Mustang Hitam 5
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May Bagian 5
meringankan dan keadaan-keadaan yang memberatkan. Dalam menjatuhkan hukuman dera
bagi Ik Senanda, kita dapat memperhitungkan pula keadaan-keadaan yang
meringankan dan keadaan-keadaan yang memberatkan, akan tetapi dalam hal ini
sedikitpun saya tidak melihat adanya keadaan-keadaan yang meringankan, melainkan
hanya ada keadaan yang memberatkan belaka."
"O, jadi yang kau maksud ialah agar kita mempergunakan tongkat pemukul yang
berat?" "Bukan itu maksud saya. Dari pengalaman saya sendiri saya tahu bahwa tongkat
yang kecil dapat menimbulkan sakit yang lebih hebat daripada tongkat yang besar.
Tongkat yang besar hanya mengenai kulit bagian luar saya, tetapi tongkat yang
kecil dapat menusuk sampai ke bagian-bagian yang lebih dalam, yang terletak di
bawah kulit. Jadi mempergunakan tongkat yang besar boleh jadi berarti
meringankan hukuman. Tidak, maksud saya lain benar. Hukuman itu harus diperberat
dengan menimbulkan rasa takut yang sehebat-hebatnya. Ik Senanda kini ada di
dalam sumur. Bagaimana kita dapat memperberat hukumannya" Sumur itu akan kita
isi dengan air hingga air itu sampai kepada bibirnya.
Niscaya ia akan mengira bahwa kita hendak membuat ia mati lemas. Dengan begitu
bukan buatan takutnya. Kita biarkan bedebah itu menderita sakit kira-kira satu
jam lamanya. Sesudah itu kita tarik dia ke atas. Karena pakaiannya basah kuyup tentu ada
kemungkinan bahwa ia akan mendapat selesma. Itu bukan maksud kita. Maka ia akan
kita pukuli sampai pakaiannya menjadi kering. Nah, itulah hukuman yang adil,
hukuman yang setimpal baginya, hukuman yang sesuai dengan ilmu hukum dan sesuai
dengan undang-undang!"
Mendengar keterangan yang panjang lebar itu temannya tertawa gelak-gelak. Hobble
Frank menjadi marah seraya berkata:
"Mengapa Anda tertawa. Tiadakah Anda mempunyai rasa hormat terhadap orang yang
tahu ilmu hukum, seorang sarjana yang jarang didapat bandingannya di daerah
Barat ini?" Teman-temannya masih tertawa juga. Karena itu ia berpaling kepada Old
Shatterhand sambil bertanya: "Bagaimana, Mr. Shatterhand" Tiada setujukah Anda
dengan usul saya?" "Ya, Frank sahabatku. Saya setuju."
Kini Hobble Frank melihat ke sekelilingnya dengan muka yang berseri-seri, yang
menyatakan kebanggaan bahwa usulnya disetujui oleh pemimpinnya.
Dalam pada itu kereta api telah masuk ke stasiun Rocky Ground. Semuanya
berlangsung dengan selamat, hanya mereka mengalami kesukaran ketika mereka harus
menurunkan kedua ekor kuda milik Hobble Frank dan Droll, sebab kuda Indian itu
tidak biasa kepada alat pengangkutan yang modern. Tetapi dengan bantuan orang-
orang yang ditinggalkan di stasiun Rocky Ground akhirnya kuda itu dapat
diturunkan tanpa mendapat luka atau cacat sedikitpun. Demi insinyur Swan
bertanya kepada pegawai-pegawainya yang tidak ikut serta ke Gua Birik, adakah
semuanya beres dan tidak ada terjadi hal-hal yang istimewa, maka seorang dari mereka menggaruk-
garuk kepalanya seraya menjawab dengan agak malu:
"Ya, Sir. Oleh karena Anda menanyakannya, maka terpaksalah saya memberitahukan
bahwa ada sesuatu yang terjadi. Ada seekor kuda dicuri orang."
"Kuda yang mana?" tanya semua orang serempak.
Pembaca tentu mengerti bahwa pemberitahuan itu sangat mengejutkan mereka semua.
Oleh karena para pekerja kereta api tidak mempunyai kuda, maka kuda yang dicuri
itu tak dapat tiada tentu salah seekor daripada tunggangan keenam pemburu
prairi. Sekiranya kuda itu tunggangan Winnetou atau Old Shatterhand, maka
peristiwa itu merupakan suatu bencana. Karena itulah maka dengan hati yang
berdebar-debar sekali orang menantikan jawab pekerja tadi.
"Kuda putih tuan-tuan."
Lega hati semuanya mendengar keterangan itu. Frank bertanya:
"Adakah yang Anda maksud kuda putih yang berbintik-bintik hitam lehernya sebelah
kanan?" "Ya, Sir."
"Alhamdulillah," serunya. "Droll, itu kudamu yang selalu tergelincir dan yang
menyebabkan engkau kemasukan pulau Ischia. Syukur! Kuda itu boleh dicuri orang,
sebab Droll sudah memperoleh gantinya yang jauh lebih baik."
"Jangan engkau terlalu lancang mengutarakan pendapatmu, Frank," demikian Old
Shatterhand menegur sahabatnya. "Dalam hal ini yang penting bukanlah kuda,
melainkan pencurinya. Saya sudah dapat menduga siapa yang mencuri kuda itu.
Bukankah itu tawanan kita orang peranakan, yang kita simpan di dalam sumur?"
"Ya, Sir," jawab orang itu dengan kemalu-maluan.
"Bagaimana ia mungkin ke luar dari sumur" Itu hanya mungkin oleh kelalaian
Anda." "Kelalaian itu akan saya hukum berat!" seru insinyur Swan.
"Saya sudah menempatkan seorang penjaga di tepi sumur. Di mana penjaga itu, saya
tidak ada melihat dia."
"Karena sangat takut ia sudah melarikan diri dan baru akan kembali apabila
amarah Anda sudah reda."
"Kalau begitu ia harus menunggu lama sekali. Apabila ia kembali, ia akan saya
pukuli sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dilupakannya seumur hidupnya.
Kini pandu itu sudah lepas, akan tetapi boleh jadi ia belum jauh dan masih dapat
kita susul. Marilah kita bersiap-siap untuk..."
"Sabar, Sir, sabar!" demikian Old Shatterhand menyela. "Tidak ada gunanya kita
berbuat terlalu terburu-buru. Jikalau dugaan saya tidak salah maka ia sudah
sedemikian jauhnya sehingga kita tidak akan dapat menyusulnya. Saya kira ia
pergi ke perkemahan Firewood."
"Justru ke tempat di mana ia tahu bahwa kami ada di sana" Itu mustahil! Gila dia
apabila berbuat begitu."
"Pshaw, ia tahu bahwa orang-orang Comanche ada dalam bahaya. Ia pergi ke sana
untuk memberitahukan bahaya itu kepada neneknya, akan tetapi untung sekali ia
terlambat datang. Bagaimana juga kini saya tahu bahwa dialah orang yang dilihat
dan ditembak oleh Winnetou di Gua Birik."
"Ya, itu pendapat saya juga," kata ketua suku Apache. "Saya hanya melihat dia
sesaat saja. Betul saya segera mengangkat senjata saya, akan tetapi demi ia
melihat bahwa saya membidikkan bedil saya kepadanya, maka dengan segera ia
menarik kepalanya sebelum tembakan saya meletus."
"Ya, tembakan Anda tiada pernah menyasar, akan tetapi sekali ini waktu untuk
menembak dengan tepat adalah terlalu singkat, tetapi biarlah bedebah itu lepas,
kelak ia tentu akan jatuh ke tangan kita kembali. Kini ia tahu bahwa orang-orang
Comanche telah kita bebaskan; tentu saja ia sudah menggabungkan diri dengan
mereka. Jikalau kita dengan sungguh-sungguh hendak menangkap dia kembali, tentu
usaha kita itu akan segera berhasil. Tetapi apa gunanya kita membuang-buang
waktu dan membuang-buang tenaga"
Bukankah ia akan kita bebaskan lagi. Hanya sekali ini ia belum mendapat hukuman
dera, akan tetapi hukuman itu kita sediakan saya untuk waktu yang lain."
"Namun begitu sedih juga hati saya," kata Frank, "maksud saya tidak sampai."
"Engkau harus belajar menahan diri dan menaruh sabar, Frank sahabatku. Kini saya
ingin mengetahui satu hal lagi: bagaimanakah orang peranakan itu dapat
meloloskan diri dari sumur. Coba ceriterakanlah kepada kami!" Pekerja kereta api
yang ditanyai itu menjadi takut dan iapun menjawab:
"Itu bukan salah saya, Sir. Anda hendaknya mempercayai saya. Itu kesalahan
Clifton yang mempunyai tugas menjaga tawanan. Ia telah tertipu oleh orang
Tionghoa." "Orang Tionghoa" Orang Tionghoa dari mana?" "Dua orang Tionghoa dari
Firewood, Mr. Shatterhand." "O, niscaya tak lain daripada pencuri bedil kami. Adakah mereka
berkuncir?" "Saya tidak melihat kuncit, akan tetapi mereka mempunyai banyak uang, dollar,
tengahan dollar dan perempat dollar. Dengan uang itu mereka pergi ke kantin dan
membeli apa-apa yang dikehendakinya." "Dan Anda tentu diajak minum brandy,
bukankah begitu?" "Bukan saya, melainkan Clifton, Sir. Ketahuilah bahwa Clifton dahulu bekerja di
perkemahan Firewood dan dengan demikian mengenal kedua orang Tionghoa itu.
Tetapi sebaiknya saya ceriterakan dengan teratur apa yang sudah terjadi."
"Itu baik. Saya ingin mengetahui adakah Anda sendiri lalai atau tidak.
Katakanlah dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi."
"Saya tak dapat berbuat lain daripada mengisahkan apa-apa yang benar-benar
terjadi, Sir. Hari sudah hampir malam dan sudah agak gelap. Pekerjaan kami telah
selesai, ketika kedua orang Tionghoa itu datang. Clifton duduk di sebelah sumur.
Tali pengikat tawanan itu ditambatkannya pada batang pohon di dekat sumur. Kedua
orang Tionghoa melihat ia duduk di sana dan oleh karena mereka kenal akan dia
maka mereka datang menghampirinya untuk memberi salam. Kami mengikuti pula sebab
kami ingin benar mengetahui untuk apa orang-orang Tionghoa itu datang ke Rocky
Ground. Kami mendengar dari mereka bahwa mereka telah meninggalkan pekerjaan
mereka di perkemahan Firewood oleh karena mereka mendapat perlakuan yang tidak
baik dan oleh karena mereka tidak merasa puas dengan upah mereka yang terlalu
kecil. Mereka sedang mencari pekerjaan di tempat lain." "Dan Anda percaya?"
tanya Old Shatterhand. "Kami tidak mempunyai alasan untuk menduga bahwa mereka berdusta."
"Alasan itu ada! Bukankah mereka mandor orang-orang Tionghoa" Bukankah itu Anda
ketahui?" "Ya."
"Nah, sebagai mandor upah mereka jauh lebih besar daripada upah teman-temannya.
Lain daripada itu Anda harus mengerti bahwa apabila mereka benar-benar minta
berhenti karena tidak puas dengan upah mereka, maka orang-orang Tionghoa yang
lainpun akan minta berhenti juga."
"Itu betul Sir. Tetapi tidak seorangpun dari kami memikirkan hal itu."
"Itu bukan suatu bukti daripada kecerdikanmu."
"Boleh jadi. Kami bukan orang yang terpelajar. Anda tidak boleh mengharapkan
dari kami bahwa kami dapat berpikir sejauh itu. Lagipula soal mereka tidak
berapa kami hiraukan, oleh karena mereka tidak bermaksud tinggal di sini,
melainkan akan meneruskan perjalanannya ke arah Timur."
"Itu dapat saya fahami. Mereka telah kehilangan kuncitnya, sehingga menanggung
malu yang besar. Jadi mereka akan pergi ke tempat di mana mereka tidak menjumpai
orang Tionghoa. Teruskanlah laporanmu!"
"Mereka hendak menunggu kedatangan kereta api serta pergi ke kantin dan minta
tempat untuk bermalam. Sebagai telah saya katakan tadi, mereka mempunyai uang;
karena itu mereka memesan minuman dan dengan demikian mereka mendapat kesempatan
bercakap-cakap dengan kami. Kami ada mengatakan kepada mereka bahwa Anda telah
datang ke mari dan kini telah pergi ke Firewood untuk melindungi penghuni
perkemahan itu terhadap serangan orang-orang Comanche. Mereka heran sekali
mendengar berita kami. Rupa-rupanya mereka tidak menyukai Anda dan Mr. Winnetou;
kesimpulan itu saya peroleh dari percakapan mereka."
"Itu tidak mengherankan. Mereka telah mencuri milik kami dan mendapat hukuman
yang setimpal. Karena itulah maka mereka meninggalkan Firewood. Mereka mendengar
bahwa kami berdualah yang telah menangkap orang Mestis itu. Karena itulah maka
terlintas pada pikiran mereka untuk membebaskan tawanan itu sebagai pembalasan
terhadap kami." "Ya, saya kira mereka hendak membalas dendam terhadap Anda. Boleh jadi juga
mereka berbuat begitu karena mereka bersahabat dengan pandu itu ketika mereka
bersama-sama bekerja di Firewood. Pendeknya, mereka memberi Clifton minuman,
brandy sebotol penuh, kemudian ditambah lagi, sesudah itu mereka pergi menemani
Clifton di tempat penjagaannya. Lama sekali mereka tinggal di sana. Kemudian
mereka masuk kembali, akan tetapi kini mengambil tempat sedemikian sehingga kami
terpaksa menutup pintu. Dengan begitu kami tidak dapat melihat ke luar, ke
tempat kuda ditambatkan. Tidak lama kemudian kami mendengar kuda meringih-
ringih, mendengus-dengus dan mendepak-depak. Kami segera pergi ke luar, walaupun
kedua orang Tionghoa itu berusaha menenteramkan hati kami dan mengatakan bahwa
bunyi kuda itu sedikitpun tidak mencurigakan. Kami melihat bahwa kedua kuda
hitam telah lepas dari tambatannya dan kuda putih yang berbintik-bintik lehernya
sudah hilang. Kami melihat pula bahwa kuda putih itu tidak melepaskan dirinya,
melainkan dibawa atau dicuri orang. Tetapi oleh siapa" Kami semuanya ada belaka,
kecuali Clifton yang menjaga di dekat sumur. Maka kami berlari-lari pergi ke
tempatnya. Di sana Clifton kami dapati berbaring di tanah. Ia mabok semabok-
maboknya dan di sebelahnya terletak tali pengikat tawanan kita. Lagipula kami
melihat bahwa tangan dan kaki Clifton telah terikat. Anda tentu maklum betapa
kami terkejut. Clifton kami bangunkan dan kami tanyai, akan tetapi ia tidak
dapat memberi jawab yang terang; rupa-rupanya ia tidak sadar akan keadaan
dirinya. Kemudian kami menyelidiki keadaan di dalam sumur. Saya diturunkan
dengan tali ke dalam sumur dan sampai di bawah saya saksikan sendiri apa yang
telah kami khawatirkan yakni tawanan kami sudah hilang."
"Sekarang semuanya sudah jelas bagi saya," kata Old Shatterhand. "Ketika Clifton
sudah mabok sama sekali, maka tawanan itu ditarik ke atas oleh kedua orang
Tionghoa dan dilepaskan dan ikatannya. Kemudian kedua orang Tionghoa itu kembali
ke kantin dan dengan akal yang cerdik sekali telah mengusahakan agar pintu
kantin ditutup. Dengan begitu mereka memberi kesempatan kepada Mestis untuk
mencuri kuda. Gelapkah tempat kuda itu?"
"Tidak, tempat itu diterangi oleh sebuah lentera."
"Karena itulah maka ia dapat melihat kuda mana yang paling baik dan sebagai
halnya dengan neneknya ia telah memilih kuda Mr. Winnetou dan kuda saya. Kuda
itu telah dilepaskannya dari tambatannya, akan tetapi memberi perlawanan serta
membuat gaduh. Agar jangan membuang-buang waktu maka diambilnya sembarang kuda yang lain yang
tidak memberi perlawanan. Kuda itu ialah kuda putih milik Mr. Droll."
"Cocok, Sir, kuda putih itu yang terdekat pada pintu."
"Ia telah memilih kuda yang paling buruk, akan tetapi ia seorang penunggang kuda
yang ulung dan daerah ini dikenalnya baik. Karena itulah maka ia telah
mendapatkan jalan ke Gua Birik dalam keadaan gelap gulita. Apa kata kedua orang
Tionghoa itu setelah tawanan kita melarikan diri?"
"Mereka tidak mengatakan apa-apa. Ya, sebenarnya mereka ada bercakap-cakap dalam
bahasa yang tidak kami fahami dan setelah kami kembali dari tempat Clifton dan
tempat kuda, maka kedua orang Tionghoa itu tidak kami dapati lagi di tempatnya."
"Ke mana mereka pergi?" tanya insinyur Swan.
"Itu tidak kami ketahui, sebab hari sudah gelap sekali."
"Kurang ajar! Mereka itu harus kita tangkap!"
"Ah, biarkan saja, Mr. Swan!" sahut Old Shatterhand. "Mereka tidak penting.
Pekerjaan kita yang terpenting telah berhasil baik: kita telah menyelamatkan
para penghuni perkemahan Firewood tanpa mendapat luka sedikitpun. Yang lain-lain
itu tidak penting sama sekali. Janganlah kita membuang-buang waktu kita yang
berharga untuk mengejar mereka."
"Hm! Sebenarnya tangan saya gatal sekali, akan tetapi saya insaf juga bahwa
pendapat Anda benar, Mr. Shatterhand. Baiklah, kita biarkan saja mereka
melarikan diri. Akan tetapi si Clifton akan mendapat upahnya! Di mana ia
sekarang" Tahukah Anda?"
"Tidak," jawab pekerja kereta api itu. "Setelah tidur beberapa jam lamanya, ia
sekonyong-konyong bangun demi ia mendengar dari kami dengan cara bagaimana ia
telah tertipu oleh kedua orang Tionghoa itu, maka bukan mainlah terkejut dan
takutnya. Ia memaki-maki, akan tetapi tidak ada gunanya sama sekali. Kemudian ia
berkata bahwa ia akan menyembunyikan diri dan tidak akan kembali sebelum amarah
Anda sudah reda. Ia mengambil barang-barang miliknya lalu pergi."
"Itu hendaknya Anda alang-alangi."
"Kami tidak mempunyai hak untuk menahan dia, bukankah begitu Sir" Ia bukan
seorang penjahat dan kami bukanlah polisi."
"Tepat," sela Old Shatterhand. "Barangkali ia tidak akan balik kembali dan
barangkali lebih baik begitu. Apa gunanya seorang pekerja yang tak mempunyai
rasa tanggungjawab bagi insinyur Swan. Dan apabila ia kembali, Mr. Swan, baiklah
ia Anda marahi sekeras-kerasnya, akan tetapi jangan ditambah dengan hukuman yang
lain. Jangan Anda mengotorkan tangan Anda pada orang sebodoh itu. Marilah kita
menengok kuda kami; sesudah itu kita makan lalu tidur, semalam suntuk kami tidak
mendapat kesempatan memicingkan mata. Besok pagi-pagi benar kami akan minta diri
kepada Anda." "Mengapa tergesa-gesa sekali?" tanya insinyur Swan. "Ketahuilah bahwa saya
girang sekali menjadi tuan rumah bagi Anda sekalian."
"Itu kami tahu. Keramahan Anda akan selalu kami kenangkan Sir, akan tetapi kini
tidak ada alasan lagi bagi kami untuk tinggal lebih lama lagi di tempat ini dan
walaupun kami tidak tergesa-gesa benar, namun bukanlah kebiasaan kami untuk
tinggal lebih lama pada suatu tempat daripada yang kami perlukan."
"Setuju sekali," seru Cas. "Kami harus pergi ke Santa Fe. Kami mencari saudara
sepupu kami Nahum Samuel Timpe yang harus kami paksa menyerahkan warisan yang
menjadi hak kami. Karena ia rupa-rupanya seorang penipu, maka niscaya ia tidak
akan lama tinggal pada satu tempat. Jikalau kita membuang-buang waktu di sini,
maka saya khawatir kalau-kalau ia sudah pergi apabila kita sampai ke Santa Fe.
Bukankah begitu, Has?"
"Tentu saja," jawab Has. "Makin cepat kita memperoleh kembali uang kita, makin
baik bagi kita. Untung benar Mr. Shatterhand dan Mr. Winnetou akan menyertai dan
melindungi kita. Dengan begitu saya yakin bahwa usaha kita akan mendapat
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sukses." Sedang kedua Timpe berbicara itu, Frank dan Droll masih berdiri di dekatnya.
Yang lain-lain telah masuk ke dalam stasiun. Oleh karena Winnetou dan Old
Shatterhand tidak dapat mendengar percakapan mereka, maka Hobble Frank segera
mempergunakan kesempatan yang baik itu untuk menonjolkan dirinya. Katanya:
"Saya tidak mengerti mengapa Anda selalu menyebut-nyebut nama orang lain. Rupa-
rupanya keluarga Timpe itu selalu berat sebelah."
"Berat sebelah bagaimana?"
"Berat ke sebelah Old Shatterhand dan Winnetou. Anda selalu memuji-muji mereka,
Anda selalu mengharapkan pertolongan mereka, tetapi tidak pernah menoleh ke arah
saya. Rupa-rupanya Anda tidak mempercayai saya." "O, kami percaya kepada Anda,
Mr. Frank," jawab Has dengan gesa-gesa.
"Itu tidak terbukti Mr. Hasael Benyamin Timpe. Kemarin saya sudah turun dari
singgasana saya serta merendahkan diri dengan menawarkan bantuan saya kepada
Anda. Saya telah menyatakan bahwa saya akan membela kepentingan Anda, bahwa saya
akan melindungi Anda sebagai orang tua melindungi anaknya. Selanjutnya saya
telah meyakinkan Anda bahwa kepentingan Anda lebih berharga bagi saya daripada
jiwa saya sendiri. Akan tetapi Anda mengabaikan tawaran saya; Anda selalu
menonjol-nonjolkan jasa orang lain! Jikalau Anda terus berbuat begitu, maka
tawaran saya boleh jadi akan saya cabut kembali."
Cas segera menepuk-nepuk bahu Hobble Frank seraya berkata:
"Mr. Frank yang baik hati, tidak ada gunanya Anda marah kepada kami. Anda telah
kami kenal baik dan kami tahu betapa besar manfaat yang akan kami peroleh dari
bantuan Anda." "Jadi Anda tahu dan Anda sudah insaf" Tetapi mengapa Anda selalu menyebut-nyebut
nama Old Shatterhand dan Winnetou, tidak sekali juga menyebut nama saya?"
"Oleh karena sudahlah sesuatu yang wajar bahwa bantuan Anda dapat kami andalkan
dan akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Bukankah maksud baik Anda tidak
perlu kami sangsikan?"
Wajah Hobble Frank berseri-seri; ia melambaikan tangannya seakan-akan hendak
melindungi kedua orang Timpe seraya berkata:
"Jangan khawatir, Mr. Timpe. Anda memberi saya kehormatan yang terlalu besar.
Anda tahu bahwa saya selalu rendah hati dan hanya dengan rasa segan saya mau
menerima pujian Anda. Sebaliknya tak perlu Anda bersikap terlalu rendah hati
untuk mengucapkan perasaan Anda kepada saya. Anda boleh diumpamakan biri-biri
yang memerlukan gembala dan sekali lagi saya menyatakan kesediaan saya untuk
menjadi gembala Anda. Kemana Anda pergi, Anda selalu kami ikuti dan kami amat-
amati agar keamanan dan kepentingan Anda terjamin."
"Terima kasih, Mr. Frank. Segala ucapan Anda kami setujui," jawab Cas.
"Baiklah! Marilah kita kini mengikat tali persahabatan yang kokoh. Peganglah
masing-masing tangan kiri dan tangan kanan saya, agar Anda dapat saya angkat.
Itu adalah upacara yang khidmat yang akan mengikrarkan persahabatan yang kekal."
Demikianlah maka Frank yang kecil badannya itu dengan susah payah mengangkat
kedua orang Timpe sambil mengucapkan ikrar persahabatan.
VI. BONANZA DARI HOAKA Pada suatu tempat bukit Sierra Moro bertemu dengan kepanjangan pegunungan Raton.
Di sana, di tepi sebuah sungai kecil berbaringlah dua orang Indian. Menilik air
mukanya maka yang seorang rupa-rupanya sudah lanjut usianya boleh jadi sudah
lebih daripada enampuluh tahun. Kepalanya diselubungi dengan sehelai kulit
binatang, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya. Pipinya cekung dan air
mukanya menunjukkan kekesalan hati. Di sebelahnya terletak sebuah bedil
perburuan. Yang seorang lagi belum seberapa tua; rambutnya jarang tetapi panjang
dan disanggulkan di atas kepalanya. Wajahnya menunjukkan perangai yang licik dan
tidak jujur. Pada ikat pinggangnya terselip sebuah pisau. Kedua orang kulit
merah itu tidak ada membawa senjata lain kecuali yang tersebut tadi. Keadaan
tubuhnya menunjukkan bahwa sudah beberapa lamanya mereka menderita lapar dan
dahaga. Pakaiannya sudah kumal dan pada beberapa tempat sudah koyak-koyak,
seolah-olah mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjahitnya atau menambalnya.
Sepatu mocassin mereka sudah hampir hancur.
Rumput yang tumbuh sebelah-menyebelah sungai itu sudah habis diinjak-injak
orang. Itu membuktikan bahwa kedua orang kulit merah itu lama sekali berjalan
hilir mudik di tempat itu. Sebuah kulit 'kalebas' yang terbuang di tanah
menunjukkan bahwa mereka terpaksa melepaskan laparnya dengan memakan buah
tersebut. Apabila seorang Indian makan buah 'kalebas', maka itu adalah suatu
bukti bahwa ia menderita lapar yang hebat sekali.
Indian yang tua menjenguk ke dalam air sambil melamun. Beberapa saat kemudian ia
menegakkan kepalanya lalu berkata:
"Uf, ada ikan di sungai ini; akan tetapi mustahil kita dapat menangkapnya dengan
tangan. Kita tidak mempunyai kail, tidak mempunyai alat-alat apapun yang dapat
kita pergunakan untuk menangkap ikan. Perut saya sakit; saya akan menjadi sakit
karena terpaksa memakan 'kalebas'."
"Lapar sayapun hampir tidak tertahan. Sekiranya kita dapat menangkap anak bison,
maka rasa-rasanya dagingnyapun belum dapat menghilangkan lapar saya," demikian
Indian yang muda itu mengeluh.
"Ya, kita sudah ditinggalkan oleh Manitou," kata Indian tua itu sambil
menggeretakkan giginya. "Tokvi Kava, ketua suku Comanche yang masyhur, yang
ditakuti oleh seluruh bangsa Indian, kini terpaksa menderita lapar! Siapakah
yang akan percaya?" "Dan salah siapakah itu" Salah Winnetou dan Old Shatterhand, kedua anjing
keparat itu. Kebuasan mereka tidak akan saya lupakan dan tidak akan saya ampuni!"
Ya, pembaca tentu sudah dapat menerkanya: Indian yang tua itu ialah Tokvi Kava
atau Mustang Hitam dan Indian yang menemaninya ialah seorang anak buahnya yang
senasib dengan dia. Ketua suku Comanche itu menampakkan wajah yang mengandung
kebencian yang tak terperikan ketika ia menjawab:
"Kedua bangsat itu harus jatuh ke tangan kita, mereka pasti akan jatuh ke tangan
kita, sebab kita tahu ke mana mereka pergi. Kita akan mencegat mereka dan akan
menyiksa coyote putih yang menyebut dirinya Old Shatterhand, yang jauh lebih
besar kejahatannya daripada Winnetou, coyote orang Apache itu. Awaslah, jangan
hendaknya mereka minta ampun apabila jatuh ke kekuasaan kita!"
"Yakin benarkah Anda bahwa kita akan dapat menangkap mereka?"
"Ya." "Jangan hendaknya Anda marah, akan tetapi sesungguhnya saya belum yakin benar."
"Mengapa belum?"
"Kita terpaksa berjalan kaki; mereka menunggangi kuda yang kuat lagi kencang
larinya." "Akan tetapi jangan engkau lupa bahwa kita menempuh jalan yang memintas, sedang
mereka harus mengambil jalan yang berliku-liku. Tokvi Kava mengetahui segala
bukit dan lembah, tidak seorangpun lebih mengenal daerah ini daripada saya. Saya
sudah membuat perhitungan yang seksama tentang jalan yang kita tempuh dan jalan
yang akan dilalui oleh musuh kita. Kita akan mendahului mereka dan apabila Ik
Senanda kembali serta membawa segala yang kita perlukan maka tak usah kita ragu-
ragukan bahwa orang Apache dan kelima orang coyote putih itu akan jatuh ke
tangan kita." "Yakin benarkah Anda bahwa Ik Senanda akan membawa segala-galanya?" "Ya."
"Kuda, mesiu, bedil, pisau, pakaian dan daging?" "Pasti."
"Akan tetapi apabila mereka di kampung mengetahui apa yang sudah terjadi, maka
niscaya mereka tidak mau memberi apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka tidak akan
mengakui kita lagi sebagai prajurit dan sebagai sesama mereka. Kita akan
diusirnya dari masyarakat suku kita."
"Uf! Adakah engkau mengira bahwa cucu saya sebodoh itu" Tentu saja ia tidak akan
menceriterakan apa-apa tentang nasib kita. Walaupun sebenarnya tidak perlu,
namun Ik Senanda sudah saya beri pesan agar sekali-kali jangan ia menyebut-
nyebut sesuatu tentang apa yang sudah terjadi. Ia tahu di mana kita berkemah
dewasa ini dan oleh karena kemarin ia belum datang seperti yang saya harap-
harapkan, maka hari ini ia pasti akan sampai."
"Mudah-mudahan Manitou akan memberkahi perjalanannya."
"Mudah-mudahan ia akan membawa daging. Ik Senanda telah meninggalkan bedil dan
pisaunya kepada kita supaya kita dapat berburu, supaya kita tidak terlalu
menderita lapar." "Patutkah Anda sebagai seorang prajurit mengeluh karena kelaparan?" demikian
ketua suku memarahi prajuritnya.
"Tidak ada orang lain yang mendengar ucapan saya kecuali Anda sendiri dan
Andapun menderita lapar juga. Saya tidak takut akan musuh, baik orang kulit
merah maupun orang kulit putih, saya tidak takut akan bison dan beruang, akan
tetapi lapar adalah musuh yang bersembunyi di dalam tubuh kita. Musuh itu tidak
dapat kita lawan, tidak dapat kita ajak berkelahi; siasat maupun keberanian
tidak ada gunanya terhadap musuh itu.
Orang yang paling gagah berampun dapat ditumpaskannya. Karena itu pada hemat saya bukanlah suatu noda
untuk mengeluh dan menyebut nama musuh yang sangat kuasa itu."
"Benar pendapatmu," jawab Tokvi Kava. "Musuh itu merongrong tubuhku dan
menggigit-gigit isi perutku. Benar katamu bahwa engkau tidak takut akan musuh
apapun. Demikian juga halnya dengan saya; sampai beberapa lamanya saya selalu
dapat mengalahkan setiap lawan, akan tetapi kemudian datanglah musuh yang dapat
menundukkan saya. Karena itulah maka kita harus menderita lapar."
"Siapakah musuh itu?"
"Musuh itu bersarang di dalam tubuh saya juga. Namanya ialah Benci, kebencian
saya terhadap Old Shatterhand, suatu perasaan yang tidak dapat saya tekan." "Uf,
Uf!" sahut temannya.
Hanya kata-kata itu saja yang diucapkannya, akan tetapi sudah cukup jelas untuk
menyatakan maksudnya. "Ya, kebencian itulah musuh yang telah menaklukkan saya," demikian ketua suku
itu menyambung perkataannya. Walaupun Tokvi Kava adalah orang yang sangat
congkak, akan tetapi rasa lapar itu akhirnya membawa keinsafan sampai ia
mengecam dirinya sendiri.
"Sekiranya saya tidak menghina Old Shatterhand, sekiranya saya berdiam diri saja
dan menantikan saat yang baik kemudian untuk membalas dendam, maka orang kulit
putih itu tentu tidak akan merampas kuda, senjata dan jimat kita. Maka dengan
diam-diam kita dapat bersembunyi di dekat perkemahan Firewood dan di sana
menunggu kedatangan musuh-musuh kita untuk menyergapnya. Maka sudah tentu mereka
akan kita tangkap." "Nah itu benar belaka. Tetapi apa gunanya kita menyesali diri; kita ada di sini
dengan nasib seburuk ini dan kita menderita lapar. Sudah beberapa lamanya kita
berjalan kian ke mari untuk mencari daging, akan tetapi tidak menjumpai buruan
seekor pun sehingga terpaksa memakan 'kalebas' yang jijik itu. Apabila usaha
teman-teman kita untuk memasang jerat tidak berhasil juga, maka tak lama lagi
kita akan mati kelaparan. Berapa banyak peluru Anda?"
"Paling banyak hanya untuk sepuluh tembakan."
"Kalau begitu Ik Senanda hari ini juga harus datang, kalau tidak kita akan mati,
sebab... Uf!" Demikian ia memenggal perkataannya. "Apakah itu?" tanya Tokvi
Kava. "Lihatlah ke arah itu!" jawab temannya dengan kegirangan, sambil menunjuk ke
arah mudik. Ketua suku Comanche memalingkan mukanya ke arah yang ditunjukkan
oleh temannya dan sesaat kemudian wajahnya berseri-seri.
"Bison!" katanya dengan berbisik.
"Ya, enam ekor! Seekor jantan, tiga ekor betina dan dua ekor anak!" "Nah, kini
kita akan memperoleh daging!"
Dengan segera ia mencekau bedilnya, akan tetapi tangannya gemetar, entah karena
letih, entah karena gugup. "Tangan Anda gemetar," kata temannya. "Kalau Anda
tidak tenang, maka lenyaplah harapan kita untuk memperoleh daging."
"Diam! Itu tadi akibat lapar, akan tetapi nanti tangan saya tidak akan gemetar
lagi." "Binatang-binatang itu pergi ke sungai; mereka akan datang ke mari, sebab angin
ke mari pula arahnya, sehingga mereka tak akan mencium bau kita."
"Ya, itu betul. Marilah kita bersembunyi di bawah semak-semak itu."
Mereka menyuruk-nyuruk pergi ke semak-semak yang letaknya dekat pada tempat
mereka. Dengan hati yang berdebar-debar mereka mengamat-amati gerak-gerik kawanan bison
itu. Binatang-binatang itu berjalan dengan lambat sekali, bahkan kadang-kadang ada
yang berhenti untuk memakan rumput, kadang-kadang ada pula yang menengadahkan
kepalanya ke langit mencium-cium udara kalau-kalau ada musuh di dekatnya.
Bison yang jantan sudah tua sekali, akan tetapi badannya masih kuat. Dagingnya
tentu liat. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya sama sekali bagi orang yang
kelaparan, sebab dagingnya tidak dapat dimakan. Walaupun begitu Tokvi Kava tahu
bahwa bison jantan itulah yang harus ditembaknya lebih dahulu, sebab sekiranya
ia hanya mengindahkan mutu daging dan menembak lebih dahulu seekor betina, maka
kedua orang Indian itu akan terancam bahaya yang besar, sebab tak dapat tidak
bison jantan itu akan menyerang mereka.
Kawanan bison itu makin mendekat kepada sungai; yang jantan di muka sekali,
diikuti oleh yang betina dan anak bison. Kini jauhnya hanya kira-kira tigapuluh
langkah saja dari tempat orang-orang Indian bersembunyi, tetapi kawanan itu
tidak menaruh curiga. Mereka rupa-rupanya mengandalkan ketajaman pancaindera pemimpinnya.
Kini Tokvi Kava membidik; tangannya tidak gemetar lagi akan tetapi tidak segera
melepaskan tembakan, sebab bison jantan itu pada saat itu menghadap kepadanya.
Ia menunggu kesempatan sampai bison itu memalingkan kepalanya. Setiap Indian dan
setiap pemburu yang berpengalaman tahu bahwa tembakan yang dilepaskan dari
samping lebih banyak memberi pengharapan akan mengenai jantung buruannya.
Tembakan serupa itu selalu membawa maut.
Kawanan itu mendekat kira-kira sepuluh langkah lagi, tetapi dengan tiba-tiba
seekor betina berhenti, menengadahkan kepalanya ke langit serta mendengus-
dengus. Mendengar dengus itu bison jantan memalingkan kepalanya dan pada saat
itu lepaslah tembakan Tokvi Kava. Bison jantan itu menggigil, kemudian tegak
tanpa bergerak lalu rebah. Tembakan itu mengenai jantungnya.
Dalam pada itu Tokvi Kava dengan cepat mengisi lagi bedilnya. Mendengar tembakan
maka bison-bison betinanya melarikan diri. Anak bison yang seekor mengikuti
induknya, akan tetapi yang seekor lagi mendekati bison jantan yang sudah mati.
Melihat itu induknya segera kembali serta menggeser-geserkan hidungnya kepada
anak bison untuk memberi isyarat supaya lekas lari. Pada saat itu Tokvi Kava
melepaskan tembakannya yang kedua dan bison betina itu jatuh tersungkur.
Kini kedua orang Indian itu bangkit lalu keluar dari tempat persembunyiannya
seraya bersorak-sorak. Dengan cepat mereka mendekati mangsanya. Anak bison itu
melompat-lompat kian ke mari dan dengan sekali pukulan tangkai bedil rebah
pulalah anak bison itu. "Uf, uf, uf!" teriak ketua suku. "Saudara merah saya melihat, bahwa saya tidak
gemetar. Kedua peluru itu tepat mengenai jantungnya. Sekarang banyak daging untuk orang-
orang kita." "Ya, daging bison betina itu bagus," kata temannya. "Akan kita sembelihkah
binatang-binatang itu sekarang?"
"Tidak, sebab pekerjaan itu akan makan waktu agak lama. Kita akan membawa
prajurit-prajurit kita ke sini."
"Adakah tidak lebih baik, bahwa seorang akan pergi, dan seorang lainnya akan
tinggal di sini untuk menjaga daging bison-bison itu?"
"Ya, pendapat itu bagus, Tokvi Kava akan pergi, saudara saya boleh tinggal di
sini." "Tetapi Tokvi Kava hendaknya meninggalkan bedilnya."
"Tidak mungkin, sebab saya memerlukannya sendiri. Di daerah ini tidak ada
musuh." "Oleh karena itu Tokvi Kava pun tidak memerlukan bedil, sedangkan saya harus
melawan burung-burung elang dan ajag-ajag yang tertarik oleh bau daging."
"Ah itu betul, saudaraku. Inilah bedil saya, saya tinggalkan kepada Anda."
Tokvi Kava memberikan senjata itu kepadanya. Dengan selera besar ia melihat lagi
ketiga ekor bison yang telah tertembak mati itu, maka berangkatlah ia. Bison
jantan itu beratnya lebih dari seribu kilogram.
Tokvi Kava berjalan menuruti tepi batang sungai kecil. Jalannya cepat dan kurang
berhati-hati, oleh karena ia yakin bahwa di daerah itu tidak ada musuh.
Setelah berjalan dua mil, sampailah ia pada tempat di mana orang-orang dari suku
Comanche duduk-duduk dan berbaring-baring dengan muka yang memperlihatkan
kelelahan dan kelaparan. Orang-orang itu telah meninggalkan Firewood Camp dengan
cara tidak terhormat. Beberapa orang yang pagi-pagi hari pergi melihat jerat-
jerat yang telah di pasang, ternyata kembali dengan tangan hampa.
Ketika orang-orang itu melihat Tokvi Kava datang sendirian tanpa bedil dan
kawannya, maka dengan gembira mereka berharapan, bahwa ketua mereka itu mendapat
untung pada perburuannya. Mereka serentak berdiri seraya berteriak: "Adakah
Tokvi Kava telah menembak apa-apa" Ada daging?"
"Ya. Saya telah menembak mati seekor bison jantan, seekor betina dan seekor
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya." Demi mendengar kabar yang sangat menggembirakan itu, mereka bersorak-sorak
kegirangan, sehingga tidak melihat bahwa seorang penunggang kuda telah datang
mendekat. Orang itu adalah Ik Senanda, cucu Tokvi Kava.
Ia telah disuruh pergi oleh kakeknya untuk mencari makan dan senjata yang sangat
diperlukan prajurit-prajuritnya. Dengan demikian ia tidak mendengar tentang
nasib buruk yang menimpa orang-orang Comanche di Firewood Camp. Dalam
pandangannya kakeknya adalah ketua suku yang tidak terkalahkan oleh siapapun
juga. Tokvi Kava berdaya upaya menutupi peristiwa yang memerosotkan martabatnya
sebagai ketua suku itu. Andaikata ia memiliki senjata-senjata dan kuda-kuda,
niscaya ia akan dapat menangkap lagi Winnetou, Old Shatterhand dan pengikut-
pengikutnya. Peristiwa itu tentu akan memperbaiki namanya yang telah begitu
menurun. Betapa kecewa hatinya, ketika ia melihat bahwa cucunya muncul kembali tanpa
membawa apa-apa, baik kuda maupun senjata. Dibawanya dia ke tempat yang agak
menyendiri dari prajurit-prajuritnya dan dengan suara parau ia bertanya:
"Cucuku, manakah kuda-kuda itu?"
"Saya tidak mendapatkannya."
"Manakah seratus pucuk senapan dan pisau yang sangat saya butuhkan?" "Tidak
ada." "Apakah yang kau bawa?"
"Hanya beberapa pucuk bedil, pisau, mesiu, peluru dan pakaian baru untuk kakek."
"Tidak ada lainnya lagi?"
"Tidak." "Kalau begitu, cucunda berbuat lain daripada yang saya perintahkan." "Saya telah
bertindak seperti kakek perintahkan kepada saya." "Adakah Anda telah
menceriterakan apa yang telah terjadi di Firewood Camp?" "Tidak, saya tidak
berceritera apa-apa. Tetapi umum telah mengetahuinya."
"Siapakah yang memberitahukan kepada mereka, kalau tidak Anda sendiri" Jika saya
tahu orangnya, tidak akan saya beri ampun dia. Akan saya scalp dia."
Dari tangannya yang dikepal-kepalkan dan dari kedua belah matanya yang menyala-
nyala orang dapat melihat, bahwa ia sedang mendidih karena kemarahan.
"Kakek tidak akan mendapatkan scalp, oleh karena kereta api orang kulit putihlah
yang menyiarkan berita itu dan dia lebih cepat dari kaki kuda."
"Adakah kereta api itu juga datang pada suku Naiini-Comanche?"
"Tidak, akan tetapi dia lewat tidak jauh daripada mereka dan pada tiap-tiap
setasiun orang-orang kulit putih menyiarkan berita itu yang didengar pula oleh
prajurit-prajurit kita."
"Uf! Itulah bencana yang dibawa oleh air api dan kereta api ke daerah orang
merah. Ah, tidak lama lagi semua orang di antara kedua lautan ini akan tahu,
bahwa Tokvi Kava telah kehilangan rambut dan obat-obatnya! Nama saya yang
tersohor itu akan hilang lenyap seperti asap ditiup angin. Tetapi saya akan
membalas dendam kepada mereka yang telah menghina saya."
"Kakek, Anda adalah orang termasyhur dan akan tetap termasyhur. Kita akan
menangkap Old Shatterhand dan kawan-kawannya orang Apache. Mereka harus
menyerahkan scalp dan obat-obatan mereka. Barulah Anda dapat pulang ke daerah
perburuan abadi." "Uf! Adakah itu tidak dapat sekarang?"
"Tidak!" "Sudahkah itu dibicarakan?"
"Ya, oleh prajurit-prajurit yang tertua dan yang bijaksana."
"Adakah saya diasingkan oleh mereka?"
"Ya." "Uf! Uf!" keluh Tokvi Kava sambil menutup mata dengan kedua belah tangannya.
Sesudah beberapa saat ia membuka matanya lagi dan bertanya: "Mengapa Ik Senanda
hanya membawakan pakaian bagi saya?"
"Saya tidak berani."
"Adakah Anda juga dilarang membawakan kuda bagi saya." "Ya."
Tokvi Kava melihatkan cucunya dengan air muka ketakutan dan bertanya dengan
suara yang hampir tidak dapat didengar:
"Tidak dapatkah saya memperoleh kembali kuda jantan saya, si Mustang Hitam, yang
lebih berharga daripada jiwa saya sendiri?" "Tidak."
Tokvi Kava meloncat karena kemarahan yang memenuhi dadanya dan hendak berteriak-
teriak, tetapi seketika itu juga Ik Senanda mengacungkan jarinya seraya berkata:
"Kakek adalah seorang kepala suku yang besar. Seorang prajurit besar harus
pandai menahan diri bagaimanapun perasaan yang dikandung dalam hatinya.
Prajurit-prajurit kita di sana itu tidak boleh melihat, bahwa kepalanya lupa
daratan." "Ya, cucunda benar! Teman-teman saya yang tidak setia akan mendapat pembalasan
yang setimpal. Adakah yang hendak Anda katakan?"
"Tidak, kakek adalah orang yang memberi perintah, saya hanya tinggal
menjalankannya. Apa yang Anda katakan selalu benar, oleh karena itu harus kita laksanakan."
Kata-kata Mestis itu sangat sopan dan merendahkan diri, dan disertai sikap,
bahwa seluruh pikiran dan tenaganya diserahkan kepada kakeknya. Tetapi orang
yang mempunyai mata tajam seperti Winnetou atau Old Shatterhand, akan melihat
bahwa mulut dan air mukanya menggambarkan hati nuraninya yang palsu dan ingin
berkuasa. Sebenarnya orang peranakan itu mengharapkan sepenuhnya, bahwa ia pada
suatu waktu akan menjadi ketua suku Naiini.
Setelah kedua orang itu selesai bercakap-cakap, maka kembalilah mereka mendekati
orang-orang Indian lainnya.
Dari gerak-gerik dan sikap kakek dan cucunya itu, prajurit-prajurit dapat
menduga, bahwa kesialan telah menimpa diri mereka. Sekarang mereka tak ada kuda
dan senjata, sedangkan perut mereka telah berkeroncongan karena kelaparan.
Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, senapan-senapan yang ada dibagi-bagikan
kepada beberapa orang Indian yang pandai menembak. Ketika mereka sampai di
tempat di mana ketiga bison itu telah mati, maka dalam waktu yang sangat singkat
binatang-binatang itu telah dipotong-potong dagingnya, dan dimakan dengan
lahapnya. Setelah mereka kenyang, berangkatlah mereka untuk membalas dendam kepada musuh-
musuhnya, orang-orang putih dan orang-orang Apache.
VII. MENUJU KE ESTRECHO DE CUARZO
Jalan yang ditempuh ialah mengikuti jalan batang sungai kecil menuju hilir dan
kemudian membelok ke Selatan sepanjang kaki pegunungan Sierra Moro.
Berjalan kaki adalah pekerjaan hina bagi orang-orang Comanche yang galibnya
senantiasa menunggang kuda.
Di antara mereka hanya Ik Senandalah yang memiliki seekor kuda. Kuda itu
didapatnya dari orang-orang Naiini sebagai hasil pertukaran dengan kuda putihnya
yang dicurinya di Rocky Ground. Untuk menghemat kekuatan kudanya, maka peranakan
itu berjalan kaki di sampingnya.
Pada hari senja rombongan orang Comanche itu sampai di suatu padang yang banyak
rumputnya. Di situ mereka menemukan jejak beberapa puluh penunggang kuda. Mereka
adalah orang kulit putih, oleh karena kuda mereka bersepatu besi. Sebagai orang-
orang alam, orang-orang Indian itu dapat mengetahui dari jejak kuda-kuda itu,
bahwa orang-orang kulit putih itu belum ada sejam berselang lewat di tempat itu.
Betapa gembiranya orang Comanche karena sekarang timbul harapan lagi akan
memperoleh kuda dan senjata. Oleh sebab itu besar keinginan mereka mengejar
orang-orang putih itu. Pada waktu matahari akan terbenam, terlihatlah bahwa jejak rombongan penunggang
kuda itu masuk ke pegunungan. Ketika Tokvi Kava melihatnya, berkatalah ia kepada
cucunya: "Orang-orang kulit putih ini cerdik juga untuk bermalam di pegunungan. Di tanah
rendah api unggun akan nampak dari jauh. Akan sukarlah bagi kita sekarang untuk
menyerang mereka." "Pshaw! Jumlah orang kita jauh lebih besar, ada tiga kalinya. Jika dengan
kekuatan tidak berhasil, maka dengan tipu muslihat."
"Bagus, cucuku. Hanya Anda tak boleh lupa, bahwa orang-orang kita kehilangan
tenaganya karena lapar. Kita lebih dahulu harus mengintai perkemahan orang kulit
putih." Di lereng-lereng gunung tumbuh semak-semak di mana orang-orang Comanche memilih
tempat pemberhentiannya. Tokvi Kava dan Ik Senanda meninggalkan rombongannya
setelah hari menjadi gelap untuk mencari tempat perkemahan orang-orang kulit
putih. Dari bau asap yang diciumnya mereka tahu, bahwa tempat orang putih itu tidak
jauh lagi letaknya. "Kita sudah dekat!" bisik Tokvi Kava. "Kita tunggu sampai hari menjadi gelap
gulita." Setelah dua jam matahari terbenam, maka mendekatlah dua orang Indian itu.
Terdengar suara air berkericik dalam sungai kecil. Di antara batang-batang pohon
terlihat cahaya api unggun. Di sekelilingnya duduk-duduk orang putih, sedangkan
dua orang lainnya berjaga di dekat kuda-kuda mereka, dengan bedilnya siap sedia.
Dengan tidak membuat suara yang sekecil-kecilnyapun kedua orang Indian itu
berhasil menyusup sampai jarak beberapa langkah, sehingga mereka dapat melihat
dengan terang dan mendengar pembicaraannya.
Yang sedang berbicara adalah seorang yang telah berusia lanjut, berambut dan
berjanggut putih. Air mukanya adalah bukti bahwa ia adalah banyak pengalamannya
dan petualangannya. Kata-katanya bersemangat dan tegas, seolah-olah merupakan
perintah seorang militer. Teman-temannya berkata "Baginda" terhadapnya. Orang-
orang di sekelilingnya adalah jauh lebih muda daripada "Baginda", akan tetapi
cukup berpengalaman di daerah Barat ini.
Yang termuda di antara mereka adalah seorang pemuda berambut pirang, dinamai
"Tall Hum". Kepada orang tua itu pemuda itu berkata:
"Baginda nampaknya merasa aman di sini, karena tidak memasang penjaga-penjaga di
sekitar kita. Ini adalah daerah orang Comanche, yang sanggup membunuh kita
semua." "Janganlah khawatir, Tall Hum. Tidak ada seorang kulit merah yang berani
melemparkan saya dari singgasana saya ini. Apalagi saya dikelilingi oleh
tigapuluh orang kesatria yang gagah berani. Tetapi Tall Hum, Anda benar. Setelah
habis makan, kita akan menempatkan penjaga-penjaga di tempat-tempat, yang tiap-
tiap jam harus diganti. Mereka hendaknya jangan duduk-duduk melainkan berjalan
kian ke mari. Dengan begitu tiap-tiap orang dapat tidur tujuh jam. Kita akan
bertindak demikian, sampai kita tiba di San Juan Mountains."
"Kita semua akan menjadi jutawan di situ," kata Hum sambil tertawa.
"Ya, saya kira."
"Oleh karena saya telah kehilangan harta warisan paman saya, maka saya ingin
pula menjadi kaya di Colorado." "Hum, bagaimanakah duduk perkara warisan itu"
Coba ceriterakanlah!"
"Ya, paman saya memang tidak meninggalkan uang sepeser pun bagi saya. Dia pandai
bermain sandiwara, seolah-olah ia adalah seorang kaya raya. Ayah saya, walaupun
seorang pekerja yang cakap, tidak mencapai sukses dalam hidupnya. Ketika ayah
saya berpulang, ia hanya meninggalkan utang saja. Paman saya tidak beranak
sendiri, maka ia menunjuk saya sebagai ahliwarisnya. Akhirnya paman itu
meninggal juga dan warisannya adalah sebuah peti uang yang kosong dan sebuah
buku kas. Buku itu saya pelajari. Ternyata bahwa paman saya adalah orang yang
tidak jujur. Uang yang tiap bulan diterimanya dari ayah saya, dipakainya untuk
kepentingan diri sendiri. Setelah akhirnya ayah saya, sebelum ia meninggal
dunia, mengetahui kecurangan adiknya, ia bermaksud tidak akan membuka rahasia
paman saya. Jadi uang yang semestinya menjadi hak saya, hilang tak keruan
rimbanya." "Siapa nama pamanmu?"
"Ah buat apa saya tahu itu."
"Ai, ai, nama keluarga Anda sama bukan" Dan Andapun tidak pernah mengatakan, apa
arti nama Hum, dan apa nama keluargamu."
"Buat apa" Nama itu membuat jengkel saya saja." "Mengapa?"
"Ya, karena nama itu hanya untuk ditertawakan saja, apalagi di Amerika."
"Sudahlah, Hum! What's in a name! Tentang warisan yang lenyap itu, janganlah
khawatir. Anda akan mendapat seratus kali lebih banyak nanti di San Juan Montains di
Colorado." "Tentang itu saya yakin, Baginda. Dan Baginda adalah orang yang lain daripada
paman saya." "Peta tambang emas itu ada dalam saku saya. Apabila kita telah menemukannya,
kita akan menjadi amat kaya, meskipun tidak sekaya, andaikata tambang Bonanza
dari Hoaka jatuh ke tangan kita."
"Saya sering mendengar nama itu. Bonanza adalah kata Spanyol atau Inggris dan
Hoaka adalah kata Indian."
"Memang. Tentang artinya saya tidak tahu. Belum pernah saya menjumpai orang
putih atau merah yang dapat menerjemahkannya. Tetapi Bonanza adalah suatu
kenyataan. Ratusan pencari emas telah mencoba mencarinya, dan beberapa dari
mereka telah menemukan gumpalan emas di dekatnya. Di mana tempat yang sebenarnya
tidak ada yang tahu. Kita sekarang berada di daerah Bonanza itu. Andaikata kita
secara kebetulan menemukannya!"
Semua orang yang mendengarkannya serempak mengeluarkan teriakan gembira.
Begitulah besar daya tarik emas di daerah Barat Amerika.
"Meskipun demikian, ada orang-orang yang mengenal Bonanza itu, tetapi tidak
pernah mengambil kekayaannya," kata Baginda.
"Ah, betulkah" Siapa itu orang-orangnya?"
"Ya, benar. Ada orang-orang Indian, yang merahasiakan daerah emas itu karena
rasa benci mereka kepada orang kulit putih. Apabila mereka membeli sesuatu dari
seorang kulit putih, maka mereka membayarnya dengan butir-butir emas murni yang
diambilnya dari tambang itu. Saya pernah berjumpa dengan seorang pastor di
Albuquerque, yang sekali peristiwa bertemu dengan seorang Indian di Estrecho de
Cuarzo. Pastor itu memberikan kepadanya roti dan daging karena ia kelaparan.
Maka Indian itu membalasnya dengan sebutir emas yang beratnya ada limapuluh
gram. Di dalam kantongnya masih ada butir-butir yang lebih besar lagi."
Orang-orang yang mengelilinginya berteriak-teriak kegirangan. Salah seorang
bertanya: "Adakah pastor itu menanyakan tempat asal emas itu?"
"Ya, tetapi tidak mendapat jawaban dari Indian itu."
"Di mana letak Estrecho de Cuarzo, Baginda" Apa artinya itu?"
"Kata itu bahasa Spanyol dan berarti tanah sempit kwartsa. Kwartsa ialah suatu
jenis batuan, yang biasanya mengandung emas. Di tanah sempit itu dahulu ada air
terjun yang menggugurkan batuan dan melepaskan emasnya. Akhirnya butir-butir itu
terkumpul dalam legok-legok. Kalau orang memikirkan harta yang berjuta-juta itu,
ia bisa menjadi gila."
Ceritera itu menyebabkan kegemparan pada pendengarnya. Akhirnya orang tua itu
berkata: "Mari tuan-tuan. Penjagaan harus segera diatur Yang tidak berjaga, harus mencari
tempat tidurnya dengan bedilnya siap-siap di sampingnya."
Tidak lama kemudian sepilah suasana di perkemahan itu.
Mustang Hitam mengajak Ik Senanda meninggalkan tempat pengintaian itu. Setelah
agak jauh, bertanyalah ia:
"Dapatkah cucu mendengar semuanya?"
"Ya." "Saya tidak semuanya, tetapi mengertilah semua pembicaraan. Besok hari kita akan
memperoleh kuda, senjata dan scalp orang-orang putih itu. Uf!"
"Tetapi, kakek, orang-orang itu bukan anak-anak kecil."
"Saya akan menyerangnya juga."
"Kalau saya, malam ini saja kita laksanakan."
"Cucu berbicara sebagai anak muda. Saya orang tua, lebih berhati-hati. Anda
tahu, penjagaan sangat keras, dan yang tidur pun selalu siap-sedia. Saya tidak
ingin mengorbankan prajurit-prajurit saya menjadi umpan peluru." "Lalu, apakah
rencana kakek?" "Saya tidak tahu di mana letak Bonanza, tetapi saya tahu letak Scapo-Gaska kita
(tempat menimbun emas)." "Uf," teriak Ik Senanda, "Untuk apa tempat itu?"
"Jika Anda hari ini pergi ke sana, maka besok pagi-pagi hari Anda akan sampai di
Estrecho de Cuarzo. Saya bersama prajurit-prajurit lainnya malam ini juga akan
menuju ke sana." "Kita akan sampai bersamaan dengan orang putih."
"Kita tiba lebih dahulu dari mereka. Dengarkanlah apa yang saya katakan ini.
Anda mengambil butir-butir emas dari Scapo-Gaska kita dan hendaknya Anda dengan
sengaja ditangkap oleh orang-orang kulit putih. Jika mereka melihat emasmu,
mereka akan menanyakan di mana letak Bonanza. Setelah menolak mengatakannya,
akhirnya Anda bawalah mereka ke Estrecho, di mana kita akan mengepungnya,
sehingga mereka tidak dapat meloloskan diri."
"Uf", seru Ik Senanda. "Itu akal si Old Shatterhand dahulu."
"Ya, pahlawan yang cerdik mau juga belajar dari musuhnya. Kita akan menyediakan
kayu bakar banyak-banyak. Apabila orang-orang kulit putih berada di Estrecho,
maka kayu itu akan kita nyalakan dan mereka akan terkurung seperti kita dahulu
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Gua Birik." "Dengan demikian orang kulit putih akan membunuh saya," kata Ik Senanda. "Mereka
akan tahu, bahwa saya membawanya ke suatu perangkap."
"O, tidak. Saya tidak akan membiarkan Anda terancam oleh bahaya. Sebab Anda
dalam pada itu harus sudah melarikan diri."
"Kalau saya diikat, bagaimana?"
"Saya akan berunding dengan mereka. Saya akan melepaskan mereka, apabila mereka
suka melepaskan Anda." "Bukankah maksud kakek akan membunuh orang-orang itu,
agar dapat memperoleh kudanya dan senjatanya?" "Memang, itu rencana saya. Dan
rencana itu saya laksanakan setelah Anda dibebaskan. Terhadap orang-orang kulit
putih kita tak perlu menepati janji kita."
"Baiklah. Nanti prajurit-prajurit Comanche akan memuji keberanian saya, bahwa
saya telah mempertaruhkan jiwa dan kebebasan saya untuk menjebak orang-orang
kulit putih." "Marilah kita kembali!"
Ketika kedua orang merah itu tiba di tempat teman-temannya, berceriteralah
Mustang Hitam tentang apa yang dilihat dan didengarnya dan apa rencananya.
Karena banyak pikiran, maka orang-orang kulit merah itu tidak dapat tidur dan
mengaso lagi. Kuda, senjata dan scalp orang putih membuat mereka tetap jaga.
Beberapa menit kemudian berangkatlah mereka ke Estrecho de Cuarzo, sedangkan Ik
Senanda berjalan menuju ke Scapo-Gaska.
Jalan yang mereka tempuh adalah lebih jauh dan penuh dengan rintangan-rintangan,
sedangkan yang lebih baik dan ringan akan dilewati orang-orang kulit putih pada
keesokan harinya. Dengan demikian orang-orang putih itu tidak akan menjumpai
jejak orang-orang Comanche.
Di bawah pimpinan Mustang Hitam sendiri orang-orang Indian itu berjalan
sepanjang malam, sepanjang jurang yang dalam dan batu-batu yang curam. Setelah
matahari menampakkan wajahnya, berhentilah mereka barang sejenak untuk mengaso
dan makan daging bison yang mereka bawa. Kira-kira tengah hari sampailah mereka
di suatu tempat dekat Estrecho.
Daerah di mana Estrecho itu terletak dapat digambarkan sebagai berikut. Sebuah
dataran tinggi yang sempit berjalan dari Barat ke Timur. Di atasnya tumbuh
semak-semak. Pada ujungnya yang di sebelah Timur, dataran itu dipotong oleh
sebuah jurang yang terjadi karena erosi dan kekuatan vulkanis. Maka bagian yang
terpotong itu merupakan tebing yang curam dan gundul. Tebing itu terdiri dari
batu-batu kwartsa yang berdiri hampir tegak lurus di atas tanah di
sekelilingnya. Inilah yang dinamai Estrecho de Cuarzo, yang menurut Sri Baginda
dibentuk oleh sebuah air terjun.
Orang-orang Comanche mencari tempat persembunyian dalam hutan di dekat tebing
itu dan menjaga jangan sampai membuat jejak-jejak kakinya. Tokvi Kava memerlukan
memeriksa daerah sekitarnya kalau-kalau ada orang lain, dan ketika ia kembali di
tempat kawan-kawannya, mereka sedang mengumpulkan kayu bakar.
Sebentar kemudian datanglah Ik Senanda yang membawa butir-butir emas seperti
telah diperintahkan Mustang Hitam. Setelah ia menyerahkan emas itu kepadanya,
maka menghilanglah ia untuk menjalankan tugasnya yang sangat berbahaya, yaitu
dengan sengaja ditangkap oleh orang kulit putih. Dengan hati berdebar-debar
orang-orang kulit merah itu menunggu kedatangan rombongan orang kulit putih.
Baginda dengan kawan-kawannya sama sekali tidak mengira-ngirakan akan adanya
bahaya yang mengancam mereka. Orang-orang itu tidur sampai hari menjadi terang
dan ketika meninggalkan tempat perkemahan mereka tidak seorangpun melihat jejak
kedua orang Indian yang mengintai gerak-gerik mereka malam sebelumnya. Rombongan
berjalan terus sampai lewat tengah hari, kemudian berhenti untuk melepaskan
lelah dan makan siang. Pada kira-kira jarak tiga mil dari Estrecho, menurunlah
jalannya menuju ke sebuah lembah di mana terlihat sebatang pohon kayu saja.
Pemimpin rombongan yang berjalan di depan bersama Hum, menunjuk kepada pohon itu
dan berkata: "Saya kenal pohon di kejauhan itu. Dari situ masih satu jam berjalan lagi,
kemudian kita akan sampai di Estrecho."
Teman-temannya yang berada di belakangnya melihat ke arah pohon itu dan seorang
daripada mereka yang memiliki mata tajam berkata: "Baginda, kecuali pohon, saya
pun melihat seekor binatang atau seorang manusia."
"Ai, seorang manusia saja di daerah yang begini sepinya" Dia tentunya seorang
petualang, yang hendak mencari Bonanza juga. Marilah kita ke sana, akan kita
tanyai dia!" Setelah dekat, ternyata bahwa orang itu sedang tidur nyenyak sekali di bawah
pohon, sehingga ia tidak mendengar orang-orang datang.
Di antara ikat pinggang dan bajunya terselip sebuah pundi-pundi dan dari ujung
pundi-pundi itu nampak sebatang emas yang berkilau-kilauan.
"Astaga!" teriak pemimpinnya. "Orang ini membawa kepingan emas. Melihat
kulitnya, ia adalah seorang peranakan, seorang Mestis. Kita telah dekat pada
Estrecho!" Karena suara orang-orang makin riuh terbangunlah orang itu. Demi ia melihat muka
orang-orang kulit putih, maka bangkitlah ia dengan tiba-tiba. Ia memegang
kantongnya, seolah-olah barang itu akan terjatuh dari ikat pinggangnya. Orang
itu tidak lain daripada Ik Senanda yang sungguh dapat bermain sandiwara di depan
orang-orang kulit putih yang haus akan emas itu. Ia telah sejak sejam yang lalu
menunggu kedatangan mereka dengan pura-pura tertidur dan telah meletakkan
kantong yang terisi dengan emas sedemikian sehingga orang-orang kulit putih
dapat segera melihatnya. Usaha Senanda menjerumuskan mereka ke dalam perangkap nampaknya akan berhasil
baik. Pemimpin rombongan itu bertanya: "Hai, siapa kau, orang setengah merah?"
"Yato Inda, tuan." Nama itu telah kita kenal di Firewood Camp dahulu.
"Yato Inda" artinya "orang baik." Siapa ayahmu?"
"Pemburu kulit putih."
"Dan ibumu?" "Anak orang Apache."
"Untuk apa kamu mengembara di daerah Comanche ini di mana tidak ada terdapat
orang-orang Apache?"
"Saya diusir suku saya, orang-orang Apache."
"Mengapa?" "Karena saya bersahabat dengan orang kulit putih."
"Hm, jadi engkau semacam orang buangan. Hal itu cocok benar, karena kau hanya
membawa pisau, dan bedilmu telah dirampas."
"Yato Inda akan membeli sebuah dari orang kulit putih." "Tetapi kau harus
mempunyai uang." "Yato Inda tidak memerlukan uang."
"Mana boleh" Kau kira, orang mau memberikan bedil secara cuma-cuma?"
"Tidak. Tetapi orang kulit putih mau juga menerima emas untuk bedil dan air api
(brandy)." "Ha! Air api, engkau suka meminumnya juga?" "Ya, tentu."
"Jadi kau ada butir-butir emas?"
"Saya tidak punya, tetapi saya akan mencarinya sampai ketemu." "Adakah engkau
mencari Bonanza yang termasyhur itu?"
Dengan muka bodoh Ik Senanda menjawab: "Adakah saudara saya orang putih pernah
mendengar juga tentang Bonanza" Anda kirakah itu omong kosong belaka?"
"Ya, sebab tidak mungkin sekian banyak emas terdapat di suatu tempat." "Uf!
Memang itu bukan ceritera khayal. Bonanza itu betul-betul ada!" "Di mana?"
"Saya tahu tempatnya... uf, uf!"
Ia seolah-olah terkejut telanjur mengeluarkan kata-kata itu. "Saya pernah
mendengar, bahwa itu memang ada."
Mendengar jawab itu, Baginda menjadi marah, mencekau lengan Ik Senanda dengan
tangan kanannya seraya berteriak:
"Ayo, jangan membohong, kau tahu di mana letak Bonanza. Katakanlah sekarang,
kalau tidak..." "Saya tidak tahu... betul tidak tahu... tidak boleh berceritera
kepada siapa saja." "Jangan membohong, ayo katakan!" "Tidak, tidak!"
"Bedebah kau! Awas, saya akan membuktikan, bahwa kau membohongi saya!"
Secepat kilat pemimpin itu menarik pundi-pundi dari ikat pinggang Ik Senanda,
sehingga isinya berjatuhan di tanah. Seperti serigala menerkam mangsanya, maka
orang-orang kulit putih yang berdiri mengelilingi kedua orang itu, melompat dan
berebutan mencari butir-butir emas itu. Baginda memegang Ik Senanda pada kedua
lengannya dan diangkatnya dia ke atas seraya berteriak:
"Pembohong engkau. Dari mana kamu mengambilnya ini?"
Mestis itu seolah-olah menjadi bisu karena ketakutan. Dengan terputus-putus
jawabnya: "Saya... menemukannya... di hutan!"
"Omong kosong! Masa sekantong emas dibuang begitu saja dijalan! Kau telah
mengambilnya dari Bonanza! Ayo, katakan di mana itu."
Ik Senanda hanya bergeleng-geleng kepala saja.
Karena telah jengkel hatinya, maka Baginda mengeluarkan ancaman:
"Kau saya beri waktu satu menit. Kalau tidak mau mengaku juga, kepalamu akan
saya hujani peluru!"
Dan pada saat itu juga, semua senapan diarahkan ke kepala Ik Senanda. Dengan
suara ketakutan ia merintih:
"Biarkan saya hidup. Tadi saya tak membawa kuda dan senjata, dan telah
meninggalkan suku saya, tetapi tuan-tuan hendak menghabisi nyawa saya juga."
"Karena bohongmu! Tetapi kalau engkau mau membuka rahasia Bonanza, engkau dapat
tetap hidup. Dan dengan demikian kau membalas dendam terhadap sukumu!"
"Ya, dendamku belum hilang. Tetapi apa gunanya saya menunjukkan tempat Bonanza
itu kepada Anda" Anda semuanya akan merampas emas yang ada di situ dan akan
melupakan saya, sedangkan saya tidak mungkin lagi hidup bersama suku saya."
"Jangan khawatir, kita akan membagi sama banyak. Anda separo, kami separo.
Berapa banyak di situ?" "Uf! Limapuluh ekor kuda belum cukup untuk
mengangkutnya." "Astaga!"
teriak orang-orang kulit putih bersama-sama. "Betulkah itu" Bilamana engkau
melihatnya?" tanya Baginda. "Telah berulang-ulang. Yang terakhir pagi tadi."
"Saudara-saudara, dengarlah itu! Saya minta agar kepala Anda tetap dingin. Tidak
lama lagi kita semua akan menjadi jutawan. Sampai mati emas kita tidak akan
habis. Dengan harta itu kita dapat membeli seluruh negeri Amerika Serikat. Dan
orang Mestis ini hanya ingin membeli bedil dan brandy! Saudara saya Yato Inda
akan memperoleh separo dari semua emas nanti dan dapat minum air api sebanyak ia
kehendaki!" "Kalau saya telah menerima bahagian saya, tentunya saya akan Anda bunuh juga
untuk memperoleh harta saya."
"Ah, jangan berkhayal. Kami orang-orang yang jujur dan tahu membalas budi. Kami
tidak akan melupakan jasa-jasamu. Bawalah kami sekarang ke tempat itu."
Dengan teriakan dan kata-kata kegirangan rombongan itu akhirnya menuju ke
Estrecho de Cuarzo. Hanya seorang dapat menahan perasaannya, yaitu si Tall Hum.
Ketika teman-temannya agak tenang, ia berseru:
"Tuan-tuan dan gentlemen. Kita semua menghadapi suatu peristiwa yang hanya
terjadi sekali saja dalam hidup kita di dunia ini. Harap tuan-tuan tetap menjadi
orang jujur. Kepada Mestis ini kita telah berjanji akan memberikan separo dari kekayaan itu.
Hendaknya kita nanti menepati janji kita."
"Ya, ya, ya, tentu, tentu," sahut orang-orang itu sambil tertawa.
Tetapi orang-orang yang sudah haus akan harta dunia itu, tidak akan menghargai
jiwa seorang peranakan meskipun ia telah berjasa.
"Karena saya yang menjadi penunjuk jalan, maka tuan-tuan tidak perlu berjalan
jauh." "Adakah Bonanza itu terletak di Estrecho?"
"Ya." "Ah kalau begitu, tanpa Anda kami dapat menemukannya juga."
"Tidak mungkin, meskipun dicari beberapa tahun lamanya," jawab Ik Senanda. Dalam
hatinya ia sangat gembira bahwa rencananya menjebak orang-orang itu berjalan
sangat mudah. Dari tigapuluh satu orang itu hanya Hum yang tetap tenang dan diam. Ia meragukan
bahwa teman-temannya akan menepati janjinya. Ketika ia berjalan di samping
Baginda ia berkata: "Sir, orang ini telah sanggup menyerahkan separo dari harta itu kepada kita.
Jika kita mengingkari janji kita, kitalah yang boleh disebut penjahat."
"Ya, saya tidak pernah tidak jujur. Tetapi terhadap orang Indian kita tidak
perlu bersikap jujur. Dan peranakan seperti misalnya Yato Inda ini, lebih licik,
lebih jahat dan lebih curang daripada orang kulit merah. Kalau kita sudah
menemukan Bonanza itu, dia saya suruh pergi saja."
"Tanpa bahagiannya?"
"Buat apa ia diberi" Itu adalah suatu kebodohan saja dari kita."
"Saya tidak ingin melihat, ia ditipu mentah-mentah oleh orang kulit putih."
"Jangan mencoba Anda mengalang-alangi kami semua! Anda hanya seorang diri saja.
Dan tidak berdaya apa-apa." "Jangan dikira." "Apa maksudmu?"
"Itu tergantung daripada kejujuran Baginda." "Anda mengancam saya?"
"Ya, jika Anda tidak jujur terhadap peranakan itu."
Winnetou menamakan emas selalu "debu kematian" (deadly dust), karena beberapa
kejadian adalah bukti, bahwa logam mulia itu menyebabkan banyak kecelakaan dan
kesedihan. Juga di sini dirasakan pengaruh jahat yang meliputi orang-orang yang
semula adalah bersifat baik-baik.
Baginda, yang dahulu dipuja-puja oleh Hum karena sifatnya sebagai pemimpin,
sekarang melemparkan rasa persahabatannya dan dengan muka yang membenci ia
berseru: "Awas, jika Anda hendak memberi peringatan kepada peranakan itu dan mengalang-
alangi maksud kita. Anda akan merasakan peluru saya."
Selesai dengan kata-kata itu, ia mempercepat kudanya hingga sampai di depan
rombongan. Hum tinggal sendirian, di belakang, bahkan akhirnya ia turun dari kudanya dan
berjalan kaki menuju Estrecho.
Ketika ia mengarahkan matanya, ke gunung batu yang membatasi Estrecho, maka
dengan sangat terkejut ia melihat bayangan-bayangan berjalan kian ke mari yang
berasal dari orang-orang Indian. Dan pada saat itu nampaklah olehnya api
menjilat-jilat ke atas dibarengi teriakan-teriakan orang Indian.
Untunglah bagi Tall Hum bahwa hari telah mulai menjadi gelap, sehingga orang-
orang Indian itu tidak dapat melihatnya. Mereka mengira, bahwa semua orang kulit
putih dengan tidak ada kecualinya telah masuk perangkap. Untuk dapat menolong
teman-temannya, Hum harus berhati-hati sekali, jangan sampai ia tertangkap pula.
Oleh sebab itu ia menjauhkan diri dari Estrecho dan membuat jalan mengeliling ke
arah Timur. Setelah ia menemukan tempat persembunyian, di mana ia dapat menambatkan kudanya,
maka ia mengeluarkan kepalanya dari belakang sebuah batu besar dan mengarahkan
matanya ke Barat. Terlihat olehnya api menyala-nyala di depan pintu masuk ke
Estrecho. Pada sebelah yang satu nampak gerak-gerik orang-orang Indian dan pada
sebelah yang lainnya berdiri teman-temannya yang telah terkurung oleh puluhan
orang kulit merah. Ketika ia melihat ke atas, nampak olehnya orang-orang Indian
yang mendaki lereng-lereng tebing yang tinggi.
Salah seorang daripadanya, barangkali ketua sukunya berseru:
"Letakkan semua senjata Anda. Mundurlah sampai di sebelah belakang Estrecho.
Barangsiapa menembak kepada kami, maka akan mati di tiang siksaan. Mereka yang
menyerah, akan tetap hidup dan akan kami merdekakan."
Tall Hum berpikir-pikir apa yang harus ia kerjakan untuk menolong teman-
temannya. Setelah ia menemukan sesuatu, maka berlarilah ia mengelilingi sebuah batu besar.
Sekonyong-konyong keluarlah seorang dari tempat gelap berseru:
"Hai, berhenti kamu. Kalau tidak, akan saya tembak kamu!" Dari suaranya Hum
dapat tahu, bahwa orang itu adalah bangsa kulit putih.
Tanpa memikirkan dalam-dalam tentang munculnya orang kulit putih di tempat itu,
Hum menjawab: "Jangan mengalangi saya. Saya harus segera menolong teman-teman
saya!" Tetapi belum juga ia melangkah lebih jauh, keluarlah orang kedua dari balik
sebuah batu besar dan menempeleng Hum di kepalanya, sehingga pemuda itu roboh
pingsan. Pembaca akan kita ajak mengikuti perjalanan rombongan orang-orang kulit putih di
bawah pimpinan Baginda. Dengan Yato Inda sebagai penunjuk jalan mereka memasuki
Estrecho de Cuarzo. Tak ada syak wasangka terhadap Mestis yang berjalan di depan
mereka. Pada tempat yang agak gelap, peranakan itu berhenti dan berkata:
"Tuan-tuan silakan turun dari kudanya dan mengikat kaki depan binatang-binatang
itu. Saya akan membuka pintu tambang emas itu dan tuan-tuan segera akan melihat
Bonanza di dalamnya."
Ik Senanda berlutut di tanah dan seolah-olah mulai menggali batu-batu yang
menutupi Bonanza. Ketika Baginda melihatnya, maka ia berkata:
"Baik saya sajalah yang menggalinya."
Dan seketika itu juga ia mulai menyingkirkan batu-batu dari dalam tanah dengan
kedua tangannya. Dalam kesibukan itu ia tidak melihat, bahwa Yato Inda dengan
diam-diam meninggalkan tempat itu dan keluar dari pintu belakang Estrecho. Di
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luar pintu sudah siap berdiri orang-orang Comanche dengan obor di tangannya
untuk menyalakan kayu bakar.
"Uf!" kata Tokvi Kava dengan puas. "Mereka telah masuk perangkap kita. Cucu saya
adalah benar-benar cakap dan berani."
Di dalam tanah sempit hari sudah mulai gelap, sehingga Baginda tidak dapat
melihat apa-apa lagi. "Kita harus membuat api; kayu di sini ada cukup banyak." Kata-kata itu ditujukan
kepada Yato Inda yang disangkanya masih ada di situ.
Oleh karena tidak ada jawab, maka dipanggilnya dia sampai beberapa kali. Juga
teman-temannya tidak mengetahui ke mana perginya peranakan itu.
Bagaikan disambar petir Baginda merasa, bahwa ia dan rombongannya telah ditipu
oleh Mestis itu dan dibawa ke dalam perangkap yang telah dipasangnya.
"Kita harus segera ke luar dari sini," perintahnya.
Bersama-sama mereka menuju ke pintu, tetapi dengan terkejut mereka berhenti,
karena di depan lobang itu menyala-nyala api besar. Di balik api itu mereka
mendengar teriak dan pekik orang-orang kulit merah.
"Teman-teman, kita terkurung dan masuk ke dalam perangkap orang-orang Comanche.
Saya kenal suaranya. Ini adalah pekerjaan si keparat Yato Inda! Ambillah kudamu!
Dengan berlari cepat, kuda kita akan dapat melompati api itu!"
Ketigapuluh orang itu naik ke atas kudanya, tetapi sesampainya di pintu,
ternyata bahwa tempatnya tidak cukup luas untuk mengambil ancang-ancang.
Dalam kegelisahan itu mereka mendengar suara pemimpin orang-orang kulit merah:
"Berhenti! Tahukah orang-orang kulit putih siapa yang berbicara ini" Saya...
Tokvi Kava, ketua suku Comanche, mengepalai tigaratus orang Indian. Kalau tuan-
tuan mau, dapat satu per satu melewati api ini, tetapi satu per satu pula akan
kami tembak!" "Astaga, Tokvi Kava!" kata Baginda. "Ia akan mengambil scalp kita nanti. O,
Tuhan, lindungilah jiwa kami!" Tokvi Kava berkata lagi:
"Jika orang kulit putih hendak melawan kami, maka akan kami tumpas semuanya.
Apabila menyerahkan diri dan senjatanya, akan kami biarkan hidup." Baginda
menjawab: "Mengapa saudara kami Mustang Hitam menganggap kami sebagai musuhnya" Kami belum
pernah berbuat apa-apa. "
"Semua orang kulit putih adalah musuh orang kulit merah. Berikanlah semua bedil
itu kepada kami!" "Cobalah ambil sendiri. Kami akan membuktikan, bahwa kami
masih dapat mempertahankan diri, meskipun telah terkurung rapat-rapat."
"Uf! Lihatlah di atas gunung itu berdiri seratus orang Indian yang siap dengan
senapannya dan segera akan memuntahkan pelurunya."
"Benar-benar celaka kita," bisik Baginda. Dan dengan suara yang nyaring,
serunya: "Saudara saya Tokvi Kava, saudara termasyhur karena keberaniannya dan
keadilannya. Saya yakin bahwa terhadap kami, Saudara tidak akan mempunyai rasa
permusuhan, karena kami orang-orang yang baik dan jujur. Kami sedia berunding
dengan saudara." "Datanglah kemari!"
"Itu tidak mungkin, karena kami hanya ada tigapuluh orang. Jika Tokvi Kava tidak
datang kepada kami, maka orang mengira bahwa ia adalah pengecut dan tidak begitu
banyak jumlah pengikutnya." "Apabila kami datang ke situ, kami akan Anda
tangkap." "Tidak, percayalah. Orang yang sedang mengadakan perundingan tidak boleh kami
ganggu atau kami tangkap." "Berjanjilah kepada Tuhanmu, bahwa Anda tidak akan
menangkap saya." "Kami berjanji sungguh-sungguh."
Sesudah api itu agak dijauhkan dari tebing batu, maka lewatlah Mustang Hitam
itu, mendekati orang-orang kulit putih.
"Insafkah orang-orang kulit putih, bahwa tidak ada gunanya melawan kami?"
"Tidak." "Orang-orang kulit putih ini sungguh bodoh. Tidak seorangpun dapat mendaki
tebing yang terjal ini. Pengikut-pengikut saya di atas itu telah mengarahkan
mulut bedilnya ke bawah."
"Pshaw. Kami tidak gentar menghadapi seratus pucuk bedil. Kami dapat bersembunyi
di bawah batu-batu besar ini."
"Baiklah! Kami akan menjaga Estrecho ini di luar lubang. Dan orang-orang kulit
putih akan kami biarkan mati kelaparan dan kehausan seperti tikus dalam
perangkap. Tetapi, jika mereka menyerahkan diri sekarang bersama senjatanya,
kami sedia memberikan ampun!"
"Kami bukan penjahat untuk diberi ampun. Apakah kesalahan kami?"
"Pshaw! Tokvi Kava tidak perlu menunjukkan kesalahan-kesalahan orang kulit
putih. Kami telah menyatakan perang terhadap semua orang kulit putih, sehingga
tiap-tiap orang putih harus kami bunuh di tiang siksaan. Kami sudah sangat
berbaik hati, menyanggupkan kemerdekaan kepada tawanan kami. Putuskanlah
segera!" Baginda menyahut lagi: "Tokvi Kava menghendaki bahwa kami harus menyerah. Betulkah kami akan tetap
hidup dan bebas?" "Ya, saya berjanji," kata ketua suku, meskipun dalam hatinya
akan mengingkari janjinya itu. "Jadi, apakah syaratnya, apabila kami menyerah?"
"Berikanlah bedil-bedil dan pisau-pisau Anda." "Kuda-kuda kami juga?"
"Tidak perlu. Prajurit-prajurit Comanche telah mempunyai kuda-kuda yang jauh
lebih bagus." "Dan milik kami lainnya?"
"Pshaw. Juga itu tidak kami kehendaki."
"Jika kami tidak bersenjata lagi, kami tak dapat berburu binatang dan tak
berdaya menghadapi musuh."
"Jangan khawatir. Di dekat sini ada benteng bangsa kulit putih, di mana Anda
dapat memperoleh senjata baru. Lekas putuskan, kami tidak dapat menunggu lama-
lama lagi." Orang-orang kulit putih merasa gelisah. Oleh karena mereka berpendapat, bahwa jiwa mereka lebih berharga daripada senjatanya, maka diputuskan
akan menyerahkan semua bedil, pistol, pisau dan peluru mereka kepada orang-orang
Indian. Ketika Tokvi Kava mendengar keputusan itu, ia tertawa:
"Itulah putusan yang sangat bagus. Letakkan semua senjata di dekat api. Jika
kami telah memadamkannya dan mengambil senjata-senjata itu, maka Anda dapat
pergi atau tinggal di sini."
Akan tetapi sekonyong-konyong terjadi sesuatu yang menggagalkan ini semuanya.
Orang mendengar suara barang jatuh sepanjang dinding batu dan sesaat kemudian
sosok tubuh orang Indian jatuh terlentang di dasar Estrecho.
"Uf, uf!" teriak kepala suku. "Ia tentu tidak berhati-hati, sampai ia
terjatuh..." Belum lagi selesai kalimatnya, tubuh yang kedua jatuh pula di samping yang
pertama, diikuti yang ketiga. Orang-orang tercengang melihat kejadian yang
sangat aneh itu, ketika tiba-tiba terdengar suara: "Tuan-tuan harap menyisih,
sayalah yang melemparkan ketiga orang itu dari atas tebing."
Manusia yang seolah-olah turun dari udara itu, berpakaian kulit, bertopi lebar,
bersepatu laars dan menyandang dua pucuk senapan.
Tokvi Kava mengenal suara itu. Ia berteriak seakan-akan ia melihat hantu: "Hai,
Old Shatterhand! Uf..., uf!"
"Ya, betul. Untunglah saya datang pada saat yang sangat genting ini."
Pada saat itu juga Tokvi Kava melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan dirinya,
tetapi secepat kilat kedua tangan Old Shatterhand telah mencekaunya pada
lehernya dan menempelengnya hingga ia roboh tak sadar akan dirinya lagi.
"Tuan-tuan, mudah-mudahan saya tidak mengganggu perundingan tuan."
"Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa orang yang termasyhur di seluruh daerah
Barat ini telah jatuh di depan kami seperti malaikat dari langit." "Adakah tuan
mengenal saya?" "Ya, dua tahun yang lalu saya melihat tuan di "Spotter Tail Agency" di mana tuan
bertaruhan dalam hal menunggang kuda."
"Saya tidak tahu, bahwa tuan ada di situ. Siapa nama tuan?" "Orang menamai saya
Baginda." "Ah, ya, tuan terkenal sebagai penunggang kuda yang ulung dan pencari jejak yang
pandai. Mengapa tuan sampai tertangkap oleh Mustang Hitam dan cucunya dan masuk
ke dalam perangkapnya?" "Cucunya?"
"Ya, peranakan yang tuan jumpai dijalan tadi siang adalah Ik Senanda atau Yato
Inda. Ayahnya adalah orang kulit putih dan ibunya adalah anak ketua suku Comanche."
"Astaga! Tetapi, Sir, bagaimana tahunya Anda bahwa kami dibawa ke sini?"
"Kami menemukan jejak rombongan Anda dan peranakan itu. Dia dan kakeknya telah
mengintai Anda dan mendengar percakapan rombongan orang-orang kulit putih."
"Ah, apa betul" Kami sungguh-sungguh orang bodoh. Bahkan kami sudah hendak
menyerahkan semua senjata kami kepada orang-orang Indian."
"Ya, kebodohan yang sangat besar," kata Old Shatterhand.
"Tetapi kami terpaksa, dan kami lebih suka tetap hidup meskipun tanpa senjata."
"Justru tanpa senjata itu Anda akan lebih mudah dibunuh oleh mereka."
"Mereka telah sanggup tidak akan membunuh kami."
"Lidah tidak bertulang, Baginda! Berapa orang Indian mengurung rombongan ini?"
"Tiga ratus, masing-masing memegang bedil."
"Ah, hanya kira-kira seratus orang dan bedilnya tidak lebih dari selosin,
kudanya hanya dua ekor." "Gila mereka," seru Baginda. "Besar mulut mereka! Kalau
kami tahu, kami dapat menumpasnya. Akan dipengapakan (diapakan) kepala suku
ini?" "Kita akan menunggu sampai dia sadar kembali."
"Maukah Anda menceriterakan kepada kami, bagaimana Anda dapat muncul di tempat
ini?" "Kami telah berjumpa dengan Mustang Hitam dengan prajurit-prajuritnya di
Firewood Camp dan di Gua Birik. Setelah mereka menyerahkan kuda dan senjata
mereka kepada kami, mereka meneruskan perjalanan mereka dengan berjalan kaki.
Mereka mengira bahwa kami menuju ke Santa Fe. Dijalan mereka akan menuntut balas
kepada kami, tetapi kami dapat mengikuti jejak mereka."
"Bagaimana itu dapat" Anda toh berkuda?"
"Ya, oleh karena mereka berjalan kaki, mereka dapat melewati gunung-gunung,
sedangkan kami harus mengambil jalan mengeliling. Kita telah menemukan tempat
mereka memotong-motong daging tiga ekor bison dan tempat rombongan Anda
bermalam. Akhirnya kami sampai juga di dekat Estrecho ini."
"Berapa orang rombongan Anda?"
"Hanya enam orang."
"Hee?" "Ya betul! Kami sanggup menghadapi seratus orang Comanche yang tidak bersenjata
itu. Seperti Anda lihat, saya sendiri ada membawa pembunuh-beruang saya, senapan
Henry, dua revolver dan empatpuluh peluru. Dan di sana ada seorang lagi yang
melebihi seratus orang Comanche."
"Siapa dia?" "Winnetou." "Winnetou, ketua suku Apache" Ha, kalau begitu, kami semua merasa aman. Old
Shatterhand dan kawan-kawannya telah menolong jiwa kami. Terima kasih."
"Kami telah mengepung Estrecho ini. Dalam pada itu kami tadi telah menempeleng
salah seorang dari rombongan Anda yang bernama Hum."
"Ya, ya, pemuda itu sungguh baik hati dan lebih sehat pikirannya daripada kami
semua." "Kami tadi mendaki lereng ke atas dan dari situ kami dapat melihat semua yang
terjadi di dalam Estrecho. Dengan sebuah lasso saya hendak turun ke bawah,
tetapi tiga orang Indian melihat saya bergerak. Terpaksa saya menjotosnya hingga
mereka jatuh terbentur di dasar Estrecho. Rombongan Anda tertolong semua, sebab
di belakang barisan orang-orang Indian, berdiri siap kawan-kawan saya dengan
bedilnya." Tidak lama kemudian Tokvi Kava bangun dari pingsannya dan dipaksanya dia
menceriterakan apa yang telah dilakukan, semenjak ia meninggalkan Firewood Camp.
Oleh karena ia telah bermaksud jahat terhadap orang-orang yang tidak berdosa,
maka bersama cucunya ia mendapat hukuman dera sebanyak duapuluh kali pukulan
dengan kayu di atas punggungnya.
Dengan perasaan dendam akhirnya kedua orang itu meninggalkan Estrecho diikuti
oleh prajurit-prajuritnya.
Oleh karena tidak ada lagi bahaya yang mengancam, rombongan itu duduk-duduk di
sekitar api unggun, sambil menceriterakan pengalaman masing-masing. Ketika
disinggung kata Bonanza, maka Old Shatterhand berkata: "O, jadi Anda bermaksud
mencari Bonanza?" "Ya, Sir! Bukankah Bonanza itu tersembunyi di Estrecho ini?"
"Ha, ha! Tahukah Anda arti Bonanza?"
"Tidak. Belum pernah saya menjumpai orang yang tahu akan artinya."
"Ada juga orangnya, misalnya Winnetou dan saya. Hoaka adalah bahasa Acoma,
artinya: langit, sorga. Jadi "Bonanza dari Hoaka" berarti "Bonanza dari sorga."
Orang-orang kulit putih mencari Bonanza itu di daerah ini, dan kerapkali harus
mengorbankan jiwanya, sedangkan mustinya hanya terdapat di sorga. Begitulah
ceritera itu hidup dari mulut ke mulut, dalam dongeng-dongeng kuno dan akhirnya
didengar pula oleh pencari-pencari emas dan petualang-petualang."
"Ya karena dongeng hampa saja kami hampir-hampir kehilangan jiwa kami."
"Tetapi Tokvi Kava dan Ik Senanda sudah cukup diberi hukuman dera. Saya
sebenarnya tidak begitu setuju dengan hukuman jasmaniah. Pada orang yang
berperasaan halus hukuman itu menyebabkan gangguan jiwa dan melukai perasaan
harga diri. Tetapi, memang ada oknum-oknum yang perlu diberinya, karena kata-
kata saja dianggapnya angin belaka. Quod erat Damon stratus.*" kata-kata itu
diucapkan Hobble-Frank dalam suasana khidmat.
(*Kata-kata itu salah, mestinya: Quod erat demonstrandum-yang dapat dibuktikan)
Tall Hum tahu sifat si Hobble-Frank yang suka memakai kata-kata asing tetapi
tidak tahu benar artinya. Maka ia menyela:
"Permisi Mister Frank! Kalimat itu seharusnya: 'Quod erat demonstrandum'."
"Ai, anak muda, Anda mau lebih pintar dari orang yang telah lebih banyak makan
garam ini" Tahukah Anda siapa nama saya?"
"Ya, tentu, Mr. Frank."
"Frank" Hanya Frank saja" Saya dahulu dibaptis dengan nama Heliogabalus Morpheus
Eduardus Frank, pemburu prairi dari Moritzburg. Orang yang mempunyai nama yang
panjang dan besar seperti saya, tidak mau menerima peringatan-peringatan dari
seorang anak muda. Katakanlah siapa nama Anda?"
"Hum." "Hum" Hum..." Itu bukan nama orang. Tidak ada manusia yang suka mengambil nama
seaneh itu." "Memang. Tetapi saya tidak suka mengucapkan nama saya yang sebenarnya, karena
alasan estetika." "Ha, tentu nama Anda sangat jelek. Beranikah Anda mencela nama saya yang indah
ini: Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank" Kalau begitu, datanglah di kantor
pencatatan jiwa, mintalah nama Anda diubah kepada David Makabeus Timpe."
Ketika Tall Hum mendengar nama itu, ia bertanya keheran-heranan:
"Dari mana mister mendapat nama itu?"
"Saya" Itu bukan nama saya. Saya tidak akan memilih nama semacam itu. Andaikata
saya bernama Timpe, saya akan bunuh diri ke dalam laut."
"Tetapi, kenalkah mister Frank orang dengan nama Timpe?" "Ya, saya kenal dua
orang yang bernama begitu." "Di tanah air Anda?"
"Tidak, negeri Jerman akan dicemarkan oleh nama-nama itu. Tetapi di Amerika
sini." "Di mana?" "Di Rocky Ground."
"Mereka masih diam di sana?"
"Tidak, sekarang mereka tinggal di sini, di Estrecho. Itulah orangnya yang
namanya Has dan Cas." Hum berpaling kepada kedua pemuda itu dan bertanya:
"Betulkah nama Anda Timpe?"
"Ya, saya bernama Casimir Obadja Timpe, dan itu, saudara sepupu saya Hasael
Benyamin Timpe." "Di mana Anda dilahirkan?"
"Di Plauen, daerah Saksen. Mengapa Anda tertarik kepada nama Timpe?" "Karena
saya mengenal orang yang bernama Timpe pula." "Di mana" Jawab Anda sangat
penting bagi kami." "Mengapa Anda berdua meninggalkan Saksen?"
"Kami pergi ke Amerika untuk mencari warisan kami. Kami telah ditipu orang."
"Ditipu" Oleh siapa?" "Seorang sanak telah melarikan diri dengan membawa warisan yang menjadi hak kami
itu. Ia bernama Nahum Samuel Timpe dan diduga ia ada di Santa Fe. Oleh sebab itu kami
pergi kesana untuk membekuk batang lehernya." "AU devils. Dari siapa warisan
itu?" "Dari paman kami yang bernama Josef Habakuk Timpe, yang telah meninggal dunia
tanpa mempunyai anak-turun."
"Tuan-tuan, ceritera Anda amat penting bagi saya. Bagaimana Anda tahu, bahwa
paman itu meninggalkan warisan?"
"Dari kedua saudara sepupu kami di Plauen yang bernama Petrus Micha Timpe dan
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Absalon Markus Timpe. Mereka masing-masing menerima seratus ribu thaler*."
(*Uang Jerman dahulu. Kata thaler mirip dengan dollar.) "Dan sekarang Anda
berdua ada di Amerika untuk mencari bagian Anda." "Ya, berapa surat sudah kami
kirimkan, tetapi sia-sia saja."
Sambil tertawa terbahak-bahak, Tall Hum berkata: "Anda sekarang hendak ke Santa
Fe, bukan" Itu tidak perlu! Orangnya ada di sini, di Estrecho."
"Hee" Di mana" Siapa?" teriak Has dan Cas bersama-sama.
"Saya orangnya. Nama saya telah saya singkat, dari Nahum menjadi Hum. Lengkapnya
Nahum Samuel Timpe. Tangkap sajalah saya, saudara sepupu yang curang."
Has dan Cas tidak berbuat apa-apa karena keheran-heranan. Hobble Frank
menghendaki Hum digantung saja. Semua pasang mata ditujukan kepada Hum.
Akhirnya Hum membuka rahasia warisan keluarga Timpe dengan ceriteranya yang
singkat: "Ketika paman Josef Habakuk meninggal dunia, ia hanya meninggalkan surat-surat
di antaranya sepucuk yang berasal dari saudara-saudara sepupu kita, di Plauen.
Mereka beruntung menarik lotre seratus ribu thaler dan ingin mempermainkan
keluarga-keluarga Timpe di Plauen dan Hof karena mereka selalu hidup bermusuhan.
Uang tersebut dikatakannya adalah warisan dari paman Habakuk yang ada di
Amerika. Anda semua percaya akan ceritera kosong itu, dan mengira bahwa bagi
Anda ada pula harta tersedia. Anda hanya kecele, akan tetapi sayalah yang
sebenarnya kehilangan warisan yang menjadi hak saya. Ayah saya tiap bulan selalu
mengirimkan uang kepada paman Habakuk dengan maksud, agar uang itu dapat
dijalankan sehingga menjadi banyak, dan akan diwariskan kepada saya. Tetapi
ternyata, bahwa semua uang itu dipakainya sendiri. Tetapi baiklah kita semua
tidak usah merindukan harta yang belum diridhakan oleh Tuhan. Kita masih muda,
masih kuat dan penuh semangat. Di Amerika kita akan menjadi kecukupan, asal mau
bekerja keras secara jujur."
"Cocok, cocok!" sela Frank "Memang, ketika saya melihat bentuk kepala Hum ini,
saya sudah mengira, bahwa di dalamnya ada terdapat otak, bukan bubur atau pasir.
Hendaknya Anda mendirikan persekutuan usaha dengan nama 'The Timpe Company'.
Saya yakin, bahwa darah muda dan merah yang mengalir di tubuhmu itu akan membuat
besar usaha itu. Dan apabila kelak Anda melihat lagi muka saya yang istimewa
ini, katakanlah: 'Ha itu si Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank!' atau dengan
singkat Hobble Frank. Selesai!
Howgh." TAMAT Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net Gadis Buronan 1 Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Pendekar Setia 8
meringankan dan keadaan-keadaan yang memberatkan. Dalam menjatuhkan hukuman dera
bagi Ik Senanda, kita dapat memperhitungkan pula keadaan-keadaan yang
meringankan dan keadaan-keadaan yang memberatkan, akan tetapi dalam hal ini
sedikitpun saya tidak melihat adanya keadaan-keadaan yang meringankan, melainkan
hanya ada keadaan yang memberatkan belaka."
"O, jadi yang kau maksud ialah agar kita mempergunakan tongkat pemukul yang
berat?" "Bukan itu maksud saya. Dari pengalaman saya sendiri saya tahu bahwa tongkat
yang kecil dapat menimbulkan sakit yang lebih hebat daripada tongkat yang besar.
Tongkat yang besar hanya mengenai kulit bagian luar saya, tetapi tongkat yang
kecil dapat menusuk sampai ke bagian-bagian yang lebih dalam, yang terletak di
bawah kulit. Jadi mempergunakan tongkat yang besar boleh jadi berarti
meringankan hukuman. Tidak, maksud saya lain benar. Hukuman itu harus diperberat
dengan menimbulkan rasa takut yang sehebat-hebatnya. Ik Senanda kini ada di
dalam sumur. Bagaimana kita dapat memperberat hukumannya" Sumur itu akan kita
isi dengan air hingga air itu sampai kepada bibirnya.
Niscaya ia akan mengira bahwa kita hendak membuat ia mati lemas. Dengan begitu
bukan buatan takutnya. Kita biarkan bedebah itu menderita sakit kira-kira satu
jam lamanya. Sesudah itu kita tarik dia ke atas. Karena pakaiannya basah kuyup tentu ada
kemungkinan bahwa ia akan mendapat selesma. Itu bukan maksud kita. Maka ia akan
kita pukuli sampai pakaiannya menjadi kering. Nah, itulah hukuman yang adil,
hukuman yang setimpal baginya, hukuman yang sesuai dengan ilmu hukum dan sesuai
dengan undang-undang!"
Mendengar keterangan yang panjang lebar itu temannya tertawa gelak-gelak. Hobble
Frank menjadi marah seraya berkata:
"Mengapa Anda tertawa. Tiadakah Anda mempunyai rasa hormat terhadap orang yang
tahu ilmu hukum, seorang sarjana yang jarang didapat bandingannya di daerah
Barat ini?" Teman-temannya masih tertawa juga. Karena itu ia berpaling kepada Old
Shatterhand sambil bertanya: "Bagaimana, Mr. Shatterhand" Tiada setujukah Anda
dengan usul saya?" "Ya, Frank sahabatku. Saya setuju."
Kini Hobble Frank melihat ke sekelilingnya dengan muka yang berseri-seri, yang
menyatakan kebanggaan bahwa usulnya disetujui oleh pemimpinnya.
Dalam pada itu kereta api telah masuk ke stasiun Rocky Ground. Semuanya
berlangsung dengan selamat, hanya mereka mengalami kesukaran ketika mereka harus
menurunkan kedua ekor kuda milik Hobble Frank dan Droll, sebab kuda Indian itu
tidak biasa kepada alat pengangkutan yang modern. Tetapi dengan bantuan orang-
orang yang ditinggalkan di stasiun Rocky Ground akhirnya kuda itu dapat
diturunkan tanpa mendapat luka atau cacat sedikitpun. Demi insinyur Swan
bertanya kepada pegawai-pegawainya yang tidak ikut serta ke Gua Birik, adakah
semuanya beres dan tidak ada terjadi hal-hal yang istimewa, maka seorang dari mereka menggaruk-
garuk kepalanya seraya menjawab dengan agak malu:
"Ya, Sir. Oleh karena Anda menanyakannya, maka terpaksalah saya memberitahukan
bahwa ada sesuatu yang terjadi. Ada seekor kuda dicuri orang."
"Kuda yang mana?" tanya semua orang serempak.
Pembaca tentu mengerti bahwa pemberitahuan itu sangat mengejutkan mereka semua.
Oleh karena para pekerja kereta api tidak mempunyai kuda, maka kuda yang dicuri
itu tak dapat tiada tentu salah seekor daripada tunggangan keenam pemburu
prairi. Sekiranya kuda itu tunggangan Winnetou atau Old Shatterhand, maka
peristiwa itu merupakan suatu bencana. Karena itulah maka dengan hati yang
berdebar-debar sekali orang menantikan jawab pekerja tadi.
"Kuda putih tuan-tuan."
Lega hati semuanya mendengar keterangan itu. Frank bertanya:
"Adakah yang Anda maksud kuda putih yang berbintik-bintik hitam lehernya sebelah
kanan?" "Ya, Sir."
"Alhamdulillah," serunya. "Droll, itu kudamu yang selalu tergelincir dan yang
menyebabkan engkau kemasukan pulau Ischia. Syukur! Kuda itu boleh dicuri orang,
sebab Droll sudah memperoleh gantinya yang jauh lebih baik."
"Jangan engkau terlalu lancang mengutarakan pendapatmu, Frank," demikian Old
Shatterhand menegur sahabatnya. "Dalam hal ini yang penting bukanlah kuda,
melainkan pencurinya. Saya sudah dapat menduga siapa yang mencuri kuda itu.
Bukankah itu tawanan kita orang peranakan, yang kita simpan di dalam sumur?"
"Ya, Sir," jawab orang itu dengan kemalu-maluan.
"Bagaimana ia mungkin ke luar dari sumur" Itu hanya mungkin oleh kelalaian
Anda." "Kelalaian itu akan saya hukum berat!" seru insinyur Swan.
"Saya sudah menempatkan seorang penjaga di tepi sumur. Di mana penjaga itu, saya
tidak ada melihat dia."
"Karena sangat takut ia sudah melarikan diri dan baru akan kembali apabila
amarah Anda sudah reda."
"Kalau begitu ia harus menunggu lama sekali. Apabila ia kembali, ia akan saya
pukuli sedemikian hebatnya sehingga tidak akan dilupakannya seumur hidupnya.
Kini pandu itu sudah lepas, akan tetapi boleh jadi ia belum jauh dan masih dapat
kita susul. Marilah kita bersiap-siap untuk..."
"Sabar, Sir, sabar!" demikian Old Shatterhand menyela. "Tidak ada gunanya kita
berbuat terlalu terburu-buru. Jikalau dugaan saya tidak salah maka ia sudah
sedemikian jauhnya sehingga kita tidak akan dapat menyusulnya. Saya kira ia
pergi ke perkemahan Firewood."
"Justru ke tempat di mana ia tahu bahwa kami ada di sana" Itu mustahil! Gila dia
apabila berbuat begitu."
"Pshaw, ia tahu bahwa orang-orang Comanche ada dalam bahaya. Ia pergi ke sana
untuk memberitahukan bahaya itu kepada neneknya, akan tetapi untung sekali ia
terlambat datang. Bagaimana juga kini saya tahu bahwa dialah orang yang dilihat
dan ditembak oleh Winnetou di Gua Birik."
"Ya, itu pendapat saya juga," kata ketua suku Apache. "Saya hanya melihat dia
sesaat saja. Betul saya segera mengangkat senjata saya, akan tetapi demi ia
melihat bahwa saya membidikkan bedil saya kepadanya, maka dengan segera ia
menarik kepalanya sebelum tembakan saya meletus."
"Ya, tembakan Anda tiada pernah menyasar, akan tetapi sekali ini waktu untuk
menembak dengan tepat adalah terlalu singkat, tetapi biarlah bedebah itu lepas,
kelak ia tentu akan jatuh ke tangan kita kembali. Kini ia tahu bahwa orang-orang
Comanche telah kita bebaskan; tentu saja ia sudah menggabungkan diri dengan
mereka. Jikalau kita dengan sungguh-sungguh hendak menangkap dia kembali, tentu
usaha kita itu akan segera berhasil. Tetapi apa gunanya kita membuang-buang
waktu dan membuang-buang tenaga"
Bukankah ia akan kita bebaskan lagi. Hanya sekali ini ia belum mendapat hukuman
dera, akan tetapi hukuman itu kita sediakan saya untuk waktu yang lain."
"Namun begitu sedih juga hati saya," kata Frank, "maksud saya tidak sampai."
"Engkau harus belajar menahan diri dan menaruh sabar, Frank sahabatku. Kini saya
ingin mengetahui satu hal lagi: bagaimanakah orang peranakan itu dapat
meloloskan diri dari sumur. Coba ceriterakanlah kepada kami!" Pekerja kereta api
yang ditanyai itu menjadi takut dan iapun menjawab:
"Itu bukan salah saya, Sir. Anda hendaknya mempercayai saya. Itu kesalahan
Clifton yang mempunyai tugas menjaga tawanan. Ia telah tertipu oleh orang
Tionghoa." "Orang Tionghoa" Orang Tionghoa dari mana?" "Dua orang Tionghoa dari
Firewood, Mr. Shatterhand." "O, niscaya tak lain daripada pencuri bedil kami. Adakah mereka
berkuncir?" "Saya tidak melihat kuncit, akan tetapi mereka mempunyai banyak uang, dollar,
tengahan dollar dan perempat dollar. Dengan uang itu mereka pergi ke kantin dan
membeli apa-apa yang dikehendakinya." "Dan Anda tentu diajak minum brandy,
bukankah begitu?" "Bukan saya, melainkan Clifton, Sir. Ketahuilah bahwa Clifton dahulu bekerja di
perkemahan Firewood dan dengan demikian mengenal kedua orang Tionghoa itu.
Tetapi sebaiknya saya ceriterakan dengan teratur apa yang sudah terjadi."
"Itu baik. Saya ingin mengetahui adakah Anda sendiri lalai atau tidak.
Katakanlah dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi."
"Saya tak dapat berbuat lain daripada mengisahkan apa-apa yang benar-benar
terjadi, Sir. Hari sudah hampir malam dan sudah agak gelap. Pekerjaan kami telah
selesai, ketika kedua orang Tionghoa itu datang. Clifton duduk di sebelah sumur.
Tali pengikat tawanan itu ditambatkannya pada batang pohon di dekat sumur. Kedua
orang Tionghoa melihat ia duduk di sana dan oleh karena mereka kenal akan dia
maka mereka datang menghampirinya untuk memberi salam. Kami mengikuti pula sebab
kami ingin benar mengetahui untuk apa orang-orang Tionghoa itu datang ke Rocky
Ground. Kami mendengar dari mereka bahwa mereka telah meninggalkan pekerjaan
mereka di perkemahan Firewood oleh karena mereka mendapat perlakuan yang tidak
baik dan oleh karena mereka tidak merasa puas dengan upah mereka yang terlalu
kecil. Mereka sedang mencari pekerjaan di tempat lain." "Dan Anda percaya?"
tanya Old Shatterhand. "Kami tidak mempunyai alasan untuk menduga bahwa mereka berdusta."
"Alasan itu ada! Bukankah mereka mandor orang-orang Tionghoa" Bukankah itu Anda
ketahui?" "Ya."
"Nah, sebagai mandor upah mereka jauh lebih besar daripada upah teman-temannya.
Lain daripada itu Anda harus mengerti bahwa apabila mereka benar-benar minta
berhenti karena tidak puas dengan upah mereka, maka orang-orang Tionghoa yang
lainpun akan minta berhenti juga."
"Itu betul Sir. Tetapi tidak seorangpun dari kami memikirkan hal itu."
"Itu bukan suatu bukti daripada kecerdikanmu."
"Boleh jadi. Kami bukan orang yang terpelajar. Anda tidak boleh mengharapkan
dari kami bahwa kami dapat berpikir sejauh itu. Lagipula soal mereka tidak
berapa kami hiraukan, oleh karena mereka tidak bermaksud tinggal di sini,
melainkan akan meneruskan perjalanannya ke arah Timur."
"Itu dapat saya fahami. Mereka telah kehilangan kuncitnya, sehingga menanggung
malu yang besar. Jadi mereka akan pergi ke tempat di mana mereka tidak menjumpai
orang Tionghoa. Teruskanlah laporanmu!"
"Mereka hendak menunggu kedatangan kereta api serta pergi ke kantin dan minta
tempat untuk bermalam. Sebagai telah saya katakan tadi, mereka mempunyai uang;
karena itu mereka memesan minuman dan dengan demikian mereka mendapat kesempatan
bercakap-cakap dengan kami. Kami ada mengatakan kepada mereka bahwa Anda telah
datang ke mari dan kini telah pergi ke Firewood untuk melindungi penghuni
perkemahan itu terhadap serangan orang-orang Comanche. Mereka heran sekali
mendengar berita kami. Rupa-rupanya mereka tidak menyukai Anda dan Mr. Winnetou;
kesimpulan itu saya peroleh dari percakapan mereka."
"Itu tidak mengherankan. Mereka telah mencuri milik kami dan mendapat hukuman
yang setimpal. Karena itulah maka mereka meninggalkan Firewood. Mereka mendengar
bahwa kami berdualah yang telah menangkap orang Mestis itu. Karena itulah maka
terlintas pada pikiran mereka untuk membebaskan tawanan itu sebagai pembalasan
terhadap kami." "Ya, saya kira mereka hendak membalas dendam terhadap Anda. Boleh jadi juga
mereka berbuat begitu karena mereka bersahabat dengan pandu itu ketika mereka
bersama-sama bekerja di Firewood. Pendeknya, mereka memberi Clifton minuman,
brandy sebotol penuh, kemudian ditambah lagi, sesudah itu mereka pergi menemani
Clifton di tempat penjagaannya. Lama sekali mereka tinggal di sana. Kemudian
mereka masuk kembali, akan tetapi kini mengambil tempat sedemikian sehingga kami
terpaksa menutup pintu. Dengan begitu kami tidak dapat melihat ke luar, ke
tempat kuda ditambatkan. Tidak lama kemudian kami mendengar kuda meringih-
ringih, mendengus-dengus dan mendepak-depak. Kami segera pergi ke luar, walaupun
kedua orang Tionghoa itu berusaha menenteramkan hati kami dan mengatakan bahwa
bunyi kuda itu sedikitpun tidak mencurigakan. Kami melihat bahwa kedua kuda
hitam telah lepas dari tambatannya dan kuda putih yang berbintik-bintik lehernya
sudah hilang. Kami melihat pula bahwa kuda putih itu tidak melepaskan dirinya,
melainkan dibawa atau dicuri orang. Tetapi oleh siapa" Kami semuanya ada belaka,
kecuali Clifton yang menjaga di dekat sumur. Maka kami berlari-lari pergi ke
tempatnya. Di sana Clifton kami dapati berbaring di tanah. Ia mabok semabok-
maboknya dan di sebelahnya terletak tali pengikat tawanan kita. Lagipula kami
melihat bahwa tangan dan kaki Clifton telah terikat. Anda tentu maklum betapa
kami terkejut. Clifton kami bangunkan dan kami tanyai, akan tetapi ia tidak
dapat memberi jawab yang terang; rupa-rupanya ia tidak sadar akan keadaan
dirinya. Kemudian kami menyelidiki keadaan di dalam sumur. Saya diturunkan
dengan tali ke dalam sumur dan sampai di bawah saya saksikan sendiri apa yang
telah kami khawatirkan yakni tawanan kami sudah hilang."
"Sekarang semuanya sudah jelas bagi saya," kata Old Shatterhand. "Ketika Clifton
sudah mabok sama sekali, maka tawanan itu ditarik ke atas oleh kedua orang
Tionghoa dan dilepaskan dan ikatannya. Kemudian kedua orang Tionghoa itu kembali
ke kantin dan dengan akal yang cerdik sekali telah mengusahakan agar pintu
kantin ditutup. Dengan begitu mereka memberi kesempatan kepada Mestis untuk
mencuri kuda. Gelapkah tempat kuda itu?"
"Tidak, tempat itu diterangi oleh sebuah lentera."
"Karena itulah maka ia dapat melihat kuda mana yang paling baik dan sebagai
halnya dengan neneknya ia telah memilih kuda Mr. Winnetou dan kuda saya. Kuda
itu telah dilepaskannya dari tambatannya, akan tetapi memberi perlawanan serta
membuat gaduh. Agar jangan membuang-buang waktu maka diambilnya sembarang kuda yang lain yang
tidak memberi perlawanan. Kuda itu ialah kuda putih milik Mr. Droll."
"Cocok, Sir, kuda putih itu yang terdekat pada pintu."
"Ia telah memilih kuda yang paling buruk, akan tetapi ia seorang penunggang kuda
yang ulung dan daerah ini dikenalnya baik. Karena itulah maka ia telah
mendapatkan jalan ke Gua Birik dalam keadaan gelap gulita. Apa kata kedua orang
Tionghoa itu setelah tawanan kita melarikan diri?"
"Mereka tidak mengatakan apa-apa. Ya, sebenarnya mereka ada bercakap-cakap dalam
bahasa yang tidak kami fahami dan setelah kami kembali dari tempat Clifton dan
tempat kuda, maka kedua orang Tionghoa itu tidak kami dapati lagi di tempatnya."
"Ke mana mereka pergi?" tanya insinyur Swan.
"Itu tidak kami ketahui, sebab hari sudah gelap sekali."
"Kurang ajar! Mereka itu harus kita tangkap!"
"Ah, biarkan saja, Mr. Swan!" sahut Old Shatterhand. "Mereka tidak penting.
Pekerjaan kita yang terpenting telah berhasil baik: kita telah menyelamatkan
para penghuni perkemahan Firewood tanpa mendapat luka sedikitpun. Yang lain-lain
itu tidak penting sama sekali. Janganlah kita membuang-buang waktu kita yang
berharga untuk mengejar mereka."
"Hm! Sebenarnya tangan saya gatal sekali, akan tetapi saya insaf juga bahwa
pendapat Anda benar, Mr. Shatterhand. Baiklah, kita biarkan saja mereka
melarikan diri. Akan tetapi si Clifton akan mendapat upahnya! Di mana ia
sekarang" Tahukah Anda?"
"Tidak," jawab pekerja kereta api itu. "Setelah tidur beberapa jam lamanya, ia
sekonyong-konyong bangun demi ia mendengar dari kami dengan cara bagaimana ia
telah tertipu oleh kedua orang Tionghoa itu, maka bukan mainlah terkejut dan
takutnya. Ia memaki-maki, akan tetapi tidak ada gunanya sama sekali. Kemudian ia
berkata bahwa ia akan menyembunyikan diri dan tidak akan kembali sebelum amarah
Anda sudah reda. Ia mengambil barang-barang miliknya lalu pergi."
"Itu hendaknya Anda alang-alangi."
"Kami tidak mempunyai hak untuk menahan dia, bukankah begitu Sir" Ia bukan
seorang penjahat dan kami bukanlah polisi."
"Tepat," sela Old Shatterhand. "Barangkali ia tidak akan balik kembali dan
barangkali lebih baik begitu. Apa gunanya seorang pekerja yang tak mempunyai
rasa tanggungjawab bagi insinyur Swan. Dan apabila ia kembali, Mr. Swan, baiklah
ia Anda marahi sekeras-kerasnya, akan tetapi jangan ditambah dengan hukuman yang
lain. Jangan Anda mengotorkan tangan Anda pada orang sebodoh itu. Marilah kita
menengok kuda kami; sesudah itu kita makan lalu tidur, semalam suntuk kami tidak
mendapat kesempatan memicingkan mata. Besok pagi-pagi benar kami akan minta diri
kepada Anda." "Mengapa tergesa-gesa sekali?" tanya insinyur Swan. "Ketahuilah bahwa saya
girang sekali menjadi tuan rumah bagi Anda sekalian."
"Itu kami tahu. Keramahan Anda akan selalu kami kenangkan Sir, akan tetapi kini
tidak ada alasan lagi bagi kami untuk tinggal lebih lama lagi di tempat ini dan
walaupun kami tidak tergesa-gesa benar, namun bukanlah kebiasaan kami untuk
tinggal lebih lama pada suatu tempat daripada yang kami perlukan."
"Setuju sekali," seru Cas. "Kami harus pergi ke Santa Fe. Kami mencari saudara
sepupu kami Nahum Samuel Timpe yang harus kami paksa menyerahkan warisan yang
menjadi hak kami. Karena ia rupa-rupanya seorang penipu, maka niscaya ia tidak
akan lama tinggal pada satu tempat. Jikalau kita membuang-buang waktu di sini,
maka saya khawatir kalau-kalau ia sudah pergi apabila kita sampai ke Santa Fe.
Bukankah begitu, Has?"
"Tentu saja," jawab Has. "Makin cepat kita memperoleh kembali uang kita, makin
baik bagi kita. Untung benar Mr. Shatterhand dan Mr. Winnetou akan menyertai dan
melindungi kita. Dengan begitu saya yakin bahwa usaha kita akan mendapat
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sukses." Sedang kedua Timpe berbicara itu, Frank dan Droll masih berdiri di dekatnya.
Yang lain-lain telah masuk ke dalam stasiun. Oleh karena Winnetou dan Old
Shatterhand tidak dapat mendengar percakapan mereka, maka Hobble Frank segera
mempergunakan kesempatan yang baik itu untuk menonjolkan dirinya. Katanya:
"Saya tidak mengerti mengapa Anda selalu menyebut-nyebut nama orang lain. Rupa-
rupanya keluarga Timpe itu selalu berat sebelah."
"Berat sebelah bagaimana?"
"Berat ke sebelah Old Shatterhand dan Winnetou. Anda selalu memuji-muji mereka,
Anda selalu mengharapkan pertolongan mereka, tetapi tidak pernah menoleh ke arah
saya. Rupa-rupanya Anda tidak mempercayai saya." "O, kami percaya kepada Anda,
Mr. Frank," jawab Has dengan gesa-gesa.
"Itu tidak terbukti Mr. Hasael Benyamin Timpe. Kemarin saya sudah turun dari
singgasana saya serta merendahkan diri dengan menawarkan bantuan saya kepada
Anda. Saya telah menyatakan bahwa saya akan membela kepentingan Anda, bahwa saya
akan melindungi Anda sebagai orang tua melindungi anaknya. Selanjutnya saya
telah meyakinkan Anda bahwa kepentingan Anda lebih berharga bagi saya daripada
jiwa saya sendiri. Akan tetapi Anda mengabaikan tawaran saya; Anda selalu
menonjol-nonjolkan jasa orang lain! Jikalau Anda terus berbuat begitu, maka
tawaran saya boleh jadi akan saya cabut kembali."
Cas segera menepuk-nepuk bahu Hobble Frank seraya berkata:
"Mr. Frank yang baik hati, tidak ada gunanya Anda marah kepada kami. Anda telah
kami kenal baik dan kami tahu betapa besar manfaat yang akan kami peroleh dari
bantuan Anda." "Jadi Anda tahu dan Anda sudah insaf" Tetapi mengapa Anda selalu menyebut-nyebut
nama Old Shatterhand dan Winnetou, tidak sekali juga menyebut nama saya?"
"Oleh karena sudahlah sesuatu yang wajar bahwa bantuan Anda dapat kami andalkan
dan akan memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Bukankah maksud baik Anda tidak
perlu kami sangsikan?"
Wajah Hobble Frank berseri-seri; ia melambaikan tangannya seakan-akan hendak
melindungi kedua orang Timpe seraya berkata:
"Jangan khawatir, Mr. Timpe. Anda memberi saya kehormatan yang terlalu besar.
Anda tahu bahwa saya selalu rendah hati dan hanya dengan rasa segan saya mau
menerima pujian Anda. Sebaliknya tak perlu Anda bersikap terlalu rendah hati
untuk mengucapkan perasaan Anda kepada saya. Anda boleh diumpamakan biri-biri
yang memerlukan gembala dan sekali lagi saya menyatakan kesediaan saya untuk
menjadi gembala Anda. Kemana Anda pergi, Anda selalu kami ikuti dan kami amat-
amati agar keamanan dan kepentingan Anda terjamin."
"Terima kasih, Mr. Frank. Segala ucapan Anda kami setujui," jawab Cas.
"Baiklah! Marilah kita kini mengikat tali persahabatan yang kokoh. Peganglah
masing-masing tangan kiri dan tangan kanan saya, agar Anda dapat saya angkat.
Itu adalah upacara yang khidmat yang akan mengikrarkan persahabatan yang kekal."
Demikianlah maka Frank yang kecil badannya itu dengan susah payah mengangkat
kedua orang Timpe sambil mengucapkan ikrar persahabatan.
VI. BONANZA DARI HOAKA Pada suatu tempat bukit Sierra Moro bertemu dengan kepanjangan pegunungan Raton.
Di sana, di tepi sebuah sungai kecil berbaringlah dua orang Indian. Menilik air
mukanya maka yang seorang rupa-rupanya sudah lanjut usianya boleh jadi sudah
lebih daripada enampuluh tahun. Kepalanya diselubungi dengan sehelai kulit
binatang, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikannya. Pipinya cekung dan air
mukanya menunjukkan kekesalan hati. Di sebelahnya terletak sebuah bedil
perburuan. Yang seorang lagi belum seberapa tua; rambutnya jarang tetapi panjang
dan disanggulkan di atas kepalanya. Wajahnya menunjukkan perangai yang licik dan
tidak jujur. Pada ikat pinggangnya terselip sebuah pisau. Kedua orang kulit
merah itu tidak ada membawa senjata lain kecuali yang tersebut tadi. Keadaan
tubuhnya menunjukkan bahwa sudah beberapa lamanya mereka menderita lapar dan
dahaga. Pakaiannya sudah kumal dan pada beberapa tempat sudah koyak-koyak,
seolah-olah mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjahitnya atau menambalnya.
Sepatu mocassin mereka sudah hampir hancur.
Rumput yang tumbuh sebelah-menyebelah sungai itu sudah habis diinjak-injak
orang. Itu membuktikan bahwa kedua orang kulit merah itu lama sekali berjalan
hilir mudik di tempat itu. Sebuah kulit 'kalebas' yang terbuang di tanah
menunjukkan bahwa mereka terpaksa melepaskan laparnya dengan memakan buah
tersebut. Apabila seorang Indian makan buah 'kalebas', maka itu adalah suatu
bukti bahwa ia menderita lapar yang hebat sekali.
Indian yang tua menjenguk ke dalam air sambil melamun. Beberapa saat kemudian ia
menegakkan kepalanya lalu berkata:
"Uf, ada ikan di sungai ini; akan tetapi mustahil kita dapat menangkapnya dengan
tangan. Kita tidak mempunyai kail, tidak mempunyai alat-alat apapun yang dapat
kita pergunakan untuk menangkap ikan. Perut saya sakit; saya akan menjadi sakit
karena terpaksa memakan 'kalebas'."
"Lapar sayapun hampir tidak tertahan. Sekiranya kita dapat menangkap anak bison,
maka rasa-rasanya dagingnyapun belum dapat menghilangkan lapar saya," demikian
Indian yang muda itu mengeluh.
"Ya, kita sudah ditinggalkan oleh Manitou," kata Indian tua itu sambil
menggeretakkan giginya. "Tokvi Kava, ketua suku Comanche yang masyhur, yang
ditakuti oleh seluruh bangsa Indian, kini terpaksa menderita lapar! Siapakah
yang akan percaya?" "Dan salah siapakah itu" Salah Winnetou dan Old Shatterhand, kedua anjing
keparat itu. Kebuasan mereka tidak akan saya lupakan dan tidak akan saya ampuni!"
Ya, pembaca tentu sudah dapat menerkanya: Indian yang tua itu ialah Tokvi Kava
atau Mustang Hitam dan Indian yang menemaninya ialah seorang anak buahnya yang
senasib dengan dia. Ketua suku Comanche itu menampakkan wajah yang mengandung
kebencian yang tak terperikan ketika ia menjawab:
"Kedua bangsat itu harus jatuh ke tangan kita, mereka pasti akan jatuh ke tangan
kita, sebab kita tahu ke mana mereka pergi. Kita akan mencegat mereka dan akan
menyiksa coyote putih yang menyebut dirinya Old Shatterhand, yang jauh lebih
besar kejahatannya daripada Winnetou, coyote orang Apache itu. Awaslah, jangan
hendaknya mereka minta ampun apabila jatuh ke kekuasaan kita!"
"Yakin benarkah Anda bahwa kita akan dapat menangkap mereka?"
"Ya." "Jangan hendaknya Anda marah, akan tetapi sesungguhnya saya belum yakin benar."
"Mengapa belum?"
"Kita terpaksa berjalan kaki; mereka menunggangi kuda yang kuat lagi kencang
larinya." "Akan tetapi jangan engkau lupa bahwa kita menempuh jalan yang memintas, sedang
mereka harus mengambil jalan yang berliku-liku. Tokvi Kava mengetahui segala
bukit dan lembah, tidak seorangpun lebih mengenal daerah ini daripada saya. Saya
sudah membuat perhitungan yang seksama tentang jalan yang kita tempuh dan jalan
yang akan dilalui oleh musuh kita. Kita akan mendahului mereka dan apabila Ik
Senanda kembali serta membawa segala yang kita perlukan maka tak usah kita ragu-
ragukan bahwa orang Apache dan kelima orang coyote putih itu akan jatuh ke
tangan kita." "Yakin benarkah Anda bahwa Ik Senanda akan membawa segala-galanya?" "Ya."
"Kuda, mesiu, bedil, pisau, pakaian dan daging?" "Pasti."
"Akan tetapi apabila mereka di kampung mengetahui apa yang sudah terjadi, maka
niscaya mereka tidak mau memberi apa-apa. Bahkan sebaliknya, mereka tidak akan
mengakui kita lagi sebagai prajurit dan sebagai sesama mereka. Kita akan
diusirnya dari masyarakat suku kita."
"Uf! Adakah engkau mengira bahwa cucu saya sebodoh itu" Tentu saja ia tidak akan
menceriterakan apa-apa tentang nasib kita. Walaupun sebenarnya tidak perlu,
namun Ik Senanda sudah saya beri pesan agar sekali-kali jangan ia menyebut-
nyebut sesuatu tentang apa yang sudah terjadi. Ia tahu di mana kita berkemah
dewasa ini dan oleh karena kemarin ia belum datang seperti yang saya harap-
harapkan, maka hari ini ia pasti akan sampai."
"Mudah-mudahan Manitou akan memberkahi perjalanannya."
"Mudah-mudahan ia akan membawa daging. Ik Senanda telah meninggalkan bedil dan
pisaunya kepada kita supaya kita dapat berburu, supaya kita tidak terlalu
menderita lapar." "Patutkah Anda sebagai seorang prajurit mengeluh karena kelaparan?" demikian
ketua suku memarahi prajuritnya.
"Tidak ada orang lain yang mendengar ucapan saya kecuali Anda sendiri dan
Andapun menderita lapar juga. Saya tidak takut akan musuh, baik orang kulit
merah maupun orang kulit putih, saya tidak takut akan bison dan beruang, akan
tetapi lapar adalah musuh yang bersembunyi di dalam tubuh kita. Musuh itu tidak
dapat kita lawan, tidak dapat kita ajak berkelahi; siasat maupun keberanian
tidak ada gunanya terhadap musuh itu.
Orang yang paling gagah berampun dapat ditumpaskannya. Karena itu pada hemat saya bukanlah suatu noda
untuk mengeluh dan menyebut nama musuh yang sangat kuasa itu."
"Benar pendapatmu," jawab Tokvi Kava. "Musuh itu merongrong tubuhku dan
menggigit-gigit isi perutku. Benar katamu bahwa engkau tidak takut akan musuh
apapun. Demikian juga halnya dengan saya; sampai beberapa lamanya saya selalu
dapat mengalahkan setiap lawan, akan tetapi kemudian datanglah musuh yang dapat
menundukkan saya. Karena itulah maka kita harus menderita lapar."
"Siapakah musuh itu?"
"Musuh itu bersarang di dalam tubuh saya juga. Namanya ialah Benci, kebencian
saya terhadap Old Shatterhand, suatu perasaan yang tidak dapat saya tekan." "Uf,
Uf!" sahut temannya.
Hanya kata-kata itu saja yang diucapkannya, akan tetapi sudah cukup jelas untuk
menyatakan maksudnya. "Ya, kebencian itulah musuh yang telah menaklukkan saya," demikian ketua suku
itu menyambung perkataannya. Walaupun Tokvi Kava adalah orang yang sangat
congkak, akan tetapi rasa lapar itu akhirnya membawa keinsafan sampai ia
mengecam dirinya sendiri.
"Sekiranya saya tidak menghina Old Shatterhand, sekiranya saya berdiam diri saja
dan menantikan saat yang baik kemudian untuk membalas dendam, maka orang kulit
putih itu tentu tidak akan merampas kuda, senjata dan jimat kita. Maka dengan
diam-diam kita dapat bersembunyi di dekat perkemahan Firewood dan di sana
menunggu kedatangan musuh-musuh kita untuk menyergapnya. Maka sudah tentu mereka
akan kita tangkap." "Nah itu benar belaka. Tetapi apa gunanya kita menyesali diri; kita ada di sini
dengan nasib seburuk ini dan kita menderita lapar. Sudah beberapa lamanya kita
berjalan kian ke mari untuk mencari daging, akan tetapi tidak menjumpai buruan
seekor pun sehingga terpaksa memakan 'kalebas' yang jijik itu. Apabila usaha
teman-teman kita untuk memasang jerat tidak berhasil juga, maka tak lama lagi
kita akan mati kelaparan. Berapa banyak peluru Anda?"
"Paling banyak hanya untuk sepuluh tembakan."
"Kalau begitu Ik Senanda hari ini juga harus datang, kalau tidak kita akan mati,
sebab... Uf!" Demikian ia memenggal perkataannya. "Apakah itu?" tanya Tokvi
Kava. "Lihatlah ke arah itu!" jawab temannya dengan kegirangan, sambil menunjuk ke
arah mudik. Ketua suku Comanche memalingkan mukanya ke arah yang ditunjukkan
oleh temannya dan sesaat kemudian wajahnya berseri-seri.
"Bison!" katanya dengan berbisik.
"Ya, enam ekor! Seekor jantan, tiga ekor betina dan dua ekor anak!" "Nah, kini
kita akan memperoleh daging!"
Dengan segera ia mencekau bedilnya, akan tetapi tangannya gemetar, entah karena
letih, entah karena gugup. "Tangan Anda gemetar," kata temannya. "Kalau Anda
tidak tenang, maka lenyaplah harapan kita untuk memperoleh daging."
"Diam! Itu tadi akibat lapar, akan tetapi nanti tangan saya tidak akan gemetar
lagi." "Binatang-binatang itu pergi ke sungai; mereka akan datang ke mari, sebab angin
ke mari pula arahnya, sehingga mereka tak akan mencium bau kita."
"Ya, itu betul. Marilah kita bersembunyi di bawah semak-semak itu."
Mereka menyuruk-nyuruk pergi ke semak-semak yang letaknya dekat pada tempat
mereka. Dengan hati yang berdebar-debar mereka mengamat-amati gerak-gerik kawanan bison
itu. Binatang-binatang itu berjalan dengan lambat sekali, bahkan kadang-kadang ada
yang berhenti untuk memakan rumput, kadang-kadang ada pula yang menengadahkan
kepalanya ke langit mencium-cium udara kalau-kalau ada musuh di dekatnya.
Bison yang jantan sudah tua sekali, akan tetapi badannya masih kuat. Dagingnya
tentu liat. Sesungguhnya tidak ada manfaatnya sama sekali bagi orang yang
kelaparan, sebab dagingnya tidak dapat dimakan. Walaupun begitu Tokvi Kava tahu
bahwa bison jantan itulah yang harus ditembaknya lebih dahulu, sebab sekiranya
ia hanya mengindahkan mutu daging dan menembak lebih dahulu seekor betina, maka
kedua orang Indian itu akan terancam bahaya yang besar, sebab tak dapat tidak
bison jantan itu akan menyerang mereka.
Kawanan bison itu makin mendekat kepada sungai; yang jantan di muka sekali,
diikuti oleh yang betina dan anak bison. Kini jauhnya hanya kira-kira tigapuluh
langkah saja dari tempat orang-orang Indian bersembunyi, tetapi kawanan itu
tidak menaruh curiga. Mereka rupa-rupanya mengandalkan ketajaman pancaindera pemimpinnya.
Kini Tokvi Kava membidik; tangannya tidak gemetar lagi akan tetapi tidak segera
melepaskan tembakan, sebab bison jantan itu pada saat itu menghadap kepadanya.
Ia menunggu kesempatan sampai bison itu memalingkan kepalanya. Setiap Indian dan
setiap pemburu yang berpengalaman tahu bahwa tembakan yang dilepaskan dari
samping lebih banyak memberi pengharapan akan mengenai jantung buruannya.
Tembakan serupa itu selalu membawa maut.
Kawanan itu mendekat kira-kira sepuluh langkah lagi, tetapi dengan tiba-tiba
seekor betina berhenti, menengadahkan kepalanya ke langit serta mendengus-
dengus. Mendengar dengus itu bison jantan memalingkan kepalanya dan pada saat
itu lepaslah tembakan Tokvi Kava. Bison jantan itu menggigil, kemudian tegak
tanpa bergerak lalu rebah. Tembakan itu mengenai jantungnya.
Dalam pada itu Tokvi Kava dengan cepat mengisi lagi bedilnya. Mendengar tembakan
maka bison-bison betinanya melarikan diri. Anak bison yang seekor mengikuti
induknya, akan tetapi yang seekor lagi mendekati bison jantan yang sudah mati.
Melihat itu induknya segera kembali serta menggeser-geserkan hidungnya kepada
anak bison untuk memberi isyarat supaya lekas lari. Pada saat itu Tokvi Kava
melepaskan tembakannya yang kedua dan bison betina itu jatuh tersungkur.
Kini kedua orang Indian itu bangkit lalu keluar dari tempat persembunyiannya
seraya bersorak-sorak. Dengan cepat mereka mendekati mangsanya. Anak bison itu
melompat-lompat kian ke mari dan dengan sekali pukulan tangkai bedil rebah
pulalah anak bison itu. "Uf, uf, uf!" teriak ketua suku. "Saudara merah saya melihat, bahwa saya tidak
gemetar. Kedua peluru itu tepat mengenai jantungnya. Sekarang banyak daging untuk orang-
orang kita." "Ya, daging bison betina itu bagus," kata temannya. "Akan kita sembelihkah
binatang-binatang itu sekarang?"
"Tidak, sebab pekerjaan itu akan makan waktu agak lama. Kita akan membawa
prajurit-prajurit kita ke sini."
"Adakah tidak lebih baik, bahwa seorang akan pergi, dan seorang lainnya akan
tinggal di sini untuk menjaga daging bison-bison itu?"
"Ya, pendapat itu bagus, Tokvi Kava akan pergi, saudara saya boleh tinggal di
sini." "Tetapi Tokvi Kava hendaknya meninggalkan bedilnya."
"Tidak mungkin, sebab saya memerlukannya sendiri. Di daerah ini tidak ada
musuh." "Oleh karena itu Tokvi Kava pun tidak memerlukan bedil, sedangkan saya harus
melawan burung-burung elang dan ajag-ajag yang tertarik oleh bau daging."
"Ah itu betul, saudaraku. Inilah bedil saya, saya tinggalkan kepada Anda."
Tokvi Kava memberikan senjata itu kepadanya. Dengan selera besar ia melihat lagi
ketiga ekor bison yang telah tertembak mati itu, maka berangkatlah ia. Bison
jantan itu beratnya lebih dari seribu kilogram.
Tokvi Kava berjalan menuruti tepi batang sungai kecil. Jalannya cepat dan kurang
berhati-hati, oleh karena ia yakin bahwa di daerah itu tidak ada musuh.
Setelah berjalan dua mil, sampailah ia pada tempat di mana orang-orang dari suku
Comanche duduk-duduk dan berbaring-baring dengan muka yang memperlihatkan
kelelahan dan kelaparan. Orang-orang itu telah meninggalkan Firewood Camp dengan
cara tidak terhormat. Beberapa orang yang pagi-pagi hari pergi melihat jerat-
jerat yang telah di pasang, ternyata kembali dengan tangan hampa.
Ketika orang-orang itu melihat Tokvi Kava datang sendirian tanpa bedil dan
kawannya, maka dengan gembira mereka berharapan, bahwa ketua mereka itu mendapat
untung pada perburuannya. Mereka serentak berdiri seraya berteriak: "Adakah
Tokvi Kava telah menembak apa-apa" Ada daging?"
"Ya. Saya telah menembak mati seekor bison jantan, seekor betina dan seekor
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anaknya." Demi mendengar kabar yang sangat menggembirakan itu, mereka bersorak-sorak
kegirangan, sehingga tidak melihat bahwa seorang penunggang kuda telah datang
mendekat. Orang itu adalah Ik Senanda, cucu Tokvi Kava.
Ia telah disuruh pergi oleh kakeknya untuk mencari makan dan senjata yang sangat
diperlukan prajurit-prajuritnya. Dengan demikian ia tidak mendengar tentang
nasib buruk yang menimpa orang-orang Comanche di Firewood Camp. Dalam
pandangannya kakeknya adalah ketua suku yang tidak terkalahkan oleh siapapun
juga. Tokvi Kava berdaya upaya menutupi peristiwa yang memerosotkan martabatnya
sebagai ketua suku itu. Andaikata ia memiliki senjata-senjata dan kuda-kuda,
niscaya ia akan dapat menangkap lagi Winnetou, Old Shatterhand dan pengikut-
pengikutnya. Peristiwa itu tentu akan memperbaiki namanya yang telah begitu
menurun. Betapa kecewa hatinya, ketika ia melihat bahwa cucunya muncul kembali tanpa
membawa apa-apa, baik kuda maupun senjata. Dibawanya dia ke tempat yang agak
menyendiri dari prajurit-prajuritnya dan dengan suara parau ia bertanya:
"Cucuku, manakah kuda-kuda itu?"
"Saya tidak mendapatkannya."
"Manakah seratus pucuk senapan dan pisau yang sangat saya butuhkan?" "Tidak
ada." "Apakah yang kau bawa?"
"Hanya beberapa pucuk bedil, pisau, mesiu, peluru dan pakaian baru untuk kakek."
"Tidak ada lainnya lagi?"
"Tidak." "Kalau begitu, cucunda berbuat lain daripada yang saya perintahkan." "Saya telah
bertindak seperti kakek perintahkan kepada saya." "Adakah Anda telah
menceriterakan apa yang telah terjadi di Firewood Camp?" "Tidak, saya tidak
berceritera apa-apa. Tetapi umum telah mengetahuinya."
"Siapakah yang memberitahukan kepada mereka, kalau tidak Anda sendiri" Jika saya
tahu orangnya, tidak akan saya beri ampun dia. Akan saya scalp dia."
Dari tangannya yang dikepal-kepalkan dan dari kedua belah matanya yang menyala-
nyala orang dapat melihat, bahwa ia sedang mendidih karena kemarahan.
"Kakek tidak akan mendapatkan scalp, oleh karena kereta api orang kulit putihlah
yang menyiarkan berita itu dan dia lebih cepat dari kaki kuda."
"Adakah kereta api itu juga datang pada suku Naiini-Comanche?"
"Tidak, akan tetapi dia lewat tidak jauh daripada mereka dan pada tiap-tiap
setasiun orang-orang kulit putih menyiarkan berita itu yang didengar pula oleh
prajurit-prajurit kita."
"Uf! Itulah bencana yang dibawa oleh air api dan kereta api ke daerah orang
merah. Ah, tidak lama lagi semua orang di antara kedua lautan ini akan tahu,
bahwa Tokvi Kava telah kehilangan rambut dan obat-obatnya! Nama saya yang
tersohor itu akan hilang lenyap seperti asap ditiup angin. Tetapi saya akan
membalas dendam kepada mereka yang telah menghina saya."
"Kakek, Anda adalah orang termasyhur dan akan tetap termasyhur. Kita akan
menangkap Old Shatterhand dan kawan-kawannya orang Apache. Mereka harus
menyerahkan scalp dan obat-obatan mereka. Barulah Anda dapat pulang ke daerah
perburuan abadi." "Uf! Adakah itu tidak dapat sekarang?"
"Tidak!" "Sudahkah itu dibicarakan?"
"Ya, oleh prajurit-prajurit yang tertua dan yang bijaksana."
"Adakah saya diasingkan oleh mereka?"
"Ya." "Uf! Uf!" keluh Tokvi Kava sambil menutup mata dengan kedua belah tangannya.
Sesudah beberapa saat ia membuka matanya lagi dan bertanya: "Mengapa Ik Senanda
hanya membawakan pakaian bagi saya?"
"Saya tidak berani."
"Adakah Anda juga dilarang membawakan kuda bagi saya." "Ya."
Tokvi Kava melihatkan cucunya dengan air muka ketakutan dan bertanya dengan
suara yang hampir tidak dapat didengar:
"Tidak dapatkah saya memperoleh kembali kuda jantan saya, si Mustang Hitam, yang
lebih berharga daripada jiwa saya sendiri?" "Tidak."
Tokvi Kava meloncat karena kemarahan yang memenuhi dadanya dan hendak berteriak-
teriak, tetapi seketika itu juga Ik Senanda mengacungkan jarinya seraya berkata:
"Kakek adalah seorang kepala suku yang besar. Seorang prajurit besar harus
pandai menahan diri bagaimanapun perasaan yang dikandung dalam hatinya.
Prajurit-prajurit kita di sana itu tidak boleh melihat, bahwa kepalanya lupa
daratan." "Ya, cucunda benar! Teman-teman saya yang tidak setia akan mendapat pembalasan
yang setimpal. Adakah yang hendak Anda katakan?"
"Tidak, kakek adalah orang yang memberi perintah, saya hanya tinggal
menjalankannya. Apa yang Anda katakan selalu benar, oleh karena itu harus kita laksanakan."
Kata-kata Mestis itu sangat sopan dan merendahkan diri, dan disertai sikap,
bahwa seluruh pikiran dan tenaganya diserahkan kepada kakeknya. Tetapi orang
yang mempunyai mata tajam seperti Winnetou atau Old Shatterhand, akan melihat
bahwa mulut dan air mukanya menggambarkan hati nuraninya yang palsu dan ingin
berkuasa. Sebenarnya orang peranakan itu mengharapkan sepenuhnya, bahwa ia pada
suatu waktu akan menjadi ketua suku Naiini.
Setelah kedua orang itu selesai bercakap-cakap, maka kembalilah mereka mendekati
orang-orang Indian lainnya.
Dari gerak-gerik dan sikap kakek dan cucunya itu, prajurit-prajurit dapat
menduga, bahwa kesialan telah menimpa diri mereka. Sekarang mereka tak ada kuda
dan senjata, sedangkan perut mereka telah berkeroncongan karena kelaparan.
Sebelum mereka meninggalkan tempat itu, senapan-senapan yang ada dibagi-bagikan
kepada beberapa orang Indian yang pandai menembak. Ketika mereka sampai di
tempat di mana ketiga bison itu telah mati, maka dalam waktu yang sangat singkat
binatang-binatang itu telah dipotong-potong dagingnya, dan dimakan dengan
lahapnya. Setelah mereka kenyang, berangkatlah mereka untuk membalas dendam kepada musuh-
musuhnya, orang-orang putih dan orang-orang Apache.
VII. MENUJU KE ESTRECHO DE CUARZO
Jalan yang ditempuh ialah mengikuti jalan batang sungai kecil menuju hilir dan
kemudian membelok ke Selatan sepanjang kaki pegunungan Sierra Moro.
Berjalan kaki adalah pekerjaan hina bagi orang-orang Comanche yang galibnya
senantiasa menunggang kuda.
Di antara mereka hanya Ik Senandalah yang memiliki seekor kuda. Kuda itu
didapatnya dari orang-orang Naiini sebagai hasil pertukaran dengan kuda putihnya
yang dicurinya di Rocky Ground. Untuk menghemat kekuatan kudanya, maka peranakan
itu berjalan kaki di sampingnya.
Pada hari senja rombongan orang Comanche itu sampai di suatu padang yang banyak
rumputnya. Di situ mereka menemukan jejak beberapa puluh penunggang kuda. Mereka
adalah orang kulit putih, oleh karena kuda mereka bersepatu besi. Sebagai orang-
orang alam, orang-orang Indian itu dapat mengetahui dari jejak kuda-kuda itu,
bahwa orang-orang kulit putih itu belum ada sejam berselang lewat di tempat itu.
Betapa gembiranya orang Comanche karena sekarang timbul harapan lagi akan
memperoleh kuda dan senjata. Oleh sebab itu besar keinginan mereka mengejar
orang-orang putih itu. Pada waktu matahari akan terbenam, terlihatlah bahwa jejak rombongan penunggang
kuda itu masuk ke pegunungan. Ketika Tokvi Kava melihatnya, berkatalah ia kepada
cucunya: "Orang-orang kulit putih ini cerdik juga untuk bermalam di pegunungan. Di tanah
rendah api unggun akan nampak dari jauh. Akan sukarlah bagi kita sekarang untuk
menyerang mereka." "Pshaw! Jumlah orang kita jauh lebih besar, ada tiga kalinya. Jika dengan
kekuatan tidak berhasil, maka dengan tipu muslihat."
"Bagus, cucuku. Hanya Anda tak boleh lupa, bahwa orang-orang kita kehilangan
tenaganya karena lapar. Kita lebih dahulu harus mengintai perkemahan orang kulit
putih." Di lereng-lereng gunung tumbuh semak-semak di mana orang-orang Comanche memilih
tempat pemberhentiannya. Tokvi Kava dan Ik Senanda meninggalkan rombongannya
setelah hari menjadi gelap untuk mencari tempat perkemahan orang-orang kulit
putih. Dari bau asap yang diciumnya mereka tahu, bahwa tempat orang putih itu tidak
jauh lagi letaknya. "Kita sudah dekat!" bisik Tokvi Kava. "Kita tunggu sampai hari menjadi gelap
gulita." Setelah dua jam matahari terbenam, maka mendekatlah dua orang Indian itu.
Terdengar suara air berkericik dalam sungai kecil. Di antara batang-batang pohon
terlihat cahaya api unggun. Di sekelilingnya duduk-duduk orang putih, sedangkan
dua orang lainnya berjaga di dekat kuda-kuda mereka, dengan bedilnya siap sedia.
Dengan tidak membuat suara yang sekecil-kecilnyapun kedua orang Indian itu
berhasil menyusup sampai jarak beberapa langkah, sehingga mereka dapat melihat
dengan terang dan mendengar pembicaraannya.
Yang sedang berbicara adalah seorang yang telah berusia lanjut, berambut dan
berjanggut putih. Air mukanya adalah bukti bahwa ia adalah banyak pengalamannya
dan petualangannya. Kata-katanya bersemangat dan tegas, seolah-olah merupakan
perintah seorang militer. Teman-temannya berkata "Baginda" terhadapnya. Orang-
orang di sekelilingnya adalah jauh lebih muda daripada "Baginda", akan tetapi
cukup berpengalaman di daerah Barat ini.
Yang termuda di antara mereka adalah seorang pemuda berambut pirang, dinamai
"Tall Hum". Kepada orang tua itu pemuda itu berkata:
"Baginda nampaknya merasa aman di sini, karena tidak memasang penjaga-penjaga di
sekitar kita. Ini adalah daerah orang Comanche, yang sanggup membunuh kita
semua." "Janganlah khawatir, Tall Hum. Tidak ada seorang kulit merah yang berani
melemparkan saya dari singgasana saya ini. Apalagi saya dikelilingi oleh
tigapuluh orang kesatria yang gagah berani. Tetapi Tall Hum, Anda benar. Setelah
habis makan, kita akan menempatkan penjaga-penjaga di tempat-tempat, yang tiap-
tiap jam harus diganti. Mereka hendaknya jangan duduk-duduk melainkan berjalan
kian ke mari. Dengan begitu tiap-tiap orang dapat tidur tujuh jam. Kita akan
bertindak demikian, sampai kita tiba di San Juan Mountains."
"Kita semua akan menjadi jutawan di situ," kata Hum sambil tertawa.
"Ya, saya kira."
"Oleh karena saya telah kehilangan harta warisan paman saya, maka saya ingin
pula menjadi kaya di Colorado." "Hum, bagaimanakah duduk perkara warisan itu"
Coba ceriterakanlah!"
"Ya, paman saya memang tidak meninggalkan uang sepeser pun bagi saya. Dia pandai
bermain sandiwara, seolah-olah ia adalah seorang kaya raya. Ayah saya, walaupun
seorang pekerja yang cakap, tidak mencapai sukses dalam hidupnya. Ketika ayah
saya berpulang, ia hanya meninggalkan utang saja. Paman saya tidak beranak
sendiri, maka ia menunjuk saya sebagai ahliwarisnya. Akhirnya paman itu
meninggal juga dan warisannya adalah sebuah peti uang yang kosong dan sebuah
buku kas. Buku itu saya pelajari. Ternyata bahwa paman saya adalah orang yang
tidak jujur. Uang yang tiap bulan diterimanya dari ayah saya, dipakainya untuk
kepentingan diri sendiri. Setelah akhirnya ayah saya, sebelum ia meninggal
dunia, mengetahui kecurangan adiknya, ia bermaksud tidak akan membuka rahasia
paman saya. Jadi uang yang semestinya menjadi hak saya, hilang tak keruan
rimbanya." "Siapa nama pamanmu?"
"Ah buat apa saya tahu itu."
"Ai, ai, nama keluarga Anda sama bukan" Dan Andapun tidak pernah mengatakan, apa
arti nama Hum, dan apa nama keluargamu."
"Buat apa" Nama itu membuat jengkel saya saja." "Mengapa?"
"Ya, karena nama itu hanya untuk ditertawakan saja, apalagi di Amerika."
"Sudahlah, Hum! What's in a name! Tentang warisan yang lenyap itu, janganlah
khawatir. Anda akan mendapat seratus kali lebih banyak nanti di San Juan Montains di
Colorado." "Tentang itu saya yakin, Baginda. Dan Baginda adalah orang yang lain daripada
paman saya." "Peta tambang emas itu ada dalam saku saya. Apabila kita telah menemukannya,
kita akan menjadi amat kaya, meskipun tidak sekaya, andaikata tambang Bonanza
dari Hoaka jatuh ke tangan kita."
"Saya sering mendengar nama itu. Bonanza adalah kata Spanyol atau Inggris dan
Hoaka adalah kata Indian."
"Memang. Tentang artinya saya tidak tahu. Belum pernah saya menjumpai orang
putih atau merah yang dapat menerjemahkannya. Tetapi Bonanza adalah suatu
kenyataan. Ratusan pencari emas telah mencoba mencarinya, dan beberapa dari
mereka telah menemukan gumpalan emas di dekatnya. Di mana tempat yang sebenarnya
tidak ada yang tahu. Kita sekarang berada di daerah Bonanza itu. Andaikata kita
secara kebetulan menemukannya!"
Semua orang yang mendengarkannya serempak mengeluarkan teriakan gembira.
Begitulah besar daya tarik emas di daerah Barat Amerika.
"Meskipun demikian, ada orang-orang yang mengenal Bonanza itu, tetapi tidak
pernah mengambil kekayaannya," kata Baginda.
"Ah, betulkah" Siapa itu orang-orangnya?"
"Ya, benar. Ada orang-orang Indian, yang merahasiakan daerah emas itu karena
rasa benci mereka kepada orang kulit putih. Apabila mereka membeli sesuatu dari
seorang kulit putih, maka mereka membayarnya dengan butir-butir emas murni yang
diambilnya dari tambang itu. Saya pernah berjumpa dengan seorang pastor di
Albuquerque, yang sekali peristiwa bertemu dengan seorang Indian di Estrecho de
Cuarzo. Pastor itu memberikan kepadanya roti dan daging karena ia kelaparan.
Maka Indian itu membalasnya dengan sebutir emas yang beratnya ada limapuluh
gram. Di dalam kantongnya masih ada butir-butir yang lebih besar lagi."
Orang-orang yang mengelilinginya berteriak-teriak kegirangan. Salah seorang
bertanya: "Adakah pastor itu menanyakan tempat asal emas itu?"
"Ya, tetapi tidak mendapat jawaban dari Indian itu."
"Di mana letak Estrecho de Cuarzo, Baginda" Apa artinya itu?"
"Kata itu bahasa Spanyol dan berarti tanah sempit kwartsa. Kwartsa ialah suatu
jenis batuan, yang biasanya mengandung emas. Di tanah sempit itu dahulu ada air
terjun yang menggugurkan batuan dan melepaskan emasnya. Akhirnya butir-butir itu
terkumpul dalam legok-legok. Kalau orang memikirkan harta yang berjuta-juta itu,
ia bisa menjadi gila."
Ceritera itu menyebabkan kegemparan pada pendengarnya. Akhirnya orang tua itu
berkata: "Mari tuan-tuan. Penjagaan harus segera diatur Yang tidak berjaga, harus mencari
tempat tidurnya dengan bedilnya siap-siap di sampingnya."
Tidak lama kemudian sepilah suasana di perkemahan itu.
Mustang Hitam mengajak Ik Senanda meninggalkan tempat pengintaian itu. Setelah
agak jauh, bertanyalah ia:
"Dapatkah cucu mendengar semuanya?"
"Ya." "Saya tidak semuanya, tetapi mengertilah semua pembicaraan. Besok hari kita akan
memperoleh kuda, senjata dan scalp orang-orang putih itu. Uf!"
"Tetapi, kakek, orang-orang itu bukan anak-anak kecil."
"Saya akan menyerangnya juga."
"Kalau saya, malam ini saja kita laksanakan."
"Cucu berbicara sebagai anak muda. Saya orang tua, lebih berhati-hati. Anda
tahu, penjagaan sangat keras, dan yang tidur pun selalu siap-sedia. Saya tidak
ingin mengorbankan prajurit-prajurit saya menjadi umpan peluru." "Lalu, apakah
rencana kakek?" "Saya tidak tahu di mana letak Bonanza, tetapi saya tahu letak Scapo-Gaska kita
(tempat menimbun emas)." "Uf," teriak Ik Senanda, "Untuk apa tempat itu?"
"Jika Anda hari ini pergi ke sana, maka besok pagi-pagi hari Anda akan sampai di
Estrecho de Cuarzo. Saya bersama prajurit-prajurit lainnya malam ini juga akan
menuju ke sana." "Kita akan sampai bersamaan dengan orang putih."
"Kita tiba lebih dahulu dari mereka. Dengarkanlah apa yang saya katakan ini.
Anda mengambil butir-butir emas dari Scapo-Gaska kita dan hendaknya Anda dengan
sengaja ditangkap oleh orang-orang kulit putih. Jika mereka melihat emasmu,
mereka akan menanyakan di mana letak Bonanza. Setelah menolak mengatakannya,
akhirnya Anda bawalah mereka ke Estrecho, di mana kita akan mengepungnya,
sehingga mereka tidak dapat meloloskan diri."
"Uf", seru Ik Senanda. "Itu akal si Old Shatterhand dahulu."
"Ya, pahlawan yang cerdik mau juga belajar dari musuhnya. Kita akan menyediakan
kayu bakar banyak-banyak. Apabila orang-orang kulit putih berada di Estrecho,
maka kayu itu akan kita nyalakan dan mereka akan terkurung seperti kita dahulu
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di Gua Birik." "Dengan demikian orang kulit putih akan membunuh saya," kata Ik Senanda. "Mereka
akan tahu, bahwa saya membawanya ke suatu perangkap."
"O, tidak. Saya tidak akan membiarkan Anda terancam oleh bahaya. Sebab Anda
dalam pada itu harus sudah melarikan diri."
"Kalau saya diikat, bagaimana?"
"Saya akan berunding dengan mereka. Saya akan melepaskan mereka, apabila mereka
suka melepaskan Anda." "Bukankah maksud kakek akan membunuh orang-orang itu,
agar dapat memperoleh kudanya dan senjatanya?" "Memang, itu rencana saya. Dan
rencana itu saya laksanakan setelah Anda dibebaskan. Terhadap orang-orang kulit
putih kita tak perlu menepati janji kita."
"Baiklah. Nanti prajurit-prajurit Comanche akan memuji keberanian saya, bahwa
saya telah mempertaruhkan jiwa dan kebebasan saya untuk menjebak orang-orang
kulit putih." "Marilah kita kembali!"
Ketika kedua orang merah itu tiba di tempat teman-temannya, berceriteralah
Mustang Hitam tentang apa yang dilihat dan didengarnya dan apa rencananya.
Karena banyak pikiran, maka orang-orang kulit merah itu tidak dapat tidur dan
mengaso lagi. Kuda, senjata dan scalp orang putih membuat mereka tetap jaga.
Beberapa menit kemudian berangkatlah mereka ke Estrecho de Cuarzo, sedangkan Ik
Senanda berjalan menuju ke Scapo-Gaska.
Jalan yang mereka tempuh adalah lebih jauh dan penuh dengan rintangan-rintangan,
sedangkan yang lebih baik dan ringan akan dilewati orang-orang kulit putih pada
keesokan harinya. Dengan demikian orang-orang putih itu tidak akan menjumpai
jejak orang-orang Comanche.
Di bawah pimpinan Mustang Hitam sendiri orang-orang Indian itu berjalan
sepanjang malam, sepanjang jurang yang dalam dan batu-batu yang curam. Setelah
matahari menampakkan wajahnya, berhentilah mereka barang sejenak untuk mengaso
dan makan daging bison yang mereka bawa. Kira-kira tengah hari sampailah mereka
di suatu tempat dekat Estrecho.
Daerah di mana Estrecho itu terletak dapat digambarkan sebagai berikut. Sebuah
dataran tinggi yang sempit berjalan dari Barat ke Timur. Di atasnya tumbuh
semak-semak. Pada ujungnya yang di sebelah Timur, dataran itu dipotong oleh
sebuah jurang yang terjadi karena erosi dan kekuatan vulkanis. Maka bagian yang
terpotong itu merupakan tebing yang curam dan gundul. Tebing itu terdiri dari
batu-batu kwartsa yang berdiri hampir tegak lurus di atas tanah di
sekelilingnya. Inilah yang dinamai Estrecho de Cuarzo, yang menurut Sri Baginda
dibentuk oleh sebuah air terjun.
Orang-orang Comanche mencari tempat persembunyian dalam hutan di dekat tebing
itu dan menjaga jangan sampai membuat jejak-jejak kakinya. Tokvi Kava memerlukan
memeriksa daerah sekitarnya kalau-kalau ada orang lain, dan ketika ia kembali di
tempat kawan-kawannya, mereka sedang mengumpulkan kayu bakar.
Sebentar kemudian datanglah Ik Senanda yang membawa butir-butir emas seperti
telah diperintahkan Mustang Hitam. Setelah ia menyerahkan emas itu kepadanya,
maka menghilanglah ia untuk menjalankan tugasnya yang sangat berbahaya, yaitu
dengan sengaja ditangkap oleh orang kulit putih. Dengan hati berdebar-debar
orang-orang kulit merah itu menunggu kedatangan rombongan orang kulit putih.
Baginda dengan kawan-kawannya sama sekali tidak mengira-ngirakan akan adanya
bahaya yang mengancam mereka. Orang-orang itu tidur sampai hari menjadi terang
dan ketika meninggalkan tempat perkemahan mereka tidak seorangpun melihat jejak
kedua orang Indian yang mengintai gerak-gerik mereka malam sebelumnya. Rombongan
berjalan terus sampai lewat tengah hari, kemudian berhenti untuk melepaskan
lelah dan makan siang. Pada kira-kira jarak tiga mil dari Estrecho, menurunlah
jalannya menuju ke sebuah lembah di mana terlihat sebatang pohon kayu saja.
Pemimpin rombongan yang berjalan di depan bersama Hum, menunjuk kepada pohon itu
dan berkata: "Saya kenal pohon di kejauhan itu. Dari situ masih satu jam berjalan lagi,
kemudian kita akan sampai di Estrecho."
Teman-temannya yang berada di belakangnya melihat ke arah pohon itu dan seorang
daripada mereka yang memiliki mata tajam berkata: "Baginda, kecuali pohon, saya
pun melihat seekor binatang atau seorang manusia."
"Ai, seorang manusia saja di daerah yang begini sepinya" Dia tentunya seorang
petualang, yang hendak mencari Bonanza juga. Marilah kita ke sana, akan kita
tanyai dia!" Setelah dekat, ternyata bahwa orang itu sedang tidur nyenyak sekali di bawah
pohon, sehingga ia tidak mendengar orang-orang datang.
Di antara ikat pinggang dan bajunya terselip sebuah pundi-pundi dan dari ujung
pundi-pundi itu nampak sebatang emas yang berkilau-kilauan.
"Astaga!" teriak pemimpinnya. "Orang ini membawa kepingan emas. Melihat
kulitnya, ia adalah seorang peranakan, seorang Mestis. Kita telah dekat pada
Estrecho!" Karena suara orang-orang makin riuh terbangunlah orang itu. Demi ia melihat muka
orang-orang kulit putih, maka bangkitlah ia dengan tiba-tiba. Ia memegang
kantongnya, seolah-olah barang itu akan terjatuh dari ikat pinggangnya. Orang
itu tidak lain daripada Ik Senanda yang sungguh dapat bermain sandiwara di depan
orang-orang kulit putih yang haus akan emas itu. Ia telah sejak sejam yang lalu
menunggu kedatangan mereka dengan pura-pura tertidur dan telah meletakkan
kantong yang terisi dengan emas sedemikian sehingga orang-orang kulit putih
dapat segera melihatnya. Usaha Senanda menjerumuskan mereka ke dalam perangkap nampaknya akan berhasil
baik. Pemimpin rombongan itu bertanya: "Hai, siapa kau, orang setengah merah?"
"Yato Inda, tuan." Nama itu telah kita kenal di Firewood Camp dahulu.
"Yato Inda" artinya "orang baik." Siapa ayahmu?"
"Pemburu kulit putih."
"Dan ibumu?" "Anak orang Apache."
"Untuk apa kamu mengembara di daerah Comanche ini di mana tidak ada terdapat
orang-orang Apache?"
"Saya diusir suku saya, orang-orang Apache."
"Mengapa?" "Karena saya bersahabat dengan orang kulit putih."
"Hm, jadi engkau semacam orang buangan. Hal itu cocok benar, karena kau hanya
membawa pisau, dan bedilmu telah dirampas."
"Yato Inda akan membeli sebuah dari orang kulit putih." "Tetapi kau harus
mempunyai uang." "Yato Inda tidak memerlukan uang."
"Mana boleh" Kau kira, orang mau memberikan bedil secara cuma-cuma?"
"Tidak. Tetapi orang kulit putih mau juga menerima emas untuk bedil dan air api
(brandy)." "Ha! Air api, engkau suka meminumnya juga?" "Ya, tentu."
"Jadi kau ada butir-butir emas?"
"Saya tidak punya, tetapi saya akan mencarinya sampai ketemu." "Adakah engkau
mencari Bonanza yang termasyhur itu?"
Dengan muka bodoh Ik Senanda menjawab: "Adakah saudara saya orang putih pernah
mendengar juga tentang Bonanza" Anda kirakah itu omong kosong belaka?"
"Ya, sebab tidak mungkin sekian banyak emas terdapat di suatu tempat." "Uf!
Memang itu bukan ceritera khayal. Bonanza itu betul-betul ada!" "Di mana?"
"Saya tahu tempatnya... uf, uf!"
Ia seolah-olah terkejut telanjur mengeluarkan kata-kata itu. "Saya pernah
mendengar, bahwa itu memang ada."
Mendengar jawab itu, Baginda menjadi marah, mencekau lengan Ik Senanda dengan
tangan kanannya seraya berteriak:
"Ayo, jangan membohong, kau tahu di mana letak Bonanza. Katakanlah sekarang,
kalau tidak..." "Saya tidak tahu... betul tidak tahu... tidak boleh berceritera
kepada siapa saja." "Jangan membohong, ayo katakan!" "Tidak, tidak!"
"Bedebah kau! Awas, saya akan membuktikan, bahwa kau membohongi saya!"
Secepat kilat pemimpin itu menarik pundi-pundi dari ikat pinggang Ik Senanda,
sehingga isinya berjatuhan di tanah. Seperti serigala menerkam mangsanya, maka
orang-orang kulit putih yang berdiri mengelilingi kedua orang itu, melompat dan
berebutan mencari butir-butir emas itu. Baginda memegang Ik Senanda pada kedua
lengannya dan diangkatnya dia ke atas seraya berteriak:
"Pembohong engkau. Dari mana kamu mengambilnya ini?"
Mestis itu seolah-olah menjadi bisu karena ketakutan. Dengan terputus-putus
jawabnya: "Saya... menemukannya... di hutan!"
"Omong kosong! Masa sekantong emas dibuang begitu saja dijalan! Kau telah
mengambilnya dari Bonanza! Ayo, katakan di mana itu."
Ik Senanda hanya bergeleng-geleng kepala saja.
Karena telah jengkel hatinya, maka Baginda mengeluarkan ancaman:
"Kau saya beri waktu satu menit. Kalau tidak mau mengaku juga, kepalamu akan
saya hujani peluru!"
Dan pada saat itu juga, semua senapan diarahkan ke kepala Ik Senanda. Dengan
suara ketakutan ia merintih:
"Biarkan saya hidup. Tadi saya tak membawa kuda dan senjata, dan telah
meninggalkan suku saya, tetapi tuan-tuan hendak menghabisi nyawa saya juga."
"Karena bohongmu! Tetapi kalau engkau mau membuka rahasia Bonanza, engkau dapat
tetap hidup. Dan dengan demikian kau membalas dendam terhadap sukumu!"
"Ya, dendamku belum hilang. Tetapi apa gunanya saya menunjukkan tempat Bonanza
itu kepada Anda" Anda semuanya akan merampas emas yang ada di situ dan akan
melupakan saya, sedangkan saya tidak mungkin lagi hidup bersama suku saya."
"Jangan khawatir, kita akan membagi sama banyak. Anda separo, kami separo.
Berapa banyak di situ?" "Uf! Limapuluh ekor kuda belum cukup untuk
mengangkutnya." "Astaga!"
teriak orang-orang kulit putih bersama-sama. "Betulkah itu" Bilamana engkau
melihatnya?" tanya Baginda. "Telah berulang-ulang. Yang terakhir pagi tadi."
"Saudara-saudara, dengarlah itu! Saya minta agar kepala Anda tetap dingin. Tidak
lama lagi kita semua akan menjadi jutawan. Sampai mati emas kita tidak akan
habis. Dengan harta itu kita dapat membeli seluruh negeri Amerika Serikat. Dan
orang Mestis ini hanya ingin membeli bedil dan brandy! Saudara saya Yato Inda
akan memperoleh separo dari semua emas nanti dan dapat minum air api sebanyak ia
kehendaki!" "Kalau saya telah menerima bahagian saya, tentunya saya akan Anda bunuh juga
untuk memperoleh harta saya."
"Ah, jangan berkhayal. Kami orang-orang yang jujur dan tahu membalas budi. Kami
tidak akan melupakan jasa-jasamu. Bawalah kami sekarang ke tempat itu."
Dengan teriakan dan kata-kata kegirangan rombongan itu akhirnya menuju ke
Estrecho de Cuarzo. Hanya seorang dapat menahan perasaannya, yaitu si Tall Hum.
Ketika teman-temannya agak tenang, ia berseru:
"Tuan-tuan dan gentlemen. Kita semua menghadapi suatu peristiwa yang hanya
terjadi sekali saja dalam hidup kita di dunia ini. Harap tuan-tuan tetap menjadi
orang jujur. Kepada Mestis ini kita telah berjanji akan memberikan separo dari kekayaan itu.
Hendaknya kita nanti menepati janji kita."
"Ya, ya, ya, tentu, tentu," sahut orang-orang itu sambil tertawa.
Tetapi orang-orang yang sudah haus akan harta dunia itu, tidak akan menghargai
jiwa seorang peranakan meskipun ia telah berjasa.
"Karena saya yang menjadi penunjuk jalan, maka tuan-tuan tidak perlu berjalan
jauh." "Adakah Bonanza itu terletak di Estrecho?"
"Ya." "Ah kalau begitu, tanpa Anda kami dapat menemukannya juga."
"Tidak mungkin, meskipun dicari beberapa tahun lamanya," jawab Ik Senanda. Dalam
hatinya ia sangat gembira bahwa rencananya menjebak orang-orang itu berjalan
sangat mudah. Dari tigapuluh satu orang itu hanya Hum yang tetap tenang dan diam. Ia meragukan
bahwa teman-temannya akan menepati janjinya. Ketika ia berjalan di samping
Baginda ia berkata: "Sir, orang ini telah sanggup menyerahkan separo dari harta itu kepada kita.
Jika kita mengingkari janji kita, kitalah yang boleh disebut penjahat."
"Ya, saya tidak pernah tidak jujur. Tetapi terhadap orang Indian kita tidak
perlu bersikap jujur. Dan peranakan seperti misalnya Yato Inda ini, lebih licik,
lebih jahat dan lebih curang daripada orang kulit merah. Kalau kita sudah
menemukan Bonanza itu, dia saya suruh pergi saja."
"Tanpa bahagiannya?"
"Buat apa ia diberi" Itu adalah suatu kebodohan saja dari kita."
"Saya tidak ingin melihat, ia ditipu mentah-mentah oleh orang kulit putih."
"Jangan mencoba Anda mengalang-alangi kami semua! Anda hanya seorang diri saja.
Dan tidak berdaya apa-apa." "Jangan dikira." "Apa maksudmu?"
"Itu tergantung daripada kejujuran Baginda." "Anda mengancam saya?"
"Ya, jika Anda tidak jujur terhadap peranakan itu."
Winnetou menamakan emas selalu "debu kematian" (deadly dust), karena beberapa
kejadian adalah bukti, bahwa logam mulia itu menyebabkan banyak kecelakaan dan
kesedihan. Juga di sini dirasakan pengaruh jahat yang meliputi orang-orang yang
semula adalah bersifat baik-baik.
Baginda, yang dahulu dipuja-puja oleh Hum karena sifatnya sebagai pemimpin,
sekarang melemparkan rasa persahabatannya dan dengan muka yang membenci ia
berseru: "Awas, jika Anda hendak memberi peringatan kepada peranakan itu dan mengalang-
alangi maksud kita. Anda akan merasakan peluru saya."
Selesai dengan kata-kata itu, ia mempercepat kudanya hingga sampai di depan
rombongan. Hum tinggal sendirian, di belakang, bahkan akhirnya ia turun dari kudanya dan
berjalan kaki menuju Estrecho.
Ketika ia mengarahkan matanya, ke gunung batu yang membatasi Estrecho, maka
dengan sangat terkejut ia melihat bayangan-bayangan berjalan kian ke mari yang
berasal dari orang-orang Indian. Dan pada saat itu nampaklah olehnya api
menjilat-jilat ke atas dibarengi teriakan-teriakan orang Indian.
Untunglah bagi Tall Hum bahwa hari telah mulai menjadi gelap, sehingga orang-
orang Indian itu tidak dapat melihatnya. Mereka mengira, bahwa semua orang kulit
putih dengan tidak ada kecualinya telah masuk perangkap. Untuk dapat menolong
teman-temannya, Hum harus berhati-hati sekali, jangan sampai ia tertangkap pula.
Oleh sebab itu ia menjauhkan diri dari Estrecho dan membuat jalan mengeliling ke
arah Timur. Setelah ia menemukan tempat persembunyian, di mana ia dapat menambatkan kudanya,
maka ia mengeluarkan kepalanya dari belakang sebuah batu besar dan mengarahkan
matanya ke Barat. Terlihat olehnya api menyala-nyala di depan pintu masuk ke
Estrecho. Pada sebelah yang satu nampak gerak-gerik orang-orang Indian dan pada
sebelah yang lainnya berdiri teman-temannya yang telah terkurung oleh puluhan
orang kulit merah. Ketika ia melihat ke atas, nampak olehnya orang-orang Indian
yang mendaki lereng-lereng tebing yang tinggi.
Salah seorang daripadanya, barangkali ketua sukunya berseru:
"Letakkan semua senjata Anda. Mundurlah sampai di sebelah belakang Estrecho.
Barangsiapa menembak kepada kami, maka akan mati di tiang siksaan. Mereka yang
menyerah, akan tetap hidup dan akan kami merdekakan."
Tall Hum berpikir-pikir apa yang harus ia kerjakan untuk menolong teman-
temannya. Setelah ia menemukan sesuatu, maka berlarilah ia mengelilingi sebuah batu besar.
Sekonyong-konyong keluarlah seorang dari tempat gelap berseru:
"Hai, berhenti kamu. Kalau tidak, akan saya tembak kamu!" Dari suaranya Hum
dapat tahu, bahwa orang itu adalah bangsa kulit putih.
Tanpa memikirkan dalam-dalam tentang munculnya orang kulit putih di tempat itu,
Hum menjawab: "Jangan mengalangi saya. Saya harus segera menolong teman-teman
saya!" Tetapi belum juga ia melangkah lebih jauh, keluarlah orang kedua dari balik
sebuah batu besar dan menempeleng Hum di kepalanya, sehingga pemuda itu roboh
pingsan. Pembaca akan kita ajak mengikuti perjalanan rombongan orang-orang kulit putih di
bawah pimpinan Baginda. Dengan Yato Inda sebagai penunjuk jalan mereka memasuki
Estrecho de Cuarzo. Tak ada syak wasangka terhadap Mestis yang berjalan di depan
mereka. Pada tempat yang agak gelap, peranakan itu berhenti dan berkata:
"Tuan-tuan silakan turun dari kudanya dan mengikat kaki depan binatang-binatang
itu. Saya akan membuka pintu tambang emas itu dan tuan-tuan segera akan melihat
Bonanza di dalamnya."
Ik Senanda berlutut di tanah dan seolah-olah mulai menggali batu-batu yang
menutupi Bonanza. Ketika Baginda melihatnya, maka ia berkata:
"Baik saya sajalah yang menggalinya."
Dan seketika itu juga ia mulai menyingkirkan batu-batu dari dalam tanah dengan
kedua tangannya. Dalam kesibukan itu ia tidak melihat, bahwa Yato Inda dengan
diam-diam meninggalkan tempat itu dan keluar dari pintu belakang Estrecho. Di
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
luar pintu sudah siap berdiri orang-orang Comanche dengan obor di tangannya
untuk menyalakan kayu bakar.
"Uf!" kata Tokvi Kava dengan puas. "Mereka telah masuk perangkap kita. Cucu saya
adalah benar-benar cakap dan berani."
Di dalam tanah sempit hari sudah mulai gelap, sehingga Baginda tidak dapat
melihat apa-apa lagi. "Kita harus membuat api; kayu di sini ada cukup banyak." Kata-kata itu ditujukan
kepada Yato Inda yang disangkanya masih ada di situ.
Oleh karena tidak ada jawab, maka dipanggilnya dia sampai beberapa kali. Juga
teman-temannya tidak mengetahui ke mana perginya peranakan itu.
Bagaikan disambar petir Baginda merasa, bahwa ia dan rombongannya telah ditipu
oleh Mestis itu dan dibawa ke dalam perangkap yang telah dipasangnya.
"Kita harus segera ke luar dari sini," perintahnya.
Bersama-sama mereka menuju ke pintu, tetapi dengan terkejut mereka berhenti,
karena di depan lobang itu menyala-nyala api besar. Di balik api itu mereka
mendengar teriak dan pekik orang-orang kulit merah.
"Teman-teman, kita terkurung dan masuk ke dalam perangkap orang-orang Comanche.
Saya kenal suaranya. Ini adalah pekerjaan si keparat Yato Inda! Ambillah kudamu!
Dengan berlari cepat, kuda kita akan dapat melompati api itu!"
Ketigapuluh orang itu naik ke atas kudanya, tetapi sesampainya di pintu,
ternyata bahwa tempatnya tidak cukup luas untuk mengambil ancang-ancang.
Dalam kegelisahan itu mereka mendengar suara pemimpin orang-orang kulit merah:
"Berhenti! Tahukah orang-orang kulit putih siapa yang berbicara ini" Saya...
Tokvi Kava, ketua suku Comanche, mengepalai tigaratus orang Indian. Kalau tuan-
tuan mau, dapat satu per satu melewati api ini, tetapi satu per satu pula akan
kami tembak!" "Astaga, Tokvi Kava!" kata Baginda. "Ia akan mengambil scalp kita nanti. O,
Tuhan, lindungilah jiwa kami!" Tokvi Kava berkata lagi:
"Jika orang kulit putih hendak melawan kami, maka akan kami tumpas semuanya.
Apabila menyerahkan diri dan senjatanya, akan kami biarkan hidup." Baginda
menjawab: "Mengapa saudara kami Mustang Hitam menganggap kami sebagai musuhnya" Kami belum
pernah berbuat apa-apa. "
"Semua orang kulit putih adalah musuh orang kulit merah. Berikanlah semua bedil
itu kepada kami!" "Cobalah ambil sendiri. Kami akan membuktikan, bahwa kami
masih dapat mempertahankan diri, meskipun telah terkurung rapat-rapat."
"Uf! Lihatlah di atas gunung itu berdiri seratus orang Indian yang siap dengan
senapannya dan segera akan memuntahkan pelurunya."
"Benar-benar celaka kita," bisik Baginda. Dan dengan suara yang nyaring,
serunya: "Saudara saya Tokvi Kava, saudara termasyhur karena keberaniannya dan
keadilannya. Saya yakin bahwa terhadap kami, Saudara tidak akan mempunyai rasa
permusuhan, karena kami orang-orang yang baik dan jujur. Kami sedia berunding
dengan saudara." "Datanglah kemari!"
"Itu tidak mungkin, karena kami hanya ada tigapuluh orang. Jika Tokvi Kava tidak
datang kepada kami, maka orang mengira bahwa ia adalah pengecut dan tidak begitu
banyak jumlah pengikutnya." "Apabila kami datang ke situ, kami akan Anda
tangkap." "Tidak, percayalah. Orang yang sedang mengadakan perundingan tidak boleh kami
ganggu atau kami tangkap." "Berjanjilah kepada Tuhanmu, bahwa Anda tidak akan
menangkap saya." "Kami berjanji sungguh-sungguh."
Sesudah api itu agak dijauhkan dari tebing batu, maka lewatlah Mustang Hitam
itu, mendekati orang-orang kulit putih.
"Insafkah orang-orang kulit putih, bahwa tidak ada gunanya melawan kami?"
"Tidak." "Orang-orang kulit putih ini sungguh bodoh. Tidak seorangpun dapat mendaki
tebing yang terjal ini. Pengikut-pengikut saya di atas itu telah mengarahkan
mulut bedilnya ke bawah."
"Pshaw. Kami tidak gentar menghadapi seratus pucuk bedil. Kami dapat bersembunyi
di bawah batu-batu besar ini."
"Baiklah! Kami akan menjaga Estrecho ini di luar lubang. Dan orang-orang kulit
putih akan kami biarkan mati kelaparan dan kehausan seperti tikus dalam
perangkap. Tetapi, jika mereka menyerahkan diri sekarang bersama senjatanya,
kami sedia memberikan ampun!"
"Kami bukan penjahat untuk diberi ampun. Apakah kesalahan kami?"
"Pshaw! Tokvi Kava tidak perlu menunjukkan kesalahan-kesalahan orang kulit
putih. Kami telah menyatakan perang terhadap semua orang kulit putih, sehingga
tiap-tiap orang putih harus kami bunuh di tiang siksaan. Kami sudah sangat
berbaik hati, menyanggupkan kemerdekaan kepada tawanan kami. Putuskanlah
segera!" Baginda menyahut lagi: "Tokvi Kava menghendaki bahwa kami harus menyerah. Betulkah kami akan tetap
hidup dan bebas?" "Ya, saya berjanji," kata ketua suku, meskipun dalam hatinya
akan mengingkari janjinya itu. "Jadi, apakah syaratnya, apabila kami menyerah?"
"Berikanlah bedil-bedil dan pisau-pisau Anda." "Kuda-kuda kami juga?"
"Tidak perlu. Prajurit-prajurit Comanche telah mempunyai kuda-kuda yang jauh
lebih bagus." "Dan milik kami lainnya?"
"Pshaw. Juga itu tidak kami kehendaki."
"Jika kami tidak bersenjata lagi, kami tak dapat berburu binatang dan tak
berdaya menghadapi musuh."
"Jangan khawatir. Di dekat sini ada benteng bangsa kulit putih, di mana Anda
dapat memperoleh senjata baru. Lekas putuskan, kami tidak dapat menunggu lama-
lama lagi." Orang-orang kulit putih merasa gelisah. Oleh karena mereka berpendapat, bahwa jiwa mereka lebih berharga daripada senjatanya, maka diputuskan
akan menyerahkan semua bedil, pistol, pisau dan peluru mereka kepada orang-orang
Indian. Ketika Tokvi Kava mendengar keputusan itu, ia tertawa:
"Itulah putusan yang sangat bagus. Letakkan semua senjata di dekat api. Jika
kami telah memadamkannya dan mengambil senjata-senjata itu, maka Anda dapat
pergi atau tinggal di sini."
Akan tetapi sekonyong-konyong terjadi sesuatu yang menggagalkan ini semuanya.
Orang mendengar suara barang jatuh sepanjang dinding batu dan sesaat kemudian
sosok tubuh orang Indian jatuh terlentang di dasar Estrecho.
"Uf, uf!" teriak kepala suku. "Ia tentu tidak berhati-hati, sampai ia
terjatuh..." Belum lagi selesai kalimatnya, tubuh yang kedua jatuh pula di samping yang
pertama, diikuti yang ketiga. Orang-orang tercengang melihat kejadian yang
sangat aneh itu, ketika tiba-tiba terdengar suara: "Tuan-tuan harap menyisih,
sayalah yang melemparkan ketiga orang itu dari atas tebing."
Manusia yang seolah-olah turun dari udara itu, berpakaian kulit, bertopi lebar,
bersepatu laars dan menyandang dua pucuk senapan.
Tokvi Kava mengenal suara itu. Ia berteriak seakan-akan ia melihat hantu: "Hai,
Old Shatterhand! Uf..., uf!"
"Ya, betul. Untunglah saya datang pada saat yang sangat genting ini."
Pada saat itu juga Tokvi Kava melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan dirinya,
tetapi secepat kilat kedua tangan Old Shatterhand telah mencekaunya pada
lehernya dan menempelengnya hingga ia roboh tak sadar akan dirinya lagi.
"Tuan-tuan, mudah-mudahan saya tidak mengganggu perundingan tuan."
"Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa orang yang termasyhur di seluruh daerah
Barat ini telah jatuh di depan kami seperti malaikat dari langit." "Adakah tuan
mengenal saya?" "Ya, dua tahun yang lalu saya melihat tuan di "Spotter Tail Agency" di mana tuan
bertaruhan dalam hal menunggang kuda."
"Saya tidak tahu, bahwa tuan ada di situ. Siapa nama tuan?" "Orang menamai saya
Baginda." "Ah, ya, tuan terkenal sebagai penunggang kuda yang ulung dan pencari jejak yang
pandai. Mengapa tuan sampai tertangkap oleh Mustang Hitam dan cucunya dan masuk
ke dalam perangkapnya?" "Cucunya?"
"Ya, peranakan yang tuan jumpai dijalan tadi siang adalah Ik Senanda atau Yato
Inda. Ayahnya adalah orang kulit putih dan ibunya adalah anak ketua suku Comanche."
"Astaga! Tetapi, Sir, bagaimana tahunya Anda bahwa kami dibawa ke sini?"
"Kami menemukan jejak rombongan Anda dan peranakan itu. Dia dan kakeknya telah
mengintai Anda dan mendengar percakapan rombongan orang-orang kulit putih."
"Ah, apa betul" Kami sungguh-sungguh orang bodoh. Bahkan kami sudah hendak
menyerahkan semua senjata kami kepada orang-orang Indian."
"Ya, kebodohan yang sangat besar," kata Old Shatterhand.
"Tetapi kami terpaksa, dan kami lebih suka tetap hidup meskipun tanpa senjata."
"Justru tanpa senjata itu Anda akan lebih mudah dibunuh oleh mereka."
"Mereka telah sanggup tidak akan membunuh kami."
"Lidah tidak bertulang, Baginda! Berapa orang Indian mengurung rombongan ini?"
"Tiga ratus, masing-masing memegang bedil."
"Ah, hanya kira-kira seratus orang dan bedilnya tidak lebih dari selosin,
kudanya hanya dua ekor." "Gila mereka," seru Baginda. "Besar mulut mereka! Kalau
kami tahu, kami dapat menumpasnya. Akan dipengapakan (diapakan) kepala suku
ini?" "Kita akan menunggu sampai dia sadar kembali."
"Maukah Anda menceriterakan kepada kami, bagaimana Anda dapat muncul di tempat
ini?" "Kami telah berjumpa dengan Mustang Hitam dengan prajurit-prajuritnya di
Firewood Camp dan di Gua Birik. Setelah mereka menyerahkan kuda dan senjata
mereka kepada kami, mereka meneruskan perjalanan mereka dengan berjalan kaki.
Mereka mengira bahwa kami menuju ke Santa Fe. Dijalan mereka akan menuntut balas
kepada kami, tetapi kami dapat mengikuti jejak mereka."
"Bagaimana itu dapat" Anda toh berkuda?"
"Ya, oleh karena mereka berjalan kaki, mereka dapat melewati gunung-gunung,
sedangkan kami harus mengambil jalan mengeliling. Kita telah menemukan tempat
mereka memotong-motong daging tiga ekor bison dan tempat rombongan Anda
bermalam. Akhirnya kami sampai juga di dekat Estrecho ini."
"Berapa orang rombongan Anda?"
"Hanya enam orang."
"Hee?" "Ya betul! Kami sanggup menghadapi seratus orang Comanche yang tidak bersenjata
itu. Seperti Anda lihat, saya sendiri ada membawa pembunuh-beruang saya, senapan
Henry, dua revolver dan empatpuluh peluru. Dan di sana ada seorang lagi yang
melebihi seratus orang Comanche."
"Siapa dia?" "Winnetou." "Winnetou, ketua suku Apache" Ha, kalau begitu, kami semua merasa aman. Old
Shatterhand dan kawan-kawannya telah menolong jiwa kami. Terima kasih."
"Kami telah mengepung Estrecho ini. Dalam pada itu kami tadi telah menempeleng
salah seorang dari rombongan Anda yang bernama Hum."
"Ya, ya, pemuda itu sungguh baik hati dan lebih sehat pikirannya daripada kami
semua." "Kami tadi mendaki lereng ke atas dan dari situ kami dapat melihat semua yang
terjadi di dalam Estrecho. Dengan sebuah lasso saya hendak turun ke bawah,
tetapi tiga orang Indian melihat saya bergerak. Terpaksa saya menjotosnya hingga
mereka jatuh terbentur di dasar Estrecho. Rombongan Anda tertolong semua, sebab
di belakang barisan orang-orang Indian, berdiri siap kawan-kawan saya dengan
bedilnya." Tidak lama kemudian Tokvi Kava bangun dari pingsannya dan dipaksanya dia
menceriterakan apa yang telah dilakukan, semenjak ia meninggalkan Firewood Camp.
Oleh karena ia telah bermaksud jahat terhadap orang-orang yang tidak berdosa,
maka bersama cucunya ia mendapat hukuman dera sebanyak duapuluh kali pukulan
dengan kayu di atas punggungnya.
Dengan perasaan dendam akhirnya kedua orang itu meninggalkan Estrecho diikuti
oleh prajurit-prajuritnya.
Oleh karena tidak ada lagi bahaya yang mengancam, rombongan itu duduk-duduk di
sekitar api unggun, sambil menceriterakan pengalaman masing-masing. Ketika
disinggung kata Bonanza, maka Old Shatterhand berkata: "O, jadi Anda bermaksud
mencari Bonanza?" "Ya, Sir! Bukankah Bonanza itu tersembunyi di Estrecho ini?"
"Ha, ha! Tahukah Anda arti Bonanza?"
"Tidak. Belum pernah saya menjumpai orang yang tahu akan artinya."
"Ada juga orangnya, misalnya Winnetou dan saya. Hoaka adalah bahasa Acoma,
artinya: langit, sorga. Jadi "Bonanza dari Hoaka" berarti "Bonanza dari sorga."
Orang-orang kulit putih mencari Bonanza itu di daerah ini, dan kerapkali harus
mengorbankan jiwanya, sedangkan mustinya hanya terdapat di sorga. Begitulah
ceritera itu hidup dari mulut ke mulut, dalam dongeng-dongeng kuno dan akhirnya
didengar pula oleh pencari-pencari emas dan petualang-petualang."
"Ya karena dongeng hampa saja kami hampir-hampir kehilangan jiwa kami."
"Tetapi Tokvi Kava dan Ik Senanda sudah cukup diberi hukuman dera. Saya
sebenarnya tidak begitu setuju dengan hukuman jasmaniah. Pada orang yang
berperasaan halus hukuman itu menyebabkan gangguan jiwa dan melukai perasaan
harga diri. Tetapi, memang ada oknum-oknum yang perlu diberinya, karena kata-
kata saja dianggapnya angin belaka. Quod erat Damon stratus.*" kata-kata itu
diucapkan Hobble-Frank dalam suasana khidmat.
(*Kata-kata itu salah, mestinya: Quod erat demonstrandum-yang dapat dibuktikan)
Tall Hum tahu sifat si Hobble-Frank yang suka memakai kata-kata asing tetapi
tidak tahu benar artinya. Maka ia menyela:
"Permisi Mister Frank! Kalimat itu seharusnya: 'Quod erat demonstrandum'."
"Ai, anak muda, Anda mau lebih pintar dari orang yang telah lebih banyak makan
garam ini" Tahukah Anda siapa nama saya?"
"Ya, tentu, Mr. Frank."
"Frank" Hanya Frank saja" Saya dahulu dibaptis dengan nama Heliogabalus Morpheus
Eduardus Frank, pemburu prairi dari Moritzburg. Orang yang mempunyai nama yang
panjang dan besar seperti saya, tidak mau menerima peringatan-peringatan dari
seorang anak muda. Katakanlah siapa nama Anda?"
"Hum." "Hum" Hum..." Itu bukan nama orang. Tidak ada manusia yang suka mengambil nama
seaneh itu." "Memang. Tetapi saya tidak suka mengucapkan nama saya yang sebenarnya, karena
alasan estetika." "Ha, tentu nama Anda sangat jelek. Beranikah Anda mencela nama saya yang indah
ini: Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank" Kalau begitu, datanglah di kantor
pencatatan jiwa, mintalah nama Anda diubah kepada David Makabeus Timpe."
Ketika Tall Hum mendengar nama itu, ia bertanya keheran-heranan:
"Dari mana mister mendapat nama itu?"
"Saya" Itu bukan nama saya. Saya tidak akan memilih nama semacam itu. Andaikata
saya bernama Timpe, saya akan bunuh diri ke dalam laut."
"Tetapi, kenalkah mister Frank orang dengan nama Timpe?" "Ya, saya kenal dua
orang yang bernama begitu." "Di tanah air Anda?"
"Tidak, negeri Jerman akan dicemarkan oleh nama-nama itu. Tetapi di Amerika
sini." "Di mana?" "Di Rocky Ground."
"Mereka masih diam di sana?"
"Tidak, sekarang mereka tinggal di sini, di Estrecho. Itulah orangnya yang
namanya Has dan Cas." Hum berpaling kepada kedua pemuda itu dan bertanya:
"Betulkah nama Anda Timpe?"
"Ya, saya bernama Casimir Obadja Timpe, dan itu, saudara sepupu saya Hasael
Benyamin Timpe." "Di mana Anda dilahirkan?"
"Di Plauen, daerah Saksen. Mengapa Anda tertarik kepada nama Timpe?" "Karena
saya mengenal orang yang bernama Timpe pula." "Di mana" Jawab Anda sangat
penting bagi kami." "Mengapa Anda berdua meninggalkan Saksen?"
"Kami pergi ke Amerika untuk mencari warisan kami. Kami telah ditipu orang."
"Ditipu" Oleh siapa?" "Seorang sanak telah melarikan diri dengan membawa warisan yang menjadi hak kami
itu. Ia bernama Nahum Samuel Timpe dan diduga ia ada di Santa Fe. Oleh sebab itu kami
pergi kesana untuk membekuk batang lehernya." "AU devils. Dari siapa warisan
itu?" "Dari paman kami yang bernama Josef Habakuk Timpe, yang telah meninggal dunia
tanpa mempunyai anak-turun."
"Tuan-tuan, ceritera Anda amat penting bagi saya. Bagaimana Anda tahu, bahwa
paman itu meninggalkan warisan?"
"Dari kedua saudara sepupu kami di Plauen yang bernama Petrus Micha Timpe dan
Mustang Hitam Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Absalon Markus Timpe. Mereka masing-masing menerima seratus ribu thaler*."
(*Uang Jerman dahulu. Kata thaler mirip dengan dollar.) "Dan sekarang Anda
berdua ada di Amerika untuk mencari bagian Anda." "Ya, berapa surat sudah kami
kirimkan, tetapi sia-sia saja."
Sambil tertawa terbahak-bahak, Tall Hum berkata: "Anda sekarang hendak ke Santa
Fe, bukan" Itu tidak perlu! Orangnya ada di sini, di Estrecho."
"Hee" Di mana" Siapa?" teriak Has dan Cas bersama-sama.
"Saya orangnya. Nama saya telah saya singkat, dari Nahum menjadi Hum. Lengkapnya
Nahum Samuel Timpe. Tangkap sajalah saya, saudara sepupu yang curang."
Has dan Cas tidak berbuat apa-apa karena keheran-heranan. Hobble Frank
menghendaki Hum digantung saja. Semua pasang mata ditujukan kepada Hum.
Akhirnya Hum membuka rahasia warisan keluarga Timpe dengan ceriteranya yang
singkat: "Ketika paman Josef Habakuk meninggal dunia, ia hanya meninggalkan surat-surat
di antaranya sepucuk yang berasal dari saudara-saudara sepupu kita, di Plauen.
Mereka beruntung menarik lotre seratus ribu thaler dan ingin mempermainkan
keluarga-keluarga Timpe di Plauen dan Hof karena mereka selalu hidup bermusuhan.
Uang tersebut dikatakannya adalah warisan dari paman Habakuk yang ada di
Amerika. Anda semua percaya akan ceritera kosong itu, dan mengira bahwa bagi
Anda ada pula harta tersedia. Anda hanya kecele, akan tetapi sayalah yang
sebenarnya kehilangan warisan yang menjadi hak saya. Ayah saya tiap bulan selalu
mengirimkan uang kepada paman Habakuk dengan maksud, agar uang itu dapat
dijalankan sehingga menjadi banyak, dan akan diwariskan kepada saya. Tetapi
ternyata, bahwa semua uang itu dipakainya sendiri. Tetapi baiklah kita semua
tidak usah merindukan harta yang belum diridhakan oleh Tuhan. Kita masih muda,
masih kuat dan penuh semangat. Di Amerika kita akan menjadi kecukupan, asal mau
bekerja keras secara jujur."
"Cocok, cocok!" sela Frank "Memang, ketika saya melihat bentuk kepala Hum ini,
saya sudah mengira, bahwa di dalamnya ada terdapat otak, bukan bubur atau pasir.
Hendaknya Anda mendirikan persekutuan usaha dengan nama 'The Timpe Company'.
Saya yakin, bahwa darah muda dan merah yang mengalir di tubuhmu itu akan membuat
besar usaha itu. Dan apabila kelak Anda melihat lagi muka saya yang istimewa
ini, katakanlah: 'Ha itu si Heliogabalus Morpheus Eduardus Frank!' atau dengan
singkat Hobble Frank. Selesai!
Howgh." TAMAT Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net Gadis Buronan 1 Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Pendekar Setia 8