike sudah tidak bisa kuandalkan lagi. Saat berulang kali
membayangkan Jessica di kepalanya, dia merasa lebih suka pada ide bahwa Jessica
tertarik pada dirinya. Buatnya itu pilihan kedua, tidak sebaik jika itu adalah
Bella. Kurasa dia cukup manis. Badannya lumayan. Burung yang sudah di tangan...
Kemudian dia lenyap, sibuk dengan fantasinya, sevulgar fantasinya tentang Bella,
tapi kini lebih membuatku jijik dari pada marah. Dia tidak layak mendapatkan
gadis manapun; baginya mereka hampir bisa ditukar-tukar. Sebisa mungkin aku
menjauhi pikirannya. Ketika Bella sudah hilang dari pandangan, aku duduk bersandar pada batang pohon
Madone besar, berloncatan dari pikiran ke pikiran, mengikuti Bella terus, dan
senang jika ada Angela Weber di dekatnya. Kuharap ada satu cara untuk bisa
berterima kasih pada gadis itu karena sudah menjadi teman yang baik buat Bella.
Aku merasa lebih baik tahu Bella punya satu orang yang layak disebut teman.
Aku mengamati wajah Bella dari sisi manapun yang tersedia, dan dia terlihat
sedih lagi. Ini mengejutkanku - kupikir cuaca cerah cukup membuatnya tersenyum.
Pada saat jam makan siang, dia berkali-kali melirik ke meja keluargaku yang
kosong. Dan itu membuatku berdebar-debar, memberiku harapan. Barangkali dia
merindukanku juga. Dia berencana untuk jalan-jalan bersama teman-teman perempuannya - otomatis aku
juga merencanakan pengintaianku sendiri-tapi kemudian rencana mereka tertunda
karena Mike mengajak Jessica kencan.
Jadi, aku langsung saja pergi ke rumah Bella, menyisiri hutan di sekelilingnya
untuk memastikan tidak ada bahaya. Aku tahu Jasper sudah mewanti-wanti
'saudaranya' agar menghindari pemukiman, tapi aku tidak mau ambil resiko. Peter
dan Charlotte memang tidak berniat cari gara-gara dengan keluarga kami, tapi
niat selalu berubah-ubah tiap waktu...
Oke, aku memang berlebihan. Aku tahu itu.
Seakan dia tahu aku sedang mengawasi, seakan dia merasa kasihan dengan
penderitaanku karena tidak bisa melihatnya, Bella keluar ke halaman setelah
berjam-jam di dalam. Dia membawa sebuah buku tebal dan selimut.
Diam-diam aku memanjat ke dahan pohon paling tinggi agar lebih bisa leluasa
melihatnya. Dia menggelar selimutnya ke atas rerumputan yang lembab dan berbaring
menelungkup. Kemudian ia mulai membalik-balik bukunya, yang kelihatannya sudah
sering dibaca, seakan sedang mencari halaman terakhir yang dibaca. Aku membaca
lewat pundaknya. Ah-lagi-lagi klasik. Dia penggemar Austen.
Dia membaca dengan cepat sambil menyilangkan pergelangan kakinya di udara. Aku
sedang mengawasi bagaimana sinar matahari dan tiupan angin memainkan rambutnya
saat tiba-tiba badannya kaku, tangannya membeku di satu halaman. Yang bisa
kulihat dia sudah sampai ke bab ketiga saat tiba-tiba jarinya mengambil setumpuk
halaman berikutnya, dan membukanya dengan kasar.
Aku sempat melihat judul halamannya, Mansfield Park. Dia memulai cerita yang
baru -bukunya kumpulan karya Jane Austen. Aku bertanya-tanya kenapa mendadak
ceritanya diganti. Tidak beberapa lama, dia menutup bukunya dengan kesal. Dengan wajah sengit ia
singkirkan bukunya dan berguling menelentang. Dia menghela napas panjang, seakan
sedang menenangkan diri, menarik lengan bajunya keatas, dan memejamkan mata. Aku
mengingat-ngingat novel itu, tapi tidak bisa menemukan sesuatu yang dapat
membuatnya kesal. Satu misteri lagi. Aku mendesah.
Dia berbaring diam, hanya sekali membuat gerakan saat menyingkap rambutnya,
membuangnya keatas kepala-aliran sungai coklat kemerahan. Setelah itu dia tidak
bergerak lagi. Napasnya lambat. Aku coba mendengarkan suara-suara dari rumah terdekat sampai
sejauh mungkin. Dua sendok makan tepung...secangkir susu... Ayolah! Pakai saja yang ada!
Yang merah, atau biru...atau mungkin aku sebaiknya memakai sesuatu yang lebih
kasual... Tidak ada siapa-siapa di dekat sini. Aku meloncat turun, mendarat tanpa suara
pada ujung kakiku. Ini sangat-sangat salah, sangat beresiko. Aku ingat bagaimana aku sering
menghakimi tindakan-tindakan Emmet yang tanpa dipikir panjang dulu dan bagaimana
Jasper yang kurang disiplin-dan sekarang secara sadar aku mengabaikan segala
aturan itu sedemikian parahnya hingga membuat penyelewengan mereka jadi tidak
ada artinya. Biasanya aku selalu jadi yang paling bertanggung jawab.
Aku menghela napas dalam-dalam, kemudian menyelinap maju ke bawah sinar
matahari. Aku berusaha tidak melihat tubuhku yang terpapar cahaya matahari. Sudah cukup
buruk bagaimana kulitku seperti batu dan tidak wajar saat di balik keremangan;
aku tidak mau melihatnya saat aku dan Bella bersebelahan dibawah sinar matahari.
Jurang perbedaan diantara kami sudah cukup besar, sudah cukup menyakitan tanpa
harus ditambah gambaran ini di kepalaku.
Tapi aku tidak bisa mengabaikan kilauan pelangi yang memantul di kulitnya saat
aku mendekat. Rahangku terkunci ketika melihat pemandangan itu. Bisakah aku
lebih aneh lagi" Aku membayangkan betapa ngerinya dia seandainya tiba-tiba
matanya terbuka... Aku sudah mau mundur lagi, tapi kemudian ia menggumam, menahanku di tempat.
"Mmm... Mmm..."
Tidak terlalu ada artinya. Well, aku akan menunggu sebentar.
Dengan hati-hati aku mengambil bukunya, mengulurkan tangan sambil menahan napas
saat mendekat, sekedar jaga-jaga. Aku bernapas lagi ketika sudah kembali menjauh
beberapa meter. Bisa kurasakan bagaimana sinar matahari dan udara terbuka
berpengaruh pada aromanya. Panas membuat aroma tubuhnya jadi lebih manis.
Tenggorokanku pun terbakar oleh hasrat yang besar, apinya membara dahsyat karena
aku sudah terlalu lama tidak bertemu dengannya.
Aku diam sebentar untuk menguasai diri, dan kemudian - memaksakan diri untuk
bernapas lewat hidung - kubuka bukunya. Dia mulai dengan cerita pertama... Aku
membalik-balik halamannya sampai ke judul bab tiga, Sense and Sensibility,
mencari sesuatu yang berpotensi membuatnya marah dalam karya Jane Austen yang
sopan ini. Saat secara otomatis mataku tertuju pada namaku - pada halaman inilah untuk
pertama kalinya tokoh Edward Ferrars diperkenalkan-Bella bicara lagi.
"Mmm. Edward," desahnya.
Kali ini aku tidak khawatir dia terbangun. Suaranya hanya bisikan pelan yang
muram, bukan teriak ketakutan sebagaimana mestinya jika dia memang melihatku.
Perasaan gembira bergumul dengan kebencian dalam diriku. Paling tidak dia masih
memimpikan aku. "Edmund. Ahh. Terlalu...dekat..."
Edmund" Ha! Dia sama sekali tidak memimpikan aku, akhirnya aku sadar. Rasa benci pada
diriku menguat. Dia memimpikan tokoh-tokoh fiksi. Sia-sia sudah kesombonganku.
Aku mengembalikan bukunya, dan kembali menyelinap kebalik bayangan hutan-ke
tempatku semestinya. Siang pun berlalu. Aku mengawasi dengan perasaan tak berdaya ketika matahari
pelan-pelan terbenam di ufuk dan bayangan sore merayap menuju arahnya. Aku ingin menghalaunya, tapi kegelapan tidak mungkin dielakan; bayang sore pun
mengambilnya. Ketika cahaya menghilang, kulitnya terlihat terlalu pucat-seperti
hantu. Rambutnya kembali gelap, hampir hitam dihadapan wajahnya.
Itu hal yang mengerikan untuk dilihat-seperti menyaksikan penglihatan Alice
menjadi nyata. Suara detak jantung Bella adalah satu-satunya yang menentramkan,
suara yang menjadikan momen ini tidak seperti mimpi buruk.
Aku lega ketika ayahnya pulang.
Bisa kudengar sedikit suara pikirannya saat dia melaju hampir sampai di rumah.
Beberapa gerutuan samar...sesuatu tentang pekerjaannya tadi. Harapan bercampur
dengan lapar-sepertinya dia tidak sabar untuk makan malam. Tapi pikirannya tidak
terlalu banyak bicara, aku tidak terlalu yakin tebakanku betul; aku cuma
menangkap intinya. Kira-kira seperti apa pikiran ibunya - kombinasi genetik seperti apa yang
membuat Bella sangat unik.
Dia terbangun, bangkit duduk saat mendengar mobil ayahnya menepi. Dia memandang
ke sekeliling, terlihat bingung dengan kegelapan yang tidak disangkanya. Untuk
sesaat, matanya melihat kearah kegelapan tempatku bersembunyi, tapi dia langsung
mengerjap melihat kearah lain.
"Charlie?" tanyanya pelan, masih sambil mengamati pepohonan di disekeliling
halamannya. Pintu mobil ayahnya dibanting tertutup, dan ia melihat ke arah suaranya. Dia
cepat-cepat berdiri dan membereskan barang-barangnya, menoleh sekali lagi ke
arah kegelapan hutan. Aku pindah ke pepohonan yang lebih dekat dengan jendela dapur untuk mendengarkan
malam mereka. Ternyata menarik membandingkan perkataan Charlie dengan isi
pikirannya. Kecintaan dan kepedulian dia pada putri satu-satunya sangat besar,
namun ucapan-ucapannya selalu pendek dan santai. Lebih seringnya mereka cuma
duduk diam dengan nyaman.
Kudengar ia mengungkapkan rencananya untuk pergi ke Port Angeles besok, dan aku
merancang rencanaku sendiri saat mendengarkannya. Jasper tidak memperingatkan
teman-temannya untuk menjauhi Port Angeles. Meski aku tahu mereka baru saja
berburu belum lama ini dan tidak berniat untuk berburu disekitar rumah kami, aku
akan tetap mengawasi Bella. Hanya untuk jaga-jaga. Lagipula, selalu ada mahluk
seperti kami di luar sana. Dan, juga ada semua bahaya yang mungkin saja menimpa
manusia, yang sebelumnya tidak pernah kupertimbangkan.
Kudengar ia cemas besok mesti meninggalkan ayahnya untuk menyiapkan makan malam
sendiri. Aku tersenyum pada hal ini karena membuktikan teoriku - ya, dia seorang
pengasuh. Setelah itu aku pergi. Aku akan kembali lagi setelah dia tidur.
Aku tidak akan melanggar privasinya seperti seorang pengintip. Aku disini untuk
melindunginya, bukan untuk mengambil kesempatan sebagaimana Mike mungkin akan
melakukannya jika ia setangkas aku. Aku tidak akan memperlakukannya dengan tidak
sopan. Rumahku kosong saat aku kembali, yang mana baik-baik saja untukku. Aku tidak
rindu dengan segala pikiran mereka yang mempertanyakan kewarasanku. Emmet
meninggalkan catatan yang ditempel di tiang dekat tangga.
Pertandingan bola di lapangan Rainier-ayo ikut! Please"
Aku menemukan pena dan menuliskan kata Sori dibawah permohonannya. Biar
bagaimanapun, teamnya telah lengkap tanpa kehadiranku.
Aku pergi ke lahan berburu terdekat, menyantap mahluk kecil lemah yang baunya
tidak sebaik manusia yang biasa memburunya, dan kemudian berganti baju sebelum
lari kembali ke Forks. Tidur Bella tidak nyenyak malam ini. Selimutnya berantakan. Wajahnya kadang
gelisah, kadang sedih. Aku bertanya-tanya, mimpi buruk apa yang
menghantuinya...tapi kemudian sadar, mungkin sebaiknya aku tidak usah tahu.
Ketika bicara, seringkali ia berkomat-kamit mengeluhkan tentang Forks dengan
suara murung. Hanya sekali, ketika ia mendesahkan kata, "Kembali," tangannya
membalik terbuka -sebuah sikap memohon. Bisakah aku berharap bahwa mungkin saja
ia sedang memimpikan aku.
Hari sekolah berikutnya, hari terakhir matahari memenjarakanku, kurang lebih
sama dengan sebelumnya. Bahkan Bella kelihatan lebih murung dari kemarin. Aku
jadi bertanya-tanya, apa dia akan membatalkan janjinya - kelihatannya dia sedang
tidak mood. Tapi, sebagai Bella, pasti ia akan memilih kesenangan temannya diatas
kepentingan sendiri. Ia mengenakan blus biru tua hari ini. Warna itu sangat sempurna dengan kulitnya,
membuatnya terlihat seperti krim susu segar.
Sekolah usai, dan Jessica setuju untuk menjemput yang lainnya - Angela juga
ikut, membuatku bersyukur.
Maka aku pulang ke rumah untuk mengambil mobil. Peter dan Charlotte masih ada.
Dan kuputuskan untuk memberi kesempatan bagi Bella dan teman-temannya untuk
berangkat satu jam lebih dulu. Aku tidak akan tahan mengikuti di belakang
mereka, menyetir di batas kecepatan normal - memikirkannya saja sudah ngeri.
Aku masuk lewat dapur, mengangguk samar pada sapaan Emmet dan Esme saat melewati
semuanya di ruang tamu, dan langsung menuju ke piano.
Ugh, dia kembali. Tentu saja itu Rosalie.
Ah, Edward. Aku tidak suka melihatnya begitu menderita. Kegirangan Esme
tergantikan oleh cemas. Dia sudah semestinya cemas. Kisah cinta yang ia idam-
idamkan untukku semakin nyata akan berbalik jadi tragedi.
Selamat bersenang-senang di Port Angeles nanti malam, pikir Alice dengan riang.
beritahu aku kalau sudah boleh bicara dengan Bella.
Kau benar-benar payah. Aku tidak percaya kau melewati pertandingan tadi malam
hanya untuk mengawasi seseorang tidur, gerutu Emmet.
Jasper mengacuhkanku bahkan saat lagu yang kumainkan terdengar lebih ribut dari
yang kumau. Itu lagu lama, dengan tema yang umum: ketidak sabaran. Jasper sedang
berpamitan dengan teman-temannya, yang memandangiku dengan penasaran.
Mahluk yang aneh, pikir Charlotte, si gadis yang semungil Alice dengan rambut
pirang keperakan. Padahal dia sangat normal dan sopan saat terakhir kali kami
bertemu. Pikiran Peter kurang lebih serupa dengannya, seperti biasanya.
Pasti gara-gara binatang-binatang itu. Tidak minum darah manusia akhirnya
membuat mereka gila juga, begitu kesimpulan dia. Rambutnya sepirang Charlotte,
dan hampir sama panjangnya. Mereka berdua sangat mirip - kecuali tingginya,
karena dia hampir setinggi Jasper-pada penampilan dan pemikiran. Pasangan yang
sangat cocok. Setelah beberapa saat, semuanya - kecuali Esme - berhenti memikirkan aku. Dan
aku mulai bermain dengan nada-nada lembut agar tidak menarik perhatian.
Aku tidak memperhatikan mereka lagi selama beberapa lama, membiarkan musiknya
mengalihkanku dari kegelisahan. Rasanya sulit menghilangkan Bella dari pandangan
dan pikiranku. Aku hanya kembali memperhatikan pembicaraan mereka ketika Peter
dan Charlotte sudah hampir pergi.
"Kalau kau bertemu Maria lagi," kata Jasper sedikit khawatir. "Katakan padanya
aku harap dia baik-baik saja."
Maria adalah vampir yang telah menciptakan Jasper dan Peter - Jasper diciptakan
di pertengahan abad sembilan belas, sedang Peter baru belakangan, pada tahun
1940-an. Maria pernah sekali mencari Jasper pada saat kami di Calgary. Itu
adalah kunjungan yang luarbiasa - kami harus cepat-cepat pindah. Jasper
memintanya dengan sopan agar ia menjauhi dirinya.
"Kurasa itu tidak akan segera terjadi," jawab Peter sambil tertawa-tidak
disangkal lagi Maria berbahaya, dan tidak ada banyak cinta diantara dia dan
Peter sebelumnya. Peter cuma dimanfaatkan sepeninggal Jasper. Jasper selalu
menjadi favorit Maria; dia menganggapnya detail sepele saat pernah sekali
berencana membunuh Jasper. "Tapi mungkin saja aku akan bertemu dengannya."
Kemudian mereka bersalaman, siap-siap untuk pergi. Kuhentikan laguku di tengah-
tengah, dan dengan tergesa-gesa berdiri.
"Charlotte, Peter," salamku sambil mengangguk.
"Menyenangkan bertemu lagi denganmu, Edward," ujar Charlotte basa-basi.
Sementara Peter cuma menjawab dengan anggukan.
Dasar orang gila, umpat Emmet padaku.
Idiot, Rosalie memikirkan hal yang sama.
Kasihan, itu Esme. Dan Alice, dengan suara mencibir, mereka akan langsung ke timur, menuju Seattle.
Tidak mendekati Port Angeles. Dia memperlihatkan bukti penglihatannya. Aku pura-
pura tidak mendengar. Alasanku sudah cukup lemah.
Setelah di dalam mobil, aku merasa lebih tenang; dengung mantap suara mesin yang
telah di tune-up oleh Rosalie-tahun lalu, saat moodnya lebih baik - terdengar
menyenangkan. Rasanya lega bisa di jalan lagi, mengetahui setiap mil yang
kulewati membawaku semakin dekat dengan Bella.
9. Port Angel Masih terlalu terang bagiku untuk berkendaraan di dalam kota saat tiba di Port
Angeles; matahari masih terlalu tinggi diatas. Dan, meski jendelaku sangat
gelap, tidak ada alasan untuk mengambil resiko. Mengambil resiko lebih, lebih
tepatnya.

Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku sangat yakin mampu menemukan pikiran Jessica dari jauh-pikiran dia lebih
keras ketimbang Angela. Setelah menemukan Jessica, aku akan menemukan Angela.
Naga Dari Selatan 7 Goosebumps - Kejutan Di Shock Street Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 6
^